..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 30 November 2024

JOKO SABLENG EPISODE TABIR ASMARA HITAM

JOKO SABLENG EPISODE TABIR ASMARA HITAM

 JOKO SABLENG

PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131



SATU


PADA satu tanah agak menggugus masing-masing 

orang melihat seraut wajah tampan milik seorang 

pemuda. Sepasang matanya tajam. Hidungnya 

mancung. Namun bukan karena ketampanan raut si 

pemuda yang membuat semua orang tersentak dan 

pentangkan mata masing-masing. Ternyata pemuda ini 

tidak berdiri tegak dengan berpijak pada kedua kakinya. 

Sebaliknya sepasang kakinya berada di atas, sementara 

kepalanya di bawah menopang tubuhnya! Pada 

mulutnya tampak sebuah karet bundar seperti dot bayi 

yang sesekali disedot. Setiap kali si pemuda gerakkan 

mulut menyedot, terdengar suara duutt! Duuuttt! 

Duuuttt! Dan lebih dari itu, ternyata pemuda ini tidak 

mempunyai tangan! Anehnya, meski tegak dengan kaki 

di atas dan kepala di bawah, namun pakaian yang 

dikenakan tidak menyibak ke bawah. Dan kedua lengan 

pakaiannya yang kempes karena tak berisi tangan,

tampak kaku ke samping kiri kanan.

 Selagi semua orang di situ masih tegak dengan

terkesima dan mulut terkancing, Daeng Upas yang

gerakannya untuk lakukan totokan pada Pendekar 131 

tertahan malah sosoknya tersurut dua langkah laksana 

terbang segera berkelebat ke arah si pemuda yang 

tegak terbalik dan langsung lepaskan dua jotosan dari 

jarak empat tangkah!

 Seakan tahu pukulan Daeng Upas yang dapat lakukan 

jotosan atau tendangan walau dari jarak jauh, si pemuda 

gerakkan dua bahunya sebelum kedua tangan Daeng 

Upas bergerak

 Sepasang lengan baju si pemuda bergerak kebawah 

mengibas tanah.

 Bettt! Bettt!

 Pada saat bersamaan, sosok si pemuda melenting ke 

udara setanggi dua tombak. Membuat gerakan jungkir 

balik satu kali, lalu mendarat di atas tanah dengan


bertumpu pada kedua ibu jari kakinya!

 Daeng Upas tegak di atas tanah dengan wajah

tegang dan rahang terangkat. Sebagai orang yang

memiliki kepandaian tinggi meski selama ini tidak ada 

orang yang mengetahui, dari sikap dan gerakan si 

pemuda, nenek yang wajahnya masih membayang

kecantikan ini telah maklum jika si pemuda bukanlah

orang yang dapat dipandang sebelah mata.

 Di sebelah depan, murid Pendeta Sinting perhatikan 

baik-baik ke arah si pemuda. "Sulit dipercaya jika tidak 

melihat sendiri. Rimba persilatan ternyata tidak hanya 

disarati urusan aneh. Tapi juga dikelilingi manusia-

manusia aneh!" batinnya.

 Agak ke samping. Raka Pradesa sipitkan sepasang 

matanya dengan dahi berkerut. Diam-diam dia juga 

berkata dalam hati. "Banyak tokoh-tokoh yang kukenal

meski hanya lewat ciri-cirinya. Namun ciri-ciri pemuda ini 

belum pernah kudengar! Apakah dia tokoh yang baru 

saja muncul? Atau selama ini dia tidak menunjukkan 

kepandaiannya hingga namanya tidak banyak dikenal 

kalangan dunia persilatan?!"

 Seperti halnya Pendekar 131 dan Raka Pradesa. Dewi 

Siluman juga terlihat menduga-duga siapa adanya si 

pemuda. Entah karena tak dapat jawaban dari dirinya 

sendiri, perempuan bercadar dan berjubah hitam anak 

Daeng Upas ini segera berpaling pada Ki Buyut Pagar 

Alam yang berada di sampingnya sambil bergumam.

lagi "Siapa pemuda buntung itu, Ki Buyut?!"

 Kakek berwajah pucat yang kedua tangannya selalu 

masuk ke dalam saku jubah hitamnya yang juga adalah 

adik kandung Daeng Upas berpaling dengan gelengkan 

kepala. "Berpuluh tahun merambah rimba persilatan, 

baru kali ini aku melihatnya! Telingaku pun belum 

pernah mendengar orang membicarakan pemuda 

seperti dia. Tapi melihat usianya, kukira dia orang yang 

baru dalam kancah dunia persilatan. Hanya saja dia 

memiliki kepandaian sangat tinggi


Mendengar ucapan Ki Buyut, Dewi Siluman 

perdengarkan dengusan. "Urusan ini belum selesai. Ke-

munculannya akan menambah keadaan tidak karuan! 

Kita be!um tahu benar apakah pemuda buntung ini 

benar-benar mempunyai ilmu tinggi. Sebaiknya dia kita 

singkirkan dahuiu!"

 "Di sini ada ibumu. Kita tunggu dulu apa yang hendak 

dilakukan olehnya!"

 "Tapi....”

 Ucapan Dewi Siluman belum selesai, Ki Buyut telah 

memotong. "Kau tak usah khawatir. Orang-orang selama 

ini memang tidak tahu sampai di mana Ilmu yang 

dimiliki Ibumu. Hingga ibumu hanya dipandang mata 

terpejam...," Ki Buyut Pagar Alam tertawa pelan. Lalu 

lanjutkan ucapannya. "Sebentar lago mereka akann 

sadar bahwa dugaan mereka jauh meleset “.

 Sementara Daeng Upas sendiri setelah dapat kuasai 

rasa kejut dan geramnya maju satu langkah. Nenek ini 

sebenarnya masih panasaran dan ingin lakukan 

serangan lagi. Namun berfikir bahwa urusan mengorek 

keterangan Pendekar 131 yang baru dilihatnya saat 

hendak berusaha masuk ke Istana Hantu lebih penting, 

maka dia urungkan niatnya. Sebaliknya dia segera 

keluarkan bentakan.

 "Pemuda tak dikenal? Siapa kau?! Mengapa kau

berlaku lancang menahan gerakanku? Apa hubunganmu 

dengan pemuda berpakaian putih itu?!" Jari tangan 

Daeng Upas lurus menunjuk pada murid Pendeta Sinting 

yang masih duduk di atas tanah.

 Pemuda bertangan buntung kempotkan pipinya

menyedot karet bundar di mulutnya. Hingga saat itu

terdengar suara duuttt! Duuttt! Duuttt!

 Sepasang mata Daeng Upas membeliak besar.

Dadanya bergemuruh keras melihat orang yang ditanya 

tidak segera menjawab sebaliknya malah permainkan 

dot di mulutnya!

 "Keparat! Kalau kau tidak jawab pertanyaanku, lekas


menyingkir dari sini! Jika tidak, membunuhmu bukan hal 

sulit bagiku!"

 Orang yang dibentak memandang sekilas pada Daeng 

Upas. Lalu tengadah dengan pipi mengembung. Saat 

meniup, karet di mulutnya mencuat keluar dan 

mengapung di udara. Mulutnya lalu bergerak dan 

terdengarlah ucapannya.

 "Nenek cantik. Tiga pertanyaanmu, mungkin aku 

hanya bisa menjawab dua. Untuk satunya biarlah 

sementara ini menjadi pekerjaan rumah buatmu! Harap 

kau tidak marah dan setuju usulku!"

 Sementara berkata, karet bundar mirip dot bayi tetap 

mengapung di atas kepalanya, membuat semua orang di 

tempat itu makin beliakkan mata kecuali Daeng Upas 

yang kesabarannya hampir-hampir saja pupus.

 "Aku telah bertanya. Aku tak mau tahu usul! Yang 

kuminta jawaban!" kata Daeng Upas dengan suara keras 

setengah menjerit.

 "Aku akan menjawab. Aku tak mau tahu kau terima 

usulku apa tidak!" ujar pemuda bertangan buntung. Lalu 

tanpa hiraukan sengatan pandangan Daeng Upas dia 

teruskan kata-katanya.

 "Aku bukannya lancang mencegah tindakan orang. 

Hanya aku tidak suka melihat orang berlaku semena-

mena pada orang yang sudah tidak berdaya! Perlu juga 

kau ketahui, aku tidak kenal dengan pemuda berbaju 

putih itu! Kalau tidak kena! Apakah mungkin punya 

hubungan?!" Si pemuda balik bertanya,

 "Kau tak punya hak untuk bertanya padaku:" hardik 

Daeng Upas. "Kau belum mengatakan siapa dirimu!"

 Si pemuda bertangan buntung lancipkan mulut

menyedot. Dot bayi yang mengapung di atas kepalanya 

bergerak turun dan masuk ke dalam mulutnya. Kejap 

kemudian terdengar suara duuttt! Duuuttt! Berulang 

kali. Di lain saat si pemuda hembuskan napas. Bundaran 

karet di mulutnya mencelat lagi dan seperti tadi meng-

apung di atas kepalanya. Bersamaan dengan itu


terdengar ucapannya.

 "Seperti kukatakan tadi, aku hanya bisa jawab dua 

pertanyaanmu. Untuk jawaban satunya mungkin kelak 

jika kita jumpa lagi masih bisa kujawab!"

 Daeng Upas masih coba menindih gejolak amarahnya. 

Lalu menyeringai sambil berkata.

 "Hem.... Begtu? Sekarang kuperintah kau untuk

tinggalkan tempat ini!"

 "Hem.... Begitu!" Si pemuda ikut-ikutan berkata

seperti ucapan Daeng Upas. "Kau mengatakan aku tak 

punya hak bertanya padamu. Sekarang apa salah jika 

aku mengatakan kau tak berhak memerintahku?!"

 "Itu awal petaka bagimu!" teriak Daeng Upas.

 Si pemuda kembang kempiskan pipinya. Bundaran 

karet di atas kepalanya bergerak turun naik seirama 

keluarmasuknya napas si pemuda. Anehnya meski 

bundaran karet itu turun naik di udara, namun pada saat 

itu terdengar juga suara duuttt! Duuuttt! Duuutt!

 "Wah. Nenek ini bukan hanya fcetap cantik meski

sudah tua, tapi pandai juga bikin malapetaka. Apakah 

kau juga bisa membuat hura-hura, Nek?!" Yang buka 

suara adalah murid Pendeta Sinting.

 Daeng Upas sentakkan kepalanya ke arah Pendekar 

131. tubuhnya bergetar pertanda dia menahan hawa 

marah. Tangan kirirya menunjuk pada murid Pendeta 

Sinting "Kau jangan ikut campur buka mulut! Nanti ada 

saatnya kau harus bicara jswab semua pertanyaanku!" 

sentaknya.

 "Hem.... Begitu?!" Joko ikut bicara seperti pemuda 

bertangan buntung yang menirukan gumaman Daeng 

Upas. "Kau nanti akan ajukan berapa pertanyaan. Nek?!"

 Daeng Upas tidak menjawab. Sepasang matanya 

mendelik angker menatap pada murid Pendeta Sinting 

Pendekar 131 tampak mainkan jari kelingkingnya ke 

dalam lobang telinganya. Lalu seakan tidak acuhkan 

pandangan marah orang, dia berucap.

"Kau nanti pasti akan kecewa. Karena berapapun


pertanyaan yang akan kau ajukan, aku hanya bisa

menjawab satu!"

 "Bercandalah sepuasmu sebelum mampus!" ujar 

Daeng Upas lalu arahkan pandangannya kembali pada 

pemuda bertangan buniung.

 "Edan!" gumam Raka Pradesa. "Dalam keadaan

begitu, masih sempatnya mengajak bercanda!" Pemuda 

ini berlama-lama memandangi murid Pendeta Sinting. 

Namun tatkala Joko balik memandangnya, pemuda 

berkumis tipis ini cepat alihkan pandangannya. Diam-

diam dia membatin. "Siapa gadis berbaju hijau itu? 

Sepertinya mereka belum kenal betul. Tapi mengapa 

melindunginya? Apakah dia tertarik pada Pendekar 

131?" Tidak mendapat jawaban pasti dari pertanyaan-

nya, pemuda berkumis tipis ini arahkan pandangannya 

pada Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.

 "Perempuan dan kakek itu kudengar memiliki

kepandaian tinggi. Hem.... Ada silang sengketa apa

mereka dengan Joko? Sekarang apa yang harus ku-

lakukan? Joko tampaknya terluka dalam cukup parah. 

Kalau aku mengajaknya pergi, semua orang yang ada di 

sini tentu tidak akan tinggal diam! Ah...."

Pemuda ini laiu berpaling pada Daeng Upas yang saat 

itu melangkah ke arah pemuda bertangan buntung

 "Pemuda buntung! Kau dengar kata-kataku. Apa

kau ingin kakimu buntung sekalian, hah?!"

 “Nenek cantik. Tega-teganya kau berkata begilu 

tanpa tangan saja aku sudah menderita. Bagaimana 

kalau kakiku buntung juga?!"

 “Bagus berarti kau masih sayang anggota tubuhmu!"

 "Ah.... ini adalah barang titipan Tuhan, sudah

selayaknya kusayang-sayangi. Dan tak akan kubiarkan

siapapun mengambilnya!"

 Daeng Upas tertawa panjang. "Tidak ada hal sulit 

bagiku mengambil barang apa pun! Termasuk kedua 

kakimu. Tapi aku masih berbaik hati jika kau segera 

enyah dari sini!"


Pemuda bertangan buntung ikut-ikutan tertawa

panjang. "Kalau kau gampang mengambil barang apa 

pun. Apa sukarnya bagiku mempertahankan barang 

milikku?"

 "Jahanam! Kau benar-benar minta mampus!" hardik 

Daeng Upas. Ucapannya belum selesai, sosoknya telah 

melesat ke depan. Kedua tangannya diangkat tinggi-

tinggi dan kirimkan jotosan kanan kiri sekaligus.

 Kalau nenek ini bisa melepas jotosan dari jarak jauh 

dengan lawan bisa dibuat terjengkang, bisa dibayangkan 

jika jotosan itu betul-betul menghantam sasaran!

 Karena lesatan sosok Daeng Upas bergerak tiba-tiba, 

maka kali ini tidak ada kesempatan lagi bagi pemuda 

bertangan buntung untuk menghindar. Dan karena tidak 

punya kedua tangan untuk menangkis jotosan, semua 

orang yang melihat sama menduga apa yang hendak 

menimpa si pemuda. Namun semua orang dibuat jadi 

melengak.

 Pemuda bertangan buntung tiba-tiba lipat tubuhnya 

ke depan terus ke bawah. Lalu... Wuuuttt! Kini sepasang 

kaki berada di atas, kepala di bawah menopang 

tubuhnya. Kejap lain mulutnya menguncup menyedot.

 Duuuttt! Duuttt! Duuttt!

 Terdengar suara tiga kali berturut-turut. Karet

bundar yang sedari tadi mengapung di udara melesat 

cepat dan masuk ke dalam mulutnya. Saat bersamaan, 

kedua kakinya bergerak membuat sikap seperti orang 

bersila.

 Buukkk! Buuukkk!

 Sepasang tangan Daeng Upas beradu dengan

sepasang kaki pemuda bertangan buntung. Daeng

Upas tampak tegak dengan tubuh bergoyang-goyang 

keras. Raut wajahnya berubah. Malah kedua tangannya

yang baru saja bentrok bergetar, membuat nenek ini 

geram bukan main. Didahului bentakan melengking, 

sosoknya melorot ke bawah hingga kedua lututnya 

menekuk. Tiba-tiba sambil bertumpu pada telapak


tangannya, sepasang kakinya mencuat ke depan 

lepaskan tendangan ke wajah si pemuda!

 Di depannya, kepala si pemuda yang dibuat untuk 

menopang tubuhnya tampak bergoyang-goyang, 

membuat sosok sang pemuda ikut-ikutan bergoyang. 

Kejap kemudian kepalanya tampak bergerak menggeser 

ke belakang.

 Melihat kepala si pemuda bergeser ke belakang

menghindari tendangan, Daeng Upas cepat melompat

depan. Dan dengan masih bertumpu pada telapak 

tangannya, sepasang kakinya teruskan tendangan

 Saat itulah, karena kepalanya terdorong ke belakang 

sepasang kaki si pemuda bergerak lurus ke bawah.

 Daeng Upas mendelik angker. Semua orang yang 

melihat terkesiap. Karena tiba-tiba gerakan kaki si 

nenekk tertahan oleh sepasang kaki pemuda yang kini 

menggapitnya. Malah bukan hanya sampai disitu. Begitu 

kakinya berhasil menggapit sepasang kaki si nenek, 

pemuda bertangan buntung gerakkan kepalanya lagi ke 

depan sambil meniup. Bundaran karet mencuat keluar. 

Namun bersamaan itu menderu angin kencang.

 Daeng Upas berteriak nyaring. Dewi Siluman

mendengus. Raka Pradesa cepat palingkan kepalanya, 

demikian juga gadis berbaju hijau yang kini telah 

bangkit. Ki Buyut tampak alihkan pandangannya pada 

jurusan lain. Hanya murid Pendeta Sinting yang tidak 

alihkan pandangannya pada jurusan lain, malah dia 

tertawa bergelak sambil berkata

 "Nek! Untung kau masih mengenakan rangkapan 

pakaian dalam. Jika tidak... pasti aku akan melihat

pemandangan sangat luar biasa! Nyatanya pahamu

masih mulus meski di sana-sini tampak bekas 

kudisan...."

 "Jahanam kurang ajar!" teriak Daeng Upas sambil 

gerakkan kedua tangannya mengibaskan pakaian bagian 

bawahnya yang berkibar-kibar tersapu tiupan pemuda 

bertangan buntung hingga tubuh bagian bawah sampai


hampir pantat si nenek terlihat jelas.

 Saat kedua tangan Daeng Upas bergerak kibaskan 

pakaiannya, pemuda bertangan buntung gerakkan 

kakinya ke atas. Sosok si nenek ikut bergerak ke atas.

 Merasa geram dan malu, Daeng Upas cepat gerakkan 

kedua tangannya sambil doyongkan tubuh ke depan. 

Laiu menghantam kedua kaki si pemuda yang masih 

menggapit kakinya.

 WuuttU Wuuuttt!

 Sejengkal lagi tangan Daeng Upas meremukkan

kedua kaki si pemuda. Pemuda ini lepaskan gapitannya. 

Lalu cepat tarik pulang kakinya ke belakang dan kini 

tegak memunggungi dengan bertumpu pada kedua ibu 

jari kakinya!

 Sementara Daeng Upas sendiri tampak tercekat. 

Hantaman kedua tangannya melabrak tempat kosong. 

Dan kini tubuhnya melayang deras ke bawah!

 Sebenarnya Daeng Upas bukanlah orang ber-

kepandaian rendah meski selama ini dia coba sem-

bunyikan kepandaiannya pada orang lain. Malah

terhadap Dewi Siluman, anak tunggalnya sendiri dia

tidak mau menunjukkan. Namun karena saat itu hawa 

kemarahan lebih memegang kendali pikirannya, maka 

nenek itu tampak bisa dibuat main-main oleh pemuda 

bertangan buntung.

 Tapi saat tubuhnya melayang deras ke bawah, ibu 

Dewi Siluman ini tidak mau berbuat ayal. Setengah 

tombak lagi tubuhnya menghantam tanah, tiba-tiba ia 

membuat gerakan berputar dan serta-merta lepaskan 

pukulan dari atas udara pada pemuda bertangan 

buntung yang kini tegak di hadapannya memunggungi!

 Gelombang angin luar biasa kencang menderu

keras ke arah si pemuda. Terdengar suara duutt! duutt! 

duuuttt! Tiga kali berturut-turut. Lalu sosok si pemuda 

terangkat satu tombak ke uclara. Kedua kakinya

membuat sikap bersila. Lalu bergerak pulang-balik ke 

depan ke belakang laksana orang berayun-ayun.


Pada saatat bersamaan, gelornbang angin melasat 

susul menyusul seiring gerakan kaki si pemuda

 Bummmmmm !!

 Ledakan keras terdengar ketika gelombang angin 

yang dilepas Daeng Upas betermu angin yang melesat 

dari gerakan kaki bersila si pemuda bertangan buntung.

 Daeng Upas terdorong sampai satu tombak ke

belakang, namun nenek ini mendarat di atas tanah

dengan kaki tegak meski wajahnya tampak berubah

pucat. Di depan sana, sosok pemuda bertangan

buntung terpental namun setelah membuat gerakan

berputar dua kali, dia menjejak tanah dengan tubuh

tegak bertumpu pada ibu jari kakinya! Wajahnya yang 

tampan pias, gerakan kembang-kempis mulutnya yang 

menyedot bundaran karet makin keras, hingga suara 

Duutt! Duuutt! Duuuttt! Terdengar beberapa kali.

 "Pemuda gila ini kalau dibiarkan bisa membuat

celaka!" desis Daeng Upas. Lalu nenek ini membuat

gerakan berputar-putar. Kejap itu juga dari tubuhnya

mengepul asap makin lama makin banyak dan berputar-

putar seiring putaran si nenek. Saat lain mendadak 

Daeng Upas berseru keras. Asap yang berputar-putar 

mengelilingi tubuhnya bergerak keluar dan berputar-

putar cepat ke arah pemuda di hadapannya.

 "Kau tak akan lotos dari pukulan maut 'Angin

Keranda', Pemuda gila!" seru Daeng Upas sebutkan

pukulan yang kini melabrak ke arah si pemuda dengan 

tegak kacak pinggang dan senyum menyeringai.

 Si pemuda sontak putuskan sedotan mulutnya.

Sepasang matanya membeliak.

 "Ha?! Kau benar-benar ingin mengambil kedua

kakiku!" ujar si pemuda dengan suara bergetar setelah 

meniup hingga bundaran karet di mulutnya terapung di 

depan kepalanya.

 Daeng Upas tertawa mengekeh. "Bukan hanya

kakimu, tapi sekaligus selembar nyawamu!"

 Sambil gelengkan kepala, si pemuda bertangan


buntung doyongkan tubuh ke belakang. Tiba-tiba tu-

buhnya disentakkan kembali ke depan.

 Beeetttt!

 Dari dada si pemuda melesat bongkahan awan

putih yang keluarkan suara luar biasa keras hingga

menusuk gendang telinga. Kejap kemudian tempat itu 

laksana diguncang gempa hebat. Tanah bermuncratan 

ke udara. Pohon-pohon di sekitarnya berderak lalu 

tumbang karena tanahnya rengkah akibat guncangan.

 Suara tawa Daeng Upas terputus laksana disambar 

setan. Sosoknya terpental sampai dua tombak ke 

belakang. Untung Ki Buyut masih sempat berkelebat dan 

menahan tubuhnya hingga selamatlah tubuh si nenek 

dari terjengkang roboh menghempas tanah. Namun tak 

urung dari mulutnya keluar cairan merah pertanda dia 

telah terluka dalam. Setelah salurkan tenaga dalamnya, 

Daeng Upas segera dapat tegak kembali meski sosoknya 

masih bergetar.

 Di depan sana, sosok si pemuda tampak terkapar di 

atas tanah. Raut wajahnya makin pias. Keringat 

membasahi tubuhnya dari kepala sampai kaki. Dari 

sudut mulutnya tampak pula mengalir darah. Anehnya, 

bundaran karet masih tetap mengapung di udara di 

tempat mana tadi si pemuda bertangan buntung tegak 

berdiri!

 "Huh.... Mana dotku!" tiba-tiba si pemuda meng-

gumam. Lalu mulutnya membuat gerakan menyedot.

Karet bundar yang mengapung laksana ditarik kekuatan 

aneh lalu bergerak ke arah si pemuda dan kejap lain 

telah berada di mulut si pemuda. Saat bersamaan, 

sepasang kakinya menekuk. Sekali sentak, tubuhnya 

terangkat ke atas. Terhuyung sejenak namun tak lama 

kemudian diam dengan mulut mainkan karet bundar!

 "Astaga! Kemana mereka?!" Tiba-tiba Ki Buyut

berbisik pada Daeng Upas yang berada di sampingnya.

 Daeng Upas pentangkan matanya lalu memandang 

berkeliling. Tubuhnya serentak bergetar keras. Ternyata


Pendekar 131 dan gadis berbaju hijau tidak ada lagi di 

tempat itu. Pemuda berpakaian hitam-hitam berkumis 

tipis pun tidak tampak lagi. Demikian juga Dewi Siluman.

 "Ki Buyut! Lekas cari Durga Ratih! Kukira dia

mengikuti lenyapnya pemuda berpakaian putih tadi!

Dan jika kau berhasil menangkap pemuda itu, jangan 

kau bunuh. Aku harus bicara dahulu dengannya. Aku 

akan selesaikan pemuda gila buntung itu! Dia sangat 

bahaya jika dibiarkan hidup!"

 Tanpa berkata lagi, Ki Buyut segera berkelebat

tinggalkan tempat itu. Sebenarnya Ki Buyut tidak mau 

tinggalkan tempat itu. Dia tampak meragukan kakaknya 

bila berhadapan sendiri dengan pemuda bertangan 

buntung. Namun karena dia tahu bagaimana sifat 

kakaknya, lagi pula Dewi Siluman tidak boleh dibiarkan 

pergi sendirian karena saat ini banyak tokoh-tokoh yang 

muncul dan belum bisa diketahui apa tujuannya, 

akhirnya kakek berjubah hitam ini berkelebat pergi.

 Sepasang mata Daeng Upas menyengat pandangi 

pemuda buntung, satu-satunya yang masih ada di 

tempat itu. Dengan pasang tampang angker, dia 

membentak.

 "Gara-gara ulahmu, urusan jadi berantakan! Aku tak 

akan tinggalkan tempat ini sebelum membuatmu

mampus tiga kali!"

 "Ah. Rupanya kau tahu jika aku punya nyawa rangkap 

tigal Tapi sayang hari ini aku tidak suka berbagi nyawa 

denganmu meski satu pun!" jawab si pemuda.

 Habis berkata begitu, sosoknya melenting satu

tombak ke udara. Dengan gerak cepat, kakinya bersila 

ke bawah, lalu diayunkan ke depan.

 Gelombang angin menderu cepat, bukan langsung ke 

arah Daeng Upas, melainkan yang dituju adalah tanah di 

depan si nenek. Namun Daeng Upas ternyata salah 

duga. Dia mengira si pemuda menyerang ke arahnya, 

hingga dengan menggembor keras dia sentakkan kedua 

tangannya memapak gelombang angin yang datang.


