..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 06 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE DAYANG TIGA PURNAMA

Joko Sableng Episode Dayang Tiga Purnama

 SATU



DUA gadis berparas cantik itu pasang tampang din-

gin angker. Di hadapan mereka Pendekar 131 Joko 

Sableng tertawa bergelak panjang. Sementara Bidadari 

Pedang Cinta pulang balikkan wajah memandang silih 

berganti pada dua gadis di hadapannya dan melirik 

pada murid Pendeta Sinting yang tegak di sampingnya 

dengan raut kebingungan. Dalam hati diam-diam dia 

berkata.

“Pemuda asing satu ini aneh.... Jelas tidak ada sua-

ra yang menggelikan! Namun mendadak dia tertawa 

bergelak seperti orang gila.... Jangan-jangan dia me-

mang pemuda setengah gila.... Tapi....” Bidadari Pe-

dang Cinta menghela napas panjang. “Aku terpaksa 

berdusta pada Eyang hanya karena ingin tahu bagai-

mana keadaannya.... Tak tahunya aku harus terlibat 

urusan lain....” Bidadari Pedang Cinta melirik pada 

dua gadis di hadapannya dan teruskan membatin.

“Mengapa dua gadis ini mencari Bidadari Tujuh 

Langit?! Apakah mereka tidak tahu kalau perempuan 

yang mereka cari memiliki kelainan?! Atau jangan-

jangan mereka juga mempunyai sifat seperti Bidadari 

Tujuh Langit....”

Membatin sampai di situ, tiba-tiba kuduk Bidadari 

Pedang Cinta berubah dingin. Apalagi teringat ucapan 

dan tindakan yang hendak dilakukan Bidadari Tujuh 

Langit beberapa saat yang lalu.

Seperti diketahui, Bidadari Pedang Cinta dan Bida-

dari Delapan Samudera sempat hendak diperlakukan 

tidak senonoh oleh Bidadari Tujuh Langit yang memili-

ki kelainan lebih suka dengan sesama jenis daripada 

dengan laki-laki. Untung saat itu muncul murid Pendeta Sinting yang menghadang tindakan Bidadari Tu-

juh Langit. Dan pada saat yang tepat, Iblis Pedang Ka-

sih berkelebat menyelamatkan Bidadari Pedang Cinta 

serta Bidadari Delapan Samudera.

Begitu Bidadari Delapan Samudera pergi, Bidadari 

Pedang Cinta segera pula minta izin pada eyangnya. 

Dan secara tak sengaja Bidadari Pedang Cinta mene-

mukan Pendekar 131 tengah berduaan bicara dengan 

Bidadari Delapan Samudera di pinggiran sungai. Di-

dera oleh perasaan tidak enak, akhirnya Bidadari Dela-

pan Samudera segera berkelebat pergi.

Bidadari Pedang Cinta juga akan pergi, tapi murid 

Pendeta Sinting mencegah dan memberi keterangan 

pada Bidadari Pedang Cinta soal hubungannya dengan 

Bidadari Delapan Samudera. Tapi Bidadari Pedang 

Cinta tidak percaya. Apalagi dia dengar sendiri dari 

mulut Joko jika salah satu di antara dirinya dan Bida-

dari Delapan Samudera adalah kekasihnya. Bidadari 

Pedang Cinta menduga yang dimaksud kekasih oleh 

murid Pendeta Sinting adalah Bidadari Delapan Samu-

dera. Ketika terjadi perbincangan itulah mendadak 

muncul dua orang gadis berwajah cantik. Yang satu 

berpakaian merah, satunya lagi mengenakan baju ku-

ning. Paras kedua gadis ini sangat mirip dan sulit di-

bedakan. Yang bisa membedakan mereka adalah pa-

kaian yang mereka kenakan.

Kedua gadis berbaju merah dan kuning muncul 

dengan bertanya tentang ke mana perginya Bidadari 

Tujuh Langit. Mendengar pertanyaan kedua gadis, 

Pendekar 131 mendadak tertawa bergelak, membuat 

Bidadari Pedang Cinta sempat merasa aneh. Sebalik-

nya dua gadis yang muncul dengan pertanyaan mulai 

geram karena jawaban dan sahutan murid Pendeta 

Sinting jelas bernada main-main!

“Pemuda asing! Apa yang kau dengar lucu, hah?!” 

Gadis berbaju merah perdengarkan bentakan keras 

membahana. Tangan kanannya diangkat ke udara.

Joko putuskan gelakan tawanya. Kedua tangan di-

takupkan di depan dada. Lalu seraya tersenyum dia 

menjura dan berujar.

“Pertanyaan kalian memang tidak lucu apalagi 

menggelikan....”

“Mengapa kau tertawa ngakak?!” sahut gadis berba-

ju kuning seolah tak sabar.

“Yang membuatku tertawa.... Mengapa kalian ber-

tanya padaku?! Apa kalian kira aku tahu banyak ten-

tang orang yang kalian tanyakan?! Kalau boleh aku 

bertanya, siapa yang memberi kalian keterangan kalau 

aku adalah orang yang banyak tahu masalah orang 

yang kalian cari?!”

Dua gadis yang ditanya tidak segera menjawab. 

Pendekar 131 tertawa lagi. Lalu berucap.

“Mungkin orang yang memberi keterangan pada ka-

lian salah ucap. Atau bisa saja kalian yang salah de-

ngar....”

“Telinga kami tidak tuli! Dan mereka tidak mungkin 

berdusta!” Yang menyahut adalah gadis berbaju me-

rah.

Murid Pendeta Sinting geleng kepala. “Aku baru per-

caya dengan ucapan kalian jika kalian mau mengata-

kan siapa mereka yang memberi keterangan.... Kalau 

tidak.... Aku tetap berkeyakinan orang yang memberi 

kalian keterangan salah ucap dan kalian sendiri salah 

dengar...!”

Tangan kanan gadis berbaju merah yang terangkat 

di udara sudah hendak bergerak. Namun gadis di se-

belahnya segera berbisik.

“Sebaiknya kita katakan saja siapa yang memberi


kita keterangan! Waktu kita bisa tersita kalau terus-

terusan melayani manusia gila seperti dia....”

Gadis berbaju merah batalkan niat yang hendak le-

paskan pukulan. Dia tarik pulang tangan kanannya ke 

belakang lalu berkata.

“Kau pasti pernah dengar seorang tokoh bergelar Ib-

lis Muka Setan dan tokoh perempuan berjuluk Perem-

puan Kembang Darah!”

Joko kerutkan dahi. “Hem.... Yang dimaksud mere-

ka pasti orang tua bertubuh kerempeng dan perem-

puan setengah baya berwajah cantik yang sempat ber-

debat dengan Bidadari Tujuh Langit....” Joko ingat 

akan pertemuannya dengan dua orang itu ketika dia 

bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit. Lalu bertanya.

“Apa hubunganmu dengan Iblis Muka Setan dan Pe-

rempuan Kembang Darah?!”

“Pertanyaanmu terlalu banyak! Sekarang jawab saja 

pertanyaan kami sebelum kesabaran kami pupus!” te-

riak gadis berbaju kuning.

“Baik.... Aku akan turuti permintaan kalian. Tapi 

harap kau katakan dulu siapa kalian adanya! Dengan 

begitu, kalau kalian nanti tidak bertemu dengan orang 

yang kalian cari dan kebetulan aku bertemu dengan-

nya, aku bisa menerangkan lebih mudah!”

“Kau tak usah ikut campur! Ini urusan kami!”

“Aku tidak akan turut campur.... Hal ini agar me-

mudahkan bagiku untuk memberi keterangan nanti-

nya....”

“Kau tak usah memberi keterangan padanya! Kami 

yang akan mencari!” Gadis berbaju merah menyahut 

lagi.

Pendekar 131 geleng kepala lagi. “Tidak semudah 

itu melakukannya.... Dan siapa tahu Bidadari Tujuh 

Langit juga tengah mencari kalian. Kalau nantinya dia


bertanya padaku, dan aku tidak bisa menjawab, uru-

san besar akan berada di mataku.... Jadi harap kalian 

tidak menempatkan urusan padaku dengan tidak mau 

menjelaskan siapa adanya diri kalian...!”

“Turuti saja kemauannya...,” bisik gadis berbaju 

kuning.

“Aku Galuh Sembilan Gerhana!” seru gadis berbaju 

merah.

“Aku Galuh Empat Cakrawala!” Gadis berbaju ku-

ning menyahut.

“Dari nama depan kalian, tentu kalian dua sau-

dara...,” ujar Joko.

“Terserah bagaimana pendapatmu! Yang jelas kami 

telah turuti kemauanmu dan kami tunggu keterang-

anmu! Sekali lagi kau buka mulut bukan memberi ke-

terangan, kau akan tahu akibatnya!” Gadis berbaju 

merah yang sebutkan diri dengan Galuh Sembilan 

Gerhana buka mulut.

Joko anggukkan kepala. Lalu berkata.

“Kalian pasti pernah dengar seorang perempuan 

cantik bertubuh bahenol berambut putih panjang ber-

nama Putri Pusar Bumi....”

“Teruskan keteranganmu!” kata gadis berbaju ku-

ning yang tadi sebutkan diri dengan Galuh Empat Ca-

krawala.

“Orang yang kalian cari pergi mengejar perempuan 

berparas cantik bertubuh bahenol itu!”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala saling pandang. Galuh Sembilan Gerhana ber-

ucap pelan.

“Kita pernah dengar nama yang baru diucapkan pe-

muda itu dari Guru walau kita belum pernah bertemu 

orangnya! Dari keterangan Guru pula, kita tahu jika 

Putri Pusar Bumi punya urusan dengan Bidadari Tu


juh Langit!”

“Hem.... Jadi kau percaya dengan keterangan pe-

muda itu ke mana perginya buruan kita?!” tanya Ga-

luh Empat Cakrawala.

Galuh Sembilan Gerhana anggukkan kepala. Lalu 

arahkan pandang matanya pada murid Pendeta Sinting 

seraya berkata.

“Ke mana arah yang diambil orang yang kami cari?!”

“Pergilah ke selatan. Kalian akan menemukan tanah 

terbuka yang banyak ditebari bongkahan batu. Dari 

sana kalian boleh mengambil jurusan ke arah barat! 

Itulah arah yang diambil Bidadari Tujuh Langit saat 

mengejar perempuan cantik bertubuh aduhai yang tadi 

kujelaskan....”

“Hem.... Saat ini kami percaya dengan keterangan-

mu! Tapi ingat.... Sekali ternyata keteranganmu dusta, 

selembar nyawamu adalah jaminannya!” kata Galuh 

Sembilan Gerhana.

“Keteranganmu tadi adalah titipan nyawa kekasih-

mu itu!” Galuh Empat Cakrawala menyahut. “Sekali 

ternyata keteranganmu palsu, nyawa kekasihmu ada-

lah bunga dari nyawamu dan akan kami tagih seka-

ligus dengan nyawamu!” Seraya berkata begitu, kepala 

Galuh Empat Cakrawala memandang pada Bidadari 

Pedang Cinta.

“Aku bukan kekasihnya!” Bidadari Pedang Cinta ce-

pat buka suara dengan paras bersemu merah.

Galuh Empat Cakrawala tertawa pendek. “Kalau 

kau bukan kekasihnya, mengapa nada ucapanmu tadi 

seperti cemburu...?!”

“Hem... Jangan-jangan mereka berdua mencuri 

dengar pembicaraanku dengan Bidadari Pedang Cin-

ta...” Murid Pendeta Sinting membatin.

“Siapa cemburu?! Dia bukan apa-apa ku!” teriak Bidadari Pedang Cinta.

Mendengar teriakan meradang Bidadari Pedang Cin-

ta, kini Galuh Sembilan Gerhana yang ganti tertawa 

sebelum akhirnya buka mulut.

“Kau kekasihnya atau bukan adalah urusanmu 

dengan pemuda itu! Yang jelas kau telah dengar kete-

rangannya dan tidak menyangkal! Berarti kau membe-

narkan keterangannya. Dan kau harus ikut bertang-

gung jawab kalau nantinya keterangan itu palsu!”

Habis berkata begitu, Galuh Sembilan Gerhana 

menggaet lengan Galuh Empat Cakrawala dan me-

nariknya untuk berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Gara-gara kau menahan kepergianku, akhirnya 

aku sampai ikut terlibat dengan urusan gila ini!” Bida-

dari Pedang Cinta berujar seraya memandang pada so-

sok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-

krawala yang berlari menuruti keterangan Pendekar 

131.

“Kau tak usah khawatir, Bidadari....”

“Enak saja kau bicara!” Bidadari Pedang Cinta su-

dah memotong sebelum murid Pendeta Sinting sele-

saikan ucapannya. “Seharusnya kau bicara begitu se-

belum kedua makhluk tadi pergi! Tidak setelah mereka 

pergi dan tidak mendengar ucapanmu!”

“Ah.... Mungkin hal ini sudah menjadi takdir kita! 

Dengan adanya urusan ini berarti kita harus ke mana-

mana selalu berdua....”

Bidadari Pedang Cinta menyeringai. “Jangan kira 

aku takut menghadapi mereka berdua! Dan aku tak 

ingin menambah urusan dengan terus bersama de-

nganmu!”

“Kau masih menduga Bidadari Delapan Samudera 

adalah kekasihku?!”

“Itu urusanmu!” sentak Bidadari Pedang Cinta lalu


berkelebat pergi.

“Bidadari! Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting 

sambil mengejar.

“Kau telah membuat diriku banyak punya urusan 

dengan orang! Harap tidak menambah urusan ini de-

ngan mencegahku pergi! Dan jangan coba-coba meng-

ikutiku!” teriak Bidadari Pedang Cinta sambil hentikan 

larinya dan sentakkan kepala memandang angker pada 

Pendekar 131.

“Aku tak akan mencegah atau mengikutimu meski 

seharusnya kita harus bersama-sama....”

“Lalu mengapa kau mengejarku?!” tanya Bidadari 

Pedang Cinta lagi-lagi menukas ucapan Pendekar 131.

“Aku ingin kau menjawab pertanyaanku tentang le-

tak Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai....”

“Kau tak akan mendapat jawaban sebelum kau ka-

takan apa tujuan sebenarnya hendak menuju Lembah 

Tujuh Bintang Tujuh Sungai!”

Joko menghela napas. “Tak mungkin aku berterus 

terang padanya. Malah-malah hal itu dapat membuat-

nya bungkam mulut!” katanya dalam hati. Lalu berka-

ta.

“Aku telah membuat janji dengan Dewa Asap Kaya-

ngan untuk bertemu di lembah itu!”

“Hem.... Berarti kau pernah bertemu dengan orang 

itu! Mengapa kau tidak bertanya langsung pada yang 

bersangkutan?!”

“Dia tidak memberiku kesempatan untuk bertanya!”

Bidadari Pedang Cinta terdiam beberapa lama. Se-

telah menghela napas panjang akhirnya gadis cantik 

berbaju hijau ini buka suara.

“Pergilah ke arah selatan. Kira-kira dua ratus tom-

bak dari sini kau akan menemukan sebuah hutan 

bambu. Setelah itu kau akan menemukan sebuah aliran sungai. Itulah sungai pertama! Setelah itu kau 

akan menjumpai enam sungai lainnya! Pada sungai ke-

tujuh, kau akan mendapati sebuah lembah berbentuk 

bintang! Itulah tempat yang kau cari!”

“Hem.... Dari keterangannya, kali ini pasti aku tidak 

akan tertipu lagi!” membatin murid Pendeta Sinting. 

Lalu angkat bicara.

“Ketika kita bertemu di kedai, sepertinya kau juga 

hendak menuju lembah itu.... Kalau kau mau menga-

takan urusanmu, mungkin aku bisa mengutarakannya 

pada Dewa Asap Kayangan!”

“Urusan yang harus kau selesaikan masih banyak!

Jangan mempersulit diri dengan menambah urusan 

orang lain!”

“Kau telah memberi keterangan berharga padaku. 

Sudah selayaknya aku menawarkan diri.... Meski sebe-

narnya aku lebih suka seandainya kita pergi bersama-

sama ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai....”

Bidadari Pedang Cinta tertawa sambil geleng kepala. 

“Aku bukan orang yang suka pamrih. Lebih dari itu 

aku tak mau membuat sakit hati orang lain!”

Selesai berucap begitu, Bidadari Pedang Cinta ber-

kelebat. Namun entah mengapa sebenarnya gadis ini 

berharap Pendekar 131 menahan kepergiannya. Hing-

ga kali ini ia berlari tidak begitu kencang dan sengaja 

menghindar dari tempat yang sekiranya dapat mem-

buat dirinya segera tidak terlihat murid Pendeta Sint-

ing.

Di lain pihak, meski sebenarnya Joko ingin sekali 

mengajak Bidadari Pedang Cinta untuk jalan bersama-

sama menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai, 

namun karena jawaban si gadis yang bernada enggan, 

akhirnya Joko tidak berusaha menahan kepergian Bi-

dadari Pedang Cinta. Hingga begitu sosok Bidadari Pedang Cinta hampir tidak kelihatan, Joko putar diri lalu 

berkelebat ke arah yang baru saja dijelaskan Bidadari 

Pedang Cinta.

***

DUA



PEREMPUAN bertubuh bahenol berparas cantik dan 

berkulit putih serta mengenakan pakaian warna putih 

ketat itu hentikan larinya dengan mulut perdengarkan 

gumaman tidak jelas. Dadanya yang membusung ken-

cang tampak bergerak turun naik. Pakaian yang di-

kenakan telah basah kuyup. Sepasang matanya yang 

bulat dan menyorot tajam bergerak liar memandang 

berkeliling. Lalu terdengar ucapannya.

“Perempuan gembrot itu bisa lolos dari tanganku! 

Tapi bukan berarti dia bisa sembunyi!” Perempuan ini 

sisir rambutnya dengan jari tangan. Lalu putar diri 

menghadap arah mana dia tadi datang.

“Dua santapanku hilang percuma! Padahal kedua-

nya adalah gadis-gadis cantik dan aku yakin belum 

pernah menikmati indahnya bercinta.... Hem.... Ini ga-

ra-gara pemuda asing gila itu!” Mendadak paras wajah 

perempuan cantik meski usianya tidak muda lagi dan 

bukan lain adalah Bidadari Tujuh Langit adanya, ber-

ubah tegang. Dagunya terangkat dan mengembung. 

Saat lain dia berkelebat.

Pada satu tempat, tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit 

hentikan larinya. Dua daun telinganya bergerak-gerak. 

Sepasang matanya dipentang besar-besar memandang 

pada satu jurusan.

“Hem.... Telingaku mendengar suara orang bicara. 

Suaranya makin lama makin keras.... Berarti mereka


tengah mendekat ke tempat ini!” membatin Bidadari 

Tujuh Langit. “Dari suaranya, jelas mereka adalah pe-

rempuan! Mungkinkah mereka adalah gadis jelita ber-

baju biru dan gadis cantik berbaju hijau itu?!” dada 

perempuan berusia kira-kira dua puluh lima tahunan 

ini berdebar dibuncah hawa nafsu. Bibirnya sungging-

kan senyum. Saat lain dia berkelebat menyelinap sem-

bunyi di balik satu gundukan tanah agak tinggi.

Begitu sosok Bidadari Tujuh Langit lenyap tidak ke-

lihatan di balik gundukan tanah, muncullah dua 

bayangan yang berkelebat cepat melintasi gundukan 

tanah agak tinggi di mana Bidadari Tujuh Langit baru 

saja menyelinap sembunyi.

Bidadari Tujuh Langit segera mengintip. Sepasang

matanya dijerengkan. “Hem.... Ternyata bukan kedua 

gadis tadi! Tapi tampaknya hari ini memang aku lagi 

bernasib baik! Dua lenyap tapi dua lagi yang muncul!”

Bidadari Tujuh Langit tidak menunggu lagi apalagi 

dilihatnya dua sosok yang tengah berkelebat tidak ta-

hu keberadaannya. Dia cepat keluar dari balik gundu-

kan tanah dan berteriak.

“Tampaknya kalian buru-buru! Kalian mengejar se-

seorang?!”

Dua bayangan yang baru saja melintasi gundukan 

tanah agak tinggi sama hentikan kelebatannya dan 

langsung balikkan tubuh. Mata masing-masing me-

mandang tak berkesip pada sosok Bidadari Tujuh Lan-

git dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Dua pasang mata dari dua bayangan yang ternyata 

adalah milik dua gadis berparas cantik berbaju merah 

dan kuning dan tidak lain adalah Galuh Sembilan Ger-

hana dan Galuh Empat Cakrawala mendadak mendelik 

besar ketika melihat sesuatu di kaki Bidadari Tujuh langit.


“Galuh Sembilan!” bisik Galuh Empat Cakrawala. 

“Tampaknya keterangan pemuda asing itu benar ada-

nya! Kita menemukan manusia yang kita cari! Kau li-

hat cincin merah di ibu jari kaki kirinya?!”

“Aku melihatnya! Dia adalah Bidadari Tujuh Langit! 

Perempuan binal yang harus kita singkirkan dari mu-

ka bumi!” menjawab Galuh Sembilan Gerhana.

“Kita tidak boleh gegabah menghadapinya! Kita ja-

lankan apa saran Guru...!” sahut Galuh Empat Cakra-

wala dengan suara masih ditekan. Lalu berpaling pada 

Galuh Sembilan Gerhana seraya memberi isyarat de-

ngan kedipkan sebelah mata.

“Kalian belum jawab pertanyaanku.... Kalian tengah 

mengejar seseorang?!” Bidadari Tujuh Langit buka su-

ara ulangi pertanyaan. Sepasang matanya menatap si-

lih berganti pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala dengan bibir terus mengumbar se-

nyum.

“Kami memang tengah mengejar seseorang!” Yang 

menyahut adalah Galuh Sembilan Gerhana.

“Mungkin kalian kehilangan jejak. Aku sudah agak 

lama di tempat ini. Dan tidak melihat adanya sese-

orang yang lewat! Kalau boleh tahu, siapa yang tengah 

kalian kejar?!” Bidadari Tujuh Langit ajukan tanya se-

raya melangkah mendekat.

“Seorang pemuda!” jawab Galuh Sembilan Gerhana 

setelah melirik sesaat pada Galuh Empat Cakrawala.

Dahi Bidadari Tujuh Langit berkerut. Dia hentikan 

langkah lalu buka suara.

“Mau katakan siapa nama pemuda yang kalian ke-

jar?!”

Galuh Sembilan Gerhana geleng kepala. “Itu urusan 

kami! Kau sendiri mengapa berada di tempat sepi ini?! 

Tengah menunggu seseorang?!”


Bidadari Tujuh Langit tertawa. “Tampaknya kita 

punya tujuan yang hampir sama. Bedanya kalian ten-

gah mengejar, tapi aku tengah menunggu....”

“Juga seorang pemuda?!” tanya Galuh Sembilan 

Gerhana.

Bidadari Tujuh Langit geleng kepala. “Itu urusan-

ku, Gadis-gadis Cantik.... Dan percuma kujelaskan 

pada kalian siapa yang tengah kutunggu. Karena ka-

lian pasti tidak akan kenal siapa adanya orang yang 

kutunggu!” Seraya berucap begitu, kembali Bidadari 

Tujuh Langit teruskan langkah mendekati Galuh Sem-

bilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Perem-

puan bertubuh sintal yang ibu jari kaki kirinya menge-

nakan cincin berwarna merah salah satu dari pasa-

ngan Sepasang Cincin Keabadian ini hentikan tinda-

kan delapan langkah di hadapan Galuh Sembilan Ger-

hana dan Galuh Empat Cakrawala seraya ajukan 

tanya lagi.

“Boleh aku tahu siapa nama kalian...?!”

“Aku Galuh Sembilan Gerhana. Dia Galuh Empat 

Cakrawala!” Galuh Sembilan Gerhana menjawab de-

ngan berpaling pada Galuh Empat Cakrawala. Lalu 

menoleh lagi pada Bidadari Tujuh Langit dan balik 

ajukan tanya.

“Kau telah tahu siapa kami. Rasanya kurang layak 

kalau kami belum tahu siapa kau adanya. Tidak kebe-

ratan mengatakan pada kami?!”

“Aku Bidadari Tujuh Langit....”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala saling lontar lirikan. Galuh Sembilan Gerhana 

anggukkan kepala lalu berujar.

