PESANGGRAHAN GOA LARANGAN
Oleh Teguh S.
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Teguh S.
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode 008 :
Pesanggrahan Goa Larangan
128 hal. ; 12 x 18 cm
1
Tar!
Suara cambuk menggeletar membelah angkasa.
Seorang laki-laki muda terjungkal dengan punggung
sobek panjang tersengat lidah cambuk. Sosok tubuh
muda yang hanya ditutupi celana sebatas lutut itu
berusaha bangkit berdiri. Namun satu sengatan cambuk
kembali memaksanya menggelepar sambil merintih lirih.
"Pemalas! Bangun, bangsat!" terdengar suara
bentakan keras, disusul dengan geletarnya ujung
cambuk yang menyengat kulit punggung laki-laki muda
itu.
Tar! Tar!
"Akh...!" laki-laki muda itu memekik tertahan.
Dua kali cambukan membuatnya jatuh lunglai tidak
sadarkan diri. Dan kini, sebuah tendangan keras
membuat tubuhnya terlempar sejauh dua batang
tombak. Kejadian itu disaksikan oleh berpuluh-puluh
pasang mata dengan kepala tertunduk dan lutut
gemetar. Seorang laki-laki muda berwajah tampan,
namun sorot matanya menyiratkan kebengisan, duduk
angkuh di atas punggung kuda putih. Bibirnya yang tipis
selalu tersenyum menyaksikan kekejaman yang sedang
berlangsung di pagi ini.
Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang memegang
cambuk dari kulit berduri, menghampiri orang yang kini
menggeletak tidak sadarkan diri akibat siksaannya itu.
Hanya dengan sebelah tangan, diangkatnya tubuh yang
bersimbah darah itu. Bagaikan melempar segumpal
kapas saja, tubuh yang tidak berdaya itu dibantingnya ke
atas bebatuan.
Trak!
Sebelah kaki algojo yang masih memegang cambuk
itu menginjak tubuh pemuda yang baru saja terhempas
di bebatuan. Darah langsung muncrat keluar dari
mulutnya. Laki-laki muda itu tidak sempat lagi
mengeluarkan suara. Nyawanya pun segera melayang.
Algojo bertubuh tinggi tegap itu melangkah mundur,
lalu membungkuk hormat pada pemuda di atas
punggung kuda putih.
"Dengar kalian semua! Jika kalian berani
membangkang, dan mencoba melarikan diri, maka akan
bernasib sama dengan orang tolol itu!" lantang suara
pemuda di atas punggung kuda itu sambil menunjuk
tubuh yang tak bernyawa lagi.
Puluhan orang di sekelilingnya hanya bisa
menunduk tanpa berani bersuara sedikit pun. Sebentar
pemuda itu memandang berkeliling, lalu digebah
kudanya pelahan. Kuda putih itu bergerak lambat
meninggalkan tempat berbatu dan berbukit itu. Sepuluh
pengawalnya yang menyandang senjata mengikuti dari
belakang. Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi besar yang
memegang cambuk itu mengebutkan cambuknya ke
udara.
Tar!
"Ayo! Kerja lagi!"
Puluhan orang laki-laki, tua dan muda, segera
melakukan pekerjaannya kembali, memecah batu-batuan
dan mengangkutnya ke bawah bukit. Mereka bekerja
tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sesekali mata
mereka melirik mayat pemuda yang masih berlumuran
darah. Setiap kali melirik, maka hanya suara tarikan
napas panjang yang terdengar. Entah apa yang ada
dalam benak mereka saat ini. Yang jelas, dari raut wajah
mereka tercermin rasa keterpaksaan dan ketersiksaan
yang amat dalam.
Sesekali suara cambuk menggeletar membelah
angkasa, disusul suara pekikan mengaduh. Sepuluh
orang bertubuh tinggi tegap, dengan otot-otot yang
bersembulan ke luar, selalu memainkan cambuknya.
Setiap kali ada yang mengeluh, atau berhenti bekerja,
cambuklah yang berbicara. Tak ada seorang pun yang
berani melawan. Mereka pasrah, meskipun sinar
matanya memancarkan kebencian dan keinginan
memberontak. Namun semuanya hanya dipendam di
dalam hati saja.
Agak jauh dari tempat perbukitan batu itu, seorang
laki-laki muda mengenakan baju dari sutra halus dan
indah berdiri memperhatikan dari ketinggian yang
terlindung oleh lebatnya pohon cemara. Di sampingnya
berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Pandangan
mata mereka tidak lepas ke arah tempat puluhan orang
yang bertelanjang dada tengah bekerja keras
menghancurkan batu-batuan dan mengangkutnya
menuruni tebing bukit berbatu itu.
"Seharusnya mereka diberi istirahat. Lihatlah, mereka
sudah terlalu lelah dengan kerja berat seperti itu," kata
laki-laki muda berkulit kuning langsat dengan wajah
tampan itu. Suaranya halus dan terdengar pelan.
Pandangannya tidak beralih ke bukit batu itu.
"Pekerjaan itu harus tepat pada waktunya, Raden,"
sahut laki-laki tua di sampingnya.
"Tapi dengan kerja paksa seharian penuh tanpa
istirahat, bukankah akan menambah beban saja, Paman?
Seperti Paman ketahui, sudah lima orang jadi korban,
hanya karena tidak tahan dengan kerja berat itu!" bantah
pemuda tampan itu.
"Pekerjaan itu memang berat, Raden. Mungkin itulah
sebabnya, mengapa Ayahanda Prabu meminta mereka
untuk bekerja terus sepanjang hari."
"Aku tidak percaya kalau Ayahanda yang
memerintahkan untuk berbuat kejam. Tidak
berperikemanusiaan!" wajah pemuda itu menegang.
Laki-laki tua di sampingnya mendesah panjang.
Dialihkan pandangannya ke arah lain. Pemuda tampan
berbaju indah itu berbalik, lalu menghampiri kudanya
yang tertambat tidak jauh dari bibir tebing yang tinggi
itu. Dengan satu gerakan yang manis, dia melompat naik
ke atas punggung kuda hitam itu. Sedangkan laki-laki
tua berjubah putih segera naik ke punggung kuda
miliknya sendiri. Pelahan-lahan mereka menggebah
kudanya menuruni tebing bukit yang tampak subur
dengan pohon cemara menjulang tinggi bagai hendak
menggapai langit.
"Akan kubicarakan hal ini pada Ayahanda," kata
pemuda itu.
"Raden...!" laki-laki tua itu terkejut.
“Paman Nampi tidak perlu cemas. Paman tidak akan
kulibatkan pada persoalan ini. Mereka telah bertindak
sewenang-wenang. Aku yakin, Ayahanda tidak
memerintahkan bertindak kejam begitu," kata pemuda
itu lagi.
"Raden Sangga Alam..., Gusti Ayahanda Prabu sudah
menitahkan pekerjaan itu pada Kakanda Raden Bantar
Gading. Hamba rasa, Raden tidak perlu turut campur
dalam pekerjaan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa
Larangan. Ampunkan Hamba, Raden. Hamba hanya
mengingatkan saja," kata laki-laki tua yang bernama
Nampi itu.
Pemuda tampan yang ternyata bernama Raden
Sangga Alam itu hanya diam saja. Kata-kata Paman
Nampi tadi memang tidak bisa disalahkan. Ayahnya,
Raja Abiyasa yang memerintah Kerajaan Gantar Angin
sudah memberinya tugas untuk membangun jalan
menuju ke Pesanggrahan Goa Larangan pada kakaknya.
Dan Raden Sangga Alam hanya diberikan tugas sebagai
pendamping saja. Tapi dia tidak pernah melakukan apa-
apa. Kakaknya memang tidak pernah memberi satu pun
tugas kepadanya, karena menganggapnya masih anak-
anak.
Raden Sangga Alam memang menyadari kalau
kakaknya lebih tegar dan tegas. Apalagi tingkat
kepandaiannya cukup tinggi. Meskipun demikian,
Raden Sangga Alam tidak pernah kalah jika sedang
berlatih ilmu olah kanuragan. Sangat disayangkan kalau
Ayahanda Prabu Abiyasa lebih menyukai Raden Bantar
Gading. Baik bentuk tubuh, sifat, dan segala tingkah laku
kedua kakak beradik putra mahkota itu memang sangat
berbeda. Di antara keduanya selalu saja ada
pertentangan. Namun demikian mereka saling
mencintai. Perbedaan yang menyolok bukanlah halangan
untuk bersama-sama, meskipun Raden Sangga Alam
selalu mengalah dalam segala hal.
Dua ekor kuda itu terus berjalan pelan menuruni
bukit. Sementara matahari semakin tinggi, dengan
sinarnya yang terik menyengat kulit. Di seberang Bukit
Cemara, puluhan orang masih bekerja di bawah teriknya
sang surya. Pekerjaan yang amat berat, dan dilakukan
dengan hati tersiksa.
***
Waktu terus bergulir sesuai dengan kodratnya. Siang
pun berganti malam. Suasana di Bukit Cemara tampak
sunyi senyap. Kini tidak lagi terdengar suara hantaman
palu memecah batu. Juga tidak lagi terdengar ayunan
kapak membelah kayu. Hanya suara jangkrik dan
binatang malam yang meramaikan suasana malam ini.
Seekor kuda putih melintas di jalan berbatu menuju
sebuah rumah yang tidak begitu besar di Kaki Bukit
Cemara. Rumah berdinding kayu dan beratapkan daun-
daun rumbia itu tampak sepi. Hanya sebuah pelita kecil
yang meneranginya. Penunggang kuda itu seorang
pemuda tampan bertubuh tegap, berpakaian sutra halus
yang indah. Dihentikan laju kuda putihnya tepat di
depan pintu rumah itu.
Pemuda itu melompat turun dengan gerakan ringan
dan indah. Ayunan kakinya tegap dan pasti mendekati
pintu yang tertutup rapat. Belum lagi sempat mengetuk,
pintu itu sudah terbuka. Seorang wanita berwajah cantik
dengan tubuh ramping terbungkus baju warna merah
muda muncul dari ambang pintu. Bibirnya yang merah
merekah, mengulas senyuman manis.
"Silakan masuk, Raden," ucap wanita itu lembut,
seraya membuka pintu lebar-lebar.
Pemuda tampan dan gagah itu melangkah masuk.
Sementara wanita itu menutup pintu kembali setelah
pemuda itu berada di dalam. Sebentar kemudian
dibesarkannya nyala pelita yang berada tepat di tengah-
tengah ruangan. Tampak suatu ruangan yang tidak
begitu besar, namun tertata indah. Lantainya beralaskan
permadani berbulu tebal. Pada dindingnya penuh
dengan hiasan mewah.
Sebuah dipan yang cukup besar nampak sejajar
dengan dinding. Dipan yang beralaskan kain sutra halus
berwarna biru muda itu kini diduduki oleh pemuda itu
pada tepinya. Tangannya menyangga pada bantal
berbentuk bulat pipih. Sedangkan wanita cantik itu
hanya mengamati saja. Bibirnya tetap menyunggingkan
senyum.
"Ada yang datang ke sini, Mayang?" tanya pemuda
itu lembut, namun nada suaranya menaruh kecurigaan.
"Hanya Raden Bantar Gading," sahut wanita yang
dipanggil Mayang itu.
Pemuda tampan itu tersenyum. Dia tahu kalau
Mayang hanya bercanda. Tentu saja, sebab orang yang
disebutkan Mayang tadi adalah dirinya sendiri.
Pemuda itu merentangkan tangannnya, dan Mayang
menghampiri dengan sikap manja. Dibiarkan saja tangan
Raden Bantar Gading memeluk pinggangnya yang
ramping.
Bau harum tubuh Mayang membelai hidung pemuda
itu. Mayang menurut saja ketika Raden Bantar Gading
menekannya duduk di sisinya. Raden Bantar Gading
menggamit dagu wanita itu, dan mengecup lembut
bibirnya. Mayang hanya mendesah seraya memejamkan
matanya.
"Ah, Raden...," desah Mayang seraya mendorong
lembut dada pemuda itu.
"Ada apa, Mayang?" tanya Raden Bantar Gading
lembut. Jari-jari tangannya membelai-belai pipi putih
yang halus itu.
Mayang tidak segera menyahut. Digeser duduknya
lebih ke tengah, lalu dibaringkan tubuhnya di atas dipan
itu. Raden Bantar Gading memperhatikan dengan bola
mata berputar nakal. Jari-jari tangannya tidak berhenti
bermain-main di dada dan seluruh tubuh wanita itu.
"Wajahmu murung sekali, Mayang. Ada yang
menyusahkan hatimu? Katakan saja. Aku selalu siap
mendengarkan keluhanmu," lembut suara Raden Bantar
Gading.
Kembali Mayang hanya mendesah seraya
menggeliatkan tubuhnya. Dia bangkit dan duduk
memeluk bantal bersulam benang emas. Wajahnya
semakin kelihatan murung. Raden Bantar Gading
memperhatikannya dengan penuh tanda tanya.
"Katakan, Mayang. Apa yang membuatmu murung?"
desah Raden Bantar Gading
"Pekerjaan itu," sahut Mayang pelan, hampir tidak
terdengar.
"Pembuatan jalan, maksudmu?"
"Ya."
"Kenapa? Ayahanda Prabu menghendaki adanya
jalan yang langsung ke Pesanggrahan Goa Larangan.
Aku rasa wajar jika rakyat mengorbankan tanahnya
untuk jalan itu. Toh nantinya berguna untuk mereka
juga."
"Aku tidak peduli dengan mereka."
"Lantas?"
"Aku mengkhawatirkan keselamatanmu."
Raden Bantar Gading tertawa terbahak-bahak
mendengar kata-kata Mayang tadi. Tenggorokannya
serasa tergelitik. Sama sekali tidak diduga kalau Mayang
mengkhawatirkan keselamatannya. Padahal tidak ada
yang perlu dikhawatirkan. Pekerjaan itu bukanlah hal
yang sulit, dan tidak ada yang berani menentangnya.
"Raden...," Mayang menolakkan tubuh Raden Bantar
Gading yang hendak memeluknya.
Pemuda itu tidak peduli. Tetap saja tubuh ramping
itu direngkuh ke dalam pelukannya. Dengan liar
diciuminya wajah dan leher wanita itu. Mayang
mendesah dan merintih lirih. Dia tidak kuasa lagi
menolak ketika tubuhnya direbahkan. Mayang
menggeliat, berusaha melepas pelukan putra mahkota
itu.
"Kenapa? Tidak biasanya kau menolakku, Mayang,"
suara Raden Bantar Gading agak tersengal.
"Raden, aku...."
Mayang tidak bisa melanjutkan kata-kata, karena
bibirnya sudah tersumpal bibir Raden Bantar Gading.
Dia hanya bisa mendesah lirih dan menggumam tidak
jelas. Kembali wanita itu menggeliat, namun kali ini
pelukan Raden Bantar Gading demikian kuat. Mayang
merintih lirih tidak mampu lagi menolak. Gairahnya
mulai bangkit, dan kini malah membalas kehangatan itu.
Tak ada lagi yang bicara, tak ada lagi kata-kata
terdengar. Hanya desah napas dan rintihan tertahan
yang mengusik sepinya malam. Sementara di dinding,
dua ekor cicak bercengkrama, tidak peduli dengan dua
manusia yang bergumul di ranjang beralas kain sutra
biru muda itu. Mereka pun asyik bercumbu. Dan sang
dewi malam rianya mampu mengintip malu dari balik
celah-celah jendela.
"Raden..., akh...!"
"Ohhh...."
***
Mayang beringsut bangkit dari pembaringan. Di-
benahi bajunya sebentar sambil matanya menatap Raden
Bantar Gading yang tergolek dengan dada telanjang.
Pandangan matanya sayu, menyimpan sejuta rasa yang
sulit untuk diungkapkan. Pelahan-lahan wanita itu
beringsut turun dan melangkah menjauh. Ayunan
kakinya pelan dan ringan menuju pintu. Sebentar dia
menoleh menatap Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin
yang masih terlelap dalam buaian mimpi indah.
Mayang membuka pintu pelahan-lahan, lalu
melangkah ke luar. Angin malam yang dingin langsung
menerpa kulit tubuhnya yang putih halus. Wanita itu
segera mengayunkan langkahnya setelah menutup pintu
pondok itu kembali. Kakinya terus terayun semakin jauh
meninggalkan pondok itu tanpa menoleh sedikit pun ke
belakang.
Wanita cantik berbaju merah itu baru berhenti setelah
tiba di bibir sebuah tebing yang membentuk lembah
besar. Dinginnya angin malam membuat tubuhnya
sedikit bergidik menggigil. Tatapan matanya lurus
memandang jauh ke lembah di bawah tebing itu.
Kemudian dia berbalik menghadap hutan yang lebat.
Tampak kerlip lampu pelita di kejauhan sana. Cahaya
pelita dari pondok yang ditinggalkannya.
"Oh...!" Wanita itu menoleh ketika telinganya
menangkap suara langkah kaki mendekatinya.
Dari balik kelebatan hutan di sebelah kanannya,
muncul sesosok tubuh berjubah gelap dengan kepala
tertutup kain hitam. Wajahnya tidak terlihat jelas, karena
kain hitam itu hampir mengurung seluruh kepalanya.
Malam yang amat gelap pun membuat tubuh dan
wajahnya hanya terlihat hitam.
"Kapan kau laksanakan tugasmu, Mayang?" tanya
orang yang tidak jelas wajahnya itu. Suaranya berat dan
besar.
Mayang tidak segera menjawah. Sinar matanya
memancarkan keraguan, dan hanya beberapa kali
menarik napas panjang dan berat.
"Kau sudah terlalu jauh. Aku tidak suka jika kau lupa
dengan tugas utamamu, Mayang. Ingat! Arwah orang
tuamu tidak sabar menunggu. Bahkan saudara-
saudaramu yang mungkin sudah mati di ruangan sempit
bawah tanah. Mereka semua hanya mengharapkanmu.
Kau harus bisa mengenyahkan perasaan hatimu. Ingat
kata-kataku, Mayang. Tugasmu lebih penting daripada
perasaan hati perempuanmu!" kata orang yang berjubah
hitam itu lagi.
“Aku mengerti, tapi...," suara Mayang tersekat di
tenggbrokan.
"Kau mencintainya?" dingin suara orang itu.
Mayang tidak menjawab. Dia sendiri tidak tahu,
apakah mencintainya atau tidak. Tapi Mayang tidak bisa
membohongi dirinya sendiri. Bagaimana pun dia hanya
seorang wanita yang membutuhkan belaian kasih
seorang pria. Dia ingin mengenyahkan perasaan itu, tapi
terasa sulit.
"Kuharap besok kau harus sudah melakukannya.
Aku tidak ingin lagi mendengar alasanmu," kata orang
itu tegas.
"Tapi...."
"Sudahlah. Tidak ada waktu lagi untuk berdebat!
Enyahkan segala perasaan cintamu! Masih banyak laki-
laki yang lebih cocok. Dia tidak pantas, dan harus kau
lenyapkan. Kau mengerti, Mayang?!"
"Mengerti, Eyang."
"Nah, laksanakan tugasmu dengan baik."
Mayang hanya diam membisu. Orang yang seluruh
tubuhnya terbalut kain hitam longgar itu berbalik, lalu
melangkah pergi. Mayang masih tetap berdiri tidak
bergeming. Matanya terus memandang kepergian orang
itu. Sebentar dia menarik napas panjang, lalu melangkah
meninggalkan tempat itu. Langkahnya gontai menuju ke
arah pondok kecil yang hanya diterangi sebuah pelita
yang redup cahayanya.
***
2
Mayang terkejut setelah membuka pintu pondoknya.
Raden Bantar Gading ternyata sudah berdiri menanti
dengan pakaian lengkap. Mayang membuka pintu lebar-
lebar, dan melangkah masuk. Dia berusaha memberi
senyumannya yang termanis, kemudian duduk di
bangku dekat jendela. Sementara Raden Bantar Gading
tetap berdiri tegak memperhatikannya.
"Kenapa kau memandangku begitu?" tanya Mayang
jengah.
"Dari mana kau?" Raden Bantar Gading balik
bertanya.
"Keluar," sahut Mayang kalem.
"Untuk apa? Menemui laki-laki lain?" agak kasar
suara Raden Bantar Gading.
Mayang tersentak kaget. Sungguh tidak disangka
kalau Raden Bantar Gading berkata kasar seperti itu
padanya. Tapi dengan cepat disembunyikan rasa terkejut
itu. Senyumnya yang selalu merekah, terlihat agak getir.
"Siapa laki-laki yang kau temui di atas bukit sana?"
tanya Raden Bantar Gading tajam.
"Laki-laki mana?" suara Mayang jadi bergetar.
Sungguh tidak diduga kalau Raden Bantar Gading
tahu bahwa dirinya barusan menemui seseorang di atas
bukit sana. Wajah Mayang berubah merah seketika.
Matanya tajam menatap langsung ke bola mata putra
mahkota itu.
"Kau tidak perlu berpura-pura lagi, Mayang. Kau
pikir aku tidak tahu? Kau keluar diam-diam, lalu
menunggu di atas bukit. Di sana kau bicara dengan
seseorang. Siapa dia?" agak keras suara Raden Bantar
Gading.
"Dia kakekku," sahut Mayang tidak bisa berpura-
pura lagi.
"Kau tidak bohong, Mayang?"
"Siapa yang bohong? Dia benar-benar kakekku!"
sentak Mayang gusar.
"Sejak kapan kau punya kakek? Sejak kapan kau
punya keluarga?" sinis kata-kata Raden Bantar Gading.
Mayang tidak langsung menjawab. Dia hanya
menatap tajam dengan sinar mata yang menusuk sampai
ke sudut hati yang paling dalam. Pelahan-lahan wanita
cantik berbaju merah muda itu bangkit berdiri.
"Kata-katamu sungguh menyakitkan, Raden...!" agak
bergetar suara Mayang. "Aku menghormatimu, karena
kau adalah junjunganku. Kau bebas melakukan apa saja
terhadap diriku, tapi jangan kau hina diriku seenaknya!"
"Heh...!'? Raden Bantar Gading tersentak kaget.
"Keluarlah, Raden. Sekarang aku berubah pikiran!"
bentak Mayang.
""He...! Kau mengusirku, Mayang?!"
"Keluar, kataku!"
"O..., rupanya kau telah memperoleh laki-laki yang
lebih dariku. Dasar pelacur! Perempuan liar...!"
"Keluar...!" jerit Mayang.
"Baik Aku akan keluar sekarang juga. Tapi ingat. Kau
tidak akan bisa bebas berhubungan dengan laki-laki itu.
Nyawamu ada di tanganku, Mayang!" ancam Raden
Bantar Gading.
Wajah wanita berbaju merah muda itu semakin
merah menegang. Kedua telapak tangannya terkepal
kaku. Dadanya menggeram menahan amarah yang
meluap-luap. Ancaman dan penghinaan yang terlontar
dari mulut Raden Bantar Gading, rriembuat hatinya
terluka. Mayang langsung beranjak ke pintu ketika putra
mahkota itu keluar dari dalam pondok ini. Wanita itu
menghambur ke pembaringan, dan menangis dengan
tubuh menelungkup.
Suara isak tangisnya tersendat. Bahunya berguncang-
guncang menahan tangis agar tidak sempat meledak.
Cukup lama juga Mayang menguras air matanya.
Pelahan dia bangkit dari pembaringan, kemudian
melangkah menuju ke jendela. Pandangannya
menerawang jauh ke Puncak Bukit Cemara.
"Tuhan..., kenapa aku diciptakan hanya untuk
menanggung derita?" lirih suara Mayang di sela-sela
isaknya.
Mendadak wanita itu tersentak ketika tiba-tiba pintu
pondoknya terbuka. Di ambang pintu sudah berdiri
seorang berbaju serba hitam dengan wajah hampir
semuanya tertutup kain hitam. Mayang langsung
berbalik dan menghapus air matanya. Orang berpakaian
serba hitam itu melangkah masuk
"Eyang...," agak tersedak suara Mayang.
"Kau sungguh mengecewakanku, Mayang," berat dan
datar suara orang berbaju serba hitam itu.
"Maafkan aku, Eyang. Aku..., aku tidak bisa
melakukannya. Aku mencintainya, Eyang."
"Kau masih juga mencintainya setelah dia
menghinamu? Mencampakkanmu seperti sampah?
Sungguh rendah martabatmu jika hanya diam menerima
penghinaan itu!"
Mayang diam saja.
"Sejak semula aku sudah tidak setuju dengan
caramu, tapi kau tetap bersikap keras. Nah, sekarang apa
yang terjadi? Memalukan!"
Mayang tetap diam.
"Mayang, saat ini aku tidak ingin lagi mendengar
segala macam alasanmu. Kau harus membunuh dia.
Bunuhlah seluruh keluarga Prabu Abiyasa. Ingat, kau
adalah pewaris yang syah Kerajaan Gantar Angin. Kau
harus menjadi ratu yang besar. Hilangkan semua
perasaan cintamu pada Raden Bantar Gading. Aku tidak
akan menemuimu lagi sebelum kau bunuh perampok
tahta itu! Kau mengerti, Mayang?!" tegas kata-kata orang
berbaju serba hitam itu.
Mayang menganggukkan kepalanya lemah.
"Sekarang saatnya kau melakukan tugasmu.
Sementara aku mengacaukan pembuatan jalan ke
Pesanggrahan Goa Larangan," sambung laki-laki berbaju
serba hitam itu lagi.
"Baik, Eyang," hanya itu yang bisa diucapkan
Mayang.
Laki-laki berbaju serba hitam itu segera berbalik dan
melangkah keluar dari pondok itu. Sementara Mayang
tetap berdiri membelakangi jendela. Matanya kosong
memandangi punggung laki-laki bersuara berat itu.
Entah apa yang ada di dalam benak Mayang saat ini.
***
Siang itu matahari begitu terik. Sinarnya panas
menyengat seluruh permukaan bumi. Di Bukit Batu yang
bersebelahan dengan Bukit Cemara, puluhan orang
bekerja memecah batu-batuan, dan mengangkutnya ke
bawah bukit. Mereka bekerja seperti tidak peduli akan
teriknya sinar matahari yang membakar kulit.
Tar!
Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap
mengayunkan cambuknya pada seorang tua yang
terjatuh saat mengangkat batu yang cukup besar. Ujung
cambuk itu menggores kulit orang tua itu. Dia hanya
mengaduh tertahan, dan tubuhnya terguling di atas
bebatuan. Laki-laki tinggi tegap itu kembali
mengayunkan cambuknya ke tubuh laki-laki tua tak
berdaya itu.
Tar! Tar!
"Pemalas! Ayo, kerja...!" terdengar bentakan keras
menggelegar.
"Oh.... Aku tidak kuat lagi, Gusti...," kata laki-laki tua
itu lirih.
Tar!
Kembali cambuk itu menyengat tubuh tua kurus itu.
"Akh!" laki-laki itu memekik tertahan.
Darah mulai mengucur dari tubuhnya yang sobek
terkena ujung cambuk. Laki-laki tua itu berusaha
bangkit, tapi sebuah tendangan keras membuatnya
terjungkal bergulingan. Kembali tubuh renta itu harus
menerima hantaman ujung cambuk.
"Tua bangka tidak ada guna! Huh! Sebaiknya kau
mampus!" dengus laki-laki tinggi tegap itu seraya
mengangkat cambuknya.
"Tunggu...!"
Satu bentakan keras membuat laki-laki tinggi tegap
berwajah bengis itu langsung menoleh. Raut wajahnya
tampak terkejut melihat kehadiran seorang pemuda
berwajah tampan dengan kulit putih halus bagai wanita,
yang kini telah berdiri tidak jauh dari tempat itu. Dia
mengenakan baju sutra halus yang indah dengan
sulaman benang emas. Di sampingnya berdiri seorang
laki-laki tua berjubah putih.
"Raden Sangga Alam...," suara laki-laki tegap yang
memegang cambuk itu agak tergetar.
Pemuda tampan itu bergegas melangkah
menghampiri laki-laki tinggi tegap itu. Langkahnya
berhenti tepat setengah depa di depannya. Tatapan
matanya tajam. Sedangkan laki-laki yang memegang
cambuk itu hanya menundukkan kepala saja.
Plak!
"Akh!" laki-laki tinggi tegap itu memekik tertahan.
Wajahnya memerah dan terasa panas kena gamparan
tangan yang halus bagai tangan perempuan itu.
Tubuhnya sampai berputar sedikit terdorong ke
belakang, namun kembali berdiri tegak dengan kepala
masih tertunduk. Sementara pemuda tampan itu
melangkah menghampiri laki-laki tua kurus yang masih
merintih menggeletak di atas bebatuan.
Pemuda itu berlutut dan memeriksa luka-luka di
tubuh laki-laki tua kurus itu, kemudian bangkit dan
membalikkan tubuhnya. Sebentar tatapan matanya tajam
pada laki-laki tinggi tegap memegang cambuk,
kemudian beralih pada laki-laki tua berjubah putih.
"Paman Nampi, bawa orang tua ini ke pondokku,"
perintah Raden Sangga Alam.
"Baik, Raden," sahut laki-laki tua berjubah putih yang
ternyata adalah Paman Nampi, penasehat pribadi Raden
Sangga Alam. Dia juga guru dalam ilmu olah kanuragan,
sekaligus sebagai abdi setia Putra Mahkota Raden
Sangga Alam.
Paman Nampi bergegas menghampiri laki-laki tua
kurus itu. Dibantunya laki-laki tua itu untuk bangkit
berdiri dan diajaknya pergi. Tapi laki-laki tua itu
berhenti melangkah setelah baru saja berjalan sekitar tiga
tindak. Matanya sayu menatap pada Raden Sangga
Alam. Bibirnya bergetar, seolah-olah ingin mengucapkan
sesuatu, namun tidak ada kata-kata yang terdengar
keluar.
"Terima kasih, Raden. Biarkan hamba di sini, hamba
masih sanggup bekerja," kata laki-laki tua itu, yang
akhirnya bersuara juga.
"Kau terluka cukup parah. Aku yakin kau tidak akan
sanggup lagi meneruskan pekerjaan. Paman Nampi,
bawa dia ke pondokku," kata Raden Sangga Alam tegas.
"Raden...."
Laki-laki tua itu ingin menolak, tapi Paman Nampi
cepat membawanya pergi dari tempat itu. Laki-laki tua
kurus itu hanya bisa menurut tanpa membantah lagi.
Sementara Raden Sangga Alam menghampiri laki-laki
tegap yang memegang cambuk kulit hitam pekat.
Sementara para pekerja lainnya, dan beberapa pengawas
yang juga memegang cambuk hanya memperhatikan
peristiwa itu. Mereka tidak ada yang berani membuka
mulut sedikit pun.
"Sekali lagi aku lihat ada kekejaman di sini, kubunuh
kau!" dingin suara Raden Sangga Alam.
"Raden...," laki-laki itu ingin membantah.
"Tidak ada alasan! Aku tidak ingin lagi melihat
korban akibat kekejaman kalian semua. Mengerti!"
potong Raden Sangga Alam.
Tak ada yang berani membantah. Mereka semua
hanya tertunduk. Raden Sangga Alam segera berlalu
menghampiri kudanya yang tali kekangnya dipegangi
oleh seorang pemuda berpakaian seragam prajurit.
Paman Nampi sudah berada di punggung kudanya,
sedangkan laki-laki tua kurus itu juga sudah berada di
atas punggung kuda bersama seorang prajurit.
Raden Sangga Alam melompat ringan ke atas
punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, putra
mahkota yang tampan itu menggebah kudanya
meninggalkan Bukit Batu itu. Sementara laki-laki tegap
yang memegang cambuk masih berdiri memandangi
kepergian Raden Sangga Alam yang didampingi oleh
Paman Nampi dan enam orang prajurit pengawal.
***
"Hey! Kenapa berhenti? Ayo kerja lagi!" terdengar
bentakan keras dan lantang.
Puluhan orang bertelanjang dada segera melakukan
pekerjaannya. Kembali terdengar suara denting batu
dipukul. Saat itu laki-laki tegap yang menyiksa seorang
tua yang hanya karena terjatuh, membentak-bentak
memberi perintah kepada puluhan orang yang tengah
bekerja membelah batu. Seorang lagi yang juga bertubuh
tegap dan memegang cambuk menghampiri.
"Kenapa tidak kau laporkan saja pada Raden Bantar
Gading, Kakang Braga?" tanya orang yang mendekati
itu.
"Biar sajalah, Adik Kinca," jawab laki-laki itu yang
ternyata bernama Braga.
"Tapi kalau hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin
akan menghambat pekerjaan, Kakang," kata Kinca lagi.
"Hhh! Kalau bukan Raden Sangga Alam, sudah
kurobek mulutnya tadi," dengus Braga.
Kinca hanya tersenyum tipis. Bisa dimaklumi
perasaan Braga saat ini. Memang sungguh menyakitkan
bila ditampar di depan orang banyak. Bagi orang-orang
seperti mereka yang sudah terbiasa hidup dalam dunia
keras berlumur darah, lebih baik bertarung sampai mati
daripada dipermalukan di depan orang banyak begitu.
Tamparan keras yang diterima Braga, sama saja
tamparan bagi sepuluh orang yang mengawasi pekerjaan
itu.
"Bagaimana pun juga, Raden Bantar Gading harus
tahu, Kakang," kata Kinca lagi.
Braga masih diam. Wajahnya sebentar merah,
sebentar kemudian putih pucat bagai kapas. Napasnya
terdengar memburu agak tersengal. Kinca tahu kalau
Braga tengah menahan luapan amarah karena diper-
malukan oleh Raden Sangga Alam.
Belum lagi Kinca mengeluarkan suara lagi, tiba-tiba
dari arah Bukit Cemara, berkelebat sebuah bayangan
hitam dengan cepat. Bayangan hitam itu, tahu-tahu
mengamuk menghajar orang-orang yang tengah bekerja
membelah dan mengangkut batu. Dalam waktu yang
amat singkat, lima orang telah menggeletak dengan dada
sobek lebar dan dalam. Darah segera mengucur
membasahi bumi.
Belum sempat ada yang menyadari, bayangan hitam
itu sudah berkelebat kembali. Kali ini sasarannya adalah
delapan orang memegang cambuk yang berdiri
berkelompok. Gerakan bayangan hitam itu sangat luar
biasa cepatnya, sehingga dua orang yang memegang
cambuk langsung ambruk dengan leher hampir
terpenggal. Saat itu juga, enam orang bertubuh tinggi
tegap serentak berlompatan mengepung. Sedangkan
Braga dan Kinca masih tetap berdiri memperhatikan.
Trang! Tring!
"Aaakh...!"
Jerit dan pekik kematian terdengar saling susul.
Bayangan hitam itu terus berkelebatan dengan cepat,
sehingga sukar untuk diikuti dengan mata biasa. Orang-
orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun tampak
kerepotan. Mereka harus membanting diri atau mencelat
ke belakang jika terlihat bayangan hitam itu berkelebat
menuju ke arahnya.
"Setan! Siapa dia...?" geram Braga melihat dua orang
temannya menggeletak tak bernyawa. Tanpa berkata
apa-apa lagi, Braga segera melompat menerjang
bayangan hitam itu.
Braga yang memiliki ilmu olah kanuragan lumayan,
kelihatannya mampu melayani orang berbaju serba
hitam itu. Laki-laki tinggi tegap itu berusaha
memperhatikan bayangan yang berkelebat. Tapi sangat
sulit, karena seluruh tubuh orang itu terselimut kain
hitam. Sedangkan, para algojo mengamuk bagaikan
banteng yang terlukai.
Rupanya perlawanan Braga membuat bayangan
hitam itu agak kerepotan. Namun dengan satu gerakan
yang ringan dan indah, dia melenting ke udara dan
langsung mencelat menuju ke Bukit Cemara. Dalam
sekejap mata saja, bayangan hitam itu sudah lenyap
ditelan rimbunnya pohon cemara.
"Siapa dia? Apa maksudnya mengacau di sini?"
gumam Braga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
***
Brak!
Meja ukir dari kayu jati tebal itu sampai rengat
dihantam pukulan keras Raden Bantar Gading. Putra
Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu tampak merah
wajahnya. Matanya berkilat tajam menatap Braga dan
Kinca yang berdiri dengan kepala tertunduk di
depannya. Sesaat kesunyian menyelimuti ruangan
pondok yang tidak begitu besar itu.
"Goblok! Percuma saja kalian kubayar mahal, kalau
hanya menghadapi satu orang saja sudah tidak becus!"
maki Raden Bantar Gading.
"Tingkat kepandaian orang itu sangat tinggi, Raden,"
kata Braga coba membela diri.
"Empat orang teman kami tewas dalam waktu
singkat, Raden," sambung Kinca.
"Kenapa kalian tidak ikut mampus sekalian?!" geram
Raden Bantar Gading.
Braga dan Kinca terdiam. Mereka hanya saling
pandang.
Mereka memang orang-orang bayaran yang bekerja
dengan mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa
mereka sendiri. Caci-maki orang yang membayar
mereka, sudah bukan hal baru lagi. Semua itu sudah
terbiasa, dan dianggap sebagai salah satu resiko menjadi
orang bayaran.
"Braga! Kau tahu, siapa orang yang mengacau di
Bukit Batu itu?" tanya Raden Bantar Gading tajam.
"Tidak, Raden. Orang itu memakai baju serba hitam.
Mukanya pun tertutup kain hitam juga. Sulit untuk
mengenalinya, Raden," sahut Braga seraya mengangkat
kepalanya sedikit.
"Tapi kau bisa mengenali suaranya, bukan?" desak
Raden Bantar Gading.
"Orang itu tidak berkata apa-apa, Raden. Datang
langsung mengamuk dan membunuh para pekerja. Kami
berusaha menghalau, tapi empat orang teman kami
malah tewas," sahut Braga lagi.
"Edan!" dengus Raden Bantar Gading menggeram.
Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu bangkit
berdiri dari kursinya yang juga terbuat dari kayu jati
ukiran. Sinar matanya tetap tajam menusuk. Raut
wajahnya menegang, dengan kening sedikit berkerut.
Raden Bantar Gading melangkah pelan-pelan menuju ke
jendela yang cukup besar dan terbuka lebar.
Dan baru saja sampai di muka jendela, mendadak
sebuah anak panah melesat bagai kilat ke arahnya.
Raden Bantar Gading terperangah sejenak, lalu dengan
cepat diegoskan tubuhnya ke samping. Anak panah itu
melesat sedikit di depan dadanya, langsung menancap
pada tiang penyangga di tengah-tengah ruangan itu.
Braga dan Kinca terkejut. Mereka segera melompat
keluar lewat pintu yang juga terbuka lebar.
Raden Bantar Gading meneliti keadaan di luar se-
bentar, lalu matanya beralih menatap anak panah yang
tertancap di riang penyangga pondok ini. Bergegas
dihampiri, dan dicabutnya anak panah itu. Selembar
daun lontar terikat di batang anak panah itu. Raden
Bantar Gading melepas ikatan daun lontar itu dan
membukanya. Kelopak mata Putra Mahkota Kerajaan
Gantar Angin itu membeliak lebar begitu melihat daun
lontar itu berisi sebaris kalimat.... 'Hentikan pekerjaan
kotormu, atau....'
"Setan!" geram Raden Bantar Gading seraya meremas
lumat daun lontar berisi ancaman itu.
Pada saat itu Braga dan Kinca masuk ke dalam
pondok. Mereka agak heran melihat air muka putra
mahkota itu kelihatan marah luar biasa. Perhatian
mereka tertuju pada daun lontar yang hampir lumat di
dalam genggaman Raden Bantar Gading.
"Raden...," agak bergetar suara Braga.
"Kalian kembali ke Bukit Batu. Aku akan cari orang
lain untuk membantu kalian!" kata Raden Bantar Gading
memerintah.
Braga dan Kinca segera membungkuk memberi
hormat, lalu bergegas melangkah keluar dari pondok itu.
Sementara Raden Bantar Gading tetap berada di dalam
pondok. Dia berjalan mondar-mandir dengan wajah
memerah tegang dan kedua tangannya terkepal erat.
Daun lontar di dalam kepalan tangannya sudah hancur
bagai tepung.
Begitu terdengar derap kaki kuda dipacu, Raden
Bantar Gading bergegas melangkah ke luar. Tampak
debu mengepul di kejauhan. Sebentar putra mahkota itu
memandangi dua orang bayarannya yang memacu kuda
dengan cepat menuju ke Bukit Batu. Raden Bantar
Gading segera menghampiri kudanya yang tertambat di
bawah pohon kenanga. Dengan satu gerakan yang
ringan dan indah, tubuhnya melenting dan hinggap di
atas punggung kuda putihnya.
"Yeah! Hiya...!"
Raden Bantar Gading langsung menggebah kudanya,
agar berlari cepat. Bagaikan sebatang anak panah lepas
dari busurnya, kuda putih itu melesat meninggalkan
pondok kecil tempat bernaung sementara Raden Bantar
Gading. Debu mengepul ke udara terhantam derap kaki
kuda. Raden Bantar Gading terus memacu kudanya
dengan cepat menuju ke arah Utara.
***
Sementara itu di Bukit Batu, puluhan orang tengah
mengerang meregang nyawa. Darah berceceran di segala
tempat. Bahkan tidak sedikit yang menggelimpang tidak
bernyawa lagi. Tak ada seorang pun yang masih bisa
berdiri tegak. Pemandangan di Bukit Batu itu sungguh
mengenaskan. Mayat tergeletak di mana-mana. Erangan
dan rintihan terdengar lirih tersapu angin. Bau anyir
darah menyeruak lubang hidung.
Braga dan Kinca yang baru tiba di bukit itu, langsung
melompat turun dari kudanya. Mereka berlarian dengan
mata membeliak lebar hampir tidak percaya. Kini, tak
ada seorang pun yang masih hidup. Suara erangan yang
semula masih terdengar lirih, lenyap bersamaan dengan
datangnya dua orang bayaran Raden Bantar Gading itu.
Braga dan Kinca memeriksa satu persatu mayat yang
bergelimpangan.
"Gila! Siapa yang melakukan ini...?!" geram Braga
seperti bertanya kepada dirinya sendiri.
"Semua tewas, Kakang," lapor Kinca.
Braga tidak menyahuti. Matanya memandang ke
sekeliling. Empat orang temannya juga sudah
menggeletak dengan keadaan tubuh mengenaskan. Kini
di Bukit Batu tinggal mereka berdua saja yang masih
hidup. Seperti dikomando saja, kedua orang itu bergerak
menjauhi tempat yang penuh mayat bergelimpangan itu.
"Sebaiknya kita laporkan saja hal ini pada Raden
Bantar Gading, Kakang," kata Kinca mengusulkan.
Braga tidak segera menyahut. Dia tetap melangkah
menghampiri kudanya. Kinca mengikuti. Mereka segera
naik ke punggung kudanya masing-masing. Sesaat
mereka memandang berkeliling, lalu menjalankan
kudanya pelahan-lahan menuruni Lereng Bukit Batu itu.
"Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan
pekerjaan ini, Kinca," ujar Braga setelah lama terdiam.
"Maksud Kakang?" tanya Kinca tidak mengerti.
"Bukan sekali ini kita dibayar untuk mengawasi
pekerjaan pembuatan jalan. Bahkan yang lebih berat dari
ini pun, sering kita lakukan. Tapi aku belum pernah
mengalami hal seperti ini sebelumnya," jelas Braga
setengah bergumam.
"Kau menduga ada maksud tersembunyi di balik
pembuatan jalan ini, Kakang?" tebak Kinca.
"Benar, dan kita tidak mengetahuinya," sahut Braga.
Kinca diam merenung. Sementara kuda mereka terus
berjalan pelahan-lahan semakin jauh meninggalkan Bukit
Batu. Angin yang berhembus masih terasa membawa
bau anyir darah dari bukit itu. Sementara matahari yang
bersinar terik, tetap memanggang permukaan bumi.
Sepertinya tidak peduli dengan kejadian yang
berlangsung di bawah siraman cahayanya.
"Lantas, apa yang harus kita lakukan?" tanya Kinca
lagi.
"Seorang raja besar seperti Prabu Abiyasa, tidak
mungkin melakukan pekerjaan besar tanpa
menghasilkan sesuatu yang lebih besar lagi. Lebih-lebih
dengan resiko mengorbankan banyak nyawa. Uh! Bodoh
sekali aku...! Kenapa tidak terpikirkan sejak semula...?"
Braga menepuk keningnya sendiri.
Kinca memandangi dengan kening berkerut. Dia
memang memiliki ilmu olah kanuragan yang lumayan,
tapi otaknya tidak pernah bisa diajak berpikir jauh dan
mendalam. Semua yang dilakukan selalu tergantung dari
pemikiran kakaknya, Braga.
"Kau tahu letak Pesanggrahan Goa Larangan, Kinca?"
tanya Braga.
"Kalau tidak salah, letaknya di Pantai Utara dekat
Desa Muara Pening," jawab Kinca ragu-ragu.
"Kau yakin?"
"Entahlah. Aku juga hanya dengar-dengar saja. Aku
sendiri belum pernah ke sana," sahut Kinca.
"Kita cari Pesanggrahan Goa Larangan itu, Kinca,"
kata Braga.
"Lalu, bagaimana dengan mereka yang tewas,
Kakang?" tanya Kinca.
"Biarkan saja, nanti juga ada prajurit yang tahu,"
sahut Braga.
Kinca hanya mengangkat pundaknya saja. Dia
percaya kalau kakaknya ini pasti sudah memiliki suatu
rencana yang akan menguntungkan, daripada tetap
mengikuti Raden Bantar Gading. Kedua laki-laki bayaran
itu segera memacu kudanya memutari Lereng Bukit Batu
ini. Mereka tidak peduli lagi dengan pekerjaan yang
dibebankan padanya. Apalagi terhadap mayat-mayat
yang bergelimpangan di Puncak Bukit Batu.
***
3
Kabar tentang pembantaian yang terjadi di Bukit
Batu telah terdengar di telinga Prabu Abiyasa. Tentu saja
hal ini meresahkan seluruh rakyat di Kerajaan Gantar
Angin. Mereka yang terbantai adalah sebagian dari
rakyat Gantar Angia. Sedangkan Raden Bantar Gading
segera mengambil tindakan dengan mengerahkan
seratus prajurit untuk menjaga di sekitar Bukit Batu. Dia
juga mengambil lebih banyak lagi rakyatnya untuk
meneruskan pekerjaan pembuatan jalan dari Kerajaan
Gantar Angin ke Pesanggrahan Goa Larangan.
Sementara itu, Raden Sangga Alam yang sejak
semula tidak menyetujui adanya pembuatan jalan itu,
hanya bisa menerka-nerka arti semua peristiwa
pembantaian di Bukit Batu. Dia berusaha mendekati
ayahnya untuk menghentikan pekerjaan itu. Rupanya,
kata-kata Raden Bantar Gading sudah merasuk begitu
dalam di hati Prabu Abiyasa. Ternyata usaha Raden
Sangga Alam tidak mungkin berhasil dengan cara
pendekatan terhadap ayahnya.
"Tampaknya Ayahanda Prabu sudah tidak berkenan
lagi mendengar kata-kataku, Paman," kata Raden Sangga
Alam saat berdua saja dengan Paman Nampi di taman
istana.
"Tapi, bagaimanapun juga, Raden harus bisa
mencegah pembuatan jalan itu," kata Paman Nampi.
"Apa lagi yang harus kulakukan, Paman?
Pembantaian di Bukit Baru sudah menandakan kalau ada
orang lain yang juga tidak senang dengan pembuatan
jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan itu. Dan sepertinya,
Kanda Bantar Gading mencurigaiku. Ditambah kini,
Ayahanda Prabu sudah tidak percaya lagi padaku,"
keluh Raden Sangga Alam.
"Jangan putus asa dulu, Raden. Masih banyak cara
yang bisa ditempuh," kata Paman Nampi memberi
semangat.
"Cara apa lagi, Paman? Semua cara yang kutempuh
tidak pernah mengorbankan rakyat. Tapi sekarang...,"
nada suara Raden Sangga Alam terdengar putus asa.
"Yah..., aku sendiri juga menyesalkan kejadian di
Bukit Batu itu, Raden," desah Paman Nampi pelan.
"Siapa orang itu, Paman?" tanya Raden Sangga Alam.
"Menurut keterangan yang kudengar, dia muncul
dengan menggunakan baju serba hitam. Orang itu juga
telah memberi peringatan sebelumnya," sahut Paman
Nampi.
"Dia pasti memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.
Orang-orang bayaran saja tidak mampu
menandinginya," pelan suara Raden Sangga Alam
Paman Nampi diam saja.
"Paman, apakah tidak sebaiknya kita cari tahu
tentang orang itu?" usul Raden Sangga Alam.
"Untuk apa?" tanya Paman Nampi agak terkejut.
"Aku yakin, tujuannya sama derujan kita. Tapi
caranya yang berbeda. Kita bisa bergabung dengannya.
sehingga tidak menimbulkan korban lebih banyak lagi,
Paman," jelas Raden Sangga Alam mengemukakan
pikirannya yang mendadak timbul.
"Tidak mudah, Raden. Sama saja mencari jarum di
padang luas," kata Paman Nampi.
"Aku yakin bisa menemukannya. Toh kita tidak
bermaksud memusuhinya. Bahkan akan mengajaknya
bergabung dengan cara yang lebih halus, tanpa
mengorbankan rakyat."
Paman Nampi kembali terdiam. Nampaknya usul
Raden Sangga Alam sedang dipikirkannya. Namun dari
sinar mata laki-laki tua berjubah putih itu seakan-akan
menyiratkan ketidakyakinan. Atau mungkin juga tidak
setuju akan usul putra kedua Prabu Abiyasa. Sedangkan
Raden Sangga Alam menunggu jawabannya dengan
penuh harapan.
"Bagaimana caranya mencari orang itu, Raden?"
tanya Paman Nampi pelan. Sepertinya dia tidak yakin
dengan pertanyaannya lagi.
"Itulah yang sedang kupikirkan, Paman," sahut
Raden Sangga Alam. Pelan suaranya.
"Bagaimana kalau kita cari di sekitar Bukit Cemara?"
usul Paman Nampi.
"Tidak mungkin, Paman. Ayahanda tidak
mengijinkan aku ke Bukit Cemara lagi. Bahkan Kanda
Bantar Gading tidak ingin pekerjaannya dicampuri lagi,"
keluh Raden Sangga Alam.
"Raden bisa beralasan," kata Paman Nampi.
"Alasan apa?"
"Berburu."
"Pasti Ayahanda memerintahkan satu pasukan untuk
mengawalku."
"Tidak jadi masalah. Raden bisa pilih pasukanku.
Mereka semua setia padaku, Raden."
"Ah, benar, Paman! Ayahanda Prabu pasti setuju.
Prajurit-prajurit Paman sangat terlatih dan selalu terpilih
jadi prajurit utama kerajaan," seru Raden Sangga Alam
gembira.
"Kapan Raden akan menemui Ayahanda Prabu?"
"Hari ini juga, Paman."
"Jangan! Sebaiknya tiga atau empat hari lagi, agar
tidak terlalu menyolek. Lagi pula perhatian Ayahanda
Prabu sedang terpusat pada pembuatan jalan ke
pesanggrahan."
"Baiklah, Paman," sahut Raden Sangga Alam
menyerah.
"Untuk sementara, sebaiknya Raden tidak keluar
istana. Biar Paman saja yang mengamati setiap
perkembangan di Bukit Batu," kata Paman Nampi lagi.
"Itu juga boleh, Paman."
"Bagus, Raden," Paman Nampi tersenyum lebar.
***
Tiga hari kemudian, Raden Sangga Alam didampingi
Paman Nampi dan tiga puluh orang prajurit bergerak
meninggalkan Istana Kerajaan Gantar Angin. Mereka
semua menunggang kuda tegap dan gagah. Tiga ekor
kuda mengangkut beban. Peralatan yang dibawa jelas
peralatan berburu. Mereka menuju ke arah hutan yang
berlawanan arah dengan Bukit Cemara,
Raden Sangga Alam berkuda paling depan,
didampingi Paman Nampi. Sedangkan tiga puluh orang
prajurit mengikuti dari belakang. Mereka adalah para
prajurit pilihan dan akan melakukan apa saja asal
mendapat perintah langsung dari Paman Nampi.
Walaupun raja mereka sendiri yang memerintah, tapi
jika tidak ada persetujuan dari Paman Nampi, mereka
tidak akan melakukannya. Keistimewaan itulah yang
dimiliki para prajurit yang dipimpin Paman Nampi,
selaku penasehat khusus sekaligus guru Raden Sangga
Alam. Dia juga menjabat sebagai salah satu panglima
perang Kerajaan Gantar Angin. Memang, setiap
panglima perang memiliki pasukan sendiri-sendiri. Dan
tentu saja kemampuannya juga berbeda. Tergantung
tingginya tingkat kepandaian panglima itu sendiri.
"Kenapa tidak langsung ke Bukit Cemara saja,
Paman?" tanya Raden Sangga Alam.
"Kita menuju Hutan Danaraja dulu, Raden. Dari sana
kita berkemah, lalu memutar arah menuju Bukit Cemara.
Kita tinggalkan tenda di Hutan Danaraja dengan
beberapa prajurit. Sedangkan prajurit lainnya berburu.
Hanya kita berdua yang ke Bukit Cemara," jelas Paman
Nampi sambil tangannya menunjuk ke depan.
Raden Sangga Alam kembali diam. Jarak dari Hutan
Danaraja ke Bukit Cemara, memang tidak terlalu jauh.
Jadi tidak ada salahnya jika berkemah di Hutan Danaraja
dengan meninggalkan beberapa prajurit untuk menjaga.
Raden Sangga Alam tahu betul akan maksud dan tujuan
Paman Nampi.
Mereka terus memacu kuda tanpa berbicara lagi.
Hingga tengah hari, baru mereka tiba di Hutan Danaraja.
Sebuah hutan yang sangat luas bagai tak bertepi. Seluruh
keluarga Kerajaan Gantar Angin memang selalu berburu
di hutan itu. Hutan yang menyediakan begitu banyak
hewan buruan.
Paman Nampi memilih tempat di tepi sungai untuk
mendirikan tenda-tenda. Para prajurit segera mendirikan
tenda setelah mendapat perintah Paman Nampi. Sebuah
tenda yang cukup besar terpancang dalam waktu
sebentar saja, dan dikelilingi beberapa tenda kecil-kecil.
Raden Sangga Alam masuk ke dalam tenda yang paling
besar itu. Di dalamnya dua orang prajurit yang tengah
merapikan, segera membungkukkan badan, dan segera
bergegas keluar setelah pekerjaannya selesai.
Saat itu Paman Nampi tengah memberikan beberapa
perintah pada para prajurit. Laki-laki tua berjubah putih
itu baru melangkah masuk ke tenda tempat beristirahat
Raden Sangga Alam, setelah selesai memberi beberapa
perintah, dan membagi tugas kepada para prajuritnya.
Paman Nampi membungkuk memberi hormat,
kemudian duduk di atas permadani yang digelar di
dalam tenda besar itu. Raden Sangga Alam duduk di atas
peraduan yang beralaskan permadani dan bantal-bantal
bulat pipih terbungkus kain sutra halus.
"Raden sebaiknya istirahat dulu. Biar aku yang
mencari jalan aman ke Bukit Cemara, sekaligus
memeriksa keadaan di sana," kata Paman Nampi.
"Baiklah, Paman. Aku pun rasanya ingin sedikit
berburu dulu," jawab Raden Sangga Alam.
"Ah, itu lebih baik Raden. Berikan kesan kalau kita
memang benar-benar berburu," kata Paman Nampi
tersenyum lebar.
"Kapan Paman berangkat?" tanya Raden Sangga
Alam.
"Sekarang juga, Raden. Mumpung belum sore."
"Silakan, Paman."
Paman Nampi bangkit berdiri dan membungkuk
hormat. Kemudian dia keluar dari tenda besar itu. Tidak
lama kemudian, terdengar suara derap langkah kaki
kuda meninggalkan tempat perkemahan itu. Raden
Sangga Alam juga segera bangkit berdiri, lalu melangkah
ke luar. Dua orang prajurit yang menjaga di depan
segera membungkukkan badan memberi hormat.
"Siapkan peralatan, aku ingin berburu sekarang,"
kata Raden Sangga Alam.
Dua prajurit segera melaksanakan perintah
junjungannya. Raden Sangga Alam hanya membawa
sepuluh orang prajurit saja, sedangkan sisanya
menunggu di perkemahan. Saat itu matahari memang
masih berada di atas kepala. Sinarnya yang terik tidak
terasa menyengat kulit, karena Hutan Danaraja ini
sangat lebat.
Mereka semua tidak menyadari kalau ada sepasang
mata mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi.
Sepasang mata itu sudah ada sejak rombongan Raden
Sangga Alam keluar dari Istana Kerajaan Gantar Angin.
Tapi, pemilik sepasang mata itu juga tidak menyadari
kalau kelakuannya ada yang mengetahui. Dia baru sadar
saat sebuah bayangan putih berkelebat cepat hampir
menyambar tubuhnya.
"Uts!"
***
Orang yang mengintai Raden Sangga Alam itu
membanting tubuhnya ke belakang. Dua kali dia
bergulingan sebelum bangkit dengan cepat. Sedangkan
bayangan putih yang hampir menyambar tubuhnya,
sudah berdiri tegak sekitar dua batang tombak jauhnya
di depan. Ternyata bayangan putih itu tidak lain dari
Paman Nampi.
"Patih Mara Kobra! Apa yang kau lakukan di sini?!"
bentak Paman Nampi.
"Kau tidak perlu tahu, Panglima Nampi!" sahut laki-
laki bertubuh tegap. Usianya sekitar empat puluh tahun.
"Hm..., lagakmu sangat mencurigakan. Aku yakin
kau bermaksud buruk memata-matai Raden Sangga
Alam," gumam Paman Nampi sinis.
"Jangan berlagak suci, Panglima Nampi! Kau pun
tidak bermaksud baik membawa Raden Sangga Alam ke
Hutan Danaraja ini," balas Patih Mara Kobra.
"Edan! Sejak kapan kau berani menentangku, heh?!"
geram Paman Nampi.
"Sejak kau punya niat buruk pada Gusti Prabu
Abiyasa!"
"Setan belang!" merah padam wajah Paman Nampi..
Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki tua berjubah putih
itu segera melancarkan serangan cepat dan dahsyat.
Patih Mara Kobra melompat ke samping, menghindari
serangan dahsyat dan cepat itu. Bahkan dengan satu
gerakan manis, tangannya menyodok ke arah iga Paman
Nampi. Namun dengan cepat tangan panglima kerajaan
itu mengibas, memapak sodokan itu.
Trak!
Dua tangan beradu keras, membuat Patih Mara
Kobra melompat menjauh dua tindak. Bibirnya meringis
menahan nyeri pada pergelangan tangannya. Dia sadar
kalau tenaga dalamnya kalah jauh bila dibandingkan
dengan panglima kepercayaan Raden Sangga Alam itu.
Tapi rupanya Patih Mara Kobra tidak mau peduli.
Kembali dia melompat memberikan serangan balasan
yang tak kalah cepat dan dahsyatnya. Namun serangan-
serangan Patih Mara Kobra dapat dielakkan dengan
mudah oleh Paman Nampi. Bahkan beberapa kali Patih
Mara Kobra terperangah, karena serangan balik Paman
Nampi demikian cepat dan tidak terduga gerakannya.
Pertempuran itu rupanya terdengar oleh para
prajurit yang menjaga perkemahan. Mereka berlari
menghampiri. Tapi begitu mengetahui siapa yang tengah
bertarung, tidak ada yang berani mendekat. Sementara
pertempuran antara dua pembesar Kerajaan Gantar
Angin itu terus berlangsung sengit. Patih Mara Kobra
tidak tanggung-tanggung lagi. Dia sadar kalau lawan
yang dihadapi memiliki kepandaian yang berada di
atasnya. Patih Mara Kobra segera mengerahkan jurus-
jurus andalannya.
"Hiya...! Hiya...!"
Sulit dipercaya! Pada saat Patih Mara Kobra
melancarkan dua pukulan geledek sekaligus, Paman
Nampi menerimanya hanya dengan mendorong kedua
tangan ke depan. Pada saat itu, dua pasang telapak
tangan saling berbenturan dengan keras sehingga
menimbulkan suara ledakan dahsyat memekakkan
telinga. Tampak Patih Mara Kobra terpental sejauh tiga
batang tombak ke belakang. Sedangkan Paman Nampi
hanya bergeser sedikit.
"Hugh!" Patih Mara Kobra berusaha bangkit, namun
darah kental bersemburan keluar dari mulutnya.
Patih Mara Kobra menatap tajam pada Paman Nampi
yang sudah melangkah menghampirinya. Dalam
keadaan tubuh terluka dalam akibat adu tenaga dalam,
Patih Mara Kobra tidak berdaya lagi. Dipejamkan
matanya ketika tangan Paman Nampi terangkat dengan
mengerahkan jurus pukulan maut andalannya.
"Hiya...!"
"Aaakh...!"
Satu teriakan melengking tinggi terdengar memecah
kesunyian Hutan Danaraja ini. Patih Mara Kobra
menggelepar sesaat. Dadanya remuk kena pukulan
bertenaga dalam tinggi. Hanya sesaat dia mampu
bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi. Paman
Nampi berbalik memandang para prajuritnya yang
berdiri berjajar agak jauh.
"Buang mayatnya ke sungai!" perintah Paman
Nampi.
Dua orang prajurit segera menghampiri, dan
mengangkat tubuh Patih Mara Kobra yang sudah tidak
bernyawa lagi. Mereka menggotongnya menuju sungai
yang tidak jauh dari tempat itu. Setelah melemparkan
tubuh Patih Mara Kobra, kedua prajurit itu kembali
bergabung dengan teman-temannya. Paman Nampi
menghampiri dua puluh orang prajuritnya yang setia.
"Ingat! Jangan ada yang menceritakan kejadian ini
pada siapa pun, terutama pada Raden Sangga Alam,"
pesan Paman Nampi.
Kedua puluh prajurit itu mengangguk.
"Kalian kembali bertugas. Anggap saja kejadian tadi
tidak pernah ada,',' kata Paman Nampi lagi.
Tanpa ada yang membantah, kedua puluh prajurit
itu segera berlalu. Sementara Paman Nampi langsung
melesat pergi. Gerakannya sangat ringan dan cepat
bagaikan kilat. Tidak lama kemudian terdengar suara
ringkik kuda, disusul berderapnya langkah kaki kuda
yang dipacu cepat. Tampak debu mengepul dari
kerimbunan pepohonan Hutan Danaraja ini.
Suasana pun kembali sunyi senyap, bagai tidak
pernah terjadi pertempuran. Dua puluh orang prajurit
setia Paman Nampi kembali melakukan tugasnya
masing-masing. Tak ada seorang pun yang
membicarakan pertarungan itu. Mereka menjalankan
tugas dengan mulut terkunci rapat
***
Paman Nampi memacu cepat kudanya menuju Bukit
Cemara yang berada di sebelah Utara Hutan Danaraja.
Meskipun hutan yang dilalui cukup lebat, tapi dia tidak
juga memperlambat lari kudanya. Dengan lincah dan
sangat cekatan, laki-laki tua berjubah putih itu
mengendalikan kudanya.
Saat senja baru saja merayap turun, kuda yang
ditunggangi Paman Nampi berhenti di Puncak Bukit
Cemara. Sejenak laki-laki tua itu memandang ke bukit
seberang yang hanya terdiri dari batu-batuan bertumpuk
itu. Tidak kurang dari seratus orang tengah bekerja
memecah dan mengangkat batu dari bukit itu.
Sedangkan sekitar dua ratus prajurit berjaga-jaga di
sekitarnya.
"Hup!"
Paman Nampi melompat dari punggung kudanya
ketika melihat seorang Panglima Perang Kerajaan Gantar
Angin berada di antara para prajurit di Puncak Bukit
Batu itu. Bayangan tubuh Paman Nampi langsung
lenyap ditelan kelebatan puncak pohon cemara. Dan
kudanya melangkah pelahan meninggalkan tempat itu.
Saat itu, Raden Bantar Gading juga tengah berada di
antara para prajurit yang sedang mengawasi para
pekerja memecah batu untuk pembuatan jalan menuju
Pesanggrahan Goa Larangan. Putra Mahkota Kerajaan
Gantar Angin itu juga didampingi dua orang panglima
perang. Mereka adalah Panglima Rapaksa dan Panglima
Jampala.
"Berapa lama lagi mereka harus mengangkut batu-
batu ini, Raden?" tanya Panglima Jampala.
"Sampai cukup untuk jalan ke pesanggrahan," sahut
Raden Bantar Gading.
"Rasanya sudah lebih dari cukup, Raden," sergah
Panglima Rapaksa.
"Lebih baik berlebihan daripada kekurangan, Paman
Panglima," sahut Raden Bantar Gading.
Kedua panglima itu tidak bertanya lagi. Mereka tahu
betul watak Raden Bantar Gading yang keras dan tidak
pernah mengikuti saran atau pendapat orang lain. Apa
yang diperintahkan, harus dilaksanakan tanpa bersedia
mendengar bantahan walau dengan alasan apa pun.
Tindakannya juga tegas, bahkan cenderung kasar. Bisa
juga dikatakan kejam.
Mendadak Raden Bantar Gading dan dua orang
panglima perang itu dikejutkan oleh teriakan
melengking tinggi yang disusul dengan terjungkalnya
dua orang pekerja yang bersimbah darah. Sebuah
bayangan hitam berkelebatan cepat menghajar para
pekerja yang semuanya hanya rakyat biasa. Suasana
tenang itu mendadak berubah jadi penuh jerit dan pekik
melengking.
"Kepung! Tangkap setan keparat itu...!" seru Raden
Bantar Gading keras.
Dua orang panglima perang, ditambah sekitar lima
puluh prajurit serempak berlompatan mengepung orang
berbaju hitam dengan kepala terbungkus kain hitam
pula. Sedangkan para prajurit lainnya segera
mengungsikan para pekerja yang berlarian serabutan
menyelamatkan diri. Raden Bantar Gading langsung
melompat. Dua kali tubuhnya berputar di udara, lalu
dengan manis kakinya menjejak tanah, tepat sekitar dua
batang tombak jaraknya dari orang berbaju serba hitam
itu.
"Hm..., rupanya kau punya nyali besar juga,
bangsat!" geram Raden Bantar Gading dingin.
"Sudah kuperingatkan, hentikan pekerjaan ini. Tapi
kau tetap meneruskannya. Jangan salahkan aku jika
seluruh rakyat Gantar Angin musnah!" kata orang
berbaju serba hitam itu. Suaranya berat dan datar.
"Siapa kau?" tanya Raden Bantar Gading.
"Hhh! Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang jelas tidak
akan kubiarkan tangan-tangan kotor menjarah
Pesanggrahan Goa Larangan!" sahut orang berbaju serba
hitam itu tegas.
"Heh! Apa hakmu melarang?"
"Karena aku tidak ingin tempat suci itu jadi tempat
maksiat!"
"Setan! Kau telah menghina Kerajaan Gantar Angin!
Kau harus mampus, bangsat!" geram Raden Bantar
Gading.
Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu langsung
memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh
orang berbaju serba hitam itu. Teriakan-teriakan
peperangan kini terdengar memecah kesunyian Bukit
Batu itu. Orang berbaju hitam dengan lincah menghalau
setiap serangan yang datang dari segala penjuru.
Gerakannya sangat cepat dan sukar diduga arahnya.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, sepuluh prajurit
sudah menggeletak tidak bernyawa lagi. Darah kembali
menyiram Puncak Bukit Batu itu.
Raden Bantar Gading semakin geram menyaksikan
para prajuritnya yang tidak mampu menghadang
amukan orang itu. Dengan satu teriakan, Raden Bantar
Gading melompat menerjang. Pada saat yang bersamaan,
dua orang panglima perang juga menyerang orang
berbaju serba hitam itu.
Terjunnya Raden Bantar Gading dan dua orang
panglima perang kerajaan, membuat orang berbaju serba
hitam itu sedikit kewalahan. Ketiga lawannya yang baru
terjun dalam pertempuran itu rata-rata memiliki tingkat
kepandaian yang cukup tinggi. Jurus-jurusnya pun
sangat dahsyat.
"Mampus kau, bangsat...!" bentak Raden Bantar
Gading seraya mencabut pedangnya yang selalu ter-
gantung di pinggang.
Begitu pedang tercabut, langsung dibabarkan ke arah
leher orang berbaju serba hitam itu. Namun dengan
manis sekali, sabetan pedang itu dielakkan hanya
dengan menarik leher ke belakang. Tak lama kemudian,
Panglima Jampala melepaskan pukulan maut ke arah
dada.
"Hiya...!"
"Uts!"
Orang berbaju hitam itu segera melompat mundur ke
belakang. Tapi dari arah lain, Panglima Rapaksa ternyata
sudah siap dengan satu tendangan geledeknya. Kali ini
orang itu tidak bisa berkelit lagi. Pinggangnya tersambar
tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Dia hanya
mengeluh pendek sedikit meskipun tubuhnya terjajar
sekitar satu depa.
"Pisah kepalamu!" seru Raden Bantar Gading.
Di saat orang berbaju hitam itu dalam keadaan tidak
seimbang posisi tubuhnya, Raden Bantar Gading
mengibaskan pedangnya dengan cepat ke arah leher.
Orang berbaju serba hitam itu agak terperangah sejenak,
namun dengan cepat dibanting tubuhnya ke tanah.
Serangan Raden Bantar Gading luput dari sasaran.
Namun putra mahkota itu segera mencecar dengan
menusukkan ujung pedangnya ke arah tubuh orang
berbaju hitam itu.
Beberapa kali orang berbaju hitam itu bergulingan
menghindari tusukan ujung pedang Raden Bantar
Gading. Dan pada satu kesempatan, dia berhasil
melentingkan tubuhnya ke udara. Namun, di udara
Panglima Jampala sudah melenting seraya melontarkan
tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi. Orang
berbaju serba hitam itu tidak mampu lagi berkelit, maka
dengan telak dadanya terkena hantaman kaki dengan
keras.
"Akh!" dia memekik tertahan.
Kembali tubuhnya terhempas ke tanah dengan keras.
Tampak penutup wajahnya berubah merah pada bagian
mulutnya. Dia berusaha bangkit, namun dadanya terasa
sesak. Tulang-tulangnya seperti remuk kena tendangan
keras bertenaga dalam tinggi itu. Raden Bantar Gading
yang melihat lawannya tengah tidak berdaya, segera
melompat seraya mengibaskan pedangnya.
"Hiya...!"
Tepat pada saat ujung pedang Raden Bantar Gading
hampir merobek dada orang berbaju serba hitam itu,
sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh
orang itu. Ujung pedang Raden Bantar Gading
membabat angin. Tentu saja hal ini membuat putra
mahkota itu berang.
Bayangan yang menyambar tubuh orang berbaju
hitam itu demikian cepat, sehingga dalam sekejap saja
sudah lenyap ditelan lebatnya hutan pohon cemara.
Raden Bantar Gading memerintahkan dua orang
panglimanya untuk mengejar. Tanpa membantah sedikit
pun, dua orang panglima itu segera mengejar dengan
mengajak sekitar tiga puluh prajurit. Mereka
berlompatan naik ke punggung kuda, dan memacu cepat
menuju Bukit Cemara yang banyak ditumbuhi pohon
cemara.
"Setan belang...!" maki Raden Bantar Gading sengit.
***
4
Siapa sebenarnya orang berbaju serba hitam itu? Dan
mengapa menghalangi pembuatan jalan ke
Pesanggrahan Goa Larangan? Dan siapa pula yang telah
menyelamatkan orang berbaju serba hitam itu dari maut?
Semua itu masih menjadi pertanyaan yang
menjengkelkan Raden Bantar Gading. Tentu saja dia
tidak tahu. Apalagi para prajurit yang diperintahkan
untuk mengejar, juga tidak akan bisa menemukannya.
Orang berbaju serba hitam itu memang telah
diselamatkan oleh seorang pemuda tampan bertubuh
tegap mengenakan baju dari kulit harimau.
Pemuda tampan itu membawa orang berbaju serba
hitam ke dalam sebuah goa yang letaknya sangat
tersembunyi di Puncak Bukit Cemara. Goa kecil yang
penuh ditutupi semak dan pepohonan di mulutnya.
Tidak ada yang menyangka kalau di situ tersembunyi
sebuah goa kecil.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu membuka
kain hitam yang menyelubungi kepala orang itu.
Tampak seraut wajah tua, namun bercahaya di balik
selubung kain hitam. Rambutnya panjang memutih dan
digelung ke atas. Ikat kepala dari logam berwarna
kuning keemasan menghias kepalanya. Kumis dan
janggutnya juga sudah panjang memutih semua. Saat
pemuda itu membuka baju hitam yang menutupi tubuh
laki-laki tua itu, tampak sebuah jubah putih tersembunyi
di balik baju hitam yang tidak begitu ketat.
"Jangan bergerak dulu! Kau terluka dalam cukup
parah," kata pemuda itu ketika laki-laki tua itu akan
bangkit.
Laki-laki tua itu kembali berbaring di atas tumpukan
rumput kering. Sedangkan pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu memeriksa tubuh yang kelihatan biru
memar. Jari-jari tangannya bergerak lincah di sekitar
tubuh yang memar. Kemudian ditekan telapak tangan
kanannya ke dada laki-laki tua itu.
"Akh...!" laki-laki tua itu memekik tertahan.
Dua kali dia memuntahkan darah kental dari
mulutnya, lalu terkulai lemas dengan napas memburu
agak tersengal. Pemuda itu masih menekan telapak
tangannya, menyalurkan hawa murni ke tubuh laki-laki
tua itu. Keringat membanjiri kening dan lehernya.
Telapak tangan yang menempel di dada kurus itu sedikit
bergetar, pertanda tengah mengerahkan hawa murni
untuk menyembuhkan luka dalam laki-laki tua itu.
"Hhh...!" pemuda tampan itu mengeluh panjang
seraya menghenyakkan tubuhnya di samping laki-laki
tua yang terbaring lemah.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu melakukan
semadi sebentar untuk memulihkan hawa murni yang
sudah berkurang tadi. Tidak lama melakukan semadi,
kemudian mata pemuda itu merayapi tubuh laki-laki tua
yang tetap terbaring dengan kedua matanya yang
terbuka. Air mukanya sudah kelihatan cerah. Padahal
wajahnya semula pucat seperti mayat. Pelahan laki-laki
berjubah putih itu bangkit duduk. Tanpa diminta, dia
segera melakukan semadi untuk menormalkan jalan
darahnya.
Tidak lama laki-laki tua yang kini memakai jubah
putih itu melakukan semadi. Kemudian tatapan matanya
beralih pada seonggok baju hitam di samping pemuda
itu.
'Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawaku,
Kisanak," kata laki-laki tua itu.
"Kenapa Kakek bisa sampai bentrok dengan para
prajurit itu?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Ceritanya panjang, Kisanak. Tapi karena kau telah
menyelamatkan nyawaku, rasanya tidak ada salahnya
jika kau mengetahui."
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu diam
membisu.
"Aku sebenarnya seorang Panglima Kerajaan Gantar
Angin, dan juga penasehat pribadi Raden Sangga Alam,
sekaligus gurunya dalam ilmu olah kanuragan. Aku
bernama Nampi, tapi kau cukup memanggilku Paman
Nampi...."
"Aku Bayu Hanggara," pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu juga memperkenalkan diri.
"Hm..., aku seperti pernah mendengar namamu.
Ah...! Apakah kau yang berjuluk Pendekar Pulau
Neraka?" tebak Paman Nampi.
"Benar," sahut Bayu.
Paman Nampi terdiam dengan mata seolah-olah
menyelidik pemuda tampan berbaju kulit harimau di
depannya. Dia memang pernah dengar sepak terjang
Pendekar Pulau Neraka. Nama pendekar itu sudah
sangat kondang dan selalu menggemparkan dalam
setiap pemunculannya. Hampir semua tokoh-tokoh
rimba persilatan, baik dari golongan putih maupun
hitam kesulitan untuk menentukan golongan pendekar
itu. Apakah Pendekar Pulau Neraka masuk dalam
golongan putih atau hitam? Sepak terjangnya memang
sangat membingungkan tokoh-tokoh rimba persilatan.
"Ada apa, Paman?" tanya Bayu agak jengah
dipandangi sedemikian rupa.
"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya tidak menyangka
bakal bertemu muka dengan seorang pendekar yang
kondang dan amat disegani," sahut Paman Nampi.
"Ah, sudahlah...," Bayu merendah. "Ceritakan saja,
kenapa Paman bisa bentrok dengan teman sendiri.
Bukankah para prajurit itu juga dari Kerajaan Gantar
Angin?"
Paman Nampi tidak segera menjawab dan hanya
menarik napas panjang. Dibetulkan letak duduknya agar
lebih enak. Sementara Bayu menanti dengan sabar. Tapi,
dia masih merasa jengah juga setiap kali tatapan mata
Paman Nampi bertemu dengan tatapan matanya. Sorot
matanya memang menandakan berbagai perasaan yang
sulit diterka.
"Mereka memang teman-temanku sendiri...," Paman
Nampi memulai.
* * *
"Dulu, Kerajaan Gantar Angin diperintah oleh
seorang ratu bernama Gusti Ratu Kunti Boga. Gusti Ratu
hanya memiliki seorang anak perempuan, dari hasil
perkawinannya dengan seorang panglima muda yang
gagah dan sangat tinggi kepandaiannya. Tapi pada saat
anaknya berusia tujuh tahun, malapetaka datang
menimpa. Adik tiri Gusti Ratu yang bernama Abiyasa
merebut tahta. Dibunuhnya suami Gusti Ratu.
Sedangkan Gusti Ratu ditawan dalam penjara bawah
tanah, bersama saudaranya yang berjumlah enam
orang...," cerita Paman Nampi tentang kemelut yang
terjadi di Kerajaan Gantar Angin.
Sementara Bayu Hanggara mendengarkan penuh
perhatian.
"Pada saat pemberontakan itu berlangsung, aku
sempat menyelamatkan putri Gusti Ratu, dan kubawa ke
Bukit Cemara ini. Seorang emban yang setia telah
merawatnya. Sedangkan aku mendidiknya berbagai
macam ilmu olah kanuragan. Aku berharap, kelak dia
bisa mengembalikan keutuhan Kerajaan Gantar Angin
seperti semula. Tapi...," Paman Nampi menghentikan
kisahnya.
"Ada apa?" desak Bayu.
"Entahlah. Yang jelas, aku merasa gagal dalam
mendidiknya. Aku tidak bisa mencegah...," suara Paman
Nampi bernada mengeluh.
Bayu tidak mendesak lagi. Bisa dimengerti kalau hal
itu tidak pantas untuk dibicarakan. Tapi dia masih belum
bisa menghubungkan cerita Paman Nampi dengan
pertempuran yang hampir menewaskan laki-laki tua
berjubah putih yang kini ada di hadapannya.
"Kulihat Paman membantai para pekerja di Bukit
Batu. Kenapa Paman lakukan itu?" tanya Bayu.
“Mereka memang pantas mati karena tidak bisa
memegang omongannya sendiri! Padahal, mereka telah
bersumpah setia pada Gusti Ratu! Tapi kenyataannya,
mereka membantu membuat jalan ke Pesanggrahan Goa
Larangan!" agak tertahan suara Paman Nampi.
"Maaf. Bukannya hendak mencampuri urusanmu,
tapi kurasa penilaianmu keliru terhadap mereka," kata
Bayu.
"Apa maksudmu, Kisanak?"
"Kupikir mereka juga terpaksa melakukannya."
"Tidak mungkin! Mereka tahu betul kalau
Pesanggrahan Goa Larangan tempat yang sangat indah,
tapi sangat disucikan. Tempat itu digunakan Gusti Ratu
untuk memuja Dewata. Seharusnya mereka sadar kalau
pembuatan jalan itu akan mengotori tempat suci itu.
Prabu Abiyasa hendak menjadikan Pesanggrahan Goa
Larangan sebagai tempat peristirahatan dan tempat
berlibur para pembesar. Bukankah itu akan merusak
kesucian yang selama ini selalu kami pelihara? Jadi jelas,
mereka yang membantu pembuatan jalan itu adalah
manusia-manusia kotor yang harus dilenyapkan dari
muka bumi!"
"Hm...," gumam Bayu tidak jelas.
Kata-kata Paman Nampi memang jelas dan tegas,
sehingga Pendekar Pulau Neraka bisa memahami semua
persoalannya. Kini dia tahu, kenapa laki-laki tua
berjubah putih itu sangat berang dan gelap mata. Bayu
tidak bisa menyalahkan tindakan Paman Nampi.
Kelihatannya, tindakan itu semata-mata hanya
pelampiasan rasa amarah dan kekecewaan yang lama
terpendam di dalam hati. Tapi bagi Bayu, tindakan
Paman Nampi tidak bisa dibenarkan. Meskipun dia
sendiri selalu bertindak tegas, namun tidak membabi
buta dengan membantai penduduk yang tidak mengerti
ilmu olah kanuragan.
"Apakah hanya Paman sendiri yang menentang?"
tanya Bayu.
"Tidak. Sebenarnya masih banyak. Hanya saja
mereka tidak berani menentang secara terang-terangan.
Prabu Abiyasa selalu bertindak tegas, bahkan cenderung
kejam pada siapa saja yang mencoba menentangnya,"
sahut Paman Nampi.
"Dan Paman juga menganggap mereka manusia
kotor?"
Paman Nampi tidak segera menjawab. Pertanyaan
Pendekar Pulau Neraka itu sungguh tepat, dan langsung
menyentuh hati Paman Nampi. Laki-laki tua itu kini
diam merenung.
"Bagiku, manusia di mana saja sama. Hanya pangkat
dan kedudukan saja yang membedakannya. Maaf,
bukannya ingin mencampuri urusan itu terlalu jauh.
Masalahnya aku tidak melihat adanya alasan yang tepat
sehingga kau bantai orang-orang yang tidak berdosa dan
dalam keadaan tertekan," kata Bayu lagi.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu, Kisanak?
Sedangkan kau sendiri bukan rakyat Gantar Angin."
"Paman sudah tahu, siapa aku sebenarnya. Di dalam
kalangan rimba persilatan, hal seperti itu sudah terlalu
sering terjadi. Dan aku bisa mengambil kesimpulan
hanya dari cerita yang kudengar. Jangan salah kira. Aku
bukannya sok pintar dalam hal ini. Ini hanya sekedar
uneg-uneg yang ada di dalam kepalaku," sahut Bayu.
"Bisa kau buktikan, Kisanak?"
Bayu hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau
pertanyaan itu bernada menantang. Bukan permintaan
bantuan. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri dan
melangkah keluar dari dalam goa kecil itu. Paman
Nampi juga ikut bangkit dan mengikuti pendekar itu.
Luka-luka di dalam tubuhnya sudah tidak terasa lagi.
Cahaya matahari senja langsung menerpa begitu mereka
sampai di depan mulut goa.
"Siapa nama anak Gusti Ratu?" tanya Bayu dengan
pandangan tetap lurus ke depan.
"Mayang," jawab Paman Nampi.
"Dia tahu kalau kau seorang panglima?"
"Tidak. Yang diketahuinya, aku adalah orang tua
yang telah menyelamatkannya dari malapetaka. Dia
selalu memanggilku dengan sebutan Eyang."
"Dia juga tahu namamu?"
"Juga tidak."
"Rupamu?"
Paman Nampi menggeleng.
"Hebat! Berapa tahun hal itu berlangsung...?"
"Tiga belas tahun. Dan aku selalu menemuinya
dengan pakaian hitam yang hampir menutupi seluruh
wajahku. Hanya tiga kali dalam satu pekan aku
menemuinya. Itu pun hanya untuk mengajarkan jurus-
jurus ilmu olah kanuragan, dan terus berlangsung
hingga emban pengasuhnya meninggal dunia karena
usia tua."
"Di mana dia tinggal?"
"Untuk apa?" Paman Nampi merasa keberatan.
"Kau keberatan...?"
"Tidak! Kau boleh menemuinya di Lereng Bukit
Cemara sebelah Barat. Dia tinggal di pondok kecil dan
agak tersembunyi letaknya."
"Siapa saja yang tahu selain kau sendiri?"
"Raden Bantar Gading, putra pertama Prabu Abiyasa
dan pewaris tahta kerajaan."
Bayu tersenyum tipis. Pertanyaan-pertanyaan tadi
sebenarnya merupakan pancingan saja. Kini dia tahu,
kenapa Paman Nampi tidak mau menceritakan
kekecewaannya pada Mayang. Bisa saja wanita itu jatuh
cinta pada orang yang sebenarnya musuh dan harus
dilenyapkan. Itu pun juga yang menjadi salah satu sebab,
kenapa Paman Nampi sampai bertindak brutal. Laki-laki
tua ini memendam rasa kecewa yang bertumpuk. Rasa
kecewa itu dilampiaskan menjadi kemarahan yang tak
terkendalikan.
"Sudah senja. Aku harus kembali ke Hutan Danaraja.
Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," kata Paman
Nampi.
"Hm, kenapa ke Hutan Danaraja? Bukankah seorang
panglima tinggal di dalam lingkungan istana?" agak
heran juga Bayu mendengarnya.
"Aku harus menemui Raden Sangga Alam karena
dialah satu-satunya putra Prabu Abiyasa yang
menentang ayahnya. Hanya sayang dia tidak memiliki
kekuasaan untuk menentang, karena lahir dari rahim
seorang selir," Paman Nampi tidak ragu-ragu lagi
menceritakannya.
"O..., kau menyusun kekuatan di Hutan Danaraja?”
"Oh..., tidak. Aku dan Raden Sangga Alam sedang
berburu bersama tiga puluh prajuritku."
Lagi-lagi Bayu tersenyum tipis. Dia tidak mencegah
ketika laki-laki tua berjubah putih itu berjalan dengan
cepat. Pendekar Pulau Neraka itu tahu kalau Paman
Nampi mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam
waktu sebentar saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap
ditelan rimbunan pohon cemara yang menutupi seluruh
permukaan bukit itu.
"Hm, harus ada orang yang bisa mencegah luapan
kemarahan Paman Nampi. Aku tidak yakin, apakah
Pendekar Pulau Neraka akan beraksi lagi kali ini...?"
gumam Bayu bicara pada dirinya sendiri.
***
Paman Nampi menemukan kudanya tengah
merumput dengan tenang. Dengan kuda tunggangannya
itu, dia segera menuju Hutan Danaraja. Paman Nampi
memang cekatan dalam mengendalikan kuda. Meskipun
dipacu cepat dalam kelebatan hutan, hal itu bukan satu
rintangan yang berarti, karena dia adalah panglima
perang yang handal. Laki-laki tua berjubah putih itu
baru memperlambat laju kudanya setelah berada dekat
sekitar perkemahan Raden Sangga Alam.
Suasana senja yang temaram membuat para prajurit
harus menyalakan api unggun lebih awal. Apalagi kabut
begitu cepat datang, sehingga menutupi cahaya matahari
sore ini. Paman Nampi turun dari punggung kudanya,
lalu melangkah pelan-pelan sambil menuntun kudanya.
Seorang prajurit yang melihat kehadirannya, segera
berlari menghampiri. Diambilnya tali kekang kuda itu
dari tangan Paman Nampi. Segera dibawanya pergi ke
tempat kuda-kuda lain yang tengah diistirahatkan.
Paman Nampi menghenyakkan tubuhnya di depan
perapian. Raden Sangga Alam yang tengah menghadapi
perapian sejak tadi, hanya melirik saja. Keningnya
sedikit berkerut melihat kemuraman pada air muka
Paman Nampi.
"Ada apa, Paman? Bagaimana suasana di Bukit
Batu?" tanya Raden Sangga Alam.
"Hhh...," Paman Nampi menarik napas panjang.
Raden Sangga Alam menggeser duduknya mendekat ke
arah laki-laki tua berjubah putih itu.
"Ada sesuatu yang ditemukan di sana?" tanya Raden
Sangga Alam lagi.
"Entahlah. Aku merasa tidak yakin dapat
menghentikan rencana Gusti Prabu," sahut Paman
Nampi mendesah pelan.
Raden Sangga Alam terkejut mendengar kata-kata
bernada putus asa itu. Dipandanginya wajah tua di
sampingnya dengan penuh selidik. Perasaannya jadi
tidak menentu mendapati wajah Paman Nampi begitu
murung, tanpa gairah sama sekali.
"Paman. Bagaimanapun juga, rencana Ayahanda
Prabu harus dihentikan. Pesanggrahan Goa Larangan
adalah tempat suci. Tempat untuk memuja para Dewata.
Aku sebenarnya tidak keberatan jika pembuatan jalan itu
un+uk memperlancar menuju ke pesanggrahan. Tapi,
kalau tempat itu juga dirubah dan dihilangkan arti
kesuciannya, jelas aku menentang. Walaupun aku hanya
anak dari selir, tapi tidak serendah itu, Paman. Aku
bersedia mengangkat senjata jika memang keadaannya
sudah harus demikian," tegas kata-kata Raden Sangga
Alam.
Paman Nampi menoleh. Dipandangnya Raden
Sangga Alam dengan bola mata berkaca-kaca. Hatinya
sangat terharu mendengar kata-kata pemuda tampan
yang seperti wanita itu. Tidak disangkanya kalau Raden
Sangga Alam memiliki ketegasan. Lain dengan
perawakannya yang kelihatan lemah lembut dan tidak
mencerminkan kejantanan seorang laki-laki. Ternyata, di
balik semua itu tersimpan sebentuk hati yang lebih
jantan daripada seorang laki-laki bertubuh kekar dan
tegap.
Kemuliaan hati Raden Sangga Alam inilah yang
membuat Paman Nampi lebih terharu lagi. Sama sekali
dia bukan menghasut. Namun jelas, bahwa pemuda itu
memang tidak menyetujui kalau tempat suci dirubah
kegunaannya. Kalau saja tidak mengingat pemuda ini
putra seorang raja, mungkin Paman Nampi sudah
memeluknya.
"Paman, besok pagi sebaiknya kita kembali ke istana.
Aku telah mendapat seekor kijang yang gemuk dan akan
kupersembahkan pada Ayahanda Prabu. Di istana nanti
kita susun lagi rencana berikutnya," sambung Raden
Sangga Alam kembali lembut suaranya.
Paman Nampi hanya mengangguk. Raden Sangga
Alam bangkit berdiri, kemudian melangkah menuju ke
tendanya yang dijaga dua orang prajurit pada pintu
tenda. Sedangkan Paman Nampi masih duduk dekat
perapian. Diangkatnya sedikit kepalanya ketika seorang
prajurit menghampiri. Prajurit itu membungkukkan
badan.
"Ada apa?" tanya Paman Nampi.
"Patih Amoksa ingin bertemu, Gusti. Beliau
menunggu di tenda," lapor prajurit itu.
"Patih Amoksa...!?"
"Benar, Gusti."
Paman Nampi langsung bangkit berdiri. Baru saja
dua tindak melangkah, kepalanya menoleh pada prajurit
itu.
"Apa Raden Sangga Alam tahu?" tanyanya setengah
berbisik.
"Tidak! Patih Amoksa datang sebelum Raden Sangga
Alam kembali dari berburu."
Paman Nampi bergegas melangkah menuju ke
tendanya. Seorang prajurit yang menjaga
membungkukkan badan. Laki-laki tua berjubah putih itu
segera masuk ke dalam tenda itu. Tampak di dalam
seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun,
duduk menunggu di atas permadani. Ketika dia akan
bangkit, Paman Nampi lebih dulu mencegah dan segera
duduk di depan Patih Amoksa.
"Ada apa?" tanya Paman Nampi langsung.
"Aku membawa berita yang harus disampaikan,
Kakang. Penting!" jawab Patih Amoksa setengah
berbisik.
"Berita apa?"
"Gusti Prabu Abiyasa mengutus seorang kurir..."
"Jelaskan saja pokoknya," potong Paman Nampi
tidak sabar.
"Hm..., Gusti Prabu meminta bantuan jago-jago dari
sahabatnya. Kakang tahu, jago-jago dari daratan
seberang sangat sukar dicari tandingannya."
"Ya, Tuhan...!" desis Paman Nampi. "Kenapa Gusti
Prabu sampai bertindak begitu?"
"Gusti Prabu sudah mencium adanya gerakan
pemberontakan, Kakang."
"Apakah dia tahu seluruhnya?"
"Tidak! Tapi Gusti Prabu sudah menyebar banyak
telik sandi. Bahkan pasukan khusus pun sudah
dikerahkan untuk menumpas pemberontakan itu. Aku
khawatir, Kakang. Tindakan para pasukan khusus
membabi-buta sehingga rakyat semakin sengsara. Dan
kalau sudah demikian, tidak mustahil ada
pengkhianatan.
"Kenapa baru sekarang kau laporkan itu, Amoksa?"
nada suara Paman Nampi agak menyesali.
"Baru kali ini aku punya kesempatan bertemu
denganmu. Itu pun setelah aku mendapat perintah untuk
membawa pulang kembali Raden Sangga Alam. Beliau
diperintahkan agar segera pulang hari ini juga."
"Kenapa?"
"Gusti Prabu menduga kalau para pemberontak itu
bersarang di Bukit Cemara atau sekitar Hutan Danaraja
ini."
Paman Nampi menarik napas panjang dan berat.
Rasanya tidak mungkin kalau Prabu Abiyasa hanya
menduga-duga adanya gerakan pemberontakan.
Penyebaran telik sandi dan pengerahan pasukan khusus
sudah menandakan kalau beliau sudah mencium dan
mengetahui pasti adanya gerakan pemberontakan itu.
Apalagi sampai mengirim kurir untuk minta bantuan
jago-jago dari seberang. Jadi, jelas sudah kalau Prabu
Abiyasa merasa kedudukannya sebagai raja, tengah
terancam.
Perasaan Paman Nampi jadi tidak menentu. Kalau
sampai pasukan khusus menyebar ke Bukit Cemara, jelas
akan membahayakan. Laki-laki tua berjubah putih itu
memandang keadaan di luar. Dari sini, tenda Raden
Sangga Alam bisa langsung dilihatnya. Sementara gelap
sudah menyelimuti seluruh Hutan Danaraja. Hanya api
unggun di tengah-tengah perkemahan itu yang
menerangi sekitarnya.
"Kakang, aku khawatir Gusti Prabu sudah...."
'Tenanglah, Amoksa," potong Paman Nampi cepat.
'Tapi, Raden Bantar Gading memerintahkan Patih
Mara Kobra untuk memata-mataimu."
Paman Nampi tidak bisa menyembunyikan rasa
terkejutnya. Sungguh tidak disangka kalau Patih Mara
Kobra yang sudah tewas di tangannya itu, sengaja
memata-matai karena perintah Raden Bantar Gading.
Kalau memang demikian, jelas! Prabu Abiyasa dan
Raden Bantar Gading sudah menaruh kecurigaan
terhadapnya. Dan itu bukan tidak mustahil Raden
Sangga Alam akan ikut dicurigai. Karena pemuda itu
selalu gigih menentang pembuatan jalan dan perubahan
Pesanggrahan Goa Larangan.
"Amoksa, sebaiknya kau segera menemui Raden
Sangga Alam. Sedangkan aku akan memerintahkan para
prajurit untuk membongkar tenda," kata Paman Nampi.
"Kita kembali ke istana malam ini juga "
"Baik, Kakang."
***
5
Sementara itu di sebuah pondok di Kaki Bukit Batu,
Raden Bantar Gading tengah berbincang-bincang dengan
dua orang panglimanya. Saat itu, mereka kedatangan
seorang utusan dari Kerajaan Gantar Angin yang
membawa surat langsung dari Prabu Abiyasa. Surat itu
segera diserahkan kepada Raden Bantar Gading.
Raden Bantar Gading menatap sejenak utusan itu
sebelum membuka surat dari ayahnya. Sudah bisa
ditebak kalau isi surat itu pasti penting, karena dibawa
langsung oleh utusan khusus kepercayaan Prabu
Abiyasa. Raden Bantar Gading membuka surat yang
tergulung rapi itu, lalu membacanya. Keningnya sedikit
berkerut begitu mengetahui isinya. Kembali digulung
surat itu dan ditatapnya utusan yang masih menunggu
sambil duduk bersimpuh di atas permadani tebal.
"Katakan pada Ayahanda Prabu, bahwa aku akan
berangkat malam ini juga," kata Raden Bantar Gading.
Utusan itu memberi hormat, lalu bangkit berdiri. Dua
langkah mundur ke belakang, lalu badannya langsung
berbalik dan keluar dari pondok itu. Raden Bantar
Gading menatap Panglima Jampala dan Panglima
Rapaksa yang masih setia menemaninya di ruangan
yang tidak terlalu besar ini.
"Ayahanda Prabu memerintahkan, agar aku segera
ke Pesanggrahan Goa Larangan," kata Raden Bantar
Gading pelan.
"Untuk apa, Raden?" tanya Panglima Jampala.
"Beberapa telik sandi melihat Braga dan Kinca ada di
sana."
"Heh! Ada urusan apa mereka ke sana?" ujar
Panglima Rapaksa terkejut
"Itulah yang ingin diketahui Ayahanda Prabu. Kalau
maksud mereka buruk, aku diperintahkan untuk
memenggal kepalanya. Hm..., aku sendiri sebenarnya
memang ingin memenggal kepala mereka!"
"Raden! Ijinkan hamba membereskan bangsat
pengecut itu!" kata Panglima Jampala.
"Tugas itu langsung ditujukan padaku, Paman
Panglima," tolak Raden Bantar Gading tegas.
"Tapi, Raden...," Panglima Jampala ingin membantah.
"Kenapa?" tanya Raden Bantar Gading. Nada
suaranya terdengar sinis. Tatapan matanya pun juga lain.
Panglima Jampala menundukkan kepalanya.
"Ayahanda Prabu juga meminta agar kau segera
kembali ke istana. Ada tugas penting yang harus segera
dilaksanakan, Paman Jampala," kata Raden Bantar
Gading tersenyum dingin.
"Hamba, Raden," sahut Panglima Jampala pelan.
"Berangkatlah malam ini juga," perintah Raden
Bantar Gading.
Panglima Jampala memberi hormat, lalu bangkit
berdiri. Kembali dia memberi hormat sebelum mening-
galkan ruangan pondok itu. Raden Bantar Gading me-
mandangi panglima itu hingga hilang di balik pintu.
Tidak lama kemudian terdengar derap langkah kaki
kuda menjauhi daerah Kaki Bukit Batu. Kini, Raden
Bantar Gading pandangannya beralih pada Panglima
Rapaksa.
“Paman Panglima! Kuserahkan pengawasan
pekerjaan ini padamu. Aku akan secepatnya kembali
setelah membereskan tikus-tikus keparat itu," kata Raden
Bantar Gading.
"Hamba, Raden," Panglima Rapaksa memberi hormat
dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan
hidung.
"Dan ada satu tugas berat lagi untukmu."
“Tugas apa, Raden?"
"Kejar Panglima Jampala, lalu bunuh!"
Panglima Rapaksa terkejut setengah mati hingga
terdongak memandang putra mahkota itu.
"Panglima Jampala ternyata pengkhianat! Dialah
salah satu pemimpin gerombolan pemberontak.
Ayahanda Prabu menginginkan kepalanya, dan tugas ini
kuserahkan padamu. Kau akan menerima hadiahnya?
besar jika berhasil membawa kepala pengkhianat pada
Ayahanda Prabu."
"Segera hamba laksanakan, Raden."
"Cepatlah, sebelum jauh."
Panglima Rapaksa bergegas bangkit dan melangkah
ke luar. Raden Bantar Gading tersenyum, kemudian juga
bangkit berdiri dari duduknya. Dengari langkah ringan,
dia berjalan keluar dari pondok itu. Dua orang prajurit
yang mengawal di depan pintu, langsung membungkuk
memberi hormat. Pada saat itu Panglima Rapaksa sudah
memacu cepat kudanya menyusul Panglima Jampala.
"Siapkan kuda!" perintah Raden Bantar Gading pada
salah seorang prajurit.
"Segera, Raden."
***
Panglima Rapaksa memacu kudanya bagai dikejar
setan. Diambilnya jalan pintas, dengan merambah hutan
yang lebat di sekitar Kaki Bukit Batu. Laki-laki tegap
berusia sekitar empat puluh tahun itu menghentikan
kudanya begitu riba di tepi sungai yang mengalir tenang
bagai sebuah batas antara kotaraja dengan daerah hutan
dan berbukit ini. Pandangannya tajam menembus
kegelapan malam.
Tampak dari arah depan di sebuah jalan setapak,
seseorang tengah menunggang kuda dalam kecepatan
sedang. Betapa terkejutnya dia begitu melihat Panglima
Rapaksa telah berdiri menghadang. Penunggang kuda
yang tak lain dari Panglima Jampala langsung melompat
turun ketika Panglima Rapaksa juga turun dari
punggung kudanya.
"Kakang Rapaksa! Bukankah kau bersama Raden
Bantar Gading?" Panglima Jampala tidak bisa
menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Benar. Tapi, sekarang aku sudah berada di
depanmu," sahut Panglima Rapaksa.
"Ada apa?"
"Adi Jampala, aku ingin kejujuranmu. Katakan terus
terang...," agak tertahan suara Panglima Rapaksa.
"Kakang! Ada apa ini? Kenapa kau berkata seperti
itu?"
"Benarkah kau ingin memberontak pada Prabu
Abiyasa?" Panglima Rapaksa tidak bisa menahan diri
lagi.
"He...?!" Panglima Jampala terkejut setengah mati.
"Jawab dengan jujur, Adi Jampala."
"Dari mana kau tahu, Kakang?"
"Gusti Prabu sudah mengetahui, dan aku
diperintahkan untuk membunuhmu!"
"Hm..., jadi utusan itu datang hanya untuk
memberitahu kalau aku salah satu dari pemberontak
itu?"
"Kau salah satu pemimpinnya!"
"He! Permainan macam apa ini?"
"Adi Jampala! Aku kenal baik, siapa kau
sesungguhnya. Aku sendiri sebenarnya tidak percaya
kalau kau adalah salah satu dari pemimpin kaum
pemberontak. Katakan terus terang padaku, apakah kau
benar-benar pemimpin pemberontak itu?" pinta
Panglima Rapaksa.
"Kalau benar, apakah kau tetap akan memenggal
kepalaku?" nada suara Panglima Jampala terdengar
menantang.
"Maaf, Adi Jampala. Malam ini juga, salah satu di
antara kita harus ada yang tewas," sahut Panglima
Rapaksa.
"Aku kagum pada kesetiaanmu, Kakang. Tapi
sungguh menyesal, kau menumpahkan kesetiaan pada
orang yang salah! Prabu Abiyasa tidak berhak atas tahta
Kerajaan Gantar Angin. Dia hanya adik tiri, dan
seharusnya sudah beruntung diberi jabatan kepala
panglima perang. Tapi nyatanya dia serakah! Bahkan
sekarang semakin gila dengan menghancurkan tempat
suci untuk pemujaan!"
"Menyesal sekali, Adi Jampala. Kita akan berhadapan
sebagai lawan," dingin suara Panglima Rapaksa.
"Silakan, jika kau ingin memenggal kepalaku."
"Bersiaplah! Hiyaaa...!"
Panglima Rapaksa segera melompat menerjang
dengan jurus mautnya. Panglima Jampala yang sadar
tingkat kepandaiannya dua tingkat di bawah Panglima
Rapaksa, harus lebih berhati-hati. Pertarungan antara
dua panglima itu berlangsung sengit. Sementara Raden
Bantar Gading memperhatikan sejak tadi dari tempat
yang cukup tersembunyi. Putra Mahkota Kerajaan
Gantar Angin itu memang mengikuti kepergian
Panglima Rapaksa. Dia memang ingin melihat sendiri
kesetiaan panglimanya itu. Kehadiran Raden Bantar
Gading memang tidak diketahui oleh dua orang yang
tengah menyabung nyawa itu.
Pertarungan antara dua panglima itu semakin sengit.
Lima belas jurus sudah terlewati, namun belum ada
tanda-tanda yang terdesak. Serangan-serangan yang
dilancarkan Panglima Jampala maupun Panglima
Rapaksa, sungguh dahsyat. Debu mengepul di sekitar
pertarungan. Pohon-pohon bertumbangan kena
sambaran pukulan atau tendangan yang luput dari
sasaran. Batu-batu hancur berkeping-keping. Mereka
sama-sama mengerahkan jurus-jurus andalan.
Pada saat memasuki jurus yang kedua puluh,
Panglima Jampala mulai kelihatan terdesak. Beberapa
kali pukulan dan tendangan dahsyat dari Panglima
Rapaksa hampir menghantam tubuhnya. Panglima
Jampala harus jatuh bangun menghindari serangan-
serangan yang gencar dan cepat itu. Bahkan kini tidak
lagi punya kesempatan untuk balas menyerang.
"Mampus kau! Hiya...!"
"Kalau benar aku pemimpin pemberontak, apakah
kau tetap akan memenggal kepalaku?" nada suara
Panglima Jampala terdengar menantang.
"Maaf, Adi Jampala. Malam ini juga, salah satu dari
kita harus tewas!" tegas Panglima Rapaksa.
Tahu kalau lawannya sudah tidak mampu lagi
membalas, Panglima Rapaksa semakin memperhebat
serangannya. Hingga pada satu kesempatan yang baik,
pukulan telak Panglima Rapaksa berhasil bersarang di
dada Panglima Jampala.
"Hugh!" Panglima Jampala mengeluh pendek
Tubuhnya terjajar ke belakang sejauh dua batang
tombak. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Belum sempat panglima yang malang itu mengatur jalan
napasnya, Panglima Rapaksa kembali melancarkan
beberapa pukulan beruntun. Semampunya Panglima
Jampala berkelit menghindar, tapi sebuah pukulan
bertenaga dalam tinggi kembali bersarang di tubuhnya.
Panglima Jampala terjungkal keras mencium tanah.
Dan pada saat kaki Panglima Rapaksa menjejak dadanya,
dia tidak mungkin lagi menghindar. Darah langsung
muncrat dari lubang hidung dan mulutnya, begitu kaki
Panglima Rapaksa menghantam telak dadanya.
Krek!
Panglima Jampala tidak bisa bersuara lagi. Tulang
dadanya remuk terinjak kaki dengan tenaga luar biasa
itu. Tubuhnya terkulai lemas. Nyawanya pun langsung
terbang melayang saat itu juga. Panglima Rapaksa
melangkah mundur. Matanya memandangi mayat
Panglima Jampala yang terbujur diam dengan tulang-
tulang dada remuk.
Pelahan-lahan Panglima Rapaksa mengeluarkan
pedangnya yang tergantung di pinggang, lalu dengan
cepat dikibaskan ke leher Panglima Jampala. Tak pelak
lagi. Sekali tebas saja leher Panglima Jampala terpenggal
buntung. Panglima Rapaksa menyarungkan kembali
pedangnya, lalu diangkatnya kepala Panglima Jampala.
"Bagus! Kau memang seorang panglima yang setia,
Paman Rapaksa!"
"Raden...!" Panglima Rapaksa terkejut ketika tiba-tiba
Raden Bantar Gading muncul.
Panglima Rapaksa segera membungkukkan badan
memberi hormat. Raden Bantar Gading melangkah
mendekati. Bibirnya yang tipis menyunggingkan
senyum.
"Biar aku yang menyerahkan kepala pengkhianat itu
pada Ayahanda Prabu. Kau kembali saja ke Bukit Batu,"
kata Raden Bantar Gading.
"Hamba, Raden."
Panglima Rapaksa menyerahkan kepala Panglima
Jampala pada Raden Bantar Gading. Setelah
membungkuk memberi hormat, Panglima Rapaksa
segera menghampiri kudanya. Dengan satu lompatan
ringan, panglima tinggi tegap itu naik ke atas punggung
kudanya.
Dan pada saat yang tepat, Raden Bantar Gading
mengibaskan tangan kirinya. Maka tiga buah jarum
berwarna hitam pekat meluncur deras ke arah Panglima
Rapaksa dan tidak bisa terelakkan lagi. Dalam waktu
yang singkat, Panglima Rapaksa jatuh tersungkur
seketika. Kuda tunggangannya pun meringkik sambil
mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
"Raden...," lirih suara Panglima Rapaksa.
"Aku tahu, kau memang seorang panglima yang
setia, Paman Rapaksa. Tapi Ayahanda Prabu
menghendaki kematianmu," kata Raden Bantar Gading
dingin.
Panglima Rapaksa berusaha merayap, tapi seluruh
tubuhnya terasa kaku. Dari hidung dan mulutnya
mengucur darah kental kehitaman. Jarum yang
dilepaskan Raden Bantar Gading ternyata mengandung
racun yang bekerja cepat, sangat dahsyat dan
mematikan. Sebentar saja seluruh tubuh Panglima
Rapaksa sudah membiru, dan tidak bisa digerakkan lagi.
"Kau bekas Patih Ratu Kunti Boga, Panglima
Rapaksa. Ayahanda Prabu menghendaki orang-orang
sepertimu agar dilenyapkan," kata Raden Bantar Gading
dingin.
"Raden..., aku bukan pengkhianat. Aku setia pada
Gusti Prabu Abiyasa," lirih suara Panglima Rapaksa.
"Kau selalu setia pada siapa saja yang berkuasa di
Kerajaan Gantar Angin. Orang sepertimu tidak patut
hidup di dunia. Memang kau sekarang tidak berkhianat.
Tapi, begitu para pemberontak mengacau, kau pasti akan
berpihak pada mereka! Dan ular sepertimu sudah
seharusnya mati!"
"Kau.. Kau kejam, Raden!" desis Panglima Rapaksa.
"Ha ha ha..! Sebentar lagi kau akan mampus,
Rapaksa!"
Panglima Rapaksa berusaha bangkit, tapi seluruh
tubuhnya terasa kaku dan sulit digerakkan. Racun yang
menjalar ke seluruh aliran darahnya kini membuat
jaringan urat syaraf di seluruh tubuhnya mati. Panglima
Rapaksa hanya dapat mengumpat di dalam hati. Ada
terbersit rasa penyesalannya setelah membunuh
Panglima Jampala.
"Selamat tinggal, Panglima Rapaksa. Terimalah
kematianmu dengan tenang!" kata Raden Bantar Gading
seraya tertawa terbahak-bahak.
"Iblis! Binatang kau...!" geram Panglima Rapaksa.
"Ha ha ha...!"
Raden Bantar Gading kemudian bersiul nyaring.
Terdengar suara ringkikan yang disusul dengan
munculnya seekor kuda putih dari balik rimbunan
pohon. Raden Bantar Gading melesat naik ke punggung
kuda putih itu. Dilemparkan kepala Panglima Jampala
ke dekat Panglima Rapaksa. Kepala tanpa tubuh itu jatuh
tepat di depan muka Panglima Rapaksa.
"Terkutuk kau, Raden...!" pekik Panglima Rapaksa.
"Hiya! Hiya...!"
Raden Bantar Gading menggebah kudanya. Kuda
putih itu meringkik keras sambil mengangkat kaki
depannya tinggi-tinggi. Dan..., jatuh tepat di tubuh
Panglima Rapaksa.
"Aaakh...!" Panglima Rapaksa menjerit keras.
Beberapa kali kaki depan kuda putih itu menghunam
tubuh Panglima Rapaksa, hingga panglima itu tewas.
Setelah puas, baru Raden Bantar Gading menghentikan
injakan-injakan kaki kudanya. Suara tawanya pecah
berderai membelah kesunyian malam. Kuda putih itu
melesat cepat bagai sebatang anak panah lepas dari
busurnya. Sementara malam terus merayap semakin
jauh. Titik-titik embun menyirami dua onggok mayat
yang menggeletak sia-sia. Suara tawa Raden Bantar
Gading lenyap, bersama bayangan tubuhnya yang
berada di atas punggung seekor kuda putih.
***
Raden Bantar Gading terus memacu cepat kudanya
menuju Lereng Bukit Cemara sebelah Barat. Tujuannya
pasti ke pondok kecil tempat tinggal Mayang. Sudah
beberapa hari ini, sejak pertengkarannya dengan
Mayang, dia tidak pernah datang lagi menemui wanita
cantik yang selalu menghangatkan tubuhnya. Memang,
dalam beberapa hari ini wajah Mayang selalu terbayang
di pelupuk matanya. Malam ini ingin dihabiskannya
bersama wanita cantik menggairahkan itu, sebelum ke
Pesanggrahan Goa Larangan mencari dua orang bayaran
yang melarikan diri meninggalkan tugasnya.
Dalam waktu tidak berapa lama, kuda putih
tunggangan Raden Bantar Gading tiba di depan pondok
kecil yang hanya diterangi sebuah pelita di ruangan
dalam. Raden Bantar Gading segera melompat turun dari
punggung kuda. Dengan ayunan kaki pasti, bergegas
dihampirinya pintu pondok itu. Dia agak tertegun ketika
melihat pintu pondok sedikit terbuka.
Brak!
Hanya sekali pukul saja, pintu pondok itu hancur
berantakan. Kelopak matanya membeliak lebar melihat
di dalam pondok itu telah duduk seorang pemuda
tampan dan gagah mengenakan baju kulit harimau.
Sedangkan di atas pembaringan, Mayang tergolek
setengah berbaring miring. Tubuhnya hanya ditutupi
selembar kain sutra tipis, sehingga menampakkan lekuk-
lekuk tubuhnya yang indah menggairahkan.
"Setan! Dasar pelacur...!" geram Raden Bantar
Gading.
Mayang melilitkan kain dengan tenang, lalu bangkit
berdiri dari pembaringannya. Sedangkan pemuda
tampan berbaju kulit harimau tetap duduk tenang.
Sedikit pun tidak mempedulikan kedatangan Raden
Bantar Gading.
"Keluar kau!" bentak Raden Bantar Gading menunjuk
pemuda berbaju kulit harimau.
Pemuda tampan itu hanya tersenyum tipis. Sedikit
pun tidak bergeming. Sedangkan Mayang malah
melangkah menghampiri, lalu duduk di pangkuan
pemuda itu dengan sikap manja. Tentu saja hal ini
membuat Raden Bantar Gading semakin berang. Dengan
kasar direnggutnya tangan wanita itu, dan
dicampakkannya dengan keras.
"Akh!" Mayang memekik tertahan.
Dinding pondok sampai bergetar kena hantam tubuh
ramping itu. Pemuda berbaju kulit harimau terkejut
melihat kekasaran Raden Bantar Gading terhadap
Mayang. Dia melompat bangun dari duduknya. Sinar
matanya tajam langsung menusuk ke bola mata putra
mahkota itu. Raden Bantar Gading melangkah mundur
dua tindak. Hatinya tergetar juga melihat sorot mata
yang dingin menusuk itu.
"Siapa kau?" tanya Raden Bantar Gading. Suaranya
agak bergetar.
"Namaku Bayu Hanggara!" jawab pemuda berbaju
kulit harimau itu dingin.
"Kuminta kau segera keluar, sebelum hilang
kesabaranku!" tegas kata-kata Raden Bantar Gading.
"He! Apa hakmu mengusirku?"
"Keparat! Ini pondokku, dan dia milikku!" Raden
Bantar Gading menunjuk Mayang.
"Benar begitu?" Bayu memandang pada Mayang.
"Bohong!" sahut Mayang keras.
"Mayang...!"
"Aku tidak mengenalnya. Dan aku hidup sendiri di
sini!" sambung Mayang tidak menghiraukan bentakan
Raden Bantar Gading.
"Tutup mulutmu, Mayang!" bentak Raden Bantar
Gading geram.
"Harusnya kau yang tutup mulut!"
"Perempuan liar! Kubunuh kau!"
"Hhh, ingin kulihat, sampai di mana keberanianmu,"
tantang Mayang sinis.
"Keparat! Hiya...!"
Raden Bantar Gading tidak bisa lagi menahan luapan
amarahnya. Bagai seekor serigala lapar menerkam
mangsa, dia melompat hendak menyambar wanita itu.
Namun dengan menggeser kakinya sedikit ke samping,
Mayang berhasil menghindari sergapan Raden Bantar
Gading. Tentu saja hal ini membuat putra mahkota itu
semakin meluap amarahnya. Dengan cepat dia berbalik,
dan melancarkan pukulan beruntun. Tapi sungguh di
luar dugaan, ternyata Mayang mampu menghindari
serangan itu dengan manis.
"Heh! Kau...!" Raden Bantar Gading terkejut bukan
main.
Sama sekali tidak disangka kalau Mayang memiliki
ilmu olah kanuragan. Selama ini dia hanya mengenal
Mayang sebagai seorang wanita lemah yang hanya bisa
melayaninya di atas ranjang. Dan kini ternyata wanita
lemah dan selalu hangat di ranjang itu memiliki
simpanan, bahkan mampu meredam serangan dengan
lincah.
"Kenapa bengong? Ayo, bunuh aku!" tantang
Mayang.
"Phuih!" Raden Bantar Gading menyemburkan
ludahnya.
Sambil menahan perasaan heran bercampur geram,
Raden Bantar Gading mencabut pedangnya dan
langsung dikibaskan ke arah dada wanita itu. Mayang
melompat mundur menghindari tebasan pedang Raden
Bantar Gading. Dan pada saat Raden Bantar Gading
menarik pedangnya, dengan cepat kaki Mayang
melayang ke arah dada pemuda itu.
"Akh!" Raden Bantar Gading memekik kaget.
Cepat-cepat putra mahkota itu menarik tubuhnya ke
belakang seraya mengibaskan pedangnya. Secepat
Mayang menarik kembali kakinya, secepat itu pula dia
melontarkan tiga pukulan bertenaga dalam secara
beruntun. Wajah Raden Bantar Gading memerah
terkesiap. Serangan yang dilancarkan Mayang sungguh
diluar dugaan. Tak ada jalan lain, kecuali menghindar
dengan berkelit ke kiri dan ke kanan.
Raden Bantar Gading bergegas melompat ke luar,
setelah ada kesempatan baik Mayang tidak mem-
biarkannya begitu saja. Dia pun segera melenting ke luar.
Sedangkan Bayu hanya melangkah ringan saja mengikuti
mereka. Di luar pondok, kembali pertarungan
berlangsung. Di alam terbuka ini gerakan-gerakan
mereka tidak lagi terbatas. Pedang keperakan di tangan
Raden Bantar Gading berkelebatan mengurung tubuh
wanita itu.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Meskipun
Mayang tidak bersenjata, nampaknya masih mampu juga
menandingi Raden Bantar Gading yang menggunakan
pedang. Namun harus diakui, kalau posisi Mayang saat
ini tidak menguntungkan sama sekali. Lebih-lebih dia
hanya mengenakan kain yang menutupi tubuhnya.
Gerakan-gerakannya jadi terbatas. Tiga kali ujung
pedang Raden Bantar Gading mengoyak kain yang
menutupi tubuh wanita itu.
"Hm..., tiga jurus lagi Mayang pasti tidak akan
mampu menandingi," gumam Bayu yang sejak tadi
memperhatikan.
***
6
“Akh!"
Mayang memekik tertahan. Buru-buru dia melompat
mundur. Tapi ujung pedang Raden Bantar Gading masih
sempat menyentuh bagian dadanya, sehingga kain yang
dikenakan hampir melorot turun. Pada saat wanita itu
sibuk dengan kainnya, Raden Bantar Gading melompat
seraya mengibaskan pedang ke arah leher
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Bayu melentingkan tubuhnya, dan menyentil ujung
pedang Raden Bantar Gading. Seluruh tangan putra
mahkota itu jadi bergetar kesemutan. Cepat-cepat ditarik
kembali pedangnya seraya melompat mundur. Bayu
berdiri tegak melindungi Mayang.
"Masuklah, Mayang. Pakai lagi bajumu," kata Bayu
lembut
"Baik Kakang," sahut Mayang menurut.
"Phuih!" Raden Bantar Gading menyemburkan
ludahnya sengit.
Mayang melangkah masuk kembali ke dalam
pondoknya. Sementara Raden Bantar Gading sudah
kembali melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
Rasa geram, marah, dan cemburu yang meluap-luap
membuat serangannya jadi liar dan membabi-buta. Hal
ini sempat membuat Bayu sedikit kerepotan. Tapi
dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu bisa menguasai
keadaan. Sudah bisa diukur sampai di mana tingkat
kepandaian putra raja pemberang itu.
Beberapa kali ujung pedang Raden Bantar Gading
hampir merobek tubuh Bayu. Namun dengan manis
sekali Pendekar Pulau Neraka itu mengelak. Hal ini
membuat Raden Bantar Gading jadi semakin berang,
karena merasa dipermainkan.
"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Raden!" kata
Bayu memperingatkan.
"Kau yang pergi, Setan!" balas Raden Bantar Gading.
"Kau bukan lawanku, Raden! Jangan paksa aku
untuk bertindak kejam padamu!"
"Keparat! Mampus kau...!"
Raden Bantar Gading tidak mempedulikan
peringatan Bayu dan malah semakin memperhebat
serangan-serangannya. Sementara Bayu hanya melayani
setengah-setengah. Tapi kini gerahamnya mulai
bergemeletuk melihat Raden Bantar Gading tidak
mengindahkan peringatannya. Bahkan serangan-
serangannya semakin gencar saja.
"Hentikan, Raden!" bentak Bayu gusar.
"Jangan banyak mulut! Kau atau aku yang harus
mampus!" dengus Raden Bantar Gading.
"Kau yang memaksaku, Raden!" Bayu jadi kesal.
Raden Bantar Gading benar-benar tidak peduli lagi.
Bahkan jarum-jarum beracunnya malah beraksi setiap
kali ada kesempatan dan jarak yang cukup. Hal ini
semakin membuat Pendekar Pulau Neraka geram. Batas
kesabarannya sudah habis. Dia bisa merasakan adanya
hawa racun pada jarum-jarum hitam yang dilontarkan
Raden Bantar Gading.
"Kau memilih mampus rupanya, Raden!" geram
Bayu.
Saat itu juga, Bayu segera melenting tinggi ke udara,
lalu dengan cepat menukik turun sambil melontarkan
dua kali pukulan bertenaga dalam sangat tinggi. Raden
Bantar Gading terperangah sesaat. Buru-buru dibanting
tubuhnya ke samping, dan bergulingan beberapa kali di
tanah. Pukulan Bayu menghantam tanah kosong.
Tanah yang dipijak langsung bergetar bagai terjadi
gempa. Debu berkepul tinggi ke angkasa. Mata Raden
Bantar Gading terbeliak melihat tanah yang terkena
pukulan Pendekar Pulau Neraka itu berlubang besar dan
cukup dalam. Belum sempat putra mahkota itu hilang
dari rasa terkejutnya, Bayu sudah melompat
menerjangnya.
"Hiya...!"
Des!
"Akh...!" Raden Bantar Gading memekik keras.
Pukulan keras bertenaga dalam hampir sempurna itu
tidak bisa dielakkan lagi. Tubuh Raden Bantar Gading
terpental keras ke belakang. Dua pohon yang cukup
besar tumbang kena hantam punggungnya. Dan pada
pohon ketiga, baru tubuh Raden Bantar Gading melorot
turun. Pedang di tangannya pun terlepas dari
genggaman.
Raden Bantar Gading berusaha bangkit, tapi dadanya
yang sesak seperti terasa hancur, sehingga membuatnya
sulit bergerak. Darah segar mengucur deras dari
mulutnya. Pandangan matanya berkunang-kunang, dan
napasnya tersengal. Seluruh tubuhnya terasa remuk.
"Jangan...!" pekik Mayang ketika Bayu hendak
melontarkan kembali pukulan mautnya.
Mayang berlari menghampiri Bayu dan berdiri
menghadangnya. Tangan Bayu yang sudah terangkat
naik, pelahan-lahan turun kembali. Sementara Raden
Bantar Gading masih bersandar pada pohon yang
hampir tumbang terbentur punggungnya tadi. Mayang
berbalik memandang pemuda pongah itu.
"Cepatlah pergi," kata Mayang agak bergetar
suaranya.
Sebentar Raden Bantar Gading menatap Mayang dan
Bayu bergantian. Tangannya menggapai meraih pedang
yang tergolek tidak jauh darinya. Setelah menyarungkan
pedangnya kembali, dia berusaha bangkit dengan sisa-
sisa kekuatan yang ada. Dadanya kembali terasa sesak
setiap kali menggerakkan tubuhnya. Pandangannya pun
semakin mengabur. Namun Raden Bantar Gading terus
berusaha merayap mendekati kudanya.
Seperti mengetahui kalau majikannya tidak bisa
berdiri dengan tegak, kuda putih itu menghampiri.
Kepalanya tertunduk hampir menyentuh tanah. Raden
Bantar Gading berusaha naik ke punggung kudanya.
Langsung direbahkan tubuhnya begitu berada di atas
punggung kudanya. Pelahan-lahan kuda putih itu
melangkah pergi tanpa diperintah lagi.
"Kenapa kau cegah aku untuk membunuhnya,
Mayang?" tanya Bayu setelah mereka berdua berada di
dalam pondok kembali.
"Dia sebenarnya baik, Kakang. Hanya pengaruh
ayahnya begitu kuat, sehingga wataknya jadi keras
begitu," jawab Mayang seraya menghenyakkan tubuhnya
di pembaringan.
Bayu kembali duduk di kursi dekat jendela. Angin
malam yang dingin menerobos masuk dari pintu yang
jebol berantakan. Mayang menutupi tubuhnya dengan
kain tebal berbulu. Dimiringkan tubuhnya untuk
memandang pemuda tampan berbaju kulit harimau itu.
Sesaat keheningan mencekam menyelimuti mereka
berdua.
Tatapan mata wanita cantik itu dibalas Bayu dengan
lembut. Mayang memang sudah menceritakan segalanya
pada Pendekar Pulau Neraka itu. Lebih-lebih setelah
Bayu bercerita kalau dia sudah mengetahui hal itu dari
seorang laki-laki yang dipanggil eyang oleh Mayang.
Tapi Bayu tidak mengatakan siapa laki-laki tua itu
sebenarnya. Bayu hanya ingin mengetahui lebih jelas lagi
dari wanita yang dikatakan putri tunggal Ratu Kunti
Boga, penguasa yang terguling di Kerajaan Gantar
Angin.
Sebenarnya, tadi mereka sudah tahu kalau Raden
Bantar Gading datang. Suara derap langkah kaki kuda
sudah menandakan kalau Raden Bantar Gading akan
muncul. Bukan Bayu yang merencanakan. Tapi memang
Mayang sendiri yang langsung melepaskan seluruh
bajunya, dan hanya ditutupi dengan selembar kain tipis.
Semula Bayu terkejut, tapi akhirnya bisa mengerti
dengan tindakan wanita itu. Hasilnya memang nyata,
Raden Bantar Gading jadi cemburu buta, sehingga
amarahnya meluap. Lebih-lebih setelah mendapat
perlawanan sengit dari wanita itu. Amarah Raden Bantar
Gading semakin bertambah tidak terkendalikan.
"Kau mencintainya?" tanya Bayu dengan pandangan
mata sukar dimengerti.
Mayang tidak langsung menjawab. Kepalanya
tertunduk, tidak sanggup membalas tatapan mata
Pendekar Pulau Neraka itu. Dia memang mencintai
Raden Bantar Gading, tapi tidak mungkin....
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Mayang. Aku
datang menemuimu bukan untuk mendesak seperti yang
dilakukan Eyangmu. Justru kedatanganku ingin
membuktikan kebenaran kata-kata laki-laki yang
kujumpai, dan mengaku sebagai Eyangmu sekaligus
gurumu itu," lembut kata-kata Bayu.
"Sebagian memang ada benarnya, tapi...," kembali
Mayang tidak melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa, Mayang?"
"Aku.... Aku tidak tahu, sejak kapan berada di tempat
ini. Eyang selalu datang dengan baju serba hitam dan
wajah hampir tertutup kain hitam. Rasanya kalau
bersamanya sejak usia tujuh tahun, aku pasti ingat.
Sedangkan aku tidak ingat sama sekali," kata Mayang
ragu-ragu.
"Kau masih ingat suasana Istana Kerajaan Gantar
Angin?" tanya Bayu mulai merasa mendapat teka-teki
lagi. Mayang menggeleng pelahan. Jelas sinar matanya
memancarkan keraguan.
"Kau ingat, sejak kecil berada di mana?"
"Yang aku tahu, sejak kecil aku berada di Puncak
Bukit Cemara bersama ibu pengasuhku. Dia meninggal
dunia beberapa tahun yang lalu. Kemudian aku bertemu
dengan Raden Bantar Gading. Dialah yang membuatkan
aku pondok di sini. Hanya itu, dan tidak ada yang
menarik"
"Kau masih ingat wajah Ayah dan Ibumu?"
"Tidak..," kembali Mayang menggeleng.
"Mustahil! Usia tujuh tahun seharusnya kau masih
ingat wajah orang tuamu," gumam Bayu tidak percaya.
"Sungguh! Aku tidak tahu, dan tidak ingat sama
sekali. Bahkan aku sendiri ragu-ragu, apakah benar aku
ini putri Gusti Ratu yang sekarang ditawan dalam kamar
bawah tanah bersama saudara-saudaraku."
"Kau pernah ke kotaraja?"
Lagi-lagi Mayang menggeleng.
"Tidak tahu sama sekali suasana di kotaraja?"
"Tidak"
"Aneh...," gumam Bayu pelan, hampir tidak
terdengar suaranya.
Bayu kembali terdiam. Keterangan yang diperoleh
dari Mayang membuatnya berpikir keras. Dirasakan
adanya kejanggalan dan keanehan. Tapi itu tidak
mungkin dapat terungkap jika tidak mencari keterangan
lain di kotaraja. Hanya di sanalah semuanya bisa
terungkap, sekaligus mengetahui maksud dan tujuan
Paman Nampi yang sebenarnya.
Bayu jadi ragu-ragu dengan kebenaran cerita Pamari
Nampi. Sebab keterangan yang didapatnya dari laki-laki
tua berjubah putih itu banyak yang tidak cocok dengan
cerita Mayang sendiri. Terutama tentang keluarga
kerajaan. Semuanya masih membingungkan. Hal ini jadi
pertanyaan besar di benak Pendekar Pulau Neraka. Bayu
bangkit berdiri dari duduknya, kemudian melangkah ke
pintu yang sudah hancur daunnya.
"Benahi pakaianmu, kita pergi sekarang," kata Bayu
seraya melangkah ke luar.
"Ke mana...?" tanya Mayang seraya melompat turun
dari pembaringan.
"Ke kotaraja!" sahut Bayu dari luar.
"Untuk apa ke sana? Eyang pasti tidak akan
mengijinkan."
"Kau ingin tahu siapa dirimu, kan?"
Mayang tidak menjawab. Dia termenung sebentar,
lalu menyiapkan pakaian beberapa potong dan
membungkusnya dengan selembar kain. Bergegas dia
melangkah keluar setelah merapikan diri. Bayu sudah
menunggu di depan pondok. Pendekar Pulau Neraka itu
mengayunkan kakinya begitu melihat Mayang keluar
dari pondok Mereka berjalan berdampingan tanpa bicara
sedikit pun.
***
Suasana di Kotaraja Kerajaan Gantar Angin tampak
ramai. Keramaian itu juga ditandai dengan banyaknya
prajurit yang berkeliaran di setiap sudut. Tetapi semua
keramaian itu berjalan seperti dipaksakan. Wajah-wajah
mendung dengan sinar mata kosong tanpa gairah,
terpancar dari raut wajah setiap rakyat. Keramaian itu
ada karena hari ini adalah hari pasaran, sehingga banyak
pedagang dan pendatang yang ingin berjual-beli
memadati kota.
Di antara keramaian itu, tampak Bayu dan Mayang
berjalan menuju sebuah rumah penginapan yang
sekaligus kedai makan. Di tempat itu juga ramai di
kunjungi. Bahkan beberapa prajurit terlihat di sana. Dua
orang punggawa juga ada. Bayu dan Mayang masuk ke
dalam kedai itu. Seorang laki-laki tua menghampiri
terbungkuk-bungkuk Dia mempersilakan Bayu dan
Mayang duduk kemudian menanyakan makanan dan
minuman yang dipesan.
Ki Rampit, pemilik kedai dan rumah makan itu
bergegas ke belakang setelah Bayu menyebutkan
pesanannya. Sementara Mayang mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Sungguh tidak disangka
kalau kotaraja begini ramai, dan banyak berdiri rumah
besar dan indah. Baru kali ini Mayang menyaksikan
begitu banyak orang hilir-mudik dengan kesibukannya
masing-masing. Ki Rampit datang lagi dengan membawa
pesanan yang diminta Bayu. Diletakkan pesanan itu di
atas meja dengan sikap sopan. Bibirnya selalu
menyunggingkan senyum.
"Tampaknya Kisanak datang dari jauh...," kata Ki
Rampit setelah menaruh semua pesanan tamunya di
meja..
"Benar," sahut Bayu.
"Kisanak perlu tempat untuk menginap?"
"Ya. Aku agak lama berada di sini," sahut Bayu lagi.
"Di sini juga menyediakan kamar penginapan.
Tapi...."
"Kenapa?"
"Tinggal satu kamar lagi yang tersisa."
"Tidak apa. Kami ini pasangan suami istri," kata
Bayu berbohong.
"Oh, kalau begitu aku siapkan dulu kamarnya."
"Terima kasih," ucap Bayu.
Ki Rampit bergegas meninggalkan tamunya itu.
Mayang mencubit tangan Bayu. Bola matanya mendelik
lebar. Bayu hanya meringis saja. Dia tahu, kenapa
Mayang mencubitnya.
"Supaya tidak menyolok. Lagi pula, biar aku lebih
leluasa menjaga keselamatanmu," kata Bayu setengah
berbisik.
"Tapi...," Mayang mau protes.
"Sudahlah! Di sini nyawamu terancam."
Mayang langsung diam. Matanya sempat melirik
beberapa prajurit dan dua orang punggawa yang berada
di dalam kedai ini. Sementara Bayu sudah sibuk dengan
makanannya. Rasa lapar yang sejak tadi ditahan,
membuat Mayang segera melahap hidangannya. Mereka
makan tanpa banyak bicara lagi. Sementara kedai ini
tidak pernah sepi, selalu saja ada orang yang keluar
masuk. Ki Rampit tampak sibuk melayani tamu-
tamunya. Namun senyumnya tetap terkembang ramah.
Mungkin keramahan inilah yang membuat kedainya
ramai dikunjungi, disamping masakannya memang
sangat lezat.
Ki Rampit datang lagi ke meja Bayu, setelah
Pendekar Pulau Neraka dan Mayang menyelesaikan
makannya. Mereka kini menikmati arak manis yang
memang selalu disediakan pemilik kedai meskipun tidak
termasuk pesanan. Ki Rampit tersenyum dan
mengangguk ramah. Bayu membalasnya dengan ramah
pula.
"Kamar sudah disiapkan. Silakan, jika Kisanak ingin
beristirahat," kata Ki Rampit lagi.
"Bagaimana, Mayang?" tanya Bayu menoleh pada
Mayang.
"Bolehlah. Dan lagi, badanku memang sudah pegal,"
sahut Mayang.
Bayu bangkit berdiri, dan membantu wanita itu
berdiri dengan memegang tangannya. Mayang
membiarkan saja tangannya digenggam pemuda tampan
berbaju kulit harimau itu. Ki Rampit memandanginya
dengan bibir tetap terhias senyum. Dia melangkah lebih
dulu untuk menunjukkan kamar yang sudah disiapkan.
Beberapa perintah yang ditujukan kepada pembantunya
meluncur dari bibir laki-laki tua itu.
Bayu dan Mayang berjalan bergandengan tangan
mengikuti Ki Rampit. Mereka melewati bagian belakang
kedai, dan terus masuk ke dalam satu lorong yang sangat
besar. Di kiri dan kanannya terdapat banyak pintu
berjajar rapi. Lorong itu bercabang, dan mereka berbelok
ke arah kanan. Bayu agak berkerut keningnya ketika Ki
Rampit mengajaknya keluar dari lorong setelah berbelok
ke kanan.
Tampak sebuah taman indah, terhampar di bagian
belakang rumah penginapan ini. Mereka terus berjalan
melintasi taman itu, dan baru berhenti setelah tiba pada
satu bangunan yang tidak begitu besar, namun kelihatan
terawat rapi. Letaknya memang menyendiri, di antara
bangunan-bangunan lain.
"Silakan," kata Ki Rampit seraya membuka pintu.
Bayu mengamati keadaan di dalam. Sungguh indah
sekali. Mayang mengayunkan kakinya masuk ke dalam.
Dia memutari ruangan yang tidak begitu besar, namun
ditata sangat indah. Bangunan itu memang hanya berupa
satu kamar saja. Sedangkan Bayu tetap berdiri di ambang
pintu. Di sampingnya Ki Rampit masih berdiri
menunggu.
"Bukankah ini kamar khusus?" tanya Bayu.
"Benar. Khusus untukmu, Kisanak," sahut Ki Rampit.
"Untukku...?!" Bayu tersentak kaget.
Ki Rampit hanya tersenyum saja, kemudian
melangkah masuk ke dalam. Sejenak Bayu masih berdiri
di ambang pintu, kemudian ikut masuk ke dalam. Ki
Rampit menutup pintunya dan duduk di kursi dekat
pintu. Sementara Mayang sudah merebahkan diri di
pembaringan dengan tubuh miring. Bayu berdiri di
samping jendela yang langsung menghadap ke taman.
"Aku tahu, kalian berdua pasti datang ke sini," kata
Ki Rampit. Bibirnya tetap tersenyum.
Bayu memandang dengan kening sedikit berkerut
Mayang langsung terlonjak bangun dari pembaringan.
Dia duduk di tepi pembaringan itu. Kata-kata Ki Rampit
membuat jantungnya seperti berhenti berdetak seketika.
Sedangkan Bayu hanya diam. Pandangan matanya jadi
penuh rasa curiga.
"Bagaimana kau tahu kami akan datang?" tanya Bayu
dingin.
Lagi-lagi Ki Rampit hanya tersenyum saja.
***
"Kerajaan Gantar Angin ini tidak terlalu besar. Setiap
kali ada peristiwa yang terjadi, selalu cepat tersebar luas.
Aku tahu kalau Raden Bantar Gading selalu ke Bukit
Cemara, aku juga tahu peristiwa yang terjadi di Bukit
Batu...," kata Ki Rampit kalem.
Kata-kata laki-laki tua pemilik kedai itu memang
cukup jelas. Tapi, Bayu tidak mau menerima begitu saja.
Dia yakin itu bukan alasan yang tepat. Hanya saja. Bayu
tidak mau mendesak lebih jauh lagi. Dan kecemasan pun
mulai menjalar di harinya. Kalau memang demikian
alasan Ki Rampit, pasti semua orang sudah tahu
kedatangannya. Apalagi para prajurit serta punggawa
yang ada di kedai! Hal ini bisa jadi kesulitan besar bagi
Bayu dan Mayang.
Ki Rampit bangkit berdiri, dan membuka pintu
kamar itu. Dia berbalik dan tersenyum pada Bayu.
"Aku tahu kalian bukan pasangan suami istri. Tapi
jangan khawatir, tempat ini cukup aman bagi kalian
berdua," kata Ki Rampit sebelum meninggalkan kamar
itu.
Bayu tersentak kaget. Dia ingin mencegah, tapi Ki
Rampit sudah keburu pergi dengan menutup pintu
kamar ini. Bayu hanya bisa mendesah panjang dengan
mata menatap lurus pada Mayang. Wanita itu juga
membalas tatapan Pendekar Pulau Neraka.
"Kau di sini saja, Mayang. Jangan keluar dari kamar,"
kata Bayu seraya bangkit berdiri.
"Kakang mau ke mana?" tanya Mayang.
"Aku akan cari keterangan, siapa Ki Rampit
sebenarnya."
Mayang membiarkan saja Pendekar Pulau Neraka itu
keluar dari kamar ini, dan hanya duduk merenung di
tepi pembaringan. Wanita itu bangkit berdiri dan
melangkah ke jendela. Dari sini, kelihatan Bayu sedang
berjalan cepat melintasi taman. Tubuh Pendekar Pulau
Neraka itu lenyap di balik lorong kamar penginapan
lainnya. Mayang menarik napas panjang, dan kembali
berbalik. Dihenyakkan tubuhnya di pembaringan.
Sementara itu Bayu sudah menyusuri lorong yang di
kanan kirinya terdapat kamar-kamar sewaan.
Langkahnya cepat dan bergegas. Sebentar saja dia sudah
sampai di ujung lorong. Tapi saat tangannya hendak
membuka pintu, telinganya mendengar suara
percakapan dari balik pintu lorong ini.
Bayu paham betul akan suara dua orang laki-laki
yang sedang berbicara itu. Segera dikerahkan ilmu
meringankan tubuh dan ditajamkan telinganya. Suara
dua orang itu jelas suara Ki Rampit dan Raden Bantar
Gading.
"Kau yakin, kalau mereka adalah Mayang dan
Pendekar Pulau Neraka?" terdengar suara Raden Bantar
Gading.
"Tidak salah, Raden. Seperti yang Raden katakan,
wanitanya cantik, berkulit putih dengan rambut panjang
tergelung hitam. Ada andeng-andeng di sudut bibir
kanan. Sedangkan yang laki-laki berwajah tampan, tinggi
tegap dan memakai baju dari kulit harimau. Bukankah
begitu yang Raden katakan?"
"Hm, di mana kau tempatkan mereka?"
"Di kamar biasa, Raden."
"Bagus! Kau ajak Pendekar Pulau Neraka itu ke luar.
Biar kubereskan wanita keparat itu!"
"Hamba, Raden."
"Aku tunggu di kamar, lalu kau ajak dia pergi."
"Sekarang, Raden?"
"Iya, sekarang!"
"Baik, Raden."
Pada saat itu, Bayu sudah berlari cepat meninggalkan
lorong kamar penginapan itu. Dalam sekejap saja, dia
sudah sampai di depan pintu kamar, tempat Mayang
menunggu. Bergegas dibukanya pintu kamar itu.
Mayang terkejut melihat kedatangan Bayu begitu
tergesa-gesa.
"Cepat tinggalkan tempat ini!" kata Bayu.
"Ada apa, Kakang?" tanya Mayang.
Bayu tidak menjawab. Dengan cepat disambarnya
tangan wanita itu, dan ditariknya keluar. Secepat kilat
Pendekar Pulau Neraka itu memondong Mayang sambil
melentingkan tubuhnya ke atas atap. Tepat pada saat
Pendekar Pulau Neraka membawa Mayang pergi, Ki
Rampit keluar dari lorong. Langkah kakinya bergegas
melintasi taman, langsung menuju kamar khusus itu.
Ki Rampit mengetuk pintu yang sedikit terbuka. Tak
ada sahutan dari dalam. Pelahan-Iahan didorongnya
daun pintu itu. Matanya membeliak lebar begitu
mendapati kamar sudah kosong. Buntalan kain milik
Mayang masih teronggok di atas pembaringan. Bergegas
Ki Rampit berlari meninggalkan kamar itu.
"Raden...! Raden...!" teriaknya memanggil.
Pada saat Ki Rampit hampir mencapai pintu lorong,
Raden Bantar Gading muncul dengan tergesa-gesa. Ki
Rampit segera menjatuhkan diri berlutut. Napasnya
tersengal, seolah baru saja berlari jauh.
"Ada apa?!" tanya Raden Bantar Gading setengah
membentak.
"Celaka, Raden. Mereka kabur...." sahut Ki Rampit
dengan napas terengah-engah.
"Apa...?!"
"Mereka kabur, Raden," ulang Ki Rampit.
"Bodoh!"
Plak!
Ki Rampit mengaduh begitu telapak tangan Raden
Bantar Gading mendarat di pipinya. Laki-laki tua itu
terjungkal jatuh. Belum sempat dia bangkit, satu
tendangan keras membuat tubuhnya terguling beberapa
depa jauhnya. Raden Bantar Gading kembali
mendaratkan tendangannya ke tubuh laki-laki tua itu.
Benar-benar dilampiaskan kekesalannya.
Tidak puas dengan tendangan. Raden Bantar Gading
mengangkat tubuh tua itu. Maka dua pukulan mendarat
di tubuh laki-laki tua itu sekaligus. Darah mengucur
deras dari mulut dan pelipisnya yang luka. Ki Rampit
hanya bisa mengeluh dan merintih lirih. Seluruh tulang-
tulangnya terasa remuk redam. Tidak terhitung lagi,
berapa pukulan dan tendangan mendarat di wajah dan
tubuhnya.
"Mampus kau! Tua bangka tidak ada guna!" geram
Raden Bantar Gading.
Sret!
Raden Bantar Gading mencabut pedangnya, dan
langsung dikibaskan ke dada kurus kerempeng itu. Ki
Rampit tidak mungkin lagi mengelak. Tak pelak lagi,
dadanya terbabat ujung pedang Raden Bantar Gading. Ki
Rampit menjerit melengking, darah pun muncrat dari
luka panjang dan dalam di dadanya.
"Hiya...!"
"Aaakh...!"
Satu jeritan keras melengking mengantarkan nyawa
laki-laki tua malang itu. Darah kembali muncrat dari
perutnya yang tertembus pedang. Raden Bantar Gading
menendang tubuh tua yang tak bernyawa lagi itu. Sambil
melangkah pergi, disarungkan kembali pedangnya.
Beberapa orang yang mendengar ribut-ribut itu, hanya
bisa mengintip dari balik jendela kamar penginapan.
Tidak seorang pun yang berani mencegah. Mereka tahu
siapa Raden Bantar Gading, yang biasa membunuh
orang tanpa berkedip!
***
7
"Kakang, turunkan...!" jerit Mayang memberontak.
Bayu berhenti berlari setelah sampai di perbatasan
kotaraja. Diturunkan Mayang dari pondongannya.
Wanita itu memberengut sambil merapikan bajunya
yang kusut. Bayu memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tak ada seorang pun yang terlihat.
"Kenapa buru-buru? Seperti dikejar setan saja!"
rungut Mayang.
"Dengar, Mayang: Ini kesalahanmu," kata Bayu
tajam.
"Aku...?!" Mayang tidak mengerti.
"Iya! Kalau saja kau biarkan Raden bergajul itu mati,
kita bisa bebas masuk ke kotaraja!"
"Kakang, apa sebenarnya yang terjadi?" Mayang
masih belum mengerti juga.
"Tidak ada lagi tempat aman bagimu! Raden Bantar
Gading sudah memerintahkan siapa saja untuk menjebak
dan menangkap kita, terutama kau!"
"Jadi...?"
"Ki Rampit sudah tahu siapa kita sebenarnya dari
Raden Bantar Gading. Dia sengaja memberi kamar
khusus, sementara Raden Bantar Gading menunggunya
di kamar lain," jelas Bayu singkat.
"O.... Pantas dia bisa tahu...," Mayang mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Dunia memang kejam, Mayang. Kau tidak boleh
percaya begitu saja pada siapa pun. Sekali kau terjebak,
selamanya tidak akan merasa aman."
"Kau juga tidak pernah percaya pada siapa pun?"
"Itu tergantung, Mayang. Kita boleh percaya pada
seseorang, tapi jangan sepenuhnya. Coba kalau tadi kita
percaya begitu saja pada omongan Ki Rampit...."
"Aku percaya padamu, Kakang," potong Mayang.
"Jangan! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya."
"Tidak! Aku tetap percaya padamu."
"Kau begitu polos, Mayang. Kepolosan dirimu bisa
menjeratmu. Bahkan bukan tidak mungkin
disalahgunakan orang lain. Kau tidak akan merasa
diperalat sebelum benar-benar terjerumus."
Mayang terdiam membisu. Pandangan matanya
tajam menembus langsung ke bola mata Pendekar Pulau
Neraka itu. Bisa ditebak arah pembicaraan Bayu
Hanggara. Mendadak saja hatinya jadi tidak menentu.
Kehadiran Bayu seperti sebuah pelita yang menerangi
hatinya. Mayang baru sadar kalau selama ini hatinya
begitu tertutup dan buta akan keadaan sekelilingnya.
Sungguh tidak disadari, bahwa banyak serigala liar
berada di sekitarnya. Serigala yang siap mencabik-cabik
tubuhnya.
"Kakang, apakah Eyang juga tidak bermaksud baik
padaku?" tanya Mayang ragu-ragu.
"Aku tidak mengatakan begitu, Mayang. Yang jelas,
saat ini bukan hanya satu dua orang menginginkanmu.
Kau juga harus tahu, siapa dirimu sebenarnya," sahut
Bayu.
"Aku jadi seperti bukan diriku lagi, Kakang," kata
Mayang bergumam.
"Kau tetap Mayang. Hanya saja asal-usulmu harus
kau ketahui. Jangan sampai ada orang yang
memanfaatkanmu untuk kepentingan pribadi."
"Bagaimana aku bisa tahu?"
"Kau akan tahu, Mayang. Percayalah, pasti masih
ada orang yang tahu betul akan asal-usulmu. Kau
percaya padaku, Mayang?"
"Tentu."
"Aku akan membantumu."
"Sungguh?"
Bayu mengangguk pasti. Hari Pendekar Pulau
Neraka itu tergerak melihat keadaan Mayang yang buta
akan riwayat hidupnya sendiri. Hal itu sama dengan
keadaan Bayu yang juga tidak tahu dan belum pernah
melihat wajah orang tuanya. Meskipun Pendekar Pulau
Neraka itu sudah mengetahui asal-usulnya, tapi masih
juga belum yakin kalau ibunya sudah tewas dalam
kerusuhan di Padepokan Teratai Putih. Sampai saat ini,
pusaranya saja belum ditemukan.
Kesamaan nasib antara dirinya dengan Mayang,
membuat hati Pendekar Pulau Neraka itu tergerak untuk
membantu. Terlepas sampai kapan Bayu bisa
mengungkap asal-usul wanita itu. Sedangkan orang-
orang yang ingin memanfaatkan kepolosan Mayang saja
belum bisa dipastikan. Saat ini Bayu menghadapi dua
persoalan yang hampir berlawanan. Dan itu pasti
menyangkut keluarga Kerajaan Gantar Angin.
Bayu tersentak dari lamunannya ketika riba-riba
Mayang menubruk dan memeluknya dengan erat.
Sebentar Bayu gelagapan. Buru-buru dilepaskan
pelukan wanita itu. Tapi Mayang malah memperketat
pelukannya. Bahkan tanpa sungkan-sungkan lagi,
diciuminya wajah Pendekar Pulau Neraka itu. Tentu saja
hal ini membuat hati Bayu tidak menentu.
"Mayang...," desah Bayu agak tersengal.
Dengan halus, Bayu melepaskan pelukan wanita itu.
Digeser kakinya dua langkah ke belakang. Sedangkan
Mayang tidak melepaskan genggaman tangannya pada
tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Bibirnya yang selalu
merah merekah, mengulas senyum. Bola matanya
berbinar, seperti mata bocah yang baru diberi hadiah.
"Aku gembira, Kakang. Kau telah membuka mata
hariku," kata Mayang.
"Iya, tapi jangan begitu caranya."
"Kau tidak suka?" '
Bayu tidak menjawab. Laki-laki mana yang tidak
suka dipeluk wanita cantik seperti ini? Hanya laki-laki
bodoh yang menolak. Tapi dalam suasana seperti ini,
rasanya Bayu enggan untuk bercinta. Memang diakui,
hatinya sempat tergetar saat memandang wajah wanita
itu. Lebih-lebih setelah Mayang memeluk dan
menciuminya. Rasanya saat itu juga jantung Bayu copot.
"Jangan gembira dulu, Mayang. Perjalananmu masih
jauh," kata Bayu agak tertahan suaranya.
"Maafkan aku, Kakang. Aku...," agak tersipu wajah
Mayang.
"Lupakan saja."
***
Malam baru saja beranjak turun menyelimuti bumi.
Angin dingin berhembus kencang membawa titik-titik
embun. Kabut pun ikut merayap menambah dinginnya
udara malam itu. Udara semakin menusuk tulang saat
titik-titik air hujan mulai merinai. Tapi, keadaan malam
yang tidak ramah itu tidak menghentikan langkah
seorang pemuda yang tengah memasuki Kotaraja
Kerajaan Gantar Angin.
Pemuda tampan dengan tubuh tinggi tegap itu
berjalan melintasi jalan yang cukup lebar dan berbatu.
Pandangan matanya lurus ke depan, dengan sorot mata
mencerminkan kemantapan hati. Tak ada seorang pun
yang terlihat di sepanjang jalan. Suasana malam yang
dingin dengan rintik air hujan merinai, membuat semua
orang lebih senang berada dalam rumah.
"Hm..., sepi. Mudah-mudahan dia ada di rumah,"
gumamnya pelan.
Langkah kakinya berhenti tepat di depan kedai dan
rumah penginapan milik Ki Rampit. Tempat itu
kelihatan gelap, tak ada satu pelita pun yang menerangi.
Suasana rumah penginapan itu seperti sudah lama tidak
berpenghuni. Pemuda tampan itu melangkahkan
kakinya mendekati pintu kedai yang tidak tertutup
dengan sempurna. Keningnya sedikit berkerut, seraya
tangannya mendorong pintu kedai itu.
"Sepi. Ke mana Ki Rampit?" kembali dia bergumam
sendiri.
Pelan kakinya terayun masuk ke dalam kedai. Benar-
benar sepi, tidak terlihat seorang pun di sini.
Keadaannya juga gelap dan tidak teratur. Masih banyak
bekas-bekas makanan berserakan di meja. Bahkan
beberapa meja dan kursi hancur berantakan. Pemuda
tampan itu mulai menduga-duga, apa yang telah terjadi
di kedai ini.
"Jangan-jangan...."
Pemuda itu bergegas melangkah menuju bagian
belakang kedai. Dia terus berjalan memasuki lorong yang
di kanan kirinya terdapat kamar-kamar untuk
disewakan. Semua pintu kamar terbuka lebar. Tidak ada
satu pun penyewa yang menghuni di situ. Pemuda itu
terus melangkah cepat keluar dari lorong. Mulutnya
terbuka, dan matanya membeliak lebar begitu melihat
tubuh Ki Rampit menggeletak bersimbah darah di atas
rerumputan taman belakang.
Belum sempat pemuda itu menghampiri mayat Ki
Rampit, mendadak telinganya menangkap desiran halus
dari arah belakang. Dia agak terperangah begitu melihat
seorang gadis mengayunkan sebilah golok ke arah
kepala. Buru-buru dia merunduk, dan tangannya
melayang menyentil golok di atas kepalanya.
"Akh!" gadis muda itu memekik tertahan.
Golok di tangannya terlepas dan mental cukup jauh.
Belum sempat gadis itu berbuat sesuatu, pemuda
tampan berbaju kulit harimau itu sudah menyergapnya,
dan langsung memelintir tangannya ke belakang.
"Ah...! Lepaskan...!" jerit gadis itu seraya meronta
coba melepaskan diri.
"Aku lepaskan kalau kau mau diam!" dingin suara
pemuda itu.
Gadis berbaju biru muda itu langsung diam tidak
meronta lagi. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
melepaskan ringkusannya, dan mendorong tubuh gadis
itu ke depan. Gadis yang masih berusia sekitar lima belas
tahun itu memijit-mijit pergelangan tangannya. Kedua
bola matanya tajam menatap pemuda tampan di
depannya.
"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya pemuda
itu mulai lembut suaranya.
"Huh'" gadis itu mendengus ketus.
"Aku tidak bermaksud buruk," kata pemuda itu lagi
seraya melirik mayat Ki Rampit.
Pemuda itu melangkah menghampiri mayat itu, tapi
gadis berbaju biru muda itu sudah melompat
menghadang. Tatapan matanya semakin tajam menusuk.
"Jangan sentuh ayahku!" keras suara gadis itu.
"Kau putri Ki Rampit...?"
"Iya!"
"Kenapa kau diamkan saja mayat ayahmu? Kau kan
bisa meminta bantuan saudaramu yang lain atau
tetangga untuk menguburkannya?"
"Percuma. Tidak ada yang mau!" masih ketus nada
suara gadis itu.
"Aneh...!" desis pemuda itu.
Tanpa menghiraukan cegahan gadis putri Ki Rampit,
pemuda berbaju kulit harimau itu mendekati mayat Ki
Rampit, lalu mengangkatnya. Gadis itu seperti terpaku
dan tidak mencegah lagi. Malah diikutinya pemuda yang
membawa mayat laki-laki tua pemilik kedai dan rumah
penginapan itu. Langkah pemuda itu berhenti di
samping kamar sewa khusus. Mayat Ki Rampit
diletakkan di atas balai-balai bambu yang beralaskan
tikar daun pandan.
Tanpa menghiraukan putri Ki Rampit, pemuda itu
mengambil cangkul di belakang, dan mulai menggali
lubang.. Agak lama juga dia membuat lubang yang cukup besar di samping rumah sewa itu. Setelah dirasakan
cukup dalam, diangkatnya tubuh Ki Rampit untuk
dikuburkan. Gadis berbaju biru muda itu mulai terisak
begitu tubuh ayahnya mulai tertimbun tanah.
"Ayah...," rintihnya lirih.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menghampiri putri
Ki Rampit setelah selesai mengubur mayat Ki Rampit
Gadis itu diajak masuk ke kamar sewaan khusus,
Pemuda itu menyuruhnya duduk di kursi. Dia sendiri
kemudian mengambil tempat dekat jendela. Gadis itu
masih terisak sesekali. Dengan punggung tangan,
dihapusnya air mata yang jatuh menitik ke pipi.
"Siapa namamu?" tanya pemuda itu lembut sua-
ranya.
"Rintan," sahut gadis itu pelan. Hampir tidak
terdengar suaranya.
"Aku Bayu. Kau boleh memanggilku, Kakang Bayu,"
pemuda berbaju kulit harimau itu juga memperkenalkan
diri.
"Kau bukan orang suruhan Raden Bantar Gading?"
Rintan ingin kepastian.
Bayu hanya menggeleng dan tersenyum manis.
"Untuk apa kau datang? Orang-orang Raden Bantar
Gading sangat kejam. Kau pasti akan dibunuh bila
mereka tahu bahwa kau yang mengubur mayat ayahku.
Raden Bantar Gading melarang siapa saja menguburkan
jenazah Ayah," kembali Rintan terisak.
"Lalu, saudaramu?"
“Aku anak tunggal, sedangkan Ibu sudah tiga tahun
lalu meninggal dunia.”
Bayu terdiam membisu. Gerahamnya bergemeletuk
menahan geram menyaksikan kekejaman yang
berlangsung di depan matanya. Sungguh tak disangka
kalau Ki Rampit akan bernasib seperti itu. Semula Bayu
menyangka kalau orang tua itu memang sengaja
menjebaknya. Ternyata semua itu dilakukan karena
terpaksa.
Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri Rintan, dan
memeluk dengan penuh perasaan. Rintan semakin keras
menangis. Dipeluknya Bayu erat-erat. Kepalanya
disembunyikan di dada pemuda itu. Bayu membiarkan
Rintan menumpahkan air mata dukanya. Hatinya
terenyuh menyaksikan penderitaan yang dialami gadis
muda ini.
***
Bayu membawa Rintan ke hutan perbatasan Kerajaan
Gantar Angin. Mayang pun menerima baik gadis itu.
Tetapi mereka terpaksa harus tinggal di dalam goa yang
sangat tersembunyi. Pendekar Pulau Neraka itu kembali
ke kotaraja setelah menitipkan Rintan pada Mayang. Dia
langsung menuju ke Istana Kerajaan Gantar Angin.
Bangunan istana nan megah itu dikelilingi tembok
benteng yang tinggi dan kokoh. Tidak kurang dari
seratus prajurit berjaga-jaga di setiap sudut benteng.
Cukup sulit untuk menembus ke dalam. Hampir setiap
jengkal selalu ada prajurit penjaga. Bayu mempelajari
keadaan sekitar istana itu dari atas dahan pohon yang
cukup tinggi.
"Hm. Seperti ada pesta di dalam...," gumam Bayu
dalam hati.
Di dalam ruangan yang besar dan megah, memang
sedang ada pesta. Tidak banyak yang hadir. Hanya para
kerabat dan keluarga kerajaan serta pembesar saja. Pesta
itu diadakan untuk menyambut jago-jago dari seberang
yang diundang secara khusus oleh Prabu Abiyasa.
Ada sekitar sepuluh orang berpakaian aneh dengan
senjata beraneka ragam yang mengaku jago-jago dari
seberang. Sedangkan Prabu Abiyasa duduk dengan
angkuh di atas singgasananya. Di samping kanan dan
kirinya duduk Raden Bantar Gading dan Raden Sangga
Alam. Tampak jelas kalau Raden Sangga Alam tidak
senang akan kehadiran jago-jago dari seberang itu.
Sedikit pun bibirnya tidak menyunggingkan senyum.
Prabu Abiyasa bangkit dari duduknya. Semua orang
yang ada di ruangan itu langsung diam, kemudian
membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Tidak
terkecuali sepuluh orang jago yang diundang dari
seberang yang juga memberi hormat dengan cara
masing-masing.
"Malam ini kita semua berkumpul untuk menyambut
kedatangan sepuluh jago yang kuundang. Mereka adalah
tokoh yang sukar dicari tandingannya di negaranya
masing-masing. Tugas mereka tidak lain untuk
mengamankan jalannya pembuatan jalan ke
Pesanggrahan Goa Larangan...," lantang dan berwibawa
kata-kata Prabu Abiyasa.
Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara.
Semuanya menyimak dengan sikap penuh hormat Mata
Prabu Abiyasa merayapi semua orang satu persatu.
"Di samping itu, tugas khusus yang harus mereka
jalankan adalah mencari dan membunuh perusuh!"
sambung Prabu Abiyasa.
"Ayah...," Raden Bantar Gading menyelak.
"Ada apa, Anakku?"
"Aku inginkan kepala Pendekar Pulau Neraka.
Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Akan kuberi
hadiah besar bagi siapa saja di antara mereka yang
berhasil memenggal kepala Pendekar Pulau Neraka,"
kata Raden Bantar Gading.
"Dengar itu! Anakku meminta satu kepala dan akan
memberikan hadiah yang sangat besar," sambung Prabu
Abiyasa.
Pernyataan Raden Bantar Gading disambut hangat
sepuluh orang jago dari seberang yang diundang itu.
Bahkan para kerabat dan pembesar istana juga
menyambut gembira. Lain halnya dengan Raden Sangga
Alam dan Paman Nampi. Mereka hanya diam saja. Dari
sikapnya, mereka tidak lagi betah berada dalam ruangan
ini. Kegelisahan mulai meyelimuti hati mereka.
Sementara pesta kembali dilanjutkan. Raden Bantar
Gading sibuk memberi keterangan tentang ciri-ciri
Pendekar Pulau Neraka pada sepuluh orang jago dari
seberang itu. Bahkan para patih dan panglima juga
menanyakan ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka. Mereka
juga tertarik dengan hadiah yang dijanjikan Raden
Bantar Gading. Tentu saja hal ini membuat putra
mahkota itu gembira.
"Ayah. Bolehkah Ananda beristirahat? Rasanya
kepala ini pening," kata Raden Sangga Alam yang sudah
tidak tahan lagi berada di ruangan itu.
"Pergilah," sahut Prabu Abiyasa.
Raden Sangga Alam beranjak bangkit. Diajaknya
Paman Nampi. Laki-laki tua berjubah putih itu memberi
hormat pada Prabu Abiyasa, kemudian beranjak pergi
mengikuti langkah Raden Sangga Alam. Mereka
bergegas meninggalkan ruangan yang besar itu. Raden
Sangga Alam langsung masuk ke dalam kamar peristi-
rahatannya. Sedangkan Paman Nampi menunggu di
depan pintu. Dia baru melangkah masuk setelah Raden
Sangga Alam memanggilnya. Paman Nampi duduk di
kursi dekat jendela.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Paman?"
tanya Raden Sangga Alam terdengar mengeluh.
Paman Nampi tidak langsung menjawab. Pikirannya
kini terpusat pada keinginan Raden Bantar Gading yang
menghendaki kepala Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan
sudah beberapa hari ini, dia tidak lagi bertemu pendekar
muda itu. Bahkan pondok tempat Mayang tinggal juga
sudah kosong. Dia tidak tahu, ke mana Mayang pergi.
Ada rasa gelisah menyeruak di dalam dadanya dengan
hilangnya Mayang.
"Paman...."
"Oh!" Paman Nampi terbangun dari lamunannya.
"Apa yang dipikirkan?" tanya Raden Sangga Alam.
"Tidak, Raden. Aku tidak memikirkan apa-apa,"
sahut Paman Nampi berdusta.
"Kedatangan jago-jago dari seberang bisa
membahayakan, Paman. Kita tidak mungkin lagi dapat
mencegah pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larang
an," keluh Raden Sangga Alam.
"Raden..., Ayahanda Prabu memusatkan
perhatiannya pada para pemberontak. Jago-jago dari
seberang itu sebenarnya ditugaskan untuk menumpas
para pemberontak. Bukan untuk menjaga kelancaran
pembuatan jalan."
"Tapi tidak semua, Paman. Dua orang dari mereka
saja sudah merupakan ancaman besar."
"Memang benar, Raden."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Raden ingat orang tua yang kita tolong?" Paman
Nampi balik bertanya.
"Ki Maruta, maksudmu?"
"Benar! Ki Maruta pernah cerita padaku. Dia tahu di
mana tempat tinggal para pemberontak."
"Lalu?"
"Ki Maruta percaya kalau Raden selalu menentang
Ayahanda Prabu. Baik menentang pembuatan jalan itu,
maupun pembongkaran Pesanggrahan Goa Larangan.
Bahkan dia berharap Raden mau bergabung dengannya,
menyusun kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan
Prabu Abiyasa. Setelah itu kekuatan akan kita
kembalikan pada Gusti Ratu Kunti Boga," kata Paman
Nampi panjang lebar.
"Tidak mungkin, Paman. Aku tidak bisa
mengkhianati Ayahanda Prabu," sahut Raden Sangga
Alam dengan nada bingung.
"Rasanya hanya itu cara satu-satunya, Raden."
"Tapi...."
"Percayalah padaku, Raden. Rakyat pasti akan berada
di pihak Raden. Bahkan bukannya tidak mustahil Raden
akan menduduki tahta di Kerajaan Gantar Angin ini."
"Paman! Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi
raja.
"Aku tahu, Raden. Demi kebenaran dan keadilan,
tidak ada salahnya jika Raden membantu mereka. Lagi
pula Ayahanda Prabu tidak pernah mempedulikan
Raden. Beliau selalu membanggakan Raden Bantar
Gading. Aku yakin jika tahta sampai jatuh ke tangan
Raden Bantar Gading, Raden pasti akan mengalami nasib
yang sama dengan Gusti Ratu Kunti Boga."
"Aku tidak bisa memutuskannya sekarang, Paman,"
pelan suara Raden Sangga alam.
"Selama Raden berpikir, aku akan membantu mereka
secara diam-diam."
"Jangan, Paman. Terlalu berbahaya! Bisa-bisa...."
"Jangan khawatir, Raden," potong Paman Nampi
cepat.
Raden Sangga Alam mengangkat bahunya,
kemudian membaringkan tubuhnya di pembaringan.
Paman Nampi bangkit berdiri dan melangkah ke luar.
Raden Sangga Alam berusaha memejamkan matanya,
tapi terasa sulit. Kata-kata Paman Nampi terus-menerus
terngiang-ngiang di telinganya.
"Haruskah aku mengkhianati Ayahanda...?" gumam
Raden Sangga Alam dalam hari.
***
8
Pembicaraan antara Paman Nampi dan Raden
Sangga Alam didengar jelas oleh Bayu Hanggara, yang
saat itu tidak jauh dari kamar Raden Sangga Alam.
Pendekar Pulau Neraka itu bergegas melompat turun
dari atas dahan, dan langsung berlari cepat menjauhi
benteng Istana Kerajaan Gantar Angin. Dia baru berhenti
berlari setelah tiba di sebuah rumah yang tidak begitu
besar.
Rumah dari dinding papan dan beratapkan daun
rumbia itu, tampak gelap. Hanya sebuah pelita yang
meneranginya. Nyala lampu pelita nampak menari-nari
tertiup angin malam. Bayu mendekati pintu yang
tertutup rapat. Pelahan diketuknya pintu itu. Matanya
tidak pernah lepas mengamari keadaan sekitarnya.
"Siapa...?" terdengar suara dari dalam. Sepertinya
suara seorang laki-laki tua yang sedang mengantuk.
Bayu kembali mengetuk pintu itu.
"Sebentar...!"
Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Tampak
seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering muncul dari
ambang pintu. Dia hanya mengenakan kain lusuh yang
melilit bagian pinggangnya hingga ke bawah. Laki-laki
tua yang ternyata Ki Maruta itu terkejut melihat seorang
pemuda tampan dan gagah mendatangi rumah nya di
tengah malam buta begini.
"Ki Maruta...?" Bayu ingin memastikan.
"Ya...."
"Maaf, aku telah mengganggu tidurmu."
"Siapa Kisanak, dan ada keperluan apa malam-
malam begini?" tanya Ki Maruta.
"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya di sini."
Secepat Bayu berkata, secepat itu pula jari tangannya
bergerak menotok jalan darah laki-laki tua itu. Ki Maruta
hanya sempat mengeluh sedikit, sedangkan tubuhnya
langsung melorot turun. Bayu cepat-cepat menyangga,
dan memanggulnya di pundak. Saat itu juga dia
melompat meninggalkan rumah berdinding papan itu.
Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap saja
bayangan tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam.
Tepat, pada saat bayangan tubuh Pendekar Pulau
Neraka yang membawa Ki Maruta pergi, Paman Nampi
tiba dengan menunggang kuda. Panglima Perang
Kerajaan Gantar Angin itu langsung melompat turun
dari punggung kudanya. Dengan langkah tergesa-gesa
dia menerobos masuk ke rumah Ki Maruta.
"Ki...! Ki Maruta...!" panggil Paman Nampi.
Keningnya agak berkerut ketika melihat keadaan
rumah yang sunyi senyap. Paman Nampi membuka
pintu sebuah kamar. Kosong! Tak ada seorang pun di
kamar itu. Kemudian dibukanya pintu kamar lainnya.
Semua kamar yang diperiksa, kini tak berpenghuni sama
sekali.
"Ke mana dia? Jangan-jangan.... Ah! Tidak...! Tidak
mungkin!" Paman Nampi bicara pada dirinya sendiri.
Bergegas dia melangkah ke luar. Tapi, baru saja
kakinya menjejak di depan pintu, matanya membeliak
lebar. Bahkan mulutnya ternganga tanpa ada suara.
Tampak di depannya sudah berdiri sepuluh prajurit
yang siap dengan anak panah terbidik. Di belakangnya
ada dua puluh prajurit lagi dengan pedang terhunus.
Sedangkan di tengah-tengah, berdiri Raden Bantar
Gading didampingi dua orang jago undangan dari se-
berang. Paman Nampi kaget bukan main menghadapi
kenyataan ini.
"Untuk apa kau mencari Ki Maruta, Paman?" tanya
Raden Bantar Gading dingin. Nada suaranya terdengar
sinis.
Paman Nampi tidak bisa menjawab.
Kerongkongannya terasa kering.
"Tangkap dia!" perintah Raden Bantar Gading.
'Tunggu....'" sentak Paman Nampi.
Lima orang prajurit yang sudah bergerak maju, jadi
menghentikan langkahnya. Mereka pun ragu-ragu untuk
melaksanakan perintah itu. Paman Nampi melangkah
tiga tindak ke depan.
"Kenapa kalian ingin menangkapku?" tanya Paman
Nampi.
"Kau dituduh berkomplot dengan pemberontak,
Pangfima Nampi!" sahut Raden Bantar Gading.
"Mana buktinya?"
"Malam-malam kau datang ke sini, di saat kami
tengah mengadakan pesta. Sedangkan kami tengah
mencurigai Ki Maruta sebagai pemimpin pemberontak.
Apa itu bukan suatu bukti?"
"Kecurigaan bukan satu bukti!"
"Bagaimana dengan ini?"
Raden Bantar Gading mengeluarkan seuntai kalung
dengan lambang Kerajaan Gantar Angin. Kalung itu juga
sebagai lambang kebesaran kerajaan. Paman Nampi jadi
terbeliak melihat kalung itu ada di tangan Raden Bantar
Gading. Sepengetahuannya hanya Ratu Kunti Boga yang
memiliki kalung itu.
"Dari mana kau dapatkan kalung itu?" tanya Paman
Nampi tidak mungkin lagi bersilat lidah.
"Kau tidak perlu tahu dari mana aku mendapat-
kannya," jawab Raden Bantar Gading. "Tangkap dia!
Kalau melawan, bunuh saja!"
Lima orang prajurit yang tadi sudah maju, kini tidak
ragu-ragu lagi melaksanakan perintah. Mereka semua
memegang rantai dan siap untuk mengikat tubuh Paman
Nampi. Tapi laki-laki tua berjubah putih itu bergerak
cepat sebelum kelima prajurit itu berhasil menyentuh
tubuhnya.
Jerit melengking terdengar saling susul. Lima orang
prajurit itu tidak bisa lagi mengelak. Tubuh mereka
ambruk dengan darah mengucur deras. Entah kapan
dimulainya, tahu-tahu di tangan Paman Nampi sudah
tergenggam sebilah pedang pendek yang ujungnya
berlumuran darah.
"Tangkap! Jangan sampai lolos...!" teriak Raden
Bantar Gading gusar melihat lima orang prajuritnya
tewas dalam sekali gebrak saja. "Bunuh pengkhianat itu!"
Sepuluh prajurit yang sudah siap dengan panah,
langsung melepaskan apak panahnya. Paman Nampi
segera memutar-mutar pedang pendeknya cepat bagai
baling-baling. Anak panah yang meluncur menghu-
janinya rontok sebelum sampai pada sasaran. Dua orang
berpakaian aneh yang jelas adalah jago dari tanah
seberang, langsung melompat begitu hujan anak panah
terhenti.
Mereka langsung menyerang Paman Nampi dengan
dahsyat. Jurus-jurus yang mereka gunakan sungguh
aneh, sehingga laki-laki tua berjubah putih itu agak
kewalahan juga. Tapi dengan cepat dia dapat menguasai
keadaan. Pedang pendeknya berkelebatan cepat
mengarah pada bagian-bagian yang mematikan pada
tubuh lawannya.
"Hiya...! Yeaaah...!"
Tring! Trang!
Paman Nampi terkejut saat senjatanya beradu
dengan senjata salah seorang lawannya. Tangannya
seperti kesemutan. Buru-buru dia melompat mundur.
Tapi seorang lawannya lagi langsung menyodokkan
senjatanya yang berbentuk tombak pendek bermata lima.
Paman Nampi buru-buru mengibaskan pedang nya,
berusaha menyampok sodokan itu.
Trang!
"Heh!"
Paman Nampi kaget bukan main, karena pedangnya
terjepit di sela-sela ujung tombak pendek bermata lima
itu. Belum lagi sempat menarik pulang senjatanya, satu
tendangan dahsyat menghajar samping dadanya.
"Akh!"
Paman Nampi terpental sejauh dua batang tombak.
Pedangnya terlepas dari pegangan. Laki laki tua
berjubah putih itu berusaha bangkit, tapi ujung golok
besar sudah menempel di tenggorokannya. Bahkan kini
disusul dengan ujung tombak yang menekan dadanya.
Paman Nampi benar-benar tidak berdaya lagi sekarang.
"Ikat dia!" perintah Raden Bantar Gading.
Tiga orang prajurit segera melaksanakan perintah itu.
Mereka mengikat tangan dan tubuh Paman Nampi
dengan rantai baja. Laki-laki tua itu dipaksa bangun, dan
diseret oleh kuda yang ditunggangi seorang prajurit.
Tangan prajurit itu memegang ujung rantai yang
mengikat Paman Nampi.
Raden Bantar Gading segera melompat ke punggung
kudanya, diikuti dua orang jago dari seberang itu. Para
prajurit yang lain segera mengikuti. Sedangkan beberapa
di antaranya mengurus mayat-mayat temannya. Paman
Nampi tidak bisa lagi berbuat apa apa. Tubuhnya
bergelimpangan terseret kuda
***
Sementara itu, jauh di perbatasan Kerajaan Gantar
Angin. Tepatnya di sebuah hutan yang cukup lebat, Bayu
Hanggara berdiri tegak memandang laki-laki tua
bernama Ki Maruta yang duduk bersila di atas tum-
pukan dedaunan. Tidak jauh dari Ki Maruta duduk, dua
orang wanita juga duduk berdampingan. Mereka semua
memandang pada laki-laki tua itu.
"Aku tidak tahu, apakah kau salah seorang
pemimpin atau hanya pengikut kaum pemberontak. Tapi
bukan itu yang ingin kuketahui darimu...," kata Bayu
tegas.
Ki Maruta mengangkat kepalanya. Tatapan matanya
langsung tertuju pada wajah pemuda tampan berbaju
kulit harimau di depannya. Bayu menggeser kakinya
sedikit ke kanan, lalu duduk di atas batu pipih, tidak
jauh dari Mayang dan Rintan duduk.
"Kau kenal dengan kedua wanita ini?" tanya Bayu.
"Aku hanya kenal satu," sahut Ki Maruta. "Rintan."
"Satunya lagi?"
Ki Maruta tidak segera menjawah. Dipandanginya
wajah Mayang lekat-lekat. Tapi kepalanya menggeleng
beberapa kali. Dia memang belum pernah melihat
Mayang sebelumnya, sehingga sama sekali tidak
mengenalnya.
"Kau kenal dengan wanita yang bernama Bibi
Durati?" tanya Bayu lagi.
"Tidak," sahut Ki Maruta setelah berpikir sejenak.
Bayu memandang pada Mayang. Wanita itu hanya
menundukkan kepala saja.
"Kisanak. Untuk apa kau membawa aku ke sini? Lagi
pula, mengapa kau mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang aku tidak mengerti?" selak Ki Maruta.
"Ketahuilah, Ki Maruta. Apa yang kulakukan tidak
ada sangkut pautnya dengan kegiatanmu dalam
menghimpun kekuatan untuk menggulingkan tahta
Kerajaan Gantar Angin. Ini hanya sekedar ingin
menolong wanita itu," Bayu berusaha menjelaskan.
"Kisanak. Aku tidak berkeberatan membantu jika kau
bersedia menjelaskan duduk persoalannya," kata Ki
Maruta lagi.
Bayu memandang Mayang sekali lagi. Wanita
berbaju merah muda itu balas memandang, kemudian
kepalanya terangguk sedikit. Sebentar Bayu menarik
napas panjang, kemudian mulai menceritakan semua
yang diketahuinya tentang diri Mayang. Dan Mayang
sendiri pun menambahkan kalau ada kata-kata Bayu
yang kurang. Ki Maruta mendengarkannya dengan
penuh perhatian.
"Hm, jadi selama ini kau tidak tahu tentang asal-usul
dirimu?" tanya Ki Maruta seraya menatap Mayang.
"Ya," sahut Mayang pelan.
"Aneh..., kau tidak tahu asal-usul dirimu. Kau juga
tidak tahu orang yang selalu muncul dan
mengajarkanmu ilmu olah kanuragan. Benar-benar
aneh...," gumam Ki Maruta.
"Tapi sekarang aku tahu siapa dia, Ki," selak Mayang
'Ya, aku tahu. Panglima Nampi memiliki jurus 'Cakar
Maut' yang sangat dahsyat. Apa kau juga diajarkan jurus
itu?"
"Benar! Bahkan Bibi Durati juga mengajarkan aku
jurus 'Selendang Sakti'."
'"Selendang Sakti'...?!" Ki Maruta terkejut setengah
mati.
"Ada apa, Ki?" tanya Bayu.
"Kau punya selendangnya?" Ki Maruta tidak
menggubris pertanyaan Bayu.
"Ini," Mayang mengeluarkan selembar kain berwarna
kuning gading. Selendang itu tampaknya tidak berarti.
Tapi mata Ki Maruta jadi terbeliak begitu melihat ujung
selendang tergambar seekor naga bersisik emas.
Ki Maruta menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
bibir memperdengarkan suara berdecak. Diserahkan
kembali selendang itu pada Mayang. Wanita itu
menyimpannya kembali ke balik bajunya.
"Kau beruntung, Mayang. Tidak sembarang orang
bisa menjadi murid si Selendang Sakti. Bahkan kau kini
memiliki benda sakti itu. Ck ck ck...," Ki Maruta kembali
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Siapa si Selendang Sakti itu, Ki?" tanya Bayu.
"Mungkin selama ini kau hanya mengenalnya
sebagai Bibi Durati, Mayang. Atau mungkin juga
memang itu nama aslinya. Si Selendang Sakti seorang
tokoh wanita yang sukar dicari tandingannya. Rasanya
sukar untuk dipercaya kalau Panglima Nampi bisa
berhubungan dengannya. Bahkan sama-sama merawat
dan mendidikmu, Mayang."
"Lalu, siapa sebenarnya aku ini?" tanya Mayang,
seperti untuk dirinya sendiri.
"Kau percaya dengan kata-kata Panglima Nampi?"
tanya Ki Maruta.
"Entahlah," desah Mayang pelan.
"Gusti Ratu Kunti Boga memang memiliki seorang
putri. Pada saat Prabu Abiyasa menggulingkan tahtanya,
putri Gusti Ratu Kunti Boga memang baru berusia tujuh
tahun, dan hilang tanpa jejak. Tak ada seorang pun yang
tahu, di mana dia sampai saat ini. Sedangkan Gusti Ratu
Kunti Boga dimasukkan ke dalam tahanan bersama
kerabat dan keluarga lainnya."
"Siapa namanya?" tanya Bayu.
"Mayang...," sahut Ki Maruta.
***
Keterangan Ki Maruta membuat Mayang semakin
tidak tahu tentang dirinya. Sedangkan Bayu tidak bisa
mencegah Ki Maruta pergi. Yang dibutuhkan memang
hanya keterangan dari laki-laki tua itu. Tapi Bayu sempat
berpesan agar Ki Maruta tidak kembali ke rumahnya.
Kekhawatirannya memang beralasan, karena pihak
kerajaan sudah mengetahui tentang dirinya yang
berkomplot dengan kaum pemberontak.
Sepeninggal Ki Maruta, Mayang bergegas keluar dari
dalam goa. Bayu langsung mengikutinya. Sementara
Rintan hanya diam saja. Dia tidak mengerti sama sekali,
meskipun sejak tadi mengikuti terus pembicaraan itu.
Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benaknya.
"Mayang, tunggu...!"
Mayang menghentikan langkahnya Dia berbalik dan
menatap dengan mata berkaca-kaca pada Pendekar "ulau
Neraka itu. Bayu menghampiri dan me-megarg
pundaknya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata wanita
itu.
"Jangan melakukan tindakan yang bisa
membahayakan dirimu, Mayang," kata Bayu lembut.
"Aku harus bertemu dengan Panglima Nampi.
Hanya dia yang tahu," kata Mayang agak tersedak
suaranya.
"Aku mengerti perasaanmu, Mayang. Cobalah
mengendalikan diri dan berpikir dengan tenang. Tidak
mudah untuk mengetahui asal-usulmu. Sedangkan saat
ini nyawamu terancam," bujuk Bayu.
"Kakang! Benarkah aku putri Ratu Kunri Boga?"
tanya Mayang pelan.
"Kita akan mencari jawabannya, Mayang."
"Kapan?"
Bayu tidak segera menjawab, dan hanya mendesah
panjang sambil mengajak wanita itu kembali ke dalam
goa. Sementara Rintan hanya memandang saja dengan
tatapan tidak mengerti. Gadis belia itu hanya duduk
tanpa mengucapkan satu patah kata pun.
"Mayang! Bukan hanya kau saja yang menderita.
Coba lihatlah Rintan. Dia juga sangat menderita karena
baru kehilangan ibunya. Bahkan kini ayahnya menyusul.
Aku yakin, Rintan juga ingin membalas sakit hatinya.
Sama seperti kau. Mungkin juga masih banyak yang
lebih menderita lagi darimu. Kau harus berpikir dengan
tenang, Mayang. Kendalikan dirimu," lemah lembut
Bayu menasehati.
Mayang hanya diam saja. Kata-kata Bayu yang lemah
lembut membuat harinya kembali mencair.
Dipandanginya Rintan, dan dihampirinya. Mayang
memeluk gadis belia itu. Rintan yang tidak mengerti
persoalannya hanya bisa membalas dengan pandangan
kosong menatap pada Pendekar Pulau Neraka.
"Aku akan menemui Panglima Nampi, kalian jangan
pergi jauh-jauh," kata Bayu berpesan.
Mayang menoleh dan mengangguk.
"Lepas senja nanti, aku akan kembali," ujar Bayu lagi.
"Hati-hati, Kakang," ucap Mayang pelan.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian berbalik dan
melangkah keluar dari dalam goa ini. Begitu sampai di
luar, dia langsung melesat cepat bagaikan kilat. Sekejap
saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap. Saat itu matahari
baru menampakkan diri di ufuk Timur. Sementara
Mayang duduk merenung di dalam goa ditemani Rintan.
Dia berharap pendekar Pulau Neraka bisa mengetahui
asal-usul dirinya. Mayang tak dapat tenang sebelum
mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Hanya Panglima
Nampi harapan satu-satunya. Tapi siapa yang tahu
keadaan Panglima Nampi saat ini? Sedangkan kaum
pemberontak mulai melancarkan aksinya. Dapatkah
Bayu mengungkap diri Mayang yang sebenarnya? Nah,
tentunya Anda semua menginginkan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan di atas bukan? Untuk itu,
ikutilah kisah selanjutnya yang sangat seru dan
mendebarkan! Serta akan membahas seluruh
permasalahan dalam cerita ini secara tuntas, yaitu
episode "JAGO DARI SEBERANG".
. SELESAI
0 comments:
Posting Komentar