SATU
TENGKORAK Berdarah tegak dengan tubuh laksana
dipaku. Kepalanya yang tertutup jubah terusan abu-
abu tak bergerak dan lurus menghadap perempuan di
hadapannya. Tanpa sadar dia perdengarkan desisan.
"Prabarini....
Perempuan di hadapan Tengkorak Berdarah
sunggingkan senyum. Tetap memandang dengan
tatapan sayu dia buka mulut.
"Syukur kau masih mengenaliku. Kalau dugaanku
tak salah bukankah kau adalah Lasmini...?"
Untuk kesekian kalinya Tengkorak Berdarah ter-
lihat terkesiap. Sosoknya bergetar dengan mulut ter-
kancing tak perdengarkan suara. Hal ini telah
menambah keyakinan perempuan yang dipanggil
Prabarini. Hingga perempuan yang tadinya menutup
wajahnya dengan bedak tebal ini berucap lagi.
"Aku telah tunjukkan siapa diriku. Kuharap kau tak
keberatan untuk membuka penyamaranmu!"
"Bagaimana perempuan jahanam ini tahu diriku...?
Dia hanya menduga-duga atau memang tahu
sungguhan? Keparat betul! Perempuan inilah yang
membuat hidupku merana! Hem.... Bertahun-tahun
kucari, akhirnya kutemui tanpa kuduga!" membatin
Tengkorak Berdarah. Kepala di balik jubah abu-abu-
nya bergerak tengadah.
"Prabarini! Matamu sudah kuharamkan melihatku!
Dan kau akan menyesal mengundangku datang ke
sini. Ini adalah undangan kematian bagimu!"
"Hem.... Berarti dugaanku tidak salah. Dia adalah
Lasmini.... Dia masih menyimpan dendam padaku...,"
kata Prabarini dalam hati. Lalu berkata.
"Lasmini.... Kau ingin membunuhku itu persoalan
mudah. Di antara kita memang ada urusan meski aku
sudah melupakan hal itu. Tapi untuk sementara ini
kita tunda urusan kita. Ada hal lebih penting yang
harus kita buka bersama!"
"Tak ada hal lebih penting bagiku selain men-
jadikanmu mayat, Prabarini! Kau telah merecoki
hidupku! Kaulah manusia yang membuat jalan hidup-
ku jadi berantakan. Kau perempuan jahanam yang
merebut suamiku! Tidak ada yang perlu dibuka lagi!
Justru aku akan membuka pintu kubur untukmu!"
Habis berkata begitu, Tengkorak Berdarah angkat
kedua tangannya. Kedua tangan orang ini terlihat
bergetar keras tanda dia telah kerahkan segenap
tenaga dalamnya.
Prabarini memandang sejenak. Meski mulutnya
tersenyum namun jelas jika wajahnya berubah mem-
bayangkan perasaan cemas. Seraya mundur satu
tindak dia berkata. "Sudah kukatakan, membunuhku
adalah urusan gampang. Tapi kau nanti akan
menyesal jika...."
Ucapan Prabarini belum selesai, Tengkorak
Berdarah telah menukas dengan suara keras. "Satu
penyesalan besar adalah jika aku membiarkanmu
hidup! Jangan banyak bicara membuat dalih!"
Prabarini gelengkan kepala. "Aku memintamu
datang ketempat ini bukan untuk mengatakan segala
macam dalih! Aku justru ingin agar urusan di antara
kita cukup sampai kita berdua! Jangan sampai orang
lain kita seret di dalamnya!"
Lama Tengkorak Berdarah terdiam sebelum akhir
nya berkata.
"Apa maksud ucapanmu, Perempuan Laknat?! Kau
jangan bicara tidak karuan! Aku tidak pernah me-
libatkan orang lain dalam urusan kita! Tanganku
cukup untuk menyelesaikannyal"
"Ucapanmu benar, Lasmini! Tapi jika kita tidak
buka urusan bersama-sama, tanpa sadar kita akan
menyeret orang lain masuk dalam urusan kita! Yang
lebih menyedihkan, orang yang terseret adalah orang-
orang yang kita kasihi!"
"Prabarini! Jangan kau bicara ngelantur! Katakan
terus terang siapa orang yang kau maksud!" bentak
Lasmini alias Tengkorak Berdarah. Orang ini masih
sarukan suaranya hingga terdengar seperti suara
seorang laki-laki.
Prabarini memandang tak berkesip beberapa
lama. Setelah menghela napas panjang dia berkata.
"Kau punya seorang anak perempuan. Aku pun
demikian. Mereka adalah darah daging seorang laki-
laki yang sama kita kasihi. Apakah hatimu tidak
merasa trenyuh jika melihat keduanya saling
bermusuhan tanpa mereka sadari jika keduanya
masih bertalian darah?"
Mendadak Lasmini yang selama ini memperkenal-
kan diri sebagai Tengkorak Berdarah turunkan kedua
tangannya. Kepalanya makin mendongak. Dadanya
terlihat bergerak turun naik. "Saraswati.... Di mana
kau sekarang anakku...? Sudah sekian tahun aku
mencarimu, tapi kau belum juga kutemukan!" Sesaat
kemudian kepala Tengkorak Berdarah bergerak lurus
menghadap Prabarini. "Sepertinya perempuan ini
tahu di mana Saraswati. Hem...."
"Prabarini! Bagaimana kau tahu mereka ber-
musuhan? Di mana kau temui anakku Saraswati,
hah?! Kurobek mulutmu jika kau bicara mengada-
ada! Dan dengar. Jangan kau sebut laki-laki itu orang
yang kita kasihi! Dia adalah salah seorang yang harus
kulenyapkan dari muka bumi! Termasuk juga kau!"
"Saat ini mereka memang belum bermusuhan.
Tapi aku menduga permusuhan itu akan segera
terjadi. Yang menyedihkan, pangkal permusuhan itu
sama dengan hal yang pernah menimpa kita
berdua...."
Kedua tangan Tengkorak Berdarah mengepal.
Sosoknya kembali bergetar. Tapi untuk beberapa saat
orang ini tidak perdengarkan suara. Dada orang ini
dibuncah dengan berbagai perasaan. Dendam
kesumat yang selama ini dipendam belum ke-
sampaian kini ditambah dengan ucapan Prabarini
yang membuatnya panas dingin, karena urusannya
sama dengan urusan dirinya dengan Prabarini pada
beberapa tahun silam yang membuatnya hidup
merana terpisah dari anaknya juga membuat dirinya
bertekad untuk membunuh orang yang dulu pernah
dicintainya.
"Prabarini!" sentak Tengkorak Berdarah setelah
agak lama terdiam. "Kau belum katakan di mana kau
menemukan anakku!"
"Aku tak bisa mengatakan di mana. Tapi aku bisa
membawamu ke sana!"
"Hem.... Begitu? Kita berangkat sekarang! Tapi
ingat. Meski aku nanti berhasil jumpa Saraswati,
bukan berarti hidupmu kuperpanjang!"' ,
"Hidup mati sudah tak pernah kupikir lagi, Lasmini.
Suratan takdir sudah menulisnya. Tapi sebelum kau
kutemukan dengan anakmu, aku punya permintaan."
Entah sudah tak sabar, Tengkorak Berdarah
segera menyahut. "Katakan apa yang kau minta!"
"Kau harus buka penutup wajahmu. Kau nanti juga
harus berkata jujur. Karena anakku pun harus men-
dengar dan mengetahui semuanya!"
"Prabarini! Kau telah tahu siapa diriku. Lebih dari
itu, aku tak punya urusan dengan anakmu! Aku hanya
ingin jumpa anakku, lalu membunuhmu!"
"Anakku memang tak ada urusan denganmu,
Lasmini. Tapi bagaimanapun juga anakku masih satu
darah dengan anakmu. Jadi dia harus tahu. Jika tidak,
bagaimana mungkin kita bisa mencegah terjadinya
permusuhan di kelak kemudian hari? Jika semua
telah jelas, aku akan menyerah padamu...."
Sebenarnya, secara diam-diam selama ini
Prabarini telah menyelidiki Istana Hantu. Hingga pada
akhirnya dia mengetahui siapa Raka Pradesa yang
selama ini menyamar sebagai pemuda berkumis tipis
berpakaian hitam-hitam. Dari sini, Prabarini sedikit
banyak sudah yakin siapa adanya penghuni Istana
Hantu yang selama ini dikenal kalangan rimba
persilatan sebagai Tengkorak Berdarah. Hingga saat
jumpa dengan Raka Pradesa, Prabarini mengucapkan
kata-kata yang membuat Raka Pradesa terperanjat
mengetahui orang telah mengenali dirinya (Lebih
jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode :
"Tabir Asmara Hitam").
Dia juga diam-diam menyelidik semua kekacauan
yang akhir-akhir ini melanda dunia persilatan yang
menurut banyak kalangan didalangi oleh Tengkorak
Berdarah, si penghuni Istana Hantu. Dia curiga,
karena menurut apa yang diketahui, penghuni Istana
Hantu tidak pernah keluar dari istananya. Kalaupun
ada Tengkorak Berdarah yang menebar maut, tentu
bukanlah Tengkorak Berdarah penghuni Istana
Hantu. Dia dapat menduga jika Tengkorak Berdarah
yang ditemuinya saat itu adalah Lasmini karena dia
telah mengetahui rencana Lasmini yang juga adalah
bekas istri suaminya.
Lasmini tahu jika suaminya menyimpan satu
rahasia besar. Namun perempuan ini kecewa, karena
sang suami tidak mau mengatakan rahasia itu lebih-
lebih setelah mengetahui jika sang suami menjalin
hubungan dengan kekasihnya dahulu, yang bukan
lain adalah Prabarini. Hanya saat ini Prabarini tidak
tahu jika Lasmini sebenarnya belum dapat me-
mastikan siapa adanya Tengkorak Berdarah penghuni
Istana Hantu. Lasmini sengaja mengenakan pe-
nyamaran seperti Tengkorak Berdarah karena dia
punya perhitungan sendiri.
"Prabarini! Peduli setan anakmu masih satu darah
dengan anakku. Tapi yang jelas aku tak punya ikatan
apa-apa dengan anakmu! Malah jika perlu dia pun
harus mengalami nasib sama denganmu! Bibit kotor
begitu harus segera dipenggal sebelum membuat
kerusuhan lagi di kelak hari!"
Mendengar ucapan Lasmini, raut wajah Prabarini
seketika berubah. Sepasang matanya sedikit me-
mentang. Dadanya bergemuruh. Tapi mengingat apa
yang akan terjadi jika semuanya tidak jelas, perlahan-
lahan perempuan ini berusaha menindih gejolak
hatinya yang panas.
"Ah...," Prabarini menarik napas panjang, lalu
berucap dengan suara sedikit bergetar tanda belum
sepenuhnya dia dapat menguasai hatinya.
"Lasmini. Rasanya aku tidak dapat membawamu
bertemu dengan anakmu jika kau bersikeras tak mau
menuruti permintaanku!"
Tiba-tiba Lasmini perdengarkan suara tawa
panjang. Namun tawanya segera diputus. Kejap lain
dia telah membentak.
"Berarti semua ucapanmu hanya dusta belaka!"
"Aku tidak mendapat untung apa-apa berkata
dusta padamu! Jika tak punya niat baik aku pun tidak
mungkin memintamu datang ke sini dan tunjukkan
siapa diriku sebenarnya. Bukankah dengan begitu
kau masih tidak mengetahui diriku? Dan dendam
kesumatmu tidak akan terlampiaskan?!"
"Perempuan sepertimu bisa saja memutar lidah!
Mungkin di balik kata dustamu kau punya tujuan lain!
Tapi jangan kau mimpi bisa membodohiku saat ini!
Cukup sekali saja kau menggunting lipatanku! Dan itu
harus kau bayar!"
"Lasmini! Aku telah berusaha berbaik-baik dengan-
mu. Nyatanya kau masih tak mau mengerti! Kau lebih
mengedepankan dendam daripada mencegah ber-
larutnya urusan! Jika itu jalan yang kau ambil,
terpaksa aku merubah rencana! Aku tidak akan
tinggal diam sebelum persoalan ini jelas diketahui
oleh orang yang bersangkutan!" kata Prabarini
dengan suara agak tinggi.
Lasmini perdengarkan tawa panjang. "Bagus! Aku
memang tak ingin kau mampus tanpa perlawanan!"
Habis berkata begitu, Lasmini kembali angkat
kedua tangannya. Di seberang, Prabarini masih tegak
tanpa membuat gerakan apa-apa. Malah perempuan
ini terlihat menghela napas dalam. Lalu bergumam.
"Kekerasan sebenarnya bukanlah satu-satunya
jalan menyelesaikan urusan. Malah hal itu akan men-
datangkan urusan lebih besar di kemudian hari.
Mendatangkan jeritan duka yang lebih parah! Padahal
hal itu bisa dicegah jika yang tua-tua seperti kita ini
mau sedikit menahan diri dan membuka hati...."
Entah karena apa, begitu mendengar gumaman
Prabarini, kedua tangan Lasmini diturunkan ke
bawah. Lalu terdengar dia berucap. Namun suaranya
masih keras.
"Kalau kau mengatakan urusan anakku dengan
anakmu sama dengan urusan kita dahulu berarti ada
satu laki-laki dalam urusan ini! Katakan padaku
macam apa laki-laki itu?!"
"Lasmini. Kita sudah sama merasakan bagaimana
jika orang telah jatuh dalam jerat cinta. Jika kau
langsung berurusan dengan laki-laki itu bukan tidak
mungkin kau akan membuka permusuhan sendiri
dengan anakmu!"
"Peduli setan! Justru aku telah mengalami maka
aku tahu harus berbuat apa!"
Prabarini menggeleng. "Kau bukannya akan me-
nyelesaikan urusan. Sebaliknya menambah urusan!
Padahal semuanya akan jadi beres jika kau mau
sedikit berpikir dengan hati nurani!"
Lasmini tertawa pendek bernada mengejek. "Itulah
satu kesalahan yang kubuat dahulu. Aku selalu ber-
tindak dengan hati nurani. Tapi apa yang kuperoleh?
Suamiku jatuh dalam rayuanmu! Hidupku
berantakan!"
"Kau terlalu berprasangka buruk padaku, Lasmini.
Kau harus tahu, jauh sebelum denganmu, aku telah
menjalin hubungan."
"Itu urusanmu! Yang jelas kau merebut setelah dia
jadi milikku!"
"Ah.... Sudahlah. Tak ada gunanya mengungkit hal
yang sudah terjadi! Aku harus pergi sekarang. Aku
masih menunggu pikiranmu berubah...."
Selesai berucap begitu, Prabarini hendak me-
langkah tinggalkan tempat itu, namun sebelum kaki-
nya bergerak melangkah, Lasmini berkata.
"Aku tak perlu waktu. Kau pun tak perlu
menunggu."
"Maksudmu?"
"Sampai kapan pun pikiranku tak akan berubah!
Malam ini kita selesaikan urusan kita!"
"Kau tidak menyesal nantinya? Dengar, Lasmini!
Anakmu telah dewasa. Pasti kau dapat merasakan
bagaimana kegundahan hati seorang anak yang tidak
tahu siapa ibunya! Apalagi dia anak perempuan! Dia
butuh seseorang tempat bertanya. Perlu orang
tempat mengadu! Kau perlu waktu untuk berpikir.
Saat ini kau masih diselimuti perasaan geram. Dalam
situasi begini tidak mustahil pertimbanganmu hanya
dendam. Tiga hari di muka, kau kutunggu di halaman
Istana Hantu!"
Tanpa menunggu sahutan Lasmini, Prabarini putar
diri lalu melangkah meninggalkan tempat itu.
"Persetan dengan segala ucapanmu! Ini semua
terjadi gara-gara ulahmu dahulu!" desis Lasmini.
Orang ini serentak angkat kedua tangannya siap
lepaskan satu pukulan ke arah Prabarini yang seolah
acuh dengan ucapan orang dan teruskan langkah
tanpa berpaling lagi. Mendadak ada satu perasaan
muncul di benak orang berjubah abu-abu aneh
terusan ini. Kejap lain kedua tangannya diturunkan
dan kini berpaling ke arah Prabarini yang terus
melangkah membelakanginya.
"Jahanam! Jika saja dia tidak menggantung
dengan urusan Saraswati, rasanya terlalu bodoh
membiarkan dia berlalu begitu saja! Ah.... Bagaimana
urusan bisa jadi begini? Mengapa dia menginginkan
pertemuan di halaman Istana Hantu? Apakah dia
berpikir agar penyamaranku bisa terbongkar? Hem....
Sebelum waktu yang ditentukan aku harus berbuat
sesuatu!"
Lasmini balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan
tempat dekat pancuran air itu mengambil arah
berlawanan dengan Prabarini.
DUA
SATU pemandangan sedikit aneh terlihat di bawah
sebatang pohon besar tak jauh dari aliran sungai
yang membentuk dua jalur ke kanan dan kiri. Saat itu
mentari baru saja muncul dari lamping gunung,
hingga suasana menjadi agak terang. Ke mana mata
memandang kini tampak jelas.
Di bawah sebatang pohon besar itu terlihat satu
sosok tubuh. Sepasang mata orang ini sedari tadi tak
berkesip memandang ke arah satu gugusan batu
yang memisahkan aliran sungai hingga membentuk
dua jalur ke kanan kiri. Orang ini adalah seorang
pemuda berwajah tampan. Sepasang matanya tajam.
Hidungnya sedikit mancung. Tapi ada keanehan pada
dirinya. Dia tegak memandang dengan kaki di atas
dan kepala di bawah! Sepasang kakinya dia se-
lonjorkan pada batang pohon. Pemuda ini tidak
mempunyai tangan. Sementara pada mulutnya ter-
lihat bundaran karet yang terus menerus dibuat
mainan disedot-sedot. Setiap kali dia menyedot, ter-
dengar suara duutt! Duutt! Duuuttt!
"Air masih pasang. Aku masih kesulitan me-
nentukan tempat yang dikatakan itu. Apalagi aku tak
punya tangan untuk berenang. Jika aku memaksa,
bukan tak mungkin aku akan mengalami celaka.
Satu-satunya jalan adalah menunggu sampai air
surut. Jika saja tidak untuk membuktikan ucapan
Guru serta mencari jejak darah nenek moyang, aku
tak jauh-jauh sampai datang ke tempat ini. Apalagi
belum apa-apa sudah banyak urusan lain yang tak
kuduga sebelumnya...," gumam si pemuda bertangan
buntung yang bukan lain adalah orang yang baru
muncul dalam kancah rimba persilatan dan dikenal
dengan Dewa Orok.
Sudah sejak tadi malam pemuda ini berada di
dekat aliran sungai yang membentuk dua jalur itu. Dia
sesekali tampak menghela napas panjang sambil
memandang ke arah gugusan batu besar yang
memisahkan aliran sungai. Wajahnya kelihatan sudah
tidak sabar. Namun begitu melihat aliran sungar yang
saat itu sedang meluap, dia terlihat menindih rasa
ketidaksabarannya.
"Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang meng-
gagalkan tujuanku ini. Karena meski masih tak ada
orang yang mengetahui seluk beluk nenek moyangku
ini, tapi secara tak langsung menurut Guru, nenek
moyangku masih ada kaitannya dengan satu rahasia
besar. Hem.... Sayang aku tak mengetahui rahasia
apa itu! Yang jelas aku harus dapat menemukannya
dan menguburnya di tempat yang layak...." Dewa Orok
terus bergumam sendiri.
Mungkin karena merasa capek dan menduga air
pasang masih lama surut, Dewa Orok perlahan
pejamkan sepasang matanya. Mulutnya memper-
keras sedotan pada karet bundarnya. Tak lama
kemudian terdengar dia mendengkur ditingkah suara
duutt! Duutt! dari sedotan karet bundar di mulutnya.
Sepasang mata serta dengkuran Dewa Orok baru
membuka dan terhenti tatkala matahari sudah meng-
gelincir dari titik tengahnya.
"Ah.... Air sudah surut!" gumamnya setelah melihat
aliran air memang telah surut, hingga sepasang mata-
nya bisa melihat bagian bawah gundukan batu besar
yang memisahkan aliran sungai.
Sejenak sepasang matanya mengerjap. Lalu
Wuuttt! Pemuda tampan tak bertangan ini gerakkan
bahunya. Kejap lain sosoknya telah tegak dengan
kaki di bawah kepala di atas. Tapi orang ini tegak
bertumpu pada kedua ibu jari kakinya!
"Hem.... Ucapan Guru tampaknya benar.... Di batu
besar itu bagian bawahnya tampak sebuah lobang!
Meski tidak besar, tapi kurasa cukup untuk lewatnya
satu tubuh...," pikir Dewa Orok begitu matanya dapat
melihat bagian bawah batu besar yang memang ter-
lihat ada sebuah lobang tidak begitu besar. Air sungai
kini sedikit berada di bawah lobang.
"Aku masih harus berenang untuk mencapai batu
besar itu. Tapi sudah agak ringan, karena aliran
sungai tidak lagi deras...." Setelah memperhatikan
sejenak pada aliran sungai dan menghitung jarak
sampai batu yang dituju, Dewa Orok tengadahkan
kepala. Tumitnya yang berjingkat serentak bergerak
ke bawah menginjak tanah. Laksana melayang, men-
dadak sosoknya melesat ke udara. Di atas udara
pemuda ini membuat gerakan menjungkir. Lalu
dengan kepala di bawah kaki tegak lurus ke atas,
orang ini terjunkan diri ke aliran sungai.
Aliran sungai sejurus tampak muncrat dan beriak.
Sosok Dewa Orok segera lenyap. Lalu tampak alur
memanjang membelah aliran sungai. Kejap lain sosok
Dewa Orok tampak menyembur dua tombak dari batu
besar. Sekali dia sentakkan kedua bahunya, sosoknya
melesat ke atas dan kini tegak di atas batu besar
dengan berjingkat. Air tampak mengucur deras dari
pakaian dan tubuhnya.
Setelah mengedarkan pandangan, dia melangkah
ke bibir batu. Kepalanya melongok ke bawah. Ke
bawah lobang di batu yang kini dipijaknya. Tanpa pikir
panjang lagi dia segera melompat. Namun pemuda ini
serta merta urungkan niat. Sebaliknya sepasang
matanya menatap tak berkesip pada lobang batu di
bawahnya. Mulutnya memperkeras sedotan pada
karet bundarnya. Pertanda dia disentak oleh sesuatu
yang mengejutkan.
Saat itu sepasang mata Dewa Orok memang
melihat sesuatu menyembul dari dalam lobang.
"Bukan ikan juga bukan binatang.... Tapi anggota
tubuh manusia!" katanya dalam hati dengan mata
terpentang makin besar. "Jangan-jangan tempat ini
berpenghuni. Atau jangan-jangan hantu sungai...."
Dewa Orok terus memandang. Kini tampaklah dua
tapak tangan keluar meraba-raba mencari pegangan
pada bagian luar batu. Namun karena batu itu licin,
kedua tangan yang menyembul dari dalam lobang itu
gagal mencari pegangan. Dan tak lama kemudian
kedua tapak tangan itu lenyap kembali ke dalam
lobang.
Dewa Orok jongkok di bibir batu. Dia menunggu
dengan dada berdebar. Namun hingga agak lama
ditunggu, tidak tampak lagi menyembulnya kedua
tangan tadi.
"Ah.... Jangan-jangan memang hantu sungai yang
menggodaku! Hem.... Aku harus segera masuk. Hantu
sungai pasti akan merasa kasihan jika telah melihat
keadaanku yang begini.... Hik.... Hik.... Hik...!" Dewa
Orok tersenyum sendiri. Lalu kembali hendak turun ke
sungai. Namun kembali gerakannya tertahan ketika
saat itu juga kedua tangan tadi muncul kembali. Kini
kedua tangan itu terus menjulur. Tak berapa lama
kemudian sudah tampak bagian bahu orang. Ternyata
orang ini mengenakan pakaian putih. Sesaat
kemudian, Dewa Orok jelas dapat melihat satu kepala
berambut gondrong agak acak-acakan yang dibalut
dengan sebuah ikat kepala juga berwarna putih.
Dewa Orok belum dapat melihat raut wajah orang
karena dia berada di atas.
Orang yang menyembul keluar dari lobang terus
bergerak. Karena kini kepalanya sudah berada di
luar, sementara kedua tangannya butuh pegangan,
orang ini gerakkan kepalanya tengadah untuk
mencari pegangan pada batu di atasnya.
Saat itulah sepasang mata orang yang baru
menyembul menangkap sosok yang jongkok di atas
bibir batu. Semenfara mata Dewa Orok juga sedang
memandangnya. Kedua orang ini serentak sama ter-
kesiap! Malah seraya makin mementang besar,
kepala Dewa Orok tampak makin bergerak ke bawah.
Sebaliknya kepala orang yang menyembul serentak
hampir saja membentur batu karena ditarik terlalu
keras!
"Heran...," pikir Dewa Orok. "Bagaimana anak ini
bisa muncul di sini...? Tempo hari kulihat dia cedera
dan dibawa lari orang...."
Kalau Dewa Orok membatin begitu, orang yang
menyembul dari lobang diam-diam juga membatin.
"Aneh.... Sikapnya seperti menghadang dan tahu jika
aku berada di dalam sini! Siapa sebenarnya orang
itu? Tempo hari dia secara tak langsung menyelamat-
kanku dari seorang perempuan bernama Daeng
Upas. Hem.... Jangan-jangan dia tahu tentang tempat
ini dan rahasia di dalamnya! Meski aku belum dapat
memastikan kitab apa yang kini di tanganku, tapi tak
akan kubiarkan siapa pun juga menyentuhnya!"
Orang yang baru menyembul kembali tengadahkan
sedikit kepala dengan mata melirik ke atas. Saat
dilihatnya Dewa Orok masih duduk di atas bibir batu
orang ini segera berteriak.
"Meski kita belum sempat berkenalan, tapi kita
pernah saling jumpa. Aku mengucapkan terima kasih,
karena saat itu kau menolongku! Tapi sekarang harap
kau katakan mengapa kau seperti menghadangku?!"
Dewa Orok semburkan bundaran karet di mulutnya
hingga bundaran karet itu melesat keluar dan
mengapung di udara. Kejap lain terdengarlah
ucapannya.
"Betul. Kita belum sempat berkenalan meski
pernah bertemu muka. Kau tidak usah berbasa-basi
mengucapkan terima kasih. Aku tidak merasa
menolongmu. Aku hanya tidak suka melihat orang
berbuat kurang ajar pada orang yang tak berdaya.
Tapi sekarang bukan aku yang menjawab per-
tanyaanmu, sebaliknya kau yang harus jawab per-
tanyaanku!" Ucapan Dewa Orok sekilas tampak
mengulangi seperti ucapan orang yang baru saja
menyembul dari dalam lobang.
Orang yang berada di bawah mendongak.
Sepasang matanya memandang tajam. Lalu dia buka
mulut. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apa yang telah kau peroleh dari tempat di bawah
batu besar ini?!"
Orang di bawah tampak terkesiap. Matanya makin
membeliak besar. Dahinya mengernyit. "Dia tampak-
nya sudah tahu rahasia di dalam sini.... Hem...." Orang
di bawah sejenak terdiam. Lalu berujar. "Aku tak
menemukan apa-apa di dalam sini! Justru aku masuk
ke sini karena ulah orang!"
"Kau tak menemukan apa-apa di dalam situ? Dan
kau masuk karena ulah orang?!" ucap Dewa Orok.
"Kau tidak berdusta? Dan siapa orang yang punya
ulah?"
"Aku telah menjawab pertanyaanmu! Orang yang
membuat ulah tak bisa kukatakan. Karena orangnya
juga tak kukenali!" jawab orang di bawah.
"Aku tanya apa kau tidak berdusta!" kata Dewa
Orok. Selama pemuda ini terus bercakap-cakap
bundaran karet mirip dot bayi yang tadi disemburkan
tetap mengapung di udara tak jauh dari kepalanya.
"Apa gunanya berdusta padamu?!" kata orang di
bawah balik bertanya.
Dewa Orok tertawa pendek. Lalu berkata. "Guna-
nya dusta padaku?! Tentu kau ingin memiliki benda
itu!"
Orang di bawah kembali terkejut. "Ah.... Dia tak
bisa didustai. Dia benar-benar tahu keadaan di
dalam.... Bagaimana sekarang? Kitab telah kudapat.
Aku tak akan memberikan pada siapa pun juga!"
membatin orang di bawah.
"Hem.... Mahkota bersusun tiga terbuat dari emas.
Itulah benda yang harus kudapatkan! Apakah
pemuda di bawah itu betul-betul tak menemukannya?
Tapi tempat yang dikatakan Guru tidak salah....
Mungkin pemuda itu berkata dusta!" Dewa Orok
berkata juga dalam hati.
"He! Kenapa kau diam?! Betul bukan kau telah
menemukan barang itu?!" kata Dewa Orok setelah
agak lama ditunggu orang di bawah tidak berucap
lagi.
"Sudah kukatakan, aku tidak menemukan apa-
apa!"
"Aku ingin buktikan ucapanmu!" kata Dewa Orok
akhirnya. Tanpa bergerak dari tempatnya, pemuda
bertangan buntung ini kuncupkan mulut.
Seakan tahu apa yang hendak diperbuat orang di
atas batu, orang di sebelah bawah cepat putar diri
menghadap batu. Dengan bersitekan pada batu di
depannya sepasang kakinya disentakkan.
Wuutt! Wuuttt!
Sosok orang yang berada di bawah melenting ke
udara. Setelah membuat gerakan jungkir balik dua
kali, orang ini mendarat tiga langkah di belakang
Dewa Orok.
Dewa Orok menyedot. Bundaran karet yang sedari
tadi mengapung melesat lalu masuk ke dalam mulut
si pemuda. Kejap lain sosoknya memutar menghadap
orang yang di belakangnya. Sepasang kakinya ditarik
ke belakang.
Untuk beberapa saat Dewa Orok yang kini duduk
bersila memandang penuh selidik. Sementara orang
yang dipandang balas menatap dengan penuh tanda
tanya.
"Menilik nada ucapannya, orang ini mengetahui
seluk-beluk tempat di dalam sana! Aku harus tahu
siapa dia sebenarnya! Dia orang jahat atau orang
baik!" kata orang di hadapan Dewa Orok dalam hati.
Orang ini yang ternyata seorang pemuda berparas
tampan mengenakan pakaian putih-putih dengan
rambut gondrong acak-acakan dibalut ikat kepala
warna putih dan bukan lain adalah Pendekar Pedang
Tumpul 131 Joko Sableng buka mulut.
"Harap sudi katakan siapa kau sebenarnya agar
jika ada kesalahpahaman di antara kita dapat segera
kita selesaikan!"
Dewa Orok gelengkan kepala. Mulutnya
mengembung lalu semburkan bundaran karet.
Bundaran karet itu mengapung di udara tak jauh dari
wajahnya. Sesaat kemudian terdengar ucapannya.,
"Dengar, Orang Muda! Salah satu hal yang tidak
pernah kukatakan pada orang adalah sebutkan siapa
diriku! Dan tanpa sebutkan diri, kalau kita sama jujur
kukira tidak ada sesuatu yang tak dapat diselesai-
kan!"
"Hem.... Dia menyebutku orang muda. Apa dikira
dia lebih tua dariku? Kuduga usianya masih sebaya
denganku...," membatin murid Pendeta Sinting lalu
berkata.
"Kalau kau tak suka sebutkan siapa dirimu, aku
pun tak akan sebutkan siapa diriku!"
Dewa Orok tertawa panjang. "Aku tak tanya siapa
dirimu! Yang kubutuhkan darimu adalah ucapan
jujur!"
Paras wajah Pendekar 131 tampak berubah.
Mungkin untuk membalas nada ucapan Dewa Orok,
Joko segera pula berkata menjawab.
"Kau pun tak akan mendapat ucapan apa-apa
dariku!"
"Tak akan mendapat ucapan apa-apa darimu?"
kata Dewa Orok mengulangi ucapan Pendekar 131.
Dia tertawa dahulu sebelum melanjutkan. "Aku
datang jauh-jauh mana mau begitu saja menerima?
Kalau kau tak mau berkata, pasti ada jalan lain! Aku
tahu benda yang kucari berada padamu! Aku
meminta secara baik-baik! Jika kau tak menyerahkan,
terpaksa aku minta dengan jalan tidak baik!"
Sebenarnya di antara kedua orang ini terjadi
kesalahpahaman. Yang dimaksud Dewa Orok dengan
benda sesungguhnya adalah sebuah mahkota
bersusun tiga terbuat dari emas. Pemuda ini datang
dari jauh dengan satu tujuan yakni mencari mahkota
yang menurut gurunya adalah milik nenek moyang-
nya. Sementara Pendekar 131 beranggapan jika
benda yang dimaksud Dewa Orok adalah kitab
bersampul kuning yang baru saja didapatnya dari
dasar bumi, tempat di mana dia didorong masuk oleh
sang penghuni Istana Hantu. Joko sendiri saat ini
memang juga menyimpan mahkota bersusun tiga
serta beberapa peniti di balik pakaiannya, tapi karena
sudah terpaku pada kitab bersampul kuning, murid
Pendeta Sinting seakan melupakan mahkota serta
peniti emas itu.
Seperti diketahui, begitu Joko berhasil mendapat-
kan mahkota dan peniti emas serta kitab bersampul
kuning, tiba-tiba udara di mana Joko berada saat itu
berubah dingin dan gelap. Lalu terdengar suara ber-
gemuruhnya air. Untuk beberapa saat lamanya murid
Pendeta Sinting ini hanya mondar-mandir di atas
permukaan batu paling tinggi tak tahu harus berbuat
apa. Namun pada akhirnya dia bernapas lega, karena
ternyata air itu tidak sampai ke tempat dia berada.
Setelah lama menunggu, akhirnya perlahan-lahan
suara bergemuruhnya air berhenti. Lalu samar-samar
terlihat cahaya agak terang dari satu titik. Dengan
waspada dan hati-hati, Joko melangkah mendekati
titik terang. Ada keanehan di dalam tempat itu,
bersamaan dengan terhentinya suara gemuruh air
dan terlihatlah satu titik cahaya, air yang tadi meng-
genangi tempat hamparan pasir dan gugusan batu
karang di dalam tanah itu laksana tersedot masuk ke
dalam pasir. Hingga hamparan pasir dalam tanah itu
kembali kering!
Saat murid Pendeta Sinting mencapai titik terang
yang ternyata adalah sebuah lobang batu, dia benar-
benar baru bisa menarik napas lega. Perlahan-lahan
dia keluar dari lobang batu itu. Namun dia merasa
terkejut begitu hendak keluar ternyata Dewa Orok
telah nongkrong di atas batu yang berlobang.
Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut
lagi, Dewa Orok telah mendahului berkata.
"Aku sekarang tak butuh ucapanmu. Yang kuperlu-
kan benda itu!"
Pendekar 131 tegak dengan kancingkan mulut
dan diam tak bergerak. Sepasang matanya menatap
tajam silih berganti pada sosok Dewa Orok dan
bundaran karet yang mengapung di depan wajah
orang.
"Orang muda! Kau dengar kata-kataku. Kenapa
masih diam?!"
"Tak ada yang perlu dikatakan! Semua sudah kau
dengar!" jawab Joko sedikit keraskan ucapannya.
"Kata-kata tidak menjamin, Orang Muda!"
"Terserah apa katamu! Yang pasti aku telah
katakan apa adanya!" kata Joko masih tak mau
berterus terang.
"Bagaimana ini? Tempat yang dikatakan Guru jelas
adanya. Tapi apa mungkin mahkota yang dikata-
kannya benar-benar tidak ada?!" sejenak Dewa Orok
dilanda kebimbangan. Setelah berpikir agak lama
akhirnya dia berkata.
"Orang muda! Sebenarnya aku tidak mau bertindak
kurang ajar. Tapi karena aku tak mau pulang ber-
hampa tangan, apa boleh buat. Apalagi kulihat kau
masih menyembunyikan sesuatu padaku!"
Habis berkata begitu, Dewa Orok kuncupkan
mulut. Lalu dihembuskan ke depan. Satu gelombang
angin menderu deras ke arah Pendekar 131.
"Harap kau tak menyesal dengan tindakanmu!"
bentak murid Pendeta Sinting mulai agak geram
melihat orang telah lancarkan serangan meski itu
hanya berupa hembusan mulut. Namun karena
hembusan itu bukan hembusan biasa, maka saat itu
juga satu gelombang angin deras melesat!
Murid Pendeta Sinting cepat geser tubuhnya ke
samping. Gelombang angin lewat setengah depa di
sampingnya. Namun baru saja tubuhnya bergerak
menghindar, Dewa Orok telah membuat gerakan
dengan hentakkan kedua kakinya yang bersila ke
atas batu yang diduduki.
Pukkk! Pukkkk!
Sosok Dewa Orok mengudara setengah tombak.
Lalu membuat gerakan menjungkir kepala di bawah,
kaki di atas. Kakinya yang tadi bersila cepat bergerak
membuka. Kejap lain sepasang kakinya telah melesat
ke depan lancarkan satu tendangan!
Belum sampai kedua kaki Dewa Orok benar-benar
lancarkan satu tendangan, tiba-tiba terdengar satu
seruan.
"Tahan! Aku membutuhkan pemuda itu!"
Dewa Orok apungkan sepasang kakinya di atas
udara. Sementara murid Pendeta Sinting segera
berpaling ke arah datangnya suara teguran. Tapi
Pendekar 131 hanya dapat melihat satu sosok
berkelebat. Lalu terdengar suara air berkecipak.
Pertanda orang yang tadi perdengarkan suara telah
ceburkan diri ke dalam sungai.
Belum sempat murid Pendeta Sinting berpikir lebih
panjang, mendadak dari dalam air sungai satu
bayangan melesat ke atas. Kejap lain satu sosok
tubuh telah tegak di samping Dewa Orok. Air sungai
tampak menetes dari pakaian putih sutera serta
tubuh dan rambut putih yang basah kuyup!
TIGA
DEWA Orok yang urungkan niat kirimkan tendangan
segera putar dirinya masih dengan kaki di atas kepala
di bawah. Pendekar 131 sendiri cepat berpaling.
"Bukankah orang ini adalah...," belum habis
dugaan Pendekar 131, orang yang baru muncul dari
dalam air tertawa. Dia adalah seorang perempuan
berusia lanjut mengenakan pakaian sutera warna
putih. Meski usia perempuan ini tidak muda lagi, tapi
raut kejelitaan masih membayang, pertanda waktu
mudanya dia adalah seorang gadis yang berparas
cantik jelita. Rambut perempuan ini telah memutih.
Pada atas telinga kanannya tampak sebatang bambu
kecil berwarna kuning.
Perempuan berpakaian sutera putih yang bukan
lain adalah Daeng Upas, ibu Dewi Siluman berpaling
pada Dewa Orok. Lalu berkata.
"Sobatku, Dewa Orok. Harap kau tunda urusanmu
dengan pemuda itu! Aku masih butuh keterangan
darinya!"
"Dewa Orok.... Hem.... Jadi pemuda itu masih
kerabatnya Dewa...," kata Joko dalam hati, "Ada
keanehan.... Bukankah tempo hari kedua orang ini
saling bentrok? Kenapa sekarang mereka berdua
tampak akrab...? Ataukah waktu itu keduanya hanya
bersandiwara? Tapi untuk apa?!"
Pikiran Joko dibuncah dengan berbagai duga dan
tanya. Ketika Daeng Upas hendak menyerang Joko
pada beberapa waktu yang lalu, saat itu memang
mendadak saja muncul Dewa Orok yang selamatkan
murid Pendeta Sinting. Malah setelah itu terjadi saling
pukul antara Daeng Upas dan Dewa Orok (Lebih
jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode :
"Tabir Asmara Hitam"). Namun setelah itu Joko tidak
mengetahui, jika saat terjadi bentrok antara Daeng
Upas dengan Tengkorak Berdarah, muncullah Dewa
Orok selamatkan Daeng Upas. Bahkan setelah
kepergian Tengkorak Berdarah, Daeng Upas men-
ceritakan siapa dirinya serta apa tujuannya pada
Dewa Orok.
Untuk beberapa saat, Dewa Orok memandang ke
arah Daeng Upas. Lalu dia membuat gerakan satu
kali. Saat lain tubuhnya telah tegak dengan bertumpu
pada kedua ibu jari kakinya. Sementara bundaran
karet terus mengapung di udara!
Tanpa menunggu sambutan Dewa Orok, Daeng
Upas maju satu tindak. Sepasang matanya mem-
perhatikan murid Pendeta Sinting dari rambut sampai
kaki.
"Apa nenek cantik ini tahu juga rahasia tentang
tempat dalam tanah itu? Atau pertemuan ini satu
kebetulan belaka?!" murid Pendeta Sinting terus
menduga-duga.
Jika pikiran Pendekar 131 terus dibuncah dengan
berbagai duga dan tanya, diam-diam Daeng Upas juga
membatin. "Melihat pukulan yang dilancarkan se
waktu hendak memasuki Istana Hantu lalu
mendengarkan keterangan Durga Ratih dan Ki Buyut
Pagar Alam, jika tidak salah mungkin pemuda inilah
yang digelari Pendekar Pedang Tumpul 131. Pemuda
yang berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru....
Hem.... Aku harus dapat mengambil kitab itu dari
tangannya. Sejak berpuluh tahun aku menginginkan
kitab itu! Bahkan gara-gara rahasia kitab itu aku
diusir oleh guruku Panjer Wengi!"
"Anak muda!" kata Daeng Upas setelah membatin.
"Lekas kau serahkan kitab itu padaku!"
Pendekar 131 tersentak. Dia pandangi perempuan
di hadapannya seakan baru sekali bertemu. "Celaka!
Dia benar-benar tahu rahasia tempat dalam tanah itu!
Urusan dengan Dewa Orok belum selesai, kini ada
lagi orang yang meminta kitab ini!" kata Joko dalam
hati. Dia masih tidak mengetahui jika yang dimaksud
kitab oleh Daeng Upas adalah Kitab Serat Biru. Bukan
kitab bersampul kuning yang baru saja didapatnya
dari tempat dalam tanah. Karena Daeng Upas sendiri
tidak mengetahui adanya tempat di bawah batu
tempatnya kini berpijak.
Karena dilihatnya si pemuda tidak buka mulut atau
memberikan apa yang diminta, Daeng Upas kembali
buka mulut membentak. Kini tangan kanannya ber-
gerak terulur ke depan dengan sikap meminta.
"Aku ulangi satu kali lagi! Berikan kitab itu
padaku!"
Untuk menutupi rasa terkejutnya, murid Pendeta
Sinting tertawa panjang sebelum akhirnya berkata.
"Kau minta pada orang yang salah, Nenek Cantik! Aku
tidak memiliki kitab yang kau minta!"
Daeng Upas menyeringai mendengar ucapan
Pendekar 131. "Dengar, Anak Muda! Aku Daeng Upas
sebenarnya adalah orang yang paling berhak atas
kitab itu, karena...."
"Nenek cantik!" potong murid Pendeta Sinting.
"Percuma kau cerita panjang lebar. Aku tidak tahu
segala macam kitab! Sebaiknya hal itu kau tanyakan
pada sobatmu Dewa Orok itu. Mungkin dia tahu!"
Dewa Orok yang sedari tadi diam mendengarkan
buka mulut. "Percuma kau bertanya padaku, Nenek
Cantik! Aku lebih tidak mengetahui urusan kitab-
kitaban!"
"Hem.... Dari ucapannya, jelas jika Dewa Orok pun
tak ingin orang lain tahu urusannya. Tadi dia bilang
minta juga padaku, sekarang mungkir! Kedua orang
ini punya tujuan sama tapi sepertinya selama ini
saling mereka sembunyikan!" duga Joko begitu
mendengar ucapan Dewa Orok.
"Aku tak perlu bertanya pada orang lain! Aku tahu
kitab itu ada padamu! Lekas serahkan padaku!"
sentak Daeng Upas sambil melangkah lagi satu
tindak, tangan kanannya tetap membuat gerakan
meminta, sementara tangan kirinya diangkat ke atas
siap hendak lepaskan satu pukulan.
"Nenek! Harap menahan diri. Aku juga masih butuh
keterangan darinya!" ucap Dewa Orok menahan
gerakan Daeng Upas.
Daeng Upas tegak tanpa berpaling pada Dewa
Orok dengan dahi mengernyit. "Jangan-jangan
pemuda bertangan buntung ini juga menginginkan
kitab itu!"
"Dewa Orok! Jika kita sama-sama memerlukan,
kita selesaikan pemuda ini! Lalu kita berbagi!" kata
Daeng Upas. Daeng Upas rupanya sadar jika Dewa
Orok bukanlah orang yang bisa dianggap sepele.
Terbukti sewaktu bentrokan tempo hari meski tidak
berada di bawahnya, tapi dia dapat mengukur sampai
di mana ilmu yang dimiliki Dewa Orok. Dia juga
maklum jika pemuda di hadapannya bukanlah orang
sembarangan. Ini dia lihat ketika Pendekar 131
hendak coba memasuki Istana Hantu pada beberapa
waktu yang lalu.