Bummm!

 Tanah terbongkar muncrat ke udara. Saat itulah baru 

si nenek sadar. Dia cepat angkat tangannya kembali dan 

didorong ke arah depan. Namun tangan si nenek 

tertahan di udara. Karena sepasang matanya tidak 

menangkap lagi sosok pemuda bertangan buntung!

 "Jahanam keparat!" maki Daeng Upas sambil banting-

kan kaki. Kepalanya lalu didongakkan, mulutnya terbuka 

berteriak.

 "Pemuda buntung gila! Kau adalah tambahan korban 

yang harus mampus di tanganku!"

 Habis berteriak, kedua tangannya yang berada di 

udara disentakkan ke depan dengan tampang membesi 

dilanda hawa amarah. lagi

 Yang jadi sasaran kemarahannya adalah pohon-

pohon di depan sana. Pohon-pohon itu berkeretekan lalu 

perlahan-lahan tumbang perdengarkan suara berdebam-

debam. Daun dan tanah yang tertimpa pohon bertabur 

ke udara. Saat suasana lengang kembali, sosok Daeng 

Upas tidak terlihat lagi di tempat itu.

* * *



DUA


KITA tengok sejenak apa yang terjadi dengan 

Pendekar 131 hingga tiba-tiba lenyap. Saat Daeng Upas 

lepaskan pukulan 'Angin Keranda' dan pemuda buntung 

memangkas dengan sentakkan tubuhnya ke depan, 

semua orang di tempat itu terkesima dan memandang 

tak berkesip. Saat itulah satu bayangan berkelebat 

cepat. Dan laksana elang si bayangan menyambar sosok 

murid Pendeta Sinting. Begitu cepatnya gerakan si 

bayangan, Pendekar 131 sendiri baru sadar jika 

tubuhnya disambar orang tatkala sudah berada kira-kira 

tujuh tombak dari tempatnya semula!

 Gadis berbaju hijau yang berada di samping sebelah 

kanan murid Pendeta Sinting merasakan desiran angin 

halus. Saat dia berpaling, dia masih sempat menangkap 

kelebatan orang. Ketika dia tidak melihat lagi Pendekar 

131, gadis berbaju hijau ini cepat pula putar diri 

setengah lingkaran lalu berkelebat ke arah perginya si 

bayangan.

 Pada saat itulah, Raka Pradesa melihat gerakan si 

baju hijau. Dan ketika matanya tidak menangkap sosok 

Pendekar 131, pemuda berpakaian hitam-hitam ini 

merasa curiga. Tanpa pikir panjang lagi dia segera 

menghambur ke arah perginya si gadis berbaju hijau.

 Melihat Raka Pradesa berkelebat pergi, Dewi Siluman 

yang berada tidak jauh kernyitkan dahi. Dia sebenarnya 

tidak akan menghalangi perginya pemuda berpakaian 

hitam-hitam berkumis tipis ini, karena dia menduga 

pemuda ini tidak artinya. Namun tatkala matanya melirik 

dan tidak mendapati Pendekar 131 dan gadis berbaju 

hijau, perempuan anak kandung Daeng Upas ini segera 

menyusul ke arah berkelebatnya Raka Pradesa.

 Ki Buyut tidak hiraukan berkelebatnya Dewi Siluman, 

karena saat itu sosok Daeng Upas tampak mencelat ke 

belakang, membuatnya harus segera selamatkan kakak 

kandungnya


Pada satu tempat yang ditumbuhi rangasan semak 

belukar lebat yang di sana-sini banyak jalan setapak 

yang berkelok dan bersimpang-simpang, satu bayangan 

hentikan larinya. Dia menoleh sejenak kebelakang. Lalu 

melirik pada sosok tubuh yang ada di pundak kanannya.

 Orang yang memanggul sosok di pundaknya ini

adalah seorang perempuan berambut panjang yang

digelung ke belakang. Rambutnya diberi pewarna hitam 

berkilat-kilat. Dia mengenakan pakaian panjang 

berwarna coklat hampir menutupi sekujur tubuhnya. 

Wajahnya sulit dikenali, karena ditutup dengan bedak 

tebal. Alis matanya disaput pewarna hitam dan tebal. 

Kelopak matanya sebelah atas diberi warna hijau merah. 

Bibirnya dipoles merah menyala.

 "Hai! Hendak kau bawa ke mana aku? Kenapa kau 

menculikku?!" Orang di panggulan perempuan berbedak 

tebal buka mulut. Dia bukan lain adalah murid Pendeta 

Sinting.

 Orang yang ditegur tidak menjawab. Dia hanya

palingkan mukanya sejurus. Pendekar 131 terlengak 

melihat raut wajah orang. Hingga tak lama kemudian dia 

berkata lagi.

 "Hai! Siapa kau?! Turunkan aku!"

 Meski mulut murid Pendeta Sinting membuka

keluarkan teguran, namun sebenarnya dalam hati

dia membatin sendiri. "Celaka! ini manusia apa hantu 

perempuan?! Apa tujuannya?!"

 Karena tidak ada sahutan, untuk kesekian kalinya 

Joko buka mulut.

 "Hai! Harap...."

 Perempuan berbedak tebal berpaling. Sepasang 

matanya menatap pada murid Pendeta Sinting.

Mulutnya yang merah menyala bergerak membuka.

 "Harap tidak bertanya dahulu! Nanti semuanya

akan kujelaskan! Bahaya masih mengikuti!"

 "Tapi harap kau turunkan aku!"

 Mulut yang dipoles merah menyala bergerak


sunggingkan senyum. Lalu kepalanya menggeleng

pelan. "Meski kau tidak merasakan sakit lagi, tapi untuk 

sementara ini kau belum bisa salurkan tenaga dalammu, 

Anak Muda. Padahal bahaya belum lenyap. Apa yang 

hendak kau andalkan menghadapi bahaya saat ini?"

 Joko Sableng terdiam karena ucapan perempuan 

berbedak tebal betul adanya. Namun karena merasa 

jengah berada di pundak perempuan, murid Pendeta 

Sinting berujar.

 "Tapi kuharap kau turunkan tubuhku. Untuk berjalan 

saja aku masih mampu!"

 Kepala perempuan berbedak tebal kembali

menggeleng “Saat Ini bukan saatnya berjalan-jalan!

Kita harus bergerak cepat"

 Selagi perempuan berbedak tebal berkata, Joko

coba gerakan tubuhnya, tapi dia melengak. Ternyata 

tubuhnya tegang tak bisa digerakkan.

 “Kau menotokku" Kata Pendekar 131.

 "Maaf itu harus kulakukan! Keadaanlah yang meng-

haruskan demikian! Harap tidak berburuk sangka! 

Karena jika mau, saat ini juga aku bisa berbuat apa saja 

terhadapmu!"

 Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal 

berpaling ke belakang, lalu kejap lain dia berkelebat 

menyelinap di balik semak belukar.

 Joko pentangkan sepasang matanya. Mulutnya

hendak bicara lagi. Namun sebelum suaranya terdengar, 

si perempuan telah mendahului.

 "Jangan banyak bicara dahulu. Jika tidak, terpaksa 

aku menghentikan jalan suaramu!"

 Ucapan bernada ancaman si perempuan membuat 

murid Pendeta Sinting kancingkan mulutnya lagi, meski 

dalam hati makin banyak dibuncah berbagai pertanyaan.

 Saat itulah tiba-tiba satu bayangan hijau hentikan 

larinya tak jauh dari tempat di mana tadi perempuan 

berbedak tebal berhenti. Ternyata dia adalah gadis 

muda berparas cantik yang mengenakan baju warna


hijau. Dia sejenak palingkan kepala ke kanan kiri dengan 

mata liar memperhatikan berkeliling.

 "Ke mana dia? Apa aku harus teruskan perjalanan ke 

tempat yang ditentukan? Ah. Tak kusangka jika ada 

halangan! Hingga perjalananku terhambat. Untung dia 

segera datang.... Tapi sekarang aku harus bagaimana? 

Kulihat pemuda berbaju hitam-hitam itu mengikutiku! 

Meski dia mengatakan sahabat pada pemuda berbaju 

putih, tapi aku belum yakin benar!" gumam gadis 

berbaju hijau. Setelah berpikir sejenak, gadis ini segera 

berkelebat. Namun langkahnya tertahan tatkala dari 

rumpun semak belukar terdengar suara halus.

 "Aku di sini.... Cepat kau ke sini!"

 Gadis berbaju hijau tersentak namun menarik napas 

lega, karena dia mengenali suara orang. Hanya untuk 

beberapa saat dia masih tegak tidak menuruti ucapan 

suara halus. Karena ternyata suara halus itu seperti 

terdengar dari empat penjuru angin, hingga si gadis 

tidak dapat menentukan di mana adanya orang 

keluarkan suara.

 Melihat hal ini, dari semak belukar kembali terdengar 

suara halus.

 "Aku berada di sebelah kananmu. Cepat!"

 Gadis berbaju hijau melirik ke kanan, lalu berkelebat 

menyelinap. Di antara rumpun semak belukar, dia 

melihat seorang perempuan berbedak. Dia hendak buka 

mulut. Namun diurungkan tatkala dilihatnya perempuan 

berbedak tebal gelengkan kepala.

 Pendekar 131 sipitkan matanya, diam-diam dia

membatin. "Adakah perempuan ini yang dimaksud

gadis berbaju hijau dengan ucapannya sesaat yang

lalu?" Sebenarnya dia ingin mengutarakan isi hatinya, 

namun saat teringat pada ancaman perempuan

berbedak tebal, dia urungkan maksudnya.

 Saat itulah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. 

Namun sampai jalan setapak yang bersimpangan, dia 

berhenti. Kepalanya bergerak ke kiri kanan. Lalu


terdengar dia bergumam.

 "Kemana gadis itu? Dia lenyap seperti ditelan bumi. 

Padahal tentu belum jauh dari sini! Sial! Gara-gara 

banyaknya simpang Jalan dan rumpun semak belukar, 

aku jadi kehilangan jejaki"

 Orang ini yang tidak lain adalah Raka Pradesa

perhatikan rangasan semak belukar di kanan kirinya

dengan mata mendelik seolah hendak menembusi

lebatnya semak belukar. Namun sejauh ini dia tak

dapat menemukan gadis berbaju hijau yang diikutinya.

 Setelah agak lama, akhirnya dia memutuskan

mengambil jalan setapak yang ke arah selatan. Namun 

baru saja tubuhnya hendak berkelebat, satu suara 

membuat gerakannya tertahan.

 "Berhenti!"

 "Celaka! Mendengar suaranya, pasti dia Dewi

Siluman!" gumam Raka Pradesa. "Keselamatan Pendekar 

131 lebih penting. Perempuan Itu tak perlu dilayani!"

 Raka Pradesa tak hiraukan teriakan orang. Dia segera 

berkelebat. Namun baru saja tubuhnya bergerak, satu 

bayangan berkelebat melewati dan tahu-tahu di 

hadapannya telah tegak perempuan bercadar dan 

berjubah hitam yang tidak lain Dewi Siluman adanya!

 "Aku cuma akan bicara sekali!" kata Dewi Siluman 

seraya menatap tajam. "Pasang telinga baik-baik! Lalu 

jawab dengan jujur! Dibawa ke mana pemuda yang kau 

katakan sahabatmu itu?!"

 Raka Pradesa tampak sedikit terkejut. Namun tak lama 

kemudian tersenyum. Sambil balik memandang bola 

mata sang Dewi yang tampak dari lobang cadar 

hitamnya, Raka Pradesa buka mulut menjawab.

 "Katakan dulu apa maksudmu mengejar sahabatku 

itu!"

 Dewi Siluman tidak segera memberi jawaban,

membuat Raka Pradesa berujar.

 "Jangan-jangan kau tertarik padanya! Benar..,?!"

 Sepasang mata Dewi Siluman membesar. Rahang di


balik cadarnya mengembung, kedua tangannya 

mengepal dan bergetar. Namun yang kemudian

terdengar adalah suara tawanya yang mengekeh

panjang!

 "Aku memang tertarik...," kata Dewi Siluman,

membuat raut wajah Raka Pradesa berubah. "Bukan

pada tubuhnya, melainkan pada selembar nyawanya!"

 "Apa di antara kau dan dia ada sengketa?!"

 "Hem.... Jangan-jangan kau bukan sahabatnya! Jika 

benar sahabatnya pasti kau tahu apa masalahnya hingga 

aku tertarik nyawanya! Kau telah berani mendustaiku!"

 "Kau jangan salah sangka. Meski kami bersahabat, 

namun urusan pribadi tidak pernah kami bicarakan! 

Tentu antara kau dan dia ada masalah pribadi!"

 Dewi Siluman kembali tertawa mengekeh mendengar 

ucapan Raka Pradesa. Puas tertawa perempuan 

bercadar dan berjubah hitam ini berkata.

 "Urusanku dengannya lebih daripada urusan pribadi!"

 "Aku tak mengerti maksudmu!"

 "Kau memang belum saatnya mengerti! Sekarang 

jawab pertanyaanku tadi!"

 "Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, karena kau 

dan aku bernasib sama! Kehilangan jejak!"

 "Melihat sikapnya, kali ini kata-katanya mungkin

benar! Namun pemuda ini belum mengatakan siapa dia 

sebenarnya. Padahal dia tahu banyak tentang diriku! 

Malah tentang ibuku! Aku harus tahu siapa dia!" 

membatin Dewi Siluman. Seperti diketahui, Raka 

Pradesa telah dapat menebak dengan tepat siapa

adanya Dewi Siluman, malah juga tentang Ibunya

meski saat itu Raka Pradesa belum sempat mengu-

capkan karena buru-buru dipotong ucapannya oleh

Dewi Siluman yang takut rahasianya diketahui orang. 

(Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam 

episode: "Gerbang Istana Hantu").

 "Pemuda berpakaian hitam!" kata Dewi Siluman.

"Kau telah dapat mengetahui siapa aku meski kita belum


pernah bertemu. Sekarang aku tanya padamu. Siapa 

gadis berbaju hijau yang membawa sahabatmu itu?! 

Katakan juga siapa kau adanya!"

 Raka Pradesa tersenyum. Setelah terdiam agak lama 

akhirnya dia menjawab.

 "Namaku Raka Pradesa. Aku hanyalah anak seorang 

petani biasa. Hanya karena aku suka keluyuran, maka 

sedikit banyak aku tahu siapa tokoh-tokoh terkenal 

dalam rimba persilatan! Meski aku tahu hanya dari ciri-

cirinya saja!"

 Dewi Siluman kernyitkan dahi di balik cadarnya. Lalu 

berujar. "Lalu siapa gadis berbaju hijau itu?!"

 "Terus terang. Aku tidak mengenalinya!"

 "Begitu? Lalu dari siapa kau mengetahui diriku juga 

ibuku?!"

 "Seperti kataku tadi. Aku adalah orang yang suka 

keluyuran. Aku suka bertanya pada setiap orang yang 

kutemui. Jadi aku lupa dari siapa aku mendengar ciri-ciri 

serta ceritamu!"

 "Hem.... Selama ini hanya beberapa orang saja yang 

mengetahui keberadaan ibuku. Adalah hal mustahil jika 

orang jalanan dapat mengetahuinya!" pikir Dewi 

Siluman. "Pemuda ini berkata bohong!"

 Berpikir begitu, anak Daeng Upas ini lalu berkata 

keras.

 "Kau telah berani bohong padaku!" lagi

 Kening Raka Pradesa mengernyit. "Bagaimana kau 

bisa menuduhku demikian?"

 Dewi Siluman tertawa pelan. "Siapa aku lebih-lebih 

Ibuku, hanya beberapa orang saja yang tahu. Adalah 

tidak masuk akal jika orang jalanan mengetahuinya! Kau 

menyembunyikan sesuatu. Kau tidak berterus terang 

katakan siapa dirimu!"

 "Ah. Itu terserah penilaianmu! Yang penting memang 

begitulah kenyataannya!"

 "Kau masih belum mau terus terang?!" kata Dewi 

Siluman setelah agak lama terdiam.


"Aku telah katakan terus terang!"

 Di balik cadarnya, Dewi Siluman menyeringai.

"Aku bertanya sekali lagi. Siapa kau sebenarnya?!"

 "Aku telah mengatakannya padamu!"

 Habis berkata begitu Raka Pradesa melangkah

hendak tinggalkan tempat itu. Namun baru satu

langkah, Dewi Siluman telah membentak garang.

 "Kau bisa tinggalkan tempat ini, tapi tanpa 

nyawamu!"

 Ucapan Dewi Siluman membuat Raka Pradesa

menjadi geram. Dia berpaling dengan mata menatap

tajam. Kalau perturutkan hati, ingin rasanya dia balas 

membentak meladeni perempuan bercadar dan

berjubah hitam itu. Namun setelah berpikir agak

panjang, akhirnya dia hanya tersenyum dingin, Lalu

tanpa berkata-kata lagi, putar tubuh setengah lingkaran 

dan melangkah tinggalkan tempat itu

 Sikap Raka Pradesa membuat Dewi Siluman naik 

pitam. Tanpa didahului kata-kata, kedua tangannya 

diangkat lalu lepaskan satu pukulan jarak |auh.

 Terdengar satu deruan. Kejap lain satu gelombang 

angin keras melesat ke arah Raka Pradesa.

 "Dia tampaknya tidak main-main dengan ancam-

annya!" gumam Raka Pradesa lalu segera berkelebat 

selamatkan diri.

 "Hem.... Tampaknya kau menyimpan kepandaian 

juga!" desis Dewi Siluman lalu merangsek ke depan. 

Kedua tangannya langsung lepaskan jotosan ke arah 

kepala si pemuda.

 Meski pada mulanya Raka Pradesa tidak bermaksud 

meladeni, namun karena saat itu Dewi Siluman telah 

lancarkan pukulan, mau tak mau Raka Pradesa segera 

pula angkat kedua tangannya.

 Dess! Desss!

 Dua pasang tangan beradu keras. Dewi Siluman

membeliak dengan raut di balik cadarnya berubah.

Dari bentrokan tadi, sang Dewi benar-benar yakin jika


pemuda di hadapannya tidak seperti apa yang diduga.

 "Harap kau tidak memaksakan kehendak! Aku tak 

ingin membuat silang sengketa denganmu!" ujar Raka 

Pradesa sambil kibaskan kedua tangannya yang baru 

saja bentrok. Setelah menatap sekilas pada Dewi 

Siluman, pemuda berpakaian hitam-hitam ini hendak 

pergi.

 Tapi untuk kesekian kalinya gerakan Raka Pradesa 

tertahan, karena saat itu tampak melesat satu kabut 

hitam membawa serta gelombang angin dahsyat. Dewi 

Siluman tampaknya telah lepaskan pukulan 'Kabut 

Neraka'.

 Seakan tahu kehebatan pukulan sang Dewi, Raka 

Pradesa tak mau bertindak ayal. Dia cepat tarik kedua 

tangannya ke belakang. Lalu serta-merta didorong ke 

depan.

 Wuuttt! Wuuuttt!

 Dua gelombang angin laksana suara gemuruh 

gelombang laut melabrak ganas ke depan.

 Blammm!

 Tempat itu berguncang keras. Rangasan semak 

belukar yang berada di sekitar tempat itu terabas ra-ta. 

Sosok Raka Pradesa terdorong deras ke belakang. 

Tubuhnya berguncang-guncang hendak jatuh. Namun 

saat tubuhnya hendak roboh terjengkang, dia membuat 

gerakan berputar. Kejap lain sosoknya kembali tegak 

meski dengan raut berubah dan tangan bergetar. Di 

depan sana, sosok Dewi Siluman hanya tersurut tiga 

langkah. Namun tak urung juga raut di balik cadarnya 

berubah.

 "Setan!" maki Dewi Siluman geram mengetahui 

pukulan 'Kabut Neraka' yang dilepaskannya bisa ditahan 

lawan. Tanpa pikir panjang lagi, sepasang mata Dewi 

Siluman bergerak membesar. Saat lain sepasang kakinya 

menghentak tanah.

 "Sinar Setan!" terdengar gumaman dari balik semak 

belukar.


Di depan, tiba-tiba satu sinar hitam melesat dari 

sepasang mata Dewi Siluman menghantam tanah lima 

langkah di depannya. Bersamaan dengan itu, tanah yang 

terhantam sinar hitam rengkah dan rengkahan itu terus 

bergerak cepat ke arah Raka Pradesa. Inilah pertanda 

jika Dewi Siluman telah lepaskan pukulan 'Sinar Setan'.

 Di hadapannya, Raka Pradesa tampak tercekat.

Sejenak dia tampak bimbang, namun kejap lain dia 

angkat kedua tangannya. Namun belum sampai kedua 

tangannya lakukan gerakan menyentak, dari arah

rimbun semak belukar melesat satu gelombang angin 

dahsyat. Sosok Raka Pradesa terpental ke samping 

kanan. Lalu terdengar suara ledakan keras. Rengkahan 

tanah akibat pukulan 'Sinar Setan' yang dilepas Dewi 

Siluman terhenti seketika!

*

* *



TIGA


SATU sosok tubuh tegak lima langkah di samping 

tanah yang rengkah. Kedua tangannya ditarik pulang ke 

belakang lalu diluruhkan. Sosoknya tampak sedikit 

bergetar, pertanda dia baru saja lepaskan pukulan 

dengan mengerahkan tenaga dalam kuat.

 Dia adalah seorang perempuan yang mukanya diberi 

bedak tebal hingga tidak bisa dikenali. Rambutnya 

digelung ke belakang. Bibirnya dipoles merah menyala. 

Orang ini mengenakan pakaian panjang berwarna 

coklat.

 Sementara itu bersamaan dengan terdengarnya

ledakan keras, sosok Dewi Siluman tersapu sampai dua 

tombak ke belakang. Sepasang matanya menyipit 

membesar. Selain merasakan sakit di sekujur tubuhnya 

juga hampir tak bisa mempercayai pukulan sakti yang 

dilepasnya tadi dapat dipangkas dengan mudah.

 "Keparat! Siapa kau?!" bentak Dewi Siluman setelah 

dapat kuasai diri seraya menatap tak berkesip pada 

perempuan berbedak tebal.

 Perempuan berbedak tebal arahkan pandangannya 

sejurus pada Raka Pradesa. Lalu memandang pada Dewi 

Siluman. Bibirnya yang merah menyala membuka.

 "Durga Ratih.... Jangan memaksakan hati. Dan

tinggalkan tempat ini dengan baik-baik! Jika mau ku-

sarankan, jangan kau perturutkan kemauan. Kau tidak 

akan mendapatkan apa-apa...."

 Wajah di balik cadar Dewi Siluman seketika berubah. 

Sepasang matanya makin mendelik mendapati orang di 

hadapannya tahu siapa dirinya.

 "Perempuan! Aku bertanya. Tidak butuh saran!" kata 

Dewi Siluman setengah berteriak. Dadanya tampak 

bergerak turun naik dengan keras.

 "Di sini kurasa bukan tempat yang baik untuk

bertanya jawab! Harap kau bersabar. Kelak kau tentu 

akan mendapat jawaban pasti...."


Dewi Siiluman perdengarkan dengusan keras.

Rupanya dia tak dapat menahan kesabaran. "Tam-

paknya kau ingin mampus tanpa dikenali!"

 Sosok Dewi Siluman berkelebat. Kedua tangannya 

kirimkan pukulan ke arah kepala perempuan berbedak 

tebal. Dua gelombang angin menderu mendahului 

tangan yang memukul, jelas jika sang Dewi kerahkan 

hampir segenap tenaga luar dan dalamnya.

 "Ah. Rupanya kau keras kepala seperti ibumu!"

gumam perempuan berbedak tebal lalu kelebatkan

tangan kanannya ke samping.

 Buukkk! Etauukkk!

 Dewi Siluiman berseru tertahan. Sosoknya terhuyung 

ke san iping dan terjajar sampai satu tombak. Kejap lain 

tubuhnya roboh dengan pinggang menghantam tanah 

terlebih dahulu. Kedua tangannya yang baru saja 

tersapu tangan kanan perempuan berbedak tebal 

bergetar keras. Dan saat Dewi Siluman memeriksa, 

matanya membelalak. Jubah bagian lengannya robek 

dengan kulit memerah di baliknya!

 "Jahanam! Kubunuh kau!" teriak Dewi Siluman.

Laksana terbang perempuan bercadar dan berjubah

hitam ini bangkit dan melesat ke arah perempuan

berbedak tebal. Kedua tangannya bergerak lepas-

kan pukulan 'Kabut Neraka’.

 Namun belum sempat kabut hitam melesat keluar 

dari kedua tangannya, tiba-tiba kedua tangan sang Dewi 

tersentak mental ke belakang. Di saat lain tubuhnya 

terdorong keras dan terjengkang jatuh di atas tanah!

 Sepuluh langkah di hadapan Dewi Siluman, 

perempuan berbedak tebal tarik kedua tangannya

yang baru saja mendorong dengan telapak terbuka.

Dari lehernya terlihat butiran keringat. Pakaiannyapun 

basah. Jelas walaupun hanya mendorongkan kedua 

tangan, namun hal itu dilakukan dengan pengerahan 

tenaga dalam.

 "Durga Ratih...," kata perempuan berbedak tebal.


"Turuti ucapanku atau kau akan mendapat celaka 

sendiri!"

 Dengan menahan marah dan sakit, Dewi Siluman 

perlahan-lahan bangkit. Menatap tajam pada perempuan 

di hadapannya.

 "Kau!" ujarnya. "Jangan mimpi urusan ini selesai

sampai di sini!"

 Habis berkata begitu, Dewi Siluman putar diri lalu 

berkelebat tinggalkan tempat itu.

 Perempuan berbedak tebal memperhatikan kepergian 

Dewi Siluman dengan gelengkan kepala dan

menggumam tak jelas.

 "Terima kasih atas pertolonganmu...," kata Raka

Pradesa lalu sedikit bungkukkan tubuh.

 Perempuan berbedak tebal berpalinq. Sepasang 

matanya memandang lekat-lekat pada pemuda

berpakaian hitam-hitam dari ujung rambut sampai

kaki.

 "Anak cantik...," ujar si perempuan dengan suara 

pelan. "Apa benar kau mencari sahabatmu?!"

