..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 09 Desember 2024

GENTO GUYON EPISODE BAYAR NYAWA

GENTO GUYON EPISODE BAYAR NYAWA

 SATU


Dua sosok berpakaian serba kuning 

berlari cepat menuju sebuah pondok 

tersembunyi di puncak Gunung Wilis. Saat 

itu hujan lebat mengguyur puncak gunung, 

kabut tebal memutih menutupi pemandangan 

sedangkan suara angin menderu-deru 

mengiriskan. Beberapa kejap kemudian dua 

sosok tubuh yang berlari cepat di tengah 

derasnya hujan segera hentikan langkah. 

Mereka kini berdiri tegak di depan pintu 

pondok. Ternyata mereka adalah dua orang 

pemuda yang memiliki kemiripan wajah satu 

sama lain.

Beberapa saat lamanya mereka tegak 

di situ dengan pakaian basah kuyup. Ada 

rasa curiga terpancar lewat tatapan mata 

mereka ketika melihat pintu pondok yang 

terbuka.

"Apakah kau melupakan tugasmu 

mengunci pintu ketika hendak berangkat ke 

Wonogiri adik Ragil Pandara?" bertanya 

saudara tua yang bernama Barep Pandara 

sambil memperhatikan pemuda di 

sebelahnya.

"Tidak. Aku telah mengunci semua 

pintu. Lampu bagian dalam juga kupadam-

kan. Karena aku tahu Raden Tua tak 

membutuhkan penerangan!" sahut Ragil 

Pandara.

Kedua pemuda bersaudara kembar yang


mengabdikan diri pada majikannya selama 

belasan tahun itu saling pandang. "Ada 

sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. 

Mari kita lihat...!!" sergah Barep 

Pandara dengan perasaan kecut dan hati 

diliputi kegelisahan.

Tanpa perduli dengan tubuh dan 

pakaian mereka yang basah kuyup. Kedua 

bersaudara kembar ini melangkah masuk, 

pintu dibuka lebar, namun mereka tak 

dapat melihat apapun karena suasana dalam 

ruangan dalam keadaan gelap gulita.

"Nyalakan pelita!" seru Barep 

Pandara ditujukan pada adiknya. Sementara 

sang adik sibuk mencari lampu yang 

tergantung di dinding, maka Barep Pandara 

mulai berteriak. "Raden Tua... kami 

datang. Raden... kami baru pulang dari 

Wonogiri!"

Tak terdengar suara jawaban. Gema 

suara si pemuda lenyap ditelan gemuruhnya 

hujan yang makin menggila. Sedangkan 

disaat itu pelita yang diambil Ragil 

Pandara baru saja menyala menerangi 

sebagian ruangan.

"Celaka! Ruangan ini dalam keadaan 

berantakan. Siapa yang melakukan semua 

ini?!" desis Ragil Pandara begitu melihat 

hampir semua perabotan yang terdapat di 

seluruh ruangan nampak berhamburan 

memenuhi lantai tanah pondok yang tidak 

seberapa luas, tak kurang beberapa jenis


kitab yang di dalamnya terkandung 

pelajaran ilmu silat, ilmu pengobatan dan 

juga kitab-kitab sastra bergeletakan di 

atas lantai.

"Cari Raden Tua. Mari cepat kita 

cari!" perintah Barep Pandara kepada 

adiknya. Kedua pemuda itu akhirnya 

meneliti ke seluruh ruangan dalam. Sampai 

kemudian Ragil Pandara memekik kaget.

"Gusti Allah apa dosa orang tua 

ini?"

"Adik apa yang kau temukan?" tanya 

Barep Pandara yang berada di sudut 

ruangan yang lain. Dia cepat berpaling, 

memandang ke arah adik kembarnya. Barep 

Pandara melihat sang adik berdiri tegak 

dengan wajah pucat mata terbelalak dan 

mulut ternganga. Sekali pemuda ini 

berkelebat dia sampai di samping adiknya. 

Ketika dia ikut melihat ke arah mana 

adiknya memandang, Barep Pandara tanpa 

sadar sampai bersurut dua tindak ke 

belakang. Di depannya pemuda itu melihat 

satu sosok tubuh yang mempunyai cacat di 

bagian kedua kaki dan kedua tangan, dalam 

keadaan tergeletak kaku berlumuran darah. 

Bagian leher nampak menganga seperti 

digorok senjata tajam, sedangkan tulang 

dada berpatahan mencuat keluar. Di bagian 

lebih ke bawah lagi ternyata perut orang 

tua berambut putih yang mereka panggil 

'Raden Tua' robek besar. Bagian isi perut


berbusaian. Melihat luka yang terdapat di 

bagian leher, dada serta perut nampaknya 

masing-masing luka itu bukan disebabkan 

oleh satu senjata yang sama. Dalam 

perhitungan Barep Pandara sedikitnya ada 

dua orang yang telah datang membantai 

Raden Tua. Melihat semua apa yang telah 

terjadi baik Barep Pandara dan adiknya 

segera melakukan pemeriksaan. Mula-mula 

si mayat yang mereka teliti, karena tak 

menemukan apapun. Maka Ragil Pandara 

segera meneliti ke sekeliling di mana 

mayat itu ditemukan.

"Siapapun yang telah membunuhnya, 

aku yakin pembunuh itu belum jauh dari 

sini!" desis Barep Pandara dengan suara 

tersendat tak kuasa menahan rasa sedih 

dan haru.

"Kakang betul. Selain itu apa 

jawaban kita nanti jika putra dan putri 

Raden Tua menanyakan perihal kematian 

ayahnya?" ujar Ragil Pandara menimpali.

Dua abdi bersaudara kembar ini 

saling diam. Barep Pandara segera 

teringat kepergian mereka ke Wonogiri 

semata-mata karena mendapat kabar bahwa 

putra Raden Tua yang bernama Danang 

Pattira sedang menderita sakit keras. 

Raden Tua kemudian mengutus mereka untuk 

menyambangi putra tertua itu. Mereka 

kemudian pergi ke Wonogiri, tapi ketika 

mereka sampai di tempat kediaman Danang


Pattira, putra bekas hartawan paling kaya 

di Wonogiri ini, kedua abdi kepercayaan 

ini jadi terkejut.

Danang Pattira ternyata dalam 

keadaan segar bugar tak kekurangan suatu 

apa. Malah ketika dia sampai di pendopo 

luar, Barep Pandara dan adiknya melihat 

Danang Pattira sedang berlatih diri 

menerapkan jurus-jurus ilmu silatnya yang 

handal itu. Sang putra sulung nampak 

kaget melihat kehadiran mereka. Setelah 

mendapat penjelasan dari kedua abdi itu 

maka Danang Pattira segera menyuruh Barep 

Pandara dan adiknya kembali ke gunung 

Wilis.

"Kakang ke marilah! Aku menemukan 

sesuatu!" seru Ragil Pandara. Sang kakak 

tersentak kaget dan lamunannya pun buyar 

seketika. Cepat sekali dia menghampiri 

adiknya yang berdiri tegak di bagian 

pintu belakang. Apa yang dilihat adiknya 

ternyata bukan lain adalah sebuah benda 

terbuat dari bahan perak berbentuk kupu-

kupu yang menempel di dinding.

"Kupu Kupu Perak?" desis Barep 

Pandara begitu mengenali benda yang 

tergantung di bagian papan pintu. "Aku 

tak tahu benda ini milik siapa. Tapi aku 

merasa yakin benda ini pasti ada 

hubungannya dengan pembunuh Raden Tua."

"Apa yang dicarinya? Mengapa dia 

begitu tega membunuh orang tua papa yang


tidak punya kekuatan apa-apa dengan cara 

begini keji?" tanya Ragil Pandara heran.

Barep Pandara berpikir sejenak. Dia 

ingat betul, Raden Ponco Sugiri atau yang 

sering mereka panggil dengan sebutan 

'Raden Tua' orangnya sangat baik dan 

dermawan. Selain itu dia juga tak 

mempunyai seorang musuh pun. Raden Tua 

memiliki kekayaan melimpah ruah. Hampir 

seluruh tanah di daerah Imogiri konon 

dulunya adalah milik Raden Tua. Tak 

mengherankan bila dia adalah seorang 

bangsawan yang paling kaya. Bahkan harta 

bendanya sebagian tersimpan di suatu 

tempat yang dirahasiakan, sehingga bukan 

orang luar yang menginginkan harta itu 

saja yang tak tahu keberadaan harta itu, 

sebaliknya putranya sendiri bahkan tak 

mengetahuinya.

"Kita tak menemukan petunjuk selain 

kupu-kupu perak ini. Kurasa ada baiknya 

jika kita kuburkan mayat Raden Tua, 

setelah itu baru membawa kupu-kupu perak 

ini untuk ditunjukkan pada seluruh putra 

putri almarhum," pada akhirnya Ragil 

Pandara mengajukan pendapatnya.

"Kalau sudah ketemu, sebaiknya kau 

ambil kupu-kupu perak itu. Aku sendiri 

akan mengurus mayat Raden Tua. Nanti jika 

hujan mereda, kita secara bersama-sama 

menggali sebuah kubur. Besok pagi kurasa 

kita sudah bisa berangkat kembali ke


Imogiri untuk menjumpai Raden Danang 

Pattira!" Ragil Pandara anggukkan kepala.

Dia kemudian meraih kupu-kupu perak 

yang bagian kakinya menancap di papan 

pintu. Begitu kupu-kupu perak berada 

dalam genggaman tangannya si pemuda 

memperhatikan hiasan yang terbuat dari 

bahan perak tersebut. Ada sesuatu yang 

dirasakannya aneh begitu dia menyentuh 

bagian perut kupu-kupu ini. Bagian perut 

kupu-kupu diusap beberapa kali. Mendadak 

si pemuda merasakan adanya suatu getaran 

yang sangat aneh menjalari tubuhnya.

"Gila... mengapa tanganku jadi 

terasa panas begini? Akh...!" teriak 

Ragil Pandara sambil mengibaskan tangan-

nya yang memegang benda aneh itu. Tapi 

apa yang terjadi sungguh sulit dipercaya 

karena ternyata kupu-kupu perak itu tetap 

melekat di telapak tangannya. "Kakang 

Barep tolong...!" satu jeritan menyayat 

terlontar dari mulut si pemuda. Bersamaan 

dengan itu pula telapak tangan sampai 

pergelangan pemuda itu langsung melepuh, 

menggembung besar. Semakin lama semakin 

bertambah besar sampai akhirnya menge-

luarkan suara letupan keras. Daging dan 

darah berhamburan ke seluruh penjuru 

arah.

"Adik Ragil Pandara... kau... apa 

yang terjadi!" seru Barep Pandara sambil 

melompat menghampiri adiknya. Ragil


Pandara tampak terhuyung limbung, 

sementara matanya mendelik sambil 

memegangi tangannya yang hancur dengan 

tangan lain yang masih utuh. Barep 

Pandara mencoba merangkul adiknya agar 

jangan sampai jatuh. Tapi pada saat itu 

pula terdengar seruan keras sang adik.

"Akh... jangan... jangan kau sentuh 

tubuhku! Cepat menjauh...!" teriak Ragil 

Pandara yang kiranya sudah mengetahui 

bahwa kupu-kupu perak yang dipegangnya 

tadi bukan saja sangat beracun, tapi juga 

dikendalikan oleh satu kekuatan yang 

tidak terlihat.

"Adik kenapa?" seru sang kakak yang 

terpaksa urungkan niatnya tapi tetap

tertegak di tempatnya.

Ragil Pandara tak sanggup lagi 

memberi jawaban karena pada saat itu juga 

kupu-kupu perak yang jatuh dari genggaman 

tangannya tadi kini nampak melayang, 

terbang berputar-putar di udara sebanyak 

tiga kali mengelilingi Barep Pandara. 

Kepakan sayapnya yang cepat menimbulkan 

suara mendengung yang bila didengar 

dengan seksama tidak ubahnya seperti 

suara orang yang melontarkan suara makian 

yang datang dari satu tempat yang sangat 

jauh.

"Siapapun yang merasa dirinya dekat 

dengan Raden Ponco Sugiri, maka mulai 

saat ini hidupnya pasti tak akan bertahan


lama!" kata satu suara yang terdengar di 

antara suara dengung kepakan kupu-kupu 

perak. Suara aneh itu mendadak lenyap, 

Barep Pandara merasa kaget bukan main. 

Belum juga rasa kejutnya lenyap, kupu-

kupu perak tadi mendadak menukik dan kini 

hinggap di bagian dada Ragil Pandara. 

Sekujur tubuh pemuda yang telah hancur 

bagian tangannya itu bergetar hebat. Dia 

jatuh tersungkur. Sang kupu-kupu perak 

nampaknya sedang mengerahkan racun dan 

kekuatan aneh yang terkandung di dalam 

tubuhnya. Tidak tega melihat segala 

penderitaan yang dialami oleh Ragil 

Pandara, maka Bara Pandara menghambur 

bermaksud meremas hancur kupu-kupu perak 

yang menempel erat di dada adiknya. Dalam 

keadaan setengah sadar di mana tubuhnya 

sendiri mulai bengkak menggembung di 

sana-sini, Ragil Pandara sempat melihat 

langkah nekad yang hendak diambil saudara 

tuanya. Diapun melepaskan pukulan sambil 

berteriak. "Sudah kukatakan, jangan 

sentuh tubuhku. Cepat pergi tinggalkan 

tempat ini! Kabarkan tentang semua yang 

terjadi di sini pada seluruh keluarga 

Raden Tua!" Seiring dengan terdengarnya 

suara teriakan sang adik, detik itu pula 

segulung angin keras menderu dan melabrak 

Barep Pandara hingga membuat tubuh si 

pemuda yang tak menyangka mendapat 

serangan jadi terpental. Dia jatuh


terhempas melabrak pintu depan. Pada saat 

Barep Pandara hendak bangkit berdiri, 

detik itu pula sekujur tubuh Ragil 

Pandara yang telah menggembung bengkak 

secara aneh langsung meledak di sana-

sini. Daging halus seperti dicacah, 

potongan tulang, kepala dan darah 

bermentalan ke berbagai sudut ruangan.

"Adikku... huk... huk... huk...!" 

seru Barep Pandara dengan mata terbelalak 

lebar dan tubuh menggigil melihat semua 

keganjilan yang terjadi. Dia ingin sekali 

mendekati kepingan tubuh adiknya. Tapi 

pada saat itu pula dari kepingan daging 

serta darah yang berserakan di lantai 

tanah dia melihat mahluk-mahluk putih 

beterbangan. Mahluk kecil yang 

beterbangan itu ternyata bukan lain 

adalah kupu-kupu perak.

"Celaka! Bagaimana binatang keparat 

itu dapat berkembang biak hanya dalam 

waktu yang singkat?!" desis si pemuda. 

Dia pun tak dapat berpikir lebih jauh 

tentang segala perubahan sekaligus 

keanehan yang terjadi di depan matanya 

karena saat itu dia melihat puluhan kupu-

kupu perak yang beterbangan di atas 

kepingan mayat adiknya seperti mendapat 

perintah langsung menyerbu ke arahnya.

"Adik... adik... maafkan aku! Aku 

terpaksa meninggalkan dirimu dan Raden 

Tua berdua di sini." ujar Barep Pandara


dengan perasaan pilu dan rasa bingung 

yang tiada terkira.

Laksana kilat Barep Pandara 

bergulingan ke arah pintu. Pintu cepat 

dibuka, dia lalu menyelinap keluar. 

Setelah menutupkan pintu itu kembali. Dia 

pun lari menghambur menuruni puncak 

gunung Wilis. Saat itu hujan sudah mulai 

reda, namun kabut tebal masih menyelimuti 

puncak Wilis sampai ke bagian lerengnya. 

Barep Pandara sama sekali tak 

mempedulikan semua itu. Dia terus saja 

berlari sampai akhirnya sosok si pemuda 

lenyap ditelan kepekatan kabut yang 

menyelimuti suasana di sekeliling puncak 

gunung itu.

Sementara di dalam pondok di mana 

mayat Raden Tua dan kepingan mayat Ragil 

Pandara berada, puluhan kupu-kupu perak 

yang berkembang biak secara aneh itu 

nampak berusaha menerobos keluar. Kawanan 

kupu-kupu aneh ini bahkan menyerbu pintu 

sambil semburkan cairan biru dari balik 

mulutnya. Setiap semburan membuat papan 

pintu seperti hangus nyaris menimbulkan 

lubang besar, namun pada saat itu pula 

terdengar suara seseorang yang seakan 

diucapkan dari sebuah tempat yang teramat 

jauh.

"Jangan dikejar! Apapun yang hendak 

dilakukannya dia tidak begitu berarti 

bagiku. Sekarang sebaiknya kau bawa


teman-temanmu pulang, datang ke tempatku. 

Hidangan yang nikmat telah kusediakan 

untuk kalian. Ha... ha... ha!” kata suara 

itu. Puluhan kupu-kupu terbang mening-

galkan pintu, terbang berputar di langit-

langit rumah. Plaash! Puluhan kupu-kupu 

perak ini akhirnya lenyap menjadi setitik 

kabut yang tak meninggalkan bekas sama 

sekali.



DUA



DI tepi muara sungai Lanang yang 

menghadap langsung ke laut Kidul hampir 

setiap hari selalu terdengar suara orang 

melantunkan senandung yang meratapi nasib 

dan membuat haru bagi orang yang 

mendengarkannya. Di muara sungai yang 

banyak ditumbuhi pohon-pohon bakau banyak 

dihuni oleh kawanan kelelawar. Tak heran 

bila hampir setiap menjelang pagi atau 

setelah matahari terbenam, daerah itu 

selalu diwarnai oleh suara hiruk pikuk 

kelelawar.

Siang itu terik matahari terasa 

menggarang batok kepala. Deburan ombak di 

pantai laut kidul terdengar sayup-sayup 

di kejauhan. Tak jauh dari muara sungai 

seorang kakek tua berbadan gemuk besar 

luar biasa berwajah bulat berkening lebar 

duduk seenaknya di atas cabang pohon 

cepluk yang sedang berbuah lebat. Sambil


duduk mulutnya terus mengunyah, sesekali 

terdengar pula suara menyiplak disertai 

seringai pertanda buah cepluk yang 

dimakannya walau berwarna merah, segar 

namun asam bukan main. Melihat besarnya 

badan si kakek dengan berat lebih dari 

dua ratus kati, seharusnya cabang pohon 

itu sudah patah sejak tadi. Tapi ternyata 

tidak, cabang pohon yang sekecil itu 

jangankan patah, bergoyangpun tidak. Ini 

merupakan pertanda bahwa si kakek gendut 

besar memiliki ilmu meringankan tubuh 

yang sangat luar biasa.

"Kau tak suka buah cepluk ini, 

Gege?" berucap si kakek yang bukan lain 

adalah Gentong Ketawa.

Pemuda yang duduk di cabang pohon 

di atas si kakek menyeringai. Sama 

seperti si kakek sikapnya acuh tak acuh. 

Sekali dia melirik ke bawah di mana 

Gentong Ketawa duduk sambil menikmati 

buah cepluk, setelah itu dia kembali 

memandang ke hamparan laut yang membiru 

di depannya.

"Aku tidak akan heran kau 

mengatakan buah itu manis. Orang 

sepertimu apa saja dicaplok, karena pada 

dasarnya kau memang manusia rakus. Ha... 

ha... ha!" sahut si pemuda disertai tawa 

tergelak-gelak.

Di cabang pohon bawah Gentong 

Ketawa ikutan tertawa, perut gendutnya


bergoyang-goyang. Sambil tertawa dengan 

gerakan secepat kilat tangannya 

berkelebat ke atas. Wuuut! Satu buah 

cepluk melesat laksana kilat ke mulut si 

pemuda yang bukan lain adalah Gento 

Guyon. Terdengar suara orang seperti 

tersedak makanan. Tawa si pemuda lenyap, 

matanya mendelik sedangkan tangan kanan 

kini sibuk memijit-mijit bagian 

tenggorokannya. Melihat muridnya tidak 

ubahnya seperti ayam tertelan karet, tawa 

si kakek semakin bertambah keras hingga 

pohon cepluk yang didudukinya ikut pula 

terguncang keras.

"Ha... ha... ha! Dasar serakah, 

pura-pura malu padahal mau. Kalau mau 

makan harus dikunyah dulu, jangan 

langsung ditelan. Sekarang kau jadi 

kelolodan, tersedak. Bocah goblok.... 

Ha... ha... ha...!" kata si kakek sambil 

memegangi perutnya

Di cabang pohon atas Gento Guyon 

dengan muka merah dan mata berair 

terpaksa pukul bagian belakang lehernya 

sendiri, hingga buah cepluk meloncat 

keluar dari dalam tenggorokannya. Dengan 

perasaan kesal dia sambar buah cepluk 

yang masih hijau.

Wuut!

Belasan buah yang masih muda 

berhamburan melesat ke arah si kakek yang 

sedang tertawa. Tiga di antara buah itu


masuk ke dalam mulutnya. Dua lagi 

menghantam kening si kakek yang lebar, 

satu menyentil tenggorokan dan yang 

lainnya jatuh di atas perut Gentong 

Ketawa. Buah yang masuk ke dalam mulut 

langsung tertelan, amblas ke dalam perut 

akibat sentilan buah di bagian leher. 

Sedangkan kening kakek Gentong Ketawa 

nampak benjol di tiga bagian berbentuk 

segitiga. Seakan tak percaya Gentong 

Ketawa mengusap keningnya. Tawa terhenti 

sedangkan mata mendelik besar.

"Guru, kau sedang mabok atau apa? 

Makan buah saja bisa ngawur begitu. 

Biasanya orang makan dimasukkan ke mulut, 

bukan dibenturkan ke jidat, leher atau 

perut. Rupanya kau tak puas memakan yang 

masak, hingga yang masih hijau pun guru 

telan. Dasar orang tua pikun. Ha... ha... 

ha!” kata Gento disertai tawa mengekeh.

Merasa kesal melihat ulah Gento 

yang konyol, si kakek sejenak jadi lupa 

kalau pemuda itu adalah muridnya sendiri. 

Enak saja tangan kanannya dihantamkan ke 

cabang pohon di atasnya. Seketika itu 

juga dari telapak tangan Gentong Ketawa 

menderu serangkum angin dingin yang 

langsung menghantam pohon di mana Gento 

berada. Cabang pohon rambas seperti 

dipulas angin ribut. Tapi sesaat sebelum 

itu Gento Guyon sudah melesat ke udara, 

berjumpalitan tiga kali, kemudian


tubuhnya meluncur ke tempat semula. Tapi 

dia jadi terkejut begitu menyadari cabang 

pohon yang hendak ditujunya rambas 

gundul. Takut tubuhnya jatuh terhempas 

dari atas ketinggian, tanpa pikir panjang 

lagi dengan menggunakan sebagian tenaga 

luncuran dia berkelebat dan bergerak ke 

arah gurunya. 

Bluk! Tanpa terduga oleh Gentong 

Ketawa gerakan terakhir yang dilakukan 

muridnya membuat pemuda itu dapat 

merangkul kedua bahu si kakek, hingga 

keadaannya seperti anak kecil yang 

digendong di bagian punggung.

"Bocah geblek! Apa-apaan kau...!" 

damprat Gentong Ketawa sambil mengibaskan 

bahunya agar tangan Gento terlepas.

"Ha... ha... ha. Asiiik... sudah 

digendong diayun lagi." kata si pemuda 

sambil tertawa-tawa.

"Kurang ajar. Kau benar-benar tak 

punya aturan sama sekali!" dengus si 

kakek. Kali ini dia menggerakkan tubuhnya

lebih keras.

"Hei, cabang pohon ini bisa patah!" 

seru si pemuda.

"Biar, biar saja patah, nanti kita 

jatuh bersama-sama." dengus Gentong 

Ketawa cemberut. 

Kraaak!

"Tuh kan, patah juga akhirnya!" 

celetuk si pemuda. Tubuh mereka pun


akhirnya meluncur deras bersama patahan 

cabang pohon. Selagi kedua sosok tubuh 

ini meluncur deras ke bawah, murid dan 

guru masing-masing cari selamat. Sehingga 

mereka jatuh dengan kaki menjejak ke 

tanah.

"Murid sinting. Kau selalu 

membuatku kesal Gege!" teriak gurunya. Si 

pemuda tampan berambut gondrong ber-

telanjang dada hendak menyahuti. Tapi 

mulutnya yang sudah membuka mendadak 

terkatup kembali karena pada saat yang 

bersamaan dari arah muara sungai Lanang 

terdengar suara sayup-sayup seseorang.

"Di muara sungai Lanang aku 

dibesarkan, di dalam bebas tidak bertuan. 

Di sini aku jauh dari bapak ibu moyangku. 

Aku berada di tengah suara cericit mahluk 

hitam kawanku. Tidurku berselimut dingin-

nya malam. Aku makan dari belas kasihnya 

hewan. Tanah moyangku jauh dari impian. 

Tapi aku rindu ingin pulang ke haribaan 

ayah. Kadang rinduku ingin kembali dalam 

pelukan ibu. Sayang langkah terhalang 

oleh cacat celak laknat. Tuhan... oh 

Tuhan. Namamu selalu kuagungkan, namun 

mengapa nasib tak berpihak padaku? Kutahu 

ibuku telah berpulang. Tapi mengapa 

seorang ayah begitu tega mencampakkan 

daku dari kehidupannya? Ohh... malang 

sungguh malang. Aku ingin menangis. 

Huk... huk... huk!”


Suara yang terdengar mendadak 

lenyap. Murid dan guru saling berpan-

dangan. "Aneh...!" desis Gentong Ketawa. 

"Di tempat sesepi ini ternyata masih ada 

kehidupan juga. Entah buat siapa dia 

bicara. Tapi apa yang diucapkannya 

sungguh mengharukan menusuk kalbu."

"Mungkin itu suara jin laut, atau 

bisa jadi suara hantu penunggu muara. 

Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat 

ini. Aku takut guru kesurupan dan ikutan 

bicara ngaco seperti suara yang kita 

dengar itu!" kata si pemuda. Gentong 

Ketawa gelengkan kepala.

"Tidak begitu Gege. Aku yakin yang 

bicara tadi adalah manusia. Pasti ada 

sesuatu yang membuat perasaannya tertekan 

dan hati tersiksa. Aku ingin tahu siapa 

dia adanya." tegas si kakek.

"Guru jangan nekad. Siapa tahu dia 

bermaksud menjebak kita," Gento Guyon 

tampak meragu. Gentong Ketawa keluarkan 

suara tawa bergelak. Dia berpikir sejenak 

lamanya. Menurut pendapat si kakek 

mustahil pemilik suara tadi menjebak 

mereka, karena ucapan orang itu nampaknya 

ditujukan pada dirinya sendiri.

"Aku harus ke sana!" pada akhirnya 

si kakek memutuskan.

"Guru...!" Gento berseru. Sejenak 

lamanya dia berdiri tegak dalam 

kebimbangan. Tapi setelah gurunya tak


terlihat lagi dari pandangan mata, si 

pemuda lalu segera menyusulnya. "Dasar 

gendut keras kepala. Kalau sudah katanya 

tetap tak mau dibantah." rutuk si pemuda.

Di muara sungai Lanang yang cukup 

dalam dan berair keruh begitu banyak ikan 

yang hidup di situ. Hampir setiap saat 

permukaan air berombak karena berbagai 

jenis ikan terus bermain menyambar apa 

saja yang mengambang di atas air.

Di balik tikungan muara, di atas 

salah satu pohon bakau, sosok tubuh 

mendekam di situ. Sosok berpakaian hitam 

rombeng ini masih sangat muda. Wajahnya 

dipenuhi totol-totol hitam, mulutnya 

lancip seperti mulut kera, sedangkan 

hidung rata seperti hidung monyet. Di 

bagian leher si pemuda terdapat benjolan 

besar seperti gondok. Sedangkan punggung-

nya bongkok, sehingga badan terkesan 

tertarik ke belakang. Selain cacat pada 

bagian wajah dan badan, ternyata tangan 

pemuda itu juga dalam keadaan cacat. 

Bagian tangan tidak tumbuh normal. 

Melainkan kecil seperti tangan bayi yang 

baru terlahir sedangkan panjangnya 

setengah dari panjang tangan orang 

dewasa. Walau kedua tangan cacat dan 

tidak berfungsi sama sekali. Tapi sosok 

pemuda yang memiliki banyak cacat itu 

memiliki dua kaki sempurna sebagaimana 

layaknya manusia lain. Ketika itu salah


satu kaki si pemuda masuk ke dalam air. 

Hanya beberapa saat kaki terangkat ke 

atas. 

Wuut! Pluk! Pluk!

Beberapa ekor ikan air payau 

berlesatan di udara. Si pemuda buka 

mulutnya lebar-lebar sambil menyendok.

Glek! Glek!

Ikan yang berhasil ditangkap dengan 

cara yang aneh ini dalam keadaan hidup 

langsung amblas ke dalam mulut si pemuda 

cacat. Di balik tonjolan akar pohon bakau 

si kakek yang melihat pemandangan ini 

mendadak merasa perutnya menjadi mual.

"Hoeek...hueek...!"

Buah cepluk berhamburan keluar dari 

mulut Gentong Ketawa. Gento yang baru 

saja sampai di tempat itu jadi kaget.

"Guru, kau kenapa? He... he... he. 

Aku tahu kau pasti terlalu banyak makan 

buah cepluk. Perutmu mulas, perutmu 

sakit. Rasakan sendiri...!" kata si 

pemuda. Karena masih muntah, Gentong 

Ketawa hanya dapat menunjuk-nunjuk ke 

arah mana tadi dia melihat pemuda aneh 

mengail ikan dengan kakinya.

Gento langsung memandang ke arah 

yang dimaksudkan gurunya. Tapi dia tidak 

melihat apapun di sana terkecuali puluhan 

kelelawar yang bergelantungan memenuhi 

cabang pohon.

"Cuma kelelawar, cuma bapak kampret


buat apa ditakuti." sergah Gento.

"Kadal buntung, pentang matamu 

baik-baik. Kau lihat pemuda di atas pohon 

bakau itu?" sambil berkata si kakek 

layangkan pandangannya ke arah semula. Si 

orang tua jadi melengak kaget karena 

pemuda yang dilihatnya tadi ternyata 

lenyap dari pandangan mata, "Eeh, ke mana 

dia?" desis Gentong Ketawa heran.

"Ha... ha... ha. Sudah kukatakan 

buah yang kau makan sangat memabukkan. 

Sekarang semuanya terbukti bukan? Kau 

mabuk sungguhan!" kata si pemuda sambil 

cibirkan bibirnya.

"Aku tidak mabuk. Aku melihat 

pemuda cacat itu, dia memancing dengan 

kakinya. Memakan hasil kailan nya hidup-

hidup. Sungguh aneh mengherankan." desis 

kakek itu sambil melempar pandang ke 

segenap penjuru sudut pohon.

"Nah ketahuan sudah, bicaramu ngaco 

kau mabuk berat guru." dengus Gento Guyon 

tetap tak percaya.



TIGA



Mendengar ucapan muridnya si kakek 

terkesan tak perduli. Mata sipitnya terus 

saja jelalatan memandang ke arah mana 

tadi dia melihat pemuda bungkuk bermulut 

lancip, berhidung pesek, muka bertotol 

hitam.


"Itu dia...!" berseru si kakek 

begitu melihat pemuda tadi julurkan 

kepala mengintip dari balik pohon. Seruan 

si kakek membuat si pemuda tarik wajahnya 

ke belakang, hingga ketika Gento meman-

dang ke arah itu dia tak melihat apa-apa.

"Guru... kau sengaja hendak 

mempermainkan diriku?" gerutu si pemuda.

"Sialan, aku tak pernah 

mempermainkan dirimu, ngibul sedikit tak 

jadi apa. Tapi kali ini aku bicara 

serius. Kalau kau tak percaya cepat 

periksakan dari arah depan, biar aku dari 

arah belakang." berkata begitu tubuh 

tambun gemuk luar biasa segera 

berkelebat, lenyap di antara celah 

kerapatan pohon bakau.

"Hem, agaknya guru memang tidak 

main-main dengan ucapannya. Biarlah aku 

yang akan melihat dari arah depan sini," 

Gento Guyon akhirnya memutuskan. Pemuda 

ini kemudian melompati akar-akar bakau 

yang bersembulan di permukaan tanah. 

Belum lagi pemuda ini sampai di tempat 

gurunya melihat pemuda aneh tadi. 

Mendadak sontak terdengar suara pekikan 

aneh disertai dengan menderunya sinar 

hitam yang langsung menghantam Gento 

Guyon.

"Kampret. Belum sempat bertegur 

sapa malah disambut dengan pukulan maut 

begini rupa!" damprat si pemuda. Dengan


menggunakan ilmu meringankan tubuhnya dia 

melesat ke salah satu cabang pohon yang 

terdapat di sebelahnya. Di belakangnya, 

di bawah sana terdengar suara ledakan 

berdentum. Beberapa pohon bakau bertum-

bangan menimbulkan suara gemuruh hingga 

membuat kelelawar yang tinggal di situ 

beterbangan tak tentu arah. Sementara 

dari arah belakang di mana gurunya 

menyelidik juga terdengar suara orang 

mengumpat.

"Majikan pemilik muara, kami datang 

dengan membawa maksud baik. Jangan serang 

kami. Aih... tega juga kau memukul 

kakekmu ini!" pekik si kakek gendut. Sama 

seperti muridnya, laksana kilat dia 

langsung berlindung di balik kerapatan 

pohon cari selamat. Ledakan keras kembali 

terdengar beberapa pohon besar 

bertumbangan. Satu sosok tubuh berpakaian 

serba hitam berkelebat laksana kilat 

meninggalkan tempat persembunyiannya. 

Karena sosok aneh itu melesat melewati 

kepala Gento, maka pemuda ini mendongak 

ke atas. Dia tercengang dengan mata 

terbelalak. Walau sekilas namun dia 

sempat melihat sosok yang melintas di 

atas kepalanya tadi.

"Orang itu menanggung kutuk atau 

dosa apa hingga keadaannya begitu 

menyedihkan?" batin si pemuda. Belum juga 

hilang rasa kagetnya dari arah yang sama


mengejar sosok tinggi tambun besar bukan 

main sambil tertawa tergelak-gelak.

"Kejar anak kampret itu jangan 

sampai lolos!" seru si kakek.

Gento yang merasa dilewati untuk 

yang kedua kalinya merutuk habis-habisan. 

"Yang tua saja tak tahu peradatan apalagi 

cuma sekedar anak kampret. Monyet betul!" 

Berkata begitu si pemuda segera menyusul 

gurunya. Sampai di satu tempat di luar 

daerah muara sungai Lanang orang yang 

dikejar gurunya mendadak hentikan langkah 

dan langsung membalikkan tubuh menghadap 

langsung ke arah si kakek. Memandang pada 

Gentong Ketawa sejenak dan juga Gento 

Guyon yang datang kemudian, agaknya 

pemuda ini segera menyadari kalau 

sebenarnya mereka bukanlah orang jahat. 

Sehingga ketegangan yang menyelimuti 

wajahnya secara perlahan lenyap.

"Agaknya di dunia ini sudah tidak 

ada tempat yang aman bagi si buruk rupa 

begini. Sejak kecil aku diasingkan, lalu 

diburu seperti kelinci. Wahai orang 

berbudi, kalau boleh aku meminta 

hendaknya kau membunuhku saat ini juga!" 

berkata pemuda bongkok muka bertotol 

hitam itu. Suaranya pelan, bergetar dan 

terkesan putus asa. Gento dan gurunya 

diam-diam merasa kaget. Tanpa sadar 

mereka saling melempar pandang.

"Satu lagi permintaan yang dilaknat


Gusti Allah kudengar hari ini." kata si 

kakek berbisik.

"Mungkin dia mengira kau malaikat 

pencabut nyawa, hingga begitu melihatmu 

dia langsung merindukan kematian." 

menyahuti Gento Guyon dengan berbisik 

pula.

Gentong Ketawa sunggingkan seulas 

senyum. Dia tidak menanggapi ucapan 

muridnya. Sebaliknya sekarang dia 

melangkah maju mendekati pemuda bungkuk 

dengan cacat tubuh mengenaskan itu. Walau 

sadar pemuda itu telah melepaskan pukulan 

ke arahnya tadi, namun begitu melihat 

sikap serta keadaan si pemuda yang 

mengenaskan dengan suara perlahan Gentong 

Ketawa ajukan pertanyaan. "Anak muda 

siapa dirimu? Gerangan apa yang membuatmu 

merasa berputus asa hilang harapan?"

Pemuda yang ditanya tidak langsung 

menjawab, melainkan menangis terguguk 

seperti orang yang baru saja ditinggal 

mati orang yang dikasihinya. Si kakek 

gendut besar jadi serba salah dan usap-

usap keningnya yang lebar.

Sebaliknya Gento Guyon jadi tidak 

sabar. "Sampai kapan kita harus menunggu 

dia berhenti menangis. Aneh... sungguh 

sebaiknya guru cari tahu apa yang 

membuatnya menangis?"

Sambil tersenyum si kakek anggukkan 

kepala. Dia baru saja hendak mengatakan


sesuatu ketika pemuda itu hentikan 

tangisnya. Sejenak si pemuda menyeka air 

mata dengan punggung tangan, lalu duduk 

ngejelepok di atas tanah di bawah 

kerindangan pohon. Melihat apa yang 

dilakukan si pemuda maka si kakek juga 

ikut melakukan hal yang sama.

"Kakek, diriku yang buruk ini 

bernama Siwarana Sala Anuna." berkata si 

pemuda memperkenalkan diri.

Mendengar pemuda itu sebutkan 

namanya, Gento tak dapat menahan tawa. 

Sebaliknya Gentong Ketawa hanya senyum-

senyum saja.

"Ha... ha... ha. Begitu banyak nama 

bagus di dunia ini. Mengapa kau mau 

diberi nama seburuk itu. Memang anumu 

yang mana yang salah. Apakah letaknya 

yang terbalik, miring atau agak ke 

samping." celetuk si pemuda masih saja 

tertawa-tawa.

Ditanya seperti itu si pemuda 

nampak bingung. "Aku tak tahu maksudmu!" 

kata si pemuda.

"Dasar tolol, apa harus kubuka dulu 

pakaianku. Aku sih mau saja, tapi aku 

takut si kakek gendut jadi ngiler. Karena 

kudengar anunya kakek itu disimpan di 

suatu tempat dalam lubang es. Ha... ha... 

ha!" ucapan Gento Guyon tentu merupakan

satu banyolan belaka. Tapi hal ini 

membuat Gentong Ketawa seperti kebakaran


jenggot. Dia mendelik, pipi menggembung 

sedangkan kedua tangannya dikepal. 

"Murid sinting. Sekali lagi kau 

bicara seperti itu kubetot lidahmu!" 

rutuk si kakek sambil bersungut-sungut.

Siwarana Sala Anuna akhirnya jadi 

melongo begitu mengerti arti ucapan si 

pemuda. Dengan muka masam dia menjawab. 

"Tidak, anuku tidak ada yang salah. 

Semuanya normal saja tanpa kekurangan 

suatu apa."

"Hmm, begitu. Lalu apa yang 

membuatmu ingin mengakhiri hidup dengan 

cara menyedihkan seperti itu?" tanya si 

pemuda dengan mimik bersungguh-sungguh.

"Sulit aku mengatakannya pada 

kalian. Sejak kecil aku diasingkan oleh 

ayahku di tempat ini. Konon karena di 

dalam diriku tersimpan suatu rahasia yang 

amat penting bagi keselamatan harta 

pusaka milik keluarga. Tapi kemudian aku 

merasa tertipu, karena kemudian tanda 

atau rahasia apapun di tubuhku selain 

cacat cela yang kalian lihat ini. Aku 

merasa mungkin ayahku merasa malu punya 

anak cacat seperti diriku ini." kata si 

pemuda sambil tundukkan wajahnya.

"Siapa ayahmu?" tanya Gentong 

Ketawa sekedar ingin tahu.

"Ayahku adalah Raden Ponco Sugiri, 

hartawan terpandang di Wonogiri. 

Sedangkan ibuku sudah meninggal ketika


melahirkan aku."

"Rupanya kau putra seorang Raden?" 

berkata begitu Gento berputar menge-

lilingi si pemuda, sepasang matanya 

berkedap-kedip mengawasi sampai akhirnya 

dia tertawa sendiri. "Bicara terus terang 

sebenarnya kau tak pantas menjadi anak 

seorang raden. Pantasnya jadi anak kere. 

Tapi dasar nasibmu apes, ternyata kau 

tetap jadi kere juga. Ha... ha... ha!”

"Gege kau jaga mulutmu!" hardik 

Gentong Ketawa. Si pemuda langsung 

terdiam dan pura-pura memandang ke 

jurusan lain. Selanjutnya si kakek 

beralih pada Siwarana Sala Anuna. 

"Ternyata hidupmu tak putus dirundung 

malang. Aku turut prihatin mendengarnya. 

Tapi... percayalah kau tidak boleh 

berprasangka seburuk itu. Aku yakin 

ayahmu pasti mempunyai maksud-maksud 

tertentu hingga membawamu ke tempat ini." 

kata Gentong Ketawa.

"Kalau benar dugaanmu orang tua, 

tentu dia tidak akan membuatku sengsara 

seperti ini. Sekali dia datang ke tempat 

ini, lalu tak pernah muncul kembali. 

Apakah ini yang namanya baik?" dengus si 

pemuda sinis.

Si kakek tersenyum. "Kau tadi 

mengatakan ayahmu menyimpan suatu rahasia 

dalam dirimu. Mungkin satu rahasia besar, 

kalau boleh aku memeriksanya!" ujar si


kakek.

"Apa... apa maksudmu kakek tua? Kau 

menyuruhku telanjang?" desis Siwarana 

Sala Anuna kaget dan berjingkrak mundur.

Belum sempat si kakek menjawab, 

Gento Guyon sudah nyeletuk. "Guruku tidak 

menyuruhmu bugil seutuhnya. Lagipula 

siapa yang mau melihat? Kami tidak punya 

kelainan. Lagipula kujamin anumu tidak 

bagus, mungkin bulukan dan bengkok serta 

ada kutilnya. Guruku hanya ingin kau 

menanggalkan baju!"

Mendengar ucapan Gento yang 

seenaknya, wajah pemuda bongkok berubah 

merah. Tapi walaupun merasa geram 

Siwarana Sala Anuna tidak mengambil 

tindakan apapun. Dia maklum kakek dan 

pemuda itu pasti bukan manusia semba-

rangan. Walau terkadang bicara mereka 

terkesan ngaco seperti orang-orang yang 

kurang waras. Di samping itu juga dalam 

hati pemuda ini berharap agar kedua 

manusia aneh ini bersedia membantunya 

dalam mengungkapkan semua misteri yang 

tersimpan dalam dirinya.

"Baik, sekarang kubuka baju butut 

ini. Silakan kalian lihat!" kata si 

pemuda. Tanpa menunggu lama si pemuda 

buka bajunya. Gentong Ketawa segera 

meneliti punggung Siwarana. Tapi dia tak 

menemukan tanda atau apapun terkecuali 

tulang-tulang yang menonjol, dua bahu


yang tipis memipih mengundang rasa iba.

"Bagaimana guru?" tanya Gento 

sambil datang menghampiri.

"Aku tak menemukan tanda apapun!"

"Terang saja, matamu belekan begitu 

jadi pandanganmu lamur." dengus si 

pemuda. Si kakek hanya menulikan telinga 

mendengar ucapan muridnya. Saat itu si 

pemuda sudah meneliti sekujur tubuh 

Siwarana. Sama seperti gurunya dia juga 

tak menemukan petunjuk apapun.

"Agaknya mataku ikut belekan juga 

guru. Sayang sekali aku hanya melihat 

punggung unta." kata Gento.

"Kunyuk, kuharap kau bisa menjaga 

mulutmu. Jika tidak aku bisa 

menghajarmu!" hardik Siwarana merasa 

tersinggung.

"Sialan, besar juga ambeknya kodok 

buduk ini!" gerutu si pemuda dalam hati. 

Siwarana merapikan pakaiannya lagi. Dia 

lalu menoleh, memandang ke arah Gentong 

Ketawa dengan tatapan tajam menusuk.

"Rahasia itu tidak terlihat. 

Cobalah kau ingat, mungkin ada petunjuk 

lain?"

"Petunjuk apa. Di mataku semua 

keluargaku turunan ayah seperti hidup 

dalam selubung misteri. Seperti ayahku 

yang buntung tangan dan kakinya. Kemudian 

aku juga tak tahu di mana ketiga 

saudaraku yang lain. Ayah sendiri sejak


lama telah meninggalkan Wonogiri. Entah 

mengapa kini beliau mengasingkan diri di 

gunung Wilis."

"Ini suatu cerita yang menarik. 

Tapi selain itu apalagi keluhanmu yang 

lain?" tanya Gento Guyon ikut menanggapi.

"Beberapa malam ini aku merasa ada 

orang yang mendatangi muara sungai 

Lanang. Aku tak tahu apa yang dicarinya. 

Namun aku merasa keselamatanku sedang 

berada dalam incaran bahaya maut." 

menerangkan Siwarana Sala Anuna.

"Orang yang mendatangi tempat 

tinggalmu laki-laki atau perempuan?" 

tanya Gentong Ketawa.

"Aku tak tahu. Saat itu malam 

gelap, mereka semua memakai kerudung."

"Mereka? Berarti orang itu tidak 

seorang diri?"

"Benar, mereka datang berdua." 

jawab si pemuda.

"Apa mungkin mereka menginginkan 

dirimu?" tanya Gento lagi.

"Bisa jadi begitu. Tapi untuk lebih 

jelasnya harus ada yang pergi ke gunung 

Wilis. Di sana tentu ayahku bisa 

memberikan jawaban."

"Lalu kau sendiri bagaimana?" tanya 

Gentong Ketawa.

"Andai saja kau bisa menolong dan 

melindungiku, orang tua. Tentu budimu tak 

kulupakan."


Murid dan guru sama terdiam, 

Gentong Ketawa berpikir keras. Jika benar 

apa yang dikatakan Siwarana, rasanya 

lebih baik dia mengutus Gento muridnya 

untuk pergi ke gunung Wilis. Sementara 

dia sendiri bisa menemani pemuda banyak 

cacat itu di muara kali Lanang.

"Guru, bagaimana andai aku saja 

yang pergi ke gunung Wilis?"

Si kakek tersenyum. "Aku baru saja 

hendak berkata begitu. Jika kau pergi kau 

harus berhati-hati." pesan Gentong 

Ketawa. Dia lalu menoleh pada Siwarana. 

Pada pemuda itu dia bertanya. "Siapa yang 

harus ditemui oleh muridku?"

"Ayahku, Raden Ponco Sugiri biasa 

dipanggil dengan Raden Tua. Jika ayah tak 

ada. Orang lain yang bisa ditemu adalah 

Barep Pandara atau adik kembarnya Ragil 

Pandara. Mereka yang menjaga ayahku 

selama ini." ujar si pemuda.

"Guru, kalau begitu aku berangkat 

sekarang. Tidak sampai dua pekan di depan 

jika tidak ada halangan aku pasti sampai 

ke sini lagi."

"Jangan," sergah Siwarana. "Tak 

jauh dari Ponorogo persis di sebelah 

timur terdapat sebuah gunung. Kalau tak 

salah namanya gunung Liman. Dulu ayahku 

sering menyebut nama itu. Kurasa di 

tempat itu kita bisa melakukan 

pertemuan!"


"Ingat Gege. Seperti yang dikatakan 

Siwarana. Kita bertemu di sebelah barat 

Ponorogo di kaki gunung Liman." Gentong 

Ketawa kembali menegaskan.

"Pasti kuingat. Bertemu di sebelah 

barat Ponorogo di kaki gunung Liman!" 

celetuk si pemuda mengulangi ucapan 

gurunya. "Sekarang aku mohon pamit guru." 

Gento menjura hormat. Setelah itu dia 

berkelebat pergi meninggalkan gurunya 

juga Siwarana.



EMPAT



Hanya selang satu hari setelah 

kedatangan Barep Pandara dan adik 

kembarnya. Di tempat kediaman Danang 

Pattira muncul seorang gadis berwajah 

cantik jelita berpakaian sutera putih 

ringkas, berambut panjang tergerai. Gadis 

itu menunggang seekor kuda berbulu putih. 

Sedangkan di bagian punggungnya tergan-

tung sebuah kantong perbekalan di mana 

pada salah satu sisinya berhiaskan 

sulaman kupu-kupu putih dan biru.

Melihat gerak-geriknya setelah 

turun dari kuda yang langsung menuju 

bagian pintu depan, jelas sudah kalau 

gadis berwajah rupawan dengan dada padat 

menantang dan berpinggul bagus ini 

pastilah dia merupakan sanak kerabat 

Danang Pattira yaitu salah satu anak


Raden Ponco Sugiri. Beberapa saat lamanya 

si gadis berdiri mematung di depan pintu. 

Seakan ada keraguan merayapi hatinya 

ketika dia hendak mengetuk pintu di 

depannya. Tapi sejenak kemudian jemari 

mungilnya bergerak, mengetuk

Tok! Tok!

Suara ketukan pada pintu berlalu. 

Si gadis menunggu dengan perasaan tidak 

sabar. Karena tidak ada suara sahutan, 

maka si gadis bermaksud mengetuk untuk 

yang kedua kalinya. Pada saat itulah 

lapat-lapat dia mendengar suara langkah 

kaki mendekat ke pintu dari bagian dalam. 

Sebuah lubang kecil yang biasa 

dipergunakan melihat tamu yang datang 

tersibak, satu mata mengintip dari bagian 

dalam. Ada helaan nafas lega, selanjutnya 

pintu terkuak lebar. Satu sosok pemuda 

gagah berpakaian biru berdiri tegak di 

sana. Wajahnya menyunggingkan seulas 

senyum begitu melihat siapa yang datang. 

Sebaliknya gadis jelita berkulit putih 

bersih itu nampak tertegun dengan kening 

mengernyit dalam. Saat itu dia melihat 

wajah pemuda tampan yang berdiri 

dihadapannya nampak pucat, tubuhnya 

berkeringat. Sedangkan tangannya sedikit 

gemetar.

"Adik Ambini. Ada kabar apa hingga 

kau datang ke sini?" tanya si pemuda. 

Suaranya yang keras dan tegas menyadarkan


si gadis dari lamunannya. Ambini sempat 

tersipu. Senyum merekah di sudut bibirnya 

yang kemerahan tanpa polesan pewarna. 

Hingga membuat terpesona bagi siapapun 

yang memandangnya.

"Kakang Danang Pattira Sena." 

berucap Ambini menyebut nama lengkap 

pemuda di hadapannya. "Entah mengapa 

hatiku tergerak untuk menyambangimu ke 

sini. Lagipula aku sudah sangat lama tak 

pernah melihat keindahan kota Wonogiri di 

malam hari."

"Kau benar. Mari masuk!" berkata 

begitu si pemuda melangkah masuk ke 

bagian ruangan tamu. Ambini mengikuti 

sang kakak tak jauh di belakang. Mereka 

duduk di atas permadani merah yang 

terbuat dari anyaman bulu domba. Sekilas 

Ambini layangkan pandang ke segenap 

penjuru ruangan. Suasana di dalam ruangan 

itu masih tetap seperti dulu. Beberapa 

jenis senjata yang terdiri dari tombak, 

pedang dan ruyung masih terpajang di 

pojok kiri ruangan. Lukisan gunung 

gersang yang dilukis di atas pelepah nipa 

juga masih dipajang di dinding ruangan 

dalam. Selain itu beberapa ekor harimau 

yang diawetkan tetap dibiarkan berada di 

tengah ruangan tamu. Tidak ada yang 

berubah setelah sepuluh tahun terpisah. 

Yang berubah adalah tentang keluarganya 

yang tercerai berai sejak badai topan dan


gempa bumi memporak-porandakan daerah 

Wonogiri dan sekitarnya.

"Adikku apa yang kau pikirkan?" 

tanya Danang Pattira dengan tiba-tiba.

"Eeh... tidak. Aku heran mengapa 

wajah kakang seperti itu? Apakah kakang 

sakit?" tanya si gadis mencoba menutupi 

galau perasaannya sendiri.

"Eeh, tidak. Wajahku memang nampak 

pucat, karena aku baru saja melatih ilmu 

silat. Semuanya masih dalam tahap 

belajar, jadi terkadang selalu 

bersalahan!" kata si pemuda beralasan.

Mendengar ucapan Danang Pattira, 

sedikit banyaknya Ambini jadi terheran-

heran. Seingatnya dulu sang kakak adalah 

pemuda yang sangat menyukai sastra, bukan 

berbagai macam ilmu silat.

"Kakang tidak salahkah 

pendengaranku ini?" tanya si gadis dengan 

mulut ternganga. Danang Pattira gelengkan 

kepala.

"Tidak! Kau tidak keliru mendengar 

dan aku mengucapkan sesuatu yang benar." 

jawab si pemuda enteng.

"Bukankah dulu kau paling membenci 

ilmu silat?"

"Memang. Tapi sejak topan celaka 

itu memporak-porandakan kota ini. Dan 

ayah kehilangan kaki serta tangan akibat 

dibuntungi oleh seseorang. Kini aku 

bertekad untuk mencari siapa adanya orang


yang telah membuat cacat ayah kita serta 

mencuri peta rahasia penyimpanan harta 

kekayaan milik keluarga kita." tegas si 

pemuda. Berkata begitu tatap mukanya 

memancarkan kilatan cahaya aneh yang 

sulit ditebak. Ambini hela nafasnya yang 

terasa menyesak.

"Kakang Pattira. Aku sendiri sejak 

ikut dengan guruku yang misterius itu 

sama sekali tak tahu perkembangan yang 

terjadi dengan keluarga kita. Aku juga 

tak tahu di mana beradanya kakang 

Aripraba. Sedangkan mengenai ayah, kabar 

yang kudengar beliau saat ini 

mengasingkan diri di gunung Wilis. Aku 

tak tahu maksud dari semua ini. Tapi di 

luar semua yang kukatakan aku juga 

mendengar kabarnya kita mempunyai seorang 

adik bungsu bernama Siwarana Sala Anuna."

Mendapat pertanyaan seperti itu 

wajah Danang Pattira sempat berubah. Dia 

terdiam sejenak lamanya, tapi pada 

akhirnya dia berkata. "Mengenai perihal 

ayah aku tak berani mengusik. Sejak 

tangan dan kakinya dibuntungi oleh tokoh 

misterius itu, beliau lebih banyak 

membisu. Terlebih-lebih bila aku 

menanyakan tentang peta harta keluarga. 

Biasanya ayah langsung mengusirku. Ayah 

seperti merahasiakan sesuatu dari kita. 

Tapi biarlah, aku sendiri sudah tak 

pernah lagi melihat ayah di tempat


pengasingan." Ujar pemuda itu seakan 

mengadukan sikap ayahnya pada sang adik. 

Setelah itu si pemuda kembali 

melanjutkan. "Sedangkan mengenai adik 

Aripraba aku sendiri tak tahu di mana dia 

gerangan. Lalu mengenai adik bungsu sial 

itu mana aku perduli di mana dia. Suatu 

ketika tiba-tiba saja dia raib. Sudahlah, 

jangan bicarakan tentang dia aku muak!!"

Mendengar suara kakaknya yang agak 

meninggi tentu saja si gadis terkejut 

besar. Bola matanya yang indah membulat 

besar, sedangkan kedua alisnya terangkat 

lebih ke atas.

"Kakang, apa maksudmu? Sungguh aku 

tidak mengerti mengapa kakang begitu 

membenci adik bungsu Siwarana?" ujar si 

gadis.

"Kau dengar! Aku benci padanya 

bukan saja karena cacat yang dibawanya 

sejak terlahir ke dunia ini. Aku benci 

karena melahirkan bocah menjijikkan itu 

ibu kita meninggal. Selain itu setelah 

kelahirannya, Wonogiri yang tak pernah 

dilanda musibah sepanjang masa, akhirnya 

berubah menjadi tempat terjadinya 

malapetaka. Bukan rakyat biasa saja yang 

menjadi korban. Tapi ayah juga mendapat 

serangan ganas dari seorang tokoh 

misterius, peta penyimpanan harta pusaka 

lenyap. Engkau menghilang beberapa tahun 

setelah kehilangan kewarasan. Bersusah


payah aku yang selamat berusaha 

mengumpulkan saudara yang tercerai-berai. 

Tapi aku hanya bisa menemukan dirimu, 

adik Aripraba sendiri hingga sampai saat 

ini tidak kuketahui apakah masih hidup 

atau sudah mati." kata si pemuda seakan 

menyesalkan.

"Sudahlah, mudah-mudahan dia selalu 

berada dalam lindungan Gusti Allah. Aku 

sendiri jika guru memberi ijin padaku 

nantinya pasti akan mencari kakang 

Aripraba." berkata Ambini. Mendengar 

ucapan adiknya, Danang Pattira Sena 

tersentak tampak kaget. Entah mengapa si 

pemuda merasa ada sesuatu yang ganjil 

terdapat dalam diri sang adik yang 

memiliki kecantikan luar biasa itu. Suatu 

kelainan yang tak dapat dijelaskan dengan 

kata-kata. Lalu bila dia melirik ke arah 

kantong perbekalan Ambini yang berhiaskan 

sulaman kupu-kupu putih dan biru perasaan 

Danang Pattira semakin gelisah saja.

"Adik Ambini," ucap si pemuda 

sambil mengusap wajahnya. "Kukira apa 

yang kau katakan itu benar. Untuk mencari 

Aripraba jika kulakukan sendirian akan 

memakan waktu yang lama. Tapi jika kita 

mencarinya bersama-sama dalam waktu 

singkat pasti kita dapat menemukannya."

Ambini gelengkan kepala. "Maksudmu 

kita harus pergi bersama-sama begitu?" 

tanya si gadis. Danang Pattira anggukkan


kepala. "Tidak! Kita tetap mencarinya 

dengan cara kita masing-masing. Jika di 

antara kita nantinya menemukan kakang 

Aripraba, maka dia harus kembali ke 

tempat tinggalmu ini secepatnya!" Ambini 

menegaskan.

Mendengar penjelasan adiknya, dalam 

hati pemuda itu berkata. "Dia semakin 

aneh. Gerak-gerik dan ucapannya 

mengundang rasa curiga. Ambini tak mau 

berjalan berdua denganku, apakah ini 

berarti dia merahasiakan sesuatu yang tak 

boleh kuketahui?" berpikir begitu si 

pemuda lalu ajukan satu pertanyaan biasa 

tapi cukup mengejutkan buat Ambini. 

"Adik, buat apa kita bersusah payah 

mencari Aripraba. Bukankah sejak ayah 

mengasingkan diri di puncak Wilis tidak 

sebaiknya kita urusi persoalan hidup kita 

masing-masing?"

"Semula aku juga berpendapat 

begitu. Tapi setelah kupikirkan cukup 

lama, aku merasa ada sesuatu yang 

dirahasiakan oleh ayah. Aku ingin tahu 

semua ini. Lagipula kakang Aripraba 

adalah anak terkasih ayah kita. Sejak 

badai topan melanda Wonogiri, memporak-

porandakan semua yang dimiliki keluarga 

kita. Kakang Aripraba lenyap, peta 

rahasia tempat penyimpanan harta kekayaan 

keluarga kita juga ikut raib. Mengingat 

kakang Aripraba merupakan anak yang


sangat dipercaya oleh ayah, aku menduga 

peta itu sekarang ada di tangannya." 

jelas Ambini.

"Bicara berbelit-belit, ternyata 

buntutnya pada peta harta juga. Rencana 

apa sebenarnya yang ada dalam benak 

adikku ini?" batin Danang Pattira. 

Mendadak dia ingat akan sesuatu hingga 

membuat tengkuknya menjadi dingin.

"Bagaimana pendapatmu kakang?" 

tanya si gadis setelah melihat saudara 

tuanya hanya diam saja.

Danang Pattira menarik nafas 

pendek. Sejenak tatap matanya menerawang 

memandangi langit-langit ruangan. Setelah

itu dia memperhatikan adiknya sekilas. 

Setiap dia menatap wajah cantik jelita 

itu, entah mengapa dadanya berdebar 

keras, sedangkan darah di tubuhnya 

berdesir, wajah menjadi panas. Danang 

Pattira cepat tundukkan kepala. "Adik, 

aku tidak kemaruk dengan segala harta 

benda. Kalau ayah bersikap pilih kasih 

pada anaknya aku juga tidak perduli. 

Menurutku mencari tahu siapa adanya orang 

yang membuntungi kedua kaki dan tangan 

ayah adalah penting. Dan ini yang harus 

segera kita lakukan!" tegas si pemuda.

Ambini tersenyum. "Dengan ilmu yang 

kau pelajari dari kitab-kitab butut itu 

kau hendak mencari orang yang mencelakai 

ayah? Hi... hi... hi...!” ujar si gadis


disertai tawa meremehkan.

"Kenapa rupanya?" tanya sang kakak 

tanpa merasa tersinggung.

"Kakang, jika ayah yang memiliki 

kepandaian silat dan ilmu kesaktian yang 

cukup tinggi saja tak mampu berbuat 

banyak bahkan tak sanggup mengenal orang 

yang telah membuatnya cacat begitu rupa, 

apalagi engkau? Namun walau bagaimanapun 

aku tentu tak bisa memaksamu. Kau boleh 

saja menunjukkan baktimu pada orang tua, 

tapi aku sendiri harus mencari harta 

kekayaan keluarga yang disembunyikan 

ayah. Untuk mendapatkannya kuncinya 

adalah peta rahasia itu."

Danang Pattira gelengkan kepala.

"Kemauanmu begitu besar adikku. 

Jika turut kataku, sebaiknya kau tak usah 

berlelah diri mencari adik Aripraba atau 

juga Siwarana. Kau tinggal saja di sini 

bersamaku. Rumah yang kubangun dari sisa 

puing kejayaan keluarga ini sangat besar. 

Sepi rasanya hidup seorang diri tanpa 

sanak tanpa kadang, tanpa saudara tanpa 

keluarga."

Mendengar ucapan kakaknya Ambini 

tersenyum tipis. Senyuman itu terasa 

mempesona, memikat. Tidak dibuat-buat 

tapi menggoda setiap mata yang 

melihatnya. "Kakang... mengapa kau tidak 

menikah saja, agar hidupmu tidak 

kesepian. Lagipula ke mana para kekasihmu


itu?"

Danang Pattira tersenyum. "Para 

kekasih?!" desis si pemuda sambil 

delikkan matanya. "Kekasihku hanya satu, 

yaitu Arum Sapana. Saat ini kami belum 

lagi terpikir untuk menikah, apalagi 

masing-masing sibuk dengan urusan 

sendiri. Mungkin dua tahun mendatang aku, 

maksudku kami akan melaksanakan hajat 

kami!" jelas si pemuda polos.

Si gadis tertawa renyah mendengar 

ucapan Danang Pattira. "Kuucapkan 

selamat. Kelak aku pasti akan datang di 

saat kau melaksanakan perhelatan suci 

itu!" selesai berkata Ambini bangkit 

berdiri. Dia menarik nafas hingga dadanya 

yang membusung bergerak turun naik 

mendebarkan.

"Adik kau hendak ke mana?" bertanya 

sang kakak yang hampir tak pernah lepas 

memperhatikan adiknya. Ambini merapikan 

anak rambut yang menutupi sebagian wajah. 

"Aku sudah tegaskan tadi. Yang ingin 

kulakukan saat ini adalah mencari kakang 

Aripraba. Syukur jika bertemu dengan adik 

kita yang malang Siwarana. Peta itu 

sangat penting bagiku, daripada jatuh ke 

tangan orang lain, bukankah harta yang 

disimpan ayah jatuh ke tangan kita 

sebagai anak-anaknya?"

"Kalau begitu mengapa kau tidak 

minta petunjuk ayah?" pancing Danang


Pattira. Mendapat pertanyaan seperti itu, 

wajah si gadis tidak menunjukkan peru-

bahan sama sekali.

Ambini tersenyum getir, tapi dia 

tetap memberi jawaban. "Percuma minta 

petunjuk ayah. Dia pasti akan marah besar 

bila aku menyinggung tentang peta dan 

juga harta yang disimpannya itu."

"Heh, terkadang aku juga merasa 

heran mengapa ayah bersikap pilih kasih 

terhadap anak-anaknya. Atau jangan-

jangan...!" Danang Pattira tiba-tiba 

katupkan mulut tak jadi teruskan ucapan.

"Apa maksudmu kakang?" tanya Ambini 

heran. 

"Tidak... tidak ada apapun!" sahut 

si pemuda dengan cepat.

"Dia jelas merahasiakan sesuatu 

dariku." membatin Ambini dalam hati 

sambil melirik kakaknya berusaha membaca 

apa yang disembunyikan si pemuda.

Sebaliknya Danang Pattira dalam 

hati juga membatin. "Mana mungkin aku 

berterus terang padanya. Walau dia 

adikku, tapi dia besar di tangan orang 

lain bahkan seorang guru misterius pula. 

Aku melihat di kantong perbelakalannya 

terdapat sulaman kupu-kupu. Menurut Barep 

Pandara kupu-kupu maut perak salah satu 

yang telah menewaskan adiknya di puncak 

gunung Wilis."

"Kakang kalau begitu aku mohon diri


dulu." Ambini berpamitan.

"Baiklah... hati-hati di jalan." 

pesan Danang Pattira.

Si pemuda lalu mengantar adiknya 

sampai di halaman depan. Ambini segera 

melompat ke atas kuda tunggangan. Sesaat 

sebelum pergi meninggalkan Ambini masih 

sempat memperhatikan kakaknya dengan 

tatap matanya yang aneh.

Tapi semua ini tentu luput dari 

perhatian Danang Pattira karena dia 

sendiri dengan tergesa-gesa segera masuk 

ke dalam rumahnya. Masih dengan berdiri 

tegak sesampai di bagian dalam dia 

membuka mulut.

"Barep Pandara lekas ke mari!" 

katanya memanggil satu nama.

Dari balik sebuah kamar muncul 

seorang pemuda berpakaian kuning berwajah 

tampan. Dialah Barep Pandara. Dengan 

terbungkuk-bungkuk pemuda itu mengham-

piri.

"Raden, apa yang dapat saya lakukan 

untuk Raden?" bertanya Barep Pandara 

dengan suara perlahan, sopan.

"Dari balik kamar kau tentu melihat 

kantong perbekalan adikku?!" bertanya si 

pemuda seakan ingin memastikan.

"Saya melihatnya Raden. Sebuah 

kantong dengan sulaman berupa kupu-kupu 

biru dan putih warna perak. Mengenai 

kupu-kupu biru saya belum pernah


melihatnya sebelum ini. Tapi sulaman 

kupu-kupu putih, bentuknya sama persis 

dengan kupu-kupu perak yang menyerang dan 

menghancurkan adik saya Ragil Pandara. 

Apakah ini berarti ada kaitannya dengan 

kematian adik saya juga Raden Tua?"

"Sulit memastikan." sahut Danang 

Pattira setelah terdiam beberapa jenak 

lamanya. "Tapi walau dia adik kandungku, 

kami terpisah selama belasan tahun. Siapa 

yang mendidiknya aku pun tak tahu. Kurasa 

masih belum terlambat jika kau 

mengikutinya."

"Saya Raden...?!” terkejut Barep 

Pandara mendengar keputusan pemuda itu.

Danang Pattira mengulum senyum, 

tapi wajahnya masih membersitkan 

kesedihan mendalam. Dengan suara perlahan 

dia berkata. "Aku merasa sedih mengenang 

kematian ayah. Tapi akan lebih sedih lagi 

jika aku tak sanggup menangkap pembunuh 

ayahku. Pergilah Barep, ikuti Ambini. 

Dulu kewarasannya pernah terganggu 

setelah terbentur batu di bagian kepala. 

Siapa tahu sekarang masih suka angot dan 

kambuh. Sehingga Ambini melakukan per-

buatan keji yang tidak disadarinya."

"Apa yang harus saya lakukan jika 

berhasil menyusulnya Raden?"

"Kau cukup mengikuti. Melihat apa 

saja yang dia lakukan termasuk juga 

mengingat dengan siapa saja dia bertemu!"


pesan Danang Pattira.

"Baiklah, kalau Raden sudah berkata 

begitu. Saya akan berangkat sekarang 

juga." ujar Barep Pandara. Ketika si 

pemuda hendak melangkah pergi mendadak 

Barep Pandara hentikan langkah, dia 

berpaling sambil berkata. "Raden bolehkah 

saya menunggang kuda?"

"Tidak! Kau harus puas dengan 

berjalan kaki saja. Perjalanan dengan 

berkuda akan mengundang banyak rasa 

curiga." menerangkan Danang Pattira.

"Terima kasih atas petunjuk Raden." 

ujar Barep Pandara. Tanpa pikir panjang 

dia pun melangkah pergi.



LIMA



Ketika sampai di puncak gunung 

Wilis, si gondrong tampan bertelanjang 

dada ini gelengkan kepala. Saat itu 

puncak gunung Wilis terasa sepi, walau 

tak diselimuti kabut namun udara dingin 

tetap terasa menusuk. Sejenak lamanya si 

pemuda kitarkan pandangan mata. Mengamat-

amati keadaan di sekelilingnya dia tak 

menemukan atau melihat apapun.

"Edan, tempat ini sesunyi kuburan. 

Jangankan manusia sapi budek pun tak 

kutemui di sini." celetuk Gento Guyon 

sambil meringis. Tiba-tiba si pemuda 

menepuk keningnya sendiri. "Ah, aku baru


ingat sekarang. Bagaimana jika pemuda 

banyak cacat itu menipuku? Aku dikadali, 

lalu guruku dikerjainya? Bisa morat-marit 

perabotan kakek gendut itu dibuatnya." 

Gento menyengir lalu berkelebat ke 

sebelah selatan puncak gunung. Sampai di 

dekat kerimbunan pohon langkahnya 

terhenti. Dia melihat di balik lebatnya 

pepohonan terdapat sebuah pondok yang 

agak tersembunyi. Jika mata kurang jeli 

tentu pondok ini tak terlihat karena 

dindingnya tertutup reranting pohon yang 

telah kering.

"Agaknya tempat butut itu yang 

dimaksudkan Siwarana Sala Anuna." ketika 

berkata begitu si pemuda meraba bagian 

bawah perut, kemudian senyumnya mengem-

bang. "Aku beruntung tak ada yang salah 

pada anuku. Tapi... rumah Raden mengapa 

begini buruk, kandang ayam sekalipun 

masih lebih bagus. Si pemuda terdiam 

sejenak, berpikir. Menurut pemuda banyak 

cacat di pondok itu dijaga oleh dua 

pemuda kembar. Selain mereka Raden Tua 

juga berada di situ. Tapi mengapa dia tak 

melihat siapapun. "Aku harus menyelidik 

ke dalam." Baru saja Gento hendak 

melaksanakan niatnya mendadak sayup-sayup 

Gento mendengar suara isak tangis 

seseorang.

"Ada orang menangis? Siapa yang 

ditangisi?" batin si pemuda.


"Ayah... ayah, mengapa begini buruk 

akhir hidupmu? Siapa yang telah berlaku 

keji terhadapmu?" kata satu suara dari 

dalam pondok di sela-sela isak tangis.

"Ayah...?!” gumam Gento. "Seorang 

abdi tak mungkin memanggil ayah pada 

juragannya." Penasaran Gento melangkah 

lebih mendekat lagi ke pondok.

"Hu... hu... hu, ayah. Maafkan aku 

karena baru sekarang dapat menyambangimu. 

Tapi mengapa harus berakhir begini. Siapa 

di luar!!” hardik suara yang sedang 

menangis.

Si pemuda melengak kaget. "Tikus 

buluk. Sedang asyiik menangis masih 

sempatnya bertanya siapa di luar." gerutu 

si pemuda. Tanpa ragu lagi Gento Guyon 

langsung menjawab. "Saya orang baik 

datang dari jauh."

Suara tangis terhenti, sepi 

sejenak. Pintu depan pondok membuka 

lebar, satu sosok tubuh berkelebat dan 

tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan 

hidung Gento Guyon. Pemuda itu terkejut 

besar, walau kaget namun bibirnya tetap 

tersenyum ramah. Melihat cara orang yang 

datang menghampirinya. Gento Guyon maklum 

tentulah pemuda yang kini tegak di 

depannya bukan pemuda sembarangan. 

Sedikitnya dia memiliki ilmu meringankan 

tubuh yang sangat luar biasa.

Sejenak lamanya Gento menatap


pemuda itu, memperhatikan pakaiannya yang 

putih bersih, wajah yang tampan serta 

rambut panjangnya yang berminyak. Setelah 

membanding-bandingkan celananya sendiri 

dengan pakaian orang, akhirnya Gento 

menjura hormat.

"Orang gagah senang aku bertemu 

denganmu. Siapakah dirimu? Apa yang 

membuatmu menangis atau siapa yang kau 

tangisi?" Gento dengan sopan ajukan 

pertanyaan.

Si pemuda balas menatap, ada rasa 

curiga terpencar lewat tatap matanya yang 

tenang namun tajam menusuk.

"Kau sendiri siapa? Mengapa 

berkeliaran di daerah ini?"

"Oh, aku bukan orang liar. Aku 

datang ke mari atas permintaan seseorang. 

Namaku Gento Guyon." polos si pemuda 

menjawab.

"Gento Guyon, manusia sinting yang 

akhir-akhir ini namanya tersebar ke 

seluruh penjuru persilatan tanah Jawa. 

Mana gurumu kakek edan yang bernama 

Gentong Ketawa itu?" dengus si pemuda.

Mendengar orang yang tak dikenal 

mengetahui siapa dirinya bahkan diri sang 

guru, Gento pun tak mampu menutupi rasa 

kagetnya. Tapi paling tidak dia merasa 

jengkel juga ketika gurunya dikatakan 

edan oleh pemuda berbaju putih itu.

"Saudara, jika lagi sedih jangan


kau bawa-bawa guruku. Kalau aku sampai 

marah, aku bisa memperpanjang tangismu 

sampai tujuh hari tujuh malam!" bentak si 

pemuda.

Pemuda di depannya tersenyum sinis. 

"Kau tak tahu apa yang sedang kurasakan. 

Sekarang pentang matamu, lihat baik-

baik!" dengus si pemuda berpakaian putih 

itu. Belum lagi Gento dapat memahami arah 

ucapannya. Mendadak pemuda itu memutar 

tubuh, memunggungi Gento Guyon sedangkan 

kedua tangannya diarahkan lurus ke bagian 

pondok. Sejenak lamanya bibir si pemuda 

berkemak-kemik, ketika dua tangan 

didorong dan disentakkan ke udara, maka 

sekonyong-konyong pondok beratap ilalang 

berdinding ranting melesat ke udara dalam 

keadaan utuh. Gento tercengang, sedangkan 

pemuda itu menggerakkan kedua tangannya 

ke sebelah kiri ke arah lapangan rumput. 

Secara aneh pondok yang sudah mengapung 

di udara ikut pula bergerak searah dengan 

gerakan tangan. Ketika pemuda baju putih 

menurunkan tangannya dengan gerakan 

perlahan, pondok itu jatuh di atas 

lapangan rumput seperti diletakkan dengan 

sangat hati-hati.

"Walah hebat. Belum pernah ku 

melihat tontonan gratis semenarik ini. 

Bagus... bagus...!" Sambil bertepuk 

tangan Gento berseru memuji.

"Pemuda edan. Bukan pondok itu yang


harus kau lihat. Buka matamu lihat ke 

lantai pondok itu!" kata si pemuda sambil 

menunjuk ke lantai pondok.

Gento alihkan perhatiannya ke arah 

yang ditunjuk si baju putih. Mata murid 

kakek kocak Gentong Ketawa terbelalak 

lebar. "Mustahil, sulit kupercaya!" desis 

si pemuda kaget. Dia melangkah mendekati 

sosok yang tergeletak di lantai dari 

pondok yang telah dipindahkan. Semakin 

dekat semakin jelas dia melihat satu 

sosok tubuh tergeletak di situ dalam 

keadaan membusuk. Jasad busuk itu tidak 

mempunyai tangan dan kaki. Kedua kaki 

maupun lengannya seperti bekas dipenggal. 

Melihat pada keadaan mayat, nampaknya 

kematian orang itu sudah lebih dari lima 

hari yang lalu.

"Si bungkuk mulut musang itu tidak 

berdusta. Mayat ini pasti ayahnya. Dan 

pemuda itu ketika menangis tadi aku 

mendengar dia memanggilnya ayah. Apakah 

mungkin dia saudaranya Siwarana?" pikir 

Gento.

"Kau tahu, itu adalah mayat ayahku. 

Hidup dalam kemalangan kehilangan kaki 

dan tangan. Sekarang kematiannya pun 

terasa lebih tragis!" menerangkan pemuda 

itu. "Sedangkan mayat yang di sebelah 

sana kurasa adalah mayat salah seorang 

kepercayaan ayah. Tubuhnya tercerai 

berai. Entah benda atau senjata apa yang


melukainya."

Karena tak berapa jauh dari mayat 

pertama, hanya beberapa langkah saja 

Gento telah sampai di depan mayat kedua. 

"Mengerikan. Sulit kupercaya!" desis si 

pemuda begitu melihat kepingan tulang dan 

serpihan daging membusuk yang bertebaran 

di lantai pondok.

"Kau telah melihat kematian yang 

mengenaskan. Sekarang katakan siapa yang 

menyuruhmu ke sini?" tanya pemuda itu 

sinis.

Gento Guyon membalikkan tubuh 

hingga kini mereka saling berhadapan. 

"Sebelum kujawab pertanyaanmu, bukankah 

lebih baik kau katakan dulu siapa namamu 

agar aku tak kesalahan kata bicara pada 

orang yang salah." ujar Gento.

"Mengenai namaku rasanya tak 

penting. Yang jelas ada kemungkinan aku 

punya hubungan kerabat dengan keluarga

Raden Tua. Nah tak perlu aku berpanjang 

kata. Sekarang katakan siapa yang 

menyuruhmu datang ke puncak gunung Wilis 

ini?"

Walau ragu, namun pada akhirnya 

Gento menjawab juga. "Yang menyuruhku ke 

mari adalah Siwarana Sala Anuna."

Mendengar disebutnya nama itu paras 

pemuda berpakaian putih sontak berubah 

kelam. Sekujur tubuhnya sempat bergetar. 

Ada kemarahan terpancar lewat tatap


matanya. "Kau dengar baik-baik. Jika kau 

bertemu dengan si cacat bangsat itu 

katakan padanya agar membunuh diri 

secepat mungkin. Aku tak mau melihatnya 

ada di dunia ini!” tegas si pemuda.

Mendengar permintaan pemuda itu 

tentu Gento jadi terheran-heran. "Eh, kau 

ini siapakah? Malaikat maut atau setan 

haus darah. Pemuda itu sudah banyak 

mengalami kesengsaraan seumur hidup, 

mengapa kau memintanya untuk membunuh 

diri?" tanya Gento.

"Perintahku tak pernah kuulang, 

ucapanku tak boleh dibantah!" hardik si 

pemuda. Dengan penuh kemarahan dia 

melanjutkan. "Siwarana tak layak hidup. 

Kehadirannya hanya membawa sial bagi 

keluarga kami, kau paham?"

Mendengar itu Gento tertawa 

tergelak-gelak. "Tak kusangka kau masih 

anak turun Raden Tua. Kau pasti salah 

satu kakak dari Siwarana. Seorang kakak 

begitu tega menyuruh adiknya membunuh 

diri? Jika kau bukan manusia yang telah 

kehilangan kewarasan, pasti putra asuhan 

iblis. Ha... ha... ha!”

"Pemuda keparat jangan campuri 

urusanku!" maki si pemuda hampir tak 

dapat membendung amarahnya.

"Siapa yang mencampuri urusanmu? 

Tapi kalau boleh aku nasehatkan bukankah 

lebih baik lagi jika kau cari siapa


pembunuh ayahmu?" dengus Gento polos.

"Pembunuh ayahku? Aku memang sedang 

mencarinya. Aku tak tahu apakah mungkin 

saudaraku yang melakukannya. Tapi terus 

terang aku telah merencanakan jauh 

sebelum ini. Bahkan sejak badai angin 

ribut memporak-porandakan Wonogiri!"

"Hemm, kau menduga malapetaka itu 

datangnya dari adikmu?" tebak Gento 

disertai senyum sinis.

"Mungkin. Sangat mungkin sekali! 

Sekarang kau tunggu apalagi? Pergilah 

dari hadapanku!" hardik si pemuda.

"Mungkin aku akan pergi setelah kau 

mau memberitahu siapa namamu!" ujar si 

pemuda.

"Baik. Kau catat dalam otakmu. 

Namaku Aripraba. Aku putera kedua Raden 

Ponco Sugiri. Nah aku sudah 

memberitahukan namaku. Sekarang kerjakan 

apa yang aku perintahkan!"

"Apa perintahmu? Aku sudah lupa." 

bertanya si pemuda sambil terbatuk-batuk.

Merasa dipermainkan pemuda itu jadi 

marah besar. Matanya mencorong merah, 

sedangkan pelipisnya bergerak-gerak. 

"Monyet kurang ajar. Aku menyuruhmu agar 

menyampaikan pesan pada Siwarana untuk 

membunuh diri!"

"Ha... ha... ha. Pesan gilamu pasti 

kusampaikan. Tapi ingin kulihat apakah 

sekarang kau mau bunuh diri di depanku?!"


"Boleh, sebelum itu terjadi kau 

harus mendahuluiku berangkat ke akherat!"

Selesai berkata Aripraba melompat 

ke depan sambil hantamkan kedua tangannya 

ke bagian wajah Gento Guyon.

Melihat serangan ganas yang dapat 

meremukkan batok kepalanya itu si pemuda 

jelas tak mau mati konyol. Dia geser 

langkah ke samping, tubuh dibungkukkan 

sedangkan kepala dimiringkan.

Wuut!

Serangan luput menderu di atas 

kepala si pemuda. Tak menyia-nyiakan 

kesempatan Gento mendorongkan sikunya ke 

depan. Desss! Hantaman yang telak 

mendarat di bagian perut Aripraba. 

Setelah berhasil menghantam lawan sambil 

melompat mundur Gento memandang ke depan. 

Kejut di hati si pemuda bukan olah-olah 

begitu melihat lawan, jangankan cidera 

bergeming pun tidak. Padahal hantaman 

yang dilakukan si pemuda bukan saja 

sanggup menghancurkan tembok tebal tapi 

juga mampu meremukkan batu karang.

"Hebat, dia memiliki semacam 

kekebalan. Aku tak punya silang sengketa 

dengannya, jadi aku harus menjatuhkan 

dengan cara lain." batin Gento.

Baru saja pemuda itu kerahkan 

tenaga dalam ke bagian tangannya, pada 

saat itu pula lawan kembali menyerangnya 

dengan serangkaian serangan gencar yang


tak berkeputusan. Sambaran angin dahsyat 

disertai mengepulnya debu di udara 

menyertai tendangan atau pukulan yang 

dilancarkan oleh Aripraba.



ENAM



Gento Guyon menghindari semua 

serangan yang sangat berbahaya itu dengan 

menggunakan rangkaian jurus Kera Mabok 

yang digabungkan dengan jurus Belalang 

Terbang. Akibatnya tentu sangat hebat 

sekali. Sambaran kaki ataupun hantaman 

tangan yang dilakukan oleh lawan secara 

bertubi-tubi tak satu pun yang mengenai 

tubuh Gento. Malah jotosan yang oleh 

Aripraba diperkirakan menghantam dada 

lawan dengan telak secara aneh hanya 

mengenai tempat kosong.

"Celaka. Pemuda ini mempunyai jurus 

apa? Tubuhnya oleng, langkah grubak 

grubuk, kepala bergoyang tak mau diam, 

terkadang tubuhnya melesat di udara 

seperti mau terbang." membatin Aripraba 

dalam hati.

Sebaliknya Gento juga berkata dalam 

hati. "Setan itu sama sekali tak memberi 

kesempatan padaku. Sepertinya aku ini dia 

anggap sebagai seorang musuh bebuyutan!"

Belum lagi si pemuda melakukan 

serangan balasan lawan telah merubah 

jurus silatnya. Jika pertama tadi


Aripraba lebih banyak melakukan serangan 

yang diarahkan ke bagian kepala dan dada, 

maka kini dia menyerang bagian perut dan 

kaki Gento. Adapun jurus yang diper-

gunakan pemuda itu adalah jurus 

Menggempur Karang Memapas Kaki Bukit.

Akibatnya tentu bertambah lebih 

dahsyat lagi. Beberapa kejapan Gento 

merasa perut dan dadanya seperti dihantam 

gelombang angin panas bertubi-tubi, 

sedangkan kakinya laksana diterabas mata 

pedang. Kenyataan ini membuatnya melompat 

ke samping, lawan terus merangsak sambil 

hantamkan tangan kiri sedangkan kaki 

melabrak ke arah kaki Gento.

Dengan cepat murid Gentong Ketawa 

gerakkan tangannya menangkis hantaman 

lawan. Benturan keras terjadi, keduanya 

sama terhuyung. Tapi dalam keadaan 

seperti itu kaki lawan masih sempat 

menyambar kedua kakinya, sehingga pemuda 

ini pun jatuh dengan punggung menyentuh 

tanah terlebih dulu. Gento meringis 

kesakitan sambil mengusap-usap pantatnya. 

Melihat hal ini Aripraba yang merasa 

berada di atas angin tanpa membuang 

kesempatan langsung melepaskan pukulan 

mautnya. Angin dingin menderu, sinar biru 

berkiblat, melesat laksana kilat ke arah 

Gento.

"Kadal buduk. Tak kusangka dia 

ternyata memang hendak membuat celaka


diriku!" rutuk Gento dalam hati. Tak mau 

konyol oleh serangan ganas lawannya. Maka 

pemuda ini sambil duduk bersila dan mata 

terpejam segera melepaskan pukulan Dewa 

Awan Mengejar Iblis. Selarik sinar merah 

kehitaman mencuat dari telapak tangan 

pemuda itu menderu di udara. Tak dapat 

dihindari lagi bentrokan antara kedua 

tenaga sakti pun tak dapat dihindari 

lagi. 

Buum! 

Ledakan keras menggelegar menggun-

cang puncak gunung Wilis. Batu dan pasir 

bertebaran memenuhi udara membuat suasana 

jadi gelap. Satu sosok tubuh terlepas 

jauh dari hadapan si pemuda. Sedangkan 

Gento sendiri jatuh rebah menelentang di 

atas tanah. Nafasnya sesak, dada terasa 

panas laksana terbakar. Selain itu dia 

juga merasa ada cairan hangat yang 

menetes di sudut bibirnya. Ketika si 

pemuda menyeka mulutnya dia jadi 

menyeringai.

"Manusia geblek itu membuat aku 

keluarkan kecap. Kalau tak cepat kuberi 

pelajaran dia bisa jadi besar kepala!" 

dengus Gento. Dengan cepat dia bangkit 

berdiri. Saat itu suasana telah kembali 

seperti semula. Tapi pemuda ini jadi 

kaget, karena dia tidak melihat lagi 

lawan berada di tempat itu.

"Dia kabur, dia melarikan diri.


Ternyata dia memang seorang pengecut yang 

tahu dirinya bersalah!" gerutu si pemuda. 

Dia berpikir sejenak sampai pada akhirnya 

memutuskan. "Pemuda itu berpesan jika 

urusan di sini selesai aku harus kembali 

ke muara sungai Lanang atau ke gunung 

Liman sebelah timur Ponorogo. Sebaiknya 

rencana itu kutunda dulu. Aku ingin 

menyelidik rahasia apa sebenarnya yang 

tersembunyi di balik serangkaian 

peristiwa yang menimpa keluarga Raden 

Ponco Sugiri. Aku harus tahu mengapa satu 

sama lain antara mereka nampaknya seperti 

bermusuhan." kata murid kakek aneh 

Gentong Ketawa sambil melangkah pergi 

tinggalkan tempat itu.

***

Di sebelah utara dusun Wilangan, 

tepat di tengah hamparan daerah ber-

batuan. Di sana terdapat sebuah sumur tua 

yang sudah tidak terpakai. Di sekeliling 

sumur itu berserakan tulang belulang 

manusia. Pada waktu tertentu air sumur 

yang berwarna merah darah nampak bergerak 

seperti ada sesuatu yang hidup di 

dalamnya. Bahkan terkadang tak jarang 

terjadi pusaran yang menyedot seluruh air 

yang berada di dalamnya. Keanehan seperti 

itu sudah seringkali terjadi. Tak ada 

yang tahu apa sebenarnya yang terjadi di


bawah sana. Hanya tulang belulang yang 

menjadi saksi bisu dari semua misteri 

yang tersembunyi di dasar sumur tersebut.

Tapi walaupun tempat itu sudah 

bertahun-tahun tak pernah disambangi oleh 

siapapun, pagi itu di saat matahari baru 

menampakkan diri di ufuk sebelah timur, 

di pinggir sumur Getih seorang kakek 

renta berpakaian merah lusuh duduk 

mencangkung menghadap ke mulut sumur.

Wajahnya yang cekung, angker 

mengerikan hampir tak terlihat karena 

tertutup rambutnya yang memutih panjang 

awut-awutan. Sambil duduk seperti itu 

sesekali dia membetulkan tempat yang 

didudukinya yaitu sebuah tengkorak kepala 

manusia yang telah ditumbuhi lumut.

Sejenak lamanya si kakek terdiam, 

sedangkan tongkat hitam di tangan terus 

digerakkan, diputar dengan cepat hingga 

menimbulkan suara angin menderu-deru. Di 

saat seperti itu tiba-tiba saja gerakkan 

tongkat terhenti. Dari mulut si kakek 

yang keriput terdengar suara racau yang 

tidak jelas. Sementara di dalam Sumur 

Getih justru permukaan airnya saat itu 

nampak bergolak hebat. Bersamaan dengan 

itu pula dari dalam mulut sumur mendadak 

terdengar satu suara menegur. "Rowe 

Rontek Panjane, gerangan apa yang 

membuatmu datang ke mari? Aku merasa tak 

mengundang, apakah kau sekarang merasa


pantas bertatap muka denganku?"

Si kakek renta bertongkat ular 

kering yang diawetkan melengak kaget. Dia 

julurkan kepala, pentang mata melongok ke 

mulut Sumur Getih. Tidak terlihat apapun. 

Sumur dalam keadaan gelap gulita. Si 

kakek gelengkan kepala. Tapi akhirnya dia 

buka mulut menjawab.

"Wowor Baji Marani bergelar Arwah 

Darah Senggini, tak kusangka tidak 

kunyana matamu masih awas. Aku Rowe 

Rontek Panjane yang tak tahu diri 

terpaksa menyambangi ingin satu kepastian 

jawaban darimu?"

Dari dalam sumur di mana airnya 

yang berwarna merah terus bergejolak 

terdengar suara tawa panjang, dingin 

angker menyeramkan. Tawa lenyap, dari 

dalam sumur terdengar suara bergemuruh 

hebat. Angin dingin laksana es melesat 

dari dalamnya menyambar kakek renta 

dengan satu sapuan mematikan.

Si kakek renta bertubuh kurus 

kering tersentak kaget, wajah pucat mulut 

ternganga. Tapi dalam kagetnya dia masih 

sempat bergulingan menjauh dari mulut 

sumur selamatkan diri.

Wuus! Wuus!

Walaupun begitu kakinya masih 

sempat terkena sambaran angin dingin luar 

biasa itu. Si kakek mengeluh pendek, 

kakinya laksana beku. Tapi dengan


mengerahkan tenaga dalam berhawa panas ke 

bagian kaki, maka hawa dingin yang 

menyerang kakinya berangsur lenyap.

Laksana kilat dia berdiri kembali. 

Belum hilang rasa kagetnya mendapat 

serangan gelap begitu rupa, dari dalam 

sumur terdengar suara mendesis panjang. 

Satu sosok tubuh dalam keadaan polos 

telanjang melesat berputar di udara 

secara kaku dan jatuh satu tombak di 

depan Rowe Rontek Panjani.

Blukk!

Sepasang mata yang terlindung di 

balik rambut yang awut-awutan itu 

terbelalak lebar, memandang ke depannya 

di mana satu sosok tubuh berkulit putih 

mulus berambut panjang tergeletak kaku 

dengan bibir mengulum senyum menggoda. Si 

kakek cepat palingkan wajah dari mayat 

gadis berumur belasan tahun itu, 

perhatiannya kini kembali tertuju ke 

mulut Sumur Getih.

"Arwah Darah Senggini, kau masih 

tetap menuruti keinginan nafsu sesatmu? 

Menggauli gadis-gadis tak berdosa, 

sungguh tak kusangka!" desis si kakek 

merasa jijik.

Dari dalam sumur kembali terdengar 

suara tawa dingin menusuk. Kemudian 

ketika suara tawa itu lenyap maka 

terdengar bentakan.

"Manusia setan keparat, urusanku


denganmu tidak ada sangkut pautnya dengan 

masalah pribadiku. Jangan coba-coba 

alihkan pembicaraan dari persoalan yang 

sebenarnya. Muridmu si keparat Raden 

Ponco Sugiri yang telah membuat ulah. 

Jadi sekarang aku minta tanggung jawabmu! 

Sedangkan mengenai kesenanganku dengan 

gadis-gadis itu merupakan persoalan 

lain!"

"Ha... ha... ha.. Arwah Darah 

Senggini, kau telah menebar petaka di 

tujuh penjuru angin. Kau bahkan dulu 

telah memporak-porandakan Wonogiri dengan 

mengirimkan badai topan ke sana. Apakah 

semua ini masih belum cukup untuk menebus 

kesalahan muridku?"

Dari dalam sumur nampak terdengar 

suara erangan marah. Air Sumur Getih yang 

tadinya bergejolak kini nampak membentuk 

pusaran aneh yang langsung menukik 

menembus kedalaman. Di saat pusaran air 

telah menyentuh ke bagian dasar telaga, 

maka dari dasar telaga yang airnya 

tersibak melesat satu sosok tubuh seorang 

perempuan berpakaian putih panjang 

seperti daster. Hanya sekejapan perempuan 

itu berdiri tegak di depan Rowe Rontek 

Panjane.

Memandang pada perempuan cantik 

berkulit putih berhidung mancung dengan 

bibir merah menggairahkan itu si kakek 

jadi bersurut langkah. Dia mengusap


matanya seakan tak percaya dengan 

penglihatannya sendiri.

"Bagaimana mungkin?" desis si kakek 

kaget. "Kau berubah, ini sulit 

kupercaya?"

"Hik... hik... hik. Di dunia ini 

segala sesuatunya bisa saja terjadi. Jadi 

apa yang aneh bangsat tua?" dengus si 

perempuan yang usia sebenarnya lebih dari 

tujuh puluh lima tahun.

"Kau pasti menggunakan mistik, 

mungkin juga menggunakan sihir untuk 

merubah wajahmu. Sebagaimana dulu kau 

minta bantuan jin untuk menghancurkan 

Wonogiri. Sekarang aku datang kepadamu 

dengan maksud membuat jelas semua 

persoalan yang selama ini belum sempat 

kita tuntaskan!" menerangkan si kakek 

tua, sementara matanya terus mengamati 

wajah perempuan cantik di depannya. Dalam 

pandangan Rowe Rontek Panjane, walaupun 

wajah perempuan itu cantik luar biasa 

bagaikan gadis berusia dua puluhan, tapi 

di balik semua itu mata hatinya dapat 

melihat satu sosok wajah tua keriput dari 

ujud si perempuan yang sesungguhnya.

"Aku tak akan menanggapi ucapanmu 

yang pertama. Tapi terus terang aku 

memandang perlu untuk mendengar semua 

alasan yang hendak kau sampaikan padaku, 

tentang janji yang telah diikrarkan." 

ujar si cantik yang sesungguhnya adalah


seorang nenek tua berusia lanjut.

"Apakah semua perjanjian di masa 

lalu itu tak dapat dibatalkan kembali 

Wowor Baji Marani?" tanya Rowe Rontek 

Panjane menyebut nama asli perempuan itu.

"Aku kau minta membatalkan semua 

janji yang telah dibuat oleh muridmu? 

Padahal kau melihat muridmu telah 

menikmati segala kemewahan hidup yang dia 

dambakan selagi dirinya hidup melarat?

Coba kau ingat masa lalu dari muridmu. 

Ingat dan bayangkan kembali baik-baik!" 

tegas Arwah Darah Senggini. Si kakek 

terdiam. Kedua mata terpejam, sedangkan 

tubuh bergetar. Segala peristiwa yang 

terjadi dua puluh delapan tahun yang 

silam kini seakan terbayang kembali di 

depan matanya.



TUJUH



Tiga puluh tahun yang lalu Raden 

Ponco Sugiri yang beristrikan Sri Rara 

Ageng hidup dalam kesengsaraan dan 

penghinaan keluarganya datang pada kakek 

Rowe Rontek Panjane yang bukan lain 

adalah gurunya sendiri. Ketika itu hari 

telah merembang petang, tapi suasana di 

dalam tempat kediaman kakek itu terasa 

lebih gelap dan menebar bau busuk 

menyengat. Rowe Rontek Panjane nampak 

terkejut ketika melihat wajah muridnya


bengkak lebam membiru, bibir mengucurkan 

darah, hidung melesak hancur. Sedangkan 

mata kiri menggembung bengkak seperti 

bekas penganiayaan berat. Untuk 

diketahui, saat itu kepandaian silat atau 

ilmu kesaktian yang dimiliki Raden Ponco 

Sugiri belum tinggi, karena dia baru saja 

beberapa bulan diangkat murid dan baru 

mendapat pelajaran dasar-dasar ilmu silat 

dari kakek itu.

Di depan gurunya raden Ponco Sugiri 

sedikit pun tidak mengeluh, namun Rowe 

Rontek tahu di dalam dada sang murid 

menyimpan dendam tersembunyi yang 

sewaktu-waktu dapat meledak berubah 

menjadi angkara murka.

"Katakan apa lagi yang menimpa 

dirimu, Raden? Tubuh dan wajahmu babak 

belur bagai prajurit yang kalah perang. 

Pasti ini bukan perbuatan tukang pukul 

atau begundalnya para hartawan itu!” 

berkata si kakek sedangkan matanya tak 

pernah lepas dari wajah muridnya.

"Guru... sudahlah. Saya datang ke 

mari bukan untuk membesarkan masalah atau 

mengadukan perjalanan hidup yang sial dan 

nasib buruk yang menimpa diriku. Aku 

ingin berguru, meminta petunjuk agar guru 

sudi menurunkan ilmu kesaktian agar 

diriku tidak hina, lemah di mata 

manusia." sahut Raden Ponco Sugiri pelan 

dan sopan. Sikap laki-laki muda yang


lemah lembut ini terkadang terasa 

menyentuh hati si kakek, hingga dia 

merasa tak tega melihat penderitaan 

muridnya.

Si kakek hela nafasnya. Dia 

memberikan dua butir pel, diberikannya 

pada sang murid.

"Telanlah, dalam waktu satu hari 

lukamu pasti sembuh!" ujar si kakek.

Raden Ponco Sugiri melakukan apa 

yang dikatakan gurunya. Setelah menelan 

obat pemberian gurunya, sang Raden 

merasakan dadanya menjadi sejuk. Perih di 

sekujur wajahnya lenyap, demikian juga 

rasa sakit hebat yang mendera bagian 

hidungnya.

"Guru, saya merasa berterima kasih 

sekali. Segala kebaikan ini hanya Gusti 

Allah yang dapat membalasnya." Raden 

Ponco Sugiri berkata haru dan teteskan 

air mata.

Kakek Rowe Rontek gelengkan kepala.

"Lupakan semua budi, lupakan semua 

jasa. Sekarang kau harus mengatakan siapa 

yang mencideraimu begini rupa? Raden 

Ronggo Anom... saudara tiri yang telah 

mengangkangi seluruh peninggalan harta 

orang tuamu, pasti dia orangnya!!" desis 

si kakek geram.

Tak menyangka sang guru mengetahui 

apa yang telah terjadi, Raden Ponco 

Sugiri belalakkan mata tak mampu menutupi


rasa kagetnya. Merasa terlanjur ditambah 

dendam kesumat atas kecongkakan serta 

sifat tamak adik tirinya maka Raden Ponco 

berkata. "Memang dia orangnya. Saya hanya 

sedikit melakukan kesalahan dalam 

mengurus harta kekayaannya. Tapi dia 

menuduh jambangan emas kesayangannya saya 

yang mencuri. Dia menyiksa saya bahkan 

menyakiti bagian anggota rahasia saya. 

Setelah kelahiran anak saya yang ketiga 

ada kemungkinan saya tidak akan punya 

keturunan lagi!”

"Ah, setan mana yang telah meracuni 

jiwa adik tirimu itu hingga tega 

memperlakukan dirimu begini rupa?" seru 

si kakek gusar. "Hal ini tak bisa 

dibiarkan begitu saja. Kau harus 

melakukan sesuatu, paling tidak mengambil 

alih seluruh kekayaan peninggalan 

ayahmu!" kata orang tua itu kemudian.

Raden Ponco Sugiri tersenyum kecut, 

wajahnya murung sedangkan matanya menatap 

kosong ke arah pelita satu-satunya yang 

berada di ruangan itu.

"Dengan apa saya dapat melakukan 

semua itu guru? Raden Anom punya segudang 

tukang kepluk, berlusin pembunuh bayaran 

dan beberapa orang tokoh silat. Selain 

itu Raden Anom sendiri mempunyai 

kesaktian sangat tinggi. Seandainya pun 

kita berdua menghadapi mereka, menggempur 

bersama-sama pasti kita hanya membuang


nyawa sia-sia." kata Raden Ponco Sugiri.

Si kakek terdiam, wajahnya yang 

tertutup rambut panjang awut-awutan 

nampak tegang sedangkan keningnya 

berkerut pertanda si kakek sedang

berpikir keras mencari jalan keluar. 

Hingga pada akhirnya diapun berkata.

"Sekarang aku punya jalan. 

Keberhasilannya bisa kujamin, tapi 

mengenai resiko yang terjadi di kemudian 

hari aku tak berani mengatakannya. Pasti 

syaratnya terlalu berat bagimu!"

Mengingat akan nasib dan derita 

hidup yang dialaminya selama ini, tanpa 

pikir panjang lagi Raden Ponco Sugiri 

langsung berkata. "Apapun resikonya akan 

saya tanggung guru. Saya kasihan pada 

anak-anak saya juga istri saya. Mereka 

tidak pernah merasakan kesenangan hidup 

sama sekali!"

"Syarat yang harus kau tanggung 

terlalu berat Raden." kata gurunya.

"Sudah saya katakan, saya tak 

perduli! Meskipun nyawa saya sebagai 

taruhannya. Saya sudah tak tahan menjadi 

kacung adik tiri laknat itu. Setiap 

melakukan kesalahan berbalas dengan 

cambukan!" keluh Raden Ponco Sugiri.

Wajah yang berubah murung di balik 

rambut riap-riapan perlahan terangkat, 

mata memandang lurus ke depan, mulut yang 

tertutup kumis terbuka. "Kalau itu maumu


aku tak bisa melarang. Tapi harus kau 

ingat, begitu kau keluar dari pintu rumah 

ini berarti kau sudah tak dapat lagi 

menarik keinginanmu. Segala ucapanmu 

telah tercatat di Sumur Getih."

"Sumur Getih? Siapa yang 

mencatatnya?" tanya Raden Ponco Sugiri 

terheran-heran.

"Nanti kau akan tahu sendiri. 

Sekarang kau tak usah banyak bertanya. 

Berdirilah!" perintah si kakek.

Meskipun tak tahu apa maksud 

keinginan gurunya, tapi dia bangkit dan 

berdiri juga. Si kakek kemudian bangkit.

"Kita akan melakukan perjalanan 

yang cukup jauh. Karena itu pejamkan 

matamu, jangan kau buka jika belum ada 

tanda dariku. Mengerti?!"

"Saya mengerti guru." sahut sang 

raden.

Dalam keadaan mata terpejam Raden 

Ponco Sugiri kemudian mendengar gumam 

Seperti orang yang sedang membaca mantra-

mantra. Sedangkan di sekelilingnya terasa 

ada sambaran angin yang membuat sekujur 

tubuh sang Raden laksana diselimuti es. 

Lalu satu tangan menyambar pinggang. 

Raden Ponco Sugiri merasa tubuhnya 

tersentak, melesat bagaikan dibawa 

terbang.

Di saat dirinya dalam keadaan 

demikian rupa, ingin rasanya sang Raden


membuka mata melihat apa yang sebenarnya 

sedang terjadi dan di mana saat itu dia 

berada. Tapi niat itu tak dilaksanakan 

karena dia ingat dengan pesan Rowe Rontek 

Panjane. Apa yang dilakukan si kakek saat 

itu merupakan pengerahan dari salah satu 

ajian bernama Sapu Angin. Ajian ini dua 

tingkat lebih tinggi dari ilmu lari cepat 

yang dimiliki oleh banyak tokoh. Biasanya 

kakek itu hanya menggunakan ajian bila 

hendak melakukan perjalanan jauh untuk 

melaksanakan suatu urusan penting.

Raden Ponco Sugiri tak mampu 

mengingat berapa lama dirinya berada 

dalam bimbingan sang guru. Sampai 

kemudian dia merasa tubuhnya melesat 

turun dan kedua kaki menginjak tanah.

"Buka matamu, kita sudah sampai di 

tempat tujuan!" kata si kakek memberi 

aba-aba. Tanpa ragu Raden Ponco buka 

matanya. Dia terkejut begitu menyadari 

dirinya tidak lagi berada di tempat 

kediaman Rowe Rontek Panjane, melainkan 

di suatu tempat yang luas dipenuhi batu-

batu besar, sedangkan setengah tombak di 

depannya dia melihat sebuah sumur yang 

gelap dan tak diketahui berapa dalamnya.

Sejenak lamanya Rowe Rontek Panjane 

memandang ke arah sumur. Lalu dengan 

suara keras dia berteriak. "Wowor Baji 

Marani sahabatku. Aku datang membawa 

muridku dengan harapan kau dapat membantu


menyelesaikan persoalan yang sedang 

dihadapinya! Harap kau mau unjukkan

diri!"

Di samping si kakek Raden Ponco 

diam membisu. Dia tak tahu kepada siapa 

gurunya bicara, karena di tempat itu 

selain sumur dan batu-batuan dia tidak 

melihat ada orang lain terkecuali mereka. 

Pertanyaan itu nampaknya segera berjawab, 

karena tak lama kemudian terdengar suara 

tawa mengikik aneh yang datang dari dalam 

sumur. Seiring dengan terdengarnya suara 

tawa dari dalam kegelapan sumur melesat 

satu sosok serba putih, berjumpalitan di 

udara sambil berputar, lalu jejakkan kaki 

tepat di hadapan sang Raden dan gurunya.

Ketika Raden Ponco memperhatikan 

dengan seksama, wajah laki-laki itu 

mendadak berubah pucat seperti kehilangan 

darah, tubuh menggigil sedangkan mulut 

ternganga kaget. Sosok yang berdiri tegak 

di depan mereka itu adalah sosok nenek 

tua renta, telinga kiri besar panjang, 

sedangkan mata menjorok ke dalam rongga, 

kedua hidung hampir tak pernah berhenti 

meneteskan darah, giginya yang hitam 

mencuat sedangkan bibir bawahnya yang 

besar menggelantung seperti sarang lebah. 

Dagunya sendiri tidak terlihat karena 

tertutup bibir yang bergelayutan itu.

"Hi... hi... hi, tamu datang 

mengapa tak memberi hormat pada tuan


rumah? Duduk...!" perintah si nenek 

bermuka seangker setan ketus. Seiring 

dengan itu Raden Ponco merasakan adanya 

tekanan hebat di kedua bahunya, kedua 

kaki bergetar, lalu dia pun jatuh 

terduduk tak bangkit-bangkit lagi. 

Sedangkan gurunya masih dapat tegak di 

tempatnya meskipun kedua kakinya amblas 

melesak ke dalam tanah. Maklumlah sang 

Raden, perempuan bermuka angker 

bertelinga lebar panjang itu tengah 

menguji gurunya.

"Rowe Rontek Panjane, kau tetap 

seperti dulu. Keras kepala dan tak mau 

mengalah, padahal kau menyadari ilmu yang 

kau miliki hanya setahi kukuku. Puah...!" 

dengus si nenek.

Rowe Rontek Panjane hanya tersenyum 

sinis. Dia tahu betapa tingginya 

kesaktian yang dimiliki perempuan tua di 

depannya. Kesaktiannya sulit dijajaki, 

selain itu dia juga memiliki seorang jin 

yang dapat diperintahnya melakukan 

pekerjaan apa saja, termasuk juga 

menghabisi melenyapkan nyawa orang.

"Saat ini kesaktian yang dimiliki 

si tua bodoh ini memang tak seberapa 

dibandingkan tingginya ilmumu, mungkin 

nanti di suatu saat kau akan menjumpaiku 

dalam keadaan yang lain."

"Saat itu kau sudah mampus disantap 

cacing tanah! Hi... hi... hi." Si nenek


berkata disertai tawa aneh panjang yang 

seakan datang dari alam para lelembut. 

Sekejapan tawanya terhenti. Dia melirik 

Raden Ponco Sugiri sekilas. Yang 

dipandang tundukkan wajahnya. "Aku sudah 

tahu riwayat hidup laki-laki ini. Aku 

juga sudah tahu maksud tujuan apa kau 

datang ke sini membawa muridmu. Sebelum 

kau datang tadi, aku sudah berusaha masuk 

mengintai ke tabir alam gaib, meminta 

petunjuk pada para setan sesat mereka-

reka dan menghitung hari apes saudara 

tirimu itu. Malam ini jatuh pada untung 

mujurmu. Kau bisa hidup senang, menikmati 

kemewahan dengan anak istrimu di waktu 

mendatang...!"

"Apa maksudmu, nek?" tanya Raden 

Ponco heran juga kaget.

"Keparat, jangan bicara jika tak 

kuminta. Kau hanya boleh mendengar. Aku 

tahu bukankah maksud kedatanganmu ke sini 

adalah untuk mengambil alih harta 

peninggalan ayahmu yang diserakahi Raden 

Ronggo Anom? Mengambil begitu saja tidak 

mudah, terkecuali bila kau melenyapkan 

manusia sakti itu. Untuk melakukannya 

juga tidak mudah, jangankan kau dan 

gurumu. Aku sendiri tanpa bantuan Babad 

Nyawa mungkin tak sanggup."

Mendengar penjelasan si nenek Raden 

Ponco Sugiri jadi kaget. Dia tak 

menyangka harus berbuat sejauh itu. Tapi


apa yang dikatakan oleh si nenek rasanya 

memang dapat diterima akal.

Terlanjur sudah melangkah, pantang 

bagi sang Raden untuk membatalkan 

niatnya.

"Lalu apa yang harus dilakukan 

muridku, Arwah Darah Senggini?" tanya si 

kakek.

"Hik... hik... hik. Muridmu tak 

perlu melakukan apapun. Aku yang 

melakukan segalanya dengan dibantu Babad 

Nyawa. Tapi dengan satu syarat, kelak aku 

meminta dua nyawa sebagai tebusan 

pekerjaan yang kulakukan sekarang. Per-

tama aku meminta kedua tangan dan kakimu, 

Raden. Itu adalah penagihan janji yang 

paling ringan. Setelah itu aku baru 

datang meminta nyawamu!" kata si nenek 

tenang dan disertai seringai aneh.

Mendengar ucapan perempuan itu 

bukan hanya Rowe Rontek Panjane saja yang 

tersentak kaget, Raden Ponco Sugiri 

apalagi. Dia tak menyangka si nenek 

meminta tebusan seberat itu.

"Sobatku Arwah Darah Senggini, 

apakah tidak salah pendengaranku ini?"

"Kau tidak salah mendengar, aku 

juga merasa pasti tidak salah mengatakan. 

Kalian mengikat perjanjian denganku dan 

aku mengikat janji dengan setan! Saat 

Raden Ronggo Anom kubunuh, berarti aku 

menghutangkan nyawa padamu Raden, kelak


aku menagih satu nyawa ditambah satu 

sebagai bunganya yaitu nyawa anakmu!"

"Anakku... anakku yang mana?" tanya 

sang Raden. Dia lalu teringat pada ketiga 

anaknya, satu perempuan dan dua laki-

laki.

"Anakmu yang paling bungsu. Anak 

itu akan lahir kemudian setahun setelah 

kau datang ke sini!” tegas Arwah Darah 

Senggini.

"Tapi... muridku saat ini telah 

kehilangan fungsinya sebagai laki-laki, 

mustahil dia dapat memberikan satu 

keturunan lagi!" menerangkan si kakek.

Sekejap nenek angker itu pandangi 

Raden Ponco Sugiri. Mulai dari ujung 

rambut dan terhenti di bagian bawah 

perut. Ditatap seperti itu sang Raden 

menjadi jengah. "Atas kehendak setan 

segalanya bisa diatur!" berkata begitu 

Arwah Darah Senggini gerakkan tangan 

kanannya ke bagian bawah perut Raden 

Ponco Sugiri. Walaupun gerakan tangan itu 

tak sampai menyentuh di bagian itu. Namun 

sang Raden merasa anunya seperti diremas 

dan ditepuk pulang balik. Seketika dia 

juga merasakan adanya hawa hangat 

menjalari di sekitar bawah perutnya. 

Mula-mula terasa sakit, tapi lama-

kelamaan sang Raden merasa lega, mulas di 

perutnya akibat tepukan aneh juga hilang.

"Bagaimana perasaanmu kini?" tanya


nenek itu disertai senyum sekilas di 

bibirnya yang tebal.

"Aku merasa agak baikan nek." sahut 

Raden Ponco agak malu-malu.

"Nah itu artinya perjanjian tetap 

berjalan. Jika Raden Ronggo Anom telah 

kubunuh, jika hidupmu telah mapan. Kau 

harus menyerahkan anak bungsumu. Aku 

membutuhkan kulit juga nyawa bocah itu. 

kau serahkan padaku tepat usianya sepuluh 

tahun. Jika janjimu tak kau penuhi, kau 

harus membayar semua pengingkaranmu 

dengan seluruh nyawa keluargamu!"

Mendengar penjelasan si nenek, 

menggigillah tubuh Raden Ponco Sugiri. 

Dia memandang pada gurunya seakan minta 

pendapat, tapi kakek tua itu malah 

mengangkat bahu. "Seperti yang telah 

kukatakan, kau tak boleh bersurut langkah 

setelah meninggalkan pintu rumahku!" kata 

si kakek pelan.

"Baiklah, kupenuhi permintaanmu. 

Tangan dan kakiku kelak kuserahkan 

padamu, kemudian nyawaku juga kulit serta 

nyawa putraku yang terlahir di kemudian 

hari!" jawab Raden Ponco Sugiri dengan 

suara bergetar.

"Bagus! Kata sepakat sudah sama 

kita dapat. Sekarang kau pergilah, 

kembali ke Wonogiri. Besok pagi begitu 

kau sampai ke sana Raden Ronggo Anom 

pasti sudah terbujur tanpa nyawa. Harta


pasti kau dapat, terkecuali harta milik 

nenek moyangmu yang pertama yang kini 

terkubur di kaki gunung Liman sebelah 

timur Ponorogo. Harta itu akan menjadi 

milikku. Karena aku yang akan memegang 

kuncinya, aku yang menyimpan peta 

penyimpanannya. Hik... hik... hik!"

"Tapi nek peta itu sekarang ada di 

suatu tempat disembunyikan oleh Raden 

Ronggo Anom." Sergah sang Raden yang 

mendadak jadi tidak rela jika harta 

keluarga yang dapat dijadikan untuk 

membangun kerajaan besar jatuh ke tangan 

orang lain.

"Peta itu hangus malam ini. Kelak 

dia akan dipindahkan oleh Babat Nyawa ke 

satu tempat. Tempat yang bergerak tak 

terjangkau oleh penglihatan mata biasa!"

"Apa maksudmu sobatku?" tanya si 

kakek heran.

"Kau tak perlu tahu. Sekarang 

pergilah kalian! Aku hendak mulai 

mengerjakan apa yang menjadi permin-

taanmu, Raden!"

Merasa tak punya pilihan lain, maka 

Rowe Rontek Panjane mengajak muridnya 

untuk meninggalkan tempat itu. Tidak 

berapa lama setelah murid dan guru 

meninggalkan Sumur Getih. Maka Arwah 

Darah Senggini segera duduk bersila. 

Kedua mata dipejamkan sedangkan kedua 

tangan dilipat ke depan dada. Bibir dower


si nenek nampak berkomat-kamit, lalu 

tubuhnya menggeletar hebat. Seiring 

dengan itu pula dari bagian ubun-ubun si 

nenek mengepulkan kabut putih, dari 

telapak tangan kanannya juga mengepulkan 

kabut. Tangan yang mengepulkan kabut lalu 

digosok-gosokkan ke telinga kirinya yang 

lebar dan panjang. Keanehan kemudian 

terjadi. Dari bagian telinga keluar asap 

tebal berwarna biru, asap semakin lama 

membubung tinggi ke udara. Membentuk satu 

sosok samar besar dan angker. Sosok samar 

itu semakin lama semakin jelas ujudnya. 

Sampai kemudian tampak jelas seraut wajah 

laki-laki berambut kaku seperti landak, 

alis tebal, cambang bawuk lebat, mata 

merah laksana api, sedangkan salah satu 

telinganya memakai anting besar, bulat 

berkilauan.

"Apa yang harus kulakukan 

junjunganku, aku Babat Nyawa datang 

memenuhi panggilan!" kata sosok setinggi 

delapan tombak itu disertai senyum 

mengerikan.

Si nenek buka matanya, ketika dia 

menoleh ke sebelah kiri Arwah Darah 

Senggini tersenyum.

"Bagus! Malam ini aku berkehendak 

agar kau mencabut nyawa Raden Ronggo 

Anom. Kau bunuh dia tepat di bagian 

jantung. Selain itu kau juga harus 

menghanguskan peta penyimpanan harta


keluarga Raden Ponco Sugiri, kau ingat 

baik-baik isi peta itu, karena kelak kau 

harus memindahkannya ke tubuh seseorang 

yang bakal terlahir ke dunia ini!" pesan 

si nenek.

"Aku tak pernah mengecewakanmu. 

Tugas akan kujalankan dengan baik. Aku 

Babat Nyawa mohon diri" berkata begitu 

Bosok tinggi besar rangkapkan tangan 

bungkukkan badan. Setelah itu tubuhnya 

raib dari pandangan Arwah Darah Senggini.

Si nenek tersenyum, dia tetap di 

situ. Sementara bulan sudah bergeser di 

langit sebelah barat. Angin dingin 

berhembus menampar wajah keriput si nenek 

sakti.

***

Keesokan harinya setelah sampai di 

Wonogiri, Raden Ponco Sugiri yang kembali 

dengan diantar oleh gurunya mendapati 

kenyataan adik tirinya tewas secara aneh. 

Seluruh Wonogiri menjadi gempar, para 

kaki tangan Raden Anom apalagi. Baru saja 

tadi malam junjungan mereka bersenang-

senang dengan empat orang gadis cantik. 

Saat itu sang Raden dalam keadaan segar 

bugar. Tapi kini sosok yang penuh angkara 

murka itu mati dengan cara aneh. Belum 

lagi hilang rasa kaget di hati mereka, 

Raden Ponco Sugiri dan gurunya menyerbu


mereka. Dalam keadaan berduka kehilangan 

orang yang sangat mereka hormati, 

menghadapi serbuan sang Raden apalagi 

dibantu oleh orang tua yang memiliki 

kesaktian tinggi hanya dalam waktu 

singkat mereka pun bergelimpangan roboh. 

Sedangkan mereka yang selamat langsung 

melarikan diri.

"Kini tujuanmu telah tercapai." 

berkata si kakek beberapa saat setelah 

kejadian itu. "Kau bisa hidup layak. Tapi 

harus kau ingat janjimu pada Arwah Darah 

Senggini. Kau telah berhutang nyawa 

padanya, sesuai janjimu kelak kau harus 

membayar hutang itu dengan nyawamu juga 

anakmu sendiri!!"

Raden Ponco Sugiri anggukkan 

kepala. "Nyawa kubayar nyawa. Janji tak 

kulupakan. Terima kasih atas petunjuk dan 

bantuanmu guru!" kata sang Raden. Dia 

lalu memandang ke depan, tapi Rowe Rontek 

Panjane telah raib dari gedung megah itu.



DELAPAN



"Sudah kau ingatkah semua per-

janjian yang diucapkan muridmu dulu? Kau 

yang menjadi saksi, tapi apa yang 

kemudian terjadi? Muridmu mengkhianati

janjinya sendiri. Dia tak menyerahkan 

tangan dan kakinya, sehingga aku yang 

terpaksa datang meminta anggota badannya.


Kemudian ketika anaknya lahir, genap 

sepuluh tahun bocah itu tak diberikannya 

padaku. Tapi dia sembunyikan di suatu 

tempat. Aku memberinya ingat dengan 

menyuruh Babat Nyawa mengirim badai topan 

ke Wonogiri. Kubuat sanak keluarganya 

tercerai-berai. Tapi itu kuanggap belum 

cukup....!" kata Wowor Baji Marani alias 

Arwah Darah Senggini.

"Aku tak pernah lupa dengan segala 

janji yang telah disepakati antara kau 

dan muridku. Tapi bukankah kau sendiri 

telah membunuh Raden Ponco Sugiri?" tanya 

si kakek seakan ingin memastikan. 

Beberapa hari yang lalu sebelum menemui 

perempuan cantik yang aslinya adalah 

seorang nenek tua renta itu Rowe Rontek 

Panjane memang sengaja menyambangi 

muridnya untuk sekedar mengingatkan 

tentang janji sumpah sang murid pada 

nenek itu. Namun ketika sampai di puncak 

gunung Wilis ternyata Raden Ponco Sugiri 

ternyata telah tewas, jasadnya dalam 

keadaan membusuk.

Mata Arwah Darah Senggini mendelik 

besar. Mulutnya terkatup sedangkan kedua 

tangan tergetar. "Kau tahu apa tentang 

hidup dan matinya manusia? Agar kau tahu, 

aku sama sekali belum pernah menginjakkan 

kakiku ke puncak gunung Wilis. Aku bahkan 

tak pernah menyuruh Babat Nyawa mencari 

laki-laki keparat itu, bagaimana sekarang


kau bisa mengatakan aku telah 

membunuhnya?" hardik si nenek marah.

"Apa? Jadi... jadi siapa yang 

membunuh muridku?" tanya si kakek kaget 

dan tak percaya dengan pendengarannya 

sendiri.

"Kau mengenal diriku sudah sangat 

lama, Rowe. Walau hidupku menyimpang jauh 

dari jalan yang telah digariskan Tuhan, 

tapi aku tak pernah berdusta! Kau mau 

percaya atau tidak itu terserah padamu. 

Satu hal yang harus kau ingat, kau harus 

memberikan nyawamu sebagai ganti nyawa 

muridmu!"

Mendengar ucapan si nenek, Rowe 

Rontek Panjane tersentak kaget. Sama 

sekali dia tak menyangka ujung dari semua 

langkah yang ditempuh muridnya akan 

berakhir dengan kematiannya sendiri. 

Padahal kedatangannya ke Sumur Getih 

adalah ingin memastikan apakah nenek itu 

telah menagih janjinya. Tapi siapa 

menyangka sang murid ternyata tewas bukan 

di tangan Arwah Darah Senggini. Lalu 

siapa yang telah membunuh Raden Ponco 

Sugiri? Beberapa saat lamanya si kakek 

mencoba berpikir dan menduga-duga siapa 

gerangan pembunuh sang murid. Tapi dia 

tak menduga siapa orangnya. Bisa jadi 

yang membunuh Raden Ponco Sugiri adalah 

salah satu dari keempat anaknya sendiri. 

Bukankah sejak sang Raden mengasingkan


diri di puncak gunung Wilis anak-anaknya 

seperti saling curiga-mencurigai satu 

sama lain?

"Selesaikah kau berdoa, Rowe Rontek 

Panjane?" tanya Arwah Darah Senggini 

sambil memandang mendelik ke arah si 

kakek. Rowe Rontek tersentak kaget. 

Lamunannya buyar seketika.

"Apa maksudmu, Marani?" tanya si 

kakek.

"Kau pura-pura pikun, kau lupa? 

Nyawamu... kau harus serahkan nyawamu 

sebagai pengganti nyawa muridmu!" tegas 

si nenek.

"Tapi bukankah Raden Ponco Sugiri 

telah mati?"

"Hik... hik... hik. Kau benar, 

Raden keparat itu sudah mampus! Tapi 

bukan di tanganku. Siapa pembunuhnya kau 

bisa menanyakannya nanti pada malaikat 

penjaga neraka. Serahkan nyawamu sekarang 

juga, jika kau telah memberikan nyawamu 

setelah itu akan kucari semua anak turun 

Raden Ponco Sugiri...!"

Mendengar ucapan si nenek Rowe 

Rontek Panjane jadi terheran-heran.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku sudah jelas. Aku akan 

mengambil jiwa seluruh anak turun Raden 

Ponco sebagai imbalan atas segala 

pengingkaran janji yang dilakukannya!" 

sahut Arwah Darah disertai tawa lebar.


"Janji sudah terlanjur disepakati, 

muridku yang merasakan hidup senang 

sedang aku cuma kebagian tulahnya. Tapi 

aku tak mungkin menerima kematian seperti 

keledai tolol. Menyesal rasanya jika kau 

tak dapat menghentikan apa yang hendak 

dilakukannya!" batin kakek renta itu 

dalam hati. Tapi kemudian dia berkata. 

"Baiklah sobatku, jika muridku sudah 

mengikat janji padamu dan kau terikat 

janji dengan para setan. Sebagai gurunya 

aku akan membayar dengan nyawaku. 

Mengenai apa nanti yang akan kau lakukan 

setelah aku mati terserah dirimu. 

Sekarang aku siap, turunkan tangan 

jahatmu yang paling keji. Hantam bagian 

tubuhku yang kau sukai. Tapi ingat hanya 

dengan sekali hantam, jangan kau sakiti 

diriku terlalu lama!" berkata si kakek 

dengan suara bergetar dan memelas. Dia 

bahkan memejamkan matanya, tubuh 

dibungkukkan seakan siap menyerahkan 

kepala. Sedangkan kedua tangannya 

memegang tongkat ular kering.

Melihat sikap orang yang seperti 

pasrahkan nyawa siap menerima kematian, 

maka arwah darah Senggini siapkan satu 

pukulan yang dikenal dengan nama 

Mengguncang Bumi Menguras Lautan. Dua 

tangan digosokkan satu sama lain, 

sebentar saja kedua tangan itu 

menggeletar hebat disertai mengepulnya


asap berwarna biru. Sedangkan tangan si 

nenek yang merubah wajahnya menjadi 

cantik secara tak wajar sampai ke bagian 

siku telah berubah menjadi biru pula. Si 

kakek yang pura-pura pejamkan mata 

menyadari bekas sahabatnya itu benar-

benar menghendaki jiwanya. Sehingga dia 

yang memang telah menyiapkan pukulan di 

tangan kiri, serta siap menekan bagian 

leher tongkat ularnya segera mendahului 

lepaskan serangan.

"Aku sudah siap sahabatku!" Si 

kakek berseru. Bersamaan dengan terde-

ngarnya seruan Rowe Rontek Panjane, maka 

detik itu dia menekan bagian leher 

tongkat ular kering sekaligus memba-

renginya dengan hantaman tangan kiri. 

Selarik sinar putih menyilaukan ber-

kiblat, menderu sebat disertai menebarnya 

hawa panas dari telapak tangan si kakek. 

Sedangkan di bagian mulut tongkat ular 

kering di tangan si kakek melesat pula 

cairan hitam disertai bau amis yang 

sangat luar biasa. Masing-masing serangan 

itu menghantam lurus ke bagian yang 

paling mematikan di tubuh lawannya.

Tak menyangka si kakek melakukan 

tindakan senekad itu tentu kejut Arwah 

Darah Senggini bukan olah-olah. Tapi dia 

adalah tokoh sesat yang memiliki segudang 

pengalaman. Sambil memaki dia bantingkan 

dirinya ke kiri, menelungkup sama rata


dengan tanah sambil melepaskan pukulan 

Mengguncang Bumi Menguras Lautan. 

"Tua bangka keparat! Kelicikanmu 

akan kubalas dengan kematian yang paling 

menyakitkan!" Suara teriakan si nenek 

cantik tenggelam oleh suara gemuruh suara 

pukulan maut yang dilepaskannya sendiri. 

Sinar hitam pekat menderu di udara, dua 

pukulan sakti sailing bentrok, 

menimbulkan suara berdentum menggetarkan 

Sumur Getih dan memporak-porandakan

bebatuan yang terdapat di sekitar tempat 

itu.

Sosok si kakek Rowe Rontek Panjane 

terlempar dua tombak, si nenek tetap 

berada di tempatnya. Tapi dia menjerit 

kesakitan ketika bagian bahunya sempat 

terkena cairan racun yang tersembur dari 

tongkat hitam lawan. Laksana kilat Arwah 

Darah Senggini bangkit berdiri. Dia 

memperhatikan bahunya, si nenek jadi 

terkesiap. Bukan hanya pakaiannya yang 

hangus terkena sambaran cairan racun, 

tapi kulit dan daging bahunya juga 

melepuh gosong menimbulkan rasa sakit dan 

panas luar biasa. Si nenek segera telan 

sebutir pil berwarna hitam pipih seperti 

tahi ayam kering. Beberapa bagian bahu di 

sekitar luka ditotoknya untuk mencegah 

agar racun ganas tidak sampai menyebar ke 

pembuluh darah. Dalam hati dia tak 

menduga kalau bekas sahabatnya yang dulu


memiliki tingkat kesaktian jauh berada di 

bawahnya ternyata kini ilmunya maju 

pesat. Dari pukulan yang dilepaskan si 

kakek tadi dia bahkan mengetahui tenaga 

dalam Rowe Rontek Panjane hanya satu 

tingkat di bawahnya. Tapi si nenek merasa 

tongkat ular kering di tangan si kakek 

itulah yang paling sangat berbahaya.

Karena itu begitu Arwah Darah 

Senggini melihat lawan tampak menderita 

luka dalam akibat bentrok pukulan tadi, 

tanpa memberi kesempatan dia langsung 

menyerbu ke arah lawan. Dua tangan 

berkelebat, satu menyambar ke arah 

tongkat dengan maksud merampas sedangkan 

satunya lagi lakukan jotosan ke bagian 

wajah. Sambaran angin keras menampar 

bagian wajah si kakek, walau terluka dia 

maklum kalau lawan mengerahkan seluruh 

tenaga dalam yang dia miliki. Si kakek 

juga tahu lawan bermaksud merampas 

tongkat lawannya. Tanpa menghiraukan 

lukanya sambil memeluk tongkat dengan 

tangan kiri Rowe Rontek Panjane 

bergulingan ke samping, sebelum itu 

tangan kanan dipergunakan untuk menangkis 

jotosan lawan.

Duuk!

Benturan yang terjadi membuat Rowe 

Rontek Panjane mengerang kesakitan. 

Tangannya yang kurus bagaikan kulit 

pembalut tulang bengkak menggembung besar


dan terasa remuk di bagian dalam. Belum 

lagi hilang rasa kaget Rowe Rontek, pada 

waktu bersamaan lawan kembali melepaskan 

pukulan Mengguncang Bumi Menguras Lautan.

Sinar biru kembali berkiblat. 

Melihat pukulan menyambar di depan 

wajahnya mustahil bagi orang tua itu 

sempat menghindari. Dalam keadaan 

terluka, Rowe Rontek putar tongkat ular 

di tangannya membentuk perisai diri. 

Angin dingin berkesiuran akibat demikian 

cepatnya si kakek memutar senjata. 

Buuum! 

Benturan keras tak dapat dihindari 

lagi, laki-laki tua itu menjerit, tongkat 

yang dijadikan perisai hancur berkeping-

keping. Pukulan lawan bukan saja hanya 

menghancurkan tongkat, tapi juga menjebol

dada orang tua itu, hingga bagian anggota 

dalam Rowe Rontek berhamburan keluar. Si 

kakek tewas seketika dengan mata melotot

mulut ternganga lebar penasaran. Arwah 

Darah Senggini mendengus, memperhatikan 

mayat bekas sahabatnya lalu tertawa 

terbahak-bahak.

"Kau boleh belajar belasan tahun 

lagi di alam baka, setelah itu baru 

datang padaku. Huh...!" desis Arwah Darah 

Senggini. Dia lalu berpaling ke jurusan 

lain. Bibir mengurai senyum. "Aku harus 

mencari anak turun Raden Ponco Sugiri, 

akan kubunuh mereka semua. Tapi yang


lebih penting lagi aku harus menemukan 

anaknya yang paling bungsu!" selesai 

berucap perempuan lalu berkelebat pergi.



SEMBILAN



Gadis berwajah cantik jelita

berpakaian putih ringkas itu sadar sejak 

meninggalkan Wonogiri dirinya merasa ada 

orang yang terus mengikuti dirinya tak 

jauh di belakang sana. Tapi setiap dia 

menoleh ke belakang, orang yang 

mengikutinya sengaja menyelinap di balik 

semak belukar yang terdapat di kanan kiri 

jalan yang dia lalui.

"Aneh... entah mengapa dia 

mengikuti aku? Jika orang itu punya 

maksud tujuan yang jahat, tentu sudah 

sejak tadi malam dia dapat mencelakaiku. 

Tapi itu tak dilakukannya. Siapapun dia 

aku harus dapat menangkapnya hidup-

hidup!" membatin si cantik yang tiada 

lain adalah Ambini.

Dia yang sengaja memacu kudanya 

secara perlahan kini menggebrak tali

kendali kuda. Kuda berbulu putih itu lalu 

berlari cepat melewati kelebatan pohon 

dan semak-semak belukar. Ketika jalan 

setapak yang dilaluinya mulai mendaki 

punggung bukit kecil, dia membelokkan 

kudanya ke kiri, menyelinap di balik


gelapnya bagian bawah pohon menunggu di 

sana dengan mata dipentang dan 

pendengaran dipertajam.

Beberapa saat berlalu si gadis 

masih belum melihat kemunculan orang yang 

membayanginya. Tapi dia terus menunggu 

sambil bersikap waspada. Tak lama 

kemudian dia melihat ranting belukar 

bergoyang-goyang, satu kepala terjulur 

memandang kian ke mari seperti orang 

bingung. Sekilas Ambini sempat melihat 

wajah orang itu, dia sempat terkesiap. 

Rasa-rasa Ambini pernah kenal dengan si 

pemilik wajah, dia mencoba berpikir 

mengingat-ingat. Sayangnya semakin keras 

dia mencoba mengingat, bagian belakang, 

kepalanya mendadak terasa sakit 

mendenyut.

Di depan sana Ambini melihat orang 

yang jujurkan kepala tadi sekarang sudah 

berdiri tegak. Dari tempatnya berada 

dengan jelas si gadis melihat sosok 

seorang pemuda berpakaian kuning berwajah 

tampan. Kembali pikiran Ambini yang 

pernah terganggu akibat terbentur batu 

saat terjadi badai topan di Wonogiri 

diselimuti perasaan aneh.

"Aku seperti mengenalnya... aku 

seperti...!" Ambini tak melanjutkan 

ucapannya karena pada saat itu si pemuda 

yang sibuk mencari dirinya tiba-tiba saja 

berseru. "Kupu-kupu perak! Celaka, ke


mana aku harus lari. Kupu-kupu itu 

jumlahnya banyak sekali!"

Ambini merasa kaget dan dibuat tak 

mengerti dengan maksud ucapan si baju 

kuning. Selagi Ambini dibuat heran dari 

segala arah di mana pemuda itu berada 

tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh 

aneh seperti suara sesuatu yang terbang 

di udara. Lalu di sekeliling pemuda itu 

terlihat kilatan cahaya putih yang 

berkelebat menyambar di udara menyerang 

pemuda berbaju kuning. Pemuda itu sambil 

berteriak ketakutan membuka bajunya. 

Dengan menggunakan baju dia berusaha 

mengusir si penyerang yang ternyata 

adalah kupu-kupu perak. Belasan kupu-kupu 

dapat dipukulnya hingga berpentalan. Tapi 

bajunya yang dipergunakan untuk memukul 

tampak hangus berlubang di sana-sini.

Melihat kenyataan ini bukan hanya 

pemuda itu saja yang dibuat terkejut, 

bahkan Ambini pun tak mampu menutupi rasa 

kagetnya. "Kupu-kupu perak. Mahluk 

kiriman dari alam gaib, siapa yang punya 

ulah!" desis si gadis heran.

"Mahluk jahanam, setelah tuanmu 

membunuh Raden Ponco Sugiri dan kau bunuh 

pula adikku hingga mayatnya pun tak dapat 

kupungut. Kini kau menghendaki nyawaku. 

Biarlah sebelum aku mati kau dulu yang 

kubikin mampus!" teriak si pemuda yang 

bukan lain adalah Barep Pandara. Pemuda


itu sambil mengebutkan bajunya ke seluruh 

penjuru arah juga melepaskan pukulan yang 

bersumber pada hawa panas. Pukulan yang 

dilepaskannya dengan telak menghantam ke 

arah kawanan kupu-kupu maut itu. Begitu 

kena dihantam binatang yang dapat 

membunuh manusia secara mengerikan 

berkaparan. Tapi dia harus menguras 

seluruh tenaganya karena demikian 

banyaknya binatang itu yang menyerang.

Sementara itu Ambini jadi terkejut 

begitu mendengar Barep Pandara ada 

menyebut Raden Ponco Sugiri yang bukan 

lain adalah ayahnya sendiri. Yang 

mengejutkan si gadis pemuda itu 

mengatakan Raden Ponco telah terbunuh. 

Siapa yang membunuhnya? Pikir si gadis. 

Sekarang dia baru ingat, pemuda yang 

membuntutinya tentu adalah orang 

kepercayaan yang selama ini telah merawat 

ayahnya. Karena itu dia pun berteriak.

"Pemuda abdi ayahku. Selamatkan 

dirimu, aku akan mengusir mahluk-mahluk 

celaka itu!" kaget juga girang mendengar 

suara Ambini membuat Barep Pandara 

menoleh ke arah datangnya suara. Hanya 

sekilas saja memang, tapi kelengahan yang 

sedikit itu harus ditebusnya dengan 

mahal. Dari arah belakang sedikitnya 

sepuluh kupu-kupu perak hinggap di 

punggung juga di bagian leher. Ujung 

mulut binatang ini yang berbentuk belalai


menghunjam menusuk kulitnya. Barep 

Pandara menjerit. Dia jatuh terhempas dan 

terguling-guling. Bersamaan dengan itu 

pula Ambini melesat dari atas punggung 

kudanya. Dalam keadaan berjumpalitan di 

udara dia meraup sesuatu dari balik 

kantong perbekalan. Dia lalu berkelebat, 

dilanjutkan dengan gerakan berputar di 

udara. Dalam kesempatan itu dia meremas 

benda bulat yang tergenggam dalam telapak 

tangannya. Ada cairan berwarna kuning 

berhamburan di udara disertai menebarnya 

bau harum semerbak. Begitu cairan itu 

berjatuhan di atas rerumputan maka 

ratusan kupu-kupu itu kini menyerbu ke 

arah cairan yang sengaja ditumpahkan oleh 

Ambini.

Dengan lahap kawanan kupu-kupu 

perak menghisap cairan manis itu. Tapi 

sekejap kemudian binatang itu berkaparan 

mati.

"Hi... hi... hi... makanlah madu 

racun pemberianku...!" dengus si gadis 

jejakkan kaki di atas tanah sambil

tertawa panjang. Tapi kemudian dia segera 

teringat pada pemuda baju kuning tadi. 

Tawa terhenti, dia membalikkan badan. Di 

saat itu dia melihat tubuh pemuda 

berpakaian kuning nampak menggembung 

besar bagaikan balon yang mau meletus. 

Semua itu tentu mengejutkan Ambini.

"Kau... kau bukankah abdi ayahku.


Apa yang terjadi?!" seru Ambini mencoba 

mendekati Barep Pandara.

"Ja... jangan mendekat. Sekujur 

tubuhku kini keracunan. Aku Barep 

Pandara. Raden Tua sudah berpulang. 

Aku... saya... dibuat tak mengerti dengan 

semua kejadian ini. Siapa pembunuh dan 

siapa yang akan terbunuh. Raden puteri 

kuingatkan berhati-hatilah!" kata Barep 

Pandara tak beraturan.

"Kau mengikuti aku, siapa yang 

telah menyuruhmu?" tanya Ambini dengan 

perasaan tercekat karena melihat sekujur 

tubuh Barep Pandara semakin bertambah 

membesar saja.

"Raden...!" Belum sempat Barep 

Pandara menyelesaikan ucapannya 

sekonyong-konyong tubuhnya yang seperti 

dipompa itu meledak.

"Oh...!" Ambini terpekik sambil

mendekap wajahnya tak sanggup menyaksikan 

bagaimana tubuh Barep Pandara hancur 

berkeping-keping bertaburan di udara 

bagaikan ilalang terbakar.

Merinding tengkuk Ambini menyak-

sikan semua ini. Ketika dia menjauhkan 

kedua tangan dari wajahnya. Dia melihat 

serpihan daging dan tulang belulang 

bertebaran di sekeliling tempat dia 

berdiri. Dia melompat menjauhi kepingan 

daging dan tulang-tulang yang bertaburan. 

Sejenak lamanya Ambini merasa dibuat


bingung dan tak mengerti. Bagaimana 

mungkin tubuh Barep Pandara bisa meledak 

setelah terkena sengatan belalai kupu-

kupu itu?

"Kupu-kupu perak itu rasanya pernah 

aku melihat, tapi entah di mana? Yang 

jelas dia bukan kupu-kupu biasa, mereka 

pasti berdatangan dari alam gaib. Siapa 

yang mengiring mereka ke mari?" kata 

Ambini seorang diri. Dia gelengkan 

kepala. "Mungkinkah abangku? Aku curiga 

dengan segala gerak-geriknya. Tapi ada 

kemungkinan saudaraku yang lain melakukan 

semua ini. Bisa jadi mereka berguru pada 

seseorang tokoh sakti yang memiliki 

kesaktian tinggi. Sayang aku tak tahu di 

mana kakang Aripraba dan adik Siwarana 

saat ini berada." batin gadis itu.

Dia akhirnya memutar tubuh, 

melangkah cepat mendapatkan kudanya yang 

masih berada di bawah pohon. Tanpa 

membuang waktu lagi dia melompat ke atas 

punggung kudanya. Namun pada waktu 

bersamaan mendadak terdengar suara tawa 

yang disertai dengan bergoyangnya cabang 

pohon di atas Ambini. Si gadis tentu saja 

merasa terkejut, diapun memandang ke atas 

pohon darimana suara tawa terdengar. 

Ambini tersentak kaget begitu melihat 

seorang pemuda tampan berambut gondrong 

bertelanjang dada berada di salah satu 

cabang pohon itu, dia tidak duduk


melainkan bergelayutan, kakinya sengaja 

disangkutkan di cabang pohon tersebut, 

sedangkan kepala menghadap ke bawah. 

Hingga rambutnya yang diikat kain biru 

terjulai. Dilihat sepintas lalu apa yang 

dilakukan pemuda itu memang seperti 

kelelawar tidur. Apalagi kedua tangannya 

dilipat ke depan dada.

"Pemuda aneh, matanya terpejam. 

Mungkin saja dia tidur. Tapi yang tertawa 

tadi?" Ambini kitarkan pandang di sekitar 

atas pohon. Tak ada siapapun yang berada 

di sana selain pemuda itu. Merasa tidak 

punya kepentingan dengan si pemuda, maka 

si gadis hendak menggebrak kudanya. Tapi 

niat Ambini urung. Dia memang tak tahu 

sejak kapan si gondrong berada di pohon 

itu. Hanya bisa jadi pemuda itu merupakan 

tuan dari kupu-kupu perak yang telah 

menewaskan Barep Pandara. Ingat betapa 

mengenaskan kematian abdi setia itu. Maka 

tanpa pikir panjang lagi Ambini 

berteriak.

"Orang di atas pohon, apa yang kau 

lakukan di sini?" Tak ada jawaban. Si 

pemuda tetap seperti semula tadi. Diam 

tak bergerak, mata terpejam kedua tangan 

terlipat di depan dada.

"Hei apakah kau tak mendengar 

suaraku?" teriak Ambini lagi. Suara 

teriakan si gadis lenyap. Tubuh si pemuda 

nampak bergoyang-goyang seperti ditiup


angin. Ambini tentu saja terkejut besar. 

Betapa tidak? Tadi dia berteriak disertai 

pengerahan tenaga dalam tinggi. Jika si 

gondrong itu orang biasa, pasti suara 

teriakannya membuat si pemuda pingsan 

atau paling tidak terjaga dari tidurnya.

Di bawah pohon masih dengan duduk 

di atas punggung kudanya Ambini katupkan 

bibirnya yang merah memikat. Kedua 

gerahamnya bergemeletukan. "Dia berlagak 

tuli atau memang sengaja ingin 

mempermainkan aku. Orang seperti ini 

hendaknya diberi pelajaran!" batin 

Ambini. Tanpa banyak pikir lagi si gadis 

lentikkan jari telunjuknya. Begitu jari 

dijentikkan maka selarik sinar putih 

berbentuk pipih laksana mata pedang 

menderu lalu menghantam bagian pangkal 

cabang pohon itu. Braak! Terdengar suara 

bergemeretakan. Bagian pangkal cabang 

pohon bagai dibabat mata pedang. Cabang 

itu berikut si pemuda meluncur deras ke 

bawah. Si gadis begitu melihat masih 

tetap berada dalam posisi kepala 

menghadap ke bawah belalakkan mata. 

Bagaimanapun di bawah pohon terdapat 

batu-batu besar. Jika pemuda tidak 

terjaga akibatnya tentu sangat menge-

rikan. Dengan perasaan kaget dan merasa 

bersalah, maka Ambini melompat dari atas 

kudanya bermaksud menangkap tubuh si 

pemuda. Tapi gerakannya sekonyong-konyong


jadi tertahan karena sejengkal lagi 

kepala pemuda itu menghantam batu, 

mendadak tangan pemuda melesat ke atas 

tanah menahan luncuran tubuhnya. Bluk!

Dengan gerakan perlahan dia jatuh 

rebah menelentang diatas batu-batu. 

Sesaat dia menggeliat, mata mengerjap dan 

dikedip-kedipkan. Dia lalu memandang ke 

sekelilingnya. Sampai kedua matanya 

nampak membulat lebar.

"Amboi... apakah aku tidak salah 

lihat, tidak sedang berada dalam buaian 

mimpi? Ada gadis begini cantiknya. Sayang 

sekali tidurku begitu lelap sehingga aku 

tak dapat melihatnya sejak tadi. Ah... 

Ha...!" Si gondrong tapuk keningnya 

sendiri. Dia segera duduk, sedangkan 

matanya hampir tak pernah lepas dari 

wajah Ambini. Merasa diperhatikan seperti 

itu dan setelah melihat tingkah si 

gondrong yang seperti orang sinting 

Ambini membentak. 

"Pemuda mata keranjang, siapa 

dirimu? Berani kau menatapku begitu rupa, 

kubunuh kau!!"

Si Gondrong terkejut, dia nampak 

bingung. Kedua tangan mengusap mata 

pulang balik, mematut-matut dengan 

jemarinya. Di lain kejap wajah yang kaget 

itu nampak berubah riang, senyum 

terkembang. 

"Ha... ha... ha. Aku sudah


memeriksa, kau pasti salah lihat. Di 

mataku tak ada keranjangnya. Yang ada 

cuma belek, itu pun kecil-kecil. Jadi kau 

membohongi aku!" kata si gondrong yang 

bukan lain adalah Gento Guyon murid kakek 

Gentong Ketawa.




SEPULUH



Rasa kaget si gadis kini berubah 

jadi kejengkelan. Sama sekali dia tak 

menyangka si gondrong berwajah tampan 

yang sempat membuat hatinya bergetar itu 

ternyata hanyalah seorang pemuda sinting. 

Tapi melihat apa yang dilakukannya tadi 

rasanya dia bukan pemuda sembarangan. Di 

rimba persilatan banyak orang yang 

mempunyai watak dan perilaku yang aneh

untuk menutupi ketinggian ilmunya.

"Aku tak punya waktu banyak untuk 

melayanimu! Katakan padaku apakah engkau 

orangnya yang memiliki kupu-kupu perak 

itu?" hardik Ambini.

"Kupu-kupu perak mana aku punya. Di 

dunia ini aku tak punya siapa-siapa. 

Punya seorang guru itupun otaknya agak 

begini." berkata begitu Gento lintangkan 

jari telunjuknya di atas kening. 

"Inginnya punya seorang adik secantik 

dirimu!" kata Gento.

"Siapa sudi menjadi adikmu!" dengus


Ambini ketus.

Gento tersenyum, lalu mengusap 

hidungnya. Enak saja dia menyahuti. "Jadi 

adik tidak mau, mungkin kau lebih senang 

kujadikan sebagai kekasih. Ah... 

kebetulan sekali yang satu itu aku belum 

punya. Ha... ha... ha!"

Merah padam wajah si gadis 

mendengar ucapan murid kakek Gentong 

Ketawa. Dia merasa sangat jengkel sekali.

"Pemuda sinting mulutmu semakin 

kurang ajar saja. Rasakan tamparanku!" 

teriak si gadis. Sekali berkelebat dia 

telah sampai di depan si pemuda. Dengan 

cepat tangannya melayang bermaksud 

menampar pipi. Tapi kali ini Ambini 

benar-benar dibuat kaget. Tamparannya 

yang dilakukan dengan sangat cepat itu 

hanya mengenai angin. Pemuda itu lenyap. 

Mata si gadis jelalatan mencari kian ke 

mari. Pemuda bertelanjang dada itu 

ternyata tak ditemukannya.

"Pemuda kurang ajar itu ternyata 

memang bukan manusia sembarangan. Huh... 

aku tak mengenalnya. Tapi kurasa bukan 

dia yang telah menggerakkan kupu-kupu 

dari alam baka itu. Sebaiknya aku mencari 

adik Siwarana saja. Mungkin dia 

mengetahui tentang kejadian aneh ini." 

berpikir begitu Ambini segera melompat ke 

atas kudanya. Kuda melangkah perlahan 

menuju jalan setapak di depannya. Tapi


ketika sampai di jalan itu Ambini kembali

dikejutkan dengan terdengarnya suara si 

pemuda. "Badan hancur, daging tercerai 

berai seperti dicacah, ini adalah korban 

tukang jagal untuk yang kedua. Tidak ada 

petunjuk selain kupu-kupu maut. Banyak 

kupu-kupu di dunia ini. Tapi yang beracun 

dan membuat tubuh manusia menjadi 

serpihan puing tak berguna baru dua kali 

kutemui!"

Ambini menatap tajam ke arah Gento 

yang bersikap acuh tak acuh. Belum lagi 

dia sempat ajukan pertanyaan, tiba-tiba 

terdengar suara teriakan menggelegar yang 

disertai dengan terciumnya bau busuk 

menyengat. "Siapa yang telah membunuh 

kupu-kupu itu, berarti dia harus 

menyerahkan tubuh dan nyawanya kepadaku!" 

kata satu suara.

"Yang jelas bukan aku. Tapi gadis 

itu!" sahut Gento.

Suara tadi lenyap, satu sosok 

melayang di udara. Dalam keadaan melesat 

di udara sosok itu lambaikan tangannya ke 

arah Gento Guyon. Satu gelombang angin 

berhawa panas luar biasa menderu melabrak 

pemuda itu, sementara sosok yang baru 

datang terus melesat menyambar pinggang 

Ambini.

Si gadis keluarkan seruan kaget. 

Dia segera melompat dari kuda, 

bergulingan selamatkan diri. Kuda


meringkik keras dan tergelimpang roboh. 

Ketika Ambini melihat ke arah kudanya, 

dia melihat binatang tunggangan itu tak 

berkutik. Bagian punggungnya hangus. Si 

gadis menjadi sangat marah melihat kuda 

kesayangannya terkapar.

Sementara itu ketika Gento mendapat 

serangan dari sosok menebarkan bau busuk 

tadi dia langsung menghindar menjauh 

sambil merutuk. "Bangkai gila! Kau 

menghendaki gadis itu, tapi kau juga mau 

mengarah nyawaku. Kesalahan apa rupanya 

yang telah kulakukan?" ucapannya itu 

disambut dengan suara ledakan dari 

pukulan yang dilepaskan oleh bayangan 

yang berkelebat di atas kepalanya tadi. 

Guncangan akibat ledakan membuat tubuh 

Gento tergetar. Kini setelah getaran tak 

dirasakannya lagi si pemuda cepat 

berpaling memandang ke arah sosok yang 

berdiri tegak antara dirinya dan Ambini.

Baik murid kakek Gentong Ketawa 

maupun Ambini sama tak mampu menutupi 

rasa kagetnya begitu melihat orang yang 

berdiri di hadapan mereka. Sosok yang 

menyerang dan hendak menangkap Ambini 

ternyata adalah seorang laki-laki tua 

bertelanjang dada. Hampir sekujur 

tubuhnya yang pucat bagaikan mayat rusak, 

pelupuk matanya meleleh, pipi berlubang 

growak kanan kiri, bukit hidung tanggal 

hingga berupa dua lubang besar. Rambut


rontok, bagian leher tepat di tenggorokan 

bolong, sedangkan perutnya tepat di 

bagian lambung juga berlubang, meneteskan 

cairan buduk berwarna kuning kehijauan.

Tak percaya dengan apa yang 

dilihatnya Gento mengusap matanya. "Ah 

gila betul. Dia seperti bukan manusia 

hidup. Manusia tak mungkin bisa bertahan 

hidup dalam keadaan begini rupa." batin 

Gento. Meskipun saat itu perasaannya 

dilayapi ketegangan, tapi sambil terse-

nyum si pemuda berkata. "Orang tua, 

rupamu bagus amat? Kau habis berkunjung 

ke alam baka atau bagaimana? Atau kau 

memang orang yang sudah mati? Lalu di 

dalam kubur bumi menolak jasadmu yang 

busuk begini? Kasihan sekali. Daripada 

gentayangan meresahkan hati orang, 

bagaimana jika tubuh busukmu itu kubakar 

saja?"

Sosok yang terus pandangi Ambini 

dengan sepasang matanya yang berwarna 

kuning mengerikan sejak tadi kini 

menoleh, memutar badannya dengan gerakan 

yang kaku. Ada hawa angker aneh membersit 

lewat tatap mata sosok itu. Mulutnya 

terbuka mengeluarkan asap tebal berwarna 

hitam. Asap itu semakin menebal begitu 

dia berkata. 

"Bocah tak tahu gelagat. Tak pandai 

bertuan pada siapa kau berhadapan. Aku 

manusia terhormat, kedudukanku lebih


tinggi dari semua manusia yang ada di 

seluruh rimba persilatan ini. Lebih baik 

kau pergi mencari selamat. Urusanku 

dengan gadis cantik itu tidak ada sangkut 

pautnya dengan dirimu. Aku Raden Ronggo 

Anom tak pernah mengulang ucapan dua 

kali. Jika kau membantah, ajal akan 

datang menjemputmu tak sampai sekedipan 

mata!" kata sosok yang mengaku sebagai 

Raden Ronggo Anom. Suaranya serak kaku 

dan dingin menyeramkan.

Gento tertawa terbahak-bahak 

mendengar ucapan sosok angker yang tidak 

ubahnya seperti mayat hidup itu. Dia lalu 

berkata. "Rupanya kau datang mewakili

malaikat maut. Tapi melihat tampangmu, 

kurasa kau sengaja dikirim setan 

pelayangan untuk cari perkara. Melihat 

pada rupamu, aku yakin kau baru saja 

menjalani hukuman berat di masa lalu. 

Kemudian kau bermaksud membawa gadis itu 

untuk menemanimu di alam baka. Kurasa 

jangankan dia, nenek pikun yang tubuhnya 

hanya tinggal rongsokan pun tak akan sudi 

ikut denganmu. Ha... ha... ha!" kata si 

pemuda disertai tawa tergelak-gelak.

Mendengar ucapan si pemuda sosok 

Raden Ronggo Anom tampak bergetar, 

hidungnya yang bolong besar mendengus 

mengeluarkan suara bagai sapi melenguh. 

Sebaliknya Ambini sendiri sempat 

terkesiap mendengar orang mengatakan


siapa dirinya. Dia tahu pasti Raden 

Ronggo Anom telah meninggal secara aneh 

sekitar tiga puluh tahun yang lalu. 

Bagaimana manusia tamak, culas dan keji 

dan masih terhitung pamannya sendiri itu 

kini bisa bangkit kembali? Atau mungkin 

sosok setengah bangkai ini hanya mangaku-

ngaku saja? Ingat akan ucapan Gento 

ketika melihat mayat Barep Pandara yang 

hancur berkeping-keping itu. Maka dengan 

suara berbisik dia bertanya.

"Pertama kali kau melihat mayat 

yang seperti itu keadaannya di mana?"

Merasa pertanyaan itu ditujukan 

padanya maka Gento menjawab. "Di puncak 

gunung Wilis."

"Puncak gunung Wilis. Di sana 

tempat pengasingan ayah. Menurut Barep 

Pandara ayah sudah meninggal." pikir 

Ambini. Dia lalu bertanya.

"Apakah kau melihat bangkai 

berjalan ini ada di sana saat itu?"

"Tidak. Aku bertemu dengan seorang 

pemuda bernama Aripraba. Aku juga melihat 

mayat yang sudah membusuk, tangan dan 

kakinya buntung."

"Yang dimaksudkannya pasti adalah 

ayahku. Tapi aku tak menyangka dia 

bertemu dengan saudaraku Aripraba. Sudah 

sangat lama aku tak bertemu dengan 

kakangku itu. Konon menurut kakang Danang 

Pattira, peta penyimpanan harta warisan


keluarga ada di tangannya. Agaknya pemuda 

konyol ini tak tahu siapa diriku. Aku 

sendiri bingung pada siapa harus 

percaya." batin si gadis.

"Eeh, gadis cantik. Bangkai hidup 

ini memang apamu? Calon suami, kakek atau 

ayahmu? Mengapa dia begitu bernafsu ingin 

mendapatkanmu?" celetuk Gento setelah 

melihat Ambini hanya diam saja.

Si gadis melengak kaget. Sama 

sekali dia tak mengenal siapa adanya si 

gondrong. Mustahil dia berterus terang. 

Sehingga dia pun berkata. "Aku tak punya 

hubungan apapun dengan mahluk berwajah 

setan ini. Kurasa dia hendak menculik, 

membunuhku di suatu tempat. Atau seperti 

ucapanmu, dia hendak membawaku ke dalam 

liang kubur."

"Ah sayang, aku rasa tak rela jika 

gadis secantikmu harus menyerahkan diri 

pada mayat rombeng ini. Kalau kau mau, 

pangeran mu ini bersedia mengusirnya. 

Tapi dengan satu syarat...!"

"Katakan apa syaratmu?" tanya 

Ambini penasaran. Nampaknya dia mulai

tertarik melihat cara dan sikap si pemuda 

yang polos.

Gento tersenyum. "Syaratnya menyu-

sul belakangan. Sekarang kau hanya 

tinggal mengatakan apanya yang harus 

kutanggalkan? Tangannya, kaki, mata atau 

kepala atas bawah? Ha... ha... ha!" kata


si pemuda disertai tawa tergelak-gelak. 

Sekejap kemudian tawanya terhenti. Dia 

melanjutkan. "Tapi mengingat keadaan 

tubuhnya yang hampir membusuk tak karuan 

rupa, bisa jadi yang di bawah sudah 

tanggal tanpa permisi."

Mendengar dan menyadari arti arah 

ucapan Gento Guyon wajah cantik Ambini 

merona merah juga tak dapat menahan geli. 

Sebaliknya sosok Raden Ronggo Anom sudah 

tak dapat menahan amarahnya.



SEBELAS



Sejenak Raden Ronggo Anom menatap 

pemuda yang berdiri dengan tangan 

bertolak pinggang itu. Mulutnya yang 

selalu mengepulkan uap aneh berbau busuk 

bila bicara berucap. "Kau bocah sedeng 

yang pintar bicara. Aku suka padamu. 

Karena aku suka maka kau orang pertama 

yang kucarikan jalan kematian yang paling 

mudah!" dengus sosok yang mengaku sebagai 

Raden Ronggo Anom.

Si pemuda tertawa lagi. "Bangkai 

busuk yang mulutnya mengepul seperti 

cerobong asap. Kau boleh bicara apa saja, 

tapi hidup matinya manusia adalah 

persoalan takdir. Kau bicara seperti 

dewa, sebelum aku mati tentu aku akan


mengucapkan selamat tinggal terlebih dulu 

padamu dan tentunya juga aku harus pamit 

pada gadis cantik sahabatku itu!" teriak 

si pemuda lantang. Menyadari agaknya 

sosok mayat hidup ini memiliki ilmu yang 

sangat tinggi, maka begitu melakukan 

gebrakan pertama dia langsung melepaskan 

pukulan Raja Dewa Ketawa. Begitu si 

pemuda hantamkan kedua tangannya ke arah 

lawan. Angin keras laksana badai topan 

menderu, hawa panas bergulung-gulung 

menyapu benda apa saja yang dilaluinya. 

Di depannya sana Raden Ronggo Anom 

tertawa aneh. Jari tangannya yang nyaris 

tanggal diacungkan menyambut deru angin 

yang melesat dari telapak tangan Gento.

Wuuut!

Jemari tangan itu nampak bergetar 

ketika membentur pukulan yang dilepaskan 

si pemuda. Secara aneh deru angin hebat 

yang sempat membuat Ambini terkagum-kagum 

dan sempat pula menyambar pohon di kanan 

kiri mereka hingga roboh seolah tersedot 

amblas ke dalam jemari tangan sosok mayat 

hidup.

Celakanya bukan hanya tenaga 

pukulan itu saja yang tersedot, tapi 

tubuh Gento sendiri seakan ikut tertarik. 

"Tikus gundul kebo budek. Mengapa bisa 

sampai terjadi begini?" rutuk si pemuda 

dalam hati. Dengan mata melotot dan mulut 

terpencong dia kerahkan tenaga dalam ke


bagian kaki agar tubuhnya tetap bertahan 

di tempatnya. Apa yang dilakukannya ini 

berhasil hingga membuat tubuhnya 

bergoyang-goyang bagai pucuk cemara yang 

ditiup angin. Tapi hal ini nampaknya tak 

berlangsung lama, karena begitu mayat 

hidup gerakkan jemari tangannya ke atas, 

maka sekonyong-konyong tubuh Gento 

laksana disentakkan ke atas. Belum hilang

rasa kejut di hati Ambini maupun Gento 

sendiri, mayat hidup telah memutar jemari 

tangannya. Tak pelak lagi tubuh Gento 

bagaikan titiran ikut berputar-putar 

hingga membuat kepalanya mendadak pusing 

dan pemandangan berkunang-kunang. 

Mendapat serangan aneh begitu rupa, Gento 

berpikir keras mencari jalan keluar.

"Setan ini memiliki ilmu aneh, aku 

harus melepaskan dua pukulan sekaligus. 

Akan kugabungkan pukulan Dewa Awan 

Mengejar Iblis dengan pukulan Selaksa 

Duka!" pikir si pemuda sambil menyalurkan 

tenaga dalam ke bagian tangannya. Seperti 

diketahui pukulan Dewa Awan Mengejar 

Iblis adalah satu pukulan dahsyat warisan 

Tabib Sesat Timur. Tabib sesat yang telah 

membuat sengsara si pemuda di waktu 

kecil. Untuk lebih jelas (baca Episode 

Tabib Setan). Sedangkan pukulan Selaksa 

Duka adalah warisan gurunya si kakek 

gendut besar Gentong Ketawa. Dua pukulan 

digabungan menjadi satu. Sebuah kekuatan


hebat tercipta. Tak heran begitu Gento 

yang dalam keadaan berputar itu hantamkan 

kedua tangannya ke arah lawan, maka 

menggemuruhlah suara angin dahsyat 

disertai sambaran hawa panas dan dingin 

silih berganti. Dari telapak tangan 

pemuda itu berkelebat sinar putih 

menyilaukan mata, sedangkan dari tangan 

kiri menderu sinar merah hitam 

mengerikan.

Tak pelak lagi kedua pukulan maut 

itu menghantam tubuh lawannya. Terjadi 

ledakan keras mengguntur dua kali 

berturut-turut, terdengar suara tulang 

berderak-derak. Pasir dan debu 

berhamburan memenuhi udara, pemandangan 

jadi gelap seketika. Tanah terguncang, 

Mayat Hidup jatuh terbanting. Dia rebah 

menelentang, mulutnya mengerang, hidung 

mendengus mengepulkan asap aneh. Mayat 

Hidup merasakan sekujur tulang 

belulangnya laksana bertanggalan.

Melihat betapa tinggi serta anehnya 

ilmu yang dimiliki lawan. Maka Ambini 

berteriak. "Gondrong sinting aku akan 

membantumu!" 

Selesai dengan ucapannya si gadis 

melolos pedang lentur yang melingkar di 

pinggangnya. Dia melesat ke arah lawan 

dengan gerakan laksana kilat. Sementara 

sambil mengayunkan senjata dia meraup 

sesuatu dari balik sakunya. Benda yang


diraup dan ternyata merupakan serbuk 

beracun itu disambitkan ke bagian wajah 

lawannya. Sementara pada saat yang sama 

pedang di tangan kirinya melesat 

menghantam bagian perut.

Wuuus!

Tringg!

Mayat hidup yang baru saja 

merasakan kehebatan pukulan yang 

dilepaskan pemuda bertelanjang dada tak 

sempat menghindar dari sabetan pedang dan 

tebaran serbuk beracun. Tapi apa yang 

terjadi kemudian membuat Gento berseru 

kaget dengan mata mendelik tak percaya. 

Betapa tidak, tebaran serbuk beracun yang 

dilepaskan Ambini tidak berpengaruh bagi 

lawan, malah berbalik menyerang pemi-

liknya begitu hidung growong Mayat Hidup 

menghembusnya. Bukan itu saja, pedang di 

tangan Ambini yang membabat perut lawan 

juga seperti membentur palang baja. Malah 

pedang itu kini nampak rompal. Masih 

untung si cantik cepat berjumpalitan ke 

belakang selamatkan diri. Kalau tidak 

tentu dia menjadi korban serbuk 

beracunnya sendiri.

Dengan muka pucat dan wajah 

kucurkan keringat Ambini berdiri tegak. 

Matanya masih melotot seakan tak percaya 

dengan kenyataan yang dilihatnya.

"Manusia bangkai ini sesungguhnya 

punya ilmu aneh apa? Tubuhnya kebal


senjata tak mempan pukulan!" desis si 

gadis. Tanpa sadar dia melirik ke arah 

Gento Guyon.

Pemuda itu kedipkan mata. Di 

tangannya kini tergenggam sebuah benda 

bulat berwarna kuning berkilau dengan 

besar tak lebih besar dari ibu jari dan 

sepanjang dua jengkal.

"Pemuda goblok itu. Dia hendak 

berbuat apa dengan benda sebesar itu?" 

rutuk Ambini yang menduga Gento telah 

berlaku tolol. Saat itu mayat hidup telah 

bangkit berdiri, kini dia memandang tajam 

ke arah si gadis. Sambil mengusap kuku-

kukunya yang panjang hitam dan jelas 

mengandung racun jahat dia berseru. "Kali 

ini kau tak bakal lolos dari tanganku!"

Mendadak Mayat Hidup melompat ke 

depan, kedua tangan melakukan gerakan 

memeluk yang dilanjutkan dengan gerak 

menerkam. Jemari tangan berkuku hitam 

kanan kiri menyambar pinggang si gadis 

dari dua arah. Karena jaraknya yang hanya 

sekitar satu tombak, hanya dengan sekali 

lompatan Mayat Hidup hampir berhasil 

merengkuh Ambini. Si gadis berseru 

tertahan, sambil melompat mundur dia 

babatkan pedangnya ke arah jemari tangan 

lawan yang terjulur.

Tring! Tring!

Kembali terdengar suara 

berdentringan. Pedangnya laksana


membentur baja tipis. Sedangkan tangan 

Mayat Hidup terus saja terjulur, Ambini 

jatuhkan diri, berguling-guling 

menghindar dari jangkauan lawannya. 

Selagi Mayat Hidup berupaya menyambar 

tubuh lawannya. Dari arah sampingnya 

terdengar teriakan menggeledek. 

"Mayat busuk, kalau kau sudah jadi 

bangkai tak usah serakah hendak memeluk 

gadis itu. Aku yang hidup dan masih gagah 

begini saja tak berani sembarang peluk. 

Enak saja kau hendak berbuat kurang ajar! 

Kupecahkan kepalamu!"

Mayat Hidup mendengus panjang. 

Serentak dia menoleh, begitu menoleh dia 

melihat satu kilatan cahaya kuning 

berbentuk bulat lonjong menghantam 

kepala. Secepat apapun dia menghindar 

selamatkan kepala. Namun senjata di 

tangan Gento tetap menghantam kepalanya.

Tang! Tang!

Hantaman yang menggunakan seluruh 

tenaga dalam itu, jangankan batu karang 

atau kepala. Bola besi sekalipun pasti 

pecah. Tapi apa yang terjadi pada Mayat 

Hidup sungguh membuat Gento yang dibuat 

terpelanting dengan tenaga pukulannya 

yang membalik jadi geleng-geleng kepala 

seperti putus asa.

Ambini yang melihat semua ini juga 

jadi kecut. Dia menoleh ke arah Gento. 

Justru pada saat itu si pemuda itu


sendiri selain heran melihat lawan tak 

dapat dibuatnya roboh setelah dihantam 

senjata Penggada Bumi juga heran melihat 

perubahan yang terjadi pada senjatanya 

sendiri.

Senjata sepanjang dua jengkal 

sebesar ibu jari itu begitu dipukulkan ke 

bagian kepala lawan nampak bergerak 

membesar sekaligus memanjang. Dalam 

keadaan kalut melihat kehebatan lawan, 

tapi dia juga tak mampu menahan geli. 

"Senjata ini seperti hidup saja. Ha... 

ha... ha! Dia jadi menggembung bengkak 

dan bergerak memanjang seperti ha... 

ha... ha..!"

"Hei... awas!" teriak Ambini tiba-

tiba.

Rupanya ketika itu selagi Gento 

dibuat heran dengan keanehan senjata 

sendiri, Mayat Hidup mempergunakan 

kesempatan itu melompat ke arahnya sambil 

melepaskan satu pukulan dahsyat berhawa 

dingin luar biasa. Si pemuda terkesiap 

begitu melihat hawa dingin disertai sinar 

biru meluncur dan menghantam ke bagian 

dada. Sedapat mungkin secara reflek dia 

putar senjata di tangannya. Benturan 

keras tak dapat dihindari. Si pemuda 

jatuh terhempas. Mulutnya meneteskan 

darah. Di depannya sana Mayat Hidup 

terhuyung ke belakang. Melihat kenyataan 

ini tanpa membuang waktu lagi Ambini


berkelebat dan menyambar tubuh si pemuda. 

Dalam gelapnya udara akibat ledakan tadi 

Ambini melarikan Gento yang sesungguhnya 

hanya menderita cidera ringan dari tempat 

itu.

"Gadis cantik! Kau tak mungkin bisa 

meloloskan diri dari tanganku. Pemuda itu 

pasti kubunuh sedangkan kau harus ikut 

denganku ke pesanggrahan abadi!" dengus 

si Mayat Hidup. Setelah membaca arah, dia 

lalu mengejar ke arah mana gadis itu 

membawa Gento Guyon.



DUA BELAS



Setelah menempuh perjalanan hampir 

dua hari lebih pada pagi berikutnya kakek 

berbadan tambun besar seperti raksasa dan 

pemuda bungkuk berwajah bertotol hitam 

bermulut runcing sampai di Ponorogo. Di 

tempat ini si kakek singgah sebentar di 

sebuah kedai memesan makanan untuk 

kemudian pergi lagi meneruskan perjalanan

ke gunung Liman.

Di luar sepengetahuan si kakek atau 

pun si pemuda ketika mereka masuk ke 

dalam kedai tadi ada sepasang mata yang 

terus memperhatikan kehadiran mereka 

dengan tatapan matanya yang aneh. Bahkan 

ketika mereka meninggalkan kedai itu 

pemilik sepasang mata itu juga mengikuti


mereka. Sampai sejauh itu baik si kakek 

gendut besar yang bukan lain adalah 

Gentong Ketawa maupun si bongkok Siwarana 

Sala Anuna tidak dapat mencium kehadiran 

penguntitnya.

Malah setelah sampai di luar dusun 

Ponorogo, Gentong Ketawa yang berjalan di 

belakang Siwarana berkata. "Kurasa gunung 

Liman tak jauh lagi dari sini. Aku lelah, 

perutku lapar. Kita istirahat saja dulu 

barang beberapa jenak lamanya. Di depan 

sana ada pohon besar, tempatnya teduh 

dari tempat itu kita bisa melihat 

keindahan gunung Liman. Makan sambil 

melihat pemandangan indah sungguh 

mengasyikkan, lebih sedap." Si kakek 

julurkan lidah basahi bibir. Dia melirik 

ke dalam kantong perbekalannya. Di sana 

dia menyimpan makanan dan juga sekendi 

tuak harum. Membayangkan nikmatnya tuak 

itu tenggorokan si kakek bergerak-gerak.

"Kakek... gunung Liman sudah dekat, 

mengapa kita harus istirahat? Jika sudah 

sampai di tempat tujuan kita bebas 

berbuat apa saja. Di sana kau bisa makan 

sepuasmu atau mengorok sepanjang hari." 

menyahuti si bongkok Siwarana.

"Sebenarnya apa yang kau cari di 

sana? Tempat penyimpanan harta karun 

keluargamu? Aku percaya harta itu cukup 

untuk mendirikan sebuah kerajaan yang 

paling besar di Jawa. Tapi terus terang


kau mana pantas menjadi seorang raja...!"

"Maksudmu?" tanya Siwarana tak 

mengerti.

"Ha... ha... ha. Seharusnya kau 

tahu diri. Kau tak punya potongan atau 

tampang menjadi raja. Tapi kalau kau mau 

jadi raja di gurun pasir bolehlah. Aku 

yakin teman-temanmu pasti banyak di 

sana!" kata si kakek disertai tawa 

berderai.

Menyadari arah ucapan si kakek yang 

mengejek keadaan dirinya, wajah Siwarana 

sempat berubah. "Aku tak punya keinginan 

lagi apapun kek. Harta warisan keluarga 

bagaimana pun harus diselamatkan. Menurut 

ayah akulah yang menjadi kuncinya. Dalam 

diriku ada tanda, ada semacam peta. Aku 

baru ingat sekarang untuk melihatnya 

dengan jelas kita membutuhkan limau 

asam." ujar Siwarana.

Si kakek yang tadi hendak membuka 

mulut kini pandangi Siwarana. Mata si 

gendut yang sipit berkedap-kedip. "Limau 

asam? Mengapa kau tak bilang sedari tadi. 

Padahal aku banyak melihat buah limau di 

samping halaman kedai. Eeh... orang 

jelek. Bagaimana bentuk peta itu, apakah 

putih membentuk pulau seperti panu. Atau 

bulat seperti kurap? Ha... ha... ha!"

"Aku sendiri tak tahu, mungkin satu 

dari yang kau sebutkan itu." menyahuti si 

pemuda dengan perasaan jengkel.


"Hei, kubilang kita istirahat dulu. 

Aku hendak makan dan minum barang 

sekejap." kata Gentong Ketawa. Enak saja 

dia duduk menjelepok di bawah pohon 

sambil menurunkan kantong perbekalannya.

Sementara Siwarana terus berjalan 

sambil berkata. "Makanlah di situ 

sepuasmu kakek Gendut. Aku tak punya 

selera, aku lebih baik menunggumu di 

depan sana dekat pohon pinus!" sahut 

Siwarana.

Si kakek anggukkan kepala. Dia 

segera membuka makanan yang dibungkus 

dengan daun pisang. Orang tua ini makan 

dengan lahap. Hanya dalam waktu sekejap 

makanan amblas ke dalam perut besar si 

kakek. Dia lalu membuka penutup kendi. 

Begitu terbuka tercium bau harum 

menyengat.

"Wah baunya saja sudah sangat sedap 

sekali, apalagi isinya?" gumam si kakek.

Gluk! Gluk!

"Betul-betul enak. Ha... ha... 

ha...!" kata Gentong Ketawa sambil 

menyapu mulutnya yang berselemotan tuak 

dengan punggung tangan, sedangkan wajah 

si kakek saat itu berubah memerah karena 

pengaruh tuak itu.

"Hem, ternyata hidup ini penuh 

dengan kenikmatan, walau palsu sedikit 

tidak mengapa. Ha... ha... ha." celetuk 

orang tua itu setelah meneguk habis isi


tuak di dalam kendi.

Setelah merasa kekenyangan, dengan 

bermalas-malasan si kakek mendadak 

bangkit berdiri. Di saat itulah mendadak 

sontak dia dikejutkan dengan suara 

bergemuruh dahsyat yang disertai dengan 

terdengarnya suara jeritan Siwarana. Di 

depan sana ada lidah api sempat mencuat 

di udara, berkobar sekejap lalu lenyap. 

Suara bergemuruh sirna, jeritan Siwarana 

bagaikan terputus. Dalam kagetnya Gentong 

Ketawa memang sempat terkesiap. Tapi 

begitu menyadari bahaya apa kiranya yang 

terjadi pada Siwarana, maka tanpa 

membuang waktu lagi kakek gendut itu 

langsung berkelebat ke arah pohon pinus 

di mana suara gemuruh dan jeritan tadi 

datang.

Sampai di tempat itu si kakek 

tersentak kaget. Dia melihat tanah di 

bawah pohon terbelah merekah. Di kanan 

kirinya rumput dan semak-semak hangus 

terbakar. Api yang membakar sudah padam, 

namun Siwarana sendiri lenyap tak 

berketentuan. Kakek Gentong Ketawa hanya 

menemukan cabikan kain hitam yang 

merupakan bagian dari pakaian pemuda 

cacat itu.

"Jahanam keparat! Siapa yang telah 

melakukan semua ini?" desis si orang tua 

dengan perasaan tegang diliputi 

kecemasan. Dia lalu kitarkan pandang


memperhatikan setiap sudut. "Siwarana... 

Siwarana... kau di mana?" teriak Gentong 

Ketawa memanggil-manggil nama pemuda itu. 

Gema suaranya lenyap begitu saja. Sunyi 

mencekam, di sudut sebelah kirinya dia 

melihat reranting pohon bergoyang seperti 

bekas tersentuh sesuatu yang bergerak. 

"Hh, siapapun yang membawa pemuda itu, 

aku berharap sesuatu yang sangat buruk 

tidak sampai terjadi pada dirinya!" 

membatin si kakek gendut dalam hati. 

Tanpa menunggu lebih lama orang tua ini 

segera mengejar ke arah di mana orang 

yang menculik Siwarana melarikan diri.



                           TAMAT



Nantikan Episode Mendatang!!!

HUTANG DOSA


Share:

0 comments:

Posting Komentar