..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 01 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE JEJAK DARAH MASA LALU

JOKO SABLENG EPISODE JEJAK DARAH MASA LALU

 SATU


TENGKORAK Berdarah tegak dengan tubuh laksana 

dipaku. Kepalanya yang tertutup jubah terusan abu-

abu tak bergerak dan lurus menghadap perempuan di 

hadapannya. Tanpa sadar dia perdengarkan desisan. 

"Prabarini.... 

Perempuan di hadapan Tengkorak Berdarah 

sunggingkan senyum. Tetap memandang dengan 

tatapan sayu dia buka mulut. 

"Syukur kau masih mengenaliku. Kalau dugaanku 

tak salah bukankah kau adalah Lasmini...?" 

Untuk kesekian kalinya Tengkorak Berdarah ter-

lihat terkesiap. Sosoknya bergetar dengan mulut ter-

kancing tak perdengarkan suara. Hal ini telah 

menambah keyakinan perempuan yang dipanggil 

Prabarini. Hingga perempuan yang tadinya menutup 

wajahnya dengan bedak tebal ini berucap lagi. 

"Aku telah tunjukkan siapa diriku. Kuharap kau tak 

keberatan untuk membuka penyamaranmu!" 

"Bagaimana perempuan jahanam ini tahu diriku...? 

Dia hanya menduga-duga atau memang tahu 

sungguhan? Keparat betul! Perempuan inilah yang 

membuat hidupku merana! Hem.... Bertahun-tahun 

kucari, akhirnya kutemui tanpa kuduga!" membatin 

Tengkorak Berdarah. Kepala di balik jubah abu-abu-

nya bergerak tengadah. 

"Prabarini! Matamu sudah kuharamkan melihatku! 

Dan kau akan menyesal mengundangku datang ke 

sini. Ini adalah undangan kematian bagimu!"


"Hem.... Berarti dugaanku tidak salah. Dia adalah 

Lasmini.... Dia masih menyimpan dendam padaku...," 

kata Prabarini dalam hati. Lalu berkata. 

"Lasmini.... Kau ingin membunuhku itu persoalan 

mudah. Di antara kita memang ada urusan meski aku 

sudah melupakan hal itu. Tapi untuk sementara ini 

kita tunda urusan kita. Ada hal lebih penting yang 

harus kita buka bersama!" 

"Tak ada hal lebih penting bagiku selain men-

jadikanmu mayat, Prabarini! Kau telah merecoki 

hidupku! Kaulah manusia yang membuat jalan hidup-

ku jadi berantakan. Kau perempuan jahanam yang 

merebut suamiku! Tidak ada yang perlu dibuka lagi! 

Justru aku akan membuka pintu kubur untukmu!" 

Habis berkata begitu, Tengkorak Berdarah angkat 

kedua tangannya. Kedua tangan orang ini terlihat 

bergetar keras tanda dia telah kerahkan segenap 

tenaga dalamnya. 

Prabarini memandang sejenak. Meski mulutnya 

tersenyum namun jelas jika wajahnya berubah mem-

bayangkan perasaan cemas. Seraya mundur satu 

tindak dia berkata. "Sudah kukatakan, membunuhku 

adalah urusan gampang. Tapi kau nanti akan 

menyesal jika...." 

Ucapan Prabarini belum selesai, Tengkorak 

Berdarah telah menukas dengan suara keras. "Satu 

penyesalan besar adalah jika aku membiarkanmu 

hidup! Jangan banyak bicara membuat dalih!" 

Prabarini gelengkan kepala. "Aku memintamu 

datang ketempat ini bukan untuk mengatakan segala 

macam dalih! Aku justru ingin agar urusan di antara 

kita cukup sampai kita berdua! Jangan sampai orang 

lain kita seret di dalamnya!" 

Lama Tengkorak Berdarah terdiam sebelum akhir


nya berkata. 

"Apa maksud ucapanmu, Perempuan Laknat?! Kau 

jangan bicara tidak karuan! Aku tidak pernah me-

libatkan orang lain dalam urusan kita! Tanganku 

cukup untuk menyelesaikannyal" 

"Ucapanmu benar, Lasmini! Tapi jika kita tidak 

buka urusan bersama-sama, tanpa sadar kita akan 

menyeret orang lain masuk dalam urusan kita! Yang 

lebih menyedihkan, orang yang terseret adalah orang-

orang yang kita kasihi!" 

"Prabarini! Jangan kau bicara ngelantur! Katakan 

terus terang siapa orang yang kau maksud!" bentak 

Lasmini alias Tengkorak Berdarah. Orang ini masih 

sarukan suaranya hingga terdengar seperti suara 

seorang laki-laki. 

Prabarini memandang tak berkesip beberapa 

lama. Setelah menghela napas panjang dia berkata. 

"Kau punya seorang anak perempuan. Aku pun 

demikian. Mereka adalah darah daging seorang laki-

laki yang sama kita kasihi. Apakah hatimu tidak 

merasa trenyuh jika melihat keduanya saling 

bermusuhan tanpa mereka sadari jika keduanya 

masih bertalian darah?" 

Mendadak Lasmini yang selama ini memperkenal-

kan diri sebagai Tengkorak Berdarah turunkan kedua 

tangannya. Kepalanya makin mendongak. Dadanya 

terlihat bergerak turun naik. "Saraswati.... Di mana 

kau sekarang anakku...? Sudah sekian tahun aku 

mencarimu, tapi kau belum juga kutemukan!" Sesaat 

kemudian kepala Tengkorak Berdarah bergerak lurus 

menghadap Prabarini. "Sepertinya perempuan ini 

tahu di mana Saraswati. Hem...." 

"Prabarini! Bagaimana kau tahu mereka ber-

musuhan? Di mana kau temui anakku Saraswati,


hah?! Kurobek mulutmu jika kau bicara mengada-

ada! Dan dengar. Jangan kau sebut laki-laki itu orang 

yang kita kasihi! Dia adalah salah seorang yang harus 

kulenyapkan dari muka bumi! Termasuk juga kau!" 

"Saat ini mereka memang belum bermusuhan. 

Tapi aku menduga permusuhan itu akan segera 

terjadi. Yang menyedihkan, pangkal permusuhan itu 

sama dengan hal yang pernah menimpa kita 

berdua...." 

Kedua tangan Tengkorak Berdarah mengepal. 

Sosoknya kembali bergetar. Tapi untuk beberapa saat 

orang ini tidak perdengarkan suara. Dada orang ini 

dibuncah dengan berbagai perasaan. Dendam 

kesumat yang selama ini dipendam belum ke-

sampaian kini ditambah dengan ucapan Prabarini 

yang membuatnya panas dingin, karena urusannya 

sama dengan urusan dirinya dengan Prabarini pada 

beberapa tahun silam yang membuatnya hidup 

merana terpisah dari anaknya juga membuat dirinya 

bertekad untuk membunuh orang yang dulu pernah 

dicintainya. 

"Prabarini!" sentak Tengkorak Berdarah setelah 

agak lama terdiam. "Kau belum katakan di mana kau 

menemukan anakku!" 

"Aku tak bisa mengatakan di mana. Tapi aku bisa 

membawamu ke sana!" 

"Hem.... Begitu? Kita berangkat sekarang! Tapi 

ingat. Meski aku nanti berhasil jumpa Saraswati, 

bukan berarti hidupmu kuperpanjang!"' , 

"Hidup mati sudah tak pernah kupikir lagi, Lasmini. 

Suratan takdir sudah menulisnya. Tapi sebelum kau 

kutemukan dengan anakmu, aku punya permintaan." 

Entah sudah tak sabar, Tengkorak Berdarah 

segera menyahut. "Katakan apa yang kau minta!"


"Kau harus buka penutup wajahmu. Kau nanti juga 

harus berkata jujur. Karena anakku pun harus men-

dengar dan mengetahui semuanya!" 

"Prabarini! Kau telah tahu siapa diriku. Lebih dari 

itu, aku tak punya urusan dengan anakmu! Aku hanya 

ingin jumpa anakku, lalu membunuhmu!" 

"Anakku memang tak ada urusan denganmu, 

Lasmini. Tapi bagaimanapun juga anakku masih satu 

darah dengan anakmu. Jadi dia harus tahu. Jika tidak, 

bagaimana mungkin kita bisa mencegah terjadinya 

permusuhan di kelak kemudian hari? Jika semua 

telah jelas, aku akan menyerah padamu...." 

Sebenarnya, secara diam-diam selama ini 

Prabarini telah menyelidiki Istana Hantu. Hingga pada 

akhirnya dia mengetahui siapa Raka Pradesa yang 

selama ini menyamar sebagai pemuda berkumis tipis 

berpakaian hitam-hitam. Dari sini, Prabarini sedikit 

banyak sudah yakin siapa adanya penghuni Istana 

Hantu yang selama ini dikenal kalangan rimba 

persilatan sebagai Tengkorak Berdarah. Hingga saat 

jumpa dengan Raka Pradesa, Prabarini mengucapkan 

kata-kata yang membuat Raka Pradesa terperanjat 

mengetahui orang telah mengenali dirinya (Lebih 

jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode : 

"Tabir Asmara Hitam"). 

Dia juga diam-diam menyelidik semua kekacauan 

yang akhir-akhir ini melanda dunia persilatan yang 

menurut banyak kalangan didalangi oleh Tengkorak 

Berdarah, si penghuni Istana Hantu. Dia curiga, 

karena menurut apa yang diketahui, penghuni Istana 

Hantu tidak pernah keluar dari istananya. Kalaupun 

ada Tengkorak Berdarah yang menebar maut, tentu 

bukanlah Tengkorak Berdarah penghuni Istana 

Hantu. Dia dapat menduga jika Tengkorak Berdarah


yang ditemuinya saat itu adalah Lasmini karena dia 

telah mengetahui rencana Lasmini yang juga adalah 

bekas istri suaminya. 

Lasmini tahu jika suaminya menyimpan satu 

rahasia besar. Namun perempuan ini kecewa, karena 

sang suami tidak mau mengatakan rahasia itu lebih-

lebih setelah mengetahui jika sang suami menjalin 

hubungan dengan kekasihnya dahulu, yang bukan 

lain adalah Prabarini. Hanya saat ini Prabarini tidak 

tahu jika Lasmini sebenarnya belum dapat me-

mastikan siapa adanya Tengkorak Berdarah penghuni 

Istana Hantu. Lasmini sengaja mengenakan pe-

nyamaran seperti Tengkorak Berdarah karena dia 

punya perhitungan sendiri. 

"Prabarini! Peduli setan anakmu masih satu darah 

dengan anakku. Tapi yang jelas aku tak punya ikatan 

apa-apa dengan anakmu! Malah jika perlu dia pun 

harus mengalami nasib sama denganmu! Bibit kotor 

begitu harus segera dipenggal sebelum membuat 

kerusuhan lagi di kelak hari!" 

Mendengar ucapan Lasmini, raut wajah Prabarini 

seketika berubah. Sepasang matanya sedikit me-

mentang. Dadanya bergemuruh. Tapi mengingat apa 

yang akan terjadi jika semuanya tidak jelas, perlahan-

lahan perempuan ini berusaha menindih gejolak 

hatinya yang panas. 

"Ah...," Prabarini menarik napas panjang, lalu 

berucap dengan suara sedikit bergetar tanda belum 

sepenuhnya dia dapat menguasai hatinya. 

"Lasmini. Rasanya aku tidak dapat membawamu 

bertemu dengan anakmu jika kau bersikeras tak mau 

menuruti permintaanku!" 

Tiba-tiba Lasmini perdengarkan suara tawa 

panjang. Namun tawanya segera diputus. Kejap lain


dia telah membentak. 

"Berarti semua ucapanmu hanya dusta belaka!" 

"Aku tidak mendapat untung apa-apa berkata 

dusta padamu! Jika tak punya niat baik aku pun tidak 

mungkin memintamu datang ke sini dan tunjukkan 

siapa diriku sebenarnya. Bukankah dengan begitu 

kau masih tidak mengetahui diriku? Dan dendam 

kesumatmu tidak akan terlampiaskan?!" 

"Perempuan sepertimu bisa saja memutar lidah! 

Mungkin di balik kata dustamu kau punya tujuan lain! 

Tapi jangan kau mimpi bisa membodohiku saat ini! 

Cukup sekali saja kau menggunting lipatanku! Dan itu 

harus kau bayar!" 

"Lasmini! Aku telah berusaha berbaik-baik dengan-

mu. Nyatanya kau masih tak mau mengerti! Kau lebih 

mengedepankan dendam daripada mencegah ber-

larutnya urusan! Jika itu jalan yang kau ambil, 

terpaksa aku merubah rencana! Aku tidak akan 

tinggal diam sebelum persoalan ini jelas diketahui 

oleh orang yang bersangkutan!" kata Prabarini 

dengan suara agak tinggi. 

Lasmini perdengarkan tawa panjang. "Bagus! Aku 

memang tak ingin kau mampus tanpa perlawanan!" 

Habis berkata begitu, Lasmini kembali angkat 

kedua tangannya. Di seberang, Prabarini masih tegak 

tanpa membuat gerakan apa-apa. Malah perempuan 

ini terlihat menghela napas dalam. Lalu bergumam. 

"Kekerasan sebenarnya bukanlah satu-satunya 

jalan menyelesaikan urusan. Malah hal itu akan men-

datangkan urusan lebih besar di kemudian hari. 

Mendatangkan jeritan duka yang lebih parah! Padahal 

hal itu bisa dicegah jika yang tua-tua seperti kita ini 

mau sedikit menahan diri dan membuka hati...." 

Entah karena apa, begitu mendengar gumaman


Prabarini, kedua tangan Lasmini diturunkan ke 

bawah. Lalu terdengar dia berucap. Namun suaranya 

masih keras. 

"Kalau kau mengatakan urusan anakku dengan 

anakmu sama dengan urusan kita dahulu berarti ada 

satu laki-laki dalam urusan ini! Katakan padaku 

macam apa laki-laki itu?!" 

"Lasmini. Kita sudah sama merasakan bagaimana 

jika orang telah jatuh dalam jerat cinta. Jika kau 

langsung berurusan dengan laki-laki itu bukan tidak 

mungkin kau akan membuka permusuhan sendiri 

dengan anakmu!" 

"Peduli setan! Justru aku telah mengalami maka 

aku tahu harus berbuat apa!" 

Prabarini menggeleng. "Kau bukannya akan me-

nyelesaikan urusan. Sebaliknya menambah urusan! 

Padahal semuanya akan jadi beres jika kau mau 

sedikit berpikir dengan hati nurani!" 

Lasmini tertawa pendek bernada mengejek. "Itulah 

satu kesalahan yang kubuat dahulu. Aku selalu ber-

tindak dengan hati nurani. Tapi apa yang kuperoleh? 

Suamiku jatuh dalam rayuanmu! Hidupku 

berantakan!" 

"Kau terlalu berprasangka buruk padaku, Lasmini. 

Kau harus tahu, jauh sebelum denganmu, aku telah 

menjalin hubungan." 

"Itu urusanmu! Yang jelas kau merebut setelah dia 

jadi milikku!" 

"Ah.... Sudahlah. Tak ada gunanya mengungkit hal 

yang sudah terjadi! Aku harus pergi sekarang. Aku 

masih menunggu pikiranmu berubah...." 

Selesai berucap begitu, Prabarini hendak me-

langkah tinggalkan tempat itu, namun sebelum kaki-

nya bergerak melangkah, Lasmini berkata.


"Aku tak perlu waktu. Kau pun tak perlu 

menunggu." 

"Maksudmu?" 

"Sampai kapan pun pikiranku tak akan berubah! 

Malam ini kita selesaikan urusan kita!" 

"Kau tidak menyesal nantinya? Dengar, Lasmini! 

Anakmu telah dewasa. Pasti kau dapat merasakan 

bagaimana kegundahan hati seorang anak yang tidak 

tahu siapa ibunya! Apalagi dia anak perempuan! Dia 

butuh seseorang tempat bertanya. Perlu orang 

tempat mengadu! Kau perlu waktu untuk berpikir. 

Saat ini kau masih diselimuti perasaan geram. Dalam 

situasi begini tidak mustahil pertimbanganmu hanya 

dendam. Tiga hari di muka, kau kutunggu di halaman 

Istana Hantu!" 

Tanpa menunggu sahutan Lasmini, Prabarini putar 

diri lalu melangkah meninggalkan tempat itu. 

"Persetan dengan segala ucapanmu! Ini semua 

terjadi gara-gara ulahmu dahulu!" desis Lasmini. 

Orang ini serentak angkat kedua tangannya siap 

lepaskan satu pukulan ke arah Prabarini yang seolah 

acuh dengan ucapan orang dan teruskan langkah 

tanpa berpaling lagi. Mendadak ada satu perasaan 

muncul di benak orang berjubah abu-abu aneh 

terusan ini. Kejap lain kedua tangannya diturunkan 

dan kini berpaling ke arah Prabarini yang terus 

melangkah membelakanginya. 

"Jahanam! Jika saja dia tidak menggantung 

dengan urusan Saraswati, rasanya terlalu bodoh 

membiarkan dia berlalu begitu saja! Ah.... Bagaimana 

urusan bisa jadi begini? Mengapa dia menginginkan 

pertemuan di halaman Istana Hantu? Apakah dia 

berpikir agar penyamaranku bisa terbongkar? Hem.... 

Sebelum waktu yang ditentukan aku harus berbuat


sesuatu!" 

Lasmini balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan 

tempat dekat pancuran air itu mengambil arah 

berlawanan dengan Prabarini.


DUA


SATU pemandangan sedikit aneh terlihat di bawah 

sebatang pohon besar tak jauh dari aliran sungai 

yang membentuk dua jalur ke kanan dan kiri. Saat itu 

mentari baru saja muncul dari lamping gunung, 

hingga suasana menjadi agak terang. Ke mana mata 

memandang kini tampak jelas. 

Di bawah sebatang pohon besar itu terlihat satu 

sosok tubuh. Sepasang mata orang ini sedari tadi tak 

berkesip memandang ke arah satu gugusan batu 

yang memisahkan aliran sungai hingga membentuk 

dua jalur ke kanan kiri. Orang ini adalah seorang 

pemuda berwajah tampan. Sepasang matanya tajam. 

Hidungnya sedikit mancung. Tapi ada keanehan pada 

dirinya. Dia tegak memandang dengan kaki di atas 

dan kepala di bawah! Sepasang kakinya dia se-

lonjorkan pada batang pohon. Pemuda ini tidak 

mempunyai tangan. Sementara pada mulutnya ter-

lihat bundaran karet yang terus menerus dibuat 

mainan disedot-sedot. Setiap kali dia menyedot, ter-

dengar suara duutt! Duutt! Duuuttt! 

"Air masih pasang. Aku masih kesulitan me-

nentukan tempat yang dikatakan itu. Apalagi aku tak 

punya tangan untuk berenang. Jika aku memaksa, 

bukan tak mungkin aku akan mengalami celaka. 

Satu-satunya jalan adalah menunggu sampai air 

surut. Jika saja tidak untuk membuktikan ucapan 

Guru serta mencari jejak darah nenek moyang, aku 

tak jauh-jauh sampai datang ke tempat ini. Apalagi 

belum apa-apa sudah banyak urusan lain yang tak


kuduga sebelumnya...," gumam si pemuda bertangan 

buntung yang bukan lain adalah orang yang baru 

muncul dalam kancah rimba persilatan dan dikenal 

dengan Dewa Orok. 

Sudah sejak tadi malam pemuda ini berada di 

dekat aliran sungai yang membentuk dua jalur itu. Dia 

sesekali tampak menghela napas panjang sambil 

memandang ke arah gugusan batu besar yang 

memisahkan aliran sungai. Wajahnya kelihatan sudah 

tidak sabar. Namun begitu melihat aliran sungar yang 

saat itu sedang meluap, dia terlihat menindih rasa 

ketidaksabarannya. 

"Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang meng-

gagalkan tujuanku ini. Karena meski masih tak ada 

orang yang mengetahui seluk beluk nenek moyangku 

ini, tapi secara tak langsung menurut Guru, nenek 

moyangku masih ada kaitannya dengan satu rahasia 

besar. Hem.... Sayang aku tak mengetahui rahasia 

apa itu! Yang jelas aku harus dapat menemukannya 

dan menguburnya di tempat yang layak...." Dewa Orok 

terus bergumam sendiri. 

Mungkin karena merasa capek dan menduga air 

pasang masih lama surut, Dewa Orok perlahan 

pejamkan sepasang matanya. Mulutnya memper-

keras sedotan pada karet bundarnya. Tak lama 

kemudian terdengar dia mendengkur ditingkah suara 

duutt! Duutt! dari sedotan karet bundar di mulutnya. 

Sepasang mata serta dengkuran Dewa Orok baru 

membuka dan terhenti tatkala matahari sudah meng-

gelincir dari titik tengahnya. 

"Ah.... Air sudah surut!" gumamnya setelah melihat 

aliran air memang telah surut, hingga sepasang mata-

nya bisa melihat bagian bawah gundukan batu besar 

yang memisahkan aliran sungai.


Sejenak sepasang matanya mengerjap. Lalu 

Wuuttt! Pemuda tampan tak bertangan ini gerakkan 

bahunya. Kejap lain sosoknya telah tegak dengan 

kaki di bawah kepala di atas. Tapi orang ini tegak 

bertumpu pada kedua ibu jari kakinya! 

"Hem.... Ucapan Guru tampaknya benar.... Di batu 

besar itu bagian bawahnya tampak sebuah lobang! 

Meski tidak besar, tapi kurasa cukup untuk lewatnya 

satu tubuh...," pikir Dewa Orok begitu matanya dapat 

melihat bagian bawah batu besar yang memang ter-

lihat ada sebuah lobang tidak begitu besar. Air sungai 

kini sedikit berada di bawah lobang. 

"Aku masih harus berenang untuk mencapai batu 

besar itu. Tapi sudah agak ringan, karena aliran 

sungai tidak lagi deras...." Setelah memperhatikan 

sejenak pada aliran sungai dan menghitung jarak 

sampai batu yang dituju, Dewa Orok tengadahkan 

kepala. Tumitnya yang berjingkat serentak bergerak 

ke bawah menginjak tanah. Laksana melayang, men-

dadak sosoknya melesat ke udara. Di atas udara 

pemuda ini membuat gerakan menjungkir. Lalu 

dengan kepala di bawah kaki tegak lurus ke atas, 

orang ini terjunkan diri ke aliran sungai. 

Aliran sungai sejurus tampak muncrat dan beriak. 

Sosok Dewa Orok segera lenyap. Lalu tampak alur 

memanjang membelah aliran sungai. Kejap lain sosok 

Dewa Orok tampak menyembur dua tombak dari batu 

besar. Sekali dia sentakkan kedua bahunya, sosoknya 

melesat ke atas dan kini tegak di atas batu besar 

dengan berjingkat. Air tampak mengucur deras dari 

pakaian dan tubuhnya. 

Setelah mengedarkan pandangan, dia melangkah 

ke bibir batu. Kepalanya melongok ke bawah. Ke 

bawah lobang di batu yang kini dipijaknya. Tanpa pikir


panjang lagi dia segera melompat. Namun pemuda ini 

serta merta urungkan niat. Sebaliknya sepasang 

matanya menatap tak berkesip pada lobang batu di 

bawahnya. Mulutnya memperkeras sedotan pada 

karet bundarnya. Pertanda dia disentak oleh sesuatu 

yang mengejutkan. 

Saat itu sepasang mata Dewa Orok memang 

melihat sesuatu menyembul dari dalam lobang. 

"Bukan ikan juga bukan binatang.... Tapi anggota 

tubuh manusia!" katanya dalam hati dengan mata 

terpentang makin besar. "Jangan-jangan tempat ini 

berpenghuni. Atau jangan-jangan hantu sungai...." 

Dewa Orok terus memandang. Kini tampaklah dua 

tapak tangan keluar meraba-raba mencari pegangan 

pada bagian luar batu. Namun karena batu itu licin, 

kedua tangan yang menyembul dari dalam lobang itu 

gagal mencari pegangan. Dan tak lama kemudian 

kedua tapak tangan itu lenyap kembali ke dalam 

lobang. 

Dewa Orok jongkok di bibir batu. Dia menunggu 

dengan dada berdebar. Namun hingga agak lama 

ditunggu, tidak tampak lagi menyembulnya kedua 

tangan tadi. 

"Ah.... Jangan-jangan memang hantu sungai yang 

menggodaku! Hem.... Aku harus segera masuk. Hantu 

sungai pasti akan merasa kasihan jika telah melihat 

keadaanku yang begini.... Hik.... Hik.... Hik...!" Dewa 

Orok tersenyum sendiri. Lalu kembali hendak turun ke 

sungai. Namun kembali gerakannya tertahan ketika 

saat itu juga kedua tangan tadi muncul kembali. Kini 

kedua tangan itu terus menjulur. Tak berapa lama 

kemudian sudah tampak bagian bahu orang. Ternyata 

orang ini mengenakan pakaian putih. Sesaat 

kemudian, Dewa Orok jelas dapat melihat satu kepala


berambut gondrong agak acak-acakan yang dibalut 

dengan sebuah ikat kepala juga berwarna putih. 

Dewa Orok belum dapat melihat raut wajah orang 

karena dia berada di atas. 

Orang yang menyembul keluar dari lobang terus 

bergerak. Karena kini kepalanya sudah berada di 

luar, sementara kedua tangannya butuh pegangan, 

orang ini gerakkan kepalanya tengadah untuk 

mencari pegangan pada batu di atasnya. 

Saat itulah sepasang mata orang yang baru 

menyembul menangkap sosok yang jongkok di atas 

bibir batu. Semenfara mata Dewa Orok juga sedang 

memandangnya. Kedua orang ini serentak sama ter-

kesiap! Malah seraya makin mementang besar, 

kepala Dewa Orok tampak makin bergerak ke bawah. 

Sebaliknya kepala orang yang menyembul serentak 

hampir saja membentur batu karena ditarik terlalu 

keras! 

"Heran...," pikir Dewa Orok. "Bagaimana anak ini 

bisa muncul di sini...? Tempo hari kulihat dia cedera 

dan dibawa lari orang...." 

Kalau Dewa Orok membatin begitu, orang yang 

menyembul dari lobang diam-diam juga membatin. 

"Aneh.... Sikapnya seperti menghadang dan tahu jika 

aku berada di dalam sini! Siapa sebenarnya orang 

itu? Tempo hari dia secara tak langsung menyelamat-

kanku dari seorang perempuan bernama Daeng 

Upas. Hem.... Jangan-jangan dia tahu tentang tempat 

ini dan rahasia di dalamnya! Meski aku belum dapat 

memastikan kitab apa yang kini di tanganku, tapi tak 

akan kubiarkan siapa pun juga menyentuhnya!" 

Orang yang baru menyembul kembali tengadahkan 

sedikit kepala dengan mata melirik ke atas. Saat 

dilihatnya Dewa Orok masih duduk di atas bibir batu


orang ini segera berteriak. 

"Meski kita belum sempat berkenalan, tapi kita 

pernah saling jumpa. Aku mengucapkan terima kasih, 

karena saat itu kau menolongku! Tapi sekarang harap 

kau katakan mengapa kau seperti menghadangku?!" 

Dewa Orok semburkan bundaran karet di mulutnya 

hingga bundaran karet itu melesat keluar dan 

mengapung di udara. Kejap lain terdengarlah 

ucapannya. 

"Betul. Kita belum sempat berkenalan meski 

pernah bertemu muka. Kau tidak usah berbasa-basi 

mengucapkan terima kasih. Aku tidak merasa 

menolongmu. Aku hanya tidak suka melihat orang 

berbuat kurang ajar pada orang yang tak berdaya. 

Tapi sekarang bukan aku yang menjawab per-

tanyaanmu, sebaliknya kau yang harus jawab per-

tanyaanku!" Ucapan Dewa Orok sekilas tampak 

mengulangi seperti ucapan orang yang baru saja 

menyembul dari dalam lobang. 

Orang yang berada di bawah mendongak. 

Sepasang matanya memandang tajam. Lalu dia buka 

mulut. "Apa yang ingin kau tanyakan?" 

"Apa yang telah kau peroleh dari tempat di bawah 

batu besar ini?!" 

Orang di bawah tampak terkesiap. Matanya makin 

membeliak besar. Dahinya mengernyit. "Dia tampak-

nya sudah tahu rahasia di dalam sini.... Hem...." Orang 

di bawah sejenak terdiam. Lalu berujar. "Aku tak 

menemukan apa-apa di dalam sini! Justru aku masuk 

ke sini karena ulah orang!" 

"Kau tak menemukan apa-apa di dalam situ? Dan 

kau masuk karena ulah orang?!" ucap Dewa Orok. 

"Kau tidak berdusta? Dan siapa orang yang punya 

ulah?"


"Aku telah menjawab pertanyaanmu! Orang yang 

membuat ulah tak bisa kukatakan. Karena orangnya 

juga tak kukenali!" jawab orang di bawah. 

"Aku tanya apa kau tidak berdusta!" kata Dewa 

Orok. Selama pemuda ini terus bercakap-cakap 

bundaran karet mirip dot bayi yang tadi disemburkan 

tetap mengapung di udara tak jauh dari kepalanya. 

"Apa gunanya berdusta padamu?!" kata orang di 

bawah balik bertanya. 

Dewa Orok tertawa pendek. Lalu berkata. "Guna-

nya dusta padaku?! Tentu kau ingin memiliki benda 

itu!" 

Orang di bawah kembali terkejut. "Ah.... Dia tak 

bisa didustai. Dia benar-benar tahu keadaan di 

dalam.... Bagaimana sekarang? Kitab telah kudapat. 

Aku tak akan memberikan pada siapa pun juga!" 

membatin orang di bawah. 

"Hem.... Mahkota bersusun tiga terbuat dari emas. 

Itulah benda yang harus kudapatkan! Apakah 

pemuda di bawah itu betul-betul tak menemukannya? 

Tapi tempat yang dikatakan Guru tidak salah.... 

Mungkin pemuda itu berkata dusta!" Dewa Orok 

berkata juga dalam hati. 

"He! Kenapa kau diam?! Betul bukan kau telah 

menemukan barang itu?!" kata Dewa Orok setelah 

agak lama ditunggu orang di bawah tidak berucap 

lagi. 

"Sudah kukatakan, aku tidak menemukan apa-

apa!" 

"Aku ingin buktikan ucapanmu!" kata Dewa Orok 

akhirnya. Tanpa bergerak dari tempatnya, pemuda 

bertangan buntung ini kuncupkan mulut. 

Seakan tahu apa yang hendak diperbuat orang di 

atas batu, orang di sebelah bawah cepat putar diri


menghadap batu. Dengan bersitekan pada batu di 

depannya sepasang kakinya disentakkan. 

Wuutt! Wuuttt! 

Sosok orang yang berada di bawah melenting ke 

udara. Setelah membuat gerakan jungkir balik dua 

kali, orang ini mendarat tiga langkah di belakang 

Dewa Orok. 

Dewa Orok menyedot. Bundaran karet yang sedari 

tadi mengapung melesat lalu masuk ke dalam mulut 

si pemuda. Kejap lain sosoknya memutar menghadap 

orang yang di belakangnya. Sepasang kakinya ditarik 

ke belakang. 

Untuk beberapa saat Dewa Orok yang kini duduk 

bersila memandang penuh selidik. Sementara orang 

yang dipandang balas menatap dengan penuh tanda 

tanya. 

"Menilik nada ucapannya, orang ini mengetahui 

seluk-beluk tempat di dalam sana! Aku harus tahu 

siapa dia sebenarnya! Dia orang jahat atau orang 

baik!" kata orang di hadapan Dewa Orok dalam hati. 

Orang ini yang ternyata seorang pemuda berparas 

tampan mengenakan pakaian putih-putih dengan 

rambut gondrong acak-acakan dibalut ikat kepala 

warna putih dan bukan lain adalah Pendekar Pedang 

Tumpul 131 Joko Sableng buka mulut. 

"Harap sudi katakan siapa kau sebenarnya agar 

jika ada kesalahpahaman di antara kita dapat segera 

kita selesaikan!" 

Dewa Orok gelengkan kepala. Mulutnya 

mengembung lalu semburkan bundaran karet. 

Bundaran karet itu mengapung di udara tak jauh dari 

wajahnya. Sesaat kemudian terdengar ucapannya., 

"Dengar, Orang Muda! Salah satu hal yang tidak 

pernah kukatakan pada orang adalah sebutkan siapa


diriku! Dan tanpa sebutkan diri, kalau kita sama jujur 

kukira tidak ada sesuatu yang tak dapat diselesai-

kan!" 

"Hem.... Dia menyebutku orang muda. Apa dikira 

dia lebih tua dariku? Kuduga usianya masih sebaya 

denganku...," membatin murid Pendeta Sinting lalu 

berkata. 

"Kalau kau tak suka sebutkan siapa dirimu, aku 

pun tak akan sebutkan siapa diriku!" 

Dewa Orok tertawa panjang. "Aku tak tanya siapa 

dirimu! Yang kubutuhkan darimu adalah ucapan 

jujur!" 

Paras wajah Pendekar 131 tampak berubah. 

Mungkin untuk membalas nada ucapan Dewa Orok, 

Joko segera pula berkata menjawab. 

"Kau pun tak akan mendapat ucapan apa-apa 

dariku!" 

"Tak akan mendapat ucapan apa-apa darimu?" 

kata Dewa Orok mengulangi ucapan Pendekar 131. 

Dia tertawa dahulu sebelum melanjutkan. "Aku 

datang jauh-jauh mana mau begitu saja menerima? 

Kalau kau tak mau berkata, pasti ada jalan lain! Aku 

tahu benda yang kucari berada padamu! Aku 

meminta secara baik-baik! Jika kau tak menyerahkan, 

terpaksa aku minta dengan jalan tidak baik!" 

Sebenarnya di antara kedua orang ini terjadi 

kesalahpahaman. Yang dimaksud Dewa Orok dengan 

benda sesungguhnya adalah sebuah mahkota 

bersusun tiga terbuat dari emas. Pemuda ini datang 

dari jauh dengan satu tujuan yakni mencari mahkota 

yang menurut gurunya adalah milik nenek moyang-

nya. Sementara Pendekar 131 beranggapan jika 

benda yang dimaksud Dewa Orok adalah kitab 

bersampul kuning yang baru saja didapatnya dari


dasar bumi, tempat di mana dia didorong masuk oleh 

sang penghuni Istana Hantu. Joko sendiri saat ini 

memang juga menyimpan mahkota bersusun tiga 

serta beberapa peniti di balik pakaiannya, tapi karena 

sudah terpaku pada kitab bersampul kuning, murid 

Pendeta Sinting seakan melupakan mahkota serta 

peniti emas itu. 

Seperti diketahui, begitu Joko berhasil mendapat-

kan mahkota dan peniti emas serta kitab bersampul 

kuning, tiba-tiba udara di mana Joko berada saat itu 

berubah dingin dan gelap. Lalu terdengar suara ber-

gemuruhnya air. Untuk beberapa saat lamanya murid 

Pendeta Sinting ini hanya mondar-mandir di atas 

permukaan batu paling tinggi tak tahu harus berbuat 

apa. Namun pada akhirnya dia bernapas lega, karena 

ternyata air itu tidak sampai ke tempat dia berada. 

Setelah lama menunggu, akhirnya perlahan-lahan 

suara bergemuruhnya air berhenti. Lalu samar-samar 

terlihat cahaya agak terang dari satu titik. Dengan 

waspada dan hati-hati, Joko melangkah mendekati 

titik terang. Ada keanehan di dalam tempat itu, 

bersamaan dengan terhentinya suara gemuruh air 

dan terlihatlah satu titik cahaya, air yang tadi meng-

genangi tempat hamparan pasir dan gugusan batu 

karang di dalam tanah itu laksana tersedot masuk ke 

dalam pasir. Hingga hamparan pasir dalam tanah itu 

kembali kering! 

Saat murid Pendeta Sinting mencapai titik terang 

yang ternyata adalah sebuah lobang batu, dia benar-

benar baru bisa menarik napas lega. Perlahan-lahan 

dia keluar dari lobang batu itu. Namun dia merasa 

terkejut begitu hendak keluar ternyata Dewa Orok 

telah nongkrong di atas batu yang berlobang. 

Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut


lagi, Dewa Orok telah mendahului berkata. 

"Aku sekarang tak butuh ucapanmu. Yang kuperlu-

kan benda itu!" 

Pendekar 131 tegak dengan kancingkan mulut 

dan diam tak bergerak. Sepasang matanya menatap 

tajam silih berganti pada sosok Dewa Orok dan 

bundaran karet yang mengapung di depan wajah 

orang. 

"Orang muda! Kau dengar kata-kataku. Kenapa 

masih diam?!" 

"Tak ada yang perlu dikatakan! Semua sudah kau 

dengar!" jawab Joko sedikit keraskan ucapannya. 

"Kata-kata tidak menjamin, Orang Muda!" 

"Terserah apa katamu! Yang pasti aku telah 

katakan apa adanya!" kata Joko masih tak mau 

berterus terang. 

"Bagaimana ini? Tempat yang dikatakan Guru jelas 

adanya. Tapi apa mungkin mahkota yang dikata-

kannya benar-benar tidak ada?!" sejenak Dewa Orok 

dilanda kebimbangan. Setelah berpikir agak lama 

akhirnya dia berkata. 

"Orang muda! Sebenarnya aku tidak mau bertindak 

kurang ajar. Tapi karena aku tak mau pulang ber-

hampa tangan, apa boleh buat. Apalagi kulihat kau 

masih menyembunyikan sesuatu padaku!" 

Habis berkata begitu, Dewa Orok kuncupkan 

mulut. Lalu dihembuskan ke depan. Satu gelombang 

angin menderu deras ke arah Pendekar 131. 

"Harap kau tak menyesal dengan tindakanmu!" 

bentak murid Pendeta Sinting mulai agak geram 

melihat orang telah lancarkan serangan meski itu 

hanya berupa hembusan mulut. Namun karena 

hembusan itu bukan hembusan biasa, maka saat itu 

juga satu gelombang angin deras melesat!


Murid Pendeta Sinting cepat geser tubuhnya ke 

samping. Gelombang angin lewat setengah depa di 

sampingnya. Namun baru saja tubuhnya bergerak 

menghindar, Dewa Orok telah membuat gerakan 

dengan hentakkan kedua kakinya yang bersila ke 

atas batu yang diduduki. 

Pukkk! Pukkkk! 

Sosok Dewa Orok mengudara setengah tombak. 

Lalu membuat gerakan menjungkir kepala di bawah, 

kaki di atas. Kakinya yang tadi bersila cepat bergerak 

membuka. Kejap lain sepasang kakinya telah melesat 

ke depan lancarkan satu tendangan! 

Belum sampai kedua kaki Dewa Orok benar-benar 

lancarkan satu tendangan, tiba-tiba terdengar satu 

seruan. 

"Tahan! Aku membutuhkan pemuda itu!" 

Dewa Orok apungkan sepasang kakinya di atas 

udara. Sementara murid Pendeta Sinting segera 

berpaling ke arah datangnya suara teguran. Tapi 

Pendekar 131 hanya dapat melihat satu sosok 

berkelebat. Lalu terdengar suara air berkecipak. 

Pertanda orang yang tadi perdengarkan suara telah 

ceburkan diri ke dalam sungai. 

Belum sempat murid Pendeta Sinting berpikir lebih 

panjang, mendadak dari dalam air sungai satu 

bayangan melesat ke atas. Kejap lain satu sosok 

tubuh telah tegak di samping Dewa Orok. Air sungai 

tampak menetes dari pakaian putih sutera serta 

tubuh dan rambut putih yang basah kuyup!



TIGA


DEWA Orok yang urungkan niat kirimkan tendangan 

segera putar dirinya masih dengan kaki di atas kepala 

di bawah. Pendekar 131 sendiri cepat berpaling. 

"Bukankah orang ini adalah...," belum habis 

dugaan Pendekar 131, orang yang baru muncul dari 

dalam air tertawa. Dia adalah seorang perempuan 

berusia lanjut mengenakan pakaian sutera warna 

putih. Meski usia perempuan ini tidak muda lagi, tapi 

raut kejelitaan masih membayang, pertanda waktu 

mudanya dia adalah seorang gadis yang berparas 

cantik jelita. Rambut perempuan ini telah memutih. 

Pada atas telinga kanannya tampak sebatang bambu 

kecil berwarna kuning. 

Perempuan berpakaian sutera putih yang bukan 

lain adalah Daeng Upas, ibu Dewi Siluman berpaling 

pada Dewa Orok. Lalu berkata. 

"Sobatku, Dewa Orok. Harap kau tunda urusanmu 

dengan pemuda itu! Aku masih butuh keterangan 

darinya!" 

"Dewa Orok.... Hem.... Jadi pemuda itu masih 

kerabatnya Dewa...," kata Joko dalam hati, "Ada 

keanehan.... Bukankah tempo hari kedua orang ini 

saling bentrok? Kenapa sekarang mereka berdua 

tampak akrab...? Ataukah waktu itu keduanya hanya 

bersandiwara? Tapi untuk apa?!" 

Pikiran Joko dibuncah dengan berbagai duga dan 

tanya. Ketika Daeng Upas hendak menyerang Joko 

pada beberapa waktu yang lalu, saat itu memang 

mendadak saja muncul Dewa Orok yang selamatkan


murid Pendeta Sinting. Malah setelah itu terjadi saling 

pukul antara Daeng Upas dan Dewa Orok (Lebih 

jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode : 

"Tabir Asmara Hitam"). Namun setelah itu Joko tidak 

mengetahui, jika saat terjadi bentrok antara Daeng 

Upas dengan Tengkorak Berdarah, muncullah Dewa 

Orok selamatkan Daeng Upas. Bahkan setelah 

kepergian Tengkorak Berdarah, Daeng Upas men-

ceritakan siapa dirinya serta apa tujuannya pada 

Dewa Orok. 

Untuk beberapa saat, Dewa Orok memandang ke 

arah Daeng Upas. Lalu dia membuat gerakan satu 

kali. Saat lain tubuhnya telah tegak dengan bertumpu 

pada kedua ibu jari kakinya. Sementara bundaran 

karet terus mengapung di udara! 

Tanpa menunggu sambutan Dewa Orok, Daeng 

Upas maju satu tindak. Sepasang matanya mem-

perhatikan murid Pendeta Sinting dari rambut sampai 

kaki. 

"Apa nenek cantik ini tahu juga rahasia tentang 

tempat dalam tanah itu? Atau pertemuan ini satu 

kebetulan belaka?!" murid Pendeta Sinting terus 

menduga-duga. 

Jika pikiran Pendekar 131 terus dibuncah dengan 

berbagai duga dan tanya, diam-diam Daeng Upas juga 

membatin. "Melihat pukulan yang dilancarkan se 

waktu hendak memasuki Istana Hantu lalu 

mendengarkan keterangan Durga Ratih dan Ki Buyut 

Pagar Alam, jika tidak salah mungkin pemuda inilah 

yang digelari Pendekar Pedang Tumpul 131. Pemuda 

yang berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru.... 

Hem.... Aku harus dapat mengambil kitab itu dari 

tangannya. Sejak berpuluh tahun aku menginginkan 

kitab itu! Bahkan gara-gara rahasia kitab itu aku


diusir oleh guruku Panjer Wengi!" 

"Anak muda!" kata Daeng Upas setelah membatin. 

"Lekas kau serahkan kitab itu padaku!" 

Pendekar 131 tersentak. Dia pandangi perempuan 

di hadapannya seakan baru sekali bertemu. "Celaka! 

Dia benar-benar tahu rahasia tempat dalam tanah itu! 

Urusan dengan Dewa Orok belum selesai, kini ada 

lagi orang yang meminta kitab ini!" kata Joko dalam 

hati. Dia masih tidak mengetahui jika yang dimaksud 

kitab oleh Daeng Upas adalah Kitab Serat Biru. Bukan 

kitab bersampul kuning yang baru saja didapatnya 

dari tempat dalam tanah. Karena Daeng Upas sendiri 

tidak mengetahui adanya tempat di bawah batu 

tempatnya kini berpijak. 

Karena dilihatnya si pemuda tidak buka mulut atau 

memberikan apa yang diminta, Daeng Upas kembali 

buka mulut membentak. Kini tangan kanannya ber-

gerak terulur ke depan dengan sikap meminta. 

"Aku ulangi satu kali lagi! Berikan kitab itu 

padaku!" 

Untuk menutupi rasa terkejutnya, murid Pendeta 

Sinting tertawa panjang sebelum akhirnya berkata. 

"Kau minta pada orang yang salah, Nenek Cantik! Aku 

tidak memiliki kitab yang kau minta!" 

Daeng Upas menyeringai mendengar ucapan 

Pendekar 131. "Dengar, Anak Muda! Aku Daeng Upas 

sebenarnya adalah orang yang paling berhak atas 

kitab itu, karena...." 

"Nenek cantik!" potong murid Pendeta Sinting. 

"Percuma kau cerita panjang lebar. Aku tidak tahu 

segala macam kitab! Sebaiknya hal itu kau tanyakan 

pada sobatmu Dewa Orok itu. Mungkin dia tahu!" 

Dewa Orok yang sedari tadi diam mendengarkan 

buka mulut. "Percuma kau bertanya padaku, Nenek


Cantik! Aku lebih tidak mengetahui urusan kitab-

kitaban!" 

"Hem.... Dari ucapannya, jelas jika Dewa Orok pun 

tak ingin orang lain tahu urusannya. Tadi dia bilang 

minta juga padaku, sekarang mungkir! Kedua orang 

ini punya tujuan sama tapi sepertinya selama ini 

saling mereka sembunyikan!" duga Joko begitu 

mendengar ucapan Dewa Orok. 

"Aku tak perlu bertanya pada orang lain! Aku tahu 

kitab itu ada padamu! Lekas serahkan padaku!" 

sentak Daeng Upas sambil melangkah lagi satu 

tindak, tangan kanannya tetap membuat gerakan 

meminta, sementara tangan kirinya diangkat ke atas 

siap hendak lepaskan satu pukulan. 

"Nenek! Harap menahan diri. Aku juga masih butuh 

keterangan darinya!" ucap Dewa Orok menahan 

gerakan Daeng Upas. 

Daeng Upas tegak tanpa berpaling pada Dewa 

Orok dengan dahi mengernyit. "Jangan-jangan 

pemuda bertangan buntung ini juga menginginkan 

kitab itu!" 

"Dewa Orok! Jika kita sama-sama memerlukan, 

kita selesaikan pemuda ini! Lalu kita berbagi!" kata 

Daeng Upas. Daeng Upas rupanya sadar jika Dewa 

Orok bukanlah orang yang bisa dianggap sepele. 

Terbukti sewaktu bentrokan tempo hari meski tidak 

berada di bawahnya, tapi dia dapat mengukur sampai 

di mana ilmu yang dimiliki Dewa Orok. Dia juga 

maklum jika pemuda di hadapannya bukanlah orang 

sembarangan. Ini dia lihat ketika Pendekar 131 

hendak coba memasuki Istana Hantu pada beberapa 

waktu yang lalu. 

