SATU
Malam hari Wonogiri diselimuti
kegelapan. Walau daerah itu termasuk
berpenduduk padat, tapi suasana terasa
sunyi mencekam.
Sedangkan udara dingin terasa
sangat menusuk. Dalam suasana seperti
itu, kerlip cahaya bintang pun tak
terlihat di langit sana sehingga membuat
orang enggan keluar meninggalkan
rumahnya.
Sementara di dalam salah satu kamar
rumah yang besar Danang Pattira sama
sekali tak mampu memejamkan matanya.
Entah mengapa sejak sore tadi perasaan
pemuda itu jadi gelisah. Pemuda itu kini
malah bangkit dari tempat tidur lalu
melangkah ke arah jendela. Begitu jendela
kamar terbuka lebar hawa dingin terasa
menampar wajahnya. Di langit kilat
menyambar. Si pemuda yang sangat menyukai
ilmu sastra julurkan kepala melewati
jeruji kayu jendela. Wajahnya mendongak
ke langit. Saat itu langit gelap, gulita
tertutup mendung, tapi aneh tidak ada
tanda-tanda hujan akan turun. Ingat akan
sesuatu membuat wajah si pemuda berubah
pucat pasi. "Kilat itu, kuharap ini bukan
merupakan tanda dari kehadirannya." pikir
si pemuda. Karena perasaannya semakin
tidak tenang Danang Pattira pun menarik
jendela dan hendak menutupkannya kembali.
Tapi pada saat itulah hidungnya mencium
bau sesuatu yang khas. Bau yang sama
sebagaimana yang sering tercium beberapa
bulan belakangan. Mendadak tengkuk si
pemuda terasa dingin. Dia mendengar suara
dengus nafas aneh. Danang Pattira
memandang keluar melalui jendela yang
agak terbuka. Dia melengak kaget saat
melihat ada satu sosok bayangan samar
berdiri tegak tak jauh dari jendela itu.
Si pemuda mencoba memperhatikan lebih
seksama. Sekali lagi dia dilanda rasa
kejut yang amat sangat. Sosok yang muncul
secara samar tadi mendadak hilang raib
dari penglihatannya. Dengan raibnya sosok
tinggi besar tersebut pada waktu
bersamaan pula terdengar satu suara
perlahan namun cukup jelas. "Danang
Pattira... kau adalah seorang anak
manusia yang harus menghambakan diri
padaku. Seorang hamba harus patuh pada
siapa dia bertuan. Akulah junjunganmu,
karena itu pikiranmu dan pikiranku harus
sejalan agar tercapai semua yang menjadi
keinginan. Kau tak akan bisa menolak, kau
tak akan bisa membantah karena seluruh
jiwa dan ragamu berada dalam genggaman
tanganku! Datanglah ke mari, datanglah ke
suatu tempat di mana pertama kali aku
membimbingmu!"
"Tidak! Aku tidak mau, aku tak bisa
menuruti keinginanmu. Pergilah...!"
teriak si pemuda dengan suara bergetar
dan wajah pucat dijalari rasa takut
teramat sangat.
"Ha... ha... ha! Setelah kebang-
kitanku, tidak ada satu kekuatan pun yang
boleh menentang. Kau harus turuti apa
yang menjadi kehendakku, kau juga harus
menjalankan apa yang menjadi perintah-
ku!!" hardik suara itu lantang dan
mengandung getaran aneh yang membuat
Danang Pattira merasa tak punya kekuatan
apa-apa untuk menolaknya. "Celaka! Apa
yang sesungguhnya terjadi pada diriku
ini? Otakku tak dapat berpikir
sebagaimana yang kuinginkan. Pengaruh
suara itu demikian kuat hingga membuat
diriku seperti patung mainan. Aku...
akh...!" Si pemuda mengeluh tertahan. Dia
merasa bagian belakang kepala seperti
dihantam palu besar hingga membuat
kesadaran si pemuda jadi timbul teng-
gelam.
Dalam keadaan seperti itu pula di
dalam lubuk hati si pemuda timbul satu
keinginan kuat untuk meninggalkan
rumahnya. Keinginan itu semakin bertambah
kuat ketika tadi suara berkata. "Lupakan
semua beban yang memenuhi hati dan
pikiranmu. Lekas keluar tinggalkan rumah
itu, datanglah padaku agar dirimu
mendapat petunjuk! Ini adalah perintah
yang setan sekalipun tak berani
membantahnya!"
Sebagaimana yang dikatakan oleh
suara aneh yang mengandung getaran gaib
itu, maka Danang Pattira dengan langkah
kaku mendekat ke pintu. Pintu terbuka,
hawa dingin dan hembusan angin menampar
wajahnya. Dia tak memperdulikan semua
itu. Selanjutnya si pemuda berjalan
menembus kepekatan malam ke arah mana
suara aneh tadi sangat mempengaruhi jiwa
dan pikirannya. Selagi si pemuda berada
dalam keadaan seperti itu satu keanehan
lain terjadi pada dirinya. Tiba-tiba
tubuhnya melesat di udara, berkelebat
laksana kilat dan berlari cepat melewati
pucuk semak belukar yang membentang luas
di depannya. Apa yang dilakukannya ini
adalah sesuatu yang sangat sulit
dipercaya. Karena mengingat Danang
Pattira sendiri sesungguhnya bukan pemuda
yang memiliki ilmu meringankan tubuh
maupun ilmu lari cepat sehebat itu. Apa
yang dipelajarinya selama ini melalui
kitab peninggalan keluarga baru saja
sampai pada tingkat dasar jurus-jurus
silat dan cara menghimpun tenaga dalam.
Tapi kenyataan yang terlihat saat itu apa
yang dilakukan si pemuda tidak bedanya
dengan cara berlari dari seorang
dedengkot persilatan yang memiliki tenaga
dalam sangat kuat dan ilmu meringankan
tubuh yang berada di atas sempurna.
Tidak berselang lama Danang Pattira
telah sampai di satu tempat yang sepi.
Pemuda itu hentikan langkah, sepasang
matanya memandang ke depan di mana
terdapat sebuah lubang empat persegi
panjang. Lubang dalam keadaan gelap
gulita, karena di atas lubang dinaungi
sebatang pohon kamboja.
"Aku... mengapa aku sampai ke
tempat ini?" batin Danang Pattira merasa
bingung sendiri. "Kalau tak salah aku
berada di depan sebuah kubur. Dan kubur
ini...?!" Wajah si pemuda mendadak
berubah pucat, sekujur tubuhnya nampak
bergetar. Ingat akan sesuatu yang terjadi
di masa lalu, maka tanpa pikir panjang
Danang Pattira segera memutar langkah
hendak tinggalkan tempat itu secepatnya.
Tapi mendadak ada hembusan angin dingin
menghantam tubuhnya dari arah depan sana
hingga membuat pemuda itu jatuh
terpelanting dan nyaris terperosok jatuh
ke dalam lubang tersebut.
Belum lagi hilang rasa kaget di
hati Danang Pattira, sepasang tangan yang
sangat dingin terjulur dari balik
kegelapan lubang kubur. Kedua tangan itu
kemudian mencengkeram kedua pelipis si
pemuda. Danang Pattira menjerit keta-
kutan. Perutnya terasa mual, kepala
mendadak menjadi pusing karena sepasang
tangan yang teramat dingin itu menebar
bau busuk yang bukan kepalang. Begitu
sepasang tangan menekan kedua sisi kepala
Danang Pattira tak berapa lama kemudian
dari jemari tangan itu mencuat dua larik
cahaya disertai mengepulnya kabut tipis
putih. Cahaya merah secara aneh menembus
bagian pelipis si pemuda. Kepala Danang
Pattira bergetar, dia merasakan ada hawa
dingin membekukan menembus batok kepala,
mengguncang sel-sel otaknya hingga
membuat si pemuda meronta dan menjerit
kesakitan. Dalam keadaan setengah ling-
lung Danang merasakan hawa dingin kini
bergerak turun melalui batang leher terus
menebar ke sekujur tubuhnya. Sekali lagi
dia menjerit. Menjerit terus tak
berkeputusan hingga akhirnya dia tak
sadarkan diri.
"Ha... ha... ha! Sampai sudah janji
yang telah ditetapkan. Dalam kebang-
kitanku yang kedua, semua rasa dendam dan
sakit hati akan kubalas impas! Bocah ini
sudah kutetapkan untuk mencari saudara-
nya. Dia harus membunuh tiga saudaranya
yang lain. Aku hidup kembali berkat
kesaktian yang kumiliki. Kelak untuk
mempertahankan hidup aku akan memper-
gunakan raganya untuk melindungi diriku!"
kata satu suara dari arah lubang kubur.
Kemudian sepasang tangan yang menekan
pelipis Danang Pattira lenyap. Dari balik
kubur satu sosok melesat keluar dan
berdiri tegak di samping si pemuda yang
tergeletak dan belum sadarkan diri.
Dalam gelapnya malam ujud sosok
yang hanya mengenakan robekan kain kafan
sebagai penutup aurat tidak terlihat
dengan jelas. Hanya sekujur tubuhnya yang
hitam itu menebar bau busuknya bangkai.
Sekejap lamanya dia memperhatikan si
pemuda dari ujung rambut hingga ke ujung
kaki. Mulutnya yang hanya berupa rempelan
daging busuk menyeringai. "Kutahu kau
adalah pemuda tolol yang tidak punya
kepandaian apa-apa. Tapi aku akan
membuatmu menjadi manusia sakti tak
tertandingi. Aku Raden Ronggo Anom, mayat
yang bangkit kembali berkat kesaktian
Pembeda Asal yang kumiliki. Ha... ha...
ha!" kata sosok setengah bangkai itu
disertai tawa tergelak-gelak. Dia
kemudian berjongkok di samping Danang
Pattira. Kedua tangan ditempelkan di atas
dada pemuda itu. Sambil mengerahkan
tenaga sakti berbau kesesatan ke sekujur
tubuh si pemuda mulutnya kembali berkata.
"Raden Ponco Sugiri telah kubunuh. Kupu-
kupu Perak sudah kutebar di empat penjuru
angin. Kau kini menjadi wakilku untuk
membunuh saudaramu yang lain. Aku tahu
dalam hatimu kau merasa senang dan jatuh
cinta pada adik kandungmu sendiri. Kau
boleh memilikinya, kuizinkan kau bercinta
dengannya sampai kau muak, namun setelah
itu dia harus kau bunuh. Tapi kau juga
jangan lupa untuk membunuh seorang pemuda
sinting bernama Gento Guyon, kau bawa
kepalanya kepadaku. Kau mendengar, kau
mengerti walaupun saat ini kau tak
sadarkan diri!" kata si Mayat Hidup.
Suara sosok mengerikan itu lenyap,
kedua tangan yang menempel di dada si
pemuda nampak bergetar hebat. Kemudian
secara berturut-turut cahaya merah,
kuning, putih dan biru membersit dari
kedua telapak tangan Mayat Hidup dan
amblas lenyap ke dalam dada si pemuda.
Dengan lenyapnya cahaya tadi ke dalam
dada si pemuda maka Danang Pattira
menggeliat sambil mengerang lirih.
Kejap kemudian pemuda itu duduk,
dia memandang ke samping dengan tatap
matanya yang kosong dan berwarna
kemerahan. Tidak seperti pertama tadi,
kini dia tidak lagi merasa takut ketika
melihat sosok angker berbau busuk yang
berada di sampingnya.
"Kau tahu siapa dirimu?" Mayat
Hidup dengan suara patah ajukan
pertanyaan. Danang Pattira anggukkan
kepala.
"Aku tahu, aku ingat. Ayahku Raden
Ponco Sugiri, aku anak yang paling sulung
dari empat bersaudara. Ayahku belum lama
meninggal," jawab si pemuda lancar tapi
suaranya terdengar kaku.
"Ha... ha... ha! Bagus. Kau tahu
siapa diriku?" tanya Mayat Hidup lagi.
Danang Pattira terdiam sejenak,
baru kemudian berucap. "Aku seperti baru
saja di bawa mengintai ke balik tabir
gaib. Seseorang yang berada di alam roh
baru saja mengatakan kau adalah pamanku.
Namamu Raden Ronggo Anom. Manusia yang
semasa hidupnya memiliki sifat dengki,
tamak, serakah, sombong dan tega pada
saudaranya sendiri. Kau terbunuh sekitar
tiga puluh tahun yang lalu. Yang
membunuhmu adalah Jin Babat Nyawa atas
perintah seorang wanita bergelar Arwah
Darah Senggini. Arwah Darah Senggini
mengerjakan perintah seseorang, yaitu
Raden Ponco Sugiri ayahku. Beliau belum
lama berselang dikabarkan tewas oleh
Barep Pandara. Arwahmu yang telah
membunuhnya!" jelas Danang Pattira tanpa
perasaan apapun. Kiranya jiwa dan pikiran
si pemuda telah berada dalam pengaruh
kekuatan aneh yang disalurkan Mayat Hidup
ke dalam tubuhnya. Hingga ketika menyebut
kematian orangtuanya sendiri wajah si
pemuda tidak memperlihatkan perubahan
apapun. Seakan Raden Ponco Sugiri yang
ayah kandungnya itu adalah orang lain
yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Bagus, kau sudah tahu semua.
Kebangkitanku adalah karena ilmuku. Aku
tak akan tenang jika belum mencari dan
membunuh Arwah Darah Senggini. Karena itu
sebagai seorang budak yang telah kubekali
dengan kesaktian hebat, sudah menjadi
tugasmu untuk membunuh tiga saudaramu
yang lain!" tegas Mayat Hidup.
"Dua adikku, Aripraba dan Siwarana
memang harus mati, tapi Ambini apakah
harus kubunuh juga? Aku... aku...!"
"Hak... hak... hak! Aku tahu isi
hatimu. Kau boleh bersenang-senang
dengannya. Tapi kemudian kau harus
membunuhnya. Kau kutunggu di gunung
Liman. Kau mengerti?" tanya si Mayat
Hidup.
"Aku mengerti." sahut si pemuda.
"Kalau sudah mengerti sekarang
pergilah. Lakukan tugasmu dan cari orang-
orang yang harus kau bunuh!" Sekali lagi
si Mayat Hidup menegaskan. Danang Pattira
anggukkan kepala. Dengan gerakan kaku dia
memutar tubuhnya dan terus melangkah
pergi meninggalkan sosok busuk berwajah
angker mengerikan itu.
DUA
Untuk menghindari kejaran Raden
Ronggo Anom yang kini telah berubah
menjadi sosok Mayat Hidup, gadis jelita
berpakaian putih berambut panjang
tergerai itu terus-menerus mengerahkan
ilmu lari cepat yang dimilikinya. Sampai
di satu tempat Ambini merasakan tiba-tiba
saja pemuda yang dia panggul di bahu
kanannya terasa semakin berat.
"Aneh, bagaimana dia sekarang
berubah menjadi seberat ini? Apakah
karena aku sudah merasa lelah?" membatin
gadis cantik yang bernama Ambini itu
heran.
Perlahan Ambini mengurangi kece-
patan larinya, sampai kemudian langkahnya
terhenti sama sekali. Pada saat itu pula
si gadis mendengar suara menyiplak yang
keras seperti orang yang mengunyah
makanan. Si gadis kerutkan keningnya.
Mendadak dia turunkan si gondrong dari
bahunya. Dia pandangi pemuda tampan
bertelanjang dada itu sekejap lamanya.
Mata si gondrong dalam keadaan terpejam,
wajah pucat sedangkan di sudut bibirnya
masih terlihat sisa darah yang mengering.
"Aku mendengar suara orang memakan
sesuatu," pikir si gadis. Dia lalu
mengitarkan pandangan matanya ke
sekeliling tempat itu. Tak terlihat
siapapun terkecuali pepohonan besar,
semak ilalang, bukit-bukit gundul serta
birunya gunung Liman. "Aku tak salah
mendengar, ada orang memakan sesuatu
dengan lahap." membatin Ambini. Sekali
lagi diperhatikannya pemuda yang
dipanggulnya tadi. Rasanya tak mungkin
pemuda itu yang makan. Dia terluka dalam,
mungkin juga saat itu tidak sadarkan
diri. Ambini menggoyang bahunya yang
terasa pegal. Di saat itulah dia
merasakan adanya kelainan pada kantong
perbekalan yang tergantung di pung-
gungnya. Kantong perbekalan itu kini
terasa sangat ringan sekali. Sekali lagi
Ambini pandangi pemuda itu. Sampai
kemudian dia melihat sesuatu tergenggam
di tangannya. Mendadak wajah si gadis
berubah, dia merasa dipermainkan. Kantong
perbekalan ditariknya ke depan, dibuka
dan diperiksa isinya. "Benar... dia telah
mencuri bekal makananku. Kurang ajar,
jadi dia telah menipuku dengan berpura-
pura terluka parah. Lalu dengan tololnya
kudukung dia ke tempat yang aman dari
jangkuan Mayat Hidup. Di atas bahu dia
pergunakan kesempatan menggerayangi
kantong perbekalan. Dia makan enak dalam
panggulanku, apakah dia mengira aku ini
kuda tolol? Aku bukan binatang
tunggangan, tapi yang jelas aku memang
telah berlaku tolol!" dengus Ambini
merutuki dirinya sendiri. Wajah cantik
itu bersemu merah. Tapi kemudian bibirnya
yang merah merekah itu sunggingkan satu
seringai. "Dia harus tahu akibat dari
muslihatnya sendiri." berkata begitu
Ambini ayunkan kaki ke bagian punggung si
pemuda.
Dess! Desss!
Dua hantaman keras disertai
pengerahan tenaga dalam menghantam
punggung si gondrong dua kali berturut-
turut. Pemuda itu terlempar sejauh satu
tombak, ikan bakar di tangannya tercampak
entah ke mana sedangkan bagian bahu
sempat membentur batu besar. Si pemuda
mengeluh panjang sambil menggeliat
kesakitan.
"Kau hendak berpura-pura lagi. Aku
telah berletih diri membawamu ke mari.
Kusangka lukamu sangat parah, tetapi
ternyata kau hanya mempermainkan diriku.
Sungguh manusia tak pandai membalas
budi!" dengus Ambini.
Si pemuda kedip-kedipkan matanya,
dia meringis kesakitan. Dengan cepat dia
bangkit, setelah duduk badannya
digerakkan ke kiri kanan.
"Ah apa yang terjadi? Rasanya aku
baru saja mimpi makan ikan bakar yang
sedap, kemudian aku dibawa lari oleh
bidadari cantik. Setelah kenyang aku
merasa bagai ditendang kuda. Tapi tak
apa-apa, kudanya kuda cantik. Ingin
sekali aku ditendang untuk yang kedua
kalinya!" celetuk pemuda itu sambil
memijit bagian punggungnya yang kena
tendangan Ambini.
Semakin bertambah jengkel Ambini
mendengar ucapan pemuda itu. Dia yang
merasa telah dikerjai si gondrong
melompat ke depan sambil tendangkan kaki
kirinya.
Wuuut!
Tendangan luput karena si gondrong
telah berkelit dan tahu-tahu berada di
belakang Ambini. Tangannya yang jahil
mengelus telapak tangan gadis itu.
"Amboi halusnya. Sayang kelewat
galak. Ha... ha... ha!"
Ambini cepat memutar badan dan jadi
kaget begitu melihat si gondrong telah
duduk di belakangnya. Jika pemuda itu
punya maksud yang tidak baik tentu sejak
tadi dia sudah kena ditotok atau
dicelakai.
"Setan... kau benar-benar pemuda
edan!" maki Ambini. Dia lalu julurkan
tangan siap hendak menampar. Si gondrong
tertawa sambil angsurkan pipinya.
"Kurasa aku lebih senang menerima
tamparanmu daripada harus menghadapi
bangkai berjalan tadi!" sahut si pemuda.
Dia menunggu untuk beberapa saat lamanya.
Tapi Ambini kemudian turunkan tangannya
kembali. Dengan perasaan masih memendam
kekesalan si gadis palingkan wajahnya ke
arah lain, tepatnya di atas sebuah pohon.
Justru di atas pohon itu ada sekawanan
monyet yang sedang tunggingkan pantat ke
arahnya. Tingkah kawanan monyet itu
seolah-olah mengejek si gadis hingga
membuat wajah Ambini bersemu merah. Dia
jadi salah tingkah. "Sialan monyet-monyet
itu! Barangkali pemuda ini masih punya
hubungan kerabat dengan mereka. Aku tidak
akan heran jika mereka berpihak padanya,
huh!" gerutu Ambini dalam hati. Kekesalan
yang menyelimuti perasaan si gadis
membuatnya tanpa sadar memandang kembali
ke arah si gondrong.
Pemuda itu menyeringai. "Kurasa
memandangku lebih menyenangkan daripada
memandang pantat monyet-monyet itu. Ha...
ha... ha!"
"Pemuda kurang ajar, siapakah
namamu?" tanya Ambini dengan mata
mendelik. Si gondrong tersenyum. Wajahnya
berubah cerah ketika dia bangkit berdiri.
"Kau sudah banyak menolong, bahkan
menggendongku sampai sejauh itu. Adalah
tidak tahu diri jika aku tak menyebutkan
nama." kata si pemuda sambil mengulum
senyum. Gento melanjutkan. "Dengar!
Namaku Gento Guyon. Gento... Guyon...
cukup gampang bagimu untuk mengingatku!
Ha... ha... ha!"
"Gento Guyon? Huh, nama geblek apa
itu?" pikir si gadis sambil cibirkan
mulutnya. "He! Gento, namamu memang
sangat sesuai dengan orangnya. Gento
mungkin sama dengan Genta, sedangkan
Guyon kurasa karena kau sering tersenyum
atau tertawa sendiri seperti orang
sinting. Nama yang bagus, eeh siapa yang
telah memberimu nama?" tanya si gadis
dalam hati dia mencibir.
Merasa Ambini senang dengan nama
yang baru disebutkannya tadi, maka dengan
bangga sambil berkacak pinggang si pemuda
menjawab. "Yang memberiku nama tentu saja
guruku Gentong Ketawa."
"Hi... hi... hi. Bagus sekali,
tidak salah dugaanku. Kau dan gurumu
kurasa sama-sama pasangan manusia edan.
Sekarang aku tak merasa heran jika
melihat dirimu seperti ini. Gurunya
berotak miring, muridnya edan. Kau dan
gurumu pasti memiliki kecocokan satu sama
lain!" kata Ambini disertai tawa
tergelak-gelak.
Bukannya tersinggung Gento malah
ikutan tertawa. Tingkah pemuda itu tentu
mengundang rasa heran di hati Ambini
sehingga dia hentikan tawanya seketika
dan memandang ke arah Gento Guyon dengan
alis berkerut. Pemuda gondrong ini
sungguh aneh, pikir Ambini. Dia dan
gurunya diejek orang bukannya malah
tersinggung atau marah, sebaliknya ikut
tertawa. Aneh!
Melihat si gadis hentikan tawa dan
terdiam, Gento katubkan bibirnya berhenti
tertawa. Sejenak dia pandangi Ambini.
Dalam hati dia berkata. "Gadis ini
memiliki kecantikan sungguh sangat luar
biasa. Jika aku tidak keliru mendengar
dia pasti putri Raden Ponco Sudiri, orang
tua cacat yang mayatnya kutemui di puncak
gunung Wilis." Gento kemudian teringat
pada sosok mayat hidup. Manusia separoh
bangkai yang hendak menculik Ambini dan
sempat menciderai dirinya beberapa saat
sebelum Ambini yang menyangka dirinya
terluka membawanya pergi. Mayat Hidup
mengaku dirinya adalah Raden Ronggo Anom.
Saudara tiri Raden Ponco Sugiri yang
disebut-sebut telah meninggal tiga puluh
tahun yang silam. Mati dengan cara yang
aneh! Sangat mendadak dengan luka membiru
di bagian dalam jantung. Gento jadi heran
mengapa Mayat Hidup sangat menginginkan
Ambini? Bahkan nekad menurunkan tangan
jahat pada dirinya. Sejenak lamanya murid
kakek Gentong Ketawa pandangi gadis di
depannya dengan mata berkedip-kedip.
Diperhatikan seperti itu tentu
membuat si gadis salah tingkah. Paling
tidak muncul dugaan pemuda gondrong itu
hendak menjahili dirinya lagi. Sehingga
Ambini langsung mendamprat. "Berani kau
berbuat kurang ajar padaku nyawamu tak
akan kuampuni!"
Gento gelengkan kepala. "Sekali ini
aku tidak sedang bergurau, Ambini." kata
si pemuda menyebut nama si gadis. Caranya
bicara seakan Gento sudah mengenal Ambini
cukup lama. Ini adalah salah satu sikap
yang sangat disukai oleh si gadis.
"Jadi kau mau bicara apa?" bentak
Ambini pura-pura tegas dan pasang wajah
sinis.
"Mengenai Mayat Hidup tadi." sahut
si pemuda. Dia nampak berpikir sejenak
baru kemudian melanjutkan. "Aku yakin ada
sesuatu yang diincar Mayat Hidup dari
dirimu. Dia tidak mungkin bersikeras
ingin membawamu pergi jika tidak ada
sesuatu yang diinginkannya. Mungkin ada
sesuatu yang sangat penting yang kau
rahasiakan."
"Sesuatu apa?" tanya si gadis. Dia
tidak lagi melotot ketika memandang
Gento, tatap matanya berubah lembut
bersahabat.
"Maaf jika aku harus bertanya.
Bukankah engkau adalah putri Raden Ponco
Sugiri yang kutemui di puncak Gunung
Wilis?"
"Kau benar. Dan ayah yang kau
sebutkan telah meninggal tanpa kuketahui
siapa yang telah membunuhnya?" kata
Ambini pelan. Nada suaranya bercampur
kesal dan sedih.
"Aku turut prihatin. Ayahmu
meninggal begitu rupa, sulit aku mence-
ritakan keadaannya. Tapi apakah di hatimu
tidak ada keinginan untuk menyelidik awal
dari segala bencana yang menimpa
keluargamu?" ujar si pemuda dengan hati-
hati. Ambini memperhatikan si pemuda
beberapa jenak lamanya. Tatap matanya
yang tajam seolah ingin menembus batok
kepala Gento, membuatnya jadi tidak enak
hati.
"Kau bicara seakan tahu benar
bencana pahit yang menimpa keluargaku.
Padahal bertemu denganku rasanya baru
pertama kali." kata Ambini akhirnya,
seraya kemudian palingkan wajah memandang
ke jurusan lain.
Gento hendak tersenyum, tapi urung.
Dia takut Ambini tersinggung. Tidak jadi
tersenyum dia lanjutkan ucapan. "Mengenal
dirimu memang baru kali pertama ini kita
bertemu. Sedangkan mengenai keluargamu
aku telah mendengarnya dari beberapa
orang yang kutemui di Wonogiri. Kau
adalah salah satu dari empat putra Raden
Ponco Sugiri almarhum. Saudaramu yang
pertama, paling sulung bernama Danang
Pattira, saudara yang nomor dua bernama
Aripraba. Orang yang kusebutkan ini
pernah kutemui di puncak gunung Wilis
dalam keadaan menangis mengguguk meratapi
jenazah ayahnya...!"
"Tunggu!" seru Ambini begitu
mendengar Gento mengatakan pernah bertemu
dengan Aripraba. "Kau mengatakan bertemu
dengan saudaraku yang nomor dua?" tanya
Ambini yang dijawab Gento dengan
anggukkan kepala. "Aku sendiri sudah
belasan tahun tak bertemu dengan kakang
Aripraba. Bagaimana rupa dan keadaannya
aku juga tak tahu. Baru saja kau tadi
mengatakan telah bertemu dengan kakang
Aripraba. Seperti apa dia sekarang?"
tanya Ambini penuh rasa ingin tahu.
"Dia dalam keadaan sehat saja.
Perawakan maupun keadaan tubuhnya gembul
tidak kekurangan sandang tak kekurangan
pangan. Ilmu kesaktiannya tinggi. Tapi
jalan pikirannya kurasa tak mudah
ditebak. Seperti yang sudah kukatakan aku
sempat bentrok dengannya. Tapi dia
kemudian pergi begitu saja." jelas si
pemuda.
Mendengar semua itu Ambini terdiam.
Dia berpikir bukan mustahil Airpraba yang
membunuh ayah mereka sendiri. Siapa tahu
saudaranya yang kedua itu tahu banyak hal
tentang harta karun milik leluhur mereka
yang tidak ternilai banyaknya itu. Boleh
jadi Aripraba yang dikenal dekat dengan
sang ayah meminta peta rahasia
penyimpanan harta untuk dikangkanginya
sendiri. Karena ayahnya tidak memberikan
peta itu Aripraba lalu membunuhnya.
Sejenak Ambini berpikir keras. Mencoba
menghubung-hubungkan satu peristiwa
dengan kejadian lain. Dia kemudian ingat
pada Barep Pandara. Di akhir hayatnya
ketika kupu-kupu perak beracun itu
membunuhnya dia ada menyebut kata
'Raden'. Apakah mungkin Raden Aripraba
yang dimaksudkannya atau raden yang lain?
Dia sendiri telah menyambangi Danang
Pattira di Wonogiri. Saudara sulungnya
itu sama sekali tidak menunjukkan tanda
atau punya tampang sebagai orang yang
tega membunuh orangtua sendiri. Apalagi
mengingat Danang Pattira sejak dulu tidak
menyukai pelajaran silat terkecuali ilmu
sastra. Jika pun saat itu dia melihat
sang kakak tengah berlatih ilmu silat,
tingkatannya masih sangat rendah dan
boleh dibilang masih berada di tingkat
paling dasar. Orang seperti dia tak
mungkin sanggup membunuh ayah kandungnya
sendiri. Apalagi mengerahkan kupu-kupu
perak mematikan yang dia ketahui kiriman
dari alam gaib. Mendadak Ambini menepuk
keningnya sendiri hingga membuat Gento
berjingkrak dan melongo.
"Mayat Hidup! Mayat Hidup itu ada
mengatakan 'Siapa berani membunuh kupu-
kupu perakku!' pikir Ambini. Seakan
bicara pada dirinya sendiri Ambini lagi-
lagi bergumam. "Yang membunuh ayahku aku
tak tahu. Tapi kupu-kupu perak itu jelas
milik Mayat Hidup. Mungkin dia memang
Raden Ronggo Anom. Paman tiriku yang
terbunuh sekitar tiga puluh tahun lalu
dengan cara yang aneh. Lalu siapa yang
membunuhnya dan bagaimana dia bisa
bangkit, hidup kembali dalam keadaan
begitu rupa?"
"Ambini apakah kau sedang tidur
sambil mengigau? Apa yang kau ucapkan?"
tanya Gento begitu melihat si gadis
seperti meracau sedangkan mulutnya
berkemak-kemik tak mau diam. Ditegur
seperti itu Ambini terkejut. Dalam
keraguannya antara menerangkan semua apa
yang dipikirkannya atau tidak pada pemuda
yang baru dikenalnya itu dia gelengkan
kepala sambil berkata. "Aku tidak apa-
apa, teruskan apa yang kau katakan tadi!"
pinta si gadis.
Gento sebenarnya merasa tidak enak
hati, dia merasa yakin ada sesuatu yang
disembunyikan gadis itu. Entah apa dan
mengapa Ambini tak bersedia mengata-
kannya. Tapi Gento kemudian memilih untuk
tidak menyinggung perasaan orang. "Adapun
yang ketiga adalah engkau sendiri, lalu
yang keempat adalah Siwarana Sala Anuna.
Pemuda yang mempunyai banyak cacat
menyedihkan telah bertemu denganku pula
di muara Kali Lanang!" jelas Gento.
Mendengar pengakuan Gento Guyon,
Ambini sempat tersentak kaget, wajahnya
berubah, mata dipentang sedangkan mulut
dengan bibir bagus itu terbuka lebar.
TIGA
Beberapa saat lamanya Ambini tak
mampu berucap walau barang sepatah
katapun. Semula dia menyangka Gento hanya
sekedar bercanda ketika mengaku telah
bertemu dengan adiknya Siwarana. Tapi
agaknya Ambini merasa perlu membuktikan
kebenaran dari ucapan pemuda itu. Hingga
setelah berpikir sejenak si gadis ajukan
pertanyaan. "Gento, jika benar kau telah
bertemu dengan Siwarana adikku, apakah
kau dapat menerangkan bagaimana ciri-
cirinya?"
Gento tersenyum mendengar perta-
nyaan Ambini. "Kau ingin mendengarnya?
Baiklah... ciri adikmu itu wajahnya
bertotol hitam, hidung pesek, mulut
seperti tikus, lebih persisnya seperti
moncong musang. Kemudian badannya
berjongkok, berpunuk seperti unta. Pokok-
nya ibarat pemandangan adikmu adalah
pemandangan yang paling tidak menye-
nangkan untuk dipandang. Apakah
penjelasanku ini sudah cukup jelas
bagimu?" jawab si pemuda.
Ambini manggut-manggut, wajahnya
sempat bersemu merah karena mendengar
ucapan Gento yang terlalu polos. Akan
tetapi dia tidak merasa tersinggung
karena apa yang dikatakan Gento memang
apa adanya.
"Lalu sekarang di mana adikku itu?"
tanya Ambini. Dalam hati dia berkata.
"Aku pernah mendengar ayah mengatakan
dalam diri Siwarana tersimpan satu
rahasia besar. Jika rahasia itu dapat
diselamatkan berarti kejayaan keluarganya
akan terbangkitkan kembali. Tapi jika
sampai diketahui orang, kecelakaan
besarlah bagi Siwarana sendiri!"
"Adikmu saat ini bersama seseorang.
Kurasa mereka sekarang sedang dalam
perjalanan menuju ke suatu tempat. Kalau
tak salah aku mengingat mereka menuju ke
gunung Liman, sebelah timur Ponorogo!"
Mendengar penjelasan si pemuda
Ambini sempat tercengang. "Gunung Liman,
Selatan Ponorogo?!" desisnya menirukan
ucapan si pemuda. "Di sanalah tempat
rahasia penyimpanan harta warisan
keluarga. Apa maksud Siwarana pergi ke
tempat itu. Mungkinkah dia mau
mengangkangi seluruh harta peninggalan
leluhurnya?"
"Ambini, setiap aku bicara kau
selalu terkejut. Dua kali kau seperti
itu. Mungkin yang ketiga bisa jatuh
pingsan! Ha... ha... ha." kata si pemuda
disertai tawa tergelak-gelak.
"Aku tidak apa-apa, yang membuatku
heran mengapa dia pergi ke sana? Aku
takut Mayat Hidup muncul di sana. Jika
urusannya sudah menyangkut masalah harta
siapa saja bisa terbunuh di tempat itu.
Aku berpikir mungkin ada baiknya jika aku
juga pergi ke tempat itu." kata Ambini.
"Kurasa kau punya keinginan untuk
mendapatkan harta itu juga?" sindir Gento
sambil memandangi wajah cantik Ambini.
Gadis itu tundukkan kepalanya. "Kau
salah, kalau pun aku tak menginginkan
harta itu. Bisa jadi saudaraku yang lain
akan memperebutkannya. Selain itu jika
Mayat Hidup sudah ikut campur tangan,
keadaan bisa menjadi kacau!" menerangkan
Ambini.
"Baiklah, aku juga harus ikut."
"Ikut?" desis Ambini. Bola matanya
membesar memandang pada pemuda di
depannya. Gento tersenyum.
"Aku tahu, mungkin kau risih jalan
bersamaku. Kalau tak mau kuikuti aku bisa
berangkat lebih dulu. Bagaimanapun aku
harus menemui guruku. Sayang jika orang
gendut itu ikut jadi korban gara-gara
harta orang. Akan sulit bagiku nanti
mencari pengganti seperti dia." kata
pemuda itu disertai tawa tergelak-gelak.
Ambini hanya tersenyum, sifat si
pemuda yang begitu polos membuat Ambini
merasa cepat akrab dengan Gento Guyon.
Dia kemudian mengikuti pemuda itu yang
telah berjalan mendahuluinya.
***
Di satu tempat di sebelah selatan
kaki gunung Liman sosok berpakaian hitam
rombeng melemparkan orang yang
dipanggulnya sejak tadi. Orang yang
dilempar mengeluh keras akibat rasa sakit
yang luar biasa. Dia mencoba menggerakkan
tubuhnya. Tapi celaka, sekujur tubuhnya
tak dapat digerakkan sama sekali, kaku
akibat terkena totokan.
Di depannya sosok hitam berambut
panjang awut-awutan berwajah cantik
dengan dandanan mencolok, berbibir basah
di bagian bawah tegak mengawasi. Di kejab
kemudian terdengar suaranya yang keras
melengking. "Tidak salah penglihatanku,
kau orangnya yang kucari. Belasan tahun
yang lalu seharusnya kau sudah diserahkan
padaku. Tapi ayahmu si keparat Raden
Ponco Sugiri ternyata manusia ingkar
janji. Dia bukan saja tidak mau
menyerahkan dirimu, tapi malah
menyembunyikan kau di muara Kali Lanang.
Sekarang agaknya janji yang pernah
diucapkan oleh ayahmu hanya tinggal
berupa kisah buruk di masa silam. Kau
sudah berada dalam genggamanku, bukan
hanya kau saja, tapi seluruh saudaramu
juga harus menjadi korban, mereka akan
kubunuh. Hik... hik... hik!"
Si pemuda berpakaian hitam berbadan
bongkok, berhidung pesek bermulut runcing
dengan wajah bertotol hitam itu beberapa
saat lamanya nampak terperangah kaget.
Sama sekali dia tak tahu apa yang
dimaksudkan oleh perempuan cantik
berambut panjang awut-awutan yang berdiri
tegak di hadapannya.
Dia bahkan tak mengerti mengapa
perempuan itu menculiknya dan membawa
dirinya ke Gunung Liman. Padahal jauh
sebelum itu dia bersama si kakek gendut
luar biasa masih berada di luar kawasan
gunung. Saat dirinya diculik, si gendut
Gentong Ketawa sedang istirahat tak jauh
dari tempat pemuda ini menunggu.
Kemudian entah dari mana datangnya
tahu-tahu di belakang si pemuda muncul si
cantik ini. Tanpa banyak bicara dia
langsung menotok bagian punggungnya, lalu
membawa pemuda itu pergi. Si pemuda juga
masih sempat mendengar suara Gentong
Ketawa memanggil dirinya. Tapi ketika
kakek itu mengejar si cantik melepaskan
satu pukulan yang menimbulkan kobaran
api. Agar lebih jelas ikuti episode
"Bayar Nyawa". Kini dia memandang ke arah
perempuan itu karena jalan suaranya tidak
ditotok sebagaimana bagian tubuh lain,
maka dengan bebas dia ajukan pertanyaan.
"Ni sanak, apa dosa dan salahku? Mengapa
kau menginginkan diriku?"
"Sesuai perjanjian aku menginginkan
dirimu sejak kau belum lagi menjadi calon
bayi. Perjanjian yang terikat antara aku
dan ayahmu dengan disaksikan oleh langit
dan bumi, jin, setan dan makhluk halus.
Perjanjian itu menyangkut dirimu yang aku
korbankan untuk Babad Nyawa, setan yang
jadi piaraanku." Jelas si cantik yang
bukan lain adalah Wowor Baji Marani alias
Arwah Darah Senggini.
Seakan tak percaya beberapa saat
lamanya si pemuda nampak tercengang. Sama
sekali dia tak menyangka dirinya sejak
terlahir memang dijadikan alat untuk
memenuhi sebuah perjanjian. Dia yang
terlahir dalam keadaan cacat begitu rupa
bagaimana ayahnya masih begitu tega
melakukan tindakan sekeji itu? Sudah
hidup tak putus dirundung malang,
haruskah dia terkubur di perut setan.
Perlahan mata si pemuda memandang ke arah
perempuan itu. Dia lalu kembali ajukan
pertanyaan. "Perempuan cantik jika benar
kau telah membuat satu perjanjian dengan
orang tuaku, sebelum aku mati. Dapatkah
kau jelaskan apa saja isi perjanjian
itu."
Arwah Darah Senggini dongakkan
wajahnya, kemudian terdengar suara
tawanya yang panjang melengking.
"Jahanam gila ini aku sama sekali
tak ingin mati konyol di tangannya.
Apapun yang terjadi aku harus bisa
melakukan sesuatu." batin si pemuda yang
bukan lain adalah Siwarana Sala Anuna.
Pada saat itu tawa dingin si cantik sudah
terhenti. Dia nampak berpikir beberapa
jenak lamanya. Baru kemudian dia berkata.
"Permintaanmu kukabulkan. Kau
dengar baik-baik. Sekitar puluhan tahun
yang silam ayahmu dan gurunya datang
padaku. Mereka meminta aku untuk
melakukan sesuatu agar dapat mengambil
alih seluruh peninggalan harta kakekmu
yang telah dikuasai oleh adik tiri
ayahmu. Permintaan itu kukabulkan dengan
syarat kelak ayahmu harus menyerahkan
tangan dan kaki bahkan nyawanya ditambah
lagi nyawa anaknya yang terlahir
kemudian. Dia menyanggupi, dan Raden
Ronggo Anom pun kemudian mati ditangan
utusanku yang dapat kupercaya. Satu hal
dari permintaan ayahmu yang tidak
kupenuhi adalah mengenai harta karun yang
terpendam di tempat ini. Harta karun itu
ada di sekitar gunung ini. Harta itu
harus menjadi milikku." tegas si cantik.
"Baiklah, jika memang sudah begitu
kenyataan yang harus kuterima, aku juga
tidak berani membantah atau melanggar
perjanjian antara engkau dan ayahku.
Orang tua itu sekarang akupun tak tahu
bagaimana nasibnya. Jika kau ingin
membunuhku, bunuhlah! Siapa yang takut
mati?" teriak si pemuda bongkok dengan
mata mendelik.
"Hik... hik... hik. Mengenai ayahmu
sekarang dia sudah menjadi raja cacing
tanah. Sedangkan mengenai niatmu yang
telah memasrahkan diri padaku sepenuhnya
kuterima dengan baik. Tapi aku tak bisa
membunuhmu secepat yang kau inginkan,
karena di dalam kulit tubuhmu ada sesuatu
yang harus kuketahui. Sesuatu yang
menyangkut peta rahasia dan berhubungan
erat dengan tempat penyimpanan harta
warisan berada!" jelas Arwah Darah
Senggini.
"Kau bicara apa perempuan? Boleh
saja kau geledah seluruh tubuhku. Tapi
kau tak akan mendapatkan peta apapun.
Bahkan aku sendiri tak tahu apa yang kau
bicarakan!" kata si pemuda. Sambil ber-
kata begitu Siwarana kerahkan tenaga
dalam ke bagian punggung untuk memus-
nahkan totokan si cantik. Akan tetapi
alangkah kagetnya pemuda ini karena
ternyata tenaga dalam yang dikerahkannya
tak mampu memusnahkan totokan itu.
"Celaka! Jika begini kenyataannya, tidak
mungkin aku dapat menyelamatkan diri dari
tangannya?"
"Hi... hi... hi. Bocah calon
bangkai. Kau boleh bicara apa saja
sebelum maut menjemputmu. Tapi aku yang
telah merencanakan segala sesuatunya
bahkan jauh sebelum kau terlahir ke dunia
ini tentu tahu satu rahasia besar yang
tidak diketahui oleh orang lain!" ujar
Arwah Darah Senggini disertai tawa aneh.
