..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 10 Desember 2024

GENTO GUYON EPISODE TUMBAL RATAN SEGARA

GENTO GUYON EPISODE TUMBAL RATAN SEGARA

 SATU



Suara bunyi gamelan mengalun diiringi 

dengan suara gendang yang ditabuh oleh tiga la-

ki-laki berkumis melintang berblangkon butut. 

Empat gadis cantik berpakaian sutera kuning 

berkain kebaya terus menari sambil melenggang 

lenggokkan pinggulnya yang besar. Di sekeliling 

lapangan para penonton yang terdiri dari laki-laki 

dan perempuan memperhatikan hiburan selama-

tan ini dengan perasaan takjub. Sesekali terden-

gar tepuk tangan serta sorak sorai yang gempita. 

Di antara para penonton laki-laki ada yang ikut 

menari atau sekedar menggoyangkan tubuhnya di 

pinggir arena pertunjukan. Setiap laki-laki yang 

melihat bagaimana ke empat gadis itu menari 

hampir tak pernah berkedip. Terkadang terdengar 

suara hela nafas di sana-sini. Tarian yang diper-

tunjukkan ke empat gadis itu terasa begitu meng-

goda, membuat hati berdebar dan mengguncang-

kan iman. Tapi tak seorang pun dari para penon-

ton yang berani memasuki arena pertunjukan ka-

rena di sudut lapangan berdiri mengawasi seo-

rang laki-laki berpakaian hitam gelap berwajah 

angker. Laki-laki itu merupakan sesepuh dusun 

Kedung Ombo. Dia sangat disegani karena ilmu 

silatnya sangat tinggi. Di samping juga merupa-

kan ketua adat daerah itu.

Sejak pertunjukan tarian dimulai perhatian 

laki-laki yang bernama Ki Busrut Rancak Bana


yang mempunyai lima orang istri dan sebelas istri 

piaraan itu sebenarnya terus tertuju pada gadis 

berdada dan berpinggul besar yang menari di su-

dut kiri lapangan. Gadis satu ini adalah yang pal-

ing cantik dibandingkan tiga gadis lainnya. Hing-

ga tidaklah mengherankan banyak para penonton 

laki-laki yang memusatkan perhatiannya pada 

gadis itu.

Dari tempatnya berdiri, Ki Busrut Rancak 

Bana nampak sering mengulum senyum. Tenggo-

rokannya naik turun, lidah dijulurkan dan bibir 

dibasahi. Jika kepala manggut-manggut mengiku-

ti suara gendang, maka hatinya ndut-endutan tak 

tahan melihat cara si gadis menari. Dalam otak-

nya yang selalu dipenuhi pikiran kotor terencana 

maksud jahat dan mesum.

"Aku ingat nama gadis itu Arum Sedap. En-

tah bagian mana yang sedap. Tapi kurasa semua 

bagian tubuhnya sedap dipandang. Pinggul besar, 

dada juga besar. Kuharap semuanya serba besar. 

Caranya menari dan menggoyangkan pinggulnya 

saja sudah membuat dadaku laksana mau mele-

dak. Apalagi jika aku dapat mengajaknya bercinta 

seusai acara persembahan sesajen malam ini!" pi-

kir Ki Busrut Rancak Bana dalam hati. Orang tua 

berusia hampir lima puluh tahun ini palingkan 

wajah memandang ke belakangnya. Di sana ber-

diri tegak dua laki-laki berpakaian sama bersenja-

ta pedang. Kedua laki-laki bertampang seram ini 

langsung bergerak mendekati begitu mendapat 

isyarat dari Ki Busrut Rancak Bana. Dia membi


sikkan sesuatu kepada kedua pembantunya ini. 

Yang dibisiki menganggukkan kepala disertai se-

ringai aneh.

Mereka lalu melangkah pergi dan menghi-

lang di tengah kerumunan penonton yang berju-

bel. Sementara itu suara gamelan dan gendang 

terus bertalu-talu mengiringi ke empat gadis pe-

nari. Semakin bertambah malam, suasana yang 

dingin makin menghangat. Keempat gadis terus 

menari bagai kesurupan. Di tengah-tengah sua-

sana yang makin bertambah memanas, tiba-tiba 

saja terdengar suitan. Sebagian penonton merasa 

heran mendengar suitan yang cukup keras itu. 

Tapi tak jarang yang bersikap acuh dan terus me-

nari dan harus puas walau hanya sekedar di luar 

lapangan pertunjukan.

"Malam begini dingin. Tubuhku menggigil, 

mata mengantuk. Sampai di sini ada hiburan gra-

tis. Empat gadis menari. Aduh aku suka tarian. 

Kalau boleh tua bangka ini ikut menari aku san-

gat berterima kasih pada yang punya hajat." kata 

satu suara.

Kemudian terdengar satu suara lain me-

nimpali. "Mau menari sampai tua atau sampai 

pagi sih boleh-boleh saja. Tapi apa enaknya me-

nari hanya di luar lapangan. Mereka yang menari 

saja kebanyakan sudah pada tegang. Apa jadinya 

kalau kau yang sudah tua jadi ikut-ikutan te-

gang? Yang membuat aku bingung nantinya eng-

kau hendak lari ke mana?"

Suit! Suiit!


"Mana tahan?! Tidak tua tidak muda, kalau 

yang itu kurasa semuanya sama. Kalau aku sam-

pai tegang terpaksa ku pindahkan ke perut, biar 

jadi kentut! Ha... ha... ha!" menyahuti suara per-

tama disertai tawa pendek.

"Aku tidak menganjurkan, aku juga tidak 

melarang. Kalau mau menari silakan menari. 

Syukur-syukur kau dapat yang serba besar itu, 

siapa tahu dia tertarik padamu. Kalau kau dapat 

dia jangan lupakan aku!"

"Jadi aku boleh menari?" tanya suara per-

tama.

"Seperti yang kukatakan aku tidak men-

ganjurkan juga tidak melarang. Tapi kalau mau, 

lebih baik menarilah dengan para gadis itu. Kura-

sa menari berhadapan dengan para gadis me-

nambah suasana semakin bertambah sedap. Ha... 

ha... ha!" menyahuti suara kedua.

Sekali lagi terdengar suara suitan panjang. 

Satu sosok tinggi besar luar biasa berkelebat rin-

gan dari kegelapan melewati kepala para penon-

ton. Di lain kejab si gendut besar dengan bobot 

lebih dari dua ratus kati ini sudah berada di ten-

gah para gadis penari. Kehadiran kakek berbaju 

hitam tak dikancing ini tentu mengundang heran 

para penonton sekaligus juga mengundang tawa. 

Karena cara menari si kakek yang terkesan aneh 

dan lucu. Caranya menari tidak mengikuti irama 

gamelan atau suara gendang, melainkan terkesan 

seenaknya sendiri. Kepala digoyangkan ke kiri 

atau ke kanan, mata berputar dikedip-kedipkan.


Tangan melejang-lejang seperti orang terserang 

ayan. Bahu naik turun, perut dikedut-kedutkan, 

sedangkan dada dibusungkan atau ditarik ke be-

lakang, tak lupa pantat diogel-ogelkan.

"Wah asyik juga. Menari bersama empat 

gadis ternyata enak. Hayo tabuh gendang agak 

kerasan dikit!" Si kakek gendut besar terus beru-

saha mengikuti gerak tarian gadis yang bernama 

Arum Sedap. Tapi karena memang tidak pandai 

maka gerakan tubuhnya selalu ketinggalan atau 

salah melulu. Semua ini tentu saja membuat para 

penonton semakin tak dapat menahan tawanya. 

Lain halnya dengan Ki Busrut Rancak Bana. Begi-

tu melihat kehadiran kakek yang tak dikenal itu, 

mula-mula dia tampak heran. Tapi darahnya ke-

mudian laksana mendidih begitu melihat si gen-

dut aneh menari berpasangan dengan Arum Se-

dap. Gadis cantik yang menjadi incarannya sejak 

tadi. Melihat cara si kakek menari dan jaraknya 

yang begitu dekat dengan Arum Sedap menim-

bulkan rasa cemburu di hati laki-laki itu. Ma-

tanya mendelik mencorong marah, kedua rahang 

bergemeletukan, pipi menggembung dan wajah 

tampak tegang luar biasa. 

"Gendut Keparat itu, manusia edan yang 

baru terlepas dari penjara gila mana?" maki Ki 

Busrut Rancak Bana geram. "Jika dia menari 

dengan tiga penari lainnya tidak mengapa, aku 

tak mengambil pusing. Tapi beraninya dia menari 

dengan orang yang memenuhi seleraku? Kelak ji-

ka acara persembahan sesajen ini selesai aku


akan menyuruh Ukir Koro dan Rono Gandul un-

tuk mengusirnya!" dengus orang ini.

"Asyik... ha... ha... ha. Asyiik... bocah itu 

betul-betul tolol tidak ikut menari padahal tiga 

gadis belum punya pasangan. Ha... ha... ha!" kata 

si gendut besar yang bukan lain adalah kakek 

Gentong Ketawa.

Selagi enak si kakek menari, mendadak Ki 

Busrut Rancak Bana angkat tangan kanannya 

memberi isyarat pada para penabuh gendang dan 

gamelan. Begitu diberi isyarat suara tetabuhan 

langsung terhenti. Si kakek untuk beberapa saat 

terus menari, sementara para penari bergerak 

mundur mengakhiri acara tarian. Para penonton 

kini mentertawakan si kakek gendut. Sadar irama 

gamelan terhenti si kakek jadi kaget. Dia hentikan 

gerakannya dalam posisi tangan memeluk, pantat 

menyonggeng dan tubuh meliuk seperti orang 

yang menderita sakit pinggang.

"Ah, lagi tanggung mengapa harus dihenti-

kan?" gerutu si kakek. Dia melirik ke arah si ku-

mis besar Ki Busrut Rancak Bana. Dia tahu orang 

itulah yang tadi memberi isyarat pada para pena-

buh dan pemain gamelan. Kepada orang ini dia 

hanya memandang sekilas. Beralih pada Arum 

Sedap si gendut kedipkan mata kirinya. Kebetu-

lan Arum Sedap sedang memandang kepadanya 

hingga kedipan mata si kakek membuat Arum 

Sedap tersipu-sipu.

"Jahanam. Berani betul dia mengedipkan 

mata pada Arum Sedap. Dia memang sengaja cari


perkara hendak membuat urusan besar dengan-

ku. Huh... saat ini aku harus menahan diri. Sebe-

lum acara persembahan sesajen berlangsung aku 

tak mau ada masalah atau keributan apapun." Ki 

Busrut Rancak Bana melirik sekilas pada si gen-

dut. "Aku tahu, dia bukan orang gila. Dia pasti 

memiliki ilmu kesaktian tinggi. Aku sempat meli-

hat bagaimana tadi dia melompat melewati para 

penonton. Gerakannya ringan luar biasa, padahal 

tubuhnya sangat besar sekali!" batin laki-laki itu.

"Sayang... sayang sekali. Padahal sedang 

tanggung. Melakukan pekerjaan apapun kalau 

tanggung mana enak? Ha ha ha!" kata Gentong 

Ketawa. Di balik kegelapan temannya menyengir 

sambil nyeletuk. 

"Dasar gendut sinting. Bicaramu selalu 

ngaco, mulut besar asal ngablak saja! Tapi buat 

apa aku urusi dia? Aku sendiri juga mau mengu-

rus persoalanku sendiri!" kata orang itu. Kemu-

dian tanpa bicara lagi orang itu mendekati meja 

besar tak jauh dari lapangan pertunjukan tarian.

Kembali pada si gendut yang masih tetap 

menyonggeng, tangan dalam posisi memeluk, 

pinggang miring dan mulut cemberut. "Bapak pe-

nabuh gendang dan bapak gamelan. Tega dikau 

membuat tubuhku jadi begini. Gusti... gusti...!" 

keluh si kakek. "Hayo gendang ditabuh, gamelan 

dipukul. Aku masih ingin menari!"

Para penabuh gendang dan gamelan diam 

membisu. Wajah mereka diwarnai ketegangan. 

Dalam pada itu dua laki-laki anak buah Ki Busrut


Rancak Bana sudah menggiring ke empat penari 

tadi meninggalkan lapangan pertunjukan. Semen-

tara Ki Busrut sendiri melangkah mendekati si 

gendut diiringi tatap cemas para penonton. Mere-

ka sadar betul Ki Busrut Rancak Bana adalah 

orang yang sangat ditakuti di daerah itu. Dia yang 

membuat pesta tarian dan acara sesajen. Siapa 

yang berani mengganggu itu berarti kematian ba-

ginya. Tapi agaknya sikap laki-laki itu kini agak 

lain. Dia tidak langsung menurunkan tangan ke-

ras. Sebaliknya unjukkan sikap agak bersahabat.

"Sobat gendut, acara tarian untuk semen-

tara dihentikan dulu. Aku harus memimpin upa-

cara sesajian. Kalau kau suka, berkenan di hati 

boleh saja ikut menghadiri upacara kami!" berka-

ta Ki Busrut Rancak Bana. Mulutnya sungging-

kan senyum ramah dan tampang bersahabat, tapi 

hatinya memaki habis-habisan.

Gentong Ketawa usap keningnya yang lebar 

berkeringat. Dia sempat melongo. Habis melongo 

baru sunggingkan senyum khasnya. "Jadi... jadi 

kapan acara tarian digelar lagi?" tanya si kakek.

"Nanti setelah setahun dari malam ini." sa-

hut Ki Busrut Rancak Bana sambil menyeringai.

"Orang tuamu ini kecewa. Orang tuamu ini 

kecewa, tapi tak mengapa. Aku bisa maklum. Se-

karang aku tak mau usil. Silakan anak memimpin 

upacara biarkan aku ikut menyaksikan dari sini 

saja. Ha... ha... ha!"

"Terima kasih kau mau mengerti." ujar si 

laki-laki. Jauh di lubuk hatinya dia berkata.


"Gendut edan tak tahu diri. Siapa sudi berorang 

tua denganmu? Keledai sekalipun tak mau mem-

punyai orang tua sepertimu!" Tak lama setelah 

memperhatikan Gentong Ketawa, Ki Busrut pa-

lingkan wajahnya ke arah para penonton sambil 

memberi isyarat agar mereka mendekat ke arah 

meja besar berlapis kain merah. Di atas meja itu 

ada berbagai hidangan lezat. Ada panggang ayam, 

gulai kambing, bubur hitam putih. Berbagai jenis 

bunga, buah dan berbagai bentuk sesajen lain 

yang semuanya diletakkan dalam wadah terbuat 

dari mangkuk tanah liat hitam.

Semua penonton kini duduk berbaris 

membentuk deretan memanjang ke belakang. Ki 

Busrut Rancak Bana berjalan ke depan meja Se-

sajen. Dia mendekati sebuah pendupaan besar 

yang baru saja digotong oleh dua orang pemuda 

ke depan meja. Pendupaan itu berisi bara menya-

la.

"Kalian dengar wahai semua penduduk du-

sun Kedung Ombo. Malam ini kita kembali men-

gadakan upacara sesajen agar para roh, para ar-

wah leluhur nenek moyang kita memberi restu 

atas semua usaha kita. Dan yang lebih penting 

semoga penguasa alam kegelapan tidak murka 

dan menurunkan laknat pada kita semua! Nan-

tinya setelah upacara Suguh Sesajen ini usai, ku-

harapkan semuanya kembali ke rumah masing-

masing dengan tertib. Jangan ada perbincangan 

atau perdebatan apapun. Besok pagi-pagi sekali 

perintahkan setiap anak gadis mandi kembang di


kali agar terhindar dari petaka dan bala. Seka-

rang harap semua kepala ditundukkan, baca doa 

sebagaimana biasanya!" kata Ki Busrut Rancak 

Bana.

Semua orang yang hadir sama tundukkan 

kepala dan membaca apa saja dalam hati masing-

masing. Mulut mereka ada yang komat-kamit, ada 

pula yang dicibirkan, ada yang menggerutu ada 

yang tersenyum. Melihat semua ini Gentong Ke-

tawa yang bersandar pada tiang teratak lapangan 

tarian hanya tersenyum mencibir sambil berkata. 

"Kurasa inilah langkahnya orang sesat. Jangan-

jangan semua yang hadir itu bukannya mendoa, 

tapi mengutuki yang memimpin jalannya sesa-

jian."

Sementara di dekat pendupaan Ki Busrut 

Rancak Bana sudah menaburkan serbuk hitam 

ke dalam bara api. Mulut yang tertutup kumis le-

bat berkemak-kemik, terdengar pula suara racau. 

Bau harum semerbak kayu Cendana menebar. 

Setelah suara racau si orang tua lenyap maka dia 

jatuhkan diri, dua tangan disatukan. Sepuluh jari 

disusun dan diangkat ke atas kepala. Ki Busrut 

Rancak Bana bungkukkan badan bersikap seperti 

orang yang menyembah.

"Aku telah persembahkan apa yang menja-

di kesukaanmu wahai penguasa alam gelap. Sila-

kan menikmati dengan lahap. Tapi setelah per-

sembahan diterima dan dinikmati harap jangan 

ganggu kami!" kata laki-laki itu sambil tegakkan 

kepala kembali memandang ke alas meja Suguh


Sesajen.

Saat itulah dia melihat berkelebatnya satu 

tangan menyambar panggang ayam dan beberapa 

jenis makanan lainnya. Tangan lenyap bersama 

panggang ayam di balik meja yang tertutup kain 

hingga ke bagian kaki meja itu. Ki Busrut Rancak 

Bana tersentak kaget dan belalakkan matanya. 

Dalam hati dia merasa heran bagaimana mungkin 

panggang ayam dan buah bisa lenyap. Padahal 

hal aneh seperti ini belum pernah terjadi pada ta-

hun-tahun sebelumnya?

"Ada seseorang yang hendak mengacau!" 

membatin orang ini geram. Dia jadi teringat pada 

si kakek gendut hingga membuatnya menoleh ke 

belakang. Ternyata si gendut masih berada di si-

tu, duduk di bawah teratak bersandar pada tiang 

kayu. Duduk diam dengan mata setengah men-

gantuk. Jelas si gendut besar tidak melakukan 

apa-apa, lalu siapa yang berani mengganggu ja-

lannya upacara Suguh Sesajen.

Orang tua ini kemudian memutuskan un-

tuk melakukan pemeriksaan. Tapi pada saat itu-

lah terdengar suara orang mengeluarkan kentut 

besar. Lalu tercium bau busuk. Bau busuk lenyap 

berganti dengan hembusan angin kencang luar 

biasa yang datang dari arah meja. Semua orang 

sama tersentak kaget. Tak terkecuali Ki Busrut 

maupun Gentong Ketawa.

Di tempat duduknya si gendut menyeletuk. 

"Wah hebat, setannya sudah datang. Rupanya 

bangsa setan juga tahu makanan enak dan bisa


kentut!" Dia lalu julurkan lidah basahi bibir. 

Tenggorokannya bergerak-gerak membayangkan 

betapa lezatnya makanan yang dijadikan sesajen 

itu.

Suara gemuruh terus terdengar. Dalam pa-

da itu terdengar suara keras, besar sember yang 

seakan datang dari empat penjuru arah. "Ki Bu-

srut Rancak Bana. Aku tahu kau hendak meme-

riksa meja. Aku telah mendengar kau menyuruh-

ku menikmati hidangan ini. Hidanganmu kuteri-

ma dan kuambil. Mengapa kau seperti tidak ik-

hlas memberi? Aku adalah kegelapan, aku pengu-

asa. Apa perlu dusun Kedung Ombo ini kurata-

kan dengan tanah, apa perlu semua orang kubu-

nuh? Aku bisa saja membunuh kalian semua 

hanya dengan satu tiupan. Tapi aku yang mem-

bunuh, dosanya kau yang menanggung! Krauk...!" 

kata suara aneh itu disusul dengan suara orang 

menggerogoti tulang.

Semua yang ikut menjalani upacara sesa-

jen jadi ketakutan. Di antara mereka bahkan ada 

yang gemetar, ada pula yang terkencing di celana.

Ki Busrut Rancak Bana tak kalah kaget-

nya. Dengan suara bergetar dan wajah pucat dia 

berkata. "Maafkan aku yang bodoh ini wahai Pen-

guasa Kegelapan. Kau... kau boleh menikmati se-

sajen sesukamu. Tapi jangan timpakan bala dan 

amarah pada kami. Aku mengaku salah, mohon 

dimaafkan!"

"Ho... ho... ho! Bagus jika kau tahu gelagat. 

Suguh sesajenmu aku terima. Semua yang ada di


atas meja sudah kuhisap sarinya. Sedangkan 

ampasnya kalau kau suka silakan kau habiskan. 

Terkecuali panggang ayam ini, aku menyukainya 

dan akan kujadikan pajangan di dalam singgasa-

na kebesaranku! Aku pamit cepat kalian tunduk-

kan kepala menghormat padaku!" kata suara itu 

sember namun berwibawa.

"Tundukkan kepala semua. Semuanya ti-

dak terkecuali!" perintah orang tua itu. Serentak 

begitu mendengar aba-aba mereka yang hadir 

sama tundukkan kepala. Terkecuali kakek Gen-

tong Ketawa. Orang tua ini sebaliknya malah ju-

lurkan kepala, buka matanya lebar-lebar meman-

dang ke arah meja. Saat itu dia melihat satu 

bayangan berkelebat meninggalkan bagian bela-

kang meja yang tertutup kain. Walau sekilas dan 

berlangsung sangat cepat namun dia tahu siapa 

adanya sosok yang mengaku sebagai penguasa 

kegelapan itu.

"Bocah edan. Mengaku sebagai penguasa 

kegelapan. Dasar geblek, senangnya mengerjai 

orang melulu!" kata si kakek sambil cibirkan mu-

lut.

Sementara itu begitu menyadari suara tadi 

lenyap dan hembusan angin kencang sirna, maka 

Ki Busrut Rancak Bana cepat memandang ke 

arah meja. Di meja itu beberapa makanan lain le-

nyap. Terkecuali kembang tujuh rupa dan bubur 

hitam. Dengan cepat Ki Busrut bangkit berdiri. 

Dia rupanya penasaran juga curiga dan merasa 

kurang yakin kalau yang bicara tadi benar-benar


penguasa kegelapan. Jika Ki Busrut bergegas 

menghampiri meja, maka sebaliknya seluruh 

orang yang hadir mengikuti jalannya upacara Su-

guh Sesajen langsung membubarkan diri, pulang 

ke rumah masing-masing dalam keadaan ketaku-

tan.

Seorang diri laki-laki itu meneliti bagian 

atas meja. Kening orang tua ini berkerut tajam. 

Terlebih-lebih ketika melihat sepotong tulang 

ayam tergeletak di atas piring tanah. Mendadak 

dia merasa tertipu, rasa curiga makin bertambah 

besar.

"Jahanam keparat, siapa yang berani 

mempermainkan aku!" maki orang tua itu geram. 

Lalu dia menyingkapkan kain yang menutupi ba-

gian bawah meja. Sebuah obor yang terletak di 

salah satu sudut meja Sesajen direnggutkannya. 

Dengan bantuan cahaya obor dia melihat begitu 

banyak tulang ayam dan sisa makanan bersera-

kan di situ. Bergetar sekujur tubuh si orang tua, 

pipinya menggembung besar sedangkan mulut 

terkatub rapat.

"Setan keparat! Aku telah ditipu mentah-

mentah. Semua ini adalah sebuah penghinaan 

yang harus kubalas!" Ki Busrut Rancak Bana 

menggeram. Dalam kemarahannya itu terlintas 

sesuatu dalam benaknya. "Kepada siapa aku ha-

rus membalas?" pikirnya. Dia pun cepat menoleh 

ke arah tiang penyanggah teratak. Orang tua ini 

melengak kaget. Si gendut besar luar biasa ter-

nyata sudah tak ada lagi di situ, lenyap entah ke


mana.

"Mungkin memang gendut gila itu yang me-

lakukannya. Mungkin juga orang lain. Tapi keha-

dirannya di sini jelas membuat aku curiga!" den-

gusnya lagi. Tiba-tiba dia menjungkir balikkan 

meja tempat Suguh Sesajen sehingga semua yang 

berada di atas meja bertaburan memenuhi lapan-

gan rumput. Selanjutnya tanpa menghiraukan 

semua apa yang telah dilakukannya dengan lang-

kah lebar dia mendatangi para penabuh gendang 

dan gamelan.

"Kalian semua tahu ke mana perginya si 

gendut gila tadi?" hardik Ki Busrut Rancak Bana 

sambil bertolak pinggang, sedangkan kumisnya 

bergerak-gerak pula.

Mendengar pertanyaan itu dengan wajah 

pucat dan hati diliputi ketakutan mereka sama 

gelengkan kepala. Mereka memang tak tahu ke 

mana perginya kakek gendut yang ikut menari 

tadi.

"Tidak tahu. Kurang ajar betul. Orang tua 

sebesar gajah, dia pergi dan kalian tak bisa meli-

hatnya?!" desis Ki Busrut sengit.

Salah seorang penabuh gendang membera-

nikan diri mewakili kawan-kawannya untuk bica-

ra. "Kami memang tak melihatnya. Sungguh!"

Jawaban ini hanya membuat laki-laki itu 

tambah kesal. Dia angkat tangan hendak meng-

hantam tukang tabuh gendang yang baru bicara. 

Tapi niatnya urung ketika teringat pada gadis 

berpinggul besar yang bernama Arum Sedap tadi.


Kepada gadis itulah segala-galanya hendak di-

lampiaskan. Dengan langkah lebar tanpa menoleh 

lagi Ki Busrut Rancak Bana tinggalkan tempat 

itu.



DUA



Di satu tempat yang agak jauh dari lapan-

gan, sosok yang berkelebat meninggalkan meja 

persembahan hentikan larinya. Dia memandang 

ke belakang sekejap untuk memastikan tidak ada 

yang mengikuti. Dalam gelapnya malam yang 

hanya diterangi cahaya bulan setengah lingkaran 

sosok yang ternyata adalah seorang pemuda tam-

pan bertelanjang dada begitu merasa aman lang-

sung duduk sambil julurkan kedua kaki di atas 

batu.

Pertama yang dilakukannya adalah mene-

puk pipinya kiri kanan yang terasa tebal dan ke-

bas. Sampai saat itu dia merasa pipinya kiri ka-

nan masih menggembung. Tidaklah mengheran-

kan karena ketika berada di bawah meja tadi dia 

terus menerus meniup hingga menimbulkan ge-

muruh angin hebat, membuat semua orang yang 

mengikuti jalannya upacara Suguh Sesajen jadi 

ketakutan.

Setelah mengusap kedua pipi pulang balik, 

si gondrong tersenyum. Tak lupa dia juga usap 

perutnya. 

"Ha... ha... ha. Aku beruntung punya mu


lut dan perut bagus. Kalau tidak mana bisa aku 

meniup sekian lama dan mengeluarkan kentut 

begitu besar. Orang-orang tolol itu kena juga ku-

kadali. Mereka percaya saja ucapanku. Lagipula 

apa ya ada setan yang doyan ayam panggang." ka-

ta si pemuda. Dia lalu mengeluarkan buntalan 

yang diikatkannya ke pinggang. Buntalan dibuka, 

isinya campur aduk menjadi satu. Si pemuda 

mengambil sisa panggang ayam tadi lalu mema-

kannya dengan lahap. Sambil mengunyah dia 

menyeletuk. "Malam ini aku pesta besar. Si gen-

dut nasibnya benar-benar apes. Coba kalau dia 

mau bersamaku mencuri makanan di meja tentu 

dia tak kelaparan. Salahnya sendiri dia malah 

menari. Dia mungkin mengira bisa memikat si 

pinggul besar itu? Huh... Sudah tua begitu mana 

ada gadis yang mau. Sekali tindih saja orang 

bunting bisa mejret!" kata si pemuda. Dia kemu-

dian meneruskan menggerogoti paha ayam pang-

gang itu. Sampai kemudian terdengar suara ber-

keresekan di belakangnya. Si gondrong bersikap 

acuh tak acuh.

"Biar saja, paling juga yang muncul si gen-

dut!" pikirnya.

Sebagaimana dugaan si gondrong yang 

muncul di belakangnya ternyata memang seorang 

kakek berbadan besar luar biasa yang duduk di 

bawah teratak lapangan tarian tadi. Begitu mun-

cul cuping hidungnya kembang kempis mengen-

dus-endus.

"Bau makanan sedap, bau harum ayam


panggang. Bocah edan kalau punya makanan 

enak ingat dengan gurumu ini?!" kata si kakek.

Si pemuda tertawa terkekeh. "Makanan 

masih banyak, kalau panggang ayam tinggal tu-

langnya. Kau mau ndut?" sahut si pemuda.

Si gendut Gentong Ketawa unjukkan muka 

cemberut. Dia sambar buntalan yang terletak di 

atas pangkuan si gondrong. Dengan jelalatan dia 

memeriksa.

"Apa ini? Mengapa campur aduk begini?!" 

tanya si kakek sambil memilah-milah dan men-

gambil apa yang dia sukai.

Enak saja si gondrong menjawab. "Na-

manya juga makanan boleh mencuri dan dalam 

keadaan tergesa-gesa pula. Jadi apa saja yang 

sempat kusikat ya kubawa. Tapi eh... ini kusisa-

kan separah ayam untukmu." Berkata begitu si 

pemuda yang bukan lain adalah Gento Guyon 

mengambil sesuatu dari punggung celana bela-

kang dan memberikan ayam tersebut pada si ka-

kek. Orang tua itu agak ragu-ragu untuk mene-

rimanya.

Lagi-lagi si pemuda nyeletuk. "Kujamin 

makanan itu tak kuberi racun. Cuma memang 

harus kuakui, itulah ayam yang kuambil dari me-

ja pertama kalinya. Baru setelah itu aku kentut 

besar. Jadi maaf saja jika ayam lezat ini ada sedi-

kit aroma bau kentut. Ha... ha... ha!"

"Bocah geblek. Kau pura-pura jadi setan 

penguasa kegelapan untuk menyikat semua ma-

kanan ini. Kau perlakukan mereka seperti orang


tolol, tapi apa kau mengira si kumis besar itu ke-

na kau tipu? Tadi dia marah-marah. Pasti dia 

akan mencarimu!" kata si kakek bersungut-

sungut. Tapi tak urung dia mengambil ayam yang 

diberikan muridnya, mengendus sebentar. Karena 

tidak tercium bau sebagaimana yang dikatakan 

Gento Guyon, maka dia pun langsung memakan-

nya dengan lahap.

Si pemuda terdiam sejenak mendengar 

ucapan gurunya, kening berkerut mata berkedap-

kedip pertanda Gento sedang berpikir. Di saat lain 

pemuda itu tersenyum sambil berucap. "Si kumis 

tebal tak melihatku. Tapi dia jelas melihatmu. Ka-

lau pun dia mencariku, pasti kau adalah orang 

pertama yang dicarinya." 

"Mengapa harus aku?" tanya si gendut he-

ran.

"Jelas, karena kaulah yang dilihatnya. Wa-

lau pun kau tak mengambil sesajen, dia pasti 

menyangka aku ini temanmu. Ha... ha., ha!" Gen-

to Guyon kembali tertawa mengekeh. "Dasar na-

sibmu selalu sial ndut. Aku yang berbuat kau ha-

rus menanggung akibat. Aku yang makan daging, 

kau yang kebagian tulangnya. Eeeh... gendut 

waktu engkau menari tadi kulihat si kumis tebal 

seperti menyimpan kemarahan padamu. Lalu 

apakah si pinggul besar berhasil kau sikat?"

"Gundulmu disikat." dengus si kakek. Be-

berapa saat kemudian dia tersenyum-senyum 

sendiri.

"Ee, aku tersenyum apakah ini berarti yang


kau katakan benar? Jika betul tak usah malu-

malu mengatakannya padaku. Aku mau saja me-

nemanimu untuk melamar si pinggul besar. Jika 

kau sampai didahului si kumis tebal wah bisa 

gawat. Kulihat dia juga punya keinginan yang be-

sar untuk mendapatkan gadis itu. Ha... ha... ha!"

Mendengar gurauan muridnya Gentong Ke-

tawa hanya bisa tersenyum dan palingkan wajah-

nya ke arah lain. Sekejap kemudian si kakek ber-

kata.

"Gege, menurutmu apakah tidak melihat 

orang sedusun melakukan acara Suguh Sesajen 

seperti yang kau lihat tadi?"

"Apa yang harus diherankan. Orang mem-

berikan sesuatu yang dianggapnya ada bukan su-

atu yang mengherankan. Orang yang menyembah 

setan juga banyak, menyembah batu, menyembah 

junjungannya bahkan menyembah diri sendiri ju-

ga tak terhitung." sahut Gento.

"Aku tahu, aku percaya. Tapi apakah kau 

ingat si kumis tebal bukankah ada menyebut 

'Penguasa Kegelapan'. Meminta agar yang dis-

ebutkannya tidak mengganggu mereka. Siapakah 

orang yang dimaksudkannya itu?" tanya si kakek.

Mendengar pertanyaan gurunya Gento 

Guyon jadi terdiam. Dia sendiri juga ikut men-

dengar seperti apa yang dikatakan oleh gurunya. 

Tapi dia sendiri juga tidak tahu siapa yang di-

maksudkan oleh orang tua tadi.

"Gendut... eh, guru. Nampaknya kita harus 

mencari tahu gerangan apa sebenarnya yang se


dang terjadi. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di 

Kedung Ombo ini."

"Kita harus menyelidik. Tapi siapa yang 

dapat kita jadikan tempat bertanya. Si kumis teb-

al tadi mengatakan besok para penduduk tidak 

diperkenankan meninggalkan rumah masing-

masing. Terkecuali para gadis perawannya yang 

harus mandi kembang di kali di pagi buta!" ujar si 

kakek heran.

"Mengapa harus begitu?"

Gentong Ketawa hanya menjawab dengan 

gelengkan kepala.

"Guru ingat tidak. Seusai tarian, ke empat 

gadis penari itu digiring oleh dua laki-laki yang 

agaknya anak buah si kumis tebal. Mereka hen-

dak di bawa ke mana? Lagipula menurutku kita 

harus mengawasi orang tua itu. Apa sebenarnya 

yang hendak dia lakukan pada ke empat gadis 

cantik tadi?" ujar si pemuda.

"Kau betul. Kurasa kita memang harus se-

gera menyelidik. Orang tua itulah yang menjadi 

kuncinya!" ujar si kakek.

"Jika sudah begitu sebaiknya kita pergi ke 

rumah si muka badak secepatnya!" tegas si pe-

muda.

"Dan jangan lupa si pinggul besar bagian-

ku." berkata si kakek disertai senyum aneh.

"Betul dugaanku kau memang sedang ma-

buk kepayang. Dasar tua bangka tak tahu diri. 

Sudah bau tanah masih juga belingsatan melihat 

jidat licin." gerutu Gento Guyon yang disambut


tawa oleh kakek Gentong Ketawa.



TIGA



Deburan ombak di Teluk Rembang terus 

menderu tak ada henti. Di ujung teluk sosok tu-

buh berdiri tegak memandang ke laut lepas. 

Rambut serta jenggotnya yang putih panjang 

menjela berkibaran ditiup angin. Beberapa saat 

lamanya dia tegak di situ tak ubahnya seperti pa-

tung. Tak lama kemudian si kakek tua berpa-

kaian serba putih dan memakai topi tinggi ber-

bentuk kerucut terbuat dari daun ini dongakkan 

wajahnya ke langit. Suasana pagi masih gelap 

disaput mendung, matahari bahkan masih belum 

menampakkan diri di ufuk timur.

Sejenak wajah si kakek yang dingin beru-

bah tegang. Dia memandang ke belakang, ternya-

ta orang yang ditunggunya belum juga muncul-

kan diri.

"Mestinya dia sudah sampai di sini, sejak 

pagi buta tadi bukan sekarang. Jahanam, dia da-

tang terlambat! Aku tak bisa menunggu lebih la-

ma. Ini merupakan kesalahan kedua yang pernah 

dilakukannya." kakek tua itu mendengus.

Wajahnya semakin menegang, sedang tatap 

matanya dingin angker tak bersahabat.

Merasa lelah menunggu, si kakek kemu-

dian duduk di ujung tanah tebing yang menjorok


ke laut. Gemuruh suara ombak yang menghan-

tam tebing karang di mana dia berada sama seka-

li tak dihiraukannya. Beberapa saat dia meme-

jamkan mata sambil menghimpun tenaga sakti 

yang kemudian dialirkan langsung ke bagian tan-

gannya. Di saat si kakek dalam keadaan seperti 

itu dari arah dataran luar teluk tiba-tiba saja ter-

dengar suara gemuruh. Suara gemuruh makin 

lama semakin bertambah jelas. Satu gerumbul 

semak belukar rambas, ranting dan daun berta-

buran. Dari balik semak belukar yang berpenta-

lan seperti dibabat pedang muncul satu sosok tu-

buh berpakaian serba hitam. Kedua kaki sosok 

yang kepalanya dilapisi semacam topi besi itu 

buntung hingga sebatas paha. Bagian yang bun-

tung disambung dengan besi pipih sepanjang satu 

meter. Sambungan kaki kiri kanan berbentuk pi-

pih ke dua sisinya laksana mata pedang. Sedang-

kan ujungnya bulat, bergerigi seperti gergaji. Ter-

nyata bukan hanya kedua kakinya saja yang ca-

cat. Tapi kedua tangan sosok bermata sebelah ini 

juga dalam keadaan cacat sampai di pangkal len-

gan. Kedua lengan yang buntung disambung den-

gan besi baja hitam berbentuk melengkung seper-

ti arit. Melihat sosok berambut panjang bertopi 

baja seperti prajurit perang kerajaan ini memang 

sangat mengenaskan. Tapi di balik penampilan-

nya yang menyedihkan, baik tangan maupun ke-

dua kakinya yang disambung dengan baja itu me-

rupakan dua bagian dari senjata maut yang san-

gat berbahaya bagi lawannya.


"Kakang Sobo Serngenge... aku ingin me-

nyampaikan beberapa pesan penting yang diti-

tipkan padaku." kata sosok bermata picak sebelah 

kiri sambil berdiri tegak tak jauh dari ujung teb-

ing di mana kakek tua berambut putih perak du-

duk bersila dengan segala keangkerannya.

Sejenak lamanya suasana diliputi kesu-

nyian. Sesekali deburan ombak menyelingi. Laki-

laki yang sebagian tubuhnya disambung dengan 

pedang dan arit melengkung jadi tidak sabaran.

"Kakang Sobo, tidak hendak aku mengusik 

dirimu. Tapi terus-terang pesan ini sangat penting 

untuk kau ketahui!" ujar laki-laki cacat itu men-

gulangi ucapannya.

Perlahan kakek berambut perak berjenggot 

panjang buka matanya. Sama sekali dia tidak 

menoleh atau memandang ke arah orang yang ba-

ru datang ketika dari mulutnya terdengar ucapan.

"Buat apa kau datang ke sini, Picak Kiri? 

Saat ini aku tengah menunggu kehadiran seseo-

rang!" dengus Sobo Serngenge, ada rasa tidak su-

ka dalam nada ucapannya.

"Apapun urusanmu aku tak mau ikut 

campur lagi. Aku hanya ingin menyampaikan pe-

san guru, setelah itu secepatnya aku akan ting-

galkan tempat ini!" kata si cacat yang dipanggil 

Picak Kiri.

Untuk pertama kali si kakek memutar tu-

buhnya. Sepasang mata menatap tajam ke arah 

Picak Kiri. Lalu dia dongakkan kepala, kemudian 

tawanya bergema meningkahi gemuruh suara


ombak. Suara tawa lenyap, dengan mata menco-

rong merah dia membentak. "Picak Kiri, sejak ku-

putuskan meninggalkan Menara Gila. Sejak aku 

tidak mengakui Manusia Selaksa Guntur sebagai 

guruku lagi, maka sejak saat itu berarti aku bu-

kan lagi muridnya. Aku telah memutuskan untuk 

menunggu munculnya Dewi Segoro Lor. Aku ya-

kin mimpiku itu akan menjadi kenyataan. Dalam 

mimpi aku melihat bahkan mendengar Dewi Se-

goro Lor menaruh rasa cinta kepadaku. Dalam 

mimpi dia mengatakan agar aku menjadikan te-

luk Rembang ini menjadi daratan untuk kemu-

dian di atas daratan yang kuciptakan dengan ke-

saktianku kuciptakan sebuah singgasana yang 

kuberi nama Istana Surga. Nah untuk mewujud-

kan semua ini dalam waktu purnama aku mem-

butuhkan banyak kepala untuk kujadikan tum-

bal. Sekarang ini aku tak punya waktu banyak 

untukmu, jika kau merasa mendapat pesan dari 

si tua Selaksa Guntur, hendaknya cepat katakan 

apa pesan itu?!"

"Kakang Sobo Serngenge, langkahmu su-

dah tersesat jauh. Kau membunuh orang dengan 

semena-mena, apakah kau tak takut dengan 

murka Gusti Allah?" tegur Picak Kiri.

Kepala si kakek rambut perak tersentak, 

bukan karena kaget melainkan karena dilanda 

kemarahan yang amat sangat.

"Kunyuk betul. Kau rupanya tak menden-

gar apa yang aku ucapkan. Atau kau lupa dengan 

kata-katamu sendiri? Jangan campuri urusanku!"


hardik Sobo Serngenge lantang.

"Baiklah. Terserah apa yang kau lakukan, 

itu adalah urusanmu." sahut Picak Kiri mengalah. 

Dia menarik nafas sejenak, dalam hati dia merasa 

jengkel atas sikap keras kepala saudara sepergu-

ruannya itu. Tapi pada akhirnya dia berkata. "Ka-

kang, guru berpesan jika kakang mau kembali ke 

Menara Gila guru akan mengampuni kesalahan-

mu. Sedangkan yang kedua kakang harus mem-

batalkan niat mengawini Dewi Segoro Lor. Se-

dangkan yang ketiga kakang juga harus mengem-

balikan kitab Gentar Gaib yang kakang curi sebe-

lum melarikan diri dari Menara Gila." jelas laki-

laki itu.

Mendengar ucapan Picak Kiri rambut putih 

si kakek serta daun telinganya berjingkrak tegak. 

Perlahan si kakek berdiri tegak, wajahnya diliputi 

ketegangan, sedangkan sepasang matanya yang 

dingin angker berubah merah laksana bara. Meli-

hat perubahan mata Sobo Serngenge terkejut Pi-

cak Kiri dibuatnya. Dia ingat dengan pesan gu-

runya, andai kedua mata Sobo Serngenge telah 

berubah merah laksana api dan rambutnya tegak 

berdiri seperti duri landak itu merupakan suatu 

pertanda saudara seperguruannya telah mengua-

sai seluruh isi kitab Gentar Gaib. Ini berarti ka-

kek yang berdiri tegak di depannya itu dapat me-

nembus tabir alam kedua. Jika sudah begitu dia 

bisa mengambil pengikut alam kegelapan yang 

terdiri dari para arwah yang mati dalam kesesa-

tan. Yang lebih celaka lagi, dengan bantuan dari


alam lelembut dia dapat saja memerintah dan 

minta bantuan segala mahluk yang berasal dari 

alam kedua itu. Sekarang Picak Kiri tak tahu ha-

rus berbuat apalagi.

"Picak Kiri, kau dengar! Jangankan kau 

yang datang kepadaku. Jika Manusia Selaksa 

Guntur sekalipun yang datang ke mari. Aku pasti 

tidak akan patuh pada perintahnya, apalagi sam-

pai harus mengembalikan kitab Gentar Gaib. Se-

mua isi kitab itu telah kukuasai, tapi aku tak 

berkehendak untuk mengembalikannya. Sedang-

kan mengenai niatku untuk mempersunting Dewi 

Segoro Lor tetap berjalan sesuai rencana. Nah... 

sebelum aku berubah pikiran sebaiknya kembali-

lah ke Menara Gila, laporkan semua yang kuka-

takan ini pada gurumu!" seru Sobo Serngenge.

Mendengar penegasan kakek tua itu berge-

tarlah sekujur tubuh Picak Kiri. Dengan suara 

parau dia berkata. "Kakang, tak kusangka kau 

menjadi murid pembangkang lagi keras kepala. 

Apakah kau tak ingat bahwa guruku adalah gu-

rumu juga. Kau pernah berada dalam perawatan-

nya, kau makan hasil cucuran keringatnya. Tapi 

inikah balas budimu pada orang yang menyayang 

dan memberikan segala ilmunya padamu?" ujar 

Picak Kiri.

Dia masih ingat betul sebelum Sobo Sern-

genge sering diganggu dengan mimpi aneh dan 

kemudian tergila-gila pada gadis yang ditemuinya 

dalam mimpi itu gurunya sangat menyayangi 

sang kakek. Rasa sayang itu kemudian berubah


menjadi rasa benci setelah diketahui Sobo Sern-

genge mencuri kitab Gentar Gaib yaitu kitab La-

rangan yang guru mereka sendiri berpantang 

mempelajari seluruh isinya. Sejak pencurian ki-

tab, Sobo Serngenge menghilang. Tapi karena 

Manusia Selaksa Guntur memang memiliki ilmu 

yang hebat serta kesaktian tinggi, maka kebera-

daan muridnya yang murtad dapat diketahuinya 

juga. Tanpa pikir panjang dirinya pun diutus.

