JOKO SABLENG
PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
SATU
PADA satu tanah agak menggugus masing-masing
orang melihat seraut wajah tampan milik seorang
pemuda. Sepasang matanya tajam. Hidungnya
mancung. Namun bukan karena ketampanan raut si
pemuda yang membuat semua orang tersentak dan
pentangkan mata masing-masing. Ternyata pemuda ini
tidak berdiri tegak dengan berpijak pada kedua kakinya.
Sebaliknya sepasang kakinya berada di atas, sementara
kepalanya di bawah menopang tubuhnya! Pada
mulutnya tampak sebuah karet bundar seperti dot bayi
yang sesekali disedot. Setiap kali si pemuda gerakkan
mulut menyedot, terdengar suara duutt! Duuuttt!
Duuuttt! Dan lebih dari itu, ternyata pemuda ini tidak
mempunyai tangan! Anehnya, meski tegak dengan kaki
di atas dan kepala di bawah, namun pakaian yang
dikenakan tidak menyibak ke bawah. Dan kedua lengan
pakaiannya yang kempes karena tak berisi tangan,
tampak kaku ke samping kiri kanan.
Selagi semua orang di situ masih tegak dengan
terkesima dan mulut terkancing, Daeng Upas yang
gerakannya untuk lakukan totokan pada Pendekar 131
tertahan malah sosoknya tersurut dua langkah laksana
terbang segera berkelebat ke arah si pemuda yang
tegak terbalik dan langsung lepaskan dua jotosan dari
jarak empat tangkah!
Seakan tahu pukulan Daeng Upas yang dapat lakukan
jotosan atau tendangan walau dari jarak jauh, si pemuda
gerakkan dua bahunya sebelum kedua tangan Daeng
Upas bergerak
Sepasang lengan baju si pemuda bergerak kebawah
mengibas tanah.
Bettt! Bettt!
Pada saat bersamaan, sosok si pemuda melenting ke
udara setanggi dua tombak. Membuat gerakan jungkir
balik satu kali, lalu mendarat di atas tanah dengan
bertumpu pada kedua ibu jari kakinya!
Daeng Upas tegak di atas tanah dengan wajah
tegang dan rahang terangkat. Sebagai orang yang
memiliki kepandaian tinggi meski selama ini tidak ada
orang yang mengetahui, dari sikap dan gerakan si
pemuda, nenek yang wajahnya masih membayang
kecantikan ini telah maklum jika si pemuda bukanlah
orang yang dapat dipandang sebelah mata.
Di sebelah depan, murid Pendeta Sinting perhatikan
baik-baik ke arah si pemuda. "Sulit dipercaya jika tidak
melihat sendiri. Rimba persilatan ternyata tidak hanya
disarati urusan aneh. Tapi juga dikelilingi manusia-
manusia aneh!" batinnya.
Agak ke samping. Raka Pradesa sipitkan sepasang
matanya dengan dahi berkerut. Diam-diam dia juga
berkata dalam hati. "Banyak tokoh-tokoh yang kukenal
meski hanya lewat ciri-cirinya. Namun ciri-ciri pemuda ini
belum pernah kudengar! Apakah dia tokoh yang baru
saja muncul? Atau selama ini dia tidak menunjukkan
kepandaiannya hingga namanya tidak banyak dikenal
kalangan dunia persilatan?!"
Seperti halnya Pendekar 131 dan Raka Pradesa. Dewi
Siluman juga terlihat menduga-duga siapa adanya si
pemuda. Entah karena tak dapat jawaban dari dirinya
sendiri, perempuan bercadar dan berjubah hitam anak
Daeng Upas ini segera berpaling pada Ki Buyut Pagar
Alam yang berada di sampingnya sambil bergumam.
lagi "Siapa pemuda buntung itu, Ki Buyut?!"
Kakek berwajah pucat yang kedua tangannya selalu
masuk ke dalam saku jubah hitamnya yang juga adalah
adik kandung Daeng Upas berpaling dengan gelengkan
kepala. "Berpuluh tahun merambah rimba persilatan,
baru kali ini aku melihatnya! Telingaku pun belum
pernah mendengar orang membicarakan pemuda
seperti dia. Tapi melihat usianya, kukira dia orang yang
baru dalam kancah dunia persilatan. Hanya saja dia
memiliki kepandaian sangat tinggi
Mendengar ucapan Ki Buyut, Dewi Siluman
perdengarkan dengusan. "Urusan ini belum selesai. Ke-
munculannya akan menambah keadaan tidak karuan!
Kita be!um tahu benar apakah pemuda buntung ini
benar-benar mempunyai ilmu tinggi. Sebaiknya dia kita
singkirkan dahuiu!"
"Di sini ada ibumu. Kita tunggu dulu apa yang hendak
dilakukan olehnya!"
"Tapi....”
Ucapan Dewi Siluman belum selesai, Ki Buyut telah
memotong. "Kau tak usah khawatir. Orang-orang selama
ini memang tidak tahu sampai di mana Ilmu yang
dimiliki Ibumu. Hingga ibumu hanya dipandang mata
terpejam...," Ki Buyut Pagar Alam tertawa pelan. Lalu
lanjutkan ucapannya. "Sebentar lago mereka akann
sadar bahwa dugaan mereka jauh meleset “.
Sementara Daeng Upas sendiri setelah dapat kuasai
rasa kejut dan geramnya maju satu langkah. Nenek ini
sebenarnya masih panasaran dan ingin lakukan
serangan lagi. Namun berfikir bahwa urusan mengorek
keterangan Pendekar 131 yang baru dilihatnya saat
hendak berusaha masuk ke Istana Hantu lebih penting,
maka dia urungkan niatnya. Sebaliknya dia segera
keluarkan bentakan.
"Pemuda tak dikenal? Siapa kau?! Mengapa kau
berlaku lancang menahan gerakanku? Apa hubunganmu
dengan pemuda berpakaian putih itu?!" Jari tangan
Daeng Upas lurus menunjuk pada murid Pendeta Sinting
yang masih duduk di atas tanah.
Pemuda bertangan buntung kempotkan pipinya
menyedot karet bundar di mulutnya. Hingga saat itu
terdengar suara duuttt! Duuttt! Duuttt!
Sepasang mata Daeng Upas membeliak besar.
Dadanya bergemuruh keras melihat orang yang ditanya
tidak segera menjawab sebaliknya malah permainkan
dot di mulutnya!
"Keparat! Kalau kau tidak jawab pertanyaanku, lekas
menyingkir dari sini! Jika tidak, membunuhmu bukan hal
sulit bagiku!"
Orang yang dibentak memandang sekilas pada Daeng
Upas. Lalu tengadah dengan pipi mengembung. Saat
meniup, karet di mulutnya mencuat keluar dan
mengapung di udara. Mulutnya lalu bergerak dan
terdengarlah ucapannya.
"Nenek cantik. Tiga pertanyaanmu, mungkin aku
hanya bisa menjawab dua. Untuk satunya biarlah
sementara ini menjadi pekerjaan rumah buatmu! Harap
kau tidak marah dan setuju usulku!"
Sementara berkata, karet bundar mirip dot bayi tetap
mengapung di atas kepalanya, membuat semua orang di
tempat itu makin beliakkan mata kecuali Daeng Upas
yang kesabarannya hampir-hampir saja pupus.
"Aku telah bertanya. Aku tak mau tahu usul! Yang
kuminta jawaban!" kata Daeng Upas dengan suara keras
setengah menjerit.
"Aku akan menjawab. Aku tak mau tahu kau terima
usulku apa tidak!" ujar pemuda bertangan buntung. Lalu
tanpa hiraukan sengatan pandangan Daeng Upas dia
teruskan kata-katanya.
"Aku bukannya lancang mencegah tindakan orang.
Hanya aku tidak suka melihat orang berlaku semena-
mena pada orang yang sudah tidak berdaya! Perlu juga
kau ketahui, aku tidak kenal dengan pemuda berbaju
putih itu! Kalau tidak kena! Apakah mungkin punya
hubungan?!" Si pemuda balik bertanya,
"Kau tak punya hak untuk bertanya padaku:" hardik
Daeng Upas. "Kau belum mengatakan siapa dirimu!"
Si pemuda bertangan buntung lancipkan mulut
menyedot. Dot bayi yang mengapung di atas kepalanya
bergerak turun dan masuk ke dalam mulutnya. Kejap
kemudian terdengar suara duuttt! Duuuttt! Berulang
kali. Di lain saat si pemuda hembuskan napas. Bundaran
karet di mulutnya mencelat lagi dan seperti tadi meng-
apung di atas kepalanya. Bersamaan dengan itu
terdengar ucapannya.
"Seperti kukatakan tadi, aku hanya bisa jawab dua
pertanyaanmu. Untuk jawaban satunya mungkin kelak
jika kita jumpa lagi masih bisa kujawab!"
Daeng Upas masih coba menindih gejolak amarahnya.
Lalu menyeringai sambil berkata.
"Hem.... Begtu? Sekarang kuperintah kau untuk
tinggalkan tempat ini!"
"Hem.... Begitu!" Si pemuda ikut-ikutan berkata
seperti ucapan Daeng Upas. "Kau mengatakan aku tak
punya hak bertanya padamu. Sekarang apa salah jika
aku mengatakan kau tak berhak memerintahku?!"
"Itu awal petaka bagimu!" teriak Daeng Upas.
Si pemuda kembang kempiskan pipinya. Bundaran
karet di atas kepalanya bergerak turun naik seirama
keluarmasuknya napas si pemuda. Anehnya meski
bundaran karet itu turun naik di udara, namun pada saat
itu terdengar juga suara duuttt! Duuuttt! Duuutt!
"Wah. Nenek ini bukan hanya fcetap cantik meski
sudah tua, tapi pandai juga bikin malapetaka. Apakah
kau juga bisa membuat hura-hura, Nek?!" Yang buka
suara adalah murid Pendeta Sinting.
Daeng Upas sentakkan kepalanya ke arah Pendekar
131. tubuhnya bergetar pertanda dia menahan hawa
marah. Tangan kirirya menunjuk pada murid Pendeta
Sinting "Kau jangan ikut campur buka mulut! Nanti ada
saatnya kau harus bicara jswab semua pertanyaanku!"
sentaknya.
"Hem.... Begitu?!" Joko ikut bicara seperti pemuda
bertangan buntung yang menirukan gumaman Daeng
Upas. "Kau nanti akan ajukan berapa pertanyaan. Nek?!"
Daeng Upas tidak menjawab. Sepasang matanya
mendelik angker menatap pada murid Pendeta Sinting
Pendekar 131 tampak mainkan jari kelingkingnya ke
dalam lobang telinganya. Lalu seakan tidak acuhkan
pandangan marah orang, dia berucap.
"Kau nanti pasti akan kecewa. Karena berapapun
pertanyaan yang akan kau ajukan, aku hanya bisa
menjawab satu!"
"Bercandalah sepuasmu sebelum mampus!" ujar
Daeng Upas lalu arahkan pandangannya kembali pada
pemuda bertangan buniung.
"Edan!" gumam Raka Pradesa. "Dalam keadaan
begitu, masih sempatnya mengajak bercanda!" Pemuda
ini berlama-lama memandangi murid Pendeta Sinting.
Namun tatkala Joko balik memandangnya, pemuda
berkumis tipis ini cepat alihkan pandangannya. Diam-
diam dia membatin. "Siapa gadis berbaju hijau itu?
Sepertinya mereka belum kenal betul. Tapi mengapa
melindunginya? Apakah dia tertarik pada Pendekar
131?" Tidak mendapat jawaban pasti dari pertanyaan-
nya, pemuda berkumis tipis ini arahkan pandangannya
pada Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
"Perempuan dan kakek itu kudengar memiliki
kepandaian tinggi. Hem.... Ada silang sengketa apa
mereka dengan Joko? Sekarang apa yang harus ku-
lakukan? Joko tampaknya terluka dalam cukup parah.
Kalau aku mengajaknya pergi, semua orang yang ada di
sini tentu tidak akan tinggal diam! Ah...."
Pemuda ini laiu berpaling pada Daeng Upas yang saat
itu melangkah ke arah pemuda bertangan buntung
"Pemuda buntung! Kau dengar kata-kataku. Apa
kau ingin kakimu buntung sekalian, hah?!"
“Nenek cantik. Tega-teganya kau berkata begilu
tanpa tangan saja aku sudah menderita. Bagaimana
kalau kakiku buntung juga?!"
“Bagus berarti kau masih sayang anggota tubuhmu!"
"Ah.... ini adalah barang titipan Tuhan, sudah
selayaknya kusayang-sayangi. Dan tak akan kubiarkan
siapapun mengambilnya!"
Daeng Upas tertawa panjang. "Tidak ada hal sulit
bagiku mengambil barang apa pun! Termasuk kedua
kakimu. Tapi aku masih berbaik hati jika kau segera
enyah dari sini!"
Pemuda bertangan buntung ikut-ikutan tertawa
panjang. "Kalau kau gampang mengambil barang apa
pun. Apa sukarnya bagiku mempertahankan barang
milikku?"
"Jahanam! Kau benar-benar minta mampus!" hardik
Daeng Upas. Ucapannya belum selesai, sosoknya telah
melesat ke depan. Kedua tangannya diangkat tinggi-
tinggi dan kirimkan jotosan kanan kiri sekaligus.
Kalau nenek ini bisa melepas jotosan dari jarak jauh
dengan lawan bisa dibuat terjengkang, bisa dibayangkan
jika jotosan itu betul-betul menghantam sasaran!
Karena lesatan sosok Daeng Upas bergerak tiba-tiba,
maka kali ini tidak ada kesempatan lagi bagi pemuda
bertangan buntung untuk menghindar. Dan karena tidak
punya kedua tangan untuk menangkis jotosan, semua
orang yang melihat sama menduga apa yang hendak
menimpa si pemuda. Namun semua orang dibuat jadi
melengak.
Pemuda bertangan buntung tiba-tiba lipat tubuhnya
ke depan terus ke bawah. Lalu... Wuuuttt! Kini sepasang
kaki berada di atas, kepala di bawah menopang
tubuhnya. Kejap lain mulutnya menguncup menyedot.
Duuuttt! Duuttt! Duuttt!
Terdengar suara tiga kali berturut-turut. Karet
bundar yang sedari tadi mengapung di udara melesat
cepat dan masuk ke dalam mulutnya. Saat bersamaan,
kedua kakinya bergerak membuat sikap seperti orang
bersila.
Buukkk! Buuukkk!
Sepasang tangan Daeng Upas beradu dengan
sepasang kaki pemuda bertangan buntung. Daeng
Upas tampak tegak dengan tubuh bergoyang-goyang
keras. Raut wajahnya berubah. Malah kedua tangannya
yang baru saja bentrok bergetar, membuat nenek ini
geram bukan main. Didahului bentakan melengking,
sosoknya melorot ke bawah hingga kedua lututnya
menekuk. Tiba-tiba sambil bertumpu pada telapak
tangannya, sepasang kakinya mencuat ke depan
lepaskan tendangan ke wajah si pemuda!
Di depannya, kepala si pemuda yang dibuat untuk
menopang tubuhnya tampak bergoyang-goyang,
membuat sosok sang pemuda ikut-ikutan bergoyang.
Kejap kemudian kepalanya tampak bergerak menggeser
ke belakang.
Melihat kepala si pemuda bergeser ke belakang
menghindari tendangan, Daeng Upas cepat melompat
depan. Dan dengan masih bertumpu pada telapak
tangannya, sepasang kakinya teruskan tendangan
Saat itulah, karena kepalanya terdorong ke belakang
sepasang kaki si pemuda bergerak lurus ke bawah.
Daeng Upas mendelik angker. Semua orang yang
melihat terkesiap. Karena tiba-tiba gerakan kaki si
nenekk tertahan oleh sepasang kaki pemuda yang kini
menggapitnya. Malah bukan hanya sampai disitu. Begitu
kakinya berhasil menggapit sepasang kaki si nenek,
pemuda bertangan buntung gerakkan kepalanya lagi ke
depan sambil meniup. Bundaran karet mencuat keluar.
Namun bersamaan itu menderu angin kencang.
Daeng Upas berteriak nyaring. Dewi Siluman
mendengus. Raka Pradesa cepat palingkan kepalanya,
demikian juga gadis berbaju hijau yang kini telah
bangkit. Ki Buyut tampak alihkan pandangannya pada
jurusan lain. Hanya murid Pendeta Sinting yang tidak
alihkan pandangannya pada jurusan lain, malah dia
tertawa bergelak sambil berkata
"Nek! Untung kau masih mengenakan rangkapan
pakaian dalam. Jika tidak... pasti aku akan melihat
pemandangan sangat luar biasa! Nyatanya pahamu
masih mulus meski di sana-sini tampak bekas
kudisan...."
"Jahanam kurang ajar!" teriak Daeng Upas sambil
gerakkan kedua tangannya mengibaskan pakaian bagian
bawahnya yang berkibar-kibar tersapu tiupan pemuda
bertangan buntung hingga tubuh bagian bawah sampai
hampir pantat si nenek terlihat jelas.
Saat kedua tangan Daeng Upas bergerak kibaskan
pakaiannya, pemuda bertangan buntung gerakkan
kakinya ke atas. Sosok si nenek ikut bergerak ke atas.
Merasa geram dan malu, Daeng Upas cepat gerakkan
kedua tangannya sambil doyongkan tubuh ke depan.
Laiu menghantam kedua kaki si pemuda yang masih
menggapit kakinya.
WuuttU Wuuuttt!
Sejengkal lagi tangan Daeng Upas meremukkan
kedua kaki si pemuda. Pemuda ini lepaskan gapitannya.
Lalu cepat tarik pulang kakinya ke belakang dan kini
tegak memunggungi dengan bertumpu pada kedua ibu
jari kakinya!
Sementara Daeng Upas sendiri tampak tercekat.
Hantaman kedua tangannya melabrak tempat kosong.
Dan kini tubuhnya melayang deras ke bawah!
Sebenarnya Daeng Upas bukanlah orang ber-
kepandaian rendah meski selama ini dia coba sem-
bunyikan kepandaiannya pada orang lain. Malah
terhadap Dewi Siluman, anak tunggalnya sendiri dia
tidak mau menunjukkan. Namun karena saat itu hawa
kemarahan lebih memegang kendali pikirannya, maka
nenek itu tampak bisa dibuat main-main oleh pemuda
bertangan buntung.
Tapi saat tubuhnya melayang deras ke bawah, ibu
Dewi Siluman ini tidak mau berbuat ayal. Setengah
tombak lagi tubuhnya menghantam tanah, tiba-tiba ia
membuat gerakan berputar dan serta-merta lepaskan
pukulan dari atas udara pada pemuda bertangan
buntung yang kini tegak di hadapannya memunggungi!
Gelombang angin luar biasa kencang menderu
keras ke arah si pemuda. Terdengar suara duutt! duutt!
duuuttt! Tiga kali berturut-turut. Lalu sosok si pemuda
terangkat satu tombak ke uclara. Kedua kakinya
membuat sikap bersila. Lalu bergerak pulang-balik ke
depan ke belakang laksana orang berayun-ayun.
Pada saatat bersamaan, gelornbang angin melasat
susul menyusul seiring gerakan kaki si pemuda
Bummmmmm !!
Ledakan keras terdengar ketika gelombang angin
yang dilepas Daeng Upas betermu angin yang melesat
dari gerakan kaki bersila si pemuda bertangan buntung.
Daeng Upas terdorong sampai satu tombak ke
belakang, namun nenek ini mendarat di atas tanah
dengan kaki tegak meski wajahnya tampak berubah
pucat. Di depan sana, sosok pemuda bertangan
buntung terpental namun setelah membuat gerakan
berputar dua kali, dia menjejak tanah dengan tubuh
tegak bertumpu pada ibu jari kakinya! Wajahnya yang
tampan pias, gerakan kembang-kempis mulutnya yang
menyedot bundaran karet makin keras, hingga suara
Duutt! Duuutt! Duuuttt! Terdengar beberapa kali.
"Pemuda gila ini kalau dibiarkan bisa membuat
celaka!" desis Daeng Upas. Lalu nenek ini membuat
gerakan berputar-putar. Kejap itu juga dari tubuhnya
mengepul asap makin lama makin banyak dan berputar-
putar seiring putaran si nenek. Saat lain mendadak
Daeng Upas berseru keras. Asap yang berputar-putar
mengelilingi tubuhnya bergerak keluar dan berputar-
putar cepat ke arah pemuda di hadapannya.
"Kau tak akan lotos dari pukulan maut 'Angin
Keranda', Pemuda gila!" seru Daeng Upas sebutkan
pukulan yang kini melabrak ke arah si pemuda dengan
tegak kacak pinggang dan senyum menyeringai.
Si pemuda sontak putuskan sedotan mulutnya.
Sepasang matanya membeliak.
"Ha?! Kau benar-benar ingin mengambil kedua
kakiku!" ujar si pemuda dengan suara bergetar setelah
meniup hingga bundaran karet di mulutnya terapung di
depan kepalanya.
Daeng Upas tertawa mengekeh. "Bukan hanya
kakimu, tapi sekaligus selembar nyawamu!"
Sambil gelengkan kepala, si pemuda bertangan
buntung doyongkan tubuh ke belakang. Tiba-tiba tu-
buhnya disentakkan kembali ke depan.
Beeetttt!
Dari dada si pemuda melesat bongkahan awan
putih yang keluarkan suara luar biasa keras hingga
menusuk gendang telinga. Kejap kemudian tempat itu
laksana diguncang gempa hebat. Tanah bermuncratan
ke udara. Pohon-pohon di sekitarnya berderak lalu
tumbang karena tanahnya rengkah akibat guncangan.
Suara tawa Daeng Upas terputus laksana disambar
setan. Sosoknya terpental sampai dua tombak ke
belakang. Untung Ki Buyut masih sempat berkelebat dan
menahan tubuhnya hingga selamatlah tubuh si nenek
dari terjengkang roboh menghempas tanah. Namun tak
urung dari mulutnya keluar cairan merah pertanda dia
telah terluka dalam. Setelah salurkan tenaga dalamnya,
Daeng Upas segera dapat tegak kembali meski sosoknya
masih bergetar.
Di depan sana, sosok si pemuda tampak terkapar di
atas tanah. Raut wajahnya makin pias. Keringat
membasahi tubuhnya dari kepala sampai kaki. Dari
sudut mulutnya tampak pula mengalir darah. Anehnya,
bundaran karet masih tetap mengapung di udara di
tempat mana tadi si pemuda bertangan buntung tegak
berdiri!
"Huh.... Mana dotku!" tiba-tiba si pemuda meng-
gumam. Lalu mulutnya membuat gerakan menyedot.
Karet bundar yang mengapung laksana ditarik kekuatan
aneh lalu bergerak ke arah si pemuda dan kejap lain
telah berada di mulut si pemuda. Saat bersamaan,
sepasang kakinya menekuk. Sekali sentak, tubuhnya
terangkat ke atas. Terhuyung sejenak namun tak lama
kemudian diam dengan mulut mainkan karet bundar!
"Astaga! Kemana mereka?!" Tiba-tiba Ki Buyut
berbisik pada Daeng Upas yang berada di sampingnya.
Daeng Upas pentangkan matanya lalu memandang
berkeliling. Tubuhnya serentak bergetar keras. Ternyata
Pendekar 131 dan gadis berbaju hijau tidak ada lagi di
tempat itu. Pemuda berpakaian hitam-hitam berkumis
tipis pun tidak tampak lagi. Demikian juga Dewi Siluman.
"Ki Buyut! Lekas cari Durga Ratih! Kukira dia
mengikuti lenyapnya pemuda berpakaian putih tadi!
Dan jika kau berhasil menangkap pemuda itu, jangan
kau bunuh. Aku harus bicara dahulu dengannya. Aku
akan selesaikan pemuda gila buntung itu! Dia sangat
bahaya jika dibiarkan hidup!"
Tanpa berkata lagi, Ki Buyut segera berkelebat
tinggalkan tempat itu. Sebenarnya Ki Buyut tidak mau
tinggalkan tempat itu. Dia tampak meragukan kakaknya
bila berhadapan sendiri dengan pemuda bertangan
buntung. Namun karena dia tahu bagaimana sifat
kakaknya, lagi pula Dewi Siluman tidak boleh dibiarkan
pergi sendirian karena saat ini banyak tokoh-tokoh yang
muncul dan belum bisa diketahui apa tujuannya,
akhirnya kakek berjubah hitam ini berkelebat pergi.
Sepasang mata Daeng Upas menyengat pandangi
pemuda buntung, satu-satunya yang masih ada di
tempat itu. Dengan pasang tampang angker, dia
membentak.
"Gara-gara ulahmu, urusan jadi berantakan! Aku tak
akan tinggalkan tempat ini sebelum membuatmu
mampus tiga kali!"
"Ah. Rupanya kau tahu jika aku punya nyawa rangkap
tigal Tapi sayang hari ini aku tidak suka berbagi nyawa
denganmu meski satu pun!" jawab si pemuda.
Habis berkata begitu, sosoknya melenting satu
tombak ke udara. Dengan gerak cepat, kakinya bersila
ke bawah, lalu diayunkan ke depan.
Gelombang angin menderu cepat, bukan langsung ke
arah Daeng Upas, melainkan yang dituju adalah tanah di
depan si nenek. Namun Daeng Upas ternyata salah
duga. Dia mengira si pemuda menyerang ke arahnya,
hingga dengan menggembor keras dia sentakkan kedua
tangannya memapak gelombang angin yang datang.
Bummm!
Tanah terbongkar muncrat ke udara. Saat itulah baru
si nenek sadar. Dia cepat angkat tangannya kembali dan
didorong ke arah depan. Namun tangan si nenek
tertahan di udara. Karena sepasang matanya tidak
menangkap lagi sosok pemuda bertangan buntung!
"Jahanam keparat!" maki Daeng Upas sambil banting-
kan kaki. Kepalanya lalu didongakkan, mulutnya terbuka
berteriak.
"Pemuda buntung gila! Kau adalah tambahan korban
yang harus mampus di tanganku!"
Habis berteriak, kedua tangannya yang berada di
udara disentakkan ke depan dengan tampang membesi
dilanda hawa amarah. lagi
Yang jadi sasaran kemarahannya adalah pohon-
pohon di depan sana. Pohon-pohon itu berkeretekan lalu
perlahan-lahan tumbang perdengarkan suara berdebam-
debam. Daun dan tanah yang tertimpa pohon bertabur
ke udara. Saat suasana lengang kembali, sosok Daeng
Upas tidak terlihat lagi di tempat itu.
* * *
DUA
KITA tengok sejenak apa yang terjadi dengan
Pendekar 131 hingga tiba-tiba lenyap. Saat Daeng Upas
lepaskan pukulan 'Angin Keranda' dan pemuda buntung
memangkas dengan sentakkan tubuhnya ke depan,
semua orang di tempat itu terkesima dan memandang
tak berkesip. Saat itulah satu bayangan berkelebat
cepat. Dan laksana elang si bayangan menyambar sosok
murid Pendeta Sinting. Begitu cepatnya gerakan si
bayangan, Pendekar 131 sendiri baru sadar jika
tubuhnya disambar orang tatkala sudah berada kira-kira
tujuh tombak dari tempatnya semula!
Gadis berbaju hijau yang berada di samping sebelah
kanan murid Pendeta Sinting merasakan desiran angin
halus. Saat dia berpaling, dia masih sempat menangkap
kelebatan orang. Ketika dia tidak melihat lagi Pendekar
131, gadis berbaju hijau ini cepat pula putar diri
setengah lingkaran lalu berkelebat ke arah perginya si
bayangan.
Pada saat itulah, Raka Pradesa melihat gerakan si
baju hijau. Dan ketika matanya tidak menangkap sosok
Pendekar 131, pemuda berpakaian hitam-hitam ini
merasa curiga. Tanpa pikir panjang lagi dia segera
menghambur ke arah perginya si gadis berbaju hijau.
Melihat Raka Pradesa berkelebat pergi, Dewi Siluman
yang berada tidak jauh kernyitkan dahi. Dia sebenarnya
tidak akan menghalangi perginya pemuda berpakaian
hitam-hitam berkumis tipis ini, karena dia menduga
pemuda ini tidak artinya. Namun tatkala matanya melirik
dan tidak mendapati Pendekar 131 dan gadis berbaju
hijau, perempuan anak kandung Daeng Upas ini segera
menyusul ke arah berkelebatnya Raka Pradesa.
Ki Buyut tidak hiraukan berkelebatnya Dewi Siluman,
karena saat itu sosok Daeng Upas tampak mencelat ke
belakang, membuatnya harus segera selamatkan kakak
kandungnya
Pada satu tempat yang ditumbuhi rangasan semak
belukar lebat yang di sana-sini banyak jalan setapak
yang berkelok dan bersimpang-simpang, satu bayangan
hentikan larinya. Dia menoleh sejenak kebelakang. Lalu
melirik pada sosok tubuh yang ada di pundak kanannya.
Orang yang memanggul sosok di pundaknya ini
adalah seorang perempuan berambut panjang yang
digelung ke belakang. Rambutnya diberi pewarna hitam
berkilat-kilat. Dia mengenakan pakaian panjang
berwarna coklat hampir menutupi sekujur tubuhnya.
Wajahnya sulit dikenali, karena ditutup dengan bedak
tebal. Alis matanya disaput pewarna hitam dan tebal.
Kelopak matanya sebelah atas diberi warna hijau merah.
Bibirnya dipoles merah menyala.
"Hai! Hendak kau bawa ke mana aku? Kenapa kau
menculikku?!" Orang di panggulan perempuan berbedak
tebal buka mulut. Dia bukan lain adalah murid Pendeta
Sinting.
Orang yang ditegur tidak menjawab. Dia hanya
palingkan mukanya sejurus. Pendekar 131 terlengak
melihat raut wajah orang. Hingga tak lama kemudian dia
berkata lagi.
"Hai! Siapa kau?! Turunkan aku!"
Meski mulut murid Pendeta Sinting membuka
keluarkan teguran, namun sebenarnya dalam hati
dia membatin sendiri. "Celaka! ini manusia apa hantu
perempuan?! Apa tujuannya?!"
Karena tidak ada sahutan, untuk kesekian kalinya
Joko buka mulut.
"Hai! Harap...."
Perempuan berbedak tebal berpaling. Sepasang
matanya menatap pada murid Pendeta Sinting.
Mulutnya yang merah menyala bergerak membuka.
"Harap tidak bertanya dahulu! Nanti semuanya
akan kujelaskan! Bahaya masih mengikuti!"
"Tapi harap kau turunkan aku!"
Mulut yang dipoles merah menyala bergerak
sunggingkan senyum. Lalu kepalanya menggeleng
pelan. "Meski kau tidak merasakan sakit lagi, tapi untuk
sementara ini kau belum bisa salurkan tenaga dalammu,
Anak Muda. Padahal bahaya belum lenyap. Apa yang
hendak kau andalkan menghadapi bahaya saat ini?"
Joko Sableng terdiam karena ucapan perempuan
berbedak tebal betul adanya. Namun karena merasa
jengah berada di pundak perempuan, murid Pendeta
Sinting berujar.
"Tapi kuharap kau turunkan tubuhku. Untuk berjalan
saja aku masih mampu!"
Kepala perempuan berbedak tebal kembali
menggeleng “Saat Ini bukan saatnya berjalan-jalan!
Kita harus bergerak cepat"
Selagi perempuan berbedak tebal berkata, Joko
coba gerakan tubuhnya, tapi dia melengak. Ternyata
tubuhnya tegang tak bisa digerakkan.
“Kau menotokku" Kata Pendekar 131.
"Maaf itu harus kulakukan! Keadaanlah yang meng-
haruskan demikian! Harap tidak berburuk sangka!
Karena jika mau, saat ini juga aku bisa berbuat apa saja
terhadapmu!"
Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal
berpaling ke belakang, lalu kejap lain dia berkelebat
menyelinap di balik semak belukar.
Joko pentangkan sepasang matanya. Mulutnya
hendak bicara lagi. Namun sebelum suaranya terdengar,
si perempuan telah mendahului.
"Jangan banyak bicara dahulu. Jika tidak, terpaksa
aku menghentikan jalan suaramu!"
Ucapan bernada ancaman si perempuan membuat
murid Pendeta Sinting kancingkan mulutnya lagi, meski
dalam hati makin banyak dibuncah berbagai pertanyaan.
Saat itulah tiba-tiba satu bayangan hijau hentikan
larinya tak jauh dari tempat di mana tadi perempuan
berbedak tebal berhenti. Ternyata dia adalah gadis
muda berparas cantik yang mengenakan baju warna
hijau. Dia sejenak palingkan kepala ke kanan kiri dengan
mata liar memperhatikan berkeliling.
"Ke mana dia? Apa aku harus teruskan perjalanan ke
tempat yang ditentukan? Ah. Tak kusangka jika ada
halangan! Hingga perjalananku terhambat. Untung dia
segera datang.... Tapi sekarang aku harus bagaimana?
Kulihat pemuda berbaju hitam-hitam itu mengikutiku!
Meski dia mengatakan sahabat pada pemuda berbaju
putih, tapi aku belum yakin benar!" gumam gadis
berbaju hijau. Setelah berpikir sejenak, gadis ini segera
berkelebat. Namun langkahnya tertahan tatkala dari
rumpun semak belukar terdengar suara halus.
"Aku di sini.... Cepat kau ke sini!"
Gadis berbaju hijau tersentak namun menarik napas
lega, karena dia mengenali suara orang. Hanya untuk
beberapa saat dia masih tegak tidak menuruti ucapan
suara halus. Karena ternyata suara halus itu seperti
terdengar dari empat penjuru angin, hingga si gadis
tidak dapat menentukan di mana adanya orang
keluarkan suara.
Melihat hal ini, dari semak belukar kembali terdengar
suara halus.
"Aku berada di sebelah kananmu. Cepat!"
Gadis berbaju hijau melirik ke kanan, lalu berkelebat
menyelinap. Di antara rumpun semak belukar, dia
melihat seorang perempuan berbedak. Dia hendak buka
mulut. Namun diurungkan tatkala dilihatnya perempuan
berbedak tebal gelengkan kepala.
Pendekar 131 sipitkan matanya, diam-diam dia
membatin. "Adakah perempuan ini yang dimaksud
gadis berbaju hijau dengan ucapannya sesaat yang
lalu?" Sebenarnya dia ingin mengutarakan isi hatinya,
namun saat teringat pada ancaman perempuan
berbedak tebal, dia urungkan maksudnya.
Saat itulah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat.
Namun sampai jalan setapak yang bersimpangan, dia
berhenti. Kepalanya bergerak ke kiri kanan. Lalu
terdengar dia bergumam.
"Kemana gadis itu? Dia lenyap seperti ditelan bumi.
Padahal tentu belum jauh dari sini! Sial! Gara-gara
banyaknya simpang Jalan dan rumpun semak belukar,
aku jadi kehilangan jejaki"
Orang ini yang tidak lain adalah Raka Pradesa
perhatikan rangasan semak belukar di kanan kirinya
dengan mata mendelik seolah hendak menembusi
lebatnya semak belukar. Namun sejauh ini dia tak
dapat menemukan gadis berbaju hijau yang diikutinya.
Setelah agak lama, akhirnya dia memutuskan
mengambil jalan setapak yang ke arah selatan. Namun
baru saja tubuhnya hendak berkelebat, satu suara
membuat gerakannya tertahan.
"Berhenti!"
"Celaka! Mendengar suaranya, pasti dia Dewi
Siluman!" gumam Raka Pradesa. "Keselamatan Pendekar
131 lebih penting. Perempuan Itu tak perlu dilayani!"
Raka Pradesa tak hiraukan teriakan orang. Dia segera
berkelebat. Namun baru saja tubuhnya bergerak, satu
bayangan berkelebat melewati dan tahu-tahu di
hadapannya telah tegak perempuan bercadar dan
berjubah hitam yang tidak lain Dewi Siluman adanya!
"Aku cuma akan bicara sekali!" kata Dewi Siluman
seraya menatap tajam. "Pasang telinga baik-baik! Lalu
jawab dengan jujur! Dibawa ke mana pemuda yang kau
katakan sahabatmu itu?!"
Raka Pradesa tampak sedikit terkejut. Namun tak lama
kemudian tersenyum. Sambil balik memandang bola
mata sang Dewi yang tampak dari lobang cadar
hitamnya, Raka Pradesa buka mulut menjawab.
"Katakan dulu apa maksudmu mengejar sahabatku
itu!"
Dewi Siluman tidak segera memberi jawaban,
membuat Raka Pradesa berujar.
"Jangan-jangan kau tertarik padanya! Benar..,?!"
Sepasang mata Dewi Siluman membesar. Rahang di
balik cadarnya mengembung, kedua tangannya
mengepal dan bergetar. Namun yang kemudian
terdengar adalah suara tawanya yang mengekeh
panjang!
"Aku memang tertarik...," kata Dewi Siluman,
membuat raut wajah Raka Pradesa berubah. "Bukan
pada tubuhnya, melainkan pada selembar nyawanya!"
"Apa di antara kau dan dia ada sengketa?!"
"Hem.... Jangan-jangan kau bukan sahabatnya! Jika
benar sahabatnya pasti kau tahu apa masalahnya hingga
aku tertarik nyawanya! Kau telah berani mendustaiku!"
"Kau jangan salah sangka. Meski kami bersahabat,
namun urusan pribadi tidak pernah kami bicarakan!
Tentu antara kau dan dia ada masalah pribadi!"
Dewi Siluman kembali tertawa mengekeh mendengar
ucapan Raka Pradesa. Puas tertawa perempuan
bercadar dan berjubah hitam ini berkata.
"Urusanku dengannya lebih daripada urusan pribadi!"
"Aku tak mengerti maksudmu!"
"Kau memang belum saatnya mengerti! Sekarang
jawab pertanyaanku tadi!"
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, karena kau
dan aku bernasib sama! Kehilangan jejak!"
"Melihat sikapnya, kali ini kata-katanya mungkin
benar! Namun pemuda ini belum mengatakan siapa dia
sebenarnya. Padahal dia tahu banyak tentang diriku!
Malah tentang ibuku! Aku harus tahu siapa dia!"
membatin Dewi Siluman. Seperti diketahui, Raka
Pradesa telah dapat menebak dengan tepat siapa
adanya Dewi Siluman, malah juga tentang Ibunya
meski saat itu Raka Pradesa belum sempat mengu-
capkan karena buru-buru dipotong ucapannya oleh
Dewi Siluman yang takut rahasianya diketahui orang.
(Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode: "Gerbang Istana Hantu").
"Pemuda berpakaian hitam!" kata Dewi Siluman.
"Kau telah dapat mengetahui siapa aku meski kita belum
pernah bertemu. Sekarang aku tanya padamu. Siapa
gadis berbaju hijau yang membawa sahabatmu itu?!
Katakan juga siapa kau adanya!"
Raka Pradesa tersenyum. Setelah terdiam agak lama
akhirnya dia menjawab.
"Namaku Raka Pradesa. Aku hanyalah anak seorang
petani biasa. Hanya karena aku suka keluyuran, maka
sedikit banyak aku tahu siapa tokoh-tokoh terkenal
dalam rimba persilatan! Meski aku tahu hanya dari ciri-
cirinya saja!"
Dewi Siluman kernyitkan dahi di balik cadarnya. Lalu
berujar. "Lalu siapa gadis berbaju hijau itu?!"
"Terus terang. Aku tidak mengenalinya!"
"Begitu? Lalu dari siapa kau mengetahui diriku juga
ibuku?!"
"Seperti kataku tadi. Aku adalah orang yang suka
keluyuran. Aku suka bertanya pada setiap orang yang
kutemui. Jadi aku lupa dari siapa aku mendengar ciri-ciri
serta ceritamu!"
"Hem.... Selama ini hanya beberapa orang saja yang
mengetahui keberadaan ibuku. Adalah hal mustahil jika
orang jalanan dapat mengetahuinya!" pikir Dewi
Siluman. "Pemuda ini berkata bohong!"
Berpikir begitu, anak Daeng Upas ini lalu berkata
keras.
"Kau telah berani bohong padaku!" lagi
Kening Raka Pradesa mengernyit. "Bagaimana kau
bisa menuduhku demikian?"
Dewi Siluman tertawa pelan. "Siapa aku lebih-lebih
Ibuku, hanya beberapa orang saja yang tahu. Adalah
tidak masuk akal jika orang jalanan mengetahuinya! Kau
menyembunyikan sesuatu. Kau tidak berterus terang
katakan siapa dirimu!"
"Ah. Itu terserah penilaianmu! Yang penting memang
begitulah kenyataannya!"
"Kau masih belum mau terus terang?!" kata Dewi
Siluman setelah agak lama terdiam.
"Aku telah katakan terus terang!"
Di balik cadarnya, Dewi Siluman menyeringai.
"Aku bertanya sekali lagi. Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku telah mengatakannya padamu!"
Habis berkata begitu Raka Pradesa melangkah
hendak tinggalkan tempat itu. Namun baru satu
langkah, Dewi Siluman telah membentak garang.
"Kau bisa tinggalkan tempat ini, tapi tanpa
nyawamu!"
Ucapan Dewi Siluman membuat Raka Pradesa
menjadi geram. Dia berpaling dengan mata menatap
tajam. Kalau perturutkan hati, ingin rasanya dia balas
membentak meladeni perempuan bercadar dan
berjubah hitam itu. Namun setelah berpikir agak
panjang, akhirnya dia hanya tersenyum dingin, Lalu
tanpa berkata-kata lagi, putar tubuh setengah lingkaran
dan melangkah tinggalkan tempat itu
Sikap Raka Pradesa membuat Dewi Siluman naik
pitam. Tanpa didahului kata-kata, kedua tangannya
diangkat lalu lepaskan satu pukulan jarak |auh.
Terdengar satu deruan. Kejap lain satu gelombang
angin keras melesat ke arah Raka Pradesa.
"Dia tampaknya tidak main-main dengan ancam-
annya!" gumam Raka Pradesa lalu segera berkelebat
selamatkan diri.
"Hem.... Tampaknya kau menyimpan kepandaian
juga!" desis Dewi Siluman lalu merangsek ke depan.
Kedua tangannya langsung lepaskan jotosan ke arah
kepala si pemuda.
Meski pada mulanya Raka Pradesa tidak bermaksud
meladeni, namun karena saat itu Dewi Siluman telah
lancarkan pukulan, mau tak mau Raka Pradesa segera
pula angkat kedua tangannya.
Dess! Desss!
Dua pasang tangan beradu keras. Dewi Siluman
membeliak dengan raut di balik cadarnya berubah.
Dari bentrokan tadi, sang Dewi benar-benar yakin jika
pemuda di hadapannya tidak seperti apa yang diduga.
"Harap kau tidak memaksakan kehendak! Aku tak
ingin membuat silang sengketa denganmu!" ujar Raka
Pradesa sambil kibaskan kedua tangannya yang baru
saja bentrok. Setelah menatap sekilas pada Dewi
Siluman, pemuda berpakaian hitam-hitam ini hendak
pergi.
Tapi untuk kesekian kalinya gerakan Raka Pradesa
tertahan, karena saat itu tampak melesat satu kabut
hitam membawa serta gelombang angin dahsyat. Dewi
Siluman tampaknya telah lepaskan pukulan 'Kabut
Neraka'.
Seakan tahu kehebatan pukulan sang Dewi, Raka
Pradesa tak mau bertindak ayal. Dia cepat tarik kedua
tangannya ke belakang. Lalu serta-merta didorong ke
depan.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dua gelombang angin laksana suara gemuruh
gelombang laut melabrak ganas ke depan.
Blammm!
Tempat itu berguncang keras. Rangasan semak
belukar yang berada di sekitar tempat itu terabas ra-ta.
Sosok Raka Pradesa terdorong deras ke belakang.
Tubuhnya berguncang-guncang hendak jatuh. Namun
saat tubuhnya hendak roboh terjengkang, dia membuat
gerakan berputar. Kejap lain sosoknya kembali tegak
meski dengan raut berubah dan tangan bergetar. Di
depan sana, sosok Dewi Siluman hanya tersurut tiga
langkah. Namun tak urung juga raut di balik cadarnya
berubah.
"Setan!" maki Dewi Siluman geram mengetahui
pukulan 'Kabut Neraka' yang dilepaskannya bisa ditahan
lawan. Tanpa pikir panjang lagi, sepasang mata Dewi
Siluman bergerak membesar. Saat lain sepasang kakinya
menghentak tanah.
"Sinar Setan!" terdengar gumaman dari balik semak
belukar.
Di depan, tiba-tiba satu sinar hitam melesat dari
sepasang mata Dewi Siluman menghantam tanah lima
langkah di depannya. Bersamaan dengan itu, tanah yang
terhantam sinar hitam rengkah dan rengkahan itu terus
bergerak cepat ke arah Raka Pradesa. Inilah pertanda
jika Dewi Siluman telah lepaskan pukulan 'Sinar Setan'.
Di hadapannya, Raka Pradesa tampak tercekat.
Sejenak dia tampak bimbang, namun kejap lain dia
angkat kedua tangannya. Namun belum sampai kedua
tangannya lakukan gerakan menyentak, dari arah
rimbun semak belukar melesat satu gelombang angin
dahsyat. Sosok Raka Pradesa terpental ke samping
kanan. Lalu terdengar suara ledakan keras. Rengkahan
tanah akibat pukulan 'Sinar Setan' yang dilepas Dewi
Siluman terhenti seketika!
*
* *
TIGA
SATU sosok tubuh tegak lima langkah di samping
tanah yang rengkah. Kedua tangannya ditarik pulang ke
belakang lalu diluruhkan. Sosoknya tampak sedikit
bergetar, pertanda dia baru saja lepaskan pukulan
dengan mengerahkan tenaga dalam kuat.
Dia adalah seorang perempuan yang mukanya diberi
bedak tebal hingga tidak bisa dikenali. Rambutnya
digelung ke belakang. Bibirnya dipoles merah menyala.
Orang ini mengenakan pakaian panjang berwarna
coklat.
Sementara itu bersamaan dengan terdengarnya
ledakan keras, sosok Dewi Siluman tersapu sampai dua
tombak ke belakang. Sepasang matanya menyipit
membesar. Selain merasakan sakit di sekujur tubuhnya
juga hampir tak bisa mempercayai pukulan sakti yang
dilepasnya tadi dapat dipangkas dengan mudah.
"Keparat! Siapa kau?!" bentak Dewi Siluman setelah
dapat kuasai diri seraya menatap tak berkesip pada
perempuan berbedak tebal.
Perempuan berbedak tebal arahkan pandangannya
sejurus pada Raka Pradesa. Lalu memandang pada Dewi
Siluman. Bibirnya yang merah menyala membuka.
"Durga Ratih.... Jangan memaksakan hati. Dan
tinggalkan tempat ini dengan baik-baik! Jika mau ku-
sarankan, jangan kau perturutkan kemauan. Kau tidak
akan mendapatkan apa-apa...."
Wajah di balik cadar Dewi Siluman seketika berubah.
Sepasang matanya makin mendelik mendapati orang di
hadapannya tahu siapa dirinya.
"Perempuan! Aku bertanya. Tidak butuh saran!" kata
Dewi Siluman setengah berteriak. Dadanya tampak
bergerak turun naik dengan keras.
"Di sini kurasa bukan tempat yang baik untuk
bertanya jawab! Harap kau bersabar. Kelak kau tentu
akan mendapat jawaban pasti...."
Dewi Siiluman perdengarkan dengusan keras.
Rupanya dia tak dapat menahan kesabaran. "Tam-
paknya kau ingin mampus tanpa dikenali!"
Sosok Dewi Siluman berkelebat. Kedua tangannya
kirimkan pukulan ke arah kepala perempuan berbedak
tebal. Dua gelombang angin menderu mendahului
tangan yang memukul, jelas jika sang Dewi kerahkan
hampir segenap tenaga luar dan dalamnya.
"Ah. Rupanya kau keras kepala seperti ibumu!"
gumam perempuan berbedak tebal lalu kelebatkan
tangan kanannya ke samping.
Buukkk! Etauukkk!
Dewi Siluiman berseru tertahan. Sosoknya terhuyung
ke san iping dan terjajar sampai satu tombak. Kejap lain
tubuhnya roboh dengan pinggang menghantam tanah
terlebih dahulu. Kedua tangannya yang baru saja
tersapu tangan kanan perempuan berbedak tebal
bergetar keras. Dan saat Dewi Siluman memeriksa,
matanya membelalak. Jubah bagian lengannya robek
dengan kulit memerah di baliknya!
"Jahanam! Kubunuh kau!" teriak Dewi Siluman.
Laksana terbang perempuan bercadar dan berjubah
hitam ini bangkit dan melesat ke arah perempuan
berbedak tebal. Kedua tangannya bergerak lepas-
kan pukulan 'Kabut Neraka’.
Namun belum sempat kabut hitam melesat keluar
dari kedua tangannya, tiba-tiba kedua tangan sang Dewi
tersentak mental ke belakang. Di saat lain tubuhnya
terdorong keras dan terjengkang jatuh di atas tanah!
Sepuluh langkah di hadapan Dewi Siluman,
perempuan berbedak tebal tarik kedua tangannya
yang baru saja mendorong dengan telapak terbuka.
Dari lehernya terlihat butiran keringat. Pakaiannyapun
basah. Jelas walaupun hanya mendorongkan kedua
tangan, namun hal itu dilakukan dengan pengerahan
tenaga dalam.
"Durga Ratih...," kata perempuan berbedak tebal.
"Turuti ucapanku atau kau akan mendapat celaka
sendiri!"
Dengan menahan marah dan sakit, Dewi Siluman
perlahan-lahan bangkit. Menatap tajam pada perempuan
di hadapannya.
"Kau!" ujarnya. "Jangan mimpi urusan ini selesai
sampai di sini!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman putar diri lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu.
Perempuan berbedak tebal memperhatikan kepergian
Dewi Siluman dengan gelengkan kepala dan
menggumam tak jelas.
"Terima kasih atas pertolonganmu...," kata Raka
Pradesa lalu sedikit bungkukkan tubuh.
Perempuan berbedak tebal berpalinq. Sepasang
matanya memandang lekat-lekat pada pemuda
berpakaian hitam-hitam dari ujung rambut sampai
kaki.
"Anak cantik...," ujar si perempuan dengan suara
pelan. "Apa benar kau mencari sahabatmu?!"
Wajah Raka Pradesa seketika berubah. Dadanya
berdebar. Mulutnya hendak membuka untuk bicara.
Namun kejap lain kembali terpancing. Hanya sepasang
matanya yang kini menatap tak berkesip pada
perempuan berbedak tebal.
"Anak cantik.. Kau belum menjawab pertanyaanku...."
Raka Pradesa belum juga buka mulut. Sebaliknya
sepasang matanya memperhatikan dirinya sendiri,
seolah ada yang tidak beres. Perempuan berbedak tebal
sunggingkan senyum.
"Keadaanmu tidak ada yang berubah. Hanya tutup
tipis di wajah dan kumis di atas bibirmu yang membuat
kau tampak beda...."
Raka Pradesa terkesiap. Kali ini pemuda berkumis
tipis ini tidak dapat lagi menyembunyikan rasa kagetnya.
Malah jika di belakangnya tidak ada tanah yang rengkah
akibat pukulan 'Sinar Setan' Dewi Siluman, niscaya dia
akan surutkan langkah ke belakang!
"Dia.... Dia tahu siapa diriku...," kata Raka Pradesa
dalam hati. Lalu dengan suara agak gemetar dia
berucap.
"Siapa kau sebenarnya...?"
Perempuan berbedak tebal kembali tersenyum.
Sambil arahkan pandangannya ke jurusan lain dia
berkata.
"Seperti kukatakan pada Durga Ratih tadi, di sini
bukan tempat yang baik untuk bertanya jawab. Kau
juga harap bersabar. Dan sekarang jawab pertanya-
anku!"
Meski dadanya masih dibuncah dengan berbagai
pertanyaan, setelah berpikir sejenak, Raka Pradesa
akhirnya buka mulut menjawab.
"Aku memang mencari sahabatku...."
"Siapa...?"
"Pemuda bernama Joko Sableng bergelar Pendekar
Pedang Tumpul 131...."
"Kenapa kau mencarinya kemari?"
Setelah agak lama terdiam, Raka Pradesa menjawab.
"Aku hanya menduga-duga...."
"Hem.... Berarti kau tidak tahu pasti ke mana sa-
habatmu itu pergi."
"Benar...!"
"Bagaimana bisa begitu?" tanya perempuan berbedak
tebal sambil menatap kembali ke arah si pemuda.
"Dia dalam keadaan terluka. Aku menduga dia
dilarikan seseorang! Tapi sayang aku kehilangan jejak!"
"Kau begitu mengkhawatirkan keadaannya. Kau
tertarik padanya?"
Mendengar pertanyaan perempuan, untuk kesekian
kalinya paras wajah Raka Pradesa kembali berubah.
Untuk beberapa saat pemuda ini terdiam. Namun
setelah dapat kuasai diri, ia berucap. Tapi sebelum
suaranya terdengar, perempuan berbedak tebal telah
mendahului berkata.
"Anak cantik. Kau tak usah mengkhawatirkan
sahabatmu itu. Dia baik-baik saja. Sekarang pulanglah!
Suatu saat pasti kau akan jumpa lagi dengan sahabatmu
itu."
"Aku tahu dia teriuka. Bagaimana kau bisa me-
ngatakan dia baik-baik saja?"
"Dia memang terluka. Tapi akan segera baik kembali.
Jelas?!"
"Hai! Jangan-jangan kau yang membawanya! Dimana
dia sekarang?!"
Perempuan berbedak tebal putar diri. Lalu berujar
pelan.
"Aku tak dapat mengatakan padamu. Aku harus
segera pergi...."
"Tunggu!" seru Raka Pradesa menahan gerak langkah
perempuan berbedak tebal.
"Dengar, Anak cantik. Kau tak ingin kehilangan
sahabatmu itu bukan?" kata perempuan berbedak tebal
mendahului bicara tanpa berpaling.
"Apa maksud ucapanmu?!"
"Sahabatmu harus cepat mendapat pertolongan. Jika
tidak, kau tahu sendiri apa yang akan terjadi
menimpanya!"
"Tapi...." Raka Pradesa tak kuasa teruskan
ucapannya.
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala.
"Tabahkan hati. Untuk sementara ini biar sahabatmu
berada di tanganku! Kau pulanglah!"
Raka Pradesa tegak dengan tubuh gemetar. Se-
mentara perempuan berbedak teruskan langkah. Tiba-
tiba Raka Pradesa meloncat dan tegak menghadang.
"Kau belum mengatakan siapa dirimu. Bagaimana
aku bisa mempercayai kata-katamu?!"
"Aku tak dapat mengatakannya saat ini. Tapi yang
jelas aku tahu siapa dirimu! Dan jika kau kunasihati,
tanggalkan penyamaranmu. Karena tak jarang
penyamaran hanya mendatangkan rasa kecewa.... Lebih
baik berterus teranglah, lebih-lebih dalam
penampilanmu!"
"Perempuan ini tahu banyak tentang diriku. Siapa dia
sebenarnya? Kenapa dia menasihatiku demikian?
Apakah...." Raka Pradesa tak teruskan membatin,
karena saat dia memandang ke depan, perempuan
berbedak tebal telah jauh dari tempatnya berdiri.
"Aku harus menyelidik. Aku ingin buktikan kebenaran
ucapannya!" Ratai Pradesa segera melesat menyusul
perempuan berbedak tebal.
Merasa diikuti, perempuan berbedak tebal segera
berkelebat. Dan pada satu tempat, dia menyelinap, lalu
berlari balik ke arah mana dia tadi berada.
"Heran. Baru saja di.a di tempat ini. Tapi lenyap ke
mana dia?!" gumam Raka Pradesa begitu berada pada
satu tempat dan maitanya tidak lagi menangkap sosok
perempuan berbedak tebal yang dikejar.
"Joko.... Joko...." Tanpa sadar Raka Pradesa
menggumam dengan suara serak. "Di mana' kau se-
karang? Apakah benar ucapan perempuan tadi bahwa
kau akan segera baik? Apakah kau tahu jika aku
adalah..," gumaman pemuda berkumis tipis ini terhenti.
Tangan kiri kan annya terangkat dan menakup
wajahnya. Setelah agak lama dan kedua tangannya
diturunkan, tampak sepasang matanya sedikit ber-
kaca-kaca. Dia menarik napas dalam dan panjang
berulangkali. Lalu dengan dada diselimuti berbagai
buncahan perasaan, dia melangkah perlahan me-
ninggalkan tempat itu.
Sementara di balik rimbun semak belukar tidak
jauh dari tempat terjadinya perkelahian tadi, perempuan
berbedak tebal melangkah ke arah gadiis berbaju hijau
yang jongkok di samping sosok Pendekar 131 yang
menggeletak di atas tanah diam tak bisa bergerak dan
bersuara.
"Maaf, Anak muda. Hal itu harus kulakukan demi
kebaikanmu!" ujar perempuan berbedak tebal seraya
tekankan jari telunjuknya pada dua urat besar di leher
murid Pendeta Sinting, lepaskan totokan yang membuat
Joko tak dapat bicara.
Begitu perempuan berbedak tebal tarik pulang jari
telunjuknya, Joko Sableng segera berkata.
"Aku tadi mendengar suara sahabatku. Ke mana
dia sekarang? Apa sebenarnya yang terjadi?!"
"Kita tak punya waktu berlama-lama di sini! Nanti saja
kuceritakan!" kata perempuan berbedak tebal. Lalu
bungkukkan sedikit tubuhnya. Saat dia tegak kembali,
sosok Pendekar 131 telah berada di pundak kirinya.
Karena saat itu murid Pendeta Sinting dalam keadaan
tertotok, maka dia tak bisa berbuat banyak. Malah
karena menduga kedua perempuan itu benar-benar
ingin menolongnya, dia tak buka mulut lagi saat
perempuan berbedak tebal berkelebat dan diikuti oleh
gadis berbaju hijau.
*
* *
EMPAT
MURID Pendeta Sinting tidak tahu sudah berapa lama
dia berada di tempat itu. Yang dia tahu, saat dia buka
kelopak matanya, tubuhnya sudah dapat digerakkan
lagi. Malah ketika dia coba salurkan tenaga dalamnya,
rasa sakit tidak lagi terasa.
"Ke mana perempuan berdandan seronok itu? Gadis
berbaju hijau pun tidak kelihatan!" desis Joko lalu
memandang berkeliling. Dia dapatkan dirinya berada
pada satu ruangan batu yang lima belas langkah di
hadapannya tampak sebuah lobang pintu. Memandang
jauh keluar kelihatan rimbun dedaunan dan jajaran
pohon.
Yakin tidak ada orang di ruangan itu, perlahan-lahan
Pendekar 131 melangkah menuju lobang pintu. Namun
baru dua tindak, satu bayangan berkelebat dan tahu-
tahu sesosok tubuh telah tegak di balik lobang pintu.
Joko jerengkan sepasang matanya memandang
tak berkesip. Sosok itu adalah seorang perempuan
mengenakan pakaian panjang warna coklat. Wajahnya
tertutup bedak tebal.
"Ah, dia...," gumam murid Pendeta Sinting mengenali
siapa adanya orang. Lalu bungkukkan sedikit tubuh
sambil berujar.
"Meski kau belum sebutkan siapa dirimu, aku
mengucapkan terima kasih. Karena kau yang telah
menolongku...."
Perempuan berbedak tebal tersenyum. Diam-diam dia
membatin. "Pemuda menarik. Tak heran Jika gadis-gadis
banyak menyukainya. Hanya sayang bila dia salah
jalan...."
"Anak muda. Kuharap kau sudah agak baik...," ujar
perempuan berbedak tebal setelah terdiam agak lama.
"Berkat pertolonganmu. Sekali lagi kuucapkan terima
kasih...." Murid Pendeta Sinting menatap lekat-lekat
pada perempuan di hadapannya. "Harap kau sudi
sebutkan diri...."
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala.
"Saat ini aku belum bisa turuti permintaanmu. Tapi
percayalah, suatu saat nanti kau tentu akan menge-
tahuinya. Sekarang kau cukup mengenaliku
sebagaimana kau lihat...."
Pendekar 131 menghela napas panjang. "Kau
telah berjanji hendak menceritakan sahabatku pemuda
berpakaian hitam-hitam tempo hari...."
Sepasang mata di bawah kelopak yang diberi warna
hijau dan merah milik perempuan berbedak tebal tak
berkesip pandangi Joko seakan baru saja melihat.
"Dia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian
hitam-hitam sahabatnya itu. Hem.... Tapi tak baik aku
ikut campur urusan ini. Biarlah kelak dia yang akan tahu
sendiri!" kata perempuan berbedak tebal dalam hati.
Lalu penuhi permintaan Joko menceritakan pemuda
berpakaian hitam-hitam yang bukan lain adalah Raka
Pradesa.
"Kau tak usah cemas. Dia dalam keadaan baikbaik...,"
kata perempuan berbedak tebal mengakhiri ceritanya.
Joko menganggukkan kepalanya. Dia menarik napas
lega. Karena dia tahu dari sikap Raka Pradesa jelas jika
pemuda berkumis tipis ini hendak berusaha
menolongnya tempo hari meski usahanya tidak
berhasil.
"Sekarang aku tanya padamu, Anak Muda. Kenapa
kau berusaha masuk Istana Hantu...?" tanya perempuan
berbedak tebal masih dengan menatap tak berkesip.
Joko terkesiap tak menduga jika si perempuan tahu
apa yang dilakukannya tempo hari. Namun sejauh ini dia
belum mengatakan apa tujuannya, karena meski
perempuan berbedak tebal telah menolongnya, tapi dia
belum dapat meraba apa tujuan sebenarnya si
perempuan. Lebih-lebih si perempuan tidak mau
sebutkan dirinya dan menyembunyikan wajah di balik
bedak tebal agar tidak mudah dikenali.
Seakan tahu apa yang terpikir oleh murid Pendeta
Sinting, perempuan berbedak tebal tersenyum dan
berkata.
"Kalau kau ragu mengatakannya karena menaruh
curiga padaku, aku tak memaksa. Namun satu hal yang
harus kau perhatikan, jangan kau terseret mengikuti
ucapan orang. Karena bukan saja kau akan mendapat
kecewa, tapi mungkin akan membuatmu sengsara!"
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Dia teringat
akan ucapan Raja Tua Segala Dewa. "Meski kata-
katanya lain, tapi nada maksudnya sama! Apa dia tahu
banyak tentang Istana Hantu?"
"Apakah kau tahu siapa gerangan penghuni Istana
Hantu?!" tanya Joko pada akhirnya.
"Sampai sekarang siapa penghuni istana itu masih
jadi teka-teki. Tapi aku punya seorang sahabat yang
mungkin bisa menjawab pertanyaanmu...."
"Siapa dia?" sahut Joko Sableng cepat.
"Kau harus mengatakan dulu apa tujuanmu hendak
memasuki Istana Hantu!"
"Tiga sahabatku dikabarkan lenyap begitu saja. Dan
seseorang menduga jika lenyapnya sahabat-sahabatku
itu didalangi penghuni Istana Hantu!"
Mendengar ucapan Joko, perempuan berbedak tebal
perdengarkan suara tawa pelan. Seraya gelengkan
kepala dia berkata.
"Jika demikian halnya, kau harus perhatikan
ucapanku tadi, Anak Muda!"
"Tapi aku harus buktikan dahulu! Karena sedikit
banyak aku berhutang budi pada ketiga sahabatku itu!
Lebih-lebih kegemparan yang kini melanda rimba
persilatan kusirap karena juga ulah penghuni Istana
Hantu!"
Keterangan Pendekar 131 membuat tawa perempuan
berbedak tebal makin panjang dan sedikit keras. "Bukti
memang harus diperoleh. Tapi tidak baik berburuk
sangka terlebih dahulu! Dan kau memang perlu
menemui sahabatku Itu!"
"Semula aku memang ingin bertemu sahabatmu itu.
Tapi tidak enak rasanya jika tidak buktikan dengan mata
kepala sendiri!"
"Kau telah gagal memasuki Istana Hantu. Kurasa kau
masih akan menemui kegagalan jika kau mencobanya
lagi! Bahkan tak mustahil kau akan mendapat celaka bila
keras kepala!"
Pendekar 131 tertawa pelan. "Bagiku, lebih baik mati
daripada membiarkan orang bertindak semena-mena!"
"Tapi mati dalam kebodohan adalah lebih sia-sia!"
sahut perempuan berbedak tebal dengan suara agak
keras.
"Apa maksudmu?!"
"Aku tidak bisa mengatakan. Kalau kau suka,
temuilah seorang kakek di sebuah kuil tua di sebelah
barat Candi Jago arah barat Gunung Bromo. Dia pernah
mengatakan padaku bahwa dia menunggu seseorang
sebelum ajal menjemputnya! Siapa tahu kau adalah
orang yang ditunggu. Mungkin juga dia bisa mengatakan
padamu apa yang kini menjadi tanda tanya di hatimu!
Sekarang aku harus pergi...."
Perempuan berbedak tebal balikkan tubuh. Namun
sebelum sosoknya berkelebat pergi, murid Pendeta
Sinting berseru.
"Aku tidak melihat gadis berparas cantik berbaju hijau
yang bersamamu. Ke mana dia? Dan siapa dia...?"
Tanpa putar diri menghadap, perempuan berbedak
tebal gelengkan kepala. "Dia jauh dari sini. Dan lupakan
gadis itu! Ada seorang gadis cantik kini mengharapkan
dirimu! Jangan kecewakan dia!"
Joko Sableng terbelalak. Dia hendak buka mulut
bicara lagi, tapi perempuan di hadapannya telah
berkelebat.
Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting
tegak tercenung seakan menyimak ucapan yang baru
didengarnya dari perempuan berbedak tebal.
"Aneh. Mengapa dia berkata begitu? Siapa gadis yang
dikatakan mengharapkan diriku?" Namun tiba-tiba Joko
tertawa sendiri. "Dia mungkin bercanda. Siapa gadis
cantik yang mau dengan pemuda jelek dan luntang-
lantung seperti diriku...?!"
Puas tertawa sendiri, akhirnya Joko melangkah ke
arah lobang pintu. Tapi tiba-tiba dia hentikan langkah.
Kepalanya tengadah. Sepasang matanya terpejam rapat.
Lalu muncul bayangan Dewi Seribu Bunga.
"Kenapa aku tidak bisa melupakan murid Maut Mata
Satu itu? Bagaimana dia sekarang?"
Sesaat kemudian terbayang wajah Sitoresmi.
"Gadis cantik.... Sayang dia harus mengalami nasib
kurang baik. Tapi aku tak akan melupakannya. Dia
telah rela berkorban untukku...."
Perlahan-lahan Pendekar 131 buka kelopak ma-
tanya. Lalu luruskan kepala. Kejap lain sosoknya
berkelebat keluar. Bayangan Dewi Seribu Bunga
dan Sitoresmi masih terbayang di pelupuk matanya.
* * *
Sebenarnya murid Pendeta Sinting ingin kembali ke
Istana Hantu. Namun teringat akan ucapan-ucapan
perempuan berbedak tebal, akhirnya dia memutuskan
untuk pergi ke arah tempat yang dikatakan si
perempuan. Setelah melakukan perjalanan sehari dua
malam, akhirnya Joko sampai di pelataran Candi Jago.
Saat itu malam hampir saja berujung, namun karena
angkasa di tutup arakan awan, hamparan bumi terlihat
masih gelap gulita. Sementara udara dingin menderu
kencang. Joko tidak hiraukan suasana. Dia teruskan lari
ke arah barat.
Kira-kira dua ratus tombak dari pelataran Candi Jago,
tepatnya pada hamparan rumput tebal merangas tak
terawat, murid Pendeta Sinting hentikan larinya. Sejarak
sepuluh tombak di depannya, dalam keremangan cuaca,
lamat-lamat sepasang mata Joko melihat sebuah
bangunan batu hitam yang tidak begitu besar. Malah jika
tidak diperhatikan dengan seksama, dalam gelapnya
suasana, mungkin orang akan menduga jika bangunan
batu itu adalah gugusan batu biasa.
Pendekar 131 pasang telinga baik-baik. Sepasang
matanya dipentang besar menembusi kegelapan.
Beberapa saat kemudian, murid Pendeta Sinting dapat
memastikan jika bangunan hitam itu adalah sebuah kuil.
Namun untuk beberapa saat, dia tertegun. Sepasang
telinganya mendengar suara aneh. Seperti helaan napas
.berat dan panjang tapi secara tiba-tiba diputus. Tak
lama kemudian terdengar lagi helaan napas. Namun
terputus lagi. Demikian terus-menerus.
Walau hatinya dibuncah sedikit ngeri, namun karena
sudah bertekad apalagi telah melakukan perjalanan
jauh, akhirnya Joko melangkah perlahan menuju kuil di
hadapannya setelah edarkan pandangan berkeliling.
Sejarak dua tombak dari bangunan kuil yang tampak
hitam dan tidak terawat hingga di kanan kirinya tampak
ilalang tinggi dan rumput tebal, Pendekar 131 hentikan
langkah. Sejenak dia tembus! kegelapan memandang ke
arah kanan kiri kuil. Sementara suara helaan panjang
yang tiba-tiba terputus makin jelas terdengar. Namun
meski bagian depan kuil tampak sebuah pintu terbuka,
Joko tidak dapat menangkap adanya orang!
Joko Sableng pentangkan mata sekali lagi. Musih tak
dapat menangkap keadaan dalam kuil, dia melangkah ke
depan. Namun langkahnya tertahan saat kaki kanannya
menumbuk sesuatu. Cepat dia arahkan pandangannya
ke bawah. Sejurus matanya menyipit. Namun kejap lain
membelalak dan tersurut satu tindak.
"Bangkai manusiai" desis Pendekar 131 sambil jereng-
kan mata dan perhatikan benda yang baru saja tertum-
buk kakinya dan tidak lain memang bangkai manusia
yang telah tinggal tengkorak.
Belum hilang rasa kejutnya, tiba-tiba Joko pentangkan
lagi matanya makin besar. Malah jika dia tak sadar
sedang berada di mana, niscaya dia akan berseru.
Ternyata di sekitar tempat itu banyak berserakan
tengkorak manusia!
"Jangan-jangan perempuan berbedak tebal itu
menjerumuskan aku! Kurasa ini bukan tempat tinggal
seseorang! Tapi tempat pembantaian! Celaka jika...."
Joko tidak meneruskan gumamannya, karena helaan
napas terdengar keras. Namun begitu terputus, tidak
lagi terdengar meski Joko telah menunggu agak lama
dengan pasang telinga baik-baik! Keadaan berubah
sunyi lengang. Tak terdengar suara. Tidak terlihat
gerakan! .
Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya ke arah
kuil. Saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara....
Tingng! Tingng! Tingng!
"Busyet! Suara apa itu? Seperti orang mainkan kecapi!
Jangan-jangan hantu sedang bermain kecapi! Tapi apa
mungkin?" Joko coba tersenyum meski senyum itu
adalah untuk sembunyikan rasa gejolak hatinya, karena
bersamaan dengan terdengarnya suara tingng! Tingng!
Tanah berumput yang dipijaknya terasa bergetar!
"Hem.... Dengan terdengarnya suara itu, pertanda di
dalam sana ada makhluk hidup. Mungkin dia yang
dimaksud perempuan berdandan menor itu.
Bagaimanapun juga aku sudah sampai di sini! Percuma
jika tidak teruskan langkah...."
Berpikir begitu, setelah menarik napas panjang dan
tenangkan hati, Joko segera berkelebat karena tidak
mungkin melangkah dan menginjak-injak tengkorak
yang banyak berserakan di sekitar tempat itu.
Dengan satu kali kelebatan, sosoknya kini telah
tepat berada di samping kanan pintu kuil. Untuk sesaat
murid Pendeta Sinting tegak diam tak berani buat
gerakan dan timbulkan suara. Hanya sepasang matanya
terpentang besar memandang ke dalam kuil
"Astaga!" Tiba-tiba Pendekar 131 perdengarkan nada
tercekat dalam hati ketika sepasang matanya teah
terbiasa dengan keadaan gelap di dalam kuil. ternyata di
dalam kuil yang tidak begitu besar itu, bagian bawahnya
bukan berupa lantai batu seperti bagian samping dan
depannya. Melainkan yang tampak adalah rumput tebal
dan ilalang tinggi. Namun bukan hal itu yang membuat
murid Pendeta Sinting tercekat. Di atas rumput tebal
dan sela-sela ilalang terlihat banyak berserakan
tengkorak manusia!
"Edan! Tempat apa sebenarnya ini? Apa masih ada
kaitannya dengan Tengkorak Berdarah?!" duga murid
Pendeta Sinting.
Baru saja dia menduga demikian, terdengar helaan
napas yang kemudian diputus. Disusul kemudian dengan
suara tinng! Tinng! Empat kali.
Anehnya suara-suara itu kini hanya menggema di
dalam kuil. Tapi Joko makin merasakan tempatnya
berpijak bergetar keras. Malah terlihat tengkorak-
tengkorak manusia di dalam kuil laksana tersapu
angin kencang dan berhamburan saling tubruk satu
sama lain keluarkan suara berderak-derak!
"Malam ini tampaknya masih ada manusia bodoh
yang hendak serahkan jiwanya!" Tiba-tiba satu suara
terdengar, membuat Joko terkesiap! Namun matanya
belum bisa menangkap orang yang keluarkan suara.
Karena suara itu laksana datang dari setiap penjuru
dalam bangunan kuil!
"Hai! Siapa yang ada di dalam kuil?!" Joko berteriak
setelah sekian lama tidak melihat adanya orang.
Sesaat tidak ada sahutan. Namun tatkala Joko
hendak buka mulut lagi, terdengar orang bersuara.
"Aku penunjuk jalan ke neraka!"
Suara orang belum lenyap, satu gelombang angin luar
biasa dahsyat telah menggebrak ke arah murid Pendeta
Sinting!
* * *
LIMA
DEMIKIAN ganas dan cepatnya gelombang tabrakan
angin itu, hingga tidak ada jalan lain bagi Joko selain
menangkis dengan dorongkan kedua tangannya ke
depan.
Suasana lengang mendadak sontak dibuncah dengan
terdengarnya ledakan keras tatkala gelombang angin
yang datang dari arah dalam kuil bentrok dengan angin
yang melesat keluar dari kedua tangan murid Pendeta
Sinting. Tempat itu kontan bergetar keras. Sosok Joko
terpental lima langkah ke belakang, pertanda jelas jika
gelombang dari kegelapan dilakukan dengan
pengerahan tenaga dalam luar biasa. Malah beberapa
tengkorak manusia yang berada di luar kuil ikut pula
tersapu dan jatuh berderak jauh ke belakang Joko.
Pendekar 131 tegak dengan wajah berubah. Kedua
tangannya bergetar dan terasa ngilu serta panas laksana
dipanggang!
"Perempuan itu benar-benar menjerumuskan aku!
Kalau tahu begini yang kudapat, menyesal aku menuruti
ucapannya! Hem.... Lebih baik aku tinggalkan tempat
celaka ini! Di sini tidak ada yang kuinginkan! Malah bisa-
bisa aku mendapatkan malapetaka! Sementara masih
ada sesuatu yang harus kulakukan!"
Berpikir begitu, Pendekar 131 segera putar diri.
Namun gerakan tubuhnya tertahan suara yang ter-
dengar dari dalam kuil.
"Tidak ada manusia yang tinggalkan tempat ini
dengan nyawa masih bercokol di tubuh!"
Suara orang belum selesai, terdengar suara tingng!
Tingng! Beberapa kali. Kejap lain suasana berubah
panas menyengat hingga menindih lenyap udara dingin
ujung malam. Pada saat bersamaan terdengar deruan
pelan. Namun saat itu juga murid Pendeta Sinting
merasakan sapuan gelombang luar biasa dahsyat!
Joko cepat alirkan tenaga dalam pada dadanya
kerahkan jurus inti 'Sukma Es' untuk lindungi diri dari
hawa panas. Kejap lain, sebelum tubuhnya lebih jauh
tersapu, dia dorong kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Suasana gelap mendadak semburatkan warna kuning
terang. Lalu terdengar deruan keras laksana gulungan
ombak. Tanda jika murid Pendeta Sinting telah lepaskan
pukulan 'Lembur Kuning'. Joko sengaja langsung
lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning' karena dia
menduga pukulan lawan yang melabraknya tidak akan
mempan jika dipangkas dengan pukulan lain. Malah dia
sendiri akan mendapat celaka.
Buummm!
Untuk kedua kalinya tempat di depan kuil diguncang
dengan ledakan keras. Rumput tebal dan ilalang tinggi
terabas rata dan bertabur menambah pekatnya suasana.
Sosok Pendekar 131 mencelat mental dan terjengkang
di atas tanah berumput empat tombak dari tempatnya
semula. Dadanya sesak dan mulutnya megap-megap.
Paras wajahnya pucat pasi. Namun karena dia telah
lindungi diri dengan jurus inti 'Sukma Es',, maka rasa
sakit itu hanya terasa sejenak. Kejap lain dia telah
bangkit.
Saat itulah, sepasang telinga Joko mendengar helaan
napas panjang dan berat. Jelas siapa pun adanya orang
yang menghela napas, pasti memiliki tenaga dalam yang
luar biasa. Karena saat itu Joko berada tujuh tombak
dari bangunan kuil. Tapi suara helaan napas itu
terdengar jelas dan keras!
"Kau harus mampus!" Mendadak terdengar suara
bentakan. Bersamaan dengan itu samar-samar Joko
melihat satu bayangan putih menyeruak dari dalam
bangunan kuil. Lalu terdengar suara tingng! Tingng!
Beberapa kali.
Sosok putih yang baru keluar dari dalam tampak
duduk berlutut di depan kuil. Ternyata dia adalah se-
orang kakek mengenakan pakaian warna putih kusam.
Rambutnya putih panjang sepinggang dibiarkan bergerai
hingga menutup sebagian wajah dan punggungnya.
Wajahnya yang telah keriput tampak lebih samar lagi
karena ditutupi kumis dan jenggot serta jambangnya
yang lebat dan putih. Pada kedua kakinya yang menekuk
berlutut tampak rantai besi yang mengikat pergelangan
kaki kiri dan kanan satu sama lain. Pada tengah rantai
besi tampak menggandul bundaran besi sebesar kepalan
tangan. Inilah yang membuat setiap kali si kakek
membuat gerakan pada kakinya, memperdengarkan
suara tingng! Tingng!
Kakek berpakaian putih pentangkan sepasang
matanya yang telah sayu dan masuk dalam rongga
cekungan dalam, menatap tak berkesip pada murid
Pendeta Sinting.
Tiba-tiba si kakek angkat kedua tangannya. Tubuhnya
serentak ikut bergetar. Dan tak lama kemudian, pakaian
putihnya telah basah oleh keringat Demikian juga wajah
dan lehernya! Jelas menunjukkan jika si kakek tengah
mengerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya meski
saat itu dia hanya angkat kedua tangannya.
Di depan sana, karena jaraknya agak jauh dan
suasana masih gelap, murid Pendeta Sinting tidak dapat
melihat jelas tampang si kakek. Dia hanya samar-samar
menangkap gerakan kedua tangan si kakek. Namun hal
itu telah cukup membuat Pendekar 131 berlaku
waspada. Hingga tatkala terlihat kedua tangan si kakek
membuat gerakan mendorong kedepan, tak menunggu
lama Joko cepat alirkan tenaga dalam pada telapak
tangan kirinya. Dia kali ini tidak mau bertindak ayal.
Pukulan 'Lembur Kuning' yang dilepas tidak membuat si
kakek cedera atau mundur. Maka tidak ada jalan lain
untuk selamatkan diri selain kerahkan jurus pukulan
'Serat Biru'!
Tangan kiri murid Pendeta Sinting mendadak bersinar
kebiruan. Di seberang depan, sepasang mata sang
kakek bergerak menyipit lalu membelalak. Mulutnya
yang sedari tadi terkancing rapat bergerak membuka
perdengarkan gumaman tidak jelas. Namun dia teruskan
juga dorongan kedua tangannya. Hingga saat itu juga
terdengar suara menderu-deru keras. Disusul dengan
menghamparnya gelombang angin luar biasa dahsyat
yang datang laksana dari segala penjuru mata angin!
Joko undurkan langkah satu tindak. Serta-merta
kedua tangannya didorong ke depan. Kejap itu juga
melesat serat-serat terang berwarna biru laksana
benang. Namun sebelum serat-serat biru terang
melesat, ada satu kekuatan menggebrak mendahului.
Anehnya kekuatan itu menerabas gelombang yang
Lagi datang hingga semburat seakan memberi jalur la-
pang pada serat-serat biru yang melesat menyusul!
Hingga laksana tanpa halangan lagi, serat-serat biru
Itu melesat dan tiba-tiba membelit sosok si kakek!
Tapi bukan berarti Pendekar 131 lepas dari bahaya,
karena bersamaan dengan terbelitnya tubuh si kakek
oleh serat-serat biru, gelombang angin yang tadi
semburat secara aneh bersatu kembali dan kini meng-
gebrak ke arah Pendekar 131!
Joko tidak bisa berbuat banyak, karena jika dia
memangkas gelombang yang kini melabrak, maka
berarti belitan pada tubuh si kakek akan melukar.
Dan jika kesempatan itu digunakan oleh sang kakek
bukan tidak mungkin dia akan lebih celaka lagi.
Berpikir sampai di sana, akhirnya Joko hanya kerah-
kan tenaga dalam pada dadanya salurkan tenaga inti
jurus 'Sukma Es'. Di lain pihak dia lipat gandakan tenaga
dalamnya pada telapak tangan kiri lalu menariknya ke
belakang.
Saat itulah gelombang angin menghantam. Joko
berseru tertahan. Namun sosoknya hanya bergoyang-
goyang keras, karena serat-serat dari tangan kirinya
terus membelit tubuh si kakek laksana benang yang tak
dapat diputus. Sedangkan si kakek sendiri tampak ter-
engah-engah dan buka mulutnya lebar-lebar sembunyi
kan suara erangan yang keluar.
Tiba-tiba si kakek takupkan kedua tangannya di
depan dada. Sepasang matanya memejam. Kejap lain
tubuh Joko tampak tertarik ke depan. Melihat hal ini,
Joko kerahkan segenap tenaga dalamnya lalu menarik
kedua tangannya. Sosoknya terhenti, malah kini ganti
sosok si kakek yang tertarik. Sementara serat-serat biru
terus membelit.
Terjadilah saling tarik dengan mengandalkan tenaga
dalam masing-masing. Pada satu kesempatan, si kakek
membentak. Pada saat bersamaan, Joko berseru seraya
lipat gandakan tenaga.
Terjadilah sesuatu yang hebat. Sosok si kakek
mundur ke belakang sementara tubuh Joko tertarik ke
depan. Tapi saat setelah Joko berseru, tubuh si kakek
tertarik deras ke depan. Hingga tanpa bisa dihindarkan
lagi sosok keduanya bertubrukan!
Tubuh keduanya sama-sama mental dan sama ber-
kaparan di atas rumput yang telah gundul! Karena Joko
tidak kerahkan tenaga dalam lagi, saat itu juga serat-
serat biru yang membelit tubuh si kakek lenyap.
Tubuh Joko tampak bergetar keras. Dari mulutnya
keluar darah segar. Si kakek sendiri tak kalah parahnya.
Selain tubuhnya gemetaran dan sudut mulutnya meng-
alirkan darah, pakaian putih yang dikenakannya tampak
robek-robek menganga membentuk libatan benang!
Hebatnya, meski telah cedera, si kakek segera
bangkit lalu duduk berlutut dengan tangan menakup
di depan dada. Sepasang matanya terpejam rapat.
Sejenak kemudian dia buka kelopak matanya pandangi
murid Pendeta Sinting yang baru perlahan-lahan
bergerak bangkit.
"Sahabat! Harap sudi katakan siapa dirimu!" Men-
dadak si kakek buka mulut.
Untuk beberapa lama Joko hanya pandangi orang tua
di hadapannya dengan mulut terkancing. Namun diam-
diam dalam hati dia berkata.
"Dia memanggilku sahabat! Jangan-jangan...."
Joko lalu teringat akan ucapan perempuan berbedak
tebal yang mengatakan bahwa sahabatnya menunggu
seseorang sebelum ajal menjemputnya. Namun setelah
mengalami apa yang baru saja terjadi, dan melihat
beberapa tengkorak manusia di halaman dan di dalam
bangunan kuil, Joko jadi ragu-ragu.
"Kalau kau tidak sudi sebutkan diri, tidak apa-apa!
Yang jelas siapa pun kau adanya, kau adalah seorang
sahabat yang kutunggu! Harap kau suka mengikutiku!"
Habis berkata begitu, masih dengan duduk berlutut,
si kakek berkelebat masuk ke dalam bangunan kuil.
Ucapan si kakek membuat Joko terkejut. "Bagaimana
mungkin dia menentukan aku adalah seorang sahabat
yang ditunggu? Padahal baru kali ini aku bertemu! Tapi
aku ingin tahu apa yang hendak dilakukannya...."
Sambil mengusap darah di sudut mulutnya, Joko
bergerak bangkit lalu melangkah masuk ke dalam
bangunan kuil. Sementara si kakek telah duduk berlutut
dengan punggung bersandar pada bagian belakang
tembok yang menghadap ke depan.
"Duduklah, Anak Muda!"
Joko turuti ucapan si orang tua. Dia duduk bersila
menghadap si kakek, namun dia tetap waspada.
Sepasang matanya tak beranjak memperhatikan pada
kedua tangan orang tua di hadapannya, karena Joko
yakin, bahwa kedahsyatan pukulan orang tua itu terletak
pada kedua tangannya.
"Tentu kau punya maksud tertentu hingga sampai
kemari!" ujar si kakek setelah menghela napas dalam.
Kali ini suara helaan napasnya tidak lagi keras.
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku tidak punya
tujuan tertentu. Aku hanya ingin buktikan ucapan
seseorang!" kata Joko meski dalam hati dia sebenarnya
punya maksud tertentu.
Si kakek mendehem panjang. "Kau bisa katakan siapa
orang yang ucapannya ingin kau buktikan?!"
Kembali murid Pendeta Sinting gelengkan kepala.
"Dia tak sebutkan nama padaku. Dia seorang
perempuan yang wajahnya pun sulit untuk dikenali!"
Orang tua di hadapan Joko anggukkan kepala. "Anak
muda. Apakah kau pernah memasuki Istana Hantu?"
Joko terlengak. Lalu menjawab. "Pernah...!"
"Namun mengalami kegagalan. Betul?!"
Kembali Joko dibuat terkejut saat mendapati si kakek
mengetahui. Seraya sedikit keraskan suara, Joko
berujar.
"Aku memang gagal memasuki Istana Hantu. Namun
bukan berarti aku tidak bisa masuk ke sana! Aku tetap
akan ke sana sekaligus menghentikan ulah penghuninya
yang...."
Ucapan Joko dipotong oleh suara tawa si kakek.
"Kau masih akan menemui kegagalan, Anak Muda. Meski
kau telah membekal pukulan sakti 'Serat Biru'!"
Kali ini ucapan orang tua itu benar-benar membuat
murid Pendeta Sinting tersentak dan tak dapat
menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku adalah sahabat yang menunggu!"
"Kenapa kau menunggu?!"
"Aku menduga, tanpa bantuanku orang yang ku-
tunggu akan mengalami kegagalan memasuki Istana
Hantu!"
"Hem.... Kau tadi mengatakan aku adalah sahabat
yang kau tunggu. Sekarang bantuan apa yang hendak
kau berikan?!"
Si kakek menggeleng sambil tersenyum samar.
"Tidak baik mengatakan bantuan yang akan kuberikan!
Hanya sebelum aku memberikan sedikit bantuan itu, aku
mengajukan syarat!"
"Hem.... Berarti kau tidak rela! Karena kau masih
mengharap imbalan!"
"Terserah apa katamu. Namun syarat itu demi
kebaikan! Tidak semata-mata sebagai imbalan!"
Untuk beberapa lama Joko berpikir. Lalu berkata.
"Katakan apa syarat itu!"
"Mendekatlah kemari! Putar dudukmu dan hadapkan
punggungmu di depanku!"
Pendekar 131 tidak segera melakukan apa yang
dikatakan si orang tua. Dia jelas ragu-ragu. Namun
untuk tidak menyinggung perasaan si kakek, Joko
berkata.
"Apa tidak ada jalan lain selain harus begitu?!"
"Anak muda. Itu adalah salah satu syarat! Kau tahu,
beberapa tengkorak yang berserakan di sekitar tempat
ini adalah manusia-manusia yang meminta paksa apa
yang hendak kuberikan padamu! Tapi jika kau masih
bimbang, silakan pergi dari sini!"
Setelah agak lama menimbang, akhirnya Joko
bergerak bangkit seraya berkata. "Tapi jika kau ber-
tindak tidak terpuji, aku tidak segan berlaku keras!"
"Aku sudah tua, Anak Muda! Apa artinya kematianmu
bagiku?!"
Tanpa menyahut ucapan si kakek, Joko mendekat,
lalu putar diri membelakangi dan duduk bersila.
"Dengar baik-baik, Anak Muda. Karena aku tidak akan
mengulangi ucapanku. Setelah apa yang kulakukan
nanti, cepatlah kau tinggalkan tempat ini. Jangan
berpaling ke belakang menengok ke arahku! Jika kau
telah berada di luar sana, jangan kau hiraukan kabar
yang tersiar tentang penghuni Istana Hantu. Kau
memang berhak memasuki Istana Hantu, tapi sekali-kali
jangan berniat membunuhnya! Kau dengar dan
mengerti?!"
Walau belum mengerti apa maksud ucapan si kakek,
tapi akhirnya Joko anggukkan kepalanya. Pada saat
itulah tiba-tiba si kakek angkat kedua tangannya. Dan
serta-merta ditempelkan pada punggung murid Pendeta
Sinting.
Pendekar 131 tersentak. Karena saat itu juga ada
hawa panas memasuki tubuhnya melewati kedua tangan
si kakek. Joko coba berseru, namun suaranya tersendat
di tenggorokan. Dia hendak putar diri, tapi tubuhnya
laksana dipantek tak bisa digerakkan. Hingga akhirnya
dia hanya diam dengan mata terpejam merasakan rasa
panas luar biasa. Sementara orang tua di belakangnya
telah basah kuyup. Napasnya megap-megap dengan
mata setengah terpejam setengah terbuka. Sosoknya
bergetar keras.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba rasa panas lenyap
seketika. Bersamaan dengan itu, kedua tangan si kakek
luruh ke bawah.
Joko menunggu beberapa saat. Tidak ada suara, tidak
ada gerakan. Membuat murid Pendeta Sinting ini hendak
berpaling. Namun ingat akan ucapan si orang tua,
Pendekar 131 urungkan niat.
Setelah merasa yakin bahwa si kakek tak membuat
gerakan apa-apa lagi, Joko perlahan-lahan bangkit. Dia
kuatkan hati untuk turuti ucapan si kakek meski
sebenarnya dia ingin melihat pada si orang tua. Malah
ketika langkahnya sampai pintu kuil, gerakan kakinya
berhenti. Dia tampak bimbang hingga untuk beberapa
saat dia tetap tegak di situ seolah ingin mendengar
ucapan dari si orang tua. Namun sampai kedua kakinya
pegal, tidak terdengar suara maupun terdengar orang
membuat gerakan.
"Heran. Apa sebenarnya yang terjadi dengan orang
tua itu? Apa yang dilakukannya tadi terhadap diriku...?
Dan kenapa kini dia diam, padahal sebenarnya aku
menunggu kata-katanya! Apa kuturuti saja ucapan-
nya?!"
Meski dia telah memutuskan untuk tinggalkan tempat
itu, namun sekejap ia masih hendak putar tubuh. Tapi
diurungkan kembali sebelum akhirnya berkelebat
tinggalkan bangunan kuil dengan berbagai pertanyaan
dan dugaan.
Bersamaan dengan berkelebatnya tubuh murid
Pendeta Sinting, sosok si kakek tersandar pada dinding.
Lalu kepalanya terkulai di samping kanan dan saat itu
juga hembusan napas terhenti! Kakek berpakaian putih
ini telah kehabisan tenaga luar dan dalamnya karena
disalurkan masuk ke dalam tubuh Pendekar 131 tanpa
disadari dan diketahui oleh Pendekar 131 sendiri! Murid
Pendeta Sinting juga tidak mengerti jika tenaga dalam si
kakek itulah kelak yang dapat membantunya untuk
memasuki Istana Hantu.
* * *
ENAM
SOSOK bayangan putih itu berkelebat laksana dikejar
setan. Gerakannya yang luar biasa cepat membuat
sosoknya hanya menyerupai bayang-bayang yang me-
nyeruak di antara rimbun semak belukar dan jajaran
pohon. Pada satu tempat tiba-tiba sosok bayangan itu
hentikan kelebatannya. Kepalanya berputar cepat,
sementara sepasang matanya liar memandang tak
berkesip. Mungkin merasa yakin tidak ada orang di
sekitar tempat dia berada, orang ini luruskan kepala ke
depan. Dua puluh lima tombak jauh ke depan sana,
samar-samar terlihat satu bangunan tua berdiri kokoh
yang pintu gerbangnya terbuka di mana pada pintu itu
menggandul sebuah tengkorak yang masih berlumuran
darah.
"Istana Hantu...," desis orang ini yang ternyata adalah
nenek mengenakan pakaian warna putih dari sutera.
Rambutnya telah memutih. Di atas telinga nenek ini
tampak menyelip seruas bambu kecil berwarna kuning.
Namun walau orang ini telah berusia lanjut, bekas
kecantikan masih membayang jelas di wajahnya.
"Menurut yang kudengar dan bekas-bekas yang di-
tinggalkan, penghuni Istana Hantu adalah seorang yang
ilmunya sangat tinggi! Tapi kenapa dia membuat ulah
dengan membunuh banyak orang?!" si nenek yang
bukan lain adalah Daeng Upas ibu dari Durga Ratih alias
Dewi Siluman terus menggumam dengan mata masih
memandang ke depan.
Tiba-tiba si nenek pentangkan sepasang matanya.
Rahangnya terangkat, pelipis kanan kirinya bergerak-
gerak. Tak lama kemudian, sosoknya ikut bergetar,
pertanda hawa kemarahan telah membungkus dadanya.
"Datuk Besar.... Aku bersumpah akan membalas
kematianmu! Tengkorak Berdarah, penyebab putusnya
hubungan kita harus mampus di tanganku. Aku tak
peduli berapa tinggi kepandaiannya!" Daeng Upas
berkata setengah berteriak. Namun sesaat kemudian
bahu nenek ini tampak berguncang. Lalu terdengar dia
sesunggukan.
"Datuk Besar.... Sungguh aku tak menduga jika kita
tak akan pernah berkumpul lagi. Padahal hal itu telah
kurencanakan bertahun-tahun lamanya! Tahu begini,
aku menyesal terlalu keras kepala tidak menuruti
ucapanmu lalu pergi meninggalkanmu...." Daeng Upas
dongakkan kepala. Dari sudut kedua matanya telah
bergulir air bening.
"Durga Ratih anakku.... Sungguh malang nasibmu.
Selama ini kau belum kenal siapa ayahmu! Jika saja aku
berkata terus terang padamu, tentu kita akan bisa
berkumpul dan bersama-sama melakukan rencana besar
yang telah kuatur! Tapi kini semuanya berantakan! Ini
gara-gara Tengkorak Berdarah keparat! Sebelum kau
mengenal ayahmu, Tengkorak Berdarah telah
membuatmu kehilangan!" Daeng Upas hentikan
gumamannya. Sepasang matanya berkilat memandang
jauh ke Istana Hantu.
Seperti dituturkan dalam episode: "Gerbang Istana
Hantu", Daeng Upas yang telah bertahun-tahan tak
munculkan diri begitu mendapat keterangan dari
anaknya Dewi Siluman serta adik kandunganya Ki Buyut
Pagar Alam segera berniat turun tangan sendiri. Apalagi
setelah mendengar Kitab Serat Biru telah jatuh ketangan
pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng dan mendengar gerbang pintu Istana Hantu
terbuka. Namun Daeng Upas rupanya maklum jika apa
yang akan dihadapi. Adalah urusan besar yang tidak
saja membutuhkan akal panjang tapi juga memerlukan
tenaga tangguh. Untuk itulah si nenek lalu mengunjungi
seorang tokoh bergelar Datuk Besar. Tujuan Daeng Upas
mengunjungi Datuk Besar selain untuk minta bantuan,
lebih dari itu untuk menumpahkan kerinduan yang sela-
ma ini dipendam. Datuk Besar adalah bekas kekasihnya
dahulu. Dari sang datuk inilah akhirnya Daeng Upas
mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan
yang diberi nama Durga Ratih yang pada beberapa
tahun kemudian dikenal dengan julukan Dewi Siluman.
Namun Daeng Upas agaknya harus menelan kecewa,
karena begitu tiba di tempat kediaman Datuk Besar, laki-
laki bekas kekasihnya itu telah menemui ajal. Si nenek
telah dapat menduga siapa gerangan yang membunuh
sang kekasih, karena pada gubuk tempat kediaman
Datuk Besar tampak sebuah tengkorak berlumur darah!
Sebenarnya meski tanpa terbunuhnya Datuk Besar,
Daeng Upas telah merencanakan pergi ke Istana Hantu.
Dia menduga istana itu menyimpan sesuatu. Setelah
mengetahui apa yang menimpa Datuk Besar, kini
kedatangannya ke Istana Hantu dengan dua tujuan.
Selain membalaskan kematian sang kekasih juga
meminta sesuatu yang diduga tersimpan di dalam istana
yang selama ini dihuni oleh seorang misterius yang
bergelar Tengkorak Berdarah.
Pada kedatangannya yang pertama, dia belum
sempat memasuki Istana Hantu karena perhatiannya
tercurah pada Pendekar 131 yang saat itu berusaha
memasuki istana. Karena merasa curiga dengan si
pemuda, akhirnya Daeng Upas hendak mengorek
keterangan darinya, tapi sesosok tubuh telah
mendahului menyambar tubuh si pemuda. Daeng Upas
segera mengejar hingga akhirnya dia bertemu dengan
Dewi Siluman dan Ki Buyut. Namun tanpa diduga sama
sekali, tiba-tiba muncul seorang pemuda bertangan
buntung yang membuat pengejaran Daeng Upas terha-
dap Pendekar 131 terhalang. Kini setelah kehilangan
jejak pemuda yang dikejar dan pemuda bertangan
buntung, si nenek kembali hendak coba memasuki
Istana Hantu.
Namun nenek ini cerdik. Dia sengaja tidak langsung
menuju Istana Hantu tapi mengambil jarak agak jauh.
Dia seakan tahu, bahwa dengan terbukanya istana,
maka akan banyak tokoh yang datang. Dari sini dia
dapat mengukur sampai di mana ketinggian ilmu sang
penghuni. Lebih dari itu, dengan munculnya beberapa
tokoh sedikit banyak tenaga Tengkorak Berdarah akan
terkuras. Hal demikianlah yang ditunggu-tunggu si
nenek.
Tapi agaknya kali ini Daeng Upas harus merasa
kecewa, karena meski sudah agak lama di tempatnya,
dia belum melihat seorang pun yang datang. Entah
karena telah memendam dendam dan menduga hari ini
tidak akan ada tokoh yang datang, maka setelah berpikir
lagi, akhirnya Daeng Upas bergerak melangkah. Namun
dia tidak langsung lurus menuju Istana Hantu, namun
sengaja bergerak berputar melewati rumpun semak
belukar yang banyak di sekitar Istana Hantu.
Tapi gerakan kaki Daeng Upas tiba-tiba tertahan.
Sepasang matanya garang memandang ke sela semak
belukar. Kedua telinga bergerak ke atas tanda si nenek
kerahkan tenaga dalam pada pendengarannya.
Tiba-tiba Daeng Upas putar tubuh setengah lingkaran.
Sepasang matanya liar menembusi kerapatan semak di
hadapannya. Lalu mendadak dia membentak.
"Percuma kau sembunyikan diri! Keluarlah!"
Bukan sahutan ucapan yang terdengar. Bukan adanya
gerakan yang terlihat. Sebaliknya bentakan Daeng Upas
disambut dengan terdengarnya tawa bergelak keras.
Bukan bersumber pada tempat di hadapan Daeng Upas
melainkan datang dari arah belakangnya!
Daeng Upas adalah seorang yang memiliki kepandaian
tinggi meski selama ini dia sembunyikan. Tapi kalau
dugaannya meleset, maka dapat diduga jika orang yang
perdengarkan tawa menyambuti bentakan si nenek
adalah bukan orang sembarangan.
Sambil menindih rasa terkejut, Daeng Upas cepat
balikkan tubuh. Sejarak tujuh langkah di hadapannya si
nenek melihat seseorang tegak dengan kacak pinggang.
Orang ini mengenakan pakaian aneh. Berupa jubah
panjang hingga menutup seluruh tubuh sampai telapak
kakinya. Jubah panjang itu dibikin terusan ke atas
hingga menutup juga seluruh kepalanya, membuat
orang ini tidak bisa dikenali laki perempuannya karena
tidak satu pun dari anggota tubuhnya yang terlihat!
Jubah aneh itu berwarna abu-abu dari bahan tebal dan
kasar. Pada dada jubah terlihat gambar sebuah
tengkorak yang meneteskan darah!
Sesaat Daeng Upas pentangkan sepasang matanya
menatap tak berkesip. Dalam hati dia menduga-duga
siapa adanya orang berjubah aneh itu. Tapi karena tidak
dapat jawaban, akhirnya dia buka mulut membentak.
"Orang tak dikenal. Siapa kau?!"
Orang yang dibentak tertawa panjang. Meski suara
tawanya pelan, namun saat itu juga Daeng Upas
rasakan tanah yang dipijak terasa bergetar!
"Daeng Upas! Buka matamu lebar-lebar!" seraya
menjawab, orang berjubah aneh gerakkan tangan
kirinya menunjuk pada gambar tengkorak di dadanya.
Daeng Upas terkesiap kaget mendapati orang tahu
siapa dirinya. Namun si nenek tidak mau tunjukkan
wajah terkejut. Malah setelah sekilas melirik pada jubah
bagian dada yang ditunjuk orang, dia alihkan
pandangannya ke jurusan lain. Dia cepat membatin.
"Siapa orang ini! Dia tahu diriku! Mengenakan jubah
aneh yang di dadanya bergambar tengkorak. Dari
suaranya jelas jika dia seorang laki-laki. Namun suara
bisa dirubah! Hem.... Melihat dia menunjuk gambar,
apakah dia tokoh misterius penghuni Istana Hantu?
Selama ini memang tidak ada orang yang dapat
mengenali tokoh misterius itu, karena setiap korbannya
pasti menemui ajal!"
Habis membatin begitu, Daeng Upas buka mulut
tanpa memandang. "Syukur aku telah kau kenali hingga
tak usah aku perkenalkan diri! Aku ingin dengar jawaban
dari mulutmu, bukan dengan isyarat tanganmu!"
Kembali orang berjubah aneh perdengarkan tawa
panjang. Namun tiba-tiba diputus dan disusul dengan
suara dengusan keras, membuat Daeng Upas cepat
berpaling.
"Daeng Upas! Apakah itu permintaan terakhirmu?!"
Daeng Upas menyeringai. Setelah berteriak dia
berkata.
"Itu adalah permintaan pertama. Permintaan ter-
akhirku adalah selembar nyawamu jika kau merecoki
urusanku! Kau dengar?!"
"itu menurutmu. Bagiku, permintaanmu tadi adalah
yang pertama dan yang terakhir. Maka akan kupenuhi,
agar kau bisa bersanding dengan kekasihmu!"
Mendengar ucapan orang berjubah aneh, dada Daeng
Upas berdebar keras. Matanya mendelik angker.
Rahangnya menggegat perdengarkan suara
bergemeletak. Walau hampir bisa menduga siapa
adanya orang, serta dadanya dibungkus gejolak amarah,
namun nenek ini tidak cepat bertindak. Selain maklum
jika orang di hadapannya memiliki kepandaian yang
tidak rendah, dia juga ingin meyakinkan apakah orang di
hadapannya benar-benar tepat seperti dugaannya.
"Orang gila tak dikenal! Jangan banyak mulut! Lekas
katakan siapa dirimu!" bentak Daeng Upas dengan suara
melengking tinggi.
"Akulah Tengkorak Berdarah penghuni Istana Hantu!
Dan perlu kau ketahui, barang siapa telah melihatku,
maka saat itulah hari kematiannya telah datang! Tidak
seorang pun lolos dari maut setelah mengenaliku!"
Meski Daeng Upas telah menduga siapa adanya
orang, namun begitu orang di hadapannya sebutkan
siapa dirinya, si nenek ini tampak surutkan langkah
setengah tindak. Matanya makin membeliak seakan coba
menembus wajah di balik pakaian aneh orang di
hadapannya. Selama ini memang Daeng Upas telah
menyirap kabar bahwa tokoh yang bergelar Tengkorak
Berdarah tidak pernah meninggalkan orang yang jadi
korbannya dalam keadaan hidup-hidup. Tidak terkecuali
dengan Datuk Besar kekasih si nenek sendiri.
Berpikir sampai ke sana, tengkuk Daeng Upas men-
jadi dingin, apalagi selama ini diketahui para korban
Tengkorak Berdarah bukanlah para tokoh yang ilmunya
rendah. Namun karena hatinya telah dibungkus dengan
dendam akibat tewasnya Datuk Besar, ditambah ada
sesuatu yang juga berada di tangan Tengkorak
Berdarah, semangat si nenek menjadi berkobar-kobar.
Rasa kecutnya yang sejenak tadi menyelimuti hatinya
mendadak lenyap! Berganti dengan dendam dan
harapan!
Daeng Upas sentakkan kepalanya ke samping.
Mendadak dia tertawa bergelak. Puas tertawa dia
berkata.
"Hari ini rupanya aku beruntung. Tanpa dicari, orang
yang berhutang nyawa padaku datang serahkan diri!
Tapi semua urusan hutang nyawa akan kuhapus jika kau
penuhi permintaanku!"
Mendengar ucapan Daeng Upas, Tengkorak Berdarah
ganti tertawa.
"Sebelum kau sempat menerima apa permintaanmu,
nyawamu akan kulepas!"
"Hem.... Begitu? Jika demikian, permintaan kuubah
jadi perintah! Serahkan kitab yang ada di tanganmu
padaku!" sentak Daeng Upas.
Tengkorak Berdarah sejurus terdiam. Diam-diam
orang berjubah abu-abu aneh itu membatin. "Hem....
Rupanya dia telah tahu perihal kitab itu! Sebenarnya
manusia macam dia dibiarkan hidup terlebih dahulu.
Tapi dia adalah bekas murid Kyai Panjer Wengi. Dan aku
telah bersumpah untuk melenyapkan Guru serta seluruh
muridnya dari permukaan bumi! Juga manusia yang
bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131. Malah untuk
yang terakhir ini, aku harus segera menemukannya,
karena dialah kunci semua cita-citaku!"
"Daeng Upas! Kitab yang kau minta boleh kau ambil.
Tapi serahkan dulu nyawamu!"
"Jika begitu perintah kuubah jadi tangan maut!"
Habis berkata begitu, Daeng Upas membuat gerakan
menjotos dan menendang tanpa berpindah dari tempat-
nya berpijak!
Desss! Desss!
Meski Daeng Upas lancarkan jotosan dan tendangan
dari tempatnya berdiri, namun anehnya Tengkorak
Berdarah merasakan laksana satu jotosan dan satu
tendangan keras menghantam tubuhnya. Tapi meski
terdengar suara benda terhantam, sosok Tengkorak
Berdarah tidak bergeming sama sekali, malah saat itu
juga dia tertawa berderai.
Daeng Upas menyeringai seraya pelototkan sedikit
matanya. Dia jelas dapat merasakan bahwa jotosan dan
tendangannya menghantam telak Tengkorak Berdarah,
namun orang ini seakan tidak merasakan apa-apa!
Daeng Upas lipat gandakan tenaga dalamnya.
Sekonyong-konyong dia melesat ke depan sambil meng-
udara satu tombak. Sejarak lima langkah dari tempat
Tengkorak Berdarah, si nenek membuat gerakan men-
jotos dengan kedua tangannya sekaligus. Sementara
kedua kakinya membuat gerakan menendang. Seperti
diketahui, Daeng Upas memiliki jurus yang dapat
menghantam dari jarak jauh. Jurus ini selalu digunakan
si nenek untuk mengetahui tingkat ketinggian ilmu
lawan.
Desss! Deesss! Deeesss! Deeesss!
Terdengar empat kali benda terhantam pukulan. Per-
tanda jelas jika pukulan Daeng Upas yang dilepaskannya
mengenai sasaran. Namun lagi-lagi si nenek agak te-
kejut mengetahui sosok Tengkorak Berdarah hanya ber-
goyang-goyang!
"Keparat!" maki Daeng Upas. Dia teruskan kelebatan-
nya. Lalu mendorong kedua tangannya.
Satu gelombang angin menderu deras ke arah Teng-
korak Berdarah. Tengkorak Berdarah hentakkan kaki
kanannya. Tubuhnya melesat ke udara. Gelombang
angin pukulan Daeng Upas melabrak setengah tombak
di sampingnya.
Begitu di atas udara, Tengkorak Berdarah kebutkan
kedua tangannya ke belakang. Tubuhnya melesat ke
depan memapak sosok Daeng Upas yang masih
melayang di udara. Tiba-tiba sosok Tengkorak Berdarah
membuat gerakan berbalik. Bersamaan dengan ini kaki
kanannya yang terbungkus jubah panjangnya mencuat.
Daeng Upas tersentak melihat cepatnya gerakan
orang. Hingga belum sempat dia menghadang dengan
lepaskan pukulan, tendangan dari balik jubah panjang
telah datang melabrak! Membuat tak ada pilihan lain
bagi si nenek untuk selamatkan diri kecuali dengan
angkat kedua kakinya untuk memangkas tendangan.
Bukkk! Buukkk!
Terjadilah saling tendang di udara. Sosok Daeng Upas
tampak terpental lalu melayang jatuh. Namun karena
nenek ini juga memiliki kepandaian tinggi, sebelum
tubuhnya menghantam tanah, dia berputar balik ke atas.
Kejap lain mendarat di atas tanah dengan terbungkuk-
bungkuk dan wajah makin mengeriput. Sedang di
seberang sana, Tengkorak Berdarah langsung mendarat
dengan tubuh tegak kokoh. Dari hal ini, Daeng Upas
rupanya maklum jika tenaga dalam lawan masih berada
di atasnya. Namun karena dendam telah tertanam dan
dia punya sesuatu yang diminta, maka dia tak perhitung-
kan diri.
Didahului bentakan keras, Daeng Upas membuat
gerakan berputar-putar. Kejap itu juga dari tubuhnya
mengepul asap yang ikut berputar seiring putaran
tubuhnya. Saat si nenek berteriak kedua kalinya, asap
yang berputar mengelilingi tubuhnya melesat dan kini
berputar-putar keras ke arah Tengkorak Berdarah! Ibu
Dewi Siluman ini telah lepaskan pukulan sakti 'Angin
Keranda'!
Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. Kedua tangan-
nya dirangkapkan di depan dada. Kejap lain kedua
tangannya disentakkan ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Terdengar deruan pelan. Hebatnya sesaat kemudian
asap yang berputar-putar ganas ke arahnya tertahan.
Daeng Upas tercekat. Belum sirna rasa terkejutnya, di
depan sana Tengkorak Berdarah rnelangkah pelan ke
depan. Namun dalam sekejap sosoknya telah sampai
pada asap yang tertahan. Belum tahu apa yang akan
dilakukan lawan, tiba-tiba kedua tangan Tengkorak
Berdarah mendorong asap pukulan Daeng Upas.
Asap yang berputar-putar dan tertahan itu laksana
disentak tangan setan. Lalu melesat kencang berputar-
putar ke arah Daeng Upas!
Sambil menindih rasa kejut, Daeng Upas cepat putar
kembali tubuhnya. Lalu membentak garang. Saat itu
juga dari tubuhnya melesat lagi asap berputar-putar.
Blaaarrr!
Tempat itu laksana dilanda gempa hebat ketika
pukulan 'Angin Keranda' yang membalik bentrok dengan
pukulan 'Angin Keranda' yang baru saja dilepas Daeng
Upas. Sosok Daeng Upas terpental jauh menerabas
semak belukar. Dari mulutya mengalir darah kehitaman
pertanda si nenek telah terluka dalam. Pakaian sutera
putih yang dikenakannya berubah agak kecoklatan
hangus. Sementara Tengkorak Berdarah hanya tersurut
dua langkah.
Daeng Upas cepat salurkan tenaga dalam. Lalu
terhuyung-huyung bangkit. Saat itulah Tengkorak
Berdarah perdengarkan tawa mengekeh. Namun
bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak
menghantam ke arah Daeng Upas.
Karena belum dapat kuasai diri maka sangat sulit bagi
si nenek untuk memangkas pukulan yang datang
melabrak. Apalagi pukulan itu dilepas oleh tokoh yang
ilmunya tidak diragukan lagi.
Namun Daeng Upas tampaknya tak mau begitu saja
menyerah. Meski dengan tubuh belum tegak sepenuh-
nya, kedua tangannya bergerak membuat satu pukulan.
Tapi pukulan ini tampaknya tidak akan mampu mem-
bendung pukulan yang dilancarkan Tengkorak Berdarah,
karena Daeng Upas hanya mengerahkan sisa-sisa
tenaganya. Dan kalaupun pukulan itu bisa memangkas
pukulan Tengkorak Berdarah namun tubuhnya akan
makin kehabisan tenaga, dan itu akan membuatnya
fatal.
Dalam keadaan genting itulah, tiba-tiba terdengar
suara duuttt! Duuttt! Beberapa kali. Pada saat bersama-
an, satu gelombang angin dahsyat menyeruak melabrak
pukulan yang dilepas Tengkorak Berdarah yang saat itu
hampir bentrok dengan pukulan yang dilepas Daeng
Upas.
Buummm!
Terdengar ledakan keras saat tiga pukulan itu ber-
temu. Sosok Daeng Upas mencelat. Namun dia masih
beruntung karena pukulan Tengkorak Berdarah masih
dipangkas dahulu oleh pukulan yang tiba-tiba
menyeruak. Hingga meski tubuhnya sempat mental,
namun luka dalamnya tidak bertambah paruh.
Sementara sosok Tengkorak Berdarah terseret lima
langkah. Namun sosok orang ini tetap tegak!
* * *
TUJUH
MESKI seluruh tubuhnya tertutup jubah aneh, namun
sentakan kepala serta guncangan sedikit pada bagian
bahunya sudah menunjukkan jika Tengkorak Berdarah
merasa terkejut. Sementara Daeng Upas yang sosoknya
kembali menerabas semak belukar perlahan-lahan
bergerak bangkit. Meski hanya sekilas, namun nenek ini
bisa menduga jika baru saja ada yang memangkas
pukulan Tengkorak Berdarah. Hingga begitu tubuhnya
tegak, dia segera berpaling ke samping kanan dari mana
pukulan yang selain dapat memangkas pukulan Tengko-
rak Berdarah juga menyelamatkan dirinya datang
menyeruak.
Sesaat Daeng Upas tampak tergagu dengan mulut
terkancing dan mata mendelik tak berkesip. Dari
tempatnya tegak, si nenek melihat sesosok tubuh berdiri
tegak dengan kepala di bawah kaki di atas. Orang ini
berwajah tampan dan usianya masih tampak muda.
Pemuda ini tidak mempunyai kedua tangan dan pada
mulutnya tampak sebuah karet bundar yang menyerupai
dot bayi.
"Dia...," desis Daeng Upas begitu melihat siapa ada-
nya si pemuda yang berdiri terbalik. "Heran. Bagaimana
dia bisa berada di sini? Apakah dia mengikutiku? Siapa
sebenarnya pemuda ini? Sikapnya aneh. Tempo hari dia
menyerang dan menghadang urusanku hingga berantak-
an tak karuan. Tapi kali ini tampaknya dia menolongku!"
Diam-diam Daeng Upas menarik napas lega melihat
kehadiran si pemuda yang dari sikapnya tadi jelas
menyelamatkan dirinya.
Sementara Tengkorak Berdarah setelah berdiam agak
lama baru berkata.
"Bukankah yang di hadapanku saat ini adalah tokoh
tua bergelar Dewa Orok? Aku gembira dapat berjumpa
denganmu!"
Si pemuda menyedot bundaran karet di mulutnya
hingga perdengarkan suara duttt! Duutttt! Beberapa kali.
Lalu bahunya bergerak. Wuuttt! Sosoknya kini tegak
dengan kepala di atas kaki di bawah, namun yang
menjadi tumpuan tubuhnya adalah kedua ibu jari
kakinya!
Sepasang mata si pemuda yang tajam sejenak
memandang pada Tengkorak Berdarah, lalu tersenyum.
Kepalanya bergerak ke arah Daeng Upas berada. Si
nenek cepat putar otak dan sekejap kemudian dia
berkata.
"Sobatku. Terima kasih...."
Si pemuda kuncupkan mulut, lalu menyembur.
Bundaran karet di mulutnya mencuat keluar, lalu
mengapung di udara di hadapan wajahnya. Kejap lain
terdengar ucapannya.
"Sobatku?!" si pemuda ulangi ucapan Daeng Upas.
"Aku tidak mengenalmu, kau pun tidak tahu siapa diriku!
Adalah hai aneh jika kau mengatakan aku adalah
sobatku! Jangan-jangan kau punya niat di balik ucapan-
mu itu! Ha... ha... ha...!"
Paras Daeng Upas seketika berubah mengelam.
Dalam hati dia memaki panjang pendek. Tapi nenek ini
tidak kehilangan akal. Dia segera hendak bicara lagi,
namun si pemuda telah mendahului.
"Nenek cantik! Walau kita pernah jumpa dan belum
sempat berkenalan, tapi tak ada jeleknya memang saling
bersahabat! Hanya saja kau jangan salah terka. Aku tadi
tidak berniat menolong apalagi menyelamatkanmu. Aku
hanya tidak suka melihat orang bertindak pada orang
yang telah tidak berdaya!"
"Hem.... Tujuannya masih sama seperti waktu jumpa
tempo hari selamatkan pemuda berbaju putih...,"
gumam Daeng Upas.
"Dewa Orok!" Tiba-tiba terdengar bentakan
Tengkorak Berdarah. "Selama ini aku tidak pernah
membiarkan hidup orang yang telah melihatku! Namun
hari ini kau adalah satu-satunya manusia yang
beruntung, karena aku mengampuni nyawamu!"
Si pemuda yang dipanggil Dewa Orok menyedot.
Bundaran karet yang mengapung meluncur dan masuk
ke dalam mulutnya. Setelah perdengarkan suara duuttt!
Duuttt! Beberapa kali, Dewa Orok semburkan kembali
bundaran karet. Bundaran karet itu kembali mengapung
di udara. Kepalanya berpaling pada Tengkorak Berdarah.
"Selama ini aku tidak pernah minta ampun apalagi
urusan nyawaku. Namun hari ini aku menemukan hal
aneh. Ada orang mengampuni nyawaku, padahal
nyawaku tidak pernah punya urusan denganmu! Lagi-
lagi aku menangkap ada sesuatu di balik nada
ucapanmu! Ha... ha... ha...!"
Karena seluruh anggota tubuh Tengkorak Berdarah
tidak kelihatan, baik Dewa Orok maupun Daeng Upas
tidak bisa melihat bagaimana paras wajah Tengkorak
Berdarah setelah mendengar ucapan Dewa Orok.
Mereka berdua sebentar kemudian hanya mendengar
Tengkorak Berdarah berujar.
"Nyawamu memang tidak punya urusan denganku,
tapi setiap orang yang melihatku berarti nyawanya
ditakdirkan untuk tercabut di tanganku! Dan kau jangan
merasa senang dahulu, dalam sesaat. Aku bisa merubah
niatku!"
"Kalau kau bisa berkata begitu, apa sulitnya bagiku
membuat aturan bahwa tidak semua yang kulihat bisa
mencabut nyawaku termasuk kau sendiri?!"
"Dewa Orok!" suara Tengkorak Berdarah makin tinggi
pertanda kemarahannya sudah memuncak. "Rupanya
kau ingin niatku berubah!"
"Aku tak pernah ingin merubah niat siapa saja!"
Tengkorak Berdarah angkat kedua tangannya. Wajah
Dewa Orok tampak berubah. Mulutnya mengempis lalu
menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung
di udara meluncur dan masuk kedalam mulutnya.
"Kau manusia tak mau diuntung! Dan ternyata takdir
kematianmu juga ada di tanganku!" sentak Tengkorak
Berdarah.
Sepasang mata Dewa Orok melotot besar. Dia segera
tarik tubuhnya ke belakang. Kedua orang ini tampaknya
sudah siap untuk saling lepaskan pukulan. Saat itulah
tiba-tiba terdengar orang bergumam tapi tidak jelas
nada ucapannya.
Baik Tengkorak Berdarah maupun Dewa Orok urung-
kan niat. Keduanya sama palingkan kepala kesamping
kanan arah mana tampak Istana Hantu. Daeng Upas
yang masih tegak dan coba kembalikan tenaga
dalamnya juga segera berpaling.
Dari tempat masing-masing orang dapat melihat
sesosok tubuh melangkah pelan dari pelataran Istana
Hantu menuju ke arah mereka. Sepasang mata Dewa
Orok dan Daeng Upas mementang tak berkesip.
Ternyata sosok yang sedang melangkah itu menggen-
dong seseorang di punggungnya. Orang yang
menggendong mengenakan pakaian warna gelap.
Sementara orang yang digendong mengenakan pakaian
warna putih besar dan panjang hingga pakaian
bawahnya tampak menyapu tanah sampai setengah
tombak! Anehnya, orang yang menggendong itu
melangkah zig-zag ke kanan ke kiri seolah ingin
menunjukkan sapuan pakaian orang yang digendong.
Untuk beberapa lama tidak ada orang yang buka
mulut. Semua perhatian laksana tertuju pada orang
menggendong yang melangkah zig-zag. Kira-kira tujuh
tombak di hadapan Dewa Orok, dan sebelum Dewa Orok
dapat melihat jelas siapa adanya orang yang men-
datangi, tiba-tiba orang di depan sana melangkah ke
arah kanan lalu membuat gerakan cepat. Dewa Orok
dan Daeng Upas terkesima hampir tidak percaya. Orang
yang menggendong tiba-tiba lenyap laksana ditelan
bumi!
Dewa Orok berpaling ke kiri di mana Tengkorak
Berdarah tadi berada. Pemuda bertangan buntung ini
terkejut. Tengkorak Berdarah sudah tidak kelihatan lagi!
"Heran. Ke mana dia? Kenapa tiba-tiba menghilang
begitu melihat orang tadi?" membatin Dewa Orok. Lalu
kepalanya diputar. Namun sosok Tengkorak Berdarah
memang tidak ditemukan.
Sementara Daeng Upas begitu mendapati orang yang
menggendong lenyap, cepat pula berpaling ke arah
Dewa Orok dan Tengkorak Berdarah. Dia ingin tahu apa
yang hendak dilakukan kedua orang itu. Tapi dia
terperangah kaget tatkala matanya tidak lagi melihat
sosok Tengkorak Berdarah. Mungkin masih khawatir
nenek ini seperti halnya Dewa Orok tadi, putar
kepalanya berkeliling dengan mata menembusi semak
belukar. Tapi tetap saja dia tak melihat Tengkorak
Berdarah.
Perlahan-lahan Daeng Upas melangkah ke arah Dewa
Orok.
"Hari ini aku menemukan satu keanehan...," kata
Daeng Upas mulai membuka pembicaraan.
Dewa Orok hanya berpaling tanpa menyahut.
Sebaliknya menyedot-nyedot karet bundar di mulutnya
hingga perdengarkan suara duuuttt! Duuuttt!
"Yang kudengar selama ini Tengkorak Berdarah
adalah manusia misterius berilmu sangat tinggi. Para
korbannya adalah orang-orang yang pernah me-
nyandang nama besar dalam rimba persilatan. Tapi
kenapa tiba-tiba dia seperti takut melihat orang yang
menggendong tadi? Buktinya dia segera menghilang...."
Dewa Orok semburkan bundaran karet di mulutnya
hingga mencuat dan mengapung di hadapannya. Lalu
berkata.
"Hem.... Kau melihat itu satu keanehan, tapi aku
mengatakan itu adalah satu hal biasa. Setinggi apapun
ilmu yang dimiliki seseorang, pasti ada orang lain yang
melebihi. Mungkin hal itu yang dirasakan orang berjubah
yang mengaku sebagai Tengkorak Berdarah tadi. Tapi
lebih daripada itu, aku menangkap sesuatu yang lain
dengan kepergiannya yang secara diam-diam!"
"Begitu? Apa sesuatu yang lain itu?!" tanya Daeng
Upas seraya memperhatikan baik-baik sosok Dewa Orok
yang tak punya tangan itu.
Dewa Orok geleng-gelengkan kepala. "Tidak baik
membicarakan orang! Apalagi hal itu masih berupa
dugaan!"
Daeng Upas tersenyum. Memperhatikan sesaat pada
bundaran karet yang mengapung di hadapan Dewa Orok
lalu berkata.
"Tengkorak Berdarah mengenalimu. Apakah kau
mengenalinya juga? Siapa dia sebenarnya?!"
"Dia mengenaliku, tapi sulit rasanya menebak siapa
dia sebenarnya! Hanya aku maklum jika aku masih tidak
apa-apanya jika dibandingkan dia! Kau itahu, tadi aku
sudah panas dingin! Seandainya tidak ada orang
bergendongan tadi, entah apa yang akan kualami!"
"Tapi kau telah berhasil menahan pukulan Teng-
korak Berdarah, hingga aku tidak menemui ajal! Sekali
lagi kuucapkan terima kasih...."
Dewa Orok tertawa. "Ajal datangnya tidak bisa
ditentukan, Nek! Aku tidak merasa menolongmu, hanya
mungkin hari ini bukanlah saat ajalmu! Kalau manusia
mau memahami kemisteriusan ajal, tentu segala urusan
akan diakhiri dengan saling maaf. Tidak ada lagi saling
dendam dan silang sengketa. Tidak ada lagi ketamakan
yang menginginkan milik orang lain yang selama ini
menjadi biang keladi terjadinya pembunuhan dan
permusuhan! Namun bukanlah dunia jika tidak ada hal-
hal seperti itu. Karena dunia diciptakan untuk
menunjukkan hal baik dan buruki"
Lama Daeng Upas terdiam seolah menyimak ucapan
Dewa Orok. "Orang ini ucapannya seperti menyinggung
diriku! Jangan-jangan dia tahu apa rencanaku...," mem-
batin si nenek sambil menghela napas panjang dan
dalam.
"Kau menyimpan sesuatu? Atau ada yang hendak kau
katakan?!" tanya Dewa Orok melihat perubahan pada
wajah si nenek, membuat Daeng Upas tergagap.
Setelah dapat menguasai perasaan, akhirnya Daeng
Upas berkata.
"Aku adalah murid seorang tokoh besar pada zaman-
nya. Aku sangat bahagia waktu itu. Karena sebagai
murid tunggal, guruku sangat menyayangiku. Hidupku
terasa lebih bahagia lagi tatkala aku berkenalan dengan
seorang pemuda. Namun kebahagiaan itu ternyata tidak
berumur panjang. Hal itu bermula dari tindakan guruku
yang mengangkat lima anak muda menjadi murid-
muridnya. Sedikit demi sedikit perhatian Guru terhadap-
ku berkurang. Celakanya lagi, mereka kasak-kusuk
membicarakan pemuda yang kucintai. Dan tanpa
sepengetahuanku, mereka ada yang menebar fitnah
tentang hubunganku dengan pemuda yang kucintai.
Guru rupanya termakan hasutan kelima saudara
seperguruanku itu. Hingga pada akhirnya aku harus
meninggalkan perguruan dengan membawa kehancuran.
Aku sebenarnya tidak sakit hati difitnah dan diperlaku-
kan demikian. Yang membuat hatiku hancur, ternyata
Guru memberikan apa yang pernah dijanjikan padaku
pada kelima saudara seperguruanku!" Beberapa lama
Daeng Upas hentikan keterangannya, lalu setelah
mengatasi gejolak, dia melanjutkan. Sementara Dewa
Orok tampak sedang mendengarkan dengan seksama.
"Setelah meninggalkan perguruan, aku terus melan-
jutkan hubungan dengan pemuda yang kucintai itu.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, ada sesuatu hal
yang membuat kami berdua harus berpisah. Menginjak
usia senja, aku sadar jika aku butuh seorang pendam-
ping, lebih dari itu keputusan berpisah dahulu sebenar-
nya hanya didasari perasaan marah dan cemburu, dan
lebih dari semuanya, sebenarnya aku masih mencintai-
nya. Namun lagi-lagi aku harus menelan kecewa, karena
orang yang kucintai ternyata telah tewas dibunuh
seseorang!"
Daeng Upas hentikan ceritanya. Lalu bertanya.
"Kalau sekarang aku memendam sakit hati pada
kelima saudara seperguruanku juga pada guruku,
apakah aku salah? Kalau aku memendam perasaan
dendam pada orang yang membunuh orang yang
kucintai, apakah aku keliru?!"
"Nek.... Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu.
Hanya kau sendiri yang dapat menilai. Karena kaulah
yang mengalami! Hanya kalau menurutku, kenapa hal
begitu tidak dilupakan saja? Itu mungkin sudah suratan
yang harus kau jalani!"
Daeng Upas sedikit beliakkan sepasang matanya.
"Terlalu gampang jika segala urusan harus dilupakan
begitu saja! Karena orang akan bertindak semakin
semaunya sendiri!"
"Memang sulit melupakan hal begitu, tapi kau akan
mengalami kesulitan lagi jika mengikuti perasaan! Sebab
perasaan kadang-kadang melebihi dari kenyataan!
Apalagi jika itu perasaan seorang perempuan
sepertimu!"
Daeng Upas tersenyum. "Kau rupanya pandai juga
menyelami perasaan seprang perempuan. Apakah kau
pernah punya seorang istri? Atau kekasih barangkali?"
Dewa Orok tertawa bergelak. "Masih banyak orang
yang tubuhnya sempurna. Jadi mungkin hanya orang tak
waras saja yang mau menjadi kekasih apalagi istriku....
Tapi aku tidak sakit hati, karena memang ini adalah
suratan takdir yang mau tak mau harus kujalani! Dengan
demikian, aku tak punya beban dalam menjalani
hidup...."
"Tapi bebanmu lain dengan bebanku...," sahut Daeng
Upas.
Dewa Orok gelengkan kepala. "Lain memang betul.
Tapi kurasa berat bebanku daripada bebanmu. Bebanmu
dapat disimpan dan tidak diketahui orang lain. Tapi
setiap orang yang melihatku sudah bisa menebak beban
yang kupikul!"
"Hem… Orang ini pandai bicara. Ilmunya juga tinggi…
Tentu dia punya tujuan dengan kemunculannya di rimba
persilatan. Apalagi saat ini orang digemparkan dengan
terbukanya Istana Hantu....," Daeng Upas menduga-
duga dalam hati lalu berkata.
"Tengkorak Berdarah tadi kudengarmenyebutmu
tokoh tua. Dia juga sepertinya enggan berhadapan
denganmu jika kau tidak berkata keras. Kalau boleh tahu
siapa kau sebenarnya? Dan kemunculanmu di saat rimba
persilatan diselimuti kegegeran begini rupa pasti ada
maksud tertentu...."
"Dia menyebutku begitu mungkin karena matanya
tertutup pakaiannya yang aneh itu. Soal keenqganannya
terhadapku, kurasa hanya karena kasihan melihat
keadaanku yang begini! Pertanyaanmu selanjutnya aku
tidak bisa menjawab...."
Habis berkata begitu, Dewa Orok kuncupkan mulut
menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung
di hadapannya meluncur dan masuk ke dalam mulutnya.
Kejap lain tiba-tiba Dewa Orok berpaling ke kanan.
Bersamaan itu semak belukar kemana Dewa Orok kini
menghadap tampak bergoyang-goyang.
"Ada orang mencuri dengar pembicaraan kita!" desis
Daeng Upas yang secara tak sadar mengikuti gerak
Dewa Orok hingga mengetahui gerakan pada semak
belukar.
"Ah. Kita bicara bukan hal penting. Biar didengar
orang banyak pun tak apa-apa," kata Dewa Orok lalu
arahkan lagi pandangannya ke depan.
"Tapi tak enak hatiku sebelum kutahu siapa adanya
orang yang berani lancang mencuri dengar pembicaraan
orang!" gumam Daeng Upas lalu berkelebat ke arah
semak belukar yang sesaat tadi tampak bergoyang-
goyang.
Namun gerakan Daeng Upas terlambat. Dia hanya
sempat melihat berkelebatnya dua sosok bayangan.
Begitu cepatnya kelebatan dua bayangan tadi, hingga si
nenek tak dapat menentukan laki perempuannya, malah
warna pakaian yang dikenakan dua bayangan itu Daeng
Upas tidak dapat mengenalinya!
Dengan menggumam tak jelas, Daeng Upas balikkan
tubuh. Dia tersentak kaget. Sosok Dewa Orok telah
lenyap dari tempatnya tadi berada.
"Tempat ini rasanya sudah tidak aman lagi! Aku harus
cari tempat aman untuk pulihkan cedera dan memikirkan
apa yang akan kulakukan selanjutnya!"
Daeng Upas memandang berkeliling sejenak, lalu
arahkan pandangannya pada Istana Hantu. Sesaat
kemudian dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
*
* *
DELAPAN
LAKSANA dikejar setan gentayangan, dua bayangan itu
berkelebat cepat hingga sosoknya hanya bagai bayang-
bayang samar. Setelah rangasan semak belukar dan
jajaran pohon terlewati, tepatnya pada satu dataran
berbatu dua bayangan itu sama memperlambat larinya.
Pada sebuah gugusan batu agak besar baru keduanya
hentikan langkah.
Sosok yang depan ternyata adalah seorang gadis
muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna
hijau. Rambutnya panjang sepinggang diikat dengan pita
kembang-kembang. Sepasang matanya bundar ditingkah
bulu mata panjang dan lentik. Gadis ini punya lesung
pipit di pipi kiri kanannya.
Sementara sosok di belakang gadis berbaju hijau ini
adalah seorang perempuan yang tidak bisa dikenali usia
maupun paras wajah aslinya. Karena perempuan ini
mengenakan bedak tebal. Rambutnya yang digelung ke
belakang diberi pewarna hitam berkilat-kilat. Kelopak
kedua matanya dipoles warna hijau dan merah.
Sementara bibirnya diberi warna merah menyala.
Perempuan ini mengenakan pakaian panjang warna
coklat.
"Hampir saja kita celaka...," gumam perempuan ber-
bedak tebal sambil memandang ke arah gadis berbaju
hijau yang kini duduk bersandar pada lamping batu.
Gadis ini tidakmenyahut ucapan perempuan berbedak
tebal. Malah sepasang matanya yang bundar meman-
dang jauh dengan pandangan kosong.
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala.
"Apa yang kukhawatirkan jangan-jangan terjadi.... Sejak
kepergiannya dia tampak murung dan sering menyen-
diri. Hem.... Seharusnya aku tidak melibatkan dia dalam
urusan ini. Tapi apa hendak dikata. Semuanya telah
telanjur. Dan perasaan cinta kadangkala datangnya tidak
terduga. Ah...," diam-diam si perempuan berbedak tebal
membatin dalam hati. Setelah menarik napas dalam
akhirnya dia berkata.
"Puspa Ratri.... Akhir-akhir ini kulihat kau begitu
berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?"
Untuk sesaat gadis berbaju hijau yang dipanggil
Puspa Ratri tetap memandang jauh ke depan. Namun
tak lama kemudian berpaling pada perempuan berbedak
tebal. Menatapnya sesaat lalu gelengkan kepala sambil
tersenyum. Tapi perempuan berbedak tebal tahu, jika
senyum si gadis begitu dipaksakan.
"Puspa Ratri.... Aku dulu pernah muda sepertimu. Kau
tak usah sembunyikan apa yang kau rasakan meng-
ganjal di hatimu padaku.... Katakanlah anakku...."
Ucapan terakhir si perempuan berbedak tebal rupa-
nya membuat Puspa Ratri tersentuh hatinya. Untuk
beberapa lama dia pandangi orang yang masih tegak di
hadapannya. Mulutnya yang sedari tadi terkancing ber-
gerak membuka.
"ibu.... Selama ini aku selalu berterus terang padamu.
Hanya Ibu sendirilah yang selama ini sembunyikan
sesuatu padaku...."
Perempuan berbedak tebal menarik napas panjang.
Dalam hati dia membatin. "Aku tahu Sebenarnya bukan
hal itu yang mengganjal di hatimu. Tapi memang kuakui,
selama ini aku tidak berterus terang padamu jika kau
menanyakan tentang siapa ayahmu.... Hem.... Kurasa
memang sudah saatnya kau mengetahuinya!"
"Puspa Ratri... Kini kau sudah dewasa. Sudah saatnya
kau mengetahui apa yang selama ini ibu simpan rapat-
rapat...."
"Ibu.... Aku tidak memaksa. Kalau Ibu masih merasa
keberatan, jangan Ibu paksakan diri. Apalagi jika hal itu
akan makin menambah beban. Aku sudah pasrah
dengan semua ini. Ini mungkin sudah suratan yang
ditulis untukku...."
Perempuan berbedak tebal sunggingkan senyum
sambil gelengkan kepala. "Anakku.... Aku tidak memaksakan diri. Hai ini memang harus kau ketahui!"
Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal
arahkan pandangannya jauh ke depan. Sepasang
matanya mengerjap beberapa kali, lalu terdengar dia
berkata.
"Anakku.... Sewaktu aku sebaya usia denganmu, aku
berkenalan dengan seorang pemuda bernama Panjer
Wengi. Entah karena apa, aku tertarik padanya. Dan
rupanya aku tidak bertepuk sebelah tangan. Panjer
Wengi ternyata juga tertarik padaku. Kami berdua
akhirnya memadu kasih. Tapi ketentuan rupanya belum
berpihak padaku. Semua itu berawal dari ricuhnya
keadaan rimba persilatan. Sebagai orang muda, Panjer
Wengi yang begitu gandrung dengan ilmu persilatan
berniat menuntut ilmu. Tujuannya memang baik. Karena
dia bilang rimba persilatan tidak akan pernah selesai
dengan persoalan. Tanpa bekal ilmu, ketenangan hidup
tidak akan pernah dikenyam, karena orang akan
diperlakukan dengan sewenang-wenang. Aku
sebenarnya berat melepas kepergiannya, namun karena
tekadnya begitu menggebu lagi pula apa yang menjadi
tujuannya adalah demi ketenangan hidup di kelak
kemudian hari, akhirnya dengan berat hati aku merela-
kan dia pergi menuntut ilmu...."
Perempuan berbedak tebal hentikan keterangannya
sejenak. Sepasang matanya terus memandang jauh ke
depan seolah mengenangkan kembali saat-saat yang
telah terlewati. Tak lama kemudian dia melanjutkan.
"Beberapa tahun berlalu. Aku tetap menunggunya
dengan sabar dan tabah. Namun penantianku ternyata
tinggal penantian. Panjer Wengi tidak ada kabar berita-
nya. Tapi aku coba menahan diri. Aku tetap bersabar
menunggu. Namun kesabaran ternyata ada batasnya.
Apalagi sebagai seorang perempuan, aku punya firasat
tidak baik. Panjer Wengi telah melupakan janjinya
padaku. Firasatku tidak meleset. Dari beberapa orang
yang kutemui aku mendapat berita bahwa Panjer Wengi
telah menjalin hubungan dengan seorang gadis anak
gurunya. Aku tidak percaya begitu saja pada kabar yang
sampai sebelum aku melihatnya sendiri. Aku lantas
melakukan perjalanan. Pada satu kesempatan, apa yang
selama ini kudengar benar-benar terbukti. Kulihat Panjer
Wengi bersama seorang gadis cantik. Betapa hancur
hatiku saat itu. Kesabaran dan penantianku selama ini
mendapat balasan yang tidak kuduga sebelumnya.
Dengan membawa luka hati, akhirnya aku pergi meng-
embara. Aku pada akhirnya tiertemu dengan seorang
tokoh sakti di lereng Gunung Arjuna. Beberapa tahun
lamanya aku menimba ilmu sambil melupakan apa yang
pernah kualami. Tapi cinta adalah perasaan. Semakin
aku berusaha untuk melupakan semakin deras perasaan
itu menggoda. Dan terus terang, meski Panjer Wengi
telah melupakan aku, tapi aku tidak bisa melupakannya.
Bahkan karena tulusnya rasa kasih sayangku padanya,
aku memaafkan apa yang dilakukannya!"
"Ibu...."
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala mem-
beri isyarat agar Puspa Ratri tidak memotong kete-
rangannya. Setelah memberi isyarat, si perempuan
teruskan penuturannya.
"Setelah beberapa tahun menetap di lereng Gunung
Arjuna, akhirnya aku diizinkan untuk turun gunung.
Tentu saja aku saat itu telah berubah. Selain usiaku
bertambah, aku juga membekal ilmu silat. Kalau ada hal
yang tidak berubah, itu adalah rasa kasih sayangku pada
Panjer Wengi! Aku sendiri tak mengerti mengapa itu bisa
terjadi. Padahal aku telah berusaha membencinya!
Anehnya semakin aku berusaha membencinya, makin
aku ingin bertemu dengannya. Hail itulah akhirnya yang
mendorongku untuk mencari tahu keberadaan Panjer
Wengi. Ternyata, Panjer Wengi telah menjadi seorang
tokoh yang disegani. Malah kudengar ketika itu dia telah
mengambil murid seorang perempuan. Sementara dia
sendiri berbahagia dengan gadis pilihannya dahulu, yaitu
anak gadis dari gurunya. Aku merasa bahagia meng-
etahui orang yang kukasihi hidup tenteram bahagia.
Meski kadang-kadang aku merasa kecewa. Dan karena
kasih sayangku hanya untuk Panjer Wengi, hatiku
tertutup untuk orang lain. Hingga sampai menginjak usia
yang seharusnya sudah memiliki seorang anak, aku
tetap menutup diri dari laki-laki...."
"Ibu. Lalu aku ini...?!" sela Puspa Ratri yang rupanya
tidak sabar.
"Tahun terus berganti. Panjer Wengi namanya makin
menjulang dalam kancah dunia persilatan. Dan kudengar
dia telah pula mengangkat lima anak muda sebagai
murid-muridnya! Namun ada satu yang kiranya belum
membuat tenteram kehidupan Panjer Wengi. Dia belum
mempunyai seorang anak meski usianya telah menginjak
agak tua. Hal itu kuketahui setelah aku sempat bertemu
dengannya. Malah dalam pertemuan itu, dia mengajakku
untuk berbaik-baikan lagi. Dia meminta maaf atas segala
yang telah terjadi. Kukatakan padanya bahwa aku lelah
memaafkan sebelum dia minta maaf! Dan aku menolak
ajakannya, karena aku tidak mau dikatakan merebut
suami orang. Aku tidak mau menyakiti hati kaumku. Tapi
sejak pertemuan itu, aku jadi sering mengadakan
pertemuan dengannya. Namun aku bina menjaga diri
meski dia selalu memaksa mengajak berbaik-baikan.
Pada satu kesempatan, ia mengatakan padaku bahwa
istrinya mengandung. Meski kebenarnya itu kabar
gembira, entah kenapa aku merasakan hal itu sebagai
sesuatu yang menyakitkan! Sejak saat itu pula aku
menghindar...."
"Ibu, kau belum jawab pertanyaanku tadi!" kata
Puspa Ratri karena ibunya belum juga sebut-sebut siapa
diri dan ayahnya.
"Anakku. Jangan sela ceritaku. Nanti kau akan
tahu...," ujar perempuan berbedak tebal pelan. "Satu
setengah tahun kemudian, tanpa sengaja, aku jumpa
lagi dengan Panjer Wengi yang katanya selama ini selalu
mencariku. Dalam kesempatan itu pula, Panjer Wengi
menceritakan sebenarnya yang terjadi. Ternyata
perjodohannya dengan istrinya hanya karena balas budi
dan juga karena jebakan istrinya sendiri. Tidak ada
setitik pun rasa cinta di dalamnya. Dia mengatakan
masih tetap mencintaiku! Aku begitu gembira men-
dengar itu. Namun apalah artinya jika hal itu sudah
terlambat. Apalagi dia mengatakan telah mempunyai
seorang anak perempuan! Namun entah karena apa,
sejak saat itu aku selalu merindukannya. Dan aku selalu
menerima kehadirannya namun sejauh itu aku tetap
menjaga jarak. Hingga pada suatu hari dia mengatakan
jika istrinya pergi tanpa berita dengan meninggalkan
anaknya. Tapi yang membuatku terkejut, ternyata
selama ini istrinya mengetahui jika Panjer Wengi sering
mendatangiku! Hal itulah yang membuat istrinya pergi.
Aku merasa berdosa. Hingga secara diam-diam aku
pergi. Tapi ternyata Panjer Wengi selalu mencariku. Dan
pada akhirnya dia mendapatkan diriku. Dia mengajakku
hidup bersama sebagai suami-istri. Karena istrinya tidak
ada kabar beritanya. Aku mula-mula selalu menolak.
Namun pada akhirnya hatiku luluh juga...."
Kembali perempuan berbedak tebal hentikan cerita-
nya, setelah menarik napas panjang dia melanjutkan
bertutur.
"Akhirnya aku hidup sebagai suami-istri dengan
Panjer Wengi. Dan pada beberapa purnama kemudian
aku mengandung. Saat itulah aku merasakan kebaha-
giaan yang tiada tara meski hal itu datangnya sangat
terlambat. Namun lagi-lagi tampaknya aku harus
menerima takdir. Baru beberapa tahun aku mengalami
masa bahagia, tiba-tiba istri Panjer Wengi yang dahulu
datang lagi. Kedatangannya kali ini selain menyingkirkan
aku dari sisi orang yang kukasihi dan telah memberiku
seorang buah hati juga meminta sesuatu pada Panjer
Wengi. Baru saat itu aku tahu jika Panjer Wengi me-
nyimpan satu rahasia besar. Namun tidak satu pun yang
tahu, rahasia apa yang ada di tangannya. Aku secara
diam-diam pergi. Namun aku terus pasang telinga.
Hingga sampai pada suatu hari, kudengar Panjer Wengi
lenyap tanpa berita! Bersamaan dengan itu rimba
persilatan digemparkan dengan terjadinya pembunuhan
beruntun yang menurut kabar didalangi oleh seorang
tokoh misterius yang bermukim di sebuah istana bekas
kerajaan. Karena setiap ada pembunuhan si pembunuh
meninggalkan sebuah tengkorak yang masih berlumuran
darah, orang dunia persilatan menjuluki tokoh misterius
itu dengan Tengkorak Berdarah. Tapi dalam beberapa
purnama kemudian, pembunuhan itu terhenti. Namun
Panjer Wengi belum juga ada beritanya. Malah sebagian
orang menduga Panjer Wengi telah menjadi korban
Tengkorak Berdarah. Dan hingga sampai saat ini, Panjer
Wengi tidak ketahuan kabar beritanya. Mungkin benar
dugaan orang-orang itu, mungkin juga salah!"
"Ibu belum menceritakan anak perempuan Panjer
Wengi dari istri pertamanya...," kata Puspa Ratri setelah
agak lama terdiam.
"Anak perempuan itu lenyap juga bersama Panjer
Wengi!"
"Ibu sudah memperkirakan berapa kira-kira usia dia?"
"Dia hanya terpaut kira-kira tiga tahun denganmu!
Namun karena aku pernah mengasuhnya, maka jika saja
aku sekarang bertemu dengannya jelas aku segera
dapat mengenalinya! Sebab dia mempunyai ciri ter-
tentu...."
"Apakah Ibu selama ini tidak berusaha mencari Panjer
Wengi?"
"Dia adalah ayahmu, Puspa Ratri. Sebagai seorang
istri, apalagi aku telah punya anak, aku tidak tinggal
diam. Tapi hingga saat ini aku belum berhasil mene-
mukannya! Aku hanya berharap, jika saja memang
ayahmu telah meninggal, maka tunjukkan dimana
kuburnya! Aku ingin menunjukkan padamu meski itu
hanya tanah kuburannya!"
"Kalau dia seorang ayah yang baik dan bertanggung
jawab, seharusnya bukan Ibu yang mencari. Justru dia
yang harus mencari kita!"
Perempuan berbedak tebal tersenyum. "Keadaan
yang mengharuskan demikian, Anakku. Aku percaya,
ayahmu adalah orang baik dan bertanggung jawab.
Hanya mungkin ada sesuatu yang melebihi dari itu
hingga dia seakan melupakan tanggung jawabnya!"
"Jadi apakah anak dan istri harus dinomorduakan
hanya karena keadaan?!"
"Ayahmu adalah seorang tokoh rimba persilatan,
Anakku. Dalam arena persilatan, kedamaian dan
ketenteraman orang banyak lebih diutamakan daripada
segalanya! Jadi kau harus mengerti dan tidak salah
sangka!"
"Tapi apa buktinya? Hingga kini rimba persilatan tidak
pernah tenteram. Apalagi dengan terjadinya pembunuh-
an yang akhir-akhir ini merajalela. Dan nyatanya tokoh
yang berjuluk Tengkorak Berdarah masih juga bercokol!"
"Menunggu hasil dibutuhkan waktu yang lama,
Anakku! Dan tak jarang dalam masa penungguan itu
dibutuhkan pengorbanan dan kesabaran!"
"Lalu murid-murid Ayah...?"
"Kelimanya kini telah menjadi tokoh-tokoh rimba
persilatan. Hanya murid perempuan yang pertama yang
jarang kudengar beritanya. Tapi...."
"Ibu!" tukas Puspa Ratri. "Dari percakapan nenek
berbaju putih tadi dengan pemuda bertangan buntung
rasa-rasanya...."
"Puspa Ratri...." Kini perempuan berbedak tebal yang
memotong ucapan Puspa Ratri. "Bukan rasa-rasanya.
Tapi aku menduga dialah murid ayahmu yang pertama!"
"Dia menaruh dendam pada ayah juga kelima
saudara seperguruannya! Apakah tidak...."
"Urusan itu biarlah menjadi urusannya, Anakku! Kau
tidak usah ikut campur tangan!" sela perempuan
berbedak sebelum Puspa Ratri selesaikan ucapannya.
"Sebenarnya rahasia apa yang ada di tangan Ayah?"
gumam Puspa Ratri hampir tidak kedengaran.
"Itulah yang sampai saat ini menjadi tanda tanya!
Tapi aku punya dugaan, ayahmu masih ada!"
"Dari mana Ibu bisa mengatakan demikian?!"
"Firasat, Anakku! Dan seringkali firasat seorang istri
tidak jauh meleset!"
Puspa Ratri menghela napas panjang. Pandangannya
kembali jauh ke depan.
"Masih ada yang mengganjal di hatimu, Anakku?!"
Tanpa berpaling, Puspa Ratri gelengkan kepalanya.
Tapi perempuan berbedak tebal tersenyum dan berujar.
"Kau jangan membohongi ibumu, Anakku! Aku tahu,
kau menyimpan sesuatu! Katakanlah!"
Puspa Ratri tidak buka mulut. Perempuan berbedak
tebal batuk-batuk kecil.
"Puspa Ratri.... Kau memikirkan pemuda yang kau
tolong itu?"
SEMBILAN
PUSPA Ratri berpaling dengan paras berubah. Terlebih
ketika dilihatnya perempuan berbedak tebal sungging-
kan senyum. Meski hanya seulas senyum, namun
senyum itu seolah dapat menjawab apa yang kini ada
dalam hatinya.
"Cinta datangnya tidak terduga, Anakku! Tapi sebaik-
nya kau mengaca pada perjalanan hidup ibumu ini!"
"Maksud Ibu...?!" tanya Puspa Ratri dengan suara
agak tersendat.
"Bermodal cinta tulus saja tidak cukup! Dibutuhkan
juga keberanian dan keteguhan hati! Karena persaingan
dalam cinta pasti akan ada!"
"Aku tidak mengerti...," ujar Puspa Ratri.
"Pemuda itu kulihat memang seorang yang baik.
Selain juga berkepandaian tinggi. Tak heran jika nanti-
nya banyak gadis yang coba merebut hatinya! Di sinilah
persaingan itu akan muncul! Jika hanya bermodal cinta
tulus, kau hanya akan mengalami nasib sama denganku!
Menunggu dan menunggu! Kalaupun penantian itu
berakhir, datangnya sudah sangat terlambat! Dan
hanya datang sekejap! Lebihnya adalah perasaan
kecewa!"
Puspa Ratri mengeluh dalam hati. "Ibu tampaknya
sudah menduga apa yang kurasakan pada pemuda itu.
Hem.... Memang sebaiknya aku terus terang...." Memikir
begitu, akhirnya gadis berbaju hijau ini berkata.
"Sekarang apa yang harus kulakukan...?!"
"Aku tanya dahulu. Apakah kau jatuh hati pada nya?!"
perempuan berbedak tebal balik bertanya.
Untuk beberapa saat Puspa Ratri tidak menjawab.
Namun sesaat kemudian ia berkata. "Aku masih belum
mengenalnya dengan baik. Aku juga belum sempat
bicara banyak dengannya!"
"Perasaan cinta tidak membutuhkan waktu panjang
juga kata-kata, Anakku! Dari sikap dan tindakan, orang
sudah dapat ditebak!"
Wajah Puspa Ratri makin memerah. Dan sebelum
gadis ini buka mulut, perempuan berbedak tebal telah
berkata lagi. "Dari sikapmu, Anakku. Aku menduga kau
jatuh hati pada pemuda itu! Sebagai seorang ibu, aku
tidak bisa mencegah. Aku hanya bisa menyarankan!
Kalau kau benar-benar siap, teruskanlah! Tapi jika kau
tidak siap, lupakan dia!"
"Ibu...." Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut
Puspa Ratri. Dia tidak kuasa untuk lanjutkan ucapannya.
Perempuan berbedak tebal memandang lekat-lekat.
"Kau sudah dewasa. Dan perasaan cinta adalah hal yang
tidak bisa dipisahkan dengan kodrat anak manusia. Aku
tidak akan mencampuri urusan perasaanmu. Hanya kau
ingatlah pesanku tadi!"
Beberapa saat kemudian ibu dan anak ini sama-sama
diam. Mereka dibuncah dengan pikiran masing-masing.
"Ibu.... Boleh aku tanya sesuatu?" kata Puspa Ratri
buka pembicaraan lagi.
Perempuan berbedak tebal tersenyum sambil
anggukkan kepala.
"Kau akhir-akhir ini selalu berada di sekitar Istana
Hantu. Apa sebenarnya yang kau cari di sana? Dan
mengapa Ibu menolong pemuda itu?!"
Perempuan berbedak tebal kali ini tidak segera men-
jawab. Dia mendongok. Diam-diam dia berkata sendiri
dalam hati. "Ah. Bagaimana ini? Apa harus kukatakan
terus terang? Meski aku hampir pasti, namun hal itu
masih membutuhkan pembuktian...."
"Anakku. Meski aku tidak punya ilmu tinggi, namun
setidaknya aku adalah orang persilatan. Dan saat ini,
rimba persilatan sedang digemparkan lagi dengan
munculnya sang penghuni Istana Hantu. Aku tidak akan
tinggal diam jika memang penghuni Istana Hantu adalah
biang terjadinya kegemparan akhir-akhir ini!"
Setelah hentikan ucapannya sejenak, perempuan
berbedak tebal menyambung. "Tentang kenapa aku
menolong pemuda itu, aku sendiri tak tahu mengapa!
Mungkin kasihan, mungkin juga hanya karena sudah
menjadi kewajiban saling tolong antar sesama orang...."
"Hem.... Lalu ke mana dia setelah Ibu obati?!"
"Anakku...," kata perempuan berbedak tebal dalam
hati. "Kuharap kau nantinya mengerti jika untuk urusan
misteri Istana Hantu aku masih belum berterus terang
padamu! Aku takut kau akan ikut campur dalam urusan
ini. Lagi pula...."
Perempuan berbedak tebal tidak teruskan kata hati-
nya karena saat itu Puspa Ratri telah kembali berucap.
"Kudengar Ibu menggumam sendiri...."
Perempuan berbedak tebal tampak terkejut, karena
memang tanpa disadari dia seperti bicara sendiri.
"Puspa Ratri.... Pemuda itu tidak mengatakan kemana
dia hendak pergi. Namun kuharap kau tidak kecewa.
Suatu saat kalau ditentukan, tentu kau akan jumpa
dengannya. Hanya saja...."
"Kenapa Ibu tidak teruskan?! Hanya apa...?!"
"Lebih baik kau lupakan dia!"
Puspa Ratri seakan tersentak. Seraya bergerak
bangkit dia berkata.
"Ibu. Ada apa ini sebenarnya? Tadi ucapan Ibu
sepertinya memberiku kebebasan. Tapi ujungnya Ibu
mengatakan aku harus melupakannya!"
"Puspa Ratri.... Aku khawatir!"
"Khawatir apa...?!"
Perempuan berbedak tebal tidak menjawab.
Sebaliknya dia berpaling ke samping kanan. "Ada orang
berlari menuju arah kita! Kita harus sembunyi!"
"Ibu! Kita belum tahu siapa adanya orang itu!" ujar
Puspa Ratri sambil arahkan pandangannya ke samping
kanan. "Untuk apa kita sembunyikan diri?!"
"Saat ini rimba persilatan sedang kacau! Sulit
menentukan mana lawan mana kawan! Jalan terbaik
bagi kita adalah mengetahuinya terlebih dahulu!" seraya
berkata tangan kanan perempuan berbedak tebal cepat
menarik tangan Puspa Ratri. Hingga mau tak mau Puspa
Ratri melangkah ke belakang ibunya.
Keduanya lalu mendekam di balik batu. Sesaat
setelah keduanya berada di balik batu, satu bayangan
putih berkelebat. Tiba-tiba bayangan itu hentikan
langkah sepuluh tindak dari tempat Puspa Ratri dan
ibunya mendekam.
Puspa Ratri mendadak pentangkan sepasang mata-
nya. Tanpa sadar mulutnya terbuka hendak bicara.
Namun tertahan setelah ibunya buru-buru takupkan
tangan kirinya pada mulut anaknya. Sambil menatap
pada sang anak, perempuan berbedak tebal berbisik.
"Kuharap kau bisa menahan diri!"
Sepasang mata gadis berbaju hijau itu menatap tajam
ke dalam bola mata ibunya. Hatinya disamaki dengan
berbagai duga dan tanya. Namun dia menuruti juga
bisikan ibunya untuk menahan diri. Hingga akhirnya dia
hanya menatap ke depan dengan hati berdebar-debar.
Di depan sana orang yang tegak sapukan pandangan-
nya berkeliling. Dia adalah seorang pemuda berpakaian
putih-putih. Rambutnya yang panjang sedikit acak-
acakan dililit dengan ikat kepala berwarna putih pula.
Tiba-tiba pemuda ini angkat tangan kirinya. Lalu jari
kelingkingnya dimasukkan ke dalam lobang telinganya.
Sambil berjingkat dan meringis sendirian, si pemuda
melangkah pelan tinggalkan tempat itu.
Begitu sosok si pemuda agak jauh dan hampir saja
lenyap di balik rimbun pohon jauh di depan sana, Puspa
Ratri segera bangkit. Dan tanpa hiraukan ibunya, gadis
ini berkelebat ke arah perginya si pemuda.
"Ah. Mudah-mudahan apa yang kutakutkan tidak
terjadi...," kata perempuan berbedak tebal sambil
gelengkan kepala. Lalu kejap lain sosoknya berkelebat
ke arah berkelebatnya gadis berbaju hijau.
*
* *
"Heran. Ke mana perginya dia?!" gumam Puspa Ratri
tatkala matanya tidak lagi menangkap sosok orang yang
dikejar. Dia tegak dengan kepala berputar dan mata
memandang tak berkesip ke Seantero di mana dia
tegak.
"Jangan-jangan dia menuju Istana Hantu...."
Menduga begitu, gadis berbaju hijau ini segera
berkelebat kembali. Namun gerakan tubuhnya tertahan
tatkala pada saat bersamaan, terdengar satu deruan.
Kejap lain satu gelombang angin melabrak ke arahnya!
Sambil berseru tegang, Puspa Ratri berkelebat ke
samping selamatkan diri. Belum sempat dia palingkan
kepala ke arah sumber serangan gelap, kembali satu
gelombang angin deras melabrak kearahnya!
Untuk kedua kalinya Puspa Ratri harus berkelebat
hindarkan diri. Pada saat itulah satu bayangan
berkelebat.
Bukkk!
Puspa Ratri berseru tertahan. Sosoknya mencelat
mental dan terjengkang di atas rangasan semak belukar.
Terhuyung-huyung gadis berbaju hijau ini bergerak
bangkit. Sepasang matanya berkilat memandang ke
depan.
Sesaat gadis berparas cantik ini terkesiap. Tujuh
langkah dari tempatnya terlihat sesosok tubuh tegak
dengan kacak pinggang. Orang ini mengenakan jubah
aneh berwarna abu-abu. Jubah itu dibuat terusan dari
kepala sampai kaki hingga tidak satupun anggota
tubuhnya yang kelihatan!
"Orang asing! Siapa kau?! Mengapa tiba-tiba
menyerangku?!" Puspa Ratri berteriak.
Orang berjubah abu-abu aneh gerakkan tangan
kirinya menunjuk pada gambar tengkorak di bagian
dadanya.
Puspa Ratri membelalakkan sepasang matanya.
"Tengkorak...," desis Puspa Ratri. Dada gadis ini ber-
debar. Kuduknya menjadi dingin. Dia seakan mengeluh
karena tidak turuti ucapan ibunya untuk diam menahan
diri.
"Aku mengampuni nyawamu!" Tiba-tiba orang ber-
jubah abu-abu aneh yang bukan lain adalah Tengkorak
Berdarah membentak. "Tapi ceritakan apa yang kau
dengar dari percakapan dua orang yang kau intip!"
Puspa Ratri kembali tersentak kaget mendapati orang
mengetahui dirinya sempat mencuri dengar pembicaraan
antara Dewa Orok dan Daeng Upas beberapa waktu
berselang.
Seperti diketahui, saat Tengkorak Berdarah dan Dewa
Orok sama-sama hendak lepaskan pukulan, tiba-tiba
muncul seseorang yang melangkah dari pelataran Istana
Hantu. Orang ini menggendong seseorang yang pakaian
bagian bawahnya sangat panjang hingga sampai
menyapu tanah. Tapi orang yang menggendong ini tiba-
tiba lenyap. Dan bersamaan itu juga Tengkorak
Berdarah tidak tampak lagi di tempatnya semula.
Seandainya saat itu Dewa Orok dan Daeng Upas tidak
terkesima dengan kemunculan orang dari pelataran
Istana Hantu, niscaya keduanya akan dapat melihat
bagaimana sepasang kaki Tengkorak Berdarah tampak
tersurut mundur! Lalu kepalanya bergerak ke samping
kiri kanan. Kejap lain sosoknya berkelebat.
Di saat dia berkelebat itulah, orang ini masih me-
nangkap satu bayangan hijau berlari lalu mengendap-
endap di balik semak belukar. Tengkorak Berdarah
sejurus palingkan kepala ke arah orang yang meng-
endap-endap. Lalu teruskan kelebatannya.
Pada satu tempat yang dirasa aman, Tengkorak Ber-
darah hentikan larinya. Dia tegak di balik pohon besar
dengan kepala tengadah. Tak jelas apa yang tengah
dipikirkannya saat itu. Yang jelas dadanya tampak
berguncang turun naik. Setelah lama berdiam diri, dia
lantas berkelebat lagi ke tempat di mana Dewa Orok dan
Daeng Upas berada. Tapi sesampainya di tempat itu, dia
tidak menemukan siapa-siapa lagi. Juga gadis berbaju
hijau yang bukan lain adalah Puspa Ratri. Tengkorak
Berdarah tidak tahu, jika sesaat setelah munculnya gadis
berbaju hijau satu bayangan putih berkelebat lalu ikut
mengendap di samping gadis berbaju hijau dan tidak
lain adalah perempuan berbedak tebal.
Rupanya Tengkorak Berdarah tidak segera tinggalkan
tempat itu. Entah mengapa orang ini menduga bahwa
orang yang dicarinya masih berada di sekitar tempat itu.
Hingga akhirnya dia hanya mondar-mandir di sekitar
tempat itu. Saat itulah tiba-tiba dia menangkap satu
sosok pemuda melangkah perlahan sambil berjingkat-
jingkat. Namun perhatian Tengkorak Berdarah pada si
pemuda segera beralih tatkala tak lama kemudian
muncul gadis berbaju hijau yang tampak mengejar si
pemuda.
Si pemuda sendiri tampaknya tahu jika sedang
diperhatikan orang. Laksana terbang, dia segera
berkelebat lalu lenyap di balik rumpun semak belukar.
"Jangan bicara tak karuan! Siapa mengintip orang?!"
ujar Puspa Ratri setelah dapat kuasai rasa terkejutnya.
'Gadis setan! Dengar. Kurasa kau tahu sedang
berhadapan dengan siapa saat ini. Jangan coba
membohongiku! Mencabut nyawamu semudah aku
membalik telapak tangan!"
Dari apa yang baru saja dialaminya, Puspa Ratri
sebenarnya sadar jika ucapan orang di hadapannya
tidak salah. Namun justru dalam keadaan demikian,
rasa takut pada diri gadis ini perlahan-lahan lenyap.
Yang muncul sekarang adalah rasa tekad untuk mem-
pertahankan diri. Maka sambil menatap tak berkesip,
gadis ini balik membentak.
"Aku tak kena! siapa kau! Jangan membuai bermulut
besar dan bicara ngaco! Dan lekas enyah dari sini!"
Tengkorak Berdarah menggereng. "Rupanya nasibmu
tidak sebaik parasmu!" ujarnya. Ucapannya belum
selesai, tangan kanannya telah bergerak mendorong!
Wuuttt!
Terdengar deruan pelan. Namun bersamaan dengan
itu satu gelombang luar biasa dahsyat menggebrak!
Baru saja Puspa Ratri angkat kedua tangannya,
tubuhnya telah tersapu lebih dahulu. Hingga sosoknya
terhuyung-huyung. Namun gadis ini teruskan sentakan
kedua tangannya!
Baru setengah jalan kedua tangannya menyentak,
dari arah samping melesat gelombang angin keras. Lalu
terdengar suara letupan. Gelombang pukulan Tengkorak
Berdarah melenceng lalu ambyar!
*
* *
SEPULUH
WALAU sosoknya tidak bergeming sama sekali meski
pukulannya dilabrak orang, namun gerakan kepalanya
yang cepat menyentak ke samping menunjukkan bahwa
Tengkorak Berdarah sempat terkejut. Malah kepalanya
diam untuk beberapa lama seolah sepasang mata di
balik jubah abu-abu aneh yang juga menutupi kepalanya
itu terpentang besar menatap tak berkesip.
Sementara di seberang depan, Puspa Ratri segera
pula berpaling. Gadis ini sejenak terpaku dengan mulut
terbuka namun tak perdengarkan suara. Sepasang
matanya yang bundar menyipit membesar pandangi
seorang pemuda berpakaian putih-putih yang kini tegak
dengan bibir tersenyum-senyum!
"Dia rupanya...," gumam Puspa Ratri mengenali siapa
adanya si pemuda. Gadis ini merasakan detakan
dadanya bertambah keras. Namun diam-diam juga
merasa lega dan gembira. Hingga seakan tak meng-
hiraukan adanya orang lain, ia segera menghambur ke
arah si pemuda.
Namun gerakan Puspa Ratri tertahan karena pada
saat yang sama, Tengkorak Berdarah angkat tangan
kirinya diarahkan pada si gadis. Kejap lain terdengar
bentakan keras.
"Kau tetap di tempatmu! Jangan berani buka mulut
dan bergerak!"
Tangan kiri Tengkorak Berdarah terus bergerak ke
arah si pemuda. Mendadak si pemuda buka mulut
mendahului sebelum Tengkorak Berdarah bersuara.
"Kita belum pernah jumpa. Tentu kau akan tanya
siapa diriku! Betul?!"
Tengkorak Berdarah luruskan tangannya tepat ke
arah si pemuda. Terdengar dia mendengus. Lalu
terdengar bentakannya.
"Aku tak butuh nama calon bangkai manusia se-
pertimu!"
Si pemuda memperhatikan lekat-lekat pada sosok di
hadapannya. Dahinya mengernyit. Tapi sejenak
kemudian dia tersenyum sambil berujar.
"Kalau kau tak butuh namaku, kini aku tanya
padamu. Siapa kau?!"
"Aku tak pernah menolak pertanyaan orang, karena
itu adalah pertanyaan terakhirnya!" sahut Tengkorak
Berdarah. Kepalanya lalu bergerak tengadah.
"Aku adalah manusia terakhir yang kau lihat. Akulah
Tengkorak Berdarah!"
Si pemuda mendelik. Dia seakan hampir saja tak
percaya apa yang baru saja diucapkan orang. Hingga
mungkin untuk meyakinkan, si pemuda berpaling ke
arah gadis berbaju hijau yang tegak menatap ke
arahnya.
Dipandangi si pemuda, wajah Puspa Ratri jadi ber-
semu merah. Mulutnya seakan hendak membuka, tapi
terkancing lagi.
Melihat bayangan kebimbangan di wajah si gadis, si
pemuda berkelebat dan tahu-tahu telah tegak dua
langkah di samping Puspa Ratri.
"Gadis cantik berlesung pipit!" bisik si pemuda.
"Aku berterima kasih atas pertolonganmu tempo hari.
Aku sekarang butuh keyakinan. Apakah benar
ucapan manusia itu?!"
Mendengar dirinya disebut gadis cantik berlesung
pipit, dada Puspa Ratri makin berdebar. Paras wajahnya
bersemu merah. Untuk beberapa saat dia tidak men-
jawab pertanyaan orang. Hanya sepasang matanya yang
memandang tajam ke dalam bola mata si pemuda.
Hingga untuk sesaat kedua orang ini saling bentrok
pandang. Tapi Puspa Ratri segera alihkan
pandangannya.
Karena Puspa Ratri tidak juga memberi jawaban,
akhirnya si pemuda berbisik lagi.
"Apakah benar dia Tengkorak Berdarah?!"
Puspa Ratri berpaling. Namun kali ini tidak berani
menatap ke bola mata si pemuda. "Aku tidak mengenal-
nya. Manusia yang berjuluk Tengkorak Berdarah pun
aku belum pernah melihatnya. Jadi sulit aku menjawab
apakah benar dia Tengkorak Berdarah atau bukan...."
"Lalu ada silang sengketa apa antara kau dengan
dia?"
Puspa Ratri menggeleng. "Aku tak tahu. Dia tiba-tiba
menyerangku...."
Si pemuda sekali lagi pandangi sosok orang berjubah
abu-abu aneh. Diam-diam dia membatin. "Apakah ini
manusianya penghuni Istana Hantu? Mengapa dia
menyerang gadis ini? Hem.... Adakah ini pertanda
ucapannya benar?" Tiba-tiba si pemuda teringat akan
ucapan seorang kakek yang pernah ditemuinya juga
seorang kakek yang berada di dalam kuil di sebelah
barat Candi Jago.
"Dua orang yang kutemui itu nada ucapannya sama...
Malah orang terakhir yang kutemui mengatakan terus
terang aku tidak boleh membunuh Tengkorak Berdarah!
Hem.... Tapi kemunculannya yang selalu membuat
bencana pada setiap orang yang ditemuinya akan terus
berlangsung jika tidak dihentikan! Mendengar ucapannya
tadi, mungkin dugaan Ratu Malam jika lenyapnya
saudara-saudaranya akibat ulahnya ada benarnya!
Hem.... Tempo hari aku memang gagal memasuki
istananya tapi hari ini...."
Si pemuda tidak meneruskan membatin. Karena
di depan sana Tengkorak Berdarah angkat tangan
kanannya. Lalu didorong ke depan.
Wuuuttt!
Satu sapuan gelombang angin melabrak ganas ke
arah si pemuda. Si pemuda tidak tinggal diam. Dia
segera pula angkat tangannya dan didorong ke depan.
Terdengar letupan. Sapuan gelombang yang datang
dari Tengkorak Berdarah ambyar. Sedang gelombang
yang melesat dari tangan si pemuda bertabur kian
kemari.
Tengkorak Berdarah perdengarkan suara meng-
gereng. Suara gerengannya belum lenyap, sosoknya
telah berkelebat ke depan.
Buukkk! Buuukkk!
Dua pasang tangan beradu keras di udara. Sosok si
pemuda tersurut satu langkah. Tengkorak Berdarah
mundur dua tindak. Dari bentrokan tadi keduanya
segera bisa maklum jika lawan memiliki tenaga dalam
tinggi. Malah si pemuda tampak terkesiap sendiri dan
bergumam heran.
"Aku merasa tenaga dalamku berlipat ganda! Aneh..."
Kalau si pemuda terkesiap dengan keadaan dirinya
sendiri, tidak demikian halnya dengan Tengkorak
Berdarah. Orang ini tampaknya terkejut besar hingga
secara tak sadar dia segera membentak.
"Pemuda setan! Siapa kau sebenarnya?!"
Mendengar pertanyaan orang, si pemuda tersenyum.
"Seperti katamu, aku adalah calon bangkai manusia!"
"Setan!" teriak Tengkorak Berdarah. Kini kedua
tangannya diangkat sekaligus. Lalu disentakkan kuat-
kuat.
Gelombang luar biasa hebat melesat laksana cahaya
berkiblat!
Si pemuda tak mau bertindak ayal. Dia cepat salurkan
tenaga dalam pada kedua tangannya. Tiba-tiba tangan-
nya berubah menjadi berwarna kekuningan. Udara
berubah panas menyengat. Inilah pertanda bahwa si
pemuda hendak lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning'!
Pukulan yang dahulu pernah dimiliki oleh seorang tokoh
bergelar Pendeta Sinting yang akhirnya diwariskan pada
murid tunggalnya Joko Sableng Pendekar Pedang
Tumpul 131.
Begitu kedua tangan si pemuda yang bukan lain
adalah Pendekar 131 mendorong, satu gelombang angin
luar biasa dahsyat menghampar dengan membawa
hawa panas menyengat dan menebarkan semburatan
warna kuning di udara.
Tempat itu mendadak laksana dilanda gempa hebat.
Tanahnya bergetar keras dan bertaburan keudara.
Anehnya sosok Pendekar 131 hanya tersurut tiga
langkah, sementara Tengkorak Berdarah tersapu sampai
satu tombak!
"Heran.... Aku mengerahkan tenaga dalam seperti
biasa. Tapi kurasa tenaga dalamku jadi berlipat ganda!
Apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku?!" kata Joko
dalam hati. Murid Pendeta Sinting ini tidak tahu, jika di
dalam tubuhnya kini mengendap tenaga dalam milik
kakek yang berada di dalam kuil yang tanpa
sepengetahuan Joko telah salurkan seluruh tenaga luar
dalamnya hingga dia sendiri kehabisan tenaga dan
menghembuskan napas terakhir.
Tengkorak Berdarah tersentak bukan main. "Baru kali
ini aku mendapati orang yang tenaga dalamnya begitu
kuat. Siapa sebenarnya jahanam ini? Jangan-jangan
pemuda ini yang kucari.... Tapi aku harus buktikan
dahulu!"
Berpikir begitu Tengkorak Berdarah takupkan kedua
tangannya di depan dada. Terdengar gumaman tak jelas
dari mulut di balik jubah abu-abunya yang aneh.
Sikap orang membuat murid Pendeta Sinting segera
maklum jika dia sedang siapkan pukulan andalannya.
Pendekar 131 tak tinggal diam. Dia segera pula
kerahkan tenaga dalam siapkan sekali lagi pukulan sakti
'Lembur Kuning'. Namun tiba-tiba dia ragu-ragu. Di
telinganya terngiang ucapan Raja Tua Segala Dewa dan
kakek dalam kuil. Dia juga merasa heran. Saat hendak
memasuki Istana Hantu, pukulan sang penghuni terasa
begitu hebat. Namun orang yang mengaku sebagai
Tengkorak Berdarah ini pukulannya bisa dipangkas
dengan mudah!
Keragu-raguan Pendekar 131 cepat ditangkap Teng-
korak Berdarah. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan.
Dia segera tarik kedua tangannya dan disentak ke depan
berulangkali.
Wuuuttt! Wuuttt! Wuuuttt! Wuuuttt!
Empat gelombang angin dahsyat susul-menyusul
melabrak ke arah murid Pendeta Sinting. Demikian
cepatnya gelombang itu hingga tak ada kesempatan lagi
bagi Joko untuk lepaskan pukulan apalagi kini hatinya
digelayuti perasaan ragu-ragu.
Puspa Ratri yang mengetahui hai itu segera ber-
tindak. Gadis ini yang memiliki gerakan laksana kilat
cepat berkelebat. Karena tak mungkin menyambar tubuh
Joko, akhirnya gadis ini hanya tendangkan kaki
kanannya ke arah pinggul murid Pendeta Sinting.
Buukkk!
Sosok Pendekar 131 tampak mencelat satu tombak
ke samping. Hal ini menyelamatkannya dari gelombang
pukulan yang pertama.
Namun bahaya belum selesai. Karena ternyata empat
gelombang angin yang melesat dari kedua tangan
Tengkorak Berdarah menebar dan salah satunya kini
mengarah pada Joko yang masih terhuyung akibat
tendangan Puspa Ratri!
Meski terhuyung, Pendekar 131 angkat juga tangan-
nya untuk memapak pukulan yang datang. Namun satu
gelombang angin tiba-tiba menyeruak dan mendahului
pukulan Joko memapak gelombang pukulan Tengkorak
Berdarah!
Gelombang pukulan yang mengarah pada murid
Pendeta Sinting tersapu keras lalu mengudara meng-
hantam tempat kosong.
Tengkorak Berdarah berseru keras. Dia segera
berkelebat ke samping kanan dari mana angin yang
memangkas pukulannya bersumber. Kedua tangannya
sudah diangkat tinggi-tinggi siap lepaskan lagi pukulan.
Namun begitu sepasang mata di balik bungkus jubah
anehnya memandang ke depan, mendadak kedua
tangannya terdiam di udara.
SEBELAS
TUJUH langkah di hadapan Tengkorak Berdarah tegak,
terlihat satu sosok tubuh perempuan yang wajahnya
disaput bedak putih tebal. Rambutnya digelung ke
belakang. Kedua tangannya bergerak menarik ke
belakang lalu diluruhkan ke bawah.
Entah kenapa tiba-tiba Tengkorak Berdarah urungkan
niat untuk lepaskan pukulan. Orang ini merasakan
dadanya berdebar. Pikirannya gelisah. Namun sesaat
kemudian Tengkorak Berdarah gerakkan lagi kedua
tangannya hendak menyentak.
Perempuan berbedak tebal yang bukan lain adalah
ibu Puspa Ratri tersenyum. Lalu kepalanya menggeleng.
Tengkorak Berdarah untuk kedua kalinya urungkan niat.
Namun kedua tangannya masih berada di udara.
Perempuan berbedak tebal melirik ke arah Pendekar
131, lalu beralih ke arah Puspa Ratri. Sejenak kemudian
memandang lekat-lekat pada Tengkorak Berdarah.
"Anak-anak muda itu tidak punya urusan apa-apa!
Jangan turutkan kemarahan dan gejolak hati! Mari kita
bicara baik-baik!"
"Siapa kau sebenarnya? Tahu apa kau tentang orang-
orang itu. Hah?l"
Perempuan berbedak tebal tersenyum. "Kau mungkin
sudah lupa. Pada beberapa tahun silam kita pernah
jumpa!"
Tengkorak Berdarah tengadahkan kepala. "Memang
benar. Beberapa tahun lalu aku pernah jumpa
perempuan keparat ini! Dahulu dia juga pernah
menghalang-halangiku! Hem...."
"Kita memang pernah jumpa! Tapi dari dulu kau
merahasiakan dirimu! Itulah yang membuatku urungkan
niat untuk membunuhmu. Aku ingin kau sebutkan diri
dahulu sebelum kukirim ke neraka!"
"Keinginanmu akan segera terpenuhi. Tapi kurasa
bukan di sini tempat yang baik untuk...."
"Aku tak punya waktu banyak!" potong Tengkorak
Berdarah. "Kalau kau tidak mau katakan tak apa-apa!
Tapi niatku tidak berubah!"
"Hem.... Sebenarnya kau punya banyak waktu. Hanya
karena kau terdorong oleh banyak keinginan, waktumu
jadi sempit! Padahal selama ini kau tidak mendapatkan
apa yang kau inginkan!"
Sosok Tengkorak Berdarah tampak bergetar.
"Kau tahu apa tentang diriku?"
Perempuan berbedak tebal menggeleng pelan.
"Aku tak tahu banyak tentang dirimu. Yang kutahu
adalah selama ini kau menebar maut tanpa ujung
pangkal jelas!"
Tiba-tiba Tengkorak Berdarah tertawa bergelak.
"Bagus jika kau sudah tahu itu! Dan kau adalah calon
korban maut tak jelas itu!"
"Hem.... Itu urusan takdir yang belum tentu.
Sekarang aku tanya padamu.... Apakah dengan menebar
maut itu semua keinginanmu terpenuhi?!"
"Keparat! Dari tadi kau sebut-sebut keinginan! Dengar
perempuan! Tanganku menebar maut bukan tanpa
tujuan jelas! Dan selama ini memang keinginanku belum
terpenuhi. Sayang sebentar lagi nyawamu melayang!
Jika tidak tentu kau akan tahu!"
Perempuan berbedak tebal batuk-batuk beberapa
kali. "Kau yakin akan hal itu?!"
"Aku tak perlu keyakinan! Aku punya akal dan
kekuatan!"
"Itu belum cukup, Sahabat! Buktinya selama ini kau
belum mendapatkan apa yang menjadi keinginanmu!"
"Kau tahu apa tentang keinginanku? He...?!"
"Itu akan kukatakan. Tapi tidak di sini! Besok malam
kutunggu kedatanganmu di dekat pancuran air di
sebelah timur Kampung Pandan! Tentu kau masih ingat
tempat itu!"
"Kalau urusan sepele untuk apa harus dibicarakan di
tempat itu?! Kau takut didengar mereka?!" tanya
Tengkorak Berdarah sambil menunjuk pada Pendekar
131 dan Puspa Ratri yang masih tegak dengan
mendengarkan pembicaraan mereka.
"Ini bukan hanya urusan sepele. Tapi juga urusan di
antara kita berdua!"
Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. "Urusanmu
denganku adalah urusan pembayaran nyawamu karena
menghalangiku! Tidak ada urusan lain!"
"Di antara kita ada urusan lain! Dan itu lebih besar
daripada urusan nyawaku! Usahakan untuk datang ke
tempat yang kukatakan tadi!"
"Keparat! Siapa sebenarnya perempuan ini? Dia se-
akan tahu rencana keinginanku!" membatin Tengkorak
Berdarah sambil memperhatikan perempuan berbedak
tebal yang saat Itu melangkah ke arah tegaknya
Pendekar 131 dan Puspa Ratri anaknya.
"Terima kasih atas ucapanmu tempo hari.... Aku
memang bertemu...."
"Cukup, Anak muda! Sekarang kuharap kau lekas
tinggalkan tempat ini!" tukas perempuan berbedak tebal,
membuat murid Pendeta Sinting tersentak. Di sebelah-
nya, Puspa Ratri tampak terdiam dengan dada dipenuhi
berbagai perasaan.
"Orang ini aneh... Kemarin tampaknya sikapnya halus,
tapi kali ini nada ucapannya ketus… Apa ada yang
salah?!" kata Joko dalam hati.
Diam-diam pula Puspa Ratri membatin. "Kenapa Ibu
lain dengan biasanya? Apakah dia benar-benar hendak
memaksakan kehendaknya agar aku melupakan pemuda
ini? Tidak! Siapa pun tak berhak melarangku! Termasuk
Ibu!"
"Anak muda! Kau mendengar ucapanku. Kenapa
masih tegak di situ?!" tegur perempuan berbedak tebal
saat dilihatnya murid Pendeta Sinting masih tidak
beranjak dari tempatnya.
"Harap sudi mengatakan jika aku membuat tindakan
keliru!" ujar Joko.
"Kemunculanmu di sini, Anak Muda! Itulah hal yang
salah bagimu!" sahut perempuan berbedak tebal. "Kau
masih punya urusan penting! Jadi lekaslah tinggalkan
tempat ini!"
"Urusan penting?" ulang Joko. Dia sebenarnya
hendak bertanya pada perempuan berbedak tebal.
Namun si perempuan telah melangkah ke arah Puspa
Ratri. Dan terdengar dia berkata.
"Kau ikuti aku!"
Puspa Ratri memandang tajam pada ibunya. Namun
sebelum gadis berbaju hijau ini buka mulut, perempuan
berbedak tebal telah berkata.
"Ini demi kebaikanmu! Jadi buanglah salah sangka!"
Sementara perempuan berbedak tebal telah berbicara
dengan Pendekar 131 dan Puspa Ratri, Tengkorak
Berdarah arahkan kepalanya pada Pendekar 131.
"Mereka bertiga nampaknya sudah saling kenal.
Hem.... Aku akan mengorek keterangan dari mulut
pemuda ini! Perempuan berbedak tebal itu tampaknya
tahu banyak semua urusan orang! Sebetulnya aku tak
ingin turuti ucapannya, tapi...." Tengkorak Berdarah
tidak lanjutkan kata hatinya. Diam-diam dia berkelebat
pergi dari tempat itu.
Sebenarnya murid Pendeta Sinting tahu kelebatan
perginya Tengkorak Berdarah, namun karena hatinya
masih sangsi juga karena perempuan berbedak tebal
sudah menjanjikan pertemuan, maka dia sengaja pura-
pura tak hiraukan perginya si Tengkorak Berdarah.
"Puspa Ratri! Ikut aku!" kata perempuan berbedak
tebal. Lalu tanpa berpaling pada Pendekar 131,
perempuan ini melangkah tinggalkan tempat itu.
Puspa Ratri sesaat pandangi ibunya, lalu menatap
pada murid Pendeta Sinting. Wajahnya tampak murung.
Tiba-tiba gadis berbaju hijau ini melompat ke arah Joko.
"Kau tunggulah di sini! Aku masih perlu bicara!"
Habis berbisik begitu, tanpa menunggu jawaban
murid Pendeta Sinting, Puspa Ratri melangkah mengikuti
ibunya.
Pada satu tempat agak jauh, perempuan berbedak
tebal hentikan langkahnya. Kepalanya berpaling ke
belakang. Dia menghela napas melihat anaknya
kelihatan enggan dan murung.
"Kau tak tahu, Anakku! Selama ini kulakukan karena
Ibu tidak mau melihatmu mengalami nasib yang pernah
Ibu alami! Aku tak ingin melihatmu merana karena
cinta..., Puspa Ratri...!" kata perempuan berbedak tebai
begitu anaknya agak dekat. "Kuharap kau mengerti akan
tindakan Ibu! Ini demi kebaikanmu kelak...."
Puspa Ratri tidak menyahut. Malah memandangpun
tidak, membuat perempuan berbedak tebal gelengkan
kepala perlahan. Setelah berpikir agak lama dan
dilihatnya Puspa Ratri hanya tegak dengan mulut
terkancing dan pandangan ke jurusan lain, akhirnya
ibunya berujar.
"Seorang Ibu tidak ada yang punya maksud jahat,
Anakku! Tapi jika kau masih menduga yang tidak-tidak,
sekarang terserah padamu. Kau boleh mengikutiku atau
pergi ke mana saja kau suka!"
Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal
teruskan langkah. Puspa Ratri untuk beberapa saat
masih tegak. Gadis ini gundah. Apakah pergi mengikuti
ibunya atau kembali ke pemuda yang diam-diam
dirindukannya. Namun akhirnya gadis berbaju hijau ini
perturutkan kata hatinya untuk menemui Pendekar 131!
Begitu Puspa Ratri berpaling dan terlihat ibunya
sudah jauh, gadis ini balikkan tubuh. Lalu berkelebat
cepat ke arah dari mana dia datang.
Sementara itu, Pendekar 131 sendiri untuk beberapa
saat lamanya masih tetap di tempatnya berdiri. Dia coba
menduga-duga apa yang diucapkan perempuan
berbedak tebal. Karena begitu tenggelam memikirkan
keanehan sikap perempuan berbedak tebal juga sikap si
gadis, murid Pendeta Sinting ini tidak sadar jika dari sela
semak satu sosok tubuh terus memperhatikan gerak
geriknya.
"Saatnya aku mengorek keterangan dari mulutnya"
kata orang yang sedari tadi mengawasi Pendekar 131
dan bukan lain adalah Tengkorak Berdarah.
Orang berjubah abu-abu aneh ini segera berkelebat
keluar. Tapi gerakannya tertahan tatkala dari arah depan
sana satu bayangan hijau berkelebat cepat dan tahu-
tahu telah tegak lima langkah di hadapan Pendekar 1311
"Jahanam! Gadis setan itu lagi! Akan kulihat dulu apa
yang hendak diperbuat keduanya!" gumam Tengkorak
Berdarah mengenali siapa adanya orang yang kini tegak
di depan murid Pendeta Sinting.
"Apa yang hendak dibicarakan gadis cantik ini?" tanya
Joko dalam hati seraya pandangi Puspa Ratri. Yang
dipandang balas memandang. Namun hanya itu yang
dilakukan si gadis. Dia tidak buka mulut untuk bicara.
Joko Sableng melangkah mendekat. "Aku lupa pernah
mengatakan namaku padamu atau belum. Tapi tak ada
jeleknya bukan jika aku mengatakan saat ini padamu?
Tak enak rasanya bicara tanpa tahu siapa orang yang
diajak bicara...."
Kemurungan si gadis mendadak lenyap. Bibirnya
bergerak sunggingkan senyum. "Aku juga lupa apa
pernah dengar kau sebutkan diri apa belum. Sementara
kau sendiri tadi tentu sudah mendengar namaku
disebut."
"Hem.... Boleh kutahu, apa hubunganmu dangan
perempuan memakai bedak tebal tadi? Lalu kemana dia
pergi?"
"Kau sebutkan dulu siapa dirimu...," ujar Puspa Ratri
masih dengan bibir tersenyum.
"Ah.... Namaku Joko Sableng!"
"Aku Puspa Ratri...." Gadis berbaju hijau menimpali.
"Hem.... Aku lebih suka memanggilmu Gadis cantik
berlesung pipit! Kau tak keberatan?"
Paras muka Puspa Ratri memerah. Dadanya
berdebar. Dia akhirnya hanya gelengkan kepala sambil
arahkan kepala sedikit ke samping sembunyikan
perubahan raut wajahnya.
"Lalu siapa perempuan tadi?!" tanya murid Pendeta
Sinting.
"Dia ibuku!"
Pendekar 131 kernyitkan dahi. Seakan tahu apa yang
dipikir murid Pendeta Sinting, Puspa Ratri sambung
ucapannya. "Aku sendiri tak tahu mengapa Ibu melaku-
kan penyamaran begitu rupa! Saat kutanya dia selalu
jawab saatnya akan datang untuk membuka
penyamarannya...."
"Ke mana dia pergi? Dan mengapa kau tidak
mengikutinya? Bukankah dia menyuruhmu untuk ikut?!"
"Dia tidak mengatakan hendak ke mana. Aku sudah
besar. Aku bebas tentukan langkah sendiri!" suara Puspa
Ratri kali ini agak keras dan bergetar.
"Ah. Mungkin terjadi sesuatu antara gadis ini dengan
ibunya! Waktu tiba tadi, kulihat wajahnya murung....
Hem... jangan-jangan ini karena aku!" duga Joko dalam
hati. Lalu berkata.
"Kuharap tidak terjadi sesuatu apa antara kau dan
ibumu karena kemunculanku tadi...."
"Ah...," Puspa Ratri mengeluh. "Kau tak tahu, Joko....
Justru karena kaulah semua ini terjadi.... Apakah kau
tidak merasa bagaimana perasaanku padamu? Sejak
pertama kali melihatmu, aku tertarik.... Bahkan karena
itu, aku berani tidak menuruti perintah ibgku...."
"Kau tak usah cemaskan itu, Joko!" kata Puspa Ratri
pada akhirnya.
"Tapi tampaknya ibumu tidak menyukai kehadiranku!
Dia kelihatan berubah! Tidak seperti pertama kali jumpa
tempo hari...."
"Hem.... Itu mungkin hanya perasaanmu saja!" ujar
Puspa Ratri masih coba menutupi.
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku seorang laki-
laki. Tidak biasa menilai dengan perasaan. Aku melihat
dari sikap dan ucapannya...."
Puspa Ratri jadi terdiam mendengar ucapan murid
Pendeta Sinting.
"Mungkin penilaianku salah," sambung Joko.
"Tapi perubahan wajahmu menguatkan dugaanku....
Mungkin ibumu tidak suka aku bersahabat denganmu!"
Puspa Ratri memandang lekat-lekat pada Pendekar
131. "Kau jangan terlalu jauh menduga, Joko. Dan
ketahuilah.... Siapa pun termasuk ibuku tak berhak
untuk menghalangi persahabatan kita! Aku....Aku...."
Puspa Ratri tak sanggup untuk teruskan ucapannya.
"Ah. Ada apa sebenarnya dengan gadis cantik ini?"
batin Joko.
"Mungkin ibumu punya pandangan sendiri padaku.
Atau...."
"Joko...." Puspa Ratri tiba-tiba menghambur ke arah
Pendekar 131. Kedua tangannya cepat melingkar di
pinggang murid Pendeta Sinting, sementara kepalanya
disandarkan pada dadanya. Sesaat Pendekar 131
tampak terperangah. Namun untuk menenangkan
perasaan si gadis akhirnya dia hanya diam saja, malah
tidak lama kemudian kedua tangannya ikut melingkar di
pinggang si gadis.
"Joko...," bisik Puspa Ratri. "Apa pun pandangan
ibuku padamu, aku percaya kau adalah pemuda baik!
Dan sejak pertama kali melihatmu, aku suka padamu...."
Ucapan terus terang si gadis membuat murid Pendeta
Sinting makin terlengak. Hingga untuk beberapa lama
mulutnya terbuka tapi tak keluarkan suara. Sebaliknya
Puspa Ratri makin mempererat pelukannya.
Beberapa saat berlalu. Entah karena khawatir tak
dapat menguasai gejolak yang mulai timbul, murid
Pendeta Sinting berbisik.
"Tak baik kita berpelukan di tempat begini. Apalagi
jika ibumu mendadak muncul...."
Tapi Puspa Ratri seakan tak mendengar ucapan pelan
murid Pendeta Sinting. Malah gadis ini makin rapatkan
tubuhnya.
Pendekar 131 menarik napas dalam. Dia tidak
mengerti kenapa dalam keadaan begini tiba-tiba muncul
bayangan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi. Hingga
tanpa sadar dia menggumam pelan seakan bicara
sendiri.
"Joko.... Kau bicara apa?" tiba-tiba Puspa Ratri
menegur sambil tarik wajannya dari dada murid Pendeta
Sinting.
Joko tersentak. Bayangan Dewi Seribu Bunga dan
Sitoresmi lenyap. Seraya tersenyum menutupi
keterkejutannya, dia berbisik.
"Aku khawatir ibumu kembali dan tahu kita...."
"Kau takut? Atau di hatimu ada orang lain, Joko?"
"Walah. Jangan-jangan dia tadi mendengar gu-
mamanku yang keluar secara tidak kusengaja...."
"Aku senang mendapat perhatian darimu.... Padahal
aku bukanlah pemuda yang seperti kau duga...," ujar
Joko Sableng pada akhirnya
"Kau menjawab bukan pertanyaanku, Joko...."
Karena murid Pendeta Sinting tidak juga menjawab
ucapan Puspa Ratri berbisik lagi. "Jujurlah, Joko. Adakah
gadis lain yang telah mendahuluiku? Aku tidak akan
memaksakan kehendak hatiku jika memang di hatimu
ada orang lain! Percayalah. Aku siap mendengar
ucapanmu meski sebenarnya aku harus menelan rasa
kecewa...." Sambil berbisik, Puspa Ratri pejamkan
sepasang matanya. Dada gadis ini tampak bergetar.
Joko juga merasakan kedua tangan Puspa Ratri yang
masih memeluk pinggangnya juga bergetar.
Mungkin hanyut oleh ucapan si gadis, Joko gerakkan
wajahnya lalu mencium kening si gadis.
Puspa Ratri menggumam tak jelas. Lalu rebahkan
kembali wajahnya ke dada murid Pendeta Sinting. Dan
tak lama kemudian, entah siapa yang memulai,
keduanya terlihat tenggelam dalam pelukan mesra.
Ketika Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
tenggelam dalam pelukan mesra dengan Puspa Ratri,
dari arah timur satu sosok tubuh berkelebat lalu diam
mendekam di balik semak belukar tidak jauh dari tempat
dua orang itu berpelukan. Orang ini ternyata adalah
pemuda berwajah tampan berkumis tipis mengenakan
pakaian hitam-hitam.
Untuk sesaat sepasang mata pemuda berpakaian
hitam-hitam yang bukan lain adalah Raka Pradesa
menyipit menyaksikan pemandangan di depan sana.
Namun begitu mengenali siapa adanya orang yang
sedang bermesraan itu, mendadak matanya mendelik
dan memandang tak berkesip seolah tak percaya. Kejap
lain terlihat kedua tangan pemuda berkumis tipis ini
mengepal. Dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas.
Ingin rasanya pemuda ini melompat keluar dari
tempatnya jika saja pikiran jernih tidak segera muncul
menghadang. Malah diam-diam kepala pemuda ini
segera berpaling ke jurusan lain.
Kalau ada orang lain di tempat itu tentu akan tahu,
jika bersamaan dengan berpalingnya kepala si pemuda,
sepasang matanya tampak berkaca-kaca! Dan tak lama
kemudian kedua tangannya terangkat menutupi
wajahnya. Namun tiba-tiba Raka Pradesa tarik kedua
tangannya dari wajahnya. Kepalanya tengadah.
"Ucapan perempuan berbedak tebal itu.... Rupanya
ada benarnya. Aku harus melupakan pemuda itu.... Ah,
ternyata dia telah punya seorang gadis.... Hem...
makanya gadis itu menolong. Tak tahunya jika dia
adalah sepasang kekasih. Tapi ini juga mungkin karena
kesalahanku yang tidak berterus terang. Dia mungkin
memandangku apa adanya! Tidak tahu jika aku
adalah...." Raka Pradesa menarik napas dalam.
Kepalanya berpaling lagi. Namun cepat-cepat kepalanya
disentakkan lagi begitu terlihat bagaimana di depan sana
Pendekar 131 tampak makin mempererat pelukannya
dan menciumi wajah gadis berbaju hijau.
Mungkin tak dapat menahan perasaan, Raka
Pradesa saling remaskan kedua tangannya. Dadanya
tampak berguncang keras. Matanya berkaca-kaca
namun terpentang besar-besar.
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Tak pantas
rasanya mengusik keasyikan mereka. Tapi aku tak bisa
melihat mereka terus-terusan begitu! Perbuatan gila itu
harus dihentikan!" gumam Raka Pradesa berapi-api.
Namun sekejap kemudian dia mengeluh. "Tapi ini bukan
salah mereka! Akulah yang salah! Tapi apakah aku juga
salah jika mengharapkan?"
Untuk beberapa lama Raka Pradesa diam tak tahu
harus berbuat apa. Setelah menarik napas berulangkali,
akhirnya dia bergumam.
"Ah. Mungkin ini suratan nasib yang harus kujalani....
Aku akan mencoba turuti ucapan perempuan berbedak
tebal itu untuk melupakan pemuda itu.... Tapi apakah
aku mampu...? Sejak pertama kali jumpa, aku tak bisa
melupakannya...."
Raka Pradesa bergerak bangkit. "Daripada harus
melihat hal yang membuat hatiku tampak kecewa, lebih
baik aku tinggalkan tempat celaka ini!' Akhirnya Raka
Pradesa memutuskan.
Meski dia bergumam begitu, namun sebelum
bergerak pergi, dia tak kuasa juga untuk tidak berpling
melihat orang di depan sana.
Raka Pradesa terdengar perdengarkan dengusan
pelan begitu berpaling. Lalu sentakkan kepalanya dan
berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun satu teguran
pelan mendadak terdengar, membuat Raka Pradesa
urungkan niat untuk berkelebat.
"Apa kerjamu di sini, Anak Muda?"
Raka Pradesa putar diri. Sejarak lima langkah dari
tempatnya, pemuda berkumis tipis ini melihat satu sosok
tubuh!
SELESAI
PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOK0 SABLENG
Segera terbit!!!
Serial Joko Sableng
Pendekar Pedang Tumpul 131
dalam episode:
RATU CINTA DARI DASAR BUMI
0 comments:
Posting Komentar