Mendengar ucapan Daeng Upas, Dewa Orok ter-
tawa pelan. "Sayang, Nenek Cantik! Dalam hal satu
ini, aku tidak akan berbagi meski dengan hantu sekali
pun! Benda itu adalah milik nenek moyangku, aku
bisa kuwalat jika dibagi-bagi!"
"Jika begitu, terpaksa aku melupakan budi baik-
mu!" sahut Daeng Upas yang mengira benda
dimaksud Dewa Orok adalah Kitab Serat Biru.
Dewa Orok memperkeras suara tawanya. "Sudah
kukatakan padamu tempo hari, aku tidak berniat
menolongmu. Yang, kulakukan adalah mencegah
orang bertindak sesuka hatinya pada orang yang
sudah tak berdaya!"
"Hem.... Tadi dia bilang tak tahu menahu kitab-
kitaban, nyatanya lalu mengaku kitab itu milik nenek
moyangnya! Makanya waktu itu dia menolong
pemuda ini. Tak tahunya...."
Daeng Upas cepat balikkan tubuh menghadap
Dewa Orok. "Dewa Orok! Walaupun kau pernah
menyelamatkan nyawaku, saat ini aku tak segan
untuk berganti cabut nyawamu! Ketahuilah jika aku
telah menghabiskan tenaga dan waktu bertahun-
tahun untuk mendapatkan kitab itu!"
"Nenek cantik! Terserah berapa tahun kau habis-
kan waktu. Aku tak mau tahu urusan kitab. Yang
penting benda milik nenek moyangku harus ku-
dapatkan kembali! Itu adalah tugasku!"
"Hai.... Nampaknya pemuda itu memang tidak tahu
menahu tentang kitab. Ada sesuatu lain yang
dimaksud! Dari tadi dia menyebut benda. Benda apa?
Mengapa minta padaku...?!" kata murid Pendeta
Sinting dalam hati begitu menyimak ucapan Dewa
Orok. Namun belum sampai dia buka mulut bicara,
Daeng Upas telah membentak.
"Jika demikian, kau pun harus mampus di
tanganku juga!"
"Sebenarnya aku tak suka urusan diakhiri dengan
mampus-mampusan! Tapi jika itu sudah kau
kehendaki, aku pun ikut saja! Ha.... Ha.... Ha...!
Daripada hidup sengsara tak punya tangan, memang
lebih baik mati.... Ha.... Ha.... Ha...!"
"Aku harus cepat menyingkir dari tempat ini. Aku
harus meneliti kitab ini!" bisik Joko seraya edarkan
pandangannya. Sementara di hadapannya, Daeng
Upas sudah angkat kedua tangannya siap meng-
hantam Dewa Orok.
"Tahan!" seru Dewa Orok. "Kau betul-betul hendak
membunuhku?!"
"Kau perintang tujuanku! Terpaksa kau harus
kubuat tewas terlebih dahulu!" bentak Daeng Upas.
Suaranya belum selesai, kedua tangannya telah
berkelebat menghantam ke arah kepala Dewa Orok!
Daeng Upas langsung menghantam dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi karena dia maklum,
seperti apa yang didengarnya dari Tengkorak
Berdarah beberapa waktu lalu, Tengkorak Berdarah
sebut Dewa Orok sebagai tokoh tua. Dari sini Daeng
Upas sudah dapat menduga, meski tampak wajahnya
masih muda, namun sebenarnya dia adalah tokoh
yang usianya telah melebihi dirinya.
Mendapati dirinya dihantam, Dewa Orok tidak
tinggal diam. Kedua tumitnya yang berjingkat
disentakkan ke bawah. Sosoknya tiba-tiba melejit ke
udara. Kedua kakinya segera bergerak mengembang.
Bukkk! Bukkk!
Dua tangan beradu keras dengan sepasang kaki.
Daeng Upas tampak surutkan langkah satu tindak
dengan wajah berubah. Kedua tangannya bengkak
merah. Di depannya, Dewa Orok kembali tegak di atas
batu dengan meringis kesakitan. Saat itulah kedua
orang ini mendengar suara berkecipaknya air.
Serentak kepala keduanya berpaling. Mereka berdua
melihat sosok murid Pendeta Sinting berenang
dengan punggung di bawah dan perut di atas.
"Jahanam! Dia hendak meloloskan diri!" rutuk
Daeng Upas. Perempuan ini laksana terbang hendak
melompat terjun dalam sungai mengejar. Namun tiba-
tiba Dewa Orok melompat dan tegak menghadang
gerak Daeng Upas.
Daeng Upas menggeram marah. "Kau benar-benar
minta mampus!"
Kedua tangan dan kaki kanan Daeng Upas
serentak bergerak lepaskan pukulan!
Dewa Orok cepat bergerak ke samping. Dari arah
samping dia membuat gerakan menjungkir. Lalu
kedua kakinya yang kini berada di atas disentakkan
memangkas pukulan Daeng Upas.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Daeng Upas berseru tertahan. Sosoknya terhuyung
ke samping batu. Karena tidak ada pegangan,
akhirnya tubuh perempuan ini melorot jatuh ke dalam
sungai. Dewa Orok sendiri tampak tersapu. Karena
dirinya juga berada tak jauh dari bibir batu, maka tak
ampun lagi sosoknya juga tercebur dalam sungai!
Mungkin tak mau buruannya lolos, Daeng Upas
tidak menghiraukan Dewa Orok. Dengan menindih
rasa sakit pada kedua tangannya yang baru saja
bentrok dengan kaki Dewa Orok, perempuan ini
segera berenang ke seberang. Kejap lain sosoknya
telah tegak di atas tanah di seberang. Sesaat kepala
Daeng Upas berputar. Dia terdengar memaki panjang
pendek karena murid Pendeta Sinting sudah tidak
kelihatan lagi!
Daeng Upas melirik ke sungai. Dewa Orok tampak
masih mengapung di atas air. Tanpa berkata lagi, ibu
Dewi Siluman ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
Begitu Daeng Upas berlalu, Dewa Orok kuncupkan
mulut menyedot. Bundaran karet yang masih
mengapung di atas batu besar bergerak melesat ke
bawah kemudian masuk ke dalam mulutnya.
"Aku akan buktikan dahulu ucapan pemuda tadi!
Kalau dia berkata dusta padaku dan membawa
mahkota itu, ke mana pun dia akan kukejar!" gumam
Dewa Orok.
Pemuda bertangan buntung ini sejenak edarkan
pandangannya ke atas. Yakin Daeng Upas benar-
benar telah berlalu, dia segera melesat lalu masuk ke
dalam lobang yang ada di bagian batu besar yang
memisahkan aliran sungai.
EMPAT
DAENG Upas yang tak mau kehilangan murid Pendeta
Sinting yang diyakininya membawa Kitab Serat Biru
laksana terbang lipat gandakan ilmu peringan
tubuhnya. Sosoknya melesat cepat ke arah barat.
Namun pada satu tempat, mendadak sontak
perempuan yang meski usianya telah lanjut tapi
masih tampak cantik ini hentikan larinya. Me-
mandang ke samping kiri dia melihat satu sosok
duduk bersila. Daeng Upas tidak dapat mengenali
wajah orang karena orang ini duduk membelakangi!
Tadi dari pancaran sinar mata si nenek, kelihatan jika
dirinya dapat menduga siapa adanya orang. Terbukti
begitu sekilas memperhatikan, Daeng Upas mem-
batin.
"Sosok dan pakaiannya dapat kukenali! Jahanam
inilah salah satu yang harus kulenyapkan dari muka
bumi! Dia biang kerok penyebab jatuhnya Kitab Serat
Biru ke tangan orang lain! Hem.... Dicari sukar, kini
tak dicari bertemu!"
Daeng Upas beliakkan sepasang matanya
pandangi punggung orang yang ternyata adalah
seseorang bertubuh besar gemuk mengenakan
pakaian gombrong warna hijau yang di pinggangnya
melingkar satu ikat pinggang besar. Rambutnya putih
disanggul ke atas.
"Hem.... Tiba saatnya aku pergunakan bambu ini!
Racun di dalamnya memang sengaja kuperuntukkan
bagi dia dan gerombolannya!" gumam Daeng Upas
sambil usap-usap bambu berwarna kuning yang
menyelip di atas telinga kanannya. Selama ini bambu
itu memang tidak digunakan oleh si nenek.
Habis bergumam begitu, Daeng Upas melesat ke
samping kiri. Saat lain sosoknya telah tegak di
hadapan orang yang duduk bersila. Sepasang mata
Daeng Upas melotot memperhatikan wajah orang.
Orang yang duduk gerakkan kepala mendongak.
Ternyata orang ini sepasang matanya hanya kelihatan
putih pertanda jika dirinya buta. Pada pangkal ikat
pinggangnya di sebelah depan tampak sebuah cermin
bulat.
"Sayang aku tidak bisa melihat...," ucap orang yang
duduk bersila dan tidak lain adalah Gendeng
Panuntun adanya. "Tapi aku tahu ada seorang
sahabat di depanku. Harap sudi sebutkan siapa, laki
atau perempuan. Kalau perempuan cantik apa...."
Ucapan Gendeng Panuntun belum habis telah
dipotong oleh Daeng Upas.
"Aku bukan sahabatmu! Aku malaikat maut yang
berhak atas nyawamu!"
Ucapan Daeng Upas bukan membuat Gendeng
Panuntun tersentak kaget. Sebaliknya dia tertawa
bergelak sambil usap-usap cerminnya. Lalu berucap.
"Kenapa nasibku buruk begini? Kukira di tempat
sunyi begini bisa bertemu gadis cantik, tak tahunya
bertemu malaikat cantik yang hendak mengambil
satu-satunya nyawaku. Ada urusan apa sebenarnya
hingga kau menginginkan nyawaku...? Adakah
nyawaku bisa dijual dan berharga mahal?"
Daeng Upas menyeringai. Lalu membentak garang.
"Justru karena nyawamu tidak ada harganya aku akan
mencabutnya!"
"Nenek cantik! Mau katakan kenapa kau bernafsu
sekali pada nyawaku yang tak berharga ini?!"
Meski sejenak Daeng Upas tampak terkejut
mendapati Gendeng Panuntun tahu dirinya seorang
nenek, tapi saat lain dia telah berkata dengan suara
keras.
"Gendeng Panuntun! Aku ingin kematianmu ber-
iring dengan penasaran!"
Habis membentak begitu, Daeng Upas cepat me-
lompat ke depan. Kakinya lepaskan satu tendangan.
Perempuan ini sengaja lepaskan tendangan dari jarak
empat langkah. Hebatnya meski tendangan itu tidak
langsung mengenai sasaran sosok Gendeng
Panuntun, namun tenaga yang melesat dari
tendangan itu laksana kaki perempuan ini benar-
benar menghantam sasaran!
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. Tangan
kanannya menyentak tanah di sampingnya. Sosoknya
bergerak ke samping dengan cepat. Hingga
tendangan jarak jauh Daeng Upas melabrak tempat
kosong.
Daeng Upas kernyitkan dahi. "Hem.... Apa yang
kudengar selama ini ternyata benar. Manusia buta ini
telah menjadi tokoh yang bukan saja aneh, tapi juga
memiliki kepandaian tinggi! Menyesal aku mengapa
tidak sedari dulu dia dan gerombolannya kulenyap-
kan!"
Seperti diketahui, sebenarnya Daeng Upas adalah
masih saudara seperguruan Gendeng Panuntun.
Malah Daeng Upas murid pertama guru Gendeng
Panuntun dan saudara-saudaranya yakni Iblis
Ompong, Ratu Malam, Dewa Sukma, dan Dewi Es.
Namun karena Daeng Upas bertindak menyalahi
aturan malah akhirnya mengandung dengan Datuk
Besar yang akhirnya melahirkan Dewi Siluman, Daeng
Upas harus meninggalkan perguruan. Daeng Upas
pergi dengan membawa kecewa dan dendam.
Kecewa karena selama ini dia tahu jika gurunya
menyimpan satu rahasia besar dan belum berhasil
dia peroleh. Dendam karena dia menduga justru
Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya yang
menceritakan tingkah lakunya pada guru mereka
hingga dirinya terusir dari perguruan. Perasaan
dendam Daeng Upas semakin berkobar setelah pada
beberapa tahun kemudian dia mengetahui jika
rahasia yang dulu diimpikannya jatuh ke tangan
Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya.
"Nenek!" kata Gendeng Panuntun. "Harap tidak
perturutkan perasaan. Bagaimanapun juga kita masih
saudara! Bukankah lebih baik kita sambung lagi
putusnya tali persaudaraan ini? Waktu itu mungkin
kau terbawa perasaan hingga menganggapku...."
"Gendeng Panuntun! Urusan lama telah kukubur
dalam-dalam! Di antara kita tidak ada ikatan apa-apa!
Kau adalah musuhku. Aku adalah lawanmu!"
Gendeng Panuntun geleng-gelengkan kepalanya.
"Sekali saudara, apa dan bagaimanapun bagiku tetap
saudara!"
Daeng Upas tertawa bergelak. "Dendamku sudah
berkarat, Gendeng Panuntun! Tak ada yang bisa
meredamnya selain lenyapnya nyawamu dan nyawa
gerombolanmu!"
"Kau masih larut oleh perasaanmu. Padahal
bukankah pangkal sebabnya hanya karena urusan
rahasia kitab itu? Kau harus sadar, meski rahasia itu
diberikan padaku serta saudara-saudaraku, aku dan
mereka pun tidak berhak atas kitab itu! Kami hanya-
lah sebagai perantara! Sementara orang yang berhak
atas kitab itu telah ditentukan! Kita semua tidak ada
yang mendapatkan kitab itu!"
"Aku sudah tahu! Aku pun tahu siapa orang yang
telah mendapatkan kitab itu! Malah sebentar lagi
kitab itu akan berpindah ke tanganku! Tapi jika saat
itu kau dan gerombolanmu tidak bicara macam-
macam, tidak sampai aku harus menunggu berpuluh
tahun lamanya!"
"Di antara kita tidak ada yang ditentukan untuk
memiliki kitab itu. Jadi kurasa percuma kau meng-
habiskan waktu memburunya! Justru yang akan kau
dapatkan adalah bertambahnya rasa kecewa...."
"Ramalan sialan! Siapa percaya pada ucapan
orang buta sepertimu, hah?!"
"Aku tidak meramal. Hal itu kini telah jadi kenyata-
an! Apakah kau akan mengingkari kenyataan?"
"Kenyataan goblok! Dengar, Gendeng Panuntun!
Apa pun bunyi ucapanmu, jangan berharap aku
berubah niat! Dendamku tak bisa diputus oleh apa
dan siapa pun!"
"Itu hanya akan mendatangkan malapetaka bagi-
mu. Kau akan terlindas oleh dendammu sendiri..."
Daeng Upas tertawa panjang mendengar kata-kata
Gendeng Panuntun. Puas tertawa, perempuan itu
berujar. "Mati dalam dendam lebih baik bagiku
daripada hidup memendam dendam dan tak ber-
usaha melampiaskannya!"
Habis berkata begitu, Daeng Upas angkat kedua
tangannya. Di hadapannya, Gendeng Panuntun ber-
gerak bangkit. Kakek ini usap-usap cermin bulatnya
lalu berkata.
"Sepertinya kau tadi sedang mengejar sesuatu.
Hem.... Kukira apa yang tengah kau kejar lebih
penting daripada urusan di sini. Karena di sana kau
akan buktikan apakah rasa dendammu sudah pada
tempatnya atau tidak! Nah, aku harus pergi...."
Gendeng Panuntun putar dirinya setengah
lingkaran. Lalu melangkah tinggalkan tempat itu.
"Manusia buta ini tampaknya mengerti jika aku
sedang mengejar pemuda yang mendapatkan Kitab
Serat Biru itu.... Tapi dia tak akan kulepas begitu saja.
Mencari orang macam dia susahnya setengah mati!
Sekali ada kesempatan, aku tidak akan membiar-
kannya!" membatin Daeng Upas. Lalu berteriak.
"Gendeng Panuntun! Yang kukejar memang satu
hal amat penting. Namun saat ini nyawamu lebih
penting!"
"Kau tidak akan tambah kecewa jika buruan yang
telah bertahun-tahun kau impikan lepas begitu saja?
Soal dendammu padaku sebaiknya kau tunda
dahulu.... Siapa tahu nantinya kau maklum jika takdir
telah menentukan lain dengan apa yang kau cita-
citakan."
"Kau tak usah banyak bicara! Aku tahu apa yang
harus kulakukan!" bentak Daeng Upas. Baru saja
ucapannya habis, kedua tangannya telah bergerak
lepaskan satu pukulan bertenaga dalam kuat. Hingga
saat itu juga satu gelombang dahsyat menderu ke
arah Gendeng Panuntun!
Gendeng Panuntun hadapkan kembali tubuhnya
ke arah Daeng Upas. Bersamaan itu tangan kanannya
mengusap cermin bulat pada depan perutnya. Ketika
tangannya ditarik, tampaklah satu cahaya putih
berkerlap.
Bussss!
Gelombang angin yang dilepas Daeng Upas
ambyar bertabur di udara. Sosok Daeng Upas tersurut
tiga langkah dengan wajah berubah pucat pasi.
Tubuhnya bergetar keras. Di seberang depan, sosok
Gendeng Panuntun terlihat bergoyang-goyang.
Pakaian hijau gombrong yang dikenakan berkibar-
kibar. Orang ini sesaat tampak geleng-geleng kepala.
Lalu tanpa berkata-kata lagi ia teruskan langkah.
Meski mulai sadar jika sulit menundukkan
Gendeng Panuntun, namun karena dendam telah
merasuki dadanya perempuan ibu Durga Ratih alias
Dewi Siluman ini melupakan kekuatannya sendiri. Dia
segera kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki.
Namun mendadak, dia urungkan niat lepaskan
pukulan. Sebaliknya tangan kanannya menyahut
bambu yang menyelip di atas telinganya.
Sesaat Daeng Upas tegak dengan mata
memandang sosok Gendeng Panuntun yang terus
melangkah pelan. Kejap lain sosok perempuan ini
melesat ke depan. Bambu berwarna kuning cepat
diletakkan di mulut. Sambil melayang di udara, Daeng
Upas kembungkan mulut hendak meniup bambu.
Namun sebelum benar-benar meniup, terdengar
satu deruan keras. Saat lain satu gelombang angin
dahsyat melabrak ganas ke arah sosok Daeng Upas
yang masih melayang di udara.
Daeng Upas menjerit kaget dan marah sekali.
Terpaksa dia selipkan kembali bambu ke atas
telinganya. Kedua tangannya segera bergerak
memukul ke arah datangnya gelombang serangan.
Terdengar letupan keras. Tanah lima langkah di
hadapan Daeng Upas muncrat ke udara tersapu
bentroknya pukulan Daeng Upas dengan gelombang
angin yang tiba-tiba menghadang gerak si nenek.
"Keparat! Siapa berani gila ikut campur?!" teriak
Daeng Upas begitu mendarat di atas tanah sambil
putar kepala ke samping kiri. Tangan kiri kanannya
masih di atas kepala dan siap hendak lepaskan
pukulan.
Namun mendadak sosok Daeng Upas bergetar.
Kakinya mundur satu tindak. Matanya mendelik
dengan mulut terkancing rapat. Sementara agak jauh
di depan sana Gendeng Panuntun hanya berhenti
sebentar tanpa balikkan tubuh. Kejap lain kakek
bermata buta ini tenang saja teruskan langkah. Tapi
satu suara tawa panjang mendadak menggema di
seantero tempat itu, membuat Gendeng Panuntun
kembali harus hentikan langkah.
***
LIMA
LAKSANA diputus setan, serta-merta suara tawa
panjang lenyap. Saat lain terdengar suara. "Gendeng
Panuntun! Jangan berani melangkah! Tunggu di situ
sampai tiba giliranmu!"
Gendeng Panuntun tidak menyahut ucapan orang.
Dia hanya putar diri lalu tengadah dengan usap-usap
cerminnya. Sementara Daeng Upas terus perhatikan
ke depan. Pada orang yang tadi menahan gerakannya
dan baru saja berkata.
Di situ tegak satu sosok tubuh yang tak bisa
dikenali. Sosok orang ini dibungkus dengan jubah
panjang terusan berwarna abu-abu yang menutupi si
pemakai dari ujung rambut sampai kaki. Pada bagian
dada jubah terlihat sebuah gambar tengkorak.
"Tengkorak Berdarah!" desis Daeng Upas pelan
melihat siapa adanya orang yang mengenakan jubah
abu-abu terusan. Perempuan ini tampak khawatir dan
gelisah. Namun diam-diam dia lipat gandakan tenaga
dalam pada kedua tangannya yang masih di atas
kepalanya.
"Orang ini pasti hendak teruskan urusan yang
tertunda tempo hari!" kata Daeng Upas dalam hati.
Parasnya sedikit berubah. Dia teringat bagaimana
saat itu dia hampir saja tak tertolong nyawanya jika
tidak muncul Dewa Orok serta berkelebatnya orang
aneh yang saling bergendongan dari pelataran Istana
Hantu. Tapi bayangan rasa cemas di raut wajah
Daeng Upas hanya sekejap. Saat lain parasnya merah
mengelam. Dadanya bergerak turun naik pertanda
kian menahan gejolak amarah.
"Jahanam inilah yang memutus hubunganku
dengan Datuk Besar! Aku telah bersumpah untuk
membalas kematian Datuk Besar! Peduli setan dia
berkepandaian tinggi!"
"Daeng Upas!", tiba-tiba orang berjubah abu-abu
dan tidak lain memang orang yang selama ini mem-
perkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah per-
dengarkan suara. "Tempo hari nyawamu selamat, tapi
tidak hari ini!"
"Orang ini mengenal Gendeng Panuntun juga
diriku. Siapa dia sebenarnya?" membatin Daeng Upas
dengan mata memandang tajam seakan ingin
menembus jubah penutup Tengkorak Berdarah dan
mengetahui raut wajah di baliknya.
Tiba-tiba terdengar suara bergelak. Baik Daeng
Upas dan Tengkorak Berdarah segera gerakkan
kepala masing-masing berpaling. Di sebelah depan
sana terlihat Gendeng Panuntun usap-usap cermin-
nya seraya terpingkal-pingkal. Begitu tawanya ber-
henti, kakek bermata buta ini berujar.
"Maksud tujuan kadang-kadang membawa orang
bertindak aneh-aneh. Sampai-sampai harus merubah
suara segala! Padahal kepalsuan akan menambah
suasana jadi makin tak karuan...."
Kalau Daeng Upas tidak merasa terkejut dengan
ucapan Gendeng Panuntun karena tidak tahu
maksudnya, tidak demikian halnya dengan Tengkorak
Berdarah. Kepala di balik jubah abu-abu orang ini
sejenak tampak bergerak tengadah.