Kemudian dari balik pakaiannya yang dekil
dan berbau busuk dia mengeluarkan lima
buah limau besar. Beberapa saat lamanya
limau ditimang-timang, sementara dua
matanya yang bening tajam dan nampak
berbinar aneh terus menatap tajam ke arah
Siwarana.
Sebaliknya si bongkok berwajah
dipenuhi totol-totol hitam dalam hati tak
mampu menutupi rasa kagetnya. "Celaka,
aku tahu apa gunanya limau itu bagi
dirinya. Jika air limau ditumpahkannya ke
sukujur tubuhku, maka tanda-tanda aneh
seperti peta yang kubawa sejak lahir akan
terlihat dengan jelas. Semua ini tidak
boleh terjadi. Aku harus melakukan
sesuatu untuk mencegah keinginannya, tapi
apa?" rutuk si pemuda bingung.
Selagi Siwarana tengah berpikir
keras mencari jalan keluar, pada saat itu
si angker telah datang menghampiri.
"Kau tahu arti semua ini bukan?"
"Aku sama sekali tidak tahu apa
maksudmu!" sahut Siwarana.
Arwah Darah Senggini perlihatkan
seringai. "Sesungguhnya jauh di dalam
hati kau tahu banyak hal. Tapi di
hadapanku kau berpura-pura tolol. Kau
dengarlah mengapa aku tak ingin
membunuhmu begitu saja. Pertama aku akan
menguliti tubuhmu dalam keadaan hidup.
Setelah seluruh kulitmu kukelupas baru
kemudian kulit itu kubentang. Kemudian
jika sudah kurentang seperti beduk, di
atas permukaan kulit itu kutuangi cairan
limau. Andai seluruh kulitmu telah basah
oleh cairan, pasti peta penyimpanan harta
itu akan muncul ke permukaan tidak
ubahnya seperti tato. Dari tanda-tanda
yang muncul ke permukaan kulit itu
kuharapkan dapat menemukan tempat yang
pasti di mana semua harta itu tersimpan!
Hi... hi... hi."
Mendengar ucapan si cantik
mendidihlah darah Siwarana. Baginya dia
tak takut akan kematian. Tapi jika proses
kematian itu sendiri harus terjadi dengan
cara begitu rupa, tentu saja ini sangat
menyakitkan sekali.
"Orang tua cantik, siapa dirimu ini
yang sebenarnya?" dengus Siwarana dengan
suara keras. "Mendengar semua apa yang
kau ucapkan, rasanya kau bukan hanya
sekedar ingin membunuhku, sebaliknya kau
sengaja hendak menyiksa aku!"
"Kau benar. Semua ini harus terjadi
akibat kelalaian orangtuamu sendiri.
Lebih dari itu agar kau tidak merasa
penasaran, namaku Wowor Baji Marani. Kau
juga boleh memanggilku Arwah Darah
Senggini. Sekarang segalanya sudah sangat
jelas bagimu. Kau bersiap-siaplah!"
Selesai berkata Arwah Darah
Senggini gerakkan tangannya ke telinga
kiri. Telinga kiri si cantik memang
memiliki kelainan yaitu daun telinga
selain panjang juga nampak sangat lebar
seperti telinga gajah, hanya jika telinga
gajah terkesan lembek dan lemah,
sedangkan telinga si cantik kaku tegak.
Pada saat si cantik gerakkan tangan
kanannya ke arah telinga dari mulutnya
terdengar ucapan. "Berikan sebuah golok
yang paling tajam padaku. Babad Nyawa
setelah tubuh pemuda ini ku kuliti, kau
bebas menjilati daging dan darahnya
sampai bersih, kalau kau suka tulang
belulangnya pun boleh kau makan!" kata
Arwah Darah Senggini sambil tersenyum-
senyum.
Dari bagian lubang telinga si
cantik terdengar suara menggeram lirih.
Entah dari mana datangnya kini secara tak
terduga di tangan si cantik ini telah
tergenggam sebilah golok tipis berbadan
lebar dan memiliki ketajaman luar biasa.
Melihat golok di tangan lawannya Siwarana
mau tak mau jadi ketakutan juga. Apalagi
saat itu Arwah Darah Senggini telah
berjalan ke arahnya, tubuh si cantik
membungkuk. Golok di tangan berkelebat.
Siwarana yang menyangka si cantik hendak
membelah punggungnya jelas tak mempunyai
kesempatan lain terkecuali memejamkan
mata karena dia menyadari sejak tadi
telah gagal membebaskan diri dari
pengaruh totokan lawannya.
Breet! Breet!
Terdengar suara robeknya pakaian
beberapa kali. Di lain saat baju hitam
yang dipakai oleh Siwarana jatuh di
antara dua lengannya. Siwarana merasa
tengkuknya menjadi dingin, pemuda itu
menggigil didera rasa takut yang amat
sangat. Seumur hidup baru kali ini dia
merasa ketakutan seperti itu. Sebaliknya
Arwah Darah Senggini tertawa tergelak-
gelak.
Begitu tawa angker si cantik
lenyap. Dari satu arah tepat di bagian
lereng gunung mendadak sontak terdengar
ada satu suara berkata. "Manusia terkutuk
yang mengaku bernama Wowor Baji Marani
bergelar Arwah Darah Senggini. Buat apa
kau bersusah payah menguliti bocah
bungkuk itu? Kau ingin mendapatkan peta
yang tersembunyi di bawah permukaan kulit
pemuda itu? Ha... ha... ha. Kau ini
memang manusia paling tolol sedunia. Aku
yang tak memakai peta saja telah
menemukan di mana harta keluarga Raden
Ponco Sugiri disimpan. Hem, ternyata
hartanya sangat banyak, terdiri dari
emas, intan dan permata. Harta ini tak
mungkin kukangkangi sendiri!"
Arwah Darah Senggini melengak kaget
dan langsung berpaling ke arah datangnya
suara. Namun dia tak melihat siapapun di
sana. Di lereng gunung kembali diwarnai
kesunyian. Si cantik kitarkan pandangan
matanya ke arah pohon-pohon besar,
lamping batu dan juga semak belukar yang
menghalangi pandangan mata. "Suara mahluk
celaka apa lagi yang baru kudengar
sekejap tadi. Suara itu datang dari arah
lereng gunung itu. Mengapa mendadak
lenyap." Pikir si cantik.
"Wajahmu pucat, tubuh bergetar
apakah kau takut?" dengus Siwarana.
"Pemuda bungkuk keparat tutup
mulutmu!" teriak si cantik berang. Dia
kemudian kembali memusatkan perhatiannya
ke arah mana suara tadi berasal. "Manusia
pengecut, berani bicara tapi tak berani
unjukkan diri. Jika kau benar-benar telah
menemukan harta itu sebaiknya cepat temui
aku di sini! Harta itu bukan milikmu,
sesuai perjanjianku dengan Raden Ponco
Sugiri harta itu adalah milikku." seru si
cantik dalam hati dia berkata. "Jika
bangsat itu mau diajak bicara dan
terbukti harta itu ada padanya dia pasti
kubunuh. Kemudian pemuda ini kuserahkan
pada Babat Nyawa. Apapun yang akan
dilakukan mahluk piaraanku terhadap
pemuda ini terserah padanya."
"Ha... ha... ha! Harta ini bukan
milik siapa-siapa. Aku menemukannya dalam
satu ruangan terkubur di balik lubang gua
di sebelah barat gunung ini. Sekarang
harta itu baru saja kuambil sebagian,
separahnya lagi tentu untukmu. Jika kau
mau, ambillah sendiri sisanya. Sekali
lagi kujelaskan. Harta itu ada dalam
sebuah lubang di sebelah barat gunung
Liman. Letaknya dalam gua, jangan lupa,
banyak jebakan di sana. Salah saja kau
melangkah nyawamu tidak akan ketolongan!"
"Jahanam keparat!" maki si cantik
bingung. Dia merasakan suara itu datang
dari empat penjuru arah. "Bagaimana bisa
terjadi begini? Aku yakin siapapun adanya
bangsat yang bicara tadi pasti memiliki
ilmu mengacaukan suara. Dia pasti bukan
orang sembarangan!" pikirnya lagi.
"Arwah Darah Senggini, dari
kejauhan ini aku melihat keraguanmu. Kau
tak punya nyali untuk datang ke sebelah
timur gunung, masuk ke dalam gua dan
mengambil harta di dalam lubang
penyimpanan di dalam perut gua. Atau kau
ingin agar aku mengambil semuanya. Aku
pasti mau saja. Aku bisa jadi kaya raya,
aku bisa mendirikan sebuah kerajaan. Jika
aku menjadi raja, kau pasti akan kuangkat
menjadi orang kepercayaanku yang bertugas
sebagai tukang mengurus kotoran kuda.
Dengan begitu martabat hidupmu sedikit
lebih terhormat daripada yang sekarang.
Ha... ha... ha!"
Mendengar ucapan orang yang terasa
sangat meremehkan dirinya, mendidihlah
darah si cantik. Apalagi bila menyadari
sejak tadi Siwarana yang dalam keadaan
tertelungkup di tanah terus tersenyum
mengejek.
"Pemuda keparat! Tunggu di sini,
bagianmu pasti kuberikan. Aku akan menuju
ke sebelah barat bukit. Jika ternyata
harta itu tak ada, kau dan bangsat yang
tidak berani unjukkan diri itu akan
mendapat ganjaran yang sangat berat
dariku!" teriak Arwah Darah Senggini.
"Orang tua cantik. Orang yang
menghinamu mengapa aku yang harus
menanggung akibatnya?" dengus Siwarana.
Dalam hati pemuda ini berkata. "Siapa
orang itu? Suaranya seperti aku kenali.
Tapi mengapa datang dari empat arah
begitu? Apakah mungkin yang bicara tadi
empat orang?"
Dalam pada itu selagi Arwah Darah
Senggini siap menuju ke sebelah barat
lereng gunung kembali suara tadi
terdengar lagi. "Tunggu apa lagi
perempuan palsu. Perlu kutegaskan sekali
lagi. Tadi sebelum kutinggalkan gua
rahasia tempat penyimpanan harta aku
melihat ada dua orang mendekam tak jauh
dari gua yang kutinggalkan. Kurasa mereka
sebangsanya rampok hutan dan begal kecil.
Sebaiknya kau jangan membuang waktu lebih
lama. Cepat kau datang ke sana, siapa
tahu mereka belum jauh dari tempat itu!
Ha... ha... ha."
Arwah Darah Senggini tercengang,
kedua pipinya menggembung besar, kedua
mata berkilat tajam menyimpan amarah dan
rasa penasaran. Tanpa berpikir lebih lama
dia tinggalkan Siwarana Sala Anuna.
Sambil berkelebat pergi si cantik masih
sempat berucap ditujukan pada suara tadi.
"Harta itu sangat kuinginkan. Tapi jika
kau menipu, walau aku cuma mendengar
suaramu, kau pasti akan kucari biar
bersembunyi di liang neraka sekalipun!"
Tak ada jawaban terkecuali suara
tawa panjang yang seakan datang dari
empat penjuru arah.
EMPAT
Hanya beberapa saat setelah Arwah
Darah Senggini berlalu dari tempat itu
dari rerimbunan pohon besar di lereng
gunung Liman berkelebat satu sosok
berbadan tinggi luar biasa ke arah
Siwarana. Sosok gendut besar dengan bobot
lebih dari dua ratus kati jejakkan
kakinya di samping si pemuda tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Melihat
siapa yang datang maka legalah hati
Siwarana Sala Anuna.
"Kakek... beruntung sekali kau
cepat muncul. Apakah kau benar-benar
telah menemukan harta itu?" tanya si
pemuda.
Si gendut yang bukan lain adalah
Gentong Ketawa geleng kepala. Sambil
bersungut-sungut dia keluarkan sebuah
benda bulat berwarna hitam. Benda itu
tanpa bicara lagi langsung disumpalkan ke
mulut si pemuda. "Telan!" perintah si
kakek.
Tak tahu apa maksud orang tua itu
sambil gelagapan dia mencoba mengajukan
pertanyaan. Tapi Gentong Ketawa langsung
menekan dan mengurut tenggorokan
Siwarana. "Hegkh...!"
Benda itu amblas memasuki
tenggorokan si pemuda. Tak urung matanya
sempat mendelik karena besarnya benda
hampir tak dapat melewati tenggorokannya.
"Auuu... aku, kau beri apa barusan
tadi?" tanya si pemuda dengan bersusah
payah.
"Manusia tolol, keselamatan dirimu
saja tak ada yang berani menjamin. Masih
sempat-sempatnya kau bertanya tentang
segala macam harta sialan itu!" kata
Gentong Ketawa setengah mengomel. Selesai
bicara dia hantam punggung Siwarana tepat
di bagian yang terkena totokan.
Hantaman yang sangat keras memang
mampu memusnahkan totokan di bagian
punggung pemuda itu. Tapi akibatnya
Siwarana menggeliat kesakitan, bagian
punggungnya seperti dihantam palu godam.
"Orang tua sinting, kau... kau
hendak membunuhku!" pekik Siwarana.
Badannya menggeliat, melintir bagaikan
orang yang meregang nyawa.
"Setan, kalau aku mau membuatmu
mampus bukan begini caranya. Lebih baik
kupecahkan batok kepalamu sejak tadi."
gerutu si kakek. Dia lalu menarik tangan
Siwarana hingga membuat pemuda itu
bangkit berdiri. "Tidak ada waktu untuk
bicara panjang lebar. Sebaiknya kau ikut
denganku kembali bersembunyi di lereng
sebelah sana."
"Kek... aku tidak dapat pergi
begitu saja. Aku ingin mengejar perempuan
tadi!" sergah Siwarana sambil menepiskan
tangan Gentong Ketawa. Diam-diam si
pemuda jadi kaget ketika menyadari bukan
saja cekalan si kakek sulit dilepaskan,
tapi juga akibat gerakan meronta yang
dilakukannya membuat tangannya yang
dicekal Gentong Ketawa laksana dijepit
baja.
"Sekali lagi kau hendak berlaku
tolol. Kepandaianmu baru seupil sudah
berani membusungkan dada hendak menentang
perempuan iblis itu. Ayo ikut!" dengus si
kakek gendut. Sekali sentak Siwarana
merasa tangannya dibetot dan tubuhnya
melayang laksana dibawa terbang. Hanya
sekejap saja mereka telah berada di
antara gerumbul semak belukar.
“Kek... mengapa kau melarangku. Kau
tahu ayahku jadi sengsara akibat ulahnya.
Bukan hanya ayah, tapi keluarga kami juga
tercerai-berai karena perbuatannya." Ada
rasa tidak senang dalam nada ucapan
Siwarana. Kesal rasanya Gentong Ketawa
melihat sikap si pemuda yang terlalu
keras kepala.
"Belum tentu perempuan tadi berada
di pihak yang kau katakan. Bisa jadi
ayahmu yang membuat satu kekeliruan.
Bagaimana kau bisa tahu kejadian yang
sebenarnya, sedangkan ketika itu kau
masih menjadi air. Sekarang jika kau tak
mau mendengar saranku silahkan kau susul
setan tadi. Apapun yang akan terjadi
nanti aku tidak mau menolong, tidak pula
mau membantu. Dengan ilmu kepandaian yang
kau miliki sekarang ini di hadapannya kau
tidak mempunyai arti apa-apa."
Sebenarnya Siwarana merasa kesal
karena dirinya diremehkan terus-menerus.
Tapi dia pada akhirnya menyadari apa yang
dikatakan oleh Gentong Ketawa memang ada
benarnya.
Beberapa jenak lamanya si pemuda
terdiam, dia lalu ingat sebelum kakek
gendut itu membebaskan totokannya dengan
pukulan yang mampu membuat orang biasa
pingsan dia ada memasukkan sesuatu ke
dalam mulutnya. Sesuatu berwarna hitam
yang terasa panas membakar ketika
melewati tenggorokannya.
"Kek...!"
Si orang tua diam saja, malah kini
dia menoleh ke jurusan di mana tadi
Siwarana berada sambil mementang mata.
"Kakek gendut. Tadi benda bulat
hitam yang kau berikan padaku itu apa
namanya?" tanya si pemuda khawatir. Dia
takut Gentong Ketawa meracuninya.
Si kakek menoleh, tapi hanya
sekejap. Setelah itu dia kembali
memandang ke lapangan gundul di kaki
gunung. Dengan sikap acuh dia menjawab.
"Aku kurang tahu pasti. Bisa jadi kotoran
hewan, mungkin juga kotoran kampret. Yang
jelas benda itu pasti ada artinya bagimu.
Setelah menelan benda itu kujamin Arwah
Darah Senggini tidak berminat lagi pada
kulitmu. Bisa jadi begitu bertemu kembali
denganmu dia langsung membunuhmu! Ha...
ha... ha!" kata si kakek disertai tawa
berderai. Tapi ketika sadar bahwa
sebenarnya mereka sengaja sembunyi di
tempat itu dengan cepat si kakek menekap
mulutnya.
"Kek... kakek gendut mengapa tiba-
tiba saja kulitku jadi begini?!" seru
Siwarana. Si kakek cepat menoleh, dia
jadi melengak kaget begitu melihat
sekujur tubuh si bongkok telah berubah
menghitam seluruhnya. Dimulai dari bagian
wajah, leher, badan, tangan dan kaki
semuanya berubah hitam macam arang.
"Kau apakan diriku, kau beri apa
aku tadi? Mengapa aku jadi begini?" pekik
Siwarana sambil memperhatikan telapak
tangannya yang juga ikut menghitam.
Dari rasa kaget, kini setelah
menyadari segala sesuatunya Gentong
Ketawa tak mampu lagi menahan geli. Dia
tertawa terkekeh-kekeh. "Bagus, kulitmu
sudah gosong macam pantat kuali. Dengan
begitu walaupun nenek setan tadi
mengguyur kulitmu dengan cairan jeruk
pulang balik peta yang ingin dilihatnya
pasti tak akan pernah muncul. Ha... ha...
ha." kata si kakek sambil memengangi
perutnya. Dia kemudian melanjutkan. "Kau
tak perlu merasa gusar. Serbuk arang yang
kau makan tadi tidak berbahaya. Malah
keadaanmu yang seperti ini akan
menguntungkan dirimu sendiri. Bagus
sekali. Kurasa inilah cara satu-satunya
untuk menolong dirimu."
Siwarana tak mampu bicara. Apa yang
terjadi pada dirinya jelas merupakan
sebuah kenyataan yang sulit untuk
dipercaya. Tapi bila ingat akan peta
harta yang konon menyatu dengan kulitnya.
Mungkin tindakan gila yang dilakukan
Gentong Ketawa memang ada benarnya.
Menurut ayah Siwarana, bila tubuhnya
tersiram cairan limau, maka di permukaan
kulit akan muncul tanda-tanda tertentu
yang menjadi petunjuk satu-satunya di
mana harta peninggalan leluhurnya itu
berada. Sedangkan mengenai bagaimana peta
rahasia itu bisa berada di kulit
punggungnya. Sebagaimana yang pernah
diuraikan dalam episode 'Bayar Nyawa',
Arwah Darah Senggini memerintahkan Babat
Nyawa mahluk gaib piaraannya memindahkan
peta yang asli ke tubuh Siwarana semasa
pemuda cacat itu berada dalam kandungan
ibunya. Kini setelah tubuhnya menghitam
tentu tak mungkin lagi bagi Arwah Darah
Senggini bisa menemukan tanda-tanda
rahasia penting yang ingin dilihatnya di
tubuh Siwarana. Diam-diam pemuda itu
merasa kagum melihat jalan pikiran orang
tua itu.
"Kek... walaupun tubuhku telah
berubah seperti arang gosong seperti ini,
aku merasa berterima kasih setelah
menyadari maksud dan tujuanmu. Sekali
lagi aku yang bodoh ini mengucapkan
terima kasih!" kata si pemuda sambil
membungkukkan badan.
Gentong Ketawa menanggapinya dengan
tersenyum. "Tak perlu berterima kasih tak
usah memakai segala peradatan. Segala
sesuatunya masih belum berakhir.
Perempuan itu bagaimanapun pasti akan
mencarimu lagi. Bukan hanya kau, dia juga
pasti mencariku."
Mendengar ucapan si kakek Siwarana
jadi kaget. "Kek, apakah kau telah
menipunya?" tanya si pemuda.
Gentong Ketawa sekali lagi
mengumbar senyumnya. "Aku tidak pernah
menipu orang. Kebanyakan manusia itu
tertipu karena kebodohan dirinya sendiri.
Ha... ha... ha!" menjawab si kakek gendut
disertai tawa mengekeh.
Siwarana terdiam dan gelengkan
kepala. Dia kini semakin menyadari bahwa
sesungguhnya jalan pikiran si gendut
selain rumit juga tak gampang ditebak.
***
Kita tinggalkan Gentong Ketawa dan
pemuda cacat itu. Kini kita ikuti si
Arwah Darah Senggini yang sedang dalam
perjalanan menuju ke sebelah barat gunung
Liman. Sejak mendengar ucapan suara orang
yang datang dari lereng gunung,
sebenarnya perempuan cantik ini ingin
sekali merampas harta yang menurut
pengakuan pemilik suara itu telah berada
di tangannya. Tapi Arwah Darah Senggini
kemudian berubah pikiran. Jika benar
harta itu tersimpan di dalam sebuah gua
di sebelah barat lereng gunung
sebagaimana yang dikatakan oleh suara.
Bukan mustahil masih banyak harta lain
termasuk juga beberapa jenis senjata
sakti yang konon sengaja disimpan oleh
leluhur Raden Ponco Sugiri di tempat itu.
Tadi orang yang bicara namun tak mau
unjukkan diri tidak ada menyebut tentang
segala macam senjata terkecuali harta
yang telah diambilnya. Ini berarti
senjata pusaka yang disimpan bersama
harta warisan masih belum ditemukan.
Ingat akan semua ini membuat Arwah Darah
Senggini sambil berlari menelusuri lereng
gunung tersenyum sendiri. "Dasar manusia
tolol. Dia boleh saja memiliki kesaktian
tinggi dan juga penglihatan yang jeli.
Tapi apa gunanya jika pedang Pembantai
Iblis yang konon ikut disembunyikan
bersama harta kekayaan itu tidak
ditemukannya. Padahal Pedang itu sangat
penting. Konon siapapun yang memiliki
senjata sakti mandraguna ini bisa
dipastikan dapat menguasai hampir seluruh
bagian dunia. Hik... hik... hik! Tak ada
orang lain yang pantas memiliki senjata
maut itu terkecuali diriku!" kata si
cantik. Beberapa saat kemudian Arwah
Darah Senggini hentikan langkah. Dia
menarik nafas pendek, sedangkan kedua
matanya yang nyaris tenggelam ke dalam
rongganya berputar liar merayapi bagian
lereng gunung yang ditumbuhi pepohonan
berdaun lebat.
"Siapapun pendahulu Raden Ponco
Sugiri yang kaya itu, dia pasti seorang
manusia yang amat cerdik. Tempat ini
terlindung dari penglihatan orang.
Sekarang aku berada di sebelah barat
lereng gunung, hanya tinggal mencari di
mana letak gua itu!" pikir si cantik.
Setelah itu dia menelusuri lereng gunung
yang dipenuhi pepohonan besar dan semak
belukar.
"Aku tidak menemukan gua itu. Hem,
mungkinkah dia membohongi akui" pikir
Arwah Darah Senggini mulai diliputi rasa
gelisah dan hati bimbang. Karena
penasaran si cantik kemudian mulai
mengobrak-abrik seluruh tempat itu. Di
lain kejap si cantik menyeringai. "Aku
telah menemukannya. Ternyata dia tidak
berdusta!" serunya begitu melihat sebuah
gua kecil yang terlindung ranting dan
daun-daun lebat berada tepat di depannya.
Sekali berkelebat si cantik telah sampai
di depan mulut gua. Bagian dalam gua
ternyata dalam keadaan gelap gulita.
Arwah Darah Senggini gosok-gosokkan kedua
tangannya. Setelah itu dia mengalirkan
tenaga dalam ke bagian tangan itu.
Sret! Pyaar!
Dari telapak tangan si cantik
sampai ke bagian siku tiba-tiba saja
memancar cahaya putih berkilauan.
Sehingga suasana ruangan dalam gua yang
"Siapapun pendahulu Raden Ponco
Sugiri yang kaya itu, dia pasti seorang
manusia yang amat cerdik. Tempat ini
terlindung dari penglihatan orang.
Sekarang aku berada di sebelah barat
lereng gunung, hanya tinggal mencari di
mana letak gua itu!" pikir si cantik.
Setelah itu dia menelusuri lereng gunung
yang dipenuhi pepohonan besar dan semak
belukar.
"Aku tidak menemukan gua itu. Hem,
mungkinkah dia membohongi akui" pikir
Arwah Darah Senggini mulai diliputi rasa
gelisah dan hati bimbang. Karena
penasaran si cantik kemudian mulai
mengobrak-abrik seluruh tempat itu. Di
lain kejap si cantik menyeringai. "Aku
telah menemukannya. Ternyata dia tidak
berdusta!" serunya begitu melihat sebuah
gua kecil yang terlindung ranting dan
daun-daun lebat berada tepat di depannya.
Sekali berkelebat si cantik telah sampai
di depan mulut gua. Bagian dalam gua
ternyata dalam keadaan gelap gulita.
Arwah Darah Senggini gosok-gosokkan kedua
tangannya. Setelah itu dia mengalirkan
tenaga dalam ke bagian tangan itu.
Sret! Pyaar!
Dari telapak tangan si cantik
sampai ke bagian siku tiba-tiba saja
memancar cahaya putih berkilauan.
Sehingga suasana ruangan dalam gua yang
gelap gulita jadi terang benderang. Tapi
seiring dengan cahaya yang menerangi si
cantik mendadak jadi kaget, wajahnya
berubah pucat begitu melihat kenyataan
yang ada ternyata tidak sesuai dengan apa
yang diangankannya! Di bagian lantai gua
yang luar bukan terdapat emas atau
permata sebagaimana yang dikatakan oleh
suara tadi, melainkan tumpukan tulang
belulang manusia.
"Jahanam celaka! Aku telah
ditipunya! Suara keparat itu!" teriak
Arwah Darah Senggini. Mata si cantik
berkilat tajam, kedua tangan terkepal,
geraham bergemeletukan menahan amarah.
Dengan langkah gemetar dan nafas terasa
menyesak dia segera melakukan pemeriksaan
di bagian dalam gua. Karena bagian dalam
gua semakin bertambah gelap, maka Arwah
Darah Senggini terpaksa lipat gandakan
tenaga dalamnya. Sampai di salah satu
sudut gua langkahnya terhenti. Dia
melihat ada sebuah pintu batu di sudut
gua ini. Setelah memperhatikan pintu
tersebut agak lama, perlahan kemarahan di
hatinya berangsur surut. Timbul sedikit
harapan untuk mendapatkan apa yang dia
inginkan. Sehingga tanpa pikir panjang
lagi dia pun langsung mendorong pintu
batu itu.
Dengan kedua tangan yang meman-
carkan cahaya pintu didorongnya. Tapi
sedikitpun pintu batu tidak bergeming
apalagi terbuka. Melihat kenyataan ini
semakin bertambah besarlah harapan Arwah
Darah Senggini. "Aku hampir merasa pasti
dibalik pintu ini pasti tersimpan harta
itu. Hanya kurasa orang yang tidak berani
unjukkan diri tadi telah menutupnya
kembali atau sengaja mengunci alat yang
ditemukannya." kata orang tua itu. Dia
lalu mencari batu tombol pembuka pintu
batu di sekitar dinding. Karena tidak
ditemukan alat itu, si cantik lalu
memeriksa bagian lantai gua. Di bagian
ini dia menemukan satu lubang berbentuk
empat persegi seukuran telapak tangan. Di
bagian lubang dia melihat sebuah rantai
baja yang di bagian ujungnya terdapat
bandul batu panjang. Batu itu agaknya
sebagai alat untuk menggerakkan rantai
yang berhubungan langsung dengan pintu
batu. Akan tetapi sekali lagi si cantik
harus menelan rasa kecewanya karena batu
penggerak rantai ternyata sengaja
dihancurkan oleh seseorang.
"Jahanam! Sungguh licik dia! Dia
hancurkan batu ini agar orang lain tidak
bisa mengambil harta ataupun pedang
Pembantai Iblis. Awas! Kematian telah
kutetapkan bagimu. Kau tak akan lolos
dari tanganku!" geram Arwah Darah
Senggini dengan wajah merah padam. Sekali
lagi dia pandangi pintu batu. Setelah itu
dia bangkit berdiri, mulutnya yang selalu
berkomat-kamit seperti seorang dukun
menggereng. "Tak ada jalan lain. Akan
kuhancurkan saja pintu ini!" Selesai
berkata Arwah Darah Senggini rentangkan
kedua kaki sambil melangkah mundur
mengambil jarak. Tidak terpikirkan lagi
olehnya bagaimana seandainya langit-
langit gua mendadak runtuh begitu dia
melepaskan pukulan. Dia bisa terkubur
hidup-hidup di tempat itu.
Dua tangan lalu dikibaskan, sinar
putih yang memancar dari kedua tangannya
mendadak padam hingga membuat gua menjadi
gelap pekat kembali. Beberapa saat
kemudian kedua tangan segera dialiri
tenaga dalam, mulut berkemak-kemik
sedangkan tubuh si cantik nampak
menggeletar pertanda dia mengerahkan
seluruh tenaga dalam yang dia miliki.
Dalam waktu sekejap dari telapak
tangan Arwah Darah Senggini memancar
cahaya biru terang. Ini merupakan salah
satu pukulan andalan yang dimiliki si
cantik. Jangankan manusia atau batu, besi
sekalipun akan hancur leleh bila terkena
pukulan maut itu. Beberapa saat berlalu,
detik berikutnya si cantik hantamkan
kedua tangannya ke arah pintu batu.
Wuuus!
Angin menderu, hawa panas membakar
menyertai berkelebatnya sinar biru
menyilaukan mata. Suasana di dalam gua
mendadak sontak berubah panas mengerikan
laksana berada di neraka. Bummmm! Terjadi
ledakan dua kali berturut-turut. Dinding
dan langit-langit gua terguncang hebat,
pintu batu jebol, hancur berkeping-keping
dikobar api. Si cantik kembali kibaskan
tangannya. Mendadak kedua tangan kembali
berkilauan memancarkan cahaya putih
menyilaukan mata. Setelah tangan yang
bercahaya menerangi ruangan itu si cantik
julurkan kepala melihat ke balik pintu
yang hancur berkeping-keping. Di balik
pintu dia tak melihat apa-apa terkecuali
kegelapan semata karena pancaran cahaya
dari tangannya tak sanggup menembus
kepekatan di balik pintu batu. Tapi
sebelum si cantik mengambil keputusan
untuk meneliti ke dalam, pada saat itu
pula terdengar suara berdengung disertai
suara bergemuruh aneh.
Dengan mata melotot si cantik
memandang ke arah kegelapan di balik
pintu. Dalam hati dia berkata. "Aku, aku
mendengar suara seperti lebah pindah
sarang. Jangan-jangan...!" Arwah Darah
Senggini mendadak diliputi kebimbangan.
Kebimbangan si cantik belum lagi lenyap
ketika suara dengung yang tadinya cukup
jauh kini terasa lebih dekat. Hanya
sekejap kemudian dari balik kegelapan
bermunculan ratusan lebah penyengat
sebesar ibu jari tangan menyerang Arwah
Darah Senggini.
"Akh... jahanam keparat! Bangsat
itu telah menipuku! Akh... lebah celaka."
Aku harus menyingkir dari gua celaka ini
secepatnya!" teriak si cantik kaget juga
panik. Tapi dalam kagetnya ini si cantik
tidak kehilangan kewaspadaannya. Sebelum
dia berlari menghambur keluar di mulut
gua dia memutar kedua tangannya. Angin
menderu membentuk perisai diri. Ratusan
lebah yang menyerang si cantik jatuh
terpelanting. Sebagian di antaranya ber-
kaparan tewas, sedangkan sisanya yang
selamat kembali menyerang dengan
kecepatan berlipat ganda.
"Binatang keparat!" maki si cantik.
Dia nampak kalang kabut dan kerepotan
sekali. Tanpa pikir panjang dia lepaskan
pukulan berturut-turut ke delapan penjuru
arah. Sambil melepaskan pukulan si cantik
itu berkelebat keluar, lari terbirit-
birit selamatkan diri.
Di belakang si cantik terdengar
suara ledakan keras menggelegar disertai
suara bergemuruh runtuhnya gua itu. Debu,
batu dan pasir beterbangan di udara.
Sebagian besar lebah itu terpanggang di
dalam gua yang runtuh sedangkan sisanya
berputar-putar di atas reruntuhan gua.
Setelah berada di tempat yang aman
Arwah Darah Senggini hentikan larinya.
Nafas si cantik mendengus-dengus seperti
seekor kuda kurus yang baru saja berlari
menempuh jarak yang jauh. Wajah angkernya
pucat pasi, sekujur tubuh basah bersimbah
keringat.
"Suara itu sungguh tak kuduga
berani menipuku. Aku Arwah Darah Senggini
masih kena dikadalinya. Hemm... dia harus
merasakan pembalasanku!" geram si cantik.
Di tengah rasa kecewa dan amarah yang
amat sangat dia teringat pada Siwarana.
"Pemuda itu sebaiknya kubunuh saja, baru
setelah itu kuambil kulitnya!" gumam
Arwah Darah Senggini sambil menyeka
dagunya yang meneteskan keringat.
Kemudian tanpa menunggu lebih lama dia
segera tinggalkan tempat itu, kembali ke
sebelah selatan bukit.
LIMA
Setelah tidak menemukan saudara tua
di tempat kediaman yang terletak di
daerah Wonogiri, Aripraba yaitu putera
kedua Raden Ponco Sugiri almarhum tanpa
tujuan menuju ke arah selatan. Di satu
dusun sepi bernama Munjul Dadane dia
singgah sejenak untuk melepas lelah
sekalian menyerap kabar tentang sanak
keluarganya yang tercerai-berai tak
karuan rimbanya. Walaupun kejayaan
keluarga Raden Ponco Sugiri sudah redup
kehilangan pamornya. Namun cukup banyak
juga orang tua atau sesepuh dusun itu
yang masih mengenal Aripraba. Apalagi
mengingat semasa kecil dulu pemuda
berpakaian serba hitam ini memang sering
bermain ke dusun itu.
Di antara sekian banyak orang yang
menyambut kehadiran Aripraba adalah salah
seorang laki-laki tua yang biasa
dipanggil dengan Akik Sarawana. Orang tua
berwajah tirus berambut putih dan
memelihara jenggot panjang ini kelihatan
masih seperti dulu. Walau sudah sangat
tua namun tubuhnya masih kekar dan sehat,
sedangkan tatap mata si kakek mencorong
tajam berwibawa. Ketika melihat
kemunculan Aripraba, si kakek langsung
menghampiri sambil berucap. "Gusti Allah
Maha Besar. Baru saja tadi malam saya
bermimpi Raden menemui saya. Tidak
disangka hari ini mimpi itu menjadi
kenyataan." ujar Akik sambil merangkul
Aripraba yang semasa kecil dulu sudah
menganggap Akik Sarawana sebagai kakek
sendiri.
Aripraba balas memeluk laki-laki
itu. Beberapa saat kemudian dia
melepaskan pelukannya sambil berkata.
"Akik, jangan lagi engkau memanggilku
Raden. Rasanya aku sudah tidak pantas
lagi menyandang gelar bangsawan seperti
itu. Aku sekarang adalah seorang
pengembara. Di sini aku hanya singgah
sebentar saja, aku butuh beberapa
keterangan. Siapa tahu Akik dapat
membantuku!"
Akik Sawarana tersenyum memper-
lihatkan giginya yang ompong di sana-
sini. Dia pandangi pemuda gondrong
sejenak lamanya. Walaupun Aripraba tidak
mengatakannya. Namun si Akik agaknya tahu
bahwa ketika itu sangat banyak beban
persoalan yang menghimpit pikiran
Aripraba. Masih dengan suara lembut
seperti dulu sang Akik berkata. "Den,
sebaiknya mampirlah dulu ke rumah saya
sebentar saja. Di sana Raden bisa melepas
lelah, saya akan menyuruh nini Sukoweni
istri saya membuat kopi gula batu
kesukaan Raden!" ajak Akik Sarawana agak
memaksa. Dia bahkan menarik tangan kiri
Aripraba sehingga membuat pemuda itu tak
berani menolak keinginan si kakek yang
sudah dianggapnya keluarga sendiri.
Sepanjang jalan menuju ke rumah
Akik Sarawana yang cukup jauh itu si
orang tua banyak cerita tentang per-
kembangan dusunnya.
"Keadaan tidak seperti dulu lagi,
den. Daerah ini adalah dusun tandus.
Musim hujan sulit diharapkan kedatangan-
nya. Bencana kelaparan sudah sering
terjadi. Dulu segalanya masih lebih
gampang ketika Raden tinggal di Wonogiri.
Raden dan keluarga Raden sering membantu
kami para warga dusun. Tapi sekarang
semua itu hanya tinggal kenangan yang
indah. Oh iya, mengenai saudara tua
Raden, ee... siapa namanya?" tanya Akik
Sarawana yang lupa mengingat nama orang.
"Danang Pattira?!" ujar Aripraba.
Akik Sarawana manggut-manggut, tapi
wajahnya terlihat murung.
"Akik, jika kau memang melihat
saudara tuaku itu harap, Akik mau
memberitahu di mana dia berada! Terus
terang saat ini aku memang sedang
mencarinya!" ujar Aripraba sambil memper-
hatikan wajah si Akik tua yang entah
mengapa mendadak saja berubah murung.
Di sampingnya Akik Sarawana menarik
nafas pendek, dia gelengkan kepala
sebelum pada akhirnya membuka mulut
berucap. "Baru saja tadi pagi saya
melihat Raden Danang Pattira muncul di
dusun ini Raden. Saya yang saat itu baru
hendak pergi ke sawah menegurnya, tapi
aneh dia bersikap seakan tidak mengenali
diri saya. Saya melihat ada sesuatu yang
tidak beres telah terjadi dalam diri
Raden Danang...." kata Akik Sarawana agak
hati-hati.
Mendadak langkah Aripraba terhenti,
tangan kanannya bergerak ke samping
menahan dada si Akik hingga langkah orang
tua ini jadi tertahan. "Kau mengatakan
telah terjadi ketidakberesan dalam diri
kakakku? Tidak beres bagaimana, Akik?"
desis si pemuda.
"Sulit saya menjelaskannya Raden.
Saya melihat tatap matanya yang dingin
menerawang kosong. Mungkin.. mungkin...!"
Tak sanggup kakek itu menjelaskan segala
yang dilihatnya. Dia mengusap tengkuknya
yang mendadak berubah dingin.
"Akik, aku percaya padamu. Harap
kau jangan membuat pusing kepalaku!"
tegas Aripraba.
Yang ditegur menoleh ke kanan dan
kiri jalan. Seakan dia ingin memastikan
kalau di tempat itu tak ada orang lain
terkecuali mereka berdua. Setelah merasa
dalam keadaan aman dia berkata dengan
suara perlahan sekali. "Mungkin,
mungkin... Raden Danang telah dimasuki
kekuatan iblis. Karena setelah berpapasan
dengan saya dia membantai beberapa laki-
laki yang dijumpainya."
"Hah?!" Aripraba jadi tercekat.
"Bagaimana mungkin saudaraku yang berhati
lembut dan suka akan syair bisa berubah
sekejam itu?" pikir si pemuda.
"Raden, sebaiknya cepat ikuti saya.
Segala sesuatunya akan menjadi enak bila
kita bicarakan di rumah saya," ujar si
Akik. Aripraba anggukkan kepala. Dia
kemudian segera mengikuti orang tua itu
yang sudah melangkah mendahuluinya.
Tak berselang lama mereka telah
sampai di depan sebuah rumah berpagar
bambu beratap ilalang. Bagian pintu depan
rumah dalam keadaan tertutup. Saat itu
suasana terasa demikian sepi hingga
mengundang rasa curiga bagi si kakek tua.
"Aneh, ke mana perginya nini
Sukoweni. Jika dia pergi ke rumah
tetangga tentu pintu tidak dibiarkan
terbuka begini rupa. Sungguh teledor
sekali dia. Bagaimana kalau ada pencuri
masuk ke dalam sana?" Akik Sarawana
mengomel sendiri. Kakek ini lalu
memanggil istrinya. Sekali sampai dua
kali tetap tak ada jawaban. Si Akik
geleng kepala. "Dasar perempuan, kalau
sudah tua gampang lupa dan semakin
pikun."
"Sebaiknya kita lihat saja ke
dalam, Akik." usul Aripraba yang entah
mengapa mendadak perasaannya jadi tidak
enak.
"Baiklah." Akik Sarawana menye-
tujui. Baru saja si Akik hendak melang-
kahkan kaki dengan diikuti Aripraba.
Tanpa terduga dari dalam ruangan tamu
melesat satu sosok tubuh ke arah mereka.
Menyangka sosok yang melesat dari bagian
pintu itu adalah orang yang hendak
menyerang mereka, maka Aripraba pun siap
melepaskan pukulan untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak diingini. Gerakan
tangan yang hendak menghantam ke depan
mendadak batal begitu melihat sosok yang
melesat tadi menukik ke bawah dan jatuh
bergedebukan sejarak setengah tombak di
depan Akik Sarawana.
Dalam kagetnya si Akik melompat
mundur sejauh satu langkah. Matanya
dipentang memandang dengan teliti ke arah
orang yang baru saja terbanting di
depannya. Begitu mengenali siapa adanya
orang yang terkapar di tanah dengan leher
putus dan dada berlubang itu maka menje-
ritlah laki-laki tua ini.
"Nini... Nini Sukoweni istriku ben-
cana apa yang telah terjadi pada dirimu?"
pekik Akik Sarawana. Dengan tubuh gemetar
dan muka pucat orang tua ini menghambur
dan jatuh akan diri di samping sosok
istrinya yang telah berubah menjadi mayat
dengan luka mengerikan. Dia menangis
sesunggukan sambil memeluki jasad nenek
tua yang berlumur darah.
Aripraba sendiri tidak tega menyak-
sikan kesedihan si Akik. Dia cepat
palingkan wajahnya memandang tajam ke
arah pintu di mana jasad Nini Sukoweni
berasal.
"Siapa orangnya yang begitu tega
membunuh nini secara keji begini?"
membatin pemuda itu dalam hati. Pemuda
ini lalu berteriak. "Siapapun orangnya
yang bersembunyi di dalam sana sebaiknya
cepat keluar!" seru Aripraba dengan suara
lantang. Beberapa saat si pemuda
menunggu. Ternyata tidak ada jawaban dan
tidak ada pula orang yang keluar. Sekali
lagi dia berseru. "Dajal keparat yang
berada di dalam rumah, kau tak berani
unjukkan diri. Apakah perlu kau kuseret
dari dalam situ?!"
Mendadak terdengar suara mendengus
panjang disertai suara racau tak jelas
seperti suara orang sinting yang sedang
angot kambuh penyakitnya. Setelah itu
suara racau hilang berganti dengan suara
tawa. Bersamaan dengan terdengarnya suara
tawa itu satu bayangan serba putih
berkelebat, keluar melewati pintu yang
terkuak lebar. Hanya sekejapan saja di
depan Aripraba dan Akik Sarawana yang
sedang menangis sambil memangku jenazah
istrinya berdiri tegap seorang pemuda
tampan berambut gondrong. Melihat siapa
adanya pemuda ini Aripraba jadi melengak
kaget. Akik Sarawana bahkan hentikan
tangisnya, lalu melompat menjauhi mayat
nini Sukoweni. Dengan mata merah
bersimbah air mata dan bibir gemetar dia
berseru. "Raden inikah orangnya yang
telah membunuh istri saya?"
"Kau benar Akik. Seperti katamu
mata kakang Danang Pattira menerawang
kosong. Ada yang tidak beres telah
terjadi pada dirinya." sahut si pemuda
dengan suara lirih. Sekejap dia pandangi
pemuda itu, sementara di depannya sana
Danang Pattira juga memandang tajam ke
arahnya disertai seringai aneh, dingin
menggidikkan. "Kau... bukankah kau kakang
Danang Pattira?" tanya si pemuda.
Di depannya sana Danang Pattira.
tidak menyahut. Hanya tatap matanya saja
yang memandang kosong silih berganti ke
arah Aripraba dan Akik Sarawana.
ENAM
"Kakang... kakang Danang Pattira.
Mengapa kau bunuh orang tua yang tidak
punya salah dan dosa ini?!" teriak
Aripraba mengulang ucapannya tadi.
Untuk pertama kalinya si pemuda
berpakaian putih membuka mulut. "Kau
siapakah, rupa dan suaramu seperti aku
kenal?"
Mendengar ucapan Danang Pattira,
Aripraba melengak kaget. Walaupun mereka
terpisah cukup lama setelah badai topan
melanda Wonogiri dan memporak-porandakan
daerah mereka. Namun sejak kecil dulu
mereka pernah bersama-sama. Bagaimana
Danang Pattira bisa melupakan saudaranya
sendiri?
"Kakang aku adalah adikmu, kau
lupa? Apa sebenarnya yang telah terjadi
pada dirimu?" tanya Aripraba.
Danang Pattira seakan berusaha
mengingat, tapi kemudian dia gelengkan
kepala berulang kali seakan ada sesuatu
yang mempengaruhi jiwa dan jalan
pikirannya. "Tidak. Tidaaaaak...!"
Danang Pattira menjerit histeris.
Bersamaan dengan jeritannya itu rambut
panjang di kepalanya berjingkrak tegak.
Wajah si pemuda berubah tegang, sedangkan
tatap matanya yang semula hanya memandang
kosong kini berputar liar memandang ke
arah Aripraba. Bersamaan dengan itu pula
Danang Pattira dongakkan wajah, lalu
tertawa dingin menyeramkan. Si Akik
terkesiap, Aripraba masih dapat bersikap
tenang walau saat itu dia merasakan
adanya bau bangkai yang begitu tajam
menusuk.
"Kau Aripraba, ha... ha... ha! Kau
pasti adikku. Susah payah aku mencarimu
setelah lelah mencari ternyata kau datang
sendiri!" kata si pemuda dingin.
"Akik, larilah. Selamatkan dirimu!
Kurasa dia telah kehilangan kewarasan!"
ujar Aripraba berbisik.
"Raden, saya tidak mungkin
meninggalkan Raden di sini. Dia telah
membunuh istri saya. Saya merasa
kehilangan, tapi hidup saya menjadi lebih
tidak berarti jika saya harus kehilangan
Raden!" ujar si kakek. Aripraba sadar
betul orang tua ini memang memiliki ilmu
silat juga beberapa jenis pukulan sakti.
Tapi rasanya percuma saja si Akik
membantunya karena di balik semua ini
Danang Pattira mungkin telah diperalat
oleh seseorang.
"Kakang, apakah kau tahu, apa kau
ingat siapa yang berdiri di hadapanmu
ini?" tanya Aripraba sekedar ingin
meyakinkan apakah pemuda di depannya
masih kenal dengan dirinya atau tidak.
Danang Pattira tersenyum sinis.
"Aku belum gila untuk tidak mengenal
dirimu. Kau Aripraba, putra manusia culas
Raden Ponco Sugiri. Kau salah satu dari
tiga manusia yang harus kusingkirkan."
tegas si pemuda.
Kejut hati Aripraba bukan kepalang.
Dia tak menyangka telah berubah seperti
itu. Siapa yang telah merubah jalan
pikirannya? Bahkan pada ayahnya sendiri
dia bersikap seolah tak mengenal?
"Kakang, aku adikmu?" seru si
pemuda.
"Adik, ha... ha... ha. Adik...!"
"Raden, Raden Danang nampaknya
memang telah terganggu pikirannya.
Seperti yang dia katakan, Raden hendak
disingkirkannya. Sebaiknya Raden cepat
tinggalkan tempat ini. Biarkan saya yang
akan menghadapinya," ujar Akik Sarawana
mencoba mengingatkan. Tapi dengan tegas
pemuda itu gelengkan kepala.
"Jika dia sudah lupa pada dirinya
sendiri. Jika dia telah dijadikan budak
oleh seseorang, berarti orang itu telah
membekalinya dengan kesaktian hebat. Dia
bukan lawanmu...!"
"Tapi, Raden...!" ucapan Akik
Sarawana terputus karena pada detik itu
juga Danang Pattira dengan gerakan kaku
seperti mayat hidup telah menggerakkan
lima jarinya tertuju lurus ke arah Akik
Sarawana. Lima larik sinar hitam kebiruan
membersit disertai dengan bertaburnya
hawa dingin memenuhi udara di sekitarnya.
"Awas!" teriak Aripraba sambil
mendorong tubuh si orang tua. AKik
Sarawana jatuh terbanting akibat dorongan
yang sangat keras. Tapi dia selamat dari
serangan ganas lawannya. Lima sinar maut
menghantam pohon mangga yang tumbuh di
halaman rumah si kakek. Terdengar suara
desis aneh bagaikan senjata panas membara
yang ditancapkan ke batang pisang. Pohon
mengeluarkan suara berderak, lalu roboh
disertai dengan suara menggemuruh.
"Raden terima kasih. Biar dia aku
yang membereskannya!" berkata begitu si
kakek yang sudah berdiri dan alirkan
tenaga dalam penuh ke tangan kanan
langsung melompat. Sambil melompat dia
hantamkan tangan kanannya ke bagian wajah
Danang Pattira, sedangkan tangan kiri
mencari sasaran di bagian dada. Hantaman
yang mengandung tenaga dalam penuh itu
menimbulkan sambaran angin dahsyat yang
langsung menerpa wajah si pemuda. Anehnya
meskipun dirinya mendapat serangan
seperti itu, lawan malah menyeringai.
Sambil menyeringai dia miringkan wajahnya
ke kiri.
Wuuut!
Serangan si kakek luput, tapi
hantaman tangan kirinya tepat mengenai
sasaran. Terdengar suara bergedebukan
disertai jeritan keras. Satu sosok tubuh
terpental ke belakang. Ternyata yang
menjerit dan jatuh bukan lawannya,
melainkan Akik Sarawana sendiri.
Kembali si orang tua dilanda rasa
kaget luar biasa. Betapa tidak, dia
merasa tidak ubahnya seperti memukul
tembok baja. Bahkan tangan kirinya yang
menghantam dada lawan terasa panas,
bengkak membiru menimbulkan rasa sakit
yang sangat luar biasa di bagian dalam.
"Kurang ajar, dia ternyata memiliki
kekebalan!" desis Aripraba yang juga
dibuat kaget melihat kenyataan yang
terjadi.
"Aku harus membunuhnya... harus..!"
teriak Akik Sarawana penasaran. Kini
ketika dia bangkit kembali di tangannya
telah tergenggam sebilah badik berwarna
hitam. Senjata ini dikenal sangat
berbahaya di samping mengandung racun
ganas.
"Badik Perontok Jiwa?! Ha... ha...
ha. Seribu jenis senjata hebat telah
kuhapal namanya di luar kepala. Konon
menurut orang yang memberi perintah hanya
Pedang Pembantai Iblis saja yang wajib
kutakuti. Sekarang kau hanya tinggal
memilih bagian mana yang hendak kau
tusuk!" dengus Danang Pattira. Tangan
kiri pemuda itu bergerak ke arah dada.
Bret! Breet!
Terdengar suara pakaian robek,
ternyata lawan merobek pakaiannya
sendiri. Sehingga bagian dadanya ter-
singkap lebar. Apa yang dilakukan Danang
Pattira itu terkesan seperti menyerahkan
dada maupun perutnya untuk ditusuk. Diam-
diam Akik Sarawana kerahkan tenaga
dalamnya ke bagian hulu Badik Perontok
Jiwa. Sinar hitam bergemerlapan memancar
dari badan badik di tangan si Akik.
Tak jauh di belakang orang tua itu,
Aripraba meraba tengkuknya mendadak jadi
dingin. Dia sadar senjata di tangan Akik
Sarawana bukan senjata sembarangan.
Bagaimana mungkin lawannya bersikap
seolah senjata di tangan lawan tidak
memiliki arti apa-apa, namun Akik
Sarawana sendiri tidak menghiraukan semua
itu. Dendamnya terhadap Danang Pattira
yang telah membunuh istrinya membuat si
Akik jadi gelap mata dan begitu mendendam
pada lawannya. Hingga kini tanpa membuang
waktu lagi si kakek segera melesat ke
depan. Senjata di tangan menderu disertai
berkelebatnya sinar hitam menggidikkan.
Melihat serangan senjata yang membabat ke
bagian dada yang dilanjutkan dengan satu
tusukan di bagian leher, lawan sama
sekali tidak berusaha menghindar. Tak
ampun lagi dengan tepat serangan senjata
mengenai sasarannya.
Craak! Dheel!
Tusukan dan babatan badik di bagian
dada Danang Pattira sama sekali tidak
menimbulkan akibat apapun. Malah si Akik
terdorong mundur, tangannya yang memegang
hulu badik panas melepuh laksana
terbakar. Hawa panas langsung menjalar di
bagian dada. Akik Sarawana meringis
kesakitan. Wajahnya pucat, sedangkan
langkahnya nampak limbung.
Aripraba sendiri demi melihat
kenyataan itu jadi tercengang. Belum lagi
hilang rasa kejut di hatinya. Danang
Pattira lakukan satu lompatan ke depan.
Si pemuda yang belum sempat hilang rasa
kejutnya tak sempat berseru apalagi
berteriak memberi peringatan. Akik
Sarawana yang saat itu tengah memandangi
ujung badiknya yang bengkok memang masih
berusaha menghindar dengan membantingkan
tubuhnya ke kiri. Sayang apa yang
dilakukannya itu masih kalah cepat dengan
gerakan. Tahu-tahu rambutnya kena
dijambak oleh lawan. Begitu tangan kanan
menjambak, maka tangan kiri menghantam
bagian belakang kepala. Sadar dirinya
terancam bahaya besar, Akik Sarawana
babatkan senjata ke samping tepat di
bagian kaki lawan. Sekali lagi gerakan
senjatanya kalah cepat dengan gerakan
tangan lawan.
Praaak!
Tak ampun lagi kepala si kakek pun
berderak hancur begitu terhantam pukulan
lawannya. Darah dan otak bermuncratan
membasahi halaman rumah.
"Akik...!" satu suara berseru, satu
bayangan berkelebat "Jahanam keji. Aku
tak akan mengampuni jiwamu!" bersamaan
dengan itu pula Aripraba yang sudah
melesat di udara langsung menghantam
dengan pukulan Kilatan Cahaya. Sinar
putih laksana kilat yang membelah
kegelapan malam melesat laksana dua bilah
mata pedang disertai hawa panas membakar.
Melihat dua sinar pipih menderu ke
arahnya, seperti tadi sikap Danang
Pattira terkesan meremehkan. Tapi begitu
sinar maut itu melabrak tubuhnya disertai
suara ledakan berdentum. Maka tak ampun
lagi pemuda itu pun terpental hingga
sejauh dua tombak. Ledakan yang terjadi
menimbulkan kobaran api yang langsung
membakar sekujur tubuh lawannya. Tapi
sungguh aneh, sedikit pun lawan tidak
mengeluh apalagi menjerit. Bahkan dengan
kedua tangannya dia memadamkan api yang
mengobari pakaiannya. Begitu api padam
kulit tubuh si pemuda nampak hangus
gosong, pakaian hancur sehingga tubuhnya
nyaris telanjang.
"Jahanam keparat! Dia bukan saja
tak mempan senjata, tapi juga tak mempan
pukulan sakti. Kulit tubuhnya hangus
gosong, bagaimana dia masih dapat
bertahan hidup!" rutuk Aripraba.
"Masih adakah pukulanmu yang lain
manusia calon bangkai?" tanya lawan
sambil berkacak pinggang.
Aripraba pandangi sosok gosong di
depannya dengan mata menyorot tajam
diwarnai rasa tidak percaya. Tapi dia
sudah tidak sempat lagi berpikir lebih
lama mencari jalan keluar. Menghadapi
lawan seperti itu jika dia tidak
mengambil tindakan secepatnya bukan
mustahil dia akan terbunuh!
Karena itu dengan cepat dia
mencabut pedang yang tergantung di
pinggangnya. Pedang lalu diputar sebat
dengan menggunakan jurus-jurus yang
paling hebat. Menghadapi serangan pedang
yang bertubi-tubi yang diselingi dengan
pukulan menggeledek ini, dengan gerakan
kaku Danang Pattira mencoba
menghindarinya. Tapi tak urung beberapa
kali mata pedang menghantam kepala maupun
bagian tubuh lainnya. Seperti tadi
hantaman pedang dan pukulan yang
dilakukan Aripraba sama sekali tak mampu
menciderai lawannya. Malah pedang itu
rompal di beberapa bagian. Tidak ada
jalan lain lagi bagi pemuda ini. Laksana
kilat dia memutar tubuhnya, begitu
berputar tubuhnya terangkat naik,
membubung tinggi ke udara. Setelah sampai
pada ketinggian tertentu dia menggerakkan
kepala dan sebagian badannya. Jika tadi
posisi kepalanya berada di atas, kini
berbalik menghadap ke bawah. Setelah itu
dengan tinju terkepal dia menghantam
kepala Danang Pattira. Pemuda yang
mendapat serangan ganas ini malah tertawa
ganda. Dengan tangan kiri dia lindungi
kepalanya. Sedangkan tangan kanan
langsung dipukulkan ke atas.
Wuut!
Angin dingin membersit menyambut
serangan tinju Aripraba. Melihat ada hawa
aneh menyambar wajahnya, si pemuda sambil
memaki terpaksa batalkan serangan dan
kini berjumpalitan menjauhi pukulan.
Serangan Danang Pattira luput mengenai
udara kosong. Akan tetapi dengan tidak
terduga mendadak lawan hentakkan kakinya.
Tubuh pemuda itu melesat ke udara,
kembali tangan dipukulkan.
Wuuus!
Buuuk!
Dalam keadaan seperti itu tentu
sangat sulit bagi Aripraba untuk
menghindari serangan kakaknya. Tak ampun
hantaman keras yang dilakukan Danang
Pattira menghantam dadanya. Aripraba
menjerit keras, dia jatuh terbanting
dengan kepala lebih dulu menghantam
tanah. Walau kepala tidak pecah dan leher
tidak sampai patah, namun Aripraba merasa
pandangannya jadi gelap. Di saat dirinya
dalam keadaan seperti itu lawan yang baru
saja jejakkan kaki langsung menghantam
kepalanya dengan tangan kanan.
Praak!
Aripraba menjerit keras begitu
kepalanya berderak. Dia terhempas dengan
mata melotot. Dari hidung, mata dan mulut
pemuda ini menyemburkan darah. Melihat
lawannya terkapar dan tidak bergerak-
gerak lagi Danang Pattira seakan baru
tersadar dengan apa yang telah
dilakukannya sendiri.
"Pembunuh... aku telah membunuh
saudaraku sendiri...?!" pekik si pemuda
sambil pandangi kedua tangannya yang
berlumuran darah lawan. "Bagaimana aku
bisa melakukannya? Oh, tidak-tidak...!"
desis pemuda itu sambil menekap wajahnya
dengan kedua tangan. Seperti orang
kehilangan kewarasan dia menangis sambil
menjambak rambutnya sendiri. Di saat
dirinya dalam keadaan begitu rupa,
mendadak di telinganya kiri kanan
terdengar suara halus, sayup-sayup
seperti suara ngiang nyamuk.
"Danang Pattira. Dia bukan adikmu,
dia adalah lawan yang harus kau
singkirkan. Dia sainganmu, dia musuhmu.
Jika kau masih inginkan harta itu, andai
kau masih menginginkan Ambini. Gadis
cantik yang kau cintai secara diam-diam.
Lakukanlah apa yang aku perintahkan!"
kata suara itu sayup-sayup namun sangat
berpengaruh bagi pemuda ini. Mendadak
seakan ada satu kekuatan yang muncul
dalam dirinya si pemuda dongakkan wajah
sedangkan sepasang mata memandang
berkeliling.
Mulutnya membuka, satu pertanyaan
terlontar. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Ha... ha... ha. Cepat kau pergi ke
gunung Liman, di sana segala sesuatunya
menunggu! Ingat harta dan gadis itu!!"
Suara ngiang di telinga Danang
Pattira lenyap. Kemudian tanpa menghi-
raukan mayat adiknya dan juga Akik
Sawarana dia tinggalkan tempat itu.
TUJUH
Di samping bangunan rumah yang
hangus terbakar, laki-laki berumur
sekitar empat puluh tahun itu menangis
terguguk. Dengan mata memerah bersimbah
air mata dia pandangi kobaran api yang
nyaris padam. Sebentar dia teliti kedua
tangannya yang berwarna hitam seperti
arang dengan tatap penuh rasa benci.
Mulut si orang tua berkomat-kamit, hidung
kembang kempis menahan kepedihan yang
menghimpit dadanya. Ternyata dia tak
kuasa menahan air mata yang bercucuran
tiada henti.
"Huk... huk... huk. Sial... kedua
tangan ini memang selalu membawa kesialan
sejak dulu. Tangan pembawa malapetaka!"
rutuk laki-laki berpakaian merah ini
sambil bantingkan kedua tangannya ke atas
batu besar. Bantingan yang sangat keras
bukan membuat kedua tangan si baju merah
hancur, terluka atau remuk di bagian
dalam, sebaliknya batu besar yang
dijadikan tatakan malah hancur berkeping-
keping.
"Sial! Tangan sial!" kembali si
orang tua memaki. Sambil terus menangis
dia bangkit berdiri, matanya jelalatan
memandang ke setiap sudut. Akhirnya dia
menyeringai begitu pandangannya membentur
sebuah martil besar yang tergeletak di
atas tanah. Dengan langkah lebar dia
menghampiri benda itu, lalu memungutnya.
Martil ditimang. Martil besi yang
dipegang oleh si orang tua beratnya lebih
dari sepuluh kati. Tapi di tangannya
martil ini seakan cuma seberat satu kati.
Sambil bersungut-sungut dia hampiri
gundukan batu yang terletak tak jauh di
depannya.
"Baiknya kuhancurkan saja tangan
yang membawa kesialan ini!" geramnya. Dia
meletakkan tangan kirinya di atas
gundukan batu tadi, sedangkan martil
besar digenggam di tangan kanan. Sambil
melotot memandang dengan penuh rasa benci
pada kedua tangannya sendiri si orang tua
gerakkan tangan kanannya. Martil melesat
menghantam tangan kiri.
Dweng! Tang! Dwieeng!
Terdengar suara berkerontangan.
Tangan yang dipukul malah memijarkan
bunga api. Tangan tidak hancur, tidak
pula cidera berat sebagaimana yang
diinginkannya. Malah dia tak merasakan
sakit sedikit pun juga. Sebaliknya batu
yang dijadikan tatakan melesak amblas ke
dalam tanah. Orang tua ini pandangi
tangannya dengan penuh rasa tak percaya.
"Keparat sial! Dasar tangan
celaka!" Kembali dia memaki tangannya
sendiri. Sejenak dia ter diam, berpikir
sebentar. Setelah itu dia pindahkan
martil besi ke tangan kiri. Kini tangan
kanan diletakkan di atas gundukan batu.
Setelah itu tenaga luar dalam dikerahkan,
disalurkan ke tangan kiri yang memegang
martil. Sekejap kemudian martil besi
diangkat tinggi lalu diayunkan ke bawah.
Wuuut!
Martil berat melesat menghantam
lima jari tangan, lengan hingga ke
pangkal lengan.
Tang! Breng! Tang! Breng!
Bunga api kembali berpijar ketika
martil menghantam tangan. Suara pukulan
bertalu-talu. Karena disertai pengerahan
tenaga dalam penuh maka terdengar suara
berisik menyakitkan gendang telinga.
Untuk kedua kalinya orang tua ini kembali
dibuat kecewa berat. Mulutnya komat-kamit
sebentar, lalu terdengar makian. "Sial.
Sungguh sial!"
Dengan penuh kegusaran dia
bantingkan martil raksasa itu ke atas
tanah. Martil amblas, lenyap terpendam ke
dalam tanah. Si orang tua gelengkan
kepala. Ingat akan nasibnya dia kembali
menangis terguguk-guguk.
"Hiiiiiiii... hidup gila tangan
celaka. Tuhan... oh Tuhan di mana Kau?
Mengapa Kau beri aku tangan seperti ini?
Aku tak mau, aku tak bisa menerima. Dulu
istriku mati gara-gara tersentuh
tanganku. Bukan hanya itu saja. Bahkan
hewan piaraan, pepohonan juga ikut mati
akibat kupegang dengan tanganku yang
penuh kesialan ini! Huk... huk... huk."
kata si orang tua di sela-sela isak
tangisnya yang memilukan.