“Tampaknya kami memang telah kehilangan jejak. 

Kami harus segera pergi....”

“Tunggu!” tahan Bidadari Tujuh Langit begitu melihat gerakan sosok Galuh Sembilan Gerhana yang hen-

dak putar diri.

“Tampaknya orang yang kutunggu juga tidak akan 

muncul... Bagaimana kalau kita jalan bersama-sa-

ma...?l” kata Bidadari Tujuh Langit.

“Kau akan ke mana?!” tanya Galuh Sembilan Ger-

hana seraya batalkan niat untuk putar diri.

“Pada awalnya aku memang punya rencana pergi ke 

satu tempat bersama orang yang kutunggu. Namun 

nyatanya yang kutunggu tidak kunjung muncul! Aku 

merasa kecewa... Kini aku tak punya tujuan hendak ke 

mana. Aku hanya ingin turutkan ke mana kaki akan 

membawaku pergi... Dan kalau kalian tak keberatan, 

aku akan ikut ke mana saja kalian hendak pergi....”

Galuh Sembilan Gerhana sorongkan kepala ke arah 

Galuh Empat Cakrawala. Seraya melirik pada Bidadari 

Tujuh Langit, dia berbisik.

“Bagaimana sekarang?! Aku yakin, ucapannya 

hanya pura-pura untuk menggaet kita! Sementara ti-

dak mungkin kita langsung bertindak! Itu membawa 

risiko besar! Kita baru bisa bertindak kalau dia dalam 

keadaan lengah!”

“Hem.... Bagaimana kalau kita pura-pura ajak dia 

mengikuti kita? Lalu kita laksanakan rencana yang te-

lah kita susun!” sambut Galuh Empat Cakrawala.

Selagi Galuh Empat Cakrawala berucap begitu, Bi-

dadari Tujuh Langit sudah angkat suara lagi.

“Bagaimana?! Kalian merasa keberatan?!”

“Sebenarnya kami tidak ingin diikuti siapa pun! Ta-

pi karena orang yang kami kejar tidak kami temukan, 

terpaksa kami harus pulang dahulu. Kalau kau mau 

ikut, silakan! Tapi....”

Belum sampai Galuh Sembilan Gerhana selesaikan 

ucapan, Bidadari Tujuh Langit sudah menyambut!.


“Kalian tak usah pikirkan diriku.... Sementara ini 

aku hanya ikut dengan kalian hingga perasaan kece-

waku hilang. Dan aku pun tak tahu sampai di mana 

harus ikut dengan kalian! Yang pasti, begitu aku bisa 

melupakan peristiwa yang membuat hatiku kecewa ini, 

aku akan lanjutkan perjalanan sendiri... Aku hanya 

butuh teman untuk bicara!”

Galuh Sembilan Gerhana menoleh pada Galuh Em-

pat Cakrawala. Galuh Empat Cakrawala anggukkan 

kepala. Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Lalu berka-

ta.

“Terima kasih.... Aku tak akan bertanya ke mana 

kalian akan mengajakku. Yang penting, aku bisa me-

lupakan rasa kecewa hatiku....”

“Ikuti kami...,” kata Galuh Sembilan Gerhana lalu 

memberi isyarat pada Galuh Empat Cakrawala dan 

berkelebat.

Galuh Empat Cakrawala lemparkan senyum pada 

Bidadari Tujuh Langit. Lalu putar diri setengah lingka-

ran dan berkelebat menyusul Galuh Sembilan Gerha-

na.

Bidadari Tujuh Langit tahan gerakan dadanya yang 

mulai turun naik karena dibuncah gejolak nafsu saat 

mencuri pandang ke arah dada dan pinggul Galuh 

Empat Cakrawala.

“Hem.... Tampaknya aku mendapatkan ganti yang 

sepadan dengan kedua gadis yang lepas dari tanganku 

tadi....” Bidadari Tujuh Langit bergumam seraya terse-

nyum lalu berlari menyusul Galuh Empat Cakrawala.

Pada suatu tempat sepi, Galuh Sembilan Gerhana 

memperlambat larinya setelah berpaling pada Galuh 

Empat Cakrawala yang berlari tidak jauh di belakang-

nya.

Gerakan kepala Galuh Sembilan Gerhana membuat

Galuh Empat Cakrawala maklum. Dia mempercepat la-

rinya lalu menjajari Galuh Sembilan Gerhana.

“Biar aku yang selesaikan urusan ini. Dan kau tahu 

apa yang harus kau lakukan!” Galuh Sembilan Gerha-

na berbisik begitu Galuh Empat Cakrawala berlari 

menjajari.

Galuh Empat Cakrawala sambuti ucapan dengan 

isyarat kepala. Lalu teruskan berlari melewati Galuh 

Sembilan Gerhana yang memperlambat larinya dengan 

sesekali berpaling ke belakang melihat Bidadari Tujuh 

Langit yang berlari dengan bibir terus menerus meng-

umbar senyum.

Pada saat melewati sebuah pohon agak besar ber-

daun rindang, mendadak Galuh Sembilan Gerhana 

hentikan larinya. Kepalanya sesaat lurus ke arah Ga-

luh Empat Cakrawala yang sudah berada jauh di de-

pan sana. Saat lain kepala itu menunduk. Bersamaan 

dengan itu kedua tangannya bergerak merangkap pada 

perutnya. Lalu terdengar teriakannya.

“Galuh...! Tunggu...!”

Namun suara itu laksana tersumbat di tenggorok-

an. Hingga yang terdengar adalah gumaman tak jelas. 

Di lain pihak, Galuh Empat Cakrawala terus berlari 

bahkan tidak sekali pun berpaling.

Di belakang, Bidadari Tujuh Langit kerutkan dahi. 

“Ada apa dengan gadis baju merah bernama Galuh 

Sembilan Gerhana itu?! Sepertinya dia....” Bidadari Tu-

juh Langit lepas pandangan sesaat pada sosok Galuh 

Empat Cakrawala. Lalu melesat cepat ke arah Galuh 

Sembilan Gerhana dan tegak di samping gadis cantik 

berbaju merah itu.

“Tolong panggilkan saudaraku itu...,” pinta Galuh 

Sembilan Gerhana seraya melirik pada ibu jari kaki ki-

ri Bidadari Tujuh Langit yang mengenakan cincin berwarna merah. Kedua tangannya makin dirangkapkan 

di depan perutnya, sementara tubuhnya ditekuk ke 

depan membuat sikap seperti orang diserang sakit pe-

rut luar biasa.

“Kau terluka...?!” tanya Bidadari Tujuh Langit. Ke-

dua tangannya segera memegang kedua lengan Galuh 

Sembilan Gerhana. Sepasang matanya liar menatap le-

kat-lekat dada gadis di hadapannya. Lidahnya diju-

lurkan sedikit membasahi bibirnya.

Galuh Sembilan Gerhana tidak menyahut perta-

nyaan Bidadari Tujuh Langit. Sebaliknya menghela 

napas panjang dan dalam lalu angkat kepalanya me-

mandang pada Bidadari Tujuh Langit.

“Aku tidak apa-apa.... Aku hanya....” Akhirnya Ga-

luh Sembilan Gerhana buka mulut. Namun sebelum 

suaranya selesai, gadis cantik baju merah ini gigit bi-

birnya sendiri. Saat lain sosoknya melorot jatuh ke 

atas tanah!

Walau kedua tangan Bidadari Tujuh Langit yang 

memegang lengan Galuh Sembilan Gerhana sebenar-

nya mampu menahan lorotan sosok tubuh si gadis, ta-

pi Bidadari Tujuh Langit tidak berusaha menahan, 

hingga saat itu juga Galuh Sembilan Gerhana jatuh 

terduduk di atas tanah.

“Aku tidak menangkap adanya luka pada dirinya. 

Apakah dia berpura-pura..? Tapi untuk apa..?!” Bida-

dari Tujuh Langit berpikir sesaat.

“Ah... Itu tidak penting untuk kuketahui... Yang je-

las...” Bidadari Tujuh Langit kembali basahi bibir-nya. 

Lalu duduk di hadapan Galuh Sembilan Gerhana.

“Tampaknya kau terluka dalam. Biar kuperiksa...,” 

sambil berkata kedua tangan Bidadari Tujuh Langit 

bergerak memegang kedua tangan Galuh Sembilan 

Gerhana yang terus mendekap perutnya.

Galuh Sembilan Gerhana geleng kepala seraya ber-

kata pelan.

“Aku tidak apa-apa... Aku sudah terbiasa begini jika 

berlari agak jauh! Tapi sebenar lagi sudah pulih....”

Bidadari Tujuh Langit tersenyum. “Aku bukan seo-

rang tabib. Tapi mungkin aku bisa mengurangi rasa 

sakitmu....” Kedua tangannya ditarik pulang ke atas 

dan kini memegang bahu kanan kiri Galuh Sembilan 

Gerhana.

“Berbaringlah...!” bisik Bidadari Tujuh Langit sambil 

dorongkan sedikit kedua tangannya.

Paras wajah Galuh Sembilan Gerhana tampak ber-

ubah. Anehnya, gadis ini tidak berusaha menahan ge-

rakan tubuhnya yang terdorong ke belakang hingga 

akhirnya dia telentang di atas tanah.

“Apa yang akan kau lakukan?!” tanya Galuh Sembi-

lan Gerhana seraya memandang sayu pada Bidadari 

Tujuh Langit.

“Aku akan memeriksamu...!”

“Aku tidak apa-apa.... Tak usah....” Ucapan Galuh 

Sembilan Gerhana tidak berlanjut. Karena bersamaan 

dengan itu kedua tangan Bidadari Tujuh Langit sudah 

bergerak membuka rangkapan kedua tangannya dan 

diletakkan perlahan-lahan di atas tanah. Dan saat lain 

tangan Bidadari Tujuh Langit sudah mendekap perut-

nya.

Dada Bidadari Tujuh Langit berdebar keras. Sosok-

nya bergetar. Mungkin sudah tak kuasa menahan diri, 

perempuan cantik bertubuh sintal ini cepat geser ke-

dua tangannya menyentuh dada Galuh Sembilan Ger-

hana!

Galuh Sembilan Gerhana terlonjak kaget. Namun 

gadis ini tidak berusaha menghadang geseran kedua 

tangan Bidadari Tujuh Langit. Dia hanya ajukan tanya

sekali lagi.

“Apa yang akan kau lakukan?!”

Bidadari Tujuh Langit pandangi kedua bola mata 

Galuh Sembilan Gerhana. Lalu sorongkan wajahnya 

mendekati wajah si gadis. Dengan suara tersendat dan 

bergetar dia berbisik.

“Aku ingin menggantikan rasa sakitmu dengan se-

buah kenikmatan....”

“Kenikmatan...?! Kenikmatan apa maksudmu...?!”

Bidadari Tujuh Langit tidak segera menjawab. Seba-

liknya cepat sentakkan wajahnya dan mencium bibir 

Galuh Sembilan Gerhana. Sementara kedua tangannya 

terus bergerak di atas dada Galuh Sembilan Gerhana.

Galuh Sembilan Gerhana tersentak. Dia cepat ge-

rakkan kedua tangannya. Tangan satu menahan dan 

mendorong bahu Bidadari Tujuh Langit hingga ci-

umannya terputus. Sementara tangan satunya lagi 

menahan gerakan kedua tangan sang Bidadari.

“Aku.... Aku tak paham maksudmu....” Galuh Sem-

bilan Gerhana berbisik dengan tubuh bergetar. Bukan 

menahan gejolak nafsu akibat ciuman dan sentuhan 

kedua tangan Bidadari Tujuh Langit, namun sebalik-

nya menindih rasa jijik dan hawa amarah yang sudah 

sejak tadi ditahan-tahan.

“Galuh Sembilan Gerhana.... Aku tak bisa memberi 

penjelasan bagaimana menguraikan maksudku meng-

gantikan rasa sakitmu dengan sebuah kenikmatan. 

Kau hanya perlu merasakan dan membuktikannya 

nanti....”

Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit mendo-

rong tangan Galuh Sembilan Gerhana yang menahan 

bahu dan kedua tangannya. Saat lain kedua tangan 

perempuan cantik bertubuh sintal ini bergerak cepat 

melepas kancing-kancing pakaian Galuh Sembilan


Gerhana.

“Bidadari Tujuh Langit.... Aku.... Aku tak apa-apa. 

Harap jangan....” Hanya sampai di situ ucapan yang 

meluncur dari mulut Galuh Sembilan Gerhana. Gadis 

ini mendadak katupkan mulut. Sepasang matanya 

mendelik memperhatikan tampang Bidadari Tujuh La-

ngit yang tampak mulai tak sabar, apalagi kini melihat 

dada Galuh Sembilan Gerhana yang sudah terbuka!

“Gadisku.... Kau tak perlu cemas. Percayalah.... Kau 

pasti akan merasakan bagaimana nikmatnya...,” bisik 

Bidadari Tujuh Langit. Tangan kirinya bergerak menju-

lur ke bawah dan kejap lain telah menyelinap masuk 

ke bagian bawah tubuh Galuh Sembilan Gerhana.

Galuh Sembilan Gerhana perdengarkan jeritan lirih. 

Sosoknya terlonjak tegang. Namun gadis ini berusaha 

menahan kedua tangannya yang sudah tak tahan hen-

dak bergerak. Malah saat lain dia pejamkan sepasang 

matanya. Jeritan yang baru saja terdengar telah beru-

bah menjadi suara desahan panjang.

Gejolak Bidadari Tujuh Langit makin menggelegak 

mendapati sikap Galuh Sembilan Gerhana yang seolah 

menyambut apa yang dilakukannya. Dia makin berani 

dan seakan tak sabar, tangan yang berada di bagian 

bawah tubuh Galuh Sembilan Gerhana segera disen-

takkan.

Kini bukan saja dada Galuh Sembilan Gerhana 

yang terbuka memperlihatkan sepasang payudara yang 

membusung kencang dan bergerak turun naik meng-

goda, namun pakaian bawahnya juga tersingkap lebar 

hingga terlihat jelas sepasang pahanya yang putih mu-

lus dan padat!

***


TIGA



MUNGKIN sudah tenggelam dalam amukan gelegak 

nafsu, Bidadari Tujuh Langit lupa pada Galuh Empat 

Cakrawala. Bahkan dia tidak sadar jika sedari tadi se-

pasang mata terus memperhatikan dari balik satu ba-

tangan pohon. Malah Bidadari Tujuh Langit tidak me-

rasa jika pemilik sepasang mata dari balik batangan 

pohon itu sudah mulai bergerak mendekat dengan 

berkilat-kilat.

Di lain pihak, perlahan-lahan Galuh Sembilan Ger-

hana buka sepasang matanya, sementara mulutnya te-

rus perdengarkan desahan-desahan panjang.

Bidadari Tujuh Langit sendiri sudah kesetanan. Dia 

menciumi leher dan dada Galuh Sembilan Gerhana, 

sementara kedua tangannya bergerak ke mana-mana. 

Dan di lain saat mendadak perempuan berwajah cantik 

bertubuh sintal ini membuat satu gerakan. Tahu-tahu 

sosoknya telah menindih tubuh Galuh Sembilan Ger-

hana!

Hampir bersamaan dengan bergeraknya sosok Bi-

dadari Tujuh Langit yang menindih tubuh Galuh Sem-

bilan Gerhana, mendadak satu bayangan berkelebat. 

Saat lain satu tendangan berkiblat ganas ke arah Bi-

dadari Tujuh Langit!

Bidadari Tujuh Langit merasakan desiran angin dari 

bagian belakang. Tanpa berpaling kaki kanan kirinya 

diangkat lalu dihantamkan!

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras. Sosok yang menghajar 

Bidadari Tujuh Langit terlihat mental balik ke belakang 

lalu tegak terhuyung-huyung. Sementara kedua kaki 

Bidadari Tujuh Langit mental menghantam kedua kaki

Galuh Sembilan Gerhana yang berada di bawahnya.

Bidadari Tujuh Langit cepat berpaling. Sepasang 

matanya mendelik sesaat lalu menyipit. Ketegangan 

yang menghias wajahnya mendapati dirinya dibokong 

sirna seketika. Lalu senyumnya tersungging.

“Kau...!” desis Bidadari Tujuh Langit mendapati se-

orang gadis berwajah cantik tegak tidak jauh dari tem-

patnya dengan pandangan garang. Ternyata dia bukan 

lain adalah Galuh Empat Cakrawala.

Bidadari Tujuh Langit hendak buka suara. Tapi se-

belum suaranya terdengar, mendadak Galuh Sembilan 

Gerhana gerakkan kedua tangannya lepas pukulan ke 

arah kepala Bidadari Tujuh Langit. Bukan hanya sam-

pai di situ, bersamaan dengan bergeraknya tangan, 

kedua kakinya menyentak ke atas!

Walau Bidadari Tujuh Langit sempat gerakkan ke-

dua tangannya menghadang pukulan yang dilepas Ga-

luh Sembilan Gerhana, namun hantaman kedua tan-

gan si gadis lebih cepat, hingga tanpa ampun lagi ke-

dua tangan Galuh Sembilan Gerhana menghantam te-

lak kepala Bidadari Tujuh Langit.

Bukkk! Bukkk!

Kepala Bidadari Tujuh Langit tersentak ke atas lalu 

terdorong deras ke belakang. Namun baru setengah ja-

lan, gerakan kepalanya terhenti lalu mental balik ke 

depan karena tubuh bagian bawahnya terlonjak terke-

na sentakan kedua kaki Galuh Sembilan Gerhana.

Mendapati hal demikian, Galuh Sembilan Gerhana 

tidak menunggu. Untuk kedua kalinya tangannya ber-

gerak lepaskan pukulan ke arah dada. Sementara ke-

dua kakinya lepas tendangan ke arah perut dengan di-

tekuk!

Di bagian belakang, Galuh Empat Cakrawala tidak 

berdiam diri. Melihat kedua tangan dan kaki Galuh


Sembilan Gerhana lepas hajaran lagi, dia cepat melesat 

ke depan dengan lepas pukulan dari jarak setengah 

tombak!

Wuttt! Wuutt!

Dua gelombang dahsyat menerjang ganas ke arah 

Bidadari Tujuh Langit.

Mendapati hujan serangan begitu rupa, Bidadari 

Tujuh Langit hanya terkesiap beberapa saat. Saat lain 

dia hantamkan kedua tangannya. Bukan ke arah so-

sok Galuh Sembilan Gerhana yang berada di bawah-

nya, melainkan ke arah tanah di samping si gadis!

Bummm! Bummm!

Tanah dua jengkal di samping Galuh Sembilan Ger-

hana langsung muncrat bertabur ke udara. Saat ber-

samaan, sosok Bidadari Tujuh Langit melesat ke sam-

ping lalu bergulingan di atas tanah.

Gerakan Bidadari Tujuh Langit bukan saja menye-

lamatkan dirinya dari hantaman kedua tangan dan 

kaki Galuh Sembilan Gerhana, tapi juga justru mem-

buat Galuh Sembilan Gerhana harus cepat tarik pu-

lang kedua tangan dan kakinya, karena pada saat itu 

gelombang pukulan yang dilepas Galuh Empat Cakra-

wala datang menyongsong lima jengkal di atas tubuh-

nya!

Di lain pihak, mendapati gerakan Bidadari Tujuh 

Langit yang begitu cepat, Galuh Empat Cakrawala per-

dengarkan seruan tertahan khawatir pukulannya yang 

lolos menghantam sosok Bidadari Tujuh Langit akan 

menghajar sosok Galuh Sembilan Gerhana.

Sementara itu, tampaknya Galuh Sembilan Gerhana 

merasa maklum. Walau dia telah tarik pulang kedua 

tangan dan kakinya, namun tak urung gelombang pu-

kulan yang dilepas Galuh Empat Cakrawala akan 

mengakibatkan sosoknya tersapu. Hingga saat itu juga


dia sentakkan tubuh bergulingan ke samping. Lalu te-

gak dan putar diri menghadap Bidadari Tujuh Langit.

Wusss! Wusss!

Muncratan tanah akibat sentakan kedua tangan Bi-

dadari Tujuh Langit langsung amblas tersapu gelom-

bang yang dilepas Galuh Empat Cakrawala.

“Gadis-gadis cantik... Rasanya aku tidak membuat 

kesalahan pada kalian... Mengapa kalian tiba-tiba hen-

dak membunuhku?!” bertanya Bidadari Tujuh Langit 

seraya tersenyum.

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-

krawala saling pandang beberapa saat. Namun belum 

sampai ada yang buka suara menyahut, Bidadari Tu-

juh Langit sudah angkat suara lagi.

“Aku tahu.... Hal ini kalian lakukan bukan atas ke-

hendak kalian sendiri! Kalian diperintah orang! Itulah 

sebabnya mengapa aku tidak membalas apa yang telah 

kalian lakukan!” Bidadari Tujuh Langit hentikan uca-

pannya sejenak. Memandang silih berganti pada Galuh 

Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sebe-

lum akhirnya lanjutkan ucapan.

“Tapi harus kalian ingat.... Aku bisa bertindak lebih 

daripada apa yang telah kalian lakukan padaku jika 

kalian tidak mengatakan siapa manusia bangsat yang 

memerintah kalian!”

“Kami tidak mendapat perintah!” Galuh Sembilan 

Gerhana berseru sambil kancingkan kembali pakai-

annya yang terbuka. “Kau berhutang dua nyawa pada 

kami!”

Bidadari Tujuh Langit kernyitkan kening. “Gadis-

gadis cantik.... Aku yakin. Kita baru pertama kali ini 

bertemu. Bagaimana kalian bisa mengatakan aku ber-

hutang dua nyawa pada kalian?!”

“Kau akan mendapat jawaban begitu nyawamu lepas!” Galuh Empat Cakrawala menyahut dengan nada 

tinggi.

“Hem.... Kalian tidak mau berterus terang. Ini me-

nambah keyakinanku jika tindakan kalian atas suru-

han orang lain!” ujar Bidadari Tujuh Langit seraya ber-

gerak ke arah Galuh Sembilan Gerhana. “Gadis-gadis 

cantik.... Kalau saja kalian mau mengatakan terus te-

rang, tentu aku bisa menjelaskan duduk persoalan 

yang sebenarnya hingga di antara kita tidak terjadi sa-

lah paham....”

“Kau tidak akan memperoleh penjelasan apa-apa!

Yang jelas kau berhutang dua nyawa pada kami. Hari 

ini kami datang untuk menjemput selembar nyawamu 

meski sebenarnya hal itu belum memadai!” Yang me-

nyambut adalah Galuh Sembilan Gerhana.

Bidadari Tujuh Langit hentikan langkah delapan 

tindak di hadapan Galuh Sembilan Gerhana. Lalu bu-

ka suara.

“Kalian tidak mau memberi penjelasan. Aku tidak 

akan memaksa! Tapi sebagai imbalan dari tindakan 

kalian tadi, kuharap kalian mau ikut denganku....” Bi-

dadari Tujuh Langit arahkan pandang matanya pada 

Galuh Sembilan Gerhana. Lalu lanjutkan ucapan. “Kita 

lanjutkan permainan kita yang tertunda. Kau tentu 

menyesal dengan acara yang tadi sempat tidak berlan-

jut, bukan?!”

Belum sampai Galuh Sembilan Gerhana menyahut, 

Bidadari Tujuh Langit putar pandangan ke arah Galuh 

Empat Cakrawala. Lalu berkata.

“Kau juga tentu sudah tak sabar ingin menikmati 

bagaimana indah dan nikmatnya bercinta dengan-

ku....”

Habis berkata begitu, kini kepala Bidadari Tujuh 

Langit bergerak pulang balik memandang silih berganti

pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-

krawala. Lalu sambungi ucapannya.

“Kalian berdua nantinya juga akan kuajarkan bagai-

mana menikmatinya secara bersama-sama... Hik... 

Hik... Hik...!”

Tampang Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Em-

pat Cakrawala berubah merah padam. Saat lain laksa-

na dikomando kedua gadis ini berkelebat ke depan. Se-

tengah jalan keduanya sama lepas pukulan jarak jauh 

bertenaga dalam tinggi.

Wuutt! Wuutt!

Wuutt! Wuttt!

Empat gelombang luar biasa dahsyat berkiblat lurus 

ke arah Bidadari Tujuh Langit.

Bidadari Tujuh Langit hadapi gelombang pukulan 

dengan bibir sunggingkan senyum. Dia tidak membuat 

gerakan apa-apa. Namun begitu empat gelombang be-

rada setengah depa di hadapannya, perempuan berba-

ju putih ini tekuk sedikit kedua kakinya. Kejap lain 

kedua tangannya menghantam ke depan.

Bummm! Bummm!

Bummm! Bummm!

Tempat itu langsung bergetar keras laksana dilanda 

gempa dahsyat. Sosok Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala langsung mental balik di atas 

udara dengan mulut sama perdengarkan seruan te-

gang. Lalu sosok keduanya tersapu dan tegak tersen-

tak-sentak di atas tanah. Paras keduanya berubah pu-

cat pasi.

Di seberang, sosok Bidadari Tujuh Langit hanya 

sempat bergoyang-goyang sesaat. Saat lain dia mem-

buat gerakan melompat. Tahu-tahu sosoknya telah te-

gak lima tindak di hadapan Galuh Sembilan Gerhana 

dan Galuh Empat Cakrawala yang masih salurkan tenaga dalam untuk kuasai diri.

“Gadis-gadisku...!” berkata Bidadari Tujuh Langit. 

“Malam nanti kuharap menjadi malam paling indah 

dan paling terkesan dalam hidup kalian berdua! De-

ngan begitu apa yang menjadi ganjalan kalian berdua 

bisa lenyap! Dan kita bisa menjadi pasangan abadi....”

“Perempuan mesum! Siapa sudi melayani nafsu be-

jatmu! Dan kau harus tahu. Hidupmu tidak sampai 

menjelang malam!” berteriak Galuh Sembilan Gerhana. 

Gadis ini cepat melompat dan tegak di belakang Galuh 

Empat Cakrawala. Kedua tangannya cepat diangkat la-

lu ditempelkan pada punggung gadis di hadapannya.

Galuh Empat Cakrawala tidak tinggal diam. Bersa-

maan dengan menempelnya kedua tangan Galuh Sem-

bilan Gerhana, dia cepat takupkan kedua tangan dan 

diangkat di depan kening. Kedua kakinya direnggang-

kan. Sepasang matanya dipejamkan.

Hampir berbarengan, Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala berteriak. Saat yang sama, 

Galuh Empat Cakrawala buka takupan kedua tangan-

nya lalu didorong ke depan.

Wuutt! Wuuttt!

Dari dorongan kedua tangan Galuh Empat Cakra-

wala melesat dua larik gelombang sinar berwarna tiga 

laksana pelangi perdengarkan suara bergemuruh dah-

syat. Lalu suasana udara berubah redup seperti ten-

gah terjadi gerhana ketika dari sosok Galuh Sembilan 

Gerhana melesat arakan awan berwarna kelabu ke 

angkasa. Hebatnya, tiba-tiba hawa di tempat itu beru-

bah panas menyengat!

“Gabungan ‘Inti Cakrawala’ dan ‘Inti Gerhana’!” ber-

seru Bidadari Tujuh Langit bisa mengenali gelombang 

gabungan pukulan Galuh Empat Cakrawala dan Galuh 

Sembilan Gerhana. “Apa hubungan dua gadis ini dengan iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Da-

rah? Selama ini pukulan ‘Inti Cakrawala’ dan ‘Inti Ger-

hana’ hanya dimiliki pasangan jalang itu! Astaga! Jan-

gan-jangan....”

Bidadari Tujuh Langit tidak lanjutkan gumaman. 

Karena saat itu sinar laksana pelangi sudah mengge-

brak dua tombak di hadapannya. Sementara arakan 

awan kelabu menderu angker menukik dari udara!

Bidadari Tujuh Langit berseru keras. Kedua kakinya 

dihentakkan. Bersamaan dengan melentingnya tubuh 

ke udara, kedua tangannya disentakkan lurus ke de-

pan dan ke atas.

Wuutt! Wuuttt!

Dari masing-masing tangan Bidadari Tujuh Langit 

menderu kiblatan sinar merah. Lalu terdengar bebera-

pa dentuman dahsyat kala dua kiblatan sinar merah 

menghantam dua larikan sinar pelangi dan arakan 

awan redup.

Dua larikan sinar pelangi dan arakan awan laksana 

tersapu badai dahsyat lalu bertabur amblas ke udara. 

Sementara kiblatan sinar merah langsung porak-po-

randa sebelum menyambar rindangnya dedaunan po-

hon di mana tadi Galuh Sembilan Gerhana berhenti 

sampai terpangkas rata dan semburat hangus. Saat 

lain pohon itu bergetar perdengarkan gemuruh dera-

kan lalu tumbang berdebam karena getaran bias ben-

troknya pukulan.

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala menjerit tinggi. Sosok keduanya terangkat ke 

udara lalu terpental beberapa tombak ke belakang dan 

jatuh bertubrukan di atas tanah dengan mulut sama 

semburkan darah!

Di lain pihak, sosok Bidadari Tujuh Langit terputar 

di udara beberapa kali. Tapi perempuan berbaju putih


bertubuh sintal ini cepat sentakkan kedua tangannya 

ke bawah. Saat itu juga sosoknya melenting berputar 

lebih tinggi. Membuat gerakan jungkir balik dua kali 

lalu melayang turun kembali dan menjejak tanah de-

ngan kaki laksana dipacak.

Bidadari Tujuh Langit lepas pandangan ke arah so-

sok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala yang tampak berusaha bangkit. Dia pejamkan 

mata beberapa saat untuk kuasai rasa sakit pada dada 

dan kedua lengannya. Lalu memandang lagi pada dua 

gadis di seberang depan.

“Hem.... Jangan-jangan mereka adalah kaki tangan 

si Pasangan Mesum, Iblis Muka Setan dan Perempuan 

Kembang Darah! Hem.... Aku tahu sekarang! Inilah 

yang dimaksud ucapan mereka beberapa waktu lalu.... 

Dua jahanam itu menduga bisa memuslihatiku dengan 

umpan kedua gadis itu! Hik...! Hik.... Hik...! Mereka 

tak sadar, justru mereka telah memberiku santapan 

luar biasa! Cantik-cantik dan belum pengalaman...!”

Habis membatin begitu, Bidadari Tujuh Langit sege-

ra melesat ke depan lalu tegak enam langkah di hada-

pan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-

kra-wala yang masih terhuyung-huyung dengan wajah 

pucat pasi dan sudut bibir lelehkan darah.

“Gadis-gadisku.... Seandainya kalian tadi mau ber-

terus terang, tentu hal seperti ini tidak akan terjadi! 

Kalian tahu...?! Kalian sebenarnya diumpankan Iblis 

Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah padaku!

Mereka tidak berani menghadapiku, lalu berusaha 

menghasut kalian dengan mengatakan berhutang dua 

nyawa pada kalian!” Bidadari Tujuh Langit hentikan 

ucapannya sejenak. Seraya maju dua langkah dia 

kembali berucap.

“Untuk selesaikan urusanku dengan dua penghasut

jahanam itu, kalian harus ikut denganku! Selain seba-

gai jaminan atas dua nyawa Pasangan Mesum itu, ka-

lian juga akan mendapatkan pelajaran berharga....”

“Siapa percaya mulut perempuan menjijikkan se-

pertimu!” Galuh Empat Cakrawala menyahut.

“Aku tidak memaksa kalian untuk percaya! Nanti 

kalian akan tahu sendiri ucapan siapa yang benar! 

Dan sambil menanti saat itu, kalian akan kuajak me-

nikmati bagaimana rasa surga dunia.... Kalian tentu 

sudah sering melihat bagaimana Iblis Muka Setan dan 

Perempuan Kembang Darah bermain cinta. Tapi aku 

yakin, kalian belum pernah merasakannya... Lebih-le-

bih dengan orang sesama jenis... Hik..! Hik..! Hik..!”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala berteriak marah. Saat lain keduanya lipat ganda-

kan tenaga dalam. Namun mendadak kedua gadis can-

tik ini tercekat tegang sendiri. Mereka merasakan da-

danya nyeri dan perutnya mual hendak muntah ketika 

berusaha alirkan tenaga dalam. Hingga kedua gadis ini 

saling pandang dengan paras kaku.

“Gadis-gadisku.... Kunasihati kalian.... Percuma ka-

lian kerahkan tenaga dalam. Hal itu selain tidak bisa 

membantu banyak, namun juga akan membuat kalian 

makin terluka dalam.... Dan kalian harus tahu, hanya 

aku yang dapat mengobatinya!”

Mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit, mau tak 

mau kuduk Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Em-

pat Cakrawala menjadi dingin. Tapi kedua gadis ini ti-

dak begitu saja percaya. Keduanya kembali coba ke-

rahkan tenaga dalam. Namun untuk kedua kalinya pu-

la mereka tersentak kaget malah kaki mereka tersurut 

satu langkah dengan sosok bergetar dan hampir saja 

oleng ke samping.

“Gadis-gadisku.... Aku tidak pernah bicara dusta....


Dan kalian harus tahu. Bidadari Tujuh Langit pantang 

permintaannya ditolak!”

Selesai berucap begitu, Bidadari Tujuh Langit tegak-

kan wajah. Tapi cuma sesaat. Kejap lain mendadak dia 

berkelebat ke depan. Sosoknya laksana bayang-

bayang.

Walau maklum keadaan dirinya yang tak bisa ke-

rahkan tenaga dalam, namun Galuh Sembilan Gerha-

na dan Galuh Empat Cakrawala tidak berdiam diri. 

Mereka berdua cepat angkat kedua tangan masing-

masing.

Namun baru saja tangan mereka bergerak, mulut 

mereka telah perdengarkan seruan tertahan. Saat lain 

mereka merasakan kedua tangannya tegang tak bisa 

digerakkan. Lalu sama-sama jatuh terduduk di atas 

tanah dengan mulut menganga tanpa perdengarkan 

suara!

“Gadis-gadisku.... Kalian akan mendapatkan pelaja-

ran satu persatu. Setelah kalian bisa menikmatinya, 

kita bisa melakukannya bersama-sama.... Mari kita isi 

malam-malam mendatang dengan taburan cinta....”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala hendak berpaling karena jelas suara Bidadari Tu-

juh Langit diperdengarkan dari belakang mereka ber-

dua. Tapi mereka gagal gerakkan kepala karena leher 

mereka tegak kaku. Mereka berusaha angkat suara, 

tapi tidak ada sepata kata yang keluar.

Dalam keadaan begitu rupa, mendadak sosok Galuh 

Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala te-

rangkat ke udara. Mereka tak tahu apa yang terjadi. 

Yang jelas mereka merasakan telah berada di pundak 

orang dan dibawa berlari!

***


EMPAT


LAKI-LAKI bertubuh pendek berambut putih pan-

jang menjulai hingga menyapu tanah itu tegak sandar-

kan punuk di punggungnya pada satu batangan pohon 

dengan wajah ditegakkan menghadap langit.

Di hadapan laki-laki cebol ini terlihat seorang nenek 

bertubuh tambun besar dengan wajah dan perut di-

ganduli gumpalan daging dan berpakaian warna merah 

ketat duduk menjeplok di atas tanah dengan tangan 

kanan kiri mainkan rambutnya yang juga panjang. 

Nenek ini sesekali arahkan pandang matanya pada la-

ki- laki bertubuh pendek di hadapannya lalu berpa-

ling lepas pandangan berkeliling.

Untuk beberapa lama, kedua orang ini yang bukan 

lain adalah Iblis Pedang Kasih dan si nenek yang di-

kenal dengan Putri Pusar Bumi sama kancingkan mu-

lut tidak ada yang perdengarkan suara.

“Sampai kapan kita menunggu di tempat ini?!” men-

dadak Putri Pusar Bumi pecahkan kesunyian dengan 

ajukan tanya.

Iblis Pedang Kasih luruskan kepala memandang pa-

da Putri Pusar Bumi yang bukan lain adalah adiknya 

sendiri. Lalu angkat suara menyambut.

“Aku tak tahu.... Tapi kurasa penantian Ini tidak 

akan ada gunanya!”

“Hem.... Ke mana sebenarnya cucumu tadi minta 

izin?!” kembali Putri Pusar Bumi ajukan tanya.

“Dia hanya bilang akan mengatakan sesuatu pada 

gadis berbaju biru yang sebutkan diri dengan Bidadari 

Delapan Samudera. Aku tak tanya apa yang hendak di 

katakannya.... Dan mengapa dia tidak mengatakannya 

saat Bidadari Delapan Samudera berada di sini.... Tapi


kurasa hal Itu hanya alasannya saja. Aku tahu pasti 

ke mana dia pergi!”

“Ke mana...?!”

“Ke mana lagi kalau tidak ingin melihat pemuda 

bernama Joko Sableng itu?!”

“Hem... Jangan-jangan cucumu itu telah jatuh cin-

ta...”

Iblis Pedang Kasih menghela napas panjang. “Bida-

dari Pedang Cinta sudah dewasa. Gadis seusia dia me-

mang sudah layak dihinggapi perasaan cinta pada se-

orang pemuda.... Hanya saja, aku ingin urusan tentang 

kehidupannya bisa tuntas terlebih dahulu!”

“Jadi selama ini kau belum berterus terang pada-

nya?!” tanya Putri Pusar Bumi.

Yang ditanya gelengkan kepala. “Aku harus me-

nunggu saat yang tepat! Menghadapi seorang gadis 

yang sudah menginjak dewasa tidak mudah... Aku ta-

kut dia nanti tidak percaya dengan kenyataan di hada-

pannya.... Kau sendiri bagaimana?! Apa kau telah 

mengatakan terus terang pada cucumu?!”

“Selama ini aku memang belum menjelaskan secara 

rinci. Tapi sedikit banyak aku sering menyinggung dan 

bercerita tentang orang-orang yang masih ada hu-

bungan darah dengannya....”

“Hem.... Sudah lama aku tidak bertemu dengan cu-

cumu itu. Pasti dia sudah sebaya dengan Bidadari Pe-

dang Cinta dan tentu sama cantiknya....”

Putri Pusar Bumi tertawa. Lalu bangkit dan berkata.

“Kalau kau yakin penantian ini percuma, sebaiknya 

kita pergi dahulu! Cucumu pasti tahu ke mana nanti 

harus mencari!”

“Dia sudah kuberi tahu.... Cuma aku khawatir dia 

akan mendapat halangan di jalan. Jika saja halangan 

itu datangnya dari orang lain, tentu aku tidak merasa


cemas. Yang kutakutkan, kalau halangan itu datang-

nya dari Bidadari Tujuh Langit! Hal ini nantinya akan 

menyulitkan diriku untuk memberi keterangan!”

“Hem.... Lalu...?!”

“Sebaiknya kau pergi dahulu. Sementara aku akan 

menyusul setelah aku bertemu dengan Bidadari Pe-

dang Cinta!”

Si nenek anggukkan kepala. Tanpa berucap lagi dia 

putar diri lalu berkelebat. Bersamaan itu Iblis Pedang 

Kasih berteriak.

“Pemuda bernama Joko Sableng itu bilang hendak 

menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Kalau 

dia mendapat keterangan yang benar, pasti dia akan 

melewatimu! Kau harus melakukan sesuatu!”

“Apa yang harus kulakukan?!” seru Putri Pusar 

Bumi sambil terus berkelebat.

Iblis Pedang Kasih tidak menyahut. Karena sosok 

Putri Pusar Bumi sudah lenyap di depan sana.

“Hem.... Aku harus segera menemukan gadis itu! 

Terlalu berbahaya kalau dia sampai terlibat urusan le-

bih jauh dengan pemuda itu. Lebih-lebih jika harus 

terlibat masalah lebih dalam dengan Bidadari Tujuh 

Langit...!” Iblis Pedang Kasih membatin. Lalu sekali 

kaki kanannya menghentak ke batangan pohon di be-

lakangnya, sosoknya melesat.

***

Sementara itu, di tempat lain murid Pendeta Sinting 

terus berlari sesuai petunjuk yang diberikan Bidadari 

Pedang Cinta. Dan dia baru memperlambat larinya dan 

berhenti saat pandang matanya melihat hamparan hu-

tan bambu.

“Hem.... Petunjuk gadis Itu nyatanya benar.... Mu-

dah-mudahan benar juga semua petunjuk selanjutnya!


Aku ingin segera tuntaskan urusan ini dan pulang 

kampung tanpa membawa beban....”

Habis bergumam begitu, Pendekar 131 teruskan 

berlari dan berhenti saat kakinya mulai menginjak hu-

tan bambu.

“Setelah melewati hutan bambu ini aku akan me-

nemukan sebuah aliran sungai! Itulah aliran sungai 

pertama dari tujuh sungai yang harus kulalui! Hem.... 

Aku harus terus waspada.... Bukan tak mungkin ada 

beberapa orang yang tak kukenal telah mengetahui Ji-

ka peta wasiat dari Perguruan Shaolin berada di tan-

ganku!” Tangan kanan murid Pendeta Sinting bergerak 

menyelinap ke balik pakaiannya. Lalu mulai melang-

kah memasuki hutan bambu.

Namun baru saja melangkah sepuluh tombak, men-

dadak terdengar suara orang berucap.

“Aku sudah berusaha sembunyi hingga sampai hu-

tan bambu yang sunyi! Tapi mengapa masih ada saja 

yang menemukan diriku?! Apa mereka tidak merasa 

kasihan padaku...?! Tahu begini akibatnya, tak mung-

kin aku sampai jauh-jauh mendekam di tempat ini! Si-

al betul nasibku!”

Pendekar 131 simak ucapan orang beberapa lama. 

“Aneh.... Mengapa dia berkata...? Padahal seandainya 

dia tidak perdengarkan suara tentu aku tak tahu ke-

beradaannya di tempat ini....”

Murid Pendeta Sinting berpaling. Memandang ke 

depan, dia tidak melihat siapa-siapa. Hanya rimbun 

gerombolan rumpun bambu. Joko putar pandangan. 

Tapi belum juga melihat adanya seseorang.

“Siapa yang bicara?!” Pendekar 131 berteriak kare-

na tidak juga melihat adanya orang setelah agak lama 

edarkan pandangan berkeliling.

“Ah.... Seandainya aku tahu kau tidak melihatku....


Tentu aku tidak akan bersuara....”

Pendekar 131 Joko Sableng menoleh lagi ke arah 

mana telinganya mendengar suara yang baru saja di-

dengar. Dan mungkin takut orang sudah melakukan 

gerakan sebelum dia gerakkan kepala, Joko sengaja 

berpaling sebelum suara orang selesai.

“Astaga! Kalau saja dia tidak bersuara, siapa pun 

juga pasti tidak menduga kalau itu adalah manusia!” 

Joko mendelik memperhatikan satu gerumbulan rum-

pun bambu yang di sebelahnya terdapat satu gundu-

kan tanah agak tinggi di mana terlihat satu sosok tu-

buh duduk dengan kedua kaki ditekuk dan kepalanya 

dibenamkan dalam-dalam di belakang tekukan kedua 

kakinya. Sementara kedua tangannya merangkap erat 

pada kedua kakinya.

Beberapa saat murid Pendeta Sinting memperhati-

kan. “Hem.... Aku harus hati-hati. Aku tak mau tertipu 

untuk kedua kalinya....” Joko membatin ingat akan 

penipuan yang dilakukan Hantu Pesolek ketika berada 

di lembah berbatu cadas.

“Harap tidak sungkan tunjukkan muka....” Pende-

kar 131 berujar tanpa membuat gerakan mendekati 

sosok tubuh yang sembunyikan tampang di belakang 

tekukan kedua kakinya.

“Harap tidak salah duga. Aku bukannya sungkan 

tunjukkan tampang. Tapi aku takut!”

Joko kerutkan dahi. Lalu berkata. “Takut pada sia-

pa?!”

“Apa kau melihat orang lain di tempat ini...?!” orang 

yang duduk di atas gundukan tanah balik bertanya.

Pendekar 131 putar pandangan berkeliling. Yakin 

tidak ada orang lain, dia baru sadar apa maksud uca-

pan orang. Hingga kemudian dia berkata.

“Rasanya kita belum pernah bertemu. Adalah hal


aneh kalau kau takut padaku!”

“Kita memang belum pernah bertemu. Tapi begitu-

lah adanya! Aku takut tunjukkan tampang padamu!

Jangan bertanya mengapa.... Penjelasan yang akan 

kuberikan malah akan membuatmu tak mengerti. Lagi 

pula hal itu tak mungkin kulakukan. Tunjukkan tam-

pang saja aku takut, mana aku berani memberi penje-

lasan!”

“Bukan saja sikapnya yang aneh. Ucapannya juga 

membingungkan! Siapa dia sebenarnya?! Jangan-ja-

ngan dia sengaja menghadangku di hutan ini! Bukti-

nya, dia sengaja memberitahukan keberadaannya mes-

ki sebenarnya aku tadi tidak bisa merasakan keha-

dirannya di tempat ini!”

Murid Pendeta Sinting memperhatikan orang sekali 

lagi. “Hem.... Daripada berurusan dengan orang yang 

tak kukenal dan bersikap aneh, lebih baik aku te-

ruskan perjalanan ini!”

Tanpa buka suara lagi, Pendekar 131 balikkan tu-

buh lalu melangkah teruskan perjalanan. Namun baru 

saja mendapat tiga tindak, orang di atas tanah agak 

tinggi sudah perdengarkan suara lagi.

“Anak muda.... Sebenarnya aku takut untuk ber-

tanya. Tapi apa boleh buat. Mungkin baru padamu 

aku beranikan diri untuk ajukan tanya!”

Murid Pendeta Sinting hentikan langkah. Lalu putar 

diri lagi dan berkata dalam hati. “Dia sembunyikan wa-

jah di belakang rangkapan kedua kakinya. Tapi nya-

tanya dia bisa melihatku.... Hem....”

“Apa yang akan kau tanyakan?!” Akhirnya Joko 

bertanya.

“Ini adalah hutan perbatasan menuju sebuah lem-

bah yang aku takut untuk mengatakan lembah apa 

namanya. Apa kau hendak ke lembah itu?!”


Joko tidak segera menjawab. Sebaliknya memperha-

tikan orang sekali lagi dengan lebih seksama. Dia mu-

lai curiga dengan pertanyaan orang. Hingga ia me-

mutuskan untuk tidak mau mengatakan terus terang.

“Sebenarnya aku tak enak mengatakannya padamu. 

Tapi lebih tidak enak lagi kalau aku tidak memberi 

penjelasan padamu! Sudah beberapa hari ini perutku 

laksana diaduk-aduk. Sudah beberapa tombak ku te-

lusuri, tapi aku tidak menemukan tempat yang layak 

untuk tumpahkan adukan perutku Ini. Kebetulan di 

jalan tadi aku diberi tahu orang jika di sebelah hutan 

bambu ini ada sebuah aliran sungai! Mudah-mudahan 

petunjuk orang tadi benar! Rasanya aku sudah tak be-

tah lagi untuk bertahan! Apa memang benar di sebelah 

hutan bambu ini ada sebuah aliran sungai?!”

“Anak muda.... Sayang sekali aku tidak bisa mem-

beri penjelasan. Bukan karena apa. Aku takut untuk 

memberi tahu. Kau paham maksudku, bukan?!”

“Bagaimana aku bisa paham maksudmu?! Kau ta-

kut tunjukkan tampang! Takut memberi penjelasan!”

“Maaf, Anak Muda.... Aku tak bisa menerangkan le-

bih jauh. Aku takut....”

“Baiklah! Aku tidak akan minta penjelasan apa-apa 

padamu. Tapi kuharap kau tidak takut memberitahu-

kan siapa nama atau mungkin gelarmu!”

Orang yang wajahnya disembunyikan di belakang 

rangkapan kedua tekukan kakinya perdengarkan tawa 

panjang bergelak hingga rangkapan kedua kakinya 

berguncang. Lalu terdengar suaranya.

“Jangan bertanya siapa nama atau gelarku, Anak 

Muda! Bukan saja tak ada gunanya bagimu, lebih dari 

itu aku takut untuk mengatakannya!”

“Hem.... Kalau aku terus bicara pada orang ini, aku 

tak akan sampai tujuan!” gumam Joko. Lalu tanpa buka mulut lagi dia putar diri dan melangkah teruskan 

perjalanan.

Mendapat sepuluh langkah, Pendekar 131 cepat pa-

lingkan wajah berharap orang di atas tanah tidak 

menduga dan dia bisa melihat tampang orang.

Namun murid Pendeta Sinting jadi tercengang sen-

diri. Sepasang matanya dijerengkan besar-besar dan 

tubuhnya kembali diputar balik menghadapi tempat 

mana tadi orang duduk di atas tanah.

“Aneh.... Jangan-jangan dia bukan manusia!” desis 

Joko dengan kuduk merinding. Karena ternyata orang 

yang tadi duduk dengan rangkapkan kaki sudah tidak 

kelihatan lagi sosoknya!

Mungkin untuk yakinkan diri, murid Pendeta Sin-

ting melompat ke arah gundukan tanah agak tinggi. 

Lalu pentangkan mata dan memandang liar berkeliling. 

Sepasang telinganya dipasang baik-baik. Tapi sejauh 

Ini dia tidak bisa menyiasati di mana keberadaan 

orang.

“Hem.... Mudah-mudahan ini bukan satu isyarat 

buruk!” Akhirnya Joko bergumam sendiri lalu berkele-

bat lanjutkan perjalanan.

Setelah berlari kira-kira lima puluh tombak, murid 

Pendeta Sinting sampai di ujung hutan bambu. Dia 

menghela napas lega. Bukan saja karena tidak mene-

mukan halangan tapi juga karena dia menemukan ali-

ran sungai.

“Hem.... Aku butuh alat untuk menyeberang! Tidak 

mungkin aku berenang, apalagi aku belum kenal situ-

asi daerah Ini!” Joko berpikir setelah menghitung jarak 

lebarnya sungai yang harus dilalui.

“Aku harus membuat rakit! Bukan tak mungkin 

enam sungai lainnya juga butuh alat untuk menyeberanginya!”


Pendekar 131 sudah putar diri hendak kembali ke 

hutan bambu untuk membuat rakit. Namun gera-

kannya tertahan tatkala tiba-tiba dari tikungan sungai 

di ujung sana meluncur sebuah sampan.

Ada keanehan. Begitu sampan bergerak meneli-

kung, tiba-tiba luncurannya terhenti. Sampan itu diam 

tak bergerak di atas aliran sungai. Dan murid Pendeta 

Sinting tidak melihat adanya orang yang mengemudi-

kan sampan!

Joko memperhatikan beberapa lama. Dia sudah 

memutuskan untuk tidak hiraukan keanehan yang di-

lihat. Namun begitu dia hendak teruskan niat untuk 

kembali ke hutan dan membuat rakit, mendadak sam-

pan di tikungan sungai sana terlonjak ke atas laksana 

disapu gelombang dahsyat, padahal tidak terlihat ada-

nya sapuan gelombang yang menghantam!

“Busyet! Jangan-jangan hutan ini dihuni bukan 

bangsa manusia! Tapi aku harus menyelidik! Daripada 

terjadi urusan di sana nanti, lebih baik baik urusan itu 

terjadi di sini!”

Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting se-

gera berkelebat ke arah tikungan sungai. Namun dia 

tidak mau bertindak ayal. Seraya berkelebat dia ke-

rahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.

Begitu tegak di tempat yang lurus dengan sampan 

yang masih bergoyang-goyang di atas aliran sungai, 

Joko cepat edarkan pandangan.

“Sebenarnya aku takut menegurmu, Anak Muda! 

Tapi apa hendak dikata. Tegakmu menghalangi pan-

danganku...!” Mendadak satu suara terdengar.

Saking kagetnya, hampir saja Joko terlonjak. Dia 

cepat berpaling ke belakang. Kontan saja sepasang ma-

tanya mendelik.

***


LIMA


HANYA beberapa langkah di belakang Pendekar 131 

terlihat satu sosok tubuh duduk di atas tanah di sam-

ping sebuah bongkahan batu cadas dengan kedua kaki 

dirangkapkan dan ditekuk. Sementara wajahnya dibe-

namkan dalam-dalam di belakang rangkapan kedua 

kakinya, hingga raut wajahnya tidak kelihatan.

“Dia lagi!” desis murid Pendeta Sinting. “Bagaimana 

tahu-tahu sudah duduk di sini?! Anehnya lagi, aku ti-

dak bisa menyiasati keberadaannya! Dan apa maksud 

ucapannya tegakku menghalangi pandangannya?! Bu-

kankah dia sengaja sembunyikan wajah di belakang 

kedua kakinya?! Bagaimana dia bisa bilang panda-

ngannya terhalang...?! Orang aneh! Apa yang dipan-

dangnya?!”

Pendekar 131 putar kepala lurus ke depan. “Hem... 

Benda yang lurus dengannya adalah sampan itu! Ja-

di... Gerakan sampan itu pasti karena ulahnya! Tapi 

apa maksudnya?! Untuk mengundang kepenasaranku 

dan agar aku mendekat kemari?!”

Baru saja Joko membatin begitu, orang yang duduk 

dengan sembunyikan wajah di belakang rangkapan 

kedua kakinya perdengarkan suara.

“Anak muda! Walau aku takut bertanya, tapi kali ini 

terpaksa aku memberanikan diri! Bukankah kau tadi 

mengatakan hendak menumpahkan adukan perutmu?! 

Tapi....”

Belum sampai orang lanjutkan ucapan, murid Pen-

deta Sinting sudah menyahut.

“Harap jangan banyak bertanya.... Aku takut menja-

wabnya!” Murid Pendeta Sinting sengaja mengikuti lo-

gat orang yang duduk di atas tanah.


Mendengar sahutan Joko, orang yang duduk di atas 

tanah perdengarkan tawa ngakak. Lalu buka rangka-

pan kedua kakinya dan memandang ke arah murid 

Pendeta Sinting dari sela kedua kakinya yang terbuka. 

Lalu angkat suara.

“Aku gembira sekaligus takut mendengar sahutan-

mu! Kau tidak takut mengatakan siapa kau sebenar-

nya?!”

“Hem.... Orang macam dia harus dilayani seperti si-

kapnya!” Joko membatin. Lalu lorotkan tubuh dan du-

duk dengan rangkapan kedua kaki. Sementara wajah-

nya segera dibenamkan dalam-dalam ke belakang 

rangkapan kedua kakinya. Lalu sambuti ucapan 

orang.

“Aku takut sekaligus senang mendengar kau mau 

bertanya! Namun harap jangan bertanya siapa aku.... 

Bukan saja karena kau belum memperkenalkan diri, 

namun lebih dari itu, aku takut untuk menjawab-

nya...!”

“Ah.... Tampaknya kita manusia yang seirama! Se-

andainya saja kita tidak sama-sama merasa takut....”

“Harap tidak mengandai-andai.... Aku takut mende-

ngarnya!” kata Joko seraya buka sedikit rangkapan 

kedua kakinya dan mengintip orang.

“Anak muda.... Sebenarnya aku takut untuk mem-

beri tahu. Tapi karena kita manusia yang seirama, aku 

harus memberi penjelasan! Aku tidak merasa takut ka-

lau bicara mengandai-andai....”

“Hem.... Begitu?! Lalu andai-andai apa yang akan 

kau katakan?!”

“Seandainya kau seorang pendatang dari negeri as-

ing.... Dan seandainya kau mencari tahu tentang satu 

tempat.... Mungkin aku bisa sedikit membantu!”

Murid Pendeta Sinting terkesiap kaget. Hingga tanpa sadar dia angkat kepalanya dan memandang lekat-

lekat pada sela rangkapan kedua kaki orang. Namun 

terlambat. Karena orang di hadapannya sudah ta-

kupkan kembali rangkapan kedua kakinya.

“Sepertinya dia tahu siapa aku dan apa maksud tu-

juanku.... Hem.... Aku akan coba bertanya....”

Membatin begitu, akhirnya Joko buka suara ber-

tanya.

“Siapa pun kau adanya. Kau mau membantuku?!”

Yang ditanya tertawa dahulu sebelum menjawab.

“Anak muda.... Harap kau tidak lupa. Aku tadi bi-

cara seandainya! Jadi maukah nantinya kau mendapat 

penjelasan seandainya juga?!”

“Sialan!” gumam Joko seraya beranjak bangkit. “Tak 

ada gunanya bicara dengan manusia seperti dia!”

Pendekar 131 kembali arahkan pandang matanya 

ke arah sampan yang terapung di atas aliran sungai. 

“Mungkin sampan itu miliknya.... Seandainya saja 

aku.... Ah. Mengapa aku jadi ikut-ikutan mengandai-

andai?! Lebih baik aku membuat rakit!”

Joko sudah putar diri. Tapi sebelum bergerak lebih 

jauh, orang yang duduk di atas tanah berucap.

“Seandainya kau tidak takut membawa sampan itu, 

silakan kau mengambilnya!”

“Sampan itu milikmu?!”

“Aku takut mengatakannya!”

Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang. 

Tampaknya dia sudah tak sabar menghadapi orang. 

Hingga tanpa buka mulut lagi dia melangkah hendak 

tinggalkan tempat itu.

“Tunggu, Anak Muda! Aku takut berada sendirian di 

tempat ini! Kau tak takut bukan untuk menemaniku

beberapa saat saja?! Tampaknya kita akan kehadiran 

seorang tamu...!”


“Aku takut mendengar permintaanmu!” Enak saja 

Joko menyahut lalu tanpa pedulikan orang, dia te-

ruskan langkah.

Saat itulah Joko melihat satu bayangan berkelebat 

ke arahnya. Joko cepat berpaling ke arah orang yang 

duduk di atas tanah. “Hem.... Aku tidak ingin terlibat 

urusan dengan orang! Tampaknya orang yang datang 

punya masalah dengan dia!”

Pendekar 131 cepat hendak berkelebat. Namun ta-

hu-tahu bayangan yang berkelebat sudah berada bebe-

rapa tombak di hadapannya. Tanpa pikir panjang lagi 

Joko cepat lorotkan tubuh. Lalu duduk dengan rang-

kapkan kedua kaki dan selinapkan kepala di belakang 

kedua kakinya. Dan perlahan-lahan pentangkan mata 

mengintip orang dari sela kedua kakinya yang dibuka 

sedikit.

Murid Pendeta Sinting melihat seorang pemuda ber-

usia tiga puluh tahunan berwajah tampan bertubuh 

kekar. Rambutnya hitam lebat dan panjang sebahu 

menutupi sebagian pundak dan wajahnya. Sepasang 

matanya tajam dengan alis tebal mencuat serta kumis 

tebal melintang. Pemuda ini mengenakan pakaian be-

rupa jubah hitam panjang sebatas mata kaki melapis 

baju berwarna putih.

Untuk beberapa saat si pemuda yang telah tegak 

dua belas langkah di hadapan murid Pendeta Sinting 

lepas pandangan silih berganti pada Joko dan orang 

yang duduk di sebelah samping sana. Jelas panda-

ngannya membayangkan rasa aneh dan bertanya-

tanya.

“Di sini ada dua manusia yang bersikap sama.... Sa-

yang, selama ini aku hanya tahu nama orang dan be-

lum pernah melihatnya! Hem.... Mana di antara kedua 

manusia ini yang kucari?!” Si pemuda berjubah hitam


panjang bergumam.

Mungkin merasa kebingungan untuk menentukan 

pilihan, akhirnya si pemuda gerakkan kepala pulang 

balik seraya berkata.

“Aku datang mencari manusia bergelar Paduka Se-

ribu Masalah! Siapa di antara kalian berdua yang me-

miliki gelar Paduka Seribu Masalah?!”

Orang yang duduk di seberang sana perdengarkan 

sahutan.

“Anak muda berjubah hitam! Harap tidak ajukan 

tanya. Aku takut menjawabnya!”

Mendengar sahutan orang, murid Pendeta Sinting 

tidak tinggal diam. Dia segera menyambut.

“Anak muda berjubah hitam! Aku juga takut men-

jawabnya!”

Gerakan kepala si pemuda berjubah hitam terhenti. 

Parasnya berubah membesi. Dagunya terangkat me-

ngembung. Saat lain dia ditegakkan wajah mendongak 

lalu berkata.

“Aku tanya sekali lagi. Siapa di antara kalian ber-

dua yang bergelar Paduka Seribu Masalah?!”

Karena khawatir dirinya yang dituduh, Pendekar 

131 cepat-cepat berkata.

“Anak muda berjubah hitam! Sebenarnya aku takut 

mengatakannya. Tapi daripada terjadi salah paham, 

aku beranikan diri untuk mengatakannya. Kalau yang 

kau cari adalah Paduka Seribu Masalah, bukan aku 

orangnya...!”

Ucapan murid Pendeta Sinting membuat pemuda 

berjubah hitam segera berpaling ke arah orang yang 

duduk di seberang sana. Namun sebelum pemuda ini 

angkat suara, orang yang duduk sudah perdengarkan 

suara.

“Anak muda berjubah hitam! Aku juga bukan Paduka Seribu Masalah!”

Si pemuda berjubah hitam menyeringai dingin. Da-

lam hati dia membatin. “Dari ciri yang kudengar, jelas 

mereka berdua memiliki ciri orang yang kucari! Sayang 

mereka tidak ada yang mau mengaku! Padahal aku 

yakin, salah satu dari mereka adalah Paduka Seribu 

Masalah! Aku telah datang jauh-jauh sampai ke tem-

pat ini! Aku harus mendapatkan jawaban pasti! Bagai-

manapun caranya!”

Membatin begitu, akhirnya si pemuda berjubah hi-

tam berucap lagi.

“Baiklah! Aku tidak akan memaksa kalian untuk 

mengaku siapa di antara kalian yang Paduka Seribu 

Masalah meski aku yakin salah satu di antara kalian 

adalah Paduka Seribu Masalah! Aku datang mencari 

jawaban! Harap di antara kalian mau menjawab perta-

nyaanku!”

“Aku senang mendengar kau tidak memaksa.... Tapi 

harap tidak kecewa. Bukan saja aku takut mendengar 

pertanyaanmu, namun aku juga takut menjawabnya!” 

Pendekar 131 menyahut terlebih dahulu.

“Jawabanku sama dengan dia!” Orang yang duduk 

di seberang menimpali.

“Hem.... Tampaknya kalian berdua memaksaku un-

tuk bertindak lebih keras!” sambil berkata begitu, si 

pemuda berjubah hitam angkat kedua tangannya. 

Tangan kanan diarahkan pada murid Pendeta Sinting, 

sementara tangan kiri diluruskan pada orang yang du-

duk di seberang.

“Tahan dulu, Anak Muda.... Bukan saja aku takut 

dengan caramu, tapi kurasa tindakanmu tidak akan 

menyelesaikan masalah...!” ujar Joko sambil mengintip 

dari sela rangkapan kedua kakinya.

“Benar.... Tindakanmu menakutkanku, Anak Mu


da.... Padahal....”

Belum sampai orang yang duduk di seberang se-

lesaikan ucapan, si pemuda berjubah hitam sudah 

memotong.

“Persetan dengan ketakutan kalian! Jika tidak ada 

yang mengaku, kalian berdua akan tahu akibatnya!”

Karena tak mau terlibat urusan, Joko segera perde-

ngarkan suara.

“Anak muda berjubah hitam! Seandainya saja kau 

mau sebutkan diri, mungkin kami tidak terlalu takut 

lagi untuk mengaku dan menjawab pertanyaanmu!”

“Hem.... Baik! Kuturuti permintaanmu!” kata pemu-

da berjubah hitam sambil memandang tajam pada so-

sok Pendekar 131. “Aku adalah Datuk Kala Sutera!”

“Pertanyaanmu yang harus kami jawab?!” tanya 

murid Pendeta Sinting.

“Selama hampir lima belas tahun aku mencari jejak 

lima orang anakku! Tapi sejauh ini aku gagal menemu-

kannya! Aku butuh jawaban, di mana kira-kira kelima 

anakku itu?!”

“Celaka! Bagaimana aku harus menjawab perta-

nyaannya?! Aku tidak kenal dengan pemuda bernama 

Datuk Kala Sutera itu! Apalagi kelima anaknya.... Ka-

lau sampai aku menjawab asal kena, pasti dia tahu! 

Hem....” Pendekar 131 bergumam dalam hati. Bebera-

pa saat dia terdiam.

“Kau telah tahu siapa aku dan apa pertanyaanku! 

Aku butuh keteranganmu!”

“Kalau saja kau tidak takut mengatakannya pada-

ku. Mengapa kau bertanya soal kelima anakmu pada-

ku?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Paduka Seribu Masalah telah dikenai sebagai ma-

nusia yang tahu segala macam masalah! Tentu tidak 

sulit memberi keterangan padaku!”


“Hem.... Begitu?! Seandainya kau tidak merasa ta-

kut menjawab pertanyaanku dahulu. Mungkin....”

“Aku akan jawab pertanyaanmu!” Pemuda berjubah 

hitam sudah berkata menukas sebelum Joko sempat 

selesaikan ucapannya.

“Kalau kau merasa punya anak, pasti kau memiliki 

seorang istri! Kau tidak takut mengatakan siapa istri-

mu?!”

Pertanyaan Joko membuat si pemuda berjubah hi-

tam yang sebutkan diri sebagai Datuk Kala Sutera ter-

sentak kaget. Dia tidak segera menjawab pertanyaan. 

Sebaliknya tengadahkan wajah dengan kepala mengge-

leng.

Mendapati sikap Datuk Kala Sutera, murid Pendeta 

Sinting cepat berujar.

“Kau takut mengatakan siapa istrimu?!”

“Aku tidak takut mengatakannya! Tapi aku tidak in-

gat lagi siapa istriku!”

“Aneh.... Bagaimana mungkin seorang suami bisa 

lupa pada istrinya?!” kata Joko dalam hati. Lalu berka-

ta.

“Datuk Kala Sutera. Kau tak perlu cemas atau ta-

kut. Katakan saja terus terang. Siapa istrimu!”

“Aku tidak ingat!”

“Hem.... Kau pasti takut mengatakan jika kau su-

dah memiliki perempuan lain hingga tidak ingat lagi 

pada istri!”

“Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas aku tidak 

memiliki perempuan lain! Dan aku benar-benar tidak 

ingat lagi siapa istriku!”

“Bagaimana bisa begitu?!”

“Aku sendiri tak tahu! Yang jelas begitulah adanya!”

“Lalu apakah kau juga tidak ingat siapa nama istri-

mu?!” tanya Joko.


Datuk Kala Sutera kembali gelengkan kepala. “Aku 

juga tidak ingat lagi siapa nama istriku!”

“Hem.... Lalu apakah kau juga lupa, istrimu seorang 

perempuan atau laki-laki?!”

“Aku datang butuh keterangan! Bukan untuk men-

jawab pertanyaan gila seperti ini!” Datuk Kala Sutera 

membentak.

Pendekar 131 tahan tawanya. Lalu buka suara lagi. 

“Kau mengatakan mencari kelima anakmu. Kau masih 

ingat berapa anak laki-laki dan anak perempuan?”

“Semuanya perempuan!”

“Kau ingat siapa nama mereka?!”

“Mereka belum sempat kuberi nama!”

“Dari keterangan pemuda ini, juga dari ucapan 

orang yang duduk di seberang sana yang tahu-tahu bi-

sa menebak tepat siapa diriku, pasti orang yang duduk 

itulah yang bergelar Paduka Seribu Masalah....”

Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu, 

Datuk Kala Sutera sudah buka suara.

“Aku menunggu keteranganmu!”

“Gawat! Bagaimana ini...?! Jawaban bagaimana 

yang harus kukatakan?!”

“Kau dengar ucapanku! Aku juga telah turuti per-

mintaan dan menjawab semua pertanyaanmu! Jangan 

membuat aku tak sabar!” Datuk Kala Sutera kembali 

buka mulut setelah ditunggu agak lama murid Pendeta 

Sinting tidak juga memberi keterangan.

“Datuk Kala Sutera... Kau kuberi waktu tiga hari...”

“Jahanam! Apa maksudmu?!”

“Seandainya kau tidak lupa siapa nama istrimu, 

pasti aku bisa memberi keterangan saat ini juga! Tapi, 

karena kau tidak ingat siapa istrimu, aku butuh waktu 

untuk menjawab pertanyaanmu! Kembalilah tiga hari 

mendatang. Kau akan memperoleh jawaban yang kau


inginkan!”

Datuk Kala Sutera berpikir beberapa saat. Lalu ber-

kata.

“Baik! Aku akan kembali tiga hari mendatang! Tapi 

aku perlu jaminan!”

Joko sempat terkesiap. Hampir saja dia angkat ke-

palanya. Untung dia sadar dan buru-buru benamkan 

lagi wajahnya dalam-dalam ke belakang rangkapan ke-

dua kakinya. Lalu bertanya.

“Datuk Kala Sutera... Kau datang mencari jawab-

an. Tidak seharusnya kau minta jaminan segala! Hal 

itu membuatku takut... Ini akan mengakibatkan hi-

langnya konsentrasiku untuk mencari jawaban atas 

pertanyaanmu....”

Datuk Kala Sutera geleng kepala. “Itu urusanmu! 

yang jelas kau telah mengucapkan janji! Dan kau tak 

usah takut.... Jaminan yang kuminta tidaklah sulit!”

“Seandainya kau tidak takut mengatakan apa jami-

nan yang kau minta....”

Datuk Kala Sutera memandang dahulu silih ber-

ganti pada sosok murid Pendeta Sinting dan orang 

yang duduk di seberang. Lalu berkata.

“Di sini ada dua orang yang bersikap sama. Sejauh 

ini belum ada di antara kalian yang mengaku sebagai 

paduka Seribu Masalah! Aku tidak mau tertipu....”

“Maksudmu...?!”

“Karena kau yang tadi menjanjikan jawaban pada-

mu, aku ingin tahu bagaimana wajah di balik rangka-

pan kedua kakimu!”

“Celaka! Kalau sampai dia dapat mengenaliku, tak 

mungkin lagi aku bisa berkelit....” Joko membatin den-

gan dada berdebar tidak enak.

Datuk Kala Sutera melangkah maju mendekati Pen-

dekar 131. Lalu berkata.


“Angkatlah wajahmu!”

“Aku takut.... Bukan karena....”

“Aku minta kau tunjukkan tampangmu!” Datuk Ka-

la Sutera sudah membentak sebelum Pendekar 131 

sempat teruskan ucapannya.

“Aduh.... Tidak kusangka kalau akan begini akibat-

nya! Ini akan membuat masalah!”

“Aku minta jaminan yang tidak sulit untuk kau la-

kukan! Tapi tampaknya kau keberatan! Ini satu bukti 

kalau kau hendak memuslihatiku!”

“Jangan salah sangka... Tidak ada maksud untuk 

memuslihatimu. Aku hanya takut dan tidak terbiasa 

tunjukkan tampang pada orang... Percayalah! Tiga hari 

mendatang kau akan menemuiku di sini dan men-

dapat jawaban yang kau minta!”

Datuk Kala Sutera geleng kepala. “Kalau kau tidak 

mau menuruti jaminan yang kuminta, aku akan me-

nunggumu di sini! Tidak jadi soal sampai berapa hari!”

“Wah.... Ini makin celaka! Bisa-bisa perjalananku 

terhambat! Sialnya mengapa orang di seberang sana 

itu tidak juga perdengarkan suara?!”

“Kau tinggal memberi keputusan! Mau tunjukkan 

tampang dan aku akan pergi serta kembali lagi tiga ha-

ri mendatang, atau kau tetap akan sembunyikan wa-

jahmu tetapi aku akan menunggu jawabanmu di sini!” 

Datuk Kala Sutera angkat suara sambil teruskan tin-

dakan mendekati sosok murid Pendeta Sinting.

“Daripada cari penyakit, lebih baik kuturuti permin-

taannya. Begitu dia pergi, aku akan bertanya pada 

orang yang duduk di seberang sana itu tentang jawa-

ban apa kelak yang harus kukatakan!”

Berpikir sampai di situ akhirnya perlahan-lahan 

Pendekar 131 angkat kepalanya dari balik rangkapan 

kedua kakinya.


Datuk Kala Sutera hentikan langkah. Sepasang ma-

tanya dipentang memandang tajam pada wajah murid 

Pendeta Sinting.

“Hem.... Ternyata seorang pemuda! Benarkan dia 

Paduka Seribu Masalah?!” Datuk Kala Sutera bimbang. 

“Ah.... Itu bukan urusanku! Yang penting tiga hari di 

depan dia harus bisa memberi keterangan! Jika sampai 

dia berdusta, aku tak segan-segan membuatnya berka-

lang tanah!”

Habis membatin begitu, Datuk Kala Sutera putar di-

ri setengah lingkaran. “Siapa pun kau adanya, kau te-

lah mengikat janji denganku! Tiga hari mendatang aku 

akan datang menagihnya! Kalau kau berdusta, se-

lembar nyawamu menjadi jaminannya!”

Datuk Kala Sutera tertawa pendek. Melirik sesaat 

pada Pendekar 131 lalu berkelebat tinggalkan tempat 

itu.

***

ENAM

PENDEKAR 131 cepat tegak berdiri lalu arahkan 

pandang matanya pada orang yang duduk di seberang 

begitu sosok Datuk Kala Sutera tidak kelihatan lagi.

“Harap kau berkata jujur. Bukankah kau orangnya 

yang bergelar Paduka Seribu Masalah?!” Joko ajukan 

tanya.

“Jangan memaksaku, Anak Muda.... Aku takut 

menjawabnya! Apalagi kau minta aku harus bicara ju-

jur!”

“Baik! Salah atau benar dugaanku, yang pasti aku 

percaya kau adalah Paduka Seribu Masalah! Sekarang 

aku perlu bantuanmu! Tolong katakan padaku, jawa

ban bagaimana kelak yang harus kukatakan pada Da-

tuk Kala Sutera!”

“Anak muda... Aku benar-benar takut mengatakan-

nya! Ini bukan urusan kecil... Aku takut terlibat!”

“Hem... Begitu?!” ujar Joko lalu melangkah mende-

kati orang. “Kalau kau tak mau membantuku, terpaksa 

aku akan melibatkanmu lebih jauh dalam urusan ini! 

Aku tahu bagaimana caranya!”

Orang yang duduk perdengarkan gumaman tak je-

las. Joko hentikan langkah lima tindak di hadapan 

orang lalu berkata.

“Terus terang saja. Aku tidak punya waktu banyak 

berada di tempat ini! Kuharap kau segera memberi ke-

putusan!”

“Anak muda... Seandainya urusan ini kita hadapi 

bersama-sama. Mungkin rasa takutku bisa berku-

rang!”

“Maksudmu...?!”

“Aku takut berada sendirian di tempat ini! Kalau 

kau tidak keberatan atau takut, kuharap kau me-

ngajakku ke mana kau akan pergi!”

“Lalu urusan dengan Datuk Kala Sutera?!”

“Walau sebenarnya aku takut, tapi aku akan be-

ranikan diri untuk mengambil alih urusan menakut-

kan itu! Asal... Kau tidak ketakutan untuk mengajak-

ku ikut serta ke mana kau akan pergi... Jika tidak, 

terpaksa aku cuci tangan!”

Pendekar 131 menghela napas panjang. “Aduh.... 

Daripada akhirnya aku dihadang urusan yang tak ada 

juntrungannya ini, lebih baik kuturuti saja permin-

taannya. Siapa tahu pula dia nantinya bisa sedikit 

membantu dalam urusanku!”

Setelah membatin begitu, Joko angkat suara. “Baik-

lah... Aku akan mengajakmu ikut serta! Tapi kuharap


kau nantinya tidak takut memberi jawaban pada Da-

tuk Kala Sutera!”

“Kalau bersamamu, aku yakin tidak takut memberi 

jawaban pada siapa saja!”

“Mengapa begitu?!”

“Jangan bertanya! Aku takut memberi keterangan!”

“Busyet! Jawabannya balik lagi!” gerutu murid Pen-

deta Sinting dalam hati. Lalu berkata.

“Aku hendak menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh 

Sungai! Kau tidak takut berterus terang mengatakan 

jika kau tahu tempat itu?!”

“Aku tidak takut berterus terang. Aku memang tahu 

lembah itu! Malah aku tidak takut mengatakan jika 

kedatanganmu ke lembah itu untuk bertemu dengan 

manusia berjuluk Dewa Asap Kayangan! Dan masa-

lahmu adalah urusan janji dengan seorang gadis!”

Pendekar 131 tersentak kaget. “Hem.... Aku makin 

yakin jika manusia satu ini adalah Paduka Seribu Ma-

salah! Aku tidak mengenalnya sebelum ini. Tapi dia 

sudah tahu masalahku...! Apakah dia juga tahu uru-

san peta di tanganku?!”

Ingat akan urusan itu, mendadak Pendekar 131 ter-

ingat pada Hantu Pesolek. Seketika parasnya berubah 

dan perlahan-lahan surutkan langkah seraya memba-

tin. “Belum lama berselang aku juga bertemu dengan 

orang yang sepertinya banyak tahu urusanku.... Na-

mun nyatanya aku tertipu.... Jangan-jangan orang ini 

adalah Hantu Pesolek! Bukankah dia takut menunjuk-

kan tampang...?!” Dada Joko jadi berdebar. “Bagaima-

na enaknya...?”

Selagi murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan 

begitu rupa, orang yang duduk di hadapannya perde-

ngarkan suara.

“Sikapmu menunjukkan kau takut dan bimbang!”

“Bukan aku menyinggung. Tapi belum lama berse-

lang aku telah ditipu orang! Dia seolah-olah tahu ba-

nyak urusanku! Lalu memberi petunjuk! Ternyata se-

mua itu hanyalah muslihatnya saja!”

“Aku takut mendengar ceritamu.... Tapi kuharap 

kau tidak takut mendengar ucapanku. Bukankah yang 

memuslihatimu adalah seorang pemuda pesolek...?!”

“Hem.... Nyatanya dia tahu...! Jangan-jangan dia 

Hantu Pesolek juga!”

“Anak muda.... Sebenarnya aku takut dan sungkan 

mengatakannya. Namun agar tidak ada salah sangka 

di antara kita, perlu kujelaskan padamu. Kau tak usah 

takut kalau aku adalah orang yang menipumu! Aku 

baru kali ini bertemu denganmu.... Tapi jangan lantas 

kau memintaku untuk tunjukkan wajah! Hal itu ada-

lah sesuatu yang paling kutakutkan!”

“Hem.... Kalau begitu kau adalah Paduka Seribu 

Masalah!”

“Kau tak usah takut. Bersama berlalunya waktu, 

kelak kau akan mendapat jawabannya....”

Murid Pendeta Sinting berpikir beberapa saat. Lalu

berkata.

“Baiklah.... Sekarang kuharap kau berada di depan! 

Kita menuju ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!”

Orang yang duduk di atas tanah gerakkan tangan 

kanannya ke udara. Lalu membuat gerakan melambai.

Joko cepat berpaling dengan dahi berkerut. Namun 

ketegangannya mereda bahkan sepasang matanya se-

dikit membelalak tatkala tahu apa yang dilakukan 

orang.

Bersamaan dengan lambaian tangan kanan orang, 

sampan yang terapung di atas aliran sungai bergerak 

merapat. Dan belum sampai benar-benar merapat, Jo-

ko merasakan deruan angin halus. Lalu terlihat so-sok


orang berkelebat dengan posisi duduk. Kejap lain 

orang yang tadi duduk merangkapkan kaki di atas ta-

nah, telah duduk di atas sampan!

“Sebentar lagi hari akan gelap! Sementara perjala-

nan masih agak jauh! Kuharap agar kau tidak mem-

buang-buang waktu!” Orang yang tadi duduk di atas 

tanah dan kini telah duduk di atas sampan berkata.

Tanpa pikir panjang lagi, Joko segera berkelebat la-

lu melompat dan tegak di belakang orang. Bersamaan 

itu kedua tangan orang yang duduk rangkapkan kedua 

kaki bergerak-gerak. Hebatnya, saat itu juga sampan 

berpenumpang dua orang itu bergerak melintasi aliran 

sungai!

“Apakah kira-kira tiga hari mendatang kita sudah 

bisa kembali ke hutan bambu itu?!” Joko ajukan tanya 

setelah agak lama sama berdiam diri.

“Aku takut untuk memastikannya! Semua itu ter-

gantung selesai tidaknya urusanmu...!”

“Kau tahu siapa sebenarnya manusia yang se-

butkan diri dengan Datuk Kala Sutera itu?”

Yang ditanya terdiam beberapa lama. Lalu berujar.

“Aku tidak tahu benar. Cuma aku pernah dengar...”

“Apakah betul semua keterangannya?!”

“Dia tidak berkata dusta...! Semua keterangannya 

benar!”

Pendekar 131 tertawa. “Bagaimana mungkin hal itu 

bisa terjadi?! Mana ada suami yang bisa tidak ingat la-

gi siapa nama istrinya?!”

“Anak muda... Jangan dikira aku menakut-nakuti-

mu kalau kukatakan, apa yang ada di muka bumi ini 

segalanya serba mungkin! Malah tidak mustahil pula 

kau kelak akan terlibat di dalam urusan Datuk Kala 

Sutera!”

Mendengar ucapan orang, Joko makin keraskan tawanya hingga sampan yang ditumpanginya bergo-

yang-goyang. “Aku tahu...,” kata Joko. “Aku telah terli-

bat dalam urusan dengan Datuk Kala Sutera. Tapi ke-

terlibatanku hanya sebatas perjanjianku tadi!”

Kini balik orang yang duduk di hadapan Joko yang 

perdengarkan tawa panjang sebelum akhirnya berkata.

“Sekali lagi jangan kira aku menakut-nakutimu, 

Anak Muda.... Justru perjanjianmu tadi adalah awal 

sebuah urusan panjang!”

“Kau tidak takut menjelaskannya lebih jauh?!”

Yang ditanya geleng kepala. “Sayang sekali, Anak 

Muda.... Aku takut menjelaskannya lebih jauh!”

Murid Pendeta Sinting lagi-lagi menghela napas 

panjang. Mungkin untuk tenangkan diri akhirnya mu-

rid Pendeta Sinting bergumam sendiri dalam hati. 

“Ah.... Mungkin dia hanya menakut-nakutiku....”

Baru saja Joko bergumam tenangkan diri, orang 

yang duduk di depannya angkat suara.

“Anak muda.... Sebenarnya aku takut mengatakan-

nya padamu. Tapi coba kau lihat dengan seksama. 

Apakah kau melihat seseorang di seberang sana?!”

Pendekar 131 segera lepas pandangan ke seberang. 

Namun Joko hanya melihat hamparan tanah terbuka 

yang banyak ditebari batu-batu. Tidak satu sosok yang 

terlihat.

“Aku tidak melihat siapa-siapa!”

“Anak muda.... Jangan cepat memutuskan! Coba 

kau teliti sekali lagi!”

Dengan enggan Joko pentangkan mata lalu edarkan 

pandangan ke hamparan tanah terbuka yang ditebari 

batu-batu. Namun hingga matanya pedih mencari-cari, 

dia tidak dapat menemukan seseorang.

“Aku tidak melihat siapa-siapa!”

“Hem.... Syukurlah! Mudah-mudahan penglihatan


mu yang benar!” ujar orang yang duduk rangkapkan 

kaki. Lalu gerakkan kedua tangannya beberapa kali 

seolah melambai. Saat yang sama sampan yang di-

tumpangi meluncur deras. Dan beberapa saat kemu-

dian telah merapat di tepian.

Dua tombak lagi sampan itu menyentuh tepi aliran 

sungai, orang yang duduk rangkapkan kaki gerakkan 

pantatnya. Sosoknya melesat dan tahu-tahu sudah du-

duk di samping sebuah bongkahan batu.

Murid Pendeta Sinting edarkan pandangan sekali 

lagi. Lalu ikut berkelebat dan tegak tidak jauh dari 

orang yang duduk di samping bongkahan batu.

Baru saja Joko tegak berdiri, mendadak satu 

bayangan berkelebat. Joko tersentak kaget dan cepat 

ber-paling. Memandang ke depan, dia melihat seorang 

gadis berparas cantik berambut panjang dikelabang 

dua. Sepasang matanya bulat dan tajam. Hidungnya 

mancung ditingkah bibir merah tanpa polesan. Gadis 

ini mengenakan pakaian berwarna ungu.

“Harap sebutkan nama dan tujuan!” Mendadak si 

gadis perdengarkan bentakan.

Joko memandang pulang balik ke arah orang yang 

duduk di tanah rangkapkan kedua kaki. Lalu ke arah 

gadis cantik berbaju ungu di hadapannya.

“Hem.... Penglihatan orang yang duduk itu sangat 

luar biasa sekali! Aku yakin dia tadi tidak mengangkat 

wajah melihat ke tempat ini. Tapi nyatanya dia bisa 

mengetahui keberadaan orang....”

Sementara murid Pendeta Sinting membatin begitu, 

gadis cantik berbaju ungu di hadapannya arahkan 

pandangannya pada Joko sesaat. Lalu pada orang yang 

duduk rangkapkan kaki.

Dahi si gadis berkerut. Sikap orang yang tidak me-

ngangkat wajahnya membuat gadis ini mulai terlihat


agak jengkel, apalagi murid Pendeta Sinting sendiri ti-

dak segera menjawab pertanyaannya. Hingga seraya 

arahkan pandangan ke jurusan lain dia buka mulut 

lagi.

“Kalian tidak ada yang mau sebutkan nama dan tu-

juan! Harap segera angkat kaki dari tempat ini!”

“Tunggu! Tunggu!” tahan Joko sambil pulang balik-

kan kedua tangan. “Aku Joko... Joko Sableng!”

Si gadis berpaling menatap pada Joko. Lalu melirik 

pada orang yang duduk rangkapkan kaki.

Lirikan mata si gadis membuat Joko maklum. Dia 

cepat-cepat angkat suara. “Dia adalah sahabatku. Na-

manya...” Joko kebingungan sebutkan nama.

“Anak muda bernama Joko Sableng...” Orang yang 

duduk rangkapkan kaki perdengarkan suara. “Jangan 

sebutkan nama. Aku takut mendengarnya!”

Gadis berbaju ungu mendelik. Kemarahan jelas 

membayang di wajahnya. Joko tahu gelagat. Dia cepat 

mendekati si gadis. Namun belum sampai mendapat 

dua langkah, si gadis sudah membentak.

“Tetap di tempatmu!”

Pendekar 131 batalkan niat. Lalu mendahului buka 

suara sebelum si gadis angkat bicara.

“Harap maafkan.... Jangankan kau. Aku sebagai

sahabatnya saja belum tahu siapa dia sebenarnya!” 

Joko sunggingkan senyum. Namun senyumnya segera 

diputus ketika mendapati si gadis memberengut dan 

palingkan wajah sambil berucap ketus.

“Harap segera tinggalkan tempat ini!”

“Kami memang akan segera pergi.... Tujuan kami 

memang bukan tempat ini! Tapi.... Aku tadi telah se-

butkan nama padamu. Sebelum aku pergi, kuharap 

kau mau juga perkenalkan diri!”

“Aku Dayang Tiga Purnama!”

“Hem.... Melihat wajah gadis ini, membuatku ter-

ingat pada beberapa orang gadis yang belum lama ber-

selang sempat kutemui!” Tanpa sadar terbayang paras 

wajah Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Samu-

dera, dan dua gadis berbaju merah dan kuning yang 

sempat dijumpainya di pinggiran sungai saat bersite-

gang dengan Bidadari Pedang Cinta dan bukan lain 

adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat 

Cakrawala.

“Aku telah sebutkan nama. Kuharap kalian segera 

angkat kaki!” Gadis yang baru sebutkan nama Dayang 

Tiga Purnama berucap agak lantang tanpa meman-

dang.

“Bagaimana?! Kau tidak takut teruskan perjala-

nan?!” Joko bertanya pada orang yang duduk rang-

kapkan kaki.

“Anak muda.... Kalau memang tidak ada hal lain 

yang akan kau bicarakan dengan gadis cantik itu, aku 

tidak takut untuk teruskan ikut bersamamu!”

“Dayang Tiga Purnama.... Kau tinggal di tempat 

ini?!”

“Itu urusanku! Aku tak ingin memberi keterangan 

apa-apa! Yang kuinginkan kalian segera angkat kaki 

teruskan perjalanan!”

“Kau ada hubungan dengan gadis bernama Bidadari 

Delapan Samudera?!” Joko ajukan tanya tidak peduli-

kan ucapan Dayang Tiga Purnama.

“Kau dengar! Aku tak ingin memberi keterangan 

apa-apa!”

“Kenal dengan Paduka Seribu Masalah?!”

Dayang Tiga Purnama terlengak. Diam-diam dalam 

hati gadis ini membatin. “Dari parasnya, sepertinya dia 

bukan asli orang negeri ini! Siapa dia sebenarnya?! 

Mengapa bertanya tentang Paduka Seribu Masalah?!

Apakah dia juga tengah mencari Paduka Seribu Masa-

lah...?!”

“Tampaknya kau memang tidak ingin memberi kete-

rangan.... Aku tidak memaksa!” Joko tersenyum lalu 

gerakkan tangan menyentuh pundak orang yang du-

duk rangkapkan kaki memberi isyarat. Saat lain murid 

Pendeta Sinting melangkah.

“Tunggu!” Dayang Tiga Purnama berseru. Namun 

Joko seolah tidak mendengar seruan orang. Dia te-

ruskan langkah. Sementara orang yang duduk rang-

kapkan kaki tidak bergerak dari tempatnya semula.

“Hai! Tunggu!” Dayang Tiga Purnama berteriak se-

kali lagi seraya melompat dan tegak dengan sikap 

menghadang di depan Pendekar 131.

***

TUJUH



PENDEKAR 131 hentikan langkah. Memandang si 

gadis dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun se-

jauh ini murid Pendeta Sinting masih kancingkan mu-

lut.

Dayang Tiga Purnama sendiri sedikit merasa jengah 

dipandangi orang begitu rupa hingga dia cepat alihkan 

pandangan. Dalam hati dia berkata. “Apakah aku la-

yak bertanya padanya?! Dia seperti orang asing. Mung-

kinkah dia tahu tentang Paduka Seribu Masalah?! 

Ah....”

“Mau utarakan sesuatu?!” Akhirnya Joko buka sua-

ra.

Dayang Tiga Purnama menoleh. Mulutnya sudah 

bergerak membuka. Namun entah mengapa, menda

dak gadis cantik ini cepat-cepat katupkan kembali mu-

lutnya seraya gelengkan kepala. Saat lain dia putar diri 

hendak melangkah.

“Dari sikapnya, jelas dia ingin mengutarakan sesua-

tu. Tapi jelas pula dia merasa bimbang....” Joko mem-

batin. Lalu berkata.

“Aku tahu. Kau bimbang hendak ucapkan sesuatu. 

Harap tidak berprasangka buruk. Kita memang baru 

bertemu. Tapi tak ada salahnya kalau kau ingin men-

gutarakan sesuatu padaku. Siapa tahu kita bisa saling 

membantu...!”

Dayang Tiga Purnama urungkan niat langkahkan 

kaki. Lalu perlahan-lahan putar diri lagi menghadap 

murid Pendeta Sinting. Tapi lagi-lagi gadis cantik ini 

batalkan niat untuk berucap meski mulutnya telah 

bergerak membuka.

Pendekar 131 tersenyum. “Dayang Tiga Purnama....” 

Hanya sampai di situ Joko berucap. Karena si gadis te-

lah perdengarkan suara.

“Tidak keberatan mengatakan siapa kau sebenar-

nya?!”

“Hem.... Ucapanmu membuktikan kalau kau masih 

menaruh sak wasangka padaku.... Tapi tak apa.... Se-

perti kukatakan tadi. Aku Joko Sableng!”

“Bukan itu maksud pertanyaanku....”

Murid Pendeta Sinting maklum akan maksud 

Dayang Tiga Purnama. Seraya anggukkan kepala dia 

berkata.

“Aku memang bukan orang negeri ini. Aku berasal 

dari negeri jauh di seberang laut!”

“Datang jauh-jauh dari negeri seberang laut. Pasti 

kau punya tujuan sangat penting hingga sampai di ne-

geri ini....”

Pendekar 131 gelengkan kepala. “Ceritanya sangat

panjang. Yang jelas kalaupun aku sampai menginjak-

kan kaki di negeri ini, itu semua bukan kusengaja. 

Mungkin hanya takdir yang membawaku.... Tapi aku 

tidak kecewa dengan suratan yang harus kujalani. Ka-

rena aku selalu bertemu dengan gadis-gadis cantik se-

pertimu....”

Wajah Dayang Tiga Purnama bersemu merah. Na-

mun kali ini gadis cantik berbaju ungu itu tidak beru-

saha palingkan wajah. Sebaliknya memandang tajam 

pada bola mata murid Pendeta Sinting. Hingga untuk 

beberapa lama kedua orang ini saling berpandangan.

“Aku tadi mendengar kau sebutkan nama seorang 

gadis.... Kau tengah dalam perjalanan mencarinya?!” 

tanya Dayang Tiga Purnama dengan suara sedikit di-

rendahkan.

Joko menjawab dengan gelengkan kepala seraya be-

rucap. “Di negeri ini, aku sempat bertemu dengan be-

berapa orang gadis. Di antaranya adalah gadis berna-

ma Bidadari Delapan Samudera. Kalau aku tadi me-

nyebutnya, semata-mata karena aku melihat kemiri-

pan antara kau dengan Bidadari Delapan Samudera.... 

Kau mengenalnya?!”

Dayang Tiga Purnama tersenyum dengan mengge-

leng. Lalu berujar.

“Kau tadi juga sebut-sebut orang berjuluk Paduka 

Seribu Masalah.... Kau mengenalnya?!”

Joko terdiam beberapa lama. Tanpa sadar matanya 

bergerak memandang ke arah orang yang masih duduk 

rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu. “Aku be-

lum bisa memastikan apakah dia manusianya yang 

bernama Paduka Seribu Masalah meski dari sikap dan 

ucapannya aku menduga dia adalah Paduka Seribu 

Masalah!” Joko alihkan pandangan pada Dayang Tiga 

Purnama. “Dari ucapan pertanyaannya, jangan-jangan


gadis ini tengah mencari Paduka Seribu Masalah.... 

Hem.... Bagaimana aku harus menjawab?!”

Selagi murid Pendeta Sinting membatin begitu, 

Dayang Tiga Purnama ulangi pertanyaan. “Kau men-

genal Paduka Seribu Masalah?!”

“Dia adalah sahabatku....”

Dayang Tiga Purnama terkejut. “Dia baru saja me-

ngaku sebagai orang dari negeri seberang laut. Bagai-

mana mungkin dia juga mengaku sebagai sahabat Pa-

duka Seribu Masalah?! Bukankah Paduka Seribu Ma-

salah adalah tokoh negeri ini?!”

“Boleh aku bertanya. Sejak kapan kau berada di ta-

nah Tibet?!” tanya Dayang Tiga Purnama.

“Memang belum lama. Tapi mungkin nasib baik 

yang membawaku bisa bersahabat dengan beberapa 

orang di negeri ini! Sebagai orang negeri ini, tentu kau 

juga mengenal Paduka Seribu Masalah. Benar...?!” Jo-

ko balik bertanya untuk meyakinkan dugaan apakah 

orang yang tengah duduk rangkapkan kaki di sebelah 

bongkahan batu adalah Paduka Seribu Masalah.

Dayang Tiga Purnama tidak segera buka mulut. Jo-

ko jadi bertanya-tanya dalam hati. “Hem.... Gadis ini 

sepertinya tidak mengenali orang yang duduk rang-

kapkan kaki itu. Jangan-jangan orang itu bukan Pa-

duka Seribu Masalah... Kalau dia Paduka Seribu Masa-

lah, tentu gadis ini mengenalinya sejak pertama me-

lihat. Tapi mengapa Datuk Kala Sutera menduga orang 

itu adalah Paduka Seribu Masalah?! Mana di antara 

keduanya yang benar...?!”

“Aku memang orang negeri ini...” Akhirnya Dayang 

Tiga Purnama berkata setelah agak lama terdiam. “Tapi 

nyatanya kau lebih beruntung...”

“Maksudmu...?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Kau belum lama berada di negeri ini. Tapi kau telah bersahabat dengan Paduka Seribu Masalah! Se-

mentara aku melihat pun belum pernah!”

“Hem.... Sepertinya kau punya urusan dengan Pa-

duka Seribu Masalah!” Joko langsung menebak setelah 

menyimak ucapan-ucapan Dayang Tiga Purnama.

“Sebenarnya aku tidak punya urusan apa-apa de-

ngan Paduka Seribu Masalah. Bagaimana aku bisa 

punya urusan kalau bertemu pun belum pernah?!”

“Belum pernah bertemu bukan satu jaminan kalau 

orang itu tidak punya urusan...”

“Hem... Ucapannya benar juga... Apakah aku harus 

bertanya padanya?! Apakah ucapannya bisa diper-

caya?!” Dayang Tiga Purnama dilanda kebimbangan. 

Lalu bertanya.

“Benar kau adalah sahabat Paduka Seribu Masa-

lah?!”

“Aku tidak mau membuka urusan dengan orang 

dengan mengaku-aku dan berkata dusta!” kata Joko 

setelah yakin kalau orang yang duduk rangkapkan ka-

ki di sebelah bongkahan batu adalah Paduka Seribu 

Masalah.

“Mau mengatakan padaku di mana aku bisa berte-

mu dengannya?!”

“Walau kau belum pernah bertemu, mungkin kau 

sudah pernah dengar. Mencari Paduka Seribu Masalah 

adalah urusan gampang-gampang sulit! Tidak dicari 

mendadak saja nongol, tapi kalau tengah dicari dia 

seolah lenyap ditelan bumi!” Joko hentikan ucapannya 

sejenak. Lalu menyambung.

“Kalau kau percaya padaku, katakan saja apa uru-

sanmu dengan Paduka Seribu Masalah! Kalau nanti 

aku bertemu dengannya, aku bisa mengutarakan!”

Dayang Tiga Purnama menghela napas. Lalu tenga-

dahkan sedikit kepalanya. Jelas wajahnya membayangkan perasaan gelisah dan galau.

“Aku bukan tak percaya padamu...,” akhirnya 

Dayang Tiga Purnama berucap. “Tapi aku tidak bisa 

mengutarakan maksud selain pada Paduka Seribu Ma-

salah!”

“Itu sama saja kau belum percaya padaku! Tapi ter-

serah padamu.... Aku hanya menawarkan...!”

“Terima kasih.... Mungkin aku masih butuh waktu! 

Kalau kelak aku gagal, tidak mustahil aku terpaksa 

akan mengutarakan maksudku padamu.... Sekarang 

kau hendak ke mana?!” Dayang Tiga Purnama alihkan 

pembicaraan.

“Benar ini tempat yang harus dilewati kalau ingin 

sampai Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!”

“Kalau kau ingin ke lembah itu, kau telah melewati 

jalan yang benar!”

“Terima kasih.... Aku harus segera pergi!” kata Joko 

seraya arahkan pandangan pada orang yang duduk 

rangkapkan kaki. Lalu berseru.

“Sahabatku.... Bagaimana sekarang?! Kau akan te-

rus bersamaku atau tetap berada di sini?!”

“Kau jangan menakut-nakuti aku dengan ucapan 

seperti itu! Di antara kita sudah terjadi sepakat! Kau 

pasti takut pergi tanpa aku, begitu juga sebaliknya! 

Aku tidak akan berani tanpa bersamamu!”

Mendengar ucapan orang, Joko cepat putar diri. 

Namun sebelum melangkah dia masih buka suara lagi.

“Dayang Tiga Purnama.... Kau benar-benar tidak 

mau mengutarakan urusanmu dengan Paduka Seribu 

Masalah?!”

Yang ditanya berpaling pada orang yang duduk 

rangkapkan kaki. “Ah.... Sebaiknya aku utarakan saja. 

Sepertinya dia pemuda baik-baik.... Tapi aku tidak in-

gin orang yang duduk itu mendengarnya pula meski

dia adalah sahabat pemuda itu!”

Karena tidak ada jawaban, murid Pendeta Sinting 

berpaling. Saat yang sama Dayang Tiga Purnama alih-

kan pandangan matanya dari orang yang duduk rang-

kapkan kaki. Lalu melangkah mendekati Joko dan 

berkata pelan.

“Aku akan mengatakannya padamu. Tapi...” Si ga-

dis tidak lanjutkan ucapan. Tapi melirik pada orang 

yang duduk rangkapkan kaki.

Murid Pendeta Sinting tampaknya dapat membaca 

gelagat. “Kau tak ingin ada orang lain yang mende-

ngarnya?!”

Dayang Tiga Purnama anggukkan kepala sambil 

berkata setengah berbisik. “Bukan aku tak percaya 

dengan sahabatmu itu. Tapi rasanya tak enak kalau 

urusanku diketahui banyak orang! Kuharap kau me-

ngerti...”

Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama me-

langkah. Joko tersenyum. Tanpa pikir panjang lagi dia 

segera mengikuti di belakang si gadis.

Di tempat yang agak jauh dari orang yang duduk 

rangkapkan kaki, Dayang Tiga Purnama berhenti. Lalu 

berucap begitu Joko berhenti tidak jauh di belakang-

nya.

“Sebelum kukatakan, aku minta padamu. Harap 

apa yang kukatakan nanti tidak kau bicarakan pada 

siapa saja selain dengan Paduka Seribu Masalah!”

“Aku akan pegang janji! Sekarang katakanlah....”

“Selama ini aku hidup bersama seorang Eyang. Pa-

da mulanya memang seperti tidak ada hal yang perlu 

diselesaikan. Namun begitu aku agak besar, mulai tim-

bul pertanyaan... Karena selama itu aku belum pernah 

mengenal siapa orangtuaku. Aku mulai sering mena-

nyakan perihal kedua orangtuaku pada Eyang. Namun

jawaban yang kuperoleh selama ini tidak membuatku 

puas. Sepertinya Eyang menyembunyikan sesuatu pa-

daku...” Dayang Tiga Purnama hentikan keterangan-

nya. Wajahnya berubah sedikit murung. Sementara 

murid Pendeta Sinting menyimak keterangan si gadis 

dengan seksama tanpa buka mulut.

“Gelagat Eyang membuatku penasaran. Hingga tak 

henti-hentinya aku terus bertanya padanya. Tapi ja-

waban yang kuterima masih saja belum membuatku 

puas. Dan sikap Eyang membuatku makin yakin kalau 

Eyang menyembunyikan sesuatu. Hingga pada akhir-

nya aku memaksa Eyang untuk mengatakan apa se-

benarnya yang disembunyikan padaku....”

“Dia mau mengatakannya?!” Joko bertanya.

Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Dia tetap ti-

dak mau mengatakannya! Hingga aku mengancam 

akan pergi meninggalkan dia kalau dia tetap tidak mau 

membuka diri!”

“Lalu...?!”

“Akhirnya Eyang memberi penjelasan. Bahwa satu-

satunya orang yang bisa memberi keterangan adalah 

Paduka Seribu Masalah! Tapi jawaban itu belum mem-

buatku tenang. Aku bertanya mengapa harus Paduka 

Seribu Masalah yang memberi keterangan! Eyang tidak 

mau menjelaskan. Dia hanya berpesan, kalau aku in-

gin tahu, aku harus mencari Paduka Seribu Masalah!”

Untuk kedua kalinya Dayang Tiga Purnama henti-

kan ucapannya. Setelah menghela napas dan arahkan 

pandangan pada orang yang duduk rangkapkan kaki 

di seberang sana, gadis ini buka mulut lagi.

“Aku bertanya pada Eyang di mana bisa kutemui 

Paduka Seribu Masalah. Jawaban yang kuterima ham-

pir mirip dengan ucapanmu tadi. Mencari Paduka Se-

ribu Masalah adalah urusan gampang-gampang susah!

Dia tidak bisa ditentukan di mana beradanya. Lebih 

dari Itu aku tidak memperoleh keterangan bagaimana 

manusia yang bernama Paduka Seribu Masalah!”

“Hem.... Lalu mengapa kau berada di tempat ini?!”

“Daerah ini adalah tempat tinggalku. Di sebelah sa-

na ada sebuah goa agak besar. Di sanalah selama ini 

aku hidup bersama Eyang....” Dayang Tiga Purnama 

arahkan telunjuknya pada satu jurusan.

“Joko.... Seandainya kau nanti bertemu dengan Pa-

duka Seribu Masalah, kuharap kau mau membantuku. 

Kau telah tahu di mana tempat tinggalku....”

“Kau yakin Paduka Seribu Masalah dapat membuka 

rahasia hidupmu?!”

“Pada mulanya aku memang heran dengan kete-

rangan Eyang. Tapi setelah aku mencari keterangan, 

aku mendapatkan kabar, jika manusia yang bergelar 

Paduka Seribu Masalah adalah seorang yang memiliki 

kepandaian aneh. Dia tahu seribu masalah orang 

meski orang yang belum pernah dikenalnya! Tapi aku 

mendapatkan kesulitan untuk mencarinya meski aku 

telah berusaha!”

Pendekar 131 menghela napas panjang seakan ikut 

merasakan kesenduan Dayang Tiga Purnama. Lalu 

berkata pelan.

“Masih ada yang hendak kau sampaikan?!”

Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Aku hanya 

meminta kau tidak mengatakan apa yang baru kuuta-

rakan pada orang lain selain Paduka Seribu Masa-

lah...”

Pendekar 131 anggukkan kepala. Lalu arahkan 

pandang matanya pada orang yang duduk rangkapkan 

kedua kaki.

“Dayang Tiga Purnama... Aku harus segera teruskan 

perjalanan. Kalau boleh tahu, apakah aku masih memerlukan sampan untuk melintasi enam sungai beri-

kutnya?!”

“Kau tidak perlu lagi sampan itu. Kau memang akan 

melintasi enam sungai lagi sebelum mencapai lembah. 

Tapi sungai itu bisa dilewati dengan melompat-lompat. 

Karena hanya aliran sungai kecil dan banyak batu-

batu yang dapat kita buat loncatan hingga sampai ke 

tepian....”

“Terima kasih.... Sekarang aku harus pergi. Mudah-

mudahan aku segera memperoleh keterangan yang 

kau perlukan....”

Habis berkata begitu, Joko melangkah kembali ke 

arah orang yang duduk rangkapkan kaki. Namun baru 

mendapat enam langkah dia ingat sesuatu. Seraya pa-

lingkan wajah, Joko bertanya.

“Siapa nama eyangmu...?!”

“Kita nanti mungkin masih bertemu lagi. Kelak aku 

akan memberitahukan padamu! Selamat jalan....”

Joko tersenyum, lalu berpaling lagi pada orang yang 

duduk rangkapkan kaki. Namun baru saja kepalanya 

bergerak, sosok yang duduk rangkapkan kaki telah 

membuat gerakan. Sosoknya melesat dengan tetap da-

lam posisi duduk dan saat lain sudah berada jauh di 

sana!

“Hai! Tunggu...!” Joko berteriak, lalu berlari menyu-

sul.

Dayang Tiga Purnama pandangi sosok murid Pen-

deta Sinting. Saat itulah mendadak dia sadar. “Ah... 

Mengapa aku cepat percaya pada pemuda itu...?! Pa-

dahal aku belum kenal betul siapa dia... Tapi... Mu-

dah-mudahan saja semua keterangannya benar....”

Dayang Tiga Purnama terus memperhatikan hingga 

sosok murid Pendeta Sinting dan orang yang tadi du-

duk rangkapkan kaki lenyap di ujung sana. Lalu putar

diri melangkah. Aneh, di pelupuk matanya terus ter-

bayang paras Pendekar 131 Joko Sableng!

***

DELAPAN

BIDADARI Tujuh Langit tegak memandang pada 

dua sosok tubuh yang tergeletak di atas jerami tebal 

dengan bibir sunggingkan senyum kepuasan. Sekujur 

tubuhnya basah oleh keringat mulai dari rambut sam-

pai kaki. Pakaian yang dikenakan tampak semburat 

tak karuan. Malah dadanya tersingkap lebar hingga 

sepasang payudaranya terlihat jelas dan tampak berge-

rak-gerak turun naik. Pakaian bawahnya juga terngan-

ga lebar memperlihatkan sepasang pahanya yang pa-

dat dan mulus.

Di lain pihak, dua sosok tubuh yang tergeletak di 

atas jerami tebal tampak diam tak bergerak-gerak. Me-

reka adalah dua orang gadis berparas cantik. Namun 

keadaannya sangat mengenaskan. Pakaian yang dike-

nakan sudah robek di sana-sini bahkan nyaris te-

lanjang. Rambutnya kusut awut-awutan. Sementara 

wajahnya basah, bukan saja oleh keringat namun juga 

air mata.

Bidadari Tujuh Langit usap wajahnya. Lalu rapikan 

pakaian dan melangkah mendekati dua sosok gadis di 

atas jerami tebal. Dia memperhatikan beberapa lama 

pada sekujur tubuh dua sosok di hadapannya. Sepa-

sang matanya membelalak liar. Saat bersamaan da-

danya bergerak-gerak keras.

“Hem.... Sebenarnya aku masih ingin menikmati 

kemolekan tubuh mereka berdua.... Tapi si Pasangan


Mesum itu terlalu enak kalau tidak segera diberi tahu 

apa yang menimpa utusannya.... Lebih dari itu, aku 

ingin agar mereka segera mencariku. Dan akan kuajar-

kan pada si perempuannya bagaimana cara bercinta 

yang baik dan mengasyikkan...!”

Bidadari Tujuh Langit tertawa cekikikan. Kedua 

tangannya bergerak dan mengusap paha kedua sosok 

gadis di atas jerami tebal. Kedua tangan perempuan 

bertubuh sintal berwajah cantik ini tampak bergetar. 

Napasnya berhembus panjang-panjang.

Saat lain Bidadari Tujuh Langit yang mulai dilanda 

gelegak hawa nafsu itu gerakkan kedua tangan ke arah 

leher masing-masing gadis.

Dua sosok gadis yang tergeletak terlonjak. Saat ber-

samaan sepasang mata mereka membuka. Untuk be-

berapa saat dua pasang mata itu memperhatikan ber-

keliling. Jelas wajahnya membayangkan keheranan. 

Namun begitu mata mereka menumbuk pada sosok 

Bidadari Tujuh Langit, sekonyong-konyong mata mere-

ka mendelik angker. Kejap lain hampir bersamaan ke-

dua gadis itu bergerak bangkit.

Namun kedua gadis itu tercekat. Mata mereka ma-

kin melotot tatkala mereka sadar jika mereka tidak bi-

sa gerakkan anggota tubuh! Dan dari mulut mereka 

keluar suara menggembor marah ketika mereka me-

nyadari bagaimana keadaan diri masing-masing yang 

hampir telanjang!

“Jahanam! Apa yang kau lakukan?!” hampir berba-

rengan kedua gadis di atas jerami berteriak setengah 

menjerit.

Bidadari Tujuh Langit tersenyum. “Galuh Sembilan 

Gerhana... Galuh Empat Cakrawala... Bukan apa yang 

telah kulakukan. Tapi apa yang telah kita lakukan... 

Hik...! Hikk...! Hik...! Kita baru saja menikmati indah

nya surga dunia... Kuharap kalian tidak melupakan 

apa yang baru saja kita lakukan bersama-sama...”

“Perempuan jalang!” jerit gadis sebelah kanan yang 

pakaian merahnya tampak awut-awutan dan bukan 

lain adalah Galuh Sembilan Gerhana.

“Perempuan mesum!” Gadis sebelah kiri yang pa-

kaian kuningnya juga tampak berserakan dan tidak 

lain adalah Galuh Empat Cakrawala ikut berteriak.

Bidadari Tujuh Langit tertawa panjang. “Gadis-ga-

disku... Seharusnya kalian bersyukur. Bukan saja ka-

rena kalian telah kuajak menikmati indahnya cinta, le-

bih dari itu kalian masih kubiarkan hidup!”

“Kau hanya berani pada orang yang tak berdaya!” 

seru Galuh Sembilan Gerhana.

“Aku bersumpah akan membunuhmu!” Galuh Em-

pat Cakrawala menyahut dengan suara tinggi.

“Terserah apa kata kalian! Yang jelas, kalau aku 

mau, membunuh kalian berdua bukan pekerjaan sulit! 

Tapi aku tak mau melakukan hal itu! Kalian tahu apa 

sebabnya?!”

Belum sampai ada yang buka mulut menjawab, Bi-

dadari Tujuh Langit sudah menyambung. “Agar dua 

jahanam yang memerintahkan kalian tahu. Bidadari 

Tujuh Langit bukan manusia bodoh seperti dugaan 

mereka! Lebih dari itu, aku ingin menikmati kemole-

kan perempuan keparat salah satu manusia yang me-

ngutus kalian berdua!”

“Lepaskan kami!” teriak Galuh Sembilan Gerhana.

“Tanpa kau minta, aku akan melepas kalian...! Tapi 

sebelumnya kalian perlu tahu...”

“Kau tak usah banyak bicara! Kami tak butuh kete-

rangan apa-apa darimu!” bentak Galuh Empat Cakra-

wala. Namun baik Galuh Sembilan Gerhana maupun 

Galuh Empat Cakrawala hanya bisa berteriak tanpa


bisa membuat gerakan. Karena tubuh mereka masih 

dalam keadaan tertotok.

“Kalian butuh atau tidak itu urusan kalian berdua! 

Yang penting aku telah memberi tahu! Pertama. Sebe-

narnya kalian sengaja diumpankan padaku. Di antara 

kita tidak ada hutang nyawa! Kedua. Sebenarnya yang 

punya urusan darah adalah antara aku dengan Iblis 

Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah si Pasa-

ngan Mesum yang telah memerintahkan kalian! Mere-

ka tidak berani menghadapiku lalu menghasut kalian!”

“Siapa percaya ucapan perempuan binal jahanam 

sepertimu!” sahut Galuh Sembilan Gerhana.

“Aku tidak minta kalian percaya! Aku hanya mem-

beri tahu! Bukan tak mungkin setelah ini kalian akan 

mendapat perintah lagi untuk membunuh seseorang! 

Untung jika kalian berhadapan dengan orang seperti

ku! Aku bukan saja tidak membalas, tapi justru mem-

berikan kenikmatan yang selama ini belum pernah ka-

lian kecap!”

“Ternyata bukan tindakanmu saja yang keji! Tapi 

mulutmu juga pandai menghasut!” Yang berteriak ada-

lah Galuh Empat Cakrawala.

“Aku tahu.... Mungkin saat ini kalian masih dalam 

keadaan panik. Kalian membutuhkan waktu untuk 

merenungkan ucapanku!”

Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit mem-

buat gerakan melompat. Galuh Empat Cakrawala dan 

Galuh Sembilan Gerhana hanya bisa memandang tan-

pa bisa berbuat banyak. Saat lain kedua gadis ini per-

dengarkan seruan tegang. Lalu sosok keduanya ter-

lempar jatuh dari atas jerami tebal.

Anehnya, saat itu juga Galuh Sembilan Gerhana 

dan Galuh Empat Cakrawala bisa gerakkan anggota 

tubuhnya.


Sadar bisa bergerak, Galuh Sembilan Gerhana dan 

Galuh Empat Cakrawala segera bergerak bangkit. Mata 

mereka liar memandang berkeliling. Malah saat itu ju-

ga Galuh Sembilan Gerhana sudah melompat. Namun 

sosok Bidadari Tujuh Langit sudah tidak kelihatan la-

gi.

“Jahanam keparat!” teriak Galuh Sembilan Gerha-

na. Laksana kesetanan gadis ini berkelebat meski tidak 

tahu arah mana yang harus diambil.

“Tunggu!” Galuh Empat Cakrawala berteriak mena-

han.

Galuh Sembilan Gerhana batalkan niat. Lalu ber-

paling ke arah Galuh Empat Cakrawala. Sepasang ma-

tanya mendelik memperhatikan sosok Galuh Empat 

Cakrawala yang masih tegak dalam keadaan setengah 

telanjang. Saat itulah dia sadar akan dirinya yang kea-

daannya hampir tidak beda dengan Galuh Empat Ca-

krawala.

Seraya rapikan pakaiannya, Galuh Sembilan Ger-

hana berkata dengan suara bergetar parau.

“Kita harus mengejar jahanam binal itu!”

Galuh Empat Cakrawala tidak menyahut. Melain-

kan rapikan pakaiannya dengan bahu berguncang me-

nahan isakan.

Galuh Sembilan Gerhana melangkah mendekati Ga-

luh Empat Cakrawala. Matanya berkaca-kaca saat dia 

berucap.

“Semuanya telah terjadi! Percuma kita sesali! Yang 

jelas, mulai hari ini, kita bersumpah bahwa seluruh 

hidup kita akan kita curahkan untuk membalas pe-

rempuan keparat binal itu!”

“Itu sudah pasti.... Tapi ada satu hal lagi yang ha-

rus segera kita lakukan!” kata Galuh Empat Cakrawala 

setelah agak lama terdiam.


“Apa...?!”

“Selama ini kita hanya lakukan apa yang diperin-

tahkan Guru tanpa pernah bertanya atau menyelidik 

benar tidaknya apa yang diperintahkan!”

“Kau termakan ucapan perempuan binal tadi, Ga-

luh....”

Galuh Empat Cakrawala gelengkan kepala. “Ti-

dak... Selama ini kita memang tidak pernah mencoba 

bertanya. Kita percaya begitu saja!”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?!”

“Kita menemui Guru! Kita minta penjelasan duduk 

persoalan sebenarnya! Setelah itu kita menyelidik di 

samping mencari jalan untuk membunuh perempuan 

jahanam binal tadi!”

Galuh Sembilan Gerhana anggukkan kepala. Saat 

lain kedua gadis ini berkelebat setelah memandang 

berkeliling.

***

Dua sosok tubuh yang tengah berpelukan sambil 

berciuman itu tiba-tiba saling tarik pulang wajah mas-

ing-masing dengan paras membesi dan perdengarkan 

dengusan. Saat lain kedua wajah itu menyentak berpa-

ling ke samping kanan dengan mata mendelik angker.

“Ada dua orang menuju kemari!” berkata orang se-

belah kanan yang ternyata adalah seorang laki-laki be-

rusia lanjut berambut putih panjang dan jarang. Pa-

rasnya lonjong dengan kulit putih pucat. Sosoknya ke-

rempeng hingga raut wajahnya hampir saja tidak tertu-

tup daging. Sepasang matanya melotot besar seakan 

mencelat keluar dari dalam rongganya yang cekung da-

lam. Laki-laki ini mengenakan pakaian warna putih 

gombrong besar. Saking gombrongnya pakaian yang 

dikenakan, saat ada angin bertiup, sosoknya tampak


bergoyang-goyang meski sebenarnya dia tidak mem-

buat gerakan apa-apa!

“Hem.... Tampaknya mereka!” Orang kedua yang te-

gak di sebelah kiri menyahut, la adalah seorang pe-

rempuan berusia setengah baya. Walau begitu paras 

wajahnya tetap terlihat cantik jelita. Rambutnya hitam 

lebat dikuncir tinggi. Kulitnya putih bersih dengan hi-

dung mancung dan bibir merah menyala. Lehernya 

jenjang dan dadanya masih tampak membusung ken-

cang dan padat. Pinggulnya yang besar dibalut dengan 

pakaian tipis warna biru sangat ketat, hingga terlihat 

mencuat menggoda!

“Kancingkan bajumu! Aku mendapat firasat tidak

baik!” Si laki-laki bertubuh kerempeng berpakaian 

gombrong besar dan bukan lain adalah Iblis Muka Se-

tan buka suara.

Dengan menyeringai dingin dan hembuskan napas 

panjang, si perempuan yang tidak lain adalah Perem-

puan Kembang Darah cepat lakukan apa yang di-

ucapkan Iblis Muka Setan. Saat lain laki-laki dan pe-

rempuan yang dalam kancah rimba belantara persila-

tan tanah Tibet dikenal dengan julukan Pasangan Me-

sum ini putar diri menghadap ke depan menyongsong 

dua sosok tubuh yang berkelebat menuju ke arah me-

reka.

“Guru berdua! Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh 

Empat Cakrawala datang!” terdengar seruan. Lalu dua 

sosok tubuh sudah berlutut sejarak sepuluh langkah 

di hadapan Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang 

Darah.

Kepala Iblis Muka Setan tersentak ke belakang. Se-

pasang matanya membelalak besar. Mulutnya terkan-

cing rapat namun rahangnya yang hanya tinggal tu-

lang terangkat. Di sebelahnya, Perempuan Kembang


Darah sorongkan wajah ke depan dengan mata mende-

lik dan mulut perdengarkan gumaman tak jelas. Saat 

lain kedua orang ini saling pandang.

“Tampaknya mereka gagal!” berbisik Iblis Muka Se-

tan.

“Benar! Tapi setidaknya kita berhasil menjalankan 

rencana kedua! Dari pakaian dan gelagatnya, jelas apa 

yang kita duga menjadi kenyataan! Bidadari Tujuh 

Langit tidak tahu. Siapa sebenarnya dua gadis yang 

baru saja menjadi mangsanya!”

Iblis Muka Setan anggukkan kepala. Lalu angkat 

suara.

“Galuh Sembilan Gerhana! Galuh Empat Cakrawala! 

Aku melihat pakaianmu tidak seperti biasanya! Apa 

yang telah terjadi...?!”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala angkat kepala lalu memandang pada Iblis Muka 

Setan dan Perempuan Kembang Darah.

“Guru berdua!” Yang buka mulut Galuh Sembilan 

Gerhana. Suaranya masih bergetar dan setengah teri-

sak. “Harap maafkan kami. Kami berdua gagal melak-

sanakan perintahmu...!”

“Mungkin kalian tidak melakukan seperti apa yang 

kita rencanakan!” kata Perempuan Kembang Darah.

“Kami telah melakukan sesuai rencana! Tapi kami 

tetap gagal! Bahkan kami harus mengalami....” Galuh 

Sembilan Gerhana tidak lanjutkan ucapan.

“Kalian tidak perlu bersedih... Kalian masih punya 

waktu untuk melakukannya lagi! Aku akan menurun-

kan ilmu pada kalian berdua!” kata Iblis Muka Setan.

“Terima kasih... Tapi kalau kami boleh bertanya. 

Benarkah kedua orangtua kami memang tewas di tan-

gan Bidadari Tujuh Langit jahanam itu?!” tanya Galuh 

Empat Cakrawala.


Iblis Muka Setan saling lontar lirikan dengan Pe-

rem-puan Kembang Darah. Jelas kedua orang ini sem-

bunyikan rasa kaget. Tapi Iblis Muka Setan buru-buru 

angkat suara.

“Murid-muridku.... Kalian berdua kuasuh sejak ma-

sih bayi. Kalian sebenarnya lebih kuanggap anak dari-

pada murid. Adalah satu hal aneh kalau tiba-tiba kau 

bertanya begitu!”

“Maafkan kami... Kami hanya ingin mendapat keje-

lasan!” ujar Galuh Sembilan Gerhana.

“Tidak ada penjelasan lain! Semuanya sudah jelas! 

Kedua orangtuamu tewas di tangan Bidadari Tujuh La-

ngit pada enam belas tahun silam! Lalu aku mengam-

bil kalian berharap satu saat nanti kalian dapat mem-

balas apa yang dilakukan Bidadari Tujuh Langit pada 

kedua orangtua kalian! Apa yang belum jelas?!”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala saling pandang. Lalu sama arahkan pandangan 

pada kedua guru mereka. Galuh Empat Cakrawala bu-

ka mulut.

“Apakah antara Guru berdua dengan Bidadari Tu-

juh Langit ada urusan darah?!”

“Pada mulanya, kami berdua adalah sahabat Bida-

dari Tujuh Langit. Tapi karena aku mengambil kalian, 

persahabatan kami putus. Bahkan sejak saat itu pula 

Bidadari Tujuh Langit mencoba cari-cari urusan! Seda-

pat mungkin aku menghindar karena aku tahu. Ada 

yang lebih berhak atas nyawa Bidadari Tujuh Langit!”

“Bagaimana sekarang?!” bisik Galuh Sembilan Ger-

hana.

“Kita harus menyelidik... Kita harus mencari tahu 

dengan bertanya pada seseorang..,” jawab Galuh Em-

pat Cakrawala.

“Tapi pada siapa...?!”


“Kau tentu masih ingat cerita Guru tentang seorang 

aneh berjuluk Paduka Seribu Masalah... Kita cari dia! 

Mungkin kita akan mendapat keterangan!”

Habis berkata begitu, tanpa menunggu sambutan 

Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala 

angkat suara.

“Guru berdua... Untuk beberapa hari ini kami minta 

izin pergi ke satu tempat untuk tenangkan diri...”

“Baiklah... Setelah itu nanti kita bicarakan lagi apa 

yang harus kalian lakukan!” kata iblis Muka Setan.

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-

wala sama menjura hormat. Lalu putar diri dan berke-

lebat dari hadapan Iblis Muka Setan dan Perempuan 

Kembang Darah.

***

SEMBILAN



LANGIT malam sudah berganti agak terang ketika 

Pendekar 131 dan orang yang duduk rangkapkan kaki 

mencapai sebuah lembah berbentuk bintang. Joko te-

gak dengan lepas pandangan berkeliling. Lembah itu 

merupakan sebuah tanah terbuka yang banyak dirang-

gasi rumput tebal tinggi dan beberapa jajaran pohon 

besar berdaun rindang, hingga meski suasana sudah 

akan berganti pagi, tapi lembah itu masih terlihat ge-

lap.

“Ini Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!” Joko 

bertanya untuk meyakinkan diri pada orang yang du-

duk rangkapkan kaki tiga tindak di sebelahnya.

“Aku takut mengatakannya. Tapi mungkin memang 

ini lembah yang kau cari!” orang yang duduk dengan

wajah dibenamkan ke belakang rangkapkan kedua ka-

kinya perdengarkan jawaban.

“Aku menyelidik. Harap kau tunggu di sini!”

Tanpa menunggu sahutan orang, murid Pendeta 

Sinting berkelebat. Namun hingga mengitari lembah 

dua kali, dia tidak menemukan siapa-siapa. Bahkan 

dia tidak menemukan tanda-tanda jika lembah itu di-

huni orang. Hingga pada satu tempat dia hentikan la-

rinya.

“Jauh-jauh mencari lembah ini. Setelah kutemukan 

ternyata aku tidak bertemu dengan orang yang kucari! 

Mungkinkah Dewa Asap Kayangan berkata dusta?! Ta-

pi untuk apa...?! Dia bersama Dewa Cadas Pangeran 

telah membantu banyak dalam urusan peta wasiat 

Perguruan Shaolin. Tidak mungkin di antara mereka 

ada yang mau berkata dusta! Tapi mengapa aku tidak 

menemukan di tempat yang pernah dikatakannya?! 

Apa maksud semua ini...?!”

Pendekar 131 menghela napas panjang. Lalu me-

mandang berkeliling sekali lagi. “Aku sengaja memi-

sahkan diri dari orang yang duduk sembunyikan wajah 

dengan harapan dia tidak tahu apa urusanku hingga 

sampai ke lembah ini! Lagi pula aku ingin bertanya 

pada Dewa Asap Kayangan siapa dia sebenarnya!”

Baru saja Joko bergumam begitu, mendadak telin-

ganya mendengar suara orang tertawa bersahut-

sahutan. Joko terlengak dan pasang telinga baik-baik. 

Lalu putar tubuh menghadap ke arah sumber suara 

tawa.

“Aneh... Suara tawa ini datangnya dari tempat mana 

orang yang duduk tadi kutinggalkan... Tapi mengapa 

suara tawa itu diperdengarkan bukan satu orang?! 

Jangan-jangan...”

Murid Pendeta Sinting tidak lanjutkan membatin.


Dia segera berkelebat ke arah datangnya sumber tawa. 

Namun kali ini dia sengaja berkelebat berputar dan 

mengendap-endap mendekati tempat di mana dia tadi 

tinggalkan orang yang duduk rangkapkan kaki.

Dari tempat yang terlindung batangan pohon, Joko 

segera mendekam sembunyi lalu berpaling. Meman-

dang ke depan, sepasang matanya sedikit terbelalak. 

Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut berparas 

lonjong berambut putih jarang serta jabrik. Sepasang 

matanya jereng besar. Pada mulutnya yang mungil ter-

dapat satu pipa cangklong yang kepulkan asap. Dia 

mengenakan celana pendek berwarna putih kusam. 

Pakaian atasnya berupa rompi tanpa lengan. Di pun-

daknya menyelempang sebuah ikat pinggang besar 

yang dihias beberapa pipa. Setiap pipi di mulutnya ke-

pulkan asap, beberapa pipa yang menghiasi ikat ping-

gangnya juga kepulkan asap!

“Dewa Asap Kayangan!” Joko mendesis mengenali 

siapa adanya kakek berpipa. Kakek ini tegak tiga lang-

kah di samping kanan orang yang tengah duduk rang-

kapkan kaki seraya tertawa ngakak.

Joko teruskan pandangan. Karena di sebelah kiri 

orang yang duduk rangkapkan kaki tampak juga se-

orang kakek berpakaian compang-camping. Paras wa-

jahnya tidak kelihatan karena tertutup sebuah benda 

bulat yang berada di depan wajahnya. Benda bulat itu 

adalah sebuah batu putih yang digantungkan pada 

ujung sebuah tambang dan tambang itu berpangkal 

pada punggung orang. Anehnya, meski hanya berupa 

tambang, tapi tambang itu lurus tegak di punggung 

orang lalu begitu tepat di bagian atas kepala, tambang 

itu melengkung hingga batu putih tepat menutupi wa-

jahnya.

“Dewa Cadas Pangeran!” untuk kedua kalinya mu


rid Pendeta Sinting mendesis mengenali siapa adanya 

kakek yang wajahnya tertutup batu putih.

Joko menghela napas lega. “Ternyata perjalananku 

tidak sia-sia. Mereka kutemukan di sini! Mudah-mu-

dahan urusan ini segera selesai... Tapi...” Tiba-tiba 

murid Pendeta Sinting ingat sesuatu. Dia pentang ma-

ta sekali lagi lalu lepas pandangan berkeliling. “Dia ti-

dak kelihatan! Bagaimana urusan ini akan selesai ka-

lau dia tidak ada...?! Ataukah Dewa Cadas Pangeran 

tidak jadi mengambil Dewi Bunga Asmara sebagai mu-

rid?! Lalu apa pula yang membuat mereka bertiga ter-

tawa bergelak-gelak...?! Hem... Ini satu petunjuk kalau 

Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran men-

genali siapa adanya orang yang duduk sembunyikan 

wajah di balik rangkapan kedua kakinya itu!”

Selagi Joko membatin begitu, dari arah depan ter-

dengar orang berkata.

“Sahabatku Paduka Seribu Masalah...!” Yang berka-

ta adalah kakek berpakaian compang-camping yang 

wajahnya tertutup batu putih dan bukan lain memang 

Dewa Cadas Pangeran adanya. “Kau tadi mengatakan 

datang hendak melamar! Tapi kulihat kau datang se-

orang diri. Apakah kau sendiri yang hendak ajukan 

lamaran?!”

“Jangan berkata begitu, Sahabatku... Aku takut!” 

jawab orang yang duduk rangkapkan kaki.

“Hem... Dugaanku tidak jauh meleset. Jadi dia ada-

lah Paduka Seribu Masalah!” gumam murid Pendeta 

Sinting mendengar percakapan orang.

“Kau perlu tahu satu hal, Sahabatku...” Orang yang 

bercelana pendek warna putih kusam dan berompi 

tanpa lengan serta mengisap pipa dan bukan lain me-

mang Dewa Asap Kayangan, buka suara. “Kau boleh 

saja takut pada semua hal! Tapi kuharap kau tidak


merasa takut dengan urusan lamaran ini! Jika itu ter-

jadi, kau tentu tahu apa yang bakal terjadi!”

“Dan kau tak usah khawatir... Gadis itu ditanggung 

meyakinkan! Masih muda, cantik, dan selebihnya me-

mang tengah menunggu untuk dilamar! Kau tunggu 

apa lagi?!” Dewa Cadas Pangeran menimpali.

“Ah... Kalian makin membuatku takut saja...”

“Sahabatku... Kalau kau terus-terusan takut, bagai-

mana jadinya?! Kau tidak takut nantinya bakal terjadi 

malapetaka jika lamaran ini gagal?!” tanya Dewa Cadas 

Pangeran.

“Sahabatku berdua... Harap kalian tidak takut ka-

lau kukatakan jika sebenarnya bukan aku yang punya 

maksud hendak melamar! Tapi seorang sahabat...-. 

Namun harap jangan bertanya siapa. Aku takut men-

jawabnya...!”

Dada murid Pendeta Sinting berdebar tidak enak. 

Dia maklum kalau perbincangan orang ditujukan ke 

arahnya. Hal ini membuatnya sadar kalau keberada-

annya diketahui orang. Maka dia memutuskan untuk 

keluar dari tempat mendekamnya dan berkelebat ke 

arah tiga orang yang tengah berbincang.

“Dewa Asap Kayangan... Dewa Cadas Pangeran... 

Selamat jumpa lagi!” Joko tegak delapan langkah di 

hadapan ketiga orang sambil memandang silih bergan-

ti. Lalu hentikan pandangannya pada orang yang du-

duk rangkapkan kaki. Namun belum sempat dia buka 

mulut, orang yang duduk rangkapkan kaki dan tadi 

dipanggil Paduka Seribu Masalah sudah mendahului.

“Sahabat Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Ka-

yangan... Dialah sahabat yang kukatakan... Dialah 

yang punya maksud untuk melamar... Harap kailan 

berdua tidak merasa takut untuk menyelesaikan uru-

san ini dengannya!”


Dewa Asap Kayangan berpaling. Batu putih di de-

pan wajah Dewa Cadas Pangeran bergerak, tanda o-

rang ini gerakkan kepalanya. Sementara Paduka Seri-

bu Masalah buka sedikit rangkapan kedua kakinya.

“Dewa Cadas Pangeran..,” kata Joko. “Sebenarnya 

kedatanganku bukan untuk melamar... Tapi...” Joko 

tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya putar kepala me-

mandang berkeliling.

“Teruskan ucapanmu, Anak Muda!” Berkata Dewa 

Cadas Pangeran.

“Aku ingin bertanya...” Joko sambungi kata-kata 

yang tadi sempat terputus. Lalu selinapkan tangan ke 

balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar ter-

lihat sebuah gulungan kain putih kusam yang ber-

sambung.

“Ini adalah isi dari kantong putih dan gelang baja 

yang jadi sengketa di Bukit Toyongga pada beberapa 

hari yang lalu... Aku tidak tahu dari mana harus me-

mulai mengadakan perjalanan seperti yang tertera da-

lam kain ini! Aku ingin minta petunjuk!”

Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting me-

langkah ke arah Dewa Cadas Pangeran. Tapi orang 

yang didekati segera perdengarkan suara.

“Perlihatkan saja pada sahabatku Dewa Asap Kaya-

ngan! Urusan kita lain lagi, Anak Muda...”

Joko hentikan langkah. Berpaling sesaat pada Dewa 

Asap Kayangan. Dia bimbang beberapa lama. Namun 

karena Dewa Asap Kayangan tidak buka mulut atau 

memberi isyarat apa-apa, Joko belokkan langkah me-

nuju Dewa Asap Kayangan.

“Kek... Harap beri petunjuk dari mana aku harus 

memulai!” kata Joko seraya pentangkan kain yang ti-

dak lain adalah kain peta dari Perguruan Shaolin.

Dewa Asap Kayangan maju dua tindak menjajari


murid Pendeta Sinting. Lalu buka matanya lebar-lebar 

memperhatikan peta di kain yang bersambung. Saat 

lain tangannya menunjuk pada gambar peta dan ber-

ucap.

“Ini adalah hutan bambu. Kau tentu sudah tahu 

tempatnya! Dari sinilah kau harus memulai perjala-

nan! Hanya itu petunjuk yang bisa kuberikan. Selan-

jutnya kau tentu tahu....”

Joko simak gambar yang ditunjuk Dewa Asap Ka-

yangan seraya anggukkan kepala. Lalu berkata. 

“Terima kasih, Kek....”

Dewa Asap Kayangan mundur lagi mendekati Padu-

ka Seribu Masalah. Joko memperhatikan sekali lagi. 

Lalu lipat kain putih dan dimasukkan ke balik pa-

kaiannya.

“Urusanmu dengan Dewa Asap Kayangan selesai... 

Sekarang kita tuntaskan urusan kita!” Yang berucap 

Dewa Cadas Pangeran.

Murid Pendeta Sinting melirik sesaat pada Dewa 

Asap Kayangan dan Paduka Seribu Masalah dengan 

wajah berubah. Dadanya berdebar. “Sebenarnya aku 

ingin menyelesaikan urusan ini dengan Dewi Bunga 

Asmara sendiri! Tapi nyatanya dia tidak muncul di 

tempat ini....”

“Anak muda... Kau yang memulai, atau aku yang 

bicara dahulu?!” Dewa Cadas Pangeran buka suara se-

telah ditunggu agak lama murid Pendeta Sinting belum 

juga buka mulut.

“Kek... Boleh aku tahu di mana Dewi Bunga Asma-

ra?!”

“Nanti kau akan bertemu dengannya setelah pembi-

caraan kita selesai!”

“Kek... Sebenarnya hal ini harus kukatakan sendiri 

pada Dewi Bunga Asmara...”


Batu putih di depan wajah Dewa Cadas Pangeran 

bergerak pulang balik ke samping kiri kanan tanda ke-

pala orang bergerak menggeleng. “Kita bicarakan dahu-

lu! Selanjutnya kita tentukan nanti...!”

Pendekar 131 tercenung beberapa saat. Dia tampak 

bingung sekaligus bimbang. Dia ragu-ragu untuk mu-

lai bicara karena dia pikir urusannya tidak layak dike-

tahui orang lain.

Seperti diketahui, Pendekar 131 sempat bertemu 

dengan Dewi Bunga Asmara murid tunggal seorang 

nenek bergelar Ratu Selendang Asmara saat terjadi pe-

ristiwa gegernya peta wasiat. Karena inginkan petun-

juk dari Dewi Bunga Asmara, Joko sempat mengu-

capkan janji untuk menghadap Ratu Selendang Asma-

ra bersama Dewi Bunga Asmara. Sikap dan ucapan 

murid Pendeta Sinting ternyata diartikan lain oleh De-

wi Bunga Asmara. Gadis ini jatuh hati dan menduga 

sikap dan ucapan Joko sebagai tanda kalau murid 

Pendeta Sinting juga jatuh hati dan hendak memin-

tanya pada Ratu Selendang Asmara.

Tapi sebelum Joko sempat berbicara dengan Ratu 

Selendang Asmara, si nenek keburu tewas di puncak 

Bukit Toyongga. Dan sebelum Joko sempat pula me-

ngatakan yang sebenarnya pada Dewi Bunga Asmara, 

mendadak gadis cantik murid Ratu Selendang Asmara 

itu dibawa pergi oleh Dewa Cadas Pangeran. Dan saat 

itu juga Dewa Cadas Pangeran berpesan agar Pendekar 

131 kelak mencarinya untuk selesaikan urusan.

Karena dipesan oleh orang yang telah menolongnya 

dan juga karena dia perlu bertanya tentang gambar pe-

ta, akhirnya Joko memenuhi permintaan Dewa Cadas 

Pangeran. Tapi sebenarnya dia ingin bicara langsung 

dengan Dewi Bunga Asmara dalam urusan salah duga 

si gadis.


“Anak muda... Kau tidak mau segera bicara. Ter-

paksa aku yang harus mulai...,” berkata Dewa Cadas 

Pangeran. “Kau harus kawin dengan Dewi Bunga As-

mara!”

Pendekar 131 tersentak kaget mendengar kata-kata 

Dewa Cadas Pangeran. Tegaknya bergetar dan sepa-

sang matanya mendelik memandang seolah tak per-

caya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Kek....” Akhirnya Joko dapat pula perdengarkan 

suara setelah terdiam lama. Namun sebelum dia lan-

jutkan ucapan, Dewa Cadas Pangeran telah berkata.

“Kau harus tahu, Pendekar 131! Tanpa perkawinan 

antara kau dan Dewi Bunga Asmara, maka akan terja-

di satu kegegeran besar yang tak kalah dahsyatnya 

dengan peristiwa peta wasiat!”

Joko gelengkan kepala. “Kek... Aku... Aku tidak 

mungkin bisa melakukannya! Dan kurasa mustahil 

akan terjadi sesuatu yang luar biasa kalau aku tidak 

kawin dengan Dewi Bunga Asmara....”

“Anak muda... Kau boleh percaya atau tidak! Yang 

mungkin terjadi, akan ada peristiwa besar bila kau ti-

dak mau kawin dengan Dewi Bunga Asmara. Lain dari-

pada itu, perkawinanmu ini nanti mungkin bisa mere-

dakan timbulnya masalah pada beberapa orang juga 

pada dirimu sendiri!”

“Kek... Aku akan lakukan apa saja untuk mereda-

kan timbulnya masalah pada beberapa orang! Tapi ka-

lau dengan jalan harus kawin, rasanya aku belum siap 

melakukannya....”

“Anak muda sahabatku...” Yang buka mulut adalah 

Dewa Asap Kayangan. “Kau perlu tahu satu hal. Per-

kawinan ini harus kau laksanakan! Kalau tidak, mung-

kin kau masih harus menunggu lama lagi untuk bisa 

kembali ke negeri asalmu...!”


“Aku pilih terus berada di sini daripada harus ka-

win...!” Joko berkata sendiri dalam hati. “Dewi Bunga 

Asmara memang seorang gadis cantik. Tapi rasanya 

aku masih harus belajar untuk mencintainya! Semen-

tara hal itu mungkin tak mudah... Lagi pula aku tidak 

bisa mengenyampingkan Guru... Setidaknya Pendeta 

Sinting harus tahu siapa dan bagaimana Dewi Bunga 

Asmara!”

“Bagaimana, Anak Muda...?!” tanya Dewa Cadas Pa-

ngeran.

“Kek... Kau bisa memberi keterangan bagaimana pe-

ristiwa besar akan terjadi kalau aku tidak kawin de-

ngan Dewi Bunga Asmara?!”

“Kau takut aku menjerumuskan dirimu?!” ujar De-

wa Cadas Pangeran lalu tertawa bergelak. “Semua ini 

demi keselamatan dan ketenanganmu, Anak Muda...!”

“Kek... Seandainya ada jalan lain...!”

“Anak muda... Sekarang tak usah basa-basi. Kau 

harus jawab dengan tegas! Kau bersedia kawin dengan 

Dewi Bunga Asmara atau tidak?!” kata Dewa Cadas 

Pangeran.

***

SEPULUH



KEK... Rasanya aku tidak bisa Jawab sekarang. Aku 

minta waktu...” Akhirnya Joko berkata setelah lama 

terdiam. “Aku masih harus lakukan perjalanan untuk 

selesaikan urusan yang belum tuntas.”

“Anak muda... Aku perlu bertanya satu hal. Kau 

siap menghadapi apa yang akan terjadi jika kau benar-

benar menunda perkawinan ini?!” Yang bertanya ada lah Dewa Asap Kayangan.

“Aku sampai ke negeri ini sudah melewati beberapa 

urusan. Kalaupun urusan ini belum juga tuntas, apa 

boleh buat!”

“Pendekar 131. Kalau begitu jawabmu, aku tidak bi-

sa memaksa. Hanya saja untuk sementara ini kuharap 

kau tidak kecewa kalau tidak akan bertemu dahulu 

dengan Dewi Bunga Asmara!” kata Dewa Cadas Pange-

ran.

Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang. 

Sebenarnya dia ingin buka mulut menerangkan men-

gapa dia tidak ingin segera kawin. Namun karena tidak 

mau memperpanjang pembicaraan, dan sebenarnya 

dia ingin nantinya bisa bicara sendiri dengan Dewi 

Bunga Asmara, Joko akhirnya berkata.

“Dewa Cadas Pangeran, Dewa Asap Kayangan... Ku-

rasa aku harus segera pergi. Terima kasih atas petun-

juk kalian berdua...” Joko arahkan pandang matanya 

pada Paduka Seribu Masalah. Tapi sebelum dia sam-

bung ucapannya, Paduka Seribu Masalah mendahului.

“Kau masih tidak takut terus bersamaku, bukan?!”

“Aku masih memerlukan beberapa keterangan dari-

nya! Lagi pula aku punya perjanjian dengan Datuk Ka-

la Sutera. Dia harus terus bersamaku!” Joko memba-

tin. Lalu berkata.

“Paduka... Kita sudah terikat dengan kesepakatan! 

Kau tidak takut kita pergi sekarang?!”

“Sahabatku Dewa Cadas Pangeran, Dewa Asap Ka-

yangan... Sebenarnya aku tidak takut terus berada di 

sini bersama kalian. Tapi seperti kalian dengar tadi, 

aku punya kesepakatan dengan sahabat muda itu. 

Terpaksa aku harus beranikan diri untuk tinggalkan 

tempat ini...,” ujar Paduka Seribu Masalah.

“Paduka Seribu Masalah!” kata Dewa Cadas Pangeran. “Aku titip sahabat muda itu. Aku masih meng-

inginkannya sebagai pendamping muridku kelak...”

“Jangan berkata begitu. Aku takut memberi jami-

nan! Tapi aku akan berusaha untuk memenuhi keingi-

nanmu....”

Habis berkata begitu, Paduka Seribu Masalah putar 

pantat. Saat lain orang yang selalu sembunyikan raut 

wajah di belakang rangkapan kedua kakinya ini mem-

buat gerakan. Sosoknya berkelebat dengan posisi tetap 

duduk rangkapkan kedua kaki.

Pendekar 131 menjura sekali lagi pada Dewa Cadas 

Pangeran dan Dewa Asap Kayangan. Lalu putar pan-

dangan untuk meyakinkan kalau Dewi Bunga Asmara 

betul-betul tidak berada di tempat itu mencuri dengar 

pembicaraan. Saat lain dia berkelebat menyusul Padu-

ka Seribu Masalah.

Setelah melewati tiga aliran sungai, Joko sengaja 

menjajari Paduka Seribu Masalah. Lalu berbisik seraya 

terus berlari.

“Paduka.... Kau tidak takut menjawab beberapa per-

tanyaanku?!”

“Aku harus tahu dulu pertanyaan macam apa yang 

akan kau ajukan! Dan harap kau ingat, kalau perta-

nyaanmu ada hubungannya dengan urusan perkawi-

nanmu, terus terang saja.... Aku takut untuk menja-

wabnya!”

Joko memperlambat larinya. Lalu buka mulut lagi.

“Paduka... Harap kau tidak takut mendengarnya ka-

lau kukatakan jika seorang gadis berwajah cantik saat 

ini tengah mencarimu!”

Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Paduka 

Seribu Masalah hentikan kelebatannya, lalu duduk 

rangkapkan kaki di sebelah satu batangan pohon.

“Sahabat muda... Aku tidak takut mengatakannya


padamu. Walau aku tidak pernah tunjukkan tampang 

pada orang, namun banyak gadis-gadis yang mencari-

ku! Coba katakan siapa gadis yang kau ceritakan!”

“Kita pernah bertemu dengannya ketika melewati 

sungai yang pertama di sebelah hutan bambu Itu!”

“Hem.... Yang kau maksud gadis cantik bernama 

Dayang Tiga Purnama itu?!”

Meski Joko tahu orang tidak melihat ke arahnya, 

tapi Joko menjawab dengan orang dengan isyarat ang-

gukkan kepalanya.

“Sahabat muda.... Rasanya percuma kau mene-

ruskan bicara jika masih ada kaitannya dengan gadis 

bernama Dayang Tiga Purnama itu!”

Joko hentikan larinya lalu putar diri dan melangkah 

ke arah Paduka Seribu Masalah dengan kening ber-

kerut. Belum sampai dia bertanya, Paduka Seribu Ma-

salah sudah sambung! ucapannya.

“Perihal gadis itu masih ada kaitannya dengan uru-

san perkawinanmu. Jadi seperti kataku tadi, kalau 

pertanyaanmu ada hubungannya dengan perkawinan-

mu, aku takut menjawabnya!”

“Paduka! Bagaimana kau tahu urusan gadis itu 

masih ada hubungannya dengan perkawinan itu?!” 

tanya Joko dengan mata mendelik tak percaya.

“Sudah kukatakan, aku takut menjawabnya! Itu 

masih ada kaitannya dengan perkawinanmu! Lebih 

baik kau tanya saja persoalan yang lain... Mungkin se-

dikit banyak aku tahu dan tidak takut untuk menja-

wabnya!”

“Aneh.... Bagaimana bisa begini?! Apa kaitannya 

Dewi Bunga Asmara dengan Dayang Tiga Purnama?!” 

Joko membatin. Lalu angkat suara.

“Paduka... Sekarang bagaimana urusan dengan Da-

tuk Kala Sutera?! Kau tahu di mana kelima anaknya?!”


“Sahabat muda... Tampaknya hari ini kau harus 

mengalami nasib kurang baik...”

“Maksudmu...?!” tanya Joko dengan dada berdebar 

tidak enak.

“Pertanyaan yang diajukan Datuk Kala Sutera ma-

sih ada kaitannya dengan perkawinanmu! Jadi aku ju-

ga tidak berani menjawabnya!”

Kedua gendang telinga murid Pendeta Sinting seper-

ti disambar geledek. Laksana terbang dia melompat 

dan tegak dua langkah di hadapan Paduka Seribu Ma-

salah.

“Paduka! Harap kau tidak bermain-main! Aku ber-

sungguh-sungguh!”

“Sahabat muda.... Menjawab saja aku takut, bagai-

mana mungkin aku berani main-main...?!”

“Celaka! Celaka! Bagaimana semua bisa amburadul 

begini rupa?! Aku tak percaya! Aku tak percaya!” gu-

mam Joko sambil geleng-geleng kepala.

“Kau tak percaya itu adalah hakmu, Sahabat Mu-

da....”

“Paduka! Lalu bagaimana aku kelak harus menja-

wab pertanyaan Datuk Kala Sutera?”

“Sahabat muda... Tidak ada jawaban yang lebih te-

pat dibanding sebuah bukti!”

“Aku tak mengerti ucapanmu!”

“Untuk sementara ini sebaiknya kau harus meng-

hindari Datuk Kala Sutera!”

“Tapi....”

“Kau nanti bisa menjawab pertanyaan Datuk Kala 

Sutera dengan sebuah bukti! Bukan dengan ucapan!”

“Caranya...?!”

“Waktu tidak pernah terhenti, Sahabat Muda! Jadi 

waktulah nanti yang akan menentukan bagaimana ca-

ranya!”


“Aku tak habis pikir. Bagaimana ini bisa berkait?! 

Padahal...”

Belum sampai murid Pendeta Sinting teruskan gu-

maman, Paduka Seribu Masalah sudah buka suara.

“Sahabat muda... Seandainya kau tadi jadi menga-

wini gadis yang ditawarkan sahabatku Dewa Cadas Pa-

ngeran, mungkin saja urusannya tidak akan jadi pan-

jang lebar walau di sana-sini tentu masih ada hada-

ngan....”

“Paduka! Bukankah kau sudah berjanji akan me-

ngambil alih urusanku dengan Datuk Kala Sutera?!” 

ujar Joko ingat akan ucapan Paduka Seribu Masalah 

sebelum diajaknya ikut serta ke Lembah Tujuh Bin-

tang Tujuh Sungai.

“Pada awalnya aku memang hendak mengambil 

alih. Aku menduga kau bakal menerima tawaran Dewa 

Cadas Pangeran. Ternyata dugaanku keliru. Kau me-

nolak tawaran mengawini gadis yang ditawarkan. Kini 

aku sendiri yang jadi takut memberi penjelasan pada 

Datuk Kala Sutera....”

“Sontoloyo benar! Ternyata tidak ada gunanya terus 

bersama orang ini! Aku malah jadi bingung!”

Berpikir begitu, akhirnya Joko berucap. “Paduka... 

Kau tidak bisa membantuku. Kurasa tidak ada guna-

nya kita terus bersama-sama! Biarlah semua urusan 

ini kuhadapi sendiri!”

Paduka Seribu Masalah perdengarkan tawa berge-

lak panjang. Lalu berkata.

“Sahabat muda... Sahabat Dewa Cadas Pangeran te-

lah memberi pesan padaku. Rasanya sulit untuk tidak 

menuruti ucapan pesannya!”

“Paduka! Aku yang meminta... Kelak kalau ada apa-

apa, kau bisa menjelaskan padanya!”

“Kau yakin...?!”


“Aku tidak bisa mengatakan padamu. Karena aku 

sendiri tidak percaya dengan semua ini!”

“Sebenarnya aku takut melepasmu pergi seorang di-

ri... Tapi kalau kau yang memintanya, mana berani 

aku menolak?!”

“Paduka... Sebelum aku pergi, kuharap kau tidak 

takut menjawab dua pertanyaanku. Pertama. Apakah 

benar semua yang diucapkan Datuk Kala Sutera?! Ke-

dua. Kalau benar, siapa nama Istri Datuk Kala Su-

tera?!”

“Sahabat mud.... Sebenarnya aku takut. Tapi seba-

gai perpisahan, aku beranikan diri menjawab. Se-mua 

yang diucapkan Datuk Kala Sutera benar ada-nya!”

“Lalu nama istri Datuk itu?!” sahut Joko seakan tak 

sabar.

“Aku tidak berani mengatakannya! Bukan karena 

apa, aku takut salah sebut... Kau tentu tahu sendiri. 

Orang rimba persilatan sering merubah namanya. Aku 

takut sebutkan nama yang salah!”

“Hem.... Bagaimana kalau kau sebutkan saja bagai-

mana cirinya?!”

“Sahabat muda.... Bersama berlalunya waktu, se-

tiap manusia akan mengalami perubahan! Sementara 

perpisahan antara Datuk Kala Sutera dan istrinya su-

dah berlangsung enam belas tahun yang silam! Bi-

asanya, kurun waktu enam belas tahun sudah cukup 

membuat orang sangat berubah! Jadi....”

Mungkin karena agak jengkel dengan jawaban Pa-

duka Seribu Masalah, tanpa menunggu orang selesai-

kan ucapan, murid Pendeta Sinting sudah balikkan 

tubuh dan berkelebat tanpa buka suara.

“Sahabat muda... Selamat jalan! Hanya perlu kuka-

takan padamu, kau pernah bertemu dengan istri Da-

tuk Kala Sutera!” teriak Paduka Seribu Masalah.


Mendengar teriakan Paduka Seribu Masalah, seko-

nyong-konyong Pendekar 131 balikkan tubuh di atas 

udara. Namun sebelum dia buka mulut, Paduka Seri-

bu Masalah sudah sambungi kata-katanya.

“Sahabat muda... Jangan bertanya apa-apa lagi! 

Aku takut menjawab!”

Habis berkata begitu, Paduka Seribu Masalah putar 

diri setengah lingkaran. Kejap lain dia sentakkan ke-

dua tangannya ke atas tanah. Sosoknya melesat ting-

galkan samping pohon.

Murid Pendeta Sinting pandangi sosok orang de-

ngan dada dilanda berbagai pertanyaan dan dugaan.

“Aku jadi bingung dengan ucapan orang itu! Uca-

pannya aneh-aneh! Dia mengatakan takut sebutkan 

nama orang dan cirinya. Tapi dia bisa mengatakan ka-

lau aku pernah bertemu dengan orangnya! Jangan-

jangan dia hanya main-main! Tapi menurut Dayang Ti-

ga Purnama, Paduka Seribu Masalah adalah seorang 

tokoh yang memiliki ilmu aneh. Dia tahu banyak ma-

salah orang... Hem... Ini juga terbukti dengan muncul-

nya Datuk Kala Sutera yang mencari Paduka Seribu

Masalah untuk mencari jawaban!”

Pendekar 131 tegakkan wajah karena sosok Paduka 

Seribu Masalah sudah tidak kelihatan lagi. “Siapa kira-

kira perempuan istri Datuk Kala Sutera itu...?! Dilihat 

dari segi usia Datuk Kala Sutera, pasti istrinya masih 

muda... Mungkinkah Bidadari Delapan Samudera?! 

Bukankah dia juga mengatakan tengah mencari sese-

orang?! Atau mungkinkah Bidadari Pedang Cinta?! 

Atau jangan-jangan Bidadari Tujuh Langit.... Tapi ini 

tak mungkin. Bidadari Tujuh Langit adalah seorang 

perempuan yang punya kelainan. Mana mungkin dia 

punya suami?! Atau layakkah kalau istri Datuk itu 

adalah Putri Pusar Bumi...?! Ah... Itu tak mungkin! Da


tuk Kala Sutera masih tampak muda dan berwajah 

tampan. Sementara Putri Pusar Bumi...?!” Mendadak 

Joko jadi tertawa sendiri membayangkan Datuk Kala 

Sutera berjalan bergandengan dengan Putri Pusar Bu-

mi. “Tapi siapa tahu...?! Bukankah perasaan cinta ti-

dak mengenal apa saja?! Bukankah cinta adalah tabir 

tebal penutup mata dan penuhi telinga?!”

Joko menghela napas panjang berulang kali. Lalu 

gelengkan kepala. “Datuk Kala Sutera mengatakan ber-

pisah dengan anak-anaknya sudah hampir enam belas 

tahun silam.... Tapi mengapa dia masih kelihatan mu-

da...?! Malah aku hampir tak percaya kalau dia sudah 

beristri pada enam belas tahun silam! Hem.... Bagai-

mana ini?! Lalu apa hubungannya dengan Dewi Bunga 

Asmara?! Mengapa aku harus mengawini gadis itu...?! 

Juga ada hubungan apa antara Dayang Tiga Purnama 

dengan Datuk Kala Sutera?! Mengapa pula mereka 

berdua dikait-kaitkan dengan urusan perkawinan-

ku...?!”

Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Namun dia 

tidak segera teruskan berlari. Sebaliknya dia terus ber-

pikir. “Haruskah aku menuruti saran Paduka Seribu 

Masalah untuk menghindari Datuk Kala Sutera?! Tapi 

kalau tiba-tiba bertemu bagaimana?! Apa yang harus 

kujawab?! Ah... Itu urusan nanti! Siapa tahu di tengah 

jalan aku bisa mendapatkan jalan keluar dari pemeca-

han urusan gila ini!”

Setelah membatin begitu, Joko melangkah perla-

han-lahan. Tapi sekuat tenaga dia coba melupakan 

urusan yang dihadapinya, justru dia makin bingung. 

Hingga seraya melangkah mulutnya terus menggumam 

tak jelas dan sesekali kepalanya bergerak menggeleng. 

Bahkan tidak jarang dia perdengarkan tawa sendiri!

***


SEBELAS



SOSOK berjubah hitam panjang sebatas mata kaki 

itu berkelebat cepat laksana kesetanan menembusi hu-

tan bambu. Jubah yang dikenakan tampak berkibar 

perdengarkan deruan angker. Hanya beberapa saat sa-

ja sosoknya telah mencapai ujung hutan di mana ter-

dapat sebuah aliran sungai agak besar.

Tepat di pinggiran aliran sungai sosok berjubah hi-

tam hentikan larinya. Kepalanya berputar sekali me-

nyiasati keadaan. Dia adalah seorang pemuda berpa-

ras tampan dan keras. Rambutnya panjang sebahu 

menutupi sebagian pundak dan pelipis kiri kanannya.

“Sebelum aku pergi, aku sempat melihat mereka 

berdua melintasi sungai dengan sebuah sampan.... 

Walau aku tidak bisa membedakan, tapi aku yakin sa-

lah satu dari mereka berdua adalah manusia yang ber-

gelar Paduka Seribu Masalah! Salah satu dari mereka 

menjanjikan menjawab pertanyaanku dalam tempo ti-

ga hari. Sekarang sudah lewat sehari. Aku tidak mau 

ditipu orang. Aku telah lama mencari. Aku akan me-

nunggunya di sini!” Pemuda berjubah hitam panjang 

bergumam sendiri seraya lepas pandangan ke arah ali-

ran sungai.

“Sampan yang mereka tumpangi masih berada di 

sana! Ini satu petunjuk kalau mereka berdua belum 

kembali....” Si pemuda berjubah hitam yang tak lain 

Datuk Kala Sutera adanya teruskan gumaman ketika 

sepasang matanya melihat sebuah sampan terapung di 

pinggiran seberang.

“Enam belas tahun telah berlalu.... Pasti mereka te-

lah tumbuh menjadi gadis-gadis.... Sayang sekali sela-

ma ini aku masih gagal mencari tahu. Mudah-muda


han petunjuk manusia bergelar Paduka Seribu Masa-

lah nanti bisa menghentikan masa pencarian ini!”

Baru saja Datuk Kala Sutera bergumam begitu, 

mendadak matanya menangkap kelebatan satu sosok 

tubuh di seberang sana. Sang Datuk pentangkan mata 

beberapa lama. Dahinya berkerut. “Apakah tanah di 

seberang itu berpenghuni?! Dari pakaian dan sikap-

nya, jelas sosok di sana itu adalah seorang perempuan! 

Siapa dia...?! Apakah dua orang yang sama cirinya se-

perti Paduka Seribu Masalah itu berada di sana ju-

ga...?”

Datuk Kala Sutera memperhatikan gerakan sosok di 

seberang depan. “Hem... Gelagatnya menunjukkan ka-

lau dia tengah menunggu seseorang! Siapa yang di-

tunggu...? Mengapa di tempat sepi begini?! Mungkin-

kah dia juga tengah menunggu Paduka Seribu Masa-

lah...?! Hem... Waktu yang dijanjikan masih satu se-

tengah hari lagi! Tidak ada salahnya kalau aku ke sa-

na! Siapa tahu hari ini aku mendapat rejeki besar....”

Berpikir begitu, Datuk Kala Sutera segera balikkan 

tubuh dan berkelebat balik menuju hutan bambu. Ti-

dak berapa lama dia kembali dengan tangan kanan 

membawa sebatang bambu sepanjang satu tombak.

Di pinggiran sungai, Datuk Kala Sutera kembali 

arahkan pandang matanya pada tanah terbuka di se-

berang. “Perempuan itu tidak kelihatan. Tapi aku ya-

kin dia masih berada di sana!”

Yakin begitu, Datuk Kala Sutera segera lemparkan 

batangan bambu ke aliran sungai. Saat bersamaan dia 

berkelebat menyusul di belakang batangan bambu 

yang terus meluncur dan amblas ke dalam air sungai.

Byurr!

Aliran sungai berkecipak dan muncrat. Saat yang 

sama batangan bambu muncul ke permukaan. Saat


itulah kedua kaki Datuk Kala Sutera menginjak batan-

gan bambu. Sekali pemuda ini bergerak, sosoknya me-

luncur deras di atas permukaan aliran air sungai den-

gan berpijak pada batangan bambu.

Empat tombak lagi mencapai pinggiran seberang, 

Datuk Kala Sutera hentakkan pijakannya. Batangan 

bambu amblas masuk ke dalam aliran sungai. Tapi 

saat yang sama, sosok sang Datuk melesat dan tegak 

di pinggiran sungai seberang.

Sepasang mata sang Datuk langsung mengedar ber-

keliling dengan telinga dipasang baik-baik. Namun se-

jauh ini dia belum bisa menduga di mana adanya 

orang yang tadi sempat ditangkap matanya.

“Hem... Jangan-jangan dia tahu kemunculanku di 

tempat ini. Lalu sengaja sembunyikan diri...” Datuk 

Kala Sutera tersenyum. Saat lain dia berkelebat dari 

satu batu ke bongkahan batu lainnya dengan mata 

liar.

Tapi Datuk Kala Sutera jadi heran sendiri. Walau 

dia telah menyelidik ke setiap sudut bongkahan batu, 

dia tidak juga menemukan siapa-siapa! Hingga akhir-

nya sang Datuk hentikan pencarian dan tegak berdiri 

di atas salah satu bongkahan batu seraya bergumam.

“Mungkinkah mataku tertipu...?! Tapi jelas mataku 

tadi melihat sosok perempuan itu mondar-mandir di 

tempat ini seperti orang tengah menunggui Anehnya, 

aku telah berkeliling. Tapi manusia itu tidak kutemu-

kan! Mungkinkah dia telah menyeberang ke sungai se-

belah sana itu...?!” Datuk Kala Sutera arahkan pan-

dang matanya ke aliran sungai kecil yang berada di se-

berang lainnya.

Baru saja mata sang Datuk lepas ke arah aliran 

sungai yang berada di seberang depan sana, mendadak 

ekor matanya menangkap kelebatan satu sosok tubuh.


Saat lain pemuda ini merasakan desiran angin dari 

arah samping.

Datuk Kala Sutera cepat berpaling. Memandang ke 

depan, sepasang matanya sedikit membelalak. Di sam-

ping satu bongkahan batu sejarak sepuluh langkah di 

hadapannya, tegak seorang gadis berparas cantik me-

ngenakan pakaian warna ungu. Rambutnya yang lebat 

dikelabang dua. Sepasang matanya bulat dan tajam.

“Harap sebutkan diri dan maksud!” Si gadis lang-

sung buka suara dengan nada agak tinggi dan bola 

matanya meneliti sekujur tubuh sang Datuk dari ujung 

rambut sampai ujung kaki. Namun cuma sesaat, saat 

lain dia tegakkan wajahnya sedikit.

Datuk Kala Sutera tidak langsung buka mulut men-

jawab. Sebaliknya menatap balik ke arah si gadis de-

ngan mata liar. Dalam hati dia berkata. “Gadis cantik... 

Mengapa berada di tempat begini?! Aku yakin, gadis 

inilah yang bayangan sosoknya sempat kutangkap dari 

seberang hutan bambu tadi...”

“Aku tidak memaksa! Kalau kau tidak mau se-

butkan diri dan katakan maksud, harap segera angkat 

kaki dari tempat ini!” Si gadis kembali buka mulut ke-

tika tidak juga dia mendapat jawaban dari sang Datuk.

Datuk Kala Sutera rangkapkan kedua tangan di de-

pan dada. Seraya terus menatapi sosok si gadis yang 

bukan lain adalah Dayang Tiga Purnama, sang Datuk 

berkata.

“Aku Datuk Kala Sutera... Kau sendiri siapa?”

“Kau belum jawab pertanyaan keduaku!” Dayang 

Tiga Purnama menyahut dengan melirik pada sang Da-

tuk.

“Aku tengah menunggu seseorang! Kau sendiri...?!”

“Siapa yang kau tunggu?!” Dayang Tiga Purnama 

kembali ajukan tanya tanpa menjawab pertanyaan Datuk Kala Sutera.

Datuk Kala Sutera geleng kepala. “Aku tidak bisa 

mengatakannya padamu siapa orang yang tengah ku-

tunggu!”

“Tempat ini yang kau tuju?!” kembali Dayang Tiga 

Purnama ajukan tanya.

Datuk Kala Sutera kembali gelengkan kepala. “Me-

mang bukan tempat ini yang ditentukan untuk me-

nunggu. Tapi setidaknya tempat ini yang akan dilewati 

orang yang tengah kutunggu!”

Dada Dayang Tiga Purnama berdebar. “Selama aku 

di sini, hanya dua orang yang sempat lewat. Mereka 

adalah pemuda bernama Joko Sableng dan sahabatnya 

yang bersikap aneh... Mungkinkah mereka berdua 

yang tengah ditunggu pemuda ini?!”

Selagi Dayang Tiga Purnama membatin begitu, 

mendadak satu bayangan putih berkelebat. Datuk Kala 

Sutera dan Dayang Tiga Purnama segera berpaling.

“Paduka Seribu Masalah!” Saking tidak menduga, 

Datuk Kala Sutera berseru melihat siapa sosok yang 

baru muncul dan kini tegak dua puluh lima langkah di 

seberang depan sana. Paras wajah sang Datuk jelas 

membayangkan rasa heran dan terkejut.

Tapi yang paling terkejut dan heran adalah Dayang 

Tiga Purnama. Dia pulang balikkan wajah memandang 

silih berganti ke arah Datuk Kala Sutera dan sosok 

berpakaian putih yang baru muncul di seberang sana.

“Bagaimana ini?! Apa telingaku tidak salah dengar?! 

Bagaimana pemuda berjubah hitam ini menyebut pe-

muda itu Paduka Seribu Masalah?! Ataukah pemuda 

berjubah hitam ini salah lihat?!”

Sementara di seberang, sosok berpakaian putih 

yang baru muncul tampak gelagapan. Malah dia sem-

pat hendak putar diri membelakangi orang!


                         SELESAI



Segera menyusul:

ASMARA LAKNAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar