..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 06 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE BIDADARI DELAPAN SAMUDERA

JOKO SABLENG EPISODE BIDADARI DELAPAN SAMUDRA

 SATU


YANG tegak di tempat terbuka yang banyak ditebari 

bongkahan batu itu adalah seorang gadis muda berpa-

ras jelita. Rambutnya hitam lebat disanggul ke atas. 

Sepasang matanya bundar dihias bulu mata lentik. Hi-

dungnya mancung dengan bibir merah tanpa polesan. 

Kulitnya putih bersih. Dadanya membusung kencang 

dipadu pinggul mencuat padat. Gadis itu mengenakan 

pakaian warna biru.

“Telingaku jelas mendengar suara seorang laki-laki 

yang hampir ku yakini adalah suara pemuda bernama 

Joko Sableng itu. Tapi mengapa yang muncul adalah 

seorang gadis?! Telingaku yang salah dengar atau me-

mang gadis itu memiliki suara seperti suara laki-laki?!” 

Bidadari Pedang Cinta membatin sambil pandangi ga-

dis baju biru yang baru muncul.

Tidak jauh dari tempat tegaknya Bidadari Pedang

Cinta, Bidadari Tujuh Langit tersenyum lebar. Bola 

matanya berputar liar tatapi sosok gadis berbaju biru. 

Diam-diam perempuan bertubuh sintal berbaju putih 

tipis ini membatin dengan dada mulai dibuncah nafsu.

“Hem.... Hari ini aku bernasib baik! Satu yang kuca-

ri, dua yang kudapat! Dan dua-duanya bertubuh 

menggairahkan! Lebih dari itu aku yakin keduanya be-

lum pernah mereguk kenikmatan bercinta dengan 

permainan sepertiku....”

Seperti dituturkan dalam episode: “Istana Lima Bi-

dadari”, ketika Bidadari Pedang Cinta hendak lepaskan 

senjata pedang lentur yang melilit pada pinggangnya 

untuk menghadang gerakan Bidadari Tujuh Langit 

yang mulai melangkah ke arahnya dengan nafsu yang 

sudah menggelegak, mendadak terdengar suara tegu


ran.

Bidadari Pedang Cinta yang sudah merinding den-

gan sikap dan ucapan Bidadari Tujuh Langit diam-

diam merasa lega karena dari suara menegur yang ter-

dengar dia yakin yang perdengarkan suara adalah 

Pendekar 131 Joko Sableng yang diketahuinya terus 

mengikuti ke mana dia berkelebat.

Di lain pihak, suara teguran membuat Bidadari Tu-

juh Langit langsung marah, karena dia yakin yang 

perdengarkan suara adalah seorang laki-laki. Dan na-

danya jelas hendak menghadang niatnya.

Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Tujuh Langit 

segera berpaling. Ternyata dugaan keduanya keliru. 

Yang muncul justru seorang gadis berparas jelita men-

genakan baju warna biru. Hingga membuat Bidadari 

Pedang Cinta sedikit merasa kecewa. Namun sebalik-

nya Bidadari Tujuh Langit menjadi sangat gembira. 

Karena sebenarnya perempuan ini punya kelainan. 

Yakni lebih suka pada seorang perempuan dibanding 

dengan seorang laki-laki.

Bidadari Tujuh Langit sendiri sesungguhnya adalah 

istri Datuk Kala Sutera yang pada enam belas tahun 

silam berhasil merebut Sepasang Cincin Keabadian 

bersama suaminya dari tangan Dewi Keabadian.

Sepasang Cincin Keabadian adalah sepasang cincin 

yang dikenal bisa membuat si pemakainya tetap terli-

hat muda meski usianya sudah lanjut. Hingga walau 

usia sebenarnya Bidadari Tujuh Langit sudah lebih se-

tengah abad, namun perempuan ini masih tetap tam-

pak muda dan tubuhnya tetap sintal seperti saat dia 

merebut Sepasang Cincin Keabadian enam belas tahun 

silam dari tangan Dewi Keabadian.

“Siapa namamu, Gadis Jelita?” Bidadari Tujuh Lan-

git pecah kesunyian dengan ajukan tanya.


Gadis jelita berbaju biru tidak segera buka suara. 

Dia perhatikan sekilas pada Bidadari Tujuh Langit dan 

Bidadari Pedang Cinta. Lalu putar pandangan. Gadis 

Ini berkata dalam hati.

“Di tempat ini masih ada seorang lagi. Dari suara-

nya jelas dia adalah seorang laki-laki! Mengapa dia ti-

dak tunjukkan diri meski baru saja menegur?!”

Gadis berbaju biru arahkan pandang matanya lagi 

pada Bidadari Tujuh Langit. Lalu teruskan membatin.

“Aku cuma dengar percakapan terakhir mereka! A-

ku belum bisa menduga lebih jauh. Tapi dari percaka-

pan terakhir itu, aku merasa ada yang tak beres den-

gan perempuan berbaju putih ini!”

Karena tidak segera menjawab, Bidadari Tujuh Lan-

git segera berucap lagi. “Gadis jelita.... Kalau kau kebe-

ratan memberitahukan namamu, tak apa-apa. Tapi 

kuharap kau tidak menolak jika kuajak ikut serta ber-

sama gadisku itu.” Bidadari Tujuh Langit berpaling 

pada Bidadari Pedang Cinta yang perlahan-lahan ber-

anjak bangkit dengan kedua tangan terus siap le-

paskan pedang berkilat yang melilit di pinggangnya.

“Urusan nama, biarlah sementara Ini tidak kita ma-

salahkan....”

“Dan berarti tidak ada masalah juga dengan tawa-

ranku, bukan?!” Bidadari Tujuh Langit sudah menya-

hut sebelum gadis berbaju biru lanjutkan ucapan.

“Kau telah ajukan tawaran. Tapi kau belum katakan 

apa maksud di balik tawaranmu!”

“Kau tak usah khawatir dan punya prasangka, Je-

litaku.... Aku mengajakmu ikut untuk bersama-sama 

menikmati satu keindahan cinta...!”

“Keindahan cinta bagaimana?!” tanya gadis berbaju 

biru dengan suara agak tinggi dan alihkan pandangan 

pada Bidadari Pedang Cinta. Lalu karena masih yakin


akan adanya seorang laki-laki di sekitar tempat itu, 

matanya terus mengedar berkeliling.

“Karena nikmatnya keindahan itu, aku tak bisa me-

nemukan kata-kata yang tepat untuk mengucapkan-

nya.... Yang pasti kau akan merasa bahagia menikma-

ti-nya....”

“Dia perempuan gila yang punya kelainan!” Bidadari 

Pedang Cinta berteriak menyahut.

Sahutan Bidadari Pedang Cinta bukannya membuat 

Bidadari Tujuh Langit marah, malah tertawa cekikikan 

lalu berkata.

“Keindahan cinta tidak pernah memandang kelai-

nan atau tidak! Keindahan cinta bukan untuk dibica-

rakan, tapi untuk dinikmati.... Dan aku ingin menik-

matinya dengan kalian berdua...!” Kepala Bidadari Tu-

juh Langit bergerak pulang balik ke arah Bidadari Pe-

dang Cinta dan gadis berbaju biru.

“Kau salah menerapkan ucapanmu! Kau memutar 

balik keagungan cinta demi kesenangan sendiri! Uca-

pan itu hanya layak diucapkan seseorang yang menga-

gungkan cinta untuk kesejahteraan umat manusia! 

Bukan mendewakan cinta demi hawa nafsu apalagi 

pada sesama jenis!” Gadis berbaju biru menyambut 

ucapan Bidadari Tujuh Langit.

“Kau sudah termakan apa yang selama ini sering 

terjadi, Jelitaku... kau tahu. Banyak manusia meng-

umbar ucapan-ucapan cinta yang sepertinya demi ke-

sejahteraan umat manusia. Namun di balik itu mereka 

membelokkan cinta demi kepentingan sendiri! Semen-

tara aku tidak. Aku berterus terang apa adanya. Tidak 

ada yang kututup-tutupi!”

“Otak perempuan ini telah dikotori dengan nafsu 

laknat! Mana mungkin dia bisa menerima ucapan 

orang lain?!” Bidadari Pedang Cinta kembali menyahut.


“Gadisku...,” ujar Bidadari Tujuh Langit dengan 

memandang pada Bidadari Pedang Cinta. “Aku sudah 

muak dengan ucapan-ucapan manusia yang kadang-

kadang hanya sebagai topeng untuk menutupi be-

langnya!”

“Tapi keterus-teranganmu bukan pada tempatnya!” 

bentak Bidadari Pedang Cinta.

“Hem.... Begitu?! Lalu aku harus bagaimana?! Ber-

pura-pura suci lalu menelikung di balik kesucian itu?! 

Aku ingin tanya. Mana yang lebih gila, seorang yang 

berlagak suci lalu diam-diam merobek kesuciannya, 

atau seseorang yang berkata apa adanya?!”

Baik Bidadari Pedang Cinta maupun gadis berbaju 

biru terdiam tidak ada yang buka suara. Sesekali me-

reka saling lontar pandang.

“Tapi kau harus sadar! Tindakanmu tidak layak di-

ucapkan! Apalagi dengan terus terang!” Akhirnya Bi-

dadari Pedang Cinta angkat suara.

“Aku percaya. Semua itu kau katakan karena kau 

belum pernah merasakan. Jika saja kau sekali mera-

sakan, pasti kau akan merubah ucapanmu!”

“Itu hanya pendapat perempuan cabul sepertimu!” 

sahut Bidadari Pedang Cinta seraya tertawa pendek 

penuh ejekan.

Sahutan-sahutan Bidadari Pedang Cinta tampaknya 

membuat Bidadari Tujuh Langit mulai jengkel. Sambil 

mendelik angker dia berteriak.

“Aku akan membuatmu lebih cabul dariku!”

Teriakannya belum usai, Bidadari Tujuh Langit su-

dah melompat ke arah Bidadari Pedang Cinta. Namun 

gerakan perempuan bertubuh sintal berbaju putih ini 

tertahan ketika tiba-tiba gadis berbaju biru sudah me-

lompat mendahului dan tegak menghadang sambil 

berkata.


“Kurasa lebih baik kau mencari orang yang mau 

kau ajak menikmati kesenanganmu dengan suka rela! 

Jangan memaksakan kehendak pada orang yang tidak 

suka!”

“Sayang.... Aku bukan manusia yang suka dipe-

rintah! Dan Bidadari Tujuh Langit pantang kehen-

daknya ditolak!”

“Itu akan menimbulkan masalah!” sergah gadis ber-

baju biru.

“Selama hidup, tidak ada masalah yang tak dapat 

diselesaikan oleh Bidadari Tujuh Langit! Termasuk 

masalah denganmu jika kau menolak tawaran baikku!”

“Kau menawarkan. Bukan berarti aku harus mene-

rima tawaranmu!”

“Itulah yang justru akan menimbulkan masalah!”

“Kata-katamu hanya pantas diucapkan seorang pe-

mimpi!”

Bidadari Tujuh Langit tertawa bergelak, lalu berka-

ta.

“Aku memang seorang pemimpi. Tapi impianku ti-

dak ada yang tak jadi kenyataan! Bahkan aku mampu 

membuatmu melayang-layang dalam impian! Dan aku 

yakin, kau akan selalu membayangkan impian itu!”

“Hem.... Tampaknya tak ada gunanya meladeni pe-

rempuan tak beres seperti dia!” bisik gadis berbaju bi-

ru dalam hati. Lalu berpaling pada Bidadari Pedang 

Cinta dan berkata.

“Sebaiknya kita segera pergi dari sini!”

Sebelum Bidadari Pedang Cinta sempat menyahut, 

Bidadari Tujuh Langit sudah angkat suara.

“Kalian tidak akan meninggalkan tempat ini sebe-

lum merasakan bagaimana nikmatnya keindahan cinta 

bersamaku!”

“Kita tak usah hiraukan ucapannya!” bisik gadis


berbaju biru. Lalu memberi isyarat pada Bidadari Pe-

dang Cinta.

Bidadari Pedang Cinta tampak bimbang beberapa 

saat. Namun setelah berpikir, akhirnya dia memu-

tuskan untuk tinggalkan tempat itu.

Tapi baru saja Bidadari Pedang Cinta dan gadis ba-

ju biru gerakkan kaki, Bidadari Tujuh Langit perde-

ngarkan tawa bergelak panjang. Sekali membuat gera-

kan, sosoknya sudah melayang di atas sosok Bidadari 

Pedang Cinta dan gadis berbaju biru! Saat lain terde-

ngar seruan tertahan dua kali berturut-turut!

Sementara itu, Pendekar 131 yang berada di balik 

batangan pohon sempat terkejut dengan munculnya 

gadis berbaju biru. Dia tadi sudah hendak berkelebat 

keluar, namun niatnya dibatalkan ketika mendapati 

gadis berbaju biru sudah tegak tidak jauh dari tempat 

Bidadari Tujuh Langit. Pendekar 131 hanya bisa meli-

hat sekilas dan buru-buru selinapkan diri lagi ke balik 

batangan pohon seraya mendengarkan pembicaraan

orang dengan seksama.

Beberapa kali murid Pendeta Sinting sempat mem-

belalakkan mata dan terbengong, membuatnya ingin 

sekali melompat keluar dan melihat bagaimana tam-

pang Bidadari Tujuh Langit dari jarak dekat. Namun 

dia selalu berusaha menahan diri.

Begitu telinganya mendengar dua kali seruan terta-

han, tanpa pikir panjang dia sudah menduga apa yang 

terjadi. Dia cepat melompat keluar dan tegak di tempat 

terbuka seraya layangkan pandangan ke depan.

Di seberang sana, terlihat Bidadari Pedang Cinta 

dan gadis berbaju biru terduduk di atas tanah dengan 

paras berubah pucat. Sosok keduanya bergetar. Lima 

langkah di hadapan Bidadari Pedang Cinta dan gadis 

berbaju biru, Bidadari Tujuh Langit tegak memperhatikan dengan bibir sunggingkan senyum. Matanya liar 

pandangi dada kedua gadis di hadapannya dengan 

mendelik tak berkesip. Sosoknya bergetar. Tapi jelas 

getaran itu akibat gelegak nafsu yang sudah memburu. 

Hal ini membuat Bidadari Tujuh Langit tak sadar ka-

lau Joko sudah keluar dan tengah tegak memperhati-

kannya.

“Gadisku.... Jelitaku.... Kalian sudah membuktikan 

sendiri, bukan? Bidadari Tujuh Langit pantang kehen-

daknya ditolak! Tapi kalian harus bersyukur. Karena 

sebentar lagi kalian akan menikmati sesuatu yang tak 

mungkin kalian lupakan seumur hidup.... Bahkan ka-

lian akan mencariku untuk mengajak kembali menik-

mati keindahan cinta ini. Hi.... Hi.... Hi...!”

Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru hanya 

saling pandang tanpa ada yang membuat gerakan atau 

buka suara menyahut. Paras wajah mereka jelas mem-

bayangkan ketakutan dan perasaan jijik.

“Aneh.... Mengapa mereka diam saja?! Padahal ta-

di....” Pendekar 131 tidak lanjutkan membatin. Dia 

memandang sekali lagi pada Bidadari Pedang Cinta 

dan gadis baju biru dengan seksama. “Astaga! Mereka 

telah tertotok! Luar biasa sekali perempuan cantik 

berbaju putih yang sebut dirinya Bidadari Tujuh Langit 

itu.... Tapi aku tak boleh berdiam diri dengan apa yang 

akan dilakukannya!”

Baru saja Joko membatin begitu, Bidadari Tujuh 

Langit bergerak mendekati Bidadari Pedang Cinta dan 

gadis berbaju biru yang memang telah tertotok hingga 

tak dapat buka mulut atau membuat gerakan.

“Harap tidak lanjutkan langkah!” Pendekar 131 ber-

seru.

Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru putar 

bola mata masing-masing mengikuti gerakan satu


bayangan putih yang berkelebat lalu tegak tidak jauh 

dari Bidadari Tujuh Langit yang mendadak hentikan 

langkah dengan sentakkan kepala ke samping.


DUA



LAKSANA dibeliakkan tangan setan, sepasang mata 

Bidadari Tujuh Langit mendelik angker. Gelegak nafsu-

nya, padam seketika berganti hawa kemarahan luar 

biasa. Hingga dadanya bergerak turun naik dengan 

dagu mengembung besar.

Di lain pihak, kemunculan Pendekar 131 membuat 

Bidadari Pedang Cinta sedikit lega. Sementara gadis 

berbaju biru gerakkan bola matanya pandang silih ber-

ganti pada Bidadari Pedang Cinta dan murid Pendeta 

Sinting.

“Hem.... Pasti pemuda ini yang tadi sempat menegur 

sebelum aku datang.... Siapa dia?! Dari pandangan 

mereka, sepertinya mereka sudah saling kenal!” Gadis 

berbaju biru membatin lalu putar bola matanya ke 

arah Bidadari Tujuh Langit. “Perempuan tak beres ini 

ternyata memiliki gerakan luar biasa cepat. Belum 

sempat aku membuat gerakan, tahu-tahu dia telah 

berhasil sarangkan totokan padaku dan gadis berbaju 

hijau itu.... Bidadari Tujuh Langit. Sepertinya aku per-

nah dengar nama itu.... Sayang aku lupa siapa yang 

mengatakannya! Aku harus cepat lakukan sesuatu! 

Aku tidak ingin terus terlibat dalam urusan di tempat 

ini meski sebenarnya aku penasaran dengan perem-

puan berbaju putih itu....”

Berpikir begitu, akhirnya gadis berbaju biru kerah-

kan tenaga dalam untuk lepaskan diri dari totokan 

orang. Namun gadis ini jadi terlengak sendiri. Meski


dia telah kerahkan segenap tenaga luar dan dalam 

yang dimiliki, tapi dia gagal buyarkan totokan yang 

bersarang di tubuhnya!

Bukan hanya gadis baju biru yang terlengak, tidak 

jauh dari sampingnya Bidadari Pedang Cinta tak kalah 

kagetnya mendapati dirinya tidak berhasil lepaskan di-

ri dari totokan yang bersarang di tubuhnya!

“Hem.... Pasti bangsat ini yang tadi perdengarkan 

suara!” Bidadari Tujuh Langit mendesis: Lalu memben-

tak.

“Laki-laki jahanam! Segera tinggalkan tempat ini!”

Pendekar 131 bukannya segera turuti bentakan o-

rang. Sebaliknya tersenyum dengan bola mata selusuri 

sekujur tubuh Bidadari Tujuh Langit dari ujung ram-

but sampai ujung kaki.

“Hem.... Parasnya cantik. Potongan tubuhnya boleh. 

Sayang.... Dia tidak tertarik dengan laki-laki.... Bagai-

mana bisa begitu?!” Joko tegakkan kepala mem-

bayangkan. Bersamaan itu kedua bahunya berguncang 

pulang balik.

“Laki-laki tak dikenal! Lekas angkat kaki, atau tu-

buhmu akan kubuat terpotong bertabur!” Bidadari Tu-

juh Langit kembali membentak.

“Apakah diriku tidak menarik hatimu, Bidadari Tu-

juh Langit?!”

Bidadari Tujuh Langit tidak peduli dari mana orang 

dapat mengenali dirinya. Dia tertawa bergelak. Lalu 

angkat suara.

“Kau memang memiliki wajah tampan. Potongan 

bagus, hingga menjanjikan kenikmatan tersendiri da-

lam bercinta. Namun sayang, kau belum mencukupi 

seleraku...! Di luaran sana, mungkin ada perempuan 

lain yang tertarik dengan dirimu! Maka dari itu....”

Belum sampai Bidadari Tujuh Langit teruskan ucapan, murid Pendeta Sinting sudah memotong.

“Mau katakan padaku apa yang kurang menarik da-

ri diriku...?!”

“Pertama. Kau lancang datang dan ikut campur da-

lam urusanku! Kedua.... Potongan dan bentukmu tidak 

membuat diriku berselera dan bergairah!”

“Hem.... Aku tahu mengapa kau sampai berucap 

begitu. Pertama. Kau masih melihat bagian luar. Be-

lum tahu bagian dalamnya. Kedua.... Mungkin selama 

ini kau terlalu banyak menikmati dengan para gadis 

hingga belum pernah merasakan bagaimana keinda-

hannya dengan para pemuda. Dan ketiga. Mungkin ha-

timu pernah disakiti makhluk laki-laki, hingga kau...”

Sebelum Pendekar 131 lanjutkan ucapan, kini ganti 

Bidadari Tujuh Langit yang menukas sambil tertawa 

pendek.

“Aku sudah hafal bagaimana potongan laki-laki luar 

dan dalam! Aku sudah berpengalaman bagaimana me-

nikmatinya dengan laki-laki! Dan perlu kau dengar. 

Aku tidak pernah patah hati!”

Jawaban Bidadari Tujuh Langit membuat murid 

Pendeta Sinting tersenyum dengan anggukkan kepala. 

Di lain pihak, wajah Bidadari Pedang Cinta dan gadis 

berbaju biru memerah. Jika saja mereka dapat berge-

rak, mungkin mereka akan segera palingkan kepala.

“Kalau ketiga alasanku belum tepat, masih ada ala-

san lagi hingga mengapa kau tidak tertarik dengan la-

ki-laki....!”

“Apa?!” sentak Bidadari Tujuh Langit.

“Suasana malam!”

Ketiga perempuan di tempat itu sama kerutkan da-

hi. Namun tak lama kemudian, Bidadari Tujuh Langit 

sudah menyahut.

“Ucapanmu tidak masuk akal!”


Joko gelengkan kepala. “Kau mengatakan hafal po-

tongan laki-laki luar dalam. Tapi kau melihatnya di ke-

remangan suasana malam. Hingga yang kau lihat ha-

nyalah bayangan hitam. Dari situ lantas kau berpikir, 

makhluk laki-laki hanyalah bayangan hitam yang se-

lain bentuknya hitam tidak kelihatan, tapi juga jadi 

sama persis dengan batangan pohon!”

Bidadari Tujuh Langit menyeringai dingin. “Siapa 

pemuda ini sebenarnya? Belasan tahun malang me-

lintang dalam arena persilatan, baru kali ini bertemu 

dengan manusia yang pandai bicara. Sikap dan ke-

munculannya tadi sudah membuktikan kalau dia ber-

bekal ilmu. Hanya saja dari potongannya, dia bukan 

berasal dari negeri ini....”

Setelah berpikir begitu, Bidadari Tujuh Langit ber-

tanya.

“Siapa kau sebenarnya?!”

“Pertanyaan itu kau ajukan karena kau mulai terta-

rik denganku?!” Joko balik bertanya.

“Aku tidak berselera dengan laki-laki setampan apa 

pun dia!”

“Itu sudah tanda kalau kau belum pernah menik-

matinya dengan laki-laki. Kau masih menganggap po-

tongan laki-laki adalah batangan pohon dan apa saja 

yang kelihatan hitam di malam hari!”

Ucapan Pendekar 131 membuat Bidadari Tujuh La-

ngit kertakkan rahang. Namun belum sampai perem-

puan bertubuh sintal ini buka suara, murid Pendeta 

Sinting sudah teruskan bicaranya.

“Di sini ada dua orang yang sama denganmu. Kau 

tadi sudah bisa menebak kalau mereka belum pernah 

mereguk kenikmatan sepertimu. Tapi kalau mereka 

kau tanya, pasti mereka akan lebih tertarik dengan la-

ki-laki meski mereka belum pernah merasakannya....


Kau tahu apa alasannya?!”

Tampang Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju 

biru berubah merah dengan mata mendelik. Walau 

mereka tidak bisa berkata, namun dari mimiknya, jelas 

mereka tersinggung dengan ucapan murid Pendeta 

Sinting. Sementara Bidadari Tujuh Langit makin mera-

sa geram. Dia tidak segera jawab pertanyaan orang.

“Kau ingin tahu alasannya?!” Joko kembali ajukan 

tanya.

“Aku tak ingin dengar alasan! Yang kuinginkan, kau 

segera angkat kaki dari hadapanku!”

“Aku tak akan pergi sebelum kau tahu alasannya!”

Lagi-lagi Bidadari Tujuh Langit tidak menjawab. Jo-

ko tersenyum dan diam beberapa lama karena dia 

sendiri sebenarnya tidak tahu apa alasannya!

Karena Joko tidak buka mulut lagi, entah karena 

apa Bidadari Tujuh Langit segera berseru lantang.

“Apa alasanmu, hah?!”

“Karena salah satu dari mereka adalah kekasihku!”

Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru sama 

tersentak kaget. Hampir bersamaan, bola mata kedua-

nya berputar menatapi sosok murid Pendeta Sinting 

dengan wajah tidak mengerti. Saat lain bola mata me-

reka berputar saling pandang.

“Hem.... Aku tak tahu sejak kapan gadis jelita ini 

mengikutiku. Tapi keberadaannya di sini bersamaan 

dengan pemuda itu satu petunjuk kalau dia adalah 

kekasih pemuda itu....”

Kalau Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, lain 

halnya dengan gadis berbaju biru. Diam-diam gadis ini 

juga berkata dalam hati.

“Mereka sudah saling kenal. Saat aku datang, me-

reka berdua sudah berada di tempat ini meski pemuda 

itu tidak tunjukkan diri. Hem.... Mereka tampaknya


pasangan serasi. Yang laki-laki tampan, sedangkan 

yang gadis berparas cantik....”

Baru saja gadis berbaju biru membatin begitu, Bi-

dadari Tujuh Langit tertawa panjang, lalu berujar.

“Yang mana kekasihmu?! Yang berbaju hijau atau 

yang mengenakan pakaian warna biru?!”

Kembali Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju 

biru saling lempar pandang. Meski diam-diam mereka 

sudah tahu apa jawabannya. Di lain pihak, Pendekar 

131 gelengkan kepala. Lalu seraya tersenyum dia ber-

kata.

“Kau tidak akan mendapat jawaban yang mana ke-

kasihku.... Karena itu, biarkan mereka tinggalkan tem-

pat ini! Atau boleh saja jika kau yang menghendaki un-

tuk segera pergi!”

“Aku akan pergi dengan membawa kedua gadis je-

lita itu setelah membuatmu tetap di tempat ini dengan 

tubuh tanpa nyawa!”

“Hem.... Jangan-jangan kau berselera dan merasa 

gairah bila melihat sosok laki-laki yang sudah tak ber-

nyawa....”

Hawa kemarahan Bidadari Tujuh Langit sudah me-

muncak sampai ubun-ubun. Hingga tanpa sambuti 

ucapan murid Pendeta Sinting, perempuan berbaju pu-

tih bertubuh sintal ini melompat ke hadapan Joko.

“Aku masih bisa menahan diri jika kau segera 

enyah dari hadapanku!”

“Tanpa kau perintah aku akan enyah. Tapi harus 

bersama kekasihku!”

Bidadari Tujuh Langit sudah membuat gerakan se-

belum murid Pendeta Sinting selesai berucap. Hingga 

belum sampai Joko bergerak, dua buah tangan sudah 

berkelebat di depan wajahnya!

Murid Pendeta Sinting berseru kaget. Buru-buru dia


angkat kedua tangannya menghadang pukulan yang 

datang.

Tapi tampaknya Joko tertipu. Meski tangannya yang 

berkelebat lepaskan pukulan, sesungguhnya itu hanya 

satu tipuan. Karena sejengkal lagi kedua tangan Bida-

dari Tujuh Langit membentur kedua tangan Joko yang 

terangkat, mendadak Bidadari Tujuh Langit tarik pu-

lang kedua tangannya. Saat bersamaan hampir tidak 

dapat dilihat dengan mata biasa, kedua kaki Bidadari 

Tujuh Langit membuat gerakan menendang dengan 

kekuatan tenaga dalam tinggi.

Hampir saja Pendekar 131 terkecoh kalau dia tidak 

bersikap waspada sejak tadi. Dengan petunjuk siuran 

gelombang angin yang menderu ke arahnya, Joko su-

dah bisa meraba dari mana dan seberapa jarak puku-

lan yang menggebrak ke arahnya.

Joko cepat sentakkan kaki. Sosoknya mental bebe-

rapa tombak ke udara. Lalu melayang turun dengan 

kedua kaki menyapu.

Bidadari Tujuh Langit tegakkan kepala mendongak. 

Setelah mengukur jarak, perempuan bertubuh sintal 

istri Datuk Kala Sutera ini tarik tubuh atasnya ke be-

lakang. Sosoknya melengkung.

Dengan bertumpu pada kedua tangannya yang di-

tekankan di atas tanah, Bidadari Tujuh Langit angkat 

kedua kakinya ke atas menghadang sapuan kedua ka-

ki murid Pendeta Sinting.

Buukk! Buuukk!

Terdengar benturan keras. Tubuh Pendekar 131 ter-

pental balik ke udara lalu turun dengan sosok tersen-

tak-sentak! Dan tegak di atas tanah setelah terhuyung-

huyung beberapa saat dengan paras berubah pias. Ke-

tika dia memperhatikan kedua kakinya, ternyata sepa-

sang kakinya yang baru saja bentrok dengan kaki Bidadari Tujuh Langit tampak mengembung merah!

Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit sempat terge-

tar. Kedua kakinya yang tersapu tendangan kaki murid 

Pendeta Sinting terlempar balik lalu menghantam ta-

nah. Tapi perempuan ini cepat tekankan kedua tan-

gannya. Hingga saat itu juga sosoknya yang me-

lengkung kembali tegak. Bidadari Tujuh Langit tidak 

memeriksa kedua kakinya melainkan segera meman-

dang ke arah Joko yang telah tegak di seberang.

“Siapa sebenarnya pemuda ini...?! Dugaanku ter-

nyata tidak meleset. Dia berbekal ilmu yang tidak ce-

kak. Tapi aku harus segera selesaikan pemuda keparat 

itu. Jika tidak, bukan tak mungkin aku akan gagal 

menik-mati keindahan cinta dengan kedua gadis itu!”

Berpikir sampai di situ, Bidadari Tujuh Langit sege-

ra kerahkan tenaga dalam. Sekali menyentak, terde-

ngar deruan gelombang luar biasa dahsyat.

Murid Pendeta Sinting tidak mau bertindak ayal. 

Dia segera kerahkan tenaga dalam siap lepas pukulan 

‘Lembur Kuning’.

Wuutt! Wuuutt!

Ketika kedua tangan Joko mendorong, dua gelom-

bang dahsyat berkiblat disertai menebarnya hawa pa-

nas luar biasa dan satu gebrakan sinar kekuningan.

Byurr! Byuurr!

Terdengar dentuman laksana gulungan gelombang 

ombak. Tanah terbuka itu bergetar keras dan sebagian 

bongkahan batu langsung tersapu porak-poranda. Ge-

lombang yang melesat dari kedua tangan Bidadari Tu-

juh Langit semburat ke udara. Sementara sinar kuning 

pukulan sakti ‘Lembur Kuning’ muncrat terpecah.

Tubuh Joko bergetar beberapa lama dengan kaki 

goyah. Belum sempat dia mengerahkan tenaga untuk 

imbangi diri, sosoknya telah tersapu beberapa langkah


dengan tangan bergetar dan dada berdenyut sakit. Ka-

lau saja Joko tidak segera kuasai diri dengan salurkan 

tenaga dalam, pasti dia sudah muntahkan darah! Ka-

rena dia sudah merasakan perutnya mual dan tersen-

tak-sentak.

Di seberang lain, Bidadari Tujuh Langit hanya ter-

surut tiga langkah. Rambutnya berkibar-kibar dengan 

paras pucat pasi.

Sementara itu, karena tidak bisa membuat gerakan, 

begitu terjadi bentrok pukulan, sosok Bidadari Pedang 

Cinta dan gadis berbaju biru langsung terpental sebe-

lum akhirnya terjengkang saling bertindihan!


TIGA



BIDADARI Tujuh Langit tegak dengan rangkapkan 

kedua tangan di depan dada. Sepasang matanya dipe-

jamkan. Kedua kakinya direntangkan melebar. Kejap 

lain kedua tangan perempuan ini ditarik ke bawah lalu 

dihantamkan ke depan dengan mata dibuka nyalang.

Wuutt! Wuutt!

Wuss! Wuss!

Dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit menyam-

bar dua gelombang dahsyat disertai bertaburnya hawa 

panas menyengat. Namun gelombang ini ternyata 

hanya pukulan untuk alihkan perhatian orang. Karena 

hampir bersamaan dengan itu, dari sepasang mata Bi-

dadari Tujuh Langit berkiblat dua sinar hitam pekat 

yang membuat pemandangan di tempat itu laksana di-

genggam kegelapan.

Pendekar 131 tercekat beberapa saat. Dia segera 

melompat mundur beberapa tindak. Saat kemudian 

dia sentakkan kedua tangannya.

Dari tangan murid Pendeta Sinting melesat serat-

serat biru bercahaya laksana benang. Inilah satu tanda 

jika Joko telah lepaskan pukulan sakti ‘Serat Biru’.

Gelombang angin dan dua sinar hitam tertahan be-

berapa lama di udara karena terlilit serat-serat biru 

yang terus berputar-putar. Kejap lain terjadi peman-

dangan menakjubkan. Gelombang angin dan dua sinar 

hitam yang melesat keluar dari kedua tangan dan bola 

mata Bidadari Tujuh Langit bergerak cepat melambung 

ke udara terdorong lilitan serat-serat biru. Lalu terde-

ngarlah gelegar dahsyat di atas udara berkali-kali!

Walau gelegar bentroknya pukulan itu berada di 

atas udara, namun bukannya tidak membawa akibat.

Begitu gelegar terdengar, sosok murid Pendeta Sin-

ting langsung terpental beberapa tombak ke belakang 

dan baru terhenti ketika sosoknya menghantam satu 

bongkahan batu besar hingga bongkahan batu itu pe-

cah di bagian sisinya dan mencelat semburat.

Murid Pendeta Sinting perdengarkan batuk-batuk 

beberapa kali sebelum akhirnya muntahkan darah 

dengan tangan pegangi dadanya. Paras wajahnya lak-

sana tidak berdarah. Kedua tangannya bergetar keras 

namun terasa kaku sulit digerakkan.

Di seberang sana, sosok Bidadari Tujuh Langit ter-

lempar beberapa tombak seraya perdengarkan seruan 

tegang tertahan. Saat lain sosoknya terjengkang di atas 

tanah dengan darah mengucur dari sudut bibirnya. 

Sepasang matanya mendelik memejam, rasakan sakit 

pada sekujur tubuhnya.

Bidadari Tujuh Langit cepat kerahkan hawa murni 

untuk atasi luka dalam pada dirinya. Lalu seolah tidak 

merasakan sakit, perempuan bertubuh sintal ini sege-

ra bangkit berdiri.

“Siapa sebenarnya pemuda jahanam ini?! Hampir


setengah abad malang melintang di rimba persilatan, 

baru pertama kali ini aku bertemu dengan pukulan 

yang mampu membuat pukulan ‘Inti Gerhana’-ku ter-

tahan! Hem.... Kalau manusia satu ini tak segera di-

lenyapkan, bukan saja akan menghadang niatku me-

nikmati kemontokan kedua gadis itu, tapi juga akan 

jadi batu sandungan semua tindakanku di kelak ke-

mudian hari!”

Habis membatin begitu, Bidadari Tujuh Langit arah-

kan pandang matanya pada murid Pendeta Sinting 

yang juga sudah bergerak bangkit. Namun mendadak 

perempuan ini kerutkan dahi dengan mata setengah 

menyipit.

Di depan sana, murid Pendeta Sinting tampak celi-

ngukan dengan bola mata mencari-cari. Wajahnya je-

las menunjukkan rasa aneh dan heran.

Bidadari Tujuh Langit ikuti ke mana mata Joko 

mengedar. Saat itulah Bidadari Tujuh Langit tersentak. 

Lalu membuat sikap yang sama seperti murid Pendeta 

Sinting. Kepalanya bergerak dengan bola mata menca-

ri-cari!

“Ke mana mereka?! Bagaimana mungkin hal ini bisa 

terjadi?! Mungkinkah mereka berhasil buyarkan toto-

kanku?! Atau jangan-jangan ada manusia lain di tem-

pat ini yang tak kuketahui kehadirannya dan memba-

wa mereka pergi...! Atau barangkali pemuda jahanam 

itu sendiri yang menyelamatkan mereka. Lalu pura-

pura mencari agar aku tidak menuduhnya...! Keparat 

benar!” Bidadari Tujuh Langit membatin, karena ter-

nyata sosok Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju 

biru tidak kelihatan lagi.

Di lain pihak, lenyapnya Bidadari Pedang Cinta dan 

gadis berbaju biru membuat murid Pendeta Sinting 

terheran-heran dan celingukan mencari. Namun sejauh ini dia tidak bisa menemukan.

“Kapan mereka tinggalkan tempat ini?! Mereka telah 

tertotok hingga tak bisa bicara atau membuat gerakan. 

Bagaimana tahu-tahu mereka sudah lenyap?! Mung-

kinkah ada orang lain yang membawanya pergi?! Atau 

mungkinkah perempuan cantik berbaju putih itu yang 

melakukannya?! Siapa pun adanya orang itu, yang je-

las dia menyembunyikan kedua gadis itu saat suasana 

gelap tadi....”

“Aku memberimu waktu agar kau mengembalikan 

kedua gadis itu padaku!” Bidadari Tujuh Langit berte-

riak.

“Kau yang menyembunyikan! Kaulah yang harus 

mengembalikannya padaku! Salah satu dari mereka 

adalah kekasihku!” Joko ikut-ikutan membentak. Na-

mun sepasang matanya tidak mengarah pada sosok 

Bidadari Tujuh Langit melainkan mengedar berkeliling.

Saat itulah terdengar suara orang tertawa bergelak 

panjang. Bidadari Tujuh Langit tegakkan kepala ten-

gadah seolah ingin simak suara gelakan tawa yang ti-

ba-tiba terdengar. Sementara Pendekar 131 segera 

berpaling.

Di atas satu bongkahan batu, murid Pendeta Sin-

ting melihat satu sosok tubuh milik seorang laki-laki 

berusia sangat lanjut. Parasnya lonjong dengan kulit 

putih pucat. Sosok orang tua ini kerempeng hingga 

raut wajahnya hampir-hampir tidak tertutup daging. 

Rambutnya panjang serta jarang. Sepasang matanya 

membelalak besar seakan hendak mencelat keluar dari 

dalam rongganya. Laki-laki kerempeng ini mengenakan 

pakaian warna putih gombrong besar. Begitu besar 

dan gombrongnya pakaian yang dikenakan, hingga 

saat ada hembusan angin, sosok laki-laki tua ini terus 

bergerak-gerak meski dia tidak membuat gerakan apa


apa.

“Mungkinkah dia yang mengambil Bidadari Pedang 

Cinta dan gadis berbaju biru tadi...? Atau....” Joko ti-

dak lanjutkan kata hatinya. Karena bersamaan dengan 

itu, dari balik bongkahan batu di mana laki-laki tua 

berpakaian gombrong tegak berdiri, muncul seorang 

perempuan. Walau usianya tidak muda lagi, namun 

parasnya masih terlihat cantik. Perempuan berusia ki-

ra-kira tiga puluh tahunan itu berambut hitam lebat 

dikuncir tinggi. Kulitnya putih bersih ditingkah hidung 

mancung dan bibir dipoles merah menyala. Lehernya 

jenjang. Dada besar mencuat dan pinggul padat meng-

goda dibalut pakaian tipis dan ketat warna biru.

“Hem.... Di negeri ini, aku banyak sekali menemu-

kan beberapa perempuan cantik....” Pendekar 131 ber-

gumam. Tanpa sadar di pelupuk matanya terbayang 

beberapa perempuan yang sempat berurusan dengan-

nya. Antara lain muncul bayangan wajah Bidadari Bu-

lan Emas, Dewi Bunga Asmara, Mei Hua, dan Siao Ling 

Ling yang beberapa waktu lalu sempat berkumpul di 

Bukit Toyongga.

Laki-laki tua di atas bongkahan batu putuskan ta-

wanya. Lalu memandang pada murid Pendeta Sinting 

dan Bidadari Tujuh Langit. Lalu angkat suara.

“Bidadari Tujuh Langit! Akhirnya kita bertemu juga! 

Mudah-mudahan kau tidak lupa denganku! Kalaupun 

tak ingat, kuharap kau tidak lupa dengan urusan yang 

terjadi antara kita!”

“Jangan banyak berharap pada perempuan jalang 

macam dia! Yang jelas lupa atau tidak ingat, kita se-

lesaikan urusan itu sekarang juga!” Perempuan di 

samping bongkahan batu menyahut.

Bidadari Tujuh Langit luruskan kepala memandang 

dengan tampang dingin pada sosok laki-laki tua dan


perempuan di samping bawahnya.

“Iblis Muka Setan! Perempuan Kembang Darah!” Bi-

dadari Tujuh Langit mendesis. Lalu tertawa pendek.

Laki-laki di atas bongkahan batu berpaling pada pe-

rempuan di bawahnya. Lalu berujar.

“Tampaknya Bidadari mesum itu masih ingat pada 

kita....”

“Mungkin baru saja mendapat mangsa hingga piki-

rannya bersih!” si perempuan menyahut.

Tampang Bidadari Tujuh Langit merah padam den-

gan bola mata liar tatapi dua orang yang tegak di de-

pan sana. Lalu berteriak.

“Iblis Muka Setan! Perempuan Kembang Darah! 

Jangan kalian berlagak suci! Jangan kira aku tak tahu 

siapa adanya kalian! Kalian adalah sepasang manusia 

mesum yang hidup bersama-sama berpuluh-puluh ta-

hun tanpa kawin!”

Si laki-laki yang dipanggil Iblis Muka Setan tertawa. 

Sementara si perempuan di bawahnya yang dipanggil 

dengan Perempuan Kembang Darah menyeringai di-

ngin.

“Kami memang mesum. Tapi kau lebih mesum! 

Bahkan sebenarnya apa yang kami lakukan masih 

pantas! Aku perempuan dan kekasihku Iblis Muka Se-

tan adalah laki-laki.... Sedang kau?! Kau adalah pe-

rempuan. Tapi kau lebih suka perempuan daripada la-

ki-laki!”

“Hem.... Tampaknya mereka punya satu masalah! 

Sebenarnya aku harus segera pergi. Tapi.... Terpaksa 

aku harus menunggu sampai dapat kupastikan di ma-

na kedua gadis tadi berada! Karena Bidadari Pedang 

Cinta dapat memberiku keterangan di mana letaknya 

Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Sebab tak 

mungkin lagi dapat kujajaki di mana Iblis Pedang Kekasih dan Putri Pusar Bumi....” Pendekar 131 memba-

tin. Lalu melangkah mendekati satu bongkahan batu 

agak besar dan duduk bersandar menunggu sambil 

pulihkan tenaga.

“Apakah mereka yang menyembunyikan kedua ga-

dis cantik tadi?! Ah.... Tidak mungkin mereka yang me-

lakukannya! Mereka memang berilmu tinggi. Tapi aku 

tak yakin mereka mampu membuat gerakan secepat 

itu!” Bidadari Tujuh Langit juga membatin. Lalu kare-

na tak sabar, perempuan berbaju putih ini segera buka 

mulut.

“Iblis Muka Setan! Perempuan Kembang Darah! Ce-

pat katakan apa mau kalian sebenarnya!”

Iblis Muka Setan berpaling sesaat pada Perempuan 

Kembang Darah. Bersamaan itu si perempuan mem-

buat satu kali gerakan. Sosoknya melesat dan tegak di 

atas bongkahan batu di samping Iblis Muka Setan.

Perempuan Kembang Darah tersenyum. Lalu tanpa 

malu-malu tangan kanannya melingkar pada pinggang 

Iblis Muka Setan. Saat lain wajahnya disorongkan 

mencium pipi kiri kanan Iblis Muka Setan yang keriput 

dan tanpa daging itu.

“Edan!” desis murid Pendeta Sinting melihat apa 

yang dilakukan dua orang di atas bongkahan batu. 

“Selain banyak bertemu perempuan cantik, di sini juga 

banyak kutemukan perempuan bertabiat tak beres!”

Sementara melihat adegan di atas bongkahan batu, 

Bidadari Tujuh Langit tersenyum dingin. Perempuan 

bertubuh sintal ini sebenarnya akan buka suara. Tapi 

sebelum suaranya terdengar, Iblis Muka Setan sudah 

mendahului.

“Bidadari Tujuh Langit! Kau pasti masih ingat akan 

urusan kita pada beberapa tahun silam!”

“Hem.... Jadi kalian datang hendak selesaikan urusan itu?!”

Iblis Muka Setan geleng kepala. Lalu seraya balas 

lingkaran tangan Perempuan Kembang Darah dengan 

lingkarkan tangan kirinya pada pinggang Perempuan 

Kembang Darah, dia berkata.

“Kami memang ingin selesaikan urusan itu! Nyawa 

dua kakak seperguruanku masih belum bisa tenang 

sebelum nyawamu melayang di tanganku! Dan perlu 

kau tahu. Membuat nyawamu melayang bukan hal su-

lit bagi kami berdua! Tapi kami tak akan lakukan hal 

itu! Terlalu enak jika kau mampus begitu saja! Kami 

ingin kau mampus dengan perlahan-lahan dan dengan 

perasaan hancur!”

Mendengar ucapan Iblis Muka Setan, Bidadari Tu-

juh Langit tertawa bergelak. Lalu seraya tengadah dia 

berkata.

“Ucapanmu satu bukti kalau kau takut meng-

hadapiku!”

Perempuan Kembang Darah mendengus. Dia sudah 

luruhkan tangan kanannya dari pinggang Iblis Muka 

Setan dan siap hendak melompat. Tapi Iblis Muka Se-

tan menahan dengan isyarat palangkan tangan di de-

pan Perempuan Kembang Darah sambil berujar.

“Kekasihku.... Kita telah berjanji untuk tidak mem-

bunuhnya begitu saja. Kita ingin dan merasakan ke-

pedihan luar biasa di hari tuanya!”

Lagi-lagi Bidadari Tujuh Langit perdengarkan gela-

kan tawa keras mendengar ucapan Iblis Muka Setan. 

Puas tertawa dia berkata.

“Bidadari Tujuh Langit tak akan pernah mengalami 

masa tua! Buka mata kalian lebar-lebar! Apa ada pe-

rubahan pada diriku?!”

Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah 

sama tatapi raut wajah Bidadari Tujuh Langit. Mungkin karena tidak menduga akan bertemu dengan orang 

yang dicari, mereka menjadi lupa memperhatikan pa-

ras wajah Bidadari Tujuh Langit. Dan baru sadar saat 

Bidadari Tujuh Langit berkata tadi.

“Hem.... Paras dan tubuhnya tidak berubah! Bagai-

mana hal ini bisa terjadi?! Dia dan suaminya memang 

memiliki ilmu agar terlihat tetap awet muda. Tapi ilmu 

itu ada batasnya! Dan seharusnya dia kini sudah ber-

ubah....” Iblis Muka Setan berbisik pada Perempuan 

Kembang Darah.

Perempuan Kembang Darah tidak menyahut. Iblis 

Muka Setan lanjutkan bisikannya. “Sejak kita gagal 

menemukannya pada enam belas tahun silam, perem-

puan itu kita dengar punya dua perubahan. Dia tetap 

muda meski seharusnya dia telah berubah. Dan dia 

kini punya kelainan! Dia menyukai perempuan daripa-

da laki-laki!”

“Iblis Muka Setan!” kata Bidadari Tujuh Langit. 

“Mengapa hanya memandangku?! Terus terang saja. 

Aku sekarang tidak begitu tertarik dengan laki-laki. 

Tapi kalau kau suka, aku bersedia melayanimu.... 

Hik... Hik.... Hik.... Tapi dengan syarat. Kau serahkan 

kekasihmu itu beberapa malam saja padaku....”


EMPAT



TELINGA Perempuan Kembang Darah laksana dis-

ambar petir. Tampangnya berubah garang. Iblis Muka 

Setan tak kalah berangnya. Sepasang matanya yang 

melotot besar dijerengkan. Tulang-tulang pada wajah-

nya tampak bertonjolan bergerak-gerak.

Namun kedua orang ini masih coba menahan diri. 

Iblis Muka Setan tegakkan wajah sesaat, lalu berkata.

“Bidadari Tujuh Langit! Aku bersedia menyerahkan 

kekasihku ini padamu untuk beberapa malam. Tapi 

tunggulah sampai saatnya datang! Tunggulah sampai 

kau berperang dulu dengan perasaanmu sendiri! Dan 

saat itu tidak akan lama lagi!

Habis berkata begitu, Iblis Muka Setan menoleh pa-

da kekasihnya Perempuan Kembang Darah. Lalu mem-

beri isyarat untuk segera tinggalkan tempat itu.

Tapi Bidadari Tujuh Langit tampaknya bisa memba-

ca gelagat. Sebelum kedua orang ini bergerak, Bidadari 

Tujuh Langit sudah melompat. Lalu berseru.

‘Iblis Muka Setan! Kudengar kau telah lama menca-

riku atas kematian guru dan kedua kakak seper-

guruanmu. Mengapa kau sekarang buru-buru hendak 

pergi?!”

Belum sempat Iblis Muka Setan menyahut, Bidadari 

Tujuh Langit sudah teruskan ucapan.

“Hari ini nyawamu masih kuampuni. Kau boleh 

tinggalkan tempat ini! Tapi tanpa perempuan cantik di 

sampingmu itu! Biarkan dia bersenang-senang dulu 

beberapa malam denganku...!”

Perempuan Kembang Darah tampaknya sudah tak 

sabaran mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit. 

Namun lagi-lagi Iblis Muka Setan palangkan tangan 

memberi isyarat agar Perempuan Kembang Darah me-

nahan diri.

Menghadapi hal demikian, Bidadari Tujuh Langit 

tertawa. Lalu berucap lagi. “Iblis Muka Setan! Mengapa 

kau halangi niat kekasihmu yang hendak menyambut 

tawaranku?! Kau takut dia tak akan kembali pada-

mu?!” Bidadari Tujuh Langit tertawa lagi sebelum ak-

hirnya lanjutkan ucapan.

“Percayalah.... Dia akan kukembalikan padamu da-

lam keadaan utuh! Bahkan aku akan memberi pelaja


ran padanya bagaimana cara bercinta yang meng-

asyikkan!”

Kalau saja tidak ingat akan rencana yang telah dis-

usun, ingin rasanya Iblis Muka Setan berkelebat dan 

menghantam. Namun begitu ingat, sekuat tenaga dia 

menahan diri. Lalu berbisik pada Perempuan Kembang 

Darah.

“Kekasihku.... Kalau kita terus berada di tempat ini, 

bukan tak mungkin kita akan terjebak bentrok de-

ngannya. Hal ini akan membuat rencana kita bisa be-

rantakan! Kita harus segera pergi!”

Tanpa menunggu sahutan, Iblis Muka Setan cepat 

tarik tangan Perempuan Kembang Darah lalu berkele-

bat.

“Tinggalkan perempuan itu!” teriak Bidadari Tujuh 

Langit seraya angkat kedua tangannya dan lepaskan 

satu pukulan.

Byurr! Byurr!

Bongkahan batu di mana Iblis Muka Setan dan Pe-

rempuan Kembang Darah tegak, serta beberapa bong-

kahan di sampingnya langsung semburat pecah ter-

hantam gelombang angin yang berkiblat dari kedua ta-

ngan Bidadari Tujuh Langit. Namun sosok Iblis Muka 

Setan dan Perempuan Kembang Darah sudah tidak ke-

lihatan lagi batang hidungnya! Hebatnya, saat itu juga 

terdengar suara disertai tawa bergelak panjang.

“Bidadari Tujuh Langit! Kami pergi bukan karena 

takut padamu! Kami hanya ingin melihatmu merasa-

kan dahulu bagaimana berperang dengan perasaan.... 

Tunggulah! Saat itu tidak lama lagi akan datang men-

jumpaimu! Ha.... Ha....”

Bidadari Tujuh Langit tegak dengan wajah dido-

ngakkan. Dia tahu pasti bahwa yang baru saja perde-

ngarkan suara adalah Iblis Muka Setan.


“Apa maksud ucapan manusia itu?!” pikir Bidadari 

Tujuh Langit. Entah tak dapat menemukan jawaban, 

akhirnya perempuan ini menenangkan diri dengan 

bergumam.

“Mungkin mereka takut menghadapiku! Lagi pula 

untuk apa aku memikirkannya?!” Saat itulah Bidadari 

Tujuh Langit ingat pada Bidadari Pedang Cinta dan 

gadis berbaju biru. Dia cepat putar tubuh dengan mata 

mengedar berkeliling.

“Tak mungkin dua jahanam tadi yang sembunyikan 

dua gadis itu! Jadi siapa?!” Mata Bidadari Tujuh Langit 

akhirnya sampai pada sosok murid Pendeta Sinting 

yang duduk bersandar di bongkahan batu.

“Dia juga tak mungkin! Hem.... Jangan-jangan ke-

duanya berhasil lepaskan diri dari totokanku! Tapi....” 

Bidadari Tujuh Langit tampak bingung dan bimbang. 

Hingga untuk beberapa lama dia hanya tegak dengan 

pandangi Pendekar 131. “Gara-gara bangsat itu rejeki 

besar bisa lepas dari tangan!”

Bidadari Tujuh Langit berkelebat. Tahu-tahu sosok-

nya telah tegak delapan langkah di hadapan Joko.

“Pemuda bangsat! Kau harus bayar hilangnya dua 

calon pengantinku dengan nyawa dan cincangan tu-

buhmu!”

Pendekar 131 bergerak bangkit. Dia sudah hendak 

menyahut ucapan Bidadari Tujuh Langit. Namun men-

dadak mulutnya dikatupkan lagi. Sepasang matanya 

dijerengkan besar-besar. Bukan memandang pada Bi-

dadari Tujuh Langit, melainkan pada jurusan lain di 

mana terlihat satu sosok tubuh tengah berjalan me-

nuju ke arahnya dengan bibir sunggingkan senyum.

“Hem.... Dia!” Joko berseru dalam hati mengenali 

siapa adanya sosok yang melangkah di depan sana. 

“Kalau dia berada di tempat ini, aku hampir merasa


yakin pasti dia yang membawa kedua gadis tadi!”

Di lain pihak, entah karena telah dibuncah dengan 

hawa kemarahan karena lenyapnya Bidadari Pedang 

Cinta dan gadis berbaju biru, serta karena datangnya 

orang yang melangkah ke arahnya dari bagian bela-

kang, Bidadari Tujuh Langit tidak bisa menangkap ke-

munculan orang yang teruskan langkah seraya se-

nyam-senyum.

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Joko buka 

mulut lagi dan berkata.

“Bidadari Tujuh Langit! Bagaimana kalau aku me-

nawarkan seorang calon pengantin padamu sebagai 

ganti dari kedua calon pengantinmu yang lenyap ta-

di?!”

Bidadari Tujuh Langit tidak menyahut. Sebaliknya 

makin sengatkan pandangannya pada sosok murid 

Pendeta Sinting.

“Bidadari.... Kau tak usah khawatir! Meski calon 

yang kutawarkan padamu hanya satu orang, tapi aku 

yakin, dia bisa membuatmu menikmati malam pengan-

tin seperti jika kau bersama dua calon pengantinmu 

yang lenyap tiada kabar tadi...! Lebih dari itu, seandai-

nya kecantikan dua calon pengantinmu tadi dipadu ja-

di satu, pasti belum bisa menandingi kecantikan calon 

pengantin yang akan kutawarkan padamu...!”

Karena Bidadari Tujuh Langit belum juga menya-

hut, murid Pendeta Sinting kembali angkat suara se-

raya senyum-senyum.

“Dan perlu kau tahu. Calon pengantin yang kuta-

warkan kujamin tidak akan bertindak macam-macam 

apalagi menentang keinginanmu seperti halnya dua ca-

lon pengantinmu tadi!”

“Apa yang dikatakannya benar, Bidadariku....” Men-

dadak satu suara menyahut. “Dengan senang hati aku


akan menyediakan diri bersenang-senang menikmati 

indahnya cinta bersamamu.... Ah.... Ah.... Lebih dari 

itu, aku sudah persiapkan tempat indah buat kita! Ju-

ga gaun pengantin berbulu domba...!”

Kepala Bidadari Tujuh Langit langsung berputar. 

Memandang ke depan, ia melihat seorang nenek be-

rambut putih panjang menjulai hingga betis. Sosoknya 

tambun besar hingga gumpalan daging di perutnya 

tampak bergerak turun naik ketika nenek ini bergerak 

melangkah. Sepasang matanya sipit. Bukan karena bo-

la matanya sipit, namun karena tebalnya kulit wajah 

yang dimilikinya. Hidungnya melesak masuk ke dalam 

gumpalan kulit wajah yang tebal. Mulutnya hampir-

hampir tak kelihatan karena tertutup tebalnya kulit 

pada kedua pipinya. Perempuan tua ini mengenakan 

pakaian merah menyala dan sangat ketat.

“Putri Pusar Bumi!” desis Bidadari Tujuh Langit da-

pat mengenali siapa adanya nenek bertubuh tambun 

besar berpakaian merah menyala. Dia terlihat tercekat 

beberapa saat melihat kemunculan si nenek yang bu-

kan lain memang Putri Pusar Bumi adanya.

Putri Pusar Bumi hentikan langkah sepuluh tindak 

di hadapan Bidadari Tujuh Langit. Lalu buka mulut.

“Bidadari.... Telah lama aku dengar namamu.... Te-

lah lama pula aku mencarimu....” Sepasang mata milik 

Putri Pusar Bumi yang seakan terlipat di dalam tebal-

nya kulit wajah mengerjap beberapa kali.

“Hem.... Tak kusangka kalau hari ini aku akan ber-

temu dengan beberapa manusia yang pada beberapa 

puluh tahun silam punya urusan denganku! Kemun-

culan nenek gembrot ini pasti sama dengan niat Iblis 

Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah! Hendak 

selesaikan urusan masa silam! Hem.... Perempuan 

gembrot ini memang tidak bisa kutaklukkan pada beberapa puluh tahun silam. Tapi sekarang aku bukan-

lah Bidadari Tujuh Langit seperti beberapa puluh ta-

hun yang lalu...!” Bidadari Tujuh Langit bergumam da-

lam hati.

“Bidadari.... Kau jangan salah duga. Keberadaanku 

di sini bukan untuk selesaikan masalah seperti halnya 

dua sahabatku yang baru saja pergi! Masalah itu su-

dah kuanggap tidak pernah terjadi!” Putri Pusar Bumi 

berkata seolah bisa menangkap apa yang baru digu-

mamkan Bidadari Tujuh Langit.

“Hem.... Lalu apa maksudmu?!” bentak Bidadari Tu-

juh Langit.

Putri Pusar Bumi tertawa melengking dahulu sebe-

lum berkata.

“Kudengar sekarang kau memiliki satu hal aneh....” 

Putri Pusar Bumi putuskan ucapan beberapa saat de-

ngan kepala diputar berkeliling. Lalu lanjutkan uca-

pan.

“Di sini tidak ada perempuan. Jadi aku berani ber-

terus terang padamu.... Sebenarnya aku juga punya 

hal aneh sepertimu! Mungkin ini sudah satu takdir 

yang harus kita terima.... Kita memiliki rasa suka pada 

sesama perempuan!”

Bidadari Tujuh Langit tampak terkesiap kaget. Dia 

perhatikan lebih seksama sosok Putri Pusar Bumi den-

gan dahi berkerut.

Yang diperhatikan tertawa ngakak, hingga gum-

palan daging di perut dan wajahnya bergerak-gerak. 

Saat lain dia teruskan bicara.

“Hal aneh itulah yang membuatku selalu ingin ber-

temu dan mencarimu! Aku juga dengar kau telah me-

miliki Sepasang Cincin Keabadian! Sungguh satu kebe-

runtungan bagimu.... Karena dengan cincin itu, kau 

akan tetap terlihat cantik dan awet muda.... Dan berarti kesempatanmu untuk menikmati kesenangan hidup 

bisa lebih lama....”

“Hem.... Dia tahu banyak tentang diriku.... Tapi aku 

tidak percaya pada apa yang baru saja diucapkan! Tak 

mungkin dia suka sama perempuan!” Bidadari Tujuh 

Langit terus membatin tanpa buka suara.

“Bidadariku.... Pemuda itu tadi telah menawarkan 

satu calon pengantin padamu. Kau tahu siapa calon 

yang ditawarkan!”

Lagi-lagi Bidadari Tujuh Langit hanya memandang 

tanpa bersuara. Putri Pusar Bumi tersenyum lagi lalu 

berkata.

“Bidadariku.... Pemuda itu adalah orang keperca-

yaanku yang kuperintahkan mencari beberapa gadis 

muda dan cantik....” Putri Pusar Bumi tunjuk murid 

Pendeta Sinting. “Karena tak mungkin aku berjalan 

mencari sendiri. Dengan umpan parasnya yang tam-

pan, akan banyak gadis yang tergaet olehnya. Lalu dia 

akan serahkan gadis-gadis itu padaku.... Dan kalau-

pun hari Ini terpaksa aku berjalan sendiri, itu karena 

kau!”

“Hem.... Jangan kira aku tak tahu apa yang ada da-

lam benakmu, Perempuan Gembrot!” Tiba-tiba Bidada-

ri Tujuh Langit berteriak.

“Ah.... Ah.... Aku sangat senang kau telah tahu apa 

yang ada dalam benakku. Jadi, apakah kita pergi seka-

rang?!”

“Siapa mau bercinta dengan nenek gembrot seper-

timu?!”

“Ah.... Ah.... Kau ini bagaimana?! Kau baru saja bi-

lang tahu apa yang ada dalam benakku. Tapi mengapa 

kau meradang saat kuajak pergi?! Jangan-jangan kau 

salah menebak apa yang ada dalam benakku!”

“Kau inginkan Sepasang Cincin Keabadian!”


Putri Pusar Bumi tertawa panjang hingga gumpalan 

daging perutnya turun naik pulang balik. Lalu kepa-

lanya menggeleng saat berkata.

“Dugaanmu keliru, Bidadariku.... Tak terlintas da-

lam benakku untuk memiliki Sepasang Cincin Keba-

dian! Yang kuinginkan justru menjadi pengantinmu 

mulai hari ini hingga waktu yang tak terhingga.... Itu-

lah tujuanku selalu ingin bertemu dan mencarimu!”

Sepasang mata Bidadari Tujuh Langit mendelik ang-

ker. Sosoknya bergetar keras. Lalu berteriak lantang.

“Kau kira aku sudi bercinta dengan nenek kedodo-

ran sepertimu, hah?!”

Habis berteriak begitu, tawa Bidadari Tujuh Langit 

meledak keras.

Putri Pusar Bumi surutkan langkah seolah ngeri 

dengan jawaban Bidadari Tujuh Langit. Namun saat 

lain kembali perempuan bertubuh tambun ini telah 

maju selangkah dan berujar pelan setengah terisak.

“Bidadariku.... Telah kuhabiskan beribu-ribu hari 

untuk merawat wajahku. Sudah kutelusuri beribu-ribu 

tombak untuk mencari daun-daunan obat agar poto-

ngan tubuhku tetap menggairahkan saat dipandang! 

Telah kuhabiskan berbatang-batang kayu cendana 

agar aromaku seperti Bidadari sungguhan. Telah ber-

atus-ratus purnama tubuhku kutimpuki lulur beng-

kuang agar kulitku tetap padat dan kencang! Telah 

kupergunakan beribu-ribu daun lidah buaya untuk 

merawat rambutku. Malah telah berpuluh-puluh pe-

muda tampan yang kutolak keinginannya melamar di-

riku...!” Putri Pusar Bumi hentikan ucapannya lalu 

tersedu-sedu keras. Saat lain dia pukul-pukulkan ke-

dua tangannya pada gumpalan daging di depan perut-

nya sambil berkata.

“Kalau pada akhirnya kau menolak kehadiranku di


sampingmu, tak mungkin semua itu kulakukan! Tak 

mungkin! Tak mungkin! Ah.... Ah....”


LIMA



BIDADARI Tujuh Langit perdengarkan dengusan ke-

ras mendengar ratapan Putri Pusar Bumi. Dia masih 

tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya 

dari mulut perempuan bertubuh tambun besar itu. 

Namun sebelum dia sempat buka mulut, Pendekar 131 

sudah menyahut.

“Bidadari Tujuh Langit.... Dia tidak berkata dusta!

Malah dia telah habiskan beribu-ribu tombak untuk 

berlari-lari kecil tiap pagi dan sore agar tubuhnya tidak 

bergumpal kedodoran! Dia telah lewatkan berjuta-juta 

suara yang terdengar di telinganya agar tidak tergoda 

dengan rayuan beberapa pemuda yang tergila-gila pa-

danya! Dia telah tutup mata dan tutup mulut agar ti-

dak melihat sesuatu yang bisa membuat hatinya ter-

goda dan mulutnya mengatakan rasa cinta pada bebe-

rapa pemuda yang selalu menanti jawabannya! Malah 

dia tidak berusaha membalas beberapa surat yang di-

kirim beberapa tokoh yang diam-diam mengharapkan-

nya.... Maka dari itu, kuharap kau tidak menolaknya! 

Dia manusia sempurna.... Potongan yahut, wajah im-

ut-imut, sifat penurut, sikap pantang surut, hatinya 

lembut, pusarnya berambut, dan....”

“Diam!” Bidadari Tujuh Langit berteriak setengah 

menjerit. Kepalanya pulang balik menghadap Putri Pu-

sar Bumi dan Pendekar 131 dengan unjuk tampang 

berang.

Sekonyong-konyong Putri Pusar Bumi dan Pendekar 

131 putuskan tawa masing-masing. Sementara Bida

dari Tujuh Langit mendongak sambil membatin.

“Aku memang telah memiliki Sepasang Cincin Kea-

badian walau cuma satu. Tapi itu sudah cukup mem-

buat ilmuku bertambah pesat. Namun bersama berla-

lunya waktu, bukan tak mungkin perempuan gembrot 

itu juga bertambah pesat perkembangannya.... Hem.... 

Inilah saatnya aku mencoba! Tapi....”

Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan 

membatin, Putri Pusar Bumi sudah angkat suara.

“Bidadariku.... Sebenarnya aku kecewa dengan pe-

nolakanmu ini. Karena kau telah dengar bagaimana 

berat pengorbananku selama ini. Tapi rasa kecewa ini 

bisa lenyap kalau kau mau dengar sedikit ucapan-

ku....”

Tanpa menunggu jawaban dari mulut Bidadari Tu-

juh Langit, Putri Pusar Bumi berkata lagi. “Kembali-

kanlah Sepasang Cincin Keabadian pada orang yang 

berhak memilikinya! Dengan begitu malapetaka besar 

yang sudah menghadang di depanmu bisa hilang...!”

Bidadari Tujuh Langit tertawa pendek lalu berkata.

“Bidadari Tujuh Langit pantang mengembalikan 

benda yang sudah berada di tangannya! Dan Bidadari 

Tujuh Langit pantang surutkan langkah menghadapi 

aral yang melintang! Jangan kau mimpi bisa merayuku 

dengan ucapan kampungan seperti itu! Lagi pula....”

“Aku tidak merayumu!” Putri Pusar Bumi sudah 

menyahut sebelum Bidadari Tujuh Langit lanjutkan 

ucapannya. “Apa yang kukatakan adalah sesuatu yang 

selama ini dapat kutangkap! Aral maha besar akan 

menghadangmu jika kau tidak mengembalikan Sepa-

sang Cincin Keabadian pada orang yang berhak!”

“Aral apa, hah?!” Bidadari Tujuh Langit bertanya.

Putri Pusar Bumi geleng kepala. “Aku tidak bisa 

mengatakannya. Yang jelas aral itu masih ada kaitan


nya dengan tindakanmu saat mengambil Sepasang 

Cincin Keabadian!”

“Kau keliru, Perempuan Gembrot! Sepasang Cincin 

Keabadian bukan kuambil. Tapi diserahkan suka rela 

padaku!”

Lagi-lagi Putri Pusar Bumi gelengkan kepala. “Aku 

memang tidak melihat bagaimana saat kau menda-

patkannya. Namun dari perubahanmu aku bisa mene-

bak apa yang terjadi saat itu!”

“Apa yang kau ketahui, hah?”

“Kau mengambilnya dengan paksa. Dan karena sia-

pa pun sudah tahu bagaimana si pemilik Sepasang 

Cincin Keabadian, maka tanpa satu muslihat yang di-

rencanakan matang, tak mungkin Cincin Keabadian 

dapat diambil dari tangannya!”

“Hem.... Kalau aku tak mau mengembalikan, kau 

mau apa?!”

“Aku hanya memberi saran pada seorang sahabat. 

Soal saranku diterima, aku akan berucap syukur. Ka-

lau tidak, terserah!”

“Lantas urusan kenikmatan Itu bagaimana?!” Pen-

dekar 131 menyela sambil memandang pada Putri Pu-

sar Bumi.

“Pujaanku.... Aku tidak akan memaksakan kehen-

dak pada orang yang tidak suka. Meski karena Itu aku 

telah berkorban puluhan tahun lamanya! Atau barang-

kali sahabat cantik kita itu sudah berubah. Dia seka-

rang tidak lagi memiliki rasa suka pada perempuan 

sepertiku. Tapi sudah kesengsem dengan pemuda se-

pertimu!”

Tak tahan dengan ucapan Putri Pusar Bumi, Bida-

dari Tujuh Langit balikkan tubuh menghadap lurus 

pada Putri Pusar Bumi. Kedua tangannya diangkat.

Anehnya, Putri Pusar Bumi tidak unjukkan rasa takut. Sebaliknya tersenyum lalu enak saja berkata den-

gan luruskan wajah ke arah murid Pendeta Sinting. 

“Kau pemuda beruntung. Datang jauh-jauh dari negeri 

seberang lalu mendapat perempuan yang beraroma 

bak kembang! Kuucapkan selamat padamu.... Juga se-

lamat tinggal!”

Dari ucapan orang tampaknya Bidadari Tujuh La-

ngit sudah bisa meraba apa lanjutan yang akan dila-

kukan Putri Pusar Bumi. Hingga belum sampai perem-

puan bertubuh tambun besar ini berkelebat pergi, Bi-

dadari Tujuh Langit sudah sentakkan kedua tangan-

nya lepas pukulan jarak jauh.

Wuutt! Wuuutt!

Dua gelombang dahsyat perdengarkan deruan keras 

berkiblat lurus ke arah Putri Pusar Bumi.

Putri Pusar Bumi pukulkan tangan kanan pada 

gumpalan daging di depan perutnya.

Buunggg!

Terdengar gaung menggelegar pekakkan gendang te-

linga. Lalu satu gulungan gelombang menggelundung 

deras menghadang gelombang yang melesat keluar dari 

kedua tangan Bidadari Tujuh Langit.

Busss! Busss! Busss!

Terdengar beberapa kali suara seperti hembusan 

balon saat gelombang dari kedua tangan Bidadari Tu-

juh Langit bentrok dengan gulungan gelombang dari 

gumpalan daging perut Putri Pusar Bumi. Hebatnya, 

bersamaan dengan itu, tanah terbuka yang banyak di-

tebari bongkahan batu itu laksana dilanda gempa dah-

syat. Sosok Bidadari Tujuh Langit tersentak-sentak 

mundur beberapa tindak dengan paras pucat. Semen-

tara meski tidak surutkan langkah, sosok besar Putri 

Pusar Bumi tampak berguncang-guncang. Hingga 

gumpalan daging pada wajah dan perutnya bergerak


pulang balik turun naik. Rambutnya yang panjang 

menjulai berkibar-kibar.

Bidadari Tujuh Langit cepat kuasai diri. Lalu lipat 

gandakan tenaga dalam. Sepasang matanya dipejam-

kan. Lalu kedua tangannya dirangkapkan di depan da-

da.

“Bidadari.... Maaf kalau aku tak bisa melayanimu 

lebih lama lagi....” Putri Pusar Bumi berkata. Suaranya 

jelas masih terngiang di tempat itu, tapi sosoknya su-

dah berada jauh di depan sana! Hingga tatkala Bidada-

ri Tujuh Langit buka sepasang matanya dan luruhkan 

kedua tangannya hendak lepaskan pukulan, perem-

puan bertubuh sintal ini menjadi tersentak sendiri.

“Gerakannya cepat sekali! Astaga! Jangan-jangan 

dia yang mengambil dua gadis itu saat keadaan gelap 

tadi!” Bidadari Tujuh Langit bergumam. Teringat akan 

kedua gadis itu, Bidadari Tujuh Langit jadi lupa pada 

murid Pendeta Sinting yang masih tegak di tempat itu. 

Hingga tanpa pikir panjang lagi dia hentakkan kaki. 

Sosoknya melesat laksana kesurupan mengejar Putri 

Pusar Bumi!

“Hilang sudah satu kesempatan! Tak mungkin aku 

ikut mengejar. Dan berarti aku harus mencari orang 

lain yang bisa menjelaskan di mana letak Lembah Tu-

juh Bintang Tujuh Sungai! Hem.... Apakah aku harus 

mencari orang selain Dewa Asap Kayangan untuk men-

jelaskan peta wasiat ini? Ah... itu tidak mungkin. Nege-

ri ini banyak sekali dirundung masalah! Satu urusan 

belum tuntas betul, kini ada urusan lagi yang tam-

paknya tak kalah serunya dengan urusan peta wa-

siat.... Hem.... Ke mana aku harus pergi?!

Selagi Pendekar 131 dilanda kebimbangan, menda-

dak satu bayangan berkelebat lalu tegak sejarak dua 

puluh lima langkah di seberang sana. Orang ini putar


pandangan beberapa saat. Lalu melangkah perlahan-

lahan ke arah murid Pendeta Sinting. Dia baru henti-

kan langkah saat berada tujuh tindak di depan Joko.

Joko memperhatikan beberapa lama. Namun sejauh 

ini murid Pendeta Sinting tidak bisa melihat wajah 

orang, karena orang ini mengenakan kerudung besar 

hingga raut wajahnya hanya terlihat bagian hidung 

dan sebagian bibirnya. Tapi dari sikap dan pakaian 

yang dikenakan, Joko bisa menebak jika sosok orang 

itu adalah seorang perempuan.

“Kalau tak salah lihat, bukankah yang tegak di ha-

dapanku saat ini adalah seorang pemuda dari negeri 

asing yang dikenal dengan Pendekar 131 Joko Sab-

leng?!” sosok berkerudung perdengarkan suara. Suara 

orang ini sangat merdu.

“Hem.... Aku yakin sekarang. Dia adalah seorang 

perempuan! Herannya, dari mana dia bisa mengenali-

ku?! Padahal aku yakin. Baru kali ini bertemu dengan 

orang yang berciri seperti dia!” Pendekar 131 membatin 

dengan wajah terkejut mendapati orang telah tahu sia-

pa dirinya.

Joko pentangkan mata coba meneliti raut wajah 

orang. Namun yang dilihat segera tarik kerudung be-

sarnya. Hingga hidung dan sebagian mulutnya tidak 

kelihatan.

“Siapa kau?!” Akhirnya Joko menegur setelah gagal 

mengetahui siapa adanya orang dan orang itu tampak-

nya juga tidak ingin diketahui.

“Pendekar 131.... Siapa aku rasanya tidak begitu 

penting. Dan kau tak usah paksakan diri untuk me-

ngetahui siapa adanya aku. Selain hal itu hanya 

buang-buang waktu, juga tidak ada gunanya! Di anta-

ra kita tidak ada urusan. Namun aku bisa menangkap 

satu hal dari dirimu. Kau tengah dilanda kebimbangan


tak tahu harus ke mana bertanya! Benar?!”

Untuk kedua kalinya Joko tersentak kaget men-

dapati orang seolah tahu apa yang tengah melanda di-

rinya. Joko sudah buka mulut hendak ajukan tanya. 

Namun sebelum suaranya terdengar, orang perempuan 

berkerudung di hadapannya sudah bersuara.

“Pendekar 131.... Waktu pertemuan kita tidak ba-

nyak.... Aku memberimu kesempatan kalau kau ingin 

bertanya apa saja padaku! Aku tahu. Sebagai penda-

tang baru di negeri ini, kau masih belum kenal benar 

dengan orang-orang maupun daerah sekitar sini! Aku 

bersedia menjelaskan padamu kalau ada sesuatu yang 

belum kau ketahui....”

“Hem.... Siapa orang ini sebenarnya?! Mengapa tiba-

tiba menawarkan jasa padaku?!” Joko terus membatin 

dengan menduga-duga. Hingga untuk beberapa lama 

dia tidak perdengarkan suara.

“Hem.... Kau tampaknya tidak percaya padaku. Tak 

apa-apa! Kita memang harus waspada pada setiap 

orang yang belum kita kenal. Tapi kau harus sadar. 

Saat ini kau butuh penjelasan seseorang yang masih 

ada kaitannya dengan urusanmu di puncak Bukit 

Toyongga....”

Kali ini murid Pendeta Sinting tak dapat lagi sem-

bunyikan rasa kejutnya. “Dia tahu banyak sekali uru-

sanku! Apakah aku harus bertanya padanya?!”

Karena murid Pendeta Sinting tidak juga buka sua-

ra, akhirnya perempuan berkerudung putar diri seraya 

berkata.

“Pendekar 131.... Kuucapkan selamat jalan! Mudah-

mudahan kau bertemu dengan orang yang kau percaya 

untuk menjelaskan semua urusanmu!”

Habis berkata begitu, perempuan berkerudung me-

langkah hendak tinggalkan tempat itu.


“Tunggu!” Pendekar 131 berteriak. Lalu melompat 

dan tegak lima langkah di samping perempuan berke-

rudung.

“Aku memberimu kesempatan untuk menimbang 

dulu sebelum kau berbicara urusanmu denganku! Aku 

tak ingin bicara dengan orang yang hatinya masih di-

rasuki perasaan curiga!”

“Mau katakan dahulu siapa kau adanya?!” tanya 

Joko.

“Ucapanmu satu petunjuk kalau kau masih curiga! 

Berarti mustahil bagiku untuk terus berada di tempat 

ini!” Si perempuan berkerudung kembali akan melang-

kah. Tapi Joko cepat-cepat menghadang di hadapan-

nya dan berujar.

“Aku percaya padamu.... Tapi kuharap kau nanti-

nya tidak berkata dusta!”

“Kau kira ada untungnya aku bicara dusta pada-

mu?! Kita tidak saling kenal sebelum ini meski aku ta-

hu banyak siapa dirimu! Dan kalaupun aku menawar-

kan jasa, semata-mata karena aku tahu siapa dirimu 

sebenarnya, serta tugas apa yang ada di pundakmu! 

Juga sebagai rasa terima kasih atas tindakanmu hing-

ga dunia persilatan tanah Tibet bisa selamat dari ben-

cana yang makin besar!”

“Ucapanmu terlalu menyanjung.... Padahal aku ti-

dak merasa sebagai juru selamat tanah Tibet! Aku ti-

dak melakukan apa-apa...!”

Si perempuan berkerudung tertawa pelan. “Rasanya 

sulit menemukan orang sepertimu di masa sekarang 

ini! Kau telah berbuat banyak demi tenteramnya dunia 

persilatan tanah Tibet, tapi kau tidak merasa berja-

sa.... Jadi sudah selayaknya kalau dirimu mulai men-

jadi buah bibir beberapa orang di tanah ini!”

“Ah.... Kau terlalu mengada-ada. Kau terlalu mem


besarkan urusan kecil!”

“Hem.... Urusan peta wasiat yang tersimpan di Per-

guruan Shaolin bukan urusan kecil, Pendekar 131.... 

Kalau tidak ada dirimu, aku tidak bisa membayangkan 

apa yang terjadi! Pasti pertumpahan darah akan terus 

berlangsung! Dan rakyat pun tak luput dari getahnya. 

Karena kau tahu sendiri. Ternyata pihak kerajaan te-

lah turun tangan ikut campur!”

“Hem.... Jadi orang ini benar-benar tahu banyak 

tentang urusanku.... Dan tampaknya bisa dipercaya!” 

Joko membatin.

“Pendekar 131.... Aku siap menjelaskan apa yang 

belum jelas bagimu! Tapi kuminta kau tidak bicara 

dusta! Karena sekali kau berdusta, jalan urusanmu ja-

di berbelok!”

Pendekar 131 berpikir beberapa saat sebelum akhir-

nya buka suara.

“Kau tahu di mana letak Lembah Tujuh Bintang Tu-

juh Sungai?!”

Yang ditanya bukannya segera menjawab, melain-

kan tegakkan wajah mendongak seraya rapikan keru-

dung yang menutupi wajahnya!


ENAM


KAU tahu letak Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sun-

gai?!” kembali Pendekar 131 ajukan tanya setelah di-

tunggu agak lama perempuan berkerudung hanya te-

gak tanpa memberi jawaban.

“Pergilah ke utara. Kira-kira seratus tombak dari si-

ni kau akan menemukan sebuah lembah. Itulah lem-

bah yang kau cari!” Perempuan berkerudung akhirnya 

buka mulut. Lalu ajukan tanya.


“Siapa yang hendak kau temui?!”

Kali ini Pendekar 131 yang terdiam beberapa lama. 

Hingga akhirnya perempuan berkerudung ajukan 

tanya lagi.

“Kau keberatan mengatakan siapa orang yang akan 

kau temui?!”

“Aku hendak menemui Dewa Asap Kayangan!”

Perempuan berkerudung perdengarkan tawa perla-

han, membuat murid Pendeta Sinting sedikit merasa 

heran dan bertanya.

“Mengapa kau tertawa. Apa ada yang menggeli-

kan?!”

“Kau berjanji untuk jumpa di sana?!” Perempuan 

berkerudung balik ajukan tanya.

“Bukankah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai 

adalah tempat tinggal Dewa Asap Kayangan?”

“Siapa yang mengatakan begitu padamu?!”

“Jadi...?!” Pendekar 131 melongo.

“Aku tahu siapa Dewa Asap Kayangan. Karena dia 

adalah salah seorang sahabatku. Kau boleh percaya 

atau tidak. Yang jelas Dewa Asap Kayangan tidak me-

netap di sana!”

“Bagaimana ini...?! Apakah perempuan ini tidak 

berdusta?! Tapi mengapa Dewa Asap Kayangan menga-

takan....” *

Belum sampai Joko teruskan membatin, perempuan 

berkerudung sudah buka suara. “Pendekar 131! Lem-

bah Tujuh Bintang Tujuh Sungai memang dihuni sese-

orang. Tapi bukan Dewa Asap Kayangan!”

“Lalu siapa?!”

“Dia adalah adik kandung Dewa Asap Kayangan!”

“Hem....” Murid Pendeta Sinting bergumam seraya 

anggukkan kepala. “Jadi Dewa Asap Kayangan sengaja 

hendak menungguku di tempat adik kandungnya....


Mudah-mudahan perempuan ini berkata apa 

adanya...!” Membatin murid Pendeta Sinting. Lalu ber-

kata.

“Terima kasih atas penjelasanmu. Sebelum aku per-

gi, mungkin kau mau mengatakan siapa dirimu?!”

Perempuan berkerudung geleng kepala. “Untuk se-

mentara ini biarlah kita saling tahu dengan cara begi-

ni. Dan sekali lagi kuharap kau menganggap penjela-

sanku tadi sebagai rasa terima kasih atas semua tin-

dakanmu selama berkunjung di daratan Tibet!”

Pendekar 131 pandangi sekali lagi sosok berke-

rudung di hadapannya. Lalu putar diri hendak tinggal-

kan tempat ini.

“Tunggu!”

Pendekar 131 batalkan niat untuk melangkah. Ke-

palanya berpaling. Sebelum sempat buka mulut, pe-

rempuan berkerudung sudah mendahului.

“Aku tak bisa menerangkan mengapa. Yang jelas, 

mungkin pertemuan kita hanya sekali ini. Untuk itu, 

kalau memang masih ada yang belum kau ketahui, 

aku masih bersedia memberi penjelasan padamu!”

Murid Pendeta Sinting sudah akan geleng kepala 

ketika tiba-tiba teringat perbincangan Putri Pusar Bu-

mi dan Bidadari Tujuh Langit. Dia segera ajukan 

tanya.

“Kau tahu tentang Sepasang Cincin Keabadian?!”

Yang ditanya kembali tengadahkan kepala sebelum 

akhirnya angkat suara.

“Sepasang Cincin Keabadian adalah sepasang cincin 

yang selama ini diketahui dapat membuat si pema-

kainya tetap kelihatan muda dan cantik kalau dia ada-

lah seorang perempuan. Dan dapat membuat si pe-

makainya tetap muda dan tampan jika si pemakainya 

adalah seorang laki-laki! Sepasang Cincin Keabadian


dimiliki seorang tokoh bergelar Dewi Keabadian! Tokoh 

ini sukar ditentukan di mana tempat tinggalnya karena 

sering berpindah-pindah! Mengapa kau bertanya me-

ngenai Sepasang Cincin Keabadian?!”

Walau nadanya bertanya, namun perempuan ber-

kerudung tampaknya tidak mau memberi kesempatan 

pada murid Pendeta Sinting untuk menjawab. Karena 

bersamaan dengan itu, si perempuan berkerudung su-

dah angkat suara lagi.

“Pendekar 131.... Selama ini beberapa tokoh rimba 

persilatan memang ada yang mengincar Sepasang Cin-

cin Keabadian. Karena selain diketahui mampu mem-

buat si pemakainya tetap awet muda, Sepasang Cincin 

Keabadian mengandung tenaga dahsyat. Si pema-

kainya akan jadi seorang berilmu tinggi! Kau juga 

menginginkan cincin itu, Pendekar 131?”

“Ah.... Aku tidak berpikir sampai sejauh itu. Bahkan 

setelah urusan di Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai 

selesai, aku akan cepat-cepat pulang kampung!”

“Rindu pada kekasih...?!” tanya si perempuan ber-

kerudung seraya tertawa.

“Aku memang banyak mempunyai kenalan bebera-

pa gadis cantik. Namun sejauh ini mereka hanya seba-

gai sahabat biasa!”

“Bagaimana dengan beberapa gadis kenalanmu di 

negeri ini?! Bukankah selama di negeri ini kau juga 

punya kenalan beberapa gadis?! Malah di antaranya 

kudengar telah menjalin hubungan tertentu dengan-

mu!”

“Astaga! Dia benar-benar tahu banyak.... Siapa pe-

rempuan ini sesungguhnya?!” Joko membatin terhe-

ran-heran. Lalu menjawab.

“Seperti halnya beberapa gadis kenalanku di tanah 

Jawa, beberapa gadis yang sempat kukenal di negeri


ini juga masih terbatas sebagai sahabat. Tidak ada 

yang punya hubungan tertentu denganku....”

“Ah.... Sebenarnya aku lebih suka kalau kau punya 

pilihan gadis di negeri ini! Kurasa putri Panglima Muda 

Lie atau putri Yang Mulia Baginda Ku Nang serasi jika 

menjadi pilihanmu! Atau murid tokoh bergelar Ratu 

Selendang Asmara itu.... Bukankah mereka juga gadis-

gadis cantik?!”

“Waduh.... Jangan-jangan perempuan ini juga tahu 

kalau keperluanku menemui Dewa Asap Kayangan se-

lain minta petunjuk urusan peta wasiat ini juga untuk 

menjernihkan urusanku dengan gadis bernama Dewi 

Bunga Asmara, murid tokoh bergelar Ratu Selendang 

Asmara yang kini tampaknya diambil murid oleh Dewa 

Cadas Pangeran...!” Pendekar 131 berkata dalam hati 

dengan dada berdebar.

Seperti diketahui, putri Panglima Muda Lie yang 

bernama Mei Hua dan putri Yang Mulia Baginda Ku 

Nang yang bernama Siao Ling Ling memang menyukai 

murid Pendeta Sinting. Demikian pula murid tunggal 

Ratu Selendang Asmara yang bergelar Dewi Bunga 

Asmara juga diam-diam menyintai Pendekar 131. Bah-

kan keduanya sudah berjanji akan menemui gurunya 

Ratu Selendang Asmara. Tapi urusan di Bukit Toyong-

ga yang akhirnya membuat Ratu Selendang Asmara 

tewas, membuat urusan jadi berkepanjangan. Apalagi 

setelah secara tak terduga, Dewi Cadas Pangeran men-

gambil Dewi Bunga Asmara menjadi muridnya. Dan 

Dewa Cadas Pangeran meminta Pendekar 131 mene-

muinya dengan meminta bantuan pada Dewa Asap 

Kayangan. Karena saat itu Dewa Cadas Pangeran tidak 

memberitahukan di mana harus menemuinya dan 

hanya meminta pada Joko agar bertanya pada Dewa 

Asap Kayangan, akhirnya Joko minta penjelasan pada


Dewa Asap Kayangan di mana harus menemui Dewa 

Cadas Pangeran. Di sinilah Dewa Asap Kayangan men-

gatakan pada Joko bahwa dia menunggu kedatangan 

murid Pendeta Sinting di Lembah Tujuh Bintang Tujuh 

Sungai. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sab-

leng dalam episode: “Tabir Peta Shaolin”).

“Gadis-gadis di negeri ini memang cantik-cantik....” 

Akhirnya Joko buka mulut setelah terdiam beberapa 

lama. “Bahkan aku menduga di balik kerudungmu itu 

tersimpan seraut wajah yang tak kalah cantiknya den-

gan beberapa gadis yang sempat kukenal!”

Perempuan berkerudung lagi-lagi perdengarkan ta-

wa perlahan. Lalu terdengar ucapannya.

“Kau salah menduga, Pendekar 131. Kalau aku me-

miliki raut wajah cantik, tak mungkin aku menutu-

pinya dengan kerudung! Ini semua kulakukan karena 

aku malu dengan wajahku sendiri! Tapi ini memang 

sudah suratan. Aku harus menerima apa yang telah 

diberikan padaku....”

“Ah.... Seandainya saja kau mau memberitahukan 

siapa dirimu, atau setidaknya mau mengatakan di ma-

na tempat tinggalmu, aku ingin sekali bicara lebih la-

ma pada suatu hari kelak....”

Perempuan berkerudung geleng kepala. “Hal itu ti-

dak usah kita persoalkan, Pendekar 131. Kalau sura-

tan menggariskan, tanpa kuberi tahu siapa diriku dan 

di mana tempat tinggalku, kita tentu akan bisa ber-

jumpa lagi....”

“Mudah-mudahan begitu.... Sekarang aku harus se-

gera pergi....”

Pendekar 131 memperhatikan sesaat pada sosok 

perempuan berkerudung dengan harapan si perem-

puan akan membuka kerudungnya atau setidak-

tidaknya mau buka mulut mengatakan di mana tempat tinggalnya. Namun setelah ditunggu agak lama ti-

dak juga ada tanda-tanda si perempuan hendak buka 

kerudung atau buka suara, akhirnya Joko berkelebat 

tinggalkan tempat itu.

Perempuan berkerudung putar diri menghadap ke 

mana murid Pendeta Sinting berkelebat. Setelah agak 

jauh, perempuan ini luruhkan kedua tangannya yang 

memegangi kain kerudungnya untuk menutupi seba-

gian hidung dan mulutnya yang tadi sedikit terlihat. 

Saat lain seraya perdengarkan gumaman tak jelas, dia 

berkelebat tinggalkan tempat itu.

***

Seakan takut terlambat, Pendekar 131 kerahkan 

segenap ilmu peringan tubuhnya dan berlari menuju 

arah yang ditunjuk perempuan berkerudung. Hingga 

sosoknya menyerupai bayang-bayang yang melesat ce-

pat menerabas beberapa jajaran pohon dan semak be-

lukar. Sambil berlari, murid Pendeta Sinting menghi-

tung jarak. Dan begitu hitungannya sampai kira-kira 

seratus tombak, Pendekar 131 hentikan larinya.

Memandang ke depan, terlihat hamparan lembah 

terbuka yang terjal naik turun dan banyak ditebari ba-

tu-batu cadas dan ranggasan semak tinggi-tinggi.

Joko tegak dengan memandang berkeliling. Lalu 

menghela napas panjang. Tangan kiri kanannya berge-

rak menyisir rambutnya yang basah oleh keringat.

“Apakah perempuan berkerudung itu tak salah tun-

jukkan tempat?! Yang kucari adalah Lembah Tujuh 

Bintang Tujuh Sungai. Tapi di sini tidak ada hiasan 

bintang atau aliran tujuh sungai.... Jangan-jangan....” 

Murid Pendeta Sinting mulai didera perasaan bimbang. 

Dia lepas pandangan sekali lagi. Mencari-cari berharap


menemukan sesuatu yang pantas hingga lembah yang 

di hadapannya dinamakan Lembah Tujuh Bintang Tu-

juh Sungai. Namun hingga matanya pedih mendelik 

mencari-cari, dia tidak juga menemukan sesuatu yang 

layak untuk menamakan hamparan lembah di hada-

pannya adalah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.

“Hem.... Aku sudah telanjur datang ke tempat ini. 

Sementara tidak ada orang yang bisa kuminta penjela-

san. Aku akan menyelidik. Siapa tahu aku menemu-

kan satu petunjuk jika lembah inilah Lembah Tujuh 

Bintang Tujuh Sungai. Lebih dari itu siapa tahu aku 

memang bisa bertemu dengan Dewa Asap Kayangan di 

sini!”

Membatin begitu, akhirnya Pendekar 131 teruskan 

langkah. Dia sengaja mendekati sebuah batu cadas 

paling tinggi. Dengan begitu, dia berpikir bisa melihat 

keadaan seantero lembah.

Baru saja murid Pendeta Sinting hendak melompat 

ke atas batu cadas yang terlihat paling tinggi, menda-

dak telinganya mendengar alunan suara. Alunan suara 

itu jelas terdengar, namun Joko tidak mengerti apa 

maksudnya, karena alunan suara itu mirip suara 

orang membaca mantera-mantera.

“Hem.... Walau akhirnya tempat ini bukan tempat 

yang kucari, namun setidaknya aku mendapatkan 

orang yang mungkin bisa kumintai keterangan!” Pen-

dekar 131 bergumam lalu melompat ke atas batu ca-

das paling tinggi dengan kepala langsung berpaling ke 

sebelah kanan dari mana suara alunan mantera ter-

dengar.

Di balik sebuah batu cadas, Pendekar 131 melihat 

satu sosok tubuh duduk bersila di atas sebuah altar 

batu cadas. Joko belum bisa melihat tampang orang 

yang duduk bersila. Karena orang itu membelakanginya. Sementara bagian samping wajahnya juga ter-

tutup kain panjang yang menjulai dari kepala hingga 

bagian dadanya.

Murid Pendeta Sinting memperhatikan sekali lagi. 

Saat lain dia berkelebat turun lalu karena khawatir 

mengganggu kekhusukan orang, Joko sengaja melang-

kah mendekati secara perlahan-lahan dari sebelah 

samping dengan harapan sedikit banyak bisa melihat 

bagian samping tampang orang.

Di lain pihak, seolah tidak merasa ada orang yang 

datang mendekati, orang yang duduk bersila terus me-

ngumandangkan mantera-mantera. Bahkan makin la-

ma alunan suaranya makin tinggi.

Murid Pendeta Sinting hentikan langkah sepuluh 

tindak di samping orang yang duduk bersila seraya 

mengawasi dengan seksama.

“Dari suara dan jubah putih yang dikenakan, jelas 

dia adalah seorang laki-laki....” Joko membatin men-

duga-duga orang yang duduk di atas altar batu cadas. 

Dia adalah satu sosok yang mengenakan jubah putih 

panjang. Karena orang ini tengah duduk bersila, seba-

gian kain jubah putihnya tampak menghampar di ka-

nan kiri altar batu cadas. Raut wajahnya tidak keliha-

tan karena tertutup kerudung putih panjang yang dile-

takkan di atas kepala hingga menjulai sampai menu-

tupi sebagian dadanya. Kedua tangannya merangkap 

di depan dada dengan menekan julaian kerudungnya 

yang jatuh di depan dadanya.

“Hem.... Sebaiknya aku menunggu.... Tidak baik 

mengganggu orang yang tengah khusuk...,” kata Joko 

dalam hati. Lalu seraya terus memperhatikan orang, 

Joko melangkah mencari tempat duduk yang sekiranya 

dapat mengawasi gerak-gerik orang.

Namun setelah duduk beberapa lama, dan orang


yang membaca mantera tidak juga hentikan bacaan-

nya, murid Pendeta Sinting mulai gelisah dan tidak sa-

bar. Dia beranjak bangkit. Lalu melangkah mondar-

mandir dengan sesekali perdengarkan deheman pelan, 

berharap orang yang tengah membaca mantera tidak 

merasa terkejut dan terganggu dengan kehadirannya.

Namun deheman Joko tampaknya tidak membuat 

orang hentikan bacaannya. Sebaliknya orang ini masih 

cepatkan bacaan manteranya bahkan kini kepalanya 

bergerak pulang balik ke bawah ke atas dan sesekali 

ke samping kiri kanan.

Mungkin karena tak sabar sementara dia perlu ke-

terangan, akhirnya Joko beranikan diri mengambil ke-

putusan untuk buka suara.

Namun sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba orang 

yang duduk bersila putuskan bacaan manteranya. 

Saat lain terdengar dia berucap.

“Anak muda dari negeri asing! Apa perlumu datang 

ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai ini?!”


TUJUH



SEPASANG kaki Pendekar 131 laksana disapu ge-

lombang dahsyat hingga tersurut dua tindak, saking 

kagetnya mendengar pertanyaan orang. Sepasang ma-

tanya mendelik besar. Namun dia segera dapat kuasai 

diri setelah membatin. “Mungkin Dewa Asap Kayangan 

telah bercerita padanya tentang diriku hingga dia bisa 

tahu kalau aku berasal dari negeri asing! Dan rupanya 

perempuan berkerudung tadi berkata benar. Ini adalah 

Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Hem.... Bagai-

mana lembah begini bisa dinamakan Lembah Tujuh 

Bintang Tujuh Sungai?! Aku tidak melihat adanya tan


da-tanda yang pantas lembah ini dinamakan Lembah 

Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Tapi itu tidaklah pent-

ing! Yang jelas aku telah menemukan lembah yang ku-

cari...!”

“Pendekar 131! Kau telah dengar pertanyaanku. 

Kuharap kau segera memberi jawaban!”

“Aku ingin bertemu dengan Dewa Asap Kayangan...”

“Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai bukan tem-

pat tinggalnya Dewa Asap Kayangan! Kau salah alamat 

jika ingin bertemu dengannya di sini!”

“Tapi Dewa Asap Kayangan berjanji menungguku di 

tempat ini....”

“Kau jangan bicara dusta! Kapan dan di mana dia 

mengatakannya?!” tanya orang yang duduk bersila di 

atas altar batu cadas.

“Tidak lama berselang, di puncak Bukit Toyongga!”

“Hem....” Orang di atas altar batu cadas mende-

hem. Lalu berpaling ke arah mana murid Pendeta Sint-

ing tegak berdiri. Namun Joko tidak bisa melihat raut 

wajah orang, karena wajah itu tertutup julaian keru-

dung putih yang diletakkan di atas kepalanya dan di-

tekan dengan rangkapan kedua tangannya di depan 

dada.

“Kakakku Dewa Asap Kayangan memang telah ceri-

ta tentang janjinya dengan seseorang! Namun karena 

ada sesuatu yang harus segera dilakukan, dan yang di-

tunggu tidak juga segera muncul, terpaksa dia pergi 

dengan pesan agar aku memberi penjelasan yang diin-

ginkan orang yang hendak menemuinya!”

Habis berkata begitu, orang yang duduk bersila pu-

tar kepalanya lagi lurus ke depan. Namun sebelum 

murid Pendeta Sinting sempat angkat suara, orang di 

atas altar batu cadas sudah berucap lagi.

“Dari jawabanmu, sepertinya kaulah orang yang di


tunggu! Tapi itu belumlah membuatku yakin jika kau 

adalah orang yang membuat perjanjian dengan Dewa 

Asap Kayangan saat berada di puncak Bukit Toyong-

ga!”

Joko kernyitkan dahi. “Aku tak paham apa mak-

sudmu...!”

“Jawaban kata-kata bisa dibuat. Tapi tidak demi-

kian halnya dengan bukti! Dan aku baru percaya kau-

lah orang yang membuat janji pertemuan jika kau bisa 

tunjukkan bukti!”

“Bukti apa yang kau minta?!” tanya murid Pendeta 

Sinting masih dengan dahi berkerut.

“Hasil dari peristiwa di puncak Bukit Toyongga!”

Pendekar 131 terdiam beberapa lama. “Bukti yang 

diminta pasti peta wasiat itu!” Joko membatin mene-

bak apa ‘yang diminta orang.

“Anak muda! Aku tidak punya waktu banyak untuk 

menunggu! Kalau kau tidak bisa menunjukkan bukti 

dari hasil apa yang terjadi di puncak Bukit Toyongga, 

kuharap kau segera angkat kaki dari sini! Carilah De-

wa Asap Kayangan. Hanya saja kau perlu tahu. Kakak-

ku itu tidak punya tempat tinggal tetap....”

“Hem.... Apa yang harus kulakukan?! Di negeri as-

ing begini, rasanya sulit mencari manusia seperti Dewa 

Asap Kayangan! Tapi mungkinkah adiknya ini bisa 

memenuhi permintaanku...?! Seandainya saja aku pa-

ham daerah ini dan tahu di mana tempat tinggalnya 

Dewa Cadas Pangeran, mungkin tak sampai aku ber-

urusan dengan orang ini.... Bodohnya diriku! Seharus-

nya aku bertanya sekalian pada perempuan berkeru-

dung tadi! Dia mau menjelaskan apa yang kuminta 

tanpa minta bukti segala! Tidak seperti orang yang du-

duk membaca mantera itu! Sudah wajahnya ditutup, 

lalu minta bukti lagi!” Joko menggerutu dalam hati.


Lalu buka mulut.

“Aku akan tunjukkan bukti bahwa akulah yang 

membuat janji dengan Dewa Asap Kayangan. Tapi se-

belumnya aku minta ketegasan....”

“Katakan ketegasan apa yang kau inginkan?!”

“Kau nantinya mau mengantarku jika aku ingin 

menemui orang lain lagi?!”

“Aku telah berjanji pada kakakku. Dan aku pantang 

ingkar! Ke mana dan apa pun yang kau minta aku 

akan berusaha memenuhinya!”

“Hem.... Aku harus pastikan dahulu apakah dia ta-

hu di mana tempat tinggal Dewa Cadas Pangeran....” 

Joko berkata dalam hati. Lalu buka suara.

“Kau tahu tempat tinggalnya Dewa Cadas Pange-

ran?!”

Yang ditanya perdengarkan tawa perlahan bernada 

seakan mengejek. Lalu berkata.

“Kau boleh percaya atau tidak. Dewa Asap Kayan-

gan tidak pernah cerita panjang lebar padaku. Dia 

hanya bilang akan kedatangan seseorang. Tapi aku ta-

hu banyak tentang apa yang telah terjadi!” Orang yang 

mengaku sebagai adik kandung Dewa Asap Kayangan 

ini hentikan ucapannya sesaat. Lalu dongakkan kepala 

dan lanjutkan ucapan.

“Aku tahu tewasnya Yang Mulia Baginda Ku Nang, 

juga Panglima Muda Lie, dan nenek bergelar Ratu Se-

lendang Asmara, serta Hantu Bulan Emas, dan Bayan-

gan Tanpa Wajah.... Aku juga tahu tentang perselisi-

han antara gadis bernama Mei Hua dengan Dewi Bun-

ga Asmara dan Siao Ling Ling serta Bidadari Bulan 

Emas karena memendam rasa padamu! Bahkan aku 

tahu siapa yang memberi keterangan padamu hingga 

kau sampai muncul di Lembah Tujuh Bintang Tujuh 

Sungai ini! Bukankah yang memberimu petunjuk ada


lah seorang perempuan berkerudung?! Aku bukan seo-

rang peramal. Tapi aku tahu pasti, perempuan berke-

rudung itu tidak mau sebutkan siapa dirinya dan di 

mana tempat tinggalnya meski kau berusaha ingin ta-

hu!”

“Busyet! Bagaimana dia bisa tahu hal sebanyak

itu?! Peristiwa di puncak Bukit Toyongga mungkin saja 

dia mendengar cerita dari Dewa Asap Kayangan walau 

dia mengaku Dewa Asap Kayangan tidak cerita apa-

apa. Tapi mengenai perempuan berkerudung yang 

memberi petunjuk itu.... Sewaktu aku berbincang de-

ngan perempuan berkerudung aku yakin tak ada orang 

yang mencuri dengar.... Tapi nyatanya dia bisa tahu.... 

Hem....”

“Anak muda! Kalau aku tahu semua yang telah ter-

jadi padamu, bagaimana mungkin aku tidak tahu di 

mana tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran?! Apa-

lagi dia adalah salah seorang sahabatku?! Sekarang 

tunjukkan hasil dari peristiwa di Bukit Toyongga seba-

gai bukti kalau kau adalah orang yang membuat janji 

dengan Dewa Asap Kayangan! Setelah itu baru aku bi-

sa menjelaskan apa yang kau minta dan me-

ngantarmu ke mana kau hendak menuju!”

“Boleh aku tahu siapa dirimu?!” tanya murid Pen-

deta Sinting.

“Kau datang ke tempat ini untuk berkenalan de-

nganku atau minta keterangan?!” Orang di atas altar 

batu cadas balik ajukan tanya dengan suara agak ting-

gi.

“Daripada cari penyakit, lebih baik aku segera sele-

saikan urusan ini!”

Membatin begitu, akhirnya perlahan-lahan Pende-

kar 131 selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya. 

Lalu terlihatlah satu kain putih yang bersambung saat


tangan kanannya ditarik keluar.

Seakan tahu apa yang dilakukan murid Pendeta 

Sinting, orang di atas altar batu cadas palingkan kepa-

la. Rangkapan kedua tangannya yang menekan julaian 

kain kerudungnya bergerak membuka sedikit hingga 

kedua mata orang ini terlihat.

Beberapa saat sepasang mata dari balik Kerudung 

membelalak memperhatikan kain putih bersambung 

yang ada di tangan Joko yang bukan lain adalah kain 

berisi peta wasiat yang didapat di puncak Bukit 

Toyongga.

Kepala orang di atas altar batu cadas mengangguk 

pelan. Lalu diputar ke arah depan seraya berkata.

“Anak muda.... Saat ini rimba persilatan masih ter-

guncang dengan kabar berita mengenai peta wasiat. 

Dan mulai pula tersebar gunjingan tentang urusan Se-

pasang Cincin Keabadian milik Dewi Keabadian. Dan 

meski kau bukan berasal dari negeri ini, tapi kau tentu 

sudah tahu. Di mana-mana rimba persilatan pasti se-

lalu dipenuhi dengan fitnah, balas dendam, pertumpa-

han darah, dan benda-benda mustika palsu!”

Ucapan orang membuat Joko tersedak. Tanpa sadar 

dia melompat mendekat dengan dada berdebar tidak 

enak. Lalu seraya acungkan kain putih di tangannya 

dia berseru.

“Kau menduga ini palsu?!”

“Kau jangan salah duga dengan ucapanku. Aku ti-

dak mengatakan kain yang ada di tanganmu adalah 

palsu! Tapi tidak ada salahnya kalau aku memeriksa! 

Karena aku tahu sendiri, saat di puncak Bukit Toyong-

ga telah muncul beberapa benda palsu yang ada kai-

tannya dengan kain di tanganmu!”

Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar 131 julurkan 

tangannya yang memegang kain berisi peta wasiat.


Orang di atas altar batu cadas gerakkan tangan ka-

nan sambuti kain dari tangan murid Pendeta Sinting. 

Sementara tangan kiri tetap menekan julaian kain ke-

rudungnya hingga wajahnya tetap tidak jelas keliha-

tan.

Untuk beberapa lama orang di atas altar batu cadas 

memeriksa kain yang diberikan Joko dengan dekatkan 

pada wajahnya. Sepasang matanya melirik silih ber-

ganti pada kain di tangannya dan pada sosok murid 

Pendeta Sinting yang tegak memperhatikan dengan 

dada berdebar-debar, khawatir kalau kain di tangan-

nya adalah palsu.

“Hem.... Kau beruntung sekali, Anak Muda.... Kain 

bergambar peta ini adalah asli...,” kata orang di atas 

altar batu cadas sambil angguk-anggukkan kepala.

“Maksud kedatanganku kemari adalah ingin ber-

tanya arah mana yang harus kuambil untuk memulai 

perjalanan seperti yang ada dalam peta itu. Sekaligus 

untuk bertanya di mana aku bisa bertemu dengan De-

wa Cadas Pangeran!” kata Joko dengan menghela na-

pas lega mendengar keterangan orang.

“Anak muda.... Aku akan memenuhi permintaanmu. 

Tapi katakan dahulu. Urusan mana yang akan kau 

dahulukan?! Mengadakan perjalanan atau ingin ber-

temu dengan Dewa Cadas Pangeran?!”

Joko berpikir beberapa lama. Dia tampak bingung 

tak tahu mana yang harus didahulukan.

Orang di atas altar batu cadas tampaknya bisa me-

nangkap kebingungan murid Pendeta Sinting. Lalu 

berkata.

“Anak muda.... Perjalananmu kelak memerlukan 

waktu panjang. Kalau urusanmu dengan Dewa Cadas 

Pangeran tidak begitu penting, menurutku, lebih baik 

kau selesaikan dahulu urusanmu dengan Dewa Asap


Kayangan. Dengan begitu, kau bisa melakukan perja-

lanan dengan tenang tanpa beban! Tapi itu semua ter-

serah padamu. Aku hanya memberi jalan....”

Pendekar 131 menghela napas berulang kali. Paras 

wajahnya jelas menunjukkan kalau dia belum bisa 

memutuskan apa yang harus dilakukan.

Orang di atas altar batu cadas tertawa. Lalu sambil 

letakkan kain peta di atas pangkuannya dia berkata.

“Aku bukannya ikut campur masalahmu. Tapi ka-

lau kau tak keberatan mengatakan urusanmu dengan 

Dewa Cadas Pangeran, mungkin aku bisa sedikit mem-

bantu jalan mana yang harus kau tempuh dalam uru-

san ini!”

“Hem.... Apakah aku harus mengatakan terus te-

rang apa perluku hendak menemui Dewa Cadas Pan-

geran?! Ah.... Dia adalah adik Dewa Asap Kayangan. 

Tak ada salahnya aku berterus terang padanya....” Jo-

ko akhirnya memutuskan, lalu berkata dengan wajah 

sedikit berubah karena merasa malu.

“Sebenarnya urusanku dengan Dewa Cadas Pange-

ran tidaklah begitu penting. Tapi kalau tidak segera 

kuselesaikan, seperti katamu, mungkin bisa menam-

bah beban pikiranku....”

“Hem.... katakan saja urusanmu, Anak Muda! Wa-

lau aku adik Dewa Asap Kayangan, bukan tak mung-

kin apa yang akan kukatakan nanti tidak jauh berbeda 

dibanding jika kau mengatakannya pada Dewa Asap 

Kayangan!”

“Aku pernah berjanji pada Dewi Bunga Asmara un-

tuk menemui gurunya. Namun sebenarnya janji itu 

kuucapkan agar gadis itu mau membawaku ke Bukit 

Toyongga yang saat itu tidak kuketahui di mana letak-

nya. sayangnya, gadis itu salah paham dan menduga 

terlalu jauh. Begitu sampai di Bukit Toyongga, ternyata


aku tidak sempat bicara dengan gurunya yakni Ratu 

Selendang Asmara, karena urusan di puncak bukit su-

dah memanas. Hingga akhirnya Ratu Selendang Asma-

ra tewas....” Pendekar 131 hentikan keterangannya se-

saat seraya alihkan pandangan ke jurusan lain takut 

orang di hadapannya tahu perubahan wajahnya.

Sementara orang di atas batu cadas mendengarkan 

dengan seksama dengan sesekali melirik pada gerak-

gerik murid Pendeta Sinting.

“Setelah urusan di puncak Bukit Toyongga selasai, 

aku juga belum sempat bicara dengan Dewi Bunga As-

mara, karena aku merasa tak enak dengan Mei Hua,

dan putri Baginda Ku Nang, serta Bidadari Bulan 

Emas. Ternyata Dewi Bunga Asmara mengatakan peri-

halnya pada Dewa Cadas Pangeran yang tiba-tiba saja 

mengambilnya sebagai murid. Dan sebelum Dewa Ca-

das Pangeran meninggalkan puncak Bukit Toyongga, 

dia sempat mengatakan padaku agar menemuinya 

dengan minta bantuan Dewa Asap Kayangan untuk se-

lesaikan urusanku dengan Dewi Bunga Asmara.”

“Aku mengerti perasaanmu, Anak Muda.... Seka-

rang jawab jujur pertanyaanku. Kau menyintai Dewi 

Bunga Asmara?!”

“Sebenarnya dia gadis baik meski gurunya berada di 

jalur yang salah.... Dia juga berparas cantik. Tapi.... 

Rasanya aku belum sampai pada titik jatuh cinta.... 

Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat! Dan hal 

inilah yang akan kukatakan pada Dewa Cadas Pange-

ran agar nantinya tidak terjadi salah paham!”

“Anak muda! Sekarang jelas masalahnya. Dan me-

nurutku, sebaiknya kau mengadakan perjalanan da-

hulu. Urusan dengan Dewa Cadas Pangeran bisa kau 

tunda....”

“Mengapa begitu?!”


“Urusan perempuan bukan urusan mudah, Anak 

Muda. Apalagi dia tahu beberapa gadis lain menaruh 

rasa cinta padamu. Dia memerlukan waktu untuk ber-

pikir dan menenangkan diri! Kalau sekarang kau 

memberi penjelasan padanya, bukan tak mungkin dia 

malah akan salah paham dan membuat urusan jadi 

tak karuan! Waktu yang kau perlukan untuk menga-

dakan perjalanan kurasa cukup membuat Dewi Bunga 

Asmara untuk berpikir dan menenangkan diri....”

“Hem.... Benar juga kata-katanya...,” gumam Pen-

dekar 131 seraya anggukkan kepala perlahan.

Tampaknya orang di atas altar batu cadas maklum 

akan gerakan kepala murid Pendeta Sinting. Sambil 

mengambil kembali kain peta di atas pangkuannya dia 

berkata.

“Anak muda.... Setelah kau selesaikan perjalanan 

nanti, aku menunggumu di sini. Aku akan memberi 

keterangan padamu di mana kau bisa bertemu dengan 

Dewa Cadas Pangeran. Dan terimalah kembali kainmu 

ini!”

Orang di atas altar batu cadas julurkan tangan 

memberikan kembali kain putih pada Pendekar 131.

Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil anggukkan 

kepala. Lalu mendekat dengan sambuti kainnya kem-

bali.

Namun baru saja tangannya menyentuh kain putih 

di tangan orang, mendadak orang di atas altar batu 

cadas tarik sedikit tangannya yang mengulur membe-

rikan kain. Kejap lain sekonyong-konyong kaki kanan 

kirinya bergerak lepaskan tendangan! Bukan hanya 

sampai di situ, tangan satunya yang sedari tadi mene-

kan julaian kain kerudungnya juga bergerak menghan-

tam!

***

DELAPAN


BUUKK! Buukkk! Buuukkk! 

Terdengar tiga kali suara benturan keras saat kedua 

kaki dan tangan orang di atas altar batu cadas meng-

hantam telak lambung kanan kiri dan dada Pendekar 

131 Joko Sableng.

Murid Pendeta Sinting berseru tegang. Sosoknya 

langsung terpental tiga tombak ke belakang dengan 

tersentak-sentak. Dan baru mendapat dua tombak, 

mulutnya sudah mengembung semburkan darah! Lalu 

terjengkang roboh di atas tanah dengan kepala meng-

hantam sisi satu bongkahan batu cadas hingga kulit 

kepalanya robek dan kucurkan darah!

Tampaknya orang yang tadi duduk di atas altar ba-

tu cadas tak mau memberi kesempatan. Begitu sosok 

Joko terpental, dia cepat selinapkan kain putih berisi 

peta. Saat lain melesat mengejar murid Pendeta Sinting 

dan langsung menghajar dengan tendangan kaki kiri 

kanan bertenaga dalam tinggi!

Di lain pihak, karena masih terkejut dan belum da-

pat kuasai diri, meski sempat angkat kedua tangan-

nya, namun terlambat bagi Pendekar 131 untuk mem-

buat hadangan.

Buuukk! Buukk!

Untuk kedua kalinya terdengar seruan tertahan te-

gang dari mulut murid Pendeta Sinting. Sosoknya pu-

lang balik ke samping kiri kanan mengikuti arah ten-

dangan orang, sebelum akhirnya tersapu deras dan 

baru terhenti setelah menghajar gundukan batu cadas!

Pendekar 131 buka mulut hendak berseru menahan 

rasa sakit. Namun yang tersembur keluar bukannya 

suara, melainkan muncratan darah!


Joko bertahan sekuat tenaga agar tidak pingsan.

Lalu perlahan-lahan pula kerahkan tenaga dalam dan 

buka sepasang matanya untuk mengetahui gerakan 

orang. Saat itulah terdengar suara.

“Nyawamu sudah di ujung jariku, Pendekar 1311 

Tapi agar arwahmu nanti tidak penasaran, untuk te-

rakhir kalinya kau kuberi kesempatan melihat siapa 

yang mengantarmu ke liang lahat!”

Dada murid Pendeta Sinting bergetar. Dia tersentak, 

karena telinganya mendengar suara seorang perem-

puan yang masih diingatnya! Bola matanya langsung 

berputar liar memperhatikan berkeliling.

“Aneh.... Jelas telingaku mendengar suara perem-

puan berkerudung yang memberiku petunjuk! Tapi 

mengapa nadanya lain?! Ataukah telingaku yang terti-

pu...?! Tapi mana sosoknya?!”

Baru saja membatin begitu, satu bayangan berkele-

bat dan orang yang tadi duduk di atas altar batu cadas 

sudah tegak di hadapannya dengan tangan diletakkan 

di atas pinggang.

“Aku tertipu manusia satu ini! Dia bukan adik Dewa 

Asap Kayangan! Jadi jelas kalau tempat ini bukan 

Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Berarti petunjuk 

perempuan berkerudung itu.... Astaga! Jangan-

jangan....”

Pendekar 131 seakan lupa dengan luka yang dideri-

tanya. Dia bangkit terhuyung-huyung dengan mata 

menatap tajam pada orang yang tadi duduk di atas al-

tar batu cadas yang kini tegak berkacak pinggang di 

hadapannya.

“Siapa kau sebenarnya?!” Joko membentak.

Yang dibentak perdengarkan tawa panjang. Lalu 

tangan kirinya membuat gerakan sentakkan kerudung 

putih panjangnya.


Bettt!

Kerudung yang tadi menutupi raut wajah orang di 

atas altar batu cadas terbang ke udara. Joko jelas me-

lihat tampang orang di hadapannya.

“Hantu Pesolek!” desis murid Pendeta Sinting me-

ngenali tampang di balik kerudung milik seorang pe-

muda berparas sangat tampan berkulit putih dengan 

bibir diberi polesan pewarna merah.

“Kau masih ingat ucapanku sebelum aku turun dari 

Bukit Toyongga, Pendekar 131?! Kau dan dua sahabat-

mu Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran 

boleh sembunyi sampai ujung bumi, di bawah tanah, 

dan di atas langit! Tapi kalian kelak akan kucari dan 

tak mungkin lolos sampai urusan kita selesaikan!” 

Orang yang berpakaian jubah putih panjang dan tadi 

duduk di atas altar batu cadas dengan wajah ditutup 

kain kerudung yang menjulai sampai dada dan ternya-

ta tidak lain adalah Hantu Pesolek ulangi ucapan se-

perti saat dia akan turun dari puncak Bukit Toyongga 

karena bisa ditaklukkan Pendekar 131 ketika terjadi 

perebutan peta wasiat.

“Sekarang kau bisa lihat bukti ucapanku! Bukan 

saja peta itu sekarang berada di tanganku tapi selem-

bar nyawamu juga berada di ujung jariku!”

“Sialan benar! Jadi perempuan berkerudung yang 

memberi petunjuk tempat ini adalah dia juga! Hem.... 

Pantas dia tahu banyak urusan di Bukit Toyongga! 

Aku sama sekali tidak menduga.... Tapi apa boleh 

buat.... Aku harus dapat merebut kembali kain berisi 

peta wasiat itu dari tangannya!”

Pendekar 131 cepat kerahkan segenap tenaga dalam 

yang dimilikinya. Namun Joko jadi tertegun dengan 

kuduk merinding. Dadanya terasa sakit bukan alang 

kepalang. Dan mulutnya terasa asin, tanda luka da


lamnya akibat hantaman Hantu Pesolek sudah kelua-

rkan darah lagi. Tapi Joko berusaha katupkan mulut 

rapat-rapat agar orang tidak tahu parahnya luka da-

lam yang diderita.

Namun sebagai tokoh yang sudah kenyang penga-

laman, Hantu Pesolek tampaknya bisa membaca gela-

gat. Pemuda yang sebenarnya sudah berusia sangat 

lanjut ini perdengarkan tawa bergelak dan berkata.

“Kau sudah terluka parah, Pendekar 1311 Membu-

nuhmu saat ini semudah menekuk jari tangan!”

Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Han-

tu Pesolek. Dia terus kerahkan tenaga dalam meski hal 

itu makin membuat dadanya nyeri dan napas-nya me-

gap-megap.

“Pendekar 131! Sebelum kau berangkat ke alam ba-

ka mendahului dua sahabatmu Dewa Asap Kayangan 

dan Dewa Cadas Pangeran, kuberi waktu untuk 

ucapkan pesan terakhir!”

Joko tidak menyahut. Hantu Pesolek dongakkan 

kepala sambil tertawa bergelak sebelum akhirnya be-

rucap.

“Kau tak mau titip pesan! Itu urusanmu dan uru-

sanku sekarang adalah mengantarmu ke tempat peris-

tirahatan terakhir!”

Ucapannya belum selesai, Hantu Pesolek sudah me-

lompat ke arah Pendekar 131 dengan kedua tangan 

berkelebat lepas pukulan.

Joko angkat kedua tangannya menghadang. Namun 

kali ini tidak mau tertipu lagi. Seraya angkat kedua 

tangannya menghadang pukulan orang, kaki kanannya 

diangkat bersiap menghadapi tipuan orang.

Bukkkl Buuukkk!

Rupanya Hantu Pesolek tidak membuat gerakan 

menipu dengan kelebatan kedua tangannya. Dia terus


kan saja menghantam. Dan hal ini justru membuat 

Joko tertipu sendiri. Karena dengan angkat kaki ka-

nannya, maka dia hanya bertumpu pada satu kaki. 

Hingga saat terjadi bentrok, sosoknya langsung terpe-

lanting dan terbanting jatuh di atas tanah! Mulutnya 

kembali semburkan darah!

Hantu Pesolek sendiri hanya tampak bergoyang-

goyang sesaat. Dan sekali tangannya mengibas, goya-

ngan tubuhnya terhenti.

“Ajalmu sudah saatnya datang, Pendekar 131!” te-

riak Hantu Pesolek seraya angkat kedua tangannya.

Luka dalam yang diderita membuat murid Pendeta 

Sinting hanya mampu kerahkan sedikit tenaga dalam-

nya. Dan dia sadar, hal itu tak mungkin mampu meng-

hadapi pukulan yang akan dilepas Hantu Pesolek.

“Celaka! Jangan-jangan ajalku memang sudah wak-

tunya! Aduh.... Mengapa begini suratan takdirku...? 

Tewas di negeri orang tanpa diketahui sahabat dan ke-

nalan...!” Joko membatin dengan wajah tegang. Sosok-

nya bergetar. Sekujur tubuhnya telah basah kuyup.

Di hadapannya, Hantu Pesolek tegakkan wajah. 

Dan bersamaan dengan itu kedua tangannya lepaskan 

pukulan bertenaga dalam tinggi!

Wuuttl Wuutt!

Dua gelombang angin dimuati tenaga dalam berkib-

lat ganas ke arah murid Pendeta Sinting yang karena 

sudah terluka dalam hanya bisa memandang dengan 

mulut menganga tanpa mampu membuat gerakan apa-

apa!

Setengah tombak lagi gelombang angin itu meng-

hajar sosok Pendekar 131, mendadak satu sosok 

bayangan berkelebat.

Murid Pendeta Sinting mendengar deruan angker 

dari samping. Dia makin tercekat hingga kalau dia tadi


masih hendak menghadang gelombang yang dilepas 

Hantu Pesolek dengan sisa-sisa tenaganya, kini mem-

buat perhatiannya jadi terpecah, hingga kini dia hanya 

pulang balikkan kepala.

Saat itulah tiba-tiba pandangan murid Pendeta 

Sinting tertutup kibaran benda putih yang perdengar-

kan deruan. Belum sempat tahu benda apa yang ber-

kibar di depan matanya, mendadak dia merasakan ke-

palanya terjerat dan terangkat lalu berputar-putar di 

udara. Bersamaan itu terdengar pula dua ledakan ke-

ras mengguncang lembah yang ditebari terjalan batu 

cadas.

“Apa yang terjadi?! Beginikah rasanya orang hendak 

tercabut nyawanya?! Tubuh terasa ringan dengan ke-

pala berputar-putar...,” gumam Joko dalam hati den-

gan tidak berani buka mata.

Namun baru saja Joko membatin begitu, tiba-tiba 

dia merasakan jeratan di kepalanya lepas. Sosoknya 

kini terasa terbang tanpa kendali.

Pendekar 131 hendak menjerit. Namun suaranya 

tertinggal di tenggorokan. Dia akan buka matanya, 

namun justru yang dilakukan adalah pejamkan mata 

rapat-rapat!

Buukkk!

Murid Pendeta Sinting jatuh terkapar di atas tanah. 

Justru saat itulah mulutnya membuka perdengarkan 

seruan tertahan!

“Aduh.... Sudah matikah aku...?!”

“Kau adalah Pujaanku. Bagaimana kau akan pergi 

meninggalkan Bidadarimu ini selama-lamanya tanpa 

pesan?! Kau belum mati, Pujaanku! Kalaupun mati.... 

Kita harus mati bersama-sama seperti janji yang per-

nah kita ucapkan di bawah siraman bulan purna-

ma....” Tiba-tiba terdengar suara menyahut.


“Aku hafal benar siapa yang bersuara itu?! Apakah 

dia bisa hidup di dua alam...?!” gumam murid Pendeta 

Sinting.

“Aku manusia biasa sepertimu, Pujaanku! Mana bi-

sa aku hidup di dua alam yang berbeda?! Bukalah ma-

tamu. Pandanglah Bidadarimu ini....”

“Suara itu.... Jadi aku masih hidup...?” Joko mem-

batin. Lalu perlahan-lahan buka kelopak matanya. 

Yang terlihat pertama kali adalah hamparan langit bi-

ru. Lalu terjalan-terjalan batu cadas.

Pendekar 131 terus edarkan bola matanya ke sam-

ping. Saat itulah sepasang matanya melihat seraut wa-

jah yang dibalut gumpalan daging, hingga sepasang 

matanya laksana melesak masuk ke dalam lipatan 

daging dan hampir-hampir tidak kelihatan.

“Putri Pusar Bumi!” kata Joko dengan berbisik. Lalu 

berusaha bangkit. Sosoknya memang oleng beberapa 

kali sebelum akhirnya bisa duduk dengan kepala me-

noleh ke samping.

Pendekar 131 melihat seorang nenek berambut pan-

jang hingga betis. Wajahnya tebal dengan gumpalan 

daging. Demikian pula perut dan bahunya. Nenek 

tambun besar ini mengenakan pakaian ketat warna 

merah. Dia bukan lain adalah Putri Pusar Bumi.

Joko putar pandangan. Sejarak dua puluh langkah 

di seberang sana terlihat Hantu Pesolek tegak dengan 

mata berkilat memandang silih berganti pada Joko dan 

Putri Pusar Bumi.

“Hem.... Jadi aku benar-benar masih hidup!” Akhir-

nya Joko baru percaya. Lalu berpaling lagi pada Putri 

Pusar Bumi dan berkata.

“Terima kasih, Bidadariku....”

Ucapan Joko belum selesai, tiba-tiba Hantu Pesolek 

sudah berkelebat ke depan lalu tegak tujuh langkah di


hadapan Putri Pusar Bumi. Bola matanya menatap se-

saat lalu berpaling pada dua bongkahan batu cadas 

yang porak-poranda terkena hantamannya yang lolos 

menghajar sosok murid Pendeta Sinting. Saat lain dia 

berucap garang.

“Putri Pusar Bumi! Kita sudah saling kenal! Di anta-

ra kita tidak ada silang sengketa! Aku sekarang punya 

urusan dengan pemuda itu! Kuharap kau segera ang-

kat kaki tidak ikut campur!”

“Hantu Pesolek.... Ah.... Ah.... Apa urusanmu de-

ngan pemuda ini aku tidak akan turut campur! Tapi 

perlu kau tahu. Aku adalah Bidadarinya. Dan dia ada-

lah Pujaanku.... Kami sudah berjanji untuk tidak hi-

dup atau hidup bersama-sama selalu.... Maka dari itu, 

kalau kau ingin membunuhnya, berarti kau juga harus 

membunuhku! Aku tak bisa hidup tanpa diri-nya....”

Hantu Pesolek sentakkan kepala menghadap lurus 

pada Putri Pusar Bumi. Tanpa buka suara lagi sosok-

nya berkelebat. Putri Pusar Bumi berpaling pada murid 

Pendeta Sinting yang duduk di sebelahnya. Bersamaan 

itu rambutnya yang panjang berkibar perdengarkan 

deruan angker menyongsong kelebatan Hantu Pesolek!

Karena tidak menduga, Hantu Pesolek tampak ter-

kejut di atas udara. Hal ini membuatnya terlambat un-

tuk membuat gerakan menghindar. Namun pemuda ini 

tidak tinggal diam. Kedua tangannya segera dihantam-

kan!

Namun untuk kedua kalinya Hantu Pesolek ter-

kesiap. Geraian rambut Putri Pusar Bumi tahu-tahu 

sudah menjerat kedua tangannya! Dan belum sempat 

Hantu Pesolek membuat gerakan menendang, di ba-

wah sana Putri Pusar Bumi sudah gerakkan lagi kepa-

lanya.

Werr

Kedua tangan Hantu Pesolek terangkat ke udara. 

Bersamaan itu tubuhnya ikut pula terbang ke ang-

kasa.

Putri Pusar Bumi maju satu langkah. Saat lain pe-

rempuan bertubuh tambun besar ini gerakkan kepala 

pulang balik ke kanan kiri dengan cepat.

Terdengar deruan beberapa kali. Sosok Hantu Peso-

lek terombang-ambing di udara mengikuti gerakan ke-

pala Putri Pusar Bumi.

“Hem.... Jadi yang menjerat kepalaku tadi adalah 

rambut nenek ini!” gumam murid Pendeta Sinting se-

raya perhatikan sosok Hantu Pesolek.

“Jahanam!” teriak Hantu Pesolek dari atas udara. 

Dia kerahkan tenaga dalam. Lalu angkat kedua kaki-

nya untuk menghajar geraian rambut si nenek.

Tapi belum sampai kedua kaki Hantu Pesolek me-

nendang, Putri Pusar Bumi sudah sentakkan kepala-

nya. Rambutnya yang menjerat kedua tangan Hantu 

Pesolek lepas. Namun geraian rambut itu bukannya 

segera luruh ke bawah, melainkan meliuk lalu melesat 

lagi ke atas menyergap sosok Hantu Pesolek!



SEMBILAN



HANTU Pesolek tersentak kaget. Tundukkan wajah 

dia tercengang sendiri. Kini geraian rambut si nenek 

sudah melilit tubuhnya!

“Keparat!” lagi-lagi Hantu Pesolek berteriak marah.

Dia kelebatkan kedua tangannya menghantam pada 

geraian rambut si nenek.

Tapi hantaman kedua tangan Hantu Pesolek hanya 

menghajar udara kosong. Karena bersamaan dengan 

itu Putri Pusar Bumi sentakkan kepalanya ke bawah.

Hingga geraian yang melilit tubuh Hantu Pesolek terle-

pas. Hebatnya, lilitan itu mampu merobek pakaian 

yang dikenakan Hantu Pesolek mulai dari dada hingga 

sebatas pahanya!

Hantu Pesolek menyumpah habis-habisan dari atas 

udara. Lalu memandang pada robekan pakaiannya 

yang melayang-layang ke bawah.

“Kain peta itu...,” seru Hantu Pesolek. Tanpa hirau-

kan aurat bawahnya yang terbuka menganga, Hantu 

Pesolek berkelebat mengejar. Namun gerakannya ter-

tahan tatkala tiba-tiba geraian rambut Putri Pusar 

Bumi sudah menderu dan menyambar robekan pa-

kaian dan kain peta yang tadi tersimpan di balik pa-

kaian Hantu Pesolek.

Di samping Putri Pusar Bumi, Pendekar 131 meng-

awasi kain peta yang tersambar geraian rambut si ne-

nek. Dan begitu geraian rambut itu berbalik pada ke-

pala Putri Pusar Bumi, robekan pakaian dan kain peta 

terhampar lima langkah di samping sosok murid Pen-

deta Sinting.

Joko tidak menunggu. Dia segera tekuk tubuhnya 

lalu menggelundung ke arah kain dan robekan pakaian 

Hantu Pesolek. Kain peta dan robekan pakaian Hantu 

Pesolek segera diraih lalu dimasukkan ke balik pa-

kaiannya.

Hantu Pesolek melayang turun dengan dada laksa-

na pecah karena hawa marah. Dia sudah kerahkan se-

genap tenaga luar dalamnya. Namun begitu sadar 

akan keadaan auratnya yang terbuka menganga, pe-

muda berperangai perempuan ini cepat katupkan ke-

dua tangannya pada bagian pangkal pahanya. Lalu pu-

tar diri di atas udara dan menjejak tanah dengan tegak 

membelakangi Putri Pusar Bumi dan Pendekar 131.

“Bidadariku....” Berkata murid Pendeta Sinting sambil tertawa meski dadanya masih nyeri saat tertawa. 

“Mengapa bentuk senjatanya aneh?! Dan warnanya 

pun mengherankan. Tidak seperti layaknya, tapi be-

lang putih hitam...?!”

“Pujaanku.... Jangan membuatku malu. Ah.... Ah.... 

Tidak baik membuka barang rahasia orang! Mungkin 

itu dipoles agar terlihat keren dan bisa tampil beda! 

Tapi menurutku malah jadi lucu....”

“Bukan saja lucu, tapi juga menggemaskan!” timpal 

Joko.

“Bukan saja menggemaskan, tapi juga mendirikan 

bulu roma!” sambung Putri Pusar Bumi.

“Bukan saja mendirikan bulu roma, tapi juga bulu 

ketiak!” sambut Pendekar 131 lalu tawanya meledak.

Di sampingnya, Putri Pusar Bumi tekap mulutnya 

rapat-rapat. Namun tak urung suara tawanya me-

nyembur keluar. Hingga gumpalan daging pada perut 

dan wajahnya terguncang-guncang turun naik.

Hantu Pesolek sendiri tampak tak bisa menahan di-

ri mendengar ucapan-ucapan murid Pendeta Sinting 

dan Putri Pusar Bumi. Sosoknya bergetar keras tanda 

hawa amarahnya tak bisa dibendung lagi. Namun kea-

daan dirinya membuat tokoh yang sebenarnya sudah 

berusia lanjut meski terlihat muda ini tak tahu apa 

yang harus dilakukannya. Hingga untuk beberapa la-

ma dia hanya berdiri membelakangi Joko dan Putri 

Pusar Bumi dengan takupkan kedua telapak tangan-

nya pada pangkal paha.

Di lain pihak, puas tertawa Pendekar 131 segera 

buka mulut lagi.

“Bidadariku.... Lihat! Bukan saja senjatanya yang 

terlihat aneh dan berwarna beda. Tapi pantatnya juga 

lain dari biasa!”

“Ah.... Ah.... Kau makin membuatku malu saja, Pujaanku! Aku tak berani memandangnya. Tapi tolong 

Jelaskan apa yang kau katakan lain dari biasa itu!”

“Pantas sebelah kanan padat, besar, kencang, putih 

mulus, pokoknya menggairahkan dan sedap dipan-

dang...!”

“Ah.... Ah.... Ucapanmu membuat dadaku berdebar-

debar tak karuan. Lantas pantat satunya?!”

Pendekar 131 cekikikan dahulu sebelum akhirnya 

menjawab. “Pantat sebelah kiri kendor, tipis, hitam le-

gam, di sana-sini terlihat bisul besar-besar berwarna 

merah menyala dan sepertinya siap meledak!”

Hantu Pesolek bantingkan kaki hingga tanahnya 

muncrat dan bergetar. Lalu berteriak.

“Putri Pusar Bumi! Kau menambah deretan nama 

manusia bangsat yang nyawanya kelak hanya boleh 

tercabut dengan tanganku! Dan kau Pendekar 131! Ke-

lak nyawamu akan kucabut dua kali!”

Habis berteriak begitu, Hantu Pesolek hantamkan 

kembali kaki kirinya. Lalu melesat tinggalkan tempat 

itu dengan kedua tangan menakup selangkangannya 

yang terbuka menganga!

“Terima kasih atas pertolonganmu, Putri...,” kata 

Joko seraya menjura hormat.

Putri Pusar Bumi tidak menyahut. Sebaliknya men-

dekati Joko dan tegak di belakangnya.

Dada Joko jadi berdebar. Baru saja dia hendak ber-

paling, mendadak Putri Pusar Bumi sudah bungkuk-

kan tubuh. Tangan kanannya ditempelkan pada pung-

gung murid Pendeta Sinting.

Joko maklum apa yang dilakukan orang. Dia cepat 

salurkan hawa murni lalu pejamkan mata. Perlahan-

lahan rasa nyeri pada dadanya lenyap. Demikian pula 

rasa sakit pada lambung dan bahunya.

Untuk pulihkan seluruh tenaganya, Joko teruskan

pejamkan mata dengan salurkan hawa murni meski 

dia merasa telapak tangan si nenek sudah diangkat 

dari punggungnya.

Setelah beberapa lama, baru Joko buka lagi sepa-

sang matanya. Lalu berucap. “Putri.... Sekali lagi kuu-

capkan terima kasih....”

Karena tidak ada sahutan, murid Pendeta Sinting 

menoleh. Ternyata yang diajak bicara sudah tidak keli-

hatan lagi batang hidungnya!

“Ke mana perginya...?!” gumam Joko sambil putar 

pandangan. Namun hingga kepalanya teleng dan mata-

nya pedih mencari-cari, sosok si nenek tidak dapat di-

temukan.

“Kepada siapa lagi aku harus bertanya?!” gumam 

Joko seraya melangkah tinggalkan lembah berbatu ca-

das.

***

Kita tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang 

tengah tenggelam dalam kebingungan tak tahu ke ma-

na harus bertanya. Kita kembali sejenak pada satu 

tempat tidak jauh dari tempat bentroknya Bidadari Pe-

dang Cinta dengan Bidadari Tujuh Langit.

Di balik salah satu batangan pohon besar, seorang 

laki-laki bertubuh cebol berambut panjang hingga me-

nyapu tanah yang di pinggangnya melilit sebuah pe-

dang berkilat dan bukan lain adalah Iblis Pedang Kasih 

adanya, terlihat duduk bersandar pada batangan po-

hon. Matanya memandang pada dua sosok tubuh yang 

duduk di hadapannya. Sebelah kanan adalah seorang 

gadis berbaju hijau berwajah cantik. Sebelah kiri ada-

lah juga seorang gadis berparas jelita mengenakan pa-

kaian warna biru. Mereka adalah dua gadis yang sem-

pat bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit dan sempat

tertotok hingga tak bisa bergerak tak mampu bicara. 

Namun ketika Bidadari Tujuh Langit tengah lepaskan 

pukulan dan suasana berubah pekat, satu bayangan 

berkelebat laksana setan gentayangan menyambar so-

sok gadis berbaju hijau yang bukan lain adalah Bida-

dari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru.

“Terima kasih atas pertolonganmu....” Si gadis ber-

baju biru angkat suara setelah beberapa lama terdiam.

Berkat pertolongan si bayangan yang ternyata ada-

lah Iblis Pedang Kasih, Bidadari Pedang Cinta dan ga-

dis berbaju biru bisa gerakkan anggota tubuhnya lagi, 

juga mampu perdengarkan suara.

Iblis Pedang Kasih tersenyum. Lalu buka suara. 

“Kau tak keberatan mengatakan siapa dirimu?!”

Gadis berbaju biru melirik sesaat pada Bidadari Pe-

dang Cinta. Lalu buka mulut.

“Aku biasa dipanggil Bidadari Delapan Samudera.”

“Sepertinya kau sedang mengadakan perjalanan 

jauh.... Bisa jelaskan akan ke mana?”

Yang ditanya menghela napas panjang sebelum ak-

hirnya berkata.

“Aku memang tengah mengadakan perjalanan. Bu-

kan hanya jauh tapi juga tak tahu ke mana arah yang 

harus kutuju....”

Ucapan gadis baju biru membuat Iblis Pedang Kasih 

tertawa pendek. Tapi tidak demikian halnya dengan 

Bidadari Pedang Cinta. Gadis baju hijau cucu Iblis Pe-

dang Kasih ini berpaling dan berkata dalam hati. “Dari 

ucapannya, yang dicari pasti Lembah Tujuh Bintang 

Tujuh Sungai seperti halnya pemuda bernama Joko 

Sableng itu.... Bukankah dia adalah kekasih pe-muda 

itu?!” Bidadari Pedang Cinta teringat akan ucapan 

Pendekar 131 saat mengatakan pada Bidadari Tujuh 

Langit jika salah satu dari dirinya atau gadis berbaju


biru adalah kekasihnya.

“Bidadari Delapan Samudera.... Ucapanmu aneh!” 

berkata Iblis Pedang Kasih. “Tapi aku bisa menebak 

apa maksud ucapanmu! Jika tak salah, kau tengah 

mencari seseorang yang tempat tinggalnya tak kau ke-

tahui....”

Bidadari Delapan Samudera anggukkan kepala. 

“Sebenarnya bukan hanya itu. Selain aku tak tahu di 

mana tempat tinggalnya, aku juga tak tahu siapa na-

manya!”

Bidadari Pedang Cinta makin kernyitkan dahi men-

dengar sambutan Bidadari Delapan Samudera. Tapi 

entah mengapa, dia punya perasaan enggan untuk bu-

ka mulut ajukan tanya. Sementara Iblis Pedang Kasih 

tidak unjukkan rasa heran dengan sambutan Bidadari 

Delapan Samudera. Dia tertawa lagi lalu berkata.

“Kau mencari seseorang yang hanya kau ketahui 

bagaimana ciri-cirinya?”

Bidadari Delapan Samudera anggukkan kepala. La-

lu memandang berkeliling. Diam-diam gadis jelita ber-

baju biru Ini berkata dalam hati. “Dari percakapan bi-

sik-bisik mereka tadi, aku tahu gadis bernama Bidada-

ri Pedang Cinta ini adalah cucunya. Hem.... Tapi ke 

mana pemuda yang mengaku sebagai kekasihnya ta-

di?! Apakah masih terlibat bentrok dengan perempuan 

cantik yang bernama Bidadari Tujuh Langit itu...?!”

Membatin begitu, Bidadari Delapan Samudera sege-

ra melirik ke seantero tempat di mana dia kini berada.

Namun baru saja bola matanya bergerak, Iblis Pe-

dang Kasih sudah berucap.

“Aku tidak punya maksud apa-apa. Tapi kalau kau 

mau mengatakan bagaimana ciri-ciri orang yang ten-

gah kau cari, mungkin....”

“Terima kasih, Orang Tua....” Bidadari Delapan Samudera memotong ucapan Iblis Pedang Kasih. “Kurasa 

aku mampu menyelesaikan urusanku tanpa bantuan-

mu...!”

“Kau mencari seorang laki-laki?!” tanya Iblis Pedang 

Kasih tidak peduli dengan penolakan halus Bidadari 

Delapan Samudera.

“Maaf, Orang Tua.... Kalau urusan lain, mungkin 

aku akan berterus terang padamu, karena kau telah 

menolongku. Tapi untuk urusan satu ini, biarlah 

hanya aku yang tahu....”

“Kau jangan menganggap apa yang kulakukan ada-

lah sebuah jasa. Seandainya pun tadi kau tidak ber-

sama cucuku Bidadari Pedang Cinta ini, pasti aku te-

tap melakukan hal yang sama! Jadi kau tak usah me-

rasa sungkan mengatakannya...! Siapa tahu aku bisa 

membantu!”

Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. “Masa-

lahnya bukan itu, Orang Tua. Ini adalah urusan teka-

teki hidupku... Jadi rasanya tak layak kalau aku meli-

batkanmu di dalamnya... Sekali lagi harap maafkan...”

Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera 

melirik pada Bidadari Pedang Cinta. Entah karena apa, 

begitu melihat paras wajah Bidadari Pedang Cinta, dia 

teringat pada Pendekar 131 Joko Sableng. Dan men-

dadak hatinya berdebar dengan perasaan gelisah. 

“Mengapa dia tidak muncul juga di tempat ini? Kalau 

gadis ini adalah cucunya, sementara pemuda itu ada-

lah kekasih gadis ini, kuyakin pasti dia tahu di mana 

harus mencari! Ah.... Mengapa aku memikirkannya?!” 

Paras wajah Bidadari Delapan Samudera jadi bersemu 

merah dan tertawa sendiri dalam hati. Lalu berkata.

“Orang tua.... Aku harus segera pergi....”

“Seandainya aku bisa mencegah, rasanya aku san-

gat gembira. Apalagi jika kau berubah pikiran dengan


mau mengatakan bagaimana ciri orang yang kau ca-

ri...,” ujar Iblis Pedang Kasih.

“Seandainya nanti aku gagal tanpa bantuan, pasti 

aku akan mencarimu untuk minta tolong....” Bidadari 

Delapan Samudera sambuti ucapan Iblis Pedang Kasih 

sambil bergerak bangkit. Menjura hormat pada Iblis 

Pedang Kasih, lalu menoleh pada Bidadari Pedang Cin-

ta seraya sunggingkan senyum dan mengangguk lan-

tas putar diri dan berkelebat keluar dari balik batan-

gan pohon.


SEPULUH



BEGITU berlari keluar dari balik batangan pohon, 

entah mengapa mendadak rasa gelisah kembali mem-

buncah dada Bidadari Delapan Samudera. Dia henti-

kan larinya dan tegak seraya sedikit tegakkan wajah.

“Aku tidak bisa memastikan berapa lama berada di 

balik pohon bersama orang tua dan gadis itu. Tapi aku 

hampir bisa menduga, jika tidak terjadi apa-apa de-

ngan pemuda itu, pasti dia telah muncul atau setidak-

nya dia mencari.... Anehnya, mengapa gadis dan orang 

tua itu tidak merasa gelisah? Mereka juga tidak me-

nyebut-nyebut pemuda itu.... Padahal, dari ucapan si 

pemuda dan tatapan gadis baju hijau itu, aku bisa me-

nebak jika mereka berdua adalah sepasang kekasih.... 

Hem.... Apakah aku harus melihat ke tempat mana dia 

tadi bentrok dengan perempuan berbaju putih itu...? 

Tapi apa pantas...? Bagaimana kalau tiba-tiba gadis 

baju hijau itu juga berada di sana?! Apa katanya nan-

ti...?! Hem.... Aku tahu mereka adalah sepasang keka-

sih, tapi mengapa aku....” Bidadari Delapan Samudera 

tidak lanjutkan membatin. Dia gigit bibirnya sendiri


dengan menghela napas panjang. Dan untuk beberapa 

lama, gadis jelita ini tegak dengan perasaan yang ma-

kin lama tambah gelisah dan cemas.

“Aku harus melihatnya!” Akhirnya Bidadari Delapan 

Samudera mengambil keputusan. “Terserah apa kata-

nya nanti! Aku hanya ingin memastikan keselamatan-

nya. Karena bagaimanapun juga dia tadi telah ber-

usaha menolongku dari tindakan aneh Bidadari Tujuh 

Langit...”

Berpikir sampai ke sana, akhirnya Bidadari Delapan 

Samudera putar tubuh. Lalu berkelebat menuju tem-

pat mana dia tadi sempat bertemu dengan Bidadari 

Pedang Cinta, Bidadari Tujuh Langit, dan Pendekar 

131.

Karena masih dihantui rasa tak enak jika bertemu 

dengan Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Sa-

mudera sengaja memilih jalan berputar dan sesekali 

menyelinap sembunyi begitu merasa dekat dengan 

tempat yang dituju.

Namun begitu sampai di tempat di mana tadi terjadi 

bentrok antara Bidadari Tujuh Langit dan Pendekar 

131, Bidadari Delapan Samudera tidak melihat siapa-

siapa. Gadis ini memperhatikan sekeliling beberapa 

saat. Yakin jika Bidadari Pedang Cinta tidak berada di 

sekitar tempat itu, Bidadari Delapan Samudera berani-

kan diri melangkah berkeliling dengan mata nyalang 

mencari-cari.

Walau Bidadari Delapan Samudera tidak mene-

mukan siapa-siapa, namun kegelisahan dada gadis ini 

agak berkurang. “Aku tidak menemukan mereka, tapi 

juga tidak menemukan mayat mereka, berarti pemuda 

itu masih hidup! Hanya saja, ke mana dia...?! Mung-

kinkah tengah mencari gadis berbaju hijau itu...?!”

Tak tahu mana dugaannya yang tepat, akhirnya Bidadari Delapan Samudera memutuskan tinggalkan 

tempat itu meski dadanya masih digelayuti perasaan 

tidak enak.

Dan tampaknya perasaan tidak enak yang terus 

mendera dada Bidadari Delapan Samudera membuat 

gadis berparas jelita ini berlari dengan setengah hati.

Malah pada satu tempat rindang di pinggiran sungai 

kecil, gadis ini hentikan larinya lalu duduk di salah sa-

tu batu yang berada di pinggiran sungai. Kedua kaki-

nya yang putih mulus dibuat mainan di permukaan air 

hingga suasana sunyi di pinggiran sungai samar-sa-

mar dipecah suara berkecipaknya gemercik muncratan 

air.

Suara kecipak air untuk sementara dapat meredam 

kegelisahan hati Bidadari Delapan Samudera. Gadis ini 

tampak sunggingkan senyum. Namun semua itu tidak 

berlangsung lama.

Saat gadis jelita ini memperhatikan kakinya yang 

ada di atas permukaan air, mendadak dia hentikan ge-

rakan kakinya. Senyumnya pupus berganti wajah se-

dikit gelisah dan kaget. Sepasang matanya membela-

lak. Permukaan air bukan pantulkan wajahnya namun 

pantulkan raut wajah milik orang lain yang belum la-

ma berselang membuat dadanya gelisah!

“Mengapa aku selalu teringat padanya?! Ada apa 

dengan diriku?! Dia telah memiliki seorang kekasih.... 

Tidak seharusnya aku selalu mengingatnya!” Bidadari 

Delapan Samudera cepat-cepat tegakkan wajahnya 

tengadah, menghindari pantulan permukaan air yang 

menggambarkan raut wajah murid Pendeta Sinting. 

“Ada tugas yang harus segera kuselesaikan! Aku tidak 

boleh terus tenggelam dalam kegelisahan ini!”

Dengan tegarkan hati, Bidadari Delapan Samudera 

angkat kedua kakinya dari permukaan air. Namun belum sampai pantatnya bergerak, terdengar suara.

“Aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya in-

gin bertanya kalau kau tidak merasa keberatan....”

Dada Bidadari Delapan Samudera laksana disapu 

angin. Berdesir sesaat lalu berdebar. Namun gadis ini 

segera kuasai diri dan berkata dalam hati. “Orangnya 

belum tentu sama walau suaranya hampir mirip!”

Tapi ketabahan Bidadari Delapan Samudera perla-

han-lahan luruh tatkala dia teruskan ucapan hatinya. 

“Bagaimana kalau benar-benar dia ada bersama Bida-

dari Pedang Cinta...?!”

“Tampaknya kau tak mau diganggu.... Aku akan se-

gera pergi!” Suara yang tadi terdengar, kembali ber-

ucap.

“Tunggu!” Bidadari Delapan Samudera menahan, la-

lu perlahan-lahan putar tubuhnya yang masih duduk 

di atas batu di pinggiran sungai.

“Ternyata memang dia.... Dan dia sendirian!” gu-

mam Bidadari Delapan Samudera ketika matanya me-

lihat satu sosok tubuh milik seorang pemuda berwajah 

tampan dengan rambut panjang sedikit acak-acakan 

dan bukan lain adalah Pendekar 131.

Karena perasaannya gembira, khawatir dan gelisah, 

untuk beberapa lama Bidadari Delapan Samudera 

hanya duduk memandang tanpa buka suara. Sebalik-

nya, murid Pendeta Sinting meski tampak gembira 

namun perasaannya biasa-biasa saja. Karena sebenar-

nya saat itu dia memang butuh seseorang yang bisa 

memberi keterangan.

Sejak keluar dari lembah berbatu cadas dan tertipu 

oleh Hantu Pesolek, murid Pendeta Sinting memang te-

lah dilanda kebingungan. Hingga dia teruskan langkah 

dengan tanpa tujuan. Dan begitu melihat Bidadari De-

lapan Samudera, Joko merasa lega. Karena dari ucapan dan tindakannya saat membela Bidadari Pedang 

Cinta, Joko bisa menarik kesimpulan jika gadis berba-

ju biru itu adalah gadis baik-baik.

“Kau tengah menunggu seseorang?!” Murid Pendeta 

Sinting pecah kebisuan dengan ajukan tanya. Lalu ba-

las pandangan si gadis. Hingga untuk beberapa saat 

kedua orang ini saling berpandangan.

Bidadari Delapan Samudera gelengkan kepala sam-

bil alihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan 

sembunyikan parasnya yang berubah memerah.

“Kehadiranku mengganggumu?!” kembali Joko ber-

tanya.

Lagi-lagi Bidadari Delapan Samudera menjawab 

dengan isyarat gelengan kepalanya.

“Boleh aku bertanya?!”

Bidadari Delapan Samudera menoleh lagi mengha-

dap Pendekar 131. Namun tidak berusaha menatap 

bola mata murid Pendeta Sinting. Dia tenangkan da-

danya beberapa lama sebelum akhirnya buka mulut.

“Apa yang akan kau tanyakan...?”

“Kau tiba-tiba saja lenyap dan kutemukan di sini! 

Kau sendirian?!”

Bidadari Delapan Samudera tidak segera menjawab. 

“Hem.... Aku tahu maksud pertanyaannya. Dia pasti 

mengkhawatirkan Bidadari Pedang Cinta! Berarti dia 

belum bertemu dengan kekasihnya itu! Dia sekarang 

tengah mencari!”

Membatin begitu, Bidadari Delapan Samudera sege-

ra buka mulut.

“Kau mencari kekasihmu?!”

Pendekar 131 tersentak dengan pertanyaan balik 

Bidadari Delapan Samudera. Dia tertawa panjang lalu 

berkata.

“Aku heran ketika kau tiba-tiba tidak kulihat lagi


dan kutemukan di sini sendirian! Kau bias menje-

laskan?!”

“Aku ditolong seseorang. Laki-laki bertubuh pendek 

dan berambut panjang....”

“Hem.... Iblis Pedang Kasih...,” ujar Joko. “Lalu....”

Tampaknya Bidadari Delapan Samudera sudah bisa 

menebak ke mana arah ucapan Pendekar 131. Hingga 

sebelum Joko sempat lanjutkan bicara, Bidadari Dela-

pan Samudera sudah menukas.

“Seperti halnya diriku, kekasihmu juga tidak men-

galami cedera apa-apa! Kau belum bertemu dengan 

mereka?!”

“Aneh.... Dari tadi dia selalu menyebut-nyebut ke-

kasihku! Aku tahu siapa yang dimaksud. Pasti Bidada-

ri Pedang Cinta! Mengapa dia menduga aku adalah ke-

kasih Bidadari Pedang Cinta?! Hem.... Dia telah dis-

elamatkan Iblis Pedang Kasih yang juga adalah eyang 

Bidadari Pedang Cinta. Jangan-jangan orang tua itu 

yang iseng menebar berita pada gadis ini!” Pendekar 

131 menduga-duga. Dia lupa akan ucapannya sendiri 

saat bentrok dan mencegah Bidadari Tujuh Langit 

yang akan bertindak tidak senonoh pada Bidadari Pe-

dang Cinta dan Bidadari Delapan Samudera.

Bidadari Delapan Samudera melompat dari batu di 

pinggiran kali. Lalu tegak dan berujar.

“Aku berterima kasih padamu. Setidaknya kau telah 

ikut menyelamatkan jiwaku dari Bidadari Tujuh La-

ngit... Soal orang tua bertubuh pendek....”

“Dia Iblis Pedang Kasih...,” sahut Joko memperke-

nalkan orang yang dimaksud Bidadari Delapan Samu-

dera.

“Hem.... Dia dan kekasihmu sekarang berada tidak 

jauh dari tempat di mana kita sempat bentrok dengan 

Bidadari Tujuh Langit.... Mereka ada di balik sebuah


batangan pohon besar.... Mungkin mereka tengah me-

nunggumu!”

Mendengar keterangan Bidadari Delapan Samudera, 

murid Pendeta Sinting tertawa. Lalu berujar seolah 

berkata pada dirinya sendiri.

“Menungguku...?! Untuk apa...?!”

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, kini gan-

ti Bidadari Delapan Samudera yang tertawa seraya 

berkata.

“Sayang aku tidak sempat menanyakan pada mere-

ka. Lagi pula rasanya tidak pantas hal itu kutanya-

kan... Segeralah ke sana! Jangan buat mereka menanti 

dengan perasaan khawatir dan cemas....”

Setelah berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera 

hendak berlalu tinggalkan pinggiran sungai.

“Tunggu!”

“Aku tak mau mendapat urusan dengan orang yang 

telah menolongku hanya gara-gara karena kita bicara 

di tempat ini!” berkata Bidadari Delapan Samudera 

dengan suara agak ketus.

“Kau ini aneh... Bagaimana kau bisa mengatakan 

mereka menungguku?! Bagaimana pula kau bisa men-

gatakan mereka akan khawatir dan cemas pada diri-

ku?! Apa hubungan dan kaitan mereka dengan diri-

ku...?!”

Bidadari Delapan Samudera berpaling dengan mata 

sedikit mendelik.

“Kau berani mengatakan terus terang di hadapan 

gadis itu! Tapi begitu dia tidak ada di depanmu, men-

gapa kau jadi lain?!” ujar Bidadari Delapan Samudera 

dengan tertawa gusar. “Jangan kau jadi pemuda pen-

gecut! Lebih dari itu aku tak mau mendapat tuduhan 

yang bukan-bukan!”

Pendekar 131 lagi-lagi tertawa mendengar ucapan


Bidadari Delapan Samudera. Dan enak saja dia ber-

ucap.

“Kau ini ada-ada saja.... Ucapan apa yang kukata-

kan di depan Bidadari Pedang Cinta...? Dan tuduhan 

apa yang akan dialamatkan padamu?!” Joko sengaja 

langsung menunjuk Bidadari Delapan Samudera.

Ucapan Pendekar 131 membuat Bidadari Delapan 

Samudera putar diri menghadap murid Pendeta Sin-

ting dengan dada mulai jengkel. Dalam hati dia ber-

ucap. “Dasar laki-laki! Belum sampai matahari teng-

gelam tapi sudah lupa dengan kata-kata yang baru sa-

ja diucapkan!”

Karena Bidadari Delapan Samudera tidak segera 

menjawab, Pendekar 131 segera berucap lagi.

“Mungkin kau salah dengar dengan apa yang ku-

ucapkan.... Kau juga terlalu punya perasaan yang ti-

dak-tidak.... Padahal, jangankan hanya bicara begini, 

seandainya pun kita jalan bergandengan, kau tidak 

akan mendapat tuduhan apa-apa....”

Sepasang mata Bidadari Delapan Samudera mende-

lik angker. Lalu terdengar bentakannya.

“Telingaku tidak tuli! Ingatanku masih normal!”

“Astaga.... Kau tidak main-main...?”

“Siapa main-main?! Telingaku dengar sendiri kau 

menyebutnya kekasih di depan Bidadari Tujuh Langit 

dan di depan mataku!”

“Ah....” Pendekar 131 mengeluh sambil tepuk jidat-

nya sendiri. Namun bersamaan dengan itu tawanya 

meledak!

“Apa yang kau anggap lucu?! Kau pikir semua ini 

main-main, hah?!”

Pendekar 131 putuskan gelakan tawanya. “Hem.... 

Apa yang harus kukatakan padanya?! Apakah aku ha-

rus berterus terang kalau ucapanku itu hanya agar


aku mendapatkan alasan mengapa sampai Ikut cam-

pur urusan Bidadari Pedang Cinta dan urusannya 

dengan Bidadari Tujuh Langit?! Tapi mungkinkah dia 

percaya?! Apakah kalau aku berterus terang malah ti-

dak menambah dia salah paham...?!” Saat itulah Jo-ko 

baru ingat akan peringatan orang tua pemilik kedai 

Han Pek Kun. “Hem.... Ucapan orang tua itu ternyata 

benar. Di hadapan seorang gadis, ucapan canda bisa 

diartikan lain.... Tapi apa boleh buat.... Semua sudah 

telanjur terucapkan....”

“Dengar!” Bidadari Delapan Samudera membentak. 

“Kau tentu sudah tahu tempat yang baru saja kukata-

kan! Pergilah cepat! Kau harus menghormati seorang 

gadis yang menunggumu dengan cemas!”

Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera 

berkelebat tinggalkan pinggiran sungai. Namun tanpa 

buka mulut menahan, Joko mendahului berkelebat 

dan tegak menghadang di hadapan sang Bidadari.

“Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu....”

“Aku tak butuh penjelasan! Lagi pula di antara kita 

tidak ada urusan apa-apa!”

“Justru kalau kau tidak mau dengar penjelasanku, 

berarti di antara kita secara tak sengaja telah ada uru-

san!”

Bidadari Delapan Samudera tahan rasa jengkelnya. 

Sambil alihkan pandang matanya ke jurusan lain, ga-

dis ini berkata dengan ketus.

“Katakan penjelasan apa yang akan kau ucapkan! 

Tapi jangan berharap aku akan menanggapi penjelas-

anmu!”

***


SEBELAS


PENDEKAR 131 tersenyum. Lalu berkata. “Anggap 

saja aku tidak pernah mengatakan apa-apa dan kau 

tidak pernah dengar apa-apa! Saat ini kita berdiri se-

bagai orang yang baru saja bertemu. Dan aku butuh 

penjelasan darimu, karena kulihat kau orang daerah 

sini dan paham dengan daerah sekitar sini....”

“Itu bukan penjelasan! Itu pernyataan laki-laki pen-

gecut!” Bidadari Delapan Samudera menyahut dengan 

suara tinggi.

“Hem.... Terserah bagaimana anggapanmu.... Yang 

jelas menurutku, aku telah menjelaskan sesuatu pada-

mu! Dan aku sekarang hendak minta penjelasan dari-

mu....” Enak saja murid Pendeta Sinting berujar.

“Kau tak akan mendapat penjelasan apa-apa!”

“Kalau kau merasa keberatan, aku tidak memak-

sa.... Namun kuharap kau tidak merasa keberatan ka-

lau mengatakan siapa dirimu....”

“Pergilah menemui kekasihmu. Kau akan mendapat 

jawaban!”

“Itu pernyataan seorang gadis yang belum tahu....”

“Belum tahu apa?!” bentak Bidadari Delapan Samu-

dera.

“Bukan jawaban yang akan kudapat, melainkan ge-

bukan!”

“Bidadari Pedang Cinta sama sekali tidak menyebut-

nyebut pemuda ini.... Wajahnya juga tidak mem-

bayangkan perasaan khawatir atau cemas. Lalu penje-

lasan pemuda ini.... Hem.... Mungkin di antara mereka 

ada masalah! Ah.... Kalau aku terus-terusan berada di 

tempat ini dan gadis itu tahu, tentu akan jadi masalah 

besar....” Membatin Bidadari Delapan Samudera. Lalu


berkata.

“Aku akan sebutkan siapa diriku. Tapi setelah itu 

kau harus menemui mereka. Selesaikan urusan kalian 

dengan baik-baik. Dan satu hai lagi, kuharap kau ti-

dak sebut-sebut diriku di hadapan kekasihmu itu. Bu-

kan karena apa, aku tak mau terjadi salah paham....”

Sebenarnya murid Pendeta Sinting hendak buka 

mulut menyahut. Tapi sebelum suaranya sempat ter-

dengar, Bidadari Delapan Samudera telah mendahului.

“Kau bisa memanggilku Bidadari Delapan Samude-

ra...!”

“Kau tahu daerah....”

“Aku hanya bisa memberi tahu siapa diriku. Soal 

lainnya mungkin kau bisa menanyakannya pada orang 

lain. Selamat tinggal!”

“Tunggu dulu!” lagi-lagi Pendekar 131 menahan.

Sebenarnya Bidadari Delapan Samudera tak ingin 

batalkan niatnya untuk berkelebat. Namun sekuat te-

naga dia berusaha gerakkan kaki hendak pergi, hati-

nya justru makin tak tega. Hingga gadis ini akhirnya 

hanya tegak menunggu tanpa buka suara.

“Kau tidak bertanya siapa aku?!”

“Kalau kau sudi mengatakannya....”

“Aku Joko Sableng....”

“Hanya itu yang ingin kau katakan?” tanya Bidadari 

Delapan Samudera.

“Boleh bertanya ke mana kau akan pergi?”

Bidadari Delapan Samudera menghela napas pan-

jang. Lalu geleng kepala dan berkata.

“Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaanmu. 

Sayang.... Aku sendiri tak tahu harus ke mana...”

“Ah.... Sepertinya kita senasib!”

Bidadari Delapan Samudera berpaling. Tanpa me-

nunggu si gadis bertanya, murid Pendeta Sinting sudah mendahului berkata.

“Aku berasal dari negeri jauh. Mencari tempat yang 

hanya kukenal namanya....”

“Hem.... Berarti kita tidak senasib!” ujar Bidadari 

Delapan Samudera. “Kau lebih beruntung dariku. Kau 

masih mengenal nama tempat yang kau cari. Sementa-

ra aku tidak!” Entah mengapa tiba-tiba Bidadari Dela-

pan Samudera mau bicara terus terang.

“Maksudmu...?!”

“Aku hanya tahu cirinya! Tidak tahu di mana tem-

patnya!”

“Kau mencari seseorang atau mencari satu tem-

pat?!”

Bidadari Delapan Samudera terdiam beberapa lama. 

Gadis ini dilanda kebimbangan antara berterus terang 

atau tidak.

“Aku memang bukan orang daerah sini. Kita juga 

baru kenalan. Tapi tidak ada salahnya kalau kau mau 

mengatakannya padaku. Siapa tahu....”

“Apa yang bisa kau lakukan untukku?! Kau bukan 

berasal dari negeri ini. Sementara urusanku masih 

berhubungan erat dengan negeri ini! Rasanya percuma 

aku mengatakannya padamu! Lagi pula kau masih 

punya urusan yang harus kau selesaikan dengan gadis 

itu.... Aku tak mau menambah beban....”

“Bidadari Delapan Samudera.... Kuharap kau per-

caya. Sebenarnya aku juga baru berkenalan dengan 

Bidadari Pedang Cinta...”

Ucapan Joko membuat Bidadari Delapan Samudera 

mendelik lagi. 

“Kau masih saja berlaku pengecut!”

“Ah.... Sebaiknya aku tidak mengungkit-ungkit uru-

san ucapanku di hadapan Bidadari Tujuh Langit. Ini 

bisa membuat dia tidak mau memberi penjelasan yang


kuinginkan. Padahal dia sudah mulai mau berkata....” 

Joko membatin.

‘“Baiklah.... Anggap saja ucapanku di hadapan Bi-

dadari Tujuh Langit benar. Sekarang mau menjawab 

pertanyaanku tadi?! Kau mencari seseorang atau satu 

tempat?!” Joko ulangi lagi pertanyaannya.

“Yang kucari seseorang. Tapi aku hanya tahu ciri-

nya tanpa tahu siapa nama dan tempat tinggalnya!”

“Urusannya...?!”

“Setelah kukatakan, kau mau memenuhi permin-

taanku untuk segera pergi dari sini menemui gadis 

itu?!”

Pendekar 131 menghela napas. Lalu anggukkan ke-

pala.

“Dialah yang bisa membuka....”

Belum sampai Bidadari Delapan Samudera sele-

saikan ucapannya, mendadak satu bayangan berkele-

bat. Gadis berbaju biru ini cepat putuskan ucapan. La-

lu berpaling. Sepasang matanya membelalak beberapa 

saat. Lalu anggukkan kepala dan menoleh pada murid 

Pendeta Sinting sambil berkata pelan.

“Aku harus segera pergi! Kuharap kau menceritakan 

apa yang kita bicarakan agar nantinya tidak terjadi sa-

lah paham dan jadi pembuka urusan!”

Ucapan Bidadari Delapan Samudera membuat Pen-

dekar 131 batalkan niat untuk berpaling melihat siapa 

yang datang. Karena pada saat itu Bidadari Delapan 

Samudera sudah berkelebat.

“Bidadari.... Tunggu!”

Bidadari Delapan Samudera tidak pedulikan teria-

kan murid Pendeta Sinting. Malah gadis ini makin per-

cepat kelebatannya.

Joko sudah akan mengejar. Namun niatnya terta-

han tatkala tiba-tiba terdengar suara.


“Aku tidak bermaksud mengganggu kalian.... Aku 

tidak tahu kalau kalian berada di tempat ini!”

Pendekar 131 cepat berpaling. “Bidadari Pedang 

Cinta..,” gumamnya mengenali satu sosok tubuh yang 

tegak sepuluh langkah di seberang depan sana. Gadis 

ini tegak dengan memandang ke arah mana baru saja 

Bidadari Delapan Samudera berkelebat pergi.

“Aku harus pergi...,” berkata gadis yang baru mun-

cul, dan bukan lain memang Bidadari Pedang Cinta 

adanya.

“Tunggu! Aku ingin bicara denganmu!” tahan murid 

Pendeta Sinting lalu melompat dan tegak tidak jauh 

dari Bidadari Pedang Cinta.

“Kau masih punya urusan yang harus kau selesai-

kan! Kau masih punya kesempatan untuk mengejar-

nya sebelum dia pergi jauh....”

“Waduh.... Pasti urusannya sama dengan Bidadari 

Delapan Samudera! Mengapa harus jadi begini akibat-

nya?!” Joko mengeluh dalam hati bisa membaca dari 

sambutan Bidadari Pedang Cinta. “Dia yang bisa mem-

beri petunjuk. Aku harus bisa menjernihkan urusan 

ini. Jika tidak, aku akan kehilangan lagi tempat untuk 

bertanya....”

Membatin sampai di situ, Pendekar 131 akhirnya 

berkata.

“Bidadari Pedang Cinta. Aku ingin menjelaskan se-

suatu padamu!”

Bidadari Pedang Cinta geleng kepala. “Aku berada di 

tempat ini tidak sengaja! Jadi jangan kau mengira yang 

bukan-bukan! Tidak ada yang perlu dijelaskan antara 

kita!”

“Hem.... Maksudku, aku ingin menjelaskan ucapan-

ku saat bicara dengan Bidadari Tujuh Langit!”

“Ucapan yang mana?!”


“Aku saat itu mengatakan bahwa salah satu di an-

tara dirimu dan Bidadari Delapan Samudera adalah 

kekasihku....”

“Aku sudah paham apa maksud ucapanmu itu! Ti-

dak perlu dijelaskan lagi!”

“Bukan begitu! Ucapan itu masih perlu penjelasan! 

Ucapan itu kukatakan dengan maksud agar kau punya 

alasan ikut campur menahan tindakan Bidadari Tujuh 

Langit!”

Bidadari Pedang Cinta tertawa pendek. Nadanya je-

las menunjukkan rasa tidak percaya. Lalu sambil ber-

paling dia berkata.

“Keberadaanmu di tempat ini membuatku tidak ya-

kin dengan ucapanmu!”

“Waduh.... Apa yang harus kuperbuat sekarang?! 

Yang satu tidak percaya. Satunya lagi tidak yakin!”

“Bidadari Pedang Cinta....” Akhirnya Joko berkata 

setelah agak lama terdiam. “Kau boleh yakin atau ti-

dak. Yang jelas aku mengatakan apa adanya! Lebih da-

ri itu kau harus tahu. Penjelasanku ini bukan karena 

aku butuh keterangan darimu tentang Lembah Tujuh 

Bintang Tujuh Sungai!”

“Hem.... Lalu apa maksudmu menjelaskan pada-

ku?!”

“Agar nantinya tidak terjadi salah paham....”

“Salah paham apa?! Hubunganmu dengan gadis itu 

adalah urusanmu! Apa yang patut dijadikan alasan sa-

lah paham?! Atau kau berpikir aku akan ribut urusan 

hubunganmu dengan gadis itu hanya gara-gara kau 

mengucapkannya di hadapanku, begitu?!”

“Bukan begitu maksudku....”

“Lalu...?!”

Belum sempat Joko buka mulut menjawab karena 

merasa kebingungan harus menjawab bagaimana,


mendadak dua sosok bayangan berkelebat.

Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta segera 

berpaling. Memandang ke depan, mereka melihat dua 

gadis tegak berjajar. Sebelah kanan adalah seorang 

gadis berparas cantik. Rambutnya disanggul tinggi ke 

atas dan diberi konde. Kulitnya putih. Hidungnya man-

cung dengan bibir membentuk bagus. Gadis ini menge-

nakan pakaian warna merah. Sementara gadis sebelah 

kiri juga berparas cantik. Sekali orang melihat, pasti 

sudah dapat menebak jika kedua gadis ini adalah 

kembar. Karena parasnya memang mirip. Yang mem-

bedakan keduanya adalah pakaian yang dikenakan. 

Yang sebelah kanan mengenakan pakaian warna me-

rah sementara yang sebelah kiri mengenakan pakaian 

warna kuning.

Untuk beberapa lama kedua gadis yang baru mun-

cul memandang silih berganti pada Pendekar 131 dan 

Bidadari Pedang Cinta. Lalu saling pandang. Gadis se-

belah kanan yang mengenakan pakaian warna merah 

sorongkan wajahnya ke arah gadis di sebelahnya lalu 

berbisik.

“Aku yakin. Pasti pemuda ini yang dimaksud Guru!”

“Tapi mengapa dia bersama gadis baju hijau itu?! 

Dari tampang dan cirinya, jelas bukan dia perempuan 

yang kita cari!” Gadis sebelah kiri menyahut. Sepasang 

matanya memperhatikan Bidadari Pedang Cinta dari 

ujung kepala sampai ujung kaki. Seakan ada keane-

han. Gadis berbaju kuning ini memperhatikan berla-

ma-lama pada sepasang kaki Bidadari Pedang Cinta.

“Aku juga yakin memang bukan perempuan ini 

yang kita cari!”

“Jangan-jangan Guru salah memberi petunjuk....”

Gadis berbaju merah geleng kepala. “Ciri pemuda 

yang dikatakannya benar. Berarti tak mungkin petun


juknya salah!”

“Tapi mana perempuan yang kita cari?!” tanya gadis 

berbaju kuning.

“Kita sudah menemukan siapa yang bisa memberi

petunjuk di mana perempuan yang kita cari! Dia harus 

mengatakannya!”

Sementara gadis berbaju merah dan kuning saling 

berbisik, murid Pendeta Sinting segera mendekati Bi-

dadari Pedang Cinta. Begitu dekat, dia langsung ber-

tanya.

“Kau kenal siapa mereka...?!”

“Dari gelagat mereka, seharusnya kau tidak ber-

tanya begitu!” jawab Bidadari Pedang Cinta. Suaranya 

jelas menandakan dia masih jengkel.

“Hem.... Hari ini aku bernasib mujur sekaligus ma-

lang! Mujur bertemu dengan beberapa gadis cantik. 

Malang karena pertemuannya selalu ditandai dengan 

urusan!” Pendekar 131 bergumam lalu tertawa nyengir

“Mana perempuan itu?!” Tiba-tiba gadis berbaju me-

rah perdengarkan bentakan keras.

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Lalu berbisik 

pada Bidadari Pedang Cinta. “Dia bertanya padamu 

atau padaku...?!”

Bidadari Pedang Cinta mendengus. Dia menduga 

yang dimaksud pertanyaan gadis berbaju merah ada-

lah Bidadari Delapan Samudera. Maka dia segera buka 

mulut.

“Yang ditanyakan adalah perempuan! Masih pan-

taskah kau bertanya siapa yang ditanya?!”

“Lalu perempuan mana yang dimaksud?!” tanya 

Pendekar 131.

“Itu urusanmu! Mengapa tanya padaku?!” bentak 

Bidadari Pedang Cinta.

“Hai! Mana perempuan itu?!” kembali terdengar


bentakan. Kali ini diperdengarkan gadis berbaju ku-

ning.

Pendekar 131 menoleh. Pandang matanya diarah-

kan pada gadis berbaju merah lalu bertanya.

“Kau bertanya padaku atau padanya?!” Joko me-

nunjuk dirinya lalu pada Bidadari Pedang Cinta. “Dan 

perempuan mana yang kau maksud?!”

Habis bertanya begitu, murid Pendeta Sinting arah-

kan pandang matanya pada gadis berbaju kuning. Lalu 

buka mulut bertanya.

“Dan kau. Bertanya padanya atau padaku?!” Joko 

menunjuk pada Bidadari Pedang Cinta lalu pada diri-

nya sendiri. “Dan siapa pula perempuan yang kau 

maksud?!”

“Tampaknya kita berhadapan dengan manusia gila!” 

mendesis gadis berbaju merah dengan mata mendelik 

pada Pendekar 131.

“Mungkin dia hanya berpura-pura seperti manusia 

gila agar bisa lepas dari tangan kita!” timpal gadis ber-

baju kuning. Lalu membentak.

“Aku bertanya padamu!” Tangan kanan gadis ber-

baju kuning ini menunjuk lurus pada murid Pendeta 

Sinting.

“Hem....” Pendekar 131 gerakkan kepala pulang ba-

lik ke atas ke bawah. Lalu berujar. “Di sini ada tiga pe-

rempuan. Mana yang kau tanyakan?!” Joko sapukan 

pandangan berkeliling, menatap satu persatu pada Bi-

dadari Pedang Cinta, lalu pada gadis berbaju merah, 

dan terakhir ke arah gadis berbaju kuning sendiri.

“Kau jangan berlagak gila! Kau sadar tengah berha-

dapan dengan siapa?!” bentak gadis berbaju kuning.

Sebelum Joko sempat buka suara, Bidadari Pedang 

Cinta yang tak mau terjadi urusan segera ikut bicara.

“Harap katakan saja siapa perempuan yang kalian


tanyakan...!”

“Aku tidak bertanya padamu! Saatnya nanti akan 

tiba giliranmu untuk menjawab pertanyaan!” Gadis 

berbaju kuning membentak lagi.

Bidadari Pedang Cinta coba tahan hawa amarah 

yang mulai melanda dadanya mendengar ucapan 

orang. Lalu berpaling pada Pendekar 131 dan berkata 

dalam hati. “Gara-gara pemuda ini aku jadi terlibat da-

lam urusan yang tak karuan! Pemuda ini pasti hidung 

belang yang suka iseng mempermainkan perempuan!”

“Pemuda gila! Mana perempuan berbaju putih itu?!” 

Gadis berbaju merah bertanya.

Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta sama agak 

terkejut. Mereka sama sekali tidak menduga yang di-

maksud dua gadis di hadapan mereka adalah Bidadari 

Tujuh Langit.

“Apa hubungan kalian dengan perempuan baju pu-

tih itu?!” tanya Joko.

“Kau tidak usah bertanya! Kau hanya perlu menja-

wab!” hardik gadis berbaju merah.

“Yang kau maksud Bidadari Tujuh Langit?!” Bidada-

ri Pedang Cinta tanpa sadar menyahut karena ingin 

meyaklnkan.

“Untung kau benar sebutkan nama orang! Jika ti-

dak, mungkin mulutmu sudah kubuat tak bisa bicara!” 

ujar gadis berbaju merah. Lalu tertawa pendek sebe-

lum berkata lagi.

“Sekarang peduli setan siapa yang akan menjawab 

di antara mulut kalian berdua! Yang jelas kami minta 

kau tunjukkan di mana Bidadari Tujuh Langit!”

Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta saling 

pandang. Namun mendadak saja Pendekar 131 tertawa 

bergelak!

Gadis berbaju merah dan gadis berbaju kuning sa


ling lontar pandang. Sementara Bidadari Pedang Cinta 

surutkan langkah dengan tampang kebingungan!


                          SELESAI


Segera menyusul:

DAYANG TIGA PURNAMA


Share:

0 comments:

Posting Komentar