"Bangsat buta itu tampaknya tahu suara palsuku!
Keparat betul!" maki orang berjubah abu-abu dalam
hati. Seperti diketahui, selama ini orang yang
menyebutkan diri sebagai Tengkorak Berdarah ini
selalu perdengarkan suara seorang laki-laki.
"Dengar kalian berdua!" tiba-tiba Tengkorak
Berdarah membentak garang. "Kematian sudah pasti
akan menjadi bagian kalian berdua. Tapi hal itu bisa
kalian tebus jika kalian berdua bisa jawab per-
tanyaanku! Tapi ingatl Jika jawaban kalian dusta, aku
tak segan membuat kalian mampus dua kali! Kalian
dengar?!"
Daeng Upas kernyitkan kening. Dia heran mengapa
dirinya dihubungkan dengan Gendeng Panuntun
dalam urusannya. Di lain pihak, Gendeng Panuntun
terlihat dongakkan kepala lalu berkata.
"Walah.... Belum habis orang inginkan nyawaku
sekarang ada orang inginkan kematianku! Tapi
kurasa kematianku akan tertunda, karena tentu kau
tidak akan segera membunuhku sebelum mendapat
jawaban dariku...."
Tengkorak Berdarah perdengarkan tawa panjang
mendengar ucapan Gendeng Panuntun. "Dugaanmu
kali ini meleset, Orang Buta! Begitu kau dan
perempuan itu tak menjawab pertanyaanku, maka
kematian akan menjadi hakmu! Aku tidak akan
menunda!"
"Ooo.... Begitu? Coba katakan apa pertanyaan yang
menjadi gantungan nyawaku itu?"
Tengkorak Berdarah melangkah. Begitu sampai
tempat di antara Gendeng Panuntun dan Daeng
Upas, orang berjubah abu-abu ini berkata.
"Aku ingin tahu, di mana guru kalian berada saat
ini?!"
Daeng Upas tersentak kaget. "Orang ini tahu
banyak tentang diriku. Sampai tahu jika aku dan
Gendeng Panuntun pernah berguru pada satu orang!
Hem.... Biar manusia buta itu yang memberi jawaban,
selain aku tidak mengetahui dimana beradanya orang
yang ditanyakan, aku juga sudah memutuskan
pertalian murid dan guru! Bahkan Guru adalah salah
satu orang yang harus kulenyapkan!"
"Kalian tidak tuli! Lekas bicara jawab per-
tanyaanku!" bentak Tengkorak Berdarah begitu belum
juga di antara Gendeng Panuntun atau Daeng Upas
yang buka mulut memberi jawaban.
Gendeng Panuntun usap-usap cermin bulatnya.
Lalu berujar dengan tersenyum. "Guruku seorang laki-
laki. Dan kau...." Gendeng Panuntun sengaja putus-
kan ucapannya. Lalu melanjutkan. "Jangan-jangan di
antara kau dan guruku punya hubungan tertentu.
Betul...?!"
"Aku butuh jawaban! Bukan dugaan gilamu! Lekas
jawab di mana guru kalian Panjer Wengi berada!"
sahut Tengkorak Berdarah dengan suara makin keras
dan bergetar.
"Hem.... Coba kau tanya dulu Nenek Cantik itu!
Barangkali dia tahu...," ucap Gendeng Panuntun
sambil telengkan kepala ke arah Daeng Upas.
Daeng Upas menyeringai. "Kau tidak akan men-
dapat jawaban apa-apa dariku! Aku telah me-
mutuskan hubungan murid dan guru dengan manusia
bernama Panjer Wengi! Justru saat ini dia adalah
salah seorang yang kucari!"
"Hem....." Tengkorak Berdarah bergumam.
"Sekarang apa jawabmu, Orang Buta?!"
Gendeng Panuntun menggeleng. "Sebenarnya
berat sekali aku mengatakannya. Tapi apa hendak di-
kata aku harus berterus terang. Sudah beberapa
puluh tahun aku tak lagi jumpa dengannya. Jadi
jangan tanya di mana dia berada...."
Tengkorak Berdarah menggereng. "Gendeng
Panuntun! Selama ini kudengar kau pandai menduga
orang! Adalah mustahil jika kau sampai tidak dapat
menduga di mana gurumu berada!"
Gendeng Panuntun tertawa pelan. "Manusia
kadang lupa jika hanya kemampuan Yang Maha
Tinggi yang tidak ada batasnya. Sementara sedikit
yang kumiliki begitu terbatas sekali. Terbukti aku
tidak bisa menduga di mana guruku sendiri berada!"
"Berarti kalian berdua tidak bisa terhindar dari
lobang kematian!" kata Tengkorak Berdarah.
"Jangan sangkut pautkan aku dengan orang yang
kau cari! Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa!
Orang buta itulah yang seharusnya bertanggung
jawab!" ucap Daeng Upas coba melepaskan diri. Ibu
Dewi Siluman ini rupanya maklum jika dirinya
mungkin tidak akan mampu menghindar dari
kematian kalau Tengkorak Berdarah benar-benar
melakukan ancamannya. Namun di lain pihak, dia
sendiri sudah punya tekad mengadu jiwa mengingat
Tengkorak Berdarah inilah yang membunuh bekas
kekasihnya yakni Datuk Besar.
"Daeng Upas! Peduli setan kau punya hubungan
apa tidak! Yang jelas kau tidak dapat menjawab
tanyaku! Jangan coba mengalihkan tanggung jawab!"
"Tak ada gunanya aku mengalihkan tanggung
jawab! Antara kau dan aku memang ada hutang
nyawa yang harus dibayar!" jawab Daeng Upas pada
akhirnya.
"Bagus! Kekasihmu memang telah lama menanti di
liang kubur!" sahut Tengkorak Berdarah sambil
tertawa pendek. Yang dimaksud orang berjubah ini
bukan lain adalah Datuk Besar, kekasih Daeng Upas
yang telah terbunuh.
Ucapan Tengkorak Berdarah makin membuat rasa
gelisah Daeng Upas menjadi pupus. Rasa cemas dan
khawatir karena dia pernah hampir terbunuh di
tangan Tengkorak Berdarah berubah menjadi tekad
berkobar untuk mengadu jiwa. Begitu Tengkorak
Berdarah selesai berkata, Daeng Upas menyahut.
Suaranya lantang.
"Kau terlalu tinggi bicara. Kita buktikan siapa di
antara kita yang masih berhak melihat matahari esok
hari!"
Suaranya belum selesai, Daeng Upas telah
melompat ke samping. Belum sampai sepasang
kakinya menginjak tanah, kedua tangannya telah
bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh!
Wuuttt! Wuuttt!
Dua gelombang angin luar biasa dahsyat melabrak
ganas ke arah Tengkorak Berdarah. Bukan hanya
sampai di situ, begitu gelombang angin melesat,
Daeng Upas teruskan lompatannya. Kaki kiri kanan-
nya diangkat lalu lepaskan tendangan dari jarak tiga
langkah!
Mendapati serangan beruntun, Tengkorak
Berdarah tampak terkesiap juga. Kepala di balik
jubah abu-abunya tampak tertarik sedikit ke
belakang. Namun di saat lain kedua tangannya
terangkat lalu menyentak ke depan.
Bummm! Bummm!
Dua letusan keras mengguncang tempat itu.
Empat gelombang angin yang masing-masing mem-
bawa hawa maut bertabur ambyar di udara.
Sosok Daeng Upas sudah terpental sebelum
kakinya menginjak tanah setelah lepaskan tendangan
jarak jauh menyusuli hantaman kedua tangannya.
Perempuan ini gulingkan diri di tanah. Pada satu
kesempatan dia berseru keras lalu seketika bergerak
bangkit. Sosoknya sesaat tergontai-gontai. Paras
wajahnya laksana tidak berdarah. Kedua tangannya
bergetar keras. Dadanya bergerak cepat turun naik
dengan mulut megap-megap.
Di seberang lain, begitu terdengar letusan sosok
Tengkorak Berdarah hanya terseret lima langkah dan
terhuyung-huyung. Saat lain orang ini telah tegak
kembali dengan kepala lurus ke arah Daeng Upas.
Namun begitu tegak dan belum sempat melihat apa
yang terjadi menimpa Daeng Upas, satu tenaga
laksana sebuah tendangan telah menggebrak ke
arahnya!
Tengkorak Berdarah menggeram marah. Namun
sudah terlambat baginya untuk membuat gerakan
menangkis. Hingga tak ampun lagi sosoknya tersapu
satu tombak ke belakang. Untung orang ini masih
dapat imbangi diri hingga meski sesaat sosoknya
hampir terjerembab dia sentakkan tangan kanannya
ke atas tanah. Tubuhnya melenting satu tombak ke
udara, lalu melayang turun dan tegak dengan kaki
terpacak di atas tanah. Walau demikian, sosoknya
terlihat bergetar dan kedua tangannya segera meraba
dadanya yang terasa sesak dan berdenyut sakit
akibat terhantam tendangan yang dilepas dari jarak
jauh oleh Daeng Upas. Seperti diketahui. Daeng Upas
memiliki ilmu yang bisa melepas tendangan dan
jotosan dari jarak jauh.
Melihat tendangan yang dilepas menghantam
sasaran, keberanian Daeng Upas makin bertambah.
Hingga begitu Tengkorak Berdarah menginjak tanah,
perempuan ini kembali melesat ke depan. Bambu
kecil di atas telinga kanannya dicabut lalu ditiup.
Bersamaan itu kedua kakinya kembali bergerak kirim-
kan tendangan!
Busss!
Dari bambu berwarna kuning di mulut Daeng Upas
melesat asap hitam. Cepat luar biasa asap hitam itu
kini telah setengah depa di depan Tengkorak
Berdarah. Sesaat Tengkorak Berdarah tampak
terkejut dan mundur satu langkah. Saat itulah
tendangan jarak jauh Daeng Upas sampai.
Tengkorak Berdarah mendengus keras. Dia belum
tahu apa kehebatan asap hitam dari bambu, meski
dia sadar jika asap hitam itu tentu mengandung
bahaya. Tapi kalau dia menghantam asap hitam
bukan tak mungkin tendangan jarak jauh si nenek
pasti untuk kedua kalinya akan menghantam
tubuhnya. Dia tampaknya tidak mau terpental kedua
kali. Hingga tanpa pikir panjang lagi kedua tangannya
segera menyentak ke depan menangkis tendangan
Daeng Upas.
Wuutt! Wuutt!
Tendangan jarak jauh Daeng Upas sirna tersapu
gelombang angin yang melesat dari kedua tangan
Tengkorak Berdarah. Malah bersamaan dengan itu,
sosok Daeng Upas terlihat ikut juga tersapu dan
mental sebelum akhirnya jatuh terduduk!
Saat Tengkorak Berdarah sentakkan kedua tangan
memangkas tendangan jarak jauh Daeng Upas, asap
hitam terus melesat dan tiba-tiba berputar-putar di
depan kepala Tengkorak Berdarah.
Mendadak Tengkorak Berdarah perdengarkan
batuk beberapa kali. Orang ini rasakan jalan per-
napasannya tersumbat. Kepalanya terasa berputar-
putar pening. Kejap lain sosoknya tampak mundur
terhuyung-huyung.
Maklum akan apa yang terjadi pada dirinya,
Tengkorak Berdarah cepat sumbat jalan per
napasannya dan kerahkan tenaga murni.
Melihat sosok Tengkorak Berdarah terhuyung,
Daeng Upas menindih rasa sakit pada sekujar
tubuhnya karena tersapu pukulan lawan. Dia segera
bangkit lalu didahului bentakan keras, perempuan ini
laksana terbang melesat ke arah lawan yang
diduganya telah menghirup racun dari bambu
miliknya.
Mungkin percaya akan kehebatan asap racun
dalam bambunya, Daeng Upas kali ini tiada lagi
lepaskan tendangan atau jotosan dari jarak jauh.
Sebaliknya dia terus melesat mendekat. Kedua
tangannya di atas bahu siap lepaskan pukulan
mematikan ke arah kepala Tengkorak Berdarah.
Sejengkal lagi kedua tangan Daeng Upas membuat
hancur kepala Tengkorak Berdarah, di luar dugaan si
nenek, mendadak Tengkorak Berdarah yang di-
duganya tak mungkin kuasa membuat gerakan
menangkis, angkat kedua tangannya sementara
tubuhnya digeser ke samping. Kejap lain kedua
tangan Tengkorak Berdarah berkelebat.
Karena tidak menyangka lawan masih bisa mem-
buat gerakan bahkan balas lepaskan pukulan, bukan
saja membuat pukulan Daeng Upas menghantam
tempat kosong tapi juga membuat si nenek terlambat
untuk menghindar.
Bukkk! Bukkk!
Daeng Upas berseru keras. Sosoknya terpental
balik dan jatuh punggung di atas tanah. Darah
menyembur dari mulutnya, pertanda dia terluka
dalam cukup parah. Namun karena tekadnya telah
bulat, perempuan yang masih berwajah cantik itu
bergerak bangkit. Namun saat itu juga kedua kakinya
goyah, saat lain kembali sosoknya jatuh di atas tanah,
Daeng Upas tak kehabisan akal. Dia cepat ambil
bambu di atas telinganya.
Melihat tindakan Daeng Upas, Tengkorak Berdarah
tak mau bertindak ayal. Sebelum Daeng Upas sempat
semburkan lagi asap hitam, sosok Tengkorak
Berdarah telah melompat ke depan. Bersamaan itu
kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan
bertenaga dalam kuat.
Daeng Upas tercekat. Belum sempat membuat
gerakan menangkis atau semburkan asap hitam pada
bambunya, sosoknya telah tersapu mental. Dan
belum sampai tubuh Daeng Upas jatuh di atas tanah,
Tengkorak Berdarah yang tampaknya sudah tak mau
memberi kesempatan segera melesat memburu
sosok Daeng Upas yang masih melayang di udara.
Seett!
Kedua tangan Tengkorak Berdarah memegang
pinggang Daeng Upas. Sosok perempuan ini sejenak
diangkat namun tiba-tiba kedua tangannya bergerak
ke bawah membanting tubuh Daeng Upas dari
ketinggian satu tombak.
Bukkk!
Daeng Upas yang telah terluka dalam parah tak
sempat lagi keluarkan suara pekikan. Hanya
sosoknya yang terkapar sejurus tampak bergerak-
gerak. Namun cuma sekejap. Kejap lain gerakannya
terhenti diiringi dengan erangan pelan yang terputus!
Tengkorak Berdarah telengkan kepala ke bawah
memperhatikan Daeng Upas yang terkapar tanpa
nyawa lagi. Lalu kepalanya tengadah. Kedua
tangannya terangkat mengusap dadanya.
"Hem.... Untung racun keparat itu belum sampai
masuk dada! Jika terlambat sedikit, mungkin aku
yang terkapar mati!" gumamnya. Namun demikian
bukan berarti asap hitam beracun itu tidak
berpengaruh. Karena walau memang belum sampai
terhirup masuk ke dalam dada tapi telanjur masuk ke
dalam lobang hidungnya. Hingga begitu kepalanya
tengadah, tiba-tiba dia terbatuk. Lalu tampak jubah
abu-abu terusan tepat bagian sekitar mulut berubah
menjadi merah! Tanda orang ini telah semburkan
darah.
Tengkorak Berdarah tampaknya tidak hiraukan hal
itu, karena mendadak dia teringat pada Gendeng
Panuntun. Laksana diputar setan, sosok Tengkorak
Berdarah cepat membalik menghadap ke arah mana
tadi Gendeng Panuntun berada.
Sekonyong-konyong keluar makian dari mulut
orang berjubah abu-abu terusan. Kakinya meng-
hentak tanah hingga bergetar keras. Kedua tangan-
nya mengepal. Ternyata sosok Gendeng Panuntun
sudah tidak ada lagi di tempat itu!
Tanpa diketahui oleh Daeng Upas dan Tengkorak
Berdarah yang saat itu tengah terpaku pada pukulan
lawan masing-masing, diam-diam Gendeng Panuntun
berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Jahanam buta itu tidak akan kubiarkan ber-
keliaran seenaknya. Apalagi dia sepertinya telah
mengetahui siapa diriku!" desis Tengkorak Berdarah.
Setelah usap-usap dadanya berulang kali dan salur-
kan hawa murni, orang ini berkelebat tinggalkan
tempat itu.
***
ENAM
PENDEKAR 131 baru memperlambat larinya saat
merasa berada pada tempat aman. Namun demikian
dia tidak bertindak gegabah. Sebelum dia mem-
perlambat larinya, dia seringkali palingkan kepala ke
belakang dan ke kanan kiri. Ketika merasa yakin
Daeng Upas atau Dewa Orok tidak lagi mengejar, dia
hentikan langkah. Kepalanya tengadah. Saat itu
matahari mulai pancarkan sinar kemerahan tanda
tidak berapa lama lagi akan segera tenggelam.
Murid Pendeta Sinting melangkah pada satu tanah
agak tinggi, di mana pada kanan kirinya terdapat dua
batang pohon mahoni besar. Seraya bersandar
punggung pada salah satu batang pohon, Joko
meraba seputar perut dan pinggangnya. Dia menarik
napas lega.
"Untung kitab dan mahkota ini tidak basah terkena
air...," gumamnya lalu geser tangannya hingga kitab
dan mahkota yang berada di balik pakaiannya makin
tidak kelihatan.
"Ternyata ada saja orang yang tahu tempat rahasia
begitu. Hanya setelah menyimak ucapannya, Dewa
Orok sepertinya tidak menginginkan kitab ini. Tapi
ada benda lain yang dikehendakinya. Astaga! Jangan-
jangan...."
Pendekar 131 tidak lanjutkan gumamannya. Dari
arah barat sepasang matanya menangkap satu sosok
tubuh sedang berlari ke tempat di mana dia berada.
Mengira orang yang sedang berlari adalah salah satu
antara Daeng Upas atau Dewa Orok, murid Pendeta
Sinting segera melompat dan berlindung di balik
pohon.
Tak berapa lama kemudian, sejarak sepuluh
langkah dari tempat Joko berlindung tampak satu
sosok tubuh tegak dengan kepala berputar dan mata
memperhatikan sekeliling. Dari sikap dan pandangan-
nya jelas jika orang ini sedang mencari sesuatu.
"Heran.... Baru saja kulihat dia berada di sekitar
tempat ini! Sayang aku tidak bisa memastikan
memang dia atau bukan. Larinya begitu cepat.
Seandainya pakaian yang dikenakan tidak mirip, tak
akan aku bersusah-susah mengejarnya.... Tapi apa
dia benar-benar masih hidup? Jangan-jangan ucapan
Ayah hanya untuk menyenangkan hatiku dan yang
terjadi sebenarnya adalah dia telah...." Orang ini tak
lanjutkan gumamannya. Sebaliknya dia takupkan
kedua tangan pada wajahnya. Sesaat kemudian bahu
orang ini berguncang. Lalu terdengar isakan pelan.
Tapi suara isakan sekonyong-konyong berubah
menjadi satu jeritan tatkala satu tangan tiba-tiba
memegang bahu orang yang sedang terisak. Secepat
kilat orang yang tadi terisak balikkan tubuh. Kedua
tangannya yang tadi menutupi wajahnya segera
ditarik dan diangkat. Namun satu suara membuat
orang ini bukan saja tegak tertegun, namun juga
mendelik hampir tak percaya.
"Bagaimana keadaanmu...? Apa yang terjadi...?"
Orang yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya
terus memandang ke depan dengan mata makin ter-
pentang dan kedua tangan tetap di atas. Sesaat
setelah sadar dari rasa terkesimanya, terdengar
orang ini bergumam.
"Joko...."
Murid Pendeta Sinting tersenyum. Namun diam
diam dia merasa ada keanehan pada orang yang kini
ada di hadapannya. Orang ini ternyata adalah seorang
pemuda berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-
hitam yang memperkenalkan diri pada Joko dengan
Raka Pradesa.
"Seorang pemuda tampan. Tapi kenapa menangis
begitu rupa? Ah.... Mungkin ada sesuatu yang sangat
menyentuh jika seorang pemuda sampai keluarkan
air mata...," kata Joko dalam hati menjawab rasa
aneh yang dilihatnya pada pemuda di hadapannya.
Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu,
tiba-tiba pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-
hitam dan tidak lain adalah Raka Pradesa alias
Saraswati menghambur ke depan. kedua tangannya
cepat melingkar merangkul pinggang Pendekar 131.
Sementara kepalanya diletakkan pada dada si
pemuda, membuat Joko salah tingkah dan
kebingungan bercampur heran.
Saraswati yang menyamar sebagai pemuda ini
terisak dan bergumam tak jelas. Menduga bahwa si
pemuda sedang dilanda sesuatu yang membuat
dirinya membutuhkan teman tempat mengadu, meski
masih bertanya-tanya heran, akhirnya murid Pendeta
Sinting hanya diam.
Beberapa saat berlalu. Setelah suara isakan Raka
Pradesa terhenti, Joko angkat kedua tangannya
memegang pundak si pemuda di hadapannya. Lalu
berbisik.
"Raka.... Katakan apa sebenarnya yang terjadi?"
Raka Pradesa angkat kepalanya. Tubuhnya yang
merapat pada tubuh Pendekar 131 perlahan-lahan
ditarik. Wajahnya tiba-tiba berubah memerah. Tanpa
berani membalas tatapan murid Pendeta Sinting,
Raka Pradesa cepat palingkan wajahnya. Membuat
Joko makin bertambah heran dan kembali bertanya.
"Katakanlah ada apa...!"
Raka Pradesa tidak segera buka mulut. Sebaliknya
dada pemuda yang sebenarnya seorang gadis ini
dibuncah berbagai perasaan. Senang karena melihat
Joko masih selamat dan hidup. Namun di samping itu
dia juga kebingungan bagaimana harus menjawab
pertanyaan Joko.
"Apakah aku harus berkata terus terang? Lalu
apakah dia nanti tidak menaruh dendam padaku
karena perbuatan Ayah yang telah mendorongnya
masuk ke dalam lobang itu? Ah.... Bagaimana ini?
Apa yang harus kulakukan sekarang?" Raka Pradesa
membatin dalam hati.
"Agaknya ada sesuatu yang membuatmu
keberatan mengatakan hal yang menimpamu
padaku...," kata Joko pada akhirnya dengan nada
agak kecewa.
"Aku.... Aku tak tahu harus bagaimana mengatakan
padamu," ucap Raka Pradesa pelan tanpa berpaling.
"Hem.... Kau tadi sepertinya mencari sesuatu.
Apakah kau mengejar seseorang?"
"Ah.... Kau tak tahu. Kaulah sebenarnya yang tadi
kukejar dan kucari!" kata Raka Pradesa dalam hati.
