SATU
Suara bunyi gamelan mengalun diiringi
dengan suara gendang yang ditabuh oleh tiga la-
ki-laki berkumis melintang berblangkon butut.
Empat gadis cantik berpakaian sutera kuning
berkain kebaya terus menari sambil melenggang
lenggokkan pinggulnya yang besar. Di sekeliling
lapangan para penonton yang terdiri dari laki-laki
dan perempuan memperhatikan hiburan selama-
tan ini dengan perasaan takjub. Sesekali terden-
gar tepuk tangan serta sorak sorai yang gempita.
Di antara para penonton laki-laki ada yang ikut
menari atau sekedar menggoyangkan tubuhnya di
pinggir arena pertunjukan. Setiap laki-laki yang
melihat bagaimana ke empat gadis itu menari
hampir tak pernah berkedip. Terkadang terdengar
suara hela nafas di sana-sini. Tarian yang diper-
tunjukkan ke empat gadis itu terasa begitu meng-
goda, membuat hati berdebar dan mengguncang-
kan iman. Tapi tak seorang pun dari para penon-
ton yang berani memasuki arena pertunjukan ka-
rena di sudut lapangan berdiri mengawasi seo-
rang laki-laki berpakaian hitam gelap berwajah
angker. Laki-laki itu merupakan sesepuh dusun
Kedung Ombo. Dia sangat disegani karena ilmu
silatnya sangat tinggi. Di samping juga merupa-
kan ketua adat daerah itu.
Sejak pertunjukan tarian dimulai perhatian
laki-laki yang bernama Ki Busrut Rancak Bana
yang mempunyai lima orang istri dan sebelas istri
piaraan itu sebenarnya terus tertuju pada gadis
berdada dan berpinggul besar yang menari di su-
dut kiri lapangan. Gadis satu ini adalah yang pal-
ing cantik dibandingkan tiga gadis lainnya. Hing-
ga tidaklah mengherankan banyak para penonton
laki-laki yang memusatkan perhatiannya pada
gadis itu.
Dari tempatnya berdiri, Ki Busrut Rancak
Bana nampak sering mengulum senyum. Tenggo-
rokannya naik turun, lidah dijulurkan dan bibir
dibasahi. Jika kepala manggut-manggut mengiku-
ti suara gendang, maka hatinya ndut-endutan tak
tahan melihat cara si gadis menari. Dalam otak-
nya yang selalu dipenuhi pikiran kotor terencana
maksud jahat dan mesum.
"Aku ingat nama gadis itu Arum Sedap. En-
tah bagian mana yang sedap. Tapi kurasa semua
bagian tubuhnya sedap dipandang. Pinggul besar,
dada juga besar. Kuharap semuanya serba besar.
Caranya menari dan menggoyangkan pinggulnya
saja sudah membuat dadaku laksana mau mele-
dak. Apalagi jika aku dapat mengajaknya bercinta
seusai acara persembahan sesajen malam ini!" pi-
kir Ki Busrut Rancak Bana dalam hati. Orang tua
berusia hampir lima puluh tahun ini palingkan
wajah memandang ke belakangnya. Di sana ber-
diri tegak dua laki-laki berpakaian sama bersenja-
ta pedang. Kedua laki-laki bertampang seram ini
langsung bergerak mendekati begitu mendapat
isyarat dari Ki Busrut Rancak Bana. Dia membi
sikkan sesuatu kepada kedua pembantunya ini.
Yang dibisiki menganggukkan kepala disertai se-
ringai aneh.
Mereka lalu melangkah pergi dan menghi-
lang di tengah kerumunan penonton yang berju-
bel. Sementara itu suara gamelan dan gendang
terus bertalu-talu mengiringi ke empat gadis pe-
nari. Semakin bertambah malam, suasana yang
dingin makin menghangat. Keempat gadis terus
menari bagai kesurupan. Di tengah-tengah sua-
sana yang makin bertambah memanas, tiba-tiba
saja terdengar suitan. Sebagian penonton merasa
heran mendengar suitan yang cukup keras itu.
Tapi tak jarang yang bersikap acuh dan terus me-
nari dan harus puas walau hanya sekedar di luar
lapangan pertunjukan.
"Malam begini dingin. Tubuhku menggigil,
mata mengantuk. Sampai di sini ada hiburan gra-
tis. Empat gadis menari. Aduh aku suka tarian.
Kalau boleh tua bangka ini ikut menari aku san-
gat berterima kasih pada yang punya hajat." kata
satu suara.
Kemudian terdengar satu suara lain me-
nimpali. "Mau menari sampai tua atau sampai
pagi sih boleh-boleh saja. Tapi apa enaknya me-
nari hanya di luar lapangan. Mereka yang menari
saja kebanyakan sudah pada tegang. Apa jadinya
kalau kau yang sudah tua jadi ikut-ikutan te-
gang? Yang membuat aku bingung nantinya eng-
kau hendak lari ke mana?"
Suit! Suiit!
"Mana tahan?! Tidak tua tidak muda, kalau
yang itu kurasa semuanya sama. Kalau aku sam-
pai tegang terpaksa ku pindahkan ke perut, biar
jadi kentut! Ha... ha... ha!" menyahuti suara per-
tama disertai tawa pendek.
"Aku tidak menganjurkan, aku juga tidak
melarang. Kalau mau menari silakan menari.
Syukur-syukur kau dapat yang serba besar itu,
siapa tahu dia tertarik padamu. Kalau kau dapat
dia jangan lupakan aku!"
"Jadi aku boleh menari?" tanya suara per-
tama.
"Seperti yang kukatakan aku tidak men-
ganjurkan juga tidak melarang. Tapi kalau mau,
lebih baik menarilah dengan para gadis itu. Kura-
sa menari berhadapan dengan para gadis me-
nambah suasana semakin bertambah sedap. Ha...
ha... ha!" menyahuti suara kedua.
Sekali lagi terdengar suara suitan panjang.
Satu sosok tinggi besar luar biasa berkelebat rin-
gan dari kegelapan melewati kepala para penon-
ton. Di lain kejab si gendut besar dengan bobot
lebih dari dua ratus kati ini sudah berada di ten-
gah para gadis penari. Kehadiran kakek berbaju
hitam tak dikancing ini tentu mengundang heran
para penonton sekaligus juga mengundang tawa.
Karena cara menari si kakek yang terkesan aneh
dan lucu. Caranya menari tidak mengikuti irama
gamelan atau suara gendang, melainkan terkesan
seenaknya sendiri. Kepala digoyangkan ke kiri
atau ke kanan, mata berputar dikedip-kedipkan.
Tangan melejang-lejang seperti orang terserang
ayan. Bahu naik turun, perut dikedut-kedutkan,
sedangkan dada dibusungkan atau ditarik ke be-
lakang, tak lupa pantat diogel-ogelkan.
"Wah asyik juga. Menari bersama empat
gadis ternyata enak. Hayo tabuh gendang agak
kerasan dikit!" Si kakek gendut besar terus beru-
saha mengikuti gerak tarian gadis yang bernama
Arum Sedap. Tapi karena memang tidak pandai
maka gerakan tubuhnya selalu ketinggalan atau
salah melulu. Semua ini tentu saja membuat para
penonton semakin tak dapat menahan tawanya.
Lain halnya dengan Ki Busrut Rancak Bana. Begi-
tu melihat kehadiran kakek yang tak dikenal itu,
mula-mula dia tampak heran. Tapi darahnya ke-
mudian laksana mendidih begitu melihat si gen-
dut aneh menari berpasangan dengan Arum Se-
dap. Gadis cantik yang menjadi incarannya sejak
tadi. Melihat cara si kakek menari dan jaraknya
yang begitu dekat dengan Arum Sedap menim-
bulkan rasa cemburu di hati laki-laki itu. Ma-
tanya mendelik mencorong marah, kedua rahang
bergemeletukan, pipi menggembung dan wajah
tampak tegang luar biasa.
"Gendut Keparat itu, manusia edan yang
baru terlepas dari penjara gila mana?" maki Ki
Busrut Rancak Bana geram. "Jika dia menari
dengan tiga penari lainnya tidak mengapa, aku
tak mengambil pusing. Tapi beraninya dia menari
dengan orang yang memenuhi seleraku? Kelak ji-
ka acara persembahan sesajen ini selesai aku
akan menyuruh Ukir Koro dan Rono Gandul un-
tuk mengusirnya!" dengus orang ini.
"Asyik... ha... ha... ha. Asyiik... bocah itu
betul-betul tolol tidak ikut menari padahal tiga
gadis belum punya pasangan. Ha... ha... ha!" kata
si gendut besar yang bukan lain adalah kakek
Gentong Ketawa.
Selagi enak si kakek menari, mendadak Ki
Busrut Rancak Bana angkat tangan kanannya
memberi isyarat pada para penabuh gendang dan
gamelan. Begitu diberi isyarat suara tetabuhan
langsung terhenti. Si kakek untuk beberapa saat
terus menari, sementara para penari bergerak
mundur mengakhiri acara tarian. Para penonton
kini mentertawakan si kakek gendut. Sadar irama
gamelan terhenti si kakek jadi kaget. Dia hentikan
gerakannya dalam posisi tangan memeluk, pantat
menyonggeng dan tubuh meliuk seperti orang
yang menderita sakit pinggang.
"Ah, lagi tanggung mengapa harus dihenti-
kan?" gerutu si kakek. Dia melirik ke arah si ku-
mis besar Ki Busrut Rancak Bana. Dia tahu orang
itulah yang tadi memberi isyarat pada para pena-
buh dan pemain gamelan. Kepada orang ini dia
hanya memandang sekilas. Beralih pada Arum
Sedap si gendut kedipkan mata kirinya. Kebetu-
lan Arum Sedap sedang memandang kepadanya
hingga kedipan mata si kakek membuat Arum
Sedap tersipu-sipu.
"Jahanam. Berani betul dia mengedipkan
mata pada Arum Sedap. Dia memang sengaja cari
perkara hendak membuat urusan besar dengan-
ku. Huh... saat ini aku harus menahan diri. Sebe-
lum acara persembahan sesajen berlangsung aku
tak mau ada masalah atau keributan apapun." Ki
Busrut Rancak Bana melirik sekilas pada si gen-
dut. "Aku tahu, dia bukan orang gila. Dia pasti
memiliki ilmu kesaktian tinggi. Aku sempat meli-
hat bagaimana tadi dia melompat melewati para
penonton. Gerakannya ringan luar biasa, padahal
tubuhnya sangat besar sekali!" batin laki-laki itu.
"Sayang... sayang sekali. Padahal sedang
tanggung. Melakukan pekerjaan apapun kalau
tanggung mana enak? Ha ha ha!" kata Gentong
Ketawa. Di balik kegelapan temannya menyengir
sambil nyeletuk.
"Dasar gendut sinting. Bicaramu selalu
ngaco, mulut besar asal ngablak saja! Tapi buat
apa aku urusi dia? Aku sendiri juga mau mengu-
rus persoalanku sendiri!" kata orang itu. Kemu-
dian tanpa bicara lagi orang itu mendekati meja
besar tak jauh dari lapangan pertunjukan tarian.
Kembali pada si gendut yang masih tetap
menyonggeng, tangan dalam posisi memeluk,
pinggang miring dan mulut cemberut. "Bapak pe-
nabuh gendang dan bapak gamelan. Tega dikau
membuat tubuhku jadi begini. Gusti... gusti...!"
keluh si kakek. "Hayo gendang ditabuh, gamelan
dipukul. Aku masih ingin menari!"
Para penabuh gendang dan gamelan diam
membisu. Wajah mereka diwarnai ketegangan.
Dalam pada itu dua laki-laki anak buah Ki Busrut
Rancak Bana sudah menggiring ke empat penari
tadi meninggalkan lapangan pertunjukan. Semen-
tara Ki Busrut sendiri melangkah mendekati si
gendut diiringi tatap cemas para penonton. Mere-
ka sadar betul Ki Busrut Rancak Bana adalah
orang yang sangat ditakuti di daerah itu. Dia yang
membuat pesta tarian dan acara sesajen. Siapa
yang berani mengganggu itu berarti kematian ba-
ginya. Tapi agaknya sikap laki-laki itu kini agak
lain. Dia tidak langsung menurunkan tangan ke-
ras. Sebaliknya unjukkan sikap agak bersahabat.
"Sobat gendut, acara tarian untuk semen-
tara dihentikan dulu. Aku harus memimpin upa-
cara sesajian. Kalau kau suka, berkenan di hati
boleh saja ikut menghadiri upacara kami!" berka-
ta Ki Busrut Rancak Bana. Mulutnya sungging-
kan senyum ramah dan tampang bersahabat, tapi
hatinya memaki habis-habisan.
Gentong Ketawa usap keningnya yang lebar
berkeringat. Dia sempat melongo. Habis melongo
baru sunggingkan senyum khasnya. "Jadi... jadi
kapan acara tarian digelar lagi?" tanya si kakek.
"Nanti setelah setahun dari malam ini." sa-
hut Ki Busrut Rancak Bana sambil menyeringai.
"Orang tuamu ini kecewa. Orang tuamu ini
kecewa, tapi tak mengapa. Aku bisa maklum. Se-
karang aku tak mau usil. Silakan anak memimpin
upacara biarkan aku ikut menyaksikan dari sini
saja. Ha... ha... ha!"
"Terima kasih kau mau mengerti." ujar si
laki-laki. Jauh di lubuk hatinya dia berkata.
"Gendut edan tak tahu diri. Siapa sudi berorang
tua denganmu? Keledai sekalipun tak mau mem-
punyai orang tua sepertimu!" Tak lama setelah
memperhatikan Gentong Ketawa, Ki Busrut pa-
lingkan wajahnya ke arah para penonton sambil
memberi isyarat agar mereka mendekat ke arah
meja besar berlapis kain merah. Di atas meja itu
ada berbagai hidangan lezat. Ada panggang ayam,
gulai kambing, bubur hitam putih. Berbagai jenis
bunga, buah dan berbagai bentuk sesajen lain
yang semuanya diletakkan dalam wadah terbuat
dari mangkuk tanah liat hitam.
Semua penonton kini duduk berbaris
membentuk deretan memanjang ke belakang. Ki
Busrut Rancak Bana berjalan ke depan meja Se-
sajen. Dia mendekati sebuah pendupaan besar
yang baru saja digotong oleh dua orang pemuda
ke depan meja. Pendupaan itu berisi bara menya-
la.
"Kalian dengar wahai semua penduduk du-
sun Kedung Ombo. Malam ini kita kembali men-
gadakan upacara sesajen agar para roh, para ar-
wah leluhur nenek moyang kita memberi restu
atas semua usaha kita. Dan yang lebih penting
semoga penguasa alam kegelapan tidak murka
dan menurunkan laknat pada kita semua! Nan-
tinya setelah upacara Suguh Sesajen ini usai, ku-
harapkan semuanya kembali ke rumah masing-
masing dengan tertib. Jangan ada perbincangan
atau perdebatan apapun. Besok pagi-pagi sekali
perintahkan setiap anak gadis mandi kembang di
kali agar terhindar dari petaka dan bala. Seka-
rang harap semua kepala ditundukkan, baca doa
sebagaimana biasanya!" kata Ki Busrut Rancak
Bana.
Semua orang yang hadir sama tundukkan
kepala dan membaca apa saja dalam hati masing-
masing. Mulut mereka ada yang komat-kamit, ada
pula yang dicibirkan, ada yang menggerutu ada
yang tersenyum. Melihat semua ini Gentong Ke-
tawa yang bersandar pada tiang teratak lapangan
tarian hanya tersenyum mencibir sambil berkata.
"Kurasa inilah langkahnya orang sesat. Jangan-
jangan semua yang hadir itu bukannya mendoa,
tapi mengutuki yang memimpin jalannya sesa-
jian."
Sementara di dekat pendupaan Ki Busrut
Rancak Bana sudah menaburkan serbuk hitam
ke dalam bara api. Mulut yang tertutup kumis le-
bat berkemak-kemik, terdengar pula suara racau.
Bau harum semerbak kayu Cendana menebar.
Setelah suara racau si orang tua lenyap maka dia
jatuhkan diri, dua tangan disatukan. Sepuluh jari
disusun dan diangkat ke atas kepala. Ki Busrut
Rancak Bana bungkukkan badan bersikap seperti
orang yang menyembah.
"Aku telah persembahkan apa yang menja-
di kesukaanmu wahai penguasa alam gelap. Sila-
kan menikmati dengan lahap. Tapi setelah per-
sembahan diterima dan dinikmati harap jangan
ganggu kami!" kata laki-laki itu sambil tegakkan
kepala kembali memandang ke alas meja Suguh
Sesajen.
Saat itulah dia melihat berkelebatnya satu
tangan menyambar panggang ayam dan beberapa
jenis makanan lainnya. Tangan lenyap bersama
panggang ayam di balik meja yang tertutup kain
hingga ke bagian kaki meja itu. Ki Busrut Rancak
Bana tersentak kaget dan belalakkan matanya.
Dalam hati dia merasa heran bagaimana mungkin
panggang ayam dan buah bisa lenyap. Padahal
hal aneh seperti ini belum pernah terjadi pada ta-
hun-tahun sebelumnya?
"Ada seseorang yang hendak mengacau!"
membatin orang ini geram. Dia jadi teringat pada
si kakek gendut hingga membuatnya menoleh ke
belakang. Ternyata si gendut masih berada di si-
tu, duduk di bawah teratak bersandar pada tiang
kayu. Duduk diam dengan mata setengah men-
gantuk. Jelas si gendut besar tidak melakukan
apa-apa, lalu siapa yang berani mengganggu ja-
lannya upacara Suguh Sesajen.
Orang tua ini kemudian memutuskan un-
tuk melakukan pemeriksaan. Tapi pada saat itu-
lah terdengar suara orang mengeluarkan kentut
besar. Lalu tercium bau busuk. Bau busuk lenyap
berganti dengan hembusan angin kencang luar
biasa yang datang dari arah meja. Semua orang
sama tersentak kaget. Tak terkecuali Ki Busrut
maupun Gentong Ketawa.
Di tempat duduknya si gendut menyeletuk.
"Wah hebat, setannya sudah datang. Rupanya
bangsa setan juga tahu makanan enak dan bisa
kentut!" Dia lalu julurkan lidah basahi bibir.
Tenggorokannya bergerak-gerak membayangkan
betapa lezatnya makanan yang dijadikan sesajen
itu.
Suara gemuruh terus terdengar. Dalam pa-
da itu terdengar suara keras, besar sember yang
seakan datang dari empat penjuru arah. "Ki Bu-
srut Rancak Bana. Aku tahu kau hendak meme-
riksa meja. Aku telah mendengar kau menyuruh-
ku menikmati hidangan ini. Hidanganmu kuteri-
ma dan kuambil. Mengapa kau seperti tidak ik-
hlas memberi? Aku adalah kegelapan, aku pengu-
asa. Apa perlu dusun Kedung Ombo ini kurata-
kan dengan tanah, apa perlu semua orang kubu-
nuh? Aku bisa saja membunuh kalian semua
hanya dengan satu tiupan. Tapi aku yang mem-
bunuh, dosanya kau yang menanggung! Krauk...!"
kata suara aneh itu disusul dengan suara orang
menggerogoti tulang.
Semua yang ikut menjalani upacara sesa-
jen jadi ketakutan. Di antara mereka bahkan ada
yang gemetar, ada pula yang terkencing di celana.
Ki Busrut Rancak Bana tak kalah kaget-
nya. Dengan suara bergetar dan wajah pucat dia
berkata. "Maafkan aku yang bodoh ini wahai Pen-
guasa Kegelapan. Kau... kau boleh menikmati se-
sajen sesukamu. Tapi jangan timpakan bala dan
amarah pada kami. Aku mengaku salah, mohon
dimaafkan!"
"Ho... ho... ho! Bagus jika kau tahu gelagat.
Suguh sesajenmu aku terima. Semua yang ada di
atas meja sudah kuhisap sarinya. Sedangkan
ampasnya kalau kau suka silakan kau habiskan.
Terkecuali panggang ayam ini, aku menyukainya
dan akan kujadikan pajangan di dalam singgasa-
na kebesaranku! Aku pamit cepat kalian tunduk-
kan kepala menghormat padaku!" kata suara itu
sember namun berwibawa.
"Tundukkan kepala semua. Semuanya ti-
dak terkecuali!" perintah orang tua itu. Serentak
begitu mendengar aba-aba mereka yang hadir
sama tundukkan kepala. Terkecuali kakek Gen-
tong Ketawa. Orang tua ini sebaliknya malah ju-
lurkan kepala, buka matanya lebar-lebar meman-
dang ke arah meja. Saat itu dia melihat satu
bayangan berkelebat meninggalkan bagian bela-
kang meja yang tertutup kain. Walau sekilas dan
berlangsung sangat cepat namun dia tahu siapa
adanya sosok yang mengaku sebagai penguasa
kegelapan itu.
"Bocah edan. Mengaku sebagai penguasa
kegelapan. Dasar geblek, senangnya mengerjai
orang melulu!" kata si kakek sambil cibirkan mu-
lut.
Sementara itu begitu menyadari suara tadi
lenyap dan hembusan angin kencang sirna, maka
Ki Busrut Rancak Bana cepat memandang ke
arah meja. Di meja itu beberapa makanan lain le-
nyap. Terkecuali kembang tujuh rupa dan bubur
hitam. Dengan cepat Ki Busrut bangkit berdiri.
Dia rupanya penasaran juga curiga dan merasa
kurang yakin kalau yang bicara tadi benar-benar
penguasa kegelapan. Jika Ki Busrut bergegas
menghampiri meja, maka sebaliknya seluruh
orang yang hadir mengikuti jalannya upacara Su-
guh Sesajen langsung membubarkan diri, pulang
ke rumah masing-masing dalam keadaan ketaku-
tan.
Seorang diri laki-laki itu meneliti bagian
atas meja. Kening orang tua ini berkerut tajam.
Terlebih-lebih ketika melihat sepotong tulang
ayam tergeletak di atas piring tanah. Mendadak
dia merasa tertipu, rasa curiga makin bertambah
besar.
"Jahanam keparat, siapa yang berani
mempermainkan aku!" maki orang tua itu geram.
Lalu dia menyingkapkan kain yang menutupi ba-
gian bawah meja. Sebuah obor yang terletak di
salah satu sudut meja Sesajen direnggutkannya.
Dengan bantuan cahaya obor dia melihat begitu
banyak tulang ayam dan sisa makanan bersera-
kan di situ. Bergetar sekujur tubuh si orang tua,
pipinya menggembung besar sedangkan mulut
terkatub rapat.
"Setan keparat! Aku telah ditipu mentah-
mentah. Semua ini adalah sebuah penghinaan
yang harus kubalas!" Ki Busrut Rancak Bana
menggeram. Dalam kemarahannya itu terlintas
sesuatu dalam benaknya. "Kepada siapa aku ha-
rus membalas?" pikirnya. Dia pun cepat menoleh
ke arah tiang penyanggah teratak. Orang tua ini
melengak kaget. Si gendut besar luar biasa ter-
nyata sudah tak ada lagi di situ, lenyap entah ke
mana.
"Mungkin memang gendut gila itu yang me-
lakukannya. Mungkin juga orang lain. Tapi keha-
dirannya di sini jelas membuat aku curiga!" den-
gusnya lagi. Tiba-tiba dia menjungkir balikkan
meja tempat Suguh Sesajen sehingga semua yang
berada di atas meja bertaburan memenuhi lapan-
gan rumput. Selanjutnya tanpa menghiraukan
semua apa yang telah dilakukannya dengan lang-
kah lebar dia mendatangi para penabuh gendang
dan gamelan.
"Kalian semua tahu ke mana perginya si
gendut gila tadi?" hardik Ki Busrut Rancak Bana
sambil bertolak pinggang, sedangkan kumisnya
bergerak-gerak pula.
Mendengar pertanyaan itu dengan wajah
pucat dan hati diliputi ketakutan mereka sama
gelengkan kepala. Mereka memang tak tahu ke
mana perginya kakek gendut yang ikut menari
tadi.
"Tidak tahu. Kurang ajar betul. Orang tua
sebesar gajah, dia pergi dan kalian tak bisa meli-
hatnya?!" desis Ki Busrut sengit.
Salah seorang penabuh gendang membera-
nikan diri mewakili kawan-kawannya untuk bica-
ra. "Kami memang tak melihatnya. Sungguh!"
Jawaban ini hanya membuat laki-laki itu
tambah kesal. Dia angkat tangan hendak meng-
hantam tukang tabuh gendang yang baru bicara.
Tapi niatnya urung ketika teringat pada gadis
berpinggul besar yang bernama Arum Sedap tadi.
Kepada gadis itulah segala-galanya hendak di-
lampiaskan. Dengan langkah lebar tanpa menoleh
lagi Ki Busrut Rancak Bana tinggalkan tempat
itu.
DUA
Di satu tempat yang agak jauh dari lapan-
gan, sosok yang berkelebat meninggalkan meja
persembahan hentikan larinya. Dia memandang
ke belakang sekejap untuk memastikan tidak ada
yang mengikuti. Dalam gelapnya malam yang
hanya diterangi cahaya bulan setengah lingkaran
sosok yang ternyata adalah seorang pemuda tam-
pan bertelanjang dada begitu merasa aman lang-
sung duduk sambil julurkan kedua kaki di atas
batu.
Pertama yang dilakukannya adalah mene-
puk pipinya kiri kanan yang terasa tebal dan ke-
bas. Sampai saat itu dia merasa pipinya kiri ka-
nan masih menggembung. Tidaklah mengheran-
kan karena ketika berada di bawah meja tadi dia
terus menerus meniup hingga menimbulkan ge-
muruh angin hebat, membuat semua orang yang
mengikuti jalannya upacara Suguh Sesajen jadi
ketakutan.
Setelah mengusap kedua pipi pulang balik,
si gondrong tersenyum. Tak lupa dia juga usap
perutnya.
"Ha... ha... ha. Aku beruntung punya mu
lut dan perut bagus. Kalau tidak mana bisa aku
meniup sekian lama dan mengeluarkan kentut
begitu besar. Orang-orang tolol itu kena juga ku-
kadali. Mereka percaya saja ucapanku. Lagipula
apa ya ada setan yang doyan ayam panggang." ka-
ta si pemuda. Dia lalu mengeluarkan buntalan
yang diikatkannya ke pinggang. Buntalan dibuka,
isinya campur aduk menjadi satu. Si pemuda
mengambil sisa panggang ayam tadi lalu mema-
kannya dengan lahap. Sambil mengunyah dia
menyeletuk. "Malam ini aku pesta besar. Si gen-
dut nasibnya benar-benar apes. Coba kalau dia
mau bersamaku mencuri makanan di meja tentu
dia tak kelaparan. Salahnya sendiri dia malah
menari. Dia mungkin mengira bisa memikat si
pinggul besar itu? Huh... Sudah tua begitu mana
ada gadis yang mau. Sekali tindih saja orang
bunting bisa mejret!" kata si pemuda. Dia kemu-
dian meneruskan menggerogoti paha ayam pang-
gang itu. Sampai kemudian terdengar suara ber-
keresekan di belakangnya. Si gondrong bersikap
acuh tak acuh.
"Biar saja, paling juga yang muncul si gen-
dut!" pikirnya.
Sebagaimana dugaan si gondrong yang
muncul di belakangnya ternyata memang seorang
kakek berbadan besar luar biasa yang duduk di
bawah teratak lapangan tarian tadi. Begitu mun-
cul cuping hidungnya kembang kempis mengen-
dus-endus.
"Bau makanan sedap, bau harum ayam
panggang. Bocah edan kalau punya makanan
enak ingat dengan gurumu ini?!" kata si kakek.
Si pemuda tertawa terkekeh. "Makanan
masih banyak, kalau panggang ayam tinggal tu-
langnya. Kau mau ndut?" sahut si pemuda.
Si gendut Gentong Ketawa unjukkan muka
cemberut. Dia sambar buntalan yang terletak di
atas pangkuan si gondrong. Dengan jelalatan dia
memeriksa.
"Apa ini? Mengapa campur aduk begini?!"
tanya si kakek sambil memilah-milah dan men-
gambil apa yang dia sukai.
Enak saja si gondrong menjawab. "Na-
manya juga makanan boleh mencuri dan dalam
keadaan tergesa-gesa pula. Jadi apa saja yang
sempat kusikat ya kubawa. Tapi eh... ini kusisa-
kan separah ayam untukmu." Berkata begitu si
pemuda yang bukan lain adalah Gento Guyon
mengambil sesuatu dari punggung celana bela-
kang dan memberikan ayam tersebut pada si ka-
kek. Orang tua itu agak ragu-ragu untuk mene-
rimanya.
Lagi-lagi si pemuda nyeletuk. "Kujamin
makanan itu tak kuberi racun. Cuma memang
harus kuakui, itulah ayam yang kuambil dari me-
ja pertama kalinya. Baru setelah itu aku kentut
besar. Jadi maaf saja jika ayam lezat ini ada sedi-
kit aroma bau kentut. Ha... ha... ha!"
"Bocah geblek. Kau pura-pura jadi setan
penguasa kegelapan untuk menyikat semua ma-
kanan ini. Kau perlakukan mereka seperti orang
tolol, tapi apa kau mengira si kumis besar itu ke-
na kau tipu? Tadi dia marah-marah. Pasti dia
akan mencarimu!" kata si kakek bersungut-
sungut. Tapi tak urung dia mengambil ayam yang
diberikan muridnya, mengendus sebentar. Karena
tidak tercium bau sebagaimana yang dikatakan
Gento Guyon, maka dia pun langsung memakan-
nya dengan lahap.
Si pemuda terdiam sejenak mendengar
ucapan gurunya, kening berkerut mata berkedap-
kedip pertanda Gento sedang berpikir. Di saat lain
pemuda itu tersenyum sambil berucap. "Si kumis
tebal tak melihatku. Tapi dia jelas melihatmu. Ka-
lau pun dia mencariku, pasti kau adalah orang
pertama yang dicarinya."
"Mengapa harus aku?" tanya si gendut he-
ran.
"Jelas, karena kaulah yang dilihatnya. Wa-
lau pun kau tak mengambil sesajen, dia pasti
menyangka aku ini temanmu. Ha... ha., ha!" Gen-
to Guyon kembali tertawa mengekeh. "Dasar na-
sibmu selalu sial ndut. Aku yang berbuat kau ha-
rus menanggung akibat. Aku yang makan daging,
kau yang kebagian tulangnya. Eeeh... gendut
waktu engkau menari tadi kulihat si kumis tebal
seperti menyimpan kemarahan padamu. Lalu
apakah si pinggul besar berhasil kau sikat?"
"Gundulmu disikat." dengus si kakek. Be-
berapa saat kemudian dia tersenyum-senyum
sendiri.
"Ee, aku tersenyum apakah ini berarti yang
kau katakan benar? Jika betul tak usah malu-
malu mengatakannya padaku. Aku mau saja me-
nemanimu untuk melamar si pinggul besar. Jika
kau sampai didahului si kumis tebal wah bisa
gawat. Kulihat dia juga punya keinginan yang be-
sar untuk mendapatkan gadis itu. Ha... ha... ha!"
Mendengar gurauan muridnya Gentong Ke-
tawa hanya bisa tersenyum dan palingkan wajah-
nya ke arah lain. Sekejap kemudian si kakek ber-
kata.
"Gege, menurutmu apakah tidak melihat
orang sedusun melakukan acara Suguh Sesajen
seperti yang kau lihat tadi?"
"Apa yang harus diherankan. Orang mem-
berikan sesuatu yang dianggapnya ada bukan su-
atu yang mengherankan. Orang yang menyembah
setan juga banyak, menyembah batu, menyembah
junjungannya bahkan menyembah diri sendiri ju-
ga tak terhitung." sahut Gento.
"Aku tahu, aku percaya. Tapi apakah kau
ingat si kumis tebal bukankah ada menyebut
'Penguasa Kegelapan'. Meminta agar yang dis-
ebutkannya tidak mengganggu mereka. Siapakah
orang yang dimaksudkannya itu?" tanya si kakek.
Mendengar pertanyaan gurunya Gento
Guyon jadi terdiam. Dia sendiri juga ikut men-
dengar seperti apa yang dikatakan oleh gurunya.
Tapi dia sendiri juga tidak tahu siapa yang di-
maksudkan oleh orang tua tadi.
"Gendut... eh, guru. Nampaknya kita harus
mencari tahu gerangan apa sebenarnya yang se
dang terjadi. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di
Kedung Ombo ini."
"Kita harus menyelidik. Tapi siapa yang
dapat kita jadikan tempat bertanya. Si kumis teb-
al tadi mengatakan besok para penduduk tidak
diperkenankan meninggalkan rumah masing-
masing. Terkecuali para gadis perawannya yang
harus mandi kembang di kali di pagi buta!" ujar si
kakek heran.
"Mengapa harus begitu?"
Gentong Ketawa hanya menjawab dengan
gelengkan kepala.
"Guru ingat tidak. Seusai tarian, ke empat
gadis penari itu digiring oleh dua laki-laki yang
agaknya anak buah si kumis tebal. Mereka hen-
dak di bawa ke mana? Lagipula menurutku kita
harus mengawasi orang tua itu. Apa sebenarnya
yang hendak dia lakukan pada ke empat gadis
cantik tadi?" ujar si pemuda.
"Kau betul. Kurasa kita memang harus se-
gera menyelidik. Orang tua itulah yang menjadi
kuncinya!" ujar si kakek.
"Jika sudah begitu sebaiknya kita pergi ke
rumah si muka badak secepatnya!" tegas si pe-
muda.
"Dan jangan lupa si pinggul besar bagian-
ku." berkata si kakek disertai senyum aneh.
"Betul dugaanku kau memang sedang ma-
buk kepayang. Dasar tua bangka tak tahu diri.
Sudah bau tanah masih juga belingsatan melihat
jidat licin." gerutu Gento Guyon yang disambut
tawa oleh kakek Gentong Ketawa.
TIGA
Deburan ombak di Teluk Rembang terus
menderu tak ada henti. Di ujung teluk sosok tu-
buh berdiri tegak memandang ke laut lepas.
Rambut serta jenggotnya yang putih panjang
menjela berkibaran ditiup angin. Beberapa saat
lamanya dia tegak di situ tak ubahnya seperti pa-
tung. Tak lama kemudian si kakek tua berpa-
kaian serba putih dan memakai topi tinggi ber-
bentuk kerucut terbuat dari daun ini dongakkan
wajahnya ke langit. Suasana pagi masih gelap
disaput mendung, matahari bahkan masih belum
menampakkan diri di ufuk timur.
Sejenak wajah si kakek yang dingin beru-
bah tegang. Dia memandang ke belakang, ternya-
ta orang yang ditunggunya belum juga muncul-
kan diri.
"Mestinya dia sudah sampai di sini, sejak
pagi buta tadi bukan sekarang. Jahanam, dia da-
tang terlambat! Aku tak bisa menunggu lebih la-
ma. Ini merupakan kesalahan kedua yang pernah
dilakukannya." kakek tua itu mendengus.
Wajahnya semakin menegang, sedang tatap
matanya dingin angker tak bersahabat.
Merasa lelah menunggu, si kakek kemu-
dian duduk di ujung tanah tebing yang menjorok
ke laut. Gemuruh suara ombak yang menghan-
tam tebing karang di mana dia berada sama seka-
li tak dihiraukannya. Beberapa saat dia meme-
jamkan mata sambil menghimpun tenaga sakti
yang kemudian dialirkan langsung ke bagian tan-
gannya. Di saat si kakek dalam keadaan seperti
itu dari arah dataran luar teluk tiba-tiba saja ter-
dengar suara gemuruh. Suara gemuruh makin
lama semakin bertambah jelas. Satu gerumbul
semak belukar rambas, ranting dan daun berta-
buran. Dari balik semak belukar yang berpenta-
lan seperti dibabat pedang muncul satu sosok tu-
buh berpakaian serba hitam. Kedua kaki sosok
yang kepalanya dilapisi semacam topi besi itu
buntung hingga sebatas paha. Bagian yang bun-
tung disambung dengan besi pipih sepanjang satu
meter. Sambungan kaki kiri kanan berbentuk pi-
pih ke dua sisinya laksana mata pedang. Sedang-
kan ujungnya bulat, bergerigi seperti gergaji. Ter-
nyata bukan hanya kedua kakinya saja yang ca-
cat. Tapi kedua tangan sosok bermata sebelah ini
juga dalam keadaan cacat sampai di pangkal len-
gan. Kedua lengan yang buntung disambung den-
gan besi baja hitam berbentuk melengkung seper-
ti arit. Melihat sosok berambut panjang bertopi
baja seperti prajurit perang kerajaan ini memang
sangat mengenaskan. Tapi di balik penampilan-
nya yang menyedihkan, baik tangan maupun ke-
dua kakinya yang disambung dengan baja itu me-
rupakan dua bagian dari senjata maut yang san-
gat berbahaya bagi lawannya.
"Kakang Sobo Serngenge... aku ingin me-
nyampaikan beberapa pesan penting yang diti-
tipkan padaku." kata sosok bermata picak sebelah
kiri sambil berdiri tegak tak jauh dari ujung teb-
ing di mana kakek tua berambut putih perak du-
duk bersila dengan segala keangkerannya.
Sejenak lamanya suasana diliputi kesu-
nyian. Sesekali deburan ombak menyelingi. Laki-
laki yang sebagian tubuhnya disambung dengan
pedang dan arit melengkung jadi tidak sabaran.
"Kakang Sobo, tidak hendak aku mengusik
dirimu. Tapi terus-terang pesan ini sangat penting
untuk kau ketahui!" ujar laki-laki cacat itu men-
gulangi ucapannya.
Perlahan kakek berambut perak berjenggot
panjang buka matanya. Sama sekali dia tidak
menoleh atau memandang ke arah orang yang ba-
ru datang ketika dari mulutnya terdengar ucapan.
"Buat apa kau datang ke sini, Picak Kiri?
Saat ini aku tengah menunggu kehadiran seseo-
rang!" dengus Sobo Serngenge, ada rasa tidak su-
ka dalam nada ucapannya.
"Apapun urusanmu aku tak mau ikut
campur lagi. Aku hanya ingin menyampaikan pe-
san guru, setelah itu secepatnya aku akan ting-
galkan tempat ini!" kata si cacat yang dipanggil
Picak Kiri.
Untuk pertama kali si kakek memutar tu-
buhnya. Sepasang mata menatap tajam ke arah
Picak Kiri. Lalu dia dongakkan kepala, kemudian
tawanya bergema meningkahi gemuruh suara
ombak. Suara tawa lenyap, dengan mata menco-
rong merah dia membentak. "Picak Kiri, sejak ku-
putuskan meninggalkan Menara Gila. Sejak aku
tidak mengakui Manusia Selaksa Guntur sebagai
guruku lagi, maka sejak saat itu berarti aku bu-
kan lagi muridnya. Aku telah memutuskan untuk
menunggu munculnya Dewi Segoro Lor. Aku ya-
kin mimpiku itu akan menjadi kenyataan. Dalam
mimpi aku melihat bahkan mendengar Dewi Se-
goro Lor menaruh rasa cinta kepadaku. Dalam
mimpi dia mengatakan agar aku menjadikan te-
luk Rembang ini menjadi daratan untuk kemu-
dian di atas daratan yang kuciptakan dengan ke-
saktianku kuciptakan sebuah singgasana yang
kuberi nama Istana Surga. Nah untuk mewujud-
kan semua ini dalam waktu purnama aku mem-
butuhkan banyak kepala untuk kujadikan tum-
bal. Sekarang ini aku tak punya waktu banyak
untukmu, jika kau merasa mendapat pesan dari
si tua Selaksa Guntur, hendaknya cepat katakan
apa pesan itu?!"
"Kakang Sobo Serngenge, langkahmu su-
dah tersesat jauh. Kau membunuh orang dengan
semena-mena, apakah kau tak takut dengan
murka Gusti Allah?" tegur Picak Kiri.
Kepala si kakek rambut perak tersentak,
bukan karena kaget melainkan karena dilanda
kemarahan yang amat sangat.
"Kunyuk betul. Kau rupanya tak menden-
gar apa yang aku ucapkan. Atau kau lupa dengan
kata-katamu sendiri? Jangan campuri urusanku!"
hardik Sobo Serngenge lantang.
"Baiklah. Terserah apa yang kau lakukan,
itu adalah urusanmu." sahut Picak Kiri mengalah.
Dia menarik nafas sejenak, dalam hati dia merasa
jengkel atas sikap keras kepala saudara sepergu-
ruannya itu. Tapi pada akhirnya dia berkata. "Ka-
kang, guru berpesan jika kakang mau kembali ke
Menara Gila guru akan mengampuni kesalahan-
mu. Sedangkan yang kedua kakang harus mem-
batalkan niat mengawini Dewi Segoro Lor. Se-
dangkan yang ketiga kakang juga harus mengem-
balikan kitab Gentar Gaib yang kakang curi sebe-
lum melarikan diri dari Menara Gila." jelas laki-
laki itu.
Mendengar ucapan Picak Kiri rambut putih
si kakek serta daun telinganya berjingkrak tegak.
Perlahan si kakek berdiri tegak, wajahnya diliputi
ketegangan, sedangkan sepasang matanya yang
dingin angker berubah merah laksana bara. Meli-
hat perubahan mata Sobo Serngenge terkejut Pi-
cak Kiri dibuatnya. Dia ingat dengan pesan gu-
runya, andai kedua mata Sobo Serngenge telah
berubah merah laksana api dan rambutnya tegak
berdiri seperti duri landak itu merupakan suatu
pertanda saudara seperguruannya telah mengua-
sai seluruh isi kitab Gentar Gaib. Ini berarti ka-
kek yang berdiri tegak di depannya itu dapat me-
nembus tabir alam kedua. Jika sudah begitu dia
bisa mengambil pengikut alam kegelapan yang
terdiri dari para arwah yang mati dalam kesesa-
tan. Yang lebih celaka lagi, dengan bantuan dari
alam lelembut dia dapat saja memerintah dan
minta bantuan segala mahluk yang berasal dari
alam kedua itu. Sekarang Picak Kiri tak tahu ha-
rus berbuat apalagi.
"Picak Kiri, kau dengar! Jangankan kau
yang datang kepadaku. Jika Manusia Selaksa
Guntur sekalipun yang datang ke mari. Aku pasti
tidak akan patuh pada perintahnya, apalagi sam-
pai harus mengembalikan kitab Gentar Gaib. Se-
mua isi kitab itu telah kukuasai, tapi aku tak
berkehendak untuk mengembalikannya. Sedang-
kan mengenai niatku untuk mempersunting Dewi
Segoro Lor tetap berjalan sesuai rencana. Nah...
sebelum aku berubah pikiran sebaiknya kembali-
lah ke Menara Gila, laporkan semua yang kuka-
takan ini pada gurumu!" seru Sobo Serngenge.
Mendengar penegasan kakek tua itu berge-
tarlah sekujur tubuh Picak Kiri. Dengan suara
parau dia berkata. "Kakang, tak kusangka kau
menjadi murid pembangkang lagi keras kepala.
Apakah kau tak ingat bahwa guruku adalah gu-
rumu juga. Kau pernah berada dalam perawatan-
nya, kau makan hasil cucuran keringatnya. Tapi
inikah balas budimu pada orang yang menyayang
dan memberikan segala ilmunya padamu?" ujar
Picak Kiri.
Dia masih ingat betul sebelum Sobo Sern-
genge sering diganggu dengan mimpi aneh dan
kemudian tergila-gila pada gadis yang ditemuinya
dalam mimpi itu gurunya sangat menyayangi
sang kakek. Rasa sayang itu kemudian berubah
menjadi rasa benci setelah diketahui Sobo Sern-
genge mencuri kitab Gentar Gaib yaitu kitab La-
rangan yang guru mereka sendiri berpantang
mempelajari seluruh isinya. Sejak pencurian ki-
tab, Sobo Serngenge menghilang. Tapi karena
Manusia Selaksa Guntur memang memiliki ilmu
yang hebat serta kesaktian tinggi, maka kebera-
daan muridnya yang murtad dapat diketahuinya
juga. Tanpa pikir panjang dirinya pun diutus.
Kini bekas saudara seperguruan itu saling
pandang satu sama lain. Picak Kiri merasa serba
salah. Dia sudah mendapat pesan agar jangan
menempuh jalan kekerasan. Kenyataannya hal
seperti ini nampaknya tak bisa dihindarkan lagi.
"Tunggu apalagi? Cepat menyingkir dari
hadapanku!" hardik Sobo Serngenge makin tak
sabar.
Picak Kiri gelengkan kepala. "Tak mungkin
aku kembali ke Menara Gila dengan berhampa
tangan. Untuk menjalankan amanah yang diper-
cayakan guru kepadaku, kurasa aku lebih baik
menyabung nyawa daripada mendapat malu be-
sar!" ujar Picak Kiri dengan suara sedih dan wa-
jah tertunduk.
Mendengar penegasan Picak Kiri kedua pipi
Sobo Serngenge menggembung besar, darahnya
laksana menggelegak. Dia dongakkan wajahnya,
lalu tertawa tergelak-gelak. "Masih banyak jalan
untuk mencari keselamatan. Tapi terkadang ma-
nusia bertindak tolol dan mengambil keputusan
dengan tergesa-gesa. Kau lihat ke depan sana,
hamparan pasir putih di tengah teluk itu adalah
hasil ciptaanku melalui kesaktian yang kumiliki.
Untuk menimbulkan daratan itu aku membutuh-
kan banyak tumbal kepala. Sedikitnya aku mem-
butuhkan sembilan puluh sembilan kepala untuk
membuat teluk menjadi daratan. Lima puluh te-
lah kupenuhi, empat puluh sembilan lagi harus
kucari. Karena sikapmu itu, aku menganggap pa-
gi ini kau telah menyerahkan kepalamu secara
suka rela. Tumbal ke lima puluh satu tak ku-
sangka adalah penggalan kepala bekas saudara
seperguruanku sendiri. Ha... ha... ha! Sungguh
menyedihkan tapi aku bangga dengan semua ini!"
kata si kakek.
Picak Kiri pejamkan mata tunggalnya. Se-
kujur tubuhnya bergetar karena berusaha mene-
kan berbagai gejolak yang melanda jiwanya. Un-
tuk yang terakhir kalinya dia berucap. "Terserah
apa yang kau katakan, kitab Gentar Gaib tetap
kuminta. Suka atau tidak suka kau harus menye-
rahkannya padaku!"
"Kau meminta aku memberi!" sahut Sobo
Serngenge. Bersamaan dengan ucapannya itu dia
pura-pura mengambil sesuatu dari balik pakaian
putihnya. Ketika si kakek tarik balik tangannya
dari balik pakaian dia langsung menghantamkan
tangan kanan yang telah berubah hitam laksana
arang ke arah Picak Kiri. Serangkum hawa dingin
menderu, dari sambaran anginnya saja Picak Kiri
dapat merasakan Sobo Serngenge benar-benar
menghendaki nyawanya. Laki-laki cacat kaki dan
cacat tangan ini tidak tinggal diam. Dia salurkan
tenaga dalamnya ke bagian tangan yang disam-
bung dengan arit. Kedua arit berwarna hitam itu
memancarkan cahaya aneh. Ketika dua senjata
diadu satu sama lain. Maka melesatlah cahaya
berwarna hitam pekat berhawa dingin laksana es.
"Kidung Kematian!" seru Sobo Serngenge
yang tak menyangka bekas adik seperguruannya
itu telah menguasai ilmu pukulan yang dapat
menghancurkan benda apa saja yang menjadi sa-
sarannya.
Untuk mengatasi serangan lawan si kakek
kembali dorongkan kedua tangannya ke depan.
Dua pukulan sakti sama-sama menderu di udara,
bentrokan keras tak dapat dihindari.
Buuum!
Terdengar suara ledakan berdentum. Picak
Kiri terdorong mundur beberapa tindak ke bela-
kang. Sedangkan Sobo Serngenge sempat terlem-
par dan jatuh bergulingan sambil memaki pan-
jang pendek.
EMPAT
Tidak menyia-nyiakan kesempatan ini Pi-
cak Kiri segera melesat ke depan memburu ke
arah lawan. Kaki kanannya yang disambung den-
gan besi baja berbentuk pipih dan tajam pada ke-
dua sisinya menderu membabat pinggang. Se-
dangkan kedua tangannya yang buntung disam-
bung dengan tangan pengganti berbentuk arit
masing-masing membabat leher dan dada. Semua
serangan dahsyat yang sangat berbahaya itu
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sehingga berlangsung demikian cepat dan mus-
tahil dihindari oleh lawannya.
Mendapat serangan demikian rupa Sobo
Serngenge sempat tercekat, wajah pucat mulut
berkemak-kemik membaca sesuatu. Pada detik
berikutnya kira-kira setengah jengkal lagi empat
serangan ganas yang dilakukan Picak Kiri menge-
nai sasarannya. Mendadak Sobo Serngenge le-
nyap.
Crak! Cring!
Empat serangan yang dilakukan laki-laki
cacat bertopi baja itu hanya mengenai tempat ko-
song. Picak Kiri terkesiap, namun dia segera me-
nyadari saat itu Sobo Serngenge telah menguasai
kitab Gentar Gaib. Apapun dapat saja terjadi bila
seseorang telah berhasil mengamalkan isi kitab
maut itu. Oleh karena itu dengan cepat dia mem-
balikkan badan ke belakang. Baru saja dia berba
lik di depannya menderu angin dingin, satu tan-
gan berkelebat menyambar bagian dada Picak Ki-
ri. Karena jaraknya yang sangat dekat sekali di
samping serangan Sobo Serngenge datang dengan
tidak disangka-sangka, maka Picak Kiri tidak
sempat lagi menghindar.
Buuuk!
Hantaman berisi tenaga dalam penuh
mendera dada Picak Kiri, membuat orang ini ter-
lempar sejauh dua tombak dengan mulut sem-
burkan darah. Walaupun Picak Kiri menderita lu-
ka dalam cukup parah, tapi laki-laki itu sama se-
kali tidak mengeluh. Di depannya sana Sobo
Serngenge tertawa terkekeh sambil berkacak
pinggang.
"Kau telah melihat bagaimana aku dapat
melenyapkan diri dari seranganmu yang seharus-
nya telah mengantarku ke gerbang maut. Kau tak
perlu merasa heran karena aku telah berhasil
menguasai semua ilmu yang terdapat dalam kitab
Gentar Gaib. Kini kau sudah terluka, kini terima-
lah ajalmu!" teriak Sobo Serngenge.
Bersamaan dengan suara teriakannya itu si
kakek melompat ke arah Picak Kiri. Dua tangan
dihantamkan ke depan secara bersamaan. Sinar
hitam membersit dari telapak tangan si kakek,
angin dingin menderu.
"Pukulan Kidung Kematian...!!" seru Picak
Kiri. Dengan gerakan yang aneh tahu-tahu tu-
buhnya yang tadi menelentang kini nampak mele-
sat ke atas. Di udara dalam keadaan tegak dia
berputaran begitu rupa, bergerak sebat mendekati
lawan. Sementara itu pukulan Sobo Serngenge
yang mengenai tempat kosong menimbulkan le-
dakan keras menggelegar. Orang tua ini melengak
kaget. Tapi tanpa membuang waktu dia kembali
melepaskan pukulan yang sama dan diarahkan-
nya langsung ke atas.
Wuuut!
Kaki Picak Kiri yang berupa pedang itu
berkelebat menggunting ke bagian kepala Sobo
Serngenge. Serangan ganasnya kembali luput dan
kini sambil merutuk habis-habisan si kakek ter-
paksa tundukkan kepala hindari guntingan kaki
yang bisa membuat kepalanya terbelah dua. Tapi
tak urung bagian bahu si kakek sempat terkena
sambaran pedang lawannya.
Riiit!
Breeet!
"Akh, keparaat!" maki Sobo Serngenge begi-
tu merasakan sakit yang luar biasa mendera ba-
gian luka yang terkena sambaran pedang. Sambil
meringis kesakitan sebenarnya jauh di lubuk hati
dia merasa heran. Dua pukulan Kidung Kematian
yang dilepaskannya bukan pukulan sembaran-
gan. Bahkan merupakan pukulan sakti yang san-
gat mematikan. Selama ini tak ada seorang lawan
pun yang dapat meloloskan diri dari pukulan ter-
sebut. Tapi bagaimana Picak Kiri dapat menghin-
dar dari dua pukulan yang dilepaskannya secara
berturut-turut?
"Kitab, itu cepat serahkan padaku Sobo
Serngenge!!" seru Picak Kiri tanpa menggunakan
tata krama lagi.
Sobo Serngenge sosok manusia yang memi-
liki kesombongan dan sempat dilukai bekas adik
seperguruannya memandang Picak Kiri dengan
tatapan sinis. Geraham mengatup, kedua pipi
menggembung. Dengan suara serak tertekan dia
membuka mulut berucap. "Pecak Kiri, kau ingin-
kan kitab itu! Boleh saja. Tapi langkahi dulu
mayatku!" Ketika berkata begitu Sobo Serngenge
berpikir keras. Berulang kali dia melirik ke tangan
serta kaki yang disambung arit di bagian tangan
serta pedang di bagian kaki. Sesungging seringai
bermain di bibir si kakek. "Percuma kugunakan
pukulan Kidung Kematian. Untuk menghadapi
manusia rongsokan besi begini kurasa aku harus
menggunakan cara lain!" batin Sobo Serngenge.
Tanpa menunggu lebih lama lagi kakek itu segera
salurkan tenaga dalam berhawa panas ke bagian
tangan. Sekejab saja kedua tangan si kakek telah
berubah membiru dan menebarkan hawa panas
luar biasa.
Sing!! Wuut!
Melihat si kakek hendak mencoba lepaskan
pukulan Gejolak Gunung Meletus, maka Picak Ki-
ri tanpa membuang waktu lagi segera babatkan
aritnya dengan gerak menyilang. Sedangkan tu-
buhnya melesat di udara, kaki yang berupa pe-
dang dengan kedua sisi tajam membabat ke arah
pinggang. Sobo Srengenge tetap sunggingkan se-
ringai aneh. Tapi kemudian dia angsurkan tangan
kanan bersikap seolah menyambut tebasan arit
lawan, sedangkan pinggang sengaja diliukkan ke
depan hingga mengesankan bahwa bagian ping-
gang itu juga siap menerima babatan pedang Pi-
cak Kiri.
Apa yang kemudian terjadi membuat Picak
Kiri terkesiap, karena tanpa pernah disangka-
sangka Sobo Serngenge jatuhkan diri, lalu dengan
gerakan kilat dia menghantam tangan dan kaki
lawan secara berturut-turut.
Wuuuus!
Serangkum sinar biru menebar hawa pa-
nas luar biasa menderu ke arah Picak Kiri. Laki-
laki cacat ini dalam kejutnya terpaksa memutar
kedua aritnya dari gerakan menyerang berubah
menjadi gerak membuat perlindungan diri. Justru
ini merupakan suatu kesalahan fatal yang tidak
disadari oleh Picak Kiri. Karena begitu sinar biru
menghantam tangan dan kakinya. Dua senjata
yang juga menggantikan fungsi kaki dan tangan
itu langsung berubah membiru, panas luar biasa
dan meleleh. Karena masing-masing senjata ini
tersambung langsung dengan pangkal lengan dan
juga bagian paha. Akibatnya tentu saja sangat
mengerikan. Hawa panas langsung menjalar ke
bagian lengan dan kaki yang buntung. Picak Kiri
jatuhkan diri, bergulingan dengan maksud terjun
ke teluk. Dia juga berusaha melepaskan arit yang
meleleh dan juga pedang biru merah dari sam-
bungan bagian tubuhnya. Tapi apa yang dilaku-
kannya ini nampaknya tidak mudah. Sehingga dia
hanya dapat menjerit kesakitan sambil terus ber-
gulingan.
"Ha... ha... ha! Ternyata bukan suatu hal
yang sulit untuk membunuhmu!" teriak Sobo
Serngenge. Laki-laki itu kemudian memutar-
mutar tangannya di atas kepala dengan gerakan
sedemikian rupa. Angin panas bergulung-gulung.
Kemudian laksana kilat dia melesat ke arah Picak
Kiri, dua tangannya yang memancarkan sinar bi-
ru terang dihantam dengan telak ke dada dan ke-
pala lawannya.
Tak ada kesempatan untuk menangkis dan
menghindar bagi Picak Kiri. Tak ampun lagi pu-
kulan Gejolak Gunung Meletus menghantam di-
rinya. Jeritan Picak Kiri seolah lenyap tertindih
oleh gemuruh suara angin pukulan yang dile-
paskan Sobo Serngenge. Picak Kiri terpelanting,
dadanya hangus gosong. Topi baja di kepalanya
berubah merah berpijar. Sekejap sosok Picak Kiri
berkelojotan dengan keadaan tubuh tak karuan
rupa. Sampai akhirnya dia diam tak berkutik lagi.
"Ha... ha... ha!" Sobo Serngenge keluarkan
tawa bergelak. Dengan pandangan sinis dan se-
nyum mencibir dia hampiri mayat bekas adik se-
perguruannya itu.
"Jika besi dapat kubuat menyala, apalagi
cuma raga rongsokanmu!" desis si kakek. Dia lalu
bungkukkan badan, mulutnya meniup ke bagian
topi sang mayat. Topi besi yang merah menyala
sirap dan berubah menjadi dingin. Lalu topi di-
tanggalkan. Kepala yang telah hangus itu diceng
keramnya dengan erat. Kepala diputar ke kiri dan
ke kanan.
Kreek! Kreek!
Terdengar suara tulang leher berderak pa-
tah. Begitu disentakkan maka leher Picak Kiri
terpisah dari badannya. Sejenak tanpa perasaan
dan wajah dingin Sobo Serngenge menenteng ke-
pala Picak Kiri. Mulutnya berkomat-kamit disertai
suara mendesis panjang.
"Kau adalah kepala yang ke lima puluh sa-
tu. Kau menjadi bagian dari semua rencana, kau
menjadi tumbal. Tumbal untuk membangkitkan
tanah di teluk ini. Tanah di mana aku akan diri-
kan sebuah singgasana megah untuk calon istri-
ku Dewi Segoro Lor ! Ha... ha... ha!" Disertai tawa
Sobo Serngenge campakkan potongan kepala ke
dalam teluk Rembang. Sekejap kepala lenyap dite-
lan ganasnya ombak. Kemudian dari kedalaman
teluk terlihat air bergolak hebat disertai muncul-
nya gelembung putih bercampur cairan darah.
Dalam kesempatan itu pula terdengar suara tawa
mengikik. Suara perempuan. Sobo Serngenge ter-
sentak kaget. Sementara dari kedalaman air teluk
tanah perlahan muncul ke permukaan air.
"Dewiku... kasihku, jantung hati tumpuan
hidupku...!" desis kakek berambut putih bergetar.
Dia kembali duduk di tempatnya semula, bersila
dengan mata terpejam menunggu kedatangan
seorang utusan yang sangat dipercaya.
LIMA
Ki Busrut Rancak Bana memasuki gedung
kediamannya dengan langkah lebar. Di bagian
pintu dua orang laki-laki tegap berpakaian hitam
yang tadi menggiring empat gadis penari begitu
melihat kehadiran orang tua itu serentak menjura
hormat. Ki Busrut Rancak Bana hentikan lang-
kah, memandang pada kedua pembantu ini den-
gan tatap mata curiga.
"Ke mana keempat penari tadi?" bertanya si
orang tua. Suaranya pelan namun berwibawa.
"Sebagaimana yang junjunganku katakan
tadi tiga di antara penari itu sekarang berada di
kamar belakang, sedangkan gadis cantik yang
bernama Arum Sedap kami kurung di kamar pri-
badi junjungan!" menjawab sang pembantu yang
bernama Rono Gandul. Laki-laki ini matanya sela-
lu berkeriapan tak mau diam dan bila dibanding-
kan temannya yang bernama Ukir Koro dia paling
dipercaya oleh Ki Busrut Rancak Bana.
"Bagus. Setiap tugas yang kalian jalankan
dengan baik, sudah selayaknya kalian mendapat
hadiah salah seorang istri piaraanku yang sudah
tua dan tidak kusukai lagi!" kata laki-laki itu
sambil tersenyum.
"Kami sangat berterima kasih sekali, jun-
jungan. Kelak aku akan mengunjunginya di siang
hari, sedangkan malamnya biar sahabatku Ukir
Koro ini yang meneruskan acara. Ha... ha... ha!"
Laki-laki di sebelah Rono Gandul terse-
nyum, julurkan lidah dan basahi bibir. Dalam ha-
ti dia berkata. "Tak mengapa biarpun perempuan
bekas. Yang penting perempuan itu masih punya
semangat dan ada nafasnya!"
"Boleh, boleh saja. Tapi kalian harus mem-
bawa bekas istriku itu jauh dari sini. Kalau perlu
di pinggir hutan atau kuburan sunyi biar aku tak
mendengar suara berisik!" Ki Busrut lalu tertawa
tergelak-gelak dengan diikuti oleh kedua laki-laki
pembantunya. Mendadak dia hentikan tawa saat
teringat sesuatu.
"Akan tetapi kau dan Ukir Koro tak boleh
membawa bekas istriku itu sekarang. Masih ada
tugas penting yang harus kalian kerjakan malam
ini. Besok pagi sekali kita harus berangkat ke Te-
luk Rembang!"
Rono Gandul dan Ukir Koro saling pandang
dengan tatapan tak mengerti.
"Tugas... tugas apa junjungan?" tanya Ukir
Koro.
"Seperti biasa setiap tugas akan kami sele-
saikan dengan baik. Termasuk menyingkirkan
siapa saja yang junjungan tidak sukai!" menimpa-
li Rono Gandul dengan penuh semangat.
Wajah Ki Busrut Rancak Bana yang semula
nampak kusut kini berubah cerah, kepala mang-
gut-manggut ketika dia kembali berkata.
"Aku percaya dengan segala pengabdian
kalian berdua. Nah sekarang mendekatlah ke ma-
ri, sesuatu yang hendak kukatakan ini menyang
kut urusan penting, tak boleh ada yang tahu."
Maka baik Ukir Koro maupun Rono Gandul
sama mendekat dan sama angsurkan telinganya
dekat mulut Ki Busrut. Orang tua itu kemudian
membisikkan sesuatu. Begitu mendengar apa
yang dikatakan oleh junjungan mereka, berubah-
lah paras kedua laki-laki itu. Mata mereka mem-
beliak tak percaya. Berulangkali mereka ini mene-
lan ludah, namun tak sepatah katapun ucapan
yang keluar dari bibir mereka.
"Karung besar telah kusediakan di bela-
kang rumah. Jumlah empat puluh sembilan itu
harus kalian dapatkan malam ini. Tiga jam dari
sekarang. Sebelum fajar menyingsing kutunggu
kalian di selatan jalan di ujung dusun lengkap
dengan tiga ekor kuda!"
"Tiga jam, mengapa waktunya sesingkat itu
junjungan!" desis Rono Gandul seakan tak per-
caya.
"Jumlah sebanyak itu tentu tak mudah un-
tuk mendapatkannya!" menimpali Ukir Koro den-
gan suara tertekan dan perasaan tegang.
Mendengar jawaban kedua anak buahnya
wajah Ki Busrut sempat berubah. "Segala bentuk
alasan tak berlaku di hadapanku. Kalian lakukan
apa yang kuperintahkan. Dobrak setiap rumah,
lakukan pekerjaan. Jika dalam waktu yang kuka-
takan itu kalian belum mendapatkannya dalam
jumlah seperti yang kukatakan, maka sebagai
tambahan kau berdua harus menyerahkan kepala
masing-masing. Mengerti?" hardik Ki Busrut Ran
cak Bana tegas.
Mendengar ancaman orang tua di depan-
nya pucatlah paras kedua pembantu setia itu.
Mereka sadar betul tentu Ki Busrut tidak hanya
sekedar mengancam. Setiap apapun yang telah
dikatakan pasti akan dilakukannya juga. Rono
Gandul berpikir. Daripada mereka yang celaka
alangkah lebih baik orang lain yang binasa.
"Ba... baiklah junjungan. Perintahmu sege-
ra kami kerjakan. Kami mohon diri!" kata Rono
Gandul pada akhirnya.
Karena sang teman sudah berkata begitu,
maka Ukir Koro pun tak berani mengutarakan
pendapatnya. Dengan terbungkuk-bungkuk dia
mengikuti Rono Gandul yang telah melangkah
menuju halaman belakang gedung untuk men-
gambil karung.
Ki Busrut Rancak Bana pandangi kedua
anak buahnya hingga mereka menghilang dalam
kegelapan malam. Kini laki-laki itu menyeringai,
teringat pada Arum Sedap membuatnya tak sabar
untuk segera masuk ke kamar. Dengan langkah
lebar dia menuju kamarnya sendiri. Begitu mem-
buka pintu kunci diputar dan pintu dibuka, se-
nyum Ki Busrut melebar. Anak buahnya benar.
Mereka memang mengurung si cantik berpinggul
besar ini di dalam kamar pribadi si orang tua.
Pintu lalu dikunci dari dalam. Gadis penari si
Arum Sedap tampak ketakutan begitu melihat
kehadiran laki-laki itu. Dia beringsut menjauhi
ranjang, lalu melangkah mundur ke belakang.
Tapi langkahnya kemudian terhenti begitu sampai
di sudut ruangan.
"He... he... he. Jangan takut, aku pasti ti-
dak akan menyakitimu." kata Ki Busrut Rancak
Bana. Suaranya pelan mengandung rayuan. Na-
mun si gadis tetap merasa curiga. Walaupun dia
belum berpengalaman dalam hal-hal yang me-
nyangkut urusan cinta, tapi nalurinya mengata-
kan akan terjadi malapetaka besar pada dirinya.
Sebuah bencana yang lebih menakutkan daripada
kematian bagi diri seorang wanita.
"Bapak tua, harap lepaskan aku dan ka-
wan-kawanku. Ayah ibuku bisa marah besar jika
sampai pagi aku belum juga kembali!" kata si ga-
dis dengan suara bergetar dan tubuh basah ber-
simbah keringat saking takutnya.
"Ha... ha... ha! Ibumu atau mungkin ayah-
mu pasti mengerti untuk persoalan yang satu ini.
Kelak aku akan melamarmu, kau akan kujadikan
istri simpananku yang ke tiga belas. Sekarang
mendekatlah ke mari, jangan takut karena tidak
ada yang perlu ditakutkan!" desah si orang tua.
Karena Arum Sedap yang ditunggu tak
kunjung mendekat, maka Ki Busrut kini yang me-
langkah mendekati si gadis.
Melihat laki-laki tua itu bergerak ke arah-
nya, rasa takut Arum Sedap semakin menjadi-
jadi. Dia tekap wajahnya dengan kedua tangan
tapi tidak juga menghindar karena bingung ke
mana hendak mencari selamat.
"Jangan... jangan sakiti aku...!" rintih Arum
Sedap setengah memohon. Dalam takutnya tubuh
si gadis nampak menggigil.
Ki Busrut berdiri tegak di hadapan si gadis.
Dia elus janggutnya. Tenggorokan turun naik,
mata memandang tak berkedip ke dada dan ping-
gul si gadis yang serba besar.
"He... he... he. Aku tak ingin menyakitimu.
Malah aku akan memberikan satu kesenangan
yang tidak akan kau lupakan seumur hidup. Aku
sudah tertarik padamu ketika kau menari di la-
pangan pertunjukan. Goyanganmu, liukan ping-
gulmu membuat dadaku bergetar, darahku meng-
gelegak. Malam ini aku ingin memiliki dirimu.
Ha... ha... ha!" berkata begitu Ki Busrut Rancak
Bana kembangkan tangannya dan langsung me-
meluk Arum Sedap. Tapi si gadis lekas runduk-
kan kepala, berkelit dan lari menghindar dari ser-
gapan si orang tua. Lepas dari pelukan Ki Busrut,
Arum Sedap hendak mencoba membuka pintu.
Tapi hanya dengan satu lompatan saja laki-laki
tua itu berhasil meringkus si gadis.
"Perempuan tolol! Diajak menikmati sorga
indah malah memilih mampus! Keinginanmu
akan kukabulkan, tapi nanti setelah aku bosan!
Ha... ha... ha!" kata laki-laki itu diiringi tawa. Ke-
mudian tanpa menghiraukan si gadis yang mulai
menjerit-jerit ketakutan, Ki Busrut menyeret
Arum Sedap dan menelentangkannya di atas ran-
jang. Dengan beringas dan dipenuhi nafsu tangan
Ki Busrut berkelebat ke bagian dada.
Breet!
Terdengar suara robeknya pakaian di ba-
gian dada. Arum Sedap menjerit ketakutan sambil
berusaha menutupi bagian dadanya yang besar
putih dan tersingkap lebar. Melihat semua itu Ki
Busrut belalakkan matanya.
"Hmm, luar biasa sekali!" katanya sambil
memeluk dan menciumi si gadis.
Arum Sedap meronta dan berteriak sejadi-
jadinya. "Jangan, lepaskan aku. Tua bangka bu-
suk, lepaskan!" pekik Arum Sedap.
Bukannya melepaskan, tapi Ki Busrut
Rancak Bana malah memeluk Arum Sedap den-
gan erat. Di saat tangan si orang tua mulai cela-
mitan merabai tubuh si gadis. Pada waktu itu pu-
la dua pasang mata yang mengintai semua per-
buatan Ki Busrut dari atas genteng segera bertin-
dak cepat. Mula-mula genteng dan langit-langit
rumah berderak hancur, hingga menimbulkan lu-
bang besar. Satu sosok tubuh bertelanjang dada
berambut gondrong melayang turun dari genteng
dan langit-langit rumah yang bolong. Sosok itu
bergerak ke arah si orang tua, kakinya melabrak
bagian bawah perut si tua bangka dari arah bela-
kang.
Cproot!
Ki Busrut Rancak Bana sebenarnya sempat
merasakan sambaran angin yang cukup deras
menghantam bagian selangkangannya. Tapi dia
yang tengah dilamun kobaran nafsu dari ujung
kaki hingga ke ubun-ubun tak sempat lagi meng-
hindar. Apalagi tendangan yang dilakukan oleh
sosok yang datang berlangsung sangat cepat luar
biasa. Tak ampun lagi Ki Busrut yang kena diten-
dang orang jatuh jungkir balik melewati bagian
atas ranjang dan jatuh dengan kepala menyentuh
lantai di seberang ranjang. Orang tua itu tanpa
menghiraukan salah satu kakinya yang menyang-
kut di atas ranjang ketiduran sambil mengerang
kesakitan mengusap-usap bagian bawah perut-
nya. Sumpah serapah menghambur dari mulut-
nya.
Sementara itu Arum Sedap yang merasa
terbebas dari kebejatan si orang tua dan merasa
ada yang datang menolong segera rampikan pa-
kaian di bagian dada yang sempat acak-acakan.
Ketika dia bangkit, Arum Sedap sempat terpesona
melihat seorang pemuda tampan berambut gon-
drong berdiri tegak di depannya sambil berkacak
pinggang dan tersenyum-senyum.
"Cepat kau cari perlindungan, keluar dari
kamar ini atau sembunyi di bawah ketiakku. Eeh,
baiknya keluar saja. Jangan di ketiakku, bau aku
belum sempat mandi!" kata si gondrong sambil
tertawa.
Sesuai dengan perintah si pemuda, dengan
cepat dan tanpa pikir panjang Arum Sedap berlari
ke arah pintu. Memutar kunci pintu kemudian
menghambur entah ke mana.
Di seberang ranjang Ki Busrut Rancak Ba-
na kini sudah bangkit berdiri. Wajahnya pucat
bersimbah keringat akibat menahan sakit luar bi-
asa yang mendera bagian bawah perutnya. Perut
orang tua itu sendiri terasa mulas laksana mau
pecah.
"Kkk... kau pemuda jahanam! Siapa kau
berani mencampuri urusanku?!" hardik Ki Bu-
srut. Tangan kanan mendekap bagian bawah
sambil mengusap dan mengelus, sedangkan tan-
gan kiri menunjuk-nunjuk ke arah si pemuda.
Ekspresi wajahnya sendiri sulit dilukiskan dengan
kata-kata. Karena wajah itu demikian buruk aki-
bat menahan sakit. Sedangkan matanya terka-
dang terpejam kadang membuka.
Memperhatikan wajah Ki Busrut Rancak
Bana membuat si gondrong yang tidak lain adalah
Gento Guyon jadi tertawa terkekeh-kekeh. "Orang
tua, kau ini sedang buang hajat atau apa. Kalau
buang hajat tanganmu mengapa sibuk mengusap
di bawah. Keningmu berkerut, mata berkedip se-
perti orang yang didera kenikmatan. Atau kau se-
dang melakukan keduanya sekaligus! Ha... ha...
ha." kata Gento Guyon lalu tertawa lebar.
"Pemuda keparat. Berani mati kau masuk
ke kamar ini. Katakan siapa namamu agar aku ti-
dak segan-segan jatuhkan hukuman keras terha-
dapmu!" hardik si kakek. Dia sadar betul pasti
pemuda inilah yang tadi telah menendangnya be-
gitu rupa hingga membuat salah satu buah jam-
bunya pecah atau terselip entah ke mana. Semua
ini mengundang kemarahan besar pada diri si
orang tua. Tapi Gento dengan tenang dan tanpa
menghiraukan pertanyaan orang berkata.
"Aku tahu orang tua, kalau sudah me
nyangkut urusan yang di bawah apalagi jika tidak
kesampaian bisa membuat orang jadi uring-
uringan. Mau bercocok tanam boleh-boleh saja,
tapi bertanamlah di ladang sendiri, jangan ladang
milik orang kau garap seenaknya. Lagipula ma-
nusia akan menjadi lebih rendah derajatnya dari
binatang jika main embat seenak perut sendiri.
Eling orang tua. Nyebut... kau sudah sangat tua,
nafas Senin Kemis, bagaimana jika malaikat maut
mencabut nyawamu di saat kau asyik main kuda-
kudaan. Ha... ha... ha!"
Dari atas genteng tiba-tiba terdengar suara
orang menyahuti. "Dasar tolol kalau darah telah
menggelegak di dalam dada dan nafsu nangkring
di atas kepala. Jangankan mati, darat dan lautan
pun orang sudah tak bisa membedakannya. Ha...
ha... ha!"
Gento tersenyum, memandang ke atas le-
wat lubang genteng yang jebol dia berkata. "Eeh...
gendut apakah kau tidak mau turun, melihat ba-
gaimana tampang si kodok buduk?" Dari atas
atap terdengar jawaban.
"Aku lagi malas. Buat apa aku melihatnya?
Apa kau mengira aku suka kaum sejenis. Lebih
baik kau urus saja dia, aku sendiri harus menye-
lesaikan urusanku!" kata suara itu sambil berke-
lebat pergi.
Gento Guyon gelengkan kepala. Dia kemba-
li memandang ke depan. Sebaliknya Ki Busrut
Rancak Bana diam-diam melengak kaget. Ketika
dia mendengar suara orang di atas atap sana, rasanya dia mengenali suara orang itu. Dia menco-
ba mengingat-ingat. Tapi pikirannya yang kacau
akibat niat tak kesampaian ditambah dengan ke-
hadiran pemuda itu membuat pikirannya jadi ge-
lap. Dengan penuh kegeraman dia berteriak. "Se-
kali lagi aku bertanya siapa dirimu yang sebenar-
nya kunyuk gondrong?"
Dirinya disebut kunyuk gondrong Gento
hanya tersenyum sekejap. Beberapa saat kemu-
dian wajahnya berubah menjadi serius.
"Kau ingin tahu namaku, sapi tua. Boleh
saja, kau dengar sekarang. Aku ini adalah jun-
junganmu! Junjungan yang harus kau hormati!"
jawab si pemuda.
Ki Busrut yang merasa dipermainkan be-
rubah menjadi beringas. Dia keluarkan suara
menggereng, kedua rahang bergemeletukan, se-
dangkan mulutnya berucap pedas. "Pemuda se-
tan, junjungan bangsat. Kau belum tahu sedang
berhadapan dengan siapa rupanya?"
"Ha... ha... ha! Suguh sesajenmu telah ku-
terima. Ayam panggang pun sudah amblas dalam
perutku. Masih juga kau hendak membanggakan
diri di hadapanku?!" hardik si pemuda.
Mendengar ucapan si pemuda Ki Busrut
Rancak Bana berjingkrak kaget dan sempat tersu-
rut mundur satu langkah, mulut ternganga, mu-
ka pucat mata mendelik besar bagai tak percaya.
ENAM
Seberapa kejap suasana dicekam kebisuan.
Sekali lagi Ki Busrut pandangi Gento Guyon sea-
kan tak bisa mengerti dengan kenyataan yang di-
hadapinya. Semula meskipun sempat ragu dia be-
ranggapan bahwa sosok yang datang dengan dis-
ertai tiupan angin kencang itu benar-benar Pen-
guasa Kegelapan. Tak disangka ternyata dia telah
dikerjai oleh seorang pemuda berwajah polos na-
mun menyebalkan. Sadar dirinya telah ditipu
mentah-mentah, tanpa banyak bicara dia lang-
sung berkelebat melompati ranjang, tangan kiri
melepaskan satu jotosan sedangkan tangan ka-
nan menampar ke bagian mulut Gento. Sebelum
tamparan mendarat pada sasaran Gento pen-
congkan mulut bersikap seolah sudah kena tam-
paran. Tapi begitu tangan yang menampar hampir
menyentuh mulutnya dia cepat jatuhkan diri me-
nelentang, sedangkan kakinya menyambar ke
atas tepat di bagian selangkangan. Serangan si
orang tua luput. Untuk kedua kalinya dia menje-
rit kesakitan. Terhuyung ke belakang kakek itu
dekap anunya.
"Ha... ha... ha! Maaf orang tua, sungguh
aku tak bermaksud membuat konyol itumu. Se-
muanya secara kebetulan, aku hendak menghan-
tam perut tapi si kaki ini malah melenceng ke si-
tu. Ha... ha... ha!"
"Jahanam keparat! Rasakan pukulanku!"
teriak si kakek. Serta merta dia sapukan telapak
tangannya satu sama lain. Tangan yang bersen-
tuhan itu dikobari api. Melihat ini tawa si pemuda
kembali terdengar. Sambil menunjuk-nunjuk ke
langit-langit rumah dia berkata. "Kurasa otakmu
memang sinting orang tua. Kau ciptakan api?
Apakah hendak kau bakar rumah gedungmu yang
bagus ini. Kalau sudah kau bakar kau hendak ti-
dur di mana? Di kandang kuda?! Kurasa kau
memang pantas jadi kuda pejantan! Ha... ha...
ha."
Ki Busrut Rancak Bana terkejut sendiri. Si
pemuda benar, jika gedungnya sampai terbakar
dia akan berteduh di mana? Sadar akan ketolo-
lannya sendiri ditambah dengan kemarahan serta
dendam yang begitu besar pada lawan membuat
Ki Busrut banting kakinya. Kaki amblas ke dalam
lantai. Kemudian mulutnya meniup, api yang
berkobar di tangannya padam. Sebagai gantinya
laki-laki itu kerahkan hawa dingin ke bagian tan-
gannya. Begitu kedua tangan telah berubah me-
mutih laksana gumpalan es dia melompat ke de-
pan. Serangkaian serangan beruntun dilakukan-
nya. Beberapa saat lamanya Gento memang sang-
gup menghadapi gempuran yang dahsyat dan ber-
tubi-tubi itu. Ruangan pribadi Ki Busrut Rancak
Bana yang dijadikan tempat perkelahian sudah
acak-acakkan. Mereka sama sekali tidak menghi-
raukan semua ini. Tapi beberapa kejapan kemu-
dian setelah lawan merubah jurus Belalang Ter-
bang. Tapi karena ruangan kamar terlalu sempit,
si pemuda jadi tidak leluasa dalam mengerahkan
jurus belalangnya itu. Satu kesempatan Ki Busrut
menyerang dada Gento dengan tangan terkem-
bang dialiri tenaga dalam tinggi. Angin dingin
berkesiuran. Sadar lawan bermaksud merobek
dadanya, maka Gento segera melangkah mundur
sambil liukkan kepalanya. Tapi serangan yang
mengarah ke bagian dada itu ternyata hanya ti-
puan saja, karena begitu Gento mengelak tangan
kiri lawannya menghantam bagian keningnya.
Pletak!
"Waduh...!" pekik Gento begitu jidatnya ke-
na dihantam lawan. Dia terbanting ke belakang,
punggung menabrak dinding. Dinding hancur,
kepala si gondrong jadi pusing dan pandangan
mata berkunang-kunang.
Dengan cepat dia melompat berdiri. Belum
sempat pemuda ini berdiri tegak kembali pukulan
lawan mendarat di dadanya. Sekali lagi Gento ter-
dorong mundur. Dadanya yang kena dihantam Ki
Busrut tampak memar merah di bagian dalam.
"Kutu kampret, ternyata sudah tua begini
masih galak juga!" rutuk si pemuda. Bersamaan
dengan ucapannya itu Gento tekuk kaki kiri, kaki
kanan diangkat. Sedangkan tangan kanan dile-
takkan di atas alis seperti orang yang kesilauan
memandang matahari. Sedangkan tangan kiri
menunjuk ke lantai.
"Puah jurus rongsokan apa itu!" Dalam
kemarahannya lawan masih sempatkan diri aju-
kan pertanyaan.
Gento menjawab dengan mulut terpencong.
"Ini namanya jurus Dewa Memandang Dari Lan-
git. Tapi karena yang dipandang tua bangka yang
hendak berbuat mesum. Dewanya jadi marah-
marah dan terpaksa alihkan pandangannya pada
matahari! Huuup!" Gento dengan gerakan aneh
namun cepat lakukan satu lompatan ke depan. Ki
Busrut yang sempat tercengang melihat jurus
aneh lawannya tak sempat lagi mengelak, meski-
pun saat itu dia sudah menarik tubuhnya ke be-
lakang. Tidak dapat dihindari lagi kedua tangan
Gento menghantam dadanya dengan keras sekali.
Laki-laki tua itu jatuh terpelanting, tubuh-
nya menyerangsang pada bagian kepala ranjang
berbentuk kepala ular. Nafasnya kembang kem-
pis, dada laki-laki itu terasa panas laksana terba-
kar. Menyadari lawan ternyata memiliki tenaga
dalam, jurus aneh serta kesaktian tinggi. Tanpa
membuang waktu lagi dia mencabut pedangnya.
Tapi diam-diam Ki Busrut jadi kaget. Pe-
dang yang ditariknya ternyata alot bukan main,
sehingga orang tua ini seolah merasa sedang
mencabut pohon besar.
Di depannya sana sambil bertolak pinggang
dan mengusap hidungnya murid kakek gendut
Gentong Ketawa tertawa lagi. Pedang itu tentu su-
lit dikeluarkan dari rangkanya, karena ketika me-
nendang selangkangan lawan pertama kali Gento
munculkan diri di kamar itu dia menggerakkan
hulu pedang ke bawah hingga pedang pun dalam
posisi mengunci. Untuk membukanya kembali
tentu dengan menggerakkan hulu pedang ke atas.
"Baru malam ini aku bertemu dengan ma-
nusia pikun. Mencabut pedang saja tidak becus.
Tapi kulihat kalau mencabut sesuatu yang ada
hubungannya dengan nafsu, wah cepat bukan
main. Ha... ha... ha!"
"Gondrong sialan, kau telah mengerjaiku?
Kubunuh kau...!" pekik si orang tua yang baru sa-
ja berhasil melolos senjatanya. Begitu usai bicara
tubuh berkelebat, pedang dibabatkan. Sinar putih
berkilauan berkiblat secara aneh membabat da-
lam posisi menyilang dua kali berturut-turut.
Untuk pertama kalinya Gento terkesiap.
Sambaran senjata lawan ini bukan serangan bi-
asa. Karena bagaimanapun Gento menghindar,
pasti salah satu babatan menghantam bagian tu-
buhnya juga. Tapi dengan nekad pemuda ini me-
lakukan gerak berjumpalitan. Tak urung ujung
pedang masih sempat menggores bagian atas ba-
hunya juga.
Cres!
"Ugkh...!"
Sambil berguling-guling si pemuda kelua-
rkan keluhan tertahan. Ki Busrut melakukan sa-
tu lompatan, pedang dihantamkan dengan mak-
sud mengakhiri serangan lawan. Tapi dia kemu-
dian terpaksa melompat mundur bergulingan se-
lamatkan diri begitu melihat sinar putih berkiblat
dari telapak tangan si pemuda. Sinar putih men-
deru menghantam dinding di sebelah kiri pintu
kamar. Terdengar suara ledakan keras berdentum
ketika pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis me-
labrak dinding. Batu-batu berhamburan, pasir
dan debu beterbangan menghalangi pemandan-
gan. Sejenak ruangan itu menjadi gelap. Gento
bangkit berdiri, namun ketika kegelapan sirna
dan ruangan jadi terang kembali Gento Guyon tak
melihat Ki Busrut Rancak Bana ada di ruangan
itu lagi. Di sudut ranjang, di bawah salah satu
kaki meja Gento menemukan sebuah kantong ke-
cil berwarna hitam. Kantong diambil, diperhati-
kan sambil mereka-reka apa gerangan isi kantong
tersebut. Karena penasaran Gento membukanya
sekaligus, mengeluarkan isi kantong. Dia menda-
pati tiga lempengan keras sebesar telunjuk ber-
warna hitam. Lempengan itu berbau anyir seperti
darah.
"Apa ini? Obat kuat atau sejenis perang-
sang?!" gumam si pemuda disertai senyum dan
gelengan kepala. "Tua bangka aneh!" Si pemuda
kemudian masukkan lempengan hitam ke tem-
patnya kembali. Kantong kecil itu lalu dimasuk-
kan di balik kantong celananya.
"Gendut...!" seru si pemuda begitu ingat
pada gurunya. "Kujamin dia sudah pergi. Akh...
gila betul. Dia menyuruhku menghadapi kodok
buduk, sementara dia sendiri bermesra-mesra
dengan gadis berpinggul besar itu." kata si pemu-
da sambil melangkah pergi.
Pada saat Gento berhadapan dengan Ki
Busrut Rancak Bana dan Arum Sedap berlari ke
luar meninggalkan kamar. Sampai di halaman si
gadis cantik itu jadi bingung tak tahu hendak ke
mana. Dalam gelapnya malam gadis penari itu
tentu saja tak mengetahui arah. Di saat si gadis
dilanda rasa takut dan kecemasan luar biasa se-
perti itu. Dari atas genteng rumah nampak me-
layang satu sosok tubuh berbadan tinggi dan be-
sar bukan main. Berpakaian serba hitam dengan
baju tak terkancing. Meskipun tubuhnya besar
luar biasa dengan bobot lebih dari dua ratus kati.
Namun ketika jejakkan kedua kaki ke tanah tidak
menimbulkan suara sedikitpun, pertanda orang
tua berkening lebar berwajah bulat ini memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sangat luar biasa.
Kemunculan si gendut besar yang tidak disangka-
sangka ini tentu mengejutkan Arum Sedap. Dia
berjingkrak mundur, tubuhnya gemetar, mata di-
buka lebar coba mengenali. Hatinya berubah lega
begitu mengenali siapa adanya kakek itu.
Orang tua inilah yang tadi ikut menari ber-
samanya ketika berada di lapangan pertunjukan.
Orang tua lucu ini pula yang mengedipkan mata
kepadanya. Terus-terang Arum Sedap merasa su-
ka dengan gaya dan cara si kakek gendut menari.
"Kek, kau. Bagaimana kau bisa sampai ke
mari?" tanya si gadis heran.
Gentong Ketawa tersenyum. "Aku sengaja
mencarimu, karena takut terjadi apa-apa den-
ganmu. Kulihat dua laki-laki anak buah si kumis
tebal membawa kau dan tiga temanmu." jawab
Gentong Ketawa. Ucapannya ini tentu hanya gu-
rauan saja. Karena sesungguhnya dia dan murid
nya memang sedang mengawasi Ki Busrut Ran-
cak Bana.
Akan tetapi ucapan si kakek memberi arti
tersendiri bagi si gadis. Kakek itu mengkhawatir-
kannya, berarti dia ada perhatian pada dirinya.
Pikir Arum Sedap. Hal ini sudah menimbulkan
kesan sangat mendalam bagi si gadis.
"Terima kasih atas perhatianmu, kek. Aku
Arum Sedap pasti tak akan melupakan pertolon-
ganmu dan kawanmu itu!" ucap si gadis dengan
hati berbunga-bunga.
Si kakek tidak menjawab, wajahnya men-
dongak, cuping hidung mengendus udara. Diapun
lalu tersenyum. "Ternyata tubuhmu benar-benar
harum. Namamu Arum Sedap. Arum dan Sedap...
sangat cocok sekali. Harumnya sudah kucium
tinggal sedapnya saja yang belum kurasakan." ce-
letuk si kakek setengah bergumam.
"Eh, apa maksudmu kek?" tanya Arum Se-
dap dengan alis berkerut heran.
Gentong Ketawa gelengkan kepala. "Tidak.
Tidak apa-apa. Aku cuma ingin tahu ke mana tiga
temanmu yang lain?" tanya si gendut alihkan
pembicaraan.
"Ketiga temanku disekap di ruangan bela-
kang. Tolong mereka kek!" pinta si gadis penuh
harap.
"Baiklah akan menolong semua temanmu.
Mari tunjukkan tempatnya!" kata si kakek gen-
dut. Sambil berpegangan pada lengan Gentong
Ketawa, Arum Sedap menunjukkan kamar tempat
penyekapan ketiga temannya. Si kakek yang me-
rasa dipegang hanya senyum-senyum saja. Gem-
bira ada, rasa suka ada.
Tanpa menghiraukan Gento yang sedang
terlibat perkelahian sengit dengan Ki Busrut Ran-
cak Bana mereka mendobrak pintu belakang. Be-
gitu masuk si kakek langsung menghancurkan
pintu kamar tempat di mana ketiga gadis disekap.
Ketiga penari itu langsung merangkul Arum Se-
dap begitu mereka terbebas dari kamar penyeka-
pan.
"Oh Arum... kami kira tidak bisa lagi ber-
temu denganmu. Puji syukur pada Gusti Allah.
Dan kakek ini bukankah...?!" kata salah seorang
di antara teman Arum Sedap.
"Ya, aku yang ikutan menari bersama ka-
lian." sahut Gentong Ketawa semakin mekar saja
hidung si kakek berada di tengah para gadis.
"Berterima kasihlah padanya. Dia yang
menolong kalian dan aku!" kata Arum Sedap.
"Terima kasih kek." kata gadis yang berba-
dan agak kurus langsing.
"Aku juga kek. Kau lucu...!" kata gadis ke-
dua.
"Aku begitu juga kek. Berterima kasih pa-
damu lahir batin." menimpali gadis ketiga.
"Sudah jangan banyak peradatan. Mari
tinggalkan tempat ini!" kata si kakek. Arum Sedap
dan kawan-kawannya mengangguk. Mereka me-
langkah pergi. Tapi baru saja mereka sampai di
depan pintu belakang mendadak terdengar suara
ledakan berdentum. Keempat gadis sama-sama
kaget dan memandang pada Gentong Ketawa. Si
kakek tersenyum saja. Tanpa beban dan seenak-
nya sendiri Gentong Ketawa menjawab. "Biarkan
saja, temanku pemuda gondrong itu memang
agak gila. Otaknya miring, dulu bahkan dia per-
nah membunuh sepuluh laki-laki yang sedang
mengerjai seorang gadis." kata si kakek. Tentu
ucapan Gentong Ketawa merupakan suatu kedus-
taan belaka.
"Mengapa dia bertindak begitu, kek?" tanya
Arum Sedap.
"Karena kekasihnya, eh, maksudku istrinya
dibunuh orang dengan cara keji dan dinodai."
"Ah, kasihan sekali." kata gadis yang lain.
"Ya, itu sebabnya dia mengamuk melihat
tua bangka itu hendak berbuat kurang ajar kepa-
damu."
"Masih semuda itu sudah beristri?" tanya
Arum Sedap seakan tak percaya.
"Betul. Terkecuali aku. Ha... ha... ha!" kata
si kakek sambil tertawa tergelak-gelak.
Keempat gadis gelengkan kepala melihat
tingkah si gendut ini. Mereka terus melangkah
meninggalkan bagian belakang dapur.
Di satu tempat di bawah kerindangan po-
hon si kakek hentikan langkah. Keempat gadis
yang mengikuti memandangnya dengan heran.
"Mengapa harus berhenti kek?" tanya Arum Se-
dap.
"Terus terang maunya aku mengantar ka
lian sampai ke rumah masing-masing. Tapi aku
masih banyak urusan. Keadaan sudah aman, ka-
lian bisa pulang secara aman tanpa gangguan
apa-apa." ujar Gentong Ketawa.
Arum Sedap meskipun tak bicara namun
tatap matanya memperlihatkan rasa keberatan.
"Kami masih takut kek. Tolong antar kami
sampai ke rumah." kata gadis yang bertubuh
jangkung bernama Sumini. "Nanti sebagai imba-
lannya aku akan menjodohkan kakek dengan ne-
nekku!"
Tiga gadis tertawa berderai.
Gentong Ketawa tak kuasa menahan ta-
wanya. "Terima kasih atas perhatianmu. Tapi aku
tak ingin berjodoh dengan nenekmu. Sekarang
kalian harus pergi dan aku harus pula mengerja-
kan semua urusan yang belum terselesaikan!" te-
gas si gendut.
Tiga gadis jadi terdiam tak berani memak-
sa. Sedangkan Arum Sedap akhirnya berkata.
"Baiklah kek. Terima kasih atas pertolonganmu.
Suatu saat jika aku sudah mempunyai kesaktian
sepertimu, engkau pasti kucari." Selesai bicara
Arum Sedap memeluk si kakek. Dia membisikkan
sesuatu di telinga si gendut. Setelah itu mencium
pipi Gentong Ketawa kiri kanan. Tindakan nekad
dan sangat singkat itu tentu di luar sepengeta-
huan kawan-kawan Arum Sedap. Sebaliknya si
kakek merasa kaget tak menyangka Arum Sedap
berlaku nekad. Dia usap pipi dan dadanya.
"Kek, kami pergi. Seperti kataku, aku kelak
akan mencarimu!" ujar Arum Sedap sambil mem-
balikkan badan, melangkah pergi dengan diikuti
kawan-kawannya.
Si kakek tersenyum, wajahnya masih
membayangkan rasa tak percaya. Dalam kesem-
patan itu dia melihat satu bayangan berkelebat
melewati pintu belakang. Si kakek terkejut.
"Eeh, bandot tua itu hendak lari ke mana?"
desis si kakek. Dia pun lalu mengejar ke arah di
mana sosok berpakaian hitam tadi menghilang.
Sambil berlari mengejar dia masih sempat mem-
batin. "Benar dugaanku, ternyata Arum Sedap
memang benar." Sekali lagi si kakek usap dadanya.
TUJUH
Sebelum fajar menyingsing Ukir Koro dan
Rono Gandul benar-benar muncul di sebelah sela-
tan ujung dusun Kedung Ombo. Masing-masing
di bahu mereka membawa sebuah karung besar
berlumuran darah. Bukan hanya karung itu saja
yang diwarnai darah, tapi pakaian, wajah serta
tangan kedua pembantu Ki Busrut Rancak Bana
juga berlumuran darah. Ketika mereka sampai di
jalan dusun tiga ekor kuda yang mereka tam-
batkan di situ masih berada di tempatnya, terikat
pada sebuah pohon agak tersembunyi di sebelah
kanan tepi jalan.
Rono Gandul dan Ukir Koro hentikan lang-
kah. Karung besar diturunkan. Sejenak mereka
menarik nafas, menghirup udara segar menjelang
pagi dalam-dalam.
Keletihan yang mendera diri mereka saat
itu memang sungguh luar biasa. Tapi mereka me-
rasa senang karena sanggup menyelesaikan pe-
kerjaan gila yang dibebankan oleh Ki Busrut Ran-
cak Bana. "Kita tunggu orang tua itu sebentar. Ji-
ka dia telah muncul, berarti kita akan mendapat
hadiah." berkata Ukir Koro tiba-tiba. Suaranya
yang serak memecah keheningan.
"Bukan hanya hadiah saja, kita juga telah
dijanjikan untuk memiliki bekas istri piaraannya.
Semua ini merupakan satu keberuntungan yang
tiada tara." sahut Rono Gandul. Membayangkan
apa yang akan dilakukan nanti membuat Rono
Gandul julurkan lidah membasahi bibir. Kawan-
nya hanya tersenyum.
Rono Gandul kemudian bermaksud me-
naikkan karung besar itu ke atas punggung kuda.
Belum lagi niatnya terlaksana mendadak sontak
dia dikejutkan oleh gelak tawa seseorang. Rono
Gandul dan Ukir Koro terperangah dan saling
berpandangan satu sama lain.
"Celaka?! Suara siapa itu? Apakah junjun-
gan kita telah datang?" kata Ukir Koro berbisik.
"Suara tawa itu datang dari empat penjuru
arah. Ki Busrut Rancak Bana tak mempunyai il-
mu memecah suara seperti itu." jawab Rono Gan-
dul. Sebagai mana temannya Rono Gandul yang
tadinya membungkuk hendak mengangkat ka-
rung berat sekarang ikutan berdiri tegak, tubuh-
nya berputar, mata memandang ke seluruh pen-
juru arah. Tidak terlihat apapun terkecuali kege-
lapan semata.
Suara tawa kemudian lenyap, kesunyian
mencekam. Ukir Koro dan Rono Gandul bersikap
waspada, tangan masing-masing menempel pada
bagian hulu pedang.
Kesunyian tidak berlangsung lama, karena
di lain kejap terdengar suara teriakan menggele-
dek. "Dua manusia tukang jagal calon celaka. Ka-
rena dosa apa mereka kalian bunuh? Kalian pa-
tuh pada perintah menyesatkan, namun tidak ta-
kut dosa akibat perbuatan kalian sendiri!"
"Kami hanya menjalankan perintah, men-
genai dosa itu urusan nanti. Siapa kau yang se-
benarnya?!" tanya Ukir Koro memberanikan diri.
"Kau tidak layak mengetahui siapa diriku!"
dengus suara itu. "Yang terpenting saat ini kalian
harus menyerahkan kepala kalian. Akan kutam-
bah jumlah yang empat puluh sembilan dengan
dua kepala lagi sehingga menjadi lima puluh satu!
Hi... hi... hi!"
Mendengar ucapan suara itu wajah Ukir
Koro dan Rono Gandul berubah pucat pasi. Se-
rentak mereka mencabut pedang yang telah ber-
lumuran darah. Masing-masing pedang dilintang-
kan ke depan dada. "Orang yang bicara harap
tunjukkan diri. Kami tidak suka pada orang yang
bersikap pengecut sepertimu!" hardik Rono Gandul.
"Benarkah kalian adalah orang-orang pem-
berani berjiwa besar? kalian menentangku di saat
maut datang mengintai. Sungguh kau dan te-
manmu itu akan membawa penyesalan sampai ke
liang kubur!" dengus suara tersebut. Begitu suara
lenyap dari arah depan mereka melesat dua ben-
da berbentuk bulat berwarna kuning member-
sitkan cahaya dingin. Kedua benda itu langsung
menghantam Rono Gandul dan Ukir Koro. Kedua
laki-laki ini rundukkan kepala, sedangkan pedang
dibabatkan ke depan, menangkis. Cahaya putih
menderu ketika pedang di tangan mereka berke-
lebat menyambar ke arah benda bulat yang mele-
sat dari balik kegelapan itu.
Wuuuut!
Babatan pedang mengenai tempat kosong
karena secara aneh dan seakan memiliki nyawa
benda-benda itu melenting ke atas, berputar-
putar di udara disertai desing aneh, kemudian
menukik lagi ke bawah menyambar kepala Ukir
Koro dan Rono Gandul. Seperti tadi kedua laki-
laki itu kembali babatkan senjatanya ke atas. Ta-
pi mereka kembali dibuat kaget. Dua benda yang
menghantam dari atas sekarang bergerak ke
samping dan membabat leher Rono Gandul dan
temannya dengan gerakan cepat laksana kilat.
Tangkisan ketiga yang dilakukan mereka juga me-
rupakan satu tangkisan yang tidak berguna sama
sekali karena tetap tidak mengenai sasaran. Ma-
lah benda aneh berwarna kuning itu akhirnya
memapas putus batang leher keduanya.
Bluk!
Dua kepala jatuh bergédebukan di depan
kaki, darah menyembur sedangkan tubuh tanpa
kepala nampak terhuyung-huyung, menggeletar
hingga pada akhirnya jatuh terjengkang berlumu-
ran darah. Sedangkan kedua benda yang mema-
pas putus kepala Ukir Koro dan Rono Gandul
kembali melesat ke tempat saat pertama kali da-
tang dan lenyap dalam gelap. Kemudian sedetik
setelah itu dari balik kegelapan pula satu sosok
berpakaian serba putih memakai selendang yang
dililitkan pada bagian leher ke arah kepala kedua
pembantu Ki Busrut Rancak Bana. Begitu jejak-
kan kaki, kedua kepala tadi dimasukkan ke da-
lam karung. Dua potongan tubuh tanpa kepala
ditendang hingga bergulingan di tepi jalan. Selan-
jutnya karung yang sudah diikat kembali dinaik-
kan ke atas kuda.
"Segala bentuk kekejian ini harus kuhenti-
kan. Sobo Serngenge, kesaktianmu boleh saja
tinggi, tapi kau harus percaya pada ucapan gu-
rumu. Selama ini kau hanya menggapai keinginan
yang menjijikkan. Kau belum tahu siapa Dewi Se-
goro Lor!" kata sosok serba putih itu sambil me-
mandangi karung besar berlumuran darah.
"Ki Busrut Rancak Bana, bawalah oleh-oleh
dalam karung itu ke hadapan Sobo Serngenge!"
ucapnya.
"Para pembantuku, aku datang." Satu sua-
ra terdengar dari arah belakang orang itu. Ketika
dia berpaling ke belakang. Dia melihat satu sosok
serba hitam berlari cepat ke arahnya. Orang ini
nampaknya memang tak ingin dilihat orang, se-
hingga diapun lalu memutar tubuhnya tiga kali.
Wuues!
Mendadak ujudnya raib dari pandangan
tepat di saat orang yang berlari dalam keadaan
tergesa-gesa sampai di tempat itu.
"Ukir Koro... Rono Gandul.... di mana ka-
lian....!" seru si baju hitam yang tiada lain adalah
Ki Busrut Rancak Bana. Dia memandang berkelil-
ing dengan perasaan cemas dan tegang. Kedua
pembantunya ternyata tak terlihat. Di jalan dia
melihat genangan darah yang mulai membeku,
jantungnya berdebar. Tanpa sadar dia meman-
dang ke arah kuda yang kini telah berada di ten-
gah jalan. Perasaannya menjadi lega begitu meli-
hat dua karung besar berada di atas punggung
kuda. Dia beranggapan pastilah genangan darah
di tengah jalan adalah darah yang berasal dari
kedua karung itu.
"Anak-anak itu rupanya sengaja hendak
membuat kejutan. Mereka menyelesaikan tugas-
nya dengan baik. Kemudian mempersiapkan apa
yang kuinginkan sebaik mungkin. Tak mengapa,
aku bisa berangkat ke Teluk Rembang seorang di-
ri. Mereka mungkin sudah terlalu lelah, biarlah
mereka berdua bersenang-senang dengan bekas
istriku!" kata Ki Busrut disertai seringai aneh.
Kemudian orang tua ini melepaskan gulun-
gan tali. Dengan tali itu kuda yang membawa beban karung digandeng sedemikian rupa. Sedang-
kan bagian ujung tali dipegangnya. Dengan begitu
bila dia memacu kuda tunggangannya maka dua
kuda yang membawa karung segera mengiku-
tinya.
"Pekerjaan mudah, sungguh sangat mudah
sekali. Semoga guru Sobo Serngenge tidak kece-
wa!" batin Ki Busrut. Tanpa menunggu lagi dia
segera melompat ke atas punggung kudanya. Tali
kekang kuda disentakkan, binatang itu meringkik
dan berlari ke depan dengan diikuti dua kuda
lainnya.
***
Matahari baru saja munculkan diri di ufuk
timur, embun masih membasahi pucuk-pucuk
dedaunan. Di tempat di mana Ki Busrut baru saja
tinggalkan tempat itu beberapa jam yang lalu
muncul si kakek gendut Gentong Ketawa. Ketika
orang tua ini memandang ke tengah jalan, Gen-
tong Ketawa melengak kaget.
"Ada banyak darah?! Seperti baru saja ter-
jadi penjagalan di sini. Eh... siapa yang dijagal,
siapa pula yang menjagal?" kata si kakek seorang
diri. Dia memandang ke depan, ada jejak kaki ku-
da di situ. Ketika si kakek memandang ke samp-
ing jalan orang tua ini bersurut langkah sambil
keluarkan seruan keras.
"Sungguh tak kusangka." desisnya. "Dua
orang ini tergeletak tanpa kepala" Cukup lama juga Gentong Ketawa berdiri tegak di tempatnya.
Tapi kemudian dia segera mendekati kedua mayat
tanpa kepala itu. Dia segera lakukan pemerik-
saan, meneliti mengamat-amati. Walaupun mayat
itu tanpa kepala tapi dia yakin keduanya pasti
merupakan anak buah Ki Busrut Rancak Bana.
"Melihat lehernya yang putus ini, pasti senjata
yang digunakan lebih tajam dari pedang. Siapa
yang membunuhnya? Apakah si kumis tebal itu
sendiri yang telah melakukannya?" pikir Gentong
Ketawa. Dia jadi teringat pada sosok yang melari-
kan diri lewat pintu belakang rumah kediaman Ki
Busrut Rancak Bana. Sekarang dia benar-benar
merasa yakin laki-laki itu pasti berhasil melo-
loskan diri dari tangan muridnya. "Bocah edan!
Meringkus seekor bandot yang sudah jompo pun
tidak becus!" gerutu si kakek bersungut-sungut.
"Aha, pada akhirnya kutemukan juga kau
di sini!" tiba-tiba satu suara berkumandang di
tengah suasana pagi yang sunyi. Sesosok tubuh
berkelebat di belakang si kakek. Gentong Ketawa
bersikap acuh tak hiraukan kehadiran orang. Ma-
lah kini dia unjukkan wajah cemberut.
"Guru... tak kusangka kau telah sampai di
tempat ini. Eeh... ada mayat? Siapa mereka?"
tanya orang yang baru datang yang bukan lain
adalah murid orang tua itu sendiri.
"Ke mana saja kau rupanya, Gege. Kau
pasti tak bisa meringkus orang tua itu?" tegur gu-
runya dengan mimik bersungguh-sungguh.
"Memang betul, ndut. Dia kabur, minggat
entah ke mana. Tapi... eh...!" Gento Guyon yang
sempat memandang gurunya tidak teruskan uca-
pan, melainkan tertawa terbahak-bahak.
"Bocah edan. Setelah gagal membekuk si
kumis tebal bukannya sedih, tapi malah tertawa
seperti orang sinting. Apakah kau merasa ada ka-
ta-kataku ada yang lucu?" hardik si kakek.
Gento hentikan tawa sambil memegangi pe-
rut. Dia menunjuk-nunjuk ke bagian wajah gu-
runya sambil berkata. "Kau memang guru yang li-
cik. Kau suruh aku melawan Ki Busrut, sedang-
kan kau sendiri bermesraan, berdua melawan
Arum Sedap. Guru macam apa kau?" dengus si
pemuda.
Mendengar ucapan muridnya tentu saja
Gentong Ketawa jadi kaget. Dia heran bagaimana
Gento bisa mengetahui dia bertemu dengan Arum
Sedap. Dengan muka sedikit memerah merasa
rahasianya diketahui sang murid si kakek berka-
ta. "Aku bertanya mengapa malah jawabanmu
malah ngaco?"
"Ha... ha... ha. Dasar orang tua gendeng.
Aku tahu kau pasti habis dipeluk dan dicium oleh
Arum Sedap. Bagaimana, ciumannya sedap ti-
dak?"
"Heh, bicaramu ngawur, kupecahkan kepa-
lamu!" berkata begitu si kakek gerakkan tangan.
Laksana kilat tangan menyambar kepala Gento.
Dengan gerakan cepat pemuda ini berhasil meng-
hindar.
"Kau tidak mau mengaku? Coba kau lihat
di kedua pipimu terdapat bekas merah. Siapa
yang menciummu, sapi? Ha... ha... ha!"
Si kakek berjingkrak kaget.
"Kau tidak bicara dusta?" seru Gentong Ke-
tawa, mukanya berubah pucat. Dia mengusap pi-
pinya pulang balik, digosok-gosok tapi warna me-
rah tetap tak mau hilang.
"Aku tidak dusta, malah kau yang sering
membohongiku. Kau kuwalat. Ha... ha... ha. Usap
terus sampai tua!" ejek si pemuda.
Si kakek jadi kelabakan dan malu hati. Dia
terus menggosok pipi kiri kanan sampai kedua
pipi itu jadi memerah.
"Bekas bibir itu memakai sejenis pewarna
yang susah dihilangkan. Terkecuali kau kelupas
kulit pipimu, baru tanda merah hilang. Kalau ti-
dak kurasa sampai setahun di muka tanda itu
masih terus membekas. Huh, dasar tua bangka
hidung belang!" cibir Gento.
Merasa serba salah orang tua ini akhirnya
tutupi kedua pipinya yang tembem. Tak lama ke-
mudian dia berkata. "Jangan hiraukan bekas ci-
uman gila ini. Aku tidak meminta, tapi dia yang
nekat memelukku."
"Bagaimana rasanya dipeluk Arum Sedap?"
"Rasanya aku pingin pipis dan buang ha-
jat." sahut si kakek sekenanya. "Gege kau den-
gar... aku telah melihat beberapa penduduk tewas
dalam keadaan sebagaimana kedua mayat itu.
Aku yakin Ki Buyut Rancak Bana membawa po-
tongan kepala mereka ke suatu tempat. Kita ha
rus menyusulnya!" ujar si kakek.
"Caranya bagaimana?" tanya Gento.
Gentong Ketawa terdiam, berpikir beberapa
jenak lamanya hingga kemudian dia berkata. "Ki-
ta ikuti ceceran darah dan bekas kaki kuda ini."
ujar si kakek.
"Boleh, aku di belakang guru di depan.
Dengan begitu aku bisa melihat setiap gerak-
gerikmu yang mencurigakan. Tapi sebelum pergi
boleh aku bertanya?"
"Bertanya apa?" dengus Gentong Ketawa
sambil melangkah pergi.
"Ke mana perginya Arum Sedap?"
"Ha... ha... ha. Tentu saja pulang ke rumah
orang tuanya." sahut Gentong Ketawa sambil
mempercepat langkahnya. Gento bersungut-
sungut. Sambil menggerutu dia mengikuti gu-
runya.
DELAPAN
Puncak Menara Gila yang terdiri dari batu-
batuan cadas berlumut hitam nampak menjulang
tinggi seakan hendak menggapai langit. Menara
cadas yang terletak di daerah Puncak Wangi ini
merupakan daerah gersang di mana hampir se-
tiap saat angin kencang berhembus tiada henti.
Selain itu bukit cadas yang menjulang tinggi dan
berbentuk kerucut itu selalu bergoyang tak mau
diam. Seakan bukit itu hanya menempel di atas
permukaan tanah.
Siang itu panas terik terasa membakar di
bagian kaki bukit cadas Menara Gila satu sosok
tubuh berpakaian serba putih berwajah cantik
berselendang putih yang dilingkarkan pada ba-
gian lehernya berdiri tegak di tempat itu sambil
dongakkan kepala memandang ke puncak Menara
Gila.
"Cukup sulit untuk bisa mencapai Menara
Gila ini. Tapi aku harus menemui Manusia Selak-
sa Guntur. Tidak ada cara lain untuk bisa sampai
ke atas sana. Aku harus menggunakan ajian
Munggah Langit!" batin si gadis cantik dalam hati.
Beberapa saat kemudian bibir si gadis tampak
berkemak-kemik membaca sesuatu. Setelah itu
selendang yang melilit leher dilepaskan. Salah sa-
tu ujung selendang digenggam dengan erat. Se-
lanjutnya selendang itupun dilecutkan ke udara.
Tar! Tar!
Begitu selendang putih melecut di udara
selendang berubah memanjang sekaligus mem-
buka lebar. Secara aneh ujung selendang itu me-
luncur deras ke udara, bergerak dengan kecepa-
tan laksana kilat disertai suara angin menderu.
Di saat lain ujung selendang yang digenggamnya.
Kembali satu keanehan terjadi. Selendang yang
tadinya menjulur panjang kini bergerak menyu-
sut. Dengan begitu tubuh si gadis ikut terbetot ke
atas mengikuti tarikan selendang. Hanya dalam
waktu sekian saat lamanya gadis berpakaian ser-
ba putih memakai ikat kepala warna putih itu telah berada di Menara Gila.
Si gadis sentakkan ujung selendang yang
menempel pada salah satu batu. Kemudian kem-
bali melilitkan selendang itu ke lehernya. Sejenak
dia menarik nafas, menghirup udara dalam-
dalam. Setelah itu dia kitarkan pandang tanpa
perduli betapa hembusan angin yang sangat ke-
ras terasa menampar-nampar wajahnya.
"Tidak kulihat di mana adanya orang tua
itu. Aku juga tak melihat pondoknya?" pikir si ga-
dis. "Sita Berhala... aku Peri Bulan datang me-
nyambangimu. Aku berharap engkau mau unjuk-
kan diri. Ada beberapa hal yang ingin kubicara-
kan menyangkut muridmu dan juga Dewi Segoro
Lor!" berkata si gadis menyebut nama asli orang
yang dikunjungi.
"Aku ada di sampingmu, Peri Bulan." ter-
dengar satu suara menjawab. Peri Bulan cepat
menoleh ke sampingnya. Kejut gadis ini bukan
alang-alang begitu melihat di samping kirinya du-
duk sosok tubuh berwajah maupun rambut se-
perti beruang berwarna putih. Hanya badan tan-
gan dan kakinya saja yang sama seperti manusia.
Yang mengherankan bagaimana si orang tua ta-
hu-tahu bisa berada di sampingnya, padahal tadi
Peri Bulan sama sekali tak melihat ada orang di
sekitar puncak Menara Gila?
"Orang tua, aku merasa senang kau pada
akhirnya mau menjumpaiku. Adapun mengenai
kedatanganku ini seperti yang sudah kukatakan
adalah untuk membicarakan tentang muridmu
juga saudaraku Dewi Segoro Lor." kata si gadis
setelah menjura hormat dan duduk tak jauh di
depan kakek yang wajah maupun rambutnya
sangat mirip dengan beruang.
Manusia Selaksa Guntur pandangi gadis di
depannya sejenak dengan tatapan matanya yang
mencorong tajam. Dia lalu palingkan wajahnya ke
arah lain. Beberapa jenak lamanya suasana di
puncak Menara Gila dicekam kebisuan. Sampai
akhirnya si kakek berkata. "Apa yang terjadi di
antara kita selama ini tentu bukan hanya engkau
saja yang tahu Peri Bulan? Selama ini antara ke-
luargamu dan diriku tak mempunyai silang seng-
keta. Tapi di antara kita terikat suatu larangan di
mana tak satupun dari anggota keluargamu yang
boleh menjalin hubungan cinta dengan muridku
maupun diriku sendiri. Karena kau tahu, jika hal
itu sampai terjadi maka akan terjadi malapetaka
besar bagi diriku. Kau keturunan bangsa lelem-
but, sedangkan aku turunan setengah manusia
setengah gaib. Dalam kenyataannya aku berada
dalam ujud sebagaimana yang kau lihat. Hidupku
tersiksa selama bertahun-tahun. Karena itu aku
tak pernah melanggar pantangan. Sampai saat ini
diriku tidak ubahnya seperti orang yang sakit. Hi-
dup selama beratus tahun aku tak mau membuat
kesalahan." menerangkan si kakek panjang lebar.
Setelah diam sejenak dia melanjutkan. "Tapi ke-
mudian aku tak menyangka dihianati oleh murid-
ku sendiri. Bukan hanya itu saja, dia telah berani
mencuri kitab Gentar Gaib. Kitab larangan yang
harus kujaga kerahasiaannya sampai aku mati.
Semua ini juga merupakan alamat celaka bagi di-
riku. Aku tahu saudaramu yang bernama Dewi
Segoro Lor datang menggoda muridku melalui
mimpinya. Menyatakan perasaan cinta lewat
mimpi pula. Ketika Sobo Serngenge mulai tergila-
gila pada saudara tuamu itu, dia mengajukan
syarat agar muridku mendirikan sebuah singga-
sana bernama Rumah Sorga di teluk Rembang.
Aku tak tahu muslihat apa yang ada dalam benak
saudaramu itu. Yang jelas walau Sobo Serngenge
memiliki kesaktian tinggi, tanpa menguasai isi ki-
tab Gentar Gaib dia tidak akan dapat mewujud-
kan semua impiannya itu. Tapi semua itu hanya
membuat aku semakin menderita. Murid terkutuk
itu harus kuhentikan!" ujar si kakek bermuka be-
ruang dengan suara perlahan.
"Untuk persamaan itu pula aku datang
menyambangimu kemari kek. Aku tahu saudara-
ku Dewi Segoro Lor terkadang suka bertindak ne-
kad menuruti kemauan hati sendiri. Aku akan
memberi teguran keras kepadanya. Semula aku
beranggapan kakek tak mengetahui tentang se-
mua yang dilakukan oleh Sobo Serngenge. Se-
hingga aku memerlukan diri untuk datang ke ma-
ri. Tapi syukurlah ternyata kakek mengetahui
semua kejadian di luaran sana menyangkut ten-
tang muridmu dan juga kakakku!" kata Peri Bu-
lan.
"Jadi apa rencanamu selanjutnya?" tanya
Manusia Selaksa Guntur ingin tahu.
"Rencanaku tentu mencegah agar kakakku
tidak sampai melanggar pantangan menikah den-
gan muridmu. Tapi semua itu tak mungkin ber-
hasil, sebab terus-terang saudaraku itu memiliki
ilmu yang sangat tinggi. Kesaktiannya jauh bera-
da di atasku. Menghadapi Dewi Segoro Lor saja
belum tentu aku sanggup mengalahkannya. Apa-
lagi jika muridmu sampai ikut turun tangan."
Si kakek Sita Berhala, manusia berujud se-
tengah manusia setengah beruang terdiam. Dia
berpikir sampai saat ini Picak Kiri yang diutus
untuk meminta kitab Gentar Gaib yang dicuri So-
bo Serngenge masih belum juga kembali. Padahal
dia berjanji dalam waktu dua hari Picak Kiri akan
menemui gurunya seandainya berhasil mengambil
kembali kitab Gentar Gaib. Aneh, sampai saat ini
Picak Kiri masih juga belum munculkan diri. Di-
am-diam perasaan kakek berujud manusia dan
setengah binatang ini jadi gelisah. "Aku sebenar-
nya tak ingin meninggalkan Menara Gila ini. Tapi
firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu pada
Picak Kiri. Seandainya aku tidak ikut campur
tangan dalam urusan ini, dunia persilatan kelak
bisa ditimpa satu malapetaka yang sangat besar!"
pikir Manusia Selaksa Guntur. Dia selanjutnya
berucap. "Sebenarnya aku sejak dulu telah me-
mutuskan untuk tidak meninggalkan Menara Gila
ini. Tapi keinginan itu nampaknya tidak dapat
kupertahankan lebih lama. Aku berjanji akan
pergi ke Teluk Rembang. Tapi harap dimaafkan
karena aku tidak dapat pergi bersama dengan
mu." tegas si kakek.
Mendengar keputusan Manusia Selaksa
Guntur, Peri Bulan terkejut. Dia sama sekali tak
menyangka orang tua setengah manusia setengah
binatang itu tidak mau pergi bersamanya. "Orang
tua, mengapa kau tak mau pergi bersamaku? Pa-
dahal saat ini sudah banyak korban yang jatuh
karena ulah Sobo Serngenge. Banyak mayat kehi-
langan kepalanya. Apakah hatimu tidak tersentuh
melihat kematian mereka?" tanya Peri Bulan.
"Tentu saja perasaan dan naluriku sama
dengan manusia lain. Seperti yang telah kukata-
kan, berdekatan denganmu, berjalan seiring seja-
lan membuat tubuhku terasa panas. Karena itu
sebaiknya berangkatlah kau duluan. Aku pasti
menyusulmu. Karena kitab Gentar Gaib itu bagi-
ku merupakan nyawa yang kedua." ujar si kakek.
Peri Bulan anggukkan kepala.
"Baiklah orang tua. Kalau sudah begitu ka-
tamu aku tentu tak dapat memaksa. Aku pergi
dulu orang tua." berkata begitu Peri Bulan bang-
kit berdiri. Setelah menjura hormat gadis cantik
itu membalikkan langkah. Selendang yang melilit
leher dilepas. Kembali mulutnya berkemak-kemik
hingga terdengar suara racau dengan irama tak
menentu. Setelah itu selendang itu dikebutkan di
udara tiga kali berturut-turut. Dari ujung selen-
dang menderu asap tebal yang langsung menye-
limuti sekujur tubuh Peri Bulan. Melihat hal ini
Manusia Selaksa Guntur berdecak kagum. Se-
mentara di depannya sana sosok Peri Bulan yang
dilingkupi asap putih tebal mendadak raib dari
hadapan si kakek
"Ilmunya tinggi, bahkan sulit dijajaki. Tapi
kepadaku dia masih tetap berendah hati dengan
meminta bantuanku. Sebaiknya sejak sekarang
aku harus bersiap diri. Sobo Serngenge murid
murtad itu harus kubawa ke mari untuk meneri-
ma hukuman dariku." ujar si kakek. Sambil tetap
duduk bersila dia tundukkan kepala.
Wuees!
Sama seperti gadis tadi, mendadak kakek
Sita Berhala lenyap dari pandangan mata.
SEMBILAN
Di ujung dataran teluk yang menjorok ke
tengah lautan kakek berambut putih laksana pe-
rak masih duduk bersila di tempatnya. Saat itu
matahari susah hampir tenggelam di ufuk sebelah
barat, angin laut berhembus sepoi-sepoi basah. Di
tempat duduk si kakek tiba-tiba julurkan kepala
dan memasang pendengarannya saat mendengar
suara sayup-sayup derap langkah kuda yang ber-
gerak cepat menuju ke arahnya. Semakin lama
derap langkah kuda semakin bertambah dekat,
lalu semak bakau yang berada di depan si kakek
tersibak. Seekor kuda berbulu putih muncul di
tempat itu yang kemudian disusul oleh dua kuda
lainnya berbulu sama. Si kakek memandang lurus ke depan. Dia melihat di atas punggung kuda
yang berada di depan duduk seorang laki-laki
berpakaian hitam berwajah bengis. Keangkeran
wajah penunggang kuda itu tidak menimbulkan
perubahan apapun pada diri si kakek. Dia melirik
ke arah karung yang berada di atas punggung
kuda kedua dan ketiga. Masing-masing karung
besar itu terikat pada bagian mulutnya dan sama
bersimbah darah.
"Busrut Rancak Bana, telah kau dapatkan
apa yang dipesan oleh gurumu ini?" kata si kakek
sambil memandang muridnya dengan tatapan
dingin menusuk.
Orang tua di atas kuda melompat turun,
lalu menjura hormat pada kakek berambut putih
yang bukan lain adalah Sobo Serngenge. Setelah
duduk bersila di depan sang guru dia menjawab.
"Sesuai pesan guru Sobo Serngenge, saya murid-
mu tak pernah membuat kecewa. Saya telah pe-
nuhi apa yang guru minta. Karena itu sesuai janji
guru, saya berharap kitab Gentar Gaib nantinya
sudi guru mewariskannya padaku!"
Mendengar ucapan muridnya Sobo Sern-
genge memandang ke arah laki-laki yang berada
di hadapannya sekilas. Setelah itu dia tertawa le-
bar.
"Apa yang ada dalam benak orang tua ini?
Jalan pikiran dan isi hatinya sulit kutebak. Aku
khawatir jangan-jangan dia malah membunuhku
begitu semua keinginannya tercapai!" batin Ki
Busrut Rancak Bana.
Dalam pada itu tawa si kakek sudah mulai
mereda. Sebelum memberi jawaban atas keingi-
nan Ki Busrut si kakek ajukan pertanyaan. "Wak-
tuku sudah banyak yang terbuang, Busrut. Seha-
rusnya kemarin malam kau sudah sampai. Men-
gapa baru sore ini baru tiba di sini?"
Mendengar pertanyaan Sobo Serngenge, Ki
Busrut Rancak Bana sempat bingung juga. Tidak
mungkin dia mengatakan duduk persoalan yang
sebenarnya. Sehingga diapun menjawab.
"Maafkan saya atas keterlambatan itu. Se-
benarnya tadi malam saya sudah sampai ke sini
jika aku tak dihadang oleh seorang pemuda be-
rambut gondrong dan kakek tinggi gemuk besar
luar biasa. Saya sama sekali tak mengenal mere-
ka. Tapi dari bentrok tenaga dalam, saya menge-
tahui kedua orang itu memiliki tenaga dalam ser-
ta kesaktian yang sangat tinggi!"
Mendengar jawaban muridnya Sobo Sern-
genge terdiam, kedua alisnya berkerut tajam. Se-
telah berpikir sejenak dia bertanya. "Bagaimana
ciri-ciri mereka, mengapa kau sampai berkelahi
dengan mereka?"
Ki Busrut menjawab. "Ciri-ciri mereka,
yang pertama adalah seorang kakek berumur lima
puluh tahun lebih badannya gemuk tinggi dengan
bobot sekitar dua ratus kati. Wajahnya bulat,
kening lebar pipi tembam berbaju hitam tidak
terkancing!" ucap Ki Busrut. Kening Sobo Sern-
genge berkerut tajam. Dia rasa-rasa kenal dengan
orang tua dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan
muridnya.
"Kakek keparat itu pastilah Gentong Keta-
wa. Manusia aneh yang akhir-akhir ini banyak
menarik perhatian kalangan rimba persilatan ka-
rena sepak terjang dan kekonyolannya. Sedang-
kan pemuda yang dimaksudkan muridku tentu
Gento Guyon, murid Gentong Ketawa. Dua manu-
sia berkepandaian tinggi. Bagaimana Busrut bisa
meloloskan diri dari tangan mereka." membatin si
kakek berambut putih perak di hati. Tapi untuk
meyakinkan diri, Sobo Serngenge kembali ber-
tanya. "Kemudian bagaimana ciri-ciri pemuda
yang bersama kakek itu?"
"Badannya tegap, rambut gondrong berte-
lanjang dada. Sama seperti si kakek dia juga se-
perti orang kurang waras."
"Kurang waras tapi berilmu tinggi, lalu ba-
gaimana kau bisa sampai selamat sampai ke ma-
ri?" tanya Sobo Serngenge.
Sekali lagi Ki Busrut dibuat bingung. Tapi
sekali lagi dengan ketenangan luar biasa dia men-
jawab. "Kusuruh muridku menghadapi mereka.
Mengingat tugas yang guru berikan sangat pent-
ing. Aku terpaksa meninggalkan mereka untuk
membawa kepala yang hendak dijadikan tumbal."
Sobo Serngenge tertawa mengekeh men-
dengar penuturan Ki Busrut Rancak Bana. Masih
dengan tertawa dia lalu berkata. "Bagus, untuk
kesetiaan dan itikad baik yang kau tunjukkan se-
bentar lagi kitab Gentar Gaib akan kuberikan pa-
damu. Sedangkan mengenai kedua orang itu nanti pasti akan mendapat hukuman dariku," tegas si
kakek. "Sekarang ini sebaiknya kau turunkan ke-
dua karung itu. Aku ingin melihatnya. Jumlah
kepala yang hendak dijadikan tumbal sebenarnya
hanya kurang empat puluh delapan lagi. Akan te-
tapi jika ada kelebihan hal itu malah lebih bagus.
Sekejap lagi teluk ini akan kujadikan daratan, se-
telah itu aku akan memerintahkan para siluman
yang dibantu oleh para arwah penasaran untuk
mendirikan singgasana sorga yang diinginkan
Dewi Segoro Lor!" kata Sobo Serngenge.
Tanpa bicara lagi Ki Busrut lakukan apa
yang diminta gurunya. Dua karung besar berisi
potongan kepala diturunkan, lalu dibawa ke ha-
dapan gurunya.
Sobo Serngenge bangkit berdiri, pengikat
mulut karung dibukanya. Dia merasa heran sen-
diri. Menurut sang murid kedua pembantunya
sedang menghadapi Gentong Ketawa dan Gento
Guyon. Tapi mengapa tiba-tiba saja sekarang po-
tongan kepala Ukir Koro dan Rono Gandul men-
gapa berada di dalam karung itu?
"Dia telah berani membohongiku, bagai-
mana nanti jika dia telah berhasil menguasai se-
luruh isi kitab Gentar Gaib? Bukan mustahil aku
dibunuhnya!" geram Sobo Serngenge. Orang tua
berambut perak itu kemudian membuat isyarat
pada Ki Busrut Rancak Bana. Setelah orang tua
itu mendekat dia berkata. "Menurutmu kedua
anak buahmu sedang bertarung menghadapi mu-
rid dan guru sinting itu, betul?"
"Betul sekali guru." sahut Ki Busrut tanpa
ragu.
"Orang yang sudah mampus dan tidak
memiliki kepala bisa bertempur. Ilmu setan apa
rupanya yang dimiliki oleh kedua anak buahmu
itu? Sekarang coba kau lihat ini." Selesai bicara
dua potongan kepala dilempar langsung ke arah
orang tua itu. Potongan kepala menggelinding dan
berhenti di ujung kaki Ki Busrut Rancak Bana.
Dia terkesiap, wajahnya berubah pucat, mulut
terngaga dan mata membeliak lebar. Walau ba-
gian wajah potongan kepala itu diselimuti cairan
darah yang sudah mengering. Tapi dia tentu saja
dapat mengenali dua wajah itu. Wajah kedua
pembantunya, Ukir Koro dan Rono Gandul. Diha-
dapkan pada kenyataan seperti itu tentu saja Ki
Busrut Rancak Bana jadi bingung sendiri.
"Guru... sungguh aku tidak berbohong
dengan semua apa yang kukatakan tadi." kata si
orang tua heran dan diliputi perasaan tidak men-
gerti.
Sobo Serngenge menyeringai. "Kuakui se-
mua kejujuranmu selama ini. Tapi terus terang
hari ini aku sangat kecewa, walaupun kau berha-
sil membawa apa yang aku inginkan. Oleh karena
itu wahai muridku, kini aku berubah pikiran." ka-
ta Sobo Serngenge dengan suara dingin menusuk.
"Guru apa maksudmu?" tanya si orang tua.
Sobo Serngenge sunggingkan seringai sinis. Ke-
dua tangannya yang sejak tadi berada di dalam
kantung mendadak dicabutnya. Kemudian sambil
berteriak keras dia menghantam Ki Busrut Ran-
cak Bana. Sinar kuning kebiruan berkiblat ke
arah Ki Busrut. Tidak mengira mendapat seran-
gan seperti itu dari gurunya sendiri, si orang tua
tidak sempat menghindar. Pukulan ganas yang
melanda dirinya membuat tubuh si kakek terlem-
par disertai jeritan panjang menyayat. Orang tua
itu tewas seketika dengan tubuh hangus gosong.
"Ha... ha... ha! Siapapun yang mencoba
membohongi aku, maka jiwanya tak akan pernah
kuampuni!" teriak Sobo Serngenge sinis. Kemu-
dian tanpa pikir panjang lagi Sobo Serngenge
mencampakkan seluruh kepala yang berada da-
lam karung ke dalam teluk. Begitu seluruh kepala
tercebur ke dalam teluk yang dalam itu, maka
terdengarlah suara bergemuruh hebat. Tanah di
ujung Teluk Rembang di mana Sobo Serngenge
berada bergetar hebat. Dalam gelapnya malam si
kakek jatuhkan diri dan segera duduk. Sementara
di bagian teluk suara gemuruh terus terdengar.
Satu keanehan yang sulit dipercaya terjadi. Tanah
di bagian dasar teluk naik ke permukaan. Bersa-
maan dengan itu pula di depan Sobo Serngenge
muncul satu sosok tubuh berpakaian serba hitam
ketat berwajah bulat lonjong dengan rambut pan-
jang tergerai.
Melihat kemunculan sosok gadis cantik ini
Sobo Serngenge jadi berjingkrak kaget, matanya
terbelalak seakan tak percaya dengan pengliha-
tannya sendiri. Dalam suasana gelap, di mana
matahari telah digantikan dengan rembulan Sobo
Serngenge mengusap matanya sampai dua kali.
Tapi perempuan cantik berumur sekitar dua pu-
luh tahun itu ternyata tidak hilang juga dari pan-
dangan matanya. Malah sosok itu sunggingkan
senyum memikat pada kakek itu.
"Dewi Segoro Lor benarkah engkau ini
adanya?" tanya si kakek, suaranya bergetar anta-
ra haru dan bahagia.
"Hik... hik... hik! Kau tak salah melihat,
aku memang Dewi Segoro Lor!" jawab si gadis. Dia
melirik ke dalam Teluk Rembang. Kini di tempat
itu terlihat sebuah daratan berpasir luar. Daratan
yang tercipta berkat kesaktian yang dimiliki oleh
Sobo Serngenge dan juga tumbal yang telah di-
persembahkan untuk menciptakan daratan itu
sendiri.
Sobo Serngenge tersenyum. "Kau telah me-
lihatnya. Aku telah dibantu oleh para arwah le-
lembut untuk menciptakan semua ini. Malam ini
setelah melewati tengah malam akan kubuatkan
singgasana Sorga sebagaimana yang kau minta."
kata kakek tua itu dengan penuh rasa percaya di-
ri.
"Oh kakang Sobo, hatimu sungguh mulia.
Cintamu sebening embun menyejukkan hatiku.
Dalam sebuah alam yang jauh telah begitu lama
aku melihatmu. Penglihatan gaib yang kemudian
menumbuhkan rasa cinta di hatiku yang demi-
kian mendalam. Karena itu aku berani menam-
pakkan diri dalam tidurmu, bicara bebas tentang
perasaan kita masing-masing. Tapi kakang Sobo
Serngenge mungkin cinta kita tidak akan berjalan
mulus karena aku merasakan ada beberapa pihak
yang mencoba menghalangi niat kita. Padahal da-
ri negeri yang jauh itu aku punya rencana besar
untuk mendirikan sebuah kerajaan besar yang
nantinya dengan kekuatan yang kita miliki serta
bala bantuan dari prajurit dari alam lelembut kita
taklukkan seluruh kekuasaan yang ada di dunia
persilatan ini."
"Aku setuju, aku sependapat. Demi cintaku
kepadamu apapun yang kau rencanakan aku pas-
ti mendukungnya. Malam ini aku akan perintah-
kan para setan, roh dan hantu gentayangan un-
tuk membangun singgasana Sorga sebagaimana
yang kau minta. Kita pasti berhasil mewujudkan
semua itu hanya dalam waktu semalam!" kata
Sobo Serngenge.
Wajah si gadis di bawah keremangan ca-
haya bulan nampak berseri-seri.
"Aku senang mendengarnya. Nanti setelah
singgasana itu telah ditegakkan kita dapat meni-
kah secepat mungkin!" berucap si gadis dengan
senyum bermain di bibirnya.
"Aku setuju, aku senang, aku sangat baha-
gia sekali!" menyahuti Sobo Serngenge dengan
wajah berseri.
Kakek dan gadis itu saling mendekat, ke-
dua tangan dikembangkan. Nampaknya kedua in-
san berlainan jenis yang usianya terpaut jauh itu
siap saling peluk satu sama lain untuk mele-
paskan kerinduan di hati masing-masing. Namun
pada saat itulah berkelebat satu bayangan putih
disertai dengan menderunya angin dingin yang
melabrak mereka, hingga membuat keduanya
terhuyung. Belum lagi hilang rasa kejut di hati
mereka terdengar satu bentakan keras melengk-
ing.
"Rencana gila itu harus dibatalkan, aku ti-
dak setuju jika kalian sampai menyatu dalam ke-
luarga!" kata satu suara.
Baik Dewi Segoro Lor maupun Sobo Sern-
genge cepat palingkan wajah ke arah datangnya
suara itu. Sobo Serngenge melengak kaget ketika
melihat tak jauh di depannya telah berdiri tegak
seorang gadis cantik, berpakaian serba putih be-
rambut panjang. Di leher gadis itu dilingkari se-
buah selendang yang juga berwarna putih. Seba-
liknya Dewi Segoro Lor meskipun sempat kaget,
namun begitu mengenali siapa yang datang nam-
pak sunggingkan senyum sinis.
"Tak usah takut. Dia adikku...!" kata gadis
berbaju hitam membisiki. Penjelasan Dewi Segoro
Lor sedikitnya membuat perasaan Sobo Serngenge
menjadi lega. Dia hendak mengatakan sesuatu,
namun urung begitu gadis yang di cintainya
memberi tanda. Kini Dewi Segoro Lor melangkah
maju. Dia lalu membentak. "Peri Bulan buat apa
jauh-jauh menyusulku ke mari?"
Peri Bulan tersenyum tipis, sikapnya be-
nar-benar penuh ketenangan. Dengan tegas dia
kemudian menjawab. "Dewi Segoro Lor, aku me-
mang sengaja membuntutimu, mengamat-amati
setiap gerak-gerikmu. Akhirnya aku tahu kau
memendam hasrat pada kakek itu. Kau kemudian
meninggalkan alam para peri, mendobrak tabir
gaib dan nekad datang ke sini. Kau jangan ber-
mimpi bisa mewujudkan rencana sintingmu. Kau
harus tahu tidak ada bangsanya peri menikah
dengan manusia. Selain itu antara Manusia Se-
laksa Guntur dan Dewi Kuasa Peri junjungan dari
seluruh peri dan mahluk lelembut telah membuat
satu perjanjian, agar di antara kita dan mereka
tidak melanggar larangan keramat itu. Jika itu
sampai kau langgar berarti malapetaka bagi kita
bangsanya peri dan juga celaka besar bagi Sita
Berhala Manusia Selaksa Guntur."
"Hi... hi... hi. Apapun isi larangan itu aku
tak perduli. Mereka yang membuat, mengapa ha-
rus aku yang mematuhinya? Aku sudah bosan
hidup di dunia kita yang tak pernah mengenal ar-
ti kehadiran seorang laki-laki!" dengus Dewi Sego-
ro Lor sinis. Dia kemudian menambahkan. "Kau
gadis kecil tahu apa. Lebih baik kau kembali ke
duniamu. Aku tak punya waktu untuk melayani-
mu!"
Peri Bulan gelengkan kepala.
"Dewi Kuasa Peri telah menegaskan pada-
ku agar menyeretmu kembali ke negeri kita. Jika
kau membangkang, aku terpaksa turun tangan
kejam kepadamu!" tegas Peri Bulan.
Dewi Segoro Lor tertawa panjang melengk-
ing. Sebaliknya Sobo Serngenge, bekas murid
Manusia Selaksa Guntur yang telah berhasil
menguasai ilmu gaib dari kitab curian malah me-
langkah maju. Dia pandangi Peri Bulan sejenak
lamanya. Dia harus mengakui, gadis yang satu ini
ternyata memang lebih bila dibandingkan dengan
Dewi Segoro Lor, walaupun mereka sama-sama
dari golongan peri. Selain itu Peri Bulan setiap
bertutur kata ucapannya lemah lembut. Tatapan
matanya juga sangat bersahabat. Jauh berbeda
dengan kakaknya Dewi Segoro Lor yang terkesan
angkuh dan genit. Tapi walau bagaimana pun dia
sudah terlanjur jatuh cinta pada Dewi Segoro Lor
sejak gadis itu menjumpainya dalam mimpi untuk
pertama kali. Sehingga walau bagaimanapun dia
tetap berpihak pada Dewi Segoro Lor.
"Peri Bulan, sebaiknya kau mau memper-
timbangkan apa yang dikatakan oleh kakakmu.
Karena untuk mewujudkan impian serta cita-cita
kami. Terus-terang aku tak akan segan membu-
nuh siapa saja yang mencoba menghalangi, tidak
terkecuali dirimu. Nah, daripada kau kembali ke
tempat asalmu dalam keadaan tanpa nyawa. Se-
lagi ada kesempatan lebih baik kau tinggalkan
tempat ini secepatnya!" perintah Sobo Serngenge
tegas.
Tapi jawaban peri Bulan ternyata di luar
dugaan kakek itu. "Kakek tua, manusia tak ber-
budi pencuri tengik. Penghianat pada guru sendi-
ri. Tahu apa kau tentang peraturan di daerah asal
kami! Aku tahu kau telah menguasai isi kitab
Gentar Gaib. Apakah dengan begitu kau mengira
aku jadi takut menghadapimu?!" dengus si gadis.
Mendidih darah si kakek mendengar uca-
pan Peri Bulan. Selama ini belum pernah ada pe-
rempuan yang berani bicara seketus dan sekasar
itu. Tapi malam ini tampaknya dia harus menun-
jukkan kewibawaannya.
SEPULUH
Sekejab dia menoleh dan memandang ke
arah Dewi Segoro Lor. Dengan tegas dia lalu ajukan pertanyaan. "Dewi, kekasihku. Jika kubunuh
dia apakah kelak kau akan menyesalkan tinda-
kanku?"
"Hi... hi... hi. Kakang, kau bunuh dia sepu-
luh kali bagiku dia tak mempunyai arti apa-apa.
Tapi kurasa aku yang lebih pantas menghadapi
orang keras kepala seperti dia. Serahkan dia pa-
daku!" kata Dewi Segoro Lor.
Mendadak dia goyangkan kakinya. Di lain
saat gadis berpakaian hitam ini sudah berkelebat
ke arah Peri Bulan. Dengan cepat tangan kanan-
nya dihantamkan ke dada adiknya, sedangkan
tangan kiri menyambar ke bagian leher dengan
posisi mencengkeram.
"Kurang ajar. Kau pergunakan pukulan Pa-
ra Peri Di Tengah Pusara!" seru Peri Bulan. Gadis
ini langsung menghindar dengan miringkan tu-
buhnya ke kiri. Dia sadar betul pukulan yang di-
lancarkan kakaknya itu selain mematikan juga membuat kekuatan saktinya lenyap dalam seke-
jap. Dan pukulan ini di negeri mereka memang
sangat jarang dipergunakan mengingat teramat
ganas sekali.
Begitu miringkan tubuhnya dari arah ba-
wah dia menggerakkan tangannya ke atas sejajar
dengan dada lawannya. Dewi Segoro Lor yang
menyadari kedua serangannya tak mengenai sa-
saran menghindar ketika merasakan ada samba-
ran angin dingin mendera dadanya. Tapi tidak
urung ujung tangan Peri Bulan menyentuh da-
danya. Meskipun hanya berupa sentuhan, tapi
menimbulkan rasa sakit yang sangat hebat bagi
lawannya. Dewi Segoro Lor bahkan sempat ter-
huyung. Wajahnya agak pucat, sedangkan dari
mulutnya terdengar suara erangan aneh.
"Perempuan sepertimu nampaknya me-
mang tidak perlu diberi hati!" teriak Dewi Segoro
Lor. Tanpa berpikir panjang lagi dia segera mene-
kuk kaki kanan, sedangkan kaki kiri ditarik ke
belakang. Sekejap kemudian kedua tangannya
berkelebat berputar aneh di bagian kepala dan
dadanya.
"Peri Mengadu Jiwa Di Atas Awan!" gumam
Peri Bulan dingin. "Dia hendak mengadu jiwa
denganku hanya demi cintanya pada tua bangka
itu!" Peri Bulan katupkan kedua bibirnya. Begitu
melihat Dewi Segoro Lor melesat ke arahnya sam-
bil melepaskan pukulan bertubi-tubi, maka gadis
berpakaian putih ini pun tidak tinggal diam. Lak-
sana kilat dia melolos selendang putih yang dililitkan di bagian lehernya. Tenaga dalam dikerah-
kan ke bagian selendang, setelah itu senjata yang
dapat memanjang bahkan bisa berubah kaku lak-
sana baja itu dikebutkannya ke depan menyam-
but pukulan lawan.
Wuus!
Segulung angin laksana topan prahara
menderu sebat menerjang ke arah awan, mempo-
rak porandakan pukulan yang dilepaskannya dan
lebih dari itu tubuh Dewi Segoro Lor kini seakan
terpental ke udara membubung tinggi di angkasa.
Bagaikan seekor burung Peri Bulan juga melesat
ke udara. Selagi tubuh mereka berada di udara
terjadilah pertempuran sengit yang berlangsung
sangat cepat dan sulit diikuti kasat mata.
Sobo Serngenge mendongak ke langit ikuti
jalannya perkelahian. Dalam hati dia berkata.
"Kedua gadis itu sungguh luar biasa. Mere-
ka bertarung di udara bagaikan dua ekor elang
ganas. Tapi senjata di tangan Peri Bulan itu san-
gat berbahaya. Jika tidak kubantu, Dewi bisa ce-
laka!" kata si kakek seorang diri.
Sementara itu di udara, Peri Bulan kembali
mengebutkan selendang putihnya. Selendang itu
meluncur ke depan. Secara aneh selendang ber-
tambah memanjang dan melebar disertai deru
aneh. Selendang itu kemudian meliuk bagai lidah
ular yang siap melilit mangsanya. Mendapat se-
rangan ganas seperti ini lawan menggunakan il-
mu Kecepatan Bergerak. Tubuhnya berkelebat
menghindari sambaran selendang, sementara gerakannya terus mendekati Peri Bulan, maka tan-
gan kanannya segera dihantamkan ke dada lawan
sedangkan tangan kiri berusaha merampas ujung
selendang dalam genggaman Peri Bulan. Gadis
berpakaian serba putih ini terkejut besar tak me-
nyangka lawan berbuat secerdik itu. Namun dia
tentu saja tak sudi selendangnya berpindah tan-
gan. Sehingga dengan tangan kiri dia mencoba
menangkis laju gerak tangan lawan yang berusa-
ha merebut selendangnya.
Plak! Dessss!
Selendang yang hendak direbut memang
berhasil diselamatkan. Tapi tangan kanan Dewi
Segoro Lor menghantam telak tepat di bagian da-
danya. Peri Bulan menjerit keras. Tubuhnya me-
layang di udara dan terus meluncur ke bawah.
Darah menetes dari bibirnya. Ketika dia jatuh
terhempas di atas tanah, Peri Bulan yang mende-
rita luka dalam di bagian dada merasa sulit ber-
nafas. Dari atas sana lawan yang mengetahui Peri
Bulan dalam keadaan terluka tidak memberi ke-
sempatan lagi pada adiknya. Selagi tubuhnya me-
luncur ke bawah dia kembali hantamkan tangan
kanan kiri ke arah gadis itu. Sinar putih kebiruan
mencuat dari telapak tangan Dewi Segoro Lor.
Sinar itu menderu ganas disertai menebar-
nya hawa dingin laksana es dan langsung mela-
brak tubuh Peri Bulan. Walau terluka parah, na-
mun Peri Bulan pantang menyerah begitu saja.
Dengan tangan kiri dia menyambut pukulan maut
lawannya sedangkan dalam waktu yang sama se
lendang putih pemberian Dewi Kuasa Peri pe-
mimpin tertinggi dari semua peri langsung dike-
butkannya ke atas.
Cahaya putih melesat dari ujung selen-
dang, dari tangan kiri Peri Bulan menderu pula
serangkum angin berhawa panas luar biasa. Dua
tenaga sakti saling menyongsong di udara, hingga
benturan keras pun tak dapat dihindari lagi.
Buuum!
Terjadi ledakan berdentum yang merun-
tuhkan tanah di tebing Teluk Rembang. Sobo
Serngenge sendiri tubuhnya sempat terguncang
akibat pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh
suara ledakan tadi. Di sudut sana dekat semak
belukar Peri Bulan rebah miring sambil menge-
rang lemah. Sebagian selendangnya robek, se-
dangkan luka yang dideritanya makin bertambah
parah.
Tak jauh dari Peri Bulan, lawannya nam-
pak jatuh dengan kaki ditekuk. Sedangkan tan-
gannya mendekap dada. Dari kenyataan ini terli-
hat walaupun Dewi Segoro Lor memang memiliki
kesaktian satu tingkat di atas adiknya, tak urung
dia menderita luka di bagian dada juga.
"Kekasihku, kau terluka...?" Sobo Sern-
genge cemas sekali.
Si gadis menyeringai. "Kakang, dia bukan
apa-apa bagiku jika selendang itu tak berada di
tangannya. Cepat rebut! Rampas selendang itu!"
seru Dewi Segoro Lor.
"Hemm, daripada repot, lebih baik kuram
pas selendang dan nyawanya sekaligus!" dengus
si kakek dingin. Kedua tangan yang terkembang
kemudian diputar beberapa kali, hingga dalam
waktu singkat tangan yang diputar menimbulkan
angin bersiuran itu telah berubah merah, memba-
ra. Sambil berteriak keras dengan gerakan laksa-
na kilat kakek berambut putih segera menghan-
tamkan kedua tangannya ke arah Peri Bulan. Da-
lam keadaan terluka parah mustahil bagi si gadis
dapat menyelamatkan diri. Tak ampun lagi sinar
merah menyambar ke arahnya. Tapi belum lagi
sinar maut itu mengenai sasarannya, detik itu
pula dari arah semak belukar terlihat sinar yang
sama menderu memapas habis sinar yang dile-
paskan Sobo Serngenge. Terjadi letupan keras,
satu sosok tubuh berkelebat ke arah kakek itu
disertai bentakan.
"Murid murtad. Aku tak rela kau menggu-
nakan pukulan itu, apalagi berniat membunuh
seorang gadis yang sudah tidak berdaya."
Sejenak lamanya Sobo Serngenge yang
sempat terjengkang akibat bentrok tenaga dalam
tadi nampak memandang lurus ke depan. Dia
terkesiap begitu melihat satu sosok berujud se-
tengah manusia setengah beruang berdiri tegak di
depannya sambil berkacak pinggang.
"Guru...!" seru Sobo Serngenge, dia jatuh-
kan diri berlutut di depan kakek bermuka dan be-
rambut beruang.
Orang tua itu mendengus. "Tak usah kau
berpura-pura dengan menghormat pada tua
bangka ini, Sobo Serngenge?" kata si kakek sam-
bil diam-diam melirik ke arah Dewi Segoro Lor
yang kini tengah duduk bersila memulihkan tena-
ga dalamnya. Jauh di dalam hati si kakek berka-
ta. "Gadis ini rupanya yang telah menjadi biang
racun hingga muridku berani melanggar larangan
bahkan mencuri kitab Gentar Gaib."
"Guru aku mengaku salah. Aku mohon
maafmu dan siap menjalani hukuman." berucap
kakek itu sambil menangis mengguguk. Si kakek
bermuka beruang tahu ucapan muridnya itu ada-
lah palsu belaka. Sehingga sedikitpun dia tak
mengurangi kewaspadaannya. Sebaliknya Dewi
Segoro Lor tersentak kaget mengira Sobo Sern-
genge telah melakukan tindakan yang sangat
pengecut.
"Aku kecewa mendengar ucapanmu itu ka-
kang Sobo." kata gadis. Tapi dia tidak juga beran-
jak pergi dari tempatnya. Sobo Serngenge terke-
san seperti tak menghiraukan. Setengah meratap
dia berkata. "Guru aku bersalah. Silakan kau hu-
kum jika itu kau anggap perlu. Tapi sebelum aku
mati kitab akan kukembalikan padamu" ujar ka-
kek berambut putih itu. Dia kemudian berpura-
pura mengambil kitab Gentar Gaib dari balik baju
putihnya. Si kakek berwajah beruang tegak mengawasi.
SEBELAS
Hanya beberapa saat saja Sobo Serngenge
pura-pura sibuk mengambil kitab dari balik pa-
kaiannya. Tapi pada kesempatan lain sambil ber-
teriak keras dia menghantamkan kedua tangan ke
arah gurunya sendiri.
"Pukulan Penakluk Iblis! Murid keparat!"
seru si kakek. Dia yang memang merasa curiga
sejak tadi langsung melemparkan diri ke samping
sambil balas melepaskan pukulan ke arah murid-
nya.
Hawa panas menderu sebat ke arah Sobo
Serngenge, sinar ungu berkiblat. Dua pukulan
sakti saling bertemu di udara hingga terjadilah le-
dakan menggelegar. Sobo Serngenge terdorong
mundur dua tindak sambil mendekap dadanya
yang mendenyut sakit. Sebaliknya si kakek ber-
wajah beruang tanpa menghiraukan rasa sakit
yang dideritanya segera melompat berdiri, lalu
berkelebat ke depan sambil menghantam ke ba-
gian wajah muridnya. Sobo Serngenge cepat se-
lamatkan mukanya dengan menarik kepala ke be-
lakang.
Tapi tangan kakek muka beruang seolah
berubah memanjang hingga membuat lawan jadi
terkesiap. Dalam keadaan terkejut dia kembali
melepaskan pukulan Penakluk Iblis menyambut
serangan ganas lawannya. Sementara angin me-
nyambar tangan Sita Berhala yang menghantam
kepala bekas muridnya, maka dari arah samping
Dewi Segoro Lor yang sudah mulai dapat memak-
lumi jalan pikiran orang yang dicintainya segera
turun membantu. Begitu menerjang ke depan dia
melepaskan dua pukulan beruntun ke arah si
muka beruang. Dua larik sinar putih berkiblat
menghantam tubuh si kakek. Semua ini tentu
sempat dilihat oleh Peri Bulan. Namun dia yang
terluka parah tidak dapat menolong Manusia Se-
laksa Guntur dari ancaman maut yang datang da-
ri dua arah sekaligus.
"Orang tua awas dari samping kananmu!"
seru Peri Bulan yang masih rebah di tempatnya.
Manusia Selaksa Guntur tentu tak ingin mati ko-
nyol. Sambil melompat mundur tangan kiri dihan-
tamkan ke arah samping menangkis pukulan De-
wi Segoro Lor sedangkan tangan kanan tetap di-
hantamkan ke depan menyambut pukulan Sobo
Serngenge.
Dess!
Deees!
Tiga pukulan saling bertemu membuat Sita
Berhala alias Manusia Selaksa Guntur jatuh ter-
jengkang. Kedua tangannya terasa sakit dan ngilu
di bagian dalam, sedangkan dadanya terguncang.
Wajah si kakek nampak pucat. Di depannya sana
Sobo Serngenge jatuh dengan punggung menyen-
tuh tanah terlebih dulu. Dari sudut bibir si kakek
rambut putih menetes darah segar. Tak jauh di
sampingnya Dewi Segoro Lor begitu bentrok tena-
ga dalam dengan lawannya tampak terpelanting
dan terkapar dengan nafas menguik dan dada
kembang kempis.
Tanpa menghiraukan luka yang mereka de-
rita, baik Sobo Serngenge maupun kakek muka
beruang bangkit lagi. Sadar bekas gurunya me-
mang bukan manusia sembarangan, maka Sobo
Serngenge kini mulai melancarkan serangan den-
gan pukulan-pukulan yang didapatnya dari kitab
Gentar Gaib. Akibatnya tentu sangat memba-
hayakan si kakek. Sehingga jika tadi dia masih
mampu menghadapi dua serangan sekaligus, ma-
ka kini menghadapi serangan gencar bertubi-tubi
yang dilakukan bekas muridnya dia jadi terdesak
hebat. Sementara itu dua pasang mata yang terus
mengawasi jalannya pertarungan sejak tadi kini
nampak saling berbisik.
"Kita harus melakukan sesuatu Gege, ka-
lau tidak kakek muka beruang itu bisa jadi tape.
Murid durhaka itu nampaknya mulai berada di
atas angin. Bahkan serangannya ganas berba-
haya. Lihat... apa saja yang kena dihantamnya ja-
di hangus gosong, untung kakek itu memiliki ke-
cepatan gerak yang sangat luar biasa!" ujar si ka-
kek gendut yang mendekam tak jauh dari si gon-
drong.
"Aku sudah melihatnya ndut. Kau dengar
tadi, dia telah menguasai ilmu siluman yang be-
rasal dari kitab Gentar Gaib. Jika perkelahian ini
kita biarkan sampai lewat tengah malam nanti,
berarti dia bisa memanggil para siluman atau
mahluk gaib apa saja dengan ilmunya itu!" me
nimpali si gondrong yang bukan lain adalah Gen-
to Guyon.
"Kau betul. Sekarang kita sudah menemu-
kan biang bencana yang telah membuat banyak
orang terpaksa kehilangan kepala. Mengapa kita
tidak segera turun tangan membantu kakek mu-
ka beruang dan menolong gadis baju putih yang
terluka itu?" kata si kakek Gentong Ketawa.
"Cepat kau bantu mereka duluan ndut. Un-
tuk menghadapi manusia seperti Sobo Serngenge
harus ada sesuatu yang kulakukan. Konon ku-
dengar orang yang memiliki ilmu itu harus bersih
selalu. Aku akan lakukan kebalikannya. Sekarang
aku membutuhkan daun talas!" ujar Gento.
"Eeh, apa yang hendak kau lakukan Gege?"
tanya gurunya terheran-heran.
"Ah, kau orang tua cerewet amat seperti
perempuan saja. Sudah sana bantu kakek itu!"
tegas si pemuda.
Meskipun masih penasaran dan merasa
tak mengerti dengan apa yang hendak dilakukan
muridnya, namun si kakek segera berkelebat me-
ninggalkan tempat persembunyiannya. Sedang-
kan Gento sendiri setelah mencari kian ke mari
akhirnya menemukan daun talas hutan yang di-
inginkannya. Sambil menyeringai setelah memetik
dua lembar daun talas, Gento menyelinap di balik
pohon.
Sementara itu Sita Berhala kini semakin
terdesak hebat. Beberapa kali pukulan yang dile-
paskannya berhasil ditepis atau dibuat mentah
oleh lawannya dengan mudah. Padahal pukulan
yang dilepaskan oleh kakek muka beruang ini
bukan serangan biasa, melainkan serangan dah-
syat yang mengandung tenaga dalam sangat ting-
gi.
"Sita Berhala! Mana pukulan Selaksa Gun-
turmu yang menggegerkan itu! Aku Sobo Sern-
genge ingin merasakannya!" tantang si kakek
rambut putih. Si kakek muka beruang menjadi
geram mendengar ucapan bekas muridnya itu.
Tulang pelipisnya bergerak-gerak, pipi menggem-
bung dan mulut terkatup rapat. Dia sadar Sobo
Serngenge kini telah mengerahkan jurus maupun
pukulan yang dipelajarinya dari kitab larangan.
Jika tidak pasti sejak tadi dia sudah dapat diro-
bohkan oleh kakek muka beruang ini.
"Kau inginkan pukulan itu. Tidak menga-
pa, aku tua bangka yang tidak berguna ini akan
meluluskan permintaanmu!" teriak Manusia Se-
laksa Guntur. Dengan cepat sekali orang ini sa-
lurkan tenaga dalamnya ke bagian kedua tangan.
Setelah itu sambil melompat ke depan dua tan-
gannya diadu satu sama lain. Dari telapak tangan
si kakek kilat menyambar disertai dengan terden-
garnya suara menggeledek keras menyakitkan te-
linga. Detik itu pula cahaya merah biru dan putih
secara berturut-turut menyambar ke arah Sobo
Serngenge. Kakek berambut putih yang berdiri te-
gak di depan sana tidak tinggal diam. Walaupun
dia tidak menghindar, tapi kedua tangannya diputar ke depan, hingga membentuk satu perisai pertahanan yang sangat hebat. Sekejap kemudian
ketika pukulan Manusia Selaksa Guntur meng-
hantam lawannya, maka terjadi ledakan beruntun
yang menimbulkan guncangan hebat di tempat
itu.
Tapi kenyataan yang terlihat kemudian
sungguh membuat kakek Sita Berhala jadi geleng-
gelengkan kepala. Lawan di depan sana yang ter-
kena pukulannya jangankan tewas, terluka pun
tidak. Hanya pakaiannya saja yang robek di sana-
sini akibat terkena sambaran yang dahsyat itu.
"Keparat, semestinya tubuh bangsat itu
hancur berkeping-keping terkena pukulanku. Ta-
pi dia sama sekali tidak bergeming!" rutuk Sita
Berhala di tengah-tengah rasa kejutnya.
Belum lagi rasa kaget di hati si kakek le-
nyap. Sobo Serngenge mendadak saja sudah me-
lesat sebat ke arahnya. Sambil hantamkan dua
tangannya sekaligus ke dada si kakek muka be-
ruang dia berteriak. "Bencana Dari Alam Gaib!"
seru Sobo Serngenge menyebut nama pukulan-
nya.
Sita Berhala alias Manusia Selaksa Guntur
merasakan adanya hawa aneh menyambar seku-
jur tubuhnya. Sekejap si kakek sempat tercen-
gang, namun sesaat kemudian dia sudah jatuh-
kan diri menghindari dua pukulan itu. Akan teta-
pi orang tua ini benar-benar dibuat kaget, karena
sedikitpun dia tak mampu menggerakkan tubuh-
nya. Kedua kaki laksana dipantek ke bumi. Tak
terelakkan lagi pukulan Sobo Serngenge mendarat telak di bagian dadanya.
Manusia Selaksa Guntur menjerit keras,
terpental dan semburkan darah. Di saat seperti
itu pula dari arah belakang melesat satu sosok
serba hitam yang sangat cepat dan langsung
menghantam Sobo Serngenge dengan tendangan
kaki.
"Kakang Sobo, di belakangmu!" teriak Dewi
Segoro Lor memberi peringatan. Habis mele-
paskan pukulan ke arah lawan si kakek rambut
putih memang merasakan adanya sambaran an-
gin berhawa panas mendera punggungnya. Se-
hingga dengan cepat dia menghindar. Tapi gera-
kannya kalah cepat dengan tendangan yang dile-
paskan oleh orang yang baru datang dari arah be-
lakangnya.
Dess!
"Akh...!"
Sobo Serngenge jatuh tersungkur sambil
menjerit keras. Posisi jatuhnya persis di atas
pangkuan Dewi Segoro Lor, sehingga mengundang
tawa bagi si kakek gendut yang menyerangnya.
"Ha... ha... ha. Terlena dia dalam pelukan
sang kekasih. Asyiik sekali?!" kata Gentong Keta-
wa sambil menuding ke arah Sobo Serngenge. Se-
dangkan Manusia Selaksa Guntur sendiri akibat
pukulan ganas yang dilakukan si murid murtad
membuatnya menderita luka di bagian dalam.
Sobo Serngenge menggeliat bangkit, Dewi
Segoro Lor begitu melihat orang yang dicintainya
dalam keadaan terluka juga tak mau tinggal di
am.
"Gendut bangsat. Kau kunyuknya yang
bernama Gentong Ketawa!" geram si kakek be-
rambut putih.
Melihat orang mengenali dirinya, si kakek
gendut diam-diam jadi kaget. Tapi hanya sekejap,
karena dia kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Hebat. Penglihatanmu ternyata cukup awas juga.
Bagus... sekarang menghormat lah pada kakekmu
ini!" kata Gentong Ketawa masih terus tertawa.
"Kakang, manusia gila ini telah mencampu-
ri urusan kita, mengapa tidak kita bunuh saja dia
sekarang juga?" teriak Dewi Segoro Lor berang.
DUA BELAS
Mendengar ucapan gadis berpakaian hitam
Gentong Ketawa unjukkan sikap tidak perduli.
Sebaliknya Manusia Selaksa Guntur merasa ter-
kejut melihat kemunculan si gendut ini. Begitu
juga halnya dengan Peri Bulan. Tapi mereka tidak
dapat berbuat atau ajukan pertanyaan apapun
karena saat itu baik Sobo Serngenge maupun
Dewi Segoro Lor sudah menyerang si gendut be-
sar dari dua arah sekaligus. Mendapat serangan
ganas dari dua lawan yang menghendaki jiwanya,
Gentong Ketawa mengerahkan seluruh ilmu me-
ringankan tubuh yang dia miliki. Tubuhnya yang
besar bukan main itu bergerak lincah menghindar
ri pukulan maupun tendangan yang dilakukan
dua lawannya. Terkadang tubuhnya meng-
huyung, oleng dan bergerak gerubak gerubuk se-
perti orang mabuk. Tapi di lain saat balas mele-
paskan pukulan ke arah lawannya. Suara angin
berkesiuran ketika kakek ini menghantam ke
arah Sobo Serngenge maupun Dewi Segoro Lor.
Dua orang yang mendapat serangan dengan cepat
membalas serangan dengan melepaskan pukulan
pula.
Wuut! Wuuut! Buuum!
Kembali ledakan keras mengguncang Teluk
Rembang. Dewi Segoro Lor terlempar sejauh tiga
tombak. Sedangkan Sobo Serngenge tersurut
sampai satu langkah. Di depannya sana Gentong
Ketawa tergontai-gontai, wajahnya pucat pasi,
dada berguncang keras. Walau di bibirnya mene-
teskan darah, tapi kakek ini masih mampu terta-
wa tergelak-gelak.
"Ha... ha... ha. Hanya usapan kecil yang di-
lakukan oleh dua bocah nakal. Keluar kecap se-
dikit tidak mengapa!" celetuk si kakek.
"Yang tadi usapan kecil dan yang sekarang
ini adalah usapan yang akan merenggut jiwamu!"
teriak Sobo Serngenge kalap.
Kakek berambut putih ini mendadak han-
tamkan tangannya hingga menyentuh tanah. Be-
gitu tangan yang dihantamkan ke tanah ditarik-
nya ke atas laksana kilat dia mendorongkan ke-
dua tangannya ke arah si kakek gendut.
"Awas. Pukulan Mahluk Alam Gaib Keluar
Dari Dalam Bumi!" seru Manusia Selaksa Guntur
yang mengenali pukulan bekas muridnya.
Begitu melihat segulung angin dingin mele-
sat dari kedua tangan kakek rambut putih, maka
Gentong Ketawa maklum lawan mengerahkan
ajian pukulan hebat yang dimilikinya. Tanpa pikir
panjang Gentong Ketawa menghantam ke depan
pula melepaskan pukulan 'Selaksa Duka' dan pu-
kulan Iblis Ketawa Dewa Menangis. Akibatnya
sungguh sangat luar biasa sekali. Kedua orang ini
sama jatuh terpelanting. Si gendut merasakan tu-
buhnya seperti remuk, nafasnya sesak menguik-
nguik. Sobo Serngenge lebih sengsara lagi. Berun-
tung dia memiliki ilmu aneh yang dapat melin-
dungi diri dari pengaruh dua pukulan sakti yang
dilancarkan Gentong Ketawa, jika tidak mungkin
nyawanya sudah amblas sejak tadi.
Dengan semangat berkobar-kobar tanpa
menghiraukan rasa panas yang seperti membakar
sekujur tubuhnya Sobo Serngenge kembali berdi-
ri. Dia menyeringai sinis ketika dilihatnya lawan
masih terkapar dan terbatuk-batuk.
"Sekali ini tamatlah riwayatmu gendut gi-
la!" rutuk si rambut putih. Dua tangan kemudian
bergetar dan mulai berubah hitam. Sobo Sern-
genge dengan kecepatan laksana kilat lalu me-
lompat sambil menghantamkan tangannya ke
arah si kakek.
Selagi sinar hitam membersit dan melesat
di udara dan menukik ke arah si gendut besar.
Pada saat itu pula terdengar suara bentakan.
"Siapa berani mencelakai guruku. Maka sudah
saatnya bagiku mengucapkan terima kasih dan
memberi bingkisan!"
Bersamaan dengan itu pula melesat dua
buah benda bulat berwarna hijau. Benda-benda
itu satu menderu ke arah Dewi Segoro Lor dan sa-
tunya lagi menghantam Sobo Serngenge yang me-
lepaskan pukulan. Selagi dua buntalan menderu
di udara ke arah sasaran masing-masing. Maka
orang yang melemparkan bungkusan tadi berke-
lebat ke arah si gendut bersikap melindungi. Begi-
tu jejakkan kaki dia berbalik menghadap ke de-
pan sambil dorongkan kedua tangan dengan dis-
ertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Brees!
Benturan yang sangat keras membuat si
gondrong jatuh rebah di atas tubuh gurunya. Se-
mentara itu Dewi Segoro Lor maupun Sobo Sern-
genge yang tidak menyangka mendapat serangan
benda berwarna hijau segera menghantam benda
tersebut.
Wuus!
Pyar!
Begitu kena dipukul, bungkusan bulat tadi
pecah, isinya yang berbau pesing tumpah meng-
guyur si gadis dan Sobo Serngenge. Kedua orang
ini menjerit keras. Guyuran air berbau pesing itu
telah membuat hangus tubuh si kakek maupun
Dewi Segoro Lor. Sobo Serngenge terkapar tewas
seketika itu juga. Sebaliknya Dewi Segoro Lor
yang juga mengalami luka mengerikan itu begitu
"Siapa berani mencelakai guruku. Maka sudah
saatnya bagiku mengucapkan terima kasih dan
memberi bingkisan!"
Bersamaan dengan itu pula melesat dua
buah benda bulat berwarna hijau. Benda-benda
itu satu menderu ke arah Dewi Segoro Lor dan sa-
tunya lagi menghantam Sobo Serngenge yang me-
lepaskan pukulan. Selagi dua buntalan menderu
di udara ke arah sasaran masing-masing. Maka
orang yang melemparkan bungkusan tadi berke-
lebat ke arah si gendut bersikap melindungi. Begi-
tu jejakkan kaki dia berbalik menghadap ke de-
pan sambil dorongkan kedua tangan dengan dis-
ertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Brees!
Benturan yang sangat keras membuat si
gondrong jatuh rebah di atas tubuh gurunya. Se-
mentara itu Dewi Segoro Lor maupun Sobo Sern-
genge yang tidak menyangka mendapat serangan
benda berwarna hijau segera menghantam benda
tersebut.
Wuus!
Pyar!
Begitu kena dipukul, bungkusan bulat tadi
pecah, isinya yang berbau pesing tumpah meng-
guyur si gadis dan Sobo Serngenge. Kedua orang
ini menjerit keras. Guyuran air berbau pesing itu
telah membuat hangus tubuh si kakek maupun
Dewi Segoro Lor. Sobo Serngenge terkapar tewas
seketika itu juga. Sebaliknya Dewi Segoro Lor
yang juga mengalami luka mengerikan itu begitu
"Aku Peri Bulan. Atas nama Dewi Kuasa
Peri, penguasa dari segala Peri juga mengucapkan
terima kasih padamu dan gurumu itu!" ujar Peri
Bulan sambil memandang Gento Guyon dengan
satu kerlingan aneh namun menyimpan seribu
arti.
"Ah tidak mengapa. Tak usah dipikirkan.
Aku Gento Guyon dan guruku Gentong Ketawa
hanya sekedar membantu. Jadi tak usah terlalu
dipikirkan tentang segala macam budi. Bukankah
begitu guru?" ujar si pemuda pula sambil melirik
ke arah gurunya.
"Ya... ya memang begitu." sahut si kakek
yang kini telah berdiri di samping muridnya. Be-
berapa saat lamanya si gendut pandangi gadis
cantik berpakaian putih yang bernama Peri Bulan
dan juga Sita Berhala. Sambil menyeka cairan da-
rah di sudut bibirnya dia membisiki muridnya.
"Yang ini baru sangat cocok buatmu, wajahnya
cantik, dagu lonjong alis bagus, hidung bangir,
lehernya juga bagus!" kata si kakek sambil terse-
nyum-senyum. Senyumnya lenyap begitu Gento
menyodok perutnya dengan siku.
"Kakek muka beruang, maafkan si gendut
ini. Tingkahnya memang terkadang seperti orang
kurang waras. Maklumlah setelah tua dia jarang
mendapat pengajaran!" ujar Gento dengan muka
bersungguh-sungguh.
Mendengar ucapan muridnya wajah Gen-
tong Ketawa berubah merah. "Maaf kakek dan ga-
dis cantik. Apa yang dikatakan oleh muridku sama sekali tidak benar. Apa yang dikatakannya itu
sebenarnya adalah menceritakan dirinya sendiri!"
sergah si kakek.
"Kalian manusia hebat. Sekali lagi aku
mengucapkan terima kasih. Aku ingin mohon di-
ri!" kata si gadis. Gento menatap gadis itu seje-
nak. Begitu Peri Bulan memandangnya dengan
kerlingan matanya yang indah. Maka Gento men-
gedipkan matanya. Gadis itu tersipu dan cepat
palingkan perhatiannya ke arah lain. "Kakek Sita
Berhala dan kalian semua aku mohon pamit!"
"Berhati-hatilah Peri Bulan." ujar Manusia
Selaksa Guntur. Orang tua ini kemudian meme-
riksa pakaian Sobo Serngenge. Setelah itu dia
mengambil sesuatu dari balik pakaian si murid
murtad. Ternyata benda itu bukan lain adalah se-
buah kitab berwarna hitam.
"Kalian telah menyelamatkan benda ini dan
juga nyawaku. Aku banyak berhutang pada ma-
lam ini. Jika kalian ada waktu datanglah ke Me-
nara Gila. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih.
Selamat tinggal para pendekar gagah!"
Selesai dengan ucapannya si kakek berke-
lebat pergi. Gento gelengkan kepala.
"Kakek aneh dan gadis cantik itu. Mengapa
pergi dengan tergesa-gesa?" gumam si pemuda
menyayangkan.
"Ada apa rupanya, kau suka pada Peri Bu-
lan?" tanya si kakek gendut.
"Mungkin juga. Tapi kalau kuguyur dia
dengan air kencingku. Apakah gadis secantik dia
mati juga seperti Dewi Segoro Lor tadi? Ha... ha...
ha!" kata Gento diiringi tawa.
"Bisa jadi begitu. Kencingmu ternyata lebih
ganas dari racun cobra. Ha... ha... ha!"
"Mungkin juga, kalau begitu aku tak boleh
jatuh cinta pada Peri Bulan. Sebab akhir dari cin-
ta harus menikah. Kalau sudah begitu kan ha-
rus.... ha... ha... ha...! Bisa mati dia." celetuk si
pemuda.
Menyadari arti ucapan muridnya Gentong
Ketawa tak kuasa lagi membendung tawanya.
"Bocah edan, murid geblek. Ha.. ha... ha!"
- TAMAT -
NANTIKAN EPISODE SELANJUTNYA!!
TOPENG
0 comments:
Posting Komentar