SATU
Mentari sudah mulai condong di
ufuk sebelah barat. Sebentar lagi
malam segera tiba. Di salah satu
tempat ketinggian bukit, Gunung Bromo
tampak berdiri tegak dengan gagahnya.
Dari bukit ini gadis cantik berpakaian
kuning bersenjata pedang berambut
panjang riap-riapan memandang ke
bagian selatan lereng gunung beberapa
kejapan lamanya. Tiba-tiba bola
matanya yang bulat indah terbelalak
lebar, wajahnya tegang sedangkan
perasaannya mulai gelisah. Di bagian
selatan lereng Bromo gadis yang
menunggang kuda coklat ini melihat
kepulan asap serta rona merah
membubung tinggi ke angkasa.
"Apa yang terjadi di perguruan.
Tidak mungkin ia datang secepat itu?"
desis si gadis kecut. "Tapi api itu
datangnya seperti dari perguruan
Teratai Merah. Aku harus kembali
secepatnya!" Gadis cantik berambut
panjang riap-riapan ini menggerakkan
tali kekang kuda. Terdengar suara
ringkikan keras. Kuda menghambur
berlari cepat menuruni punggung bukit
menuju bagian selatan lereng Gunung
Bromo.
Hanya dalam selang waktu yang
tidak berapa lama gadis ini telah
sampai di halaman perguruan Teratai
Merah. Sesaat lamanya dia nampak
tercengang, mata terbelalak, tubuh
tegak kaku bagaikan orang yang baru
saja terjaga dari sebuah mimpi buruk.
Betapa tidak? Di depannya sana dia
melihat mayat-mayat bergelimpangan
roboh dengan luka-luka mengerikan dan
sekujur tubuh hitam membiru. Selain
mayat murid-murid perguruan, bangunan
yang dijadikan tempat tinggal juga
musnah terbakar. Begitu sadar akan
kenyataan yang terjadi laksana kilat
gadis itu langsung melompat dari atas
punggung kudanya. Dia memeriksa mayat
gadis-gadis yang bertebaran di halaman
itu. Tak ada yang selamat. Semuanya
tewas dengan luka menganga di bagian
perut seperti bekas dijebol kuku yang
tajam. Sedangkan di bagian kening
terdapat dua titik menghitam seperti
luka bekas patukan mahluk melata.
Si gadis menarik nafas pendek
sambil gelengkan kepala. Kejap kemu-
dian begitu ingat sesuatu kepalanya
berputar, mata memandang ke segenap
sudut penjuru. Bibirnya yang mungil
terbuka....
"Ni Estu Lampiri. Apa yang telah
terjadi di tempat ini? Di mana kau?"
teriak si gadis. Suara si gadis
kemudian lenyap, dia menunggu untuk
sesaat lamanya. Tak ada jawaban, yang
terdengar justru suara gemeretak kayu
yang terbakar. "Ketua perguruan
Teratai Merah, tidak kau dengarkan
suaraku ini?" teriak gadis itu lagi
penasaran. Dalam hati dia merasa yakin
Ni Estu Lampiri pasti dalam keadaan
selamat, karena setelah memeriksa tadi
dia tak menemukan mayat orang tua itu
di antara mayat murid-muridnya.
Tapi sia-sia saja dia berteriak,
karena kali ini suaranya tetap tak
terjawab. Baru saja si gadis berniat
mencari ke setiap sudut perguruan pada
saat itu pula mendadak sontak ter-
dengar suara tawa mengikik disertai
batuk-batuk kecil. Si gadis melengak
kaget. Namun dia cepat menoleh
memandang ke arah datangnya suara itu.
"Kurang ajar. Dia lagi!!" desis
gadis itu.
"Hi... hi... hi, Huk... huk...
huk. Kau terlambat lagi Purbasari...
sudah kukatakan secepat apapun kau
memacu kudamu. Kau tidak mungkin bisa
menyelamatkan dunia persilatan dari
kehancurannya. Hi... hi... uhuk...
uhuk!"
Beberapa saat lamanya gadis ini
terdiam. Dia sama sekali tidak
mengenal bocah laki-laki yang
bertelanjang dada dan cuma memakai
cawat kulit kayu yang menutupi bagian
auratnya itu. Tapi aneh bocah berumur
sepuluh tahun berambut gondrong dekil
ini mengenal namanya. Bahkan dia sudah
mengikuti sejak Purbasari sampai di
perguruan Merak Emas dan juga
perguruan Sangra Buana.
Kini si gadis pandangi bocah
yang duduk seenaknya di atas pohon
mengkudu. Yang dipandang menyengir,
kemudian mengguncang pohon besar itu
sambil bernyanyi tidak karuan jun-
trungannya. Pohon itu bergoyang keras
laksana ditiup topan. "Anggut-anggutan
seperti di awan. Malapetaka datang
mana mengenal kawan. Kalau lelah
memberi ingat mengapa tak datang ke
gunung Butak sobat, Tralili...
tralulu... kalau lupa kepala dipalu.
Hi... hi... hi!"
"Bocah siapakah dirimu? Apa yang
kau ketahui tentang perjalananku?"
hardik Purbasari curiga.
Bocah berbadan dekil tertawa
mengikik disertai batuk-batuk kecil.
"Sudah kukatakan namaku Iwir Iwir.
Sedangkan mengenai dirimu? Hik...
hik... hik." bocah yang mengaku
bernama Iwir Iwir tekab mulutnya agar
tidak keterusan tertawa. Dia kemudian
melanjutkan. "Tentang dirimu aku tahu
banyak. Kau adalah murid tunggal Ki
Rangan dari Puncak Terang. Gurumu
berjuluk Dewa Ngelindur Bertangan
Arwah. Kau ditugaskan olehnya untuk
memberi ingat pada seluruh perguruan
silat di daerah timur Jawa ini agar
mereka bersikap waspada dari segala
mara bahaya. Karena saat ini di rimba
persilatan muncul seorang tokoh sesat
yang menamakan dirinya Sang Cobra.
Tidak jelas apa yang menjadi awal
persoalan? Yang pasti dia datang ke
setiap perguruan membunuhi murid dan
guru perguruan itu dengan ciri-ciri
luka sebagaimana yang kau lihat.
Setelah itu dia pergi menebar maut di
perguruan yang lain...!" jelas si
bocah.
Purbasari tersentak kaget men-
dengar ucapan bocah ini. Bagaimana
Iwir Iwir bisa mengatakan segala
sesuatunya dengan jelas, padahal
perjalanannya untuk menjalankan amanat
sang guru sangat dirahasiakan? Belum
lagi hilang rasa kaget di hati
Purbasari, bocah yang cuma mengenakan
cawat itu melanjutkan. "Bukan hanya
itu saja, Purbasari. Kau juga
ditugaskan untuk mencari Pedang Raja.
Hanya pedang itu yang dapat diper-
gunakan untuk menghentikan segala
sepak terjang Sang Cobra. Namun kurasa
bukan melalui tanganmu. Melainkan
melalui tangan pemilik pedang itu.
Hanya Anom Ka Ratan yang becus
menggunakan pedangnya sendiri. Hik...
hik... huk... huk."
Semakin bertambah kaget saja
Purbasari mendengar ucapan Iwir Iwir.
Bagaimana bocah itu bisa mengetahui
segalanya? Ini merupakan sesuatu yang
sangat membingungkan bagi Purbasari.
Tapi benarkah dia tidak dapat meng-
gunakan pedang Raja untuk menghentikan
sepak terjang Sang Cobra? Purbasari
gelengkan kepala
"Bocah... bicaramu sombong
seperti seorang dewa yang tahu sega-
lanya. Kau mengatakan aku tak sanggup
menggunakan pedang itu, padahal kau
tak pernah tahu sejauh mana kesaktian
yang ku miliki" dengus Purbasari
merasa tersinggung.
Iwir Iwir tertawa dan batuk-
batuk lagi. Dia lalu membuka mulut
berucap. "Aku tahu konon kesaktian
Dewa Ngelindur Tangan Arwah sangat
tinggi. Konon pula dia pernah
mempecundangi beberapa tokoh golongan
hitam. Membunuh Cula Berkala dedengkot
tokoh sesat paling ditakuti di daerah
selatan. Bahkan dia mengobrak-abrik
Kadipaten Pacitan. Dan aku percaya
sepenuhnya sebagai murid kau mewarisi
semua ilmu kesaktian orang tua itu.
Tapi kali ini sangat lain. Pedang Raja
benar-benar rajanya dari segala
pedang. Seperti yang kukatakan hanya
Anom Ka Ratan yang bisa memper-
gunakannya."
Merasa diri diremehkan oleh
bocah itu. Maka Purbasari berucap
ketus. "Baik, kalau begitu kita temui
orang tua itu dan minta bantuannya?"
dengus si gadis.
Bocah di atas pohon mengkudu
dongakkan kepala dan batuk-batuk
beberapa kali. "Untuk mencarinya saja
sudah sulit, apalagi minta bantuannya?
Dia orang tua yang mempunyai watak
angin-anginan, mau menolong jika tidak
diminta. Sebaliknya sulit mengharap
bantuannya jika dia tidak berkenan."
sahut Iwir Iwir.
"Bocah sinting! Apakah kau
sengaja hendak mempermainkan diriku?
Kau kira dirimu siapa?" hardik
Purbasari marah,
"Hi... hi... hi. Namaku Iwir
Iwir apakah kau lupa. Hanya itu saja
yang patut kau ketahui." tegas si
bocah aneh disertai senyum namun
unjukkan mimik bersungguh-sungguh.
"Baiklah. Kau tadi mengatakan
minta bantuan Anom Ka Ratan sangat
sulit. Sementara Sang Cobra terus
menebar maut tanpa pandang bulu. Kalau
begitu kita ambil saja pedang itu."
"Aku percaya jiwa mudamu tidak
mengenal rasa takut. Seperti yang
sudah kukatakan tak seorang pun di
dunia ini yang sanggup mempergunakan
Pedang Raja. Kalau kau tak percaya,
coba tangkap daun ini!" berkata begitu
Iwir Iwir memetik selembar daun
mengkudu. Enak saja daun itu
dilemparkannya ke arah Purbasari. Daun
meluncur, meskipun si gadis tak
mengetahui maksud Iwir Iwir. Namun
daun itu ditangkapnya juga.
Wuut!
"Uup... eehh...!" Dalam hati
Purbasari terkejut luar biasa ketika
mendapat kenyataan selembar daun yang
dilontarkan Iwir Iwir kepadanya
ternyata sangat berat bukan main. Si
gadis pergunakan tenaga luar dalam
untuk menahan daun itu agar jangan
sampai jatuh. Keringat mengucur
membasahi tubuhnya. Tapi pada akhirnya
dia jatuh terduduk tak sanggup menahan
berat daun yang sangat luar biasa.
"Aneh, punya ilmu apa bocah ini?
Hanya selembar daun aku tak sanggup
mengangkatnya. Aku merasa tidak
ubahnya seperti mengangkat sepuluh
ekor kerbau??" batin Purbasari dalam
hati. Dia pun dengan wajah pucat
bersimbah keringat bangkit berdiri. Di
atas pohon si bocah tertawa mengikik
disertai batuk-batuk kecil.
"Apa sebenarnya yang kau mau?"
tanya Purbasari.
"Aku hanya sekedar menunjukkan
padamu suatu contoh yang mungkin bisa
menjadi pelajaran bagimu. Kelak kau
akan mengetahuinya sendiri mengapa aku
mengatakan kau tak sanggup menggunakan
pedang itu!" jawab si bocah tetap
disertai senyum.
"Bicaramu bertele-tele. Saat ini
tugasku masih banyak. Kalau kau
mengikuti aku dengan maksud tujuan
yang baik. Sekarang apa yang harus
kulakukan?" sambil menahan kekesa-
lannya Purbasari ajukan pertanyaannya.
"Bertanya pada anak kecil apakah
itu bukan tindakan keliru? Padahal aku
sendiri bisanya cuma main. Namun jika
kau inginkan satu pandangan. Aku hanya
bisa mengatakan saat ini sebaiknya tak
usah lagi kau pergi menemui ketua
perguruan yang ada di timur Jawa ini.
Karena kuanggap hanya merupakan
pekerjaan sia-sia. Dia selalu mendahu-
luimu. Untuk itu kusarankan sebaiknya
kita pergi menemui Anom Ka Ratan. Jika
kau tak berkenan juga carilah kakek
gendut besar luar biasa bernama
Gentong Ketawa. Orang tua itu punya
pandangan luas, di samping juga
memiliki kepandaian sangat tinggi.
Apalagi turut yang kudengar saat ini
dia mempunyai seorang murid bernama
Gento Guyon."
Mendengar Iwir Iwir menyebut
nama Gentong Ketawa, Purbasari kembali
dilanda rasa kaget. Gurunya sendiri
Dewa Ngelindur Bertangan Arwah sebelum
si gadis pergi sempat berpesan agar
membicarakan persoalan pelik yang
mereka hadapi saat itu.
"Gentong Ketawa kakek sakti yang
punya tabiat aneh. Di mana harus
mencari orang tua itu?" tanya
Purbasari.
"Eeh... kau juga mengenalnya?"
sergah Iwir Iwir sempat terlonjak
kaget.
"Guruku ada sedikit memberi
penjelasan tentang kakek itu." sahut
Purbasari.
"Bagus. Kalau begitu kau memilih
hendak menyambangi siapa?" tanya si
bocah.
"Aku belum menentukan pilihan.
Saat ini aku sedang memikirkan Ni Estu
Lampiri." ujar si gadis.
"Dia tak berada di sini. Mungkin
juga di suatu tempat. Untuk sementara
sebaiknya jangan dirisaukan dulu
masalah ketua perguruan Teratai Putih
ini. Mudah-mudahan dia dalam keadaan
selamat. Hi... hi... hi."
"Aku pun berharap begitu. Tapi
ingat, jika kau ternyata menipu, kau
tak bakal lolos dari tanganku!" ancam
Purbasari,
Si bocah tertawa panjang
diselingi batuk. Ketika si gadis
memandang ke pohon sambil delikkan
mata ternyata Iwir Iwir sudah tak
berada lagi di tempatnya. Purbasari
pun tanpa menunggu lebih lama segera
berkelebat ke arah lenyapnya bocah
aneh yang mengetahui banyak hal itu.
DUA
Laki-laki bercelana hitam ber-
telanjang dada yang di sekujur
tubuhnya dipenuhi hiasan mahluk
berujud sosok ular kobra itu mendadak
memperlambat larinya. Di satu tempat
laki-laki yang kepalanya terbungkus
kain hitam itu hentikan langkah. Sosok
yang tersampir di atas bahunya
dilemparkan, jatuh berguling-guling,
diam dan tak bergerak.
"Laki-laki keparat siapa kau
yang sebenarnya? Kau bunuhi murid-
muridku. Kau totok diriku lalu kau
bawa ke mari. Apa maksudmu?" hardik
perempuan setengah baya berpakaian
putih berhiaskan sulaman bunga Teratai
berwarna merah.
Sejenak lamanya laki-laki ini
memperhatikan si perempuan melalui
celah lubang kain hitam yang menye-
lubungi seluruh kepalanya. Kemudian
dia dongakkan kepalanya ke langit.
Terdengar tawa disertai desis aneh
seperti desisan ular kobra yang marah.
"Ketua perguruan Teratai Merah! Kau
dengar! Aku akan menghancurkan semua
perguruan silat yang ada di tanah Jawa
ini. Akan kubunuh semua tokoh sakti
baik dari golongan putih dan golongan
hitam. Mereka semua tidak pantas
diberi hidup. Karena orang yang
menganggap dirinya dari golongan baik
baik sesungguhnya tidak punya perasaan
sedikit pun." kata laki-laki itu
sinis.
"Ucapanmu sama sekali tidak
memberikan jawaban apapun atas
pertanyaan yang kuajukan!" dengus
perempuan itu yang bukan lain adalah
Ni Estu Lampiri.
"Ha... ha... ha. Aku akan jawab
pertanyaanmu. Tapi sebelum itu aku
ingin kau menjawab beberapa perta-
nyaanku dulu." sahut laki-laki itu.
Dia terdiam sejenak. Dari balik
penutup yang menyelubungi kepalanya
terdengar suara aneh berupa desisan
panjang. "Pertanyaanku yang pertama.
Di mana dedengkot golongan putih
bernama Anom Ka Ratan saat ini
berada?"
Ni Estu Lampiri terkejut besar
mendengar pertanyaan laki-laki
bertelanjang dada yang sekujur
tubuhnya dihias dengan gambar sosok
ular kobra ini. Anom Ka Ratan adalah
tokoh dunia persilatan yang namanya
sangat disegani di daerah timur tanah
Jawa. Orang tua itu sendiri sudah lama
tak terdengar kabar beritanya. Kabar
terakhir yang didengar Ni Estu Lampiri
tokoh sakti itu menetap tinggal di
daerah Probolinggo, menempati sebuah
lembah yang diapit dua bukit. Konon di
tempat itu pula dia menciptakan
senjata aneh yang diberi nama Pedang
Raja. Tapi kalau pun dia tahu di mana
Anom Ka Ratan tidak mungkin dia
memberitahukannya pada laki-laki yang
telah membantai seluruh muridnya.
"Cepat jawab pertanyaanku!"
hardik laki-laki ini tak sabar.
"Aku tak tahu!" jawab Ni Estu
Lampiri.
Orang itu menggeram pendek.
Walaupun mulai kesal, tapi dia terus
melanjutkan pertanyaannya juga. "Kau
tak tahu tak mengapa. Sekarang katakan
padaku di mana beradanya Ki Banjar
Jati berjuluk Mahluk Tanpa Tanda?"
Mendengar pertanyaan itu Ni Estu
Lampiri tertawa pelan.
"Buat apa kau tanyakan orang
aneh yang satu itu? Dia bisa berada di
mana saja. Dia bisa muncul di
hadapanmu tanpa kau sadari. Hi...
hi... hi."
"Jadi kau tak tahu di mana
gerangan Mahluk Tanpa Tanda berada?"
desis laki-laki itu sinis.
"Aku tidak takut ancaman apapun
darimu. Bahkan saat ini ingin rasanya
aku membunuhmu. Tapi terus terang
kukatakan aku tak tahu di mana adanya
orang yang kau tanyakan ini!" sahut
ketua perguruan Teratai Putih. Saat
itu diam-diam dia kerahkan tenaga
dalam untuk membebaskan totokan di
tubuhnya. Nampaknya usaha yang
dilakukan itu mendatangkan hasil.
Totokan di bagian punggung dapat
dimusnahkan. Tetapi dia tetap diam
menunggu kesempatan terbaik untuk
melepaskan satu pukulan mautnya.
"Kau tak takut ancaman. Sungguh
dirimu adalah seorang perempuan yang
sangat berani. Dua pertanyaan telah
kuajukan. Di kejauhan sana ada sebuah
pondok. Pondok kecil di tepi kali
Merayu. Tempat itu masih seperti dulu-
dulu juga. Tapi apa yang terjadi
sekarang sudah sangat lain." gumamnya.
Kemudian dia melanjutkan. "Waktu untuk
membalas semua penghinaan itu sudah
tiba. Sebentar lagi aku sudah tidak
membutuhkan penunjuk jalan lagi.
Karena itu aku akan jawab pertanyaanmu
tadi. Kau ingat baik-baik, aku adalah
Sang Kobra. Sengaja dikembalikan ke
dunia ini untuk memberikan pelajaran
yang berharga pada semua orang yang
dulu pernah menghinaku."
"Sang Kobra. Kau sembunyikan
wajahmu di balik selubung kain. Kau
iblis pengecut. Kejahatanmu telah
tersebar, ditiupkan angin ke delapan
penjuru arah. Kau lampiaskan amarah
pada orang-orang yang sama sekali
tidak tahu musabab pangkal persoalan.
Sungguh kau manusia picik yang buta
hati dan pikiran!" teriak Ni Estu
Lampiri.
Wajah di balik selubung kain
hitam nampak gelap. Sepasang matanya
berkilat pancarkan amarah. Ingat akan
segala yang pernah terjadi di masa
lalunya, maka sambil berteriak dia
langsung menghantam. "Ucapanmu itu
hanya mempercepat ajalmu sendiri!"
bersamaan dengan itu pula Sang Cobra
jentikkan lima jemari tangannya yang
berkuku panjang dan runcing ke arah Ni
Estu Lampiri. Dengan serangan jarak
jauh ini Sang Cobra merasa yakin
perempuan setengah baya itu pasti
menemui ajal seketika karena pada saat
itu dia melepaskan pukulan Sengatan
Sang Cobra. Lima sinar hitam berbentuk
seperti ekor ular membersit, melesat
dengan sangat cepat sekali menghantam
bagian perut Ni Estu Lampiri.
Merasakan adanya sambaran hawa
dingin menerjang ke arahnya. Maka
perempuan itu langsung melompat ke
udara, sambil berjumpalitan dia raup
sesuatu dari balik pakaiannya. Setelah
itu tangannya dihantamkan ke arah lima
larik sinar maut yang menderu sebat
sejengkal di bawah kakinya. Lima buah
benda merah berupa senjata rahasia
melesat memapas pukulan Sengatan Sang
Cobra.
Tuttt!
Dar! Dar! Daar!
Terdengar lima kali letupan
berturut-turut. Ni Estu Lampiri akibat
ledakan itu jatuh terguling-guling.
Lima buah benda berupa kuntum bunga
teratai merah yang disambitkannya
hangus berkeping-keping begitu bentrok
dengan pukulan lawan.
Tercium bau amis yang sangat
menyengat. Ni Estu Lampiri tanpa
menghiraukan rasa sakit yang
menyesakkan dadanya dengan cepat
bangkit berdiri. Wajahnya pucat pasi,
sedangkan nafas perempuan itu agak
tersengal. Di hadapannya Sang Cobra
yang tidak mengalami cidera sedikit
pun diam-diam jadi kaget. Dia sama
sekali tak menyangka lawan yang sudah
ditotoknya sejak dari perguruan
Teratai Merah dapat membebaskan diri
dari pengaruh totokan.
Walaupun begitu dia tetap
tersenyum. "Tenaga dalammu ternyata
cukup tinggi juga. Tapi setinggi
apapun kesaktian yang kau miliki, di
hadapanku kau tidak memiliki arti apa-
apa." kata Sang Cobra sengit.
"Manusia sombong! Terimalah
teratai beracunku!" Selesai berucap
dengan sangat cepat sekali perempuan
itu sambitkan tiga kuntum kuncup bunga
teratai yang langsung mengembang
bermekaran begitu menyentuh udara.
Ketiga kuntum teratai biru ini laksana
kilat melabrak Sang Cobra. Serangan
yang dilakukan dari jarak dekat ini
bukan serangan biasa. Karena mahluk
apapun yang menjadi sasaran tubuhnya
pasti langsung layu. Apalagi saat itu
Ni Estu Lampiri mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dia miliki.
Dari mulut yang terselubung kain
hitam terdengar suara menggereng
marah. Dengan tangan kiri laki-laki
yang sekujur tubuhnya dihiasi gambar
ular Cobra ini memukul ke depan.
Tes! Tes! Tes!
Hantaman yang dilakukan Sang
Cobra membuat tiga kuntum bunga
teratai beracun itu berhamburan di
udara. Justru hancurnya teratai
membuat serbuk beracun yang terkandung
dalam kelopak bunga itu bertebaran
memenuhi udara. Sungguhpun Sang Cobra
kebal terhadap semua jenis racun, tapi
jika serbuk bunga beracun itu sampai
tersedot dalam pernafasannya tentu
akibatnya bisa jadi sangat fatal
sekali. Sambil mengibaskan tangannya
menghalau serbuk bunga beracun
tersebut Sang Cobra melompat mundur.
"Kurang ajar. Jika tidak cepat
kuhabisi dia lama-lama aku sendiri
bisa kena dicelakainya," batin laki-
laki itu.
Baru saja Sang Cobra berniat
menyerang lawannya dengan satu pukulan
yang mematikan. Pada saat yang
bersamaan pula Ni Estu Lampiri sudah
melancarkan serangan ganasnya dengan
jurus Teratai Bermekaran Di Pagi Hari,
Teratai Berguguran dan Teratai
Mengambang Di Atas Air. Serangan yang
sangat dahsyat yang tiada berkeputusan
membuat lawan terdesak hebat untuk
beberapa saat lamanya. Namun ketika
Sang Cobra rubah jurus-jurus silatnya.
Maka di lain kejap secara cepat
perempuan itu tampak terdesak. Apalagi
ketiga tangan Sang Cobra yang berkuku
panjang, berwarna hitam mengandung
racun ganas itu menyambar bagian
wajah, dada dan perutnya.
Tak punya pilihan lain sambil
melompat mundur Ni Estu Lampiri
melepaskan satu pukulan ganas ke arah
lawannya. Kembali hawa dingin menderu
menghantam lawannya. Tanpa berusaha
menghindar Sang Cobra menepis pukulan
sakti lawannya. Benturan yang terjadi
membuat Ni Estu Lampiri terjajar.
Sebaliknya Sang Cobra melompat laksana
kilat, tangan kiri menyambar.
Breet!
Pakaian di bagian perut perem-
puan itu robek besar. Belum lagi Ni
Estu Lampiri hilang kagetnya melihat
pakaian robek besar tangan kanan lawan
kembali menyambar, menghunjam dalam
perutnya.
Kraak!
"Akhh...! "
Ni Estu Lampiri menjerit keras.
Perutnya robek besar, isi perut
berburaian keluar. Perempuan itu
terhuyung dan dekap perutnya. Pada
saat itulah dari balik kepala depan
yang terselubung kain hitam melesat
satu benda sepanjang satu jengkal.
Benda yang ternyata sosok ular kobra
berwarna hitam langsung menghunjam di
bagian kening Ni Estu. Ada dua titik
luka seperti bekas pagutan. Ular tadi
jatuh di atas tanah, lalu lenyap
setelah menyentuh ujung ibu jari kaki
Sang Cobra. Sedangkan Ni Estu Lampiri
sendiri terguling roboh. Sekujur
tubuhnya menghitam keracunan sedangkan
jiwanya tidak terselamatkan lagi.
Sang Cobra mendengus sinis.
Tanpa menoleh lagi dia tinggalkan
mayat ketua perguruan Teratai Merah
begitu saja.
TIGA
"Kaki kiri melangkah ke depan
tiga langkah. Kemudian kaki kanan
bergeser ke samping satu langkah.
Tangan ditekuk, jemari yang saling
dirapatkan menghadap ke depan, lengan
ditarik ke belakang. Dengan cepat
digerakkan ke depan!" berkata kakek
gendut besar berbadan tinggi berpipi
tembam dan berhidung pesek. Sambil
berkata begitu tangan membuat gerakan
seperti gerakan kaki depan Congcorang.
Tidak jauh dari si kakek,
seorang pemuda tampan berambut
gondrong bertelanjang dada berwajah
polos lugu meniru apa yang dikatakan
oleh si kakek gendut besar berkening
lebar. Dia sama sekali tidak
memperdulikan sengatan terik matahari
yang panas membakar. Sesekali pemuda
tampan yang bukan lain adalah Gento
Guyon murid si kakek gendut besar
Gentong Ketawa memperhatikan jemari
tangannya sendiri. Di bolak-balik,
dirapatkan digerakkan ke depan.
Sekejap dia melompat-lompat seperti
congcorang, lalu jemarinya yang saling
merapat sedemikian rupa bagaikan
moncong ular yang mematuk, melesat
menghantam batu besar yang terdapat di
depannya.
Crok! Crok!
Pyur!
Hebat mengagumkan. Batu yang
sangat keras itu berlubang. Si pemuda
memperhatikannya untuk beberapa saat.
Dia tersenyum, matanya dipentang
seakan tak percaya dengan kenyataan
yang dialaminya.
"Guru. Kau lihat hasilnya. Jurus
apa tadi namanya...?" tanya si pemuda
seakan lupa mengingat.
Kakek berbadan besar gendut luar
biasa yang mencangkung di atas batu
yang baru saja menjadi sasaran si
pemuda cibirkan mulutnya.
"Mengingat nama jurus saja tak
becus. Kalau mau tahu itulah yang
namanya jurus Congcorang Mabuk. Hanya
gerakan kaki dan tubuhmu kurang luwes.
Kau juga harus mengerahkan tenaga
dalam lebih banyak lagi ke bagian
ujung jari agar kehebatan jurus
Congcorang Mabuk dapat hasil yang
lebih maksimal!" menyahuti si kakek
dengan sikap acuh tak acuh.
"Kurasa untuk memantapkan jurus
itu kita harus mabuk dulu guru."
celetuk Gento dengan muka serius namun
bibir sunggingkan senyum.
"Boleh juga, memainkan jurus
belalang mabuk sambil mabok sungguhan
memang asyiik. Sayang tak ada warung
tidak ada tuak. Bagaimana kalau kau
minum air sungai sampai mabuk?! Ha.,
ha... ha." kata si kakek Gentong
Ketawa sambil tertawa mengekeh.
"Air sungai masih kurang asyik.
Kurasa maboknya makin sedap kalau kita
minum air kencing bersama-sama." sahut
Gento Guyon disertai tawa pula.
Si kakek unjukkan muka cemberut.
"Sudah, kau kalau diajak bicara kata-
katamu makin melantur saja. Sekarang
sebaiknya kita tinggalkan tempat ini!"
kata Gentong Ketawa. Orang tua itu
kemudian bangkit berdiri, lalu
tubuhnya digerakkan ke kanan dan ke
kiri sampai terdengar suara berkero-
takan seperti tulang berderak.
Selagi si kakek menggerak-
gerakkan badan itulah matanya memben-
tur sesuatu. Dia memperhatikan pohon
yang terdapat tak jauh di sebelah
kirinya.
Kedua alisnya berkerut, matanya
yang agak sipit dikedip-kedipkan.
Melihat tingkah gurunya. Gento jadi
ikutan melirik ke arah yang sama.
"Apa yang dilihat oleh kakek
bunting ini." membatin Gento dalam
hati. Dia kemudian jadi melengak kaget
ketika melihat ada beberapa baris
coretan yang terdapat di batang pohon
itu. Belum lagi pemuda ini sempat
ajukan pertanyaan gurunya sudah
melangkah mendekati pohon.
Cukup lama dia berdiri di situ,
memperhatikan, meneliti dan mengama-
tinya dengan seksama, sampai kemudian
mukanya yang kemerahan nampak berubah
pucat.
"Pesan ini rasanya sudah tidak
asing lagi bagiku. Tulisannya jelek
namun masih dapat dibaca. Aneh... aku
tidak melihat dia hadir di sini. Tadi
ketika aku dan Gege sampai aku tidak
melihat adanya coretan di batang pohon
ini. Ah, perasaanku jadi tidak enak.
Jelas guru telah datang, namun aku tak
melihat kehadirannya. Orang tua aneh!
Kedatangannya seperti setan dan pergi
secepat angin berhembus. Aku tahu
betul dia tak suka banyak bicara. Tapi
adalah sangat keterlaluan jika cuma
meninggalkan pesan!" gerutu si kakek.
"Guru bicara pada siapa?" tanya
Gento yang sudah berdiri di samping
gurunya. Yang ditanya sempat kaget,
mulutnya membuka hendak mendamprat
tapi tidak jadi. "Tulisan jelek siapa
ini? Dibandingkan cakar ayam, rasanya
masih kalah bagus!" kata si pemuda
lagi.
Kakek berbadan besar luar biasa
ini delikkan matanya. Merasa
dipelototi Gento pura-pura melihat ke
arah lain sambil bersiul-siul.
"Jangan sembarangan kau bicara.
Orang yang membuat pesan ini adalah
guruku, jadi masih terhitung kakek
gurumu! Dia datang tanpa kita
melihatnya. Meninggalkan pesan, ber-
arti ada sesuatu yang sangat penting,
menyangkut urusan besar yang harus
kita kerjakan." berkata si kakek.
Gento Guyon terdiam, mata tak
pernah beralih dari batang pohon,
mulutnya melongo tanda heran. "Guru.
Apakah kakek guru sebangsanya hantu,
memedi, kolong wewe atau setan
kampret?" tanya si pemuda bersungguh-
sungguh.
"Bocah edan, bicara melantur
apalagi kau. Tentu saja guruku adalah
manusia seperti kita. Bukan salah satu
dari yang kau sebutkan!" bentak kakek
Gentong Ketawa bersungut-sungut.
Melihat gurunya cemberut begitu
rupa Gento Guyon tak dapat menahan
senyum. Kalau sedang cemberut mulut
gurunya memang tidak ubahnya seperti
mulut ikan lele yang sedang bermain di
atas air, apalagi kumis si kakek hanya
tumbuh beberapa helai saja,
Satu tepukan mendarat di bahu
Gento membuat senyumnya lenyap dan dia
jadi meringis kesakitan.
"Guru ada apa ini? Kau memukulku
tanpa sebab?" rutuk pemuda itu sambil
mengusap-usap bahunya yang serasa
remuk. Gento menyadari tepukan si
kakek hanyalah tepukan biasa tapi
karena tangan gurunya besar dan berat
bukan main jadinya pemuda itu merasa
bahunya seperti dikemplang palu batu.
"Aku tahu, setiap kau tersenyum
bila melihatku, pasti ada bagian
tubuhku yang kau caci. Jangan mungkir,
aku selalu dapat menebak apa yang ada
di balik batok kepalamu itu!"
"Tidak malu aku berterus terang,
apa yang guru katakan memang betul
semuanya. Ha., ha... ha!" ujar pemuda
itu disertai tawa lebar.
"Dasar bocah kurang ajar.
Sekarang kita mendapat pesan dari
guruku. Ini bukan merupakan tugas yang
dapat dianggap main-main. Karena itu
kuminta kau bersikap serius. Jika kita
gagal kakek gurumu bisa marah besar
dan menghukum kita." berucap kakek
Gentong Ketawa.
Gento Guyon keluakan siulan
pendek. Sambil bertolak pinggang dia
berkata. "Aku sendiri belum pernah
bertemu dengan kakek guru. Tapi
kulihat kau begitu ketakutan. Apakah
kakek guru itu tampangnya angker
menyeramkan? Atau barangkali kejam
seperti iblis?" tanya si pemuda heran
"Suatu saat kau pasti bertemu
dengannya. Kakek gurumu tidak seperti
yang kau sebutkan itu. Tapi terus
terang selain Gusti Allah di dunia ini
dialah yang paling kutakuti. Aku
merasa lebih baik bertemu dengan
sepuluh musuh berkepandaian tinggi
daripada harus bertemu dengannya."
kata si kakek merasa jerih.
Gento Guyon menyeringai men-
dengar pengakuan gurunya. Dalam hati
dia menduga pasti kakek gurunya adalah
sosok laki-laki tua berbadan lebih
besar dan lebih tinggi dari gurunya,
berwajah angker hampir tanpa senyum.
Sehingga wajar saja jika gurunya yang
berbadan tambun itu jadi takut
kepadanya.
"Sekarang kalau guru merasa
takut padanya, lebih baik kita baca
saja pesan ini bersama-sama," berucap
si pemuda.
Gentong Ketawa anggukkan kepala.
Mereka lalu membaca pesan itu bersama-
sama.
Pada muridku si gendut Gentong
Ketawa!
Dimohon perhatiannya. Saat ini
dunia persilatan sedang dilanda
kericuhan. Beberapa perguruan dibakar,
murid dan gurunya dibantai. Nampaknya
korban akan terus berjatuhan, karena
si pembunuh yang menamakan dirinya
sebagai Sang Cobra itu tidak memandang
bulu dan membantai orang yang
diinginkannya. Cari tahu mengapa Sang
Cobra sampai melakukan perbuatan keji
dan tindakan biadab itu. Kuminta
padamu dan juga pada muridmu untuk
menghentikannya. Mengingat ilmu
kesaktiannya sangat tinggi sebaiknya
kau berhati-hati jika tak ingin mati
konyol!
Tertanda
Gurumu.
Selesai membaca murid dan guru
saling pandang. Si kakek menarik
nafas, terdiam sejenak sambil ber-
pikir. Sedangkan muridnya golang-
geleng kepala seperti orang linglung.
"Bocah, apalagi yang ada dalam
kepalamu? Jika kau punya sesuatu yang
hendak kau sampaikan katakan saja
terus terang mengapa harus malu-malu?"
Mendengar ucapan gurunya Gento
Guyon tertawa tergelak-gelak. "Apa
guru mengira aku bicara dengan seorang
gadis ingusan yang baru mengenal cinta
hingga aku harus merasa malu segala?"
menyahuti si pemuda. "Guru harus ingat
saat ini orang yang hendak kita cari
itu tidak kita ketahui di mana? Paling
tidak kita harus menyerap kabar
tentang keberadaan Sang Cobra. Saat
ini kita berada di sekitar daerah kali
Merayu. Apa salahnya jika mulai
melakukan penyelidikan dari sekarang?"
ujar si pemuda.
"Kau benar. Aku setuju saja.
Kebetulan sekali tidak jauh dari kali
Merayu aku punya seorang sahabat lama.
Namanya Ki Bantaran berjuluk Iblis
Berhati Suci." menerangkan si kakek.
Mendengar ucapan gurunya Gento
Guyon tersenyum dengan mulut ter-
pencong.
"Aneh? Masa iya di dunia ini ada
iblis yang hatinya suci? Manusia
sendiri kebanyakan hatinya bengkok.
tidak jujur. Ha... ha... ha."
"Bocah edan. Bisa mu cuma
mencaci melulu. Sudahlah ayo kita
pergi!"
Selesai berkata kakek Gentong
Ketawa menyambar tangan muridnya.
Kejap kemudian pemuda itu merasa
tubuhnya seperti dibawa lari secepat
terbang.
EMPAT
Yang pertama kali dilakukan oleh
Iwir Iwir dan Purbasari murid Ki
Rangan alias Dewa Ngelindur Bertangan
Arwah itu adalah mengumpulkan sedikit-
nya delapan orang laki-laki tegap.
Purbasari sendiri sebenarnya tak
mengerti mengapa bocah aneh bernama
Iwir Iwir itu mengumpulkan delapan
pemuda berbadan besar dan tegap. Namun
untuk mengajukan pertanyaan tentu dia
merasa malu, karena dia manganggap
walau Iwir Iwir memiliki ilmu aneh dan
luas pengalaman. Dia tetap merupakan
seorang bocah yang tidak jauh berbeda
dengan bocah lain pada umumnya.
Saat itu matahari baru saja
tenggelam di balik gunung Bromo.
Kegelapan mulai menyelimuti lereng
gunung sebelah barat yang sejuk. Di
balik kelebatan pohon yang tumbuh di
sepanjang lereng gunung baik si bocah
maupun Purbasari sendiri nampaknya
tidak menghiraukan sengatan hawa
dingin yang menusuk. Tak jauh di
belakang mereka delapan laki-laki
tegap bertelanjang dada tampak terus
mengikuti mereka.
"Sekarang sudah gelap. Aku tak
ingin melanjutkan perjalanan di malam
hari." berkata Purbasari sambil
menghentikan langkah. Karena gadis
berambut riap-riapan ini berhenti maka
bocah berumur sembilan tahun itu ikut
berhenti. Dia menggaruk rambutnya.
Memandang ke depan sana nampaknya
jalan akan mereka lalui semakin
bertambah sulit.
"Aku sendiri sebenarnya juga
tidak mau. Tapi jika kita tunda
perjalanan ini, berarti kita
membutuhkan waktu yang sangat lama
untuk sampai di bukit Waton Hijau.
Padahal jika kita berniat mengambil
Pedang Raja di malam hari besar
kemungkinan Anom Ka Ratan tidak akan
mengetahui kehadiran kita." jelas Iwir
Iwir.
"Jadi kita berniat mencuri
pedang itu?" tanya Purbasari. Semen-
tara di belakang mereka delapan orang
laki-laki yang mereka bawa dari desa
terdekat sudah ikut berhenti pula.
Mengingat perjalanan untuk mencapai
Bukit Waton Hijau begitu sulit, tidak
heran jika ke delapan pemuda desa itu
nampak kelelahan.
"Kita tidak punya pilihan lain.
Tidak mungkin kita meminta Pedang Raja
pada pemiliknya. Anom Ka Ratan jelas
tidak mau memberikannya. Jika kita
meminta orang tua itu untuk turut
membantu, ini akan lebih sulit lagi.
Seperti yang pernah kukatakan dia
orang tua aneh yang mempunyai tabiat
sulit ditebak. Bisa jadi karena kita
datang meminta tolong dia malah
membunuh kita."
"Manusia aneh. Tak pernah
kusangka begitu aku turun gunung aku
akan banyak bertemu dengan orang
edan." gumam Purbasari. Dia melirik ke
arah delapan laki-laki muda yang
berada di sampingnya. Setelah itu
pandangannya kembali pada Iwir Iwir.
"Buat apa kau membawa serta mereka
dalam perjalanan kita?" si gadis
ajukan pertanyaan.
Si bocah aneh ini hendak
tertawa, namun cepat tekap mulutnya.
Dia hanya batuk-batuk kecil, baru
kemudian menjawab dengan berbisik.
"Nantinya kau akan tahu bila sudah
sampai di sana."
"Bagaimana orang-orang ini bisa
menuruti perintahmu?" tanya Purbasari
heran.
Iwir Iwir tersenyum, lalu
dongakkan kepala. Matanya berkedip-
kedip memandang ke langit yang gelap
dan hanya ditaburi cahaya gemintang.
"Ada satu rahasia besar yang
tidak bisa kuceritakan padamu saat
ini. Tapi jika kau mau berjanji mau
menjadi sahabatku, kelak aku pasti
akan menceritakan tentang rahasiaku
itu. Asal kau mau bersumpah tidak akan
menceritakan rahasia perihal diriku
pada siapapun sampai kau mati." kata
Iwir Iwir.
"Bocah aneh, siapa sebenarnya
dia? Masih sekecil ini mempunyai
kesaktian tinggi. Tingkah lakunya
selalu berubah-ubah, terkadang dia
malah memberi nasehat seperti orang
tua." Batin Purbasari. Sejenak lamanya
gadis itu pandangi si bocah. "Baiklah,
aku berjanji. Sekarang apakah kita
hendak meneruskan perjalanan seperti
keinginanmu atau istirahat seperti
yang kukatakan tadi?"
"Turut kata hatiku kita memang
harus melanjutkan perjalanan. Tapi...
aku merasa sejak tadi ada orang yang
mengikuti kita!" berkata bocah itu
dengan suara hampir tak terdengar.
Purbasari berjingkrak kaget.
"Apa...? Aku sendiri tidak merasa ada
orang yang mengikuti kita. Bagaimana
kau bisa mengetahuinya?" tanya si
gadis. Dia semakin tambah heran saja
melihat kemampuan dan kelebihan yang
dimiliki oleh Iwir Iwir.
"Bocah ini, jika benar apa yang
dikatakannya. Berarti dia mempunyai
pendengaran yang lebih tajam dariku."
Purbasari gelengkan kepala seakan
merasa tak percaya.
Seolah dapat membaca pikiran si
gadis, Iwir Iwir menegaskan. "Aku
bicara yang sebenarnya. Kita harus
mencari tempat untuk melewatkan malam
sampai orang yang mengikuti kita
pergi. Besok pagi sekali baru kita
lanjutkan perjalanan ini."
Purbasari menganggukkan kepala.
Dalam Kegelapan malam itu matanya
memandang ke segenap penjuru sudut.
Dia kemudian melihat sebuah legukan
batu yang cukup luas lagi dalam di
lamping tebing sebelah kirinya.
"Iwir Iwir, sebaiknya kita bawa
orang-orang ini ke sana!" kata
Purbasari.
"Aku mengikut saja. Kau dan
mereka bisa tidur di legukan batu itu.
Sementara aku sendiri biar berjaga-
jaga di luar!"
"Apa, kau menyuruhku tidur
bersama mereka? Apa kau tidak ingat
kalau aku seorang perempuan?" dengus
Purbasari.
"Ingat, tentu saja aku ingat.
Tapi cuma tempat itu satu-satunya yang
dapat dijadikan tempat berlindung dari
dinginnya malam." menerangkan si bocah
mencoba memberi pengertian.
"Aku ingin tidur di luar legukan
batu, kalau perlu kau yang tidur di
luar bersama mereka!" ujar si gadis
cemberut.
"Baik. Tidurlah kau sesuka hati
di mana saja yang engkau mau. Aku akan
menyuruh mereka tidur di balik legukan
batu. Kulihat langit mendung. Sebentar
lagi hujan pasti segera turun. Aku
hanya ingin memberikan yang terbaik
padamu jika kau memang mengakui aku
adalah sahabatmu!"
"Terima kasih atas kebaikanmu!"
kata Purbasari. Dia sendiri kemudian
mencari tempat tak jauh dari legukan
batu. Berlindung di bawah sebatang
pohon rindang, di mana karena di
tempat itu suasananya lebih gelap
tentu dia dapat mengawasi suasana di
sekitarnya setiap saat.
Si bocah segera memerintahkan
delapan pemuda yang ikut serta dalam
perjalanan mereka menuju ke legukan di
lamping batu tebing. Setelah para
pemuda itu merebahkan diri di bagian
dalam legukan batu yang mirip gua
dangkal. Purbasari melihat Iwir Iwir
keluar dari legukan batu. Dia duduk
menyandarkan punggungnya di kaki
tebing yang masih merupakan bagian
lereng Gunung Bromo.
Di bawah kegelapan pohon
Purbasari mencoba merenungi perjalanan
yang dilakukannya sejak meninggalkan
Puncak Terang yang merupakan tempat
pertapaan Ki Rangan alias Dewa
Ngelindur Bertangan Arwah. Beberapa
perguruan telah didatanginya guna
memberi ingat agar para ketua
perguruan bisa bersikap waspada selalu
mengingat munculnya Sang Cobra yang
tidak terduga yang sering melakukan
pembunuhan keji. Apapun alasan di
balik pembantaian itu, baik Purbasari
maupun gurunya tidak tahu secara
pasti.
Tapi sayang kedatangan Purbasari
selalu terlambat. Ketika dia sampai di
perguruan yang disambanginya. Mereka
yang seharusnya diberi peringatan
sudah tewas terbantai.
Semua ini baginya cukup
mengejutkan. Yang membuatnya heran,
sejak pertama kali menginjakkan kaki
di salah satu perguruan, muncul bocah
aneh yang kini turut serta bersamanya.
Bocah yang bila dilihat dari
segi usia masih terlalu sangat muda
bahkan boleh dibilang anak-anak, tapi
memiliki kesaktian tinggi dan aneh, di
samping itu si bocah juga tampaknya
mempunyai pengalaman yang sangat luas.
Dia mengaku bernama Iwir Iwir, namun
siapa bocah itu yang sesungguhnya
Purbasari tak tahu.
Satu hal lagi yang membuat
Purbasari menjadi bertanya-tanya dalam
hati. Entah buat apa bocah itu kini
membawa serta delapan pemuda desa yang
sesungguhnya tidak tahu tentang ilmu
silat dan tidak pula berkepandaian
apa-apa. Dan yang terasa aneh lagi,
sejak ikut dengannya ke delapan pemuda
itu sama sekali tak pernah bicara.
Mereka mengikut saja ke mana Purbasari
dan Iwir Iwir melangkah. Anehnya
kepada bocah itu mereka sangat
menurut. Entah ilmu apa yang
dipergunakan si bocah?
Kini di bawah pohon hanya dengan
berbantal kedua tangannya sendiri si
gadis mencoba memejamkan matanya.
Entah mengapa dia jadi gelisah.
Matanya sulit sekali dipejamkan.
Sementara hujan mulai turun rintik-
rintik, angin dingin bertiup pula
dengan kencang. Bersamaan dengan itu
pula suasana di lereng Bromo sebelah
barat itu semakin bertambah gelap
saja. Purbasari terkejut, tapi aneh
dia juga saat itu diserang rasa kantuk
yang berat. Sungguhpun si gadis sudah
mencoba bertahan agar jangan sampai
terlelap, namun pada akhirnya dia
pulas juga.
Justru pada saat itu pula satu
sosok tubuh yang sejak tadi mendekam
di balik kegelapan kini bangkit
berdiri disertai seringai dingin
mengerikan. Dalam gelap itu wajahnya
sama sekali tidak terlihat. Hanya
kedua matanya saja yang merah
berkilat-kilat memandang ke arah
legukan batu di mana delapan pemuda
dusun itu melewatkan malam.
"Bocah itu ilmunya sungguh
tinggi. Kuharap mantra sirepku dapat
bekerja dengan baik sebagaimana yang
kuharapkan. Aku sekarang sudah tahu
mengapa bocah itu membawa serta
delapan orang pemuda dusun. Sebaiknya
biar kuhabisi saja kedelapan pemuda
itu sekarang. Sedangkan bocah dan
gadis itu gilirannya akan tiba begitu
mereka sampai di tempat tujuan. Jadi
aku tidak perlu bersusah payah mencari
di mana beradanya Pedang Raja, karena
mereka pasti akan membawaku ke sana!"
kata sosok serba hitam berbadan
bungkuk itu di dalam hati. Dia lalu
mengendap-endap mendekati legukan
lamping tebing.
Sementara itu Iwir Iwir si bocah
aneh juga rupanya juga tak mampu
menahan rasa kantuknya. Bocah ini
malah lebih cepat pulas dibandingkan
Purbasari. Walau sebelumnya dia
sendiri sempat memberi tahu si gadis
kalau saat itu ada orang mengikuti
mereka. Tapi dasar seorang bocah,
tetap saja dia berlaku ceroboh.
Dengan leluasa sosok berpakaian
serba hitam itu memasuki legukan batu.
Sejenak lamanya dia pandangi ke
delapan pemuda yang pulas tertidur
dibuai mimpi. Mulutnya membuka, dengan
cepat pula dia meniup. Dari mulutnya
menyembur cairan putih yang langsung
mengepul menjadi kabut. Kabut putih
itu menebar memenuhi ruangan dan
tersedot masuk ke dalam pernafasan ke
delapan pemuda dusun. Begitu masuk ke
dalam pernafasan, maka ke delapan
pemuda itu tersentak. Mereka memegangi
leher masing-masing yang terasa
tercekik, tubuh menggelepar sedangkan
kaki menggelinjang. Hanya beberapa
saat kemudian ke delapan pemuda itu
tampak terdiam tidak berkutik lagi.
"Uap racun Raja Cobra tidak ada
duanya di dunia ini. Kalau aku mau
bahkan bocah yang tidur di depan sana
pasti menemui ajal saat ini, juga."
geram sosok bungkuk itu. Kemudian
tanpa menunggu lebih lama sosok
berpakaian serba hitam ini langsung
berkelebat meninggalkan korbannya.
Pada pagi keesokan harinya,
Purbasari jadi kaget begitu melihat
delapan pemuda itu sudah tergeletak
kaku tanpa nyawa. Anehnya begitu dia
melihat ke arah Iwir Iwir yang baru
saja terjaga bocah itu terlihat
tenang-tenang saja.
"Siapa yang membunuh mereka?"
bertanya gadis itu sambil memeriksa
keadaan salah satu mayat tanpa luka
namun tubuhnya hitam membiru.
"Mana aku tahu? Aku sendiri
tidur," jawab si bocah. Iwir Iwir
datang menghampiri, ikut memeriksa
seluruh mayat pemuda dusun kemudian
dia melanjutkan ucapannya. "Racun yang
sangat keji. Ditiupkan ke udara lalu
terhirup pernafasan. Untung... untung
akalku lebih panjang."
"Eeh... apa maksudmu?" tanya
Purbasari. Si bocah tersenyum. Tanpa
menghiraukan pertanyaan si gadis, Iwir
Iwir menggerakkan tangannya ke arah
mayat-mayat itu.
Wuuut!
Angin menderu menyapu ke delapan
mayat si pemuda. Purbasari terbelalak
kaget, mulut ternganga seakan tak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
Bagaimana tidak? Ke delapan
pemuda itu kini telah berubah menjadi
potongan kayu. Purbasari memandang
pada si bocah dengan tatapan penuh
tanya.
Iwir Iwir tersenyum. "Aku punya
firasat hal ini pasti akan terjadi.
Dengan sedikit kekuatan yang ku miliki
kusarukan kayu-kayu itu menggantikan
delapan pemuda yang bersama kita. Aku
tidak tahu apa maksud tujuan orang itu
mengikuti kita. Tapi kurasa jika dia
telah berani melakukan pembunuhan.
Berarti ada sesuatu yang
diinginkannya." jelas si bocah.
Purbasari terdiam, dia semakin
kagum terhadap si bocah di samping
juga tetap curiga.
"Sekarang di mana mereka?'"
tanya si gadis.
"Tak usah khawatir. Para pemuda
itu bersembunyi di satu tempat aman
tak jauh dari sini. Kalau kau ingin
melihatnya juga boleh. Mari kita ke
sana." ujar Iwir Iwir.
Keduanya lalu menelusuri tanah
bebatuan di sebelah kanan tebing. Tak
lama mereka sampai di sebuah gua
kecil. Si bocah batuk beberapa kali.
Dari balik mulut gua yang sempit
bermunculan kedelapan pemuda dusun
itu.
"Aneh...!" desis si gadis merasa
kagum.
Si bocah tertawa disertai batuk.
"Tidak ada yang aneh. Sedikit
melakukan tipuan kecil terhadap orang
yang berniat jahat, kurasa aku bisa
mendapat ganjaran pahala dari Tuhan.
Sekarang, walau tidak aman kurasa kita
sudah bisa melanjutkan perjalanan."
ujar Iwir Iwir. Purbasari anggukkan
kepala. Selanjutnya mereka berjalan
melewati lembah di mana bukit Waton
Hijau nampak biru kehijauan di bawah
siraman cahaya matahari pagi.
LIMA
Kakek tua berbadan kurus,
berpipi cekung bermata tajam penuh
kearifan itu duduk diam di dalam
kamarnya yang sempit. Sebentar dia
melirik ke arah pedang hitam berte-
lanjang yang tergeletak di atas
pendupaan menyala. Sesekali mulutnya
berkomat-kamit, anehnya tak sepatah
katapun yang terdengar dari mulutnya.
Sambil berkomat-kamit si kakek
berpakaian serba ungu ini menaburkan
serbuk dalam genggaman tangannya.
Terdengar suara gemeretak begitu
serbuk berwarna kuning itu menyentuh
api disertai dengan mengepulnya asap
hitam kekuningan menebar bau harum
damar.
Di atas pendupaan pedang yang
diletakkan melintang bergetar disertai
dengan terdengarnya suara dentring
aneh. Si kakek kemudian berucap
ditujukan pada pedang di atas
pendupaan. "Gagak Mencle, aku sudah
mendengar kejahatan Sang Cobra. Saat
ini sudah sangat banyak kerabatku
pendiri perguruan yang tewas di
tangannya. Aku ingin kau membunuhnya
agar tidak ada lagi darah orang yang
tidak berdosa tercecer membasahi bumi.
Lakukan tugasmu sekarang juga!"
berkata begitu kakek tua bernama Ki
Bantaran dan dikenal dengan julukan
Iblis Berhati Suci itu jentikkan ujung
jemarinya ke hulu pedang hitam.
Zzzzt!
Begitu angin dingin menyentuh
permukaan pendupaan. Maka pedang
Mencle Sapu Angin menderu, melesat di
langit-langit pondok dan menerobos
atap ilalang dan lenyap dari pandangan
mata. Beberapa saat lamanya si kakek
tetap duduk di depan pendupaan, dengan
tangan dirangkapkan ke depan dada
sedangkan mata dalam keadaan terpejam.
Tapi tubuh si kakek tiba-tiba saja
bergetar hebat. Punggungnya yang
berada di atas tempat tidur terangkat
ke atas, lalu meluncur ke bawah
laksana dibanting.
"Oh celaka, ada apa gerangan?"
desis si kakek sambil membuka matanya.
Belum lagi lenyap rasa kaget di hati
Ki Bantaran di atas pondok terdengar
suara letusan keras yang disusul
dengan hancurnya atap pondok. Satu
benda hitam melayang jatuh, menancap
tepat di depan kaki Ki Bantaran.
Ketika melihat benda itu maka kagetlah
si kakek dibuatnya.
"Pedang Gagak Mencle Sapu Angin,
mengapa yang kau bunuh hanya seekor
ular cobra yang tidak berguna?" hardik
orang tua itu sambil memperhatikan
bagian kepala ular yang menancap di
ujung mata pedang. Si kakek lalu
mencabut pedang yang menancap di atas
balai tempat tidur. Ekor ular dipegang
dan ditarik, sehingga kepala ular itu
terlepas dari ujung pedang. "Seumur
hidup aku menggunakan senjata bertuah
ini belum pernah meleset dari sasaran.
Tapi hari ini mengapa bisa terjadi
kekeliruan? Apakah pedang ini salah
mengerti maksud dari ucapanku?" pikir
si kakek.
Selagi hati orang tua ini
diliputi rasa bingung. Pada saat itu
pula di depan rumahnya terdengar suara
tawa terbahak-bahak. Merasa terkejut
Ki Bantaran melompat bangkit. Tawa
aneh yang didengarnya tadi lenyap,
satu suara berkata. "Ki Bantaran,
apapun yang kau lakukan untuk
membunuhku hal itu tidak akan pernah
menjadi kenyataan. Sekarang kau
keluarlah! Aku menunggumu di sini."
"Siapa dia? Suaranya sama sekali
tidak kukenal." membatin Ki Bantaran.
Karena curiga kakek itu menyelipkan
pedang yang dipungutnya tadi di balik
pakaian ungunya.
"Ki Bantaran Iblis Berhati Suci,
tapi aku lebih suka menyebutmu iblis
keparat! Cepat keluar, waktuku tidak
banyak karena masih dua nyawa lagi
yang menunggu untuk kukirim ke
neraka!" bentak orang di halaman. Ki
Bantaran yang sempat heran karena
orang mengenali julukannya berkelebat
ke bagian pintu depan. Sampai di depan
pintu di hentikan langkah. Sepasang
matanya memandang tajam ke arah sosok
laki-laki yang berdiri tegak di
halaman. Orang tua ini kembali dilanda
keterkejutan besar ketika melihat
sosok laki-laki bertelanjang dada
bercelana hitam. Sedangkan di sekujur
tubuhnya dihiasi lukisan berupa sosok
ular cobra. Wajah maupun kepala laki-
laki itu sama sekali tak terlihat
karena diselubungi kain hitam. Hanya
sepasang matanya saja yang mengintai
dari balik selubung kain yang diberi
dua buah lubang.
Setelah saling beradu pandang
sekian lamanya, laki-laki bertelanjang
dada itu akhirnya tertawa terbahak-
bahak. "Kau ingat dengan diriku iblis
berhati suci?! Ha... ha... ha." hardik
laki-laki itu yang bukan lain adalah
Sang Cobra.
"Melihat pada keadaan badanmu,
kau pasti adalah Sang Cobra," menyahut
Ki Bantaran. Sang Cobra gelengkan
kepala. "Bukan, bukan itu. Kau tentu
ingat kejadian sekitar dua puluh tahun
yang lalu. Ketika itu hujan deras
melanda, seluruh tanah Jawa. Dalam
gelapnya malam di tengah hujan, ada
seorang pemuda datang ke rumahmu yang
buruk. Di sini, di pondok ini!" jelas
laki-laki itu.
Mendengar ucapan Sang Cobra di
samping terperanjat, kakek itu nampak
terdiam. Kening si orang tua berkerut
tajam. "Dua puluh tahun yang lalu"
membatin si kakek dalam hati. Begitu
otak si orang tua dapat mengingat maka
wajahnya menjadi murung.
***
Sejenak mari kita ikuti kejadian
yang terjadi sekitar dua puluh tahun
yang silam. Saat itu hari sudah hampir
malam. Di bagian pendopo depan Ki
Bantaran sedang berbincang-bincang
dengan salah seorang sahabatnya yang
bernama Ki Banjar Jati alias Mahluk
Tanpa Tanda.
"Jadi sahabat kita Anom Ka Ratan
berhasil membunuh Sepasang Iblis
Pengemis Harpa?" tanya Ki Bantaran
saat itu pada sahabatnya Ki Banjar
Jati.
"Bukan dia sendiri, tapi aku
juga termasuk ikut ambil bagian dalam
mengeroyok dua tokoh sesat sakti itu.
Belasan ketua perguruan silat yang
berada di tanah timur ini juga turut
ambil bagian. Kami tak ingin ada
pembalasan di kemudian hari. Itu
sebabnya aku dan para ketua perguruan
yang ikut tergabung dalam penyerbuan
ke Puncak Tumapel terpaksa mengero-
yoknya. Tapi ternyata Sepasang Iblis
Pengemis Harpa itu ilmunya sangat
tinggi sekali. Kami hampir saja kalah.
Beruntung muncul Anom Ka Ratan. Orang
tua itu membantu kami. Ketika mereka
terluka, aku membunuh mereka dengan
pedang Gagak Mencle Sapu Angin yang
kupinjam darimu. Pedang sakti ini
sangat bagus." berkata begitu orang
tua berpakaian serba putih keluarkan
pedang berikut sarungnya dari balik
pinggang. "Sekarang pedang kukem-
balikan padamu. Aku sangat berterima
kasih!" kata Ki Banjar Jati sambil
mengelus-elus jenggot panjangnya.
Ki Bantaran menerima pedang
miliknya, kemudian meletakkan pedang
Gagak Mencle Sapu Angin di atas
pangkuannya. Setelah memandang tamunya
beberapa jenak lamanya, Ki Bantaran
berucap. "Menurutku Sepasang Iblis
Pengemis Harpa memang sudah selayaknya
disingkirkan. Karena sejak dulu mereka
selalu berusaha menyingkirkan para
pendekar dari golongan kita. Keinginan
mereka untuk merajai dunia persilatan
dan menjadi raja dan ratu untuk semua
golongan adalah sebuah cita-cita gila
yang tidak boleh terjadi. Aku tidak
dapat membayangkan bagaimana sean-
dainya orang-orang seperti mereka
berkuasa di seluruh tanah Jawa ini.
Kurasa bukan hanya rakyat saja yang
sengsara, tapi kita sendiri juga bisa
dijadikan budaknya!"
"Kau betul aku sependapat
denganmu." sahut Ki Banjar Jati
disertai anggukan kepala.
"Namun ada satu hal yang aku
sesalkan. Tindakanmu dan tindakan
kawan-kawan yang ikut mengeroyoknya
bukan tindakan seorang satria."
Ki Banjar Jati tertawa terkekeh.
"Untuk menghadapi mereka buat apa
memakai segala aturan. Lagipula
Sepasang Iblis Pengemis Harpa sangat
tinggi ilmunya. Aku tak mau salah
seorang di antara kami yang ikut
melakukan penyerbuan ke bukit Tumapel
menjadi korban!" tegas orang tua itu.
"Lalu bagaimana dengan putra
kedua dedengkot tokoh sesat itu.
Apakah dia juga ikut terbunuh?" tanya
Ki Bantaran alihkan pembicaraan. Ki
Banjar gelengkan kepala.
"Kami tak tega membunuhnya.
Pemuda itu sangat baik, mempunyai
watak yang sangat jauh berbeda dengan
kedua orang tuanya. Lagipula saat itu
dia tak berada di bukit Tumapel.
Menurut kabar yang kudengar dia
mengembara mendatangi setiap perguruan
silat dan mengemis agar diangkat
menjadi murid. Tapi ketua perguruan
mana yang sudi menerimanya mengingat
dia jelas-jelas keturunan dua manusia
sesat." dengus Ki Banjar Jati.
"Kurasa aku sendiri juga harus
berpikir dua kali jika ingin mengang-
kat pemuda itu menjadi muridku!"
berucap Ki Bantaran perlahan. "Tapi
aku sendiri orang yang paling tidak
dapat berlaku tega pada sesama
manusia. Apalagi mengingat Lodra
Bergola hanya menjadi korban cacat
buruk sepak terjang ke dua orang
tuanya,"
"Terserah padamu. Jika kelak dia
datang kepadamu, harap kau ingat
jangan terlalu gegabah mengambil
keputusan untuk membesarkan anak
Singa." Setelah berkata Ki Banjar Jati
bangkit berdiri.
"Eeh, kau hendak ke mana
sahabatku?" tanya Ki Bantaran.
"Saat ini hujan sudah hampir
turun, Aku tidak mau basah kuyup
pulang ke rumah. Aku pulang dulu
sahabatku!" jawab Ki Banjar Jati,
Ki Bantaran tidak berniat
mencegah kepergian sahabatnya. Dia
mengantarkan tamunya sampai di halaman
depan. Beberapa saat setelah orang
nomor satu dari daerah Sidoarjo itu
berlalu hujan turun bagai tercurah
dari langit.
Sementara Ki Bantaran masuk
mengunci pintu rumahnya. Maka di balik
rumpun bambu di samping rumah sosok
tubuh yang mendekam di situ dan turut
mendengarkan pembicaraan kedua tokoh
tadi keluar dari tempat persembu-
nyiannya. Dalam keadaan pakaian basah
kuyup pemuda berpakaian serba hitam
ini mengetuk pintu rumah Ki Bantaran.
"Siapa?" tanya Ki Bantaran yang
rupanya merasa terganggu.
"Saya ingin bertemu dengan pemi-
lik rumah. Sangat penting sekali!"
sahut si pemuda.
Dengan perasaan heran Ki
Bantaran membuka pintu. Orangtua ini
sempat tercekat begitu melihat
kehadiran seorang pemuda yang sama
sekali tidak dikenalnya. Wajah pemuda
itu hancur mengerikan seperti bekas
dihantam benda keras. Bagian dadanya
terluka, kedua bahu tampak memar.
Sedangkan kedua mata nyaris tak
terlihat karena bengkak membiru.
"Siapa kau? Mengapa keadaanmu
seperti ini?" tanya Ki Bantaran.
"Paman... kumohon kiranya kau
bersedia mengangkat diriku yang hina
ini jadi muridmu. Aku telah datang ke
beberapa perguruan silat. Tapi
hasilnya seperti yang kau lihat.
Mereka menganiaya diriku. Sebagian di
antaranya bahkan ada yang bermaksud
membunuhku. Dalam hidup aku sudah tak
punya siapa pun paman. Kuharapkan rasa
belas kasihmu!" kata si pemuda
memelas.
Mendengar ucapan pemuda itu ber-
getar hati Ki Bantaran. Keadaan tubuh
pemuda itu memang mengundang rasa iba
bagi yang melihatnya.
"Hem, kau belum mengatakan siapa
namamu!" kata Ki Bantaran mengingat-
kan.
"Namaku Lodra Bergola, putra
Sepasang Iblis Pengemis Harpa. Kedua
orangtuaku telah terbunuh. Tapi aku
tidak akan mendendam kepada pembunuh
orangtuaku asal paman bersedia
mengangkatku menjadi seorang murid.
Aku ingin paman mau memberiku petunjuk
menuju jalan yang lurus. Agar kelak
aku dapat menebus semua kesalahan dan
dosa orangtuaku!" kata Lodra Bergola
dengan setengah meratap.
Ki Bantaran sendiri sebenarnya
sangat terkejut sekali ketika men
dengar si pemuda menyebutkan namanya.
Sama sekali dia tak menyangka bahwa
pemuda yang berdiri tegak di
hadapannya itu adalah putra Sepasang
Iblis Pengemis Harpa. Apapun yang
menjadi alasan Lodra Bergola, Ki
Bantaran sendiri sejak dulu tak pernah
bercita-cita mempunyai murid atau
mengambil murid dari golongan manapun.
Apalagi jika harus mengangkat murid
anak dari sepasang dedengkot datuk
sesat yang kejahatannya saja sudah
melampaui batas. Apa nanti kata para
sahabat sesama golongan yang lain.
Tentu saja mereka akan memusuhi
dirinya.
"Lodra Bergola, maafkan aku
karena tak dapat memenuhi permintaan-
mu. Carilah guru di tempat lain,
mungkin mereka dapat membantu dalam
memenuhi keinginanmu itu!" kata Ki
Bantaran. Si orang tua sudah hendak
menutupkan pintu, tapi Lodra Bergola
mencegahnya.
"Paman, seperti yang kukatakan
aku telah mendatangi berbagai pergu-
ruan. Tapi semua pintu tertutup
untukku. Dalam hidup aku tidak punya
rasa dendam. Apa yang terjadi pada
kedua orangtuaku kuanggap sebagai
balasan dari semua yang dilakukannya
di masa lalu. Aku sendiri tak mau
disamakan dengan mereka. Aku hanya
ingin menjadi seorang pendekar yang
kelak kuharapkan mampu menolong kaum
yang tertindas. Hanya itu saja, tak
lebih tak kurang!" kata Lodra Bergola
dengan mata berkaca-kaca.
"Cita-citamu sangat luhur dan
mulia. Tapi seperti yang telah
kukatakan, aku tak mampu memenuhi
keinginanmu. Ilmu yang kumiliki baru
seujung kuku bagaimana aku bisa
mempunyai murid?"
"Bagiku walau tingkat kepan-
daianmu baru setitik debu tidak
menjadi persoalan. Aku tidak tahu
harus ke mana."
"Pergilah! Aku tak punya waktu
untuk melayanimu!" hardik Ki Bantaran
hilang sudah kesabarannya. Dia lalu
balikkan badan dan melangkah masuk.
Namun gerakannya jadi tertahan, karena
Lodra Bergola memegangi kakinya sambil
berlutut.
"Tolonglah aku, paman. Aku takut
menjadi manusia sesat. Aku takut Tuhan
menyesatkan aku dalam kegelapan."
rintih si pemuda merasa putus asa.
"Ha... ha... ha! Siapapun
dirimu, apapun pendirianmu. Pada
dasarnya kau memang anak turun manusia
sesat. Jika kau harus mengikuti
langkah orangtuamu, itupun bukan suatu
tindakan yang keliru! Pergilah! Jangan
pernah datang ke mari." seiring dengan
ucapannya itu Ki Bantaran gerakkan
kakinya yang dipeluk oleh Lodra
Bergola. Tak ampun lagi pemuda itu
terpelanting ke halaman. Dalam hujan
yang kian bertambah deras dia merang-
kak bangkit mendatangi Ki Bantaran
sambil berharap orang tua itu berubah
pikiran sehingga bersedia mengangkat-
nya menjadi seorang murid. Tapi begitu
sampai di depan si orang tua dia malah
diludahi.
"Pemuda tolol, jangan bertindak
nekad. Salah-salah aku pasti membunuh-
mu!" hardik Ki Bantaran. Apa yang
dikatakannya itu nampaknya tidak main-
main karena laksana kilat dia angkat
tangannya yang telah dialiri tenaga
dalam dan telah berubah memerah hingga
sebatas siku.
Melihat kenyataan ini Lodra
Bergola menjadi ciut. Dia tak menyang-
ka orang tua yang dikenal dengan
julukan Iblis Berhati Suci yang selama
ini tersohor karena sikapnya yang
sangat bijaksana tega hendak berlaku
keji terhadapnya. Dengan rasa kecewa
dan membawa keputus asaan yang amat
sangat Lodra Bergola melangkah mundur.
Dia pandangi orang tua itu beberapa
saat lamanya.
"Orang tua! Di manakah batas
antara mulia dan hinanya seorang
manusia? Julukanmu Iblis Berhati Suci,
tapi di mataku kau tetap iblis keji
dan jahat. Aku sadar siapa diriku
adanya. Jika aku menyadari langkah
kedua orangtuaku sesat dan keliru.
Sebagai anaknya apakah aku tak boleh
memilih jalan hidupku sendiri sejauh
kupandang benar? Kau memandangku
seperti seekor hewan menjijikkan.
Padahal apa yang baru saja kau lakukan
padaku juga merupakan kejahatan besar
karena kau membedakan diriku dengan
manusia lain." kata Lodra Bergola
dengan suara tersendat dan nafas
memburu.
"Bocah turunan iblis. Jangan
coba-coba mengguruiku. Seperti yang
kukatakan aku tidak bisa berubah
pikiran. Pergilah selagi aku masih
dapat menghargai selembar nyawamu!"
hardik Ki Bantaran.
"Huh, sejak tadi kau mau
membunuhku. Mengapa tidak segera kau
lakukan?" tantang Lodra Bergola.
Merah padam wajah Ki Bantaran
mendengarnya. Bibirnya terkatup rapat,
gerahamnya bergerak-gerak sedangkan
kedua pipinya menggembung. Karena
orang tua itu tak kunjung bicara, maka
Lodra Bergola melanjutkan.
"Orang tua, kejadian hari ini
akan kuingat selamanya. Penolakanmu
ini kelak pasti akan membuatmu
menyesal. Begitu juga orang-orang yang
telah membunuh ayah ibuku. Hari ini
kau telah menabur angin orang tua.
Kelak kau dan orang yang segolongan
denganmu pasti akan menuai badai!"
selesai berucap Lodra Bergola balikkan
badan. Dalam hujan dan gelapnya malam
dia melangkah pergi dengan membawa
sejuta luka dan kecewa di dada.
Sejak saat itu Ki Bantaran tak
lagi mendengar kabar tentang putra
Sepasang Iblis Pengemis Harpa ini. Ada
yang mengatakan Lodra Bergola telah
lama mati membunuh diri. Ada pula yang
mengatakan pemuda itu nekad memasuki
Lembah Cobra di selatan Pacitan.
Tempat yang disebutkan terakhir meru-
pakan daerah paling angker dan sangat
ditakuti oleh orang-orang dari dunia
persilatan.
ENAM
"Kurasa semuanya masih ada dalam
kepalamu, Ki Bantaran? Betapa hinanya
hidup di saat itu. Ternyata tidak
semua niat baik itu buahnya selalu
manis. Ha... ha... ha!" di hadapan si
kakek tua berambut putih Lodra Bergola
dongakkan kepala disertai tawa dingin
menyeramkan. Suara tawa itu
menyadarkan si kakek dari lamunannya.
Dia memandang ke depan. Seingat-
nya dulu dia tidak dihiasi tatto
begitu rupa dan dulu kepala Lodra
Bergola tidak pula diselubungi kain
hitam. Apakah dia sengaja menyembunyi-
kan cacat wajahnya? Walaupun begitu Ki
Bantaran tetap unjukkan sikap tenang.
"Tidak kusangka Sang Cobra itu
adalah dirimu, Lodra Bergola? Mengapa
kau memilih langkah sesat seperti
ini?" tanpa sadar si kakek telah
melontarkan sebuah pertanyaan tolol
yang pada akhirnya berbalik menghantam
dirinya sendiri. Dengan tatapan dingin
disertai desis aneh Lodra Bergola
menjawab. "Manusia palsu. Berkedok
dengan topeng kebaikan, tidak tahunya
hatimu sejahat iblis. Pertanyaanmu itu
mengingatkan kedatanganku ke sini dua
puluh tahun yang lalu. Puah...!" Sang
Cobra semburkan ludah. Air ludah
bercampur darah berbau busuk menyembur
ke luar. Karena kini jarak di antara
mereka hanya terpaut sejauh satu
setengah tombak. Maka semburan air
ludah itu sebagian membasahi Ki
Bantaran.
Mendapat penghinaan seperti itu
Ki Bantaran alias Iblis Berhati Suci
menjadi hilang kesabarannya.
"Manusia keparat menyesal aku
tak membunuhmu waktu itu!" maki si
kakek.
Sang Cobra tertawa tergelak-
gelak.
"Penyesalan datangnya memang
selalu terlambat, orang tua. Sebagai-
mana ketua perguruan yang dulu pernah
menghinaku, maka nasibmu pun akan sama
seperti mereka." dengus laki-laki itu,
Dia lalu melanjutkan ucapannya. "Kenal
dengan Ni Estu Lampiri, orang tua?"
Mendapat pertanyaan itu wajah si
kakek berubah, dia terkejut. Bagaimana
pun dia tentu saja sangat mengenai Ni
Lampiri karena masih terhitung saudara
sepupu si kakek dan merupakan ketua
perguruan Teratai Merah.
Dengan suara tertahan si kakek
berkata. "Kau berurusan denganku. Jika
kau ganggu dia atau kau usik saja
selembar rambutnya, kubunuh kau!"
ancam Ki Bantaran.
"Ha... ha... ha! Aku bukan saja
telah mengusiknya, tapi aku malah
telah mengirim roh perempuan itu dan
muridnya ke akherat. Jika kau inginkan
jasadnya dia kubuang tak jauh dari
tempat tinggalmu ini!" dengus Sang
Cobra.
Mendengar ucapan lawannya darah
si kakek laksana mendidih. Tanpa
bicara lagi dia mencabut pedang Gagak
Mencle Sapu Angin dari balik punggung-
nya. Dengan pedang terhunus disertai
teriakan melengking, Ki Bantaran
menyerbu ke arah lawan dengan gerakan
cepat laksana kilat. Saat tubuhnya
berada dekat dengan lawan, maka pedang
dibabatkan ke arah dada dan perut Sang
Cobra. Lawan yang sudah menduga
serangan dan mengetahui kehebatan
pedang yang dipergunakan untuk mem-
bunuh orangtuanya melompat ke
belakang.
Wuus!
Serangan pedang luput. Si kakek
tak mau bersikap ayal. Dia hantamkan
tangannya ke bagian kepala yang
diselubungi kain hitam itu. Sinar
putih membersit dari telapak tangan si
kakek, hawa panas menyengat. Sang
Cobra keluarkan seruan kaget, namun
dia cepat rundukkan kepala. Serangan
sinar maut yang bersumber dari pukulan
Inti Bumi lewat sejengkal di atas
kepala laki-laki itu. Di belakangnya
terdengar ledakan berdentum. Sang
Cobra tak menghiraukan semua itu.
Jemari tangannya yang terentang berke-
lebat menyambar, hawa dingin menebar.
Si kakek berseru kaget, namun masih
sempat melakukan langkah penyelamatan
dengan berjumpalitan ke belakang.
Begitu kakinya menjejak tanah
pada lompatan terakhir dia menghantam
lawannya dengan pukulan Iblis Menebar
Kebajikan, Iblis Mengusung Mayat dan
Iblis Menangis Dalam Dosa. Pukulan ini
dilepaskan silih berganti dan tiada
berkeputusan. Sinar hitam, putih,
biru, merah bertubi-tubi menghujani
tubuh Sang Cobra. Tapi sungguh aneh
meskipun sebagian pukulan tak dapat
dielakkan oleh lawan dan menghantam
tubuhnya dengan telak. Namun hiasan
ular cobra yang memenuhi sekujur tubuh
Lodra Bergola seakan bergerak hidup
berkelebatan di sekujur tubuh lawan
dan menelan habis sinar maut yang
dilepaskan oleh Ki Bantaran.
Akibatnya kakek tua ini lambat
laun terkuras juga tenaga saktinya.
Sadar hanya akan sia-sia bila
mengumbar pukulan. Sambil berteriak
keras Ki Bantaran melompat di udara.
Pedang di tangannya diputar sebat
seraya mengeluarkan suara menderu
disertai berkelebatnya sinar hitam
yang mempersempit jalan gerak lawan.
"Ha... ha... ha! Dua puluh tahun
yang lalu temanmu menggunakan pedang
ini untuk membunuh kedua orangtuaku.
Sekarang kau akan rasakan sendiri
ketajaman senjata bututmu itu!"
berkata begitu dengan satu gerakan
aneh Sang Cobra julurkan salah satu
tangannya. Tak ayal lagi tangan yang
terjulur dan bermaksud merampas hulu
pedang terbabat mata pedang di tangan
si kakek.
Traang! Traang!
Dua kali babatan mengeluarkan
suara berdentrang disertai berpijarnya
bunga api. Si kakek melompat mundur,
tangannya bergetar sakit. Pedang yang
membabat lengan lawannya laksana
menghantam tembok baja. Di depan sana
Sang Cobra tidak mengalami cidera
sedikit pun. Malah kini dengan satu
lompatan kilat tangan kirinya
terjulur. Tubuh berputar ke samping,
sedangkan kepala dimiringkan ke kiri
kanan hindari tebasan senjata lawan.
Lalu...
Sreet!
Pedang dalam waktu sekejap telah
berpindah tangan. Rasa kaget di hati
si kakek tak terperikan. Matanya
mendelik besar, belum lagi hilang rasa
kagetnya. Maka detik itu pula pedang
yang telah dirampas lawannya berke-
lebat menyambar deras ke arah si
kakek. Tidak ada kesempatan lagi bagi
Ki Bantaran untuk menyelamatkan diri
pada saat pedang itu menembus perut-
nya. Dia menjerit keras, kedua matanya
melotot bagai tak percaya dengan
kenyataan bahwa dia harus menemui ajal
ditembus senjatanya sendiri.
Ketika Sang Cobra menyentakkan
pedang itu dari perut lawan. Tak ampun
si kakek ambruk seketika. Sambil
tertawa terkekeh-kekeh, Sang Cobra
bermaksud menggorok putus leher Ki
Bantaran. Namun pada saat yang
bersamaan mendadak dia mendengar suara
orang berteriak sambil berlari cepat.
"Sahabatku, aku Gentong Ketawa
datang menyambangi. Ha... ha... ha!"
"Aku juga, muridnya kakek gendut
ikutan nimbrung. Harap kau sambut tamu
yang datang dari jauh!" kata suara
yang satunya lagi disertai tawa pula.
"Huh, siapa mereka aku tak tahu.
Sebaiknya kutinggalkan tempat ini! Aku
harus mencari Mahluk Tanpa Tanda dan
Anom Ka Ratan! Dua manusia keparat itu
yang paling bertanggung jawab atas
kematian ayah ibuku!" selesai berkata
dengan tergesa-gesa setelah membuang
Pedang Gagak Mencle Sapu Angin ke
samping Ki Bantaran, Sang Cobra
berkelebat pergi. Dia sama sekali tak
menduga kalau lawan sebenarnya masih
hidup.
Ketika orang yang bicara sambil
tertawa-tawa tadi jejakkan kakinya di
bagian halaman. Mereka hanya melihat
berkelebatnya sosok tubuh bercelana
hitam. Salah seorang diantaranya yang
bukan lain adalah Gento Guyon
bermaksud mengejar. Tapi niatnya
dicegah oleh kakek gendut besar.
"Biarkan saja. Mungkin dia
tetamu tuan rumah yang baru habis
dijamu makanan sedap!" berkata si
kakek yang tak lain adalah Gentong
Ketawa. Selanjutnya dia berkelebat dan
jejakkan kaki di depan pintu yang
terbuka. Si kakek panjangkan leher
julurkan kepala. Matanya memandang ke
segenap ruangan depan, tak ada
siapapun.
"Ke mana perginya wong edan
sahabatku itu?" kata si kakek seorang
diri. Sementara Gento Guyon tetap
berdiri tegak di tempatnya.
"Iblis Berhati Suci di manakah
gerangan dikau?" teriak Gentong Ketawa
dengan suara keras.
Di belakang Gento terdengar
suara erangan lirih. Si pemuda memutar
tubuhnya. Dia melihat satu sosok tubuh
terkapar di tanah sambil mengerang
lirih.
"Guru... ternyata tuan rumah
ketiduran di halaman ini!" seru si
pemuda yang tidak melihat kalau Ki
Bantaran sesungguhnya tengah mengha-
dapi sakaratul maut.
Si kakek memutar tubuhnya yang
besar luar biasa. Senyumnya mengem-
bang, mulutnya berucap. "Ah, sobat,
Kau tidur di situ. Rupanya rumahmu
yang lapuk sudah berubah panas
sekarang. Eeh... kau diam saja di
situ, apakah hendak mengajak para
tetamu tidur juga. Jangan ngawur, yang
kami butuhkan saat ini hanya segelas
air putih atau kalau ada sekendi tuak
berikut makanannya. Ha... ha... ha!"
"Guru dia terluka parah!" teriak
si pemuda begitu mendekati Ki
Bantaran. Dengan cepat si dia pemuda
berlutut di samping Ki Bantaran.
Sedangkan si kakek gendut
langsung berlari mendatangi.
"Apa kau bilang? Dia berduka? Ah
siapa yang mati?!" tanya si gendut
heran. Seingatnya Ki Bantaran sama
seperti dirinya tetap hidup membujang
sampai tua. Tapi begitu sampai di
samping Ki Bantaran segala tanya yang
mengganjal di hati kakek Gentong
Ketawa pupus sudah. Kini dia melihat
sebuah kenyataan bahwa sahabat yang
disambanginya ternyata terkapar di
atas tanah dengan perut bersimbah
darah, sementara sebuah pedang ber-
warna hitam tergeletak di sisi Ki
Bantaran berlumur darah.
"Sahabatku, apa yang telah
terjadi? Apakah kau melakukan bunuh
diri dengan senjatamu sendiri?" tanya
si kakek sambil memperhatikan luka di
perut Ki Bantaran. Melihat pada luka
dan banyaknya darah yang mengucur
keluar, tampaknya Ki Bantaran tidak
punya harapan hidup lebih lama.
"Sobat Gentong Ketawa," desis Ki
Bantaran mencoba memaksakan senyumnya.
Tapi senyum itu di mata Gentong Ketawa
tak ubahnya seperti seringai sakit
dari seorang yang mendekati ambang
ajal. "Senang sekali kau datang
menyambangi diriku yang sudah jadi
rongsokan ini. Ak... aku bukan
membunuh diri. Tapi... seseorang telah
mencelakaiku...!" berkata Ki Bantaran
dengan suara tersendat-sendat.
"Apa, siapa yang melakukan
kekejian ini padamu kek!" desis Gento
Guyon. Pemuda itu meraba nadi di
pergelangan Ki Bantaran. Denyut
nadinya terasa sangat lemah sekali.
Dalam hati Gento membatin. "Tidak ada
lagi harapan baginya. Sebentar
nyawanya disambar malaikat maut."
Ki Bantaran pandangi orang yang
bertanya. Mulutnya mencoba tersenyum.
Lalu dengan gerakan lemah dia
memandang Gentong Ketawa.
"Muridmu?"
"Betul. Bocah gila ini memang
muridku!" sahut Gentong Ketawa unjuk-
kan muka serius.
"Ketahuilah, orang yang telah
mencelakai diriku adalah Lodra Bergola
berjuluk Sang Cobra."
"Hah...!" Kakek Gentong Ketawa
tersentak kaget.
"Setan itu? Bukankah dia yang
kita cari selama ini sesuai dengan
perintah kakek guru?!" ujar Gento
Guyon sambil melirik gurunya.
"Kau benar, tapi jangan bicara
dulu. Aku mau bertanya pada sobatku
ini." berkata begitu dia kembali
memandang ke arah Ki Bantaran. Saat
itu mata Iblis Berhati Suci tampak
mulai meredup, wajah menciut dan
tampak memutih laksana kafan.
"Sobatku, akan kubalaskan dendam
sakit hatimu. Coba terangkan pada kami
bagaimana ciri-ciri orang yang telah
mencelakaimu itu!" pinta si kakek
gendut.
Dengan bersusah payah dan malas
seperti orang bengek Ki Bantaran
berucap. "Kepala memakai selubung
hitam, badan... badan dihiasi gambar
ular kobra...!"
"Apakah dia... membawa...!"
"Pentungan!" melanjutkan Gento.
Si kakek delikkan matanya. Ketika dia
memandang ke arah sahabatnya, Gentong
Ketawa melihat kepala Ki Bantaran
rebah miring ke kiri.
"Sobatku.... Huk... huk... huk.
Mengapa kau pergi tidak memberi tanda
padaku!" seru si kakek besar gendut
itu sambil memeluki tubuh Ki Bantaran
yang sudah tidak bergerak lagi.
Gento Guyon jadi salah tingkah.
"Guruku menangis, kasihan! Agaknya dia
merasa terpukul atas kematian
sahabatnya. Aku sendiri apakah harus
menangis juga membantu guru?!" kata si
pemuda dalam hati.
"Gege... bagaimana pun kita
harus mencari Sang Cobra untuk meminta
pertanggung jawabannya!" desis kakek
Gentong Ketawa.
"Betul. Ditambah dengan tugas
yang dibebankan kakek guru pada kita.
Berarti kita harus membunuhnya dua
kali!" jawab si pemuda bersemangat.
Gentong Ketawa melengak kaget.
"Eeh, apa maksudmu?" tanya si kakek
heran. Gento memperhatikan sang guru
yang sudah melepaskan pelukannya pada
si mayat. Dia tampak pura-pura
bersedih, tapi mulutnya menyunggingkan
senyum tipis.
"Katakan cepat! Aku tidak senang
bergurau." bentak si kakek.
"Begini. Bukankah kita mencari
orang yang sama. Bagaimana pun dia
harus mati di tangan kita. Kalau guru
ingin membalaskan kematian kakek ini,
berarti guru harus membunuh Sang Cobra
sekali lagi. Ha... ha... ha."
"Bocah edan. Jangan kau tertawa-
tawa selagi aku bersedih. Kubeset
nanti mulutmu!" hardik si kakek. Buru-
buru Gento katupkan bibirnya.
"Sekarang ambil pacul atau alat apa
saja yang kau temui di dalam pondok.
Kita harus menguburkan mayat Ki
Bantaran secepatnya. Kurasa Sang Cobra
belum jauh dari sini!" perintah si
kakek.
Tanpa banyak bicara Gento Guyon
mengerjakan perintah gurunya. Dia
berkelebat ke arah pintu pondok. Hanya
sekejap kemudian pemuda itu telah
keluar lagi sambil menjinjing sebakul
peralatan yang ditemukannya di dalam
pondok. Melihat ini Gentong Ketawa
geleng-gelengkan kepala disertai
gerutuan tak jelas.
"Apa saja yang kau bawa ini,
banyak amat?!"
"Katanya tadi aku disuruh
membawa peralatan apa saja. Jadi
kukumpulkan semua yang ada di dalam
sana. Lihat saja sendiri. Ada pisau,
kuali tanah, pacul, sabut kelapa untuk
gosok gigi dan masih banyak yang
lainnya!"
"Dasar sinting. Mengapa kau
tolol amat? Bagusnya dulu kau terlahir
sebagai anak keledai!" si kakek
mengomel. "Ambil pacul itu, gali
lubang yang dalam!" perintah si kakek
"Di mana guru?" Gento ajukan
pertanyaan begitu pacul sudah ada
dalam genggaman tangannya.
"Tentu saja di halaman ini."
Sambil bersungut-sungut Gento
Guyon mulai menggali sebuah lubang.
Tapi tidak sebagaimana lazimnya. Kubur
yang dibuatnya kali ini bentuknya
bulat dan hanya pas untuk ukuran
badan. Si kakek yang terus mengawasi
tentu saja jadi terheran-heran.
"Mengapa seperti itu?"
Si pemuda sambil mengayunkan
paculnya tersenyum. "Di suatu saat
kelak entah kapan jika bumi ini telah
penuh sesak dihuni manusia. Pasti
orang akan menguburkan mayat dengan
cara berdiri seperti ini. Supaya hemat
tempat guru! Apa salahnya dari
sekarang kita mencobanya. Ha... ha...
ha!"
"Dasar murid sinting. Jalan
pikiranmu ngelantur terus tak karuan
juntrungannya!" Lagi-lagi si kakek
mengomel. Dia menjadi sangat kesal
sekali melihat kelakuan muridnya. Si
kakek kemudian membentak tegas. "Buat
sebagaimana biasanya. Sahabatku ini
hendak kembali ke asalnya. Itulah
sebabnya dikatakan tempat peristi-
rahatan yang terakhir. Kalau kau mau,
kelak aku akan membuat kubur untukmu
seperti yang telah kau buat tadi!"
"Bagaimanapun itu sangat tidak
mungkin. Karena guru yang lahir duluan
dan lebih tua dariku, sudah sewajarnya
guru mati duluan!"
Melihat muridnya selalu menim-
pali setiap apa yang diucapkannya.
Maka si kakek dengan perasaan kesal
akhirnya cuma terdiam membisu. Tidak
berapa lama kubur telah siap digali.
Gentong Ketawa dengan dibantu muridnya
memasukkan jenazah Ki Bantaran ke
dalam liang lahat. Setelah itu makam
ditimbun dan diuruk dengan tanah
merah. Si kakek Gentong Ketawa
letakkan sebuah batu besar di atas
kepala makam. Gento Guyon tidak mau
ketinggalan. Dia tancapkan Pedang
Gagak Mencle Sapu Angin di kaki makam.
Dalam hati dia berkata. "Dengan pedang
ini kakek arwah... eh, arwah kakek
mudah-mudahan bisa tenteram di alam
sana. Aku Gento Guyon hanya bisa
mendoakan semoga arwahmu diterima di
sisiNya!"
Pemuda itu kemudian memandang ke
arah gurunya. Ternyata si kakek sedang
berdoa dengan mata terpejam. Doanya
cepat selesai. Begitu membuka mata
Gentong Ketawa berkata. "Segala
kesalahanku di masa lalu harap dapat
kau maafkan. Sekarang aku harus
mencari Sang Cobra, aku mohon pamit!"
selesai berkata si kakek memberi
isyarat pada muridnya.
"Aku juga mohon pamit, kakek
arwah!" kata si pemuda, lalu menyusul
gurunya yang sudah berada jauh di
depan.
TUJUH
Menjelang tengah hari Purbasari,
Iwir Iwir dan delapan pemuda dusun
yang ikut serta dengan mereka telah
sampai di lereng bukit Waton Hijau
yang letaknya di seberang lembah,
bagian barat Gunung Bromo. Saat itu
cuaca sangat buruk, langit mendung dan
matahari tak terlihat sama sekali.
Ketika mereka mulai mendaki ke
puncak bukit, hijau gerimis turun
rintik-rintik. Iwir Iwir si bocah yang
mempunyai badan lebih kecil dengan
gesit berjalan di bagian depan,
sedangkan kedelapan pemuda dusun
berada di belakang bocah sakti itu. Di
belakang kedelapan pemuda tampak
mengikuti Purbasari. Gadis ini sejak
berhasil menyeberangi lembah tadi
tampak selalu menoleh ke belakang. Dia
merasa seperti ada orang yang
mengikuti tidak jauh di belakang. Tapi
bila gadis ini berpaling ke bela
kangnya maka dengan cepat sekali si
penguntit menyelinap ke balik pohon-
pohon yang bertebaran di tempat itu.
"Sialan. Siapa sebenarnya
penguntit dibelakang sana? Apakah dia
orangnya yang berusaha membunuh para
pemuda di dusun itu?" Batin si gadis
dalam hati.
Purbasari kemudian memandang
lurus ke depan. Di bagian paling depan
si bocah sakti melangkah tertatih-
tatih sambil sesekali tangannya
berpegangan pada salah satu akar pohon
agar tubuhnya tidak meluncur ke bawah.
Si gadis tersenyum melihat Iwir-lwir,
bocah aneh yang tahu tentang banyak
hal itu. Tapi kemudian pandangannya
dialihkan ke puncak bukit. Seketika
gadis itu jadi terkesima. Dia mengusap
matanya sampai tiga kali seakan tidak
percaya dengan pandangannya sendiri
Adapun yang sempat dilihatnya
saat itu adalah satu cahaya putih
berkilauan tepat berasal dari puncak
bukit sana. Tak percaya dengan
pemandangannya sendiri Purbasari
berkata melalui ilmu mengirimkan
suara.
"Iwir Iwir sahabatku, apakah kau
melihat sesuatu di puncak Bukit Waton
Hijau ini?"
Untuk pertama kalinya setelah
setengah hari penuh mereka berjalan Si
bocah sakti tertawa cekikikan disertai
batuk-batuk kecil. Tawa dan batuk
lenyap. Iwir Iwir melalui ilmu yang
sama menjawab. "Terima kasih kau
sekarang mau mengakui aku sebagai
sabahat. Apa yang kau katakan itu,
semua yang kau lihat memang tidak
salah. Ada seberkas cahaya yang datang
dari puncak sana. Kalau tak keliru
penglihatanku cahaya yang kau lihat
tentu cahaya yang bersumber dari
Pedang Raja" Kata si bocah. Sambil
melanjutkan perjalanannya dia memberi
ingat. "Sobatku, setan yang bermaksud
membunuh kawan-kawan kita tadi malam
sekarang berada dibelakangmu. Kurasa
dia tidak akan melakukan tindakan
apapun sebelum sampai di atas bukit
sana. Tapi aku merasa pasti, dia
sangat kaget melihat para pemuda yang
dibunuhnya ternyata masih hidup sampai
sekarang."
"Dia pasti menyangka kau telah
membangkitkan para pemuda yang telah
dibunuhnya!" menimpali Purbasari tanpa
melupakan kewaspadaannya.
"Hust, hati-hati kau bicara
sobatku. Aku ini bukan Tuhan, kalau
ucapanmu didengar malaikat kita semua
bisa konyol di tempat ini,"
mengingatkan si bocah sakti.
Purbasari terdiam mendengar
kata-kata si bocah. Mereka terus
mendaki dengan penuh semangat.
Sesungguhnya lereng bukit Waton Hijau
tidak begitu tajam. Kalau si gadis dan
si bocah mau tentu dengan menggunakan
ilmu lari cepat disertai pengerahan
ilmu meringankan tubuh dalam waktu
sekejap mereka pasti sampai di puncak
bukit. Namun hal itu tak mereka
lakukan mengingat mereka harus
mengiringi ke delapan pemuda dusun
yang tidak mengerti ilmu silat maupun
ilmu berlari cepat. Apalagi seseorang
yang terus menguntit perjalanan mereka
tampaknya memang menghendaki kematian
para pemuda itu.
Tidak berselang lama dengan
pakaian basah kuyup karena keringat.
Mereka akhirnya sampai juga di puncak
Bukit Waton Hijau. Terkecuali Iwir
Iwir yang memiliki kelebihan ilmu
berupa dapat melihat sesuatu yang jauh
melalui pengerahan kekuatan batin.
Baik Purbasari maupun delapan pemuda
dusun itu sama-sama terkejut besar
begitu melihat sebuah pedang berwarna
putih tanpa sarung yang tergeletak di
atas batu pipih yang sangat panjang.
"Seumur hidup baru kali ini aku
melihat senjata sepanjang dan selebar
ini!" desis Purbasari dengan suara
bergetar.
"Pedang itu mungkin milik
manusia raksasa!" untuk pertama
kalinya salah seorang dari kedelapan
pemuda dusun ini buka suara.
"Pedang ini pasti miliknya Jin!"
menimpali yang satunya lagi.
"Bukan! Aku sependapat dengan
Jendul. Pedang ini milik manusia
raksasa!" berkata pemuda lainnya yang
dibagian kening terdapat codet besar.
Iwir Iwir tertawa lepas.
Sedangkan Purbasari yang belum hilang
rasa kagetnya terus memperhatikan
pedang yang tergeletak di atas batu
yang memiliki hulu kecil, sebesar
genggaman orang dewasa. Menurut
tafsirannya pedang aneh itu panjangnya
hampir mencapai sepuluh tombak, dengan
lebar tak kurang dari tiga tombak.
Manusia biasa pasti tidak sanggup
menggunakan atau mengangkat pedang
itu, apalagi menggunakannya dalam
suatu pertempuran. Jadi menurutnya
Anom Ka Ratan yang disebut-sebut oleh
si bocah sakti sebagai pemilik pedang
pastilah seorang laki-laki yang
memiliki badan yang luar biasa besar
dengan tinggi seperti pohon kelapa.
Mengherankan juga mengagumkan. Tapi
apakah mungkin ada manusia sebesar dan
setinggi yang dibayangkannya?
"Sekarang kau tahu mengapa aku
membawa serta delapan pemuda itu,
sobatku?" Pertanyaan ini cukup
mengejutkan Purbasari. Tapi si gadis
cantik berambut awut-awutan itu
kemudian tersenyum.
"Aku sudah mengerti. Pedang itu
tidak bisa dibawa oleh kekuatan tenaga
satu orang saja walau pun dia
menggunakan tenaga luar dalam."
"Tepat! Apa yang kau katakan itu
memang tidak salah. Sekarang coba kau
angkat dibagian hulu pedang, apakah
Pedang Raja ini dapat kau geser dari
tempatnya?" ujar si bocah.
Tanpa bicara Purbasari
mengerjakan apa yang diperintahkan si
bocah kepadanya. Dengan sekali lompat
dia sudah berada di dekat hulu pedang.
Hulu pedang digenggamnya dengan erat,
setelah si gadis mencoba mengang-
katnya. Mula-mula hanya dengan tenaga
kasar saja. Karena dengan tenaga kasar
pedang tidak juga bergeming. Maka
Purbasari mengerahkan tenaga dalam.
Dengan menggunakan tenaga luar dalam
Purbasari mulai menggerakkan hulu
pedang ke atas. Pedang hanya bergeser
sedikit saja. Dengan nafas memburu si
gadis meletakkan hulu pedang.
"Berat luar biasa." keluh
Purbasari.
Iwir Iwir si bocah sakti
tersenyum. "Namanya juga Pedang Raja.
Tentu berat dan besarnya sangat
berbeda dengan pedang biasa. Kurasa
kita dapat membawa turun pedang ini
sekarang. Firasatku mengatakan Anom Ka
Ratan tak berada di tempat ini." ujar
si bocah.
"Siapa yang akan membawanya?"
tanya Purbasari bingung.
"Hi hi hi, uhuk uhuk uhuk. Sudah
besar masih bodoh. Yang membawa pedang
istimewa ini tentu para pemuda itu,
dengan di gotong atau di pikul
beramai-ramai." Tegas si bocah.
Purbasari terdiam. Tapi dia lalu
ajukan pertanyaan kembali. "Jika kita
berhasil membawa turun Pedang Raja,
kemudian siapa yang akan mengguna-
kannya untuk menghadapi sang Cobra?"
Si bocah sakti mengusap wajahnya
tiga kali. Apa yang dikatakan oleh
Purbasari memang benar, "selain yang
menciptakan pedang besar itu rasanya
hanya tokoh aneh bernama Gentong
Ketawa saja yang dapat mengguna-
kannya."
"Tapi kemana kita harus mencari
orang tua itu?" tanya si gadis.
Iwir Iwir gelengkan kepala.
"Aku sendiri tak tahu. Tapi bisa
kita fikirkan nanti. Sekarang yang
terpenting kita bawa saja pedang ini
turun dari puncak bukit." Tegas si
bocah. Dia lalu berpaling pada para
pemuda dusun itu. Baru saja si bocah
hendak mengatakan sesuatu mendadak
terdengar suara desis panjang yang
kemudian disusul dengan suara tawa
aneh seperti suara ayam jantan
berkokok.
"Gila! Tak kusangka di tempat
sesunyi ini ada ayam jantan berkokok.
Apa tidak terlalu kesiangan!" celetuk
Iwir Iwir. Sebaliknya Purbasari
melengak kaget, bersikap waspada
sambil memperhatikan ke setiap penjuru
sudut puncak bukit.
"Kalian yang berada di puncak
bukit ini tidak satu pun yang
kubiarkan lolos dari kematian!" kata
si suara begitu suara tawa lenyap.
"Pedang Raja tidak akan pernah pergi
kemana pun dan kalian telah melakukan
perjalanan yang sangat sia-sia."
Terdengarnya suara itu disertai dengan
berkelebatnya satu sosok tubuh
berpakaian hitam.
Hanya sekejaban saja di depan
mereka berdiri tegak seorang kakek
renta bertubuh bungkuk. Sekujur
tubuhnya di tumbuhi sisik kasar
berwarna hitam, sedangkan wajahnya
lancip rambut memutih berdiri tegak,
mulut juga lancip sedangkan giginya
runcing seperti gigi ular. Jika
Purbasari merasa kaget melihat
kehadiran orang tua ini, sebaliknya si
bocah sakti merasa yakin orang tua
inilah yang malam tadi hampir membunuh
ke delapan pemuda itu.
"Kakek jelek amat wajahmu?
Mulutmu seperti moncong ular, tubuhmu
bungkuk seperti punggung unta.
Memangnya kau bekerja jadi kuli
dimana?" Tanpa terduga Iwir Iwir
berkata mengejek. Masih dengan
tersenyum-senyum dia melanjutkan.
"Tadi kau mengatakan kami tak akan
lolos dari kematian. Rupanya kau ini
utusan malaikat maut? Hi hi hi huk
huk!"
"Tertawalah sepuasmu selagi
sempat. Pertama yang harus kulakukan
adalah membunuh para pemuda ini,
setelah itu baru kuhancurkan pedang
raja. Baru kemudian giiiranmu,
sedangkan gadis itu? Ha ha ha...
untuknya paling tidak ada perlakuan
sedikit istimewa. Pertama aku akan
mengajaknya bersenang-senang, bercinta
sampai aku bosan. Barulah setelah itu
mamberikannya pada mahluk pelihara-
anku!" kata kakek bungkuk angker itu
disertai seringai penuh arti.
"Tua bangka tak tahu diri.
Mulutmu kotor amat! Siapa dirimu?"
hardik Purbasari dengan muka bersemu
merah dan suara ketus.
"Aku tak punya waktu bicara
banyak. Terus terang saat ini aku
sedang membantu seseorang untuk
melenyapkan musuh-musuhnya. Namaku
Karmaraga, di selatan orang mengenalku
dengan julukan Lidah Penebar Bencana."
jelas kakek bungkuk itu.
Si bocah sakti yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman luas sempat
berjingkrak kaget. Sedangkan Purbasari
maupun ke delapan pemuda yang memang
tidak mengetahui siapa orang tua ini
adanya bersikap biasa saja. Sambil
mengedip-ngedipkan matanya memandangi
kakek di depannya dia berucap.
"Aku tahu siapa dirimu, manusia
jahat. Kau pasti setan gentayangan
yang tinggal di gua Cobra sebelah
selatan Pacitan. Kebiasaanmu membunuh
korban yang sedang bercinta, kemudian
kau larikan perempuannya, bersenang-
senang dengannya sampai kau bosan.
Tepat seperti katamu selanjutnya kau
berikan perempuan yang kau nodai pada
mahluk piaraanmu. Mahluk piaraan...!"
Iwir Iwir mengulang ucapannya
sendiri sambil mencoba mengingat.
Sampai akhirnya bocah ini tertawa
lebar, jari telunjuknya menuding tepat
ke bagian punuk Karmaraga alias Lidah
Penebar Bencana. "Aku ingat sekarang.
Mahluk piaraan yang kau katakan itu
pastilah binatang melata berbisa. Ular
Cobra... itu pasti yang kau maksud-
kan!" seru si bocah kembali
berjingkrak dan melangkah mundur dua
tindak.
"Jadi apa hubungan bangsa ini
dengan Sang Cobra, sobatku Iwir Iwir?"
tanya Purbasari.
"Hmmm... hubungannya bisa jadi
dia kakeknya. Tapi kurasa yang paling
tepat dia ini adalah gurunya. Iyaa
betul pasti gurunya. Bukankah begitu
kakek muka lancip?" setengah mengejek
si bocah polos saja ajukan pertanyaan.
DELAPAN
Karmaraga tidak menanggapi
ucapan si bocah. Hanya matanya
mendelik membesar sesaat memandang si
bocah, seakan ingin tahu siapa adanya
bocah aneh yang tahu banyak hal ini.
Diam-diam si kakek kerahkan tenaga
saktinya ke bagian lidah, lidah
bergetar mulut terbuka. Tak disangka
lidah si kakek yang bercabang dan
berwarna biru itu terjulur memanjang,
semakin bertambah panjang seakan
menggapai, menjangkau lawannya.
"Awas....!" Purbasari keluarkan
seruan kaget melihat bagaimana lidah
biru bercabang itu hendak melibas
menggulung tubuh si bocah. Tidak usah
diberi ingat sekalipun sebenarnya Iwir
Iwir sudah melihat adanya bahaya yang
mengancam. Melihat lidah lawan melesat
memanjang ke arahnya si bocah sakti
melompat ke samping sambil tertawa
terkikik-kikik dia membuka mulut
keluarkan ucapan.
"Walah kau baik amat kek.
Badanku yang bau dan tak pernah mandi
bertahun-tahun hendak kau bersihkan
dengan lidahmu. Terima kasih banyak
kek. Tapi aku takut lidahmu jadi
kotor, lagipula tubuhku ini banyak
kuman penyakitnya. Jika sampai
tertelan olehmu, mana aku berani
menjamin kesehatanmu. Jadi tak usah
repot-repot, sebaliknya biar kuelus
lidahmu yang bagus ini!" berkata
begitu dari samping si bocah julurkan
kedua tangannya dengan gerakan seperti
mengelus. Tapi apa yang terjadi
kemudian membuat Karmaraga jadi
terkejut besar. Dari telapak tangan
Iwir Iwir yang diusapkan satu sama
lain melesat lidah api yang akhirnya
menyambar lidah panjang bercabang si
kakek. Orang tua itu gerakkan
tenggorokannya. Lidah yang terjulur
memanjang ini dengan cepat melesat
masuk ke dalam mulut, mengkerut dan
kembali seperti semula.
"Keparat! Bocah jahanam!" maki
si kakek dengan muka merah padam
merasa tertipu. Maksud di lubuk hati
Karmaraga sebenarnya adalah ingin
mengetahui siapa bocah ini. Benarkah
dia seorang bocah atau seseorang yang
menyerukan diri dengan ujud seorang
bocah. Hal itu hanya dapat diketahui
dengan menyentuhkan lidahnya di tubuh
si bocah. Tapi tampaknya bocah sakti
ini berlaku cerdik. Dia seperti mampu
membaca apa yang ada dalam fikiran si
kakek.
Melihat Karmaraga kalang kabut,
Purbasari tak kuasa menahan geli.
Sedangkan delapan pemuda dusun diam
membisu. Mereka saling berdiri merapat
satu sama lain di balik batu dimana
Pedang Raja berada. Si Bocah sakti
sebaliknya hanya tersenyum saja sambil
menggigit jari telunjuknya.
"Manusia aneh, kebaikan orang
malah dibalas dengan makian. Hi hi
uhuk uhuk...!"
"Untuk segala tindakan yang
telah mempermainkan aku. Sekarang aku
harus mempercepat kematianmu!" dengus
Karmaraga.
"Purbasari, celaka! Tua bangka
penerima karma ini hendak membunuhku.
Apakah pantas!" kata si bocah sakti
seperti bingung. Purbasari berkelebat
ke arah Iwir Iwir, dia berdiri tegak
di depan si bocah bersikap melindungi.
Si bocah sembunyikan wajahnya di
bagian punggung si gadis.
"Pengecut tengik, hendak mem-
bunuh bocah yang tidak punya kebecusan
apa-apa. Akulah lawanmu!" seru
Purbasari. Di belakangnya Iwir Iwir
sunggingkan senyum sambil menyeka
wajah dengan punggung tangannya.
"Iya betul sobatku, dia penge-
cut. Cepat tangkap dia biar aku bisa
duduk di atas punggungnya," menimpali
bocah sakti itu.
Di depan sana Karmaraga dengan
tangan terpentang sudah berkelebat
cepat ke arah Purbasari. Begitu dekat
dengan sasaran, tangan yang terpentang
dan telah berubah menghitam membabat
dengan gerakan menggunting ke arah
leher. Purbasari berkelit ke samping,
berputar satu kali kemudian menghantam
ke bagian tangan lawannya.
Wuuus! Hawa panas luar biasa
menyambar, Karmaraga keluarkan seruan
keras dan terpaksa mundur lalu robah
gerakan tangan dari menggunting
berbalik memukul.
Hawa dingin berkesiuran menyer-
tai gerakan tangan si kakek bungkuk
berkepala lancip. Benturan keras tak
dapat dihindari.
Buum!
Purbasari terjajar, mukanya
pucat dada berdenyut dan tangan
seperti beku. Karmaraga menyeringai.
Si bocah sakti sejak Purbasari lakukan
gerakan berputar tadi otomatis
kehilangan perlindungan. Dia pontang
panting selamatkan diri. Tapi celaka
ledakan akibat beradunya dua tenaga
sakti terjadi di atas kepalanya.
Iwir Iwir jatuh punggung ke
tanah dan terkapar. Kepalanya sakit
mendenyut seperti kejatuhan bintang
dari langit. Atau seperti melihat
kunang-kunang yang bertaburan di
gelapnya malam. Anehnya si bocah sakti
malah tersenyum.
"Amboi... bagus sekali aku
melihat pemandangan indah di matahari.
Hi hi hi!"
Purbasari yang semula
menghawatirkan keselamatan si bocah
akhirnya menarik nafas lega, Dia lalu
berseru. "Iwir Iwir, menyingkir. Cari
tempat perlindungan seperti yang
dilakukan oleh para pemuda itu!"
"Kau sendiri apakah hendak
mencari tempat berlindung juga?" tanya
si bocah polos.
"Tolol, kalau semua berlindung
siapa yang menyerang?" hardik si
gadis. Ucapan Purbasari disambut
dengan pukulan ganas yang dilepaskan
oleh Karmaraga alias Lidah Penebar
Bencana! Si gadis menggerung, dia
berkelebat ke udara. Pukulan ganas
menghantam tempat kosong.
Wuees! Pohon-pohon yang berada
di belakang Purbasari rambas hangus
mengepulkan asap hitam. Sementara
Purbasari berjumpalitan mendekat ke
arah lawan. Namun pada saat itu
Karmaraga buka mulutnya. Lidahnya yang
dapat berubah panjang hampir tanpa
batas terjulur.
"Sobatku, jangan sampai terkena
sambaran lidahnya. Lidah itu
mengandung racun jahat!" teriak si
bocah sakti. Dalam keadaan tubuh
mengapung di udara, Purbasari tak mau
berlaku ayal. Dia langsung melolos
pedang yang tergantung di bagian
pinggangnya. Pedang lalu diayun,
berkelebat memancarkan cahaya putih
disertai sambaran angin berhawa panas.
Mata pedang memapas lidah bercabang
yang hendak melilit tubuhnya.
Dheeel!
"Hah....!" si gadis berseru
kaget. Tebasan pedangnya sama sekali
tidak mampu membabat putus lidah
Karmaraga. "Dia mempunyai ilmu kebal!"
rutuk si gadis. Dia lalu memutar
tubuhnya yang terus meluncur ke udara
guna menyelamatkan diri dari sambaran
lidah. Tapi celakanya kemana pun
Purbasari menghindar lidah bercabang
berwarna kebiruan itu terus mengejar.
Satu jengkal lagi lidah Karma-
raga menggulung lengan si gadis yang
memegang pedang. Pada saat itu pula
satu sosok berkelebat, satu tangan
memegang ranting kecil bercabang
bergerak menggebuk ke bagian perte-
ngahan lidah. Karmaraga alias Lidah
Penebar Bencana terkejut besar melihat
serangan ini. Dia menarik kembali
lidahnya ke dalam mulut. Tapi
gerakannya masih terlambat, lidah
tetap kena di gebuk,
Ctaaar!
"Wuaaaah...!" Karmaraga menjerit
kesakitan, lidahnya yang kena dihantam
ranting keluar masuk kembali ke
mulutnya, bagaikan seekor anjing yang
baru saja berlari jauh. Si bocah sakti
tertawa mengikik.
"Iblis edan. Punya lidah
dibiarkan celamitan. Kalau tidak
disabet mana pernah kapok!" kata si
bocah. Rupanya meskipun tak mempan
pedang, lidah itu punya kelemahan tak
kuat menahan hantaman tetumbuhan
berdaun. Terbukti bagian permukaan
lidah mengucurkan darah. Sambil
menggerung kesakitan si kakek bungkuk
menyerbu ke arah Iwir Iwir. Bocah itu
langsung pasang kuda-kuda. Mulut
mungilnya keluarkan ucapan.
"Eh.... rupanya belum kapok juga
dia. Mau minta tambahan, cucumu ini
tentu saja bersedia menambahi!"
Wuuut!
Ranting dihantamkan ke wajah
Lidah Pembawa Bencana. Mendapat
serangan yang terlihat asal-asalan
namun mengandung tenaga dalam tinggi
ini si kakek tak berusaha mengelak
sama sekali.
Dia tetap menggerakkan tangan-
nya. Lima jari mencengkeram bagian
ubun-ubun sedangkan tangan kiri
menghantam dada. Si bocah sakti
miringkan kepala, cengkeraman pada
bagian kepala luput, tapi tinju lawan
menghantam telak dada Iwir Iwir.
Bagaikan dilabrak angin topan si bocah
mencelat dan jatuh tergeletak dibagian
badan pedang tak jauh-jauh dari
delapan pemuda yang direncanakan akan
menggotong Pedang raksasa itu.
"Gusti kecil kau...!" seru para
pemuda itu hampir bersamaan. Mereka
rupanya sangat khawatir melihat nasib
bocah itu. Karena kalau si bocah sakti
sampai celaka, mereka juga ikut
celaka.
Iwir Iwir menoleh ke arah
mereka, batuk-batuk kecil kedipkan
mata sambil duduk terlolong sedangkan
tangan menyeka darah yang meleleh di
sudut bibirnya. Si bocah pandangi
tangannya yang berselemotan darah. Dia
lalu menyengir. "Tidak apa-apa, hanya
ingus yang keluar setelah sembilan
tahun tertahan di dalam mulut!"
celetuk si bocah seenaknya.
Mengetahui lawan dalam keadaan
terluka, Karmaraga bermaksud mengha-
bisi bocah itu sekaligus menghancurkan
pedang Raja yang diduduki Iwir Iwir.
Karenanya sambil mengatupkan
bibirnya si kakek yang bukan lain
adalah guru Sang Cobra himpun tenaga
sakti ke bagian tangan siap melepaskan
pukulan Sang Cobra Mematuk Mangsa. Ini
salah satu pukulan yang sangat ganas
mematikan. Siapapun yang menjadi
sasaran tubuhnya hancur membusuk
seketika. Dan tampaknya Karmaraga
memang menghendaki hal itu terjadi.
Sekejap kemudian Karmaraga
mendorongkan kedua tangannya yang
telah berubah berwarna hitam ke arah
Iwir Iwir. Selarik sinar hitam berhawa
dingin bukan main menderu, membelah
sejuknya udara bukit dan menghantam
dua sasaran sekaligus.
"Walsh matilah aku sekali ini!"
Si bocah mengeluh tapi cepat gulingkan
diri ke bawah berlindung di balik
lebarnya badan Pedang Raja.
Menyangka si bocah Sakti tak
dapat selamatkan diri, maka Purbasari
tidak tinggal diam. Sambil berteriak
keras dia melompat di udara. Tangan
kanan babatkan pedangnya ke arah bahu
Karmaraga sedangkan tangan kiri
lepaskan pukulan salah satu pukulan
andalannya.
Siiing!
Wuuut!
Sinar putih yang memancar dari
pedang berkelebat, sedangkan dari
telapak tangan kiri menderu sinar biru
yang memapas pukulan lawan dari arah
samping.
Craak!
Buuuum!
Purbasari keluarkan seruan
kaget. Pedangnya yang membacok bahu
lawannya bukan saja patah, tapi juga
berwarna hitam. Jika dia tidak mem-
buang sisa pedang dalam genggamannya.
Tentu Purbasari keracunan. Bukan itu
saja, pukulan yang dilepaskannya
seakan membalik. Si gadis jatuh
terpelanting dengan dada mendenyut
sakit dan semburkan darah. Di depan
sana pukulan yang dilepaskan oleh
Karmaraga menghantam bagian badan
pedang. Terdengar suara berkeron-
tangan, karena pedang itu sempat
terlontar ke udara lalu jatuh kembali
menghantam lempengan batu yang
dijadikan tatakan. Sebagian badan
pedang tampak menghitam. Walau Pedang
Raja tidak mengalami kerusakan apapun,
tapi bekas pukulan telah meninggalkan
racun yang amat ganas.
Delapan pemuda yang berkaparan
terkena sambaran pukulan tidak
berkutik lagi. Mereka semuanya tewas
seketika dengan muka hangus dan tubuh
telinga mengucurkan darah. Melihat ini
si bocah sakti menggerung marah.
Delapan pemuda yang diharapkan untuk
memikul Pedang Raja, dibawanya dari
tempat yang amat jauh kini telah
berkaparan menjadi jasad yang tidak
berguna. Sungguh dia telah melakukan
satu pekerjaan yang sia-sia. Apalagi
kini dia melihat Purbasari sahabatnya
juga tergeletak dalam keadaan terluka.
Lengkap sudah kemarahan di hati Iwir
Iwir.
Dengan sekali lompat dia telah
berada di hadapan si kakek. Matanya
mendelik ketika mulutnya berucap
membentak. "Lidah Penebar Bala! Kau
kira aku tak tahu kau adalah gurunya
Sang Cobra. Kau hendak menghancurkan
senjata itu karena takut aku menggu-
nakannya untuk membunuh muridmu yang
terkutuk itu. Kau sangka biar aku
masih kecil takut padamu? Biar kau
tuaan aku tak pernah sungkan menampar
pipimu pulang balik!" berkata begitu
si bocah sakti berkelebat ke depan.
Hanya sekejap, tak sampai sekedipan
mata tahu-tahu bocah itu sudah berada
di depan hidung Karmaraga. Sedangkan
tangan si bocah terjulur lakukan
tamparan.
Si kakek tidak sempat lagi
menghindar.
Plak! Plaak!
Bruk!
Tamparan si bocah tampaknya
seperti tamparan biasa. Tapi akibatnya
membuat si kakek jatuh terbanting. Dua
giginya tanggal. Ketika dia
menyemburkan ludah, maka air ludah
bercampur dengan darah. Selain itu ada
dua benda putih kekuningan ikut
melesat keluar. Tanpa menghiraukan
rasa sakit si kakek memungutnya,
mendekatkan ke mata dan mengamat-
amati. Kagetlah Karmaraga di buatnya.
"Gigiku... gigiku...! Kau
hancurkan gigiku!" teriak si kakek
gusar.
"Kau ingin kutampar lagi, atau
mau kurontokkan gigimu semuanya? Maju
.... Majulah...!" tantang si bocah
sakti. Sambil berkata dia balikkan
tangan lalu menggerak-gerakkan jari
telunjuknya memberi isyarat agar Lidah
Penebar Bencana mendekat.
Merasa sangat diremehkan si
kakek melompat bangkit. Dia lalu
membuka mulut, nafas ditarik sedangkan
pipi menyedot. Terdengar suara
menderu. Iwir Iwir merasa tubuhnya
tersedot ke arah si kakek. Si bocah
hantamkan kaki kanannya hingga amblas.
Tangan kanan dikepalkan dan diangkat
ke atas kepala. Sedangkan tangan kiri
ditarik ke belakang, lalu dihantamkan
ke depan.
"Kau makan nih apiku!" desis si
bocah.
Wuuus!
Dari telapak tangan si bocah
menderu kobaran api sebesar buah
kelapa, meluncur deras mengikuti
tenaga sedotan yang berasal dari mulut
Karmaraga. Melihat hal ini dan tak
menyangka lawan akan melepaskan
pukulan yang mengobarkan api si kakek
tentu saja jadi kaget. Dia menyadari
jika bola api sampai tertelan maka
hanguslah bagian dalam tubuhnya.
Sungguhpun begitu si kakek tidak
menjadi gugup. Jika tadi mulutnya
menyedot. Maka kini dia rubah
serangan. Selanjutnya dia meniup ke
depan.
Akibatnya tentu sangat
mengerikan, karena tiba-tiba saja bola
api berbalik menyerang si bocah sakti.
"Hah, orang tua edan ini
ternyata panjang akalnya!" desis si
bocah. Laksana kilat dia jatuhkan
diri, namun tak urung rambutnya yang
gondrong sebagian hangus terbakar.
Selagi si bocah sibuk memadamkan api
yang membakar rambutnya. Maka
kesempatan itu tak disia-siakan oleh
Karmaraga.
SEMBILAN
Secepat kilat kakek bungkuk ini
menyemburkan cairan putih dari
mulutnya. Cairan putih menderu
bertebaran di udara dan mengurung si
bocah sakti dari seluruh penjuru arah.
Cairan ini tentu sangat berbahaya bila
sampai mengenai tubuh si bocah karena
dalam cairan terkandung racun raja
cobra yang sangat ganas. Menyadari
betapa berbahayanya serangan lawan,
maka tanpa banyak cakap lagi Iwir Iwir
lesatkan tubuhnya di udara. Begitu
tubuhnya melesat setinggi tiga tombak,
serta merta dia menghantam ke bawah.
Wuut!
Dari telapak tangan si bocah
sakti kanan kiri menderu dahsyat hawa
panas yang berputar seperti lingkaran.
Semakin merangsak jauh ke depan maka
lingkaran angin semakin melebar.
Semburan cairan beracun dengan angin
badai kemudian saling beradu di udara.
Terjadi ledakan beruntun yang memporak
porandakan tanah di atas bukti. Bukan
hanya tanah dan bebatuan saja yang
berpelantingan di udara. Tapi
Purbasari yang tengah berusaha
menyembuhkan luka dalam yang dialami-
nya juga sempat terlempar ke udara.
Di depan sana Karmaraga.
terdorong mundur. Benturan keras yang
terjadi sempat membuat mulutnya
seperti ditampar pulang balik. Sehing-
ga kini mulutnya jadi terpencong.
Sedangkan si bocah sakti sendiri jatuh
terduduk dengan kepala menyentuh
tanah, kaki terlipat. Nafas bocah itu
megap-megap.
"Sobatku.., sobatku...!" seru si
bocah seperti orang yang sedang
sesambat.
Tanpa menunggu, Purbasari yang
merasa dipanggil dengan terhuyung-
huyung segera mendatangi. Dia menarik
tangan Iwir Iwir.
"Kau cidera?" tanya si gadis
setengah mendesis.
"Hi... hi... hi. Aku cuma ingin
muntah. Hoeeek... hueek...! Uh keluar
sudah isi perutku!" kata si bocah
sambil mengikuti tarikan Purbasari
sehingga dia jadi berdiri tegak.
Purbasari terkejut besar melihat
banyaknya darah yang keluar dari dalam
mulut si bocah sakti. Dia memijiti
tengkuk si bocah untuk memperlancar
aliran darah yang sempat tersendat di
bagian nadi besar.
"Aduh enaknya... aku senang
punya sahabat pandai memijit. Tapi
kurasakan akan lebih nikmat lagi bila
digendong di bagian depan! Hi... hi...
hi."
Paras si gadis bersemu merah.
"Iwir Iwir jaga mulutmu!" desis
Purbasari yang diam-diam merasa tak
tega melihat wajah bocah sakti itu
tampak pucat seperti mayat.
Di depan sana Lidah Penebar
Bencana yang tak pernah menyangka si
bocah memiliki kesaktian tinggi
belalakkan mata tak percaya. Dia
kurang yakin bocah sekecil itu sanggup
membendung cairan beracun yang
tersembur dari mulutnya sendiri.
Padahal seorang tokoh angkatan tua
berkepandaian tinggi sekalipun belum
tentu sanggup menyelamatkan diri dari
semburan cairan beracun itu.
Menyadari bocah itu tak dapat
dipandang sebelah mata. Maka selagi si
bocah lengah. Tanpa membuang kesem-
patan lagi Karmaraga alias Lidah
Penebar Bencana kepalkan kedua
tinjunya. Begitu tinju terkepal dan
teraliri tenaga dalam, maka si kakek
pun langsung menghantam ke depan. Dua
sasaran di arahkannya sekaligus. Satu
adalah Iwir Iwir sedangkan yang
satunya lagi Purbasari.
Sinar hitam kebiruan berkiblat,
hawa dingin bukan kepalang menderu
sebat, menghantam lurus ke bagian
punggung Purbasari dan juga bagian
dada si bocah sakti.
"Menyingkir!" satu suara
berseru. Kemudian dari sebelah samping
kanan si bocah dan si gadis terlihat
sinar putih menyilaukan mata memotong
gerak pukulan lawan di tengah jalan.
Glarrr!
Ledakan maha dahsyat yang
terjadi bukan saja hanya membuat
Karmaraga terpelanting dan jauh ke
lereng tebing. Tapi puncak bukit itu
juga laksana diguncang gempa hebat.
Purbasari dan Iwir Iwir jatuh
terduduk. Sementara dari tempat sinar
putih tadi berasal, terdengar suara
tawa mengekeh menyakitkan telinga tak
ubahnya seperti tawa mahluk raksasa.
"Terima kasih kalian mau
melindungi pedang ciptaanku. Aku
merasa bersyukur masih ada orang yang
mau menyambangi bukit batu ini. Ha...
ha... ha!" kata satu suara keras
menggelegar.
Karena orang yang bicara ada
menyebut pedang yang diciptakannya.
Maka baik si bocah maupun Purbasari
langsung dapat menduga yang bicara
barusan tadi pastilah Anom Ka Ratan.
Si bocah bangkit berdiri dan
langsung mengusap bagian badannya yang
kotor diselimuti debu. Dia lalu
menghadap ke arah datangnya suara.
"Terima kasih juga kuucapkan
padamu. Kau telah menyelamatkan kami
dari serangan kakek berpunuk unta itu.
Setelah mengucapkan terima kasih dan
merasa berhutang nyawa sekarang aku
ingin tahu apakah kau orangnya yang
bernama Anom Ka Ratan?"
Terdengar suara tawa bergelak.
Tawa lenyap berganti dengan ucapan.
"Kau tak salah. Aku sendiri sudah tahu
tentang maksud kedatanganmu juga
maksud teman gadismu itu. Kau tentu
hendak menggunakan Pedang Raja untuk
membunuh Sang Cobra. Mengenai Sang
Cobra aku sudah menyelidik siapa
adanya gerangan. Semula aku memang
bermaksud menutup mata menulikan
telinga begitu mengetahui sepak
terjangnya. Tapi kini aku juga
bermaksud turun bukit. Aku bersedia
membantu kalian. Kurasa dengan
tanganku sendiri aku akan
membunuhnya!" kata suara itu.
"Jadi pedang ini?" tanya
Purbasari membuka mulut.
"Ha... ha... ha. Pedang Raja
memang rajanya segala pedang, panjang
juga termasuk besarnya. Aku yakin jika
ke delapan pemuda itu masih hidup
pasti juga tak sanggup memikul atau
menggotongnya. Karena aku pemiliknya,
maka biarkan aku sendiri yang
membawanya!" sahut suara yang mengaku
sebagai Anom Ka Ratan.
"Jadi kami sendiri bagaimana?"
tanya Iwir Iwir
"Kau boleh turun dengan
melenggang bersama gadis itu. Boleh
juga kalian saling berangkulan. Yang
terpenting kau dan gadis itu cepat
tinggalkan tempat ini!"
"Eeh, mengapa secepat itu?" si
bocah sakti melengak kaget. "Apakah
kau tak mau unjukkan diri? Ingat gadis
cantik ini sangat ingin bertemu
denganmu. Ingin pula memastikan dirimu
sebesar dan setinggi apa?"
"Ha., ha... ha. Kurasa itu tak
perlu. Nantinya juga kita pasti bisa
bertemu di Tosari. Jadi kuharap kau
jangan kecewa!" kata Anom Ka Ratan.
Si bocah sakti memandang tajam
pada Purbasari.
"Bagaimana, tuan yang punya
tempat tak berkenan menemuimu. Mungkin
dia takut jatuh cinta padamu!" ujar si
bocah bercanda.
"Tidak jadi apa. Kurasa lebih
cepat kita tinggalkan tempat ini
rasanya akan lebih baik!" kata
Purbasari.
Kini setelah anggukkan kepala
Iwir Iwir kembali memandang ke arah
datangnya suara. "Orang yang mendekam
malu tunjukkan diri. Kami mohon pamit,
mohon maaf pula kalau ada kata-kataku
yang salah, maklum aku ini bocah kecil
yang belum tahu banyak tentang segala
macam peradatan."
"Aku maklum, pergilah cepat!"
bentak Anom Ka Ratan.
"Eeh, galak amat!" celetuk si
bocah sakti. Sambil bersungut-sungut
mereka meninggalkan puncak Bukit Waton
Hijau. Ketika melewati tempat jatuhnya
Lidah Penebar Bencana, baik Iwir Iwir
maupun Purbasari sama-sama terkejut
karena ternyata kakek bungkuk itu tak
mereka temukan di situ. Mereka hanya
melihat bercak-bercak darah yang
berceceran di atas rerumputan di
sepanjang lereng bukit. Ceceran darah
baru tak terlihat lagi setelah sampai
di batas antara lereng bukit dan
lembah.
"Setan tua itu ternyata nyawanya
cukup alot juga!" gerutu murid Dewa
Ngelindur Bertangan Arwah.
"Malaikat maut ternyata masih
segan mencabut nyawanya! Hi... hi...
hi!" sahut si bocah sakti disertai
tawa cekikikan.
SEPULUH
Terdorong oleh mimpi buruk yang
dialaminya, kakek tua berpakaian dalam
warna hitam dan memakai mantel
berwarna putih di bagian luarnya ini
akhirnya terpaksa memperturutkan kata
hati untuk menyambangi sahabatnya.
Selain itu dia sendiri memang sudah
lama tidak pernah bertemu dengan Ki
Bantaran. Kurang lebih dua puluh tahun
sejak kunjungan terakhir beberapa
bulan setelah peristiwa pengeroyokan
Sepasang Iblis Pengemis Harpa di
puncak Tumapel. Kini dia ingin cepat
sampai di tempat tujuan. Kali Merayu
jaraknya memang hanya tinggal setengah
hari lagi perjalanan. Jarak yang tidak
begitu jauh bila ditempuh dengan
perjalanan berkuda.
Setelah melewati dusun, sawah
dan perladangan juga hutan rimba. Pagi
itu si kakek yang bukan lain adalah Ki
Banjar Jati yang dikenal dengan
julukan Mahluk Tanpa Tanda sampai di
tepi telaga kecil. Air di telaga itu
sangat jernih. Kebetulan sekali
perbekalan airnya untuk minum kuda
sudah habis. Sehingga tanpa pikir
panjang si kakek turun dari atas
kudanya. Dia mengambil botol kendi
dari tanah liat yang terdapat di dalam
kantong perbekalan kuda.
"Kau di sini dulu putih. Kita
istirahat tidak lama. Setelah itu
perjalanan kita teruskan. Entah
mengapa saat ini aku ingin sekali
cepat bertemu dengan Ki Bantaran."
berkata Ki Banjar Jati, seraya
mengelus bulu leher kuda. Setelah itu
berjalan menuju tepi telaga. Empat
botol kendi besar diisinya sampai
penuh. Ketika si kakek hendak mengisi
botol kendi terakhir mendadak laksana
kilat satu benda besar melesat ke
dalam telaga kecil berair dangkal.
Byuuur!
Air dalam telaga muncrat
bertebaran membasahi sekujur pakaian
si kakek luar dalam Ki Banjar Jati
terkejut besar, dia kaget ketika
melihat telaga yang kecil serta
dangkal itu menjadi keruh. Si kakek
bangkit berdiri, memandang ke arah
telaga ternyata yang tergeletak
mengapung di atas air telaga bukan
lain adalah sebuah kelapa.
Ki Banjar Jati kitarkan pandang,
melihat ke sekeliling daerah itu
ternyata tak satupun pohon kelapa yang
terlihat. Jelas semua itu merupakan
perbuatan iseng seseorang.
"Tak ada pohon kelapa bagaimana
ada buahnya?" pikir si kakek heran.
Selagi kakek itu belum hilang rasa
kagetnya, tiba-tiba dari balik semak
belukar yang terdapat di depannya sana
muncul seorang kakek berbadan gemuk
besar luar biasa berpakaian hitam
besar tak terkancing, berwajah bulat
berkening lebar. Sedangkan satunya
lagi adalah seorang pemuda tampan
berambut gondrong berwajah polos.
Mereka sambil berlari tampak sibuk
membolang-baling kelapa. Sedangkan
masing-masing tangan memegang satu
buah kelapa. Hanya si pemuda yang
memegang satu kelapa di tangan
kirinya.
"Dasar bocah bodoh, melemparkan
kelapa saja tidak becus. Hayo cari
kelapamu yang kabur tadi!" kata si
kakek bersungut-sungut.
"Aku malas mencarinya. Melem-
parkan satu kelapa di udara kurasa
lebih mudah daripada melempar dua
kelapa sekaligus." Walau mulutnya
bicara begitu namun mata si pemuda
yang tiada lain adalah Gento Guyon
tetap mencari kian ke mari.
"Ha... ha... ha. Akhirnya
kutemukan juga biji kelapaku yang
hilang!" seru si pemuda kegirangan.
"Mana... mana...?" Si kakek
pentang mata dan memandang jelalatan.
"Lihat di dalam telaga itu!"
sahut Gento. Bersikap seakan tak ada
orang lain di tempat itu si pemuda
berkelebat ke arah telaga. Tangannya
bergerak mencoba meraih kelapanya.
Wuuut!
Mendadak laksana disentakkan
kelapa yang mengapung di atas air
melesat ke udara. Gento Guyon
terkesiap. Ketika dia berdiri tegak
dan memandang ke depannya, maka
kagetlah pemuda ini dibuatnya. Buah
kelapa itu ternyata sudah berada di
tangan seorang kakek. Hanya dengan
sekali pukul kelapa milik Gento
terbelah menjadi delapan bagian,
masing-masing bagian sama rata sama
besar seolah ketika membelah
menggunakan benda tajam.
"Hei, tikus tua, mengapa kau
belah buah kelapaku?!" hardik si
pemuda tampak gusar sekali.
"Sikapmu yang kurang ajar bisa
saja memaksaku membelah kepalamu
sendiri!" dengus si kakek.
"Apa? Kenal dan melihat rupamu
saja baru kali ini bagaimana kau bisa
mengatakan aku berlaku kurang ajar!"
"Coba kau lihat ke telaga. Aku
jadi batal mengisi botol kendi yang
terakhir gara-gara kelapamu itu.
Pakaianku juga basah luar dalam, kau
sudah mengerti kesalahan yang kau
perbuat?" hardik si kakek.
Gento Guyon jadi melengak kaget.
"Ah, kau sungguh pandai sekali
mencari perkara. Baru persoalan kecil
saja kau besar-besarkan?!" kata si
pemuda bersungut-sungut.
"Bukan perkara yang kucari, tapi
kurasa gurumu memang tak becus
mendidikmu!" dengus Ki Banjar Jati
alias Mahluk Tanpa Tanda.
Merasa gurunya dibawa-bawa,
Gento jadi tidak senang. Dia hendak
mendamprat. Tapi di belakangnya
Gentong Ketawa sudah lebih dulu
keluarkan omelan.
"Eeh, siapa berani bicara
lancang begitu. Aku gurunya bocah edan
itu. Sudah kudidik dan kuajar dia luar
dalam, otaknya yang tidak benar sudah
pula kucuci dengan air tujuh sumur.
Kurang ajar betul!" sambil keluarkan
suara omelan si kakek berkelebat,
tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di
depan Ki Banjar Jati. Kedua orang tua
ini saling pandang sejenak lamanya.
Kemudian sama pula bersurut langkah.
"Kau... orang tua kurus, hidung
kecil mulut seperti tikus cecurut.
Rasa-rasa aku seperti mengenalmu!"
desis Gentong Ketawa dengan alis
berkerut sambil usap-usap wajahnya.
"Ah, bukankah kau Gentong
Ketawa? Sudah lama sekali kita tak
bertemu, lebih dari tiga puluh tahun!"
menimpali Ki Banjar Jati.
"Eeh, kau siapa ya. Aku memang
merasa seperti punya seorang sahabat
jelek sepertimu. Ah...!" Gentong
Ketawa tersenyum lebar. "Aku ingat
sekarang. Bukankah kau, tikus buduk
yang bernama Ki Banjar Jati bergelar
Mahluk Tanpa Tanda. Bagaimana
kabarmu?" tanya Gentong Ketawa sambil
tertawa tergelak-gelak. Dua orang tua
ini sama bungkukkan badan menjura
hormat. Sedangkan Gento Guyon semakin
cemberut.
"Sialan. Baru hendak kugebuk,
tak tahunya mereka berteman." rutuk si
pemuda dalam hati.
"Kau betul... kau betul...!"
menanggapi si kakek berjubah putih.
"Bagaimana kau bisa berada di
sini sahabat Gentong Ketawa?" tanya Ki
Banjar Jati.
"Sebelum kujelaskan sebaiknya
kuperkenalkan pemuda itu adalah
muridku. Namanya Gento Guyon." jelas
si kakek gendut. Dia lalu berpaling
pada muridnya. "Gege menghormatlah
pada kakek ini!" perintah si kakek.
Tanpa bicara apa-apa Gento Guyon
langsung jatuhkan diri sambil
bungkukkan badan.
"Terimalah hormatku, kakek!"
"Berdirilah anak muda. Kau
memang pantas menjadi murid Gentong
Ketawa karena tingkah lakumu memang
sangat mirip dengannya." kata Ki
Banjar Jati.
"Terima kasih. Aku memang
berjodoh dengannya!" sahut si pemuda
seenaknya.
Si kakek manggut-manggut, lalu
kembali menghadap ke arah Gentong
Ketawa. "Sekarang coba ceritakan
bagaimana kau bisa sampai di sini?" Ki
Banjar Jati mengulang pertanyaannya.
"Aku dan muridku baru saja
mengejar Sang Cobra. Rupanya kau tidak
tahu manusia biadab berselubung itu
baru saja membunuh sahabat kita Ki
Bantaran?" ujar si kakek dengan wajah
murung.
"Apa? Dia membunuh Ki Bantaran?
Bagaimana hal itu bisa terjadi?" desis
Ki Banjar Jati tak kuasa menahan rasa
kaget juga kesedihan hatinya.
Gentong Ketawa kemudian menu-
turkan kedatangannya di tempat
kediaman Ki Bantaran di tepi kali
Merayu. Tak lupa dia juga menceritakan
siapa adanya Sang Cobra.
Mendengar penuturan Gentong
Ketawa, wajah si kakek berubah
menegang, ke dua bibir terkatup rapat
geraham bergemeletukan. Sedangkan mata
Ki Banjar Jati tampak berkaca-kaca.
Kedua tinjunya dipukulkan satu sama
lain.
"Keparat betul manusia itu. Aku
sudah menduga putra Sepasang Iblis
Pengemis Harpa kelak memang akan
menjadi pangkal bencana. Tapi waktu
itu Ki Bantaran sahabat kita itu tak
percaya dengan penjelasanku. Kini
segalanya terbukti." desis si kakek.
Dengan suara bergetar dia lalu
melanjutkan. "Selama ini aku memang
sering mendengar tentang sepak terjang
Sang Cobra. Kejahatannya dalam
menghancurkan setiap perguruan yang
ada serta tindakannya yang kejam dalam
membunuh beberapa tokoh penting
golongan putih kuanggap sebagai
tindakan iblis. Adapun maksud kehadi-
ranku di sini selain ingin melihat
sahabat Ki Bantaran juga ingin
menyerap kabar tentang kebenaran
berita yang kudengar. Sama sekali
tidak pernah kusangka kalau Sang Cobra
manusia keji yang akhir-akhir ini
menjadi momok bagi dunia persilatan
itu dialah orangnya." ujar Ki Banjar
Jati.
Lalu apa rencanamu?" tanya
Gentong Ketawa.
"Apa rencanaku?" sahut Ki Banjar
Jati setengah berseru. "Aku tak punya
rencana lain terkecuali memburu
jahanam yang satu ini!" tegas si
kakek sengit.
"Kalau begitu kata sepakat sudah
sama didapat, mengapa sekarang kita
tidak berangkat saja?" celetuk Gento
Guyon yang sejak tadi hanya ikut
mendengar.
"Kita memang harus berangkat.
Kurasa lebih cepat lebih baik lagi!"
ujar Ki Banjar Jati.
"Kek bagaimana dengan kudamu?
Kalau aku yang menunggang apakah
boleh?" tanya si pemuda usil.
Mendengar permintaan Gento
gurunya delikkan mata. Si pemuda
menyeringai. Sedangkan Ki Banjar Jati
langsung anggukkan kepala. "Boleh.
Tentu saja boleh!" Mendapat
persetujuan dari pemilik kuda enak
saja Gento melompat dan kemudian duduk
uncang-uncang kaki di atas punggung
kuda. Sementara kedua orang tua itu
segera berkelebat meninggalkan tepi
telaga. Gento Guyon tak mau kalah.
Sekali gebrak kuda berlari kencang
mengikuti kedua orang tua tadi.
SEBELAS
Dua sosok tubuh berkelebat
laksana dikejar-kejar setan. Satu di
antaranya yang berpakaian serba kuning
berada di bagian depan. Sedangkan
satunya lagi yang bertelanjang dada
dan cuma memakai cawat dan berbadan
pendek berada di bagian depan. Di satu
tempat setelah melewati bukit kapur si
gadis cantik berambut panjang riap-
riapan perlambat larinya begitu sampai
di tepi sebuah jalan sunyi.
"Ke arah mana yang harus kita
lalui Iwir Iwir. Ke kanan atau ke
kiri?" tanya si gadis sambil
memperhatikan kedua sisi jalan yang
ada di kanan kirinya.
Di belakang si gadis bocah
bertelanjang dada berumur sepuluh
tahun juga ikut hentikan langkah. Dia
memandang ke jalan di sebelah kiri,
setelah itu beralih ke arah jalan di
sebelah kanan. Si bocah diam sejenak,
matanya terpejam sedangkan ibu jari
dimasukkan ke dalam mulut, di sedot
dan dihisap-hisap pertanda si bocah
memang sedang berpikir keras.
"Kalau ke kiri berarti kita
menuju ke Sidoarjo, sedangkan kalau ke
kanan pasti ke Tosari. Menurutku
sebaiknya kita memilih jalan yang ke
kanan. Nanti kita segera sampai ke
tempat tujuan." ujar si bocah sakti.
"Aku menurut saja apa yang kau
katakan, namun jika kita sampai di
tempat tujuan yang salah kau tanggung
sendiri akibatnya!" berkata Purbasari.
Iwir Iwir anggukkan kepala.
"Baiklah, semua akibat dari
kekeliruanku biar aku yang menang-
gungkannya." sahut si bocah sakti.
Karena sudah sama sepakat maka
Purbasari dan Iwir Iwir kembali
meneruskan perjalanan mereka. Belum
lama kedua orang ini berlari. Mendadak
sontak keduanya hentikan langkah.
Mereka saling pandang ketika melihat
satu sosok tubuh berdiri tegak di
tengah jalan sambil berkacak pinggang.
Siapapun adanya laki-laki itu,
pasti sengaja membawa niat yang buruk.
Namun yang membuat mereka heran
mengapa kepalanya diselubungi kain
hitam. Tapi setelah melihat sekujur
tubuh telanjangnya yang dihiasai
lukisan ular cobra sadarlah mereka
siapa adanya laki-laki yang menghadang
di tengah jalan.
"Sobatku Iwir Iwir, bagaimana
kita harus bersikap?" tanya Purbasari
berbisik.
Si bocah sakti tersenyum.
"Tosari masih jauh, namun kurasa tak
sampai sepemakan sirih lagi kita sudah
sampai di tempat itu. Kita hanya
berdua, walaupun begitu aku yakin Anom
Ka Ratan pasti juga melewati jalan
ini. Sekarang nampaknya kita
menghadapi kesulitan besar. Melihat
pada keadaan tubuhnya yang dihiasi
lukisan ular cobra, kurasa dia adalah
orang yang kita cari," menjawab si
bocah dengan berbisik pula, "Kita
sudah letih mengejarnya. Tapi setelah
letih ternyata dia datang sendiri.
Sekarang tunggu apa lagi? Teruskan
rencana semula."
"Maksudmu?"
"Kita pura-pura melewatinya
tolol." sahut Iwir Iwir.
Sesuai dengan perintah si bocah
sakti, maka Purbasari lanjutkan
langkahnya. Akan tetapi belum lagi dia
melewati laki-laki itu, tiba-tiba
terdengar suara bentakan.
"Dua manusia tidak tahu gelagat
berhenti!" hardik laki-laki
berselubung yang tiada lain adalah
Sang Cobra.
"Kau menghentikan kami, sekarang
kami berhenti. Apa maumu?" tanya Iwir
Iwir.
Sang Cobra tidak langsung men-
jawab, dia dongakkan kepala memandang
ke langit. Kemudian terdengar suara
tawanya yang dingin angker.
"Siapapun yang bertemu denganku
keselamatannya tidak ada yang dapat
menjamin. Tapi terhadap kalian berdua,
kuanggap sebagai suatu pengecualian.
Itupun jika kau mampu menjawab
pertanyaanku." dengus laki-laki itu
sinis.
"Jika tidak?" Iwir Iwir menim-
pali.
"Seandainya tidak mampu menjawab
kalian berdua secepatnya akan kukirim
ke neraka. Ha...ha... ha...!"
"Mengerikan sekali. Apakah kau
salah satu penjaga di neraka sana yang
ditugaskan menjemput roh manusia di
dunia?" tanya si bocah disertai senyum
mengejek.
"Hust, jangan bicara yang bukan-
bukan. Tanyakan saja apa yang hendak
diketahuinya!" Purbasari memberi
bisikan. Bocah itu anggukkan kepala
"Eeh, maaf apa pertanyaanmu
tadi?"
"Pertanyaanku ada dua. Pertama
tahukah kalian di mana saat ini Ki
Banjar Jati alias Mahluk Tanpa Tanda
berada?"
Si bocah sakti memandang ke arah
Purbasari. Dia sendiri tidak kenal
dengan orang yang dimaksudkan oleh
Sang Cobra. Sebaliknya Purbasari
memang sering mendengar nama Ki Banjar
Jati. Namun berjumpa dengan orangnya
atau mengenal tempat tinggal salah
satu tokoh golongan putih itu tentu
dia tak tahu. Purbasari akhirnya
geleng kepala. Melihat si gadis
gelengkan kepala maka si bocah sakti
juga ikut melakukan hal yang sama.
"Kami tak tahu." sahut
Purbasari.
"Satu pertanyaan tak terjawab,
berarti salah satu di antara kalian
harus menyerahkan kepalanya kepadaku.
Ha... ha... ha!"
"Boleh saja, lalu apa
pertanyaanmu yang kedua?" tanya Iwir
Iwir ringan saja. Seakan menganggap
ancaman Sang Cobra sebagai angin lalu.
"Pertanyaanku yang kedua, di
manakah tinggalnya manusia yang
bernama Anom Ka Ratan?"
Mendengar pertanyaan itu baik
Purbasari maupun Iwir iwir diam-diam
menjadi kaget. Dan Sang Cobra melihat
semua ini walau cuma sekilas saja.
"Bagaimana? Kau saja yang
menjawab!" ujar Purbasari. Perasaannya
mulai diselimuti kegelisahan.
"Kau ingin aku berkata jujur
atau bohong?"
"Bocah kurang ajar! Katakan
dengan sejujurnya, cepat!" bentak Sang
Cobra sengit.
"Kalau kau ingin jawaban yang
jujur. Anom Ka Ratan tinggal di puncak
bukit Waton Hijau. Kalau tak percaya
silakan lihat sendiri. Tapi kurasa kau
tak perlu bersusah payah ke sana,
karena sekejap lagi kurasa dia segera
datang ke sini." berkata si bocah
sakti polos.
"Bagus. Sekarang sambil menunggu
kedatangan bangsat tua yang telah
membunuh kedua orang tuaku itu, kurasa
ada baiknya jika aku membereskan
kalian!"
Ucapan Sang Cobra tentu saja
sangat mengagetkan kedua orang ini.
Iwir Iwir menjadi kesal. Sambil
melompat ke depan dia membentak.
"Aku ingin ajukan pertanyaan
padamu. Engkau ini setan atau manusia?
Kalau setan kurasa memang pantas
sesuai dengan keadaanmu, kalau manusia
mana aku percaya. Karena tak satupun
dari ucapanmu yang dapat kupegang!
Hi... hi... hi. Huk... huk... huk!"
selesai berkata si bocah sakti tertawa
cekikikan.
Melihat si bocah terkesan mere-
mehkan dirinya, maka sambil menggerung
marah Sang Cobra menggerakkan kedua
tangannya ke arah si bocah sakti. Hawa
panas menderu disertai berkelebatnya
tiga sosok benda hitam sebesar ibu
jari ke arah si bocah sakti. Ketika
meluncur di udara ketiga benda hitam
itu lalu berpencar, satu menghantam
kepala, satunya lagi melesat ke bagian
perut dan yang lainnya menghantam
bagian di bawah perut Iwir Iwir.
Walaupun berkelebatnya tiga buah
benda sepanjang tiga jengkal sangat
cepat bukan main. Tapi sebagai gadis
yang memiliki ilmu sangat tinggi tentu
dia dapat melihat benda apa yang
melesat di udara itu. Tanpa pikir
panjang Purbasari berteriak memberi
peringatan.
"Iwir Iwir awas!"
Si bocah yang juga sudah melihat
benda apa gerangan yang meluncur deras
ke arahnya langsung hantamkan kedua
tangannya tiga kali berturut-turut.
Tesss! Tess! Tess!
Pukulan yang dilontarkan oleh si
pemuda walau terkesan asal-asalan
ternyata menghantam tiga benda panjang
itu secara tepat. Tercium adanya bau
amis terbakar. Tiga buah benda yang
kena dipukul ternyata adalah tiga
sosok ular cobra. Begitu jatuh ketiga
ular tadi dalam keadaan hangus gosong.
Melihat kenyataan ini kagetlah
Sang Cobra dibuatnya. Sama sekali dia
tak menyangka bocah sekecil itu di
samping memiliki tenaga dalam yang
sangat tinggi juga mampu melepaskan
pukulan sehingga tepat mengenai
sasaran kalau tak melihatnya sendiri
mana dia bisa percaya.
Tapi kematian tiga ular itu
baginya sudah mengundang satu kema-
rahan besar. Itulah sebabnya tanpa
bicara lagi Sang Cobra segera
mengerahkan jurus aneh yang merupakan
serangkaian dan jurus-jurus mahluk
yang sangat berbisa tersebut.
Sambil melakukan satu lompatan
ke depan, kedua tangannya dengan
jemari saling merapat membentuk kepala
ular berkelebat menghantam leher dan
juga tubuh si bocah tepat di bagian
yang paling mematikan. Mendapat
serangan yang ganas bertubi-tubi, si
bocah sakti tampak terdesak. Dengan
lincah dia berkelit menghindar, atau
terkadang membalas serangan lawan
dengan kekuatan berlipat ganda. Satu
saat dia terpaksa memiringkan badan
dan rundukkan kepala saat Sang Cobra
menghantam ke bagian matanya. Melihat
serangannya luput, kaki kanan Sang
Cobra laksana kilat menyambar
menghantam bagian perut bocah ini.
"Aih...!" sambil memekik kaget
si bocah sakti berusaha berkelit. Tapi
gerakan kaki lawannya ternyata memang
jauh lebih cepat daripada gerakan
menghindar yang dilakukan Iwir Iwir.
Buuk!
Tak urung satu tendangan keras
mendarat di perut si bocah sakti
membuatnya terlontar sejauh tiga
tombak. Iwir Iwir jatuh berkelukuran
dengan wajah pucat, perut laksana
pecah sedangkan mulut meneteskan
darah. Purbasari terkesiap. Sejenak
lamanya dia hanya mampu berdiri tegak
dengan mata melotot dan mulut
ternganga.
DUA BELAS
Beberapa saat kemudian seakan
baru saja tersadar dari mimpi buruk
Purbasari tersentak kaget saat
mendengar suara teriakan keras Sang
Cobra. "Ajalmu sampai pada detik ini!"
Seiring dengan teriakannya itu
laki-laki yang bagian kepalanya
diselubungi kain hitam laksana kilat
melompat. Satu tangan menghantam
bagian kepala sedangkan tangan yang
lainnya menderu menghantam perut. Si
bocah sakti memang sempat merasakan
adanya sambaran angin dingin menerpa
kepala dan perutnya. Walau saat itu
dia sedang merasakan sakit yang amat
luar biasa di bagian perut akibat
tendangan lawan. Namun dengan cepat
dia gulingkan dirinya ke samping
mencari selamat.
Sebaliknya Purbasari yang
melihat si bocah sakti berada dalam
ancaman bahaya besar tidak tinggal
diam. Dengan nekad dia melesat
menghadang lawan guna menyelamatkan si
bocah dari malapetaka.
"Hiaa...!"
Dua tangan menghantam dari arah
samping menepis tangan Sang Cobra.
Tapi laki-laki itu ternyata cukup
cerdik juga, begitu melihat tangannya
hendak dipukul remuk oleh gadis itu.
Maka dia menarik balik serangan.
Dengan gerakan begitu rupa, tiba-tiba
saja tangan lawan kini sudah meluncur
ke bagian dada serta wajah si gadis
dengan jari terkembang.
Purbasari tersentak kaget
melihat serangannya luput, sebaliknya
tangan lawan kini malah mengancam dua
bagian tubuhnya. Dengan cepat dia
sentakkan kepala ke belakang. Kepala
selamat dari hantaman lima jari lawan.
Tapi dia tidak sanggup menghindari
serangan Sang Cobra yang menghantam di
bagian dada.
Desss!
Kraak!
Hantaman yang sangat keras bukan
saja membuat Purbasari terpental, tapi
juga membuat tulang dadanya remuk.
Pakaian di bagian dada hangus,
sedangkan kulit di balik pakaian yang
hangus nampak membiru. Gadis itu
menjerit, jatuh terkapar diam tak
bergerak. Melihat sahabatnya terluka
parah bahkan menderita keracunan pula.
Si Bocah sakti tentu saja menjadi
sangat marah, apalagi mengingat
Purbasari terluka karena menolong
dirinya. Tanpa menghiraukan luka yang
dideritanya sendiri Iwir Iwir segera
bangkit. Dia kemudian memutar kedua
tangan di atas kepala. Angin menderu
menyertai berkelebatnya ke dua tangan
itu. Sambil berteriak nyaring si bocah
sakti kemudian melesat ke depan, dua
tangan yang diputar selanjutnya
dihantamkan ke arah lawan.
Sang Cobra sempat dibuat kaget
ketika bagaimana dari telapak tangan
bocah itu menderu angin yang berpilin
melingkar berbentuk kerucut memanjang.
Semakin mendekati Sang Cobra maka
bagian depan pusaran angin aneh ini
semakin membesar tak ubahnya seperti
mulut jalan yang ditebarkan.
"Pusaran angin aneh?" desis
lawannya. Dan memang pada saat itu si
bocah sakti sedang mengerahkan salah
satu ilmunya yang paling hebat yaitu
ilmu Menjaring Iblis Di Balik
Rembulan. Akibatnya tentu saja sangat
fatal bagi lawan. Tapi Sang Cobra
adalah iblis keji yang mempunyai
banyak akal dan berbagai kelicikan.
Melihat gelombang angin pusaran yang
tidak ubahnya seperti terowongan yang
hendak menyungkup dan menggilas
dirinya. Maka detik itu pula dia
segera memutar tubuhnya, dalam keadaan
berjongkok dia menghantam ke depan
dengan pukulan beruntun.
Wuss! Wuus!
Terdengar suara menderu dahsyat
disertai melesatnya cahaya hitam
laksana iring-iringan mendung tebal di
angkasa. Sinar hitam itu kemudian
menerobos pusaran angin yang berputar
seperti lingkaran. Begitu sinar maut
ini berada di tengah lingkaran pusaran
angin, maka dia tampak melebar.
Membesar sampai akhirnya terdengar
suara ledakan berdentum.
Dua sosok tubuh sama terdorong
mundur akibat benturan dua tenaga
sakti itu. Tapi Sang Cobra hanya
tergetar saja, sedangkan si bocah
kemudian jatuh terjengkang. Nafasnya
kembang kempis, sedangkan dari
hidungnya mengucur darah. Melihat
keadaan lawannya, Sang Cobra
menyeringai sinis.
"Kau tak bakal lolos kali ini!
Aku akan tunjukkan padamu bagaimana
caranya mati yang paling menyakitkan!"
selesai berkata Sang Cobra gerakkan
kepalanya. Tiga kali kepala
digelengkan, maka pada detik itu pula
dari bagian atas kepalanya mengepul
kabut hitam yang semakin lama semakin
bertambah tebal. Kabut itu akhirnya
membubung tinggi di udara. Seiring
dengan mengepulnya kabut, terdengar
pula suara desis aneh. Sekali lagi
Sang Cobra gelengkan kepalanya yang
diselubungi kain hitam. Sekonyong-
konyong dari bagian kepala Sang Cobra
secara aneh melesat belasan ekor ular
cobra. Ular-ular yang sangat berbisa
ini berputar-putar di udara untuk
beberapa jenak lamanya. Tapi ketika
Sang Cobra memberi aba-aba.
"Bunuh bocah gondrong itu!"
Belasan ekor ular cobra ini tanpa
dapat dicegah langsung berserabutan
melesat deras ke arah Iwir Iwir yang
sudah terluka parah. Melihat semua ini
si bocah sakti cepat gerakkan kedua
tangannya. Celaka! Kedua tangan
mendadak terasa lumpuh dan tak dapat
digerakkan sama sekali. Lebih aneh
lagi ketika bocah itu hendak
menggerakkan bagian badan, sekujur
tubuhnya ternyata juga tak dapat
digerakkan. Dalam kagetnya si bocah
sakti hanya dapat delikkan matanya,
wajahnya pucat terpana sedangkan
tengkuknya mendadak berubah menjadi
dingin, nampaknya ajal si bocah sakti
sampai pada detik itu juga jika saja
pada saat yang menegangkan itu tidak
terdengar suara bentakan disertai
berkelebatnya dua sosok tubuh yang
satu gemuk besar luar biasa sedangkan
yang satunya lagi kurus kerempeng.
"Manusia iblis! Seorang bocah
yang sudah tak berdaya pun dibu-
nuhnya!" dengus satu suara.
"Hati dan matanya jadi gelap
tertutup dendam kesumat. Kita cincang
dia bersama-sama!" menimpali satu
suara yang lain. Dua pasang tangan
gemuk dan kurus seakan berlomba
melepaskan pukulan. Di udara terdengar
suara bergemuruh laksana bendungan air
bah yang jebol. Hawa panas dan dingin
saling tindih menindih melabrak habis
belasan ular yang menyerbu ganas ke
arah si bocah sakti. Sesaat gerakan
ular-ular itu seolah tertahan, pada
kesempatan berikutnya bagaikan ilalang
belasan ular cobra tersapu mental,
jatuh berkaparan tak bergerak lagi.
Sang Cobra sendiri juga tidak kerahkan
tenaga dalam ke bagian kakinya pasti
akan terpelanting.
Kini dengan muka pucat pasi
laki-laki itu memandang ke depan. Di
sana tepat di depan si gadis berdiri
tegak seorang kakek berbadan besar
luar biasa, berwajah bulat berkening
lebar berpipi tembem dengan bukit
hidung sama rata dengan pipi. Kakek
gendut besar yang satu ini sama sekali
tak dikenal oleh Sang Cobra. Tapi
kakek satunya lagi yang berbadan kurus
berpakaian dalam hitam berjubah putih
tentu tak pernah dilupakan oleh laki-
laki itu. Dialah kakek yang dilihatnya
dua puluh tahun yang lalu di rumah Ki
Bantaran, kakek ini dulu menggunakan
pedang Gagak Mencle Sapu Angin milik
Ki Bantaran untuk membunuh kedua orang
tuanya. Mengenang segala pembicaraan
si kakek dua puluh tahun yang lalu
membuat darah Sang Cobra laksana
mendidih. Tapi belum lagi dia sempat
melakukan tindakan atau bicara apapun,
tiba-tiba saja terdengar derap suara
langkah kuda disertai dengan suara
siulan panjang. Siulan mendadak
terhenti. Bagaikan terkejut orang yang
datang dengan menunggang kuda berseru.
"Walah rupanya pesta sudah
dimulai. Ada yang tergeletak, eh
ternyata seorang gadis. Sedangkan yang
duduk itu, aha tak kukira kiranya
seorang bocah tolol yang sedang sakit
perut. Guru... siapa laki-laki yang
bagian kepalanya diselubungi kain itu?
Apakah ini manusianya yang berjuluk
Sang Cobra? Ha. . ha...ha!" bersamaan
dengan terdengar suara tawa itu, maka
di samping si kakek terlihat seorang
pemuda tampan bertelanjang dada duduk
di atas punggung seekor kuda. Sikap
pemuda gondrong itu terkesan acuh tak
acuh. Tapi setelah melihat ke arah
Iwir Iwir dan Purbasari yang terkapar
dan sedang ditolong oleh bocah itu,
perhatian pemuda ini tertuju
sepenuhnya pada Sang Cobra.
"Aku inginkan kakek kerempeng
itu!" dengus Sang Cobra tanpa
memandang sebelah matapun atas
kehadiran Gentong Ketawa dan muridnya.
"Eeh... kau tolol amat. Mengapa
kau tidak inginkan kakek gemuk besar
ini saja. Kalau kau seorang penjagal
tentu kau dapat untung besar. Kakek
gemuk ini dagingnya banyak. Jadi buat
apa kau menghendaki kakek kurus peot
itu. Dagingnya sedikit, paling juga
yang banyak tulang sama kentutnya....
Atau mungkin kau orang yang suka makan
tulang dan menghirup segarnya bau
kentut? Ha... ha... ha!"
Gentong Ketawa mendelik men-
dengar gurauan muridnya. Sedangkan Ki
Banjar Jati hendak mendamprat. Tapi
urung karena dia melihat di depan sana
Sang Cobra sudah mendahuluinya
berkata. "Orang tua gemuk besar dan
pemuda sinting. Aku tak punya silang
sengketa dengan dirimu. Jika sayangkan
nyawa maka sebaiknya cepat menyingkir.
Urusanku adalah dengan Mahluk Tanpa
Tanda!" tegas Sang Cobra yang rupanya
sudah dapat membaca gelagat kalau
kakek Gentong Ketawa dan muridnya
pasti merupakan orang-orang yang
memiliki tingkat kepandaian sangat
tinggi.
Murid dan guru saling pandang.
Gento Guyon menyeletuk. "Rupanya dia
takut pada kita, guru. Kalau dia
mengusir kita apa yang harus kita
lakukan?" tanya si pemuda.
Si kakek gendut besar tersenyum-
senyum saja. "Memang jalan ini milik
bapak moyangnya. Dia mengusir, kita
diam saja di sini. Kita baru pergi
setelah sahabatku menyelesaikan
urusannya dengan orang yang malu
memperlihatkan wajahnya itu," sahut
Gentong Ketawa.
"Kau sudah mendengarkan, kakek
Banjar Jati. Kau selesaikanlah
urusanmu dengan bangsat itu. Sementara
aku sendiri hendak berkenalan dengan
bocah aneh di sana. Siapa tahu aku
juga bisa kenalan dengan gadis yang
ditolongnya." kata si pemuda. Enak
saja Gento Guyon melompat dari kuda
dan berjalan melenggang menghampiri si
bocah sakti.
TIGA BELAS
Di tempatnya berdiri Gentong
Ketawa dengan tangan dilipat di depan
dada terus menatap lurus ke arah Sang
Cobra. Sementara Ki Banjar Jati telah
melompat dua tombak ke depan. Sejenak
si kakek memperhatikan sepasang mata
yang mencorong di balik dua lubang
selubung kain yang menutupi kepalanya.
Dia lalu membentak. "Melihat
pada penampilanmu, kau pasti Sang
Cobra manusia tengik yang telah
membunuh sahabatku Ki Bantaran,
membantai beberapa tokoh dan menyikat
habis beberapa perguruan silat.!" kata
kakek tua itu dingin.
Sang Cobra dongakkan kepala,
lalu tertawa terbahak-banyak. Tawanya
yang dingin mendadak lenyap. Mulut
dibalik selubung berucap. "Bagus kalau
kau mau menghitungnya. Ha ha ha!"
"Mengapa kau bunuh mereka
semua?" tanya Ki Banjar Jati.
"Mereka memang pantas mati
karena dulu mereka menghinakan diriku.
Seperti halnya Ki Bantaran, kau juga
layak mampus!" dengus Sang Cobra
sinis. Ki Banjar Jati tersenyum. "Kau
begitu membenci banyak orang bahkan
ingin membunuh diriku. Tentu kau punya
sebab dan alasan tertentu. Coba kau
jelaskan, aku ingin mendengar!" pinta
si kakek. Nada suaranya tetap pelan
lembut, walau di dalam hati
sesungguhnya dia ingin menghancurkan
batok kepala Sang Cobra detik itu
juga.
"Ha ha ha! Kau hanya berlagak
tak mengerti atau otakmu benar-benar
telah pikun? Kau dengar! Dua puluh
tahun yang lalu kau bersama beberapa
ketua perguruan dengan dibantu oleh
Anom Ka Ratan telah membunuh kedua
orang tuaku di Puncak Tumapel. Kau
ingat?!"
Mendengar ucapan Sang Cobra
sebenarnya si kakek tidak begitu kaget
karena dia sendiri sudah mendengar
penjelasan dari sahabatnya Gentong
Ketawa. Sehingga si kakek pun
tersenyum.
"Jadi kau putranya Sepasang
Iblis Pengemis Harpa?"
"Kalau sudah tahu mengapa
bertanya?" hardik Sang Cobra. Dengan
sengit laki-laki itu melanjutkan.
"Saat ini hanya tinggal kau dan
Anom Ka Ratan yang harus bertanggung
jawab atas kematian orang tuaku!"
Si kakek yang telah menyadari
keganasan Sang Cobra mencoba berkata.
"Kau hendak membalas dendam padaku.
Padahal kau tahu kedua orang tuamu
jelas berada di jalan yang salah!"
"Aku telah berusaha menebus
kesalahan mereka. Tapi kalian pihak
yang mengaku dari golongan lurus
menganggap diri sesuci malaikat,
sehingga golonganmu sama sekali tak
memandang muka padaku!" teriak Sang
cobra kalap. Begitu bencinya Sang
Cobra pada Ki Banjar Jati sehingga
tanpa pikir panjang lagi dia melesat
mengelilingi si kakek. Beberapa saat
orang tua itu dibuat bingung dengan
apa yang dilakukan oleh lawan. Karena
Sang Cobra ternyata hanya berputar-
putar tanpa menyerang. Tapi setelah
lawan sampai pada putaran ketiga
sadarlah si kakek bahwa saat itu dari
dalam terjadi getaran keras yang
disertai merekahnya tanah di
sekeliling Ki Banjar Jati dalam bentuk
lingkaran. Dari lingkaran tanah yang
menganga lebar bermunculan ratusan
ular Cobra api berwarna merah menyala
yang langsung berserabutan menyerbu ke
arah Ki Banjar Jati.
"Cobra Api! Selamatkan dirimu!"
seru si kakek gendut. Orang tua ini
sendiri lalu melompat mencoba menarik
sahabatnya dari lingkaran tanah yang
terbelah. Tapi begitu mendekati
lingkaran dimana tanah terbelah secara
aneh, tubuh gendutnya seperti
dilontarkan. Seakan dia membentur
tembok baja yang tak terlihat. Si
kakek sambil menggeram mencoba
mendobrak tabir tembok gaib yang
diciptakan oleh sang Cobra. Tapi
walaupun dia mengerahkan tenaga dalam
penuh tetap saja tubuhnya seperti
dicampakkan. Malah semakin berusaha
mendobrak tabir lingkaran itu, maka
jatuh si kakek semakin bertambah jauh.
"Kurang ajar! Ilmu apa yang
telah dipergunakan oleh iblis ini?"
maki Gentong Ketawa dalam hati.
Sementara itu begitu melihat
cobra api menyerang si kakek dari
segala penjuru arah. Maka orang tua
ini berkelebat melompat berusaha
keluar dari lingkaran. Tapi hal yang
sama juga terjadi pada dirinya. Ketika
dia melesat, tepat di bagian lingkaran
tanah yang ternganga tubuhnya
terpental masuk ke dalam lagi tidak
ubahnya seperti menabrak tembok baja.
Dalam kejutnya menghadapi
kenyataan yang ada serta serbuan
ratusan ular cobra yang menyala itu.
Si kakek akhirnya kerahkan tenaga
dalam ke bagian tangan. Laksana kilat
tangan kemudian dipukulkan ke arah
ular-ular berapi yang menyerangnya.
Hawa dingin luar biasa berkiblat
disertai suara angin menderu meng-
hantam ratusan ular-ular yang
menyerangnya. Ledakan dahsyat ber-
dentum menggetarkan tanah yang
dipijaknya. Beberapa ular cobra api
yang terkena pukulan berpentalan di
udara tapi tenyata ular-ular itu tidak
mati. Begitu jatuh dalam lingkaran
dengan ganas mereka menyerang Ki
Banjar Jati. Orang tua ini terus
menghindar dengan cara melompat-lompat
hindari serangan binatang itu. Sambil
menghindar dia mencoba mencoba men-
dobrak tembok gaib yang mengurungnya.
Tapi usahanya ini sia-sia, dia
kehabisan tenaga apalagi saat itu
udara di sekeliling lingkaran gaib
yang diciptakan oleh sang Cobra telah
dipenuhi dengan kabut beracun yang
disemburkan ratusan mahluk yang
menyerangnya.
Si kakek akhirnya menjerit
ketika belasan ular cobra itu mematuk
kakinya. Begitu tergelimpang ratusan
ular yang sangat berbisa ini langsung
mengerubutinya. Gentong Ketawa yang
melihat nasib tragis sahabatnya
menggerung marah. Dia lalu melepaskan
pukulan Raja Dewa Ketawa ke arah
tembok lingkaran gaib didepanya.
Selarik sinar putih laksana perak
berkiblat hawa panas melebar. Kemudian
terjadi ledakan berdentum. Pukulan
dahsyat yang dilepaskan si kakek
membalik begitu membentur tembok
lingkaran yang tidak terlihat. Si
kakek banting diri ke samping. Pukulan
lewat diatas tubuhnya. Kemudian
menghantam pohon di seberang jalan.
Sementara itu tubuh Ki Banjar
Jati yang terkurung dalam lingkaran
tembok gaib hanya tinggal tulang
belulang saja, Ular cobra api yang
mengerubutinya begitu melihat lawan
hanya tinggal belulang saja segera
merayap pergi meninggalkan korbannya
dan lenyap di balik retakan tanah yang
menganga.
Di sebelah kiri Gentong Ketawa
terdengar suara tawa bergelak. Kiranya
yang tertawa adalah Sang Cobra. Gento
Guyon yang melihat semua kejadian ini
sambil meninggalkan si bocah sakti
segera mendekati Sang Cobra. Dia sudah
melihat sejak tadi bahwa Sang Cobra
terus menerus melapatkan sesuatu.
Sedangkan kedua tangannya diacungkan
ke arah lingkaran dimana Ki Banjar
Jati terkurung. Jelas Sang Cobra telah
menggunakan kekuatan hitam untuk
menghabisi lawannya. Itu pula sebabnya
si kakek gendut tak kuasa
menghancurkan tabir tembok lingkaran
gaib yang diciptakan oleh lawan.
Menyadari lawan menggunakan
puncak dari segala kekuatan. Maka
Gento Guyon juga tak mau bersikap
ayal. Kini sambil melesat ke arah
lawannya dia melepaskan dua pukulan
maut sekaligus. Begitu dia menghantam
ke depan, maka dari tangan kirinya
memancarkan sinar putih berkilauan
yang bersumber dari pukulan Iblis
Ketawa Dewa Menangis. Sedangkan dari
telapak tangan kanannya menderu sinar
biru pekat yang bersumber dari pukulan
Selaksa Duka. Dua pukulan maut itu tak
dihindari oleh lawannya.
Sehingga tak ayal lagi masing-
masing pukulan menghantam tubuh Sang
Cobra.
Dentuman keras menggelegar, debu
dan pasir mengepul di udara.
Pemandangan jadi gelap. Ketika suasana
jadi terang kembali Gento terkejut
besar. Dua pukulan sakti tak dapat
merobohkan lawannya, tubuh Sang Cobra
hanya bergetar saja. Padahal andai
seorang tokoh sakti sekalipun pasti
tak sanggup menahan dua pukulan yang
dilepaskan oleh pemuda itu. Gento
golang golengkan kepala. Diam-diam
menjadi jerih. Saat itu si kakek
gendut besar sudah bangkit dan
mendekati si pemuda sambil berbisik.
"Agaknya aku harus menggunakan
senjataku untuk membunuhnya!"
Gento terdiam, dia juga sedang
berfikir untuk menggunakan Gada bumi.
Yaitu senjata mustika pemberian Tabib
Sesat Timur. Konon senjata sebesar ibu
jari kaki namun dapat membesar bila
telah dihantamkan ke bumi itu sangat
ampuh. Sekarang saatnya jika sang
Cobra kebal pukulan dan kebal juga
senjata. Berpikir sampai kesitu si
pemuda siap hendak mengeluarkan
senjata di balik pinggangnya. Tapi
pada saat itu pula terdengar suara
tawa mengekeh disertai dengan
terdengarnya suara bergemuruh serta
kilatan cahaya menyilaukan mata. Satu
sosok berkelebat, satu cahaya panjang
besar menyilaukan menyambar ke arah
Sang Cobra. Laki-laki yang baru saja
hendak melancarkan serangan kedua
dengan ilmu lingkaran Sang Cobra ke
arah Gento dan gurunya itu jadi
tersentak kaget. Dia yang saat itu
berdiri tegak menghadap ke arah
Gentong Ketawa laksana kilat berusaha
melompat selamatkan diri. Tapi
gerakannya kalah cepat. Kilatan cahaya
putih besar dan panjang luar biasa
menerabas putus pinggangnya. Sang
Cobra tak sempat lagi menjerit.
Tubuhnya terpotong menjadi dua. Baik
Gento sendiri maupun gurunya jadi
tercengang dengan mata terbelalak.
Mereka bukan terkejut melihat
kematian Sang Cobra yang menggenaskan
itu. Mereka kaget bahkan nyaris
terkencing-kencing begitu melihat
sesungguhnya cahaya putih besar dan
panjang luar biasa yang membabat putus
pinggang lawan tadi sebenarnya adalah
kilatan cahaya sebuah pedang yang
panjangnya lebih dari sepuluh tombak
dengan lebar tak kurang dari tiga
tombak.
Pedang sebesar dan sepanjang itu
tidaklah mengherankan bila yang
menggunakannya adalah sosok mahluk
tinggi besar seperti raksasa. Justru
yang baru saja membabat pinggang Sang
Cobra ternyata adalah seorang kakek
tua renta berambut putih berjenggot
putih berbadan pendek setinggi
pinggang Gento Guyon. Anehnya kakek
itu tampaknya tidak merasa berat dan
lelah ketika membawa dan mengguna-
kannya tadi. Padahal berat pedang
mungkin sama dengan berat kakek
Gentong Ketawa. Berarti lebih dari dua
ratus kati.
"Senjata besar mengerikan.
Sungguh aku tak percaya bila tidak
melihatnya sendiri. Kakek kecil,
apakah engkau orangnya yang bernama
Anom Ka Ratan?" tanya Gento yang sudah
mendengar sedikit riwayat orang tua
kerdil ini.
"Ho ho ho! Sudah tau buat apa
bertanya? Apa kau mau membantu memikul
Pedang Raja ini untuk dikembalikan Ke
Bukit Waton Hijau!" tanya si kakek
berbadan kecil pendek sambil acung-
acungkan pedangnya dengan sebelah
tangan. Sikapnya itu terkesan enak
saja, seakan berat pedang yang dua
ratus kati tak memiliki arti apa-apa
baginya.
"Kakek sakti, aku berterima
kasih kau telah datang membantu. Tapi
kumohon jangan kau suruh aku atau
muridku untuk membawakan pedangmu.
Kami berdua bisa mencret." kata
Gentong Ketawa sambil keluarkan
keringat dingin. Dia sadar hanya
dengan melihat cara si kakek dalam
memegang pedang raksasa Gentong Ketawa
tahu kakek Anom Ka Ratan pasti
memiliki tenaga dalam serta ilmu
berada di atasnya. Sehingga dia harus
berlaku hati-hati. Anom Ka Ratan
meludah.
"Kalau kalian tak mau membantu
tak mengapa. Biang bencana telah
kusingkirkan. Aku akan kembali ke
Bukit Waton Hijau. Jika tadi pedang
ini kuseret, maka sekarang Pedang Raja
harus kupanggul. Ho ho ho!", berkata
si kakek sambil tertawa tergelak-
gelak. Enak saja di meletakkan hulu
pedang di bahunya. Kemudian melangkah
pergi. Dilihatnya sekilas dari
belakang tubuh si kakek tak terlihat
karena terlindung lebarnya badan
pedang.
Gentong Ketawa yang melihat
semua ini sebenarnya hampir tak kuasa
menahan tawa disamping terselip juga
rasa takut. Tapi tawa si kakek yang
keras menggelegar bagaikan dentuman
gunung meletus membuat murid dan guru
terpaksa menyumbat liang telinga
dengan jati tangan. Meskipun begitu
tubuh mereka berguncang keras karena
terpengaruh getaran Anom Ka Ratan.
"Sinting edan. Punya ilmu apa
dia. Ilmunya tinggi tak terjajaki.
Besar pedangnya lima puluh kali lipat
dengan besar orangnya. Gila betul!"
gumam Gento Guyon. Dia cepat berpaling
ke arah Iwir Iwir. Tapi si bocah sakti
bersama gadis yang tengah dirawatnya
lenyap dari tempat itu.
"Kemana mereka?"
"Siapa?" tanya gurunya tanpa
pernah mengalihkan perhatiannya dari
kakek cebol yang mulai tampak berlari
sambil memikul pedangnya.
"Bocah dan gadis itu." sahut si
pemuda.
"Hari ini kau banyak melihat
keanehan. Sehingga telingamu jadi
tidak mendengar ketika bocah dan gadis
itu pergi." celetuk si kakek.
"Apakah dia pamitan denganmu?"
"Ya.... tapi dia segan pamitan
padamu. Katanya takut sahabatnya jatuh
cinta padamu. Namun suatu saat dia
berjanji akan mencarimu. Biarkan saja
terkecuali bila kau sudah terlanjur
cinta pada gadis tadi, baru boleh
mengejar mereka."
Gento terdiam, gadis berpakaian
kuning yang belum sempat dia ketahui
namanya tadi memang cantik. Hanya
sayangnya sepasang matanya berkedip
melulu. Bagaimana dia bisa jatuh cinta
pada gadis yang cacingan? Sambil
tersenyum-senyum dia lalu mengikuti
gurunya yang sudah melangkah
mendahuluinya
.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar