SATU
DUA gadis berparas cantik itu pasang tampang din-
gin angker. Di hadapan mereka Pendekar 131 Joko
Sableng tertawa bergelak panjang. Sementara Bidadari
Pedang Cinta pulang balikkan wajah memandang silih
berganti pada dua gadis di hadapannya dan melirik
pada murid Pendeta Sinting yang tegak di sampingnya
dengan raut kebingungan. Dalam hati diam-diam dia
berkata.
“Pemuda asing satu ini aneh.... Jelas tidak ada sua-
ra yang menggelikan! Namun mendadak dia tertawa
bergelak seperti orang gila.... Jangan-jangan dia me-
mang pemuda setengah gila.... Tapi....” Bidadari Pe-
dang Cinta menghela napas panjang. “Aku terpaksa
berdusta pada Eyang hanya karena ingin tahu bagai-
mana keadaannya.... Tak tahunya aku harus terlibat
urusan lain....” Bidadari Pedang Cinta melirik pada
dua gadis di hadapannya dan teruskan membatin.
“Mengapa dua gadis ini mencari Bidadari Tujuh
Langit?! Apakah mereka tidak tahu kalau perempuan
yang mereka cari memiliki kelainan?! Atau jangan-
jangan mereka juga mempunyai sifat seperti Bidadari
Tujuh Langit....”
Membatin sampai di situ, tiba-tiba kuduk Bidadari
Pedang Cinta berubah dingin. Apalagi teringat ucapan
dan tindakan yang hendak dilakukan Bidadari Tujuh
Langit beberapa saat yang lalu.
Seperti diketahui, Bidadari Pedang Cinta dan Bida-
dari Delapan Samudera sempat hendak diperlakukan
tidak senonoh oleh Bidadari Tujuh Langit yang memili-
ki kelainan lebih suka dengan sesama jenis daripada
dengan laki-laki. Untung saat itu muncul murid Pendeta Sinting yang menghadang tindakan Bidadari Tu-
juh Langit. Dan pada saat yang tepat, Iblis Pedang Ka-
sih berkelebat menyelamatkan Bidadari Pedang Cinta
serta Bidadari Delapan Samudera.
Begitu Bidadari Delapan Samudera pergi, Bidadari
Pedang Cinta segera pula minta izin pada eyangnya.
Dan secara tak sengaja Bidadari Pedang Cinta mene-
mukan Pendekar 131 tengah berduaan bicara dengan
Bidadari Delapan Samudera di pinggiran sungai. Di-
dera oleh perasaan tidak enak, akhirnya Bidadari Dela-
pan Samudera segera berkelebat pergi.
Bidadari Pedang Cinta juga akan pergi, tapi murid
Pendeta Sinting mencegah dan memberi keterangan
pada Bidadari Pedang Cinta soal hubungannya dengan
Bidadari Delapan Samudera. Tapi Bidadari Pedang
Cinta tidak percaya. Apalagi dia dengar sendiri dari
mulut Joko jika salah satu di antara dirinya dan Bida-
dari Delapan Samudera adalah kekasihnya. Bidadari
Pedang Cinta menduga yang dimaksud kekasih oleh
murid Pendeta Sinting adalah Bidadari Delapan Samu-
dera. Ketika terjadi perbincangan itulah mendadak
muncul dua orang gadis berwajah cantik. Yang satu
berpakaian merah, satunya lagi mengenakan baju ku-
ning. Paras kedua gadis ini sangat mirip dan sulit di-
bedakan. Yang bisa membedakan mereka adalah pa-
kaian yang mereka kenakan.
Kedua gadis berbaju merah dan kuning muncul
dengan bertanya tentang ke mana perginya Bidadari
Tujuh Langit. Mendengar pertanyaan kedua gadis,
Pendekar 131 mendadak tertawa bergelak, membuat
Bidadari Pedang Cinta sempat merasa aneh. Sebalik-
nya dua gadis yang muncul dengan pertanyaan mulai
geram karena jawaban dan sahutan murid Pendeta
Sinting jelas bernada main-main!
“Pemuda asing! Apa yang kau dengar lucu, hah?!”
Gadis berbaju merah perdengarkan bentakan keras
membahana. Tangan kanannya diangkat ke udara.
Joko putuskan gelakan tawanya. Kedua tangan di-
takupkan di depan dada. Lalu seraya tersenyum dia
menjura dan berujar.
“Pertanyaan kalian memang tidak lucu apalagi
menggelikan....”
“Mengapa kau tertawa ngakak?!” sahut gadis berba-
ju kuning seolah tak sabar.
“Yang membuatku tertawa.... Mengapa kalian ber-
tanya padaku?! Apa kalian kira aku tahu banyak ten-
tang orang yang kalian tanyakan?! Kalau boleh aku
bertanya, siapa yang memberi kalian keterangan kalau
aku adalah orang yang banyak tahu masalah orang
yang kalian cari?!”
Dua gadis yang ditanya tidak segera menjawab.
Pendekar 131 tertawa lagi. Lalu berucap.
“Mungkin orang yang memberi keterangan pada ka-
lian salah ucap. Atau bisa saja kalian yang salah de-
ngar....”
“Telinga kami tidak tuli! Dan mereka tidak mungkin
berdusta!” Yang menyahut adalah gadis berbaju me-
rah.
Murid Pendeta Sinting geleng kepala. “Aku baru per-
caya dengan ucapan kalian jika kalian mau mengata-
kan siapa mereka yang memberi keterangan.... Kalau
tidak.... Aku tetap berkeyakinan orang yang memberi
kalian keterangan salah ucap dan kalian sendiri salah
dengar...!”
Tangan kanan gadis berbaju merah yang terangkat
di udara sudah hendak bergerak. Namun gadis di se-
belahnya segera berbisik.
“Sebaiknya kita katakan saja siapa yang memberi
kita keterangan! Waktu kita bisa tersita kalau terus-
terusan melayani manusia gila seperti dia....”
Gadis berbaju merah batalkan niat yang hendak le-
paskan pukulan. Dia tarik pulang tangan kanannya ke
belakang lalu berkata.
“Kau pasti pernah dengar seorang tokoh bergelar Ib-
lis Muka Setan dan tokoh perempuan berjuluk Perem-
puan Kembang Darah!”
Joko kerutkan dahi. “Hem.... Yang dimaksud mere-
ka pasti orang tua bertubuh kerempeng dan perem-
puan setengah baya berwajah cantik yang sempat ber-
debat dengan Bidadari Tujuh Langit....” Joko ingat
akan pertemuannya dengan dua orang itu ketika dia
bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit. Lalu bertanya.
“Apa hubunganmu dengan Iblis Muka Setan dan Pe-
rempuan Kembang Darah?!”
“Pertanyaanmu terlalu banyak! Sekarang jawab saja
pertanyaan kami sebelum kesabaran kami pupus!” te-
riak gadis berbaju kuning.
“Baik.... Aku akan turuti permintaan kalian. Tapi
harap kau katakan dulu siapa kalian adanya! Dengan
begitu, kalau kalian nanti tidak bertemu dengan orang
yang kalian cari dan kebetulan aku bertemu dengan-
nya, aku bisa menerangkan lebih mudah!”
“Kau tak usah ikut campur! Ini urusan kami!”
“Aku tidak akan turut campur.... Hal ini agar me-
mudahkan bagiku untuk memberi keterangan nanti-
nya....”
“Kau tak usah memberi keterangan padanya! Kami
yang akan mencari!” Gadis berbaju merah menyahut
lagi.
Pendekar 131 geleng kepala lagi. “Tidak semudah
itu melakukannya.... Dan siapa tahu Bidadari Tujuh
Langit juga tengah mencari kalian. Kalau nantinya dia
bertanya padaku, dan aku tidak bisa menjawab, uru-
san besar akan berada di mataku.... Jadi harap kalian
tidak menempatkan urusan padaku dengan tidak mau
menjelaskan siapa adanya diri kalian...!”
“Turuti saja kemauannya...,” bisik gadis berbaju
kuning.
“Aku Galuh Sembilan Gerhana!” seru gadis berbaju
merah.
“Aku Galuh Empat Cakrawala!” Gadis berbaju ku-
ning menyahut.
“Dari nama depan kalian, tentu kalian dua sau-
dara...,” ujar Joko.
“Terserah bagaimana pendapatmu! Yang jelas kami
telah turuti kemauanmu dan kami tunggu keterang-
anmu! Sekali lagi kau buka mulut bukan memberi ke-
terangan, kau akan tahu akibatnya!” Gadis berbaju
merah yang sebutkan diri dengan Galuh Sembilan
Gerhana buka mulut.
Joko anggukkan kepala. Lalu berkata.
“Kalian pasti pernah dengar seorang perempuan
cantik bertubuh bahenol berambut putih panjang ber-
nama Putri Pusar Bumi....”
“Teruskan keteranganmu!” kata gadis berbaju ku-
ning yang tadi sebutkan diri dengan Galuh Empat Ca-
krawala.
“Orang yang kalian cari pergi mengejar perempuan
berparas cantik bertubuh bahenol itu!”
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala saling pandang. Galuh Sembilan Gerhana ber-
ucap pelan.
“Kita pernah dengar nama yang baru diucapkan pe-
muda itu dari Guru walau kita belum pernah bertemu
orangnya! Dari keterangan Guru pula, kita tahu jika
Putri Pusar Bumi punya urusan dengan Bidadari Tu
juh Langit!”
“Hem.... Jadi kau percaya dengan keterangan pe-
muda itu ke mana perginya buruan kita?!” tanya Ga-
luh Empat Cakrawala.
Galuh Sembilan Gerhana anggukkan kepala. Lalu
arahkan pandang matanya pada murid Pendeta Sinting
seraya berkata.
“Ke mana arah yang diambil orang yang kami cari?!”
“Pergilah ke selatan. Kalian akan menemukan tanah
terbuka yang banyak ditebari bongkahan batu. Dari
sana kalian boleh mengambil jurusan ke arah barat!
Itulah arah yang diambil Bidadari Tujuh Langit saat
mengejar perempuan cantik bertubuh aduhai yang tadi
kujelaskan....”
“Hem.... Saat ini kami percaya dengan keterangan-
mu! Tapi ingat.... Sekali ternyata keteranganmu dusta,
selembar nyawamu adalah jaminannya!” kata Galuh
Sembilan Gerhana.
“Keteranganmu tadi adalah titipan nyawa kekasih-
mu itu!” Galuh Empat Cakrawala menyahut. “Sekali
ternyata keteranganmu palsu, nyawa kekasihmu ada-
lah bunga dari nyawamu dan akan kami tagih seka-
ligus dengan nyawamu!” Seraya berkata begitu, kepala
Galuh Empat Cakrawala memandang pada Bidadari
Pedang Cinta.
“Aku bukan kekasihnya!” Bidadari Pedang Cinta ce-
pat buka suara dengan paras bersemu merah.
Galuh Empat Cakrawala tertawa pendek. “Kalau
kau bukan kekasihnya, mengapa nada ucapanmu tadi
seperti cemburu...?!”
“Hem... Jangan-jangan mereka berdua mencuri
dengar pembicaraanku dengan Bidadari Pedang Cin-
ta...” Murid Pendeta Sinting membatin.
“Siapa cemburu?! Dia bukan apa-apa ku!” teriak Bidadari Pedang Cinta.
Mendengar teriakan meradang Bidadari Pedang Cin-
ta, kini Galuh Sembilan Gerhana yang ganti tertawa
sebelum akhirnya buka mulut.
“Kau kekasihnya atau bukan adalah urusanmu
dengan pemuda itu! Yang jelas kau telah dengar kete-
rangannya dan tidak menyangkal! Berarti kau membe-
narkan keterangannya. Dan kau harus ikut bertang-
gung jawab kalau nantinya keterangan itu palsu!”
Habis berkata begitu, Galuh Sembilan Gerhana
menggaet lengan Galuh Empat Cakrawala dan me-
nariknya untuk berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Gara-gara kau menahan kepergianku, akhirnya
aku sampai ikut terlibat dengan urusan gila ini!” Bida-
dari Pedang Cinta berujar seraya memandang pada so-
sok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-
krawala yang berlari menuruti keterangan Pendekar
131.
“Kau tak usah khawatir, Bidadari....”
“Enak saja kau bicara!” Bidadari Pedang Cinta su-
dah memotong sebelum murid Pendeta Sinting sele-
saikan ucapannya. “Seharusnya kau bicara begitu se-
belum kedua makhluk tadi pergi! Tidak setelah mereka
pergi dan tidak mendengar ucapanmu!”
“Ah.... Mungkin hal ini sudah menjadi takdir kita!
Dengan adanya urusan ini berarti kita harus ke mana-
mana selalu berdua....”
Bidadari Pedang Cinta menyeringai. “Jangan kira
aku takut menghadapi mereka berdua! Dan aku tak
ingin menambah urusan dengan terus bersama de-
nganmu!”
“Kau masih menduga Bidadari Delapan Samudera
adalah kekasihku?!”
“Itu urusanmu!” sentak Bidadari Pedang Cinta lalu
berkelebat pergi.
“Bidadari! Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting
sambil mengejar.
“Kau telah membuat diriku banyak punya urusan
dengan orang! Harap tidak menambah urusan ini de-
ngan mencegahku pergi! Dan jangan coba-coba meng-
ikutiku!” teriak Bidadari Pedang Cinta sambil hentikan
larinya dan sentakkan kepala memandang angker pada
Pendekar 131.
“Aku tak akan mencegah atau mengikutimu meski
seharusnya kita harus bersama-sama....”
“Lalu mengapa kau mengejarku?!” tanya Bidadari
Pedang Cinta lagi-lagi menukas ucapan Pendekar 131.
“Aku ingin kau menjawab pertanyaanku tentang le-
tak Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai....”
“Kau tak akan mendapat jawaban sebelum kau ka-
takan apa tujuan sebenarnya hendak menuju Lembah
Tujuh Bintang Tujuh Sungai!”
Joko menghela napas. “Tak mungkin aku berterus
terang padanya. Malah-malah hal itu dapat membuat-
nya bungkam mulut!” katanya dalam hati. Lalu berka-
ta.
“Aku telah membuat janji dengan Dewa Asap Kaya-
ngan untuk bertemu di lembah itu!”
“Hem.... Berarti kau pernah bertemu dengan orang
itu! Mengapa kau tidak bertanya langsung pada yang
bersangkutan?!”
“Dia tidak memberiku kesempatan untuk bertanya!”
Bidadari Pedang Cinta terdiam beberapa lama. Se-
telah menghela napas panjang akhirnya gadis cantik
berbaju hijau ini buka suara.
“Pergilah ke arah selatan. Kira-kira dua ratus tom-
bak dari sini kau akan menemukan sebuah hutan
bambu. Setelah itu kau akan menemukan sebuah aliran sungai. Itulah sungai pertama! Setelah itu kau
akan menjumpai enam sungai lainnya! Pada sungai ke-
tujuh, kau akan mendapati sebuah lembah berbentuk
bintang! Itulah tempat yang kau cari!”
“Hem.... Dari keterangannya, kali ini pasti aku tidak
akan tertipu lagi!” membatin murid Pendeta Sinting.
Lalu angkat bicara.
“Ketika kita bertemu di kedai, sepertinya kau juga
hendak menuju lembah itu.... Kalau kau mau menga-
takan urusanmu, mungkin aku bisa mengutarakannya
pada Dewa Asap Kayangan!”
“Urusan yang harus kau selesaikan masih banyak!
Jangan mempersulit diri dengan menambah urusan
orang lain!”
“Kau telah memberi keterangan berharga padaku.
Sudah selayaknya aku menawarkan diri.... Meski sebe-
narnya aku lebih suka seandainya kita pergi bersama-
sama ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai....”
Bidadari Pedang Cinta tertawa sambil geleng kepala.
“Aku bukan orang yang suka pamrih. Lebih dari itu
aku tak mau membuat sakit hati orang lain!”
Selesai berucap begitu, Bidadari Pedang Cinta ber-
kelebat. Namun entah mengapa sebenarnya gadis ini
berharap Pendekar 131 menahan kepergiannya. Hing-
ga kali ini ia berlari tidak begitu kencang dan sengaja
menghindar dari tempat yang sekiranya dapat mem-
buat dirinya segera tidak terlihat murid Pendeta Sint-
ing.
Di lain pihak, meski sebenarnya Joko ingin sekali
mengajak Bidadari Pedang Cinta untuk jalan bersama-
sama menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai,
namun karena jawaban si gadis yang bernada enggan,
akhirnya Joko tidak berusaha menahan kepergian Bi-
dadari Pedang Cinta. Hingga begitu sosok Bidadari Pedang Cinta hampir tidak kelihatan, Joko putar diri lalu
berkelebat ke arah yang baru saja dijelaskan Bidadari
Pedang Cinta.
***
DUA
PEREMPUAN bertubuh bahenol berparas cantik dan
berkulit putih serta mengenakan pakaian warna putih
ketat itu hentikan larinya dengan mulut perdengarkan
gumaman tidak jelas. Dadanya yang membusung ken-
cang tampak bergerak turun naik. Pakaian yang di-
kenakan telah basah kuyup. Sepasang matanya yang
bulat dan menyorot tajam bergerak liar memandang
berkeliling. Lalu terdengar ucapannya.
“Perempuan gembrot itu bisa lolos dari tanganku!
Tapi bukan berarti dia bisa sembunyi!” Perempuan ini
sisir rambutnya dengan jari tangan. Lalu putar diri
menghadap arah mana dia tadi datang.
“Dua santapanku hilang percuma! Padahal kedua-
nya adalah gadis-gadis cantik dan aku yakin belum
pernah menikmati indahnya bercinta.... Hem.... Ini ga-
ra-gara pemuda asing gila itu!” Mendadak paras wajah
perempuan cantik meski usianya tidak muda lagi dan
bukan lain adalah Bidadari Tujuh Langit adanya, ber-
ubah tegang. Dagunya terangkat dan mengembung.
Saat lain dia berkelebat.
Pada satu tempat, tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit
hentikan larinya. Dua daun telinganya bergerak-gerak.
Sepasang matanya dipentang besar-besar memandang
pada satu jurusan.
“Hem.... Telingaku mendengar suara orang bicara.
Suaranya makin lama makin keras.... Berarti mereka
tengah mendekat ke tempat ini!” membatin Bidadari
Tujuh Langit. “Dari suaranya, jelas mereka adalah pe-
rempuan! Mungkinkah mereka adalah gadis jelita ber-
baju biru dan gadis cantik berbaju hijau itu?!” dada
perempuan berusia kira-kira dua puluh lima tahunan
ini berdebar dibuncah hawa nafsu. Bibirnya sungging-
kan senyum. Saat lain dia berkelebat menyelinap sem-
bunyi di balik satu gundukan tanah agak tinggi.
Begitu sosok Bidadari Tujuh Langit lenyap tidak ke-
lihatan di balik gundukan tanah, muncullah dua
bayangan yang berkelebat cepat melintasi gundukan
tanah agak tinggi di mana Bidadari Tujuh Langit baru
saja menyelinap sembunyi.
Bidadari Tujuh Langit segera mengintip. Sepasang
matanya dijerengkan. “Hem.... Ternyata bukan kedua
gadis tadi! Tapi tampaknya hari ini memang aku lagi
bernasib baik! Dua lenyap tapi dua lagi yang muncul!”
Bidadari Tujuh Langit tidak menunggu lagi apalagi
dilihatnya dua sosok yang tengah berkelebat tidak ta-
hu keberadaannya. Dia cepat keluar dari balik gundu-
kan tanah dan berteriak.
“Tampaknya kalian buru-buru! Kalian mengejar se-
seorang?!”
Dua bayangan yang baru saja melintasi gundukan
tanah agak tinggi sama hentikan kelebatannya dan
langsung balikkan tubuh. Mata masing-masing me-
mandang tak berkesip pada sosok Bidadari Tujuh Lan-
git dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Dua pasang mata dari dua bayangan yang ternyata
adalah milik dua gadis berparas cantik berbaju merah
dan kuning dan tidak lain adalah Galuh Sembilan Ger-
hana dan Galuh Empat Cakrawala mendadak mendelik
besar ketika melihat sesuatu di kaki Bidadari Tujuh langit.
“Galuh Sembilan!” bisik Galuh Empat Cakrawala.
“Tampaknya keterangan pemuda asing itu benar ada-
nya! Kita menemukan manusia yang kita cari! Kau li-
hat cincin merah di ibu jari kaki kirinya?!”
“Aku melihatnya! Dia adalah Bidadari Tujuh Langit!
Perempuan binal yang harus kita singkirkan dari mu-
ka bumi!” menjawab Galuh Sembilan Gerhana.
“Kita tidak boleh gegabah menghadapinya! Kita ja-
lankan apa saran Guru...!” sahut Galuh Empat Cakra-
wala dengan suara masih ditekan. Lalu berpaling pada
Galuh Sembilan Gerhana seraya memberi isyarat de-
ngan kedipkan sebelah mata.
“Kalian belum jawab pertanyaanku.... Kalian tengah
mengejar seseorang?!” Bidadari Tujuh Langit buka su-
ara ulangi pertanyaan. Sepasang matanya menatap si-
lih berganti pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh
Empat Cakrawala dengan bibir terus mengumbar se-
nyum.
“Kami memang tengah mengejar seseorang!” Yang
menyahut adalah Galuh Sembilan Gerhana.
“Mungkin kalian kehilangan jejak. Aku sudah agak
lama di tempat ini. Dan tidak melihat adanya sese-
orang yang lewat! Kalau boleh tahu, siapa yang tengah
kalian kejar?!” Bidadari Tujuh Langit ajukan tanya se-
raya melangkah mendekat.
“Seorang pemuda!” jawab Galuh Sembilan Gerhana
setelah melirik sesaat pada Galuh Empat Cakrawala.
Dahi Bidadari Tujuh Langit berkerut. Dia hentikan
langkah lalu buka suara.
“Mau katakan siapa nama pemuda yang kalian ke-
jar?!”
Galuh Sembilan Gerhana geleng kepala. “Itu urusan
kami! Kau sendiri mengapa berada di tempat sepi ini?!
Tengah menunggu seseorang?!”
Bidadari Tujuh Langit tertawa. “Tampaknya kita
punya tujuan yang hampir sama. Bedanya kalian ten-
gah mengejar, tapi aku tengah menunggu....”
“Juga seorang pemuda?!” tanya Galuh Sembilan
Gerhana.
Bidadari Tujuh Langit geleng kepala. “Itu urusan-
ku, Gadis-gadis Cantik.... Dan percuma kujelaskan
pada kalian siapa yang tengah kutunggu. Karena ka-
lian pasti tidak akan kenal siapa adanya orang yang
kutunggu!” Seraya berucap begitu, kembali Bidadari
Tujuh Langit teruskan langkah mendekati Galuh Sem-
bilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Perem-
puan bertubuh sintal yang ibu jari kaki kirinya menge-
nakan cincin berwarna merah salah satu dari pasa-
ngan Sepasang Cincin Keabadian ini hentikan tinda-
kan delapan langkah di hadapan Galuh Sembilan Ger-
hana dan Galuh Empat Cakrawala seraya ajukan
tanya lagi.
“Boleh aku tahu siapa nama kalian...?!”
“Aku Galuh Sembilan Gerhana. Dia Galuh Empat
Cakrawala!” Galuh Sembilan Gerhana menjawab de-
ngan berpaling pada Galuh Empat Cakrawala. Lalu
menoleh lagi pada Bidadari Tujuh Langit dan balik
ajukan tanya.
“Kau telah tahu siapa kami. Rasanya kurang layak
kalau kami belum tahu siapa kau adanya. Tidak kebe-
ratan mengatakan pada kami?!”
“Aku Bidadari Tujuh Langit....”
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala saling lontar lirikan. Galuh Sembilan Gerhana
anggukkan kepala lalu berujar.