Namun meski hatinya berkata begitu, kepala pemuda
ini menggeleng.,
"Hem.... Mungkin kedatanganku hanya meng-
ganggumu. Aku harus pergi...," ucap murid Pendeta
Sinting lalu balikkan tubuh hendak tinggalkan tempat
itu.
"Tunggu!" tahan Raka Pradesa.
"Aku yakin kau sedang mencari seseorang! Aku tak
suka mengganggu urusan orang. Apalagi mungkin ini
urusan perempuan...," kata Joko lalu teruskan
langkah.
Mendadak Raka Pradesa melompat dan kembali
merangkul pinggang Joko dari belakang, membuat
murid Pendeta Sinting tak habis pikir. Lalu enak saja
dia berujar.
"Jika kekasihmu tahu kita begini, urusan akan jadi
panjang. Dia pasti akan menyangka yang bukan-
bukan...," seraya berkata, tangan Joko renggangkan
kedua tangan Raka Pradesa yang merangkul
pinggangnya.
Namun Raka Pradesa makin pererat rangkulannya.
Lalu berkata pelan.
"Aku akan mengatakan padamu. Tapi sebelumnya
kuharap kau nanti mau memberi maaf dan berjanji
tak akan menaruh dendam...."
Dahi murid Pendeta Sinting berkerut. Sebelum dia
mengatakan apa yang menjadi pertanyaan dalam
hatinya, Raka Pradesa telah kembali buka mulut.
"Kau mau berjanji bukan?"
"Kau ini bicara apa?!"
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Raka
Pradesa berkata.
"Sebelumnya aku...."
Ucapan Raka Pradesa terputus. Pemuda berkumis
tipis ini cepat tarik kepalanya dari punggung Joko.
Lalu berpaling ke kanan. Murid Pendeta Sinting
sendiri cepat gerakkan kepalanya ke samping kanan.
Sejarak delapan langkah dari tempat mereka
berdua, tegak seorang gadis muda berparas cantik
mengenakan pakaian hijau.
"Puspa Ratri...," gumam Joko mengenali siapa
adanya gadis berpakaian hijau.
Untuk beberapa lama Raka Pradesa menatap tak
berkesip ke dalam sepasang bola mata gadis
berpakaian hijau yang bukan lain memang Puspa
Ratri adanya. Sementara gadis yang dipandang balas
menatap silih berganti pada Raka Pradesa dan murid
Pendeta Sinting dengan wajah tak mengerti.
"Apa yang sedang mereka lakukan? Apakah dia
memang Joko Sableng. Apa penglihatanku tidak
salah...," membatin Puspa Ratri. Lalu menatap ke
arah Raka Pradesa berlama-lama. Hingga untuk
beberapa lama kedua orang ini saling bentrok
pandang.
"Dia dahulu mengaku sebagai sahabat Joko. Tapi
mengapa dia berbuat seolah seperti seorang
kekasih...? Ada yang tidak beres dengan orang ini!
Atau keduanya sama-sama tidak beres! Aku curiga
jangan-jangan pemuda berpakaian hitam-hitam ini
bukan seorang...."
Puspa Ratri gelengkan kepalanya. Lalu buka mulut.
"Pemuda berpakaian hitam-hitam. Siapa kau
sebenarnya?!"
Raka Pradesa tarik pulang kedua tangannya yang
melingkar di pinggang Joko. Joko sendiri terlihat salah
tingkah dan tak tahu harus berkata apa.
"Hem.... Selagi dia berada di sini, akan ku-
tunjukkan siapa aku sebenarnya. Jika aku terus-
terusan menyamar, beban dalam dada ini akan makin
bertambah. Apalagi gadis ini bisa jadi penghalang...,"
kata Raka Pradesa dalam hati.
"Kau tak mau mengatakan siapa dirimu sebenar-
nya. Hanya orang punya niat jahat yang sembunyikan
siapa dirinya sebenarnya!" kata Puspa Ratri dengan
tersenyum dingin.
"Jaga bicaramu! Jangan berani menuduh orang
atau mulutmu minta ditampar?!"
Puspa Ratri tersenyum sambil perdengarkan suara
tawa pendek. "Aku tidak menuduh! Tapi hari ini aku
menemukan satu pemandangan aneh...!"
"Begitu?!" ujar Raka Pradesa sambil melangkah
satu tindak ke depan. "Kau memang perlu kenyataan
agar tidak berpandangan aneh...."
Habis berkata begitu, Raka Pradesa angkat kedua
tangannya. Tangan kanan tanggalkan kumis tipis
pada atas bibirnya, tangan kiri membuka gulungan
rambutnya. Kejap lain Raka Pradesa gerakkan
kepalanya. Saat itu juga terlepaslah geraian rambut
panjang. Parasnya pun berubah menjadi seorang
gadis muda berparas jelita.
Puspa Ratri tegak dengan mulut terkancing dan
mata membelalak. Meski tadi sempat menyeruak
kecurigaan dalam hatinya, namun begitu benar-benar
matanya melihat, gadis ini seolah hampir tidak
percaya. Sedangkan murid Pendeta Sinting melongo.
"Astaga! Jadi dia adalah seorang gadis!" gumam
Joko dengan mata tak berkesip pandangi Raka
Pradesa yang kini telah lepaskan penyamarannya.
"Ah. Aku ingat sekarang.... Makanya dia tidak mau jadi
saksi tatkala pertemuan dengan Hantu Makam Setan.
Tak tahunya jika dia adalah seorang gadis...."
Seperti diketahui, waktu terjadi pertemuan antara
Pendekar 131 dan Hantu Makam Setan, ketika itu
Ratu Malam meminta syarat pada Hantu Makam
Setan untuk membuktikan dirinya sebagai seorang
laki-laki. Tapi saat itu Raka Pradesa yang berada di
tempat itu tidak mau menjadi saksi pembuktian
Hantu Makam Setan (Lebih jelasnya baca Joko
Sableng dalam episode : "Gerbang Istana Hantu").
"Apakah kau masih melihat satu keanehan?!" ujar
Raka Pradesa alias Saraswati dengan tertawa pelan.
Puspa Ratri mengeluh. Dadanya mulai dirasuki
rasa cemburu. Dia berpaling pada murid Pendeta
Sinting.
"Hem.... Dia juga tampaknya terkejut. Tapi jangan-
jangan itu hanya karena untuk menutupi. Hem.... Tak
kusangka jika dia pemuda yang punya banyak gadis!"
Tanpa berkata, Puspa Ratri balikkan tubuh. Joko
buka mulut hendak menahan. Namun sebelum
suaranya terdengar, mendadak seantero tempat itu
dibuncah dengan suara tawa orang mengekeh
panjang. Semua kepala bergerak berpaling.
***
TUJUH
DI tempat itu ternyata telah tegak satu sosok yang
sekujur tubuhnya ditutup dengan jubah terusan
berwarna abu-abu. Kepala di balik jubah terusan abu-
abu menghadap lurus ke arah Pendekar 131 yang
saat itu juga tengah menatapnya. Sementara
Saraswati memandang tak berkesip dengan dahi
mengernyit.
"Dua kali aku jumpa dengan orang ini! Tapi apakah
memang dia bukan Ayah? Lalu siapa? Mengapa dia
mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Ayah?
Sejak beberapa waktu lalu tampaknya dia selalu
memburu Joko. Hem.... Jangan-jangan dia adalah
Ayah yang selama ini memang sembunyikan sesuatu
padaku! Bukankah selama ini dia juga tidak pernah
berterus terang padaku?" membatin Saraswati.
Yang paling terkejut adalah Puspa Ratri. Gadis
berpakaian hijau ini diam-diam juga membatin. "Ibu
punya perjanjian dengan orang ini. Apakah mereka
sudah berjumpa? Hem.... Walau parasnya tidak
kelihatan, tapi sikapnya seperti tidak bersahabat.
Apakah dia hendak lanjutkan urusan tempo hari? Apa
yang harus kulakukan sekarang? Tetap di sini rasanya
akan menambah sakit hati! Tapi aku tak mau melihat
Joko mendapat celaka!" Dada gadis ini diselimuti
berbagai perasaan. Tetap berada di situ berarti akan
menambah rasa kecewa dan cemburu tapi me-
ninggalkan tempat itu dia tak tega melihat Joko harus
menghadapi orang yang diyakininya punya niat jahat.
Ketika dua orang gadis ini didera perasaan
masing-masing, mendadak Joko menghambur ke
arah orang berjubah abu-abu terusan.
"Harap maafkan jika selama ini aku berburuk
sangka. Aku berterima kasih atas bantuanmu...," ujar
murid Pendeta Sinting sambil menjura hormat.
Pendekar 131 menduga jika orang berjubah abu-abu
di hadapannya adalah orang berjubah abu-abu yang
ditemuinya dan mendorongnya masuk ke dalam
lobang dalam Istana Hantu hingga dia menemukan
kitab bersampul kuning dan mahkota bersusun tiga.
Melihat sikap Joko, baik Saraswati maupun Puspa
Ratri sama-sama melengak heran. Keduanya sama
tak habis mengerti. Tapi yang paling tersentak adalah
orang berjubah abu-abu terusan yang selama ini
memperkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah.
Kepala di balik jubah orang ini sempat tertarik jauh ke
belakang saking terkejutnya. Untung paras wajahnya
tertutup. Jika tidak niscaya orang di tempat itu akan
melihat perubahan wajahnya.
"Apa maksud ucapan anak ini? Bantuan apa yang
kuberikan? Aneh.... Selama ini aku tak pernah
memberi bantuan. Malah dari mulutnya aku butuh
keterangan!" membatin Tengkorak Berdarah. "Hem....
Jangan-jangan dia hanya mengada-ada karena tahu
aku akan mengorek keterangan dari mulutnya!"
Habis membatin begitu, Tengkorak Berdarah per-
dengarkan suara.
"Kau jangan bicara tak ada juntrungan! Jangan kira
aku tak tahu apa di balik ucapanmu itu!"
"Ah.... Orang ini masih juga suka bercanda. Bukan
hanya tindak tanduknya yang sulit diterka namun
sepertinya dia tidak suka memperlihatkan budinya...."
Joko lalu angkat kepalanya. Matanya memandang
tajam dengan bibir tersenyum. "Dia bagaimanapun
juga telah membantuku. Aku harus memberitahukan
apa yang kuperoleh...." Lalu Joko selipkan kedua
tangannya ke balik pakaiannya. Ketika tangannya
ditarik kembali, maka semua orang di tempat itu
melengak. Di tangan kanan Joko tampak sebilah kitab
bersampul kuning, sedang di tangan kirinya terlihat
sebuah mahkota berwarna kuning bersusun tiga yang
digantungi beberapa peniti juga berwarna kuning.
"Atas bantuanmu, inilah benda yang berhasil
kutemukan...."
"Kitab dan mahkota!" seru Tengkorak Berdarah
dalam hati. Kepala di balik jubah orang ini tengadah.
"Aku tahu apa maksud ucapan pemuda ini. Aku juga
tak mengerti mengapa dia menunjukkan benda-
benda itu padaku!" Kepalanya lantas lurus kembali
menghadap Pendekar 131.
"Kitab bersampul kuning.... Sayang tulisan pada
sampulnya tak jelas kulihat. Tapi melihat bentuknya
seperti sebuah kitab kuno! Jangan-jangan pemuda ini
menganggapku sebagai... Ah. Ini rejeki besar bagiku!
Jika benar, berarti tanpa bersusah payah aku berhasil
mendapatkan kitab itu!"
Tengkorak Berdarah memutar otak. Kejap
kemudian dia perdengarkan suara.
"Syukur kau telah mendapatkan benda-benda itu.
Harap kau suka memperlihatkan padaku!" sambil
berkata, kedua Jangan Tengkorak Berdarah menjulur
membuat sikap meminta.
Saraswati sebenarnya hendak buka mulut. Namun
segera dibatalkan begitu terlihat Pendekar 131 telah
maju dan memberikan kitab bersampul kuning serta
mankota bersusun tiga pada Tengkorak Berdarah.
Begitu kitab bersampul kuning dan mahkota
bersusun tiga berada di tangannya, Tengkorak
Berdarah sesaat memperhatikan dengan seksama.
Lalu tangan kanannya yang memegang mahkota
bergerak membuka sampul kitab.
"Sundrik Cakra!" desis Tengkorak Berdarah
membaca tulisan yang tertera pada halaman
pertama. Suaranya bergetar. Kedua tangannya
gemetar.
"Inilah kitab sakti yang kuinginkan!" kata
Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu angkat
kepalanya. Perlahan dia melangkah maju mendekati
murid Pendeta Sinting. Kedua tangan Tengkorak
Berdarah menjulur memberikan kitab bersampul
kuning dan mahkota pada Joko.
Saraswati dan Puspa Ratri yang tadi diam-diam
masih dihantui perasaan cemas meski tak tahu
mengapa, bernapas lega. Namun kelegaan kedua
gadis ini pupus seketika tatkala melihat bagaimana
begitu kedua tangan Pendekar 131 hendak
menerima kitab dan mahkota, tiba-tiba kaki kanan di
balik jubah orang terangkat. Lalu tangannya yang
memegang mahkota berkelebat cepat.
Bukkk! Bukkk!
Satu tendangan dan satu jotosan bertenaga dalam
tinggi menghantam telak ke arah dada dan bahu
Pendekar 131 Joko Sableng!
Meski pada dasarnya dalam tubuh murid Pendeta
Sinting terpendam tenaga dalam kakek di dalam kuil
serta punya jurus Sukma Es yang dapat lindungi diri,
namun karena saat itu dia dalam keadaan biasa
maka murid Pendeta Sinting rasakan laksana
dihantam benda sangat berat. Dari mulutnya
terdengar pekikan keras. Kejap lain sosoknya
mencelat sampai dua setengah tombak lalu terkapar
dengan darah menyembur keluar dari mulut dan
hidungnya. Murid Pendeta Sinting sejenak coba
bergerak bangkit. Tapi tubuhnya kembali terkapar.
Berbarengan, Saraswati dan Puspa Ratri sama-
sama berteriak. Saat lain keduanya sama-sama
sentakkan kedua tangannya ke arah Tengkorak
Berdarah. Namun gelombang angin yang menyambar
keluar dari masing-masing tangan gadis ini hanya
menggebrak udara kosong. Sosok Tengkorak
Berdarah telah berkelebat tinggalkan tempat itu
sambil perdengarkan suara tawa panjang.
Begitu Tengkorak Berdarah berlalu, Saraswati dan
Puspa Ratri sama putar diri setengah lingkaran. Kini
keduanya berhadap-hadapan. Kedua pasang mata
saling perang pandang. Mulut keduanya sama
membuka.
"Kau...!" desis Saraswati dingin.
"Kau...!" balas Puspa Ratri tak kalah dingin malah
terdengar ketus. "Pasti jahanam tadi itu temanmu!
Kalian bersekongkol! Kau pura-pura merayu agar
benda itu diberikan pada temanmu! Perbuatan
busuk!"
Sepasang mata Saraswati makin mendelik
berkilat. Dadanya turun naik. Pelipisnya bergerak-
gerak. "Jangan kau berani lancang mulut menuduh
yang bukan-bukan! Kaulah yang bersilat lidah!
Bukankah sebenarnya kau dan manusia bergelar
Tengkorak Berdarah tadi datang bersama-sama? Lalu
kalian...."
Ucapan Saraswati belum habis, Puspa Ratri telah
memotong.
"Perempuan sepertimu pandai bicara, membalik
kenyataan! Kau tadi sembunyikan wajah asli.
Sedangkan jahanam tadi juga takut diketahui
rupanya! Apa kau masih akan berdalih cari alasan,
hah?!"
Sesaat Saraswati terdiam mendengar ucapan
Puspa Ratri. Namun kejap lain dia sudah buka mulut
lagi. "Sama tindakan belum tentu punya tujuan sama!
Aku tahu, kau melontarkan tuduhan karena kau
cemburu padaku! Kau takut hati pemuda itu ber-
paling padaku! Dengar! Pemuda itu telah tahu siapa
aku sebenarnya meski aku mengenakan
penyamaran! Kau dengar?!" kata Saraswati berdusta.
Paras wajah Puspa Ratri jadi merah padam. "Peduli
setan dia tahu dirimu atau tidak! Yang jelas kau telah
bersekongkol dengan orang untuk mencelakainya!"
Saraswati tertawa. "Tampaknya kau tak bisa dibuat
sadar dan terus menuduhku yang bukan-bukan. Aku
tanya padamu. Sekarang apa yang kau mau?!"
"Kau bicara layaknya orang tak bersalah! Kau
mengira apa yang kau lakukan tindakan benar!"
"Tak pantas kau bicara tentang tindakanku!
Kuperingatkan, lekas menyingkir atau kau akan
merasa menyesal!"
Puspa Ratri tersenyum menyeringai. "Dengan
begitu kau akan leluasa melakukan apa saja.
Bukankah itu maksudmu?! Justru kau yang harus
cepat tinggalkan tempat ini!"
"Hem.... Dengan begitu kau akan bebas bercumbu
dengannya, begitu?!"
"Rupanya kau yang dirasuki rasa cemburu! Hingga
bukan cedera orang yang terpikir olehmu tapi nafsu
busuk yang menghantuimu!"
"Tutup mulutmu!" hardik Saraswati. "Kaulah yang
dirasuki nafsu busuk! Kau bercumbu di sembarang
tempat!"
"Ah.... Rupanya kau juga gadis yang suka ngintip
orang! Lalu apakah kau masih akan berkeras kepala
jika tahu orang telah sama berbagi kasih?!
Seharusnya kau tahu diri! Jangan memaksakan hati
orang!"
"Aku tak butuh nasihat! Kuulangi lagi, lekas
menyingkirlah!"
Kepala Puspa Ratri menggeleng. "Tak akan
kubiarkan tangan kotormu menyentuhnya!"
"Kau cari jalan ke neraka!" bentak Saraswati.
Kedua tangannya diangkat sejajar dada dengan mata
mendelik angker.
Puspa Ratri tidak tinggal diam. Kakinya di-
renggangkan. Bersamaan dengan itu kedua tangan-
nya diangkat ke atas.
Begitu kedua tangan Puspa Ratri berada sejajar
kepala, Saraswati telah sentakkan kedua tangannya
lepas satu pukulan jarak jauh.
Melihat hal ini, Puspa Ratri segera pula sentakkan
kedua tangannya.
Dua gelombang angin dari samping kiri kanan
melesat ke udara. Namun sebelum dua pukulan itu
bentrok, mendadak terlihat satu cahaya putih
mengerlap. Kejap lain dua pukulan yang melesat dari
tangan Saraswati dan Puspa Ratri ambyar berantakan
dan lenyap!
Sosok Saraswati tampak terjajar lalu jatuh
terduduk. Di seberang depan, Puspa Ratri terhuyung-
huyung lalu roboh dengan kaki menekuk.
Dengan menindih rasa kaget baik Saraswati
maupun Puspa Ratri sama palingkan kepala ke kanan
dari mana cahaya putih yang membuat ambyar
lenyap pukulan masing-masing gadis berasal. Dari
tempat masing-masing, kedua gadis yang sama
berwajah cantik ini melihat seorang kakek bertubuh
gemuk besar mengenakan pakaian hijau gombrong.
Rambutnya disanggul ke atas dan kepalanya
ditengadahkan. Pada pinggangnya tampak melingkar
satu ikat pinggang besar yang pangkalnya berupa
sebuah cermin bulat. Kakek ini duduk dengan tangan
usap-usap cerminnya!
***
DELAPAN
"KAKEK bermata buta itu!" gumam Saraswati. "Hem....
Aku tak mau urusan ini dicampuri orang lain!
Bagaimanapun gadis bermulut lancang itu harus
mendapat pelajaran!"
"Kek! Harap kau tidak libatkan diri!" teriak
Saraswati memecah kesunyian di tempat itu. Gadis
berpakaian hitam-hitam ini serentak bergerak
bangkit. Lalu menoleh ke arah Puspa Ratri.
Puspa Ratri sejurus menatap pada kakek bertubuh
besar mengenakan pakaian hijau yang tidak lain
adalah Gendeng Panuntun adanya. "Siapa orang itu?
Mungkin masih teman gadis itu!"
Menduga demikian, Puspa Ratri cepat pula ber-
gerak bangkit lalu berkata.
"Aku tak keberatan jika kalian berdua maju ber-
sama!"
Gendeng Panuntun gerakkan kepalanya lurus ke
arah Saraswati, lalu bergerak lagi menghadap Puspa
Ratri. Tangan kanannya usap cermin bulat di depan
perutnya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Lalu
buka mulut.
"Gadis-gadis cantik! Rasa cemburu adalah pangkal
dari prasangka buruk! Hal baik akan terbalik jadi jelek
jika telah dicemari rasa cemburu! Harap endapkan
hati. Ada sesuatu yang lebih penting daripada harus
bertindak yang pada akhirnya hanya akan men-
datangkan rasa sesal. .
Ucapan Gendeng Panuntun membuat Saraswati
dan Puspa Ratri sama terkesiap. Tapi karena hati
panas lebih menguasai dada masing-masing gadis ini,
begitu ucapan Gendeng Panuntun selesai, Saraswati
menyahut.
"Bagiku yang terpenting saat ini adalah menampar
gadis bermulut lancang ini! Justru aku merasa
menyesal jika tanganku tak mampu membuat
mulutnya berdarah!"
Mendengar kata-kata Saraswati, Puspa Ratri cepat
berujar.
"Sebelum tanganmu sempat membuat mulutku
berdarah, kedua tanganmu akan kupatahkan!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak mendengar
ucapan Saraswati dan Puspa Ratri. "Rasa cinta
kadangkala memang membutuhkan pengorbanan.
Tapi adalah tindakan bodoh bila berani berkorban
hanya karena perturutkan perasaan! Selain
pengorbanan jadi sia-sia, orang jadi lupa jika orang
yang dicintai memerlukan pertolonganl"
Habis berkata begitu, tanpa menunggu jawaban
Saraswati atau Puspa Ratri, Gendeng Panuntun
melangkah ke arah murid Pendeta Sinting yang
terkapar.
Mungkin masih menduga jika Gendeng Panuntun
teman Saraswati, saat orang tua ini jongkok di
samping Joko, Puspa Ratri berteriak lantang.
"Orang tua! Aku tidak mengenalmu. Aku tidak tahu
kau berniat jahat atau baik! Jadi jangan coba-coba
menyentuh pemuda itu!"
Saraswati yang mengetahui jika Gendeng
Panuntun adalah sahabat Pendekar 131 segera
menyahut. "Kau gadis kemarin sore! Tidak tahu siapa
adanya orang! Hingga orang berniat baik pun masih
kau tuduh tak karuan!"
