SATU
DARI kuil di puncak atas sana yang dikenal kala-
ngan rimba persilatan dengan Kuil Atap Langit terde-
ngar suara batuk-batuk tiga kali. Guru besar Liang
San dan Hantu Bulan Emas saling lontarkan lirikan
tajam. Lalu sama dongakkan kepala. Saat bersamaan
terdengar ucapan dari atas sana.
“Sebenarnya aku sangat gembira bisa bertemu de-
ngan sahabat. Namun kalau perjumpaan harus diper-
ciki dengan ganjalan, rasanya lebih baik tidak ada per-
temuan....”
“Aku datang untuk bertanya!” Guru Besar Liang
San angkat suara. “Sekarang aku harus pergi!” Guru
Besar Liang San balikkan tubuh. Tapi sebelum sosok-
nya bergerak lebih jauh, Hantu Bulan Emas buka mu-
lut.
“Aku sudah berkata, tidak akan ada yang pergi dari
sini!”
Guru Besar Liang San urungkan niat untuk berke-
lebat pergi. Tanpa balikkan tubuh dia berucap.
“Harap kau katakan apa maksudmu sebenarnya!”
Hantu Bulan Emas tertawa dahulu sebelum berka-
ta. “Aku tahu jika peta wasiat itu ada di tangan kalian
berdua! Serahkan dulu peta wasiat itu padaku!”
Dari kuil di puncak atas sana terdengar suara tawa.
Sementara Guru Besar Liang San kerutkan dahi. Kete-
gangan di wajahnya tidak bisa disembunyikan lagi.
Seperti diketahui, Kwe Bun Lim atau yang lebih di-
kenal dengan Hantu Bulan Emas telah bertahun-tahun
mencari jejak Bu Beng La Ma untuk menyelesaikan u-
rusan dendam lama. Pada mulanya dia sudah mendu-
ga jika Bu Beng La Ma telah meninggal seperti apa
yang selama ini tersiar dalam kalangan rimba persila-
tan. Namun begitu dia bertemu dengan Pendekar 131
Joko Sableng dan tahu jurus apa yang dilakukan mu-
rid Pendeta Sinting, dia mulai yakin jika Bu Beng La
Ma masih hidup. Pada akhirnya dia menuju Kuil Atap
Langit tempat tinggal seorang tokoh yang dulu dikenal
sebagai Guru Bu Beng La Ma.
Dugaan Hantu Bulan Emas tidak meleset. Dia a-
khirnya bisa mengetahui kalau Bu Beng La Ma masih
hidup meski Bu Beng La Ma tidak menunjukkan diri
dan hanya berucap dari Kuil Atap Langit di atas sana.
Namun sebelum Hantu Bulan Emas laksanakan mak-
sudnya, tiba-tiba muncul Guru Besar Liang San yang
datang ke Kuil Atap Langit dengan tujuan untuk mem-
beritahukan lenyapnya Guru Besar Wu Wen She. De-
ngan pemberitahuan ini, Guru Besar Liang San berha-
rap agar Bu Beng La Ma tidak menaruh curiga pada-
nya atas peristiwa yang terjadi di Perguruan Shaolin.
Namun kemunculan Guru Besar Liang San ternyata
merubah maksud Hantu Bulan Emas. Dia menduga
Guru Besar Liang San dan Bu Beng La Ma bersekong-
kol untuk mendapatkan peta wasiat.
“Hantu Bulan Emas!” Terdengar ucapan dari kuil di
puncak sana yang bukan lain adalah suara Bu Beng
La Ma. “Kau boleh percaya atau tidak. Tapi yang pasti,
selama hampir sepuluh tahun terakhir ini, aku tidak
meninggalkan Kuil Atap Langit. Jadi kau salah alamat
jika menduga peta wasiat ada di tanganku.... Lagi pula
aku sudah tidak tertarik dengan urusan yang ada hu-
bungannya dengan dunia persilatan....”
“Siapa percaya dengan keteranganmu! Selama ini
kau sengaja sembunyikan diri dan siarkan kabar ke-
matian agar semua orang menduga kau telah mampus.
Dengan begitu kau leluasa lakukan rencana persekongkolan! Dan kau sengaja pula mengundang seorang
pemuda asing untuk alihkan perhatian orang!” Hantu
Bulan Emas berkata dengan kepala disentakkan ke ju-
rusan lain.
Mendengar ucapan Hantu Bulan Emas, Guru Besar
Liang San terkesiap. Bukan karena tuduhan orang,
melainkan karena ucapan Hantu Bulan Emas yang se-
but-sebut seorang pemuda asing.
“Hem.... Berarti dia telah bertemu dengan pemuda
itu! Aku harus tahu di mana pemuda itu! Dia harus
mengatakannya padaku!” Guru Besar Liang San mem-
batin lalu putar diri.
“Hantu Bulan Emas! Aku tak hendak membuat u-
rusan denganmu meski kau telah menjatuhkan tudu-
han yang tidak benar! Tapi ternyata kau tahu sesuatu
yang saat ini tengah kucari!” Guru Besar Liang San
tersenyum. “Harap kau sudi katakan padaku di mana
pemuda asing yang baru kau katakan!”
Hantu Bulan Emas balik tersenyum seraya menye-
ringai. Dia sudah buka mulut. Namun sebelum suara-
nya terdengar, Guru Besar Liang San telah sambungi
ucapannya.
“Hantu Bulan Emas! Harap kau tidak punya pra-
sangka jika aku menanyakan perihal pemuda asing
itu! Aku tidak kenal siapa dia dan dari mana asalnya!
Kalaupun aku bertanya tentang dia, karena menurut
yang kudengar, pemuda asing itu datang hendak me-
nuju Kuil Shaolin! Karena di perguruan kami baru saja
terjadi musibah, mungkin dia menunda niatnya hingga
sampai sekarang dia belum juga muncul di Kuil Shao-
lin! Aku perlu bertemu dengannya, siapa tahu pemuda
asing itu bisa memberikan penjelasan!”
“Hem.... Begitu? Penjelasan apa yang kau inginkan
dari seorang pemuda asing?!” tanya Hantu Bulan Emas.
“Beberapa waktu yang lalu, Perguruan Shaolin me-
ngutus seseorang. Namun utusan itu tidak ada kabar
beritanya hingga hari ini! Aku menduga pemuda asing
itu bisa memberikan keterangan tentang utusan shao-
lin yang tidak ada kabar beritanya!”
“Dari mana kau bisa menduga demikian?!”
Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San tidak
menjawab. Dia memandang tajam pada Hantu Bulan
Emas, lalu dongakkan kepala arahkan pandang mata-
nya ke arah kuil di atas sana sebelum akhirnya berka-
ta.
“Seorang pemuda asing tak mungkin datang jauh-
jauh tanpa urusan penting! Dan selama ini Perguruan
Shaolin tak pernah membuat urusan. Kalaupun ada
urusan, itu adalah tentang utusan shaolin! Jadi.... Ke-
datangan pemuda itu pasti ada kaitannya dengan utu-
san shaolin!”
“Bisa kau katakan, apa yang dilakukan utusan itu?!
Dan ke mana dia pergi mengemban perintah?!”
Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di
depan dada. “Amitaba.... Urusan dalam Perguruan
Shaolin tidak layak dikatakan pada orang lain.... Harap
kau mengerti....”
Hantu Bulan Emas gelengkan kepala. “Aku tahu di
mana pemuda asing yang kau cari!”
“Kalau begitu, harap kau sudi mengatakannya pa-
daku!” sahut Guru Besar Liang San meski dia tahu ka-
lau Hantu Bulan Emas belum selesai bicara.
Lagi-lagi Hantu Bulan Emas gelengkan kepala sera-
ya berkata. “Kalau kau bisa mengatakan tak layak
orang di luar Perguruan Shaolin tahu urusan dalam
perguruan, tentu orang di luar pun pantas mengata-
kan jika orang Perguruan Shaolin tak layak tahu urusan orang di luar perguruan!”
Dada Guru Besar Liang San mulai bergemuruh di-
landa hawa amarah mendengar ucapan Hantu Bulan
Emas. Namun orang ini masih berpikir panjang dan
tak mau membuat urusan apalagi dia tahu antara Bu
Beng La Ma dan Hantu Bulan Emas telah ada ganja-
lan. Dia berharap Hantu Bulan Emas dan Bu Beng La
Ma terlibat bentrok.
“Baiklah.... Kalau kau keberatan mengatakannya,
aku tidak memaksa!” ujar Guru Besar Liang San. “Ta-
pi....”
“Aku juga tidak percaya pada keteranganmu!” Han-
tu Bulan Emas telah menukas sebelum Guru Besar
Liang San lanjutkan ucapan. “Aku tak akan ajukan
alasan mengapa aku tidak percaya! Karena jawaban-
nya sudah ada padamu!”
“Hem.... Lalu apa maumu?!” tanya Guru Besar
Liang San.
Hantu Bulan Emas tidak segera menjawab. Seba-
liknya gerakkan kedua tangan mengulur ke depan
membuat sikap seperti orang meminta. Saat lain dia
berucap.
“Kalau kau ingin kalangan rimba persilatan tidak
mencium tindakan persekongkolan ini, dan kau masih
ingin dianggap orang suci dalam Perguruan Shaolin,
serahkan peta wasiat itu padaku!”
Kalau perturutkan amarah, ingin rasanya Guru Be-
sar Liang San langsung lepaskan pukulan ke arah
Hantu Bulan Emas. Namun lagi-lagi Guru Besar Liang
San masih menindih hawa amarah. Sembari terse-
nyum dan anggukkan kepala dia angkat suara.
“Sebagai orang shaolin, aku tidak berharap ingin
dikatakan orang suci! Lebih dari itu, aku tidak berse-
kongkol untuk mendapatkan peta wasiat itu! Karena
kalau aku mau, tanganku sendiri mampu mengambil-
nya!”
Hantu Bulan Emas tertawa pendek. “Mengambil pe-
ta wasiat dari tempatnya memang pekerjaan mudah
bagimu! Tapi....”
“Hantu Bulan Emas!” Kali ini Guru Besar Liang San
telah menukas. “Aku tidak punya waktu banyak! Se-
lamat tinggal!” Guru Besar Liang San balikkan tubuh
lalu berkelebat.
Hantu Bulan Emas tidak tinggal diam. Dia segera
melesat dari memotong gerakan Guru Besar Liang San
lalu tegak menghadang. Guru Besar Liang San henti-
kan kelebatan. Sepasang matanya membeliak tak ber-
kesip.
“Aku telah mengatakan apa maksud kedatanganku
menemui Bu Beng La Ma! Aku juga telah mengatakan
urusanku dengan pemuda asing itu! keduanya tidak
ada hubungannya denganmu! Harap kau tidak me-
maksakan diri untuk membuka urusan!”
Hantu Bulan Emas tertawa panjang. “Aku tidak ber-
maksud membuka urusan! Aku hanya meminta! Kare-
na aku yakin apa yang kuminta ada padamu! Ini juga
demi kedudukanmu di mata dunia persilatan dari Per-
guruan Shaolin!”
“Kau tidak akan mendapatkan apa yang kau minta!
Bahkan kalau kau memaksakan kehendak, kau tahu
apa akibatnya!”
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San angkat
kedua tangannya. Lalu ditakupkan kembali di depan
dadanya.
Meski gerakan Guru Besar Liang San seperti gera-
kan biasa, namun sebagai tokoh yang telah kenyang
pengalaman, Hantu Bulan Emas tahu jika gerakan
Guru Besar Liang San bukanlah gerakan biasa. Dia
cepat alirkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Se-
pasang matanya menyengat tajam pada kedua bola
mata Guru Besar Liang San.
“Sahabat sekalian!” Bu Beng La Ma berkata dari
Kuil Atap Langit. “Pertumpahan darah bukanlah hal
yang menyelesaikan urusan! Kuharap kalian bisa kua-
sai diri.... Apalagi kalian adalah orang terpandang!”
Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San tidak
pedulikan ucapan Bu Beng La Ma. Belum sampai uca-
pan Bu Beng La Ma selesai, Hantu Bulan Emas telah
berkelebat ke depan. Guru Besar Liang San tidak mau
menunggu. Begitu Hantu Bulan Emas membuat ge-
rakan, orang berkepala gundul ini segera menyong-
song. Dua pasang tangan tampak berkelebat di atas
udara.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras. Sosok Hantu Bulan E-
mas terjajar dua langkah ke belakang. Paras wajahnya
berubah. Di seberang, Guru Besar Liang San tersurut
pula dua tindak. Kedua tangannya bergetar.
Hantu Bulan Emas pejamkan sepasang matanya.
Saat lain kedua matanya kembali dipentang. Tiba-tiba
dari tato bergambar bulan sabit yang tertera di antara
kedua alis matanya pancarkan sinar kuning berkilat.
Guru Besar Liang San renggangkan kedua kakinya.
Kedua tangannya ditarik ke belakang sejajar dada den-
gan telapak terbuka ke depan.
“Hantu Bulan Emas!” kata Guru Besar Liang San.
“Aku tahu ganjalan antara dirimu dan Bu Beng La Ma!
Kau tak menyesal kalau ganjalan itu tidak terlaksa-
na?!”
“Aku mampu menghadapimu sekaligus Bu Beng La
Ma!” sahut Hantu Bulan Emas dengan angkat kedua
tangannya ke atas kepala.
“Sahabat sekalian!” Lagi-lagi terdengar ucapan Bu
Beng La Ma dari Kuil Atap Langit di atas sana. “Aku ti-
dak coba menggurui kalian. Namun kalian harus sa-
dar, urusan peta wasiat tidak akan selesai dengan cara
kekerasan! Kalian juga harus maklum, peta wasiat itu
akan jatuh ke tangan seseorang yang telah ditakdirkan
untuk mendapatkannya!”
“Bu Beng La Ma!” teriak Hantu Bulan Emas. “Me-
ngapa kau hanya berani berucap tanpa berani unjuk
diri?!”
“Kau jangan salah sangka. Aku hanya tak ingin me-
libatkan diri dalam urusan yang aku yakin tak ada gu-
nanya karena aku sadar peta wasiat itu tak mungkin
jatuh ke tanganku!”
“Kau jangan sembunyi di balik ucapan!” teriak Han-
tu Bulan Emas.
“Kau masih juga salah duga! Tak ada sulitnya jika
aku ingin turun ke bawah sana. Tapi kalau hanya un-
tuk sesuatu yang tidak ada gunanya, kurasa itu hanya
buang-buang waktu....”
Karena memang berharap terjadi bentrok antara Bu
Beng La Ma dan Hantu Bulan Emas, Guru Besar Liang
San tidak coba angkat suara. Sebaliknya dia segera
putar pandangan. Saat lain dia berkelebat tinggalkan
tempat itu.
Hantu Bulan Emas sentakkan kepala ke arah ber-
kelebatnya Guru Besar Liang San. Dia menyeringai na-
mun tak membuat gerakan apa-apa. Namun begitu ke-
lebatan Guru Besar Liang San agak jauh dan sosoknya
hampir lenyap di balik sebuah pohon, kedua tangan
Hantu Bulan Emas bergerak.
Wuutt! Wuuttt!
Satu gelombang angin berkiblat ganas. Saat bersa-
maan satu sinar kuning melesat keluar dari tato bergambar bulan sabit di tengah kedua alis mata Hantu
Bulan Emas.
Guru Besar Liang San sedikit tersirap. Dia cepat
rundukkan kepala. Saat yang sama sosoknya berputar.
Kedua tangannya dikelebatkan ke depan dengan tela-
pak terbuka.
Bummmm! Bummmm!
Dua gelegar keras terdengar. Tanah muncrat ke u-
dara menutup pemandangan. Sosok Guru Besar Liang
San tampak terhuyung. Namun orang ini tidak segera
coba kuasai diri, sebaliknya melompat ke belakang.
Saat lain kembali kedua tangannya bergerak. Karena
ternyata saat itu sinar kuning terus menerabas me-
nembus hamparan tanah di udara!
***
DUA
BLAMMM!
Sinar kuning yang melesat keluar dari tato bergam-
bar bulan sabit di antara kedua alis mata Hantu Bulan
Emas semburat ke udara ketika dari kelebatan kedua
tangan Guru Besar Liang San menderu satu gelom-
bang yang bukan saja membuat hamburan tanah lang-
sung tersapu amblas namun juga memporak-poranda-
kan sinar kuning yang keluar dari tato bergambar bu-
lan sabit di antara kedua alis mata Hantu Bulan Emas.
Hantu Bulan Emas mencelat mental. Sosoknya tam-
pak terbanting di atas udara. Tapi sebelum tubuhnya
jatuh menghantam tanah, guru Bidadari Bulan Emas
ini cepat putar kedua tangannya ke atas kepala. Men-
dadak gerakan sosoknya terhenti di atas udara. Lalu
perlahan melayang turun ke bawah dengan kaki men-
jejak tanah terlebih dahulu.
Di seberang sana, Guru Besar Liang San tampak te-
gak bersandar pada batangan pohon. Kedua tangannya
menakup di depan dada. Orang ini coba kuasai aliran
darahnya yang laksana tersumbat. Namun sebelum dia
sempat kerahkan tenaga dalam, Hantu Bulan Emas
melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak dengan
jari telunjuk ditekuk.
Guru Besar Liang San tak mau bertindak ayal. Kaki
kanannya ditekuk lalu diangkat. Tangan kanan dilu-
ruskan sementara tangan kiri dilipat. Ketika kedua
tangan Hantu Bulan Emas datang lakukan totokan,
Guru Besar Liang San cepat tarik tangan kanannya.
Saat lain kedua tangannya dihantamkan ke arah ke-
dua tangan Hantu Bulan Emas.
Namun sebelum kedua pasang tangan itu saling
berbenturan di udara, mendadak Hantu Bulan Emas
tarik pulang kedua tangannya. Lalu tiba-tiba kedua
kakinya bergerak membuat tendangan!
Guru Besar Liang San tarik tubuhnya ke samping.
Kaki kanannya disentakkan memotong gerakan kedua
kaki Hantu Bulan Emas.
Bukkk! Bukkk!
Hantu Bulan Emas terbanting ke samping. Semen-
tara kaki kanan Guru Besar Liang San tampak mental
balik. Sosoknya ikut tertarik sebelum akhirnya ter-
jungkal.
Mungkin khawatir orang akan susuli pukulan, baik
Hantu Bulan Emas maupun Guru Besar Liang San ce-
pat bangkit tegak meski keduanya sempat terhuyung-
huyung. Dari mulut masing-masing orang ini tampak
kucurkan darah.
Hantu Bulan Emas tak pedulikan keadaan. Begitu
huyungan tubuhnya terhenti, kedua tangannya diang-
kat di depan dada. Tangan kanan diluruskan ke samp-
ing dan diletakkan di atas tangan kiri. Saat lain men-
dadak kedua tangannya disentakkan dengan telapak
terbuka.
Wuttt! Wuutt!
Dari kedua tangan Hantu Bulan Emas terlihat dua
bundaran sinar membentuk bulan sabit berwarna ke-
kuningan. Terdengar deruan dahsyat kala dua bunda-
ran sinar kuning melesat ke arah Guru Besar Liang
San.
Guru Besar Liang San cepat pejamkan kedua mata-
nya. Kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah. Kedua
kaki Guru Besar Liang San amblas masuk hampir lu-
tut ke dalam tanah. Saat yang sama kedua tangan-nya
ditakupkan di depan dada. Dia tidak membuat gerakan
lagi meski sinar kuning terus melaju ke arah-nya.
Busss! Busss!
Dua bundaran sinar kuning menghantam dada
Guru Besar Liang San. Hantu Bulan Emas tersentak.
Senyum di mulutnya yang sesaat tadi mengembang
karena Guru Besar Liang San tidak membuat gerakan
apa-apa pupus ketika mendapati bundaran dua sinar
kuning mental lalu ambyar berkeping-keping! Bahkan
sosok Hantu Bulan Emas langsung terjengkang roboh!
Guru Besar Liang San sesaat tetap tak bergeming.
Namun bersamaan dengan robohnya sosok Hantu Bu-
lan Emas, tubuh Guru Besar Liang San melorot jatuh.
Karena kedua kakinya masuk ke dalam tanah, dia ja-
tuh terduduk dengan pantat menghantam tanah.
“Jurus kelima dari ‘Delapan Gerbang Rembulan’
mampu ditahannya tanpa membuat gerakan!” desis
Hantu Bulan Emas seraya bangkit berdiri. “Aku ingin
lihat apakah dia mampu menahan jurus keenam dan
ketujuh ‘Delapan Gerbang Rembulan’!”
Hantu Bulan Emas pejamkan sepasang matanya.
Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
“Hantu Bulan Emas!” Tiba-tiba Guru Besar Liang
San angkat bicara dengan kedua tangan tetap mena-
kup di depan dada dan sepasang mata terpejam. “Jan-
gan berlaku bodoh! Kalau aku mampu menahan puku-
lanmu tanpa membuat gerakan, seharusnya kau sadar
jika...”
Sebelum Guru Besar Liang San lanjutkan ucapan,
Hantu Bulan Emas telah menyahut. “Jangan terlalu
gembira dahulu, Liang San! Apa yang baru kau terima
bukanlah apa-apa dari apa yang kumiliki!”
Guru Besar Liang San tersenyum. Namun diam-
diam orang dari Perguruan Shaolin ini salurkan ham-
pir setengah dari tenaga dalam yang dimiliki pada ke-
dua telapak tangannya. Sementara di seberang, Hantu
Bulan Emas cepat tekuk kedua kakinya lalu sosoknya
dilorotkan ke bawah. Saat lain guru dari Bidadari Bu-
lan Emas ini telah duduk bersila dengan kedua tangan
bersedekap di depan dada. Sepasang matanya dipen-
tang besar-besar. Bukan menatap ke arah Guru Besar
Liang San, namun kepalanya ditengadahkan dan sepa-
sang matanya menatap pada hamparan langit. Tubuh-
nya bergetar keras.
Mendapati sikap Hantu Bulan Emas, Guru Besar
Liang San tarik ke atas kedua kakinya yang masuk ke
dalam tanah. Kejap lain, dia telah membuat sikap se-
perti Hantu Bulan Emas. Hanya sepasang matanya
menatap tajam pada sosok Hantu Bulan Emas.
Mendadak Hantu Bulan Emas buka dekapan kedua
tangannya. Guru Besar Liang San tak berdiam diri. Dia
cepat pula lepas rangkapan kedua tangannya. Saat
lain, hampir bersamaan kedua orang ini sentakkan
tangan masing-masing ke depan.
Namun belum sampai dari tangan masing-masing
orang melesat pukulan, dari Kuil Atap Langit di atas
sana, menderu satu gelombang dahsyat.
Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San sen-
takkan kepala melirik ke atas. Keduanya terkesiap ka-
get. Belum sampai keduanya membuat gerakan, ge-
lombang dari puncak kuil telah menderu dan kejap
lain telah menghantam tanah tepat di antara sosok
Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San.
Blaaarrr!
Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San rasa-
kan tanah pijakannya bergetar hebat. Keduanya cepat
kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri. Namun tin-
dakan keduanya terlambat. Baru saja keduanya kerah-
kan tenaga dalam, mereka rasakan sosoknya tersapu
mental ke belakang dan saat lain sama terkapar di atas
tanah.
Hantu Bulan Emas mendengus marah. Begitu bang-
kit, dia dongakkan kepala. Kedua tangannya diangkat
hendak lepaskan pukulan. Namun tiba-tiba dia sadar
kalau tindakannya sangat berbahaya karena jika dia
lepaskan pukulan ke puncak kuil dan saat bersamaan
Guru Besar Liang San lepas pukulan ke arahnya, ma-
ka dia tidak akan bisa hindarkan diri.
Hantu Bulan Emas cepat sentakkan kepalanya ke
arah di mana tadi Guru Besar Liang San berada. Na-
mun mendadak dia pentang mata dengan pelipis ber-
gerak-gerak. Karena ternyata sosok Guru Besar Liang
San sudah tidak kelihatan lagi!
