SATU
Dua sosok berpakaian serba kuning
berlari cepat menuju sebuah pondok
tersembunyi di puncak Gunung Wilis. Saat
itu hujan lebat mengguyur puncak gunung,
kabut tebal memutih menutupi pemandangan
sedangkan suara angin menderu-deru
mengiriskan. Beberapa kejap kemudian dua
sosok tubuh yang berlari cepat di tengah
derasnya hujan segera hentikan langkah.
Mereka kini berdiri tegak di depan pintu
pondok. Ternyata mereka adalah dua orang
pemuda yang memiliki kemiripan wajah satu
sama lain.
Beberapa saat lamanya mereka tegak
di situ dengan pakaian basah kuyup. Ada
rasa curiga terpancar lewat tatapan mata
mereka ketika melihat pintu pondok yang
terbuka.
"Apakah kau melupakan tugasmu
mengunci pintu ketika hendak berangkat ke
Wonogiri adik Ragil Pandara?" bertanya
saudara tua yang bernama Barep Pandara
sambil memperhatikan pemuda di
sebelahnya.
"Tidak. Aku telah mengunci semua
pintu. Lampu bagian dalam juga kupadam-
kan. Karena aku tahu Raden Tua tak
membutuhkan penerangan!" sahut Ragil
Pandara.
Kedua pemuda bersaudara kembar yang
mengabdikan diri pada majikannya selama
belasan tahun itu saling pandang. "Ada
sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.
Mari kita lihat...!!" sergah Barep
Pandara dengan perasaan kecut dan hati
diliputi kegelisahan.
Tanpa perduli dengan tubuh dan
pakaian mereka yang basah kuyup. Kedua
bersaudara kembar ini melangkah masuk,
pintu dibuka lebar, namun mereka tak
dapat melihat apapun karena suasana dalam
ruangan dalam keadaan gelap gulita.
"Nyalakan pelita!" seru Barep
Pandara ditujukan pada adiknya. Sementara
sang adik sibuk mencari lampu yang
tergantung di dinding, maka Barep Pandara
mulai berteriak. "Raden Tua... kami
datang. Raden... kami baru pulang dari
Wonogiri!"
Tak terdengar suara jawaban. Gema
suara si pemuda lenyap ditelan gemuruhnya
hujan yang makin menggila. Sedangkan
disaat itu pelita yang diambil Ragil
Pandara baru saja menyala menerangi
sebagian ruangan.
"Celaka! Ruangan ini dalam keadaan
berantakan. Siapa yang melakukan semua
ini?!" desis Ragil Pandara begitu melihat
hampir semua perabotan yang terdapat di
seluruh ruangan nampak berhamburan
memenuhi lantai tanah pondok yang tidak
seberapa luas, tak kurang beberapa jenis
kitab yang di dalamnya terkandung
pelajaran ilmu silat, ilmu pengobatan dan
juga kitab-kitab sastra bergeletakan di
atas lantai.
"Cari Raden Tua. Mari cepat kita
cari!" perintah Barep Pandara kepada
adiknya. Kedua pemuda itu akhirnya
meneliti ke seluruh ruangan dalam. Sampai
kemudian Ragil Pandara memekik kaget.
"Gusti Allah apa dosa orang tua
ini?"
"Adik apa yang kau temukan?" tanya
Barep Pandara yang berada di sudut
ruangan yang lain. Dia cepat berpaling,
memandang ke arah adik kembarnya. Barep
Pandara melihat sang adik berdiri tegak
dengan wajah pucat mata terbelalak dan
mulut ternganga. Sekali pemuda ini
berkelebat dia sampai di samping adiknya.
Ketika dia ikut melihat ke arah mana
adiknya memandang, Barep Pandara tanpa
sadar sampai bersurut dua tindak ke
belakang. Di depannya pemuda itu melihat
satu sosok tubuh yang mempunyai cacat di
bagian kedua kaki dan kedua tangan, dalam
keadaan tergeletak kaku berlumuran darah.
Bagian leher nampak menganga seperti
digorok senjata tajam, sedangkan tulang
dada berpatahan mencuat keluar. Di bagian
lebih ke bawah lagi ternyata perut orang
tua berambut putih yang mereka panggil
'Raden Tua' robek besar. Bagian isi perut
berbusaian. Melihat luka yang terdapat di
bagian leher, dada serta perut nampaknya
masing-masing luka itu bukan disebabkan
oleh satu senjata yang sama. Dalam
perhitungan Barep Pandara sedikitnya ada
dua orang yang telah datang membantai
Raden Tua. Melihat semua apa yang telah
terjadi baik Barep Pandara dan adiknya
segera melakukan pemeriksaan. Mula-mula
si mayat yang mereka teliti, karena tak
menemukan apapun. Maka Ragil Pandara
segera meneliti ke sekeliling di mana
mayat itu ditemukan.
"Siapapun yang telah membunuhnya,
aku yakin pembunuh itu belum jauh dari
sini!" desis Barep Pandara dengan suara
tersendat tak kuasa menahan rasa sedih
dan haru.
"Kakang betul. Selain itu apa
jawaban kita nanti jika putra dan putri
Raden Tua menanyakan perihal kematian
ayahnya?" ujar Ragil Pandara menimpali.
Dua abdi bersaudara kembar ini
saling diam. Barep Pandara segera
teringat kepergian mereka ke Wonogiri
semata-mata karena mendapat kabar bahwa
putra Raden Tua yang bernama Danang
Pattira sedang menderita sakit keras.
Raden Tua kemudian mengutus mereka untuk
menyambangi putra tertua itu. Mereka
kemudian pergi ke Wonogiri, tapi ketika
mereka sampai di tempat kediaman Danang
Pattira, putra bekas hartawan paling kaya
di Wonogiri ini, kedua abdi kepercayaan
ini jadi terkejut.
Danang Pattira ternyata dalam
keadaan segar bugar tak kekurangan suatu
apa. Malah ketika dia sampai di pendopo
luar, Barep Pandara dan adiknya melihat
Danang Pattira sedang berlatih diri
menerapkan jurus-jurus ilmu silatnya yang
handal itu. Sang putra sulung nampak
kaget melihat kehadiran mereka. Setelah
mendapat penjelasan dari kedua abdi itu
maka Danang Pattira segera menyuruh Barep
Pandara dan adiknya kembali ke gunung
Wilis.
"Kakang ke marilah! Aku menemukan
sesuatu!" seru Ragil Pandara. Sang kakak
tersentak kaget dan lamunannya pun buyar
seketika. Cepat sekali dia menghampiri
adiknya yang berdiri tegak di bagian
pintu belakang. Apa yang dilihat adiknya
ternyata bukan lain adalah sebuah benda
terbuat dari bahan perak berbentuk kupu-
kupu yang menempel di dinding.
"Kupu Kupu Perak?" desis Barep
Pandara begitu mengenali benda yang
tergantung di bagian papan pintu. "Aku
tak tahu benda ini milik siapa. Tapi aku
merasa yakin benda ini pasti ada
hubungannya dengan pembunuh Raden Tua."
"Apa yang dicarinya? Mengapa dia
begitu tega membunuh orang tua papa yang
tidak punya kekuatan apa-apa dengan cara
begini keji?" tanya Ragil Pandara heran.
Barep Pandara berpikir sejenak. Dia
ingat betul, Raden Ponco Sugiri atau yang
sering mereka panggil dengan sebutan
'Raden Tua' orangnya sangat baik dan
dermawan. Selain itu dia juga tak
mempunyai seorang musuh pun. Raden Tua
memiliki kekayaan melimpah ruah. Hampir
seluruh tanah di daerah Imogiri konon
dulunya adalah milik Raden Tua. Tak
mengherankan bila dia adalah seorang
bangsawan yang paling kaya. Bahkan harta
bendanya sebagian tersimpan di suatu
tempat yang dirahasiakan, sehingga bukan
orang luar yang menginginkan harta itu
saja yang tak tahu keberadaan harta itu,
sebaliknya putranya sendiri bahkan tak
mengetahuinya.
"Kita tak menemukan petunjuk selain
kupu-kupu perak ini. Kurasa ada baiknya
jika kita kuburkan mayat Raden Tua,
setelah itu baru membawa kupu-kupu perak
ini untuk ditunjukkan pada seluruh putra
putri almarhum," pada akhirnya Ragil
Pandara mengajukan pendapatnya.
"Kalau sudah ketemu, sebaiknya kau
ambil kupu-kupu perak itu. Aku sendiri
akan mengurus mayat Raden Tua. Nanti jika
hujan mereda, kita secara bersama-sama
menggali sebuah kubur. Besok pagi kurasa
kita sudah bisa berangkat kembali ke
Imogiri untuk menjumpai Raden Danang
Pattira!" Ragil Pandara anggukkan kepala.
Dia kemudian meraih kupu-kupu perak
yang bagian kakinya menancap di papan
pintu. Begitu kupu-kupu perak berada
dalam genggaman tangannya si pemuda
memperhatikan hiasan yang terbuat dari
bahan perak tersebut. Ada sesuatu yang
dirasakannya aneh begitu dia menyentuh
bagian perut kupu-kupu ini. Bagian perut
kupu-kupu diusap beberapa kali. Mendadak
si pemuda merasakan adanya suatu getaran
yang sangat aneh menjalari tubuhnya.
"Gila... mengapa tanganku jadi
terasa panas begini? Akh...!" teriak
Ragil Pandara sambil mengibaskan tangan-
nya yang memegang benda aneh itu. Tapi
apa yang terjadi sungguh sulit dipercaya
karena ternyata kupu-kupu perak itu tetap
melekat di telapak tangannya. "Kakang
Barep tolong...!" satu jeritan menyayat
terlontar dari mulut si pemuda. Bersamaan
dengan itu pula telapak tangan sampai
pergelangan pemuda itu langsung melepuh,
menggembung besar. Semakin lama semakin
bertambah besar sampai akhirnya menge-
luarkan suara letupan keras. Daging dan
darah berhamburan ke seluruh penjuru
arah.
"Adik Ragil Pandara... kau... apa
yang terjadi!" seru Barep Pandara sambil
melompat menghampiri adiknya. Ragil
Pandara tampak terhuyung limbung,
sementara matanya mendelik sambil
memegangi tangannya yang hancur dengan
tangan lain yang masih utuh. Barep
Pandara mencoba merangkul adiknya agar
jangan sampai jatuh. Tapi pada saat itu
pula terdengar seruan keras sang adik.
"Akh... jangan... jangan kau sentuh
tubuhku! Cepat menjauh...!" teriak Ragil
Pandara yang kiranya sudah mengetahui
bahwa kupu-kupu perak yang dipegangnya
tadi bukan saja sangat beracun, tapi juga
dikendalikan oleh satu kekuatan yang
tidak terlihat.
"Adik kenapa?" seru sang kakak yang
terpaksa urungkan niatnya tapi tetap
tertegak di tempatnya.
Ragil Pandara tak sanggup lagi
memberi jawaban karena pada saat itu juga
kupu-kupu perak yang jatuh dari genggaman
tangannya tadi kini nampak melayang,
terbang berputar-putar di udara sebanyak
tiga kali mengelilingi Barep Pandara.
Kepakan sayapnya yang cepat menimbulkan
suara mendengung yang bila didengar
dengan seksama tidak ubahnya seperti
suara orang yang melontarkan suara makian
yang datang dari satu tempat yang sangat
jauh.
"Siapapun yang merasa dirinya dekat
dengan Raden Ponco Sugiri, maka mulai
saat ini hidupnya pasti tak akan bertahan
lama!" kata satu suara yang terdengar di
antara suara dengung kepakan kupu-kupu
perak. Suara aneh itu mendadak lenyap,
Barep Pandara merasa kaget bukan main.
Belum juga rasa kejutnya lenyap, kupu-
kupu perak tadi mendadak menukik dan kini
hinggap di bagian dada Ragil Pandara.
Sekujur tubuh pemuda yang telah hancur
bagian tangannya itu bergetar hebat. Dia
jatuh tersungkur. Sang kupu-kupu perak
nampaknya sedang mengerahkan racun dan
kekuatan aneh yang terkandung di dalam
tubuhnya. Tidak tega melihat segala
penderitaan yang dialami oleh Ragil
Pandara, maka Bara Pandara menghambur
bermaksud meremas hancur kupu-kupu perak
yang menempel erat di dada adiknya. Dalam
keadaan setengah sadar di mana tubuhnya
sendiri mulai bengkak menggembung di
sana-sini, Ragil Pandara sempat melihat
langkah nekad yang hendak diambil saudara
tuanya. Diapun melepaskan pukulan sambil
berteriak. "Sudah kukatakan, jangan
sentuh tubuhku. Cepat pergi tinggalkan
tempat ini! Kabarkan tentang semua yang
terjadi di sini pada seluruh keluarga
Raden Tua!" Seiring dengan terdengarnya
suara teriakan sang adik, detik itu pula
segulung angin keras menderu dan melabrak
Barep Pandara hingga membuat tubuh si
pemuda yang tak menyangka mendapat
serangan jadi terpental. Dia jatuh
terhempas melabrak pintu depan. Pada saat
Barep Pandara hendak bangkit berdiri,
detik itu pula sekujur tubuh Ragil
Pandara yang telah menggembung bengkak
secara aneh langsung meledak di sana-
sini. Daging halus seperti dicacah,
potongan tulang, kepala dan darah
bermentalan ke berbagai sudut ruangan.
"Adikku... huk... huk... huk...!"
seru Barep Pandara dengan mata terbelalak
lebar dan tubuh menggigil melihat semua
keganjilan yang terjadi. Dia ingin sekali
mendekati kepingan tubuh adiknya. Tapi
pada saat itu pula dari kepingan daging
serta darah yang berserakan di lantai
tanah dia melihat mahluk-mahluk putih
beterbangan. Mahluk kecil yang
beterbangan itu ternyata bukan lain
adalah kupu-kupu perak.
"Celaka! Bagaimana binatang keparat
itu dapat berkembang biak hanya dalam
waktu yang singkat?!" desis si pemuda.
Dia pun tak dapat berpikir lebih jauh
tentang segala perubahan sekaligus
keanehan yang terjadi di depan matanya
karena saat itu dia melihat puluhan kupu-
kupu perak yang beterbangan di atas
kepingan mayat adiknya seperti mendapat
perintah langsung menyerbu ke arahnya.
"Adik... adik... maafkan aku! Aku
terpaksa meninggalkan dirimu dan Raden
Tua berdua di sini." ujar Barep Pandara
dengan perasaan pilu dan rasa bingung
yang tiada terkira.
Laksana kilat Barep Pandara
bergulingan ke arah pintu. Pintu cepat
dibuka, dia lalu menyelinap keluar.
Setelah menutupkan pintu itu kembali. Dia
pun lari menghambur menuruni puncak
gunung Wilis. Saat itu hujan sudah mulai
reda, namun kabut tebal masih menyelimuti
puncak Wilis sampai ke bagian lerengnya.
Barep Pandara sama sekali tak
mempedulikan semua itu. Dia terus saja
berlari sampai akhirnya sosok si pemuda
lenyap ditelan kepekatan kabut yang
menyelimuti suasana di sekeliling puncak
gunung itu.
Sementara di dalam pondok di mana
mayat Raden Tua dan kepingan mayat Ragil
Pandara berada, puluhan kupu-kupu perak
yang berkembang biak secara aneh itu
nampak berusaha menerobos keluar. Kawanan
kupu-kupu aneh ini bahkan menyerbu pintu
sambil semburkan cairan biru dari balik
mulutnya. Setiap semburan membuat papan
pintu seperti hangus nyaris menimbulkan
lubang besar, namun pada saat itu pula
terdengar suara seseorang yang seakan
diucapkan dari sebuah tempat yang teramat
jauh.
"Jangan dikejar! Apapun yang hendak
dilakukannya dia tidak begitu berarti
bagiku. Sekarang sebaiknya kau bawa
teman-temanmu pulang, datang ke tempatku.
Hidangan yang nikmat telah kusediakan
untuk kalian. Ha... ha... ha!” kata suara
itu. Puluhan kupu-kupu terbang mening-
galkan pintu, terbang berputar di langit-
langit rumah. Plaash! Puluhan kupu-kupu
perak ini akhirnya lenyap menjadi setitik
kabut yang tak meninggalkan bekas sama
sekali.
DUA
DI tepi muara sungai Lanang yang
menghadap langsung ke laut Kidul hampir
setiap hari selalu terdengar suara orang
melantunkan senandung yang meratapi nasib
dan membuat haru bagi orang yang
mendengarkannya. Di muara sungai yang
banyak ditumbuhi pohon-pohon bakau banyak
dihuni oleh kawanan kelelawar. Tak heran
bila hampir setiap menjelang pagi atau
setelah matahari terbenam, daerah itu
selalu diwarnai oleh suara hiruk pikuk
kelelawar.
Siang itu terik matahari terasa
menggarang batok kepala. Deburan ombak di
pantai laut kidul terdengar sayup-sayup
di kejauhan. Tak jauh dari muara sungai
seorang kakek tua berbadan gemuk besar
luar biasa berwajah bulat berkening lebar
duduk seenaknya di atas cabang pohon
cepluk yang sedang berbuah lebat. Sambil
duduk mulutnya terus mengunyah, sesekali
terdengar pula suara menyiplak disertai
seringai pertanda buah cepluk yang
dimakannya walau berwarna merah, segar
namun asam bukan main. Melihat besarnya
badan si kakek dengan berat lebih dari
dua ratus kati, seharusnya cabang pohon
itu sudah patah sejak tadi. Tapi ternyata
tidak, cabang pohon yang sekecil itu
jangankan patah, bergoyangpun tidak. Ini
merupakan pertanda bahwa si kakek gendut
besar memiliki ilmu meringankan tubuh
yang sangat luar biasa.
"Kau tak suka buah cepluk ini,
Gege?" berucap si kakek yang bukan lain
adalah Gentong Ketawa.
Pemuda yang duduk di cabang pohon
di atas si kakek menyeringai. Sama
seperti si kakek sikapnya acuh tak acuh.
Sekali dia melirik ke bawah di mana
Gentong Ketawa duduk sambil menikmati
buah cepluk, setelah itu dia kembali
memandang ke hamparan laut yang membiru
di depannya.
"Aku tidak akan heran kau
mengatakan buah itu manis. Orang
sepertimu apa saja dicaplok, karena pada
dasarnya kau memang manusia rakus. Ha...
ha... ha!" sahut si pemuda disertai tawa
tergelak-gelak.
Di cabang pohon bawah Gentong
Ketawa ikutan tertawa, perut gendutnya
bergoyang-goyang. Sambil tertawa dengan
gerakan secepat kilat tangannya
berkelebat ke atas. Wuuut! Satu buah
cepluk melesat laksana kilat ke mulut si
pemuda yang bukan lain adalah Gento
Guyon. Terdengar suara orang seperti
tersedak makanan. Tawa si pemuda lenyap,
matanya mendelik sedangkan tangan kanan
kini sibuk memijit-mijit bagian
tenggorokannya. Melihat muridnya tidak
ubahnya seperti ayam tertelan karet, tawa
si kakek semakin bertambah keras hingga
pohon cepluk yang didudukinya ikut pula
terguncang keras.
"Ha... ha... ha! Dasar serakah,
pura-pura malu padahal mau. Kalau mau
makan harus dikunyah dulu, jangan
langsung ditelan. Sekarang kau jadi
kelolodan, tersedak. Bocah goblok....
Ha... ha... ha...!" kata si kakek sambil
memegangi perutnya
Di cabang pohon atas Gento Guyon
dengan muka merah dan mata berair
terpaksa pukul bagian belakang lehernya
sendiri, hingga buah cepluk meloncat
keluar dari dalam tenggorokannya. Dengan
perasaan kesal dia sambar buah cepluk
yang masih hijau.
Wuut!
Belasan buah yang masih muda
berhamburan melesat ke arah si kakek yang
sedang tertawa. Tiga di antara buah itu
masuk ke dalam mulutnya. Dua lagi
menghantam kening si kakek yang lebar,
satu menyentil tenggorokan dan yang
lainnya jatuh di atas perut Gentong
Ketawa. Buah yang masuk ke dalam mulut
langsung tertelan, amblas ke dalam perut
akibat sentilan buah di bagian leher.
Sedangkan kening kakek Gentong Ketawa
nampak benjol di tiga bagian berbentuk
segitiga. Seakan tak percaya Gentong
Ketawa mengusap keningnya. Tawa terhenti
sedangkan mata mendelik besar.
"Guru, kau sedang mabok atau apa?
Makan buah saja bisa ngawur begitu.
Biasanya orang makan dimasukkan ke mulut,
bukan dibenturkan ke jidat, leher atau
perut. Rupanya kau tak puas memakan yang
masak, hingga yang masih hijau pun guru
telan. Dasar orang tua pikun. Ha... ha...
ha!” kata Gento disertai tawa mengekeh.
Merasa kesal melihat ulah Gento
yang konyol, si kakek sejenak jadi lupa
kalau pemuda itu adalah muridnya sendiri.
Enak saja tangan kanannya dihantamkan ke
cabang pohon di atasnya. Seketika itu
juga dari telapak tangan Gentong Ketawa
menderu serangkum angin dingin yang
langsung menghantam pohon di mana Gento
berada. Cabang pohon rambas seperti
dipulas angin ribut. Tapi sesaat sebelum
itu Gento Guyon sudah melesat ke udara,
berjumpalitan tiga kali, kemudian
tubuhnya meluncur ke tempat semula. Tapi
dia jadi terkejut begitu menyadari cabang
pohon yang hendak ditujunya rambas
gundul. Takut tubuhnya jatuh terhempas
dari atas ketinggian, tanpa pikir panjang
lagi dengan menggunakan sebagian tenaga
luncuran dia berkelebat dan bergerak ke
arah gurunya.
Bluk! Tanpa terduga oleh Gentong
Ketawa gerakan terakhir yang dilakukan
muridnya membuat pemuda itu dapat
merangkul kedua bahu si kakek, hingga
keadaannya seperti anak kecil yang
digendong di bagian punggung.
"Bocah geblek! Apa-apaan kau...!"
damprat Gentong Ketawa sambil mengibaskan
bahunya agar tangan Gento terlepas.
"Ha... ha... ha. Asiiik... sudah
digendong diayun lagi." kata si pemuda
sambil tertawa-tawa.
"Kurang ajar. Kau benar-benar tak
punya aturan sama sekali!" dengus si
kakek. Kali ini dia menggerakkan tubuhnya
lebih keras.
"Hei, cabang pohon ini bisa patah!"
seru si pemuda.
"Biar, biar saja patah, nanti kita
jatuh bersama-sama." dengus Gentong
Ketawa cemberut.
Kraaak!
"Tuh kan, patah juga akhirnya!"
celetuk si pemuda. Tubuh mereka pun
akhirnya meluncur deras bersama patahan
cabang pohon. Selagi kedua sosok tubuh
ini meluncur deras ke bawah, murid dan
guru masing-masing cari selamat. Sehingga
mereka jatuh dengan kaki menjejak ke
tanah.
"Murid sinting. Kau selalu
membuatku kesal Gege!" teriak gurunya. Si
pemuda tampan berambut gondrong ber-
telanjang dada hendak menyahuti. Tapi
mulutnya yang sudah membuka mendadak
terkatup kembali karena pada saat yang
bersamaan dari arah muara sungai Lanang
terdengar suara sayup-sayup seseorang.
"Di muara sungai Lanang aku
dibesarkan, di dalam bebas tidak bertuan.
Di sini aku jauh dari bapak ibu moyangku.
Aku berada di tengah suara cericit mahluk
hitam kawanku. Tidurku berselimut dingin-
nya malam. Aku makan dari belas kasihnya
hewan. Tanah moyangku jauh dari impian.
Tapi aku rindu ingin pulang ke haribaan
ayah. Kadang rinduku ingin kembali dalam
pelukan ibu. Sayang langkah terhalang
oleh cacat celak laknat. Tuhan... oh
Tuhan. Namamu selalu kuagungkan, namun
mengapa nasib tak berpihak padaku? Kutahu
ibuku telah berpulang. Tapi mengapa
seorang ayah begitu tega mencampakkan
daku dari kehidupannya? Ohh... malang
sungguh malang. Aku ingin menangis.
Huk... huk... huk!”
Suara yang terdengar mendadak
lenyap. Murid dan guru saling berpan-
dangan. "Aneh...!" desis Gentong Ketawa.
"Di tempat sesepi ini ternyata masih ada
kehidupan juga. Entah buat siapa dia
bicara. Tapi apa yang diucapkannya
sungguh mengharukan menusuk kalbu."
"Mungkin itu suara jin laut, atau
bisa jadi suara hantu penunggu muara.
Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat
ini. Aku takut guru kesurupan dan ikutan
bicara ngaco seperti suara yang kita
dengar itu!" kata si pemuda. Gentong
Ketawa gelengkan kepala.
"Tidak begitu Gege. Aku yakin yang
bicara tadi adalah manusia. Pasti ada
sesuatu yang membuat perasaannya tertekan
dan hati tersiksa. Aku ingin tahu siapa
dia adanya." tegas si kakek.
"Guru jangan nekad. Siapa tahu dia
bermaksud menjebak kita," Gento Guyon
tampak meragu. Gentong Ketawa keluarkan
suara tawa bergelak. Dia berpikir sejenak
lamanya. Menurut pendapat si kakek
mustahil pemilik suara tadi menjebak
mereka, karena ucapan orang itu nampaknya
ditujukan pada dirinya sendiri.
"Aku harus ke sana!" pada akhirnya
si kakek memutuskan.
"Guru...!" Gento berseru. Sejenak
lamanya dia berdiri tegak dalam
kebimbangan. Tapi setelah gurunya tak
terlihat lagi dari pandangan mata, si
pemuda lalu segera menyusulnya. "Dasar
gendut keras kepala. Kalau sudah katanya
tetap tak mau dibantah." rutuk si pemuda.
Di muara sungai Lanang yang cukup
dalam dan berair keruh begitu banyak ikan
yang hidup di situ. Hampir setiap saat
permukaan air berombak karena berbagai
jenis ikan terus bermain menyambar apa
saja yang mengambang di atas air.
Di balik tikungan muara, di atas
salah satu pohon bakau, sosok tubuh
mendekam di situ. Sosok berpakaian hitam
rombeng ini masih sangat muda. Wajahnya
dipenuhi totol-totol hitam, mulutnya
lancip seperti mulut kera, sedangkan
hidung rata seperti hidung monyet. Di
bagian leher si pemuda terdapat benjolan
besar seperti gondok. Sedangkan punggung-
nya bongkok, sehingga badan terkesan
tertarik ke belakang. Selain cacat pada
bagian wajah dan badan, ternyata tangan
pemuda itu juga dalam keadaan cacat.
Bagian tangan tidak tumbuh normal.
Melainkan kecil seperti tangan bayi yang
baru terlahir sedangkan panjangnya
setengah dari panjang tangan orang
dewasa. Walau kedua tangan cacat dan
tidak berfungsi sama sekali. Tapi sosok
pemuda yang memiliki banyak cacat itu
memiliki dua kaki sempurna sebagaimana
layaknya manusia lain. Ketika itu salah
satu kaki si pemuda masuk ke dalam air.
Hanya beberapa saat kaki terangkat ke
atas.
Wuut! Pluk! Pluk!
Beberapa ekor ikan air payau
berlesatan di udara. Si pemuda buka
mulutnya lebar-lebar sambil menyendok.
Glek! Glek!
Ikan yang berhasil ditangkap dengan
cara yang aneh ini dalam keadaan hidup
langsung amblas ke dalam mulut si pemuda
cacat. Di balik tonjolan akar pohon bakau
si kakek yang melihat pemandangan ini
mendadak merasa perutnya menjadi mual.
"Hoeek...hueek...!"
Buah cepluk berhamburan keluar dari
mulut Gentong Ketawa. Gento yang baru
saja sampai di tempat itu jadi kaget.
"Guru, kau kenapa? He... he... he.
Aku tahu kau pasti terlalu banyak makan
buah cepluk. Perutmu mulas, perutmu
sakit. Rasakan sendiri...!" kata si
pemuda. Karena masih muntah, Gentong
Ketawa hanya dapat menunjuk-nunjuk ke
arah mana tadi dia melihat pemuda aneh
mengail ikan dengan kakinya.
Gento langsung memandang ke arah
yang dimaksudkan gurunya. Tapi dia tidak
melihat apapun di sana terkecuali puluhan
kelelawar yang bergelantungan memenuhi
cabang pohon.
"Cuma kelelawar, cuma bapak kampret
buat apa ditakuti." sergah Gento.
"Kadal buntung, pentang matamu
baik-baik. Kau lihat pemuda di atas pohon
bakau itu?" sambil berkata si kakek
layangkan pandangannya ke arah semula. Si
orang tua jadi melengak kaget karena
pemuda yang dilihatnya tadi ternyata
lenyap dari pandangan mata, "Eeh, ke mana
dia?" desis Gentong Ketawa heran.
"Ha... ha... ha. Sudah kukatakan
buah yang kau makan sangat memabukkan.
Sekarang semuanya terbukti bukan? Kau
mabuk sungguhan!" kata si pemuda sambil
cibirkan bibirnya.
"Aku tidak mabuk. Aku melihat
pemuda cacat itu, dia memancing dengan
kakinya. Memakan hasil kailan nya hidup-
hidup. Sungguh aneh mengherankan." desis
kakek itu sambil melempar pandang ke
segenap penjuru sudut pohon.
"Nah ketahuan sudah, bicaramu ngaco
kau mabuk berat guru." dengus Gento Guyon
tetap tak percaya.
TIGA
Mendengar ucapan muridnya si kakek
terkesan tak perduli. Mata sipitnya terus
saja jelalatan memandang ke arah mana
tadi dia melihat pemuda bungkuk bermulut
lancip, berhidung pesek, muka bertotol
hitam.
"Itu dia...!" berseru si kakek
begitu melihat pemuda tadi julurkan
kepala mengintip dari balik pohon. Seruan
si kakek membuat si pemuda tarik wajahnya
ke belakang, hingga ketika Gento meman-
dang ke arah itu dia tak melihat apa-apa.
"Guru... kau sengaja hendak
mempermainkan diriku?" gerutu si pemuda.
"Sialan, aku tak pernah
mempermainkan dirimu, ngibul sedikit tak
jadi apa. Tapi kali ini aku bicara
serius. Kalau kau tak percaya cepat
periksakan dari arah depan, biar aku dari
arah belakang." berkata begitu tubuh
tambun gemuk luar biasa segera
berkelebat, lenyap di antara celah
kerapatan pohon bakau.
"Hem, agaknya guru memang tidak
main-main dengan ucapannya. Biarlah aku
yang akan melihat dari arah depan sini,"
Gento Guyon akhirnya memutuskan. Pemuda
ini kemudian melompati akar-akar bakau
yang bersembulan di permukaan tanah.
Belum lagi pemuda ini sampai di tempat
gurunya melihat pemuda aneh tadi.
Mendadak sontak terdengar suara pekikan
aneh disertai dengan menderunya sinar
hitam yang langsung menghantam Gento
Guyon.
"Kampret. Belum sempat bertegur
sapa malah disambut dengan pukulan maut
begini rupa!" damprat si pemuda. Dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya dia
melesat ke salah satu cabang pohon yang
terdapat di sebelahnya. Di belakangnya,
di bawah sana terdengar suara ledakan
berdentum. Beberapa pohon bakau bertum-
bangan menimbulkan suara gemuruh hingga
membuat kelelawar yang tinggal di situ
beterbangan tak tentu arah. Sementara
dari arah belakang di mana gurunya
menyelidik juga terdengar suara orang
mengumpat.
"Majikan pemilik muara, kami datang
dengan membawa maksud baik. Jangan serang
kami. Aih... tega juga kau memukul
kakekmu ini!" pekik si kakek gendut. Sama
seperti muridnya, laksana kilat dia
langsung berlindung di balik kerapatan
pohon cari selamat. Ledakan keras kembali
terdengar beberapa pohon besar
bertumbangan. Satu sosok tubuh berpakaian
serba hitam berkelebat laksana kilat
meninggalkan tempat persembunyiannya.
Karena sosok aneh itu melesat melewati
kepala Gento, maka pemuda ini mendongak
ke atas. Dia tercengang dengan mata
terbelalak. Walau sekilas namun dia
sempat melihat sosok yang melintas di
atas kepalanya tadi.
"Orang itu menanggung kutuk atau
dosa apa hingga keadaannya begitu
menyedihkan?" batin si pemuda. Belum juga
hilang rasa kagetnya dari arah yang sama
mengejar sosok tinggi tambun besar bukan
main sambil tertawa tergelak-gelak.
"Kejar anak kampret itu jangan
sampai lolos!" seru si kakek.
Gento yang merasa dilewati untuk
yang kedua kalinya merutuk habis-habisan.
"Yang tua saja tak tahu peradatan apalagi
cuma sekedar anak kampret. Monyet betul!"
Berkata begitu si pemuda segera menyusul
gurunya. Sampai di satu tempat di luar
daerah muara sungai Lanang orang yang
dikejar gurunya mendadak hentikan langkah
dan langsung membalikkan tubuh menghadap
langsung ke arah si kakek. Memandang pada
Gentong Ketawa sejenak dan juga Gento
Guyon yang datang kemudian, agaknya
pemuda ini segera menyadari kalau
sebenarnya mereka bukanlah orang jahat.
Sehingga ketegangan yang menyelimuti
wajahnya secara perlahan lenyap.
"Agaknya di dunia ini sudah tidak
ada tempat yang aman bagi si buruk rupa
begini. Sejak kecil aku diasingkan, lalu
diburu seperti kelinci. Wahai orang
berbudi, kalau boleh aku meminta
hendaknya kau membunuhku saat ini juga!"
berkata pemuda bongkok muka bertotol
hitam itu. Suaranya pelan, bergetar dan
terkesan putus asa. Gento dan gurunya
diam-diam merasa kaget. Tanpa sadar
mereka saling melempar pandang.
"Satu lagi permintaan yang dilaknat
Gusti Allah kudengar hari ini." kata si
kakek berbisik.
"Mungkin dia mengira kau malaikat
pencabut nyawa, hingga begitu melihatmu
dia langsung merindukan kematian."
menyahuti Gento Guyon dengan berbisik
pula.
Gentong Ketawa sunggingkan seulas
senyum. Dia tidak menanggapi ucapan
muridnya. Sebaliknya sekarang dia
melangkah maju mendekati pemuda bungkuk
dengan cacat tubuh mengenaskan itu. Walau
sadar pemuda itu telah melepaskan pukulan
ke arahnya tadi, namun begitu melihat
sikap serta keadaan si pemuda yang
mengenaskan dengan suara perlahan Gentong
Ketawa ajukan pertanyaan. "Anak muda
siapa dirimu? Gerangan apa yang membuatmu
merasa berputus asa hilang harapan?"
Pemuda yang ditanya tidak langsung
menjawab, melainkan menangis terguguk
seperti orang yang baru saja ditinggal
mati orang yang dikasihinya. Si kakek
gendut besar jadi serba salah dan usap-
usap keningnya yang lebar.
Sebaliknya Gento Guyon jadi tidak
sabar. "Sampai kapan kita harus menunggu
dia berhenti menangis. Aneh... sungguh
sebaiknya guru cari tahu apa yang
membuatnya menangis?"
Sambil tersenyum si kakek anggukkan
kepala. Dia baru saja hendak mengatakan
sesuatu ketika pemuda itu hentikan
tangisnya. Sejenak si pemuda menyeka air
mata dengan punggung tangan, lalu duduk
ngejelepok di atas tanah di bawah
kerindangan pohon. Melihat apa yang
dilakukan si pemuda maka si kakek juga
ikut melakukan hal yang sama.
"Kakek, diriku yang buruk ini
bernama Siwarana Sala Anuna." berkata si
pemuda memperkenalkan diri.
Mendengar pemuda itu sebutkan
namanya, Gento tak dapat menahan tawa.
Sebaliknya Gentong Ketawa hanya senyum-
senyum saja.
"Ha... ha... ha. Begitu banyak nama
bagus di dunia ini. Mengapa kau mau
diberi nama seburuk itu. Memang anumu
yang mana yang salah. Apakah letaknya
yang terbalik, miring atau agak ke
samping." celetuk si pemuda masih saja
tertawa-tawa.
Ditanya seperti itu si pemuda
nampak bingung. "Aku tak tahu maksudmu!"
kata si pemuda.
"Dasar tolol, apa harus kubuka dulu
pakaianku. Aku sih mau saja, tapi aku
takut si kakek gendut jadi ngiler. Karena
kudengar anunya kakek itu disimpan di
suatu tempat dalam lubang es. Ha... ha...
ha!" ucapan Gento Guyon tentu merupakan
satu banyolan belaka. Tapi hal ini
membuat Gentong Ketawa seperti kebakaran
jenggot. Dia mendelik, pipi menggembung
sedangkan kedua tangannya dikepal.
"Murid sinting. Sekali lagi kau
bicara seperti itu kubetot lidahmu!"
rutuk si kakek sambil bersungut-sungut.
Siwarana Sala Anuna akhirnya jadi
melongo begitu mengerti arti ucapan si
pemuda. Dengan muka masam dia menjawab.
"Tidak, anuku tidak ada yang salah.
Semuanya normal saja tanpa kekurangan
suatu apa."
"Hmm, begitu. Lalu apa yang
membuatmu ingin mengakhiri hidup dengan
cara menyedihkan seperti itu?" tanya si
pemuda dengan mimik bersungguh-sungguh.
"Sulit aku mengatakannya pada
kalian. Sejak kecil aku diasingkan oleh
ayahku di tempat ini. Konon karena di
dalam diriku tersimpan suatu rahasia yang
amat penting bagi keselamatan harta
pusaka milik keluarga. Tapi kemudian aku
merasa tertipu, karena kemudian tanda
atau rahasia apapun di tubuhku selain
cacat cela yang kalian lihat ini. Aku
merasa mungkin ayahku merasa malu punya
anak cacat seperti diriku ini." kata si
pemuda sambil tundukkan wajahnya.
"Siapa ayahmu?" tanya Gentong
Ketawa sekedar ingin tahu.
"Ayahku adalah Raden Ponco Sugiri,
hartawan terpandang di Wonogiri.
Sedangkan ibuku sudah meninggal ketika
melahirkan aku."
"Rupanya kau putra seorang Raden?"
berkata begitu Gento berputar menge-
lilingi si pemuda, sepasang matanya
berkedap-kedip mengawasi sampai akhirnya
dia tertawa sendiri. "Bicara terus terang
sebenarnya kau tak pantas menjadi anak
seorang raden. Pantasnya jadi anak kere.
Tapi dasar nasibmu apes, ternyata kau
tetap jadi kere juga. Ha... ha... ha!”
"Gege kau jaga mulutmu!" hardik
Gentong Ketawa. Si pemuda langsung
terdiam dan pura-pura memandang ke
jurusan lain. Selanjutnya si kakek
beralih pada Siwarana Sala Anuna.
"Ternyata hidupmu tak putus dirundung
malang. Aku turut prihatin mendengarnya.
Tapi... percayalah kau tidak boleh
berprasangka seburuk itu. Aku yakin
ayahmu pasti mempunyai maksud-maksud
tertentu hingga membawamu ke tempat ini."
kata Gentong Ketawa.
"Kalau benar dugaanmu orang tua,
tentu dia tidak akan membuatku sengsara
seperti ini. Sekali dia datang ke tempat
ini, lalu tak pernah muncul kembali.
Apakah ini yang namanya baik?" dengus si
pemuda sinis.
Si kakek tersenyum. "Kau tadi
mengatakan ayahmu menyimpan suatu rahasia
dalam dirimu. Mungkin satu rahasia besar,
kalau boleh aku memeriksanya!" ujar si
kakek.
"Apa... apa maksudmu kakek tua? Kau
menyuruhku telanjang?" desis Siwarana
Sala Anuna kaget dan berjingkrak mundur.
Belum sempat si kakek menjawab,
Gento Guyon sudah nyeletuk. "Guruku tidak
menyuruhmu bugil seutuhnya. Lagipula
siapa yang mau melihat? Kami tidak punya
kelainan. Lagipula kujamin anumu tidak
bagus, mungkin bulukan dan bengkok serta
ada kutilnya. Guruku hanya ingin kau
menanggalkan baju!"
Mendengar ucapan Gento yang
seenaknya, wajah pemuda bongkok berubah
merah. Tapi walaupun merasa geram
Siwarana Sala Anuna tidak mengambil
tindakan apapun. Dia maklum kakek dan
pemuda itu pasti bukan manusia semba-
rangan. Walau terkadang bicara mereka
terkesan ngaco seperti orang-orang yang
kurang waras. Di samping itu juga dalam
hati pemuda ini berharap agar kedua
manusia aneh ini bersedia membantunya
dalam mengungkapkan semua misteri yang
tersimpan dalam dirinya.
"Baik, sekarang kubuka baju butut
ini. Silakan kalian lihat!" kata si
pemuda. Tanpa menunggu lama si pemuda
buka bajunya. Gentong Ketawa segera
meneliti punggung Siwarana. Tapi dia tak
menemukan tanda atau apapun terkecuali
tulang-tulang yang menonjol, dua bahu
yang tipis memipih mengundang rasa iba.
"Bagaimana guru?" tanya Gento
sambil datang menghampiri.
"Aku tak menemukan tanda apapun!"
"Terang saja, matamu belekan begitu
jadi pandanganmu lamur." dengus si
pemuda. Si kakek hanya menulikan telinga
mendengar ucapan muridnya. Saat itu si
pemuda sudah meneliti sekujur tubuh
Siwarana. Sama seperti gurunya dia juga
tak menemukan petunjuk apapun.
"Agaknya mataku ikut belekan juga
guru. Sayang sekali aku hanya melihat
punggung unta." kata Gento.
"Kunyuk, kuharap kau bisa menjaga
mulutmu. Jika tidak aku bisa
menghajarmu!" hardik Siwarana merasa
tersinggung.
"Sialan, besar juga ambeknya kodok
buduk ini!" gerutu si pemuda dalam hati.
Siwarana merapikan pakaiannya lagi. Dia
lalu menoleh, memandang ke arah Gentong
Ketawa dengan tatapan tajam menusuk.
"Rahasia itu tidak terlihat.
Cobalah kau ingat, mungkin ada petunjuk
lain?"
"Petunjuk apa. Di mataku semua
keluargaku turunan ayah seperti hidup
dalam selubung misteri. Seperti ayahku
yang buntung tangan dan kakinya. Kemudian
aku juga tak tahu di mana ketiga
saudaraku yang lain. Ayah sendiri sejak
lama telah meninggalkan Wonogiri. Entah
mengapa kini beliau mengasingkan diri di
gunung Wilis."
"Ini suatu cerita yang menarik.
Tapi selain itu apalagi keluhanmu yang
lain?" tanya Gento Guyon ikut menanggapi.
"Beberapa malam ini aku merasa ada
orang yang mendatangi muara sungai
Lanang. Aku tak tahu apa yang dicarinya.
Namun aku merasa keselamatanku sedang
berada dalam incaran bahaya maut."
menerangkan Siwarana Sala Anuna.
"Orang yang mendatangi tempat
tinggalmu laki-laki atau perempuan?"
tanya Gentong Ketawa.
"Aku tak tahu. Saat itu malam
gelap, mereka semua memakai kerudung."
"Mereka? Berarti orang itu tidak
seorang diri?"
"Benar, mereka datang berdua."
jawab si pemuda.
"Apa mungkin mereka menginginkan
dirimu?" tanya Gento lagi.
"Bisa jadi begitu. Tapi untuk lebih
jelasnya harus ada yang pergi ke gunung
Wilis. Di sana tentu ayahku bisa
memberikan jawaban."
"Lalu kau sendiri bagaimana?" tanya
Gentong Ketawa.
"Andai saja kau bisa menolong dan
melindungiku, orang tua. Tentu budimu tak
kulupakan."
Murid dan guru sama terdiam,
Gentong Ketawa berpikir keras. Jika benar
apa yang dikatakan Siwarana, rasanya
lebih baik dia mengutus Gento muridnya
untuk pergi ke gunung Wilis. Sementara
dia sendiri bisa menemani pemuda banyak
cacat itu di muara kali Lanang.
"Guru, bagaimana andai aku saja
yang pergi ke gunung Wilis?"
Si kakek tersenyum. "Aku baru saja
hendak berkata begitu. Jika kau pergi kau
harus berhati-hati." pesan Gentong
Ketawa. Dia lalu menoleh pada Siwarana.
Pada pemuda itu dia bertanya. "Siapa yang
harus ditemui oleh muridku?"
"Ayahku, Raden Ponco Sugiri biasa
dipanggil dengan Raden Tua. Jika ayah tak
ada. Orang lain yang bisa ditemu adalah
Barep Pandara atau adik kembarnya Ragil
Pandara. Mereka yang menjaga ayahku
selama ini." ujar si pemuda.
"Guru, kalau begitu aku berangkat
sekarang. Tidak sampai dua pekan di depan
jika tidak ada halangan aku pasti sampai
ke sini lagi."
"Jangan," sergah Siwarana. "Tak
jauh dari Ponorogo persis di sebelah
timur terdapat sebuah gunung. Kalau tak
salah namanya gunung Liman. Dulu ayahku
sering menyebut nama itu. Kurasa di
tempat itu kita bisa melakukan
pertemuan!"
"Ingat Gege. Seperti yang dikatakan
Siwarana. Kita bertemu di sebelah barat
Ponorogo di kaki gunung Liman." Gentong
Ketawa kembali menegaskan.
"Pasti kuingat. Bertemu di sebelah
barat Ponorogo di kaki gunung Liman!"
celetuk si pemuda mengulangi ucapan
gurunya. "Sekarang aku mohon pamit guru."
Gento menjura hormat. Setelah itu dia
berkelebat pergi meninggalkan gurunya
juga Siwarana.
EMPAT
Hanya selang satu hari setelah
kedatangan Barep Pandara dan adik
kembarnya. Di tempat kediaman Danang
Pattira muncul seorang gadis berwajah
cantik jelita berpakaian sutera putih
ringkas, berambut panjang tergerai. Gadis
itu menunggang seekor kuda berbulu putih.
Sedangkan di bagian punggungnya tergan-
tung sebuah kantong perbekalan di mana
pada salah satu sisinya berhiaskan
sulaman kupu-kupu putih dan biru.
Melihat gerak-geriknya setelah
turun dari kuda yang langsung menuju
bagian pintu depan, jelas sudah kalau
gadis berwajah rupawan dengan dada padat
menantang dan berpinggul bagus ini
pastilah dia merupakan sanak kerabat
Danang Pattira yaitu salah satu anak
Raden Ponco Sugiri. Beberapa saat lamanya
si gadis berdiri mematung di depan pintu.
Seakan ada keraguan merayapi hatinya
ketika dia hendak mengetuk pintu di
depannya. Tapi sejenak kemudian jemari
mungilnya bergerak, mengetuk
Tok! Tok!
Suara ketukan pada pintu berlalu.
Si gadis menunggu dengan perasaan tidak
sabar. Karena tidak ada suara sahutan,
maka si gadis bermaksud mengetuk untuk
yang kedua kalinya. Pada saat itulah
lapat-lapat dia mendengar suara langkah
kaki mendekat ke pintu dari bagian dalam.
Sebuah lubang kecil yang biasa
dipergunakan melihat tamu yang datang
tersibak, satu mata mengintip dari bagian
dalam. Ada helaan nafas lega, selanjutnya
pintu terkuak lebar. Satu sosok pemuda
gagah berpakaian biru berdiri tegak di
sana. Wajahnya menyunggingkan seulas
senyum begitu melihat siapa yang datang.
Sebaliknya gadis jelita berkulit putih
bersih itu nampak tertegun dengan kening
mengernyit dalam. Saat itu dia melihat
wajah pemuda tampan yang berdiri
dihadapannya nampak pucat, tubuhnya
berkeringat. Sedangkan tangannya sedikit
gemetar.
"Adik Ambini. Ada kabar apa hingga
kau datang ke sini?" tanya si pemuda.
Suaranya yang keras dan tegas menyadarkan
si gadis dari lamunannya. Ambini sempat
tersipu. Senyum merekah di sudut bibirnya
yang kemerahan tanpa polesan pewarna.
Hingga membuat terpesona bagi siapapun
yang memandangnya.
"Kakang Danang Pattira Sena."
berucap Ambini menyebut nama lengkap
pemuda di hadapannya. "Entah mengapa
hatiku tergerak untuk menyambangimu ke
sini. Lagipula aku sudah sangat lama tak
pernah melihat keindahan kota Wonogiri di
malam hari."
"Kau benar. Mari masuk!" berkata
begitu si pemuda melangkah masuk ke
bagian ruangan tamu. Ambini mengikuti
sang kakak tak jauh di belakang. Mereka
duduk di atas permadani merah yang
terbuat dari anyaman bulu domba. Sekilas
Ambini layangkan pandang ke segenap
penjuru ruangan. Suasana di dalam ruangan
itu masih tetap seperti dulu. Beberapa
jenis senjata yang terdiri dari tombak,
pedang dan ruyung masih terpajang di
pojok kiri ruangan. Lukisan gunung
gersang yang dilukis di atas pelepah nipa
juga masih dipajang di dinding ruangan
dalam. Selain itu beberapa ekor harimau
yang diawetkan tetap dibiarkan berada di
tengah ruangan tamu. Tidak ada yang
berubah setelah sepuluh tahun terpisah.
Yang berubah adalah tentang keluarganya
yang tercerai berai sejak badai topan dan
gempa bumi memporak-porandakan daerah
Wonogiri dan sekitarnya.
"Adikku apa yang kau pikirkan?"
tanya Danang Pattira dengan tiba-tiba.
"Eeh... tidak. Aku heran mengapa
wajah kakang seperti itu? Apakah kakang
sakit?" tanya si gadis mencoba menutupi
galau perasaannya sendiri.
"Eeh, tidak. Wajahku memang nampak
pucat, karena aku baru saja melatih ilmu
silat. Semuanya masih dalam tahap
belajar, jadi terkadang selalu
bersalahan!" kata si pemuda beralasan.
Mendengar ucapan Danang Pattira,
sedikit banyaknya Ambini jadi terheran-
heran. Seingatnya dulu sang kakak adalah
pemuda yang sangat menyukai sastra, bukan
berbagai macam ilmu silat.
"Kakang tidak salahkah
pendengaranku ini?" tanya si gadis dengan
mulut ternganga. Danang Pattira gelengkan
kepala.
"Tidak! Kau tidak keliru mendengar
dan aku mengucapkan sesuatu yang benar."
jawab si pemuda enteng.
"Bukankah dulu kau paling membenci
ilmu silat?"
"Memang. Tapi sejak topan celaka
itu memporak-porandakan kota ini. Dan
ayah kehilangan kaki serta tangan akibat
dibuntungi oleh seseorang. Kini aku
bertekad untuk mencari siapa adanya orang
yang telah membuat cacat ayah kita serta
mencuri peta rahasia penyimpanan harta
kekayaan milik keluarga kita." tegas si
pemuda. Berkata begitu tatap mukanya
memancarkan kilatan cahaya aneh yang
sulit ditebak. Ambini hela nafasnya yang
terasa menyesak.
"Kakang Pattira. Aku sendiri sejak
ikut dengan guruku yang misterius itu
sama sekali tak tahu perkembangan yang
terjadi dengan keluarga kita. Aku juga
tak tahu di mana beradanya kakang
Aripraba. Sedangkan mengenai ayah, kabar
yang kudengar beliau saat ini
mengasingkan diri di gunung Wilis. Aku
tak tahu maksud dari semua ini. Tapi di
luar semua yang kukatakan aku juga
mendengar kabarnya kita mempunyai seorang
adik bungsu bernama Siwarana Sala Anuna."
Mendapat pertanyaan seperti itu
wajah Danang Pattira sempat berubah. Dia
terdiam sejenak lamanya, tapi pada
akhirnya dia berkata. "Mengenai perihal
ayah aku tak berani mengusik. Sejak
tangan dan kakinya dibuntungi oleh tokoh
misterius itu, beliau lebih banyak
membisu. Terlebih-lebih bila aku
menanyakan tentang peta harta keluarga.
Biasanya ayah langsung mengusirku. Ayah
seperti merahasiakan sesuatu dari kita.
Tapi biarlah, aku sendiri sudah tak
pernah lagi melihat ayah di tempat
pengasingan." Ujar pemuda itu seakan
mengadukan sikap ayahnya pada sang adik.
Setelah itu si pemuda kembali
melanjutkan. "Sedangkan mengenai adik
Aripraba aku sendiri tak tahu di mana dia
gerangan. Lalu mengenai adik bungsu sial
itu mana aku perduli di mana dia. Suatu
ketika tiba-tiba saja dia raib. Sudahlah,
jangan bicarakan tentang dia aku muak!!"
Mendengar suara kakaknya yang agak
meninggi tentu saja si gadis terkejut
besar. Bola matanya yang indah membulat
besar, sedangkan kedua alisnya terangkat
lebih ke atas.
"Kakang, apa maksudmu? Sungguh aku
tidak mengerti mengapa kakang begitu
membenci adik bungsu Siwarana?" ujar si
gadis.
"Kau dengar! Aku benci padanya
bukan saja karena cacat yang dibawanya
sejak terlahir ke dunia ini. Aku benci
karena melahirkan bocah menjijikkan itu
ibu kita meninggal. Selain itu setelah
kelahirannya, Wonogiri yang tak pernah
dilanda musibah sepanjang masa, akhirnya
berubah menjadi tempat terjadinya
malapetaka. Bukan rakyat biasa saja yang
menjadi korban. Tapi ayah juga mendapat
serangan ganas dari seorang tokoh
misterius, peta penyimpanan harta pusaka
lenyap. Engkau menghilang beberapa tahun
setelah kehilangan kewarasan. Bersusah
payah aku yang selamat berusaha
mengumpulkan saudara yang tercerai-berai.
Tapi aku hanya bisa menemukan dirimu,
adik Aripraba sendiri hingga sampai saat
ini tidak kuketahui apakah masih hidup
atau sudah mati." kata si pemuda seakan
menyesalkan.
"Sudahlah, mudah-mudahan dia selalu
berada dalam lindungan Gusti Allah. Aku
sendiri jika guru memberi ijin padaku
nantinya pasti akan mencari kakang
Aripraba." berkata Ambini. Mendengar
ucapan adiknya, Danang Pattira Sena
tersentak tampak kaget. Entah mengapa si
pemuda merasa ada sesuatu yang ganjil
terdapat dalam diri sang adik yang
memiliki kecantikan luar biasa itu. Suatu
kelainan yang tak dapat dijelaskan dengan
kata-kata. Lalu bila dia melirik ke arah
kantong perbekalan Ambini yang berhiaskan
sulaman kupu-kupu putih dan biru perasaan
Danang Pattira semakin gelisah saja.
"Adik Ambini," ucap si pemuda
sambil mengusap wajahnya. "Kukira apa
yang kau katakan itu benar. Untuk mencari
Aripraba jika kulakukan sendirian akan
memakan waktu yang lama. Tapi jika kita
mencarinya bersama-sama dalam waktu
singkat pasti kita dapat menemukannya."
Ambini gelengkan kepala. "Maksudmu
kita harus pergi bersama-sama begitu?"
tanya si gadis. Danang Pattira anggukkan
kepala. "Tidak! Kita tetap mencarinya
dengan cara kita masing-masing. Jika di
antara kita nantinya menemukan kakang
Aripraba, maka dia harus kembali ke
tempat tinggalmu ini secepatnya!" Ambini
menegaskan.
Mendengar penjelasan adiknya, dalam
hati pemuda itu berkata. "Dia semakin
aneh. Gerak-gerik dan ucapannya
mengundang rasa curiga. Ambini tak mau
berjalan berdua denganku, apakah ini
berarti dia merahasiakan sesuatu yang tak
boleh kuketahui?" berpikir begitu si
pemuda lalu ajukan satu pertanyaan biasa
tapi cukup mengejutkan buat Ambini.
"Adik, buat apa kita bersusah payah
mencari Aripraba. Bukankah sejak ayah
mengasingkan diri di puncak Wilis tidak
sebaiknya kita urusi persoalan hidup kita
masing-masing?"
"Semula aku juga berpendapat
begitu. Tapi setelah kupikirkan cukup
lama, aku merasa ada sesuatu yang
dirahasiakan oleh ayah. Aku ingin tahu
semua ini. Lagipula kakang Aripraba
adalah anak terkasih ayah kita. Sejak
badai topan melanda Wonogiri, memporak-
porandakan semua yang dimiliki keluarga
kita. Kakang Aripraba lenyap, peta
rahasia tempat penyimpanan harta kekayaan
keluarga kita juga ikut raib. Mengingat
kakang Aripraba merupakan anak yang
sangat dipercaya oleh ayah, aku menduga
peta itu sekarang ada di tangannya."
jelas Ambini.
"Bicara berbelit-belit, ternyata
buntutnya pada peta harta juga. Rencana
apa sebenarnya yang ada dalam benak
adikku ini?" batin Danang Pattira.
Mendadak dia ingat akan sesuatu hingga
membuat tengkuknya menjadi dingin.
"Bagaimana pendapatmu kakang?"
tanya si gadis setelah melihat saudara
tuanya hanya diam saja.
Danang Pattira menarik nafas
pendek. Sejenak tatap matanya menerawang
memandangi langit-langit ruangan. Setelah
itu dia memperhatikan adiknya sekilas.
Setiap dia menatap wajah cantik jelita
itu, entah mengapa dadanya berdebar
keras, sedangkan darah di tubuhnya
berdesir, wajah menjadi panas. Danang
Pattira cepat tundukkan kepala. "Adik,
aku tidak kemaruk dengan segala harta
benda. Kalau ayah bersikap pilih kasih
pada anaknya aku juga tidak perduli.
Menurutku mencari tahu siapa adanya orang
yang membuntungi kedua kaki dan tangan
ayah adalah penting. Dan ini yang harus
segera kita lakukan!" tegas si pemuda.
Ambini tersenyum. "Dengan ilmu yang
kau pelajari dari kitab-kitab butut itu
kau hendak mencari orang yang mencelakai
ayah? Hi... hi... hi...!” ujar si gadis
disertai tawa meremehkan.
"Kenapa rupanya?" tanya sang kakak
tanpa merasa tersinggung.
"Kakang, jika ayah yang memiliki
kepandaian silat dan ilmu kesaktian yang
cukup tinggi saja tak mampu berbuat
banyak bahkan tak sanggup mengenal orang
yang telah membuatnya cacat begitu rupa,
apalagi engkau? Namun walau bagaimanapun
aku tentu tak bisa memaksamu. Kau boleh
saja menunjukkan baktimu pada orang tua,
tapi aku sendiri harus mencari harta
kekayaan keluarga yang disembunyikan
ayah. Untuk mendapatkannya kuncinya
adalah peta rahasia itu."
Danang Pattira gelengkan kepala.
"Kemauanmu begitu besar adikku.
Jika turut kataku, sebaiknya kau tak usah
berlelah diri mencari adik Aripraba atau
juga Siwarana. Kau tinggal saja di sini
bersamaku. Rumah yang kubangun dari sisa
puing kejayaan keluarga ini sangat besar.
Sepi rasanya hidup seorang diri tanpa
sanak tanpa kadang, tanpa saudara tanpa
keluarga."
Mendengar ucapan kakaknya Ambini
tersenyum tipis. Senyuman itu terasa
mempesona, memikat. Tidak dibuat-buat
tapi menggoda setiap mata yang
melihatnya. "Kakang... mengapa kau tidak
menikah saja, agar hidupmu tidak
kesepian. Lagipula ke mana para kekasihmu
itu?"
Danang Pattira tersenyum. "Para
kekasih?!" desis si pemuda sambil
delikkan matanya. "Kekasihku hanya satu,
yaitu Arum Sapana. Saat ini kami belum
lagi terpikir untuk menikah, apalagi
masing-masing sibuk dengan urusan
sendiri. Mungkin dua tahun mendatang aku,
maksudku kami akan melaksanakan hajat
kami!" jelas si pemuda polos.
Si gadis tertawa renyah mendengar
ucapan Danang Pattira. "Kuucapkan
selamat. Kelak aku pasti akan datang di
saat kau melaksanakan perhelatan suci
itu!" selesai berkata Ambini bangkit
berdiri. Dia menarik nafas hingga dadanya
yang membusung bergerak turun naik
mendebarkan.
"Adik kau hendak ke mana?" bertanya
sang kakak yang hampir tak pernah lepas
memperhatikan adiknya. Ambini merapikan
anak rambut yang menutupi sebagian wajah.
"Aku sudah tegaskan tadi. Yang ingin
kulakukan saat ini adalah mencari kakang
Aripraba. Syukur jika bertemu dengan adik
kita yang malang Siwarana. Peta itu
sangat penting bagiku, daripada jatuh ke
tangan orang lain, bukankah harta yang
disimpan ayah jatuh ke tangan kita
sebagai anak-anaknya?"
"Kalau begitu mengapa kau tidak
minta petunjuk ayah?" pancing Danang
Pattira. Mendapat pertanyaan seperti itu,
wajah si gadis tidak menunjukkan peru-
bahan sama sekali.
Ambini tersenyum getir, tapi dia
tetap memberi jawaban. "Percuma minta
petunjuk ayah. Dia pasti akan marah besar
bila aku menyinggung tentang peta dan
juga harta yang disimpannya itu."
"Heh, terkadang aku juga merasa
heran mengapa ayah bersikap pilih kasih
terhadap anak-anaknya. Atau jangan-
jangan...!" Danang Pattira tiba-tiba
katupkan mulut tak jadi teruskan ucapan.
"Apa maksudmu kakang?" tanya Ambini
heran.
"Tidak... tidak ada apapun!" sahut
si pemuda dengan cepat.
"Dia jelas merahasiakan sesuatu
dariku." membatin Ambini dalam hati
sambil melirik kakaknya berusaha membaca
apa yang disembunyikan si pemuda.
Sebaliknya Danang Pattira dalam
hati juga membatin. "Mana mungkin aku
berterus terang padanya. Walau dia
adikku, tapi dia besar di tangan orang
lain bahkan seorang guru misterius pula.
Aku melihat di kantong perbelakalannya
terdapat sulaman kupu-kupu. Menurut Barep
Pandara kupu-kupu maut perak salah satu
yang telah menewaskan adiknya di puncak
gunung Wilis."
"Kakang kalau begitu aku mohon diri
dulu." Ambini berpamitan.
"Baiklah... hati-hati di jalan."
pesan Danang Pattira.
Si pemuda lalu mengantar adiknya
sampai di halaman depan. Ambini segera
melompat ke atas kuda tunggangan. Sesaat
sebelum pergi meninggalkan Ambini masih
sempat memperhatikan kakaknya dengan
tatap matanya yang aneh.
Tapi semua ini tentu luput dari
perhatian Danang Pattira karena dia
sendiri dengan tergesa-gesa segera masuk
ke dalam rumahnya. Masih dengan berdiri
tegak sesampai di bagian dalam dia
membuka mulut.
"Barep Pandara lekas ke mari!"
katanya memanggil satu nama.
Dari balik sebuah kamar muncul
seorang pemuda berpakaian kuning berwajah
tampan. Dialah Barep Pandara. Dengan
terbungkuk-bungkuk pemuda itu mengham-
piri.
"Raden, apa yang dapat saya lakukan
untuk Raden?" bertanya Barep Pandara
dengan suara perlahan, sopan.
"Dari balik kamar kau tentu melihat
kantong perbekalan adikku?!" bertanya si
pemuda seakan ingin memastikan.
"Saya melihatnya Raden. Sebuah
kantong dengan sulaman berupa kupu-kupu
biru dan putih warna perak. Mengenai
kupu-kupu biru saya belum pernah
melihatnya sebelum ini. Tapi sulaman
kupu-kupu putih, bentuknya sama persis
dengan kupu-kupu perak yang menyerang dan
menghancurkan adik saya Ragil Pandara.
Apakah ini berarti ada kaitannya dengan
kematian adik saya juga Raden Tua?"
"Sulit memastikan." sahut Danang
Pattira setelah terdiam beberapa jenak
lamanya. "Tapi walau dia adik kandungku,
kami terpisah selama belasan tahun. Siapa
yang mendidiknya aku pun tak tahu. Kurasa
masih belum terlambat jika kau
mengikutinya."
"Saya Raden...?!” terkejut Barep
Pandara mendengar keputusan pemuda itu.
Danang Pattira mengulum senyum,
tapi wajahnya masih membersitkan
kesedihan mendalam. Dengan suara perlahan
dia berkata. "Aku merasa sedih mengenang
kematian ayah. Tapi akan lebih sedih lagi
jika aku tak sanggup menangkap pembunuh
ayahku. Pergilah Barep, ikuti Ambini.
Dulu kewarasannya pernah terganggu
setelah terbentur batu di bagian kepala.
Siapa tahu sekarang masih suka angot dan
kambuh. Sehingga Ambini melakukan per-
buatan keji yang tidak disadarinya."
"Apa yang harus saya lakukan jika
berhasil menyusulnya Raden?"
"Kau cukup mengikuti. Melihat apa
saja yang dia lakukan termasuk juga
mengingat dengan siapa saja dia bertemu!"
pesan Danang Pattira.
"Baiklah, kalau Raden sudah berkata
begitu. Saya akan berangkat sekarang
juga." ujar Barep Pandara. Ketika si
pemuda hendak melangkah pergi mendadak
Barep Pandara hentikan langkah, dia
berpaling sambil berkata. "Raden bolehkah
saya menunggang kuda?"
"Tidak! Kau harus puas dengan
berjalan kaki saja. Perjalanan dengan
berkuda akan mengundang banyak rasa
curiga." menerangkan Danang Pattira.
"Terima kasih atas petunjuk Raden."
ujar Barep Pandara. Tanpa pikir panjang
dia pun melangkah pergi.
LIMA
Ketika sampai di puncak gunung
Wilis, si gondrong tampan bertelanjang
dada ini gelengkan kepala. Saat itu
puncak gunung Wilis terasa sepi, walau
tak diselimuti kabut namun udara dingin
tetap terasa menusuk. Sejenak lamanya si
pemuda kitarkan pandangan mata. Mengamat-
amati keadaan di sekelilingnya dia tak
menemukan atau melihat apapun.
"Edan, tempat ini sesunyi kuburan.
Jangankan manusia sapi budek pun tak
kutemui di sini." celetuk Gento Guyon
sambil meringis. Tiba-tiba si pemuda
menepuk keningnya sendiri. "Ah, aku baru
ingat sekarang. Bagaimana jika pemuda
banyak cacat itu menipuku? Aku dikadali,
lalu guruku dikerjainya? Bisa morat-marit
perabotan kakek gendut itu dibuatnya."
Gento menyengir lalu berkelebat ke
sebelah selatan puncak gunung. Sampai di
dekat kerimbunan pohon langkahnya
terhenti. Dia melihat di balik lebatnya
pepohonan terdapat sebuah pondok yang
agak tersembunyi. Jika mata kurang jeli
tentu pondok ini tak terlihat karena
dindingnya tertutup reranting pohon yang
telah kering.
"Agaknya tempat butut itu yang
dimaksudkan Siwarana Sala Anuna." ketika
berkata begitu si pemuda meraba bagian
bawah perut, kemudian senyumnya mengem-
bang. "Aku beruntung tak ada yang salah
pada anuku. Tapi... rumah Raden mengapa
begini buruk, kandang ayam sekalipun
masih lebih bagus. Si pemuda terdiam
sejenak, berpikir. Menurut pemuda banyak
cacat di pondok itu dijaga oleh dua
pemuda kembar. Selain mereka Raden Tua
juga berada di situ. Tapi mengapa dia tak
melihat siapapun. "Aku harus menyelidik
ke dalam." Baru saja Gento hendak
melaksanakan niatnya mendadak sayup-sayup
Gento mendengar suara isak tangis
seseorang.
"Ada orang menangis? Siapa yang
ditangisi?" batin si pemuda.
"Ayah... ayah, mengapa begini buruk
akhir hidupmu? Siapa yang telah berlaku
keji terhadapmu?" kata satu suara dari
dalam pondok di sela-sela isak tangis.
"Ayah...?!” gumam Gento. "Seorang
abdi tak mungkin memanggil ayah pada
juragannya." Penasaran Gento melangkah
lebih mendekat lagi ke pondok.
"Hu... hu... hu, ayah. Maafkan aku
karena baru sekarang dapat menyambangimu.
Tapi mengapa harus berakhir begini. Siapa
di luar!!” hardik suara yang sedang
menangis.
Si pemuda melengak kaget. "Tikus
buluk. Sedang asyiik menangis masih
sempatnya bertanya siapa di luar." gerutu
si pemuda. Tanpa ragu lagi Gento Guyon
langsung menjawab. "Saya orang baik
datang dari jauh."
Suara tangis terhenti, sepi
sejenak. Pintu depan pondok membuka
lebar, satu sosok tubuh berkelebat dan
tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan
hidung Gento Guyon. Pemuda itu terkejut
besar, walau kaget namun bibirnya tetap
tersenyum ramah. Melihat cara orang yang
datang menghampirinya. Gento Guyon maklum
tentulah pemuda yang kini tegak di
depannya bukan pemuda sembarangan.
Sedikitnya dia memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sangat luar biasa.
Sejenak lamanya Gento menatap
pemuda itu, memperhatikan pakaiannya yang
putih bersih, wajah yang tampan serta
rambut panjangnya yang berminyak. Setelah
membanding-bandingkan celananya sendiri
dengan pakaian orang, akhirnya Gento
menjura hormat.
"Orang gagah senang aku bertemu
denganmu. Siapakah dirimu? Apa yang
membuatmu menangis atau siapa yang kau
tangisi?" Gento dengan sopan ajukan
pertanyaan.
Si pemuda balas menatap, ada rasa
curiga terpencar lewat tatap matanya yang
tenang namun tajam menusuk.
"Kau sendiri siapa? Mengapa
berkeliaran di daerah ini?"
"Oh, aku bukan orang liar. Aku
datang ke mari atas permintaan seseorang.
Namaku Gento Guyon." polos si pemuda
menjawab.
"Gento Guyon, manusia sinting yang
akhir-akhir ini namanya tersebar ke
seluruh penjuru persilatan tanah Jawa.
Mana gurumu kakek edan yang bernama
Gentong Ketawa itu?" dengus si pemuda.
Mendengar orang yang tak dikenal
mengetahui siapa dirinya bahkan diri sang
guru, Gento pun tak mampu menutupi rasa
kagetnya. Tapi paling tidak dia merasa
jengkel juga ketika gurunya dikatakan
edan oleh pemuda berbaju putih itu.
"Saudara, jika lagi sedih jangan
kau bawa-bawa guruku. Kalau aku sampai
marah, aku bisa memperpanjang tangismu
sampai tujuh hari tujuh malam!" bentak si
pemuda.
Pemuda di depannya tersenyum sinis.
"Kau tak tahu apa yang sedang kurasakan.
Sekarang pentang matamu, lihat baik-
baik!" dengus si pemuda berpakaian putih
itu. Belum lagi Gento dapat memahami arah
ucapannya. Mendadak pemuda itu memutar
tubuh, memunggungi Gento Guyon sedangkan
kedua tangannya diarahkan lurus ke bagian
pondok. Sejenak lamanya bibir si pemuda
berkemak-kemik, ketika dua tangan
didorong dan disentakkan ke udara, maka
sekonyong-konyong pondok beratap ilalang
berdinding ranting melesat ke udara dalam
keadaan utuh. Gento tercengang, sedangkan
pemuda itu menggerakkan kedua tangannya
ke sebelah kiri ke arah lapangan rumput.
Secara aneh pondok yang sudah mengapung
di udara ikut pula bergerak searah dengan
gerakan tangan. Ketika pemuda baju putih
menurunkan tangannya dengan gerakan
perlahan, pondok itu jatuh di atas
lapangan rumput seperti diletakkan dengan
sangat hati-hati.
"Walah hebat. Belum pernah ku
melihat tontonan gratis semenarik ini.
Bagus... bagus...!" Sambil bertepuk
tangan Gento berseru memuji.
"Pemuda edan. Bukan pondok itu yang
harus kau lihat. Buka matamu lihat ke
lantai pondok itu!" kata si pemuda sambil
menunjuk ke lantai pondok.
Gento alihkan perhatiannya ke arah
yang ditunjuk si baju putih. Mata murid
kakek kocak Gentong Ketawa terbelalak
lebar. "Mustahil, sulit kupercaya!" desis
si pemuda kaget. Dia melangkah mendekati
sosok yang tergeletak di lantai dari
pondok yang telah dipindahkan. Semakin
dekat semakin jelas dia melihat satu
sosok tubuh tergeletak di situ dalam
keadaan membusuk. Jasad busuk itu tidak
mempunyai tangan dan kaki. Kedua kaki
maupun lengannya seperti bekas dipenggal.
Melihat pada keadaan mayat, nampaknya
kematian orang itu sudah lebih dari lima
hari yang lalu.
"Si bungkuk mulut musang itu tidak
berdusta. Mayat ini pasti ayahnya. Dan
pemuda itu ketika menangis tadi aku
mendengar dia memanggilnya ayah. Apakah
mungkin dia saudaranya Siwarana?" pikir
Gento.
"Kau tahu, itu adalah mayat ayahku.
Hidup dalam kemalangan kehilangan kaki
dan tangan. Sekarang kematiannya pun
terasa lebih tragis!" menerangkan pemuda
itu. "Sedangkan mayat yang di sebelah
sana kurasa adalah mayat salah seorang
kepercayaan ayah. Tubuhnya tercerai
berai. Entah benda atau senjata apa yang
melukainya."
Karena tak berapa jauh dari mayat
pertama, hanya beberapa langkah saja
Gento telah sampai di depan mayat kedua.
"Mengerikan. Sulit kupercaya!" desis si
pemuda begitu melihat kepingan tulang dan
serpihan daging membusuk yang bertebaran
di lantai pondok.
"Kau telah melihat kematian yang
mengenaskan. Sekarang katakan siapa yang
menyuruhmu ke sini?" tanya pemuda itu
sinis.
Gento Guyon membalikkan tubuh
hingga kini mereka saling berhadapan.
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, bukankah
lebih baik kau katakan dulu siapa namamu
agar aku tak kesalahan kata bicara pada
orang yang salah." ujar Gento.
"Mengenai namaku rasanya tak
penting. Yang jelas ada kemungkinan aku
punya hubungan kerabat dengan keluarga
Raden Tua. Nah tak perlu aku berpanjang
kata. Sekarang katakan siapa yang
menyuruhmu datang ke puncak gunung Wilis
ini?"
Walau ragu, namun pada akhirnya
Gento menjawab juga. "Yang menyuruhku ke
mari adalah Siwarana Sala Anuna."
Mendengar disebutnya nama itu paras
pemuda berpakaian putih sontak berubah
kelam. Sekujur tubuhnya sempat bergetar.
Ada kemarahan terpancar lewat tatap
matanya. "Kau dengar baik-baik. Jika kau
bertemu dengan si cacat bangsat itu
katakan padanya agar membunuh diri
secepat mungkin. Aku tak mau melihatnya
ada di dunia ini!” tegas si pemuda.
Mendengar permintaan pemuda itu
tentu Gento jadi terheran-heran. "Eh, kau
ini siapakah? Malaikat maut atau setan
haus darah. Pemuda itu sudah banyak
mengalami kesengsaraan seumur hidup,
mengapa kau memintanya untuk membunuh
diri?" tanya Gento.
"Perintahku tak pernah kuulang,
ucapanku tak boleh dibantah!" hardik si
pemuda. Dengan penuh kemarahan dia
melanjutkan. "Siwarana tak layak hidup.
Kehadirannya hanya membawa sial bagi
keluarga kami, kau paham?"
Mendengar itu Gento tertawa
tergelak-gelak. "Tak kusangka kau masih
anak turun Raden Tua. Kau pasti salah
satu kakak dari Siwarana. Seorang kakak
begitu tega menyuruh adiknya membunuh
diri? Jika kau bukan manusia yang telah
kehilangan kewarasan, pasti putra asuhan
iblis. Ha... ha... ha!”
"Pemuda keparat jangan campuri
urusanku!" maki si pemuda hampir tak
dapat membendung amarahnya.
"Siapa yang mencampuri urusanmu?
Tapi kalau boleh aku nasehatkan bukankah
lebih baik lagi jika kau cari siapa
pembunuh ayahmu?" dengus Gento polos.
"Pembunuh ayahku? Aku memang sedang
mencarinya. Aku tak tahu apakah mungkin
saudaraku yang melakukannya. Tapi terus
terang aku telah merencanakan jauh
sebelum ini. Bahkan sejak badai angin
ribut memporak-porandakan Wonogiri!"
"Hemm, kau menduga malapetaka itu
datangnya dari adikmu?" tebak Gento
disertai senyum sinis.
"Mungkin. Sangat mungkin sekali!
Sekarang kau tunggu apalagi? Pergilah
dari hadapanku!" hardik si pemuda.
"Mungkin aku akan pergi setelah kau
mau memberitahu siapa namamu!" ujar si
pemuda.
"Baik. Kau catat dalam otakmu.
Namaku Aripraba. Aku putera kedua Raden
Ponco Sugiri. Nah aku sudah
memberitahukan namaku. Sekarang kerjakan
apa yang aku perintahkan!"
"Apa perintahmu? Aku sudah lupa."
bertanya si pemuda sambil terbatuk-batuk.
Merasa dipermainkan pemuda itu jadi
marah besar. Matanya mencorong merah,
sedangkan pelipisnya bergerak-gerak.
"Monyet kurang ajar. Aku menyuruhmu agar
menyampaikan pesan pada Siwarana untuk
membunuh diri!"
"Ha... ha... ha. Pesan gilamu pasti
kusampaikan. Tapi ingin kulihat apakah
sekarang kau mau bunuh diri di depanku?!"
"Boleh, sebelum itu terjadi kau
harus mendahuluiku berangkat ke akherat!"
Selesai berkata Aripraba melompat
ke depan sambil hantamkan kedua tangannya
ke bagian wajah Gento Guyon.
Melihat serangan ganas yang dapat
meremukkan batok kepalanya itu si pemuda
jelas tak mau mati konyol. Dia geser
langkah ke samping, tubuh dibungkukkan
sedangkan kepala dimiringkan.
Wuut!
Serangan luput menderu di atas
kepala si pemuda. Tak menyia-nyiakan
kesempatan Gento mendorongkan sikunya ke
depan. Desss! Hantaman yang telak
mendarat di bagian perut Aripraba.
Setelah berhasil menghantam lawan sambil
melompat mundur Gento memandang ke depan.
Kejut di hati si pemuda bukan olah-olah
begitu melihat lawan, jangankan cidera
bergeming pun tidak. Padahal hantaman
yang dilakukan si pemuda bukan saja
sanggup menghancurkan tembok tebal tapi
juga mampu meremukkan batu karang.
"Hebat, dia memiliki semacam
kekebalan. Aku tak punya silang sengketa
dengannya, jadi aku harus menjatuhkan
dengan cara lain." batin Gento.
Baru saja pemuda itu kerahkan
tenaga dalam ke bagian tangannya, pada
saat itu pula lawan kembali menyerangnya
dengan serangkaian serangan gencar yang
tak berkeputusan. Sambaran angin dahsyat
disertai mengepulnya debu di udara
menyertai tendangan atau pukulan yang
dilancarkan oleh Aripraba.
ENAM
Gento Guyon menghindari semua
serangan yang sangat berbahaya itu dengan
menggunakan rangkaian jurus Kera Mabok
yang digabungkan dengan jurus Belalang
Terbang. Akibatnya tentu sangat hebat
sekali. Sambaran kaki ataupun hantaman
tangan yang dilakukan oleh lawan secara
bertubi-tubi tak satu pun yang mengenai
tubuh Gento. Malah jotosan yang oleh
Aripraba diperkirakan menghantam dada
lawan dengan telak secara aneh hanya
mengenai tempat kosong.
"Celaka. Pemuda ini mempunyai jurus
apa? Tubuhnya oleng, langkah grubak
grubuk, kepala bergoyang tak mau diam,
terkadang tubuhnya melesat di udara
seperti mau terbang." membatin Aripraba
dalam hati.
Sebaliknya Gento juga berkata dalam
hati. "Setan itu sama sekali tak memberi
kesempatan padaku. Sepertinya aku ini dia
anggap sebagai seorang musuh bebuyutan!"
Belum lagi si pemuda melakukan
serangan balasan lawan telah merubah
jurus silatnya. Jika pertama tadi
Aripraba lebih banyak melakukan serangan
yang diarahkan ke bagian kepala dan dada,
maka kini dia menyerang bagian perut dan
kaki Gento. Adapun jurus yang diper-
gunakan pemuda itu adalah jurus
Menggempur Karang Memapas Kaki Bukit.
Akibatnya tentu bertambah lebih
dahsyat lagi. Beberapa kejapan Gento
merasa perut dan dadanya seperti dihantam
gelombang angin panas bertubi-tubi,
sedangkan kakinya laksana diterabas mata
pedang. Kenyataan ini membuatnya melompat
ke samping, lawan terus merangsak sambil
hantamkan tangan kiri sedangkan kaki
melabrak ke arah kaki Gento.
Dengan cepat murid Gentong Ketawa
gerakkan tangannya menangkis hantaman
lawan. Benturan keras terjadi, keduanya
sama terhuyung. Tapi dalam keadaan
seperti itu kaki lawan masih sempat
menyambar kedua kakinya, sehingga pemuda
ini pun jatuh dengan punggung menyentuh
tanah terlebih dulu. Gento meringis
kesakitan sambil mengusap-usap pantatnya.
Melihat hal ini Aripraba yang merasa
berada di atas angin tanpa membuang
kesempatan langsung melepaskan pukulan
mautnya. Angin dingin menderu, sinar biru
berkiblat, melesat laksana kilat ke arah
Gento.
"Kadal buduk. Tak kusangka dia
ternyata memang hendak membuat celaka
diriku!" rutuk Gento dalam hati. Tak mau
konyol oleh serangan ganas lawannya. Maka
pemuda ini sambil duduk bersila dan mata
terpejam segera melepaskan pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis. Selarik sinar merah
kehitaman mencuat dari telapak tangan
pemuda itu menderu di udara. Tak dapat
dihindari lagi bentrokan antara kedua
tenaga sakti pun tak dapat dihindari
lagi.
Buum!
Ledakan keras menggelegar menggun-
cang puncak gunung Wilis. Batu dan pasir
bertebaran memenuhi udara membuat suasana
jadi gelap. Satu sosok tubuh terlepas
jauh dari hadapan si pemuda. Sedangkan
Gento sendiri jatuh rebah menelentang di
atas tanah. Nafasnya sesak, dada terasa
panas laksana terbakar. Selain itu dia
juga merasa ada cairan hangat yang
menetes di sudut bibirnya. Ketika si
pemuda menyeka mulutnya dia jadi
menyeringai.
"Manusia geblek itu membuat aku
keluarkan kecap. Kalau tak cepat kuberi
pelajaran dia bisa jadi besar kepala!"
dengus Gento. Dengan cepat dia bangkit
berdiri. Saat itu suasana telah kembali
seperti semula. Tapi pemuda ini jadi
kaget, karena dia tidak melihat lagi
lawan berada di tempat itu.
"Dia kabur, dia melarikan diri.
Ternyata dia memang seorang pengecut yang
tahu dirinya bersalah!" gerutu si pemuda.
Dia berpikir sejenak sampai pada akhirnya
memutuskan. "Pemuda itu berpesan jika
urusan di sini selesai aku harus kembali
ke muara sungai Lanang atau ke gunung
Liman sebelah timur Ponorogo. Sebaiknya
rencana itu kutunda dulu. Aku ingin
menyelidik rahasia apa sebenarnya yang
tersembunyi di balik serangkaian
peristiwa yang menimpa keluarga Raden
Ponco Sugiri. Aku harus tahu mengapa satu
sama lain antara mereka nampaknya seperti
bermusuhan." kata murid kakek aneh
Gentong Ketawa sambil melangkah pergi
tinggalkan tempat itu.
***
Di sebelah utara dusun Wilangan,
tepat di tengah hamparan daerah ber-
batuan. Di sana terdapat sebuah sumur tua
yang sudah tidak terpakai. Di sekeliling
sumur itu berserakan tulang belulang
manusia. Pada waktu tertentu air sumur
yang berwarna merah darah nampak bergerak
seperti ada sesuatu yang hidup di
dalamnya. Bahkan terkadang tak jarang
terjadi pusaran yang menyedot seluruh air
yang berada di dalamnya. Keanehan seperti
itu sudah seringkali terjadi. Tak ada
yang tahu apa sebenarnya yang terjadi di
bawah sana. Hanya tulang belulang yang
menjadi saksi bisu dari semua misteri
yang tersembunyi di dasar sumur tersebut.
Tapi walaupun tempat itu sudah
bertahun-tahun tak pernah disambangi oleh
siapapun, pagi itu di saat matahari baru
menampakkan diri di ufuk sebelah timur,
di pinggir sumur Getih seorang kakek
renta berpakaian merah lusuh duduk
mencangkung menghadap ke mulut sumur.
Wajahnya yang cekung, angker
mengerikan hampir tak terlihat karena
tertutup rambutnya yang memutih panjang
awut-awutan. Sambil duduk seperti itu
sesekali dia membetulkan tempat yang
didudukinya yaitu sebuah tengkorak kepala
manusia yang telah ditumbuhi lumut.
Sejenak lamanya si kakek terdiam,
sedangkan tongkat hitam di tangan terus
digerakkan, diputar dengan cepat hingga
menimbulkan suara angin menderu-deru. Di
saat seperti itu tiba-tiba saja gerakkan
tongkat terhenti. Dari mulut si kakek
yang keriput terdengar suara racau yang
tidak jelas. Sementara di dalam Sumur
Getih justru permukaan airnya saat itu
nampak bergolak hebat. Bersamaan dengan
itu pula dari dalam mulut sumur mendadak
terdengar satu suara menegur. "Rowe
Rontek Panjane, gerangan apa yang
membuatmu datang ke mari? Aku merasa tak
mengundang, apakah kau sekarang merasa
pantas bertatap muka denganku?"
Si kakek renta bertongkat ular
kering yang diawetkan melengak kaget. Dia
julurkan kepala, pentang mata melongok ke
mulut Sumur Getih. Tidak terlihat apapun.
Sumur dalam keadaan gelap gulita. Si
kakek gelengkan kepala. Tapi akhirnya dia
buka mulut menjawab.
"Wowor Baji Marani bergelar Arwah
Darah Senggini, tak kusangka tidak
kunyana matamu masih awas. Aku Rowe
Rontek Panjane yang tak tahu diri
terpaksa menyambangi ingin satu kepastian
jawaban darimu?"
Dari dalam sumur di mana airnya
yang berwarna merah terus bergejolak
terdengar suara tawa panjang, dingin
angker menyeramkan. Tawa lenyap, dari
dalam sumur terdengar suara bergemuruh
hebat. Angin dingin laksana es melesat
dari dalamnya menyambar kakek renta
dengan satu sapuan mematikan.
Si kakek renta bertubuh kurus
kering tersentak kaget, wajah pucat mulut
ternganga. Tapi dalam kagetnya dia masih
sempat bergulingan menjauh dari mulut
sumur selamatkan diri.
Wuus! Wuus!
Walaupun begitu kakinya masih
sempat terkena sambaran angin dingin luar
biasa itu. Si kakek mengeluh pendek,
kakinya laksana beku. Tapi dengan
mengerahkan tenaga dalam berhawa panas ke
bagian kaki, maka hawa dingin yang
menyerang kakinya berangsur lenyap.
Laksana kilat dia berdiri kembali.
Belum hilang rasa kagetnya mendapat
serangan gelap begitu rupa, dari dalam
sumur terdengar suara mendesis panjang.
Satu sosok tubuh dalam keadaan polos
telanjang melesat berputar di udara
secara kaku dan jatuh satu tombak di
depan Rowe Rontek Panjani.
Blukk!
Sepasang mata yang terlindung di
balik rambut yang awut-awutan itu
terbelalak lebar, memandang ke depannya
di mana satu sosok tubuh berkulit putih
mulus berambut panjang tergeletak kaku
dengan bibir mengulum senyum menggoda. Si
kakek cepat palingkan wajah dari mayat
gadis berumur belasan tahun itu,
perhatiannya kini kembali tertuju ke
mulut Sumur Getih.
"Arwah Darah Senggini, kau masih
tetap menuruti keinginan nafsu sesatmu?
Menggauli gadis-gadis tak berdosa,
sungguh tak kusangka!" desis si kakek
merasa jijik.
Dari dalam sumur kembali terdengar
suara tawa dingin menusuk. Kemudian
ketika suara tawa itu lenyap maka
terdengar bentakan.
"Manusia setan keparat, urusanku
denganmu tidak ada sangkut pautnya dengan
masalah pribadiku. Jangan coba-coba
alihkan pembicaraan dari persoalan yang
sebenarnya. Muridmu si keparat Raden
Ponco Sugiri yang telah membuat ulah.
Jadi sekarang aku minta tanggung jawabmu!
Sedangkan mengenai kesenanganku dengan
gadis-gadis itu merupakan persoalan
lain!"
"Ha... ha... ha.. Arwah Darah
Senggini, kau telah menebar petaka di
tujuh penjuru angin. Kau bahkan dulu
telah memporak-porandakan Wonogiri dengan
mengirimkan badai topan ke sana. Apakah
semua ini masih belum cukup untuk menebus
kesalahan muridku?"
Dari dalam sumur nampak terdengar
suara erangan marah. Air Sumur Getih yang
tadinya bergejolak kini nampak membentuk
pusaran aneh yang langsung menukik
menembus kedalaman. Di saat pusaran air
telah menyentuh ke bagian dasar telaga,
maka dari dasar telaga yang airnya
tersibak melesat satu sosok tubuh seorang
perempuan berpakaian putih panjang
seperti daster. Hanya sekejapan perempuan
itu berdiri tegak di depan Rowe Rontek
Panjane.
Memandang pada perempuan cantik
berkulit putih berhidung mancung dengan
bibir merah menggairahkan itu si kakek
jadi bersurut langkah. Dia mengusap
matanya seakan tak percaya dengan
penglihatannya sendiri.
"Bagaimana mungkin?" desis si kakek
kaget. "Kau berubah, ini sulit
kupercaya?"
"Hik... hik... hik. Di dunia ini
segala sesuatunya bisa saja terjadi. Jadi
apa yang aneh bangsat tua?" dengus si
perempuan yang usia sebenarnya lebih dari
tujuh puluh lima tahun.
"Kau pasti menggunakan mistik,
mungkin juga menggunakan sihir untuk
merubah wajahmu. Sebagaimana dulu kau
minta bantuan jin untuk menghancurkan
Wonogiri. Sekarang aku datang kepadamu
dengan maksud membuat jelas semua
persoalan yang selama ini belum sempat
kita tuntaskan!" menerangkan si kakek
tua, sementara matanya terus mengamati
wajah perempuan cantik di depannya. Dalam
pandangan Rowe Rontek Panjane, walaupun
wajah perempuan itu cantik luar biasa
bagaikan gadis berusia dua puluhan, tapi
di balik semua itu mata hatinya dapat
melihat satu sosok wajah tua keriput dari
ujud si perempuan yang sesungguhnya.
"Aku tak akan menanggapi ucapanmu
yang pertama. Tapi terus terang aku
memandang perlu untuk mendengar semua
alasan yang hendak kau sampaikan padaku,
tentang janji yang telah diikrarkan."
ujar si cantik yang sesungguhnya adalah
seorang nenek tua berusia lanjut.
"Apakah semua perjanjian di masa
lalu itu tak dapat dibatalkan kembali
Wowor Baji Marani?" tanya Rowe Rontek
Panjane menyebut nama asli perempuan itu.
"Aku kau minta membatalkan semua
janji yang telah dibuat oleh muridmu?
Padahal kau melihat muridmu telah
menikmati segala kemewahan hidup yang dia
dambakan selagi dirinya hidup melarat?
Coba kau ingat masa lalu dari muridmu.
Ingat dan bayangkan kembali baik-baik!"
tegas Arwah Darah Senggini. Si kakek
terdiam. Kedua mata terpejam, sedangkan
tubuh bergetar. Segala peristiwa yang
terjadi dua puluh delapan tahun yang
silam kini seakan terbayang kembali di
depan matanya.
TUJUH
Tiga puluh tahun yang lalu Raden
Ponco Sugiri yang beristrikan Sri Rara
Ageng hidup dalam kesengsaraan dan
penghinaan keluarganya datang pada kakek
Rowe Rontek Panjane yang bukan lain
adalah gurunya sendiri. Ketika itu hari
telah merembang petang, tapi suasana di
dalam tempat kediaman kakek itu terasa
lebih gelap dan menebar bau busuk
menyengat. Rowe Rontek Panjane nampak
terkejut ketika melihat wajah muridnya
bengkak lebam membiru, bibir mengucurkan
darah, hidung melesak hancur. Sedangkan
mata kiri menggembung bengkak seperti
bekas penganiayaan berat. Untuk
diketahui, saat itu kepandaian silat atau
ilmu kesaktian yang dimiliki Raden Ponco
Sugiri belum tinggi, karena dia baru saja
beberapa bulan diangkat murid dan baru
mendapat pelajaran dasar-dasar ilmu silat
dari kakek itu.
Di depan gurunya raden Ponco Sugiri
sedikit pun tidak mengeluh, namun Rowe
Rontek tahu di dalam dada sang murid
menyimpan dendam tersembunyi yang
sewaktu-waktu dapat meledak berubah
menjadi angkara murka.
"Katakan apa lagi yang menimpa
dirimu, Raden? Tubuh dan wajahmu babak
belur bagai prajurit yang kalah perang.
Pasti ini bukan perbuatan tukang pukul
atau begundalnya para hartawan itu!”
berkata si kakek sedangkan matanya tak
pernah lepas dari wajah muridnya.
"Guru... sudahlah. Saya datang ke
mari bukan untuk membesarkan masalah atau
mengadukan perjalanan hidup yang sial dan
nasib buruk yang menimpa diriku. Aku
ingin berguru, meminta petunjuk agar guru
sudi menurunkan ilmu kesaktian agar
diriku tidak hina, lemah di mata
manusia." sahut Raden Ponco Sugiri pelan
dan sopan. Sikap laki-laki muda yang
lemah lembut ini terkadang terasa
menyentuh hati si kakek, hingga dia
merasa tak tega melihat penderitaan
muridnya.
Si kakek hela nafasnya. Dia
memberikan dua butir pel, diberikannya
pada sang murid.
"Telanlah, dalam waktu satu hari
lukamu pasti sembuh!" ujar si kakek.
Raden Ponco Sugiri melakukan apa
yang dikatakan gurunya. Setelah menelan
obat pemberian gurunya, sang Raden
merasakan dadanya menjadi sejuk. Perih di
sekujur wajahnya lenyap, demikian juga
rasa sakit hebat yang mendera bagian
hidungnya.
"Guru, saya merasa berterima kasih
sekali. Segala kebaikan ini hanya Gusti
Allah yang dapat membalasnya." Raden
Ponco Sugiri berkata haru dan teteskan
air mata.
Kakek Rowe Rontek gelengkan kepala.
"Lupakan semua budi, lupakan semua
jasa. Sekarang kau harus mengatakan siapa
yang mencideraimu begini rupa? Raden
Ronggo Anom... saudara tiri yang telah
mengangkangi seluruh peninggalan harta
orang tuamu, pasti dia orangnya!!" desis
si kakek geram.
Tak menyangka sang guru mengetahui
apa yang telah terjadi, Raden Ponco
Sugiri belalakkan mata tak mampu menutupi
rasa kagetnya. Merasa terlanjur ditambah
dendam kesumat atas kecongkakan serta
sifat tamak adik tirinya maka Raden Ponco
berkata. "Memang dia orangnya. Saya hanya
sedikit melakukan kesalahan dalam
mengurus harta kekayaannya. Tapi dia
menuduh jambangan emas kesayangannya saya
yang mencuri. Dia menyiksa saya bahkan
menyakiti bagian anggota rahasia saya.
Setelah kelahiran anak saya yang ketiga
ada kemungkinan saya tidak akan punya
keturunan lagi!”
"Ah, setan mana yang telah meracuni
jiwa adik tirimu itu hingga tega
memperlakukan dirimu begini rupa?" seru
si kakek gusar. "Hal ini tak bisa
dibiarkan begitu saja. Kau harus
melakukan sesuatu, paling tidak mengambil
alih seluruh kekayaan peninggalan
ayahmu!" kata orang tua itu kemudian.
Raden Ponco Sugiri tersenyum kecut,
wajahnya murung sedangkan matanya menatap
kosong ke arah pelita satu-satunya yang
berada di ruangan itu.
"Dengan apa saya dapat melakukan
semua itu guru? Raden Anom punya segudang
tukang kepluk, berlusin pembunuh bayaran
dan beberapa orang tokoh silat. Selain
itu Raden Anom sendiri mempunyai
kesaktian sangat tinggi. Seandainya pun
kita berdua menghadapi mereka, menggempur
bersama-sama pasti kita hanya membuang
nyawa sia-sia." kata Raden Ponco Sugiri.
Si kakek terdiam, wajahnya yang
tertutup rambut panjang awut-awutan
nampak tegang sedangkan keningnya
berkerut pertanda si kakek sedang
berpikir keras mencari jalan keluar.
Hingga pada akhirnya diapun berkata.
"Sekarang aku punya jalan.
Keberhasilannya bisa kujamin, tapi
mengenai resiko yang terjadi di kemudian
hari aku tak berani mengatakannya. Pasti
syaratnya terlalu berat bagimu!"
Mengingat akan nasib dan derita
hidup yang dialaminya selama ini, tanpa
pikir panjang lagi Raden Ponco Sugiri
langsung berkata. "Apapun resikonya akan
saya tanggung guru. Saya kasihan pada
anak-anak saya juga istri saya. Mereka
tidak pernah merasakan kesenangan hidup
sama sekali!"
"Syarat yang harus kau tanggung
terlalu berat Raden." kata gurunya.
"Sudah saya katakan, saya tak
perduli! Meskipun nyawa saya sebagai
taruhannya. Saya sudah tak tahan menjadi
kacung adik tiri laknat itu. Setiap
melakukan kesalahan berbalas dengan
cambukan!" keluh Raden Ponco Sugiri.
Wajah yang berubah murung di balik
rambut riap-riapan perlahan terangkat,
mata memandang lurus ke depan, mulut yang
tertutup kumis terbuka. "Kalau itu maumu
aku tak bisa melarang. Tapi harus kau
ingat, begitu kau keluar dari pintu rumah
ini berarti kau sudah tak dapat lagi
menarik keinginanmu. Segala ucapanmu
telah tercatat di Sumur Getih."
"Sumur Getih? Siapa yang
mencatatnya?" tanya Raden Ponco Sugiri
terheran-heran.
"Nanti kau akan tahu sendiri.
Sekarang kau tak usah banyak bertanya.
Berdirilah!" perintah si kakek.
Meskipun tak tahu apa maksud
keinginan gurunya, tapi dia bangkit dan
berdiri juga. Si kakek kemudian bangkit.
"Kita akan melakukan perjalanan
yang cukup jauh. Karena itu pejamkan
matamu, jangan kau buka jika belum ada
tanda dariku. Mengerti?!"
"Saya mengerti guru." sahut sang
raden.
Dalam keadaan mata terpejam Raden
Ponco Sugiri kemudian mendengar gumam
Seperti orang yang sedang membaca mantra-
mantra. Sedangkan di sekelilingnya terasa
ada sambaran angin yang membuat sekujur
tubuh sang Raden laksana diselimuti es.
Lalu satu tangan menyambar pinggang.
Raden Ponco Sugiri merasa tubuhnya
tersentak, melesat bagaikan dibawa
terbang.
Di saat dirinya dalam keadaan
demikian rupa, ingin rasanya sang Raden
membuka mata melihat apa yang sebenarnya
sedang terjadi dan di mana saat itu dia
berada. Tapi niat itu tak dilaksanakan
karena dia ingat dengan pesan Rowe Rontek
Panjane. Apa yang dilakukan si kakek saat
itu merupakan pengerahan dari salah satu
ajian bernama Sapu Angin. Ajian ini dua
tingkat lebih tinggi dari ilmu lari cepat
yang dimiliki oleh banyak tokoh. Biasanya
kakek itu hanya menggunakan ajian bila
hendak melakukan perjalanan jauh untuk
melaksanakan suatu urusan penting.
Raden Ponco Sugiri tak mampu
mengingat berapa lama dirinya berada
dalam bimbingan sang guru. Sampai
kemudian dia merasa tubuhnya melesat
turun dan kedua kaki menginjak tanah.
"Buka matamu, kita sudah sampai di
tempat tujuan!" kata si kakek memberi
aba-aba. Tanpa ragu Raden Ponco buka
matanya. Dia terkejut begitu menyadari
dirinya tidak lagi berada di tempat
kediaman Rowe Rontek Panjane, melainkan
di suatu tempat yang luas dipenuhi batu-
batu besar, sedangkan setengah tombak di
depannya dia melihat sebuah sumur yang
gelap dan tak diketahui berapa dalamnya.
Sejenak lamanya Rowe Rontek Panjane
memandang ke arah sumur. Lalu dengan
suara keras dia berteriak. "Wowor Baji
Marani sahabatku. Aku datang membawa
muridku dengan harapan kau dapat membantu
menyelesaikan persoalan yang sedang
dihadapinya! Harap kau mau unjukkan
diri!"
Di samping si kakek Raden Ponco
diam membisu. Dia tak tahu kepada siapa
gurunya bicara, karena di tempat itu
selain sumur dan batu-batuan dia tidak
melihat ada orang lain terkecuali mereka.
Pertanyaan itu nampaknya segera berjawab,
karena tak lama kemudian terdengar suara
tawa mengikik aneh yang datang dari dalam
sumur. Seiring dengan terdengarnya suara
tawa dari dalam kegelapan sumur melesat
satu sosok serba putih, berjumpalitan di
udara sambil berputar, lalu jejakkan kaki
tepat di hadapan sang Raden dan gurunya.
Ketika Raden Ponco memperhatikan
dengan seksama, wajah laki-laki itu
mendadak berubah pucat seperti kehilangan
darah, tubuh menggigil sedangkan mulut
ternganga kaget. Sosok yang berdiri tegak
di depan mereka itu adalah sosok nenek
tua renta, telinga kiri besar panjang,
sedangkan mata menjorok ke dalam rongga,
kedua hidung hampir tak pernah berhenti
meneteskan darah, giginya yang hitam
mencuat sedangkan bibir bawahnya yang
besar menggelantung seperti sarang lebah.
Dagunya sendiri tidak terlihat karena
tertutup bibir yang bergelayutan itu.
"Hi... hi... hi, tamu datang
mengapa tak memberi hormat pada tuan
rumah? Duduk...!" perintah si nenek
bermuka seangker setan ketus. Seiring
dengan itu Raden Ponco merasakan adanya
tekanan hebat di kedua bahunya, kedua
kaki bergetar, lalu dia pun jatuh
terduduk tak bangkit-bangkit lagi.
Sedangkan gurunya masih dapat tegak di
tempatnya meskipun kedua kakinya amblas
melesak ke dalam tanah. Maklumlah sang
Raden, perempuan bermuka angker
bertelinga lebar panjang itu tengah
menguji gurunya.
"Rowe Rontek Panjane, kau tetap
seperti dulu. Keras kepala dan tak mau
mengalah, padahal kau menyadari ilmu yang
kau miliki hanya setahi kukuku. Puah...!"
dengus si nenek.
Rowe Rontek Panjane hanya tersenyum
sinis. Dia tahu betapa tingginya
kesaktian yang dimiliki perempuan tua di
depannya. Kesaktiannya sulit dijajaki,
selain itu dia juga memiliki seorang jin
yang dapat diperintahnya melakukan
pekerjaan apa saja, termasuk juga
menghabisi melenyapkan nyawa orang.
"Saat ini kesaktian yang dimiliki
si tua bodoh ini memang tak seberapa
dibandingkan tingginya ilmumu, mungkin
nanti di suatu saat kau akan menjumpaiku
dalam keadaan yang lain."
"Saat itu kau sudah mampus disantap
cacing tanah! Hi... hi... hi." Si nenek
berkata disertai tawa aneh panjang yang
seakan datang dari alam para lelembut.
Sekejapan tawanya terhenti. Dia melirik
Raden Ponco Sugiri sekilas. Yang
dipandang tundukkan wajahnya. "Aku sudah
tahu riwayat hidup laki-laki ini. Aku
juga sudah tahu maksud tujuan apa kau
datang ke sini membawa muridmu. Sebelum
kau datang tadi, aku sudah berusaha masuk
mengintai ke tabir alam gaib, meminta
petunjuk pada para setan sesat mereka-
reka dan menghitung hari apes saudara
tirimu itu. Malam ini jatuh pada untung
mujurmu. Kau bisa hidup senang, menikmati
kemewahan dengan anak istrimu di waktu
mendatang...!"
"Apa maksudmu, nek?" tanya Raden
Ponco heran juga kaget.
"Keparat, jangan bicara jika tak
kuminta. Kau hanya boleh mendengar. Aku
tahu bukankah maksud kedatanganmu ke sini
adalah untuk mengambil alih harta
peninggalan ayahmu yang diserakahi Raden
Ronggo Anom? Mengambil begitu saja tidak
mudah, terkecuali bila kau melenyapkan
manusia sakti itu. Untuk melakukannya
juga tidak mudah, jangankan kau dan
gurumu. Aku sendiri tanpa bantuan Babad
Nyawa mungkin tak sanggup."
Mendengar penjelasan si nenek Raden
Ponco Sugiri jadi kaget. Dia tak
menyangka harus berbuat sejauh itu. Tapi
apa yang dikatakan oleh si nenek rasanya
memang dapat diterima akal.
Terlanjur sudah melangkah, pantang
bagi sang Raden untuk membatalkan
niatnya.
"Lalu apa yang harus dilakukan
muridku, Arwah Darah Senggini?" tanya si
kakek.
"Hik... hik... hik. Muridmu tak
perlu melakukan apapun. Aku yang
melakukan segalanya dengan dibantu Babad
Nyawa. Tapi dengan satu syarat, kelak aku
meminta dua nyawa sebagai tebusan
pekerjaan yang kulakukan sekarang. Per-
tama aku meminta kedua tangan dan kakimu,
Raden. Itu adalah penagihan janji yang
paling ringan. Setelah itu aku baru
datang meminta nyawamu!" kata si nenek
tenang dan disertai seringai aneh.
Mendengar ucapan perempuan itu
bukan hanya Rowe Rontek Panjane saja yang
tersentak kaget, Raden Ponco Sugiri
apalagi. Dia tak menyangka si nenek
meminta tebusan seberat itu.
"Sobatku Arwah Darah Senggini,
apakah tidak salah pendengaranku ini?"
"Kau tidak salah mendengar, aku
juga merasa pasti tidak salah mengatakan.
Kalian mengikat perjanjian denganku dan
aku mengikat janji dengan setan! Saat
Raden Ronggo Anom kubunuh, berarti aku
menghutangkan nyawa padamu Raden, kelak
aku menagih satu nyawa ditambah satu
sebagai bunganya yaitu nyawa anakmu!"
"Anakku... anakku yang mana?" tanya
sang Raden. Dia lalu teringat pada ketiga
anaknya, satu perempuan dan dua laki-
laki.
"Anakmu yang paling bungsu. Anak
itu akan lahir kemudian setahun setelah
kau datang ke sini!” tegas Arwah Darah
Senggini.
"Tapi... muridku saat ini telah
kehilangan fungsinya sebagai laki-laki,
mustahil dia dapat memberikan satu
keturunan lagi!" menerangkan si kakek.
Sekejap nenek angker itu pandangi
Raden Ponco Sugiri. Mulai dari ujung
rambut dan terhenti di bagian bawah
perut. Ditatap seperti itu sang Raden
menjadi jengah. "Atas kehendak setan
segalanya bisa diatur!" berkata begitu
Arwah Darah Senggini gerakkan tangan
kanannya ke bagian bawah perut Raden
Ponco Sugiri. Walaupun gerakan tangan itu
tak sampai menyentuh di bagian itu. Namun
sang Raden merasa anunya seperti diremas
dan ditepuk pulang balik. Seketika dia
juga merasakan adanya hawa hangat
menjalari di sekitar bawah perutnya.
Mula-mula terasa sakit, tapi lama-
kelamaan sang Raden merasa lega, mulas di
perutnya akibat tepukan aneh juga hilang.
"Bagaimana perasaanmu kini?" tanya
nenek itu disertai senyum sekilas di
bibirnya yang tebal.
"Aku merasa agak baikan nek." sahut
Raden Ponco agak malu-malu.
"Nah itu artinya perjanjian tetap
berjalan. Jika Raden Ronggo Anom telah
kubunuh, jika hidupmu telah mapan. Kau
harus menyerahkan anak bungsumu. Aku
membutuhkan kulit juga nyawa bocah itu.
kau serahkan padaku tepat usianya sepuluh
tahun. Jika janjimu tak kau penuhi, kau
harus membayar semua pengingkaranmu
dengan seluruh nyawa keluargamu!"
Mendengar penjelasan si nenek,
menggigillah tubuh Raden Ponco Sugiri.
Dia memandang pada gurunya seakan minta
pendapat, tapi kakek tua itu malah
mengangkat bahu. "Seperti yang telah
kukatakan, kau tak boleh bersurut langkah
setelah meninggalkan pintu rumahku!" kata
si kakek pelan.
"Baiklah, kupenuhi permintaanmu.
Tangan dan kakiku kelak kuserahkan
padamu, kemudian nyawaku juga kulit serta
nyawa putraku yang terlahir di kemudian
hari!" jawab Raden Ponco Sugiri dengan
suara bergetar.
"Bagus! Kata sepakat sudah sama
kita dapat. Sekarang kau pergilah,
kembali ke Wonogiri. Besok pagi begitu
kau sampai ke sana Raden Ronggo Anom
pasti sudah terbujur tanpa nyawa. Harta
pasti kau dapat, terkecuali harta milik
nenek moyangmu yang pertama yang kini
terkubur di kaki gunung Liman sebelah
timur Ponorogo. Harta itu akan menjadi
milikku. Karena aku yang akan memegang
kuncinya, aku yang menyimpan peta
penyimpanannya. Hik... hik... hik!"
"Tapi nek peta itu sekarang ada di
suatu tempat disembunyikan oleh Raden
Ronggo Anom." Sergah sang Raden yang
mendadak jadi tidak rela jika harta
keluarga yang dapat dijadikan untuk
membangun kerajaan besar jatuh ke tangan
orang lain.
"Peta itu hangus malam ini. Kelak
dia akan dipindahkan oleh Babat Nyawa ke
satu tempat. Tempat yang bergerak tak
terjangkau oleh penglihatan mata biasa!"
"Apa maksudmu sobatku?" tanya si
kakek heran.
"Kau tak perlu tahu. Sekarang
pergilah kalian! Aku hendak mulai
mengerjakan apa yang menjadi permin-
taanmu, Raden!"
Merasa tak punya pilihan lain, maka
Rowe Rontek Panjane mengajak muridnya
untuk meninggalkan tempat itu. Tidak
berapa lama setelah murid dan guru
meninggalkan Sumur Getih. Maka Arwah
Darah Senggini segera duduk bersila.
Kedua mata dipejamkan sedangkan kedua
tangan dilipat ke depan dada. Bibir dower
si nenek nampak berkomat-kamit, lalu
tubuhnya menggeletar hebat. Seiring
dengan itu pula dari bagian ubun-ubun si
nenek mengepulkan kabut putih, dari
telapak tangan kanannya juga mengepulkan
kabut. Tangan yang mengepulkan kabut lalu
digosok-gosokkan ke telinga kirinya yang
lebar dan panjang. Keanehan kemudian
terjadi. Dari bagian telinga keluar asap
tebal berwarna biru, asap semakin lama
membubung tinggi ke udara. Membentuk satu
sosok samar besar dan angker. Sosok samar
itu semakin lama semakin jelas ujudnya.
Sampai kemudian tampak jelas seraut wajah
laki-laki berambut kaku seperti landak,
alis tebal, cambang bawuk lebat, mata
merah laksana api, sedangkan salah satu
telinganya memakai anting besar, bulat
berkilauan.
"Apa yang harus kulakukan
junjunganku, aku Babat Nyawa datang
memenuhi panggilan!" kata sosok setinggi
delapan tombak itu disertai senyum
mengerikan.
Si nenek buka matanya, ketika dia
menoleh ke sebelah kiri Arwah Darah
Senggini tersenyum.
"Bagus! Malam ini aku berkehendak
agar kau mencabut nyawa Raden Ronggo
Anom. Kau bunuh dia tepat di bagian
jantung. Selain itu kau juga harus
menghanguskan peta penyimpanan harta
keluarga Raden Ponco Sugiri, kau ingat
baik-baik isi peta itu, karena kelak kau
harus memindahkannya ke tubuh seseorang
yang bakal terlahir ke dunia ini!" pesan
si nenek.
"Aku tak pernah mengecewakanmu.
Tugas akan kujalankan dengan baik. Aku
Babat Nyawa mohon diri" berkata begitu
Bosok tinggi besar rangkapkan tangan
bungkukkan badan. Setelah itu tubuhnya
raib dari pandangan Arwah Darah Senggini.
Si nenek tersenyum, dia tetap di
situ. Sementara bulan sudah bergeser di
langit sebelah barat. Angin dingin
berhembus menampar wajah keriput si nenek
sakti.
***
Keesokan harinya setelah sampai di
Wonogiri, Raden Ponco Sugiri yang kembali
dengan diantar oleh gurunya mendapati
kenyataan adik tirinya tewas secara aneh.
Seluruh Wonogiri menjadi gempar, para
kaki tangan Raden Anom apalagi. Baru saja
tadi malam junjungan mereka bersenang-
senang dengan empat orang gadis cantik.
Saat itu sang Raden dalam keadaan segar
bugar. Tapi kini sosok yang penuh angkara
murka itu mati dengan cara aneh. Belum
lagi hilang rasa kaget di hati mereka,
Raden Ponco Sugiri dan gurunya menyerbu
mereka. Dalam keadaan berduka kehilangan
orang yang sangat mereka hormati,
menghadapi serbuan sang Raden apalagi
dibantu oleh orang tua yang memiliki
kesaktian tinggi hanya dalam waktu
singkat mereka pun bergelimpangan roboh.
Sedangkan mereka yang selamat langsung
melarikan diri.
"Kini tujuanmu telah tercapai."
berkata si kakek beberapa saat setelah
kejadian itu. "Kau bisa hidup layak. Tapi
harus kau ingat janjimu pada Arwah Darah
Senggini. Kau telah berhutang nyawa
padanya, sesuai janjimu kelak kau harus
membayar hutang itu dengan nyawamu juga
anakmu sendiri!!"
Raden Ponco Sugiri anggukkan
kepala. "Nyawa kubayar nyawa. Janji tak
kulupakan. Terima kasih atas petunjuk dan
bantuanmu guru!" kata sang Raden. Dia
lalu memandang ke depan, tapi Rowe Rontek
Panjane telah raib dari gedung megah itu.
DELAPAN
"Sudah kau ingatkah semua per-
janjian yang diucapkan muridmu dulu? Kau
yang menjadi saksi, tapi apa yang
kemudian terjadi? Muridmu mengkhianati
janjinya sendiri. Dia tak menyerahkan
tangan dan kakinya, sehingga aku yang
terpaksa datang meminta anggota badannya.
Kemudian ketika anaknya lahir, genap
sepuluh tahun bocah itu tak diberikannya
padaku. Tapi dia sembunyikan di suatu
tempat. Aku memberinya ingat dengan
menyuruh Babat Nyawa mengirim badai topan
ke Wonogiri. Kubuat sanak keluarganya
tercerai-berai. Tapi itu kuanggap belum
cukup....!" kata Wowor Baji Marani alias
Arwah Darah Senggini.
"Aku tak pernah lupa dengan segala
janji yang telah disepakati antara kau
dan muridku. Tapi bukankah kau sendiri
telah membunuh Raden Ponco Sugiri?" tanya
si kakek seakan ingin memastikan.
Beberapa hari yang lalu sebelum menemui
perempuan cantik yang aslinya adalah
seorang nenek tua renta itu Rowe Rontek
Panjane memang sengaja menyambangi
muridnya untuk sekedar mengingatkan
tentang janji sumpah sang murid pada
nenek itu. Namun ketika sampai di puncak
gunung Wilis ternyata Raden Ponco Sugiri
ternyata telah tewas, jasadnya dalam
keadaan membusuk.
Mata Arwah Darah Senggini mendelik
besar. Mulutnya terkatup sedangkan kedua
tangan tergetar. "Kau tahu apa tentang
hidup dan matinya manusia? Agar kau tahu,
aku sama sekali belum pernah menginjakkan
kakiku ke puncak gunung Wilis. Aku bahkan
tak pernah menyuruh Babat Nyawa mencari
laki-laki keparat itu, bagaimana sekarang
kau bisa mengatakan aku telah
membunuhnya?" hardik si nenek marah.
"Apa? Jadi... jadi siapa yang
membunuh muridku?" tanya si kakek kaget
dan tak percaya dengan pendengarannya
sendiri.
"Kau mengenal diriku sudah sangat
lama, Rowe. Walau hidupku menyimpang jauh
dari jalan yang telah digariskan Tuhan,
tapi aku tak pernah berdusta! Kau mau
percaya atau tidak itu terserah padamu.
Satu hal yang harus kau ingat, kau harus
memberikan nyawamu sebagai ganti nyawa
muridmu!"
Mendengar ucapan si nenek, Rowe
Rontek Panjane tersentak kaget. Sama
sekali dia tak menyangka ujung dari semua
langkah yang ditempuh muridnya akan
berakhir dengan kematiannya sendiri.
Padahal kedatangannya ke Sumur Getih
adalah ingin memastikan apakah nenek itu
telah menagih janjinya. Tapi siapa
menyangka sang murid ternyata tewas bukan
di tangan Arwah Darah Senggini. Lalu
siapa yang telah membunuh Raden Ponco
Sugiri? Beberapa saat lamanya si kakek
mencoba berpikir dan menduga-duga siapa
gerangan pembunuh sang murid. Tapi dia
tak menduga siapa orangnya. Bisa jadi
yang membunuh Raden Ponco Sugiri adalah
salah satu dari keempat anaknya sendiri.
Bukankah sejak sang Raden mengasingkan
diri di puncak gunung Wilis anak-anaknya
seperti saling curiga-mencurigai satu
sama lain?
"Selesaikah kau berdoa, Rowe Rontek
Panjane?" tanya Arwah Darah Senggini
sambil memandang mendelik ke arah si
kakek. Rowe Rontek tersentak kaget.
Lamunannya buyar seketika.
"Apa maksudmu, Marani?" tanya si
kakek.
"Kau pura-pura pikun, kau lupa?
Nyawamu... kau harus serahkan nyawamu
sebagai pengganti nyawa muridmu!" tegas
si nenek.
"Tapi bukankah Raden Ponco Sugiri
telah mati?"
"Hik... hik... hik. Kau benar,
Raden keparat itu sudah mampus! Tapi
bukan di tanganku. Siapa pembunuhnya kau
bisa menanyakannya nanti pada malaikat
penjaga neraka. Serahkan nyawamu sekarang
juga, jika kau telah memberikan nyawamu
setelah itu akan kucari semua anak turun
Raden Ponco Sugiri...!"
Mendengar ucapan si nenek Rowe
Rontek Panjane jadi terheran-heran.
"Apa maksudmu?"
"Maksudku sudah jelas. Aku akan
mengambil jiwa seluruh anak turun Raden
Ponco sebagai imbalan atas segala
pengingkaran janji yang dilakukannya!"
sahut Arwah Darah disertai tawa lebar.
"Janji sudah terlanjur disepakati,
muridku yang merasakan hidup senang
sedang aku cuma kebagian tulahnya. Tapi
aku tak mungkin menerima kematian seperti
keledai tolol. Menyesal rasanya jika kau
tak dapat menghentikan apa yang hendak
dilakukannya!" batin kakek renta itu
dalam hati. Tapi kemudian dia berkata.
"Baiklah sobatku, jika muridku sudah
mengikat janji padamu dan kau terikat
janji dengan para setan. Sebagai gurunya
aku akan membayar dengan nyawaku.
Mengenai apa nanti yang akan kau lakukan
setelah aku mati terserah dirimu.
Sekarang aku siap, turunkan tangan
jahatmu yang paling keji. Hantam bagian
tubuhku yang kau sukai. Tapi ingat hanya
dengan sekali hantam, jangan kau sakiti
diriku terlalu lama!" berkata si kakek
dengan suara bergetar dan memelas. Dia
bahkan memejamkan matanya, tubuh
dibungkukkan seakan siap menyerahkan
kepala. Sedangkan kedua tangannya
memegang tongkat ular kering.
Melihat sikap orang yang seperti
pasrahkan nyawa siap menerima kematian,
maka arwah darah Senggini siapkan satu
pukulan yang dikenal dengan nama
Mengguncang Bumi Menguras Lautan. Dua
tangan digosokkan satu sama lain,
sebentar saja kedua tangan itu
menggeletar hebat disertai mengepulnya
asap berwarna biru. Sedangkan tangan si
nenek yang merubah wajahnya menjadi
cantik secara tak wajar sampai ke bagian
siku telah berubah menjadi biru pula. Si
kakek yang pura-pura pejamkan mata
menyadari bekas sahabatnya itu benar-
benar menghendaki jiwanya. Sehingga dia
yang memang telah menyiapkan pukulan di
tangan kiri, serta siap menekan bagian
leher tongkat ularnya segera mendahului
lepaskan serangan.
"Aku sudah siap sahabatku!" Si
kakek berseru. Bersamaan dengan terde-
ngarnya seruan Rowe Rontek Panjane, maka
detik itu dia menekan bagian leher
tongkat ular kering sekaligus memba-
renginya dengan hantaman tangan kiri.
Selarik sinar putih menyilaukan ber-
kiblat, menderu sebat disertai menebarnya
hawa panas dari telapak tangan si kakek.
Sedangkan di bagian mulut tongkat ular
kering di tangan si kakek melesat pula
cairan hitam disertai bau amis yang
sangat luar biasa. Masing-masing serangan
itu menghantam lurus ke bagian yang
paling mematikan di tubuh lawannya.
Tak menyangka si kakek melakukan
tindakan senekad itu tentu kejut Arwah
Darah Senggini bukan olah-olah. Tapi dia
adalah tokoh sesat yang memiliki segudang
pengalaman. Sambil memaki dia bantingkan
dirinya ke kiri, menelungkup sama rata
dengan tanah sambil melepaskan pukulan
Mengguncang Bumi Menguras Lautan.
"Tua bangka keparat! Kelicikanmu
akan kubalas dengan kematian yang paling
menyakitkan!" Suara teriakan si nenek
cantik tenggelam oleh suara gemuruh suara
pukulan maut yang dilepaskannya sendiri.
Sinar hitam pekat menderu di udara, dua
pukulan sakti sailing bentrok,
menimbulkan suara berdentum menggetarkan
Sumur Getih dan memporak-porandakan
bebatuan yang terdapat di sekitar tempat
itu.
Sosok si kakek Rowe Rontek Panjane
terlempar dua tombak, si nenek tetap
berada di tempatnya. Tapi dia menjerit
kesakitan ketika bagian bahunya sempat
terkena cairan racun yang tersembur dari
tongkat hitam lawan. Laksana kilat Arwah
Darah Senggini bangkit berdiri. Dia
memperhatikan bahunya, si nenek jadi
terkesiap. Bukan hanya pakaiannya yang
hangus terkena sambaran cairan racun,
tapi kulit dan daging bahunya juga
melepuh gosong menimbulkan rasa sakit dan
panas luar biasa. Si nenek segera telan
sebutir pil berwarna hitam pipih seperti
tahi ayam kering. Beberapa bagian bahu di
sekitar luka ditotoknya untuk mencegah
agar racun ganas tidak sampai menyebar ke
pembuluh darah. Dalam hati dia tak
menduga kalau bekas sahabatnya yang dulu
memiliki tingkat kesaktian jauh berada di
bawahnya ternyata kini ilmunya maju
pesat. Dari pukulan yang dilepaskan si
kakek tadi dia bahkan mengetahui tenaga
dalam Rowe Rontek Panjane hanya satu
tingkat di bawahnya. Tapi si nenek merasa
tongkat ular kering di tangan si kakek
itulah yang paling sangat berbahaya.
Karena itu begitu Arwah Darah
Senggini melihat lawan tampak menderita
luka dalam akibat bentrok pukulan tadi,
tanpa memberi kesempatan dia langsung
menyerbu ke arah lawan. Dua tangan
berkelebat, satu menyambar ke arah
tongkat dengan maksud merampas sedangkan
satunya lagi lakukan jotosan ke bagian
wajah. Sambaran angin keras menampar
bagian wajah si kakek, walau terluka dia
maklum kalau lawan mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dia miliki. Si kakek
juga tahu lawan bermaksud merampas
tongkat lawannya. Tanpa menghiraukan
lukanya sambil memeluk tongkat dengan
tangan kiri Rowe Rontek Panjane
bergulingan ke samping, sebelum itu
tangan kanan dipergunakan untuk menangkis
jotosan lawan.
Duuk!
Benturan yang terjadi membuat Rowe
Rontek Panjane mengerang kesakitan.
Tangannya yang kurus bagaikan kulit
pembalut tulang bengkak menggembung besar
dan terasa remuk di bagian dalam. Belum
lagi hilang rasa kaget Rowe Rontek, pada
waktu bersamaan lawan kembali melepaskan
pukulan Mengguncang Bumi Menguras Lautan.
Sinar biru kembali berkiblat.
Melihat pukulan menyambar di depan
wajahnya mustahil bagi orang tua itu
sempat menghindari. Dalam keadaan
terluka, Rowe Rontek putar tongkat ular
di tangannya membentuk perisai diri.
Angin dingin berkesiuran akibat demikian
cepatnya si kakek memutar senjata.
Buuum!
Benturan keras tak dapat dihindari
lagi, laki-laki tua itu menjerit, tongkat
yang dijadikan perisai hancur berkeping-
keping. Pukulan lawan bukan saja hanya
menghancurkan tongkat, tapi juga menjebol
dada orang tua itu, hingga bagian anggota
dalam Rowe Rontek berhamburan keluar. Si
kakek tewas seketika dengan mata melotot
mulut ternganga lebar penasaran. Arwah
Darah Senggini mendengus, memperhatikan
mayat bekas sahabatnya lalu tertawa
terbahak-bahak.
"Kau boleh belajar belasan tahun
lagi di alam baka, setelah itu baru
datang padaku. Huh...!" desis Arwah Darah
Senggini. Dia lalu berpaling ke jurusan
lain. Bibir mengurai senyum. "Aku harus
mencari anak turun Raden Ponco Sugiri,
akan kubunuh mereka semua. Tapi yang
lebih penting lagi aku harus menemukan
anaknya yang paling bungsu!" selesai
berucap perempuan lalu berkelebat pergi.
SEMBILAN
Gadis berwajah cantik jelita
berpakaian putih ringkas itu sadar sejak
meninggalkan Wonogiri dirinya merasa ada
orang yang terus mengikuti dirinya tak
jauh di belakang sana. Tapi setiap dia
menoleh ke belakang, orang yang
mengikutinya sengaja menyelinap di balik
semak belukar yang terdapat di kanan kiri
jalan yang dia lalui.
"Aneh... entah mengapa dia
mengikuti aku? Jika orang itu punya
maksud tujuan yang jahat, tentu sudah
sejak tadi malam dia dapat mencelakaiku.
Tapi itu tak dilakukannya. Siapapun dia
aku harus dapat menangkapnya hidup-
hidup!" membatin si cantik yang tiada
lain adalah Ambini.
Dia yang sengaja memacu kudanya
secara perlahan kini menggebrak tali
kendali kuda. Kuda berbulu putih itu lalu
berlari cepat melewati kelebatan pohon
dan semak-semak belukar. Ketika jalan
setapak yang dilaluinya mulai mendaki
punggung bukit kecil, dia membelokkan
kudanya ke kiri, menyelinap di balik
gelapnya bagian bawah pohon menunggu di
sana dengan mata dipentang dan
pendengaran dipertajam.
Beberapa saat berlalu si gadis
masih belum melihat kemunculan orang yang
membayanginya. Tapi dia terus menunggu
sambil bersikap waspada. Tak lama
kemudian dia melihat ranting belukar
bergoyang-goyang, satu kepala terjulur
memandang kian ke mari seperti orang
bingung. Sekilas Ambini sempat melihat
wajah orang itu, dia sempat terkesiap.
Rasa-rasa Ambini pernah kenal dengan si
pemilik wajah, dia mencoba berpikir
mengingat-ingat. Sayangnya semakin keras
dia mencoba mengingat, bagian belakang,
kepalanya mendadak terasa sakit
mendenyut.
Di depan sana Ambini melihat orang
yang jujurkan kepala tadi sekarang sudah
berdiri tegak. Dari tempatnya berada
dengan jelas si gadis melihat sosok
seorang pemuda berpakaian kuning berwajah
tampan. Kembali pikiran Ambini yang
pernah terganggu akibat terbentur batu
saat terjadi badai topan di Wonogiri
diselimuti perasaan aneh.
"Aku seperti mengenalnya... aku
seperti...!" Ambini tak melanjutkan
ucapannya karena pada saat itu si pemuda
yang sibuk mencari dirinya tiba-tiba saja
berseru. "Kupu-kupu perak! Celaka, ke
mana aku harus lari. Kupu-kupu itu
jumlahnya banyak sekali!"
Ambini merasa kaget dan dibuat tak
mengerti dengan maksud ucapan si baju
kuning. Selagi Ambini dibuat heran dari
segala arah di mana pemuda itu berada
tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh
aneh seperti suara sesuatu yang terbang
di udara. Lalu di sekeliling pemuda itu
terlihat kilatan cahaya putih yang
berkelebat menyambar di udara menyerang
pemuda berbaju kuning. Pemuda itu sambil
berteriak ketakutan membuka bajunya.
Dengan menggunakan baju dia berusaha
mengusir si penyerang yang ternyata
adalah kupu-kupu perak. Belasan kupu-kupu
dapat dipukulnya hingga berpentalan. Tapi
bajunya yang dipergunakan untuk memukul
tampak hangus berlubang di sana-sini.
Melihat kenyataan ini bukan hanya
pemuda itu saja yang dibuat terkejut,
bahkan Ambini pun tak mampu menutupi rasa
kagetnya. "Kupu-kupu perak. Mahluk
kiriman dari alam gaib, siapa yang punya
ulah!" desis si gadis heran.
"Mahluk jahanam, setelah tuanmu
membunuh Raden Ponco Sugiri dan kau bunuh
pula adikku hingga mayatnya pun tak dapat
kupungut. Kini kau menghendaki nyawaku.
Biarlah sebelum aku mati kau dulu yang
kubikin mampus!" teriak si pemuda yang
bukan lain adalah Barep Pandara. Pemuda
itu sambil mengebutkan bajunya ke seluruh
penjuru arah juga melepaskan pukulan yang
bersumber pada hawa panas. Pukulan yang
dilepaskannya dengan telak menghantam ke
arah kawanan kupu-kupu maut itu. Begitu
kena dihantam binatang yang dapat
membunuh manusia secara mengerikan
berkaparan. Tapi dia harus menguras
seluruh tenaganya karena demikian
banyaknya binatang itu yang menyerang.
Sementara itu Ambini jadi terkejut
begitu mendengar Barep Pandara ada
menyebut Raden Ponco Sugiri yang bukan
lain adalah ayahnya sendiri. Yang
mengejutkan si gadis pemuda itu
mengatakan Raden Ponco telah terbunuh.
Siapa yang membunuhnya? Pikir si gadis.
Sekarang dia baru ingat, pemuda yang
membuntutinya tentu adalah orang
kepercayaan yang selama ini telah merawat
ayahnya. Karena itu dia pun berteriak.
"Pemuda abdi ayahku. Selamatkan
dirimu, aku akan mengusir mahluk-mahluk
celaka itu!" kaget juga girang mendengar
suara Ambini membuat Barep Pandara
menoleh ke arah datangnya suara. Hanya
sekilas saja memang, tapi kelengahan yang
sedikit itu harus ditebusnya dengan
mahal. Dari arah belakang sedikitnya
sepuluh kupu-kupu perak hinggap di
punggung juga di bagian leher. Ujung
mulut binatang ini yang berbentuk belalai
menghunjam menusuk kulitnya. Barep
Pandara menjerit. Dia jatuh terhempas dan
terguling-guling. Bersamaan dengan itu
pula Ambini melesat dari atas punggung
kudanya. Dalam keadaan berjumpalitan di
udara dia meraup sesuatu dari balik
kantong perbekalan. Dia lalu berkelebat,
dilanjutkan dengan gerakan berputar di
udara. Dalam kesempatan itu dia meremas
benda bulat yang tergenggam dalam telapak
tangannya. Ada cairan berwarna kuning
berhamburan di udara disertai menebarnya
bau harum semerbak. Begitu cairan itu
berjatuhan di atas rerumputan maka
ratusan kupu-kupu itu kini menyerbu ke
arah cairan yang sengaja ditumpahkan oleh
Ambini.
Dengan lahap kawanan kupu-kupu
perak menghisap cairan manis itu. Tapi
sekejap kemudian binatang itu berkaparan
mati.
"Hi... hi... hi... makanlah madu
racun pemberianku...!" dengus si gadis
jejakkan kaki di atas tanah sambil
tertawa panjang. Tapi kemudian dia segera
teringat pada pemuda baju kuning tadi.
Tawa terhenti, dia membalikkan badan. Di
saat itu dia melihat tubuh pemuda
berpakaian kuning nampak menggembung
besar bagaikan balon yang mau meletus.
Semua itu tentu mengejutkan Ambini.
"Kau... kau bukankah abdi ayahku.
Apa yang terjadi?!" seru Ambini mencoba
mendekati Barep Pandara.
"Ja... jangan mendekat. Sekujur
tubuhku kini keracunan. Aku Barep
Pandara. Raden Tua sudah berpulang.
Aku... saya... dibuat tak mengerti dengan
semua kejadian ini. Siapa pembunuh dan
siapa yang akan terbunuh. Raden puteri
kuingatkan berhati-hatilah!" kata Barep
Pandara tak beraturan.
"Kau mengikuti aku, siapa yang
telah menyuruhmu?" tanya Ambini dengan
perasaan tercekat karena melihat sekujur
tubuh Barep Pandara semakin bertambah
membesar saja.
"Raden...!" Belum sempat Barep
Pandara menyelesaikan ucapannya
sekonyong-konyong tubuhnya yang seperti
dipompa itu meledak.
"Oh...!" Ambini terpekik sambil
mendekap wajahnya tak sanggup menyaksikan
bagaimana tubuh Barep Pandara hancur
berkeping-keping bertaburan di udara
bagaikan ilalang terbakar.
Merinding tengkuk Ambini menyak-
sikan semua ini. Ketika dia menjauhkan
kedua tangan dari wajahnya. Dia melihat
serpihan daging dan tulang belulang
bertebaran di sekeliling tempat dia
berdiri. Dia melompat menjauhi kepingan
daging dan tulang-tulang yang bertaburan.
Sejenak lamanya Ambini merasa dibuat
bingung dan tak mengerti. Bagaimana
mungkin tubuh Barep Pandara bisa meledak
setelah terkena sengatan belalai kupu-
kupu itu?
"Kupu-kupu perak itu rasanya pernah
aku melihat, tapi entah di mana? Yang
jelas dia bukan kupu-kupu biasa, mereka
pasti berdatangan dari alam gaib. Siapa
yang mengiring mereka ke mari?" kata
Ambini seorang diri. Dia gelengkan
kepala. "Mungkinkah abangku? Aku curiga
dengan segala gerak-geriknya. Tapi ada
kemungkinan saudaraku yang lain melakukan
semua ini. Bisa jadi mereka berguru pada
seseorang tokoh sakti yang memiliki
kesaktian tinggi. Sayang aku tak tahu di
mana kakang Aripraba dan adik Siwarana
saat ini berada." batin gadis itu.
Dia akhirnya memutar tubuh,
melangkah cepat mendapatkan kudanya yang
masih berada di bawah pohon. Tanpa
membuang waktu lagi dia melompat ke atas
punggung kudanya. Namun pada waktu
bersamaan mendadak terdengar suara tawa
yang disertai dengan bergoyangnya cabang
pohon di atas Ambini. Si gadis tentu saja
merasa terkejut, diapun memandang ke atas
pohon darimana suara tawa terdengar.
Ambini tersentak kaget begitu melihat
seorang pemuda tampan berambut gondrong
bertelanjang dada berada di salah satu
cabang pohon itu, dia tidak duduk
melainkan bergelayutan, kakinya sengaja
disangkutkan di cabang pohon tersebut,
sedangkan kepala menghadap ke bawah.
Hingga rambutnya yang diikat kain biru
terjulai. Dilihat sepintas lalu apa yang
dilakukan pemuda itu memang seperti
kelelawar tidur. Apalagi kedua tangannya
dilipat ke depan dada.
"Pemuda aneh, matanya terpejam.
Mungkin saja dia tidur. Tapi yang tertawa
tadi?" Ambini kitarkan pandang di sekitar
atas pohon. Tak ada siapapun yang berada
di sana selain pemuda itu. Merasa tidak
punya kepentingan dengan si pemuda, maka
si gadis hendak menggebrak kudanya. Tapi
niat Ambini urung. Dia memang tak tahu
sejak kapan si gondrong berada di pohon
itu. Hanya bisa jadi pemuda itu merupakan
tuan dari kupu-kupu perak yang telah
menewaskan Barep Pandara. Ingat betapa
mengenaskan kematian abdi setia itu. Maka
tanpa pikir panjang lagi Ambini
berteriak.
"Orang di atas pohon, apa yang kau
lakukan di sini?" Tak ada jawaban. Si
pemuda tetap seperti semula tadi. Diam
tak bergerak, mata terpejam kedua tangan
terlipat di depan dada.
"Hei apakah kau tak mendengar
suaraku?" teriak Ambini lagi. Suara
teriakan si gadis lenyap. Tubuh si pemuda
nampak bergoyang-goyang seperti ditiup
angin. Ambini tentu saja terkejut besar.
Betapa tidak? Tadi dia berteriak disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Jika si
gondrong itu orang biasa, pasti suara
teriakannya membuat si pemuda pingsan
atau paling tidak terjaga dari tidurnya.
Di bawah pohon masih dengan duduk
di atas punggung kudanya Ambini katupkan
bibirnya yang merah memikat. Kedua
gerahamnya bergemeletukan. "Dia berlagak
tuli atau memang sengaja ingin
mempermainkan aku. Orang seperti ini
hendaknya diberi pelajaran!" batin
Ambini. Tanpa banyak pikir lagi si gadis
lentikkan jari telunjuknya. Begitu jari
dijentikkan maka selarik sinar putih
berbentuk pipih laksana mata pedang
menderu lalu menghantam bagian pangkal
cabang pohon itu. Braak! Terdengar suara
bergemeretakan. Bagian pangkal cabang
pohon bagai dibabat mata pedang. Cabang
itu berikut si pemuda meluncur deras ke
bawah. Si gadis begitu melihat masih
tetap berada dalam posisi kepala
menghadap ke bawah belalakkan mata.
Bagaimanapun di bawah pohon terdapat
batu-batu besar. Jika pemuda tidak
terjaga akibatnya tentu sangat menge-
rikan. Dengan perasaan kaget dan merasa
bersalah, maka Ambini melompat dari atas
kudanya bermaksud menangkap tubuh si
pemuda. Tapi gerakannya sekonyong-konyong
jadi tertahan karena sejengkal lagi
kepala pemuda itu menghantam batu,
mendadak tangan pemuda melesat ke atas
tanah menahan luncuran tubuhnya. Bluk!
Dengan gerakan perlahan dia jatuh
rebah menelentang diatas batu-batu.
Sesaat dia menggeliat, mata mengerjap dan
dikedip-kedipkan. Dia lalu memandang ke
sekelilingnya. Sampai kedua matanya
nampak membulat lebar.
"Amboi... apakah aku tidak salah
lihat, tidak sedang berada dalam buaian
mimpi? Ada gadis begini cantiknya. Sayang
sekali tidurku begitu lelap sehingga aku
tak dapat melihatnya sejak tadi. Ah...
Ha...!" Si gondrong tapuk keningnya
sendiri. Dia segera duduk, sedangkan
matanya hampir tak pernah lepas dari
wajah Ambini. Merasa diperhatikan seperti
itu dan setelah melihat tingkah si
gondrong yang seperti orang sinting
Ambini membentak.
"Pemuda mata keranjang, siapa
dirimu? Berani kau menatapku begitu rupa,
kubunuh kau!!"
Si Gondrong terkejut, dia nampak
bingung. Kedua tangan mengusap mata
pulang balik, mematut-matut dengan
jemarinya. Di lain kejap wajah yang kaget
itu nampak berubah riang, senyum
terkembang.
"Ha... ha... ha. Aku sudah
memeriksa, kau pasti salah lihat. Di
mataku tak ada keranjangnya. Yang ada
cuma belek, itu pun kecil-kecil. Jadi kau
membohongi aku!" kata si gondrong yang
bukan lain adalah Gento Guyon murid kakek
Gentong Ketawa.
SEPULUH
Rasa kaget si gadis kini berubah
jadi kejengkelan. Sama sekali dia tak
menyangka si gondrong berwajah tampan
yang sempat membuat hatinya bergetar itu
ternyata hanyalah seorang pemuda sinting.
Tapi melihat apa yang dilakukannya tadi
rasanya dia bukan pemuda sembarangan. Di
rimba persilatan banyak orang yang
mempunyai watak dan perilaku yang aneh
untuk menutupi ketinggian ilmunya.
"Aku tak punya waktu banyak untuk
melayanimu! Katakan padaku apakah engkau
orangnya yang memiliki kupu-kupu perak
itu?" hardik Ambini.
"Kupu-kupu perak mana aku punya. Di
dunia ini aku tak punya siapa-siapa.
Punya seorang guru itupun otaknya agak
begini." berkata begitu Gento lintangkan
jari telunjuknya di atas kening.
"Inginnya punya seorang adik secantik
dirimu!" kata Gento.
"Siapa sudi menjadi adikmu!" dengus
Ambini ketus.
Gento tersenyum, lalu mengusap
hidungnya. Enak saja dia menyahuti. "Jadi
adik tidak mau, mungkin kau lebih senang
kujadikan sebagai kekasih. Ah...
kebetulan sekali yang satu itu aku belum
punya. Ha... ha... ha!"
Merah padam wajah si gadis
mendengar ucapan murid kakek Gentong
Ketawa. Dia merasa sangat jengkel sekali.
"Pemuda sinting mulutmu semakin
kurang ajar saja. Rasakan tamparanku!"
teriak si gadis. Sekali berkelebat dia
telah sampai di depan si pemuda. Dengan
cepat tangannya melayang bermaksud
menampar pipi. Tapi kali ini Ambini
benar-benar dibuat kaget. Tamparannya
yang dilakukan dengan sangat cepat itu
hanya mengenai angin. Pemuda itu lenyap.
Mata si gadis jelalatan mencari kian ke
mari. Pemuda bertelanjang dada itu
ternyata tak ditemukannya.
"Pemuda kurang ajar itu ternyata
memang bukan manusia sembarangan. Huh...
aku tak mengenalnya. Tapi kurasa bukan
dia yang telah menggerakkan kupu-kupu
dari alam baka itu. Sebaiknya aku mencari
adik Siwarana saja. Mungkin dia
mengetahui tentang kejadian aneh ini."
berpikir begitu Ambini segera melompat ke
atas kudanya. Kuda melangkah perlahan
menuju jalan setapak di depannya. Tapi
ketika sampai di jalan itu Ambini kembali
dikejutkan dengan terdengarnya suara si
pemuda. "Badan hancur, daging tercerai
berai seperti dicacah, ini adalah korban
tukang jagal untuk yang kedua. Tidak ada
petunjuk selain kupu-kupu maut. Banyak
kupu-kupu di dunia ini. Tapi yang beracun
dan membuat tubuh manusia menjadi
serpihan puing tak berguna baru dua kali
kutemui!"
Ambini menatap tajam ke arah Gento
yang bersikap acuh tak acuh. Belum lagi
dia sempat ajukan pertanyaan, tiba-tiba
terdengar suara teriakan menggelegar yang
disertai dengan terciumnya bau busuk
menyengat. "Siapa yang telah membunuh
kupu-kupu itu, berarti dia harus
menyerahkan tubuh dan nyawanya kepadaku!"
kata satu suara.
"Yang jelas bukan aku. Tapi gadis
itu!" sahut Gento.
Suara tadi lenyap, satu sosok
melayang di udara. Dalam keadaan melesat
di udara sosok itu lambaikan tangannya ke
arah Gento Guyon. Satu gelombang angin
berhawa panas luar biasa menderu melabrak
pemuda itu, sementara sosok yang baru
datang terus melesat menyambar pinggang
Ambini.
Si gadis keluarkan seruan kaget.
Dia segera melompat dari kuda,
bergulingan selamatkan diri. Kuda
meringkik keras dan tergelimpang roboh.
Ketika Ambini melihat ke arah kudanya,
dia melihat binatang tunggangan itu tak
berkutik. Bagian punggungnya hangus. Si
gadis menjadi sangat marah melihat kuda
kesayangannya terkapar.
Sementara itu ketika Gento mendapat
serangan dari sosok menebarkan bau busuk
tadi dia langsung menghindar menjauh
sambil merutuk. "Bangkai gila! Kau
menghendaki gadis itu, tapi kau juga mau
mengarah nyawaku. Kesalahan apa rupanya
yang telah kulakukan?" ucapannya itu
disambut dengan suara ledakan dari
pukulan yang dilepaskan oleh bayangan
yang berkelebat di atas kepalanya tadi.
Guncangan akibat ledakan membuat tubuh
Gento tergetar. Kini setelah getaran tak
dirasakannya lagi si pemuda cepat
berpaling memandang ke arah sosok yang
berdiri tegak antara dirinya dan Ambini.
Baik murid kakek Gentong Ketawa
maupun Ambini sama tak mampu menutupi
rasa kagetnya begitu melihat orang yang
berdiri di hadapan mereka. Sosok yang
menyerang dan hendak menangkap Ambini
ternyata adalah seorang laki-laki tua
bertelanjang dada. Hampir sekujur
tubuhnya yang pucat bagaikan mayat rusak,
pelupuk matanya meleleh, pipi berlubang
growak kanan kiri, bukit hidung tanggal
hingga berupa dua lubang besar. Rambut
rontok, bagian leher tepat di tenggorokan
bolong, sedangkan perutnya tepat di
bagian lambung juga berlubang, meneteskan
cairan buduk berwarna kuning kehijauan.
Tak percaya dengan apa yang
dilihatnya Gento mengusap matanya. "Ah
gila betul. Dia seperti bukan manusia
hidup. Manusia tak mungkin bisa bertahan
hidup dalam keadaan begini rupa." batin
Gento. Meskipun saat itu perasaannya
dilayapi ketegangan, tapi sambil terse-
nyum si pemuda berkata. "Orang tua,
rupamu bagus amat? Kau habis berkunjung
ke alam baka atau bagaimana? Atau kau
memang orang yang sudah mati? Lalu di
dalam kubur bumi menolak jasadmu yang
busuk begini? Kasihan sekali. Daripada
gentayangan meresahkan hati orang,
bagaimana jika tubuh busukmu itu kubakar
saja?"
Sosok yang terus pandangi Ambini
dengan sepasang matanya yang berwarna
kuning mengerikan sejak tadi kini
menoleh, memutar badannya dengan gerakan
yang kaku. Ada hawa angker aneh membersit
lewat tatap mata sosok itu. Mulutnya
terbuka mengeluarkan asap tebal berwarna
hitam. Asap itu semakin menebal begitu
dia berkata.
"Bocah tak tahu gelagat. Tak pandai
bertuan pada siapa kau berhadapan. Aku
manusia terhormat, kedudukanku lebih
tinggi dari semua manusia yang ada di
seluruh rimba persilatan ini. Lebih baik
kau pergi mencari selamat. Urusanku
dengan gadis cantik itu tidak ada sangkut
pautnya dengan dirimu. Aku Raden Ronggo
Anom tak pernah mengulang ucapan dua
kali. Jika kau membantah, ajal akan
datang menjemputmu tak sampai sekedipan
mata!" kata sosok yang mengaku sebagai
Raden Ronggo Anom. Suaranya serak kaku
dan dingin menyeramkan.
Gento tertawa terbahak-bahak
mendengar ucapan sosok angker yang tidak
ubahnya seperti mayat hidup itu. Dia lalu
berkata. "Rupanya kau datang mewakili
malaikat maut. Tapi melihat tampangmu,
kurasa kau sengaja dikirim setan
pelayangan untuk cari perkara. Melihat
pada rupamu, aku yakin kau baru saja
menjalani hukuman berat di masa lalu.
Kemudian kau bermaksud membawa gadis itu
untuk menemanimu di alam baka. Kurasa
jangankan dia, nenek pikun yang tubuhnya
hanya tinggal rongsokan pun tak akan sudi
ikut denganmu. Ha... ha... ha!" kata si
pemuda disertai tawa tergelak-gelak.
Mendengar ucapan si pemuda sosok
Raden Ronggo Anom tampak bergetar,
hidungnya yang bolong besar mendengus
mengeluarkan suara bagai sapi melenguh.
Sebaliknya Ambini sendiri sempat
terkesiap mendengar orang mengatakan
siapa dirinya. Dia tahu pasti Raden
Ronggo Anom telah meninggal secara aneh
sekitar tiga puluh tahun yang lalu.
Bagaimana manusia tamak, culas dan keji
dan masih terhitung pamannya sendiri itu
kini bisa bangkit kembali? Atau mungkin
sosok setengah bangkai ini hanya mangaku-
ngaku saja? Ingat akan ucapan Gento
ketika melihat mayat Barep Pandara yang
hancur berkeping-keping itu. Maka dengan
suara berbisik dia bertanya.
"Pertama kali kau melihat mayat
yang seperti itu keadaannya di mana?"
Merasa pertanyaan itu ditujukan
padanya maka Gento menjawab. "Di puncak
gunung Wilis."
"Puncak gunung Wilis. Di sana
tempat pengasingan ayah. Menurut Barep
Pandara ayah sudah meninggal." pikir
Ambini. Dia lalu bertanya.
"Apakah kau melihat bangkai
berjalan ini ada di sana saat itu?"
"Tidak. Aku bertemu dengan seorang
pemuda bernama Aripraba. Aku juga melihat
mayat yang sudah membusuk, tangan dan
kakinya buntung."
"Yang dimaksudkannya pasti adalah
ayahku. Tapi aku tak menyangka dia
bertemu dengan saudaraku Aripraba. Sudah
sangat lama aku tak bertemu dengan
kakangku itu. Konon menurut kakang Danang
Pattira, peta penyimpanan harta warisan
keluarga ada di tangannya. Agaknya pemuda
konyol ini tak tahu siapa diriku. Aku
sendiri bingung pada siapa harus
percaya." batin si gadis.
"Eeh, gadis cantik. Bangkai hidup
ini memang apamu? Calon suami, kakek atau
ayahmu? Mengapa dia begitu bernafsu ingin
mendapatkanmu?" celetuk Gento setelah
melihat Ambini hanya diam saja.
Si gadis melengak kaget. Sama
sekali dia tak mengenal siapa adanya si
gondrong. Mustahil dia berterus terang.
Sehingga dia pun berkata. "Aku tak punya
hubungan apapun dengan mahluk berwajah
setan ini. Kurasa dia hendak menculik,
membunuhku di suatu tempat. Atau seperti
ucapanmu, dia hendak membawaku ke dalam
liang kubur."
"Ah sayang, aku rasa tak rela jika
gadis secantikmu harus menyerahkan diri
pada mayat rombeng ini. Kalau kau mau,
pangeran mu ini bersedia mengusirnya.
Tapi dengan satu syarat...!"
"Katakan apa syaratmu?" tanya
Ambini penasaran. Nampaknya dia mulai
tertarik melihat cara dan sikap si pemuda
yang polos.
Gento tersenyum. "Syaratnya menyu-
sul belakangan. Sekarang kau hanya
tinggal mengatakan apanya yang harus
kutanggalkan? Tangannya, kaki, mata atau
kepala atas bawah? Ha... ha... ha!" kata
si pemuda disertai tawa tergelak-gelak.
Sekejap kemudian tawanya terhenti. Dia
melanjutkan. "Tapi mengingat keadaan
tubuhnya yang hampir membusuk tak karuan
rupa, bisa jadi yang di bawah sudah
tanggal tanpa permisi."
Mendengar dan menyadari arti arah
ucapan Gento Guyon wajah cantik Ambini
merona merah juga tak dapat menahan geli.
Sebaliknya sosok Raden Ronggo Anom sudah
tak dapat menahan amarahnya.
SEBELAS
Sejenak Raden Ronggo Anom menatap
pemuda yang berdiri dengan tangan
bertolak pinggang itu. Mulutnya yang
selalu mengepulkan uap aneh berbau busuk
bila bicara berucap. "Kau bocah sedeng
yang pintar bicara. Aku suka padamu.
Karena aku suka maka kau orang pertama
yang kucarikan jalan kematian yang paling
mudah!" dengus sosok yang mengaku sebagai
Raden Ronggo Anom.
Si pemuda tertawa lagi. "Bangkai
busuk yang mulutnya mengepul seperti
cerobong asap. Kau boleh bicara apa saja,
tapi hidup matinya manusia adalah
persoalan takdir. Kau bicara seperti
dewa, sebelum aku mati tentu aku akan
mengucapkan selamat tinggal terlebih dulu
padamu dan tentunya juga aku harus pamit
pada gadis cantik sahabatku itu!" teriak
si pemuda lantang. Menyadari agaknya
sosok mayat hidup ini memiliki ilmu yang
sangat tinggi, maka begitu melakukan
gebrakan pertama dia langsung melepaskan
pukulan Raja Dewa Ketawa. Begitu si
pemuda hantamkan kedua tangannya ke arah
lawan. Angin keras laksana badai topan
menderu, hawa panas bergulung-gulung
menyapu benda apa saja yang dilaluinya.
Di depannya sana Raden Ronggo Anom
tertawa aneh. Jari tangannya yang nyaris
tanggal diacungkan menyambut deru angin
yang melesat dari telapak tangan Gento.
Wuuut!
Jemari tangan itu nampak bergetar
ketika membentur pukulan yang dilepaskan
si pemuda. Secara aneh deru angin hebat
yang sempat membuat Ambini terkagum-kagum
dan sempat pula menyambar pohon di kanan
kiri mereka hingga roboh seolah tersedot
amblas ke dalam jemari tangan sosok mayat
hidup.
Celakanya bukan hanya tenaga
pukulan itu saja yang tersedot, tapi
tubuh Gento sendiri seakan ikut tertarik.
"Tikus gundul kebo budek. Mengapa bisa
sampai terjadi begini?" rutuk si pemuda
dalam hati. Dengan mata melotot dan mulut
terpencong dia kerahkan tenaga dalam ke
bagian kaki agar tubuhnya tetap bertahan
di tempatnya. Apa yang dilakukannya ini
berhasil hingga membuat tubuhnya
bergoyang-goyang bagai pucuk cemara yang
ditiup angin. Tapi hal ini nampaknya tak
berlangsung lama, karena begitu mayat
hidup gerakkan jemari tangannya ke atas,
maka sekonyong-konyong tubuh Gento
laksana disentakkan ke atas. Belum hilang
rasa kejut di hati Ambini maupun Gento
sendiri, mayat hidup telah memutar jemari
tangannya. Tak pelak lagi tubuh Gento
bagaikan titiran ikut berputar-putar
hingga membuat kepalanya mendadak pusing
dan pemandangan berkunang-kunang.
Mendapat serangan aneh begitu rupa, Gento
berpikir keras mencari jalan keluar.
"Setan ini memiliki ilmu aneh, aku
harus melepaskan dua pukulan sekaligus.
Akan kugabungkan pukulan Dewa Awan
Mengejar Iblis dengan pukulan Selaksa
Duka!" pikir si pemuda sambil menyalurkan
tenaga dalam ke bagian tangannya. Seperti
diketahui pukulan Dewa Awan Mengejar
Iblis adalah satu pukulan dahsyat warisan
Tabib Sesat Timur. Tabib sesat yang telah
membuat sengsara si pemuda di waktu
kecil. Untuk lebih jelas (baca Episode
Tabib Setan). Sedangkan pukulan Selaksa
Duka adalah warisan gurunya si kakek
gendut besar Gentong Ketawa. Dua pukulan
digabungan menjadi satu. Sebuah kekuatan
hebat tercipta. Tak heran begitu Gento
yang dalam keadaan berputar itu hantamkan
kedua tangannya ke arah lawan, maka
menggemuruhlah suara angin dahsyat
disertai sambaran hawa panas dan dingin
silih berganti. Dari telapak tangan
pemuda itu berkelebat sinar putih
menyilaukan mata, sedangkan dari tangan
kiri menderu sinar merah hitam
mengerikan.
Tak pelak lagi kedua pukulan maut
itu menghantam tubuh lawannya. Terjadi
ledakan keras mengguntur dua kali
berturut-turut, terdengar suara tulang
berderak-derak. Pasir dan debu
berhamburan memenuhi udara, pemandangan
jadi gelap seketika. Tanah terguncang,
Mayat Hidup jatuh terbanting. Dia rebah
menelentang, mulutnya mengerang, hidung
mendengus mengepulkan asap aneh. Mayat
Hidup merasakan sekujur tulang
belulangnya laksana bertanggalan.
Melihat betapa tinggi serta anehnya
ilmu yang dimiliki lawan. Maka Ambini
berteriak. "Gondrong sinting aku akan
membantumu!"
Selesai dengan ucapannya si gadis
melolos pedang lentur yang melingkar di
pinggangnya. Dia melesat ke arah lawan
dengan gerakan laksana kilat. Sementara
sambil mengayunkan senjata dia meraup
sesuatu dari balik sakunya. Benda yang
diraup dan ternyata merupakan serbuk
beracun itu disambitkan ke bagian wajah
lawannya. Sementara pada saat yang sama
pedang di tangan kirinya melesat
menghantam bagian perut.
Wuuus!
Tringg!
Mayat hidup yang baru saja
merasakan kehebatan pukulan yang
dilepaskan pemuda bertelanjang dada tak
sempat menghindar dari sabetan pedang dan
tebaran serbuk beracun. Tapi apa yang
terjadi kemudian membuat Gento berseru
kaget dengan mata mendelik tak percaya.
Betapa tidak, tebaran serbuk beracun yang
dilepaskan Ambini tidak berpengaruh bagi
lawan, malah berbalik menyerang pemi-
liknya begitu hidung growong Mayat Hidup
menghembusnya. Bukan itu saja, pedang di
tangan Ambini yang membabat perut lawan
juga seperti membentur palang baja. Malah
pedang itu kini nampak rompal. Masih
untung si cantik cepat berjumpalitan ke
belakang selamatkan diri. Kalau tidak
tentu dia menjadi korban serbuk
beracunnya sendiri.
Dengan muka pucat dan wajah
kucurkan keringat Ambini berdiri tegak.
Matanya masih melotot seakan tak percaya
dengan kenyataan yang dilihatnya.
"Manusia bangkai ini sesungguhnya
punya ilmu aneh apa? Tubuhnya kebal
senjata tak mempan pukulan!" desis si
gadis. Tanpa sadar dia melirik ke arah
Gento Guyon.
Pemuda itu kedipkan mata. Di
tangannya kini tergenggam sebuah benda
bulat berwarna kuning berkilau dengan
besar tak lebih besar dari ibu jari dan
sepanjang dua jengkal.
"Pemuda goblok itu. Dia hendak
berbuat apa dengan benda sebesar itu?"
rutuk Ambini yang menduga Gento telah
berlaku tolol. Saat itu mayat hidup telah
bangkit berdiri, kini dia memandang tajam
ke arah si gadis. Sambil mengusap kuku-
kukunya yang panjang hitam dan jelas
mengandung racun jahat dia berseru. "Kali
ini kau tak bakal lolos dari tanganku!"
Mendadak Mayat Hidup melompat ke
depan, kedua tangan melakukan gerakan
memeluk yang dilanjutkan dengan gerak
menerkam. Jemari tangan berkuku hitam
kanan kiri menyambar pinggang si gadis
dari dua arah. Karena jaraknya yang hanya
sekitar satu tombak, hanya dengan sekali
lompatan Mayat Hidup hampir berhasil
merengkuh Ambini. Si gadis berseru
tertahan, sambil melompat mundur dia
babatkan pedangnya ke arah jemari tangan
lawan yang terjulur.
Tring! Tring!
Kembali terdengar suara
berdentringan. Pedangnya laksana
membentur baja tipis. Sedangkan tangan
Mayat Hidup terus saja terjulur, Ambini
jatuhkan diri, berguling-guling
menghindar dari jangkauan lawannya.
Selagi Mayat Hidup berupaya menyambar
tubuh lawannya. Dari arah sampingnya
terdengar teriakan menggeledek.
"Mayat busuk, kalau kau sudah jadi
bangkai tak usah serakah hendak memeluk
gadis itu. Aku yang hidup dan masih gagah
begini saja tak berani sembarang peluk.
Enak saja kau hendak berbuat kurang ajar!
Kupecahkan kepalamu!"
Mayat Hidup mendengus panjang.
Serentak dia menoleh, begitu menoleh dia
melihat satu kilatan cahaya kuning
berbentuk bulat lonjong menghantam
kepala. Secepat apapun dia menghindar
selamatkan kepala. Namun senjata di
tangan Gento tetap menghantam kepalanya.
Tang! Tang!
Hantaman yang menggunakan seluruh
tenaga dalam itu, jangankan batu karang
atau kepala. Bola besi sekalipun pasti
pecah. Tapi apa yang terjadi pada Mayat
Hidup sungguh membuat Gento yang dibuat
terpelanting dengan tenaga pukulannya
yang membalik jadi geleng-geleng kepala
seperti putus asa.
Ambini yang melihat semua ini juga
jadi kecut. Dia menoleh ke arah Gento.
Justru pada saat itu si pemuda itu
sendiri selain heran melihat lawan tak
dapat dibuatnya roboh setelah dihantam
senjata Penggada Bumi juga heran melihat
perubahan yang terjadi pada senjatanya
sendiri.
Senjata sepanjang dua jengkal
sebesar ibu jari itu begitu dipukulkan ke
bagian kepala lawan nampak bergerak
membesar sekaligus memanjang. Dalam
keadaan kalut melihat kehebatan lawan,
tapi dia juga tak mampu menahan geli.
"Senjata ini seperti hidup saja. Ha...
ha... ha! Dia jadi menggembung bengkak
dan bergerak memanjang seperti ha...
ha... ha..!"
"Hei... awas!" teriak Ambini tiba-
tiba.
Rupanya ketika itu selagi Gento
dibuat heran dengan keanehan senjata
sendiri, Mayat Hidup mempergunakan
kesempatan itu melompat ke arahnya sambil
melepaskan satu pukulan dahsyat berhawa
dingin luar biasa. Si pemuda terkesiap
begitu melihat hawa dingin disertai sinar
biru meluncur dan menghantam ke bagian
dada. Sedapat mungkin secara reflek dia
putar senjata di tangannya. Benturan
keras tak dapat dihindari. Si pemuda
jatuh terhempas. Mulutnya meneteskan
darah. Di depannya sana Mayat Hidup
terhuyung ke belakang. Melihat kenyataan
ini tanpa membuang waktu lagi Ambini
berkelebat dan menyambar tubuh si pemuda.
Dalam gelapnya udara akibat ledakan tadi
Ambini melarikan Gento yang sesungguhnya
hanya menderita cidera ringan dari tempat
itu.
"Gadis cantik! Kau tak mungkin bisa
meloloskan diri dari tanganku. Pemuda itu
pasti kubunuh sedangkan kau harus ikut
denganku ke pesanggrahan abadi!" dengus
si Mayat Hidup. Setelah membaca arah, dia
lalu mengejar ke arah mana gadis itu
membawa Gento Guyon.
DUA BELAS
Setelah menempuh perjalanan hampir
dua hari lebih pada pagi berikutnya kakek
berbadan tambun besar seperti raksasa dan
pemuda bungkuk berwajah bertotol hitam
bermulut runcing sampai di Ponorogo. Di
tempat ini si kakek singgah sebentar di
sebuah kedai memesan makanan untuk
kemudian pergi lagi meneruskan perjalanan
ke gunung Liman.
Di luar sepengetahuan si kakek atau
pun si pemuda ketika mereka masuk ke
dalam kedai tadi ada sepasang mata yang
terus memperhatikan kehadiran mereka
dengan tatapan matanya yang aneh. Bahkan
ketika mereka meninggalkan kedai itu
pemilik sepasang mata itu juga mengikuti
mereka. Sampai sejauh itu baik si kakek
gendut besar yang bukan lain adalah
Gentong Ketawa maupun si bongkok Siwarana
Sala Anuna tidak dapat mencium kehadiran
penguntitnya.
Malah setelah sampai di luar dusun
Ponorogo, Gentong Ketawa yang berjalan di
belakang Siwarana berkata. "Kurasa gunung
Liman tak jauh lagi dari sini. Aku lelah,
perutku lapar. Kita istirahat saja dulu
barang beberapa jenak lamanya. Di depan
sana ada pohon besar, tempatnya teduh
dari tempat itu kita bisa melihat
keindahan gunung Liman. Makan sambil
melihat pemandangan indah sungguh
mengasyikkan, lebih sedap." Si kakek
julurkan lidah basahi bibir. Dia melirik
ke dalam kantong perbekalannya. Di sana
dia menyimpan makanan dan juga sekendi
tuak harum. Membayangkan nikmatnya tuak
itu tenggorokan si kakek bergerak-gerak.
"Kakek... gunung Liman sudah dekat,
mengapa kita harus istirahat? Jika sudah
sampai di tempat tujuan kita bebas
berbuat apa saja. Di sana kau bisa makan
sepuasmu atau mengorok sepanjang hari."
menyahuti si bongkok Siwarana.
"Sebenarnya apa yang kau cari di
sana? Tempat penyimpanan harta karun
keluargamu? Aku percaya harta itu cukup
untuk mendirikan sebuah kerajaan yang
paling besar di Jawa. Tapi terus terang
kau mana pantas menjadi seorang raja...!"
"Maksudmu?" tanya Siwarana tak
mengerti.
"Ha... ha... ha. Seharusnya kau
tahu diri. Kau tak punya potongan atau
tampang menjadi raja. Tapi kalau kau mau
jadi raja di gurun pasir bolehlah. Aku
yakin teman-temanmu pasti banyak di
sana!" kata si kakek disertai tawa
berderai.
Menyadari arah ucapan si kakek yang
mengejek keadaan dirinya, wajah Siwarana
sempat berubah. "Aku tak punya keinginan
lagi apapun kek. Harta warisan keluarga
bagaimana pun harus diselamatkan. Menurut
ayah akulah yang menjadi kuncinya. Dalam
diriku ada tanda, ada semacam peta. Aku
baru ingat sekarang untuk melihatnya
dengan jelas kita membutuhkan limau
asam." ujar Siwarana.
Si kakek yang tadi hendak membuka
mulut kini pandangi Siwarana. Mata si
gendut yang sipit berkedap-kedip. "Limau
asam? Mengapa kau tak bilang sedari tadi.
Padahal aku banyak melihat buah limau di
samping halaman kedai. Eeh... orang
jelek. Bagaimana bentuk peta itu, apakah
putih membentuk pulau seperti panu. Atau
bulat seperti kurap? Ha... ha... ha!"
"Aku sendiri tak tahu, mungkin satu
dari yang kau sebutkan itu." menyahuti si
pemuda dengan perasaan jengkel.
"Hei, kubilang kita istirahat dulu.
Aku hendak makan dan minum barang
sekejap." kata Gentong Ketawa. Enak saja
dia duduk menjelepok di bawah pohon
sambil menurunkan kantong perbekalannya.
Sementara Siwarana terus berjalan
sambil berkata. "Makanlah di situ
sepuasmu kakek Gendut. Aku tak punya
selera, aku lebih baik menunggumu di
depan sana dekat pohon pinus!" sahut
Siwarana.
Si kakek anggukkan kepala. Dia
segera membuka makanan yang dibungkus
dengan daun pisang. Orang tua ini makan
dengan lahap. Hanya dalam waktu sekejap
makanan amblas ke dalam perut besar si
kakek. Dia lalu membuka penutup kendi.
Begitu terbuka tercium bau harum
menyengat.
"Wah baunya saja sudah sangat sedap
sekali, apalagi isinya?" gumam si kakek.
Gluk! Gluk!
"Betul-betul enak. Ha... ha...
ha...!" kata Gentong Ketawa sambil
menyapu mulutnya yang berselemotan tuak
dengan punggung tangan, sedangkan wajah
si kakek saat itu berubah memerah karena
pengaruh tuak itu.
"Hem, ternyata hidup ini penuh
dengan kenikmatan, walau palsu sedikit
tidak mengapa. Ha... ha... ha." celetuk
orang tua itu setelah meneguk habis isi
tuak di dalam kendi.
Setelah merasa kekenyangan, dengan
bermalas-malasan si kakek mendadak
bangkit berdiri. Di saat itulah mendadak
sontak dia dikejutkan dengan suara
bergemuruh dahsyat yang disertai dengan
terdengarnya suara jeritan Siwarana. Di
depan sana ada lidah api sempat mencuat
di udara, berkobar sekejap lalu lenyap.
Suara bergemuruh sirna, jeritan Siwarana
bagaikan terputus. Dalam kagetnya Gentong
Ketawa memang sempat terkesiap. Tapi
begitu menyadari bahaya apa kiranya yang
terjadi pada Siwarana, maka tanpa
membuang waktu lagi kakek gendut itu
langsung berkelebat ke arah pohon pinus
di mana suara gemuruh dan jeritan tadi
datang.
Sampai di tempat itu si kakek
tersentak kaget. Dia melihat tanah di
bawah pohon terbelah merekah. Di kanan
kirinya rumput dan semak-semak hangus
terbakar. Api yang membakar sudah padam,
namun Siwarana sendiri lenyap tak
berketentuan. Kakek Gentong Ketawa hanya
menemukan cabikan kain hitam yang
merupakan bagian dari pakaian pemuda
cacat itu.
"Jahanam keparat! Siapa yang telah
melakukan semua ini?" desis si orang tua
dengan perasaan tegang diliputi
kecemasan. Dia lalu kitarkan pandang
memperhatikan setiap sudut. "Siwarana...
Siwarana... kau di mana?" teriak Gentong
Ketawa memanggil-manggil nama pemuda itu.
Gema suaranya lenyap begitu saja. Sunyi
mencekam, di sudut sebelah kirinya dia
melihat reranting pohon bergoyang seperti
bekas tersentuh sesuatu yang bergerak.
"Hh, siapapun yang membawa pemuda itu,
aku berharap sesuatu yang sangat buruk
tidak sampai terjadi pada dirinya!"
membatin si kakek gendut dalam hati.
Tanpa menunggu lebih lama orang tua ini
segera mengejar ke arah di mana orang
yang menculik Siwarana melarikan diri.
TAMAT
Nantikan Episode Mendatang!!!
HUTANG DOSA
0 comments:
Posting Komentar