“Tampaknya kami memang telah kehilangan jejak.
Kami harus segera pergi....”
“Tunggu!” tahan Bidadari Tujuh Langit begitu melihat gerakan sosok Galuh Sembilan Gerhana yang hen-
dak putar diri.
“Tampaknya orang yang kutunggu juga tidak akan
muncul... Bagaimana kalau kita jalan bersama-sa-
ma...?l” kata Bidadari Tujuh Langit.
“Kau akan ke mana?!” tanya Galuh Sembilan Ger-
hana seraya batalkan niat untuk putar diri.
“Pada awalnya aku memang punya rencana pergi ke
satu tempat bersama orang yang kutunggu. Namun
nyatanya yang kutunggu tidak kunjung muncul! Aku
merasa kecewa... Kini aku tak punya tujuan hendak ke
mana. Aku hanya ingin turutkan ke mana kaki akan
membawaku pergi... Dan kalau kalian tak keberatan,
aku akan ikut ke mana saja kalian hendak pergi....”
Galuh Sembilan Gerhana sorongkan kepala ke arah
Galuh Empat Cakrawala. Seraya melirik pada Bidadari
Tujuh Langit, dia berbisik.
“Bagaimana sekarang?! Aku yakin, ucapannya
hanya pura-pura untuk menggaet kita! Sementara ti-
dak mungkin kita langsung bertindak! Itu membawa
risiko besar! Kita baru bisa bertindak kalau dia dalam
keadaan lengah!”
“Hem.... Bagaimana kalau kita pura-pura ajak dia
mengikuti kita? Lalu kita laksanakan rencana yang te-
lah kita susun!” sambut Galuh Empat Cakrawala.
Selagi Galuh Empat Cakrawala berucap begitu, Bi-
dadari Tujuh Langit sudah angkat suara lagi.
“Bagaimana?! Kalian merasa keberatan?!”
“Sebenarnya kami tidak ingin diikuti siapa pun! Ta-
pi karena orang yang kami kejar tidak kami temukan,
terpaksa kami harus pulang dahulu. Kalau kau mau
ikut, silakan! Tapi....”
Belum sampai Galuh Sembilan Gerhana selesaikan
ucapan, Bidadari Tujuh Langit sudah menyambut!.
“Kalian tak usah pikirkan diriku.... Sementara ini
aku hanya ikut dengan kalian hingga perasaan kece-
waku hilang. Dan aku pun tak tahu sampai di mana
harus ikut dengan kalian! Yang pasti, begitu aku bisa
melupakan peristiwa yang membuat hatiku kecewa ini,
aku akan lanjutkan perjalanan sendiri... Aku hanya
butuh teman untuk bicara!”
Galuh Sembilan Gerhana menoleh pada Galuh Em-
pat Cakrawala. Galuh Empat Cakrawala anggukkan
kepala. Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Lalu berka-
ta.
“Terima kasih.... Aku tak akan bertanya ke mana
kalian akan mengajakku. Yang penting, aku bisa me-
lupakan rasa kecewa hatiku....”
“Ikuti kami...,” kata Galuh Sembilan Gerhana lalu
memberi isyarat pada Galuh Empat Cakrawala dan
berkelebat.
Galuh Empat Cakrawala lemparkan senyum pada
Bidadari Tujuh Langit. Lalu putar diri setengah lingka-
ran dan berkelebat menyusul Galuh Sembilan Gerha-
na.
Bidadari Tujuh Langit tahan gerakan dadanya yang
mulai turun naik karena dibuncah gejolak nafsu saat
mencuri pandang ke arah dada dan pinggul Galuh
Empat Cakrawala.
“Hem.... Tampaknya aku mendapatkan ganti yang
sepadan dengan kedua gadis yang lepas dari tanganku
tadi....” Bidadari Tujuh Langit bergumam seraya terse-
nyum lalu berlari menyusul Galuh Empat Cakrawala.
Pada suatu tempat sepi, Galuh Sembilan Gerhana
memperlambat larinya setelah berpaling pada Galuh
Empat Cakrawala yang berlari tidak jauh di belakang-
nya.
Gerakan kepala Galuh Sembilan Gerhana membuat
Galuh Empat Cakrawala maklum. Dia mempercepat la-
rinya lalu menjajari Galuh Sembilan Gerhana.
“Biar aku yang selesaikan urusan ini. Dan kau tahu
apa yang harus kau lakukan!” Galuh Sembilan Gerha-
na berbisik begitu Galuh Empat Cakrawala berlari
menjajari.
Galuh Empat Cakrawala sambuti ucapan dengan
isyarat kepala. Lalu teruskan berlari melewati Galuh
Sembilan Gerhana yang memperlambat larinya dengan
sesekali berpaling ke belakang melihat Bidadari Tujuh
Langit yang berlari dengan bibir terus menerus meng-
umbar senyum.
Pada saat melewati sebuah pohon agak besar ber-
daun rindang, mendadak Galuh Sembilan Gerhana
hentikan larinya. Kepalanya sesaat lurus ke arah Ga-
luh Empat Cakrawala yang sudah berada jauh di de-
pan sana. Saat lain kepala itu menunduk. Bersamaan
dengan itu kedua tangannya bergerak merangkap pada
perutnya. Lalu terdengar teriakannya.
“Galuh...! Tunggu...!”
Namun suara itu laksana tersumbat di tenggorok-
an. Hingga yang terdengar adalah gumaman tak jelas.
Di lain pihak, Galuh Empat Cakrawala terus berlari
bahkan tidak sekali pun berpaling.
Di belakang, Bidadari Tujuh Langit kerutkan dahi.
“Ada apa dengan gadis baju merah bernama Galuh
Sembilan Gerhana itu?! Sepertinya dia....” Bidadari Tu-
juh Langit lepas pandangan sesaat pada sosok Galuh
Empat Cakrawala. Lalu melesat cepat ke arah Galuh
Sembilan Gerhana dan tegak di samping gadis cantik
berbaju merah itu.
“Tolong panggilkan saudaraku itu...,” pinta Galuh
Sembilan Gerhana seraya melirik pada ibu jari kaki ki-
ri Bidadari Tujuh Langit yang mengenakan cincin berwarna merah. Kedua tangannya makin dirangkapkan
di depan perutnya, sementara tubuhnya ditekuk ke
depan membuat sikap seperti orang diserang sakit pe-
rut luar biasa.
“Kau terluka...?!” tanya Bidadari Tujuh Langit. Ke-
dua tangannya segera memegang kedua lengan Galuh
Sembilan Gerhana. Sepasang matanya liar menatap le-
kat-lekat dada gadis di hadapannya. Lidahnya diju-
lurkan sedikit membasahi bibirnya.
Galuh Sembilan Gerhana tidak menyahut perta-
nyaan Bidadari Tujuh Langit. Sebaliknya menghela
napas panjang dan dalam lalu angkat kepalanya me-
mandang pada Bidadari Tujuh Langit.
“Aku tidak apa-apa.... Aku hanya....” Akhirnya Ga-
luh Sembilan Gerhana buka mulut. Namun sebelum
suaranya selesai, gadis cantik baju merah ini gigit bi-
birnya sendiri. Saat lain sosoknya melorot jatuh ke
atas tanah!
Walau kedua tangan Bidadari Tujuh Langit yang
memegang lengan Galuh Sembilan Gerhana sebenar-
nya mampu menahan lorotan sosok tubuh si gadis, ta-
pi Bidadari Tujuh Langit tidak berusaha menahan,
hingga saat itu juga Galuh Sembilan Gerhana jatuh
terduduk di atas tanah.
“Aku tidak menangkap adanya luka pada dirinya.
Apakah dia berpura-pura..? Tapi untuk apa..?!” Bida-
dari Tujuh Langit berpikir sesaat.
“Ah... Itu tidak penting untuk kuketahui... Yang je-
las...” Bidadari Tujuh Langit kembali basahi bibir-nya.
Lalu duduk di hadapan Galuh Sembilan Gerhana.
“Tampaknya kau terluka dalam. Biar kuperiksa...,”
sambil berkata kedua tangan Bidadari Tujuh Langit
bergerak memegang kedua tangan Galuh Sembilan
Gerhana yang terus mendekap perutnya.
Galuh Sembilan Gerhana geleng kepala seraya ber-
kata pelan.
“Aku tidak apa-apa... Aku sudah terbiasa begini jika
berlari agak jauh! Tapi sebenar lagi sudah pulih....”
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. “Aku bukan seo-
rang tabib. Tapi mungkin aku bisa mengurangi rasa
sakitmu....” Kedua tangannya ditarik pulang ke atas
dan kini memegang bahu kanan kiri Galuh Sembilan
Gerhana.
“Berbaringlah...!” bisik Bidadari Tujuh Langit sambil
dorongkan sedikit kedua tangannya.
Paras wajah Galuh Sembilan Gerhana tampak ber-
ubah. Anehnya, gadis ini tidak berusaha menahan ge-
rakan tubuhnya yang terdorong ke belakang hingga
akhirnya dia telentang di atas tanah.
“Apa yang akan kau lakukan?!” tanya Galuh Sembi-
lan Gerhana seraya memandang sayu pada Bidadari
Tujuh Langit.
“Aku akan memeriksamu...!”
“Aku tidak apa-apa.... Tak usah....” Ucapan Galuh
Sembilan Gerhana tidak berlanjut. Karena bersamaan
dengan itu kedua tangan Bidadari Tujuh Langit sudah
bergerak membuka rangkapan kedua tangannya dan
diletakkan perlahan-lahan di atas tanah. Dan saat lain
tangan Bidadari Tujuh Langit sudah mendekap perut-
nya.
Dada Bidadari Tujuh Langit berdebar keras. Sosok-
nya bergetar. Mungkin sudah tak kuasa menahan diri,
perempuan cantik bertubuh sintal ini cepat geser ke-
dua tangannya menyentuh dada Galuh Sembilan Ger-
hana!
Galuh Sembilan Gerhana terlonjak kaget. Namun
gadis ini tidak berusaha menghadang geseran kedua
tangan Bidadari Tujuh Langit. Dia hanya ajukan tanya
sekali lagi.
“Apa yang akan kau lakukan?!”
Bidadari Tujuh Langit pandangi kedua bola mata
Galuh Sembilan Gerhana. Lalu sorongkan wajahnya
mendekati wajah si gadis. Dengan suara tersendat dan
bergetar dia berbisik.
“Aku ingin menggantikan rasa sakitmu dengan se-
buah kenikmatan....”
“Kenikmatan...?! Kenikmatan apa maksudmu...?!”
Bidadari Tujuh Langit tidak segera menjawab. Seba-
liknya cepat sentakkan wajahnya dan mencium bibir
Galuh Sembilan Gerhana. Sementara kedua tangannya
terus bergerak di atas dada Galuh Sembilan Gerhana.
Galuh Sembilan Gerhana tersentak. Dia cepat ge-
rakkan kedua tangannya. Tangan satu menahan dan
mendorong bahu Bidadari Tujuh Langit hingga ci-
umannya terputus. Sementara tangan satunya lagi
menahan gerakan kedua tangan sang Bidadari.
“Aku.... Aku tak paham maksudmu....” Galuh Sem-
bilan Gerhana berbisik dengan tubuh bergetar. Bukan
menahan gejolak nafsu akibat ciuman dan sentuhan
kedua tangan Bidadari Tujuh Langit, namun sebalik-
nya menindih rasa jijik dan hawa amarah yang sudah
sejak tadi ditahan-tahan.
“Galuh Sembilan Gerhana.... Aku tak bisa memberi
penjelasan bagaimana menguraikan maksudku meng-
gantikan rasa sakitmu dengan sebuah kenikmatan.
Kau hanya perlu merasakan dan membuktikannya
nanti....”
Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit mendo-
rong tangan Galuh Sembilan Gerhana yang menahan
bahu dan kedua tangannya. Saat lain kedua tangan
perempuan cantik bertubuh sintal ini bergerak cepat
melepas kancing-kancing pakaian Galuh Sembilan
Gerhana.
“Bidadari Tujuh Langit.... Aku.... Aku tak apa-apa.
Harap jangan....” Hanya sampai di situ ucapan yang
meluncur dari mulut Galuh Sembilan Gerhana. Gadis
ini mendadak katupkan mulut. Sepasang matanya
mendelik memperhatikan tampang Bidadari Tujuh La-
ngit yang tampak mulai tak sabar, apalagi kini melihat
dada Galuh Sembilan Gerhana yang sudah terbuka!
“Gadisku.... Kau tak perlu cemas. Percayalah.... Kau
pasti akan merasakan bagaimana nikmatnya...,” bisik
Bidadari Tujuh Langit. Tangan kirinya bergerak menju-
lur ke bawah dan kejap lain telah menyelinap masuk
ke bagian bawah tubuh Galuh Sembilan Gerhana.
Galuh Sembilan Gerhana perdengarkan jeritan lirih.
Sosoknya terlonjak tegang. Namun gadis ini berusaha
menahan kedua tangannya yang sudah tak tahan hen-
dak bergerak. Malah saat lain dia pejamkan sepasang
matanya. Jeritan yang baru saja terdengar telah beru-
bah menjadi suara desahan panjang.
Gejolak Bidadari Tujuh Langit makin menggelegak
mendapati sikap Galuh Sembilan Gerhana yang seolah
menyambut apa yang dilakukannya. Dia makin berani
dan seakan tak sabar, tangan yang berada di bagian
bawah tubuh Galuh Sembilan Gerhana segera disen-
takkan.
Kini bukan saja dada Galuh Sembilan Gerhana
yang terbuka memperlihatkan sepasang payudara yang
membusung kencang dan bergerak turun naik meng-
goda, namun pakaian bawahnya juga tersingkap lebar
hingga terlihat jelas sepasang pahanya yang putih mu-
lus dan padat!
***
TIGA
MUNGKIN sudah tenggelam dalam amukan gelegak
nafsu, Bidadari Tujuh Langit lupa pada Galuh Empat
Cakrawala. Bahkan dia tidak sadar jika sedari tadi se-
pasang mata terus memperhatikan dari balik satu ba-
tangan pohon. Malah Bidadari Tujuh Langit tidak me-
rasa jika pemilik sepasang mata dari balik batangan
pohon itu sudah mulai bergerak mendekat dengan
berkilat-kilat.
Di lain pihak, perlahan-lahan Galuh Sembilan Ger-
hana buka sepasang matanya, sementara mulutnya te-
rus perdengarkan desahan-desahan panjang.
Bidadari Tujuh Langit sendiri sudah kesetanan. Dia
menciumi leher dan dada Galuh Sembilan Gerhana,
sementara kedua tangannya bergerak ke mana-mana.
Dan di lain saat mendadak perempuan berwajah cantik
bertubuh sintal ini membuat satu gerakan. Tahu-tahu
sosoknya telah menindih tubuh Galuh Sembilan Ger-
hana!
Hampir bersamaan dengan bergeraknya sosok Bi-
dadari Tujuh Langit yang menindih tubuh Galuh Sem-
bilan Gerhana, mendadak satu bayangan berkelebat.
Saat lain satu tendangan berkiblat ganas ke arah Bi-
dadari Tujuh Langit!
Bidadari Tujuh Langit merasakan desiran angin dari
bagian belakang. Tanpa berpaling kaki kanan kirinya
diangkat lalu dihantamkan!
Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras. Sosok yang menghajar
Bidadari Tujuh Langit terlihat mental balik ke belakang
lalu tegak terhuyung-huyung. Sementara kedua kaki
Bidadari Tujuh Langit mental menghantam kedua kaki
Galuh Sembilan Gerhana yang berada di bawahnya.
Bidadari Tujuh Langit cepat berpaling. Sepasang
matanya mendelik sesaat lalu menyipit. Ketegangan
yang menghias wajahnya mendapati dirinya dibokong
sirna seketika. Lalu senyumnya tersungging.
“Kau...!” desis Bidadari Tujuh Langit mendapati se-
orang gadis berwajah cantik tegak tidak jauh dari tem-
patnya dengan pandangan garang. Ternyata dia bukan
lain adalah Galuh Empat Cakrawala.
Bidadari Tujuh Langit hendak buka suara. Tapi se-
belum suaranya terdengar, mendadak Galuh Sembilan
Gerhana gerakkan kedua tangannya lepas pukulan ke
arah kepala Bidadari Tujuh Langit. Bukan hanya sam-
pai di situ, bersamaan dengan bergeraknya tangan,
kedua kakinya menyentak ke atas!
Walau Bidadari Tujuh Langit sempat gerakkan ke-
dua tangannya menghadang pukulan yang dilepas Ga-
luh Sembilan Gerhana, namun hantaman kedua tan-
gan si gadis lebih cepat, hingga tanpa ampun lagi ke-
dua tangan Galuh Sembilan Gerhana menghantam te-
lak kepala Bidadari Tujuh Langit.
Bukkk! Bukkk!
Kepala Bidadari Tujuh Langit tersentak ke atas lalu
terdorong deras ke belakang. Namun baru setengah ja-
lan, gerakan kepalanya terhenti lalu mental balik ke
depan karena tubuh bagian bawahnya terlonjak terke-
na sentakan kedua kaki Galuh Sembilan Gerhana.
Mendapati hal demikian, Galuh Sembilan Gerhana
tidak menunggu. Untuk kedua kalinya tangannya ber-
gerak lepaskan pukulan ke arah dada. Sementara ke-
dua kakinya lepas tendangan ke arah perut dengan di-
tekuk!
Di bagian belakang, Galuh Empat Cakrawala tidak
berdiam diri. Melihat kedua tangan dan kaki Galuh
Sembilan Gerhana lepas hajaran lagi, dia cepat melesat
ke depan dengan lepas pukulan dari jarak setengah
tombak!
Wuttt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat menerjang ganas ke arah
Bidadari Tujuh Langit.
Mendapati hujan serangan begitu rupa, Bidadari
Tujuh Langit hanya terkesiap beberapa saat. Saat lain
dia hantamkan kedua tangannya. Bukan ke arah so-
sok Galuh Sembilan Gerhana yang berada di bawah-
nya, melainkan ke arah tanah di samping si gadis!
Bummm! Bummm!
Tanah dua jengkal di samping Galuh Sembilan Ger-
hana langsung muncrat bertabur ke udara. Saat ber-
samaan, sosok Bidadari Tujuh Langit melesat ke sam-
ping lalu bergulingan di atas tanah.
Gerakan Bidadari Tujuh Langit bukan saja menye-
lamatkan dirinya dari hantaman kedua tangan dan
kaki Galuh Sembilan Gerhana, tapi juga justru mem-
buat Galuh Sembilan Gerhana harus cepat tarik pu-
lang kedua tangan dan kakinya, karena pada saat itu
gelombang pukulan yang dilepas Galuh Empat Cakra-
wala datang menyongsong lima jengkal di atas tubuh-
nya!
Di lain pihak, mendapati gerakan Bidadari Tujuh
Langit yang begitu cepat, Galuh Empat Cakrawala per-
dengarkan seruan tertahan khawatir pukulannya yang
lolos menghantam sosok Bidadari Tujuh Langit akan
menghajar sosok Galuh Sembilan Gerhana.
Sementara itu, tampaknya Galuh Sembilan Gerhana
merasa maklum. Walau dia telah tarik pulang kedua
tangan dan kakinya, namun tak urung gelombang pu-
kulan yang dilepas Galuh Empat Cakrawala akan
mengakibatkan sosoknya tersapu. Hingga saat itu juga
dia sentakkan tubuh bergulingan ke samping. Lalu te-
gak dan putar diri menghadap Bidadari Tujuh Langit.
Wusss! Wusss!
Muncratan tanah akibat sentakan kedua tangan Bi-
dadari Tujuh Langit langsung amblas tersapu gelom-
bang yang dilepas Galuh Empat Cakrawala.
“Gadis-gadis cantik... Rasanya aku tidak membuat
kesalahan pada kalian... Mengapa kalian tiba-tiba hen-
dak membunuhku?!” bertanya Bidadari Tujuh Langit
seraya tersenyum.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-
krawala saling pandang beberapa saat. Namun belum
sampai ada yang buka suara menyahut, Bidadari Tu-
juh Langit sudah angkat suara lagi.
“Aku tahu.... Hal ini kalian lakukan bukan atas ke-
hendak kalian sendiri! Kalian diperintah orang! Itulah
sebabnya mengapa aku tidak membalas apa yang telah
kalian lakukan!” Bidadari Tujuh Langit hentikan uca-
pannya sejenak. Memandang silih berganti pada Galuh
Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sebe-
lum akhirnya lanjutkan ucapan.
“Tapi harus kalian ingat.... Aku bisa bertindak lebih
daripada apa yang telah kalian lakukan padaku jika
kalian tidak mengatakan siapa manusia bangsat yang
memerintah kalian!”
“Kami tidak mendapat perintah!” Galuh Sembilan
Gerhana berseru sambil kancingkan kembali pakai-
annya yang terbuka. “Kau berhutang dua nyawa pada
kami!”
Bidadari Tujuh Langit kernyitkan kening. “Gadis-
gadis cantik.... Aku yakin. Kita baru pertama kali ini
bertemu. Bagaimana kalian bisa mengatakan aku ber-
hutang dua nyawa pada kalian?!”
“Kau akan mendapat jawaban begitu nyawamu lepas!” Galuh Empat Cakrawala menyahut dengan nada
tinggi.
“Hem.... Kalian tidak mau berterus terang. Ini me-
nambah keyakinanku jika tindakan kalian atas suru-
han orang lain!” ujar Bidadari Tujuh Langit seraya ber-
gerak ke arah Galuh Sembilan Gerhana. “Gadis-gadis
cantik.... Kalau saja kalian mau mengatakan terus te-
rang, tentu aku bisa menjelaskan duduk persoalan
yang sebenarnya hingga di antara kita tidak terjadi sa-
lah paham....”
“Kau tidak akan memperoleh penjelasan apa-apa!
Yang jelas kau berhutang dua nyawa pada kami. Hari
ini kami datang untuk menjemput selembar nyawamu
meski sebenarnya hal itu belum memadai!” Yang me-
nyambut adalah Galuh Sembilan Gerhana.
Bidadari Tujuh Langit hentikan langkah delapan
tindak di hadapan Galuh Sembilan Gerhana. Lalu bu-
ka suara.
“Kalian tidak mau memberi penjelasan. Aku tidak
akan memaksa! Tapi sebagai imbalan dari tindakan
kalian tadi, kuharap kalian mau ikut denganku....” Bi-
dadari Tujuh Langit arahkan pandang matanya pada
Galuh Sembilan Gerhana. Lalu lanjutkan ucapan. “Kita
lanjutkan permainan kita yang tertunda. Kau tentu
menyesal dengan acara yang tadi sempat tidak berlan-
jut, bukan?!”
Belum sampai Galuh Sembilan Gerhana menyahut,
Bidadari Tujuh Langit putar pandangan ke arah Galuh
Empat Cakrawala. Lalu berkata.
“Kau juga tentu sudah tak sabar ingin menikmati
bagaimana indah dan nikmatnya bercinta dengan-
ku....”
Habis berkata begitu, kini kepala Bidadari Tujuh
Langit bergerak pulang balik memandang silih berganti
pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-
krawala. Lalu sambungi ucapannya.
“Kalian berdua nantinya juga akan kuajarkan bagai-
mana menikmatinya secara bersama-sama... Hik...
Hik... Hik...!”
Tampang Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Em-
pat Cakrawala berubah merah padam. Saat lain laksa-
na dikomando kedua gadis ini berkelebat ke depan. Se-
tengah jalan keduanya sama lepas pukulan jarak jauh
bertenaga dalam tinggi.
Wuutt! Wuutt!
Wuutt! Wuttt!
Empat gelombang luar biasa dahsyat berkiblat lurus
ke arah Bidadari Tujuh Langit.