 Wajah Raka Pradesa seketika berubah. Dadanya 

berdebar. Mulutnya hendak membuka untuk bicara. 

Namun kejap lain kembali terpancing. Hanya sepasang 

matanya yang kini menatap tak berkesip pada 

perempuan berbedak tebal.

 "Anak cantik.. Kau belum menjawab pertanyaanku...."

 Raka Pradesa belum juga buka mulut. Sebaliknya 

sepasang matanya memperhatikan dirinya sendiri, 

seolah ada yang tidak beres. Perempuan berbedak tebal 

sunggingkan senyum.

 "Keadaanmu tidak ada yang berubah. Hanya tutup 

tipis di wajah dan kumis di atas bibirmu yang membuat

kau tampak beda...."

 Raka Pradesa terkesiap. Kali ini pemuda berkumis 

tipis ini tidak dapat lagi menyembunyikan rasa kagetnya. 

Malah jika di belakangnya tidak ada tanah yang rengkah 

akibat pukulan 'Sinar Setan' Dewi Siluman, niscaya dia


akan surutkan langkah ke belakang!

 "Dia.... Dia tahu siapa diriku...," kata Raka Pradesa 

dalam hati. Lalu dengan suara agak gemetar dia

berucap.

 "Siapa kau sebenarnya...?"

 Perempuan berbedak tebal kembali tersenyum.

Sambil arahkan pandangannya ke jurusan lain dia

berkata.

 "Seperti kukatakan pada Durga Ratih tadi, di sini

bukan tempat yang baik untuk bertanya jawab. Kau

juga harap bersabar. Dan sekarang jawab pertanya-

anku!"

 Meski dadanya masih dibuncah dengan berbagai 

pertanyaan, setelah berpikir sejenak, Raka Pradesa 

akhirnya buka mulut menjawab.

 "Aku memang mencari sahabatku...."

 "Siapa...?"

 "Pemuda bernama Joko Sableng bergelar Pendekar 

Pedang Tumpul 131...."

 "Kenapa kau mencarinya kemari?"

 Setelah agak lama terdiam, Raka Pradesa menjawab.

 "Aku hanya menduga-duga...."

 "Hem.... Berarti kau tidak tahu pasti ke mana sa-

habatmu itu pergi."

 "Benar...!"

 "Bagaimana bisa begitu?" tanya perempuan berbedak 

tebal sambil menatap kembali ke arah si pemuda.

 "Dia dalam keadaan terluka. Aku menduga dia

dilarikan seseorang! Tapi sayang aku kehilangan jejak!"

 "Kau begitu mengkhawatirkan keadaannya. Kau

tertarik padanya?"

 Mendengar pertanyaan perempuan, untuk kesekian 

kalinya paras wajah Raka Pradesa kembali berubah. 

Untuk beberapa saat pemuda ini terdiam. Namun 

setelah dapat kuasai diri, ia berucap. Tapi sebelum 

suaranya terdengar, perempuan berbedak tebal telah 

mendahului berkata.


"Anak cantik. Kau tak usah mengkhawatirkan

sahabatmu itu. Dia baik-baik saja. Sekarang pulanglah! 

Suatu saat pasti kau akan jumpa lagi dengan sahabatmu 

itu."

 "Aku tahu dia teriuka. Bagaimana kau bisa me-

ngatakan dia baik-baik saja?"

 "Dia memang terluka. Tapi akan segera baik kembali. 

Jelas?!"

 "Hai! Jangan-jangan kau yang membawanya! Dimana 

dia sekarang?!"

 Perempuan berbedak tebal putar diri. Lalu berujar 

pelan.

 "Aku tak dapat mengatakan padamu. Aku harus

segera pergi...."

 "Tunggu!" seru Raka Pradesa menahan gerak langkah 

perempuan berbedak tebal.

 "Dengar, Anak cantik. Kau tak ingin kehilangan

sahabatmu itu bukan?" kata perempuan berbedak tebal 

mendahului bicara tanpa berpaling.

 "Apa maksud ucapanmu?!"

 "Sahabatmu harus cepat mendapat pertolongan. Jika 

tidak, kau tahu sendiri apa yang akan terjadi

menimpanya!"

 "Tapi...." Raka Pradesa tak kuasa teruskan

ucapannya.

 Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala.

"Tabahkan hati. Untuk sementara ini biar sahabatmu

berada di tanganku! Kau pulanglah!"

 Raka Pradesa tegak dengan tubuh gemetar. Se-

mentara perempuan berbedak teruskan langkah. Tiba-

tiba Raka Pradesa meloncat dan tegak menghadang.

 "Kau belum mengatakan siapa dirimu. Bagaimana 

aku bisa mempercayai kata-katamu?!"

 "Aku tak dapat mengatakannya saat ini. Tapi yang 

jelas aku tahu siapa dirimu! Dan jika kau kunasihati, 

tanggalkan penyamaranmu. Karena tak jarang 

penyamaran hanya mendatangkan rasa kecewa.... Lebih


baik berterus teranglah, lebih-lebih dalam 

penampilanmu!"

 "Perempuan ini tahu banyak tentang diriku. Siapa dia 

sebenarnya? Kenapa dia menasihatiku demikian? 

Apakah...." Raka Pradesa tak teruskan membatin, 

karena saat dia memandang ke depan, perempuan 

berbedak tebal telah jauh dari tempatnya berdiri.

 "Aku harus menyelidik. Aku ingin buktikan kebenaran 

ucapannya!" Ratai Pradesa segera melesat menyusul 

perempuan berbedak tebal.

 Merasa diikuti, perempuan berbedak tebal segera 

berkelebat. Dan pada satu tempat, dia menyelinap, lalu 

berlari balik ke arah mana dia tadi berada.

 "Heran. Baru saja di.a di tempat ini. Tapi lenyap ke 

mana dia?!" gumam Raka Pradesa begitu berada pada 

satu tempat dan maitanya tidak lagi menangkap sosok 

perempuan berbedak tebal yang dikejar.

 "Joko.... Joko...." Tanpa sadar Raka Pradesa

menggumam dengan suara serak. "Di mana' kau se-

karang? Apakah benar ucapan perempuan tadi bahwa 

kau akan segera baik? Apakah kau tahu jika aku

adalah..," gumaman pemuda berkumis tipis ini terhenti. 

Tangan kiri kan annya terangkat dan menakup

wajahnya. Setelah agak lama dan kedua tangannya

diturunkan, tampak sepasang matanya sedikit ber-

kaca-kaca. Dia menarik napas dalam dan panjang

berulangkali. Lalu dengan dada diselimuti berbagai

buncahan perasaan, dia melangkah perlahan me-

ninggalkan tempat itu.

 Sementara di balik rimbun semak belukar tidak

jauh dari tempat terjadinya perkelahian tadi, perempuan 

berbedak tebal melangkah ke arah gadiis berbaju hijau 

yang jongkok di samping sosok Pendekar 131 yang 

menggeletak di atas tanah diam tak bisa bergerak dan 

bersuara.

 "Maaf, Anak muda. Hal itu harus kulakukan demi

kebaikanmu!" ujar perempuan berbedak tebal seraya


tekankan jari telunjuknya pada dua urat besar di leher 

murid Pendeta Sinting, lepaskan totokan yang membuat 

Joko tak dapat bicara.

 Begitu perempuan berbedak tebal tarik pulang jari 

telunjuknya, Joko Sableng segera berkata.

 "Aku tadi mendengar suara sahabatku. Ke mana

dia sekarang? Apa sebenarnya yang terjadi?!"

 "Kita tak punya waktu berlama-lama di sini! Nanti saja 

kuceritakan!" kata perempuan berbedak tebal. Lalu 

bungkukkan sedikit tubuhnya. Saat dia tegak kembali, 

sosok Pendekar 131 telah berada di pundak kirinya. 

Karena saat itu murid Pendeta Sinting dalam keadaan 

tertotok, maka dia tak bisa berbuat banyak. Malah 

karena menduga kedua perempuan itu benar-benar 

ingin menolongnya, dia tak buka mulut lagi saat 

perempuan berbedak tebal berkelebat dan diikuti oleh 

gadis berbaju hijau.

*

* *



EMPAT


MURID Pendeta Sinting tidak tahu sudah berapa lama 

dia berada di tempat itu. Yang dia tahu, saat dia buka 

kelopak matanya, tubuhnya sudah dapat digerakkan 

lagi. Malah ketika dia coba salurkan tenaga dalamnya, 

rasa sakit tidak lagi terasa.

 "Ke mana perempuan berdandan seronok itu? Gadis 

berbaju hijau pun tidak kelihatan!" desis Joko lalu 

memandang berkeliling. Dia dapatkan dirinya berada 

pada satu ruangan batu yang lima belas langkah di 

hadapannya tampak sebuah lobang pintu. Memandang 

jauh keluar kelihatan rimbun dedaunan dan jajaran 

pohon.

 Yakin tidak ada orang di ruangan itu, perlahan-lahan 

Pendekar 131 melangkah menuju lobang pintu. Namun 

baru dua tindak, satu bayangan berkelebat dan tahu-

tahu sesosok tubuh telah tegak di balik lobang pintu.

 Joko jerengkan sepasang matanya memandang

tak berkesip. Sosok itu adalah seorang perempuan

mengenakan pakaian panjang warna coklat. Wajahnya 

tertutup bedak tebal.

 "Ah, dia...," gumam murid Pendeta Sinting mengenali 

siapa adanya orang. Lalu bungkukkan sedikit tubuh 

sambil berujar.

 "Meski kau belum sebutkan siapa dirimu, aku

mengucapkan terima kasih. Karena kau yang telah

menolongku...."

 Perempuan berbedak tebal tersenyum. Diam-diam dia 

membatin. "Pemuda menarik. Tak heran Jika gadis-gadis 

banyak menyukainya. Hanya sayang bila dia salah 

jalan...."

 "Anak muda. Kuharap kau sudah agak baik...," ujar 

perempuan berbedak tebal setelah terdiam agak lama.

 "Berkat pertolonganmu. Sekali lagi kuucapkan terima 

kasih...." Murid Pendeta Sinting menatap lekat-lekat 

pada perempuan di hadapannya. "Harap kau sudi


sebutkan diri...."

 Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala.

"Saat ini aku belum bisa turuti permintaanmu. Tapi

percayalah, suatu saat nanti kau tentu akan menge-

tahuinya. Sekarang kau cukup mengenaliku 

sebagaimana kau lihat...."

 Pendekar 131 menghela napas panjang. "Kau

telah berjanji hendak menceritakan sahabatku pemuda 

berpakaian hitam-hitam tempo hari...."

 Sepasang mata di bawah kelopak yang diberi warna 

hijau dan merah milik perempuan berbedak tebal tak 

berkesip pandangi Joko seakan baru saja melihat.

 "Dia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian 

hitam-hitam sahabatnya itu. Hem.... Tapi tak baik aku 

ikut campur urusan ini. Biarlah kelak dia yang akan tahu 

sendiri!" kata perempuan berbedak tebal dalam hati. 

Lalu penuhi permintaan Joko menceritakan pemuda 

berpakaian hitam-hitam yang bukan lain adalah Raka 

Pradesa.

 "Kau tak usah cemas. Dia dalam keadaan baikbaik...," 

kata perempuan berbedak tebal mengakhiri ceritanya.

 Joko menganggukkan kepalanya. Dia menarik napas 

lega. Karena dia tahu dari sikap Raka Pradesa jelas jika 

pemuda berkumis tipis ini hendak berusaha 

menolongnya tempo hari meski usahanya tidak

berhasil.

 "Sekarang aku tanya padamu, Anak Muda. Kenapa 

kau berusaha masuk Istana Hantu...?" tanya perempuan 

berbedak tebal masih dengan menatap tak berkesip.

 Joko terkesiap tak menduga jika si perempuan tahu 

apa yang dilakukannya tempo hari. Namun sejauh ini dia 

belum mengatakan apa tujuannya, karena meski 

perempuan berbedak tebal telah menolongnya, tapi dia 

belum dapat meraba apa tujuan sebenarnya si 

perempuan. Lebih-lebih si perempuan tidak mau 

sebutkan dirinya dan menyembunyikan wajah di balik 

bedak tebal agar tidak mudah dikenali.


Seakan tahu apa yang terpikir oleh murid Pendeta 

Sinting, perempuan berbedak tebal tersenyum dan 

berkata.

 "Kalau kau ragu mengatakannya karena menaruh 

curiga padaku, aku tak memaksa. Namun satu hal yang 

harus kau perhatikan, jangan kau terseret mengikuti 

ucapan orang. Karena bukan saja kau akan mendapat 

kecewa, tapi mungkin akan membuatmu sengsara!"

 Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Dia teringat 

akan ucapan Raja Tua Segala Dewa. "Meski kata-

katanya lain, tapi nada maksudnya sama! Apa dia tahu 

banyak tentang Istana Hantu?"

 "Apakah kau tahu siapa gerangan penghuni Istana 

Hantu?!" tanya Joko pada akhirnya.

 "Sampai sekarang siapa penghuni istana itu masih 

jadi teka-teki. Tapi aku punya seorang sahabat yang 

mungkin bisa menjawab pertanyaanmu...."

 "Siapa dia?" sahut Joko Sableng cepat.

 "Kau harus mengatakan dulu apa tujuanmu hendak 

memasuki Istana Hantu!"

 "Tiga sahabatku dikabarkan lenyap begitu saja. Dan 

seseorang menduga jika lenyapnya sahabat-sahabatku 

itu didalangi penghuni Istana Hantu!"

 Mendengar ucapan Joko, perempuan berbedak tebal 

perdengarkan suara tawa pelan. Seraya gelengkan 

kepala dia berkata.

 "Jika demikian halnya, kau harus perhatikan

ucapanku tadi, Anak Muda!"

 "Tapi aku harus buktikan dahulu! Karena sedikit

banyak aku berhutang budi pada ketiga sahabatku itu! 

Lebih-lebih kegemparan yang kini melanda rimba 

persilatan kusirap karena juga ulah penghuni Istana 

Hantu!"

 Keterangan Pendekar 131 membuat tawa perempuan 

berbedak tebal makin panjang dan sedikit keras. "Bukti 

memang harus diperoleh. Tapi tidak baik berburuk 

sangka terlebih dahulu! Dan kau memang perlu


menemui sahabatku Itu!"

 "Semula aku memang ingin bertemu sahabatmu itu. 

Tapi tidak enak rasanya jika tidak buktikan dengan mata 

kepala sendiri!"

 "Kau telah gagal memasuki Istana Hantu. Kurasa kau 

masih akan menemui kegagalan jika kau mencobanya 

lagi! Bahkan tak mustahil kau akan mendapat celaka bila 

keras kepala!"

 Pendekar 131 tertawa pelan. "Bagiku, lebih baik mati 

daripada membiarkan orang bertindak semena-mena!"

 "Tapi mati dalam kebodohan adalah lebih sia-sia!" 

sahut perempuan berbedak tebal dengan suara agak 

keras.

 "Apa maksudmu?!"

 "Aku tidak bisa mengatakan. Kalau kau suka, 

temuilah seorang kakek di sebuah kuil tua di sebelah

barat Candi Jago arah barat Gunung Bromo. Dia pernah 

mengatakan padaku bahwa dia menunggu seseorang 

sebelum ajal menjemputnya! Siapa tahu kau adalah 

orang yang ditunggu. Mungkin juga dia bisa mengatakan 

padamu apa yang kini menjadi tanda tanya di hatimu! 

Sekarang aku harus pergi...."

 Perempuan berbedak tebal balikkan tubuh. Namun 

sebelum sosoknya berkelebat pergi, murid Pendeta 

Sinting berseru.

 "Aku tidak melihat gadis berparas cantik berbaju hijau 

yang bersamamu. Ke mana dia? Dan siapa dia...?"

 Tanpa putar diri menghadap, perempuan berbedak 

tebal gelengkan kepala. "Dia jauh dari sini. Dan lupakan 

gadis itu! Ada seorang gadis cantik kini mengharapkan 

dirimu! Jangan kecewakan dia!"

 Joko Sableng terbelalak. Dia hendak buka mulut

bicara lagi, tapi perempuan di hadapannya telah

berkelebat.

 Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting 

tegak tercenung seakan menyimak ucapan yang baru 

didengarnya dari perempuan berbedak tebal.


"Aneh. Mengapa dia berkata begitu? Siapa gadis yang 

dikatakan mengharapkan diriku?" Namun tiba-tiba Joko 

tertawa sendiri. "Dia mungkin bercanda. Siapa gadis 

cantik yang mau dengan pemuda jelek dan luntang-

lantung seperti diriku...?!"

 Puas tertawa sendiri, akhirnya Joko melangkah ke 

arah lobang pintu. Tapi tiba-tiba dia hentikan langkah. 

Kepalanya tengadah. Sepasang matanya terpejam rapat. 

Lalu muncul bayangan Dewi Seribu Bunga.

 "Kenapa aku tidak bisa melupakan murid Maut Mata 

Satu itu? Bagaimana dia sekarang?"

 Sesaat kemudian terbayang wajah Sitoresmi.

"Gadis cantik.... Sayang dia harus mengalami nasib

kurang baik. Tapi aku tak akan melupakannya. Dia

telah rela berkorban untukku...."

 Perlahan-lahan Pendekar 131 buka kelopak ma-

tanya. Lalu luruskan kepala. Kejap lain sosoknya

berkelebat keluar. Bayangan Dewi Seribu Bunga

dan Sitoresmi masih terbayang di pelupuk matanya.

* * *

 Sebenarnya murid Pendeta Sinting ingin kembali ke 

Istana Hantu. Namun teringat akan ucapan-ucapan 

perempuan berbedak tebal, akhirnya dia memutuskan 

untuk pergi ke arah tempat yang dikatakan si 

perempuan. Setelah melakukan perjalanan sehari dua 

malam, akhirnya Joko sampai di pelataran Candi Jago.

 Saat itu malam hampir saja berujung, namun karena 

angkasa di tutup arakan awan, hamparan bumi terlihat

masih gelap gulita. Sementara udara dingin menderu 

kencang. Joko tidak hiraukan suasana. Dia teruskan lari


ke arah barat.

 Kira-kira dua ratus tombak dari pelataran Candi Jago, 

tepatnya pada hamparan rumput tebal merangas tak 

terawat, murid Pendeta Sinting hentikan larinya. Sejarak 

sepuluh tombak di depannya, dalam keremangan cuaca, 

lamat-lamat sepasang mata Joko melihat sebuah 

bangunan batu hitam yang tidak begitu besar. Malah jika 

tidak diperhatikan dengan seksama, dalam gelapnya 

suasana, mungkin orang akan menduga jika bangunan 

batu itu adalah gugusan batu biasa.

 Pendekar 131 pasang telinga baik-baik. Sepasang 

matanya dipentang besar menembusi kegelapan. 

Beberapa saat kemudian, murid Pendeta Sinting dapat 

memastikan jika bangunan hitam itu adalah sebuah kuil. 

Namun untuk beberapa saat, dia tertegun. Sepasang 

telinganya mendengar suara aneh. Seperti helaan napas 

.berat dan panjang tapi secara tiba-tiba diputus. Tak 

lama kemudian terdengar lagi helaan napas. Namun 

terputus lagi. Demikian terus-menerus.

 Walau hatinya dibuncah sedikit ngeri, namun karena 

sudah bertekad apalagi telah melakukan perjalanan 

jauh, akhirnya Joko melangkah perlahan menuju kuil di 

hadapannya setelah edarkan pandangan berkeliling.

 Sejarak dua tombak dari bangunan kuil yang tampak 

hitam dan tidak terawat hingga di kanan kirinya tampak 

ilalang tinggi dan rumput tebal, Pendekar 131 hentikan 

langkah. Sejenak dia tembus! kegelapan memandang ke 

arah kanan kiri kuil. Sementara suara helaan panjang 

yang tiba-tiba terputus makin jelas terdengar. Namun 

meski bagian depan kuil tampak sebuah pintu terbuka, 

Joko tidak dapat menangkap adanya orang!

 Joko Sableng pentangkan mata sekali lagi. Musih tak 

dapat menangkap keadaan dalam kuil, dia melangkah ke 

depan. Namun langkahnya tertahan saat kaki kanannya 

menumbuk sesuatu. Cepat dia arahkan pandangannya 

ke bawah. Sejurus matanya menyipit. Namun kejap lain 

membelalak dan tersurut satu tindak.


"Bangkai manusiai" desis Pendekar 131 sambil jereng-

kan mata dan perhatikan benda yang baru saja tertum-

buk kakinya dan tidak lain memang bangkai manusia 

yang telah tinggal tengkorak.

 Belum hilang rasa kejutnya, tiba-tiba Joko pentangkan 

lagi matanya makin besar. Malah jika dia tak sadar 

sedang berada di mana, niscaya dia akan berseru. 

Ternyata di sekitar tempat itu banyak berserakan 

tengkorak manusia!

 "Jangan-jangan perempuan berbedak tebal itu

menjerumuskan aku! Kurasa ini bukan tempat tinggal 

seseorang! Tapi tempat pembantaian! Celaka jika...." 

Joko tidak meneruskan gumamannya, karena helaan 

napas terdengar keras. Namun begitu terputus, tidak 

lagi terdengar meski Joko telah menunggu agak lama 

dengan pasang telinga baik-baik! Keadaan berubah 

sunyi lengang. Tak terdengar suara. Tidak terlihat 

gerakan! .

 Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya ke arah 

kuil. Saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara....

 Tingng! Tingng! Tingng!

 "Busyet! Suara apa itu? Seperti orang mainkan kecapi! 

Jangan-jangan hantu sedang bermain kecapi! Tapi apa 

mungkin?" Joko coba tersenyum meski senyum itu

adalah untuk sembunyikan rasa gejolak hatinya, karena 

bersamaan dengan terdengarnya suara tingng! Tingng! 

Tanah berumput yang dipijaknya terasa bergetar!

 "Hem.... Dengan terdengarnya suara itu, pertanda di 

dalam sana ada makhluk hidup. Mungkin dia yang 

dimaksud perempuan berdandan menor itu.

Bagaimanapun juga aku sudah sampai di sini! Percuma 

jika tidak teruskan langkah...."

 Berpikir begitu, setelah menarik napas panjang dan 

tenangkan hati, Joko segera berkelebat karena tidak 

mungkin melangkah dan menginjak-injak tengkorak 

yang banyak berserakan di sekitar tempat itu.

 Dengan satu kali kelebatan, sosoknya kini telah


tepat berada di samping kanan pintu kuil. Untuk sesaat 

murid Pendeta Sinting tegak diam tak berani buat 

gerakan dan timbulkan suara. Hanya sepasang matanya 

terpentang besar memandang ke dalam kuil

 "Astaga!" Tiba-tiba Pendekar 131 perdengarkan nada 

tercekat dalam hati ketika sepasang matanya teah 

terbiasa dengan keadaan gelap di dalam kuil. ternyata di 

dalam kuil yang tidak begitu besar itu, bagian bawahnya 

bukan berupa lantai batu seperti bagian samping dan 

depannya. Melainkan yang tampak adalah rumput tebal 

dan ilalang tinggi. Namun bukan hal itu yang membuat 

murid Pendeta Sinting tercekat. Di atas rumput tebal 

dan sela-sela ilalang terlihat banyak berserakan 

tengkorak manusia!

 "Edan! Tempat apa sebenarnya ini? Apa masih ada 

kaitannya dengan Tengkorak Berdarah?!" duga murid 

Pendeta Sinting.

 Baru saja dia menduga demikian, terdengar helaan 

napas yang kemudian diputus. Disusul kemudian dengan 

suara tinng! Tinng! Empat kali.

 Anehnya suara-suara itu kini hanya menggema di 

dalam kuil. Tapi Joko makin merasakan tempatnya

berpijak bergetar keras. Malah terlihat tengkorak-

tengkorak manusia di dalam kuil laksana tersapu

angin kencang dan berhamburan saling tubruk satu

sama lain keluarkan suara berderak-derak!

 "Malam ini tampaknya masih ada manusia bodoh 

yang hendak serahkan jiwanya!" Tiba-tiba satu suara 

terdengar, membuat Joko terkesiap! Namun matanya 

belum bisa menangkap orang yang keluarkan suara. 

Karena suara itu laksana datang dari setiap penjuru 

dalam bangunan kuil!

 "Hai! Siapa yang ada di dalam kuil?!" Joko berteriak 

setelah sekian lama tidak melihat adanya orang.

 Sesaat tidak ada sahutan. Namun tatkala Joko

hendak buka mulut lagi, terdengar orang bersuara.

 "Aku penunjuk jalan ke neraka!"


Suara orang belum lenyap, satu gelombang angin luar 

biasa dahsyat telah menggebrak ke arah murid Pendeta 

Sinting!

* * *


LIMA


DEMIKIAN ganas dan cepatnya gelombang tabrakan 

angin itu, hingga tidak ada jalan lain bagi Joko selain 

menangkis dengan dorongkan kedua tangannya ke 

depan.

 Suasana lengang mendadak sontak dibuncah dengan 

terdengarnya ledakan keras tatkala gelombang angin 

yang datang dari arah dalam kuil bentrok dengan angin 

yang melesat keluar dari kedua tangan murid Pendeta

Sinting. Tempat itu kontan bergetar keras. Sosok Joko 

terpental lima langkah ke belakang, pertanda jelas jika 

gelombang dari kegelapan dilakukan dengan 

pengerahan tenaga dalam luar biasa. Malah beberapa 

tengkorak manusia yang berada di luar kuil ikut pula 

tersapu dan jatuh berderak jauh ke belakang Joko.

 Pendekar 131 tegak dengan wajah berubah. Kedua 

tangannya bergetar dan terasa ngilu serta panas laksana 

dipanggang!

 "Perempuan itu benar-benar menjerumuskan aku! 

Kalau tahu begini yang kudapat, menyesal aku menuruti 

ucapannya! Hem.... Lebih baik aku tinggalkan tempat 

celaka ini! Di sini tidak ada yang kuinginkan! Malah bisa-

bisa aku mendapatkan malapetaka! Sementara masih 

ada sesuatu yang harus kulakukan!"

 Berpikir begitu, Pendekar 131 segera putar diri.

Namun gerakan tubuhnya tertahan suara yang ter-

dengar dari dalam kuil.

 "Tidak ada manusia yang tinggalkan tempat ini

dengan nyawa masih bercokol di tubuh!"

 Suara orang belum selesai, terdengar suara tingng! 

Tingng! Beberapa kali. Kejap lain suasana berubah 

panas menyengat hingga menindih lenyap udara dingin 

ujung malam. Pada saat bersamaan terdengar deruan 

pelan. Namun saat itu juga murid Pendeta Sinting

merasakan sapuan gelombang luar biasa dahsyat!

 Joko cepat alirkan tenaga dalam pada dadanya


kerahkan jurus inti 'Sukma Es' untuk lindungi diri dari 

hawa panas. Kejap lain, sebelum tubuhnya lebih jauh 

tersapu, dia dorong kedua tangannya.

 Wuuuttt! Wuuuttt!

 Suasana gelap mendadak semburatkan warna kuning 

terang. Lalu terdengar deruan keras laksana gulungan 

ombak. Tanda jika murid Pendeta Sinting telah lepaskan 

pukulan 'Lembur Kuning'. Joko sengaja langsung 

lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning' karena dia 

menduga pukulan lawan yang melabraknya tidak akan 

mempan jika dipangkas dengan pukulan lain. Malah dia 

sendiri akan mendapat celaka.

 Buummm!

 Untuk kedua kalinya tempat di depan kuil diguncang 

dengan ledakan keras. Rumput tebal dan ilalang tinggi 

terabas rata dan bertabur menambah pekatnya suasana. 

Sosok Pendekar 131 mencelat mental dan terjengkang 

di atas tanah berumput empat tombak dari tempatnya 

semula. Dadanya sesak dan mulutnya megap-megap. 

Paras wajahnya pucat pasi. Namun karena dia telah 

lindungi diri dengan jurus inti 'Sukma Es',, maka rasa 

sakit itu hanya terasa sejenak. Kejap lain dia telah 

bangkit.

 Saat itulah, sepasang telinga Joko mendengar helaan 

napas panjang dan berat. Jelas siapa pun adanya orang 

yang menghela napas, pasti memiliki tenaga dalam yang 

luar biasa. Karena saat itu Joko berada tujuh tombak 

dari bangunan kuil. Tapi suara helaan napas itu 

terdengar jelas dan keras!

 "Kau harus mampus!" Mendadak terdengar suara 

bentakan. Bersamaan dengan itu samar-samar Joko 

melihat satu bayangan putih menyeruak dari dalam 

bangunan kuil. Lalu terdengar suara tingng! Tingng! 

Beberapa kali.

 Sosok putih yang baru keluar dari dalam tampak

duduk berlutut di depan kuil. Ternyata dia adalah se-

orang kakek mengenakan pakaian warna putih kusam.


Rambutnya putih panjang sepinggang dibiarkan bergerai 

hingga menutup sebagian wajah dan punggungnya. 

Wajahnya yang telah keriput tampak lebih samar lagi 

karena ditutupi kumis dan jenggot serta jambangnya 

yang lebat dan putih. Pada kedua kakinya yang menekuk 

berlutut tampak rantai besi yang mengikat pergelangan 

kaki kiri dan kanan satu sama lain. Pada tengah rantai 

besi tampak menggandul bundaran besi sebesar kepalan 

tangan. Inilah yang membuat setiap kali si kakek 

membuat gerakan pada kakinya, memperdengarkan 

suara tingng! Tingng!

 Kakek berpakaian putih pentangkan sepasang

matanya yang telah sayu dan masuk dalam rongga

cekungan dalam, menatap tak berkesip pada murid

Pendeta Sinting.

 Tiba-tiba si kakek angkat kedua tangannya. Tubuhnya 

serentak ikut bergetar. Dan tak lama kemudian, pakaian 

putihnya telah basah oleh keringat Demikian juga wajah 

dan lehernya! Jelas menunjukkan jika si kakek tengah 

mengerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya meski 

saat itu dia hanya angkat kedua tangannya.

 Di depan sana, karena jaraknya agak jauh dan

suasana masih gelap, murid Pendeta Sinting tidak dapat 

melihat jelas tampang si kakek. Dia hanya samar-samar 

menangkap gerakan kedua tangan si kakek. Namun hal 

itu telah cukup membuat Pendekar 131 berlaku

waspada. Hingga tatkala terlihat kedua tangan si kakek 

membuat gerakan mendorong kedepan, tak menunggu 

lama Joko cepat alirkan tenaga dalam pada telapak 

tangan kirinya. Dia kali ini tidak mau bertindak ayal. 

Pukulan 'Lembur Kuning' yang dilepas tidak membuat si 

kakek cedera atau mundur. Maka tidak ada jalan lain 

untuk selamatkan diri selain kerahkan jurus pukulan 

'Serat Biru'!

 Tangan kiri murid Pendeta Sinting mendadak bersinar 

kebiruan. Di seberang depan, sepasang mata sang 

kakek bergerak menyipit lalu membelalak. Mulutnya


yang sedari tadi terkancing rapat bergerak membuka 

perdengarkan gumaman tidak jelas. Namun dia teruskan 

juga dorongan kedua tangannya. Hingga saat itu juga 

terdengar suara menderu-deru keras. Disusul dengan 

menghamparnya gelombang angin luar biasa dahsyat 

yang datang laksana dari segala penjuru mata angin!

 Joko undurkan langkah satu tindak. Serta-merta 

kedua tangannya didorong ke depan. Kejap itu juga 

melesat serat-serat terang berwarna biru laksana

benang. Namun sebelum serat-serat biru terang 

melesat, ada satu kekuatan menggebrak mendahului.

Anehnya kekuatan itu menerabas gelombang yang

Lagi datang hingga semburat seakan memberi jalur la-

pang pada serat-serat biru yang melesat menyusul!

Hingga laksana tanpa halangan lagi, serat-serat biru

Itu melesat dan tiba-tiba membelit sosok si kakek!

 Tapi bukan berarti Pendekar 131 lepas dari bahaya, 

karena bersamaan dengan terbelitnya tubuh si kakek 

oleh serat-serat biru, gelombang angin yang tadi 

semburat secara aneh bersatu kembali dan kini meng-

gebrak ke arah Pendekar 131!

 Joko tidak bisa berbuat banyak, karena jika dia

memangkas gelombang yang kini melabrak, maka

berarti belitan pada tubuh si kakek akan melukar.

Dan jika kesempatan itu digunakan oleh sang kakek

bukan tidak mungkin dia akan lebih celaka lagi.

 Berpikir sampai di sana, akhirnya Joko hanya kerah-

kan tenaga dalam pada dadanya salurkan tenaga inti 

jurus 'Sukma Es'. Di lain pihak dia lipat gandakan tenaga 

dalamnya pada telapak tangan kiri lalu menariknya ke 

belakang.

 Saat itulah gelombang angin menghantam. Joko 

berseru tertahan. Namun sosoknya hanya bergoyang-

goyang keras, karena serat-serat dari tangan kirinya 

terus membelit tubuh si kakek laksana benang yang tak 

dapat diputus. Sedangkan si kakek sendiri tampak ter-

engah-engah dan buka mulutnya lebar-lebar sembunyi


kan suara erangan yang keluar.

 Tiba-tiba si kakek takupkan kedua tangannya di

depan dada. Sepasang matanya memejam. Kejap lain 

tubuh Joko tampak tertarik ke depan. Melihat hal ini, 

Joko kerahkan segenap tenaga dalamnya lalu menarik 

kedua tangannya. Sosoknya terhenti, malah kini ganti 

sosok si kakek yang tertarik. Sementara serat-serat biru 

terus membelit.

 Terjadilah saling tarik dengan mengandalkan tenaga 

dalam masing-masing. Pada satu kesempatan, si kakek 

membentak. Pada saat bersamaan, Joko berseru seraya 

lipat gandakan tenaga.

 Terjadilah sesuatu yang hebat. Sosok si kakek

mundur ke belakang sementara tubuh Joko tertarik ke 

depan. Tapi saat setelah Joko berseru, tubuh si kakek 

tertarik deras ke depan. Hingga tanpa bisa dihindarkan 

lagi sosok keduanya bertubrukan!

 Tubuh keduanya sama-sama mental dan sama ber-

kaparan di atas rumput yang telah gundul! Karena Joko 

tidak kerahkan tenaga dalam lagi, saat itu juga serat-

serat biru yang membelit tubuh si kakek lenyap.

 Tubuh Joko tampak bergetar keras. Dari mulutnya 

keluar darah segar. Si kakek sendiri tak kalah parahnya. 

Selain tubuhnya gemetaran dan sudut mulutnya meng-

alirkan darah, pakaian putih yang dikenakannya tampak 

robek-robek menganga membentuk libatan benang!

 Hebatnya, meski telah cedera, si kakek segera

bangkit lalu duduk berlutut dengan tangan menakup

di depan dada. Sepasang matanya terpejam rapat.

Sejenak kemudian dia buka kelopak matanya pandangi 

murid Pendeta Sinting yang baru perlahan-lahan 

bergerak bangkit.

 "Sahabat! Harap sudi katakan siapa dirimu!" Men-

dadak si kakek buka mulut.

 Untuk beberapa lama Joko hanya pandangi orang tua 

di hadapannya dengan mulut terkancing. Namun diam-

diam dalam hati dia berkata.


"Dia memanggilku sahabat! Jangan-jangan...."

Joko lalu teringat akan ucapan perempuan berbedak 

tebal yang mengatakan bahwa sahabatnya menunggu 

seseorang sebelum ajal menjemputnya. Namun setelah 

mengalami apa yang baru saja terjadi, dan melihat 

beberapa tengkorak manusia di halaman dan di dalam 

bangunan kuil, Joko jadi ragu-ragu.

 "Kalau kau tidak sudi sebutkan diri, tidak apa-apa! 

Yang jelas siapa pun kau adanya, kau adalah seorang 

sahabat yang kutunggu! Harap kau suka mengikutiku!"

 Habis berkata begitu, masih dengan duduk berlutut, 

si kakek berkelebat masuk ke dalam bangunan kuil.

 Ucapan si kakek membuat Joko terkejut. "Bagaimana 

mungkin dia menentukan aku adalah seorang sahabat 

yang ditunggu? Padahal baru kali ini aku bertemu! Tapi 

aku ingin tahu apa yang hendak dilakukannya...."

 Sambil mengusap darah di sudut mulutnya, Joko 

bergerak bangkit lalu melangkah masuk ke dalam

bangunan kuil. Sementara si kakek telah duduk berlutut 

dengan punggung bersandar pada bagian belakang 

tembok yang menghadap ke depan.

 "Duduklah, Anak Muda!"

 Joko turuti ucapan si orang tua. Dia duduk bersila

menghadap si kakek, namun dia tetap waspada.

Sepasang matanya tak beranjak memperhatikan pada 

kedua tangan orang tua di hadapannya, karena Joko 

yakin, bahwa kedahsyatan pukulan orang tua itu terletak 

pada kedua tangannya.

 "Tentu kau punya maksud tertentu hingga sampai 

kemari!" ujar si kakek setelah menghela napas dalam. 

Kali ini suara helaan napasnya tidak lagi keras.

 Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku tidak punya 

tujuan tertentu. Aku hanya ingin buktikan ucapan 

seseorang!" kata Joko meski dalam hati dia sebenarnya 

punya maksud tertentu.

 Si kakek mendehem panjang. "Kau bisa katakan siapa 

orang yang ucapannya ingin kau buktikan?!"


Kembali murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. 

"Dia tak sebutkan nama padaku. Dia seorang

perempuan yang wajahnya pun sulit untuk dikenali!"

 Orang tua di hadapan Joko anggukkan kepala. "Anak 

muda. Apakah kau pernah memasuki Istana Hantu?"

 Joko terlengak. Lalu menjawab. "Pernah...!"

 "Namun mengalami kegagalan. Betul?!"

 Kembali Joko dibuat terkejut saat mendapati si kakek 

mengetahui. Seraya sedikit keraskan suara, Joko 

berujar.

 "Aku memang gagal memasuki Istana Hantu. Namun 

bukan berarti aku tidak bisa masuk ke sana! Aku tetap 

akan ke sana sekaligus menghentikan ulah penghuninya 

yang...."

 Ucapan Joko dipotong oleh suara tawa si kakek.

"Kau masih akan menemui kegagalan, Anak Muda. Meski 

kau telah membekal pukulan sakti 'Serat Biru'!"

 Kali ini ucapan orang tua itu benar-benar membuat 

murid Pendeta Sinting tersentak dan tak dapat

menyembunyikan rasa terkejutnya.

 "Orang tua! Siapa kau sebenarnya?!"

 "Aku adalah sahabat yang menunggu!"

 "Kenapa kau menunggu?!"

 "Aku menduga, tanpa bantuanku orang yang ku-

tunggu akan mengalami kegagalan memasuki Istana

Hantu!"

 "Hem.... Kau tadi mengatakan aku adalah sahabat 

yang kau tunggu. Sekarang bantuan apa yang hendak 

kau berikan?!"

 Si kakek menggeleng sambil tersenyum samar.

"Tidak baik mengatakan bantuan yang akan kuberikan! 

Hanya sebelum aku memberikan sedikit bantuan itu, aku 

mengajukan syarat!"

 "Hem.... Berarti kau tidak rela! Karena kau masih

mengharap imbalan!"

 "Terserah apa katamu. Namun syarat itu demi

kebaikan! Tidak semata-mata sebagai imbalan!"


Untuk beberapa lama Joko berpikir. Lalu berkata.

 "Katakan apa syarat itu!"

 "Mendekatlah kemari! Putar dudukmu dan hadapkan 

punggungmu di depanku!"

 Pendekar 131 tidak segera melakukan apa yang

dikatakan si orang tua. Dia jelas ragu-ragu. Namun

untuk tidak menyinggung perasaan si kakek, Joko

berkata.

 "Apa tidak ada jalan lain selain harus begitu?!"

 "Anak muda. Itu adalah salah satu syarat! Kau tahu, 

beberapa tengkorak yang berserakan di sekitar tempat 

ini adalah manusia-manusia yang meminta paksa apa 

yang hendak kuberikan padamu! Tapi jika kau masih 

bimbang, silakan pergi dari sini!"

 Setelah agak lama menimbang, akhirnya Joko

bergerak bangkit seraya berkata. "Tapi jika kau ber-

tindak tidak terpuji, aku tidak segan berlaku keras!"

 "Aku sudah tua, Anak Muda! Apa artinya kematianmu 

bagiku?!"

 Tanpa menyahut ucapan si kakek, Joko mendekat, 

lalu putar diri membelakangi dan duduk bersila.

 "Dengar baik-baik, Anak Muda. Karena aku tidak akan 

mengulangi ucapanku. Setelah apa yang kulakukan 

nanti, cepatlah kau tinggalkan tempat ini. Jangan 

berpaling ke belakang menengok ke arahku! Jika kau 

telah berada di luar sana, jangan kau hiraukan kabar 

yang tersiar tentang penghuni Istana Hantu. Kau 

memang berhak memasuki Istana Hantu, tapi sekali-kali 

jangan berniat membunuhnya! Kau dengar dan 

mengerti?!"

 Walau belum mengerti apa maksud ucapan si kakek, 

tapi akhirnya Joko anggukkan kepalanya. Pada saat 

itulah tiba-tiba si kakek angkat kedua tangannya. Dan 

serta-merta ditempelkan pada punggung murid Pendeta 

Sinting.

 Pendekar 131 tersentak. Karena saat itu juga ada 

hawa panas memasuki tubuhnya melewati kedua tangan


si kakek. Joko coba berseru, namun suaranya tersendat 

di tenggorokan. Dia hendak putar diri, tapi tubuhnya

laksana dipantek tak bisa digerakkan. Hingga akhirnya 

dia hanya diam dengan mata terpejam merasakan rasa 

panas luar biasa. Sementara orang tua di belakangnya 

telah basah kuyup. Napasnya megap-megap dengan 

mata setengah terpejam setengah terbuka. Sosoknya 

bergetar keras.

 Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba rasa panas lenyap 

seketika. Bersamaan dengan itu, kedua tangan si kakek 

luruh ke bawah.

 Joko menunggu beberapa saat. Tidak ada suara, tidak 

ada gerakan. Membuat murid Pendeta Sinting ini hendak 

berpaling. Namun ingat akan ucapan si orang tua, 

Pendekar 131 urungkan niat. 

 Setelah merasa yakin bahwa si kakek tak membuat 

gerakan apa-apa lagi, Joko perlahan-lahan bangkit. Dia 

kuatkan hati untuk turuti ucapan si kakek meski 

sebenarnya dia ingin melihat pada si orang tua. Malah 

ketika langkahnya sampai pintu kuil, gerakan kakinya 

berhenti. Dia tampak bimbang hingga untuk beberapa 

saat dia tetap tegak di situ seolah ingin mendengar 

ucapan dari si orang tua. Namun sampai kedua kakinya 

pegal, tidak terdengar suara maupun terdengar orang 

membuat gerakan.

 "Heran. Apa sebenarnya yang terjadi dengan orang 

tua itu? Apa yang dilakukannya tadi terhadap diriku...? 

Dan kenapa kini dia diam, padahal sebenarnya aku 

menunggu kata-katanya! Apa kuturuti saja ucapan-

nya?!"

 Meski dia telah memutuskan untuk tinggalkan tempat 

itu, namun sekejap ia masih hendak putar tubuh. Tapi 

diurungkan kembali sebelum akhirnya berkelebat 

tinggalkan bangunan kuil dengan berbagai pertanyaan 

dan dugaan.

 Bersamaan dengan berkelebatnya tubuh murid

Pendeta Sinting, sosok si kakek tersandar pada dinding.


Lalu kepalanya terkulai di samping kanan dan saat itu 

juga hembusan napas terhenti! Kakek berpakaian putih 

ini telah kehabisan tenaga luar dan dalamnya karena 

disalurkan masuk ke dalam tubuh Pendekar 131 tanpa 

disadari dan diketahui oleh Pendekar 131 sendiri! Murid 

Pendeta Sinting juga tidak mengerti jika tenaga dalam si 

kakek itulah kelak yang dapat membantunya untuk 

memasuki Istana Hantu.

* * *


ENAM


SOSOK bayangan putih itu berkelebat laksana dikejar 

setan. Gerakannya yang luar biasa cepat membuat 

sosoknya hanya menyerupai bayang-bayang yang me-

nyeruak di antara rimbun semak belukar dan jajaran 

pohon. Pada satu tempat tiba-tiba sosok bayangan itu 

hentikan kelebatannya. Kepalanya berputar cepat, 

sementara sepasang matanya liar memandang tak 

berkesip. Mungkin merasa yakin tidak ada orang di 

sekitar tempat dia berada, orang ini luruskan kepala ke 

depan. Dua puluh lima tombak jauh ke depan sana, 

samar-samar terlihat satu bangunan tua berdiri kokoh 

yang pintu gerbangnya terbuka di mana pada pintu itu 

menggandul sebuah tengkorak yang masih berlumuran 

darah.

 "Istana Hantu...," desis orang ini yang ternyata adalah 

nenek mengenakan pakaian warna putih dari sutera. 

Rambutnya telah memutih. Di atas telinga nenek ini 

tampak menyelip seruas bambu kecil berwarna kuning. 

Namun walau orang ini telah berusia lanjut, bekas 

kecantikan masih membayang jelas di wajahnya.

 "Menurut yang kudengar dan bekas-bekas yang di-

tinggalkan, penghuni Istana Hantu adalah seorang yang 

ilmunya sangat tinggi! Tapi kenapa dia membuat ulah 

dengan membunuh banyak orang?!" si nenek yang 

bukan lain adalah Daeng Upas ibu dari Durga Ratih alias 

Dewi Siluman terus menggumam dengan mata masih 

memandang ke depan.

 Tiba-tiba si nenek pentangkan sepasang matanya. 

Rahangnya terangkat, pelipis kanan kirinya bergerak-

gerak. Tak lama kemudian, sosoknya ikut bergetar, 

pertanda hawa kemarahan telah membungkus dadanya.

 "Datuk Besar.... Aku bersumpah akan membalas

kematianmu! Tengkorak Berdarah, penyebab putusnya 

hubungan kita harus mampus di tanganku. Aku tak 

peduli berapa tinggi kepandaiannya!" Daeng Upas


berkata setengah berteriak. Namun sesaat kemudian 

bahu nenek ini tampak berguncang. Lalu terdengar dia 

sesunggukan.

 "Datuk Besar.... Sungguh aku tak menduga jika kita 

tak akan pernah berkumpul lagi. Padahal hal itu telah 

kurencanakan bertahun-tahun lamanya! Tahu begini, 

aku menyesal terlalu keras kepala tidak menuruti 

ucapanmu lalu pergi meninggalkanmu...." Daeng Upas 

dongakkan kepala. Dari sudut kedua matanya telah 

bergulir air bening.

 "Durga Ratih anakku.... Sungguh malang nasibmu. 

Selama ini kau belum kenal siapa ayahmu! Jika saja aku 

berkata terus terang padamu, tentu kita akan bisa 

berkumpul dan bersama-sama melakukan rencana besar 

yang telah kuatur! Tapi kini semuanya berantakan! Ini 

gara-gara Tengkorak Berdarah keparat! Sebelum kau 

mengenal ayahmu, Tengkorak Berdarah telah 

membuatmu kehilangan!" Daeng Upas hentikan 

gumamannya. Sepasang matanya berkilat memandang 

jauh ke Istana Hantu.

 Seperti dituturkan dalam episode: "Gerbang Istana 

Hantu", Daeng Upas yang telah bertahun-tahan tak 

munculkan diri begitu mendapat keterangan dari

anaknya Dewi Siluman serta adik kandunganya Ki Buyut 

Pagar Alam segera berniat turun tangan sendiri. Apalagi 

setelah mendengar Kitab Serat Biru telah jatuh ketangan 

pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko 

Sableng dan mendengar gerbang pintu Istana Hantu 

terbuka. Namun Daeng Upas rupanya maklum jika apa 

yang akan dihadapi. Adalah urusan besar yang tidak 

saja membutuhkan akal panjang tapi juga memerlukan 

tenaga tangguh. Untuk itulah si nenek lalu mengunjungi 

seorang tokoh bergelar Datuk Besar. Tujuan Daeng Upas 

mengunjungi Datuk Besar selain untuk minta bantuan,

lebih dari itu untuk menumpahkan kerinduan yang sela-

ma ini dipendam. Datuk Besar adalah bekas kekasihnya 

dahulu. Dari sang datuk inilah akhirnya Daeng Upas


mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan 

yang diberi nama Durga Ratih yang pada beberapa 

tahun kemudian dikenal dengan julukan Dewi Siluman. 

Namun Daeng Upas agaknya harus menelan kecewa, 

karena begitu tiba di tempat kediaman Datuk Besar, laki-

laki bekas kekasihnya itu telah menemui ajal. Si nenek 

telah dapat menduga siapa gerangan yang membunuh 

sang kekasih, karena pada gubuk tempat kediaman 

Datuk Besar tampak sebuah tengkorak berlumur darah!

 Sebenarnya meski tanpa terbunuhnya Datuk Besar, 

Daeng Upas telah merencanakan pergi ke Istana Hantu. 

Dia menduga istana itu menyimpan sesuatu. Setelah 

mengetahui apa yang menimpa Datuk Besar, kini 

kedatangannya ke Istana Hantu dengan dua tujuan. 

Selain membalaskan kematian sang kekasih juga 

meminta sesuatu yang diduga tersimpan di dalam istana 

yang selama ini dihuni oleh seorang misterius yang 

bergelar Tengkorak Berdarah.

 Pada kedatangannya yang pertama, dia belum

sempat memasuki Istana Hantu karena perhatiannya

tercurah pada Pendekar 131 yang saat itu berusaha 

memasuki istana. Karena merasa curiga dengan si 

pemuda, akhirnya Daeng Upas hendak mengorek 

keterangan darinya, tapi sesosok tubuh telah 

mendahului menyambar tubuh si pemuda. Daeng Upas 

segera mengejar hingga akhirnya dia bertemu dengan 

Dewi Siluman dan Ki Buyut. Namun tanpa diduga sama 

sekali, tiba-tiba muncul seorang pemuda bertangan 

buntung yang membuat pengejaran Daeng Upas terha-

dap Pendekar 131 terhalang. Kini setelah kehilangan 

jejak pemuda yang dikejar dan pemuda bertangan 

buntung, si nenek kembali hendak coba memasuki 

Istana Hantu.

 Namun nenek ini cerdik. Dia sengaja tidak langsung 

menuju Istana Hantu tapi mengambil jarak agak jauh. 

Dia seakan tahu, bahwa dengan terbukanya istana, 

maka akan banyak tokoh yang datang. Dari sini dia


dapat mengukur sampai di mana ketinggian ilmu sang 

penghuni. Lebih dari itu, dengan munculnya beberapa 

tokoh sedikit banyak tenaga Tengkorak Berdarah akan 

terkuras. Hal demikianlah yang ditunggu-tunggu si 

nenek.

 Tapi agaknya kali ini Daeng Upas harus merasa

kecewa, karena meski sudah agak lama di tempatnya, 

dia belum melihat seorang pun yang datang. Entah 

karena telah memendam dendam dan menduga hari ini 

tidak akan ada tokoh yang datang, maka setelah berpikir 

lagi, akhirnya Daeng Upas bergerak melangkah. Namun 

dia tidak langsung lurus menuju Istana Hantu, namun 

sengaja bergerak berputar melewati rumpun semak 

belukar yang banyak di sekitar Istana Hantu.

 Tapi gerakan kaki Daeng Upas tiba-tiba tertahan. 

Sepasang matanya garang memandang ke sela semak 

belukar. Kedua telinga bergerak ke atas tanda si nenek 

kerahkan tenaga dalam pada pendengarannya.

 Tiba-tiba Daeng Upas putar tubuh setengah lingkaran. 

Sepasang matanya liar menembusi kerapatan semak di 

hadapannya. Lalu mendadak dia membentak.

 "Percuma kau sembunyikan diri! Keluarlah!"

 Bukan sahutan ucapan yang terdengar. Bukan adanya 

gerakan yang terlihat. Sebaliknya bentakan Daeng Upas 

disambut dengan terdengarnya tawa bergelak keras. 

Bukan bersumber pada tempat di hadapan Daeng Upas 

melainkan datang dari arah belakangnya!

 Daeng Upas adalah seorang yang memiliki kepandaian 

tinggi meski selama ini dia sembunyikan. Tapi kalau 

dugaannya meleset, maka dapat diduga jika orang yang 

perdengarkan tawa menyambuti bentakan si nenek 

adalah bukan orang sembarangan.