Puspa Ratri angkat tangan kirinya. Telunjuknya
diarahkan lurus ke arah muka Saraswati. "Kau
mengenalnya. Berarti kau temannya! Kalau kau punya
niat jahat, apakah tindakan temanmu tidak patut
dicurigai?!"
"Dasar gadis tolol!" bentak Saraswati. "Buka mata
dan telingamu lebar-lebar. Aku bukan temannya! Tapi
aku tahu dia adalah sahabat Joko!"
Dahi Puspa Ratri berkerut. Sepasang matanya
memperhatikan Gendeng Panuntun berlama-lama.
Lalu berpaling pada Saraswati. Gadis ini tampaknya
belum mau percaya begitu saja pada ucapan
Saraswati.
"Siapa mau percaya pada ucapan gadis sepertimu!
Yang suka berpura-pura dan senang tunjukkan wajah
palsu!"
"Keparat!" teriak Saraswati sambil bantingkan kaki
di atas tanah. "Gadis dungu dan tolol macammu
memang tak mempan dengan ucapan!"
"Jaga mulutmu! Ucapan gadis jahat mana bisa
dipegang?!" jawab Puspa Ratri lalu perdengarkan
dengusan bernada mengejek.
Kali ini Saraswati tidak lagi membuka mulut
menyahuti kata-kata Puspa Ratri. Sebaliknya gadis
berpakaian hitam-hitam ini maju dua langkah. Kedua
tangannya diangkat. Kejap lain sosoknya melompat
ke depan. Kedua tangannya kirimkan hantaman ke
arah kepala Puspa Ratri.
Puspa Ratri menyeringai. Dia segera geser tubuh-
nya ke samping selamatkan diri. Lalu kedua tangan-
nya bergerak menangkis.
Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan beradu keras. Keduanya sama
mundur dua langkah dengan paras sama berubah.
Mata masing-masing tak berkesip perhatikan lawan.
Saat lain tiba-tiba Puspa Ratri berkelebat. Gerakan-
nya begitu luar biasa cepat. Hingga belum sempat
Saraswati mengetahui ke mana lawan bergerak, tahu-
tahu sebuah tendangan telah berada di mukanya!
Saraswati tidak sempat untuk mengangkat tangan
memangkas tendangan atau membuat gerakan
mengelak, hingga akhirnya gadis ini hanya berteriak
keras.
Sesaat lagi tendangan itu menghantam sosok
Saraswati, mendadak terdengar orang berseru. Orang
yang berada di situ tahu jika orang yang berseru
bukanlah Gendeng Panuntun, karena suara itu suara
seorang perempuan.
"Tahan!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara seruan,
mendadak ada sesuatu menahan tendangan yang
dilepas Puspa Ratri yang tidak saja mampu membuat
tendangan itu tertahan di udara namun sesaat
kemudian membuat sosok Puspa Ratri terhuyung ke
belakang hingga jatuh terduduk.
Puspa Ratri kertakkan rahang. Dia cepat bangkit
lalu putar diri ke kanan di mana saat itu ternyata
telah tegak seorang perempuan berusia tidak muda
lagi mengenakan pakaian warna putih. Walau usianya
sudah tidak muda, tapi bayang kecantikan masih
memancar dari orang ini.
"Ibu...," desis Puspa Ratri begitu melihat siapa
adanya si perempuan.
Perempuan di hadapan Puspa Ratri yang selama
ini menyamar dengan menggunakan bedak tebal di
wajahnya dan tidak lain adalah ibu Puspa Ratri yakni
Prabarini, anggukkan kepala sambil tersenyum. Lalu
menoleh pada Gendeng Panuntun yang saat itu
tengah tempelkan tangan kirinya pada dada murid
Pendeta Sinting. Sejenak kemudian dia berpaling
pada Saraswati yang saat itu tengah memandangnya
dengan dahi mengernyit. Karena Prabarini telah
tanggalkan penyamarannya, Saraswati tentu saja sulit
mengenali meski antara Prabarini dan Saraswati
pernah jumpa. Sebab ketika berjumpa pada beberapa
waktu lalu, Prabarini masih membedaki wajah dan
memoles bibirnya serta mewarnai rambutnya dengan
hitam berkilat.
"Ah.... Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi.... Aku
harus lakukan sesuatu sebelum semuanya telanjur
jauh...," kata Prabarini dalam hati sambil menghela
napas panjang. Setelah terdiam beberapa lama,
akhirnya Prabarini melangkah ke arah Puspa Ratri.
Begitu dekat dia berbisik.
"Puspa.... Ada sesuatu yang hendak kubicarakan
denganmu! Ayo ikut aku!"
Puspa Ratri memandang tajam pada ibunya. Lalu
beralih pada sosok Pendekar 131 yang tampak sudah
mulai bangkit.
"Ibu.... Aku punya hal yang harus kuselesaikan! Aku
nanti akan segera menyusul...."
Prabarini gelengkan kepalanya. "Kali ini kau jangan
membantah, Anakku.... Aku tahu apa yang hendak
kau selesaikan di sini. Urusan ini bisa kau tunda. Aku
tidak akan ikut campur.... Percayalah. Tidak lama lagi,
kau dan orang-orang di sini akan berjumpa lagi....
Bahkan urusanmu akan menjadi tuntas dan jelas!"
"Ibu...."
"Anakku.... Kau jangan membuat ibumu kecewa,"
bisik Prabarini lalu menarik tangan kanannya untuk
berlalu dari tempat itu.
Meski pada akhirnya Puspa Ratri turuti kemauan
Prabarini, namun sambil melangkah pergi, matanya
tak beranjak memandang tajam pada Saraswati.
Begitu Prabarini dan Puspa Ratri berlalu, Saraswati
tampak tegak tercenung dengan kepala sedikit
tengadah.
"Aku harus meyakinkan, apakah orang berjubah
tadi orang lain atau Ayah!"
Saraswati memandang sejurus ke tempat berada-
nya Pendekar 131 dan Gendeng Panuntun. Gadis ini
menarik napas dalam. "Setelah dapat kuyakinkan,
aku akan mencari Joko dan mengatakan terus
terang...."
Habis bergumam begitu, Saraswati balikkan tubuh
dan pergi tinggalkan tempat itu.
***
"Terima kasih...," ucap murid Pendeta Sinting
begitu dapat bangkit duduk seraya pandangi Gendeng
Panuntun.
"Kalau kau sampai terhantam pukulan begitu rupa,
kurasa kau terlalu lengah. Dapat kau ceritakan apa
sebenarnya yang terjadi?"
Pendekar 131 tidak segera menjawab pertanyaan
Gendeng Panuntun. Sebaliknya dia edarkan
pandangannya berkeliling. "Ke mana perginya gadis-
gadis tadi?"
"Gadis-gadis tadi sudah pergi. Jawab saja per-
tanyaanku, Anak Muda!" ujar Gendeng Panuntun
sambil usap cermin bulatnya.
"Ternyata tindakan orang sulit ditebak. Mula-mula
aku salah sangka, tapi setelah tahu yang dilakukan,
aku mengira telah salah paham. Namun di sinilah
justru akhirnya aku terjerumus! Aku merasa telah
bersalah hingga aku lengah!" Joko hentikan ucapan
nya sejenak, seraya menatap tajam dia teruskan
bicara. "Aku tak tahu harus bagaimana memper-
tanggungjawabkan kesalahan gara-gara menunjuk-
kan kitab itu pada orang yang salah! Tentunya dunia
persilatan akan mengutukku jika..."
"Penyesalan sudah tidak berguna, Anak Muda"
tukas Gendeng Panuntun. "Sekarang kau harus cepat
bertindak. Kalau tidak, bukan hanya dunia persilatan
akan mengutukmu, namun rimba persilatan akan
dilanda prahara besar!"
"Ah.... Tak kusangka sebesar itu akibat yang akan
terjadi!"' keluh murid Pendeta Sinting.
"Sudahlah. Sekarang ceritakan bagaimana kejadi-
annya!"
Joko arahkan pandangannya ke jurusan lain.
Setelah agak lama terdiam dia lalu tuturkan ceritanya
pada Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun mengeluh panjang begitu Joko
mengakhiri ceritanya. Lalu berujar. "Menarik
kesimpulan dari ceritamu, aku menduga orang ber-
jubah yang tiba-tiba menghantammu setelah kau
berikan kitab dan mahkota, bukanlah Tengkorak
Berdarah yang menghuni Istana Hantu...."
"Kek! Bagaimana kau bisa menduga begitu?! Aku
tidak mungkin salah lihat! Pakaian yang dikenakan
sama. Suaranya juga tidak beda!"
"Tidak beda belum tentu sama, Anak Muda. Di
sinilah aku menduga jika ada dua orang berjubah
abu-abu terusan yang sama-sama memaklumkan diri
sebagai si Tengkorak Berdarah. Tapi aku yakin hanya
salah satu di antara keduanya menjalankan peran.
Sementara satunya lagi hanya mengambil untung!
Dan kau orang yang sial. Karena begitu mendapat
untung dari si Tengkorak Berdarah yang menjalankan
peran, kau tertipu dengan Tengkorak Berdarah yang
mengambil untung!"
"Ucapanmu mungkin saja benar. Tapi rasanya
tidak mungkin penglihatanku keliru!"
Gendeng Panuntun mendehem. "Anak muda.
Penglihatan adalah pangkal segala kesalahan. Jadi
jangan menjaminkan penglihatan dalam urusan ini!
Kau butuh penglihatan lain! Tentunya sambil
menyelidik! Itulah tindakan yang harus segera kau
lakukan sekarang! Kau harus berhati-hati. Kau meng-
hadapi dua orang sama namun berbeda peran!
Jangan sampai kau terjerumus lagi.... Nak, aku harus
pergi sekarang!"
Gendeng Panuntun bangkit berdiri. Lalu me-
langkah. Tapi dia lalu berhenti. Kepalanya tengadah.
"Anak muda. Kalau mau turut ucapanku, dalam hari-
hari mendatang ini, jangan kau jauh-jauh dari Istana
Hantu. Aku punya firasat, ada sesuatu yang akan
terjadi di sekitar tempat itu...."
"Kek! Apakah selama ini kau menyirap keberadaan
Iblis Ompong dan saudara-saudaramu?"
Gendeng Panuntun menggeleng. "Aku belum
mengetahui di mana beradanya manusia-manusia itu.
Tapi kurasa kejadian di sekitar Istana Hantu kelak
akan juga berhubungan dengan mereka...."
Gendeng Panuntun teruskan langkah. Dia tampak-
nya melangkah pelan saja. Namun dalam sekejap,
sosoknya telah berada di depan. Saat lain tubuhnya
lenyap tidak kelihatan lagi.
Murid Pendeta Sinting tidak beranjak dari tempat-
nya semula. Dia berusaha mengatur napas dan
peredaran darahnya yang tadi sempat laksana ter-
putus karena terhantam tendangan dan jotosan
orang. Dia lalu memusatkan pikiran merenungi kata
kata Gendeng Panuntun. Anehnya yang muncul justru
wajah Saraswati dan Puspa Ratri silih berganti.
"Raka Pradesa yang ternyata seorang gadis itu.
Apa sebenarnya yang hendak dikatakan padaku?
Mengapa selama ini dia menyamar sebagai seorang
pemuda? Lalu mengapa dia memintaku memberi
maaf. Untuk siapa...? Kalau saja Puspa Ratri tidak
muncul, tentu masalahnya jadi jelas...."
Pendekar 131 tengadahkan kepala. Saat itu ter-
nyata gelap mulai membungkus hamparan bumi. Joko
kembali menarik napas. "Puspa Ratri.... Pasti gadis ini
menaruh prasangka yang tidak-tidak padaku. Tapi
apa boleh buat. Aku tidak mengetahui jika Raka
Pradesa adalah seorang gadis! Kelak jika aku ber-
temu lagi, aku akan menjelaskan semuanya....
Sekarang aku harus menyelidik ke Istana Hantu."
Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. "Ah....
Mengapa aku tidak menanyakan perihal kitab ber-
sampul kuning itu pada Gendeng Panuntun? Sialan.
Gara-gara ikutnya beberapa gadis cantik, pikiranku
jadi terpecah-pecah! Tapi dirangkul gadis cantik
memang asyik. Seandainya aku sebelumnya tahu jika
Raka Pradesa seorang gadis cantik. Hem...," murid
Pendeta Sinting tersenyum sendiri lalu melangkah
tinggalkan tempat yang telah sepi itu.
Melangkah sejarak lima belas tombak, mendadak
terdengar suara duutt! duut! berulangkali. Lalu dalam
gelapnya malam laksana hantu gentayangan, satu
bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu di hadapan
murid Pendeta Sinting tegaksatu sosok tubuh dengan
kaki di atas kepala di bawah!
***
SEMBILAN
NENEK berjubah merah menyala itu berlari kencang
laksana dikejar hantu. Dalam waktu sekejap sosok-
nya telah berada jauh dari tempatnya semula.
Memasuki sebuah dataran yang berbatasan dengan
satu aliran sungai dia memperlambat larinya. Pada
satu tempat di atas aliran sungai si nenek hentikan
larinya. Kepalanya yang berambut putih sebatas
tengkuk bergerak ke samping kanan kiri. Sepasang
matanya yang sipit dan berada dalam cekungan
rongga amat besar tampak liar memperhatikan
tempat di sekelilingnya.
"Sialan! Mana tempat yang dikatakan manusia
buta itu? Jangan-jangan dia hanya membual! Awas.
Jika dia mendustaiku akan kupuntir kepalanya!
Hem.... Kalau tidak karena masih hubungan saudara,
aku tidak mau ikut-ikutan kebingungan cari urusan!"
Nenek ini terus edarkan pandangannya ke se
antero tempat di mana dia berada. Mulutnya tampak
komat-kamit. Ternyata pada mulut si nenek terlihat
satu gumpalan tembakau hitam yang begitu si nenek
komat-kamit, gumpalan tembakau itu kelihatan
keluar masuk.
"Astaga!" Tiba-tiba si nenek tersenyum sendiri
sambil goyang-goyangkan kepala. "Bukankah yang
dikatakan adalah sebuah batu besar yang me-
misahkan aliran sungai? Sampai kiamat pun aku
tidak akan menemukan tempat itu di sini! Aku harus
menyusur sungai ini!"
Nenek berjubah merah menyala yang mulutnya
selalu mainkan gumpalan tembakau hitam putar diri.
Saat lain sosoknya telah kembali berkelebat
menyusuri aliran sungai.
Tidak berapa lama, tepatnya pada sebuah batu
besar yang memisahkan aliran sungai ke kanan dan
kiri, si nenek berhenti.
"Pasti ini tempat itu...," desis si nenek dengan usap
keringat yang membasahi wajah dan lehernya.
Untuk beberapa lama nenek berjubah merah ini
tegak diam, sepasang matanya yang sipit mendelik
tak berkesip perhatikan pada batu besar yang me-
misahkan aliran sungai. Kemudian terdengar dia
bergumam.
"Batu itu batu biasa. Tak ada istimewanya! Lalu
apa yang harus kulakukan sekarang? Menunggu
seperti yang dikatakan Gendeng Panuntun? Tapi
sampai kapan? Tak puas hatiku jika hanya menunggu
tak menyelidik!"
Si nenek perlahan melangkah. "Terpaksa aku
harus berenang untuk sampai ke batu itu! Hem....
gara-gara urusan saudara aku harus berbasah-basah!
Tapi apa hendak dikata. Jika tidak terpaksa begini,
tubuhku tidak akan tersentuh air.... Hik.... Hik....
Hik...!"
Si nenek hentikan langkahnya di bagian atas aliran
sungai. "Tapi daripada berbasah-basah, apa tidak
lebih baik kutanggalkan saja pakaianku? Tapi jika
tiba-tiba ada orang? Ah.... Siapa mau lihat tubuh
rongsokan begini? Kalaupun ada yang lihat, pasti dia
akan segera ngacir sendiri. Hik.... Hik.... Hik...!"
Sambil terus cekikikan sendiri si nenek mulai
hendak tanggalkan jubah merahnya. Namun baru
saja tangannya hendak tanggalkan jubah, mendadak
aliran sungai di bawahnya berkecipak dan beriak. Si
nenek jadi terkesiap sendiri. Sepasang matanya
dipentangkan perhatikan air yang beriak.
"Mungkin ikan.... Apa dikira aku bidadari?! Hingga
ikan-ikan sama kegirangan? Hik.... Hik.... Hik..."
Si nenek teruskan niat hendak tanggalkan jubah
merahnya. Namun dia jadi terperangah sendiri ketika
tiba-tiba terdengar orang tertawa terbahak. Meski tadi
seolah akan acuh jika ada orang, tapi begitu benar-
benar ada suara orang tertawa, tangan nenek ini
cepat tutupkan kembali jubah merahnya.
Suara tawa orang sekonyong-konyong lenyap.
Kejap lain terdengar suara.
"Dunia makin lama makin edan. Sudah nenek-
nenek masih juga ingin pamer tubuh! Ha.... Ha. Ha...!
Lumayan kalau cuma kering kerontang. Yang ini
sudah kering kerontang ditambah tidak pernah
tersentuh air. Ha.... Ha.... Ha...!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara, di atas
permukaan air tampak sebuah cahaya memantul.
Anehnya, permukaan air yang terkena pantulan
tampak muncrat dan bergelombang deras!
"Busyet! Ini pasti pekerjaan orang buta itu!" Si
nenek mengomel lalu secepat kilat kepalanya
dipanglingkan ke samping. Sejarak sepuluh tombak,
terlihat seorang kakek bertubuh gemuk melangkah
perlahan ke arah si nenek. Kakek besar ini
mengenakan pakaian gombrong warna hijau yang
diikat dengan sebuah ikat pinggang besar yang
pangkalnya berupa sebuah cermin bulat. Dari cermin
inilah cahaya pantulan tadi berasal.
Sebelum si kakek berpakaian hijau yang ternyata
sepasang matanya berwarna putih dan bukan lain
adalah Gendeng Panuntun sampai mendekat, si
nenek berjubah merah menyala yang mulutnya selalu
mainkan gumpalan tembakau hitam dan tidak lain
adalah tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan
gelar Ratu Malam telah menyambutnya dengan
berujar keras.
"Kenapa kau ikut-ikutan menyusulku ke sini, heh?!
Bukankah menurut tugas yang kita sepakati bersama,
kau seharusnya berada di tempat lain?!"
"Keadaan berubah! Rencana semula jadi
berantakan. Terpaksa kita harus menyusun rencana
baru!"
"Berubah bagaimana?! Coba cepat katakan!" sahut
Ratu Malam. Tak sabar si nenek melompat ke arah
Gendeng Panuntun yang saat itu terus melangkah.
"Sabar. Beri waktu aku untuk bernapas dahulu...,''
ucap Gendeng Panuntun lalu hentikan langkah dua
tindak di hadapan Ratu Malam yang kini me-
mandangnya dengan tak sabar.
"Kita harus tinggalkan tempat ini. Sudah tak ada
yang perlu ditunggu lagi di sini!" kata Gendeng
Panuntun setelah beberapa saat terdiam.
"Kau ini bagaimana? Aku sudah susah-susah
menemukan tempat ini. Begitu sudah kutemukan kau
enak saja mengajak pergi!" ujar Ratu Malam dengan
wajah memberengut.
Gendeng Panuntun tengadahkan kepala. Lalu ter-
tawa terbahak-bahak.
"Keadaan mengharuskan demikian. Apa boleh
buat!"
"Kau belum jelaskan keadaan bagaimana yang
berubah!" sahut Ratu Malam cepat dengan mata
mendelik.
"Di tengah jalan tanpa sengaja aku berjumpa
dengan Daeng Upas. Sialnya ternyata dia masih
memendam dendam pada kita. Untung aku tidak
melayani. Lebih sialnya lagi, tiba-tiba muncul orang
yang selama ini memaklumkan diri sebagai
Tengkorak Berdarah. Tanpa ada hujan dan angin
rupanya dia juga menginginkan satu-satunya nyawa-
ku. Tapi rupanya hidupku masih diperpanjang, karena
ternyata Tengkorak Berdarah juga menginginkan
kematian Daeng Upas. Ketika kedua orang itu saling
adu mulut dan kemudian saling lepas pukulan, aku
diam-diam menyelinap pergi."
"Daeng Upas. Hem...." Ratu Malam bergumam, lalu
berkata. "Lalu bagaimana nasib perempuan itu?!"
"Aku tidak tahu. Tapi firasatku mengatakan dia
harus menerima nasib buruk! Sebenarnya dia sudah
kuperingatkan untuk segera tinggalkan tempat itu
sebelum munculnya Tengkorak Berdarah. Tapi kau
tahu sendiri. Daeng Upas keras kepala."
"Lanjutkan keteranganmu!" kata Ratu Malam
begitu Gendeng Panuntun terdiam sesaat.
"Di lain tempat, aku jumpa dengan anak sedeng
itu."
"Anak sedeng siapa?!"
"Siapa lagi kalau bukan murid Pendeta Sinting dari
Jurang Tlatah Perak! Anak itu besar sekali rejeki-
nya...."
"Rejeki apa yang didapatnya?"
"Dia jadi rebutan gadis-gadis cantik! Gadis-gadis
sekarang tak tahu malu ya....? Mau-maunya mereka
adu otot gara-gara laki-laki."
Tampang Ratu Malam sesaat tampak cemberut.
Mulutnya komat-kamit makin keras. "Tidak semua
perempuan begitu! Hanya perempuan dungu yang
mau-maunya berkelahi soal laki-laki!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak mendengar
ucapan Ratu Malam. "Kau lupa. Kalau orang sudah
dibakar rasa cinta, mana ada orang jadi pintar?
Malah sebaliknya dia akan berubah jadi orang bodoh
dan lucu. Apalagi...."
"Sudah, sudah!" tukas Ratu Malam. "Kau akan
tambah ngelantur kalau diladeni bicara soal cinta-
cintaan! Sekarang teruskan ceritamu!"
"Hem.... Selain mendapat rejeki besar, tampaknya
anak itu ketiban sial.... Menurut keterangannya, dia
ternyata telah berhasil mendapatkan sebuah kitab
dan sebuah mahkota setelah memasuki Istana
Hantu!"
Raut wajah Ratu Malam berubah kaget. Tapi
sebelum dia sempat buka mulut Gendeng Panuntun
telah sambung ucapannya. "Sayangnya, dia lengah.
Kitab serta mahkota itu diberikan pada orang yang
selama ini mengaku sebagai Tengkorak Berdarah. Dia
menduga Tengkorak Berdarah yang di hadapannya
saat itu adalah orang yang sempat ditemuinya di
dalam Istana Hantu! Bukan hanya itu, dia sempat
terkena pukulan si Tengkorak Berdarah itu." Gendeng
Panuntun menghela napas, lalu bergumam. "Padahal
menurut dugaanku, rimba persilatan akan diguncang
malapetaka besar jika sampai kitab itu jatuh ke
tangan orang yang tidak bertanggung jawab! Malah
bisa kiamatl"
Dahi keriput Ratu Malam semakin berkerut begitu
mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Perempuan
berambut putih sebatas tengkuk ini akhirnya berujar.
"Apa menurutmu memang ada dua Tengkorak
Berdarah?!"
"Aku sebelumnya menduga begitu. Tapi setelah
mendengar keterangan anak sedeng itu, aku jadi
yakin. Ada dua Tengkorak Berdarah. Hanya peran
mereka satu sama lain berbeda. Di sinilah lalu timbul
kekacauan!"
"Lalu bagaimana urusan Iblis Ompong, Dewa
Sukma, serta Dewi Es?!"
"Anak sedeng itu tidak menemukan mereka. Itulah
yang membuat kita harus tinggalkan tempat ini!"
"Lalu apa hubungannya?!"
"Hem.... Tempat di batu itu kurasa adalah tempat
yang masih berhubungan dengan Istana Hantu. Lalu
mendengar cerita anak itu, ternyata benar. Kalau
murid Pendeta Sinting itu tidak menemukan mereka
di tempat itu, berarti percuma kita menunggu di sini!"
"Tapi kalau belum menyelidik sendiri hatiku tidak
puas!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Ucapanmu
menunjukkan kau masih berprasangka jelek terhadap
penghuni Istana Hantu...."
"Kau telah dengar sendiri tentang kelakuan
penghuni Istana Hantu! Sudah pada tempatnya jika
kau curiga!"
"Sudah kukatakan tadi, aku yakin ada dua
Tengkorak Berdarah. Satu di antara keduanya pasti
ada yang punya peran ganda. Dia coba mengail di air
keruh lalu mengambil untung daripadanya. Terbukti
dia mengambil kitab dan mahkota! Kalau tidak, untuk
apa dia membantu anak sedeng itu hingga dapat
menemukan kitab dan mahkota!"
"Lalu ke mana gerangan lenyapnya manusia-
manusia geblek itu?!"
"Untuk itulah aku mengajakmu pergi dari sini. Aku
punya firasat akan terjadi sesuatu di sekitar Istana
Hantu. Dan itu masih ada hubungannya dengan
lenyapnya mereka!"
Ratu Malam perhatikan kakek bermata putih di
hadapannya yang masih saudara seperguruannya itu.
Mulutnya yang mainkan gumpalan tembakau hitam
membuka hendak mengatakan sesuatu. Namun
sebelum suaranya terdengar, Gendeng Panuntun
sudah balikkan tubuh.
"Aku tahu tempat yang aman untuk mandi ber-
basah-basah tanpa khawatir diintip orang. Tapi kalau
kau ingin pamer tubuh di sini, silakan saja! Asal kau
tahu orang buta sepertiku ini saja sudah tidak ingin
melihatnya! Apalagi orang yang melek. Ha.... Ha....
Ha...!"
Dengan terus tertawa bergelak Gendeng Panuntun
melangkah. Ratu Malam pentangkan mata sambil
menggerendeng panjang pendek.
"Dasar orang buta. Bicaranya ngaco tak karuan.
Sampai nungging seumur-umur pun mana orang buta
bisa melihat!" ujar Ratu Malam sambil bantingkan
kaki. Tapi saat lain dia tertawa cekikikan lalu
berkelebat menyusul Gendeng Panuntun.
***
SEPULUH
KITA kembali dulu pada Pendekar 131 Joko Sableng.
Seperti diketahui, begitu murid Pendeta Sinting
hendak melangkah meninggalkan tempat di mana
tadi terjadi pertengkaran antara Saraswati dan Puspa
Ratri, mendadak terdengar suara duutt! Duuutt!
beberapa kali. Tahu-tahu satu sosok tubuh telah
tegak di hadapannya dengan kaki di atas kepala di
bawah!
"Dewa Orok!" desis Pendekar 131 dengan mata
terpentang besar. "Kemunculan orang ini pasti
meneruskan urusan di sungai itu! Kalau benda yang
diminta adalah salah satu benda yang berhasil
dibawa kabur Tengkorak Berdarah, pasti suasana
akan jadi tambah runyam!"
Baru saja Joko membatin begitu, orang di
hadapannya yang bukan lain memang Dewa Orok
adanya semburkan bundaran karet di mulutnya
hingga mengapung di udara. Kejap lain dia telah
membentak keras.
"Orang muda! Jangan kira dunia ini luas bila kau
berani berkata dusta padaku!" Belum sampai ucapan-
nya habis, Dewa Orok telah membuat gerakan sekali.
Wuuuttt! Kini pemuda berwajah tampan bertangan
buntung ini telah tegak dengan kepala di atas kaki di
bawah. Tapi yang dibuat tumpuan tubuhnya adalah
dua ibu jari kakinya!
Begitu telah tegak, Dewa Orok sambung kata-
katanya. "Aku masih memberimu kesempatan. Lekas
serahkan benda itu padaku! Jika tidak, kau tak akan
bisa mengelak dari kenyataan buruk! Ingat. Jangan
banyak berdalih!"
Sesaat murid Pendeta Sinting tampak berubah
tegang. Ketika dia sudah dapat kuasai diri, bibirnya
tersenyum. Lalu berkata.
"Dewa Orok. Kau terus menerus minta benda
dariku. Harap katakan benda apa sebenarnya yang
kau minta?!"
Sepasang mata Dewa Orok menyipit membelalak.
Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya dia berkata.
"Aku minta mahkota bersusun tiga berwarna
kuning yang pasti sudah kau ambil dari tempat dalam
tanah itu!"
"Ah...!" Murid Pendeta Sinting mengeluh. "Rupanya
aku kemarin salah sangka. Dia bukan menginginkan
kitab itu! Tapi sekarang terlambat. Mahkota yang
dimintanya pun sudah lenyap!"
"Dewa Orok! Harap kau mau mendengar kata-
kataku dahulu...."
Dewa Orok segera gelengkan kepalanya. "Sudah
kubilang. Jangan banyak berdalih!"
"Aku tidak berdalih. Ini kenyataan!"
"Kalau tidak berdalih, kau tak usah bicara.
Keluarkan mahkota itu lalu serahkan padaku!"
"Mahkota itu memang kutemukan. Namun
sekarang dibawa kabur orang!"
Mendadak Dewa Orok tertawa bergelak-gelak
mendengar ucapan murid Pendeta Sinting hingga
tumitnya yang berjingkat tampak turun naik
menyentuh tanah.
"Jangan mimpi bisa membohongiku untuk kedua
kalinya, Orang Muda! Kau tahu bukan, sekali orang
ketahuan berdusta, selamanya tidak akan dipercaya
orang!"
"Terserah kau mau bilang bagaimana. Yang jelas
mahkota itu memang telah dibawa kabur orang
dengan cara licik!"
"Aku tak mau tahu urusan itu. Itu urusanmu! Yang
jelas, kau membawa mahkota milik nenek moyangku
itu! Aku berhak minta darimu!"
"Kalau kau tetap memaksa, apa hendak dikata.
Sekarang apa maumu?" ujar Pendekar 131 setelah
berpikir tak ada gunanya memberi keterangan lebih
jauh.
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, dahi
Dewa Orok berkerut. Sepasang matanya pandangi si
pemuda lama tak berkesip. "Hem.... Ucapannya
seperti orang pasrah. Apa kali ini dia benar-benar
tidak mendustaiku?"
"Orang muda! Katakan padaku bagaimana
kejadian sebenarnyal"
Sebenarnya Joko tidak mau turuti permintaan
Dewa Orok. Tapi merasa dia juga salah, apalagi
dilihatnya Dewa Orok agak melunak, akhirnya Joko
menceritakan bagaimana sampai mahkota itu bisa
dibawa kabur Tengkorak Berdarah. Namun Joko
sengaja tidak menceritakan kalau dirinya juga
menemukan kitab bersampul kuning. Karena Dewa
Orok pun tidak pernah menyebut-nyebut soal kitab.
"Orang muda! Aku tanya sekali lagi. Apa ceritamu
tadi tidak mengada-ada?" kata Dewa Orok setelah
mendengar cerita murid Pendeta Sinting.
"Aku tidak menginginkan mahkota itu. Jadi tak ada
untungnya aku mengarang cerita!"
"Hem.... Lalu mengapa saat di atas sungai itu kau
berkata dusta? Jika saat itu kau berkata jujur, tidak
akan urusan jadi begini rupa!"
"Aku baru saja mengenalmu! Aku harus berhati
hati! Kau tahu sendiri, belum sampai lama tiba-tiba
muncul perempuan tua itu! Dia juga minta sesuatu
dariku!" Yang dimaksud Joko tidak lain adalah Daeng
Upas.
Dewa Orok anggukkan kepalanya perlahan. Tapi
wajah pemuda bertangan buntung ini tampak
berubah cemas. Dia lalu mendongak tanpa berkata
apa-apa.
"Kalau boleh tahu, bagaimana kau bisa
mengatakan mahkota itu milik nenek moyangmu?"
tanya Joko setelah di antara keduanya tidak ada yang
buka mulut lagi.
Dewa Orok gerakkan kepalanya lurus ke arah
Pendekar 131. Lalu pemuda ini mulai angkat bicara.
"Menurut orang yang mengangkatku sebagai murid,
aku sebenarnya masih keturunan raja-raja Singasari.
Pada beberapa ratus tahun silam, terjadi satu
peristiwa yang sempat menggegerkan kerajaan. Sang
permaisuri raja yang saat itu memerintah dikabarkan
punya anak hasil hubungan gelap dengan orang lain.
Sang permaisuri akhirnya meninggalkan istana dan
terakhir dikabarkan bunuh diri. Aku adalah masih
keturunan permaisuri itu dari seorang anak
perempuannya!"
"Menyedihkan sekali ceritamu. Lalu bagaimana
anak hasil hubungan gelap itu?" tanya Joko.
"Dia dibawa pergi oleh seorang abdi istana. Tapi
sebelum itu ternyata si permaisuri telah memberikan
mahkota bersusun tiga yang sempat dibawanya
kepada si abdi agar kelak diberikan pada anak hasil
hubungan gelapnya. Dia juga berpesan, jika sang
anak besar dan ingin menduduki istana, dia terlebih
dahulu diharuskan merebut dua kitab pusaka
kerajaan! Begitu besar sang anak turuti pesan sang
permaisuri. Namun anak ini mengalami kegagalan
merebut dua kitab pusaka. Setelah itu kabar berita-
nya tidak terdengar lagi hingga akhirnya muncul satu
kejadian besar. Seorang gadis cantik berhasil me-
nerobos istana tempat penyimpanan dua kitab
pusaka. Gadis itu dikabarkan membekal juga
mahkota bersusun tiga yang berarti gadis ini ada
hubungan dekat dengan anak sang permaisuri.
Namun si gadis akhirnya harus menerima karma. Dia
terjerumus masuk dalam lobang rahasia istana
tempat penyimpanan dua kitab pusaka. Hanya
sayang, bersamaan dengan itu dua kitab pusaka
kerajaan lenyap tak tentu rimbanya! Ada sebagian
orang mengatakan kitab itu berhasil dibawa masuk si
gadis, tapi sebagian orang mengatakan kitab itu
dibawa lari orang lain."
Pendekar 131 perhatikan wajah Dewa Orok. Tiba-
tiba hatinya berdebar "Jangan-jangan kitab itu adalah
kitab yang kutemukan di dalam tempat itu...," katanya
dalam hati. Lalu dia bertanya dengan alihkan
pandangan pada jurusan lain.
"Kau tahu nama dan ciri-ciri kitab itu?"
"Dua kitab itu satu bersampul biru satunya lagi
bersampul kuning...."
Murid Pendeta Sinting terkesiap. Belum lenyap
rasa kejutnya Dewa Orok telah lanjutkan keterangan-
nya. "Yang bersampul biru bernama Kitab Serat Biru
sedang yang bersampul kuning bernama Kitab
Sundrik Cakra."
Murid Pendeta Sinting tak dapat lagi menahan
rasa kaget. Kakinya tersurut sampai dua tindak.
Sepasang matanya mementang memandang ke arah
Dewa Orok.
"Kau tampak tersentak kaget. Ada apa? Kau
menemukan juga kitab itu?!"
Mungkin karena khawatir Dewa Orok akan juga
meminta kitab itu, Joko gelengkan kepala.
Dewa Orok tertawa pelan. "Orang muda. Kau tak
usah khawatir. Urusanku adalah mahkota, bukan
kitab! Hanya kau harus berhati-hati jika benar telah
mendapat kitab itu!"
"Bagaimana ini? Apa sebaiknya kukatakan saja
juga padanya tentang kitab itu?" Joko berpikir sesaat.
Lalu berkata.
"Sebenarnya aku memang telah menemukan kitab
yang bersampul kuning. Hanya karena ketololanku,
kitab itu akhirnya dibawa kabur juga bersama
mahkota!"
Dewa Orok menarik napas panjang. Kepalanya
menggeleng-geleng. "Mungkin kau tidak berjodoh
dengan kitab itu! Hanya saja orang yang membawa
kabur itu belum bisa bernapas lega...."
"Maksudmu...?!"
"Kalau benar yang dibawa kabur kitab yang
bersampul kuning, maka terlebih dahulu dia harus
mendapatkan kitab yang bersampul biru yang
bernama Kitab Serat Biru. Tanpa mendapatkan Kitab
Serat Biru, kitab bersampul kuning tidak bisa dibuka!
Kitab bersampul kuning adalah kitab kedua. Sedang
yang bersampul biru adalah kitab pertama!"
Untuk kesekian kalinya murid Pendeta Sinting
mengeluh. Diam-diam dia berkata sendiri dalam hati.
"Kitab kedua yang kucari sebenarnya sudah di
tangan, tapi mungkin masih belum saatnya...."
"Orang muda. Aku harus segera pergi. Tapi aku
perlu meyakinkan sekali lagi. Apa betul semua yang
kau ceritakan tadi?!"
"Kali ini aku tidak berdusta. Dan...." Joko tidak
lanjutkan ucapannya. Dia tampak bimbang.
"Dan apa...?!" tanya Dewa Orok. "Jangan kau
menggantung ucapan. Aku perlu kepastian!"
"Kalau kau mau kuberi tahu, kau jangan berada
jauh dari sekitar Istana Hantu hari-hari ini. Aku
menangkap isyarat bahwa orang yang sama-sama
kita cari akan berada di sekitar tempat itu!"
"Hem.... Bagaimana kau bisa berkata begitu?
Kulihat kau bukan ahli ramal!"
"Aku memang bukan tukang ramal. Tapi yang
mengatakan ini adalah sahabatku Gendeng
Panuntun!"
"Ah. Tokoh sakti yang punya ilmu hebat itu. Hem....
Aku pernah dengar namanya juga kehebatannya. Jika
dia yang mengatakan begitu, tentu aku akan turuti
ucapannya. Tapi sebelum itu aku juga perlu
menyelidik dahulu!"
"Lalu bagaimana kabar nenek cantik itu?!" tanya
murid Pendeta Sinting.
Dewa Orok menggeleng. "Setelah aku dan dia
mandi bersama, dia tak sabar dan sepertinya
langsung mengejarmu!"
"Walah. Kau tampaknya ketiban rejeki juga. Bisa
mandi bersama-sama nenek cantik...."
"Inilah nasib jelek orang sepertiku. Orang bisa saja
mengatakan rejeki. Tapi apalah arti satu rejeki jika
tak memiliki tangan? Apakah aku harus meraba
dengan kaki? Jadi, rejeki menurut orang namun
malapetaka bagiku. Karena aku hanya bisa
memandang tanpa dapat pegang-pegang! Ha.... Ha....
Ha...!"
"Ah. Seharusnya nenek itu tahu. Jadi dialah yang
seharusnya pegang-pegang milikmu! Kau tinggal
kerdap-kerdipkan mata! Ha.... Ha.... Ha...!" Joko ikut
ikutan tertawa.
Tempat itu sesaat dibuncah dengan suara ber-
gelak bersahutan. Namun tiba-tiba Dewa Orok putus-
kan tawanya. Mulutnya menyedot. Bundaran karet
yang mengapung di depan wajahnya tertarik ke
belakang lalu masuk ke mulutnya. Bersamaan
dengan itu dia melejit ke udara. Di atas udara
membuat gerakan jungkir balik. Lalu melompat-
lompat dengan kaki di atas dan kepala di bawah!
"Dasar kerabatnya Dewa.... Meski namanya Orok
tapi sudah tahu nenek cantik!" ujar Joko seraya terus
tertawa lalu berkelebat mengambil jurusan ber-
lawanan dengan Dewa Orok.
***
SEBELAS
DUA bayangan hitam berkelebat laksana angin
menyeruak pekatnya kabut pagi hari. Sesaat
kemudian perlahan-lahan suasana berubah.
Lingkaran kabut sirna dan keadaan menjadi terang.
Seiring dengan itu sang mentari unjuk diri dari
bentangan kaki langit di sebelah trmur.
Pada satu tempat, mendadak bayangan hitam
sebelah kanan cekal tangan bayangan di sebelah kiri.
Kedua bayangan ini serta-merta hentikan lari masing-
masing. Mereka tegak dengan kepala lurus me-
mandang ke depan.
Bayangan hitam sebelah kanan ternyata adalah
seorang kakek bermuka pucat dengan rambut putih
disanggul ke atas. Sepasang matanya besar melotot.
Kakek ini mengenakan jubah hitam besar dan
panjang. Sepasang tangannya dimasukkan ke dalam
saku jubah hitamnya. Sementara bayangan hitam di
sebelah sang kakek adalah seorang perempuan
berambut pirang yang tidak bisa dikenali raut
wajahnya. Wajah orang ini ditutup dengan kain cadar
berwarna hitam hanya menyisakan lobang pada
kedua matanya. Perempuan bercadar ini memakai
jubah berwarna hitam sepanjang lutut. Kedua
tangannya juga dibungkus dengan kulit berwarna
hitam dan tampak merangkap di depan dada. Kedua
orang ini bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam dan
Durga Ratih alias Dewi Siluman.
Untuk beberapa lama Ki Buyut Pagar Alam dan
Dewi Siluman tegak dengan mulut terkancing tak ada
yang perdengarkan suara. Hanya sepasang mata
keduanya memandang tak berkesip. Malah Dewi
Siluman sejenak kemudian pentangkan matanya
makin besar. Wajah di balik cadar hitamnya berubah.
Tengkuknya menjadi dingin.
Sejarak dua belas langkah dari kedua orang ini
tampak satu sosok tubuh seorang perempuan
tergeletak di atas tanah. Perempuan ini belum jelas
benar karena posisinya telungkup. Sementara
pakaian yang dikenakan tampak hangus serta tak
karuan. Sosok inilah rupanya yang membuat Ki Buyut
Pagar Alam dan Dewi Siluman tampak tersentak
kaget hingga tak ada yang buka mulut.
"Ki Buyut...,"' kesunyian dipecah oleh suara Dewi
Siluman. "Apa yang ada dalam benakmu?!"
Kakek bermuka pucat menyahut tanpa berpaling.
"Rasanya dugaan kita sama. Tapi kita belum melihat
dengan teliti untuk mengenalinya!"
"Dari bentuk serta pakaiannya, meski sudah
compang-camping tidak karuan, agaknya aku hampir
yakin!" gumam Dewi Siluman. Tubuh perempuan
bercadar hitam ini bergetar. Tengkuknya makin
merinding.
"Keyakinan tak cukup selain dibuktikan dengan
mata kepala sendiri, Dewi!"
Ucapan Ki Buyut Pagar Alam belum selesai,
laksana elang Dewi Siluman telah berkelebat ke
depan.
Ki Buyut Pagar Alam segera menyusul.
Begitu Dewi Siluman tegak di samping sosok
perempuan yang tergeletak tak bergerak, sepasang
matanya mendelik besar. Kedua tangannya yang
terbungkus sarung tangan kulit gemetar. Ki Buyut
Pagar Alam yang telah tegak di samping Dewi Siluman
tak kalah kagetnya. Namun kakek ini cepat dapat
kuasai diri dan segera berkata.
"Buktikan dahulu, Dewi!"
Dengan lutut gemetar, Dewi Siluman perlahan-
lahan jongkok. Kedua tangannya pegang bahu orang
yang tergeletak menelungkup. Lalu tangannya
bergerak membalik tubuh orang.
Laksana disengat, sosok Dewi Siluman langsung
terlonjak dengan mulut keluarkan jeritan keras. Pada
saat bersamaan, Ki Buyut Pagar Alam terhenyak
dengan tampang memucat dan matanya membeliak.
"Daeng Upas!" desis Ki Buyut Pagar Alam dengan
suara laksana orang dicekik.
Perempuan yang menggeletak dan kini telentang
itu ternyata seorang perempuan berusia agak lanjut.
Pakaiannya terbuat dari sutera. Tidak jauh dari
tempatnya menggeletak tampak sebuah bambu
berwarna kuning. Dari ciri-ciri orang cukup membuat
Ki Buyut Pagar Alam yakin jika perempuan yang telah
jadi mayat itu adalah Daeng Upas, kakak kandung
serta ibu Dewi Siluman.
Tiba-tiba Dewi Siluman menghambur kembali ke
depan. Tubuhnya langsung direbahkan ke atas sosok
perempuan yang tidak lain memang Daeng Upas.
Tangan sang Dewi mengguncang-guncang sosok
ibunya. Bersamaan itu terdengar ledakan tangisnya.
Sedang Ki Buyut Pagar Alam menghela napas dalam
sambil usap-usap wajahnya.
"Dewi...," bisik Ki Buyut Pagar Alam setelah
beberapa saat berlalu seraya pegang pundak Dewi
Siluman dan perlahan-lahan ditarik dari atas tubuh
Daeng Upas. "Kita harus segera mengurus jenazah-
nya...."
Dewi Siluman tepiskan tangan Ki Buyut Pagar
Alam. Lalu berteriak keras.
"Jahanam siapa yang punya ulah ini?! Siapa?
Siapa?!"
"Itu akan segera kita selidiki, Dewi...," sahut Ki
Buyut dengan suara tetap pelan dan bergetar.
Dewi Siluman angkat tubuhnya dari atas tubuh
Daeng Upas yang telah kaku. Sepasang mata
perempuan bercadar ini sembab. Air matanya terus
mengalir. Kedua tangannya yang bersarung tangan
mengusap-usap wajah Daeng Upas.
"Semua telah terjadi. Percuma kita tangisi nasib!
Tidak akan menyelesaikan masalah...."
Dewi Siluman berpaling ke arah Ki Buyut Pagar
Alam. Mulut di balik cadar perempuan ini hendak
mendamprat. Tapi setelah dipikir-pikir ucapan si
kakek benar juga, perlahan-lahan Dewi Siluman
arahkan kembali wajahnya pada Daeng Upas.
"Aku bersumpah akan menguliti tubuh manusia
jahanam yang membunuh Ibu!"
"Itu akan segera kita lakukan! Sekarang kita harus
mengurusnya dahulu!" sahut Ki Buyut Pagar Alam lalu
jongkok. Tubuh Daeng Upas perlahan-lahan diangkat
lalu dibawa melangkah. Dewi Siluman hanya
memandang. Tak lama kemudian dia mengambil
bambu kecil berwarna kuning yang tadi tergeletak di
samping sosok Daeng Upas. Lalu bangkit dan
menyusul Ki Buyut Pagar Alam.
***
Dewi Siluman dan Ki Buyut duduk bersimpuh di
depan gundukan tanah merah tempat dikuburnya
Daeng Upas. Dewi Siluman masih terisak. Sedang Ki
Buyut tundukkan kepala.
"Ibu, aku akan membalas manusia jahanam yang
membuatmu begini!" isak Dewi Siluman.
Ki Buyut Pagar Alam bangkit berdiri. Memandang
pada gundukan tanah merah lalu beralih pada Dewi
siluman sambil berujar.
"Dewi.... Kita tinggalkan tempat ini!"
Dewi Siluman seka air matanya. Lalu perlahan-
lahan bangkit. Setelah menarik napas dalam dia
balikkan tubuh melangkah menyusul Ki Buyut yang
telah melangkah pelan mendahului.
"Buyut! Kau bisa menduga siapa manusia jahanam
penyebab kematian Ibu?!" tanya Dewi Siluman
setelah dekat dengan Ki Buyut.
"Ada beberapa orang. Mereka selama ini punya
masalah dengan ibumu! Namun kita masih perlu
menyelidiki agar kita tidak buang-buang tenaga
percuma. Apalagi kini rimba persilatan sedang di-
landa kemelut. Jika kita tidak teliti, kita akan salah
turunkan tangan!"
"Katakan siapa kira-kira jahanam itu!"
"Hem.... Orang pertama adalah Gendeng Panuntun
dan saudara-saudaranya. Ibumu kuketahui sejak
lama memendam dendam pada mereka. Merekalah
yang membuat hidup ibumu merana. Orang kedua
adalah pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng. Kau tahu, rahasia Kitab Serat Biru
sebenarnya harus jatuh ke tangan ibumu. Namun
karena ulah Gendeng Panuntun dan saudara-
saudaranya, Kitab Serat Biru akhirnya dimiliki
pemuda itu. Bukan tak mungkin pemuda itu lalu
menyingkirkan ibumu karena tahu masalahnya dari
Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya! Orang
ketiga adalah penghuni Istana Hantu yang dikenal
dengan Tengkorak Berdarah. Tokoh misterius inilah
yang selama ini dikabarkan orang dalang di belakang
terbunuhnya beberapa tokoh rimba persilatan! Tapi
siapa pun pembunuh itu yang jelas kepandaiannya
tidak berada di bawah ibumu! Dari sini kita harus
berhati-hati!"
"Peduli setan dengan kepandaian orang! Aku akan
menuntut balas!" menyahut Dewi Siluman dengan
setengah berteriak.
Ki Buyut menggelengkan kepala. "Kau tidak boleh
gegabah, Dewi! Itu akan mendatangkan celaka!
Dalam urusan ini kita dituntut untuk bertindak hati-
hati bahkan kalau perlu harus berlaku licik!"
Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan Ki Buyut
Pagar Alam. Agak lama baru dia perdengarkan suara
lagi. "Ki Buyut. Apa yang kau ketahui tentang
Tengkorak Berdarah?"
"Bukan hanya aku, tapi mungkin semua orang
masih diliputi teka-teki tentang tokoh satu itu! Apa
gerangan di balik perbuatannya selama ini! Tapi
bagiku orang itu punya tujuan tertentu!"
"Kau bisa menebak apa tujuannya?!"
Ki Buyut Pagar Alam menggeleng. "Sulit meraba
apa tujuannya. Hanya yang bisa kutangkap, dia
seolah ingin mengundang munculnya beberapa
orang! Kau tahu sendiri. Kini banyak tokoh yang
muncul. Salah satunya adalah pemuda aneh ber-
tangan buntung yang sempat bentrok dengan
ibumu...."
"Ah.... Jangan-jangan pemuda itu yang membunuh
Ibu! Bukankah dia pernah punya urusan juga dengan
Ibu?!" gumam Dewi Siluman.
"Itu mungkin saja. Tapi ibumu tampaknya belum
mengenal pemuda itu. Jadi kemungkinannya jauh
sekali...."
"Aku jadi bingung! Sekarang yang mana harus kita
cari dahulu?!"
"Kita tak dapat mendahulukan yang mana. Ketiga
orang yang kukatakan sama pentingnya. Siapa yang
kita temui dahulu di antara ketiganya, dialah yang kita
selesaikan dahulu!"
"Lalu ke mana...." Dewi Siluman putuskan ucapan-
nya. Saat itu mendadak terdengar satu seruan
dahsyat. Kejap lain satu gelombang angin luar biasa
keras menggebrak ganas ke arah Dewi Siluman dan
Ki Buyut Pagar Alam.
Ki Buyut Pagar Alam dorong sosok Dewi Siluman
hingga tersurut tiga langkah ke samping. Si kakek
sendiri melompat dua langkah. Gelombang angin
lewat di tengah antara sosok sang Dewi dan Ki Buyut
Pagar Alam melabrak tempat kosong.
Hampir berbarengan, kepala Dewi Siluman dan Ki
Buyut Pagar Alam berpaling ke arah asal datangnya
gelombang angin yang jelas-jelas hendak mencelakai
keduanya. Rahang di balik cadar sang Dewi
mengembung. Sepasang matanya berkilat. Di sebelah
sampingnya Ki Buyut Pagar Alam kernyitkan kening
dengan mulut komat-kamit. Sepasang matanya yang
melotot besar mementang tak berkesip memandang
ke depan.
Kurang lebih sepuluh tombak dari tempat masing-
masing, Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam
melihat seorang yang sekujur tubuhnya dibungkus
dengan jubah terusan warna abu-abu yang pada
bagian dadanya ada lukisan tengkorak.
Ki Buyut Pagar Alam segera melompat ke arah
Dewi Siluman. Sang Dewi berkata.
"Ki Buyut. Siapa adanya manusia ini?! Kenapa tiba-
tiba menyerang kita?!"
"Aku baru kali ini bertemu dengannya! Aku akan
ajukan tanya!"'
Dewi Siluman mendengus. "Untuk membunuh
orang yang jelas hendak mencelakai kita apa penting-
nya tahu siapa dia?!"
"Dewi.... Dalam keadaan seperti sekarang ini, kita
harus bisa menghemat tenaga dan mengambil
untung sebisanya!"
"Apa maksudmu, Ki Buyut?!"
Ki Buyut Pagar Alam tidak menjawab pertanyaan
Dewi Siluman. Sebaliknya kakek ini maju satu tindak.
Lalu berkata.
"Rasanya kita baru jumpa sekali ini. Harap sebut-
kan diri agar tidak terjadi silang sengketa tanpa
urusan yang jelas!"
Orang berjubah abu-abu terusan yang tidak lain
adalah orang yang selama ini perkenalkan diri dengan
Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. Tapi men-
dadak tawanya diputus. Saat lain dia berucap.
"Ucapanmu benar. Kita baru kali ini berjumpa, Tua
Bangka! Tapi aku tahu siapa adanya kalian berdua!
Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaanmu,
namun mungkin kau dan perempuan bercadar itu tak
punya waktu lagi! Kedua tanganku akan mengirim
kalian menyusul si kampret Daeng Upas sebelum
kalian mendengar jawabanku!"
Baik Dewi Siluman maupun Ki Buyut Pagar Alam
terkesiap kaget. Dewi Siluman segera angkat kedua
tangannya siap lepaskan pukulan. Dia telah menduga
bahwa orang di hadapannya masih ada sangkut paut
dengan terbunuhnya Daeng Upas.
"Tahan, Dewi!" seru Ki Buyut Pagar Alam. "Jangan
sampai kita dikecoh orang! Bukan tak mungkin dia
hanya mengaku-aku agar orang sebenarnya yang
membunuh ibumu bisa leluasa tak dicurigai!"
"Manusia jahanam ini telah mengaku sendiri.
Untuk apa berpanjang lebar?!" sahut Dewi Siluman
dengan kedua tangan masih terangkat. Tapi dia batal-
kan untuk lepaskan pukulan.
Ki Buyut Pagar Alam menoleh pada Dewi Siluman.
Tapi kakek ini tidak berkata apa-apa. Kejap lain Ki
Buyut memandang ke arah Tengkorak Berdarah lalu
berkata.
"Kau bilang tahu siapa kami berdua. Coba katakan
siapa adanya kami!" pancing Ki Buyut. Kakek ini
berlaku cerdik. Dia tidak ingin saja mempercayai
ucapan orang. Dia maklum, dalam situasi kemelut
seperti saat ini, sulit membedakan mana lawan mana
kawan. Tak jarang orang yang dianggap kawan
menghantam dari belakang dan sebaliknya.
"Kau dengar ucapanku! Kalian tak mungkin punya
kesempatan mendengar jawabanku!"
Mendengar kata-kata orang berjubah abu-abu
terusan, Dewi Siluman yang tidak sabaran dan sedari
tadi sudah geram segera sentakkan kedua tangannya
mendahului gerakan Tengkorak Berdarah.
Wuuttt! Wuuttt!
Dua gelombang kabut hitam melesat dan me-
labrak ganas ke arah Tengkorak Berdarah! Anak
perempuan Daeng Upas telah lepaskan pukulan
andalan 'Kabut Neraka'.
***
DUA BELAS
KI Buyut Pagar Alam tidak tinggal diam. Kakek ini
mulai geram begitu mendengar jawaban Tengkorak
Berdarah. Hingga Dewi Siluman kirimkan pukulan,
dari arah lain dia lepaskan pukulan jarak jauh ber-
tenaga dalam kuat. Jelas jika keduanya ingin cepat
selesaikan Tengkorak Berdarah.
Meski sejenak tampak tersentak dengan ber-
geraknya kepala di balik jubah abu-abu terusan
tengadah, saat lain orang ini terdengar mendengus
keras. Tangan kiri kanan segera bergerak menyentak.
Wuuutt! Wuuutt!
Terdengar suara gelombang angin berkelebat
angker. Sesaat kemudian satu ledakan dahsyat
mengguncang tempat itu. Sosok Dewi Siluman dan Ki
Buyut Pagar Alam terlihat bergoyang-goyang. Lalu
sama tersapu hingga kedua orang ini mundur empat
langkah. Dewi Siluman hampir saja terhuyung jatuh
jika tidak imbangi diri dengan sentakkan kedua bahu-
nya. Sedangkan Ki Buyut Pagar Alam tampak tetap
tegak meski sesaat tadi tampak tersapu.
Di sebelah depan, Tengkorak Berdarah tergontai-
gontai lalu tersurut tiga langkah. Kedua tangannya
bergetar. Kepala di balik jubah terusannya bergerak
bergantian menghadap Dewi Siluman dan Ki Buyut
Pagar Alam.
"Tua bangka itu tenaganya lebih tinggi. Hem.... Dia
harus kuhabisi dahulu!" gumam Tengkorak Berdarah.
Tanpa tunggu lebih lama dia langsung melompat. Dari
jarak delapan langkah tangan kanannya menyentak
lepaskan pukulan ke arah Dewi Siluman. Kejap lain
sosoknya melesat ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Kini
kedua tangannya segera bergerak menghantam ke
arah kepala si kakek!
Wajah di balik cadar Dewi Siluman menyeringai.
Perempuan berambut pirang ini tertawa pelan melihat
datangnya serangan. Hal ini bisa dimaklumi karena
saat itu Tengkorak Berdarah sengaja lepaskan
pukulan hanya dengan seperempat tenaga dalamnya,
hingga Dewi Siluman tampak meremehkan. Dewi
Siluman tidak tahu, jika serangan yang kini mengarah
padanya hanya untuk membagi perhatian Ki Buyut
Pagar Alam.
Tipuan Tengkorak Berdarah tidak meleset. Ki
Buyut Pagar Alam ikut-ikutan lepaskan pukulan saat
Dewi Siluman hendak memangkas pukulan lawan.
Kakek ini dapat merasa jika Dewi Siluman sendiri
sudah bisa mengatasi. Justru dia terlihat ingin
mengetahui apa yang hendak dilakukan sang Dewi.
Namun begitu melihat lawan terus berkelebat ke
arahnya dan langsung kirimkan pukulan ke arah
kepalanya, kakek ini sejurus tampak terkesiap kaget.
Ki Buyut Pagar Alam silangkan dua tangannya di
atas kepala untuk menangkis serangan lawan.
Namun bersamaan dengan terangkatnya kedua
tangan untuk melindungi kepala, kaki kanannya ber-
gerak berkelebat susupkan tendangan!
Sosok Tengkorak Berdarah yang sedang lancarkan
pukulan ke arah kepala si kakek tak mau bertindak
ayal. Jelas jika dia teruskan menghantam kepala
lawan, maka sebelum kedua tangannya sempat mem-
buat pecah kepala si kakek, niscaya tendangan orang
tua itu akan menyambutnya terlebih dahulu.
Memikir sampai di situ, Tengkorak Berdarah cepat
tarik pulang kedua tangannya. Saat lain kaki kanan di
balik jubah abu-abunya mencuat lepaskan
tendangan. Lalu kedua tangannya yang kini ditarik
kembali dihantamkan lewat bawah mengarah pada
selangkangan si kakek yang kosong karena kaki
kanannya sedang kirimkan tendangan.
Ki Buyut tidak tinggal diam. Kedua tangannya yang
menyilang di atas kepala cepat pula disentakkan ke
bawah memangkas kedua tangan lawan yang hendak
membongkar selangkangannya.
Bukkk! Bukkk!
Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras berulangkali ketika
secara berbarengan dua tendangan dan dua pasang
tangan bertemu.
Sosok Tengkorak Berdarah mental balik melayang
ke belakang. Namun setengah jalan orang ini mem-
buat gerakan jungkir balik lalu melayang turun. Orang
ini seakan baru saja menghantam dinding kokoh,
hingga saat sepasang kaki di balik jubahnya
menginjak tanah, jelas terlihat sosok orang ini ter-
huyung-huyung. Sepasang kakinya bergetar hebat
dan goyah.
Di seberang, karena saat terjadi benturan Ki Buyut
Pagar Alam tegak bertumpu pada kaki kirinya maka
tak ampun lagi sosoknya terjengkang roboh di atas
tanah dengan wajah makin pucat. Tapi tiba-tiba kakek
ini keluarkan bentakan keras. Tubuhnya segera
bangkit. Dan saat sekilas memandang terlihat lawan
terhuyung-huyung, orang tua ini tidak sia-siakan
kesempatan. Laksana terbang dia melesat ke arah
Tengkorak Berdarah. Segenap tenaga dalamnya di
kerahkan pada kedua tangannya, lalu kirimkan
gebrakan ke arah kepala lawan dari samping kanan
kiri!
Tengkorak Berdarah tidak membuat gerakan
menghindar atau menangkis. Rupanya orang ini telah
memperhitungkan sesuatu. Sementara melihat lawan
tidak coba menghindar atau menangkis, membuat Ki
Buyut Pagar Alam makin bernafsu. Dia teruskan
gebrakan kedua tangannya dari arah samping kanan
kiri kepala Tengkorak Berdarah tanpa perhitungan
apa-apa lagi. Malah dia lupa jika tidak mungkin lawan
akan begitu saja menyerah diam bila sebelumnya
tidak memperhitungkan.
Ketika sejengkal lagi kepala di balik jubah abu-abu
rengkah terhantam kedua tangan sang kakek,
dengan gerakan luar biasa cepat Tengkorak Berdarah
rundukkan kepalanya. Pada saat bersamaan dia
jatuhkan diri berguling di atas tanah.
Kedua tangan Ki Buyut Pagar Alam menggebrak
udara kosong. Saat itulah sepasang kaki Tengkorak
Berdarah lepaskan satu tendangan bersamaan ke
arah perut. Begitu cepatnya gerak tendangan itu,
hingga tak ada kesempatan lagi bagi Ki Buyut Pagar
Alam untuk lakukan gerakan menghindar. Orang tua
ini akhirnya hanya bisa berteriak.
Bukkk!
Bukkk!
Sosok Ki Buyut Pagar Alam mencelat sampai tiga
tombak dan jatuh bergedebukan dengan mulut
semburkan darah. Mukanya yang pucat makin
tampak tak berdarah. Dadanya bergerak cepat turun
naik tak karuan.
Dewi Siluman tegak di atas tanah dengan rahang
di balik cadarnya menggertak. Dia kini merasa tertipu
dengan pukulan lawan yang tadi diarahkan padanya.
"Jahanam!" teriak anak perempuan Daeng Upas ini
seraya melompat. Namun sebelum tubuhnya ber-
kelebat, Tengkorak Berdarah yang masih di atas
tanah segera bangkit. Kejap lain sosoknya melesat ke
depan.
Dewi Siluman yang menduga lawan hendak ber-
kelebat ke arahnya segera angkat kedua tangannya.
Namun kali ini kembali perempuan bercadar ini
tertipu. Tengkorak Berdarah melesat ke arah Ki Buyut
Pagar Alam!
Dewi Siluman berteriak marah. Tapi perempuan
berambut pirang ini urungkan niat untuk berkelebat
karena di seberang sana Tengkorak Berdarah telah
jambak rambut Ki Buyut Pagar Alam lalu ditariknya ke
atas hingga sosok Ki Buyut Pagar Alam yang tadinya
telentang terangkat.
"Apa yang hendak kau lakukan, Jahanam?!" teriak
Dewi Siluman gusar.
Tengkorak Berdarah berpaling ke arah Dewi
Siluman dengan tangan kanan masih menjambak
rambut Ki Buyut Pagar Alam.
"Aku tak ingin melihat kalian mati enak! Kau
dengar, Perempuan! Ibumu adalah salah satu
manusia yang pernah andil membuat hidupku
berantakan! Setelah ibumu tewas, aku tak ingin ada
keturunan atau kerabatnya yang hidup!"
Ki Buyut Pagar Alam buka kelopak matanya. Dia
melirik sebentar ke arah Tengkorak Berdarah yang
tegak di sampingnya. Orang tua ini kerahkan tenaga
dalamnya pada kedua tangannya. Namun dia ter-
sentak kaget. Aliran darahnya serasa terbalik dan
kedua tangannya laksana lumpuh. Malah saat itu
juga mulutnya mengembung dan perutnya mual. Saat
lain orang tua ini tersedak. Lalu darah kehitaman
menyembur keluar dari mulutnya.
Tengkorak Berdarah tertawa pendek. "Jangan ber-
mimpi hendak membokongku, Tua Bangka!" bentak-
nya seraya tarik rambut Ki Buyut Pagar Alam hingga
orang tua itu meringis kesakitan.
Mengetahui dirinya tak berdaya, Ki Buyut Pagar
Alam terlihat kerdipkan sepasang matanya memberi
isyarat pada Dewi Siluman seraya gerakkan tangan
kanannya.
Melihat isyarat yang diberikan Ki Buyut Pagar
Alam, Dewi Siluman tampak tengadah. "Tak mungkin
aku meninggalkan dia!"
Mendapati Dewi Siluman tidak menuruti isyaratnya
yang memberitahukan agar Dewi Siluman tinggalkan
tempat itu, si kakek sedikit pelototkan sepasang
matanya lalu gerakkan tangan kanannya ulangi
isyarat.
Habis memberi isyarat begitu, Ki Buyut Pagar Alam
kembali coba kerahkan tenaga dalamnya. Dia me-
narik napas lega. Tenaga dalamnya dapat disalurkan
meski dengan susah payah.
Tengkorak Berdarah gerakkan kepalanya ke
bawah. Diam-diam orang ini berkata dalam hati.
"Hem.... Tua bangka ini luar biasa. Kukira dia sudah
tak mampu salurkan tenaga dalam. Kalau tidak cepat
kuhabisi, akan berbahaya!"
Baru saja membatin begitu, mendadak Ki Buyut
Pagar Alam berteriak keras.
"Dewi! Cepat lari!"
Bersamaan dengan terdengarnya teriakan, kedua
tangan Ki Buyut Pagar Alam bergerak menghantam
ke arah perut Tengkorak Berdarah.
"Bangsat keparat!" maki Tengkorak Berdarah. Dia
cepat lepaskan jambakan pada rambut orang. Tangan
kiri kanan segera menghantam ke bawah me-
mangkas pukulan Ki Buyut Pagar Alam.
Bukkk! Bukkk!
Meski kedua tangan Tengkorak Berdarah sempat
menghantam mental kedua tangan si kakek namun
tak urung perutnya masih tersambar pukulan orang.
Hingga sosoknya terjajar dua langkah mundur.
Sementara sosok Ki Buyut sendiri tampak tertarik ke
belakang dengan derasnya. Karena telah cedera
parah, kakek ini tidak bisa imbangi tubuh. Sosoknya
terbanting keras di atas tanah.
Tengkorak Berdarah menggereng marah. Sekali
lompat tubuhnya telah di samping Ki Buyut yang
kembali telentang. Satu kaki bergerak dari balik jubah
abu-abu.
Bukkk!
Tubuh Ki Buyut Pagar Alam mencelat. Meng-
hempas pada sebatang pohon tiga tombak di
belakang sana lalu terpental balik sejauh satu
tombak dan jatuh terkapar di atas tanah. Mulutnya
megap-megap lalu keluarkan darah. Sesaat tubuhnya
bergerak-gerak seakan hendak mencoba bangkit.
Tapi di lain kejap mendadak sosoknya menghempas
dan tak bergerak-gerak lagi! Adik kandung Daeng
Upas ini tercabut nyawanya dengan wajah digelimangi
darah yang muncrat dari mulut serta hidungnya.
Tengkorak Berdarah cepat putar diri. Tapi dia
segera bantingkan kaki begitu dilihatnya Dewi
Siluman sudah tidak ada di tempatnya semula!
"Hari ini nyawanya masih selamat. Tapi tak akan
lama!" desis Tengkorak Berdarah. Orang ini gerakkan
kedua tangannya meraba pinggang dan perutnya. Dia
tampak menarik napas panjang. Lalu tanpa berpaling
pada mayat Ki Buyut Pagar Alam, orang berjubah abu-
abu terusan ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
SELESAI
Segera menyusul!!!
Serial
Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng
dalam episode :
MISTERI TENGKORAK BERDARAH
0 comments:
Posting Komentar