Bidadari Tujuh Langit hadapi gelombang pukulan
dengan bibir sunggingkan senyum. Dia tidak membuat
gerakan apa-apa. Namun begitu empat gelombang be-
rada setengah depa di hadapannya, perempuan berba-
ju putih ini tekuk sedikit kedua kakinya. Kejap lain
kedua tangannya menghantam ke depan.
Bummm! Bummm!
Bummm! Bummm!
Tempat itu langsung bergetar keras laksana dilanda
gempa dahsyat. Sosok Galuh Sembilan Gerhana dan
Galuh Empat Cakrawala langsung mental balik di atas
udara dengan mulut sama perdengarkan seruan te-
gang. Lalu sosok keduanya tersapu dan tegak tersen-
tak-sentak di atas tanah. Paras keduanya berubah pu-
cat pasi.
Di seberang, sosok Bidadari Tujuh Langit hanya
sempat bergoyang-goyang sesaat. Saat lain dia mem-
buat gerakan melompat. Tahu-tahu sosoknya telah te-
gak lima tindak di hadapan Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala yang masih salurkan tenaga dalam untuk kuasai diri.
“Gadis-gadisku...!” berkata Bidadari Tujuh Langit.
“Malam nanti kuharap menjadi malam paling indah
dan paling terkesan dalam hidup kalian berdua! De-
ngan begitu apa yang menjadi ganjalan kalian berdua
bisa lenyap! Dan kita bisa menjadi pasangan abadi....”
“Perempuan mesum! Siapa sudi melayani nafsu be-
jatmu! Dan kau harus tahu. Hidupmu tidak sampai
menjelang malam!” berteriak Galuh Sembilan Gerhana.
Gadis ini cepat melompat dan tegak di belakang Galuh
Empat Cakrawala. Kedua tangannya cepat diangkat la-
lu ditempelkan pada punggung gadis di hadapannya.
Galuh Empat Cakrawala tidak tinggal diam. Bersa-
maan dengan menempelnya kedua tangan Galuh Sem-
bilan Gerhana, dia cepat takupkan kedua tangan dan
diangkat di depan kening. Kedua kakinya direnggang-
kan. Sepasang matanya dipejamkan.
Hampir berbarengan, Galuh Sembilan Gerhana dan
Galuh Empat Cakrawala berteriak. Saat yang sama,
Galuh Empat Cakrawala buka takupan kedua tangan-
nya lalu didorong ke depan.
Wuutt! Wuuttt!
Dari dorongan kedua tangan Galuh Empat Cakra-
wala melesat dua larik gelombang sinar berwarna tiga
laksana pelangi perdengarkan suara bergemuruh dah-
syat. Lalu suasana udara berubah redup seperti ten-
gah terjadi gerhana ketika dari sosok Galuh Sembilan
Gerhana melesat arakan awan berwarna kelabu ke
angkasa. Hebatnya, tiba-tiba hawa di tempat itu beru-
bah panas menyengat!
“Gabungan ‘Inti Cakrawala’ dan ‘Inti Gerhana’!” ber-
seru Bidadari Tujuh Langit bisa mengenali gelombang
gabungan pukulan Galuh Empat Cakrawala dan Galuh
Sembilan Gerhana. “Apa hubungan dua gadis ini dengan iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Da-
rah? Selama ini pukulan ‘Inti Cakrawala’ dan ‘Inti Ger-
hana’ hanya dimiliki pasangan jalang itu! Astaga! Jan-
gan-jangan....”
Bidadari Tujuh Langit tidak lanjutkan gumaman.
Karena saat itu sinar laksana pelangi sudah mengge-
brak dua tombak di hadapannya. Sementara arakan
awan kelabu menderu angker menukik dari udara!
Bidadari Tujuh Langit berseru keras. Kedua kakinya
dihentakkan. Bersamaan dengan melentingnya tubuh
ke udara, kedua tangannya disentakkan lurus ke de-
pan dan ke atas.
Wuutt! Wuuttt!
Dari masing-masing tangan Bidadari Tujuh Langit
menderu kiblatan sinar merah. Lalu terdengar bebera-
pa dentuman dahsyat kala dua kiblatan sinar merah
menghantam dua larikan sinar pelangi dan arakan
awan redup.
Dua larikan sinar pelangi dan arakan awan laksana
tersapu badai dahsyat lalu bertabur amblas ke udara.
Sementara kiblatan sinar merah langsung porak-po-
randa sebelum menyambar rindangnya dedaunan po-
hon di mana tadi Galuh Sembilan Gerhana berhenti
sampai terpangkas rata dan semburat hangus. Saat
lain pohon itu bergetar perdengarkan gemuruh dera-
kan lalu tumbang berdebam karena getaran bias ben-
troknya pukulan.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala menjerit tinggi. Sosok keduanya terangkat ke
udara lalu terpental beberapa tombak ke belakang dan
jatuh bertubrukan di atas tanah dengan mulut sama
semburkan darah!
Di lain pihak, sosok Bidadari Tujuh Langit terputar
di udara beberapa kali. Tapi perempuan berbaju putih
bertubuh sintal ini cepat sentakkan kedua tangannya
ke bawah. Saat itu juga sosoknya melenting berputar
lebih tinggi. Membuat gerakan jungkir balik dua kali
lalu melayang turun kembali dan menjejak tanah de-
ngan kaki laksana dipacak.
Bidadari Tujuh Langit lepas pandangan ke arah so-
sok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala yang tampak berusaha bangkit. Dia pejamkan
mata beberapa saat untuk kuasai rasa sakit pada dada
dan kedua lengannya. Lalu memandang lagi pada dua
gadis di seberang depan.
“Hem.... Jangan-jangan mereka adalah kaki tangan
si Pasangan Mesum, Iblis Muka Setan dan Perempuan
Kembang Darah! Hem.... Aku tahu sekarang! Inilah
yang dimaksud ucapan mereka beberapa waktu lalu....
Dua jahanam itu menduga bisa memuslihatiku dengan
umpan kedua gadis itu! Hik...! Hik.... Hik...! Mereka
tak sadar, justru mereka telah memberiku santapan
luar biasa! Cantik-cantik dan belum pengalaman...!”
Habis membatin begitu, Bidadari Tujuh Langit sege-
ra melesat ke depan lalu tegak enam langkah di hada-
pan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-
kra-wala yang masih terhuyung-huyung dengan wajah
pucat pasi dan sudut bibir lelehkan darah.
“Gadis-gadisku.... Seandainya kalian tadi mau ber-
terus terang, tentu hal seperti ini tidak akan terjadi!
Kalian tahu...?! Kalian sebenarnya diumpankan Iblis
Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah padaku!
Mereka tidak berani menghadapiku, lalu berusaha
menghasut kalian dengan mengatakan berhutang dua
nyawa pada kalian!” Bidadari Tujuh Langit hentikan
ucapannya sejenak. Seraya maju dua langkah dia
kembali berucap.
“Untuk selesaikan urusanku dengan dua penghasut
jahanam itu, kalian harus ikut denganku! Selain seba-
gai jaminan atas dua nyawa Pasangan Mesum itu, ka-
lian juga akan mendapatkan pelajaran berharga....”
“Siapa percaya mulut perempuan menjijikkan se-
pertimu!” Galuh Empat Cakrawala menyahut.
“Aku tidak memaksa kalian untuk percaya! Nanti
kalian akan tahu sendiri ucapan siapa yang benar!
Dan sambil menanti saat itu, kalian akan kuajak me-
nikmati bagaimana rasa surga dunia.... Kalian tentu
sudah sering melihat bagaimana Iblis Muka Setan dan
Perempuan Kembang Darah bermain cinta. Tapi aku
yakin, kalian belum pernah merasakannya... Lebih-le-
bih dengan orang sesama jenis... Hik..! Hik..! Hik..!”
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala berteriak marah. Saat lain keduanya lipat ganda-
kan tenaga dalam. Namun mendadak kedua gadis can-
tik ini tercekat tegang sendiri. Mereka merasakan da-
danya nyeri dan perutnya mual hendak muntah ketika
berusaha alirkan tenaga dalam. Hingga kedua gadis ini
saling pandang dengan paras kaku.
“Gadis-gadisku.... Kunasihati kalian.... Percuma ka-
lian kerahkan tenaga dalam. Hal itu selain tidak bisa
membantu banyak, namun juga akan membuat kalian
makin terluka dalam.... Dan kalian harus tahu, hanya
aku yang dapat mengobatinya!”
Mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit, mau tak
mau kuduk Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Em-
pat Cakrawala menjadi dingin. Tapi kedua gadis ini ti-
dak begitu saja percaya. Keduanya kembali coba ke-
rahkan tenaga dalam. Namun untuk kedua kalinya pu-
la mereka tersentak kaget malah kaki mereka tersurut
satu langkah dengan sosok bergetar dan hampir saja
oleng ke samping.
“Gadis-gadisku.... Aku tidak pernah bicara dusta....
Dan kalian harus tahu. Bidadari Tujuh Langit pantang
permintaannya ditolak!”
Selesai berucap begitu, Bidadari Tujuh Langit tegak-
kan wajah. Tapi cuma sesaat. Kejap lain mendadak dia
berkelebat ke depan. Sosoknya laksana bayang-
bayang.
Walau maklum keadaan dirinya yang tak bisa ke-
rahkan tenaga dalam, namun Galuh Sembilan Gerha-
na dan Galuh Empat Cakrawala tidak berdiam diri.
Mereka berdua cepat angkat kedua tangan masing-
masing.
Namun baru saja tangan mereka bergerak, mulut
mereka telah perdengarkan seruan tertahan. Saat lain
mereka merasakan kedua tangannya tegang tak bisa
digerakkan. Lalu sama-sama jatuh terduduk di atas
tanah dengan mulut menganga tanpa perdengarkan
suara!
“Gadis-gadisku.... Kalian akan mendapatkan pelaja-
ran satu persatu. Setelah kalian bisa menikmatinya,
kita bisa melakukannya bersama-sama.... Mari kita isi
malam-malam mendatang dengan taburan cinta....”
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala hendak berpaling karena jelas suara Bidadari Tu-
juh Langit diperdengarkan dari belakang mereka ber-
dua. Tapi mereka gagal gerakkan kepala karena leher
mereka tegak kaku. Mereka berusaha angkat suara,
tapi tidak ada sepata kata yang keluar.
Dalam keadaan begitu rupa, mendadak sosok Galuh
Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala te-
rangkat ke udara. Mereka tak tahu apa yang terjadi.
Yang jelas mereka merasakan telah berada di pundak
orang dan dibawa berlari!
***
EMPAT
LAKI-LAKI bertubuh pendek berambut putih pan-
jang menjulai hingga menyapu tanah itu tegak sandar-
kan punuk di punggungnya pada satu batangan pohon
dengan wajah ditegakkan menghadap langit.
Di hadapan laki-laki cebol ini terlihat seorang nenek
bertubuh tambun besar dengan wajah dan perut di-
ganduli gumpalan daging dan berpakaian warna merah
ketat duduk menjeplok di atas tanah dengan tangan
kanan kiri mainkan rambutnya yang juga panjang.
Nenek ini sesekali arahkan pandang matanya pada la-
ki- laki bertubuh pendek di hadapannya lalu berpa-
ling lepas pandangan berkeliling.
Untuk beberapa lama, kedua orang ini yang bukan
lain adalah Iblis Pedang Kasih dan si nenek yang di-
kenal dengan Putri Pusar Bumi sama kancingkan mu-
lut tidak ada yang perdengarkan suara.
“Sampai kapan kita menunggu di tempat ini?!” men-
dadak Putri Pusar Bumi pecahkan kesunyian dengan
ajukan tanya.
Iblis Pedang Kasih luruskan kepala memandang pa-
da Putri Pusar Bumi yang bukan lain adalah adiknya
sendiri. Lalu angkat suara menyambut.
“Aku tak tahu.... Tapi kurasa penantian Ini tidak
akan ada gunanya!”
“Hem.... Ke mana sebenarnya cucumu tadi minta
izin?!” kembali Putri Pusar Bumi ajukan tanya.
“Dia hanya bilang akan mengatakan sesuatu pada
gadis berbaju biru yang sebutkan diri dengan Bidadari
Delapan Samudera. Aku tak tanya apa yang hendak di
katakannya.... Dan mengapa dia tidak mengatakannya
saat Bidadari Delapan Samudera berada di sini.... Tapi
kurasa hal Itu hanya alasannya saja. Aku tahu pasti
ke mana dia pergi!”
“Ke mana...?!”
“Ke mana lagi kalau tidak ingin melihat pemuda
bernama Joko Sableng itu?!”
“Hem... Jangan-jangan cucumu itu telah jatuh cin-
ta...”
Iblis Pedang Kasih menghela napas panjang. “Bida-
dari Pedang Cinta sudah dewasa. Gadis seusia dia me-
mang sudah layak dihinggapi perasaan cinta pada se-
orang pemuda.... Hanya saja, aku ingin urusan tentang
kehidupannya bisa tuntas terlebih dahulu!”
“Jadi selama ini kau belum berterus terang pada-
nya?!” tanya Putri Pusar Bumi.
Yang ditanya gelengkan kepala. “Aku harus me-
nunggu saat yang tepat! Menghadapi seorang gadis
yang sudah menginjak dewasa tidak mudah... Aku ta-
kut dia nanti tidak percaya dengan kenyataan di hada-
pannya.... Kau sendiri bagaimana?! Apa kau telah
mengatakan terus terang pada cucumu?!”
“Selama ini aku memang belum menjelaskan secara
rinci. Tapi sedikit banyak aku sering menyinggung dan
bercerita tentang orang-orang yang masih ada hu-
bungan darah dengannya....”
“Hem.... Sudah lama aku tidak bertemu dengan cu-
cumu itu. Pasti dia sudah sebaya dengan Bidadari Pe-
dang Cinta dan tentu sama cantiknya....”
Putri Pusar Bumi tertawa. Lalu bangkit dan berkata.
“Kalau kau yakin penantian ini percuma, sebaiknya
kita pergi dahulu! Cucumu pasti tahu ke mana nanti
harus mencari!”
“Dia sudah kuberi tahu.... Cuma aku khawatir dia
akan mendapat halangan di jalan. Jika saja halangan
itu datangnya dari orang lain, tentu aku tidak merasa
cemas. Yang kutakutkan, kalau halangan itu datang-
nya dari Bidadari Tujuh Langit! Hal ini nantinya akan
menyulitkan diriku untuk memberi keterangan!”
“Hem.... Lalu...?!”
“Sebaiknya kau pergi dahulu. Sementara aku akan
menyusul setelah aku bertemu dengan Bidadari Pe-
dang Cinta!”
Si nenek anggukkan kepala. Tanpa berucap lagi dia
putar diri lalu berkelebat. Bersamaan itu Iblis Pedang
Kasih berteriak.
“Pemuda bernama Joko Sableng itu bilang hendak
menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Kalau
dia mendapat keterangan yang benar, pasti dia akan
melewatimu! Kau harus melakukan sesuatu!”
“Apa yang harus kulakukan?!” seru Putri Pusar
Bumi sambil terus berkelebat.
Iblis Pedang Kasih tidak menyahut. Karena sosok
Putri Pusar Bumi sudah lenyap di depan sana.
“Hem.... Aku harus segera menemukan gadis itu!
Terlalu berbahaya kalau dia sampai terlibat urusan le-
bih jauh dengan pemuda itu. Lebih-lebih jika harus
terlibat masalah lebih dalam dengan Bidadari Tujuh
Langit...!” Iblis Pedang Kasih membatin. Lalu sekali
kaki kanannya menghentak ke batangan pohon di be-
lakangnya, sosoknya melesat.
***
Sementara itu, di tempat lain murid Pendeta Sinting
terus berlari sesuai petunjuk yang diberikan Bidadari
Pedang Cinta. Dan dia baru memperlambat larinya dan
berhenti saat pandang matanya melihat hamparan hu-
tan bambu.
“Hem.... Petunjuk gadis Itu nyatanya benar.... Mu-
dah-mudahan benar juga semua petunjuk selanjutnya!
Aku ingin segera tuntaskan urusan ini dan pulang
kampung tanpa membawa beban....”
Habis bergumam begitu, Pendekar 131 teruskan
berlari dan berhenti saat kakinya mulai menginjak hu-
tan bambu.
“Setelah melewati hutan bambu ini aku akan me-
nemukan sebuah aliran sungai! Itulah aliran sungai
pertama dari tujuh sungai yang harus kulalui! Hem....
Aku harus terus waspada.... Bukan tak mungkin ada
beberapa orang yang tak kukenal telah mengetahui Ji-
ka peta wasiat dari Perguruan Shaolin berada di tan-
ganku!” Tangan kanan murid Pendeta Sinting bergerak
menyelinap ke balik pakaiannya. Lalu mulai melang-
kah memasuki hutan bambu.
Namun baru saja melangkah sepuluh tombak, men-
dadak terdengar suara orang berucap.
“Aku sudah berusaha sembunyi hingga sampai hu-
tan bambu yang sunyi! Tapi mengapa masih ada saja
yang menemukan diriku?! Apa mereka tidak merasa
kasihan padaku...?! Tahu begini akibatnya, tak mung-
kin aku sampai jauh-jauh mendekam di tempat ini! Si-
al betul nasibku!”
Pendekar 131 simak ucapan orang beberapa lama.
“Aneh.... Mengapa dia berkata...? Padahal seandainya
dia tidak perdengarkan suara tentu aku tak tahu ke-
beradaannya di tempat ini....”
Murid Pendeta Sinting berpaling. Memandang ke
depan, dia tidak melihat siapa-siapa. Hanya rimbun
gerombolan rumpun bambu. Joko putar pandangan.
Tapi belum juga melihat adanya seseorang.
“Siapa yang bicara?!” Pendekar 131 berteriak kare-
na tidak juga melihat adanya orang setelah agak lama
edarkan pandangan berkeliling.
“Ah.... Seandainya aku tahu kau tidak melihatku....
Tentu aku tidak akan bersuara....”
Pendekar 131 Joko Sableng menoleh lagi ke arah
mana telinganya mendengar suara yang baru saja di-
dengar. Dan mungkin takut orang sudah melakukan
gerakan sebelum dia gerakkan kepala, Joko sengaja
berpaling sebelum suara orang selesai.
“Astaga! Kalau saja dia tidak bersuara, siapa pun
juga pasti tidak menduga kalau itu adalah manusia!”
Joko mendelik memperhatikan satu gerumbulan rum-
pun bambu yang di sebelahnya terdapat satu gundu-
kan tanah agak tinggi di mana terlihat satu sosok tu-
buh duduk dengan kedua kaki ditekuk dan kepalanya
dibenamkan dalam-dalam di belakang tekukan kedua
kakinya. Sementara kedua tangannya merangkap erat
pada kedua kakinya.
Beberapa saat murid Pendeta Sinting memperhati-
kan. “Hem.... Aku harus hati-hati. Aku tak mau tertipu
untuk kedua kalinya....” Joko membatin ingat akan
penipuan yang dilakukan Hantu Pesolek ketika berada
di lembah berbatu cadas.
“Harap tidak sungkan tunjukkan muka....” Pende-
kar 131 berujar tanpa membuat gerakan mendekati
sosok tubuh yang sembunyikan tampang di belakang
tekukan kedua kakinya.
“Harap tidak salah duga. Aku bukannya sungkan
tunjukkan tampang. Tapi aku takut!”
Joko kerutkan dahi. Lalu berkata. “Takut pada sia-
pa?!”
“Apa kau melihat orang lain di tempat ini...?!” orang
yang duduk di atas gundukan tanah balik bertanya.
Pendekar 131 putar pandangan berkeliling. Yakin
tidak ada orang lain, dia baru sadar apa maksud uca-
pan orang. Hingga kemudian dia berkata.
“Rasanya kita belum pernah bertemu. Adalah hal
aneh kalau kau takut padaku!”
“Kita memang belum pernah bertemu. Tapi begitu-
lah adanya! Aku takut tunjukkan tampang padamu!
Jangan bertanya mengapa.... Penjelasan yang akan
kuberikan malah akan membuatmu tak mengerti. Lagi
pula hal itu tak mungkin kulakukan. Tunjukkan tam-
pang saja aku takut, mana aku berani memberi penje-
lasan!”
“Bukan saja sikapnya yang aneh. Ucapannya juga
membingungkan! Siapa dia sebenarnya?! Jangan-ja-
ngan dia sengaja menghadangku di hutan ini! Bukti-
nya, dia sengaja memberitahukan keberadaannya mes-
ki sebenarnya aku tadi tidak bisa merasakan keha-
dirannya di tempat ini!”
Murid Pendeta Sinting memperhatikan orang sekali
lagi. “Hem.... Daripada berurusan dengan orang yang
tak kukenal dan bersikap aneh, lebih baik aku te-
ruskan perjalanan ini!”
Tanpa buka suara lagi, Pendekar 131 balikkan tu-
buh lalu melangkah teruskan perjalanan. Namun baru
saja mendapat tiga tindak, orang di atas tanah agak
tinggi sudah perdengarkan suara lagi.
“Anak muda.... Sebenarnya aku takut untuk ber-
tanya. Tapi apa boleh buat. Mungkin baru padamu
aku beranikan diri untuk ajukan tanya!”
Murid Pendeta Sinting hentikan langkah. Lalu putar
diri lagi dan berkata dalam hati. “Dia sembunyikan wa-
jah di belakang rangkapan kedua kakinya. Tapi nya-
tanya dia bisa melihatku.... Hem....”
“Apa yang akan kau tanyakan?!” Akhirnya Joko
bertanya.
“Ini adalah hutan perbatasan menuju sebuah lem-
bah yang aku takut untuk mengatakan lembah apa
namanya. Apa kau hendak ke lembah itu?!”
Joko tidak segera menjawab. Sebaliknya memperha-
tikan orang sekali lagi dengan lebih seksama. Dia mu-
lai curiga dengan pertanyaan orang. Hingga ia me-
mutuskan untuk tidak mau mengatakan terus terang.
“Sebenarnya aku tak enak mengatakannya padamu.
Tapi lebih tidak enak lagi kalau aku tidak memberi
penjelasan padamu! Sudah beberapa hari ini perutku
laksana diaduk-aduk. Sudah beberapa tombak ku te-
lusuri, tapi aku tidak menemukan tempat yang layak
untuk tumpahkan adukan perutku Ini. Kebetulan di
jalan tadi aku diberi tahu orang jika di sebelah hutan
bambu ini ada sebuah aliran sungai! Mudah-mudahan
petunjuk orang tadi benar! Rasanya aku sudah tak be-
tah lagi untuk bertahan! Apa memang benar di sebelah
hutan bambu ini ada sebuah aliran sungai?!”
“Anak muda.... Sayang sekali aku tidak bisa mem-
beri penjelasan. Bukan karena apa. Aku takut untuk
memberi tahu. Kau paham maksudku, bukan?!”
“Bagaimana aku bisa paham maksudmu?! Kau ta-
kut tunjukkan tampang! Takut memberi penjelasan!”
“Maaf, Anak Muda.... Aku tak bisa menerangkan le-
bih jauh. Aku takut....”
“Baiklah! Aku tidak akan minta penjelasan apa-apa
padamu. Tapi kuharap kau tidak takut memberitahu-
kan siapa nama atau mungkin gelarmu!”
Orang yang wajahnya disembunyikan di belakang
rangkapan kedua tekukan kakinya perdengarkan tawa
panjang bergelak hingga rangkapan kedua kakinya
berguncang. Lalu terdengar suaranya.
“Jangan bertanya siapa nama atau gelarku, Anak
Muda! Bukan saja tak ada gunanya bagimu, lebih dari
itu aku takut untuk mengatakannya!”
“Hem.... Kalau aku terus bicara pada orang ini, aku
tak akan sampai tujuan!” gumam Joko. Lalu tanpa buka mulut lagi dia putar diri dan melangkah teruskan
perjalanan.
Mendapat sepuluh langkah, Pendekar 131 cepat pa-
lingkan wajah berharap orang di atas tanah tidak
menduga dan dia bisa melihat tampang orang.
Namun murid Pendeta Sinting jadi tercengang sen-
diri. Sepasang matanya dijerengkan besar-besar dan
tubuhnya kembali diputar balik menghadapi tempat
mana tadi orang duduk di atas tanah.
“Aneh.... Jangan-jangan dia bukan manusia!” desis
Joko dengan kuduk merinding. Karena ternyata orang
yang tadi duduk dengan rangkapkan kaki sudah tidak
kelihatan lagi sosoknya!
Mungkin untuk yakinkan diri, murid Pendeta Sin-
ting melompat ke arah gundukan tanah agak tinggi.
Lalu pentangkan mata dan memandang liar berkeliling.
Sepasang telinganya dipasang baik-baik. Tapi sejauh
Ini dia tidak bisa menyiasati di mana keberadaan
orang.
“Hem.... Mudah-mudahan ini bukan satu isyarat
buruk!” Akhirnya Joko bergumam sendiri lalu berkele-
bat lanjutkan perjalanan.
Setelah berlari kira-kira lima puluh tombak, murid
Pendeta Sinting sampai di ujung hutan bambu. Dia
menghela napas lega. Bukan saja karena tidak mene-
mukan halangan tapi juga karena dia menemukan ali-
ran sungai.
“Hem.... Aku butuh alat untuk menyeberang! Tidak
mungkin aku berenang, apalagi aku belum kenal situ-
asi daerah Ini!” Joko berpikir setelah menghitung jarak
lebarnya sungai yang harus dilalui.
“Aku harus membuat rakit! Bukan tak mungkin
enam sungai lainnya juga butuh alat untuk menyeberanginya!”
Pendekar 131 sudah putar diri hendak kembali ke
hutan bambu untuk membuat rakit. Namun gera-
kannya tertahan tatkala tiba-tiba dari tikungan sungai
di ujung sana meluncur sebuah sampan.
Ada keanehan. Begitu sampan bergerak meneli-
kung, tiba-tiba luncurannya terhenti. Sampan itu diam
tak bergerak di atas aliran sungai. Dan murid Pendeta
Sinting tidak melihat adanya orang yang mengemudi-
kan sampan!
Joko memperhatikan beberapa lama. Dia sudah
memutuskan untuk tidak hiraukan keanehan yang di-
lihat. Namun begitu dia hendak teruskan niat untuk
kembali ke hutan dan membuat rakit, mendadak sam-
pan di tikungan sungai sana terlonjak ke atas laksana
disapu gelombang dahsyat, padahal tidak terlihat ada-
nya sapuan gelombang yang menghantam!
“Busyet! Jangan-jangan hutan ini dihuni bukan
bangsa manusia! Tapi aku harus menyelidik! Daripada
terjadi urusan di sana nanti, lebih baik baik urusan itu
terjadi di sini!”
Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting se-
gera berkelebat ke arah tikungan sungai. Namun dia
tidak mau bertindak ayal. Seraya berkelebat dia ke-
rahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Begitu tegak di tempat yang lurus dengan sampan
yang masih bergoyang-goyang di atas aliran sungai,
Joko cepat edarkan pandangan.
“Sebenarnya aku takut menegurmu, Anak Muda!
Tapi apa hendak dikata. Tegakmu menghalangi pan-
danganku...!” Mendadak satu suara terdengar.
Saking kagetnya, hampir saja Joko terlonjak. Dia
cepat berpaling ke belakang. Kontan saja sepasang ma-
tanya mendelik.
***
LIMA
HANYA beberapa langkah di belakang Pendekar 131
terlihat satu sosok tubuh duduk di atas tanah di sam-
ping sebuah bongkahan batu cadas dengan kedua kaki
dirangkapkan dan ditekuk. Sementara wajahnya dibe-
namkan dalam-dalam di belakang rangkapan kedua
kakinya, hingga raut wajahnya tidak kelihatan.
“Dia lagi!” desis murid Pendeta Sinting. “Bagaimana
tahu-tahu sudah duduk di sini?! Anehnya lagi, aku ti-
dak bisa menyiasati keberadaannya! Dan apa maksud
ucapannya tegakku menghalangi pandangannya?! Bu-
kankah dia sengaja sembunyikan wajah di belakang
kedua kakinya?! Bagaimana dia bisa bilang panda-
ngannya terhalang...?! Orang aneh! Apa yang dipan-
dangnya?!”
Pendekar 131 putar kepala lurus ke depan. “Hem...
Benda yang lurus dengannya adalah sampan itu! Ja-
di... Gerakan sampan itu pasti karena ulahnya! Tapi
apa maksudnya?! Untuk mengundang kepenasaranku
dan agar aku mendekat kemari?!”
Baru saja Joko membatin begitu, orang yang duduk
dengan sembunyikan wajah di belakang rangkapan
kedua kakinya perdengarkan suara.
“Anak muda! Walau aku takut bertanya, tapi kali ini
terpaksa aku memberanikan diri! Bukankah kau tadi
mengatakan hendak menumpahkan adukan perutmu?!
Tapi....”
Belum sampai orang lanjutkan ucapan, murid Pen-
deta Sinting sudah menyahut.
“Harap jangan banyak bertanya.... Aku takut menja-
wabnya!” Murid Pendeta Sinting sengaja mengikuti lo-
gat orang yang duduk di atas tanah.
Mendengar sahutan Joko, orang yang duduk di atas
tanah perdengarkan tawa ngakak. Lalu buka rangka-
pan kedua kakinya dan memandang ke arah murid
Pendeta Sinting dari sela kedua kakinya yang terbuka.
Lalu angkat suara.
“Aku gembira sekaligus takut mendengar sahutan-
mu! Kau tidak takut mengatakan siapa kau sebenar-
nya?!”
“Hem.... Orang macam dia harus dilayani seperti si-
kapnya!” Joko membatin. Lalu lorotkan tubuh dan du-
duk dengan rangkapan kedua kaki. Sementara wajah-
nya segera dibenamkan dalam-dalam ke belakang
rangkapan kedua kakinya. Lalu sambuti ucapan
orang.
“Aku takut sekaligus senang mendengar kau mau
bertanya! Namun harap jangan bertanya siapa aku....
Bukan saja karena kau belum memperkenalkan diri,
namun lebih dari itu, aku takut untuk menjawab-
nya...!”
“Ah.... Tampaknya kita manusia yang seirama! Se-
andainya saja kita tidak sama-sama merasa takut....”
“Harap tidak mengandai-andai.... Aku takut mende-
ngarnya!” kata Joko seraya buka sedikit rangkapan
kedua kakinya dan mengintip orang.
“Anak muda.... Sebenarnya aku takut untuk mem-
beri tahu. Tapi karena kita manusia yang seirama, aku
harus memberi penjelasan! Aku tidak merasa takut ka-
lau bicara mengandai-andai....”
“Hem.... Begitu?! Lalu andai-andai apa yang akan
kau katakan?!”
“Seandainya kau seorang pendatang dari negeri as-
ing.... Dan seandainya kau mencari tahu tentang satu
tempat.... Mungkin aku bisa sedikit membantu!”
Murid Pendeta Sinting terkesiap kaget. Hingga tanpa sadar dia angkat kepalanya dan memandang lekat-
lekat pada sela rangkapan kedua kaki orang. Namun
terlambat. Karena orang di hadapannya sudah ta-
kupkan kembali rangkapan kedua kakinya.
“Sepertinya dia tahu siapa aku dan apa maksud tu-
juanku.... Hem.... Aku akan coba bertanya....”
Membatin begitu, akhirnya Joko buka suara ber-
tanya.
“Siapa pun kau adanya. Kau mau membantuku?!”
Yang ditanya tertawa dahulu sebelum menjawab.
“Anak muda.... Harap kau tidak lupa. Aku tadi bi-
cara seandainya! Jadi maukah nantinya kau mendapat
penjelasan seandainya juga?!”
“Sialan!” gumam Joko seraya beranjak bangkit. “Tak
ada gunanya bicara dengan manusia seperti dia!”
Pendekar 131 kembali arahkan pandang matanya
ke arah sampan yang terapung di atas aliran sungai.
“Mungkin sampan itu miliknya.... Seandainya saja
aku.... Ah. Mengapa aku jadi ikut-ikutan mengandai-
andai?! Lebih baik aku membuat rakit!”
Joko sudah putar diri. Tapi sebelum bergerak lebih
jauh, orang yang duduk di atas tanah berucap.
“Seandainya kau tidak takut membawa sampan itu,
silakan kau mengambilnya!”
“Sampan itu milikmu?!”
“Aku takut mengatakannya!”
Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang.
Tampaknya dia sudah tak sabar menghadapi orang.
Hingga tanpa buka mulut lagi dia melangkah hendak
tinggalkan tempat itu.
“Tunggu, Anak Muda! Aku takut berada sendirian di
tempat ini! Kau tak takut bukan untuk menemaniku
beberapa saat saja?! Tampaknya kita akan kehadiran
seorang tamu...!”
“Aku takut mendengar permintaanmu!” Enak saja
Joko menyahut lalu tanpa pedulikan orang, dia te-
ruskan langkah.
Saat itulah Joko melihat satu bayangan berkelebat
ke arahnya. Joko cepat berpaling ke arah orang yang
duduk di atas tanah. “Hem.... Aku tidak ingin terlibat
urusan dengan orang! Tampaknya orang yang datang
punya masalah dengan dia!”
Pendekar 131 cepat hendak berkelebat. Namun ta-
hu-tahu bayangan yang berkelebat sudah berada bebe-
rapa tombak di hadapannya. Tanpa pikir panjang lagi
Joko cepat lorotkan tubuh. Lalu duduk dengan rang-
kapkan kedua kaki dan selinapkan kepala di belakang
kedua kakinya. Dan perlahan-lahan pentangkan mata
mengintip orang dari sela kedua kakinya yang dibuka
sedikit.
Murid Pendeta Sinting melihat seorang pemuda ber-
usia tiga puluh tahunan berwajah tampan bertubuh
kekar. Rambutnya hitam lebat dan panjang sebahu
menutupi sebagian pundak dan wajahnya. Sepasang
matanya tajam dengan alis tebal mencuat serta kumis
tebal melintang. Pemuda ini mengenakan pakaian be-
rupa jubah hitam panjang sebatas mata kaki melapis
baju berwarna putih.
Untuk beberapa saat si pemuda yang telah tegak
dua belas langkah di hadapan murid Pendeta Sinting
lepas pandangan silih berganti pada Joko dan orang
yang duduk di sebelah samping sana. Jelas panda-
ngannya membayangkan rasa aneh dan bertanya-
tanya.
“Di sini ada dua manusia yang bersikap sama.... Sa-
yang, selama ini aku hanya tahu nama orang dan be-
lum pernah melihatnya! Hem.... Mana di antara kedua
manusia ini yang kucari?!” Si pemuda berjubah hitam
panjang bergumam.
Mungkin merasa kebingungan untuk menentukan
pilihan, akhirnya si pemuda gerakkan kepala pulang
balik seraya berkata.
“Aku datang mencari manusia bergelar Paduka Se-
ribu Masalah! Siapa di antara kalian berdua yang me-
miliki gelar Paduka Seribu Masalah?!”
Orang yang duduk di seberang sana perdengarkan
sahutan.
“Anak muda berjubah hitam! Harap tidak ajukan
tanya. Aku takut menjawabnya!”
Mendengar sahutan orang, murid Pendeta Sinting
tidak tinggal diam. Dia segera menyambut.
“Anak muda berjubah hitam! Aku juga takut men-
jawabnya!”
Gerakan kepala si pemuda berjubah hitam terhenti.
Parasnya berubah membesi. Dagunya terangkat me-
ngembung. Saat lain dia ditegakkan wajah mendongak
lalu berkata.
“Aku tanya sekali lagi. Siapa di antara kalian ber-
dua yang bergelar Paduka Seribu Masalah?!”
Karena khawatir dirinya yang dituduh, Pendekar
131 cepat-cepat berkata.
“Anak muda berjubah hitam! Sebenarnya aku takut
mengatakannya. Tapi daripada terjadi salah paham,
aku beranikan diri untuk mengatakannya. Kalau yang
kau cari adalah Paduka Seribu Masalah, bukan aku
orangnya...!”
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat pemuda
berjubah hitam segera berpaling ke arah orang yang
duduk di seberang sana. Namun sebelum pemuda ini
angkat suara, orang yang duduk sudah perdengarkan
suara.
“Anak muda berjubah hitam! Aku juga bukan Paduka Seribu Masalah!”
Si pemuda berjubah hitam menyeringai dingin. Da-
lam hati dia membatin. “Dari ciri yang kudengar, jelas
mereka berdua memiliki ciri orang yang kucari! Sayang
mereka tidak ada yang mau mengaku! Padahal aku
yakin, salah satu dari mereka adalah Paduka Seribu
Masalah! Aku telah datang jauh-jauh sampai ke tem-
pat ini! Aku harus mendapatkan jawaban pasti! Bagai-
manapun caranya!”
Membatin begitu, akhirnya si pemuda berjubah hi-
tam berucap lagi.
“Baiklah! Aku tidak akan memaksa kalian untuk
mengaku siapa di antara kalian yang Paduka Seribu
Masalah meski aku yakin salah satu di antara kalian
adalah Paduka Seribu Masalah! Aku datang mencari
jawaban! Harap di antara kalian mau menjawab perta-
nyaanku!”
“Aku senang mendengar kau tidak memaksa.... Tapi
harap tidak kecewa. Bukan saja aku takut mendengar
pertanyaanmu, namun aku juga takut menjawabnya!”
Pendekar 131 menyahut terlebih dahulu.
“Jawabanku sama dengan dia!” Orang yang duduk
di seberang menimpali.
“Hem.... Tampaknya kalian berdua memaksaku un-
tuk bertindak lebih keras!” sambil berkata begitu, si
pemuda berjubah hitam angkat kedua tangannya.
Tangan kanan diarahkan pada murid Pendeta Sinting,
sementara tangan kiri diluruskan pada orang yang du-
duk di seberang.
“Tahan dulu, Anak Muda.... Bukan saja aku takut
dengan caramu, tapi kurasa tindakanmu tidak akan
menyelesaikan masalah...!” ujar Joko sambil mengintip
dari sela rangkapan kedua kakinya.
“Benar.... Tindakanmu menakutkanku, Anak Mu
da.... Padahal....”
Belum sampai orang yang duduk di seberang se-
lesaikan ucapan, si pemuda berjubah hitam sudah
memotong.
“Persetan dengan ketakutan kalian! Jika tidak ada
yang mengaku, kalian berdua akan tahu akibatnya!”
Karena tak mau terlibat urusan, Joko segera perde-
ngarkan suara.
“Anak muda berjubah hitam! Seandainya saja kau
mau sebutkan diri, mungkin kami tidak terlalu takut
lagi untuk mengaku dan menjawab pertanyaanmu!”
“Hem.... Baik! Kuturuti permintaanmu!” kata pemu-
da berjubah hitam sambil memandang tajam pada so-
sok Pendekar 131. “Aku adalah Datuk Kala Sutera!”
“Pertanyaanmu yang harus kami jawab?!” tanya
murid Pendeta Sinting.
“Selama hampir lima belas tahun aku mencari jejak
lima orang anakku! Tapi sejauh ini aku gagal menemu-
kannya! Aku butuh jawaban, di mana kira-kira kelima
anakku itu?!”
“Celaka! Bagaimana aku harus menjawab perta-
nyaannya?! Aku tidak kenal dengan pemuda bernama
Datuk Kala Sutera itu! Apalagi kelima anaknya.... Ka-
lau sampai aku menjawab asal kena, pasti dia tahu!
Hem....” Pendekar 131 bergumam dalam hati. Bebera-
pa saat dia terdiam.
“Kau telah tahu siapa aku dan apa pertanyaanku!
Aku butuh keteranganmu!”
“Kalau saja kau tidak takut mengatakannya pada-
ku. Mengapa kau bertanya soal kelima anakmu pada-
ku?!” tanya murid Pendeta Sinting.
“Paduka Seribu Masalah telah dikenai sebagai ma-
nusia yang tahu segala macam masalah! Tentu tidak
sulit memberi keterangan padaku!”
“Hem.... Begitu?! Seandainya kau tidak merasa ta-
kut menjawab pertanyaanku dahulu. Mungkin....”
“Aku akan jawab pertanyaanmu!” Pemuda berjubah
hitam sudah berkata menukas sebelum Joko sempat
selesaikan ucapannya.
“Kalau kau merasa punya anak, pasti kau memiliki
seorang istri! Kau tidak takut mengatakan siapa istri-
mu?!”
Pertanyaan Joko membuat si pemuda berjubah hi-
tam yang sebutkan diri sebagai Datuk Kala Sutera ter-
sentak kaget. Dia tidak segera menjawab pertanyaan.
Sebaliknya tengadahkan wajah dengan kepala mengge-
leng.
Mendapati sikap Datuk Kala Sutera, murid Pendeta
Sinting cepat berujar.
“Kau takut mengatakan siapa istrimu?!”
“Aku tidak takut mengatakannya! Tapi aku tidak in-
gat lagi siapa istriku!”
“Aneh.... Bagaimana mungkin seorang suami bisa
lupa pada istrinya?!” kata Joko dalam hati. Lalu berka-
ta.
“Datuk Kala Sutera. Kau tak perlu cemas atau ta-
kut. Katakan saja terus terang. Siapa istrimu!”
“Aku tidak ingat!”
“Hem.... Kau pasti takut mengatakan jika kau su-
dah memiliki perempuan lain hingga tidak ingat lagi
pada istri!”
“Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas aku tidak
memiliki perempuan lain! Dan aku benar-benar tidak
ingat lagi siapa istriku!”
“Bagaimana bisa begitu?!”
“Aku sendiri tak tahu! Yang jelas begitulah adanya!”
“Lalu apakah kau juga tidak ingat siapa nama istri-
mu?!” tanya Joko.
Datuk Kala Sutera kembali gelengkan kepala. “Aku
juga tidak ingat lagi siapa nama istriku!”
“Hem.... Lalu apakah kau juga lupa, istrimu seorang
perempuan atau laki-laki?!”
“Aku datang butuh keterangan! Bukan untuk men-
jawab pertanyaan gila seperti ini!” Datuk Kala Sutera
membentak.
Pendekar 131 tahan tawanya. Lalu buka suara lagi.
“Kau mengatakan mencari kelima anakmu. Kau masih
ingat berapa anak laki-laki dan anak perempuan?”
“Semuanya perempuan!”
“Kau ingat siapa nama mereka?!”
“Mereka belum sempat kuberi nama!”
“Dari keterangan pemuda ini, juga dari ucapan
orang yang duduk di seberang sana yang tahu-tahu bi-
sa menebak tepat siapa diriku, pasti orang yang duduk
itulah yang bergelar Paduka Seribu Masalah....”
Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu,
Datuk Kala Sutera sudah buka suara.
“Aku menunggu keteranganmu!”
“Gawat! Bagaimana ini...?! Jawaban bagaimana
yang harus kukatakan?!”
“Kau dengar ucapanku! Aku juga telah turuti per-
mintaan dan menjawab semua pertanyaanmu! Jangan
membuat aku tak sabar!” Datuk Kala Sutera kembali
buka mulut setelah ditunggu agak lama murid Pendeta
Sinting tidak juga memberi keterangan.
“Datuk Kala Sutera... Kau kuberi waktu tiga hari...”
“Jahanam! Apa maksudmu?!”
“Seandainya kau tidak lupa siapa nama istrimu,
pasti aku bisa memberi keterangan saat ini juga! Tapi,
karena kau tidak ingat siapa istrimu, aku butuh waktu
untuk menjawab pertanyaanmu! Kembalilah tiga hari
mendatang. Kau akan memperoleh jawaban yang kau
inginkan!”
Datuk Kala Sutera berpikir beberapa saat. Lalu ber-
kata.
“Baik! Aku akan kembali tiga hari mendatang! Tapi
aku perlu jaminan!”
Joko sempat terkesiap. Hampir saja dia angkat ke-
palanya. Untung dia sadar dan buru-buru benamkan
lagi wajahnya dalam-dalam ke belakang rangkapan ke-
dua kakinya. Lalu bertanya.
“Datuk Kala Sutera... Kau datang mencari jawab-
an. Tidak seharusnya kau minta jaminan segala! Hal
itu membuatku takut... Ini akan mengakibatkan hi-
langnya konsentrasiku untuk mencari jawaban atas
pertanyaanmu....”
Datuk Kala Sutera geleng kepala. “Itu urusanmu!
yang jelas kau telah mengucapkan janji! Dan kau tak
usah takut.... Jaminan yang kuminta tidaklah sulit!”
“Seandainya kau tidak takut mengatakan apa jami-
nan yang kau minta....”
Datuk Kala Sutera memandang dahulu silih ber-
ganti pada sosok murid Pendeta Sinting dan orang
yang duduk di seberang. Lalu berkata.
“Di sini ada dua orang yang bersikap sama. Sejauh
ini belum ada di antara kalian yang mengaku sebagai
paduka Seribu Masalah! Aku tidak mau tertipu....”
“Maksudmu...?!”
“Karena kau yang tadi menjanjikan jawaban pada-
mu, aku ingin tahu bagaimana wajah di balik rangka-
pan kedua kakimu!”
“Celaka! Kalau sampai dia dapat mengenaliku, tak
mungkin lagi aku bisa berkelit....” Joko membatin den-
gan dada berdebar tidak enak.
Datuk Kala Sutera melangkah maju mendekati Pen-
dekar 131. Lalu berkata.
“Angkatlah wajahmu!”
“Aku takut.... Bukan karena....”
“Aku minta kau tunjukkan tampangmu!” Datuk Ka-
la Sutera sudah membentak sebelum Pendekar 131
sempat teruskan ucapannya.
“Aduh.... Tidak kusangka kalau akan begini akibat-
nya! Ini akan membuat masalah!”
“Aku minta jaminan yang tidak sulit untuk kau la-
kukan! Tapi tampaknya kau keberatan! Ini satu bukti
kalau kau hendak memuslihatiku!”
“Jangan salah sangka... Tidak ada maksud untuk
memuslihatimu. Aku hanya takut dan tidak terbiasa
tunjukkan tampang pada orang... Percayalah! Tiga hari
mendatang kau akan menemuiku di sini dan men-
dapat jawaban yang kau minta!”
Datuk Kala Sutera geleng kepala. “Kalau kau tidak
mau menuruti jaminan yang kuminta, aku akan me-
nunggumu di sini! Tidak jadi soal sampai berapa hari!”
“Wah.... Ini makin celaka! Bisa-bisa perjalananku
terhambat! Sialnya mengapa orang di seberang sana
itu tidak juga perdengarkan suara?!”
“Kau tinggal memberi keputusan! Mau tunjukkan
tampang dan aku akan pergi serta kembali lagi tiga ha-
ri mendatang, atau kau tetap akan sembunyikan wa-
jahmu tetapi aku akan menunggu jawabanmu di sini!”
Datuk Kala Sutera angkat suara sambil teruskan tin-
dakan mendekati sosok murid Pendeta Sinting.
“Daripada cari penyakit, lebih baik kuturuti permin-
taannya. Begitu dia pergi, aku akan bertanya pada
orang yang duduk di seberang sana itu tentang jawa-
ban apa kelak yang harus kukatakan!”
Berpikir sampai di situ akhirnya perlahan-lahan
Pendekar 131 angkat kepalanya dari balik rangkapan
kedua kakinya.
Datuk Kala Sutera hentikan langkah. Sepasang ma-
tanya dipentang memandang tajam pada wajah murid
Pendeta Sinting.
“Hem.... Ternyata seorang pemuda! Benarkan dia
Paduka Seribu Masalah?!” Datuk Kala Sutera bimbang.
“Ah.... Itu bukan urusanku! Yang penting tiga hari di
depan dia harus bisa memberi keterangan! Jika sampai
dia berdusta, aku tak segan-segan membuatnya berka-
lang tanah!”
Habis membatin begitu, Datuk Kala Sutera putar di-
ri setengah lingkaran. “Siapa pun kau adanya, kau te-
lah mengikat janji denganku! Tiga hari mendatang aku
akan datang menagihnya! Kalau kau berdusta, se-
lembar nyawamu menjadi jaminannya!”
Datuk Kala Sutera tertawa pendek. Melirik sesaat
pada Pendekar 131 lalu berkelebat tinggalkan tempat
itu.
***
ENAM
PENDEKAR 131 cepat tegak berdiri lalu arahkan
pandang matanya pada orang yang duduk di seberang
begitu sosok Datuk Kala Sutera tidak kelihatan lagi.
“Harap kau berkata jujur. Bukankah kau orangnya
yang bergelar Paduka Seribu Masalah?!” Joko ajukan
tanya.
“Jangan memaksaku, Anak Muda.... Aku takut
menjawabnya! Apalagi kau minta aku harus bicara ju-
jur!”
“Baik! Salah atau benar dugaanku, yang pasti aku
percaya kau adalah Paduka Seribu Masalah! Sekarang
aku perlu bantuanmu! Tolong katakan padaku, jawa
ban bagaimana kelak yang harus kukatakan pada Da-
tuk Kala Sutera!”
“Anak muda... Aku benar-benar takut mengatakan-
nya! Ini bukan urusan kecil... Aku takut terlibat!”
“Hem... Begitu?!” ujar Joko lalu melangkah mende-
kati orang. “Kalau kau tak mau membantuku, terpaksa
aku akan melibatkanmu lebih jauh dalam urusan ini!
Aku tahu bagaimana caranya!”
Orang yang duduk perdengarkan gumaman tak je-
las. Joko hentikan langkah lima tindak di hadapan
orang lalu berkata.
“Terus terang saja. Aku tidak punya waktu banyak
berada di tempat ini! Kuharap kau segera memberi ke-
putusan!”
“Anak muda... Seandainya urusan ini kita hadapi
bersama-sama. Mungkin rasa takutku bisa berku-
rang!”
“Maksudmu...?!”
“Aku takut berada sendirian di tempat ini! Kalau
kau tidak keberatan atau takut, kuharap kau me-
ngajakku ke mana kau akan pergi!”
“Lalu urusan dengan Datuk Kala Sutera?!”
“Walau sebenarnya aku takut, tapi aku akan be-
ranikan diri untuk mengambil alih urusan menakut-
kan itu! Asal... Kau tidak ketakutan untuk mengajak-
ku ikut serta ke mana kau akan pergi... Jika tidak,
terpaksa aku cuci tangan!”
Pendekar 131 menghela napas panjang. “Aduh....
Daripada akhirnya aku dihadang urusan yang tak ada
juntrungannya ini, lebih baik kuturuti saja permin-
taannya. Siapa tahu pula dia nantinya bisa sedikit
membantu dalam urusanku!”
Setelah membatin begitu, Joko angkat suara. “Baik-
lah... Aku akan mengajakmu ikut serta! Tapi kuharap
kau nantinya tidak takut memberi jawaban pada Da-
tuk Kala Sutera!”
“Kalau bersamamu, aku yakin tidak takut memberi
jawaban pada siapa saja!”
“Mengapa begitu?!”
“Jangan bertanya! Aku takut memberi keterangan!”
“Busyet! Jawabannya balik lagi!” gerutu murid Pen-
deta Sinting dalam hati. Lalu berkata.
“Aku hendak menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh
Sungai! Kau tidak takut berterus terang mengatakan
jika kau tahu tempat itu?!”
“Aku tidak takut berterus terang. Aku memang tahu
lembah itu! Malah aku tidak takut mengatakan jika
kedatanganmu ke lembah itu untuk bertemu dengan
manusia berjuluk Dewa Asap Kayangan! Dan masa-
lahmu adalah urusan janji dengan seorang gadis!”
Pendekar 131 tersentak kaget. “Hem.... Aku makin
yakin jika manusia satu ini adalah Paduka Seribu Ma-
salah! Aku tidak mengenalnya sebelum ini. Tapi dia
sudah tahu masalahku...! Apakah dia juga tahu uru-
san peta di tanganku?!”
Ingat akan urusan itu, mendadak Pendekar 131 ter-
ingat pada Hantu Pesolek. Seketika parasnya berubah
dan perlahan-lahan surutkan langkah seraya memba-
tin. “Belum lama berselang aku juga bertemu dengan
orang yang sepertinya banyak tahu urusanku.... Na-
mun nyatanya aku tertipu.... Jangan-jangan orang ini
adalah Hantu Pesolek! Bukankah dia takut menunjuk-
kan tampang...?!” Dada Joko jadi berdebar. “Bagaima-
na enaknya...?”
Selagi murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan
begitu rupa, orang yang duduk di hadapannya perde-
ngarkan suara.
“Sikapmu menunjukkan kau takut dan bimbang!”
“Bukan aku menyinggung. Tapi belum lama berse-
lang aku telah ditipu orang! Dia seolah-olah tahu ba-
nyak urusanku! Lalu memberi petunjuk! Ternyata se-
mua itu hanyalah muslihatnya saja!”
“Aku takut mendengar ceritamu.... Tapi kuharap
kau tidak takut mendengar ucapanku. Bukankah yang
memuslihatimu adalah seorang pemuda pesolek...?!”
“Hem.... Nyatanya dia tahu...! Jangan-jangan dia
Hantu Pesolek juga!”
“Anak muda.... Sebenarnya aku takut dan sungkan
mengatakannya. Namun agar tidak ada salah sangka
di antara kita, perlu kujelaskan padamu. Kau tak usah
takut kalau aku adalah orang yang menipumu! Aku
baru kali ini bertemu denganmu.... Tapi jangan lantas
kau memintaku untuk tunjukkan wajah! Hal itu ada-
lah sesuatu yang paling kutakutkan!”
“Hem.... Kalau begitu kau adalah Paduka Seribu
Masalah!”
“Kau tak usah takut. Bersama berlalunya waktu,
kelak kau akan mendapat jawabannya....”
Murid Pendeta Sinting berpikir beberapa saat. Lalu
berkata.
“Baiklah.... Sekarang kuharap kau berada di depan!
Kita menuju ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!”
Orang yang duduk di atas tanah gerakkan tangan
kanannya ke udara. Lalu membuat gerakan melambai.
Joko cepat berpaling dengan dahi berkerut. Namun
ketegangannya mereda bahkan sepasang matanya se-
dikit membelalak tatkala tahu apa yang dilakukan
orang.
Bersamaan dengan lambaian tangan kanan orang,
sampan yang terapung di atas aliran sungai bergerak
merapat. Dan belum sampai benar-benar merapat, Jo-
ko merasakan deruan angin halus. Lalu terlihat so-sok
orang berkelebat dengan posisi duduk. Kejap lain
orang yang tadi duduk merangkapkan kaki di atas ta-
nah, telah duduk di atas sampan!
“Sebentar lagi hari akan gelap! Sementara perjala-
nan masih agak jauh! Kuharap agar kau tidak mem-
buang-buang waktu!” Orang yang tadi duduk di atas
tanah dan kini telah duduk di atas sampan berkata.
Tanpa pikir panjang lagi, Joko segera berkelebat la-
lu melompat dan tegak di belakang orang. Bersamaan
itu kedua tangan orang yang duduk rangkapkan kedua
kaki bergerak-gerak. Hebatnya, saat itu juga sampan
berpenumpang dua orang itu bergerak melintasi aliran
sungai!
“Apakah kira-kira tiga hari mendatang kita sudah
bisa kembali ke hutan bambu itu?!” Joko ajukan tanya
setelah agak lama sama berdiam diri.
“Aku takut untuk memastikannya! Semua itu ter-
gantung selesai tidaknya urusanmu...!”
“Kau tahu siapa sebenarnya manusia yang se-
butkan diri dengan Datuk Kala Sutera itu?”
Yang ditanya terdiam beberapa lama. Lalu berujar.
“Aku tidak tahu benar. Cuma aku pernah dengar...”
“Apakah betul semua keterangannya?!”
“Dia tidak berkata dusta...! Semua keterangannya
benar!”
Pendekar 131 tertawa. “Bagaimana mungkin hal itu
bisa terjadi?! Mana ada suami yang bisa tidak ingat la-
gi siapa nama istrinya?!”
“Anak muda... Jangan dikira aku menakut-nakuti-
mu kalau kukatakan, apa yang ada di muka bumi ini
segalanya serba mungkin! Malah tidak mustahil pula
kau kelak akan terlibat di dalam urusan Datuk Kala
Sutera!”
Mendengar ucapan orang, Joko makin keraskan tawanya hingga sampan yang ditumpanginya bergo-
yang-goyang. “Aku tahu...,” kata Joko. “Aku telah terli-
bat dalam urusan dengan Datuk Kala Sutera. Tapi ke-
terlibatanku hanya sebatas perjanjianku tadi!”
Kini balik orang yang duduk di hadapan Joko yang
perdengarkan tawa panjang sebelum akhirnya berkata.
“Sekali lagi jangan kira aku menakut-nakutimu,
Anak Muda.... Justru perjanjianmu tadi adalah awal
sebuah urusan panjang!”
“Kau tidak takut menjelaskannya lebih jauh?!”
Yang ditanya geleng kepala. “Sayang sekali, Anak
Muda.... Aku takut menjelaskannya lebih jauh!”
Murid Pendeta Sinting lagi-lagi menghela napas
panjang. Mungkin untuk tenangkan diri akhirnya mu-
rid Pendeta Sinting bergumam sendiri dalam hati.
“Ah.... Mungkin dia hanya menakut-nakutiku....”
Baru saja Joko bergumam tenangkan diri, orang
yang duduk di depannya angkat suara.
“Anak muda.... Sebenarnya aku takut mengatakan-
nya padamu. Tapi coba kau lihat dengan seksama.
Apakah kau melihat seseorang di seberang sana?!”
Pendekar 131 segera lepas pandangan ke seberang.
Namun Joko hanya melihat hamparan tanah terbuka
yang banyak ditebari batu-batu. Tidak satu sosok yang
terlihat.
“Aku tidak melihat siapa-siapa!”
“Anak muda.... Jangan cepat memutuskan! Coba
kau teliti sekali lagi!”
Dengan enggan Joko pentangkan mata lalu edarkan
pandangan ke hamparan tanah terbuka yang ditebari
batu-batu. Namun hingga matanya pedih mencari-cari,
dia tidak dapat menemukan seseorang.
“Aku tidak melihat siapa-siapa!”
“Hem.... Syukurlah! Mudah-mudahan penglihatan
mu yang benar!” ujar orang yang duduk rangkapkan
kaki. Lalu gerakkan kedua tangannya beberapa kali
seolah melambai. Saat yang sama sampan yang di-
tumpangi meluncur deras. Dan beberapa saat kemu-
dian telah merapat di tepian.
Dua tombak lagi sampan itu menyentuh tepi aliran
sungai, orang yang duduk rangkapkan kaki gerakkan
pantatnya. Sosoknya melesat dan tahu-tahu sudah du-
duk di samping sebuah bongkahan batu.
Murid Pendeta Sinting edarkan pandangan sekali
lagi. Lalu ikut berkelebat dan tegak tidak jauh dari
orang yang duduk di samping bongkahan batu.
Baru saja Joko tegak berdiri, mendadak satu
bayangan berkelebat. Joko tersentak kaget dan cepat
ber-paling. Memandang ke depan, dia melihat seorang
gadis berparas cantik berambut panjang dikelabang
dua. Sepasang matanya bulat dan tajam. Hidungnya
mancung ditingkah bibir merah tanpa polesan. Gadis
ini mengenakan pakaian berwarna ungu.
“Harap sebutkan nama dan tujuan!” Mendadak si
gadis perdengarkan bentakan.
Joko memandang pulang balik ke arah orang yang
duduk di tanah rangkapkan kedua kaki. Lalu ke arah
gadis cantik berbaju ungu di hadapannya.
“Hem.... Penglihatan orang yang duduk itu sangat
luar biasa sekali! Aku yakin dia tadi tidak mengangkat
wajah melihat ke tempat ini. Tapi nyatanya dia bisa
mengetahui keberadaan orang....”
Sementara murid Pendeta Sinting membatin begitu,
gadis cantik berbaju ungu di hadapannya arahkan
pandangannya pada Joko sesaat. Lalu pada orang yang
duduk rangkapkan kaki.
Dahi si gadis berkerut. Sikap orang yang tidak me-
ngangkat wajahnya membuat gadis ini mulai terlihat
agak jengkel, apalagi murid Pendeta Sinting sendiri ti-
dak segera menjawab pertanyaannya. Hingga seraya
arahkan pandangan ke jurusan lain dia buka mulut
lagi.
“Kalian tidak ada yang mau sebutkan nama dan tu-
juan! Harap segera angkat kaki dari tempat ini!”
“Tunggu! Tunggu!” tahan Joko sambil pulang balik-
kan kedua tangan. “Aku Joko... Joko Sableng!”
Si gadis berpaling menatap pada Joko. Lalu melirik
pada orang yang duduk rangkapkan kaki.
Lirikan mata si gadis membuat Joko maklum. Dia
cepat-cepat angkat suara. “Dia adalah sahabatku. Na-
manya...” Joko kebingungan sebutkan nama.
“Anak muda bernama Joko Sableng...” Orang yang
duduk rangkapkan kaki perdengarkan suara. “Jangan
sebutkan nama. Aku takut mendengarnya!”
Gadis berbaju ungu mendelik. Kemarahan jelas
membayang di wajahnya. Joko tahu gelagat. Dia cepat
mendekati si gadis. Namun belum sampai mendapat
dua langkah, si gadis sudah membentak.
“Tetap di tempatmu!”
Pendekar 131 batalkan niat. Lalu mendahului buka
suara sebelum si gadis angkat bicara.
“Harap maafkan.... Jangankan kau. Aku sebagai
sahabatnya saja belum tahu siapa dia sebenarnya!”
Joko sunggingkan senyum. Namun senyumnya segera
diputus ketika mendapati si gadis memberengut dan
palingkan wajah sambil berucap ketus.
“Harap segera tinggalkan tempat ini!”
“Kami memang akan segera pergi.... Tujuan kami
memang bukan tempat ini! Tapi.... Aku tadi telah se-
butkan nama padamu. Sebelum aku pergi, kuharap
kau mau juga perkenalkan diri!”
“Aku Dayang Tiga Purnama!”
“Hem.... Melihat wajah gadis ini, membuatku ter-
ingat pada beberapa orang gadis yang belum lama ber-
selang sempat kutemui!” Tanpa sadar terbayang paras
wajah Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Samu-
dera, dan dua gadis berbaju merah dan kuning yang
sempat dijumpainya di pinggiran sungai saat bersite-
gang dengan Bidadari Pedang Cinta dan bukan lain
adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat
Cakrawala.
“Aku telah sebutkan nama. Kuharap kalian segera
angkat kaki!” Gadis yang baru sebutkan nama Dayang
Tiga Purnama berucap agak lantang tanpa meman-
dang.
“Bagaimana?! Kau tidak takut teruskan perjala-
nan?!” Joko bertanya pada orang yang duduk rang-
kapkan kaki.
“Anak muda.... Kalau memang tidak ada hal lain
yang akan kau bicarakan dengan gadis cantik itu, aku
tidak takut untuk teruskan ikut bersamamu!”
“Dayang Tiga Purnama.... Kau tinggal di tempat
ini?!”
“Itu urusanku! Aku tak ingin memberi keterangan
apa-apa! Yang kuinginkan kalian segera angkat kaki
teruskan perjalanan!”
“Kau ada hubungan dengan gadis bernama Bidadari
Delapan Samudera?!” Joko ajukan tanya tidak peduli-
kan ucapan Dayang Tiga Purnama.
“Kau dengar! Aku tak ingin memberi keterangan
apa-apa!”
“Kenal dengan Paduka Seribu Masalah?!”
Dayang Tiga Purnama terlengak. Diam-diam dalam
hati gadis ini membatin. “Dari parasnya, sepertinya dia
bukan asli orang negeri ini! Siapa dia sebenarnya?!
Mengapa bertanya tentang Paduka Seribu Masalah?!
Apakah dia juga tengah mencari Paduka Seribu Masa-
lah...?!”
“Tampaknya kau memang tidak ingin memberi kete-
rangan.... Aku tidak memaksa!” Joko tersenyum lalu
gerakkan tangan menyentuh pundak orang yang du-
duk rangkapkan kaki memberi isyarat. Saat lain murid
Pendeta Sinting melangkah.
“Tunggu!” Dayang Tiga Purnama berseru. Namun
Joko seolah tidak mendengar seruan orang. Dia te-
ruskan langkah. Sementara orang yang duduk rang-
kapkan kaki tidak bergerak dari tempatnya semula.
“Hai! Tunggu!” Dayang Tiga Purnama berteriak se-
kali lagi seraya melompat dan tegak dengan sikap
menghadang di depan Pendekar 131.
***
TUJUH
PENDEKAR 131 hentikan langkah. Memandang si
gadis dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun se-
jauh ini murid Pendeta Sinting masih kancingkan mu-
lut.
Dayang Tiga Purnama sendiri sedikit merasa jengah
dipandangi orang begitu rupa hingga dia cepat alihkan
pandangan. Dalam hati dia berkata. “Apakah aku la-
yak bertanya padanya?! Dia seperti orang asing. Mung-
kinkah dia tahu tentang Paduka Seribu Masalah?!
Ah....”
“Mau utarakan sesuatu?!” Akhirnya Joko buka sua-
ra.
Dayang Tiga Purnama menoleh. Mulutnya sudah
bergerak membuka. Namun entah mengapa, menda
dak gadis cantik ini cepat-cepat katupkan kembali mu-
lutnya seraya gelengkan kepala. Saat lain dia putar diri
hendak melangkah.
“Dari sikapnya, jelas dia ingin mengutarakan sesua-
tu. Tapi jelas pula dia merasa bimbang....” Joko mem-
batin. Lalu berkata.
“Aku tahu. Kau bimbang hendak ucapkan sesuatu.
Harap tidak berprasangka buruk. Kita memang baru
bertemu. Tapi tak ada salahnya kalau kau ingin men-
gutarakan sesuatu padaku. Siapa tahu kita bisa saling
membantu...!”
Dayang Tiga Purnama urungkan niat langkahkan
kaki. Lalu perlahan-lahan putar diri lagi menghadap
murid Pendeta Sinting. Tapi lagi-lagi gadis cantik ini
batalkan niat untuk berucap meski mulutnya telah
bergerak membuka.
Pendekar 131 tersenyum. “Dayang Tiga Purnama....”
Hanya sampai di situ Joko berucap. Karena si gadis te-
lah perdengarkan suara.
“Tidak keberatan mengatakan siapa kau sebenar-
nya?!”
“Hem.... Ucapanmu membuktikan kalau kau masih
menaruh sak wasangka padaku.... Tapi tak apa.... Se-
perti kukatakan tadi. Aku Joko Sableng!”
“Bukan itu maksud pertanyaanku....”
Murid Pendeta Sinting maklum akan maksud
Dayang Tiga Purnama. Seraya anggukkan kepala dia
berkata.
“Aku memang bukan orang negeri ini. Aku berasal
dari negeri jauh di seberang laut!”
“Datang jauh-jauh dari negeri seberang laut. Pasti
kau punya tujuan sangat penting hingga sampai di ne-
geri ini....”
Pendekar 131 gelengkan kepala. “Ceritanya sangat
panjang. Yang jelas kalaupun aku sampai menginjak-
kan kaki di negeri ini, itu semua bukan kusengaja.
Mungkin hanya takdir yang membawaku.... Tapi aku
tidak kecewa dengan suratan yang harus kujalani. Ka-
rena aku selalu bertemu dengan gadis-gadis cantik se-
pertimu....”
Wajah Dayang Tiga Purnama bersemu merah. Na-
mun kali ini gadis cantik berbaju ungu itu tidak beru-
saha palingkan wajah. Sebaliknya memandang tajam
pada bola mata murid Pendeta Sinting. Hingga untuk
beberapa lama kedua orang ini saling berpandangan.
“Aku tadi mendengar kau sebutkan nama seorang
gadis.... Kau tengah dalam perjalanan mencarinya?!”
tanya Dayang Tiga Purnama dengan suara sedikit di-
rendahkan.
Joko menjawab dengan gelengkan kepala seraya be-
rucap. “Di negeri ini, aku sempat bertemu dengan be-
berapa orang gadis. Di antaranya adalah gadis berna-
ma Bidadari Delapan Samudera. Kalau aku tadi me-
nyebutnya, semata-mata karena aku melihat kemiri-
pan antara kau dengan Bidadari Delapan Samudera....
Kau mengenalnya?!”
Dayang Tiga Purnama tersenyum dengan mengge-
leng. Lalu berujar.
“Kau tadi juga sebut-sebut orang berjuluk Paduka
Seribu Masalah.... Kau mengenalnya?!”
Joko terdiam beberapa lama. Tanpa sadar matanya
bergerak memandang ke arah orang yang masih duduk
rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu. “Aku be-
lum bisa memastikan apakah dia manusianya yang
bernama Paduka Seribu Masalah meski dari sikap dan
ucapannya aku menduga dia adalah Paduka Seribu
Masalah!” Joko alihkan pandangan pada Dayang Tiga
Purnama. “Dari ucapan pertanyaannya, jangan-jangan
gadis ini tengah mencari Paduka Seribu Masalah....
Hem.... Bagaimana aku harus menjawab?!”
Selagi murid Pendeta Sinting membatin begitu,
Dayang Tiga Purnama ulangi pertanyaan. “Kau men-
genal Paduka Seribu Masalah?!”
“Dia adalah sahabatku....”
Dayang Tiga Purnama terkejut. “Dia baru saja me-
ngaku sebagai orang dari negeri seberang laut. Bagai-
mana mungkin dia juga mengaku sebagai sahabat Pa-
duka Seribu Masalah?! Bukankah Paduka Seribu Ma-
salah adalah tokoh negeri ini?!”
“Boleh aku bertanya. Sejak kapan kau berada di ta-
nah Tibet?!” tanya Dayang Tiga Purnama.
“Memang belum lama. Tapi mungkin nasib baik
yang membawaku bisa bersahabat dengan beberapa
orang di negeri ini! Sebagai orang negeri ini, tentu kau
juga mengenal Paduka Seribu Masalah. Benar...?!” Jo-
ko balik bertanya untuk meyakinkan dugaan apakah
orang yang tengah duduk rangkapkan kaki di sebelah
bongkahan batu adalah Paduka Seribu Masalah.
Dayang Tiga Purnama tidak segera buka mulut. Jo-
ko jadi bertanya-tanya dalam hati. “Hem.... Gadis ini
sepertinya tidak mengenali orang yang duduk rang-
kapkan kaki itu. Jangan-jangan orang itu bukan Pa-
duka Seribu Masalah... Kalau dia Paduka Seribu Masa-
lah, tentu gadis ini mengenalinya sejak pertama me-
lihat. Tapi mengapa Datuk Kala Sutera menduga orang
itu adalah Paduka Seribu Masalah?! Mana di antara
keduanya yang benar...?!”
“Aku memang orang negeri ini...” Akhirnya Dayang
Tiga Purnama berkata setelah agak lama terdiam. “Tapi
nyatanya kau lebih beruntung...”
“Maksudmu...?!” tanya murid Pendeta Sinting.
“Kau belum lama berada di negeri ini. Tapi kau telah bersahabat dengan Paduka Seribu Masalah! Se-
mentara aku melihat pun belum pernah!”