Kini bekas saudara seperguruan itu saling 

pandang satu sama lain. Picak Kiri merasa serba 

salah. Dia sudah mendapat pesan agar jangan 

menempuh jalan kekerasan. Kenyataannya hal 

seperti ini nampaknya tak bisa dihindarkan lagi.

"Tunggu apalagi? Cepat menyingkir dari 

hadapanku!" hardik Sobo Serngenge makin tak 

sabar.

Picak Kiri gelengkan kepala. "Tak mungkin 

aku kembali ke Menara Gila dengan berhampa 

tangan. Untuk menjalankan amanah yang diper-

cayakan guru kepadaku, kurasa aku lebih baik 

menyabung nyawa daripada mendapat malu be-

sar!" ujar Picak Kiri dengan suara sedih dan wa-

jah tertunduk.

Mendengar penegasan Picak Kiri kedua pipi 

Sobo Serngenge menggembung besar, darahnya 

laksana menggelegak. Dia dongakkan wajahnya, 

lalu tertawa tergelak-gelak. "Masih banyak jalan 

untuk mencari keselamatan. Tapi terkadang ma-

nusia bertindak tolol dan mengambil keputusan 

dengan tergesa-gesa. Kau lihat ke depan sana,


hamparan pasir putih di tengah teluk itu adalah 

hasil ciptaanku melalui kesaktian yang kumiliki. 

Untuk menimbulkan daratan itu aku membutuh-

kan banyak tumbal kepala. Sedikitnya aku mem-

butuhkan sembilan puluh sembilan kepala untuk 

membuat teluk menjadi daratan. Lima puluh te-

lah kupenuhi, empat puluh sembilan lagi harus 

kucari. Karena sikapmu itu, aku menganggap pa-

gi ini kau telah menyerahkan kepalamu secara 

suka rela. Tumbal ke lima puluh satu tak ku-

sangka adalah penggalan kepala bekas saudara 

seperguruanku sendiri. Ha... ha... ha! Sungguh 

menyedihkan tapi aku bangga dengan semua ini!" 

kata si kakek.

Picak Kiri pejamkan mata tunggalnya. Se-

kujur tubuhnya bergetar karena berusaha mene-

kan berbagai gejolak yang melanda jiwanya. Un-

tuk yang terakhir kalinya dia berucap. "Terserah 

apa yang kau katakan, kitab Gentar Gaib tetap 

kuminta. Suka atau tidak suka kau harus menye-

rahkannya padaku!"

"Kau meminta aku memberi!" sahut Sobo 

Serngenge. Bersamaan dengan ucapannya itu dia 

pura-pura mengambil sesuatu dari balik pakaian 

putihnya. Ketika si kakek tarik balik tangannya 

dari balik pakaian dia langsung menghantamkan 

tangan kanan yang telah berubah hitam laksana 

arang ke arah Picak Kiri. Serangkum hawa dingin 

menderu, dari sambaran anginnya saja Picak Kiri 

dapat merasakan Sobo Serngenge benar-benar 

menghendaki nyawanya. Laki-laki cacat kaki dan


cacat tangan ini tidak tinggal diam. Dia salurkan 

tenaga dalamnya ke bagian tangan yang disam-

bung dengan arit. Kedua arit berwarna hitam itu 

memancarkan cahaya aneh. Ketika dua senjata 

diadu satu sama lain. Maka melesatlah cahaya 

berwarna hitam pekat berhawa dingin laksana es.

"Kidung Kematian!" seru Sobo Serngenge 

yang tak menyangka bekas adik seperguruannya 

itu telah menguasai ilmu pukulan yang dapat 

menghancurkan benda apa saja yang menjadi sa-

sarannya.

Untuk mengatasi serangan lawan si kakek 

kembali dorongkan kedua tangannya ke depan. 

Dua pukulan sakti sama-sama menderu di udara, 

bentrokan keras tak dapat dihindari.

Buuum!

Terdengar suara ledakan berdentum. Picak 

Kiri terdorong mundur beberapa tindak ke bela-

kang. Sedangkan Sobo Serngenge sempat terlem-

par dan jatuh bergulingan sambil memaki pan-

jang pendek.




EMPAT


Tidak menyia-nyiakan kesempatan ini Pi-

cak Kiri segera melesat ke depan memburu ke 

arah lawan. Kaki kanannya yang disambung den-

gan besi baja berbentuk pipih dan tajam pada ke-

dua sisinya menderu membabat pinggang. Se-

dangkan kedua tangannya yang buntung disam-

bung dengan tangan pengganti berbentuk arit 

masing-masing membabat leher dan dada. Semua 

serangan dahsyat yang sangat berbahaya itu 

mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. 

Sehingga berlangsung demikian cepat dan mus-

tahil dihindari oleh lawannya.

Mendapat serangan demikian rupa Sobo 

Serngenge sempat tercekat, wajah pucat mulut 

berkemak-kemik membaca sesuatu. Pada detik 

berikutnya kira-kira setengah jengkal lagi empat 

serangan ganas yang dilakukan Picak Kiri menge-

nai sasarannya. Mendadak Sobo Serngenge le-

nyap. 

Crak! Cring!

Empat serangan yang dilakukan laki-laki 

cacat bertopi baja itu hanya mengenai tempat ko-

song. Picak Kiri terkesiap, namun dia segera me-

nyadari saat itu Sobo Serngenge telah menguasai 

kitab Gentar Gaib. Apapun dapat saja terjadi bila 

seseorang telah berhasil mengamalkan isi kitab 

maut itu. Oleh karena itu dengan cepat dia mem-

balikkan badan ke belakang. Baru saja dia berba


lik di depannya menderu angin dingin, satu tan-

gan berkelebat menyambar bagian dada Picak Ki-

ri. Karena jaraknya yang sangat dekat sekali di 

samping serangan Sobo Serngenge datang dengan 

tidak disangka-sangka, maka Picak Kiri tidak 

sempat lagi menghindar.

Buuuk!

Hantaman berisi tenaga dalam penuh 

mendera dada Picak Kiri, membuat orang ini ter-

lempar sejauh dua tombak dengan mulut sem-

burkan darah. Walaupun Picak Kiri menderita lu-

ka dalam cukup parah, tapi laki-laki itu sama se-

kali tidak mengeluh. Di depannya sana Sobo 

Serngenge tertawa terkekeh sambil berkacak 

pinggang.

"Kau telah melihat bagaimana aku dapat 

melenyapkan diri dari seranganmu yang seharus-

nya telah mengantarku ke gerbang maut. Kau tak 

perlu merasa heran karena aku telah berhasil 

menguasai semua ilmu yang terdapat dalam kitab 

Gentar Gaib. Kini kau sudah terluka, kini terima-

lah ajalmu!" teriak Sobo Serngenge.

Bersamaan dengan suara teriakannya itu si 

kakek melompat ke arah Picak Kiri. Dua tangan 

dihantamkan ke depan secara bersamaan. Sinar 

hitam membersit dari telapak tangan si kakek, 

angin dingin menderu.

"Pukulan Kidung Kematian...!!" seru Picak 

Kiri. Dengan gerakan yang aneh tahu-tahu tu-

buhnya yang tadi menelentang kini nampak mele-

sat ke atas. Di udara dalam keadaan tegak dia


berputaran begitu rupa, bergerak sebat mendekati 

lawan. Sementara itu pukulan Sobo Serngenge 

yang mengenai tempat kosong menimbulkan le-

dakan keras menggelegar. Orang tua ini melengak 

kaget. Tapi tanpa membuang waktu dia kembali 

melepaskan pukulan yang sama dan diarahkan-

nya langsung ke atas.

Wuuut!

Kaki Picak Kiri yang berupa pedang itu 

berkelebat menggunting ke bagian kepala Sobo 

Serngenge. Serangan ganasnya kembali luput dan 

kini sambil merutuk habis-habisan si kakek ter-

paksa tundukkan kepala hindari guntingan kaki 

yang bisa membuat kepalanya terbelah dua. Tapi 

tak urung bagian bahu si kakek sempat terkena 

sambaran pedang lawannya.

Riiit!

Breeet!

"Akh, keparaat!" maki Sobo Serngenge begi-

tu merasakan sakit yang luar biasa mendera ba-

gian luka yang terkena sambaran pedang. Sambil 

meringis kesakitan sebenarnya jauh di lubuk hati 

dia merasa heran. Dua pukulan Kidung Kematian 

yang dilepaskannya bukan pukulan sembaran-

gan. Bahkan merupakan pukulan sakti yang san-

gat mematikan. Selama ini tak ada seorang lawan 

pun yang dapat meloloskan diri dari pukulan ter-

sebut. Tapi bagaimana Picak Kiri dapat menghin-

dar dari dua pukulan yang dilepaskannya secara 

berturut-turut?

"Kitab, itu cepat serahkan padaku Sobo


Serngenge!!" seru Picak Kiri tanpa menggunakan 

tata krama lagi.

Sobo Serngenge sosok manusia yang memi-

liki kesombongan dan sempat dilukai bekas adik 

seperguruannya memandang Picak Kiri dengan 

tatapan sinis. Geraham mengatup, kedua pipi 

menggembung. Dengan suara serak tertekan dia 

membuka mulut berucap. "Pecak Kiri, kau ingin-

kan kitab itu! Boleh saja. Tapi langkahi dulu 

mayatku!" Ketika berkata begitu Sobo Serngenge 

berpikir keras. Berulang kali dia melirik ke tangan 

serta kaki yang disambung arit di bagian tangan 

serta pedang di bagian kaki. Sesungging seringai 

bermain di bibir si kakek. "Percuma kugunakan 

pukulan Kidung Kematian. Untuk menghadapi 

manusia rongsokan besi begini kurasa aku harus 

menggunakan cara lain!" batin Sobo Serngenge. 

Tanpa menunggu lebih lama lagi kakek itu segera 

salurkan tenaga dalam berhawa panas ke bagian 

tangan. Sekejab saja kedua tangan si kakek telah 

berubah membiru dan menebarkan hawa panas 

luar biasa.

Sing!! Wuut!

Melihat si kakek hendak mencoba lepaskan 

pukulan Gejolak Gunung Meletus, maka Picak Ki-

ri tanpa membuang waktu lagi segera babatkan 

aritnya dengan gerak menyilang. Sedangkan tu-

buhnya melesat di udara, kaki yang berupa pe-

dang dengan kedua sisi tajam membabat ke arah 

pinggang. Sobo Srengenge tetap sunggingkan se-

ringai aneh. Tapi kemudian dia angsurkan tangan


kanan bersikap seolah menyambut tebasan arit 

lawan, sedangkan pinggang sengaja diliukkan ke 

depan hingga mengesankan bahwa bagian ping-

gang itu juga siap menerima babatan pedang Pi-

cak Kiri.

Apa yang kemudian terjadi membuat Picak 

Kiri terkesiap, karena tanpa pernah disangka-

sangka Sobo Serngenge jatuhkan diri, lalu dengan 

gerakan kilat dia menghantam tangan dan kaki 

lawan secara berturut-turut.

Wuuuus!

Serangkum sinar biru menebar hawa pa-

nas luar biasa menderu ke arah Picak Kiri. Laki-

laki cacat ini dalam kejutnya terpaksa memutar 

kedua aritnya dari gerakan menyerang berubah 

menjadi gerak membuat perlindungan diri. Justru 

ini merupakan suatu kesalahan fatal yang tidak 

disadari oleh Picak Kiri. Karena begitu sinar biru 

menghantam tangan dan kakinya. Dua senjata 

yang juga menggantikan fungsi kaki dan tangan 

itu langsung berubah membiru, panas luar biasa 

dan meleleh. Karena masing-masing senjata ini 

tersambung langsung dengan pangkal lengan dan 

juga bagian paha. Akibatnya tentu saja sangat 

mengerikan. Hawa panas langsung menjalar ke 

bagian lengan dan kaki yang buntung. Picak Kiri 

jatuhkan diri, bergulingan dengan maksud terjun 

ke teluk. Dia juga berusaha melepaskan arit yang 

meleleh dan juga pedang biru merah dari sam-

bungan bagian tubuhnya. Tapi apa yang dilaku-

kannya ini nampaknya tidak mudah. Sehingga dia


hanya dapat menjerit kesakitan sambil terus ber-

gulingan.

"Ha... ha... ha! Ternyata bukan suatu hal 

yang sulit untuk membunuhmu!" teriak Sobo 

Serngenge. Laki-laki itu kemudian memutar-

mutar tangannya di atas kepala dengan gerakan 

sedemikian rupa. Angin panas bergulung-gulung. 

Kemudian laksana kilat dia melesat ke arah Picak 

Kiri, dua tangannya yang memancarkan sinar bi-

ru terang dihantam dengan telak ke dada dan ke-

pala lawannya.

Tak ada kesempatan untuk menangkis dan 

menghindar bagi Picak Kiri. Tak ampun lagi pu-

kulan Gejolak Gunung Meletus menghantam di-

rinya. Jeritan Picak Kiri seolah lenyap tertindih 

oleh gemuruh suara angin pukulan yang dile-

paskan Sobo Serngenge. Picak Kiri terpelanting, 

dadanya hangus gosong. Topi baja di kepalanya 

berubah merah berpijar. Sekejap sosok Picak Kiri 

berkelojotan dengan keadaan tubuh tak karuan 

rupa. Sampai akhirnya dia diam tak berkutik lagi.

"Ha... ha... ha!" Sobo Serngenge keluarkan 

tawa bergelak. Dengan pandangan sinis dan se-

nyum mencibir dia hampiri mayat bekas adik se-

perguruannya itu.

"Jika besi dapat kubuat menyala, apalagi 

cuma raga rongsokanmu!" desis si kakek. Dia lalu 

bungkukkan badan, mulutnya meniup ke bagian 

topi sang mayat. Topi besi yang merah menyala 

sirap dan berubah menjadi dingin. Lalu topi di-

tanggalkan. Kepala yang telah hangus itu diceng


keramnya dengan erat. Kepala diputar ke kiri dan 

ke kanan.

Kreek! Kreek!

Terdengar suara tulang leher berderak pa-

tah. Begitu disentakkan maka leher Picak Kiri 

terpisah dari badannya. Sejenak tanpa perasaan 

dan wajah dingin Sobo Serngenge menenteng ke-

pala Picak Kiri. Mulutnya berkomat-kamit disertai 

suara mendesis panjang.

"Kau adalah kepala yang ke lima puluh sa-

tu. Kau menjadi bagian dari semua rencana, kau 

menjadi tumbal. Tumbal untuk membangkitkan 

tanah di teluk ini. Tanah di mana aku akan diri-

kan sebuah singgasana megah untuk calon istri-

ku Dewi Segoro Lor ! Ha... ha... ha!" Disertai tawa 

Sobo Serngenge campakkan potongan kepala ke 

dalam teluk Rembang. Sekejap kepala lenyap dite-

lan ganasnya ombak. Kemudian dari kedalaman 

teluk terlihat air bergolak hebat disertai muncul-

nya gelembung putih bercampur cairan darah. 

Dalam kesempatan itu pula terdengar suara tawa 

mengikik. Suara perempuan. Sobo Serngenge ter-

sentak kaget. Sementara dari kedalaman air teluk 

tanah perlahan muncul ke permukaan air.

"Dewiku... kasihku, jantung hati tumpuan 

hidupku...!" desis kakek berambut putih bergetar. 

Dia kembali duduk di tempatnya semula, bersila 

dengan mata terpejam menunggu kedatangan 

seorang utusan yang sangat dipercaya.


LIMA


Ki Busrut Rancak Bana memasuki gedung 

kediamannya dengan langkah lebar. Di bagian 

pintu dua orang laki-laki tegap berpakaian hitam 

yang tadi menggiring empat gadis penari begitu 

melihat kehadiran orang tua itu serentak menjura 

hormat. Ki Busrut Rancak Bana hentikan lang-

kah, memandang pada kedua pembantu ini den-

gan tatap mata curiga.

"Ke mana keempat penari tadi?" bertanya si 

orang tua. Suaranya pelan namun berwibawa.

"Sebagaimana yang junjunganku katakan 

tadi tiga di antara penari itu sekarang berada di 

kamar belakang, sedangkan gadis cantik yang 

bernama Arum Sedap kami kurung di kamar pri-

badi junjungan!" menjawab sang pembantu yang 

bernama Rono Gandul. Laki-laki ini matanya sela-

lu berkeriapan tak mau diam dan bila dibanding-

kan temannya yang bernama Ukir Koro dia paling 

dipercaya oleh Ki Busrut Rancak Bana.

"Bagus. Setiap tugas yang kalian jalankan 

dengan baik, sudah selayaknya kalian mendapat 

hadiah salah seorang istri piaraanku yang sudah 

tua dan tidak kusukai lagi!" kata laki-laki itu 

sambil tersenyum.

"Kami sangat berterima kasih sekali, jun-

jungan. Kelak aku akan mengunjunginya di siang 

hari, sedangkan malamnya biar sahabatku Ukir 

Koro ini yang meneruskan acara. Ha... ha... ha!"


Laki-laki di sebelah Rono Gandul terse-

nyum, julurkan lidah dan basahi bibir. Dalam ha-

ti dia berkata. "Tak mengapa biarpun perempuan 

bekas. Yang penting perempuan itu masih punya 

semangat dan ada nafasnya!"

"Boleh, boleh saja. Tapi kalian harus mem-

bawa bekas istriku itu jauh dari sini. Kalau perlu 

di pinggir hutan atau kuburan sunyi biar aku tak 

mendengar suara berisik!" Ki Busrut lalu tertawa 

tergelak-gelak dengan diikuti oleh kedua laki-laki 

pembantunya. Mendadak dia hentikan tawa saat 

teringat sesuatu.

"Akan tetapi kau dan Ukir Koro tak boleh 

membawa bekas istriku itu sekarang. Masih ada 

tugas penting yang harus kalian kerjakan malam 

ini. Besok pagi sekali kita harus berangkat ke Te-

luk Rembang!"

Rono Gandul dan Ukir Koro saling pandang 

dengan tatapan tak mengerti.

"Tugas... tugas apa junjungan?" tanya Ukir 

Koro.

"Seperti biasa setiap tugas akan kami sele-

saikan dengan baik. Termasuk menyingkirkan 

siapa saja yang junjungan tidak sukai!" menimpa-

li Rono Gandul dengan penuh semangat.

Wajah Ki Busrut Rancak Bana yang semula 

nampak kusut kini berubah cerah, kepala mang-

gut-manggut ketika dia kembali berkata.

"Aku percaya dengan segala pengabdian 

kalian berdua. Nah sekarang mendekatlah ke ma-

ri, sesuatu yang hendak kukatakan ini menyang


kut urusan penting, tak boleh ada yang tahu."

Maka baik Ukir Koro maupun Rono Gandul 

sama mendekat dan sama angsurkan telinganya 

dekat mulut Ki Busrut. Orang tua itu kemudian 

membisikkan sesuatu. Begitu mendengar apa 

yang dikatakan oleh junjungan mereka, berubah-

lah paras kedua laki-laki itu. Mata mereka mem-

beliak tak percaya. Berulangkali mereka ini mene-

lan ludah, namun tak sepatah katapun ucapan 

yang keluar dari bibir mereka.

"Karung besar telah kusediakan di bela-

kang rumah. Jumlah empat puluh sembilan itu 

harus kalian dapatkan malam ini. Tiga jam dari 

sekarang. Sebelum fajar menyingsing kutunggu 

kalian di selatan jalan di ujung dusun lengkap 

dengan tiga ekor kuda!"

"Tiga jam, mengapa waktunya sesingkat itu 

junjungan!" desis Rono Gandul seakan tak per-

caya.

"Jumlah sebanyak itu tentu tak mudah un-

tuk mendapatkannya!" menimpali Ukir Koro den-

gan suara tertekan dan perasaan tegang.

Mendengar jawaban kedua anak buahnya 

wajah Ki Busrut sempat berubah. "Segala bentuk 

alasan tak berlaku di hadapanku. Kalian lakukan 

apa yang kuperintahkan. Dobrak setiap rumah, 

lakukan pekerjaan. Jika dalam waktu yang kuka-

takan itu kalian belum mendapatkannya dalam 

jumlah seperti yang kukatakan, maka sebagai 

tambahan kau berdua harus menyerahkan kepala 

masing-masing. Mengerti?" hardik Ki Busrut Ran


cak Bana tegas.

Mendengar ancaman orang tua di depan-

nya pucatlah paras kedua pembantu setia itu.

Mereka sadar betul tentu Ki Busrut tidak hanya 

sekedar mengancam. Setiap apapun yang telah 

dikatakan pasti akan dilakukannya juga. Rono 

Gandul berpikir. Daripada mereka yang celaka 

alangkah lebih baik orang lain yang binasa.

"Ba... baiklah junjungan. Perintahmu sege-

ra kami kerjakan. Kami mohon diri!" kata Rono 

Gandul pada akhirnya.

Karena sang teman sudah berkata begitu, 

maka Ukir Koro pun tak berani mengutarakan 

pendapatnya. Dengan terbungkuk-bungkuk dia 

mengikuti Rono Gandul yang telah melangkah 

menuju halaman belakang gedung untuk men-

gambil karung.

Ki Busrut Rancak Bana pandangi kedua 

anak buahnya hingga mereka menghilang dalam 

kegelapan malam. Kini laki-laki itu menyeringai, 

teringat pada Arum Sedap membuatnya tak sabar 

untuk segera masuk ke kamar. Dengan langkah 

lebar dia menuju kamarnya sendiri. Begitu mem-

buka pintu kunci diputar dan pintu dibuka, se-

nyum Ki Busrut melebar. Anak buahnya benar. 

Mereka memang mengurung si cantik berpinggul 

besar ini di dalam kamar pribadi si orang tua. 

Pintu lalu dikunci dari dalam. Gadis penari si 

Arum Sedap tampak ketakutan begitu melihat 

kehadiran laki-laki itu. Dia beringsut menjauhi 

ranjang, lalu melangkah mundur ke belakang.


Tapi langkahnya kemudian terhenti begitu sampai 

di sudut ruangan.

"He... he... he. Jangan takut, aku pasti ti-

dak akan menyakitimu." kata Ki Busrut Rancak 

Bana. Suaranya pelan mengandung rayuan. Na-

mun si gadis tetap merasa curiga. Walaupun dia 

belum berpengalaman dalam hal-hal yang me-

nyangkut urusan cinta, tapi nalurinya mengata-

kan akan terjadi malapetaka besar pada dirinya. 

Sebuah bencana yang lebih menakutkan daripada 

kematian bagi diri seorang wanita.

"Bapak tua, harap lepaskan aku dan ka-

wan-kawanku. Ayah ibuku bisa marah besar jika 

sampai pagi aku belum juga kembali!" kata si ga-

dis dengan suara bergetar dan tubuh basah ber-

simbah keringat saking takutnya.

"Ha... ha... ha! Ibumu atau mungkin ayah-

mu pasti mengerti untuk persoalan yang satu ini. 

Kelak aku akan melamarmu, kau akan kujadikan 

istri simpananku yang ke tiga belas. Sekarang 

mendekatlah ke mari, jangan takut karena tidak 

ada yang perlu ditakutkan!" desah si orang tua.

Karena Arum Sedap yang ditunggu tak 

kunjung mendekat, maka Ki Busrut kini yang me-

langkah mendekati si gadis.

Melihat laki-laki tua itu bergerak ke arah-

nya, rasa takut Arum Sedap semakin menjadi-

jadi. Dia tekap wajahnya dengan kedua tangan 

tapi tidak juga menghindar karena bingung ke 

mana hendak mencari selamat.

"Jangan... jangan sakiti aku...!" rintih Arum


Sedap setengah memohon. Dalam takutnya tubuh 

si gadis nampak menggigil.

Ki Busrut berdiri tegak di hadapan si gadis. 

Dia elus janggutnya. Tenggorokan turun naik, 

mata memandang tak berkedip ke dada dan ping-

gul si gadis yang serba besar.

"He... he... he. Aku tak ingin menyakitimu. 

Malah aku akan memberikan satu kesenangan 

yang tidak akan kau lupakan seumur hidup. Aku 

sudah tertarik padamu ketika kau menari di la-

pangan pertunjukan. Goyanganmu, liukan ping-

gulmu membuat dadaku bergetar, darahku meng-

gelegak. Malam ini aku ingin memiliki dirimu. 

Ha... ha... ha!" berkata begitu Ki Busrut Rancak 

Bana kembangkan tangannya dan langsung me-

meluk Arum Sedap. Tapi si gadis lekas runduk-

kan kepala, berkelit dan lari menghindar dari ser-

gapan si orang tua. Lepas dari pelukan Ki Busrut, 

Arum Sedap hendak mencoba membuka pintu. 

Tapi hanya dengan satu lompatan saja laki-laki 

tua itu berhasil meringkus si gadis.

"Perempuan tolol! Diajak menikmati sorga 

indah malah memilih mampus! Keinginanmu 

akan kukabulkan, tapi nanti setelah aku bosan! 

Ha... ha... ha!" kata laki-laki itu diiringi tawa. Ke-

mudian tanpa menghiraukan si gadis yang mulai 

menjerit-jerit ketakutan, Ki Busrut menyeret 

Arum Sedap dan menelentangkannya di atas ran-

jang. Dengan beringas dan dipenuhi nafsu tangan 

Ki Busrut berkelebat ke bagian dada. 

Breet!


Terdengar suara robeknya pakaian di ba-

gian dada. Arum Sedap menjerit ketakutan sambil 

berusaha menutupi bagian dadanya yang besar 

putih dan tersingkap lebar. Melihat semua itu Ki 

Busrut belalakkan matanya. 

"Hmm, luar biasa sekali!" katanya sambil 

memeluk dan menciumi si gadis.

Arum Sedap meronta dan berteriak sejadi-

jadinya. "Jangan, lepaskan aku. Tua bangka bu-

suk, lepaskan!" pekik Arum Sedap.

Bukannya melepaskan, tapi Ki Busrut 

Rancak Bana malah memeluk Arum Sedap den-

gan erat. Di saat tangan si orang tua mulai cela-

mitan merabai tubuh si gadis. Pada waktu itu pu-

la dua pasang mata yang mengintai semua per-

buatan Ki Busrut dari atas genteng segera bertin-

dak cepat. Mula-mula genteng dan langit-langit 

rumah berderak hancur, hingga menimbulkan lu-

bang besar. Satu sosok tubuh bertelanjang dada 

berambut gondrong melayang turun dari genteng 

dan langit-langit rumah yang bolong. Sosok itu 

bergerak ke arah si orang tua, kakinya melabrak 

bagian bawah perut si tua bangka dari arah bela-

kang. 

Cproot!

Ki Busrut Rancak Bana sebenarnya sempat 

merasakan sambaran angin yang cukup deras 

menghantam bagian selangkangannya. Tapi dia 

yang tengah dilamun kobaran nafsu dari ujung 

kaki hingga ke ubun-ubun tak sempat lagi meng-

hindar. Apalagi tendangan yang dilakukan oleh


sosok yang datang berlangsung sangat cepat luar 

biasa. Tak ampun lagi Ki Busrut yang kena diten-

dang orang jatuh jungkir balik melewati bagian 

atas ranjang dan jatuh dengan kepala menyentuh 

lantai di seberang ranjang. Orang tua itu tanpa 

menghiraukan salah satu kakinya yang menyang-

kut di atas ranjang ketiduran sambil mengerang 

kesakitan mengusap-usap bagian bawah perut-

nya. Sumpah serapah menghambur dari mulut-

nya.

Sementara itu Arum Sedap yang merasa 

terbebas dari kebejatan si orang tua dan merasa 

ada yang datang menolong segera rampikan pa-

kaian di bagian dada yang sempat acak-acakan. 

Ketika dia bangkit, Arum Sedap sempat terpesona 

melihat seorang pemuda tampan berambut gon-

drong berdiri tegak di depannya sambil berkacak 

pinggang dan tersenyum-senyum.

"Cepat kau cari perlindungan, keluar dari 

kamar ini atau sembunyi di bawah ketiakku. Eeh, 

baiknya keluar saja. Jangan di ketiakku, bau aku 

belum sempat mandi!" kata si gondrong sambil 

tertawa.

Sesuai dengan perintah si pemuda, dengan 

cepat dan tanpa pikir panjang Arum Sedap berlari 

ke arah pintu. Memutar kunci pintu kemudian 

menghambur entah ke mana.

Di seberang ranjang Ki Busrut Rancak Ba-

na kini sudah bangkit berdiri. Wajahnya pucat 

bersimbah keringat akibat menahan sakit luar bi-

asa yang mendera bagian bawah perutnya. Perut


orang tua itu sendiri terasa mulas laksana mau

pecah.

"Kkk... kau pemuda jahanam! Siapa kau 

berani mencampuri urusanku?!" hardik Ki Bu-

srut. Tangan kanan mendekap bagian bawah 

sambil mengusap dan mengelus, sedangkan tan-

gan kiri menunjuk-nunjuk ke arah si pemuda. 

Ekspresi wajahnya sendiri sulit dilukiskan dengan 

kata-kata. Karena wajah itu demikian buruk aki-

bat menahan sakit. Sedangkan matanya terka-

dang terpejam kadang membuka.

Memperhatikan wajah Ki Busrut Rancak 

Bana membuat si gondrong yang tidak lain adalah 

Gento Guyon jadi tertawa terkekeh-kekeh. "Orang 

tua, kau ini sedang buang hajat atau apa. Kalau 

buang hajat tanganmu mengapa sibuk mengusap 

di bawah. Keningmu berkerut, mata berkedip se-

perti orang yang didera kenikmatan. Atau kau se-

dang melakukan keduanya sekaligus! Ha... ha... 

ha." kata Gento Guyon lalu tertawa lebar.

"Pemuda keparat. Berani mati kau masuk 

ke kamar ini. Katakan siapa namamu agar aku ti-

dak segan-segan jatuhkan hukuman keras terha-

dapmu!" hardik si kakek. Dia sadar betul pasti 

pemuda inilah yang tadi telah menendangnya be-

gitu rupa hingga membuat salah satu buah jam-

bunya pecah atau terselip entah ke mana. Semua 

ini mengundang kemarahan besar pada diri si 

orang tua. Tapi Gento dengan tenang dan tanpa 

menghiraukan pertanyaan orang berkata. 

"Aku tahu orang tua, kalau sudah me


nyangkut urusan yang di bawah apalagi jika tidak 

kesampaian bisa membuat orang jadi uring-

uringan. Mau bercocok tanam boleh-boleh saja, 

tapi bertanamlah di ladang sendiri, jangan ladang 

milik orang kau garap seenaknya. Lagipula ma-

nusia akan menjadi lebih rendah derajatnya dari 

binatang jika main embat seenak perut sendiri. 

Eling orang tua. Nyebut... kau sudah sangat tua, 

nafas Senin Kemis, bagaimana jika malaikat maut 

mencabut nyawamu di saat kau asyik main kuda-

kudaan. Ha... ha... ha!"

Dari atas genteng tiba-tiba terdengar suara 

orang menyahuti. "Dasar tolol kalau darah telah 

menggelegak di dalam dada dan nafsu nangkring 

di atas kepala. Jangankan mati, darat dan lautan 

pun orang sudah tak bisa membedakannya. Ha... 

ha... ha!"

Gento tersenyum, memandang ke atas le-

wat lubang genteng yang jebol dia berkata. "Eeh... 

gendut apakah kau tidak mau turun, melihat ba-

gaimana tampang si kodok buduk?" Dari atas 

atap terdengar jawaban. 

"Aku lagi malas. Buat apa aku melihatnya? 

Apa kau mengira aku suka kaum sejenis. Lebih 

baik kau urus saja dia, aku sendiri harus menye-

lesaikan urusanku!" kata suara itu sambil berke-

lebat pergi.

Gento Guyon gelengkan kepala. Dia kemba-

li memandang ke depan. Sebaliknya Ki Busrut 

Rancak Bana diam-diam melengak kaget. Ketika 

dia mendengar suara orang di atas atap sana, rasanya dia mengenali suara orang itu. Dia menco-

ba mengingat-ingat. Tapi pikirannya yang kacau 

akibat niat tak kesampaian ditambah dengan ke-

hadiran pemuda itu membuat pikirannya jadi ge-

lap. Dengan penuh kegeraman dia berteriak. "Se-

kali lagi aku bertanya siapa dirimu yang sebenar-

nya kunyuk gondrong?" 

Dirinya disebut kunyuk gondrong Gento 

hanya tersenyum sekejap. Beberapa saat kemu-

dian wajahnya berubah menjadi serius.

"Kau ingin tahu namaku, sapi tua. Boleh 

saja, kau dengar sekarang. Aku ini adalah jun-

junganmu! Junjungan yang harus kau hormati!" 

jawab si pemuda.

Ki Busrut yang merasa dipermainkan be-

rubah menjadi beringas. Dia keluarkan suara 

menggereng, kedua rahang bergemeletukan, se-

dangkan mulutnya berucap pedas. "Pemuda se-

tan, junjungan bangsat. Kau belum tahu sedang 

berhadapan dengan siapa rupanya?"

"Ha... ha... ha! Suguh sesajenmu telah ku-

terima. Ayam panggang pun sudah amblas dalam 

perutku. Masih juga kau hendak membanggakan 

diri di hadapanku?!" hardik si pemuda.

Mendengar ucapan si pemuda Ki Busrut 

Rancak Bana berjingkrak kaget dan sempat tersu-

rut mundur satu langkah, mulut ternganga, mu-

ka pucat mata mendelik besar bagai tak percaya.



ENAM



Seberapa kejap suasana dicekam kebisuan. 

Sekali lagi Ki Busrut pandangi Gento Guyon sea-

kan tak bisa mengerti dengan kenyataan yang di-

hadapinya. Semula meskipun sempat ragu dia be-

ranggapan bahwa sosok yang datang dengan dis-

ertai tiupan angin kencang itu benar-benar Pen-

guasa Kegelapan. Tak disangka ternyata dia telah 

dikerjai oleh seorang pemuda berwajah polos na-

mun menyebalkan. Sadar dirinya telah ditipu 

mentah-mentah, tanpa banyak bicara dia lang-

sung berkelebat melompati ranjang, tangan kiri 

melepaskan satu jotosan sedangkan tangan ka-

nan menampar ke bagian mulut Gento. Sebelum 

tamparan mendarat pada sasaran Gento pen-

congkan mulut bersikap seolah sudah kena tam-

paran. Tapi begitu tangan yang menampar hampir 

menyentuh mulutnya dia cepat jatuhkan diri me-

nelentang, sedangkan kakinya menyambar ke 

atas tepat di bagian selangkangan. Serangan si 

orang tua luput. Untuk kedua kalinya dia menje-

rit kesakitan. Terhuyung ke belakang kakek itu 

dekap anunya.

"Ha... ha... ha! Maaf orang tua, sungguh 

aku tak bermaksud membuat konyol itumu. Se-

muanya secara kebetulan, aku hendak menghan-

tam perut tapi si kaki ini malah melenceng ke si-

tu. Ha... ha... ha!"

"Jahanam keparat! Rasakan pukulanku!"


teriak si kakek. Serta merta dia sapukan telapak 

tangannya satu sama lain. Tangan yang bersen-

tuhan itu dikobari api. Melihat ini tawa si pemuda 

kembali terdengar. Sambil menunjuk-nunjuk ke 

langit-langit rumah dia berkata. "Kurasa otakmu 

memang sinting orang tua. Kau ciptakan api? 

Apakah hendak kau bakar rumah gedungmu yang 

bagus ini. Kalau sudah kau bakar kau hendak ti-

dur di mana? Di kandang kuda?! Kurasa kau 

memang pantas jadi kuda pejantan! Ha... ha... 

ha."

Ki Busrut Rancak Bana terkejut sendiri. Si 

pemuda benar, jika gedungnya sampai terbakar 

dia akan berteduh di mana? Sadar akan ketolo-

lannya sendiri ditambah dengan kemarahan serta 

dendam yang begitu besar pada lawan membuat 

Ki Busrut banting kakinya. Kaki amblas ke dalam 

lantai. Kemudian mulutnya meniup, api yang 

berkobar di tangannya padam. Sebagai gantinya 

laki-laki itu kerahkan hawa dingin ke bagian tan-

gannya. Begitu kedua tangan telah berubah me-

mutih laksana gumpalan es dia melompat ke de-

pan. Serangkaian serangan beruntun dilakukan-

nya. Beberapa saat lamanya Gento memang sang-

gup menghadapi gempuran yang dahsyat dan ber-

tubi-tubi itu. Ruangan pribadi Ki Busrut Rancak 

Bana yang dijadikan tempat perkelahian sudah 

acak-acakkan. Mereka sama sekali tidak menghi-

raukan semua ini. Tapi beberapa kejapan kemu-

dian setelah lawan merubah jurus Belalang Ter-

bang. Tapi karena ruangan kamar terlalu sempit,


si pemuda jadi tidak leluasa dalam mengerahkan 

jurus belalangnya itu. Satu kesempatan Ki Busrut 

menyerang dada Gento dengan tangan terkem-

bang dialiri tenaga dalam tinggi. Angin dingin 

berkesiuran. Sadar lawan bermaksud merobek 

dadanya, maka Gento segera melangkah mundur 

sambil liukkan kepalanya. Tapi serangan yang 

mengarah ke bagian dada itu ternyata hanya ti-

puan saja, karena begitu Gento mengelak tangan 

kiri lawannya menghantam bagian keningnya. 

Pletak!

"Waduh...!" pekik Gento begitu jidatnya ke-

na dihantam lawan. Dia terbanting ke belakang, 

punggung menabrak dinding. Dinding hancur, 

kepala si gondrong jadi pusing dan pandangan 

mata berkunang-kunang.

Dengan cepat dia melompat berdiri. Belum 

sempat pemuda ini berdiri tegak kembali pukulan 

lawan mendarat di dadanya. Sekali lagi Gento ter-

dorong mundur. Dadanya yang kena dihantam Ki 

Busrut tampak memar merah di bagian dalam.

"Kutu kampret, ternyata sudah tua begini 

masih galak juga!" rutuk si pemuda. Bersamaan 

dengan ucapannya itu Gento tekuk kaki kiri, kaki 

kanan diangkat. Sedangkan tangan kanan dile-

takkan di atas alis seperti orang yang kesilauan 

memandang matahari. Sedangkan tangan kiri 

menunjuk ke lantai.

"Puah jurus rongsokan apa itu!" Dalam 

kemarahannya lawan masih sempatkan diri aju-

kan pertanyaan.


Gento menjawab dengan mulut terpencong. 

"Ini namanya jurus Dewa Memandang Dari Lan-

git. Tapi karena yang dipandang tua bangka yang 

hendak berbuat mesum. Dewanya jadi marah-

marah dan terpaksa alihkan pandangannya pada 

matahari! Huuup!" Gento dengan gerakan aneh 

namun cepat lakukan satu lompatan ke depan. Ki 

Busrut yang sempat tercengang melihat jurus 

aneh lawannya tak sempat lagi mengelak, meski-

pun saat itu dia sudah menarik tubuhnya ke be-

lakang. Tidak dapat dihindari lagi kedua tangan 

Gento menghantam dadanya dengan keras sekali.

Laki-laki tua itu jatuh terpelanting, tubuh-

nya menyerangsang pada bagian kepala ranjang 

berbentuk kepala ular. Nafasnya kembang kem-

pis, dada laki-laki itu terasa panas laksana terba-

kar. Menyadari lawan ternyata memiliki tenaga 

dalam, jurus aneh serta kesaktian tinggi. Tanpa 

membuang waktu lagi dia mencabut pedangnya.

Tapi diam-diam Ki Busrut jadi kaget. Pe-

dang yang ditariknya ternyata alot bukan main, 

sehingga orang tua ini seolah merasa sedang 

mencabut pohon besar.

Di depannya sana sambil bertolak pinggang 

dan mengusap hidungnya murid kakek gendut 

Gentong Ketawa tertawa lagi. Pedang itu tentu su-

lit dikeluarkan dari rangkanya, karena ketika me-

nendang selangkangan lawan pertama kali Gento 

munculkan diri di kamar itu dia menggerakkan 

hulu pedang ke bawah hingga pedang pun dalam 

posisi mengunci. Untuk membukanya kembali


tentu dengan menggerakkan hulu pedang ke atas.

"Baru malam ini aku bertemu dengan ma-

nusia pikun. Mencabut pedang saja tidak becus. 

Tapi kulihat kalau mencabut sesuatu yang ada 

hubungannya dengan nafsu, wah cepat bukan 

main. Ha... ha... ha!"

"Gondrong sialan, kau telah mengerjaiku? 

Kubunuh kau...!" pekik si orang tua yang baru sa-

ja berhasil melolos senjatanya. Begitu usai bicara 

tubuh berkelebat, pedang dibabatkan. Sinar putih 

berkilauan berkiblat secara aneh membabat da-

lam posisi menyilang dua kali berturut-turut.

Untuk pertama kalinya Gento terkesiap. 

Sambaran senjata lawan ini bukan serangan bi-

asa. Karena bagaimanapun Gento menghindar, 

pasti salah satu babatan menghantam bagian tu-

buhnya juga. Tapi dengan nekad pemuda ini me-

lakukan gerak berjumpalitan. Tak urung ujung 

pedang masih sempat menggores bagian atas ba-

hunya juga. 

Cres! 

"Ugkh...!"

Sambil berguling-guling si pemuda kelua-

rkan keluhan tertahan. Ki Busrut melakukan sa-

tu lompatan, pedang dihantamkan dengan mak-

sud mengakhiri serangan lawan. Tapi dia kemu-

dian terpaksa melompat mundur bergulingan se-

lamatkan diri begitu melihat sinar putih berkiblat 

dari telapak tangan si pemuda. Sinar putih men-

deru menghantam dinding di sebelah kiri pintu 

kamar. Terdengar suara ledakan keras berdentum


ketika pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis me-

labrak dinding. Batu-batu berhamburan, pasir 

dan debu beterbangan menghalangi pemandan-

gan. Sejenak ruangan itu menjadi gelap. Gento 

bangkit berdiri, namun ketika kegelapan sirna 

dan ruangan jadi terang kembali Gento Guyon tak 

melihat Ki Busrut Rancak Bana ada di ruangan 

itu lagi. Di sudut ranjang, di bawah salah satu 

kaki meja Gento menemukan sebuah kantong ke-

cil berwarna hitam. Kantong diambil, diperhati-

kan sambil mereka-reka apa gerangan isi kantong 

tersebut. Karena penasaran Gento membukanya 

sekaligus, mengeluarkan isi kantong. Dia menda-

pati tiga lempengan keras sebesar telunjuk ber-

warna hitam. Lempengan itu berbau anyir seperti 

darah.

"Apa ini? Obat kuat atau sejenis perang-

sang?!" gumam si pemuda disertai senyum dan 

gelengan kepala. "Tua bangka aneh!" Si pemuda 

kemudian masukkan lempengan hitam ke tem-

patnya kembali. Kantong kecil itu lalu dimasuk-

kan di balik kantong celananya.

"Gendut...!" seru si pemuda begitu ingat 

pada gurunya. "Kujamin dia sudah pergi. Akh... 

gila betul. Dia menyuruhku menghadapi kodok 

buduk, sementara dia sendiri bermesra-mesra 

dengan gadis berpinggul besar itu." kata si pemu-

da sambil melangkah pergi.

Pada saat Gento berhadapan dengan Ki 

Busrut Rancak Bana dan Arum Sedap berlari ke 

luar meninggalkan kamar. Sampai di halaman si


gadis cantik itu jadi bingung tak tahu hendak ke 

mana. Dalam gelapnya malam gadis penari itu 

tentu saja tak mengetahui arah. Di saat si gadis 

dilanda rasa takut dan kecemasan luar biasa se-

perti itu. Dari atas genteng rumah nampak me-

layang satu sosok tubuh berbadan tinggi dan be-

sar bukan main. Berpakaian serba hitam dengan 

baju tak terkancing. Meskipun tubuhnya besar 

luar biasa dengan bobot lebih dari dua ratus kati. 

Namun ketika jejakkan kedua kaki ke tanah tidak 

menimbulkan suara sedikitpun, pertanda orang 

tua berkening lebar berwajah bulat ini memiliki 

ilmu meringankan tubuh yang sangat luar biasa. 

Kemunculan si gendut besar yang tidak disangka-

sangka ini tentu mengejutkan Arum Sedap. Dia 

berjingkrak mundur, tubuhnya gemetar, mata di-

buka lebar coba mengenali. Hatinya berubah lega 

begitu mengenali siapa adanya kakek itu.

Orang tua inilah yang tadi ikut menari ber-

samanya ketika berada di lapangan pertunjukan. 

Orang tua lucu ini pula yang mengedipkan mata 

kepadanya. Terus-terang Arum Sedap merasa su-

ka dengan gaya dan cara si kakek gendut menari.

"Kek, kau. Bagaimana kau bisa sampai ke 

mari?" tanya si gadis heran.

Gentong Ketawa tersenyum. "Aku sengaja 

mencarimu, karena takut terjadi apa-apa den-

ganmu. Kulihat dua laki-laki anak buah si kumis 

tebal membawa kau dan tiga temanmu." jawab 

Gentong Ketawa. Ucapannya ini tentu hanya gu-

rauan saja. Karena sesungguhnya dia dan murid


nya memang sedang mengawasi Ki Busrut Ran-

cak Bana.

Akan tetapi ucapan si kakek memberi arti 

tersendiri bagi si gadis. Kakek itu mengkhawatir-

kannya, berarti dia ada perhatian pada dirinya. 

Pikir Arum Sedap. Hal ini sudah menimbulkan 

kesan sangat mendalam bagi si gadis.

"Terima kasih atas perhatianmu, kek. Aku 

Arum Sedap pasti tak akan melupakan pertolon-

ganmu dan kawanmu itu!" ucap si gadis dengan 

hati berbunga-bunga.

Si kakek tidak menjawab, wajahnya men-

dongak, cuping hidung mengendus udara. Diapun 

lalu tersenyum. "Ternyata tubuhmu benar-benar 

harum. Namamu Arum Sedap. Arum dan Sedap... 

sangat cocok sekali. Harumnya sudah kucium 

tinggal sedapnya saja yang belum kurasakan." ce-

letuk si kakek setengah bergumam.

"Eh, apa maksudmu kek?" tanya Arum Se-

dap dengan alis berkerut heran.

Gentong Ketawa gelengkan kepala. "Tidak. 

Tidak apa-apa. Aku cuma ingin tahu ke mana tiga 

temanmu yang lain?" tanya si gendut alihkan 

pembicaraan.

"Ketiga temanku disekap di ruangan bela-

kang. Tolong mereka kek!" pinta si gadis penuh 

harap.

"Baiklah akan menolong semua temanmu. 

Mari tunjukkan tempatnya!" kata si kakek gen-

dut. Sambil berpegangan pada lengan Gentong 

Ketawa, Arum Sedap menunjukkan kamar tempat


penyekapan ketiga temannya. Si kakek yang me-

rasa dipegang hanya senyum-senyum saja. Gem-

bira ada, rasa suka ada.

Tanpa menghiraukan Gento yang sedang 

terlibat perkelahian sengit dengan Ki Busrut Ran-

cak Bana mereka mendobrak pintu belakang. Be-

gitu masuk si kakek langsung menghancurkan 

pintu kamar tempat di mana ketiga gadis disekap. 

Ketiga penari itu langsung merangkul Arum Se-

dap begitu mereka terbebas dari kamar penyeka-

pan.

"Oh Arum... kami kira tidak bisa lagi ber-

temu denganmu. Puji syukur pada Gusti Allah. 

Dan kakek ini bukankah...?!" kata salah seorang 

di antara teman Arum Sedap.

"Ya, aku yang ikutan menari bersama ka-

lian." sahut Gentong Ketawa semakin mekar saja 

hidung si kakek berada di tengah para gadis.

"Berterima kasihlah padanya. Dia yang 

menolong kalian dan aku!" kata Arum Sedap.

"Terima kasih kek." kata gadis yang berba-

dan agak kurus langsing.

"Aku juga kek. Kau lucu...!" kata gadis ke-

dua.

"Aku begitu juga kek. Berterima kasih pa-

damu lahir batin." menimpali gadis ketiga.

"Sudah jangan banyak peradatan. Mari 

tinggalkan tempat ini!" kata si kakek. Arum Sedap 

dan kawan-kawannya mengangguk. Mereka me-

langkah pergi. Tapi baru saja mereka sampai di 

depan pintu belakang mendadak terdengar suara


ledakan berdentum. Keempat gadis sama-sama 

kaget dan memandang pada Gentong Ketawa. Si 

kakek tersenyum saja. Tanpa beban dan seenak-

nya sendiri Gentong Ketawa menjawab. "Biarkan 

saja, temanku pemuda gondrong itu memang 

agak gila. Otaknya miring, dulu bahkan dia per-

nah membunuh sepuluh laki-laki yang sedang 

mengerjai seorang gadis." kata si kakek. Tentu 

ucapan Gentong Ketawa merupakan suatu kedus-

taan belaka.

"Mengapa dia bertindak begitu, kek?" tanya 

Arum Sedap.

"Karena kekasihnya, eh, maksudku istrinya 

dibunuh orang dengan cara keji dan dinodai." 

"Ah, kasihan sekali." kata gadis yang lain.

"Ya, itu sebabnya dia mengamuk melihat 

tua bangka itu hendak berbuat kurang ajar kepa-

damu."

"Masih semuda itu sudah beristri?" tanya 

Arum Sedap seakan tak percaya.

"Betul. Terkecuali aku. Ha... ha... ha!" kata 

si kakek sambil tertawa tergelak-gelak.

Keempat gadis gelengkan kepala melihat 

tingkah si gendut ini. Mereka terus melangkah 

meninggalkan bagian belakang dapur.

Di satu tempat di bawah kerindangan po-

hon si kakek hentikan langkah. Keempat gadis 

yang mengikuti memandangnya dengan heran. 

"Mengapa harus berhenti kek?" tanya Arum Se-

dap.

"Terus terang maunya aku mengantar ka


lian sampai ke rumah masing-masing. Tapi aku 

masih banyak urusan. Keadaan sudah aman, ka-

lian bisa pulang secara aman tanpa gangguan 

apa-apa." ujar Gentong Ketawa.

Arum Sedap meskipun tak bicara namun 

tatap matanya memperlihatkan rasa keberatan.

"Kami masih takut kek. Tolong antar kami 

sampai ke rumah." kata gadis yang bertubuh 

jangkung bernama Sumini. "Nanti sebagai imba-

lannya aku akan menjodohkan kakek dengan ne-

nekku!"

Tiga gadis tertawa berderai.

Gentong Ketawa tak kuasa menahan ta-

wanya. "Terima kasih atas perhatianmu. Tapi aku 

tak ingin berjodoh dengan nenekmu. Sekarang 

kalian harus pergi dan aku harus pula mengerja-

kan semua urusan yang belum terselesaikan!" te-

gas si gendut.

Tiga gadis jadi terdiam tak berani memak-

sa. Sedangkan Arum Sedap akhirnya berkata. 

"Baiklah kek. Terima kasih atas pertolonganmu. 

Suatu saat jika aku sudah mempunyai kesaktian 

sepertimu, engkau pasti kucari." Selesai bicara 

Arum Sedap memeluk si kakek. Dia membisikkan 

sesuatu di telinga si gendut. Setelah itu mencium 

pipi Gentong Ketawa kiri kanan. Tindakan nekad 

dan sangat singkat itu tentu di luar sepengeta-

huan kawan-kawan Arum Sedap. Sebaliknya si 

kakek merasa kaget tak menyangka Arum Sedap 

berlaku nekad. Dia usap pipi dan dadanya.

"Kek, kami pergi. Seperti kataku, aku kelak


akan mencarimu!" ujar Arum Sedap sambil mem-

balikkan badan, melangkah pergi dengan diikuti 

kawan-kawannya.

Si kakek tersenyum, wajahnya masih 

membayangkan rasa tak percaya. Dalam kesem-

patan itu dia melihat satu bayangan berkelebat 

melewati pintu belakang. Si kakek terkejut. 

"Eeh, bandot tua itu hendak lari ke mana?" 

desis si kakek. Dia pun lalu mengejar ke arah di 

mana sosok berpakaian hitam tadi menghilang. 

Sambil berlari mengejar dia masih sempat mem-

batin. "Benar dugaanku, ternyata Arum Sedap 

memang benar." Sekali lagi si kakek usap dadanya.



TUJUH



Sebelum fajar menyingsing Ukir Koro dan 

Rono Gandul benar-benar muncul di sebelah sela-

tan ujung dusun Kedung Ombo. Masing-masing 

di bahu mereka membawa sebuah karung besar 

berlumuran darah. Bukan hanya karung itu saja 

yang diwarnai darah, tapi pakaian, wajah serta 

tangan kedua pembantu Ki Busrut Rancak Bana 

juga berlumuran darah. Ketika mereka sampai di 

jalan dusun tiga ekor kuda yang mereka tam-

batkan di situ masih berada di tempatnya, terikat 

pada sebuah pohon agak tersembunyi di sebelah 

kanan tepi jalan.


Rono Gandul dan Ukir Koro hentikan lang-

kah. Karung besar diturunkan. Sejenak mereka 

menarik nafas, menghirup udara segar menjelang 

pagi dalam-dalam.

Keletihan yang mendera diri mereka saat 

itu memang sungguh luar biasa. Tapi mereka me-

rasa senang karena sanggup menyelesaikan pe-

kerjaan gila yang dibebankan oleh Ki Busrut Ran-

cak Bana. "Kita tunggu orang tua itu sebentar. Ji-

ka dia telah muncul, berarti kita akan mendapat 

hadiah." berkata Ukir Koro tiba-tiba. Suaranya 

yang serak memecah keheningan.

"Bukan hanya hadiah saja, kita juga telah 

dijanjikan untuk memiliki bekas istri piaraannya. 

Semua ini merupakan satu keberuntungan yang 

tiada tara." sahut Rono Gandul. Membayangkan 

apa yang akan dilakukan nanti membuat Rono 

Gandul julurkan lidah membasahi bibir. Kawan-

nya hanya tersenyum.

Rono Gandul kemudian bermaksud me-

naikkan karung besar itu ke atas punggung kuda. 

Belum lagi niatnya terlaksana mendadak sontak 

dia dikejutkan oleh gelak tawa seseorang. Rono 

Gandul dan Ukir Koro terperangah dan saling 

berpandangan satu sama lain.

"Celaka?! Suara siapa itu? Apakah junjun-

gan kita telah datang?" kata Ukir Koro berbisik.

"Suara tawa itu datang dari empat penjuru 

arah. Ki Busrut Rancak Bana tak mempunyai il-

mu memecah suara seperti itu." jawab Rono Gan-

dul. Sebagai mana temannya Rono Gandul yang


tadinya membungkuk hendak mengangkat ka-

rung berat sekarang ikutan berdiri tegak, tubuh-

nya berputar, mata memandang ke seluruh pen-

juru arah. Tidak terlihat apapun terkecuali kege-

lapan semata.

Suara tawa kemudian lenyap, kesunyian 

mencekam. Ukir Koro dan Rono Gandul bersikap 

waspada, tangan masing-masing menempel pada 

bagian hulu pedang.

Kesunyian tidak berlangsung lama, karena 

di lain kejap terdengar suara teriakan menggele-

dek. "Dua manusia tukang jagal calon celaka. Ka-

rena dosa apa mereka kalian bunuh? Kalian pa-

tuh pada perintah menyesatkan, namun tidak ta-

kut dosa akibat perbuatan kalian sendiri!"

"Kami hanya menjalankan perintah, men-

genai dosa itu urusan nanti. Siapa kau yang se-

benarnya?!" tanya Ukir Koro memberanikan diri.

"Kau tidak layak mengetahui siapa diriku!" 

dengus suara itu. "Yang terpenting saat ini kalian 

harus menyerahkan kepala kalian. Akan kutam-

bah jumlah yang empat puluh sembilan dengan 

dua kepala lagi sehingga menjadi lima puluh satu! 

Hi... hi... hi!"

Mendengar ucapan suara itu wajah Ukir 

Koro dan Rono Gandul berubah pucat pasi. Se-

rentak mereka mencabut pedang yang telah ber-

lumuran darah. Masing-masing pedang dilintang-

kan ke depan dada. "Orang yang bicara harap 

tunjukkan diri. Kami tidak suka pada orang yang 

bersikap pengecut sepertimu!" hardik Rono Gandul.

"Benarkah kalian adalah orang-orang pem-

berani berjiwa besar? kalian menentangku di saat 

maut datang mengintai. Sungguh kau dan te-

manmu itu akan membawa penyesalan sampai ke 

liang kubur!" dengus suara tersebut. Begitu suara 

lenyap dari arah depan mereka melesat dua ben-

da berbentuk bulat berwarna kuning member-

sitkan cahaya dingin. Kedua benda itu langsung 

menghantam Rono Gandul dan Ukir Koro. Kedua 

laki-laki ini rundukkan kepala, sedangkan pedang 

dibabatkan ke depan, menangkis. Cahaya putih 

menderu ketika pedang di tangan mereka berke-

lebat menyambar ke arah benda bulat yang mele-

sat dari balik kegelapan itu. 

Wuuuut!

Babatan pedang mengenai tempat kosong 

karena secara aneh dan seakan memiliki nyawa 

benda-benda itu melenting ke atas, berputar-

putar di udara disertai desing aneh, kemudian 

menukik lagi ke bawah menyambar kepala Ukir 

Koro dan Rono Gandul. Seperti tadi kedua laki-

laki itu kembali babatkan senjatanya ke atas. Ta-

pi mereka kembali dibuat kaget. Dua benda yang 

menghantam dari atas sekarang bergerak ke 

samping dan membabat leher Rono Gandul dan 

temannya dengan gerakan cepat laksana kilat. 

Tangkisan ketiga yang dilakukan mereka juga me-

rupakan satu tangkisan yang tidak berguna sama 

sekali karena tetap tidak mengenai sasaran. Ma-

lah benda aneh berwarna kuning itu akhirnya


memapas putus batang leher keduanya. 

Bluk!

Dua kepala jatuh bergédebukan di depan 

kaki, darah menyembur sedangkan tubuh tanpa 

kepala nampak terhuyung-huyung, menggeletar 

hingga pada akhirnya jatuh terjengkang berlumu-

ran darah. Sedangkan kedua benda yang mema-

pas putus kepala Ukir Koro dan Rono Gandul 

kembali melesat ke tempat saat pertama kali da-

tang dan lenyap dalam gelap. Kemudian sedetik 

setelah itu dari balik kegelapan pula satu sosok 

berpakaian serba putih memakai selendang yang 

dililitkan pada bagian leher ke arah kepala kedua 

pembantu Ki Busrut Rancak Bana. Begitu jejak-

kan kaki, kedua kepala tadi dimasukkan ke da-

lam karung. Dua potongan tubuh tanpa kepala 

ditendang hingga bergulingan di tepi jalan. Selan-

jutnya karung yang sudah diikat kembali dinaik-

kan ke atas kuda.

"Segala bentuk kekejian ini harus kuhenti-

kan. Sobo Serngenge, kesaktianmu boleh saja 

tinggi, tapi kau harus percaya pada ucapan gu-

rumu. Selama ini kau hanya menggapai keinginan 

yang menjijikkan. Kau belum tahu siapa Dewi Se-

goro Lor!" kata sosok serba putih itu sambil me-

mandangi karung besar berlumuran darah. 

"Ki Busrut Rancak Bana, bawalah oleh-oleh 

dalam karung itu ke hadapan Sobo Serngenge!" 

ucapnya.

"Para pembantuku, aku datang." Satu sua-

ra terdengar dari arah belakang orang itu. Ketika


dia berpaling ke belakang. Dia melihat satu sosok 

serba hitam berlari cepat ke arahnya. Orang ini 

nampaknya memang tak ingin dilihat orang, se-

hingga diapun lalu memutar tubuhnya tiga kali.

Wuues!

Mendadak ujudnya raib dari pandangan 

tepat di saat orang yang berlari dalam keadaan 

tergesa-gesa sampai di tempat itu.

"Ukir Koro... Rono Gandul.... di mana ka-

lian....!" seru si baju hitam yang tiada lain adalah 

Ki Busrut Rancak Bana. Dia memandang berkelil-

ing dengan perasaan cemas dan tegang. Kedua 

pembantunya ternyata tak terlihat. Di jalan dia 

melihat genangan darah yang mulai membeku, 

jantungnya berdebar. Tanpa sadar dia meman-

dang ke arah kuda yang kini telah berada di ten-

gah jalan. Perasaannya menjadi lega begitu meli-

hat dua karung besar berada di atas punggung 

kuda. Dia beranggapan pastilah genangan darah 

di tengah jalan adalah darah yang berasal dari 

kedua karung itu.

"Anak-anak itu rupanya sengaja hendak 

membuat kejutan. Mereka menyelesaikan tugas-

nya dengan baik. Kemudian mempersiapkan apa 

yang kuinginkan sebaik mungkin. Tak mengapa, 

aku bisa berangkat ke Teluk Rembang seorang di-

ri. Mereka mungkin sudah terlalu lelah, biarlah 

mereka berdua bersenang-senang dengan bekas 

istriku!" kata Ki Busrut disertai seringai aneh.

Kemudian orang tua ini melepaskan gulun-

gan tali. Dengan tali itu kuda yang membawa beban karung digandeng sedemikian rupa. Sedang-

kan bagian ujung tali dipegangnya. Dengan begitu 

bila dia memacu kuda tunggangannya maka dua 

kuda yang membawa karung segera mengiku-

tinya.

"Pekerjaan mudah, sungguh sangat mudah 

sekali. Semoga guru Sobo Serngenge tidak kece-

wa!" batin Ki Busrut. Tanpa menunggu lagi dia 

segera melompat ke atas punggung kudanya. Tali 

kekang kuda disentakkan, binatang itu meringkik 

dan berlari ke depan dengan diikuti dua kuda 

lainnya.

***

Matahari baru saja munculkan diri di ufuk 

timur, embun masih membasahi pucuk-pucuk 

dedaunan. Di tempat di mana Ki Busrut baru saja 

tinggalkan tempat itu beberapa jam yang lalu 

muncul si kakek gendut Gentong Ketawa. Ketika 

orang tua ini memandang ke tengah jalan, Gen-

tong Ketawa melengak kaget.

"Ada banyak darah?! Seperti baru saja ter-

jadi penjagalan di sini. Eh... siapa yang dijagal, 

siapa pula yang menjagal?" kata si kakek seorang 

diri. Dia memandang ke depan, ada jejak kaki ku-

da di situ. Ketika si kakek memandang ke samp-

ing jalan orang tua ini bersurut langkah sambil 

keluarkan seruan keras.

"Sungguh tak kusangka." desisnya. "Dua 

orang ini tergeletak tanpa kepala" Cukup lama juga Gentong Ketawa berdiri tegak di tempatnya. 

Tapi kemudian dia segera mendekati kedua mayat 

tanpa kepala itu. Dia segera lakukan pemerik-

saan, meneliti mengamat-amati. Walaupun mayat 

itu tanpa kepala tapi dia yakin keduanya pasti 

merupakan anak buah Ki Busrut Rancak Bana. 

"Melihat lehernya yang putus ini, pasti senjata 

yang digunakan lebih tajam dari pedang. Siapa 

yang membunuhnya? Apakah si kumis tebal itu 

sendiri yang telah melakukannya?" pikir Gentong 

Ketawa. Dia jadi teringat pada sosok yang melari-

kan diri lewat pintu belakang rumah kediaman Ki 

Busrut Rancak Bana. Sekarang dia benar-benar 

merasa yakin laki-laki itu pasti berhasil melo-

loskan diri dari tangan muridnya. "Bocah edan! 

Meringkus seekor bandot yang sudah jompo pun 

tidak becus!" gerutu si kakek bersungut-sungut.

"Aha, pada akhirnya kutemukan juga kau 

di sini!" tiba-tiba satu suara berkumandang di 

tengah suasana pagi yang sunyi. Sesosok tubuh 

berkelebat di belakang si kakek. Gentong Ketawa 

bersikap acuh tak hiraukan kehadiran orang. Ma-

lah kini dia unjukkan wajah cemberut.

"Guru... tak kusangka kau telah sampai di 

tempat ini. Eeh... ada mayat? Siapa mereka?" 

tanya orang yang baru datang yang bukan lain 

adalah murid orang tua itu sendiri.

"Ke mana saja kau rupanya, Gege. Kau 

pasti tak bisa meringkus orang tua itu?" tegur gu-

runya dengan mimik bersungguh-sungguh.

"Memang betul, ndut. Dia kabur, minggat


entah ke mana. Tapi... eh...!" Gento Guyon yang 

sempat memandang gurunya tidak teruskan uca-

pan, melainkan tertawa terbahak-bahak.

"Bocah edan. Setelah gagal membekuk si 

kumis tebal bukannya sedih, tapi malah tertawa 

seperti orang sinting. Apakah kau merasa ada ka-

ta-kataku ada yang lucu?" hardik si kakek.

Gento hentikan tawa sambil memegangi pe-

rut. Dia menunjuk-nunjuk ke bagian wajah gu-

runya sambil berkata. "Kau memang guru yang li-

cik. Kau suruh aku melawan Ki Busrut, sedang-

kan kau sendiri bermesraan, berdua melawan 

Arum Sedap. Guru macam apa kau?" dengus si 

pemuda.

Mendengar ucapan muridnya tentu saja 

Gentong Ketawa jadi kaget. Dia heran bagaimana 

Gento bisa mengetahui dia bertemu dengan Arum 

Sedap. Dengan muka sedikit memerah merasa 

rahasianya diketahui sang murid si kakek berka-

ta. "Aku bertanya mengapa malah jawabanmu 

malah ngaco?"

"Ha... ha... ha. Dasar orang tua gendeng. 

Aku tahu kau pasti habis dipeluk dan dicium oleh 

Arum Sedap. Bagaimana, ciumannya sedap ti-

dak?"

"Heh, bicaramu ngawur, kupecahkan kepa-

lamu!" berkata begitu si kakek gerakkan tangan. 

Laksana kilat tangan menyambar kepala Gento. 

Dengan gerakan cepat pemuda ini berhasil meng-

hindar.

"Kau tidak mau mengaku? Coba kau lihat


di kedua pipimu terdapat bekas merah. Siapa 

yang menciummu, sapi? Ha... ha... ha!"

Si kakek berjingkrak kaget.

"Kau tidak bicara dusta?" seru Gentong Ke-

tawa, mukanya berubah pucat. Dia mengusap pi-

pinya pulang balik, digosok-gosok tapi warna me-

rah tetap tak mau hilang.

"Aku tidak dusta, malah kau yang sering 

membohongiku. Kau kuwalat. Ha... ha... ha. Usap 

terus sampai tua!" ejek si pemuda.

Si kakek jadi kelabakan dan malu hati. Dia 

terus menggosok pipi kiri kanan sampai kedua 

pipi itu jadi memerah.

"Bekas bibir itu memakai sejenis pewarna 

yang susah dihilangkan. Terkecuali kau kelupas 

kulit pipimu, baru tanda merah hilang. Kalau ti-

dak kurasa sampai setahun di muka tanda itu 

masih terus membekas. Huh, dasar tua bangka 

hidung belang!" cibir Gento.

Merasa serba salah orang tua ini akhirnya 

tutupi kedua pipinya yang tembem. Tak lama ke-

mudian dia berkata. "Jangan hiraukan bekas ci-

uman gila ini. Aku tidak meminta, tapi dia yang 

nekat memelukku."

"Bagaimana rasanya dipeluk Arum Sedap?"

"Rasanya aku pingin pipis dan buang ha-

jat." sahut si kakek sekenanya. "Gege kau den-

gar... aku telah melihat beberapa penduduk tewas 

dalam keadaan sebagaimana kedua mayat itu. 

Aku yakin Ki Buyut Rancak Bana membawa po-

tongan kepala mereka ke suatu tempat. Kita ha


rus menyusulnya!" ujar si kakek.

"Caranya bagaimana?" tanya Gento.

Gentong Ketawa terdiam, berpikir beberapa 

jenak lamanya hingga kemudian dia berkata. "Ki-

ta ikuti ceceran darah dan bekas kaki kuda ini." 

ujar si kakek.

"Boleh, aku di belakang guru di depan. 

Dengan begitu aku bisa melihat setiap gerak-

gerikmu yang mencurigakan. Tapi sebelum pergi 

boleh aku bertanya?"

"Bertanya apa?" dengus Gentong Ketawa 

sambil melangkah pergi.

"Ke mana perginya Arum Sedap?"

"Ha... ha... ha. Tentu saja pulang ke rumah 

orang tuanya." sahut Gentong Ketawa sambil 

mempercepat langkahnya. Gento bersungut-

sungut. Sambil menggerutu dia mengikuti gu-

runya.



DELAPAN



Puncak Menara Gila yang terdiri dari batu-

batuan cadas berlumut hitam nampak menjulang 

tinggi seakan hendak menggapai langit. Menara 

cadas yang terletak di daerah Puncak Wangi ini 

merupakan daerah gersang di mana hampir se-

tiap saat angin kencang berhembus tiada henti. 

Selain itu bukit cadas yang menjulang tinggi dan 

berbentuk kerucut itu selalu bergoyang tak mau 

diam. Seakan bukit itu hanya menempel di atas

permukaan tanah.

Siang itu panas terik terasa membakar di 

bagian kaki bukit cadas Menara Gila satu sosok 

tubuh berpakaian serba putih berwajah cantik 

berselendang putih yang dilingkarkan pada ba-

gian lehernya berdiri tegak di tempat itu sambil 

dongakkan kepala memandang ke puncak Menara 

Gila.

"Cukup sulit untuk bisa mencapai Menara 

Gila ini. Tapi aku harus menemui Manusia Selak-

sa Guntur. Tidak ada cara lain untuk bisa sampai 

ke atas sana. Aku harus menggunakan ajian 

Munggah Langit!" batin si gadis cantik dalam hati. 

Beberapa saat kemudian bibir si gadis tampak 

berkemak-kemik membaca sesuatu. Setelah itu 

selendang yang melilit leher dilepaskan. Salah sa-

tu ujung selendang digenggam dengan erat. Se-

lanjutnya selendang itupun dilecutkan ke udara.

Tar! Tar!

Begitu selendang putih melecut di udara 

selendang berubah memanjang sekaligus mem-

buka lebar. Secara aneh ujung selendang itu me-

luncur deras ke udara, bergerak dengan kecepa-

tan laksana kilat disertai suara angin menderu. 

Di saat lain ujung selendang yang digenggamnya. 

Kembali satu keanehan terjadi. Selendang yang 

tadinya menjulur panjang kini bergerak menyu-

sut. Dengan begitu tubuh si gadis ikut terbetot ke 

atas mengikuti tarikan selendang. Hanya dalam 

waktu sekian saat lamanya gadis berpakaian ser-

ba putih memakai ikat kepala warna putih itu telah berada di Menara Gila.

Si gadis sentakkan ujung selendang yang 

menempel pada salah satu batu. Kemudian kem-

bali melilitkan selendang itu ke lehernya. Sejenak 

dia menarik nafas, menghirup udara dalam-

dalam. Setelah itu dia kitarkan pandang tanpa 

perduli betapa hembusan angin yang sangat ke-

ras terasa menampar-nampar wajahnya.

"Tidak kulihat di mana adanya orang tua 

itu. Aku juga tak melihat pondoknya?" pikir si ga-

dis. "Sita Berhala... aku Peri Bulan datang me-

nyambangimu. Aku berharap engkau mau unjuk-

kan diri. Ada beberapa hal yang ingin kubicara-

kan menyangkut muridmu dan juga Dewi Segoro 

Lor!" berkata si gadis menyebut nama asli orang 

yang dikunjungi.

"Aku ada di sampingmu, Peri Bulan." ter-

dengar satu suara menjawab. Peri Bulan cepat 

menoleh ke sampingnya. Kejut gadis ini bukan 

alang-alang begitu melihat di samping kirinya du-

duk sosok tubuh berwajah maupun rambut se-

perti beruang berwarna putih. Hanya badan tan-

gan dan kakinya saja yang sama seperti manusia. 

Yang mengherankan bagaimana si orang tua ta-

hu-tahu bisa berada di sampingnya, padahal tadi 

Peri Bulan sama sekali tak melihat ada orang di 

sekitar puncak Menara Gila?

"Orang tua, aku merasa senang kau pada 

akhirnya mau menjumpaiku. Adapun mengenai 

kedatanganku ini seperti yang sudah kukatakan 

adalah untuk membicarakan tentang muridmu

juga saudaraku Dewi Segoro Lor." kata si gadis 

setelah menjura hormat dan duduk tak jauh di 

depan kakek yang wajah maupun rambutnya 

sangat mirip dengan beruang.

Manusia Selaksa Guntur pandangi gadis di 

depannya sejenak dengan tatapan matanya yang 

mencorong tajam. Dia lalu palingkan wajahnya ke 

arah lain. Beberapa jenak lamanya suasana di 

puncak Menara Gila dicekam kebisuan. Sampai 

akhirnya si kakek berkata. "Apa yang terjadi di 

antara kita selama ini tentu bukan hanya engkau 

saja yang tahu Peri Bulan? Selama ini antara ke-

luargamu dan diriku tak mempunyai silang seng-

keta. Tapi di antara kita terikat suatu larangan di 

mana tak satupun dari anggota keluargamu yang 

boleh menjalin hubungan cinta dengan muridku 

maupun diriku sendiri. Karena kau tahu, jika hal 

itu sampai terjadi maka akan terjadi malapetaka 

besar bagi diriku. Kau keturunan bangsa lelem-

but, sedangkan aku turunan setengah manusia 

setengah gaib. Dalam kenyataannya aku berada 

dalam ujud sebagaimana yang kau lihat. Hidupku 

tersiksa selama bertahun-tahun. Karena itu aku 

tak pernah melanggar pantangan. Sampai saat ini 

diriku tidak ubahnya seperti orang yang sakit. Hi-

dup selama beratus tahun aku tak mau membuat 

kesalahan." menerangkan si kakek panjang lebar. 

Setelah diam sejenak dia melanjutkan. "Tapi ke-

mudian aku tak menyangka dihianati oleh murid-

ku sendiri. Bukan hanya itu saja, dia telah berani 

mencuri kitab Gentar Gaib. Kitab larangan yang


harus kujaga kerahasiaannya sampai aku mati. 

Semua ini juga merupakan alamat celaka bagi di-

riku. Aku tahu saudaramu yang bernama Dewi 

Segoro Lor datang menggoda muridku melalui 

mimpinya. Menyatakan perasaan cinta lewat 

mimpi pula. Ketika Sobo Serngenge mulai tergila-

gila pada saudara tuamu itu, dia mengajukan 

syarat agar muridku mendirikan sebuah singga-

sana bernama Rumah Sorga di teluk Rembang. 

Aku tak tahu muslihat apa yang ada dalam benak 

saudaramu itu. Yang jelas walau Sobo Serngenge 

memiliki kesaktian tinggi, tanpa menguasai isi ki-

tab Gentar Gaib dia tidak akan dapat mewujud-

kan semua impiannya itu. Tapi semua itu hanya 

membuat aku semakin menderita. Murid terkutuk 

itu harus kuhentikan!" ujar si kakek bermuka be-

ruang dengan suara perlahan.

"Untuk persamaan itu pula aku datang 

menyambangimu kemari kek. Aku tahu saudara-

ku Dewi Segoro Lor terkadang suka bertindak ne-

kad menuruti kemauan hati sendiri. Aku akan 

memberi teguran keras kepadanya. Semula aku 

beranggapan kakek tak mengetahui tentang se-

mua yang dilakukan oleh Sobo Serngenge. Se-

hingga aku memerlukan diri untuk datang ke ma-

ri. Tapi syukurlah ternyata kakek mengetahui 

semua kejadian di luaran sana menyangkut ten-

tang muridmu dan juga kakakku!" kata Peri Bu-

lan.

"Jadi apa rencanamu selanjutnya?" tanya 

Manusia Selaksa Guntur ingin tahu.


"Rencanaku tentu mencegah agar kakakku 

tidak sampai melanggar pantangan menikah den-

gan muridmu. Tapi semua itu tak mungkin ber-

hasil, sebab terus-terang saudaraku itu memiliki 

ilmu yang sangat tinggi. Kesaktiannya jauh bera-

da di atasku. Menghadapi Dewi Segoro Lor saja 

belum tentu aku sanggup mengalahkannya. Apa-

lagi jika muridmu sampai ikut turun tangan."

Si kakek Sita Berhala, manusia berujud se-

tengah manusia setengah beruang terdiam. Dia 

berpikir sampai saat ini Picak Kiri yang diutus 

untuk meminta kitab Gentar Gaib yang dicuri So-

bo Serngenge masih belum juga kembali. Padahal 

dia berjanji dalam waktu dua hari Picak Kiri akan 

menemui gurunya seandainya berhasil mengambil 

kembali kitab Gentar Gaib. Aneh, sampai saat ini 

Picak Kiri masih juga belum munculkan diri. Di-

am-diam perasaan kakek berujud manusia dan 

setengah binatang ini jadi gelisah. "Aku sebenar-

nya tak ingin meninggalkan Menara Gila ini. Tapi 

firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu pada 

Picak Kiri. Seandainya aku tidak ikut campur 

tangan dalam urusan ini, dunia persilatan kelak 

bisa ditimpa satu malapetaka yang sangat besar!" 

pikir Manusia Selaksa Guntur. Dia selanjutnya 

berucap. "Sebenarnya aku sejak dulu telah me-

mutuskan untuk tidak meninggalkan Menara Gila 

ini. Tapi keinginan itu nampaknya tidak dapat 

kupertahankan lebih lama. Aku berjanji akan 

pergi ke Teluk Rembang. Tapi harap dimaafkan 

karena aku tidak dapat pergi bersama dengan


mu." tegas si kakek.

Mendengar keputusan Manusia Selaksa 

Guntur, Peri Bulan terkejut. Dia sama sekali tak 

menyangka orang tua setengah manusia setengah 

binatang itu tidak mau pergi bersamanya. "Orang 

tua, mengapa kau tak mau pergi bersamaku? Pa-

dahal saat ini sudah banyak korban yang jatuh 

karena ulah Sobo Serngenge. Banyak mayat kehi-

langan kepalanya. Apakah hatimu tidak tersentuh 

melihat kematian mereka?" tanya Peri Bulan.

"Tentu saja perasaan dan naluriku sama 

dengan manusia lain. Seperti yang telah kukata-

kan, berdekatan denganmu, berjalan seiring seja-

lan membuat tubuhku terasa panas. Karena itu 

sebaiknya berangkatlah kau duluan. Aku pasti 

menyusulmu. Karena kitab Gentar Gaib itu bagi-

ku merupakan nyawa yang kedua." ujar si kakek.

Peri Bulan anggukkan kepala.

"Baiklah orang tua. Kalau sudah begitu ka-

tamu aku tentu tak dapat memaksa. Aku pergi 

dulu orang tua." berkata begitu Peri Bulan bang-

kit berdiri. Setelah menjura hormat gadis cantik 

itu membalikkan langkah. Selendang yang melilit 

leher dilepas. Kembali mulutnya berkemak-kemik 

hingga terdengar suara racau dengan irama tak 

menentu. Setelah itu selendang itu dikebutkan di 

udara tiga kali berturut-turut. Dari ujung selen-

dang menderu asap tebal yang langsung menye-

limuti sekujur tubuh Peri Bulan. Melihat hal ini 

Manusia Selaksa Guntur berdecak kagum. Se-

mentara di depannya sana sosok Peri Bulan yang


dilingkupi asap putih tebal mendadak raib dari 

hadapan si kakek 

"Ilmunya tinggi, bahkan sulit dijajaki. Tapi 

kepadaku dia masih tetap berendah hati dengan 

meminta bantuanku. Sebaiknya sejak sekarang 

aku harus bersiap diri. Sobo Serngenge murid 

murtad itu harus kubawa ke mari untuk meneri-

ma hukuman dariku." ujar si kakek. Sambil tetap 

duduk bersila dia tundukkan kepala.

Wuees!

Sama seperti gadis tadi, mendadak kakek 

Sita Berhala lenyap dari pandangan mata.



SEMBILAN



Di ujung dataran teluk yang menjorok ke 

tengah lautan kakek berambut putih laksana pe-

rak masih duduk bersila di tempatnya. Saat itu 

matahari susah hampir tenggelam di ufuk sebelah 

barat, angin laut berhembus sepoi-sepoi basah. Di 

tempat duduk si kakek tiba-tiba julurkan kepala 

dan memasang pendengarannya saat mendengar 

suara sayup-sayup derap langkah kuda yang ber-

gerak cepat menuju ke arahnya. Semakin lama 

derap langkah kuda semakin bertambah dekat, 

lalu semak bakau yang berada di depan si kakek 

tersibak. Seekor kuda berbulu putih muncul di 

tempat itu yang kemudian disusul oleh dua kuda 

lainnya berbulu sama. Si kakek memandang lurus ke depan. Dia melihat di atas punggung kuda 

yang berada di depan duduk seorang laki-laki 

berpakaian hitam berwajah bengis. Keangkeran 

wajah penunggang kuda itu tidak menimbulkan 

perubahan apapun pada diri si kakek. Dia melirik 

ke arah karung yang berada di atas punggung 

kuda kedua dan ketiga. Masing-masing karung 

besar itu terikat pada bagian mulutnya dan sama 

bersimbah darah.

"Busrut Rancak Bana, telah kau dapatkan 

apa yang dipesan oleh gurumu ini?" kata si kakek 

sambil memandang muridnya dengan tatapan 

dingin menusuk.

Orang tua di atas kuda melompat turun, 

lalu menjura hormat pada kakek berambut putih 

yang bukan lain adalah Sobo Serngenge. Setelah 

duduk bersila di depan sang guru dia menjawab. 

"Sesuai pesan guru Sobo Serngenge, saya murid-

mu tak pernah membuat kecewa. Saya telah pe-

nuhi apa yang guru minta. Karena itu sesuai janji 

guru, saya berharap kitab Gentar Gaib nantinya 

sudi guru mewariskannya padaku!"

Mendengar ucapan muridnya Sobo Sern-

genge memandang ke arah laki-laki yang berada 

di hadapannya sekilas. Setelah itu dia tertawa le-

bar.

"Apa yang ada dalam benak orang tua ini? 

Jalan pikiran dan isi hatinya sulit kutebak. Aku 

khawatir jangan-jangan dia malah membunuhku 

begitu semua keinginannya tercapai!" batin Ki 

Busrut Rancak Bana.


Dalam pada itu tawa si kakek sudah mulai 

mereda. Sebelum memberi jawaban atas keingi-

nan Ki Busrut si kakek ajukan pertanyaan. "Wak-

tuku sudah banyak yang terbuang, Busrut. Seha-

rusnya kemarin malam kau sudah sampai. Men-

gapa baru sore ini baru tiba di sini?" 

Mendengar pertanyaan Sobo Serngenge, Ki 

Busrut Rancak Bana sempat bingung juga. Tidak 

mungkin dia mengatakan duduk persoalan yang 

sebenarnya. Sehingga diapun menjawab.

"Maafkan saya atas keterlambatan itu. Se-

benarnya tadi malam saya sudah sampai ke sini 

jika aku tak dihadang oleh seorang pemuda be-

rambut gondrong dan kakek tinggi gemuk besar 

luar biasa. Saya sama sekali tak mengenal mere-

ka. Tapi dari bentrok tenaga dalam, saya menge-

tahui kedua orang itu memiliki tenaga dalam ser-

ta kesaktian yang sangat tinggi!"

Mendengar jawaban muridnya Sobo Sern-

genge terdiam, kedua alisnya berkerut tajam. Se-

telah berpikir sejenak dia bertanya. "Bagaimana 

ciri-ciri mereka, mengapa kau sampai berkelahi 

dengan mereka?"

Ki Busrut menjawab. "Ciri-ciri mereka, 

yang pertama adalah seorang kakek berumur lima 

puluh tahun lebih badannya gemuk tinggi dengan 

bobot sekitar dua ratus kati. Wajahnya bulat, 

kening lebar pipi tembam berbaju hitam tidak 

terkancing!" ucap Ki Busrut. Kening Sobo Sern-

genge berkerut tajam. Dia rasa-rasa kenal dengan 

orang tua dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan


muridnya.

"Kakek keparat itu pastilah Gentong Keta-

wa. Manusia aneh yang akhir-akhir ini banyak 

menarik perhatian kalangan rimba persilatan ka-

rena sepak terjang dan kekonyolannya. Sedang-

kan pemuda yang dimaksudkan muridku tentu 

Gento Guyon, murid Gentong Ketawa. Dua manu-

sia berkepandaian tinggi. Bagaimana Busrut bisa 

meloloskan diri dari tangan mereka." membatin si 

kakek berambut putih perak di hati. Tapi untuk 

meyakinkan diri, Sobo Serngenge kembali ber-

tanya. "Kemudian bagaimana ciri-ciri pemuda 

yang bersama kakek itu?"

"Badannya tegap, rambut gondrong berte-

lanjang dada. Sama seperti si kakek dia juga se-

perti orang kurang waras."

"Kurang waras tapi berilmu tinggi, lalu ba-

gaimana kau bisa sampai selamat sampai ke ma-

ri?" tanya Sobo Serngenge.

Sekali lagi Ki Busrut dibuat bingung. Tapi 

sekali lagi dengan ketenangan luar biasa dia men-

jawab. "Kusuruh muridku menghadapi mereka. 

Mengingat tugas yang guru berikan sangat pent-

ing. Aku terpaksa meninggalkan mereka untuk 

membawa kepala yang hendak dijadikan tumbal."

Sobo Serngenge tertawa mengekeh men-

dengar penuturan Ki Busrut Rancak Bana. Masih 

dengan tertawa dia lalu berkata. "Bagus, untuk 

kesetiaan dan itikad baik yang kau tunjukkan se-

bentar lagi kitab Gentar Gaib akan kuberikan pa-

damu. Sedangkan mengenai kedua orang itu nanti pasti akan mendapat hukuman dariku," tegas si 

kakek. "Sekarang ini sebaiknya kau turunkan ke-

dua karung itu. Aku ingin melihatnya. Jumlah 

kepala yang hendak dijadikan tumbal sebenarnya 

hanya kurang empat puluh delapan lagi. Akan te-

tapi jika ada kelebihan hal itu malah lebih bagus. 

Sekejap lagi teluk ini akan kujadikan daratan, se-

telah itu aku akan memerintahkan para siluman 

yang dibantu oleh para arwah penasaran untuk 

mendirikan singgasana sorga yang diinginkan 

Dewi Segoro Lor!" kata Sobo Serngenge.

Tanpa bicara lagi Ki Busrut lakukan apa 

yang diminta gurunya. Dua karung besar berisi 

potongan kepala diturunkan, lalu dibawa ke ha-

dapan gurunya.

Sobo Serngenge bangkit berdiri, pengikat 

mulut karung dibukanya. Dia merasa heran sen-

diri. Menurut sang murid kedua pembantunya 

sedang menghadapi Gentong Ketawa dan Gento 

Guyon. Tapi mengapa tiba-tiba saja sekarang po-

tongan kepala Ukir Koro dan Rono Gandul men-

gapa berada di dalam karung itu?

"Dia telah berani membohongiku, bagai-

mana nanti jika dia telah berhasil menguasai se-

luruh isi kitab Gentar Gaib? Bukan mustahil aku 

dibunuhnya!" geram Sobo Serngenge. Orang tua 

berambut perak itu kemudian membuat isyarat 

pada Ki Busrut Rancak Bana. Setelah orang tua 

itu mendekat dia berkata. "Menurutmu kedua 

anak buahmu sedang bertarung menghadapi mu-

rid dan guru sinting itu, betul?"


"Betul sekali guru." sahut Ki Busrut tanpa 

ragu.

"Orang yang sudah mampus dan tidak 

memiliki kepala bisa bertempur. Ilmu setan apa 

rupanya yang dimiliki oleh kedua anak buahmu 

itu? Sekarang coba kau lihat ini." Selesai bicara 

dua potongan kepala dilempar langsung ke arah 

orang tua itu. Potongan kepala menggelinding dan 

berhenti di ujung kaki Ki Busrut Rancak Bana. 

Dia terkesiap, wajahnya berubah pucat, mulut 

terngaga dan mata membeliak lebar. Walau ba-

gian wajah potongan kepala itu diselimuti cairan 

darah yang sudah mengering. Tapi dia tentu saja 

dapat mengenali dua wajah itu. Wajah kedua 

pembantunya, Ukir Koro dan Rono Gandul. Diha-

dapkan pada kenyataan seperti itu tentu saja Ki 

Busrut Rancak Bana jadi bingung sendiri.

"Guru... sungguh aku tidak berbohong 

dengan semua apa yang kukatakan tadi." kata si 

orang tua heran dan diliputi perasaan tidak men-

gerti.

Sobo Serngenge menyeringai. "Kuakui se-

mua kejujuranmu selama ini. Tapi terus terang 

hari ini aku sangat kecewa, walaupun kau berha-

sil membawa apa yang aku inginkan. Oleh karena 

itu wahai muridku, kini aku berubah pikiran." ka-

ta Sobo Serngenge dengan suara dingin menusuk. 

"Guru apa maksudmu?" tanya si orang tua. 

Sobo Serngenge sunggingkan seringai sinis. Ke-

dua tangannya yang sejak tadi berada di dalam 

kantung mendadak dicabutnya. Kemudian sambil


berteriak keras dia menghantam Ki Busrut Ran-

cak Bana. Sinar kuning kebiruan berkiblat ke 

arah Ki Busrut. Tidak mengira mendapat seran-

gan seperti itu dari gurunya sendiri, si orang tua 

tidak sempat menghindar. Pukulan ganas yang 

melanda dirinya membuat tubuh si kakek terlem-

par disertai jeritan panjang menyayat. Orang tua 

itu tewas seketika dengan tubuh hangus gosong.

"Ha... ha... ha! Siapapun yang mencoba 

membohongi aku, maka jiwanya tak akan pernah 

kuampuni!" teriak Sobo Serngenge sinis. Kemu-

dian tanpa pikir panjang lagi Sobo Serngenge 

mencampakkan seluruh kepala yang berada da-

lam karung ke dalam teluk. Begitu seluruh kepala 

tercebur ke dalam teluk yang dalam itu, maka 

terdengarlah suara bergemuruh hebat. Tanah di 

ujung Teluk Rembang di mana Sobo Serngenge 

berada bergetar hebat. Dalam gelapnya malam si 

kakek jatuhkan diri dan segera duduk. Sementara 

di bagian teluk suara gemuruh terus terdengar. 

Satu keanehan yang sulit dipercaya terjadi. Tanah 

di bagian dasar teluk naik ke permukaan. Bersa-

maan dengan itu pula di depan Sobo Serngenge 

muncul satu sosok tubuh berpakaian serba hitam 

ketat berwajah bulat lonjong dengan rambut pan-

jang tergerai.

Melihat kemunculan sosok gadis cantik ini 

Sobo Serngenge jadi berjingkrak kaget, matanya 

terbelalak seakan tak percaya dengan pengliha-

tannya sendiri. Dalam suasana gelap, di mana 

matahari telah digantikan dengan rembulan Sobo


Serngenge mengusap matanya sampai dua kali. 

Tapi perempuan cantik berumur sekitar dua pu-

luh tahun itu ternyata tidak hilang juga dari pan-

dangan matanya. Malah sosok itu sunggingkan 

senyum memikat pada kakek itu.

"Dewi Segoro Lor benarkah engkau ini 

adanya?" tanya si kakek, suaranya bergetar anta-

ra haru dan bahagia.

"Hik... hik... hik! Kau tak salah melihat, 

aku memang Dewi Segoro Lor!" jawab si gadis. Dia 

melirik ke dalam Teluk Rembang. Kini di tempat 

itu terlihat sebuah daratan berpasir luar. Daratan 

yang tercipta berkat kesaktian yang dimiliki oleh 

Sobo Serngenge dan juga tumbal yang telah di-

persembahkan untuk menciptakan daratan itu 

sendiri.

Sobo Serngenge tersenyum. "Kau telah me-

lihatnya. Aku telah dibantu oleh para arwah le-

lembut untuk menciptakan semua ini. Malam ini 

setelah melewati tengah malam akan kubuatkan 

singgasana Sorga sebagaimana yang kau minta." 

kata kakek tua itu dengan penuh rasa percaya di-

ri.

"Oh kakang Sobo, hatimu sungguh mulia. 

Cintamu sebening embun menyejukkan hatiku. 

Dalam sebuah alam yang jauh telah begitu lama 

aku melihatmu. Penglihatan gaib yang kemudian 

menumbuhkan rasa cinta di hatiku yang demi-

kian mendalam. Karena itu aku berani menam-

pakkan diri dalam tidurmu, bicara bebas tentang 

perasaan kita masing-masing. Tapi kakang Sobo


Serngenge mungkin cinta kita tidak akan berjalan 

mulus karena aku merasakan ada beberapa pihak 

yang mencoba menghalangi niat kita. Padahal da-

ri negeri yang jauh itu aku punya rencana besar 

untuk mendirikan sebuah kerajaan besar yang 

nantinya dengan kekuatan yang kita miliki serta 

bala bantuan dari prajurit dari alam lelembut kita 

taklukkan seluruh kekuasaan yang ada di dunia 

persilatan ini."

"Aku setuju, aku sependapat. Demi cintaku 

kepadamu apapun yang kau rencanakan aku pas-

ti mendukungnya. Malam ini aku akan perintah-

kan para setan, roh dan hantu gentayangan un-

tuk membangun singgasana Sorga sebagaimana 

yang kau minta. Kita pasti berhasil mewujudkan 

semua itu hanya dalam waktu semalam!" kata 

Sobo Serngenge. 

Wajah si gadis di bawah keremangan ca-

haya bulan nampak berseri-seri.

"Aku senang mendengarnya. Nanti setelah 

singgasana itu telah ditegakkan kita dapat meni-

kah secepat mungkin!" berucap si gadis dengan 

senyum bermain di bibirnya.

"Aku setuju, aku senang, aku sangat baha-

gia sekali!" menyahuti Sobo Serngenge dengan 

wajah berseri.

Kakek dan gadis itu saling mendekat, ke-

dua tangan dikembangkan. Nampaknya kedua in-

san berlainan jenis yang usianya terpaut jauh itu 

siap saling peluk satu sama lain untuk mele-

paskan kerinduan di hati masing-masing. Namun


pada saat itulah berkelebat satu bayangan putih 

disertai dengan menderunya angin dingin yang 

melabrak mereka, hingga membuat keduanya 

terhuyung. Belum lagi hilang rasa kejut di hati 

mereka terdengar satu bentakan keras melengk-

ing.

"Rencana gila itu harus dibatalkan, aku ti-

dak setuju jika kalian sampai menyatu dalam ke-

luarga!" kata satu suara.

Baik Dewi Segoro Lor maupun Sobo Sern-

genge cepat palingkan wajah ke arah datangnya 

suara itu. Sobo Serngenge melengak kaget ketika 

melihat tak jauh di depannya telah berdiri tegak 

seorang gadis cantik, berpakaian serba putih be-

rambut panjang. Di leher gadis itu dilingkari se-

buah selendang yang juga berwarna putih. Seba-

liknya Dewi Segoro Lor meskipun sempat kaget, 

namun begitu mengenali siapa yang datang nam-

pak sunggingkan senyum sinis.

"Tak usah takut. Dia adikku...!" kata gadis 

berbaju hitam membisiki. Penjelasan Dewi Segoro

Lor sedikitnya membuat perasaan Sobo Serngenge 

menjadi lega. Dia hendak mengatakan sesuatu, 

namun urung begitu gadis yang di cintainya 

memberi tanda. Kini Dewi Segoro Lor melangkah 

maju. Dia lalu membentak. "Peri Bulan buat apa 

jauh-jauh menyusulku ke mari?" 

Peri Bulan tersenyum tipis, sikapnya be-

nar-benar penuh ketenangan. Dengan tegas dia 

kemudian menjawab. "Dewi Segoro Lor, aku me-

mang sengaja membuntutimu, mengamat-amati


setiap gerak-gerikmu. Akhirnya aku tahu kau 

memendam hasrat pada kakek itu. Kau kemudian 

meninggalkan alam para peri, mendobrak tabir 

gaib dan nekad datang ke sini. Kau jangan ber-

mimpi bisa mewujudkan rencana sintingmu. Kau 

harus tahu tidak ada bangsanya peri menikah 

dengan manusia. Selain itu antara Manusia Se-

laksa Guntur dan Dewi Kuasa Peri junjungan dari 

seluruh peri dan mahluk lelembut telah membuat 

satu perjanjian, agar di antara kita dan mereka 

tidak melanggar larangan keramat itu. Jika itu 

sampai kau langgar berarti malapetaka bagi kita 

bangsanya peri dan juga celaka besar bagi Sita 

Berhala Manusia Selaksa Guntur."

"Hi... hi... hi. Apapun isi larangan itu aku 

tak perduli. Mereka yang membuat, mengapa ha-

rus aku yang mematuhinya? Aku sudah bosan 

hidup di dunia kita yang tak pernah mengenal ar-

ti kehadiran seorang laki-laki!" dengus Dewi Sego-

ro Lor sinis. Dia kemudian menambahkan. "Kau 

gadis kecil tahu apa. Lebih baik kau kembali ke 

duniamu. Aku tak punya waktu untuk melayani-

mu!" 

Peri Bulan gelengkan kepala.

"Dewi Kuasa Peri telah menegaskan pada-

ku agar menyeretmu kembali ke negeri kita. Jika 

kau membangkang, aku terpaksa turun tangan 

kejam kepadamu!" tegas Peri Bulan.

Dewi Segoro Lor tertawa panjang melengk-

ing. Sebaliknya Sobo Serngenge, bekas murid 

Manusia Selaksa Guntur yang telah berhasil


menguasai ilmu gaib dari kitab curian malah me-

langkah maju. Dia pandangi Peri Bulan sejenak 

lamanya. Dia harus mengakui, gadis yang satu ini 

ternyata memang lebih bila dibandingkan dengan 

Dewi Segoro Lor, walaupun mereka sama-sama 

dari golongan peri. Selain itu Peri Bulan setiap 

bertutur kata ucapannya lemah lembut. Tatapan 

matanya juga sangat bersahabat. Jauh berbeda 

dengan kakaknya Dewi Segoro Lor yang terkesan 

angkuh dan genit. Tapi walau bagaimana pun dia 

sudah terlanjur jatuh cinta pada Dewi Segoro Lor 

sejak gadis itu menjumpainya dalam mimpi untuk 

pertama kali. Sehingga walau bagaimanapun dia 

tetap berpihak pada Dewi Segoro Lor.

"Peri Bulan, sebaiknya kau mau memper-

timbangkan apa yang dikatakan oleh kakakmu. 

Karena untuk mewujudkan impian serta cita-cita 

kami. Terus-terang aku tak akan segan membu-

nuh siapa saja yang mencoba menghalangi, tidak 

terkecuali dirimu. Nah, daripada kau kembali ke 

tempat asalmu dalam keadaan tanpa nyawa. Se-

lagi ada kesempatan lebih baik kau tinggalkan 

tempat ini secepatnya!" perintah Sobo Serngenge 

tegas. 

Tapi jawaban peri Bulan ternyata di luar 

dugaan kakek itu. "Kakek tua, manusia tak ber-

budi pencuri tengik. Penghianat pada guru sendi-

ri. Tahu apa kau tentang peraturan di daerah asal 

kami! Aku tahu kau telah menguasai isi kitab 

Gentar Gaib. Apakah dengan begitu kau mengira 

aku jadi takut menghadapimu?!" dengus si gadis.


Mendidih darah si kakek mendengar uca-

pan Peri Bulan. Selama ini belum pernah ada pe-

rempuan yang berani bicara seketus dan sekasar 

itu. Tapi malam ini tampaknya dia harus menun-

jukkan kewibawaannya.



SEPULUH



Sekejab dia menoleh dan memandang ke 

arah Dewi Segoro Lor. Dengan tegas dia lalu ajukan pertanyaan. "Dewi, kekasihku. Jika kubunuh 

dia apakah kelak kau akan menyesalkan tinda-

kanku?"

"Hi... hi... hi. Kakang, kau bunuh dia sepu-

luh kali bagiku dia tak mempunyai arti apa-apa. 

Tapi kurasa aku yang lebih pantas menghadapi 

orang keras kepala seperti dia. Serahkan dia pa-

daku!" kata Dewi Segoro Lor. 

Mendadak dia goyangkan kakinya. Di lain 

saat gadis berpakaian hitam ini sudah berkelebat 

ke arah Peri Bulan. Dengan cepat tangan kanan-

nya dihantamkan ke dada adiknya, sedangkan 

tangan kiri menyambar ke bagian leher dengan 

posisi mencengkeram.

"Kurang ajar. Kau pergunakan pukulan Pa-

ra Peri Di Tengah Pusara!" seru Peri Bulan. Gadis 

ini langsung menghindar dengan miringkan tu-

buhnya ke kiri. Dia sadar betul pukulan yang di-

lancarkan kakaknya itu selain mematikan juga membuat kekuatan saktinya lenyap dalam seke-

jap. Dan pukulan ini di negeri mereka memang 

sangat jarang dipergunakan mengingat teramat 

ganas sekali.

Begitu miringkan tubuhnya dari arah ba-

wah dia menggerakkan tangannya ke atas sejajar 

dengan dada lawannya. Dewi Segoro Lor yang 

menyadari kedua serangannya tak mengenai sa-

saran menghindar ketika merasakan ada samba-

ran angin dingin mendera dadanya. Tapi tidak

urung ujung tangan Peri Bulan menyentuh da-

danya. Meskipun hanya berupa sentuhan, tapi 

menimbulkan rasa sakit yang sangat hebat bagi 

lawannya. Dewi Segoro Lor bahkan sempat ter-

huyung. Wajahnya agak pucat, sedangkan dari 

mulutnya terdengar suara erangan aneh.

"Perempuan sepertimu nampaknya me-

mang tidak perlu diberi hati!" teriak Dewi Segoro 

Lor. Tanpa berpikir panjang lagi dia segera mene-

kuk kaki kanan, sedangkan kaki kiri ditarik ke 

belakang. Sekejap kemudian kedua tangannya 

berkelebat berputar aneh di bagian kepala dan 

dadanya.

"Peri Mengadu Jiwa Di Atas Awan!" gumam 

Peri Bulan dingin. "Dia hendak mengadu jiwa 

denganku hanya demi cintanya pada tua bangka 

itu!" Peri Bulan katupkan kedua bibirnya. Begitu 

melihat Dewi Segoro Lor melesat ke arahnya sam-

bil melepaskan pukulan bertubi-tubi, maka gadis 

berpakaian putih ini pun tidak tinggal diam. Lak-

sana kilat dia melolos selendang putih yang dililitkan di bagian lehernya. Tenaga dalam dikerah-

kan ke bagian selendang, setelah itu senjata yang 

dapat memanjang bahkan bisa berubah kaku lak-

sana baja itu dikebutkannya ke depan menyam-

but pukulan lawan. 

Wuus!

Segulung angin laksana topan prahara 

menderu sebat menerjang ke arah awan, mempo-

rak porandakan pukulan yang dilepaskannya dan 

lebih dari itu tubuh Dewi Segoro Lor kini seakan 

terpental ke udara membubung tinggi di angkasa. 

Bagaikan seekor burung Peri Bulan juga melesat 

ke udara. Selagi tubuh mereka berada di udara 

terjadilah pertempuran sengit yang berlangsung 

sangat cepat dan sulit diikuti kasat mata.

Sobo Serngenge mendongak ke langit ikuti 

jalannya perkelahian. Dalam hati dia berkata.

"Kedua gadis itu sungguh luar biasa. Mere-

ka bertarung di udara bagaikan dua ekor elang 

ganas. Tapi senjata di tangan Peri Bulan itu san-

gat berbahaya. Jika tidak kubantu, Dewi bisa ce-

laka!" kata si kakek seorang diri.

Sementara itu di udara, Peri Bulan kembali 

mengebutkan selendang putihnya. Selendang itu 

meluncur ke depan. Secara aneh selendang ber-

tambah memanjang dan melebar disertai deru 

aneh. Selendang itu kemudian meliuk bagai lidah 

ular yang siap melilit mangsanya. Mendapat se-

rangan ganas seperti ini lawan menggunakan il-

mu Kecepatan Bergerak. Tubuhnya berkelebat 

menghindari sambaran selendang, sementara gerakannya terus mendekati Peri Bulan, maka tan-

gan kanannya segera dihantamkan ke dada lawan 

sedangkan tangan kiri berusaha merampas ujung 

selendang dalam genggaman Peri Bulan. Gadis 

berpakaian serba putih ini terkejut besar tak me-

nyangka lawan berbuat secerdik itu. Namun dia 

tentu saja tak sudi selendangnya berpindah tan-

gan. Sehingga dengan tangan kiri dia mencoba 

menangkis laju gerak tangan lawan yang berusa-

ha merebut selendangnya. 

Plak! Dessss!

Selendang yang hendak direbut memang 

berhasil diselamatkan. Tapi tangan kanan Dewi 

Segoro Lor menghantam telak tepat di bagian da-

danya. Peri Bulan menjerit keras. Tubuhnya me-

layang di udara dan terus meluncur ke bawah. 

Darah menetes dari bibirnya. Ketika dia jatuh 

terhempas di atas tanah, Peri Bulan yang mende-

rita luka dalam di bagian dada merasa sulit ber-

nafas. Dari atas sana lawan yang mengetahui Peri 

Bulan dalam keadaan terluka tidak memberi ke-

sempatan lagi pada adiknya. Selagi tubuhnya me-

luncur ke bawah dia kembali hantamkan tangan 

kanan kiri ke arah gadis itu. Sinar putih kebiruan 

mencuat dari telapak tangan Dewi Segoro Lor.

Sinar itu menderu ganas disertai menebar-

nya hawa dingin laksana es dan langsung mela-

brak tubuh Peri Bulan. Walau terluka parah, na-

mun Peri Bulan pantang menyerah begitu saja. 

Dengan tangan kiri dia menyambut pukulan maut 

lawannya sedangkan dalam waktu yang sama se


lendang putih pemberian Dewi Kuasa Peri pe-

mimpin tertinggi dari semua peri langsung dike-

butkannya ke atas. 

Cahaya putih melesat dari ujung selen-

dang, dari tangan kiri Peri Bulan menderu pula 

serangkum angin berhawa panas luar biasa. Dua 

tenaga sakti saling menyongsong di udara, hingga 

benturan keras pun tak dapat dihindari lagi.

Buuum! 

Terjadi ledakan berdentum yang merun-

tuhkan tanah di tebing Teluk Rembang. Sobo 

Serngenge sendiri tubuhnya sempat terguncang 

akibat pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh 

suara ledakan tadi. Di sudut sana dekat semak 

belukar Peri Bulan rebah miring sambil menge-

rang lemah. Sebagian selendangnya robek, se-

dangkan luka yang dideritanya makin bertambah 

parah.

Tak jauh dari Peri Bulan, lawannya nam-

pak jatuh dengan kaki ditekuk. Sedangkan tan-

gannya mendekap dada. Dari kenyataan ini terli-

hat walaupun Dewi Segoro Lor memang memiliki 

kesaktian satu tingkat di atas adiknya, tak urung 

dia menderita luka di bagian dada juga.

"Kekasihku, kau terluka...?" Sobo Sern-

genge cemas sekali.

Si gadis menyeringai. "Kakang, dia bukan 

apa-apa bagiku jika selendang itu tak berada di 

tangannya. Cepat rebut! Rampas selendang itu!" 

seru Dewi Segoro Lor.

"Hemm, daripada repot, lebih baik kuram


pas selendang dan nyawanya sekaligus!" dengus 

si kakek dingin. Kedua tangan yang terkembang 

kemudian diputar beberapa kali, hingga dalam 

waktu singkat tangan yang diputar menimbulkan 

angin bersiuran itu telah berubah merah, memba-

ra. Sambil berteriak keras dengan gerakan laksa-

na kilat kakek berambut putih segera menghan-

tamkan kedua tangannya ke arah Peri Bulan. Da-

lam keadaan terluka parah mustahil bagi si gadis 

dapat menyelamatkan diri. Tak ampun lagi sinar 

merah menyambar ke arahnya. Tapi belum lagi 

sinar maut itu mengenai sasarannya, detik itu 

pula dari arah semak belukar terlihat sinar yang 

sama menderu memapas habis sinar yang dile-

paskan Sobo Serngenge. Terjadi letupan keras, 

satu sosok tubuh berkelebat ke arah kakek itu 

disertai bentakan. 

"Murid murtad. Aku tak rela kau menggu-

nakan pukulan itu, apalagi berniat membunuh 

seorang gadis yang sudah tidak berdaya."

Sejenak lamanya Sobo Serngenge yang 

sempat terjengkang akibat bentrok tenaga dalam 

tadi nampak memandang lurus ke depan. Dia 

terkesiap begitu melihat satu sosok berujud se-

tengah manusia setengah beruang berdiri tegak di 

depannya sambil berkacak pinggang.

"Guru...!" seru Sobo Serngenge, dia jatuh-

kan diri berlutut di depan kakek bermuka dan be-

rambut beruang.

Orang tua itu mendengus. "Tak usah kau 

berpura-pura dengan menghormat pada tua


bangka ini, Sobo Serngenge?" kata si kakek sam-

bil diam-diam melirik ke arah Dewi Segoro Lor 

yang kini tengah duduk bersila memulihkan tena-

ga dalamnya. Jauh di dalam hati si kakek berka-

ta. "Gadis ini rupanya yang telah menjadi biang 

racun hingga muridku berani melanggar larangan 

bahkan mencuri kitab Gentar Gaib."

"Guru aku mengaku salah. Aku mohon 

maafmu dan siap menjalani hukuman." berucap 

kakek itu sambil menangis mengguguk. Si kakek 

bermuka beruang tahu ucapan muridnya itu ada-

lah palsu belaka. Sehingga sedikitpun dia tak 

mengurangi kewaspadaannya. Sebaliknya Dewi 

Segoro Lor tersentak kaget mengira Sobo Sern-

genge telah melakukan tindakan yang sangat 

pengecut. 

"Aku kecewa mendengar ucapanmu itu ka-

kang Sobo." kata gadis. Tapi dia tidak juga beran-

jak pergi dari tempatnya. Sobo Serngenge terke-

san seperti tak menghiraukan. Setengah meratap 

dia berkata. "Guru aku bersalah. Silakan kau hu-

kum jika itu kau anggap perlu. Tapi sebelum aku 

mati kitab akan kukembalikan padamu" ujar ka-

kek berambut putih itu. Dia kemudian berpura-

pura mengambil kitab Gentar Gaib dari balik baju 

putihnya. Si kakek berwajah beruang tegak mengawasi.


SEBELAS



Hanya beberapa saat saja Sobo Serngenge 

pura-pura sibuk mengambil kitab dari balik pa-

kaiannya. Tapi pada kesempatan lain sambil ber-

teriak keras dia menghantamkan kedua tangan ke 

arah gurunya sendiri.

"Pukulan Penakluk Iblis! Murid keparat!" 

seru si kakek. Dia yang memang merasa curiga 

sejak tadi langsung melemparkan diri ke samping 

sambil balas melepaskan pukulan ke arah murid-

nya.

Hawa panas menderu sebat ke arah Sobo 

Serngenge, sinar ungu berkiblat. Dua pukulan 

sakti saling bertemu di udara hingga terjadilah le-

dakan menggelegar. Sobo Serngenge terdorong 

mundur dua tindak sambil mendekap dadanya 

yang mendenyut sakit. Sebaliknya si kakek ber-

wajah beruang tanpa menghiraukan rasa sakit 

yang dideritanya segera melompat berdiri, lalu 

berkelebat ke depan sambil menghantam ke ba-

gian wajah muridnya. Sobo Serngenge cepat se-

lamatkan mukanya dengan menarik kepala ke be-

lakang.

Tapi tangan kakek muka beruang seolah 

berubah memanjang hingga membuat lawan jadi 

terkesiap. Dalam keadaan terkejut dia kembali 

melepaskan pukulan Penakluk Iblis menyambut 

serangan ganas lawannya. Sementara angin me-

nyambar tangan Sita Berhala yang menghantam


kepala bekas muridnya, maka dari arah samping 

Dewi Segoro Lor yang sudah mulai dapat memak-

lumi jalan pikiran orang yang dicintainya segera 

turun membantu. Begitu menerjang ke depan dia 

melepaskan dua pukulan beruntun ke arah si 

muka beruang. Dua larik sinar putih berkiblat 

menghantam tubuh si kakek. Semua ini tentu 

sempat dilihat oleh Peri Bulan. Namun dia yang 

terluka parah tidak dapat menolong Manusia Se-

laksa Guntur dari ancaman maut yang datang da-

ri dua arah sekaligus.

"Orang tua awas dari samping kananmu!" 

seru Peri Bulan yang masih rebah di tempatnya. 

Manusia Selaksa Guntur tentu tak ingin mati ko-

nyol. Sambil melompat mundur tangan kiri dihan-

tamkan ke arah samping menangkis pukulan De-

wi Segoro Lor sedangkan tangan kanan tetap di-

hantamkan ke depan menyambut pukulan Sobo 

Serngenge.

Dess!

Deees!

Tiga pukulan saling bertemu membuat Sita 

Berhala alias Manusia Selaksa Guntur jatuh ter-

jengkang. Kedua tangannya terasa sakit dan ngilu 

di bagian dalam, sedangkan dadanya terguncang. 

Wajah si kakek nampak pucat. Di depannya sana 

Sobo Serngenge jatuh dengan punggung menyen-

tuh tanah terlebih dulu. Dari sudut bibir si kakek 

rambut putih menetes darah segar. Tak jauh di 

sampingnya Dewi Segoro Lor begitu bentrok tena-

ga dalam dengan lawannya tampak terpelanting


dan terkapar dengan nafas menguik dan dada 

kembang kempis.

Tanpa menghiraukan luka yang mereka de-

rita, baik Sobo Serngenge maupun kakek muka 

beruang bangkit lagi. Sadar bekas gurunya me-

mang bukan manusia sembarangan, maka Sobo 

Serngenge kini mulai melancarkan serangan den-

gan pukulan-pukulan yang didapatnya dari kitab 

Gentar Gaib. Akibatnya tentu sangat memba-

hayakan si kakek. Sehingga jika tadi dia masih 

mampu menghadapi dua serangan sekaligus, ma-

ka kini menghadapi serangan gencar bertubi-tubi 

yang dilakukan bekas muridnya dia jadi terdesak 

hebat. Sementara itu dua pasang mata yang terus 

mengawasi jalannya pertarungan sejak tadi kini 

nampak saling berbisik.

"Kita harus melakukan sesuatu Gege, ka-

lau tidak kakek muka beruang itu bisa jadi tape. 

Murid durhaka itu nampaknya mulai berada di 

atas angin. Bahkan serangannya ganas berba-

haya. Lihat... apa saja yang kena dihantamnya ja-

di hangus gosong, untung kakek itu memiliki ke-

cepatan gerak yang sangat luar biasa!" ujar si ka-

kek gendut yang mendekam tak jauh dari si gon-

drong.

"Aku sudah melihatnya ndut. Kau dengar 

tadi, dia telah menguasai ilmu siluman yang be-

rasal dari kitab Gentar Gaib. Jika perkelahian ini 

kita biarkan sampai lewat tengah malam nanti, 

berarti dia bisa memanggil para siluman atau 

mahluk gaib apa saja dengan ilmunya itu!" me


nimpali si gondrong yang bukan lain adalah Gen-

to Guyon.

"Kau betul. Sekarang kita sudah menemu-

kan biang bencana yang telah membuat banyak 

orang terpaksa kehilangan kepala. Mengapa kita 

tidak segera turun tangan membantu kakek mu-

ka beruang dan menolong gadis baju putih yang 

terluka itu?" kata si kakek Gentong Ketawa.

"Cepat kau bantu mereka duluan ndut. Un-

tuk menghadapi manusia seperti Sobo Serngenge 

harus ada sesuatu yang kulakukan. Konon ku-

dengar orang yang memiliki ilmu itu harus bersih 

selalu. Aku akan lakukan kebalikannya. Sekarang 

aku membutuhkan daun talas!" ujar Gento.

"Eeh, apa yang hendak kau lakukan Gege?" 

tanya gurunya terheran-heran.

"Ah, kau orang tua cerewet amat seperti 

perempuan saja. Sudah sana bantu kakek itu!" 

tegas si pemuda.

Meskipun masih penasaran dan merasa 

tak mengerti dengan apa yang hendak dilakukan 

muridnya, namun si kakek segera berkelebat me-

ninggalkan tempat persembunyiannya. Sedang-

kan Gento sendiri setelah mencari kian ke mari 

akhirnya menemukan daun talas hutan yang di-

inginkannya. Sambil menyeringai setelah memetik 

dua lembar daun talas, Gento menyelinap di balik 

pohon.

Sementara itu Sita Berhala kini semakin 

terdesak hebat. Beberapa kali pukulan yang dile-

paskannya berhasil ditepis atau dibuat mentah


oleh lawannya dengan mudah. Padahal pukulan 

yang dilepaskan oleh kakek muka beruang ini 

bukan serangan biasa, melainkan serangan dah-

syat yang mengandung tenaga dalam sangat ting-

gi.

"Sita Berhala! Mana pukulan Selaksa Gun-

turmu yang menggegerkan itu! Aku Sobo Sern-

genge ingin merasakannya!" tantang si kakek 

rambut putih. Si kakek muka beruang menjadi 

geram mendengar ucapan bekas muridnya itu. 

Tulang pelipisnya bergerak-gerak, pipi menggem-

bung dan mulut terkatup rapat. Dia sadar Sobo 

Serngenge kini telah mengerahkan jurus maupun 

pukulan yang dipelajarinya dari kitab larangan. 

Jika tidak pasti sejak tadi dia sudah dapat diro-

bohkan oleh kakek muka beruang ini.

"Kau inginkan pukulan itu. Tidak menga-

pa, aku tua bangka yang tidak berguna ini akan 

meluluskan permintaanmu!" teriak Manusia Se-

laksa Guntur. Dengan cepat sekali orang ini sa-

lurkan tenaga dalamnya ke bagian kedua tangan. 

Setelah itu sambil melompat ke depan dua tan-

gannya diadu satu sama lain. Dari telapak tangan 

si kakek kilat menyambar disertai dengan terden-

garnya suara menggeledek keras menyakitkan te-

linga. Detik itu pula cahaya merah biru dan putih 

secara berturut-turut menyambar ke arah Sobo 

Serngenge. Kakek berambut putih yang berdiri te-

gak di depan sana tidak tinggal diam. Walaupun 

dia tidak menghindar, tapi kedua tangannya diputar ke depan, hingga membentuk satu perisai pertahanan yang sangat hebat. Sekejap kemudian 

ketika pukulan Manusia Selaksa Guntur meng-

hantam lawannya, maka terjadi ledakan beruntun 

yang menimbulkan guncangan hebat di tempat 

itu.

Tapi kenyataan yang terlihat kemudian 

sungguh membuat kakek Sita Berhala jadi geleng-

gelengkan kepala. Lawan di depan sana yang ter-

kena pukulannya jangankan tewas, terluka pun 

tidak. Hanya pakaiannya saja yang robek di sana-

sini akibat terkena sambaran yang dahsyat itu.

"Keparat, semestinya tubuh bangsat itu 

hancur berkeping-keping terkena pukulanku. Ta-

pi dia sama sekali tidak bergeming!" rutuk Sita 

Berhala di tengah-tengah rasa kejutnya.

Belum lagi rasa kaget di hati si kakek le-

nyap. Sobo Serngenge mendadak saja sudah me-

lesat sebat ke arahnya. Sambil hantamkan dua 

tangannya sekaligus ke dada si kakek muka be-

ruang dia berteriak. "Bencana Dari Alam Gaib!" 

seru Sobo Serngenge menyebut nama pukulan-

nya.

Sita Berhala alias Manusia Selaksa Guntur 

merasakan adanya hawa aneh menyambar seku-

jur tubuhnya. Sekejap si kakek sempat tercen-

gang, namun sesaat kemudian dia sudah jatuh-

kan diri menghindari dua pukulan itu. Akan teta-

pi orang tua ini benar-benar dibuat kaget, karena 

sedikitpun dia tak mampu menggerakkan tubuh-

nya. Kedua kaki laksana dipantek ke bumi. Tak 

terelakkan lagi pukulan Sobo Serngenge mendarat telak di bagian dadanya.

Manusia Selaksa Guntur menjerit keras, 

terpental dan semburkan darah. Di saat seperti 

itu pula dari arah belakang melesat satu sosok 

serba hitam yang sangat cepat dan langsung 

menghantam Sobo Serngenge dengan tendangan 

kaki.

"Kakang Sobo, di belakangmu!" teriak Dewi 

Segoro Lor memberi peringatan. Habis mele-

paskan pukulan ke arah lawan si kakek rambut 

putih memang merasakan adanya sambaran an-

gin berhawa panas mendera punggungnya. Se-

hingga dengan cepat dia menghindar. Tapi gera-

kannya kalah cepat dengan tendangan yang dile-

paskan oleh orang yang baru datang dari arah be-

lakangnya.

Dess!

"Akh...!"

Sobo Serngenge jatuh tersungkur sambil 

menjerit keras. Posisi jatuhnya persis di atas 

pangkuan Dewi Segoro Lor, sehingga mengundang 

tawa bagi si kakek gendut yang menyerangnya.

"Ha... ha... ha. Terlena dia dalam pelukan 

sang kekasih. Asyiik sekali?!" kata Gentong Keta-

wa sambil menuding ke arah Sobo Serngenge. Se-

dangkan Manusia Selaksa Guntur sendiri akibat 

pukulan ganas yang dilakukan si murid murtad 

membuatnya menderita luka di bagian dalam.

Sobo Serngenge menggeliat bangkit, Dewi 

Segoro Lor begitu melihat orang yang dicintainya 

dalam keadaan terluka juga tak mau tinggal di

am.

"Gendut bangsat. Kau kunyuknya yang 

bernama Gentong Ketawa!" geram si kakek be-

rambut putih.

Melihat orang mengenali dirinya, si kakek 

gendut diam-diam jadi kaget. Tapi hanya sekejap, 

karena dia kemudian tertawa terbahak-bahak. 

"Hebat. Penglihatanmu ternyata cukup awas juga. 

Bagus... sekarang menghormat lah pada kakekmu 

ini!" kata Gentong Ketawa masih terus tertawa.

"Kakang, manusia gila ini telah mencampu-

ri urusan kita, mengapa tidak kita bunuh saja dia 

sekarang juga?" teriak Dewi Segoro Lor berang.



DUA BELAS



Mendengar ucapan gadis berpakaian hitam 

Gentong Ketawa unjukkan sikap tidak perduli. 

Sebaliknya Manusia Selaksa Guntur merasa ter-

kejut melihat kemunculan si gendut ini. Begitu 

juga halnya dengan Peri Bulan. Tapi mereka tidak 

dapat berbuat atau ajukan pertanyaan apapun 

karena saat itu baik Sobo Serngenge maupun 

Dewi Segoro Lor sudah menyerang si gendut be-

sar dari dua arah sekaligus. Mendapat serangan 

ganas dari dua lawan yang menghendaki jiwanya, 

Gentong Ketawa mengerahkan seluruh ilmu me-

ringankan tubuh yang dia miliki. Tubuhnya yang 

besar bukan main itu bergerak lincah menghindar


ri pukulan maupun tendangan yang dilakukan 

dua lawannya. Terkadang tubuhnya meng-

huyung, oleng dan bergerak gerubak gerubuk se-

perti orang mabuk. Tapi di lain saat balas mele-

paskan pukulan ke arah lawannya. Suara angin 

berkesiuran ketika kakek ini menghantam ke 

arah Sobo Serngenge maupun Dewi Segoro Lor. 

Dua orang yang mendapat serangan dengan cepat 

membalas serangan dengan melepaskan pukulan 

pula.

Wuut! Wuuut! Buuum!

Kembali ledakan keras mengguncang Teluk 

Rembang. Dewi Segoro Lor terlempar sejauh tiga 

tombak. Sedangkan Sobo Serngenge tersurut 

sampai satu langkah. Di depannya sana Gentong 

Ketawa tergontai-gontai, wajahnya pucat pasi, 

dada berguncang keras. Walau di bibirnya mene-

teskan darah, tapi kakek ini masih mampu terta-

wa tergelak-gelak.

"Ha... ha... ha. Hanya usapan kecil yang di-

lakukan oleh dua bocah nakal. Keluar kecap se-

dikit tidak mengapa!" celetuk si kakek.

"Yang tadi usapan kecil dan yang sekarang 

ini adalah usapan yang akan merenggut jiwamu!" 

teriak Sobo Serngenge kalap.

Kakek berambut putih ini mendadak han-

tamkan tangannya hingga menyentuh tanah. Be-

gitu tangan yang dihantamkan ke tanah ditarik-

nya ke atas laksana kilat dia mendorongkan ke-

dua tangannya ke arah si kakek gendut.

"Awas. Pukulan Mahluk Alam Gaib Keluar


Dari Dalam Bumi!" seru Manusia Selaksa Guntur 

yang mengenali pukulan bekas muridnya.

Begitu melihat segulung angin dingin mele-

sat dari kedua tangan kakek rambut putih, maka 

Gentong Ketawa maklum lawan mengerahkan 

ajian pukulan hebat yang dimilikinya. Tanpa pikir

panjang Gentong Ketawa menghantam ke depan 

pula melepaskan pukulan 'Selaksa Duka' dan pu-

kulan Iblis Ketawa Dewa Menangis. Akibatnya 

sungguh sangat luar biasa sekali. Kedua orang ini 

sama jatuh terpelanting. Si gendut merasakan tu-

buhnya seperti remuk, nafasnya sesak menguik-

nguik. Sobo Serngenge lebih sengsara lagi. Berun-

tung dia memiliki ilmu aneh yang dapat melin-

dungi diri dari pengaruh dua pukulan sakti yang 

dilancarkan Gentong Ketawa, jika tidak mungkin 

nyawanya sudah amblas sejak tadi.

Dengan semangat berkobar-kobar tanpa 

menghiraukan rasa panas yang seperti membakar 

sekujur tubuhnya Sobo Serngenge kembali berdi-

ri. Dia menyeringai sinis ketika dilihatnya lawan 

masih terkapar dan terbatuk-batuk.

"Sekali ini tamatlah riwayatmu gendut gi-

la!" rutuk si rambut putih. Dua tangan kemudian 

bergetar dan mulai berubah hitam. Sobo Sern-

genge dengan kecepatan laksana kilat lalu me-

lompat sambil menghantamkan tangannya ke 

arah si kakek.

Selagi sinar hitam membersit dan melesat 

di udara dan menukik ke arah si gendut besar. 

Pada saat itu pula terdengar suara bentakan.


"Siapa berani mencelakai guruku. Maka sudah 

saatnya bagiku mengucapkan terima kasih dan 

memberi bingkisan!" 

Bersamaan dengan itu pula melesat dua 

buah benda bulat berwarna hijau. Benda-benda 

itu satu menderu ke arah Dewi Segoro Lor dan sa-

tunya lagi menghantam Sobo Serngenge yang me-

lepaskan pukulan. Selagi dua buntalan menderu 

di udara ke arah sasaran masing-masing. Maka 

orang yang melemparkan bungkusan tadi berke-

lebat ke arah si gendut bersikap melindungi. Begi-

tu jejakkan kaki dia berbalik menghadap ke de-

pan sambil dorongkan kedua tangan dengan dis-

ertai pengerahan tenaga dalam penuh. 

Brees!

Benturan yang sangat keras membuat si 

gondrong jatuh rebah di atas tubuh gurunya. Se-

mentara itu Dewi Segoro Lor maupun Sobo Sern-

genge yang tidak menyangka mendapat serangan 

benda berwarna hijau segera menghantam benda 

tersebut.

Wuus!

Pyar!

Begitu kena dipukul, bungkusan bulat tadi 

pecah, isinya yang berbau pesing tumpah meng-

guyur si gadis dan Sobo Serngenge. Kedua orang 

ini menjerit keras. Guyuran air berbau pesing itu 

telah membuat hangus tubuh si kakek maupun 

Dewi Segoro Lor. Sobo Serngenge terkapar tewas 

seketika itu juga. Sebaliknya Dewi Segoro Lor 

yang juga mengalami luka mengerikan itu begitu


"Siapa berani mencelakai guruku. Maka sudah 

saatnya bagiku mengucapkan terima kasih dan 

memberi bingkisan!" 

Bersamaan dengan itu pula melesat dua 

buah benda bulat berwarna hijau. Benda-benda 

itu satu menderu ke arah Dewi Segoro Lor dan sa-

tunya lagi menghantam Sobo Serngenge yang me-

lepaskan pukulan. Selagi dua buntalan menderu 

di udara ke arah sasaran masing-masing. Maka 

orang yang melemparkan bungkusan tadi berke-

lebat ke arah si gendut bersikap melindungi. Begi-

tu jejakkan kaki dia berbalik menghadap ke de-

pan sambil dorongkan kedua tangan dengan dis-

ertai pengerahan tenaga dalam penuh. 

Brees!

Benturan yang sangat keras membuat si 

gondrong jatuh rebah di atas tubuh gurunya. Se-

mentara itu Dewi Segoro Lor maupun Sobo Sern-

genge yang tidak menyangka mendapat serangan 

benda berwarna hijau segera menghantam benda 

tersebut.

Wuus!

Pyar!

Begitu kena dipukul, bungkusan bulat tadi 

pecah, isinya yang berbau pesing tumpah meng-

guyur si gadis dan Sobo Serngenge. Kedua orang 

ini menjerit keras. Guyuran air berbau pesing itu 

telah membuat hangus tubuh si kakek maupun 

Dewi Segoro Lor. Sobo Serngenge terkapar tewas 

seketika itu juga. Sebaliknya Dewi Segoro Lor 

yang juga mengalami luka mengerikan itu begitu

"Aku Peri Bulan. Atas nama Dewi Kuasa 

Peri, penguasa dari segala Peri juga mengucapkan 

terima kasih padamu dan gurumu itu!" ujar Peri 

Bulan sambil memandang Gento Guyon dengan 

satu kerlingan aneh namun menyimpan seribu 

arti.

"Ah tidak mengapa. Tak usah dipikirkan. 

Aku Gento Guyon dan guruku Gentong Ketawa

hanya sekedar membantu. Jadi tak usah terlalu 

dipikirkan tentang segala macam budi. Bukankah 

begitu guru?" ujar si pemuda pula sambil melirik 

ke arah gurunya.

"Ya... ya memang begitu." sahut si kakek 

yang kini telah berdiri di samping muridnya. Be-

berapa saat lamanya si gendut pandangi gadis 

cantik berpakaian putih yang bernama Peri Bulan 

dan juga Sita Berhala. Sambil menyeka cairan da-

rah di sudut bibirnya dia membisiki muridnya. 

"Yang ini baru sangat cocok buatmu, wajahnya 

cantik, dagu lonjong alis bagus, hidung bangir, 

lehernya juga bagus!" kata si kakek sambil terse-

nyum-senyum. Senyumnya lenyap begitu Gento 

menyodok perutnya dengan siku.

"Kakek muka beruang, maafkan si gendut 

ini. Tingkahnya memang terkadang seperti orang 

kurang waras. Maklumlah setelah tua dia jarang 

mendapat pengajaran!" ujar Gento dengan muka 

bersungguh-sungguh.

Mendengar ucapan muridnya wajah Gen-

tong Ketawa berubah merah. "Maaf kakek dan ga-

dis cantik. Apa yang dikatakan oleh muridku sama sekali tidak benar. Apa yang dikatakannya itu 

sebenarnya adalah menceritakan dirinya sendiri!" 

sergah si kakek.

"Kalian manusia hebat. Sekali lagi aku 

mengucapkan terima kasih. Aku ingin mohon di-

ri!" kata si gadis. Gento menatap gadis itu seje-

nak. Begitu Peri Bulan memandangnya dengan 

kerlingan matanya yang indah. Maka Gento men-

gedipkan matanya. Gadis itu tersipu dan cepat 

palingkan perhatiannya ke arah lain. "Kakek Sita 

Berhala dan kalian semua aku mohon pamit!"

"Berhati-hatilah Peri Bulan." ujar Manusia 

Selaksa Guntur. Orang tua ini kemudian meme-

riksa pakaian Sobo Serngenge. Setelah itu dia 

mengambil sesuatu dari balik pakaian si murid 

murtad. Ternyata benda itu bukan lain adalah se-

buah kitab berwarna hitam.

"Kalian telah menyelamatkan benda ini dan 

juga nyawaku. Aku banyak berhutang pada ma-

lam ini. Jika kalian ada waktu datanglah ke Me-

nara Gila. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih. 

Selamat tinggal para pendekar gagah!" 

Selesai dengan ucapannya si kakek berke-

lebat pergi. Gento gelengkan kepala.

"Kakek aneh dan gadis cantik itu. Mengapa 

pergi dengan tergesa-gesa?" gumam si pemuda 

menyayangkan.

"Ada apa rupanya, kau suka pada Peri Bu-

lan?" tanya si kakek gendut.

"Mungkin juga. Tapi kalau kuguyur dia 

dengan air kencingku. Apakah gadis secantik dia


mati juga seperti Dewi Segoro Lor tadi? Ha... ha... 

ha!" kata Gento diiringi tawa. 

"Bisa jadi begitu. Kencingmu ternyata lebih 

ganas dari racun cobra. Ha... ha... ha!"

"Mungkin juga, kalau begitu aku tak boleh 

jatuh cinta pada Peri Bulan. Sebab akhir dari cin-

ta harus menikah. Kalau sudah begitu kan ha-

rus.... ha... ha... ha...! Bisa mati dia." celetuk si 

pemuda.

Menyadari arti ucapan muridnya Gentong 

Ketawa tak kuasa lagi membendung tawanya. 

"Bocah edan, murid geblek. Ha.. ha... ha!"



                          - TAMAT -


NANTIKAN EPISODE SELANJUTNYA!!

TOPENG


Share:

0 comments:

Posting Komentar