Tak jauh dari tempat si orang tua
yang selalu memaki tangannya dengan kata-
kata 'sial' itu dua pasang mata yang
mengintai sejak tadi mulai kasak-kusuk
"Siapa dia? Kedua tangannya sangat
hebat. Dibanting ke atas batu tidak
cidera. Dipukul dengan martil raksasa
tidak pula hancur. Dengan ilmu kesaktian
sehebat itu dia bisa berbuat apa saja!"
kata salah seorang di antaranya yang
berambut panjang berbaju putih dan
berwajah cantik jelita. Kawannya yang
berambut gondrong berwajah lugu namun
tampan tersenyum sambil mengusap
wajahnya.
"Kedua tangan itu hendak dihancur-
kannya. Dia tak menyukai sepasang
tangannya sendiri. Tangan sial, begitu
dia menyebut tangannya berulangkali.
Orang tua aneh, punya tangan hebat malah
dikatai melulu. Tapi apa yang dikatakan-
nya kurasa memang sangat cocok. Tangan
hitam jelek begitu pantasnya dibuntungi
saja setelah itu buang ke comberan. Ha...
ha... ha!" Tak sadar kalau dirinya sedang
mengintai si pemuda bertelanjang dada
yang bukan lain Gento Guyon adanya
tertawa tergelak-gelak.
"Hei, mulutmu!" sergah si gadis
baju putih sambil menekap mulut si
pemuda, tapi terlambat. Orang tua
bertangan hitam dengan cepat sekali
menoleh ke jurusan di mana mereka berada.
"Siapa yang baru saja tertawa itu?
Setan...?!" seru si baju merah.
"Celaka! Gara-gara kau punya mulut
tidak bisa kau jaga, akhirnya kita
ketahuan juga!" rutuk si gadis yang tiada
lain adalah Ambini.
"Tenang saja. Tawaku buka tawa yang
kusengaja. Semua keluar begitu saja."
sahut Gento. Setelah itu dia memandang ke
arah si baju merah dari balik pohon di
mana mereka bersembunyi. "Jangan memukul,
jangan pula gusar. Kami memang setan
laki-laki dan setan perempuan berambut
hitam!"
"Sial! Setan rupanya." damprat si
orang tua.
"Kau juga setan sialan. Memaki
seenak sendiri!" dengus si pemuda.
Mendengar ucapan orang si baju
merah jadi melengak tidak menyangka orang
berani balas mendamprat.
"Setan apapun kalian sebaiknya
cepat unjukkan diri. Aku tidak suka
melihat orang yang bersikap pengecut!"
seru orang tua itu.
"Kau yang meminta akupun unjukkan
diri." berkata begitu Gento berkelebat
keluar dari balik pohon. Hanya dalam
waktu sekedipan mata dia telah berdiri
tegak di hadapan si baju merah. Si orang
tua terkesiap, tak menyangka orang dapat
bergerak secepat itu. Beberapa saat
lamanya baik Gento maupun laki-laki itu
sama berpandangan dan sama pula meneliti.
Jika di depannya sana orang memandang
Gento dengan kepala termiring-miring
sebaliknya Gento memandang orang itu
dengan mata berkedip-kedip.
Di balik pohon Ambini tak mampu
menahan geli. "Dasar pemuda sinting,
bertemu dengan orang yang miring otaknya.
Jadi begitu bertemu mereka sudah merasa
cocok satu sama lain." gerutu si gadis.
Bosan memandangi si gondorng, orang
tua itu membentak. "Siapa kau? Berani
datang ke mari apakah sudah siap
menjalankan perintahku?"
Di balik pohon Ambini bicara
sendiri. "Benar dugaanku tadi. Orang tua
itu memang telah kehilangan kewarasannya.
Dasar pemuda geblek, penyakit dicari!"
Sementara itu Gento menyeringai
begitu mendengar ucapan si orang tua.
"Saudara bukan anak bukan enak saja kau
main suruh orang. Memangnya kau ini
siapa?" tanya Gento pula tanpa hiraukan
pertanyaan orang tua itu. Si baju merah
acungkan kedua tangannya yang hitam legam
hingga ke bagian pangkal lengan. Melihat
itu Gento jadi tak mampu menahan tawanya.
"Ha... ha... ha! Tangan jelek
begitu saja kau tunjukkan padaku. Kawanku
yang tangannya mulus aja tak pernah
dipamerkan." kata si pemuda mengejek.
"Kau tak tahu maksudku pemuda edan.
maksudku ini adalah kedua tanganku yang
penuh kesialan. Aku tidak menyukai tangan
ini, kau harus membuntunginya!" tegas si
orang tua, lalu ulurkan tangannya ke arah
Gento Guyon. Murid kakek Gentong Ketawa
jadi melengak kaget, tapi hanya sekejap.
Karena di lain saat dia sudah berkata.
"Kampret sial. Kau hendak menyuruhku
melakukan perbuatan dosa."
Dimaki seperti itu si orang tua
belalakkan matanya. "Dosa katamu? Tangan
yang aku menyuruhmu untuk membuntunginya
adalah tanganku sendiri. Aku telah
mencoba melakukannya sendiri tapi tidak
sanggup." katanya putus asa.
Gento tersenyum mendengar ucapan si
orang tua, namun wajahnya nampak serius
sekali. "Kau hendak memotong kedua
tanganmu. Memang kuakui yang hendak kau
buntungi milikmu sendiri. Tapi apakah kau
lupa bahwa apapun yang ada dalam diri
setiap manusia adalah titipan Gusti Allah
yang kelak pasti kita akan diminta
pertanggungjawabannya. Kau buntungi
tangan titipan Tuhan berarti kau telah
berbuat dosa besar. Aku sendiri tak mau
ikut menanggung dosanya." jelas Gento.
Mendengar ucapan si pemuda, orang
tua itu terdiam putus asa. Keningnya
berkerut tajam seolah sedang berpikir
keras. Karena orang tua itu tak kunjung
bicara maka Gento pun kembali berkata.
"Orang tua siapa dirimu? Kulihat pepo-
honan hangus, ternak mati dan rumah
terbakar. Apa sebenarnya yang telah
terjadi?" Ditanya begitu rupa orang tua
itu kembali menangis terguguk. Gento jadi
bingung dan merasa serba salah. "Eeh,
apakah ada pertanyaanku yang menyakiti
hatinya?" pikir Gento. Dia kemudian
bersiul pendek. Satu bayangan putih ber-
kelebat dari balik pohon. Di lain saat si
cantik Ambini telah berdiri tegak di
samping si pemuda. Melihat kehadiran
gadis jelita itu agaknya si orang tua
menjadi malu hati sehingga dia hentikan
tangisnya dan cepat menyeka air mata yang
bergulir membasahi pipinya.
"Apakah gadis ini temanmu? Cantik,
mempesona, tidak membosankan untuk
dipandang!" puji si orang tua.
"Dasar mata keranjang. Tadi yang
kita bicarakan lain, sekarang lain lagi.
Padahal kau belum mengatakan namamu dan
apa yang menjadi masalahmu hingga membuat
kau ingin membuntungi tangan sendiri?!"
dengus si pemuda. Diingatkan begitu rupa
membuatnya jadi tersipu malu.
"Aku... ah, aku lupa namaku.
Sebaiknya kau panggil saja Tangan Sial
karena kedua tanganku ini sejak dulu
bahkan sejak aku masih kecil terlalu
menanggung banyak kesialan." keluh si
orang tua.
"Ha... ha... ha. Gelar itu kurasa
cocok dengan keadaan dirimu. Tapi apa
yang membuat dirimu begini berputus asa?"
tanya si pemuda disertai tawa tergelak-
gelak.
"Letih aku untuk mengatakannya."
sahut Tangan Sial seakan bosan.
"Kalau begitu ya sudah." Gento lalu
melirik ke arah Ambini. "Baiknya kita
tinggalkan saja dia!"
"Eeh, tunggu. Baiklah aku akan
mengatakannya pada kalian!" Tangan Sial
terdiam sejenak, setelah itu baru
kemudian berkata. "Kau tak tahu kedua
tangan ini selalu menimbulkan malapetaka
bila kupergunakan untuk memegang sesuatu.
Istriku tewas gara-gara kupegang, harta
benda hancur, tanaman juga layu, pohon
atau apa saja pasti rusak bila tersentuh
olehku. Padahal rumah itu terbakar ketika
kupegang salah satu tiangnya!"
"Hah... mengerikan sekali!" pekik
Ambini. Tanpa sadar si gadis bersurut
langkah.
"Rasanya sungguh sulit kupercaya!"
desis murid kakek Gentong Ketawa dengan
mulut ternganga dan mata terpentang
lebar.
"Memang, tapi itulah kenyataan yang
terjadi pada diriku. Aku tak bisa
menyentuh apapun yang kuinginkan, ter-
lebih-lebih di saat diriku sedang kesal
apalagi marah." ujar Tangan Sial sedih.
Mendengar penjelasan Tangan Sial,
Gento Guyon jadi ikut merasa prihatin.
"Sejak kapan kau mengalami musibah
seperti ini, orang tua?" tanya si pemuda
beberapa saat kemudian. Tangan Sial
gelengkan kepala.
"Persisnya aku tak tahu, mungkin
sejak aku masih kecil. Aku merasa hidupku
tersiksa dalam kesengsaraan. Kau tentu
dapat merasakan bagaimana tersiksanya
hidup dalam keadaan seperti itu." jawab
si orang tua dengan suara lirih. Baik
Gento maupun Ambini sama terdiam
mendengar ucapan Tangan Sial.
DELAPAN
Hanya beberapa saat saja Gento
bersikap seperti itu. Tidak lama setelah
itu Gento membuka mulut berucap. "Orang
tua Tangan Sial. Kurasa di balik musibah
yang kau alami karena memiliki keanehan
seperti itu, mungkin masih ada sisi
baiknya. Kusarankan padamu jangan kau
sakiti dirimu sendiri. Sebab jika kedua
tangan telah kau buntungi. Katakanlah hal
itu dapat kau lakukan. Lalu bagaimana kau
harus hidup tanpa tangan? Kau tidak bisa
makan, kau tidak bisa cebok. Kalau
keadaanmu sudah begitu buat apa artinya
hidup bagimu. Masih bagus sekarang ini,
walaupun sial kau masih punya tangan.
Mengapa kau tidak mensyukuri pemberian
Gusti Allah? Menurutku lebih baik kau
dalam keadaan seperti sekarang. Punya
tangan biarpun tangan itu membawa
kerugian bagimu. Daripada tanganmu
dibuntungi, nanti orang menjulukimu Si
Tangan Buntung. Apa kau tidak malu. Orang
bisa saja mengejekmu. Buntung lewat...
buntung lewat.... Ha... ha... ha!"
"Apa yang dikatakan kawanku ini
benar, orang tua. Biarkan tanganmu tetap
seperti itu," untuk pertama kalinya
Ambini menimpali. Tangan Sial memandang
ke arah gadis itu dengan tatapan tidak
berkesip. Dia manggut-manggut, mungkin
merasa apa yang dikatakan Ambini memang
ada benarnya.
"Gadis baik. Kuterima saranmu.
Mudah-mudahan setelah bertemu denganmu
aku tidak menjadi manusia yang putus asa
lagi," ujar si kakek.
"Bagus. Kepada Ambini kau berterima
kasih, padaku yang memberi saran tidak.
Tidak apa, yang penting kau mau
menyadarinya." kata Gento sambil
bersungut-sungut.
"Ha... ha... ha. Rupanya kau pemuda
yang besar ambeknya. Kepadamu juga
kuucapkan terima kasih. Oh ya... kalau
aku boleh tahu kalian hendak ke mana?"
tanya Tangan Sial. Kini wajah laki-laki
itu telah berubah cerah seakan lupa pada
persoalan berat yang beberapa waktu tadi
sempat membuatnya merasa putus asa.
"Terus terang kami memang sedang
dalam satu perjalanan." Ambini menyahuti.
"Aku ingin mencari tahu siapa yang telah
membunuh ayahku Raden Ponco Sugiri."
"Raden Ponco Sugiri!" Tangan Sial
mengulang ucapan Ambini. Dia terdiam
sejenak, berpikir. Sampai kemudian Tangan
Sial melengak kaget. "Bukankah orang yang
kau sebutkan itu dulunya adalah orang
yang paling kaya di Wonogiri? Hartawan
murah hati yang beberapa tahun belakangan
mengasingkan diri di satu tempat
rahasia?"
"Paman benar. Tapi ayahku sudah
meninggal dibunuh orang."
"Hah, jadi Raden Ponco Sugiri itu
ayahmu. Akh, tak pernah ku menyangka dia
memiliki putri secantik dirimu. Lalu
sekarang kau dan pemuda gondrong itu
hendak pergi ke mana?" tanya Tangan Sial.
Sebentar dia melirik ke arah Gento. Yang
dilirik kedipkan matanya.
Ambini terdiam, nampaknya dia ragu
untuk mengatakan yang tujuan mereka. Dia
lalu memandang pada pemuda di sampingnya
seakan minta pendapat.
"Katakan saja tak usah ragu." ujar
Gento seakan menyetujui. Setelah itu dia
melanjutkan. "Dia tak mungkin berbuat
macam-macam pada kita. Tangannya yang
sial itu boleh tidak mempan senjata, tapi
apa iya bagian tubuh yang lain tak bisa
kita buat jadi cincang halus. Ha... ha...
ha."
"Betul kata bocah itu, aku tak
mungkin mematai apalagi sampai membunuh
kalian."
"Terus terang kami akan pergi ke
Gunung Liman. Mungkin dengan pergi ke
sana kami bisa mendapat kejelasan." kata
Ambini tanpa ragu-ragu.
"Hem begitu." gumam Tangan Sial
sambil usap-usap jenggotnya. "Sebelum ke
sana aku ingin menjelaskan sesuatu pada
kalian berdua, mungkin ada gunanya." ujar
laki-laki itu. Dia lalu pandangi Gento
dan Ambini silih berganti.
"Apa yang hendak kau katakan,
paman?" tanya Ambini gelisah.
"Kalau ada yang hendak kau
sampaikan kami sudah siap mendengarnya
paman Tangan Sial!" kata Gento pula.
Setelah terdiam untuk beberapa
jenak lamanya Tangan Sial berkata.
"Beberapa hari yang lalu aku melihat
dalam kegelapan malam di sebuah kubur tua
dan jika tak salah aku mengingat kubur
itu tentu adalah kubur Raden Ronggo
Anom...."
"Hah Raden Ronggo Anom. Orang itu
sudah lama meninggal, sekitar beberapa
puluh tahun yang silam. Raden Ronggo Anom
masih terhitung saudara tiri yang jahat.
Sekarang apakah engkau hendak mengatakan
orang itu bangkit kembali dari kuburnya?"
tanya Ambini. Wajah gadis itu mendadak
berubah tegang. Dia ingat beberapa hari
yang lalu ketika dia dan Gento berkelahi
dengan Mayat Hidup. Sosok yang tubuhnya
sudah tidak utuh lagi itu mengaku dirinya
adalah Raden Ronggo Anom. Apakah hal ini
yang hendak disampaikan oleh Tangan Sial?
Rasa kejut di hati Ambini berangsur
mereda karena tak lama kemudian Tangan
Sial melanjutkan ucapannya yang sempat
dipotong Ambini.
"Mengenai bangkit tidaknya Raden
Ronggo Anom itu bukan urusanku, bisa jadi
urusan setan atau mungkin juga dia
memiliki ilmu Seribu Hari. Siapapun yang
mengamalkan ilmu ini setelah seribu hari
kematiannya dia bangkit kembali. Bangkit
untuk menyelesaikan semua persoalan yang
belum terselesaikan semasa hidup di dunia
ini."
"Termasuk juga menyangkut hutang
nyawa, darah dan kehormatan. Bukankah
begitu Tangan Sial?!" celetuk Gento.
Tangan Sial anggukkan kepala. "Kau
benar. Tapi yang ingin kukatakan ini
adalah menyangkut seorang pemuda yang
telah diperalat oleh satu kekuatan aneh.
Aku tak dapat menjelaskan siapa dan
bagaimana ciri-ciri pemuda itu, karena
malam kebetulan sangat gelap sekali. Yang
aku ingat, dia berpakaian putih, berambut
klimis seperti sastrawan."
Untuk pertama kalinya Gento dibuat
bingung mendengar penjelasan Tangan Sial.
"Apa hubungannya penjelasanmu dengan
tujuan kami?" tanya si pemuda.
"Mungkin ada, mungkin juga tidak."
jawab orang tua itu.
"Tunggu...!" sergah Ambini. "Paman
mengatakan pemuda itu berpakaian putih
berambut klimis. Bisa jadi dia adalah
kakang Danang Pattira. Beberapa waktu
yang lalu aku datang menyambanginya di
Wonogiri. Kulihat tindak tanduknya aneh
tidak sebagaimana biasanya. Tatap matanya
kosong bahkan terkesan seperti orang
bingung."
"Paman Tangan Sial apakah mendengar
apa yang dikatakan pemuda itu saat dia
berada di kubur tua. Atau mungkin paman
mendengar suara orang yang diajaknya
bicara?" tanya Gento.
Tanpa ragu Tangan Sial menjawab.
"Aku tak mendengar suara orang lain.
Pemuda itu bicara seperti orang mengigau.
Tapi aku sempat mendengar pemuda itu
mengatakan. 'Perintah kuturuti. Akan
kubunuh tiga saudaraku yang lain. Aku
inginkan Ambini'!"
"Apa? Dia bicara seperti itu?"
desis si gadis terperangah dan seakan tak
percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Ambini, berarti saudaramu itu
memang manusia gila. Otak sinting dan
pikirannya miring. Mana mungkin ada
manusia yang jatuh cinta pada saudara
kandungnya sendiri. Apa dia mengira
dirinya itu sapi? Ha... ha... ha" kata si
pemuda disertai tawa terbahak-bahak.
"Kurasa memang ada yang tidak
beres. Sekarang lebih baik kita ke gunung
Liman secepatnya. Jika dia menghendaki
harta warisan keluarga itu, bagaimanapun
cepat atau lambat dia pasti akan ke sana.
Karena dia juga pasti tahu tentang harta
peninggalan keluarga yang tersimpan di
daerah itu." ujar Ambini.
"Apakah tidak sebaiknya kita cari
saja mayat hidup itu? Aku sangat yakin
dialah yang telah membunuh ayahmu di
puncak Wilis. Bukankah Mayat Hidup pernah
bicara begini 'siapa yang berani membunuh
kupu-kupu ku'. Ini berarti bila kakangmu
memang pernah pergi ke kubur Raden Ronggo
Anom tidak tertutup kemungkinan Mayat
Hidup alias Raden Ronggo Anom adalah
biang racun yang membuat keluargamu jadi
tercerai-berai seperti sekarang ini!"
kata si pemuda menerangkan secara panjang
lebar.
"Usulmu boleh juga sobat. Tapi
mencari Mayat Hidup kurasa akan lebih
sulit bila dibandingkan dengan pergi ke
gunung Liman. Tempat itu tak seberapa
jauh dari Ponorogo." ujar Tangan Sial.
"Aku pasti turut serta, aku juga
percaya dengan ucapanmu. Akan tetapi jika
sesampainya di sana kita tak menemukan
apa yang kita cari, aku tak mau ikutan
terkena sialnya." dengus murid kakek
Gentong Ketawa sambil bersungut-sungut.
"Sudahlah, buat apa kita
bertengkar. Kurasa lebih baik kita pergi
sekarang. Lebih cepat rasanya akan lebih
baik lagi." Ambini menengahi.
"Boleh saja. Tangan Sial jalan di
belakang dan kita berada di depan. Dengan
begitu semoga bila aku kentut akan
mengurangi beban penderitaannya. Sebab
menurut kata orang kentutku ini adalah
kentut yang sangat disukai oleh para
bidadari cantik. Ha... ha... ha!"
"Bocah kampret sial! Semoga dewa
murka padamu!" teriak Si Tangan Sial.
Orang tua itu melompat ke depan hendak
memukul dengan tangan kirinya. Tapi dia
merutuk habis-habisan begitu Gento
berkelit ke depan Ambini dan menggunakan
gadis itu sebagai pelindung.
"Niatmu memukulku tidak kesampaian.
Dasar Tangan Sial!" celetuk si pemuda
menirukan ucapan si orang tua. Tangan
Sial merasa kesal sekali. Tapi dia tak
bisa berbuat apapun terkecuali kepalkan
kedua tinjunya sambil mengikuti Ambini
dan Gento yang sudah meninggalkannya jauh
di depan.
***
Di lereng gunung Liman, di balik
pepohonan berdaun lebat di mana kakek
gendut besar Gentong Ketawa berada,
suasananya masih kelihatan sepi. Di
sampingnya si bungkuk berwajah aneh yang
sekujur tubuhnya kini telah berubah
menghitam macam arang sudah mulai
kelihatan gelisah.
"Kek... kurasa Arwah Darah Senggini
si cantik berbibir tebal di bawah itu tak
mungkin lagi datang ke sini. Dia pasti
sudah menemukan harta Itu, harta warisan
peninggalan keluarga leluhur kami!" ujar
Siwarana.
Si kakek gendut elus-elus dagunya
yang tidak ditumbuhi jenggot barang satu
helai pun. Sejenak matanya yang sipit
menatap tajam ke arah Siwarana. Dia
merasa geli melihat kulit wajah Siwarana
yang telah berubah seperti arang akibat
ulah si kakek sendiri.
"Kek, bagaimana jika kita tinggal-
kan tempat ini? Perasaanku tidak enak,
perutku mulas. Mungkin aku ingin berak,
mungkin juga mau kentut." kata pemuda itu
lagi sambil menyeringai dia pegangi
perutnya yang sakit.
Senyum si kakek makin melebar. Apa
yang dirasakan oleh Siwarana itu adalah
akibat sampingan dari obat semacam
pewarna kulit yang diberikan oleh Gentong
Ketawa.
"Kek, kakek gendut. Apakah bisa mu
cuma tersenyum, kau telah berubah jadi
bisu, gagu atau apa?" tegur Siwarana
mulai kesal.
"Ha... ha... ha! Kentut. Jika kau
mau buang hajat, sebaiknya menyingkir
yang jauh agar wanginya jangan tercium
olehku. Tapi terus terang kita tidak usah
keluar dari tempat ini!" Gentong Ketawa
menyahuti.
"Mengapa kek? Perempuan cantik
bertelinga kiri lebar itu tak mungkin ke
mari. Seperti yang sudah kukatakan dia
pasti menemukan harta itu."
"Manusia muka dodol!" gerutu
Gentong Ketawa. "Aku telah menipunya
untuk mengalihkan perhatian perempuan
itu. Jika tidak kutipu mana mungkin aku
bisa menolongmu? Di matamu bisa jadi dia
perempuan cantik. Tapi aku yakin yang
kita lihat itu palsu. Dia bukan perempuan
sembarangan. Aku bisa merasakan semua
itu!" ujar Gentong Ketawa. Untuk yang
kedua kalinya Siwarana kembali dibuat
kaget mendengar ucapan si kakek.
"Apa maksudmu orang tua. Apakah kau
hendak mengatakan sesungguhnya perempuan
cantik itu adalah seorang nenek tua
renta? Atau kau punya anggapan dia
memakai semacam kedok?" tanya Siwarana
sambil memandang ke arah si kakek gendut
dengan tatapan ingin tahu.
"Ha... ha... ha! Sebelum kau
terlahir ke dunia ini, kurasa aku sudah
kenyang makan asam garam dunia per-
silatan. Segala tingkah dan watak manusia
semuanya sudah pula banyak yang
kuketahui. Setahuku perempuan yang ber-
nama Wowor Baji Marani bergelar Arwah
Darah Senggini itu adalah seorang
perempuan yang sudah lanjut usianya. Akan
tetapi memang harus kuakui dia di samping
memiliki kesaktian yang sulit dijajaki
juga mempunyai mahluk piaraan yang akan
mengerjakan apa saja yang diperintahkan
olehnya. Jika benar dia Arwah Darah
Senggini, kurasa dia dengan ilmu
kesaktian yang ada padanya hal seperti
itu tidak sulit bagi perempuan itu untuk
melakukannya."
"Jadi kita telah tertipu?" desis
Siwarana dengan mulut melongo.
"Ha... ha... ha. Engkau yang
tertipu tapi aku sendiri tidak." Menya-
huti si kakek sambil tertawa tergelak-
gelak.
Tawa si kakek mendadak saja
terhenti begitu melihat Siwarana angkat
tangan kiri memberi isyarat. Sedangkan
pandangan pemuda itu tertuju lurus ke
depan persis di lapangan kecil berbatu di
mana Arwah Darah Senggini tadi menyiksa
nya.
Tanpa bicara apapun si gendut ikut-
ikutan memandang ke arah yang sama.
Kening si kakek berkerut, bola matanya
berputar lucu tak mau diam.
"Hem, ternyata dia kembali dengan
berhampa tangan. Tapi mengapa masih bisa
bernafas? Masih hidup? Ke mana perginya
lebah-lebah beracun itu? Harusnya
binatang yang bersarang di dalam gua
menyengatnya sampai mampus." gumam si
kakek gendut.
"Eh, engkau bicara apa? Mengapa tak
kulihat perempuan cantik itu membawa
harta?" tanya Siwarana jadi terheran-
heran.
"Harta jidatmu monyong. Bukankah
sudah kukatakan sejak tadi aku hanya
mengecohnya. Mengalihkan perhatian nenek
cantik itu agar aku dapat dengan leluasa
membantumu?!" Siwarana tepuk keningnya
sendiri.
"Ah, maafkanlah aku lupa!" ucap si
pemuda tersenyum sendiri.
"Kau lihat! Dia mulai mencarimu.
Dia memaki, mendamprat. Dasar edan
orangnya sudah tak ada pun masih
dicarinya." rutuk si kakek. Siwarana diam
mendekam di tempatnya. Hatinya mulai
gelisah, takut bila si cantik mengetahui
tempat persembuyiannya. Lain lagi halnya
dengan si kakek gendut. Dia mulai
berpikir untuk menghampiri Arwah Darah
Senggini yang berjalan mundar-mandir di
seputar lapangan berbatu. Tapi sebelum
niatnya terlaksana mendadak sontak
terdengar suara hembusan angin yang
sangat keras sekali. Hembusan angin
kencang menerbangkan apa saja yang di
laluinya. Selain itu pada waktu bersamaan
tercium pula bau busuk yang sangat
menyengat. Bau busuknya bangkai.
SEMBILAN
Di tengah lapangan kecil berbatu
Arwah Darah Senggini yang sedang dilanda
kemarahan hebat tentu saja sempat
terkejut melihat keanehan yang terjadi
dengan sangat tiba-tiba ini. Bagaimanapun
penipuan yang telah dilakukan oleh suara
seseorang yang datang dari arah lereng
gunung tadi telah menumbuhkan dendam
tersendiri yang sulit dipadamkan,
meskipun dia telah mencincang tubuh orang
itu. Dan kemarahan semakin meluap-luap
begitu dia kembali si perempuan cantik
tidak menemui Siwarana berada di tempat
itu.
"Dia, pasti dia orangnya!" geram si
cantik sambil banting kakinya. Hentakan
yang keras membuat kaki si cantik amblas
hingga sebatas mata kaki. Selagi diri
Arwah Darah Senggini dilamun kemarahan
yang demikian hebat, maka hembusan angin
semakin bertambah keras. Bau busuknya
bangkai semakin tajam menusuk.
"Jahanam, bangsat mana lagi yang
berani mati dengan membuat ulah seperti
ini?!" geram si nenek. Dengan perasaan
kesal dia berpaling ke arah angin
membadai yang datang secara bertubi-tubi.
Dia jadi heran karena tidak melihat
apapun di depan saja terkecuali kabut
hitam pekat yang bergulung-gulung
menyertai hembusan angin yang tak kunjung
henti.
"Kunyuk tengik, siapapun dirimu
adanya jika memang punya kepentingan
denganku harap mau tunjukkan diri!"
teriak si cantik. Suaranya keras
melengking menindih suara gemuruh angin
yang memporak-porandakan daerah di
sekitar lapangan berbatu.
Sepi sejenak, hanya deru suara
angin saja yang terdengar. Tapi tak
berapa lama kemudian terdengar suara
gelak tawa yang begitu keras mengelegar.
Tanah, lamping batu di sebelah kanan si
cantik bergetar hebat, bahkan lereng
gunung ikut pula bergetar. Di tempat
persembunyiannya Siwarana terpaksa tekap
kedua telinga untuk menghindari pengaruh
getaran suara tawa. Sedangkan di
sebelahnya kakek gendut besar Gentong
Ketawa tampak duduk bersila dengan tubuh
terguncang hebat.
"Kadal buntung! Setan mana yang
suaranya seperti itu?" maki si kakek
sambil menutup indera pendengarannya.
Kembali ke tengah lapangan berbatu
Arwah Darah Senggini berdiri tegak dengan
tubuh tergontai-gontai. Tapi anehnya
perempuan itu sama sekali tidak bergeming
dari tempatnya.
Telinga tidak ditutup dengan
tangan, bahkan dia tidak pula kerahkan
tenaga dalam untuk menutup indera
pendengarannya. Sungguh apa yang di per-
lihatkan oleh si cantik merupakan satu
tindakan nekad yang dapat mengancam
keselamatan dirinya sendiri. Beberapa
saat berlalu, perlahan suara tawa yang
terdengar di tengah hembusan angin
kencang mereda. Perempuan itu menye-
ringai. Lalu dia keluarkan seruan keras.
"Sudah bosan kau tertawa? Sungguh
demi para iblis, andai suara tawamu dapat
meruntuhkan dinding langit, tapi aku
Arwah Darah Senggini tidak akan
terpengaruh walau barang sedikitpun.
Hik... hik... hik!" kata perempuan cantik
itu disertai tawa dingin menyeramkan.
"Arwah Darah Senggini. Kau
mempunyai hutang nyawa yang harus kau
lunasi hari ini!" terdengar satu seruan
dalam getaran mengandung dendam kesumat.
Mendengar ucapan orang Arwah Darah
Senggini tentu saja melengak kaget.
Sedangkan si cantik yang terlihat seperti
perempuan setengah baya ini cepat
memandang ke arah datangnya suara,
sementara itu hembusan angin kencang
mulai mereda, sedangkan bau busuknya
bangkai terasa semakin keras menyengat.
"Setan kuburan, siapa dirimu?
Sepanjang hidup aku merasa tidak pernah
berhutang nyawa dengan siapapun, apalagi
berhutang pada bangkai kuburan!"
dengusnya kesal.
"Ha... ha... ha! Mungkin kau lupa,
mungkin kau sudah tidak mengingat
peristiwa yang terjadi sekitar dua puluh
delapan tahun yang lalu. Tapi aku tidak.
Aku tetap mengenangnya, aku tidak akan
lupa sampai dunia kiamat!" dengus suara
itu.
Beberapa saat lamanya Arwah Darah
Senggini diam tertegak di tempatnya
berdiri. Dia mencoba memutar otak,
mengingat segala kejadian yang berlang-
sung sekitar tiga puluh tahun yang silam.
Mula-mula terbayang olehnya wajah seorang
kakek tua berbadan sedikit bongkok. Dan
itu adalah sosok wajah Rowe Rontek
Panjane. Si kakek tua yang masih
terhitung sahabatnya sendiri. Rowe Rontek
Panjane telah dibunuhnya karena dianggap
tidak mampu memenuhi segala apa yang
dijanjikan oleh muridnya. Setelah itu
muncul pula seraut wajah lain. Wajah
seorang laki-laki muda dengan tampang
memelas semasa hidupnya berada dalam
kemelataran yang amat sangat. Si
perempuan cantik ingat betul, yang satu
ini adalah Raden Ponco Sugiri murid Rowe
Rontek Panjane. Manusia yang dianggapnya
telah mengingkari segala janjinya yang
pernah dia ucapkan. Konon Raden Ponco
Sudiri terbunuh di tempat pengasingannya
di puncak gunung Wilis.
Si cantik gelengkan kepala. Semua
yang pernah terjadi di masa lalu
terbayang dengan jelas. Termasuk juga
mengenai keinginan Raden Ponco Sugiri
yang ingin merebut kembali harta warisan
orang tuanya yang telah dikangkangi oleh
saudara tirinya Raden Ronggo Anom. Semua
rentetan peristiwa itu seakan bergulir
begitu saja, berjalan sesuai dengan apa
yang dikehendakinya.
Kini Arwah Darah Senggini jadi
ingat pada Babat Nyawa, mahluk gaib yang
dipiara nya selama berpuluh-puluh tahun.
Pada malam kejadian di sekitar dua puluh
delapan tahun yang silam, mahluk sakti
inilah yang diperintah si cantik untuk
membunuh Raden Ronggo Anom. Manusia
paling culas adik tiri Raden Ponco
Sugiri.
"Manusia tengik itu pun telah
mampus puluhan tahun yang silam. Jika
memang dia adanya yang munculkan diri di
tempat ini, berarti yang muncul adalah
jasad busuknya. Dia memiliki ilmu aneh,
ilmu apapun namanya yang jelas dengan
ilmu itu dia bangkit dari kuburnya!"
batin perempuan itu.
Walau Arwah Darah Senggini seumur
hidup tidak pernah merasa gentar
menghadapi musuh yang manapun, tapi kini
membayangkan bagaimana mayat orang yang
telah mati dapat bangkit kembali, mau tak
mau tengkuk si cantik berubah dingin
seperti es.
"Bagaimana Wowor Baji Marani, kau
sudah tahu nyawa siapa yang harus kau
bayar?" hardik suara itu.
"Hik... hik... hik! Aku tak akan
pernah lupa atau sengaja melupakan
kesenangan yang pernah terjadi puluhan
tahun yang silam. Walau aku tak pernah
melihat bagaimana tampangmu dulu dan
sekarang, tapi aku tahu kau pasti adalah
si keparat Raden Ronggo Anom!" dengus
Arwah Darah Senggini sinis.
"Hak... hak... hak! Bagus kalau kau
sudah tahu. Dengan begitu aku tak perlu
merasa bersusah payah menerangkan siapa
diriku! Sekarang apakah kau siap
menyerahkan nyawamu!" tanya suara itu.
"Aku sudah siap sejak tadi Raden
bangkai. Mendekatlah ke mari, bagian mana
dari tubuhku ini yang hendak kau jebol?"
teriak si cantik lantang.
"Pertama aku menginginkan
jantungmu. Setelah itu aku menghendaki
bagian tubuhmu yang lain!" sahut suara
yang belum memperlihatkan ujudnya ini
dingin. Belum lagi gema suara yang
terdengar lenyap, mendadak sontak
terdengar desiran halus menyambar telinga
si cantik. Arwah Darah Senggini surut
satu langkah ke belakang begitu merasakan
bagian telinga kirinya seakan seperti
diterabas senjata tajam.
Wajah mendadak pucat, agaknya dia
menyadari lawan mungkin mengetahui titik
kelemahannya. Di depan sana terdengar
suara tawa melengking panjang disertai
berkelebatnya satu sosok tubuh nyaris
telanjang yang bergerak cepat ke arah si
cantik.
Begitu sosok setengah manusia
setengah bangkai ini melesat di udara dua
tangan dipentang, sepuluh jari
terkembang. Ketika sepuluh jari berkuku
hitam dijentikkah ke depan. Sepuluh sinar
hitam menggidikkan setipis benang menderu
sebat menghujani sekujur tubuh Arwah
Darah Senggini. Perempuan itu terkesiap
ketika menyadari bagaimana ke sepuluh
sinar maut itu tiba-tiba berubah
melengkung berusaha melingkup dan
meringkus dirinya.
Si cantik berteriak keras, kaki
dihentakkan lalu laksana kilat tubuhnya
melesat di udara. Lingkupan sinar maut
berhawa dingin membekukan ini mengenai
tempat kosong, dua di antaranya
menghantam pohon besar di luar lapangan.
Terdengar suara letupan kecil. Pohon
mengeluarkan suara berkeretekan, tidak
roboh tidak pula tumbang. Tapi apa yang
terjadi kemudian sungguh membuat semua
orang yang melihatnya jadi terkesiap
kaget. Seluruh daun pohon mendadak rontok
layu, ranting dan batangnya menyusut
kemudian hancur menjadi abu.
"Pukulan Mayat Memisah Roh!" seru
si cantik. Dengan cepat selagi tubuhnya
masih mengambang di udara dia lakukan
serangan balasan. Dua tangan dipukulkan
lurus ke arah Mayat Hidup.
Wuut! Wuut!
Sinar biru berkelebat, angin
menderu bergulung menerjang Mayat Hidup.
Yang diserang mendengus, lalu gerakkan
kedua tangannya ke atas mirip dengan
gerakan orang yang melambaikan tangannya.
Sekali lagi sinar hitam berkiblat hawa
dingin menghampar menindih serangan
berhawa panas yang dilepaskan oleh si
cantik.
Tess!
Arwah Darah Senggini terkesiap
kaget begitu merasakan pukulan saktinya
seakan amblas, lenyap ditelan serangan
lawan. Dengan muka pucat dan tubuh
bersimbah keringat dingin dia melakukan
gerakan yang sulit demi menyelamatkan
selembar nyawanya. Tapi tak urung ujung
kaki kirinya masih sempat tersambar
pukulan lawan. Bagian kaki yang terkena
pukulan terasa sakit mendenyut laksana
ditusuki ribuan batang jarum. Bahkan di
bagian ujung jari berubah seperti
membeku. Sungguh pun begitu si cantik
masih sanggup jejakkan kedua kaki ke
tanah meskipun tubuhnya nampak terhuyung.
Belum lagi Arwah Darah Senggini
siap pada posisinya dia kembali merasakan
sambaran angin mendera punggungnya. Dia
cepat berbalik sambil mencoba memapaki
serangan lawan. Baru saja tubuhnya
berbalik menghadap ke arah Mayat Hidup,
saat itu satu tangan hitam menebar bau
busuk menyengat melabrak dadanya.
Desks!
"Hugh...!" Arwah Darah Senggini
mengeluh tertahan, tubuhnya terpelanting,
jatuh berdebu kan dengan mulut
menyemburkan darah. Di depan sana Mayat
Hidup sunggingkan seringai dingin. Si
cantik coba berdiri secepat yang dapat
dia lakukan. Dia jadi kaget ketika
merasakan dadanya mendadak jadi sesak.
Megap-megap sambil bertumpu pada kedua
tangan dia perhatikan dadanya. Kejut di
hati si nenek bukan olah-olah begitu
melihat satu kenyataan bahwa pakaian di
bagian dadanya berlubang besar, hangus
menghitam meninggalkan bekas lima jari
telapak tangan.
Karena lawan nampak terus
memburunya, sambil bergulingan ke kiri
selamatkan diri si cantik kerahkan tenaga
yang segera dipusatkan ke bagian dada
untuk menyembuhkan luka dalam yang dia
derita. Perlahan hawa dingin lenyap, rasa
sakit yang mendera dadanya juga ikut
lenyap. Arwah Darah Senggini tanpa
membuang waktu segera melompat. Begitu
tubuhnya melesat ke atas kedua tangan si
cantik langsung didorong ke depan siap
melepaskan pukulan Penghancur Jasad
Pengusir Roh. Inilah salah satu pukulan
yang paling berbahaya dan agaknya si
cantik tidak mau berlaku ayal, sehingga
ketika dia dorongkan kedua tangannya tadi
si cantik tak lupa menyertakan seluruh
tenaga sakti yang dia miliki.
Akibatnya sungguh sangat luar
biasa, serangan maut yang dilakukan oleh
Mayat Hidup berantakan di tengah jalan.
Bukan hanya sampai di situ saja. Sebagian
besar pukulan Arwah Darah Senggini
langsung melabrak sosok setengah manusia
setengah bangkai yang pada saat itu
meluncur deras ke arahnya. Tak ampun lagi
pukulan si cantik menghantam telak sosok
Mayat Hidup. Begitu kena dihantam detik
itu juga terdengar suara jeritan
melengking laksana suara orang mengeruk.
Sosok Mayat Hidup tercerai-berai,
potongan tubuhnya yang membusuk itu
bertaburan ke segenap penjuru arah dan
jatuh berserakan di atas tanah.
Si cantik jatuh terduduk, nafasnya
tersengal-sengal. Walau luka dalam akibat
pukulan lawan tadi sempat disembuhkan,
tapi karena barusan tadi dia menguras
tenaga dalam guna melepas pukulan
saktinya, tak urung luka yang baru
tersembuhkan tadi kini kambuh lagi.
Sejenak lamanya Arwah Darah Senggini
duduk bersila, mata terpejam sambil
menghimpun tenaga saktinya. Si cantik
terbatuk beberapa kali, dari sudut
bibirnya meleleh darah kental berwarna
hitam.
SEPULUH
Sementara itu kakek Gentong Ketawa
dan Siwarana yang masih mendekam di
tempatnya di balik ke rindangan pohon di
lereng bukit tampak saling pandang. Si
kakek gendut usap wajahnya. Pertempuran
sengit yang berlangsung tadi membuatnya
geleng kepala.
"Si nenek cantik itu sungguh luar
biasa. Pamanmu yang baru datang dari
kubur saja dibuatnya tercerai-berai.
Boleh juga dia punya kesaktian!" kata si
gendut memuji.
"Kek, sekarang saatnya bagi kita
untuk menghabisi perempuan itu. Jika
tidak cepat atau lambat dia yang akan
menghabisi kita!" ujar Siwarana tanpa
menghiraukan ucapan Gentong Ketawa.
"Aku bukan manusia pengecut,
mempergunakan kesempatan selagi lawan
terluka. Tapi memang kurasa dalam
menghadapi iblis seperti dia rasanya kita
memang tidak memerlukan segala macam
peradatan!" kata Gentong Ketawa menang-
gapi. Si kakek bangkit berdiri dengan
diikuti oleh Siwarana, si bongkok muka
cacat yang kini sekujur tubuhnya telah
menghitam macam arang. Sekali lagi
sebelum bangkit berdiri si kakek
memandang ke depan, ke arah lapangan
berbatu di mana Arwah Darah Senggini
masih tetap duduk seperti semula.
Mendadak gerakan kaki si kakek yang
siap terayun jadi terhenti begitu dia
melihat satu bayangan putih berkelebat
cepat laksana kilat dari arah belakang si
cantik.
"Satu lagi tamu datang mencari
mati!" dengus Gentong Ketawa sambil usap-
usap perutnya yang gendut besar.
Siwarana tercekat, dia ikut pula
memandang ke arah lapangan. Pada saat itu
dia melihat bayangan putih tadi sudah
menghantam Arwah Darah Senggini yang
sedang bersemedi dari arah belakang.
Sinar hitam, merah dan biru menderu di
udara, bergulung-gulung siap melabrak
hancur tubuh si cantik. Tapi pada saat
itu pula tanpa terduga dari bagian
telinga kiri Arwah Darah Senggini
mengepul asap tebal bergulung-gulung.
Ketika asap menyentuh udara dengan cepat
sekali kepulan asap kelabu itu membentuk
satu sosok berwajah angker berulir hitam
kemerahan, bercambang lebat sedangkan di
setiap sudut bibirnya mencuat sepasang
taring yang panjang dan tajam. Begitu
sosok dari asap tadi telah membentuk satu
ujud yang utuh dan jejakkan kedua kakinya
di atas tanah. Maka sosok setinggi enam
tombak ini gerakkan tangannya yang besar
panjang berbulu menangkis pukulan ganas
orang yang baru datang.
Bessss!
Terdengar suara seperti besi panas
yang dicelupkan ke dalam air. Pukulan
yang seharusnya menghantam bahu belakang
si nenek mendadak amblas tak berbekas ke
dalam telapak tangan sosok tinggi besar
ini. Belum lagi hilang rasa kejut di hati
penyerangnya, tiba-tiba sambil
menyeringai tangan mahluk yang menjelma
dari asap terjulur memanjang mencengkeram
batang leher orang itu. Si penyerang yang
bukan lain adalah Danang Pattira terkejut
besar dan coba selamatkan diri dengan
mencoba berkelit ke samping. Tapi gerakan
tangan yang terjulur memanjang itu
sungguh cepat luar biasa bahkan sulit
diikuti kasat mata. Di lain kejap tahu-
tahu leher si pemuda sudah kena dicekal.
Danang meronta, lehernya terjepit keras.
Sekuat apapun dia kerahkan tenaga untuk
membebaskan diri, namun usahanya itu
hanya sia-sia saja. Semakin keras Danang
meronta, maka jepitan terasa semakin
mencekik hingga membuat pemandangannya
jadi gelap dan kepala serasa mau meledak.
Kreeek!
Terdengar suara tulang leher
berderak patah. Danang Pattira berke-
lojotan sesaat lamanya. Tidak lama
gerakan kaki maupun tangannya makin
melemah hingga tidak bergerak sama
sekali. Mahluk aneh yang keluar dari
telinga si nenek sunggingkan seringai
aneh. Sosok Danang yang telah kehilangan
nyawa langsung dibantingkannya. Kembali
terdengar suara berderak. Sosok setinggi
galah berbalik menghadap ke arah si nenek
cantik, begitu tubuhnya membungkuk maka
sosoknya langsung memudar, lenyap berubah
menjadi gumpalan asap. Dengan cepat
gulungan asap bergerak seperti tersedot
memasuki telinga si cantik. Di saat
seperti itulah dari balik kelebatan pohon
di lereng gunung berkelebat dua bayangan.
Sosok besar yang berada di depan
langsung hantamkan tangan kanannya ke
arah telinga kiri si cantik di mana
mahluk aneh tadi melenyapkan diri.
Tak mau ketinggalan bayangan yang
berkelebat di sebelah si gendut besar
juga ikut melepaskan pukulan ke arah
Arwah Darah Senggini. Dua larik sinar
putih dan kuning menderu, melesat laksana
kilat menghantam telinga dan bagian rusuk
si cantik, hawa panas menghampar. Detik
berikutnya pukulan ganas itu melabrak ke
arah Arwah Darah Senggini. Seakan sadar
terjaga dari tidurnya perempuan cantik
yang wajah aslinya adalah seorang
perempuan tua renta ini masih dalam
keadaan bersila langsung menghindar ke
samping sambil keluarkan seruan keras.
Buum! Buum!
Dua kali ledakan berdentum
terdengar, gunung Liman laksana diguncang
gempa dahsyat. Lubang besar nampak
menganga, mengepulkan asap Hitam pekat
luar biasa. Arwah Darah Senggini yang
baru selamatkan diri dari pukulan
lawannya sempat tercekat. Dia memandang
ke arah datangnya pukulan. Gelap! Bebe-
rapa saat Arwah Darah Senggini terpaksa
menunggu. Tak lama setelah kegelapan
sirna si cantik melihat di depannya
berdiri tegak seorang kakek tua berbadan
tinggi besar berperut gendut berbaju
hitam tidak terkancing. Kakek yang satu
ini dia masih mengenali. Beberapa waktu
yang lalu dia sudah melihatnya, ketika si
cantik melarikan Siwarana. Tapi pemuda di
samping si kakek Bungkuk seperti
Siwarana. Akan tetapi mengapa kulitnya
berubah hitam begitu rupa?
"Jahanam tengik! Gendut sialan, kau
orangnya yang telah menipuku." hardik si
cantik. Gentong Ketawa tertawa terbahak-
bahak.
"Sudah kau dapatkan harta itu?"
tanya si gendut.
"Bangsat! Kubunuh kau!" teriak
perempuan itu. Ingat dengan semua apa
yang dilakukan si kakek dia jadi lupa
dengan tujuan semula yang ingin menguliti
Siwarana dalam keadaan hidup.
"Kau hendak membunuhku? Bagaimana
jika sebelum mati aku minta telinga
kirimu untuk kubuat bekal menuju ke alam
baka?! Ha... ha... ha!" kata si kakek.
"Boleh! Kau bisa mengambilnya
setelah menghadap setan di neraka!"
menyahuti Arwah Darah Senggini. Selesai
berucap dia melompat ke depan, dua tangan
berkelebat. Satu menyambar dada dan
satunya lagi menyambar bagian mulut
Gentong Ketawa.
"Habis mulutku!" seru si kakek. Dia
lalu bergulingan ke belakang, sambil
bergulingan kedua tangan dipukulkan
menyambut serangan Arwah Darah Senggini.
Dess! Dess!
Dua pasang tangan saling bertemu di
udara membuat si gendut terdorong mundur,
jatuh dengan dua kaki tertekuk. Di
depannya sana Arwah Darah Senggini nampak
terhuyung. Dua tangan yang saling bentrok
dengan tangan lawan terasa ngilu sakit di
bagian dalam. Merasakan betapa besar
tenaga dalam yang dimiliki lawannya, kini
dia tak mau berlaku ayal. Kedua tangan
kemudian disilangkan, jemari terkembang,
tenaga dalam diarahkan langsung ke bagian
tangan kiri kanan. Di lain kejap sepasang
tangan yang bersilangan itu telah berubah
laksana besi merah membara.
"Nenek cantik, mengapa wajahmu
tidak kau buat merah membara sekalian
hingga terlihat ujud mu yang sebenarnya?
Ha... ha... ha!" ejek si kakek.
Walau dalam hati Arwah Darah
Senggini terkejut mendengar lawan
mengetahui siapa dia yang sesungguhnya,
tapi si nenek tak menanggapi. Malah kini
dia melakukan gerakan lebih cepat dengan
melompat ke depan. Begitu tubuhnya
melesat dalam gerakan secepat kilat, dua
tangan bergerak ke depan dengan gerakan
menggunting. Sepuluh sinar merah
berkelebat menderu ke arah si kakek
secara bersilangan. Kejut si orang tua
bukan kepalang. Mustahil dia bergerak
mundur, satu-satunya jalan adalah dengan
menjatuhkan diri sama rata dengan tanah.
Tapi sebelum niat terlaksana kaki kanan
si cantik melesat pula membabat pinggang
Gentong Ketawa. Tak mau dirinya terkutung
menjadi dua akibat guntingan sinar merah
itu, si kakek gendut nekat jatuhkan diri,
sedangkan dua tangan dipergunakan untuk
menangkis serangan lawan.
Wuuut! Plak!
Dua sinar merah yang menyerang
secara bersilangan menghantam tempat
kosong, meluncur deras ke belakang si
kakek, membabat putus pepohonan besar.
Pohon roboh bergemuruh. Siwarana bergidik
ngeri melihat bagaimana sinar yang
melesat tadi laksana gunting raksasa
memapras pohon. Sementara di depannya
sana Gentong Ketawa jatuh menelentang
akibat begitu besarnya tendangan lawan
yang harus ditangkisnya.
"Kadal! Perempuan tengik!" teriak
si kakek sambil mengibaskan kedua
tangannya yang nampak bengkak membiru.
"Mampus kau sekali ini!" geram
Arwah Darah Senggini. Sambil berteriak
tanpa menyia-nyiakan kesempatan lagi dia
kembali menghantam lawannya dengan
pukulan yang mematikan.
"Setan kampret!" maki Gentong
Ketawa. Dengan gerakan cepat dia
menggulingkan dirinya ke tempat yang
aman. Sambil bergulingan Gentong Ketawa
lepaskan pukulan 'Selaksa Duka'. Sinar
merah membersit dari telapak tangan si
kakek, lalu menderu deras memapak pukulan
lawannya.
Blaam!
Terjadi ledakan berdentum.
Perempuan itu terdorong dua tombak ke
belakang. Tanah dan bebatuan di tengah
lapangan kecil terbongkar membentuk satu
lubang yang sangat besar di bagian dalam.
Dari bagian dalam lubang yang menganga
akibat pukulan memancar cahaya warna-
warni menyilaukan mata. Melihat semua ini
Siwarana berseru.
"Harta... harta milik leluhurku!"
Tertarik akan apa yang dilihatnya dia
jadi lupa pada bahaya yang mungkin datang
secara tidak terduga. Tanpa pikir panjang
lagi dia segera menghambur dan bermaksud
masuk ke dalam lubang.
"Dodol, kau cari mampus?!" teriak
Gentong Ketawa berusaha mencegah.
"Kakek tua, aku ingin kaya, aku
ingin membangun dunia. Hadapilah perem-
puan sinting itu!" sahut Siwarana tanpa
menghiraukan peringatan si kakek.
"Setan hitam, kulitmu boleh berubah
seribu kali. Tapi aku tetap bisa
mengenali dirimu. Tubuhmu bungkuk, kau
tak bisa menipuku. Boleh aku gagal
mengulitimu hidup-hidup. Sekarang
terimalah ajalmu!" teriak Arwah Darah
Senggini. Belum lagi hilang suara
teriakannya perempuan ini langsung
hantamkan tangannya ke arah Siwarana.
Sinar hitam berkiblat. Tak ampun
lagi langsung melabrak tubuh pemuda itu
yang sudah hampir mendekati lubang.
Siwarana menjerit keras, tubuhnya
melayang jauh dihantam pukulan si cantik.
Gentong Ketawa yang tak sempat menolong
pemuda itu mengingat jaraknya yang
terlalu jauh jadi terlolong.
"Pedang Pembantai Iblis dan seluruh
harta itu?! Semuanya harus menjadi
milikku." berkata begitu Arwah Darah
Senggini berlari cepat dekati lubang. Si
kakek gendut tak tinggal diam.
"Harta dan pedang hebat itu boleh
berada di tanganmu. Tapi nanti setelah
nyawamu dibawa setan terbang ke langit!"
Selesai berucap Gentong Ketawa menghantam
lawan dengan pukulan Iblis Ketawa Dewa
Menangis. Tujuh larik sinar pelangi
menderu sebat di udara, bergulung-gulung
disertai menghamparnya hawa panas luar
biasa. Si cantik tentu tak mau menjadi
korban pukulan maut itu. Sehingga dia
berbalik, lalu pukulkan kedua tangannya
menyambuti serangan lawan. Karena saat
melepaskan pukulan perempuan ini diwarnai
rasa benci dan amarah, tak dapat
disangkal lagi kekuatan yang dilepas-
kannya jadi berlipat ganda. Si kakek
merasa tangkisan lawan membuat tenaga
pukulannya membalik dan seperti hendak
menghantam dirinya sendiri. Sekuat tenaga
secara berturut-turut dia kembali
hantamkan tangannya ke depan. Tetap saja
pukulan susulan yang dilepaskannya seakan
tak memiliki arti sama sekali.
Si kakek gendut jadi keluarkan
keringat dingin. "Celaka, nenek tengik
ini ternyata memiliki ilmu aneh." rutuk
Gentong Ketawa. Dengan tangan kiri masih
didorongkan ke depan, tangan kanan
bermaksud mengambil senjata berupa
trisula berbentuk gagang ketapel tapi
memiliki ketajaman di kedua sisi yang
terselip di bagian pinggang, tapi pada
saat yang bersamaan dari arah samping
kanan berkelebatan tiga sosok tubuh yang
langsung melepaskan pukulan ke arah Arwah
Darah Senggini.
Tiga sinar mau berkiblat, hawa
panas dan dingin datang silih berganti.
Melihat kenyataan ini, si cantik berubah
kaget. Apalagi ketika merasakan hempasan
angin keras yang terasa memanggang dan
mengguncangkan tubuhnya. Dia mencoba
menangkis ketiga serangan yang datang
sekaligus, tapi tiga serangan yang datang
begitu dahsyat tak terbendung. Tak ampun
lagi bagaikan selembar daun ilalang tubuh
si nenek laksana terbang disapu pukulan
ketiga pendatang ini.
Di tengah-tengah deru suara angin
yang menggemuruh, di antara hawa panas
yang datang silih berganti terdengar
suara jerit si cantik. Dia jatuh
terhempas seperti dicampakkan. Dari
bibir, hidung dan mulutnya mengucurkan
darah kental kehitaman. Hebatnya lagi
walau orang tua itu menderita luka dalam
yang sangat parah, tapi dia masih tetap
bertahan hidup. Tapi satu keanehan
terjadi pada wajah Arwah Darah Senggini
ini. Jika semula wajahnya cantik
mempesona seperti perempuan berumur dua
puluh delapan tahun. Kini setelah tiga
pukulan hebat melanda dirinya sontak
wajah si cantik kembali berubah ke ujud
aslinya. Berubah kembali ke aslinya yaitu
berupa sosok nenek renta berambut putih
bermata cekung menjorok ke dalam
rongganya yang besar. Bibir si cantik
yang kemerahan juga nampak mengeriput
besar di bagian bawah.
Jika kakek gendut Gentong Ketawa
terbahak-bahak melihat perubahan itu
sebaliknya tiga pendatang yang terdiri
dari Gento Guyon, Ambini dan Tangan Sial
sempat dibuat heran.
"Hebat. Bagus betul kau punya rupa
yang asli Arwah Darah Senggini. Perempuan
tua rongsokan sepertimu kurasa setan pun
bisa lari bila bertemu denganmu! Ha...
ha... ha!" kata si gendut tanpa hiraukan
kehadiran orang.
SEBELAS
Si cantik yang telah kembali kepada
ujud aslinya akibat terhantam tiga
pukulan hebat itu hanya diam saja. Dia
merasa sekujur tubuhnya seperti lumpuh
kehilangan tenaga, bukan hanya tenaga
saja yang seakan lenyap, tapi juga
tulang-tulangnya laksana hancur, gading
seperti dibetot. Sejuta rasa dendam dan
penasaran memenuhi benak dan hatinya. Dia
menggeram, mulutnya berkemak-kemik mem-
baca mantra untuk menghadirkan mahluk
piaraan yang bersemayam di dalam liang
telinga sebelah kiri.
"Heh, apa yang hendak di laku-
kannya?!" seru Gento yang pada saat itu
sudah berada di samping gurunya.
"Dia hendak menggunakan iblis
piaraannya untuk membunuh kita!" satu
suara berseru, ternyata yang baru memberi
peringatan tadi adalah Si Tangan Sial.
"Gege murid geblek, cegah nenek
itu. Hancurkan asap yang keluar dari
telinganya!" teriak Gentong Ketawa.
Tangan Sial yang hendak bergerak
jadi urungkan niatnya. Gento cepat
mengambil tindakan.
Tiga kali dia berjumpalitan di atas
tanah. Begitu dia sampai ke dekat Arwah
Darah Senggini. Dengan cepat dia
menghantam asap yang keluar dari telinga
kiri orang tua itu. Si nenek menjerit
keras, serta-merta asap yang sudah
mengepul keluar dengan cepat kini melesat
masuk ke dalam, lenyap di balik liang
telinga. Arwah Darah Senggini dengan sisa
tenaga yang ada miringkan bahunya, tangan
diangkat lindungi telinga kiri sedangkan
tangan kanan dipergunakan untuk menangkis
serangan lawannya.
Desss!
"Akh...!" Bentrokan keras membuat
si nenek yang menderita cidera berat jadi
menjerit. Dia kembali terpelanting dan
terjatuh ke dalam lubang.
"Kejar!" teriak Si Tangan Sial. Dia
sendiri segera berkelebat dan melompat
masuk ke dalam lubang yang menganga
lebar. Tidak menunggu lebih lama Gento
segera menyusul diikuti oleh Ambini.
Sedang Gentong Ketawa yang tadinya hendak
mencegah muridnya kini malah duduk
melongo.
Di dalam lubang ternyata suasananya
cukup terang. Begitu sampai ketiganya
jadi terkesima begitu melihat timbunan
harta yang sangat besar jumlahnya. Ambini
sebagai pewaris harta yang sah sempat
tercengang dan tak percaya melihat
kenyataan ini. Tapi dia tidak melakukan
apapun pada harta benda yang tak ternilai
harganya ini. Sebaliknya dia segera
membantu Gento dan Tangan Sial mencari
Arwah Darah Senggini, sepanjang lorong di
bawah tanah tempat penyimpanan harta itu
sudah diperiksa oleh mereka. Tapi ketiga
orang ini tak menemukan orang yang mereka
cari. Arwah Darah Senggini seakan lenyap
ditelan bumi. Di salah satu sudut ruangan
Ambini melihat sesuatu tergolek dalam
keadaan menelentang.
"Gento... di sini...!" seru si
gadis tak berani mendekati sosok yang
tergeletak itu.
Si Tangan Sial dan murid kakek
Gentong Ketawa segera berlari mendekati.
Sejenak setelah melihat sosok dengan
sekujur tubuh serba hitam itu dia jadi
terheran-heran. Jelas sosok itu bukan
mayat Arwah Darah Senggini. Penasaran si
pemuda menghampiri, melangkah lebih
mendekat dan segera meneliti. Walaupun
sekujur tubuh sosok itu dalam keadaan
gosong seperti arang, namun Gento yang
pernah bertemu masih mengenali.
"Siwarana Salah Anuna! Dia adalah
adikmu sendiri Ambini. Tapi bagaimana
tubuhnya bisa berubah gosong begini?
Siapa yang punya pekerjaan?" gumam Gento.
"Aku yang membuatnya begitu. Semula
dia selamat, tapi keserakahan bercokol
dalam hatinya begitu dia melihat harta.
Dia nekad masuk, peringatanku tidak
berguna. Nenek jelek tadi memukulnya, aku
tak sempat menolong. Sekarang jadinya
seperti yang kalian lihat, nama depannya
terpaksa ditambah almarhum!" kata satu
suara. Begitu mereka memandang ke arah
mulut lubang, ternyata yang baru saja
bicara si kakek gendut Gentong Ketawa.
"Adikku... tidak kusangka nasibnya
begini buruk. Bukan hanya dia saja yang
tewas, tapi kakang Danang Pattira kulihat
juga tidak dapat kuselamatkan," desah si
gadis diliputi perasaan duka yang begitu
mendalam. Beberapa waktu berlalu, suasana
dicekam kebisuan. Tapi tak lama kemudian
terdengar Si Tangan Sial berkata.
"Hidup dan matinya seseorang sudah
ada yang mengatur. Siapa yang ingin kaya
silahkan ambil harta itu, kemudian kita
tinggalkan tempat ini!" ucapnya.
"Gege, siapa manusia tangan gosong
itu?" tanya si kakek yang baru menyadari
muridnya datang bersama seorang laki-laki
dan juga gadis cantik.
Gento Guyon tersenyum. "Orang ini
gelarnya Si Tangan Sial, namanya dia
sendiri tidak tahu." si pemuda menyahuti.
"Ha... ha... hal Gelar itu memang
sesuai dengan tampangnya. Kurasa bukan
hanya tangannya saja yang sial, seluruh
hidupnya pasti penuh kesialan! Dan gadis
cantik itu apamu kah? kekasih, atau
sahabat?"
"Inginnya dia jadi kekasihku, tapi
kalau dia tak mau mana berani aku
memaksanya. Ha... ha... ha!" sahut si
pemuda. Dia lalu melanjutkan. "Nama gadis
ini Ambini, puteri almarhum Raden Ponco
Sugiri!"
Gentong Ketawa manggut-mangut. Si
Tangan Sial keluar dari dalam lubang
sedangkan Gento ikut menyusul. Ambini
menarik nafas pendek. Dia meraup
segenggam emas dan permata, memasukkannya
ke dalam kantong perbekalan setelah itu
menyusul keluar pula.
"Bagaimana? Kalian tak menemukan
nenek karondang tadi?" tanya Gentong
Ketawa begitu ketiganya telah berada di
atas lubang.
Tiga kepala sama menggeleng.
"Bangsat itu tak mungkin jadi setan
benaran. Sebaiknya kita ratakan saja
lubang ini. Jika nenek itu ternyata masih
hidup, umurnya pasti tak akan bertahan
lama!" ucap si kakek.
"Guru, jangan bertindak gegabah.
Tanya dulu pada Ambini apakah dia
mengijinkan tindakan guru?" sergah si
pemuda. Gento Guyon, gurunya dan Si
Tangan Sial melirik ke arah si gadis.
Tanpa ragu Ambini menjawab.
"Sebaiknya lubang ini disamaratakan
dengan tanah untuk mencegah hal-hal yang
tak diinginkan!"
"Terima kasih gadis baik!" kata si
kakek. Ambini anggukkan kepala, tapi
matanya mencuri pandang pada Gento Guyon.
Si pemuda kedipkan matanya. Si kakek
gendut angkat tangan kanan, selagi tangan
kanan bergetar dan mulai berubah menjadi
putih laksana perak. Mendadak terdengar
ledakan berdentum. Tanah terguncang
hebat, lubang lenyap tertimbun tanah
lainnya. Begitu si kakek menoleh ke
samping Si Tangan Sial menyeringai.
Kiranya dia yang telah meratakan lubang
dengan kedua tangannya sendiri.
"Sial, kau membuat aku terkejut."
gerutu si kakek.
"Tak perlu kau maki sekalipun dia
memang sudah sial sejak dulu guru. Ha...
ha... ha!" celetuk Gento disertai tawa
bergelak.
"Kau juga manusia sialan Gendut!
Ha... ha... ha!" Si Tangan Sial tak mau
kalah membalas makian si kakek gendut.
Ambini tersenyum melihat tingkah
laku mereka yang seperti anak-anak.
Sedangkan Gento Guyon sendiri hanya dapat
gelengkan kepala sambil mengusap
wajahnya.
-TAMAT-
NANTIKAN EPISODE SELANJUTNYA!!
TUMBAL RATAN SEGARA
0 comments:
Posting Komentar