Hantu Bulan Emas tumpahkan kemarahannya pada
Bu Beng La Ma. Hingga begitu tidak lagi melihat sosok
Guru Besar Liang San, dia cepat berteriak.
“Bu Beng La Ma! Turunlah atau nyawamu akan kucabut dan kulempar dari atas sana!”
“Hantu Bulan Emas! Aku hanya ingin kau tidak ter-
libat dalam urusan yang tak berguna! Dan kuharap
mulai sekarang kau lupakan semua yang pernah terja-
di!”
Hantu Bulan Emas kancingkan mulut tidak menya-
hut. Sebaliknya dia cepat melompat dan tahu-tahu so-
soknya telah tegak di tangga batu pertama. Kepalanya
tengadah dengan mata terpentang tak berkesip me-
mandang ke arah Kuil Atap Langit. Kedua tangannya
diletakkan di atas pinggang kiri kanan. Saat kemudian
dia berseru lantang.
“Bu Beng La Ma! Selama kau masih bisa bernapas,
aku tak akan melupakan peristiwa yang pernah terjadi
di antara kita! Jadi lupakan harapanmu! Dan sekali la-
gi kuperingatkan kau agar segera turun!”
“Nyawanya bukan saja menjadi bagianmu, tapi aku
punya bagian juga!” Tiba-tiba terdengar suara menya-
hut.
Hantu Bulan Emas palingkan kepala. Sepasang ma-
ta-nya melihat dua sosok bayangan berkelebat cepat
ke arahnya. Saat lain sejarak sepuluh langkah di ha-
dapan Hantu Bulan Emas, tegak dua orang dengan
mata bukannya memandang ke arah Hantu Bulan
Emas, melainkan ke arah Kuil Atap Langit.
Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki berpa-
kaian hitam panjang sebatas lutut. Rambutnya hitam
lebat digelung tinggi ke atas. Raut mukanya telah di-
penuhi dengan kerutan tanda laki-laki ini telah berusia
lanjut. Parasnya agak bulat dengan sepasang mata si-
pit, kumis dan jenggotnya lebat serta hitam. Anehnya,
bukan hanya rambut, kumis, dan jenggot serta pa-
kaiannya yang hitam, namun sekujur kulit tubuh laki-
laki ini juga berwarna hitam legam! Hingga yang terlihat putih hanyalah larikan kecil pada bagian kedua
matanya!
Di sebelah laki-laki berwajah hitam, tegak seorang
perempuan berusia amat lanjut berambut putih. Sepa-
sang matanya sipit tanpa ditingkahi alis mata. Dia juga
mengenakan pakaian warna hitam panjang. Di pun-
daknya tampak menyelempang sebuah selendang hi-
tam yang menjulai panjang hingga menyapu tanah.
“Bayangan Tanpa Wajah!” desis Hantu Bulan Emas
dengan mata menyengat tajam pada laki-laki berwajah
hitam legam. Lalu melirik pada si perempuan beram-
but putih. “Ratu Selendang Asmara! Hem.... Sepertinya
mereka berdua juga punya urusan dengan Bu Beng La
Ma.... Tapi ada satu keanehan. Selama ini kuketahui
antara kedua manusia itu terjadi silang sengketa! Na-
mun kali ini keduanya tampak bersahabat!” Hantu Bu-
lan Emas membatin. Dia menyeringai dengan dada
mulai dibungkus rasa marah melihat sikap kedua
orang yang baru muncul, dan bukan lain memang
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara.
Tanpa buka suara, Hantu Bulan Emas kembali sen-
takkan kepala mendongak ke atas. Lalu perdengarkan
suara.
“Bayangan Tanpa Wajah! Ratu Selendang Asmara!
Kalian datang terlambat! Apa pun bagianmu atas nya-
wa Bu Beng La Ma, yang pasti kalian harus menunggu
sampai urusanku selesai!”
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra saling luruskan kepala lalu saling pandang sesaat.
Kejap lain keduanya memandang pada sosok Hantu
Bulan Emas.
“Hantu Bulan Emas! Kita sama punya urusan! Ha-
rap kau tidak memperhitungkan siapa yang datang le-
bih dulu!” Yang angkat suara adalah si nenek Ratu Selendang Asmara.
Hantu Bulan Emas putar diri. Namun sepasang ma-
tanya tidak memandang pada Bayangan Tanpa Wajah
atau Ratu Selendang Asmara, membuat kedua orang
ini mulai geram dan sama menyeringai.
“Baiklah...!” Hantu Bulan Emas angkat suara de-
ngan mata memandang pada jurusan lain. “Tapi kata-
kan dahulu apa urusan kalian dengan Bu Beng La
Ma!”
“Aku menginginkan sesuatu darinya! Tapi kalau dia
tidak menyerahkan apa yang kuminta, aku tak segan
untuk membuat bagian hidupnya terhenti hari ini!”
Bayangan Tanpa Wajah menyahut.
Hantu Bulan Emas kerutkan dahi. Perlahan sepa-
sang matanya mengarah pada Bayangan Tanpa Wajah
dan Ratu Selendang Asmara. Dia membatin. “Hem....
Apakah yang akan mereka minta adalah peta wasiat
itu?!”
“Mau katakan apa yang hendak kalian minta dari-
nya?!” tanya Hantu Bulan Emas.
Bayangan Tanpa Wajah geleng kepala lalu berkata.
“Apa yang akan kami minta biarlah menjadi rahasia
kami berdua!”
“Hem.... Melihat urusan kalian, rasanya urusanku
lebih penting! Karena urusanku adalah urusan lama
yang telah hampir berkarat dan tidak akan lenyap se-
belum di antara aku atau Bu Beng La Ma menemui aj-
al!”
Kali ini Ratu Selendang Asmara yang geleng kepala
mendengar ucapan Hantu Bulan Emas. “Aku tahu...
urusanmu memang penting dan menyangkut nyawa!
Tapi kau harus tahu, urusan kami lebih dari itu! Ha-
nya saja kami sudah sepakat untuk tidak mengatakan
urusan kami pada siapa saja!”
Habis berkata begitu, Ratu Selendang Asmara me-
langkah mendekati tangga. Hantu Bulan Emas me-
mandang gerakan kaki si nenek dengan wajah dingin.
Begitu empat tindak lagi sampai tangga, Hantu Bulan
Emas berucap.
“Kau harus langkahi dulu mayatku sebelum te-
ruskan langkah naik!”
Ratu Selendang Asmara hentikan langkah dengan
tersenyum. “Sebenarnya aku tidak menginginkan uru-
sanku bertambah! Namun jika kau menghendaki, den-
gan senang hati aku akan melayanimu!”
Seperti diketahui, antara Ratu Selendang Asmara
dan Bayangan Tanpa Wajah memang terjadi silang
sengketa. Bahkan keluarnya si nenek justru untuk
menyelesaikan urusan dengan Bayangan Tanpa Wajah.
Hanya saja, begitu mereka bertemu dan Bayangan
Tanpa Wajah mengemukakan apa yang saat ini tengah
dijalani, Ratu Selendang Asmara merasa tertarik. Hing-
ga akhirnya kedua orang ini melupakan apa yang men-
jadi sengketa antara mereka.
Dan seperti dituturkan pula, Bayangan Tanpa Wa-
jah mendapat tugas dari Yang Mulia Baginda Ku Nang
untuk mencari jejak murid Pendeta Sinting. Begitu
berjumpa dengan Ratu Selendang Asmara, dia segera
mengatakan apa maksudnya. Pada akhirnya kedua
orang ini sepakat. Bahkan mereka sempat pula berte-
mu dengan Pendekar 131 Joko Sableng. Mereka sem-
pat bentrok. Hanya saja begitu hampir dapat melum-
puhkan murid Pendeta Sinting, muncul Bu Beng La
Ma yang menyelamatkan nyawa murid Pendeta Sin-
ting. Tahu siapa yang menyelamatkan Pendekar 131,
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara
segera mengejar dan menuju tempat kediaman Bu
Beng La Ma. Pada mulanya, Ratu Selendang Asmara
tidak keberatan jika Dewi Bunga Asmara ikut serta ke
Kuil Atap Langit. Namun di tengah jalan Bayangan
Tanpa Wajah memberi saran pada Ratu Selendang As-
mara agar Dewi Bunga Asmara tidak usah ikut. Sete-
lah menimbang dan maklum siapa yang hendak diha-
dapi, akhirnya Ratu Selendang Asmara memerintah-
kan pada Dewi Bunga Asmara untuk pulang terlebih
dahulu. Sebenarnya Dewi Bunga Asmara tidak suka
dengan perintah gurunya.
Apalagi sejak bertemu dengan Pendekar 131, entah
karena apa diam-diam dia tertarik. Tapi karena tahu
bagimana sifat gurunya, akhirnya dengan berat hati
Dewi Bunga Asmara turuti perintah gurunya untuk
pulang terlebih dahulu. (Lebih jelasnya pertemuan an-
tara Bayangan Tanpa Wajah dengan Ratu Selendang
Asmara dan Dewi Bunga Asmara serta pertemuan me-
reka dengan Pendekar 131 Joko Sableng, silakan baca
serial Joko Sableng dalam episode: “Kuil Atap Langit”)
***
TIGA
DADA Hantu Bulan Emas Laksana terbakar men-
dengar ucapan Ratu Selendang Asmara. Meski tidak
membuat gerakan, namun diam-diam laki-laki ini ke-
rahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Sementara tanpa diketahui oleh Hantu Bulan Emas,
Bayangan Tanpa Wajah, dan Ratu Selendang Asmara,
sepasang mata menatap tak berkedip silih berganti pa-
da ketiganya dari balik batangan pohon.
Si pemilik mata dari balik batangan pohon adalah
seorang laki-laki berkepala gundul mengenakan pakaian panjang warna kuning tanpa leher. Di bagian
pundaknya melapis kain berwarna merah yang terus
dililitkan pada pinggangnya. Paras wajahnya agak tirus
dengan kumis tipis. Jenggotnya jarang tapi menjulai
panjang. Orang ini tidak lain adalah Guru Besar Liang
San.
Saat terjadi bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan
keduanya siap hendak lepaskan pukulan, tiba-tiba da-
ri arah Kuil Atap Langit menderu satu gelombang dah-
syat yang bukan saja mampu menyapu sosok Han-tu
Bulan Emas dan Guru Besar Liang San hingga ter-
jengkang roboh, namun juga membuat pemandangan
jadi gelap karena tertutup hamburan tanah yang ter-
kena hantaman gelombang.
Saat pemandangan tertutup, Guru Besar Liang San
yang memang tidak mengharap terlibat bentrok de-
ngan Hantu Bulan Emas segera berkelebat pergi. Na-
mun sebenarnya dia tidak segera meninggalkan tempat
itu. Sebaliknya menyelinap diam-diam untuk mengeta-
hui apa yang terjadi antara Hantu Bulan Emas dengan
Bu Beng La Ma.
Namun begitu muncul Bayangan Tanpa Wajah dan
Ratu Selendang Asmara serta mendengar percakapan
ketiganya, dada Guru Besar Liang San jadi berdebar-
debar. Diam-diam dia berkata dalam hati.
“Apa yang hendak diminta Bayangan Tanpa Wajah
dan nenek itu?! Hem.... Hantu Bulan Emas menduga
Bu Beng La Ma memegang peta wasiat itu. Lalu apa-
kah yang diminta keduanya juga peta wasiat itu?! Ba-
gaimana hal ini bisa terjadi? Mungkinkah benar Bu
Beng La Ma memegang separo dari peta wasiat itu?!
Tapi dari mana?! Menurut Baginda Ku Nang, Yang Kui
Tan diselamatkan pemuda asing di tengah laut, berarti
Yang Kui Tan belum sampai bertemu dengan Bu Beng
La Ma. Atau mungkinkah pemuda asing itu yang mem-
berikan peta wasiat pada Bu Beng La Ma...?! Hem....
Urusan ini jadi makin rumit! Padahal hari ganda se-
puluh tidak lama lagi...! Apa yang harus kulakukan?!”
Selagi Guru Besar Liang San membatin begitu, tiba-
tiba dari arah depan sana terdengar Hantu Bulan E-
mas angkat suara. Suaranya terdengar bergetar tanda
orang ini telah dilanda hawa amarah yang meluap.
“Ratu Selendang Asmara! Seperti halnya dirimu, se-
benarnya aku pun tidak ingin menambah urusan. Tapi
jika kau hendak teruskan niat, aku pun siap melade-
ni!”
Belum sampai Ratu Selendang Asmara sambuti
ucapan Hantu Bulan Emas, dari Kuil Atap Langit, Bu
Beng La Ma perdengarkan suara.
“Sahabat Ratu Selendang Asmara dan Bayangan
Tanpa Wajah.... Aku minta maaf kalau tempo hari ter-
paksa ikut campur dalam masalah kalian berdua. Aku
tahu apa yang membawa kalian jauh-jauh datang ke
tempatku ini! Pasti kehadiran kalian masih ada hu-
bungannya dengan urusan tempo hari....”
Ratu Selendang Asmara dongakkan kepala. “Bu
Beng La Ma! Syukur kalau kau telah tahu apa maksud
kedatangan kami berdua! Kuharap kau juga tahu dan
sadar apa sebaiknya yang harus kau lakukan!”
“Sahabat berdua! Aku telah lakukan apa yang me-
nurutku terbaik!” Bu Beng La Ma menyahut dari pun-
cak kuil.
“Bagus! Sekarang harap kau serahkan dia padaku!
Dan urusan di antara kita selesai sampai di sini!” Ratu
Selendang Asmara berujar.
“Kalian berdua datang terlambat! Dia telah pergi....”
Mendengar ucapan Ratu Selendang Asmara dan Bu
Beng La Ma, Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang
San yang mendekam sembunyi di balik batangan po-
hon sama kerutkan dahi. Keduanya sama membatin.
“Siapa yang dimaksud mereka?!”
Sementara itu mendengar sambutan Bu Beng La
Ma, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Bayangan
Tanpa Wajah.
“Aku tidak percaya dengan ucapannya sebelum aku
melihat buktinya!” kata Bayangan Tanpa Wajah. “Kita
harus buktikan dahulu kebenaran ucapannya!”
Seraya berkata, Bayangan Tanpa Wajah melangkah
dan tegak menjajari Ratu Selendang Asmara. Sementa-
ra Guru Besar Liang San makin pentang mata dengan
dada makin dilanda berbagai pertanyaan.
“Hantu Bulan Emas!” kata Bayangan Tanpa Wajah.
“Kami hanya perlu membuktikan kebenaran ucapan
Bu Beng La Ma! Harap kau tidak menghalangi!”
Hantu Bulan Emas tidak segera menyahut. Dia ter-
diam beberapa lama sebelum akhirnya berkata.
“Kita sama punya urusan. Aku bukannya takut
menghadapi kalian berdua, tapi aku tawarkan jalan
terbaik!”
“Maksudmu?!” tanya Ratu Selendang Asmara.
Hantu Bulan Emas dongakkan kepala mengarah
pada Kuil Atap Langit. “Kita naik bersama-sama!”
Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wa-
jah saling palingkan kepala dan saling pandang untuk
beberapa saat.
“Kita tidak boleh membuat urusan baru.... Sebaik-
nya kita terima usulnya! Lagi pula untuk sementara ini
kita harus hindari urusan yang tidak ada hubungan-
nya dengan peta wasiat!” Bayangan Tanpa Wajah ber-
bisik.
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala meski je-
las wajahnya membayangkan rasa enggan dengan usul
Bayangan Tanpa Wajah.
“Hantu Bulan Emas bukan orang baik-baik! Walau
kita setuju usulnya, kita harus tetap berhati-hati!” Ra-
tu Selendang Asmara berkata dengan suara ditekan.
“Kalau dia berbuat macam-macam, dia manusia
yang bernasib jelek!” ujar Bayangan Tanpa Wajah de-
ngan suara pelan pula lalu hadapkan wajah ke arah
Hantu Bulan Emas dan angkat suara.
“Hantu Bulan Emas! Kita naik bersama-sama!”
Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah me-
langkah ke arah tangga. Ratu Selendang Asmara men-
gikuti dari belakang dengan mata terus melirik mem-
perhatikan gerak-gerik Hantu Bulan Emas.
Hantu Bulan Emas tampaknya dapat menangkap
pandangan curiga Ratu Selendang Asmara. Dengan se-
ringai dingin dan seraya palingkan kepala ke atas,
Hantu Bulan Emas bersuara.
“Aku paling tidak suka dengan sikap pura-pura di
balik ucapan! Kalau kalian tidak setuju dengan usul-
ku, jangan....”
Belum sampai Hantu Bulan Emas teruskan ucapan,
dari puncak kuil terdengar ucapan.
“Sahabat sekalian! Bukan aku tak suka atas kun-
jungan kalian ke tempatku. Namun sesungguhnya ke-
hadiran kalian tidak akan mendapatkan apa-apa! Se-
baiknya kalian segera tinggalkan tempat ini.... Mung-
kin di luaran sana kalian akan mendapatkan apa yang
kalian cari!”
Hantu Bulan Emas yang ucapannya dipotong tam-
pak pasang tampang garang. Dia berpaling pada
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara
yang sudah berada di dekatnya.
“Jangan pedulikan ucapannya!” kata Bayangan
Tanpa Wajah lalu melompat dan tahu-tahu telah tegak
di samping Hantu Bulan Emas. Ratu Selendang Asma-
ra tidak tinggal diam. Dia segera pula melesat dan te-
gak di tangga pertama. Namun si nenek tidak Hirau-
kan ucapan Bu Beng La Ma, sebaliknya terus melirik
curiga pada Hantu Bulan Emas.
Hantu Bulan Emas tidak bisa lagi menahan rasa ge-
ram. Dengan nada dingin dia berkata.
“Ratu Selendang Asmara! Aku telah tawarkan se-
suatu. Kalau kau masih merasa curiga, aku tanya apa
maumu sebenarnya!”
Bayangan Tanpa Wajah yang tidak menginginkan
terjadi urusan baru segera menyahut. “Kita telah sama
sepakat! Hilangkan prasangka dan rasa curigai!”
Hantu Bulan Emas berpaling pada Ratu Selendang
Asmara. Si nenek juga sentakkan kepala menatap pa-
da Hantu Bulan Emas. Kedua orang ini perang pan-
dang beberapa lama dengan mulut sama terkancing.
Bayangan Tanpa Wajah memandang silih berganti
pada Hantu Bulan Emas dan Ratu Selendang Asmara.
Lalu berkata dengan suara agak keras.
“Sebelum kita lanjutkan, aku ingin tanya pada ka-
lian.”
“Tidak ada yang perlu ditanyakan!” Ratu Selendang
Asmara sudah menyahut dengan mata terus menatap
pada Hantu Bulan Emas. “Aku tahu siapa orang-orang
dunia persilatan di negeri ini! Aku tahu pula bagaima-
na tabiat mereka!”
Hantu Bulan Emas mendengus. Dia sudah buka
mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, dia rasakan
tangga batu pijakannya bergetar. Dia berpaling ke arah
Bayangan Tanpa Wajah lalu menghadap lagi pada Ratu
Selendang Asmara.
Di lain pihak, Ratu Selendang Asmara dan Bayan-
gan Tanpa Wajah tampak sedikit terkejut. Seperti hal
nya Hantu Bulan Emas, si nenek dan laki-laki berwa-
jah hitam legam ini juga merasakan tangga batu di
mana mereka kini tegak berdiri juga bergetar.
Belum sempat ketiga orang ini lakukan sesuatu dan
tahu apa yang terjadi, mendadak dari Kuil Atap Langit
terdengar gemuruh. Hantu Bulan Emas, Bayangan
Tanpa Wajah, serta Ratu Selendang Asmara sama do-
ngakkan kepala. Namun bersamaan itu dari atas sana
tampak menebar hamparan kabut hitam. Bukan saja
menutup tangga batu, melainkan meluncur deras ke
arah ketiganya!
“Cepat menyingkir!” teriak Hantu Bulan Emas se-
raya melompat. Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Se-
lendang Asmara tertegun sesaat. Namun saat lain ke-
duanya melesat ketika merasakan hawa panas mulai
menyungkup tempat itu! Padahal kabut hitam masih
sejarak tujuh tangga di atas sana.
Begitu Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang
Asmara injakkan kaki di bawah, kabut hitam telah me-
nutup seluruh tangga batu hingga yang terlihat hanya-
lah warna hitam. Sementara udara mendadak berubah
jadi panas menyengat!
Ratu Selendang Asmara menoleh pada Bayangan
Tanpa Wajah. “Kita harus menerobos ke atas!”
“Jangan bertindak gegabah! Ini bukan kabut biasa!”
kata Bayangan Tanpa Wajah.
“Lalu apa yang akan kita lakukan?!”
“Kita tunggu apa yang akan dilakukan Hantu Bulan
Emas!
Habis menjawab begitu, Bayangan Tanpa Wajah
berpaling pada Hantu Bulan Emas. Sementara kabut
hitam terus berputar. Anehnya kabut hitam itu hanya
menyungkup di sekitar tangga batu yang menuju Kuil
Atap Langit. Hingga bukan saja membuat tangga batu
itu tidak kelihatan dan tebarkan hawa panas menyen-
gat, namun juga keluarkan suara bergemuruh!
“Hem.... Jurus ‘Sembilan Gerbang Matahari’ tingkat
empat!” desis Hantu Bulan Emas. Dia cepat melompat
sejajar di depan kabut hitam yang terus berputar me-
nutup tangga batu. Saat lain kedua tangannya disen-
takkan ke arah kabut hitam.
Wuutt! Wuuttt!
Dari kedua telapak tangan Hantu Bulan Emas me-
nebar sinar berwarna kuning. Kabut hitam tampak
menyibak laksana membuat jalan setapak. Saat itu ju-
ga samar-samar terlihat tangga batu yang tadi tertutup
kabut hitam.
Hantu Bulan Emas tidak menunggu lama. Begitu
kabut hitam menyibak, dia segera melesat menerobos
kabut hitam.
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra pentang mata memandang ke arah sosok Hantu Bu-
lan Emas yang begitu melompat langsung lenyap lak-
sana ditelan kabut hitam.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba dari arah puncak
kuil terdengar suitan nyaring. Saat yang sama tampak
sinar berkilau putih menerobos hamparan kabut hi-
tam.
Hampir bersamaan dengan melesatnya sinar putih,
dari tengah kabut hitam berkiblat hamparan cahaya
kuning menyongsong sinar putih.
Blammmm!
Terdengar ledakan keras. Kabut hitam langsung
buyar porak-poranda. Sinar putih dan cahaya kuning
bertabur ke udara. Lalu terlihat sosok Hantu Bulan
Emas terpental dari atas.
Melihat hal demikian, Ratu Selendang Asmara yang
masih memendam geram pada Hantu Bulan Emas cepat angkat kedua tangannya hendak lepas pukulan ke
arah Hantu Bulan Emas.
"Jangan membuat masalah!” bentak Bayangan Tan-
pa Wajah seraya melompat dan memegang kedua len-
gan Ratu Selendang Asmara.
Si nenek mendengus tidak senang. Namun dia u-
rungkan niat. Sementara Hantu Bulan Emas terus me-
luncur deras ke bawah sebelum akhirnya jatuh terka-
par di atas tanah!
Meski merasakan sekujur tubuhnya laksana remuk,
namun karena merasa malu pada Bayangan Tanpa
Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Hantu Bulan E-
mas cepat bergerak bangkit. Saat lain dia sudah me-
lesat dan menerobos kembali ke hamparan kabut hi-
tam!
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra hanya memandang tanpa ada yang buka suara. Se-
mentara Hantu Bulan Emas terus berkelebat menaiki
tangga dengan kerahkan hampir segenap tenaga da-
lamnya. Namun kali ini Hantu Bulan Emas sedikit me-
rasa lega, karena hingga hampir mencapai puncak
kuil, dia tidak merasakan atau melihat gerakan men-
curigakan dari Kuil Atap Langit. Tapi Hantu Bulan
Emas tak mau bertindak ayal. Dia tetap waspada, ma-
lah begitu sepasang kakinya menginjak bagian depan
Kuil Atap Langit, laki-laki ini segera angkat kedua tan-
gannya. Sepasang matanya dipentang memandang
berkeliling.
Mungkin karena pandangannya masih tertutup ka-
but hitam, dan khawatir orang akan lakukan pukulan
tanpa dapat disiasati, Hantu Bulan Emas sentakkan
tangan kirinya.
Wutttt!
Satu gelombang cahaya kuning berkiblat. Hampa
ran kabut hitam langsung semburat amblas. Saat ber-
samaan suasana berubah terang benderang!
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra dongakkan kepala. Mereka dapat melihat sosok
Hantu Bulan Emas yang tegak dengan kedua tangan
diangkat.
“Kita harus segera naik!” kata Bayangan Tanpa Wa-
jah.
Tanpa menunggu sahutan Ratu Selendang Asmara,
Bayangan Tanpa Wajah segera melesat menaiki tangga
batu yang kini telah terlihat lagi. Ratu Selendang As-
mara cepat pula mengikuti dari belakang. Di lain pi-
hak, begitu keadaan terang benderang, Hantu Bulan
Emas cepat angkat kedua tangannya hendak lepas pukulan ke
arah Hantu Bulan Emas.
"Jangan membuat masalah!” bentak Bayangan Tan-
pa Wajah seraya melompat dan memegang kedua len-
gan Ratu Selendang Asmara.
Si nenek mendengus tidak senang. Namun dia u-
rungkan niat. Sementara Hantu Bulan Emas terus me-
luncur deras ke bawah sebelum akhirnya jatuh terka-
par di atas tanah!
Meski merasakan sekujur tubuhnya laksana remuk,
namun karena merasa malu pada Bayangan Tanpa
Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Hantu Bulan E-
mas cepat bergerak bangkit. Saat lain dia sudah me-
lesat dan menerobos kembali ke hamparan kabut hi-
tam!
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra hanya memandang tanpa ada yang buka suara. Se-
mentara Hantu Bulan Emas terus berkelebat menaiki
tangga dengan kerahkan hampir segenap tenaga da-
lamnya. Namun kali ini Hantu Bulan Emas sedikit me-
rasa lega, karena hingga hampir mencapai puncak
kuil, dia tidak merasakan atau melihat gerakan men-
curigakan dari Kuil Atap Langit. Tapi Hantu Bulan
Emas tak mau bertindak ayal. Dia tetap waspada, ma-
lah begitu sepasang kakinya menginjak bagian depan
Kuil Atap Langit, laki-laki ini segera angkat kedua tan-
gannya. Sepasang matanya dipentang memandang
berkeliling.
Mungkin karena pandangannya masih tertutup ka-
but hitam, dan khawatir orang akan lakukan pukulan
tanpa dapat disiasati, Hantu Bulan Emas sentakkan
tangan kirinya.
Wutttt!
Satu gelombang cahaya kuning berkiblat. Hampa
ran kabut hitam langsung semburat amblas. Saat ber-
samaan suasana berubah terang benderang!
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra dongakkan kepala. Mereka dapat melihat sosok
Hantu Bulan Emas yang tegak dengan kedua tangan
diangkat.
“Kita harus segera naik!” kata Bayangan Tanpa Wa-
jah.
Tanpa menunggu sahutan Ratu Selendang Asmara,
Bayangan Tanpa Wajah segera melesat menaiki tangga
batu yang kini telah terlihat lagi. Ratu Selendang As-
mara cepat pula mengikuti dari belakang. Di lain pi-
hak, begitu keadaan terang benderang, Hantu Bulan
Emas cepat melompat dan tegak di ambang pintu yang
terbuka di Kuil Atap Langit.
Namun hingga agak lama edarkan pandangan ke
dalam kuil, Hantu Bulan Emas tidak melihat siapa-
siapa!
“Keparat! Ke mana jahanam itu?!” desis Hantu Bu-
lan Emas. Dia sudah buka mulut hendak berteriak,
namun sebelum suaranya terdengar, satu suara men-
dahului.
“Ke mana dia?!”
Hantu Bulan Emas berpaling. Bayangan Tanpa Wa-
jah dan Ratu Selendang Asmara telah tegak di sam-
pingnya.
“Dengan melihat keadaan, seharusnya kalian tidak
ajukan tanya!” sahut Hantu Bulan Emas lalu sentak-
kan kepala memandang ke dalam kuil.
Jawaban Hantu Bulan Emas serta sepintas melihat
suasana, tampaknya Bayangan Tanpa Wajah sudah
bisa membaca situasi. Tanpa buka suara, Bayangan
Tanpa Wajah melompat ke dalam kuil. Kepalanya ber-
putar dengan mata memperhatikan sekeliling. Semen
tara Ratu Selendang Asmara tetap tegak di samping
Hantu Bulan Emas dengan mata sesekali melirik ke
arah Hantu Bulan Emas.
“Dia telah meninggalkan tempat ini!” gumam
Bayangan Tanpa Wajah. Dia arahkan pandang ma-
tanya sesaat pada Hantu Bulan Emas, saat lain, masih
tanpa perdengarkan suara, dia berkelebat keluar dari
kuil.
“Kita harus segera tinggalkan tempat ini!” bisik
Bayangan Tanpa Wajah begitu tegak kembali di samp-
ing Rata Selendang Asmara.
Tanpa menunggu lama, Bayangan Tanpa Wajah se-
gera melesat menuruni tangga batu. Ratu Selendang
Asmara memandang sesaat ke dalam kuil sebelum ak-
hirnya menumbuk pada sosok Hantu Bulan Emas.
Saat yang sama Hantu Bulan Emas berpaling me-
mandang ke arah si nenek. Unjuk kesekian kalinya
kedua orang ini saling perang pandang.
Kalau perturutkan hati, rasanya ingin si nenek
langsung lepaskan pukulan ke arah Hantu Bulan
Emas apalagi dia tahu benar jika Hantu Bulan Emas
dalam keadaan terluka dalam. Namun ingat akan uca-
pan Bayangan Tanpa Wajah dan urusan yang tengah
dihadapi, Ratu Selendang Asmara cepat balikkan tu-
buh lalu berkelebat menuruni tangga batu.
Kepergian Ratu Selendang Asmara membuat Hantu
Bulan Emas sedikit merasa lega. Sesaat tadi dia kha-
watir. Dia sadar, jika terjadi bentrok dengan si nenek,
tak urung dia akan kewalahan karena dia memang te-
lah terluka dalam. Bukan saja karena mental dari ten-
gah tangga batu, namun juga karena bentrok dengan
Guru Besar Liang San.
Begitu Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang
Asmara lenyap di bawah sana, Hantu Bulan Emas cepat melangkah memasuki Kuil Atap Langit. Seolah ma-
sih tidak percaya, Hantu Bulan Emas mengitari bagian
dalam kuil dengan sikap waspada. Namun begitu mak-
lum kalau kuil itu kosong, Hantu Bulan Emas hen-
takkan kaki seraya berteriak.
“Bu Beng La Ma! Di bawah langit sudah tidak ada
lagi tempat bagimu! Sia-sia kau lari dari tanganku!”
Hantu Bulan Emas hentakkan kaki sekali lagi, lalu
melesat keluar dan menuruni tangga batu dengan
tampang beringas!
***
EMPAT
PENDEKAR 131 Joko Sableng terus berlari laksana
dikejar setan. Bahkan mungkin karena khawatir diiku-
ti orang, sesekali dia palingkan kepala ke belakang. Se-
telah merasa yakin tidak ada orang yang mengikuti,
barulah murid Pendeta Sinting memperlambat larinya.
“Mungkin aku tidak bisa bertemu lagi dengan Mei
Hua.... Hem.... Apa aku harus langsung menyelidik ke
Perguruan Shaolin?! Hari ganda sepuluh sudah tidak
lama lagi! Aku tak punya waktu banyak....”
Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu,
mendadak ekor matanya menangkap kelebatan satu
sosok bayangan. Joko cepat menyelinap. Namun be-
lum sampai bergerak lebih jauh, di depan sana sejarak
lima belas langkah, telah tegak menghadang seorang
gadis muda!
Pendekar 131 hentikan larinya dengan mata dibe-
liakkan memandang pada orang. Dia adalah seorang
gadis berwajah jelita mengenakan pakaian merah.
Rambutnya panjang digeraikan menutup sebagian
pundak kanan kirinya. Matanya bulat dengan hidung
mancung dan bibir merah ranum.
“Hem.... Gadis-gadis di negeri ini ternyata cantik-
cantik juga! Sayang sekali aku tengah menjalankan se-
suatu yang sangat penting...,” kata Joko dalam hati.
Dia tersenyum dengan anggukkan kepala. Namun dia
merasa heran, gadis berpakaian merah di seberang te-
tap diam tidak membuat gerakan atau berusaha buka
mulut, membuat Joko pentang mata sekali lagi untuk
memperhatikan hingga untuk beberapa saat lama-nya
kedua orang ini baling tatap dengan tegak tak bergerak
dan tak bersuara.
Tampaknya murid Pendeta Sinting tak betah ber-
diam diri dan hanya saling pandang. Akhirnya dia ang-
kat suara.
“Gadis cantik....” Hanya sampai di situ Joko ber-
ucap. Karena si gadis berpakaian merah telah bersua-
ra.
“Orang, tak dikenal! Benar kau adalah pemuda a-
sing yang....”
Karena tadi ucapannya dipotong oleh si gadis, kini
sebelum si gadis sempat lanjutkan ucapan, murid Pen-
deta Sinting ganti menukas.
“Kau mungkin salah lihat! Aku bukan pemuda as-
ing.... Aku orang negeri ini seperti halnya dirimu! Dan
aku tidak heran dengan tuduhanmu, karena hal itu
sudah sering terjadi! Aku sendiri heran, banyak orang
yang pertama kali jumpa denganku mengatakan aku
adalah orang asing!”
Si gadis melangkah maju. Sepasang matanya yang
bulat dijerengkan memperhatikan dengan seksama so-
sok murid Pendeta Sinting dari atas hingga bawah.
Melihat sikap si gadis, Pendekar 131 tidak tinggal
diam. Dia ikut-ikutan melangkah maju dengan mata
dipentang besar-besar memperhatikan orang. Dan se-
belum si gadis sempat angkat suara, Joko telah men-
dahului.
“Aku harus teruskan perjalanan. Harap kau tidak
menghadangi”
Si gadis hentikan langkah. Kepalanya bergerak
menggeleng. Joko ikut hentikan langkah lalu kepala-
nya bergerak mengangguk. Bibirnya tersenyum.
“Aku tidak akan menghadang jalanmu! Tapi kau
harus berterus terang!”
“Hem.... Aku telah berterus terang padamu bahkan
sebelum kau bertanya lebih jauh!” sahut murid Pen-
deta Sinting.
Si gadis tersenyum dingin. Dia alihkan pandang ma-
tanya ke jurusan lain seraya berkata. “Jangan kau sa-
lah duga kalau aku bertanya tentang siapa dirimu!”
“Hem.... Aku tidak berburuk sangka. “Hanya aku
merasa heran jika ada orang yang mengatakan aku
adalah orang asing! Coba katakan apa yang mem-
buatmu mengatakan aku orang asing?!”
Kepala si gadis kembali berpaling dan matanya me-
mandang tajam pada murid Pendeta Sinting. “Aku tak
bisa mengatakan. Tapi aku hampir merasa yakin kau
bukan orang negeri ini!”
Karena tak mau membuang waktu dan lebih lagi tak
mau dirinya diketahui, Pendekar 131 segera angkat
suara seraya melangkah.
“Gadis cantik.... Harap katakan saja apa maumu
sebenarnya!”
“Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya!”
“Maksudmu...?”
Si gadis terlihat sunggingkan senyum. “Kau telah
dengar. Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya!”
“Tentu kau punya maksud dengan keinginanmu
itu!”
“Aku tak punya maksud apa-apa! Aku hanya seka-
dar ingin tahu!”
“Baik! Aku akan katakan apa keinginanmu. Tapi
sebelumnya kau harus katakan siapa dirimu sebenar-
nya!”
“Aku Siao Ling Ling....”
“Aku.... Kue Tong-Tong....”
Baru saja Joko sebutkan diri dengan Kue Tong-
Tong, mendadak satu bayangan berkelebat. Gadis ber-
baju merah yang memperkenalkan diri bernama Siao
Ling Ling palingkan kepala. Raut wajahnya seketika
berubah. Sepasang matanya membelalak besar.
Pendekar 131 menoleh. “Mei Hua...,” desisnya keti-
ka matanya melihat seorang gadis berparas cantik je-
lita tegak tidak jauh di seberang samping sana. Dia
adalah seorang gadis muda mengenakan pakaian war-
na merah muda dengan rambut diberi pita. Gadis ini
bukan lain memang Mei Hua. (Tentang pertemuan an-
tara murid Pendeta Sinting dengan Mei Hua silakan
baca serial Joko Sableng dalam episode : “Wasiat
Agung Dari Tibet”).
Seperti halnya Siao Ling Ling, Mei Hua juga terlihat
kaget demi melihat Siao Ling Ling. Sepasang matanya
menatap tajam untuk beberapa saat dengan mulut
terkancing rapat.
“Hem.... Dari gelagatnya, mereka berdua telah sa-
ling kenal. Hanya saja, mengapa mereka tampak terke-
jut?!” Joko membatin. Lalu buka suara.
“Mei Hua.... Aku senang bisa bertemu denganmu.
Dengan begitu apa yang menjadi ganjalan hati gadis
itu bisa lenyap!”
Mei Hua berpaling pada murid Pendeta Sinting. Namun gadis ini belum juga buka suara menyahut. Bah-
kan dia hanya memandang sesaat pada Joko. Di lain
saat dia telah memandang kembali pada Siao Ling
Ling.
“Hem.... Pemuda ini telah mengenal Mei Hua! Jadi
apa benar bukan pemuda ini yang selama ini dikata-
kan orang asing dan tengah dicari beberapa orang?!
Hanya saja, mengapa Mei Hua tiba-tiba muncul di si-
ni?!” Siao Ling Ling berkata dalam hati. “Aku harus se-
gera pergi.... Aku tak mau orang lain tahu apa yang
tengah kulakukan!”
Membatin begitu, tanpa buka suara lagi Siao Ling
Ling berkelebat. Namun bersamaan dengan itu Mei
Hua melesat dan memotong gerakan Siao Ling Ling se-
raya berujar.
“Harap tidak segera pergi! Kita perlu bicara!”
Siao Ling Ling urungkan niat teruskan kelebatan.
Dia berpaling sesaat pada Pendekar 131 sebelum arah-
kan pandang matanya pada Mei Hua dan berucap.
“Aku akan turuti keinginanmu. Tapi bukan di sini!”
“Hem...!” Mei Hua mendehem seraya anggukkan ke-
pala dengan mata melirik pada murid Pendeta Sinting.
Diam-diam gadis cantik berpakaian merah muda itu
membatin. “Aku belum tahu apa maksud tujuannya
sampai dia ikut campur tangan dalam urusan ini. Se-
lama ini belum pernah kulihat dan kudengar dia turun
tangan dalam urusan persilatan! Mungkinkah ini ma-
sih ada hubungannya dengan peta itu...?”
“Aku tak punya banyak waktu! Kalau kau ingin bi-
cara, ikuti aku!” kata Siao Ling Ling. Dia menatap se-
jenak pada murid Pendeta Sinting. Saat lain dia berke-
lebat tinggalkan tempat itu.
Mei Hua tegak memperhatikan sesaat. Tanpa buka
suara dan memandang pada Pendekar 131, dia berke
lebat mengikuti Siao Ling Ling.
“Ada yang tak beres dengan mereka berdua! Sikap
kedua gadis ini mencurigakan!” kata Joko dalam hati
sembari melompat dan tegak menghadang gerakan Mei
Hua.
“Kita juga perlu bicara!” kata Joko.
Mei Hua hentikan gerakan. Dia masih memandang
pada kelebatan sosok Siao Ling Ling saat buka mulut.
“Katakan apa yang akan kau bicarakan!”
“Siapa gadis tadi?!” tanya Joko.
Raut wajah Mei Hua sedikit berubah. “Kau tertarik
padanya?!”
Joko tersenyum seraya gelengkan kepala. “Dia me-
mang cantik. Tapi kau lebih menarik....”
Air muka gadis di hadapan murid Pendeta Sinting
tampak bersemu merah. Dia cepat sentakkan kepala
sembunyikan perubahan wajahnya seraya berkata
dengan suara pelan. “Kau telah dengar jika aku akan
bicara dengan gadis tadi! Jadi harap segera katakan
apa maumu!”
“Aku ingin tahu siapa sebenarnya gadis tadi!”
“Mengapa kau ingin tahu?!”
“Sebagai orang baru di negeri ini, sudah selayaknya
aku ingin tahu....”
“Dia sahabatku.... Dan tentu kau masih ingat nama
yang disebutkan!”
Joko anggukkan kepala. “Boleh aku tahu, apa yang
akan kalian bicarakan?”
“Ini urusan sahabat dan perempuan! Harap kau ti-
dak tertarik dengan apa yang akan kubicarakan de-
ngannya karena kau sendiri punya tugas yang harus
segera kau selesaikan!”
“Hem.... Gadis ini tampaknya telah tahu banyak
tentang diriku! Tapi aku harus tetap hati-hati. Dia
memang telah memberi peringatan tempo hari hingga
aku bisa menyelinap ke shaolin. Tapi bukan berarti
aku boleh mempercayainya! Siapa tahu ini adalah se-
buah jebakan!”
“Masih ada yang ingin kau katakan?!” tanya Mei
Hua seraya berpaling ke arah mana tadi Siao Ling Ling
berkelebat.
Karena Pendekar 131 tidak segera menjawab, Mei
Hua menoleh dan berkata,
“Kau harus tetap waspada dan lebih berhati-hati!
Kejadian di Kuil Shaolin telah menyulut rasa saling cu-
riga antara kaum persilatan di negeri ini. Hal ini tentu
akan membuat pekerjaanmu tambah berati Seka-rang
aku harus pergi!”
Belum sampai Joko sempat menyahut, Mei Hua su-
dah berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Kalau saja tidak tengah menghadapi urusan pen-
ting, aku ingin tahu apa yang akan mereka bicarakan!
Urusan perempuan tentu sangat menarik.... Sebagai
gadis muda dan berparas cantik, yang akan mereka bi-
carakan tentu masalah laki-laki!” gumam Joko sambil
arahkan pandang matanya pada sosok Mei Hua Hingga
lenyap di depan sana.
“Aku harus segera ke Kuil Shaolin. Dugaan Bu Beng
La Ma dan Tiyang Pengembara Agung jika ada orang
dalam yang terlibat saat terjadinya pertumpahan darah
di kuil itu serta lenyapnya kotak wasiat yang berisi se-
paro dari peta wasiat kurasa ada benarnya dan perlu
diselidiki! Sayang.... Aku belum pernah melihat tam-
pang Guru Besar Liang San. Tapi itu bukanlah hal
yang sulit!”
Murid Pendeta Sinting memastikan sesaat kepergian
Mei Hua dengan tegak agak lama seraya terus putar
pandangan dan pasang telinga. Begitu yakin dia sendirian, dia segera berkelebat.
***
LIMA
KITA tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang
teruskan perjalanan menuju Kuil Shaolin. Kita kembali
sejenak ke tempat kediaman Bu Beng La Ma di Kuil
Atap Langit.
Seperti dituturkan, Guru Besar Liang San berhasil
berkelebat pergi hindarkan diri dari terlibat bentrok le-
bih lama dengan Hantu Bulan Emas. Namun sebe-
narnya Guru Besar Liang San tidak begitu saja me-
ninggalkan tempat itu. Secara diam-diam dia menyeli-
nap dan mendekam sembunyi untuk mengetahui apa
yang akan diperbuat Hantu Bulan Emas terhadap Bu
Beng La Ma. Saat itulah mendadak muncul Ratu Se-
lendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah. Kedua
orang ini sengaja mencari Bu Beng La Ma karena me-
reka yakin orang yang menyelamatkan Pendekar 131
adalah Bu Beng La Ma.
Antara Hantu Bulan Emas dengan Ratu Selendang
Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah sempat terjadi
adu mulut. Malah kalau saja Bayangan Tanpa Wajah
tidak segera menengahi, niscaya akan terjadi bentrok
antara Ratu Selendang Asmara dengan Hantu Bulan
Emas. Hingga pada akhirnya terjadi kesepakatan dan
mereka bertiga naik ke Kuil Atap Langit bersama-sa-
ma. Namun mereka bertiga tidak lagi menemukan Bu
Beng La Ma.
Saat Bayangan Tanpa Wajah melesat turun dari
Kuil Atap Langit dan kemudian disusul oleh Ratu Selendang Asmara, Guru Besar Liang San yang terus
mem-perhatikan dari tempat persembunyiannya tam-
paknya sudah dapat membaca keadaan. Tanpa pikir
panjang lagi Guru Besar Liang San berkelebat pergi.
Berlari kira-kira seratus tombak, Guru Besar Liang
San berhenti lalu melompat menyelinap. Dia duduk
bersandar pada satu batangan pohon tidak begitu be-
sar yang di sekitarnya diranggasi semak belukar lebat
hingga sosoknya tidak kelihatan.
“Urusan peta wasiat ini nyatanya tidak semudah
yang kuduga! Urusan di dalam Perguruan Shaolin me-
mang telah tuntas. Namun urusan separo dari peta
wasiat itu memerlukan waktu agak lama.... Apa yang
harus kulakukan sekarang?! Ratu Selendang Asmara,
Bayangan Tanpa Wajah, Hantu Bulan Emas, tampak-
nya sudah bergerak untuk menjajaki meski mereka ti-
dak secara jelas mengatakannya! Bu Beng La Ma sen-
diri rupanya ikut terlibat dalam urusan ini! Sementara
aku datang terlambat.... Pemuda asing itu telah pergi!
Hem.... Apakah pemuda asing itu tahu masalah hari
ganda sepuluh?! Jika dia tahu, tentu dia akan menuju
Kuil Shaolin! Tapi kalau dia tidak tahu.... Maka urusan
ini akan berantakan!”
Guru Besar Liang San terdiam beberapa lama. Ke-
palanya disandarkan pada batangan pohon. Saat lain
kembali dia bergumam sendiri. “Hari ganda sepuluh
sudah tinggal tiga hari di muka. Tiga hari bukan waktu
yang cukup untuk mengejar pemuda asing itu! Hem....
Terpaksa aku akan menunggunya di Perguruan Shao-
lin. Kalau dia tidak muncul dalam dua hari di depan,
aku akan mengambil kotak wasiat! Meski rencana be-
sar ini gagal, tapi setidaknya aku telah memperoleh
separo dari peta wasiat itu. Dan siapa tahu, kelak ke-
mudian hari aku mendapatkan pemuda asing itu. Jika
peta wasiat utuh telah berada di tanganku, aku akan
berusaha menguak dengan caraku sendiri mesti tidak
tepat pada hari ganda sepuluh bulan dan tahun ini!
Aku yakin bisa melakukannya walau aku harus minta
bantuan beberapa orang! Tapi....”
Guru Besar Liang San putus gumamannya. Kepa-
lanya ditarik lalu disentakkan ke samping dengan ma-
ta dipentang besar. “Aku tidak sendirian di tempat ini!
Mungkinkah dia Hantu Bulan Emas? Atau Ratu Se-
lendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah? Atau
jangan-jangan dia adalah Bu Beng La Ma...!”
Paras wajah Guru Besar Liang San berubah tegang.
Namun diam-diam dia cepat kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Kejap lain dia bergerak bangkit
dengan mata diarahkan pada satu jurusan.
Guru Besar Liang San tampak terkesiap dan makin
tegang tatkala begitu agak lama menyiasati keadaan
ternyata dia tidak menemukan siapa-siapa! Padahal
dia yakin dia tidak tengah sendirian di tempat itu.
“Gerakan semak tanpa adanya angin yang berhem-
bus satu bukti ada tenaga lain yang menggerakkan!
Tapi aku tidak bisa melihat sosok orang yang mengge-
rakkan! Ini satu bukti pula jika orang di balik semua
ini bukan orang sembarangan!” kata Guru Besar Liang
San dalam hati. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya.
Kepalanya diputar berkeliling dengan mata makin dije-
rangkan. Namun sejauh ini dia belum juga berhasil
menemukan siapa-siapa.
“Amitaba.... Mudah-mudahan aku tidak salah pan-
dang! Dan mudah-mudahan pula kehadiranku tidak
membuat orang terkejut....”
Mendadak satu suara terdengar. Saat yang sama
satu bayangan berkelebat dari samping kiri. Semak be-
lukar bergerak menyibak. Tahu-tahu sejarak sepuluh
langkah di hadapan Guru Besar Liang San telah mun-
cul satu sosok tubuh!
Guru Besar Liang San berpaling. Karena dari suara
orang dia sudah tahu kalau yang muncul bukan salah
satu dari orang yang dicurigainya, Guru Besar Liang
San menarik napas lega meski dia belum bisa sembu-
nyikan rasa kejutnya.
Dari tempatnya tegak, Guru Besar Liang San me-
lihat satu sosok berpakaian compang-camping. Dia
adalah seorang laki-laki yang wajahnya tidak kelihatan
karena tertutup oleh sebuah benda bulat besar yang
berada tepat di depan wajahnya. Benda bulat itu di-
gantungkan pada sebuah tambang mirip cemeti dan
pangkal tambang itu berada di bagian punggung o-
rang. Anehnya, meski hanya merupakan sebuah tam-
bang, namun tambang itu lurus tegak di atas pung-
gung orang lalu begitu tepat di bagian atas kepala,
tambang itu melengkung hingga benda bulat yang be-
rada di ujung tambang tepat menutupi wajah orang!
Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San mem-
perhatikan orang di hadapannya dengan mulut ter-
kancing. Namun diam-diam dia membatin.
“Selama bergulat di arena rimba persilatan, baru
kali ini aku melihat orang seperti dia! Aku juga belum
pernah-dengar ciri-ciri kaum persilatan yang bentuk-
nya seperti manusia ini! Tapi dari nada suaranya, se-
pertinya dia telah mengenaliku....”
Baru saja Guru Besar Liang San membatin, sosok
laki-laki di hadapannya membuat gerakan. Kedua ka-
kinya dipentangkan melebar. Sementara tangan ka-
nannya diputar ke belakang.
Guru Besar Liang San kerutkan dahi dan memper-
hatikan lebih seksama. Guru Besar Liang San terde-
ngar bergumam tak jelas kala sepasang matanya melihat satu bumbung agak besar perlahan-lahan turun
dari bagian belakang tubuh orang. Bumbung dari
bambu berwarna kuning itu diberi tali di bagian kanan
kirinya. Bumbung bambu itu berhenti tepat di bawah
selangkangan orang.
Begitu gerakan bumbung terhenti, sosok di hada-
pan Guru Besar Liang San tarik pulang tangan kanan-
nya ke depan lalu ditakupkan ke tangan kiri yang be-
rada di depan dada. Saat lain terdengar dia berucap.
“Amitaba.... Mudah-mudahan pertemuan ini mem-
bawa berkah.... Mudah-mudahan pula kau tidak terke-
jut kalau aku mengenalimu meski kita sama yakin jika
antara kita belum pernah bertemu apalagi berkenalan!
Semua ini karena kau adalah orang yang sudah di-
kenal banyak kalangan sebagai salah satu guru besar
di Perguruan Shaolin!”
Guru Besar Liang San angkat kedua tangannya di-
takupkan di depan dada. Sedari tadi dia coba gerakkan
kepala untuk melihat wajah orang. Namun begitu ke-
palanya bergerak, sosok laki-laki di hadapannya se-
akan tahu. Dia juga bergerak mengikuti gerakan ke-
pala Guru Besar Liang San hingga Guru Besar Liang
San gagal melihat wajah orang.
“Amitaba....” Guru Besar Liang San akhirnya buka
suara. “Terima kasih kau telah mengenaliku. Namun
rasanya aku sulit untuk menentukan siapa dirimu!
Harap kau bersedia mengatakan siapa kau sebenar-
nya!”
Wuuttt!
Kepala laki-laki di hadapan Guru Besar Liang San
bergerak ke belakang. Satu sinar putih berkiblat. Ben-
da bulat yang berada di ujung tambang dan tadi menu-
tup wajah orang bergerak ke atas. Kini tambang itu lu-
rus ke atas!
Guru Besar Liang San sempat terkesiap. Namun ka-
rena menangkap jika gerakan orang tidak untuk lepas-
kan pukulan meski sesaat tadi berkiblat sinar putih,
Guru Besar Liang San tidak berusaha membuat gera-
kan walau diam-diam dia terus waspada. Dia hanya
gerakkan kepala mengikuti gerakan benda bulat yang
berada di ujung tambang. Benda bulat itu ternyata
adalah sebuah batu berwarna putih mengkilat dan
tampak berputar-putar di atas kepala orang. Putaran
batu itu membersitkan sinar putih berkilau.
Guru Besar Liang San luruskan kepala memandang
pada wajah orang. Ternyata dia adalah seorang laki-
laki berusia lanjut. Kepalanya ditumbuhi rambut putih
yang dikelabang kecil-kecil hingga menyerupai gerom-
bolan ulat. Sepasang matanya bulat besar dan menjo-
rok keluar seakan hendak meloncat keluar dari rong-
ganya. Kumisnya lebat dan telah memutih. Begitu le-
batnya kumis si kakek, Guru Besar Liang San tidak bi-
sa melihat bentuk mulut orang!
Belum sampai Guru Besar Liang San buka mulut
lagi untuk bertanya karena orang di hadapannya be-
lum menjawab, mendadak si kakek gerakkan kembali
kepalanya. Tambang yang tegak lurus dari punggung
orang ini melengkung, saat lain batu putih yang ada di
ujung tambang telah menutup kembali wajahnya. Saat
yang sama tangan kanan si kakek bergerak ke bela-
kang. Bumbung bambu yang berada di bawah selang-
kangannya perlahan-lahan naik ke atas lalu lenyap ke
balik punggungnya.
“Amitaba...,” kata si kakek seraya tarik kembali tan-
gannya dan ditakupkan di depan dada. “Bukan aku
tak mau sebutkan diri. Tapi apalah artinya diriku....
Mudah-mudahan kau tidak kecewa!”
Meski hatinya tidak enak dengan sambutan orang,
namun Guru Besar Liang San coba tersenyum dan
berkata. “Aku tidak memaksa kalau kau keberatan un-
tuk sebutkan diri. Namun harap kau sudi menjelaskan
berkah apa yang tadi kau katakan atas pertemuan kita
ini!”
“Amitaba.... Sebenarnya aku sungkan mengatakan-
nya. Tapi demi keselamatan dan kedamaian, mudah-
mudahan kau dapat memahaminya meski diperlukan
pengertian besar!”
Dada Guru Besar Liang San berdebar. “Aneh.... Dia
tidak hanya mengenaliku. Tapi sepertinya tahu urusan
yang tengah kuhadapi!”
“Guru Besar Liang San.... Tidak semua kejadian a-
kan berjalan sesuai rencana.... Karena di atas rencana
masih ada yang menentukan. Hanya itu yang bisa ku-
katakan padamu....”
Paras wajah Guru Besar Liang San berubah. Sesaat
dia rasakan aliran darahnya laksana sirna. Namun dia
tak hendak tunjukkan sikap kalau ucapan orang tepat
dengan apa yang tengah dihadapi. Dia cepat sambuti
ucapan orang.
“Aku tidak mengerti apa maksud kata-katamu! Ha-
rap kau mau menjelaskan!”
Kakek di hadapan Guru Besar Liang San perde-
ngarkan suara tawa panjang sebelum akhirnya sambu-
ngi dengan ucapan. “Rasanya sulit bagiku turuti per-
mintaanmu.... Lagi pula ucapanku tidak perlu penjela-
san lagi! Mudah-mudahan kau tidak kecewa....”
Guru Besar Liang San tegak dengan tubuh sedikit
berguncang. “Keparat benar! Apa dia benar-benar tahu
rencanaku selama ini?! Tapi dari mana dia bisa tahu..?
Rencana ini hanya aku dan Baginda Ku Nang yang ta-
hu. Apakah Baginda Ku Nang yang mengatakannya?!
Tapi kalau benar, mengapa dia memberi peringatan
padaku?! Ada yang tak beres dengan semua ini! Aku
harus tahu semuanya....”
Membatin begitu, akhirnya Guru Besar Liang San
angkat suara. “Kau tampaknya kenal akrab dengan
penguasa negeri ini. Betul?!”
“Amitaba...,” kata kakek di hadapan Guru Besar
Liang San seraya gelengkan kepala. Batu Bulat di de-
pan wajahnya ikut bergoyang-goyang mengikuti gera-
kan kepala si kakek hingga Guru Besar Liang San ti-
dak bisa melihat mimik wajah orang. “Pada dirimu saja
aku sungkan mengatakan siapa diriku, bagaimana
mungkin aku bisa kau katakan kenal akrab dengan
penguasa negeri ini?!. Mudah-mudahan telingaku yang
salah dengar dan kau salah ucap....”
“Kau tidak salah dengar dan aku tidak keliru berka-
ta. Mungkin kau yang coba menutup diri!”
“Amitaba...! Harap kau tidak berburuk sangka de-
ngan sikapku. Aku memang selalu menutup mukaku
dengan batu putih ini. Tapi bukan berarti aku suka
menutupi diri! Apa yang kuucapkan hanyalah demi ke-
damaian dan keselamatan....”
“Hem.... Begitu?! Lalu dari mana kau tahu kalau
aku punya rencana?!” tanya Guru Besar Liang San de-
ngan suara agak tinggi.
Si kakek terdiam beberapa lama. Sementara Guru
Besar Liang San melangkah maju dua tindak. Sepa-
sang matanya menebar berkeliling. Meski dia merasa
yakin si kakek muncul sendirian, namun tampaknya
Guru Besar Liang San tidak mau berlaku ayal. Bagai-
manapun juga dia masih khawatir ada orang lain di
tempat itu. Dia tidak mau apa yang akan diucapkan
kakek di hadapannya didengar orang lain.
“Guru Besar Liang San.... Sekali lagi mudah-muda-
han kau tidak kecewa dengan jawabanku. Aku tidak
bisa menjelaskan apa yang jadi pertanyaanmu! Dan
yang pasti, aku tidak kenal akrab dengan penguasa
negeri ini!”
“Baik! Aku tanya sekali lagi. Bagaimana kau bisa
mengatakan bahwa rencanaku tidak akan berjalan se-
bagaimana mestinya?!”
“Aku tidak mengatakan begitu.... Aku tadi mengata-
kan....”
Belum sampai orang teruskan ucapan, Guru Besar
Liang San telah menyahut. “Benar! Kau memang tidak
berkata begitu. Tapi bukankah nada bicaramu menju-
rus ke arah sana?! Kau seakan tahu apa rencanaku
dan menduga rencanaku tidak akan berhasil!”
Sekali lagi kepala si kakek bergerak menggeleng.
“Harap kau tidak terlalu jauh menduga. Kalaupun kau
punya rencana, mungkin saat ini satu kebetulan saja
kalau apa yang baru kuucapkan ada sangkut pautnya
dengan apa yang kini kau hadapi!”
Guru Besar Liang San menyeringai dingin. “Tidak
mungkin kau berkata sekaligus meramal apa yang
akan terjadi kalau kau tidak tahu apa yang kulakukan!
Pasti kau mendapat keterangan dari seseorang. Dan
jangan kira aku tak tahu siapa orang yang telah mem-
berimu keterangan!”
“Guru Besar Liang San.... Kita baru pertama kali ini
bertemu. Aku berharap mudah-mudahan pertemuan
ini bukan awal dari sebuah sengketa dan salah pa-
ham.... Sekarang aku harus segera pergi.... Kalau kau
merasa apa yang kuucapkan tadi ada sangkut pautnya
dengan dirimu, kuharap kau melupakan semuanya!
Dan anggap aku tidak pernah berkata apa-apa pada-
mu.... Selamat tinggal!”
“Harapanmu hanya tinggal harapan kalau kau tidak
mau mengatakan dari mana kau mendapatkan keterangan!” sahut Guru Besar Liang San.
Seraya berkata begitu, Guru Besar Liang San berke-
lebat memotong gerakan si kakek dan tegak tujuh
langkah di hadapan orang dengan mata terpentang be-
sar dan kedua tangan terangkat ke atas.
Si kakek urungkan niat. Dia perdengarkan tawa
pendek pelan sebelum akhirnya berujar.
“Semua rencana ada yang menentukan.... Amita-
ba... Dan kalau kau ingin tahu dari mana aku men-
dapat keterangan, harap kau bertanya pada Sang Pe-
nentu Rencana....”
Tampang Guru Besar Liang San berubah beringas.
“Aku yakin dia adalah kaki tangan Baginda Ku Nang.
Dia sengaja diberi tugas untuk mengalihkan perhati-
anku.... Aku harus segera mengambil kotak wasiat itu
sebelum orang lain mendahului! Tapi orang ini harus
kulenyapkan dahulu. Dia bisa merusak semua renca-
na!”
“Orang tak dikenal! Aku tanya sekali lagi! Dan ja-
wabanmu adalah penentu dari keselamatan selembar
nyawamu!”
“Aku telah berkata tak mengharapkan pertemuan
ini adalah awal sebuah sengketa. Aku juga telah me-
ngatakan apa adanya tentang apa yang kuucapkan.
Rasanya aneh kalau aku harus menjawab....”
“Cukup!” potong Guru Besar Liang San. “Sekarang
jawab! Dari mana kau mendapat keterangan?!”
Yang ditanya tidak menyahut dengan ucapan me-
lainkan dengan tawa pendek. Guru Besar Liang San
tak bisa lagi meredam hawa kemarahan. Tanpa buka
suara lagi, kedua tangannya bergerak!
***
ENAM
DUA gelombang dahsyat melesat ganas. Ranggasan
semak belukar menyibak dan langsung amblas porak-
poranda membubung ke udara.
Anehnya, meski mendapat serangan mendadak, si
kakek bukannya segera membuat gerakan mengha-
dang atau hindarkan diri. Sebaliknya tertawa berderai
hingga batu putih di ujung tambang yang terus menu-
tupi wajahnya tampak bergoyang-goyang. Sesaat begi-
tu gelombang angin setengah tombak lagi menyapu, si
kakek sentakkan kepalanya ke belakang.
Wuttt!
Batu putih di ujung tambang melenting ke udara.
Bersamaan dengan itu satu sinar putih berkilau ber-
kiblat perdengarkan suara bergemuruh.
Blamm! Blammm!
Terdengar ledakan keras dua kali berturut-turut.
Gelombang yang melesat dari kedua tangan Guru Be-
sar Liang San semburat mental dan berbalik mener-
jang ke arah Guru Besar Liang San!
Guru Besar Liang San terpana sesaat. Saat lain dia
berkelebat ke samping.
Brakkk!
Pohon di mana tadi Guru Besar Liang duduk ber-
sandar berderak roboh. Sementara batu putih di ujung
tambang kembali melengkung dan berhenti tepat me-
nutupi wajah si kakek!
“Guru Besar Liang San.... Harap kita sudahi ke-
salahpahaman ini! Kalau tidak....” Si kakek tidak lan-
jutkan ucapan. Sebaliknya gerakkan kepala ke sam-
ping. Batu putih di hadapannya ikut bergerak.
Guru Besar Liang San yang sudah tidak sabar tak
hiraukan ucapan orang. Mungkin merasa maklum jika
orang yang dihadapi memiliki ilmu tinggi, dia lipat
gandakan tenaga dalamnya. Saat lain kembali kedua
tangannya diangkat.
Namun mendadak Guru Besar Liang San urungkan
niat untuk lepas pukulan. Masih dengan kedua tangan
di atas kepala, kepalanya bergerak berpaling ke arah
mana kepala si kakek menoleh.
“Guru Besar Liang San.... Aku tahu kalau kau tidak
senang dengan kehadiran mereka.... Untuk itu, biar-
kan aku pergi!”
“Hem..,. Dua sosok bayangan tampak berlari me-
nuju kemari,” bisik Guru Besar Liang San dengan pi-
cingkan mata. “Jahanam! Mereka adalah Ratu Selen-
dang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah! Sialan be-
nar! Jangan-jangan Hantu Bulan Emas juga tengah
menuju kemari! Aku tidak takut dengan mereka.... Ta-
pi untuk saat ini tidak ada gunanya melayani mereka!
Ada hal lebih penting yang harus kuselesaikan!”
Guru Besar Liang San turunkan kedua tangannya.
Kepalanya berpaling pada kakek di seberang sana.
“Hem.... Tampaknya dia telah tahu pula urusan di ba-
wah Kuil Atap Langit. Jadi secara diam-diam selama
ini aku diikuti orang tanpa sadar! Siapa manusia ini
sebenarnya?!”
“Guru Besar Liang San....”
“Orang tak dikenal!” tukas Guru Besar Liang San
sebelum si kakek lanjutkan ucapan. “Hari ini nyawa-
mu selamat. Tapi ini adalah hari kematianmu yang ter-
tunda! Ingat! Kelak sudah tidak ada liang bagimu un-
tuk selamat dari tanganku!”
“Amitaba.... Mudah-mudahan hari ini telingaku sa-
lah dengar! Mudah-mudahan pula kau hanya main-
main dengan ucapanmu....”
Sebenarnya Guru Besar Liang San sudah buka mu-
lut hendak menyahut. Namun begitu kepalanya berpa-
ling lagi ke arah mana kepala si kakek terus mengarah,
Guru Besar Liang San cepat katupkan mulut. Saat lain
dia berkelebat dan lenyap di tengah ranggasan semak
belukar.
Hampir bersamaan dengan berlalunya sosok Guru
Besar Liang San, dua sosok bayangan berkelebat dan
tahu-tahu telah tegak di samping batangan pohon
yang tumbang akibat gelombang pukulan Guru Besar
Liang San yang mental balik.
Di sebelah kanan tumbangan pohon adalah seorang
nenek mengenakan pakaian panjang berwarna hitam.
Di pundaknya menyelempang sebuah selendang hitam
yang menjulai panjang hingga menyapu tanah. Nenek
ini tidak lain adalah Ratu Selendang Asmara. Sedang
di sebelah kiri batangan pohon adalah seorang laki-laki
berpakaian hitam panjang sebatas lutut. Rambutnya
hitam lebat disanggul tinggi ke atas. Paras wajahnya
agak bulat dengan sepasang mata sipit. Kumis dan
jenggotnya lebat serta hitam. Dan ternyata bukan ha-
nya rambut, kumis, dan jenggotnya yang hitam. Na-
mun sekujur kulit tubuh laki-laki ini juga berwarna hi-
tam legam! Laki-laki ini bukan lain adalah Bayangan
Tanpa Wajah.
“Kau dengar suara tadi?!” Si nenek buka suara de-
ngan kepala berputar. Sepasang matanya dijerengkan
tak berkesip.
“Telingaku tidak tuli! Tumbangnya pohon ini juga
satu bukti bahwa baru saja terjadi bentrok di sekitar
tempat ini! Tapi maha manusianya?!”
Sahutan Bayangan Tanpa Wajah sebenarnya mem-
buat dada Ratu Selendang Asmara agak terbakar. Na-
mun gejolak hawa amarahnya lenyap seketika saat sepasang matanya menumbuk batu putih yang ber-
goyang-goyang di atas ranggasan semak belukar.
Ratu Selendang Asmara memperhatikan sesaat. La-
lu berpaling pada Bayangan Tanpa Wajah. Sementara
di lain pihak, mendadak kepala Bayangan Tanpa Wa-
jah juga menoleh sesaat setelah sepasang matanya me-
lihat apa yang juga dilihat oleh si nenek.
Belum sampai ada yang sempat buka mulut atau
membuat gerakan, mendadak terdengar suara, tawa
panjang yang bersumber dari ranggasan semak di ma-
na terlihat batu putih yang bergoyang-goyang.
Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wa-
jah luruskan kepala ke arah gerakan batu putih. Saat
bersamaan satu sosok tubuh muncul dari semak belu-
kar. Begitu cepatnya gerakan sosok ini, hingga baik
Ratu Selendang Asmara maupun Bayangan Tanpa Wa-
jah tidak bisa melihat raut wajah orang yang kini ter-
tutup batu putih. Kedua orang ini hanya bisa me-lihat
bagian tubuh orang di bawah kepala.
“Kau mengenali orang itu?!” Bayangan Tanpa Wajah
berbisik tanpa berpaling. Sebaliknya edarkan panda-
ngan berkeliling karena dia yakin pasti ada lagi orang
lain di tempat itu.
Sementara itu, begitu melihat munculnya sosok tu-
buh yang tidak sempat dilihat raut wajahnya, Ratu Se-
lendang Asmara kerutkan dahi seraya dongakkan ke-
pala. Diam-diam si nenek berkata dalam hati. “Aku
memang belum pernah bertemu dengan orang ini....
Tapi dari ciri-cirinya, apakah ini manusianya yang di-
kenal dengan julukan Dewa Cadas Pangeran?! Kalau
saja aku tidak melihat sendiri, tentu aku masih belum
percaya dengan apa yang pernah kudengar.... Tapi ka-
lau memang dia adalah Dewa Cadas Pangeran, masih
ada ciri yang belum kulihat dari apa yang pernah ku
dengar!”
Ratu Selendang Asmara luruskan kepalanya dan
kembali memandang ke arah orang yang tegak dengan
wajah tertutup bulatan batu putih di ujung tambang.
Hampir bersamaan dengan gerakan kepala Ratu Se-
lendang Asmara, tangan kakek yang wajahnya tertutup
bulatan batu putih tampak bergerak berputar ke bela-
kang. Saat lain dari bagian punggungnya melorot se-
buah bumbung bambu dan berhenti tepat di bawah se-
langkangannya.
“Astaga! Dia benar-benar Dewa Cadas Pangeran!”
seru Ratu Selendang Asmara dalam hati seraya mem-
perhatikan gerakan bumbung bambu.
“Orang aneh.... Siapa dia sebenarnya?!” Bayangan
Tanpa Wajah kembali bergumam. Sepasang matanya
menatap tak berkesip pada bumbung bambu di bawah
selangkangan orang.
Mungkin tak sabar dan tak bisa mengenali orang,
sementara Ratu Selendang Asmara tidak juga menya-
huti pertanyaannya, laki-laki berkulit hitam legam ini
menoleh pada si nenek.
“Kau mengenali orang ini?!”
“Hem.... Nyatanya telingaku masih lebih mendengar
daripada telingamu!” desis Ratu Selendang Asmara
tanpa berpaling pada Bayangan Tanpa Wajah.
Meski dadanya panas mendengar ucapan si nenek,
namun Bayangan Tanpa Wajah masih menahan diri.
Namun dia tak hendak ulangi pertanyaannya. Dia me-
nunggu dengan kepala kembali disentakkan mengha-
dap ke depan.
“Dengar! Dia adalah seorang tokoh jajaran atas ge-
nerasi lama yang dikenal kalangan rimba persilatan
dengan gelar Dewa Cadas Pangeran!”
“Dari mana kau tahu nama gelar itu?!” tanya
Bayangan Tanpa Wajah seolah tidak percaya dengan
ke-terangan Ratu Selendang Asmara.
“Kau tak perlu tahu. Tapi kau lihat batu putih yang
menutupi wajahnya! Batu putih itu bukan batu sem-
barangan. Batu itu diambil dari sebuah lembah yang
dikenal dengan Lembah Cadas Pangeran! Itulah me-
ngapa lantas kalangan dunia persilatan menggelarinya
dengan Dewa Cadas Pangeran!”
“Dan kau tahu,” kata Ratu Selendang Asmara me-
lanjutkan setelah agak lama terdiam. “Selain berilmu
sangat tinggi, orang itu termasuk orang langka dan
aneh! Selama sepuluh tahun, dia hanya kencing satu
kali! Itu pun hanya beberapa tetes! Bumbung bambu
di bawah selangkangannya adalah tetesan air kencing-
nya selama dia hidup! Aku memang belum membukti-
kan dengan mata kepalaku sendiri. Tapi menurut yang
kudengar, meski tetesan air kencing itu telah mengen-
dap berpuluh-puluh tahun, namun tetesan air itu ti-
dak menguap lenyap!”
“Hem.... Aku ingin buktikan kebenaran ucapanmu!”
kata Bayangan Tanpa Wajah. Laki-laki berwajah hitam
legam ini maju tiga tindak. Lalu angkat suara.
“Benar kau adalah manusia bergelar Dewa Cadas
Pangeran?!”
Kakek yang wajahnya tertutup batu putih goyang-
kan pantatnya. Bumbung bambu di bawah selangkan-
gannya bergerak ke atas sebelum akhirnya lenyap ti-
dak kelihatan.
“Ah, nyatanya masih ada orang yang mengenaliku.
Mudah-mudahan aku juga masih bisa mengenali siapa
adanya kalian berdua....”
“Hem.... Nada ucapannya jelas kalau dia memang
bergelar Dewa Cadas Pangeran! Tapi untuk apa aku
peduli dengannya?! Yang penting saat ini adalah mencari jejak lenyapnya pemuda asing itu!” kata Bayangan
Tanpa Wajah dalam hati. Dia melangkah mundur men-
jajari Ratu Selendang Asmara.
“Kita harus segera tinggalkan tempat ini! Siapa pun
dia adanya, tidak penting bagi urusan kita!”
Ratu Selendang Asmara gelengkan kepala. “Kau sa-
lah! Menurut apa yang pernah kudengar, meski dia ja-
rang sekali muncul namun dia banyak tahu tentang
apa yang terjadi dalam dunia persilatan! Pertemuan ini
sangat berharga bagi kita.... Aku hampir merasa yakin
dia tahu apa yang tengah kita cari! Kita minta petun-
juk padanya!”
Ratu Selendang Asmara tidak menunggu sahutan
Bayangan Tanpa Wajah. Dia segera melangkah ke de-
pan beberapa tindak dan berhenti lima langkah di ha-
dapan si kakek yang dalam dunia persilatan memang
pernah punya nama besar meski hanya sebagian orang
yang tahu. Kakek ini tidak lain memang seorang tokoh
yang digelari orang dengan Dewa Cadas Pangeran.
Ratu Selendang Asmara tegak dengan kepala berge-
rak ke samping kiri kanan seolah ingin melihat raut
wajah orang. Namun bersamaan dengan gerakan ke-
pala si nenek, kepala Dewa Cadas Pangeran juga ber-
gerak seirama, hingga Ratu Selendang Asmara gagal
untuk mengetahui bagaimana raut wajah orang.
“Dewa Cadas Pangeran.... Senang sekali bisa ber-
jumpa dengan tokoh sepertimu. Kalau tidak keberatan,
mau kau jawab beberapa pertanyaanku?!”
Dewa Cadas Pangeran tertawa sesaat sebelum a-
khirnya perdengarkan suara. “Sosokmu mengingatkan
aku pada seseorang yang dalam kancah dunia persila-
tan dijuluki Ratu Selendang Asmara.... Mudah-muda-
han aku tidak salah ucap!”
Ratu Selendang Asmara sempat terkejut mendapati
orang telah tahu siapa dirinya meski dia merasa yakin
belum pernah bertemu. Namun hal ini lebih mengua-
tkan keyakinan si nenek kalau orang di hadapannya
dapat memberi petunjuk. Sementara Bayangan Tanpa
Wajah juga tampak kaget. Dia kerutkan dahi dan ber-
kata dalam hati.
“Mereka belum pernah bertemu. Tapi nyatanya dia
telah tahu siapa adanya orang.... Apakah dia juga tahu
siapa aku adanya?!”
Baru saja Bayangan Tanpa Wajah membatin begitu,
Dewa Cadas Pangeran anggukkan kepalanya. Batu pu-
tih di hadapannya ikut bergerak. Lalu terdengar uca-
pan.
“Mudah-mudahan aku juga tak salah kira dengan
sahabat yang tegak di belakang sana.... Bukankah kau
adalah seorang tokoh yang dikenal dengan Bayangan
Tanpa Wajah...?”
Baik Ratu Selendang Asmara maupun Bayangan
Tanpa Wajah tak dapat lagi menahan rasa kejut ma-
sing-masing. Dan sebelum kedua orang ini ada yang
angkat suara, Dewa Cadas Pangeran telah perdengar-
kan ucapan lagi.
“Sebagai sahabat, dengan senang hati aku akan
menjawab beberapa pertanyaan yang akan kau ajukan
padaku.... Mudah-mudahan jawabanku nanti tidak
membuatmu kecewa apalagi bisa menimbulkan kesa-
lah-pahaman dan membuka sebuah urusan baru....”
“Terima kasih...,” kata Ratu Selendang Asmara. Ne-
nek ini berpaling sesaat pada Bayangan Tanpa Wajah
dan memberi isyarat dengan jari. Bayangan Tanpa Wa-
jah maju dan tegak menjajari.
“Tanyakan di mana sebenarnya peta wasiat itu dan
siapa sebenarnya saat ini yang memegangnya.... Ta-
nyakan juga ke mana kira-kira perginya pemuda asing
yang tengah kita cari jejaknya!” Bayangan Tanpa Wa-
jah segera berbisik.
“Dewa Cadas Pangeran.... Selama bertahun-tahun
semua kalangan persilatan telah tahu jika biara Per-
guruan Shaolin menyimpan sebuah peta wasiat. Dan
mungkin kau juga telah tahu kalau beberapa waktu
yang lalu telah terjadi musibah di Perguruan Shaolin.
Aku tak tahu apakah kejadian di biara Perguruan
Shaolin ada hubungannya dengan peta wasiat atau ti-
dak. Yang pasti, kami ingin tahu, di mana sebenarnya
peta wasiat itu saat ini?!”
“Amitaba.... Sebagai orang rimba persilatan, aku tak
kaget dengan pertanyaanmu...,” ujar Dewa Cadas Pan-
geran. Batu putih di ujung tambang tampak bergerak
ke atas mengikuti irama gerakan kepala Dewa Cadas
Pangeran yang mendongak. Untuk beberapa lama
orang ini terdiam. Ratu Selendang Asmara dan Bayan-
gan Tanpa Wajah menunggu tanpa ada yang membuat
gerakan atau buka suara.
“Biara Perguruan Shaolin memang menyimpan se
buah peta wasiat!” Akhirnya Dewa Cadas Pangeran
lanjutkan ucapan. “Namun peta wasiat itu terpisah sa-
tu sama lain.... Kalau kalian ingin tahu atau memili-
kinya, kalian harus dapat menemukan keduanya....
Hanya saja separo peta wasiat itu saat ini tidak bisa di-
tentukan tempatnya.... Peta itu akan terus berpindah
tempat! Sementara separonya lagi tersimpan di sebuah
tempat tidak jauh dari sebuah aliran sungai....”
Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wa-
jah saling pandang tidak mengerti ucapan Dewa Cadas
Pangeran.
“Dewa Cadas Pangeran.... Aku tidak mengerti mak-
sudmu! Bagaimana mungkin sebuah peta wasiat terus
berpindah tempat?!” tanya Ratu Selendang Asmara.
“Ratu.... Itu satu bukti kalau separo peta wasiat itu
telah berada dalam genggaman tangan orang. Jadi peta
wasiat itu akan terus berpindah mengikuti ke mana
orang itu melangkah! Sedangkan separonya lagi sudah
menetap di satu tempat yang tadi sudah kukatakan....”
“Siapa orang yang kini menggenggam separo dari
peta wasiat itu?!” Bayangan Tanpa Wajah cepat ajukan
tanya.
Sepasang mata jereng Dewa Cadas Pangeran me-
natap lekat-lekat pada batu putih di hadapannya.
“Sayang sekali aku tidak bisa menyebut siapa orang-
nya karena terus terang aku belum mengenalnya....”
“Tapi kau bisa mengatakan bagaimana ciri-cirinya!”
Kali ini Ratu Selendang Asmara yang angkat suara.
Bola mata Dewa Cadas Pangeran berputar liar pan-
dangi bundaran batu putih yang menutupi wajahnya.
Kejap kemudian terdengar suara jawabannya. “Dia a-
dalah seorang pemuda berparas tampan. Dia datang
dari seberang laut....”
“Han Ko!” seru Ratu Selendang Asmara.
“Pemuda asing itu!” Bayangan Tanpa Wajah mende-
sis.
Yang dimaksud Ratu Selendang Asmara dengan
Han Ko bukan lain memang murid Pendeta Sinting,
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Karena
saat pertama kali bertemu, Pendekar 131 sebutkan diri
bernama Han Ko pada si nenek.
“Sekarang jadi jelas dan aku tidak ragu-ragu lagi!
Selama ini aku memang masih bimbang...,” kata Ratu
Selendang Asmara dalam hati.
“Dewa Cadas Pangeran.... Terima kasih atas ketera-
nganmu. Sekarang harap kau sudi mengatakannya
padaku. Ke mana kira-kira pemuda itu pergi?!”
Dewa Cadas Pangeran kembali tengadah dengan
mata menatap lekat-lekat pada bulatan batu putih di
depan wajahnya. Saat kemudian dia angkat tangan
kanannya dan diluruskan menunjuk pada satu arah.
“Dia telah mendapat separo dari peta wasiat. Ten-
tunya dia ingin mengambil separonya lagi. Saat ini dia
tengah menuju sumber di mana peta wasiat pertama
itu disimpan!”
Kepala Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tan-
pa Wajah sama bergerak ke arah mana tangan ka-nan
Dewa Cadas Pangeran bergerak menunjuk.
“Biara Perguruan Shaolin!” hampir bersamaan, Ratu
Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah perde-
ngarkan gumaman.
“Sebelum terlambat, kita harus cepat ke sana!”
Bayangan Tanpa Wajah berucap.
Entah karena merasa gembira dapat petunjuk, tan-
pa buka suara lagi Ratu Selendang Asmara dan Baya-
ngan Tanpa Wajah membuat gerakan berkelebat.
Namun sebelum kedua orang ini sempat bergerak
lebih jauh, mendadak Dewa Cadas Pangeran goyang-
kan kepalanya ke atas.
Wuttt!
Tambang yang berpangkal di punggungnya melen-
ting dan kini tegak lurus ke atas. Bersamaan itu satu
sinar putih berkiblat perdengarkan deruan keras,
membuat Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tan-
pa Wajah bukan saja urungkan kelebatan, tapi cepat
melompat mundur dan kerahkan tenaga dalam pada
kaki masing-masing, karena mereka berdua merasa-
kan getaran hebat!
“Harap tidak pergi dahulu....” Dewa Cadas Pangeran
berkata. Kepalanya digerakkan ke bawah. Bundaran
batu putih bergerak dan cepat menutup kembali raut
wajahnya hingga si nenek dan Bayangan Tanpa Wajah
tidak sempat melihat paras wajahnya.
Tindakan Dewa Cadas Pangeran membuat paras
Bayangan Tanpa Wajah yang hitam legam berubah ra-
ta laksana tidak berbentuk. Pertanda jika orang ini te-
lah diamuk hawa amarah.
Mendapati gelagat tidak baik, Ratu Selendang As-
mara cepat bersuara. “Harap tidak membuat masalah
dengan dia! Bagaimanapun juga dia telah memberi ke-
terangan sangat berharga pada kita! Kita turuti apa
yang dia kehendaki!”
“Tapi....”
“Aku tak mau dengar dalih!” potong si nenek. “Lagi
pula aku yakin, apa yang dikehendakinya tidak mung-
kin merugikan kita!”
Habis berkata begitu, Ratu Selendang Asmara ber-
paling pada Dewa Cadas Pangeran. “Dewa Cadas Pan-
geran.... Kau mau mengatakan sesuatu?!”
***
TUJUH
BATU putih di ujung tambang bergerak perlahan ke
atas tanda kepala Dewa Cadas Pangeran mendongak.
Saat kemudian terdengar ucapan.
“Kalian telah mendapat jawaban dari apa yang ka-
lian tanyakan.... Mudah-mudahan kalian tidak segan
untuk juga jawab beberapa tanyaku!”
“Aneh.... Dia telah tahu banyak apa yang tidak dike-
tahui orang lain. Mengapa dia masih akan ajukan ta-
nya?!” Diam-diam Ratu Selendang Asmara membatin.
Lalu buka suara.
“Kau telah menjawab pertanyaanku. Adalah kurang
pantas kalau aku tidak bersedia memberi jawaban atas
pertanyaanmu...!”
“Terima kasih...,” ujar Dewa Cadas Pangeran. “Ka-
lian menginginkan peta wasiat itu?!”
“Siapa pun yang kau tanya begitu pasti akan ang-
gukkan kepala!” jawab Ratu Selendang Asmara berte-
rus terang.
Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang.
Lalu berucap. “Aku tidak akan halangi keinginan se-
seorang. Tapi demi kedamaian dan keselamatan, tidak
ada salahnya bukan kalau aku memberi satu saran?”
“Kau pasti akan mengatakan kami berdua tidak
akan berhasil mendapatkan peta wasiat itu! Benar?!”
Ratu Selendang Asmara tampaknya sudah dapat mem-
baca apa yang akan dikatakan Dewa Cadas Pangeran.
“Syukur kalau kau telah menangkap isyarat itu....
Sekali lagi mudah-mudahan kalian tidak berburuk
sangka padaku kalau aku mengatakan kalian bukan
saja tidak akan mendapatkan apa-apa, namun akan
mengalami musibah jika teruskan keinginan!”
Mendengar ucapan Dewa Cadas Pangeran, Ratu Se-
lendang Asmara tersenyum. “Dewa Cadas Pangeran.
Kuakui kau pandai memberi keterangan. Tapi jangan
kau lupa! Nasib seseorang adalah sebuah misteri yang
tidak bisa dibaca oleh siapa saja!”
“Ucapanmu tidak salah. Dan harap kau tak keliru.
Aku tidak membicarakan nasib seseorang. Aku hanya
memberi saran. Dan kalaupun aku mengatakan kalian
tidak akan mendapatkan apa-apa, aku menangkap
adanya beberapa orang punya keinginan seperti kalian.
Jika semua orang yang punya keinginan sama saling
bertemu, kalian dapat bayangkan apa yang akan terja-
di!”
“Kita tak perlu pedulikan ucapannya!” Bayangan
Tanpa Wajah berbisik pada Ratu Selendang Asmara.
Si nenek anggukkan kepala lalu berkata. “Masih
ada yang ingin kau utarakan lagi?”
Dewa Cadas Pangeran tidak sambuti pertanyaan
Ratu Selendang Asmara. Sebaliknya dia putar diri
membelakangi orang. Kejap lain dia membuat gerakan
satu kali. Sosoknya melesat beberapa tombak ke de-
pan. Saat lain Ratu Selendang Asmara dan Bayangan
Tanpa Wajah hanya melihat gerakan batu putih yang
bergoyang-goyang di atas ranggasan semak belukar
yang sesekali semburatkan kiblatan sinar putih.
“Kita sekarang menuju biara Perguruan Shaolin!”
kata Bayangan Tanpa Wajah. Seraya berkata, laki-laki
berkulit hitam legam ini melangkah hendak tinggalkan
tempat itu.
Namun begitu sadar kalau Ratu Selendang Asmara
tidak beranjak dari tempatnya tegak, Bayangan Tanpa
Wajah berkata agak keras.
“Kau takut?!”
“Setinggi apa pun ilmu orang, dia tak mungkin bisa
menang berhadapan dengan nasib! Itulah satu-satu-
nya hal yang paling kutakutkan dalam hidup!”
Ucapan Ratu Selendang Asmara membuat Baya-
ngan Tanpa Wajah tertawa ngakak lalu berkata. “Tam-
paknya kau termakan kata-kata orang!”
Kini ganti si nenek yang perdengarkan tawa begitu
mendengar sahutan Bayangan Tanpa Wajah. “Kau bo-
leh tertawa. Tapi aku yakin, dalam hatimu juga ada ra-
sa takut berhadapan dengan nasib! Apalagi seseorang
yang telah dikenal tahu banyak urusan mengatakan
nasibmu tidak baik!”
“Aku tak pernah berpikir tentang nasib! Itulah se-
babnya aku tak pernah punya rasa takut!”
Bayangan Tanpa Wajah arahkan pandang matanya
jauh ke depan. Lalu sambungi ucapannya. “Kita seka-
rang telah tahu di mana peta wasiat berada dan ke ma-
na kita harus mencarinya. Kau sekarang berhak me-
mutuskan untuk lanjutkan urusan ini atau....”
“Aku tak pernah menjilat ludah di tanah!” Ratu Se-
lendang Asmara menyahut sebelum Bayangan Tanpa
Wajah selesaikan ucapan. Bahkan begitu berkata, si
nenek segera melesat ke depan lalu berkelebat ke arah
mana tadi tangan kanan Dewa Cadas Pangeran me-
nunjuk.
Bayangan Tanpa Wajah menyeringai. Dengan hen-
takkan kaki kanan, laki-laki berwajah hitam legam ini
berkelebat menyusul Ratu Selendang Asmara.
***
Sementara itu, di tempat kira-kira seratus tombak
dari biara Perguruan Shaolin, Pendekar 131 Joko Sab-
leng hentikan langkah. Dia memang sengaja bertindak
hati-hati saat tahu mulai memasuki kawasan Per-
guruan Shaolin.
Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata meman-
dang jauh ke depan sana, di mana julangan puncak
bangunan Perguruan Shaolin terlihat.
“Hem.... Apa aku harus menggundul rambutku agar
leluasa masuk Perguruan Shaolin?” Joko bergumam
sambil usap rambutnya. “Jika aku masih berambut
panjang begini rupa, rasanya sulit bagiku memasuki
perguruan itu. Apalagi baru saja terjadi huru-hara
yang menewaskan beberapa pimpinan shaolin. Tapi
bagaimana bentuk rupaku nanti kalau aku memang
benar-benar menggundul rambut?! Lagi pula bagaima-
na caranya menggundul?! Ah....”
Joko gerakkan tangan kanan menyisir rambutnya
yang basah oleh keringat. “Apakah aku harus menung
gu hingga hari berganti gelap?! Tapi aku pasti masih
kesulitan untuk masuk! Kalaupun aku berhasil ma-
suk, tentu aku masih bingung karena aku belum tahu
seluk-beluk bangunan di Perguruan Shaolin! Hem....
Ataukah aku harus memancing keluarnya Guru Besar
Liang San?! Tapi bagaimana caranya?! Inilah sulitnya.
Aku belum tahu bagaimana tampang Guru Besar Liang
Sah.... Sementara....”
Joko katupkan mulut. Saat bersamaan kepalanya
berpaling. Sepasang matanya mendelik besar. Dia se-
benarnya ingin membuat gerakan, namun tampaknya
dia sadar, gerakan apa pun yang akan dilakukan su-
dah sangat terlambat. Karena tahu-tahu dua puluh
langkah di depan sana telah tegak satu sosok tubuh
dengan mata menatap tajam ke arahnya.
“Dari penampilannya, jelas dia orang Perguruan
Shaolin. Dari usia dan sikapnya, pasti dia tokoh di per-
guruan itu! Hem...,” Joko memperhatikan orang de-
ngan seksama seraya menduga-duga.
Di lain pihak, orang yang tegak di depan sana ke-
rutkan dahi dengan mata dipicingkan. Pandangannya
jelas membayangkan rasa curiga. Dia adalah seorang
laki-laki berwajah agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggot-
nya jarang tapi panjang. Sepasang matanya agak be-
sar. Kepalanya gundul dan terlihat beberapa titik putih
pada batok kepalanya. Orang ini mengenakan pakaian
panjang warna kuning tanpa leher. Di pundaknya me-
lapis kain warna merah yang terus dililitkan pada
pinggangnya. Laki-laki ini tidak lain adalah Guru Be-
sar Liang San.
“Seorang pemuda.... Tampangnya sepertinya bukan
orang negeri ini! Tapi itu tidak, penting. Yang jelas dia
seorang pemuda yang mencurigakan karena memata-
matai Perguruan Shaolin. Hem.... Aku hampir bisa
memastikan.... Dugaanku ternyata tidak jauh meleset!
Kemunculannya di sini merupakan satu petunjuk!”
Guru Besar Liang San membatin dengan sunggingkan
senyum. “Aku harus berlaku ramah.... Lagi pula dia
pasti belum tahu siapa yang kini di hadapannya!
Hem.... Akhirnya rencanaku berjalan tanpa hambatan!
Kini aku sudah tak sabar lagi menunggu hari ganda
sepuluh!”
Guru Besar Liang San takupkan kedua tangannya
di depan dada. Lalu kepalanya ditundukkan seraya
berkata pelan. “Amitaba.... Boleh aku bertanya, Anak
Muda...?”
Murid Pendeta Sinting membuat sikap seperti yang
dilakukan orang. Lalu sembari mengumbar senyum dia
buka suara.
“Amitaba.... Apa yang hendak kau tanyakan, Orang
Tua?!”
“Siapa namamu?”
“Aku punya dua nama. Yang mana kau inginkan?
Nama semasa aku masih kecil atau setelah aku meng-
injak dewasa?!”
Guru Besar Liang San kerutkan dahi namun tetap
dengan bibir sunggingkan senyum. “Kalau tak kebera-
tan, aku ingin tahu keduanya....”
“Waktu kecil aku dipanggil Lon Tong Bu Lim....” Jo-
ko hentikan ucapannya sesaat sambil melirik wajah
orang. Lalu menyambung. “Begitu aku dewasa, entah
karena apa, aku dipanggil Han Ko!”
“Seperti halnya aku, mungkin anak ini tidak berka-
ta jujur!” kata Guru Besar Liang San dalam hati. Na-
mun dia tak mau tunjukkan sikap tidak percaya pada
ucapan orang. Dia anggukkan kepala dengan terse-
nyum.
“Orang tua.... Aku telah mengatakan siapa diriku.
Rasanya tak enak kalau aku tidak tahu siapa diri-
mu...”
Guru Besar Liang San kembali anggukkan kepala,
lalu berkata.
“Kau beruntung, Anak Muda. Bisa memiliki dua
nama. Tidak seperti aku. Aku dilahirkan di sini tanpa
kuketahui siapa kedua orangtua ku karena mereka
meninggal saat aku masih bayi. Hingga aku sendiri tak
tahu siapa yang memberi nama padaku! Yang jelas aku
tahu sudah berada di lingkungan shaolin dan mereka
memanggilku Wang Kong Fu....”
Seperti halnya Pendekar 131, saat sebutkan diri
dengan Wang Kong Fu, Guru Besar Liang San melirik
seolah ingin tahu sikap orang.
Joko memperhatikan orang sekali lagi dengan lebih
seksama. Sulit baginya menduga apakah ucapan orang
benar atau tidak. “Aku belum kenal sebelumnya dan
masih buta sama sekali dengan orang-orang di ling-
kungan shaolin. Tapi aku punya cara untuk mengeta-
hui apakah dia berkata jujur atau berdusta!” kata Joko
dalam hati setelah terdiam beberapa lama. Dia sudah
buka mulut hendak berkata. Namun sebelum sua-
ranya terdengar, Guru Besar Liang San yang me-ngaku
bernama Wang Kong Fu sudah mendahului angkat su-
ara.
“Anak muda.... kalau aku boleh menduga, keber-
adaanmu di sini tentu bukan karena sebuah kebetu-
lan! Kau tengah menunggu seseorang? Atau ada perlu
lain?!”
“Terus terang saja, sejak kecil aku tertarik dengan
shaolin. Hanya sayang sekali. Kedua orangtua ku tidak
memberikan izin padaku untuk memasuki biara shao-
lin. Sekarang kedua orangtua ku telah tiada. Namun
keinginanku tetap membara. Untuk itulah aku berada
di sini. Dan kebetulan bertemu denganmu.... Kalau bo-
leh aku bertanya, apakah mungkin aku bisa diterima
di biara shaolin?!”
“Amitaba.... Perguruan Shaolin tidak menolak siapa
saja yang ingin menjadi keluarga perguruan asal dia
mau menjalankan semua peraturan yang telah diten-
tukan! Hanya saja....”
Karena Guru Besar Liang San tidak lanjutkan uca-
pan, Joko cepat menyahut. “Hanya apa, Orang Tua?!”
“Aku ragu apakah kau mampu menjalankan peratu-
ran shaolin! Karena jika seseorang telah menjadi ke-
luarga besar shaolin, dia harus meninggalkan keingi-
nan duniawi....”
“Orang tua.... Aku yakin bisa melakukannya....”
“Amitaba.... Menjalankan tidak semudah berkata,
Anak Muda. Bukannya aku menghalangi keinginanmu.
Tapi usia dan lingkungan sangat berpengaruh!”
“Maksudmu...?!”
“Orang yang menjadi keluarga besar shaolin sejak
kecil akan lebih mudah menjalankan peraturan shao-
lin dibanding dengan orang yang memasuki shaolin
saat usianya sudah dewasa. Karena orang dewasa su-
dah mengenal manisnya duniawi sebelum masuk ke-
luarga shaolin. Dan hal itu nantinya sangat berpe-
ngaruh sekali. Lain dengan orang yang masuk keluar-
ga shaolin saat usianya masih kecil. Karena begitu ma-
suk, dia belum kenal manisnya rasa duniawi!”
Pendekar 131 terdiam beberapa lama. Guru Besar
Liang San arahkan pandang matanya jauh ke puncak
bangunan shaolin lalu berkata. “Anak Muda.... Aku
menghargai semangatmu. Namun kau harus berpikir
sekali lagi jika akan menjadi keluarga besar Perguruan
Shaolin!”
“Orang tua.... Bukan aku mau unjuk diri. Tapi sebenarnya sejak kecil aku telah dilatih untuk menjauhi
segala macam yang berbau duniawi! Kau boleh percaya
atau tidak, sampai seusia ini, aku belum pernah me-
ngenal yang namanya perempuan....”
Mendengar kata-kata Joko, Guru Besar Liang San
tertawa seraya gelengkan kepala. “Anak Muda.... Du-
niawi bukan saja perempuan.... itu hanya sebagian ke-
cil saja!”
“Ah.... Ternyata tidak semudah yang kubayangkan!”
gumam Joko.
Lagi-lagi Guru Besar Liang San tertawa. “Anak Mu-
da.... Mau kau katakan padaku, mengapa kau ingin
sekali menjadi keluarga shaolin?!”
Meski nada bicara Guru Besar Liang San bertanya,
ternyata sebelum murid Pendeta Sinting sempat men-
jawab, Guru Besar Liang San sudah angkat suara.
“Kau ingin mempelajari ilmu silat?!”
Karena tak ada alasan lain, akhirnya Joko angguk-
kan kepala. “Sejak kecil aku memang ingin sekali bela-
jar ilmu silat. Dan menurut yang kudengar, Perguruan
Shaolin memiliki jurus-jurus yang sulit ditandingi!”
“Perguruan Shaolin lebih mementingkan pencucian
diri daripada pelajaran ilmu silat. Kalaupun di dalam
perguruan diajarkan ilmu silat, itu hanya untuk men-
jaga kesehatan. Bukan untuk hal lain.... Jadi kau sa-
lah duga kalau ingin masuk Perguruan Shaolin dengan
tujuan mempelajari ilmu silat!”
“Ah.... Lagi-lagi aku salah duga!”
“Anak muda.... Aku melihat kobaran semangatmu
begitu membara. Aku menawarkan sesuatu pada-
mu...”
“Hem.... Orang yang baru kukenal tiba-tiba mena-
warkan sesuatu. Pasti di baliknya menyimpan sesua-
tu!” Joko membatin. Lalu berkata.
“Harap kau katakan apa yang hendak kau tawar-
kan.”
“Aku melihat bentuk tubuhmu bagus. Sayang kalau
disia-siakan. Aku akan mengajarkan padamu semua
ilmu silat Perguruan Shaolin tanpa harus masuk men-
jadi keluarga besar shaolin!”
Mendengar ucapan orang, Pendekar 131 buru-buru
bungkukkan tubuh. “Amitaba.... Kau tidak main-main,
Orang Tua?!”
“Salah satu ajaran shaolin adalah dilarang berdus-
ta!”
“Ah.... Dari semula aku sudah menduga kalau kau
adalah salah seorang tokoh di Perguruan Shaolin. Ku-
ucapkan terima kasih kalau kau memang benar-benar
hendak mengajarkan padaku ilmu silat!”
“Amitaba.... Kau jangan keburu memuji. Kalaupun
aku menawarkan hal itu, semata-mata karena aku
menghargai semangatmu! Tapi aku juga minta maaf...”
“Dugaanku tidak meleset. Ujung-ujungnya dia min-
ta sesuatu! Tapi aku akan coba menuruti...,” kata Joko
dalam hati. Namun dia tidak segera buka suara. Seba-
liknya arahkan pandang matanya jauh ke depan.
***
DELAPAN
KARENA Joko tidak segera sambuti ucapannya,
Guru Besar Liang San melirik lalu berkata. “Shaolin
memang mengajarkan tidak boleh minta imbalan atas
sesuatu! Tapi karena keadaannya lain, kau sendiri ha-
rus maklum.... Lagi pula aku tidak akan minta syarat
yang kau tidak mampu melakukannya!”
Pendekar 131 berpaling. “Orang tua.... Harap kau
katakan apa syarat yang harus kupenuhi!”
“Kau harus jujur padaku!”
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Dia sama se-
kali tidak menduga syarat yang diucapkan orang.
Hingga seraya tertawa dia bersuara.
“Hanya itu...?!”
Kepala Guru Besar Liang San bergerak mengang-
guk. “Tidak sulit bukan?!”
“Tampaknya memang tidak sulit. Tapi ini bisa Jadi
malapetaka bagiku!” Diam-diam Joko berkata sendiri
dalam hati. “Nada bicaranya lambat laun mencuriga-
kan. Jangan-jangan orang ini telah tahu siapa diri-
ku.... Hem.... Lalu bagaimana dengan tawarannya?”
“Bagaimana, Anak Muda?! Kau setuju dengan sya-
ratku?!”
“Syarat yang aneh...,” gumam Joko.
“Tidak aneh, Anak Muda. Dalam segala hal kejuju-
ran adalah sesuatu yang utama. Apalagi kelak mung-
kin kita akan menjadi sahabat!”
“Baiklah.... Aku setuju syaratmu!” Akhirnya Joko
memutuskan setelah berpikir agak lama.
Guru Besar Liang San tersenyum. “Amitaba.... Se-
moga ini satu langkah awal yang baik bagi persahaba-
tan kita. Dan kuharap, meski aku nanti mengajarkan
ilmu silat padamu, jangan kau menganggapku sebagai
guru. Anggaplah aku sebagai sahabat, begitu pula se-
baliknya! Hubungan antara sahabat pasti lebih men-
dekatkan dua orang daripada hubungan antara guru
dan murid! Dan satu lagi. Kau harus merahasiakan
semua ini pada siapa saja!”
Joko anggukkan kepala lalu melangkah maju. Di
depan sana Guru Besar Liang San memperhatikan
tanpa membuat gerakan.
“Anak muda....”
“Kita sudah bersahabat. Harap panggil dengan na-
maku saja!” kata Joko seraya hentikan langkah dela-
pan tindak di hadapan Guru Besar Liang San.
“Han Ko.... Sebelum semuanya berjalan, aku ingin
tahu. Apakah sebelum ini kau pernah belajar ilmu si-
lat?!”
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. Namun
baru saja kepalanya bergerak, mendadak Guru Besar
Liang San yang mengaku sebagai Wang Kong Fu gerak-
kan kedua tangannya.
Wuutt! Wuuttt!
Dua gelombang angin melabrak ganas ke arah mu-
rid Pendeta Sinting.
Karena begitu mendadak, Joko tak sempat berpikir
lagi kalau baru saja gelengkan kepala memberi jawa-
ban kalau dia belum pernah belajar ilmu silat. Dia me-
lompat ke samping hindarkan diri dari hajaran gelom-
bang yang melesat dari kedua tangan Guru Besar
Liang San.
“Astaga! Seharusnya aku tidak menghindar! Tapi....”
“Han Ko.... Kau masih ingin persahabatan ini terus
berlangsung?!” Guru Besar Liang San ajukan tanya
tanpa memandang.
“Apa maksudmu?!” Joko pura-pura tak mengerti.
“Kau telah tahu syaratnya!”
“Aku....”
Belum sampai Pendekar 131 teruskan ucapan,
Guru Besar Liang San telah menukas. “Mengapa kau
belum mau jujur padaku?!” Bersamaan dengan selesai-
nya ucapan, tiba-tiba kedua tangan Guru Besar Liang
San kembali bergerak lepaskan satu pukulan!
Joko tersentak. “Busyet! Apa yang harus kulaku-
kan! Kalau aku menghindar lagi, pasti dia lebih tidak
percaya kalau aku tidak tahu ilmu silat. Tapi kalau
aku tidak menghindar atau menghadang pukulannya,
bagaimana kalau aku terluka?!”
Karena tidak punya waktu banyak untuk berpikir,
pada akhirnya Joko memutuskan untuk tidak hindar-
kan diri dari pukulan orang. Namun diam-diam dia ke-
rahkan tenaga dalam seraya membuat gerakan sedikit
agar pukulan orang tidak telak menghajar bagian dada
atau wajahnya!
Wusss! Wussss!
Dua gelombang angin terus melesat. Begitu seten-
gah tombak lagi menghajar, Joko putar sedikit tubuh-
nya dan sengaja menghadangkan bahu kanannya.
Bukkkk! Bukkk!
Sosok murid Pendeta Sinting terpental sebelum a-
khirnya terjengkang roboh di atas tanah.
Belum sampai Pendekar 131 bergerak bangkit,
Guru Besar Liang San telah berkelebat dan tahu-tahu
telah tegak dua langkah di sampingnya. Guru Besar
Liang San melirik sesaat. Tiba-tiba kaki kanannya
membuat gerakan menendang!
Selain tak sempat berpikir apa yang harus dilaku-
kan dan kalaupun membuat gerakan sudah sangat ter-
lambat, akhirnya Joko hanya bisa kerahkan tenaga da-
lam untuk melindungi diri dan memandang gerakan
kaki kanan Guru Besar Liang San yang berkelebat ke
arah bahu kirinya!
Bukkk!
Pendekar 131 perdengarkan seruan tertahan. Saat
bersamaan sosoknya kembali mencelat lalu terjerem-
bab di atas tanah.
Saat sosok murid Pendeta Sinting mencelat, Guru
Besar Liang San tak berdiam diri. Dia ikut berkelebat.
Dan begitu tubuh Joko terjerembab di atas tanah, kaki
kiri Guru Besar Liang San kembali bergerak kirimkan
tendangan! Namun kali ini Joko tahu jika tendangan
kaki orang lebih dahsyat dari yang pertama!
“Celaka kalau aku hanya diam saja! Tapi bagaimana
lagi?!”
Baru saja Joko bergumam begitu, kaki kiri Guru
Besar Liang San telah menghajar bagian lambungnya!
Untuk kesekian kalinya sosok murid Pendeta Sinting
tersapu deras sebelum akhirnya jatuh bergulingan di
atas tanah dengan mulut kucurkan darah!
Mungkin sudah merasa kesakitan dan tak mau te-
rus-terusan jadi tumpuan hajaran pukulan orang, be-
gitu menghantam tanah, Joko segera kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya.
“Aku tak bisa berdiam diri! Dia sudah sangat keter-
laluan! Tampaknya dia bukan lagi ingin mencobaku,
tapi sudah ingin mencabut nyawaku!”
Di seberang sana, Guru Besar Liang San memper-
hatikan sejenak. Lalu melompat. Namun kali ini Guru
Besar Liang San tidak langsung membuat gerakan. Dia
berhenti empat langkah dan tegak dengan mata men-
delik besar.
Pendekar 131 bergerak bangkit. Setelah usap kucu-
ran darah di mulutnya dia buka suara.
“Orang tua! Mengapa kau hendak membunuhku?!”
Guru Besar Liang San tertawa. “Tidak mudah mem-
bunuhmu, Anak Muda! Jika orang lain, sudah pasti
dia mampus!”
“Aku tak mengerti maksudmu!” Murid Pendeta Sin-
ting masih pura-pura tidak tahu ke mana arah bicara
Guru Besar Liang San.
“Kau memang tidak menghindar atau menghadang
pukulanku! Aku tahu.... Itu kau lakukan agar aku per-
caya jika kau memang tidak pernah atau punya ilmu
silat! Tapi aku bukan orang bodoh, Anak Muda.... Jus-
tru ketahanan tubuhmu membuat aku jadi yakin! Bu-
kan saja kau memiliki ilmu silat tinggi, namun tenaga
dalammu juga luar biasa!”
“Ah.... Tentu kau main-main dengan ucapanmu!
Kau salah duga...!”
Guru Besar Liang San geleng kepala. “Aku belum
pernah salah menduga orang! Kau mau lihat satu buk-
ti?!” Guru Besar Liang San melangkah.
Khawatir akan apa yang hendak dilakukan orang,
Joko gerakkan kaki melangkah mundur. Guru Besar
Liang San tertawa bergelak seraya hentikan langkah
dan berkata.
“Kalau kau bukan dari kalangan persilatan, tentu
kau tidak akan membawa sebuah senjata!” Sepasang
mata Guru Besar Liang San mengarah pada pinggang
kiri Joko di mana tersimpan Pedang Tumpul 131.
“Sialan! Dia sudah tahu...,” bisik Joko lalu terse-
nyum dan angkat suara. “Orang tua... Sebuah senjata
bukan satu bukti. Siapa saja bisa membawanya!”
“Anak muda.... Aku tak ingin berdebat! Dan meski
kau tidak berkata jujur padaku, namun kali ini aku
masih bisa memakluminya! Mungkin saja kau masih
meragukan diriku.... Tapi kuharap kau sekarang mau
berterus terang padaku!”
Joko geleng kepala. “Aku sudah berterus terang!”
Guru Besar Liang San tidak pedulikan jawaban mu-
rid Pendeta Sinting. Sebaliknya dia segera ajukan
tanya. “Anak Muda.... Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku tadi telah mengatakannya padamu!”
“Aku bukan orang yang mudah dikelabui! Kalau
kau sudah merahasiakan kepandaianmu, jangan ha-
rap aku percaya dengan dua nama yang tadi kau kata-
kan!”
“Kalau begitu terserah.... Yang jelas, itulah namaku!
Atau barangkali kau akan memberikan satu nama lagi
buatku?!”
Lagi-lagi Guru Besar Liang San tidak hiraukan sa-
hutan Joko. Dia ajukan tanya sekali lagi. “Anak Mu-
da.... Siapa kau sebenarnya?!”
“Ah.... Karena kau tidak percaya, sekarang sesuka-
mulah mengatakan siapa aku sebenarnya....”
“Hem.... Begitu?! Baik.... Aku ingin buktikan kalau
aku belum pernah salah menduga orang!” kata Guru
Besar Liang San seraya dongakkan kepala.
Pendekar 131 menatap wajah Guru Besar Liang San
dengan dada berdebar. “Kalau dia benar dengan duga-
annya, apa hendak dikata! Hanya saja aku dapat gam-
baran tentang orang ini! Dari sikap dan lagaknya, ten-
tu dia tokoh terpandang di Perguruan Shaolin. Semen-
tara dari beberapa cerita yang kudengar, aku bisa sim-
pulkan, setelah kejadian di Perguruan Shaolin, tokoh
yang paling dipandang di Perguruan Shaolin tinggal
orang yang bernama Guru Besar Liang San! Hem....”
“Anak muda! Bukankah kau seorang pemuda dari
negeri seberang laut?!” kata Guru Besar Liang San
sambil tertawa.
Pendekar 131 tercengang. Namun dia tak mau larut
dalam keterkejutan. Dia segera pula tengadahkan ke-
pala. Lalu berkata.
“Orang tua! Bukan kau saja yang tak mudah di-
kelabui, tapi aku juga tidak gampang ditipu....” Joko
sengaja hentikan ucapannya sesaat sambil tertawa. La-
lu menyambung. “Bukankah kau adalah Guru Besar
Liang San?!”
Kalau tadi Joko tercengang mendapati orang telah
menebak dengan betul, kali ini Guru Besar Liang San
ganti yang tercekat tegang!
“Dia baru saja berada di negeri ini. Tentu belum ba-
nyak yang dia kenal. Aku juga baru pertama kali ber-
temu.... Tapi bagaimana mungkin dia bisa mengetahui
siapa diriku?! Hem.... Tapi itu tak jadi masalah! Yang
jelas, sekarang aku yakin dialah orang yang kucari!”
Guru Besar Liang San membatin. Lalu bersuara.
“Anak asing! Aku bukan saja tahu siapa dirimu se-
benarnya! Tapi juga tahu kalau kau akan datang ke
tempatku! Bahkan aku tahu apa tujuanmu!”
Murid Pendeta Sinting tidak menyahut. Guru Besar
Liang San lanjutkan ucapan. “Sekarang akulah orang
yang berkuasa di biara Perguruan Shaolin. Dan aku
tahu, saat ini kau membawa sesuatu milik Perguruan
Shaolin! Aku tak ingin membuat urusan denganmu,
namun itu jika kau mau serahkan barang milik pergu-
ruan yang sekarang ada di tanganmu!”
Lagi-lagi Pendekar 131 sempat kaget mendengar
ucapan Guru Besar Liang San. “Hem.!.. Jadi dia sudah
tahu semuanya.... Dan dari sikapnya, jelas dialah
Guru Besar Liang San!” Joko kembali membatin sebe-
lum akhirnya berkata.
“Guru Besar Liang San! Kau menduga aku memba-
wa sesuatu milik Perguruan Shaolin. Mau katakan pa-
daku, benda apa yang kau maksud?!” Joko coba me-
mancing untuk yakinkan diri.
Guru Besar Liang San edarkan pandang matanya
berkeliling sebelum berucap. “Seluruh kaum dunia
persilatan di negeri ini telah tahu jika Perguruan Shao-
lin menyimpan sebuah peta wasiat. Konon pula bebe-
rapa tokoh mengincar peta itu sejak beratus tahun
yang lalu. Namun tidak seorang pun yang berhasil. Se-
lain terjaga ketat, peta wasiat itu sengaja dipisah....”
Guru Besar Liang San hentikan keterangannya. Se-
mentara Pendekar 131 dengarkan dengan seksama.
“Beberapa waktu yang lalu....” Guru Besar Liang San
lanjutkan keterangan. “Seorang kepercayaan shaolin
diberi tugas untuk mengambil sebagian peta wasiat di
satu tempat karena hari dibukanya peta wasiat itu
hampir tiba. Selain itu, pimpinan tertinggi shaolin da-
lam keadaan sakit keras. Namun tampaknya ada orang
yang berkhianat dalam tubuh Perguruan Shaolin! Dia
sengaja memotong rencana dengan jalan menghadang
orang kepercayaan shaolin! Bahkan dia sengaja berse-
kongkol dengan orang di luar Perguruan Shaolin. Tapi
Yang Maha Belas Kasih rupanya masih melindungi.
Menurut yang kudengar, orang kepercayaan shaolin te-
lah tewas dalam mengemban tugas. Namun sebelum
itu dia telah memberikan peta wasiat pada seseo-
rang....”
Untuk kedua kalinya Guru Besar Liang San henti-
kan ucapannya. Kali ini dia memandang tajam pada
murid Pendeta Sinting sebelum akhirnya berkata.
“Aku sangat bersyukur kau sampai di tempat ini
dengan selamat. Dan tentu kau akan memberikan peta
wasiat itu kembali, karena kaulah orang yang telah di-
beri peta wasiat oleh orang kepercayaan shaolin!”
Guru Besar Liang San tersenyum. Saat yang sama
kedua tangannya menjulur ke depan membuat sikap
seperti orang meminta.
“Anak muda.... Kau telah berjasa besar pada Per-
guruan Shaolin. Walau kau bukan orang shaolin, de-
ngan jasamu itu, kau akan kuangkat sebagai keluarga
besar shaolin! Pintu Perguruan Shaolin kapan saja ter-
buka untukmu.... Dan kau juga perlu tahu.... Bebera-
pa waktu yang lalu, telah terjadi musibah besar yang
menimpa Perguruan Shaolin. Seorang Maha Guru Be-
sar dan Guru Besar telah jadi korban. Sementara se-
orang Guru Besar satunya lagi lenyap entah ke mana.
Saat ini akulah yang menjadi penguasa sementara. Un-
tuk itulah, kuharap kau mau serahkan peta wasiat itu
padaku! Lagi pula peta wasiat itu tentu tak ada gu-
nanya berada di tanganmu, karena sebagiannya masih
tersimpan di Perguruan Shaolin!”
Guru Besar Liang San anggukkan kepala dengan
bibir sunggingkan senyum. Kedua tangannya digerak-
gerakkan.
Murid Pendeta Sinting ikut-ikutan sunggingkan se-
nyum. Lalu berkata.
“Terima kasih atas semua keteranganmu. Tapi
sayang.... Kau terlambat memintanya padaku!”
***
SEMBILAN
GURU Besar Liang San tegak dengan paras beru-
ban. Senyumnya pupus berganti seringai dingin. Ke-
dua tangannya ditarik pulang. Saat lain dia berkata
dengan suara bergetar.
“Terlambat bagaimana?!”
Joko tidak segera sambuti ucapan orang. Sebalik-
nya terdiam beberapa lama seraya terus tersenyum.
Guru Besar Liang San mulai geram. Dia kembali hen-
dak buka mulut. Namun kali ini Joko mendahului.
“Guru Besar Liang San.... Dua hari sebelum peristi-
wa musibah yang kau ceritakan, aku bertemu dengan
Guru Besar Pu Yi! Karena aku hanya sebagai orang
yang disuruh menyampaikan, begitu Guru Besar Pu Yi
meminta peta wasiat itu, aku memberikannya....”
Sepasang mata Guru Besar Liang San terbeliak be-
sar dengan pelipis bergerak-gerak. Sekujur tubuhnya
bergetar.
“Kau jangan mengarang cerita, Anak Muda!”
“Kau bisa menanyakannya pada Guru Besar Pu
Yi...!”
“Dia telah tewas!”
“Ah.... Sayang sekali. Padahal tujuanku ke sini hen-
dak menemuinya! Aku semula sudah hendak pulang
kampung ke negeri asalku. Namun di tengah jalan aku
sempat mendengar kejadian di Perguruan Shaolin. Ka-
rena aku orang baru aku sempat salah jalan saat me-
nuju kemari hingga baru hari ini aku tiba. Aku me-
mang mendengar beberapa pimpinan shaolin terbu-
nuh, tapi aku tidak menduga jika Guru Besar Pu Yi
ikut pula terbunuh....”
“Aku tidak percaya keteranganmu!”
“Waduh.... Kalau begitu repot! Padahal aku telah
mengatakan apa yang kulakukan.”
“Anak muda! Kau telah tahu peta wasiat di tangan-
mu tidak ada gunanya buatmu! Aku minta padamu
untuk serahkan padaku dengan baik-baik! Apalagi kau
tahu peta wasiat itu hak Perguruan Shaolin!”
“Aku telah memberikannya pada Guru Besar Pu Yi!
Berarti hak Perguruan Shaolin telah kuberikan! Dan
harap kau tahu.... Karena aku tahu peta wasiat itu ti-
dak ada gunanya buatku, maka peta itu kuberikan pa-
da Guru Besar Pu Yi! Kalau tidak, pasti peta wasiat itu
akan kupakai sendiri!”
“Hem.... Apakah mungkin Pu Yi benar-benar telah
menerimanya dari anak ini?!” Guru Besar Liang San
membatin. “Lalu diam-diam dia bersekongkol dengan
Wu Wen She! Dan saat terjadi peristiwa berdarah ma-
lam itu, Wu Wen She sengaja meloloskan diri dengan
membawa peta wasiat itu.... Tapi kalau benar, menga-
pa mereka berdua tidak mengambil sekalian yang berada di kotak di ruang penyimpanan?! Bukankah ka-
lau hanya separo tidak ada artinya?!” Guru Besar
Liang San dilanda kebimbangan. “Tapi kalau benar pe-
ta wasiat itu telah diserahkan, tak mungkin anak ini
muncul lagi di tempat ini! Keterangannya kalau ingin
bertemu dengan Pu Yi mungkin hanya alasan! Bahkan
mungkin saja dia telah membuat satu rencana dengan
Pu Yi!”
Membatin begitu, akhirnya Guru Besar Liang Sah
angkat suara. “Anak Muda! Kalau benar kau telah se-
rahkan peta wasiat itu, tentu aku mengetahuinya! Ka-
rena aku masih termasuk orang yang harus tahu se-
mua rahasia Perguruan Shaolin! Jadi kalau Pu Yi ti-
dak membicarakannya, berarti peta wasiat itu masih
ada di tanganmu! Aku minta padamu dengan baik-
baik. Kalau kau tak mau, aku juga bisa berlaku kasar!”
“Guru Besar Liang San.... Apakah dalam ajaran
shaolin dibolehkan memaksa seseorang sekaligus ber-
tindak kasar terhadap seseorang yang telah memberi
keterangan?!”
Tampang Guru Besar Liang San laksana disembura-
ti kobaran api. Kedua pijakan kakinya bergetar. Saat
lain terdengar bentakannya menggelegar.
“Tutup mulutmu, Anak Muda! Dalam urusan ini
jangan sangkut pautkan masalah ajaran! Ini adalah
urusan hak milik! Kau harus serahkan milik seseorang
yang berada di tanganmu!”
“Aku telah menyerahkan!” Joko ikut membentak.
“Kau berdusta!”
“Kau tadi juga berdusta tentang siapa dirimu! Kalau
kau sebagai Pimpinan Perguruan Shaolin boleh ber-
dusta, mengapa aku tidak?!”
Gemuruh amarah Guru Besar Liang San sudah
sampai ke ubun-ubun, namun nyatanya orang ini masih coba menahan diri. Dia terdiam beberapa saat un-
tuk menenangkan diri sebelum akhirnya berkata.
“Anak muda! Sekarang katakan saja apa maumu
sebenarnya!”
Mendengar ucapan Guru Besar Liang San, murid
Pendeta Sinting tertawa. “Guru Besar.... Seharusnya
aku yang bertanya seperti yang kau tanyakan! Meski-
pun jawabannya sudah pasti kau tahu!”
“Baik. Aku telah memberi kesempatan padamu, na-
mun kau nyatanya tidak menggunakan. Sekali lagi aku
minta padamu untuk serahkan peta wasiat itu!”
Joko gelengkan kepala. Namun baru saja kepalanya
bergerak, Guru Besar Liang San telah melompat. Saat
bersamaan kedua tangannya berkelebat menyambar ke
arah lambung murid Pendeta Sinting.
Karena sudah waspada, begitu kedua tangan Guru
Besar Liang San berkelebat, Joko cepat menyingkir.
Kedua tangannya disentakkan ke depan menghadang
sambaran kedua tangan Guru Besar Liang San.
Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan tampak sama terpental. Namun
Guru Besar Liang San tidak menunggu lagi. Meski dia
sedikit terkejut karena kedua tangannya terpental di-
hadang tangan lawan, dia cepat tarik pulang kedua
tangannya lalu ditakupkan di depan dada. Kejap lain
kaki kanannya ditarik ke belakang. Tiba-tiba kedua
tangannya di buka lalu dihantamkan ke depan.
Joko merasakan sosoknya tersapu gelombang angin
dahsyat. Dia cepat siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’
karena yakin gelombang pukulan yang dilepas Guru
Besar Liang San tidak bisa dipandang remeh. Namun
belum sempat Joko hantamkan kedua tangannya le-
paskan pukulan ‘Lembur Kuning’, Guru Besar Liang
San telah merangsek maju dengan kedua tangan berkelebat.
Joko urungkan niat lepas pukulan. Sebaliknya ang-
kat kedua tangannya lalu menghadang gerakan kedua
tangan Guru Besar Liang San.
Begitu kedua pasang tangan bertemu di udara,
mendadak Guru Besar Liang San gerakkan kesepuluh
jari tangannya sarangkan totokan dahsyat ke arah ke-
dua tangan murid Pendeta Sinting!
Pendekar 131 cepat sadar. Kedua tangannya segera
ditarik pulang sedikit ke belakang. Lalu lima jari ta-
ngan kanan ditekuk membentuk bundaran. Saat lain
disentakkan menghadang sepuluh jari tangan Guru
Besar Liang San.
Takkk! Takkkk!
Guru Besar Liang San tersentak kaget. Dia rasakan
menyentuh bara panas luar biasa. Hingga begitu kese-
puluh jari tangannya bentrok dengan tangan Joko, dia
cepat tarik pulang tangannya.
“Hem.... Anak ini tampaknya menguasai aliran
‘Sembilan Gerbang Matahari’! Apa hubungannya de-
ngan Bu Beng La Ma...?! Mustahil kalau di seberang
laut sana ada aliran jurus ‘Sembilan Gerbang Mataha-
ri’! Jangan-jangan aku salah alamat menduga siapa
sebenarnya anak ini!” Guru Besar Liang San membatin
seraya salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya
yang masih terasa panas.
Seperti diketahui, Pendekar 131 memang sempat
mendapat ilmu jurus ‘Sembilan Gerbang Matahari’ dari
Bu Beng La Ma. (Lebih jelasnya silakan baca serial Jo-
ko Sableng dalam episode: “Kuil Atap Langit ).
“Anak asing! Apa hubunganmu dengan Bu Beng La
Ma?!” Guru Besar Liang San ajukan tanya.
“Seharusnya kau bertanya sendiri pada Bu Beng La
Ma. Karena jika aku yang jawab, aku takut kau tidak
akan percaya! Yang pasti, aku tidak kenal dengan o-
rang yang namanya baru kau sebut! Kau mau percaya
atau tidak, terserah!”
Guru Besar Liang San mendengus marah. Dia tarik
kedua tangannya ke depan dada. Sepasang matanya
dipejamkan. Joko maklum apa yang akan dilakukan
orang. Dengan cepat dia kerahkan hampir setengah
dari tenaga dalamnya pada kedua tangan. Saat kemu-
dian kedua tangannya ditarik ke belakang siap meng-
hadang pukulan orang dengan lepaskan pukulan ‘Lem-
bur Kuning’.
Guru Besar Liang San buka kedua tangannya lalu
dihantamkan dengan telapak terbuka. Dua gelombang
dahsyat berkiblat. Tanah di tempat itu langsung berge-
tar dan bertabur ke udara.
Murid Pendeta Sinting tak mau tinggal diam. Kedua
tangannya segera disentakkan. Satu sinar kuning di-
sertai gelombang dan hawa panas menyengat melesat.
Bummm! Bummm!
Dua ledakan keras terdengar. Joko tampak tersapu
empat langkah dan terhuyung-huyung dengan air mu-
ka berubah pucat pasi. Kedua tangannya berputar ba-
lik ke belakang. Dadanya laksana terhantam batu be-
sar hingga mulutnya megap-megap!
Namun rasa sakit pada dada dan nyeri pada kedua
tangan Joko laksana lenyap tatkala dia melihat bagai-
mana Guru Besar Liang San tetap tak bergeming dari
tempatnya tegak! Malah sepasang kakinya tampak
amblas masuk ke dalam tanah sebatas mata kaki!
Belum hilang rasa kejut Joko, mendadak di depan
sana Guru Besar Liang San gerakkan kedua tangannya
menakup kembali ke depan dada. Joko tak mau ber-
tindak ayal. Sebelum orang sempat lepaskan pukulan
kedua kalinya, kali ini murid Pendeta Sinting telah
mendahului dengan lepaskan pukulan ‘Lembur Ku-
ning’.
Untuk kedua kalinya sinar kuning berkiblat disertai
gemuruhnya gelombang dan hawa panas.
Tapi Pendekar 131 sempat terkejut demi melihat
Guru Besar Liang San tidak coba gerakkan tangan, un-
tuk menghadang atau membuat gerakan menghindar!
Dia tegak diam dengan kedua tangan di depan dada
dan mata terpejam.
“Celaka! Bagaimana ini?! Mengapa dia tidak berbuat
sesuatu?!” Joko khawatir. Dan ketika hantaman sinar
kuning kian dekat dan Guru Besar Liang San tidak ju-
ga membuat gerakan, Joko buka mulut berteriak.
“Cepat menyingkir!”
Namun teriakannya bukan saja terlambat, tapi juga
tertelan oleh gemuruh suara pukulan itu sendiri, hing-
ga tanpa ampun lagi baik sinar kuning maupun gelom-
bang hawa panas pukulan ‘Lembur Kuning’ menghan-
tam sosok Guru Besar Liang San!
Mungkin tidak tega melihat apa yang akan dialami
orang, begitu pukulan ‘Lembur Kuning’ menghantam
telak sosok Guru Besar Liang San, murid Pendeta Sin-
ting pejamkan sepasang matanya dengan menggumam
tak jelas.
“Ini bukan salahku.... Sejak semula aku tidak
punya niat untuk membunuhnya.... Aku hanya....” Jo-
ko tidak lanjutkan bisikannya tatkala mendadak terde-
ngar suara.
“Kau kira semudah itu aku terbunuh?!”
“Heran.... Suaranya sama! Tapi apa mungkin? Jan-
gan-jangan ada orang lain di tempat ini! Atau jangan-
jangan aku sedang bermimpi!” Joko bergumam dengan
mata masih terpejam. Dan mungkin takut kalau ten-
gah bermimpi, tangan kanannya dicubitkan pada tangan kirinya.
“Masih terasa sakit.... Berarti aku tidak sedang ber-
mimpi! Berarti ada orang lain di tempat ini!”
Pendekar 131 perlahan-lahan buka sepasang mata-
nya. Seketika matanya terpentang besar tak berkesip.
Malah mungkin karena tidak yakin, kedua tangannya
digosok-gosokkan pada kelopak matanya. Lalu dibe-
liakkan lagi.
“Aneh.... Bagaimana mungkin?! Aku tadi melihat dia
terkena pukulan ‘Lembur Kuning’. Tapi orangnya tetap
berada di situ! Mulutnya tidak semburkan darah ma-
lah tersenyum!”
“Ada yang hendak kau katakan, Anak Muda?!” kata
Guru Besar Liang San yang ternyata tidak cedera sama
sekali, bahkan tidak bergeming dari tempatnya semula
meski baru saja terhantam telak pukulan ‘Lembur
Kuning’! Laki-laki berkepala gundul ini hanya terlihat
pucat dan sedikit bergetar.
Karena masih terpana dengan apa yang dilihat, per-
tanyaan Guru Besar Liang San membuat murid Pen-
deta Sinting surutkan langkah satu tindak dengan ma-
ta makin terpentang.
“Anak muda!” kata Guru Besar Liang San seraya ge-
lengkan kepala. “Kalau kau kurang puas dan tidak ya-
kin, kau boleh sekali lagi menyerangku. Aku tidak
akan bergerak atau membalas!”
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San angkat
kedua kakinya yang masuk amblas ke dalam tanah.
Saat lain dia takupkan kedua tangannya kembali di
depan dada dengan mata dipejamkan.
Karena ditunggu agak lama Joko tidak membuat ge-
rakan atau buka suara, Guru Besar Liang San buka
kembali kelopak matanya. Bibirnya tersenyum lalu
berkata.
“Anak muda! Kau telah tahu bahwa pukulanmu ti-
dak bisa mencederaiku, apalagi dapat membunuhku....
Sekarang aku ingin tahu apakah pukulanku juga ti-
dak bisa melukai sekaligus membunuhmu?!”
Kuduk Joko jadi merinding. Tampaknya Guru Besar
Liang San dapat menangkap sikap orang. Hingga de-
ngan senyum lebar dia kembali buka suara.
“Anak muda! Aku tidak bisa melukai apalagi mem-
bunuh orang. Tapi bukan berarti aku akan membiar-
kanmu pergi tanpa memberikan apa yang kuminta!
Dan seharusnya kau mengerti apa sebaiknya yang ha-
rus kau lakukan!”
Selesai berkata, kedua tangan Guru Besar Liang
San menjulur ke depan dan kembali membuat gerakan
sikap seperti orang meminta.
“Berikan peta wasiat itu atau aku akan mengambil-
nya dengan caraku sendiri!”
“Segala sesuatu harus ada imbalan baliknya! Kau
meminta tanpa menjanjikan imbalan layak. Sementara
aku memintanya dengan imbalan yang bukan saja la-
yak namun juga nikmat!” Tiba-tiba satu suara menya-
hut disusul kemudian dengan suara tawa merdu. Ke-
jap lain satu bayangan berkelebat.
Kepala Guru Besar Liang San dan murid Pendeta
Sinting sama berpaling ke arah kanan. Di sana telah
tegak seorang perempuan setengah baya berparas can-
tik jelita. Rambutnya hitam lebat disanggul sedikit ke
atas, sebagian lagi digeraikan ke bagian samping pipi
kanan kirinya. Bibirnya merah menyala dengan alis
mata ditambah pewarna hitam. Pada lehernya yang
jenjang dan putih terlihat tato bergambar bulan sabit.
Perempuan ini mengenakan pakaian warna putih tipis
hingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Kepalanya me-
ngenakan sebuah mahkota bergambar bulan sabit berwarna kuning keemasan.
“Ouw Kiu Lan!” desis Guru Besar Liang San menge-
nali siapa adanya si perempuan yang baru muncul.
“Bidadari Bulan Emas!” gumam Joko demi melihat
siapa adanya si perempuan.
***
SEPULUH
PEREMPUAN setengah baya berparas cantik menge-
nakan pakaian warna putih tipis dan bukan lain me-
mang Ouw Kiu Lan alias Bidadari Bulan Emas murid
Hantu Bulan Emas, melirik sesaat pada Guru Besar
Liang San. Saat lain perempuan ini putar diri ha-
dapkan tubuh pada Guru Besar Liang San. Bibirnya
yang merah menyala tersenyum. Tangan kanannya si-
bakkan sebagian geraian rambut pada pipinya. Tangan
kiri bergerak sedikit di atas pinggulnya mengikuti ge-
rakan pinggulnya yang meliuk. Sepasang matanya se-
tengah dipejamkan. Lalu terdengar suaranya.
“Sudah lama kita tidak berjumpa.... Dan sebenar-
nya sudah lama pula aku ingin bertemu denganmu,
Guru Besar Liang San....”
Guru Besar Liang San sesaat tadi sempat tergetar
melihat gerakan Bidadari Bulan Emas. Namun dia se-
gera alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Se-
mentara Pendekar 131 mendelik dengan dada berde-
bar. Namun murid Pendeta Sinting ini tak hendak alih-
kan pandangannya dari sosok Bidadari Bulan Emas.
“Bidadari Bulan Emas!” kata Guru Besar Liang San.
“Harap kau suka tinggalkan tempat ini!”
Bidadari Bulan Emas hentikan liukan pinggulnya.
Kedua tangannya ditarik ke atas didekapkan pada da-
danya. Tetap dengan senyum mengembang dia angkat
suara.
“Rupanya hari ini kau lain dari biasanya. Dan harap
kau tahu, untuk kali ini rasanya aku tak dapat meme-
nuhi permintaanmu....”
Guru Besar Liang San sentakkan kepala mengha-
dap Bidadari Bulan Emas. “Tampaknya dia sudah tahu
urusan! Hem.... Apa boleh buat. Kalau dia tak bisa di-
jinakkan dengan kata-kata, terpaksa aku mele-
nyapkannya juga!”
Membatin begitu, Guru Besar Liang San segera
angkat suara. “Bidadari Bulan Emas! Sebenarnya apa
maumu?!”
“Kita punya maksud sama, Guru Besar.... Namun
aku datang dengan membawa imbalan yang tidak kau
tawarkan pada pemuda itu! Tapi aku bukanlah orang
yang tidak adil. Kalau kau mau tawaranku, aku juga
akan memberimu imbalan pantas!” Habis berkata begi-
tu, kedua tangan Bidadari Bulan Emas diturunkan ke
bawah. Kaki kanannya diangkat. Dengan bibir tetap
tersenyum perlahan-lahan perempuan berparas cantik
ini tarik pakaiannya ke atas!
Joko makin melotot melihat gerakan kain putih mi-
lik Bidadari Bulan Emas yang pelan-pelan menyingkap
hingga menampakkan kemulusan betis dan pahanya!
“Edan! Pahanya mulus dan kencang...,” desis murid
Pendeta Sinting dengan dada makin berdebar. Dan en-
tah karena terkesima dan tak sabar melihat gerakan
singkapan kain yang terlalu pelan-pelan, Joko tunduk-
kan sedikit kepalanya dengan tubuh sedikit dibung-
kukkan!
Tampaknya Bidadari Bulan Emas dapat melihat ge-
rakan Joko. Dengan melirik, perempuan ini gerakkan
tangan kiri. Lalu perlahan-lahan pula tangan kirinya
menarik pakaian yang masih membungkus kaki kiri-
nya!
“Astaga! Perempuan ini benar-benar nekat! Tapi
sayang jika pemandangan ini dibiarkan, berlalu begitu
saja! Siapa tahu, dia tidak mengenakan pakaian da-
lam....”
“Cukup!” Tiba-tiba terdengar bentakan dari mulut
Guru Besar Liang San tatkala singkapan pakaian Bi-
dadari Bulan Emas dua jengkal lagi sampai di pangkal
pahanya.
Bidadari Bulan Emas hentikan gerakan kedua ta-
ngannya. Namun perempuan ini tidak berusaha menu-
tup kembali pakaiannya yang telah tersingkap.
“Guru Besar Liang San.... Kudengar suaramu berge-
tar.... Harap dimaafkan. Aku hanya ingin menunjuk-
kan kalau imbalan yang akan kuberikan sangat layak!
Kau nanti bisa menikmatinya sepuasmu.... Bahkan
aku telah menyediakan tempat yang pantas pula! Kau
tak perlu khawatir ada orang yang tahu.... Karena aku
yakin, kau pasti masih takut untuk melakukannya!
Sebab mungkin baru pertama kali ini kau akan me-
nikmatinya sepanjang usiamu....”
“Amitaba...,” gumam Guru Besar Liang San sambil
pejamkan sepasang matanya dengan dada bergemuruh
karena tadi sempat melihat singkapan paha Bidadari
Bulan Emas. Di lain pihak, Joko tambah pentang mata
apalagi dia tahu Bidadari Bulan Emas tidak meman-
dang ke arahnya.
“Bidadari Bulan Emas!” kata Guru Besar Liang San
dengan suara setengah tersendat dan agak bergetar.
“Sekali lagi kuminta kau segera tinggalkan tempat ini!
Imbalan apa pun yang akan kau berikan, aku tidak
akan tertarik!”
“Hem.... Betul begitu?!” tanya Bidadari Bulan Emas.
Saat bersamaan tiba-tiba perempuan ini putar tubuh
menghadap Pendekar 131.
Murid Pendeta Sinting gelagapan dan buru-buru lu-
ruskan tubuh dengan mata diarahkan ke jurusan lain.
Namun wajahnya berubah merah padam.
Bidadari Bulan Emas tersenyum. “Pendekar 131!
Bagaimana dengan kau?! Apakah juga tidak tertarik
dengan imbalan yang kujanjikan?! Bahkan untukmu,
aku masih menambah dengan tawaran yang pernah
kukatakan tempo hari!”
Seperti diketahui, Pendekar 131 memang sempat
bertemu sebelumnya dengan Bidadari Bulan Emas.
Saat itu Bidadari Bulan Emas menjanjikan memberi
perahu dan pengawalan sampai Joko menyeberang
laut. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam
episode : “Kuil Atap Langit ).
“Hem.... Ternyata mereka sudah pernah bertemu
sebelum ini!” kata Guru Besar Liang San dalam hati.
Matanya tetap dipejamkan. Namun orang ini diam-
diam kerahkan tenaga dalam dan pasang telinga baik-
baik.
“Kau tidak menjawab. Berarti kali ini kau setuju
dengan tawaranku!” kata Bidadari Bulan Emas saat di-
tunggunya murid Pendeta Sinting tidak buka mulut.
Perempuan ini segera lepaskan pegangannya pada kain
bawahnya. Lalu melangkah ke arah Joko.
“Jangan bergerak dari tempatmu!” Mendadak Guru
Besar Liang San perdengarkan bentakan. Matanya te-
tap terpejam meski kini wajahnya dihadapkan lurus
pada Bidadari Bulan Emas.
Bidadari Bulan Emas hentikan langkah. “Guru Be-
sar.... Aku telah menawarkan sesuatu padamu dan
kau tidak setuju. Berarti di antara kita tidak ada lagi
urusan! Sekarang kuharap kau tidak ikut campur uru-
sanku! Ini urusan kenikmatan antara aku dengan pe-
muda itu.... Atau barangkali kau sekarang berubah pi-
kiran?!”
Guru Besar Liang San buka matanya. “Aku harus
selesaikan dulu urusanku dengan pemuda itu. Setelah
itu silakan kau urusi tawaranmu dengannya!”
“Sayang sekali.... Mungkin kau belum tahu. Urusan
kenikmatan tidak bisa ditunda-tunda, Guru Besar!”
kata Bidadari Bulan Emas dengan sunggingkan se-
nyum lalu berpaling pada Joko dan berkata. “Bukan-
kah begitu, Pendekar?!”
Habis bertanya, Bidadari Bulan Emas lanjutkan
langkah. Joko pandang silih berganti pada Guru Besar
Liang San dan Bidadari Bulan Emas.
“Tunggu!” Joko berseru ketika melihat Bidadari Bu-
lan Emas terus melangkah ke arahnya sementara
Guru Besar Liang San tidak membuat gerakan atau
buka suara.
Namun Bidadari Bulan Emas tidak pedulikan uca-
pan orang. Dia teruskan langkah meski sesekali ekor
matanya melirik pada Guru Besar Liang San.
“Tunggu!” kembali Joko berteriak dengan kedua
tangan diangkat memberi isyarat agar Bidadari Bulan
Emas hentikan langkah.
Bidadari Bulan Emas hentikan langkah dengan bi-
bir tersenyum. “Pendekar 131.... Kau tak usah khawa-
tir! Aku yang menawarkan. Jadi aku yang berhak me-
milih.... Dan aku jatuhkan pilihan padamu! Lagi pula
Guru Besar itu tidak tertarik pada tawaranku. Tapi
mungkin penolakannya itu karena ada kau di sini....
Meski begitu, aku tidak akan mengecewakan orang....”
Bidadari Bulan Emas menoleh pada Guru Besar Liang
San. “Guru Besar.... Aku akan mengatakan satu tempat padamu. Setiap saat tempat itu akan terbuka un-
tuk kedatanganmu. Dan kau boleh....”
Belum sampai Bidadari Bulan Emas teruskan uca-
pan, Guru Besar Liang San telah menyahut. “Jangan
mimpi kau bisa membodohiku! Sekali lagi kuperin-
gatkan untuk segera tinggalkan tempat ini!”
“Baik!” kata Bidadari Bulan Emas dengan masih
tersenyum. Dia berpaling pada Joko. “Pendekar 131...
Dia tidak senang dengan keberadaan kita.... Sebaiknya
kita turuti kemauannya!”
“Kau datang sendiri! Jangan berlaku bodoh pergi
mengajak orang lain!” Guru Besar Liang San memben-
tak.
“Hem.... Baik!” ujar Bidadari Bulan Emas dengan
memandang pada murid Pendeta Sinting. Perempuan
ini kedipkan sebelah matanya. Lalu berpaling dan ten-
gadah seraya berkata. “Kita lihat nanti. Apakah pemu-
da itu akan ikut denganmu yang tidak menawarkan
apa-apa atau ikut denganku yang menjanjikan kenik-
matan luar biasa!”
Habis berkata begitu, Bidadari Bulan Emas gerak-
kan tubuh memutar setengah lingkaran. Saat berikut-
nya dia melangkah hendak tinggalkan tempat itu.
“Hem.... Perempuan ini tentu tahu banyak. Aku a-
kan mengikutinya meski aku harus lebih waspada!”
Joko akhirnya memutuskan. Lalu berteriak.
“Bidadari! Tunggul Aku ikut denganmu! Aku ingin
kenikmatan luar biasa itu!”
Joko berkelebat ke depan. Namun Guru Besar Liang
San tidak tinggal diam. la cepat melesat ke depan dan
menghadang.
“Anak muda! Serahkan dulu apa yang kuminta! Se-
telah itu silakan kau bersenang-senang dengannya!”
“Aku telah menyerahkannya pada Guru Besar Pu Yi!
Dan harap tidak menghalangiku.... Kau tahu, tawaran
menarik ini tidak selamanya bisa didapati perempuan
cantik. Tubuhnya bahenol dan kulitnya mulus....”
Bidadari Bulan Emas hentikan langkah dengan dahi
berkerut. “Apa benar dia telah serahkan peta wasiat itu
pada Guru Besar Pu Yi?! Celaka kalau hal ini benar-
benar terjadi.... Padahal Guru Besar Pu Yi telah tewas.
Tapi kalau benar, mengapa Guru Besar Liang San ma-
sih memintanya pada pemuda itu?! Hem.... Ini ada dua
kemungkinan. Pemuda itu benar-benar telah membe-
rikan peta wasiat pada Guru Besar Pu Yi dan Guru Be-
sar Pu Yi sengaja merahasiakannya. Kedua, pemuda
itu hanya membuat alasan! Tapi aku tak boleh sia-
siakan kesempatan ini! Dia tadi telah memutuskan un-
tuk ikut denganku! Hem.... Ucapan Guru ternyata be-
nar. Aku harus menghadapi laki-laki bukan dengan
pukulan, tapi dengan cara lain....”
Setelah membatin begitu Bidadari Bulan Emas ba-
likkan tubuh lalu berkata.
“Guru Besar Liang San.... Kau telah dengar jawaban
dan permintaan orang. Harap kau suka membiarkan-
nya pergi!”
“Dia tak akan pergi!”
“Hem.... Kau menolak dan tidak tertarik dengan ta-
waranku. Sebaliknya kau menghalangi dia pergi. Aku
jadi khawatir. Jangan-jangan kau selama ini punya se-
lera dengan sesama jenis!”
Tampang Guru Besar Liang San berubah tegang
dan merah padam. Dia balikkan tubuh menghadap Bi-
dadari Bulan Emas.
“Aku telah cukup bersabar. Namun ucapanmu su-
dah sangat keterlaluan!”
“Kau yang terlalu karena hendak menghalangi
orang yang ingin bersenang-senang!”
Guru Besar Liang San tak bisa lagi menahan gejolak
amarah. Tangan kanannya diangkat. Namun dia tidak
segera lepas pukulan. Sementara di seberang, Bidadari
Bulan Emas tersenyum dan berkata.
“Aku telah turuti permintaanmu. Datang sendiri
dan akan pergi sendiri pula. Tapi aku tidak akan ting-
gal diam kalau kau halangi orang yang akan ikut den-
ganku!”
Bidadari Bulan Emas teruskan pandang matanya
lewat pundak Guru Besar Liang San ke arah Pendekar
131 yang tegak di belakang Guru Besar Liang San.
Dengan tersenyum, Bidadari Bulan Emas berseru.
“Pendekar 131! Tentunya kau sudah tak sabar....”
“Ah.... Benar!” sahut murid Pendeta Sinting sebelum
ucapan Bidadari Bulan Emas selesai. “Kita teruskan
rencana!”
Belum sampai ucapannya selesai, Joko telah berke-
lebat melewati Guru Besar Liang San dan tahu-tahu
sosoknya telah tegak menjajari Bidadari Bulan Emas.
Saat lain Joko menggandeng tangan si perempuan lalu
balikkan tubuh. Bidadari Bulan Emas sempat terkejut
dengan sikap Pendekar 131 yang berubah seketika.
Karena pada pertemuan pertama, Joko tampak tidak
tertarik sama sekali meski sempat terpesona dengan
paras dan sikap orang.
Bidadari Bulan Emas tersenyum dan menggenggam
erat tangan Joko. Kejap lain perempuan ini ikut balik-
kan tubuh.
***
SEBELAS
GURU Besar Liang San makin berang. Tangan kiri-
nya segera diangkat menjajari tangan kanannya. Kejap
lain kedua tangannya dihantamkan ke arah Pendekar
131 Joko Sableng dan Bidadari Bulan Emas yang hen-
dak berkelebat tinggalkan tempat itu.
Namun sebelum dua gelombang dahsyat berkiblat
dari kedua tangan Guru Besar Liang San, mendadak
udara di tempat itu disemburati kilauan cahaya putih.
Guru Besar Liang San berpaling ke arah sumber ca-
haya dan cepat tadangkan kedua tangannya di depan
mata karena silau. Sementara di depan sana, Pendekar
131 dan Bidadari Bulan Emas urungkan niat berkele-
bat. Malah karena silau, kedua orang ini cepat le-
paskan genggaman tangan masing-masing dan segera
di-tadangkan di depan mata.
“Apa yang terjadi?!” tanya murid Pendeta Sinting.
“Aku juga tak tahu! Tapi jelas ini bukan ulah manu-
sia gundul itu! Ada orang lain yang melakukannya!”
jawab. Bidadari Bulan Emas seraya palingkan kepala
dengan tangan masih di depan mata.
Begitu Guru Besar Liang San, Pendekar 131, dan
Bidadari Bulan Emas tadangkan masing-masing ta-
ngan, mendadak semburatan cahaya lenyap. Masing-
masing orang sama turunkan tangan lalu memandang
ke satu arah.
Tiga puluh langkah di seberang sana terlihat satu
benda bulat berupa batu putih yang bergerak terayun-
ayun di ujung sebuah tambang. Tambang itu lurus ke
atas ke sebuah rimbun dedaunan sebatang pohon be-
sar.
Guru Besar Liang San tersentak. “Dia!” desisnya
dengan mata bergerak mengikuti tambang yang masuk
ke rimbun dedaunan.
Di lain pihak, murid Pendeta Sinting dan Bidadari
Bulan Emas gerakkan kepala ke arah rimbun deda-
unan di mana tambang berujung batu putih berasal.
Namun sejauh ini, baik Guru Besar Liang San, Pende-
kar 131, maupun Bidadari Bulan Emas belum melihat
siapa-siapa. Hanya saja, Guru Besar Liang San sudah
bisa menebak siapa adanya orang di balik rimbun de-
daunan.
“Kau tahu siapa yang membuat permainan ini?!”
Joko kembali bertanya.
Sepasang mata Bidadari Bulan Emas turun naik
memperhatikan tambang dan batu putih yang ber-
goyang-goyang. “Tak mungkin!” desisnya.
Joko menoleh. “Apa yang tak mungkin?!”
“Tak mungkin dia! Tapi....”
“Dia siapa?! Tapi apa?!” Joko terus bertanya seolah
tak sabar karena Bidadari Bulan Emas tidak segera
menjawab.
Belum sampai Bidadari Bulan Emas buka mulut la-
gi, tiba-tiba rimbun dedaunan bergerak. Satu sosok
tubuh meluncur ke bawah. Bersamaan dengan itu ba-
tu bulat putih di ujung tambang melesat ke atas. Lalu
melayang ke bawah tepat di depan wajah orang ketika
sosok yang meluncur dari rimbun dedaunan injakkan
kaki di atas tanah. Hingga baik Guru Besar Liang San,
Joko, dan Bidadari Bulan Emas tidak bisa melihat raut
wajah orang!
“Astaga! Tampaknya memang dia!” desis Bidadari
Bulan Emas dengan wajah berubah tegang.
“Dari tadi kau terus berkata dia! Dia dan dia!” Pen-
dekar 131 menggerendeng. Sementara sepasang mata-
nya menatap tak berkesip ke depan. Malah karena in
gin melihat tampang orang, dia gerakkan kepala ke
samping kanan. Namun di depan sana, orang yang ba-
ru meluncur dari atas pohon ikut gerakkan kepala dan
kakinya bergerak satu tindak ke samping kiri. Hingga
Joko, gagal melihat wajah orang.
“Heran! Dia sepertinya malu-malu tunjukkan tam-
pang!” gumam murid Pendeta Sinting. Kini dia coba ge-
rakkan kepala ke samping kiri. Bersamaan dengan itu,
orang di depan sana juga gerakkan kepala. Aneh-nya,
meski wajahnya tertutup bundaran batu putih, orang
ini seolah tahu ke mana gerakan kepala Joko!
“Busyet! Ada apa dengan orang ini? Mengapa wajah-
nya takut dipandang orang?!” Joko terus bergumam.
Dan mungkin penasaran, Joko gerakkan kepala ke
samping kanan kiri.
Di depan sana, orang yang wajahnya tertutup batu
putih goyangkan pantatnya. Tambang yang bagian
pangkalnya ternyata berada di punggungnya serentak
bergerak-gerak. Batu putih di ujung tambang ber-
goyang-goyang seirama gerakan kepala Pendekar 131!
Murid Pendeta Sinting mulai dongkol. Dia berkele-
bat ke samping dengan kerahkan tenaga dalam hingga
gerakannya hampir sulit ditangkap mata biasa. Namun
orang di depan sana cepat putar diri setengah lingka-
ran! Hingga kembali Joko tidak dapat melihat wajah
orang.
“Jangkrik! Aku bisa gila sendiri jika terus turuti o-
rang itu!” Joko balikkan tubuh lalu melompat lagi dan
tegak menjajari Bidadari Bulan Emas dengan tampang
“Menurut yang kudengar, dia akan selalu berbuat
begitu jika ada orang memaksakan diri hendak melihat
wajahnya. Tapi jika orang berlaku biasa saja, kadang-
kadang dia akan tunjukkan wajahnya....” Bidadari Bu-
lan Emas berbisik.
“Kalaupun dia nanti tunjukkan tampang, aku tidak
akan melihatnya! Daripada melihat tampang yang begi-
tu-begitu, lebih baik melihatmu!” Joko menyahut se-
raya melotot pada Bidadari Bulan Emas. Yang dipeloto-
ti tersenyum dan busungkan dada. Dan merasa kha-
watir munculnya orang akan menambah urusan, Joko
segera angkat suara pelan. “Bidadari.... Kita harus se-
gera pergi! Biarlah orang aneh itu jadi urusan Guru
Besar Liang San.... Kita punya acara sendiri, bukan?!”
Bidadari Bulan Emas lebarkan senyum. Kepalanya
bergerak mengangguk. Mulutnya membuka. Namun
sebelum suaranya terdengar, orang yang wajahnya ter-
tutup batu putih dan tidak lain adalah Dewa Cadas
Pangeran perdengarkan suara.
“Kalau akan bersenang-senang, mengapa tidak me-
ngajakku ikut serta?! Apakah aku tidak pantas untuk
ikut menikmatinya?!”
Semua yang ada di tempat itu terkesiap mendapati
orang telah tahu maksud Bidadari Bulan Emas dan
murid Pendeta Sinting.
“Busyet! Bagaimana dia bisa tahu maksud kita?!
Jangan-jangan dia sudah sejak tadi berada di sekitar
tempat ini dan mendengarkan semua pembicaraan ki-
ta!” kata Joko. Kepalanya berpaling ke arah Dewa Ca-
das Pangeran. “Bidadari.... Dia bisa merusak acara
asyik kita!”
“Hem.... Kehadirannya benar-benar akan mengha-
langi langkahku! Apa yang harus kulakukan?! Menu-
rut yang kudengar, dia berilmu sangat tinggi! Belum
lagi harus menahan gerakan Guru Besar Liang San....”
Diam-diam Bidadari Bulan Emas membatin. Lalu ber-
bisik pada Joko. “Pendekar 131.... Kita belum tahu apa
maksud dia sebenarnya. Lebih baik kita bicara baik-
baik dahulu. Kau tahu.... Dia adalah tokoh negeri ini
dari generasi lama. Itulah sebabnya mengapa aku tadi
hampir tidak percaya dengan kemunculannya. Sebab
beberapa tokoh yang satu angkatan dengan dia sudah
banyak yang meninggal! Lagi pula namanya sudah ja-
rang sekali disebut-sebut orang....”
“Aku tak pernah merasa punya urusan dengan dia!
Kalau kau ingin bicara, bicaralah! Dan peduli setan
siapa dia sebenarnya!” Joko sambuti ucapan Bidadari
Bulan Emas dengan dada tetap mendongkol karena si-
kap orang.
“Pendekar 131.... Kau memang tak punya urusan
dengan dia. Tapi kau harus sadar, siapa pun saat ini
pasti merasa punya urusan denganmu! Kau tentu tahu
urusan apa itu....”
“Persetan dengan segala macam urusan! Kalau kau
tak ingin pergi, aku akan pergi sendiri!” Joko sudah
hendak gerakkan tubuh. Namun tangan kanan Bida-
dari Bulan Emas cepat mencekal lengannya dan berka-
ta.
“Aku akan bicara dengannya! Kau harus dengar dan
tahu apa maksud dia sebenarnya! Setelah itu baru kita
pergi!”
Setelah berkata begitu, masih cekal lengan murid
Pendeta Sinting, Bidadari Bulan Emas angkat suara.
“Kalau tak salah, bukankah yang ada di hadapanku
saat ini adalah Dewa Cadas Pangeran?!”
Guru Besar Liang San yang sedari tadi tegak diam
dan memperhatikan pada Dewa Cadas Pangeran tam-
pan terlengak.
“Astaga! Mengapa aku lupa?! Rasanya aku memang
pernah dengar nama itu!” gumam Guru Besar Liang
San sekali lagi perhatikan orang dengan lebih seksa-
ma. “Mungkin ini karena aku terlalu tenggelam me-
mikirkan peta wasiat itu!”
Dewa Cadas Pangeran perdengarkan suara tawa
pendek. Namun meski semua orang menunggu uca-
pannya, kakek ini tidak juga angkat suara, membuat
Bidadari Bulan Emas berkata lagi.
“Orang tua! Siapa pun kau adanya, harap kau ka-
takan apa maksudmu sebenarnya!”
“Orang cantik! Aku ingin tanya. Apakah orang se-
pertiku ini tidak pantas mendapat kenikmatan?!”
“Siapa pun berhak mendapatkannya!”
“Kalau begitu, bagaimana kalau aku ikut bersama
denganmu?! Bukankah kau hendak bagi-bagikan ke-
nikmatan?!”
Paras wajah Bidadari Bulan Emas berubah meme-
rah. Namun perempuan ini menahan gejolak geramnya
dengan tersenyum dan berkata.
“Orang tua! Sebenarnya aku memang ingin meng-
ajakmu ikut serta dan membagi kenikmatan dengan-
mu. Tapi sayang sekali.... Hari ini aku telah menentu-
kan pilihan.... Lagi pula aku tidak biasa membagi ke-
nikmatan dengan orang yang belum kukenal!”
“Ah.... Kau berpura-pura. Bukankah kau telah tahu
namaku?!”
“Hem.... Jadi benar dia adalah Dewa Cadas Pange-
ran!” Guru Besar Liang San dan Bidadari Bulan Emas
sama membatin.
Bidadari Bulan Emas melirik sesaat pada Guru Be-
sar Liang San. “Hem.... Dewa Cadas Pangeran mungkin
masih bisa diajak kompromi. Aku akan memanfaatkan
dia untuk menghadang gerakan Guru Besar Liang
San....”
Setelah membatin begitu, Bidadari Bulan Emas a-
rahkan wajahnya pada Dewa Cadas Pangeran dan ber-
kata.
“Dewa Cadas Pangeran! Karena aku telah tahu sia
pa kau, dan demi agar kau tidak kecewa, aku akan
mengajakmu ikut serta dan aku berjanji akan membagi
kenikmatan pula denganmu!”
Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang.
Batu putih di depan wajahnya bergoyang-goyang, ke-
ras mengikuti gerakan kepala orang yang tersentak-
sentak. Sementara Pendekar 131 tampak terlengak
mendengar ucapan Bidadari Bulan Emas. Di lain pi-
hak, Guru Besar Liang San makin tidak enak. Tam-
paknya dia sadar, kalau benar Dewa Cadas Pangeran
hendak ikut Bidadari Bulan Emas, maka dia harus
berhadapan dengan tiga orang. Sementara murid Pen-
deta Sinting membatin.
“Celaka kalau dia hendak ikut serta! Aku yakin,
meski dia mengatakan ingin merasakan kenikmatan,
tapi sebenarnya dia akan mengikutiku! Pasti dia sudah
tahu tentang peta wasiat itu!”
“Bidadari!” kata Joko. “Aku tak ingin ada orang lain
di antara kita! Sekarang kau harus putuskan. Memilih
dia atau aku!”
“Ha.... Ha.... Ha...! Tak usah khawatir, Anak Muda!”
Tiba-tiba Dewa Cadas Pangeran angkat suara. “Bukan
saja kau yang tak ingin diikuti orang lain! Aku pun
demikian! Aku tak ingin kau ada di antara aku dan Bi-
dadari Bulan Emas!”
Bidadari Bulan Emas terkesiap. Bukan saja karena
ucapan Dewa Cadas Pangeran yang membuatnya bi-
ngung, namun ternyata Dewa Cadas Pangeran telah
tahu siapa dirinya!
“Bidadari Bulan Emas!” Dewa Cadas Pangeran kem-
bali perdengarkan suara. “Sekarang keputusan ada di
tanganmu! Kau memilih aku atau dia yang ikut dan
berbagi kenikmatan denganku!”
Bidadari Bulan Emas eratkan cekatannya pada lengan Pendekar 131 dan berbisik. “Pendekar 131....
Tentu aku akan memilihmu! Tapi sengaja aku berkata
mengajaknya, untuk menahan Guru Besar Liang San!
Kau tahu, Guru Besar Liang San pun pasti masih ber-
pikir dua kali jika harus berhadapan dengan Dewa Ca-
das Pangeran! Setelah itu aku tahu bagaimana caranya
menyingkirkannya! Itu urusanku! Jadi sementara ini
kau pura-pura mengalah....”
Baru saja Bidadari Bulan Emas berbisik, di depan
sana Dewa Cadas Pangeran angkat tangan kanannya.
“Bidadari Bulan Emas.... Jangan kira kau bisa mem-
bohongi diriku! Aku ingin kau memilih tanpa ada ren-
cana tersembunyi di baliknya! Dan kau, Anak Muda
dari seberang laut! Kita sama laki-laki. Tak ada guna-
nya berlaku pura-pura mengalah!”
Bidadari Bulan Emas dan Pendekar 131 saling pan-
dang dengan wajah sama berubah. Mereka tidak men-
duga kalau pembicaraan mereka dapat didengar Dewa
Cadas Pangeran. Padahal jarak mereka agak jauh dan
mereka berbisik!
“Apa boleh buat!” gumam Bidadari Bulan Emas ke-
palang basah. Dia dongakkan kepala lalu berkata.
“Dewa Cadas Pangeran! Untuk kali ini aku memilih
pemuda ini! Tapi aku masih memberimu kesempatan
dan waktu jika kau ingin bersenang-senang dengan-
ku!”
“Ah.... Rupanya hari ini nasibku tidak baik! Dan
sayangnya, kesempatan dan waktuku cuma hari ini!”
Kepala Dewa Cadas Pangeran bergerak menggeleng.
Saat lain dia berkata. “Anak muda dari seberang laut!
Bagaimana kalau hari ini kau berikan kesempatanmu
padaku?! Bukankah kau masih punya tiga hari di de-
pan?! Lagi pula kau masih muda! Waktumu masih
panjang.... Tidak seperti diriku yang renta! Aku tak in
gin sia-siakan kesempatan bagus ini!”
“Dia tahu waktuku masih tiga hari lagi! Berarti dia
tahu tentang hari ganda sepuluh! Ini satu bukti kalau
dia mengerti urusan peta wasiat!” Pendekar 131 mem-
batin dengan dada tidak enak.
“Bagaimana, Anak Muda?!” Dewa Cadas Pangeran
ajukan tanya saat ditunggu agak lama tidak terdengar
sahutan dari Pendekar 131.
Entah karena apa tiba-tiba Joko enak saja menja-
wab. “Baiklah! Hari ini kesempatanku kuberikan pa-
damu!”
Bidadari Bulan Emas cengkeram lengan murid Pen-
deta Sinting dan berbisik dengan nada ketus. “Kau ti-
dak sungguh-sungguh, bukan?!”
“Bidadari.... Dia mengaku telah berusia lanjut. Tak
ada salahnya kalau kau berikan satu kenangan di ak-
hir usianya itu!”
“Tidak! Aku tidak mau pergi bersamanya!” dengus
Bidadari Bulan Emas.
Terima kasih, Anak Muda!” kata Dewa Cadas Pange-
ran. “Perihal dia tidak mau pergi bersamaku, itu uru-
sanku! Yang penting kau telah serahkan hakmu pada-
ku!”
Tengkuk Bidadari Bulan Emas mau tak mau jadi
dingin mendengar ucapan Dewa Cadas Pangeran. Dari
cerita yang pernah didengar, dia maklum siapa adanya
Dewa Cadas Pangeran. Selain aneh, dia memiliki ilmu
sangat tinggi dan sukar dijajaki.
Bidadari Bulan Emas melirik sesaat pada Joko. Na-
mun sebelum dia sempat berucap, Dewa Cadas Pange-
ran telah perdengarkan suara.
“Anak muda dari seberang laut! Karena kau telah
serahkan kesempatanmu padaku, harap kau sekarang
segera pergi dari tempat ini!”
“Tidak ada yang akan meninggalkan tempat ini!”
“Tetap di tempat kalian masing-masing!”
Mendadak dua suara terdengar. Guru Besar Liang
San, Bidadari Bulan Emas, serta Pendekar 131 tampak
terkesiap. Kepala mereka berpaling. Hanya Dewa Ca-
das Pangeran yang tenang-tenang saja. Bahkan seolah
tidak pedulikan ucapan yang baru saja terdengar, laki-
laki ini melangkah ke arah Bidadari Bulan Emas!
SELESAI
Segera terbit:
DEWI BUNGA ASMARA
0 comments:
Posting Komentar