..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 09 Desember 2024

GENTO GUYON EPISODE SANG COBRA

GENTO GUYON EPISODE SANG COBRA

 

SATU


Mentari sudah mulai condong di 

ufuk sebelah barat. Sebentar lagi 

malam segera tiba. Di salah satu 

tempat ketinggian bukit, Gunung Bromo 

tampak berdiri tegak dengan gagahnya. 

Dari bukit ini gadis cantik berpakaian 

kuning bersenjata pedang berambut 

panjang riap-riapan memandang ke 

bagian selatan lereng gunung beberapa 

kejapan lamanya. Tiba-tiba bola 

matanya yang bulat indah terbelalak 

lebar, wajahnya tegang sedangkan 

perasaannya mulai gelisah. Di bagian 

selatan lereng Bromo gadis yang 

menunggang kuda coklat ini melihat 

kepulan asap serta rona merah 

membubung tinggi ke angkasa.

"Apa yang terjadi di perguruan. 

Tidak mungkin ia datang secepat itu?" 

desis si gadis kecut. "Tapi api itu 

datangnya seperti dari perguruan 

Teratai Merah. Aku harus kembali 

secepatnya!" Gadis cantik berambut

panjang riap-riapan ini menggerakkan 

tali kekang kuda. Terdengar suara 

ringkikan keras. Kuda menghambur 

berlari cepat menuruni punggung bukit 

menuju bagian selatan lereng Gunung 

Bromo.

Hanya dalam selang waktu yang 

tidak berapa lama gadis ini telah 

sampai di halaman perguruan Teratai


Merah. Sesaat lamanya dia nampak 

tercengang, mata terbelalak, tubuh 

tegak kaku bagaikan orang yang baru 

saja terjaga dari sebuah mimpi buruk. 

Betapa tidak? Di depannya sana dia 

melihat mayat-mayat bergelimpangan 

roboh dengan luka-luka mengerikan dan 

sekujur tubuh hitam membiru. Selain 

mayat murid-murid perguruan, bangunan 

yang dijadikan tempat tinggal juga 

musnah terbakar. Begitu sadar akan 

kenyataan yang terjadi laksana kilat 

gadis itu langsung melompat dari atas 

punggung kudanya. Dia memeriksa mayat 

gadis-gadis yang bertebaran di halaman 

itu. Tak ada yang selamat. Semuanya 

tewas dengan luka menganga di bagian 

perut seperti bekas dijebol kuku yang 

tajam. Sedangkan di bagian kening 

terdapat dua titik menghitam seperti 

luka bekas patukan mahluk melata.

Si gadis menarik nafas pendek 

sambil gelengkan kepala. Kejap kemu-

dian begitu ingat sesuatu kepalanya 

berputar, mata memandang ke segenap 

sudut penjuru. Bibirnya yang mungil 

terbuka....

"Ni Estu Lampiri. Apa yang telah 

terjadi di tempat ini? Di mana kau?" 

teriak si gadis. Suara si gadis 

kemudian lenyap, dia menunggu untuk 

sesaat lamanya. Tak ada jawaban, yang 

terdengar justru suara gemeretak kayu 

yang terbakar. "Ketua perguruan


Teratai Merah, tidak kau dengarkan

suaraku ini?" teriak gadis itu lagi 

penasaran. Dalam hati dia merasa yakin 

Ni Estu Lampiri pasti dalam keadaan 

selamat, karena setelah memeriksa tadi 

dia tak menemukan mayat orang tua itu 

di antara mayat murid-muridnya.

Tapi sia-sia saja dia berteriak, 

karena kali ini suaranya tetap tak 

terjawab. Baru saja si gadis berniat 

mencari ke setiap sudut perguruan pada 

saat itu pula mendadak sontak ter-

dengar suara tawa mengikik disertai 

batuk-batuk kecil. Si gadis melengak 

kaget. Namun dia cepat menoleh 

memandang ke arah datangnya suara itu.

"Kurang ajar. Dia lagi!!" desis 

gadis itu.

"Hi... hi... hi, Huk... huk... 

huk. Kau terlambat lagi Purbasari... 

sudah kukatakan secepat apapun kau 

memacu kudamu. Kau tidak mungkin bisa 

menyelamatkan dunia persilatan dari 

kehancurannya. Hi... hi... uhuk... 

uhuk!"

Beberapa saat lamanya gadis ini 

terdiam. Dia sama sekali tidak 

mengenal bocah laki-laki yang 

bertelanjang dada dan cuma memakai 

cawat kulit kayu yang menutupi bagian 

auratnya itu. Tapi aneh bocah berumur 

sepuluh tahun berambut gondrong dekil 

ini mengenal namanya. Bahkan dia sudah 

mengikuti sejak Purbasari sampai di


perguruan Merak Emas dan juga 

perguruan Sangra Buana.

Kini si gadis pandangi bocah 

yang duduk seenaknya di atas pohon 

mengkudu. Yang dipandang menyengir, 

kemudian mengguncang pohon besar itu 

sambil bernyanyi tidak karuan jun-

trungannya. Pohon itu bergoyang keras 

laksana ditiup topan. "Anggut-anggutan 

seperti di awan. Malapetaka datang 

mana mengenal kawan. Kalau lelah 

memberi ingat mengapa tak datang ke 

gunung Butak sobat, Tralili... 

tralulu... kalau lupa kepala dipalu. 

Hi... hi... hi!"

"Bocah siapakah dirimu? Apa yang 

kau ketahui tentang perjalananku?" 

hardik Purbasari curiga.

Bocah berbadan dekil tertawa 

mengikik disertai batuk-batuk kecil. 

"Sudah kukatakan namaku Iwir Iwir. 

Sedangkan mengenai dirimu? Hik... 

hik... hik." bocah yang mengaku 

bernama Iwir Iwir tekab mulutnya agar 

tidak keterusan tertawa. Dia kemudian 

melanjutkan. "Tentang dirimu aku tahu 

banyak. Kau adalah murid tunggal Ki 

Rangan dari Puncak Terang. Gurumu 

berjuluk Dewa Ngelindur Bertangan 

Arwah. Kau ditugaskan olehnya untuk 

memberi ingat pada seluruh perguruan 

silat di daerah timur Jawa ini agar 

mereka bersikap waspada dari segala 

mara bahaya. Karena saat ini di rimba


persilatan muncul seorang tokoh sesat 

yang menamakan dirinya Sang Cobra. 

Tidak jelas apa yang menjadi awal 

persoalan? Yang pasti dia datang ke 

setiap perguruan membunuhi murid dan 

guru perguruan itu dengan ciri-ciri 

luka sebagaimana yang kau lihat. 

Setelah itu dia pergi menebar maut di 

perguruan yang lain...!" jelas si 

bocah.

Purbasari tersentak kaget men-

dengar ucapan bocah ini. Bagaimana 

Iwir Iwir bisa mengatakan segala 

sesuatunya dengan jelas, padahal 

perjalanannya untuk menjalankan amanat 

sang guru sangat dirahasiakan? Belum 

lagi hilang rasa kaget di hati 

Purbasari, bocah yang cuma mengenakan 

cawat itu melanjutkan. "Bukan hanya 

itu saja, Purbasari. Kau juga 

ditugaskan untuk mencari Pedang Raja. 

Hanya pedang itu yang dapat diper-

gunakan untuk menghentikan segala 

sepak terjang Sang Cobra. Namun kurasa 

bukan melalui tanganmu. Melainkan 

melalui tangan pemilik pedang itu. 

Hanya Anom Ka Ratan yang becus 

menggunakan pedangnya sendiri. Hik... 

hik... huk... huk."

Semakin bertambah kaget saja 

Purbasari mendengar ucapan Iwir Iwir. 

Bagaimana bocah itu bisa mengetahui 

segalanya? Ini merupakan sesuatu yang 

sangat membingungkan bagi Purbasari.


Tapi benarkah dia tidak dapat meng-

gunakan pedang Raja untuk menghentikan 

sepak terjang Sang Cobra? Purbasari 

gelengkan kepala

"Bocah... bicaramu sombong 

seperti seorang dewa yang tahu sega-

lanya. Kau mengatakan aku tak sanggup 

menggunakan pedang itu, padahal kau 

tak pernah tahu sejauh mana kesaktian 

yang ku miliki" dengus Purbasari 

merasa tersinggung.

Iwir Iwir tertawa dan batuk-

batuk lagi. Dia lalu membuka mulut 

berucap. "Aku tahu konon kesaktian 

Dewa Ngelindur Tangan Arwah sangat 

tinggi. Konon pula dia pernah 

mempecundangi beberapa tokoh golongan 

hitam. Membunuh Cula Berkala dedengkot 

tokoh sesat paling ditakuti di daerah 

selatan. Bahkan dia mengobrak-abrik 

Kadipaten Pacitan. Dan aku percaya 

sepenuhnya sebagai murid kau mewarisi 

semua ilmu kesaktian orang tua itu. 

Tapi kali ini sangat lain. Pedang Raja 

benar-benar rajanya dari segala 

pedang. Seperti yang kukatakan hanya 

Anom Ka Ratan yang bisa memper-

gunakannya."

Merasa diri diremehkan oleh 

bocah itu. Maka Purbasari berucap 

ketus. "Baik, kalau begitu kita temui 

orang tua itu dan minta bantuannya?" 

dengus si gadis. 

Bocah di atas pohon mengkudu


dongakkan kepala dan batuk-batuk 

beberapa kali. "Untuk mencarinya saja 

sudah sulit, apalagi minta bantuannya? 

Dia orang tua yang mempunyai watak 

angin-anginan, mau menolong jika tidak 

diminta. Sebaliknya sulit mengharap 

bantuannya jika dia tidak berkenan." 

sahut Iwir Iwir.

"Bocah sinting! Apakah kau 

sengaja hendak mempermainkan diriku? 

Kau kira dirimu siapa?" hardik 

Purbasari marah,

"Hi... hi... hi. Namaku Iwir 

Iwir apakah kau lupa. Hanya itu saja 

yang patut kau ketahui." tegas si 

bocah aneh disertai senyum namun 

unjukkan mimik bersungguh-sungguh. 

"Baiklah. Kau tadi mengatakan 

minta bantuan Anom Ka Ratan sangat 

sulit. Sementara Sang Cobra terus 

menebar maut tanpa pandang bulu. Kalau 

begitu kita ambil saja pedang itu."

"Aku percaya jiwa mudamu tidak 

mengenal rasa takut. Seperti yang 

sudah kukatakan tak seorang pun di 

dunia ini yang sanggup mempergunakan 

Pedang Raja. Kalau kau tak percaya, 

coba tangkap daun ini!" berkata begitu 

Iwir Iwir memetik selembar daun 

mengkudu. Enak saja daun itu 

dilemparkannya ke arah Purbasari. Daun 

meluncur, meskipun si gadis tak 

mengetahui maksud Iwir Iwir. Namun 

daun itu ditangkapnya juga.


Wuut!

"Uup... eehh...!" Dalam hati 

Purbasari terkejut luar biasa ketika 

mendapat kenyataan selembar daun yang 

dilontarkan Iwir Iwir kepadanya 

ternyata sangat berat bukan main. Si 

gadis pergunakan tenaga luar dalam 

untuk menahan daun itu agar jangan 

sampai jatuh. Keringat mengucur 

membasahi tubuhnya. Tapi pada akhirnya 

dia jatuh terduduk tak sanggup menahan 

berat daun yang sangat luar biasa.

"Aneh, punya ilmu apa bocah ini? 

Hanya selembar daun aku tak sanggup 

mengangkatnya. Aku merasa tidak 

ubahnya seperti mengangkat sepuluh 

ekor kerbau??" batin Purbasari dalam 

hati. Dia pun dengan wajah pucat 

bersimbah keringat bangkit berdiri. Di 

atas pohon si bocah tertawa mengikik 

disertai batuk-batuk kecil.

"Apa sebenarnya yang kau mau?" 

tanya Purbasari. 

"Aku hanya sekedar menunjukkan 

padamu suatu contoh yang mungkin bisa 

menjadi pelajaran bagimu. Kelak kau 

akan mengetahuinya sendiri mengapa aku 

mengatakan kau tak sanggup menggunakan 

pedang itu!" jawab si bocah tetap 

disertai senyum.

"Bicaramu bertele-tele. Saat ini 

tugasku masih banyak. Kalau kau 

mengikuti aku dengan maksud tujuan 

yang baik. Sekarang apa yang harus


kulakukan?" sambil menahan kekesa-

lannya Purbasari ajukan pertanyaannya.

"Bertanya pada anak kecil apakah 

itu bukan tindakan keliru? Padahal aku 

sendiri bisanya cuma main. Namun jika 

kau inginkan satu pandangan. Aku hanya 

bisa mengatakan saat ini sebaiknya tak 

usah lagi kau pergi menemui ketua 

perguruan yang ada di timur Jawa ini. 

Karena kuanggap hanya merupakan 

pekerjaan sia-sia. Dia selalu mendahu-

luimu. Untuk itu kusarankan sebaiknya 

kita pergi menemui Anom Ka Ratan. Jika 

kau tak berkenan juga carilah kakek 

gendut besar luar biasa bernama 

Gentong Ketawa. Orang tua itu punya 

pandangan luas, di samping juga 

memiliki kepandaian sangat tinggi. 

Apalagi turut yang kudengar saat ini 

dia mempunyai seorang murid bernama 

Gento Guyon."

Mendengar Iwir Iwir menyebut 

nama Gentong Ketawa, Purbasari kembali 

dilanda rasa kaget. Gurunya sendiri 

Dewa Ngelindur Bertangan Arwah sebelum 

si gadis pergi sempat berpesan agar 

membicarakan persoalan pelik yang 

mereka hadapi saat itu. 

"Gentong Ketawa kakek sakti yang 

punya tabiat aneh. Di mana harus 

mencari orang tua itu?" tanya 

Purbasari.

"Eeh... kau juga mengenalnya?" 

sergah Iwir Iwir sempat terlonjak


kaget.

"Guruku ada sedikit memberi 

penjelasan tentang kakek itu." sahut 

Purbasari.

"Bagus. Kalau begitu kau memilih 

hendak menyambangi siapa?" tanya si 

bocah.

"Aku belum menentukan pilihan. 

Saat ini aku sedang memikirkan Ni Estu 

Lampiri." ujar si gadis.

"Dia tak berada di sini. Mungkin 

juga di suatu tempat. Untuk sementara 

sebaiknya jangan dirisaukan dulu 

masalah ketua perguruan Teratai Putih 

ini. Mudah-mudahan dia dalam keadaan 

selamat. Hi... hi... hi."

"Aku pun berharap begitu. Tapi 

ingat, jika kau ternyata menipu, kau 

tak bakal lolos dari tanganku!" ancam 

Purbasari,

Si bocah tertawa panjang 

diselingi batuk. Ketika si gadis 

memandang ke pohon sambil delikkan 

mata ternyata Iwir Iwir sudah tak 

berada lagi di tempatnya. Purbasari 

pun tanpa menunggu lebih lama segera 

berkelebat ke arah lenyapnya bocah 

aneh yang mengetahui banyak hal itu.



DUA


Laki-laki bercelana hitam ber-

telanjang dada yang di sekujur 

tubuhnya dipenuhi hiasan mahluk 

berujud sosok ular kobra itu mendadak 

memperlambat larinya. Di satu tempat 

laki-laki yang kepalanya terbungkus 

kain hitam itu hentikan langkah. Sosok 

yang tersampir di atas bahunya 

dilemparkan, jatuh berguling-guling, 

diam dan tak bergerak. 

"Laki-laki keparat siapa kau 

yang sebenarnya? Kau bunuhi murid-

muridku. Kau totok diriku lalu kau 

bawa ke mari. Apa maksudmu?" hardik 

perempuan setengah baya berpakaian 

putih berhiaskan sulaman bunga Teratai 

berwarna merah.

Sejenak lamanya laki-laki ini 

memperhatikan si perempuan melalui 

celah lubang kain hitam yang menye-

lubungi seluruh kepalanya. Kemudian 

dia dongakkan kepalanya ke langit. 

Terdengar tawa disertai desis aneh 

seperti desisan ular kobra yang marah. 

"Ketua perguruan Teratai Merah! Kau 

dengar! Aku akan menghancurkan semua 

perguruan silat yang ada di tanah Jawa 

ini. Akan kubunuh semua tokoh sakti 

baik dari golongan putih dan golongan 

hitam. Mereka semua tidak pantas 

diberi hidup. Karena orang yang 

menganggap dirinya dari golongan baik


baik sesungguhnya tidak punya perasaan 

sedikit pun." kata laki-laki itu 

sinis.

"Ucapanmu sama sekali tidak 

memberikan jawaban apapun atas 

pertanyaan yang kuajukan!" dengus 

perempuan itu yang bukan lain adalah 

Ni Estu Lampiri.

"Ha... ha... ha. Aku akan jawab 

pertanyaanmu. Tapi sebelum itu aku 

ingin kau menjawab beberapa perta-

nyaanku dulu." sahut laki-laki itu. 

Dia terdiam sejenak. Dari balik 

penutup yang menyelubungi kepalanya 

terdengar suara aneh berupa desisan 

panjang. "Pertanyaanku yang pertama. 

Di mana dedengkot golongan putih 

bernama Anom Ka Ratan saat ini 

berada?"

Ni Estu Lampiri terkejut besar 

mendengar pertanyaan laki-laki 

bertelanjang dada yang sekujur 

tubuhnya dihias dengan gambar sosok 

ular kobra ini. Anom Ka Ratan adalah 

tokoh dunia persilatan yang namanya 

sangat disegani di daerah timur tanah 

Jawa. Orang tua itu sendiri sudah lama 

tak terdengar kabar beritanya. Kabar 

terakhir yang didengar Ni Estu Lampiri 

tokoh sakti itu menetap tinggal di 

daerah Probolinggo, menempati sebuah 

lembah yang diapit dua bukit. Konon di 

tempat itu pula dia menciptakan 

senjata aneh yang diberi nama Pedang


Raja. Tapi kalau pun dia tahu di mana 

Anom Ka Ratan tidak mungkin dia 

memberitahukannya pada laki-laki yang 

telah membantai seluruh muridnya.

"Cepat jawab pertanyaanku!" 

hardik laki-laki ini tak sabar.

"Aku tak tahu!" jawab Ni Estu 

Lampiri.

Orang itu menggeram pendek. 

Walaupun mulai kesal, tapi dia terus 

melanjutkan pertanyaannya juga. "Kau 

tak tahu tak mengapa. Sekarang katakan 

padaku di mana beradanya Ki Banjar 

Jati berjuluk Mahluk Tanpa Tanda?"

Mendengar pertanyaan itu Ni Estu 

Lampiri tertawa pelan.

"Buat apa kau tanyakan orang 

aneh yang satu itu? Dia bisa berada di 

mana saja. Dia bisa muncul di 

hadapanmu tanpa kau sadari. Hi... 

hi... hi."

"Jadi kau tak tahu di mana 

gerangan Mahluk Tanpa Tanda berada?" 

desis laki-laki itu sinis.

"Aku tidak takut ancaman apapun 

darimu. Bahkan saat ini ingin rasanya 

aku membunuhmu. Tapi terus terang 

kukatakan aku tak tahu di mana adanya 

orang yang kau tanyakan ini!" sahut 

ketua perguruan Teratai Putih. Saat 

itu diam-diam dia kerahkan tenaga 

dalam untuk membebaskan totokan di 

tubuhnya. Nampaknya usaha yang 

dilakukan itu mendatangkan hasil.


Totokan di bagian punggung dapat 

dimusnahkan. Tetapi dia tetap diam 

menunggu kesempatan terbaik untuk 

melepaskan satu pukulan mautnya.

"Kau tak takut ancaman. Sungguh 

dirimu adalah seorang perempuan yang 

sangat berani. Dua pertanyaan telah 

kuajukan. Di kejauhan sana ada sebuah 

pondok. Pondok kecil di tepi kali 

Merayu. Tempat itu masih seperti dulu-

dulu juga. Tapi apa yang terjadi 

sekarang sudah sangat lain." gumamnya. 

Kemudian dia melanjutkan. "Waktu untuk 

membalas semua penghinaan itu sudah 

tiba. Sebentar lagi aku sudah tidak 

membutuhkan penunjuk jalan lagi. 

Karena itu aku akan jawab pertanyaanmu 

tadi. Kau ingat baik-baik, aku adalah 

Sang Kobra. Sengaja dikembalikan ke 

dunia ini untuk memberikan pelajaran 

yang berharga pada semua orang yang 

dulu pernah menghinaku."

"Sang Kobra. Kau sembunyikan 

wajahmu di balik selubung kain. Kau 

iblis pengecut. Kejahatanmu telah 

tersebar, ditiupkan angin ke delapan 

penjuru arah. Kau lampiaskan amarah 

pada orang-orang yang sama sekali 

tidak tahu musabab pangkal persoalan. 

Sungguh kau manusia picik yang buta 

hati dan pikiran!" teriak Ni Estu 

Lampiri.

Wajah di balik selubung kain 

hitam nampak gelap. Sepasang matanya


berkilat pancarkan amarah. Ingat akan 

segala yang pernah terjadi di masa 

lalunya, maka sambil berteriak dia 

langsung menghantam. "Ucapanmu itu 

hanya mempercepat ajalmu sendiri!" 

bersamaan dengan itu pula Sang Cobra 

jentikkan lima jemari tangannya yang 

berkuku panjang dan runcing ke arah Ni 

Estu Lampiri. Dengan serangan jarak 

jauh ini Sang Cobra merasa yakin 

perempuan setengah baya itu pasti 

menemui ajal seketika karena pada saat 

itu dia melepaskan pukulan Sengatan 

Sang Cobra. Lima sinar hitam berbentuk 

seperti ekor ular membersit, melesat 

dengan sangat cepat sekali menghantam 

bagian perut Ni Estu Lampiri.

Merasakan adanya sambaran hawa 

dingin menerjang ke arahnya. Maka 

perempuan itu langsung melompat ke 

udara, sambil berjumpalitan dia raup 

sesuatu dari balik pakaiannya. Setelah 

itu tangannya dihantamkan ke arah lima 

larik sinar maut yang menderu sebat 

sejengkal di bawah kakinya. Lima buah 

benda merah berupa senjata rahasia 

melesat memapas pukulan Sengatan Sang 

Cobra.

Tuttt!

Dar! Dar! Daar!

Terdengar lima kali letupan 

berturut-turut. Ni Estu Lampiri akibat 

ledakan itu jatuh terguling-guling. 

Lima buah benda berupa kuntum bunga


teratai merah yang disambitkannya 

hangus berkeping-keping begitu bentrok 

dengan pukulan lawan.

Tercium bau amis yang sangat 

menyengat. Ni Estu Lampiri tanpa 

menghiraukan rasa sakit yang 

menyesakkan dadanya dengan cepat 

bangkit berdiri. Wajahnya pucat pasi, 

sedangkan nafas perempuan itu agak 

tersengal. Di hadapannya Sang Cobra 

yang tidak mengalami cidera sedikit 

pun diam-diam jadi kaget. Dia sama 

sekali tak menyangka lawan yang sudah 

ditotoknya sejak dari perguruan 

Teratai Merah dapat membebaskan diri 

dari pengaruh totokan. 

Walaupun begitu dia tetap 

tersenyum. "Tenaga dalammu ternyata 

cukup tinggi juga. Tapi setinggi 

apapun kesaktian yang kau miliki, di 

hadapanku kau tidak memiliki arti apa-

apa." kata Sang Cobra sengit.

"Manusia sombong! Terimalah 

teratai beracunku!" Selesai berucap 

dengan sangat cepat sekali perempuan 

itu sambitkan tiga kuntum kuncup bunga 

teratai yang langsung mengembang 

bermekaran begitu menyentuh udara. 

Ketiga kuntum teratai biru ini laksana 

kilat melabrak Sang Cobra. Serangan 

yang dilakukan dari jarak dekat ini 

bukan serangan biasa. Karena mahluk 

apapun yang menjadi sasaran tubuhnya 

pasti langsung layu. Apalagi saat itu


Ni Estu Lampiri mengerahkan seluruh 

tenaga dalam yang dia miliki.

Dari mulut yang terselubung kain 

hitam terdengar suara menggereng 

marah. Dengan tangan kiri laki-laki 

yang sekujur tubuhnya dihiasi gambar 

ular Cobra ini memukul ke depan.

Tes! Tes! Tes! 

Hantaman yang dilakukan Sang 

Cobra membuat tiga kuntum bunga 

teratai beracun itu berhamburan di 

udara. Justru hancurnya teratai 

membuat serbuk beracun yang terkandung 

dalam kelopak bunga itu bertebaran 

memenuhi udara. Sungguhpun Sang Cobra 

kebal terhadap semua jenis racun, tapi 

jika serbuk bunga beracun itu sampai 

tersedot dalam pernafasannya tentu 

akibatnya bisa jadi sangat fatal 

sekali. Sambil mengibaskan tangannya 

menghalau serbuk bunga beracun 

tersebut Sang Cobra melompat mundur.

"Kurang ajar. Jika tidak cepat 

kuhabisi dia lama-lama aku sendiri 

bisa kena dicelakainya," batin laki-

laki itu.

Baru saja Sang Cobra berniat 

menyerang lawannya dengan satu pukulan 

yang mematikan. Pada saat yang 

bersamaan pula Ni Estu Lampiri sudah 

melancarkan serangan ganasnya dengan 

jurus Teratai Bermekaran Di Pagi Hari,

Teratai Berguguran dan Teratai 

Mengambang Di Atas Air. Serangan yang


sangat dahsyat yang tiada berkeputusan 

membuat lawan terdesak hebat untuk 

beberapa saat lamanya. Namun ketika 

Sang Cobra rubah jurus-jurus silatnya. 

Maka di lain kejap secara cepat 

perempuan itu tampak terdesak. Apalagi 

ketiga tangan Sang Cobra yang berkuku 

panjang, berwarna hitam mengandung 

racun ganas itu menyambar bagian 

wajah, dada dan perutnya. 

Tak punya pilihan lain sambil 

melompat mundur Ni Estu Lampiri 

melepaskan satu pukulan ganas ke arah 

lawannya. Kembali hawa dingin menderu 

menghantam lawannya. Tanpa berusaha 

menghindar Sang Cobra menepis pukulan 

sakti lawannya. Benturan yang terjadi 

membuat Ni Estu Lampiri terjajar. 

Sebaliknya Sang Cobra melompat laksana 

kilat, tangan kiri menyambar. 

Breet! 

Pakaian di bagian perut perem-

puan itu robek besar. Belum lagi Ni 

Estu Lampiri hilang kagetnya melihat 

pakaian robek besar tangan kanan lawan 

kembali menyambar, menghunjam dalam 

perutnya. 

Kraak! 

"Akhh...! "

Ni Estu Lampiri menjerit keras. 

Perutnya robek besar, isi perut 

berburaian keluar. Perempuan itu 

terhuyung dan dekap perutnya. Pada 

saat itulah dari balik kepala depan


yang terselubung kain hitam melesat 

satu benda sepanjang satu jengkal. 

Benda yang ternyata sosok ular kobra 

berwarna hitam langsung menghunjam di 

bagian kening Ni Estu. Ada dua titik 

luka seperti bekas pagutan. Ular tadi 

jatuh di atas tanah, lalu lenyap 

setelah menyentuh ujung ibu jari kaki 

Sang Cobra. Sedangkan Ni Estu Lampiri 

sendiri terguling roboh. Sekujur 

tubuhnya menghitam keracunan sedangkan 

jiwanya tidak terselamatkan lagi.

Sang Cobra mendengus sinis. 

Tanpa menoleh lagi dia tinggalkan 

mayat ketua perguruan Teratai Merah 

begitu saja.



TIGA


"Kaki kiri melangkah ke depan 

tiga langkah. Kemudian kaki kanan 

bergeser ke samping satu langkah. 

Tangan ditekuk, jemari yang saling 

dirapatkan menghadap ke depan, lengan 

ditarik ke belakang. Dengan cepat 

digerakkan ke depan!" berkata kakek 

gendut besar berbadan tinggi berpipi 

tembam dan berhidung pesek. Sambil 

berkata begitu tangan membuat gerakan 

seperti gerakan kaki depan Congcorang.

Tidak jauh dari si kakek, 

seorang pemuda tampan berambut 

gondrong bertelanjang dada berwajah 

polos lugu meniru apa yang dikatakan


oleh si kakek gendut besar berkening 

lebar. Dia sama sekali tidak 

memperdulikan sengatan terik matahari 

yang panas membakar. Sesekali pemuda 

tampan yang bukan lain adalah Gento 

Guyon murid si kakek gendut besar 

Gentong Ketawa memperhatikan jemari 

tangannya sendiri. Di bolak-balik, 

dirapatkan digerakkan ke depan. 

Sekejap dia melompat-lompat seperti 

congcorang, lalu jemarinya yang saling 

merapat sedemikian rupa bagaikan 

moncong ular yang mematuk, melesat 

menghantam batu besar yang terdapat di 

depannya.

Crok! Crok! 

Pyur!

Hebat mengagumkan. Batu yang 

sangat keras itu berlubang. Si pemuda 

memperhatikannya untuk beberapa saat. 

Dia tersenyum, matanya dipentang 

seakan tak percaya dengan kenyataan 

yang dialaminya.

"Guru. Kau lihat hasilnya. Jurus 

apa tadi namanya...?" tanya si pemuda 

seakan lupa mengingat.

Kakek berbadan besar gendut luar 

biasa yang mencangkung di atas batu 

yang baru saja menjadi sasaran si 

pemuda cibirkan mulutnya.

"Mengingat nama jurus saja tak 

becus. Kalau mau tahu itulah yang 

namanya jurus Congcorang Mabuk. Hanya 

gerakan kaki dan tubuhmu kurang luwes.


Kau juga harus mengerahkan tenaga 

dalam lebih banyak lagi ke bagian 

ujung jari agar kehebatan jurus 

Congcorang Mabuk dapat hasil yang 

lebih maksimal!" menyahuti si kakek 

dengan sikap acuh tak acuh.

"Kurasa untuk memantapkan jurus 

itu kita harus mabuk dulu guru." 

celetuk Gento dengan muka serius namun

bibir sunggingkan senyum.

"Boleh juga, memainkan jurus 

belalang mabuk sambil mabok sungguhan 

memang asyiik. Sayang tak ada warung 

tidak ada tuak. Bagaimana kalau kau 

minum air sungai sampai mabuk?! Ha., 

ha... ha." kata si kakek Gentong 

Ketawa sambil tertawa mengekeh.

"Air sungai masih kurang asyik. 

Kurasa maboknya makin sedap kalau kita 

minum air kencing bersama-sama." sahut 

Gento Guyon disertai tawa pula.

Si kakek unjukkan muka cemberut. 

"Sudah, kau kalau diajak bicara kata-

katamu makin melantur saja. Sekarang 

sebaiknya kita tinggalkan tempat ini!" 

kata Gentong Ketawa. Orang tua itu 

kemudian bangkit berdiri, lalu 

tubuhnya digerakkan ke kanan dan ke 

kiri sampai terdengar suara berkero-

takan seperti tulang berderak.

Selagi si kakek menggerak-

gerakkan badan itulah matanya memben-

tur sesuatu. Dia memperhatikan pohon 

yang terdapat tak jauh di sebelah


kirinya.

Kedua alisnya berkerut, matanya 

yang agak sipit dikedip-kedipkan. 

Melihat tingkah gurunya. Gento jadi 

ikutan melirik ke arah yang sama.

"Apa yang dilihat oleh kakek 

bunting ini." membatin Gento dalam 

hati. Dia kemudian jadi melengak kaget 

ketika melihat ada beberapa baris 

coretan yang terdapat di batang pohon 

itu. Belum lagi pemuda ini sempat 

ajukan pertanyaan gurunya sudah 

melangkah mendekati pohon.

Cukup lama dia berdiri di situ, 

memperhatikan, meneliti dan mengama-

tinya dengan seksama, sampai kemudian 

mukanya yang kemerahan nampak berubah 

pucat.

"Pesan ini rasanya sudah tidak 

asing lagi bagiku. Tulisannya jelek 

namun masih dapat dibaca. Aneh... aku 

tidak melihat dia hadir di sini. Tadi 

ketika aku dan Gege sampai aku tidak 

melihat adanya coretan di batang pohon 

ini. Ah, perasaanku jadi tidak enak. 

Jelas guru telah datang, namun aku tak 

melihat kehadirannya. Orang tua aneh! 

Kedatangannya seperti setan dan pergi 

secepat angin berhembus. Aku tahu 

betul dia tak suka banyak bicara. Tapi 

adalah sangat keterlaluan jika cuma 

meninggalkan pesan!" gerutu si kakek.

"Guru bicara pada siapa?" tanya 

Gento yang sudah berdiri di samping


gurunya. Yang ditanya sempat kaget, 

mulutnya membuka hendak mendamprat 

tapi tidak jadi. "Tulisan jelek siapa 

ini? Dibandingkan cakar ayam, rasanya 

masih kalah bagus!" kata si pemuda 

lagi.

Kakek berbadan besar luar biasa 

ini delikkan matanya. Merasa 

dipelototi Gento pura-pura melihat ke 

arah lain sambil bersiul-siul.

"Jangan sembarangan kau bicara. 

Orang yang membuat pesan ini adalah 

guruku, jadi masih terhitung kakek 

gurumu! Dia datang tanpa kita 

melihatnya. Meninggalkan pesan, ber-

arti ada sesuatu yang sangat penting, 

menyangkut urusan besar yang harus 

kita kerjakan." berkata si kakek.

Gento Guyon terdiam, mata tak 

pernah beralih dari batang pohon, 

mulutnya melongo tanda heran. "Guru. 

Apakah kakek guru sebangsanya hantu, 

memedi, kolong wewe atau setan 

kampret?" tanya si pemuda bersungguh-

sungguh.

"Bocah edan, bicara melantur 

apalagi kau. Tentu saja guruku adalah 

manusia seperti kita. Bukan salah satu 

dari yang kau sebutkan!" bentak kakek 

Gentong Ketawa bersungut-sungut.

Melihat gurunya cemberut begitu 

rupa Gento Guyon tak dapat menahan 

senyum. Kalau sedang cemberut mulut 

gurunya memang tidak ubahnya seperti


mulut ikan lele yang sedang bermain di 

atas air, apalagi kumis si kakek hanya 

tumbuh beberapa helai saja,

Satu tepukan mendarat di bahu 

Gento membuat senyumnya lenyap dan dia 

jadi meringis kesakitan. 

"Guru ada apa ini? Kau memukulku 

tanpa sebab?" rutuk pemuda itu sambil 

mengusap-usap bahunya yang serasa 

remuk. Gento menyadari tepukan si 

kakek hanyalah tepukan biasa tapi 

karena tangan gurunya besar dan berat 

bukan main jadinya pemuda itu merasa 

bahunya seperti dikemplang palu batu.

"Aku tahu, setiap kau tersenyum 

bila melihatku, pasti ada bagian 

tubuhku yang kau caci. Jangan mungkir, 

aku selalu dapat menebak apa yang ada 

di balik batok kepalamu itu!"

"Tidak malu aku berterus terang, 

apa yang guru katakan memang betul 

semuanya. Ha., ha... ha!" ujar pemuda 

itu disertai tawa lebar.

"Dasar bocah kurang ajar. 

Sekarang kita mendapat pesan dari 

guruku. Ini bukan merupakan tugas yang 

dapat dianggap main-main. Karena itu 

kuminta kau bersikap serius. Jika kita 

gagal kakek gurumu bisa marah besar 

dan menghukum kita." berucap kakek 

Gentong Ketawa.

Gento Guyon keluakan siulan 

pendek. Sambil bertolak pinggang dia 

berkata. "Aku sendiri belum pernah


bertemu dengan kakek guru. Tapi 

kulihat kau begitu ketakutan. Apakah 

kakek guru itu tampangnya angker 

menyeramkan? Atau barangkali kejam 

seperti iblis?" tanya si pemuda heran

"Suatu saat kau pasti bertemu 

dengannya. Kakek gurumu tidak seperti 

yang kau sebutkan itu. Tapi terus 

terang selain Gusti Allah di dunia ini 

dialah yang paling kutakuti. Aku 

merasa lebih baik bertemu dengan 

sepuluh musuh berkepandaian tinggi 

daripada harus bertemu dengannya." 

kata si kakek merasa jerih.

Gento Guyon menyeringai men-

dengar pengakuan gurunya. Dalam hati 

dia menduga pasti kakek gurunya adalah 

sosok laki-laki tua berbadan lebih 

besar dan lebih tinggi dari gurunya, 

berwajah angker hampir tanpa senyum. 

Sehingga wajar saja jika gurunya yang 

berbadan tambun itu jadi takut 

kepadanya.

"Sekarang kalau guru merasa 

takut padanya, lebih baik kita baca 

saja pesan ini bersama-sama," berucap 

si pemuda.

Gentong Ketawa anggukkan kepala. 

Mereka lalu membaca pesan itu bersama-

sama.

Pada muridku si gendut Gentong 

Ketawa!

Dimohon perhatiannya. Saat ini


dunia persilatan sedang dilanda 

kericuhan. Beberapa perguruan dibakar, 

murid dan gurunya dibantai. Nampaknya 

korban akan terus berjatuhan, karena 

si pembunuh yang menamakan dirinya 

sebagai Sang Cobra itu tidak memandang 

bulu dan membantai orang yang 

diinginkannya. Cari tahu mengapa Sang 

Cobra sampai melakukan perbuatan keji 

dan tindakan biadab itu. Kuminta 

padamu dan juga pada muridmu untuk 

menghentikannya. Mengingat ilmu 

kesaktiannya sangat tinggi sebaiknya 

kau berhati-hati jika tak ingin mati 

konyol!

Tertanda 

Gurumu.

Selesai membaca murid dan guru 

saling pandang. Si kakek menarik 

nafas, terdiam sejenak sambil ber-

pikir. Sedangkan muridnya golang-

geleng kepala seperti orang linglung.

"Bocah, apalagi yang ada dalam 

kepalamu? Jika kau punya sesuatu yang 

hendak kau sampaikan katakan saja 

terus terang mengapa harus malu-malu?"

Mendengar ucapan gurunya Gento 

Guyon tertawa tergelak-gelak. "Apa 

guru mengira aku bicara dengan seorang 

gadis ingusan yang baru mengenal cinta 

hingga aku harus merasa malu segala?" 

menyahuti si pemuda. "Guru harus ingat


saat ini orang yang hendak kita cari 

itu tidak kita ketahui di mana? Paling 

tidak kita harus menyerap kabar 

tentang keberadaan Sang Cobra. Saat 

ini kita berada di sekitar daerah kali 

Merayu. Apa salahnya jika mulai 

melakukan penyelidikan dari sekarang?" 

ujar si pemuda.

"Kau benar. Aku setuju saja. 

Kebetulan sekali tidak jauh dari kali 

Merayu aku punya seorang sahabat lama. 

Namanya Ki Bantaran berjuluk Iblis 

Berhati Suci." menerangkan si kakek.

Mendengar ucapan gurunya Gento 

Guyon tersenyum dengan mulut ter-

pencong.

"Aneh? Masa iya di dunia ini ada 

iblis yang hatinya suci? Manusia 

sendiri kebanyakan hatinya bengkok. 

tidak jujur. Ha... ha... ha."

"Bocah edan. Bisa mu cuma 

mencaci melulu. Sudahlah ayo kita 

pergi!"

Selesai berkata kakek Gentong 

Ketawa menyambar tangan muridnya. 

Kejap kemudian pemuda itu merasa 

tubuhnya seperti dibawa lari secepat 

terbang.



EMPAT


Yang pertama kali dilakukan oleh 

Iwir Iwir dan Purbasari murid Ki 

Rangan alias Dewa Ngelindur Bertangan 

Arwah itu adalah mengumpulkan sedikit-

nya delapan orang laki-laki tegap. 

Purbasari sendiri sebenarnya tak 

mengerti mengapa bocah aneh bernama 

Iwir Iwir itu mengumpulkan delapan 

pemuda berbadan besar dan tegap. Namun 

untuk mengajukan pertanyaan tentu dia 

merasa malu, karena dia manganggap 

walau Iwir Iwir memiliki ilmu aneh dan 

luas pengalaman. Dia tetap merupakan 

seorang bocah yang tidak jauh berbeda 

dengan bocah lain pada umumnya.

Saat itu matahari baru saja 

tenggelam di balik gunung Bromo. 

Kegelapan mulai menyelimuti lereng 

gunung sebelah barat yang sejuk. Di 

balik kelebatan pohon yang tumbuh di 

sepanjang lereng gunung baik si bocah 

maupun Purbasari sendiri nampaknya 

tidak menghiraukan sengatan hawa 

dingin yang menusuk. Tak jauh di 

belakang mereka delapan laki-laki 

tegap bertelanjang dada tampak terus 

mengikuti mereka.

"Sekarang sudah gelap. Aku tak 

ingin melanjutkan perjalanan di malam 

hari." berkata Purbasari sambil


menghentikan langkah. Karena gadis 

berambut riap-riapan ini berhenti maka 

bocah berumur sembilan tahun itu ikut 

berhenti. Dia menggaruk rambutnya. 

Memandang ke depan sana nampaknya 

jalan akan mereka lalui semakin 

bertambah sulit.

"Aku sendiri sebenarnya juga 

tidak mau. Tapi jika kita tunda 

perjalanan ini, berarti kita 

membutuhkan waktu yang sangat lama 

untuk sampai di bukit Waton Hijau. 

Padahal jika kita berniat mengambil 

Pedang Raja di malam hari besar 

kemungkinan Anom Ka Ratan tidak akan 

mengetahui kehadiran kita." jelas Iwir 

Iwir.

"Jadi kita berniat mencuri 

pedang itu?" tanya Purbasari. Semen-

tara di belakang mereka delapan orang 

laki-laki yang mereka bawa dari desa 

terdekat sudah ikut berhenti pula. 

Mengingat perjalanan untuk mencapai 

Bukit Waton Hijau begitu sulit, tidak 

heran jika ke delapan pemuda desa itu 

nampak kelelahan. 

"Kita tidak punya pilihan lain. 

Tidak mungkin kita meminta Pedang Raja 

pada pemiliknya. Anom Ka Ratan jelas 

tidak mau memberikannya. Jika kita 

meminta orang tua itu untuk turut 

membantu, ini akan lebih sulit lagi. 

Seperti yang pernah kukatakan dia 

orang tua aneh yang mempunyai tabiat


sulit ditebak. Bisa jadi karena kita 

datang meminta tolong dia malah 

membunuh kita."

"Manusia aneh. Tak pernah 

kusangka begitu aku turun gunung aku 

akan banyak bertemu dengan orang 

edan." gumam Purbasari. Dia melirik ke 

arah delapan laki-laki muda yang 

berada di sampingnya. Setelah itu 

pandangannya kembali pada Iwir Iwir. 

"Buat apa kau membawa serta mereka 

dalam perjalanan kita?" si gadis 

ajukan pertanyaan.

Si bocah aneh ini hendak 

tertawa, namun cepat tekap mulutnya. 

Dia hanya batuk-batuk kecil, baru 

kemudian menjawab dengan berbisik. 

"Nantinya kau akan tahu bila sudah 

sampai di sana."

"Bagaimana orang-orang ini bisa 

menuruti perintahmu?" tanya Purbasari 

heran.

Iwir Iwir tersenyum, lalu 

dongakkan kepala. Matanya berkedip-

kedip memandang ke langit yang gelap 

dan hanya ditaburi cahaya gemintang.

"Ada satu rahasia besar yang 

tidak bisa kuceritakan padamu saat 

ini. Tapi jika kau mau berjanji mau 

menjadi sahabatku, kelak aku pasti 

akan menceritakan tentang rahasiaku 

itu. Asal kau mau bersumpah tidak akan 

menceritakan rahasia perihal diriku 

pada siapapun sampai kau mati." kata


Iwir Iwir.

"Bocah aneh, siapa sebenarnya 

dia? Masih sekecil ini mempunyai 

kesaktian tinggi. Tingkah lakunya 

selalu berubah-ubah, terkadang dia 

malah memberi nasehat seperti orang 

tua." Batin Purbasari. Sejenak lamanya 

gadis itu pandangi si bocah. "Baiklah, 

aku berjanji. Sekarang apakah kita 

hendak meneruskan perjalanan seperti 

keinginanmu atau istirahat seperti 

yang kukatakan tadi?"

"Turut kata hatiku kita memang 

harus melanjutkan perjalanan. Tapi... 

aku merasa sejak tadi ada orang yang 

mengikuti kita!" berkata bocah itu 

dengan suara hampir tak terdengar.

Purbasari berjingkrak kaget. 

"Apa...? Aku sendiri tidak merasa ada 

orang yang mengikuti kita. Bagaimana 

kau bisa mengetahuinya?" tanya si 

gadis. Dia semakin tambah heran saja 

melihat kemampuan dan kelebihan yang 

dimiliki oleh Iwir Iwir.

"Bocah ini, jika benar apa yang 

dikatakannya. Berarti dia mempunyai 

pendengaran yang lebih tajam dariku." 

Purbasari gelengkan kepala seakan 

merasa tak percaya.

Seolah dapat membaca pikiran si 

gadis, Iwir Iwir menegaskan. "Aku 

bicara yang sebenarnya. Kita harus 

mencari tempat untuk melewatkan malam 

sampai orang yang mengikuti kita


pergi. Besok pagi sekali baru kita 

lanjutkan perjalanan ini."

Purbasari menganggukkan kepala. 

Dalam Kegelapan malam itu matanya 

memandang ke segenap penjuru sudut. 

Dia kemudian melihat sebuah legukan 

batu yang cukup luas lagi dalam di 

lamping tebing sebelah kirinya.

"Iwir Iwir, sebaiknya kita bawa 

orang-orang ini ke sana!" kata 

Purbasari.

"Aku mengikut saja. Kau dan 

mereka bisa tidur di legukan batu itu. 

Sementara aku sendiri biar berjaga-

jaga di luar!"

"Apa, kau menyuruhku tidur 

bersama mereka? Apa kau tidak ingat 

kalau aku seorang perempuan?" dengus 

Purbasari.

"Ingat, tentu saja aku ingat. 

Tapi cuma tempat itu satu-satunya yang 

dapat dijadikan tempat berlindung dari 

dinginnya malam." menerangkan si bocah 

mencoba memberi pengertian.

"Aku ingin tidur di luar legukan 

batu, kalau perlu kau yang tidur di 

luar bersama mereka!" ujar si gadis 

cemberut.

"Baik. Tidurlah kau sesuka hati 

di mana saja yang engkau mau. Aku akan 

menyuruh mereka tidur di balik legukan 

batu. Kulihat langit mendung. Sebentar 

lagi hujan pasti segera turun. Aku 

hanya ingin memberikan yang terbaik


padamu jika kau memang mengakui aku 

adalah sahabatmu!"

"Terima kasih atas kebaikanmu!" 

kata Purbasari. Dia sendiri kemudian 

mencari tempat tak jauh dari legukan 

batu. Berlindung di bawah sebatang 

pohon rindang, di mana karena di 

tempat itu suasananya lebih gelap 

tentu dia dapat mengawasi suasana di

sekitarnya setiap saat.

Si bocah segera memerintahkan 

delapan pemuda yang ikut serta dalam 

perjalanan mereka menuju ke legukan di 

lamping batu tebing. Setelah para 

pemuda itu merebahkan diri di bagian 

dalam legukan batu yang mirip gua 

dangkal. Purbasari melihat Iwir Iwir 

keluar dari legukan batu. Dia duduk 

menyandarkan punggungnya di kaki 

tebing yang masih merupakan bagian 

lereng Gunung Bromo.