“Hem.... Sepertinya kau punya urusan dengan Pa-
duka Seribu Masalah!” Joko langsung menebak setelah
menyimak ucapan-ucapan Dayang Tiga Purnama.
“Sebenarnya aku tidak punya urusan apa-apa de-
ngan Paduka Seribu Masalah. Bagaimana aku bisa
punya urusan kalau bertemu pun belum pernah?!”
“Belum pernah bertemu bukan satu jaminan kalau
orang itu tidak punya urusan...”
“Hem... Ucapannya benar juga... Apakah aku harus
bertanya padanya?! Apakah ucapannya bisa diper-
caya?!” Dayang Tiga Purnama dilanda kebimbangan.
Lalu bertanya.
“Benar kau adalah sahabat Paduka Seribu Masa-
lah?!”
“Aku tidak mau membuka urusan dengan orang
dengan mengaku-aku dan berkata dusta!” kata Joko
setelah yakin kalau orang yang duduk rangkapkan ka-
ki di sebelah bongkahan batu adalah Paduka Seribu
Masalah.
“Mau mengatakan padaku di mana aku bisa berte-
mu dengannya?!”
“Walau kau belum pernah bertemu, mungkin kau
sudah pernah dengar. Mencari Paduka Seribu Masalah
adalah urusan gampang-gampang sulit! Tidak dicari
mendadak saja nongol, tapi kalau tengah dicari dia
seolah lenyap ditelan bumi!” Joko hentikan ucapannya
sejenak. Lalu menyambung.
“Kalau kau percaya padaku, katakan saja apa uru-
sanmu dengan Paduka Seribu Masalah! Kalau nanti
aku bertemu dengannya, aku bisa mengutarakan!”
Dayang Tiga Purnama menghela napas. Lalu tenga-
dahkan sedikit kepalanya. Jelas wajahnya membayangkan perasaan gelisah dan galau.
“Aku bukan tak percaya padamu...,” akhirnya
Dayang Tiga Purnama berucap. “Tapi aku tidak bisa
mengutarakan maksud selain pada Paduka Seribu Ma-
salah!”
“Itu sama saja kau belum percaya padaku! Tapi ter-
serah padamu.... Aku hanya menawarkan...!”
“Terima kasih.... Mungkin aku masih butuh waktu!
Kalau kelak aku gagal, tidak mustahil aku terpaksa
akan mengutarakan maksudku padamu.... Sekarang
kau hendak ke mana?!” Dayang Tiga Purnama alihkan
pembicaraan.
“Benar ini tempat yang harus dilewati kalau ingin
sampai Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!”
“Kalau kau ingin ke lembah itu, kau telah melewati
jalan yang benar!”
“Terima kasih.... Aku harus segera pergi!” kata Joko
seraya arahkan pandangan pada orang yang duduk
rangkapkan kaki. Lalu berseru.
“Sahabatku.... Bagaimana sekarang?! Kau akan te-
rus bersamaku atau tetap berada di sini?!”
“Kau jangan menakut-nakuti aku dengan ucapan
seperti itu! Di antara kita sudah terjadi sepakat! Kau
pasti takut pergi tanpa aku, begitu juga sebaliknya!
Aku tidak akan berani tanpa bersamamu!”
Mendengar ucapan orang, Joko cepat putar diri.
Namun sebelum melangkah dia masih buka suara lagi.
“Dayang Tiga Purnama.... Kau benar-benar tidak
mau mengutarakan urusanmu dengan Paduka Seribu
Masalah?!”
Yang ditanya berpaling pada orang yang duduk
rangkapkan kaki. “Ah.... Sebaiknya aku utarakan saja.
Sepertinya dia pemuda baik-baik.... Tapi aku tidak in-
gin orang yang duduk itu mendengarnya pula meski
dia adalah sahabat pemuda itu!”
Karena tidak ada jawaban, murid Pendeta Sinting
berpaling. Saat yang sama Dayang Tiga Purnama alih-
kan pandangan matanya dari orang yang duduk rang-
kapkan kaki. Lalu melangkah mendekati Joko dan
berkata pelan.
“Aku akan mengatakannya padamu. Tapi...” Si ga-
dis tidak lanjutkan ucapan. Tapi melirik pada orang
yang duduk rangkapkan kaki.
Murid Pendeta Sinting tampaknya dapat membaca
gelagat. “Kau tak ingin ada orang lain yang mende-
ngarnya?!”
Dayang Tiga Purnama anggukkan kepala sambil
berkata setengah berbisik. “Bukan aku tak percaya
dengan sahabatmu itu. Tapi rasanya tak enak kalau
urusanku diketahui banyak orang! Kuharap kau me-
ngerti...”
Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama me-
langkah. Joko tersenyum. Tanpa pikir panjang lagi dia
segera mengikuti di belakang si gadis.
Di tempat yang agak jauh dari orang yang duduk
rangkapkan kaki, Dayang Tiga Purnama berhenti. Lalu
berucap begitu Joko berhenti tidak jauh di belakang-
nya.
“Sebelum kukatakan, aku minta padamu. Harap
apa yang kukatakan nanti tidak kau bicarakan pada
siapa saja selain dengan Paduka Seribu Masalah!”
“Aku akan pegang janji! Sekarang katakanlah....”
“Selama ini aku hidup bersama seorang Eyang. Pa-
da mulanya memang seperti tidak ada hal yang perlu
diselesaikan. Namun begitu aku agak besar, mulai tim-
bul pertanyaan... Karena selama itu aku belum pernah
mengenal siapa orangtuaku. Aku mulai sering mena-
nyakan perihal kedua orangtuaku pada Eyang. Namun
jawaban yang kuperoleh selama ini tidak membuatku
puas. Sepertinya Eyang menyembunyikan sesuatu pa-
daku...” Dayang Tiga Purnama hentikan keterangan-
nya. Wajahnya berubah sedikit murung. Sementara
murid Pendeta Sinting menyimak keterangan si gadis
dengan seksama tanpa buka mulut.
“Gelagat Eyang membuatku penasaran. Hingga tak
henti-hentinya aku terus bertanya padanya. Tapi ja-
waban yang kuterima masih saja belum membuatku
puas. Dan sikap Eyang membuatku makin yakin kalau
Eyang menyembunyikan sesuatu. Hingga pada akhir-
nya aku memaksa Eyang untuk mengatakan apa se-
benarnya yang disembunyikan padaku....”
“Dia mau mengatakannya?!” Joko bertanya.
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Dia tetap ti-
dak mau mengatakannya! Hingga aku mengancam
akan pergi meninggalkan dia kalau dia tetap tidak mau
membuka diri!”
“Lalu...?!”
“Akhirnya Eyang memberi penjelasan. Bahwa satu-
satunya orang yang bisa memberi keterangan adalah
Paduka Seribu Masalah! Tapi jawaban itu belum mem-
buatku tenang. Aku bertanya mengapa harus Paduka
Seribu Masalah yang memberi keterangan! Eyang tidak
mau menjelaskan. Dia hanya berpesan, kalau aku in-
gin tahu, aku harus mencari Paduka Seribu Masalah!”
Untuk kedua kalinya Dayang Tiga Purnama henti-
kan ucapannya. Setelah menghela napas dan arahkan
pandangan pada orang yang duduk rangkapkan kaki
di seberang sana, gadis ini buka mulut lagi.
“Aku bertanya pada Eyang di mana bisa kutemui
Paduka Seribu Masalah. Jawaban yang kuterima ham-
pir mirip dengan ucapanmu tadi. Mencari Paduka Se-
ribu Masalah adalah urusan gampang-gampang susah!
Dia tidak bisa ditentukan di mana beradanya. Lebih
dari Itu aku tidak memperoleh keterangan bagaimana
manusia yang bernama Paduka Seribu Masalah!”
“Hem.... Lalu mengapa kau berada di tempat ini?!”
“Daerah ini adalah tempat tinggalku. Di sebelah sa-
na ada sebuah goa agak besar. Di sanalah selama ini
aku hidup bersama Eyang....” Dayang Tiga Purnama
arahkan telunjuknya pada satu jurusan.
“Joko.... Seandainya kau nanti bertemu dengan Pa-
duka Seribu Masalah, kuharap kau mau membantuku.
Kau telah tahu di mana tempat tinggalku....”
“Kau yakin Paduka Seribu Masalah dapat membuka
rahasia hidupmu?!”
“Pada mulanya aku memang heran dengan kete-
rangan Eyang. Tapi setelah aku mencari keterangan,
aku mendapatkan kabar, jika manusia yang bergelar
Paduka Seribu Masalah adalah seorang yang memiliki
kepandaian aneh. Dia tahu seribu masalah orang
meski orang yang belum pernah dikenalnya! Tapi aku
mendapatkan kesulitan untuk mencarinya meski aku
telah berusaha!”
Pendekar 131 menghela napas panjang seakan ikut
merasakan kesenduan Dayang Tiga Purnama. Lalu
berkata pelan.
“Masih ada yang hendak kau sampaikan?!”
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Aku hanya
meminta kau tidak mengatakan apa yang baru kuuta-
rakan pada orang lain selain Paduka Seribu Masa-
lah...”
Pendekar 131 anggukkan kepala. Lalu arahkan
pandang matanya pada orang yang duduk rangkapkan
kedua kaki.
“Dayang Tiga Purnama... Aku harus segera teruskan
perjalanan. Kalau boleh tahu, apakah aku masih memerlukan sampan untuk melintasi enam sungai beri-
kutnya?!”
“Kau tidak perlu lagi sampan itu. Kau memang akan
melintasi enam sungai lagi sebelum mencapai lembah.
Tapi sungai itu bisa dilewati dengan melompat-lompat.
Karena hanya aliran sungai kecil dan banyak batu-
batu yang dapat kita buat loncatan hingga sampai ke
tepian....”
“Terima kasih.... Sekarang aku harus pergi. Mudah-
mudahan aku segera memperoleh keterangan yang
kau perlukan....”
Habis berkata begitu, Joko melangkah kembali ke
arah orang yang duduk rangkapkan kaki. Namun baru
mendapat enam langkah dia ingat sesuatu. Seraya pa-
lingkan wajah, Joko bertanya.
“Siapa nama eyangmu...?!”
“Kita nanti mungkin masih bertemu lagi. Kelak aku
akan memberitahukan padamu! Selamat jalan....”
Joko tersenyum, lalu berpaling lagi pada orang yang
duduk rangkapkan kaki. Namun baru saja kepalanya
bergerak, sosok yang duduk rangkapkan kaki telah
membuat gerakan. Sosoknya melesat dengan tetap da-
lam posisi duduk dan saat lain sudah berada jauh di
sana!
“Hai! Tunggu...!” Joko berteriak, lalu berlari menyu-
sul.
Dayang Tiga Purnama pandangi sosok murid Pen-
deta Sinting. Saat itulah mendadak dia sadar. “Ah...
Mengapa aku cepat percaya pada pemuda itu...?! Pa-
dahal aku belum kenal betul siapa dia... Tapi... Mu-
dah-mudahan saja semua keterangannya benar....”
Dayang Tiga Purnama terus memperhatikan hingga
sosok murid Pendeta Sinting dan orang yang tadi du-
duk rangkapkan kaki lenyap di ujung sana. Lalu putar
diri melangkah. Aneh, di pelupuk matanya terus ter-
bayang paras Pendekar 131 Joko Sableng!
***
DELAPAN
BIDADARI Tujuh Langit tegak memandang pada
dua sosok tubuh yang tergeletak di atas jerami tebal
dengan bibir sunggingkan senyum kepuasan. Sekujur
tubuhnya basah oleh keringat mulai dari rambut sam-
pai kaki. Pakaian yang dikenakan tampak semburat
tak karuan. Malah dadanya tersingkap lebar hingga
sepasang payudaranya terlihat jelas dan tampak berge-
rak-gerak turun naik. Pakaian bawahnya juga terngan-
ga lebar memperlihatkan sepasang pahanya yang pa-
dat dan mulus.
Di lain pihak, dua sosok tubuh yang tergeletak di
atas jerami tebal tampak diam tak bergerak-gerak. Me-
reka adalah dua orang gadis berparas cantik. Namun
keadaannya sangat mengenaskan. Pakaian yang dike-
nakan sudah robek di sana-sini bahkan nyaris te-
lanjang. Rambutnya kusut awut-awutan. Sementara
wajahnya basah, bukan saja oleh keringat namun juga
air mata.
Bidadari Tujuh Langit usap wajahnya. Lalu rapikan
pakaian dan melangkah mendekati dua sosok gadis di
atas jerami tebal. Dia memperhatikan beberapa lama
pada sekujur tubuh dua sosok di hadapannya. Sepa-
sang matanya membelalak liar. Saat bersamaan da-
danya bergerak-gerak keras.
“Hem.... Sebenarnya aku masih ingin menikmati
kemolekan tubuh mereka berdua.... Tapi si Pasangan
Mesum itu terlalu enak kalau tidak segera diberi tahu
apa yang menimpa utusannya.... Lebih dari itu, aku
ingin agar mereka segera mencariku. Dan akan kuajar-
kan pada si perempuannya bagaimana cara bercinta
yang baik dan mengasyikkan...!”
Bidadari Tujuh Langit tertawa cekikikan. Kedua
tangannya bergerak dan mengusap paha kedua sosok
gadis di atas jerami tebal. Kedua tangan perempuan
bertubuh sintal berwajah cantik ini tampak bergetar.
Napasnya berhembus panjang-panjang.
Saat lain Bidadari Tujuh Langit yang mulai dilanda
gelegak hawa nafsu itu gerakkan kedua tangan ke arah
leher masing-masing gadis.
Dua sosok gadis yang tergeletak terlonjak. Saat ber-
samaan sepasang mata mereka membuka. Untuk be-
berapa saat dua pasang mata itu memperhatikan ber-
keliling. Jelas wajahnya membayangkan keheranan.
Namun begitu mata mereka menumbuk pada sosok
Bidadari Tujuh Langit, sekonyong-konyong mata mere-
ka mendelik angker. Kejap lain hampir bersamaan ke-
dua gadis itu bergerak bangkit.
Namun kedua gadis itu tercekat. Mata mereka ma-
kin melotot tatkala mereka sadar jika mereka tidak bi-
sa gerakkan anggota tubuh! Dan dari mulut mereka
keluar suara menggembor marah ketika mereka me-
nyadari bagaimana keadaan diri masing-masing yang
hampir telanjang!
“Jahanam! Apa yang kau lakukan?!” hampir berba-
rengan kedua gadis di atas jerami berteriak setengah
menjerit.
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. “Galuh Sembilan
Gerhana... Galuh Empat Cakrawala... Bukan apa yang
telah kulakukan. Tapi apa yang telah kita lakukan...
Hik...! Hikk...! Hik...! Kita baru saja menikmati indah
nya surga dunia... Kuharap kalian tidak melupakan
apa yang baru saja kita lakukan bersama-sama...”
“Perempuan jalang!” jerit gadis sebelah kanan yang
pakaian merahnya tampak awut-awutan dan bukan
lain adalah Galuh Sembilan Gerhana.
“Perempuan mesum!” Gadis sebelah kiri yang pa-
kaian kuningnya juga tampak berserakan dan tidak
lain adalah Galuh Empat Cakrawala ikut berteriak.
Bidadari Tujuh Langit tertawa panjang. “Gadis-ga-
disku... Seharusnya kalian bersyukur. Bukan saja ka-
rena kalian telah kuajak menikmati indahnya cinta, le-
bih dari itu kalian masih kubiarkan hidup!”
“Kau hanya berani pada orang yang tak berdaya!”
seru Galuh Sembilan Gerhana.
“Aku bersumpah akan membunuhmu!” Galuh Em-
pat Cakrawala menyahut dengan suara tinggi.
“Terserah apa kata kalian! Yang jelas, kalau aku
mau, membunuh kalian berdua bukan pekerjaan sulit!
Tapi aku tak mau melakukan hal itu! Kalian tahu apa
sebabnya?!”
Belum sampai ada yang buka mulut menjawab, Bi-
dadari Tujuh Langit sudah menyambung. “Agar dua
jahanam yang memerintahkan kalian tahu. Bidadari
Tujuh Langit bukan manusia bodoh seperti dugaan
mereka! Lebih dari itu, aku ingin menikmati kemole-
kan perempuan keparat salah satu manusia yang me-
ngutus kalian berdua!”
“Lepaskan kami!” teriak Galuh Sembilan Gerhana.
“Tanpa kau minta, aku akan melepas kalian...! Tapi
sebelumnya kalian perlu tahu...”
“Kau tak usah banyak bicara! Kami tak butuh kete-
rangan apa-apa darimu!” bentak Galuh Empat Cakra-
wala. Namun baik Galuh Sembilan Gerhana maupun
Galuh Empat Cakrawala hanya bisa berteriak tanpa
bisa membuat gerakan. Karena tubuh mereka masih
dalam keadaan tertotok.
“Kalian butuh atau tidak itu urusan kalian berdua!
Yang penting aku telah memberi tahu! Pertama. Sebe-
narnya kalian sengaja diumpankan padaku. Di antara
kita tidak ada hutang nyawa! Kedua. Sebenarnya yang
punya urusan darah adalah antara aku dengan Iblis
Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah si Pasa-
ngan Mesum yang telah memerintahkan kalian! Mere-
ka tidak berani menghadapiku lalu menghasut kalian!”
“Siapa percaya ucapan perempuan binal jahanam
sepertimu!” sahut Galuh Sembilan Gerhana.
“Aku tidak minta kalian percaya! Aku hanya mem-
beri tahu! Bukan tak mungkin setelah ini kalian akan
mendapat perintah lagi untuk membunuh seseorang!
Untung jika kalian berhadapan dengan orang seperti
ku! Aku bukan saja tidak membalas, tapi justru mem-
berikan kenikmatan yang selama ini belum pernah ka-
lian kecap!”
“Ternyata bukan tindakanmu saja yang keji! Tapi
mulutmu juga pandai menghasut!” Yang berteriak ada-
lah Galuh Empat Cakrawala.
“Aku tahu.... Mungkin saat ini kalian masih dalam
keadaan panik. Kalian membutuhkan waktu untuk
merenungkan ucapanku!”
Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit mem-
buat gerakan melompat. Galuh Empat Cakrawala dan
Galuh Sembilan Gerhana hanya bisa memandang tan-
pa bisa berbuat banyak. Saat lain kedua gadis ini per-
dengarkan seruan tegang. Lalu sosok keduanya ter-
lempar jatuh dari atas jerami tebal.
Anehnya, saat itu juga Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala bisa gerakkan anggota
tubuhnya.
Sadar bisa bergerak, Galuh Sembilan Gerhana dan
Galuh Empat Cakrawala segera bergerak bangkit. Mata
mereka liar memandang berkeliling. Malah saat itu ju-
ga Galuh Sembilan Gerhana sudah melompat. Namun
sosok Bidadari Tujuh Langit sudah tidak kelihatan la-
gi.
“Jahanam keparat!” teriak Galuh Sembilan Gerha-
na. Laksana kesetanan gadis ini berkelebat meski tidak
tahu arah mana yang harus diambil.
“Tunggu!” Galuh Empat Cakrawala berteriak mena-
han.
Galuh Sembilan Gerhana batalkan niat. Lalu ber-
paling ke arah Galuh Empat Cakrawala. Sepasang ma-
tanya mendelik memperhatikan sosok Galuh Empat
Cakrawala yang masih tegak dalam keadaan setengah
telanjang. Saat itulah dia sadar akan dirinya yang kea-
daannya hampir tidak beda dengan Galuh Empat Ca-
krawala.
Seraya rapikan pakaiannya, Galuh Sembilan Ger-
hana berkata dengan suara bergetar parau.
“Kita harus mengejar jahanam binal itu!”
Galuh Empat Cakrawala tidak menyahut. Melain-
kan rapikan pakaiannya dengan bahu berguncang me-
nahan isakan.
Galuh Sembilan Gerhana melangkah mendekati Ga-
luh Empat Cakrawala. Matanya berkaca-kaca saat dia
berucap.
“Semuanya telah terjadi! Percuma kita sesali! Yang
jelas, mulai hari ini, kita bersumpah bahwa seluruh
hidup kita akan kita curahkan untuk membalas pe-
rempuan keparat binal itu!”
“Itu sudah pasti.... Tapi ada satu hal lagi yang ha-
rus segera kita lakukan!” kata Galuh Empat Cakrawala
setelah agak lama terdiam.
“Apa...?!”
“Selama ini kita hanya lakukan apa yang diperin-
tahkan Guru tanpa pernah bertanya atau menyelidik
benar tidaknya apa yang diperintahkan!”
“Kau termakan ucapan perempuan binal tadi, Ga-
luh....”
Galuh Empat Cakrawala gelengkan kepala. “Ti-
dak... Selama ini kita memang tidak pernah mencoba
bertanya. Kita percaya begitu saja!”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?!”
“Kita menemui Guru! Kita minta penjelasan duduk
persoalan sebenarnya! Setelah itu kita menyelidik di
samping mencari jalan untuk membunuh perempuan
jahanam binal tadi!”
Galuh Sembilan Gerhana anggukkan kepala. Saat
lain kedua gadis ini berkelebat setelah memandang
berkeliling.
***
Dua sosok tubuh yang tengah berpelukan sambil
berciuman itu tiba-tiba saling tarik pulang wajah mas-
ing-masing dengan paras membesi dan perdengarkan
dengusan. Saat lain kedua wajah itu menyentak berpa-
ling ke samping kanan dengan mata mendelik angker.
“Ada dua orang menuju kemari!” berkata orang se-
belah kanan yang ternyata adalah seorang laki-laki be-
rusia lanjut berambut putih panjang dan jarang. Pa-
rasnya lonjong dengan kulit putih pucat. Sosoknya ke-
rempeng hingga raut wajahnya hampir saja tidak tertu-
tup daging. Sepasang matanya melotot besar seakan
mencelat keluar dari dalam rongganya yang cekung da-
lam. Laki-laki ini mengenakan pakaian warna putih
gombrong besar. Saking gombrongnya pakaian yang
dikenakan, saat ada angin bertiup, sosoknya tampak
bergoyang-goyang meski sebenarnya dia tidak mem-
buat gerakan apa-apa!
“Hem.... Tampaknya mereka!” Orang kedua yang te-
gak di sebelah kiri menyahut, la adalah seorang pe-
rempuan berusia setengah baya. Walau begitu paras
wajahnya tetap terlihat cantik jelita. Rambutnya hitam
lebat dikuncir tinggi. Kulitnya putih bersih dengan hi-
dung mancung dan bibir merah menyala. Lehernya
jenjang dan dadanya masih tampak membusung ken-
cang dan padat. Pinggulnya yang besar dibalut dengan
pakaian tipis warna biru sangat ketat, hingga terlihat
mencuat menggoda!
“Kancingkan bajumu! Aku mendapat firasat tidak
baik!” Si laki-laki bertubuh kerempeng berpakaian
gombrong besar dan bukan lain adalah Iblis Muka Se-
tan buka suara.
Dengan menyeringai dingin dan hembuskan napas
panjang, si perempuan yang tidak lain adalah Perem-
puan Kembang Darah cepat lakukan apa yang di-
ucapkan Iblis Muka Setan. Saat lain laki-laki dan pe-
rempuan yang dalam kancah rimba belantara persila-
tan tanah Tibet dikenal dengan julukan Pasangan Me-
sum ini putar diri menghadap ke depan menyongsong
dua sosok tubuh yang berkelebat menuju ke arah me-
reka.
“Guru berdua! Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh
Empat Cakrawala datang!” terdengar seruan. Lalu dua
sosok tubuh sudah berlutut sejarak sepuluh langkah
di hadapan Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang
Darah.
Kepala Iblis Muka Setan tersentak ke belakang. Se-
pasang matanya membelalak besar. Mulutnya terkan-
cing rapat namun rahangnya yang hanya tinggal tu-
lang terangkat. Di sebelahnya, Perempuan Kembang
Darah sorongkan wajah ke depan dengan mata mende-
lik dan mulut perdengarkan gumaman tak jelas. Saat
lain kedua orang ini saling pandang.
“Tampaknya mereka gagal!” berbisik Iblis Muka Se-
tan.
“Benar! Tapi setidaknya kita berhasil menjalankan
rencana kedua! Dari pakaian dan gelagatnya, jelas apa
yang kita duga menjadi kenyataan! Bidadari Tujuh
Langit tidak tahu. Siapa sebenarnya dua gadis yang
baru saja menjadi mangsanya!”
Iblis Muka Setan anggukkan kepala. Lalu angkat
suara.
“Galuh Sembilan Gerhana! Galuh Empat Cakrawala!
Aku melihat pakaianmu tidak seperti biasanya! Apa
yang telah terjadi...?!”
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala angkat kepala lalu memandang pada Iblis Muka
Setan dan Perempuan Kembang Darah.
“Guru berdua!” Yang buka mulut Galuh Sembilan
Gerhana. Suaranya masih bergetar dan setengah teri-
sak. “Harap maafkan kami. Kami berdua gagal melak-
sanakan perintahmu...!”
“Mungkin kalian tidak melakukan seperti apa yang
kita rencanakan!” kata Perempuan Kembang Darah.
“Kami telah melakukan sesuai rencana! Tapi kami
tetap gagal! Bahkan kami harus mengalami....” Galuh
Sembilan Gerhana tidak lanjutkan ucapan.
“Kalian tidak perlu bersedih... Kalian masih punya
waktu untuk melakukannya lagi! Aku akan menurun-
kan ilmu pada kalian berdua!” kata Iblis Muka Setan.
“Terima kasih... Tapi kalau kami boleh bertanya.
Benarkah kedua orangtua kami memang tewas di tan-
gan Bidadari Tujuh Langit jahanam itu?!” tanya Galuh
Empat Cakrawala.
Iblis Muka Setan saling lontar lirikan dengan Pe-
rem-puan Kembang Darah. Jelas kedua orang ini sem-
bunyikan rasa kaget. Tapi Iblis Muka Setan buru-buru
angkat suara.
“Murid-muridku.... Kalian berdua kuasuh sejak ma-
sih bayi. Kalian sebenarnya lebih kuanggap anak dari-
pada murid. Adalah satu hal aneh kalau tiba-tiba kau
bertanya begitu!”
“Maafkan kami... Kami hanya ingin mendapat keje-
lasan!” ujar Galuh Sembilan Gerhana.
“Tidak ada penjelasan lain! Semuanya sudah jelas!
Kedua orangtuamu tewas di tangan Bidadari Tujuh La-
ngit pada enam belas tahun silam! Lalu aku mengam-
bil kalian berharap satu saat nanti kalian dapat mem-
balas apa yang dilakukan Bidadari Tujuh Langit pada
kedua orangtua kalian! Apa yang belum jelas?!”
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala saling pandang. Lalu sama arahkan pandangan
pada kedua guru mereka. Galuh Empat Cakrawala bu-
ka mulut.
“Apakah antara Guru berdua dengan Bidadari Tu-
juh Langit ada urusan darah?!”
“Pada mulanya, kami berdua adalah sahabat Bida-
dari Tujuh Langit. Tapi karena aku mengambil kalian,
persahabatan kami putus. Bahkan sejak saat itu pula
Bidadari Tujuh Langit mencoba cari-cari urusan! Seda-
pat mungkin aku menghindar karena aku tahu. Ada
yang lebih berhak atas nyawa Bidadari Tujuh Langit!”
“Bagaimana sekarang?!” bisik Galuh Sembilan Ger-
hana.
“Kita harus menyelidik... Kita harus mencari tahu
dengan bertanya pada seseorang..,” jawab Galuh Em-
pat Cakrawala.
“Tapi pada siapa...?!”
“Kau tentu masih ingat cerita Guru tentang seorang
aneh berjuluk Paduka Seribu Masalah... Kita cari dia!
Mungkin kita akan mendapat keterangan!”
Habis berkata begitu, tanpa menunggu sambutan
Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala
angkat suara.
“Guru berdua... Untuk beberapa hari ini kami minta
izin pergi ke satu tempat untuk tenangkan diri...”
“Baiklah... Setelah itu nanti kita bicarakan lagi apa
yang harus kalian lakukan!” kata iblis Muka Setan.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-
wala sama menjura hormat. Lalu putar diri dan berke-
lebat dari hadapan Iblis Muka Setan dan Perempuan
Kembang Darah.
***
SEMBILAN
LANGIT malam sudah berganti agak terang ketika
Pendekar 131 dan orang yang duduk rangkapkan kaki
mencapai sebuah lembah berbentuk bintang. Joko te-
gak dengan lepas pandangan berkeliling. Lembah itu
merupakan sebuah tanah terbuka yang banyak dirang-
gasi rumput tebal tinggi dan beberapa jajaran pohon
besar berdaun rindang, hingga meski suasana sudah
akan berganti pagi, tapi lembah itu masih terlihat ge-
lap.
“Ini Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!” Joko
bertanya untuk meyakinkan diri pada orang yang du-
duk rangkapkan kaki tiga tindak di sebelahnya.
“Aku takut mengatakannya. Tapi mungkin memang
ini lembah yang kau cari!” orang yang duduk dengan
wajah dibenamkan ke belakang rangkapkan kedua ka-
kinya perdengarkan jawaban.
“Aku menyelidik. Harap kau tunggu di sini!”
Tanpa menunggu sahutan orang, murid Pendeta
Sinting berkelebat. Namun hingga mengitari lembah
dua kali, dia tidak menemukan siapa-siapa. Bahkan
dia tidak menemukan tanda-tanda jika lembah itu di-
huni orang. Hingga pada satu tempat dia hentikan la-
rinya.
“Jauh-jauh mencari lembah ini. Setelah kutemukan
ternyata aku tidak bertemu dengan orang yang kucari!
Mungkinkah Dewa Asap Kayangan berkata dusta?! Ta-
pi untuk apa...?! Dia bersama Dewa Cadas Pangeran
telah membantu banyak dalam urusan peta wasiat
Perguruan Shaolin. Tidak mungkin di antara mereka
ada yang mau berkata dusta! Tapi mengapa aku tidak
menemukan di tempat yang pernah dikatakannya?!
Apa maksud semua ini...?!”
Pendekar 131 menghela napas panjang. Lalu me-
mandang berkeliling sekali lagi. “Aku sengaja memi-
sahkan diri dari orang yang duduk sembunyikan wajah
dengan harapan dia tidak tahu apa urusanku hingga
sampai ke lembah ini! Lagi pula aku ingin bertanya
pada Dewa Asap Kayangan siapa dia sebenarnya!”
Baru saja Joko bergumam begitu, mendadak telin-
ganya mendengar suara orang tertawa bersahut-
sahutan. Joko terlengak dan pasang telinga baik-baik.
Lalu putar tubuh menghadap ke arah sumber suara
tawa.
“Aneh... Suara tawa ini datangnya dari tempat mana
orang yang duduk tadi kutinggalkan... Tapi mengapa
suara tawa itu diperdengarkan bukan satu orang?!
Jangan-jangan...”
Murid Pendeta Sinting tidak lanjutkan membatin.
Dia segera berkelebat ke arah datangnya sumber tawa.
Namun kali ini dia sengaja berkelebat berputar dan
mengendap-endap mendekati tempat di mana dia tadi
tinggalkan orang yang duduk rangkapkan kaki.
Dari tempat yang terlindung batangan pohon, Joko
segera mendekam sembunyi lalu berpaling. Meman-
dang ke depan, sepasang matanya sedikit terbelalak.
Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut berparas
lonjong berambut putih jarang serta jabrik. Sepasang
matanya jereng besar. Pada mulutnya yang mungil ter-
dapat satu pipa cangklong yang kepulkan asap. Dia
mengenakan celana pendek berwarna putih kusam.
Pakaian atasnya berupa rompi tanpa lengan. Di pun-
daknya menyelempang sebuah ikat pinggang besar
yang dihias beberapa pipa. Setiap pipi di mulutnya ke-
pulkan asap, beberapa pipa yang menghiasi ikat ping-
gangnya juga kepulkan asap!
“Dewa Asap Kayangan!” Joko mendesis mengenali
siapa adanya kakek berpipa. Kakek ini tegak tiga lang-
kah di samping kanan orang yang tengah duduk rang-
kapkan kaki seraya tertawa ngakak.
Joko teruskan pandangan. Karena di sebelah kiri
orang yang duduk rangkapkan kaki tampak juga se-
orang kakek berpakaian compang-camping. Paras wa-
jahnya tidak kelihatan karena tertutup sebuah benda
bulat yang berada di depan wajahnya. Benda bulat itu
adalah sebuah batu putih yang digantungkan pada
ujung sebuah tambang dan tambang itu berpangkal
pada punggung orang. Anehnya, meski hanya berupa
tambang, tapi tambang itu lurus tegak di punggung
orang lalu begitu tepat di bagian atas kepala, tambang
itu melengkung hingga batu putih tepat menutupi wa-
jahnya.
“Dewa Cadas Pangeran!” untuk kedua kalinya mu
rid Pendeta Sinting mendesis mengenali siapa adanya
kakek yang wajahnya tertutup batu putih.
Joko menghela napas lega. “Ternyata perjalananku
tidak sia-sia. Mereka kutemukan di sini! Mudah-mu-
dahan urusan ini segera selesai... Tapi...” Tiba-tiba
murid Pendeta Sinting ingat sesuatu. Dia pentang ma-
ta sekali lagi lalu lepas pandangan berkeliling. “Dia ti-
dak kelihatan! Bagaimana urusan ini akan selesai ka-
lau dia tidak ada...?! Ataukah Dewa Cadas Pangeran
tidak jadi mengambil Dewi Bunga Asmara sebagai mu-
rid?! Lalu apa pula yang membuat mereka bertiga ter-
tawa bergelak-gelak...?! Hem... Ini satu petunjuk kalau
Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran men-
genali siapa adanya orang yang duduk sembunyikan
wajah di balik rangkapan kedua kakinya itu!”
Selagi Joko membatin begitu, dari arah depan ter-
dengar orang berkata.
“Sahabatku Paduka Seribu Masalah...!” Yang berka-
ta adalah kakek berpakaian compang-camping yang
wajahnya tertutup batu putih dan bukan lain memang
Dewa Cadas Pangeran adanya. “Kau tadi mengatakan
datang hendak melamar! Tapi kulihat kau datang se-
orang diri. Apakah kau sendiri yang hendak ajukan
lamaran?!”
“Jangan berkata begitu, Sahabatku... Aku takut!”
jawab orang yang duduk rangkapkan kaki.
“Hem... Dugaanku tidak jauh meleset. Jadi dia ada-
lah Paduka Seribu Masalah!” gumam murid Pendeta
Sinting mendengar percakapan orang.
“Kau perlu tahu satu hal, Sahabatku...” Orang yang
bercelana pendek warna putih kusam dan berompi
tanpa lengan serta mengisap pipa dan bukan lain me-
mang Dewa Asap Kayangan, buka suara. “Kau boleh
saja takut pada semua hal! Tapi kuharap kau tidak
merasa takut dengan urusan lamaran ini! Jika itu ter-
jadi, kau tentu tahu apa yang bakal terjadi!”
“Dan kau tak usah khawatir... Gadis itu ditanggung
meyakinkan! Masih muda, cantik, dan selebihnya me-
mang tengah menunggu untuk dilamar! Kau tunggu
apa lagi?!” Dewa Cadas Pangeran menimpali.
“Ah... Kalian makin membuatku takut saja...”
“Sahabatku... Kalau kau terus-terusan takut, bagai-
mana jadinya?! Kau tidak takut nantinya bakal terjadi
malapetaka jika lamaran ini gagal?!” tanya Dewa Cadas
Pangeran.
“Sahabatku berdua... Harap kalian tidak takut ka-
lau kukatakan jika sebenarnya bukan aku yang punya
maksud hendak melamar! Tapi seorang sahabat...-.
Namun harap jangan bertanya siapa. Aku takut men-
jawabnya...!”
Dada murid Pendeta Sinting berdebar tidak enak.
Dia maklum kalau perbincangan orang ditujukan ke
arahnya. Hal ini membuatnya sadar kalau keberada-
annya diketahui orang. Maka dia memutuskan untuk
keluar dari tempat mendekamnya dan berkelebat ke
arah tiga orang yang tengah berbincang.
“Dewa Asap Kayangan... Dewa Cadas Pangeran...
Selamat jumpa lagi!” Joko tegak delapan langkah di
hadapan ketiga orang sambil memandang silih bergan-
ti. Lalu hentikan pandangannya pada orang yang du-
duk rangkapkan kaki. Namun belum sempat dia buka
mulut, orang yang duduk rangkapkan kaki dan tadi
dipanggil Paduka Seribu Masalah sudah mendahului.
“Sahabat Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Ka-
yangan... Dialah sahabat yang kukatakan... Dialah
yang punya maksud untuk melamar... Harap kailan
berdua tidak merasa takut untuk menyelesaikan uru-
san ini dengannya!”
Dewa Asap Kayangan berpaling. Batu putih di de-
pan wajah Dewa Cadas Pangeran bergerak, tanda o-
rang ini gerakkan kepalanya. Sementara Paduka Seri-
bu Masalah buka sedikit rangkapan kedua kakinya.
“Dewa Cadas Pangeran..,” kata Joko. “Sebenarnya
kedatanganku bukan untuk melamar... Tapi...” Joko
tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya putar kepala me-
mandang berkeliling.
“Teruskan ucapanmu, Anak Muda!” Berkata Dewa
Cadas Pangeran.
“Aku ingin bertanya...” Joko sambungi kata-kata
yang tadi sempat terputus. Lalu selinapkan tangan ke
balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar ter-
lihat sebuah gulungan kain putih kusam yang ber-
sambung.
“Ini adalah isi dari kantong putih dan gelang baja
yang jadi sengketa di Bukit Toyongga pada beberapa
hari yang lalu... Aku tidak tahu dari mana harus me-
mulai mengadakan perjalanan seperti yang tertera da-
lam kain ini! Aku ingin minta petunjuk!”
Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting me-
langkah ke arah Dewa Cadas Pangeran. Tapi orang
yang didekati segera perdengarkan suara.
“Perlihatkan saja pada sahabatku Dewa Asap Kaya-
ngan! Urusan kita lain lagi, Anak Muda...”
Joko hentikan langkah. Berpaling sesaat pada Dewa
Asap Kayangan. Dia bimbang beberapa lama. Namun
karena Dewa Asap Kayangan tidak buka mulut atau
memberi isyarat apa-apa, Joko belokkan langkah me-
nuju Dewa Asap Kayangan.
“Kek... Harap beri petunjuk dari mana aku harus
memulai!” kata Joko seraya pentangkan kain yang ti-
dak lain adalah kain peta dari Perguruan Shaolin.
Dewa Asap Kayangan maju dua tindak menjajari
murid Pendeta Sinting. Lalu buka matanya lebar-lebar
memperhatikan peta di kain yang bersambung. Saat
lain tangannya menunjuk pada gambar peta dan ber-
ucap.
“Ini adalah hutan bambu. Kau tentu sudah tahu
tempatnya! Dari sinilah kau harus memulai perjala-
nan! Hanya itu petunjuk yang bisa kuberikan. Selan-
jutnya kau tentu tahu....”
Joko simak gambar yang ditunjuk Dewa Asap Ka-
yangan seraya anggukkan kepala. Lalu berkata.
“Terima kasih, Kek....”
Dewa Asap Kayangan mundur lagi mendekati Padu-
ka Seribu Masalah. Joko memperhatikan sekali lagi.
Lalu lipat kain putih dan dimasukkan ke balik pa-
kaiannya.
“Urusanmu dengan Dewa Asap Kayangan selesai...
Sekarang kita tuntaskan urusan kita!” Yang berucap
Dewa Cadas Pangeran.
Murid Pendeta Sinting melirik sesaat pada Dewa
Asap Kayangan dan Paduka Seribu Masalah dengan
wajah berubah. Dadanya berdebar. “Sebenarnya aku
ingin menyelesaikan urusan ini dengan Dewi Bunga
Asmara sendiri! Tapi nyatanya dia tidak muncul di
tempat ini....”
“Anak muda... Kau yang memulai, atau aku yang
bicara dahulu?!” Dewa Cadas Pangeran buka suara se-
telah ditunggu agak lama murid Pendeta Sinting belum
juga buka mulut.
“Kek... Boleh aku tahu di mana Dewi Bunga Asma-
ra?!”
“Nanti kau akan bertemu dengannya setelah pembi-
caraan kita selesai!”
“Kek... Sebenarnya hal ini harus kukatakan sendiri
pada Dewi Bunga Asmara...”
Batu putih di depan wajah Dewa Cadas Pangeran
bergerak pulang balik ke samping kiri kanan tanda ke-
pala orang bergerak menggeleng. “Kita bicarakan dahu-
lu! Selanjutnya kita tentukan nanti...!”
Pendekar 131 tercenung beberapa saat. Dia tampak
bingung sekaligus bimbang. Dia ragu-ragu untuk mu-
lai bicara karena dia pikir urusannya tidak layak dike-
tahui orang lain.
Seperti diketahui, Pendekar 131 sempat bertemu
dengan Dewi Bunga Asmara murid tunggal seorang
nenek bergelar Ratu Selendang Asmara saat terjadi pe-
ristiwa gegernya peta wasiat. Karena inginkan petun-
juk dari Dewi Bunga Asmara, Joko sempat mengu-
capkan janji untuk menghadap Ratu Selendang Asma-
ra bersama Dewi Bunga Asmara. Sikap dan ucapan
murid Pendeta Sinting ternyata diartikan lain oleh De-
wi Bunga Asmara. Gadis ini jatuh hati dan menduga
sikap dan ucapan Joko sebagai tanda kalau murid
Pendeta Sinting juga jatuh hati dan hendak memin-
tanya pada Ratu Selendang Asmara.
Tapi sebelum Joko sempat berbicara dengan Ratu
Selendang Asmara, si nenek keburu tewas di puncak
Bukit Toyongga. Dan sebelum Joko sempat pula me-
ngatakan yang sebenarnya pada Dewi Bunga Asmara,
mendadak gadis cantik murid Ratu Selendang Asmara
itu dibawa pergi oleh Dewa Cadas Pangeran. Dan saat
itu juga Dewa Cadas Pangeran berpesan agar Pendekar
131 kelak mencarinya untuk selesaikan urusan.
Karena dipesan oleh orang yang telah menolongnya
dan juga karena dia perlu bertanya tentang gambar pe-
ta, akhirnya Joko memenuhi permintaan Dewa Cadas
Pangeran. Tapi sebenarnya dia ingin bicara langsung
dengan Dewi Bunga Asmara dalam urusan salah duga
si gadis.
“Anak muda... Kau tidak mau segera bicara. Ter-
paksa aku yang harus mulai...,” berkata Dewa Cadas
Pangeran. “Kau harus kawin dengan Dewi Bunga As-
mara!”
Pendekar 131 tersentak kaget mendengar kata-kata
Dewa Cadas Pangeran. Tegaknya bergetar dan sepa-
sang matanya mendelik memandang seolah tak per-
caya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Kek....” Akhirnya Joko dapat pula perdengarkan
suara setelah terdiam lama. Namun sebelum dia lan-
jutkan ucapan, Dewa Cadas Pangeran telah berkata.
“Kau harus tahu, Pendekar 131! Tanpa perkawinan
antara kau dan Dewi Bunga Asmara, maka akan terja-
di satu kegegeran besar yang tak kalah dahsyatnya
dengan peristiwa peta wasiat!”
Joko gelengkan kepala. “Kek... Aku... Aku tidak
mungkin bisa melakukannya! Dan kurasa mustahil
akan terjadi sesuatu yang luar biasa kalau aku tidak
kawin dengan Dewi Bunga Asmara....”
“Anak muda... Kau boleh percaya atau tidak! Yang
mungkin terjadi, akan ada peristiwa besar bila kau ti-
dak mau kawin dengan Dewi Bunga Asmara. Lain dari-
pada itu, perkawinanmu ini nanti mungkin bisa mere-
dakan timbulnya masalah pada beberapa orang juga
pada dirimu sendiri!”
“Kek... Aku akan lakukan apa saja untuk mereda-
kan timbulnya masalah pada beberapa orang! Tapi ka-
lau dengan jalan harus kawin, rasanya aku belum siap
melakukannya....”
“Anak muda sahabatku...” Yang buka mulut adalah
Dewa Asap Kayangan. “Kau perlu tahu satu hal. Per-
kawinan ini harus kau laksanakan! Kalau tidak, mung-
kin kau masih harus menunggu lama lagi untuk bisa
kembali ke negeri asalmu...!”
“Aku pilih terus berada di sini daripada harus ka-
win...!” Joko berkata sendiri dalam hati. “Dewi Bunga
Asmara memang seorang gadis cantik. Tapi rasanya
aku masih harus belajar untuk mencintainya! Semen-
tara hal itu mungkin tak mudah... Lagi pula aku tidak
bisa mengenyampingkan Guru... Setidaknya Pendeta
Sinting harus tahu siapa dan bagaimana Dewi Bunga
Asmara!”
“Bagaimana, Anak Muda...?!” tanya Dewa Cadas Pa-
ngeran.
“Kek... Kau bisa memberi keterangan bagaimana pe-
ristiwa besar akan terjadi kalau aku tidak kawin de-
ngan Dewi Bunga Asmara?!”
“Kau takut aku menjerumuskan dirimu?!” ujar De-
wa Cadas Pangeran lalu tertawa bergelak. “Semua ini
demi keselamatan dan ketenanganmu, Anak Muda...!”
“Kek... Seandainya ada jalan lain...!”
“Anak muda... Sekarang tak usah basa-basi. Kau
harus jawab dengan tegas! Kau bersedia kawin dengan
Dewi Bunga Asmara atau tidak?!” kata Dewa Cadas
Pangeran.
***
SEPULUH
KEK... Rasanya aku tidak bisa Jawab sekarang. Aku
minta waktu...” Akhirnya Joko berkata setelah lama
terdiam. “Aku masih harus lakukan perjalanan untuk
selesaikan urusan yang belum tuntas.”
“Anak muda... Aku perlu bertanya satu hal. Kau
siap menghadapi apa yang akan terjadi jika kau benar-
benar menunda perkawinan ini?!” Yang bertanya ada lah Dewa Asap Kayangan.
“Aku sampai ke negeri ini sudah melewati beberapa
urusan. Kalaupun urusan ini belum juga tuntas, apa
boleh buat!”
“Pendekar 131. Kalau begitu jawabmu, aku tidak bi-
sa memaksa. Hanya saja untuk sementara ini kuharap
kau tidak kecewa kalau tidak akan bertemu dahulu
dengan Dewi Bunga Asmara!” kata Dewa Cadas Pange-
ran.
Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang.
Sebenarnya dia ingin buka mulut menerangkan men-
gapa dia tidak ingin segera kawin. Namun karena tidak
mau memperpanjang pembicaraan, dan sebenarnya
dia ingin nantinya bisa bicara sendiri dengan Dewi
Bunga Asmara, Joko akhirnya berkata.
“Dewa Cadas Pangeran, Dewa Asap Kayangan... Ku-
rasa aku harus segera pergi. Terima kasih atas petun-
juk kalian berdua...” Joko arahkan pandang matanya
pada Paduka Seribu Masalah. Tapi sebelum dia sam-
bung ucapannya, Paduka Seribu Masalah mendahului.
“Kau masih tidak takut terus bersamaku, bukan?!”
“Aku masih memerlukan beberapa keterangan dari-
nya! Lagi pula aku punya perjanjian dengan Datuk Ka-
la Sutera. Dia harus terus bersamaku!” Joko memba-
tin. Lalu berkata.
“Paduka... Kita sudah terikat dengan kesepakatan!
Kau tidak takut kita pergi sekarang?!”
“Sahabatku Dewa Cadas Pangeran, Dewa Asap Ka-
yangan... Sebenarnya aku tidak takut terus berada di
sini bersama kalian. Tapi seperti kalian dengar tadi,
aku punya kesepakatan dengan sahabat muda itu.
Terpaksa aku harus beranikan diri untuk tinggalkan
tempat ini...,” ujar Paduka Seribu Masalah.
“Paduka Seribu Masalah!” kata Dewa Cadas Pangeran. “Aku titip sahabat muda itu. Aku masih meng-
inginkannya sebagai pendamping muridku kelak...”
“Jangan berkata begitu. Aku takut memberi jami-
nan! Tapi aku akan berusaha untuk memenuhi keingi-
nanmu....”
Habis berkata begitu, Paduka Seribu Masalah putar
pantat. Saat lain orang yang selalu sembunyikan raut
wajah di belakang rangkapan kedua kakinya ini mem-
buat gerakan. Sosoknya berkelebat dengan posisi tetap
duduk rangkapkan kedua kaki.
Pendekar 131 menjura sekali lagi pada Dewa Cadas
Pangeran dan Dewa Asap Kayangan. Lalu putar pan-
dangan untuk meyakinkan kalau Dewi Bunga Asmara
betul-betul tidak berada di tempat itu mencuri dengar
pembicaraan. Saat lain dia berkelebat menyusul Padu-
ka Seribu Masalah.
Setelah melewati tiga aliran sungai, Joko sengaja
menjajari Paduka Seribu Masalah. Lalu berbisik seraya
terus berlari.
“Paduka.... Kau tidak takut menjawab beberapa per-
tanyaanku?!”
“Aku harus tahu dulu pertanyaan macam apa yang
akan kau ajukan! Dan harap kau ingat, kalau perta-
nyaanmu ada hubungannya dengan urusan perkawi-
nanmu, terus terang saja.... Aku takut untuk menja-
wabnya!”
Joko memperlambat larinya. Lalu buka mulut lagi.
“Paduka... Harap kau tidak takut mendengarnya ka-
lau kukatakan jika seorang gadis berwajah cantik saat
ini tengah mencarimu!”
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Paduka
Seribu Masalah hentikan kelebatannya, lalu duduk
rangkapkan kaki di sebelah satu batangan pohon.
“Sahabat muda... Aku tidak takut mengatakannya
padamu. Walau aku tidak pernah tunjukkan tampang
pada orang, namun banyak gadis-gadis yang mencari-
ku! Coba katakan siapa gadis yang kau ceritakan!”
“Kita pernah bertemu dengannya ketika melewati
sungai yang pertama di sebelah hutan bambu Itu!”
“Hem.... Yang kau maksud gadis cantik bernama
Dayang Tiga Purnama itu?!”
Meski Joko tahu orang tidak melihat ke arahnya,
tapi Joko menjawab dengan orang dengan isyarat ang-
gukkan kepalanya.
“Sahabat muda.... Rasanya percuma kau mene-
ruskan bicara jika masih ada kaitannya dengan gadis
bernama Dayang Tiga Purnama itu!”
Joko hentikan larinya lalu putar diri dan melangkah
ke arah Paduka Seribu Masalah dengan kening ber-
kerut. Belum sampai dia bertanya, Paduka Seribu Ma-
salah sudah sambung! ucapannya.
“Perihal gadis itu masih ada kaitannya dengan uru-
san perkawinanmu. Jadi seperti kataku tadi, kalau
pertanyaanmu ada hubungannya dengan perkawinan-
mu, aku takut menjawabnya!”
“Paduka! Bagaimana kau tahu urusan gadis itu
masih ada hubungannya dengan perkawinan itu?!”
tanya Joko dengan mata mendelik tak percaya.
“Sudah kukatakan, aku takut menjawabnya! Itu
masih ada kaitannya dengan perkawinanmu! Lebih
baik kau tanya saja persoalan yang lain... Mungkin se-
dikit banyak aku tahu dan tidak takut untuk menja-
wabnya!”
“Aneh.... Bagaimana bisa begini?! Apa kaitannya
Dewi Bunga Asmara dengan Dayang Tiga Purnama?!”
Joko membatin. Lalu angkat suara.
“Paduka... Sekarang bagaimana urusan dengan Da-
tuk Kala Sutera?! Kau tahu di mana kelima anaknya?!”
“Sahabat muda... Tampaknya hari ini kau harus
mengalami nasib kurang baik...”
“Maksudmu...?!” tanya Joko dengan dada berdebar
tidak enak.
“Pertanyaan yang diajukan Datuk Kala Sutera ma-
sih ada kaitannya dengan perkawinanmu! Jadi aku ju-
ga tidak berani menjawabnya!”
Kedua gendang telinga murid Pendeta Sinting seper-
ti disambar geledek. Laksana terbang dia melompat
dan tegak dua langkah di hadapan Paduka Seribu Ma-
salah.
“Paduka! Harap kau tidak bermain-main! Aku ber-
sungguh-sungguh!”
“Sahabat muda.... Menjawab saja aku takut, bagai-
mana mungkin aku berani main-main...?!”
“Celaka! Celaka! Bagaimana semua bisa amburadul
begini rupa?! Aku tak percaya! Aku tak percaya!” gu-
mam Joko sambil geleng-geleng kepala.
“Kau tak percaya itu adalah hakmu, Sahabat Mu-
da....”
“Paduka! Lalu bagaimana aku kelak harus menja-
wab pertanyaan Datuk Kala Sutera?”
“Sahabat muda... Tidak ada jawaban yang lebih te-
pat dibanding sebuah bukti!”
“Aku tak mengerti ucapanmu!”
“Untuk sementara ini sebaiknya kau harus meng-
hindari Datuk Kala Sutera!”
“Tapi....”
“Kau nanti bisa menjawab pertanyaan Datuk Kala
Sutera dengan sebuah bukti! Bukan dengan ucapan!”
“Caranya...?!”
“Waktu tidak pernah terhenti, Sahabat Muda! Jadi
waktulah nanti yang akan menentukan bagaimana ca-
ranya!”
“Aku tak habis pikir. Bagaimana ini bisa berkait?!
Padahal...”
Belum sampai murid Pendeta Sinting teruskan gu-
maman, Paduka Seribu Masalah sudah buka suara.
“Sahabat muda... Seandainya kau tadi jadi menga-
wini gadis yang ditawarkan sahabatku Dewa Cadas Pa-
ngeran, mungkin saja urusannya tidak akan jadi pan-
jang lebar walau di sana-sini tentu masih ada hada-
ngan....”
“Paduka! Bukankah kau sudah berjanji akan me-
ngambil alih urusanku dengan Datuk Kala Sutera?!”
ujar Joko ingat akan ucapan Paduka Seribu Masalah
sebelum diajaknya ikut serta ke Lembah Tujuh Bin-
tang Tujuh Sungai.
“Pada awalnya aku memang hendak mengambil
alih. Aku menduga kau bakal menerima tawaran Dewa
Cadas Pangeran. Ternyata dugaanku keliru. Kau me-
nolak tawaran mengawini gadis yang ditawarkan. Kini
aku sendiri yang jadi takut memberi penjelasan pada
Datuk Kala Sutera....”
“Sontoloyo benar! Ternyata tidak ada gunanya terus
bersama orang ini! Aku malah jadi bingung!”
Berpikir begitu, akhirnya Joko berucap. “Paduka...
Kau tidak bisa membantuku. Kurasa tidak ada guna-
nya kita terus bersama-sama! Biarlah semua urusan
ini kuhadapi sendiri!”
Paduka Seribu Masalah perdengarkan tawa berge-
lak panjang. Lalu berkata.
“Sahabat muda... Sahabat Dewa Cadas Pangeran te-
lah memberi pesan padaku. Rasanya sulit untuk tidak
menuruti ucapan pesannya!”
“Paduka! Aku yang meminta... Kelak kalau ada apa-
apa, kau bisa menjelaskan padanya!”
“Kau yakin...?!”
“Aku tidak bisa mengatakan padamu. Karena aku
sendiri tidak percaya dengan semua ini!”
“Sebenarnya aku takut melepasmu pergi seorang di-
ri... Tapi kalau kau yang memintanya, mana berani
aku menolak?!”
“Paduka... Sebelum aku pergi, kuharap kau tidak
takut menjawab dua pertanyaanku. Pertama. Apakah
benar semua yang diucapkan Datuk Kala Sutera?! Ke-
dua. Kalau benar, siapa nama Istri Datuk Kala Su-
tera?!”
“Sahabat mud.... Sebenarnya aku takut. Tapi seba-
gai perpisahan, aku beranikan diri menjawab. Se-mua
yang diucapkan Datuk Kala Sutera benar ada-nya!”
“Lalu nama istri Datuk itu?!” sahut Joko seakan tak
sabar.
“Aku tidak berani mengatakannya! Bukan karena
apa, aku takut salah sebut... Kau tentu tahu sendiri.
Orang rimba persilatan sering merubah namanya. Aku
takut sebutkan nama yang salah!”
“Hem.... Bagaimana kalau kau sebutkan saja bagai-
mana cirinya?!”
“Sahabat muda.... Bersama berlalunya waktu, se-
tiap manusia akan mengalami perubahan! Sementara
perpisahan antara Datuk Kala Sutera dan istrinya su-
dah berlangsung enam belas tahun yang silam! Bi-
asanya, kurun waktu enam belas tahun sudah cukup
membuat orang sangat berubah! Jadi....”
Mungkin karena agak jengkel dengan jawaban Pa-
duka Seribu Masalah, tanpa menunggu orang selesai-
kan ucapan, murid Pendeta Sinting sudah balikkan
tubuh dan berkelebat tanpa buka suara.
“Sahabat muda... Selamat jalan! Hanya perlu kuka-
takan padamu, kau pernah bertemu dengan istri Da-
tuk Kala Sutera!” teriak Paduka Seribu Masalah.
Mendengar teriakan Paduka Seribu Masalah, seko-
nyong-konyong Pendekar 131 balikkan tubuh di atas
udara. Namun sebelum dia buka mulut, Paduka Seri-
bu Masalah sudah sambungi kata-katanya.
“Sahabat muda... Jangan bertanya apa-apa lagi!
Aku takut menjawab!”
Habis berkata begitu, Paduka Seribu Masalah putar
diri setengah lingkaran. Kejap lain dia sentakkan ke-
dua tangannya ke atas tanah. Sosoknya melesat ting-
galkan samping pohon.
Murid Pendeta Sinting pandangi sosok orang de-
ngan dada dilanda berbagai pertanyaan dan dugaan.
“Aku jadi bingung dengan ucapan orang itu! Uca-
pannya aneh-aneh! Dia mengatakan takut sebutkan
nama orang dan cirinya. Tapi dia bisa mengatakan ka-
lau aku pernah bertemu dengan orangnya! Jangan-
jangan dia hanya main-main! Tapi menurut Dayang Ti-
ga Purnama, Paduka Seribu Masalah adalah seorang
tokoh yang memiliki ilmu aneh. Dia tahu banyak ma-
salah orang... Hem... Ini juga terbukti dengan muncul-
nya Datuk Kala Sutera yang mencari Paduka Seribu
Masalah untuk mencari jawaban!”
Pendekar 131 tegakkan wajah karena sosok Paduka
Seribu Masalah sudah tidak kelihatan lagi. “Siapa kira-
kira perempuan istri Datuk Kala Sutera itu...?! Dilihat
dari segi usia Datuk Kala Sutera, pasti istrinya masih
muda... Mungkinkah Bidadari Delapan Samudera?!
Bukankah dia juga mengatakan tengah mencari sese-
orang?! Atau mungkinkah Bidadari Pedang Cinta?!
Atau jangan-jangan Bidadari Tujuh Langit.... Tapi ini
tak mungkin. Bidadari Tujuh Langit adalah seorang
perempuan yang punya kelainan. Mana mungkin dia
punya suami?! Atau layakkah kalau istri Datuk itu
adalah Putri Pusar Bumi...?! Ah... Itu tak mungkin! Da
tuk Kala Sutera masih tampak muda dan berwajah
tampan. Sementara Putri Pusar Bumi...?!” Mendadak
Joko jadi tertawa sendiri membayangkan Datuk Kala
Sutera berjalan bergandengan dengan Putri Pusar Bu-
mi. “Tapi siapa tahu...?! Bukankah perasaan cinta ti-
dak mengenal apa saja?! Bukankah cinta adalah tabir
tebal penutup mata dan penuhi telinga?!”
Joko menghela napas panjang berulang kali. Lalu
gelengkan kepala. “Datuk Kala Sutera mengatakan ber-
pisah dengan anak-anaknya sudah hampir enam belas
tahun silam.... Tapi mengapa dia masih kelihatan mu-
da...?! Malah aku hampir tak percaya kalau dia sudah
beristri pada enam belas tahun silam! Hem.... Bagai-
mana ini?! Lalu apa hubungannya dengan Dewi Bunga
Asmara?! Mengapa aku harus mengawini gadis itu...?!
Juga ada hubungan apa antara Dayang Tiga Purnama
dengan Datuk Kala Sutera?! Mengapa pula mereka
berdua dikait-kaitkan dengan urusan perkawinan-
ku...?!”
Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Namun dia
tidak segera teruskan berlari. Sebaliknya dia terus ber-
pikir. “Haruskah aku menuruti saran Paduka Seribu
Masalah untuk menghindari Datuk Kala Sutera?! Tapi
kalau tiba-tiba bertemu bagaimana?! Apa yang harus
kujawab?! Ah... Itu urusan nanti! Siapa tahu di tengah
jalan aku bisa mendapatkan jalan keluar dari pemeca-
han urusan gila ini!”
Setelah membatin begitu, Joko melangkah perla-
han-lahan. Tapi sekuat tenaga dia coba melupakan
urusan yang dihadapinya, justru dia makin bingung.
Hingga seraya melangkah mulutnya terus menggumam
tak jelas dan sesekali kepalanya bergerak menggeleng.
Bahkan tidak jarang dia perdengarkan tawa sendiri!
***
SEBELAS
SOSOK berjubah hitam panjang sebatas mata kaki
itu berkelebat cepat laksana kesetanan menembusi hu-
tan bambu. Jubah yang dikenakan tampak berkibar
perdengarkan deruan angker. Hanya beberapa saat sa-
ja sosoknya telah mencapai ujung hutan di mana ter-
dapat sebuah aliran sungai agak besar.
Tepat di pinggiran aliran sungai sosok berjubah hi-
tam hentikan larinya. Kepalanya berputar sekali me-
nyiasati keadaan. Dia adalah seorang pemuda berpa-
ras tampan dan keras. Rambutnya panjang sebahu
menutupi sebagian pundak dan pelipis kiri kanannya.
“Sebelum aku pergi, aku sempat melihat mereka
berdua melintasi sungai dengan sebuah sampan....
Walau aku tidak bisa membedakan, tapi aku yakin sa-
lah satu dari mereka berdua adalah manusia yang ber-
gelar Paduka Seribu Masalah! Salah satu dari mereka
menjanjikan menjawab pertanyaanku dalam tempo ti-
ga hari. Sekarang sudah lewat sehari. Aku tidak mau
ditipu orang. Aku telah lama mencari. Aku akan me-
nunggunya di sini!” Pemuda berjubah hitam panjang
bergumam sendiri seraya lepas pandangan ke arah ali-
ran sungai.
“Sampan yang mereka tumpangi masih berada di
sana! Ini satu petunjuk kalau mereka berdua belum
kembali....” Si pemuda berjubah hitam yang tak lain
Datuk Kala Sutera adanya teruskan gumaman ketika
sepasang matanya melihat sebuah sampan terapung di
pinggiran seberang.
“Enam belas tahun telah berlalu.... Pasti mereka te-
lah tumbuh menjadi gadis-gadis.... Sayang sekali sela-
ma ini aku masih gagal mencari tahu. Mudah-muda
han petunjuk manusia bergelar Paduka Seribu Masa-
lah nanti bisa menghentikan masa pencarian ini!”
Baru saja Datuk Kala Sutera bergumam begitu,
mendadak matanya menangkap kelebatan satu sosok
tubuh di seberang sana. Sang Datuk pentangkan mata
beberapa lama. Dahinya berkerut. “Apakah tanah di
seberang itu berpenghuni?! Dari pakaian dan sikap-
nya, jelas sosok di sana itu adalah seorang perempuan!
Siapa dia...?! Apakah dua orang yang sama cirinya se-
perti Paduka Seribu Masalah itu berada di sana ju-
ga...?”
Datuk Kala Sutera memperhatikan gerakan sosok di
seberang depan. “Hem... Gelagatnya menunjukkan ka-
lau dia tengah menunggu seseorang! Siapa yang di-
tunggu...? Mengapa di tempat sepi begini?! Mungkin-
kah dia juga tengah menunggu Paduka Seribu Masa-
lah...?! Hem... Waktu yang dijanjikan masih satu se-
tengah hari lagi! Tidak ada salahnya kalau aku ke sa-
na! Siapa tahu hari ini aku mendapat rejeki besar....”
Berpikir begitu, Datuk Kala Sutera segera balikkan
tubuh dan berkelebat balik menuju hutan bambu. Ti-
dak berapa lama dia kembali dengan tangan kanan
membawa sebatang bambu sepanjang satu tombak.
Di pinggiran sungai, Datuk Kala Sutera kembali
arahkan pandang matanya pada tanah terbuka di se-
berang. “Perempuan itu tidak kelihatan. Tapi aku ya-
kin dia masih berada di sana!”
Yakin begitu, Datuk Kala Sutera segera lemparkan
batangan bambu ke aliran sungai. Saat bersamaan dia
berkelebat menyusul di belakang batangan bambu
yang terus meluncur dan amblas ke dalam air sungai.
Byurr!
Aliran sungai berkecipak dan muncrat. Saat yang
sama batangan bambu muncul ke permukaan. Saat
itulah kedua kaki Datuk Kala Sutera menginjak batan-
gan bambu. Sekali pemuda ini bergerak, sosoknya me-
luncur deras di atas permukaan aliran air sungai den-
gan berpijak pada batangan bambu.
Empat tombak lagi mencapai pinggiran seberang,
Datuk Kala Sutera hentakkan pijakannya. Batangan
bambu amblas masuk ke dalam aliran sungai. Tapi
saat yang sama, sosok sang Datuk melesat dan tegak
di pinggiran sungai seberang.
Sepasang mata sang Datuk langsung mengedar ber-
keliling dengan telinga dipasang baik-baik. Namun se-
jauh ini dia belum bisa menduga di mana adanya
orang yang tadi sempat ditangkap matanya.
“Hem... Jangan-jangan dia tahu kemunculanku di
tempat ini. Lalu sengaja sembunyikan diri...” Datuk
Kala Sutera tersenyum. Saat lain dia berkelebat dari
satu batu ke bongkahan batu lainnya dengan mata
liar.
Tapi Datuk Kala Sutera jadi heran sendiri. Walau
dia telah menyelidik ke setiap sudut bongkahan batu,
dia tidak juga menemukan siapa-siapa! Hingga akhir-
nya sang Datuk hentikan pencarian dan tegak berdiri
di atas salah satu bongkahan batu seraya bergumam.
“Mungkinkah mataku tertipu...?! Tapi jelas mataku
tadi melihat sosok perempuan itu mondar-mandir di
tempat ini seperti orang tengah menunggui Anehnya,
aku telah berkeliling. Tapi manusia itu tidak kutemu-
kan! Mungkinkah dia telah menyeberang ke sungai se-
belah sana itu...?!” Datuk Kala Sutera arahkan pan-
dang matanya ke aliran sungai kecil yang berada di se-
berang lainnya.
Baru saja mata sang Datuk lepas ke arah aliran
sungai yang berada di seberang depan sana, mendadak
ekor matanya menangkap kelebatan satu sosok tubuh.
Saat lain pemuda ini merasakan desiran angin dari
arah samping.
Datuk Kala Sutera cepat berpaling. Memandang ke
depan, sepasang matanya sedikit membelalak. Di sam-
ping satu bongkahan batu sejarak sepuluh langkah di
hadapannya, tegak seorang gadis berparas cantik me-
ngenakan pakaian warna ungu. Rambutnya yang lebat
dikelabang dua. Sepasang matanya bulat dan tajam.
“Harap sebutkan diri dan maksud!” Si gadis lang-
sung buka suara dengan nada agak tinggi dan bola
matanya meneliti sekujur tubuh sang Datuk dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Namun cuma sesaat, saat
lain dia tegakkan wajahnya sedikit.
Datuk Kala Sutera tidak langsung buka mulut men-
jawab. Sebaliknya menatap balik ke arah si gadis de-
ngan mata liar. Dalam hati dia berkata. “Gadis cantik...
Mengapa berada di tempat begini?! Aku yakin, gadis
inilah yang bayangan sosoknya sempat kutangkap dari
seberang hutan bambu tadi...”
“Aku tidak memaksa! Kalau kau tidak mau se-
butkan diri dan katakan maksud, harap segera angkat
kaki dari tempat ini!” Si gadis kembali buka mulut ke-
tika tidak juga dia mendapat jawaban dari sang Datuk.
Datuk Kala Sutera rangkapkan kedua tangan di de-
pan dada. Seraya terus menatapi sosok si gadis yang
bukan lain adalah Dayang Tiga Purnama, sang Datuk
berkata.
“Aku Datuk Kala Sutera... Kau sendiri siapa?”
“Kau belum jawab pertanyaan keduaku!” Dayang
Tiga Purnama menyahut dengan melirik pada sang Da-
tuk.
“Aku tengah menunggu seseorang! Kau sendiri...?!”
“Siapa yang kau tunggu?!” Dayang Tiga Purnama
kembali ajukan tanya tanpa menjawab pertanyaan Datuk Kala Sutera.
Datuk Kala Sutera geleng kepala. “Aku tidak bisa
mengatakannya padamu siapa orang yang tengah ku-
tunggu!”
“Tempat ini yang kau tuju?!” kembali Dayang Tiga
Purnama ajukan tanya.
Datuk Kala Sutera kembali gelengkan kepala. “Me-
mang bukan tempat ini yang ditentukan untuk me-
nunggu. Tapi setidaknya tempat ini yang akan dilewati
orang yang tengah kutunggu!”
Dada Dayang Tiga Purnama berdebar. “Selama aku
di sini, hanya dua orang yang sempat lewat. Mereka
adalah pemuda bernama Joko Sableng dan sahabatnya
yang bersikap aneh... Mungkinkah mereka berdua
yang tengah ditunggu pemuda ini?!”
Selagi Dayang Tiga Purnama membatin begitu,
mendadak satu bayangan putih berkelebat. Datuk Kala
Sutera dan Dayang Tiga Purnama segera berpaling.
“Paduka Seribu Masalah!” Saking tidak menduga,
Datuk Kala Sutera berseru melihat siapa sosok yang
baru muncul dan kini tegak dua puluh lima langkah di
seberang depan sana. Paras wajah sang Datuk jelas
membayangkan rasa heran dan terkejut.
Tapi yang paling terkejut dan heran adalah Dayang
Tiga Purnama. Dia pulang balikkan wajah memandang
silih berganti ke arah Datuk Kala Sutera dan sosok
berpakaian putih yang baru muncul di seberang sana.
“Bagaimana ini?! Apa telingaku tidak salah dengar?!
Bagaimana pemuda berjubah hitam ini menyebut pe-
muda itu Paduka Seribu Masalah?! Ataukah pemuda
berjubah hitam ini salah lihat?!”
Sementara di seberang, sosok berpakaian putih
yang baru muncul tampak gelagapan. Malah dia sem-
pat hendak putar diri membelakangi orang!
SELESAI
Segera menyusul:
ASMARA LAKNAT
0 comments:
Posting Komentar