 Sambil menindih rasa terkejut, Daeng Upas cepat 

balikkan tubuh. Sejarak tujuh langkah di hadapannya si 

nenek melihat seseorang tegak dengan kacak pinggang. 

Orang ini mengenakan pakaian aneh. Berupa jubah 

panjang hingga menutup seluruh tubuh sampai telapak


kakinya. Jubah panjang itu dibikin terusan ke atas

hingga menutup juga seluruh kepalanya, membuat 

orang ini tidak bisa dikenali laki perempuannya karena 

tidak satu pun dari anggota tubuhnya yang terlihat! 

Jubah aneh itu berwarna abu-abu dari bahan tebal dan 

kasar. Pada dada jubah terlihat gambar sebuah 

tengkorak yang meneteskan darah!

 Sesaat Daeng Upas pentangkan sepasang matanya 

menatap tak berkesip. Dalam hati dia menduga-duga 

siapa adanya orang berjubah aneh itu. Tapi karena tidak 

dapat jawaban, akhirnya dia buka mulut membentak.

 "Orang tak dikenal. Siapa kau?!"

 Orang yang dibentak tertawa panjang. Meski suara 

tawanya pelan, namun saat itu juga Daeng Upas 

rasakan tanah yang dipijak terasa bergetar!

 "Daeng Upas! Buka matamu lebar-lebar!" seraya

menjawab, orang berjubah aneh gerakkan tangan

kirinya menunjuk pada gambar tengkorak di dadanya.

 Daeng Upas terkesiap kaget mendapati orang tahu 

siapa dirinya. Namun si nenek tidak mau tunjukkan 

wajah terkejut. Malah setelah sekilas melirik pada jubah 

bagian dada yang ditunjuk orang, dia alihkan 

pandangannya ke jurusan lain. Dia cepat membatin.

 "Siapa orang ini! Dia tahu diriku! Mengenakan jubah 

aneh yang di dadanya bergambar tengkorak. Dari 

suaranya jelas jika dia seorang laki-laki. Namun suara 

bisa dirubah! Hem.... Melihat dia menunjuk gambar, 

apakah dia tokoh misterius penghuni Istana Hantu? 

Selama ini memang tidak ada orang yang dapat 

mengenali tokoh misterius itu, karena setiap korbannya 

pasti menemui ajal!"

 Habis membatin begitu, Daeng Upas buka mulut

tanpa memandang. "Syukur aku telah kau kenali hingga 

tak usah aku perkenalkan diri! Aku ingin dengar jawaban 

dari mulutmu, bukan dengan isyarat tanganmu!"

 Kembali orang berjubah aneh perdengarkan tawa 

panjang. Namun tiba-tiba diputus dan disusul dengan


suara dengusan keras, membuat Daeng Upas cepat 

berpaling.

 "Daeng Upas! Apakah itu permintaan terakhirmu?!"

 Daeng Upas menyeringai. Setelah berteriak dia

berkata.

 "Itu adalah permintaan pertama. Permintaan ter-

akhirku adalah selembar nyawamu jika kau merecoki 

urusanku! Kau dengar?!"

 "itu menurutmu. Bagiku, permintaanmu tadi adalah 

yang pertama dan yang terakhir. Maka akan kupenuhi, 

agar kau bisa bersanding dengan kekasihmu!"

 Mendengar ucapan orang berjubah aneh, dada Daeng 

Upas berdebar keras. Matanya mendelik angker. 

Rahangnya menggegat perdengarkan suara

bergemeletak. Walau hampir bisa menduga siapa

adanya orang, serta dadanya dibungkus gejolak amarah, 

namun nenek ini tidak cepat bertindak. Selain maklum 

jika orang di hadapannya memiliki kepandaian yang 

tidak rendah, dia juga ingin meyakinkan apakah orang di 

hadapannya benar-benar tepat seperti dugaannya.

 "Orang gila tak dikenal! Jangan banyak mulut! Lekas 

katakan siapa dirimu!" bentak Daeng Upas dengan suara 

melengking tinggi.

 "Akulah Tengkorak Berdarah penghuni Istana Hantu! 

Dan perlu kau ketahui, barang siapa telah melihatku, 

maka saat itulah hari kematiannya telah datang! Tidak 

seorang pun lolos dari maut setelah mengenaliku!"

 Meski Daeng Upas telah menduga siapa adanya

orang, namun begitu orang di hadapannya sebutkan

siapa dirinya, si nenek ini tampak surutkan langkah

setengah tindak. Matanya makin membeliak seakan coba 

menembus wajah di balik pakaian aneh orang di 

hadapannya. Selama ini memang Daeng Upas telah 

menyirap kabar bahwa tokoh yang bergelar Tengkorak 

Berdarah tidak pernah meninggalkan orang yang jadi 

korbannya dalam keadaan hidup-hidup. Tidak terkecuali 

dengan Datuk Besar kekasih si nenek sendiri.


Berpikir sampai ke sana, tengkuk Daeng Upas men-

jadi dingin, apalagi selama ini diketahui para korban 

Tengkorak Berdarah bukanlah para tokoh yang ilmunya 

rendah. Namun karena hatinya telah dibungkus dengan 

dendam akibat tewasnya Datuk Besar, ditambah ada

sesuatu yang juga berada di tangan Tengkorak 

Berdarah, semangat si nenek menjadi berkobar-kobar. 

Rasa kecutnya yang sejenak tadi menyelimuti hatinya 

mendadak lenyap! Berganti dengan dendam dan 

harapan!

 Daeng Upas sentakkan kepalanya ke samping.

Mendadak dia tertawa bergelak. Puas tertawa dia

berkata.

 "Hari ini rupanya aku beruntung. Tanpa dicari, orang 

yang berhutang nyawa padaku datang serahkan diri! 

Tapi semua urusan hutang nyawa akan kuhapus jika kau 

penuhi permintaanku!"

 Mendengar ucapan Daeng Upas, Tengkorak Berdarah 

ganti tertawa.

 "Sebelum kau sempat menerima apa permintaanmu, 

nyawamu akan kulepas!"

 "Hem.... Begitu? Jika demikian, permintaan kuubah 

jadi perintah! Serahkan kitab yang ada di tanganmu 

padaku!" sentak Daeng Upas.

 Tengkorak Berdarah sejurus terdiam. Diam-diam 

orang berjubah abu-abu aneh itu membatin. "Hem.... 

Rupanya dia telah tahu perihal kitab itu! Sebenarnya 

manusia macam dia dibiarkan hidup terlebih dahulu. 

Tapi dia adalah bekas murid Kyai Panjer Wengi. Dan aku

telah bersumpah untuk melenyapkan Guru serta seluruh 

muridnya dari permukaan bumi! Juga manusia yang 

bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131. Malah untuk 

yang terakhir ini, aku harus segera menemukannya, 

karena dialah kunci semua cita-citaku!"

 "Daeng Upas! Kitab yang kau minta boleh kau ambil. 

Tapi serahkan dulu nyawamu!"

 "Jika begitu perintah kuubah jadi tangan maut!"


Habis berkata begitu, Daeng Upas membuat gerakan 

menjotos dan menendang tanpa berpindah dari tempat-

nya berpijak!

 Desss! Desss!

 Meski Daeng Upas lancarkan jotosan dan tendangan 

dari tempatnya berdiri, namun anehnya Tengkorak 

Berdarah merasakan laksana satu jotosan dan satu 

tendangan keras menghantam tubuhnya. Tapi meski 

terdengar suara benda terhantam, sosok Tengkorak 

Berdarah tidak bergeming sama sekali, malah saat itu 

juga dia tertawa berderai.

 Daeng Upas menyeringai seraya pelototkan sedikit 

matanya. Dia jelas dapat merasakan bahwa jotosan dan 

tendangannya menghantam telak Tengkorak Berdarah, 

namun orang ini seakan tidak merasakan apa-apa!

 Daeng Upas lipat gandakan tenaga dalamnya.

Sekonyong-konyong dia melesat ke depan sambil meng-

udara satu tombak. Sejarak lima langkah dari tempat 

Tengkorak Berdarah, si nenek membuat gerakan men-

jotos dengan kedua tangannya sekaligus. Sementara 

kedua kakinya membuat gerakan menendang. Seperti 

diketahui, Daeng Upas memiliki jurus yang dapat 

menghantam dari jarak jauh. Jurus ini selalu digunakan 

si nenek untuk mengetahui tingkat ketinggian ilmu 

lawan.

 Desss! Deesss! Deeesss! Deeesss!

 Terdengar empat kali benda terhantam pukulan. Per-

tanda jelas jika pukulan Daeng Upas yang dilepaskannya 

mengenai sasaran. Namun lagi-lagi si nenek agak te-

kejut mengetahui sosok Tengkorak Berdarah hanya ber-

goyang-goyang!

 "Keparat!" maki Daeng Upas. Dia teruskan kelebatan-

nya. Lalu mendorong kedua tangannya.

 Satu gelombang angin menderu deras ke arah Teng-

korak Berdarah. Tengkorak Berdarah hentakkan kaki 

kanannya. Tubuhnya melesat ke udara. Gelombang 

angin pukulan Daeng Upas melabrak setengah tombak


di sampingnya.

 Begitu di atas udara, Tengkorak Berdarah kebutkan 

kedua tangannya ke belakang. Tubuhnya melesat ke 

depan memapak sosok Daeng Upas yang masih 

melayang di udara. Tiba-tiba sosok Tengkorak Berdarah 

membuat gerakan berbalik. Bersamaan dengan ini kaki 

kanannya yang terbungkus jubah panjangnya mencuat.

 Daeng Upas tersentak melihat cepatnya gerakan 

orang. Hingga belum sempat dia menghadang dengan

lepaskan pukulan, tendangan dari balik jubah panjang 

telah datang melabrak! Membuat tak ada pilihan lain 

bagi si nenek untuk selamatkan diri kecuali dengan 

angkat kedua kakinya untuk memangkas tendangan.

 Bukkk! Buukkk!

 Terjadilah saling tendang di udara. Sosok Daeng Upas 

tampak terpental lalu melayang jatuh. Namun karena 

nenek ini juga memiliki kepandaian tinggi, sebelum 

tubuhnya menghantam tanah, dia berputar balik ke atas. 

Kejap lain mendarat di atas tanah dengan terbungkuk-

bungkuk dan wajah makin mengeriput. Sedang di 

seberang sana, Tengkorak Berdarah langsung mendarat 

dengan tubuh tegak kokoh. Dari hal ini, Daeng Upas 

rupanya maklum jika tenaga dalam lawan masih berada 

di atasnya. Namun karena dendam telah tertanam dan

dia punya sesuatu yang diminta, maka dia tak perhitung-

kan diri.

 Didahului bentakan keras, Daeng Upas membuat 

gerakan berputar-putar. Kejap itu juga dari tubuhnya 

mengepul asap yang ikut berputar seiring putaran 

tubuhnya. Saat si nenek berteriak kedua kalinya, asap 

yang berputar mengelilingi tubuhnya melesat dan kini 

berputar-putar keras ke arah Tengkorak Berdarah! Ibu 

Dewi Siluman ini telah lepaskan pukulan sakti 'Angin 

Keranda'!

 Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. Kedua tangan-

nya dirangkapkan di depan dada. Kejap lain kedua 

tangannya disentakkan ke depan.


Wuuutt! Wuuuttt!

 Terdengar deruan pelan. Hebatnya sesaat kemudian 

asap yang berputar-putar ganas ke arahnya tertahan. 

Daeng Upas tercekat. Belum sirna rasa terkejutnya, di 

depan sana Tengkorak Berdarah rnelangkah pelan ke 

depan. Namun dalam sekejap sosoknya telah sampai 

pada asap yang tertahan. Belum tahu apa yang akan 

dilakukan lawan, tiba-tiba kedua tangan Tengkorak 

Berdarah mendorong asap pukulan Daeng Upas.

 Asap yang berputar-putar dan tertahan itu laksana 

disentak tangan setan. Lalu melesat kencang berputar-

putar ke arah Daeng Upas!

 Sambil menindih rasa kejut, Daeng Upas cepat putar 

kembali tubuhnya. Lalu membentak garang. Saat itu 

juga dari tubuhnya melesat lagi asap berputar-putar.

 Blaaarrr!

 Tempat itu laksana dilanda gempa hebat ketika

pukulan 'Angin Keranda' yang membalik bentrok dengan 

pukulan 'Angin Keranda' yang baru saja dilepas Daeng 

Upas. Sosok Daeng Upas terpental jauh menerabas 

semak belukar. Dari mulutya mengalir darah kehitaman 

pertanda si nenek telah terluka dalam. Pakaian sutera 

putih yang dikenakannya berubah agak kecoklatan 

hangus. Sementara Tengkorak Berdarah hanya tersurut 

dua langkah.

 Daeng Upas cepat salurkan tenaga dalam. Lalu

terhuyung-huyung bangkit. Saat itulah Tengkorak

Berdarah perdengarkan tawa mengekeh. Namun

bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak

menghantam ke arah Daeng Upas.

 Karena belum dapat kuasai diri maka sangat sulit bagi 

si nenek untuk memangkas pukulan yang datang 

melabrak. Apalagi pukulan itu dilepas oleh tokoh yang 

ilmunya tidak diragukan lagi.

 Namun Daeng Upas tampaknya tak mau begitu saja 

menyerah. Meski dengan tubuh belum tegak sepenuh-

nya, kedua tangannya bergerak membuat satu pukulan.


Tapi pukulan ini tampaknya tidak akan mampu mem-

bendung pukulan yang dilancarkan Tengkorak Berdarah, 

karena Daeng Upas hanya mengerahkan sisa-sisa 

tenaganya. Dan kalaupun pukulan itu bisa memangkas 

pukulan Tengkorak Berdarah namun tubuhnya akan 

makin kehabisan tenaga, dan itu akan membuatnya 

fatal.

 Dalam keadaan genting itulah, tiba-tiba terdengar 

suara duuttt! Duuttt! Beberapa kali. Pada saat bersama-

an, satu gelombang angin dahsyat menyeruak melabrak 

pukulan yang dilepas Tengkorak Berdarah yang saat itu 

hampir bentrok dengan pukulan yang dilepas Daeng 

Upas.

 Buummm!

 Terdengar ledakan keras saat tiga pukulan itu ber-

temu. Sosok Daeng Upas mencelat. Namun dia masih 

beruntung karena pukulan Tengkorak Berdarah masih 

dipangkas dahulu oleh pukulan yang tiba-tiba 

menyeruak. Hingga meski tubuhnya sempat mental, 

namun luka dalamnya tidak bertambah paruh. 

Sementara sosok Tengkorak Berdarah terseret lima 

langkah. Namun sosok orang ini tetap tegak!

* * *


TUJUH


MESKI seluruh tubuhnya tertutup jubah aneh, namun 

sentakan kepala serta guncangan sedikit pada bagian 

bahunya sudah menunjukkan jika Tengkorak Berdarah 

merasa terkejut. Sementara Daeng Upas yang sosoknya

kembali menerabas semak belukar perlahan-lahan

bergerak bangkit. Meski hanya sekilas, namun nenek ini 

bisa menduga jika baru saja ada yang memangkas 

pukulan Tengkorak Berdarah. Hingga begitu tubuhnya 

tegak, dia segera berpaling ke samping kanan dari mana 

pukulan yang selain dapat memangkas pukulan Tengko-

rak Berdarah juga menyelamatkan dirinya datang 

menyeruak.

 Sesaat Daeng Upas tampak tergagu dengan mulut 

terkancing dan mata mendelik tak berkesip. Dari 

tempatnya tegak, si nenek melihat sesosok tubuh berdiri 

tegak dengan kepala di bawah kaki di atas. Orang ini 

berwajah tampan dan usianya masih tampak muda. 

Pemuda ini tidak mempunyai kedua tangan dan pada 

mulutnya tampak sebuah karet bundar yang menyerupai 

dot bayi.

 "Dia...," desis Daeng Upas begitu melihat siapa ada-

nya si pemuda yang berdiri terbalik. "Heran. Bagaimana 

dia bisa berada di sini? Apakah dia mengikutiku? Siapa 

sebenarnya pemuda ini? Sikapnya aneh. Tempo hari dia 

menyerang dan menghadang urusanku hingga berantak-

an tak karuan. Tapi kali ini tampaknya dia menolongku!" 

Diam-diam Daeng Upas menarik napas lega melihat 

kehadiran si pemuda yang dari sikapnya tadi jelas 

menyelamatkan dirinya.

 Sementara Tengkorak Berdarah setelah berdiam agak 

lama baru berkata.

 "Bukankah yang di hadapanku saat ini adalah tokoh 

tua bergelar Dewa Orok? Aku gembira dapat berjumpa 

denganmu!"

 Si pemuda menyedot bundaran karet di mulutnya


hingga perdengarkan suara duttt! Duutttt! Beberapa kali. 

Lalu bahunya bergerak. Wuuttt! Sosoknya kini tegak 

dengan kepala di atas kaki di bawah, namun yang 

menjadi tumpuan tubuhnya adalah kedua ibu jari 

kakinya!

 Sepasang mata si pemuda yang tajam sejenak

memandang pada Tengkorak Berdarah, lalu tersenyum. 

Kepalanya bergerak ke arah Daeng Upas berada. Si 

nenek cepat putar otak dan sekejap kemudian dia 

berkata.

 "Sobatku. Terima kasih...."

 Si pemuda kuncupkan mulut, lalu menyembur.

Bundaran karet di mulutnya mencuat keluar, lalu

mengapung di udara di hadapan wajahnya. Kejap lain 

terdengar ucapannya.

 "Sobatku?!" si pemuda ulangi ucapan Daeng Upas. 

"Aku tidak mengenalmu, kau pun tidak tahu siapa diriku! 

Adalah hai aneh jika kau mengatakan aku adalah 

sobatku! Jangan-jangan kau punya niat di balik ucapan-

mu itu! Ha... ha... ha...!"

 Paras Daeng Upas seketika berubah mengelam.

Dalam hati dia memaki panjang pendek. Tapi nenek ini 

tidak kehilangan akal. Dia segera hendak bicara lagi, 

namun si pemuda telah mendahului.

 "Nenek cantik! Walau kita pernah jumpa dan belum 

sempat berkenalan, tapi tak ada jeleknya memang saling 

bersahabat! Hanya saja kau jangan salah terka. Aku tadi 

tidak berniat menolong apalagi menyelamatkanmu. Aku 

hanya tidak suka melihat orang bertindak pada orang 

yang telah tidak berdaya!"

 "Hem.... Tujuannya masih sama seperti waktu jumpa 

tempo hari selamatkan pemuda berbaju putih...," 

gumam Daeng Upas.

 "Dewa Orok!" Tiba-tiba terdengar bentakan

Tengkorak Berdarah. "Selama ini aku tidak pernah

membiarkan hidup orang yang telah melihatku! Namun 

hari ini kau adalah satu-satunya manusia yang


beruntung, karena aku mengampuni nyawamu!"

 Si pemuda yang dipanggil Dewa Orok menyedot. 

Bundaran karet yang mengapung meluncur dan masuk 

ke dalam mulutnya. Setelah perdengarkan suara duuttt! 

Duuttt! Beberapa kali, Dewa Orok semburkan kembali 

bundaran karet. Bundaran karet itu kembali mengapung 

di udara. Kepalanya berpaling pada Tengkorak Berdarah.

 "Selama ini aku tidak pernah minta ampun apalagi 

urusan nyawaku. Namun hari ini aku menemukan hal 

aneh. Ada orang mengampuni nyawaku, padahal 

nyawaku tidak pernah punya urusan denganmu! Lagi-

lagi aku menangkap ada sesuatu di balik nada 

ucapanmu! Ha... ha... ha...!"

 Karena seluruh anggota tubuh Tengkorak Berdarah 

tidak kelihatan, baik Dewa Orok maupun Daeng Upas 

tidak bisa melihat bagaimana paras wajah Tengkorak 

Berdarah setelah mendengar ucapan Dewa Orok. 

Mereka berdua sebentar kemudian hanya mendengar 

Tengkorak Berdarah berujar.

 "Nyawamu memang tidak punya urusan denganku, 

tapi setiap orang yang melihatku berarti nyawanya 

ditakdirkan untuk tercabut di tanganku! Dan kau jangan 

merasa senang dahulu, dalam sesaat. Aku bisa merubah 

niatku!"

 "Kalau kau bisa berkata begitu, apa sulitnya bagiku 

membuat aturan bahwa tidak semua yang kulihat bisa 

mencabut nyawaku termasuk kau sendiri?!"

 "Dewa Orok!" suara Tengkorak Berdarah makin tinggi 

pertanda kemarahannya sudah memuncak. "Rupanya 

kau ingin niatku berubah!"

 "Aku tak pernah ingin merubah niat siapa saja!"

 Tengkorak Berdarah angkat kedua tangannya. Wajah 

Dewa Orok tampak berubah. Mulutnya mengempis lalu 

menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung 

di udara meluncur dan masuk kedalam mulutnya.

 "Kau manusia tak mau diuntung! Dan ternyata takdir 

kematianmu juga ada di tanganku!" sentak Tengkorak


Berdarah.

 Sepasang mata Dewa Orok melotot besar. Dia segera 

tarik tubuhnya ke belakang. Kedua orang ini tampaknya 

sudah siap untuk saling lepaskan pukulan. Saat itulah 

tiba-tiba terdengar orang bergumam tapi tidak jelas 

nada ucapannya.

 Baik Tengkorak Berdarah maupun Dewa Orok urung-

kan niat. Keduanya sama palingkan kepala kesamping 

kanan arah mana tampak Istana Hantu. Daeng Upas 

yang masih tegak dan coba kembalikan tenaga 

dalamnya juga segera berpaling.

 Dari tempat masing-masing orang dapat melihat

sesosok tubuh melangkah pelan dari pelataran Istana 

Hantu menuju ke arah mereka. Sepasang mata Dewa 

Orok dan Daeng Upas mementang tak berkesip. 

Ternyata sosok yang sedang melangkah itu menggen-

dong seseorang di punggungnya. Orang yang 

menggendong mengenakan pakaian warna gelap. 

Sementara orang yang digendong mengenakan pakaian 

warna putih besar dan panjang hingga pakaian 

bawahnya tampak menyapu tanah sampai setengah 

tombak! Anehnya, orang yang menggendong itu 

melangkah zig-zag ke kanan ke kiri seolah ingin 

menunjukkan sapuan pakaian orang yang digendong.

 Untuk beberapa lama tidak ada orang yang buka

mulut. Semua perhatian laksana tertuju pada orang

menggendong yang melangkah zig-zag. Kira-kira tujuh 

tombak di hadapan Dewa Orok, dan sebelum Dewa Orok 

dapat melihat jelas siapa adanya orang yang men-

datangi, tiba-tiba orang di depan sana melangkah ke 

arah kanan lalu membuat gerakan cepat. Dewa Orok 

dan Daeng Upas terkesima hampir tidak percaya. Orang 

yang menggendong tiba-tiba lenyap laksana ditelan 

bumi!

 Dewa Orok berpaling ke kiri di mana Tengkorak

Berdarah tadi berada. Pemuda bertangan buntung ini 

terkejut. Tengkorak Berdarah sudah tidak kelihatan lagi!


"Heran. Ke mana dia? Kenapa tiba-tiba menghilang 

begitu melihat orang tadi?" membatin Dewa Orok. Lalu 

kepalanya diputar. Namun sosok Tengkorak Berdarah 

memang tidak ditemukan.

 Sementara Daeng Upas begitu mendapati orang yang 

menggendong lenyap, cepat pula berpaling ke arah 

Dewa Orok dan Tengkorak Berdarah. Dia ingin tahu apa 

yang hendak dilakukan kedua orang itu. Tapi dia 

terperangah kaget tatkala matanya tidak lagi melihat 

sosok Tengkorak Berdarah. Mungkin masih khawatir 

nenek ini seperti halnya Dewa Orok tadi, putar 

kepalanya berkeliling dengan mata menembusi semak 

belukar. Tapi tetap saja dia tak melihat Tengkorak 

Berdarah.

 Perlahan-lahan Daeng Upas melangkah ke arah Dewa 

Orok.

 "Hari ini aku menemukan satu keanehan...," kata

Daeng Upas mulai membuka pembicaraan.

 Dewa Orok hanya berpaling tanpa menyahut.

Sebaliknya menyedot-nyedot karet bundar di mulutnya 

hingga perdengarkan suara duuuttt! Duuuttt!

 "Yang kudengar selama ini Tengkorak Berdarah

adalah manusia misterius berilmu sangat tinggi. Para 

korbannya adalah orang-orang yang pernah me-

nyandang nama besar dalam rimba persilatan. Tapi

kenapa tiba-tiba dia seperti takut melihat orang yang

menggendong tadi? Buktinya dia segera menghilang...."

 Dewa Orok semburkan bundaran karet di mulutnya 

hingga mencuat dan mengapung di hadapannya. Lalu 

berkata.

 "Hem.... Kau melihat itu satu keanehan, tapi aku

mengatakan itu adalah satu hal biasa. Setinggi apapun 

ilmu yang dimiliki seseorang, pasti ada orang lain yang 

melebihi. Mungkin hal itu yang dirasakan orang berjubah 

yang mengaku sebagai Tengkorak Berdarah tadi. Tapi

lebih daripada itu, aku menangkap sesuatu yang lain 

dengan kepergiannya yang secara diam-diam!"


"Begitu? Apa sesuatu yang lain itu?!" tanya Daeng 

Upas seraya memperhatikan baik-baik sosok Dewa Orok 

yang tak punya tangan itu.

 Dewa Orok geleng-gelengkan kepala. "Tidak baik 

membicarakan orang! Apalagi hal itu masih berupa 

dugaan!"

 Daeng Upas tersenyum. Memperhatikan sesaat pada 

bundaran karet yang mengapung di hadapan Dewa Orok 

lalu berkata.

 "Tengkorak Berdarah mengenalimu. Apakah kau 

mengenalinya juga? Siapa dia sebenarnya?!"

 "Dia mengenaliku, tapi sulit rasanya menebak siapa 

dia sebenarnya! Hanya aku maklum jika aku masih tidak 

apa-apanya jika dibandingkan dia! Kau itahu, tadi aku 

sudah panas dingin! Seandainya tidak ada orang 

bergendongan tadi, entah apa yang akan kualami!" 

 "Tapi kau telah berhasil menahan pukulan Teng-

korak Berdarah, hingga aku tidak menemui ajal! Sekali 

lagi kuucapkan terima kasih...."

 Dewa Orok tertawa. "Ajal datangnya tidak bisa 

ditentukan, Nek! Aku tidak merasa menolongmu, hanya 

mungkin hari ini bukanlah saat ajalmu! Kalau manusia 

mau memahami kemisteriusan ajal, tentu segala urusan 

akan diakhiri dengan saling maaf. Tidak ada lagi saling

dendam dan silang sengketa. Tidak ada lagi ketamakan 

yang menginginkan milik orang lain yang selama ini 

menjadi biang keladi terjadinya pembunuhan dan 

permusuhan! Namun bukanlah dunia jika tidak ada hal-

hal seperti itu. Karena dunia diciptakan untuk 

menunjukkan hal baik dan buruki"

 Lama Daeng Upas terdiam seolah menyimak ucapan 

Dewa Orok. "Orang ini ucapannya seperti menyinggung 

diriku! Jangan-jangan dia tahu apa rencanaku...," mem-

batin si nenek sambil menghela napas panjang dan 

dalam.

 "Kau menyimpan sesuatu? Atau ada yang hendak kau 

katakan?!" tanya Dewa Orok melihat perubahan pada


wajah si nenek, membuat Daeng Upas tergagap.

 Setelah dapat menguasai perasaan, akhirnya Daeng 

Upas berkata.

 "Aku adalah murid seorang tokoh besar pada zaman-

nya. Aku sangat bahagia waktu itu. Karena sebagai 

murid tunggal, guruku sangat menyayangiku. Hidupku 

terasa lebih bahagia lagi tatkala aku berkenalan dengan 

seorang pemuda. Namun kebahagiaan itu ternyata tidak

berumur panjang. Hal itu bermula dari tindakan guruku 

yang mengangkat lima anak muda menjadi murid-

muridnya. Sedikit demi sedikit perhatian Guru terhadap-

ku berkurang. Celakanya lagi, mereka kasak-kusuk 

membicarakan pemuda yang kucintai. Dan tanpa 

sepengetahuanku, mereka ada yang menebar fitnah 

tentang hubunganku dengan pemuda yang kucintai. 

Guru rupanya termakan hasutan kelima saudara 

seperguruanku itu. Hingga pada akhirnya aku harus 

meninggalkan perguruan dengan membawa kehancuran. 

Aku sebenarnya tidak sakit hati difitnah dan diperlaku-

kan demikian. Yang membuat hatiku hancur, ternyata 

Guru memberikan apa yang pernah dijanjikan padaku 

pada kelima saudara seperguruanku!" Beberapa lama 

Daeng Upas hentikan keterangannya, lalu setelah 

mengatasi gejolak, dia melanjutkan. Sementara Dewa

Orok tampak sedang mendengarkan dengan seksama.

 "Setelah meninggalkan perguruan, aku terus melan-

jutkan hubungan dengan pemuda yang kucintai itu. 

Namun dalam perjalanan selanjutnya, ada sesuatu hal 

yang membuat kami berdua harus berpisah. Menginjak 

usia senja, aku sadar jika aku butuh seorang pendam-

ping, lebih dari itu keputusan berpisah dahulu sebenar-

nya hanya didasari perasaan marah dan cemburu, dan 

lebih dari semuanya, sebenarnya aku masih mencintai-

nya. Namun lagi-lagi aku harus menelan kecewa, karena 

orang yang kucintai ternyata telah tewas dibunuh 

seseorang!"

 Daeng Upas hentikan ceritanya. Lalu bertanya.


"Kalau sekarang aku memendam sakit hati pada

kelima saudara seperguruanku juga pada guruku,

apakah aku salah? Kalau aku memendam perasaan

dendam pada orang yang membunuh orang yang

kucintai, apakah aku keliru?!"

 "Nek.... Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu.

Hanya kau sendiri yang dapat menilai. Karena kaulah 

yang mengalami! Hanya kalau menurutku, kenapa hal 

begitu tidak dilupakan saja? Itu mungkin sudah suratan 

yang harus kau jalani!"

 Daeng Upas sedikit beliakkan sepasang matanya.

 "Terlalu gampang jika segala urusan harus dilupakan 

begitu saja! Karena orang akan bertindak semakin 

semaunya sendiri!"

 "Memang sulit melupakan hal begitu, tapi kau akan

mengalami kesulitan lagi jika mengikuti perasaan! Sebab 

perasaan kadang-kadang melebihi dari kenyataan! 

Apalagi jika itu perasaan seorang perempuan 

sepertimu!"

 Daeng Upas tersenyum. "Kau rupanya pandai juga 

menyelami perasaan seprang perempuan. Apakah kau 

pernah punya seorang istri? Atau kekasih barangkali?"

 Dewa Orok tertawa bergelak. "Masih banyak orang 

yang tubuhnya sempurna. Jadi mungkin hanya orang tak 

waras saja yang mau menjadi kekasih apalagi istriku....

Tapi aku tidak sakit hati, karena memang ini adalah 

suratan takdir yang mau tak mau harus kujalani! Dengan 

demikian, aku tak punya beban dalam menjalani 

hidup...."

 "Tapi bebanmu lain dengan bebanku...," sahut Daeng 

Upas.

 Dewa Orok gelengkan kepala. "Lain memang betul. 

Tapi kurasa berat bebanku daripada bebanmu. Bebanmu 

dapat disimpan dan tidak diketahui orang lain. Tapi 

setiap orang yang melihatku sudah bisa menebak beban 

yang kupikul!"

 "Hem… Orang ini pandai bicara. Ilmunya juga tinggi…


Tentu dia punya tujuan dengan kemunculannya di rimba 

persilatan. Apalagi saat ini orang digemparkan dengan 

terbukanya Istana Hantu....," Daeng Upas menduga-

duga dalam hati lalu berkata.

 "Tengkorak Berdarah tadi kudengarmenyebutmu 

tokoh tua. Dia juga sepertinya enggan berhadapan 

denganmu jika kau tidak berkata keras. Kalau boleh tahu 

siapa kau sebenarnya? Dan kemunculanmu di saat rimba 

persilatan diselimuti kegegeran begini rupa pasti ada 

maksud tertentu...."

 "Dia menyebutku begitu mungkin karena matanya 

tertutup pakaiannya yang aneh itu. Soal keenqganannya 

terhadapku, kurasa hanya karena kasihan melihat 

keadaanku yang begini! Pertanyaanmu selanjutnya aku 

tidak bisa menjawab...."

 Habis berkata begitu, Dewa Orok kuncupkan mulut 

menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung 

di hadapannya meluncur dan masuk ke dalam mulutnya. 

Kejap lain tiba-tiba Dewa Orok berpaling ke kanan. 

Bersamaan itu semak belukar kemana Dewa Orok kini 

menghadap tampak bergoyang-goyang.

 "Ada orang mencuri dengar pembicaraan kita!" desis 

Daeng Upas yang secara tak sadar mengikuti gerak 

Dewa Orok hingga mengetahui gerakan pada semak 

belukar.

 "Ah. Kita bicara bukan hal penting. Biar didengar 

orang banyak pun tak apa-apa," kata Dewa Orok lalu 

arahkan lagi pandangannya ke depan.

 "Tapi tak enak hatiku sebelum kutahu siapa adanya 

orang yang berani lancang mencuri dengar pembicaraan 

orang!" gumam Daeng Upas lalu berkelebat ke arah 

semak belukar yang sesaat tadi tampak bergoyang-

goyang.

 Namun gerakan Daeng Upas terlambat. Dia hanya 

sempat melihat berkelebatnya dua sosok bayangan. 

Begitu cepatnya kelebatan dua bayangan tadi, hingga si 

nenek tak dapat menentukan laki perempuannya, malah


warna pakaian yang dikenakan dua bayangan itu Daeng 

Upas tidak dapat mengenalinya!

 Dengan menggumam tak jelas, Daeng Upas balikkan 

tubuh. Dia tersentak kaget. Sosok Dewa Orok telah 

lenyap dari tempatnya tadi berada.

 "Tempat ini rasanya sudah tidak aman lagi! Aku harus 

cari tempat aman untuk pulihkan cedera dan memikirkan 

apa yang akan kulakukan selanjutnya!"

 Daeng Upas memandang berkeliling sejenak, lalu 

arahkan pandangannya pada Istana Hantu. Sesaat 

kemudian dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

*

* *


DELAPAN


LAKSANA dikejar setan gentayangan, dua bayangan itu 

berkelebat cepat hingga sosoknya hanya bagai bayang-

bayang samar. Setelah rangasan semak belukar dan 

jajaran pohon terlewati, tepatnya pada satu dataran 

berbatu dua bayangan itu sama memperlambat larinya. 

Pada sebuah gugusan batu agak besar baru keduanya 

hentikan langkah.

 Sosok yang depan ternyata adalah seorang gadis 

muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna 

hijau. Rambutnya panjang sepinggang diikat dengan pita 

kembang-kembang. Sepasang matanya bundar ditingkah 

bulu mata panjang dan lentik. Gadis ini punya lesung 

pipit di pipi kiri kanannya.

 Sementara sosok di belakang gadis berbaju hijau ini 

adalah seorang perempuan yang tidak bisa dikenali usia 

maupun paras wajah aslinya. Karena perempuan ini

mengenakan bedak tebal. Rambutnya yang digelung ke 

belakang diberi pewarna hitam berkilat-kilat. Kelopak 

kedua matanya dipoles warna hijau dan merah. 

Sementara bibirnya diberi warna merah menyala.

Perempuan ini mengenakan pakaian panjang warna 

coklat.

 "Hampir saja kita celaka...," gumam perempuan ber-

bedak tebal sambil memandang ke arah gadis berbaju 

hijau yang kini duduk bersandar pada lamping batu. 

Gadis ini tidakmenyahut ucapan perempuan berbedak 

tebal. Malah sepasang matanya yang bundar meman-

dang jauh dengan pandangan kosong.

 Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala.

"Apa yang kukhawatirkan jangan-jangan terjadi.... Sejak 

kepergiannya dia tampak murung dan sering menyen-

diri. Hem.... Seharusnya aku tidak melibatkan dia dalam 

urusan ini. Tapi apa hendak dikata. Semuanya telah 

telanjur. Dan perasaan cinta kadangkala datangnya tidak 

terduga. Ah...," diam-diam si perempuan berbedak tebal


membatin dalam hati. Setelah menarik napas dalam 

akhirnya dia berkata.

 "Puspa Ratri.... Akhir-akhir ini kulihat kau begitu

berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?"

 Untuk sesaat gadis berbaju hijau yang dipanggil

Puspa Ratri tetap memandang jauh ke depan. Namun 

tak lama kemudian berpaling pada perempuan berbedak 

tebal. Menatapnya sesaat lalu gelengkan kepala sambil 

tersenyum. Tapi perempuan berbedak tebal tahu, jika 

senyum si gadis begitu dipaksakan.

 "Puspa Ratri.... Aku dulu pernah muda sepertimu. Kau 

tak usah sembunyikan apa yang kau rasakan meng-

ganjal di hatimu padaku.... Katakanlah anakku...."

 Ucapan terakhir si perempuan berbedak tebal rupa-

nya membuat Puspa Ratri tersentuh hatinya. Untuk 

beberapa lama dia pandangi orang yang masih tegak di 

hadapannya. Mulutnya yang sedari tadi terkancing ber-

gerak membuka.

 "ibu.... Selama ini aku selalu berterus terang padamu. 

Hanya Ibu sendirilah yang selama ini sembunyikan 

sesuatu padaku...."

 Perempuan berbedak tebal menarik napas panjang. 

Dalam hati dia membatin. "Aku tahu Sebenarnya bukan 

hal itu yang mengganjal di hatimu. Tapi memang kuakui, 

selama ini aku tidak berterus terang padamu jika kau 

menanyakan tentang siapa ayahmu.... Hem.... Kurasa 

memang sudah saatnya kau mengetahuinya!"

 "Puspa Ratri... Kini kau sudah dewasa. Sudah saatnya 

kau mengetahui apa yang selama ini ibu simpan rapat-

rapat...."

 "Ibu.... Aku tidak memaksa. Kalau Ibu masih merasa 

keberatan, jangan Ibu paksakan diri. Apalagi jika hal itu 

akan makin menambah beban. Aku sudah pasrah 

dengan semua ini. Ini mungkin sudah suratan yang 

ditulis untukku...."

 Perempuan berbedak tebal sunggingkan senyum 

sambil gelengkan kepala. "Anakku.... Aku tidak memaksakan diri. Hai ini memang harus kau ketahui!"

 Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal 

arahkan pandangannya jauh ke depan. Sepasang 

matanya mengerjap beberapa kali, lalu terdengar dia 

berkata.

 "Anakku.... Sewaktu aku sebaya usia denganmu, aku 

berkenalan dengan seorang pemuda bernama Panjer 

Wengi. Entah karena apa, aku tertarik padanya. Dan 

rupanya aku tidak bertepuk sebelah tangan. Panjer 

Wengi ternyata juga tertarik padaku. Kami berdua 

akhirnya memadu kasih. Tapi ketentuan rupanya belum 

berpihak padaku. Semua itu berawal dari ricuhnya 

keadaan rimba persilatan. Sebagai orang muda, Panjer 

Wengi yang begitu gandrung dengan ilmu persilatan 

berniat menuntut ilmu. Tujuannya memang baik. Karena 

dia bilang rimba persilatan tidak akan pernah selesai 

dengan persoalan. Tanpa bekal ilmu, ketenangan hidup 

tidak akan pernah dikenyam, karena orang akan 

diperlakukan dengan sewenang-wenang. Aku 

sebenarnya berat melepas kepergiannya, namun karena 

tekadnya begitu menggebu lagi pula apa yang menjadi 

tujuannya adalah demi ketenangan hidup di kelak 

kemudian hari, akhirnya dengan berat hati aku merela-

kan dia pergi menuntut ilmu...."

 Perempuan berbedak tebal hentikan keterangannya 

sejenak. Sepasang matanya terus memandang jauh ke 

depan seolah mengenangkan kembali saat-saat yang 

telah terlewati. Tak lama kemudian dia melanjutkan.

 "Beberapa tahun berlalu. Aku tetap menunggunya 

dengan sabar dan tabah. Namun penantianku ternyata 

tinggal penantian. Panjer Wengi tidak ada kabar berita-

nya. Tapi aku coba menahan diri. Aku tetap bersabar 

menunggu. Namun kesabaran ternyata ada batasnya. 

Apalagi sebagai seorang perempuan, aku punya firasat 

tidak baik. Panjer Wengi telah melupakan janjinya 

padaku. Firasatku tidak meleset. Dari beberapa orang 

yang kutemui aku mendapat berita bahwa Panjer Wengi


telah menjalin hubungan dengan seorang gadis anak 

gurunya. Aku tidak percaya begitu saja pada kabar yang 

sampai sebelum aku melihatnya sendiri. Aku lantas 

melakukan perjalanan. Pada satu kesempatan, apa yang 

selama ini kudengar benar-benar terbukti. Kulihat Panjer 

Wengi bersama seorang gadis cantik. Betapa hancur

hatiku saat itu. Kesabaran dan penantianku selama ini 

mendapat balasan yang tidak kuduga sebelumnya. 

Dengan membawa luka hati, akhirnya aku pergi meng-

embara. Aku pada akhirnya tiertemu dengan seorang 

tokoh sakti di lereng Gunung Arjuna. Beberapa tahun 

lamanya aku menimba ilmu sambil melupakan apa yang 

pernah kualami. Tapi cinta adalah perasaan. Semakin 

aku berusaha untuk melupakan semakin deras perasaan

itu menggoda. Dan terus terang, meski Panjer Wengi 

telah melupakan aku, tapi aku tidak bisa melupakannya. 

Bahkan karena tulusnya rasa kasih sayangku padanya, 

aku memaafkan apa yang dilakukannya!"

 "Ibu...."

 Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala mem-

beri isyarat agar Puspa Ratri tidak memotong kete-

rangannya. Setelah memberi isyarat, si perempuan 

teruskan penuturannya.

 "Setelah beberapa tahun menetap di lereng Gunung 

Arjuna, akhirnya aku diizinkan untuk turun gunung. 

Tentu saja aku saat itu telah berubah. Selain usiaku 

bertambah, aku juga membekal ilmu silat. Kalau ada hal 

yang tidak berubah, itu adalah rasa kasih sayangku pada 

Panjer Wengi! Aku sendiri tak mengerti mengapa itu bisa 

terjadi. Padahal aku telah berusaha membencinya! 

Anehnya semakin aku berusaha membencinya, makin 

aku ingin bertemu dengannya. Hail itulah akhirnya yang 

mendorongku untuk mencari tahu keberadaan Panjer 

Wengi. Ternyata, Panjer Wengi telah menjadi seorang 

tokoh yang disegani. Malah kudengar ketika itu dia telah 

mengambil murid seorang perempuan. Sementara dia

sendiri berbahagia dengan gadis pilihannya dahulu, yaitu


anak gadis dari gurunya. Aku merasa bahagia meng-

etahui orang yang kukasihi hidup tenteram bahagia.

Meski kadang-kadang aku merasa kecewa. Dan karena 

kasih sayangku hanya untuk Panjer Wengi, hatiku 

tertutup untuk orang lain. Hingga sampai menginjak usia 

yang seharusnya sudah memiliki seorang anak, aku 

tetap menutup diri dari laki-laki...."

 "Ibu. Lalu aku ini...?!" sela Puspa Ratri yang rupanya 

tidak sabar.

 "Tahun terus berganti. Panjer Wengi namanya makin 

menjulang dalam kancah dunia persilatan. Dan kudengar 

dia telah pula mengangkat lima anak muda sebagai 

murid-muridnya! Namun ada satu yang kiranya belum 

membuat tenteram kehidupan Panjer Wengi. Dia belum 

mempunyai seorang anak meski usianya telah menginjak 

agak tua. Hal itu kuketahui setelah aku sempat bertemu 

dengannya. Malah dalam pertemuan itu, dia mengajakku 

untuk berbaik-baikan lagi. Dia meminta maaf atas segala

yang telah terjadi. Kukatakan padanya bahwa aku lelah 

memaafkan sebelum dia minta maaf! Dan aku menolak 

ajakannya, karena aku tidak mau dikatakan merebut 

suami orang. Aku tidak mau menyakiti hati kaumku. Tapi 

sejak pertemuan itu, aku jadi sering mengadakan 

pertemuan dengannya. Namun aku bina menjaga diri 

meski dia selalu memaksa mengajak berbaik-baikan. 

Pada satu kesempatan, ia mengatakan padaku bahwa 

istrinya mengandung. Meski kebenarnya itu kabar 

gembira, entah kenapa aku merasakan hal itu sebagai 

sesuatu yang menyakitkan! Sejak saat itu pula aku 

menghindar...."

 "Ibu, kau belum jawab pertanyaanku tadi!" kata

Puspa Ratri karena ibunya belum juga sebut-sebut siapa 

diri dan ayahnya.

 "Anakku. Jangan sela ceritaku. Nanti kau akan

tahu...," ujar perempuan berbedak tebal pelan. "Satu

setengah tahun kemudian, tanpa sengaja, aku jumpa 

lagi dengan Panjer Wengi yang katanya selama ini selalu


mencariku. Dalam kesempatan itu pula, Panjer Wengi 

menceritakan sebenarnya yang terjadi. Ternyata 

perjodohannya dengan istrinya hanya karena balas budi 

dan juga karena jebakan istrinya sendiri. Tidak ada 

setitik pun rasa cinta di dalamnya. Dia mengatakan 

masih tetap mencintaiku! Aku begitu gembira men-

dengar itu. Namun apalah artinya jika hal itu sudah 

terlambat. Apalagi dia mengatakan telah mempunyai 

seorang anak perempuan! Namun entah karena apa, 

sejak saat itu aku selalu merindukannya. Dan aku selalu 

menerima kehadirannya namun sejauh itu aku tetap 

menjaga jarak. Hingga pada suatu hari dia mengatakan 

jika istrinya pergi tanpa berita dengan meninggalkan 

anaknya. Tapi yang membuatku terkejut, ternyata 

selama ini istrinya mengetahui jika Panjer Wengi sering 

mendatangiku! Hal itulah yang membuat istrinya pergi. 

Aku merasa berdosa. Hingga secara diam-diam aku 

pergi. Tapi ternyata Panjer Wengi selalu mencariku. Dan 

pada akhirnya dia mendapatkan diriku. Dia mengajakku

hidup bersama sebagai suami-istri. Karena istrinya tidak 

ada kabar beritanya. Aku mula-mula selalu menolak. 

Namun pada akhirnya hatiku luluh juga...."

 Kembali perempuan berbedak tebal hentikan cerita-

nya, setelah menarik napas panjang dia melanjutkan 

bertutur.

 "Akhirnya aku hidup sebagai suami-istri dengan

Panjer Wengi. Dan pada beberapa purnama kemudian 

aku mengandung. Saat itulah aku merasakan kebaha-

giaan yang tiada tara meski hal itu datangnya sangat 

terlambat. Namun lagi-lagi tampaknya aku harus 

menerima takdir. Baru beberapa tahun aku mengalami 

masa bahagia, tiba-tiba istri Panjer Wengi yang dahulu 

datang lagi. Kedatangannya kali ini selain menyingkirkan 

aku dari sisi orang yang kukasihi dan telah memberiku 

seorang buah hati juga meminta sesuatu pada Panjer 

Wengi. Baru saat itu aku tahu jika Panjer Wengi me-

nyimpan satu rahasia besar. Namun tidak satu pun yang


tahu, rahasia apa yang ada di tangannya. Aku secara 

diam-diam pergi. Namun aku terus pasang telinga. 

Hingga sampai pada suatu hari, kudengar Panjer Wengi 

lenyap tanpa berita! Bersamaan dengan itu rimba 

persilatan digemparkan dengan terjadinya pembunuhan 

beruntun yang menurut kabar didalangi oleh seorang 

tokoh misterius yang bermukim di sebuah istana bekas 

kerajaan. Karena setiap ada pembunuhan si pembunuh 

meninggalkan sebuah tengkorak yang masih berlumuran 

darah, orang dunia persilatan menjuluki tokoh misterius 

itu dengan Tengkorak Berdarah. Tapi dalam beberapa 

purnama kemudian, pembunuhan itu terhenti. Namun 

Panjer Wengi belum juga ada beritanya. Malah sebagian 

orang menduga Panjer Wengi telah menjadi korban 

Tengkorak Berdarah. Dan hingga sampai saat ini, Panjer 

Wengi tidak ketahuan kabar beritanya. Mungkin benar 

dugaan orang-orang itu, mungkin juga salah!"

 "Ibu belum menceritakan anak perempuan Panjer 

Wengi dari istri pertamanya...," kata Puspa Ratri setelah

agak lama terdiam.

 "Anak perempuan itu lenyap juga bersama Panjer 

Wengi!"

 "Ibu sudah memperkirakan berapa kira-kira usia dia?"

 "Dia hanya terpaut kira-kira tiga tahun denganmu! 

Namun karena aku pernah mengasuhnya, maka jika saja 

aku sekarang bertemu dengannya jelas aku segera 

dapat mengenalinya! Sebab dia mempunyai ciri ter-

tentu...."

 "Apakah Ibu selama ini tidak berusaha mencari Panjer 

Wengi?"

 "Dia adalah ayahmu, Puspa Ratri. Sebagai seorang 

istri, apalagi aku telah punya anak, aku tidak tinggal 

diam. Tapi hingga saat ini aku belum berhasil mene-

mukannya! Aku hanya berharap, jika saja memang 

ayahmu telah meninggal, maka tunjukkan dimana 

kuburnya! Aku ingin menunjukkan padamu meski itu 

hanya tanah kuburannya!"


"Kalau dia seorang ayah yang baik dan bertanggung 

jawab, seharusnya bukan Ibu yang mencari. Justru dia 

yang harus mencari kita!"

 Perempuan berbedak tebal tersenyum. "Keadaan 

yang mengharuskan demikian, Anakku. Aku percaya, 

ayahmu adalah orang baik dan bertanggung jawab. 

Hanya mungkin ada sesuatu yang melebihi dari itu 

hingga dia seakan melupakan tanggung jawabnya!" 

 "Jadi apakah anak dan istri harus dinomorduakan 

hanya karena keadaan?!"

 "Ayahmu adalah seorang tokoh rimba persilatan, 

Anakku. Dalam arena persilatan, kedamaian dan

ketenteraman orang banyak lebih diutamakan daripada 

segalanya! Jadi kau harus mengerti dan tidak salah 

sangka!"

 "Tapi apa buktinya? Hingga kini rimba persilatan tidak 

pernah tenteram. Apalagi dengan terjadinya pembunuh-

an yang akhir-akhir ini merajalela. Dan nyatanya tokoh 

yang berjuluk Tengkorak Berdarah masih juga bercokol!"

 "Menunggu hasil dibutuhkan waktu yang lama,

Anakku! Dan tak jarang dalam masa penungguan itu

dibutuhkan pengorbanan dan kesabaran!"

 "Lalu murid-murid Ayah...?"

 "Kelimanya kini telah menjadi tokoh-tokoh rimba 

persilatan. Hanya murid perempuan yang pertama yang 

jarang kudengar beritanya. Tapi...."

 "Ibu!" tukas Puspa Ratri. "Dari percakapan nenek 

berbaju putih tadi dengan pemuda bertangan buntung 

rasa-rasanya...."

 "Puspa Ratri...." Kini perempuan berbedak tebal yang 

memotong ucapan Puspa Ratri. "Bukan rasa-rasanya.

Tapi aku menduga dialah murid ayahmu yang pertama!"

 "Dia menaruh dendam pada ayah juga kelima

saudara seperguruannya! Apakah tidak...."

 "Urusan itu biarlah menjadi urusannya, Anakku! Kau 

tidak usah ikut campur tangan!" sela perempuan

berbedak sebelum Puspa Ratri selesaikan ucapannya.


"Sebenarnya rahasia apa yang ada di tangan Ayah?" 

gumam Puspa Ratri hampir tidak kedengaran.

 "Itulah yang sampai saat ini menjadi tanda tanya! 

Tapi aku punya dugaan, ayahmu masih ada!"

 "Dari mana Ibu bisa mengatakan demikian?!"

 "Firasat, Anakku! Dan seringkali firasat seorang istri 

tidak jauh meleset!"

 Puspa Ratri menghela napas panjang. Pandangannya 

kembali jauh ke depan.

 "Masih ada yang mengganjal di hatimu, Anakku?!"

 Tanpa berpaling, Puspa Ratri gelengkan kepalanya. 

Tapi perempuan berbedak tebal tersenyum dan berujar.

 "Kau jangan membohongi ibumu, Anakku! Aku tahu, 

kau menyimpan sesuatu! Katakanlah!"

 Puspa Ratri tidak buka mulut. Perempuan berbedak 

tebal batuk-batuk kecil.

 "Puspa Ratri.... Kau memikirkan pemuda yang kau 

tolong itu?"




SEMBILAN


PUSPA Ratri berpaling dengan paras berubah. Terlebih 

ketika dilihatnya perempuan berbedak tebal sungging-

kan senyum. Meski hanya seulas senyum, namun 

senyum itu seolah dapat menjawab apa yang kini ada 

dalam hatinya.

 "Cinta datangnya tidak terduga, Anakku! Tapi sebaik-

nya kau mengaca pada perjalanan hidup ibumu ini!"

 "Maksud Ibu...?!" tanya Puspa Ratri dengan suara 

agak tersendat.

 "Bermodal cinta tulus saja tidak cukup! Dibutuhkan

juga keberanian dan keteguhan hati! Karena persaingan 

dalam cinta pasti akan ada!"

 "Aku tidak mengerti...," ujar Puspa Ratri.

 "Pemuda itu kulihat memang seorang yang baik.

Selain juga berkepandaian tinggi. Tak heran jika nanti-

nya banyak gadis yang coba merebut hatinya! Di sinilah 

persaingan itu akan muncul! Jika hanya bermodal cinta 

tulus, kau hanya akan mengalami nasib sama denganku! 

Menunggu dan menunggu! Kalaupun penantian itu 

berakhir, datangnya sudah sangat terlambat! Dan 

hanya datang sekejap! Lebihnya adalah perasaan 

kecewa!"

 Puspa Ratri mengeluh dalam hati. "Ibu tampaknya 

sudah menduga apa yang kurasakan pada pemuda itu. 

Hem.... Memang sebaiknya aku terus terang...." Memikir 

begitu, akhirnya gadis berbaju hijau ini berkata.

 "Sekarang apa yang harus kulakukan...?!"

 "Aku tanya dahulu. Apakah kau jatuh hati pada nya?!" 

perempuan berbedak tebal balik bertanya.

 Untuk beberapa saat Puspa Ratri tidak menjawab. 

Namun sesaat kemudian ia berkata. "Aku masih belum 

mengenalnya dengan baik. Aku juga belum sempat 

bicara banyak dengannya!"

 "Perasaan cinta tidak membutuhkan waktu panjang 

juga kata-kata, Anakku! Dari sikap dan tindakan, orang


sudah dapat ditebak!"

 Wajah Puspa Ratri makin memerah. Dan sebelum 

gadis ini buka mulut, perempuan berbedak tebal telah 

berkata lagi. "Dari sikapmu, Anakku. Aku menduga kau 

jatuh hati pada pemuda itu! Sebagai seorang ibu, aku 

tidak bisa mencegah. Aku hanya bisa menyarankan! 

Kalau kau benar-benar siap, teruskanlah! Tapi jika kau 

tidak siap, lupakan dia!"

 "Ibu...." Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut 

Puspa Ratri. Dia tidak kuasa untuk lanjutkan ucapannya.

 Perempuan berbedak tebal memandang lekat-lekat. 

"Kau sudah dewasa. Dan perasaan cinta adalah hal yang 

tidak bisa dipisahkan dengan kodrat anak manusia. Aku 

tidak akan mencampuri urusan perasaanmu. Hanya kau 

ingatlah pesanku tadi!"

 Beberapa saat kemudian ibu dan anak ini sama-sama 

diam. Mereka dibuncah dengan pikiran masing-masing.

 "Ibu.... Boleh aku tanya sesuatu?" kata Puspa Ratri 

buka pembicaraan lagi.

 Perempuan berbedak tebal tersenyum sambil 

anggukkan kepala.

 "Kau akhir-akhir ini selalu berada di sekitar Istana 

Hantu. Apa sebenarnya yang kau cari di sana? Dan 

mengapa Ibu menolong pemuda itu?!"

 Perempuan berbedak tebal kali ini tidak segera men-

jawab. Dia mendongok. Diam-diam dia berkata sendiri 

dalam hati. "Ah. Bagaimana ini? Apa harus kukatakan 

terus terang? Meski aku hampir pasti, namun hal itu 

masih membutuhkan pembuktian...."

 "Anakku. Meski aku tidak punya ilmu tinggi, namun 

setidaknya aku adalah orang persilatan. Dan saat ini, 

rimba persilatan sedang digemparkan lagi dengan 

munculnya sang penghuni Istana Hantu. Aku tidak akan 

tinggal diam jika memang penghuni Istana Hantu adalah 

biang terjadinya kegemparan akhir-akhir ini!"

 Setelah hentikan ucapannya sejenak, perempuan 

berbedak tebal menyambung. "Tentang kenapa aku


menolong pemuda itu, aku sendiri tak tahu mengapa! 

Mungkin kasihan, mungkin juga hanya karena sudah 

menjadi kewajiban saling tolong antar sesama orang...."

 "Hem.... Lalu ke mana dia setelah Ibu obati?!"

 "Anakku...," kata perempuan berbedak tebal dalam 

hati. "Kuharap kau nantinya mengerti jika untuk urusan 

misteri Istana Hantu aku masih belum berterus terang 

padamu! Aku takut kau akan ikut campur dalam urusan 

ini. Lagi pula...."

 Perempuan berbedak tebal tidak teruskan kata hati-

nya karena saat itu Puspa Ratri telah kembali berucap.

 "Kudengar Ibu menggumam sendiri...."

 Perempuan berbedak tebal tampak terkejut, karena 

memang tanpa disadari dia seperti bicara sendiri.

 "Puspa Ratri.... Pemuda itu tidak mengatakan kemana 

dia hendak pergi. Namun kuharap kau tidak kecewa. 

Suatu saat kalau ditentukan, tentu kau akan jumpa 

dengannya. Hanya saja...."

 "Kenapa Ibu tidak teruskan?! Hanya apa...?!"

 "Lebih baik kau lupakan dia!"

 Puspa Ratri seakan tersentak. Seraya bergerak 

bangkit dia berkata.

 "Ibu. Ada apa ini sebenarnya? Tadi ucapan Ibu 

sepertinya memberiku kebebasan. Tapi ujungnya Ibu 

mengatakan aku harus melupakannya!"

 "Puspa Ratri.... Aku khawatir!"

 "Khawatir apa...?!"

 Perempuan berbedak tebal tidak menjawab. 

Sebaliknya dia berpaling ke samping kanan. "Ada orang 

berlari menuju arah kita! Kita harus sembunyi!"

 "Ibu! Kita belum tahu siapa adanya orang itu!" ujar 

Puspa Ratri sambil arahkan pandangannya ke samping 

kanan. "Untuk apa kita sembunyikan diri?!"

 "Saat ini rimba persilatan sedang kacau! Sulit 

menentukan mana lawan mana kawan! Jalan terbaik 

bagi kita adalah mengetahuinya terlebih dahulu!" seraya 

berkata tangan kanan perempuan berbedak tebal cepat

menarik tangan Puspa Ratri. Hingga mau tak mau Puspa 

Ratri melangkah ke belakang ibunya.

 Keduanya lalu mendekam di balik batu. Sesaat 

setelah keduanya berada di balik batu, satu bayangan 

putih berkelebat. Tiba-tiba bayangan itu hentikan 

langkah sepuluh tindak dari tempat Puspa Ratri dan 

ibunya mendekam.

 Puspa Ratri mendadak pentangkan sepasang mata-

nya. Tanpa sadar mulutnya terbuka hendak bicara. 

Namun tertahan setelah ibunya buru-buru takupkan 

tangan kirinya pada mulut anaknya. Sambil menatap 

pada sang anak, perempuan berbedak tebal berbisik.

 "Kuharap kau bisa menahan diri!"

 Sepasang mata gadis berbaju hijau itu menatap tajam 

ke dalam bola mata ibunya. Hatinya disamaki dengan 

berbagai duga dan tanya. Namun dia menuruti juga 

bisikan ibunya untuk menahan diri. Hingga akhirnya dia 

hanya menatap ke depan dengan hati berdebar-debar.

 Di depan sana orang yang tegak sapukan pandangan-

nya berkeliling. Dia adalah seorang pemuda berpakaian 

putih-putih. Rambutnya yang panjang sedikit acak-

acakan dililit dengan ikat kepala berwarna putih pula.

Tiba-tiba pemuda ini angkat tangan kirinya. Lalu jari 

kelingkingnya dimasukkan ke dalam lobang telinganya. 

Sambil berjingkat dan meringis sendirian, si pemuda 

melangkah pelan tinggalkan tempat itu.

 Begitu sosok si pemuda agak jauh dan hampir saja 

lenyap di balik rimbun pohon jauh di depan sana, Puspa 

Ratri segera bangkit. Dan tanpa hiraukan ibunya, gadis 

ini berkelebat ke arah perginya si pemuda.

 "Ah. Mudah-mudahan apa yang kutakutkan tidak 

terjadi...," kata perempuan berbedak tebal sambil 

gelengkan kepala. Lalu kejap lain sosoknya berkelebat 

ke arah berkelebatnya gadis berbaju hijau.

*

* *


"Heran. Ke mana perginya dia?!" gumam Puspa Ratri 

tatkala matanya tidak lagi menangkap sosok orang yang 

dikejar. Dia tegak dengan kepala berputar dan mata 

memandang tak berkesip ke Seantero di mana dia 

tegak.

 "Jangan-jangan dia menuju Istana Hantu...."

 Menduga begitu, gadis berbaju hijau ini segera

berkelebat kembali. Namun gerakan tubuhnya tertahan 

tatkala pada saat bersamaan, terdengar satu deruan. 

Kejap lain satu gelombang angin melabrak ke arahnya!

 Sambil berseru tegang, Puspa Ratri berkelebat ke 

samping selamatkan diri. Belum sempat dia palingkan 

kepala ke arah sumber serangan gelap, kembali satu 

gelombang angin deras melabrak kearahnya!

 Untuk kedua kalinya Puspa Ratri harus berkelebat 

hindarkan diri. Pada saat itulah satu bayangan

berkelebat.

 Bukkk!

 Puspa Ratri berseru tertahan. Sosoknya mencelat 

mental dan terjengkang di atas rangasan semak belukar. 

Terhuyung-huyung gadis berbaju hijau ini bergerak 

bangkit. Sepasang matanya berkilat memandang ke 

depan.

 Sesaat gadis berparas cantik ini terkesiap. Tujuh 

langkah dari tempatnya terlihat sesosok tubuh tegak 

dengan kacak pinggang. Orang ini mengenakan jubah 

aneh berwarna abu-abu. Jubah itu dibuat terusan dari 

kepala sampai kaki hingga tidak satupun anggota 

tubuhnya yang kelihatan!

 "Orang asing! Siapa kau?! Mengapa tiba-tiba

menyerangku?!" Puspa Ratri berteriak.

 Orang berjubah abu-abu aneh gerakkan tangan

kirinya menunjuk pada gambar tengkorak di bagian

dadanya.

 Puspa Ratri membelalakkan sepasang matanya.


"Tengkorak...," desis Puspa Ratri. Dada gadis ini ber-

debar. Kuduknya menjadi dingin. Dia seakan mengeluh 

karena tidak turuti ucapan ibunya untuk diam menahan 

diri.

 "Aku mengampuni nyawamu!" Tiba-tiba orang ber-

jubah abu-abu aneh yang bukan lain adalah Tengkorak 

Berdarah membentak. "Tapi ceritakan apa yang kau 

dengar dari percakapan dua orang yang kau intip!"

 Puspa Ratri kembali tersentak kaget mendapati orang 

mengetahui dirinya sempat mencuri dengar pembicaraan 

antara Dewa Orok dan Daeng Upas beberapa waktu 

berselang.

 Seperti diketahui, saat Tengkorak Berdarah dan Dewa 

Orok sama-sama hendak lepaskan pukulan, tiba-tiba 

muncul seseorang yang melangkah dari pelataran Istana 

Hantu. Orang ini menggendong seseorang yang pakaian 

bagian bawahnya sangat panjang hingga sampai 

menyapu tanah. Tapi orang yang menggendong ini tiba-

tiba lenyap. Dan bersamaan itu juga Tengkorak 

Berdarah tidak tampak lagi di tempatnya semula.

 Seandainya saat itu Dewa Orok dan Daeng Upas tidak 

terkesima dengan kemunculan orang dari pelataran 

Istana Hantu, niscaya keduanya akan dapat melihat 

bagaimana sepasang kaki Tengkorak Berdarah tampak 

tersurut mundur! Lalu kepalanya bergerak ke samping 

kiri kanan. Kejap lain sosoknya berkelebat.

 Di saat dia berkelebat itulah, orang ini masih me-

nangkap satu bayangan hijau berlari lalu mengendap-

endap di balik semak belukar. Tengkorak Berdarah 

sejurus palingkan kepala ke arah orang yang meng-

endap-endap. Lalu teruskan kelebatannya.

 Pada satu tempat yang dirasa aman, Tengkorak Ber-

darah hentikan larinya. Dia tegak di balik pohon besar 

dengan kepala tengadah. Tak jelas apa yang tengah 

dipikirkannya saat itu. Yang jelas dadanya tampak 

berguncang turun naik. Setelah lama berdiam diri, dia 

lantas berkelebat lagi ke tempat di mana Dewa Orok dan


Daeng Upas berada. Tapi sesampainya di tempat itu, dia 

tidak menemukan siapa-siapa lagi. Juga gadis berbaju 

hijau yang bukan lain adalah Puspa Ratri. Tengkorak 

Berdarah tidak tahu, jika sesaat setelah munculnya gadis 

berbaju hijau satu bayangan putih berkelebat lalu ikut 

mengendap di samping gadis berbaju hijau dan tidak 

lain adalah perempuan berbedak tebal.

 Rupanya Tengkorak Berdarah tidak segera tinggalkan 

tempat itu. Entah mengapa orang ini menduga bahwa 

orang yang dicarinya masih berada di sekitar tempat itu. 

Hingga akhirnya dia hanya mondar-mandir di sekitar 

tempat itu. Saat itulah tiba-tiba dia menangkap satu 

sosok pemuda melangkah perlahan sambil berjingkat-

jingkat. Namun perhatian Tengkorak Berdarah pada si 

pemuda segera beralih tatkala tak lama kemudian 

muncul gadis berbaju hijau yang tampak mengejar si 

pemuda.

 Si pemuda sendiri tampaknya tahu jika sedang

diperhatikan orang. Laksana terbang, dia segera

berkelebat lalu lenyap di balik rumpun semak belukar.

 "Jangan bicara tak karuan! Siapa mengintip orang?!" 

ujar Puspa Ratri setelah dapat kuasai rasa terkejutnya.

 'Gadis setan! Dengar. Kurasa kau tahu sedang

berhadapan dengan siapa saat ini. Jangan coba

membohongiku! Mencabut nyawamu semudah aku

membalik telapak tangan!"

 Dari apa yang baru saja dialaminya, Puspa Ratri

sebenarnya sadar jika ucapan orang di hadapannya

tidak salah. Namun justru dalam keadaan demikian,

rasa takut pada diri gadis ini perlahan-lahan lenyap.

Yang muncul sekarang adalah rasa tekad untuk mem-

pertahankan diri. Maka sambil menatap tak berkesip, 

gadis ini balik membentak.

 "Aku tak kena! siapa kau! Jangan membuai bermulut 

besar dan bicara ngaco! Dan lekas enyah dari sini!"

 Tengkorak Berdarah menggereng. "Rupanya nasibmu 

tidak sebaik parasmu!" ujarnya. Ucapannya belum


selesai, tangan kanannya telah bergerak mendorong!

 Wuuttt!

 Terdengar deruan pelan. Namun bersamaan dengan 

itu satu gelombang luar biasa dahsyat menggebrak!

 Baru saja Puspa Ratri angkat kedua tangannya,

tubuhnya telah tersapu lebih dahulu. Hingga sosoknya 

terhuyung-huyung. Namun gadis ini teruskan sentakan 

kedua tangannya!

 Baru setengah jalan kedua tangannya menyentak, 

dari arah samping melesat gelombang angin keras. Lalu 

terdengar suara letupan. Gelombang pukulan Tengkorak 

Berdarah melenceng lalu ambyar!

*

* *



SEPULUH


WALAU sosoknya tidak bergeming sama sekali meski 

pukulannya dilabrak orang, namun gerakan kepalanya 

yang cepat menyentak ke samping menunjukkan bahwa 

Tengkorak Berdarah sempat terkejut. Malah kepalanya

diam untuk beberapa lama seolah sepasang mata di

balik jubah abu-abu aneh yang juga menutupi kepalanya 

itu terpentang besar menatap tak berkesip.

 Sementara di seberang depan, Puspa Ratri segera 

pula berpaling. Gadis ini sejenak terpaku dengan mulut 

terbuka namun tak perdengarkan suara. Sepasang 

matanya yang bundar menyipit membesar pandangi 

seorang pemuda berpakaian putih-putih yang kini tegak 

dengan bibir tersenyum-senyum!

 "Dia rupanya...," gumam Puspa Ratri mengenali siapa 

adanya si pemuda. Gadis ini merasakan detakan 

dadanya bertambah keras. Namun diam-diam juga 

merasa lega dan gembira. Hingga seakan tak meng-

hiraukan adanya orang lain, ia segera menghambur ke 

arah si pemuda.

 Namun gerakan Puspa Ratri tertahan karena pada 

saat yang sama, Tengkorak Berdarah angkat tangan 

kirinya diarahkan pada si gadis. Kejap lain terdengar 

bentakan keras.

 "Kau tetap di tempatmu! Jangan berani buka mulut 

dan bergerak!"

 Tangan kiri Tengkorak Berdarah terus bergerak ke 

arah si pemuda. Mendadak si pemuda buka mulut 

mendahului sebelum Tengkorak Berdarah bersuara.

 "Kita belum pernah jumpa. Tentu kau akan tanya

siapa diriku! Betul?!"

 Tengkorak Berdarah luruskan tangannya tepat ke 

arah si pemuda. Terdengar dia mendengus. Lalu

terdengar bentakannya.

 "Aku tak butuh nama calon bangkai manusia se-

pertimu!"


Si pemuda memperhatikan lekat-lekat pada sosok di 

hadapannya. Dahinya mengernyit. Tapi sejenak 

kemudian dia tersenyum sambil berujar.

 "Kalau kau tak butuh namaku, kini aku tanya 

padamu. Siapa kau?!"

 "Aku tak pernah menolak pertanyaan orang, karena 

itu adalah pertanyaan terakhirnya!" sahut Tengkorak 

Berdarah. Kepalanya lalu bergerak tengadah.

"Aku adalah manusia terakhir yang kau lihat. Akulah

Tengkorak Berdarah!"

 Si pemuda mendelik. Dia seakan hampir saja tak

percaya apa yang baru saja diucapkan orang. Hingga 

mungkin untuk meyakinkan, si pemuda berpaling ke 

arah gadis berbaju hijau yang tegak menatap ke

arahnya.

 Dipandangi si pemuda, wajah Puspa Ratri jadi ber-

semu merah. Mulutnya seakan hendak membuka, tapi 

terkancing lagi.

 Melihat bayangan kebimbangan di wajah si gadis, si 

pemuda berkelebat dan tahu-tahu telah tegak dua 

langkah di samping Puspa Ratri.

 "Gadis cantik berlesung pipit!" bisik si pemuda.

"Aku berterima kasih atas pertolonganmu tempo hari. 

Aku sekarang butuh keyakinan. Apakah benar

ucapan manusia itu?!"

 Mendengar dirinya disebut gadis cantik berlesung 

pipit, dada Puspa Ratri makin berdebar. Paras wajahnya 

bersemu merah. Untuk beberapa saat dia tidak men-

jawab pertanyaan orang. Hanya sepasang matanya yang 

memandang tajam ke dalam bola mata si pemuda. 

Hingga untuk sesaat kedua orang ini saling bentrok 

pandang. Tapi Puspa Ratri segera alihkan 

pandangannya.

 Karena Puspa Ratri tidak juga memberi jawaban, 

akhirnya si pemuda berbisik lagi.

 "Apakah benar dia Tengkorak Berdarah?!"

 Puspa Ratri berpaling. Namun kali ini tidak berani


menatap ke bola mata si pemuda. "Aku tidak mengenal-

nya. Manusia yang berjuluk Tengkorak Berdarah pun 

aku belum pernah melihatnya. Jadi sulit aku menjawab 

apakah benar dia Tengkorak Berdarah atau bukan...."

 "Lalu ada silang sengketa apa antara kau dengan 

dia?"

 Puspa Ratri menggeleng. "Aku tak tahu. Dia tiba-tiba 

menyerangku...."

 Si pemuda sekali lagi pandangi sosok orang berjubah 

abu-abu aneh. Diam-diam dia membatin. "Apakah ini 

manusianya penghuni Istana Hantu? Mengapa dia 

menyerang gadis ini? Hem.... Adakah ini pertanda 

ucapannya benar?" Tiba-tiba si pemuda teringat akan 

ucapan seorang kakek yang pernah ditemuinya juga 

seorang kakek yang berada di dalam kuil di sebelah 

barat Candi Jago.

 "Dua orang yang kutemui itu nada ucapannya sama...

Malah orang terakhir yang kutemui mengatakan terus 

terang aku tidak boleh membunuh Tengkorak Berdarah! 

Hem.... Tapi kemunculannya yang selalu membuat 

bencana pada setiap orang yang ditemuinya akan terus

berlangsung jika tidak dihentikan! Mendengar ucapannya 

tadi, mungkin dugaan Ratu Malam jika lenyapnya 

saudara-saudaranya akibat ulahnya ada benarnya! 

Hem.... Tempo hari aku memang gagal memasuki 

istananya tapi hari ini...."

 Si pemuda tidak meneruskan membatin. Karena

di depan sana Tengkorak Berdarah angkat tangan

kanannya. Lalu didorong ke depan.

 Wuuuttt!

 Satu sapuan gelombang angin melabrak ganas ke 

arah si pemuda. Si pemuda tidak tinggal diam. Dia

segera pula angkat tangannya dan didorong ke depan.

 Terdengar letupan. Sapuan gelombang yang datang 

dari Tengkorak Berdarah ambyar. Sedang gelombang 

yang melesat dari tangan si pemuda bertabur kian 

kemari.


Tengkorak Berdarah perdengarkan suara meng-

gereng. Suara gerengannya belum lenyap, sosoknya 

telah berkelebat ke depan.

 Buukkk! Buuukkk!

 Dua pasang tangan beradu keras di udara. Sosok si 

pemuda tersurut satu langkah. Tengkorak Berdarah 

mundur dua tindak. Dari bentrokan tadi keduanya 

segera bisa maklum jika lawan memiliki tenaga dalam 

tinggi. Malah si pemuda tampak terkesiap sendiri dan 

bergumam heran.

 "Aku merasa tenaga dalamku berlipat ganda! Aneh..."

 Kalau si pemuda terkesiap dengan keadaan dirinya 

sendiri, tidak demikian halnya dengan Tengkorak 

Berdarah. Orang ini tampaknya terkejut besar hingga 

secara tak sadar dia segera membentak.

 "Pemuda setan! Siapa kau sebenarnya?!"

 Mendengar pertanyaan orang, si pemuda tersenyum.

 "Seperti katamu, aku adalah calon bangkai manusia!"

 "Setan!" teriak Tengkorak Berdarah. Kini kedua

tangannya diangkat sekaligus. Lalu disentakkan kuat-

kuat.

 Gelombang luar biasa hebat melesat laksana cahaya 

berkiblat!

 Si pemuda tak mau bertindak ayal. Dia cepat salurkan 

tenaga dalam pada kedua tangannya. Tiba-tiba tangan-

nya berubah menjadi berwarna kekuningan. Udara 

berubah panas menyengat. Inilah pertanda bahwa si 

pemuda hendak lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning'! 

Pukulan yang dahulu pernah dimiliki oleh seorang tokoh 

bergelar Pendeta Sinting yang akhirnya diwariskan pada 

murid tunggalnya Joko Sableng Pendekar Pedang 

Tumpul 131.

 Begitu kedua tangan si pemuda yang bukan lain

adalah Pendekar 131 mendorong, satu gelombang angin 

luar biasa dahsyat menghampar dengan membawa 

hawa panas menyengat dan menebarkan semburatan 

warna kuning di udara.


Tempat itu mendadak laksana dilanda gempa hebat. 

Tanahnya bergetar keras dan bertaburan keudara. 

Anehnya sosok Pendekar 131 hanya tersurut tiga 

langkah, sementara Tengkorak Berdarah tersapu sampai 

satu tombak!

 "Heran.... Aku mengerahkan tenaga dalam seperti 

biasa. Tapi kurasa tenaga dalamku jadi berlipat ganda! 

Apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku?!" kata Joko 

dalam hati. Murid Pendeta Sinting ini tidak tahu, jika di 

dalam tubuhnya kini mengendap tenaga dalam milik 

kakek yang berada di dalam kuil yang tanpa 

sepengetahuan Joko telah salurkan seluruh tenaga luar 

dalamnya hingga dia sendiri kehabisan tenaga dan 

menghembuskan napas terakhir.

 Tengkorak Berdarah tersentak bukan main. "Baru kali 

ini aku mendapati orang yang tenaga dalamnya begitu 

kuat. Siapa sebenarnya jahanam ini? Jangan-jangan 

pemuda ini yang kucari.... Tapi aku harus buktikan 

dahulu!"

 Berpikir begitu Tengkorak Berdarah takupkan kedua 

tangannya di depan dada. Terdengar gumaman tak jelas 

dari mulut di balik jubah abu-abunya yang aneh.

 Sikap orang membuat murid Pendeta Sinting segera 

maklum jika dia sedang siapkan pukulan andalannya. 

Pendekar 131 tak tinggal diam. Dia segera pula 

kerahkan tenaga dalam siapkan sekali lagi pukulan sakti 

'Lembur Kuning'. Namun tiba-tiba dia ragu-ragu. Di 

telinganya terngiang ucapan Raja Tua Segala Dewa dan 

kakek dalam kuil. Dia juga merasa heran. Saat hendak 

memasuki Istana Hantu, pukulan sang penghuni terasa 

begitu hebat. Namun orang yang mengaku sebagai 

Tengkorak Berdarah ini pukulannya bisa dipangkas 

dengan mudah!

 Keragu-raguan Pendekar 131 cepat ditangkap Teng-

korak Berdarah. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan. 

Dia segera tarik kedua tangannya dan disentak ke depan 

berulangkali.


Wuuuttt! Wuuttt! Wuuuttt! Wuuuttt!

 Empat gelombang angin dahsyat susul-menyusul 

melabrak ke arah murid Pendeta Sinting. Demikian 

cepatnya gelombang itu hingga tak ada kesempatan lagi 

bagi Joko untuk lepaskan pukulan apalagi kini hatinya 

digelayuti perasaan ragu-ragu.

 Puspa Ratri yang mengetahui hai itu segera ber-

tindak. Gadis ini yang memiliki gerakan laksana kilat 

cepat berkelebat. Karena tak mungkin menyambar tubuh 

Joko, akhirnya gadis ini hanya tendangkan kaki 

kanannya ke arah pinggul murid Pendeta Sinting.

 Buukkk!

 Sosok Pendekar 131 tampak mencelat satu tombak 

ke samping. Hal ini menyelamatkannya dari gelombang 

pukulan yang pertama.

 Namun bahaya belum selesai. Karena ternyata empat 

gelombang angin yang melesat dari kedua tangan 

Tengkorak Berdarah menebar dan salah satunya kini 

mengarah pada Joko yang masih terhuyung akibat 

tendangan Puspa Ratri!

 Meski terhuyung, Pendekar 131 angkat juga tangan-

nya untuk memapak pukulan yang datang. Namun satu 

gelombang angin tiba-tiba menyeruak dan mendahului 

pukulan Joko memapak gelombang pukulan Tengkorak 

Berdarah!

 Gelombang pukulan yang mengarah pada murid 

Pendeta Sinting tersapu keras lalu mengudara meng-

hantam tempat kosong.

 Tengkorak Berdarah berseru keras. Dia segera

berkelebat ke samping kanan dari mana angin yang

memangkas pukulannya bersumber. Kedua tangannya 

sudah diangkat tinggi-tinggi siap lepaskan lagi pukulan. 

Namun begitu sepasang mata di balik bungkus jubah 

anehnya memandang ke depan, mendadak kedua 

tangannya terdiam di udara.




SEBELAS


TUJUH langkah di hadapan Tengkorak Berdarah tegak, 

terlihat satu sosok tubuh perempuan yang wajahnya 

disaput bedak putih tebal. Rambutnya digelung ke 

belakang. Kedua tangannya bergerak menarik ke 

belakang lalu diluruhkan ke bawah.

 Entah kenapa tiba-tiba Tengkorak Berdarah urungkan 

niat untuk lepaskan pukulan. Orang ini merasakan 

dadanya berdebar. Pikirannya gelisah. Namun sesaat

kemudian Tengkorak Berdarah gerakkan lagi kedua 

tangannya hendak menyentak.

 Perempuan berbedak tebal yang bukan lain adalah 

ibu Puspa Ratri tersenyum. Lalu kepalanya menggeleng. 

Tengkorak Berdarah untuk kedua kalinya urungkan niat. 

Namun kedua tangannya masih berada di udara.

 Perempuan berbedak tebal melirik ke arah Pendekar 

131, lalu beralih ke arah Puspa Ratri. Sejenak kemudian 

memandang lekat-lekat pada Tengkorak Berdarah.

 "Anak-anak muda itu tidak punya urusan apa-apa! 

Jangan turutkan kemarahan dan gejolak hati! Mari kita 

bicara baik-baik!"

 "Siapa kau sebenarnya? Tahu apa kau tentang orang-

orang itu. Hah?l"

 Perempuan berbedak tebal tersenyum. "Kau mungkin 

sudah lupa. Pada beberapa tahun silam kita pernah 

jumpa!"

 Tengkorak Berdarah tengadahkan kepala. "Memang 

benar. Beberapa tahun lalu aku pernah jumpa 

perempuan keparat ini! Dahulu dia juga pernah

menghalang-halangiku! Hem...."

 "Kita memang pernah jumpa! Tapi dari dulu kau

merahasiakan dirimu! Itulah yang membuatku urungkan 

niat untuk membunuhmu. Aku ingin kau sebutkan diri 

dahulu sebelum kukirim ke neraka!"

 "Keinginanmu akan segera terpenuhi. Tapi kurasa 

bukan di sini tempat yang baik untuk...."


"Aku tak punya waktu banyak!" potong Tengkorak 

Berdarah. "Kalau kau tidak mau katakan tak apa-apa! 

Tapi niatku tidak berubah!"

 "Hem.... Sebenarnya kau punya banyak waktu. Hanya 

karena kau terdorong oleh banyak keinginan, waktumu 

jadi sempit! Padahal selama ini kau tidak mendapatkan 

apa yang kau inginkan!"

 Sosok Tengkorak Berdarah tampak bergetar.

"Kau tahu apa tentang diriku?"

 Perempuan berbedak tebal menggeleng pelan.

"Aku tak tahu banyak tentang dirimu. Yang kutahu

adalah selama ini kau menebar maut tanpa ujung

pangkal jelas!"

 Tiba-tiba Tengkorak Berdarah tertawa bergelak.

"Bagus jika kau sudah tahu itu! Dan kau adalah calon

korban maut tak jelas itu!"

 "Hem.... Itu urusan takdir yang belum tentu. 

Sekarang aku tanya padamu.... Apakah dengan menebar 

maut itu semua keinginanmu terpenuhi?!"

 "Keparat! Dari tadi kau sebut-sebut keinginan! Dengar 

perempuan! Tanganku menebar maut bukan tanpa 

tujuan jelas! Dan selama ini memang keinginanku belum 

terpenuhi. Sayang sebentar lagi nyawamu melayang! 

Jika tidak tentu kau akan tahu!"

 Perempuan berbedak tebal batuk-batuk beberapa 

kali. "Kau yakin akan hal itu?!"

 "Aku tak perlu keyakinan! Aku punya akal dan

kekuatan!"

 "Itu belum cukup, Sahabat! Buktinya selama ini kau 

belum mendapatkan apa yang menjadi keinginanmu!"

 "Kau tahu apa tentang keinginanku? He...?!"

 "Itu akan kukatakan. Tapi tidak di sini! Besok malam 

kutunggu kedatanganmu di dekat pancuran air di 

sebelah timur Kampung Pandan! Tentu kau masih ingat 

tempat itu!"

 "Kalau urusan sepele untuk apa harus dibicarakan di 

tempat itu?! Kau takut didengar mereka?!" tanya


Tengkorak Berdarah sambil menunjuk pada Pendekar 

131 dan Puspa Ratri yang masih tegak dengan 

mendengarkan pembicaraan mereka.

 "Ini bukan hanya urusan sepele. Tapi juga urusan di 

antara kita berdua!"

 Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. "Urusanmu 

denganku adalah urusan pembayaran nyawamu karena 

menghalangiku! Tidak ada urusan lain!"

 "Di antara kita ada urusan lain! Dan itu lebih besar 

daripada urusan nyawaku! Usahakan untuk datang ke 

tempat yang kukatakan tadi!"

 "Keparat! Siapa sebenarnya perempuan ini? Dia se-

akan tahu rencana keinginanku!" membatin Tengkorak 

Berdarah sambil memperhatikan perempuan berbedak 

tebal yang saat Itu melangkah ke arah tegaknya 

Pendekar 131 dan Puspa Ratri anaknya.

 "Terima kasih atas ucapanmu tempo hari.... Aku

memang bertemu...."

 "Cukup, Anak muda! Sekarang kuharap kau lekas 

tinggalkan tempat ini!" tukas perempuan berbedak tebal, 

membuat murid Pendeta Sinting tersentak. Di sebelah-

nya, Puspa Ratri tampak terdiam dengan dada dipenuhi 

berbagai perasaan.

 "Orang ini aneh... Kemarin tampaknya sikapnya halus, 

tapi kali ini nada ucapannya ketus… Apa ada yang 

salah?!" kata Joko dalam hati.

 Diam-diam pula Puspa Ratri membatin. "Kenapa Ibu 

lain dengan biasanya? Apakah dia benar-benar hendak 

memaksakan kehendaknya agar aku melupakan pemuda 

ini? Tidak! Siapa pun tak berhak melarangku! Termasuk 

Ibu!"

 "Anak muda! Kau mendengar ucapanku. Kenapa 

masih tegak di situ?!" tegur perempuan berbedak tebal 

saat dilihatnya murid Pendeta Sinting masih tidak 

beranjak dari tempatnya.

 "Harap sudi mengatakan jika aku membuat tindakan 

keliru!" ujar Joko.


"Kemunculanmu di sini, Anak Muda! Itulah hal yang 

salah bagimu!" sahut perempuan berbedak tebal. "Kau 

masih punya urusan penting! Jadi lekaslah tinggalkan 

tempat ini!"

 "Urusan penting?" ulang Joko. Dia sebenarnya

hendak bertanya pada perempuan berbedak tebal.

Namun si perempuan telah melangkah ke arah Puspa 

Ratri. Dan terdengar dia berkata.

 "Kau ikuti aku!"

 Puspa Ratri memandang tajam pada ibunya. Namun 

sebelum gadis berbaju hijau ini buka mulut, perempuan 

berbedak tebal telah berkata.

 "Ini demi kebaikanmu! Jadi buanglah salah sangka!"

 Sementara perempuan berbedak tebal telah berbicara 

dengan Pendekar 131 dan Puspa Ratri, Tengkorak 

Berdarah arahkan kepalanya pada Pendekar 131.

 "Mereka bertiga nampaknya sudah saling kenal.

Hem.... Aku akan mengorek keterangan dari mulut

pemuda ini! Perempuan berbedak tebal itu tampaknya 

tahu banyak semua urusan orang! Sebetulnya aku tak 

ingin turuti ucapannya, tapi...." Tengkorak Berdarah 

tidak lanjutkan kata hatinya. Diam-diam dia berkelebat 

pergi dari tempat itu.

 Sebenarnya murid Pendeta Sinting tahu kelebatan 

perginya Tengkorak Berdarah, namun karena hatinya 

masih sangsi juga karena perempuan berbedak tebal 

sudah menjanjikan pertemuan, maka dia sengaja pura-

pura tak hiraukan perginya si Tengkorak Berdarah.

 "Puspa Ratri! Ikut aku!" kata perempuan berbedak 

tebal. Lalu tanpa berpaling pada Pendekar 131,

perempuan ini melangkah tinggalkan tempat itu.

 Puspa Ratri sesaat pandangi ibunya, lalu menatap 

pada murid Pendeta Sinting. Wajahnya tampak murung. 

Tiba-tiba gadis berbaju hijau ini melompat ke arah Joko.

 "Kau tunggulah di sini! Aku masih perlu bicara!"

 Habis berbisik begitu, tanpa menunggu jawaban 

murid Pendeta Sinting, Puspa Ratri melangkah mengikuti


ibunya.

 Pada satu tempat agak jauh, perempuan berbedak 

tebal hentikan langkahnya. Kepalanya berpaling ke 

belakang. Dia menghela napas melihat anaknya

kelihatan enggan dan murung.

 "Kau tak tahu, Anakku! Selama ini kulakukan karena 

Ibu tidak mau melihatmu mengalami nasib yang pernah 

Ibu alami! Aku tak ingin melihatmu merana karena 

cinta..., Puspa Ratri...!" kata perempuan berbedak tebai 

begitu anaknya agak dekat. "Kuharap kau mengerti akan 

tindakan Ibu! Ini demi kebaikanmu kelak...."

 Puspa Ratri tidak menyahut. Malah memandangpun 

tidak, membuat perempuan berbedak tebal gelengkan 

kepala perlahan. Setelah berpikir agak lama dan 

dilihatnya Puspa Ratri hanya tegak dengan mulut 

terkancing dan pandangan ke jurusan lain, akhirnya 

ibunya berujar.

 "Seorang Ibu tidak ada yang punya maksud jahat, 

Anakku! Tapi jika kau masih menduga yang tidak-tidak, 

sekarang terserah padamu. Kau boleh mengikutiku atau 

pergi ke mana saja kau suka!"

 Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal 

teruskan langkah. Puspa Ratri untuk beberapa saat 

masih tegak. Gadis ini gundah. Apakah pergi mengikuti 

ibunya atau kembali ke pemuda yang diam-diam 

dirindukannya. Namun akhirnya gadis berbaju hijau ini 

perturutkan kata hatinya untuk menemui Pendekar 131!

 Begitu Puspa Ratri berpaling dan terlihat ibunya

sudah jauh, gadis ini balikkan tubuh. Lalu berkelebat

cepat ke arah dari mana dia datang.

 Sementara itu, Pendekar 131 sendiri untuk beberapa 

saat lamanya masih tetap di tempatnya berdiri. Dia coba 

menduga-duga apa yang diucapkan perempuan 

berbedak tebal. Karena begitu tenggelam memikirkan 

keanehan sikap perempuan berbedak tebal juga sikap si 

gadis, murid Pendeta Sinting ini tidak sadar jika dari sela 

semak satu sosok tubuh terus memperhatikan gerak


geriknya.

 "Saatnya aku mengorek keterangan dari mulutnya" 

kata orang yang sedari tadi mengawasi Pendekar 131 

dan bukan lain adalah Tengkorak Berdarah.

 Orang berjubah abu-abu aneh ini segera berkelebat 

keluar. Tapi gerakannya tertahan tatkala dari arah depan 

sana satu bayangan hijau berkelebat cepat dan tahu-

tahu telah tegak lima langkah di hadapan Pendekar 1311

 "Jahanam! Gadis setan itu lagi! Akan kulihat dulu apa 

yang hendak diperbuat keduanya!" gumam Tengkorak 

Berdarah mengenali siapa adanya orang yang kini tegak 

di depan murid Pendeta Sinting.

 "Apa yang hendak dibicarakan gadis cantik ini?" tanya 

Joko dalam hati seraya pandangi Puspa Ratri. Yang 

dipandang balas memandang. Namun hanya itu yang 

dilakukan si gadis. Dia tidak buka mulut untuk bicara.

 Joko Sableng melangkah mendekat. "Aku lupa pernah 

mengatakan namaku padamu atau belum. Tapi tak ada 

jeleknya bukan jika aku mengatakan saat ini padamu? 

Tak enak rasanya bicara tanpa tahu siapa orang yang 

diajak bicara...."

 Kemurungan si gadis mendadak lenyap. Bibirnya 

bergerak sunggingkan senyum. "Aku juga lupa apa 

pernah dengar kau sebutkan diri apa belum. Sementara 

kau sendiri tadi tentu sudah mendengar namaku 

disebut."

 "Hem.... Boleh kutahu, apa hubunganmu dangan 

perempuan memakai bedak tebal tadi? Lalu kemana dia 

pergi?"

 "Kau sebutkan dulu siapa dirimu...," ujar Puspa Ratri 

masih dengan bibir tersenyum.

 "Ah.... Namaku Joko Sableng!"

 "Aku Puspa Ratri...." Gadis berbaju hijau menimpali.

 "Hem.... Aku lebih suka memanggilmu Gadis cantik 

berlesung pipit! Kau tak keberatan?"

 Paras muka Puspa Ratri memerah. Dadanya

berdebar. Dia akhirnya hanya gelengkan kepala sambil


arahkan kepala sedikit ke samping sembunyikan 

perubahan raut wajahnya.

 "Lalu siapa perempuan tadi?!" tanya murid Pendeta 

Sinting.

 "Dia ibuku!"

 Pendekar 131 kernyitkan dahi. Seakan tahu apa yang 

dipikir murid Pendeta Sinting, Puspa Ratri sambung 

ucapannya. "Aku sendiri tak tahu mengapa Ibu melaku-

kan penyamaran begitu rupa! Saat kutanya dia selalu 

jawab saatnya akan datang untuk membuka 

penyamarannya...."

 "Ke mana dia pergi? Dan mengapa kau tidak

mengikutinya? Bukankah dia menyuruhmu untuk ikut?!"

 "Dia tidak mengatakan hendak ke mana. Aku sudah 

besar. Aku bebas tentukan langkah sendiri!" suara Puspa 

Ratri kali ini agak keras dan bergetar.

 "Ah. Mungkin terjadi sesuatu antara gadis ini dengan 

ibunya! Waktu tiba tadi, kulihat wajahnya murung.... 

Hem... jangan-jangan ini karena aku!" duga Joko dalam 

hati. Lalu berkata.

 "Kuharap tidak terjadi sesuatu apa antara kau dan 

ibumu karena kemunculanku tadi...."

 "Ah...," Puspa Ratri mengeluh. "Kau tak tahu, Joko.... 

Justru karena kaulah semua ini terjadi.... Apakah kau 

tidak merasa bagaimana perasaanku padamu? Sejak 

pertama kali melihatmu, aku tertarik.... Bahkan karena 

itu, aku berani tidak menuruti perintah ibgku...."

 "Kau tak usah cemaskan itu, Joko!" kata Puspa Ratri 

pada akhirnya.

 "Tapi tampaknya ibumu tidak menyukai kehadiranku! 

Dia kelihatan berubah! Tidak seperti pertama kali jumpa 

tempo hari...."

 "Hem.... Itu mungkin hanya perasaanmu saja!" ujar 

Puspa Ratri masih coba menutupi.

 Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku seorang laki-

laki. Tidak biasa menilai dengan perasaan. Aku melihat 

dari sikap dan ucapannya...."


Puspa Ratri jadi terdiam mendengar ucapan murid 

Pendeta Sinting.

 "Mungkin penilaianku salah," sambung Joko.

"Tapi perubahan wajahmu menguatkan dugaanku....

Mungkin ibumu tidak suka aku bersahabat denganmu!"

 Puspa Ratri memandang lekat-lekat pada Pendekar 

131. "Kau jangan terlalu jauh menduga, Joko. Dan 

ketahuilah.... Siapa pun termasuk ibuku tak berhak 

untuk menghalangi persahabatan kita! Aku....Aku...." 

Puspa Ratri tak sanggup untuk teruskan ucapannya.

 "Ah. Ada apa sebenarnya dengan gadis cantik ini?" 

batin Joko.

 "Mungkin ibumu punya pandangan sendiri padaku. 

Atau...."

 "Joko...." Puspa Ratri tiba-tiba menghambur ke arah 

Pendekar 131. Kedua tangannya cepat melingkar di 

pinggang murid Pendeta Sinting, sementara kepalanya 

disandarkan pada dadanya. Sesaat Pendekar 131 

tampak terperangah. Namun untuk menenangkan 

perasaan si gadis akhirnya dia hanya diam saja, malah 

tidak lama kemudian kedua tangannya ikut melingkar di 

pinggang si gadis.

 "Joko...," bisik Puspa Ratri. "Apa pun pandangan 

ibuku padamu, aku percaya kau adalah pemuda baik! 

Dan sejak pertama kali melihatmu, aku suka padamu...."

 Ucapan terus terang si gadis membuat murid Pendeta 

Sinting makin terlengak. Hingga untuk beberapa lama 

mulutnya terbuka tapi tak keluarkan suara. Sebaliknya 

Puspa Ratri makin mempererat pelukannya.

 Beberapa saat berlalu. Entah karena khawatir tak 

dapat menguasai gejolak yang mulai timbul, murid 

Pendeta Sinting berbisik.

 "Tak baik kita berpelukan di tempat begini. Apalagi 

jika ibumu mendadak muncul...."

 Tapi Puspa Ratri seakan tak mendengar ucapan pelan 

murid Pendeta Sinting. Malah gadis ini makin rapatkan 

tubuhnya.


Pendekar 131 menarik napas dalam. Dia tidak

mengerti kenapa dalam keadaan begini tiba-tiba muncul 

bayangan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi. Hingga 

tanpa sadar dia menggumam pelan seakan bicara 

sendiri.

 "Joko.... Kau bicara apa?" tiba-tiba Puspa Ratri

menegur sambil tarik wajannya dari dada murid Pendeta 

Sinting.

 Joko tersentak. Bayangan Dewi Seribu Bunga dan 

Sitoresmi lenyap. Seraya tersenyum menutupi

keterkejutannya, dia berbisik.

 "Aku khawatir ibumu kembali dan tahu kita...."

 "Kau takut? Atau di hatimu ada orang lain, Joko?"

 "Walah. Jangan-jangan dia tadi mendengar gu-

mamanku yang keluar secara tidak kusengaja...."

 "Aku senang mendapat perhatian darimu.... Padahal 

aku bukanlah pemuda yang seperti kau duga...," ujar 

Joko Sableng pada akhirnya

 "Kau menjawab bukan pertanyaanku, Joko...."

 Karena murid Pendeta Sinting tidak juga menjawab 

ucapan Puspa Ratri berbisik lagi. "Jujurlah, Joko. Adakah 

gadis lain yang telah mendahuluiku? Aku tidak akan 

memaksakan kehendak hatiku jika memang di hatimu 

ada orang lain! Percayalah. Aku siap mendengar 

ucapanmu meski sebenarnya aku harus menelan rasa 

kecewa...." Sambil berbisik, Puspa Ratri pejamkan 

sepasang matanya. Dada gadis ini tampak bergetar. 

Joko juga merasakan kedua tangan Puspa Ratri yang 

masih memeluk pinggangnya juga bergetar.

 Mungkin hanyut oleh ucapan si gadis, Joko gerakkan 

wajahnya lalu mencium kening si gadis.

 Puspa Ratri menggumam tak jelas. Lalu rebahkan 

kembali wajahnya ke dada murid Pendeta Sinting. Dan 

tak lama kemudian, entah siapa yang memulai, 

keduanya terlihat tenggelam dalam pelukan mesra.


Ketika Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng 

tenggelam dalam pelukan mesra dengan Puspa Ratri, 

dari arah timur satu sosok tubuh berkelebat lalu diam 

mendekam di balik semak belukar tidak jauh dari tempat 

dua orang itu berpelukan. Orang ini ternyata adalah 

pemuda berwajah tampan berkumis tipis mengenakan 

pakaian hitam-hitam.

 Untuk sesaat sepasang mata pemuda berpakaian 

hitam-hitam yang bukan lain adalah Raka Pradesa 

menyipit menyaksikan pemandangan di depan sana. 

Namun begitu mengenali siapa adanya orang yang 

sedang bermesraan itu, mendadak matanya mendelik 

dan memandang tak berkesip seolah tak percaya. Kejap 

lain terlihat kedua tangan pemuda berkumis tipis ini 

mengepal. Dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas. 

Ingin rasanya pemuda ini melompat keluar dari 

tempatnya jika saja pikiran jernih tidak segera muncul 

menghadang. Malah diam-diam kepala pemuda ini 

segera berpaling ke jurusan lain.

 Kalau ada orang lain di tempat itu tentu akan tahu, 

jika bersamaan dengan berpalingnya kepala si pemuda, 

sepasang matanya tampak berkaca-kaca! Dan tak lama 

kemudian kedua tangannya terangkat menutupi 

wajahnya. Namun tiba-tiba Raka Pradesa tarik kedua 

tangannya dari wajahnya. Kepalanya tengadah.

 "Ucapan perempuan berbedak tebal itu.... Rupanya 

ada benarnya. Aku harus melupakan pemuda itu.... Ah, 

ternyata dia telah punya seorang gadis.... Hem... 

makanya gadis itu menolong. Tak tahunya jika dia 

adalah sepasang kekasih. Tapi ini juga mungkin karena 

kesalahanku yang tidak berterus terang. Dia mungkin 

memandangku apa adanya! Tidak tahu jika aku 

adalah...." Raka Pradesa menarik napas dalam. 

Kepalanya berpaling lagi. Namun cepat-cepat kepalanya 

disentakkan lagi begitu terlihat bagaimana di depan sana 

Pendekar 131 tampak makin mempererat pelukannya


dan menciumi wajah gadis berbaju hijau.

 Mungkin tak dapat menahan perasaan, Raka

Pradesa saling remaskan kedua tangannya. Dadanya 

tampak berguncang keras. Matanya berkaca-kaca 

namun terpentang besar-besar.

 "Apa yang harus kulakukan sekarang? Tak pantas 

rasanya mengusik keasyikan mereka. Tapi aku tak bisa 

melihat mereka terus-terusan begitu! Perbuatan gila itu 

harus dihentikan!" gumam Raka Pradesa berapi-api. 

Namun sekejap kemudian dia mengeluh. "Tapi ini bukan 

salah mereka! Akulah yang salah! Tapi apakah aku juga 

salah jika mengharapkan?"

 Untuk beberapa lama Raka Pradesa diam tak tahu 

harus berbuat apa. Setelah menarik napas berulangkali,

akhirnya dia bergumam.

 "Ah. Mungkin ini suratan nasib yang harus kujalani.... 

Aku akan mencoba turuti ucapan perempuan berbedak 

tebal itu untuk melupakan pemuda itu.... Tapi apakah 

aku mampu...? Sejak pertama kali jumpa, aku tak bisa 

melupakannya...."

 Raka Pradesa bergerak bangkit. "Daripada harus 

melihat hal yang membuat hatiku tampak kecewa, lebih 

baik aku tinggalkan tempat celaka ini!' Akhirnya Raka 

Pradesa memutuskan.

 Meski dia bergumam begitu, namun sebelum

bergerak pergi, dia tak kuasa juga untuk tidak berpling 

melihat orang di depan sana.

 Raka Pradesa terdengar perdengarkan dengusan 

pelan begitu berpaling. Lalu sentakkan kepalanya dan 

berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun satu teguran 

pelan mendadak terdengar, membuat Raka Pradesa

urungkan niat untuk berkelebat.

 "Apa kerjamu di sini, Anak Muda?"

 Raka Pradesa putar diri. Sejarak lima langkah dari 

tempatnya, pemuda berkumis tipis ini melihat satu sosok 

tubuh!



                            SELESAI



PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131

JOK0 SABLENG


Segera terbit!!!

Serial Joko Sableng

Pendekar Pedang Tumpul 131

dalam episode:


RATU CINTA DARI DASAR BUMI













Share:

0 comments:

Posting Komentar