..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 05 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE DEWA CADAS PANGERAN

JOKO SABLENG EPISODE DEWA CADAS PANGERAN

 SATU


DARI kuil di puncak atas sana yang dikenal kala-

ngan rimba persilatan dengan Kuil Atap Langit terde-

ngar suara batuk-batuk tiga kali. Guru besar Liang 

San dan Hantu Bulan Emas saling lontarkan lirikan 

tajam. Lalu sama dongakkan kepala. Saat bersamaan 

terdengar ucapan dari atas sana.

“Sebenarnya aku sangat gembira bisa bertemu de-

ngan sahabat. Namun kalau perjumpaan harus diper-

ciki dengan ganjalan, rasanya lebih baik tidak ada per-

temuan....”

“Aku datang untuk bertanya!” Guru Besar Liang 

San angkat suara. “Sekarang aku harus pergi!” Guru 

Besar Liang San balikkan tubuh. Tapi sebelum sosok-

nya bergerak lebih jauh, Hantu Bulan Emas buka mu-

lut.

“Aku sudah berkata, tidak akan ada yang pergi dari 

sini!”

Guru Besar Liang San urungkan niat untuk berke-

lebat pergi. Tanpa balikkan tubuh dia berucap.

“Harap kau katakan apa maksudmu sebenarnya!”

Hantu Bulan Emas tertawa dahulu sebelum berka-

ta. “Aku tahu jika peta wasiat itu ada di tangan kalian 

berdua! Serahkan dulu peta wasiat itu padaku!”

Dari kuil di puncak atas sana terdengar suara tawa. 

Sementara Guru Besar Liang San kerutkan dahi. Kete-

gangan di wajahnya tidak bisa disembunyikan lagi.

Seperti diketahui, Kwe Bun Lim atau yang lebih di-

kenal dengan Hantu Bulan Emas telah bertahun-tahun 

mencari jejak Bu Beng La Ma untuk menyelesaikan u-

rusan dendam lama. Pada mulanya dia sudah mendu-

ga jika Bu Beng La Ma telah meninggal seperti apa


yang selama ini tersiar dalam kalangan rimba persila-

tan. Namun begitu dia bertemu dengan Pendekar 131 

Joko Sableng dan tahu jurus apa yang dilakukan mu-

rid Pendeta Sinting, dia mulai yakin jika Bu Beng La 

Ma masih hidup. Pada akhirnya dia menuju Kuil Atap 

Langit tempat tinggal seorang tokoh yang dulu dikenal 

sebagai Guru Bu Beng La Ma.

Dugaan Hantu Bulan Emas tidak meleset. Dia a-

khirnya bisa mengetahui kalau Bu Beng La Ma masih 

hidup meski Bu Beng La Ma tidak menunjukkan diri 

dan hanya berucap dari Kuil Atap Langit di atas sana. 

Namun sebelum Hantu Bulan Emas laksanakan mak-

sudnya, tiba-tiba muncul Guru Besar Liang San yang 

datang ke Kuil Atap Langit dengan tujuan untuk mem-

beritahukan lenyapnya Guru Besar Wu Wen She. De-

ngan pemberitahuan ini, Guru Besar Liang San berha-

rap agar Bu Beng La Ma tidak menaruh curiga pada-

nya atas peristiwa yang terjadi di Perguruan Shaolin.

Namun kemunculan Guru Besar Liang San ternyata 

merubah maksud Hantu Bulan Emas. Dia menduga 

Guru Besar Liang San dan Bu Beng La Ma bersekong-

kol untuk mendapatkan peta wasiat.

“Hantu Bulan Emas!” Terdengar ucapan dari kuil di 

puncak sana yang bukan lain adalah suara Bu Beng

La Ma. “Kau boleh percaya atau tidak. Tapi yang pasti, 

selama hampir sepuluh tahun terakhir ini, aku tidak 

meninggalkan Kuil Atap Langit. Jadi kau salah alamat 

jika menduga peta wasiat ada di tanganku.... Lagi pula 

aku sudah tidak tertarik dengan urusan yang ada hu-

bungannya dengan dunia persilatan....”

“Siapa percaya dengan keteranganmu! Selama ini 

kau sengaja sembunyikan diri dan siarkan kabar ke-

matian agar semua orang menduga kau telah mampus. 

Dengan begitu kau leluasa lakukan rencana persekongkolan! Dan kau sengaja pula mengundang seorang 

pemuda asing untuk alihkan perhatian orang!” Hantu 

Bulan Emas berkata dengan kepala disentakkan ke ju-

rusan lain.

Mendengar ucapan Hantu Bulan Emas, Guru Besar 

Liang San terkesiap. Bukan karena tuduhan orang, 

melainkan karena ucapan Hantu Bulan Emas yang se-

but-sebut seorang pemuda asing.

“Hem.... Berarti dia telah bertemu dengan pemuda 

itu! Aku harus tahu di mana pemuda itu! Dia harus 

mengatakannya padaku!” Guru Besar Liang San mem-

batin lalu putar diri.

“Hantu Bulan Emas! Aku tak hendak membuat u-

rusan denganmu meski kau telah menjatuhkan tudu-

han yang tidak benar! Tapi ternyata kau tahu sesuatu 

yang saat ini tengah kucari!” Guru Besar Liang San 

tersenyum. “Harap kau sudi katakan padaku di mana 

pemuda asing yang baru kau katakan!”

Hantu Bulan Emas balik tersenyum seraya menye-

ringai. Dia sudah buka mulut. Namun sebelum suara-

nya terdengar, Guru Besar Liang San telah sambungi 

ucapannya.

“Hantu Bulan Emas! Harap kau tidak punya pra-

sangka jika aku menanyakan perihal pemuda asing 

itu! Aku tidak kenal siapa dia dan dari mana asalnya! 

Kalaupun aku bertanya tentang dia, karena menurut 

yang kudengar, pemuda asing itu datang hendak me-

nuju Kuil Shaolin! Karena di perguruan kami baru saja 

terjadi musibah, mungkin dia menunda niatnya hingga 

sampai sekarang dia belum juga muncul di Kuil Shao-

lin! Aku perlu bertemu dengannya, siapa tahu pemuda 

asing itu bisa memberikan penjelasan!”

“Hem.... Begitu? Penjelasan apa yang kau inginkan 

dari seorang pemuda asing?!” tanya Hantu Bulan Emas.

“Beberapa waktu yang lalu, Perguruan Shaolin me-

ngutus seseorang. Namun utusan itu tidak ada kabar 

beritanya hingga hari ini! Aku menduga pemuda asing 

itu bisa memberikan keterangan tentang utusan shao-

lin yang tidak ada kabar beritanya!”

“Dari mana kau bisa menduga demikian?!”

Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San tidak 

menjawab. Dia memandang tajam pada Hantu Bulan 

Emas, lalu dongakkan kepala arahkan pandang mata-

nya ke arah kuil di atas sana sebelum akhirnya berka-

ta.

“Seorang pemuda asing tak mungkin datang jauh-

jauh tanpa urusan penting! Dan selama ini Perguruan 

Shaolin tak pernah membuat urusan. Kalaupun ada 

urusan, itu adalah tentang utusan shaolin! Jadi.... Ke-

datangan pemuda itu pasti ada kaitannya dengan utu-

san shaolin!”

“Bisa kau katakan, apa yang dilakukan utusan itu?! 

Dan ke mana dia pergi mengemban perintah?!”

Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di 

depan dada. “Amitaba.... Urusan dalam Perguruan 

Shaolin tidak layak dikatakan pada orang lain.... Harap 

kau mengerti....”

Hantu Bulan Emas gelengkan kepala. “Aku tahu di 

mana pemuda asing yang kau cari!”

“Kalau begitu, harap kau sudi mengatakannya pa-

daku!” sahut Guru Besar Liang San meski dia tahu ka-

lau Hantu Bulan Emas belum selesai bicara.

Lagi-lagi Hantu Bulan Emas gelengkan kepala sera-

ya berkata. “Kalau kau bisa mengatakan tak layak 

orang di luar Perguruan Shaolin tahu urusan dalam 

perguruan, tentu orang di luar pun pantas mengata-

kan jika orang Perguruan Shaolin tak layak tahu urusan orang di luar perguruan!”

Dada Guru Besar Liang San mulai bergemuruh di-

landa hawa amarah mendengar ucapan Hantu Bulan 

Emas. Namun orang ini masih berpikir panjang dan 

tak mau membuat urusan apalagi dia tahu antara Bu 

Beng La Ma dan Hantu Bulan Emas telah ada ganja-

lan. Dia berharap Hantu Bulan Emas dan Bu Beng La 

Ma terlibat bentrok.

“Baiklah.... Kalau kau keberatan mengatakannya, 

aku tidak memaksa!” ujar Guru Besar Liang San. “Ta-

pi....”

“Aku juga tidak percaya pada keteranganmu!” Han-

tu Bulan Emas telah menukas sebelum Guru Besar 

Liang San lanjutkan ucapan. “Aku tak akan ajukan 

alasan mengapa aku tidak percaya! Karena jawaban-

nya sudah ada padamu!”

“Hem.... Lalu apa maumu?!” tanya Guru Besar 

Liang San.

Hantu Bulan Emas tidak segera menjawab. Seba-

liknya gerakkan kedua tangan mengulur ke depan 

membuat sikap seperti orang meminta. Saat lain dia 

berucap.

“Kalau kau ingin kalangan rimba persilatan tidak 

mencium tindakan persekongkolan ini, dan kau masih 

ingin dianggap orang suci dalam Perguruan Shaolin, 

serahkan peta wasiat itu padaku!”

Kalau perturutkan amarah, ingin rasanya Guru Be-

sar Liang San langsung lepaskan pukulan ke arah 

Hantu Bulan Emas. Namun lagi-lagi Guru Besar Liang 

San masih menindih hawa amarah. Sembari terse-

nyum dan anggukkan kepala dia angkat suara.

“Sebagai orang shaolin, aku tidak berharap ingin 

dikatakan orang suci! Lebih dari itu, aku tidak berse-

kongkol untuk mendapatkan peta wasiat itu! Karena


kalau aku mau, tanganku sendiri mampu mengambil-

nya!”

Hantu Bulan Emas tertawa pendek. “Mengambil pe-

ta wasiat dari tempatnya memang pekerjaan mudah 

bagimu! Tapi....”

“Hantu Bulan Emas!” Kali ini Guru Besar Liang San 

telah menukas. “Aku tidak punya waktu banyak! Se-

lamat tinggal!” Guru Besar Liang San balikkan tubuh 

lalu berkelebat.

Hantu Bulan Emas tidak tinggal diam. Dia segera 

melesat dari memotong gerakan Guru Besar Liang San 

lalu tegak menghadang. Guru Besar Liang San henti-

kan kelebatan. Sepasang matanya membeliak tak ber-

kesip.

“Aku telah mengatakan apa maksud kedatanganku 

menemui Bu Beng La Ma! Aku juga telah mengatakan 

urusanku dengan pemuda asing itu! keduanya tidak 

ada hubungannya denganmu! Harap kau tidak me-

maksakan diri untuk membuka urusan!”

Hantu Bulan Emas tertawa panjang. “Aku tidak ber-

maksud membuka urusan! Aku hanya meminta! Kare-

na aku yakin apa yang kuminta ada padamu! Ini juga 

demi kedudukanmu di mata dunia persilatan dari Per-

guruan Shaolin!”

“Kau tidak akan mendapatkan apa yang kau minta! 

Bahkan kalau kau memaksakan kehendak, kau tahu 

apa akibatnya!”

Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San angkat 

kedua tangannya. Lalu ditakupkan kembali di depan 

dadanya.

Meski gerakan Guru Besar Liang San seperti gera-

kan biasa, namun sebagai tokoh yang telah kenyang 

pengalaman, Hantu Bulan Emas tahu jika gerakan 

Guru Besar Liang San bukanlah gerakan biasa. Dia


cepat alirkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Se-

pasang matanya menyengat tajam pada kedua bola 

mata Guru Besar Liang San.

“Sahabat sekalian!” Bu Beng La Ma berkata dari 

Kuil Atap Langit. “Pertumpahan darah bukanlah hal 

yang menyelesaikan urusan! Kuharap kalian bisa kua-

sai diri.... Apalagi kalian adalah orang terpandang!”

Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San tidak 

pedulikan ucapan Bu Beng La Ma. Belum sampai uca-

pan Bu Beng La Ma selesai, Hantu Bulan Emas telah 

berkelebat ke depan. Guru Besar Liang San tidak mau 

menunggu. Begitu Hantu Bulan Emas membuat ge-

rakan, orang berkepala gundul ini segera menyong-

song. Dua pasang tangan tampak berkelebat di atas 

udara.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras. Sosok Hantu Bulan E-

mas terjajar dua langkah ke belakang. Paras wajahnya 

berubah. Di seberang, Guru Besar Liang San tersurut 

pula dua tindak. Kedua tangannya bergetar.

Hantu Bulan Emas pejamkan sepasang matanya. 

Saat lain kedua matanya kembali dipentang. Tiba-tiba 

dari tato bergambar bulan sabit yang tertera di antara 

kedua alis matanya pancarkan sinar kuning berkilat.

Guru Besar Liang San renggangkan kedua kakinya. 

Kedua tangannya ditarik ke belakang sejajar dada den-

gan telapak terbuka ke depan.

“Hantu Bulan Emas!” kata Guru Besar Liang San. 

“Aku tahu ganjalan antara dirimu dan Bu Beng La Ma! 

Kau tak menyesal kalau ganjalan itu tidak terlaksa-

na?!”

“Aku mampu menghadapimu sekaligus Bu Beng La 

Ma!” sahut Hantu Bulan Emas dengan angkat kedua 

tangannya ke atas kepala.


“Sahabat sekalian!” Lagi-lagi terdengar ucapan Bu 

Beng La Ma dari Kuil Atap Langit di atas sana. “Aku ti-

dak coba menggurui kalian. Namun kalian harus sa-

dar, urusan peta wasiat tidak akan selesai dengan cara 

kekerasan! Kalian juga harus maklum, peta wasiat itu 

akan jatuh ke tangan seseorang yang telah ditakdirkan 

untuk mendapatkannya!”

“Bu Beng La Ma!” teriak Hantu Bulan Emas. “Me-

ngapa kau hanya berani berucap tanpa berani unjuk 

diri?!”

“Kau jangan salah sangka. Aku hanya tak ingin me-

libatkan diri dalam urusan yang aku yakin tak ada gu-

nanya karena aku sadar peta wasiat itu tak mungkin 

jatuh ke tanganku!”

“Kau jangan sembunyi di balik ucapan!” teriak Han-

tu Bulan Emas.

“Kau masih juga salah duga! Tak ada sulitnya jika 

aku ingin turun ke bawah sana. Tapi kalau hanya un-

tuk sesuatu yang tidak ada gunanya, kurasa itu hanya 

buang-buang waktu....”

Karena memang berharap terjadi bentrok antara Bu 

Beng La Ma dan Hantu Bulan Emas, Guru Besar Liang 

San tidak coba angkat suara. Sebaliknya dia segera 

putar pandangan. Saat lain dia berkelebat tinggalkan 

tempat itu.

Hantu Bulan Emas sentakkan kepala ke arah ber-

kelebatnya Guru Besar Liang San. Dia menyeringai na-

mun tak membuat gerakan apa-apa. Namun begitu ke-

lebatan Guru Besar Liang San agak jauh dan sosoknya 

hampir lenyap di balik sebuah pohon, kedua tangan 

Hantu Bulan Emas bergerak.

Wuutt! Wuuttt!

Satu gelombang angin berkiblat ganas. Saat bersa-

maan satu sinar kuning melesat keluar dari tato bergambar bulan sabit di tengah kedua alis mata Hantu 

Bulan Emas.

Guru Besar Liang San sedikit tersirap. Dia cepat 

rundukkan kepala. Saat yang sama sosoknya berputar. 

Kedua tangannya dikelebatkan ke depan dengan tela-

pak terbuka.

Bummmm! Bummmm!

Dua gelegar keras terdengar. Tanah muncrat ke u-

dara menutup pemandangan. Sosok Guru Besar Liang 

San tampak terhuyung. Namun orang ini tidak segera 

coba kuasai diri, sebaliknya melompat ke belakang. 

Saat lain kembali kedua tangannya bergerak. Karena 

ternyata saat itu sinar kuning terus menerabas me-

nembus hamparan tanah di udara!

***

DUA



BLAMMM!

Sinar kuning yang melesat keluar dari tato bergam-

bar bulan sabit di antara kedua alis mata Hantu Bulan 

Emas semburat ke udara ketika dari kelebatan kedua 

tangan Guru Besar Liang San menderu satu gelom-

bang yang bukan saja membuat hamburan tanah lang-

sung tersapu amblas namun juga memporak-poranda-

kan sinar kuning yang keluar dari tato bergambar bu-

lan sabit di antara kedua alis mata Hantu Bulan Emas.

Hantu Bulan Emas mencelat mental. Sosoknya tam-

pak terbanting di atas udara. Tapi sebelum tubuhnya 

jatuh menghantam tanah, guru Bidadari Bulan Emas 

ini cepat putar kedua tangannya ke atas kepala. Men-

dadak gerakan sosoknya terhenti di atas udara. Lalu


perlahan melayang turun ke bawah dengan kaki men-

jejak tanah terlebih dahulu.

Di seberang sana, Guru Besar Liang San tampak te-

gak bersandar pada batangan pohon. Kedua tangannya 

menakup di depan dada. Orang ini coba kuasai aliran 

darahnya yang laksana tersumbat. Namun sebelum dia 

sempat kerahkan tenaga dalam, Hantu Bulan Emas 

melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak dengan 

jari telunjuk ditekuk.

Guru Besar Liang San tak mau bertindak ayal. Kaki 

kanannya ditekuk lalu diangkat. Tangan kanan dilu-

ruskan sementara tangan kiri dilipat. Ketika kedua 

tangan Hantu Bulan Emas datang lakukan totokan, 

Guru Besar Liang San cepat tarik tangan kanannya. 

Saat lain kedua tangannya dihantamkan ke arah ke-

dua tangan Hantu Bulan Emas.

Namun sebelum kedua pasang tangan itu saling 

berbenturan di udara, mendadak Hantu Bulan Emas 

tarik pulang kedua tangannya. Lalu tiba-tiba kedua 

kakinya bergerak membuat tendangan!

Guru Besar Liang San tarik tubuhnya ke samping. 

Kaki kanannya disentakkan memotong gerakan kedua 

kaki Hantu Bulan Emas.

Bukkk! Bukkk!

Hantu Bulan Emas terbanting ke samping. Semen-

tara kaki kanan Guru Besar Liang San tampak mental 

balik. Sosoknya ikut tertarik sebelum akhirnya ter-

jungkal.

Mungkin khawatir orang akan susuli pukulan, baik 

Hantu Bulan Emas maupun Guru Besar Liang San ce-

pat bangkit tegak meski keduanya sempat terhuyung-

huyung. Dari mulut masing-masing orang ini tampak 

kucurkan darah.

Hantu Bulan Emas tak pedulikan keadaan. Begitu


huyungan tubuhnya terhenti, kedua tangannya diang-

kat di depan dada. Tangan kanan diluruskan ke samp-

ing dan diletakkan di atas tangan kiri. Saat lain men-

dadak kedua tangannya disentakkan dengan telapak 

terbuka.

Wuttt! Wuutt!

Dari kedua tangan Hantu Bulan Emas terlihat dua 

bundaran sinar membentuk bulan sabit berwarna ke-

kuningan. Terdengar deruan dahsyat kala dua bunda-

ran sinar kuning melesat ke arah Guru Besar Liang 

San.

Guru Besar Liang San cepat pejamkan kedua mata-

nya. Kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah. Kedua 

kaki Guru Besar Liang San amblas masuk hampir lu-

tut ke dalam tanah. Saat yang sama kedua tangan-nya 

ditakupkan di depan dada. Dia tidak membuat gerakan 

lagi meski sinar kuning terus melaju ke arah-nya.

Busss! Busss!

Dua bundaran sinar kuning menghantam dada 

Guru Besar Liang San. Hantu Bulan Emas tersentak. 

Senyum di mulutnya yang sesaat tadi mengembang 

karena Guru Besar Liang San tidak membuat gerakan 

apa-apa pupus ketika mendapati bundaran dua sinar 

kuning mental lalu ambyar berkeping-keping! Bahkan 

sosok Hantu Bulan Emas langsung terjengkang roboh!

Guru Besar Liang San sesaat tetap tak bergeming. 

Namun bersamaan dengan robohnya sosok Hantu Bu-

lan Emas, tubuh Guru Besar Liang San melorot jatuh. 

Karena kedua kakinya masuk ke dalam tanah, dia ja-

tuh terduduk dengan pantat menghantam tanah.

“Jurus kelima dari ‘Delapan Gerbang Rembulan’ 

mampu ditahannya tanpa membuat gerakan!” desis 

Hantu Bulan Emas seraya bangkit berdiri. “Aku ingin 

lihat apakah dia mampu menahan jurus keenam dan


ketujuh ‘Delapan Gerbang Rembulan’!”

Hantu Bulan Emas pejamkan sepasang matanya. 

Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.

“Hantu Bulan Emas!” Tiba-tiba Guru Besar Liang 

San angkat bicara dengan kedua tangan tetap mena-

kup di depan dada dan sepasang mata terpejam. “Jan-

gan berlaku bodoh! Kalau aku mampu menahan puku-

lanmu tanpa membuat gerakan, seharusnya kau sadar 

jika...”

Sebelum Guru Besar Liang San lanjutkan ucapan, 

Hantu Bulan Emas telah menyahut. “Jangan terlalu

gembira dahulu, Liang San! Apa yang baru kau terima 

bukanlah apa-apa dari apa yang kumiliki!”

Guru Besar Liang San tersenyum. Namun diam-

diam orang dari Perguruan Shaolin ini salurkan ham-

pir setengah dari tenaga dalam yang dimiliki pada ke-

dua telapak tangannya. Sementara di seberang, Hantu 

Bulan Emas cepat tekuk kedua kakinya lalu sosoknya 

dilorotkan ke bawah. Saat lain guru dari Bidadari Bu-

lan Emas ini telah duduk bersila dengan kedua tangan 

bersedekap di depan dada. Sepasang matanya dipen-

tang besar-besar. Bukan menatap ke arah Guru Besar 

Liang San, namun kepalanya ditengadahkan dan sepa-

sang matanya menatap pada hamparan langit. Tubuh-

nya bergetar keras.

Mendapati sikap Hantu Bulan Emas, Guru Besar 

Liang San tarik ke atas kedua kakinya yang masuk ke 

dalam tanah. Kejap lain, dia telah membuat sikap se-

perti Hantu Bulan Emas. Hanya sepasang matanya 

menatap tajam pada sosok Hantu Bulan Emas.

Mendadak Hantu Bulan Emas buka dekapan kedua 

tangannya. Guru Besar Liang San tak berdiam diri. Dia 

cepat pula lepas rangkapan kedua tangannya. Saat 

lain, hampir bersamaan kedua orang ini sentakkan


tangan masing-masing ke depan.

Namun belum sampai dari tangan masing-masing 

orang melesat pukulan, dari Kuil Atap Langit di atas 

sana, menderu satu gelombang dahsyat.

Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San sen-

takkan kepala melirik ke atas. Keduanya terkesiap ka-

get. Belum sampai keduanya membuat gerakan, ge-

lombang dari puncak kuil telah menderu dan kejap 

lain telah menghantam tanah tepat di antara sosok 

Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San.

Blaaarrr!

Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San rasa-

kan tanah pijakannya bergetar hebat. Keduanya cepat 

kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri. Namun tin-

dakan keduanya terlambat. Baru saja keduanya kerah-

kan tenaga dalam, mereka rasakan sosoknya tersapu 

mental ke belakang dan saat lain sama terkapar di atas 

tanah.

Hantu Bulan Emas mendengus marah. Begitu bang-

kit, dia dongakkan kepala. Kedua tangannya diangkat 

hendak lepaskan pukulan. Namun tiba-tiba dia sadar 

kalau tindakannya sangat berbahaya karena jika dia 

lepaskan pukulan ke puncak kuil dan saat bersamaan 

Guru Besar Liang San lepas pukulan ke arahnya, ma-

ka dia tidak akan bisa hindarkan diri.

Hantu Bulan Emas cepat sentakkan kepalanya ke 

arah di mana tadi Guru Besar Liang San berada. Na-

mun mendadak dia pentang mata dengan pelipis ber-

gerak-gerak. Karena ternyata sosok Guru Besar Liang 

San sudah tidak kelihatan lagi!

Hantu Bulan Emas tumpahkan kemarahannya pada 

Bu Beng La Ma. Hingga begitu tidak lagi melihat sosok 

Guru Besar Liang San, dia cepat berteriak.

“Bu Beng La Ma! Turunlah atau nyawamu akan kucabut dan kulempar dari atas sana!”

“Hantu Bulan Emas! Aku hanya ingin kau tidak ter-

libat dalam urusan yang tak berguna! Dan kuharap 

mulai sekarang kau lupakan semua yang pernah terja-

di!”

Hantu Bulan Emas kancingkan mulut tidak menya-

hut. Sebaliknya dia cepat melompat dan tahu-tahu so-

soknya telah tegak di tangga batu pertama. Kepalanya 

tengadah dengan mata terpentang tak berkesip me-

mandang ke arah Kuil Atap Langit. Kedua tangannya

diletakkan di atas pinggang kiri kanan. Saat kemudian 

dia berseru lantang.

“Bu Beng La Ma! Selama kau masih bisa bernapas, 

aku tak akan melupakan peristiwa yang pernah terjadi 

di antara kita! Jadi lupakan harapanmu! Dan sekali la-

gi kuperingatkan kau agar segera turun!”

“Nyawanya bukan saja menjadi bagianmu, tapi aku 

punya bagian juga!” Tiba-tiba terdengar suara menya-

hut.

Hantu Bulan Emas palingkan kepala. Sepasang ma-

ta-nya melihat dua sosok bayangan berkelebat cepat 

ke arahnya. Saat lain sejarak sepuluh langkah di ha-

dapan Hantu Bulan Emas, tegak dua orang dengan 

mata bukannya memandang ke arah Hantu Bulan 

Emas, melainkan ke arah Kuil Atap Langit.

Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki berpa-

kaian hitam panjang sebatas lutut. Rambutnya hitam 

lebat digelung tinggi ke atas. Raut mukanya telah di-

penuhi dengan kerutan tanda laki-laki ini telah berusia 

lanjut. Parasnya agak bulat dengan sepasang mata si-

pit, kumis dan jenggotnya lebat serta hitam. Anehnya, 

bukan hanya rambut, kumis, dan jenggot serta pa-

kaiannya yang hitam, namun sekujur kulit tubuh laki-

laki ini juga berwarna hitam legam! Hingga yang terlihat putih hanyalah larikan kecil pada bagian kedua 

matanya!

Di sebelah laki-laki berwajah hitam, tegak seorang 

perempuan berusia amat lanjut berambut putih. Sepa-

sang matanya sipit tanpa ditingkahi alis mata. Dia juga 

mengenakan pakaian warna hitam panjang. Di pun-

daknya tampak menyelempang sebuah selendang hi-

tam yang menjulai panjang hingga menyapu tanah.

“Bayangan Tanpa Wajah!” desis Hantu Bulan Emas 

dengan mata menyengat tajam pada laki-laki berwajah 

hitam legam. Lalu melirik pada si perempuan beram-

but putih. “Ratu Selendang Asmara! Hem.... Sepertinya 

mereka berdua juga punya urusan dengan Bu Beng La 

Ma.... Tapi ada satu keanehan. Selama ini kuketahui 

antara kedua manusia itu terjadi silang sengketa! Na-

mun kali ini keduanya tampak bersahabat!” Hantu Bu-

lan Emas membatin. Dia menyeringai dengan dada 

mulai dibungkus rasa marah melihat sikap kedua 

orang yang baru muncul, dan bukan lain memang 

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara.

Tanpa buka suara, Hantu Bulan Emas kembali sen-

takkan kepala mendongak ke atas. Lalu perdengarkan 

suara.

“Bayangan Tanpa Wajah! Ratu Selendang Asmara! 

Kalian datang terlambat! Apa pun bagianmu atas nya-

wa Bu Beng La Ma, yang pasti kalian harus menunggu 

sampai urusanku selesai!”

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-

ra saling luruskan kepala lalu saling pandang sesaat. 

Kejap lain keduanya memandang pada sosok Hantu 

Bulan Emas.

“Hantu Bulan Emas! Kita sama punya urusan! Ha-

rap kau tidak memperhitungkan siapa yang datang le-

bih dulu!” Yang angkat suara adalah si nenek Ratu Selendang Asmara.

Hantu Bulan Emas putar diri. Namun sepasang ma-

tanya tidak memandang pada Bayangan Tanpa Wajah 

atau Ratu Selendang Asmara, membuat kedua orang 

ini mulai geram dan sama menyeringai.

“Baiklah...!” Hantu Bulan Emas angkat suara de-

ngan mata memandang pada jurusan lain. “Tapi kata-

kan dahulu apa urusan kalian dengan Bu Beng La 

Ma!”

“Aku menginginkan sesuatu darinya! Tapi kalau dia 

tidak menyerahkan apa yang kuminta, aku tak segan 

untuk membuat bagian hidupnya terhenti hari ini!” 

Bayangan Tanpa Wajah menyahut.

Hantu Bulan Emas kerutkan dahi. Perlahan sepa-

sang matanya mengarah pada Bayangan Tanpa Wajah 

dan Ratu Selendang Asmara. Dia membatin. “Hem.... 

Apakah yang akan mereka minta adalah peta wasiat 

itu?!”

“Mau katakan apa yang hendak kalian minta dari-

nya?!” tanya Hantu Bulan Emas.

Bayangan Tanpa Wajah geleng kepala lalu berkata. 

“Apa yang akan kami minta biarlah menjadi rahasia 

kami berdua!”

“Hem.... Melihat urusan kalian, rasanya urusanku 

lebih penting! Karena urusanku adalah urusan lama 

yang telah hampir berkarat dan tidak akan lenyap se-

belum di antara aku atau Bu Beng La Ma menemui aj-

al!”

Kali ini Ratu Selendang Asmara yang geleng kepala 

mendengar ucapan Hantu Bulan Emas. “Aku tahu... 

urusanmu memang penting dan menyangkut nyawa! 

Tapi kau harus tahu, urusan kami lebih dari itu! Ha-

nya saja kami sudah sepakat untuk tidak mengatakan 

urusan kami pada siapa saja!”


Habis berkata begitu, Ratu Selendang Asmara me-

langkah mendekati tangga. Hantu Bulan Emas me-

mandang gerakan kaki si nenek dengan wajah dingin. 

Begitu empat tindak lagi sampai tangga, Hantu Bulan 

Emas berucap.

“Kau harus langkahi dulu mayatku sebelum te-

ruskan langkah naik!”

Ratu Selendang Asmara hentikan langkah dengan 

tersenyum. “Sebenarnya aku tidak menginginkan uru-

sanku bertambah! Namun jika kau menghendaki, den-

gan senang hati aku akan melayanimu!”

Seperti diketahui, antara Ratu Selendang Asmara 

dan Bayangan Tanpa Wajah memang terjadi silang 

sengketa. Bahkan keluarnya si nenek justru untuk 

menyelesaikan urusan dengan Bayangan Tanpa Wajah. 

Hanya saja, begitu mereka bertemu dan Bayangan 

Tanpa Wajah mengemukakan apa yang saat ini tengah 

dijalani, Ratu Selendang Asmara merasa tertarik. Hing-

ga akhirnya kedua orang ini melupakan apa yang men-

jadi sengketa antara mereka.

Dan seperti dituturkan pula, Bayangan Tanpa Wa-

jah mendapat tugas dari Yang Mulia Baginda Ku Nang 

untuk mencari jejak murid Pendeta Sinting. Begitu 

berjumpa dengan Ratu Selendang Asmara, dia segera 

mengatakan apa maksudnya. Pada akhirnya kedua 

orang ini sepakat. Bahkan mereka sempat pula berte-

mu dengan Pendekar 131 Joko Sableng. Mereka sem-

pat bentrok. Hanya saja begitu hampir dapat melum-

puhkan murid Pendeta Sinting, muncul Bu Beng La 

Ma yang menyelamatkan nyawa murid Pendeta Sin-

ting. Tahu siapa yang menyelamatkan Pendekar 131, 

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara 

segera mengejar dan menuju tempat kediaman Bu 

Beng La Ma. Pada mulanya, Ratu Selendang Asmara


tidak keberatan jika Dewi Bunga Asmara ikut serta ke 

Kuil Atap Langit. Namun di tengah jalan Bayangan 

Tanpa Wajah memberi saran pada Ratu Selendang As-

mara agar Dewi Bunga Asmara tidak usah ikut. Sete-

lah menimbang dan maklum siapa yang hendak diha-

dapi, akhirnya Ratu Selendang Asmara memerintah-

kan pada Dewi Bunga Asmara untuk pulang terlebih 

dahulu. Sebenarnya Dewi Bunga Asmara tidak suka 

dengan perintah gurunya.

Apalagi sejak bertemu dengan Pendekar 131, entah 

karena apa diam-diam dia tertarik. Tapi karena tahu 

bagimana sifat gurunya, akhirnya dengan berat hati 

Dewi Bunga Asmara turuti perintah gurunya untuk 

pulang terlebih dahulu. (Lebih jelasnya pertemuan an-

tara Bayangan Tanpa Wajah dengan Ratu Selendang 

Asmara dan Dewi Bunga Asmara serta pertemuan me-

reka dengan Pendekar 131 Joko Sableng, silakan baca 

serial Joko Sableng dalam episode: “Kuil Atap Langit”)

***

TIGA



DADA Hantu Bulan Emas Laksana terbakar men-

dengar ucapan Ratu Selendang Asmara. Meski tidak 

membuat gerakan, namun diam-diam laki-laki ini ke-

rahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.

Sementara tanpa diketahui oleh Hantu Bulan Emas, 

Bayangan Tanpa Wajah, dan Ratu Selendang Asmara, 

sepasang mata menatap tak berkedip silih berganti pa-

da ketiganya dari balik batangan pohon.

Si pemilik mata dari balik batangan pohon adalah 

seorang laki-laki berkepala gundul mengenakan pakaian panjang warna kuning tanpa leher. Di bagian 

pundaknya melapis kain berwarna merah yang terus 

dililitkan pada pinggangnya. Paras wajahnya agak tirus 

dengan kumis tipis. Jenggotnya jarang tapi menjulai 

panjang. Orang ini tidak lain adalah Guru Besar Liang 

San.

Saat terjadi bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan 

keduanya siap hendak lepaskan pukulan, tiba-tiba da-

ri arah Kuil Atap Langit menderu satu gelombang dah-

syat yang bukan saja mampu menyapu sosok Han-tu 

Bulan Emas dan Guru Besar Liang San hingga ter-

jengkang roboh, namun juga membuat pemandangan 

jadi gelap karena tertutup hamburan tanah yang ter-

kena hantaman gelombang.

Saat pemandangan tertutup, Guru Besar Liang San 

yang memang tidak mengharap terlibat bentrok de-

ngan Hantu Bulan Emas segera berkelebat pergi. Na-

mun sebenarnya dia tidak segera meninggalkan tempat 

itu. Sebaliknya menyelinap diam-diam untuk mengeta-

hui apa yang terjadi antara Hantu Bulan Emas dengan 

Bu Beng La Ma.

Namun begitu muncul Bayangan Tanpa Wajah dan 

Ratu Selendang Asmara serta mendengar percakapan 

ketiganya, dada Guru Besar Liang San jadi berdebar-

debar. Diam-diam dia berkata dalam hati.

“Apa yang hendak diminta Bayangan Tanpa Wajah 

dan nenek itu?! Hem.... Hantu Bulan Emas menduga 

Bu Beng La Ma memegang peta wasiat itu. Lalu apa-

kah yang diminta keduanya juga peta wasiat itu?! Ba-

gaimana hal ini bisa terjadi? Mungkinkah benar Bu 

Beng La Ma memegang separo dari peta wasiat itu?! 

Tapi dari mana?! Menurut Baginda Ku Nang, Yang Kui 

Tan diselamatkan pemuda asing di tengah laut, berarti 

Yang Kui Tan belum sampai bertemu dengan Bu Beng


La Ma. Atau mungkinkah pemuda asing itu yang mem-

berikan peta wasiat pada Bu Beng La Ma...?! Hem.... 

Urusan ini jadi makin rumit! Padahal hari ganda se-

puluh tidak lama lagi...! Apa yang harus kulakukan?!”

Selagi Guru Besar Liang San membatin begitu, tiba-

tiba dari arah depan sana terdengar Hantu Bulan E-

mas angkat suara. Suaranya terdengar bergetar tanda 

orang ini telah dilanda hawa amarah yang meluap.

“Ratu Selendang Asmara! Seperti halnya dirimu, se-

benarnya aku pun tidak ingin menambah urusan. Tapi 

jika kau hendak teruskan niat, aku pun siap melade-

ni!”

Belum sampai Ratu Selendang Asmara sambuti

ucapan Hantu Bulan Emas, dari Kuil Atap Langit, Bu 

Beng La Ma perdengarkan suara.

“Sahabat Ratu Selendang Asmara dan Bayangan 

Tanpa Wajah.... Aku minta maaf kalau tempo hari ter-

paksa ikut campur dalam masalah kalian berdua. Aku 

tahu apa yang membawa kalian jauh-jauh datang ke 

tempatku ini! Pasti kehadiran kalian masih ada hu-

bungannya dengan urusan tempo hari....”

Ratu Selendang Asmara dongakkan kepala. “Bu 

Beng La Ma! Syukur kalau kau telah tahu apa maksud 

kedatangan kami berdua! Kuharap kau juga tahu dan 

sadar apa sebaiknya yang harus kau lakukan!”

“Sahabat berdua! Aku telah lakukan apa yang me-

nurutku terbaik!” Bu Beng La Ma menyahut dari pun-

cak kuil.

“Bagus! Sekarang harap kau serahkan dia padaku! 

Dan urusan di antara kita selesai sampai di sini!” Ratu 

Selendang Asmara berujar.

“Kalian berdua datang terlambat! Dia telah pergi....”

Mendengar ucapan Ratu Selendang Asmara dan Bu 

Beng La Ma, Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang


San yang mendekam sembunyi di balik batangan po-

hon sama kerutkan dahi. Keduanya sama membatin.

“Siapa yang dimaksud mereka?!”

Sementara itu mendengar sambutan Bu Beng La 

Ma, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Bayangan 

Tanpa Wajah.

“Aku tidak percaya dengan ucapannya sebelum aku 

melihat buktinya!” kata Bayangan Tanpa Wajah. “Kita 

harus buktikan dahulu kebenaran ucapannya!”

Seraya berkata, Bayangan Tanpa Wajah melangkah 

dan tegak menjajari Ratu Selendang Asmara. Sementa-

ra Guru Besar Liang San makin pentang mata dengan 

dada makin dilanda berbagai pertanyaan.

“Hantu Bulan Emas!” kata Bayangan Tanpa Wajah. 

“Kami hanya perlu membuktikan kebenaran ucapan 

Bu Beng La Ma! Harap kau tidak menghalangi!”

Hantu Bulan Emas tidak segera menyahut. Dia ter-

diam beberapa lama sebelum akhirnya berkata.

“Kita sama punya urusan. Aku bukannya takut 

menghadapi kalian berdua, tapi aku tawarkan jalan 

terbaik!”

“Maksudmu?!” tanya Ratu Selendang Asmara.

Hantu Bulan Emas dongakkan kepala mengarah 

pada Kuil Atap Langit. “Kita naik bersama-sama!”

Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wa-

jah saling palingkan kepala dan saling pandang untuk 

beberapa saat.

“Kita tidak boleh membuat urusan baru.... Sebaik-

nya kita terima usulnya! Lagi pula untuk sementara ini 

kita harus hindari urusan yang tidak ada hubungan-

nya dengan peta wasiat!” Bayangan Tanpa Wajah ber-

bisik.

Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala meski je-

las wajahnya membayangkan rasa enggan dengan usul


Bayangan Tanpa Wajah.

“Hantu Bulan Emas bukan orang baik-baik! Walau 

kita setuju usulnya, kita harus tetap berhati-hati!” Ra-

tu Selendang Asmara berkata dengan suara ditekan.

“Kalau dia berbuat macam-macam, dia manusia 

yang bernasib jelek!” ujar Bayangan Tanpa Wajah de-

ngan suara pelan pula lalu hadapkan wajah ke arah 

Hantu Bulan Emas dan angkat suara.

“Hantu Bulan Emas! Kita naik bersama-sama!”

Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah me-

langkah ke arah tangga. Ratu Selendang Asmara men-

gikuti dari belakang dengan mata terus melirik mem-

perhatikan gerak-gerik Hantu Bulan Emas.

Hantu Bulan Emas tampaknya dapat menangkap 

pandangan curiga Ratu Selendang Asmara. Dengan se-

ringai dingin dan seraya palingkan kepala ke atas, 

Hantu Bulan Emas bersuara.

“Aku paling tidak suka dengan sikap pura-pura di 

balik ucapan! Kalau kalian tidak setuju dengan usul-

ku, jangan....”

Belum sampai Hantu Bulan Emas teruskan ucapan, 

dari puncak kuil terdengar ucapan.

“Sahabat sekalian! Bukan aku tak suka atas kun-

jungan kalian ke tempatku. Namun sesungguhnya ke-

hadiran kalian tidak akan mendapatkan apa-apa! Se-

baiknya kalian segera tinggalkan tempat ini.... Mung-

kin di luaran sana kalian akan mendapatkan apa yang 

kalian cari!”

Hantu Bulan Emas yang ucapannya dipotong tam-

pak pasang tampang garang. Dia berpaling pada 

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara 

yang sudah berada di dekatnya.

“Jangan pedulikan ucapannya!” kata Bayangan 

Tanpa Wajah lalu melompat dan tahu-tahu telah tegak


di samping Hantu Bulan Emas. Ratu Selendang Asma-

ra tidak tinggal diam. Dia segera pula melesat dan te-

gak di tangga pertama. Namun si nenek tidak Hirau-

kan ucapan Bu Beng La Ma, sebaliknya terus melirik 

curiga pada Hantu Bulan Emas.

Hantu Bulan Emas tidak bisa lagi menahan rasa ge-

ram. Dengan nada dingin dia berkata.

“Ratu Selendang Asmara! Aku telah tawarkan se-

suatu. Kalau kau masih merasa curiga, aku tanya apa 

maumu sebenarnya!”

Bayangan Tanpa Wajah yang tidak menginginkan 

terjadi urusan baru segera menyahut. “Kita telah sama 

sepakat! Hilangkan prasangka dan rasa curigai!”

Hantu Bulan Emas berpaling pada Ratu Selendang 

Asmara. Si nenek juga sentakkan kepala menatap pa-

da Hantu Bulan Emas. Kedua orang ini perang pan-

dang beberapa lama dengan mulut sama terkancing.

Bayangan Tanpa Wajah memandang silih berganti 

pada Hantu Bulan Emas dan Ratu Selendang Asmara. 

Lalu berkata dengan suara agak keras.

“Sebelum kita lanjutkan, aku ingin tanya pada ka-

lian.”

“Tidak ada yang perlu ditanyakan!” Ratu Selendang 

Asmara sudah menyahut dengan mata terus menatap 

pada Hantu Bulan Emas. “Aku tahu siapa orang-orang 

dunia persilatan di negeri ini! Aku tahu pula bagaima-

na tabiat mereka!”

Hantu Bulan Emas mendengus. Dia sudah buka 

mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, dia rasakan 

tangga batu pijakannya bergetar. Dia berpaling ke arah 

Bayangan Tanpa Wajah lalu menghadap lagi pada Ratu 

Selendang Asmara.

Di lain pihak, Ratu Selendang Asmara dan Bayan-

gan Tanpa Wajah tampak sedikit terkejut. Seperti hal


nya Hantu Bulan Emas, si nenek dan laki-laki berwa-

jah hitam legam ini juga merasakan tangga batu di 

mana mereka kini tegak berdiri juga bergetar.

Belum sempat ketiga orang ini lakukan sesuatu dan 

tahu apa yang terjadi, mendadak dari Kuil Atap Langit 

terdengar gemuruh. Hantu Bulan Emas, Bayangan 

Tanpa Wajah, serta Ratu Selendang Asmara sama do-

ngakkan kepala. Namun bersamaan itu dari atas sana 

tampak menebar hamparan kabut hitam. Bukan saja 

menutup tangga batu, melainkan meluncur deras ke 

arah ketiganya!

“Cepat menyingkir!” teriak Hantu Bulan Emas se-

raya melompat. Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Se-

lendang Asmara tertegun sesaat. Namun saat lain ke-

duanya melesat ketika merasakan hawa panas mulai 

menyungkup tempat itu! Padahal kabut hitam masih 

sejarak tujuh tangga di atas sana.

Begitu Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang 

Asmara injakkan kaki di bawah, kabut hitam telah me-

nutup seluruh tangga batu hingga yang terlihat hanya-

lah warna hitam. Sementara udara mendadak berubah 

jadi panas menyengat!

Ratu Selendang Asmara menoleh pada Bayangan 

Tanpa Wajah. “Kita harus menerobos ke atas!”

“Jangan bertindak gegabah! Ini bukan kabut biasa!” 

kata Bayangan Tanpa Wajah.

“Lalu apa yang akan kita lakukan?!”

“Kita tunggu apa yang akan dilakukan Hantu Bulan 

Emas!

Habis menjawab begitu, Bayangan Tanpa Wajah 

berpaling pada Hantu Bulan Emas. Sementara kabut 

hitam terus berputar. Anehnya kabut hitam itu hanya 

menyungkup di sekitar tangga batu yang menuju Kuil 

Atap Langit. Hingga bukan saja membuat tangga batu


itu tidak kelihatan dan tebarkan hawa panas menyen-

gat, namun juga keluarkan suara bergemuruh!

“Hem.... Jurus ‘Sembilan Gerbang Matahari’ tingkat 

empat!” desis Hantu Bulan Emas. Dia cepat melompat 

sejajar di depan kabut hitam yang terus berputar me-

nutup tangga batu. Saat lain kedua tangannya disen-

takkan ke arah kabut hitam.

Wuutt! Wuuttt!

Dari kedua telapak tangan Hantu Bulan Emas me-

nebar sinar berwarna kuning. Kabut hitam tampak 

menyibak laksana membuat jalan setapak. Saat itu ju-

ga samar-samar terlihat tangga batu yang tadi tertutup 

kabut hitam.

Hantu Bulan Emas tidak menunggu lama. Begitu

kabut hitam menyibak, dia segera melesat menerobos 

kabut hitam.

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-

ra pentang mata memandang ke arah sosok Hantu Bu-

lan Emas yang begitu melompat langsung lenyap lak-

sana ditelan kabut hitam.

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba dari arah puncak 

kuil terdengar suitan nyaring. Saat yang sama tampak 

sinar berkilau putih menerobos hamparan kabut hi-

tam.

Hampir bersamaan dengan melesatnya sinar putih, 

dari tengah kabut hitam berkiblat hamparan cahaya 

kuning menyongsong sinar putih.

Blammmm!

Terdengar ledakan keras. Kabut hitam langsung 

buyar porak-poranda. Sinar putih dan cahaya kuning 

bertabur ke udara. Lalu terlihat sosok Hantu Bulan 

Emas terpental dari atas.

Melihat hal demikian, Ratu Selendang Asmara yang 

masih memendam geram pada Hantu Bulan Emas cepat angkat kedua tangannya hendak lepas pukulan ke 

arah Hantu Bulan Emas.

"Jangan membuat masalah!” bentak Bayangan Tan-

pa Wajah seraya melompat dan memegang kedua len-

gan Ratu Selendang Asmara.

Si nenek mendengus tidak senang. Namun dia u-

rungkan niat. Sementara Hantu Bulan Emas terus me-

luncur deras ke bawah sebelum akhirnya jatuh terka-

par di atas tanah!

Meski merasakan sekujur tubuhnya laksana remuk, 

namun karena merasa malu pada Bayangan Tanpa 

Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Hantu Bulan E-

mas cepat bergerak bangkit. Saat lain dia sudah me-

lesat dan menerobos kembali ke hamparan kabut hi-

tam!

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-

ra hanya memandang tanpa ada yang buka suara. Se-

mentara Hantu Bulan Emas terus berkelebat menaiki 

tangga dengan kerahkan hampir segenap tenaga da-

lamnya. Namun kali ini Hantu Bulan Emas sedikit me-

rasa lega, karena hingga hampir mencapai puncak 

kuil, dia tidak merasakan atau melihat gerakan men-

curigakan dari Kuil Atap Langit. Tapi Hantu Bulan 

Emas tak mau bertindak ayal. Dia tetap waspada, ma-

lah begitu sepasang kakinya menginjak bagian depan 

Kuil Atap Langit, laki-laki ini segera angkat kedua tan-

gannya. Sepasang matanya dipentang memandang 

berkeliling.

Mungkin karena pandangannya masih tertutup ka-

but hitam, dan khawatir orang akan lakukan pukulan 

tanpa dapat disiasati, Hantu Bulan Emas sentakkan 

tangan kirinya.

Wutttt!

Satu gelombang cahaya kuning berkiblat. Hampa


ran kabut hitam langsung semburat amblas. Saat ber-

samaan suasana berubah terang benderang!

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-

ra dongakkan kepala. Mereka dapat melihat sosok 

Hantu Bulan Emas yang tegak dengan kedua tangan 

diangkat.

“Kita harus segera naik!” kata Bayangan Tanpa Wa-

jah.

Tanpa menunggu sahutan Ratu Selendang Asmara, 

Bayangan Tanpa Wajah segera melesat menaiki tangga 

batu yang kini telah terlihat lagi. Ratu Selendang As-

mara cepat pula mengikuti dari belakang. Di lain pi-

hak, begitu keadaan terang benderang, Hantu Bulan 


Emas cepat angkat kedua tangannya hendak lepas pukulan ke 

arah Hantu Bulan Emas.

"Jangan membuat masalah!” bentak Bayangan Tan-

pa Wajah seraya melompat dan memegang kedua len-

gan Ratu Selendang Asmara.

Si nenek mendengus tidak senang. Namun dia u-

rungkan niat. Sementara Hantu Bulan Emas terus me-

luncur deras ke bawah sebelum akhirnya jatuh terka-

par di atas tanah!

Meski merasakan sekujur tubuhnya laksana remuk, 

namun karena merasa malu pada Bayangan Tanpa 

Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Hantu Bulan E-

mas cepat bergerak bangkit. Saat lain dia sudah me-

lesat dan menerobos kembali ke hamparan kabut hi-

tam!

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-

ra hanya memandang tanpa ada yang buka suara. Se-

mentara Hantu Bulan Emas terus berkelebat menaiki 

tangga dengan kerahkan hampir segenap tenaga da-

lamnya. Namun kali ini Hantu Bulan Emas sedikit me-

rasa lega, karena hingga hampir mencapai puncak 

kuil, dia tidak merasakan atau melihat gerakan men-

curigakan dari Kuil Atap Langit. Tapi Hantu Bulan 

Emas tak mau bertindak ayal. Dia tetap waspada, ma-

lah begitu sepasang kakinya menginjak bagian depan 

Kuil Atap Langit, laki-laki ini segera angkat kedua tan-

gannya. Sepasang matanya dipentang memandang 

berkeliling.

Mungkin karena pandangannya masih tertutup ka-

but hitam, dan khawatir orang akan lakukan pukulan 

tanpa dapat disiasati, Hantu Bulan Emas sentakkan 

tangan kirinya.

Wutttt!

Satu gelombang cahaya kuning berkiblat. Hampa


ran kabut hitam langsung semburat amblas. Saat ber-

samaan suasana berubah terang benderang!

Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-

ra dongakkan kepala. Mereka dapat melihat sosok 

Hantu Bulan Emas yang tegak dengan kedua tangan 

diangkat.

“Kita harus segera naik!” kata Bayangan Tanpa Wa-

jah.

Tanpa menunggu sahutan Ratu Selendang Asmara, 

Bayangan Tanpa Wajah segera melesat menaiki tangga 

batu yang kini telah terlihat lagi. Ratu Selendang As-

mara cepat pula mengikuti dari belakang. Di lain pi-

hak, begitu keadaan terang benderang, Hantu Bulan 

Emas cepat melompat dan tegak di ambang pintu yang 

terbuka di Kuil Atap Langit.

Namun hingga agak lama edarkan pandangan ke 

dalam kuil, Hantu Bulan Emas tidak melihat siapa-

siapa!

“Keparat! Ke mana jahanam itu?!” desis Hantu Bu-

lan Emas. Dia sudah buka mulut hendak berteriak, 

namun sebelum suaranya terdengar, satu suara men-

dahului.

“Ke mana dia?!”

Hantu Bulan Emas berpaling. Bayangan Tanpa Wa-

jah dan Ratu Selendang Asmara telah tegak di sam-

pingnya.

“Dengan melihat keadaan, seharusnya kalian tidak 

ajukan tanya!” sahut Hantu Bulan Emas lalu sentak-

kan kepala memandang ke dalam kuil.

Jawaban Hantu Bulan Emas serta sepintas melihat 

suasana, tampaknya Bayangan Tanpa Wajah sudah 

bisa membaca situasi. Tanpa buka suara, Bayangan 

Tanpa Wajah melompat ke dalam kuil. Kepalanya ber-

putar dengan mata memperhatikan sekeliling. Semen


tara Ratu Selendang Asmara tetap tegak di samping 

Hantu Bulan Emas dengan mata sesekali melirik ke 

arah Hantu Bulan Emas.

“Dia telah meninggalkan tempat ini!” gumam 

Bayangan Tanpa Wajah. Dia arahkan pandang ma-

tanya sesaat pada Hantu Bulan Emas, saat lain, masih 

tanpa perdengarkan suara, dia berkelebat keluar dari 

kuil.

“Kita harus segera tinggalkan tempat ini!” bisik 

Bayangan Tanpa Wajah begitu tegak kembali di samp-

ing Rata Selendang Asmara.

Tanpa menunggu lama, Bayangan Tanpa Wajah se-

gera melesat menuruni tangga batu. Ratu Selendang 

Asmara memandang sesaat ke dalam kuil sebelum ak-

hirnya menumbuk pada sosok Hantu Bulan Emas.

Saat yang sama Hantu Bulan Emas berpaling me-

mandang ke arah si nenek. Unjuk kesekian kalinya 

kedua orang ini saling perang pandang.

Kalau perturutkan hati, rasanya ingin si nenek 

langsung lepaskan pukulan ke arah Hantu Bulan 

Emas apalagi dia tahu benar jika Hantu Bulan Emas 

dalam keadaan terluka dalam. Namun ingat akan uca-

pan Bayangan Tanpa Wajah dan urusan yang tengah 

dihadapi, Ratu Selendang Asmara cepat balikkan tu-

buh lalu berkelebat menuruni tangga batu.

Kepergian Ratu Selendang Asmara membuat Hantu 

Bulan Emas sedikit merasa lega. Sesaat tadi dia kha-

watir. Dia sadar, jika terjadi bentrok dengan si nenek, 

tak urung dia akan kewalahan karena dia memang te-

lah terluka dalam. Bukan saja karena mental dari ten-

gah tangga batu, namun juga karena bentrok dengan 

Guru Besar Liang San.

Begitu Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang 

Asmara lenyap di bawah sana, Hantu Bulan Emas cepat melangkah memasuki Kuil Atap Langit. Seolah ma-

sih tidak percaya, Hantu Bulan Emas mengitari bagian 

dalam kuil dengan sikap waspada. Namun begitu mak-

lum kalau kuil itu kosong, Hantu Bulan Emas hen-

takkan kaki seraya berteriak.

“Bu Beng La Ma! Di bawah langit sudah tidak ada 

lagi tempat bagimu! Sia-sia kau lari dari tanganku!” 

Hantu Bulan Emas hentakkan kaki sekali lagi, lalu 

melesat keluar dan menuruni tangga batu dengan 

tampang beringas!

***

EMPAT



PENDEKAR 131 Joko Sableng terus berlari laksana 

dikejar setan. Bahkan mungkin karena khawatir diiku-

ti orang, sesekali dia palingkan kepala ke belakang. Se-

telah merasa yakin tidak ada orang yang mengikuti, 

barulah murid Pendeta Sinting memperlambat larinya.

“Mungkin aku tidak bisa bertemu lagi dengan Mei 

Hua.... Hem.... Apa aku harus langsung menyelidik ke 

Perguruan Shaolin?! Hari ganda sepuluh sudah tidak 

lama lagi! Aku tak punya waktu banyak....”

Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu, 

mendadak ekor matanya menangkap kelebatan satu 

sosok bayangan. Joko cepat menyelinap. Namun be-

lum sampai bergerak lebih jauh, di depan sana sejarak 

lima belas langkah, telah tegak menghadang seorang 

gadis muda!

Pendekar 131 hentikan larinya dengan mata dibe-

liakkan memandang pada orang. Dia adalah seorang 

gadis berwajah jelita mengenakan pakaian merah.


Rambutnya panjang digeraikan menutup sebagian 

pundak kanan kirinya. Matanya bulat dengan hidung 

mancung dan bibir merah ranum.

“Hem.... Gadis-gadis di negeri ini ternyata cantik-

cantik juga! Sayang sekali aku tengah menjalankan se-

suatu yang sangat penting...,” kata Joko dalam hati. 

Dia tersenyum dengan anggukkan kepala. Namun dia 

merasa heran, gadis berpakaian merah di seberang te-

tap diam tidak membuat gerakan atau berusaha buka 

mulut, membuat Joko pentang mata sekali lagi untuk 

memperhatikan hingga untuk beberapa saat lama-nya 

kedua orang ini baling tatap dengan tegak tak bergerak 

dan tak bersuara.

Tampaknya murid Pendeta Sinting tak betah ber-

diam diri dan hanya saling pandang. Akhirnya dia ang-

kat suara.

“Gadis cantik....” Hanya sampai di situ Joko ber-

ucap. Karena si gadis berpakaian merah telah bersua-

ra.

“Orang, tak dikenal! Benar kau adalah pemuda a-

sing yang....”

Karena tadi ucapannya dipotong oleh si gadis, kini 

sebelum si gadis sempat lanjutkan ucapan, murid Pen-

deta Sinting ganti menukas.

“Kau mungkin salah lihat! Aku bukan pemuda as-

ing.... Aku orang negeri ini seperti halnya dirimu! Dan 

aku tidak heran dengan tuduhanmu, karena hal itu 

sudah sering terjadi! Aku sendiri heran, banyak orang 

yang pertama kali jumpa denganku mengatakan aku 

adalah orang asing!”

Si gadis melangkah maju. Sepasang matanya yang 

bulat dijerengkan memperhatikan dengan seksama so-

sok murid Pendeta Sinting dari atas hingga bawah.

Melihat sikap si gadis, Pendekar 131 tidak tinggal


diam. Dia ikut-ikutan melangkah maju dengan mata 

dipentang besar-besar memperhatikan orang. Dan se-

belum si gadis sempat angkat suara, Joko telah men-

dahului.

“Aku harus teruskan perjalanan. Harap kau tidak 

menghadangi”

Si gadis hentikan langkah. Kepalanya bergerak 

menggeleng. Joko ikut hentikan langkah lalu kepala-

nya bergerak mengangguk. Bibirnya tersenyum.

“Aku tidak akan menghadang jalanmu! Tapi kau 

harus berterus terang!”

“Hem.... Aku telah berterus terang padamu bahkan 

sebelum kau bertanya lebih jauh!” sahut murid Pen-

deta Sinting.

Si gadis tersenyum dingin. Dia alihkan pandang ma-

tanya ke jurusan lain seraya berkata. “Jangan kau sa-

lah duga kalau aku bertanya tentang siapa dirimu!”

“Hem.... Aku tidak berburuk sangka. “Hanya aku 

merasa heran jika ada orang yang mengatakan aku 

adalah orang asing! Coba katakan apa yang mem-

buatmu mengatakan aku orang asing?!”

Kepala si gadis kembali berpaling dan matanya me-

mandang tajam pada murid Pendeta Sinting. “Aku tak 

bisa mengatakan. Tapi aku hampir merasa yakin kau 

bukan orang negeri ini!”

Karena tak mau membuang waktu dan lebih lagi tak 

mau dirinya diketahui, Pendekar 131 segera angkat 

suara seraya melangkah.

“Gadis cantik.... Harap katakan saja apa maumu 

sebenarnya!”

“Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya!”

“Maksudmu...?”

Si gadis terlihat sunggingkan senyum. “Kau telah 

dengar. Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya!”


“Tentu kau punya maksud dengan keinginanmu 

itu!”

“Aku tak punya maksud apa-apa! Aku hanya seka-

dar ingin tahu!”

“Baik! Aku akan katakan apa keinginanmu. Tapi 

sebelumnya kau harus katakan siapa dirimu sebenar-

nya!”

“Aku Siao Ling Ling....”

“Aku.... Kue Tong-Tong....”

Baru saja Joko sebutkan diri dengan Kue Tong-

Tong, mendadak satu bayangan berkelebat. Gadis ber-

baju merah yang memperkenalkan diri bernama Siao 

Ling Ling palingkan kepala. Raut wajahnya seketika 

berubah. Sepasang matanya membelalak besar.

Pendekar 131 menoleh. “Mei Hua...,” desisnya keti-

ka matanya melihat seorang gadis berparas cantik je-

lita tegak tidak jauh di seberang samping sana. Dia 

adalah seorang gadis muda mengenakan pakaian war-

na merah muda dengan rambut diberi pita. Gadis ini 

bukan lain memang Mei Hua. (Tentang pertemuan an-

tara murid Pendeta Sinting dengan Mei Hua silakan 

baca serial Joko Sableng dalam episode : “Wasiat 

Agung Dari Tibet”).

Seperti halnya Siao Ling Ling, Mei Hua juga terlihat 

kaget demi melihat Siao Ling Ling. Sepasang matanya 

menatap tajam untuk beberapa saat dengan mulut 

terkancing rapat.

“Hem.... Dari gelagatnya, mereka berdua telah sa-

ling kenal. Hanya saja, mengapa mereka tampak terke-

jut?!” Joko membatin. Lalu buka suara.

“Mei Hua.... Aku senang bisa bertemu denganmu. 

Dengan begitu apa yang menjadi ganjalan hati gadis 

itu bisa lenyap!”

Mei Hua berpaling pada murid Pendeta Sinting. Namun gadis ini belum juga buka suara menyahut. Bah-

kan dia hanya memandang sesaat pada Joko. Di lain 

saat dia telah memandang kembali pada Siao Ling 

Ling.

“Hem.... Pemuda ini telah mengenal Mei Hua! Jadi 

apa benar bukan pemuda ini yang selama ini dikata-

kan orang asing dan tengah dicari beberapa orang?! 

Hanya saja, mengapa Mei Hua tiba-tiba muncul di si-

ni?!” Siao Ling Ling berkata dalam hati. “Aku harus se-

gera pergi.... Aku tak mau orang lain tahu apa yang 

tengah kulakukan!”

Membatin begitu, tanpa buka suara lagi Siao Ling 

Ling berkelebat. Namun bersamaan dengan itu Mei 

Hua melesat dan memotong gerakan Siao Ling Ling se-

raya berujar.

“Harap tidak segera pergi! Kita perlu bicara!”

Siao Ling Ling urungkan niat teruskan kelebatan. 

Dia berpaling sesaat pada Pendekar 131 sebelum arah-

kan pandang matanya pada Mei Hua dan berucap.

“Aku akan turuti keinginanmu. Tapi bukan di sini!”

“Hem...!” Mei Hua mendehem seraya anggukkan ke-

pala dengan mata melirik pada murid Pendeta Sinting. 

Diam-diam gadis cantik berpakaian merah muda itu 

membatin. “Aku belum tahu apa maksud tujuannya 

sampai dia ikut campur tangan dalam urusan ini. Se-

lama ini belum pernah kulihat dan kudengar dia turun 

tangan dalam urusan persilatan! Mungkinkah ini ma-

sih ada hubungannya dengan peta itu...?”

“Aku tak punya banyak waktu! Kalau kau ingin bi-

cara, ikuti aku!” kata Siao Ling Ling. Dia menatap se-

jenak pada murid Pendeta Sinting. Saat lain dia berke-

lebat tinggalkan tempat itu.

Mei Hua tegak memperhatikan sesaat. Tanpa buka 

suara dan memandang pada Pendekar 131, dia berke


lebat mengikuti Siao Ling Ling.

“Ada yang tak beres dengan mereka berdua! Sikap 

kedua gadis ini mencurigakan!” kata Joko dalam hati 

sembari melompat dan tegak menghadang gerakan Mei 

Hua.

“Kita juga perlu bicara!” kata Joko.

Mei Hua hentikan gerakan. Dia masih memandang 

pada kelebatan sosok Siao Ling Ling saat buka mulut.

“Katakan apa yang akan kau bicarakan!”

“Siapa gadis tadi?!” tanya Joko.

Raut wajah Mei Hua sedikit berubah. “Kau tertarik 

padanya?!”

Joko tersenyum seraya gelengkan kepala. “Dia me-

mang cantik. Tapi kau lebih menarik....”

Air muka gadis di hadapan murid Pendeta Sinting 

tampak bersemu merah. Dia cepat sentakkan kepala 

sembunyikan perubahan wajahnya seraya berkata 

dengan suara pelan. “Kau telah dengar jika aku akan 

bicara dengan gadis tadi! Jadi harap segera katakan 

apa maumu!”

“Aku ingin tahu siapa sebenarnya gadis tadi!”

“Mengapa kau ingin tahu?!”

“Sebagai orang baru di negeri ini, sudah selayaknya 

aku ingin tahu....”

“Dia sahabatku.... Dan tentu kau masih ingat nama 

yang disebutkan!”

Joko anggukkan kepala. “Boleh aku tahu, apa yang 

akan kalian bicarakan?”

“Ini urusan sahabat dan perempuan! Harap kau ti-

dak tertarik dengan apa yang akan kubicarakan de-

ngannya karena kau sendiri punya tugas yang harus 

segera kau selesaikan!”

“Hem.... Gadis ini tampaknya telah tahu banyak 

tentang diriku! Tapi aku harus tetap hati-hati. Dia


memang telah memberi peringatan tempo hari hingga 

aku bisa menyelinap ke shaolin. Tapi bukan berarti 

aku boleh mempercayainya! Siapa tahu ini adalah se-

buah jebakan!”

“Masih ada yang ingin kau katakan?!” tanya Mei 

Hua seraya berpaling ke arah mana tadi Siao Ling Ling

berkelebat.

Karena Pendekar 131 tidak segera menjawab, Mei 

Hua menoleh dan berkata,

“Kau harus tetap waspada dan lebih berhati-hati! 

Kejadian di Kuil Shaolin telah menyulut rasa saling cu-

riga antara kaum persilatan di negeri ini. Hal ini tentu 

akan membuat pekerjaanmu tambah berati Seka-rang 

aku harus pergi!”

Belum sampai Joko sempat menyahut, Mei Hua su-

dah berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Kalau saja tidak tengah menghadapi urusan pen-

ting, aku ingin tahu apa yang akan mereka bicarakan! 

Urusan perempuan tentu sangat menarik.... Sebagai 

gadis muda dan berparas cantik, yang akan mereka bi-

carakan tentu masalah laki-laki!” gumam Joko sambil 

arahkan pandang matanya pada sosok Mei Hua Hingga 

lenyap di depan sana.

“Aku harus segera ke Kuil Shaolin. Dugaan Bu Beng 

La Ma dan Tiyang Pengembara Agung jika ada orang 

dalam yang terlibat saat terjadinya pertumpahan darah 

di kuil itu serta lenyapnya kotak wasiat yang berisi se-

paro dari peta wasiat kurasa ada benarnya dan perlu 

diselidiki! Sayang.... Aku belum pernah melihat tam-

pang Guru Besar Liang San. Tapi itu bukanlah hal 

yang sulit!”

Murid Pendeta Sinting memastikan sesaat kepergian 

Mei Hua dengan tegak agak lama seraya terus putar 

pandangan dan pasang telinga. Begitu yakin dia sendirian, dia segera berkelebat.

***

LIMA



KITA tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang 

teruskan perjalanan menuju Kuil Shaolin. Kita kembali 

sejenak ke tempat kediaman Bu Beng La Ma di Kuil 

Atap Langit.

Seperti dituturkan, Guru Besar Liang San berhasil 

berkelebat pergi hindarkan diri dari terlibat bentrok le-

bih lama dengan Hantu Bulan Emas. Namun sebe-

narnya Guru Besar Liang San tidak begitu saja me-

ninggalkan tempat itu. Secara diam-diam dia menyeli-

nap dan mendekam sembunyi untuk mengetahui apa 

yang akan diperbuat Hantu Bulan Emas terhadap Bu 

Beng La Ma. Saat itulah mendadak muncul Ratu Se-

lendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah. Kedua 

orang ini sengaja mencari Bu Beng La Ma karena me-

reka yakin orang yang menyelamatkan Pendekar 131 

adalah Bu Beng La Ma.

Antara Hantu Bulan Emas dengan Ratu Selendang 

Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah sempat terjadi 

adu mulut. Malah kalau saja Bayangan Tanpa Wajah 

tidak segera menengahi, niscaya akan terjadi bentrok 

antara Ratu Selendang Asmara dengan Hantu Bulan 

Emas. Hingga pada akhirnya terjadi kesepakatan dan 

mereka bertiga naik ke Kuil Atap Langit bersama-sa-

ma. Namun mereka bertiga tidak lagi menemukan Bu 

Beng La Ma.

Saat Bayangan Tanpa Wajah melesat turun dari 

Kuil Atap Langit dan kemudian disusul oleh Ratu Selendang Asmara, Guru Besar Liang San yang terus 

mem-perhatikan dari tempat persembunyiannya tam-

paknya sudah dapat membaca keadaan. Tanpa pikir 

panjang lagi Guru Besar Liang San berkelebat pergi.

Berlari kira-kira seratus tombak, Guru Besar Liang 

San berhenti lalu melompat menyelinap. Dia duduk 

bersandar pada satu batangan pohon tidak begitu be-

sar yang di sekitarnya diranggasi semak belukar lebat 

hingga sosoknya tidak kelihatan.

“Urusan peta wasiat ini nyatanya tidak semudah 

yang kuduga! Urusan di dalam Perguruan Shaolin me-

mang telah tuntas. Namun urusan separo dari peta 

wasiat itu memerlukan waktu agak lama.... Apa yang 

harus kulakukan sekarang?! Ratu Selendang Asmara, 

Bayangan Tanpa Wajah, Hantu Bulan Emas, tampak-

nya sudah bergerak untuk menjajaki meski mereka ti-

dak secara jelas mengatakannya! Bu Beng La Ma sen-

diri rupanya ikut terlibat dalam urusan ini! Sementara 

aku datang terlambat.... Pemuda asing itu telah pergi! 

Hem.... Apakah pemuda asing itu tahu masalah hari 

ganda sepuluh?! Jika dia tahu, tentu dia akan menuju 

Kuil Shaolin! Tapi kalau dia tidak tahu.... Maka urusan 

ini akan berantakan!”

Guru Besar Liang San terdiam beberapa lama. Ke-

palanya disandarkan pada batangan pohon. Saat lain 

kembali dia bergumam sendiri. “Hari ganda sepuluh 

sudah tinggal tiga hari di muka. Tiga hari bukan waktu 

yang cukup untuk mengejar pemuda asing itu! Hem.... 

Terpaksa aku akan menunggunya di Perguruan Shao-

lin. Kalau dia tidak muncul dalam dua hari di depan, 

aku akan mengambil kotak wasiat! Meski rencana be-

sar ini gagal, tapi setidaknya aku telah memperoleh 

separo dari peta wasiat itu. Dan siapa tahu, kelak ke-

mudian hari aku mendapatkan pemuda asing itu. Jika


peta wasiat utuh telah berada di tanganku, aku akan 

berusaha menguak dengan caraku sendiri mesti tidak 

tepat pada hari ganda sepuluh bulan dan tahun ini! 

Aku yakin bisa melakukannya walau aku harus minta 

bantuan beberapa orang! Tapi....”

Guru Besar Liang San putus gumamannya. Kepa-

lanya ditarik lalu disentakkan ke samping dengan ma-

ta dipentang besar. “Aku tidak sendirian di tempat ini! 

Mungkinkah dia Hantu Bulan Emas? Atau Ratu Se-

lendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah? Atau 

jangan-jangan dia adalah Bu Beng La Ma...!”

Paras wajah Guru Besar Liang San berubah tegang. 

Namun diam-diam dia cepat kerahkan tenaga dalam 

pada kedua tangannya. Kejap lain dia bergerak bangkit 

dengan mata diarahkan pada satu jurusan.

Guru Besar Liang San tampak terkesiap dan makin 

tegang tatkala begitu agak lama menyiasati keadaan 

ternyata dia tidak menemukan siapa-siapa! Padahal 

dia yakin dia tidak tengah sendirian di tempat itu.

“Gerakan semak tanpa adanya angin yang berhem-

bus satu bukti ada tenaga lain yang menggerakkan! 

Tapi aku tidak bisa melihat sosok orang yang mengge-

rakkan! Ini satu bukti pula jika orang di balik semua 

ini bukan orang sembarangan!” kata Guru Besar Liang 

San dalam hati. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. 

Kepalanya diputar berkeliling dengan mata makin dije-

rangkan. Namun sejauh ini dia belum juga berhasil 

menemukan siapa-siapa.

“Amitaba.... Mudah-mudahan aku tidak salah pan-

dang! Dan mudah-mudahan pula kehadiranku tidak 

membuat orang terkejut....”

Mendadak satu suara terdengar. Saat yang sama 

satu bayangan berkelebat dari samping kiri. Semak be-

lukar bergerak menyibak. Tahu-tahu sejarak sepuluh


langkah di hadapan Guru Besar Liang San telah mun-

cul satu sosok tubuh!

Guru Besar Liang San berpaling. Karena dari suara 

orang dia sudah tahu kalau yang muncul bukan salah 

satu dari orang yang dicurigainya, Guru Besar Liang 

San menarik napas lega meski dia belum bisa sembu-

nyikan rasa kejutnya.

Dari tempatnya tegak, Guru Besar Liang San me-

lihat satu sosok berpakaian compang-camping. Dia 

adalah seorang laki-laki yang wajahnya tidak kelihatan 

karena tertutup oleh sebuah benda bulat besar yang 

berada tepat di depan wajahnya. Benda bulat itu di-

gantungkan pada sebuah tambang mirip cemeti dan 

pangkal tambang itu berada di bagian punggung o-

rang. Anehnya, meski hanya merupakan sebuah tam-

bang, namun tambang itu lurus tegak di atas pung-

gung orang lalu begitu tepat di bagian atas kepala, 

tambang itu melengkung hingga benda bulat yang be-

rada di ujung tambang tepat menutupi wajah orang!

Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San mem-

perhatikan orang di hadapannya dengan mulut ter-

kancing. Namun diam-diam dia membatin.

“Selama bergulat di arena rimba persilatan, baru 

kali ini aku melihat orang seperti dia! Aku juga belum 

pernah-dengar ciri-ciri kaum persilatan yang bentuk-

nya seperti manusia ini! Tapi dari nada suaranya, se-

pertinya dia telah mengenaliku....”

Baru saja Guru Besar Liang San membatin, sosok 

laki-laki di hadapannya membuat gerakan. Kedua ka-

kinya dipentangkan melebar. Sementara tangan ka-

nannya diputar ke belakang.

Guru Besar Liang San kerutkan dahi dan memper-

hatikan lebih seksama. Guru Besar Liang San terde-

ngar bergumam tak jelas kala sepasang matanya melihat satu bumbung agak besar perlahan-lahan turun 

dari bagian belakang tubuh orang. Bumbung dari 

bambu berwarna kuning itu diberi tali di bagian kanan 

kirinya. Bumbung bambu itu berhenti tepat di bawah 

selangkangan orang.

Begitu gerakan bumbung terhenti, sosok di hada-

pan Guru Besar Liang San tarik pulang tangan kanan-

nya ke depan lalu ditakupkan ke tangan kiri yang be-

rada di depan dada. Saat lain terdengar dia berucap.

“Amitaba.... Mudah-mudahan pertemuan ini mem-

bawa berkah.... Mudah-mudahan pula kau tidak terke-

jut kalau aku mengenalimu meski kita sama yakin jika 

antara kita belum pernah bertemu apalagi berkenalan! 

Semua ini karena kau adalah orang yang sudah di-

kenal banyak kalangan sebagai salah satu guru besar 

di Perguruan Shaolin!”

Guru Besar Liang San angkat kedua tangannya di-

takupkan di depan dada. Sedari tadi dia coba gerakkan 

kepala untuk melihat wajah orang. Namun begitu ke-

palanya bergerak, sosok laki-laki di hadapannya se-

akan tahu. Dia juga bergerak mengikuti gerakan ke-

pala Guru Besar Liang San hingga Guru Besar Liang 

San gagal melihat wajah orang.

“Amitaba....” Guru Besar Liang San akhirnya buka 

suara. “Terima kasih kau telah mengenaliku. Namun 

rasanya aku sulit untuk menentukan siapa dirimu!

Harap kau bersedia mengatakan siapa kau sebenar-

nya!”

Wuuttt!

Kepala laki-laki di hadapan Guru Besar Liang San 

bergerak ke belakang. Satu sinar putih berkiblat. Ben-

da bulat yang berada di ujung tambang dan tadi menu-

tup wajah orang bergerak ke atas. Kini tambang itu lu-

rus ke atas!


Guru Besar Liang San sempat terkesiap. Namun ka-

rena menangkap jika gerakan orang tidak untuk lepas-

kan pukulan meski sesaat tadi berkiblat sinar putih, 

Guru Besar Liang San tidak berusaha membuat gera-

kan walau diam-diam dia terus waspada. Dia hanya 

gerakkan kepala mengikuti gerakan benda bulat yang 

berada di ujung tambang. Benda bulat itu ternyata 

adalah sebuah batu berwarna putih mengkilat dan 

tampak berputar-putar di atas kepala orang. Putaran 

batu itu membersitkan sinar putih berkilau.

Guru Besar Liang San luruskan kepala memandang 

pada wajah orang. Ternyata dia adalah seorang laki-

laki berusia lanjut. Kepalanya ditumbuhi rambut putih 

yang dikelabang kecil-kecil hingga menyerupai gerom-

bolan ulat. Sepasang matanya bulat besar dan menjo-

rok keluar seakan hendak meloncat keluar dari rong-

ganya. Kumisnya lebat dan telah memutih. Begitu le-

batnya kumis si kakek, Guru Besar Liang San tidak bi-

sa melihat bentuk mulut orang!

Belum sampai Guru Besar Liang San buka mulut 

lagi untuk bertanya karena orang di hadapannya be-

lum menjawab, mendadak si kakek gerakkan kembali 

kepalanya. Tambang yang tegak lurus dari punggung 

orang ini melengkung, saat lain batu putih yang ada di 

ujung tambang telah menutup kembali wajahnya. Saat 

yang sama tangan kanan si kakek bergerak ke bela-

kang. Bumbung bambu yang berada di bawah selang-

kangannya perlahan-lahan naik ke atas lalu lenyap ke 

balik punggungnya.

“Amitaba...,” kata si kakek seraya tarik kembali tan-

gannya dan ditakupkan di depan dada. “Bukan aku 

tak mau sebutkan diri. Tapi apalah artinya diriku.... 

Mudah-mudahan kau tidak kecewa!”

Meski hatinya tidak enak dengan sambutan orang,


namun Guru Besar Liang San coba tersenyum dan 

berkata. “Aku tidak memaksa kalau kau keberatan un-

tuk sebutkan diri. Namun harap kau sudi menjelaskan 

berkah apa yang tadi kau katakan atas pertemuan kita 

ini!”

“Amitaba.... Sebenarnya aku sungkan mengatakan-

nya. Tapi demi keselamatan dan kedamaian, mudah-

mudahan kau dapat memahaminya meski diperlukan 

pengertian besar!”

Dada Guru Besar Liang San berdebar. “Aneh.... Dia 

tidak hanya mengenaliku. Tapi sepertinya tahu urusan 

yang tengah kuhadapi!”

“Guru Besar Liang San.... Tidak semua kejadian a-

kan berjalan sesuai rencana.... Karena di atas rencana 

masih ada yang menentukan. Hanya itu yang bisa ku-

katakan padamu....”

Paras wajah Guru Besar Liang San berubah. Sesaat 

dia rasakan aliran darahnya laksana sirna. Namun dia 

tak hendak tunjukkan sikap kalau ucapan orang tepat 

dengan apa yang tengah dihadapi. Dia cepat sambuti 

ucapan orang.

“Aku tidak mengerti apa maksud kata-katamu! Ha-

rap kau mau menjelaskan!”

Kakek di hadapan Guru Besar Liang San perde-

ngarkan suara tawa panjang sebelum akhirnya sambu-

ngi dengan ucapan. “Rasanya sulit bagiku turuti per-

mintaanmu.... Lagi pula ucapanku tidak perlu penjela-

san lagi! Mudah-mudahan kau tidak kecewa....”

Guru Besar Liang San tegak dengan tubuh sedikit 

berguncang. “Keparat benar! Apa dia benar-benar tahu 

rencanaku selama ini?! Tapi dari mana dia bisa tahu..? 

Rencana ini hanya aku dan Baginda Ku Nang yang ta-

hu. Apakah Baginda Ku Nang yang mengatakannya?! 

Tapi kalau benar, mengapa dia memberi peringatan


padaku?! Ada yang tak beres dengan semua ini! Aku 

harus tahu semuanya....”

Membatin begitu, akhirnya Guru Besar Liang San 

angkat suara. “Kau tampaknya kenal akrab dengan 

penguasa negeri ini. Betul?!”

“Amitaba...,” kata kakek di hadapan Guru Besar 

Liang San seraya gelengkan kepala. Batu Bulat di de-

pan wajahnya ikut bergoyang-goyang mengikuti gera-

kan kepala si kakek hingga Guru Besar Liang San ti-

dak bisa melihat mimik wajah orang. “Pada dirimu saja 

aku sungkan mengatakan siapa diriku, bagaimana 

mungkin aku bisa kau katakan kenal akrab dengan 

penguasa negeri ini?!. Mudah-mudahan telingaku yang 

salah dengar dan kau salah ucap....”

“Kau tidak salah dengar dan aku tidak keliru berka-

ta. Mungkin kau yang coba menutup diri!”

“Amitaba...! Harap kau tidak berburuk sangka de-

ngan sikapku. Aku memang selalu menutup mukaku 

dengan batu putih ini. Tapi bukan berarti aku suka 

menutupi diri! Apa yang kuucapkan hanyalah demi ke-

damaian dan keselamatan....”

“Hem.... Begitu?! Lalu dari mana kau tahu kalau 

aku punya rencana?!” tanya Guru Besar Liang San de-

ngan suara agak tinggi.

Si kakek terdiam beberapa lama. Sementara Guru 

Besar Liang San melangkah maju dua tindak. Sepa-

sang matanya menebar berkeliling. Meski dia merasa 

yakin si kakek muncul sendirian, namun tampaknya 

Guru Besar Liang San tidak mau berlaku ayal. Bagai-

manapun juga dia masih khawatir ada orang lain di 

tempat itu. Dia tidak mau apa yang akan diucapkan 

kakek di hadapannya didengar orang lain.

“Guru Besar Liang San.... Sekali lagi mudah-muda-

han kau tidak kecewa dengan jawabanku. Aku tidak


bisa menjelaskan apa yang jadi pertanyaanmu! Dan 

yang pasti, aku tidak kenal akrab dengan penguasa 

negeri ini!”

“Baik! Aku tanya sekali lagi. Bagaimana kau bisa 

mengatakan bahwa rencanaku tidak akan berjalan se-

bagaimana mestinya?!”

“Aku tidak mengatakan begitu.... Aku tadi mengata-

kan....”

Belum sampai orang teruskan ucapan, Guru Besar 

Liang San telah menyahut. “Benar! Kau memang tidak 

berkata begitu. Tapi bukankah nada bicaramu menju-

rus ke arah sana?! Kau seakan tahu apa rencanaku 

dan menduga rencanaku tidak akan berhasil!”

Sekali lagi kepala si kakek bergerak menggeleng. 

“Harap kau tidak terlalu jauh menduga. Kalaupun kau 

punya rencana, mungkin saat ini satu kebetulan saja 

kalau apa yang baru kuucapkan ada sangkut pautnya 

dengan apa yang kini kau hadapi!”

Guru Besar Liang San menyeringai dingin. “Tidak 

mungkin kau berkata sekaligus meramal apa yang 

akan terjadi kalau kau tidak tahu apa yang kulakukan! 

Pasti kau mendapat keterangan dari seseorang. Dan 

jangan kira aku tak tahu siapa orang yang telah mem-

berimu keterangan!”

“Guru Besar Liang San.... Kita baru pertama kali ini 

bertemu. Aku berharap mudah-mudahan pertemuan 

ini bukan awal dari sebuah sengketa dan salah pa-

ham.... Sekarang aku harus segera pergi.... Kalau kau 

merasa apa yang kuucapkan tadi ada sangkut pautnya 

dengan dirimu, kuharap kau melupakan semuanya! 

Dan anggap aku tidak pernah berkata apa-apa pada-

mu.... Selamat tinggal!”

“Harapanmu hanya tinggal harapan kalau kau tidak 

mau mengatakan dari mana kau mendapatkan keterangan!” sahut Guru Besar Liang San.

Seraya berkata begitu, Guru Besar Liang San berke-

lebat memotong gerakan si kakek dan tegak tujuh 

langkah di hadapan orang dengan mata terpentang be-

sar dan kedua tangan terangkat ke atas.

Si kakek urungkan niat. Dia perdengarkan tawa 

pendek pelan sebelum akhirnya berujar.

“Semua rencana ada yang menentukan.... Amita-

ba... Dan kalau kau ingin tahu dari mana aku men-

dapat keterangan, harap kau bertanya pada Sang Pe-

nentu Rencana....”

Tampang Guru Besar Liang San berubah beringas. 

“Aku yakin dia adalah kaki tangan Baginda Ku Nang. 

Dia sengaja diberi tugas untuk mengalihkan perhati-

anku.... Aku harus segera mengambil kotak wasiat itu 

sebelum orang lain mendahului! Tapi orang ini harus 

kulenyapkan dahulu. Dia bisa merusak semua renca-

na!”

“Orang tak dikenal! Aku tanya sekali lagi! Dan ja-

wabanmu adalah penentu dari keselamatan selembar 

nyawamu!”

“Aku telah berkata tak mengharapkan pertemuan 

ini adalah awal sebuah sengketa. Aku juga telah me-

ngatakan apa adanya tentang apa yang kuucapkan. 

Rasanya aneh kalau aku harus menjawab....”

“Cukup!” potong Guru Besar Liang San. “Sekarang 

jawab! Dari mana kau mendapat keterangan?!”

Yang ditanya tidak menyahut dengan ucapan me-

lainkan dengan tawa pendek. Guru Besar Liang San 

tak bisa lagi meredam hawa kemarahan. Tanpa buka 

suara lagi, kedua tangannya bergerak!

***



ENAM


DUA gelombang dahsyat melesat ganas. Ranggasan 

semak belukar menyibak dan langsung amblas porak-

poranda membubung ke udara.

Anehnya, meski mendapat serangan mendadak, si 

kakek bukannya segera membuat gerakan mengha-

dang atau hindarkan diri. Sebaliknya tertawa berderai 

hingga batu putih di ujung tambang yang terus menu-

tupi wajahnya tampak bergoyang-goyang. Sesaat begi-

tu gelombang angin setengah tombak lagi menyapu, si 

kakek sentakkan kepalanya ke belakang.

Wuttt!

Batu putih di ujung tambang melenting ke udara. 

Bersamaan dengan itu satu sinar putih berkilau ber-

kiblat perdengarkan suara bergemuruh.

Blamm! Blammm!

Terdengar ledakan keras dua kali berturut-turut. 

Gelombang yang melesat dari kedua tangan Guru Be-

sar Liang San semburat mental dan berbalik mener-

jang ke arah Guru Besar Liang San!

Guru Besar Liang San terpana sesaat. Saat lain dia 

berkelebat ke samping.

Brakkk!

Pohon di mana tadi Guru Besar Liang duduk ber-

sandar berderak roboh. Sementara batu putih di ujung 

tambang kembali melengkung dan berhenti tepat me-

nutupi wajah si kakek!

“Guru Besar Liang San.... Harap kita sudahi ke-

salahpahaman ini! Kalau tidak....” Si kakek tidak lan-

jutkan ucapan. Sebaliknya gerakkan kepala ke sam-

ping. Batu putih di hadapannya ikut bergerak.

Guru Besar Liang San yang sudah tidak sabar tak


hiraukan ucapan orang. Mungkin merasa maklum jika 

orang yang dihadapi memiliki ilmu tinggi, dia lipat 

gandakan tenaga dalamnya. Saat lain kembali kedua 

tangannya diangkat.

Namun mendadak Guru Besar Liang San urungkan 

niat untuk lepas pukulan. Masih dengan kedua tangan 

di atas kepala, kepalanya bergerak berpaling ke arah 

mana kepala si kakek menoleh.

“Guru Besar Liang San.... Aku tahu kalau kau tidak 

senang dengan kehadiran mereka.... Untuk itu, biar-

kan aku pergi!”

“Hem..,. Dua sosok bayangan tampak berlari me-

nuju kemari,” bisik Guru Besar Liang San dengan pi-

cingkan mata. “Jahanam! Mereka adalah Ratu Selen-

dang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah! Sialan be-

nar! Jangan-jangan Hantu Bulan Emas juga tengah 

menuju kemari! Aku tidak takut dengan mereka.... Ta-

pi untuk saat ini tidak ada gunanya melayani mereka! 

Ada hal lebih penting yang harus kuselesaikan!”

Guru Besar Liang San turunkan kedua tangannya. 

Kepalanya berpaling pada kakek di seberang sana. 

“Hem.... Tampaknya dia telah tahu pula urusan di ba-

wah Kuil Atap Langit. Jadi secara diam-diam selama 

ini aku diikuti orang tanpa sadar! Siapa manusia ini 

sebenarnya?!”

“Guru Besar Liang San....”

“Orang tak dikenal!” tukas Guru Besar Liang San 

sebelum si kakek lanjutkan ucapan. “Hari ini nyawa-

mu selamat. Tapi ini adalah hari kematianmu yang ter-

tunda! Ingat! Kelak sudah tidak ada liang bagimu un-

tuk selamat dari tanganku!”

“Amitaba.... Mudah-mudahan hari ini telingaku sa-

lah dengar! Mudah-mudahan pula kau hanya main-

main dengan ucapanmu....”


Sebenarnya Guru Besar Liang San sudah buka mu-

lut hendak menyahut. Namun begitu kepalanya berpa-

ling lagi ke arah mana kepala si kakek terus mengarah, 

Guru Besar Liang San cepat katupkan mulut. Saat lain 

dia berkelebat dan lenyap di tengah ranggasan semak 

belukar.

Hampir bersamaan dengan berlalunya sosok Guru 

Besar Liang San, dua sosok bayangan berkelebat dan 

tahu-tahu telah tegak di samping batangan pohon 

yang tumbang akibat gelombang pukulan Guru Besar 

Liang San yang mental balik.

Di sebelah kanan tumbangan pohon adalah seorang 

nenek mengenakan pakaian panjang berwarna hitam. 

Di pundaknya menyelempang sebuah selendang hitam 

yang menjulai panjang hingga menyapu tanah. Nenek 

ini tidak lain adalah Ratu Selendang Asmara. Sedang 

di sebelah kiri batangan pohon adalah seorang laki-laki 

berpakaian hitam panjang sebatas lutut. Rambutnya 

hitam lebat disanggul tinggi ke atas. Paras wajahnya 

agak bulat dengan sepasang mata sipit. Kumis dan 

jenggotnya lebat serta hitam. Dan ternyata bukan ha-

nya rambut, kumis, dan jenggotnya yang hitam. Na-

mun sekujur kulit tubuh laki-laki ini juga berwarna hi-

tam legam! Laki-laki ini bukan lain adalah Bayangan 

Tanpa Wajah.

“Kau dengar suara tadi?!” Si nenek buka suara de-

ngan kepala berputar. Sepasang matanya dijerengkan 

tak berkesip.

“Telingaku tidak tuli! Tumbangnya pohon ini juga 

satu bukti bahwa baru saja terjadi bentrok di sekitar 

tempat ini! Tapi maha manusianya?!”

Sahutan Bayangan Tanpa Wajah sebenarnya mem-

buat dada Ratu Selendang Asmara agak terbakar. Na-

mun gejolak hawa amarahnya lenyap seketika saat sepasang matanya menumbuk batu putih yang ber-

goyang-goyang di atas ranggasan semak belukar.

Ratu Selendang Asmara memperhatikan sesaat. La-

lu berpaling pada Bayangan Tanpa Wajah. Sementara 

di lain pihak, mendadak kepala Bayangan Tanpa Wa-

jah juga menoleh sesaat setelah sepasang matanya me-

lihat apa yang juga dilihat oleh si nenek.

Belum sampai ada yang sempat buka mulut atau 

membuat gerakan, mendadak terdengar suara, tawa 

panjang yang bersumber dari ranggasan semak di ma-

na terlihat batu putih yang bergoyang-goyang.

Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wa-

jah luruskan kepala ke arah gerakan batu putih. Saat 

bersamaan satu sosok tubuh muncul dari semak belu-

kar. Begitu cepatnya gerakan sosok ini, hingga baik 

Ratu Selendang Asmara maupun Bayangan Tanpa Wa-

jah tidak bisa melihat raut wajah orang yang kini ter-

tutup batu putih. Kedua orang ini hanya bisa me-lihat 

bagian tubuh orang di bawah kepala.

“Kau mengenali orang itu?!” Bayangan Tanpa Wajah 

berbisik tanpa berpaling. Sebaliknya edarkan panda-

ngan berkeliling karena dia yakin pasti ada lagi orang 

lain di tempat itu.

Sementara itu, begitu melihat munculnya sosok tu-

buh yang tidak sempat dilihat raut wajahnya, Ratu Se-

lendang Asmara kerutkan dahi seraya dongakkan ke-

pala. Diam-diam si nenek berkata dalam hati. “Aku 

memang belum pernah bertemu dengan orang ini.... 

Tapi dari ciri-cirinya, apakah ini manusianya yang di-

kenal dengan julukan Dewa Cadas Pangeran?! Kalau 

saja aku tidak melihat sendiri, tentu aku masih belum 

percaya dengan apa yang pernah kudengar.... Tapi ka-

lau memang dia adalah Dewa Cadas Pangeran, masih 

ada ciri yang belum kulihat dari apa yang pernah ku


dengar!”

Ratu Selendang Asmara luruskan kepalanya dan 

kembali memandang ke arah orang yang tegak dengan 

wajah tertutup bulatan batu putih di ujung tambang.

Hampir bersamaan dengan gerakan kepala Ratu Se-

lendang Asmara, tangan kakek yang wajahnya tertutup 

bulatan batu putih tampak bergerak berputar ke bela-

kang. Saat lain dari bagian punggungnya melorot se-

buah bumbung bambu dan berhenti tepat di bawah se-

langkangannya.

“Astaga! Dia benar-benar Dewa Cadas Pangeran!” 

seru Ratu Selendang Asmara dalam hati seraya mem-

perhatikan gerakan bumbung bambu.

“Orang aneh.... Siapa dia sebenarnya?!” Bayangan 

Tanpa Wajah kembali bergumam. Sepasang matanya 

menatap tak berkesip pada bumbung bambu di bawah 

selangkangan orang.

Mungkin tak sabar dan tak bisa mengenali orang, 

sementara Ratu Selendang Asmara tidak juga menya-

huti pertanyaannya, laki-laki berkulit hitam legam ini 

menoleh pada si nenek.

“Kau mengenali orang ini?!”

“Hem.... Nyatanya telingaku masih lebih mendengar 

daripada telingamu!” desis Ratu Selendang Asmara 

tanpa berpaling pada Bayangan Tanpa Wajah.

Meski dadanya panas mendengar ucapan si nenek, 

namun Bayangan Tanpa Wajah masih menahan diri. 

Namun dia tak hendak ulangi pertanyaannya. Dia me-

nunggu dengan kepala kembali disentakkan mengha-

dap ke depan.

“Dengar! Dia adalah seorang tokoh jajaran atas ge-

nerasi lama yang dikenal kalangan rimba persilatan 

dengan gelar Dewa Cadas Pangeran!”

“Dari mana kau tahu nama gelar itu?!” tanya


Bayangan Tanpa Wajah seolah tidak percaya dengan 

ke-terangan Ratu Selendang Asmara.

“Kau tak perlu tahu. Tapi kau lihat batu putih yang 

menutupi wajahnya! Batu putih itu bukan batu sem-

barangan. Batu itu diambil dari sebuah lembah yang 

dikenal dengan Lembah Cadas Pangeran! Itulah me-

ngapa lantas kalangan dunia persilatan menggelarinya 

dengan Dewa Cadas Pangeran!”

“Dan kau tahu,” kata Ratu Selendang Asmara me-

lanjutkan setelah agak lama terdiam. “Selain berilmu 

sangat tinggi, orang itu termasuk orang langka dan 

aneh! Selama sepuluh tahun, dia hanya kencing satu 

kali! Itu pun hanya beberapa tetes! Bumbung bambu 

di bawah selangkangannya adalah tetesan air kencing-

nya selama dia hidup! Aku memang belum membukti-

kan dengan mata kepalaku sendiri. Tapi menurut yang 

kudengar, meski tetesan air kencing itu telah mengen-

dap berpuluh-puluh tahun, namun tetesan air itu ti-

dak menguap lenyap!”

“Hem.... Aku ingin buktikan kebenaran ucapanmu!” 

kata Bayangan Tanpa Wajah. Laki-laki berwajah hitam 

legam ini maju tiga tindak. Lalu angkat suara.

“Benar kau adalah manusia bergelar Dewa Cadas 

Pangeran?!”

Kakek yang wajahnya tertutup batu putih goyang-

kan pantatnya. Bumbung bambu di bawah selangkan-

gannya bergerak ke atas sebelum akhirnya lenyap ti-

dak kelihatan.

“Ah, nyatanya masih ada orang yang mengenaliku. 

Mudah-mudahan aku juga masih bisa mengenali siapa 

adanya kalian berdua....”

“Hem.... Nada ucapannya jelas kalau dia memang 

bergelar Dewa Cadas Pangeran! Tapi untuk apa aku 

peduli dengannya?! Yang penting saat ini adalah mencari jejak lenyapnya pemuda asing itu!” kata Bayangan 

Tanpa Wajah dalam hati. Dia melangkah mundur men-

jajari Ratu Selendang Asmara.

“Kita harus segera tinggalkan tempat ini! Siapa pun 

dia adanya, tidak penting bagi urusan kita!”

Ratu Selendang Asmara gelengkan kepala. “Kau sa-

lah! Menurut apa yang pernah kudengar, meski dia ja-

rang sekali muncul namun dia banyak tahu tentang 

apa yang terjadi dalam dunia persilatan! Pertemuan ini 

sangat berharga bagi kita.... Aku hampir merasa yakin 

dia tahu apa yang tengah kita cari! Kita minta petun-

juk padanya!”

Ratu Selendang Asmara tidak menunggu sahutan 

Bayangan Tanpa Wajah. Dia segera melangkah ke de-

pan beberapa tindak dan berhenti lima langkah di ha-

dapan si kakek yang dalam dunia persilatan memang 

pernah punya nama besar meski hanya sebagian orang 

yang tahu. Kakek ini tidak lain memang seorang tokoh 

yang digelari orang dengan Dewa Cadas Pangeran.

Ratu Selendang Asmara tegak dengan kepala berge-

rak ke samping kiri kanan seolah ingin melihat raut 

wajah orang. Namun bersamaan dengan gerakan ke-

pala si nenek, kepala Dewa Cadas Pangeran juga ber-

gerak seirama, hingga Ratu Selendang Asmara gagal 

untuk mengetahui bagaimana raut wajah orang.

“Dewa Cadas Pangeran.... Senang sekali bisa ber-

jumpa dengan tokoh sepertimu. Kalau tidak keberatan, 

mau kau jawab beberapa pertanyaanku?!”

Dewa Cadas Pangeran tertawa sesaat sebelum a-

khirnya perdengarkan suara. “Sosokmu mengingatkan 

aku pada seseorang yang dalam kancah dunia persila-

tan dijuluki Ratu Selendang Asmara.... Mudah-muda-

han aku tidak salah ucap!”

Ratu Selendang Asmara sempat terkejut mendapati


orang telah tahu siapa dirinya meski dia merasa yakin 

belum pernah bertemu. Namun hal ini lebih mengua-

tkan keyakinan si nenek kalau orang di hadapannya 

dapat memberi petunjuk. Sementara Bayangan Tanpa 

Wajah juga tampak kaget. Dia kerutkan dahi dan ber-

kata dalam hati.

“Mereka belum pernah bertemu. Tapi nyatanya dia 

telah tahu siapa adanya orang.... Apakah dia juga tahu 

siapa aku adanya?!”

Baru saja Bayangan Tanpa Wajah membatin begitu, 

Dewa Cadas Pangeran anggukkan kepalanya. Batu pu-

tih di hadapannya ikut bergerak. Lalu terdengar uca-

pan.

“Mudah-mudahan aku juga tak salah kira dengan 

sahabat yang tegak di belakang sana.... Bukankah kau 

adalah seorang tokoh yang dikenal dengan Bayangan 

Tanpa Wajah...?”

Baik Ratu Selendang Asmara maupun Bayangan 

Tanpa Wajah tak dapat lagi menahan rasa kejut ma-

sing-masing. Dan sebelum kedua orang ini ada yang 

angkat suara, Dewa Cadas Pangeran telah perdengar-

kan ucapan lagi.

“Sebagai sahabat, dengan senang hati aku akan 

menjawab beberapa pertanyaan yang akan kau ajukan 

padaku.... Mudah-mudahan jawabanku nanti tidak 

membuatmu kecewa apalagi bisa menimbulkan kesa-

lah-pahaman dan membuka sebuah urusan baru....”

“Terima kasih...,” kata Ratu Selendang Asmara. Ne-

nek ini berpaling sesaat pada Bayangan Tanpa Wajah 

dan memberi isyarat dengan jari. Bayangan Tanpa Wa-

jah maju dan tegak menjajari.

“Tanyakan di mana sebenarnya peta wasiat itu dan 

siapa sebenarnya saat ini yang memegangnya.... Ta-

nyakan juga ke mana kira-kira perginya pemuda asing


yang tengah kita cari jejaknya!” Bayangan Tanpa Wa-

jah segera berbisik.

“Dewa Cadas Pangeran.... Selama bertahun-tahun 

semua kalangan persilatan telah tahu jika biara Per-

guruan Shaolin menyimpan sebuah peta wasiat. Dan 

mungkin kau juga telah tahu kalau beberapa waktu 

yang lalu telah terjadi musibah di Perguruan Shaolin. 

Aku tak tahu apakah kejadian di biara Perguruan 

Shaolin ada hubungannya dengan peta wasiat atau ti-

dak. Yang pasti, kami ingin tahu, di mana sebenarnya 

peta wasiat itu saat ini?!”

“Amitaba.... Sebagai orang rimba persilatan, aku tak 

kaget dengan pertanyaanmu...,” ujar Dewa Cadas Pan-

geran. Batu putih di ujung tambang tampak bergerak 

ke atas mengikuti irama gerakan kepala Dewa Cadas 

Pangeran yang mendongak. Untuk beberapa lama 

orang ini terdiam. Ratu Selendang Asmara dan Bayan-

gan Tanpa Wajah menunggu tanpa ada yang membuat 

gerakan atau buka suara.

“Biara Perguruan Shaolin memang menyimpan se 

buah peta wasiat!” Akhirnya Dewa Cadas Pangeran 

lanjutkan ucapan. “Namun peta wasiat itu terpisah sa-

tu sama lain.... Kalau kalian ingin tahu atau memili-

kinya, kalian harus dapat menemukan keduanya.... 

Hanya saja separo peta wasiat itu saat ini tidak bisa di-

tentukan tempatnya.... Peta itu akan terus berpindah 

tempat! Sementara separonya lagi tersimpan di sebuah 

tempat tidak jauh dari sebuah aliran sungai....”

Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wa-

jah saling pandang tidak mengerti ucapan Dewa Cadas 

Pangeran.

“Dewa Cadas Pangeran.... Aku tidak mengerti mak-

sudmu! Bagaimana mungkin sebuah peta wasiat terus 

berpindah tempat?!” tanya Ratu Selendang Asmara.


“Ratu.... Itu satu bukti kalau separo peta wasiat itu 

telah berada dalam genggaman tangan orang. Jadi peta 

wasiat itu akan terus berpindah mengikuti ke mana 

orang itu melangkah! Sedangkan separonya lagi sudah 

menetap di satu tempat yang tadi sudah kukatakan....”

“Siapa orang yang kini menggenggam separo dari 

peta wasiat itu?!” Bayangan Tanpa Wajah cepat ajukan 

tanya.

Sepasang mata jereng Dewa Cadas Pangeran me-

natap lekat-lekat pada batu putih di hadapannya. 

“Sayang sekali aku tidak bisa menyebut siapa orang-

nya karena terus terang aku belum mengenalnya....”

“Tapi kau bisa mengatakan bagaimana ciri-cirinya!” 

Kali ini Ratu Selendang Asmara yang angkat suara.

Bola mata Dewa Cadas Pangeran berputar liar pan-

dangi bundaran batu putih yang menutupi wajahnya. 

Kejap kemudian terdengar suara jawabannya. “Dia a-

dalah seorang pemuda berparas tampan. Dia datang 

dari seberang laut....”

“Han Ko!” seru Ratu Selendang Asmara.

“Pemuda asing itu!” Bayangan Tanpa Wajah mende-

sis.

Yang dimaksud Ratu Selendang Asmara dengan 

Han Ko bukan lain memang murid Pendeta Sinting, 

Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Karena 

saat pertama kali bertemu, Pendekar 131 sebutkan diri 

bernama Han Ko pada si nenek.

“Sekarang jadi jelas dan aku tidak ragu-ragu lagi! 

Selama ini aku memang masih bimbang...,” kata Ratu 

Selendang Asmara dalam hati.

“Dewa Cadas Pangeran.... Terima kasih atas ketera-

nganmu. Sekarang harap kau sudi mengatakannya 

padaku. Ke mana kira-kira pemuda itu pergi?!”

Dewa Cadas Pangeran kembali tengadah dengan


mata menatap lekat-lekat pada bulatan batu putih di 

depan wajahnya. Saat kemudian dia angkat tangan 

kanannya dan diluruskan menunjuk pada satu arah.

“Dia telah mendapat separo dari peta wasiat. Ten-

tunya dia ingin mengambil separonya lagi. Saat ini dia 

tengah menuju sumber di mana peta wasiat pertama 

itu disimpan!”

Kepala Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tan-

pa Wajah sama bergerak ke arah mana tangan ka-nan 

Dewa Cadas Pangeran bergerak menunjuk.

“Biara Perguruan Shaolin!” hampir bersamaan, Ratu 

Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah perde-

ngarkan gumaman.

“Sebelum terlambat, kita harus cepat ke sana!” 

Bayangan Tanpa Wajah berucap.

Entah karena merasa gembira dapat petunjuk, tan-

pa buka suara lagi Ratu Selendang Asmara dan Baya-

ngan Tanpa Wajah membuat gerakan berkelebat.

Namun sebelum kedua orang ini sempat bergerak 

lebih jauh, mendadak Dewa Cadas Pangeran goyang-

kan kepalanya ke atas.

Wuttt!

Tambang yang berpangkal di punggungnya melen-

ting dan kini tegak lurus ke atas. Bersamaan itu satu 

sinar putih berkiblat perdengarkan deruan keras, 

membuat Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tan-

pa Wajah bukan saja urungkan kelebatan, tapi cepat 

melompat mundur dan kerahkan tenaga dalam pada 

kaki masing-masing, karena mereka berdua merasa-

kan getaran hebat!

“Harap tidak pergi dahulu....” Dewa Cadas Pangeran 

berkata. Kepalanya digerakkan ke bawah. Bundaran 

batu putih bergerak dan cepat menutup kembali raut 

wajahnya hingga si nenek dan Bayangan Tanpa Wajah


tidak sempat melihat paras wajahnya.

Tindakan Dewa Cadas Pangeran membuat paras 

Bayangan Tanpa Wajah yang hitam legam berubah ra-

ta laksana tidak berbentuk. Pertanda jika orang ini te-

lah diamuk hawa amarah.

Mendapati gelagat tidak baik, Ratu Selendang As-

mara cepat bersuara. “Harap tidak membuat masalah 

dengan dia! Bagaimanapun juga dia telah memberi ke-

terangan sangat berharga pada kita! Kita turuti apa 

yang dia kehendaki!”

“Tapi....”

“Aku tak mau dengar dalih!” potong si nenek. “Lagi 

pula aku yakin, apa yang dikehendakinya tidak mung-

kin merugikan kita!”

Habis berkata begitu, Ratu Selendang Asmara ber-

paling pada Dewa Cadas Pangeran. “Dewa Cadas Pan-

geran.... Kau mau mengatakan sesuatu?!”

***

TUJUH



BATU putih di ujung tambang bergerak perlahan ke 

atas tanda kepala Dewa Cadas Pangeran mendongak. 

Saat kemudian terdengar ucapan.

“Kalian telah mendapat jawaban dari apa yang ka-

lian tanyakan.... Mudah-mudahan kalian tidak segan 

untuk juga jawab beberapa tanyaku!”

“Aneh.... Dia telah tahu banyak apa yang tidak dike-

tahui orang lain. Mengapa dia masih akan ajukan ta-

nya?!” Diam-diam Ratu Selendang Asmara membatin. 

Lalu buka suara.

“Kau telah menjawab pertanyaanku. Adalah kurang

pantas kalau aku tidak bersedia memberi jawaban atas 

pertanyaanmu...!”

“Terima kasih...,” ujar Dewa Cadas Pangeran. “Ka-

lian menginginkan peta wasiat itu?!”

“Siapa pun yang kau tanya begitu pasti akan ang-

gukkan kepala!” jawab Ratu Selendang Asmara berte-

rus terang.

Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang. 

Lalu berucap. “Aku tidak akan halangi keinginan se-

seorang. Tapi demi kedamaian dan keselamatan, tidak 

ada salahnya bukan kalau aku memberi satu saran?”

“Kau pasti akan mengatakan kami berdua tidak 

akan berhasil mendapatkan peta wasiat itu! Benar?!” 

Ratu Selendang Asmara tampaknya sudah dapat mem-

baca apa yang akan dikatakan Dewa Cadas Pangeran.

“Syukur kalau kau telah menangkap isyarat itu.... 

Sekali lagi mudah-mudahan kalian tidak berburuk 

sangka padaku kalau aku mengatakan kalian bukan

saja tidak akan mendapatkan apa-apa, namun akan 

mengalami musibah jika teruskan keinginan!”

Mendengar ucapan Dewa Cadas Pangeran, Ratu Se-

lendang Asmara tersenyum. “Dewa Cadas Pangeran. 

Kuakui kau pandai memberi keterangan. Tapi jangan 

kau lupa! Nasib seseorang adalah sebuah misteri yang 

tidak bisa dibaca oleh siapa saja!”

“Ucapanmu tidak salah. Dan harap kau tak keliru. 

Aku tidak membicarakan nasib seseorang. Aku hanya 

memberi saran. Dan kalaupun aku mengatakan kalian 

tidak akan mendapatkan apa-apa, aku menangkap 

adanya beberapa orang punya keinginan seperti kalian. 

Jika semua orang yang punya keinginan sama saling 

bertemu, kalian dapat bayangkan apa yang akan terja-

di!”

“Kita tak perlu pedulikan ucapannya!” Bayangan


Tanpa Wajah berbisik pada Ratu Selendang Asmara.

Si nenek anggukkan kepala lalu berkata. “Masih 

ada yang ingin kau utarakan lagi?”

Dewa Cadas Pangeran tidak sambuti pertanyaan 

Ratu Selendang Asmara. Sebaliknya dia putar diri 

membelakangi orang. Kejap lain dia membuat gerakan 

satu kali. Sosoknya melesat beberapa tombak ke de-

pan. Saat lain Ratu Selendang Asmara dan Bayangan 

Tanpa Wajah hanya melihat gerakan batu putih yang 

bergoyang-goyang di atas ranggasan semak belukar 

yang sesekali semburatkan kiblatan sinar putih.

“Kita sekarang menuju biara Perguruan Shaolin!” 

kata Bayangan Tanpa Wajah. Seraya berkata, laki-laki 

berkulit hitam legam ini melangkah hendak tinggalkan 

tempat itu.

Namun begitu sadar kalau Ratu Selendang Asmara 

tidak beranjak dari tempatnya tegak, Bayangan Tanpa 

Wajah berkata agak keras.

“Kau takut?!”

“Setinggi apa pun ilmu orang, dia tak mungkin bisa 

menang berhadapan dengan nasib! Itulah satu-satu-

nya hal yang paling kutakutkan dalam hidup!”

Ucapan Ratu Selendang Asmara membuat Baya-

ngan Tanpa Wajah tertawa ngakak lalu berkata. “Tam-

paknya kau termakan kata-kata orang!”

Kini ganti si nenek yang perdengarkan tawa begitu 

mendengar sahutan Bayangan Tanpa Wajah. “Kau bo-

leh tertawa. Tapi aku yakin, dalam hatimu juga ada ra-

sa takut berhadapan dengan nasib! Apalagi seseorang 

yang telah dikenal tahu banyak urusan mengatakan 

nasibmu tidak baik!”

“Aku tak pernah berpikir tentang nasib! Itulah se-

babnya aku tak pernah punya rasa takut!”

Bayangan Tanpa Wajah arahkan pandang matanya


jauh ke depan. Lalu sambungi ucapannya. “Kita seka-

rang telah tahu di mana peta wasiat berada dan ke ma-

na kita harus mencarinya. Kau sekarang berhak me-

mutuskan untuk lanjutkan urusan ini atau....”

“Aku tak pernah menjilat ludah di tanah!” Ratu Se-

lendang Asmara menyahut sebelum Bayangan Tanpa 

Wajah selesaikan ucapan. Bahkan begitu berkata, si 

nenek segera melesat ke depan lalu berkelebat ke arah 

mana tadi tangan kanan Dewa Cadas Pangeran me-

nunjuk.

Bayangan Tanpa Wajah menyeringai. Dengan hen-

takkan kaki kanan, laki-laki berwajah hitam legam ini 

berkelebat menyusul Ratu Selendang Asmara.

***

Sementara itu, di tempat kira-kira seratus tombak 

dari biara Perguruan Shaolin, Pendekar 131 Joko Sab-

leng hentikan langkah. Dia memang sengaja bertindak 

hati-hati saat tahu mulai memasuki kawasan Per-

guruan Shaolin.

Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata meman-

dang jauh ke depan sana, di mana julangan puncak 

bangunan Perguruan Shaolin terlihat.

“Hem.... Apa aku harus menggundul rambutku agar 

leluasa masuk Perguruan Shaolin?” Joko bergumam 

sambil usap rambutnya. “Jika aku masih berambut 

panjang begini rupa, rasanya sulit bagiku memasuki 

perguruan itu. Apalagi baru saja terjadi huru-hara 

yang menewaskan beberapa pimpinan shaolin. Tapi 

bagaimana bentuk rupaku nanti kalau aku memang 

benar-benar menggundul rambut?! Lagi pula bagaima-

na caranya menggundul?! Ah....”

Joko gerakkan tangan kanan menyisir rambutnya 

yang basah oleh keringat. “Apakah aku harus menung


gu hingga hari berganti gelap?! Tapi aku pasti masih 

kesulitan untuk masuk! Kalaupun aku berhasil ma-

suk, tentu aku masih bingung karena aku belum tahu 

seluk-beluk bangunan di Perguruan Shaolin! Hem.... 

Ataukah aku harus memancing keluarnya Guru Besar 

Liang San?! Tapi bagaimana caranya?! Inilah sulitnya. 

Aku belum tahu bagaimana tampang Guru Besar Liang 

Sah.... Sementara....”

Joko katupkan mulut. Saat bersamaan kepalanya 

berpaling. Sepasang matanya mendelik besar. Dia se-

benarnya ingin membuat gerakan, namun tampaknya 

dia sadar, gerakan apa pun yang akan dilakukan su-

dah sangat terlambat. Karena tahu-tahu dua puluh 

langkah di depan sana telah tegak satu sosok tubuh 

dengan mata menatap tajam ke arahnya.

“Dari penampilannya, jelas dia orang Perguruan 

Shaolin. Dari usia dan sikapnya, pasti dia tokoh di per-

guruan itu! Hem...,” Joko memperhatikan orang de-

ngan seksama seraya menduga-duga.

Di lain pihak, orang yang tegak di depan sana ke-

rutkan dahi dengan mata dipicingkan. Pandangannya 

jelas membayangkan rasa curiga. Dia adalah seorang 

laki-laki berwajah agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggot-

nya jarang tapi panjang. Sepasang matanya agak be-

sar. Kepalanya gundul dan terlihat beberapa titik putih 

pada batok kepalanya. Orang ini mengenakan pakaian 

panjang warna kuning tanpa leher. Di pundaknya me-

lapis kain warna merah yang terus dililitkan pada 

pinggangnya. Laki-laki ini tidak lain adalah Guru Be-

sar Liang San.

“Seorang pemuda.... Tampangnya sepertinya bukan 

orang negeri ini! Tapi itu tidak, penting. Yang jelas dia 

seorang pemuda yang mencurigakan karena memata-

matai Perguruan Shaolin. Hem.... Aku hampir bisa


memastikan.... Dugaanku ternyata tidak jauh meleset! 

Kemunculannya di sini merupakan satu petunjuk!” 

Guru Besar Liang San membatin dengan sunggingkan 

senyum. “Aku harus berlaku ramah.... Lagi pula dia 

pasti belum tahu siapa yang kini di hadapannya! 

Hem.... Akhirnya rencanaku berjalan tanpa hambatan! 

Kini aku sudah tak sabar lagi menunggu hari ganda 

sepuluh!”

Guru Besar Liang San takupkan kedua tangannya 

di depan dada. Lalu kepalanya ditundukkan seraya 

berkata pelan. “Amitaba.... Boleh aku bertanya, Anak 

Muda...?”

Murid Pendeta Sinting membuat sikap seperti yang 

dilakukan orang. Lalu sembari mengumbar senyum dia 

buka suara.

“Amitaba.... Apa yang hendak kau tanyakan, Orang 

Tua?!”

“Siapa namamu?”

“Aku punya dua nama. Yang mana kau inginkan? 

Nama semasa aku masih kecil atau setelah aku meng-

injak dewasa?!”

Guru Besar Liang San kerutkan dahi namun tetap 

dengan bibir sunggingkan senyum. “Kalau tak kebera-

tan, aku ingin tahu keduanya....”

“Waktu kecil aku dipanggil Lon Tong Bu Lim....” Jo-

ko hentikan ucapannya sesaat sambil melirik wajah 

orang. Lalu menyambung. “Begitu aku dewasa, entah 

karena apa, aku dipanggil Han Ko!”

“Seperti halnya aku, mungkin anak ini tidak berka-

ta jujur!” kata Guru Besar Liang San dalam hati. Na-

mun dia tak mau tunjukkan sikap tidak percaya pada 

ucapan orang. Dia anggukkan kepala dengan terse-

nyum.

“Orang tua.... Aku telah mengatakan siapa diriku.


Rasanya tak enak kalau aku tidak tahu siapa diri-

mu...”

Guru Besar Liang San kembali anggukkan kepala, 

lalu berkata.

“Kau beruntung, Anak Muda. Bisa memiliki dua 

nama. Tidak seperti aku. Aku dilahirkan di sini tanpa 

kuketahui siapa kedua orangtua ku karena mereka 

meninggal saat aku masih bayi. Hingga aku sendiri tak 

tahu siapa yang memberi nama padaku! Yang jelas aku 

tahu sudah berada di lingkungan shaolin dan mereka 

memanggilku Wang Kong Fu....”

Seperti halnya Pendekar 131, saat sebutkan diri 

dengan Wang Kong Fu, Guru Besar Liang San melirik 

seolah ingin tahu sikap orang.

Joko memperhatikan orang sekali lagi dengan lebih 

seksama. Sulit baginya menduga apakah ucapan orang 

benar atau tidak. “Aku belum kenal sebelumnya dan 

masih buta sama sekali dengan orang-orang di ling-

kungan shaolin. Tapi aku punya cara untuk mengeta-

hui apakah dia berkata jujur atau berdusta!” kata Joko 

dalam hati setelah terdiam beberapa lama. Dia sudah 

buka mulut hendak berkata. Namun sebelum sua-

ranya terdengar, Guru Besar Liang San yang me-ngaku 

bernama Wang Kong Fu sudah mendahului angkat su-

ara.

“Anak muda.... kalau aku boleh menduga, keber-

adaanmu di sini tentu bukan karena sebuah kebetu-

lan! Kau tengah menunggu seseorang? Atau ada perlu 

lain?!”

“Terus terang saja, sejak kecil aku tertarik dengan 

shaolin. Hanya sayang sekali. Kedua orangtua ku tidak 

memberikan izin padaku untuk memasuki biara shao-

lin. Sekarang kedua orangtua ku telah tiada. Namun 

keinginanku tetap membara. Untuk itulah aku berada


di sini. Dan kebetulan bertemu denganmu.... Kalau bo-

leh aku bertanya, apakah mungkin aku bisa diterima 

di biara shaolin?!”

“Amitaba.... Perguruan Shaolin tidak menolak siapa 

saja yang ingin menjadi keluarga perguruan asal dia 

mau menjalankan semua peraturan yang telah diten-

tukan! Hanya saja....”

Karena Guru Besar Liang San tidak lanjutkan uca-

pan, Joko cepat menyahut. “Hanya apa, Orang Tua?!”

“Aku ragu apakah kau mampu menjalankan peratu-

ran shaolin! Karena jika seseorang telah menjadi ke-

luarga besar shaolin, dia harus meninggalkan keingi-

nan duniawi....”

“Orang tua.... Aku yakin bisa melakukannya....”

“Amitaba.... Menjalankan tidak semudah berkata, 

Anak Muda. Bukannya aku menghalangi keinginanmu. 

Tapi usia dan lingkungan sangat berpengaruh!”

“Maksudmu...?!”

“Orang yang menjadi keluarga besar shaolin sejak 

kecil akan lebih mudah menjalankan peraturan shao-

lin dibanding dengan orang yang memasuki shaolin 

saat usianya sudah dewasa. Karena orang dewasa su-

dah mengenal manisnya duniawi sebelum masuk ke-

luarga shaolin. Dan hal itu nantinya sangat berpe-

ngaruh sekali. Lain dengan orang yang masuk keluar-

ga shaolin saat usianya masih kecil. Karena begitu ma-

suk, dia belum kenal manisnya rasa duniawi!”

Pendekar 131 terdiam beberapa lama. Guru Besar 

Liang San arahkan pandang matanya jauh ke puncak 

bangunan shaolin lalu berkata. “Anak Muda.... Aku 

menghargai semangatmu. Namun kau harus berpikir 

sekali lagi jika akan menjadi keluarga besar Perguruan 

Shaolin!”

“Orang tua.... Bukan aku mau unjuk diri. Tapi sebenarnya sejak kecil aku telah dilatih untuk menjauhi 

segala macam yang berbau duniawi! Kau boleh percaya 

atau tidak, sampai seusia ini, aku belum pernah me-

ngenal yang namanya perempuan....”

Mendengar kata-kata Joko, Guru Besar Liang San 

tertawa seraya gelengkan kepala. “Anak Muda.... Du-

niawi bukan saja perempuan.... itu hanya sebagian ke-

cil saja!”

“Ah.... Ternyata tidak semudah yang kubayangkan!” 

gumam Joko.

Lagi-lagi Guru Besar Liang San tertawa. “Anak Mu-

da.... Mau kau katakan padaku, mengapa kau ingin 

sekali menjadi keluarga shaolin?!”

Meski nada bicara Guru Besar Liang San bertanya, 

ternyata sebelum murid Pendeta Sinting sempat men-

jawab, Guru Besar Liang San sudah angkat suara.

“Kau ingin mempelajari ilmu silat?!”

Karena tak ada alasan lain, akhirnya Joko angguk-

kan kepala. “Sejak kecil aku memang ingin sekali bela-

jar ilmu silat. Dan menurut yang kudengar, Perguruan 

Shaolin memiliki jurus-jurus yang sulit ditandingi!”

“Perguruan Shaolin lebih mementingkan pencucian 

diri daripada pelajaran ilmu silat. Kalaupun di dalam 

perguruan diajarkan ilmu silat, itu hanya untuk men-

jaga kesehatan. Bukan untuk hal lain.... Jadi kau sa-

lah duga kalau ingin masuk Perguruan Shaolin dengan 

tujuan mempelajari ilmu silat!”

“Ah.... Lagi-lagi aku salah duga!”

“Anak muda.... Aku melihat kobaran semangatmu 

begitu membara. Aku menawarkan sesuatu pada-

mu...”

“Hem.... Orang yang baru kukenal tiba-tiba mena-

warkan sesuatu. Pasti di baliknya menyimpan sesua-

tu!” Joko membatin. Lalu berkata.


“Harap kau katakan apa yang hendak kau tawar-

kan.”

“Aku melihat bentuk tubuhmu bagus. Sayang kalau 

disia-siakan. Aku akan mengajarkan padamu semua 

ilmu silat Perguruan Shaolin tanpa harus masuk men-

jadi keluarga besar shaolin!”

Mendengar ucapan orang, Pendekar 131 buru-buru 

bungkukkan tubuh. “Amitaba.... Kau tidak main-main, 

Orang Tua?!”

“Salah satu ajaran shaolin adalah dilarang berdus-

ta!”

“Ah.... Dari semula aku sudah menduga kalau kau 

adalah salah seorang tokoh di Perguruan Shaolin. Ku-

ucapkan terima kasih kalau kau memang benar-benar 

hendak mengajarkan padaku ilmu silat!”

“Amitaba.... Kau jangan keburu memuji. Kalaupun 

aku menawarkan hal itu, semata-mata karena aku 

menghargai semangatmu! Tapi aku juga minta maaf...”

“Dugaanku tidak meleset. Ujung-ujungnya dia min-

ta sesuatu! Tapi aku akan coba menuruti...,” kata Joko 

dalam hati. Namun dia tidak segera buka suara. Seba-

liknya arahkan pandang matanya jauh ke depan.

***

DELAPAN



KARENA Joko tidak segera sambuti ucapannya, 

Guru Besar Liang San melirik lalu berkata. “Shaolin 

memang mengajarkan tidak boleh minta imbalan atas 

sesuatu! Tapi karena keadaannya lain, kau sendiri ha-

rus maklum.... Lagi pula aku tidak akan minta syarat 

yang kau tidak mampu melakukannya!”


Pendekar 131 berpaling. “Orang tua.... Harap kau 

katakan apa syarat yang harus kupenuhi!”

“Kau harus jujur padaku!”

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Dia sama se-

kali tidak menduga syarat yang diucapkan orang. 

Hingga seraya tertawa dia bersuara.

“Hanya itu...?!”

Kepala Guru Besar Liang San bergerak mengang-

guk. “Tidak sulit bukan?!”

“Tampaknya memang tidak sulit. Tapi ini bisa Jadi 

malapetaka bagiku!” Diam-diam Joko berkata sendiri 

dalam hati. “Nada bicaranya lambat laun mencuriga-

kan. Jangan-jangan orang ini telah tahu siapa diri-

ku.... Hem.... Lalu bagaimana dengan tawarannya?”

“Bagaimana, Anak Muda?! Kau setuju dengan sya-

ratku?!”

“Syarat yang aneh...,” gumam Joko.

“Tidak aneh, Anak Muda. Dalam segala hal kejuju-

ran adalah sesuatu yang utama. Apalagi kelak mung-

kin kita akan menjadi sahabat!”

“Baiklah.... Aku setuju syaratmu!” Akhirnya Joko 

memutuskan setelah berpikir agak lama.

Guru Besar Liang San tersenyum. “Amitaba.... Se-

moga ini satu langkah awal yang baik bagi persahaba-

tan kita. Dan kuharap, meski aku nanti mengajarkan 

ilmu silat padamu, jangan kau menganggapku sebagai 

guru. Anggaplah aku sebagai sahabat, begitu pula se-

baliknya! Hubungan antara sahabat pasti lebih men-

dekatkan dua orang daripada hubungan antara guru 

dan murid! Dan satu lagi. Kau harus merahasiakan 

semua ini pada siapa saja!”

Joko anggukkan kepala lalu melangkah maju. Di 

depan sana Guru Besar Liang San memperhatikan 

tanpa membuat gerakan.


“Anak muda....”

“Kita sudah bersahabat. Harap panggil dengan na-

maku saja!” kata Joko seraya hentikan langkah dela-

pan tindak di hadapan Guru Besar Liang San.

“Han Ko.... Sebelum semuanya berjalan, aku ingin 

tahu. Apakah sebelum ini kau pernah belajar ilmu si-

lat?!”

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. Namun 

baru saja kepalanya bergerak, mendadak Guru Besar 

Liang San yang mengaku sebagai Wang Kong Fu gerak-

kan kedua tangannya.

Wuutt! Wuuttt!

Dua gelombang angin melabrak ganas ke arah mu-

rid Pendeta Sinting.

Karena begitu mendadak, Joko tak sempat berpikir 

lagi kalau baru saja gelengkan kepala memberi jawa-

ban kalau dia belum pernah belajar ilmu silat. Dia me-

lompat ke samping hindarkan diri dari hajaran gelom-

bang yang melesat dari kedua tangan Guru Besar 

Liang San.

“Astaga! Seharusnya aku tidak menghindar! Tapi....”

“Han Ko.... Kau masih ingin persahabatan ini terus

berlangsung?!” Guru Besar Liang San ajukan tanya 

tanpa memandang.

“Apa maksudmu?!” Joko pura-pura tak mengerti.

“Kau telah tahu syaratnya!”

“Aku....”

Belum sampai Pendekar 131 teruskan ucapan, 

Guru Besar Liang San telah menukas. “Mengapa kau 

belum mau jujur padaku?!” Bersamaan dengan selesai-

nya ucapan, tiba-tiba kedua tangan Guru Besar Liang 

San kembali bergerak lepaskan satu pukulan!

Joko tersentak. “Busyet! Apa yang harus kulaku-

kan! Kalau aku menghindar lagi, pasti dia lebih tidak


percaya kalau aku tidak tahu ilmu silat. Tapi kalau 

aku tidak menghindar atau menghadang pukulannya, 

bagaimana kalau aku terluka?!”

Karena tidak punya waktu banyak untuk berpikir, 

pada akhirnya Joko memutuskan untuk tidak hindar-

kan diri dari pukulan orang. Namun diam-diam dia ke-

rahkan tenaga dalam seraya membuat gerakan sedikit 

agar pukulan orang tidak telak menghajar bagian dada 

atau wajahnya!

Wusss! Wussss!

Dua gelombang angin terus melesat. Begitu seten-

gah tombak lagi menghajar, Joko putar sedikit tubuh-

nya dan sengaja menghadangkan bahu kanannya.

Bukkkk! Bukkk!

Sosok murid Pendeta Sinting terpental sebelum a-

khirnya terjengkang roboh di atas tanah.

Belum sampai Pendekar 131 bergerak bangkit, 

Guru Besar Liang San telah berkelebat dan tahu-tahu 

telah tegak dua langkah di sampingnya. Guru Besar 

Liang San melirik sesaat. Tiba-tiba kaki kanannya 

membuat gerakan menendang!

Selain tak sempat berpikir apa yang harus dilaku-

kan dan kalaupun membuat gerakan sudah sangat ter-

lambat, akhirnya Joko hanya bisa kerahkan tenaga da-

lam untuk melindungi diri dan memandang gerakan 

kaki kanan Guru Besar Liang San yang berkelebat ke 

arah bahu kirinya!

Bukkk!

Pendekar 131 perdengarkan seruan tertahan. Saat 

bersamaan sosoknya kembali mencelat lalu terjerem-

bab di atas tanah.

Saat sosok murid Pendeta Sinting mencelat, Guru 

Besar Liang San tak berdiam diri. Dia ikut berkelebat. 

Dan begitu tubuh Joko terjerembab di atas tanah, kaki


kiri Guru Besar Liang San kembali bergerak kirimkan 

tendangan! Namun kali ini Joko tahu jika tendangan 

kaki orang lebih dahsyat dari yang pertama!

“Celaka kalau aku hanya diam saja! Tapi bagaimana 

lagi?!”

Baru saja Joko bergumam begitu, kaki kiri Guru 

Besar Liang San telah menghajar bagian lambungnya!

Untuk kesekian kalinya sosok murid Pendeta Sinting 

tersapu deras sebelum akhirnya jatuh bergulingan di 

atas tanah dengan mulut kucurkan darah!

Mungkin sudah merasa kesakitan dan tak mau te-

rus-terusan jadi tumpuan hajaran pukulan orang, be-

gitu menghantam tanah, Joko segera kerahkan tenaga 

dalam pada kedua tangannya.

“Aku tak bisa berdiam diri! Dia sudah sangat keter-

laluan! Tampaknya dia bukan lagi ingin mencobaku, 

tapi sudah ingin mencabut nyawaku!”

Di seberang sana, Guru Besar Liang San memper-

hatikan sejenak. Lalu melompat. Namun kali ini Guru 

Besar Liang San tidak langsung membuat gerakan. Dia 

berhenti empat langkah dan tegak dengan mata men-

delik besar.

Pendekar 131 bergerak bangkit. Setelah usap kucu-

ran darah di mulutnya dia buka suara.

“Orang tua! Mengapa kau hendak membunuhku?!”

Guru Besar Liang San tertawa. “Tidak mudah mem-

bunuhmu, Anak Muda! Jika orang lain, sudah pasti 

dia mampus!”

“Aku tak mengerti maksudmu!” Murid Pendeta Sin-

ting masih pura-pura tidak tahu ke mana arah bicara 

Guru Besar Liang San.

“Kau memang tidak menghindar atau menghadang 

pukulanku! Aku tahu.... Itu kau lakukan agar aku per-

caya jika kau memang tidak pernah atau punya ilmu


silat! Tapi aku bukan orang bodoh, Anak Muda.... Jus-

tru ketahanan tubuhmu membuat aku jadi yakin! Bu-

kan saja kau memiliki ilmu silat tinggi, namun tenaga 

dalammu juga luar biasa!”

“Ah.... Tentu kau main-main dengan ucapanmu! 

Kau salah duga...!”

Guru Besar Liang San geleng kepala. “Aku belum 

pernah salah menduga orang! Kau mau lihat satu buk-

ti?!” Guru Besar Liang San melangkah.

Khawatir akan apa yang hendak dilakukan orang, 

Joko gerakkan kaki melangkah mundur. Guru Besar 

Liang San tertawa bergelak seraya hentikan langkah 

dan berkata.

“Kalau kau bukan dari kalangan persilatan, tentu 

kau tidak akan membawa sebuah senjata!” Sepasang 

mata Guru Besar Liang San mengarah pada pinggang 

kiri Joko di mana tersimpan Pedang Tumpul 131.

“Sialan! Dia sudah tahu...,” bisik Joko lalu terse-

nyum dan angkat suara. “Orang tua... Sebuah senjata 

bukan satu bukti. Siapa saja bisa membawanya!”

“Anak muda.... Aku tak ingin berdebat! Dan meski 

kau tidak berkata jujur padaku, namun kali ini aku 

masih bisa memakluminya! Mungkin saja kau masih 

meragukan diriku.... Tapi kuharap kau sekarang mau 

berterus terang padaku!”

Joko geleng kepala. “Aku sudah berterus terang!”

Guru Besar Liang San tidak pedulikan jawaban mu-

rid Pendeta Sinting. Sebaliknya dia segera ajukan 

tanya. “Anak Muda.... Siapa kau sebenarnya?!”

“Aku tadi telah mengatakannya padamu!”

“Aku bukan orang yang mudah dikelabui! Kalau 

kau sudah merahasiakan kepandaianmu, jangan ha-

rap aku percaya dengan dua nama yang tadi kau kata-

kan!”


“Kalau begitu terserah.... Yang jelas, itulah namaku! 

Atau barangkali kau akan memberikan satu nama lagi 

buatku?!”

Lagi-lagi Guru Besar Liang San tidak hiraukan sa-

hutan Joko. Dia ajukan tanya sekali lagi. “Anak Mu-

da.... Siapa kau sebenarnya?!”

“Ah.... Karena kau tidak percaya, sekarang sesuka-

mulah mengatakan siapa aku sebenarnya....”

“Hem.... Begitu?! Baik.... Aku ingin buktikan kalau 

aku belum pernah salah menduga orang!” kata Guru 

Besar Liang San seraya dongakkan kepala.

Pendekar 131 menatap wajah Guru Besar Liang San 

dengan dada berdebar. “Kalau dia benar dengan duga-

annya, apa hendak dikata! Hanya saja aku dapat gam-

baran tentang orang ini! Dari sikap dan lagaknya, ten-

tu dia tokoh terpandang di Perguruan Shaolin. Semen-

tara dari beberapa cerita yang kudengar, aku bisa sim-

pulkan, setelah kejadian di Perguruan Shaolin, tokoh 

yang paling dipandang di Perguruan Shaolin tinggal 

orang yang bernama Guru Besar Liang San! Hem....”

“Anak muda! Bukankah kau seorang pemuda dari 

negeri seberang laut?!” kata Guru Besar Liang San 

sambil tertawa.

Pendekar 131 tercengang. Namun dia tak mau larut 

dalam keterkejutan. Dia segera pula tengadahkan ke-

pala. Lalu berkata.

“Orang tua! Bukan kau saja yang tak mudah di-

kelabui, tapi aku juga tidak gampang ditipu....” Joko 

sengaja hentikan ucapannya sesaat sambil tertawa. La-

lu menyambung. “Bukankah kau adalah Guru Besar 

Liang San?!”

Kalau tadi Joko tercengang mendapati orang telah 

menebak dengan betul, kali ini Guru Besar Liang San 

ganti yang tercekat tegang!


“Dia baru saja berada di negeri ini. Tentu belum ba-

nyak yang dia kenal. Aku juga baru pertama kali ber-

temu.... Tapi bagaimana mungkin dia bisa mengetahui 

siapa diriku?! Hem.... Tapi itu tak jadi masalah! Yang 

jelas, sekarang aku yakin dialah orang yang kucari!” 

Guru Besar Liang San membatin. Lalu bersuara.

“Anak asing! Aku bukan saja tahu siapa dirimu se-

benarnya! Tapi juga tahu kalau kau akan datang ke 

tempatku! Bahkan aku tahu apa tujuanmu!”

Murid Pendeta Sinting tidak menyahut. Guru Besar 

Liang San lanjutkan ucapan. “Sekarang akulah orang 

yang berkuasa di biara Perguruan Shaolin. Dan aku 

tahu, saat ini kau membawa sesuatu milik Perguruan 

Shaolin! Aku tak ingin membuat urusan denganmu, 

namun itu jika kau mau serahkan barang milik pergu-

ruan yang sekarang ada di tanganmu!”

Lagi-lagi Pendekar 131 sempat kaget mendengar 

ucapan Guru Besar Liang San. “Hem.!.. Jadi dia sudah

tahu semuanya.... Dan dari sikapnya, jelas dialah 

Guru Besar Liang San!” Joko kembali membatin sebe-

lum akhirnya berkata.

“Guru Besar Liang San! Kau menduga aku memba-

wa sesuatu milik Perguruan Shaolin. Mau katakan pa-

daku, benda apa yang kau maksud?!” Joko coba me-

mancing untuk yakinkan diri.

Guru Besar Liang San edarkan pandang matanya 

berkeliling sebelum berucap. “Seluruh kaum dunia 

persilatan di negeri ini telah tahu jika Perguruan Shao-

lin menyimpan sebuah peta wasiat. Konon pula bebe-

rapa tokoh mengincar peta itu sejak beratus tahun 

yang lalu. Namun tidak seorang pun yang berhasil. Se-

lain terjaga ketat, peta wasiat itu sengaja dipisah....”

Guru Besar Liang San hentikan keterangannya. Se-

mentara Pendekar 131 dengarkan dengan seksama.


“Beberapa waktu yang lalu....” Guru Besar Liang San 

lanjutkan keterangan. “Seorang kepercayaan shaolin 

diberi tugas untuk mengambil sebagian peta wasiat di 

satu tempat karena hari dibukanya peta wasiat itu 

hampir tiba. Selain itu, pimpinan tertinggi shaolin da-

lam keadaan sakit keras. Namun tampaknya ada orang 

yang berkhianat dalam tubuh Perguruan Shaolin! Dia 

sengaja memotong rencana dengan jalan menghadang 

orang kepercayaan shaolin! Bahkan dia sengaja berse-

kongkol dengan orang di luar Perguruan Shaolin. Tapi 

Yang Maha Belas Kasih rupanya masih melindungi. 

Menurut yang kudengar, orang kepercayaan shaolin te-

lah tewas dalam mengemban tugas. Namun sebelum 

itu dia telah memberikan peta wasiat pada seseo-

rang....”

Untuk kedua kalinya Guru Besar Liang San henti-

kan ucapannya. Kali ini dia memandang tajam pada 

murid Pendeta Sinting sebelum akhirnya berkata.

“Aku sangat bersyukur kau sampai di tempat ini 

dengan selamat. Dan tentu kau akan memberikan peta 

wasiat itu kembali, karena kaulah orang yang telah di-

beri peta wasiat oleh orang kepercayaan shaolin!”

Guru Besar Liang San tersenyum. Saat yang sama 

kedua tangannya menjulur ke depan membuat sikap 

seperti orang meminta.

“Anak muda.... Kau telah berjasa besar pada Per-

guruan Shaolin. Walau kau bukan orang shaolin, de-

ngan jasamu itu, kau akan kuangkat sebagai keluarga 

besar shaolin! Pintu Perguruan Shaolin kapan saja ter-

buka untukmu.... Dan kau juga perlu tahu.... Bebera-

pa waktu yang lalu, telah terjadi musibah besar yang 

menimpa Perguruan Shaolin. Seorang Maha Guru Be-

sar dan Guru Besar telah jadi korban. Sementara se-

orang Guru Besar satunya lagi lenyap entah ke mana.


Saat ini akulah yang menjadi penguasa sementara. Un-

tuk itulah, kuharap kau mau serahkan peta wasiat itu 

padaku! Lagi pula peta wasiat itu tentu tak ada gu-

nanya berada di tanganmu, karena sebagiannya masih 

tersimpan di Perguruan Shaolin!”

Guru Besar Liang San anggukkan kepala dengan 

bibir sunggingkan senyum. Kedua tangannya digerak-

gerakkan.

Murid Pendeta Sinting ikut-ikutan sunggingkan se-

nyum. Lalu berkata.

“Terima kasih atas semua keteranganmu. Tapi 

sayang.... Kau terlambat memintanya padaku!”

***

SEMBILAN



GURU Besar Liang San tegak dengan paras beru-

ban. Senyumnya pupus berganti seringai dingin. Ke-

dua tangannya ditarik pulang. Saat lain dia berkata 

dengan suara bergetar.

“Terlambat bagaimana?!”

Joko tidak segera sambuti ucapan orang. Sebalik-

nya terdiam beberapa lama seraya terus tersenyum. 

Guru Besar Liang San mulai geram. Dia kembali hen-

dak buka mulut. Namun kali ini Joko mendahului.

“Guru Besar Liang San.... Dua hari sebelum peristi-

wa musibah yang kau ceritakan, aku bertemu dengan 

Guru Besar Pu Yi! Karena aku hanya sebagai orang 

yang disuruh menyampaikan, begitu Guru Besar Pu Yi 

meminta peta wasiat itu, aku memberikannya....”

Sepasang mata Guru Besar Liang San terbeliak be-

sar dengan pelipis bergerak-gerak. Sekujur tubuhnya


bergetar.

“Kau jangan mengarang cerita, Anak Muda!”

“Kau bisa menanyakannya pada Guru Besar Pu 

Yi...!”

“Dia telah tewas!”

“Ah.... Sayang sekali. Padahal tujuanku ke sini hen-

dak menemuinya! Aku semula sudah hendak pulang 

kampung ke negeri asalku. Namun di tengah jalan aku 

sempat mendengar kejadian di Perguruan Shaolin. Ka-

rena aku orang baru aku sempat salah jalan saat me-

nuju kemari hingga baru hari ini aku tiba. Aku me-

mang mendengar beberapa pimpinan shaolin terbu-

nuh, tapi aku tidak menduga jika Guru Besar Pu Yi 

ikut pula terbunuh....”