Mendengar ucapan Daeng Upas, Dewa Orok ter-

tawa pelan. "Sayang, Nenek Cantik! Dalam hal satu


ini, aku tidak akan berbagi meski dengan hantu sekali 

pun! Benda itu adalah milik nenek moyangku, aku 

bisa kuwalat jika dibagi-bagi!" 

"Jika begitu, terpaksa aku melupakan budi baik-

mu!" sahut Daeng Upas yang mengira benda 

dimaksud Dewa Orok adalah Kitab Serat Biru. 

Dewa Orok memperkeras suara tawanya. "Sudah 

kukatakan padamu tempo hari, aku tidak berniat 

menolongmu. Yang, kulakukan adalah mencegah 

orang bertindak sesuka hatinya pada orang yang 

sudah tak berdaya!" 

"Hem.... Tadi dia bilang tak tahu menahu kitab-

kitaban, nyatanya lalu mengaku kitab itu milik nenek 

moyangnya! Makanya waktu itu dia menolong 

pemuda ini. Tak tahunya...." 

Daeng Upas cepat balikkan tubuh menghadap 

Dewa Orok. "Dewa Orok! Walaupun kau pernah 

menyelamatkan nyawaku, saat ini aku tak segan 

untuk berganti cabut nyawamu! Ketahuilah jika aku 

telah menghabiskan tenaga dan waktu bertahun-

tahun untuk mendapatkan kitab itu!" 

"Nenek cantik! Terserah berapa tahun kau habis-

kan waktu. Aku tak mau tahu urusan kitab. Yang 

penting benda milik nenek moyangku harus ku-

dapatkan kembali! Itu adalah tugasku!" 

"Hai.... Nampaknya pemuda itu memang tidak tahu 

menahu tentang kitab. Ada sesuatu lain yang 

dimaksud! Dari tadi dia menyebut benda. Benda apa? 

Mengapa minta padaku...?!" kata murid Pendeta 

Sinting dalam hati begitu menyimak ucapan Dewa 

Orok. Namun belum sampai dia buka mulut bicara, 

Daeng Upas telah membentak. 

"Jika demikian, kau pun harus mampus di 

tanganku juga!"


"Sebenarnya aku tak suka urusan diakhiri dengan 

mampus-mampusan! Tapi jika itu sudah kau 

kehendaki, aku pun ikut saja! Ha.... Ha.... Ha...! 

Daripada hidup sengsara tak punya tangan, memang 

lebih baik mati.... Ha.... Ha.... Ha...!" 

"Aku harus cepat menyingkir dari tempat ini. Aku 

harus meneliti kitab ini!" bisik Joko seraya edarkan 

pandangannya. Sementara di hadapannya, Daeng 

Upas sudah angkat kedua tangannya siap meng-

hantam Dewa Orok. 

"Tahan!" seru Dewa Orok. "Kau betul-betul hendak 

membunuhku?!" 

"Kau perintang tujuanku! Terpaksa kau harus 

kubuat tewas terlebih dahulu!" bentak Daeng Upas. 

Suaranya belum selesai, kedua tangannya telah 

berkelebat menghantam ke arah kepala Dewa Orok! 

Daeng Upas langsung menghantam dengan 

pengerahan tenaga dalam tinggi karena dia maklum, 

seperti apa yang didengarnya dari Tengkorak 

Berdarah beberapa waktu lalu, Tengkorak Berdarah 

sebut Dewa Orok sebagai tokoh tua. Dari sini Daeng 

Upas sudah dapat menduga, meski tampak wajahnya 

masih muda, namun sebenarnya dia adalah tokoh 

yang usianya telah melebihi dirinya. 

Mendapati dirinya dihantam, Dewa Orok tidak 

tinggal diam. Kedua tumitnya yang berjingkat 

disentakkan ke bawah. Sosoknya tiba-tiba melejit ke 

udara. Kedua kakinya segera bergerak mengembang. 

Bukkk! Bukkk! 

Dua tangan beradu keras dengan sepasang kaki. 

Daeng Upas tampak surutkan langkah satu tindak 

dengan wajah berubah. Kedua tangannya bengkak 

merah. Di depannya, Dewa Orok kembali tegak di atas 

batu dengan meringis kesakitan. Saat itulah kedua


orang ini mendengar suara berkecipaknya air. 

Serentak kepala keduanya berpaling. Mereka berdua 

melihat sosok murid Pendeta Sinting berenang 

dengan punggung di bawah dan perut di atas. 

"Jahanam! Dia hendak meloloskan diri!" rutuk 

Daeng Upas. Perempuan ini laksana terbang hendak 

melompat terjun dalam sungai mengejar. Namun tiba-

tiba Dewa Orok melompat dan tegak menghadang 

gerak Daeng Upas. 

Daeng Upas menggeram marah. "Kau benar-benar 

minta mampus!" 

Kedua tangan dan kaki kanan Daeng Upas 

serentak bergerak lepaskan pukulan! 

Dewa Orok cepat bergerak ke samping. Dari arah 

samping dia membuat gerakan menjungkir. Lalu 

kedua kakinya yang kini berada di atas disentakkan 

memangkas pukulan Daeng Upas. 

Bukkk! Bukkk! Bukkk! 

Daeng Upas berseru tertahan. Sosoknya terhuyung 

ke samping batu. Karena tidak ada pegangan, 

akhirnya tubuh perempuan ini melorot jatuh ke dalam 

sungai. Dewa Orok sendiri tampak tersapu. Karena 

dirinya juga berada tak jauh dari bibir batu, maka tak 

ampun lagi sosoknya juga tercebur dalam sungai! 

Mungkin tak mau buruannya lolos, Daeng Upas 

tidak menghiraukan Dewa Orok. Dengan menindih 

rasa sakit pada kedua tangannya yang baru saja 

bentrok dengan kaki Dewa Orok, perempuan ini 

segera berenang ke seberang. Kejap lain sosoknya 

telah tegak di atas tanah di seberang. Sesaat kepala 

Daeng Upas berputar. Dia terdengar memaki panjang 

pendek karena murid Pendeta Sinting sudah tidak 

kelihatan lagi! 

Daeng Upas melirik ke sungai. Dewa Orok tampak


masih mengapung di atas air. Tanpa berkata lagi, ibu 

Dewi Siluman ini berkelebat tinggalkan tempat itu. 

Begitu Daeng Upas berlalu, Dewa Orok kuncupkan 

mulut menyedot. Bundaran karet yang masih 

mengapung di atas batu besar bergerak melesat ke 

bawah kemudian masuk ke dalam mulutnya. 

"Aku akan buktikan dahulu ucapan pemuda tadi! 

Kalau dia berkata dusta padaku dan membawa 

mahkota itu, ke mana pun dia akan kukejar!" gumam 

Dewa Orok. 

Pemuda bertangan buntung ini sejenak edarkan 

pandangannya ke atas. Yakin Daeng Upas benar-

benar telah berlalu, dia segera melesat lalu masuk ke 

dalam lobang yang ada di bagian batu besar yang 

memisahkan aliran sungai.



EMPAT


DAENG Upas yang tak mau kehilangan murid Pendeta 

Sinting yang diyakininya membawa Kitab Serat Biru 

laksana terbang lipat gandakan ilmu peringan 

tubuhnya. Sosoknya melesat cepat ke arah barat. 

Namun pada satu tempat, mendadak sontak 

perempuan yang meski usianya telah lanjut tapi 

masih tampak cantik ini hentikan larinya. Me-

mandang ke samping kiri dia melihat satu sosok 

duduk bersila. Daeng Upas tidak dapat mengenali 

wajah orang karena orang ini duduk membelakangi! 

Tadi dari pancaran sinar mata si nenek, kelihatan jika 

dirinya dapat menduga siapa adanya orang. Terbukti 

begitu sekilas memperhatikan, Daeng Upas mem-

batin. 

"Sosok dan pakaiannya dapat kukenali! Jahanam 

inilah salah satu yang harus kulenyapkan dari muka 

bumi! Dia biang kerok penyebab jatuhnya Kitab Serat 

Biru ke tangan orang lain! Hem.... Dicari sukar, kini 

tak dicari bertemu!" 

Daeng Upas beliakkan sepasang matanya 

pandangi punggung orang yang ternyata adalah 

seseorang bertubuh besar gemuk mengenakan 

pakaian gombrong warna hijau yang di pinggangnya 

melingkar satu ikat pinggang besar. Rambutnya putih 

disanggul ke atas. 

"Hem.... Tiba saatnya aku pergunakan bambu ini! 

Racun di dalamnya memang sengaja kuperuntukkan 

bagi dia dan gerombolannya!" gumam Daeng Upas 

sambil usap-usap bambu berwarna kuning yang


menyelip di atas telinga kanannya. Selama ini bambu 

itu memang tidak digunakan oleh si nenek. 

Habis bergumam begitu, Daeng Upas melesat ke 

samping kiri. Saat lain sosoknya telah tegak di 

hadapan orang yang duduk bersila. Sepasang mata 

Daeng Upas melotot memperhatikan wajah orang. 

Orang yang duduk gerakkan kepala mendongak. 

Ternyata orang ini sepasang matanya hanya kelihatan 

putih pertanda jika dirinya buta. Pada pangkal ikat 

pinggangnya di sebelah depan tampak sebuah cermin 

bulat. 

"Sayang aku tidak bisa melihat...," ucap orang yang 

duduk bersila dan tidak lain adalah Gendeng 

Panuntun adanya. "Tapi aku tahu ada seorang 

sahabat di depanku. Harap sudi sebutkan siapa, laki 

atau perempuan. Kalau perempuan cantik apa...." 

Ucapan Gendeng Panuntun belum habis telah 

dipotong oleh Daeng Upas. 

"Aku bukan sahabatmu! Aku malaikat maut yang 

berhak atas nyawamu!" 

Ucapan Daeng Upas bukan membuat Gendeng 

Panuntun tersentak kaget. Sebaliknya dia tertawa 

bergelak sambil usap-usap cerminnya. Lalu berucap. 

"Kenapa nasibku buruk begini? Kukira di tempat 

sunyi begini bisa bertemu gadis cantik, tak tahunya 

bertemu malaikat cantik yang hendak mengambil 

satu-satunya nyawaku. Ada urusan apa sebenarnya 

hingga kau menginginkan nyawaku...? Adakah 

nyawaku bisa dijual dan berharga mahal?" 

Daeng Upas menyeringai. Lalu membentak garang. 

"Justru karena nyawamu tidak ada harganya aku akan 

mencabutnya!" 

"Nenek cantik! Mau katakan kenapa kau bernafsu 

sekali pada nyawaku yang tak berharga ini?!"


Meski sejenak Daeng Upas tampak terkejut 

mendapati Gendeng Panuntun tahu dirinya seorang 

nenek, tapi saat lain dia telah berkata dengan suara 

keras. 

"Gendeng Panuntun! Aku ingin kematianmu ber-

iring dengan penasaran!" 

Habis membentak begitu, Daeng Upas cepat me-

lompat ke depan. Kakinya lepaskan satu tendangan. 

Perempuan ini sengaja lepaskan tendangan dari jarak 

empat langkah. Hebatnya meski tendangan itu tidak 

langsung mengenai sasaran sosok Gendeng 

Panuntun, namun tenaga yang melesat dari 

tendangan itu laksana kaki perempuan ini benar-

benar menghantam sasaran! 

Gendeng Panuntun gelengkan kepala. Tangan 

kanannya menyentak tanah di sampingnya. Sosoknya 

bergerak ke samping dengan cepat. Hingga 

tendangan jarak jauh Daeng Upas melabrak tempat 

kosong. 

Daeng Upas kernyitkan dahi. "Hem.... Apa yang 

kudengar selama ini ternyata benar. Manusia buta ini 

telah menjadi tokoh yang bukan saja aneh, tapi juga 

memiliki kepandaian tinggi! Menyesal aku mengapa 

tidak sedari dulu dia dan gerombolannya kulenyap-

kan!" 

Seperti diketahui, sebenarnya Daeng Upas adalah 

masih saudara seperguruan Gendeng Panuntun. 

Malah Daeng Upas murid pertama guru Gendeng 

Panuntun dan saudara-saudaranya yakni Iblis 

Ompong, Ratu Malam, Dewa Sukma, dan Dewi Es. 

Namun karena Daeng Upas bertindak menyalahi 

aturan malah akhirnya mengandung dengan Datuk 

Besar yang akhirnya melahirkan Dewi Siluman, Daeng 

Upas harus meninggalkan perguruan. Daeng Upas


pergi dengan membawa kecewa dan dendam. 

Kecewa karena selama ini dia tahu jika gurunya 

menyimpan satu rahasia besar dan belum berhasil 

dia peroleh. Dendam karena dia menduga justru 

Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya yang 

menceritakan tingkah lakunya pada guru mereka 

hingga dirinya terusir dari perguruan. Perasaan 

dendam Daeng Upas semakin berkobar setelah pada 

beberapa tahun kemudian dia mengetahui jika 

rahasia yang dulu diimpikannya jatuh ke tangan 

Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya. 

"Nenek!" kata Gendeng Panuntun. "Harap tidak 

perturutkan perasaan. Bagaimanapun juga kita masih 

saudara! Bukankah lebih baik kita sambung lagi 

putusnya tali persaudaraan ini? Waktu itu mungkin 

kau terbawa perasaan hingga menganggapku...." 

"Gendeng Panuntun! Urusan lama telah kukubur 

dalam-dalam! Di antara kita tidak ada ikatan apa-apa! 

Kau adalah musuhku. Aku adalah lawanmu!" 

Gendeng Panuntun geleng-gelengkan kepalanya. 

"Sekali saudara, apa dan bagaimanapun bagiku tetap 

saudara!" 

Daeng Upas tertawa bergelak. "Dendamku sudah 

berkarat, Gendeng Panuntun! Tak ada yang bisa 

meredamnya selain lenyapnya nyawamu dan nyawa 

gerombolanmu!" 

"Kau masih larut oleh perasaanmu. Padahal 

bukankah pangkal sebabnya hanya karena urusan 

rahasia kitab itu? Kau harus sadar, meski rahasia itu 

diberikan padaku serta saudara-saudaraku, aku dan 

mereka pun tidak berhak atas kitab itu! Kami hanya-

lah sebagai perantara! Sementara orang yang berhak 

atas kitab itu telah ditentukan! Kita semua tidak ada 

yang mendapatkan kitab itu!"


"Aku sudah tahu! Aku pun tahu siapa orang yang 

telah mendapatkan kitab itu! Malah sebentar lagi 

kitab itu akan berpindah ke tanganku! Tapi jika saat 

itu kau dan gerombolanmu tidak bicara macam-

macam, tidak sampai aku harus menunggu berpuluh 

tahun lamanya!" 

"Di antara kita tidak ada yang ditentukan untuk 

memiliki kitab itu. Jadi kurasa percuma kau meng-

habiskan waktu memburunya! Justru yang akan kau 

dapatkan adalah bertambahnya rasa kecewa...." 

"Ramalan sialan! Siapa percaya pada ucapan 

orang buta sepertimu, hah?!" 

"Aku tidak meramal. Hal itu kini telah jadi kenyata-

an! Apakah kau akan mengingkari kenyataan?" 

"Kenyataan goblok! Dengar, Gendeng Panuntun! 

Apa pun bunyi ucapanmu, jangan berharap aku 

berubah niat! Dendamku tak bisa diputus oleh apa 

dan siapa pun!" 

"Itu hanya akan mendatangkan malapetaka bagi-

mu. Kau akan terlindas oleh dendammu sendiri..." 

Daeng Upas tertawa panjang mendengar kata-kata 

Gendeng Panuntun. Puas tertawa, perempuan itu 

berujar. "Mati dalam dendam lebih baik bagiku 

daripada hidup memendam dendam dan tak ber-

usaha melampiaskannya!" 

Habis berkata begitu, Daeng Upas angkat kedua 

tangannya. Di hadapannya, Gendeng Panuntun ber-

gerak bangkit. Kakek ini usap-usap cermin bulatnya 

lalu berkata. 

"Sepertinya kau tadi sedang mengejar sesuatu. 

Hem.... Kukira apa yang tengah kau kejar lebih 

penting daripada urusan di sini. Karena di sana kau 

akan buktikan apakah rasa dendammu sudah pada 

tempatnya atau tidak! Nah, aku harus pergi...."


Gendeng Panuntun putar dirinya setengah 

lingkaran. Lalu melangkah tinggalkan tempat itu. 

"Manusia buta ini tampaknya mengerti jika aku 

sedang mengejar pemuda yang mendapatkan Kitab 

Serat Biru itu.... Tapi dia tak akan kulepas begitu saja. 

Mencari orang macam dia susahnya setengah mati! 

Sekali ada kesempatan, aku tidak akan membiar-

kannya!" membatin Daeng Upas. Lalu berteriak. 

"Gendeng Panuntun! Yang kukejar memang satu 

hal amat penting. Namun saat ini nyawamu lebih 

penting!" 

"Kau tidak akan tambah kecewa jika buruan yang 

telah bertahun-tahun kau impikan lepas begitu saja? 

Soal dendammu padaku sebaiknya kau tunda 

dahulu.... Siapa tahu nantinya kau maklum jika takdir 

telah menentukan lain dengan apa yang kau cita-

citakan." 

"Kau tak usah banyak bicara! Aku tahu apa yang 

harus kulakukan!" bentak Daeng Upas. Baru saja 

ucapannya habis, kedua tangannya telah bergerak 

lepaskan satu pukulan bertenaga dalam kuat. Hingga 

saat itu juga satu gelombang dahsyat menderu ke 

arah Gendeng Panuntun! 

Gendeng Panuntun hadapkan kembali tubuhnya 

ke arah Daeng Upas. Bersamaan itu tangan kanannya 

mengusap cermin bulat pada depan perutnya. Ketika 

tangannya ditarik, tampaklah satu cahaya putih 

berkerlap. 

Bussss! 

Gelombang angin yang dilepas Daeng Upas 

ambyar bertabur di udara. Sosok Daeng Upas tersurut 

tiga langkah dengan wajah berubah pucat pasi. 

Tubuhnya bergetar keras. Di seberang depan, sosok 

Gendeng Panuntun terlihat bergoyang-goyang.


Pakaian hijau gombrong yang dikenakan berkibar-

kibar. Orang ini sesaat tampak geleng-geleng kepala. 

Lalu tanpa berkata-kata lagi ia teruskan langkah. 

Meski mulai sadar jika sulit menundukkan 

Gendeng Panuntun, namun karena dendam telah 

merasuki dadanya perempuan ibu Durga Ratih alias 

Dewi Siluman ini melupakan kekuatannya sendiri. Dia 

segera kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki. 

Namun mendadak, dia urungkan niat lepaskan 

pukulan. Sebaliknya tangan kanannya menyahut 

bambu yang menyelip di atas telinganya. 

Sesaat Daeng Upas tegak dengan mata 

memandang sosok Gendeng Panuntun yang terus 

melangkah pelan. Kejap lain sosok perempuan ini 

melesat ke depan. Bambu berwarna kuning cepat 

diletakkan di mulut. Sambil melayang di udara, Daeng 

Upas kembungkan mulut hendak meniup bambu. 

Namun sebelum benar-benar meniup, terdengar 

satu deruan keras. Saat lain satu gelombang angin 

dahsyat melabrak ganas ke arah sosok Daeng Upas 

yang masih melayang di udara. 

Daeng Upas menjerit kaget dan marah sekali. 

Terpaksa dia selipkan kembali bambu ke atas 

telinganya. Kedua tangannya segera bergerak 

memukul ke arah datangnya gelombang serangan. 

Terdengar letupan keras. Tanah lima langkah di 

hadapan Daeng Upas muncrat ke udara tersapu 

bentroknya pukulan Daeng Upas dengan gelombang 

angin yang tiba-tiba menghadang gerak si nenek. 

"Keparat! Siapa berani gila ikut campur?!" teriak 

Daeng Upas begitu mendarat di atas tanah sambil 

putar kepala ke samping kiri. Tangan kiri kanannya 

masih di atas kepala dan siap hendak lepaskan 

pukulan.


Namun mendadak sosok Daeng Upas bergetar. 

Kakinya mundur satu tindak. Matanya mendelik 

dengan mulut terkancing rapat. Sementara agak jauh 

di depan sana Gendeng Panuntun hanya berhenti 

sebentar tanpa balikkan tubuh. Kejap lain kakek 

bermata buta ini tenang saja teruskan langkah. Tapi 

satu suara tawa panjang mendadak menggema di 

seantero tempat itu, membuat Gendeng Panuntun 

kembali harus hentikan langkah. 

***


LIMA


LAKSANA diputus setan, serta-merta suara tawa 

panjang lenyap. Saat lain terdengar suara. "Gendeng 

Panuntun! Jangan berani melangkah! Tunggu di situ 

sampai tiba giliranmu!" 

Gendeng Panuntun tidak menyahut ucapan orang. 

Dia hanya putar diri lalu tengadah dengan usap-usap 

cerminnya. Sementara Daeng Upas terus perhatikan 

ke depan. Pada orang yang tadi menahan gerakannya 

dan baru saja berkata. 

Di situ tegak satu sosok tubuh yang tak bisa 

dikenali. Sosok orang ini dibungkus dengan jubah 

panjang terusan berwarna abu-abu yang menutupi si 

pemakai dari ujung rambut sampai kaki. Pada bagian 

dada jubah terlihat sebuah gambar tengkorak. 

"Tengkorak Berdarah!" desis Daeng Upas pelan 

melihat siapa adanya orang yang mengenakan jubah 

abu-abu terusan. Perempuan ini tampak khawatir dan 

gelisah. Namun diam-diam dia lipat gandakan tenaga 

dalam pada kedua tangannya yang masih di atas 

kepalanya. 

"Orang ini pasti hendak teruskan urusan yang 

tertunda tempo hari!" kata Daeng Upas dalam hati. 

Parasnya sedikit berubah. Dia teringat bagaimana 

saat itu dia hampir saja tak tertolong nyawanya jika 

tidak muncul Dewa Orok serta berkelebatnya orang 

aneh yang saling bergendongan dari pelataran Istana 

Hantu. Tapi bayangan rasa cemas di raut wajah 

Daeng Upas hanya sekejap. Saat lain parasnya merah 

mengelam. Dadanya bergerak turun naik pertanda


kian menahan gejolak amarah. 

"Jahanam inilah yang memutus hubunganku 

dengan Datuk Besar! Aku telah bersumpah untuk 

membalas kematian Datuk Besar! Peduli setan dia 

berkepandaian tinggi!" 

"Daeng Upas!", tiba-tiba orang berjubah abu-abu 

dan tidak lain memang orang yang selama ini mem-

perkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah per-

dengarkan suara. "Tempo hari nyawamu selamat, tapi 

tidak hari ini!" 

"Orang ini mengenal Gendeng Panuntun juga 

diriku. Siapa dia sebenarnya?" membatin Daeng Upas 

dengan mata memandang tajam seakan ingin 

menembus jubah penutup Tengkorak Berdarah dan 

mengetahui raut wajah di baliknya. 

Tiba-tiba terdengar suara bergelak. Baik Daeng 

Upas dan Tengkorak Berdarah segera gerakkan 

kepala masing-masing berpaling. Di sebelah depan 

sana terlihat Gendeng Panuntun usap-usap cermin-

nya seraya terpingkal-pingkal. Begitu tawanya ber-

henti, kakek bermata buta ini berujar. 

"Maksud tujuan kadang-kadang membawa orang 

bertindak aneh-aneh. Sampai-sampai harus merubah 

suara segala! Padahal kepalsuan akan menambah 

suasana jadi makin tak karuan...." 

Kalau Daeng Upas tidak merasa terkejut dengan 

ucapan Gendeng Panuntun karena tidak tahu 

maksudnya, tidak demikian halnya dengan Tengkorak 

Berdarah. Kepala di balik jubah abu-abu orang ini 

sejenak tampak bergerak tengadah. 

"Bangsat buta itu tampaknya tahu suara palsuku! 

Keparat betul!" maki orang berjubah abu-abu dalam 

hati. Seperti diketahui, selama ini orang yang 

menyebutkan diri sebagai Tengkorak Berdarah ini


selalu perdengarkan suara seorang laki-laki. 

"Dengar kalian berdua!" tiba-tiba Tengkorak 

Berdarah membentak garang. "Kematian sudah pasti 

akan menjadi bagian kalian berdua. Tapi hal itu bisa 

kalian tebus jika kalian berdua bisa jawab per-

tanyaanku! Tapi ingatl Jika jawaban kalian dusta, aku 

tak segan membuat kalian mampus dua kali! Kalian 

dengar?!" 

Daeng Upas kernyitkan kening. Dia heran mengapa 

dirinya dihubungkan dengan Gendeng Panuntun 

dalam urusannya. Di lain pihak, Gendeng Panuntun 

terlihat dongakkan kepala lalu berkata. 

"Walah.... Belum habis orang inginkan nyawaku 

sekarang ada orang inginkan kematianku! Tapi 

kurasa kematianku akan tertunda, karena tentu kau 

tidak akan segera membunuhku sebelum mendapat 

jawaban dariku...." 

Tengkorak Berdarah perdengarkan tawa panjang 

mendengar ucapan Gendeng Panuntun. "Dugaanmu 

kali ini meleset, Orang Buta! Begitu kau dan 

perempuan itu tak menjawab pertanyaanku, maka 

kematian akan menjadi hakmu! Aku tidak akan 

menunda!" 

"Ooo.... Begitu? Coba katakan apa pertanyaan yang 

menjadi gantungan nyawaku itu?" 

Tengkorak Berdarah melangkah. Begitu sampai 

tempat di antara Gendeng Panuntun dan Daeng 

Upas, orang berjubah abu-abu ini berkata. 

"Aku ingin tahu, di mana guru kalian berada saat 

ini?!" 

Daeng Upas tersentak kaget. "Orang ini tahu 

banyak tentang diriku. Sampai tahu jika aku dan 

Gendeng Panuntun pernah berguru pada satu orang! 

Hem.... Biar manusia buta itu yang memberi jawaban,


selain aku tidak mengetahui dimana beradanya orang 

yang ditanyakan, aku juga sudah memutuskan 

pertalian murid dan guru! Bahkan Guru adalah salah 

satu orang yang harus kulenyapkan!" 

"Kalian tidak tuli! Lekas bicara jawab per-

tanyaanku!" bentak Tengkorak Berdarah begitu belum 

juga di antara Gendeng Panuntun atau Daeng Upas 

yang buka mulut memberi jawaban. 

Gendeng Panuntun usap-usap cermin bulatnya. 

Lalu berujar dengan tersenyum. "Guruku seorang laki-

laki. Dan kau...." Gendeng Panuntun sengaja putus-

kan ucapannya. Lalu melanjutkan. "Jangan-jangan di 

antara kau dan guruku punya hubungan tertentu. 

Betul...?!" 

"Aku butuh jawaban! Bukan dugaan gilamu! Lekas 

jawab di mana guru kalian Panjer Wengi berada!" 

sahut Tengkorak Berdarah dengan suara makin keras 

dan bergetar. 

"Hem.... Coba kau tanya dulu Nenek Cantik itu! 

Barangkali dia tahu...," ucap Gendeng Panuntun 

sambil telengkan kepala ke arah Daeng Upas. 

Daeng Upas menyeringai. "Kau tidak akan men-

dapat jawaban apa-apa dariku! Aku telah me-

mutuskan hubungan murid dan guru dengan manusia 

bernama Panjer Wengi! Justru saat ini dia adalah 

salah seorang yang kucari!" 

"Hem....." Tengkorak Berdarah bergumam. 

"Sekarang apa jawabmu, Orang Buta?!" 

Gendeng Panuntun menggeleng. "Sebenarnya 

berat sekali aku mengatakannya. Tapi apa hendak di-

kata aku harus berterus terang. Sudah beberapa 

puluh tahun aku tak lagi jumpa dengannya. Jadi 

jangan tanya di mana dia berada...." 

Tengkorak Berdarah menggereng. "Gendeng


Panuntun! Selama ini kudengar kau pandai menduga 

orang! Adalah mustahil jika kau sampai tidak dapat 

menduga di mana gurumu berada!" 

Gendeng Panuntun tertawa pelan. "Manusia 

kadang lupa jika hanya kemampuan Yang Maha 

Tinggi yang tidak ada batasnya. Sementara sedikit 

yang kumiliki begitu terbatas sekali. Terbukti aku 

tidak bisa menduga di mana guruku sendiri berada!" 

"Berarti kalian berdua tidak bisa terhindar dari 

lobang kematian!" kata Tengkorak Berdarah. 

"Jangan sangkut pautkan aku dengan orang yang 

kau cari! Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa! 

Orang buta itulah yang seharusnya bertanggung 

jawab!" ucap Daeng Upas coba melepaskan diri. Ibu 

Dewi Siluman ini rupanya maklum jika dirinya 

mungkin tidak akan mampu menghindar dari 

kematian kalau Tengkorak Berdarah benar-benar 

melakukan ancamannya. Namun di lain pihak, dia 

sendiri sudah punya tekad mengadu jiwa mengingat 

Tengkorak Berdarah inilah yang membunuh bekas 

kekasihnya yakni Datuk Besar. 

"Daeng Upas! Peduli setan kau punya hubungan 

apa tidak! Yang jelas kau tidak dapat menjawab 

tanyaku! Jangan coba mengalihkan tanggung jawab!" 

"Tak ada gunanya aku mengalihkan tanggung 

jawab! Antara kau dan aku memang ada hutang 

nyawa yang harus dibayar!" jawab Daeng Upas pada 

akhirnya. 

"Bagus! Kekasihmu memang telah lama menanti di 

liang kubur!" sahut Tengkorak Berdarah sambil 

tertawa pendek. Yang dimaksud orang berjubah ini 

bukan lain adalah Datuk Besar, kekasih Daeng Upas 

yang telah terbunuh. 

Ucapan Tengkorak Berdarah makin membuat rasa


gelisah Daeng Upas menjadi pupus. Rasa cemas dan 

khawatir karena dia pernah hampir terbunuh di 

tangan Tengkorak Berdarah berubah menjadi tekad 

berkobar untuk mengadu jiwa. Begitu Tengkorak 

Berdarah selesai berkata, Daeng Upas menyahut. 

Suaranya lantang. 

"Kau terlalu tinggi bicara. Kita buktikan siapa di 

antara kita yang masih berhak melihat matahari esok 

hari!" 

Suaranya belum selesai, Daeng Upas telah 

melompat ke samping. Belum sampai sepasang 

kakinya menginjak tanah, kedua tangannya telah 

bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh! 

Wuuttt! Wuuttt! 

Dua gelombang angin luar biasa dahsyat melabrak 

ganas ke arah Tengkorak Berdarah. Bukan hanya 

sampai di situ, begitu gelombang angin melesat, 

Daeng Upas teruskan lompatannya. Kaki kiri kanan-

nya diangkat lalu lepaskan tendangan dari jarak tiga 

langkah! 

Mendapati serangan beruntun, Tengkorak 

Berdarah tampak terkesiap juga. Kepala di balik 

jubah abu-abunya tampak tertarik sedikit ke 

belakang. Namun di saat lain kedua tangannya 

terangkat lalu menyentak ke depan. 

Bummm! Bummm! 

Dua letusan keras mengguncang tempat itu. 

Empat gelombang angin yang masing-masing mem-

bawa hawa maut bertabur ambyar di udara. 

Sosok Daeng Upas sudah terpental sebelum 

kakinya menginjak tanah setelah lepaskan tendangan 

jarak jauh menyusuli hantaman kedua tangannya. 

Perempuan ini gulingkan diri di tanah. Pada satu 

kesempatan dia berseru keras lalu seketika bergerak


bangkit. Sosoknya sesaat tergontai-gontai. Paras 

wajahnya laksana tidak berdarah. Kedua tangannya 

bergetar keras. Dadanya bergerak cepat turun naik 

dengan mulut megap-megap. 

Di seberang lain, begitu terdengar letusan sosok 

Tengkorak Berdarah hanya terseret lima langkah dan 

terhuyung-huyung. Saat lain orang ini telah tegak 

kembali dengan kepala lurus ke arah Daeng Upas. 

Namun begitu tegak dan belum sempat melihat apa 

yang terjadi menimpa Daeng Upas, satu tenaga 

laksana sebuah tendangan telah menggebrak ke 

arahnya! 

Tengkorak Berdarah menggeram marah. Namun 

sudah terlambat baginya untuk membuat gerakan 

menangkis. Hingga tak ampun lagi sosoknya tersapu 

satu tombak ke belakang. Untung orang ini masih 

dapat imbangi diri hingga meski sesaat sosoknya 

hampir terjerembab dia sentakkan tangan kanannya 

ke atas tanah. Tubuhnya melenting satu tombak ke 

udara, lalu melayang turun dan tegak dengan kaki 

terpacak di atas tanah. Walau demikian, sosoknya 

terlihat bergetar dan kedua tangannya segera meraba 

dadanya yang terasa sesak dan berdenyut sakit 

akibat terhantam tendangan yang dilepas dari jarak 

jauh oleh Daeng Upas. Seperti diketahui. Daeng Upas 

memiliki ilmu yang bisa melepas tendangan dan 

jotosan dari jarak jauh. 

Melihat tendangan yang dilepas menghantam 

sasaran, keberanian Daeng Upas makin bertambah. 

Hingga begitu Tengkorak Berdarah menginjak tanah, 

perempuan ini kembali melesat ke depan. Bambu 

kecil di atas telinga kanannya dicabut lalu ditiup. 

Bersamaan itu kedua kakinya kembali bergerak kirim-

kan tendangan!


Busss! 

Dari bambu berwarna kuning di mulut Daeng Upas 

melesat asap hitam. Cepat luar biasa asap hitam itu 

kini telah setengah depa di depan Tengkorak 

Berdarah. Sesaat Tengkorak Berdarah tampak 

terkejut dan mundur satu langkah. Saat itulah 

tendangan jarak jauh Daeng Upas sampai. 

Tengkorak Berdarah mendengus keras. Dia belum 

tahu apa kehebatan asap hitam dari bambu, meski 

dia sadar jika asap hitam itu tentu mengandung 

bahaya. Tapi kalau dia menghantam asap hitam 

bukan tak mungkin tendangan jarak jauh si nenek 

pasti untuk kedua kalinya akan menghantam 

tubuhnya. Dia tampaknya tidak mau terpental kedua 

kali. Hingga tanpa pikir panjang lagi kedua tangannya 

segera menyentak ke depan menangkis tendangan 

Daeng Upas. 

Wuutt! Wuutt! 

Tendangan jarak jauh Daeng Upas sirna tersapu 

gelombang angin yang melesat dari kedua tangan 

Tengkorak Berdarah. Malah bersamaan dengan itu, 

sosok Daeng Upas terlihat ikut juga tersapu dan 

mental sebelum akhirnya jatuh terduduk! 

Saat Tengkorak Berdarah sentakkan kedua tangan 

memangkas tendangan jarak jauh Daeng Upas, asap 

hitam terus melesat dan tiba-tiba berputar-putar di 

depan kepala Tengkorak Berdarah. 

Mendadak Tengkorak Berdarah perdengarkan 

batuk beberapa kali. Orang ini rasakan jalan per-

napasannya tersumbat. Kepalanya terasa berputar-

putar pening. Kejap lain sosoknya tampak mundur 

terhuyung-huyung. 

Maklum akan apa yang terjadi pada dirinya, 

Tengkorak Berdarah cepat sumbat jalan per


napasannya dan kerahkan tenaga murni. 

Melihat sosok Tengkorak Berdarah terhuyung, 

Daeng Upas menindih rasa sakit pada sekujar 

tubuhnya karena tersapu pukulan lawan. Dia segera 

bangkit lalu didahului bentakan keras, perempuan ini 

laksana terbang melesat ke arah lawan yang 

diduganya telah menghirup racun dari bambu 

miliknya. 

Mungkin percaya akan kehebatan asap racun 

dalam bambunya, Daeng Upas kali ini tiada lagi 

lepaskan tendangan atau jotosan dari jarak jauh. 

Sebaliknya dia terus melesat mendekat. Kedua 

tangannya di atas bahu siap lepaskan pukulan 

mematikan ke arah kepala Tengkorak Berdarah. 

Sejengkal lagi kedua tangan Daeng Upas membuat 

hancur kepala Tengkorak Berdarah, di luar dugaan si 

nenek, mendadak Tengkorak Berdarah yang di-

duganya tak mungkin kuasa membuat gerakan 

menangkis, angkat kedua tangannya sementara 

tubuhnya digeser ke samping. Kejap lain kedua 

tangan Tengkorak Berdarah berkelebat. 

Karena tidak menyangka lawan masih bisa mem-

buat gerakan bahkan balas lepaskan pukulan, bukan 

saja membuat pukulan Daeng Upas menghantam 

tempat kosong tapi juga membuat si nenek terlambat 

untuk menghindar. 

Bukkk! Bukkk! 

Daeng Upas berseru keras. Sosoknya terpental 

balik dan jatuh punggung di atas tanah. Darah 

menyembur dari mulutnya, pertanda dia terluka 

dalam cukup parah. Namun karena tekadnya telah 

bulat, perempuan yang masih berwajah cantik itu 

bergerak bangkit. Namun saat itu juga kedua kakinya 

goyah, saat lain kembali sosoknya jatuh di atas tanah,


Daeng Upas tak kehabisan akal. Dia cepat ambil 

bambu di atas telinganya. 

Melihat tindakan Daeng Upas, Tengkorak Berdarah 

tak mau bertindak ayal. Sebelum Daeng Upas sempat 

semburkan lagi asap hitam, sosok Tengkorak 

Berdarah telah melompat ke depan. Bersamaan itu 

kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan 

bertenaga dalam kuat. 

Daeng Upas tercekat. Belum sempat membuat 

gerakan menangkis atau semburkan asap hitam pada 

bambunya, sosoknya telah tersapu mental. Dan 

belum sampai tubuh Daeng Upas jatuh di atas tanah, 

Tengkorak Berdarah yang tampaknya sudah tak mau 

memberi kesempatan segera melesat memburu 

sosok Daeng Upas yang masih melayang di udara. 

Seett! 

Kedua tangan Tengkorak Berdarah memegang 

pinggang Daeng Upas. Sosok perempuan ini sejenak 

diangkat namun tiba-tiba kedua tangannya bergerak 

ke bawah membanting tubuh Daeng Upas dari 

ketinggian satu tombak. 

Bukkk! 

Daeng Upas yang telah terluka dalam parah tak 

sempat lagi keluarkan suara pekikan. Hanya 

sosoknya yang terkapar sejurus tampak bergerak-

gerak. Namun cuma sekejap. Kejap lain gerakannya 

terhenti diiringi dengan erangan pelan yang terputus! 

Tengkorak Berdarah telengkan kepala ke bawah 

memperhatikan Daeng Upas yang terkapar tanpa 

nyawa lagi. Lalu kepalanya tengadah. Kedua 

tangannya terangkat mengusap dadanya. 

"Hem.... Untung racun keparat itu belum sampai 

masuk dada! Jika terlambat sedikit, mungkin aku 

yang terkapar mati!" gumamnya. Namun demikian


bukan berarti asap hitam beracun itu tidak 

berpengaruh. Karena walau memang belum sampai 

terhirup masuk ke dalam dada tapi telanjur masuk ke 

dalam lobang hidungnya. Hingga begitu kepalanya 

tengadah, tiba-tiba dia terbatuk. Lalu tampak jubah 

abu-abu terusan tepat bagian sekitar mulut berubah 

menjadi merah! Tanda orang ini telah semburkan 

darah. 

Tengkorak Berdarah tampaknya tidak hiraukan hal 

itu, karena mendadak dia teringat pada Gendeng 

Panuntun. Laksana diputar setan, sosok Tengkorak 

Berdarah cepat membalik menghadap ke arah mana 

tadi Gendeng Panuntun berada. 

Sekonyong-konyong keluar makian dari mulut 

orang berjubah abu-abu terusan. Kakinya meng-

hentak tanah hingga bergetar keras. Kedua tangan-

nya mengepal. Ternyata sosok Gendeng Panuntun 

sudah tidak ada lagi di tempat itu! 

Tanpa diketahui oleh Daeng Upas dan Tengkorak 

Berdarah yang saat itu tengah terpaku pada pukulan 

lawan masing-masing, diam-diam Gendeng Panuntun 

berkelebat tinggalkan tempat itu. 

"Jahanam buta itu tidak akan kubiarkan ber-

keliaran seenaknya. Apalagi dia sepertinya telah 

mengetahui siapa diriku!" desis Tengkorak Berdarah. 

Setelah usap-usap dadanya berulang kali dan salur-

kan hawa murni, orang ini berkelebat tinggalkan 

tempat itu. 

***



ENAM


PENDEKAR 131 baru memperlambat larinya saat 

merasa berada pada tempat aman. Namun demikian 

dia tidak bertindak gegabah. Sebelum dia mem-

perlambat larinya, dia seringkali palingkan kepala ke 

belakang dan ke kanan kiri. Ketika merasa yakin 

Daeng Upas atau Dewa Orok tidak lagi mengejar, dia 

hentikan langkah. Kepalanya tengadah. Saat itu 

matahari mulai pancarkan sinar kemerahan tanda 

tidak berapa lama lagi akan segera tenggelam. 

Murid Pendeta Sinting melangkah pada satu tanah 

agak tinggi, di mana pada kanan kirinya terdapat dua 

batang pohon mahoni besar. Seraya bersandar 

punggung pada salah satu batang pohon, Joko 

meraba seputar perut dan pinggangnya. Dia menarik 

napas lega. 

"Untung kitab dan mahkota ini tidak basah terkena 

air...," gumamnya lalu geser tangannya hingga kitab 

dan mahkota yang berada di balik pakaiannya makin 

tidak kelihatan. 

"Ternyata ada saja orang yang tahu tempat rahasia 

begitu. Hanya setelah menyimak ucapannya, Dewa 

Orok sepertinya tidak menginginkan kitab ini. Tapi 

ada benda lain yang dikehendakinya. Astaga! Jangan-

jangan...." 

Pendekar 131 tidak lanjutkan gumamannya. Dari 

arah barat sepasang matanya menangkap satu sosok 

tubuh sedang berlari ke tempat di mana dia berada. 

Mengira orang yang sedang berlari adalah salah satu 

antara Daeng Upas atau Dewa Orok, murid Pendeta


Sinting segera melompat dan berlindung di balik 

pohon. 

Tak berapa lama kemudian, sejarak sepuluh 

langkah dari tempat Joko berlindung tampak satu 

sosok tubuh tegak dengan kepala berputar dan mata 

memperhatikan sekeliling. Dari sikap dan pandangan-

nya jelas jika orang ini sedang mencari sesuatu. 

"Heran.... Baru saja kulihat dia berada di sekitar 

tempat ini! Sayang aku tidak bisa memastikan 

memang dia atau bukan. Larinya begitu cepat. 

Seandainya pakaian yang dikenakan tidak mirip, tak 

akan aku bersusah-susah mengejarnya.... Tapi apa 

dia benar-benar masih hidup? Jangan-jangan ucapan 

Ayah hanya untuk menyenangkan hatiku dan yang 

terjadi sebenarnya adalah dia telah...." Orang ini tak 

lanjutkan gumamannya. Sebaliknya dia takupkan 

kedua tangan pada wajahnya. Sesaat kemudian bahu 

orang ini berguncang. Lalu terdengar isakan pelan. 

Tapi suara isakan sekonyong-konyong berubah 

menjadi satu jeritan tatkala satu tangan tiba-tiba 

memegang bahu orang yang sedang terisak. Secepat 

kilat orang yang tadi terisak balikkan tubuh. Kedua 

tangannya yang tadi menutupi wajahnya segera 

ditarik dan diangkat. Namun satu suara membuat 

orang ini bukan saja tegak tertegun, namun juga 

mendelik hampir tak percaya. 

"Bagaimana keadaanmu...? Apa yang terjadi...?" 

Orang yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya 

terus memandang ke depan dengan mata makin ter-

pentang dan kedua tangan tetap di atas. Sesaat 

setelah sadar dari rasa terkesimanya, terdengar 

orang ini bergumam. 

"Joko...." 

Murid Pendeta Sinting tersenyum. Namun diam


diam dia merasa ada keanehan pada orang yang kini 

ada di hadapannya. Orang ini ternyata adalah seorang 

pemuda berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-

hitam yang memperkenalkan diri pada Joko dengan 

Raka Pradesa. 

"Seorang pemuda tampan. Tapi kenapa menangis 

begitu rupa? Ah.... Mungkin ada sesuatu yang sangat 

menyentuh jika seorang pemuda sampai keluarkan 

air mata...," kata Joko dalam hati menjawab rasa 

aneh yang dilihatnya pada pemuda di hadapannya. 

Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu, 

tiba-tiba pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-

hitam dan tidak lain adalah Raka Pradesa alias 

Saraswati menghambur ke depan. kedua tangannya 

cepat melingkar merangkul pinggang Pendekar 131. 

Sementara kepalanya diletakkan pada dada si 

pemuda, membuat Joko salah tingkah dan 

kebingungan bercampur heran. 

Saraswati yang menyamar sebagai pemuda ini 

terisak dan bergumam tak jelas. Menduga bahwa si 

pemuda sedang dilanda sesuatu yang membuat 

dirinya membutuhkan teman tempat mengadu, meski 

masih bertanya-tanya heran, akhirnya murid Pendeta 

Sinting hanya diam. 

Beberapa saat berlalu. Setelah suara isakan Raka 

Pradesa terhenti, Joko angkat kedua tangannya 

memegang pundak si pemuda di hadapannya. Lalu 

berbisik. 

"Raka.... Katakan apa sebenarnya yang terjadi?" 

Raka Pradesa angkat kepalanya. Tubuhnya yang 

merapat pada tubuh Pendekar 131 perlahan-lahan 

ditarik. Wajahnya tiba-tiba berubah memerah. Tanpa 

berani membalas tatapan murid Pendeta Sinting, 

Raka Pradesa cepat palingkan wajahnya. Membuat


Joko makin bertambah heran dan kembali bertanya. 

"Katakanlah ada apa...!" 

Raka Pradesa tidak segera buka mulut. Sebaliknya 

dada pemuda yang sebenarnya seorang gadis ini 

dibuncah berbagai perasaan. Senang karena melihat 

Joko masih selamat dan hidup. Namun di samping itu 

dia juga kebingungan bagaimana harus menjawab 

pertanyaan Joko. 

"Apakah aku harus berkata terus terang? Lalu 

apakah dia nanti tidak menaruh dendam padaku 

karena perbuatan Ayah yang telah mendorongnya 

masuk ke dalam lobang itu? Ah.... Bagaimana ini? 

Apa yang harus kulakukan sekarang?" Raka Pradesa 

membatin dalam hati. 

"Agaknya ada sesuatu yang membuatmu 

keberatan mengatakan hal yang menimpamu 

padaku...," kata Joko pada akhirnya dengan nada 

agak kecewa. 

"Aku.... Aku tak tahu harus bagaimana mengatakan 

padamu," ucap Raka Pradesa pelan tanpa berpaling. 

"Hem.... Kau tadi sepertinya mencari sesuatu. 

Apakah kau mengejar seseorang?" 

"Ah.... Kau tak tahu. Kaulah sebenarnya yang tadi 

kukejar dan kucari!" kata Raka Pradesa dalam hati. 

Namun meski hatinya berkata begitu, kepala pemuda 

ini menggeleng., 

"Hem.... Mungkin kedatanganku hanya meng-

ganggumu. Aku harus pergi...," ucap murid Pendeta 

Sinting lalu balikkan tubuh hendak tinggalkan tempat 

itu. 

"Tunggu!" tahan Raka Pradesa. 

"Aku yakin kau sedang mencari seseorang! Aku tak 

suka mengganggu urusan orang. Apalagi mungkin ini 

urusan perempuan...," kata Joko lalu teruskan


langkah. 

Mendadak Raka Pradesa melompat dan kembali 

merangkul pinggang Joko dari belakang, membuat 

murid Pendeta Sinting tak habis pikir. Lalu enak saja 

dia berujar. 

"Jika kekasihmu tahu kita begini, urusan akan jadi 

panjang. Dia pasti akan menyangka yang bukan-

bukan...," seraya berkata, tangan Joko renggangkan 

kedua tangan Raka Pradesa yang merangkul 

pinggangnya. 

Namun Raka Pradesa makin pererat rangkulannya. 

Lalu berkata pelan. 

"Aku akan mengatakan padamu. Tapi sebelumnya 

kuharap kau nanti mau memberi maaf dan berjanji 

tak akan menaruh dendam...." 

Dahi murid Pendeta Sinting berkerut. Sebelum dia 

mengatakan apa yang menjadi pertanyaan dalam 

hatinya, Raka Pradesa telah kembali buka mulut. 

"Kau mau berjanji bukan?" 

"Kau ini bicara apa?!" 

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Raka 

Pradesa berkata. 

"Sebelumnya aku...." 

Ucapan Raka Pradesa terputus. Pemuda berkumis 

tipis ini cepat tarik kepalanya dari punggung Joko. 

Lalu berpaling ke kanan. Murid Pendeta Sinting 

sendiri cepat gerakkan kepalanya ke samping kanan. 

Sejarak delapan langkah dari tempat mereka 

berdua, tegak seorang gadis muda berparas cantik 

mengenakan pakaian hijau. 

"Puspa Ratri...," gumam Joko mengenali siapa 

adanya gadis berpakaian hijau. 

Untuk beberapa lama Raka Pradesa menatap tak 

berkesip ke dalam sepasang bola mata gadis


berpakaian hijau yang bukan lain memang Puspa 

Ratri adanya. Sementara gadis yang dipandang balas 

menatap silih berganti pada Raka Pradesa dan murid 

Pendeta Sinting dengan wajah tak mengerti. 

"Apa yang sedang mereka lakukan? Apakah dia 

memang Joko Sableng. Apa penglihatanku tidak 

salah...," membatin Puspa Ratri. Lalu menatap ke 

arah Raka Pradesa berlama-lama. Hingga untuk 

beberapa lama kedua orang ini saling bentrok 

pandang. 

"Dia dahulu mengaku sebagai sahabat Joko. Tapi 

mengapa dia berbuat seolah seperti seorang 

kekasih...? Ada yang tidak beres dengan orang ini! 

Atau keduanya sama-sama tidak beres! Aku curiga 

jangan-jangan pemuda berpakaian hitam-hitam ini 

bukan seorang...." 

Puspa Ratri gelengkan kepalanya. Lalu buka mulut. 

"Pemuda berpakaian hitam-hitam. Siapa kau 

sebenarnya?!" 

Raka Pradesa tarik pulang kedua tangannya yang 

melingkar di pinggang Joko. Joko sendiri terlihat salah 

tingkah dan tak tahu harus berkata apa. 

"Hem.... Selagi dia berada di sini, akan ku-

tunjukkan siapa aku sebenarnya. Jika aku terus-

terusan menyamar, beban dalam dada ini akan makin 

bertambah. Apalagi gadis ini bisa jadi penghalang...," 

kata Raka Pradesa dalam hati. 

"Kau tak mau mengatakan siapa dirimu sebenar-

nya. Hanya orang punya niat jahat yang sembunyikan 

siapa dirinya sebenarnya!" kata Puspa Ratri dengan 

tersenyum dingin. 

"Jaga bicaramu! Jangan berani menuduh orang 

atau mulutmu minta ditampar?!" 

Puspa Ratri tersenyum sambil perdengarkan suara


tawa pendek. "Aku tidak menuduh! Tapi hari ini aku 

menemukan satu pemandangan aneh...!" 

"Begitu?!" ujar Raka Pradesa sambil melangkah 

satu tindak ke depan. "Kau memang perlu kenyataan 

agar tidak berpandangan aneh...." 

Habis berkata begitu, Raka Pradesa angkat kedua 

tangannya. Tangan kanan tanggalkan kumis tipis 

pada atas bibirnya, tangan kiri membuka gulungan 

rambutnya. Kejap lain Raka Pradesa gerakkan 

kepalanya. Saat itu juga terlepaslah geraian rambut 

panjang. Parasnya pun berubah menjadi seorang 

gadis muda berparas jelita. 

Puspa Ratri tegak dengan mulut terkancing dan 

mata membelalak. Meski tadi sempat menyeruak 

kecurigaan dalam hatinya, namun begitu benar-benar 

matanya melihat, gadis ini seolah hampir tidak 

percaya. Sedangkan murid Pendeta Sinting melongo. 

"Astaga! Jadi dia adalah seorang gadis!" gumam 

Joko dengan mata tak berkesip pandangi Raka 

Pradesa yang kini telah lepaskan penyamarannya. 

"Ah. Aku ingat sekarang.... Makanya dia tidak mau jadi 

saksi tatkala pertemuan dengan Hantu Makam Setan. 

Tak tahunya jika dia adalah seorang gadis...." 

Seperti diketahui, waktu terjadi pertemuan antara 

Pendekar 131 dan Hantu Makam Setan, ketika itu 

Ratu Malam meminta syarat pada Hantu Makam 

Setan untuk membuktikan dirinya sebagai seorang 

laki-laki. Tapi saat itu Raka Pradesa yang berada di 

tempat itu tidak mau menjadi saksi pembuktian 

Hantu Makam Setan (Lebih jelasnya baca Joko 

Sableng dalam episode : "Gerbang Istana Hantu"). 

"Apakah kau masih melihat satu keanehan?!" ujar 

Raka Pradesa alias Saraswati dengan tertawa pelan. 

Puspa Ratri mengeluh. Dadanya mulai dirasuki


rasa cemburu. Dia berpaling pada murid Pendeta 

Sinting. 

"Hem.... Dia juga tampaknya terkejut. Tapi jangan-

jangan itu hanya karena untuk menutupi. Hem.... Tak 

kusangka jika dia pemuda yang punya banyak gadis!" 

Tanpa berkata, Puspa Ratri balikkan tubuh. Joko 

buka mulut hendak menahan. Namun sebelum 

suaranya terdengar, mendadak seantero tempat itu 

dibuncah dengan suara tawa orang mengekeh 

panjang. Semua kepala bergerak berpaling. 

***


TUJUH 



DI tempat itu ternyata telah tegak satu sosok yang 

sekujur tubuhnya ditutup dengan jubah terusan 

berwarna abu-abu. Kepala di balik jubah terusan abu-

abu menghadap lurus ke arah Pendekar 131 yang 

saat itu juga tengah menatapnya. Sementara 

Saraswati memandang tak berkesip dengan dahi 

mengernyit. 

"Dua kali aku jumpa dengan orang ini! Tapi apakah 

memang dia bukan Ayah? Lalu siapa? Mengapa dia 

mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Ayah? 

Sejak beberapa waktu lalu tampaknya dia selalu 

memburu Joko. Hem.... Jangan-jangan dia adalah 

Ayah yang selama ini memang sembunyikan sesuatu 

padaku! Bukankah selama ini dia juga tidak pernah 

berterus terang padaku?" membatin Saraswati. 

Yang paling terkejut adalah Puspa Ratri. Gadis 

berpakaian hijau ini diam-diam juga membatin. "Ibu 

punya perjanjian dengan orang ini. Apakah mereka 

sudah berjumpa? Hem.... Walau parasnya tidak 

kelihatan, tapi sikapnya seperti tidak bersahabat. 

Apakah dia hendak lanjutkan urusan tempo hari? Apa 

yang harus kulakukan sekarang? Tetap di sini rasanya 

akan menambah sakit hati! Tapi aku tak mau melihat 

Joko mendapat celaka!" Dada gadis ini diselimuti 

berbagai perasaan. Tetap berada di situ berarti akan 

menambah rasa kecewa dan cemburu tapi me-

ninggalkan tempat itu dia tak tega melihat Joko harus 

menghadapi orang yang diyakininya punya niat jahat. 

Ketika dua orang gadis ini didera perasaan


masing-masing, mendadak Joko menghambur ke 

arah orang berjubah abu-abu terusan. 

"Harap maafkan jika selama ini aku berburuk 

sangka. Aku berterima kasih atas bantuanmu...," ujar 

murid Pendeta Sinting sambil menjura hormat. 

Pendekar 131 menduga jika orang berjubah abu-abu 

di hadapannya adalah orang berjubah abu-abu yang 

ditemuinya dan mendorongnya masuk ke dalam 

lobang dalam Istana Hantu hingga dia menemukan 

kitab bersampul kuning dan mahkota bersusun tiga. 

Melihat sikap Joko, baik Saraswati maupun Puspa 

Ratri sama-sama melengak heran. Keduanya sama 

tak habis mengerti. Tapi yang paling tersentak adalah 

orang berjubah abu-abu terusan yang selama ini 

memperkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah. 

Kepala di balik jubah orang ini sempat tertarik jauh ke 

belakang saking terkejutnya. Untung paras wajahnya 

tertutup. Jika tidak niscaya orang di tempat itu akan 

melihat perubahan wajahnya. 

"Apa maksud ucapan anak ini? Bantuan apa yang 

kuberikan? Aneh.... Selama ini aku tak pernah 

memberi bantuan. Malah dari mulutnya aku butuh 

keterangan!" membatin Tengkorak Berdarah. "Hem.... 

Jangan-jangan dia hanya mengada-ada karena tahu 

aku akan mengorek keterangan dari mulutnya!" 

Habis membatin begitu, Tengkorak Berdarah per-

dengarkan suara. 

"Kau jangan bicara tak ada juntrungan! Jangan kira 

aku tak tahu apa di balik ucapanmu itu!" 

"Ah.... Orang ini masih juga suka bercanda. Bukan 

hanya tindak tanduknya yang sulit diterka namun 

sepertinya dia tidak suka memperlihatkan budinya...." 

Joko lalu angkat kepalanya. Matanya memandang 

tajam dengan bibir tersenyum. "Dia bagaimanapun


juga telah membantuku. Aku harus memberitahukan 

apa yang kuperoleh...." Lalu Joko selipkan kedua 

tangannya ke balik pakaiannya. Ketika tangannya 

ditarik kembali, maka semua orang di tempat itu 

melengak. Di tangan kanan Joko tampak sebilah kitab 

bersampul kuning, sedang di tangan kirinya terlihat 

sebuah mahkota berwarna kuning bersusun tiga yang 

digantungi beberapa peniti juga berwarna kuning. 

"Atas bantuanmu, inilah benda yang berhasil 

kutemukan...." 

"Kitab dan mahkota!" seru Tengkorak Berdarah 

dalam hati. Kepala di balik jubah orang ini tengadah. 

"Aku tahu apa maksud ucapan pemuda ini. Aku juga 

tak mengerti mengapa dia menunjukkan benda-

benda itu padaku!" Kepalanya lantas lurus kembali 

menghadap Pendekar 131. 

"Kitab bersampul kuning.... Sayang tulisan pada 

sampulnya tak jelas kulihat. Tapi melihat bentuknya 

seperti sebuah kitab kuno! Jangan-jangan pemuda ini 

menganggapku sebagai... Ah. Ini rejeki besar bagiku! 

Jika benar, berarti tanpa bersusah payah aku berhasil 

mendapatkan kitab itu!" 

Tengkorak Berdarah memutar otak. Kejap 

kemudian dia perdengarkan suara. 

"Syukur kau telah mendapatkan benda-benda itu. 

Harap kau suka memperlihatkan padaku!" sambil 

berkata, kedua Jangan Tengkorak Berdarah menjulur 

membuat sikap meminta. 

Saraswati sebenarnya hendak buka mulut. Namun 

segera dibatalkan begitu terlihat Pendekar 131 telah 

maju dan memberikan kitab bersampul kuning serta 

mankota bersusun tiga pada Tengkorak Berdarah. 

Begitu kitab bersampul kuning dan mahkota 

bersusun tiga berada di tangannya, Tengkorak


Berdarah sesaat memperhatikan dengan seksama. 

Lalu tangan kanannya yang memegang mahkota 

bergerak membuka sampul kitab. 

"Sundrik Cakra!" desis Tengkorak Berdarah 

membaca tulisan yang tertera pada halaman 

pertama. Suaranya bergetar. Kedua tangannya 

gemetar. 

"Inilah kitab sakti yang kuinginkan!" kata 

Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu angkat 

kepalanya. Perlahan dia melangkah maju mendekati 

murid Pendeta Sinting. Kedua tangan Tengkorak 

Berdarah menjulur memberikan kitab bersampul 

kuning dan mahkota pada Joko. 

Saraswati dan Puspa Ratri yang tadi diam-diam 

masih dihantui perasaan cemas meski tak tahu 

mengapa, bernapas lega. Namun kelegaan kedua 

gadis ini pupus seketika tatkala melihat bagaimana 

begitu kedua tangan Pendekar 131 hendak 

menerima kitab dan mahkota, tiba-tiba kaki kanan di 

balik jubah orang terangkat. Lalu tangannya yang 

memegang mahkota berkelebat cepat. 

Bukkk! Bukkk! 

Satu tendangan dan satu jotosan bertenaga dalam 

tinggi menghantam telak ke arah dada dan bahu 

Pendekar 131 Joko Sableng! 

Meski pada dasarnya dalam tubuh murid Pendeta 

Sinting terpendam tenaga dalam kakek di dalam kuil 

serta punya jurus Sukma Es yang dapat lindungi diri, 

namun karena saat itu dia dalam keadaan biasa 

maka murid Pendeta Sinting rasakan laksana 

dihantam benda sangat berat. Dari mulutnya 

terdengar pekikan keras. Kejap lain sosoknya 

mencelat sampai dua setengah tombak lalu terkapar 

dengan darah menyembur keluar dari mulut dan


hidungnya. Murid Pendeta Sinting sejenak coba 

bergerak bangkit. Tapi tubuhnya kembali terkapar. 

Berbarengan, Saraswati dan Puspa Ratri sama-

sama berteriak. Saat lain keduanya sama-sama 

sentakkan kedua tangannya ke arah Tengkorak 

Berdarah. Namun gelombang angin yang menyambar 

keluar dari masing-masing tangan gadis ini hanya 

menggebrak udara kosong. Sosok Tengkorak 

Berdarah telah berkelebat tinggalkan tempat itu 

sambil perdengarkan suara tawa panjang. 

Begitu Tengkorak Berdarah berlalu, Saraswati dan 

Puspa Ratri sama putar diri setengah lingkaran. Kini 

keduanya berhadap-hadapan. Kedua pasang mata 

saling perang pandang. Mulut keduanya sama 

membuka. 

"Kau...!" desis Saraswati dingin. 

"Kau...!" balas Puspa Ratri tak kalah dingin malah 

terdengar ketus. "Pasti jahanam tadi itu temanmu! 

Kalian bersekongkol! Kau pura-pura merayu agar 

benda itu diberikan pada temanmu! Perbuatan 

busuk!" 

Sepasang mata Saraswati makin mendelik 

berkilat. Dadanya turun naik. Pelipisnya bergerak-

gerak. "Jangan kau berani lancang mulut menuduh 

yang bukan-bukan! Kaulah yang bersilat lidah! 

Bukankah sebenarnya kau dan manusia bergelar 

Tengkorak Berdarah tadi datang bersama-sama? Lalu 

kalian...." 

Ucapan Saraswati belum habis, Puspa Ratri telah 

memotong. 

"Perempuan sepertimu pandai bicara, membalik 

kenyataan! Kau tadi sembunyikan wajah asli. 

Sedangkan jahanam tadi juga takut diketahui 

rupanya! Apa kau masih akan berdalih cari alasan,


hah?!" 

Sesaat Saraswati terdiam mendengar ucapan 

Puspa Ratri. Namun kejap lain dia sudah buka mulut 

lagi. "Sama tindakan belum tentu punya tujuan sama! 

Aku tahu, kau melontarkan tuduhan karena kau 

cemburu padaku! Kau takut hati pemuda itu ber-

paling padaku! Dengar! Pemuda itu telah tahu siapa 

aku sebenarnya meski aku mengenakan 

penyamaran! Kau dengar?!" kata Saraswati berdusta. 

Paras wajah Puspa Ratri jadi merah padam. "Peduli 

setan dia tahu dirimu atau tidak! Yang jelas kau telah 

bersekongkol dengan orang untuk mencelakainya!" 

Saraswati tertawa. "Tampaknya kau tak bisa dibuat 

sadar dan terus menuduhku yang bukan-bukan. Aku 

tanya padamu. Sekarang apa yang kau mau?!" 

"Kau bicara layaknya orang tak bersalah! Kau 

mengira apa yang kau lakukan tindakan benar!" 

"Tak pantas kau bicara tentang tindakanku! 

Kuperingatkan, lekas menyingkir atau kau akan 

merasa menyesal!" 

Puspa Ratri tersenyum menyeringai. "Dengan 

begitu kau akan leluasa melakukan apa saja. 

Bukankah itu maksudmu?! Justru kau yang harus 

cepat tinggalkan tempat ini!" 

"Hem.... Dengan begitu kau akan bebas bercumbu 

dengannya, begitu?!" 

"Rupanya kau yang dirasuki rasa cemburu! Hingga 

bukan cedera orang yang terpikir olehmu tapi nafsu 

busuk yang menghantuimu!" 

"Tutup mulutmu!" hardik Saraswati. "Kaulah yang 

dirasuki nafsu busuk! Kau bercumbu di sembarang 

tempat!" 

"Ah.... Rupanya kau juga gadis yang suka ngintip 

orang! Lalu apakah kau masih akan berkeras kepala


jika tahu orang telah sama berbagi kasih?! 

Seharusnya kau tahu diri! Jangan memaksakan hati 

orang!" 

"Aku tak butuh nasihat! Kuulangi lagi, lekas 

menyingkirlah!" 

Kepala Puspa Ratri menggeleng. "Tak akan 

kubiarkan tangan kotormu menyentuhnya!" 

"Kau cari jalan ke neraka!" bentak Saraswati. 

Kedua tangannya diangkat sejajar dada dengan mata 

mendelik angker. 

Puspa Ratri tidak tinggal diam. Kakinya di-

renggangkan. Bersamaan dengan itu kedua tangan-

nya diangkat ke atas. 

Begitu kedua tangan Puspa Ratri berada sejajar 

kepala, Saraswati telah sentakkan kedua tangannya 

lepas satu pukulan jarak jauh. 

Melihat hal ini, Puspa Ratri segera pula sentakkan 

kedua tangannya. 

Dua gelombang angin dari samping kiri kanan 

melesat ke udara. Namun sebelum dua pukulan itu 

bentrok, mendadak terlihat satu cahaya putih 

mengerlap. Kejap lain dua pukulan yang melesat dari 

tangan Saraswati dan Puspa Ratri ambyar berantakan 

dan lenyap! 

Sosok Saraswati tampak terjajar lalu jatuh 

terduduk. Di seberang depan, Puspa Ratri terhuyung-

huyung lalu roboh dengan kaki menekuk. 

Dengan menindih rasa kaget baik Saraswati 

maupun Puspa Ratri sama palingkan kepala ke kanan 

dari mana cahaya putih yang membuat ambyar 

lenyap pukulan masing-masing gadis berasal. Dari 

tempat masing-masing, kedua gadis yang sama 

berwajah cantik ini melihat seorang kakek bertubuh 

gemuk besar mengenakan pakaian hijau gombrong.


Rambutnya disanggul ke atas dan kepalanya 

ditengadahkan. Pada pinggangnya tampak melingkar 

satu ikat pinggang besar yang pangkalnya berupa 

sebuah cermin bulat. Kakek ini duduk dengan tangan 

usap-usap cerminnya! 

***


DELAPAN


"KAKEK bermata buta itu!" gumam Saraswati. "Hem.... 

Aku tak mau urusan ini dicampuri orang lain! 

Bagaimanapun gadis bermulut lancang itu harus 

mendapat pelajaran!" 

"Kek! Harap kau tidak libatkan diri!" teriak 

Saraswati memecah kesunyian di tempat itu. Gadis 

berpakaian hitam-hitam ini serentak bergerak 

bangkit. Lalu menoleh ke arah Puspa Ratri. 

Puspa Ratri sejurus menatap pada kakek bertubuh 

besar mengenakan pakaian hijau yang tidak lain 

adalah Gendeng Panuntun adanya. "Siapa orang itu? 

Mungkin masih teman gadis itu!" 

Menduga demikian, Puspa Ratri cepat pula ber-

gerak bangkit lalu berkata. 

"Aku tak keberatan jika kalian berdua maju ber-

sama!" 

Gendeng Panuntun gerakkan kepalanya lurus ke 

arah Saraswati, lalu bergerak lagi menghadap Puspa 

Ratri. Tangan kanannya usap cermin bulat di depan 

perutnya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Lalu 

buka mulut. 

"Gadis-gadis cantik! Rasa cemburu adalah pangkal 

dari prasangka buruk! Hal baik akan terbalik jadi jelek 

jika telah dicemari rasa cemburu! Harap endapkan 

hati. Ada sesuatu yang lebih penting daripada harus 

bertindak yang pada akhirnya hanya akan men-

datangkan rasa sesal. . 

Ucapan Gendeng Panuntun membuat Saraswati 

dan Puspa Ratri sama terkesiap. Tapi karena hati


panas lebih menguasai dada masing-masing gadis ini, 

begitu ucapan Gendeng Panuntun selesai, Saraswati 

menyahut. 

"Bagiku yang terpenting saat ini adalah menampar 

gadis bermulut lancang ini! Justru aku merasa 

menyesal jika tanganku tak mampu membuat 

mulutnya berdarah!" 

Mendengar kata-kata Saraswati, Puspa Ratri cepat 

berujar. 

"Sebelum tanganmu sempat membuat mulutku 

berdarah, kedua tanganmu akan kupatahkan!" 

Gendeng Panuntun tertawa bergelak mendengar 

ucapan Saraswati dan Puspa Ratri. "Rasa cinta 

kadangkala memang membutuhkan pengorbanan. 

Tapi adalah tindakan bodoh bila berani berkorban 

hanya karena perturutkan perasaan! Selain 

pengorbanan jadi sia-sia, orang jadi lupa jika orang 

yang dicintai memerlukan pertolonganl" 

Habis berkata begitu, tanpa menunggu jawaban 

Saraswati atau Puspa Ratri, Gendeng Panuntun 

melangkah ke arah murid Pendeta Sinting yang 

terkapar. 

Mungkin masih menduga jika Gendeng Panuntun 

teman Saraswati, saat orang tua ini jongkok di 

samping Joko, Puspa Ratri berteriak lantang. 

"Orang tua! Aku tidak mengenalmu. Aku tidak tahu 

kau berniat jahat atau baik! Jadi jangan coba-coba 

menyentuh pemuda itu!" 

Saraswati yang mengetahui jika Gendeng 

Panuntun adalah sahabat Pendekar 131 segera 

menyahut. "Kau gadis kemarin sore! Tidak tahu siapa 

adanya orang! Hingga orang berniat baik pun masih 

kau tuduh tak karuan!" 

Puspa Ratri angkat tangan kirinya. Telunjuknya


diarahkan lurus ke arah muka Saraswati. "Kau 

mengenalnya. Berarti kau temannya! Kalau kau punya 

niat jahat, apakah tindakan temanmu tidak patut 

dicurigai?!" 

"Dasar gadis tolol!" bentak Saraswati. "Buka mata 

dan telingamu lebar-lebar. Aku bukan temannya! Tapi 

aku tahu dia adalah sahabat Joko!" 

Dahi Puspa Ratri berkerut. Sepasang matanya 

memperhatikan Gendeng Panuntun berlama-lama. 

Lalu berpaling pada Saraswati. Gadis ini tampaknya 

belum mau percaya begitu saja pada ucapan 

Saraswati. 

"Siapa mau percaya pada ucapan gadis sepertimu! 

Yang suka berpura-pura dan senang tunjukkan wajah 

palsu!" 

"Keparat!" teriak Saraswati sambil bantingkan kaki 

di atas tanah. "Gadis dungu dan tolol macammu 

memang tak mempan dengan ucapan!" 

"Jaga mulutmu! Ucapan gadis jahat mana bisa 

dipegang?!" jawab Puspa Ratri lalu perdengarkan 

dengusan bernada mengejek. 

Kali ini Saraswati tidak lagi membuka mulut 

menyahuti kata-kata Puspa Ratri. Sebaliknya gadis 

berpakaian hitam-hitam ini maju dua langkah. Kedua 

tangannya diangkat. Kejap lain sosoknya melompat 

ke depan. Kedua tangannya kirimkan hantaman ke 

arah kepala Puspa Ratri. 

Puspa Ratri menyeringai. Dia segera geser tubuh-

nya ke samping selamatkan diri. Lalu kedua tangan-

nya bergerak menangkis. 

Bukkk! Bukkk! 

Dua pasang tangan beradu keras. Keduanya sama 

mundur dua langkah dengan paras sama berubah. 

Mata masing-masing tak berkesip perhatikan lawan.


Saat lain tiba-tiba Puspa Ratri berkelebat. Gerakan-

nya begitu luar biasa cepat. Hingga belum sempat 

Saraswati mengetahui ke mana lawan bergerak, tahu-

tahu sebuah tendangan telah berada di mukanya! 

Saraswati tidak sempat untuk mengangkat tangan 

memangkas tendangan atau membuat gerakan 

mengelak, hingga akhirnya gadis ini hanya berteriak 

keras. 

Sesaat lagi tendangan itu menghantam sosok 

Saraswati, mendadak terdengar orang berseru. Orang 

yang berada di situ tahu jika orang yang berseru 

bukanlah Gendeng Panuntun, karena suara itu suara 

seorang perempuan. 

"Tahan!" 

Bersamaan dengan terdengarnya suara seruan, 

mendadak ada sesuatu menahan tendangan yang 

dilepas Puspa Ratri yang tidak saja mampu membuat 

tendangan itu tertahan di udara namun sesaat 

kemudian membuat sosok Puspa Ratri terhuyung ke 

belakang hingga jatuh terduduk. 

Puspa Ratri kertakkan rahang. Dia cepat bangkit 

lalu putar diri ke kanan di mana saat itu ternyata 

telah tegak seorang perempuan berusia tidak muda 

lagi mengenakan pakaian warna putih. Walau usianya 

sudah tidak muda, tapi bayang kecantikan masih 

memancar dari orang ini. 

"Ibu...," desis Puspa Ratri begitu melihat siapa 

adanya si perempuan. 

Perempuan di hadapan Puspa Ratri yang selama 

ini menyamar dengan menggunakan bedak tebal di 

wajahnya dan tidak lain adalah ibu Puspa Ratri yakni 

Prabarini, anggukkan kepala sambil tersenyum. Lalu 

menoleh pada Gendeng Panuntun yang saat itu 

tengah tempelkan tangan kirinya pada dada murid


Pendeta Sinting. Sejenak kemudian dia berpaling 

pada Saraswati yang saat itu tengah memandangnya 

dengan dahi mengernyit. Karena Prabarini telah 

tanggalkan penyamarannya, Saraswati tentu saja sulit 

mengenali meski antara Prabarini dan Saraswati 

pernah jumpa. Sebab ketika berjumpa pada beberapa 

waktu lalu, Prabarini masih membedaki wajah dan 

memoles bibirnya serta mewarnai rambutnya dengan 

hitam berkilat. 

"Ah.... Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi.... Aku 

harus lakukan sesuatu sebelum semuanya telanjur 

jauh...," kata Prabarini dalam hati sambil menghela 

napas panjang. Setelah terdiam beberapa lama, 

akhirnya Prabarini melangkah ke arah Puspa Ratri. 

Begitu dekat dia berbisik. 

"Puspa.... Ada sesuatu yang hendak kubicarakan 

denganmu! Ayo ikut aku!" 

Puspa Ratri memandang tajam pada ibunya. Lalu 

beralih pada sosok Pendekar 131 yang tampak sudah 

mulai bangkit. 

"Ibu.... Aku punya hal yang harus kuselesaikan! Aku 

nanti akan segera menyusul...." 

Prabarini gelengkan kepalanya. "Kali ini kau jangan 

membantah, Anakku.... Aku tahu apa yang hendak 

kau selesaikan di sini. Urusan ini bisa kau tunda. Aku 

tidak akan ikut campur.... Percayalah. Tidak lama lagi, 

kau dan orang-orang di sini akan berjumpa lagi.... 

Bahkan urusanmu akan menjadi tuntas dan jelas!" 

"Ibu...." 

"Anakku.... Kau jangan membuat ibumu kecewa," 

bisik Prabarini lalu menarik tangan kanannya untuk 

berlalu dari tempat itu. 

Meski pada akhirnya Puspa Ratri turuti kemauan 

Prabarini, namun sambil melangkah pergi, matanya


tak beranjak memandang tajam pada Saraswati. 

Begitu Prabarini dan Puspa Ratri berlalu, Saraswati 

tampak tegak tercenung dengan kepala sedikit 

tengadah. 

"Aku harus meyakinkan, apakah orang berjubah 

tadi orang lain atau Ayah!" 

Saraswati memandang sejurus ke tempat berada-

nya Pendekar 131 dan Gendeng Panuntun. Gadis ini 

menarik napas dalam. "Setelah dapat kuyakinkan, 

aku akan mencari Joko dan mengatakan terus 

terang...." 

Habis bergumam begitu, Saraswati balikkan tubuh 

dan pergi tinggalkan tempat itu. 

*** 

"Terima kasih...," ucap murid Pendeta Sinting 

begitu dapat bangkit duduk seraya pandangi Gendeng 

Panuntun. 

"Kalau kau sampai terhantam pukulan begitu rupa, 

kurasa kau terlalu lengah. Dapat kau ceritakan apa 

sebenarnya yang terjadi?" 

Pendekar 131 tidak segera menjawab pertanyaan 

Gendeng Panuntun. Sebaliknya dia edarkan 

pandangannya berkeliling. "Ke mana perginya gadis-

gadis tadi?" 

"Gadis-gadis tadi sudah pergi. Jawab saja per-

tanyaanku, Anak Muda!" ujar Gendeng Panuntun 

sambil usap cermin bulatnya. 

"Ternyata tindakan orang sulit ditebak. Mula-mula 

aku salah sangka, tapi setelah tahu yang dilakukan, 

aku mengira telah salah paham. Namun di sinilah 

justru akhirnya aku terjerumus! Aku merasa telah 

bersalah hingga aku lengah!" Joko hentikan ucapan


nya sejenak, seraya menatap tajam dia teruskan 

bicara. "Aku tak tahu harus bagaimana memper-

tanggungjawabkan kesalahan gara-gara menunjuk-

kan kitab itu pada orang yang salah! Tentunya dunia 

persilatan akan mengutukku jika..." 

"Penyesalan sudah tidak berguna, Anak Muda" 

tukas Gendeng Panuntun. "Sekarang kau harus cepat 

bertindak. Kalau tidak, bukan hanya dunia persilatan 

akan mengutukmu, namun rimba persilatan akan 

dilanda prahara besar!" 

"Ah.... Tak kusangka sebesar itu akibat yang akan 

terjadi!"' keluh murid Pendeta Sinting. 

"Sudahlah. Sekarang ceritakan bagaimana kejadi-

annya!" 

Joko arahkan pandangannya ke jurusan lain. 

Setelah agak lama terdiam dia lalu tuturkan ceritanya 

pada Gendeng Panuntun. 

Gendeng Panuntun mengeluh panjang begitu Joko 

mengakhiri ceritanya. Lalu berujar. "Menarik 

kesimpulan dari ceritamu, aku menduga orang ber-

jubah yang tiba-tiba menghantammu setelah kau 

berikan kitab dan mahkota, bukanlah Tengkorak 

Berdarah yang menghuni Istana Hantu...." 

"Kek! Bagaimana kau bisa menduga begitu?! Aku 

tidak mungkin salah lihat! Pakaian yang dikenakan 

sama. Suaranya juga tidak beda!" 

"Tidak beda belum tentu sama, Anak Muda. Di 

sinilah aku menduga jika ada dua orang berjubah 

abu-abu terusan yang sama-sama memaklumkan diri 

sebagai si Tengkorak Berdarah. Tapi aku yakin hanya 

salah satu di antara keduanya menjalankan peran. 

Sementara satunya lagi hanya mengambil untung! 

Dan kau orang yang sial. Karena begitu mendapat 

untung dari si Tengkorak Berdarah yang menjalankan


peran, kau tertipu dengan Tengkorak Berdarah yang 

mengambil untung!" 

"Ucapanmu mungkin saja benar. Tapi rasanya 

tidak mungkin penglihatanku keliru!" 

Gendeng Panuntun mendehem. "Anak muda. 

Penglihatan adalah pangkal segala kesalahan. Jadi 

jangan menjaminkan penglihatan dalam urusan ini! 

Kau butuh penglihatan lain! Tentunya sambil 

menyelidik! Itulah tindakan yang harus segera kau 

lakukan sekarang! Kau harus berhati-hati. Kau meng-

hadapi dua orang sama namun berbeda peran! 

Jangan sampai kau terjerumus lagi.... Nak, aku harus 

pergi sekarang!" 

Gendeng Panuntun bangkit berdiri. Lalu me-

langkah. Tapi dia lalu berhenti. Kepalanya tengadah. 

"Anak muda. Kalau mau turut ucapanku, dalam hari-

hari mendatang ini, jangan kau jauh-jauh dari Istana 

Hantu. Aku punya firasat, ada sesuatu yang akan 

terjadi di sekitar tempat itu...." 

"Kek! Apakah selama ini kau menyirap keberadaan 

Iblis Ompong dan saudara-saudaramu?" 

Gendeng Panuntun menggeleng. "Aku belum 

mengetahui di mana beradanya manusia-manusia itu. 

Tapi kurasa kejadian di sekitar Istana Hantu kelak 

akan juga berhubungan dengan mereka...." 

Gendeng Panuntun teruskan langkah. Dia tampak-

nya melangkah pelan saja. Namun dalam sekejap, 

sosoknya telah berada di depan. Saat lain tubuhnya 

lenyap tidak kelihatan lagi. 

Murid Pendeta Sinting tidak beranjak dari tempat-

nya semula. Dia berusaha mengatur napas dan 

peredaran darahnya yang tadi sempat laksana ter-

putus karena terhantam tendangan dan jotosan 

orang. Dia lalu memusatkan pikiran merenungi kata


kata Gendeng Panuntun. Anehnya yang muncul justru 

wajah Saraswati dan Puspa Ratri silih berganti. 

"Raka Pradesa yang ternyata seorang gadis itu. 

Apa sebenarnya yang hendak dikatakan padaku? 

Mengapa selama ini dia menyamar sebagai seorang 

pemuda? Lalu mengapa dia memintaku memberi 

maaf. Untuk siapa...? Kalau saja Puspa Ratri tidak 

muncul, tentu masalahnya jadi jelas...." 

Pendekar 131 tengadahkan kepala. Saat itu ter-

nyata gelap mulai membungkus hamparan bumi. Joko 

kembali menarik napas. "Puspa Ratri.... Pasti gadis ini 

menaruh prasangka yang tidak-tidak padaku. Tapi 

apa boleh buat. Aku tidak mengetahui jika Raka 

Pradesa adalah seorang gadis! Kelak jika aku ber-

temu lagi, aku akan menjelaskan semuanya.... 

Sekarang aku harus menyelidik ke Istana Hantu." 

Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. "Ah.... 

Mengapa aku tidak menanyakan perihal kitab ber-

sampul kuning itu pada Gendeng Panuntun? Sialan. 

Gara-gara ikutnya beberapa gadis cantik, pikiranku 

jadi terpecah-pecah! Tapi dirangkul gadis cantik 

memang asyik. Seandainya aku sebelumnya tahu jika 

Raka Pradesa seorang gadis cantik. Hem...," murid 

Pendeta Sinting tersenyum sendiri lalu melangkah 

tinggalkan tempat yang telah sepi itu. 

Melangkah sejarak lima belas tombak, mendadak 

terdengar suara duutt! duut! berulangkali. Lalu dalam 

gelapnya malam laksana hantu gentayangan, satu 

bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu di hadapan 

murid Pendeta Sinting tegaksatu sosok tubuh dengan 

kaki di atas kepala di bawah! 

***



SEMBILAN


NENEK berjubah merah menyala itu berlari kencang 

laksana dikejar hantu. Dalam waktu sekejap sosok-

nya telah berada jauh dari tempatnya semula. 

Memasuki sebuah dataran yang berbatasan dengan 

satu aliran sungai dia memperlambat larinya. Pada 

satu tempat di atas aliran sungai si nenek hentikan 

larinya. Kepalanya yang berambut putih sebatas 

tengkuk bergerak ke samping kanan kiri. Sepasang 

matanya yang sipit dan berada dalam cekungan 

rongga amat besar tampak liar memperhatikan 

tempat di sekelilingnya. 

"Sialan! Mana tempat yang dikatakan manusia 

buta itu? Jangan-jangan dia hanya membual! Awas. 

Jika dia mendustaiku akan kupuntir kepalanya! 

Hem.... Kalau tidak karena masih hubungan saudara, 

aku tidak mau ikut-ikutan kebingungan cari urusan!" 

Nenek ini terus edarkan pandangannya ke se 

antero tempat di mana dia berada. Mulutnya tampak 

komat-kamit. Ternyata pada mulut si nenek terlihat 

satu gumpalan tembakau hitam yang begitu si nenek 

komat-kamit, gumpalan tembakau itu kelihatan 

keluar masuk. 

"Astaga!" Tiba-tiba si nenek tersenyum sendiri 

sambil goyang-goyangkan kepala. "Bukankah yang 

dikatakan adalah sebuah batu besar yang me-

misahkan aliran sungai? Sampai kiamat pun aku 

tidak akan menemukan tempat itu di sini! Aku harus 

menyusur sungai ini!" 

Nenek berjubah merah menyala yang mulutnya


selalu mainkan gumpalan tembakau hitam putar diri. 

Saat lain sosoknya telah kembali berkelebat 

menyusuri aliran sungai. 

Tidak berapa lama, tepatnya pada sebuah batu 

besar yang memisahkan aliran sungai ke kanan dan 

kiri, si nenek berhenti. 

"Pasti ini tempat itu...," desis si nenek dengan usap 

keringat yang membasahi wajah dan lehernya. 

Untuk beberapa lama nenek berjubah merah ini 

tegak diam, sepasang matanya yang sipit mendelik 

tak berkesip perhatikan pada batu besar yang me-

misahkan aliran sungai. Kemudian terdengar dia 

bergumam. 

"Batu itu batu biasa. Tak ada istimewanya! Lalu 

apa yang harus kulakukan sekarang? Menunggu 

seperti yang dikatakan Gendeng Panuntun? Tapi 

sampai kapan? Tak puas hatiku jika hanya menunggu 

tak menyelidik!" 

Si nenek perlahan melangkah. "Terpaksa aku 

harus berenang untuk sampai ke batu itu! Hem.... 

gara-gara urusan saudara aku harus berbasah-basah! 

Tapi apa hendak dikata. Jika tidak terpaksa begini, 

tubuhku tidak akan tersentuh air.... Hik.... Hik.... 

Hik...!" 

Si nenek hentikan langkahnya di bagian atas aliran 

sungai. "Tapi daripada berbasah-basah, apa tidak 

lebih baik kutanggalkan saja pakaianku? Tapi jika 

tiba-tiba ada orang? Ah.... Siapa mau lihat tubuh 

rongsokan begini? Kalaupun ada yang lihat, pasti dia 

akan segera ngacir sendiri. Hik.... Hik.... Hik...!" 

Sambil terus cekikikan sendiri si nenek mulai 

hendak tanggalkan jubah merahnya. Namun baru 

saja tangannya hendak tanggalkan jubah, mendadak 

aliran sungai di bawahnya berkecipak dan beriak. Si


nenek jadi terkesiap sendiri. Sepasang matanya 

dipentangkan perhatikan air yang beriak. 

"Mungkin ikan.... Apa dikira aku bidadari?! Hingga 

ikan-ikan sama kegirangan? Hik.... Hik.... Hik..." 

Si nenek teruskan niat hendak tanggalkan jubah 

merahnya. Namun dia jadi terperangah sendiri ketika 

tiba-tiba terdengar orang tertawa terbahak. Meski tadi 

seolah akan acuh jika ada orang, tapi begitu benar-

benar ada suara orang tertawa, tangan nenek ini 

cepat tutupkan kembali jubah merahnya. 

Suara tawa orang sekonyong-konyong lenyap. 

Kejap lain terdengar suara. 

"Dunia makin lama makin edan. Sudah nenek-

nenek masih juga ingin pamer tubuh! Ha.... Ha. Ha...! 

Lumayan kalau cuma kering kerontang. Yang ini 

sudah kering kerontang ditambah tidak pernah 

tersentuh air. Ha.... Ha.... Ha...!" 

Bersamaan dengan terdengarnya suara, di atas 

permukaan air tampak sebuah cahaya memantul. 

Anehnya, permukaan air yang terkena pantulan 

tampak muncrat dan bergelombang deras! 

"Busyet! Ini pasti pekerjaan orang buta itu!" Si 

nenek mengomel lalu secepat kilat kepalanya 

dipanglingkan ke samping. Sejarak sepuluh tombak, 

terlihat seorang kakek bertubuh gemuk melangkah 

perlahan ke arah si nenek. Kakek besar ini 

mengenakan pakaian gombrong warna hijau yang 

diikat dengan sebuah ikat pinggang besar yang 

pangkalnya berupa sebuah cermin bulat. Dari cermin 

inilah cahaya pantulan tadi berasal. 

Sebelum si kakek berpakaian hijau yang ternyata 

sepasang matanya berwarna putih dan bukan lain 

adalah Gendeng Panuntun sampai mendekat, si 

nenek berjubah merah menyala yang mulutnya selalu


mainkan gumpalan tembakau hitam dan tidak lain 

adalah tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan 

gelar Ratu Malam telah menyambutnya dengan 

berujar keras. 

"Kenapa kau ikut-ikutan menyusulku ke sini, heh?! 

Bukankah menurut tugas yang kita sepakati bersama, 

kau seharusnya berada di tempat lain?!" 

"Keadaan berubah! Rencana semula jadi 

berantakan. Terpaksa kita harus menyusun rencana 

baru!" 

"Berubah bagaimana?! Coba cepat katakan!" sahut 

Ratu Malam. Tak sabar si nenek melompat ke arah 

Gendeng Panuntun yang saat itu terus melangkah. 

"Sabar. Beri waktu aku untuk bernapas dahulu...,'' 

ucap Gendeng Panuntun lalu hentikan langkah dua 

tindak di hadapan Ratu Malam yang kini me-

mandangnya dengan tak sabar. 

"Kita harus tinggalkan tempat ini. Sudah tak ada 

yang perlu ditunggu lagi di sini!" kata Gendeng 

Panuntun setelah beberapa saat terdiam. 

"Kau ini bagaimana? Aku sudah susah-susah 

menemukan tempat ini. Begitu sudah kutemukan kau 

enak saja mengajak pergi!" ujar Ratu Malam dengan 

wajah memberengut. 

Gendeng Panuntun tengadahkan kepala. Lalu ter-

tawa terbahak-bahak. 

"Keadaan mengharuskan demikian. Apa boleh 

buat!" 

"Kau belum jelaskan keadaan bagaimana yang 

berubah!" sahut Ratu Malam cepat dengan mata 

mendelik. 

"Di tengah jalan tanpa sengaja aku berjumpa 

dengan Daeng Upas. Sialnya ternyata dia masih 

memendam dendam pada kita. Untung aku tidak


melayani. Lebih sialnya lagi, tiba-tiba muncul orang 

yang selama ini memaklumkan diri sebagai 

Tengkorak Berdarah. Tanpa ada hujan dan angin 

rupanya dia juga menginginkan satu-satunya nyawa-

ku. Tapi rupanya hidupku masih diperpanjang, karena 

ternyata Tengkorak Berdarah juga menginginkan 

kematian Daeng Upas. Ketika kedua orang itu saling 

adu mulut dan kemudian saling lepas pukulan, aku 

diam-diam menyelinap pergi." 

"Daeng Upas. Hem...." Ratu Malam bergumam, lalu 

berkata. "Lalu bagaimana nasib perempuan itu?!" 

"Aku tidak tahu. Tapi firasatku mengatakan dia 

harus menerima nasib buruk! Sebenarnya dia sudah 

kuperingatkan untuk segera tinggalkan tempat itu 

sebelum munculnya Tengkorak Berdarah. Tapi kau 

tahu sendiri. Daeng Upas keras kepala." 

"Lanjutkan keteranganmu!" kata Ratu Malam 

begitu Gendeng Panuntun terdiam sesaat. 

"Di lain tempat, aku jumpa dengan anak sedeng 

itu." 

"Anak sedeng siapa?!" 

"Siapa lagi kalau bukan murid Pendeta Sinting dari 

Jurang Tlatah Perak! Anak itu besar sekali rejeki-

nya...." 

"Rejeki apa yang didapatnya?" 

"Dia jadi rebutan gadis-gadis cantik! Gadis-gadis 

sekarang tak tahu malu ya....? Mau-maunya mereka 

adu otot gara-gara laki-laki." 

Tampang Ratu Malam sesaat tampak cemberut. 

Mulutnya komat-kamit makin keras. "Tidak semua 

perempuan begitu! Hanya perempuan dungu yang 

mau-maunya berkelahi soal laki-laki!" 

Gendeng Panuntun tertawa bergelak mendengar 

ucapan Ratu Malam. "Kau lupa. Kalau orang sudah


dibakar rasa cinta, mana ada orang jadi pintar? 

Malah sebaliknya dia akan berubah jadi orang bodoh 

dan lucu. Apalagi...." 

"Sudah, sudah!" tukas Ratu Malam. "Kau akan 

tambah ngelantur kalau diladeni bicara soal cinta-

cintaan! Sekarang teruskan ceritamu!" 

"Hem.... Selain mendapat rejeki besar, tampaknya 

anak itu ketiban sial.... Menurut keterangannya, dia 

ternyata telah berhasil mendapatkan sebuah kitab 

dan sebuah mahkota setelah memasuki Istana 

Hantu!" 

Raut wajah Ratu Malam berubah kaget. Tapi 

sebelum dia sempat buka mulut Gendeng Panuntun 

telah sambung ucapannya. "Sayangnya, dia lengah. 

Kitab serta mahkota itu diberikan pada orang yang 

selama ini mengaku sebagai Tengkorak Berdarah. Dia 

menduga Tengkorak Berdarah yang di hadapannya 

saat itu adalah orang yang sempat ditemuinya di 

dalam Istana Hantu! Bukan hanya itu, dia sempat 

terkena pukulan si Tengkorak Berdarah itu." Gendeng 

Panuntun menghela napas, lalu bergumam. "Padahal 

menurut dugaanku, rimba persilatan akan diguncang 

malapetaka besar jika sampai kitab itu jatuh ke 

tangan orang yang tidak bertanggung jawab! Malah 

bisa kiamatl" 

Dahi keriput Ratu Malam semakin berkerut begitu 

mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Perempuan 

berambut putih sebatas tengkuk ini akhirnya berujar. 

"Apa menurutmu memang ada dua Tengkorak 

Berdarah?!" 

"Aku sebelumnya menduga begitu. Tapi setelah 

mendengar keterangan anak sedeng itu, aku jadi 

yakin. Ada dua Tengkorak Berdarah. Hanya peran 

mereka satu sama lain berbeda. Di sinilah lalu timbul


kekacauan!" 

"Lalu bagaimana urusan Iblis Ompong, Dewa 

Sukma, serta Dewi Es?!" 

"Anak sedeng itu tidak menemukan mereka. Itulah 

yang membuat kita harus tinggalkan tempat ini!" 

"Lalu apa hubungannya?!" 

"Hem.... Tempat di batu itu kurasa adalah tempat 

yang masih berhubungan dengan Istana Hantu. Lalu 

mendengar cerita anak itu, ternyata benar. Kalau 

murid Pendeta Sinting itu tidak menemukan mereka 

di tempat itu, berarti percuma kita menunggu di sini!" 

"Tapi kalau belum menyelidik sendiri hatiku tidak 

puas!" 

Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Ucapanmu 

menunjukkan kau masih berprasangka jelek terhadap 

penghuni Istana Hantu...." 

"Kau telah dengar sendiri tentang kelakuan 

penghuni Istana Hantu! Sudah pada tempatnya jika 

kau curiga!" 

"Sudah kukatakan tadi, aku yakin ada dua 

Tengkorak Berdarah. Satu di antara keduanya pasti 

ada yang punya peran ganda. Dia coba mengail di air 

keruh lalu mengambil untung daripadanya. Terbukti 

dia mengambil kitab dan mahkota! Kalau tidak, untuk 

apa dia membantu anak sedeng itu hingga dapat 

menemukan kitab dan mahkota!" 

"Lalu ke mana gerangan lenyapnya manusia-

manusia geblek itu?!" 

"Untuk itulah aku mengajakmu pergi dari sini. Aku 

punya firasat akan terjadi sesuatu di sekitar Istana 

Hantu. Dan itu masih ada hubungannya dengan 

lenyapnya mereka!" 

Ratu Malam perhatikan kakek bermata putih di 

hadapannya yang masih saudara seperguruannya itu.


Mulutnya yang mainkan gumpalan tembakau hitam 

membuka hendak mengatakan sesuatu. Namun 

sebelum suaranya terdengar, Gendeng Panuntun 

sudah balikkan tubuh. 

"Aku tahu tempat yang aman untuk mandi ber-

basah-basah tanpa khawatir diintip orang. Tapi kalau 

kau ingin pamer tubuh di sini, silakan saja! Asal kau 

tahu orang buta sepertiku ini saja sudah tidak ingin 

melihatnya! Apalagi orang yang melek. Ha.... Ha.... 

Ha...!" 

Dengan terus tertawa bergelak Gendeng Panuntun 

melangkah. Ratu Malam pentangkan mata sambil 

menggerendeng panjang pendek. 

"Dasar orang buta. Bicaranya ngaco tak karuan. 

Sampai nungging seumur-umur pun mana orang buta 

bisa melihat!" ujar Ratu Malam sambil bantingkan 

kaki. Tapi saat lain dia tertawa cekikikan lalu 

berkelebat menyusul Gendeng Panuntun. 

***


SEPULUH


KITA kembali dulu pada Pendekar 131 Joko Sableng. 

Seperti diketahui, begitu murid Pendeta Sinting 

hendak melangkah meninggalkan tempat di mana 

tadi terjadi pertengkaran antara Saraswati dan Puspa 

Ratri, mendadak terdengar suara duutt! Duuutt! 

beberapa kali. Tahu-tahu satu sosok tubuh telah 

tegak di hadapannya dengan kaki di atas kepala di 

bawah! 

"Dewa Orok!" desis Pendekar 131 dengan mata 

terpentang besar. "Kemunculan orang ini pasti 

meneruskan urusan di sungai itu! Kalau benda yang 

diminta adalah salah satu benda yang berhasil 

dibawa kabur Tengkorak Berdarah, pasti suasana 

akan jadi tambah runyam!" 

Baru saja Joko membatin begitu, orang di 

hadapannya yang bukan lain memang Dewa Orok 

adanya semburkan bundaran karet di mulutnya 

hingga mengapung di udara. Kejap lain dia telah 

membentak keras. 

"Orang muda! Jangan kira dunia ini luas bila kau 

berani berkata dusta padaku!" Belum sampai ucapan-

nya habis, Dewa Orok telah membuat gerakan sekali. 

Wuuuttt! Kini pemuda berwajah tampan bertangan 

buntung ini telah tegak dengan kepala di atas kaki di 

bawah. Tapi yang dibuat tumpuan tubuhnya adalah 

dua ibu jari kakinya! 

Begitu telah tegak, Dewa Orok sambung kata-

katanya. "Aku masih memberimu kesempatan. Lekas 

serahkan benda itu padaku! Jika tidak, kau tak akan


bisa mengelak dari kenyataan buruk! Ingat. Jangan 

banyak berdalih!" 

Sesaat murid Pendeta Sinting tampak berubah 

tegang. Ketika dia sudah dapat kuasai diri, bibirnya 

tersenyum. Lalu berkata. 

"Dewa Orok. Kau terus menerus minta benda 

dariku. Harap katakan benda apa sebenarnya yang 

kau minta?!" 

Sepasang mata Dewa Orok menyipit membelalak. 

Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya dia berkata. 

"Aku minta mahkota bersusun tiga berwarna 

kuning yang pasti sudah kau ambil dari tempat dalam 

tanah itu!" 

"Ah...!" Murid Pendeta Sinting mengeluh. "Rupanya 

aku kemarin salah sangka. Dia bukan menginginkan 

kitab itu! Tapi sekarang terlambat. Mahkota yang 

dimintanya pun sudah lenyap!" 

"Dewa Orok! Harap kau mau mendengar kata-

kataku dahulu...." 

Dewa Orok segera gelengkan kepalanya. "Sudah 

kubilang. Jangan banyak berdalih!" 

"Aku tidak berdalih. Ini kenyataan!" 

"Kalau tidak berdalih, kau tak usah bicara. 

Keluarkan mahkota itu lalu serahkan padaku!" 

"Mahkota itu memang kutemukan. Namun 

sekarang dibawa kabur orang!" 

Mendadak Dewa Orok tertawa bergelak-gelak 

mendengar ucapan murid Pendeta Sinting hingga 

tumitnya yang berjingkat tampak turun naik 

menyentuh tanah. 

"Jangan mimpi bisa membohongiku untuk kedua 

kalinya, Orang Muda! Kau tahu bukan, sekali orang 

ketahuan berdusta, selamanya tidak akan dipercaya 

orang!"


"Terserah kau mau bilang bagaimana. Yang jelas 

mahkota itu memang telah dibawa kabur orang 

dengan cara licik!" 

"Aku tak mau tahu urusan itu. Itu urusanmu! Yang 

jelas, kau membawa mahkota milik nenek moyangku 

itu! Aku berhak minta darimu!" 

"Kalau kau tetap memaksa, apa hendak dikata. 

Sekarang apa maumu?" ujar Pendekar 131 setelah 

berpikir tak ada gunanya memberi keterangan lebih 

jauh. 

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, dahi 

Dewa Orok berkerut. Sepasang matanya pandangi si 

pemuda lama tak berkesip. "Hem.... Ucapannya 

seperti orang pasrah. Apa kali ini dia benar-benar 

tidak mendustaiku?" 

"Orang muda! Katakan padaku bagaimana 

kejadian sebenarnyal" 

Sebenarnya Joko tidak mau turuti permintaan 

Dewa Orok. Tapi merasa dia juga salah, apalagi 

dilihatnya Dewa Orok agak melunak, akhirnya Joko 

menceritakan bagaimana sampai mahkota itu bisa 

dibawa kabur Tengkorak Berdarah. Namun Joko 

sengaja tidak menceritakan kalau dirinya juga 

menemukan kitab bersampul kuning. Karena Dewa 

Orok pun tidak pernah menyebut-nyebut soal kitab. 

"Orang muda! Aku tanya sekali lagi. Apa ceritamu 

tadi tidak mengada-ada?" kata Dewa Orok setelah 

mendengar cerita murid Pendeta Sinting. 

"Aku tidak menginginkan mahkota itu. Jadi tak ada 

untungnya aku mengarang cerita!" 

"Hem.... Lalu mengapa saat di atas sungai itu kau 

berkata dusta? Jika saat itu kau berkata jujur, tidak 

akan urusan jadi begini rupa!" 

"Aku baru saja mengenalmu! Aku harus berhati


hati! Kau tahu sendiri, belum sampai lama tiba-tiba 

muncul perempuan tua itu! Dia juga minta sesuatu 

dariku!" Yang dimaksud Joko tidak lain adalah Daeng 

Upas. 

Dewa Orok anggukkan kepalanya perlahan. Tapi 

wajah pemuda bertangan buntung ini tampak 

berubah cemas. Dia lalu mendongak tanpa berkata 

apa-apa. 

"Kalau boleh tahu, bagaimana kau bisa 

mengatakan mahkota itu milik nenek moyangmu?" 

tanya Joko setelah di antara keduanya tidak ada yang 

buka mulut lagi. 

Dewa Orok gerakkan kepalanya lurus ke arah 

Pendekar 131. Lalu pemuda ini mulai angkat bicara. 

"Menurut orang yang mengangkatku sebagai murid, 

aku sebenarnya masih keturunan raja-raja Singasari. 

Pada beberapa ratus tahun silam, terjadi satu 

peristiwa yang sempat menggegerkan kerajaan. Sang 

permaisuri raja yang saat itu memerintah dikabarkan 

punya anak hasil hubungan gelap dengan orang lain. 

Sang permaisuri akhirnya meninggalkan istana dan 

terakhir dikabarkan bunuh diri. Aku adalah masih 

keturunan permaisuri itu dari seorang anak 

perempuannya!" 

"Menyedihkan sekali ceritamu. Lalu bagaimana 

anak hasil hubungan gelap itu?" tanya Joko. 

"Dia dibawa pergi oleh seorang abdi istana. Tapi 

sebelum itu ternyata si permaisuri telah memberikan 

mahkota bersusun tiga yang sempat dibawanya 

kepada si abdi agar kelak diberikan pada anak hasil 

hubungan gelapnya. Dia juga berpesan, jika sang 

anak besar dan ingin menduduki istana, dia terlebih 

dahulu diharuskan merebut dua kitab pusaka 

kerajaan! Begitu besar sang anak turuti pesan sang


permaisuri. Namun anak ini mengalami kegagalan 

merebut dua kitab pusaka. Setelah itu kabar berita-

nya tidak terdengar lagi hingga akhirnya muncul satu 

kejadian besar. Seorang gadis cantik berhasil me-

nerobos istana tempat penyimpanan dua kitab 

pusaka. Gadis itu dikabarkan membekal juga 

mahkota bersusun tiga yang berarti gadis ini ada 

hubungan dekat dengan anak sang permaisuri. 

Namun si gadis akhirnya harus menerima karma. Dia 

terjerumus masuk dalam lobang rahasia istana 

tempat penyimpanan dua kitab pusaka. Hanya 

sayang, bersamaan dengan itu dua kitab pusaka 

kerajaan lenyap tak tentu rimbanya! Ada sebagian 

orang mengatakan kitab itu berhasil dibawa masuk si 

gadis, tapi sebagian orang mengatakan kitab itu 

dibawa lari orang lain." 

Pendekar 131 perhatikan wajah Dewa Orok. Tiba-

tiba hatinya berdebar "Jangan-jangan kitab itu adalah 

kitab yang kutemukan di dalam tempat itu...," katanya 

dalam hati. Lalu dia bertanya dengan alihkan 

pandangan pada jurusan lain. 

"Kau tahu nama dan ciri-ciri kitab itu?" 

"Dua kitab itu satu bersampul biru satunya lagi 

bersampul kuning...." 

Murid Pendeta Sinting terkesiap. Belum lenyap 

rasa kejutnya Dewa Orok telah lanjutkan keterangan-

nya. "Yang bersampul biru bernama Kitab Serat Biru 

sedang yang bersampul kuning bernama Kitab 

Sundrik Cakra." 

Murid Pendeta Sinting tak dapat lagi menahan 

rasa kaget. Kakinya tersurut sampai dua tindak. 

Sepasang matanya mementang memandang ke arah 

Dewa Orok. 

"Kau tampak tersentak kaget. Ada apa? Kau


menemukan juga kitab itu?!" 

Mungkin karena khawatir Dewa Orok akan juga 

meminta kitab itu, Joko gelengkan kepala. 

Dewa Orok tertawa pelan. "Orang muda. Kau tak 

usah khawatir. Urusanku adalah mahkota, bukan 

kitab! Hanya kau harus berhati-hati jika benar telah 

mendapat kitab itu!" 

"Bagaimana ini? Apa sebaiknya kukatakan saja 

juga padanya tentang kitab itu?" Joko berpikir sesaat. 

Lalu berkata. 

"Sebenarnya aku memang telah menemukan kitab 

yang bersampul kuning. Hanya karena ketololanku, 

kitab itu akhirnya dibawa kabur juga bersama 

mahkota!" 

Dewa Orok menarik napas panjang. Kepalanya 

menggeleng-geleng. "Mungkin kau tidak berjodoh 

dengan kitab itu! Hanya saja orang yang membawa 

kabur itu belum bisa bernapas lega...." 

"Maksudmu...?!" 

"Kalau benar yang dibawa kabur kitab yang 

bersampul kuning, maka terlebih dahulu dia harus 

mendapatkan kitab yang bersampul biru yang 

bernama Kitab Serat Biru. Tanpa mendapatkan Kitab 

Serat Biru, kitab bersampul kuning tidak bisa dibuka! 

Kitab bersampul kuning adalah kitab kedua. Sedang 

yang bersampul biru adalah kitab pertama!" 

Untuk kesekian kalinya murid Pendeta Sinting 

mengeluh. Diam-diam dia berkata sendiri dalam hati. 

"Kitab kedua yang kucari sebenarnya sudah di 

tangan, tapi mungkin masih belum saatnya...." 

"Orang muda. Aku harus segera pergi. Tapi aku 

perlu meyakinkan sekali lagi. Apa betul semua yang 

kau ceritakan tadi?!" 

"Kali ini aku tidak berdusta. Dan...." Joko tidak


lanjutkan ucapannya. Dia tampak bimbang. 

"Dan apa...?!" tanya Dewa Orok. "Jangan kau 

menggantung ucapan. Aku perlu kepastian!" 

"Kalau kau mau kuberi tahu, kau jangan berada 

jauh dari sekitar Istana Hantu hari-hari ini. Aku 

menangkap isyarat bahwa orang yang sama-sama 

kita cari akan berada di sekitar tempat itu!" 

"Hem.... Bagaimana kau bisa berkata begitu? 

Kulihat kau bukan ahli ramal!" 

"Aku memang bukan tukang ramal. Tapi yang 

mengatakan ini adalah sahabatku Gendeng 

Panuntun!" 

"Ah. Tokoh sakti yang punya ilmu hebat itu. Hem.... 

Aku pernah dengar namanya juga kehebatannya. Jika 

dia yang mengatakan begitu, tentu aku akan turuti 

ucapannya. Tapi sebelum itu aku juga perlu 

menyelidik dahulu!" 

"Lalu bagaimana kabar nenek cantik itu?!" tanya 

murid Pendeta Sinting. 

Dewa Orok menggeleng. "Setelah aku dan dia 

mandi bersama, dia tak sabar dan sepertinya 

langsung mengejarmu!" 

"Walah. Kau tampaknya ketiban rejeki juga. Bisa 

mandi bersama-sama nenek cantik...." 

"Inilah nasib jelek orang sepertiku. Orang bisa saja 

mengatakan rejeki. Tapi apalah arti satu rejeki jika 

tak memiliki tangan? Apakah aku harus meraba 

dengan kaki? Jadi, rejeki menurut orang namun 

malapetaka bagiku. Karena aku hanya bisa 

memandang tanpa dapat pegang-pegang! Ha.... Ha.... 

Ha...!" 

"Ah. Seharusnya nenek itu tahu. Jadi dialah yang 

seharusnya pegang-pegang milikmu! Kau tinggal 

kerdap-kerdipkan mata! Ha.... Ha.... Ha...!" Joko ikut


ikutan tertawa. 

Tempat itu sesaat dibuncah dengan suara ber-

gelak bersahutan. Namun tiba-tiba Dewa Orok putus-

kan tawanya. Mulutnya menyedot. Bundaran karet 

yang mengapung di depan wajahnya tertarik ke 

belakang lalu masuk ke mulutnya. Bersamaan 

dengan itu dia melejit ke udara. Di atas udara 

membuat gerakan jungkir balik. Lalu melompat-

lompat dengan kaki di atas dan kepala di bawah! 

"Dasar kerabatnya Dewa.... Meski namanya Orok 

tapi sudah tahu nenek cantik!" ujar Joko seraya terus 

tertawa lalu berkelebat mengambil jurusan ber-

lawanan dengan Dewa Orok. 

***



SEBELAS


DUA bayangan hitam berkelebat laksana angin 

menyeruak pekatnya kabut pagi hari. Sesaat 

kemudian perlahan-lahan suasana berubah. 

Lingkaran kabut sirna dan keadaan menjadi terang. 

Seiring dengan itu sang mentari unjuk diri dari 

bentangan kaki langit di sebelah trmur. 

Pada satu tempat, mendadak bayangan hitam 

sebelah kanan cekal tangan bayangan di sebelah kiri. 

Kedua bayangan ini serta-merta hentikan lari masing-

masing. Mereka tegak dengan kepala lurus me-

mandang ke depan. 

Bayangan hitam sebelah kanan ternyata adalah 

seorang kakek bermuka pucat dengan rambut putih 

disanggul ke atas. Sepasang matanya besar melotot. 

Kakek ini mengenakan jubah hitam besar dan 

panjang. Sepasang tangannya dimasukkan ke dalam 

saku jubah hitamnya. Sementara bayangan hitam di 

sebelah sang kakek adalah seorang perempuan 

berambut pirang yang tidak bisa dikenali raut 

wajahnya. Wajah orang ini ditutup dengan kain cadar 

berwarna hitam hanya menyisakan lobang pada 

kedua matanya. Perempuan bercadar ini memakai 

jubah berwarna hitam sepanjang lutut. Kedua 

tangannya juga dibungkus dengan kulit berwarna 

hitam dan tampak merangkap di depan dada. Kedua 

orang ini bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam dan 

Durga Ratih alias Dewi Siluman. 

Untuk beberapa lama Ki Buyut Pagar Alam dan 

Dewi Siluman tegak dengan mulut terkancing tak ada


yang perdengarkan suara. Hanya sepasang mata 

keduanya memandang tak berkesip. Malah Dewi 

Siluman sejenak kemudian pentangkan matanya 

makin besar. Wajah di balik cadar hitamnya berubah. 

Tengkuknya menjadi dingin. 

Sejarak dua belas langkah dari kedua orang ini 

tampak satu sosok tubuh seorang perempuan 

tergeletak di atas tanah. Perempuan ini belum jelas 

benar karena posisinya telungkup. Sementara 

pakaian yang dikenakan tampak hangus serta tak 

karuan. Sosok inilah rupanya yang membuat Ki Buyut 

Pagar Alam dan Dewi Siluman tampak tersentak 

kaget hingga tak ada yang buka mulut. 

"Ki Buyut...,"' kesunyian dipecah oleh suara Dewi 

Siluman. "Apa yang ada dalam benakmu?!" 

Kakek bermuka pucat menyahut tanpa berpaling. 

"Rasanya dugaan kita sama. Tapi kita belum melihat 

dengan teliti untuk mengenalinya!" 

"Dari bentuk serta pakaiannya, meski sudah 

compang-camping tidak karuan, agaknya aku hampir 

yakin!" gumam Dewi Siluman. Tubuh perempuan 

bercadar hitam ini bergetar. Tengkuknya makin 

merinding. 

"Keyakinan tak cukup selain dibuktikan dengan 

mata kepala sendiri, Dewi!" 

Ucapan Ki Buyut Pagar Alam belum selesai, 

laksana elang Dewi Siluman telah berkelebat ke 

depan. 

Ki Buyut Pagar Alam segera menyusul. 

Begitu Dewi Siluman tegak di samping sosok 

perempuan yang tergeletak tak bergerak, sepasang 

matanya mendelik besar. Kedua tangannya yang 

terbungkus sarung tangan kulit gemetar. Ki Buyut 

Pagar Alam yang telah tegak di samping Dewi Siluman


tak kalah kagetnya. Namun kakek ini cepat dapat 

kuasai diri dan segera berkata. 

"Buktikan dahulu, Dewi!" 

Dengan lutut gemetar, Dewi Siluman perlahan-

lahan jongkok. Kedua tangannya pegang bahu orang 

yang tergeletak menelungkup. Lalu tangannya 

bergerak membalik tubuh orang. 

Laksana disengat, sosok Dewi Siluman langsung 

terlonjak dengan mulut keluarkan jeritan keras. Pada 

saat bersamaan, Ki Buyut Pagar Alam terhenyak 

dengan tampang memucat dan matanya membeliak. 

"Daeng Upas!" desis Ki Buyut Pagar Alam dengan 

suara laksana orang dicekik. 

Perempuan yang menggeletak dan kini telentang 

itu ternyata seorang perempuan berusia agak lanjut. 

Pakaiannya terbuat dari sutera. Tidak jauh dari 

tempatnya menggeletak tampak sebuah bambu 

berwarna kuning. Dari ciri-ciri orang cukup membuat 

Ki Buyut Pagar Alam yakin jika perempuan yang telah 

jadi mayat itu adalah Daeng Upas, kakak kandung 

serta ibu Dewi Siluman. 

Tiba-tiba Dewi Siluman menghambur kembali ke 

depan. Tubuhnya langsung direbahkan ke atas sosok 

perempuan yang tidak lain memang Daeng Upas. 

Tangan sang Dewi mengguncang-guncang sosok 

ibunya. Bersamaan itu terdengar ledakan tangisnya. 

Sedang Ki Buyut Pagar Alam menghela napas dalam 

sambil usap-usap wajahnya. 

"Dewi...," bisik Ki Buyut Pagar Alam setelah 

beberapa saat berlalu seraya pegang pundak Dewi 

Siluman dan perlahan-lahan ditarik dari atas tubuh 

Daeng Upas. "Kita harus segera mengurus jenazah-

nya...." 

Dewi Siluman tepiskan tangan Ki Buyut Pagar


Alam. Lalu berteriak keras. 

"Jahanam siapa yang punya ulah ini?! Siapa? 

Siapa?!" 

"Itu akan segera kita selidiki, Dewi...," sahut Ki 

Buyut dengan suara tetap pelan dan bergetar. 

Dewi Siluman angkat tubuhnya dari atas tubuh 

Daeng Upas yang telah kaku. Sepasang mata 

perempuan bercadar ini sembab. Air matanya terus 

mengalir. Kedua tangannya yang bersarung tangan 

mengusap-usap wajah Daeng Upas. 

"Semua telah terjadi. Percuma kita tangisi nasib! 

Tidak akan menyelesaikan masalah...." 

Dewi Siluman berpaling ke arah Ki Buyut Pagar 

Alam. Mulut di balik cadar perempuan ini hendak 

mendamprat. Tapi setelah dipikir-pikir ucapan si 

kakek benar juga, perlahan-lahan Dewi Siluman 

arahkan kembali wajahnya pada Daeng Upas. 

"Aku bersumpah akan menguliti tubuh manusia 

jahanam yang membunuh Ibu!" 

"Itu akan segera kita lakukan! Sekarang kita harus 

mengurusnya dahulu!" sahut Ki Buyut Pagar Alam lalu 

jongkok. Tubuh Daeng Upas perlahan-lahan diangkat 

lalu dibawa melangkah. Dewi Siluman hanya 

memandang. Tak lama kemudian dia mengambil 

bambu kecil berwarna kuning yang tadi tergeletak di 

samping sosok Daeng Upas. Lalu bangkit dan 

menyusul Ki Buyut Pagar Alam. 

*** 

Dewi Siluman dan Ki Buyut duduk bersimpuh di 

depan gundukan tanah merah tempat dikuburnya 

Daeng Upas. Dewi Siluman masih terisak. Sedang Ki 

Buyut tundukkan kepala.


"Ibu, aku akan membalas manusia jahanam yang 

membuatmu begini!" isak Dewi Siluman. 

Ki Buyut Pagar Alam bangkit berdiri. Memandang 

pada gundukan tanah merah lalu beralih pada Dewi 

siluman sambil berujar. 

"Dewi.... Kita tinggalkan tempat ini!" 

Dewi Siluman seka air matanya. Lalu perlahan-

lahan bangkit. Setelah menarik napas dalam dia 

balikkan tubuh melangkah menyusul Ki Buyut yang 

telah melangkah pelan mendahului. 

"Buyut! Kau bisa menduga siapa manusia jahanam 

penyebab kematian Ibu?!" tanya Dewi Siluman 

setelah dekat dengan Ki Buyut. 

"Ada beberapa orang. Mereka selama ini punya 

masalah dengan ibumu! Namun kita masih perlu 

menyelidiki agar kita tidak buang-buang tenaga 

percuma. Apalagi kini rimba persilatan sedang di-

landa kemelut. Jika kita tidak teliti, kita akan salah 

turunkan tangan!" 

"Katakan siapa kira-kira jahanam itu!" 

"Hem.... Orang pertama adalah Gendeng Panuntun 

dan saudara-saudaranya. Ibumu kuketahui sejak 

lama memendam dendam pada mereka. Merekalah 

yang membuat hidup ibumu merana. Orang kedua 

adalah pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 

131 Joko Sableng. Kau tahu, rahasia Kitab Serat Biru 

sebenarnya harus jatuh ke tangan ibumu. Namun 

karena ulah Gendeng Panuntun dan saudara-

saudaranya, Kitab Serat Biru akhirnya dimiliki 

pemuda itu. Bukan tak mungkin pemuda itu lalu 

menyingkirkan ibumu karena tahu masalahnya dari 

Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya! Orang 

ketiga adalah penghuni Istana Hantu yang dikenal 

dengan Tengkorak Berdarah. Tokoh misterius inilah


yang selama ini dikabarkan orang dalang di belakang 

terbunuhnya beberapa tokoh rimba persilatan! Tapi 

siapa pun pembunuh itu yang jelas kepandaiannya 

tidak berada di bawah ibumu! Dari sini kita harus 

berhati-hati!" 

"Peduli setan dengan kepandaian orang! Aku akan 

menuntut balas!" menyahut Dewi Siluman dengan 

setengah berteriak. 

Ki Buyut menggelengkan kepala. "Kau tidak boleh 

gegabah, Dewi! Itu akan mendatangkan celaka! 

Dalam urusan ini kita dituntut untuk bertindak hati-

hati bahkan kalau perlu harus berlaku licik!" 

Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan Ki Buyut 

Pagar Alam. Agak lama baru dia perdengarkan suara 

lagi. "Ki Buyut. Apa yang kau ketahui tentang 

Tengkorak Berdarah?" 

"Bukan hanya aku, tapi mungkin semua orang 

masih diliputi teka-teki tentang tokoh satu itu! Apa 

gerangan di balik perbuatannya selama ini! Tapi 

bagiku orang itu punya tujuan tertentu!" 

"Kau bisa menebak apa tujuannya?!" 

Ki Buyut Pagar Alam menggeleng. "Sulit meraba 

apa tujuannya. Hanya yang bisa kutangkap, dia 

seolah ingin mengundang munculnya beberapa 

orang! Kau tahu sendiri. Kini banyak tokoh yang 

muncul. Salah satunya adalah pemuda aneh ber-

tangan buntung yang sempat bentrok dengan 

ibumu...." 

"Ah.... Jangan-jangan pemuda itu yang membunuh 

Ibu! Bukankah dia pernah punya urusan juga dengan 

Ibu?!" gumam Dewi Siluman. 

"Itu mungkin saja. Tapi ibumu tampaknya belum 

mengenal pemuda itu. Jadi kemungkinannya jauh 

sekali...."


"Aku jadi bingung! Sekarang yang mana harus kita 

cari dahulu?!" 

"Kita tak dapat mendahulukan yang mana. Ketiga 

orang yang kukatakan sama pentingnya. Siapa yang 

kita temui dahulu di antara ketiganya, dialah yang kita 

selesaikan dahulu!" 

"Lalu ke mana...." Dewi Siluman putuskan ucapan-

nya. Saat itu mendadak terdengar satu seruan 

dahsyat. Kejap lain satu gelombang angin luar biasa 

keras menggebrak ganas ke arah Dewi Siluman dan 

Ki Buyut Pagar Alam. 

Ki Buyut Pagar Alam dorong sosok Dewi Siluman 

hingga tersurut tiga langkah ke samping. Si kakek 

sendiri melompat dua langkah. Gelombang angin 

lewat di tengah antara sosok sang Dewi dan Ki Buyut 

Pagar Alam melabrak tempat kosong. 

Hampir berbarengan, kepala Dewi Siluman dan Ki 

Buyut Pagar Alam berpaling ke arah asal datangnya 

gelombang angin yang jelas-jelas hendak mencelakai 

keduanya. Rahang di balik cadar sang Dewi 

mengembung. Sepasang matanya berkilat. Di sebelah 

sampingnya Ki Buyut Pagar Alam kernyitkan kening 

dengan mulut komat-kamit. Sepasang matanya yang 

melotot besar mementang tak berkesip memandang 

ke depan. 

Kurang lebih sepuluh tombak dari tempat masing-

masing, Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam 

melihat seorang yang sekujur tubuhnya dibungkus 

dengan jubah terusan warna abu-abu yang pada 

bagian dadanya ada lukisan tengkorak. 

Ki Buyut Pagar Alam segera melompat ke arah 

Dewi Siluman. Sang Dewi berkata. 

"Ki Buyut. Siapa adanya manusia ini?! Kenapa tiba-

tiba menyerang kita?!"


"Aku baru kali ini bertemu dengannya! Aku akan 

ajukan tanya!"' 

Dewi Siluman mendengus. "Untuk membunuh 

orang yang jelas hendak mencelakai kita apa penting-

nya tahu siapa dia?!" 

"Dewi.... Dalam keadaan seperti sekarang ini, kita 

harus bisa menghemat tenaga dan mengambil 

untung sebisanya!" 

"Apa maksudmu, Ki Buyut?!" 

Ki Buyut Pagar Alam tidak menjawab pertanyaan 

Dewi Siluman. Sebaliknya kakek ini maju satu tindak. 

Lalu berkata. 

"Rasanya kita baru jumpa sekali ini. Harap sebut-

kan diri agar tidak terjadi silang sengketa tanpa 

urusan yang jelas!" 

Orang berjubah abu-abu terusan yang tidak lain 

adalah orang yang selama ini perkenalkan diri dengan 

Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. Tapi men-

dadak tawanya diputus. Saat lain dia berucap. 

"Ucapanmu benar. Kita baru kali ini berjumpa, Tua 

Bangka! Tapi aku tahu siapa adanya kalian berdua! 

Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaanmu, 

namun mungkin kau dan perempuan bercadar itu tak 

punya waktu lagi! Kedua tanganku akan mengirim 

kalian menyusul si kampret Daeng Upas sebelum 

kalian mendengar jawabanku!" 

Baik Dewi Siluman maupun Ki Buyut Pagar Alam 

terkesiap kaget. Dewi Siluman segera angkat kedua 

tangannya siap lepaskan pukulan. Dia telah menduga 

bahwa orang di hadapannya masih ada sangkut paut 

dengan terbunuhnya Daeng Upas. 

"Tahan, Dewi!" seru Ki Buyut Pagar Alam. "Jangan 

sampai kita dikecoh orang! Bukan tak mungkin dia 

hanya mengaku-aku agar orang sebenarnya yang


membunuh ibumu bisa leluasa tak dicurigai!" 

"Manusia jahanam ini telah mengaku sendiri. 

Untuk apa berpanjang lebar?!" sahut Dewi Siluman 

dengan kedua tangan masih terangkat. Tapi dia batal-

kan untuk lepaskan pukulan. 

Ki Buyut Pagar Alam menoleh pada Dewi Siluman. 

Tapi kakek ini tidak berkata apa-apa. Kejap lain Ki 

Buyut memandang ke arah Tengkorak Berdarah lalu 

berkata. 

"Kau bilang tahu siapa kami berdua. Coba katakan 

siapa adanya kami!" pancing Ki Buyut. Kakek ini 

berlaku cerdik. Dia tidak ingin saja mempercayai 

ucapan orang. Dia maklum, dalam situasi kemelut 

seperti saat ini, sulit membedakan mana lawan mana 

kawan. Tak jarang orang yang dianggap kawan 

menghantam dari belakang dan sebaliknya. 

"Kau dengar ucapanku! Kalian tak mungkin punya 

kesempatan mendengar jawabanku!" 

Mendengar kata-kata orang berjubah abu-abu 

terusan, Dewi Siluman yang tidak sabaran dan sedari 

tadi sudah geram segera sentakkan kedua tangannya 

mendahului gerakan Tengkorak Berdarah. 

Wuuttt! Wuuttt! 

Dua gelombang kabut hitam melesat dan me-

labrak ganas ke arah Tengkorak Berdarah! Anak 

perempuan Daeng Upas telah lepaskan pukulan 

andalan 'Kabut Neraka'. 

***


DUA BELAS


KI Buyut Pagar Alam tidak tinggal diam. Kakek ini 

mulai geram begitu mendengar jawaban Tengkorak 

Berdarah. Hingga Dewi Siluman kirimkan pukulan, 

dari arah lain dia lepaskan pukulan jarak jauh ber-

tenaga dalam kuat. Jelas jika keduanya ingin cepat 

selesaikan Tengkorak Berdarah. 

Meski sejenak tampak tersentak dengan ber-

geraknya kepala di balik jubah abu-abu terusan 

tengadah, saat lain orang ini terdengar mendengus 

keras. Tangan kiri kanan segera bergerak menyentak. 

Wuuutt! Wuuutt! 

Terdengar suara gelombang angin berkelebat 

angker. Sesaat kemudian satu ledakan dahsyat 

mengguncang tempat itu. Sosok Dewi Siluman dan Ki 

Buyut Pagar Alam terlihat bergoyang-goyang. Lalu 

sama tersapu hingga kedua orang ini mundur empat 

langkah. Dewi Siluman hampir saja terhuyung jatuh 

jika tidak imbangi diri dengan sentakkan kedua bahu-

nya. Sedangkan Ki Buyut Pagar Alam tampak tetap 

tegak meski sesaat tadi tampak tersapu. 

Di sebelah depan, Tengkorak Berdarah tergontai-

gontai lalu tersurut tiga langkah. Kedua tangannya 

bergetar. Kepala di balik jubah terusannya bergerak 

bergantian menghadap Dewi Siluman dan Ki Buyut 

Pagar Alam. 

"Tua bangka itu tenaganya lebih tinggi. Hem.... Dia 

harus kuhabisi dahulu!" gumam Tengkorak Berdarah. 

Tanpa tunggu lebih lama dia langsung melompat. Dari 

jarak delapan langkah tangan kanannya menyentak


lepaskan pukulan ke arah Dewi Siluman. Kejap lain 

sosoknya melesat ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Kini 

kedua tangannya segera bergerak menghantam ke 

arah kepala si kakek! 

Wajah di balik cadar Dewi Siluman menyeringai. 

Perempuan berambut pirang ini tertawa pelan melihat 

datangnya serangan. Hal ini bisa dimaklumi karena 

saat itu Tengkorak Berdarah sengaja lepaskan 

pukulan hanya dengan seperempat tenaga dalamnya, 

hingga Dewi Siluman tampak meremehkan. Dewi 

Siluman tidak tahu, jika serangan yang kini mengarah 

padanya hanya untuk membagi perhatian Ki Buyut 

Pagar Alam. 

Tipuan Tengkorak Berdarah tidak meleset. Ki 

Buyut Pagar Alam ikut-ikutan lepaskan pukulan saat 

Dewi Siluman hendak memangkas pukulan lawan. 

Kakek ini dapat merasa jika Dewi Siluman sendiri 

sudah bisa mengatasi. Justru dia terlihat ingin 

mengetahui apa yang hendak dilakukan sang Dewi. 

Namun begitu melihat lawan terus berkelebat ke 

arahnya dan langsung kirimkan pukulan ke arah 

kepalanya, kakek ini sejurus tampak terkesiap kaget. 

Ki Buyut Pagar Alam silangkan dua tangannya di 

atas kepala untuk menangkis serangan lawan. 

Namun bersamaan dengan terangkatnya kedua 

tangan untuk melindungi kepala, kaki kanannya ber-

gerak berkelebat susupkan tendangan! 

Sosok Tengkorak Berdarah yang sedang lancarkan 

pukulan ke arah kepala si kakek tak mau bertindak 

ayal. Jelas jika dia teruskan menghantam kepala 

lawan, maka sebelum kedua tangannya sempat mem-

buat pecah kepala si kakek, niscaya tendangan orang 

tua itu akan menyambutnya terlebih dahulu.


Memikir sampai di situ, Tengkorak Berdarah cepat 

tarik pulang kedua tangannya. Saat lain kaki kanan di 

balik jubah abu-abunya mencuat lepaskan 

tendangan. Lalu kedua tangannya yang kini ditarik 

kembali dihantamkan lewat bawah mengarah pada 

selangkangan si kakek yang kosong karena kaki 

kanannya sedang kirimkan tendangan. 

Ki Buyut tidak tinggal diam. Kedua tangannya yang 

menyilang di atas kepala cepat pula disentakkan ke 

bawah memangkas kedua tangan lawan yang hendak 

membongkar selangkangannya. 

Bukkk! Bukkk! 

Bukkk! Bukkk! 

Terdengar benturan keras berulangkali ketika 

secara berbarengan dua tendangan dan dua pasang 

tangan bertemu. 

Sosok Tengkorak Berdarah mental balik melayang 

ke belakang. Namun setengah jalan orang ini mem-

buat gerakan jungkir balik lalu melayang turun. Orang 

ini seakan baru saja menghantam dinding kokoh, 

hingga saat sepasang kaki di balik jubahnya 

menginjak tanah, jelas terlihat sosok orang ini ter-

huyung-huyung. Sepasang kakinya bergetar hebat 

dan goyah. 

Di seberang, karena saat terjadi benturan Ki Buyut 

Pagar Alam tegak bertumpu pada kaki kirinya maka 

tak ampun lagi sosoknya terjengkang roboh di atas 

tanah dengan wajah makin pucat. Tapi tiba-tiba kakek 

ini keluarkan bentakan keras. Tubuhnya segera 

bangkit. Dan saat sekilas memandang terlihat lawan 

terhuyung-huyung, orang tua ini tidak sia-siakan 

kesempatan. Laksana terbang dia melesat ke arah 

Tengkorak Berdarah. Segenap tenaga dalamnya di


kerahkan pada kedua tangannya, lalu kirimkan 

gebrakan ke arah kepala lawan dari samping kanan 

kiri! 

Tengkorak Berdarah tidak membuat gerakan 

menghindar atau menangkis. Rupanya orang ini telah 

memperhitungkan sesuatu. Sementara melihat lawan 

tidak coba menghindar atau menangkis, membuat Ki 

Buyut Pagar Alam makin bernafsu. Dia teruskan 

gebrakan kedua tangannya dari arah samping kanan 

kiri kepala Tengkorak Berdarah tanpa perhitungan 

apa-apa lagi. Malah dia lupa jika tidak mungkin lawan 

akan begitu saja menyerah diam bila sebelumnya 

tidak memperhitungkan. 

Ketika sejengkal lagi kepala di balik jubah abu-abu 

rengkah terhantam kedua tangan sang kakek, 

dengan gerakan luar biasa cepat Tengkorak Berdarah 

rundukkan kepalanya. Pada saat bersamaan dia 

jatuhkan diri berguling di atas tanah. 

Kedua tangan Ki Buyut Pagar Alam menggebrak 

udara kosong. Saat itulah sepasang kaki Tengkorak 

Berdarah lepaskan satu tendangan bersamaan ke 

arah perut. Begitu cepatnya gerak tendangan itu, 

hingga tak ada kesempatan lagi bagi Ki Buyut Pagar 

Alam untuk lakukan gerakan menghindar. Orang tua 

ini akhirnya hanya bisa berteriak. 

Bukkk! 

Bukkk! 

Sosok Ki Buyut Pagar Alam mencelat sampai tiga 

tombak dan jatuh bergedebukan dengan mulut 

semburkan darah. Mukanya yang pucat makin 

tampak tak berdarah. Dadanya bergerak cepat turun 

naik tak karuan. 

Dewi Siluman tegak di atas tanah dengan rahang 

di balik cadarnya menggertak. Dia kini merasa tertipu


dengan pukulan lawan yang tadi diarahkan padanya. 

"Jahanam!" teriak anak perempuan Daeng Upas ini 

seraya melompat. Namun sebelum tubuhnya ber-

kelebat, Tengkorak Berdarah yang masih di atas 

tanah segera bangkit. Kejap lain sosoknya melesat ke 

depan. 

Dewi Siluman yang menduga lawan hendak ber-

kelebat ke arahnya segera angkat kedua tangannya. 

Namun kali ini kembali perempuan bercadar ini 

tertipu. Tengkorak Berdarah melesat ke arah Ki Buyut 

Pagar Alam! 

Dewi Siluman berteriak marah. Tapi perempuan 

berambut pirang ini urungkan niat untuk berkelebat 

karena di seberang sana Tengkorak Berdarah telah 

jambak rambut Ki Buyut Pagar Alam lalu ditariknya ke 

atas hingga sosok Ki Buyut Pagar Alam yang tadinya 

telentang terangkat. 

"Apa yang hendak kau lakukan, Jahanam?!" teriak 

Dewi Siluman gusar. 

Tengkorak Berdarah berpaling ke arah Dewi 

Siluman dengan tangan kanan masih menjambak 

rambut Ki Buyut Pagar Alam. 

"Aku tak ingin melihat kalian mati enak! Kau 

dengar, Perempuan! Ibumu adalah salah satu 

manusia yang pernah andil membuat hidupku 

berantakan! Setelah ibumu tewas, aku tak ingin ada 

keturunan atau kerabatnya yang hidup!" 

Ki Buyut Pagar Alam buka kelopak matanya. Dia 

melirik sebentar ke arah Tengkorak Berdarah yang 

tegak di sampingnya. Orang tua ini kerahkan tenaga 

dalamnya pada kedua tangannya. Namun dia ter-

sentak kaget. Aliran darahnya serasa terbalik dan 

kedua tangannya laksana lumpuh. Malah saat itu


juga mulutnya mengembung dan perutnya mual. Saat 

lain orang tua ini tersedak. Lalu darah kehitaman 

menyembur keluar dari mulutnya. 

Tengkorak Berdarah tertawa pendek. "Jangan ber-

mimpi hendak membokongku, Tua Bangka!" bentak-

nya seraya tarik rambut Ki Buyut Pagar Alam hingga 

orang tua itu meringis kesakitan. 

Mengetahui dirinya tak berdaya, Ki Buyut Pagar 

Alam terlihat kerdipkan sepasang matanya memberi 

isyarat pada Dewi Siluman seraya gerakkan tangan 

kanannya. 

Melihat isyarat yang diberikan Ki Buyut Pagar 

Alam, Dewi Siluman tampak tengadah. "Tak mungkin 

aku meninggalkan dia!" 

Mendapati Dewi Siluman tidak menuruti isyaratnya 

yang memberitahukan agar Dewi Siluman tinggalkan 

tempat itu, si kakek sedikit pelototkan sepasang 

matanya lalu gerakkan tangan kanannya ulangi 

isyarat. 

Habis memberi isyarat begitu, Ki Buyut Pagar Alam 

kembali coba kerahkan tenaga dalamnya. Dia me-

narik napas lega. Tenaga dalamnya dapat disalurkan 

meski dengan susah payah. 

Tengkorak Berdarah gerakkan kepalanya ke 

bawah. Diam-diam orang ini berkata dalam hati. 

"Hem.... Tua bangka ini luar biasa. Kukira dia sudah 

tak mampu salurkan tenaga dalam. Kalau tidak cepat 

kuhabisi, akan berbahaya!" 

Baru saja membatin begitu, mendadak Ki Buyut 

Pagar Alam berteriak keras. 

"Dewi! Cepat lari!" 

Bersamaan dengan terdengarnya teriakan, kedua 

tangan Ki Buyut Pagar Alam bergerak menghantam 

ke arah perut Tengkorak Berdarah.


"Bangsat keparat!" maki Tengkorak Berdarah. Dia 

cepat lepaskan jambakan pada rambut orang. Tangan 

kiri kanan segera menghantam ke bawah me-

mangkas pukulan Ki Buyut Pagar Alam. 

Bukkk! Bukkk! 

Meski kedua tangan Tengkorak Berdarah sempat 

menghantam mental kedua tangan si kakek namun 

tak urung perutnya masih tersambar pukulan orang. 

Hingga sosoknya terjajar dua langkah mundur. 

Sementara sosok Ki Buyut sendiri tampak tertarik ke 

belakang dengan derasnya. Karena telah cedera 

parah, kakek ini tidak bisa imbangi tubuh. Sosoknya 

terbanting keras di atas tanah. 

Tengkorak Berdarah menggereng marah. Sekali 

lompat tubuhnya telah di samping Ki Buyut yang 

kembali telentang. Satu kaki bergerak dari balik jubah 

abu-abu. 

Bukkk! 

Tubuh Ki Buyut Pagar Alam mencelat. Meng-

hempas pada sebatang pohon tiga tombak di 

belakang sana lalu terpental balik sejauh satu 

tombak dan jatuh terkapar di atas tanah. Mulutnya 

megap-megap lalu keluarkan darah. Sesaat tubuhnya 

bergerak-gerak seakan hendak mencoba bangkit. 

Tapi di lain kejap mendadak sosoknya menghempas 

dan tak bergerak-gerak lagi! Adik kandung Daeng 

Upas ini tercabut nyawanya dengan wajah digelimangi 

darah yang muncrat dari mulut serta hidungnya. 

Tengkorak Berdarah cepat putar diri. Tapi dia 

segera bantingkan kaki begitu dilihatnya Dewi 

Siluman sudah tidak ada di tempatnya semula! 

"Hari ini nyawanya masih selamat. Tapi tak akan 

lama!" desis Tengkorak Berdarah. Orang ini gerakkan 

kedua tangannya meraba pinggang dan perutnya. Dia


tampak menarik napas panjang. Lalu tanpa berpaling 

pada mayat Ki Buyut Pagar Alam, orang berjubah abu-

abu terusan ini berkelebat tinggalkan tempat itu. 


                            SELESAI


Segera menyusul!!! 

Serial 

Pendekar Pedang Tumpul 131 

Joko Sableng 

dalam episode : 


MISTERI TENGKORAK BERDARAH


Share:

0 comments:

Posting Komentar