..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 09 Desember 2024

GENTO GUYON EPISODE HUTANG DOSA

GENTO GUYON EPISODE HUTANG BUDI

 SATU


Malam hari Wonogiri diselimuti 

kegelapan. Walau daerah itu termasuk 

berpenduduk padat, tapi suasana terasa 

sunyi mencekam.

Sedangkan udara dingin terasa 

sangat menusuk. Dalam suasana seperti 

itu, kerlip cahaya bintang pun tak 

terlihat di langit sana sehingga membuat 

orang enggan keluar meninggalkan 

rumahnya.

Sementara di dalam salah satu kamar 

rumah yang besar Danang Pattira sama 

sekali tak mampu memejamkan matanya. 

Entah mengapa sejak sore tadi perasaan 

pemuda itu jadi gelisah. Pemuda itu kini 

malah bangkit dari tempat tidur lalu 

melangkah ke arah jendela. Begitu jendela 

kamar terbuka lebar hawa dingin terasa 

menampar wajahnya. Di langit kilat 

menyambar. Si pemuda yang sangat menyukai 

ilmu sastra julurkan kepala melewati 

jeruji kayu jendela. Wajahnya mendongak 

ke langit. Saat itu langit gelap, gulita 

tertutup mendung, tapi aneh tidak ada 

tanda-tanda hujan akan turun. Ingat akan 

sesuatu membuat wajah si pemuda berubah 

pucat pasi. "Kilat itu, kuharap ini bukan 

merupakan tanda dari kehadirannya." pikir 

si pemuda. Karena perasaannya semakin 

tidak tenang Danang Pattira pun menarik


jendela dan hendak menutupkannya kembali. 

Tapi pada saat itulah hidungnya mencium 

bau sesuatu yang khas. Bau yang sama 

sebagaimana yang sering tercium beberapa 

bulan belakangan. Mendadak tengkuk si 

pemuda terasa dingin. Dia mendengar suara 

dengus nafas aneh. Danang Pattira 

memandang keluar melalui jendela yang 

agak terbuka. Dia melengak kaget saat 

melihat ada satu sosok bayangan samar 

berdiri tegak tak jauh dari jendela itu. 

Si pemuda mencoba memperhatikan lebih 

seksama. Sekali lagi dia dilanda rasa 

kejut yang amat sangat. Sosok yang muncul 

secara samar tadi mendadak hilang raib 

dari penglihatannya. Dengan raibnya sosok 

tinggi besar tersebut pada waktu 

bersamaan pula terdengar satu suara 

perlahan namun cukup jelas. "Danang 

Pattira... kau adalah seorang anak 

manusia yang harus menghambakan diri 

padaku. Seorang hamba harus patuh pada 

siapa dia bertuan. Akulah junjunganmu, 

karena itu pikiranmu dan pikiranku harus 

sejalan agar tercapai semua yang menjadi 

keinginan. Kau tak akan bisa menolak, kau 

tak akan bisa membantah karena seluruh 

jiwa dan ragamu berada dalam genggaman 

tanganku! Datanglah ke mari, datanglah ke 

suatu tempat di mana pertama kali aku 

membimbingmu!"

"Tidak! Aku tidak mau, aku tak bisa


menuruti keinginanmu. Pergilah...!" 

teriak si pemuda dengan suara bergetar 

dan wajah pucat dijalari rasa takut 

teramat sangat.

"Ha... ha... ha! Setelah kebang-

kitanku, tidak ada satu kekuatan pun yang 

boleh menentang. Kau harus turuti apa 

yang menjadi kehendakku, kau juga harus 

menjalankan apa yang menjadi perintah-

ku!!" hardik suara itu lantang dan 

mengandung getaran aneh yang membuat 

Danang Pattira merasa tak punya kekuatan

apa-apa untuk menolaknya. "Celaka! Apa 

yang sesungguhnya terjadi pada diriku 

ini? Otakku tak dapat berpikir 

sebagaimana yang kuinginkan. Pengaruh 

suara itu demikian kuat hingga membuat 

diriku seperti patung mainan. Aku... 

akh...!" Si pemuda mengeluh tertahan. Dia 

merasa bagian belakang kepala seperti 

dihantam palu besar hingga membuat 

kesadaran si pemuda jadi timbul teng-

gelam.

Dalam keadaan seperti itu pula di 

dalam lubuk hati si pemuda timbul satu 

keinginan kuat untuk meninggalkan 

rumahnya. Keinginan itu semakin bertambah 

kuat ketika tadi suara berkata. "Lupakan 

semua beban yang memenuhi hati dan 

pikiranmu. Lekas keluar tinggalkan rumah 

itu, datanglah padaku agar dirimu 

mendapat petunjuk! Ini adalah perintah


yang setan sekalipun tak berani 

membantahnya!"

Sebagaimana yang dikatakan oleh 

suara aneh yang mengandung getaran gaib 

itu, maka Danang Pattira dengan langkah 

kaku mendekat ke pintu. Pintu terbuka, 

hawa dingin dan hembusan angin menampar 

wajahnya. Dia tak memperdulikan semua 

itu. Selanjutnya si pemuda berjalan 

menembus kepekatan malam ke arah mana 

suara aneh tadi sangat mempengaruhi jiwa 

dan pikirannya. Selagi si pemuda berada 

dalam keadaan seperti itu satu keanehan 

lain terjadi pada dirinya. Tiba-tiba 

tubuhnya melesat di udara, berkelebat 

laksana kilat dan berlari cepat melewati 

pucuk semak belukar yang membentang luas 

di depannya. Apa yang dilakukannya ini 

adalah sesuatu yang sangat sulit 

dipercaya. Karena mengingat Danang 

Pattira sendiri sesungguhnya bukan pemuda 

yang memiliki ilmu meringankan tubuh 

maupun ilmu lari cepat sehebat itu. Apa 

yang dipelajarinya selama ini melalui 

kitab peninggalan keluarga baru saja 

sampai pada tingkat dasar jurus-jurus 

silat dan cara menghimpun tenaga dalam. 

Tapi kenyataan yang terlihat saat itu apa 

yang dilakukan si pemuda tidak bedanya 

dengan cara berlari dari seorang 

dedengkot persilatan yang memiliki tenaga 

dalam sangat kuat dan ilmu meringankan


tubuh yang berada di atas sempurna.

Tidak berselang lama Danang Pattira 

telah sampai di satu tempat yang sepi. 

Pemuda itu hentikan langkah, sepasang 

matanya memandang ke depan di mana 

terdapat sebuah lubang empat persegi 

panjang. Lubang dalam keadaan gelap 

gulita, karena di atas lubang dinaungi 

sebatang pohon kamboja.

"Aku... mengapa aku sampai ke 

tempat ini?" batin Danang Pattira merasa 

bingung sendiri. "Kalau tak salah aku 

berada di depan sebuah kubur. Dan kubur 

ini...?!" Wajah si pemuda mendadak 

berubah pucat, sekujur tubuhnya nampak 

bergetar. Ingat akan sesuatu yang terjadi 

di masa lalu, maka tanpa pikir panjang 

Danang Pattira segera memutar langkah 

hendak tinggalkan tempat itu secepatnya. 

Tapi mendadak ada hembusan angin dingin 

menghantam tubuhnya dari arah depan sana 

hingga membuat pemuda itu jatuh 

terpelanting dan nyaris terperosok jatuh 

ke dalam lubang tersebut.

Belum lagi hilang rasa kaget di 

hati Danang Pattira, sepasang tangan yang 

sangat dingin terjulur dari balik 

kegelapan lubang kubur. Kedua tangan itu 

kemudian mencengkeram kedua pelipis si 

pemuda. Danang Pattira menjerit keta-

kutan. Perutnya terasa mual, kepala 

mendadak menjadi pusing karena sepasang


tangan yang teramat dingin itu menebar 

bau busuk yang bukan kepalang. Begitu 

sepasang tangan menekan kedua sisi kepala 

Danang Pattira tak berapa lama kemudian 

dari jemari tangan itu mencuat dua larik 

cahaya disertai mengepulnya kabut tipis 

putih. Cahaya merah secara aneh menembus 

bagian pelipis si pemuda. Kepala Danang 

Pattira bergetar, dia merasakan ada hawa 

dingin membekukan menembus batok kepala, 

mengguncang sel-sel otaknya hingga 

membuat si pemuda meronta dan menjerit 

kesakitan. Dalam keadaan setengah ling-

lung Danang merasakan hawa dingin kini

bergerak turun melalui batang leher terus 

menebar ke sekujur tubuhnya. Sekali lagi 

dia menjerit. Menjerit terus tak 

berkeputusan hingga akhirnya dia tak 

sadarkan diri.

"Ha... ha... ha! Sampai sudah janji 

yang telah ditetapkan. Dalam kebang-

kitanku yang kedua, semua rasa dendam dan 

sakit hati akan kubalas impas! Bocah ini 

sudah kutetapkan untuk mencari saudara-

nya. Dia harus membunuh tiga saudaranya 

yang lain. Aku hidup kembali berkat 

kesaktian yang kumiliki. Kelak untuk 

mempertahankan hidup aku akan memper-

gunakan raganya untuk melindungi diriku!" 

kata satu suara dari arah lubang kubur. 

Kemudian sepasang tangan yang menekan 

pelipis Danang Pattira lenyap. Dari balik


kubur satu sosok melesat keluar dan 

berdiri tegak di samping si pemuda yang 

tergeletak dan belum sadarkan diri.

Dalam gelapnya malam ujud sosok 

yang hanya mengenakan robekan kain kafan 

sebagai penutup aurat tidak terlihat 

dengan jelas. Hanya sekujur tubuhnya yang 

hitam itu menebar bau busuknya bangkai. 

Sekejap lamanya dia memperhatikan si 

pemuda dari ujung rambut hingga ke ujung 

kaki. Mulutnya yang hanya berupa rempelan 

daging busuk menyeringai. "Kutahu kau 

adalah pemuda tolol yang tidak punya 

kepandaian apa-apa. Tapi aku akan 

membuatmu menjadi manusia sakti tak 

tertandingi. Aku Raden Ronggo Anom, mayat 

yang bangkit kembali berkat kesaktian 

Pembeda Asal yang kumiliki. Ha... ha... 

ha!" kata sosok setengah bangkai itu 

disertai tawa tergelak-gelak. Dia 

kemudian berjongkok di samping Danang 

Pattira. Kedua tangan ditempelkan di atas 

dada pemuda itu. Sambil mengerahkan 

tenaga sakti berbau kesesatan ke sekujur 

tubuh si pemuda mulutnya kembali berkata. 

"Raden Ponco Sugiri telah kubunuh. Kupu-

kupu Perak sudah kutebar di empat penjuru 

angin. Kau kini menjadi wakilku untuk 

membunuh saudaramu yang lain. Aku tahu 

dalam hatimu kau merasa senang dan jatuh 

cinta pada adik kandungmu sendiri. Kau 

boleh memilikinya, kuizinkan kau bercinta


dengannya sampai kau muak, namun setelah 

itu dia harus kau bunuh. Tapi kau juga 

jangan lupa untuk membunuh seorang pemuda 

sinting bernama Gento Guyon, kau bawa 

kepalanya kepadaku. Kau mendengar, kau 

mengerti walaupun saat ini kau tak 

sadarkan diri!" kata si Mayat Hidup.

Suara sosok mengerikan itu lenyap, 

kedua tangan yang menempel di dada si 

pemuda nampak bergetar hebat. Kemudian 

secara berturut-turut cahaya merah, 

kuning, putih dan biru membersit dari 

kedua telapak tangan Mayat Hidup dan 

amblas lenyap ke dalam dada si pemuda. 

Dengan lenyapnya cahaya tadi ke dalam 

dada si pemuda maka Danang Pattira 

menggeliat sambil mengerang lirih.

Kejap kemudian pemuda itu duduk, 

dia memandang ke samping dengan tatap 

matanya yang kosong dan berwarna 

kemerahan. Tidak seperti pertama tadi, 

kini dia tidak lagi merasa takut ketika 

melihat sosok angker berbau busuk yang 

berada di sampingnya.

"Kau tahu siapa dirimu?" Mayat 

Hidup dengan suara patah ajukan 

pertanyaan. Danang Pattira anggukkan 

kepala.

"Aku tahu, aku ingat. Ayahku Raden 

Ponco Sugiri, aku anak yang paling sulung 

dari empat bersaudara. Ayahku belum lama 

meninggal," jawab si pemuda lancar tapi


suaranya terdengar kaku.

"Ha... ha... ha! Bagus. Kau tahu 

siapa diriku?" tanya Mayat Hidup lagi.

Danang Pattira terdiam sejenak, 

baru kemudian berucap. "Aku seperti baru 

saja di bawa mengintai ke balik tabir 

gaib. Seseorang yang berada di alam roh 

baru saja mengatakan kau adalah pamanku. 

Namamu Raden Ronggo Anom. Manusia yang 

semasa hidupnya memiliki sifat dengki, 

tamak, serakah, sombong dan tega pada 

saudaranya sendiri. Kau terbunuh sekitar 

tiga puluh tahun yang lalu. Yang 

membunuhmu adalah Jin Babat Nyawa atas 

perintah seorang wanita bergelar Arwah 

Darah Senggini. Arwah Darah Senggini 

mengerjakan perintah seseorang, yaitu 

Raden Ponco Sugiri ayahku. Beliau belum 

lama berselang dikabarkan tewas oleh 

Barep Pandara. Arwahmu yang telah 

membunuhnya!" jelas Danang Pattira tanpa 

perasaan apapun. Kiranya jiwa dan pikiran 

si pemuda telah berada dalam pengaruh 

kekuatan aneh yang disalurkan Mayat Hidup 

ke dalam tubuhnya. Hingga ketika menyebut 

kematian orangtuanya sendiri wajah si 

pemuda tidak memperlihatkan perubahan 

apapun. Seakan Raden Ponco Sugiri yang 

ayah kandungnya itu adalah orang lain 

yang tidak dikenalnya sama sekali.

"Bagus, kau sudah tahu semua. 

Kebangkitanku adalah karena ilmuku. Aku


tak akan tenang jika belum mencari dan 

membunuh Arwah Darah Senggini. Karena itu 

sebagai seorang budak yang telah kubekali 

dengan kesaktian hebat, sudah menjadi 

tugasmu untuk membunuh tiga saudaramu 

yang lain!" tegas Mayat Hidup.

"Dua adikku, Aripraba dan Siwarana 

memang harus mati, tapi Ambini apakah 

harus kubunuh juga? Aku... aku...!"

"Hak... hak... hak! Aku tahu isi 

hatimu. Kau boleh bersenang-senang 

dengannya. Tapi kemudian kau harus 

membunuhnya. Kau kutunggu di gunung 

Liman. Kau mengerti?" tanya si Mayat 

Hidup.

"Aku mengerti." sahut si pemuda.

"Kalau sudah mengerti sekarang 

pergilah. Lakukan tugasmu dan cari orang-

orang yang harus kau bunuh!" Sekali lagi 

si Mayat Hidup menegaskan. Danang Pattira 

anggukkan kepala. Dengan gerakan kaku dia 

memutar tubuhnya dan terus melangkah 

pergi meninggalkan sosok busuk berwajah 

angker mengerikan itu.



DUA



Untuk menghindari kejaran Raden 

Ronggo Anom yang kini telah berubah 

menjadi sosok Mayat Hidup, gadis jelita 

berpakaian putih berambut panjang


tergerai itu terus-menerus mengerahkan 

ilmu lari cepat yang dimilikinya. Sampai 

di satu tempat Ambini merasakan tiba-tiba 

saja pemuda yang dia panggul di bahu 

kanannya terasa semakin berat.

"Aneh, bagaimana dia sekarang 

berubah menjadi seberat ini? Apakah 

karena aku sudah merasa lelah?" membatin 

gadis cantik yang bernama Ambini itu 

heran.

Perlahan Ambini mengurangi kece-

patan larinya, sampai kemudian langkahnya 

terhenti sama sekali. Pada saat itu pula 

si gadis mendengar suara menyiplak yang 

keras seperti orang yang mengunyah 

makanan. Si gadis kerutkan keningnya. 

Mendadak dia turunkan si gondrong dari 

bahunya. Dia pandangi pemuda tampan 

bertelanjang dada itu sekejap lamanya. 

Mata si gondrong dalam keadaan terpejam, 

wajah pucat sedangkan di sudut bibirnya 

masih terlihat sisa darah yang mengering.

"Aku mendengar suara orang memakan 

sesuatu," pikir si gadis. Dia lalu 

mengitarkan pandangan matanya ke 

sekeliling tempat itu. Tak terlihat 

siapapun terkecuali pepohonan besar, 

semak ilalang, bukit-bukit gundul serta 

birunya gunung Liman. "Aku tak salah 

mendengar, ada orang memakan sesuatu 

dengan lahap." membatin Ambini. Sekali 

lagi diperhatikannya pemuda yang


dipanggulnya tadi. Rasanya tak mungkin 

pemuda itu yang makan. Dia terluka dalam, 

mungkin juga saat itu tidak sadarkan 

diri. Ambini menggoyang bahunya yang 

terasa pegal. Di saat itulah dia 

merasakan adanya kelainan pada kantong 

perbekalan yang tergantung di pung-

gungnya. Kantong perbekalan itu kini 

terasa sangat ringan sekali. Sekali lagi 

Ambini pandangi pemuda itu. Sampai 

kemudian dia melihat sesuatu tergenggam 

di tangannya. Mendadak wajah si gadis 

berubah, dia merasa dipermainkan. Kantong 

perbekalan ditariknya ke depan, dibuka 

dan diperiksa isinya. "Benar... dia telah 

mencuri bekal makananku. Kurang ajar, 

jadi dia telah menipuku dengan berpura-

pura terluka parah. Lalu dengan tololnya 

kudukung dia ke tempat yang aman dari 

jangkuan Mayat Hidup. Di atas bahu dia 

pergunakan kesempatan menggerayangi 

kantong perbekalan. Dia makan enak dalam 

panggulanku, apakah dia mengira aku ini 

kuda tolol? Aku bukan binatang 

tunggangan, tapi yang jelas aku memang 

telah berlaku tolol!" dengus Ambini 

merutuki dirinya sendiri. Wajah cantik 

itu bersemu merah. Tapi kemudian bibirnya 

yang merah merekah itu sunggingkan satu 

seringai. "Dia harus tahu akibat dari 

muslihatnya sendiri." berkata begitu 

Ambini ayunkan kaki ke bagian punggung si


pemuda. 

Dess! Desss!

Dua hantaman keras disertai 

pengerahan tenaga dalam menghantam 

punggung si gondrong dua kali berturut-

turut. Pemuda itu terlempar sejauh satu 

tombak, ikan bakar di tangannya tercampak 

entah ke mana sedangkan bagian bahu 

sempat membentur batu besar. Si pemuda 

mengeluh panjang sambil menggeliat 

kesakitan.

"Kau hendak berpura-pura lagi. Aku 

telah berletih diri membawamu ke mari. 

Kusangka lukamu sangat parah, tetapi 

ternyata kau hanya mempermainkan diriku. 

Sungguh manusia tak pandai membalas 

budi!" dengus Ambini.

Si pemuda kedip-kedipkan matanya, 

dia meringis kesakitan. Dengan cepat dia 

bangkit, setelah duduk badannya 

digerakkan ke kiri kanan.

"Ah apa yang terjadi? Rasanya aku 

baru saja mimpi makan ikan bakar yang 

sedap, kemudian aku dibawa lari oleh 

bidadari cantik. Setelah kenyang aku 

merasa bagai ditendang kuda. Tapi tak 

apa-apa, kudanya kuda cantik. Ingin 

sekali aku ditendang untuk yang kedua 

kalinya!" celetuk pemuda itu sambil 

memijit bagian punggungnya yang kena 

tendangan Ambini.

Semakin bertambah jengkel Ambini


mendengar ucapan pemuda itu. Dia yang 

merasa telah dikerjai si gondrong 

melompat ke depan sambil tendangkan kaki 

kirinya. 

Wuuut! 

Tendangan luput karena si gondrong 

telah berkelit dan tahu-tahu berada di 

belakang Ambini. Tangannya yang jahil 

mengelus telapak tangan gadis itu.

"Amboi halusnya. Sayang kelewat 

galak. Ha... ha... ha!"

Ambini cepat memutar badan dan jadi 

kaget begitu melihat si gondrong telah 

duduk di belakangnya. Jika pemuda itu 

punya maksud yang tidak baik tentu sejak 

tadi dia sudah kena ditotok atau 

dicelakai.

"Setan... kau benar-benar pemuda 

edan!" maki Ambini. Dia lalu julurkan 

tangan siap hendak menampar. Si gondrong 

tertawa sambil angsurkan pipinya.

"Kurasa aku lebih senang menerima 

tamparanmu daripada harus menghadapi 

bangkai berjalan tadi!" sahut si pemuda. 

Dia menunggu untuk beberapa saat lamanya. 

Tapi Ambini kemudian turunkan tangannya 

kembali. Dengan perasaan masih memendam

kekesalan si gadis palingkan wajahnya ke 

arah lain, tepatnya di atas sebuah pohon. 

Justru di atas pohon itu ada sekawanan 

monyet yang sedang tunggingkan pantat ke 

arahnya. Tingkah kawanan monyet itu


seolah-olah mengejek si gadis hingga 

membuat wajah Ambini bersemu merah. Dia 

jadi salah tingkah. "Sialan monyet-monyet 

itu! Barangkali pemuda ini masih punya 

hubungan kerabat dengan mereka. Aku tidak 

akan heran jika mereka berpihak padanya, 

huh!" gerutu Ambini dalam hati. Kekesalan 

yang menyelimuti perasaan si gadis 

membuatnya tanpa sadar memandang kembali 

ke arah si gondrong.

Pemuda itu menyeringai. "Kurasa 

memandangku lebih menyenangkan daripada 

memandang pantat monyet-monyet itu. Ha... 

ha... ha!"

"Pemuda kurang ajar, siapakah 

namamu?" tanya Ambini dengan mata 

mendelik. Si gondrong tersenyum. Wajahnya 

berubah cerah ketika dia bangkit berdiri. 

"Kau sudah banyak menolong, bahkan 

menggendongku sampai sejauh itu. Adalah 

tidak tahu diri jika aku tak menyebutkan 

nama." kata si pemuda sambil mengulum 

senyum. Gento melanjutkan. "Dengar! 

Namaku Gento Guyon. Gento... Guyon... 

cukup gampang bagimu untuk mengingatku!

Ha... ha... ha!"

"Gento Guyon? Huh, nama geblek apa 

itu?" pikir si gadis sambil cibirkan 

mulutnya. "He! Gento, namamu memang 

sangat sesuai dengan orangnya. Gento 

mungkin sama dengan Genta, sedangkan 

Guyon kurasa karena kau sering tersenyum


atau tertawa sendiri seperti orang 

sinting. Nama yang bagus, eeh siapa yang 

telah memberimu nama?" tanya si gadis 

dalam hati dia mencibir.

Merasa Ambini senang dengan nama 

yang baru disebutkannya tadi, maka dengan 

bangga sambil berkacak pinggang si pemuda 

menjawab. "Yang memberiku nama tentu saja 

guruku Gentong Ketawa."

"Hi... hi... hi. Bagus sekali, 

tidak salah dugaanku. Kau dan gurumu 

kurasa sama-sama pasangan manusia edan. 

Sekarang aku tak merasa heran jika 

melihat dirimu seperti ini. Gurunya 

berotak miring, muridnya edan. Kau dan 

gurumu pasti memiliki kecocokan satu sama 

lain!" kata Ambini disertai tawa 

tergelak-gelak.

Bukannya tersinggung Gento malah 

ikutan tertawa. Tingkah pemuda itu tentu 

mengundang rasa heran di hati Ambini 

sehingga dia hentikan tawanya seketika 

dan memandang ke arah Gento Guyon dengan 

alis berkerut. Pemuda gondrong ini 

sungguh aneh, pikir Ambini. Dia dan 

gurunya diejek orang bukannya malah 

tersinggung atau marah, sebaliknya ikut 

tertawa. Aneh! 

Melihat si gadis hentikan tawa dan 

terdiam, Gento katubkan bibirnya berhenti 

tertawa. Sejenak dia pandangi Ambini. 

Dalam hati dia berkata. "Gadis ini


memiliki kecantikan sungguh sangat luar 

biasa. Jika aku tidak keliru mendengar 

dia pasti putri Raden Ponco Sudiri, orang 

tua cacat yang mayatnya kutemui di puncak 

gunung Wilis." Gento kemudian teringat 

pada sosok mayat hidup. Manusia separoh 

bangkai yang hendak menculik Ambini dan 

sempat menciderai dirinya beberapa saat 

sebelum Ambini yang menyangka dirinya 

terluka membawanya pergi. Mayat Hidup 

mengaku dirinya adalah Raden Ronggo Anom. 

Saudara tiri Raden Ponco Sugiri yang 

disebut-sebut telah meninggal tiga puluh 

tahun yang silam. Mati dengan cara yang 

aneh! Sangat mendadak dengan luka membiru 

di bagian dalam jantung. Gento jadi heran 

mengapa Mayat Hidup sangat menginginkan 

Ambini? Bahkan nekad menurunkan tangan 

jahat pada dirinya. Sejenak lamanya murid 

kakek Gentong Ketawa pandangi gadis di 

depannya dengan mata berkedip-kedip.

Diperhatikan seperti itu tentu 

membuat si gadis salah tingkah. Paling 

tidak muncul dugaan pemuda gondrong itu 

hendak menjahili dirinya lagi. Sehingga 

Ambini langsung mendamprat. "Berani kau 

berbuat kurang ajar padaku nyawamu tak 

akan kuampuni!"

Gento gelengkan kepala. "Sekali ini 

aku tidak sedang bergurau, Ambini." kata 

si pemuda menyebut nama si gadis. Caranya 

bicara seakan Gento sudah mengenal Ambini


cukup lama. Ini adalah salah satu sikap 

yang sangat disukai oleh si gadis.

"Jadi kau mau bicara apa?" bentak 

Ambini pura-pura tegas dan pasang wajah 

sinis.

"Mengenai Mayat Hidup tadi." sahut 

si pemuda. Dia nampak berpikir sejenak 

baru kemudian melanjutkan. "Aku yakin ada 

sesuatu yang diincar Mayat Hidup dari 

dirimu. Dia tidak mungkin bersikeras 

ingin membawamu pergi jika tidak ada 

sesuatu yang diinginkannya. Mungkin ada 

sesuatu yang sangat penting yang kau 

rahasiakan."

"Sesuatu apa?" tanya si gadis. Dia 

tidak lagi melotot ketika memandang 

Gento, tatap matanya berubah lembut 

bersahabat.

"Maaf jika aku harus bertanya. 

Bukankah engkau adalah putri Raden Ponco 

Sugiri yang kutemui di puncak Gunung 

Wilis?"

"Kau benar. Dan ayah yang kau 

sebutkan telah meninggal tanpa kuketahui 

siapa yang telah membunuhnya?" kata 

Ambini pelan. Nada suaranya bercampur 

kesal dan sedih.

"Aku turut prihatin. Ayahmu 

meninggal begitu rupa, sulit aku mence-

ritakan keadaannya. Tapi apakah di hatimu 

tidak ada keinginan untuk menyelidik awal 

dari segala bencana yang menimpa


keluargamu?" ujar si pemuda dengan hati-

hati. Ambini memperhatikan si pemuda 

beberapa jenak lamanya. Tatap matanya 

yang tajam seolah ingin menembus batok 

kepala Gento, membuatnya jadi tidak enak 

hati.

"Kau bicara seakan tahu benar 

bencana pahit yang menimpa keluargaku. 

Padahal bertemu denganku rasanya baru 

pertama kali." kata Ambini akhirnya, 

seraya kemudian palingkan wajah memandang 

ke jurusan lain.

Gento hendak tersenyum, tapi urung. 

Dia takut Ambini tersinggung. Tidak jadi 

tersenyum dia lanjutkan ucapan. "Mengenal 

dirimu memang baru kali pertama ini kita 

bertemu. Sedangkan mengenai keluargamu 

aku telah mendengarnya dari beberapa 

orang yang kutemui di Wonogiri. Kau 

adalah salah satu dari empat putra Raden 

Ponco Sugiri almarhum. Saudaramu yang 

pertama, paling sulung bernama Danang 

Pattira, saudara yang nomor dua bernama 

Aripraba. Orang yang kusebutkan ini 

pernah kutemui di puncak gunung Wilis 

dalam keadaan menangis mengguguk meratapi 

jenazah ayahnya...!"

"Tunggu!" seru Ambini begitu 

mendengar Gento mengatakan pernah bertemu 

dengan Aripraba. "Kau mengatakan bertemu 

dengan saudaraku yang nomor dua?" tanya 

Ambini yang dijawab Gento dengan


anggukkan kepala. "Aku sendiri sudah 

belasan tahun tak bertemu dengan kakang 

Aripraba. Bagaimana rupa dan keadaannya 

aku juga tak tahu. Baru saja kau tadi 

mengatakan telah bertemu dengan kakang 

Aripraba. Seperti apa dia sekarang?" 

tanya Ambini penuh rasa ingin tahu.

"Dia dalam keadaan sehat saja. 

Perawakan maupun keadaan tubuhnya gembul 

tidak kekurangan sandang tak kekurangan 

pangan. Ilmu kesaktiannya tinggi. Tapi 

jalan pikirannya kurasa tak mudah 

ditebak. Seperti yang sudah kukatakan aku 

sempat bentrok dengannya. Tapi dia 

kemudian pergi begitu saja." jelas si 

pemuda.

Mendengar semua itu Ambini terdiam. 

Dia berpikir bukan mustahil Airpraba yang 

membunuh ayah mereka sendiri. Siapa tahu 

saudaranya yang kedua itu tahu banyak hal 

tentang harta karun milik leluhur mereka 

yang tidak ternilai banyaknya itu. Boleh 

jadi Aripraba yang dikenal dekat dengan 

sang ayah meminta peta rahasia 

penyimpanan harta untuk dikangkanginya 

sendiri. Karena ayahnya tidak memberikan 

peta itu Aripraba lalu membunuhnya. 

Sejenak Ambini berpikir keras. Mencoba 

menghubung-hubungkan satu peristiwa 

dengan kejadian lain. Dia kemudian ingat 

pada Barep Pandara. Di akhir hayatnya 

ketika kupu-kupu perak beracun itu


membunuhnya dia ada menyebut kata 

'Raden'. Apakah mungkin Raden Aripraba 

yang dimaksudkannya atau raden yang lain? 

Dia sendiri telah menyambangi Danang 

Pattira di Wonogiri. Saudara sulungnya 

itu sama sekali tidak menunjukkan tanda 

atau punya tampang sebagai orang yang 

tega membunuh orangtua sendiri. Apalagi 

mengingat Danang Pattira sejak dulu tidak 

menyukai pelajaran silat terkecuali ilmu 

sastra. Jika pun saat itu dia melihat 

sang kakak tengah berlatih ilmu silat, 

tingkatannya masih sangat rendah dan 

boleh dibilang masih berada di tingkat 

paling dasar. Orang seperti dia tak 

mungkin sanggup membunuh ayah kandungnya 

sendiri. Apalagi mengerahkan kupu-kupu 

perak mematikan yang dia ketahui kiriman 

dari alam gaib. Mendadak Ambini menepuk 

keningnya sendiri hingga membuat Gento 

berjingkrak dan melongo.

"Mayat Hidup! Mayat Hidup itu ada 

mengatakan 'Siapa berani membunuh kupu-

kupu perakku!' pikir Ambini. Seakan 

bicara pada dirinya sendiri Ambini lagi-

lagi bergumam. "Yang membunuh ayahku aku 

tak tahu. Tapi kupu-kupu perak itu jelas 

milik Mayat Hidup. Mungkin dia memang 

Raden Ronggo Anom. Paman tiriku yang 

terbunuh sekitar tiga puluh tahun lalu 

dengan cara yang aneh. Lalu siapa yang 

membunuhnya dan bagaimana dia bisa


bangkit, hidup kembali dalam keadaan 

begitu rupa?"

"Ambini apakah kau sedang tidur 

sambil mengigau? Apa yang kau ucapkan?" 

tanya Gento begitu melihat si gadis 

seperti meracau sedangkan mulutnya 

berkemak-kemik tak mau diam. Ditegur 

seperti itu Ambini terkejut. Dalam 

keraguannya antara menerangkan semua apa 

yang dipikirkannya atau tidak pada pemuda 

yang baru dikenalnya itu dia gelengkan 

kepala sambil berkata. "Aku tidak apa-

apa, teruskan apa yang kau katakan tadi!" 

pinta si gadis.

Gento sebenarnya merasa tidak enak 

hati, dia merasa yakin ada sesuatu yang 

disembunyikan gadis itu. Entah apa dan 

mengapa Ambini tak bersedia mengata-

kannya. Tapi Gento kemudian memilih untuk 

tidak menyinggung perasaan orang. "Adapun 

yang ketiga adalah engkau sendiri, lalu 

yang keempat adalah Siwarana Sala Anuna. 

Pemuda yang mempunyai banyak cacat 

menyedihkan telah bertemu denganku pula 

di muara Kali Lanang!" jelas Gento.

Mendengar pengakuan Gento Guyon, 

Ambini sempat tersentak kaget, wajahnya 

berubah, mata dipentang sedangkan mulut 

dengan bibir bagus itu terbuka lebar.


TIGA


Beberapa saat lamanya Ambini tak 

mampu berucap walau barang sepatah 

katapun. Semula dia menyangka Gento hanya 

sekedar bercanda ketika mengaku telah 

bertemu dengan adiknya Siwarana. Tapi 

agaknya Ambini merasa perlu membuktikan 

kebenaran dari ucapan pemuda itu. Hingga 

setelah berpikir sejenak si gadis ajukan 

pertanyaan. "Gento, jika benar kau telah 

bertemu dengan Siwarana adikku, apakah 

kau dapat menerangkan bagaimana ciri-

cirinya?" 

Gento tersenyum mendengar perta-

nyaan Ambini. "Kau ingin mendengarnya? 

Baiklah... ciri adikmu itu wajahnya 

bertotol hitam, hidung pesek, mulut 

seperti tikus, lebih persisnya seperti 

moncong musang. Kemudian badannya 

berjongkok, berpunuk seperti unta. Pokok-

nya ibarat pemandangan adikmu adalah 

pemandangan yang paling tidak menye-

nangkan untuk dipandang. Apakah 

penjelasanku ini sudah cukup jelas 

bagimu?" jawab si pemuda.

Ambini manggut-manggut, wajahnya 

sempat bersemu merah karena mendengar 

ucapan Gento yang terlalu polos. Akan 

tetapi dia tidak merasa tersinggung 

karena apa yang dikatakan Gento memang 

apa adanya.


"Lalu sekarang di mana adikku itu?" 

tanya Ambini. Dalam hati dia berkata. 

"Aku pernah mendengar ayah mengatakan 

dalam diri Siwarana tersimpan satu 

rahasia besar. Jika rahasia itu dapat 

diselamatkan berarti kejayaan keluarganya 

akan terbangkitkan kembali. Tapi jika 

sampai diketahui orang, kecelakaan 

besarlah bagi Siwarana sendiri!"

"Adikmu saat ini bersama seseorang. 

Kurasa mereka sekarang sedang dalam 

perjalanan menuju ke suatu tempat. Kalau 

tak salah aku mengingat mereka menuju ke 

gunung Liman, sebelah timur Ponorogo!"

Mendengar penjelasan si pemuda 

Ambini sempat tercengang. "Gunung Liman, 

Selatan Ponorogo?!" desisnya menirukan 

ucapan si pemuda. "Di sanalah tempat 

rahasia penyimpanan harta warisan 

keluarga. Apa maksud Siwarana pergi ke 

tempat itu. Mungkinkah dia mau 

mengangkangi seluruh harta peninggalan 

leluhurnya?"

"Ambini, setiap aku bicara kau 

selalu terkejut. Dua kali kau seperti 

itu. Mungkin yang ketiga bisa jatuh 

pingsan! Ha... ha... ha." kata si pemuda 

disertai tawa tergelak-gelak.

"Aku tidak apa-apa, yang membuatku 

heran mengapa dia pergi ke sana? Aku 

takut Mayat Hidup muncul di sana. Jika 

urusannya sudah menyangkut masalah harta


siapa saja bisa terbunuh di tempat itu. 

Aku berpikir mungkin ada baiknya jika aku 

juga pergi ke tempat itu." kata Ambini.

"Kurasa kau punya keinginan untuk 

mendapatkan harta itu juga?" sindir Gento 

sambil memandangi wajah cantik Ambini. 

Gadis itu tundukkan kepalanya. "Kau 

salah, kalau pun aku tak menginginkan 

harta itu. Bisa jadi saudaraku yang lain 

akan memperebutkannya. Selain itu jika 

Mayat Hidup sudah ikut campur tangan, 

keadaan bisa menjadi kacau!" menerangkan 

Ambini.

"Baiklah, aku juga harus ikut."

"Ikut?" desis Ambini. Bola matanya 

membesar memandang pada pemuda di 

depannya. Gento tersenyum.

"Aku tahu, mungkin kau risih jalan 

bersamaku. Kalau tak mau kuikuti aku bisa 

berangkat lebih dulu. Bagaimanapun aku 

harus menemui guruku. Sayang jika orang 

gendut itu ikut jadi korban gara-gara 

harta orang. Akan sulit bagiku nanti 

mencari pengganti seperti dia." kata 

pemuda itu disertai tawa tergelak-gelak.

Ambini hanya tersenyum, sifat si 

pemuda yang begitu polos membuat Ambini 

merasa cepat akrab dengan Gento Guyon. 

Dia kemudian mengikuti pemuda itu yang 

telah berjalan mendahuluinya.

***


Di satu tempat di sebelah selatan 

kaki gunung Liman sosok berpakaian hitam 

rombeng melemparkan orang yang 

dipanggulnya sejak tadi. Orang yang 

dilempar mengeluh keras akibat rasa sakit 

yang luar biasa. Dia mencoba menggerakkan 

tubuhnya. Tapi celaka, sekujur tubuhnya 

tak dapat digerakkan sama sekali, kaku 

akibat terkena totokan.

Di depannya sosok hitam berambut 

panjang awut-awutan berwajah cantik 

dengan dandanan mencolok, berbibir basah 

di bagian bawah tegak mengawasi. Di kejab 

kemudian terdengar suaranya yang keras 

melengking. "Tidak salah penglihatanku, 

kau orangnya yang kucari. Belasan tahun 

yang lalu seharusnya kau sudah diserahkan 

padaku. Tapi ayahmu si keparat Raden 

Ponco Sugiri ternyata manusia ingkar 

janji. Dia bukan saja tidak mau 

menyerahkan dirimu, tapi malah 

menyembunyikan kau di muara Kali Lanang. 

Sekarang agaknya janji yang pernah 

diucapkan oleh ayahmu hanya tinggal 

berupa kisah buruk di masa silam. Kau 

sudah berada dalam genggamanku, bukan 

hanya kau saja, tapi seluruh saudaramu 

juga harus menjadi korban, mereka akan 

kubunuh. Hik... hik... hik!"

Si pemuda berpakaian hitam berbadan 

bongkok, berhidung pesek bermulut runcing 

dengan wajah bertotol hitam itu beberapa


saat lamanya nampak terperangah kaget. 

Sama sekali dia tak tahu apa yang 

dimaksudkan oleh perempuan cantik 

berambut panjang awut-awutan yang berdiri 

tegak di hadapannya.

Dia bahkan tak mengerti mengapa 

perempuan itu menculiknya dan membawa 

dirinya ke Gunung Liman. Padahal jauh 

sebelum itu dia bersama si kakek gendut 

luar biasa masih berada di luar kawasan 

gunung. Saat dirinya diculik, si gendut 

Gentong Ketawa sedang istirahat tak jauh 

dari tempat pemuda ini menunggu.

Kemudian entah dari mana datangnya 

tahu-tahu di belakang si pemuda muncul si 

cantik ini. Tanpa banyak bicara dia 

langsung menotok bagian punggungnya, lalu 

membawa pemuda itu pergi. Si pemuda juga 

masih sempat mendengar suara Gentong 

Ketawa memanggil dirinya. Tapi ketika 

kakek itu mengejar si cantik melepaskan 

satu pukulan yang menimbulkan kobaran 

api. Agar lebih jelas ikuti episode 

"Bayar Nyawa". Kini dia memandang ke arah 

perempuan itu karena jalan suaranya tidak 

ditotok sebagaimana bagian tubuh lain, 

maka dengan bebas dia ajukan pertanyaan. 

"Ni sanak, apa dosa dan salahku? Mengapa 

kau menginginkan diriku?"

"Sesuai perjanjian aku menginginkan 

dirimu sejak kau belum lagi menjadi calon 

bayi. Perjanjian yang terikat antara aku


dan ayahmu dengan disaksikan oleh langit 

dan bumi, jin, setan dan makhluk halus. 

Perjanjian itu menyangkut dirimu yang aku 

korbankan untuk Babad Nyawa, setan yang 

jadi piaraanku." Jelas si cantik yang 

bukan lain adalah Wowor Baji Marani alias 

Arwah Darah Senggini.

Seakan tak percaya beberapa saat

lamanya si pemuda nampak tercengang. Sama 

sekali dia tak menyangka dirinya sejak 

terlahir memang dijadikan alat untuk 

memenuhi sebuah perjanjian. Dia yang 

terlahir dalam keadaan cacat begitu rupa 

bagaimana ayahnya masih begitu tega 

melakukan tindakan sekeji itu? Sudah 

hidup tak putus dirundung malang, 

haruskah dia terkubur di perut setan. 

Perlahan mata si pemuda memandang ke arah 

perempuan itu. Dia lalu kembali ajukan 

pertanyaan. "Perempuan cantik jika benar 

kau telah membuat satu perjanjian dengan 

orang tuaku, sebelum aku mati. Dapatkah 

kau jelaskan apa saja isi perjanjian 

itu."

Arwah Darah Senggini dongakkan 

wajahnya, kemudian terdengar suara 

tawanya yang panjang melengking.

"Jahanam gila ini aku sama sekali 

tak ingin mati konyol di tangannya. 

Apapun yang terjadi aku harus bisa 

melakukan sesuatu." batin si pemuda yang 

bukan lain adalah Siwarana Sala Anuna.


Pada saat itu tawa dingin si cantik sudah 

terhenti. Dia nampak berpikir beberapa 

jenak lamanya. Baru kemudian dia berkata.

"Permintaanmu kukabulkan. Kau

dengar baik-baik. Sekitar puluhan tahun 

yang silam ayahmu dan gurunya datang 

padaku. Mereka meminta aku untuk 

melakukan sesuatu agar dapat mengambil 

alih seluruh peninggalan harta kakekmu 

yang telah dikuasai oleh adik tiri 

ayahmu. Permintaan itu kukabulkan dengan 

syarat kelak ayahmu harus menyerahkan 

tangan dan kaki bahkan nyawanya ditambah 

lagi nyawa anaknya yang terlahir 

kemudian. Dia menyanggupi, dan Raden 

Ronggo Anom pun kemudian mati ditangan 

utusanku yang dapat kupercaya. Satu hal 

dari permintaan ayahmu yang tidak 

kupenuhi adalah mengenai harta karun yang 

terpendam di tempat ini. Harta karun itu 

ada di sekitar gunung ini. Harta itu 

harus menjadi milikku." tegas si cantik.

"Baiklah, jika memang sudah begitu 

kenyataan yang harus kuterima, aku juga 

tidak berani membantah atau melanggar 

perjanjian antara engkau dan ayahku. 

Orang tua itu sekarang akupun tak tahu 

bagaimana nasibnya. Jika kau ingin 

membunuhku, bunuhlah! Siapa yang takut 

mati?" teriak si pemuda bongkok dengan 

mata mendelik.

"Hik... hik... hik. Mengenai ayahmu


sekarang dia sudah menjadi raja cacing 

tanah. Sedangkan mengenai niatmu yang 

telah memasrahkan diri padaku sepenuhnya 

kuterima dengan baik. Tapi aku tak bisa 

membunuhmu secepat yang kau inginkan, 

karena di dalam kulit tubuhmu ada sesuatu 

yang harus kuketahui. Sesuatu yang 

menyangkut peta rahasia dan berhubungan 

erat dengan tempat penyimpanan harta 

warisan berada!" jelas Arwah Darah 

Senggini.

"Kau bicara apa perempuan? Boleh 

saja kau geledah seluruh tubuhku. Tapi 

kau tak akan mendapatkan peta apapun. 

Bahkan aku sendiri tak tahu apa yang kau 

bicarakan!" kata si pemuda. Sambil ber-

kata begitu Siwarana kerahkan tenaga 

dalam ke bagian punggung untuk memus-

nahkan totokan si cantik. Akan tetapi 

alangkah kagetnya pemuda ini karena 

ternyata tenaga dalam yang dikerahkannya 

tak mampu memusnahkan totokan itu. 

"Celaka! Jika begini kenyataannya, tidak 

mungkin aku dapat menyelamatkan diri dari 

tangannya?"

"Hi... hi... hi. Bocah calon 

bangkai. Kau boleh bicara apa saja 

sebelum maut menjemputmu. Tapi aku yang 

telah merencanakan segala sesuatunya 

bahkan jauh sebelum kau terlahir ke dunia 

ini tentu tahu satu rahasia besar yang 

tidak diketahui oleh orang lain!" ujar


Arwah Darah Senggini disertai tawa aneh. 

Kemudian dari balik pakaiannya yang dekil 

dan berbau busuk dia mengeluarkan lima 

buah limau besar. Beberapa saat lamanya 

limau ditimang-timang, sementara dua 

matanya yang bening tajam dan nampak 

berbinar aneh terus menatap tajam ke arah 

Siwarana.

Sebaliknya si bongkok berwajah 

dipenuhi totol-totol hitam dalam hati tak 

mampu menutupi rasa kagetnya. "Celaka, 

aku tahu apa gunanya limau itu bagi 

dirinya. Jika air limau ditumpahkannya ke 

sukujur tubuhku, maka tanda-tanda aneh 

seperti peta yang kubawa sejak lahir akan 

terlihat dengan jelas. Semua ini tidak 

boleh terjadi. Aku harus melakukan 

sesuatu untuk mencegah keinginannya, tapi 

apa?" rutuk si pemuda bingung.

Selagi Siwarana tengah berpikir 

keras mencari jalan keluar, pada saat itu 

si angker telah datang menghampiri.

"Kau tahu arti semua ini bukan?"

"Aku sama sekali tidak tahu apa 

maksudmu!" sahut Siwarana.

Arwah Darah Senggini perlihatkan 

seringai. "Sesungguhnya jauh di dalam 

hati kau tahu banyak hal. Tapi di 

hadapanku kau berpura-pura tolol. Kau 

dengarlah mengapa aku tak ingin 

membunuhmu begitu saja. Pertama aku akan 

menguliti tubuhmu dalam keadaan hidup.


Setelah seluruh kulitmu kukelupas baru 

kemudian kulit itu kubentang. Kemudian 

jika sudah kurentang seperti beduk, di 

atas permukaan kulit itu kutuangi cairan 

limau. Andai seluruh kulitmu telah basah 

oleh cairan, pasti peta penyimpanan harta 

itu akan muncul ke permukaan tidak 

ubahnya seperti tato. Dari tanda-tanda 

yang muncul ke permukaan kulit itu 

kuharapkan dapat menemukan tempat yang 

pasti di mana semua harta itu tersimpan! 

Hi... hi... hi."

Mendengar ucapan si cantik 

mendidihlah darah Siwarana. Baginya dia 

tak takut akan kematian. Tapi jika proses 

kematian itu sendiri harus terjadi dengan 

cara begitu rupa, tentu saja ini sangat 

menyakitkan sekali.

"Orang tua cantik, siapa dirimu ini 

yang sebenarnya?" dengus Siwarana dengan 

suara keras. "Mendengar semua apa yang 

kau ucapkan, rasanya kau bukan hanya 

sekedar ingin membunuhku, sebaliknya kau 

sengaja hendak menyiksa aku!"

"Kau benar. Semua ini harus terjadi 

akibat kelalaian orangtuamu sendiri. 

Lebih dari itu agar kau tidak merasa 

penasaran, namaku Wowor Baji Marani. Kau 

juga boleh memanggilku Arwah Darah 

Senggini. Sekarang segalanya sudah sangat 

jelas bagimu. Kau bersiap-siaplah!"

Selesai berkata Arwah Darah


Senggini gerakkan tangannya ke telinga 

kiri. Telinga kiri si cantik memang 

memiliki kelainan yaitu daun telinga 

selain panjang juga nampak sangat lebar 

seperti telinga gajah, hanya jika telinga 

gajah terkesan lembek dan lemah, 

sedangkan telinga si cantik kaku tegak. 

Pada saat si cantik gerakkan tangan 

kanannya ke arah telinga dari mulutnya 

terdengar ucapan. "Berikan sebuah golok 

yang paling tajam padaku. Babad Nyawa 

setelah tubuh pemuda ini ku kuliti, kau 

bebas menjilati daging dan darahnya 

sampai bersih, kalau kau suka tulang 

belulangnya pun boleh kau makan!" kata 

Arwah Darah Senggini sambil tersenyum-

senyum.

Dari bagian lubang telinga si 

cantik terdengar suara menggeram lirih. 

Entah dari mana datangnya kini secara tak 

terduga di tangan si cantik ini telah 

tergenggam sebilah golok tipis berbadan 

lebar dan memiliki ketajaman luar biasa. 

Melihat golok di tangan lawannya Siwarana 

mau tak mau jadi ketakutan juga. Apalagi 

saat itu Arwah Darah Senggini telah 

berjalan ke arahnya, tubuh si cantik 

membungkuk. Golok di tangan berkelebat. 

Siwarana yang menyangka si cantik hendak 

membelah punggungnya jelas tak mempunyai 

kesempatan lain terkecuali memejamkan 

mata karena dia menyadari sejak tadi


telah gagal membebaskan diri dari 

pengaruh totokan lawannya.

Breet! Breet!

Terdengar suara robeknya pakaian 

beberapa kali. Di lain saat baju hitam 

yang dipakai oleh Siwarana jatuh di 

antara dua lengannya. Siwarana merasa 

tengkuknya menjadi dingin, pemuda itu 

menggigil didera rasa takut yang amat 

sangat. Seumur hidup baru kali ini dia 

merasa ketakutan seperti itu. Sebaliknya 

Arwah Darah Senggini tertawa tergelak-

gelak.

Begitu tawa angker si cantik 

lenyap. Dari satu arah tepat di bagian 

lereng gunung mendadak sontak terdengar 

ada satu suara berkata. "Manusia terkutuk 

yang mengaku bernama Wowor Baji Marani 

bergelar Arwah Darah Senggini. Buat apa 

kau bersusah payah menguliti bocah 

bungkuk itu? Kau ingin mendapatkan peta 

yang tersembunyi di bawah permukaan kulit 

pemuda itu? Ha... ha... ha. Kau ini 

memang manusia paling tolol sedunia. Aku 

yang tak memakai peta saja telah 

menemukan di mana harta keluarga Raden

Ponco Sugiri disimpan. Hem, ternyata 

hartanya sangat banyak, terdiri dari 

emas, intan dan permata. Harta ini tak 

mungkin kukangkangi sendiri!"

Arwah Darah Senggini melengak kaget 

dan langsung berpaling ke arah datangnya


suara. Namun dia tak melihat siapapun di 

sana. Di lereng gunung kembali diwarnai 

kesunyian. Si cantik kitarkan pandangan 

matanya ke arah pohon-pohon besar, 

lamping batu dan juga semak belukar yang 

menghalangi pandangan mata. "Suara mahluk 

celaka apa lagi yang baru kudengar 

sekejap tadi. Suara itu datang dari arah 

lereng gunung itu. Mengapa mendadak 

lenyap." Pikir si cantik.

"Wajahmu pucat, tubuh bergetar 

apakah kau takut?" dengus Siwarana.

"Pemuda bungkuk keparat tutup 

mulutmu!" teriak si cantik berang. Dia 

kemudian kembali memusatkan perhatiannya 

ke arah mana suara tadi berasal. "Manusia 

pengecut, berani bicara tapi tak berani 

unjukkan diri. Jika kau benar-benar telah 

menemukan harta itu sebaiknya cepat temui 

aku di sini! Harta itu bukan milikmu, 

sesuai perjanjianku dengan Raden Ponco 

Sugiri harta itu adalah milikku." seru si 

cantik dalam hati dia berkata. "Jika 

bangsat itu mau diajak bicara dan 

terbukti harta itu ada padanya dia pasti 

kubunuh. Kemudian pemuda ini kuserahkan 

pada Babat Nyawa. Apapun yang akan 

dilakukan mahluk piaraanku terhadap 

pemuda ini terserah padanya."

"Ha... ha... ha! Harta ini bukan 

milik siapa-siapa. Aku menemukannya dalam 

satu ruangan terkubur di balik lubang gua


di sebelah barat gunung ini. Sekarang 

harta itu baru saja kuambil sebagian, 

separahnya lagi tentu untukmu. Jika kau 

mau, ambillah sendiri sisanya. Sekali 

lagi kujelaskan. Harta itu ada dalam 

sebuah lubang di sebelah barat gunung 

Liman. Letaknya dalam gua, jangan lupa, 

banyak jebakan di sana. Salah saja kau 

melangkah nyawamu tidak akan ketolongan!"

"Jahanam keparat!" maki si cantik 

bingung. Dia merasakan suara itu datang 

dari empat penjuru arah. "Bagaimana bisa 

terjadi begini? Aku yakin siapapun adanya 

bangsat yang bicara tadi pasti memiliki 

ilmu mengacaukan suara. Dia pasti bukan 

orang sembarangan!" pikirnya lagi.

"Arwah Darah Senggini, dari 

kejauhan ini aku melihat keraguanmu. Kau 

tak punya nyali untuk datang ke sebelah 

timur gunung, masuk ke dalam gua dan 

mengambil harta di dalam lubang 

penyimpanan di dalam perut gua. Atau kau 

ingin agar aku mengambil semuanya. Aku 

pasti mau saja. Aku bisa jadi kaya raya, 

aku bisa mendirikan sebuah kerajaan. Jika 

aku menjadi raja, kau pasti akan kuangkat 

menjadi orang kepercayaanku yang bertugas 

sebagai tukang mengurus kotoran kuda. 

Dengan begitu martabat hidupmu sedikit 

lebih terhormat daripada yang sekarang. 

Ha... ha... ha!"

Mendengar ucapan orang yang terasa


sangat meremehkan dirinya, mendidihlah 

darah si cantik. Apalagi bila menyadari 

sejak tadi Siwarana yang dalam keadaan 

tertelungkup di tanah terus tersenyum 

mengejek.

"Pemuda keparat! Tunggu di sini, 

bagianmu pasti kuberikan. Aku akan menuju 

ke sebelah barat bukit. Jika ternyata 

harta itu tak ada, kau dan bangsat yang 

tidak berani unjukkan diri itu akan 

mendapat ganjaran yang sangat berat 

dariku!" teriak Arwah Darah Senggini.

"Orang tua cantik. Orang yang 

menghinamu mengapa aku yang harus 

menanggung akibatnya?" dengus Siwarana. 

Dalam hati pemuda ini berkata. "Siapa 

orang itu? Suaranya seperti aku kenali. 

Tapi mengapa datang dari empat arah 

begitu? Apakah mungkin yang bicara tadi 

empat orang?"

Dalam pada itu selagi Arwah Darah 

Senggini siap menuju ke sebelah barat 

lereng gunung kembali suara tadi 

terdengar lagi. "Tunggu apa lagi 

perempuan palsu. Perlu kutegaskan sekali 

lagi. Tadi sebelum kutinggalkan gua 

rahasia tempat penyimpanan harta aku 

melihat ada dua orang mendekam tak jauh 

dari gua yang kutinggalkan. Kurasa mereka 

sebangsanya rampok hutan dan begal kecil. 

Sebaiknya kau jangan membuang waktu lebih 

lama. Cepat kau datang ke sana, siapa


tahu mereka belum jauh dari tempat itu! 

Ha... ha... ha."

Arwah Darah Senggini tercengang, 

kedua pipinya menggembung besar, kedua 

mata berkilat tajam menyimpan amarah dan 

rasa penasaran. Tanpa berpikir lebih lama 

dia tinggalkan Siwarana Sala Anuna. 

Sambil berkelebat pergi si cantik masih 

sempat berucap ditujukan pada suara tadi. 

"Harta itu sangat kuinginkan. Tapi jika 

kau menipu, walau aku cuma mendengar 

suaramu, kau pasti akan kucari biar 

bersembunyi di liang neraka sekalipun!"

Tak ada jawaban terkecuali suara 

tawa panjang yang seakan datang dari 

empat penjuru arah.



EMPAT



Hanya beberapa saat setelah Arwah 

Darah Senggini berlalu dari tempat itu 

dari rerimbunan pohon besar di lereng 

gunung Liman berkelebat satu sosok 

berbadan tinggi luar biasa ke arah 

Siwarana. Sosok gendut besar dengan bobot 

lebih dari dua ratus kati jejakkan 

kakinya di samping si pemuda tanpa 

menimbulkan suara sedikit pun. Melihat 

siapa yang datang maka legalah hati 

Siwarana Sala Anuna.


"Kakek... beruntung sekali kau 

cepat muncul. Apakah kau benar-benar 

telah menemukan harta itu?" tanya si 

pemuda.

Si gendut yang bukan lain adalah 

Gentong Ketawa geleng kepala. Sambil 

bersungut-sungut dia keluarkan sebuah 

benda bulat berwarna hitam. Benda itu 

tanpa bicara lagi langsung disumpalkan ke 

mulut si pemuda. "Telan!" perintah si 

kakek.

Tak tahu apa maksud orang tua itu 

sambil gelagapan dia mencoba mengajukan 

pertanyaan. Tapi Gentong Ketawa langsung 

menekan dan mengurut tenggorokan 

Siwarana. "Hegkh...!"

Benda itu amblas memasuki 

tenggorokan si pemuda. Tak urung matanya 

sempat mendelik karena besarnya benda 

hampir tak dapat melewati tenggorokannya.

"Auuu... aku, kau beri apa barusan 

tadi?" tanya si pemuda dengan bersusah 

payah.

"Manusia tolol, keselamatan dirimu 

saja tak ada yang berani menjamin. Masih 

sempat-sempatnya kau bertanya tentang 

segala macam harta sialan itu!" kata 

Gentong Ketawa setengah mengomel. Selesai 

bicara dia hantam punggung Siwarana tepat 

di bagian yang terkena totokan.

Hantaman yang sangat keras memang 

mampu memusnahkan totokan di bagian


punggung pemuda itu. Tapi akibatnya 

Siwarana menggeliat kesakitan, bagian 

punggungnya seperti dihantam palu godam.

"Orang tua sinting, kau... kau 

hendak membunuhku!" pekik Siwarana. 

Badannya menggeliat, melintir bagaikan 

orang yang meregang nyawa.

"Setan, kalau aku mau membuatmu 

mampus bukan begini caranya. Lebih baik 

kupecahkan batok kepalamu sejak tadi." 

gerutu si kakek. Dia lalu menarik tangan 

Siwarana hingga membuat pemuda itu 

bangkit berdiri. "Tidak ada waktu untuk 

bicara panjang lebar. Sebaiknya kau ikut 

denganku kembali bersembunyi di lereng 

sebelah sana."

"Kek... aku tidak dapat pergi 

begitu saja. Aku ingin mengejar perempuan 

tadi!" sergah Siwarana sambil menepiskan 

tangan Gentong Ketawa. Diam-diam si 

pemuda jadi kaget ketika menyadari bukan 

saja cekalan si kakek sulit dilepaskan, 

tapi juga akibat gerakan meronta yang 

dilakukannya membuat tangannya yang 

dicekal Gentong Ketawa laksana dijepit 

baja.

"Sekali lagi kau hendak berlaku 

tolol. Kepandaianmu baru seupil sudah 

berani membusungkan dada hendak menentang 

perempuan iblis itu. Ayo ikut!" dengus si 

kakek gendut. Sekali sentak Siwarana 

merasa tangannya dibetot dan tubuhnya


melayang laksana dibawa terbang. Hanya 

sekejap saja mereka telah berada di 

antara gerumbul semak belukar.

“Kek... mengapa kau melarangku. Kau 

tahu ayahku jadi sengsara akibat ulahnya. 

Bukan hanya ayah, tapi keluarga kami juga 

tercerai-berai karena perbuatannya." Ada 

rasa tidak senang dalam nada ucapan 

Siwarana. Kesal rasanya Gentong Ketawa 

melihat sikap si pemuda yang terlalu 

keras kepala.

"Belum tentu perempuan tadi berada 

di pihak yang kau katakan. Bisa jadi 

ayahmu yang membuat satu kekeliruan. 

Bagaimana kau bisa tahu kejadian yang 

sebenarnya, sedangkan ketika itu kau 

masih menjadi air. Sekarang jika kau tak 

mau mendengar saranku silahkan kau susul 

setan tadi. Apapun yang akan terjadi 

nanti aku tidak mau menolong, tidak pula 

mau membantu. Dengan ilmu kepandaian yang 

kau miliki sekarang ini di hadapannya kau 

tidak mempunyai arti apa-apa."

Sebenarnya Siwarana merasa kesal 

karena dirinya diremehkan terus-menerus. 

Tapi dia pada akhirnya menyadari apa yang 

dikatakan oleh Gentong Ketawa memang ada 

benarnya.

Beberapa jenak lamanya si pemuda 

terdiam, dia lalu ingat sebelum kakek 

gendut itu membebaskan totokannya dengan 

pukulan yang mampu membuat orang biasa


pingsan dia ada memasukkan sesuatu ke 

dalam mulutnya. Sesuatu berwarna hitam 

yang terasa panas membakar ketika 

melewati tenggorokannya.

"Kek...!"

Si orang tua diam saja, malah kini 

dia menoleh ke jurusan di mana tadi 

Siwarana berada sambil mementang mata.

"Kakek gendut. Tadi benda bulat 

hitam yang kau berikan padaku itu apa 

namanya?" tanya si pemuda khawatir. Dia 

takut Gentong Ketawa meracuninya.

Si kakek menoleh, tapi hanya 

sekejap. Setelah itu dia kembali 

memandang ke lapangan gundul di kaki 

gunung. Dengan sikap acuh dia menjawab. 

"Aku kurang tahu pasti. Bisa jadi kotoran 

hewan, mungkin juga kotoran kampret. Yang 

jelas benda itu pasti ada artinya bagimu. 

Setelah menelan benda itu kujamin Arwah 

Darah Senggini tidak berminat lagi pada 

kulitmu. Bisa jadi begitu bertemu kembali 

denganmu dia langsung membunuhmu! Ha... 

ha... ha!" kata si kakek disertai tawa 

berderai. Tapi ketika sadar bahwa 

sebenarnya mereka sengaja sembunyi di 

tempat itu dengan cepat si kakek menekap 

mulutnya.

"Kek... kakek gendut mengapa tiba-

tiba saja kulitku jadi begini?!" seru 

Siwarana. Si kakek cepat menoleh, dia 

jadi melengak kaget begitu melihat


sekujur tubuh si bongkok telah berubah 

menghitam seluruhnya. Dimulai dari bagian 

wajah, leher, badan, tangan dan kaki 

semuanya berubah hitam macam arang.

"Kau apakan diriku, kau beri apa 

aku tadi? Mengapa aku jadi begini?" pekik 

Siwarana sambil memperhatikan telapak 

tangannya yang juga ikut menghitam.

Dari rasa kaget, kini setelah 

menyadari segala sesuatunya Gentong 

Ketawa tak mampu lagi menahan geli. Dia 

tertawa terkekeh-kekeh. "Bagus, kulitmu 

sudah gosong macam pantat kuali. Dengan 

begitu walaupun nenek setan tadi 

mengguyur kulitmu dengan cairan jeruk 

pulang balik peta yang ingin dilihatnya 

pasti tak akan pernah muncul. Ha... ha... 

ha." kata si kakek sambil memengangi 

perutnya. Dia kemudian melanjutkan. "Kau 

tak perlu merasa gusar. Serbuk arang yang 

kau makan tadi tidak berbahaya. Malah 

keadaanmu yang seperti ini akan 

menguntungkan dirimu sendiri. Bagus 

sekali. Kurasa inilah cara satu-satunya 

untuk menolong dirimu."

Siwarana tak mampu bicara. Apa yang 

terjadi pada dirinya jelas merupakan 

sebuah kenyataan yang sulit untuk 

dipercaya. Tapi bila ingat akan peta 

harta yang konon menyatu dengan kulitnya. 

Mungkin tindakan gila yang dilakukan 

Gentong Ketawa memang ada benarnya.


Menurut ayah Siwarana, bila tubuhnya 

tersiram cairan limau, maka di permukaan 

kulit akan muncul tanda-tanda tertentu 

yang menjadi petunjuk satu-satunya di 

mana harta peninggalan leluhurnya itu 

berada. Sedangkan mengenai bagaimana peta 

rahasia itu bisa berada di kulit 

punggungnya. Sebagaimana yang pernah 

diuraikan dalam episode 'Bayar Nyawa', 

Arwah Darah Senggini memerintahkan Babat 

Nyawa mahluk gaib piaraannya memindahkan 

peta yang asli ke tubuh Siwarana semasa 

pemuda cacat itu berada dalam kandungan 

ibunya. Kini setelah tubuhnya menghitam 

tentu tak mungkin lagi bagi Arwah Darah 

Senggini bisa menemukan tanda-tanda 

rahasia penting yang ingin dilihatnya di 

tubuh Siwarana. Diam-diam pemuda itu 

merasa kagum melihat jalan pikiran orang 

tua itu.

"Kek... walaupun tubuhku telah 

berubah seperti arang gosong seperti ini, 

aku merasa berterima kasih setelah 

menyadari maksud dan tujuanmu. Sekali 

lagi aku yang bodoh ini mengucapkan 

terima kasih!" kata si pemuda sambil 

membungkukkan badan.

Gentong Ketawa menanggapinya dengan 

tersenyum. "Tak perlu berterima kasih tak 

usah memakai segala peradatan. Segala 

sesuatunya masih belum berakhir. 

Perempuan itu bagaimanapun pasti akan


mencarimu lagi. Bukan hanya kau, dia juga 

pasti mencariku."

Mendengar ucapan si kakek Siwarana 

jadi kaget. "Kek, apakah kau telah 

menipunya?" tanya si pemuda.

Gentong Ketawa sekali lagi 

mengumbar senyumnya. "Aku tidak pernah 

menipu orang. Kebanyakan manusia itu 

tertipu karena kebodohan dirinya sendiri. 

Ha... ha... ha!" menjawab si kakek gendut 

disertai tawa mengekeh.

Siwarana terdiam dan gelengkan 

kepala. Dia kini semakin menyadari bahwa 

sesungguhnya jalan pikiran si gendut 

selain rumit juga tak gampang ditebak.

***

Kita tinggalkan Gentong Ketawa dan 

pemuda cacat itu. Kini kita ikuti si 

Arwah Darah Senggini yang sedang dalam 

perjalanan menuju ke sebelah barat gunung 

Liman. Sejak mendengar ucapan suara orang 

yang datang dari lereng gunung, 

sebenarnya perempuan cantik ini ingin 

sekali merampas harta yang menurut 

pengakuan pemilik suara itu telah berada 

di tangannya. Tapi Arwah Darah Senggini 

kemudian berubah pikiran. Jika benar 

harta itu tersimpan di dalam sebuah gua 

di sebelah barat lereng gunung 

sebagaimana yang dikatakan oleh suara.


Bukan mustahil masih banyak harta lain 

termasuk juga beberapa jenis senjata 

sakti yang konon sengaja disimpan oleh 

leluhur Raden Ponco Sugiri di tempat itu. 

Tadi orang yang bicara namun tak mau 

unjukkan diri tidak ada menyebut tentang 

segala macam senjata terkecuali harta 

yang telah diambilnya. Ini berarti 

senjata pusaka yang disimpan bersama 

harta warisan masih belum ditemukan. 

Ingat akan semua ini membuat Arwah Darah 

Senggini sambil berlari menelusuri lereng 

gunung tersenyum sendiri. "Dasar manusia 

tolol. Dia boleh saja memiliki kesaktian 

tinggi dan juga penglihatan yang jeli. 

Tapi apa gunanya jika pedang Pembantai 

Iblis yang konon ikut disembunyikan

bersama harta kekayaan itu tidak 

ditemukannya. Padahal Pedang itu sangat 

penting. Konon siapapun yang memiliki 

senjata sakti mandraguna ini bisa 

dipastikan dapat menguasai hampir seluruh 

bagian dunia. Hik... hik... hik! Tak ada 

orang lain yang pantas memiliki senjata 

maut itu terkecuali diriku!" kata si 

cantik. Beberapa saat kemudian Arwah 

Darah Senggini hentikan langkah. Dia 

menarik nafas pendek, sedangkan kedua 

matanya yang nyaris tenggelam ke dalam 

rongganya berputar liar merayapi bagian 

lereng gunung yang ditumbuhi pepohonan 

berdaun lebat.


"Siapapun pendahulu Raden Ponco 

Sugiri yang kaya itu, dia pasti seorang 

manusia yang amat cerdik. Tempat ini 

terlindung dari penglihatan orang. 

Sekarang aku berada di sebelah barat 

lereng gunung, hanya tinggal mencari di 

mana letak gua itu!" pikir si cantik. 

Setelah itu dia menelusuri lereng gunung 

yang dipenuhi pepohonan besar dan semak 

belukar.

"Aku tidak menemukan gua itu. Hem, 

mungkinkah dia membohongi akui" pikir 

Arwah Darah Senggini mulai diliputi rasa 

gelisah dan hati bimbang. Karena 

penasaran si cantik kemudian mulai 

mengobrak-abrik seluruh tempat itu. Di 

lain kejap si cantik menyeringai. "Aku 

telah menemukannya. Ternyata dia tidak 

berdusta!" serunya begitu melihat sebuah 

gua kecil yang terlindung ranting dan 

daun-daun lebat berada tepat di depannya. 

Sekali berkelebat si cantik telah sampai 

di depan mulut gua. Bagian dalam gua 

ternyata dalam keadaan gelap gulita. 

Arwah Darah Senggini gosok-gosokkan kedua 

tangannya. Setelah itu dia mengalirkan 

tenaga dalam ke bagian tangan itu. 

Sret! Pyaar!

Dari telapak tangan si cantik 

sampai ke bagian siku tiba-tiba saja 

memancar cahaya putih berkilauan. 

Sehingga suasana ruangan dalam gua yang


"Siapapun pendahulu Raden Ponco 

Sugiri yang kaya itu, dia pasti seorang 

manusia yang amat cerdik. Tempat ini 

terlindung dari penglihatan orang. 

Sekarang aku berada di sebelah barat 

lereng gunung, hanya tinggal mencari di 

mana letak gua itu!" pikir si cantik. 

Setelah itu dia menelusuri lereng gunung 

yang dipenuhi pepohonan besar dan semak 

belukar.

"Aku tidak menemukan gua itu. Hem, 

mungkinkah dia membohongi akui" pikir 

Arwah Darah Senggini mulai diliputi rasa 

gelisah dan hati bimbang. Karena 

penasaran si cantik kemudian mulai 

mengobrak-abrik seluruh tempat itu. Di 

lain kejap si cantik menyeringai. "Aku 

telah menemukannya. Ternyata dia tidak 

berdusta!" serunya begitu melihat sebuah 

gua kecil yang terlindung ranting dan 

daun-daun lebat berada tepat di depannya. 

Sekali berkelebat si cantik telah sampai 

di depan mulut gua. Bagian dalam gua 

ternyata dalam keadaan gelap gulita. 

Arwah Darah Senggini gosok-gosokkan kedua 

tangannya. Setelah itu dia mengalirkan 

tenaga dalam ke bagian tangan itu. 

Sret! Pyaar!

Dari telapak tangan si cantik 

sampai ke bagian siku tiba-tiba saja 

memancar cahaya putih berkilauan. 

Sehingga suasana ruangan dalam gua yang


gelap gulita jadi terang benderang. Tapi 

seiring dengan cahaya yang menerangi si 

cantik mendadak jadi kaget, wajahnya 

berubah pucat begitu melihat kenyataan 

yang ada ternyata tidak sesuai dengan apa 

yang diangankannya! Di bagian lantai gua 

yang luar bukan terdapat emas atau 

permata sebagaimana yang dikatakan oleh 

suara tadi, melainkan tumpukan tulang 

belulang manusia.

"Jahanam celaka! Aku telah 

ditipunya! Suara keparat itu!" teriak 

Arwah Darah Senggini. Mata si cantik 

berkilat tajam, kedua tangan terkepal, 

geraham bergemeletukan menahan amarah. 

Dengan langkah gemetar dan nafas terasa 

menyesak dia segera melakukan pemeriksaan 

di bagian dalam gua. Karena bagian dalam 

gua semakin bertambah gelap, maka Arwah 

Darah Senggini terpaksa lipat gandakan 

tenaga dalamnya. Sampai di salah satu 

sudut gua langkahnya terhenti. Dia 

melihat ada sebuah pintu batu di sudut 

gua ini. Setelah memperhatikan pintu 

tersebut agak lama, perlahan kemarahan di 

hatinya berangsur surut. Timbul sedikit 

harapan untuk mendapatkan apa yang dia 

inginkan. Sehingga tanpa pikir panjang 

lagi dia pun langsung mendorong pintu 

batu itu.

Dengan kedua tangan yang meman-

carkan cahaya pintu didorongnya. Tapi


sedikitpun pintu batu tidak bergeming 

apalagi terbuka. Melihat kenyataan ini 

semakin bertambah besarlah harapan Arwah 

Darah Senggini. "Aku hampir merasa pasti 

dibalik pintu ini pasti tersimpan harta 

itu. Hanya kurasa orang yang tidak berani 

unjukkan diri tadi telah menutupnya 

kembali atau sengaja mengunci alat yang 

ditemukannya." kata orang tua itu. Dia 

lalu mencari batu tombol pembuka pintu 

batu di sekitar dinding. Karena tidak 

ditemukan alat itu, si cantik lalu 

memeriksa bagian lantai gua. Di bagian 

ini dia menemukan satu lubang berbentuk 

empat persegi seukuran telapak tangan. Di 

bagian lubang dia melihat sebuah rantai 

baja yang di bagian ujungnya terdapat 

bandul batu panjang. Batu itu agaknya 

sebagai alat untuk menggerakkan rantai 

yang berhubungan langsung dengan pintu 

batu. Akan tetapi sekali lagi si cantik 

harus menelan rasa kecewanya karena batu 

penggerak rantai ternyata sengaja 

dihancurkan oleh seseorang.

"Jahanam! Sungguh licik dia! Dia 

hancurkan batu ini agar orang lain tidak 

bisa mengambil harta ataupun pedang 

Pembantai Iblis. Awas! Kematian telah 

kutetapkan bagimu. Kau tak akan lolos 

dari tanganku!" geram Arwah Darah 

Senggini dengan wajah merah padam. Sekali 

lagi dia pandangi pintu batu. Setelah itu


dia bangkit berdiri, mulutnya yang selalu 

berkomat-kamit seperti seorang dukun 

menggereng. "Tak ada jalan lain. Akan 

kuhancurkan saja pintu ini!" Selesai 

berkata Arwah Darah Senggini rentangkan 

kedua kaki sambil melangkah mundur 

mengambil jarak. Tidak terpikirkan lagi 

olehnya bagaimana seandainya langit-

langit gua mendadak runtuh begitu dia 

melepaskan pukulan. Dia bisa terkubur 

hidup-hidup di tempat itu.

Dua tangan lalu dikibaskan, sinar 

putih yang memancar dari kedua tangannya 

mendadak padam hingga membuat gua menjadi 

gelap pekat kembali. Beberapa saat 

kemudian kedua tangan segera dialiri 

tenaga dalam, mulut berkemak-kemik 

sedangkan tubuh si cantik nampak 

menggeletar pertanda dia mengerahkan 

seluruh tenaga dalam yang dia miliki.

Dalam waktu sekejap dari telapak 

tangan Arwah Darah Senggini memancar 

cahaya biru terang. Ini merupakan salah 

satu pukulan andalan yang dimiliki si 

cantik. Jangankan manusia atau batu, besi 

sekalipun akan hancur leleh bila terkena 

pukulan maut itu. Beberapa saat berlalu, 

detik berikutnya si cantik hantamkan 

kedua tangannya ke arah pintu batu.

Wuuus!

Angin menderu, hawa panas membakar 

menyertai berkelebatnya sinar biru


menyilaukan mata. Suasana di dalam gua 

mendadak sontak berubah panas mengerikan 

laksana berada di neraka. Bummmm! Terjadi 

ledakan dua kali berturut-turut. Dinding 

dan langit-langit gua terguncang hebat, 

pintu batu jebol, hancur berkeping-keping 

dikobar api. Si cantik kembali kibaskan 

tangannya. Mendadak kedua tangan kembali 

berkilauan memancarkan cahaya putih 

menyilaukan mata. Setelah tangan yang 

bercahaya menerangi ruangan itu si cantik 

julurkan kepala melihat ke balik pintu 

yang hancur berkeping-keping. Di balik 

pintu dia tak melihat apa-apa terkecuali 

kegelapan semata karena pancaran cahaya 

dari tangannya tak sanggup menembus 

kepekatan di balik pintu batu. Tapi 

sebelum si cantik mengambil keputusan 

untuk meneliti ke dalam, pada saat itu 

pula terdengar suara berdengung disertai 

suara bergemuruh aneh.

Dengan mata melotot si cantik 

memandang ke arah kegelapan di balik 

pintu. Dalam hati dia berkata. "Aku, aku 

mendengar suara seperti lebah pindah 

sarang. Jangan-jangan...!" Arwah Darah 

Senggini mendadak diliputi kebimbangan. 

Kebimbangan si cantik belum lagi lenyap 

ketika suara dengung yang tadinya cukup 

jauh kini terasa lebih dekat. Hanya 

sekejap kemudian dari balik kegelapan 

bermunculan ratusan lebah penyengat


sebesar ibu jari tangan menyerang Arwah 

Darah Senggini.

"Akh... jahanam keparat! Bangsat 

itu telah menipuku! Akh... lebah celaka." 

Aku harus menyingkir dari gua celaka ini 

secepatnya!" teriak si cantik kaget juga 

panik. Tapi dalam kagetnya ini si cantik 

tidak kehilangan kewaspadaannya. Sebelum 

dia berlari menghambur keluar di mulut 

gua dia memutar kedua tangannya. Angin 

menderu membentuk perisai diri. Ratusan 

lebah yang menyerang si cantik jatuh 

terpelanting. Sebagian di antaranya ber-

kaparan tewas, sedangkan sisanya yang 

selamat kembali menyerang dengan 

kecepatan berlipat ganda.

"Binatang keparat!" maki si cantik. 

Dia nampak kalang kabut dan kerepotan 

sekali. Tanpa pikir panjang dia lepaskan 

pukulan berturut-turut ke delapan penjuru 

arah. Sambil melepaskan pukulan si cantik 

itu berkelebat keluar, lari terbirit-

birit selamatkan diri.

Di belakang si cantik terdengar 

suara ledakan keras menggelegar disertai 

suara bergemuruh runtuhnya gua itu. Debu, 

batu dan pasir beterbangan di udara. 

Sebagian besar lebah itu terpanggang di 

dalam gua yang runtuh sedangkan sisanya 

berputar-putar di atas reruntuhan gua.

Setelah berada di tempat yang aman 

Arwah Darah Senggini hentikan larinya.


Nafas si cantik mendengus-dengus seperti 

seekor kuda kurus yang baru saja berlari 

menempuh jarak yang jauh. Wajah angkernya 

pucat pasi, sekujur tubuh basah bersimbah 

keringat.

"Suara itu sungguh tak kuduga 

berani menipuku. Aku Arwah Darah Senggini 

masih kena dikadalinya. Hemm... dia harus 

merasakan pembalasanku!" geram si cantik. 

Di tengah rasa kecewa dan amarah yang 

amat sangat dia teringat pada Siwarana. 

"Pemuda itu sebaiknya kubunuh saja, baru 

setelah itu kuambil kulitnya!" gumam 

Arwah Darah Senggini sambil menyeka 

dagunya yang meneteskan keringat. 

Kemudian tanpa menunggu lebih lama dia 

segera tinggalkan tempat itu, kembali ke 

sebelah selatan bukit.



LIMA



Setelah tidak menemukan saudara tua 

di tempat kediaman yang terletak di 

daerah Wonogiri, Aripraba yaitu putera 

kedua Raden Ponco Sugiri almarhum tanpa 

tujuan menuju ke arah selatan. Di satu 

dusun sepi bernama Munjul Dadane dia 

singgah sejenak untuk melepas lelah 

sekalian menyerap kabar tentang sanak 

keluarganya yang tercerai-berai tak 

karuan rimbanya. Walaupun kejayaan 

keluarga Raden Ponco Sugiri sudah redup


kehilangan pamornya. Namun cukup banyak 

juga orang tua atau sesepuh dusun itu 

yang masih mengenal Aripraba. Apalagi 

mengingat semasa kecil dulu pemuda 

berpakaian serba hitam ini memang sering 

bermain ke dusun itu.

Di antara sekian banyak orang yang 

menyambut kehadiran Aripraba adalah salah 

seorang laki-laki tua yang biasa 

dipanggil dengan Akik Sarawana. Orang tua 

berwajah tirus berambut putih dan 

memelihara jenggot panjang ini kelihatan 

masih seperti dulu. Walau sudah sangat 

tua namun tubuhnya masih kekar dan sehat, 

sedangkan tatap mata si kakek mencorong 

tajam berwibawa. Ketika melihat 

kemunculan Aripraba, si kakek langsung 

menghampiri sambil berucap. "Gusti Allah 

Maha Besar. Baru saja tadi malam saya 

bermimpi Raden menemui saya. Tidak 

disangka hari ini mimpi itu menjadi 

kenyataan." ujar Akik sambil merangkul 

Aripraba yang semasa kecil dulu sudah 

menganggap Akik Sarawana sebagai kakek 

sendiri.

Aripraba balas memeluk laki-laki 

itu. Beberapa saat kemudian dia 

melepaskan pelukannya sambil berkata. 

"Akik, jangan lagi engkau memanggilku 

Raden. Rasanya aku sudah tidak pantas 

lagi menyandang gelar bangsawan seperti 

itu. Aku sekarang adalah seorang


pengembara. Di sini aku hanya singgah 

sebentar saja, aku butuh beberapa 

keterangan. Siapa tahu Akik dapat 

membantuku!"

Akik Sawarana tersenyum memper-

lihatkan giginya yang ompong di sana-

sini. Dia pandangi pemuda gondrong 

sejenak lamanya. Walaupun Aripraba tidak 

mengatakannya. Namun si Akik agaknya tahu 

bahwa ketika itu sangat banyak beban 

persoalan yang menghimpit pikiran 

Aripraba. Masih dengan suara lembut 

seperti dulu sang Akik berkata. "Den, 

sebaiknya mampirlah dulu ke rumah saya 

sebentar saja. Di sana Raden bisa melepas 

lelah, saya akan menyuruh nini Sukoweni 

istri saya membuat kopi gula batu 

kesukaan Raden!" ajak Akik Sarawana agak 

memaksa. Dia bahkan menarik tangan kiri 

Aripraba sehingga membuat pemuda itu tak 

berani menolak keinginan si kakek yang 

sudah dianggapnya keluarga sendiri.

Sepanjang jalan menuju ke rumah 

Akik Sarawana yang cukup jauh itu si 

orang tua banyak cerita tentang per-

kembangan dusunnya.

"Keadaan tidak seperti dulu lagi, 

den. Daerah ini adalah dusun tandus. 

Musim hujan sulit diharapkan kedatangan-

nya. Bencana kelaparan sudah sering 

terjadi. Dulu segalanya masih lebih 

gampang ketika Raden tinggal di Wonogiri.


Raden dan keluarga Raden sering membantu 

kami para warga dusun. Tapi sekarang 

semua itu hanya tinggal kenangan yang 

indah. Oh iya, mengenai saudara tua 

Raden, ee... siapa namanya?" tanya Akik 

Sarawana yang lupa mengingat nama orang.

"Danang Pattira?!" ujar Aripraba.

Akik Sarawana manggut-manggut, tapi 

wajahnya terlihat murung.

"Akik, jika kau memang melihat 

saudara tuaku itu harap, Akik mau 

memberitahu di mana dia berada! Terus 

terang saat ini aku memang sedang 

mencarinya!" ujar Aripraba sambil memper-

hatikan wajah si Akik tua yang entah 

mengapa mendadak saja berubah murung.

Di sampingnya Akik Sarawana menarik 

nafas pendek, dia gelengkan kepala 

sebelum pada akhirnya membuka mulut 

berucap. "Baru saja tadi pagi saya 

melihat Raden Danang Pattira muncul di 

dusun ini Raden. Saya yang saat itu baru 

hendak pergi ke sawah menegurnya, tapi 

aneh dia bersikap seakan tidak mengenali 

diri saya. Saya melihat ada sesuatu yang 

tidak beres telah terjadi dalam diri 

Raden Danang...." kata Akik Sarawana agak 

hati-hati.

Mendadak langkah Aripraba terhenti, 

tangan kanannya bergerak ke samping 

menahan dada si Akik hingga langkah orang 

tua ini jadi tertahan. "Kau mengatakan


telah terjadi ketidakberesan dalam diri 

kakakku? Tidak beres bagaimana, Akik?" 

desis si pemuda.

"Sulit saya menjelaskannya Raden. 

Saya melihat tatap matanya yang dingin 

menerawang kosong. Mungkin.. mungkin...!" 

Tak sanggup kakek itu menjelaskan segala 

yang dilihatnya. Dia mengusap tengkuknya 

yang mendadak berubah dingin.

"Akik, aku percaya padamu. Harap 

kau jangan membuat pusing kepalaku!" 

tegas Aripraba.

Yang ditegur menoleh ke kanan dan 

kiri jalan. Seakan dia ingin memastikan 

kalau di tempat itu tak ada orang lain 

terkecuali mereka berdua. Setelah merasa 

dalam keadaan aman dia berkata dengan 

suara perlahan sekali. "Mungkin, 

mungkin... Raden Danang telah dimasuki 

kekuatan iblis. Karena setelah berpapasan 

dengan saya dia membantai beberapa laki-

laki yang dijumpainya."

"Hah?!" Aripraba jadi tercekat. 

"Bagaimana mungkin saudaraku yang berhati 

lembut dan suka akan syair bisa berubah 

sekejam itu?" pikir si pemuda.

"Raden, sebaiknya cepat ikuti saya. 

Segala sesuatunya akan menjadi enak bila 

kita bicarakan di rumah saya," ujar si 

Akik. Aripraba anggukkan kepala. Dia 

kemudian segera mengikuti orang tua itu 

yang sudah melangkah mendahuluinya.


Tak berselang lama mereka telah 

sampai di depan sebuah rumah berpagar 

bambu beratap ilalang. Bagian pintu depan 

rumah dalam keadaan tertutup. Saat itu 

suasana terasa demikian sepi hingga 

mengundang rasa curiga bagi si kakek tua.

"Aneh, ke mana perginya nini 

Sukoweni. Jika dia pergi ke rumah 

tetangga tentu pintu tidak dibiarkan 

terbuka begini rupa. Sungguh teledor 

sekali dia. Bagaimana kalau ada pencuri 

masuk ke dalam sana?" Akik Sarawana 

mengomel sendiri. Kakek ini lalu 

memanggil istrinya. Sekali sampai dua 

kali tetap tak ada jawaban. Si Akik 

geleng kepala. "Dasar perempuan, kalau 

sudah tua gampang lupa dan semakin 

pikun."

"Sebaiknya kita lihat saja ke 

dalam, Akik." usul Aripraba yang entah 

mengapa mendadak perasaannya jadi tidak 

enak.

"Baiklah." Akik Sarawana menye-

tujui. Baru saja si Akik hendak melang-

kahkan kaki dengan diikuti Aripraba. 

Tanpa terduga dari dalam ruangan tamu 

melesat satu sosok tubuh ke arah mereka. 

Menyangka sosok yang melesat dari bagian 

pintu itu adalah orang yang hendak 

menyerang mereka, maka Aripraba pun siap 

melepaskan pukulan untuk menjaga segala 

kemungkinan yang tidak diingini. Gerakan


tangan yang hendak menghantam ke depan 

mendadak batal begitu melihat sosok yang 

melesat tadi menukik ke bawah dan jatuh 

bergedebukan sejarak setengah tombak di 

depan Akik Sarawana.

Dalam kagetnya si Akik melompat 

mundur sejauh satu langkah. Matanya 

dipentang memandang dengan teliti ke arah 

orang yang baru saja terbanting di 

depannya. Begitu mengenali siapa adanya 

orang yang terkapar di tanah dengan leher 

putus dan dada berlubang itu maka menje-

ritlah laki-laki tua ini.

"Nini... Nini Sukoweni istriku ben-

cana apa yang telah terjadi pada dirimu?" 

pekik Akik Sarawana. Dengan tubuh gemetar 

dan muka pucat orang tua ini menghambur 

dan jatuh akan diri di samping sosok 

istrinya yang telah berubah menjadi mayat 

dengan luka mengerikan. Dia menangis 

sesunggukan sambil memeluki jasad nenek 

tua yang berlumur darah.

Aripraba sendiri tidak tega menyak-

sikan kesedihan si Akik. Dia cepat 

palingkan wajahnya memandang tajam ke 

arah pintu di mana jasad Nini Sukoweni 

berasal.

"Siapa orangnya yang begitu tega 

membunuh nini secara keji begini?" 

membatin pemuda itu dalam hati. Pemuda 

ini lalu berteriak. "Siapapun orangnya 

yang bersembunyi di dalam sana sebaiknya


cepat keluar!" seru Aripraba dengan suara 

lantang. Beberapa saat si pemuda 

menunggu. Ternyata tidak ada jawaban dan

tidak ada pula orang yang keluar. Sekali 

lagi dia berseru. "Dajal keparat yang 

berada di dalam rumah, kau tak berani 

unjukkan diri. Apakah perlu kau kuseret 

dari dalam situ?!"

Mendadak terdengar suara mendengus 

panjang disertai suara racau tak jelas 

seperti suara orang sinting yang sedang 

angot kambuh penyakitnya. Setelah itu 

suara racau hilang berganti dengan suara 

tawa. Bersamaan dengan terdengarnya suara 

tawa itu satu bayangan serba putih 

berkelebat, keluar melewati pintu yang 

terkuak lebar. Hanya sekejapan saja di 

depan Aripraba dan Akik Sarawana yang 

sedang menangis sambil memangku jenazah 

istrinya berdiri tegap seorang pemuda 

tampan berambut gondrong. Melihat siapa 

adanya pemuda ini Aripraba jadi melengak 

kaget. Akik Sarawana bahkan hentikan 

tangisnya, lalu melompat menjauhi mayat 

nini Sukoweni. Dengan mata merah 

bersimbah air mata dan bibir gemetar dia 

berseru. "Raden inikah orangnya yang 

telah membunuh istri saya?" 

"Kau benar Akik. Seperti katamu 

mata kakang Danang Pattira menerawang 

kosong. Ada yang tidak beres telah 

terjadi pada dirinya." sahut si pemuda


dengan suara lirih. Sekejap dia pandangi 

pemuda itu, sementara di depannya sana 

Danang Pattira juga memandang tajam ke 

arahnya disertai seringai aneh, dingin 

menggidikkan. "Kau... bukankah kau kakang 

Danang Pattira?" tanya si pemuda.

Di depannya sana Danang Pattira. 

tidak menyahut. Hanya tatap matanya saja 

yang memandang kosong silih berganti ke 

arah Aripraba dan Akik Sarawana.



ENAM



"Kakang... kakang Danang Pattira. 

Mengapa kau bunuh orang tua yang tidak 

punya salah dan dosa ini?!" teriak 

Aripraba mengulang ucapannya tadi.

Untuk pertama kalinya si pemuda 

berpakaian putih membuka mulut. "Kau 

siapakah, rupa dan suaramu seperti aku 

kenal?"

Mendengar ucapan Danang Pattira, 

Aripraba melengak kaget. Walaupun mereka 

terpisah cukup lama setelah badai topan 

melanda Wonogiri dan memporak-porandakan

daerah mereka. Namun sejak kecil dulu 

mereka pernah bersama-sama. Bagaimana 

Danang Pattira bisa melupakan saudaranya 

sendiri?

"Kakang aku adalah adikmu, kau 

lupa? Apa sebenarnya yang telah terjadi


pada dirimu?" tanya Aripraba.

Danang Pattira seakan berusaha 

mengingat, tapi kemudian dia gelengkan 

kepala berulang kali seakan ada sesuatu 

yang mempengaruhi jiwa dan jalan 

pikirannya. "Tidak. Tidaaaaak...!"

Danang Pattira menjerit histeris. 

Bersamaan dengan jeritannya itu rambut 

panjang di kepalanya berjingkrak tegak. 

Wajah si pemuda berubah tegang, sedangkan 

tatap matanya yang semula hanya memandang 

kosong kini berputar liar memandang ke 

arah Aripraba. Bersamaan dengan itu pula 

Danang Pattira dongakkan wajah, lalu 

tertawa dingin menyeramkan. Si Akik 

terkesiap, Aripraba masih dapat bersikap 

tenang walau saat itu dia merasakan 

adanya bau bangkai yang begitu tajam 

menusuk.

"Kau Aripraba, ha... ha... ha! Kau 

pasti adikku. Susah payah aku mencarimu 

setelah lelah mencari ternyata kau datang 

sendiri!" kata si pemuda dingin.

"Akik, larilah. Selamatkan dirimu! 

Kurasa dia telah kehilangan kewarasan!" 

ujar Aripraba berbisik.

"Raden, saya tidak mungkin 

meninggalkan Raden di sini. Dia telah 

membunuh istri saya. Saya merasa 

kehilangan, tapi hidup saya menjadi lebih 

tidak berarti jika saya harus kehilangan 

Raden!" ujar si kakek. Aripraba sadar


betul orang tua ini memang memiliki ilmu 

silat juga beberapa jenis pukulan sakti. 

Tapi rasanya percuma saja si Akik 

membantunya karena di balik semua ini 

Danang Pattira mungkin telah diperalat 

oleh seseorang.

"Kakang, apakah kau tahu, apa kau 

ingat siapa yang berdiri di hadapanmu 

ini?" tanya Aripraba sekedar ingin 

meyakinkan apakah pemuda di depannya 

masih kenal dengan dirinya atau tidak.

Danang Pattira tersenyum sinis. 

"Aku belum gila untuk tidak mengenal 

dirimu. Kau Aripraba, putra manusia culas 

Raden Ponco Sugiri. Kau salah satu dari 

tiga manusia yang harus kusingkirkan." 

tegas si pemuda.

Kejut hati Aripraba bukan kepalang. 

Dia tak menyangka telah berubah seperti 

itu. Siapa yang telah merubah jalan 

pikirannya? Bahkan pada ayahnya sendiri 

dia bersikap seolah tak mengenal?

"Kakang, aku adikmu?" seru si 

pemuda.

"Adik, ha... ha... ha. Adik...!"

"Raden, Raden Danang nampaknya 

memang telah terganggu pikirannya. 

Seperti yang dia katakan, Raden hendak 

disingkirkannya. Sebaiknya Raden cepat 

tinggalkan tempat ini. Biarkan saya yang 

akan menghadapinya," ujar Akik Sarawana 

mencoba mengingatkan. Tapi dengan tegas


pemuda itu gelengkan kepala.

"Jika dia sudah lupa pada dirinya 

sendiri. Jika dia telah dijadikan budak 

oleh seseorang, berarti orang itu telah 

membekalinya dengan kesaktian hebat. Dia 

bukan lawanmu...!"

"Tapi, Raden...!" ucapan Akik 

Sarawana terputus karena pada detik itu 

juga Danang Pattira dengan gerakan kaku 

seperti mayat hidup telah menggerakkan 

lima jarinya tertuju lurus ke arah Akik 

Sarawana. Lima larik sinar hitam kebiruan 

membersit disertai dengan bertaburnya 

hawa dingin memenuhi udara di sekitarnya.

"Awas!" teriak Aripraba sambil 

mendorong tubuh si orang tua. AKik 

Sarawana jatuh terbanting akibat dorongan 

yang sangat keras. Tapi dia selamat dari 

serangan ganas lawannya. Lima sinar maut 

menghantam pohon mangga yang tumbuh di 

halaman rumah si kakek. Terdengar suara 

desis aneh bagaikan senjata panas membara 

yang ditancapkan ke batang pisang. Pohon 

mengeluarkan suara berderak, lalu roboh 

disertai dengan suara menggemuruh.

"Raden terima kasih. Biar dia aku 

yang membereskannya!" berkata begitu si 

kakek yang sudah berdiri dan alirkan 

tenaga dalam penuh ke tangan kanan 

langsung melompat. Sambil melompat dia 

hantamkan tangan kanannya ke bagian wajah 

Danang Pattira, sedangkan tangan kiri


mencari sasaran di bagian dada. Hantaman 

yang mengandung tenaga dalam penuh itu 

menimbulkan sambaran angin dahsyat yang 

langsung menerpa wajah si pemuda. Anehnya 

meskipun dirinya mendapat serangan 

seperti itu, lawan malah menyeringai. 

Sambil menyeringai dia miringkan wajahnya 

ke kiri. 

Wuuut!

Serangan si kakek luput, tapi 

hantaman tangan kirinya tepat mengenai 

sasaran. Terdengar suara bergedebukan 

disertai jeritan keras. Satu sosok tubuh 

terpental ke belakang. Ternyata yang 

menjerit dan jatuh bukan lawannya, 

melainkan Akik Sarawana sendiri.

Kembali si orang tua dilanda rasa 

kaget luar biasa. Betapa tidak, dia 

merasa tidak ubahnya seperti memukul 

tembok baja. Bahkan tangan kirinya yang 

menghantam dada lawan terasa panas, 

bengkak membiru menimbulkan rasa sakit 

yang sangat luar biasa di bagian dalam.

"Kurang ajar, dia ternyata memiliki 

kekebalan!" desis Aripraba yang juga 

dibuat kaget melihat kenyataan yang 

terjadi.

"Aku harus membunuhnya... harus..!" 

teriak Akik Sarawana penasaran. Kini 

ketika dia bangkit kembali di tangannya 

telah tergenggam sebilah badik berwarna 

hitam. Senjata ini dikenal sangat


berbahaya di samping mengandung racun 

ganas.

"Badik Perontok Jiwa?! Ha... ha... 

ha. Seribu jenis senjata hebat telah 

kuhapal namanya di luar kepala. Konon 

menurut orang yang memberi perintah hanya 

Pedang Pembantai Iblis saja yang wajib 

kutakuti. Sekarang kau hanya tinggal 

memilih bagian mana yang hendak kau 

tusuk!" dengus Danang Pattira. Tangan 

kiri pemuda itu bergerak ke arah dada.

Bret! Breet!

Terdengar suara pakaian robek, 

ternyata lawan merobek pakaiannya 

sendiri. Sehingga bagian dadanya ter-

singkap lebar. Apa yang dilakukan Danang 

Pattira itu terkesan seperti menyerahkan 

dada maupun perutnya untuk ditusuk. Diam-

diam Akik Sarawana kerahkan tenaga 

dalamnya ke bagian hulu Badik Perontok 

Jiwa. Sinar hitam bergemerlapan memancar 

dari badan badik di tangan si Akik.

Tak jauh di belakang orang tua itu, 

Aripraba meraba tengkuknya mendadak jadi 

dingin. Dia sadar senjata di tangan Akik 

Sarawana bukan senjata sembarangan. 

Bagaimana mungkin lawannya bersikap 

seolah senjata di tangan lawan tidak 

memiliki arti apa-apa, namun Akik 

Sarawana sendiri tidak menghiraukan semua 

itu. Dendamnya terhadap Danang Pattira 

yang telah membunuh istrinya membuat si


Akik jadi gelap mata dan begitu mendendam 

pada lawannya. Hingga kini tanpa membuang 

waktu lagi si kakek segera melesat ke 

depan. Senjata di tangan menderu disertai 

berkelebatnya sinar hitam menggidikkan. 

Melihat serangan senjata yang membabat ke 

bagian dada yang dilanjutkan dengan satu 

tusukan di bagian leher, lawan sama 

sekali tidak berusaha menghindar. Tak 

ampun lagi dengan tepat serangan senjata 

mengenai sasarannya. 

Craak! Dheel!

Tusukan dan babatan badik di bagian 

dada Danang Pattira sama sekali tidak 

menimbulkan akibat apapun. Malah si Akik 

terdorong mundur, tangannya yang memegang 

hulu badik panas melepuh laksana 

terbakar. Hawa panas langsung menjalar di 

bagian dada. Akik Sarawana meringis 

kesakitan. Wajahnya pucat, sedangkan 

langkahnya nampak limbung.

Aripraba sendiri demi melihat 

kenyataan itu jadi tercengang. Belum lagi 

hilang rasa kejut di hatinya. Danang 

Pattira lakukan satu lompatan ke depan. 

Si pemuda yang belum sempat hilang rasa 

kejutnya tak sempat berseru apalagi 

berteriak memberi peringatan. Akik 

Sarawana yang saat itu tengah memandangi 

ujung badiknya yang bengkok memang masih 

berusaha menghindar dengan membantingkan 

tubuhnya ke kiri. Sayang apa yang


dilakukannya itu masih kalah cepat dengan 

gerakan. Tahu-tahu rambutnya kena 

dijambak oleh lawan. Begitu tangan kanan 

menjambak, maka tangan kiri menghantam 

bagian belakang kepala. Sadar dirinya 

terancam bahaya besar, Akik Sarawana 

babatkan senjata ke samping tepat di 

bagian kaki lawan. Sekali lagi gerakan 

senjatanya kalah cepat dengan gerakan 

tangan lawan.

Praaak!

Tak ampun lagi kepala si kakek pun 

berderak hancur begitu terhantam pukulan 

lawannya. Darah dan otak bermuncratan 

membasahi halaman rumah. 

"Akik...!" satu suara berseru, satu 

bayangan berkelebat "Jahanam keji. Aku 

tak akan mengampuni jiwamu!" bersamaan 

dengan itu pula Aripraba yang sudah 

melesat di udara langsung menghantam 

dengan pukulan Kilatan Cahaya. Sinar 

putih laksana kilat yang membelah 

kegelapan malam melesat laksana dua bilah 

mata pedang disertai hawa panas membakar.

Melihat dua sinar pipih menderu ke 

arahnya, seperti tadi sikap Danang 

Pattira terkesan meremehkan. Tapi begitu 

sinar maut itu melabrak tubuhnya disertai

suara ledakan berdentum. Maka tak ampun 

lagi pemuda itu pun terpental hingga 

sejauh dua tombak. Ledakan yang terjadi 

menimbulkan kobaran api yang langsung


membakar sekujur tubuh lawannya. Tapi 

sungguh aneh, sedikit pun lawan tidak 

mengeluh apalagi menjerit. Bahkan dengan 

kedua tangannya dia memadamkan api yang 

mengobari pakaiannya. Begitu api padam 

kulit tubuh si pemuda nampak hangus 

gosong, pakaian hancur sehingga tubuhnya 

nyaris telanjang.

"Jahanam keparat! Dia bukan saja 

tak mempan senjata, tapi juga tak mempan 

pukulan sakti. Kulit tubuhnya hangus 

gosong, bagaimana dia masih dapat 

bertahan hidup!" rutuk Aripraba.

"Masih adakah pukulanmu yang lain 

manusia calon bangkai?" tanya lawan 

sambil berkacak pinggang.

Aripraba pandangi sosok gosong di 

depannya dengan mata menyorot tajam 

diwarnai rasa tidak percaya. Tapi dia 

sudah tidak sempat lagi berpikir lebih 

lama mencari jalan keluar. Menghadapi 

lawan seperti itu jika dia tidak 

mengambil tindakan secepatnya bukan 

mustahil dia akan terbunuh!

Karena itu dengan cepat dia 

mencabut pedang yang tergantung di 

pinggangnya. Pedang lalu diputar sebat 

dengan menggunakan jurus-jurus yang 

paling hebat. Menghadapi serangan pedang 

yang bertubi-tubi yang diselingi dengan 

pukulan menggeledek ini, dengan gerakan 

kaku Danang Pattira mencoba


menghindarinya. Tapi tak urung beberapa 

kali mata pedang menghantam kepala maupun 

bagian tubuh lainnya. Seperti tadi 

hantaman pedang dan pukulan yang 

dilakukan Aripraba sama sekali tak mampu 

menciderai lawannya. Malah pedang itu 

rompal di beberapa bagian. Tidak ada 

jalan lain lagi bagi pemuda ini. Laksana 

kilat dia memutar tubuhnya, begitu 

berputar tubuhnya terangkat naik, 

membubung tinggi ke udara. Setelah sampai 

pada ketinggian tertentu dia menggerakkan 

kepala dan sebagian badannya. Jika tadi 

posisi kepalanya berada di atas, kini 

berbalik menghadap ke bawah. Setelah itu 

dengan tinju terkepal dia menghantam 

kepala Danang Pattira. Pemuda yang 

mendapat serangan ganas ini malah tertawa 

ganda. Dengan tangan kiri dia lindungi 

kepalanya. Sedangkan tangan kanan 

langsung dipukulkan ke atas. 

Wuut!

Angin dingin membersit menyambut 

serangan tinju Aripraba. Melihat ada hawa 

aneh menyambar wajahnya, si pemuda sambil 

memaki terpaksa batalkan serangan dan 

kini berjumpalitan menjauhi pukulan. 

Serangan Danang Pattira luput mengenai 

udara kosong. Akan tetapi dengan tidak 

terduga mendadak lawan hentakkan kakinya. 

Tubuh pemuda itu melesat ke udara, 

kembali tangan dipukulkan.


Wuuus!

Buuuk!

Dalam keadaan seperti itu tentu 

sangat sulit bagi Aripraba untuk 

menghindari serangan kakaknya. Tak ampun 

hantaman keras yang dilakukan Danang 

Pattira menghantam dadanya. Aripraba 

menjerit keras, dia jatuh terbanting 

dengan kepala lebih dulu menghantam 

tanah. Walau kepala tidak pecah dan leher 

tidak sampai patah, namun Aripraba merasa 

pandangannya jadi gelap. Di saat dirinya 

dalam keadaan seperti itu lawan yang baru 

saja jejakkan kaki langsung menghantam 

kepalanya dengan tangan kanan. 

Praak!

Aripraba menjerit keras begitu 

kepalanya berderak. Dia terhempas dengan 

mata melotot. Dari hidung, mata dan mulut 

pemuda ini menyemburkan darah. Melihat 

lawannya terkapar dan tidak bergerak-

gerak lagi Danang Pattira seakan baru 

tersadar dengan apa yang telah 

dilakukannya sendiri.

"Pembunuh... aku telah membunuh 

saudaraku sendiri...?!" pekik si pemuda 

sambil pandangi kedua tangannya yang 

berlumuran darah lawan. "Bagaimana aku 

bisa melakukannya? Oh, tidak-tidak...!" 

desis pemuda itu sambil menekap wajahnya 

dengan kedua tangan. Seperti orang 

kehilangan kewarasan dia menangis sambil


menjambak rambutnya sendiri. Di saat 

dirinya dalam keadaan begitu rupa, 

mendadak di telinganya kiri kanan 

terdengar suara halus, sayup-sayup 

seperti suara ngiang nyamuk.

"Danang Pattira. Dia bukan adikmu, 

dia adalah lawan yang harus kau 

singkirkan. Dia sainganmu, dia musuhmu. 

Jika kau masih inginkan harta itu, andai 

kau masih menginginkan Ambini. Gadis 

cantik yang kau cintai secara diam-diam. 

Lakukanlah apa yang aku perintahkan!" 

kata suara itu sayup-sayup namun sangat 

berpengaruh bagi pemuda ini. Mendadak 

seakan ada satu kekuatan yang muncul 

dalam dirinya si pemuda dongakkan wajah 

sedangkan sepasang mata memandang 

berkeliling.

Mulutnya membuka, satu pertanyaan 

terlontar. "Apa yang harus aku lakukan?"

"Ha... ha... ha. Cepat kau pergi ke 

gunung Liman, di sana segala sesuatunya 

menunggu! Ingat harta dan gadis itu!!"

Suara ngiang di telinga Danang 

Pattira lenyap. Kemudian tanpa menghi-

raukan mayat adiknya dan juga Akik 

Sawarana dia tinggalkan tempat itu.



TUJUH



Di samping bangunan rumah yang 

hangus terbakar, laki-laki berumur 

sekitar empat puluh tahun itu menangis 

terguguk. Dengan mata memerah bersimbah 

air mata dia pandangi kobaran api yang 

nyaris padam. Sebentar dia teliti kedua 

tangannya yang berwarna hitam seperti 

arang dengan tatap penuh rasa benci. 

Mulut si orang tua berkomat-kamit, hidung 

kembang kempis menahan kepedihan yang 

menghimpit dadanya. Ternyata dia tak 

kuasa menahan air mata yang bercucuran 

tiada henti.

"Huk... huk... huk. Sial... kedua 

tangan ini memang selalu membawa kesialan 

sejak dulu. Tangan pembawa malapetaka!" 

rutuk laki-laki berpakaian merah ini 

sambil bantingkan kedua tangannya ke atas 

batu besar. Bantingan yang sangat keras 

bukan membuat kedua tangan si baju merah 

hancur, terluka atau remuk di bagian 

dalam, sebaliknya batu besar yang 

dijadikan tatakan malah hancur berkeping-

keping.

"Sial! Tangan sial!" kembali si 

orang tua memaki. Sambil terus menangis 

dia bangkit berdiri, matanya jelalatan 

memandang ke setiap sudut. Akhirnya dia 

menyeringai begitu pandangannya membentur 

sebuah martil besar yang tergeletak di


atas tanah. Dengan langkah lebar dia 

menghampiri benda itu, lalu memungutnya. 

Martil ditimang. Martil besi yang 

dipegang oleh si orang tua beratnya lebih 

dari sepuluh kati. Tapi di tangannya 

martil ini seakan cuma seberat satu kati. 

Sambil bersungut-sungut dia hampiri 

gundukan batu yang terletak tak jauh di 

depannya.

"Baiknya kuhancurkan saja tangan 

yang membawa kesialan ini!" geramnya. Dia 

meletakkan tangan kirinya di atas 

gundukan batu tadi, sedangkan martil 

besar digenggam di tangan kanan. Sambil 

melotot memandang dengan penuh rasa benci 

pada kedua tangannya sendiri si orang tua 

gerakkan tangan kanannya. Martil melesat 

menghantam tangan kiri. 

Dweng! Tang! Dwieeng! 

Terdengar suara berkerontangan. 

Tangan yang dipukul malah memijarkan 

bunga api. Tangan tidak hancur, tidak 

pula cidera berat sebagaimana yang 

diinginkannya. Malah dia tak merasakan 

sakit sedikit pun juga. Sebaliknya batu 

yang dijadikan tatakan melesak amblas ke 

dalam tanah. Orang tua ini pandangi 

tangannya dengan penuh rasa tak percaya.

"Keparat sial! Dasar tangan 

celaka!" Kembali dia memaki tangannya 

sendiri. Sejenak dia ter diam, berpikir 

sebentar. Setelah itu dia pindahkan


martil besi ke tangan kiri. Kini tangan 

kanan diletakkan di atas gundukan batu. 

Setelah itu tenaga luar dalam dikerahkan, 

disalurkan ke tangan kiri yang memegang 

martil. Sekejap kemudian martil besi 

diangkat tinggi lalu diayunkan ke bawah.

Wuuut! 

Martil berat melesat menghantam 

lima jari tangan, lengan hingga ke 

pangkal lengan.

Tang! Breng! Tang! Breng!

Bunga api kembali berpijar ketika 

martil menghantam tangan. Suara pukulan 

bertalu-talu. Karena disertai pengerahan 

tenaga dalam penuh maka terdengar suara 

berisik menyakitkan gendang telinga. 

Untuk kedua kalinya orang tua ini kembali 

dibuat kecewa berat. Mulutnya komat-kamit 

sebentar, lalu terdengar makian. "Sial. 

Sungguh sial!"

Dengan penuh kegusaran dia 

bantingkan martil raksasa itu ke atas 

tanah. Martil amblas, lenyap terpendam ke 

dalam tanah. Si orang tua gelengkan 

kepala. Ingat akan nasibnya dia kembali 

menangis terguguk-guguk.

"Hiiiiiiii... hidup gila tangan 

celaka. Tuhan... oh Tuhan di mana Kau? 

Mengapa Kau beri aku tangan seperti ini? 

Aku tak mau, aku tak bisa menerima. Dulu 

istriku mati gara-gara tersentuh 

tanganku. Bukan hanya itu saja. Bahkan


hewan piaraan, pepohonan juga ikut mati 

akibat kupegang dengan tanganku yang 

penuh kesialan ini! Huk... huk... huk." 

kata si orang tua di sela-sela isak 

tangisnya yang memilukan.

Tak jauh dari tempat si orang tua 

yang selalu memaki tangannya dengan kata-

kata 'sial' itu dua pasang mata yang 

mengintai sejak tadi mulai kasak-kusuk

"Siapa dia? Kedua tangannya sangat 

hebat. Dibanting ke atas batu tidak 

cidera. Dipukul dengan martil raksasa 

tidak pula hancur. Dengan ilmu kesaktian 

sehebat itu dia bisa berbuat apa saja!" 

kata salah seorang di antaranya yang 

berambut panjang berbaju putih dan 

berwajah cantik jelita. Kawannya yang 

berambut gondrong berwajah lugu namun 

tampan tersenyum sambil mengusap 

wajahnya.

"Kedua tangan itu hendak dihancur-

kannya. Dia tak menyukai sepasang 

tangannya sendiri. Tangan sial, begitu 

dia menyebut tangannya berulangkali. 

Orang tua aneh, punya tangan hebat malah 

dikatai melulu. Tapi apa yang dikatakan-

nya kurasa memang sangat cocok. Tangan 

hitam jelek begitu pantasnya dibuntungi 

saja setelah itu buang ke comberan. Ha... 

ha... ha!" Tak sadar kalau dirinya sedang 

mengintai si pemuda bertelanjang dada 

yang bukan lain Gento Guyon adanya


tertawa tergelak-gelak.

"Hei, mulutmu!" sergah si gadis 

baju putih sambil menekap mulut si 

pemuda, tapi terlambat. Orang tua 

bertangan hitam dengan cepat sekali 

menoleh ke jurusan di mana mereka berada.

"Siapa yang baru saja tertawa itu? 

Setan...?!" seru si baju merah.

"Celaka! Gara-gara kau punya mulut 

tidak bisa kau jaga, akhirnya kita 

ketahuan juga!" rutuk si gadis yang tiada 

lain adalah Ambini.

"Tenang saja. Tawaku buka tawa yang 

kusengaja. Semua keluar begitu saja." 

sahut Gento. Setelah itu dia memandang ke 

arah si baju merah dari balik pohon di 

mana mereka bersembunyi. "Jangan memukul, 

jangan pula gusar. Kami memang setan 

laki-laki dan setan perempuan berambut 

hitam!"

"Sial! Setan rupanya." damprat si 

orang tua. 

"Kau juga setan sialan. Memaki 

seenak sendiri!" dengus si pemuda.

Mendengar ucapan orang si baju 

merah jadi melengak tidak menyangka orang 

berani balas mendamprat.

"Setan apapun kalian sebaiknya 

cepat unjukkan diri. Aku tidak suka 

melihat orang yang bersikap pengecut!" 

seru orang tua itu.

"Kau yang meminta akupun unjukkan


diri." berkata begitu Gento berkelebat 

keluar dari balik pohon. Hanya dalam 

waktu sekedipan mata dia telah berdiri 

tegak di hadapan si baju merah. Si orang 

tua terkesiap, tak menyangka orang dapat 

bergerak secepat itu. Beberapa saat 

lamanya baik Gento maupun laki-laki itu 

sama berpandangan dan sama pula meneliti. 

Jika di depannya sana orang memandang 

Gento dengan kepala termiring-miring 

sebaliknya Gento memandang orang itu 

dengan mata berkedip-kedip.

Di balik pohon Ambini tak mampu 

menahan geli. "Dasar pemuda sinting, 

bertemu dengan orang yang miring otaknya. 

Jadi begitu bertemu mereka sudah merasa 

cocok satu sama lain." gerutu si gadis.

Bosan memandangi si gondorng, orang 

tua itu membentak. "Siapa kau? Berani 

datang ke mari apakah sudah siap 

menjalankan perintahku?"

Di balik pohon Ambini bicara 

sendiri. "Benar dugaanku tadi. Orang tua 

itu memang telah kehilangan kewarasannya. 

Dasar pemuda geblek, penyakit dicari!"

Sementara itu Gento menyeringai 

begitu mendengar ucapan si orang tua. 

"Saudara bukan anak bukan enak saja kau 

main suruh orang. Memangnya kau ini 

siapa?" tanya Gento pula tanpa hiraukan 

pertanyaan orang tua itu. Si baju merah 

acungkan kedua tangannya yang hitam legam


hingga ke bagian pangkal lengan. Melihat 

itu Gento jadi tak mampu menahan tawanya.

"Ha... ha... ha! Tangan jelek 

begitu saja kau tunjukkan padaku. Kawanku 

yang tangannya mulus aja tak pernah 

dipamerkan." kata si pemuda mengejek.

"Kau tak tahu maksudku pemuda edan. 

maksudku ini adalah kedua tanganku yang 

penuh kesialan. Aku tidak menyukai tangan 

ini, kau harus membuntunginya!" tegas si 

orang tua, lalu ulurkan tangannya ke arah 

Gento Guyon. Murid kakek Gentong Ketawa 

jadi melengak kaget, tapi hanya sekejap. 

Karena di lain saat dia sudah berkata. 

"Kampret sial. Kau hendak menyuruhku 

melakukan perbuatan dosa."

Dimaki seperti itu si orang tua 

belalakkan matanya. "Dosa katamu? Tangan 

yang aku menyuruhmu untuk membuntunginya 

adalah tanganku sendiri. Aku telah 

mencoba melakukannya sendiri tapi tidak 

sanggup." katanya putus asa.

Gento tersenyum mendengar ucapan si 

orang tua, namun wajahnya nampak serius 

sekali. "Kau hendak memotong kedua 

tanganmu. Memang kuakui yang hendak kau 

buntungi milikmu sendiri. Tapi apakah kau 

lupa bahwa apapun yang ada dalam diri 

setiap manusia adalah titipan Gusti Allah 

yang kelak pasti kita akan diminta 

pertanggungjawabannya. Kau buntungi 

tangan titipan Tuhan berarti kau telah


berbuat dosa besar. Aku sendiri tak mau 

ikut menanggung dosanya." jelas Gento.

Mendengar ucapan si pemuda, orang 

tua itu terdiam putus asa. Keningnya 

berkerut tajam seolah sedang berpikir 

keras. Karena orang tua itu tak kunjung 

bicara maka Gento pun kembali berkata. 

"Orang tua siapa dirimu? Kulihat pepo-

honan hangus, ternak mati dan rumah 

terbakar. Apa sebenarnya yang telah 

terjadi?" Ditanya begitu rupa orang tua 

itu kembali menangis terguguk. Gento jadi 

bingung dan merasa serba salah. "Eeh, 

apakah ada pertanyaanku yang menyakiti 

hatinya?" pikir Gento. Dia kemudian 

bersiul pendek. Satu bayangan putih ber-

kelebat dari balik pohon. Di lain saat si 

cantik Ambini telah berdiri tegak di 

samping si pemuda. Melihat kehadiran 

gadis jelita itu agaknya si orang tua 

menjadi malu hati sehingga dia hentikan 

tangisnya dan cepat menyeka air mata yang 

bergulir membasahi pipinya.

"Apakah gadis ini temanmu? Cantik, 

mempesona, tidak membosankan untuk 

dipandang!" puji si orang tua.

"Dasar mata keranjang. Tadi yang 

kita bicarakan lain, sekarang lain lagi. 

Padahal kau belum mengatakan namamu dan 

apa yang menjadi masalahmu hingga membuat 

kau ingin membuntungi tangan sendiri?!" 

dengus si pemuda. Diingatkan begitu rupa


membuatnya jadi tersipu malu.

"Aku... ah, aku lupa namaku. 

Sebaiknya kau panggil saja Tangan Sial 

karena kedua tanganku ini sejak dulu 

bahkan sejak aku masih kecil terlalu 

menanggung banyak kesialan." keluh si 

orang tua.

"Ha... ha... ha. Gelar itu kurasa 

cocok dengan keadaan dirimu. Tapi apa 

yang membuat dirimu begini berputus asa?" 

tanya si pemuda disertai tawa tergelak-

gelak.

"Letih aku untuk mengatakannya." 

sahut Tangan Sial seakan bosan.

"Kalau begitu ya sudah." Gento lalu 

melirik ke arah Ambini. "Baiknya kita 

tinggalkan saja dia!"

"Eeh, tunggu. Baiklah aku akan 

mengatakannya pada kalian!" Tangan Sial 

terdiam sejenak, setelah itu baru 

kemudian berkata. "Kau tak tahu kedua 

tangan ini selalu menimbulkan malapetaka 

bila kupergunakan untuk memegang sesuatu. 

Istriku tewas gara-gara kupegang, harta 

benda hancur, tanaman juga layu, pohon 

atau apa saja pasti rusak bila tersentuh 

olehku. Padahal rumah itu terbakar ketika 

kupegang salah satu tiangnya!"

"Hah... mengerikan sekali!" pekik 

Ambini. Tanpa sadar si gadis bersurut 

langkah.

"Rasanya sungguh sulit kupercaya!"


desis murid kakek Gentong Ketawa dengan 

mulut ternganga dan mata terpentang 

lebar.

"Memang, tapi itulah kenyataan yang 

terjadi pada diriku. Aku tak bisa 

menyentuh apapun yang kuinginkan, ter-

lebih-lebih di saat diriku sedang kesal 

apalagi marah." ujar Tangan Sial sedih.

Mendengar penjelasan Tangan Sial, 

Gento Guyon jadi ikut merasa prihatin.

"Sejak kapan kau mengalami musibah 

seperti ini, orang tua?" tanya si pemuda 

beberapa saat kemudian. Tangan Sial 

gelengkan kepala.

"Persisnya aku tak tahu, mungkin 

sejak aku masih kecil. Aku merasa hidupku 

tersiksa dalam kesengsaraan. Kau tentu 

dapat merasakan bagaimana tersiksanya 

hidup dalam keadaan seperti itu." jawab 

si orang tua dengan suara lirih. Baik 

Gento maupun Ambini sama terdiam 

mendengar ucapan Tangan Sial.



DELAPAN



Hanya beberapa saat saja Gento 

bersikap seperti itu. Tidak lama setelah 

itu Gento membuka mulut berucap. "Orang 

tua Tangan Sial. Kurasa di balik musibah 

yang kau alami karena memiliki keanehan 

seperti itu, mungkin masih ada sisi 

baiknya. Kusarankan padamu jangan kau

sakiti dirimu sendiri. Sebab jika kedua 

tangan telah kau buntungi. Katakanlah hal 

itu dapat kau lakukan. Lalu bagaimana kau 

harus hidup tanpa tangan? Kau tidak bisa 

makan, kau tidak bisa cebok. Kalau 

keadaanmu sudah begitu buat apa artinya 

hidup bagimu. Masih bagus sekarang ini, 

walaupun sial kau masih punya tangan. 

Mengapa kau tidak mensyukuri pemberian 

Gusti Allah? Menurutku lebih baik kau 

dalam keadaan seperti sekarang. Punya 

tangan biarpun tangan itu membawa 

kerugian bagimu. Daripada tanganmu 

dibuntungi, nanti orang menjulukimu Si 

Tangan Buntung. Apa kau tidak malu. Orang 

bisa saja mengejekmu. Buntung lewat... 

buntung lewat.... Ha... ha... ha!"

"Apa yang dikatakan kawanku ini 

benar, orang tua. Biarkan tanganmu tetap 

seperti itu," untuk pertama kalinya 

Ambini menimpali. Tangan Sial memandang 

ke arah gadis itu dengan tatapan tidak 

berkesip. Dia manggut-manggut, mungkin 

merasa apa yang dikatakan Ambini memang 

ada benarnya.

"Gadis baik. Kuterima saranmu. 

Mudah-mudahan setelah bertemu denganmu 

aku tidak menjadi manusia yang putus asa 

lagi," ujar si kakek.

"Bagus. Kepada Ambini kau berterima 

kasih, padaku yang memberi saran tidak. 

Tidak apa, yang penting kau mau


menyadarinya." kata Gento sambil 

bersungut-sungut.

"Ha... ha... ha. Rupanya kau pemuda 

yang besar ambeknya. Kepadamu juga 

kuucapkan terima kasih. Oh ya... kalau 

aku boleh tahu kalian hendak ke mana?" 

tanya Tangan Sial. Kini wajah laki-laki 

itu telah berubah cerah seakan lupa pada 

persoalan berat yang beberapa waktu tadi 

sempat membuatnya merasa putus asa.

"Terus terang kami memang sedang 

dalam satu perjalanan." Ambini menyahuti. 

"Aku ingin mencari tahu siapa yang telah 

membunuh ayahku Raden Ponco Sugiri."

"Raden Ponco Sugiri!" Tangan Sial 

mengulang ucapan Ambini. Dia terdiam 

sejenak, berpikir. Sampai kemudian Tangan 

Sial melengak kaget. "Bukankah orang yang 

kau sebutkan itu dulunya adalah orang 

yang paling kaya di Wonogiri? Hartawan 

murah hati yang beberapa tahun belakangan 

mengasingkan diri di satu tempat 

rahasia?"

"Paman benar. Tapi ayahku sudah 

meninggal dibunuh orang."

"Hah, jadi Raden Ponco Sugiri itu 

ayahmu. Akh, tak pernah ku menyangka dia 

memiliki putri secantik dirimu. Lalu 

sekarang kau dan pemuda gondrong itu 

hendak pergi ke mana?" tanya Tangan Sial. 

Sebentar dia melirik ke arah Gento. Yang 

dilirik kedipkan matanya.


Ambini terdiam, nampaknya dia ragu 

untuk mengatakan yang tujuan mereka. Dia 

lalu memandang pada pemuda di sampingnya 

seakan minta pendapat.

"Katakan saja tak usah ragu." ujar 

Gento seakan menyetujui. Setelah itu dia 

melanjutkan. "Dia tak mungkin berbuat 

macam-macam pada kita. Tangannya yang 

sial itu boleh tidak mempan senjata, tapi 

apa iya bagian tubuh yang lain tak bisa 

kita buat jadi cincang halus. Ha... ha... 

ha." 

"Betul kata bocah itu, aku tak 

mungkin mematai apalagi sampai membunuh 

kalian."

"Terus terang kami akan pergi ke 

Gunung Liman. Mungkin dengan pergi ke 

sana kami bisa mendapat kejelasan." kata 

Ambini tanpa ragu-ragu.

"Hem begitu." gumam Tangan Sial 

sambil usap-usap jenggotnya. "Sebelum ke 

sana aku ingin menjelaskan sesuatu pada 

kalian berdua, mungkin ada gunanya." ujar 

laki-laki itu. Dia lalu pandangi Gento 

dan Ambini silih berganti.

"Apa yang hendak kau katakan, 

paman?" tanya Ambini gelisah.

"Kalau ada yang hendak kau 

sampaikan kami sudah siap mendengarnya 

paman Tangan Sial!" kata Gento pula.

Setelah terdiam untuk beberapa 

jenak lamanya Tangan Sial berkata.


"Beberapa hari yang lalu aku melihat 

dalam kegelapan malam di sebuah kubur tua 

dan jika tak salah aku mengingat kubur 

itu tentu adalah kubur Raden Ronggo 

Anom...."

"Hah Raden Ronggo Anom. Orang itu 

sudah lama meninggal, sekitar beberapa 

puluh tahun yang silam. Raden Ronggo Anom 

masih terhitung saudara tiri yang jahat. 

Sekarang apakah engkau hendak mengatakan 

orang itu bangkit kembali dari kuburnya?" 

tanya Ambini. Wajah gadis itu mendadak 

berubah tegang. Dia ingat beberapa hari 

yang lalu ketika dia dan Gento berkelahi 

dengan Mayat Hidup. Sosok yang tubuhnya 

sudah tidak utuh lagi itu mengaku dirinya 

adalah Raden Ronggo Anom. Apakah hal ini 

yang hendak disampaikan oleh Tangan Sial? 

Rasa kejut di hati Ambini berangsur 

mereda karena tak lama kemudian Tangan 

Sial melanjutkan ucapannya yang sempat 

dipotong Ambini. 

"Mengenai bangkit tidaknya Raden 

Ronggo Anom itu bukan urusanku, bisa jadi 

urusan setan atau mungkin juga dia 

memiliki ilmu Seribu Hari. Siapapun yang 

mengamalkan ilmu ini setelah seribu hari 

kematiannya dia bangkit kembali. Bangkit 

untuk menyelesaikan semua persoalan yang 

belum terselesaikan semasa hidup di dunia 

ini."

"Termasuk juga menyangkut hutang


nyawa, darah dan kehormatan. Bukankah 

begitu Tangan Sial?!" celetuk Gento.

Tangan Sial anggukkan kepala. "Kau 

benar. Tapi yang ingin kukatakan ini 

adalah menyangkut seorang pemuda yang 

telah diperalat oleh satu kekuatan aneh. 

Aku tak dapat menjelaskan siapa dan 

bagaimana ciri-ciri pemuda itu, karena 

malam kebetulan sangat gelap sekali. Yang 

aku ingat, dia berpakaian putih, berambut 

klimis seperti sastrawan."

Untuk pertama kalinya Gento dibuat 

bingung mendengar penjelasan Tangan Sial. 

"Apa hubungannya penjelasanmu dengan 

tujuan kami?" tanya si pemuda.

"Mungkin ada, mungkin juga tidak." 

jawab orang tua itu.

"Tunggu...!" sergah Ambini. "Paman 

mengatakan pemuda itu berpakaian putih 

berambut klimis. Bisa jadi dia adalah 

kakang Danang Pattira. Beberapa waktu 

yang lalu aku datang menyambanginya di 

Wonogiri. Kulihat tindak tanduknya aneh 

tidak sebagaimana biasanya. Tatap matanya 

kosong bahkan terkesan seperti orang 

bingung."

"Paman Tangan Sial apakah mendengar 

apa yang dikatakan pemuda itu saat dia 

berada di kubur tua. Atau mungkin paman 

mendengar suara orang yang diajaknya 

bicara?" tanya Gento.

Tanpa ragu Tangan Sial menjawab.


"Aku tak mendengar suara orang lain. 

Pemuda itu bicara seperti orang mengigau. 

Tapi aku sempat mendengar pemuda itu 

mengatakan. 'Perintah kuturuti. Akan 

kubunuh tiga saudaraku yang lain. Aku 

inginkan Ambini'!"

"Apa? Dia bicara seperti itu?" 

desis si gadis terperangah dan seakan tak 

percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Ambini, berarti saudaramu itu 

memang manusia gila. Otak sinting dan 

pikirannya miring. Mana mungkin ada 

manusia yang jatuh cinta pada saudara 

kandungnya sendiri. Apa dia mengira 

dirinya itu sapi? Ha... ha... ha" kata si 

pemuda disertai tawa terbahak-bahak.

"Kurasa memang ada yang tidak 

beres. Sekarang lebih baik kita ke gunung 

Liman secepatnya. Jika dia menghendaki 

harta warisan keluarga itu, bagaimanapun 

cepat atau lambat dia pasti akan ke sana. 

Karena dia juga pasti tahu tentang harta 

peninggalan keluarga yang tersimpan di 

daerah itu." ujar Ambini.

"Apakah tidak sebaiknya kita cari 

saja mayat hidup itu? Aku sangat yakin 

dialah yang telah membunuh ayahmu di 

puncak Wilis. Bukankah Mayat Hidup pernah 

bicara begini 'siapa yang berani membunuh 

kupu-kupu ku'. Ini berarti bila kakangmu 

memang pernah pergi ke kubur Raden Ronggo 

Anom tidak tertutup kemungkinan Mayat


Hidup alias Raden Ronggo Anom adalah 

biang racun yang membuat keluargamu jadi 

tercerai-berai seperti sekarang ini!" 

kata si pemuda menerangkan secara panjang 

lebar.

"Usulmu boleh juga sobat. Tapi 

mencari Mayat Hidup kurasa akan lebih 

sulit bila dibandingkan dengan pergi ke 

gunung Liman. Tempat itu tak seberapa 

jauh dari Ponorogo." ujar Tangan Sial.

"Aku pasti turut serta, aku juga 

percaya dengan ucapanmu. Akan tetapi jika 

sesampainya di sana kita tak menemukan 

apa yang kita cari, aku tak mau ikutan 

terkena sialnya." dengus murid kakek 

Gentong Ketawa sambil bersungut-sungut.

"Sudahlah, buat apa kita 

bertengkar. Kurasa lebih baik kita pergi 

sekarang. Lebih cepat rasanya akan lebih 

baik lagi." Ambini menengahi.

"Boleh saja. Tangan Sial jalan di 

belakang dan kita berada di depan. Dengan 

begitu semoga bila aku kentut akan 

mengurangi beban penderitaannya. Sebab 

menurut kata orang kentutku ini adalah 

kentut yang sangat disukai oleh para 

bidadari cantik. Ha... ha... ha!"

"Bocah kampret sial! Semoga dewa 

murka padamu!" teriak Si Tangan Sial. 

Orang tua itu melompat ke depan hendak 

memukul dengan tangan kirinya. Tapi dia 

merutuk habis-habisan begitu Gento


berkelit ke depan Ambini dan menggunakan 

gadis itu sebagai pelindung.

"Niatmu memukulku tidak kesampaian. 

Dasar Tangan Sial!" celetuk si pemuda 

menirukan ucapan si orang tua. Tangan 

Sial merasa kesal sekali. Tapi dia tak 

bisa berbuat apapun terkecuali kepalkan 

kedua tinjunya sambil mengikuti Ambini 

dan Gento yang sudah meninggalkannya jauh 

di depan.

***

Di lereng gunung Liman, di balik 

pepohonan berdaun lebat di mana kakek 

gendut besar Gentong Ketawa berada, 

suasananya masih kelihatan sepi. Di 

sampingnya si bungkuk berwajah aneh yang 

sekujur tubuhnya kini telah berubah 

menghitam macam arang sudah mulai 

kelihatan gelisah.

"Kek... kurasa Arwah Darah Senggini 

si cantik berbibir tebal di bawah itu tak 

mungkin lagi datang ke sini. Dia pasti 

sudah menemukan harta Itu, harta warisan 

peninggalan keluarga leluhur kami!" ujar 

Siwarana.

Si kakek gendut elus-elus dagunya 

yang tidak ditumbuhi jenggot barang satu 

helai pun. Sejenak matanya yang sipit 

menatap tajam ke arah Siwarana. Dia 

merasa geli melihat kulit wajah Siwarana


yang telah berubah seperti arang akibat 

ulah si kakek sendiri.

"Kek, bagaimana jika kita tinggal-

kan tempat ini? Perasaanku tidak enak, 

perutku mulas. Mungkin aku ingin berak, 

mungkin juga mau kentut." kata pemuda itu 

lagi sambil menyeringai dia pegangi 

perutnya yang sakit.

Senyum si kakek makin melebar. Apa 

yang dirasakan oleh Siwarana itu adalah 

akibat sampingan dari obat semacam 

pewarna kulit yang diberikan oleh Gentong 

Ketawa.

"Kek, kakek gendut. Apakah bisa mu

cuma tersenyum, kau telah berubah jadi 

bisu, gagu atau apa?" tegur Siwarana 

mulai kesal.

"Ha... ha... ha! Kentut. Jika kau 

mau buang hajat, sebaiknya menyingkir 

yang jauh agar wanginya jangan tercium 

olehku. Tapi terus terang kita tidak usah 

keluar dari tempat ini!" Gentong Ketawa 

menyahuti.

"Mengapa kek? Perempuan cantik 

bertelinga kiri lebar itu tak mungkin ke 

mari. Seperti yang sudah kukatakan dia 

pasti menemukan harta itu."

"Manusia muka dodol!" gerutu 

Gentong Ketawa. "Aku telah menipunya 

untuk mengalihkan perhatian perempuan 

itu. Jika tidak kutipu mana mungkin aku 

bisa menolongmu? Di matamu bisa jadi dia


perempuan cantik. Tapi aku yakin yang 

kita lihat itu palsu. Dia bukan perempuan 

sembarangan. Aku bisa merasakan semua 

itu!" ujar Gentong Ketawa. Untuk yang 

kedua kalinya Siwarana kembali dibuat 

kaget mendengar ucapan si kakek.

"Apa maksudmu orang tua. Apakah kau 

hendak mengatakan sesungguhnya perempuan 

cantik itu adalah seorang nenek tua 

renta? Atau kau punya anggapan dia 

memakai semacam kedok?" tanya Siwarana 

sambil memandang ke arah si kakek gendut 

dengan tatapan ingin tahu.

"Ha... ha... ha! Sebelum kau 

terlahir ke dunia ini, kurasa aku sudah 

kenyang makan asam garam dunia per-

silatan. Segala tingkah dan watak manusia 

semuanya sudah pula banyak yang 

kuketahui. Setahuku perempuan yang ber-

nama Wowor Baji Marani bergelar Arwah 

Darah Senggini itu adalah seorang

perempuan yang sudah lanjut usianya. Akan 

tetapi memang harus kuakui dia di samping 

memiliki kesaktian yang sulit dijajaki 

juga mempunyai mahluk piaraan yang akan 

mengerjakan apa saja yang diperintahkan 

olehnya. Jika benar dia Arwah Darah 

Senggini, kurasa dia dengan ilmu 

kesaktian yang ada padanya hal seperti 

itu tidak sulit bagi perempuan itu untuk 

melakukannya."

"Jadi kita telah tertipu?" desis


Siwarana dengan mulut melongo.

"Ha... ha... ha. Engkau yang 

tertipu tapi aku sendiri tidak." Menya-

huti si kakek sambil tertawa tergelak-

gelak.

Tawa si kakek mendadak saja 

terhenti begitu melihat Siwarana angkat 

tangan kiri memberi isyarat. Sedangkan 

pandangan pemuda itu tertuju lurus ke 

depan persis di lapangan kecil berbatu di 

mana Arwah Darah Senggini tadi menyiksa 

nya.

Tanpa bicara apapun si gendut ikut-

ikutan memandang ke arah yang sama. 

Kening si kakek berkerut, bola matanya 

berputar lucu tak mau diam.

"Hem, ternyata dia kembali dengan 

berhampa tangan. Tapi mengapa masih bisa 

bernafas? Masih hidup? Ke mana perginya 

lebah-lebah beracun itu? Harusnya 

binatang yang bersarang di dalam gua 

menyengatnya sampai mampus." gumam si 

kakek gendut.

"Eh, engkau bicara apa? Mengapa tak 

kulihat perempuan cantik itu membawa 

harta?" tanya Siwarana jadi terheran-

heran.

"Harta jidatmu monyong. Bukankah 

sudah kukatakan sejak tadi aku hanya 

mengecohnya. Mengalihkan perhatian nenek 

cantik itu agar aku dapat dengan leluasa 

membantumu?!" Siwarana tepuk keningnya


sendiri. 

"Ah, maafkanlah aku lupa!" ucap si 

pemuda tersenyum sendiri.

"Kau lihat! Dia mulai mencarimu. 

Dia memaki, mendamprat. Dasar edan 

orangnya sudah tak ada pun masih 

dicarinya." rutuk si kakek. Siwarana diam 

mendekam di tempatnya. Hatinya mulai 

gelisah, takut bila si cantik mengetahui 

tempat persembuyiannya. Lain lagi halnya 

dengan si kakek gendut. Dia mulai 

berpikir untuk menghampiri Arwah Darah 

Senggini yang berjalan mundar-mandir di 

seputar lapangan berbatu. Tapi sebelum 

niatnya terlaksana mendadak sontak 

terdengar suara hembusan angin yang 

sangat keras sekali. Hembusan angin 

kencang menerbangkan apa saja yang di

laluinya. Selain itu pada waktu bersamaan 

tercium pula bau busuk yang sangat 

menyengat. Bau busuknya bangkai.



SEMBILAN



Di tengah lapangan kecil berbatu 

Arwah Darah Senggini yang sedang dilanda 

kemarahan hebat tentu saja sempat 

terkejut melihat keanehan yang terjadi 

dengan sangat tiba-tiba ini. Bagaimanapun 

penipuan yang telah dilakukan oleh suara 

seseorang yang datang dari arah lereng


gunung tadi telah menumbuhkan dendam 

tersendiri yang sulit dipadamkan, 

meskipun dia telah mencincang tubuh orang 

itu. Dan kemarahan semakin meluap-luap 

begitu dia kembali si perempuan cantik 

tidak menemui Siwarana berada di tempat 

itu. 

"Dia, pasti dia orangnya!" geram si 

cantik sambil banting kakinya. Hentakan 

yang keras membuat kaki si cantik amblas 

hingga sebatas mata kaki. Selagi diri 

Arwah Darah Senggini dilamun kemarahan 

yang demikian hebat, maka hembusan angin 

semakin bertambah keras. Bau busuknya 

bangkai semakin tajam menusuk.

"Jahanam, bangsat mana lagi yang 

berani mati dengan membuat ulah seperti 

ini?!" geram si nenek. Dengan perasaan 

kesal dia berpaling ke arah angin 

membadai yang datang secara bertubi-tubi. 

Dia jadi heran karena tidak melihat 

apapun di depan saja terkecuali kabut 

hitam pekat yang bergulung-gulung 

menyertai hembusan angin yang tak kunjung 

henti.

"Kunyuk tengik, siapapun dirimu 

adanya jika memang punya kepentingan 

denganku harap mau tunjukkan diri!" 

teriak si cantik. Suaranya keras 

melengking menindih suara gemuruh angin 

yang memporak-porandakan daerah di 

sekitar lapangan berbatu.


Sepi sejenak, hanya deru suara 

angin saja yang terdengar. Tapi tak 

berapa lama kemudian terdengar suara 

gelak tawa yang begitu keras mengelegar. 

Tanah, lamping batu di sebelah kanan si 

cantik bergetar hebat, bahkan lereng 

gunung ikut pula bergetar. Di tempat 

persembunyiannya Siwarana terpaksa tekap 

kedua telinga untuk menghindari pengaruh 

getaran suara tawa. Sedangkan di 

sebelahnya kakek gendut besar Gentong 

Ketawa tampak duduk bersila dengan tubuh 

terguncang hebat. 

"Kadal buntung! Setan mana yang 

suaranya seperti itu?" maki si kakek 

sambil menutup indera pendengarannya.

Kembali ke tengah lapangan berbatu 

Arwah Darah Senggini berdiri tegak dengan 

tubuh tergontai-gontai. Tapi anehnya 

perempuan itu sama sekali tidak bergeming 

dari tempatnya.

Telinga tidak ditutup dengan 

tangan, bahkan dia tidak pula kerahkan 

tenaga dalam untuk menutup indera 

pendengarannya. Sungguh apa yang di per-

lihatkan oleh si cantik merupakan satu 

tindakan nekad yang dapat mengancam 

keselamatan dirinya sendiri. Beberapa 

saat berlalu, perlahan suara tawa yang 

terdengar di tengah hembusan angin 

kencang mereda. Perempuan itu menye-

ringai. Lalu dia keluarkan seruan keras.


"Sudah bosan kau tertawa? Sungguh 

demi para iblis, andai suara tawamu dapat 

meruntuhkan dinding langit, tapi aku 

Arwah Darah Senggini tidak akan 

terpengaruh walau barang sedikitpun. 

Hik... hik... hik!" kata perempuan cantik 

itu disertai tawa dingin menyeramkan.

"Arwah Darah Senggini. Kau 

mempunyai hutang nyawa yang harus kau 

lunasi hari ini!" terdengar satu seruan 

dalam getaran mengandung dendam kesumat.

Mendengar ucapan orang Arwah Darah 

Senggini tentu saja melengak kaget. 

Sedangkan si cantik yang terlihat seperti 

perempuan setengah baya ini cepat 

memandang ke arah datangnya suara, 

sementara itu hembusan angin kencang 

mulai mereda, sedangkan bau busuknya 

bangkai terasa semakin keras menyengat.

"Setan kuburan, siapa dirimu? 

Sepanjang hidup aku merasa tidak pernah 

berhutang nyawa dengan siapapun, apalagi 

berhutang pada bangkai kuburan!" 

dengusnya kesal.

"Ha... ha... ha! Mungkin kau lupa, 

mungkin kau sudah tidak mengingat 

peristiwa yang terjadi sekitar dua puluh 

delapan tahun yang lalu. Tapi aku tidak. 

Aku tetap mengenangnya, aku tidak akan 

lupa sampai dunia kiamat!" dengus suara 

itu.

Beberapa saat lamanya Arwah Darah


Senggini diam tertegak di tempatnya 

berdiri. Dia mencoba memutar otak, 

mengingat segala kejadian yang berlang-

sung sekitar tiga puluh tahun yang silam. 

Mula-mula terbayang olehnya wajah seorang 

kakek tua berbadan sedikit bongkok. Dan 

itu adalah sosok wajah Rowe Rontek 

Panjane. Si kakek tua yang masih 

terhitung sahabatnya sendiri. Rowe Rontek 

Panjane telah dibunuhnya karena dianggap 

tidak mampu memenuhi segala apa yang 

dijanjikan oleh muridnya. Setelah itu 

muncul pula seraut wajah lain. Wajah 

seorang laki-laki muda dengan tampang 

memelas semasa hidupnya berada dalam 

kemelataran yang amat sangat. Si 

perempuan cantik ingat betul, yang satu 

ini adalah Raden Ponco Sugiri murid Rowe 

Rontek Panjane. Manusia yang dianggapnya 

telah mengingkari segala janjinya yang 

pernah dia ucapkan. Konon Raden Ponco 

Sudiri terbunuh di tempat pengasingannya 

di puncak gunung Wilis.

Si cantik gelengkan kepala. Semua 

yang pernah terjadi di masa lalu 

terbayang dengan jelas. Termasuk juga 

mengenai keinginan Raden Ponco Sugiri 

yang ingin merebut kembali harta warisan 

orang tuanya yang telah dikangkangi oleh 

saudara tirinya Raden Ronggo Anom. Semua 

rentetan peristiwa itu seakan bergulir 

begitu saja, berjalan sesuai dengan apa


yang dikehendakinya.

Kini Arwah Darah Senggini jadi 

ingat pada Babat Nyawa, mahluk gaib yang 

dipiara nya selama berpuluh-puluh tahun. 

Pada malam kejadian di sekitar dua puluh 

delapan tahun yang silam, mahluk sakti 

inilah yang diperintah si cantik untuk 

membunuh Raden Ronggo Anom. Manusia 

paling culas adik tiri Raden Ponco 

Sugiri.

"Manusia tengik itu pun telah 

mampus puluhan tahun yang silam. Jika 

memang dia adanya yang munculkan diri di 

tempat ini, berarti yang muncul adalah 

jasad busuknya. Dia memiliki ilmu aneh, 

ilmu apapun namanya yang jelas dengan 

ilmu itu dia bangkit dari kuburnya!" 

batin perempuan itu.

Walau Arwah Darah Senggini seumur 

hidup tidak pernah merasa gentar 

menghadapi musuh yang manapun, tapi kini 

membayangkan bagaimana mayat orang yang 

telah mati dapat bangkit kembali, mau tak 

mau tengkuk si cantik berubah dingin 

seperti es.

"Bagaimana Wowor Baji Marani, kau 

sudah tahu nyawa siapa yang harus kau 

bayar?" hardik suara itu.

"Hik... hik... hik! Aku tak akan 

pernah lupa atau sengaja melupakan 

kesenangan yang pernah terjadi puluhan 

tahun yang silam. Walau aku tak pernah


melihat bagaimana tampangmu dulu dan 

sekarang, tapi aku tahu kau pasti adalah 

si keparat Raden Ronggo Anom!" dengus 

Arwah Darah Senggini sinis.

"Hak... hak... hak! Bagus kalau kau 

sudah tahu. Dengan begitu aku tak perlu 

merasa bersusah payah menerangkan siapa 

diriku! Sekarang apakah kau siap 

menyerahkan nyawamu!" tanya suara itu.

"Aku sudah siap sejak tadi Raden 

bangkai. Mendekatlah ke mari, bagian mana 

dari tubuhku ini yang hendak kau jebol?" 

teriak si cantik lantang.

"Pertama aku menginginkan 

jantungmu. Setelah itu aku menghendaki 

bagian tubuhmu yang lain!" sahut suara 

yang belum memperlihatkan ujudnya ini 

dingin. Belum lagi gema suara yang 

terdengar lenyap, mendadak sontak 

terdengar desiran halus menyambar telinga 

si cantik. Arwah Darah Senggini surut 

satu langkah ke belakang begitu merasakan 

bagian telinga kirinya seakan seperti 

diterabas senjata tajam.

Wajah mendadak pucat, agaknya dia 

menyadari lawan mungkin mengetahui titik 

kelemahannya. Di depan sana terdengar 

suara tawa melengking panjang disertai

berkelebatnya satu sosok tubuh nyaris 

telanjang yang bergerak cepat ke arah si 

cantik.

Begitu sosok setengah manusia


setengah bangkai ini melesat di udara dua 

tangan dipentang, sepuluh jari 

terkembang. Ketika sepuluh jari berkuku 

hitam dijentikkah ke depan. Sepuluh sinar 

hitam menggidikkan setipis benang menderu 

sebat menghujani sekujur tubuh Arwah 

Darah Senggini. Perempuan itu terkesiap 

ketika menyadari bagaimana ke sepuluh 

sinar maut itu tiba-tiba berubah 

melengkung berusaha melingkup dan 

meringkus dirinya.

Si cantik berteriak keras, kaki 

dihentakkan lalu laksana kilat tubuhnya 

melesat di udara. Lingkupan sinar maut 

berhawa dingin membekukan ini mengenai 

tempat kosong, dua di antaranya 

menghantam pohon besar di luar lapangan. 

Terdengar suara letupan kecil. Pohon 

mengeluarkan suara berkeretekan, tidak 

roboh tidak pula tumbang. Tapi apa yang 

terjadi kemudian sungguh membuat semua 

orang yang melihatnya jadi terkesiap 

kaget. Seluruh daun pohon mendadak rontok 

layu, ranting dan batangnya menyusut 

kemudian hancur menjadi abu.

"Pukulan Mayat Memisah Roh!" seru 

si cantik. Dengan cepat selagi tubuhnya 

masih mengambang di udara dia lakukan 

serangan balasan. Dua tangan dipukulkan 

lurus ke arah Mayat Hidup.

Wuut! Wuut!

Sinar biru berkelebat, angin


menderu bergulung menerjang Mayat Hidup. 

Yang diserang mendengus, lalu gerakkan 

kedua tangannya ke atas mirip dengan 

gerakan orang yang melambaikan tangannya. 

Sekali lagi sinar hitam berkiblat hawa 

dingin menghampar menindih serangan 

berhawa panas yang dilepaskan oleh si 

cantik.

Tess!

Arwah Darah Senggini terkesiap 

kaget begitu merasakan pukulan saktinya 

seakan amblas, lenyap ditelan serangan 

lawan. Dengan muka pucat dan tubuh 

bersimbah keringat dingin dia melakukan 

gerakan yang sulit demi menyelamatkan 

selembar nyawanya. Tapi tak urung ujung 

kaki kirinya masih sempat tersambar 

pukulan lawan. Bagian kaki yang terkena 

pukulan terasa sakit mendenyut laksana 

ditusuki ribuan batang jarum. Bahkan di 

bagian ujung jari berubah seperti 

membeku. Sungguh pun begitu si cantik 

masih sanggup jejakkan kedua kaki ke 

tanah meskipun tubuhnya nampak terhuyung.

Belum lagi Arwah Darah Senggini 

siap pada posisinya dia kembali merasakan 

sambaran angin mendera punggungnya. Dia 

cepat berbalik sambil mencoba memapaki 

serangan lawan. Baru saja tubuhnya 

berbalik menghadap ke arah Mayat Hidup, 

saat itu satu tangan hitam menebar bau 

busuk menyengat melabrak dadanya.


Desks!

"Hugh...!" Arwah Darah Senggini 

mengeluh tertahan, tubuhnya terpelanting, 

jatuh berdebu kan dengan mulut 

menyemburkan darah. Di depan sana Mayat 

Hidup sunggingkan seringai dingin. Si 

cantik coba berdiri secepat yang dapat 

dia lakukan. Dia jadi kaget ketika 

merasakan dadanya mendadak jadi sesak. 

Megap-megap sambil bertumpu pada kedua 

tangan dia perhatikan dadanya. Kejut di 

hati si nenek bukan olah-olah begitu 

melihat satu kenyataan bahwa pakaian di 

bagian dadanya berlubang besar, hangus 

menghitam meninggalkan bekas lima jari 

telapak tangan.

Karena lawan nampak terus 

memburunya, sambil bergulingan ke kiri 

selamatkan diri si cantik kerahkan tenaga 

yang segera dipusatkan ke bagian dada 

untuk menyembuhkan luka dalam yang dia 

derita. Perlahan hawa dingin lenyap, rasa 

sakit yang mendera dadanya juga ikut 

lenyap. Arwah Darah Senggini tanpa 

membuang waktu segera melompat. Begitu 

tubuhnya melesat ke atas kedua tangan si 

cantik langsung didorong ke depan siap 

melepaskan pukulan Penghancur Jasad 

Pengusir Roh. Inilah salah satu pukulan 

yang paling berbahaya dan agaknya si 

cantik tidak mau berlaku ayal, sehingga 

ketika dia dorongkan kedua tangannya tadi


si cantik tak lupa menyertakan seluruh 

tenaga sakti yang dia miliki.

Akibatnya sungguh sangat luar 

biasa, serangan maut yang dilakukan oleh 

Mayat Hidup berantakan di tengah jalan. 

Bukan hanya sampai di situ saja. Sebagian 

besar pukulan Arwah Darah Senggini 

langsung melabrak sosok setengah manusia 

setengah bangkai yang pada saat itu 

meluncur deras ke arahnya. Tak ampun lagi 

pukulan si cantik menghantam telak sosok 

Mayat Hidup. Begitu kena dihantam detik 

itu juga terdengar suara jeritan 

melengking laksana suara orang mengeruk. 

Sosok Mayat Hidup tercerai-berai, 

potongan tubuhnya yang membusuk itu 

bertaburan ke segenap penjuru arah dan 

jatuh berserakan di atas tanah.

Si cantik jatuh terduduk, nafasnya 

tersengal-sengal. Walau luka dalam akibat 

pukulan lawan tadi sempat disembuhkan, 

tapi karena barusan tadi dia menguras 

tenaga dalam guna melepas pukulan 

saktinya, tak urung luka yang baru 

tersembuhkan tadi kini kambuh lagi. 

Sejenak lamanya Arwah Darah Senggini 

duduk bersila, mata terpejam sambil 

menghimpun tenaga saktinya. Si cantik 

terbatuk beberapa kali, dari sudut 

bibirnya meleleh darah kental berwarna 

hitam.




SEPULUH



Sementara itu kakek Gentong Ketawa 

dan Siwarana yang masih mendekam di 

tempatnya di balik ke rindangan pohon di 

lereng bukit tampak saling pandang. Si 

kakek gendut usap wajahnya. Pertempuran 

sengit yang berlangsung tadi membuatnya 

geleng kepala.

"Si nenek cantik itu sungguh luar 

biasa. Pamanmu yang baru datang dari 

kubur saja dibuatnya tercerai-berai. 

Boleh juga dia punya kesaktian!" kata si 

gendut memuji.

"Kek, sekarang saatnya bagi kita 

untuk menghabisi perempuan itu. Jika 

tidak cepat atau lambat dia yang akan 

menghabisi kita!" ujar Siwarana tanpa 

menghiraukan ucapan Gentong Ketawa.

"Aku bukan manusia pengecut, 

mempergunakan kesempatan selagi lawan 

terluka. Tapi memang kurasa dalam 

menghadapi iblis seperti dia rasanya kita 

memang tidak memerlukan segala macam 

peradatan!" kata Gentong Ketawa menang-

gapi. Si kakek bangkit berdiri dengan 

diikuti oleh Siwarana, si bongkok muka 

cacat yang kini sekujur tubuhnya telah 

menghitam macam arang. Sekali lagi 

sebelum bangkit berdiri si kakek 

memandang ke depan, ke arah lapangan 

berbatu di mana Arwah Darah Senggini


masih tetap duduk seperti semula.

Mendadak gerakan kaki si kakek yang 

siap terayun jadi terhenti begitu dia 

melihat satu bayangan putih berkelebat 

cepat laksana kilat dari arah belakang si 

cantik.

"Satu lagi tamu datang mencari 

mati!" dengus Gentong Ketawa sambil usap-

usap perutnya yang gendut besar.

Siwarana tercekat, dia ikut pula 

memandang ke arah lapangan. Pada saat itu 

dia melihat bayangan putih tadi sudah 

menghantam Arwah Darah Senggini yang 

sedang bersemedi dari arah belakang. 

Sinar hitam, merah dan biru menderu di 

udara, bergulung-gulung siap melabrak 

hancur tubuh si cantik. Tapi pada saat 

itu pula tanpa terduga dari bagian 

telinga kiri Arwah Darah Senggini 

mengepul asap tebal bergulung-gulung. 

Ketika asap menyentuh udara dengan cepat 

sekali kepulan asap kelabu itu membentuk 

satu sosok berwajah angker berulir hitam 

kemerahan, bercambang lebat sedangkan di 

setiap sudut bibirnya mencuat sepasang 

taring yang panjang dan tajam. Begitu 

sosok dari asap tadi telah membentuk satu 

ujud yang utuh dan jejakkan kedua kakinya 

di atas tanah. Maka sosok setinggi enam 

tombak ini gerakkan tangannya yang besar 

panjang berbulu menangkis pukulan ganas 

orang yang baru datang.


Bessss!

Terdengar suara seperti besi panas 

yang dicelupkan ke dalam air. Pukulan 

yang seharusnya menghantam bahu belakang 

si nenek mendadak amblas tak berbekas ke 

dalam telapak tangan sosok tinggi besar 

ini. Belum lagi hilang rasa kejut di hati 

penyerangnya, tiba-tiba sambil 

menyeringai tangan mahluk yang menjelma 

dari asap terjulur memanjang mencengkeram 

batang leher orang itu. Si penyerang yang 

bukan lain adalah Danang Pattira terkejut 

besar dan coba selamatkan diri dengan 

mencoba berkelit ke samping. Tapi gerakan 

tangan yang terjulur memanjang itu 

sungguh cepat luar biasa bahkan sulit 

diikuti kasat mata. Di lain kejap tahu-

tahu leher si pemuda sudah kena dicekal. 

Danang meronta, lehernya terjepit keras. 

Sekuat apapun dia kerahkan tenaga untuk 

membebaskan diri, namun usahanya itu 

hanya sia-sia saja. Semakin keras Danang 

meronta, maka jepitan terasa semakin 

mencekik hingga membuat pemandangannya 

jadi gelap dan kepala serasa mau meledak.

Kreeek!

Terdengar suara tulang leher 

berderak patah. Danang Pattira berke-

lojotan sesaat lamanya. Tidak lama 

gerakan kaki maupun tangannya makin 

melemah hingga tidak bergerak sama 

sekali. Mahluk aneh yang keluar dari


telinga si nenek sunggingkan seringai 

aneh. Sosok Danang yang telah kehilangan 

nyawa langsung dibantingkannya. Kembali 

terdengar suara berderak. Sosok setinggi 

galah berbalik menghadap ke arah si nenek 

cantik, begitu tubuhnya membungkuk maka 

sosoknya langsung memudar, lenyap berubah 

menjadi gumpalan asap. Dengan cepat 

gulungan asap bergerak seperti tersedot 

memasuki telinga si cantik. Di saat 

seperti itulah dari balik kelebatan pohon 

di lereng gunung berkelebat dua bayangan.

Sosok besar yang berada di depan 

langsung hantamkan tangan kanannya ke 

arah telinga kiri si cantik di mana 

mahluk aneh tadi melenyapkan diri.

Tak mau ketinggalan bayangan yang 

berkelebat di sebelah si gendut besar 

juga ikut melepaskan pukulan ke arah 

Arwah Darah Senggini. Dua larik sinar 

putih dan kuning menderu, melesat laksana 

kilat menghantam telinga dan bagian rusuk 

si cantik, hawa panas menghampar. Detik 

berikutnya pukulan ganas itu melabrak ke 

arah Arwah Darah Senggini. Seakan sadar 

terjaga dari tidurnya perempuan cantik 

yang wajah aslinya adalah seorang 

perempuan tua renta ini masih dalam 

keadaan bersila langsung menghindar ke 

samping sambil keluarkan seruan keras.

Buum! Buum!

Dua kali ledakan berdentum


terdengar, gunung Liman laksana diguncang 

gempa dahsyat. Lubang besar nampak 

menganga, mengepulkan asap Hitam pekat 

luar biasa. Arwah Darah Senggini yang 

baru selamatkan diri dari pukulan 

lawannya sempat tercekat. Dia memandang 

ke arah datangnya pukulan. Gelap! Bebe-

rapa saat Arwah Darah Senggini terpaksa 

menunggu. Tak lama setelah kegelapan 

sirna si cantik melihat di depannya 

berdiri tegak seorang kakek tua berbadan 

tinggi besar berperut gendut berbaju 

hitam tidak terkancing. Kakek yang satu 

ini dia masih mengenali. Beberapa waktu 

yang lalu dia sudah melihatnya, ketika si 

cantik melarikan Siwarana. Tapi pemuda di 

samping si kakek Bungkuk seperti 

Siwarana. Akan tetapi mengapa kulitnya 

berubah hitam begitu rupa?

"Jahanam tengik! Gendut sialan, kau 

orangnya yang telah menipuku." hardik si 

cantik. Gentong Ketawa tertawa terbahak-

bahak.

"Sudah kau dapatkan harta itu?" 

tanya si gendut.

"Bangsat! Kubunuh kau!" teriak 

perempuan itu. Ingat dengan semua apa 

yang dilakukan si kakek dia jadi lupa 

dengan tujuan semula yang ingin menguliti 

Siwarana dalam keadaan hidup.

"Kau hendak membunuhku? Bagaimana 

jika sebelum mati aku minta telinga


kirimu untuk kubuat bekal menuju ke alam 

baka?! Ha... ha... ha!" kata si kakek.

"Boleh! Kau bisa mengambilnya 

setelah menghadap setan di neraka!" 

menyahuti Arwah Darah Senggini. Selesai 

berucap dia melompat ke depan, dua tangan 

berkelebat. Satu menyambar dada dan 

satunya lagi menyambar bagian mulut 

Gentong Ketawa.

"Habis mulutku!" seru si kakek. Dia 

lalu bergulingan ke belakang, sambil 

bergulingan kedua tangan dipukulkan 

menyambut serangan Arwah Darah Senggini.

Dess! Dess!

Dua pasang tangan saling bertemu di 

udara membuat si gendut terdorong mundur, 

jatuh dengan dua kaki tertekuk. Di 

depannya sana Arwah Darah Senggini nampak 

terhuyung. Dua tangan yang saling bentrok 

dengan tangan lawan terasa ngilu sakit di 

bagian dalam. Merasakan betapa besar 

tenaga dalam yang dimiliki lawannya, kini 

dia tak mau berlaku ayal. Kedua tangan 

kemudian disilangkan, jemari terkembang, 

tenaga dalam diarahkan langsung ke bagian 

tangan kiri kanan. Di lain kejap sepasang 

tangan yang bersilangan itu telah berubah 

laksana besi merah membara.

"Nenek cantik, mengapa wajahmu 

tidak kau buat merah membara sekalian 

hingga terlihat ujud mu yang sebenarnya? 

Ha... ha... ha!" ejek si kakek.


Walau dalam hati Arwah Darah 

Senggini terkejut mendengar lawan 

mengetahui siapa dia yang sesungguhnya, 

tapi si nenek tak menanggapi. Malah kini 

dia melakukan gerakan lebih cepat dengan 

melompat ke depan. Begitu tubuhnya 

melesat dalam gerakan secepat kilat, dua 

tangan bergerak ke depan dengan gerakan 

menggunting. Sepuluh sinar merah 

berkelebat menderu ke arah si kakek 

secara bersilangan. Kejut si orang tua 

bukan kepalang. Mustahil dia bergerak 

mundur, satu-satunya jalan adalah dengan 

menjatuhkan diri sama rata dengan tanah. 

Tapi sebelum niat terlaksana kaki kanan 

si cantik melesat pula membabat pinggang 

Gentong Ketawa. Tak mau dirinya terkutung 

menjadi dua akibat guntingan sinar merah 

itu, si kakek gendut nekat jatuhkan diri, 

sedangkan dua tangan dipergunakan untuk 

menangkis serangan lawan. 

Wuuut! Plak!

Dua sinar merah yang menyerang 

secara bersilangan menghantam tempat 

kosong, meluncur deras ke belakang si 

kakek, membabat putus pepohonan besar. 

Pohon roboh bergemuruh. Siwarana bergidik 

ngeri melihat bagaimana sinar yang 

melesat tadi laksana gunting raksasa 

memapras pohon. Sementara di depannya 

sana Gentong Ketawa jatuh menelentang 

akibat begitu besarnya tendangan lawan


yang harus ditangkisnya.

"Kadal! Perempuan tengik!" teriak 

si kakek sambil mengibaskan kedua 

tangannya yang nampak bengkak membiru.

"Mampus kau sekali ini!" geram 

Arwah Darah Senggini. Sambil berteriak 

tanpa menyia-nyiakan kesempatan lagi dia 

kembali menghantam lawannya dengan 

pukulan yang mematikan.

"Setan kampret!" maki Gentong 

Ketawa. Dengan gerakan cepat dia 

menggulingkan dirinya ke tempat yang 

aman. Sambil bergulingan Gentong Ketawa 

lepaskan pukulan 'Selaksa Duka'. Sinar 

merah membersit dari telapak tangan si 

kakek, lalu menderu deras memapak pukulan 

lawannya.

Blaam!

Terjadi ledakan berdentum. 

Perempuan itu terdorong dua tombak ke 

belakang. Tanah dan bebatuan di tengah 

lapangan kecil terbongkar membentuk satu 

lubang yang sangat besar di bagian dalam. 

Dari bagian dalam lubang yang menganga 

akibat pukulan memancar cahaya warna-

warni menyilaukan mata. Melihat semua ini 

Siwarana berseru. 

"Harta... harta milik leluhurku!" 

Tertarik akan apa yang dilihatnya dia 

jadi lupa pada bahaya yang mungkin datang 

secara tidak terduga. Tanpa pikir panjang 

lagi dia segera menghambur dan bermaksud


masuk ke dalam lubang.

"Dodol, kau cari mampus?!" teriak 

Gentong Ketawa berusaha mencegah.

"Kakek tua, aku ingin kaya, aku 

ingin membangun dunia. Hadapilah perem-

puan sinting itu!" sahut Siwarana tanpa 

menghiraukan peringatan si kakek.

"Setan hitam, kulitmu boleh berubah 

seribu kali. Tapi aku tetap bisa 

mengenali dirimu. Tubuhmu bungkuk, kau 

tak bisa menipuku. Boleh aku gagal 

mengulitimu hidup-hidup. Sekarang 

terimalah ajalmu!" teriak Arwah Darah 

Senggini. Belum lagi hilang suara 

teriakannya perempuan ini langsung 

hantamkan tangannya ke arah Siwarana.

Sinar hitam berkiblat. Tak ampun 

lagi langsung melabrak tubuh pemuda itu 

yang sudah hampir mendekati lubang. 

Siwarana menjerit keras, tubuhnya 

melayang jauh dihantam pukulan si cantik. 

Gentong Ketawa yang tak sempat menolong 

pemuda itu mengingat jaraknya yang 

terlalu jauh jadi terlolong.

"Pedang Pembantai Iblis dan seluruh 

harta itu?! Semuanya harus menjadi 

milikku." berkata begitu Arwah Darah 

Senggini berlari cepat dekati lubang. Si 

kakek gendut tak tinggal diam.

"Harta dan pedang hebat itu boleh 

berada di tanganmu. Tapi nanti setelah 

nyawamu dibawa setan terbang ke langit!"


Selesai berucap Gentong Ketawa menghantam 

lawan dengan pukulan Iblis Ketawa Dewa 

Menangis. Tujuh larik sinar pelangi 

menderu sebat di udara, bergulung-gulung 

disertai menghamparnya hawa panas luar 

biasa. Si cantik tentu tak mau menjadi 

korban pukulan maut itu. Sehingga dia 

berbalik, lalu pukulkan kedua tangannya 

menyambuti serangan lawan. Karena saat 

melepaskan pukulan perempuan ini diwarnai 

rasa benci dan amarah, tak dapat 

disangkal lagi kekuatan yang dilepas-

kannya jadi berlipat ganda. Si kakek 

merasa tangkisan lawan membuat tenaga 

pukulannya membalik dan seperti hendak 

menghantam dirinya sendiri. Sekuat tenaga 

secara berturut-turut dia kembali 

hantamkan tangannya ke depan. Tetap saja 

pukulan susulan yang dilepaskannya seakan 

tak memiliki arti sama sekali.

Si kakek gendut jadi keluarkan 

keringat dingin. "Celaka, nenek tengik 

ini ternyata memiliki ilmu aneh." rutuk 

Gentong Ketawa. Dengan tangan kiri masih 

didorongkan ke depan, tangan kanan 

bermaksud mengambil senjata berupa 

trisula berbentuk gagang ketapel tapi 

memiliki ketajaman di kedua sisi yang 

terselip di bagian pinggang, tapi pada 

saat yang bersamaan dari arah samping 

kanan berkelebatan tiga sosok tubuh yang 

langsung melepaskan pukulan ke arah Arwah


Darah Senggini.

Tiga sinar mau berkiblat, hawa 

panas dan dingin datang silih berganti. 

Melihat kenyataan ini, si cantik berubah 

kaget. Apalagi ketika merasakan hempasan 

angin keras yang terasa memanggang dan 

mengguncangkan tubuhnya. Dia mencoba 

menangkis ketiga serangan yang datang 

sekaligus, tapi tiga serangan yang datang 

begitu dahsyat tak terbendung. Tak ampun 

lagi bagaikan selembar daun ilalang tubuh 

si nenek laksana terbang disapu pukulan 

ketiga pendatang ini.

Di tengah-tengah deru suara angin 

yang menggemuruh, di antara hawa panas 

yang datang silih berganti terdengar 

suara jerit si cantik. Dia jatuh 

terhempas seperti dicampakkan. Dari 

bibir, hidung dan mulutnya mengucurkan 

darah kental kehitaman. Hebatnya lagi 

walau orang tua itu menderita luka dalam 

yang sangat parah, tapi dia masih tetap 

bertahan hidup. Tapi satu keanehan 

terjadi pada wajah Arwah Darah Senggini 

ini. Jika semula wajahnya cantik 

mempesona seperti perempuan berumur dua 

puluh delapan tahun. Kini setelah tiga 

pukulan hebat melanda dirinya sontak 

wajah si cantik kembali berubah ke ujud 

aslinya. Berubah kembali ke aslinya yaitu 

berupa sosok nenek renta berambut putih 

bermata cekung menjorok ke dalam


rongganya yang besar. Bibir si cantik 

yang kemerahan juga nampak mengeriput 

besar di bagian bawah.

Jika kakek gendut Gentong Ketawa 

terbahak-bahak melihat perubahan itu 

sebaliknya tiga pendatang yang terdiri 

dari Gento Guyon, Ambini dan Tangan Sial 

sempat dibuat heran.

"Hebat. Bagus betul kau punya rupa 

yang asli Arwah Darah Senggini. Perempuan 

tua rongsokan sepertimu kurasa setan pun 

bisa lari bila bertemu denganmu! Ha... 

ha... ha!" kata si gendut tanpa hiraukan 

kehadiran orang.



SEBELAS



Si cantik yang telah kembali kepada 

ujud aslinya akibat terhantam tiga 

pukulan hebat itu hanya diam saja. Dia 

merasa sekujur tubuhnya seperti lumpuh 

kehilangan tenaga, bukan hanya tenaga 

saja yang seakan lenyap, tapi juga 

tulang-tulangnya laksana hancur, gading 

seperti dibetot. Sejuta rasa dendam dan 

penasaran memenuhi benak dan hatinya. Dia 

menggeram, mulutnya berkemak-kemik mem-

baca mantra untuk menghadirkan mahluk 

piaraan yang bersemayam di dalam liang 

telinga sebelah kiri.

"Heh, apa yang hendak di laku-

kannya?!" seru Gento yang pada saat itu


sudah berada di samping gurunya.

"Dia hendak menggunakan iblis 

piaraannya untuk membunuh kita!" satu 

suara berseru, ternyata yang baru memberi 

peringatan tadi adalah Si Tangan Sial.

"Gege murid geblek, cegah nenek 

itu. Hancurkan asap yang keluar dari 

telinganya!" teriak Gentong Ketawa.

Tangan Sial yang hendak bergerak 

jadi urungkan niatnya. Gento cepat 

mengambil tindakan.

Tiga kali dia berjumpalitan di atas 

tanah. Begitu dia sampai ke dekat Arwah 

Darah Senggini. Dengan cepat dia 

menghantam asap yang keluar dari telinga 

kiri orang tua itu. Si nenek menjerit 

keras, serta-merta asap yang sudah 

mengepul keluar dengan cepat kini melesat 

masuk ke dalam, lenyap di balik liang 

telinga. Arwah Darah Senggini dengan sisa 

tenaga yang ada miringkan bahunya, tangan 

diangkat lindungi telinga kiri sedangkan 

tangan kanan dipergunakan untuk menangkis 

serangan lawannya. 

Desss!

"Akh...!" Bentrokan keras membuat 

si nenek yang menderita cidera berat jadi 

menjerit. Dia kembali terpelanting dan 

terjatuh ke dalam lubang. 

"Kejar!" teriak Si Tangan Sial. Dia 

sendiri segera berkelebat dan melompat 

masuk ke dalam lubang yang menganga


lebar. Tidak menunggu lebih lama Gento 

segera menyusul diikuti oleh Ambini. 

Sedang Gentong Ketawa yang tadinya hendak 

mencegah muridnya kini malah duduk 

melongo.

Di dalam lubang ternyata suasananya 

cukup terang. Begitu sampai ketiganya 

jadi terkesima begitu melihat timbunan 

harta yang sangat besar jumlahnya. Ambini 

sebagai pewaris harta yang sah sempat 

tercengang dan tak percaya melihat 

kenyataan ini. Tapi dia tidak melakukan 

apapun pada harta benda yang tak ternilai 

harganya ini. Sebaliknya dia segera 

membantu Gento dan Tangan Sial mencari 

Arwah Darah Senggini, sepanjang lorong di 

bawah tanah tempat penyimpanan harta itu 

sudah diperiksa oleh mereka. Tapi ketiga 

orang ini tak menemukan orang yang mereka 

cari. Arwah Darah Senggini seakan lenyap 

ditelan bumi. Di salah satu sudut ruangan 

Ambini melihat sesuatu tergolek dalam 

keadaan menelentang.

"Gento... di sini...!" seru si 

gadis tak berani mendekati sosok yang 

tergeletak itu.

Si Tangan Sial dan murid kakek 

Gentong Ketawa segera berlari mendekati. 

Sejenak setelah melihat sosok dengan 

sekujur tubuh serba hitam itu dia jadi 

terheran-heran. Jelas sosok itu bukan 

mayat Arwah Darah Senggini. Penasaran si


pemuda menghampiri, melangkah lebih 

mendekat dan segera meneliti. Walaupun 

sekujur tubuh sosok itu dalam keadaan 

gosong seperti arang, namun Gento yang 

pernah bertemu masih mengenali.

"Siwarana Salah Anuna! Dia adalah 

adikmu sendiri Ambini. Tapi bagaimana 

tubuhnya bisa berubah gosong begini? 

Siapa yang punya pekerjaan?" gumam Gento.

"Aku yang membuatnya begitu. Semula 

dia selamat, tapi keserakahan bercokol 

dalam hatinya begitu dia melihat harta. 

Dia nekad masuk, peringatanku tidak 

berguna. Nenek jelek tadi memukulnya, aku 

tak sempat menolong. Sekarang jadinya 

seperti yang kalian lihat, nama depannya 

terpaksa ditambah almarhum!" kata satu 

suara. Begitu mereka memandang ke arah 

mulut lubang, ternyata yang baru saja 

bicara si kakek gendut Gentong Ketawa.

"Adikku... tidak kusangka nasibnya 

begini buruk. Bukan hanya dia saja yang 

tewas, tapi kakang Danang Pattira kulihat 

juga tidak dapat kuselamatkan," desah si 

gadis diliputi perasaan duka yang begitu 

mendalam. Beberapa waktu berlalu, suasana 

dicekam kebisuan. Tapi tak lama kemudian 

terdengar Si Tangan Sial berkata. 

"Hidup dan matinya seseorang sudah 

ada yang mengatur. Siapa yang ingin kaya 

silahkan ambil harta itu, kemudian kita 

tinggalkan tempat ini!" ucapnya.


"Gege, siapa manusia tangan gosong 

itu?" tanya si kakek yang baru menyadari 

muridnya datang bersama seorang laki-laki 

dan juga gadis cantik.

Gento Guyon tersenyum. "Orang ini 

gelarnya Si Tangan Sial, namanya dia 

sendiri tidak tahu." si pemuda menyahuti.

"Ha... ha... hal Gelar itu memang 

sesuai dengan tampangnya. Kurasa bukan 

hanya tangannya saja yang sial, seluruh 

hidupnya pasti penuh kesialan! Dan gadis 

cantik itu apamu kah? kekasih, atau 

sahabat?"

"Inginnya dia jadi kekasihku, tapi 

kalau dia tak mau mana berani aku 

memaksanya. Ha... ha... ha!" sahut si 

pemuda. Dia lalu melanjutkan. "Nama gadis 

ini Ambini, puteri almarhum Raden Ponco 

Sugiri!"

Gentong Ketawa manggut-mangut. Si 

Tangan Sial keluar dari dalam lubang 

sedangkan Gento ikut menyusul. Ambini 

menarik nafas pendek. Dia meraup 

segenggam emas dan permata, memasukkannya 

ke dalam kantong perbekalan setelah itu 

menyusul keluar pula.

"Bagaimana? Kalian tak menemukan 

nenek karondang tadi?" tanya Gentong 

Ketawa begitu ketiganya telah berada di 

atas lubang.

Tiga kepala sama menggeleng.

"Bangsat itu tak mungkin jadi setan


benaran. Sebaiknya kita ratakan saja 

lubang ini. Jika nenek itu ternyata masih 

hidup, umurnya pasti tak akan bertahan 

lama!" ucap si kakek.

"Guru, jangan bertindak gegabah. 

Tanya dulu pada Ambini apakah dia 

mengijinkan tindakan guru?" sergah si 

pemuda. Gento Guyon, gurunya dan Si 

Tangan Sial melirik ke arah si gadis.

Tanpa ragu Ambini menjawab. 

"Sebaiknya lubang ini disamaratakan 

dengan tanah untuk mencegah hal-hal yang 

tak diinginkan!"

"Terima kasih gadis baik!" kata si 

kakek. Ambini anggukkan kepala, tapi 

matanya mencuri pandang pada Gento Guyon. 

Si pemuda kedipkan matanya. Si kakek 

gendut angkat tangan kanan, selagi tangan 

kanan bergetar dan mulai berubah menjadi 

putih laksana perak. Mendadak terdengar 

ledakan berdentum. Tanah terguncang 

hebat, lubang lenyap tertimbun tanah 

lainnya. Begitu si kakek menoleh ke 

samping Si Tangan Sial menyeringai. 

Kiranya dia yang telah meratakan lubang 

dengan kedua tangannya sendiri.

"Sial, kau membuat aku terkejut." 

gerutu si kakek.

"Tak perlu kau maki sekalipun dia 

memang sudah sial sejak dulu guru. Ha... 

ha... ha!" celetuk Gento disertai tawa 

bergelak.


"Kau juga manusia sialan Gendut! 

Ha... ha... ha!" Si Tangan Sial tak mau 

kalah membalas makian si kakek gendut.

Ambini tersenyum melihat tingkah 

laku mereka yang seperti anak-anak. 

Sedangkan Gento Guyon sendiri hanya dapat 

gelengkan kepala sambil mengusap 

wajahnya.



                           -TAMAT-


NANTIKAN EPISODE SELANJUTNYA!!

TUMBAL RATAN SEGARA


Share:

0 comments:

Posting Komentar