“Aku tidak percaya keteranganmu!”

“Waduh.... Kalau begitu repot! Padahal aku telah 

mengatakan apa yang kulakukan.”

“Anak muda! Kau telah tahu peta wasiat di tangan-

mu tidak ada gunanya buatmu! Aku minta padamu 

untuk serahkan padaku dengan baik-baik! Apalagi kau 

tahu peta wasiat itu hak Perguruan Shaolin!”

“Aku telah memberikannya pada Guru Besar Pu Yi! 

Berarti hak Perguruan Shaolin telah kuberikan! Dan 

harap kau tahu.... Karena aku tahu peta wasiat itu ti-

dak ada gunanya buatku, maka peta itu kuberikan pa-

da Guru Besar Pu Yi! Kalau tidak, pasti peta wasiat itu 

akan kupakai sendiri!”

“Hem.... Apakah mungkin Pu Yi benar-benar telah 

menerimanya dari anak ini?!” Guru Besar Liang San 

membatin. “Lalu diam-diam dia bersekongkol dengan 

Wu Wen She! Dan saat terjadi peristiwa berdarah ma-

lam itu, Wu Wen She sengaja meloloskan diri dengan 

membawa peta wasiat itu.... Tapi kalau benar, menga-

pa mereka berdua tidak mengambil sekalian yang berada di kotak di ruang penyimpanan?! Bukankah ka-

lau hanya separo tidak ada artinya?!” Guru Besar 

Liang San dilanda kebimbangan. “Tapi kalau benar pe-

ta wasiat itu telah diserahkan, tak mungkin anak ini 

muncul lagi di tempat ini! Keterangannya kalau ingin 

bertemu dengan Pu Yi mungkin hanya alasan! Bahkan 

mungkin saja dia telah membuat satu rencana dengan 

Pu Yi!”

Membatin begitu, akhirnya Guru Besar Liang Sah 

angkat suara. “Anak Muda! Kalau benar kau telah se-

rahkan peta wasiat itu, tentu aku mengetahuinya! Ka-

rena aku masih termasuk orang yang harus tahu se-

mua rahasia Perguruan Shaolin! Jadi kalau Pu Yi ti-

dak membicarakannya, berarti peta wasiat itu masih 

ada di tanganmu! Aku minta padamu dengan baik-

baik. Kalau kau tak mau, aku juga bisa berlaku kasar!”

“Guru Besar Liang San.... Apakah dalam ajaran 

shaolin dibolehkan memaksa seseorang sekaligus ber-

tindak kasar terhadap seseorang yang telah memberi 

keterangan?!”

Tampang Guru Besar Liang San laksana disembura-

ti kobaran api. Kedua pijakan kakinya bergetar. Saat 

lain terdengar bentakannya menggelegar.

“Tutup mulutmu, Anak Muda! Dalam urusan ini 

jangan sangkut pautkan masalah ajaran! Ini adalah 

urusan hak milik! Kau harus serahkan milik seseorang 

yang berada di tanganmu!”

“Aku telah menyerahkan!” Joko ikut membentak.

“Kau berdusta!”

“Kau tadi juga berdusta tentang siapa dirimu! Kalau 

kau sebagai Pimpinan Perguruan Shaolin boleh ber-

dusta, mengapa aku tidak?!”

Gemuruh amarah Guru Besar Liang San sudah 

sampai ke ubun-ubun, namun nyatanya orang ini masih coba menahan diri. Dia terdiam beberapa saat un-

tuk menenangkan diri sebelum akhirnya berkata.

“Anak muda! Sekarang katakan saja apa maumu 

sebenarnya!”

Mendengar ucapan Guru Besar Liang San, murid 

Pendeta Sinting tertawa. “Guru Besar.... Seharusnya 

aku yang bertanya seperti yang kau tanyakan! Meski-

pun jawabannya sudah pasti kau tahu!”

“Baik. Aku telah memberi kesempatan padamu, na-

mun kau nyatanya tidak menggunakan. Sekali lagi aku 

minta padamu untuk serahkan peta wasiat itu!”

Joko gelengkan kepala. Namun baru saja kepalanya 

bergerak, Guru Besar Liang San telah melompat. Saat 

bersamaan kedua tangannya berkelebat menyambar ke 

arah lambung murid Pendeta Sinting.

Karena sudah waspada, begitu kedua tangan Guru 

Besar Liang San berkelebat, Joko cepat menyingkir. 

Kedua tangannya disentakkan ke depan menghadang 

sambaran kedua tangan Guru Besar Liang San.

Bukkk! Bukkk!

Dua pasang tangan tampak sama terpental. Namun 

Guru Besar Liang San tidak menunggu lagi. Meski dia 

sedikit terkejut karena kedua tangannya terpental di-

hadang tangan lawan, dia cepat tarik pulang kedua 

tangannya lalu ditakupkan di depan dada. Kejap lain 

kaki kanannya ditarik ke belakang. Tiba-tiba kedua 

tangannya di buka lalu dihantamkan ke depan.

Joko merasakan sosoknya tersapu gelombang angin 

dahsyat. Dia cepat siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’ 

karena yakin gelombang pukulan yang dilepas Guru 

Besar Liang San tidak bisa dipandang remeh. Namun 

belum sempat Joko hantamkan kedua tangannya le-

paskan pukulan ‘Lembur Kuning’, Guru Besar Liang 

San telah merangsek maju dengan kedua tangan berkelebat.

Joko urungkan niat lepas pukulan. Sebaliknya ang-

kat kedua tangannya lalu menghadang gerakan kedua 

tangan Guru Besar Liang San.

Begitu kedua pasang tangan bertemu di udara, 

mendadak Guru Besar Liang San gerakkan kesepuluh 

jari tangannya sarangkan totokan dahsyat ke arah ke-

dua tangan murid Pendeta Sinting!

Pendekar 131 cepat sadar. Kedua tangannya segera 

ditarik pulang sedikit ke belakang. Lalu lima jari ta-

ngan kanan ditekuk membentuk bundaran. Saat lain 

disentakkan menghadang sepuluh jari tangan Guru 

Besar Liang San.

Takkk! Takkkk!

Guru Besar Liang San tersentak kaget. Dia rasakan 

menyentuh bara panas luar biasa. Hingga begitu kese-

puluh jari tangannya bentrok dengan tangan Joko, dia 

cepat tarik pulang tangannya.

“Hem.... Anak ini tampaknya menguasai aliran 

‘Sembilan Gerbang Matahari’! Apa hubungannya de-

ngan Bu Beng La Ma...?! Mustahil kalau di seberang 

laut sana ada aliran jurus ‘Sembilan Gerbang Mataha-

ri’! Jangan-jangan aku salah alamat menduga siapa 

sebenarnya anak ini!” Guru Besar Liang San membatin 

seraya salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya 

yang masih terasa panas.

Seperti diketahui, Pendekar 131 memang sempat 

mendapat ilmu jurus ‘Sembilan Gerbang Matahari’ dari

Bu Beng La Ma. (Lebih jelasnya silakan baca serial Jo-

ko Sableng dalam episode: “Kuil Atap Langit ).

“Anak asing! Apa hubunganmu dengan Bu Beng La 

Ma?!” Guru Besar Liang San ajukan tanya.

“Seharusnya kau bertanya sendiri pada Bu Beng La 

Ma. Karena jika aku yang jawab, aku takut kau tidak


akan percaya! Yang pasti, aku tidak kenal dengan o-

rang yang namanya baru kau sebut! Kau mau percaya 

atau tidak, terserah!”

Guru Besar Liang San mendengus marah. Dia tarik 

kedua tangannya ke depan dada. Sepasang matanya 

dipejamkan. Joko maklum apa yang akan dilakukan 

orang. Dengan cepat dia kerahkan hampir setengah 

dari tenaga dalamnya pada kedua tangan. Saat kemu-

dian kedua tangannya ditarik ke belakang siap meng-

hadang pukulan orang dengan lepaskan pukulan ‘Lem-

bur Kuning’.

Guru Besar Liang San buka kedua tangannya lalu 

dihantamkan dengan telapak terbuka. Dua gelombang 

dahsyat berkiblat. Tanah di tempat itu langsung berge-

tar dan bertabur ke udara.

Murid Pendeta Sinting tak mau tinggal diam. Kedua 

tangannya segera disentakkan. Satu sinar kuning di-

sertai gelombang dan hawa panas menyengat melesat.

Bummm! Bummm!

Dua ledakan keras terdengar. Joko tampak tersapu 

empat langkah dan terhuyung-huyung dengan air mu-

ka berubah pucat pasi. Kedua tangannya berputar ba-

lik ke belakang. Dadanya laksana terhantam batu be-

sar hingga mulutnya megap-megap!

Namun rasa sakit pada dada dan nyeri pada kedua 

tangan Joko laksana lenyap tatkala dia melihat bagai-

mana Guru Besar Liang San tetap tak bergeming dari 

tempatnya tegak! Malah sepasang kakinya tampak 

amblas masuk ke dalam tanah sebatas mata kaki!

Belum hilang rasa kejut Joko, mendadak di depan 

sana Guru Besar Liang San gerakkan kedua tangannya 

menakup kembali ke depan dada. Joko tak mau ber-

tindak ayal. Sebelum orang sempat lepaskan pukulan 

kedua kalinya, kali ini murid Pendeta Sinting telah


mendahului dengan lepaskan pukulan ‘Lembur Ku-

ning’.

Untuk kedua kalinya sinar kuning berkiblat disertai 

gemuruhnya gelombang dan hawa panas.

Tapi Pendekar 131 sempat terkejut demi melihat 

Guru Besar Liang San tidak coba gerakkan tangan, un-

tuk menghadang atau membuat gerakan menghindar! 

Dia tegak diam dengan kedua tangan di depan dada 

dan mata terpejam.

“Celaka! Bagaimana ini?! Mengapa dia tidak berbuat 

sesuatu?!” Joko khawatir. Dan ketika hantaman sinar 

kuning kian dekat dan Guru Besar Liang San tidak ju-

ga membuat gerakan, Joko buka mulut berteriak.

“Cepat menyingkir!”

Namun teriakannya bukan saja terlambat, tapi juga 

tertelan oleh gemuruh suara pukulan itu sendiri, hing-

ga tanpa ampun lagi baik sinar kuning maupun gelom-

bang hawa panas pukulan ‘Lembur Kuning’ menghan-

tam sosok Guru Besar Liang San!

Mungkin tidak tega melihat apa yang akan dialami 

orang, begitu pukulan ‘Lembur Kuning’ menghantam 

telak sosok Guru Besar Liang San, murid Pendeta Sin-

ting pejamkan sepasang matanya dengan menggumam 

tak jelas.

“Ini bukan salahku.... Sejak semula aku tidak 

punya niat untuk membunuhnya.... Aku hanya....” Jo-

ko tidak lanjutkan bisikannya tatkala mendadak terde-

ngar suara.

“Kau kira semudah itu aku terbunuh?!”

“Heran.... Suaranya sama! Tapi apa mungkin? Jan-

gan-jangan ada orang lain di tempat ini! Atau jangan-

jangan aku sedang bermimpi!” Joko bergumam dengan 

mata masih terpejam. Dan mungkin takut kalau ten-

gah bermimpi, tangan kanannya dicubitkan pada tangan kirinya.

“Masih terasa sakit.... Berarti aku tidak sedang ber-

mimpi! Berarti ada orang lain di tempat ini!”

Pendekar 131 perlahan-lahan buka sepasang mata-

nya. Seketika matanya terpentang besar tak berkesip. 

Malah mungkin karena tidak yakin, kedua tangannya 

digosok-gosokkan pada kelopak matanya. Lalu dibe-

liakkan lagi.

“Aneh.... Bagaimana mungkin?! Aku tadi melihat dia 

terkena pukulan ‘Lembur Kuning’. Tapi orangnya tetap 

berada di situ! Mulutnya tidak semburkan darah ma-

lah tersenyum!”

“Ada yang hendak kau katakan, Anak Muda?!” kata 

Guru Besar Liang San yang ternyata tidak cedera sama 

sekali, bahkan tidak bergeming dari tempatnya semula 

meski baru saja terhantam telak pukulan ‘Lembur 

Kuning’! Laki-laki berkepala gundul ini hanya terlihat 

pucat dan sedikit bergetar.

Karena masih terpana dengan apa yang dilihat, per-

tanyaan Guru Besar Liang San membuat murid Pen-

deta Sinting surutkan langkah satu tindak dengan ma-

ta makin terpentang.

“Anak muda!” kata Guru Besar Liang San seraya ge-

lengkan kepala. “Kalau kau kurang puas dan tidak ya-

kin, kau boleh sekali lagi menyerangku. Aku tidak 

akan bergerak atau membalas!”

Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San angkat 

kedua kakinya yang masuk amblas ke dalam tanah. 

Saat lain dia takupkan kedua tangannya kembali di 

depan dada dengan mata dipejamkan.

Karena ditunggu agak lama Joko tidak membuat ge-

rakan atau buka suara, Guru Besar Liang San buka 

kembali kelopak matanya. Bibirnya tersenyum lalu 

berkata.


“Anak muda! Kau telah tahu bahwa pukulanmu ti-

dak bisa mencederaiku, apalagi dapat membunuhku.... 

Sekarang aku ingin tahu apakah pukulanku juga ti-

dak bisa melukai sekaligus membunuhmu?!”

Kuduk Joko jadi merinding. Tampaknya Guru Besar 

Liang San dapat menangkap sikap orang. Hingga de-

ngan senyum lebar dia kembali buka suara.

“Anak muda! Aku tidak bisa melukai apalagi mem-

bunuh orang. Tapi bukan berarti aku akan membiar-

kanmu pergi tanpa memberikan apa yang kuminta! 

Dan seharusnya kau mengerti apa sebaiknya yang ha-

rus kau lakukan!”

Selesai berkata, kedua tangan Guru Besar Liang 

San menjulur ke depan dan kembali membuat gerakan 

sikap seperti orang meminta.

“Berikan peta wasiat itu atau aku akan mengambil-

nya dengan caraku sendiri!”

“Segala sesuatu harus ada imbalan baliknya! Kau 

meminta tanpa menjanjikan imbalan layak. Sementara 

aku memintanya dengan imbalan yang bukan saja la-

yak namun juga nikmat!” Tiba-tiba satu suara menya-

hut disusul kemudian dengan suara tawa merdu. Ke-

jap lain satu bayangan berkelebat.

Kepala Guru Besar Liang San dan murid Pendeta 

Sinting sama berpaling ke arah kanan. Di sana telah 

tegak seorang perempuan setengah baya berparas can-

tik jelita. Rambutnya hitam lebat disanggul sedikit ke 

atas, sebagian lagi digeraikan ke bagian samping pipi 

kanan kirinya. Bibirnya merah menyala dengan alis 

mata ditambah pewarna hitam. Pada lehernya yang 

jenjang dan putih terlihat tato bergambar bulan sabit. 

Perempuan ini mengenakan pakaian warna putih tipis 

hingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Kepalanya me-

ngenakan sebuah mahkota bergambar bulan sabit berwarna kuning keemasan.

“Ouw Kiu Lan!” desis Guru Besar Liang San menge-

nali siapa adanya si perempuan yang baru muncul.

“Bidadari Bulan Emas!” gumam Joko demi melihat 

siapa adanya si perempuan.

***

SEPULUH



PEREMPUAN setengah baya berparas cantik menge-

nakan pakaian warna putih tipis dan bukan lain me-

mang Ouw Kiu Lan alias Bidadari Bulan Emas murid 

Hantu Bulan Emas, melirik sesaat pada Guru Besar 

Liang San. Saat lain perempuan ini putar diri ha-

dapkan tubuh pada Guru Besar Liang San. Bibirnya 

yang merah menyala tersenyum. Tangan kanannya si-

bakkan sebagian geraian rambut pada pipinya. Tangan 

kiri bergerak sedikit di atas pinggulnya mengikuti ge-

rakan pinggulnya yang meliuk. Sepasang matanya se-

tengah dipejamkan. Lalu terdengar suaranya.

“Sudah lama kita tidak berjumpa.... Dan sebenar-

nya sudah lama pula aku ingin bertemu denganmu, 

Guru Besar Liang San....”

Guru Besar Liang San sesaat tadi sempat tergetar 

melihat gerakan Bidadari Bulan Emas. Namun dia se-

gera alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Se-

mentara Pendekar 131 mendelik dengan dada berde-

bar. Namun murid Pendeta Sinting ini tak hendak alih-

kan pandangannya dari sosok Bidadari Bulan Emas.

“Bidadari Bulan Emas!” kata Guru Besar Liang San. 

“Harap kau suka tinggalkan tempat ini!”

Bidadari Bulan Emas hentikan liukan pinggulnya.


Kedua tangannya ditarik ke atas didekapkan pada da-

danya. Tetap dengan senyum mengembang dia angkat 

suara.

“Rupanya hari ini kau lain dari biasanya. Dan harap 

kau tahu, untuk kali ini rasanya aku tak dapat meme-

nuhi permintaanmu....”

Guru Besar Liang San sentakkan kepala mengha-

dap Bidadari Bulan Emas. “Tampaknya dia sudah tahu 

urusan! Hem.... Apa boleh buat. Kalau dia tak bisa di-

jinakkan dengan kata-kata, terpaksa aku mele-

nyapkannya juga!”

Membatin begitu, Guru Besar Liang San segera 

angkat suara. “Bidadari Bulan Emas! Sebenarnya apa 

maumu?!”

“Kita punya maksud sama, Guru Besar.... Namun 

aku datang dengan membawa imbalan yang tidak kau 

tawarkan pada pemuda itu! Tapi aku bukanlah orang 

yang tidak adil. Kalau kau mau tawaranku, aku juga 

akan memberimu imbalan pantas!” Habis berkata begi-

tu, kedua tangan Bidadari Bulan Emas diturunkan ke 

bawah. Kaki kanannya diangkat. Dengan bibir tetap 

tersenyum perlahan-lahan perempuan berparas cantik 

ini tarik pakaiannya ke atas!

Joko makin melotot melihat gerakan kain putih mi-

lik Bidadari Bulan Emas yang pelan-pelan menyingkap 

hingga menampakkan kemulusan betis dan pahanya!

“Edan! Pahanya mulus dan kencang...,” desis murid 

Pendeta Sinting dengan dada makin berdebar. Dan en-

tah karena terkesima dan tak sabar melihat gerakan 

singkapan kain yang terlalu pelan-pelan, Joko tunduk-

kan sedikit kepalanya dengan tubuh sedikit dibung-

kukkan!

Tampaknya Bidadari Bulan Emas dapat melihat ge-

rakan Joko. Dengan melirik, perempuan ini gerakkan


tangan kiri. Lalu perlahan-lahan pula tangan kirinya 

menarik pakaian yang masih membungkus kaki kiri-

nya!

“Astaga! Perempuan ini benar-benar nekat! Tapi 

sayang jika pemandangan ini dibiarkan, berlalu begitu 

saja! Siapa tahu, dia tidak mengenakan pakaian da-

lam....”

“Cukup!” Tiba-tiba terdengar bentakan dari mulut 

Guru Besar Liang San tatkala singkapan pakaian Bi-

dadari Bulan Emas dua jengkal lagi sampai di pangkal 

pahanya.

Bidadari Bulan Emas hentikan gerakan kedua ta-

ngannya. Namun perempuan ini tidak berusaha menu-

tup kembali pakaiannya yang telah tersingkap.

“Guru Besar Liang San.... Kudengar suaramu berge-

tar.... Harap dimaafkan. Aku hanya ingin menunjuk-

kan kalau imbalan yang akan kuberikan sangat layak!

Kau nanti bisa menikmatinya sepuasmu.... Bahkan 

aku telah menyediakan tempat yang pantas pula! Kau 

tak perlu khawatir ada orang yang tahu.... Karena aku 

yakin, kau pasti masih takut untuk melakukannya! 

Sebab mungkin baru pertama kali ini kau akan me-

nikmatinya sepanjang usiamu....”

“Amitaba...,” gumam Guru Besar Liang San sambil 

pejamkan sepasang matanya dengan dada bergemuruh 

karena tadi sempat melihat singkapan paha Bidadari 

Bulan Emas. Di lain pihak, Joko tambah pentang mata 

apalagi dia tahu Bidadari Bulan Emas tidak meman-

dang ke arahnya.

“Bidadari Bulan Emas!” kata Guru Besar Liang San 

dengan suara setengah tersendat dan agak bergetar. 

“Sekali lagi kuminta kau segera tinggalkan tempat ini! 

Imbalan apa pun yang akan kau berikan, aku tidak 

akan tertarik!”


“Hem.... Betul begitu?!” tanya Bidadari Bulan Emas. 

Saat bersamaan tiba-tiba perempuan ini putar tubuh 

menghadap Pendekar 131.

Murid Pendeta Sinting gelagapan dan buru-buru lu-

ruskan tubuh dengan mata diarahkan ke jurusan lain. 

Namun wajahnya berubah merah padam.

Bidadari Bulan Emas tersenyum. “Pendekar 131! 

Bagaimana dengan kau?! Apakah juga tidak tertarik 

dengan imbalan yang kujanjikan?! Bahkan untukmu, 

aku masih menambah dengan tawaran yang pernah 

kukatakan tempo hari!”

Seperti diketahui, Pendekar 131 memang sempat 

bertemu sebelumnya dengan Bidadari Bulan Emas. 

Saat itu Bidadari Bulan Emas menjanjikan memberi 

perahu dan pengawalan sampai Joko menyeberang 

laut. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam 

episode : “Kuil Atap Langit ).

“Hem.... Ternyata mereka sudah pernah bertemu 

sebelum ini!” kata Guru Besar Liang San dalam hati. 

Matanya tetap dipejamkan. Namun orang ini diam-

diam kerahkan tenaga dalam dan pasang telinga baik-

baik.

“Kau tidak menjawab. Berarti kali ini kau setuju 

dengan tawaranku!” kata Bidadari Bulan Emas saat di-

tunggunya murid Pendeta Sinting tidak buka mulut. 

Perempuan ini segera lepaskan pegangannya pada kain 

bawahnya. Lalu melangkah ke arah Joko.

“Jangan bergerak dari tempatmu!” Mendadak Guru 

Besar Liang San perdengarkan bentakan. Matanya te-

tap terpejam meski kini wajahnya dihadapkan lurus 

pada Bidadari Bulan Emas.

Bidadari Bulan Emas hentikan langkah. “Guru Be-

sar.... Aku telah menawarkan sesuatu padamu dan 

kau tidak setuju. Berarti di antara kita tidak ada lagi


urusan! Sekarang kuharap kau tidak ikut campur uru-

sanku! Ini urusan kenikmatan antara aku dengan pe-

muda itu.... Atau barangkali kau sekarang berubah pi-

kiran?!”

Guru Besar Liang San buka matanya. “Aku harus 

selesaikan dulu urusanku dengan pemuda itu. Setelah 

itu silakan kau urusi tawaranmu dengannya!”

“Sayang sekali.... Mungkin kau belum tahu. Urusan 

kenikmatan tidak bisa ditunda-tunda, Guru Besar!” 

kata Bidadari Bulan Emas dengan sunggingkan se-

nyum lalu berpaling pada Joko dan berkata. “Bukan-

kah begitu, Pendekar?!”

Habis bertanya, Bidadari Bulan Emas lanjutkan

langkah. Joko pandang silih berganti pada Guru Besar 

Liang San dan Bidadari Bulan Emas.

“Tunggu!” Joko berseru ketika melihat Bidadari Bu-

lan Emas terus melangkah ke arahnya sementara 

Guru Besar Liang San tidak membuat gerakan atau 

buka suara.

Namun Bidadari Bulan Emas tidak pedulikan uca-

pan orang. Dia teruskan langkah meski sesekali ekor 

matanya melirik pada Guru Besar Liang San.

“Tunggu!” kembali Joko berteriak dengan kedua 

tangan diangkat memberi isyarat agar Bidadari Bulan

Emas hentikan langkah.

Bidadari Bulan Emas hentikan langkah dengan bi-

bir tersenyum. “Pendekar 131.... Kau tak usah khawa-

tir! Aku yang menawarkan. Jadi aku yang berhak me-

milih.... Dan aku jatuhkan pilihan padamu! Lagi pula 

Guru Besar itu tidak tertarik pada tawaranku. Tapi 

mungkin penolakannya itu karena ada kau di sini.... 

Meski begitu, aku tidak akan mengecewakan orang....” 

Bidadari Bulan Emas menoleh pada Guru Besar Liang 

San. “Guru Besar.... Aku akan mengatakan satu tempat padamu. Setiap saat tempat itu akan terbuka un-

tuk kedatanganmu. Dan kau boleh....”

Belum sampai Bidadari Bulan Emas teruskan uca-

pan, Guru Besar Liang San telah menyahut. “Jangan 

mimpi kau bisa membodohiku! Sekali lagi kuperin-

gatkan untuk segera tinggalkan tempat ini!”

“Baik!” kata Bidadari Bulan Emas dengan masih 

tersenyum. Dia berpaling pada Joko. “Pendekar 131... 

Dia tidak senang dengan keberadaan kita.... Sebaiknya 

kita turuti kemauannya!”

“Kau datang sendiri! Jangan berlaku bodoh pergi 

mengajak orang lain!” Guru Besar Liang San memben-

tak.

“Hem.... Baik!” ujar Bidadari Bulan Emas dengan 

memandang pada murid Pendeta Sinting. Perempuan 

ini kedipkan sebelah matanya. Lalu berpaling dan ten-

gadah seraya berkata. “Kita lihat nanti. Apakah pemu-

da itu akan ikut denganmu yang tidak menawarkan 

apa-apa atau ikut denganku yang menjanjikan kenik-

matan luar biasa!”

Habis berkata begitu, Bidadari Bulan Emas gerak-

kan tubuh memutar setengah lingkaran. Saat berikut-

nya dia melangkah hendak tinggalkan tempat itu.

“Hem.... Perempuan ini tentu tahu banyak. Aku a-

kan mengikutinya meski aku harus lebih waspada!” 

Joko akhirnya memutuskan. Lalu berteriak.

“Bidadari! Tunggul Aku ikut denganmu! Aku ingin 

kenikmatan luar biasa itu!”

Joko berkelebat ke depan. Namun Guru Besar Liang 

San tidak tinggal diam. la cepat melesat ke depan dan 

menghadang.

“Anak muda! Serahkan dulu apa yang kuminta! Se-

telah itu silakan kau bersenang-senang dengannya!”

“Aku telah menyerahkannya pada Guru Besar Pu Yi!


Dan harap tidak menghalangiku.... Kau tahu, tawaran 

menarik ini tidak selamanya bisa didapati perempuan 

cantik. Tubuhnya bahenol dan kulitnya mulus....”

Bidadari Bulan Emas hentikan langkah dengan dahi 

berkerut. “Apa benar dia telah serahkan peta wasiat itu 

pada Guru Besar Pu Yi?! Celaka kalau hal ini benar-

benar terjadi.... Padahal Guru Besar Pu Yi telah tewas. 

Tapi kalau benar, mengapa Guru Besar Liang San ma-

sih memintanya pada pemuda itu?! Hem.... Ini ada dua 

kemungkinan. Pemuda itu benar-benar telah membe-

rikan peta wasiat pada Guru Besar Pu Yi dan Guru Be-

sar Pu Yi sengaja merahasiakannya. Kedua, pemuda 

itu hanya membuat alasan! Tapi aku tak boleh sia-

siakan kesempatan ini! Dia tadi telah memutuskan un-

tuk ikut denganku! Hem.... Ucapan Guru ternyata be-

nar. Aku harus menghadapi laki-laki bukan dengan 

pukulan, tapi dengan cara lain....”

Setelah membatin begitu Bidadari Bulan Emas ba-

likkan tubuh lalu berkata.

“Guru Besar Liang San.... Kau telah dengar jawaban 

dan permintaan orang. Harap kau suka membiarkan-

nya pergi!”

“Dia tak akan pergi!”

“Hem.... Kau menolak dan tidak tertarik dengan ta-

waranku. Sebaliknya kau menghalangi dia pergi. Aku 

jadi khawatir. Jangan-jangan kau selama ini punya se-

lera dengan sesama jenis!”

Tampang Guru Besar Liang San berubah tegang 

dan merah padam. Dia balikkan tubuh menghadap Bi-

dadari Bulan Emas.

“Aku telah cukup bersabar. Namun ucapanmu su-

dah sangat keterlaluan!”

“Kau yang terlalu karena hendak menghalangi 

orang yang ingin bersenang-senang!”


Guru Besar Liang San tak bisa lagi menahan gejolak 

amarah. Tangan kanannya diangkat. Namun dia tidak 

segera lepas pukulan. Sementara di seberang, Bidadari 

Bulan Emas tersenyum dan berkata.

“Aku telah turuti permintaanmu. Datang sendiri 

dan akan pergi sendiri pula. Tapi aku tidak akan ting-

gal diam kalau kau halangi orang yang akan ikut den-

ganku!”

Bidadari Bulan Emas teruskan pandang matanya 

lewat pundak Guru Besar Liang San ke arah Pendekar 

131 yang tegak di belakang Guru Besar Liang San. 

Dengan tersenyum, Bidadari Bulan Emas berseru.

“Pendekar 131! Tentunya kau sudah tak sabar....”

“Ah.... Benar!” sahut murid Pendeta Sinting sebelum 

ucapan Bidadari Bulan Emas selesai. “Kita teruskan 

rencana!”

Belum sampai ucapannya selesai, Joko telah berke-

lebat melewati Guru Besar Liang San dan tahu-tahu 

sosoknya telah tegak menjajari Bidadari Bulan Emas. 

Saat lain Joko menggandeng tangan si perempuan lalu 

balikkan tubuh. Bidadari Bulan Emas sempat terkejut 

dengan sikap Pendekar 131 yang berubah seketika. 

Karena pada pertemuan pertama, Joko tampak tidak 

tertarik sama sekali meski sempat terpesona dengan 

paras dan sikap orang.

Bidadari Bulan Emas tersenyum dan menggenggam 

erat tangan Joko. Kejap lain perempuan ini ikut balik-

kan tubuh.

***


SEBELAS


GURU Besar Liang San makin berang. Tangan kiri-

nya segera diangkat menjajari tangan kanannya. Kejap 

lain kedua tangannya dihantamkan ke arah Pendekar 

131 Joko Sableng dan Bidadari Bulan Emas yang hen-

dak berkelebat tinggalkan tempat itu.

Namun sebelum dua gelombang dahsyat berkiblat 

dari kedua tangan Guru Besar Liang San, mendadak 

udara di tempat itu disemburati kilauan cahaya putih. 

Guru Besar Liang San berpaling ke arah sumber ca-

haya dan cepat tadangkan kedua tangannya di depan 

mata karena silau. Sementara di depan sana, Pendekar 

131 dan Bidadari Bulan Emas urungkan niat berkele-

bat. Malah karena silau, kedua orang ini cepat le-

paskan genggaman tangan masing-masing dan segera 

di-tadangkan di depan mata.

“Apa yang terjadi?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Aku juga tak tahu! Tapi jelas ini bukan ulah manu-

sia gundul itu! Ada orang lain yang melakukannya!” 

jawab. Bidadari Bulan Emas seraya palingkan kepala 

dengan tangan masih di depan mata.

Begitu Guru Besar Liang San, Pendekar 131, dan 

Bidadari Bulan Emas tadangkan masing-masing ta-

ngan, mendadak semburatan cahaya lenyap. Masing-

masing orang sama turunkan tangan lalu memandang 

ke satu arah.

Tiga puluh langkah di seberang sana terlihat satu 

benda bulat berupa batu putih yang bergerak terayun-

ayun di ujung sebuah tambang. Tambang itu lurus ke 

atas ke sebuah rimbun dedaunan sebatang pohon be-

sar.

Guru Besar Liang San tersentak. “Dia!” desisnya


dengan mata bergerak mengikuti tambang yang masuk 

ke rimbun dedaunan.

Di lain pihak, murid Pendeta Sinting dan Bidadari 

Bulan Emas gerakkan kepala ke arah rimbun deda-

unan di mana tambang berujung batu putih berasal. 

Namun sejauh ini, baik Guru Besar Liang San, Pende-

kar 131, maupun Bidadari Bulan Emas belum melihat 

siapa-siapa. Hanya saja, Guru Besar Liang San sudah 

bisa menebak siapa adanya orang di balik rimbun de-

daunan.

“Kau tahu siapa yang membuat permainan ini?!” 

Joko kembali bertanya.

Sepasang mata Bidadari Bulan Emas turun naik 

memperhatikan tambang dan batu putih yang ber-

goyang-goyang. “Tak mungkin!” desisnya.

Joko menoleh. “Apa yang tak mungkin?!”

“Tak mungkin dia! Tapi....”

“Dia siapa?! Tapi apa?!” Joko terus bertanya seolah 

tak sabar karena Bidadari Bulan Emas tidak segera 

menjawab.

Belum sampai Bidadari Bulan Emas buka mulut la-

gi, tiba-tiba rimbun dedaunan bergerak. Satu sosok 

tubuh meluncur ke bawah. Bersamaan dengan itu ba-

tu bulat putih di ujung tambang melesat ke atas. Lalu 

melayang ke bawah tepat di depan wajah orang ketika 

sosok yang meluncur dari rimbun dedaunan injakkan 

kaki di atas tanah. Hingga baik Guru Besar Liang San, 

Joko, dan Bidadari Bulan Emas tidak bisa melihat raut 

wajah orang!

“Astaga! Tampaknya memang dia!” desis Bidadari 

Bulan Emas dengan wajah berubah tegang.

“Dari tadi kau terus berkata dia! Dia dan dia!” Pen-

dekar 131 menggerendeng. Sementara sepasang mata-

nya menatap tak berkesip ke depan. Malah karena in


gin melihat tampang orang, dia gerakkan kepala ke 

samping kanan. Namun di depan sana, orang yang ba-

ru meluncur dari atas pohon ikut gerakkan kepala dan 

kakinya bergerak satu tindak ke samping kiri. Hingga 

Joko, gagal melihat wajah orang.

“Heran! Dia sepertinya malu-malu tunjukkan tam-

pang!” gumam murid Pendeta Sinting. Kini dia coba ge-

rakkan kepala ke samping kiri. Bersamaan dengan itu, 

orang di depan sana juga gerakkan kepala. Aneh-nya, 

meski wajahnya tertutup bundaran batu putih, orang 

ini seolah tahu ke mana gerakan kepala Joko!

“Busyet! Ada apa dengan orang ini? Mengapa wajah-

nya takut dipandang orang?!” Joko terus bergumam. 

Dan mungkin penasaran, Joko gerakkan kepala ke 

samping kanan kiri.

Di depan sana, orang yang wajahnya tertutup batu 

putih goyangkan pantatnya. Tambang yang bagian 

pangkalnya ternyata berada di punggungnya serentak 

bergerak-gerak. Batu putih di ujung tambang ber-

goyang-goyang seirama gerakan kepala Pendekar 131!

Murid Pendeta Sinting mulai dongkol. Dia berkele-

bat ke samping dengan kerahkan tenaga dalam hingga

gerakannya hampir sulit ditangkap mata biasa. Namun 

orang di depan sana cepat putar diri setengah lingka-

ran! Hingga kembali Joko tidak dapat melihat wajah 

orang.

“Jangkrik! Aku bisa gila sendiri jika terus turuti o-

rang itu!” Joko balikkan tubuh lalu melompat lagi dan 

tegak menjajari Bidadari Bulan Emas dengan tampang

“Menurut yang kudengar, dia akan selalu berbuat 

begitu jika ada orang memaksakan diri hendak melihat 

wajahnya. Tapi jika orang berlaku biasa saja, kadang-

kadang dia akan tunjukkan wajahnya....” Bidadari Bu-

lan Emas berbisik.


“Kalaupun dia nanti tunjukkan tampang, aku tidak 

akan melihatnya! Daripada melihat tampang yang begi-

tu-begitu, lebih baik melihatmu!” Joko menyahut se-

raya melotot pada Bidadari Bulan Emas. Yang dipeloto-

ti tersenyum dan busungkan dada. Dan merasa kha-

watir munculnya orang akan menambah urusan, Joko 

segera angkat suara pelan. “Bidadari.... Kita harus se-

gera pergi! Biarlah orang aneh itu jadi urusan Guru 

Besar Liang San.... Kita punya acara sendiri, bukan?!”

Bidadari Bulan Emas lebarkan senyum. Kepalanya 

bergerak mengangguk. Mulutnya membuka. Namun 

sebelum suaranya terdengar, orang yang wajahnya ter-

tutup batu putih dan tidak lain adalah Dewa Cadas 

Pangeran perdengarkan suara.

“Kalau akan bersenang-senang, mengapa tidak me-

ngajakku ikut serta?! Apakah aku tidak pantas untuk 

ikut menikmatinya?!”

Semua yang ada di tempat itu terkesiap mendapati 

orang telah tahu maksud Bidadari Bulan Emas dan 

murid Pendeta Sinting.

“Busyet! Bagaimana dia bisa tahu maksud kita?! 

Jangan-jangan dia sudah sejak tadi berada di sekitar 

tempat ini dan mendengarkan semua pembicaraan ki-

ta!” kata Joko. Kepalanya berpaling ke arah Dewa Ca-

das Pangeran. “Bidadari.... Dia bisa merusak acara 

asyik kita!”

“Hem.... Kehadirannya benar-benar akan mengha-

langi langkahku! Apa yang harus kulakukan?! Menu-

rut yang kudengar, dia berilmu sangat tinggi! Belum 

lagi harus menahan gerakan Guru Besar Liang San....” 

Diam-diam Bidadari Bulan Emas membatin. Lalu ber-

bisik pada Joko. “Pendekar 131.... Kita belum tahu apa 

maksud dia sebenarnya. Lebih baik kita bicara baik-

baik dahulu. Kau tahu.... Dia adalah tokoh negeri ini


dari generasi lama. Itulah sebabnya mengapa aku tadi 

hampir tidak percaya dengan kemunculannya. Sebab 

beberapa tokoh yang satu angkatan dengan dia sudah 

banyak yang meninggal! Lagi pula namanya sudah ja-

rang sekali disebut-sebut orang....”

“Aku tak pernah merasa punya urusan dengan dia! 

Kalau kau ingin bicara, bicaralah! Dan peduli setan 

siapa dia sebenarnya!” Joko sambuti ucapan Bidadari 

Bulan Emas dengan dada tetap mendongkol karena si-

kap orang.

“Pendekar 131.... Kau memang tak punya urusan 

dengan dia. Tapi kau harus sadar, siapa pun saat ini 

pasti merasa punya urusan denganmu! Kau tentu tahu 

urusan apa itu....”

“Persetan dengan segala macam urusan! Kalau kau 

tak ingin pergi, aku akan pergi sendiri!” Joko sudah 

hendak gerakkan tubuh. Namun tangan kanan Bida-

dari Bulan Emas cepat mencekal lengannya dan berka-

ta.

“Aku akan bicara dengannya! Kau harus dengar dan 

tahu apa maksud dia sebenarnya! Setelah itu baru kita 

pergi!”

Setelah berkata begitu, masih cekal lengan murid 

Pendeta Sinting, Bidadari Bulan Emas angkat suara.

“Kalau tak salah, bukankah yang ada di hadapanku 

saat ini adalah Dewa Cadas Pangeran?!”

Guru Besar Liang San yang sedari tadi tegak diam

dan memperhatikan pada Dewa Cadas Pangeran tam-

pan terlengak.

“Astaga! Mengapa aku lupa?! Rasanya aku memang 

pernah dengar nama itu!” gumam Guru Besar Liang 

San sekali lagi perhatikan orang dengan lebih seksa-

ma. “Mungkin ini karena aku terlalu tenggelam me-

mikirkan peta wasiat itu!”


Dewa Cadas Pangeran perdengarkan suara tawa 

pendek. Namun meski semua orang menunggu uca-

pannya, kakek ini tidak juga angkat suara, membuat 

Bidadari Bulan Emas berkata lagi.

“Orang tua! Siapa pun kau adanya, harap kau ka-

takan apa maksudmu sebenarnya!”

“Orang cantik! Aku ingin tanya. Apakah orang se-

pertiku ini tidak pantas mendapat kenikmatan?!”

“Siapa pun berhak mendapatkannya!”

“Kalau begitu, bagaimana kalau aku ikut bersama 

denganmu?! Bukankah kau hendak bagi-bagikan ke-

nikmatan?!”

Paras wajah Bidadari Bulan Emas berubah meme-

rah. Namun perempuan ini menahan gejolak geramnya 

dengan tersenyum dan berkata.

“Orang tua! Sebenarnya aku memang ingin meng-

ajakmu ikut serta dan membagi kenikmatan dengan-

mu. Tapi sayang sekali.... Hari ini aku telah menentu-

kan pilihan.... Lagi pula aku tidak biasa membagi ke-

nikmatan dengan orang yang belum kukenal!”

“Ah.... Kau berpura-pura. Bukankah kau telah tahu 

namaku?!”

“Hem.... Jadi benar dia adalah Dewa Cadas Pange-

ran!” Guru Besar Liang San dan Bidadari Bulan Emas 

sama membatin.

Bidadari Bulan Emas melirik sesaat pada Guru Be-

sar Liang San. “Hem.... Dewa Cadas Pangeran mungkin 

masih bisa diajak kompromi. Aku akan memanfaatkan 

dia untuk menghadang gerakan Guru Besar Liang 

San....”

Setelah membatin begitu, Bidadari Bulan Emas a-

rahkan wajahnya pada Dewa Cadas Pangeran dan ber-

kata.

“Dewa Cadas Pangeran! Karena aku telah tahu sia


pa kau, dan demi agar kau tidak kecewa, aku akan 

mengajakmu ikut serta dan aku berjanji akan membagi 

kenikmatan pula denganmu!”

Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang. 

Batu putih di depan wajahnya bergoyang-goyang, ke-

ras mengikuti gerakan kepala orang yang tersentak-

sentak. Sementara Pendekar 131 tampak terlengak 

mendengar ucapan Bidadari Bulan Emas. Di lain pi-

hak, Guru Besar Liang San makin tidak enak. Tam-

paknya dia sadar, kalau benar Dewa Cadas Pangeran 

hendak ikut Bidadari Bulan Emas, maka dia harus 

berhadapan dengan tiga orang. Sementara murid Pen-

deta Sinting membatin.

“Celaka kalau dia hendak ikut serta! Aku yakin, 

meski dia mengatakan ingin merasakan kenikmatan, 

tapi sebenarnya dia akan mengikutiku! Pasti dia sudah 

tahu tentang peta wasiat itu!”

“Bidadari!” kata Joko. “Aku tak ingin ada orang lain 

di antara kita! Sekarang kau harus putuskan. Memilih 

dia atau aku!”

“Ha.... Ha.... Ha...! Tak usah khawatir, Anak Muda!” 

Tiba-tiba Dewa Cadas Pangeran angkat suara. “Bukan 

saja kau yang tak ingin diikuti orang lain! Aku pun 

demikian! Aku tak ingin kau ada di antara aku dan Bi-

dadari Bulan Emas!”

Bidadari Bulan Emas terkesiap. Bukan saja karena 

ucapan Dewa Cadas Pangeran yang membuatnya bi-

ngung, namun ternyata Dewa Cadas Pangeran telah 

tahu siapa dirinya!

“Bidadari Bulan Emas!” Dewa Cadas Pangeran kem-

bali perdengarkan suara. “Sekarang keputusan ada di 

tanganmu! Kau memilih aku atau dia yang ikut dan 

berbagi kenikmatan denganku!”

Bidadari Bulan Emas eratkan cekatannya pada lengan Pendekar 131 dan berbisik. “Pendekar 131.... 

Tentu aku akan memilihmu! Tapi sengaja aku berkata 

mengajaknya, untuk menahan Guru Besar Liang San! 

Kau tahu, Guru Besar Liang San pun pasti masih ber-

pikir dua kali jika harus berhadapan dengan Dewa Ca-

das Pangeran! Setelah itu aku tahu bagaimana caranya 

menyingkirkannya! Itu urusanku! Jadi sementara ini 

kau pura-pura mengalah....”

Baru saja Bidadari Bulan Emas berbisik, di depan 

sana Dewa Cadas Pangeran angkat tangan kanannya. 

“Bidadari Bulan Emas.... Jangan kira kau bisa mem-

bohongi diriku! Aku ingin kau memilih tanpa ada ren-

cana tersembunyi di baliknya! Dan kau, Anak Muda 

dari seberang laut! Kita sama laki-laki. Tak ada guna-

nya berlaku pura-pura mengalah!”

Bidadari Bulan Emas dan Pendekar 131 saling pan-

dang dengan wajah sama berubah. Mereka tidak men-

duga kalau pembicaraan mereka dapat didengar Dewa 

Cadas Pangeran. Padahal jarak mereka agak jauh dan 

mereka berbisik!

“Apa boleh buat!” gumam Bidadari Bulan Emas ke-

palang basah. Dia dongakkan kepala lalu berkata.

“Dewa Cadas Pangeran! Untuk kali ini aku memilih 

pemuda ini! Tapi aku masih memberimu kesempatan 

dan waktu jika kau ingin bersenang-senang dengan-

ku!”

“Ah.... Rupanya hari ini nasibku tidak baik! Dan 

sayangnya, kesempatan dan waktuku cuma hari ini!” 

Kepala Dewa Cadas Pangeran bergerak menggeleng. 

Saat lain dia berkata. “Anak muda dari seberang laut! 

Bagaimana kalau hari ini kau berikan kesempatanmu 

padaku?! Bukankah kau masih punya tiga hari di de-

pan?! Lagi pula kau masih muda! Waktumu masih 

panjang.... Tidak seperti diriku yang renta! Aku tak in


gin sia-siakan kesempatan bagus ini!”

“Dia tahu waktuku masih tiga hari lagi! Berarti dia 

tahu tentang hari ganda sepuluh! Ini satu bukti kalau 

dia mengerti urusan peta wasiat!” Pendekar 131 mem-

batin dengan dada tidak enak.

“Bagaimana, Anak Muda?!” Dewa Cadas Pangeran 

ajukan tanya saat ditunggu agak lama tidak terdengar 

sahutan dari Pendekar 131.

Entah karena apa tiba-tiba Joko enak saja menja-

wab. “Baiklah! Hari ini kesempatanku kuberikan pa-

damu!”

Bidadari Bulan Emas cengkeram lengan murid Pen-

deta Sinting dan berbisik dengan nada ketus. “Kau ti-

dak sungguh-sungguh, bukan?!”

“Bidadari.... Dia mengaku telah berusia lanjut. Tak

ada salahnya kalau kau berikan satu kenangan di ak-

hir usianya itu!”

“Tidak! Aku tidak mau pergi bersamanya!” dengus 

Bidadari Bulan Emas.

Terima kasih, Anak Muda!” kata Dewa Cadas Pange-

ran. “Perihal dia tidak mau pergi bersamaku, itu uru-

sanku! Yang penting kau telah serahkan hakmu pada-

ku!”

Tengkuk Bidadari Bulan Emas mau tak mau jadi 

dingin mendengar ucapan Dewa Cadas Pangeran. Dari 

cerita yang pernah didengar, dia maklum siapa adanya 

Dewa Cadas Pangeran. Selain aneh, dia memiliki ilmu 

sangat tinggi dan sukar dijajaki.

Bidadari Bulan Emas melirik sesaat pada Joko. Na-

mun sebelum dia sempat berucap, Dewa Cadas Pange-

ran telah perdengarkan suara.

“Anak muda dari seberang laut! Karena kau telah 

serahkan kesempatanmu padaku, harap kau sekarang 

segera pergi dari tempat ini!”


“Tidak ada yang akan meninggalkan tempat ini!”

“Tetap di tempat kalian masing-masing!”

Mendadak dua suara terdengar. Guru Besar Liang 

San, Bidadari Bulan Emas, serta Pendekar 131 tampak 

terkesiap. Kepala mereka berpaling. Hanya Dewa Ca-

das Pangeran yang tenang-tenang saja. Bahkan seolah 

tidak pedulikan ucapan yang baru saja terdengar, laki-

laki ini melangkah ke arah Bidadari Bulan Emas!


                             SELESAI


Segera terbit:


DEWI BUNGA ASMARA

























Share:

0 comments:

Posting Komentar