..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 12 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PESANGGRAHAN GOA LARANGAN

matjenuh

 

PESANGGRAHAN GOA LARANGAN

Oleh Teguh S.

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Gambar sampul oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa

izin tertulis dari penerbit

Teguh S.

Serial Pendekar Pulau Neraka

dalam episode 008 :

Pesanggrahan Goa Larangan

128 hal. ; 12 x 18 cm



1

Tar!

Suara cambuk menggeletar membelah angkasa.

Seorang laki-laki muda terjungkal dengan punggung

sobek panjang tersengat lidah cambuk. Sosok tubuh

muda yang hanya ditutupi celana sebatas lutut itu

berusaha bangkit berdiri. Namun satu sengatan cambuk

kembali memaksanya menggelepar sambil merintih lirih.

"Pemalas! Bangun, bangsat!" terdengar suara

bentakan keras, disusul dengan geletarnya ujung

cambuk yang menyengat kulit punggung laki-laki muda

itu.

Tar! Tar!

"Akh...!" laki-laki muda itu memekik tertahan.

Dua kali cambukan membuatnya jatuh lunglai tidak

sadarkan diri. Dan kini, sebuah tendangan keras

membuat tubuhnya terlempar sejauh dua batang

tombak. Kejadian itu disaksikan oleh berpuluh-puluh

pasang mata dengan kepala tertunduk dan lutut

gemetar. Seorang laki-laki muda berwajah tampan,

namun sorot matanya menyiratkan kebengisan, duduk

angkuh di atas punggung kuda putih. Bibirnya yang tipis

selalu tersenyum menyaksikan kekejaman yang sedang

berlangsung di pagi ini.

Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang memegang

cambuk dari kulit berduri, menghampiri orang yang kini

menggeletak tidak sadarkan diri akibat siksaannya itu.

Hanya dengan sebelah tangan, diangkatnya tubuh yang

bersimbah darah itu. Bagaikan melempar segumpal


kapas saja, tubuh yang tidak berdaya itu dibantingnya ke

atas bebatuan.

Trak!

Sebelah kaki algojo yang masih memegang cambuk

itu menginjak tubuh pemuda yang baru saja terhempas

di bebatuan. Darah langsung muncrat keluar dari

mulutnya. Laki-laki muda itu tidak sempat lagi

mengeluarkan suara. Nyawanya pun segera melayang.

Algojo bertubuh tinggi tegap itu melangkah mundur,

lalu membungkuk hormat pada pemuda di atas

punggung kuda putih.

"Dengar kalian semua! Jika kalian berani

membangkang, dan mencoba melarikan diri, maka akan

bernasib sama dengan orang tolol itu!" lantang suara

pemuda di atas punggung kuda itu sambil menunjuk

tubuh yang tak bernyawa lagi.

Puluhan orang di sekelilingnya hanya bisa

menunduk tanpa berani bersuara sedikit pun. Sebentar

pemuda itu memandang berkeliling, lalu digebah

kudanya pelahan. Kuda putih itu bergerak lambat

meninggalkan tempat berbatu dan berbukit itu. Sepuluh

pengawalnya yang menyandang senjata mengikuti dari

belakang. Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi besar yang

memegang cambuk itu mengebutkan cambuknya ke

udara.

Tar!

"Ayo! Kerja lagi!"

Puluhan orang laki-laki, tua dan muda, segera

melakukan pekerjaannya kembali, memecah batu-batuan

dan mengangkutnya ke bawah bukit. Mereka bekerja


tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sesekali mata

mereka melirik mayat pemuda yang masih berlumuran

darah. Setiap kali melirik, maka hanya suara tarikan

napas panjang yang terdengar. Entah apa yang ada

dalam benak mereka saat ini. Yang jelas, dari raut wajah

mereka tercermin rasa keterpaksaan dan ketersiksaan

yang amat dalam.

Sesekali suara cambuk menggeletar membelah

angkasa, disusul suara pekikan mengaduh. Sepuluh

orang bertubuh tinggi tegap, dengan otot-otot yang

bersembulan ke luar, selalu memainkan cambuknya.

Setiap kali ada yang mengeluh, atau berhenti bekerja,

cambuklah yang berbicara. Tak ada seorang pun yang

berani melawan. Mereka pasrah, meskipun sinar

matanya memancarkan kebencian dan keinginan

memberontak. Namun semuanya hanya dipendam di

dalam hati saja.

Agak jauh dari tempat perbukitan batu itu, seorang

laki-laki muda mengenakan baju dari sutra halus dan

indah berdiri memperhatikan dari ketinggian yang

terlindung oleh lebatnya pohon cemara. Di sampingnya

berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Pandangan

mata mereka tidak lepas ke arah tempat puluhan orang

yang bertelanjang dada tengah bekerja keras

menghancurkan batu-batuan dan mengangkutnya

menuruni tebing bukit berbatu itu.

"Seharusnya mereka diberi istirahat. Lihatlah, mereka

sudah terlalu lelah dengan kerja berat seperti itu," kata

laki-laki muda berkulit kuning langsat dengan wajah

tampan itu. Suaranya halus dan terdengar pelan.

Pandangannya tidak beralih ke bukit batu itu.


"Pekerjaan itu harus tepat pada waktunya, Raden,"

sahut laki-laki tua di sampingnya.

"Tapi dengan kerja paksa seharian penuh tanpa

istirahat, bukankah akan menambah beban saja, Paman?

Seperti Paman ketahui, sudah lima orang jadi korban,

hanya karena tidak tahan dengan kerja berat itu!" bantah

pemuda tampan itu.

"Pekerjaan itu memang berat, Raden. Mungkin itulah

sebabnya, mengapa Ayahanda Prabu meminta mereka

untuk bekerja terus sepanjang hari."

"Aku tidak percaya kalau Ayahanda yang

memerintahkan untuk berbuat kejam. Tidak

berperikemanusiaan!" wajah pemuda itu menegang.

Laki-laki tua di sampingnya mendesah panjang.

Dialihkan pandangannya ke arah lain. Pemuda tampan

berbaju indah itu berbalik, lalu menghampiri kudanya

yang tertambat tidak jauh dari bibir tebing yang tinggi

itu. Dengan satu gerakan yang manis, dia melompat naik

ke atas punggung kuda hitam itu. Sedangkan laki-laki

tua berjubah putih segera naik ke punggung kuda

miliknya sendiri. Pelahan-lahan mereka menggebah

kudanya menuruni tebing bukit yang tampak subur

dengan pohon cemara menjulang tinggi bagai hendak

menggapai langit.

"Akan kubicarakan hal ini pada Ayahanda," kata

pemuda itu.

"Raden...!" laki-laki tua itu terkejut.

“Paman Nampi tidak perlu cemas. Paman tidak akan

kulibatkan pada persoalan ini. Mereka telah bertindak

sewenang-wenang. Aku yakin, Ayahanda tidak


memerintahkan bertindak kejam begitu," kata pemuda

itu lagi.

"Raden Sangga Alam..., Gusti Ayahanda Prabu sudah

menitahkan pekerjaan itu pada Kakanda Raden Bantar

Gading. Hamba rasa, Raden tidak perlu turut campur

dalam pekerjaan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa

Larangan. Ampunkan Hamba, Raden. Hamba hanya

mengingatkan saja," kata laki-laki tua yang bernama

Nampi itu.

Pemuda tampan yang ternyata bernama Raden

Sangga Alam itu hanya diam saja. Kata-kata Paman

Nampi tadi memang tidak bisa disalahkan. Ayahnya,

Raja Abiyasa yang memerintah Kerajaan Gantar Angin

sudah memberinya tugas untuk membangun jalan

menuju ke Pesanggrahan Goa Larangan pada kakaknya.

Dan Raden Sangga Alam hanya diberikan tugas sebagai

pendamping saja. Tapi dia tidak pernah melakukan apa-

apa. Kakaknya memang tidak pernah memberi satu pun

tugas kepadanya, karena menganggapnya masih anak-

anak.

Raden Sangga Alam memang menyadari kalau

kakaknya lebih tegar dan tegas. Apalagi tingkat

kepandaiannya cukup tinggi. Meskipun demikian,

Raden Sangga Alam tidak pernah kalah jika sedang

berlatih ilmu olah kanuragan. Sangat disayangkan kalau

Ayahanda Prabu Abiyasa lebih menyukai Raden Bantar

Gading. Baik bentuk tubuh, sifat, dan segala tingkah laku

kedua kakak beradik putra mahkota itu memang sangat

berbeda. Di antara keduanya selalu saja ada

pertentangan. Namun demikian mereka saling

mencintai. Perbedaan yang menyolok bukanlah halangan


untuk bersama-sama, meskipun Raden Sangga Alam

selalu mengalah dalam segala hal.

Dua ekor kuda itu terus berjalan pelan menuruni

bukit. Sementara matahari semakin tinggi, dengan

sinarnya yang terik menyengat kulit. Di seberang Bukit

Cemara, puluhan orang masih bekerja di bawah teriknya

sang surya. Pekerjaan yang amat berat, dan dilakukan

dengan hati tersiksa.

***

Waktu terus bergulir sesuai dengan kodratnya. Siang

pun berganti malam. Suasana di Bukit Cemara tampak

sunyi senyap. Kini tidak lagi terdengar suara hantaman

palu memecah batu. Juga tidak lagi terdengar ayunan

kapak membelah kayu. Hanya suara jangkrik dan

binatang malam yang meramaikan suasana malam ini.

Seekor kuda putih melintas di jalan berbatu menuju

sebuah rumah yang tidak begitu besar di Kaki Bukit

Cemara. Rumah berdinding kayu dan beratapkan daun-

daun rumbia itu tampak sepi. Hanya sebuah pelita kecil

yang meneranginya. Penunggang kuda itu seorang

pemuda tampan bertubuh tegap, berpakaian sutra halus

yang indah. Dihentikan laju kuda putihnya tepat di

depan pintu rumah itu.

Pemuda itu melompat turun dengan gerakan ringan

dan indah. Ayunan kakinya tegap dan pasti mendekati

pintu yang tertutup rapat. Belum lagi sempat mengetuk,

pintu itu sudah terbuka. Seorang wanita berwajah cantik

dengan tubuh ramping terbungkus baju warna merah



muda muncul dari ambang pintu. Bibirnya yang merah

merekah, mengulas senyuman manis.

"Silakan masuk, Raden," ucap wanita itu lembut,

seraya membuka pintu lebar-lebar.

Pemuda tampan dan gagah itu melangkah masuk.

Sementara wanita itu menutup pintu kembali setelah

pemuda itu berada di dalam. Sebentar kemudian

dibesarkannya nyala pelita yang berada tepat di tengah-

tengah ruangan. Tampak suatu ruangan yang tidak

begitu besar, namun tertata indah. Lantainya beralaskan

permadani berbulu tebal. Pada dindingnya penuh

dengan hiasan mewah.

Sebuah dipan yang cukup besar nampak sejajar

dengan dinding. Dipan yang beralaskan kain sutra halus

berwarna biru muda itu kini diduduki oleh pemuda itu

pada tepinya. Tangannya menyangga pada bantal

berbentuk bulat pipih. Sedangkan wanita cantik itu

hanya mengamati saja. Bibirnya tetap menyunggingkan

senyum.

"Ada yang datang ke sini, Mayang?" tanya pemuda

itu lembut, namun nada suaranya menaruh kecurigaan.

"Hanya Raden Bantar Gading," sahut wanita yang

dipanggil Mayang itu.

Pemuda tampan itu tersenyum. Dia tahu kalau

Mayang hanya bercanda. Tentu saja, sebab orang yang

disebutkan Mayang tadi adalah dirinya sendiri.

Pemuda itu merentangkan tangannnya, dan Mayang

menghampiri dengan sikap manja. Dibiarkan saja tangan

Raden Bantar Gading memeluk pinggangnya yang

ramping.


Bau harum tubuh Mayang membelai hidung pemuda

itu. Mayang menurut saja ketika Raden Bantar Gading

menekannya duduk di sisinya. Raden Bantar Gading

menggamit dagu wanita itu, dan mengecup lembut

bibirnya. Mayang hanya mendesah seraya memejamkan

matanya.

"Ah, Raden...," desah Mayang seraya mendorong

lembut dada pemuda itu.

"Ada apa, Mayang?" tanya Raden Bantar Gading

lembut. Jari-jari tangannya membelai-belai pipi putih

yang halus itu.

Mayang tidak segera menyahut. Digeser duduknya

lebih ke tengah, lalu dibaringkan tubuhnya di atas dipan

itu. Raden Bantar Gading memperhatikan dengan bola

mata berputar nakal. Jari-jari tangannya tidak berhenti

bermain-main di dada dan seluruh tubuh wanita itu.

"Wajahmu murung sekali, Mayang. Ada yang

menyusahkan hatimu? Katakan saja. Aku selalu siap

mendengarkan keluhanmu," lembut suara Raden Bantar

Gading.

Kembali Mayang hanya mendesah seraya

menggeliatkan tubuhnya. Dia bangkit dan duduk

memeluk bantal bersulam benang emas. Wajahnya

semakin kelihatan murung. Raden Bantar Gading

memperhatikannya dengan penuh tanda tanya.

"Katakan, Mayang. Apa yang membuatmu murung?"

desah Raden Bantar Gading

"Pekerjaan itu," sahut Mayang pelan, hampir tidak

terdengar.

"Pembuatan jalan, maksudmu?"


"Ya."

"Kenapa? Ayahanda Prabu menghendaki adanya

jalan yang langsung ke Pesanggrahan Goa Larangan.

Aku rasa wajar jika rakyat mengorbankan tanahnya

untuk jalan itu. Toh nantinya berguna untuk mereka

juga."

"Aku tidak peduli dengan mereka."

"Lantas?"

"Aku mengkhawatirkan keselamatanmu."

Raden Bantar Gading tertawa terbahak-bahak

mendengar kata-kata Mayang tadi. Tenggorokannya

serasa tergelitik. Sama sekali tidak diduga kalau Mayang

mengkhawatirkan keselamatannya. Padahal tidak ada

yang perlu dikhawatirkan. Pekerjaan itu bukanlah hal

yang sulit, dan tidak ada yang berani menentangnya.

"Raden...," Mayang menolakkan tubuh Raden Bantar

Gading yang hendak memeluknya.

Pemuda itu tidak peduli. Tetap saja tubuh ramping

itu direngkuh ke dalam pelukannya. Dengan liar

diciuminya wajah dan leher wanita itu. Mayang

mendesah dan merintih lirih. Dia tidak kuasa lagi

menolak ketika tubuhnya direbahkan. Mayang

menggeliat, berusaha melepas pelukan putra mahkota

itu.

"Kenapa? Tidak biasanya kau menolakku, Mayang,"

suara Raden Bantar Gading agak tersengal.

"Raden, aku...."

Mayang tidak bisa melanjutkan kata-kata, karena

bibirnya sudah tersumpal bibir Raden Bantar Gading.

Dia hanya bisa mendesah lirih dan menggumam tidak

jelas. Kembali wanita itu menggeliat, namun kali ini


pelukan Raden Bantar Gading demikian kuat. Mayang

merintih lirih tidak mampu lagi menolak. Gairahnya

mulai bangkit, dan kini malah membalas kehangatan itu.

Tak ada lagi yang bicara, tak ada lagi kata-kata

terdengar. Hanya desah napas dan rintihan tertahan

yang mengusik sepinya malam. Sementara di dinding,

dua ekor cicak bercengkrama, tidak peduli dengan dua

manusia yang bergumul di ranjang beralas kain sutra

biru muda itu. Mereka pun asyik bercumbu. Dan sang

dewi malam rianya mampu mengintip malu dari balik

celah-celah jendela.

"Raden..., akh...!"

"Ohhh...."

***

Mayang beringsut bangkit dari pembaringan. Di-

benahi bajunya sebentar sambil matanya menatap Raden

Bantar Gading yang tergolek dengan dada telanjang.

Pandangan matanya sayu, menyimpan sejuta rasa yang

sulit untuk diungkapkan. Pelahan-lahan wanita itu

beringsut turun dan melangkah menjauh. Ayunan

kakinya pelan dan ringan menuju pintu. Sebentar dia

menoleh menatap Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin

yang masih terlelap dalam buaian mimpi indah.

Mayang membuka pintu pelahan-lahan, lalu

melangkah ke luar. Angin malam yang dingin langsung

menerpa kulit tubuhnya yang putih halus. Wanita itu

segera mengayunkan langkahnya setelah menutup pintu

pondok itu kembali. Kakinya terus terayun semakin jauh

meninggalkan pondok itu tanpa menoleh sedikit pun ke

belakang.


Wanita cantik berbaju merah itu baru berhenti setelah

tiba di bibir sebuah tebing yang membentuk lembah

besar. Dinginnya angin malam membuat tubuhnya

sedikit bergidik menggigil. Tatapan matanya lurus

memandang jauh ke lembah di bawah tebing itu.

Kemudian dia berbalik menghadap hutan yang lebat.

Tampak kerlip lampu pelita di kejauhan sana. Cahaya

pelita dari pondok yang ditinggalkannya.

"Oh...!" Wanita itu menoleh ketika telinganya

menangkap suara langkah kaki mendekatinya.

Dari balik kelebatan hutan di sebelah kanannya,

muncul sesosok tubuh berjubah gelap dengan kepala

tertutup kain hitam. Wajahnya tidak terlihat jelas, karena

kain hitam itu hampir mengurung seluruh kepalanya.

Malam yang amat gelap pun membuat tubuh dan

wajahnya hanya terlihat hitam.

"Kapan kau laksanakan tugasmu, Mayang?" tanya

orang yang tidak jelas wajahnya itu. Suaranya berat dan

besar.

Mayang tidak segera menjawah. Sinar matanya

memancarkan keraguan, dan hanya beberapa kali

menarik napas panjang dan berat.

"Kau sudah terlalu jauh. Aku tidak suka jika kau lupa

dengan tugas utamamu, Mayang. Ingat! Arwah orang

tuamu tidak sabar menunggu. Bahkan saudara-

saudaramu yang mungkin sudah mati di ruangan sempit

bawah tanah. Mereka semua hanya mengharapkanmu.

Kau harus bisa mengenyahkan perasaan hatimu. Ingat

kata-kataku, Mayang. Tugasmu lebih penting daripada

perasaan hati perempuanmu!" kata orang yang berjubah

hitam itu lagi.

“Aku mengerti, tapi...," suara Mayang tersekat di

tenggbrokan.

"Kau mencintainya?" dingin suara orang itu.

Mayang tidak menjawab. Dia sendiri tidak tahu,

apakah mencintainya atau tidak. Tapi Mayang tidak bisa

membohongi dirinya sendiri. Bagaimana pun dia hanya

seorang wanita yang membutuhkan belaian kasih

seorang pria. Dia ingin mengenyahkan perasaan itu, tapi

terasa sulit.

"Kuharap besok kau harus sudah melakukannya.

Aku tidak ingin lagi mendengar alasanmu," kata orang

itu tegas.

"Tapi...."

"Sudahlah. Tidak ada waktu lagi untuk berdebat!

Enyahkan segala perasaan cintamu! Masih banyak laki-

laki yang lebih cocok. Dia tidak pantas, dan harus kau

lenyapkan. Kau mengerti, Mayang?!"

"Mengerti, Eyang."

"Nah, laksanakan tugasmu dengan baik."

Mayang hanya diam membisu. Orang yang seluruh

tubuhnya terbalut kain hitam longgar itu berbalik, lalu

melangkah pergi. Mayang masih tetap berdiri tidak

bergeming. Matanya terus memandang kepergian orang

itu. Sebentar dia menarik napas panjang, lalu melangkah

meninggalkan tempat itu. Langkahnya gontai menuju ke

arah pondok kecil yang hanya diterangi sebuah pelita

yang redup cahayanya.

***


2

Mayang terkejut setelah membuka pintu pondoknya.

Raden Bantar Gading ternyata sudah berdiri menanti

dengan pakaian lengkap. Mayang membuka pintu lebar-

lebar, dan melangkah masuk. Dia berusaha memberi

senyumannya yang termanis, kemudian duduk di

bangku dekat jendela. Sementara Raden Bantar Gading

tetap berdiri tegak memperhatikannya.

"Kenapa kau memandangku begitu?" tanya Mayang

jengah.

"Dari mana kau?" Raden Bantar Gading balik

bertanya.

"Keluar," sahut Mayang kalem.

"Untuk apa? Menemui laki-laki lain?" agak kasar

suara Raden Bantar Gading.

Mayang tersentak kaget. Sungguh tidak disangka

kalau Raden Bantar Gading berkata kasar seperti itu

padanya. Tapi dengan cepat disembunyikan rasa terkejut

itu. Senyumnya yang selalu merekah, terlihat agak getir.

"Siapa laki-laki yang kau temui di atas bukit sana?"

tanya Raden Bantar Gading tajam.

"Laki-laki mana?" suara Mayang jadi bergetar.

Sungguh tidak diduga kalau Raden Bantar Gading

tahu bahwa dirinya barusan menemui seseorang di atas

bukit sana. Wajah Mayang berubah merah seketika.

Matanya tajam menatap langsung ke bola mata putra

mahkota itu.


"Kau tidak perlu berpura-pura lagi, Mayang. Kau

pikir aku tidak tahu? Kau keluar diam-diam, lalu

menunggu di atas bukit. Di sana kau bicara dengan

seseorang. Siapa dia?" agak keras suara Raden Bantar

Gading.

"Dia kakekku," sahut Mayang tidak bisa berpura-

pura lagi.

"Kau tidak bohong, Mayang?"

"Siapa yang bohong? Dia benar-benar kakekku!"

sentak Mayang gusar.

"Sejak kapan kau punya kakek? Sejak kapan kau

punya keluarga?" sinis kata-kata Raden Bantar Gading.

Mayang tidak langsung menjawab. Dia hanya

menatap tajam dengan sinar mata yang menusuk sampai

ke sudut hati yang paling dalam. Pelahan-lahan wanita

cantik berbaju merah muda itu bangkit berdiri.

"Kata-katamu sungguh menyakitkan, Raden...!" agak

bergetar suara Mayang. "Aku menghormatimu, karena

kau adalah junjunganku. Kau bebas melakukan apa saja

terhadap diriku, tapi jangan kau hina diriku seenaknya!"

"Heh...!'? Raden Bantar Gading tersentak kaget.

"Keluarlah, Raden. Sekarang aku berubah pikiran!"

bentak Mayang.

""He...! Kau mengusirku, Mayang?!"

"Keluar, kataku!"

"O..., rupanya kau telah memperoleh laki-laki yang

lebih dariku. Dasar pelacur! Perempuan liar...!"

"Keluar...!" jerit Mayang.

"Baik Aku akan keluar sekarang juga. Tapi ingat. Kau

tidak akan bisa bebas berhubungan dengan laki-laki itu.


Nyawamu ada di tanganku, Mayang!" ancam Raden

Bantar Gading.

Wajah wanita berbaju merah muda itu semakin

merah menegang. Kedua telapak tangannya terkepal

kaku. Dadanya menggeram menahan amarah yang

meluap-luap. Ancaman dan penghinaan yang terlontar

dari mulut Raden Bantar Gading, rriembuat hatinya

terluka. Mayang langsung beranjak ke pintu ketika putra

mahkota itu keluar dari dalam pondok ini. Wanita itu

menghambur ke pembaringan, dan menangis dengan

tubuh menelungkup.

Suara isak tangisnya tersendat. Bahunya berguncang-

guncang menahan tangis agar tidak sempat meledak.

Cukup lama juga Mayang menguras air matanya.

Pelahan dia bangkit dari pembaringan, kemudian

melangkah menuju ke jendela. Pandangannya

menerawang jauh ke Puncak Bukit Cemara.

"Tuhan..., kenapa aku diciptakan hanya untuk

menanggung derita?" lirih suara Mayang di sela-sela

isaknya.

Mendadak wanita itu tersentak ketika tiba-tiba pintu

pondoknya terbuka. Di ambang pintu sudah berdiri

seorang berbaju serba hitam dengan wajah hampir

semuanya tertutup kain hitam. Mayang langsung

berbalik dan menghapus air matanya. Orang berpakaian

serba hitam itu melangkah masuk

"Eyang...," agak tersedak suara Mayang.

"Kau sungguh mengecewakanku, Mayang," berat dan

datar suara orang berbaju serba hitam itu.

"Maafkan aku, Eyang. Aku..., aku tidak bisa

melakukannya. Aku mencintainya, Eyang."


"Kau masih juga mencintainya setelah dia

menghinamu? Mencampakkanmu seperti sampah?

Sungguh rendah martabatmu jika hanya diam menerima

penghinaan itu!"

Mayang diam saja.

"Sejak semula aku sudah tidak setuju dengan

caramu, tapi kau tetap bersikap keras. Nah, sekarang apa

yang terjadi? Memalukan!"

Mayang tetap diam.

"Mayang, saat ini aku tidak ingin lagi mendengar

segala macam alasanmu. Kau harus membunuh dia.

Bunuhlah seluruh keluarga Prabu Abiyasa. Ingat, kau

adalah pewaris yang syah Kerajaan Gantar Angin. Kau

harus menjadi ratu yang besar. Hilangkan semua

perasaan cintamu pada Raden Bantar Gading. Aku tidak

akan menemuimu lagi sebelum kau bunuh perampok

tahta itu! Kau mengerti, Mayang?!" tegas kata-kata orang

berbaju serba hitam itu.

Mayang menganggukkan kepalanya lemah.

"Sekarang saatnya kau melakukan tugasmu.

Sementara aku mengacaukan pembuatan jalan ke

Pesanggrahan Goa Larangan," sambung laki-laki berbaju

serba hitam itu lagi.

"Baik, Eyang," hanya itu yang bisa diucapkan

Mayang.

Laki-laki berbaju serba hitam itu segera berbalik dan

melangkah keluar dari pondok itu. Sementara Mayang

tetap berdiri membelakangi jendela. Matanya kosong

memandangi punggung laki-laki bersuara berat itu.

Entah apa yang ada di dalam benak Mayang saat ini.

***


Siang itu matahari begitu terik. Sinarnya panas

menyengat seluruh permukaan bumi. Di Bukit Batu yang

bersebelahan dengan Bukit Cemara, puluhan orang

bekerja memecah batu-batuan, dan mengangkutnya ke

bawah bukit. Mereka bekerja seperti tidak peduli akan

teriknya sinar matahari yang membakar kulit.

Tar!

Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap

mengayunkan cambuknya pada seorang tua yang

terjatuh saat mengangkat batu yang cukup besar. Ujung

cambuk itu menggores kulit orang tua itu. Dia hanya

mengaduh tertahan, dan tubuhnya terguling di atas

bebatuan. Laki-laki tinggi tegap itu kembali

mengayunkan cambuknya ke tubuh laki-laki tua tak

berdaya itu.

Tar! Tar!

"Pemalas! Ayo, kerja...!" terdengar bentakan keras

menggelegar.

"Oh.... Aku tidak kuat lagi, Gusti...," kata laki-laki tua

itu lirih.

Tar!

Kembali cambuk itu menyengat tubuh tua kurus itu.

"Akh!" laki-laki itu memekik tertahan.

Darah mulai mengucur dari tubuhnya yang sobek

terkena ujung cambuk. Laki-laki tua itu berusaha

bangkit, tapi sebuah tendangan keras membuatnya


terjungkal bergulingan. Kembali tubuh renta itu harus

menerima hantaman ujung cambuk.

"Tua bangka tidak ada guna! Huh! Sebaiknya kau

mampus!" dengus laki-laki tinggi tegap itu seraya

mengangkat cambuknya.

"Tunggu...!"

Satu bentakan keras membuat laki-laki tinggi tegap

berwajah bengis itu langsung menoleh. Raut wajahnya

tampak terkejut melihat kehadiran seorang pemuda

berwajah tampan dengan kulit putih halus bagai wanita,

yang kini telah berdiri tidak jauh dari tempat itu. Dia

mengenakan baju sutra halus yang indah dengan

sulaman benang emas. Di sampingnya berdiri seorang

laki-laki tua berjubah putih.

"Raden Sangga Alam...," suara laki-laki tegap yang

memegang cambuk itu agak tergetar.

Pemuda tampan itu bergegas melangkah

menghampiri laki-laki tinggi tegap itu. Langkahnya

berhenti tepat setengah depa di depannya. Tatapan

matanya tajam. Sedangkan laki-laki yang memegang

cambuk itu hanya menundukkan kepala saja.

Plak!

"Akh!" laki-laki tinggi tegap itu memekik tertahan.

Wajahnya memerah dan terasa panas kena gamparan

tangan yang halus bagai tangan perempuan itu.

Tubuhnya sampai berputar sedikit terdorong ke

belakang, namun kembali berdiri tegak dengan kepala



masih tertunduk. Sementara pemuda tampan itu

melangkah menghampiri laki-laki tua kurus yang masih

merintih menggeletak di atas bebatuan.

Pemuda itu berlutut dan memeriksa luka-luka di

tubuh laki-laki tua kurus itu, kemudian bangkit dan

membalikkan tubuhnya. Sebentar tatapan matanya tajam

pada laki-laki tinggi tegap memegang cambuk,

kemudian beralih pada laki-laki tua berjubah putih.

"Paman Nampi, bawa orang tua ini ke pondokku,"

perintah Raden Sangga Alam.

"Baik, Raden," sahut laki-laki tua berjubah putih yang

ternyata adalah Paman Nampi, penasehat pribadi Raden

Sangga Alam. Dia juga guru dalam ilmu olah kanuragan,

sekaligus sebagai abdi setia Putra Mahkota Raden

Sangga Alam.

Paman Nampi bergegas menghampiri laki-laki tua

kurus itu. Dibantunya laki-laki tua itu untuk bangkit

berdiri dan diajaknya pergi. Tapi laki-laki tua itu

berhenti melangkah setelah baru saja berjalan sekitar tiga

tindak. Matanya sayu menatap pada Raden Sangga

Alam. Bibirnya bergetar, seolah-olah ingin mengucapkan

sesuatu, namun tidak ada kata-kata yang terdengar

keluar.

"Terima kasih, Raden. Biarkan hamba di sini, hamba

masih sanggup bekerja," kata laki-laki tua itu, yang

akhirnya bersuara juga.

"Kau terluka cukup parah. Aku yakin kau tidak akan

sanggup lagi meneruskan pekerjaan. Paman Nampi,

bawa dia ke pondokku," kata Raden Sangga Alam tegas.

"Raden...."


Laki-laki tua itu ingin menolak, tapi Paman Nampi

cepat membawanya pergi dari tempat itu. Laki-laki tua

kurus itu hanya bisa menurut tanpa membantah lagi.

Sementara Raden Sangga Alam menghampiri laki-laki

tegap yang memegang cambuk kulit hitam pekat.

Sementara para pekerja lainnya, dan beberapa pengawas

yang juga memegang cambuk hanya memperhatikan

peristiwa itu. Mereka tidak ada yang berani membuka

mulut sedikit pun.

"Sekali lagi aku lihat ada kekejaman di sini, kubunuh

kau!" dingin suara Raden Sangga Alam.

"Raden...," laki-laki itu ingin membantah.

"Tidak ada alasan! Aku tidak ingin lagi melihat

korban akibat kekejaman kalian semua. Mengerti!"

potong Raden Sangga Alam.

Tak ada yang berani membantah. Mereka semua

hanya tertunduk. Raden Sangga Alam segera berlalu

menghampiri kudanya yang tali kekangnya dipegangi

oleh seorang pemuda berpakaian seragam prajurit.

Paman Nampi sudah berada di punggung kudanya,

sedangkan laki-laki tua kurus itu juga sudah berada di

atas punggung kuda bersama seorang prajurit.

Raden Sangga Alam melompat ringan ke atas

punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, putra

mahkota yang tampan itu menggebah kudanya

meninggalkan Bukit Batu itu. Sementara laki-laki tegap

yang memegang cambuk masih berdiri memandangi

kepergian Raden Sangga Alam yang didampingi oleh

Paman Nampi dan enam orang prajurit pengawal.

***

"Hey! Kenapa berhenti? Ayo kerja lagi!" terdengar

bentakan keras dan lantang.

Puluhan orang bertelanjang dada segera melakukan

pekerjaannya. Kembali terdengar suara denting batu

dipukul. Saat itu laki-laki tegap yang menyiksa seorang

tua yang hanya karena terjatuh, membentak-bentak

memberi perintah kepada puluhan orang yang tengah

bekerja membelah batu. Seorang lagi yang juga bertubuh

tegap dan memegang cambuk menghampiri.

"Kenapa tidak kau laporkan saja pada Raden Bantar

Gading, Kakang Braga?" tanya orang yang mendekati

itu.

"Biar sajalah, Adik Kinca," jawab laki-laki itu yang

ternyata bernama Braga.

"Tapi kalau hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin

akan menghambat pekerjaan, Kakang," kata Kinca lagi.

"Hhh! Kalau bukan Raden Sangga Alam, sudah

kurobek mulutnya tadi," dengus Braga.

Kinca hanya tersenyum tipis. Bisa dimaklumi

perasaan Braga saat ini. Memang sungguh menyakitkan

bila ditampar di depan orang banyak. Bagi orang-orang

seperti mereka yang sudah terbiasa hidup dalam dunia

keras berlumur darah, lebih baik bertarung sampai mati

daripada dipermalukan di depan orang banyak begitu.

Tamparan keras yang diterima Braga, sama saja

tamparan bagi sepuluh orang yang mengawasi pekerjaan

itu.

"Bagaimana pun juga, Raden Bantar Gading harus

tahu, Kakang," kata Kinca lagi.


Braga masih diam. Wajahnya sebentar merah,

sebentar kemudian putih pucat bagai kapas. Napasnya

terdengar memburu agak tersengal. Kinca tahu kalau

Braga tengah menahan luapan amarah karena diper-

malukan oleh Raden Sangga Alam.

Belum lagi Kinca mengeluarkan suara lagi, tiba-tiba

dari arah Bukit Cemara, berkelebat sebuah bayangan

hitam dengan cepat. Bayangan hitam itu, tahu-tahu

mengamuk menghajar orang-orang yang tengah bekerja

membelah dan mengangkut batu. Dalam waktu yang

amat singkat, lima orang telah menggeletak dengan dada

sobek lebar dan dalam. Darah segera mengucur

membasahi bumi.

Belum sempat ada yang menyadari, bayangan hitam

itu sudah berkelebat kembali. Kali ini sasarannya adalah

delapan orang memegang cambuk yang berdiri

berkelompok. Gerakan bayangan hitam itu sangat luar

biasa cepatnya, sehingga dua orang yang memegang

cambuk langsung ambruk dengan leher hampir

terpenggal. Saat itu juga, enam orang bertubuh tinggi

tegap serentak berlompatan mengepung. Sedangkan

Braga dan Kinca masih tetap berdiri memperhatikan.

Trang! Tring!

"Aaakh...!"

Jerit dan pekik kematian terdengar saling susul.

Bayangan hitam itu terus berkelebatan dengan cepat,

sehingga sukar untuk diikuti dengan mata biasa. Orang-

orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun tampak

kerepotan. Mereka harus membanting diri atau mencelat

ke belakang jika terlihat bayangan hitam itu berkelebat

menuju ke arahnya.


"Setan! Siapa dia...?" geram Braga melihat dua orang

temannya menggeletak tak bernyawa. Tanpa berkata

apa-apa lagi, Braga segera melompat menerjang

bayangan hitam itu.

Braga yang memiliki ilmu olah kanuragan lumayan,

kelihatannya mampu melayani orang berbaju serba

hitam itu. Laki-laki tinggi tegap itu berusaha

memperhatikan bayangan yang berkelebat. Tapi sangat

sulit, karena seluruh tubuh orang itu terselimut kain

hitam. Sedangkan, para algojo mengamuk bagaikan

banteng yang terlukai.

Rupanya perlawanan Braga membuat bayangan

hitam itu agak kerepotan. Namun dengan satu gerakan

yang ringan dan indah, dia melenting ke udara dan

langsung mencelat menuju ke Bukit Cemara. Dalam

sekejap mata saja, bayangan hitam itu sudah lenyap

ditelan rimbunnya pohon cemara.

"Siapa dia? Apa maksudnya mengacau di sini?"

gumam Braga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.

***

Brak!

Meja ukir dari kayu jati tebal itu sampai rengat

dihantam pukulan keras Raden Bantar Gading. Putra

Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu tampak merah

wajahnya. Matanya berkilat tajam menatap Braga dan

Kinca yang berdiri dengan kepala tertunduk di

depannya. Sesaat kesunyian menyelimuti ruangan

pondok yang tidak begitu besar itu.


"Goblok! Percuma saja kalian kubayar mahal, kalau

hanya menghadapi satu orang saja sudah tidak becus!"

maki Raden Bantar Gading.

"Tingkat kepandaian orang itu sangat tinggi, Raden,"

kata Braga coba membela diri.

"Empat orang teman kami tewas dalam waktu

singkat, Raden," sambung Kinca.

"Kenapa kalian tidak ikut mampus sekalian?!" geram

Raden Bantar Gading.

Braga dan Kinca terdiam. Mereka hanya saling

pandang.

Mereka memang orang-orang bayaran yang bekerja

dengan mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa

mereka sendiri. Caci-maki orang yang membayar

mereka, sudah bukan hal baru lagi. Semua itu sudah

terbiasa, dan dianggap sebagai salah satu resiko menjadi

orang bayaran.

"Braga! Kau tahu, siapa orang yang mengacau di

Bukit Batu itu?" tanya Raden Bantar Gading tajam.

"Tidak, Raden. Orang itu memakai baju serba hitam.

Mukanya pun tertutup kain hitam juga. Sulit untuk

mengenalinya, Raden," sahut Braga seraya mengangkat

kepalanya sedikit.

"Tapi kau bisa mengenali suaranya, bukan?" desak

Raden Bantar Gading.

"Orang itu tidak berkata apa-apa, Raden. Datang

langsung mengamuk dan membunuh para pekerja. Kami

berusaha menghalau, tapi empat orang teman kami

malah tewas," sahut Braga lagi.

"Edan!" dengus Raden Bantar Gading menggeram.


Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu bangkit

berdiri dari kursinya yang juga terbuat dari kayu jati

ukiran. Sinar matanya tetap tajam menusuk. Raut

wajahnya menegang, dengan kening sedikit berkerut.

Raden Bantar Gading melangkah pelan-pelan menuju ke

jendela yang cukup besar dan terbuka lebar.

Dan baru saja sampai di muka jendela, mendadak

sebuah anak panah melesat bagai kilat ke arahnya.

Raden Bantar Gading terperangah sejenak, lalu dengan

cepat diegoskan tubuhnya ke samping. Anak panah itu

melesat sedikit di depan dadanya, langsung menancap

pada tiang penyangga di tengah-tengah ruangan itu.

Braga dan Kinca terkejut. Mereka segera melompat

keluar lewat pintu yang juga terbuka lebar.

Raden Bantar Gading meneliti keadaan di luar se-

bentar, lalu matanya beralih menatap anak panah yang

tertancap di riang penyangga pondok ini. Bergegas

dihampiri, dan dicabutnya anak panah itu. Selembar

daun lontar terikat di batang anak panah itu. Raden

Bantar Gading melepas ikatan daun lontar itu dan

membukanya. Kelopak mata Putra Mahkota Kerajaan

Gantar Angin itu membeliak lebar begitu melihat daun

lontar itu berisi sebaris kalimat.... 'Hentikan pekerjaan

kotormu, atau....'

"Setan!" geram Raden Bantar Gading seraya meremas

lumat daun lontar berisi ancaman itu.

Pada saat itu Braga dan Kinca masuk ke dalam

pondok. Mereka agak heran melihat air muka putra

mahkota itu kelihatan marah luar biasa. Perhatian


mereka tertuju pada daun lontar yang hampir lumat di

dalam genggaman Raden Bantar Gading.

"Raden...," agak bergetar suara Braga.

"Kalian kembali ke Bukit Batu. Aku akan cari orang

lain untuk membantu kalian!" kata Raden Bantar Gading

memerintah.

Braga dan Kinca segera membungkuk memberi

hormat, lalu bergegas melangkah keluar dari pondok itu.

Sementara Raden Bantar Gading tetap berada di dalam

pondok. Dia berjalan mondar-mandir dengan wajah

memerah tegang dan kedua tangannya terkepal erat.

Daun lontar di dalam kepalan tangannya sudah hancur

bagai tepung.

Begitu terdengar derap kaki kuda dipacu, Raden

Bantar Gading bergegas melangkah ke luar. Tampak

debu mengepul di kejauhan. Sebentar putra mahkota itu

memandangi dua orang bayarannya yang memacu kuda

dengan cepat menuju ke Bukit Batu. Raden Bantar

Gading segera menghampiri kudanya yang tertambat di

bawah pohon kenanga. Dengan satu gerakan yang

ringan dan indah, tubuhnya melenting dan hinggap di

atas punggung kuda putihnya.

"Yeah! Hiya...!"

Raden Bantar Gading langsung menggebah kudanya,

agar berlari cepat. Bagaikan sebatang anak panah lepas

dari busurnya, kuda putih itu melesat meninggalkan

pondok kecil tempat bernaung sementara Raden Bantar

Gading. Debu mengepul ke udara terhantam derap kaki

kuda. Raden Bantar Gading terus memacu kudanya

dengan cepat menuju ke arah Utara.


***

Sementara itu di Bukit Batu, puluhan orang tengah

mengerang meregang nyawa. Darah berceceran di segala

tempat. Bahkan tidak sedikit yang menggelimpang tidak

bernyawa lagi. Tak ada seorang pun yang masih bisa

berdiri tegak. Pemandangan di Bukit Batu itu sungguh

mengenaskan. Mayat tergeletak di mana-mana. Erangan

dan rintihan terdengar lirih tersapu angin. Bau anyir

darah menyeruak lubang hidung.

Braga dan Kinca yang baru tiba di bukit itu, langsung

melompat turun dari kudanya. Mereka berlarian dengan

mata membeliak lebar hampir tidak percaya. Kini, tak

ada seorang pun yang masih hidup. Suara erangan yang

semula masih terdengar lirih, lenyap bersamaan dengan

datangnya dua orang bayaran Raden Bantar Gading itu.

Braga dan Kinca memeriksa satu persatu mayat yang

bergelimpangan.

"Gila! Siapa yang melakukan ini...?!" geram Braga

seperti bertanya kepada dirinya sendiri.

"Semua tewas, Kakang," lapor Kinca.

Braga tidak menyahuti. Matanya memandang ke

sekeliling. Empat orang temannya juga sudah

menggeletak dengan keadaan tubuh mengenaskan. Kini

di Bukit Batu tinggal mereka berdua saja yang masih

hidup. Seperti dikomando saja, kedua orang itu bergerak

menjauhi tempat yang penuh mayat bergelimpangan itu.

"Sebaiknya kita laporkan saja hal ini pada Raden

Bantar Gading, Kakang," kata Kinca mengusulkan.

Braga tidak segera menyahut. Dia tetap melangkah

menghampiri kudanya. Kinca mengikuti. Mereka segera


naik ke punggung kudanya masing-masing. Sesaat

mereka memandang berkeliling, lalu menjalankan

kudanya pelahan-lahan menuruni Lereng Bukit Batu itu.

"Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan

pekerjaan ini, Kinca," ujar Braga setelah lama terdiam.

"Maksud Kakang?" tanya Kinca tidak mengerti.

"Bukan sekali ini kita dibayar untuk mengawasi

pekerjaan pembuatan jalan. Bahkan yang lebih berat dari

ini pun, sering kita lakukan. Tapi aku belum pernah

mengalami hal seperti ini sebelumnya," jelas Braga

setengah bergumam.

"Kau menduga ada maksud tersembunyi di balik

pembuatan jalan ini, Kakang?" tebak Kinca.

"Benar, dan kita tidak mengetahuinya," sahut Braga.

Kinca diam merenung. Sementara kuda mereka terus

berjalan pelahan-lahan semakin jauh meninggalkan Bukit

Batu. Angin yang berhembus masih terasa membawa

bau anyir darah dari bukit itu. Sementara matahari yang

bersinar terik, tetap memanggang permukaan bumi.

Sepertinya tidak peduli dengan kejadian yang

berlangsung di bawah siraman cahayanya.

"Lantas, apa yang harus kita lakukan?" tanya Kinca

lagi.

"Seorang raja besar seperti Prabu Abiyasa, tidak

mungkin melakukan pekerjaan besar tanpa

menghasilkan sesuatu yang lebih besar lagi. Lebih-lebih

dengan resiko mengorbankan banyak nyawa. Uh! Bodoh

sekali aku...! Kenapa tidak terpikirkan sejak semula...?"

Braga menepuk keningnya sendiri.

Kinca memandangi dengan kening berkerut. Dia

memang memiliki ilmu olah kanuragan yang lumayan,

tapi otaknya tidak pernah bisa diajak berpikir jauh dan

mendalam. Semua yang dilakukan selalu tergantung dari

pemikiran kakaknya, Braga.

"Kau tahu letak Pesanggrahan Goa Larangan, Kinca?"

tanya Braga.

"Kalau tidak salah, letaknya di Pantai Utara dekat

Desa Muara Pening," jawab Kinca ragu-ragu.

"Kau yakin?"

"Entahlah. Aku juga hanya dengar-dengar saja. Aku

sendiri belum pernah ke sana," sahut Kinca.

"Kita cari Pesanggrahan Goa Larangan itu, Kinca,"

kata Braga.

"Lalu, bagaimana dengan mereka yang tewas,

Kakang?" tanya Kinca.

"Biarkan saja, nanti juga ada prajurit yang tahu,"

sahut Braga.

Kinca hanya mengangkat pundaknya saja. Dia

percaya kalau kakaknya ini pasti sudah memiliki suatu

rencana yang akan menguntungkan, daripada tetap

mengikuti Raden Bantar Gading. Kedua laki-laki bayaran

itu segera memacu kudanya memutari Lereng Bukit Batu

ini. Mereka tidak peduli lagi dengan pekerjaan yang

dibebankan padanya. Apalagi terhadap mayat-mayat

yang bergelimpangan di Puncak Bukit Batu.

***


3

Kabar tentang pembantaian yang terjadi di Bukit

Batu telah terdengar di telinga Prabu Abiyasa. Tentu saja

hal ini meresahkan seluruh rakyat di Kerajaan Gantar

Angin. Mereka yang terbantai adalah sebagian dari

rakyat Gantar Angia. Sedangkan Raden Bantar Gading

segera mengambil tindakan dengan mengerahkan

seratus prajurit untuk menjaga di sekitar Bukit Batu. Dia

juga mengambil lebih banyak lagi rakyatnya untuk

meneruskan pekerjaan pembuatan jalan dari Kerajaan

Gantar Angin ke Pesanggrahan Goa Larangan.

Sementara itu, Raden Sangga Alam yang sejak

semula tidak menyetujui adanya pembuatan jalan itu,

hanya bisa menerka-nerka arti semua peristiwa

pembantaian di Bukit Batu. Dia berusaha mendekati

ayahnya untuk menghentikan pekerjaan itu. Rupanya,

kata-kata Raden Bantar Gading sudah merasuk begitu

dalam di hati Prabu Abiyasa. Ternyata usaha Raden

Sangga Alam tidak mungkin berhasil dengan cara

pendekatan terhadap ayahnya.

"Tampaknya Ayahanda Prabu sudah tidak berkenan

lagi mendengar kata-kataku, Paman," kata Raden Sangga

Alam saat berdua saja dengan Paman Nampi di taman

istana.

"Tapi, bagaimanapun juga, Raden harus bisa

mencegah pembuatan jalan itu," kata Paman Nampi.

"Apa lagi yang harus kulakukan, Paman?

Pembantaian di Bukit Baru sudah menandakan kalau ada

orang lain yang juga tidak senang dengan pembuatan


jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan itu. Dan sepertinya,

Kanda Bantar Gading mencurigaiku. Ditambah kini,

Ayahanda Prabu sudah tidak percaya lagi padaku,"

keluh Raden Sangga Alam.

"Jangan putus asa dulu, Raden. Masih banyak cara

yang bisa ditempuh," kata Paman Nampi memberi

semangat.

"Cara apa lagi, Paman? Semua cara yang kutempuh

tidak pernah mengorbankan rakyat. Tapi sekarang...,"

nada suara Raden Sangga Alam terdengar putus asa.

"Yah..., aku sendiri juga menyesalkan kejadian di

Bukit Batu itu, Raden," desah Paman Nampi pelan.

"Siapa orang itu, Paman?" tanya Raden Sangga Alam.

"Menurut keterangan yang kudengar, dia muncul

dengan menggunakan baju serba hitam. Orang itu juga

telah memberi peringatan sebelumnya," sahut Paman

Nampi.

"Dia pasti memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

Orang-orang bayaran saja tidak mampu

menandinginya," pelan suara Raden Sangga Alam

Paman Nampi diam saja.

"Paman, apakah tidak sebaiknya kita cari tahu

tentang orang itu?" usul Raden Sangga Alam.

"Untuk apa?" tanya Paman Nampi agak terkejut.

"Aku yakin, tujuannya sama derujan kita. Tapi

caranya yang berbeda. Kita bisa bergabung dengannya.

sehingga tidak menimbulkan korban lebih banyak lagi,

Paman," jelas Raden Sangga Alam mengemukakan

pikirannya yang mendadak timbul.

"Tidak mudah, Raden. Sama saja mencari jarum di

padang luas," kata Paman Nampi.



"Aku yakin bisa menemukannya. Toh kita tidak

bermaksud memusuhinya. Bahkan akan mengajaknya

bergabung dengan cara yang lebih halus, tanpa

mengorbankan rakyat."

Paman Nampi kembali terdiam. Nampaknya usul

Raden Sangga Alam sedang dipikirkannya. Namun dari

sinar mata laki-laki tua berjubah putih itu seakan-akan

menyiratkan ketidakyakinan. Atau mungkin juga tidak

setuju akan usul putra kedua Prabu Abiyasa. Sedangkan

Raden Sangga Alam menunggu jawabannya dengan

penuh harapan.

"Bagaimana caranya mencari orang itu, Raden?"

tanya Paman Nampi pelan. Sepertinya dia tidak yakin

dengan pertanyaannya lagi.

"Itulah yang sedang kupikirkan, Paman," sahut

Raden Sangga Alam. Pelan suaranya.

"Bagaimana kalau kita cari di sekitar Bukit Cemara?"

usul Paman Nampi.

"Tidak mungkin, Paman. Ayahanda tidak

mengijinkan aku ke Bukit Cemara lagi. Bahkan Kanda

Bantar Gading tidak ingin pekerjaannya dicampuri lagi,"

keluh Raden Sangga Alam.

"Raden bisa beralasan," kata Paman Nampi.

"Alasan apa?"

"Berburu."

"Pasti Ayahanda memerintahkan satu pasukan untuk

mengawalku."

"Tidak jadi masalah. Raden bisa pilih pasukanku.

Mereka semua setia padaku, Raden."

"Ah, benar, Paman! Ayahanda Prabu pasti setuju.

Prajurit-prajurit Paman sangat terlatih dan selalu terpilih


jadi prajurit utama kerajaan," seru Raden Sangga Alam

gembira.

"Kapan Raden akan menemui Ayahanda Prabu?"

"Hari ini juga, Paman."

"Jangan! Sebaiknya tiga atau empat hari lagi, agar

tidak terlalu menyolek. Lagi pula perhatian Ayahanda

Prabu sedang terpusat pada pembuatan jalan ke

pesanggrahan."

"Baiklah, Paman," sahut Raden Sangga Alam

menyerah.

"Untuk sementara, sebaiknya Raden tidak keluar

istana. Biar Paman saja yang mengamati setiap

perkembangan di Bukit Batu," kata Paman Nampi lagi.

"Itu juga boleh, Paman."

"Bagus, Raden," Paman Nampi tersenyum lebar.

***

Tiga hari kemudian, Raden Sangga Alam didampingi

Paman Nampi dan tiga puluh orang prajurit bergerak

meninggalkan Istana Kerajaan Gantar Angin. Mereka

semua menunggang kuda tegap dan gagah. Tiga ekor

kuda mengangkut beban. Peralatan yang dibawa jelas

peralatan berburu. Mereka menuju ke arah hutan yang

berlawanan arah dengan Bukit Cemara,

Raden Sangga Alam berkuda paling depan,

didampingi Paman Nampi. Sedangkan tiga puluh orang

prajurit mengikuti dari belakang. Mereka adalah para

prajurit pilihan dan akan melakukan apa saja asal

mendapat perintah langsung dari Paman Nampi.

Walaupun raja mereka sendiri yang memerintah, tapi

jika tidak ada persetujuan dari Paman Nampi, mereka


tidak akan melakukannya. Keistimewaan itulah yang

dimiliki para prajurit yang dipimpin Paman Nampi,

selaku penasehat khusus sekaligus guru Raden Sangga

Alam. Dia juga menjabat sebagai salah satu panglima

perang Kerajaan Gantar Angin. Memang, setiap

panglima perang memiliki pasukan sendiri-sendiri. Dan

tentu saja kemampuannya juga berbeda. Tergantung

tingginya tingkat kepandaian panglima itu sendiri.

"Kenapa tidak langsung ke Bukit Cemara saja,

Paman?" tanya Raden Sangga Alam.

"Kita menuju Hutan Danaraja dulu, Raden. Dari sana

kita berkemah, lalu memutar arah menuju Bukit Cemara.

Kita tinggalkan tenda di Hutan Danaraja dengan

beberapa prajurit. Sedangkan prajurit lainnya berburu.

Hanya kita berdua yang ke Bukit Cemara," jelas Paman

Nampi sambil tangannya menunjuk ke depan.

Raden Sangga Alam kembali diam. Jarak dari Hutan

Danaraja ke Bukit Cemara, memang tidak terlalu jauh.

Jadi tidak ada salahnya jika berkemah di Hutan Danaraja

dengan meninggalkan beberapa prajurit untuk menjaga.

Raden Sangga Alam tahu betul akan maksud dan tujuan

Paman Nampi.

Mereka terus memacu kuda tanpa berbicara lagi.

Hingga tengah hari, baru mereka tiba di Hutan Danaraja.

Sebuah hutan yang sangat luas bagai tak bertepi. Seluruh

keluarga Kerajaan Gantar Angin memang selalu berburu

di hutan itu. Hutan yang menyediakan begitu banyak

hewan buruan.

Paman Nampi memilih tempat di tepi sungai untuk

mendirikan tenda-tenda. Para prajurit segera mendirikan

tenda setelah mendapat perintah Paman Nampi. Sebuah


tenda yang cukup besar terpancang dalam waktu

sebentar saja, dan dikelilingi beberapa tenda kecil-kecil.

Raden Sangga Alam masuk ke dalam tenda yang paling

besar itu. Di dalamnya dua orang prajurit yang tengah

merapikan, segera membungkukkan badan, dan segera

bergegas keluar setelah pekerjaannya selesai.

Saat itu Paman Nampi tengah memberikan beberapa

perintah pada para prajurit. Laki-laki tua berjubah putih

itu baru melangkah masuk ke tenda tempat beristirahat

Raden Sangga Alam, setelah selesai memberi beberapa

perintah, dan membagi tugas kepada para prajuritnya.

Paman Nampi membungkuk memberi hormat,

kemudian duduk di atas permadani yang digelar di

dalam tenda besar itu. Raden Sangga Alam duduk di atas

peraduan yang beralaskan permadani dan bantal-bantal

bulat pipih terbungkus kain sutra halus.

"Raden sebaiknya istirahat dulu. Biar aku yang

mencari jalan aman ke Bukit Cemara, sekaligus

memeriksa keadaan di sana," kata Paman Nampi.

"Baiklah, Paman. Aku pun rasanya ingin sedikit

berburu dulu," jawab Raden Sangga Alam.

"Ah, itu lebih baik Raden. Berikan kesan kalau kita

memang benar-benar berburu," kata Paman Nampi

tersenyum lebar.

"Kapan Paman berangkat?" tanya Raden Sangga

Alam.

"Sekarang juga, Raden. Mumpung belum sore."

"Silakan, Paman."

Paman Nampi bangkit berdiri dan membungkuk

hormat. Kemudian dia keluar dari tenda besar itu. Tidak

lama kemudian, terdengar suara derap langkah kaki


kuda meninggalkan tempat perkemahan itu. Raden

Sangga Alam juga segera bangkit berdiri, lalu melangkah

ke luar. Dua orang prajurit yang menjaga di depan

segera membungkukkan badan memberi hormat.

"Siapkan peralatan, aku ingin berburu sekarang,"

kata Raden Sangga Alam.

Dua prajurit segera melaksanakan perintah

junjungannya. Raden Sangga Alam hanya membawa

sepuluh orang prajurit saja, sedangkan sisanya

menunggu di perkemahan. Saat itu matahari memang

masih berada di atas kepala. Sinarnya yang terik tidak

terasa menyengat kulit, karena Hutan Danaraja ini

sangat lebat.

Mereka semua tidak menyadari kalau ada sepasang

mata mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi.

Sepasang mata itu sudah ada sejak rombongan Raden

Sangga Alam keluar dari Istana Kerajaan Gantar Angin.

Tapi, pemilik sepasang mata itu juga tidak menyadari

kalau kelakuannya ada yang mengetahui. Dia baru sadar

saat sebuah bayangan putih berkelebat cepat hampir

menyambar tubuhnya.

"Uts!"

***

Orang yang mengintai Raden Sangga Alam itu

membanting tubuhnya ke belakang. Dua kali dia

bergulingan sebelum bangkit dengan cepat. Sedangkan

bayangan putih yang hampir menyambar tubuhnya,

sudah berdiri tegak sekitar dua batang tombak jauhnya


di depan. Ternyata bayangan putih itu tidak lain dari

Paman Nampi.

"Patih Mara Kobra! Apa yang kau lakukan di sini?!"

bentak Paman Nampi.

"Kau tidak perlu tahu, Panglima Nampi!" sahut laki-

laki bertubuh tegap. Usianya sekitar empat puluh tahun.

"Hm..., lagakmu sangat mencurigakan. Aku yakin

kau bermaksud buruk memata-matai Raden Sangga

Alam," gumam Paman Nampi sinis.

"Jangan berlagak suci, Panglima Nampi! Kau pun

tidak bermaksud baik membawa Raden Sangga Alam ke

Hutan Danaraja ini," balas Patih Mara Kobra.

"Edan! Sejak kapan kau berani menentangku, heh?!"

geram Paman Nampi.

"Sejak kau punya niat buruk pada Gusti Prabu

Abiyasa!"

"Setan belang!" merah padam wajah Paman Nampi..

Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki tua berjubah putih

itu segera melancarkan serangan cepat dan dahsyat.

Patih Mara Kobra melompat ke samping, menghindari

serangan dahsyat dan cepat itu. Bahkan dengan satu

gerakan manis, tangannya menyodok ke arah iga Paman

Nampi. Namun dengan cepat tangan panglima kerajaan

itu mengibas, memapak sodokan itu.

Trak!

Dua tangan beradu keras, membuat Patih Mara

Kobra melompat menjauh dua tindak. Bibirnya meringis

menahan nyeri pada pergelangan tangannya. Dia sadar

kalau tenaga dalamnya kalah jauh bila dibandingkan

dengan panglima kepercayaan Raden Sangga Alam itu.

Tapi rupanya Patih Mara Kobra tidak mau peduli.



Kembali dia melompat memberikan serangan balasan

yang tak kalah cepat dan dahsyatnya. Namun serangan-

serangan Patih Mara Kobra dapat dielakkan dengan

mudah oleh Paman Nampi. Bahkan beberapa kali Patih

Mara Kobra terperangah, karena serangan balik Paman

Nampi demikian cepat dan tidak terduga gerakannya.

Pertempuran itu rupanya terdengar oleh para

prajurit yang menjaga perkemahan. Mereka berlari

menghampiri. Tapi begitu mengetahui siapa yang tengah

bertarung, tidak ada yang berani mendekat. Sementara

pertempuran antara dua pembesar Kerajaan Gantar

Angin itu terus berlangsung sengit. Patih Mara Kobra

tidak tanggung-tanggung lagi. Dia sadar kalau lawan

yang dihadapi memiliki kepandaian yang berada di

atasnya. Patih Mara Kobra segera mengerahkan jurus-

jurus andalannya.

"Hiya...! Hiya...!"

Sulit dipercaya! Pada saat Patih Mara Kobra

melancarkan dua pukulan geledek sekaligus, Paman

Nampi menerimanya hanya dengan mendorong kedua

tangan ke depan. Pada saat itu, dua pasang telapak

tangan saling berbenturan dengan keras sehingga

menimbulkan suara ledakan dahsyat memekakkan

telinga. Tampak Patih Mara Kobra terpental sejauh tiga

batang tombak ke belakang. Sedangkan Paman Nampi

hanya bergeser sedikit.

"Hugh!" Patih Mara Kobra berusaha bangkit, namun

darah kental bersemburan keluar dari mulutnya.

Patih Mara Kobra menatap tajam pada Paman Nampi

yang sudah melangkah menghampirinya. Dalam

keadaan tubuh terluka dalam akibat adu tenaga dalam,


Patih Mara Kobra tidak berdaya lagi. Dipejamkan

matanya ketika tangan Paman Nampi terangkat dengan

mengerahkan jurus pukulan maut andalannya.

"Hiya...!"

"Aaakh...!"

Satu teriakan melengking tinggi terdengar memecah

kesunyian Hutan Danaraja ini. Patih Mara Kobra

menggelepar sesaat. Dadanya remuk kena pukulan

bertenaga dalam tinggi. Hanya sesaat dia mampu

bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi. Paman

Nampi berbalik memandang para prajuritnya yang

berdiri berjajar agak jauh.

"Buang mayatnya ke sungai!" perintah Paman

Nampi.

Dua orang prajurit segera menghampiri, dan

mengangkat tubuh Patih Mara Kobra yang sudah tidak

bernyawa lagi. Mereka menggotongnya menuju sungai

yang tidak jauh dari tempat itu. Setelah melemparkan

tubuh Patih Mara Kobra, kedua prajurit itu kembali

bergabung dengan teman-temannya. Paman Nampi

menghampiri dua puluh orang prajuritnya yang setia.

"Ingat! Jangan ada yang menceritakan kejadian ini

pada siapa pun, terutama pada Raden Sangga Alam,"

pesan Paman Nampi.

Kedua puluh prajurit itu mengangguk.

"Kalian kembali bertugas. Anggap saja kejadian tadi

tidak pernah ada,',' kata Paman Nampi lagi.

Tanpa ada yang membantah, kedua puluh prajurit

itu segera berlalu. Sementara Paman Nampi langsung

melesat pergi. Gerakannya sangat ringan dan cepat


bagaikan kilat. Tidak lama kemudian terdengar suara

ringkik kuda, disusul berderapnya langkah kaki kuda

yang dipacu cepat. Tampak debu mengepul dari

kerimbunan pepohonan Hutan Danaraja ini.

Suasana pun kembali sunyi senyap, bagai tidak

pernah terjadi pertempuran. Dua puluh orang prajurit

setia Paman Nampi kembali melakukan tugasnya

masing-masing. Tak ada seorang pun yang

membicarakan pertarungan itu. Mereka menjalankan

tugas dengan mulut terkunci rapat

***

Paman Nampi memacu cepat kudanya menuju Bukit

Cemara yang berada di sebelah Utara Hutan Danaraja.

Meskipun hutan yang dilalui cukup lebat, tapi dia tidak

juga memperlambat lari kudanya. Dengan lincah dan

sangat cekatan, laki-laki tua berjubah putih itu

mengendalikan kudanya.

Saat senja baru saja merayap turun, kuda yang

ditunggangi Paman Nampi berhenti di Puncak Bukit

Cemara. Sejenak laki-laki tua itu memandang ke bukit

seberang yang hanya terdiri dari batu-batuan bertumpuk

itu. Tidak kurang dari seratus orang tengah bekerja

memecah dan mengangkat batu dari bukit itu.

Sedangkan sekitar dua ratus prajurit berjaga-jaga di

sekitarnya.

"Hup!"

Paman Nampi melompat dari punggung kudanya

ketika melihat seorang Panglima Perang Kerajaan Gantar

Angin berada di antara para prajurit di Puncak Bukit


Batu itu. Bayangan tubuh Paman Nampi langsung

lenyap ditelan kelebatan puncak pohon cemara. Dan

kudanya melangkah pelahan meninggalkan tempat itu.

Saat itu, Raden Bantar Gading juga tengah berada di

antara para prajurit yang sedang mengawasi para

pekerja memecah batu untuk pembuatan jalan menuju

Pesanggrahan Goa Larangan. Putra Mahkota Kerajaan

Gantar Angin itu juga didampingi dua orang panglima

perang. Mereka adalah Panglima Rapaksa dan Panglima

Jampala.

"Berapa lama lagi mereka harus mengangkut batu-

batu ini, Raden?" tanya Panglima Jampala.

"Sampai cukup untuk jalan ke pesanggrahan," sahut

Raden Bantar Gading.

"Rasanya sudah lebih dari cukup, Raden," sergah

Panglima Rapaksa.

"Lebih baik berlebihan daripada kekurangan, Paman

Panglima," sahut Raden Bantar Gading.

Kedua panglima itu tidak bertanya lagi. Mereka tahu

betul watak Raden Bantar Gading yang keras dan tidak

pernah mengikuti saran atau pendapat orang lain. Apa

yang diperintahkan, harus dilaksanakan tanpa bersedia

mendengar bantahan walau dengan alasan apa pun.

Tindakannya juga tegas, bahkan cenderung kasar. Bisa

juga dikatakan kejam.

Mendadak Raden Bantar Gading dan dua orang

panglima perang itu dikejutkan oleh teriakan

melengking tinggi yang disusul dengan terjungkalnya

dua orang pekerja yang bersimbah darah. Sebuah

bayangan hitam berkelebatan cepat menghajar para

pekerja yang semuanya hanya rakyat biasa. Suasana


tenang itu mendadak berubah jadi penuh jerit dan pekik

melengking.

"Kepung! Tangkap setan keparat itu...!" seru Raden

Bantar Gading keras.

Dua orang panglima perang, ditambah sekitar lima

puluh prajurit serempak berlompatan mengepung orang

berbaju hitam dengan kepala terbungkus kain hitam

pula. Sedangkan para prajurit lainnya segera

mengungsikan para pekerja yang berlarian serabutan

menyelamatkan diri. Raden Bantar Gading langsung

melompat. Dua kali tubuhnya berputar di udara, lalu

dengan manis kakinya menjejak tanah, tepat sekitar dua

batang tombak jaraknya dari orang berbaju serba hitam

itu.

"Hm..., rupanya kau punya nyali besar juga,

bangsat!" geram Raden Bantar Gading dingin.

"Sudah kuperingatkan, hentikan pekerjaan ini. Tapi

kau tetap meneruskannya. Jangan salahkan aku jika

seluruh rakyat Gantar Angin musnah!" kata orang

berbaju serba hitam itu. Suaranya berat dan datar.

"Siapa kau?" tanya Raden Bantar Gading.

"Hhh! Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang jelas tidak

akan kubiarkan tangan-tangan kotor menjarah

Pesanggrahan Goa Larangan!" sahut orang berbaju serba

hitam itu tegas.

"Heh! Apa hakmu melarang?"

"Karena aku tidak ingin tempat suci itu jadi tempat

maksiat!"



"Setan! Kau telah menghina Kerajaan Gantar Angin!

Kau harus mampus, bangsat!" geram Raden Bantar

Gading.

Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu langsung

memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh

orang berbaju serba hitam itu. Teriakan-teriakan

peperangan kini terdengar memecah kesunyian Bukit

Batu itu. Orang berbaju hitam dengan lincah menghalau

setiap serangan yang datang dari segala penjuru.

Gerakannya sangat cepat dan sukar diduga arahnya.

Dalam waktu tidak berapa lama saja, sepuluh prajurit

sudah menggeletak tidak bernyawa lagi. Darah kembali

menyiram Puncak Bukit Batu itu.

Raden Bantar Gading semakin geram menyaksikan

para prajuritnya yang tidak mampu menghadang

amukan orang itu. Dengan satu teriakan, Raden Bantar

Gading melompat menerjang. Pada saat yang bersamaan,

dua orang panglima perang juga menyerang orang

berbaju serba hitam itu.

Terjunnya Raden Bantar Gading dan dua orang

panglima perang kerajaan, membuat orang berbaju serba

hitam itu sedikit kewalahan. Ketiga lawannya yang baru

terjun dalam pertempuran itu rata-rata memiliki tingkat

kepandaian yang cukup tinggi. Jurus-jurusnya pun

sangat dahsyat.

"Mampus kau, bangsat...!" bentak Raden Bantar

Gading seraya mencabut pedangnya yang selalu ter-

gantung di pinggang.

Begitu pedang tercabut, langsung dibabarkan ke arah

leher orang berbaju serba hitam itu. Namun dengan

manis sekali, sabetan pedang itu dielakkan hanya


dengan menarik leher ke belakang. Tak lama kemudian,

Panglima Jampala melepaskan pukulan maut ke arah

dada.

"Hiya...!"

"Uts!"

Orang berbaju hitam itu segera melompat mundur ke

belakang. Tapi dari arah lain, Panglima Rapaksa ternyata

sudah siap dengan satu tendangan geledeknya. Kali ini

orang itu tidak bisa berkelit lagi. Pinggangnya tersambar

tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Dia hanya

mengeluh pendek sedikit meskipun tubuhnya terjajar

sekitar satu depa.

"Pisah kepalamu!" seru Raden Bantar Gading.

Di saat orang berbaju hitam itu dalam keadaan tidak

seimbang posisi tubuhnya, Raden Bantar Gading

mengibaskan pedangnya dengan cepat ke arah leher.

Orang berbaju serba hitam itu agak terperangah sejenak,

namun dengan cepat dibanting tubuhnya ke tanah.

Serangan Raden Bantar Gading luput dari sasaran.

Namun putra mahkota itu segera mencecar dengan

menusukkan ujung pedangnya ke arah tubuh orang

berbaju hitam itu.

Beberapa kali orang berbaju hitam itu bergulingan

menghindari tusukan ujung pedang Raden Bantar

Gading. Dan pada satu kesempatan, dia berhasil

melentingkan tubuhnya ke udara. Namun, di udara

Panglima Jampala sudah melenting seraya melontarkan

tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi. Orang

berbaju serba hitam itu tidak mampu lagi berkelit, maka

dengan telak dadanya terkena hantaman kaki dengan

keras.


"Akh!" dia memekik tertahan.

Kembali tubuhnya terhempas ke tanah dengan keras.

Tampak penutup wajahnya berubah merah pada bagian

mulutnya. Dia berusaha bangkit, namun dadanya terasa

sesak. Tulang-tulangnya seperti remuk kena tendangan

keras bertenaga dalam tinggi itu. Raden Bantar Gading

yang melihat lawannya tengah tidak berdaya, segera

melompat seraya mengibaskan pedangnya.

"Hiya...!"

Tepat pada saat ujung pedang Raden Bantar Gading

hampir merobek dada orang berbaju serba hitam itu,

sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh

orang itu. Ujung pedang Raden Bantar Gading

membabat angin. Tentu saja hal ini membuat putra

mahkota itu berang.

Bayangan yang menyambar tubuh orang berbaju

hitam itu demikian cepat, sehingga dalam sekejap saja

sudah lenyap ditelan lebatnya hutan pohon cemara.

Raden Bantar Gading memerintahkan dua orang

panglimanya untuk mengejar. Tanpa membantah sedikit

pun, dua orang panglima itu segera mengejar dengan

mengajak sekitar tiga puluh prajurit. Mereka

berlompatan naik ke punggung kuda, dan memacu cepat

menuju Bukit Cemara yang banyak ditumbuhi pohon

cemara.

"Setan belang...!" maki Raden Bantar Gading sengit.

***


4

Siapa sebenarnya orang berbaju serba hitam itu? Dan

mengapa menghalangi pembuatan jalan ke

Pesanggrahan Goa Larangan? Dan siapa pula yang telah

menyelamatkan orang berbaju serba hitam itu dari maut?

Semua itu masih menjadi pertanyaan yang

menjengkelkan Raden Bantar Gading. Tentu saja dia

tidak tahu. Apalagi para prajurit yang diperintahkan

untuk mengejar, juga tidak akan bisa menemukannya.

Orang berbaju serba hitam itu memang telah

diselamatkan oleh seorang pemuda tampan bertubuh

tegap mengenakan baju dari kulit harimau.

Pemuda tampan itu membawa orang berbaju serba

hitam ke dalam sebuah goa yang letaknya sangat

tersembunyi di Puncak Bukit Cemara. Goa kecil yang

penuh ditutupi semak dan pepohonan di mulutnya.

Tidak ada yang menyangka kalau di situ tersembunyi

sebuah goa kecil.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu membuka

kain hitam yang menyelubungi kepala orang itu.

Tampak seraut wajah tua, namun bercahaya di balik

selubung kain hitam. Rambutnya panjang memutih dan

digelung ke atas. Ikat kepala dari logam berwarna

kuning keemasan menghias kepalanya. Kumis dan

janggutnya juga sudah panjang memutih semua. Saat

pemuda itu membuka baju hitam yang menutupi tubuh

laki-laki tua itu, tampak sebuah jubah putih tersembunyi

di balik baju hitam yang tidak begitu ketat.


"Jangan bergerak dulu! Kau terluka dalam cukup

parah," kata pemuda itu ketika laki-laki tua itu akan

bangkit.

Laki-laki tua itu kembali berbaring di atas tumpukan

rumput kering. Sedangkan pemuda tampan berbaju kulit

harimau itu memeriksa tubuh yang kelihatan biru

memar. Jari-jari tangannya bergerak lincah di sekitar

tubuh yang memar. Kemudian ditekan telapak tangan

kanannya ke dada laki-laki tua itu.

"Akh...!" laki-laki tua itu memekik tertahan.

Dua kali dia memuntahkan darah kental dari

mulutnya, lalu terkulai lemas dengan napas memburu

agak tersengal. Pemuda itu masih menekan telapak

tangannya, menyalurkan hawa murni ke tubuh laki-laki

tua itu. Keringat membanjiri kening dan lehernya.

Telapak tangan yang menempel di dada kurus itu sedikit

bergetar, pertanda tengah mengerahkan hawa murni

untuk menyembuhkan luka dalam laki-laki tua itu.

"Hhh...!" pemuda tampan itu mengeluh panjang

seraya menghenyakkan tubuhnya di samping laki-laki

tua yang terbaring lemah.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu melakukan

semadi sebentar untuk memulihkan hawa murni yang

sudah berkurang tadi. Tidak lama melakukan semadi,

kemudian mata pemuda itu merayapi tubuh laki-laki tua

yang tetap terbaring dengan kedua matanya yang

terbuka. Air mukanya sudah kelihatan cerah. Padahal

wajahnya semula pucat seperti mayat. Pelahan laki-laki

berjubah putih itu bangkit duduk. Tanpa diminta, dia

segera melakukan semadi untuk menormalkan jalan

darahnya.


Tidak lama laki-laki tua yang kini memakai jubah

putih itu melakukan semadi. Kemudian tatapan matanya

beralih pada seonggok baju hitam di samping pemuda

itu.

'Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawaku,

Kisanak," kata laki-laki tua itu.

"Kenapa Kakek bisa sampai bentrok dengan para

prajurit itu?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Ceritanya panjang, Kisanak. Tapi karena kau telah

menyelamatkan nyawaku, rasanya tidak ada salahnya

jika kau mengetahui."

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu diam

membisu.

"Aku sebenarnya seorang Panglima Kerajaan Gantar

Angin, dan juga penasehat pribadi Raden Sangga Alam,

sekaligus gurunya dalam ilmu olah kanuragan. Aku

bernama Nampi, tapi kau cukup memanggilku Paman

Nampi...."

"Aku Bayu Hanggara," pemuda tampan berbaju kulit

harimau itu juga memperkenalkan diri.

"Hm..., aku seperti pernah mendengar namamu.

Ah...! Apakah kau yang berjuluk Pendekar Pulau

Neraka?" tebak Paman Nampi.

"Benar," sahut Bayu.

Paman Nampi terdiam dengan mata seolah-olah

menyelidik pemuda tampan berbaju kulit harimau di

depannya. Dia memang pernah dengar sepak terjang

Pendekar Pulau Neraka. Nama pendekar itu sudah

sangat kondang dan selalu menggemparkan dalam

setiap pemunculannya. Hampir semua tokoh-tokoh

rimba persilatan, baik dari golongan putih maupun



hitam kesulitan untuk menentukan golongan pendekar

itu. Apakah Pendekar Pulau Neraka masuk dalam

golongan putih atau hitam? Sepak terjangnya memang

sangat membingungkan tokoh-tokoh rimba persilatan.

"Ada apa, Paman?" tanya Bayu agak jengah

dipandangi sedemikian rupa.

"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya tidak menyangka

bakal bertemu muka dengan seorang pendekar yang

kondang dan amat disegani," sahut Paman Nampi.

"Ah, sudahlah...," Bayu merendah. "Ceritakan saja,

kenapa Paman bisa bentrok dengan teman sendiri.

Bukankah para prajurit itu juga dari Kerajaan Gantar

Angin?"

Paman Nampi tidak segera menjawab dan hanya

menarik napas panjang. Dibetulkan letak duduknya agar

lebih enak. Sementara Bayu menanti dengan sabar. Tapi,

dia masih merasa jengah juga setiap kali tatapan mata

Paman Nampi bertemu dengan tatapan matanya. Sorot

matanya memang menandakan berbagai perasaan yang

sulit diterka.

"Mereka memang teman-temanku sendiri...," Paman

Nampi memulai.

* * *

"Dulu, Kerajaan Gantar Angin diperintah oleh

seorang ratu bernama Gusti Ratu Kunti Boga. Gusti Ratu

hanya memiliki seorang anak perempuan, dari hasil

perkawinannya dengan seorang panglima muda yang

gagah dan sangat tinggi kepandaiannya. Tapi pada saat

anaknya berusia tujuh tahun, malapetaka datang


menimpa. Adik tiri Gusti Ratu yang bernama Abiyasa

merebut tahta. Dibunuhnya suami Gusti Ratu.

Sedangkan Gusti Ratu ditawan dalam penjara bawah

tanah, bersama saudaranya yang berjumlah enam

orang...," cerita Paman Nampi tentang kemelut yang

terjadi di Kerajaan Gantar Angin.

Sementara Bayu Hanggara mendengarkan penuh

perhatian.

"Pada saat pemberontakan itu berlangsung, aku

sempat menyelamatkan putri Gusti Ratu, dan kubawa ke

Bukit Cemara ini. Seorang emban yang setia telah

merawatnya. Sedangkan aku mendidiknya berbagai

macam ilmu olah kanuragan. Aku berharap, kelak dia

bisa mengembalikan keutuhan Kerajaan Gantar Angin

seperti semula. Tapi...," Paman Nampi menghentikan

kisahnya.

"Ada apa?" desak Bayu.

"Entahlah. Yang jelas, aku merasa gagal dalam

mendidiknya. Aku tidak bisa mencegah...," suara Paman

Nampi bernada mengeluh.

Bayu tidak mendesak lagi. Bisa dimengerti kalau hal

itu tidak pantas untuk dibicarakan. Tapi dia masih belum

bisa menghubungkan cerita Paman Nampi dengan

pertempuran yang hampir menewaskan laki-laki tua

berjubah putih yang kini ada di hadapannya.

"Kulihat Paman membantai para pekerja di Bukit

Batu. Kenapa Paman lakukan itu?" tanya Bayu.

“Mereka memang pantas mati karena tidak bisa

memegang omongannya sendiri! Padahal, mereka telah

bersumpah setia pada Gusti Ratu! Tapi kenyataannya,


mereka membantu membuat jalan ke Pesanggrahan Goa

Larangan!" agak tertahan suara Paman Nampi.

"Maaf. Bukannya hendak mencampuri urusanmu,

tapi kurasa penilaianmu keliru terhadap mereka," kata

Bayu.

"Apa maksudmu, Kisanak?"

"Kupikir mereka juga terpaksa melakukannya."

"Tidak mungkin! Mereka tahu betul kalau

Pesanggrahan Goa Larangan tempat yang sangat indah,

tapi sangat disucikan. Tempat itu digunakan Gusti Ratu

untuk memuja Dewata. Seharusnya mereka sadar kalau

pembuatan jalan itu akan mengotori tempat suci itu.

Prabu Abiyasa hendak menjadikan Pesanggrahan Goa

Larangan sebagai tempat peristirahatan dan tempat

berlibur para pembesar. Bukankah itu akan merusak

kesucian yang selama ini selalu kami pelihara? Jadi jelas,

mereka yang membantu pembuatan jalan itu adalah

manusia-manusia kotor yang harus dilenyapkan dari

muka bumi!"

"Hm...," gumam Bayu tidak jelas.

Kata-kata Paman Nampi memang jelas dan tegas,

sehingga Pendekar Pulau Neraka bisa memahami semua

persoalannya. Kini dia tahu, kenapa laki-laki tua

berjubah putih itu sangat berang dan gelap mata. Bayu

tidak bisa menyalahkan tindakan Paman Nampi.

Kelihatannya, tindakan itu semata-mata hanya

pelampiasan rasa amarah dan kekecewaan yang lama

terpendam di dalam hati. Tapi bagi Bayu, tindakan

Paman Nampi tidak bisa dibenarkan. Meskipun dia

sendiri selalu bertindak tegas, namun tidak membabi


buta dengan membantai penduduk yang tidak mengerti

ilmu olah kanuragan.

"Apakah hanya Paman sendiri yang menentang?"

tanya Bayu.

"Tidak. Sebenarnya masih banyak. Hanya saja

mereka tidak berani menentang secara terang-terangan.

Prabu Abiyasa selalu bertindak tegas, bahkan cenderung

kejam pada siapa saja yang mencoba menentangnya,"

sahut Paman Nampi.

"Dan Paman juga menganggap mereka manusia

kotor?"

Paman Nampi tidak segera menjawab. Pertanyaan

Pendekar Pulau Neraka itu sungguh tepat, dan langsung

menyentuh hati Paman Nampi. Laki-laki tua itu kini

diam merenung.

"Bagiku, manusia di mana saja sama. Hanya pangkat

dan kedudukan saja yang membedakannya. Maaf,

bukannya ingin mencampuri urusan itu terlalu jauh.

Masalahnya aku tidak melihat adanya alasan yang tepat

sehingga kau bantai orang-orang yang tidak berdosa dan

dalam keadaan tertekan," kata Bayu lagi.

"Bagaimana kau bisa berkata begitu, Kisanak?

Sedangkan kau sendiri bukan rakyat Gantar Angin."

"Paman sudah tahu, siapa aku sebenarnya. Di dalam

kalangan rimba persilatan, hal seperti itu sudah terlalu

sering terjadi. Dan aku bisa mengambil kesimpulan

hanya dari cerita yang kudengar. Jangan salah kira. Aku

bukannya sok pintar dalam hal ini. Ini hanya sekedar

uneg-uneg yang ada di dalam kepalaku," sahut Bayu.

"Bisa kau buktikan, Kisanak?"


Bayu hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau

pertanyaan itu bernada menantang. Bukan permintaan

bantuan. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri dan

melangkah keluar dari dalam goa kecil itu. Paman

Nampi juga ikut bangkit dan mengikuti pendekar itu.

Luka-luka di dalam tubuhnya sudah tidak terasa lagi.

Cahaya matahari senja langsung menerpa begitu mereka

sampai di depan mulut goa.

"Siapa nama anak Gusti Ratu?" tanya Bayu dengan

pandangan tetap lurus ke depan.

"Mayang," jawab Paman Nampi.

"Dia tahu kalau kau seorang panglima?"

"Tidak. Yang diketahuinya, aku adalah orang tua

yang telah menyelamatkannya dari malapetaka. Dia

selalu memanggilku dengan sebutan Eyang."

"Dia juga tahu namamu?"

"Juga tidak."

"Rupamu?"

Paman Nampi menggeleng.

"Hebat! Berapa tahun hal itu berlangsung...?"

"Tiga belas tahun. Dan aku selalu menemuinya

dengan pakaian hitam yang hampir menutupi seluruh

wajahku. Hanya tiga kali dalam satu pekan aku

menemuinya. Itu pun hanya untuk mengajarkan jurus-

jurus ilmu olah kanuragan, dan terus berlangsung

hingga emban pengasuhnya meninggal dunia karena

usia tua."

"Di mana dia tinggal?"

"Untuk apa?" Paman Nampi merasa keberatan.

"Kau keberatan...?"


"Tidak! Kau boleh menemuinya di Lereng Bukit

Cemara sebelah Barat. Dia tinggal di pondok kecil dan

agak tersembunyi letaknya."

"Siapa saja yang tahu selain kau sendiri?"

"Raden Bantar Gading, putra pertama Prabu Abiyasa

dan pewaris tahta kerajaan."

Bayu tersenyum tipis. Pertanyaan-pertanyaan tadi

sebenarnya merupakan pancingan saja. Kini dia tahu,

kenapa Paman Nampi tidak mau menceritakan

kekecewaannya pada Mayang. Bisa saja wanita itu jatuh

cinta pada orang yang sebenarnya musuh dan harus

dilenyapkan. Itu pun juga yang menjadi salah satu sebab,

kenapa Paman Nampi sampai bertindak brutal. Laki-laki

tua ini memendam rasa kecewa yang bertumpuk. Rasa

kecewa itu dilampiaskan menjadi kemarahan yang tak

terkendalikan.

"Sudah senja. Aku harus kembali ke Hutan Danaraja.

Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," kata Paman

Nampi.

"Hm, kenapa ke Hutan Danaraja? Bukankah seorang

panglima tinggal di dalam lingkungan istana?" agak

heran juga Bayu mendengarnya.

"Aku harus menemui Raden Sangga Alam karena

dialah satu-satunya putra Prabu Abiyasa yang

menentang ayahnya. Hanya sayang dia tidak memiliki

kekuasaan untuk menentang, karena lahir dari rahim

seorang selir," Paman Nampi tidak ragu-ragu lagi

menceritakannya.

"O..., kau menyusun kekuatan di Hutan Danaraja?”

"Oh..., tidak. Aku dan Raden Sangga Alam sedang

berburu bersama tiga puluh prajuritku."


Lagi-lagi Bayu tersenyum tipis. Dia tidak mencegah

ketika laki-laki tua berjubah putih itu berjalan dengan

cepat. Pendekar Pulau Neraka itu tahu kalau Paman

Nampi mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam

waktu sebentar saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap

ditelan rimbunan pohon cemara yang menutupi seluruh

permukaan bukit itu.

"Hm, harus ada orang yang bisa mencegah luapan

kemarahan Paman Nampi. Aku tidak yakin, apakah

Pendekar Pulau Neraka akan beraksi lagi kali ini...?"

gumam Bayu bicara pada dirinya sendiri.

***

Paman Nampi menemukan kudanya tengah

merumput dengan tenang. Dengan kuda tunggangannya

itu, dia segera menuju Hutan Danaraja. Paman Nampi

memang cekatan dalam mengendalikan kuda. Meskipun

dipacu cepat dalam kelebatan hutan, hal itu bukan satu

rintangan yang berarti, karena dia adalah panglima

perang yang handal. Laki-laki tua berjubah putih itu

baru memperlambat laju kudanya setelah berada dekat

sekitar perkemahan Raden Sangga Alam.

Suasana senja yang temaram membuat para prajurit

harus menyalakan api unggun lebih awal. Apalagi kabut

begitu cepat datang, sehingga menutupi cahaya matahari

sore ini. Paman Nampi turun dari punggung kudanya,

lalu melangkah pelan-pelan sambil menuntun kudanya.

Seorang prajurit yang melihat kehadirannya, segera

berlari menghampiri. Diambilnya tali kekang kuda itu


dari tangan Paman Nampi. Segera dibawanya pergi ke

tempat kuda-kuda lain yang tengah diistirahatkan.

Paman Nampi menghenyakkan tubuhnya di depan

perapian. Raden Sangga Alam yang tengah menghadapi

perapian sejak tadi, hanya melirik saja. Keningnya

sedikit berkerut melihat kemuraman pada air muka

Paman Nampi.

"Ada apa, Paman? Bagaimana suasana di Bukit

Batu?" tanya Raden Sangga Alam.

"Hhh...," Paman Nampi menarik napas panjang.

Raden Sangga Alam menggeser duduknya mendekat ke

arah laki-laki tua berjubah putih itu.

"Ada sesuatu yang ditemukan di sana?" tanya Raden

Sangga Alam lagi.

"Entahlah. Aku merasa tidak yakin dapat

menghentikan rencana Gusti Prabu," sahut Paman

Nampi mendesah pelan.

Raden Sangga Alam terkejut mendengar kata-kata

bernada putus asa itu. Dipandanginya wajah tua di

sampingnya dengan penuh selidik. Perasaannya jadi

tidak menentu mendapati wajah Paman Nampi begitu

murung, tanpa gairah sama sekali.

"Paman. Bagaimanapun juga, rencana Ayahanda

Prabu harus dihentikan. Pesanggrahan Goa Larangan

adalah tempat suci. Tempat untuk memuja para Dewata.

Aku sebenarnya tidak keberatan jika pembuatan jalan itu

un+uk memperlancar menuju ke pesanggrahan. Tapi,

kalau tempat itu juga dirubah dan dihilangkan arti

kesuciannya, jelas aku menentang. Walaupun aku hanya

anak dari selir, tapi tidak serendah itu, Paman. Aku

bersedia mengangkat senjata jika memang keadaannya


sudah harus demikian," tegas kata-kata Raden Sangga

Alam.

Paman Nampi menoleh. Dipandangnya Raden

Sangga Alam dengan bola mata berkaca-kaca. Hatinya

sangat terharu mendengar kata-kata pemuda tampan

yang seperti wanita itu. Tidak disangkanya kalau Raden

Sangga Alam memiliki ketegasan. Lain dengan

perawakannya yang kelihatan lemah lembut dan tidak

mencerminkan kejantanan seorang laki-laki. Ternyata, di

balik semua itu tersimpan sebentuk hati yang lebih

jantan daripada seorang laki-laki bertubuh kekar dan

tegap.

Kemuliaan hati Raden Sangga Alam inilah yang

membuat Paman Nampi lebih terharu lagi. Sama sekali

dia bukan menghasut. Namun jelas, bahwa pemuda itu

memang tidak menyetujui kalau tempat suci dirubah

kegunaannya. Kalau saja tidak mengingat pemuda ini

putra seorang raja, mungkin Paman Nampi sudah

memeluknya.

"Paman, besok pagi sebaiknya kita kembali ke istana.

Aku telah mendapat seekor kijang yang gemuk dan akan

kupersembahkan pada Ayahanda Prabu. Di istana nanti

kita susun lagi rencana berikutnya," sambung Raden

Sangga Alam kembali lembut suaranya.

Paman Nampi hanya mengangguk. Raden Sangga

Alam bangkit berdiri, kemudian melangkah menuju ke

tendanya yang dijaga dua orang prajurit pada pintu

tenda. Sedangkan Paman Nampi masih duduk dekat

perapian. Diangkatnya sedikit kepalanya ketika seorang

prajurit menghampiri. Prajurit itu membungkukkan

badan.


"Ada apa?" tanya Paman Nampi.

"Patih Amoksa ingin bertemu, Gusti. Beliau

menunggu di tenda," lapor prajurit itu.

"Patih Amoksa...!?"

"Benar, Gusti."

Paman Nampi langsung bangkit berdiri. Baru saja

dua tindak melangkah, kepalanya menoleh pada prajurit

itu.

"Apa Raden Sangga Alam tahu?" tanyanya setengah

berbisik.

"Tidak! Patih Amoksa datang sebelum Raden Sangga

Alam kembali dari berburu."

Paman Nampi bergegas melangkah menuju ke

tendanya. Seorang prajurit yang menjaga

membungkukkan badan. Laki-laki tua berjubah putih itu

segera masuk ke dalam tenda itu. Tampak di dalam

seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun,

duduk menunggu di atas permadani. Ketika dia akan

bangkit, Paman Nampi lebih dulu mencegah dan segera

duduk di depan Patih Amoksa.

"Ada apa?" tanya Paman Nampi langsung.

"Aku membawa berita yang harus disampaikan,

Kakang. Penting!" jawab Patih Amoksa setengah

berbisik.

"Berita apa?"

"Gusti Prabu Abiyasa mengutus seorang kurir..."

"Jelaskan saja pokoknya," potong Paman Nampi

tidak sabar.

"Hm..., Gusti Prabu meminta bantuan jago-jago dari

sahabatnya. Kakang tahu, jago-jago dari daratan

seberang sangat sukar dicari tandingannya."


"Ya, Tuhan...!" desis Paman Nampi. "Kenapa Gusti

Prabu sampai bertindak begitu?"

"Gusti Prabu sudah mencium adanya gerakan

pemberontakan, Kakang."

"Apakah dia tahu seluruhnya?"

"Tidak! Tapi Gusti Prabu sudah menyebar banyak

telik sandi. Bahkan pasukan khusus pun sudah

dikerahkan untuk menumpas pemberontakan itu. Aku

khawatir, Kakang. Tindakan para pasukan khusus

membabi-buta sehingga rakyat semakin sengsara. Dan

kalau sudah demikian, tidak mustahil ada

pengkhianatan.

"Kenapa baru sekarang kau laporkan itu, Amoksa?"

nada suara Paman Nampi agak menyesali.

"Baru kali ini aku punya kesempatan bertemu

denganmu. Itu pun setelah aku mendapat perintah untuk

membawa pulang kembali Raden Sangga Alam. Beliau

diperintahkan agar segera pulang hari ini juga."

"Kenapa?"

"Gusti Prabu menduga kalau para pemberontak itu

bersarang di Bukit Cemara atau sekitar Hutan Danaraja

ini."

Paman Nampi menarik napas panjang dan berat.

Rasanya tidak mungkin kalau Prabu Abiyasa hanya

menduga-duga adanya gerakan pemberontakan.

Penyebaran telik sandi dan pengerahan pasukan khusus

sudah menandakan kalau beliau sudah mencium dan

mengetahui pasti adanya gerakan pemberontakan itu.

Apalagi sampai mengirim kurir untuk minta bantuan

jago-jago dari seberang. Jadi, jelas sudah kalau Prabu



Abiyasa merasa kedudukannya sebagai raja, tengah

terancam.

Perasaan Paman Nampi jadi tidak menentu. Kalau

sampai pasukan khusus menyebar ke Bukit Cemara, jelas

akan membahayakan. Laki-laki tua berjubah putih itu

memandang keadaan di luar. Dari sini, tenda Raden

Sangga Alam bisa langsung dilihatnya. Sementara gelap

sudah menyelimuti seluruh Hutan Danaraja. Hanya api

unggun di tengah-tengah perkemahan itu yang

menerangi sekitarnya.

"Kakang, aku khawatir Gusti Prabu sudah...."

'Tenanglah, Amoksa," potong Paman Nampi cepat.

'Tapi, Raden Bantar Gading memerintahkan Patih

Mara Kobra untuk memata-mataimu."

Paman Nampi tidak bisa menyembunyikan rasa

terkejutnya. Sungguh tidak disangka kalau Patih Mara

Kobra yang sudah tewas di tangannya itu, sengaja

memata-matai karena perintah Raden Bantar Gading.

Kalau memang demikian, jelas! Prabu Abiyasa dan

Raden Bantar Gading sudah menaruh kecurigaan

terhadapnya. Dan itu bukan tidak mustahil Raden

Sangga Alam akan ikut dicurigai. Karena pemuda itu

selalu gigih menentang pembuatan jalan dan perubahan

Pesanggrahan Goa Larangan.

"Amoksa, sebaiknya kau segera menemui Raden

Sangga Alam. Sedangkan aku akan memerintahkan para

prajurit untuk membongkar tenda," kata Paman Nampi.

"Kita kembali ke istana malam ini juga "

"Baik, Kakang."

***


5

Sementara itu di sebuah pondok di Kaki Bukit Batu,

Raden Bantar Gading tengah berbincang-bincang dengan

dua orang panglimanya. Saat itu, mereka kedatangan

seorang utusan dari Kerajaan Gantar Angin yang

membawa surat langsung dari Prabu Abiyasa. Surat itu

segera diserahkan kepada Raden Bantar Gading.

Raden Bantar Gading menatap sejenak utusan itu

sebelum membuka surat dari ayahnya. Sudah bisa

ditebak kalau isi surat itu pasti penting, karena dibawa

langsung oleh utusan khusus kepercayaan Prabu

Abiyasa. Raden Bantar Gading membuka surat yang

tergulung rapi itu, lalu membacanya. Keningnya sedikit

berkerut begitu mengetahui isinya. Kembali digulung

surat itu dan ditatapnya utusan yang masih menunggu

sambil duduk bersimpuh di atas permadani tebal.

"Katakan pada Ayahanda Prabu, bahwa aku akan

berangkat malam ini juga," kata Raden Bantar Gading.

Utusan itu memberi hormat, lalu bangkit berdiri. Dua

langkah mundur ke belakang, lalu badannya langsung

berbalik dan keluar dari pondok itu. Raden Bantar

Gading menatap Panglima Jampala dan Panglima

Rapaksa yang masih setia menemaninya di ruangan

yang tidak terlalu besar ini.

"Ayahanda Prabu memerintahkan, agar aku segera

ke Pesanggrahan Goa Larangan," kata Raden Bantar

Gading pelan.

"Untuk apa, Raden?" tanya Panglima Jampala.


"Beberapa telik sandi melihat Braga dan Kinca ada di

sana."

"Heh! Ada urusan apa mereka ke sana?" ujar

Panglima Rapaksa terkejut

"Itulah yang ingin diketahui Ayahanda Prabu. Kalau

maksud mereka buruk, aku diperintahkan untuk

memenggal kepalanya. Hm..., aku sendiri sebenarnya

memang ingin memenggal kepala mereka!"

"Raden! Ijinkan hamba membereskan bangsat

pengecut itu!" kata Panglima Jampala.

"Tugas itu langsung ditujukan padaku, Paman

Panglima," tolak Raden Bantar Gading tegas.

"Tapi, Raden...," Panglima Jampala ingin membantah.

"Kenapa?" tanya Raden Bantar Gading. Nada

suaranya terdengar sinis. Tatapan matanya pun juga lain.

Panglima Jampala menundukkan kepalanya.

"Ayahanda Prabu juga meminta agar kau segera

kembali ke istana. Ada tugas penting yang harus segera

dilaksanakan, Paman Jampala," kata Raden Bantar

Gading tersenyum dingin.

"Hamba, Raden," sahut Panglima Jampala pelan.

"Berangkatlah malam ini juga," perintah Raden

Bantar Gading.

Panglima Jampala memberi hormat, lalu bangkit

berdiri. Kembali dia memberi hormat sebelum mening-

galkan ruangan pondok itu. Raden Bantar Gading me-

mandangi panglima itu hingga hilang di balik pintu.

Tidak lama kemudian terdengar derap langkah kaki

kuda menjauhi daerah Kaki Bukit Batu. Kini, Raden



Bantar Gading pandangannya beralih pada Panglima

Rapaksa.

“Paman Panglima! Kuserahkan pengawasan

pekerjaan ini padamu. Aku akan secepatnya kembali

setelah membereskan tikus-tikus keparat itu," kata Raden

Bantar Gading.

"Hamba, Raden," Panglima Rapaksa memberi hormat

dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan

hidung.

"Dan ada satu tugas berat lagi untukmu."

“Tugas apa, Raden?"

"Kejar Panglima Jampala, lalu bunuh!"

Panglima Rapaksa terkejut setengah mati hingga

terdongak memandang putra mahkota itu.

"Panglima Jampala ternyata pengkhianat! Dialah

salah satu pemimpin gerombolan pemberontak.

Ayahanda Prabu menginginkan kepalanya, dan tugas ini

kuserahkan padamu. Kau akan menerima hadiahnya?

besar jika berhasil membawa kepala pengkhianat pada

Ayahanda Prabu."

"Segera hamba laksanakan, Raden."

"Cepatlah, sebelum jauh."

Panglima Rapaksa bergegas bangkit dan melangkah

ke luar. Raden Bantar Gading tersenyum, kemudian juga

bangkit berdiri dari duduknya. Dengari langkah ringan,

dia berjalan keluar dari pondok itu. Dua orang prajurit

yang mengawal di depan pintu, langsung membungkuk

memberi hormat. Pada saat itu Panglima Rapaksa sudah

memacu cepat kudanya menyusul Panglima Jampala.

"Siapkan kuda!" perintah Raden Bantar Gading pada

salah seorang prajurit.

"Segera, Raden."

***

Panglima Rapaksa memacu kudanya bagai dikejar

setan. Diambilnya jalan pintas, dengan merambah hutan

yang lebat di sekitar Kaki Bukit Batu. Laki-laki tegap

berusia sekitar empat puluh tahun itu menghentikan

kudanya begitu riba di tepi sungai yang mengalir tenang

bagai sebuah batas antara kotaraja dengan daerah hutan

dan berbukit ini. Pandangannya tajam menembus

kegelapan malam.

Tampak dari arah depan di sebuah jalan setapak,

seseorang tengah menunggang kuda dalam kecepatan

sedang. Betapa terkejutnya dia begitu melihat Panglima

Rapaksa telah berdiri menghadang. Penunggang kuda

yang tak lain dari Panglima Jampala langsung melompat

turun ketika Panglima Rapaksa juga turun dari

punggung kudanya.

"Kakang Rapaksa! Bukankah kau bersama Raden

Bantar Gading?" Panglima Jampala tidak bisa

menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Benar. Tapi, sekarang aku sudah berada di

depanmu," sahut Panglima Rapaksa.

"Ada apa?"

"Adi Jampala, aku ingin kejujuranmu. Katakan terus

terang...," agak tertahan suara Panglima Rapaksa.

"Kakang! Ada apa ini? Kenapa kau berkata seperti

itu?"


"Benarkah kau ingin memberontak pada Prabu

Abiyasa?" Panglima Rapaksa tidak bisa menahan diri

lagi.

"He...?!" Panglima Jampala terkejut setengah mati.

"Jawab dengan jujur, Adi Jampala."

"Dari mana kau tahu, Kakang?"

"Gusti Prabu sudah mengetahui, dan aku

diperintahkan untuk membunuhmu!"

"Hm..., jadi utusan itu datang hanya untuk

memberitahu kalau aku salah satu dari pemberontak

itu?"

"Kau salah satu pemimpinnya!"

"He! Permainan macam apa ini?"

"Adi Jampala! Aku kenal baik, siapa kau

sesungguhnya. Aku sendiri sebenarnya tidak percaya

kalau kau adalah salah satu dari pemimpin kaum

pemberontak. Katakan terus terang padaku, apakah kau

benar-benar pemimpin pemberontak itu?" pinta

Panglima Rapaksa.

"Kalau benar, apakah kau tetap akan memenggal

kepalaku?" nada suara Panglima Jampala terdengar

menantang.

"Maaf, Adi Jampala. Malam ini juga, salah satu di

antara kita harus ada yang tewas," sahut Panglima

Rapaksa.

"Aku kagum pada kesetiaanmu, Kakang. Tapi

sungguh menyesal, kau menumpahkan kesetiaan pada

orang yang salah! Prabu Abiyasa tidak berhak atas tahta

Kerajaan Gantar Angin. Dia hanya adik tiri, dan

seharusnya sudah beruntung diberi jabatan kepala

panglima perang. Tapi nyatanya dia serakah! Bahkan


sekarang semakin gila dengan menghancurkan tempat

suci untuk pemujaan!"

"Menyesal sekali, Adi Jampala. Kita akan berhadapan

sebagai lawan," dingin suara Panglima Rapaksa.

"Silakan, jika kau ingin memenggal kepalaku."

"Bersiaplah! Hiyaaa...!"

Panglima Rapaksa segera melompat menerjang

dengan jurus mautnya. Panglima Jampala yang sadar

tingkat kepandaiannya dua tingkat di bawah Panglima

Rapaksa, harus lebih berhati-hati. Pertarungan antara

dua panglima itu berlangsung sengit. Sementara Raden

Bantar Gading memperhatikan sejak tadi dari tempat

yang cukup tersembunyi. Putra Mahkota Kerajaan

Gantar Angin itu memang mengikuti kepergian

Panglima Rapaksa. Dia memang ingin melihat sendiri

kesetiaan panglimanya itu. Kehadiran Raden Bantar

Gading memang tidak diketahui oleh dua orang yang

tengah menyabung nyawa itu.

Pertarungan antara dua panglima itu semakin sengit.

Lima belas jurus sudah terlewati, namun belum ada

tanda-tanda yang terdesak. Serangan-serangan yang

dilancarkan Panglima Jampala maupun Panglima

Rapaksa, sungguh dahsyat. Debu mengepul di sekitar

pertarungan. Pohon-pohon bertumbangan kena

sambaran pukulan atau tendangan yang luput dari

sasaran. Batu-batu hancur berkeping-keping. Mereka

sama-sama mengerahkan jurus-jurus andalan.

Pada saat memasuki jurus yang kedua puluh,

Panglima Jampala mulai kelihatan terdesak. Beberapa

kali pukulan dan tendangan dahsyat dari Panglima

Rapaksa hampir menghantam tubuhnya. Panglima


Jampala harus jatuh bangun menghindari serangan-

serangan yang gencar dan cepat itu. Bahkan kini tidak

lagi punya kesempatan untuk balas menyerang.

"Mampus kau! Hiya...!"

"Kalau benar aku pemimpin pemberontak, apakah

kau tetap akan memenggal kepalaku?" nada suara

Panglima Jampala terdengar menantang.

"Maaf, Adi Jampala. Malam ini juga, salah satu dari

kita harus tewas!" tegas Panglima Rapaksa.


Tahu kalau lawannya sudah tidak mampu lagi

membalas, Panglima Rapaksa semakin memperhebat

serangannya. Hingga pada satu kesempatan yang baik,

pukulan telak Panglima Rapaksa berhasil bersarang di

dada Panglima Jampala.

"Hugh!" Panglima Jampala mengeluh pendek

Tubuhnya terjajar ke belakang sejauh dua batang

tombak. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya.

Belum sempat panglima yang malang itu mengatur jalan

napasnya, Panglima Rapaksa kembali melancarkan

beberapa pukulan beruntun. Semampunya Panglima

Jampala berkelit menghindar, tapi sebuah pukulan

bertenaga dalam tinggi kembali bersarang di tubuhnya.

Panglima Jampala terjungkal keras mencium tanah.

Dan pada saat kaki Panglima Rapaksa menjejak dadanya,

dia tidak mungkin lagi menghindar. Darah langsung

muncrat dari lubang hidung dan mulutnya, begitu kaki

Panglima Rapaksa menghantam telak dadanya.

Krek!

Panglima Jampala tidak bisa bersuara lagi. Tulang

dadanya remuk terinjak kaki dengan tenaga luar biasa

itu. Tubuhnya terkulai lemas. Nyawanya pun langsung

terbang melayang saat itu juga. Panglima Rapaksa

melangkah mundur. Matanya memandangi mayat

Panglima Jampala yang terbujur diam dengan tulang-

tulang dada remuk.

Pelahan-lahan Panglima Rapaksa mengeluarkan

pedangnya yang tergantung di pinggang, lalu dengan

cepat dikibaskan ke leher Panglima Jampala. Tak pelak

lagi. Sekali tebas saja leher Panglima Jampala terpenggal


buntung. Panglima Rapaksa menyarungkan kembali

pedangnya, lalu diangkatnya kepala Panglima Jampala.

"Bagus! Kau memang seorang panglima yang setia,

Paman Rapaksa!"

"Raden...!" Panglima Rapaksa terkejut ketika tiba-tiba

Raden Bantar Gading muncul.

Panglima Rapaksa segera membungkukkan badan

memberi hormat. Raden Bantar Gading melangkah

mendekati. Bibirnya yang tipis menyunggingkan

senyum.

"Biar aku yang menyerahkan kepala pengkhianat itu

pada Ayahanda Prabu. Kau kembali saja ke Bukit Batu,"

kata Raden Bantar Gading.

"Hamba, Raden."

Panglima Rapaksa menyerahkan kepala Panglima

Jampala pada Raden Bantar Gading. Setelah

membungkuk memberi hormat, Panglima Rapaksa

segera menghampiri kudanya. Dengan satu lompatan

ringan, panglima tinggi tegap itu naik ke atas punggung

kudanya.

Dan pada saat yang tepat, Raden Bantar Gading

mengibaskan tangan kirinya. Maka tiga buah jarum

berwarna hitam pekat meluncur deras ke arah Panglima

Rapaksa dan tidak bisa terelakkan lagi. Dalam waktu

yang singkat, Panglima Rapaksa jatuh tersungkur

seketika. Kuda tunggangannya pun meringkik sambil

mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.

"Raden...," lirih suara Panglima Rapaksa.

"Aku tahu, kau memang seorang panglima yang

setia, Paman Rapaksa. Tapi Ayahanda Prabu


menghendaki kematianmu," kata Raden Bantar Gading

dingin.

Panglima Rapaksa berusaha merayap, tapi seluruh

tubuhnya terasa kaku. Dari hidung dan mulutnya

mengucur darah kental kehitaman. Jarum yang

dilepaskan Raden Bantar Gading ternyata mengandung

racun yang bekerja cepat, sangat dahsyat dan

mematikan. Sebentar saja seluruh tubuh Panglima

Rapaksa sudah membiru, dan tidak bisa digerakkan lagi.

"Kau bekas Patih Ratu Kunti Boga, Panglima

Rapaksa. Ayahanda Prabu menghendaki orang-orang

sepertimu agar dilenyapkan," kata Raden Bantar Gading

dingin.

"Raden..., aku bukan pengkhianat. Aku setia pada

Gusti Prabu Abiyasa," lirih suara Panglima Rapaksa.

"Kau selalu setia pada siapa saja yang berkuasa di

Kerajaan Gantar Angin. Orang sepertimu tidak patut

hidup di dunia. Memang kau sekarang tidak berkhianat.

Tapi, begitu para pemberontak mengacau, kau pasti akan

berpihak pada mereka! Dan ular sepertimu sudah

seharusnya mati!"

"Kau.. Kau kejam, Raden!" desis Panglima Rapaksa.

"Ha ha ha..! Sebentar lagi kau akan mampus,

Rapaksa!"

Panglima Rapaksa berusaha bangkit, tapi seluruh

tubuhnya terasa kaku dan sulit digerakkan. Racun yang

menjalar ke seluruh aliran darahnya kini membuat

jaringan urat syaraf di seluruh tubuhnya mati. Panglima

Rapaksa hanya dapat mengumpat di dalam hati. Ada

terbersit rasa penyesalannya setelah membunuh

Panglima Jampala.


"Selamat tinggal, Panglima Rapaksa. Terimalah

kematianmu dengan tenang!" kata Raden Bantar Gading

seraya tertawa terbahak-bahak.

"Iblis! Binatang kau...!" geram Panglima Rapaksa.

"Ha ha ha...!"

Raden Bantar Gading kemudian bersiul nyaring.

Terdengar suara ringkikan yang disusul dengan

munculnya seekor kuda putih dari balik rimbunan

pohon. Raden Bantar Gading melesat naik ke punggung

kuda putih itu. Dilemparkan kepala Panglima Jampala

ke dekat Panglima Rapaksa. Kepala tanpa tubuh itu jatuh

tepat di depan muka Panglima Rapaksa.

"Terkutuk kau, Raden...!" pekik Panglima Rapaksa.

"Hiya! Hiya...!"

Raden Bantar Gading menggebah kudanya. Kuda

putih itu meringkik keras sambil mengangkat kaki

depannya tinggi-tinggi. Dan..., jatuh tepat di tubuh

Panglima Rapaksa.

"Aaakh...!" Panglima Rapaksa menjerit keras.

Beberapa kali kaki depan kuda putih itu menghunam

tubuh Panglima Rapaksa, hingga panglima itu tewas.

Setelah puas, baru Raden Bantar Gading menghentikan

injakan-injakan kaki kudanya. Suara tawanya pecah

berderai membelah kesunyian malam. Kuda putih itu

melesat cepat bagai sebatang anak panah lepas dari

busurnya. Sementara malam terus merayap semakin

jauh. Titik-titik embun menyirami dua onggok mayat

yang menggeletak sia-sia. Suara tawa Raden Bantar

Gading lenyap, bersama bayangan tubuhnya yang

berada di atas punggung seekor kuda putih.


***

Raden Bantar Gading terus memacu cepat kudanya

menuju Lereng Bukit Cemara sebelah Barat. Tujuannya

pasti ke pondok kecil tempat tinggal Mayang. Sudah

beberapa hari ini, sejak pertengkarannya dengan

Mayang, dia tidak pernah datang lagi menemui wanita

cantik yang selalu menghangatkan tubuhnya. Memang,

dalam beberapa hari ini wajah Mayang selalu terbayang

di pelupuk matanya. Malam ini ingin dihabiskannya

bersama wanita cantik menggairahkan itu, sebelum ke

Pesanggrahan Goa Larangan mencari dua orang bayaran

yang melarikan diri meninggalkan tugasnya.

Dalam waktu tidak berapa lama, kuda putih

tunggangan Raden Bantar Gading tiba di depan pondok

kecil yang hanya diterangi sebuah pelita di ruangan

dalam. Raden Bantar Gading segera melompat turun dari

punggung kuda. Dengan ayunan kaki pasti, bergegas

dihampirinya pintu pondok itu. Dia agak tertegun ketika

melihat pintu pondok sedikit terbuka.

Brak!

Hanya sekali pukul saja, pintu pondok itu hancur

berantakan. Kelopak matanya membeliak lebar melihat

di dalam pondok itu telah duduk seorang pemuda

tampan dan gagah mengenakan baju kulit harimau.

Sedangkan di atas pembaringan, Mayang tergolek

setengah berbaring miring. Tubuhnya hanya ditutupi

selembar kain sutra tipis, sehingga menampakkan lekuk-

lekuk tubuhnya yang indah menggairahkan.


"Setan! Dasar pelacur...!" geram Raden Bantar

Gading.

Mayang melilitkan kain dengan tenang, lalu bangkit

berdiri dari pembaringannya. Sedangkan pemuda

tampan berbaju kulit harimau tetap duduk tenang.

Sedikit pun tidak mempedulikan kedatangan Raden

Bantar Gading.

"Keluar kau!" bentak Raden Bantar Gading menunjuk

pemuda berbaju kulit harimau.

Pemuda tampan itu hanya tersenyum tipis. Sedikit

pun tidak bergeming. Sedangkan Mayang malah

melangkah menghampiri, lalu duduk di pangkuan

pemuda itu dengan sikap manja. Tentu saja hal ini

membuat Raden Bantar Gading semakin berang. Dengan

kasar direnggutnya tangan wanita itu, dan

dicampakkannya dengan keras.

"Akh!" Mayang memekik tertahan.

Dinding pondok sampai bergetar kena hantam tubuh

ramping itu. Pemuda berbaju kulit harimau terkejut

melihat kekasaran Raden Bantar Gading terhadap

Mayang. Dia melompat bangun dari duduknya. Sinar

matanya tajam langsung menusuk ke bola mata putra

mahkota itu. Raden Bantar Gading melangkah mundur

dua tindak. Hatinya tergetar juga melihat sorot mata

yang dingin menusuk itu.

"Siapa kau?" tanya Raden Bantar Gading. Suaranya

agak bergetar.

"Namaku Bayu Hanggara!" jawab pemuda berbaju

kulit harimau itu dingin.

"Kuminta kau segera keluar, sebelum hilang

kesabaranku!" tegas kata-kata Raden Bantar Gading.


"He! Apa hakmu mengusirku?"

"Keparat! Ini pondokku, dan dia milikku!" Raden

Bantar Gading menunjuk Mayang.

"Benar begitu?" Bayu memandang pada Mayang.

"Bohong!" sahut Mayang keras.

"Mayang...!"

"Aku tidak mengenalnya. Dan aku hidup sendiri di

sini!" sambung Mayang tidak menghiraukan bentakan

Raden Bantar Gading.

"Tutup mulutmu, Mayang!" bentak Raden Bantar

Gading geram.

"Harusnya kau yang tutup mulut!"

"Perempuan liar! Kubunuh kau!"

"Hhh, ingin kulihat, sampai di mana keberanianmu,"

tantang Mayang sinis.

"Keparat! Hiya...!"

Raden Bantar Gading tidak bisa lagi menahan luapan

amarahnya. Bagai seekor serigala lapar menerkam

mangsa, dia melompat hendak menyambar wanita itu.

Namun dengan menggeser kakinya sedikit ke samping,

Mayang berhasil menghindari sergapan Raden Bantar

Gading. Tentu saja hal ini membuat putra mahkota itu

semakin meluap amarahnya. Dengan cepat dia berbalik,

dan melancarkan pukulan beruntun. Tapi sungguh di

luar dugaan, ternyata Mayang mampu menghindari

serangan itu dengan manis.

"Heh! Kau...!" Raden Bantar Gading terkejut bukan

main.

Sama sekali tidak disangka kalau Mayang memiliki

ilmu olah kanuragan. Selama ini dia hanya mengenal

Mayang sebagai seorang wanita lemah yang hanya bisa


melayaninya di atas ranjang. Dan kini ternyata wanita

lemah dan selalu hangat di ranjang itu memiliki

simpanan, bahkan mampu meredam serangan dengan

lincah.

"Kenapa bengong? Ayo, bunuh aku!" tantang

Mayang.

"Phuih!" Raden Bantar Gading menyemburkan

ludahnya.

Sambil menahan perasaan heran bercampur geram,

Raden Bantar Gading mencabut pedangnya dan

langsung dikibaskan ke arah dada wanita itu. Mayang

melompat mundur menghindari tebasan pedang Raden

Bantar Gading. Dan pada saat Raden Bantar Gading

menarik pedangnya, dengan cepat kaki Mayang

melayang ke arah dada pemuda itu.

"Akh!" Raden Bantar Gading memekik kaget.

Cepat-cepat putra mahkota itu menarik tubuhnya ke

belakang seraya mengibaskan pedangnya. Secepat

Mayang menarik kembali kakinya, secepat itu pula dia

melontarkan tiga pukulan bertenaga dalam secara

beruntun. Wajah Raden Bantar Gading memerah

terkesiap. Serangan yang dilancarkan Mayang sungguh

diluar dugaan. Tak ada jalan lain, kecuali menghindar

dengan berkelit ke kiri dan ke kanan.

Raden Bantar Gading bergegas melompat ke luar,

setelah ada kesempatan baik Mayang tidak mem-

biarkannya begitu saja. Dia pun segera melenting ke luar.

Sedangkan Bayu hanya melangkah ringan saja mengikuti

mereka. Di luar pondok, kembali pertarungan

berlangsung. Di alam terbuka ini gerakan-gerakan

mereka tidak lagi terbatas. Pedang keperakan di tangan


Raden Bantar Gading berkelebatan mengurung tubuh

wanita itu.

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Meskipun

Mayang tidak bersenjata, nampaknya masih mampu juga

menandingi Raden Bantar Gading yang menggunakan

pedang. Namun harus diakui, kalau posisi Mayang saat

ini tidak menguntungkan sama sekali. Lebih-lebih dia

hanya mengenakan kain yang menutupi tubuhnya.

Gerakan-gerakannya jadi terbatas. Tiga kali ujung

pedang Raden Bantar Gading mengoyak kain yang

menutupi tubuh wanita itu.

"Hm..., tiga jurus lagi Mayang pasti tidak akan

mampu menandingi," gumam Bayu yang sejak tadi

memperhatikan.

***


6

“Akh!"

Mayang memekik tertahan. Buru-buru dia melompat

mundur. Tapi ujung pedang Raden Bantar Gading masih

sempat menyentuh bagian dadanya, sehingga kain yang

dikenakan hampir melorot turun. Pada saat wanita itu

sibuk dengan kainnya, Raden Bantar Gading melompat

seraya mengibaskan pedang ke arah leher

"Hiyaaa...!"

"Hup!"

Bayu melentingkan tubuhnya, dan menyentil ujung

pedang Raden Bantar Gading. Seluruh tangan putra

mahkota itu jadi bergetar kesemutan. Cepat-cepat ditarik

kembali pedangnya seraya melompat mundur. Bayu

berdiri tegak melindungi Mayang.

"Masuklah, Mayang. Pakai lagi bajumu," kata Bayu

lembut

"Baik Kakang," sahut Mayang menurut.

"Phuih!" Raden Bantar Gading menyemburkan

ludahnya sengit.

Mayang melangkah masuk kembali ke dalam

pondoknya. Sementara Raden Bantar Gading sudah

kembali melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.

Rasa geram, marah, dan cemburu yang meluap-luap

membuat serangannya jadi liar dan membabi-buta. Hal

ini sempat membuat Bayu sedikit kerepotan. Tapi

dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu bisa menguasai

keadaan. Sudah bisa diukur sampai di mana tingkat

kepandaian putra raja pemberang itu.


Beberapa kali ujung pedang Raden Bantar Gading

hampir merobek tubuh Bayu. Namun dengan manis

sekali Pendekar Pulau Neraka itu mengelak. Hal ini

membuat Raden Bantar Gading jadi semakin berang,

karena merasa dipermainkan.

"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Raden!" kata

Bayu memperingatkan.

"Kau yang pergi, Setan!" balas Raden Bantar Gading.

"Kau bukan lawanku, Raden! Jangan paksa aku

untuk bertindak kejam padamu!"

"Keparat! Mampus kau...!"

Raden Bantar Gading tidak mempedulikan

peringatan Bayu dan malah semakin memperhebat

serangan-serangannya. Sementara Bayu hanya melayani

setengah-setengah. Tapi kini gerahamnya mulai

bergemeletuk melihat Raden Bantar Gading tidak

mengindahkan peringatannya. Bahkan serangan-

serangannya semakin gencar saja.

"Hentikan, Raden!" bentak Bayu gusar.

"Jangan banyak mulut! Kau atau aku yang harus

mampus!" dengus Raden Bantar Gading.

"Kau yang memaksaku, Raden!" Bayu jadi kesal.

Raden Bantar Gading benar-benar tidak peduli lagi.

Bahkan jarum-jarum beracunnya malah beraksi setiap

kali ada kesempatan dan jarak yang cukup. Hal ini

semakin membuat Pendekar Pulau Neraka geram. Batas

kesabarannya sudah habis. Dia bisa merasakan adanya

hawa racun pada jarum-jarum hitam yang dilontarkan

Raden Bantar Gading.


"Kau memilih mampus rupanya, Raden!" geram

Bayu.

Saat itu juga, Bayu segera melenting tinggi ke udara,

lalu dengan cepat menukik turun sambil melontarkan

dua kali pukulan bertenaga dalam sangat tinggi. Raden

Bantar Gading terperangah sesaat. Buru-buru dibanting

tubuhnya ke samping, dan bergulingan beberapa kali di

tanah. Pukulan Bayu menghantam tanah kosong.

Tanah yang dipijak langsung bergetar bagai terjadi

gempa. Debu berkepul tinggi ke angkasa. Mata Raden

Bantar Gading terbeliak melihat tanah yang terkena

pukulan Pendekar Pulau Neraka itu berlubang besar dan

cukup dalam. Belum sempat putra mahkota itu hilang

dari rasa terkejutnya, Bayu sudah melompat

menerjangnya.

"Hiya...!"

Des!

"Akh...!" Raden Bantar Gading memekik keras.

Pukulan keras bertenaga dalam hampir sempurna itu

tidak bisa dielakkan lagi. Tubuh Raden Bantar Gading

terpental keras ke belakang. Dua pohon yang cukup

besar tumbang kena hantam punggungnya. Dan pada

pohon ketiga, baru tubuh Raden Bantar Gading melorot

turun. Pedang di tangannya pun terlepas dari

genggaman.

Raden Bantar Gading berusaha bangkit, tapi dadanya

yang sesak seperti terasa hancur, sehingga membuatnya

sulit bergerak. Darah segar mengucur deras dari

mulutnya. Pandangan matanya berkunang-kunang, dan

napasnya tersengal. Seluruh tubuhnya terasa remuk.


"Jangan...!" pekik Mayang ketika Bayu hendak

melontarkan kembali pukulan mautnya.

Mayang berlari menghampiri Bayu dan berdiri

menghadangnya. Tangan Bayu yang sudah terangkat

naik, pelahan-lahan turun kembali. Sementara Raden

Bantar Gading masih bersandar pada pohon yang

hampir tumbang terbentur punggungnya tadi. Mayang

berbalik memandang pemuda pongah itu.

"Cepatlah pergi," kata Mayang agak bergetar

suaranya.

Sebentar Raden Bantar Gading menatap Mayang dan

Bayu bergantian. Tangannya menggapai meraih pedang

yang tergolek tidak jauh darinya. Setelah menyarungkan

pedangnya kembali, dia berusaha bangkit dengan sisa-

sisa kekuatan yang ada. Dadanya kembali terasa sesak

setiap kali menggerakkan tubuhnya. Pandangannya pun

semakin mengabur. Namun Raden Bantar Gading terus

berusaha merayap mendekati kudanya.

Seperti mengetahui kalau majikannya tidak bisa

berdiri dengan tegak, kuda putih itu menghampiri.

Kepalanya tertunduk hampir menyentuh tanah. Raden

Bantar Gading berusaha naik ke punggung kudanya.

Langsung direbahkan tubuhnya begitu berada di atas

punggung kudanya. Pelahan-lahan kuda putih itu

melangkah pergi tanpa diperintah lagi.

"Kenapa kau cegah aku untuk membunuhnya,

Mayang?" tanya Bayu setelah mereka berdua berada di

dalam pondok kembali.

"Dia sebenarnya baik, Kakang. Hanya pengaruh

ayahnya begitu kuat, sehingga wataknya jadi keras


begitu," jawab Mayang seraya menghenyakkan tubuhnya

di pembaringan.

Bayu kembali duduk di kursi dekat jendela. Angin

malam yang dingin menerobos masuk dari pintu yang

jebol berantakan. Mayang menutupi tubuhnya dengan

kain tebal berbulu. Dimiringkan tubuhnya untuk

memandang pemuda tampan berbaju kulit harimau itu.

Sesaat keheningan mencekam menyelimuti mereka

berdua.

Tatapan mata wanita cantik itu dibalas Bayu dengan

lembut. Mayang memang sudah menceritakan segalanya

pada Pendekar Pulau Neraka itu. Lebih-lebih setelah

Bayu bercerita kalau dia sudah mengetahui hal itu dari

seorang laki-laki yang dipanggil eyang oleh Mayang.

Tapi Bayu tidak mengatakan siapa laki-laki tua itu

sebenarnya. Bayu hanya ingin mengetahui lebih jelas lagi

dari wanita yang dikatakan putri tunggal Ratu Kunti

Boga, penguasa yang terguling di Kerajaan Gantar

Angin.

Sebenarnya, tadi mereka sudah tahu kalau Raden

Bantar Gading datang. Suara derap langkah kaki kuda

sudah menandakan kalau Raden Bantar Gading akan

muncul. Bukan Bayu yang merencanakan. Tapi memang

Mayang sendiri yang langsung melepaskan seluruh

bajunya, dan hanya ditutupi dengan selembar kain tipis.

Semula Bayu terkejut, tapi akhirnya bisa mengerti

dengan tindakan wanita itu. Hasilnya memang nyata,

Raden Bantar Gading jadi cemburu buta, sehingga

amarahnya meluap. Lebih-lebih setelah mendapat

perlawanan sengit dari wanita itu. Amarah Raden Bantar

Gading semakin bertambah tidak terkendalikan.


"Kau mencintainya?" tanya Bayu dengan pandangan

mata sukar dimengerti.

Mayang tidak langsung menjawab. Kepalanya

tertunduk, tidak sanggup membalas tatapan mata

Pendekar Pulau Neraka itu. Dia memang mencintai

Raden Bantar Gading, tapi tidak mungkin....

"Aku bisa mengerti perasaanmu, Mayang. Aku

datang menemuimu bukan untuk mendesak seperti yang

dilakukan Eyangmu. Justru kedatanganku ingin

membuktikan kebenaran kata-kata laki-laki yang

kujumpai, dan mengaku sebagai Eyangmu sekaligus

gurumu itu," lembut kata-kata Bayu.

"Sebagian memang ada benarnya, tapi...," kembali

Mayang tidak melanjutkan kata-katanya.

"Kenapa, Mayang?"

"Aku.... Aku tidak tahu, sejak kapan berada di tempat

ini. Eyang selalu datang dengan baju serba hitam dan

wajah hampir tertutup kain hitam. Rasanya kalau

bersamanya sejak usia tujuh tahun, aku pasti ingat.

Sedangkan aku tidak ingat sama sekali," kata Mayang

ragu-ragu.

"Kau masih ingat suasana Istana Kerajaan Gantar

Angin?" tanya Bayu mulai merasa mendapat teka-teki

lagi. Mayang menggeleng pelahan. Jelas sinar matanya

memancarkan keraguan.

"Kau ingat, sejak kecil berada di mana?"

"Yang aku tahu, sejak kecil aku berada di Puncak

Bukit Cemara bersama ibu pengasuhku. Dia meninggal

dunia beberapa tahun yang lalu. Kemudian aku bertemu

dengan Raden Bantar Gading. Dialah yang membuatkan


aku pondok di sini. Hanya itu, dan tidak ada yang

menarik"

"Kau masih ingat wajah Ayah dan Ibumu?"

"Tidak..," kembali Mayang menggeleng.

"Mustahil! Usia tujuh tahun seharusnya kau masih

ingat wajah orang tuamu," gumam Bayu tidak percaya.

"Sungguh! Aku tidak tahu, dan tidak ingat sama

sekali. Bahkan aku sendiri ragu-ragu, apakah benar aku

ini putri Gusti Ratu yang sekarang ditawan dalam kamar

bawah tanah bersama saudara-saudaraku."

"Kau pernah ke kotaraja?"

Lagi-lagi Mayang menggeleng.

"Tidak tahu sama sekali suasana di kotaraja?"

"Tidak"

"Aneh...," gumam Bayu pelan, hampir tidak

terdengar suaranya.

Bayu kembali terdiam. Keterangan yang diperoleh

dari Mayang membuatnya berpikir keras. Dirasakan

adanya kejanggalan dan keanehan. Tapi itu tidak

mungkin dapat terungkap jika tidak mencari keterangan

lain di kotaraja. Hanya di sanalah semuanya bisa

terungkap, sekaligus mengetahui maksud dan tujuan

Paman Nampi yang sebenarnya.

Bayu jadi ragu-ragu dengan kebenaran cerita Pamari

Nampi. Sebab keterangan yang didapatnya dari laki-laki

tua berjubah putih itu banyak yang tidak cocok dengan

cerita Mayang sendiri. Terutama tentang keluarga

kerajaan. Semuanya masih membingungkan. Hal ini jadi

pertanyaan besar di benak Pendekar Pulau Neraka. Bayu

bangkit berdiri dari duduknya, kemudian melangkah ke

pintu yang sudah hancur daunnya.


"Benahi pakaianmu, kita pergi sekarang," kata Bayu

seraya melangkah ke luar.

"Ke mana...?" tanya Mayang seraya melompat turun

dari pembaringan.

"Ke kotaraja!" sahut Bayu dari luar.

"Untuk apa ke sana? Eyang pasti tidak akan

mengijinkan."

"Kau ingin tahu siapa dirimu, kan?"

Mayang tidak menjawab. Dia termenung sebentar,

lalu menyiapkan pakaian beberapa potong dan

membungkusnya dengan selembar kain. Bergegas dia

melangkah keluar setelah merapikan diri. Bayu sudah

menunggu di depan pondok. Pendekar Pulau Neraka itu

mengayunkan kakinya begitu melihat Mayang keluar

dari pondok Mereka berjalan berdampingan tanpa bicara

sedikit pun.

***

Suasana di Kotaraja Kerajaan Gantar Angin tampak

ramai. Keramaian itu juga ditandai dengan banyaknya

prajurit yang berkeliaran di setiap sudut. Tetapi semua

keramaian itu berjalan seperti dipaksakan. Wajah-wajah

mendung dengan sinar mata kosong tanpa gairah,

terpancar dari raut wajah setiap rakyat. Keramaian itu

ada karena hari ini adalah hari pasaran, sehingga banyak

pedagang dan pendatang yang ingin berjual-beli

memadati kota.

Di antara keramaian itu, tampak Bayu dan Mayang

berjalan menuju sebuah rumah penginapan yang

sekaligus kedai makan. Di tempat itu juga ramai di



kunjungi. Bahkan beberapa prajurit terlihat di sana. Dua

orang punggawa juga ada. Bayu dan Mayang masuk ke

dalam kedai itu. Seorang laki-laki tua menghampiri

terbungkuk-bungkuk Dia mempersilakan Bayu dan

Mayang duduk kemudian menanyakan makanan dan

minuman yang dipesan.

Ki Rampit, pemilik kedai dan rumah makan itu

bergegas ke belakang setelah Bayu menyebutkan

pesanannya. Sementara Mayang mengedarkan

pandangannya ke sekeliling. Sungguh tidak disangka

kalau kotaraja begini ramai, dan banyak berdiri rumah

besar dan indah. Baru kali ini Mayang menyaksikan

begitu banyak orang hilir-mudik dengan kesibukannya

masing-masing. Ki Rampit datang lagi dengan membawa

pesanan yang diminta Bayu. Diletakkan pesanan itu di

atas meja dengan sikap sopan. Bibirnya selalu

menyunggingkan senyum.

"Tampaknya Kisanak datang dari jauh...," kata Ki

Rampit setelah menaruh semua pesanan tamunya di

meja..

"Benar," sahut Bayu.

"Kisanak perlu tempat untuk menginap?"

"Ya. Aku agak lama berada di sini," sahut Bayu lagi.

"Di sini juga menyediakan kamar penginapan.

Tapi...."

"Kenapa?"

"Tinggal satu kamar lagi yang tersisa."

"Tidak apa. Kami ini pasangan suami istri," kata

Bayu berbohong.

"Oh, kalau begitu aku siapkan dulu kamarnya."

"Terima kasih," ucap Bayu.



Ki Rampit bergegas meninggalkan tamunya itu.

Mayang mencubit tangan Bayu. Bola matanya mendelik

lebar. Bayu hanya meringis saja. Dia tahu, kenapa

Mayang mencubitnya.

"Supaya tidak menyolok. Lagi pula, biar aku lebih

leluasa menjaga keselamatanmu," kata Bayu setengah

berbisik.

"Tapi...," Mayang mau protes.

"Sudahlah! Di sini nyawamu terancam."

Mayang langsung diam. Matanya sempat melirik

beberapa prajurit dan dua orang punggawa yang berada

di dalam kedai ini. Sementara Bayu sudah sibuk dengan

makanannya. Rasa lapar yang sejak tadi ditahan,

membuat Mayang segera melahap hidangannya. Mereka

makan tanpa banyak bicara lagi. Sementara kedai ini

tidak pernah sepi, selalu saja ada orang yang keluar

masuk. Ki Rampit tampak sibuk melayani tamu-

tamunya. Namun senyumnya tetap terkembang ramah.

Mungkin keramahan inilah yang membuat kedainya

ramai dikunjungi, disamping masakannya memang

sangat lezat.

Ki Rampit datang lagi ke meja Bayu, setelah

Pendekar Pulau Neraka dan Mayang menyelesaikan

makannya. Mereka kini menikmati arak manis yang

memang selalu disediakan pemilik kedai meskipun tidak

termasuk pesanan. Ki Rampit tersenyum dan

mengangguk ramah. Bayu membalasnya dengan ramah

pula.

"Kamar sudah disiapkan. Silakan, jika Kisanak ingin

beristirahat," kata Ki Rampit lagi.


"Bagaimana, Mayang?" tanya Bayu menoleh pada

Mayang.

"Bolehlah. Dan lagi, badanku memang sudah pegal,"

sahut Mayang.

Bayu bangkit berdiri, dan membantu wanita itu

berdiri dengan memegang tangannya. Mayang

membiarkan saja tangannya digenggam pemuda tampan

berbaju kulit harimau itu. Ki Rampit memandanginya

dengan bibir tetap terhias senyum. Dia melangkah lebih

dulu untuk menunjukkan kamar yang sudah disiapkan.

Beberapa perintah yang ditujukan kepada pembantunya

meluncur dari bibir laki-laki tua itu.

Bayu dan Mayang berjalan bergandengan tangan

mengikuti Ki Rampit. Mereka melewati bagian belakang

kedai, dan terus masuk ke dalam satu lorong yang sangat

besar. Di kiri dan kanannya terdapat banyak pintu

berjajar rapi. Lorong itu bercabang, dan mereka berbelok

ke arah kanan. Bayu agak berkerut keningnya ketika Ki

Rampit mengajaknya keluar dari lorong setelah berbelok

ke kanan.

Tampak sebuah taman indah, terhampar di bagian

belakang rumah penginapan ini. Mereka terus berjalan

melintasi taman itu, dan baru berhenti setelah tiba pada

satu bangunan yang tidak begitu besar, namun kelihatan

terawat rapi. Letaknya memang menyendiri, di antara

bangunan-bangunan lain.

"Silakan," kata Ki Rampit seraya membuka pintu.

Bayu mengamati keadaan di dalam. Sungguh indah

sekali. Mayang mengayunkan kakinya masuk ke dalam.

Dia memutari ruangan yang tidak begitu besar, namun

ditata sangat indah. Bangunan itu memang hanya berupa


satu kamar saja. Sedangkan Bayu tetap berdiri di ambang

pintu. Di sampingnya Ki Rampit masih berdiri

menunggu.

"Bukankah ini kamar khusus?" tanya Bayu.

"Benar. Khusus untukmu, Kisanak," sahut Ki Rampit.

"Untukku...?!" Bayu tersentak kaget.

Ki Rampit hanya tersenyum saja, kemudian

melangkah masuk ke dalam. Sejenak Bayu masih berdiri

di ambang pintu, kemudian ikut masuk ke dalam. Ki

Rampit menutup pintunya dan duduk di kursi dekat

pintu. Sementara Mayang sudah merebahkan diri di

pembaringan dengan tubuh miring. Bayu berdiri di

samping jendela yang langsung menghadap ke taman.

"Aku tahu, kalian berdua pasti datang ke sini," kata

Ki Rampit. Bibirnya tetap tersenyum.

Bayu memandang dengan kening sedikit berkerut

Mayang langsung terlonjak bangun dari pembaringan.

Dia duduk di tepi pembaringan itu. Kata-kata Ki Rampit

membuat jantungnya seperti berhenti berdetak seketika.

Sedangkan Bayu hanya diam. Pandangan matanya jadi

penuh rasa curiga.

"Bagaimana kau tahu kami akan datang?" tanya Bayu

dingin.

Lagi-lagi Ki Rampit hanya tersenyum saja.

***

"Kerajaan Gantar Angin ini tidak terlalu besar. Setiap

kali ada peristiwa yang terjadi, selalu cepat tersebar luas.

Aku tahu kalau Raden Bantar Gading selalu ke Bukit

Cemara, aku juga tahu peristiwa yang terjadi di Bukit

Batu...," kata Ki Rampit kalem.


Kata-kata laki-laki tua pemilik kedai itu memang

cukup jelas. Tapi, Bayu tidak mau menerima begitu saja.

Dia yakin itu bukan alasan yang tepat. Hanya saja. Bayu

tidak mau mendesak lebih jauh lagi. Dan kecemasan pun

mulai menjalar di harinya. Kalau memang demikian

alasan Ki Rampit, pasti semua orang sudah tahu

kedatangannya. Apalagi para prajurit serta punggawa

yang ada di kedai! Hal ini bisa jadi kesulitan besar bagi

Bayu dan Mayang.

Ki Rampit bangkit berdiri, dan membuka pintu

kamar itu. Dia berbalik dan tersenyum pada Bayu.

"Aku tahu kalian bukan pasangan suami istri. Tapi

jangan khawatir, tempat ini cukup aman bagi kalian

berdua," kata Ki Rampit sebelum meninggalkan kamar

itu.

Bayu tersentak kaget. Dia ingin mencegah, tapi Ki

Rampit sudah keburu pergi dengan menutup pintu

kamar ini. Bayu hanya bisa mendesah panjang dengan

mata menatap lurus pada Mayang. Wanita itu juga

membalas tatapan Pendekar Pulau Neraka.

"Kau di sini saja, Mayang. Jangan keluar dari kamar,"

kata Bayu seraya bangkit berdiri.

"Kakang mau ke mana?" tanya Mayang.

"Aku akan cari keterangan, siapa Ki Rampit

sebenarnya."

Mayang membiarkan saja Pendekar Pulau Neraka itu

keluar dari kamar ini, dan hanya duduk merenung di

tepi pembaringan. Wanita itu bangkit berdiri dan

melangkah ke jendela. Dari sini, kelihatan Bayu sedang

berjalan cepat melintasi taman. Tubuh Pendekar Pulau

Neraka itu lenyap di balik lorong kamar penginapan


lainnya. Mayang menarik napas panjang, dan kembali

berbalik. Dihenyakkan tubuhnya di pembaringan.

Sementara itu Bayu sudah menyusuri lorong yang di

kanan kirinya terdapat kamar-kamar sewaan.

Langkahnya cepat dan bergegas. Sebentar saja dia sudah

sampai di ujung lorong. Tapi saat tangannya hendak

membuka pintu, telinganya mendengar suara

percakapan dari balik pintu lorong ini.

Bayu paham betul akan suara dua orang laki-laki

yang sedang berbicara itu. Segera dikerahkan ilmu

meringankan tubuh dan ditajamkan telinganya. Suara

dua orang itu jelas suara Ki Rampit dan Raden Bantar

Gading.

"Kau yakin, kalau mereka adalah Mayang dan

Pendekar Pulau Neraka?" terdengar suara Raden Bantar

Gading.

"Tidak salah, Raden. Seperti yang Raden katakan,

wanitanya cantik, berkulit putih dengan rambut panjang

tergelung hitam. Ada andeng-andeng di sudut bibir

kanan. Sedangkan yang laki-laki berwajah tampan, tinggi

tegap dan memakai baju dari kulit harimau. Bukankah

begitu yang Raden katakan?"

"Hm, di mana kau tempatkan mereka?"

"Di kamar biasa, Raden."

"Bagus! Kau ajak Pendekar Pulau Neraka itu ke luar.

Biar kubereskan wanita keparat itu!"

"Hamba, Raden."

"Aku tunggu di kamar, lalu kau ajak dia pergi."

"Sekarang, Raden?"

"Iya, sekarang!"

"Baik, Raden."


Pada saat itu, Bayu sudah berlari cepat meninggalkan

lorong kamar penginapan itu. Dalam sekejap saja, dia

sudah sampai di depan pintu kamar, tempat Mayang

menunggu. Bergegas dibukanya pintu kamar itu.

Mayang terkejut melihat kedatangan Bayu begitu

tergesa-gesa.

"Cepat tinggalkan tempat ini!" kata Bayu.

"Ada apa, Kakang?" tanya Mayang.

Bayu tidak menjawab. Dengan cepat disambarnya

tangan wanita itu, dan ditariknya keluar. Secepat kilat

Pendekar Pulau Neraka itu memondong Mayang sambil

melentingkan tubuhnya ke atas atap. Tepat pada saat

Pendekar Pulau Neraka membawa Mayang pergi, Ki

Rampit keluar dari lorong. Langkah kakinya bergegas

melintasi taman, langsung menuju kamar khusus itu.

Ki Rampit mengetuk pintu yang sedikit terbuka. Tak

ada sahutan dari dalam. Pelahan-Iahan didorongnya

daun pintu itu. Matanya membeliak lebar begitu

mendapati kamar sudah kosong. Buntalan kain milik

Mayang masih teronggok di atas pembaringan. Bergegas

Ki Rampit berlari meninggalkan kamar itu.

"Raden...! Raden...!" teriaknya memanggil.

Pada saat Ki Rampit hampir mencapai pintu lorong,

Raden Bantar Gading muncul dengan tergesa-gesa. Ki

Rampit segera menjatuhkan diri berlutut. Napasnya

tersengal, seolah baru saja berlari jauh.

"Ada apa?!" tanya Raden Bantar Gading setengah

membentak.

"Celaka, Raden. Mereka kabur...." sahut Ki Rampit

dengan napas terengah-engah.

"Apa...?!"


"Mereka kabur, Raden," ulang Ki Rampit.

"Bodoh!"

Plak!

Ki Rampit mengaduh begitu telapak tangan Raden

Bantar Gading mendarat di pipinya. Laki-laki tua itu

terjungkal jatuh. Belum sempat dia bangkit, satu

tendangan keras membuat tubuhnya terguling beberapa

depa jauhnya. Raden Bantar Gading kembali

mendaratkan tendangannya ke tubuh laki-laki tua itu.

Benar-benar dilampiaskan kekesalannya.

Tidak puas dengan tendangan. Raden Bantar Gading

mengangkat tubuh tua itu. Maka dua pukulan mendarat

di tubuh laki-laki tua itu sekaligus. Darah mengucur

deras dari mulut dan pelipisnya yang luka. Ki Rampit

hanya bisa mengeluh dan merintih lirih. Seluruh tulang-

tulangnya terasa remuk redam. Tidak terhitung lagi,

berapa pukulan dan tendangan mendarat di wajah dan

tubuhnya.

"Mampus kau! Tua bangka tidak ada guna!" geram

Raden Bantar Gading.

Sret!

Raden Bantar Gading mencabut pedangnya, dan

langsung dikibaskan ke dada kurus kerempeng itu. Ki

Rampit tidak mungkin lagi mengelak. Tak pelak lagi,

dadanya terbabat ujung pedang Raden Bantar Gading. Ki

Rampit menjerit melengking, darah pun muncrat dari

luka panjang dan dalam di dadanya.

"Hiya...!"

"Aaakh...!"

Satu jeritan keras melengking mengantarkan nyawa

laki-laki tua malang itu. Darah kembali muncrat dari


perutnya yang tertembus pedang. Raden Bantar Gading

menendang tubuh tua yang tak bernyawa lagi itu. Sambil

melangkah pergi, disarungkan kembali pedangnya.

Beberapa orang yang mendengar ribut-ribut itu, hanya

bisa mengintip dari balik jendela kamar penginapan.

Tidak seorang pun yang berani mencegah. Mereka tahu

siapa Raden Bantar Gading, yang biasa membunuh

orang tanpa berkedip!

***


7

"Kakang, turunkan...!" jerit Mayang memberontak.

Bayu berhenti berlari setelah sampai di perbatasan

kotaraja. Diturunkan Mayang dari pondongannya.

Wanita itu memberengut sambil merapikan bajunya

yang kusut. Bayu memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Tak ada seorang pun yang terlihat.

"Kenapa buru-buru? Seperti dikejar setan saja!"

rungut Mayang.

"Dengar, Mayang: Ini kesalahanmu," kata Bayu

tajam.

"Aku...?!" Mayang tidak mengerti.

"Iya! Kalau saja kau biarkan Raden bergajul itu mati,

kita bisa bebas masuk ke kotaraja!"

"Kakang, apa sebenarnya yang terjadi?" Mayang

masih belum mengerti juga.

"Tidak ada lagi tempat aman bagimu! Raden Bantar

Gading sudah memerintahkan siapa saja untuk menjebak

dan menangkap kita, terutama kau!"

"Jadi...?"

"Ki Rampit sudah tahu siapa kita sebenarnya dari

Raden Bantar Gading. Dia sengaja memberi kamar

khusus, sementara Raden Bantar Gading menunggunya

di kamar lain," jelas Bayu singkat.

"O.... Pantas dia bisa tahu...," Mayang mengangguk-

anggukkan kepalanya.

"Dunia memang kejam, Mayang. Kau tidak boleh

percaya begitu saja pada siapa pun. Sekali kau terjebak,

selamanya tidak akan merasa aman."


"Kau juga tidak pernah percaya pada siapa pun?"

"Itu tergantung, Mayang. Kita boleh percaya pada

seseorang, tapi jangan sepenuhnya. Coba kalau tadi kita

percaya begitu saja pada omongan Ki Rampit...."

"Aku percaya padamu, Kakang," potong Mayang.

"Jangan! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya."

"Tidak! Aku tetap percaya padamu."

"Kau begitu polos, Mayang. Kepolosan dirimu bisa

menjeratmu. Bahkan bukan tidak mungkin

disalahgunakan orang lain. Kau tidak akan merasa

diperalat sebelum benar-benar terjerumus."

Mayang terdiam membisu. Pandangan matanya

tajam menembus langsung ke bola mata Pendekar Pulau

Neraka itu. Bisa ditebak arah pembicaraan Bayu

Hanggara. Mendadak saja hatinya jadi tidak menentu.

Kehadiran Bayu seperti sebuah pelita yang menerangi

hatinya. Mayang baru sadar kalau selama ini hatinya

begitu tertutup dan buta akan keadaan sekelilingnya.

Sungguh tidak disadari, bahwa banyak serigala liar

berada di sekitarnya. Serigala yang siap mencabik-cabik

tubuhnya.

"Kakang, apakah Eyang juga tidak bermaksud baik

padaku?" tanya Mayang ragu-ragu.

"Aku tidak mengatakan begitu, Mayang. Yang jelas,

saat ini bukan hanya satu dua orang menginginkanmu.

Kau juga harus tahu, siapa dirimu sebenarnya," sahut

Bayu.

"Aku jadi seperti bukan diriku lagi, Kakang," kata

Mayang bergumam.


"Kau tetap Mayang. Hanya saja asal-usulmu harus

kau ketahui. Jangan sampai ada orang yang

memanfaatkanmu untuk kepentingan pribadi."

"Bagaimana aku bisa tahu?"

"Kau akan tahu, Mayang. Percayalah, pasti masih

ada orang yang tahu betul akan asal-usulmu. Kau

percaya padaku, Mayang?"

"Tentu."

"Aku akan membantumu."

"Sungguh?"

Bayu mengangguk pasti. Hari Pendekar Pulau

Neraka itu tergerak melihat keadaan Mayang yang buta

akan riwayat hidupnya sendiri. Hal itu sama dengan

keadaan Bayu yang juga tidak tahu dan belum pernah

melihat wajah orang tuanya. Meskipun Pendekar Pulau

Neraka itu sudah mengetahui asal-usulnya, tapi masih

juga belum yakin kalau ibunya sudah tewas dalam

kerusuhan di Padepokan Teratai Putih. Sampai saat ini,

pusaranya saja belum ditemukan.

Kesamaan nasib antara dirinya dengan Mayang,

membuat hati Pendekar Pulau Neraka itu tergerak untuk

membantu. Terlepas sampai kapan Bayu bisa

mengungkap asal-usul wanita itu. Sedangkan orang-

orang yang ingin memanfaatkan kepolosan Mayang saja

belum bisa dipastikan. Saat ini Bayu menghadapi dua

persoalan yang hampir berlawanan. Dan itu pasti

menyangkut keluarga Kerajaan Gantar Angin.

Bayu tersentak dari lamunannya ketika riba-riba

Mayang menubruk dan memeluknya dengan erat.

Sebentar Bayu gelagapan. Buru-buru dilepaskan

pelukan wanita itu. Tapi Mayang malah memperketat


pelukannya. Bahkan tanpa sungkan-sungkan lagi,

diciuminya wajah Pendekar Pulau Neraka itu. Tentu saja

hal ini membuat hati Bayu tidak menentu.

"Mayang...," desah Bayu agak tersengal.

Dengan halus, Bayu melepaskan pelukan wanita itu.

Digeser kakinya dua langkah ke belakang. Sedangkan

Mayang tidak melepaskan genggaman tangannya pada

tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Bibirnya yang selalu

merah merekah, mengulas senyum. Bola matanya

berbinar, seperti mata bocah yang baru diberi hadiah.

"Aku gembira, Kakang. Kau telah membuka mata

hariku," kata Mayang.

"Iya, tapi jangan begitu caranya."

"Kau tidak suka?" '

Bayu tidak menjawab. Laki-laki mana yang tidak

suka dipeluk wanita cantik seperti ini? Hanya laki-laki

bodoh yang menolak. Tapi dalam suasana seperti ini,

rasanya Bayu enggan untuk bercinta. Memang diakui,

hatinya sempat tergetar saat memandang wajah wanita

itu. Lebih-lebih setelah Mayang memeluk dan

menciuminya. Rasanya saat itu juga jantung Bayu copot.

"Jangan gembira dulu, Mayang. Perjalananmu masih

jauh," kata Bayu agak tertahan suaranya.

"Maafkan aku, Kakang. Aku...," agak tersipu wajah

Mayang.

"Lupakan saja."

***

Malam baru saja beranjak turun menyelimuti bumi.

Angin dingin berhembus kencang membawa titik-titik

embun. Kabut pun ikut merayap menambah dinginnya


udara malam itu. Udara semakin menusuk tulang saat

titik-titik air hujan mulai merinai. Tapi, keadaan malam

yang tidak ramah itu tidak menghentikan langkah

seorang pemuda yang tengah memasuki Kotaraja

Kerajaan Gantar Angin.

Pemuda tampan dengan tubuh tinggi tegap itu

berjalan melintasi jalan yang cukup lebar dan berbatu.

Pandangan matanya lurus ke depan, dengan sorot mata

mencerminkan kemantapan hati. Tak ada seorang pun

yang terlihat di sepanjang jalan. Suasana malam yang

dingin dengan rintik air hujan merinai, membuat semua

orang lebih senang berada dalam rumah.

"Hm..., sepi. Mudah-mudahan dia ada di rumah,"

gumamnya pelan.

Langkah kakinya berhenti tepat di depan kedai dan

rumah penginapan milik Ki Rampit. Tempat itu

kelihatan gelap, tak ada satu pelita pun yang menerangi.

Suasana rumah penginapan itu seperti sudah lama tidak

berpenghuni. Pemuda tampan itu melangkahkan

kakinya mendekati pintu kedai yang tidak tertutup

dengan sempurna. Keningnya sedikit berkerut, seraya

tangannya mendorong pintu kedai itu.

"Sepi. Ke mana Ki Rampit?" kembali dia bergumam

sendiri.

Pelan kakinya terayun masuk ke dalam kedai. Benar-

benar sepi, tidak terlihat seorang pun di sini.

Keadaannya juga gelap dan tidak teratur. Masih banyak

bekas-bekas makanan berserakan di meja. Bahkan

beberapa meja dan kursi hancur berantakan. Pemuda

tampan itu mulai menduga-duga, apa yang telah terjadi

di kedai ini.

"Jangan-jangan...."

Pemuda itu bergegas melangkah menuju bagian

belakang kedai. Dia terus berjalan memasuki lorong yang

di kanan kirinya terdapat kamar-kamar untuk

disewakan. Semua pintu kamar terbuka lebar. Tidak ada

satu pun penyewa yang menghuni di situ. Pemuda itu

terus melangkah cepat keluar dari lorong. Mulutnya

terbuka, dan matanya membeliak lebar begitu melihat

tubuh Ki Rampit menggeletak bersimbah darah di atas

rerumputan taman belakang.

Belum sempat pemuda itu menghampiri mayat Ki

Rampit, mendadak telinganya menangkap desiran halus

dari arah belakang. Dia agak terperangah begitu melihat

seorang gadis mengayunkan sebilah golok ke arah

kepala. Buru-buru dia merunduk, dan tangannya

melayang menyentil golok di atas kepalanya.

"Akh!" gadis muda itu memekik tertahan.

Golok di tangannya terlepas dan mental cukup jauh.

Belum sempat gadis itu berbuat sesuatu, pemuda

tampan berbaju kulit harimau itu sudah menyergapnya,

dan langsung memelintir tangannya ke belakang.

"Ah...! Lepaskan...!" jerit gadis itu seraya meronta

coba melepaskan diri.

"Aku lepaskan kalau kau mau diam!" dingin suara

pemuda itu.

Gadis berbaju biru muda itu langsung diam tidak

meronta lagi. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu

melepaskan ringkusannya, dan mendorong tubuh gadis

itu ke depan. Gadis yang masih berusia sekitar lima belas

tahun itu memijit-mijit pergelangan tangannya. Kedua


bola matanya tajam menatap pemuda tampan di

depannya.

"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya pemuda

itu mulai lembut suaranya.

"Huh'" gadis itu mendengus ketus.

"Aku tidak bermaksud buruk," kata pemuda itu lagi

seraya melirik mayat Ki Rampit.

Pemuda itu melangkah menghampiri mayat itu, tapi

gadis berbaju biru muda itu sudah melompat

menghadang. Tatapan matanya semakin tajam menusuk.

"Jangan sentuh ayahku!" keras suara gadis itu.

"Kau putri Ki Rampit...?"

"Iya!"

"Kenapa kau diamkan saja mayat ayahmu? Kau kan

bisa meminta bantuan saudaramu yang lain atau

tetangga untuk menguburkannya?"

"Percuma. Tidak ada yang mau!" masih ketus nada

suara gadis itu.

"Aneh...!" desis pemuda itu.

Tanpa menghiraukan cegahan gadis putri Ki Rampit,

pemuda berbaju kulit harimau itu mendekati mayat Ki

Rampit, lalu mengangkatnya. Gadis itu seperti terpaku

dan tidak mencegah lagi. Malah diikutinya pemuda yang

membawa mayat laki-laki tua pemilik kedai dan rumah

penginapan itu. Langkah pemuda itu berhenti di

samping kamar sewa khusus. Mayat Ki Rampit

diletakkan di atas balai-balai bambu yang beralaskan

tikar daun pandan.

Tanpa menghiraukan putri Ki Rampit, pemuda itu

mengambil cangkul di belakang, dan mulai menggali

lubang.. Agak lama juga dia membuat lubang yang cukup besar di samping rumah sewa itu. Setelah dirasakan

cukup dalam, diangkatnya tubuh Ki Rampit untuk

dikuburkan. Gadis berbaju biru muda itu mulai terisak

begitu tubuh ayahnya mulai tertimbun tanah.

"Ayah...," rintihnya lirih.

Pemuda berbaju kulit harimau itu menghampiri putri

Ki Rampit setelah selesai mengubur mayat Ki Rampit

Gadis itu diajak masuk ke kamar sewaan khusus,

Pemuda itu menyuruhnya duduk di kursi. Dia sendiri

kemudian mengambil tempat dekat jendela. Gadis itu

masih terisak sesekali. Dengan punggung tangan,

dihapusnya air mata yang jatuh menitik ke pipi.

"Siapa namamu?" tanya pemuda itu lembut sua-

ranya.

"Rintan," sahut gadis itu pelan. Hampir tidak

terdengar suaranya.

"Aku Bayu. Kau boleh memanggilku, Kakang Bayu,"

pemuda berbaju kulit harimau itu juga memperkenalkan

diri.

"Kau bukan orang suruhan Raden Bantar Gading?"

Rintan ingin kepastian.

Bayu hanya menggeleng dan tersenyum manis.

"Untuk apa kau datang? Orang-orang Raden Bantar

Gading sangat kejam. Kau pasti akan dibunuh bila

mereka tahu bahwa kau yang mengubur mayat ayahku.

Raden Bantar Gading melarang siapa saja menguburkan

jenazah Ayah," kembali Rintan terisak.

"Lalu, saudaramu?"

“Aku anak tunggal, sedangkan Ibu sudah tiga tahun

lalu meninggal dunia.”


Bayu terdiam membisu. Gerahamnya bergemeletuk

menahan geram menyaksikan kekejaman yang

berlangsung di depan matanya. Sungguh tak disangka

kalau Ki Rampit akan bernasib seperti itu. Semula Bayu

menyangka kalau orang tua itu memang sengaja

menjebaknya. Ternyata semua itu dilakukan karena

terpaksa.

Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri Rintan, dan

memeluk dengan penuh perasaan. Rintan semakin keras

menangis. Dipeluknya Bayu erat-erat. Kepalanya

disembunyikan di dada pemuda itu. Bayu membiarkan

Rintan menumpahkan air mata dukanya. Hatinya

terenyuh menyaksikan penderitaan yang dialami gadis

muda ini.

***

Bayu membawa Rintan ke hutan perbatasan Kerajaan

Gantar Angin. Mayang pun menerima baik gadis itu.

Tetapi mereka terpaksa harus tinggal di dalam goa yang

sangat tersembunyi. Pendekar Pulau Neraka itu kembali

ke kotaraja setelah menitipkan Rintan pada Mayang. Dia

langsung menuju ke Istana Kerajaan Gantar Angin.

Bangunan istana nan megah itu dikelilingi tembok

benteng yang tinggi dan kokoh. Tidak kurang dari

seratus prajurit berjaga-jaga di setiap sudut benteng.

Cukup sulit untuk menembus ke dalam. Hampir setiap

jengkal selalu ada prajurit penjaga. Bayu mempelajari

keadaan sekitar istana itu dari atas dahan pohon yang

cukup tinggi.


"Hm. Seperti ada pesta di dalam...," gumam Bayu

dalam hati.

Di dalam ruangan yang besar dan megah, memang

sedang ada pesta. Tidak banyak yang hadir. Hanya para

kerabat dan keluarga kerajaan serta pembesar saja. Pesta

itu diadakan untuk menyambut jago-jago dari seberang

yang diundang secara khusus oleh Prabu Abiyasa.

Ada sekitar sepuluh orang berpakaian aneh dengan

senjata beraneka ragam yang mengaku jago-jago dari

seberang. Sedangkan Prabu Abiyasa duduk dengan

angkuh di atas singgasananya. Di samping kanan dan

kirinya duduk Raden Bantar Gading dan Raden Sangga

Alam. Tampak jelas kalau Raden Sangga Alam tidak

senang akan kehadiran jago-jago dari seberang itu.

Sedikit pun bibirnya tidak menyunggingkan senyum.

Prabu Abiyasa bangkit dari duduknya. Semua orang

yang ada di ruangan itu langsung diam, kemudian

membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Tidak

terkecuali sepuluh orang jago yang diundang dari

seberang yang juga memberi hormat dengan cara

masing-masing.

"Malam ini kita semua berkumpul untuk menyambut

kedatangan sepuluh jago yang kuundang. Mereka adalah

tokoh yang sukar dicari tandingannya di negaranya

masing-masing. Tugas mereka tidak lain untuk

mengamankan jalannya pembuatan jalan ke

Pesanggrahan Goa Larangan...," lantang dan berwibawa

kata-kata Prabu Abiyasa.

Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara.

Semuanya menyimak dengan sikap penuh hormat Mata

Prabu Abiyasa merayapi semua orang satu persatu.


"Di samping itu, tugas khusus yang harus mereka

jalankan adalah mencari dan membunuh perusuh!"

sambung Prabu Abiyasa.

"Ayah...," Raden Bantar Gading menyelak.

"Ada apa, Anakku?"

"Aku inginkan kepala Pendekar Pulau Neraka.

Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Akan kuberi

hadiah besar bagi siapa saja di antara mereka yang

berhasil memenggal kepala Pendekar Pulau Neraka,"

kata Raden Bantar Gading.

"Dengar itu! Anakku meminta satu kepala dan akan

memberikan hadiah yang sangat besar," sambung Prabu

Abiyasa.

Pernyataan Raden Bantar Gading disambut hangat

sepuluh orang jago dari seberang yang diundang itu.

Bahkan para kerabat dan pembesar istana juga

menyambut gembira. Lain halnya dengan Raden Sangga

Alam dan Paman Nampi. Mereka hanya diam saja. Dari

sikapnya, mereka tidak lagi betah berada dalam ruangan

ini. Kegelisahan mulai meyelimuti hati mereka.

Sementara pesta kembali dilanjutkan. Raden Bantar

Gading sibuk memberi keterangan tentang ciri-ciri

Pendekar Pulau Neraka pada sepuluh orang jago dari

seberang itu. Bahkan para patih dan panglima juga

menanyakan ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka. Mereka

juga tertarik dengan hadiah yang dijanjikan Raden

Bantar Gading. Tentu saja hal ini membuat putra

mahkota itu gembira.

"Ayah. Bolehkah Ananda beristirahat? Rasanya

kepala ini pening," kata Raden Sangga Alam yang sudah

tidak tahan lagi berada di ruangan itu.


"Pergilah," sahut Prabu Abiyasa.

Raden Sangga Alam beranjak bangkit. Diajaknya

Paman Nampi. Laki-laki tua berjubah putih itu memberi

hormat pada Prabu Abiyasa, kemudian beranjak pergi

mengikuti langkah Raden Sangga Alam. Mereka

bergegas meninggalkan ruangan yang besar itu. Raden

Sangga Alam langsung masuk ke dalam kamar peristi-

rahatannya. Sedangkan Paman Nampi menunggu di

depan pintu. Dia baru melangkah masuk setelah Raden

Sangga Alam memanggilnya. Paman Nampi duduk di

kursi dekat jendela.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Paman?"

tanya Raden Sangga Alam terdengar mengeluh.

Paman Nampi tidak langsung menjawab. Pikirannya

kini terpusat pada keinginan Raden Bantar Gading yang

menghendaki kepala Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan

sudah beberapa hari ini, dia tidak lagi bertemu pendekar

muda itu. Bahkan pondok tempat Mayang tinggal juga

sudah kosong. Dia tidak tahu, ke mana Mayang pergi.

Ada rasa gelisah menyeruak di dalam dadanya dengan

hilangnya Mayang.

"Paman...."

"Oh!" Paman Nampi terbangun dari lamunannya.

"Apa yang dipikirkan?" tanya Raden Sangga Alam.

"Tidak, Raden. Aku tidak memikirkan apa-apa,"

sahut Paman Nampi berdusta.

"Kedatangan jago-jago dari seberang bisa

membahayakan, Paman. Kita tidak mungkin lagi dapat

mencegah pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larang

an," keluh Raden Sangga Alam.


"Raden..., Ayahanda Prabu memusatkan

perhatiannya pada para pemberontak. Jago-jago dari

seberang itu sebenarnya ditugaskan untuk menumpas

para pemberontak. Bukan untuk menjaga kelancaran

pembuatan jalan."

"Tapi tidak semua, Paman. Dua orang dari mereka

saja sudah merupakan ancaman besar."

"Memang benar, Raden."

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

"Raden ingat orang tua yang kita tolong?" Paman

Nampi balik bertanya.

"Ki Maruta, maksudmu?"

"Benar! Ki Maruta pernah cerita padaku. Dia tahu di

mana tempat tinggal para pemberontak."

"Lalu?"

"Ki Maruta percaya kalau Raden selalu menentang

Ayahanda Prabu. Baik menentang pembuatan jalan itu,

maupun pembongkaran Pesanggrahan Goa Larangan.

Bahkan dia berharap Raden mau bergabung dengannya,

menyusun kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan

Prabu Abiyasa. Setelah itu kekuatan akan kita

kembalikan pada Gusti Ratu Kunti Boga," kata Paman

Nampi panjang lebar.

"Tidak mungkin, Paman. Aku tidak bisa

mengkhianati Ayahanda Prabu," sahut Raden Sangga

Alam dengan nada bingung.

"Rasanya hanya itu cara satu-satunya, Raden."

"Tapi...."


"Percayalah padaku, Raden. Rakyat pasti akan berada

di pihak Raden. Bahkan bukannya tidak mustahil Raden

akan menduduki tahta di Kerajaan Gantar Angin ini."

"Paman! Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi

raja.

"Aku tahu, Raden. Demi kebenaran dan keadilan,

tidak ada salahnya jika Raden membantu mereka. Lagi

pula Ayahanda Prabu tidak pernah mempedulikan

Raden. Beliau selalu membanggakan Raden Bantar

Gading. Aku yakin jika tahta sampai jatuh ke tangan

Raden Bantar Gading, Raden pasti akan mengalami nasib

yang sama dengan Gusti Ratu Kunti Boga."

"Aku tidak bisa memutuskannya sekarang, Paman,"

pelan suara Raden Sangga alam.

"Selama Raden berpikir, aku akan membantu mereka

secara diam-diam."

"Jangan, Paman. Terlalu berbahaya! Bisa-bisa...."

"Jangan khawatir, Raden," potong Paman Nampi

cepat.

Raden Sangga Alam mengangkat bahunya,

kemudian membaringkan tubuhnya di pembaringan.

Paman Nampi bangkit berdiri dan melangkah ke luar.

Raden Sangga Alam berusaha memejamkan matanya,

tapi terasa sulit. Kata-kata Paman Nampi terus-menerus

terngiang-ngiang di telinganya.

"Haruskah aku mengkhianati Ayahanda...?" gumam

Raden Sangga Alam dalam hari.

***


8

Pembicaraan antara Paman Nampi dan Raden

Sangga Alam didengar jelas oleh Bayu Hanggara, yang

saat itu tidak jauh dari kamar Raden Sangga Alam.

Pendekar Pulau Neraka itu bergegas melompat turun

dari atas dahan, dan langsung berlari cepat menjauhi

benteng Istana Kerajaan Gantar Angin. Dia baru berhenti

berlari setelah tiba di sebuah rumah yang tidak begitu

besar.

Rumah dari dinding papan dan beratapkan daun

rumbia itu, tampak gelap. Hanya sebuah pelita yang

meneranginya. Nyala lampu pelita nampak menari-nari

tertiup angin malam. Bayu mendekati pintu yang

tertutup rapat. Pelahan diketuknya pintu itu. Matanya

tidak pernah lepas mengamari keadaan sekitarnya.

"Siapa...?" terdengar suara dari dalam. Sepertinya

suara seorang laki-laki tua yang sedang mengantuk.

Bayu kembali mengetuk pintu itu.

"Sebentar...!"

Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Tampak

seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering muncul dari

ambang pintu. Dia hanya mengenakan kain lusuh yang

melilit bagian pinggangnya hingga ke bawah. Laki-laki

tua yang ternyata Ki Maruta itu terkejut melihat seorang

pemuda tampan dan gagah mendatangi rumah nya di

tengah malam buta begini.

"Ki Maruta...?" Bayu ingin memastikan.

"Ya...."

"Maaf, aku telah mengganggu tidurmu."


"Siapa Kisanak, dan ada keperluan apa malam-

malam begini?" tanya Ki Maruta.

"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya di sini."

Secepat Bayu berkata, secepat itu pula jari tangannya

bergerak menotok jalan darah laki-laki tua itu. Ki Maruta

hanya sempat mengeluh sedikit, sedangkan tubuhnya

langsung melorot turun. Bayu cepat-cepat menyangga,

dan memanggulnya di pundak. Saat itu juga dia

melompat meninggalkan rumah berdinding papan itu.

Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap saja

bayangan tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam.

Tepat, pada saat bayangan tubuh Pendekar Pulau

Neraka yang membawa Ki Maruta pergi, Paman Nampi

tiba dengan menunggang kuda. Panglima Perang

Kerajaan Gantar Angin itu langsung melompat turun

dari punggung kudanya. Dengan langkah tergesa-gesa

dia menerobos masuk ke rumah Ki Maruta.

"Ki...! Ki Maruta...!" panggil Paman Nampi.

Keningnya agak berkerut ketika melihat keadaan

rumah yang sunyi senyap. Paman Nampi membuka

pintu sebuah kamar. Kosong! Tak ada seorang pun di

kamar itu. Kemudian dibukanya pintu kamar lainnya.

Semua kamar yang diperiksa, kini tak berpenghuni sama

sekali.

"Ke mana dia? Jangan-jangan.... Ah! Tidak...! Tidak

mungkin!" Paman Nampi bicara pada dirinya sendiri.

Bergegas dia melangkah ke luar. Tapi, baru saja

kakinya menjejak di depan pintu, matanya membeliak

lebar. Bahkan mulutnya ternganga tanpa ada suara.

Tampak di depannya sudah berdiri sepuluh prajurit



yang siap dengan anak panah terbidik. Di belakangnya

ada dua puluh prajurit lagi dengan pedang terhunus.

Sedangkan di tengah-tengah, berdiri Raden Bantar

Gading didampingi dua orang jago undangan dari se-

berang. Paman Nampi kaget bukan main menghadapi

kenyataan ini.

"Untuk apa kau mencari Ki Maruta, Paman?" tanya

Raden Bantar Gading dingin. Nada suaranya terdengar

sinis.

Paman Nampi tidak bisa menjawab.

Kerongkongannya terasa kering.

"Tangkap dia!" perintah Raden Bantar Gading.

'Tunggu....'" sentak Paman Nampi.

Lima orang prajurit yang sudah bergerak maju, jadi

menghentikan langkahnya. Mereka pun ragu-ragu untuk

melaksanakan perintah itu. Paman Nampi melangkah

tiga tindak ke depan.

"Kenapa kalian ingin menangkapku?" tanya Paman

Nampi.

"Kau dituduh berkomplot dengan pemberontak,

Pangfima Nampi!" sahut Raden Bantar Gading.

"Mana buktinya?"

"Malam-malam kau datang ke sini, di saat kami

tengah mengadakan pesta. Sedangkan kami tengah

mencurigai Ki Maruta sebagai pemimpin pemberontak.

Apa itu bukan suatu bukti?"

"Kecurigaan bukan satu bukti!"

"Bagaimana dengan ini?"

Raden Bantar Gading mengeluarkan seuntai kalung

dengan lambang Kerajaan Gantar Angin. Kalung itu juga

sebagai lambang kebesaran kerajaan. Paman Nampi jadi



terbeliak melihat kalung itu ada di tangan Raden Bantar

Gading. Sepengetahuannya hanya Ratu Kunti Boga yang

memiliki kalung itu.

"Dari mana kau dapatkan kalung itu?" tanya Paman

Nampi tidak mungkin lagi bersilat lidah.

"Kau tidak perlu tahu dari mana aku mendapat-

kannya," jawab Raden Bantar Gading. "Tangkap dia!

Kalau melawan, bunuh saja!"

Lima orang prajurit yang tadi sudah maju, kini tidak

ragu-ragu lagi melaksanakan perintah. Mereka semua

memegang rantai dan siap untuk mengikat tubuh Paman

Nampi. Tapi laki-laki tua berjubah putih itu bergerak

cepat sebelum kelima prajurit itu berhasil menyentuh

tubuhnya.

Jerit melengking terdengar saling susul. Lima orang

prajurit itu tidak bisa lagi mengelak. Tubuh mereka

ambruk dengan darah mengucur deras. Entah kapan

dimulainya, tahu-tahu di tangan Paman Nampi sudah

tergenggam sebilah pedang pendek yang ujungnya

berlumuran darah.

"Tangkap! Jangan sampai lolos...!" teriak Raden

Bantar Gading gusar melihat lima orang prajuritnya

tewas dalam sekali gebrak saja. "Bunuh pengkhianat itu!"

Sepuluh prajurit yang sudah siap dengan panah,

langsung melepaskan apak panahnya. Paman Nampi

segera memutar-mutar pedang pendeknya cepat bagai

baling-baling. Anak panah yang meluncur menghu-

janinya rontok sebelum sampai pada sasaran. Dua orang

berpakaian aneh yang jelas adalah jago dari tanah

seberang, langsung melompat begitu hujan anak panah

terhenti.


Mereka langsung menyerang Paman Nampi dengan

dahsyat. Jurus-jurus yang mereka gunakan sungguh

aneh, sehingga laki-laki tua berjubah putih itu agak

kewalahan juga. Tapi dengan cepat dia dapat menguasai

keadaan. Pedang pendeknya berkelebatan cepat

mengarah pada bagian-bagian yang mematikan pada

tubuh lawannya.

"Hiya...! Yeaaah...!"

Tring! Trang!

Paman Nampi terkejut saat senjatanya beradu

dengan senjata salah seorang lawannya. Tangannya

seperti kesemutan. Buru-buru dia melompat mundur.

Tapi seorang lawannya lagi langsung menyodokkan

senjatanya yang berbentuk tombak pendek bermata lima.

Paman Nampi buru-buru mengibaskan pedang nya,

berusaha menyampok sodokan itu.

Trang!

"Heh!"

Paman Nampi kaget bukan main, karena pedangnya

terjepit di sela-sela ujung tombak pendek bermata lima

itu. Belum lagi sempat menarik pulang senjatanya, satu

tendangan dahsyat menghajar samping dadanya.

"Akh!"

Paman Nampi terpental sejauh dua batang tombak.

Pedangnya terlepas dari pegangan. Laki laki tua

berjubah putih itu berusaha bangkit, tapi ujung golok

besar sudah menempel di tenggorokannya. Bahkan kini

disusul dengan ujung tombak yang menekan dadanya.

Paman Nampi benar-benar tidak berdaya lagi sekarang.

"Ikat dia!" perintah Raden Bantar Gading.


Tiga orang prajurit segera melaksanakan perintah itu.

Mereka mengikat tangan dan tubuh Paman Nampi

dengan rantai baja. Laki-laki tua itu dipaksa bangun, dan

diseret oleh kuda yang ditunggangi seorang prajurit.

Tangan prajurit itu memegang ujung rantai yang

mengikat Paman Nampi.

Raden Bantar Gading segera melompat ke punggung

kudanya, diikuti dua orang jago dari seberang itu. Para

prajurit yang lain segera mengikuti. Sedangkan beberapa

di antaranya mengurus mayat-mayat temannya. Paman

Nampi tidak bisa lagi berbuat apa apa. Tubuhnya

bergelimpangan terseret kuda

***

Sementara itu, jauh di perbatasan Kerajaan Gantar

Angin. Tepatnya di sebuah hutan yang cukup lebat, Bayu

Hanggara berdiri tegak memandang laki-laki tua

bernama Ki Maruta yang duduk bersila di atas tum-

pukan dedaunan. Tidak jauh dari Ki Maruta duduk, dua

orang wanita juga duduk berdampingan. Mereka semua

memandang pada laki-laki tua itu.

"Aku tidak tahu, apakah kau salah seorang

pemimpin atau hanya pengikut kaum pemberontak. Tapi

bukan itu yang ingin kuketahui darimu...," kata Bayu

tegas.

Ki Maruta mengangkat kepalanya. Tatapan matanya

langsung tertuju pada wajah pemuda tampan berbaju

kulit harimau di depannya. Bayu menggeser kakinya



sedikit ke kanan, lalu duduk di atas batu pipih, tidak

jauh dari Mayang dan Rintan duduk.

"Kau kenal dengan kedua wanita ini?" tanya Bayu.

"Aku hanya kenal satu," sahut Ki Maruta. "Rintan."

"Satunya lagi?"

Ki Maruta tidak segera menjawah. Dipandanginya

wajah Mayang lekat-lekat. Tapi kepalanya menggeleng

beberapa kali. Dia memang belum pernah melihat

Mayang sebelumnya, sehingga sama sekali tidak

mengenalnya.

"Kau kenal dengan wanita yang bernama Bibi

Durati?" tanya Bayu lagi.

"Tidak," sahut Ki Maruta setelah berpikir sejenak.

Bayu memandang pada Mayang. Wanita itu hanya

menundukkan kepala saja.

"Kisanak. Untuk apa kau membawa aku ke sini? Lagi

pula, mengapa kau mengajukan pertanyaan-pertanyaan

yang aku tidak mengerti?" selak Ki Maruta.

"Ketahuilah, Ki Maruta. Apa yang kulakukan tidak

ada sangkut pautnya dengan kegiatanmu dalam

menghimpun kekuatan untuk menggulingkan tahta

Kerajaan Gantar Angin. Ini hanya sekedar ingin

menolong wanita itu," Bayu berusaha menjelaskan.

"Kisanak. Aku tidak berkeberatan membantu jika kau

bersedia menjelaskan duduk persoalannya," kata Ki

Maruta lagi.

Bayu memandang Mayang sekali lagi. Wanita

berbaju merah muda itu balas memandang, kemudian

kepalanya terangguk sedikit. Sebentar Bayu menarik

napas panjang, kemudian mulai menceritakan semua

yang diketahuinya tentang diri Mayang. Dan Mayang


sendiri pun menambahkan kalau ada kata-kata Bayu

yang kurang. Ki Maruta mendengarkannya dengan

penuh perhatian.

"Hm, jadi selama ini kau tidak tahu tentang asal-usul

dirimu?" tanya Ki Maruta seraya menatap Mayang.

"Ya," sahut Mayang pelan.

"Aneh..., kau tidak tahu asal-usul dirimu. Kau juga

tidak tahu orang yang selalu muncul dan

mengajarkanmu ilmu olah kanuragan. Benar-benar

aneh...," gumam Ki Maruta.

"Tapi sekarang aku tahu siapa dia, Ki," selak Mayang

'Ya, aku tahu. Panglima Nampi memiliki jurus 'Cakar

Maut' yang sangat dahsyat. Apa kau juga diajarkan jurus

itu?"

"Benar! Bahkan Bibi Durati juga mengajarkan aku

jurus 'Selendang Sakti'."

'"Selendang Sakti'...?!" Ki Maruta terkejut setengah

mati.

"Ada apa, Ki?" tanya Bayu.

"Kau punya selendangnya?" Ki Maruta tidak

menggubris pertanyaan Bayu.

"Ini," Mayang mengeluarkan selembar kain berwarna

kuning gading. Selendang itu tampaknya tidak berarti.

Tapi mata Ki Maruta jadi terbeliak begitu melihat ujung

selendang tergambar seekor naga bersisik emas.

Ki Maruta menggeleng-gelengkan kepalanya dengan

bibir memperdengarkan suara berdecak. Diserahkan

kembali selendang itu pada Mayang. Wanita itu

menyimpannya kembali ke balik bajunya.


"Kau beruntung, Mayang. Tidak sembarang orang

bisa menjadi murid si Selendang Sakti. Bahkan kau kini

memiliki benda sakti itu. Ck ck ck...," Ki Maruta kembali

menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Siapa si Selendang Sakti itu, Ki?" tanya Bayu.

"Mungkin selama ini kau hanya mengenalnya

sebagai Bibi Durati, Mayang. Atau mungkin juga

memang itu nama aslinya. Si Selendang Sakti seorang

tokoh wanita yang sukar dicari tandingannya. Rasanya

sukar untuk dipercaya kalau Panglima Nampi bisa

berhubungan dengannya. Bahkan sama-sama merawat

dan mendidikmu, Mayang."

"Lalu, siapa sebenarnya aku ini?" tanya Mayang,

seperti untuk dirinya sendiri.

"Kau percaya dengan kata-kata Panglima Nampi?"

tanya Ki Maruta.

"Entahlah," desah Mayang pelan.

"Gusti Ratu Kunti Boga memang memiliki seorang

putri. Pada saat Prabu Abiyasa menggulingkan tahtanya,

putri Gusti Ratu Kunti Boga memang baru berusia tujuh

tahun, dan hilang tanpa jejak. Tak ada seorang pun yang

tahu, di mana dia sampai saat ini. Sedangkan Gusti Ratu

Kunti Boga dimasukkan ke dalam tahanan bersama

kerabat dan keluarga lainnya."

"Siapa namanya?" tanya Bayu.

"Mayang...," sahut Ki Maruta.

***

Keterangan Ki Maruta membuat Mayang semakin

tidak tahu tentang dirinya. Sedangkan Bayu tidak bisa


mencegah Ki Maruta pergi. Yang dibutuhkan memang

hanya keterangan dari laki-laki tua itu. Tapi Bayu sempat

berpesan agar Ki Maruta tidak kembali ke rumahnya.

Kekhawatirannya memang beralasan, karena pihak

kerajaan sudah mengetahui tentang dirinya yang

berkomplot dengan kaum pemberontak.

Sepeninggal Ki Maruta, Mayang bergegas keluar dari

dalam goa. Bayu langsung mengikutinya. Sementara

Rintan hanya diam saja. Dia tidak mengerti sama sekali,

meskipun sejak tadi mengikuti terus pembicaraan itu.

Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benaknya.

"Mayang, tunggu...!"

Mayang menghentikan langkahnya Dia berbalik dan

menatap dengan mata berkaca-kaca pada Pendekar "ulau

Neraka itu. Bayu menghampiri dan me-megarg

pundaknya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata wanita

itu.

"Jangan melakukan tindakan yang bisa

membahayakan dirimu, Mayang," kata Bayu lembut.

"Aku harus bertemu dengan Panglima Nampi.

Hanya dia yang tahu," kata Mayang agak tersedak

suaranya.

"Aku mengerti perasaanmu, Mayang. Cobalah

mengendalikan diri dan berpikir dengan tenang. Tidak

mudah untuk mengetahui asal-usulmu. Sedangkan saat

ini nyawamu terancam," bujuk Bayu.

"Kakang! Benarkah aku putri Ratu Kunri Boga?"

tanya Mayang pelan.

"Kita akan mencari jawabannya, Mayang."

"Kapan?"


Bayu tidak segera menjawab, dan hanya mendesah

panjang sambil mengajak wanita itu kembali ke dalam

goa. Sementara Rintan hanya memandang saja dengan

tatapan tidak mengerti. Gadis belia itu hanya duduk

tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

"Mayang! Bukan hanya kau saja yang menderita.

Coba lihatlah Rintan. Dia juga sangat menderita karena

baru kehilangan ibunya. Bahkan kini ayahnya menyusul.

Aku yakin, Rintan juga ingin membalas sakit hatinya.

Sama seperti kau. Mungkin juga masih banyak yang

lebih menderita lagi darimu. Kau harus berpikir dengan

tenang, Mayang. Kendalikan dirimu," lemah lembut

Bayu menasehati.

Mayang hanya diam saja. Kata-kata Bayu yang lemah

lembut membuat harinya kembali mencair.

Dipandanginya Rintan, dan dihampirinya. Mayang

memeluk gadis belia itu. Rintan yang tidak mengerti

persoalannya hanya bisa membalas dengan pandangan

kosong menatap pada Pendekar Pulau Neraka.

"Aku akan menemui Panglima Nampi, kalian jangan

pergi jauh-jauh," kata Bayu berpesan.

Mayang menoleh dan mengangguk.

"Lepas senja nanti, aku akan kembali," ujar Bayu lagi.

"Hati-hati, Kakang," ucap Mayang pelan.

Bayu hanya tersenyum saja, kemudian berbalik dan

melangkah keluar dari dalam goa ini. Begitu sampai di

luar, dia langsung melesat cepat bagaikan kilat. Sekejap

saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap. Saat itu matahari

baru menampakkan diri di ufuk Timur. Sementara

Mayang duduk merenung di dalam goa ditemani Rintan.


Dia berharap pendekar Pulau Neraka bisa mengetahui

asal-usul dirinya. Mayang tak dapat tenang sebelum

mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Hanya Panglima

Nampi harapan satu-satunya. Tapi siapa yang tahu

keadaan Panglima Nampi saat ini? Sedangkan kaum

pemberontak mulai melancarkan aksinya. Dapatkah

Bayu mengungkap diri Mayang yang sebenarnya? Nah,

tentunya Anda semua menginginkan jawaban dari

pertanyaan-pertanyaan di atas bukan? Untuk itu,

ikutilah kisah selanjutnya yang sangat seru dan

mendebarkan! Serta akan membahas seluruh

permasalahan dalam cerita ini secara tuntas, yaitu

episode "JAGO DARI SEBERANG".


                        .   SELESAI










Share:

0 comments:

Posting Komentar