Di bawah kegelapan pohon 

Purbasari mencoba merenungi perjalanan 

yang dilakukannya sejak meninggalkan 

Puncak Terang yang merupakan tempat 

pertapaan Ki Rangan alias Dewa 

Ngelindur Bertangan Arwah. Beberapa 

perguruan telah didatanginya guna 

memberi ingat agar para ketua 

perguruan bisa bersikap waspada selalu 

mengingat munculnya Sang Cobra yang 

tidak terduga yang sering melakukan 

pembunuhan keji. Apapun alasan di 

balik pembantaian itu, baik Purbasari


maupun gurunya tidak tahu secara 

pasti.

Tapi sayang kedatangan Purbasari 

selalu terlambat. Ketika dia sampai di 

perguruan yang disambanginya. Mereka 

yang seharusnya diberi peringatan 

sudah tewas terbantai.

Semua ini baginya cukup 

mengejutkan. Yang membuatnya heran, 

sejak pertama kali menginjakkan kaki 

di salah satu perguruan, muncul bocah 

aneh yang kini turut serta bersamanya.

Bocah yang bila dilihat dari 

segi usia masih terlalu sangat muda 

bahkan boleh dibilang anak-anak, tapi 

memiliki kesaktian tinggi dan aneh, di 

samping itu si bocah juga tampaknya 

mempunyai pengalaman yang sangat luas. 

Dia mengaku bernama Iwir Iwir, namun 

siapa bocah itu yang sesungguhnya 

Purbasari tak tahu.

Satu hal lagi yang membuat 

Purbasari menjadi bertanya-tanya dalam 

hati. Entah buat apa bocah itu kini 

membawa serta delapan pemuda desa yang 

sesungguhnya tidak tahu tentang ilmu 

silat dan tidak pula berkepandaian 

apa-apa. Dan yang terasa aneh lagi, 

sejak ikut dengannya ke delapan pemuda 

itu sama sekali tak pernah bicara. 

Mereka mengikut saja ke mana Purbasari 

dan Iwir Iwir melangkah. Anehnya 

kepada bocah itu mereka sangat 

menurut. Entah ilmu apa yang


dipergunakan si bocah?

Kini di bawah pohon hanya dengan 

berbantal kedua tangannya sendiri si 

gadis mencoba memejamkan matanya. 

Entah mengapa dia jadi gelisah. 

Matanya sulit sekali dipejamkan. 

Sementara hujan mulai turun rintik-

rintik, angin dingin bertiup pula 

dengan kencang. Bersamaan dengan itu 

pula suasana di lereng Bromo sebelah 

barat itu semakin bertambah gelap 

saja. Purbasari terkejut, tapi aneh 

dia juga saat itu diserang rasa kantuk 

yang berat. Sungguhpun si gadis sudah 

mencoba bertahan agar jangan sampai 

terlelap, namun pada akhirnya dia 

pulas juga.

Justru pada saat itu pula satu 

sosok tubuh yang sejak tadi mendekam 

di balik kegelapan kini bangkit 

berdiri disertai seringai dingin 

mengerikan. Dalam gelap itu wajahnya 

sama sekali tidak terlihat. Hanya 

kedua matanya saja yang merah 

berkilat-kilat memandang ke arah 

legukan batu di mana delapan pemuda 

dusun itu melewatkan malam.

"Bocah itu ilmunya sungguh 

tinggi. Kuharap mantra sirepku dapat 

bekerja dengan baik sebagaimana yang 

kuharapkan. Aku sekarang sudah tahu 

mengapa bocah itu membawa serta 

delapan orang pemuda dusun. Sebaiknya 

biar kuhabisi saja kedelapan pemuda


itu sekarang. Sedangkan bocah dan 

gadis itu gilirannya akan tiba begitu 

mereka sampai di tempat tujuan. Jadi 

aku tidak perlu bersusah payah mencari 

di mana beradanya Pedang Raja, karena 

mereka pasti akan membawaku ke sana!" 

kata sosok serba hitam berbadan 

bungkuk itu di dalam hati. Dia lalu 

mengendap-endap mendekati legukan 

lamping tebing.

Sementara itu Iwir Iwir si bocah 

aneh juga rupanya juga tak mampu 

menahan rasa kantuknya. Bocah ini 

malah lebih cepat pulas dibandingkan 

Purbasari. Walau sebelumnya dia 

sendiri sempat memberi tahu si gadis 

kalau saat itu ada orang mengikuti 

mereka. Tapi dasar seorang bocah, 

tetap saja dia berlaku ceroboh.

Dengan leluasa sosok berpakaian 

serba hitam itu memasuki legukan batu. 

Sejenak lamanya dia pandangi ke 

delapan pemuda yang pulas tertidur 

dibuai mimpi. Mulutnya membuka, dengan 

cepat pula dia meniup. Dari mulutnya 

menyembur cairan putih yang langsung 

mengepul menjadi kabut. Kabut putih 

itu menebar memenuhi ruangan dan 

tersedot masuk ke dalam pernafasan ke 

delapan pemuda dusun. Begitu masuk ke 

dalam pernafasan, maka ke delapan 

pemuda itu tersentak. Mereka memegangi 

leher masing-masing yang terasa 

tercekik, tubuh menggelepar sedangkan


kaki menggelinjang. Hanya beberapa

saat kemudian ke delapan pemuda itu 

tampak terdiam tidak berkutik lagi.

"Uap racun Raja Cobra tidak ada 

duanya di dunia ini. Kalau aku mau 

bahkan bocah yang tidur di depan sana 

pasti menemui ajal saat ini, juga." 

geram sosok bungkuk itu. Kemudian 

tanpa menunggu lebih lama sosok 

berpakaian serba hitam ini langsung 

berkelebat meninggalkan korbannya.

Pada pagi keesokan harinya, 

Purbasari jadi kaget begitu melihat 

delapan pemuda itu sudah tergeletak 

kaku tanpa nyawa. Anehnya begitu dia 

melihat ke arah Iwir Iwir yang baru 

saja terjaga bocah itu terlihat 

tenang-tenang saja.

"Siapa yang membunuh mereka?" 

bertanya gadis itu sambil memeriksa 

keadaan salah satu mayat tanpa luka 

namun tubuhnya hitam membiru.

"Mana aku tahu? Aku sendiri 

tidur," jawab si bocah. Iwir Iwir 

datang menghampiri, ikut memeriksa 

seluruh mayat pemuda dusun kemudian 

dia melanjutkan ucapannya. "Racun yang 

sangat keji. Ditiupkan ke udara lalu 

terhirup pernafasan. Untung... untung 

akalku lebih panjang."

"Eeh... apa maksudmu?" tanya 

Purbasari. Si bocah tersenyum. Tanpa 

menghiraukan pertanyaan si gadis, Iwir 

Iwir menggerakkan tangannya ke arah


mayat-mayat itu.

Wuuut! 

Angin menderu menyapu ke delapan 

mayat si pemuda. Purbasari terbelalak 

kaget, mulut ternganga seakan tak 

percaya dengan apa yang dilihatnya.

Bagaimana tidak? Ke delapan 

pemuda itu kini telah berubah menjadi 

potongan kayu. Purbasari memandang 

pada si bocah dengan tatapan penuh 

tanya.

Iwir Iwir tersenyum. "Aku punya 

firasat hal ini pasti akan terjadi. 

Dengan sedikit kekuatan yang ku miliki 

kusarukan kayu-kayu itu menggantikan 

delapan pemuda yang bersama kita. Aku 

tidak tahu apa maksud tujuan orang itu 

mengikuti kita. Tapi kurasa jika dia 

telah berani melakukan pembunuhan. 

Berarti ada sesuatu yang 

diinginkannya." jelas si bocah.

Purbasari terdiam, dia semakin 

kagum terhadap si bocah di samping 

juga tetap curiga.

"Sekarang di mana mereka?'" 

tanya si gadis.

"Tak usah khawatir. Para pemuda 

itu bersembunyi di satu tempat aman 

tak jauh dari sini. Kalau kau ingin 

melihatnya juga boleh. Mari kita ke 

sana." ujar Iwir Iwir.

Keduanya lalu menelusuri tanah 

bebatuan di sebelah kanan tebing. Tak 

lama mereka sampai di sebuah gua


kecil. Si bocah batuk beberapa kali. 

Dari balik mulut gua yang sempit 

bermunculan kedelapan pemuda dusun 

itu.

"Aneh...!" desis si gadis merasa 

kagum.

Si bocah tertawa disertai batuk. 

"Tidak ada yang aneh. Sedikit 

melakukan tipuan kecil terhadap orang 

yang berniat jahat, kurasa aku bisa 

mendapat ganjaran pahala dari Tuhan. 

Sekarang, walau tidak aman kurasa kita 

sudah bisa melanjutkan perjalanan." 

ujar Iwir Iwir. Purbasari anggukkan 

kepala. Selanjutnya mereka berjalan 

melewati lembah di mana bukit Waton 

Hijau nampak biru kehijauan di bawah 

siraman cahaya matahari pagi.


LIMA


Kakek tua berbadan kurus, 

berpipi cekung bermata tajam penuh 

kearifan itu duduk diam di dalam 

kamarnya yang sempit. Sebentar dia 

melirik ke arah pedang hitam berte-

lanjang yang tergeletak di atas 

pendupaan menyala. Sesekali mulutnya 

berkomat-kamit, anehnya tak sepatah 

katapun yang terdengar dari mulutnya. 

Sambil berkomat-kamit si kakek 

berpakaian serba ungu ini menaburkan 

serbuk dalam genggaman tangannya.


Terdengar suara gemeretak begitu 

serbuk berwarna kuning itu menyentuh 

api disertai dengan mengepulnya asap 

hitam kekuningan menebar bau harum 

damar. 

Di atas pendupaan pedang yang 

diletakkan melintang bergetar disertai 

dengan terdengarnya suara dentring 

aneh. Si kakek kemudian berucap 

ditujukan pada pedang di atas 

pendupaan. "Gagak Mencle, aku sudah 

mendengar kejahatan Sang Cobra. Saat 

ini sudah sangat banyak kerabatku 

pendiri perguruan yang tewas di 

tangannya. Aku ingin kau membunuhnya 

agar tidak ada lagi darah orang yang 

tidak berdosa tercecer membasahi bumi. 

Lakukan tugasmu sekarang juga!" 

berkata begitu kakek tua bernama Ki 

Bantaran dan dikenal dengan julukan 

Iblis Berhati Suci itu jentikkan ujung 

jemarinya ke hulu pedang hitam. 

Zzzzt!

Begitu angin dingin menyentuh 

permukaan pendupaan. Maka pedang 

Mencle Sapu Angin menderu, melesat di 

langit-langit pondok dan menerobos 

atap ilalang dan lenyap dari pandangan 

mata. Beberapa saat lamanya si kakek 

tetap duduk di depan pendupaan, dengan 

tangan dirangkapkan ke depan dada 

sedangkan mata dalam keadaan terpejam.

Tapi tubuh si kakek tiba-tiba saja 

bergetar hebat. Punggungnya yang


berada di atas tempat tidur terangkat 

ke atas, lalu meluncur ke bawah

laksana dibanting.

"Oh celaka, ada apa gerangan?" 

desis si kakek sambil membuka matanya. 

Belum lagi lenyap rasa kaget di hati 

Ki Bantaran di atas pondok terdengar 

suara letusan keras yang disusul 

dengan hancurnya atap pondok. Satu 

benda hitam melayang jatuh, menancap 

tepat di depan kaki Ki Bantaran. 

Ketika melihat benda itu maka kagetlah 

si kakek dibuatnya.

"Pedang Gagak Mencle Sapu Angin, 

mengapa yang kau bunuh hanya seekor 

ular cobra yang tidak berguna?" hardik 

orang tua itu sambil memperhatikan 

bagian kepala ular yang menancap di 

ujung mata pedang. Si kakek lalu 

mencabut pedang yang menancap di atas 

balai tempat tidur. Ekor ular dipegang 

dan ditarik, sehingga kepala ular itu 

terlepas dari ujung pedang. "Seumur 

hidup aku menggunakan senjata bertuah 

ini belum pernah meleset dari sasaran. 

Tapi hari ini mengapa bisa terjadi 

kekeliruan? Apakah pedang ini salah 

mengerti maksud dari ucapanku?" pikir 

si kakek.

Selagi hati orang tua ini 

diliputi rasa bingung. Pada saat itu 

pula di depan rumahnya terdengar suara 

tawa terbahak-bahak. Merasa terkejut 

Ki Bantaran melompat bangkit. Tawa


aneh yang didengarnya tadi lenyap, 

satu suara berkata. "Ki Bantaran, 

apapun yang kau lakukan untuk 

membunuhku hal itu tidak akan pernah 

menjadi kenyataan. Sekarang kau 

keluarlah! Aku menunggumu di sini."

"Siapa dia? Suaranya sama sekali 

tidak kukenal." membatin Ki Bantaran. 

Karena curiga kakek itu menyelipkan 

pedang yang dipungutnya tadi di balik 

pakaian ungunya. 

"Ki Bantaran Iblis Berhati Suci, 

tapi aku lebih suka menyebutmu iblis 

keparat! Cepat keluar, waktuku tidak 

banyak karena masih dua nyawa lagi 

yang menunggu untuk kukirim ke 

neraka!" bentak orang di halaman. Ki 

Bantaran yang sempat heran karena 

orang mengenali julukannya berkelebat 

ke bagian pintu depan. Sampai di depan 

pintu di hentikan langkah. Sepasang 

matanya memandang tajam ke arah sosok 

laki-laki yang berdiri tegak di 

halaman. Orang tua ini kembali dilanda 

keterkejutan besar ketika melihat 

sosok laki-laki bertelanjang dada 

bercelana hitam. Sedangkan di sekujur 

tubuhnya dihiasi lukisan berupa sosok 

ular cobra. Wajah maupun kepala laki-

laki itu sama sekali tak terlihat 

karena diselubungi kain hitam. Hanya 

sepasang matanya saja yang mengintai 

dari balik selubung kain yang diberi 

dua buah lubang.


Setelah saling beradu pandang 

sekian lamanya, laki-laki bertelanjang 

dada itu akhirnya tertawa terbahak-

bahak. "Kau ingat dengan diriku iblis 

berhati suci?! Ha... ha... ha." hardik 

laki-laki itu yang bukan lain adalah 

Sang Cobra.

"Melihat pada keadaan badanmu, 

kau pasti adalah Sang Cobra," menyahut 

Ki Bantaran. Sang Cobra gelengkan 

kepala. "Bukan, bukan itu. Kau tentu 

ingat kejadian sekitar dua puluh tahun 

yang lalu. Ketika itu hujan deras 

melanda, seluruh tanah Jawa. Dalam 

gelapnya malam di tengah hujan, ada 

seorang pemuda datang ke rumahmu yang 

buruk. Di sini, di pondok ini!" jelas 

laki-laki itu.

Mendengar ucapan Sang Cobra di 

samping terperanjat, kakek itu nampak 

terdiam. Kening si orang tua berkerut 

tajam. "Dua puluh tahun yang lalu" 

membatin si kakek dalam hati. Begitu 

otak si orang tua dapat mengingat maka 

wajahnya menjadi murung. 

***

Sejenak mari kita ikuti kejadian 

yang terjadi sekitar dua puluh tahun 

yang silam. Saat itu hari sudah hampir 

malam. Di bagian pendopo depan Ki 

Bantaran sedang berbincang-bincang 

dengan salah seorang sahabatnya yang


bernama Ki Banjar Jati alias Mahluk 

Tanpa Tanda.

"Jadi sahabat kita Anom Ka Ratan 

berhasil membunuh Sepasang Iblis 

Pengemis Harpa?" tanya Ki Bantaran 

saat itu pada sahabatnya Ki Banjar 

Jati.

"Bukan dia sendiri, tapi aku 

juga termasuk ikut ambil bagian dalam 

mengeroyok dua tokoh sesat sakti itu. 

Belasan ketua perguruan silat yang 

berada di tanah timur ini juga turut 

ambil bagian. Kami tak ingin ada 

pembalasan di kemudian hari. Itu 

sebabnya aku dan para ketua perguruan 

yang ikut tergabung dalam penyerbuan 

ke Puncak Tumapel terpaksa mengero-

yoknya. Tapi ternyata Sepasang Iblis 

Pengemis Harpa itu ilmunya sangat 

tinggi sekali. Kami hampir saja kalah. 

Beruntung muncul Anom Ka Ratan. Orang 

tua itu membantu kami. Ketika mereka 

terluka, aku membunuh mereka dengan 

pedang Gagak Mencle Sapu Angin yang 

kupinjam darimu. Pedang sakti ini 

sangat bagus." berkata begitu orang 

tua berpakaian serba putih keluarkan 

pedang berikut sarungnya dari balik 

pinggang. "Sekarang pedang kukem-

balikan padamu. Aku sangat berterima 

kasih!" kata Ki Banjar Jati sambil 

mengelus-elus jenggot panjangnya. 

Ki Bantaran menerima pedang 

miliknya, kemudian meletakkan pedang


Gagak Mencle Sapu Angin di atas 

pangkuannya. Setelah memandang tamunya 

beberapa jenak lamanya, Ki Bantaran 

berucap. "Menurutku Sepasang Iblis 

Pengemis Harpa memang sudah selayaknya 

disingkirkan. Karena sejak dulu mereka 

selalu berusaha menyingkirkan para 

pendekar dari golongan kita. Keinginan 

mereka untuk merajai dunia persilatan 

dan menjadi raja dan ratu untuk semua 

golongan adalah sebuah cita-cita gila 

yang tidak boleh terjadi. Aku tidak 

dapat membayangkan bagaimana sean-

dainya orang-orang seperti mereka 

berkuasa di seluruh tanah Jawa ini. 

Kurasa bukan hanya rakyat saja yang 

sengsara, tapi kita sendiri juga bisa 

dijadikan budaknya!"

"Kau betul aku sependapat 

denganmu." sahut Ki Banjar Jati 

disertai anggukan kepala.

"Namun ada satu hal yang aku 

sesalkan. Tindakanmu dan tindakan 

kawan-kawan yang ikut mengeroyoknya 

bukan tindakan seorang satria."

Ki Banjar Jati tertawa terkekeh. 

"Untuk menghadapi mereka buat apa 

memakai segala aturan. Lagipula 

Sepasang Iblis Pengemis Harpa sangat 

tinggi ilmunya. Aku tak mau salah 

seorang di antara kami yang ikut 

melakukan penyerbuan ke bukit Tumapel 

menjadi korban!" tegas orang tua itu.

"Lalu bagaimana dengan putra


kedua dedengkot tokoh sesat itu. 

Apakah dia juga ikut terbunuh?" tanya 

Ki Bantaran alihkan pembicaraan. Ki 

Banjar gelengkan kepala.

"Kami tak tega membunuhnya. 

Pemuda itu sangat baik, mempunyai 

watak yang sangat jauh berbeda dengan 

kedua orang tuanya. Lagipula saat itu 

dia tak berada di bukit Tumapel. 

Menurut kabar yang kudengar dia 

mengembara mendatangi setiap perguruan 

silat dan mengemis agar diangkat 

menjadi murid. Tapi ketua perguruan 

mana yang sudi menerimanya mengingat 

dia jelas-jelas keturunan dua manusia 

sesat." dengus Ki Banjar Jati.

"Kurasa aku sendiri juga harus 

berpikir dua kali jika ingin mengang-

kat pemuda itu menjadi muridku!" 

berucap Ki Bantaran perlahan. "Tapi 

aku sendiri orang yang paling tidak 

dapat berlaku tega pada sesama 

manusia. Apalagi mengingat Lodra 

Bergola hanya menjadi korban cacat 

buruk sepak terjang ke dua orang 

tuanya,"

"Terserah padamu. Jika kelak dia 

datang kepadamu, harap kau ingat 

jangan terlalu gegabah mengambil 

keputusan untuk membesarkan anak 

Singa." Setelah berkata Ki Banjar Jati 

bangkit berdiri.

"Eeh, kau hendak ke mana 

sahabatku?" tanya Ki Bantaran.


"Saat ini hujan sudah hampir 

turun, Aku tidak mau basah kuyup 

pulang ke rumah. Aku pulang dulu 

sahabatku!" jawab Ki Banjar Jati,

Ki Bantaran tidak berniat 

mencegah kepergian sahabatnya. Dia 

mengantarkan tamunya sampai di halaman 

depan. Beberapa saat setelah orang 

nomor satu dari daerah Sidoarjo itu 

berlalu hujan turun bagai tercurah 

dari langit.

Sementara Ki Bantaran masuk 

mengunci pintu rumahnya. Maka di balik 

rumpun bambu di samping rumah sosok 

tubuh yang mendekam di situ dan turut 

mendengarkan pembicaraan kedua tokoh 

tadi keluar dari tempat persembu-

nyiannya. Dalam keadaan pakaian basah 

kuyup pemuda berpakaian serba hitam 

ini mengetuk pintu rumah Ki Bantaran.

"Siapa?" tanya Ki Bantaran yang 

rupanya merasa terganggu.

"Saya ingin bertemu dengan pemi-

lik rumah. Sangat penting sekali!" 

sahut si pemuda.

Dengan perasaan heran Ki 

Bantaran membuka pintu. Orangtua ini 

sempat tercekat begitu melihat 

kehadiran seorang pemuda yang sama 

sekali tidak dikenalnya. Wajah pemuda 

itu hancur mengerikan seperti bekas 

dihantam benda keras. Bagian dadanya 

terluka, kedua bahu tampak memar. 

Sedangkan kedua mata nyaris tak


terlihat karena bengkak membiru.

"Siapa kau? Mengapa keadaanmu 

seperti ini?" tanya Ki Bantaran.

"Paman... kumohon kiranya kau 

bersedia mengangkat diriku yang hina 

ini jadi muridmu. Aku telah datang ke 

beberapa perguruan silat. Tapi 

hasilnya seperti yang kau lihat. 

Mereka menganiaya diriku. Sebagian di 

antaranya bahkan ada yang bermaksud 

membunuhku. Dalam hidup aku sudah tak 

punya siapa pun paman. Kuharapkan rasa 

belas kasihmu!" kata si pemuda 

memelas.

Mendengar ucapan pemuda itu ber-

getar hati Ki Bantaran. Keadaan tubuh 

pemuda itu memang mengundang rasa iba 

bagi yang melihatnya.

"Hem, kau belum mengatakan siapa 

namamu!" kata Ki Bantaran mengingat-

kan.

"Namaku Lodra Bergola, putra 

Sepasang Iblis Pengemis Harpa. Kedua 

orangtuaku telah terbunuh. Tapi aku 

tidak akan mendendam kepada pembunuh 

orangtuaku asal paman bersedia 

mengangkatku menjadi seorang murid. 

Aku ingin paman mau memberiku petunjuk 

menuju jalan yang lurus. Agar kelak 

aku dapat menebus semua kesalahan dan 

dosa orangtuaku!" kata Lodra Bergola 

dengan setengah meratap. 

Ki Bantaran sendiri sebenarnya 

sangat terkejut sekali ketika men


dengar si pemuda menyebutkan namanya. 

Sama sekali dia tak menyangka bahwa 

pemuda yang berdiri tegak di 

hadapannya itu adalah putra Sepasang 

Iblis Pengemis Harpa. Apapun yang 

menjadi alasan Lodra Bergola, Ki 

Bantaran sendiri sejak dulu tak pernah 

bercita-cita mempunyai murid atau 

mengambil murid dari golongan manapun. 

Apalagi jika harus mengangkat murid 

anak dari sepasang dedengkot datuk 

sesat yang kejahatannya saja sudah 

melampaui batas. Apa nanti kata para 

sahabat sesama golongan yang lain. 

Tentu saja mereka akan memusuhi 

dirinya.

"Lodra Bergola, maafkan aku 

karena tak dapat memenuhi permintaan-

mu. Carilah guru di tempat lain, 

mungkin mereka dapat membantu dalam 

memenuhi keinginanmu itu!" kata Ki 

Bantaran. Si orang tua sudah hendak 

menutupkan pintu, tapi Lodra Bergola 

mencegahnya.

"Paman, seperti yang kukatakan 

aku telah mendatangi berbagai pergu-

ruan. Tapi semua pintu tertutup 

untukku. Dalam hidup aku tidak punya 

rasa dendam. Apa yang terjadi pada 

kedua orangtuaku kuanggap sebagai 

balasan dari semua yang dilakukannya 

di masa lalu. Aku sendiri tak mau 

disamakan dengan mereka. Aku hanya 

ingin menjadi seorang pendekar yang


kelak kuharapkan mampu menolong kaum 

yang tertindas. Hanya itu saja, tak 

lebih tak kurang!" kata Lodra Bergola 

dengan mata berkaca-kaca.

"Cita-citamu sangat luhur dan 

mulia. Tapi seperti yang telah 

kukatakan, aku tak mampu memenuhi 

keinginanmu. Ilmu yang kumiliki baru 

seujung kuku bagaimana aku bisa 

mempunyai murid?"

"Bagiku walau tingkat kepan-

daianmu baru setitik debu tidak 

menjadi persoalan. Aku tidak tahu 

harus ke mana."

"Pergilah! Aku tak punya waktu 

untuk melayanimu!" hardik Ki Bantaran 

hilang sudah kesabarannya. Dia lalu 

balikkan badan dan melangkah masuk. 

Namun gerakannya jadi tertahan, karena 

Lodra Bergola memegangi kakinya sambil 

berlutut.

"Tolonglah aku, paman. Aku takut 

menjadi manusia sesat. Aku takut Tuhan 

menyesatkan aku dalam kegelapan." 

rintih si pemuda merasa putus asa.

"Ha... ha... ha! Siapapun 

dirimu, apapun pendirianmu. Pada 

dasarnya kau memang anak turun manusia 

sesat. Jika kau harus mengikuti 

langkah orangtuamu, itupun bukan suatu 

tindakan yang keliru! Pergilah! Jangan 

pernah datang ke mari." seiring dengan 

ucapannya itu Ki Bantaran gerakkan 

kakinya yang dipeluk oleh Lodra


Bergola. Tak ampun lagi pemuda itu 

terpelanting ke halaman. Dalam hujan 

yang kian bertambah deras dia merang-

kak bangkit mendatangi Ki Bantaran 

sambil berharap orang tua itu berubah 

pikiran sehingga bersedia mengangkat-

nya menjadi seorang murid. Tapi begitu 

sampai di depan si orang tua dia malah 

diludahi. 

"Pemuda tolol, jangan bertindak 

nekad. Salah-salah aku pasti membunuh-

mu!" hardik Ki Bantaran. Apa yang 

dikatakannya itu nampaknya tidak main-

main karena laksana kilat dia angkat 

tangannya yang telah dialiri tenaga 

dalam dan telah berubah memerah hingga 

sebatas siku.

Melihat kenyataan ini Lodra 

Bergola menjadi ciut. Dia tak menyang-

ka orang tua yang dikenal dengan 

julukan Iblis Berhati Suci yang selama 

ini tersohor karena sikapnya yang 

sangat bijaksana tega hendak berlaku 

keji terhadapnya. Dengan rasa kecewa 

dan membawa keputus asaan yang amat 

sangat Lodra Bergola melangkah mundur. 

Dia pandangi orang tua itu beberapa 

saat lamanya.

"Orang tua! Di manakah batas 

antara mulia dan hinanya seorang 

manusia? Julukanmu Iblis Berhati Suci, 

tapi di mataku kau tetap iblis keji 

dan jahat. Aku sadar siapa diriku 

adanya. Jika aku menyadari langkah


kedua orangtuaku sesat dan keliru. 

Sebagai anaknya apakah aku tak boleh 

memilih jalan hidupku sendiri sejauh 

kupandang benar? Kau memandangku 

seperti seekor hewan menjijikkan. 

Padahal apa yang baru saja kau lakukan 

padaku juga merupakan kejahatan besar 

karena kau membedakan diriku dengan 

manusia lain." kata Lodra Bergola 

dengan suara tersendat dan nafas 

memburu.

"Bocah turunan iblis. Jangan 

coba-coba mengguruiku. Seperti yang 

kukatakan aku tidak bisa berubah 

pikiran. Pergilah selagi aku masih 

dapat menghargai selembar nyawamu!" 

hardik Ki Bantaran.

"Huh, sejak tadi kau mau 

membunuhku. Mengapa tidak segera kau 

lakukan?" tantang Lodra Bergola. 

Merah padam wajah Ki Bantaran 

mendengarnya. Bibirnya terkatup rapat, 

gerahamnya bergerak-gerak sedangkan 

kedua pipinya menggembung. Karena 

orang tua itu tak kunjung bicara, maka 

Lodra Bergola melanjutkan. 

"Orang tua, kejadian hari ini 

akan kuingat selamanya. Penolakanmu 

ini kelak pasti akan membuatmu 

menyesal. Begitu juga orang-orang yang 

telah membunuh ayah ibuku. Hari ini 

kau telah menabur angin orang tua. 

Kelak kau dan orang yang segolongan 

denganmu pasti akan menuai badai!"


selesai berucap Lodra Bergola balikkan 

badan. Dalam hujan dan gelapnya malam 

dia melangkah pergi dengan membawa 

sejuta luka dan kecewa di dada.

Sejak saat itu Ki Bantaran tak 

lagi mendengar kabar tentang putra 

Sepasang Iblis Pengemis Harpa ini. Ada 

yang mengatakan Lodra Bergola telah 

lama mati membunuh diri. Ada pula yang 

mengatakan pemuda itu nekad memasuki 

Lembah Cobra di selatan Pacitan. 

Tempat yang disebutkan terakhir meru-

pakan daerah paling angker dan sangat 

ditakuti oleh orang-orang dari dunia 

persilatan.



ENAM



"Kurasa semuanya masih ada dalam 

kepalamu, Ki Bantaran? Betapa hinanya 

hidup di saat itu. Ternyata tidak 

semua niat baik itu buahnya selalu 

manis. Ha... ha... ha!" di hadapan si 

kakek tua berambut putih Lodra Bergola 

dongakkan kepala disertai tawa dingin 

menyeramkan. Suara tawa itu 

menyadarkan si kakek dari lamunannya.

Dia memandang ke depan. Seingat-

nya dulu dia tidak dihiasi tatto 

begitu rupa dan dulu kepala Lodra 

Bergola tidak pula diselubungi kain 

hitam. Apakah dia sengaja menyembunyi-

kan cacat wajahnya? Walaupun begitu Ki

Bantaran tetap unjukkan sikap tenang.

"Tidak kusangka Sang Cobra itu 

adalah dirimu, Lodra Bergola? Mengapa 

kau memilih langkah sesat seperti 

ini?" tanpa sadar si kakek telah 

melontarkan sebuah pertanyaan tolol 

yang pada akhirnya berbalik menghantam 

dirinya sendiri. Dengan tatapan dingin 

disertai desis aneh Lodra Bergola 

menjawab. "Manusia palsu. Berkedok 

dengan topeng kebaikan, tidak tahunya 

hatimu sejahat iblis. Pertanyaanmu itu 

mengingatkan kedatanganku ke sini dua 

puluh tahun yang lalu. Puah...!" Sang 

Cobra semburkan ludah. Air ludah 

bercampur darah berbau busuk menyembur 

ke luar. Karena kini jarak di antara 

mereka hanya terpaut sejauh satu 

setengah tombak. Maka semburan air 

ludah itu sebagian membasahi Ki 

Bantaran.

Mendapat penghinaan seperti itu 

Ki Bantaran alias Iblis Berhati Suci 

menjadi hilang kesabarannya. 

"Manusia keparat menyesal aku 

tak membunuhmu waktu itu!" maki si 

kakek.

Sang Cobra tertawa tergelak-

gelak.

"Penyesalan datangnya memang 

selalu terlambat, orang tua. Sebagai-

mana ketua perguruan yang dulu pernah 

menghinaku, maka nasibmu pun akan sama 

seperti mereka." dengus laki-laki itu,


Dia lalu melanjutkan ucapannya. "Kenal 

dengan Ni Estu Lampiri, orang tua?"

Mendapat pertanyaan itu wajah si 

kakek berubah, dia terkejut. Bagaimana

pun dia tentu saja sangat mengenai Ni 

Lampiri karena masih terhitung saudara 

sepupu si kakek dan merupakan ketua 

perguruan Teratai Merah.

Dengan suara tertahan si kakek 

berkata. "Kau berurusan denganku. Jika 

kau ganggu dia atau kau usik saja 

selembar rambutnya, kubunuh kau!" 

ancam Ki Bantaran.

"Ha... ha... ha! Aku bukan saja 

telah mengusiknya, tapi aku malah 

telah mengirim roh perempuan itu dan 

muridnya ke akherat. Jika kau inginkan 

jasadnya dia kubuang tak jauh dari 

tempat tinggalmu ini!" dengus Sang 

Cobra.

Mendengar ucapan lawannya darah 

si kakek laksana mendidih. Tanpa 

bicara lagi dia mencabut pedang Gagak 

Mencle Sapu Angin dari balik punggung-

nya. Dengan pedang terhunus disertai 

teriakan melengking, Ki Bantaran 

menyerbu ke arah lawan dengan gerakan 

cepat laksana kilat. Saat tubuhnya 

berada dekat dengan lawan, maka pedang 

dibabatkan ke arah dada dan perut Sang 

Cobra. Lawan yang sudah menduga 

serangan dan mengetahui kehebatan 

pedang yang dipergunakan untuk mem-

bunuh orangtuanya melompat ke


belakang. 

Wuus!

Serangan pedang luput. Si kakek 

tak mau bersikap ayal. Dia hantamkan 

tangannya ke bagian kepala yang 

diselubungi kain hitam itu. Sinar 

putih membersit dari telapak tangan si 

kakek, hawa panas menyengat. Sang 

Cobra keluarkan seruan kaget, namun 

dia cepat rundukkan kepala. Serangan 

sinar maut yang bersumber dari pukulan 

Inti Bumi lewat sejengkal di atas 

kepala laki-laki itu. Di belakangnya 

terdengar ledakan berdentum. Sang 

Cobra tak menghiraukan semua itu. 

Jemari tangannya yang terentang berke-

lebat menyambar, hawa dingin menebar. 

Si kakek berseru kaget, namun masih 

sempat melakukan langkah penyelamatan 

dengan berjumpalitan ke belakang.

Begitu kakinya menjejak tanah 

pada lompatan terakhir dia menghantam 

lawannya dengan pukulan Iblis Menebar 

Kebajikan, Iblis Mengusung Mayat dan 

Iblis Menangis Dalam Dosa. Pukulan ini 

dilepaskan silih berganti dan tiada 

berkeputusan. Sinar hitam, putih, 

biru, merah bertubi-tubi menghujani 

tubuh Sang Cobra. Tapi sungguh aneh 

meskipun sebagian pukulan tak dapat 

dielakkan oleh lawan dan menghantam 

tubuhnya dengan telak. Namun hiasan 

ular cobra yang memenuhi sekujur tubuh 

Lodra Bergola seakan bergerak hidup


berkelebatan di sekujur tubuh lawan 

dan menelan habis sinar maut yang 

dilepaskan oleh Ki Bantaran.

Akibatnya kakek tua ini lambat

laun terkuras juga tenaga saktinya. 

Sadar hanya akan sia-sia bila 

mengumbar pukulan. Sambil berteriak 

keras Ki Bantaran melompat di udara. 

Pedang di tangannya diputar sebat 

seraya mengeluarkan suara menderu 

disertai berkelebatnya sinar hitam 

yang mempersempit jalan gerak lawan.

"Ha... ha... ha! Dua puluh tahun 

yang lalu temanmu menggunakan pedang 

ini untuk membunuh kedua orangtuaku. 

Sekarang kau akan rasakan sendiri 

ketajaman senjata bututmu itu!" 

berkata begitu dengan satu gerakan 

aneh Sang Cobra julurkan salah satu 

tangannya. Tak ayal lagi tangan yang 

terjulur dan bermaksud merampas hulu 

pedang terbabat mata pedang di tangan 

si kakek. 

Traang! Traang!

Dua kali babatan mengeluarkan 

suara berdentrang disertai berpijarnya 

bunga api. Si kakek melompat mundur,

tangannya bergetar sakit. Pedang yang 

membabat lengan lawannya laksana 

menghantam tembok baja. Di depan sana 

Sang Cobra tidak mengalami cidera 

sedikit pun. Malah kini dengan satu 

lompatan kilat tangan kirinya 

terjulur. Tubuh berputar ke samping,


sedangkan kepala dimiringkan ke kiri 

kanan hindari tebasan senjata lawan. 

Lalu...

Sreet! 

Pedang dalam waktu sekejap telah 

berpindah tangan. Rasa kaget di hati 

si kakek tak terperikan. Matanya 

mendelik besar, belum lagi hilang rasa 

kagetnya. Maka detik itu pula pedang 

yang telah dirampas lawannya berke-

lebat menyambar deras ke arah si 

kakek. Tidak ada kesempatan lagi bagi 

Ki Bantaran untuk menyelamatkan diri 

pada saat pedang itu menembus perut-

nya. Dia menjerit keras, kedua matanya 

melotot bagai tak percaya dengan 

kenyataan bahwa dia harus menemui ajal 

ditembus senjatanya sendiri.

Ketika Sang Cobra menyentakkan 

pedang itu dari perut lawan. Tak ampun 

si kakek ambruk seketika. Sambil 

tertawa terkekeh-kekeh, Sang Cobra 

bermaksud menggorok putus leher Ki 

Bantaran. Namun pada saat yang 

bersamaan mendadak dia mendengar suara 

orang berteriak sambil berlari cepat.

"Sahabatku, aku Gentong Ketawa 

datang menyambangi. Ha... ha... ha!"

"Aku juga, muridnya kakek gendut 

ikutan nimbrung. Harap kau sambut tamu 

yang datang dari jauh!" kata suara 

yang satunya lagi disertai tawa pula.

"Huh, siapa mereka aku tak tahu. 

Sebaiknya kutinggalkan tempat ini! Aku


harus mencari Mahluk Tanpa Tanda dan 

Anom Ka Ratan! Dua manusia keparat itu 

yang paling bertanggung jawab atas 

kematian ayah ibuku!" selesai berkata 

dengan tergesa-gesa setelah membuang 

Pedang Gagak Mencle Sapu Angin ke 

samping Ki Bantaran, Sang Cobra 

berkelebat pergi. Dia sama sekali tak 

menduga kalau lawan sebenarnya masih 

hidup.

Ketika orang yang bicara sambil 

tertawa-tawa tadi jejakkan kakinya di 

bagian halaman. Mereka hanya melihat 

berkelebatnya sosok tubuh bercelana 

hitam. Salah seorang diantaranya yang 

bukan lain adalah Gento Guyon 

bermaksud mengejar. Tapi niatnya 

dicegah oleh kakek gendut besar.

"Biarkan saja. Mungkin dia 

tetamu tuan rumah yang baru habis 

dijamu makanan sedap!" berkata si 

kakek yang tak lain adalah Gentong 

Ketawa. Selanjutnya dia berkelebat dan 

jejakkan kaki di depan pintu yang 

terbuka. Si kakek panjangkan leher 

julurkan kepala. Matanya memandang ke 

segenap ruangan depan, tak ada 

siapapun.

"Ke mana perginya wong edan 

sahabatku itu?" kata si kakek seorang 

diri. Sementara Gento Guyon tetap 

berdiri tegak di tempatnya.

"Iblis Berhati Suci di manakah 

gerangan dikau?" teriak Gentong Ketawa


dengan suara keras.

Di belakang Gento terdengar 

suara erangan lirih. Si pemuda memutar 

tubuhnya. Dia melihat satu sosok tubuh 

terkapar di tanah sambil mengerang 

lirih.

"Guru... ternyata tuan rumah 

ketiduran di halaman ini!" seru si 

pemuda yang tidak melihat kalau Ki 

Bantaran sesungguhnya tengah mengha-

dapi sakaratul maut.

Si kakek memutar tubuhnya yang 

besar luar biasa. Senyumnya mengem-

bang, mulutnya berucap. "Ah, sobat, 

Kau tidur di situ. Rupanya rumahmu 

yang lapuk sudah berubah panas 

sekarang. Eeh... kau diam saja di 

situ, apakah hendak mengajak para 

tetamu tidur juga. Jangan ngawur, yang 

kami butuhkan saat ini hanya segelas 

air putih atau kalau ada sekendi tuak 

berikut makanannya. Ha... ha... ha!"

"Guru dia terluka parah!" teriak 

si pemuda begitu mendekati Ki 

Bantaran. Dengan cepat si dia pemuda 

berlutut di samping Ki Bantaran.

Sedangkan si kakek gendut 

langsung berlari mendatangi.

"Apa kau bilang? Dia berduka? Ah 

siapa yang mati?!" tanya si gendut 

heran. Seingatnya Ki Bantaran sama 

seperti dirinya tetap hidup membujang 

sampai tua. Tapi begitu sampai di 

samping Ki Bantaran segala tanya yang


mengganjal di hati kakek Gentong 

Ketawa pupus sudah. Kini dia melihat 

sebuah kenyataan bahwa sahabat yang 

disambanginya ternyata terkapar di 

atas tanah dengan perut bersimbah 

darah, sementara sebuah pedang ber-

warna hitam tergeletak di sisi Ki 

Bantaran berlumur darah.

"Sahabatku, apa yang telah 

terjadi? Apakah kau melakukan bunuh 

diri dengan senjatamu sendiri?" tanya 

si kakek sambil memperhatikan luka di 

perut Ki Bantaran. Melihat pada luka 

dan banyaknya darah yang mengucur 

keluar, tampaknya Ki Bantaran tidak 

punya harapan hidup lebih lama.

"Sobat Gentong Ketawa," desis Ki 

Bantaran mencoba memaksakan senyumnya. 

Tapi senyum itu di mata Gentong Ketawa 

tak ubahnya seperti seringai sakit 

dari seorang yang mendekati ambang 

ajal. "Senang sekali kau datang 

menyambangi diriku yang sudah jadi 

rongsokan ini. Ak... aku bukan 

membunuh diri. Tapi... seseorang telah 

mencelakaiku...!" berkata Ki Bantaran 

dengan suara tersendat-sendat.

"Apa, siapa yang melakukan 

kekejian ini padamu kek!" desis Gento 

Guyon. Pemuda itu meraba nadi di 

pergelangan Ki Bantaran. Denyut 

nadinya terasa sangat lemah sekali. 

Dalam hati Gento membatin. "Tidak ada 

lagi harapan baginya. Sebentar


nyawanya disambar malaikat maut."

Ki Bantaran pandangi orang yang 

bertanya. Mulutnya mencoba tersenyum. 

Lalu dengan gerakan lemah dia 

memandang Gentong Ketawa.

"Muridmu?"

"Betul. Bocah gila ini memang 

muridku!" sahut Gentong Ketawa unjuk-

kan muka serius.

"Ketahuilah, orang yang telah 

mencelakai diriku adalah Lodra Bergola 

berjuluk Sang Cobra."

"Hah...!" Kakek Gentong Ketawa 

tersentak kaget.

"Setan itu? Bukankah dia yang 

kita cari selama ini sesuai dengan 

perintah kakek guru?!" ujar Gento 

Guyon sambil melirik gurunya.

"Kau benar, tapi jangan bicara 

dulu. Aku mau bertanya pada sobatku 

ini." berkata begitu dia kembali 

memandang ke arah Ki Bantaran. Saat 

itu mata Iblis Berhati Suci tampak 

mulai meredup, wajah menciut dan 

tampak memutih laksana kafan.

"Sobatku, akan kubalaskan dendam 

sakit hatimu. Coba terangkan pada kami 

bagaimana ciri-ciri orang yang telah 

mencelakaimu itu!" pinta si kakek 

gendut.

Dengan bersusah payah dan malas 

seperti orang bengek Ki Bantaran 

berucap. "Kepala memakai selubung 

hitam, badan... badan dihiasi gambar


ular kobra...!"

"Apakah dia... membawa...!"

"Pentungan!" melanjutkan Gento. 

Si kakek delikkan matanya. Ketika dia 

memandang ke arah sahabatnya, Gentong 

Ketawa melihat kepala Ki Bantaran 

rebah miring ke kiri.

"Sobatku.... Huk... huk... huk. 

Mengapa kau pergi tidak memberi tanda 

padaku!" seru si kakek besar gendut 

itu sambil memeluki tubuh Ki Bantaran 

yang sudah tidak bergerak lagi.

Gento Guyon jadi salah tingkah. 

"Guruku menangis, kasihan! Agaknya dia 

merasa terpukul atas kematian 

sahabatnya. Aku sendiri apakah harus 

menangis juga membantu guru?!" kata si 

pemuda dalam hati.

"Gege... bagaimana pun kita 

harus mencari Sang Cobra untuk meminta 

pertanggung jawabannya!" desis kakek 

Gentong Ketawa. 

"Betul. Ditambah dengan tugas 

yang dibebankan kakek guru pada kita. 

Berarti kita harus membunuhnya dua 

kali!" jawab si pemuda bersemangat.

Gentong Ketawa melengak kaget. 

"Eeh, apa maksudmu?" tanya si kakek 

heran. Gento memperhatikan sang guru 

yang sudah melepaskan pelukannya pada 

si mayat. Dia tampak pura-pura 

bersedih, tapi mulutnya menyunggingkan 

senyum tipis.

"Katakan cepat! Aku tidak senang


bergurau." bentak si kakek.

"Begini. Bukankah kita mencari 

orang yang sama. Bagaimana pun dia 

harus mati di tangan kita. Kalau guru 

ingin membalaskan kematian kakek ini, 

berarti guru harus membunuh Sang Cobra 

sekali lagi. Ha... ha... ha."

"Bocah edan. Jangan kau tertawa-

tawa selagi aku bersedih. Kubeset 

nanti mulutmu!" hardik si kakek. Buru-

buru Gento katupkan bibirnya. 

"Sekarang ambil pacul atau alat apa 

saja yang kau temui di dalam pondok. 

Kita harus menguburkan mayat Ki 

Bantaran secepatnya. Kurasa Sang Cobra 

belum jauh dari sini!" perintah si 

kakek.

Tanpa banyak bicara Gento Guyon 

mengerjakan perintah gurunya. Dia 

berkelebat ke arah pintu pondok. Hanya 

sekejap kemudian pemuda itu telah 

keluar lagi sambil menjinjing sebakul 

peralatan yang ditemukannya di dalam 

pondok. Melihat ini Gentong Ketawa 

geleng-gelengkan kepala disertai 

gerutuan tak jelas.

"Apa saja yang kau bawa ini, 

banyak amat?!"

"Katanya tadi aku disuruh 

membawa peralatan apa saja. Jadi 

kukumpulkan semua yang ada di dalam 

sana. Lihat saja sendiri. Ada pisau, 

kuali tanah, pacul, sabut kelapa untuk 

gosok gigi dan masih banyak yang


lainnya!"

"Dasar sinting. Mengapa kau 

tolol amat? Bagusnya dulu kau terlahir 

sebagai anak keledai!" si kakek 

mengomel. "Ambil pacul itu, gali 

lubang yang dalam!" perintah si kakek

"Di mana guru?" Gento ajukan 

pertanyaan begitu pacul sudah ada 

dalam genggaman tangannya.

"Tentu saja di halaman ini."

Sambil bersungut-sungut Gento 

Guyon mulai menggali sebuah lubang. 

Tapi tidak sebagaimana lazimnya. Kubur 

yang dibuatnya kali ini bentuknya 

bulat dan hanya pas untuk ukuran 

badan. Si kakek yang terus mengawasi 

tentu saja jadi terheran-heran.

"Mengapa seperti itu?"

Si pemuda sambil mengayunkan 

paculnya tersenyum. "Di suatu saat 

kelak entah kapan jika bumi ini telah 

penuh sesak dihuni manusia. Pasti 

orang akan menguburkan mayat dengan 

cara berdiri seperti ini. Supaya hemat 

tempat guru! Apa salahnya dari 

sekarang kita mencobanya. Ha... ha... 

ha!"

"Dasar murid sinting. Jalan 

pikiranmu ngelantur terus tak karuan 

juntrungannya!" Lagi-lagi si kakek 

mengomel. Dia menjadi sangat kesal 

sekali melihat kelakuan muridnya. Si 

kakek kemudian membentak tegas. "Buat 

sebagaimana biasanya. Sahabatku ini


hendak kembali ke asalnya. Itulah 

sebabnya dikatakan tempat peristi-

rahatan yang terakhir. Kalau kau mau, 

kelak aku akan membuat kubur untukmu 

seperti yang telah kau buat tadi!"

"Bagaimanapun itu sangat tidak 

mungkin. Karena guru yang lahir duluan 

dan lebih tua dariku, sudah sewajarnya 

guru mati duluan!"

Melihat muridnya selalu menim-

pali setiap apa yang diucapkannya. 

Maka si kakek dengan perasaan kesal 

akhirnya cuma terdiam membisu. Tidak 

berapa lama kubur telah siap digali. 

Gentong Ketawa dengan dibantu muridnya 

memasukkan jenazah Ki Bantaran ke 

dalam liang lahat. Setelah itu makam 

ditimbun dan diuruk dengan tanah 

merah. Si kakek Gentong Ketawa 

letakkan sebuah batu besar di atas 

kepala makam. Gento Guyon tidak mau 

ketinggalan. Dia tancapkan Pedang 

Gagak Mencle Sapu Angin di kaki makam. 

Dalam hati dia berkata. "Dengan pedang 

ini kakek arwah... eh, arwah kakek 

mudah-mudahan bisa tenteram di alam 

sana. Aku Gento Guyon hanya bisa 

mendoakan semoga arwahmu diterima di 

sisiNya!"

Pemuda itu kemudian memandang ke 

arah gurunya. Ternyata si kakek sedang 

berdoa dengan mata terpejam. Doanya 

cepat selesai. Begitu membuka mata 

Gentong Ketawa berkata. "Segala


kesalahanku di masa lalu harap dapat 

kau maafkan. Sekarang aku harus 

mencari Sang Cobra, aku mohon pamit!" 

selesai berkata si kakek memberi 

isyarat pada muridnya.

"Aku juga mohon pamit, kakek 

arwah!" kata si pemuda, lalu menyusul 

gurunya yang sudah berada jauh di 

depan.



TUJUH



Menjelang tengah hari Purbasari, 

Iwir Iwir dan delapan pemuda dusun 

yang ikut serta dengan mereka telah 

sampai di lereng bukit Waton Hijau 

yang letaknya di seberang lembah, 

bagian barat Gunung Bromo. Saat itu 

cuaca sangat buruk, langit mendung dan 

matahari tak terlihat sama sekali.

Ketika mereka mulai mendaki ke 

puncak bukit, hijau gerimis turun 

rintik-rintik. Iwir Iwir si bocah yang 

mempunyai badan lebih kecil dengan 

gesit berjalan di bagian depan, 

sedangkan kedelapan pemuda dusun 

berada di belakang bocah sakti itu. Di 

belakang kedelapan pemuda tampak 

mengikuti Purbasari. Gadis ini sejak 

berhasil menyeberangi lembah tadi 

tampak selalu menoleh ke belakang. Dia 

merasa seperti ada orang yang 

mengikuti tidak jauh di belakang. Tapi 

bila gadis ini berpaling ke bela


kangnya maka dengan cepat sekali si 

penguntit menyelinap ke balik pohon-

pohon yang bertebaran di tempat itu.

"Sialan. Siapa sebenarnya 

penguntit dibelakang sana? Apakah dia 

orangnya yang berusaha membunuh para 

pemuda di dusun itu?" Batin si gadis 

dalam hati.

Purbasari kemudian memandang 

lurus ke depan. Di bagian paling depan 

si bocah sakti melangkah tertatih-

tatih sambil sesekali tangannya 

berpegangan pada salah satu akar pohon 

agar tubuhnya tidak meluncur ke bawah. 

Si gadis tersenyum melihat Iwir-lwir, 

bocah aneh yang tahu tentang banyak 

hal itu. Tapi kemudian pandangannya 

dialihkan ke puncak bukit. Seketika 

gadis itu jadi terkesima. Dia mengusap 

matanya sampai tiga kali seakan tidak 

percaya dengan pandangannya sendiri

Adapun yang sempat dilihatnya 

saat itu adalah satu cahaya putih 

berkilauan tepat berasal dari puncak 

bukit sana. Tak percaya dengan 

pemandangannya sendiri Purbasari 

berkata melalui ilmu mengirimkan 

suara.

"Iwir Iwir sahabatku, apakah kau 

melihat sesuatu di puncak Bukit Waton 

Hijau ini?"

Untuk pertama kalinya setelah 

setengah hari penuh mereka berjalan Si 

bocah sakti tertawa cekikikan disertai


batuk-batuk kecil. Tawa dan batuk 

lenyap. Iwir Iwir melalui ilmu yang 

sama menjawab. "Terima kasih kau 

sekarang mau mengakui aku sebagai 

sabahat. Apa yang kau katakan itu, 

semua yang kau lihat memang tidak 

salah. Ada seberkas cahaya yang datang 

dari puncak sana. Kalau tak keliru 

penglihatanku cahaya yang kau lihat 

tentu cahaya yang bersumber dari 

Pedang Raja" Kata si bocah. Sambil 

melanjutkan perjalanannya dia memberi 

ingat. "Sobatku, setan yang bermaksud 

membunuh kawan-kawan kita tadi malam 

sekarang berada dibelakangmu. Kurasa 

dia tidak akan melakukan tindakan 

apapun sebelum sampai di atas bukit 

sana. Tapi aku merasa pasti, dia 

sangat kaget melihat para pemuda yang 

dibunuhnya ternyata masih hidup sampai 

sekarang."

"Dia pasti menyangka kau telah 

membangkitkan para pemuda yang telah 

dibunuhnya!" menimpali Purbasari tanpa 

melupakan kewaspadaannya.

"Hust, hati-hati kau bicara 

sobatku. Aku ini bukan Tuhan, kalau 

ucapanmu didengar malaikat kita semua 

bisa konyol di tempat ini," 

mengingatkan si bocah sakti.

Purbasari terdiam mendengar 

kata-kata si bocah. Mereka terus 

mendaki dengan penuh semangat. 

Sesungguhnya lereng bukit Waton Hijau


tidak begitu tajam. Kalau si gadis dan 

si bocah mau tentu dengan menggunakan 

ilmu lari cepat disertai pengerahan 

ilmu meringankan tubuh dalam waktu 

sekejap mereka pasti sampai di puncak 

bukit. Namun hal itu tak mereka 

lakukan mengingat mereka harus 

mengiringi ke delapan pemuda dusun 

yang tidak mengerti ilmu silat maupun 

ilmu berlari cepat. Apalagi seseorang 

yang terus menguntit perjalanan mereka 

tampaknya memang menghendaki kematian 

para pemuda itu.

Tidak berselang lama dengan 

pakaian basah kuyup karena keringat. 

Mereka akhirnya sampai juga di puncak 

Bukit Waton Hijau. Terkecuali Iwir 

Iwir yang memiliki kelebihan ilmu 

berupa dapat melihat sesuatu yang jauh 

melalui pengerahan kekuatan batin.

Baik Purbasari maupun delapan pemuda 

dusun itu sama-sama terkejut besar 

begitu melihat sebuah pedang berwarna 

putih tanpa sarung yang tergeletak di 

atas batu pipih yang sangat panjang.

"Seumur hidup baru kali ini aku 

melihat senjata sepanjang dan selebar 

ini!" desis Purbasari dengan suara 

bergetar.

"Pedang itu mungkin milik 

manusia raksasa!" untuk pertama 

kalinya salah seorang dari kedelapan 

pemuda dusun ini buka suara.

"Pedang ini pasti miliknya Jin!"


menimpali yang satunya lagi. 

"Bukan! Aku sependapat dengan 

Jendul. Pedang ini milik manusia 

raksasa!" berkata pemuda lainnya yang 

dibagian kening terdapat codet besar.

Iwir Iwir tertawa lepas. 

Sedangkan Purbasari yang belum hilang 

rasa kagetnya terus memperhatikan 

pedang yang tergeletak di atas batu 

yang memiliki hulu kecil, sebesar 

genggaman orang dewasa. Menurut 

tafsirannya pedang aneh itu panjangnya 

hampir mencapai sepuluh tombak, dengan 

lebar tak kurang dari tiga tombak. 

Manusia biasa pasti tidak sanggup 

menggunakan atau mengangkat pedang 

itu, apalagi menggunakannya dalam 

suatu pertempuran. Jadi menurutnya 

Anom Ka Ratan yang disebut-sebut oleh 

si bocah sakti sebagai pemilik pedang 

pastilah seorang laki-laki yang 

memiliki badan yang luar biasa besar 

dengan tinggi seperti pohon kelapa. 

Mengherankan juga mengagumkan. Tapi 

apakah mungkin ada manusia sebesar dan 

setinggi yang dibayangkannya?

"Sekarang kau tahu mengapa aku 

membawa serta delapan pemuda itu, 

sobatku?" Pertanyaan ini cukup 

mengejutkan Purbasari. Tapi si gadis 

cantik berambut awut-awutan itu 

kemudian tersenyum.

"Aku sudah mengerti. Pedang itu 

tidak bisa dibawa oleh kekuatan tenaga


satu orang saja walau pun dia 

menggunakan tenaga luar dalam." 

"Tepat! Apa yang kau katakan itu 

memang tidak salah. Sekarang coba kau 

angkat dibagian hulu pedang, apakah 

Pedang Raja ini dapat kau geser dari 

tempatnya?" ujar si bocah.

Tanpa bicara Purbasari 

mengerjakan apa yang diperintahkan si 

bocah kepadanya. Dengan sekali lompat 

dia sudah berada di dekat hulu pedang. 

Hulu pedang digenggamnya dengan erat, 

setelah si gadis mencoba mengang-

katnya. Mula-mula hanya dengan tenaga 

kasar saja. Karena dengan tenaga kasar 

pedang tidak juga bergeming. Maka 

Purbasari mengerahkan tenaga dalam. 

Dengan menggunakan tenaga luar dalam 

Purbasari mulai menggerakkan hulu 

pedang ke atas. Pedang hanya bergeser 

sedikit saja. Dengan nafas memburu si 

gadis meletakkan hulu pedang.

"Berat luar biasa." keluh 

Purbasari.

Iwir Iwir si bocah sakti 

tersenyum. "Namanya juga Pedang Raja. 

Tentu berat dan besarnya sangat 

berbeda dengan pedang biasa. Kurasa 

kita dapat membawa turun pedang ini 

sekarang. Firasatku mengatakan Anom Ka 

Ratan tak berada di tempat ini." ujar 

si bocah.

"Siapa yang akan membawanya?" 

tanya Purbasari bingung.


"Hi hi hi, uhuk uhuk uhuk. Sudah 

besar masih bodoh. Yang membawa pedang 

istimewa ini tentu para pemuda itu, 

dengan di gotong atau di pikul 

beramai-ramai." Tegas si bocah.

Purbasari terdiam. Tapi dia lalu 

ajukan pertanyaan kembali. "Jika kita 

berhasil membawa turun Pedang Raja, 

kemudian siapa yang akan mengguna-

kannya untuk menghadapi sang Cobra?"

Si bocah sakti mengusap wajahnya 

tiga kali. Apa yang dikatakan oleh 

Purbasari memang benar, "selain yang 

menciptakan pedang besar itu rasanya 

hanya tokoh aneh bernama Gentong 

Ketawa saja yang dapat mengguna-

kannya."

"Tapi kemana kita harus mencari 

orang tua itu?" tanya si gadis.

Iwir Iwir gelengkan kepala.

"Aku sendiri tak tahu. Tapi bisa 

kita fikirkan nanti. Sekarang yang 

terpenting kita bawa saja pedang ini 

turun dari puncak bukit." Tegas si 

bocah. Dia lalu berpaling pada para 

pemuda dusun itu. Baru saja si bocah 

hendak mengatakan sesuatu mendadak 

terdengar suara desis panjang yang 

kemudian disusul dengan suara tawa 

aneh seperti suara ayam jantan 

berkokok.

"Gila! Tak kusangka di tempat 

sesunyi ini ada ayam jantan berkokok. 

Apa tidak terlalu kesiangan!" celetuk


Iwir Iwir. Sebaliknya Purbasari 

melengak kaget, bersikap waspada 

sambil memperhatikan ke setiap penjuru 

sudut puncak bukit.

"Kalian yang berada di puncak 

bukit ini tidak satu pun yang 

kubiarkan lolos dari kematian!" kata 

si suara begitu suara tawa lenyap. 

"Pedang Raja tidak akan pernah pergi 

kemana pun dan kalian telah melakukan 

perjalanan yang sangat sia-sia." 

Terdengarnya suara itu disertai dengan 

berkelebatnya satu sosok tubuh 

berpakaian hitam.

Hanya sekejaban saja di depan 

mereka berdiri tegak seorang kakek 

renta bertubuh bungkuk. Sekujur 

tubuhnya di tumbuhi sisik kasar 

berwarna hitam, sedangkan wajahnya 

lancip rambut memutih berdiri tegak, 

mulut juga lancip sedangkan giginya 

runcing seperti gigi ular. Jika 

Purbasari merasa kaget melihat 

kehadiran orang tua ini, sebaliknya si 

bocah sakti merasa yakin orang tua 

inilah yang malam tadi hampir membunuh 

ke delapan pemuda itu.

"Kakek jelek amat wajahmu? 

Mulutmu seperti moncong ular, tubuhmu 

bungkuk seperti punggung unta. 

Memangnya kau bekerja jadi kuli 

dimana?" Tanpa terduga Iwir Iwir 

berkata mengejek. Masih dengan 

tersenyum-senyum dia melanjutkan.


"Tadi kau mengatakan kami tak akan 

lolos dari kematian. Rupanya kau ini 

utusan malaikat maut? Hi hi hi huk 

huk!"

"Tertawalah sepuasmu selagi 

sempat. Pertama yang harus kulakukan 

adalah membunuh para pemuda ini, 

setelah itu baru kuhancurkan pedang 

raja. Baru kemudian giiiranmu, 

sedangkan gadis itu? Ha ha ha... 

untuknya paling tidak ada perlakuan 

sedikit istimewa. Pertama aku akan 

mengajaknya bersenang-senang, bercinta 

sampai aku bosan. Barulah setelah itu 

mamberikannya pada mahluk pelihara-

anku!" kata kakek bungkuk angker itu 

disertai seringai penuh arti.

"Tua bangka tak tahu diri. 

Mulutmu kotor amat! Siapa dirimu?" 

hardik Purbasari dengan muka bersemu 

merah dan suara ketus.

"Aku tak punya waktu bicara 

banyak. Terus terang saat ini aku 

sedang membantu seseorang untuk 

melenyapkan musuh-musuhnya. Namaku 

Karmaraga, di selatan orang mengenalku 

dengan julukan Lidah Penebar Bencana." 

jelas kakek bungkuk itu.

Si bocah sakti yang memiliki 

pengetahuan dan pengalaman luas sempat 

berjingkrak kaget. Sedangkan Purbasari 

maupun ke delapan pemuda yang memang 

tidak mengetahui siapa orang tua ini 

adanya bersikap biasa saja. Sambil


mengedip-ngedipkan matanya memandangi 

kakek di depannya dia berucap. 

"Aku tahu siapa dirimu, manusia 

jahat. Kau pasti setan gentayangan 

yang tinggal di gua Cobra sebelah 

selatan Pacitan. Kebiasaanmu membunuh 

korban yang sedang bercinta, kemudian 

kau larikan perempuannya, bersenang-

senang dengannya sampai kau bosan. 

Tepat seperti katamu selanjutnya kau 

berikan perempuan yang kau nodai pada 

mahluk piaraanmu. Mahluk piaraan...!"

Iwir Iwir mengulang ucapannya 

sendiri sambil mencoba mengingat. 

Sampai akhirnya bocah ini tertawa 

lebar, jari telunjuknya menuding tepat 

ke bagian punuk Karmaraga alias Lidah 

Penebar Bencana. "Aku ingat sekarang. 

Mahluk piaraan yang kau katakan itu 

pastilah binatang melata berbisa. Ular 

Cobra... itu pasti yang kau maksud-

kan!" seru si bocah kembali 

berjingkrak dan melangkah mundur dua 

tindak.

"Jadi apa hubungan bangsa ini 

dengan Sang Cobra, sobatku Iwir Iwir?" 

tanya Purbasari. 

"Hmmm... hubungannya bisa jadi 

dia kakeknya. Tapi kurasa yang paling 

tepat dia ini adalah gurunya. Iyaa 

betul pasti gurunya. Bukankah begitu 

kakek muka lancip?" setengah mengejek 

si bocah polos saja ajukan pertanyaan.


DELAPAN


Karmaraga tidak menanggapi 

ucapan si bocah. Hanya matanya 

mendelik membesar sesaat memandang si 

bocah, seakan ingin tahu siapa adanya 

bocah aneh yang tahu banyak hal ini. 

Diam-diam si kakek kerahkan tenaga 

saktinya ke bagian lidah, lidah 

bergetar mulut terbuka. Tak disangka 

lidah si kakek yang bercabang dan 

berwarna biru itu terjulur memanjang, 

semakin bertambah panjang seakan 

menggapai, menjangkau lawannya.

"Awas....!" Purbasari keluarkan 

seruan kaget melihat bagaimana lidah 

biru bercabang itu hendak melibas 

menggulung tubuh si bocah. Tidak usah 

diberi ingat sekalipun sebenarnya Iwir 

Iwir sudah melihat adanya bahaya yang 

mengancam. Melihat lidah lawan melesat 

memanjang ke arahnya si bocah sakti 

melompat ke samping sambil tertawa 

terkikik-kikik dia membuka mulut 

keluarkan ucapan. 

"Walah kau baik amat kek. 

Badanku yang bau dan tak pernah mandi 

bertahun-tahun hendak kau bersihkan 

dengan lidahmu. Terima kasih banyak 

kek. Tapi aku takut lidahmu jadi 

kotor, lagipula tubuhku ini banyak 

kuman penyakitnya. Jika sampai


tertelan olehmu, mana aku berani 

menjamin kesehatanmu. Jadi tak usah 

repot-repot, sebaliknya biar kuelus 

lidahmu yang bagus ini!" berkata 

begitu dari samping si bocah julurkan 

kedua tangannya dengan gerakan seperti 

mengelus. Tapi apa yang terjadi 

kemudian membuat Karmaraga jadi 

terkejut besar. Dari telapak tangan 

Iwir Iwir yang diusapkan satu sama 

lain melesat lidah api yang akhirnya 

menyambar lidah panjang bercabang si 

kakek. Orang tua itu gerakkan 

tenggorokannya. Lidah yang terjulur 

memanjang ini dengan cepat melesat 

masuk ke dalam mulut, mengkerut dan 

kembali seperti semula.

"Keparat! Bocah jahanam!" maki 

si kakek dengan muka merah padam 

merasa tertipu. Maksud di lubuk hati 

Karmaraga sebenarnya adalah ingin 

mengetahui siapa bocah ini. Benarkah 

dia seorang bocah atau seseorang yang 

menyerukan diri dengan ujud seorang 

bocah. Hal itu hanya dapat diketahui 

dengan menyentuhkan lidahnya di tubuh 

si bocah. Tapi tampaknya bocah sakti 

ini berlaku cerdik. Dia seperti mampu 

membaca apa yang ada dalam fikiran si 

kakek.

Melihat Karmaraga kalang kabut, 

Purbasari tak kuasa menahan geli. 

Sedangkan delapan pemuda dusun diam 

membisu. Mereka saling berdiri merapat


satu sama lain di balik batu dimana 

Pedang Raja berada. Si Bocah sakti 

sebaliknya hanya tersenyum saja sambil 

menggigit jari telunjuknya.

"Manusia aneh, kebaikan orang 

malah dibalas dengan makian. Hi hi 

uhuk uhuk...!"

"Untuk segala tindakan yang 

telah mempermainkan aku. Sekarang aku 

harus mempercepat kematianmu!" dengus 

Karmaraga.

"Purbasari, celaka! Tua bangka 

penerima karma ini hendak membunuhku. 

Apakah pantas!" kata si bocah sakti 

seperti bingung. Purbasari berkelebat 

ke arah Iwir Iwir, dia berdiri tegak 

di depan si bocah bersikap melindungi. 

Si bocah sembunyikan wajahnya di 

bagian punggung si gadis.

"Pengecut tengik, hendak mem-

bunuh bocah yang tidak punya kebecusan 

apa-apa. Akulah lawanmu!" seru 

Purbasari. Di belakangnya Iwir Iwir 

sunggingkan senyum sambil menyeka 

wajah dengan punggung tangannya.

"Iya betul sobatku, dia penge-

cut. Cepat tangkap dia biar aku bisa 

duduk di atas punggungnya," menimpali 

bocah sakti itu.

Di depan sana Karmaraga dengan 

tangan terpentang sudah berkelebat 

cepat ke arah Purbasari. Begitu dekat 

dengan sasaran, tangan yang terpentang 

dan telah berubah menghitam membabat


dengan gerakan menggunting ke arah 

leher. Purbasari berkelit ke samping, 

berputar satu kali kemudian menghantam 

ke bagian tangan lawannya. 

Wuuus! Hawa panas luar biasa 

menyambar, Karmaraga keluarkan seruan 

keras dan terpaksa mundur lalu robah 

gerakan tangan dari menggunting 

berbalik memukul.

Hawa dingin berkesiuran menyer-

tai gerakan tangan si kakek bungkuk 

berkepala lancip. Benturan keras tak 

dapat dihindari.

Buum!

Purbasari terjajar, mukanya 

pucat dada berdenyut dan tangan 

seperti beku. Karmaraga menyeringai. 

Si bocah sakti sejak Purbasari lakukan 

gerakan berputar tadi otomatis 

kehilangan perlindungan. Dia pontang 

panting selamatkan diri. Tapi celaka 

ledakan akibat beradunya dua tenaga 

sakti terjadi di atas kepalanya.

Iwir Iwir jatuh punggung ke 

tanah dan terkapar. Kepalanya sakit 

mendenyut seperti kejatuhan bintang 

dari langit. Atau seperti melihat 

kunang-kunang yang bertaburan di 

gelapnya malam. Anehnya si bocah sakti 

malah tersenyum. 

"Amboi... bagus sekali aku 

melihat pemandangan indah di matahari. 

Hi hi hi!"

Purbasari yang semula


menghawatirkan keselamatan si bocah 

akhirnya menarik nafas lega, Dia lalu 

berseru. "Iwir Iwir, menyingkir. Cari 

tempat perlindungan seperti yang 

dilakukan oleh para pemuda itu!"

"Kau sendiri apakah hendak 

mencari tempat berlindung juga?" tanya 

si bocah polos.

"Tolol, kalau semua berlindung 

siapa yang menyerang?" hardik si 

gadis. Ucapan Purbasari disambut 

dengan pukulan ganas yang dilepaskan 

oleh Karmaraga alias Lidah Penebar 

Bencana! Si gadis menggerung, dia 

berkelebat ke udara. Pukulan ganas 

menghantam tempat kosong. 

Wuees! Pohon-pohon yang berada 

di belakang Purbasari rambas hangus 

mengepulkan asap hitam. Sementara 

Purbasari berjumpalitan mendekat ke 

arah lawan. Namun pada saat itu 

Karmaraga buka mulutnya. Lidahnya yang 

dapat berubah panjang hampir tanpa 

batas terjulur.

"Sobatku, jangan sampai terkena 

sambaran lidahnya. Lidah itu 

mengandung racun jahat!" teriak si 

bocah sakti. Dalam keadaan tubuh 

mengapung di udara, Purbasari tak mau 

berlaku ayal. Dia langsung melolos 

pedang yang tergantung di bagian 

pinggangnya. Pedang lalu diayun, 

berkelebat memancarkan cahaya putih 

disertai sambaran angin berhawa panas.


Mata pedang memapas lidah bercabang 

yang hendak melilit tubuhnya.

Dheeel!

"Hah....!" si gadis berseru 

kaget. Tebasan pedangnya sama sekali 

tidak mampu membabat putus lidah 

Karmaraga. "Dia mempunyai ilmu kebal!" 

rutuk si gadis. Dia lalu memutar 

tubuhnya yang terus meluncur ke udara 

guna menyelamatkan diri dari sambaran 

lidah. Tapi celakanya kemana pun 

Purbasari menghindar lidah bercabang 

berwarna kebiruan itu terus mengejar.

Satu jengkal lagi lidah Karma-

raga menggulung lengan si gadis yang 

memegang pedang. Pada saat itu pula 

satu sosok berkelebat, satu tangan 

memegang ranting kecil bercabang 

bergerak menggebuk ke bagian perte-

ngahan lidah. Karmaraga alias Lidah 

Penebar Bencana terkejut besar melihat 

serangan ini. Dia menarik kembali 

lidahnya ke dalam mulut. Tapi 

gerakannya masih terlambat, lidah 

tetap kena di gebuk, 

Ctaaar!

"Wuaaaah...!" Karmaraga menjerit 

kesakitan, lidahnya yang kena dihantam 

ranting keluar masuk kembali ke 

mulutnya, bagaikan seekor anjing yang 

baru saja berlari jauh. Si bocah sakti 

tertawa mengikik.

"Iblis edan. Punya lidah 

dibiarkan celamitan. Kalau tidak


disabet mana pernah kapok!" kata si 

bocah. Rupanya meskipun tak mempan 

pedang, lidah itu punya kelemahan tak 

kuat menahan hantaman tetumbuhan 

berdaun. Terbukti bagian permukaan 

lidah mengucurkan darah. Sambil 

menggerung kesakitan si kakek bungkuk 

menyerbu ke arah Iwir Iwir. Bocah itu 

langsung pasang kuda-kuda. Mulut 

mungilnya keluarkan ucapan. 

"Eh.... rupanya belum kapok juga 

dia. Mau minta tambahan, cucumu ini 

tentu saja bersedia menambahi!"

Wuuut! 

Ranting dihantamkan ke wajah 

Lidah Pembawa Bencana. Mendapat 

serangan yang terlihat asal-asalan 

namun mengandung tenaga dalam tinggi 

ini si kakek tak berusaha mengelak 

sama sekali.

Dia tetap menggerakkan tangan-

nya. Lima jari mencengkeram bagian 

ubun-ubun sedangkan tangan kiri 

menghantam dada. Si bocah sakti

miringkan kepala, cengkeraman pada 

bagian kepala luput, tapi tinju lawan 

menghantam telak dada Iwir Iwir. 

Bagaikan dilabrak angin topan si bocah 

mencelat dan jatuh tergeletak dibagian 

badan pedang tak jauh-jauh dari 

delapan pemuda yang direncanakan akan 

menggotong Pedang raksasa itu.

"Gusti kecil kau...!" seru para 

pemuda itu hampir bersamaan. Mereka


rupanya sangat khawatir melihat nasib 

bocah itu. Karena kalau si bocah sakti 

sampai celaka, mereka juga ikut 

celaka.

Iwir Iwir menoleh ke arah 

mereka, batuk-batuk kecil kedipkan 

mata sambil duduk terlolong sedangkan 

tangan menyeka darah yang meleleh di 

sudut bibirnya. Si bocah pandangi 

tangannya yang berselemotan darah. Dia 

lalu menyengir. "Tidak apa-apa, hanya 

ingus yang keluar setelah sembilan 

tahun tertahan di dalam mulut!" 

celetuk si bocah seenaknya.

Mengetahui lawan dalam keadaan 

terluka, Karmaraga bermaksud mengha-

bisi bocah itu sekaligus menghancurkan 

pedang Raja yang diduduki Iwir Iwir.

Karenanya sambil mengatupkan 

bibirnya si kakek yang bukan lain 

adalah guru Sang Cobra himpun tenaga 

sakti ke bagian tangan siap melepaskan 

pukulan Sang Cobra Mematuk Mangsa. Ini 

salah satu pukulan yang sangat ganas 

mematikan. Siapapun yang menjadi 

sasaran tubuhnya hancur membusuk 

seketika. Dan tampaknya Karmaraga 

memang menghendaki hal itu terjadi.

Sekejap kemudian Karmaraga 

mendorongkan kedua tangannya yang 

telah berubah berwarna hitam ke arah 

Iwir Iwir. Selarik sinar hitam berhawa 

dingin bukan main menderu, membelah 

sejuknya udara bukit dan menghantam


dua sasaran sekaligus.

"Walsh matilah aku sekali ini!" 

Si bocah mengeluh tapi cepat gulingkan 

diri ke bawah berlindung di balik 

lebarnya badan Pedang Raja.

Menyangka si bocah Sakti tak 

dapat selamatkan diri, maka Purbasari 

tidak tinggal diam. Sambil berteriak 

keras dia melompat di udara. Tangan 

kanan babatkan pedangnya ke arah bahu 

Karmaraga sedangkan tangan kiri 

lepaskan pukulan salah satu pukulan 

andalannya.

Siiing! 

Wuuut! 

Sinar putih yang memancar dari 

pedang berkelebat, sedangkan dari 

telapak tangan kiri menderu sinar biru 

yang memapas pukulan lawan dari arah 

samping.

Craak! 

Buuuum!

Purbasari keluarkan seruan 

kaget. Pedangnya yang membacok bahu 

lawannya bukan saja patah, tapi juga 

berwarna hitam. Jika dia tidak mem-

buang sisa pedang dalam genggamannya. 

Tentu Purbasari keracunan. Bukan itu 

saja, pukulan yang dilepaskannya 

seakan membalik. Si gadis jatuh 

terpelanting dengan dada mendenyut 

sakit dan semburkan darah. Di depan 

sana pukulan yang dilepaskan oleh 

Karmaraga menghantam bagian badan


pedang. Terdengar suara berkeron-

tangan, karena pedang itu sempat 

terlontar ke udara lalu jatuh kembali 

menghantam lempengan batu yang 

dijadikan tatakan. Sebagian badan 

pedang tampak menghitam. Walau Pedang 

Raja tidak mengalami kerusakan apapun, 

tapi bekas pukulan telah meninggalkan 

racun yang amat ganas.

Delapan pemuda yang berkaparan 

terkena sambaran pukulan tidak 

berkutik lagi. Mereka semuanya tewas 

seketika dengan muka hangus dan tubuh 

telinga mengucurkan darah. Melihat ini 

si bocah sakti menggerung marah. 

Delapan pemuda yang diharapkan untuk 

memikul Pedang Raja, dibawanya dari 

tempat yang amat jauh kini telah 

berkaparan menjadi jasad yang tidak 

berguna. Sungguh dia telah melakukan 

satu pekerjaan yang sia-sia. Apalagi 

kini dia melihat Purbasari sahabatnya 

juga tergeletak dalam keadaan terluka. 

Lengkap sudah kemarahan di hati Iwir 

Iwir.

Dengan sekali lompat dia telah 

berada di hadapan si kakek. Matanya 

mendelik ketika mulutnya berucap 

membentak. "Lidah Penebar Bala! Kau 

kira aku tak tahu kau adalah gurunya 

Sang Cobra. Kau hendak menghancurkan 

senjata itu karena takut aku menggu-

nakannya untuk membunuh muridmu yang 

terkutuk itu. Kau sangka biar aku


masih kecil takut padamu? Biar kau 

tuaan aku tak pernah sungkan menampar 

pipimu pulang balik!" berkata begitu 

si bocah sakti berkelebat ke depan. 

Hanya sekejap, tak sampai sekedipan 

mata tahu-tahu bocah itu sudah berada 

di depan hidung Karmaraga. Sedangkan 

tangan si bocah terjulur lakukan 

tamparan.

Si kakek tidak sempat lagi 

menghindar.

Plak! Plaak! 

Bruk!

Tamparan si bocah tampaknya 

seperti tamparan biasa. Tapi akibatnya 

membuat si kakek jatuh terbanting. Dua 

giginya tanggal. Ketika dia 

menyemburkan ludah, maka air ludah 

bercampur dengan darah. Selain itu ada 

dua benda putih kekuningan ikut 

melesat keluar. Tanpa menghiraukan 

rasa sakit si kakek memungutnya, 

mendekatkan ke mata dan mengamat-

amati. Kagetlah Karmaraga di buatnya.

"Gigiku... gigiku...! Kau 

hancurkan gigiku!" teriak si kakek 

gusar.

"Kau ingin kutampar lagi, atau 

mau kurontokkan gigimu semuanya? Maju 

.... Majulah...!" tantang si bocah 

sakti. Sambil berkata dia balikkan 

tangan lalu menggerak-gerakkan jari 

telunjuknya memberi isyarat agar Lidah 

Penebar Bencana mendekat.


Merasa sangat diremehkan si 

kakek melompat bangkit. Dia lalu 

membuka mulut, nafas ditarik sedangkan 

pipi menyedot. Terdengar suara 

menderu. Iwir Iwir merasa tubuhnya 

tersedot ke arah si kakek. Si bocah 

hantamkan kaki kanannya hingga amblas. 

Tangan kanan dikepalkan dan diangkat 

ke atas kepala. Sedangkan tangan kiri 

ditarik ke belakang, lalu dihantamkan 

ke depan. 

"Kau makan nih apiku!" desis si 

bocah.

Wuuus!

Dari telapak tangan si bocah 

menderu kobaran api sebesar buah 

kelapa, meluncur deras mengikuti 

tenaga sedotan yang berasal dari mulut 

Karmaraga. Melihat hal ini dan tak 

menyangka lawan akan melepaskan 

pukulan yang mengobarkan api si kakek 

tentu saja jadi kaget. Dia menyadari 

jika bola api sampai tertelan maka 

hanguslah bagian dalam tubuhnya. 

Sungguhpun begitu si kakek tidak 

menjadi gugup. Jika tadi mulutnya 

menyedot. Maka kini dia rubah 

serangan. Selanjutnya dia meniup ke 

depan.

Akibatnya tentu sangat 

mengerikan, karena tiba-tiba saja bola 

api berbalik menyerang si bocah sakti.

"Hah, orang tua edan ini 

ternyata panjang akalnya!" desis si


bocah. Laksana kilat dia jatuhkan 

diri, namun tak urung rambutnya yang 

gondrong sebagian hangus terbakar. 

Selagi si bocah sibuk memadamkan api 

yang membakar rambutnya. Maka 

kesempatan itu tak disia-siakan oleh 

Karmaraga.



SEMBILAN



Secepat kilat kakek bungkuk ini 

menyemburkan cairan putih dari 

mulutnya. Cairan putih menderu 

bertebaran di udara dan mengurung si 

bocah sakti dari seluruh penjuru arah. 

Cairan ini tentu sangat berbahaya bila 

sampai mengenai tubuh si bocah karena 

dalam cairan terkandung racun raja 

cobra yang sangat ganas. Menyadari 

betapa berbahayanya serangan lawan, 

maka tanpa banyak cakap lagi Iwir Iwir 

lesatkan tubuhnya di udara. Begitu 

tubuhnya melesat setinggi tiga tombak, 

serta merta dia menghantam ke bawah. 

Wuut!

Dari telapak tangan si bocah 

sakti kanan kiri menderu dahsyat hawa 

panas yang berputar seperti lingkaran. 

Semakin merangsak jauh ke depan maka 

lingkaran angin semakin melebar. 

Semburan cairan beracun dengan angin 

badai kemudian saling beradu di udara. 

Terjadi ledakan beruntun yang memporak 

porandakan tanah di atas bukti. Bukan


hanya tanah dan bebatuan saja yang 

berpelantingan di udara. Tapi 

Purbasari yang tengah berusaha 

menyembuhkan luka dalam yang dialami-

nya juga sempat terlempar ke udara.

Di depan sana Karmaraga. 

terdorong mundur. Benturan keras yang 

terjadi sempat membuat mulutnya 

seperti ditampar pulang balik. Sehing-

ga kini mulutnya jadi terpencong. 

Sedangkan si bocah sakti sendiri jatuh 

terduduk dengan kepala menyentuh 

tanah, kaki terlipat. Nafas bocah itu 

megap-megap.

"Sobatku.., sobatku...!" seru si 

bocah seperti orang yang sedang 

sesambat.

Tanpa menunggu, Purbasari yang 

merasa dipanggil dengan terhuyung-

huyung segera mendatangi. Dia menarik 

tangan Iwir Iwir.

"Kau cidera?" tanya si gadis 

setengah mendesis.

"Hi... hi... hi. Aku cuma ingin 

muntah. Hoeeek... hueek...! Uh keluar 

sudah isi perutku!" kata si bocah 

sambil mengikuti tarikan Purbasari 

sehingga dia jadi berdiri tegak.

Purbasari terkejut besar melihat 

banyaknya darah yang keluar dari dalam 

mulut si bocah sakti. Dia memijiti 

tengkuk si bocah untuk memperlancar 

aliran darah yang sempat tersendat di 

bagian nadi besar.


"Aduh enaknya... aku senang 

punya sahabat pandai memijit. Tapi 

kurasakan akan lebih nikmat lagi bila 

digendong di bagian depan! Hi... hi... 

hi."

Paras si gadis bersemu merah. 

"Iwir Iwir jaga mulutmu!" desis 

Purbasari yang diam-diam merasa tak 

tega melihat wajah bocah sakti itu 

tampak pucat seperti mayat.

Di depan sana Lidah Penebar 

Bencana yang tak pernah menyangka si 

bocah memiliki kesaktian tinggi 

belalakkan mata tak percaya. Dia 

kurang yakin bocah sekecil itu sanggup 

membendung cairan beracun yang 

tersembur dari mulutnya sendiri. 

Padahal seorang tokoh angkatan tua 

berkepandaian tinggi sekalipun belum 

tentu sanggup menyelamatkan diri dari 

semburan cairan beracun itu.

Menyadari bocah itu tak dapat 

dipandang sebelah mata. Maka selagi si 

bocah lengah. Tanpa membuang kesem-

patan lagi Karmaraga alias Lidah 

Penebar Bencana kepalkan kedua 

tinjunya. Begitu tinju terkepal dan 

teraliri tenaga dalam, maka si kakek 

pun langsung menghantam ke depan. Dua 

sasaran di arahkannya sekaligus. Satu 

adalah Iwir Iwir sedangkan yang 

satunya lagi Purbasari.

Sinar hitam kebiruan berkiblat, 

hawa dingin bukan kepalang menderu


sebat, menghantam lurus ke bagian 

punggung Purbasari dan juga bagian 

dada si bocah sakti.

"Menyingkir!" satu suara 

berseru. Kemudian dari sebelah samping 

kanan si bocah dan si gadis terlihat 

sinar putih menyilaukan mata memotong 

gerak pukulan lawan di tengah jalan. 

Glarrr!

Ledakan maha dahsyat yang 

terjadi bukan saja hanya membuat 

Karmaraga terpelanting dan jauh ke 

lereng tebing. Tapi puncak bukit itu 

juga laksana diguncang gempa hebat. 

Purbasari dan Iwir Iwir jatuh 

terduduk. Sementara dari tempat sinar 

putih tadi berasal, terdengar suara 

tawa mengekeh menyakitkan telinga tak 

ubahnya seperti tawa mahluk raksasa.

"Terima kasih kalian mau 

melindungi pedang ciptaanku. Aku 

merasa bersyukur masih ada orang yang 

mau menyambangi bukit batu ini. Ha... 

ha... ha!" kata satu suara keras 

menggelegar.

Karena orang yang bicara ada 

menyebut pedang yang diciptakannya. 

Maka baik si bocah maupun Purbasari 

langsung dapat menduga yang bicara 

barusan tadi pastilah Anom Ka Ratan.

Si bocah bangkit berdiri dan 

langsung mengusap bagian badannya yang 

kotor diselimuti debu. Dia lalu 

menghadap ke arah datangnya suara.


"Terima kasih juga kuucapkan 

padamu. Kau telah menyelamatkan kami 

dari serangan kakek berpunuk unta itu. 

Setelah mengucapkan terima kasih dan 

merasa berhutang nyawa sekarang aku 

ingin tahu apakah kau orangnya yang 

bernama Anom Ka Ratan?" 

Terdengar suara tawa bergelak. 

Tawa lenyap berganti dengan ucapan. 

"Kau tak salah. Aku sendiri sudah tahu 

tentang maksud kedatanganmu juga 

maksud teman gadismu itu. Kau tentu 

hendak menggunakan Pedang Raja untuk 

membunuh Sang Cobra. Mengenai Sang 

Cobra aku sudah menyelidik siapa 

adanya gerangan. Semula aku memang 

bermaksud menutup mata menulikan 

telinga begitu mengetahui sepak 

terjangnya. Tapi kini aku juga 

bermaksud turun bukit. Aku bersedia 

membantu kalian. Kurasa dengan 

tanganku sendiri aku akan 

membunuhnya!" kata suara itu.

"Jadi pedang ini?" tanya 

Purbasari membuka mulut.

"Ha... ha... ha. Pedang Raja 

memang rajanya segala pedang, panjang 

juga termasuk besarnya. Aku yakin jika 

ke delapan pemuda itu masih hidup 

pasti juga tak sanggup memikul atau 

menggotongnya. Karena aku pemiliknya, 

maka biarkan aku sendiri yang 

membawanya!" sahut suara yang mengaku 

sebagai Anom Ka Ratan.


"Jadi kami sendiri bagaimana?" 

tanya Iwir Iwir

"Kau boleh turun dengan 

melenggang bersama gadis itu. Boleh 

juga kalian saling berangkulan. Yang 

terpenting kau dan gadis itu cepat 

tinggalkan tempat ini!"

"Eeh, mengapa secepat itu?" si 

bocah sakti melengak kaget. "Apakah 

kau tak mau unjukkan diri? Ingat gadis 

cantik ini sangat ingin bertemu 

denganmu. Ingin pula memastikan dirimu 

sebesar dan setinggi apa?"

"Ha., ha... ha. Kurasa itu tak 

perlu. Nantinya juga kita pasti bisa 

bertemu di Tosari. Jadi kuharap kau 

jangan kecewa!" kata Anom Ka Ratan.

Si bocah sakti memandang tajam 

pada Purbasari.

"Bagaimana, tuan yang punya 

tempat tak berkenan menemuimu. Mungkin 

dia takut jatuh cinta padamu!" ujar si 

bocah bercanda.

"Tidak jadi apa. Kurasa lebih 

cepat kita tinggalkan tempat ini 

rasanya akan lebih baik!" kata 

Purbasari.

Kini setelah anggukkan kepala 

Iwir Iwir kembali memandang ke arah 

datangnya suara. "Orang yang mendekam 

malu tunjukkan diri. Kami mohon pamit, 

mohon maaf pula kalau ada kata-kataku 

yang salah, maklum aku ini bocah kecil 

yang belum tahu banyak tentang segala


macam peradatan."

"Aku maklum, pergilah cepat!" 

bentak Anom Ka Ratan.

"Eeh, galak amat!" celetuk si 

bocah sakti. Sambil bersungut-sungut 

mereka meninggalkan puncak Bukit Waton 

Hijau. Ketika melewati tempat jatuhnya 

Lidah Penebar Bencana, baik Iwir Iwir 

maupun Purbasari sama-sama terkejut 

karena ternyata kakek bungkuk itu tak 

mereka temukan di situ. Mereka hanya 

melihat bercak-bercak darah yang 

berceceran di atas rerumputan di 

sepanjang lereng bukit. Ceceran darah 

baru tak terlihat lagi setelah sampai 

di batas antara lereng bukit dan 

lembah.

"Setan tua itu ternyata nyawanya 

cukup alot juga!" gerutu murid Dewa 

Ngelindur Bertangan Arwah.

"Malaikat maut ternyata masih 

segan mencabut nyawanya! Hi... hi... 

hi!" sahut si bocah sakti disertai 

tawa cekikikan.



SEPULUH



Terdorong oleh mimpi buruk yang 

dialaminya, kakek tua berpakaian dalam 

warna hitam dan memakai mantel 

berwarna putih di bagian luarnya ini 

akhirnya terpaksa memperturutkan kata 

hati untuk menyambangi sahabatnya. 

Selain itu dia sendiri memang sudah


lama tidak pernah bertemu dengan Ki 

Bantaran. Kurang lebih dua puluh tahun 

sejak kunjungan terakhir beberapa 

bulan setelah peristiwa pengeroyokan 

Sepasang Iblis Pengemis Harpa di 

puncak Tumapel. Kini dia ingin cepat 

sampai di tempat tujuan. Kali Merayu 

jaraknya memang hanya tinggal setengah 

hari lagi perjalanan. Jarak yang tidak 

begitu jauh bila ditempuh dengan 

perjalanan berkuda.

Setelah melewati dusun, sawah 

dan perladangan juga hutan rimba. Pagi 

itu si kakek yang bukan lain adalah Ki 

Banjar Jati yang dikenal dengan 

julukan Mahluk Tanpa Tanda sampai di 

tepi telaga kecil. Air di telaga itu 

sangat jernih. Kebetulan sekali 

perbekalan airnya untuk minum kuda 

sudah habis. Sehingga tanpa pikir 

panjang si kakek turun dari atas 

kudanya. Dia mengambil botol kendi 

dari tanah liat yang terdapat di dalam 

kantong perbekalan kuda.

"Kau di sini dulu putih. Kita 

istirahat tidak lama. Setelah itu 

perjalanan kita teruskan. Entah 

mengapa saat ini aku ingin sekali 

cepat bertemu dengan Ki Bantaran." 

berkata Ki Banjar Jati, seraya 

mengelus bulu leher kuda. Setelah itu 

berjalan menuju tepi telaga. Empat 

botol kendi besar diisinya sampai 

penuh. Ketika si kakek hendak mengisi


botol kendi terakhir mendadak laksana 

kilat satu benda besar melesat ke 

dalam telaga kecil berair dangkal.

Byuuur!

Air dalam telaga muncrat 

bertebaran membasahi sekujur pakaian 

si kakek luar dalam Ki Banjar Jati 

terkejut besar, dia kaget ketika 

melihat telaga yang kecil serta 

dangkal itu menjadi keruh. Si kakek 

bangkit berdiri, memandang ke arah 

telaga ternyata yang tergeletak 

mengapung di atas air telaga bukan 

lain adalah sebuah kelapa.

Ki Banjar Jati kitarkan pandang, 

melihat ke sekeliling daerah itu 

ternyata tak satupun pohon kelapa yang

terlihat. Jelas semua itu merupakan 

perbuatan iseng seseorang.

"Tak ada pohon kelapa bagaimana 

ada buahnya?" pikir si kakek heran. 

Selagi kakek itu belum hilang rasa 

kagetnya, tiba-tiba dari balik semak 

belukar yang terdapat di depannya sana 

muncul seorang kakek berbadan gemuk 

besar luar biasa berpakaian hitam 

besar tak terkancing, berwajah bulat 

berkening lebar. Sedangkan satunya 

lagi adalah seorang pemuda tampan 

berambut gondrong berwajah polos. 

Mereka sambil berlari tampak sibuk 

membolang-baling kelapa. Sedangkan 

masing-masing tangan memegang satu 

buah kelapa. Hanya si pemuda yang


memegang satu kelapa di tangan 

kirinya.

"Dasar bocah bodoh, melemparkan 

kelapa saja tidak becus. Hayo cari 

kelapamu yang kabur tadi!" kata si 

kakek bersungut-sungut.

"Aku malas mencarinya. Melem-

parkan satu kelapa di udara kurasa 

lebih mudah daripada melempar dua 

kelapa sekaligus." Walau mulutnya 

bicara begitu namun mata si pemuda 

yang tiada lain adalah Gento Guyon 

tetap mencari kian ke mari.

"Ha... ha... ha. Akhirnya 

kutemukan juga biji kelapaku yang 

hilang!" seru si pemuda kegirangan.

"Mana... mana...?" Si kakek 

pentang mata dan memandang jelalatan.

"Lihat di dalam telaga itu!" 

sahut Gento. Bersikap seakan tak ada 

orang lain di tempat itu si pemuda 

berkelebat ke arah telaga. Tangannya 

bergerak mencoba meraih kelapanya.

Wuuut!

Mendadak laksana disentakkan 

kelapa yang mengapung di atas air 

melesat ke udara. Gento Guyon 

terkesiap. Ketika dia berdiri tegak 

dan memandang ke depannya, maka 

kagetlah pemuda ini dibuatnya. Buah 

kelapa itu ternyata sudah berada di 

tangan seorang kakek. Hanya dengan 

sekali pukul kelapa milik Gento 

terbelah menjadi delapan bagian,


masing-masing bagian sama rata sama 

besar seolah ketika membelah 

menggunakan benda tajam.

"Hei, tikus tua, mengapa kau 

belah buah kelapaku?!" hardik si 

pemuda tampak gusar sekali.

"Sikapmu yang kurang ajar bisa 

saja memaksaku membelah kepalamu 

sendiri!" dengus si kakek.

"Apa? Kenal dan melihat rupamu 

saja baru kali ini bagaimana kau bisa 

mengatakan aku berlaku kurang ajar!"

"Coba kau lihat ke telaga. Aku 

jadi batal mengisi botol kendi yang 

terakhir gara-gara kelapamu itu. 

Pakaianku juga basah luar dalam, kau 

sudah mengerti kesalahan yang kau 

perbuat?" hardik si kakek.

Gento Guyon jadi melengak kaget.

"Ah, kau sungguh pandai sekali 

mencari perkara. Baru persoalan kecil 

saja kau besar-besarkan?!" kata si 

pemuda bersungut-sungut.

"Bukan perkara yang kucari, tapi 

kurasa gurumu memang tak becus 

mendidikmu!" dengus Ki Banjar Jati 

alias Mahluk Tanpa Tanda.

Merasa gurunya dibawa-bawa, 

Gento jadi tidak senang. Dia hendak 

mendamprat. Tapi di belakangnya 

Gentong Ketawa sudah lebih dulu 

keluarkan omelan.

"Eeh, siapa berani bicara 

lancang begitu. Aku gurunya bocah edan


itu. Sudah kudidik dan kuajar dia luar 

dalam, otaknya yang tidak benar sudah 

pula kucuci dengan air tujuh sumur. 

Kurang ajar betul!" sambil keluarkan 

suara omelan si kakek berkelebat, 

tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di 

depan Ki Banjar Jati. Kedua orang tua 

ini saling pandang sejenak lamanya. 

Kemudian sama pula bersurut langkah.

"Kau... orang tua kurus, hidung 

kecil mulut seperti tikus cecurut. 

Rasa-rasa aku seperti mengenalmu!" 

desis Gentong Ketawa dengan alis 

berkerut sambil usap-usap wajahnya.

"Ah, bukankah kau Gentong 

Ketawa? Sudah lama sekali kita tak 

bertemu, lebih dari tiga puluh tahun!" 

menimpali Ki Banjar Jati.

"Eeh, kau siapa ya. Aku memang 

merasa seperti punya seorang sahabat 

jelek sepertimu. Ah...!" Gentong 

Ketawa tersenyum lebar. "Aku ingat 

sekarang. Bukankah kau, tikus buduk 

yang bernama Ki Banjar Jati bergelar 

Mahluk Tanpa Tanda. Bagaimana 

kabarmu?" tanya Gentong Ketawa sambil 

tertawa tergelak-gelak. Dua orang tua 

ini sama bungkukkan badan menjura 

hormat. Sedangkan Gento Guyon semakin 

cemberut.

"Sialan. Baru hendak kugebuk, 

tak tahunya mereka berteman." rutuk si 

pemuda dalam hati.

"Kau betul... kau betul...!"


menanggapi si kakek berjubah putih.

"Bagaimana kau bisa berada di 

sini sahabat Gentong Ketawa?" tanya Ki 

Banjar Jati.

"Sebelum kujelaskan sebaiknya 

kuperkenalkan pemuda itu adalah 

muridku. Namanya Gento Guyon." jelas 

si kakek gendut. Dia lalu berpaling 

pada muridnya. "Gege menghormatlah 

pada kakek ini!" perintah si kakek.

Tanpa bicara apa-apa Gento Guyon 

langsung jatuhkan diri sambil 

bungkukkan badan.

"Terimalah hormatku, kakek!"

"Berdirilah anak muda. Kau 

memang pantas menjadi murid Gentong 

Ketawa karena tingkah lakumu memang 

sangat mirip dengannya." kata Ki 

Banjar Jati.

"Terima kasih. Aku memang 

berjodoh dengannya!" sahut si pemuda 

seenaknya.

Si kakek manggut-manggut, lalu 

kembali menghadap ke arah Gentong 

Ketawa. "Sekarang coba ceritakan 

bagaimana kau bisa sampai di sini?" Ki 

Banjar Jati mengulang pertanyaannya.

"Aku dan muridku baru saja 

mengejar Sang Cobra. Rupanya kau tidak 

tahu manusia biadab berselubung itu 

baru saja membunuh sahabat kita Ki 

Bantaran?" ujar si kakek dengan wajah 

murung. 

"Apa? Dia membunuh Ki Bantaran?


Bagaimana hal itu bisa terjadi?" desis 

Ki Banjar Jati tak kuasa menahan rasa 

kaget juga kesedihan hatinya. 

Gentong Ketawa kemudian menu-

turkan kedatangannya di tempat 

kediaman Ki Bantaran di tepi kali 

Merayu. Tak lupa dia juga menceritakan

siapa adanya Sang Cobra.

Mendengar penuturan Gentong 

Ketawa, wajah si kakek berubah 

menegang, ke dua bibir terkatup rapat 

geraham bergemeletukan. Sedangkan mata 

Ki Banjar Jati tampak berkaca-kaca. 

Kedua tinjunya dipukulkan satu sama 

lain.

"Keparat betul manusia itu. Aku 

sudah menduga putra Sepasang Iblis 

Pengemis Harpa kelak memang akan 

menjadi pangkal bencana. Tapi waktu 

itu Ki Bantaran sahabat kita itu tak 

percaya dengan penjelasanku. Kini 

segalanya terbukti." desis si kakek.

Dengan suara bergetar dia lalu 

melanjutkan. "Selama ini aku memang 

sering mendengar tentang sepak terjang 

Sang Cobra. Kejahatannya dalam 

menghancurkan setiap perguruan yang 

ada serta tindakannya yang kejam dalam 

membunuh beberapa tokoh penting 

golongan putih kuanggap sebagai 

tindakan iblis. Adapun maksud kehadi-

ranku di sini selain ingin melihat 

sahabat Ki Bantaran juga ingin 

menyerap kabar tentang kebenaran


berita yang kudengar. Sama sekali 

tidak pernah kusangka kalau Sang Cobra 

manusia keji yang akhir-akhir ini 

menjadi momok bagi dunia persilatan 

itu dialah orangnya." ujar Ki Banjar 

Jati.

Lalu apa rencanamu?" tanya 

Gentong Ketawa.

"Apa rencanaku?" sahut Ki Banjar 

Jati setengah berseru. "Aku tak punya 

rencana lain terkecuali memburu 

jahanam yang satu ini!" tegas si 

kakek sengit.

"Kalau begitu kata sepakat sudah 

sama didapat, mengapa sekarang kita 

tidak berangkat saja?" celetuk Gento 

Guyon yang sejak tadi hanya ikut 

mendengar.

"Kita memang harus berangkat. 

Kurasa lebih cepat lebih baik lagi!"

ujar Ki Banjar Jati.

"Kek bagaimana dengan kudamu? 

Kalau aku yang menunggang apakah 

boleh?" tanya si pemuda usil.

Mendengar permintaan Gento 

gurunya delikkan mata. Si pemuda 

menyeringai. Sedangkan Ki Banjar Jati 

langsung anggukkan kepala. "Boleh. 

Tentu saja boleh!" Mendapat 

persetujuan dari pemilik kuda enak 

saja Gento melompat dan kemudian duduk 

uncang-uncang kaki di atas punggung 

kuda. Sementara kedua orang tua itu 

segera berkelebat meninggalkan tepi


telaga. Gento Guyon tak mau kalah. 

Sekali gebrak kuda berlari kencang 

mengikuti kedua orang tua tadi.



SEBELAS



Dua sosok tubuh berkelebat 

laksana dikejar-kejar setan. Satu di 

antaranya yang berpakaian serba kuning 

berada di bagian depan. Sedangkan 

satunya lagi yang bertelanjang dada 

dan cuma memakai cawat dan berbadan 

pendek berada di bagian depan. Di satu 

tempat setelah melewati bukit kapur si 

gadis cantik berambut panjang riap-

riapan perlambat larinya begitu sampai 

di tepi sebuah jalan sunyi.

"Ke arah mana yang harus kita 

lalui Iwir Iwir. Ke kanan atau ke 

kiri?" tanya si gadis sambil 

memperhatikan kedua sisi jalan yang 

ada di kanan kirinya.

Di belakang si gadis bocah 

bertelanjang dada berumur sepuluh 

tahun juga ikut hentikan langkah. Dia 

memandang ke jalan di sebelah kiri, 

setelah itu beralih ke arah jalan di 

sebelah kanan. Si bocah diam sejenak, 

matanya terpejam sedangkan ibu jari 

dimasukkan ke dalam mulut, di sedot 

dan dihisap-hisap pertanda si bocah 

memang sedang berpikir keras.

"Kalau ke kiri berarti kita


menuju ke Sidoarjo, sedangkan kalau ke 

kanan pasti ke Tosari. Menurutku 

sebaiknya kita memilih jalan yang ke 

kanan. Nanti kita segera sampai ke 

tempat tujuan." ujar si bocah sakti.

"Aku menurut saja apa yang kau 

katakan, namun jika kita sampai di 

tempat tujuan yang salah kau tanggung 

sendiri akibatnya!" berkata Purbasari. 

Iwir Iwir anggukkan kepala.

"Baiklah, semua akibat dari 

kekeliruanku biar aku yang menang-

gungkannya." sahut si bocah sakti.

Karena sudah sama sepakat maka 

Purbasari dan Iwir Iwir kembali 

meneruskan perjalanan mereka. Belum 

lama kedua orang ini berlari. Mendadak 

sontak keduanya hentikan langkah. 

Mereka saling pandang ketika melihat 

satu sosok tubuh berdiri tegak di 

tengah jalan sambil berkacak pinggang.

Siapapun adanya laki-laki itu, 

pasti sengaja membawa niat yang buruk. 

Namun yang membuat mereka heran 

mengapa kepalanya diselubungi kain 

hitam. Tapi setelah melihat sekujur 

tubuh telanjangnya yang dihiasai 

lukisan ular cobra sadarlah mereka 

siapa adanya laki-laki yang menghadang 

di tengah jalan.

"Sobatku Iwir Iwir, bagaimana 

kita harus bersikap?" tanya Purbasari 

berbisik.

Si bocah sakti tersenyum.


"Tosari masih jauh, namun kurasa tak 

sampai sepemakan sirih lagi kita sudah 

sampai di tempat itu. Kita hanya 

berdua, walaupun begitu aku yakin Anom 

Ka Ratan pasti juga melewati jalan 

ini. Sekarang nampaknya kita 

menghadapi kesulitan besar. Melihat 

pada keadaan tubuhnya yang dihiasi 

lukisan ular cobra, kurasa dia adalah 

orang yang kita cari," menjawab si 

bocah dengan berbisik pula, "Kita 

sudah letih mengejarnya. Tapi setelah 

letih ternyata dia datang sendiri. 

Sekarang tunggu apa lagi? Teruskan 

rencana semula." 

"Maksudmu?"

"Kita pura-pura melewatinya 

tolol." sahut Iwir Iwir.

Sesuai dengan perintah si bocah 

sakti, maka Purbasari lanjutkan

langkahnya. Akan tetapi belum lagi dia 

melewati laki-laki itu, tiba-tiba 

terdengar suara bentakan.

"Dua manusia tidak tahu gelagat 

berhenti!" hardik laki-laki 

berselubung yang tiada lain adalah 

Sang Cobra.

"Kau menghentikan kami, sekarang 

kami berhenti. Apa maumu?" tanya Iwir 

Iwir.

Sang Cobra tidak langsung men-

jawab, dia dongakkan kepala memandang 

ke langit. Kemudian terdengar suara 

tawanya yang dingin angker.


"Siapapun yang bertemu denganku 

keselamatannya tidak ada yang dapat 

menjamin. Tapi terhadap kalian berdua, 

kuanggap sebagai suatu pengecualian. 

Itupun jika kau mampu menjawab 

pertanyaanku." dengus laki-laki itu 

sinis.

"Jika tidak?" Iwir Iwir menim-

pali.

"Seandainya tidak mampu menjawab 

kalian berdua secepatnya akan kukirim 

ke neraka. Ha...ha... ha...!"

"Mengerikan sekali. Apakah kau 

salah satu penjaga di neraka sana yang 

ditugaskan menjemput roh manusia di 

dunia?" tanya si bocah disertai senyum 

mengejek.

"Hust, jangan bicara yang bukan-

bukan. Tanyakan saja apa yang hendak 

diketahuinya!" Purbasari memberi 

bisikan. Bocah itu anggukkan kepala

"Eeh, maaf apa pertanyaanmu 

tadi?" 

"Pertanyaanku ada dua. Pertama 

tahukah kalian di mana saat ini Ki 

Banjar Jati alias Mahluk Tanpa Tanda 

berada?"

Si bocah sakti memandang ke arah 

Purbasari. Dia sendiri tidak kenal 

dengan orang yang dimaksudkan oleh 

Sang Cobra. Sebaliknya Purbasari 

memang sering mendengar nama Ki Banjar 

Jati. Namun berjumpa dengan orangnya 

atau mengenal tempat tinggal salah


satu tokoh golongan putih itu tentu 

dia tak tahu. Purbasari akhirnya 

geleng kepala. Melihat si gadis 

gelengkan kepala maka si bocah sakti 

juga ikut melakukan hal yang sama.

"Kami tak tahu." sahut 

Purbasari. 

"Satu pertanyaan tak terjawab, 

berarti salah satu di antara kalian 

harus menyerahkan kepalanya kepadaku. 

Ha... ha... ha!"

"Boleh saja, lalu apa 

pertanyaanmu yang kedua?" tanya Iwir 

Iwir ringan saja. Seakan menganggap 

ancaman Sang Cobra sebagai angin lalu.

"Pertanyaanku yang kedua, di 

manakah tinggalnya manusia yang 

bernama Anom Ka Ratan?"

Mendengar pertanyaan itu baik 

Purbasari maupun Iwir iwir diam-diam 

menjadi kaget. Dan Sang Cobra melihat 

semua ini walau cuma sekilas saja.

"Bagaimana? Kau saja yang 

menjawab!" ujar Purbasari. Perasaannya 

mulai diselimuti kegelisahan.

"Kau ingin aku berkata jujur 

atau bohong?"

"Bocah kurang ajar! Katakan 

dengan sejujurnya, cepat!" bentak Sang 

Cobra sengit.

"Kalau kau ingin jawaban yang 

jujur. Anom Ka Ratan tinggal di puncak 

bukit Waton Hijau. Kalau tak percaya 

silakan lihat sendiri. Tapi kurasa kau


tak perlu bersusah payah ke sana, 

karena sekejap lagi kurasa dia segera 

datang ke sini." berkata si bocah 

sakti polos.

"Bagus. Sekarang sambil menunggu 

kedatangan bangsat tua yang telah 

membunuh kedua orang tuaku itu, kurasa 

ada baiknya jika aku membereskan 

kalian!"

Ucapan Sang Cobra tentu saja 

sangat mengagetkan kedua orang ini. 

Iwir Iwir menjadi kesal. Sambil 

melompat ke depan dia membentak. 

"Aku ingin ajukan pertanyaan 

padamu. Engkau ini setan atau manusia? 

Kalau setan kurasa memang pantas 

sesuai dengan keadaanmu, kalau manusia 

mana aku percaya. Karena tak satupun 

dari ucapanmu yang dapat kupegang! 

Hi... hi... hi. Huk... huk... huk!" 

selesai berkata si bocah sakti tertawa 

cekikikan.

Melihat si bocah terkesan mere-

mehkan dirinya, maka sambil menggerung 

marah Sang Cobra menggerakkan kedua 

tangannya ke arah si bocah sakti. Hawa 

panas menderu disertai berkelebatnya 

tiga sosok benda hitam sebesar ibu 

jari ke arah si bocah sakti. Ketika 

meluncur di udara ketiga benda hitam 

itu lalu berpencar, satu menghantam 

kepala, satunya lagi melesat ke bagian 

perut dan yang lainnya menghantam 

bagian di bawah perut Iwir Iwir.


Walaupun berkelebatnya tiga buah 

benda sepanjang tiga jengkal sangat 

cepat bukan main. Tapi sebagai gadis 

yang memiliki ilmu sangat tinggi tentu 

dia dapat melihat benda apa yang 

melesat di udara itu. Tanpa pikir 

panjang Purbasari berteriak memberi 

peringatan.

"Iwir Iwir awas!"

Si bocah yang juga sudah melihat 

benda apa gerangan yang meluncur deras 

ke arahnya langsung hantamkan kedua 

tangannya tiga kali berturut-turut.

Tesss! Tess! Tess!

Pukulan yang dilontarkan oleh si 

pemuda walau terkesan asal-asalan 

ternyata menghantam tiga benda panjang 

itu secara tepat. Tercium adanya bau 

amis terbakar. Tiga buah benda yang 

kena dipukul ternyata adalah tiga 

sosok ular cobra. Begitu jatuh ketiga 

ular tadi dalam keadaan hangus gosong.

Melihat kenyataan ini kagetlah 

Sang Cobra dibuatnya. Sama sekali dia 

tak menyangka bocah sekecil itu di 

samping memiliki tenaga dalam yang 

sangat tinggi juga mampu melepaskan 

pukulan sehingga tepat mengenai 

sasaran kalau tak melihatnya sendiri 

mana dia bisa percaya.

Tapi kematian tiga ular itu 

baginya sudah mengundang satu kema-

rahan besar. Itulah sebabnya tanpa 

bicara lagi Sang Cobra segera


mengerahkan jurus aneh yang merupakan 

serangkaian dan jurus-jurus mahluk 

yang sangat berbisa tersebut.

Sambil melakukan satu lompatan 

ke depan, kedua tangannya dengan

jemari saling merapat membentuk kepala 

ular berkelebat menghantam leher dan 

juga tubuh si bocah tepat di bagian 

yang paling mematikan. Mendapat 

serangan yang ganas bertubi-tubi, si 

bocah sakti tampak terdesak. Dengan 

lincah dia berkelit menghindar, atau 

terkadang membalas serangan lawan 

dengan kekuatan berlipat ganda. Satu 

saat dia terpaksa memiringkan badan 

dan rundukkan kepala saat Sang Cobra 

menghantam ke bagian matanya. Melihat 

serangannya luput, kaki kanan Sang 

Cobra laksana kilat menyambar 

menghantam bagian perut bocah ini.

"Aih...!" sambil memekik kaget 

si bocah sakti berusaha berkelit. Tapi 

gerakan kaki lawannya ternyata memang 

jauh lebih cepat daripada gerakan 

menghindar yang dilakukan Iwir Iwir.

Buuk!

Tak urung satu tendangan keras 

mendarat di perut si bocah sakti 

membuatnya terlontar sejauh tiga 

tombak. Iwir Iwir jatuh berkelukuran 

dengan wajah pucat, perut laksana 

pecah sedangkan mulut meneteskan 

darah. Purbasari terkesiap. Sejenak 

lamanya dia hanya mampu berdiri tegak


dengan mata melotot dan mulut 

ternganga.



DUA BELAS


 

Beberapa saat kemudian seakan 

baru saja tersadar dari mimpi buruk 

Purbasari tersentak kaget saat 

mendengar suara teriakan keras Sang 

Cobra. "Ajalmu sampai pada detik ini!"

Seiring dengan teriakannya itu 

laki-laki yang bagian kepalanya 

diselubungi kain hitam laksana kilat 

melompat. Satu tangan menghantam 

bagian kepala sedangkan tangan yang 

lainnya menderu menghantam perut. Si 

bocah sakti memang sempat merasakan 

adanya sambaran angin dingin menerpa 

kepala dan perutnya. Walau saat itu 

dia sedang merasakan sakit yang amat 

luar biasa di bagian perut akibat 

tendangan lawan. Namun dengan cepat 

dia gulingkan dirinya ke samping 

mencari selamat.

Sebaliknya Purbasari yang 

melihat si bocah sakti berada dalam 

ancaman bahaya besar tidak tinggal 

diam. Dengan nekad dia melesat 

menghadang lawan guna menyelamatkan si 

bocah dari malapetaka.

"Hiaa...!"

Dua tangan menghantam dari arah 

samping menepis tangan Sang Cobra. 

Tapi laki-laki itu ternyata cukup 

cerdik juga, begitu melihat tangannya


hendak dipukul remuk oleh gadis itu. 

Maka dia menarik balik serangan. 

Dengan gerakan begitu rupa, tiba-tiba 

saja tangan lawan kini sudah meluncur 

ke bagian dada serta wajah si gadis 

dengan jari terkembang.

Purbasari tersentak kaget 

melihat serangannya luput, sebaliknya 

tangan lawan kini malah mengancam dua 

bagian tubuhnya. Dengan cepat dia 

sentakkan kepala ke belakang. Kepala 

selamat dari hantaman lima jari lawan. 

Tapi dia tidak sanggup menghindari 

serangan Sang Cobra yang menghantam di 

bagian dada.

Desss!

Kraak!

Hantaman yang sangat keras bukan 

saja membuat Purbasari terpental, tapi 

juga membuat tulang dadanya remuk. 

Pakaian di bagian dada hangus, 

sedangkan kulit di balik pakaian yang 

hangus nampak membiru. Gadis itu 

menjerit, jatuh terkapar diam tak 

bergerak. Melihat sahabatnya terluka 

parah bahkan menderita keracunan pula. 

Si Bocah sakti tentu saja menjadi 

sangat marah, apalagi mengingat 

Purbasari terluka karena menolong 

dirinya. Tanpa menghiraukan luka yang 

dideritanya sendiri Iwir Iwir segera 

bangkit. Dia kemudian memutar kedua 

tangan di atas kepala. Angin menderu 

menyertai berkelebatnya ke dua tangan


itu. Sambil berteriak nyaring si bocah 

sakti kemudian melesat ke depan, dua 

tangan yang diputar selanjutnya 

dihantamkan ke arah lawan.

Sang Cobra sempat dibuat kaget 

ketika bagaimana dari telapak tangan 

bocah itu menderu angin yang berpilin 

melingkar berbentuk kerucut memanjang. 

Semakin mendekati Sang Cobra maka 

bagian depan pusaran angin aneh ini 

semakin membesar tak ubahnya seperti 

mulut jalan yang ditebarkan.

"Pusaran angin aneh?" desis 

lawannya. Dan memang pada saat itu si 

bocah sakti sedang mengerahkan salah 

satu ilmunya yang paling hebat yaitu 

ilmu Menjaring Iblis Di Balik 

Rembulan. Akibatnya tentu saja sangat 

fatal bagi lawan. Tapi Sang Cobra 

adalah iblis keji yang mempunyai

banyak akal dan berbagai kelicikan. 

Melihat gelombang angin pusaran yang 

tidak ubahnya seperti terowongan yang 

hendak menyungkup dan menggilas 

dirinya. Maka detik itu pula dia 

segera memutar tubuhnya, dalam keadaan 

berjongkok dia menghantam ke depan 

dengan pukulan beruntun.

Wuss! Wuus!

Terdengar suara menderu dahsyat 

disertai melesatnya cahaya hitam 

laksana iring-iringan mendung tebal di 

angkasa. Sinar hitam itu kemudian 

menerobos pusaran angin yang berputar


seperti lingkaran. Begitu sinar maut 

ini berada di tengah lingkaran pusaran 

angin, maka dia tampak melebar. 

Membesar sampai akhirnya terdengar 

suara ledakan berdentum.

Dua sosok tubuh sama terdorong 

mundur akibat benturan dua tenaga 

sakti itu. Tapi Sang Cobra hanya 

tergetar saja, sedangkan si bocah 

kemudian jatuh terjengkang. Nafasnya 

kembang kempis, sedangkan dari 

hidungnya mengucur darah. Melihat 

keadaan lawannya, Sang Cobra 

menyeringai sinis.

"Kau tak bakal lolos kali ini! 

Aku akan tunjukkan padamu bagaimana 

caranya mati yang paling menyakitkan!" 

selesai berkata Sang Cobra gerakkan 

kepalanya. Tiga kali kepala 

digelengkan, maka pada detik itu pula 

dari bagian atas kepalanya mengepul 

kabut hitam yang semakin lama semakin 

bertambah tebal. Kabut itu akhirnya 

membubung tinggi di udara. Seiring 

dengan mengepulnya kabut, terdengar 

pula suara desis aneh. Sekali lagi 

Sang Cobra gelengkan kepalanya yang 

diselubungi kain hitam. Sekonyong-

konyong dari bagian kepala Sang Cobra 

secara aneh melesat belasan ekor ular 

cobra. Ular-ular yang sangat berbisa 

ini berputar-putar di udara untuk 

beberapa jenak lamanya. Tapi ketika 

Sang Cobra memberi aba-aba.


"Bunuh bocah gondrong itu!" 

Belasan ekor ular cobra ini tanpa 

dapat dicegah langsung berserabutan 

melesat deras ke arah Iwir Iwir yang 

sudah terluka parah. Melihat semua ini

si bocah sakti cepat gerakkan kedua 

tangannya. Celaka! Kedua tangan 

mendadak terasa lumpuh dan tak dapat 

digerakkan sama sekali. Lebih aneh 

lagi ketika bocah itu hendak 

menggerakkan bagian badan, sekujur 

tubuhnya ternyata juga tak dapat 

digerakkan. Dalam kagetnya si bocah 

sakti hanya dapat delikkan matanya, 

wajahnya pucat terpana sedangkan 

tengkuknya mendadak berubah menjadi 

dingin, nampaknya ajal si bocah sakti 

sampai pada detik itu juga jika saja 

pada saat yang menegangkan itu tidak 

terdengar suara bentakan disertai 

berkelebatnya dua sosok tubuh yang 

satu gemuk besar luar biasa sedangkan 

yang satunya lagi kurus kerempeng.

"Manusia iblis! Seorang bocah 

yang sudah tak berdaya pun dibu-

nuhnya!" dengus satu suara.

"Hati dan matanya jadi gelap 

tertutup dendam kesumat. Kita cincang 

dia bersama-sama!" menimpali satu 

suara yang lain. Dua pasang tangan 

gemuk dan kurus seakan berlomba 

melepaskan pukulan. Di udara terdengar 

suara bergemuruh laksana bendungan air 

bah yang jebol. Hawa panas dan dingin




saling tindih menindih melabrak habis 

belasan ular yang menyerbu ganas ke 

arah si bocah sakti. Sesaat gerakan 

ular-ular itu seolah tertahan, pada 

kesempatan berikutnya bagaikan ilalang 

belasan ular cobra tersapu mental, 

jatuh berkaparan tak bergerak lagi. 

Sang Cobra sendiri juga tidak kerahkan 

tenaga dalam ke bagian kakinya pasti 

akan terpelanting.

Kini dengan muka pucat pasi 

laki-laki itu memandang ke depan. Di 

sana tepat di depan si gadis berdiri 

tegak seorang kakek berbadan besar 

luar biasa, berwajah bulat berkening 

lebar berpipi tembem dengan bukit 

hidung sama rata dengan pipi. Kakek 

gendut besar yang satu ini sama sekali 

tak dikenal oleh Sang Cobra. Tapi 

kakek satunya lagi yang berbadan kurus 

berpakaian dalam hitam berjubah putih 

tentu tak pernah dilupakan oleh laki-

laki itu. Dialah kakek yang dilihatnya 

dua puluh tahun yang lalu di rumah Ki 

Bantaran, kakek ini dulu menggunakan 

pedang Gagak Mencle Sapu Angin milik 

Ki Bantaran untuk membunuh kedua orang 

tuanya. Mengenang segala pembicaraan 

si kakek dua puluh tahun yang lalu 

membuat darah Sang Cobra laksana 

mendidih. Tapi belum lagi dia sempat 

melakukan tindakan atau bicara apapun, 

tiba-tiba saja terdengar derap suara 

langkah kuda disertai dengan suara


siulan panjang. Siulan mendadak 

terhenti. Bagaikan terkejut orang yang 

datang dengan menunggang kuda berseru.

"Walah rupanya pesta sudah 

dimulai. Ada yang tergeletak, eh 

ternyata seorang gadis. Sedangkan yang 

duduk itu, aha tak kukira kiranya 

seorang bocah tolol yang sedang sakit 

perut. Guru... siapa laki-laki yang 

bagian kepalanya diselubungi kain itu? 

Apakah ini manusianya yang berjuluk 

Sang Cobra? Ha. . ha...ha!" bersamaan 

dengan terdengar suara tawa itu, maka 

di samping si kakek terlihat seorang 

pemuda tampan bertelanjang dada duduk 

di atas punggung seekor kuda. Sikap 

pemuda gondrong itu terkesan acuh tak 

acuh. Tapi setelah melihat ke arah 

Iwir Iwir dan Purbasari yang terkapar 

dan sedang ditolong oleh bocah itu, 

perhatian pemuda ini tertuju 

sepenuhnya pada Sang Cobra.

"Aku inginkan kakek kerempeng 

itu!" dengus Sang Cobra tanpa 

memandang sebelah matapun atas 

kehadiran Gentong Ketawa dan muridnya.

"Eeh... kau tolol amat. Mengapa 

kau tidak inginkan kakek gemuk besar 

ini saja. Kalau kau seorang penjagal 

tentu kau dapat untung besar. Kakek 

gemuk ini dagingnya banyak. Jadi buat 

apa kau menghendaki kakek kurus peot 

itu. Dagingnya sedikit, paling juga 

yang banyak tulang sama kentutnya....


Atau mungkin kau orang yang suka makan 

tulang dan menghirup segarnya bau 

kentut? Ha... ha... ha!" 

Gentong Ketawa mendelik men-

dengar gurauan muridnya. Sedangkan Ki 

Banjar Jati hendak mendamprat. Tapi 

urung karena dia melihat di depan sana 

Sang Cobra sudah mendahuluinya 

berkata. "Orang tua gemuk besar dan 

pemuda sinting. Aku tak punya silang 

sengketa dengan dirimu. Jika sayangkan 

nyawa maka sebaiknya cepat menyingkir. 

Urusanku adalah dengan Mahluk Tanpa 

Tanda!" tegas Sang Cobra yang rupanya 

sudah dapat membaca gelagat kalau 

kakek Gentong Ketawa dan muridnya 

pasti merupakan orang-orang yang 

memiliki tingkat kepandaian sangat 

tinggi.

Murid dan guru saling pandang. 

Gento Guyon menyeletuk. "Rupanya dia 

takut pada kita, guru. Kalau dia 

mengusir kita apa yang harus kita 

lakukan?" tanya si pemuda.

Si kakek gendut besar tersenyum-

senyum saja. "Memang jalan ini milik 

bapak moyangnya. Dia mengusir, kita 

diam saja di sini. Kita baru pergi 

setelah sahabatku menyelesaikan 

urusannya dengan orang yang malu 

memperlihatkan wajahnya itu," sahut 

Gentong Ketawa.

"Kau sudah mendengarkan, kakek 

Banjar Jati. Kau selesaikanlah


urusanmu dengan bangsat itu. Sementara 

aku sendiri hendak berkenalan dengan 

bocah aneh di sana. Siapa tahu aku 

juga bisa kenalan dengan gadis yang 

ditolongnya." kata si pemuda. Enak 

saja Gento Guyon melompat dari kuda 

dan berjalan melenggang menghampiri si 

bocah sakti.



TIGA BELAS



Di tempatnya berdiri Gentong 

Ketawa dengan tangan dilipat di depan 

dada terus menatap lurus ke arah Sang 

Cobra. Sementara Ki Banjar Jati telah 

melompat dua tombak ke depan. Sejenak 

si kakek memperhatikan sepasang mata 

yang mencorong di balik dua lubang 

selubung kain yang menutupi kepalanya.

Dia lalu membentak. "Melihat 

pada penampilanmu, kau pasti Sang 

Cobra manusia tengik yang telah 

membunuh sahabatku Ki Bantaran, 

membantai beberapa tokoh dan menyikat 

habis beberapa perguruan silat.!" kata 

kakek tua itu dingin.

Sang Cobra dongakkan kepala, 

lalu tertawa terbahak-banyak. Tawanya 

yang dingin mendadak lenyap. Mulut 

dibalik selubung berucap. "Bagus kalau 

kau mau menghitungnya. Ha ha ha!"

"Mengapa kau bunuh mereka 

semua?" tanya Ki Banjar Jati.

"Mereka memang pantas mati


karena dulu mereka menghinakan diriku. 

Seperti halnya Ki Bantaran, kau juga 

layak mampus!" dengus Sang Cobra 

sinis. Ki Banjar Jati tersenyum. "Kau 

begitu membenci banyak orang bahkan 

ingin membunuh diriku. Tentu kau punya 

sebab dan alasan tertentu. Coba kau 

jelaskan, aku ingin mendengar!" pinta 

si kakek. Nada suaranya tetap pelan 

lembut, walau di dalam hati 

sesungguhnya dia ingin menghancurkan 

batok kepala Sang Cobra detik itu 

juga.

"Ha ha ha! Kau hanya berlagak 

tak mengerti atau otakmu benar-benar 

telah pikun? Kau dengar! Dua puluh 

tahun yang lalu kau bersama beberapa 

ketua perguruan dengan dibantu oleh 

Anom Ka Ratan telah membunuh kedua 

orang tuaku di Puncak Tumapel. Kau 

ingat?!"

Mendengar ucapan Sang Cobra 

sebenarnya si kakek tidak begitu kaget 

karena dia sendiri sudah mendengar

penjelasan dari sahabatnya Gentong 

Ketawa. Sehingga si kakek pun 

tersenyum.

"Jadi kau putranya Sepasang 

Iblis Pengemis Harpa?"

"Kalau sudah tahu mengapa 

bertanya?" hardik Sang Cobra. Dengan 

sengit laki-laki itu melanjutkan.

"Saat ini hanya tinggal kau dan

Anom Ka Ratan yang harus bertanggung


jawab atas kematian orang tuaku!"

Si kakek yang telah menyadari 

keganasan Sang Cobra mencoba berkata. 

"Kau hendak membalas dendam padaku. 

Padahal kau tahu kedua orang tuamu 

jelas berada di jalan yang salah!"

"Aku telah berusaha menebus 

kesalahan mereka. Tapi kalian pihak 

yang mengaku dari golongan lurus 

menganggap diri sesuci malaikat, 

sehingga golonganmu sama sekali tak 

memandang muka padaku!" teriak Sang 

cobra kalap. Begitu bencinya Sang 

Cobra pada Ki Banjar Jati sehingga 

tanpa pikir panjang lagi dia melesat 

mengelilingi si kakek. Beberapa saat 

orang tua itu dibuat bingung dengan 

apa yang dilakukan oleh lawan. Karena 

Sang Cobra ternyata hanya berputar-

putar tanpa menyerang. Tapi setelah 

lawan sampai pada putaran ketiga

sadarlah si kakek bahwa saat itu dari 

dalam terjadi getaran keras yang 

disertai merekahnya tanah di 

sekeliling Ki Banjar Jati dalam bentuk 

lingkaran. Dari lingkaran tanah yang 

menganga lebar bermunculan ratusan 

ular Cobra api berwarna merah menyala 

yang langsung berserabutan menyerbu ke 

arah Ki Banjar Jati.

"Cobra Api! Selamatkan dirimu!" 

seru si kakek gendut. Orang tua ini 

sendiri lalu melompat mencoba menarik 

sahabatnya dari lingkaran tanah yang


terbelah. Tapi begitu mendekati 

lingkaran dimana tanah terbelah secara 

aneh, tubuh gendutnya seperti 

dilontarkan. Seakan dia membentur 

tembok baja yang tak terlihat. Si 

kakek sambil menggeram mencoba 

mendobrak tabir tembok gaib yang 

diciptakan oleh sang Cobra. Tapi 

walaupun dia mengerahkan tenaga dalam 

penuh tetap saja tubuhnya seperti 

dicampakkan. Malah semakin berusaha 

mendobrak tabir lingkaran itu, maka 

jatuh si kakek semakin bertambah jauh.

"Kurang ajar! Ilmu apa yang 

telah dipergunakan oleh iblis ini?" 

maki Gentong Ketawa dalam hati.

Sementara itu begitu melihat 

cobra api menyerang si kakek dari 

segala penjuru arah. Maka orang tua 

ini berkelebat melompat berusaha 

keluar dari lingkaran. Tapi hal yang 

sama juga terjadi pada dirinya. Ketika 

dia melesat, tepat di bagian lingkaran 

tanah yang ternganga tubuhnya 

terpental masuk ke dalam lagi tidak 

ubahnya seperti menabrak tembok baja.

Dalam kejutnya menghadapi 

kenyataan yang ada serta serbuan 

ratusan ular cobra yang menyala itu. 

Si kakek akhirnya kerahkan tenaga 

dalam ke bagian tangan. Laksana kilat 

tangan kemudian dipukulkan ke arah 

ular-ular berapi yang menyerangnya.

Hawa dingin luar biasa berkiblat


disertai suara angin menderu meng-

hantam ratusan ular-ular yang 

menyerangnya. Ledakan dahsyat ber-

dentum menggetarkan tanah yang 

dipijaknya. Beberapa ular cobra api 

yang terkena pukulan berpentalan di 

udara tapi tenyata ular-ular itu tidak 

mati. Begitu jatuh dalam lingkaran 

dengan ganas mereka menyerang Ki 

Banjar Jati. Orang tua ini terus 

menghindar dengan cara melompat-lompat 

hindari serangan binatang itu. Sambil 

menghindar dia mencoba mencoba men-

dobrak tembok gaib yang mengurungnya.

Tapi usahanya ini sia-sia, dia 

kehabisan tenaga apalagi saat itu 

udara di sekeliling lingkaran gaib 

yang diciptakan oleh sang Cobra telah 

dipenuhi dengan kabut beracun yang 

disemburkan ratusan mahluk yang 

menyerangnya.

Si kakek akhirnya menjerit 

ketika belasan ular cobra itu mematuk 

kakinya. Begitu tergelimpang ratusan 

ular yang sangat berbisa ini langsung 

mengerubutinya. Gentong Ketawa yang 

melihat nasib tragis sahabatnya 

menggerung marah. Dia lalu melepaskan 

pukulan Raja Dewa Ketawa ke arah 

tembok lingkaran gaib didepanya. 

Selarik sinar putih laksana perak 

berkiblat hawa panas melebar. Kemudian 

terjadi ledakan berdentum. Pukulan 

dahsyat yang dilepaskan si kakek


membalik begitu membentur tembok 

lingkaran yang tidak terlihat. Si 

kakek banting diri ke samping. Pukulan 

lewat diatas tubuhnya. Kemudian 

menghantam pohon di seberang jalan.

Sementara itu tubuh Ki Banjar 

Jati yang terkurung dalam lingkaran 

tembok gaib hanya tinggal tulang 

belulang saja, Ular cobra api yang 

mengerubutinya begitu melihat lawan 

hanya tinggal belulang saja segera 

merayap pergi meninggalkan korbannya 

dan lenyap di balik retakan tanah yang 

menganga.

Di sebelah kiri Gentong Ketawa 

terdengar suara tawa bergelak. Kiranya 

yang tertawa adalah Sang Cobra. Gento 

Guyon yang melihat semua kejadian ini 

sambil meninggalkan si bocah sakti 

segera mendekati Sang Cobra. Dia sudah 

melihat sejak tadi bahwa Sang Cobra 

terus menerus melapatkan sesuatu. 

Sedangkan kedua tangannya diacungkan 

ke arah lingkaran dimana Ki Banjar 

Jati terkurung. Jelas Sang Cobra telah 

menggunakan kekuatan hitam untuk 

menghabisi lawannya. Itu pula sebabnya 

si kakek gendut tak kuasa 

menghancurkan tabir tembok lingkaran 

gaib yang diciptakan oleh lawan.

Menyadari lawan menggunakan 

puncak dari segala kekuatan. Maka 

Gento Guyon juga tak mau bersikap 

ayal. Kini sambil melesat ke arah


lawannya dia melepaskan dua pukulan 

maut sekaligus. Begitu dia menghantam 

ke depan, maka dari tangan kirinya 

memancarkan sinar putih berkilauan 

yang bersumber dari pukulan Iblis 

Ketawa Dewa Menangis. Sedangkan dari 

telapak tangan kanannya menderu sinar 

biru pekat yang bersumber dari pukulan 

Selaksa Duka. Dua pukulan maut itu tak 

dihindari oleh lawannya. 

Sehingga tak ayal lagi masing-

masing pukulan menghantam tubuh Sang 

Cobra.

Dentuman keras menggelegar, debu 

dan pasir mengepul di udara. 

Pemandangan jadi gelap. Ketika suasana 

jadi terang kembali Gento terkejut 

besar. Dua pukulan sakti tak dapat 

merobohkan lawannya, tubuh Sang Cobra 

hanya bergetar saja. Padahal andai 

seorang tokoh sakti sekalipun pasti 

tak sanggup menahan dua pukulan yang 

dilepaskan oleh pemuda itu. Gento 

golang golengkan kepala. Diam-diam 

menjadi jerih. Saat itu si kakek 

gendut besar sudah bangkit dan 

mendekati si pemuda sambil berbisik. 

"Agaknya aku harus menggunakan 

senjataku untuk membunuhnya!"

Gento terdiam, dia juga sedang 

berfikir untuk menggunakan Gada bumi. 

Yaitu senjata mustika pemberian Tabib 

Sesat Timur. Konon senjata sebesar ibu 

jari kaki namun dapat membesar bila


telah dihantamkan ke bumi itu sangat 

ampuh. Sekarang saatnya jika sang 

Cobra kebal pukulan dan kebal juga 

senjata. Berpikir sampai kesitu si 

pemuda siap hendak mengeluarkan 

senjata di balik pinggangnya. Tapi 

pada saat itu pula terdengar suara 

tawa mengekeh disertai dengan 

terdengarnya suara bergemuruh serta 

kilatan cahaya menyilaukan mata. Satu 

sosok berkelebat, satu cahaya panjang 

besar menyilaukan menyambar ke arah 

Sang Cobra. Laki-laki yang baru saja 

hendak melancarkan serangan kedua 

dengan ilmu lingkaran Sang Cobra ke 

arah Gento dan gurunya itu jadi 

tersentak kaget. Dia yang saat itu 

berdiri tegak menghadap ke arah 

Gentong Ketawa laksana kilat berusaha 

melompat selamatkan diri. Tapi 

gerakannya kalah cepat. Kilatan cahaya 

putih besar dan panjang luar biasa 

menerabas putus pinggangnya. Sang 

Cobra tak sempat lagi menjerit. 

Tubuhnya terpotong menjadi dua. Baik 

Gento sendiri maupun gurunya jadi 

tercengang dengan mata terbelalak.

Mereka bukan terkejut melihat 

kematian Sang Cobra yang menggenaskan 

itu. Mereka kaget bahkan nyaris 

terkencing-kencing begitu melihat 

sesungguhnya cahaya putih besar dan 

panjang luar biasa yang membabat putus 

pinggang lawan tadi sebenarnya adalah


kilatan cahaya sebuah pedang yang 

panjangnya lebih dari sepuluh tombak 

dengan lebar tak kurang dari tiga 

tombak.

Pedang sebesar dan sepanjang itu 

tidaklah mengherankan bila yang 

menggunakannya adalah sosok mahluk 

tinggi besar seperti raksasa. Justru 

yang baru saja membabat pinggang Sang 

Cobra ternyata adalah seorang kakek 

tua renta berambut putih berjenggot 

putih berbadan pendek setinggi 

pinggang Gento Guyon. Anehnya kakek 

itu tampaknya tidak merasa berat dan 

lelah ketika membawa dan mengguna-

kannya tadi. Padahal berat pedang 

mungkin sama dengan berat kakek 

Gentong Ketawa. Berarti lebih dari dua 

ratus kati.

"Senjata besar mengerikan. 

Sungguh aku tak percaya bila tidak 

melihatnya sendiri. Kakek kecil, 

apakah engkau orangnya yang bernama 

Anom Ka Ratan?" tanya Gento yang sudah 

mendengar sedikit riwayat orang tua 

kerdil ini.

"Ho ho ho! Sudah tau buat apa 

bertanya? Apa kau mau membantu memikul 

Pedang Raja ini untuk dikembalikan Ke 

Bukit Waton Hijau!" tanya si kakek 

berbadan kecil pendek sambil acung-

acungkan pedangnya dengan sebelah 

tangan. Sikapnya itu terkesan enak 

saja, seakan berat pedang yang dua


ratus kati tak memiliki arti apa-apa 

baginya.

"Kakek sakti, aku berterima 

kasih kau telah datang membantu. Tapi 

kumohon jangan kau suruh aku atau 

muridku untuk membawakan pedangmu. 

Kami berdua bisa mencret." kata 

Gentong Ketawa sambil keluarkan 

keringat dingin. Dia sadar hanya 

dengan melihat cara si kakek dalam 

memegang pedang raksasa Gentong Ketawa 

tahu kakek Anom Ka Ratan pasti 

memiliki tenaga dalam serta ilmu 

berada di atasnya. Sehingga dia harus 

berlaku hati-hati. Anom Ka Ratan 

meludah. 

"Kalau kalian tak mau membantu 

tak mengapa. Biang bencana telah 

kusingkirkan. Aku akan kembali ke 

Bukit Waton Hijau. Jika tadi pedang 

ini kuseret, maka sekarang Pedang Raja 

harus kupanggul. Ho ho ho!", berkata 

si kakek sambil tertawa tergelak-

gelak. Enak saja di meletakkan hulu 

pedang di bahunya. Kemudian melangkah 

pergi. Dilihatnya sekilas dari 

belakang tubuh si kakek tak terlihat 

karena terlindung lebarnya badan 

pedang.

Gentong Ketawa yang melihat 

semua ini sebenarnya hampir tak kuasa 

menahan tawa disamping terselip juga 

rasa takut. Tapi tawa si kakek yang 

keras menggelegar bagaikan dentuman


gunung meletus membuat murid dan guru 

terpaksa menyumbat liang telinga 

dengan jati tangan. Meskipun begitu 

tubuh mereka berguncang keras karena 

terpengaruh getaran Anom Ka Ratan.

"Sinting edan. Punya ilmu apa 

dia. Ilmunya tinggi tak terjajaki. 

Besar pedangnya lima puluh kali lipat 

dengan besar orangnya. Gila betul!" 

gumam Gento Guyon. Dia cepat berpaling 

ke arah Iwir Iwir. Tapi si bocah sakti 

bersama gadis yang tengah dirawatnya 

lenyap dari tempat itu. 

"Kemana mereka?"

"Siapa?" tanya gurunya tanpa 

pernah mengalihkan perhatiannya dari 

kakek cebol yang mulai tampak berlari 

sambil memikul pedangnya. 

"Bocah dan gadis itu." sahut si 

pemuda. 

"Hari ini kau banyak melihat 

keanehan. Sehingga telingamu jadi 

tidak mendengar ketika bocah dan gadis 

itu pergi." celetuk si kakek.

"Apakah dia pamitan denganmu?"

"Ya.... tapi dia segan pamitan 

padamu. Katanya takut sahabatnya jatuh 

cinta padamu. Namun suatu saat dia 

berjanji akan mencarimu. Biarkan saja 

terkecuali bila kau sudah terlanjur 

cinta pada gadis tadi, baru boleh 

mengejar mereka."

Gento terdiam, gadis berpakaian 

kuning yang belum sempat dia ketahui


namanya tadi memang cantik. Hanya 

sayangnya sepasang matanya berkedip 

melulu. Bagaimana dia bisa jatuh cinta 

pada gadis yang cacingan? Sambil 

tersenyum-senyum dia lalu mengikuti 

gurunya yang sudah melangkah 

mendahuluinya


.

                          TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar