MENEMBUS LORONG MAUT
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar Sampul : Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 009 :
Menembus Lorong Maut
128 hal ; 12 x 18 cm
1
Bukit Bojong tampak anggun berselimut kabut tipis.
Puncaknya yang menjulang tinggi, bagai menantang
langit biru dengan awan tipis berarak terbawa angin.
Seluruh permukaan bukit itu tampak hijau, indah
dipandang mata. Namun di balik keindahan itu,
tersimpan suatu misteri yang dalam dan sukar untuk
ditembus.
Tidak seperti kebanyakan bukit-bukit lainnya, Bukit
Bojong tampak sepi, tak ada sebuah desa pun berada
di sekitar kaki bukit itu. Sepanjang mata memandang,
hanya kehijauan yang terhampar. Bukit itu seperti
tidak pernah terjamah oleh tangan-tangan manusia.
Bahkan binatang pun sepertinya enggan untuk meng-
injakkan kakinya di sana.
Namun kesunyian dan keindahan Bukit Bojong,
suatu ketika pecah oleh suara ledakan dahsyat dari
arah Barat. Tampak debu mengepul ke udara disertai
dengan pecahan-pecahan batu dan cahaya kilat. Di
antara kepulan debu dan bebatuan itu, terlihat
sesosok bayangan berkelebat cepat bagai kilat.
Sesosok bayangan itu kemudian hinggap di atas
dahan sebatang pohon besar dengan daun-daunnya
yang hampir rontok dimakan usia. Ternyata bayangan
itu adalah seorang wanita berambut panjang yang
memakai baju berwarna hijau menyala. Wajahnya
kehitaman dengan bola mata merah melesak ke
dalam.
Garis-garis wajahnya yang kaku, menunjukkan
kalau wanita itu mengenakan topeng yang berwarna
pucat bagai mayat. Dia berdiri tegak sambil
memandangi kepulan debu dan bebatuan di
depannya. Sesaat kemudian, setelah kepulan debu
itu memudar, tampak seorang laki-laki tua berjubah
putih, berdiri limbung dengan tangan menekap dada.
Sebilah tombak pendek menancap di dada hingga
tembus ke punggung.
“Hi hi hi...!” wanita bertopeng pucat itu tertawa
mengikik kecil dan nyaring.
Untuk beberapa saat, laki-laki tua berjubah putih
itu masih mampu berdiri. Namun kemudian tubuhnya
limbung, dan ambruk ke tanah sambil mencabut
tombak pendek yang menancap di dadanya. Darah
langsung mengucur deras membasahi tanah be-
rumput tebal. Dengan sekuat tenaga laki-laki tua itu
berusaha bangkit, tapi baru saja tubuhnya terangkat,
dia kembali terguling.
“Hi hi hi...!” kembali wanita bertopeng pucat itu
tertawa penuh kepuasan.
“Perempuan iblis! Kali ini aku mengaku kalah, tapi
lain kali...,” laki-laki tua itu tidak dapat melanjutkan
kata-katanya. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, lalu
diam dan tak bergerak-gerak lagi.
“Hi hi hi...! Tidak ada waktu lagi membalasku, laki-
laki tua!”
Namun laki-laki tua itu tidak menjawab. Dan tubuh-
nya juga sudah tidak bergerak-gerak lagi. Kemudian
perempuan bertopeng pucat yang berdiri di atas
dahan itu meluruk turun. Gerakannya begitu indah
dan ringan, pertanda bahwa dia memiliki tingkat
kepandaian yang tinggi. Sepasang kakinya mendarat
ringan tanpa suara di samping mayat laki-laki tua
lawannya itu. Sebentar dia memandangi, lalu mem
bungkuk dan menjumput tombak pendek yang ter-
geletak di samping mayat itu.
Tombak pendek berwarna hitam pekat itu, lalu
diselipkan ke pinggangnya. Matanya sempat menatap
tajam pada tubuh yang menggeletak bersimbah
darah. Kemudian pelahan-lahan kakinya terayun
meninggalkan tempat itu. Kini kesunyian kembali
menyelimuti seluruh Bukit Bojong itu.
***
Siang itu langit tampak cerah. Angin berhembus
semilir menyejukkan. Awan yang menggantung tipis
dan berarak indah, tak mampu melindungi bumi dari
sengatan sinar matahari. Namun suasana seperti itu
tidak dirasakan oleh seorang pemuda dan seorang
gadis yang mengenakan baju yang bentuk dan
warnanya sama.
Mereka berdiri dengan gelisah memandang ke
arah Bukit Bojong. Sepasang manusia berbaju merah
menyala itu sesekali menarik napas panjang dan
menghembuskannya dengan kuat. Seolah-olah
mereka tengah menantikan sesuatu yang akan
datang dari bukit itu.
“Perasaanku tidak enak, Kakang,” kata gadis itu
dengan nada cemas.
“Hm...,” pemuda di sampingnya hanya meng-
gumam.
“Sebaiknya kita lihat saja ke sana, Kakang,” kata
gadis itu lagi.
“Jangan! Eyang Resi sudah berpesan, kita dilarang
menyusulnya. “
“Tapi....”
Belum sempat gadis itu meneruskan kata-katanya,
tiba-tiba tidak jauh dari tempat mereka berdiri, me-
luncurlah sebuah bayangan hijau menuruni Lereng
Bukit Bojong itu. Bayangan itu bergerak sangat cepat,
sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap.
“Ayo, Adik Narita!” seru pemuda itu sembari
melesat cepat ke arah Lereng Bukit Bojong sebelah
Barat.
Tanpa menunggu lagi, gadis itu langsung bergerak
mengikutinya. Mereka mengerahkan ilmu meringan-
kan tubuh, sehingga sebentar saja tubuh mereka
sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan di se-
panjang lereng bukit itu.
Dalam waktu tidak berapa lama, mereka telah
sampai di suatu tempat yang cukup luas bagai
lapangan rumput. Sejenak kedua manusia berbaju
merah itu tertegun, melihat sesosok tubuh berjubah
putih tergolek berlumuran darah di rerumputan.
Kemudian hampir bersamaan mereka melompat
menghampiri.
“Eyang...!” seru pemuda itu keras.
“Eyang, apa yang telah terjadi?” suara gadis itu
juga keras, namun terdengar agak bergetar.
Kemudian pemuda berbaju merah itu mengangkat
mayat laki-laki tua berjubah putih. Sesaat dia
memeriksa, lalu meletakkannya kembali di tempat
yang terlindung dari sengatan matahari. Sementara
gadis di sampingnya hanya mampu memandangi
dengan bola mata berkaca-kaca. Sesaat kesenyapan
menyelimuti tempat itu.
“Kau tunggu di sini dulu, Narita,” kata pemuda itu
langsung melompat pergi.
Gadis yang dipanggil Narita hanya mengangguk
saja. Dia kemudian duduk bersila di samping jenazah
laki-laki tua itu. Matanya tidak berkedip memandang
darah yang mengalir dari dada berlubang itu. Tanpa
disadari, setitik air bening bergulir di pipinya.
Sebentar kepalanya terangkat ke atas, dan terdengar
tarikan napas yang panjang dan berat.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu kembali
dengan punggung penuh kayu-kayu kering. Pemuda
itu meletakkan kayu-kayu yang dibawanya ke dekat
mayat laki-laki tua berjubah putih. Kemudian dia pergi
lagi. Sementara gadis itu segera bangkit dan menata
kayu-kayu tersebut menjadi tempat berbentuk dipan.
Saat dia tengah meletakkan mayat laki-laki tua itu di
atas kayu-kayu yang sudah ditatanya, pemuda itu
kembali datang dengan punggung penuh kayu-kayu
kering. Dia meletakkan kayu itu di depan tumpukan
kayu yang sudah tertata rapi.
Mereka kemudian menata kayu-kayu tersebut
menjadi bentuk sebuah rumah kecil. Setelah rapi
semuanya, mereka membakarnya dengan bibir
terkatup rapat. Api berkobar cepat melahap kayu-
kayu kering berbentuk rumah, dengan mayat seorang
laki-laki tua berjubah putih di dalamnya. Kedua
manusia berlainan jenis itu memandanginya dengan
mata tidak berkedip dari jarak yang cukup jauh.
Letupan-letupan kecil terdengar, disertai percikan
bunga api yang membumbung tinggi ke angkasa. Api
terus berkobar semakin besar. Sebentar saja udara di
sekitar Lereng Bukit Bojong sebelah Barat itu jadi
terasa panas menyengat. Asap hitam mengepul
menghalangi cahaya matahari yang siang itu bersinar
terik.
“Selamat jalan, Eyang...,” desis Narita lirih.
“Ayo, Narita,” ajak pemuda itu seraya berbalik. .
Narita tidak menyahut. Dia tetap berdiri memandang
api yang masih berkobar besar.
“Narita...,” pemuda itu menepuk pundak Narita.
“Ke mana lagi kita pergi, Kakang Seta?” tanya
Narita seraya membalikkan tubuhnya. Suaranya
pelan, seperti tidak punya gairah hidup lagi.
“Kita harus mencari si Iblis Topeng Mayat,” sahut
pemuda yang dipanggil Seta itu.
Narita kembali diam. Sejenak kepalanya menoleh
pada api yang tetap berkobar besar melahap kayu-
kayu kering. Kemudian pelahan-lahan kakinya
terayun mengikuti langkah Seta. Mereka berjalan
berdampingan tanpa bicara sedikit pun. Wajah
mereka tampak sendu, dengan mata merembang
kosong ke depan.
Sesekali Narita masih juga menoleh ke belakang.
Sepertinya dia berat untuk meninggalkan tempat itu.
Namun dia harus pergi, meskipun dengan hati berat.
***
Senja mulai merayap mendekati sang malam.
Cahaya matahari mulai redup memerah jingga di ufuk
Barat. Sementara itu tampak Seta dan Narita terus
melangkah pelan-pelan melintasi sungai kecil dengan
air jernih yang mengalir dari atas Bukit Bojong. Sungai
itu sebagai pembatas Bukit Bojong dengan suatu
daerah yang dinamakan Karang Waja.
Daerah itu merupakan hutan yang tidak begitu
lebat. Beberapa jalan setapak terdapat di sepanjang
hutan itu. Bahkan tidak jauh dari hutan itu terdapat
sebuah padukuhan kecil, dengan beberapa rumah
yang terbuat dari kayu beratapkan rumbia.
Padukuhan itu bernama Dukuh Karang Waja. Ke
sanalah Seta dan Narita kini tengah menuju. Memang
hanya itulah satu-satunya padukuhan yang ada di
Hutan Karang Waja ini.
Dua orang berbaju merah itu kemudian berhenti di
tepi Dukuh Karang Waja. Tatapan mata Seta tidak
berkedip ke arah padukuhan itu. Sementara Narita
hanya berdiri saja di sampingnya dengan pandangan
kosong. Namun garis-garis wajahnya terlihat suatu
ketegangan. Degup jantungnya lebih keras dari biasa
nya. Sejenak gadis itu mengalihkan pandangannya
pada pemuda di sampingnya. Pada saat itu, Seta juga
menoleh ke arahnya. Sesaat mereka saling pandang.
“Aku merasa kalau kedatangan kita ini memang
telah ditunggu, Kakang,” kata Narita pelan, setengah
berbisik suaranya.
“Hati-hatilah, tidak biasanya Padukuhan Karang
Waja sepi begini,” sahut Seta seraya mengalihkan
kembali pandangannya ke arah padukuhan yang
tampak sepi itu.
“Kakang....”
“Awas!” seru Seta tiba-tiba.
Narita tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Seketika saja dari arah depan mereka meluncur
puluhan tombak pendek, berwarna hitam pekat. Dua
orang berbaju merah itu segera berlompatan meng-
hindari serangan-serangan itu.
Begitu tombak-tombak itu berhenti menghujani
mereka, tiba-tiba muncullah lima orang wanita
berbaju hijau dengan wajah memakai topeng
berwarna pucat bagai mayat. Gerakan mereka sangat
lincah dan cepat! Tanpa berkata apa-apa, mereka
langsung menyerang dengan senjata tombak pendek
berwarna hitam pekat.
Aneh! Mereka membagi serangan itu tidak
seimbang. Satu orang menyerang Seta, dan empat
orang lagi mendesak Narita. Tentu saja gadis itu
kerepotan, karena serangan-serangan empat orang
lawannya demikian cepat dan dahsyat. Sedangkan
Seta merasakan dirinya hanya dibuat sibuk saja, dan
digiring menjauhi Narita.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Seta yang merasakan adanya keanehan pada
serangan-serangan itu, langsung mengerahkan jurus-
jurus andalannya. Dan hal itu tampak membuat
lawannya kewalahan. Namun dengan mengandalkan
gerakan kaki yang lincah dan kelenturan tubuhnya,
lawannya itu mampu menghalau setiap serangan-
serangan Seta yang dahsyat dan mematikan!
“Akh!”
Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan. Tampak
Narita sempoyongan terhajar punggungnya. Pada
saat itu, satu pukulan keras mendarat di dada gadis
itu. Kembali Narita memekik, disusul tubuhnya ter-
jungkal ke tanah dengan keras. Tanpa memberi
kesempatan lagi, salah seorang lawannya melompat
seraya berteriak keras. Tombak pendek di tangan
kanannya sudah terangkat tinggi-tinggi, siap untuk
ditembuskan ke tubuh Narita.
Namun pada saat yang genting itu, tiba-tiba
sebuah bayangan berkelebat cepat. Tombak di
tangan orang bertopeng pucat bagai mayat itu
terpental. Dan orang itu memekik tertahan sambil
melentingkan tubuhnya ke belakang. Empat orang
yang mengeroyok Narita, jadi terlongong. Karena
gadis itu mendadak saja lenyap tak berbekas.
Namun mereka tidak sempat lagi berpikir, karena
tiba-tiba terdengar jeritan melengking dari arah lain.
Tampak orang bertopeng pucat yang bertarung
dengan Seta, terjungkal mencium tanah. Empat orang
itu langsung berlompatan menyerang Seta.
“Hiyaaa...!” Seta berteriak keras sambil mengebut-
kan tangannya ke depan.
“Aaa...!” seketika satu jeritan melengking tinggi
terdengar.
Tampak seorang dari penyerang-penyerang itu
menggelepar di tanah. Dadanya tertembus oleh tiga
buah pisau kecil berwarna keperakan. Tanpa mem-
buang-buang waktu lagi, empat orang lagi segera
berlompatan mengepung. Sejenak Seta memutar
tubuhnya mengamati empat orang lawannya yang
bergerak pelahan-lahan memutarinya.
“Narita...!” desis Seta tersentak ketika matanya
tidak lagi melihat Narita.
Kedua bola mata Seta menatap nyalang pada
empat orang wanita bertopeng pucat yang
mengepungnya itu. Gerahamnya bergemeletuk
menahan amarah yang meluap-luap. Pelahan-lahan
tangan kanannya menarik sabuk perak yang mem-
belit pinggangnya. Kemudian sabuk itu langsung
dikebutkan dengan keras ke depan. Benar-benar luar
biasa! Sabuk itu meregang kaku menjadi sebilah
pedang perak yang sangat tipis dan nampak lentur.
Melihat Seta telah menghunus senjata, empat
orang pengeroyoknya segera memecah tongkat
pendeknya menjadi dua bagian. Tampak masing-
masing ujungnya kini terdapat sebilah mata tombak
tipis bercabang dua.
“Hiyaaat...!”
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak
nyaring, dan tubuhnya melesat ke depan seraya
mengebutkan senjatanya ke arah perut dan dada
Seta.
Langsung saja pemuda itu melompat mundur
sambil mengibaskan senjatanya menyampok senjata
lawan.
Baru saja terlepas dari serangan pertama,
menyusul serangan berikutnya. Pemuda itu terpaksa
membagi perhatiannya dalam empat jurusan.
Serangan lawan-lawannya terus datang secara ber-
gantian dengan cepat dari empat jurusan. Sebentar
saja teriakan-teriakan pertempuran kembali ter-
dengar, ditingkahi dengan denting senjata beradu!
Seta terpaksa mengerahkan seluruh kemampuan
yang dimilikinya. Dia sadar, kalau empat lawannya
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
***
Pertarungan empat lawan satu, terus berlangsung
semakin sengit. Sudah beberapa kali Seta berhasil
menyarangkan tendangan dan pukulan ke tubuh
lawannya. Tapi sesekali dia juga tidak bisa meng-
hindar dari pukulan dan tendangan lawan. Seluruh
tubuhnya telah basah oleh keringat Sedangkan debu
juga banyak menempel mengotori bajunya. Namun
serangan-serangannya tidak mengendor sedikit pun.
“Akh!” tiba-tiba Seta memekik tertahan.
Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke
belakang. Tangan kirinya segera menekap lambung-
nya yang sobek kena senjata lawan. Darah mengucur
dari luka yang cukup dalam pada lambungnya.
“Phuih!” Seta menyemburkan ludahnya.
“Sebaiknya kau menyerah saja, Pemuda Tampan,”
kata salah seorang dengan suara lembut merayu.
“Ikutlah bersama kami, kau akan menikmati
indahnya hidup di sorga,” sambung yang lain.
“Kau sangat tampan, tentu ratu kami akan
mengampuni dan mengijinkanmu tinggal di istana
nya,” kata satunya lagi.
Seta menggeram muak mendengar kata-kata yang
lembut namun sangat menyakitkan hatinya itu. Dan
tanpa menghiraukan luka di lambungnya, pemuda itu
berteriak keras sambil melompat menerjang
perempuan bertopeng pucat bagai mayat yang
berada di depannya.
“Heit!”
Wanita itu langsung berkelit sambil mengibaskan
senjatanya. Dan tanpa diduga sama sekali, Seta
melayangkan tangan kirinya dengan cepat.
Bug!
“Hugh!” wanita itu mengeluh pendek.
Dan pada saat tubuhnya limbung terdorong ke
belakang, dengan cepat Seta mengibaskan
senjatanya ke arah leher. Namun satu senjata lawan
lainnya berhasil memapak serangan itu.
Trang!
Seta segera menarik kembali senjatanya, lalu
langsung berputar dan menyerang lawan yang me-
mapaknya tadi. Tepat pada saat itu, dari arah
samping, berkelebat satu bayangan dengan cepat.
Seta yang tengah terpusat perhatiannya pada satu
lawannya, tidak sempai lagi untuk menghindari satu
tendangan dahsyat ke kepalanya.
“Aaakh...!” Seta menjerit keras.
Kepalanya terasa mau pecah terkena hantaman
kaki yang begitu keras dan bertenaga dalam cukup
tinggi. Belum lagi Seta mampu menguasai dirinya,
mendadak satu tusukan benda tajam berhasil
merobek dadanya. Kembali dia menjerit melengking
tinggi! Darah segar segera muncrat dari dada yang
menganga lebar.
Pemuda berbaju merah menyala itu semakin tidak
dapat menguasai dirinya. Dua pukulan beruntun
berhasil bersarang di tubuhnya. Seketika itu juga dia
ambruk ke tanah. Dan tanpa menunggu lebih lama
lagi, tiba-tiba sebatang tombak pendek hitam meluruk
deras ke arahnya. Kini Seta benar-benar tidak bisa
lagi untuk menghindar. Seketika dia kembali menjerit
melengking tinggi, begitu tongkat itu memanggang
lehernya. Sebentar tubuhnya menggelepar, lalu diam
dan tidak bergerak-gerak lagi.
Seorang lawannya segera menghampiri, dan
mencabut tongkat yang memanggang leher pemuda
itu. Kemudian dia menyatukannya kembali dengan
yang tergenggam di tangan kiri. Sebentar dia menarik
napas panjang, lalu berbalik menghadap tiga orang
temannya yang berdiri berjajar sambil memandang ke
arahnya.
“Cepat tinggalkan tempat ini!” kata wanita
bertopeng pucat itu tegas.
“Bagaimana dengan...,” kata salah seorang lagi
sambil menoleh ke arah mayat temannya yang meng-
geletak tidak jauh darinya.
“Bawa dia, dan jangan sampai ada jejak!” sahut
yang satu lagi.
Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera membawa
mayat itu dan melompat cepat meninggalkan tempat
itu. Orang-orang itu tidak lagi peduli pada tubuh Seta
yang menggeletak bersimbah darah. Di tangan
pemuda itu masih menggenggam senjata, yang kini
sudah kembali berubah jadi sabuk perak yang lemas
dan lentur.
Saat itu matahari benar-benar sudah tenggelam di
ufuk Barat. Kegelapan sudah menyelimuti di sekitar
tempat itu. Seolah-olah ingin mengantarkan
seseorang yang melepas nyawanya dengan tubuh
penuh luka bersimbah darah!
***
2
Jauh di sebelah Utara Hutan Karang Waja, tampak
sebuah bangunan besar dikelilingi pagar tembok yang
tinggi dan tebal. Di belakang bangunan besar itu
terdapat beberapa bangunan berbentuk panjang.
Beberapa orang bersenjata tombak, selalu berjaga-
jaga di sekeliling tempat itu.
Di dalam sebuah kamar yang cukup besar di
rumah itu, tergolek seorang wanita berwajah cantik
dengan kulit putih bersih, terpadu baju merah
menyala dan ikat pinggang dari lempengan perak tipis
yang lentur.
Di sisi pembaringan kecil itu, tampak berdiri tiga
orang laki-laki dan dua orang wanita. Mereka rata-
rata sudah berusia di atas tujuh puluh tahun.
Pandangan mata mereka tidak lepas dari gadis cantik
yang tengah tergolek tidak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian, kepala gadis itu mulai
bergerak lemah. Kelopak matanya berkerjap be-
berapa kali. Dia tampak terkejut begitu menyadari
dirinya berada di suatu ruangan dan dikelilingi oleh
beberapa orang. Sejenak gadis itu berusaha bangkit,
tapi sebuah tangan kurus segera menahan bahunya.
“Jangan bangkit dulu, racun yang mengendap di
dalam tubuhmu belum keluar semua,” kata suara
lembut bernada kering.
“Siapa kalian? Bagaimana aku bisa sampai di
sini?” tanya gadis itu.
“Kau berada di Puri Watu Ukir,” sahut salah
seorang laki-laki yang memakai jubah berwarna putih
bersih.
“Puri Watu Ukir...?!” gadis itu nampak terkejut.
Gadis berbaju merah itu terus memandangi wajah-
wajah di sekelilingnya. Kini dia mulai sadar, kalau
dirinya tengah dikelilingi oleh lima tokoh tua
pemimpin besar Puri Watu Ukir. Buru-buru gadis itu
bangkit dari pembaringan dan berlutut di lantai. Salah
seorang wanita tua yang mengenakan jubah warna
biru, mendekati dan membangunkan gadis itu. Dan
tanpa menoleh sedikit pun, gadis itu menurut saja
ketika wanita tua itu memintanya kembali berbaring.
“Kau telah terkena jarum hitam yang mengandung
racun dahsyat dan mematikan,” kata wanita tua itu
lembut.
“Jarum hitam...?!” gadis itu kembali menggumam
pelan.
“Apakah kau bertarung dengan Perempuan Iblis
Topeng Mayat?” tanya seorang laki-laki berjubah
kuning.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Pelahan-lahan
ingatannya kembali pada saat sebelum dia berada di
tempat suci ini. Pada saat itu dia memang tengah
bertarung melawan empat orang wanita berbaju
hijau, dan mengenakan topeng pucat bagai mayat.
Dia tidak tahu kalau salah seorang lawannya berhasil
melontarkan jarum hitam yang mengandung racun.
Gadis itu hanya ingat, kalau badannya tiba-tiba
saja terasa panas, dan satu pukulan keras telah
menghantam dadanya. Dia juga sempat melihat,
ketika salah seorang lawannya hampir membunuh
dengan senjatanya. Tapi pada saat itu, tubuhnya
seperti melayang cepat, dan langsung tidak ingat apa-
apa lagi. Rasa panas yang menyelimuti tubuhnya,
membuat dia tidak sadarkan diri. Rupanya rasa panas
itu datang dari jarum hitam yang berhasil masuk ke
dalam tubuhnya.
“Siapa namamu, Anak Manis?” tanya seorang
wanita yang mengenakan jubah hijau.
“Narita,” sahut gadis itu pelan.
“Bagaimana kau bisa bentrok dengan Perempuan
Iblis Topeng Mayat?” tanyanya lagi.
“Aku tidak tahu, mereka ada lima orang, dan yang
satu bertarung dengan kakakku. Oh...! Kakang Seta,
apakah dia juga selamat?” keluh gadis berbaju merah
yang ternyata bernama Narita.
Tidak ada yang menjawab. Semua yang ada di situ
memandang pada seorang laki-laki tua berjubah putih
bersih. Sedangkan laki-laki berjubah putih itu tampak
berpikir sebentar, dan mendekati Narita yang tetap
berbaring di pembaringan kayu itu.
“Kakakmu tewas. Maaf, kami terlambat menolong-
nya,” kata laki-laki tua itu.
“Oh...,” Narita mendesah lirih.
Sesaat kesepian melanda mereka semua. Laki-laki
berjubah putih itu mengerdipkan matanya. Kemudian
semua orang tua yang berada di ruangan itu, segera
melangkah meninggalkan Narita seorang diri. Sedang-
kan gadis itu tetap terbaring dengan wajah murung
berselimut duka. Kini tak ada lagi yang tersisa. Kakek,
yang sekaligus juga gurunya, telah meninggal di
tangan Perempuan Iblis Topeng Mayat. Dan kakak
satu-satunya juga telah tewas!
Sejenak Narita memalingkan mukanya, meman-
dang pada lima orang yang berjalan meninggalkan
kamar itu. Tak lama kemudian, pintu kamar kembali
tertutup rapat setelah orang terakhir ke luar. Dalam
hatinya, dia mengucapkan terima kasih pada lima
orang pemimpin besar Puri Watu Ukir itu. Mereka
adalah tokoh-tokoh tua yang tingkat kepandaiannya
sudah mencapai taraf kesempurnaan. Orang-orang itu
bernama Resi Wanakara yang berjubah putih, Resi
Jagabaya yang mengenakan jubah kuning. Dan Resi
Danuraga yang berjubah kelabu. Sedangkan dua lagi
adalah perempuan tua. Mereka bernama Nyai Resi
Puspita Rani yang memakai jubah biru, sedangkan
satunya lagi berjubah hijau, namanya Nyai Resi Rara
Kitri.
Narita benar-benar tidak pernah menyangka kalau
dia bisa berada di suatu tempat yang suci dan
bertemu langsung dengan mereka. Tidak sembarang
orang bisa bertemu dan berbicara langsung dengan
lima tokoh Puri Watu Ukir itu. Namun saat ini Narita
tidak peduli, hatinya tengah dilanda kedukaan yang
amat dalam, dengan kematian dua orang yang sangat
dicintainya.
“Eyang..., Kakang Seta...,” desis Narita lirih.
***
Tiga hari sudah Narita berada di kamar bangunan
besar Puri Watu Ukir. Selama itu pula dia selalu
dikunjungi oleh lima tokoh tua Puri Watu Ukir secara
bergantian. Mereka selalu memberikan pengobatan
untuk memulihkan kondisi tubuh gadis itu seperti
sedia kala.
Narita baru saja beranjak turun dari pem-
baringannya ketika pintu kamar itu terbuka. Seorang
wanita tua berusia lebih tujuh puluh tahun segera
melangkah masuk. Wanita itu mengenakan baju biru
yang panjang dan longgar. Dia menyunggingkan
senyuman manis di bibirnya. Narita pun membalas-
nya, dan berlutut memberi hormat.
“Nyai Resi Puspita Rani, terimalah salam hormat-
ku,” kata Narita tetap berlutut.
“Bangunlah, Anakku. Aku terima salam hormat-
mu,” sahut Nyai Resi Puspita Rani lembut.
Narita segera berdiri kembali
“Bagaimana keadaanmu?”
“Jauh lebih baik, Nyai Resi,” sahut Narita.
Wanita berjubah biru itu lalu menekan pundak
Narita, dan menyuruhnya duduk. Gadis itu hanya
menurut, dan duduk di tepi pembaringan. Sebentar
Nyai Resi Puspita Rani memeriksa beberapa bagian
tubuh gadis itu, kemudian dia duduk di kursi dekat
jendela. Bibirnya tetap menyunggingkan senyuman
manis.
“Kau sudah benar-benar pulih, Anakku,” kata Nyai
Resi Puspita Rani gembira.
“Terima kasih, Nyai Resi.”
“Tapi kau masih perlu istirahat dan bersamadi,
agar kesehatan dan kondisi tubuhmu benar-benar
sempurna. “
Narita tidak menjawab. Kepalanya tetap tertunduk
dalam.
“Ada apa, Narita?” tanya Nyai Resi Puspita Rani
seraya menatap dalam ke wajah yang tertunduk itu.
“Tidak apa-apa, Nyai Resi. Aku hanya teringat pada
Eyang Resi dan Kakang Seta,” sahut Narita pelan.
“Hm..., siapa nama Eyang Resi-mu?”
“Eyang Resi Galadipa.”
“Resi Galadipa...,” gumam Nyai Resi Puspita Rani.
“Ada apa, Nyai Resi?” tanya Narita dengan kening
berkerut.
“Sepertinya aku pernah mendengar nama itu,”
sahut Nyai Resi Puspita Rani. “Hm..., apakah Eyang
Resi-mu berjuluk Pendekar Welut Putih?”
“Benar, tapi itu dulu ketika Eyang Resi masih
muda,” sahut Narita sambil mengangguk.
“Ah...,” Nyai Resi Puspita Rani mendesah panjang.
Narita menatap dalam pada wanita tua itu. Hatinya
penasaran melihat perubahan wajah pada Nyai Resi
Puspita Rani. Wanita tua itu seolah tengah terkenang
sesuatu.
Beberapa saat kemudian, Nyai Resi Puspita Rani
bangkit, dan melangkah mendekati pintu kamar.
Sementara Narita tetap duduk di tepi pembaringan.
Benaknya jadi berputar melihat sikap wanita tua itu.
Sementara benak Narita tengah disibuki oleh
pikiran dan dugaan-dugaan, Nyai Resi Puspita Rani
berdiri bersandar di pintu kamar yang telah tertutup
rapat Kepalanya tampak terdongak ke atas. Lalu
setelah mendesah panjang, kakinya kembali me-
langkah. Beberapa kali dia menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dia tidak tahu, kalau ada sepasang mata
bening kecoklatan yang mengamatinya sejak tadi.
Sepasang mata bening itu ternyata milik seorang
laki-laki tua berjubah putih. Tentu saja Nyai Resi
Puspita Rani terkejut, ketika laki-laki tua berjubah
putih itu menghadang langkahnya.
“Aku lihat kau murung setelah keluar dari kamar
itu,” kata laki-laki berjubah putih itu, seraya melirik ke
arah pintu kamar yang sudah tertutup rapat.
Nyai Resi Puspita Rani tidak segera menyahuti. Dia
hanya menarik napas panjang dan menghembus-
kannya pelan-pelan. Sementara laki-laki tua yang
bernama Resi Wanakara, terus memperhatikannya
dalam-dalam.
“Ada yang menyusahkanmu, Nyai?” tanya Resi
Wanakara lembut.
“Kau ingat dengan peristiwa di Gunung Jati Sewu?”
Nyai Resi Puspita Rani malah balik bertanya.
“Ya,” sahut Resi Wanakara.
Kembali Nyai Resi Puspita Rani menarik napas
panjang. Dia kembali mengayunkan langkahnya
pelan-pelan. Sementara Resi Wanakara mengikutinya
dengan benak yang diliputi berbagai macam per-
tanyaan.
“Aku rasa kita telah melupakan, dan mengubur
semua peristiwa yang terjadi di Gunung Jati Sewu itu,
Nyai,” kata Resi Wanakara.
“Ya, kita memang telah melupakannya. Juga
semua saudara kita yang telah menjadi korban. Tapi
kini kita harus mengingatnya, Kakang,” kata Nyai Resi
Puspita Rani.
Resi Wanakara mengerutkan keningnya.
“Bertahun-tahun kita telah meninggalkan rimba
persilatan dan mendirikan tempat suci ini. Kita semua
juga sudah berjanji, untuk tidak terjun kembali ke
dalam dunia itu. Tapi aku merasakan, bahwa kita
akan kembali bergelimang darah,” pelan dan hampir
tidak terdengar suara Nyai Resi Puspita Rani.
“Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan.”
“Gadis itu....”
“Narita?”
“Ya.”
“Ada apa dengan Narita?”
“Dia cucu Resi Galadipa atau Pendekar Welut
Putih.”
Seketika Resi Wanakara terdiam! Nama itu benar-
benar menyengat telinganya. Sungguh dia tidak
menyangka akan mendengar nama itu lagi.
***
“Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Adik
Galadipa berbuat tolol seperti itu...?” gumam Resi
Jagabaya menyesalkan.
“Apa pun yang dia lakukan, kita pasti akan
tersangkut juga. Sia-sialah semua usaha yang kita
lakukan berpuluh-puluh tahun,” gumam Nyai Resi
Rara Kitri pelan, seolah-olah bicara untuk dirinya
sendiri.
“Hhh! Kita seperti berada di suatu lorong maut
yang panjang dan tidak akan pernah berakhir,” desah
Nyai Resi Puspita Rani.
“Nyai Puspita Rani, apakah Narita sudah
mengetahui hal ini?” tanya Resi Danufaga yang sejak
tadi diam saja.
“Aku rasa belum,” sahut Nyai Resi Puspita Rani
dengan kening agak berkerut. “Kenapa?”
“Tidak apa-apa, aku hanya...,” Resi Danuraga tidak
melanjutkan kata-katanya.
“Ada apa, Adik Danuraga?” tanya Resi Jagabaya
penasaran.
“Mungkin perasaanku yang berlebihan, aku
memang menduga kalau kehadiran gadis itu akan
membawa malapetaka besar bagi Puri Watu Ukir ini,”
pelan suara Resi Danuraga.
“Mungkin,” desah Nyai Resi Rara Kitri. “Benar juga
apa yang telah dikatakan oleh Kakak Puspita Rani,
kita memang berada pada suatu lorong maut yang
amat panjang dan tak berakhir.”
Mereka semua kemudian terdiam. Lima orang
bersaudara yang sudah tua renta itu sibuk dengan
pikirannya masing-masing. Mereka kembali teringat
dengan peristiwa beberapa puluh tahun lalu. Di mana
mereka masih berenam, dan malang-melintang
dalam rimba persilatan yang ganas bergelimang
darah.
Suatu ketika salah seorang dari mereka memisah-
kan diri. Hal itu terjadi setelah peristiwa di Gunung
Jati Sewu. Suatu peristiwa yang tidak mungkin bisa
terlupakan! Dan peristiwa itu kembali terungkap,
dengan munculnya seorang gadis yang ditolong oleh
Resi Wanakara dari lubang maut.
Puluhan tahun yang lalu, mereka enam saudara
yang dikenal sebagai Enam Dewa Keadilan,
mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya
dengan tujuan memberantas keangkaramurkaan.
Enam orang bersaudara itu adalah tokoh-tokoh
berilmu tinggi yang sukar dicari tandingannya. Setelah
sekian lama berkecimpung dalam dunia yang penuh
dengan kekerasan, mereka kemudian meninggal-
kannya. Dan mendirikan sebuah puri yang diberi
nama Puri Watu Ukir. Dinamakan begitu karena
letaknya di sebuah tempat berbatu yang berukir.
Entah siapa yang mengukir batu-batu itu, mungkin
karena proses alami.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya
Resi Danuraga, setelah cukup lama mereka semua
berdiam diri.
“Maksudmu?” Resi Wanakara balik bertanya.
“Dengan gadis itu,” sahut Resi Danuraga.
Tidak ada yang langsung memberikan jawaban.
Semua terdiam dan saling menukar pandang.
“Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, bagai-
manapun juga Narita adalah cucu Adik Galadipa, dan
itu berarti cucu kita juga,” kata Resi Wanakara.
“Dan yang pasti, Perempuan Iblis Topeng Mayat
tidak akan tinggal diam. Lebih-lebih kalau dia tahu
Narita itu cucu kita semua,” sambung Nyai Resi
Puspita Rani.
“Hhh...! Galadipa, selalu saja membuat persoalan,”
keluh Nyai Resi Rara Kitri pelan.
“Sudahlah, semuanya sudah terjadi. Aku akan
berusaha mencari jalan agar tidak ada pertumpahan
darah,” Resi Wanakara yang tertua di antara mereka,
berusaha mencari penyelesaian dengan baik.
“Kau sudah punya cara, Kakang?” tanya Resi
Jagabaya.
“Saat ini belum,” sahut Resi Wanakara.
***
Pagi itu Narita sudah bisa keluar dari kamarnya.
Sejak matahari belum menampakkan diri, dia sudah
bergerak ringan, melemaskan otot-ototnya yang
terasa kaku. Dua pekan lebih dia telah berada di
kamar, tanpa boleh melakukan gerakan-gerakan yang
bisa membuat keadaan tubuhnya bertambah buruk.
Setelah beberapa saat, gadis itu kemudian ber-
henti bergerak. Dia berdiri tegak dengan mata tidak
berkedip memandang ke arah Puncak Bukit Bojong.
Tampak kabut tipis masih menyelimuti puncak bukit
itu. Pandangan gadis itu lalu beralih ke sekelilingnya.
Sepi, tak ada seorang pun yang terlihat.
Sejenak Narita memandangi bagian atas tembok
pagar yang mengelilingi Puri Watu Ukir itu. Kemudian
dia menatap bangunan besar dan sebuah bangunan
puri, yang terbuat dari tumpukan batu-batuan dengan
ukiran yang mengandung arti yang sangat dalam.
“Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan
sebagai ucapan terima kasih pada kalian semua. Kini
aku harus pergi. Aku harus membalas kematian
Eyang Resi dan Kakang Seta,” bisik Narita pelan.
Gadis itu kembali melangkah pelan-pelan men
dekati pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Sebentar
dia memandangi pagar tembok itu, seolah-olah
sedang mengukur ketinggiannya.
“Maafkan aku Eyang Resi, Nyai Resi. Aku pergi
tanpa pamit...,” bisik Narita lagi.
Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Narita
segera melompat melenting tinggi. Tubuhnya
melayang ringan bagaikan kapas tertiup angin. Dua
kali dia salto di udara, melewati pagar tembok yang
tinggi itu. Lalu meluruk turun, dan hinggap di tanah
dengan manisnya. Gadis itu langsung berlari cepat
dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Narita memang tidak tahu, kalau sepasang mata
memperhatikannya sejak tadi. Sepasang mata milik
seorang perempuan tua itu baru keluar dari balik
dinding rumah besar, setelah gadis itu hilang di luar
pagar tembok. Saat dia menarik napas panjang,
muncul seorang laki-laki tua berjubah putih.
“Kau tidak berusaha mencegahnya?”
“Oh!” perempuan tua berjubah biru itu tersentak.
“Aku terus memperhatikannya sejak dia keluar dari
kamarnya,” kata laki-laki tua berjubah putih yang
ternyata Resi Wanakara.
“Ya, aku juga,” sahut Nyai Resi Puspita Rani.
“Apa yang akan dia lakukan di luar sana?”
“Membalas dendam.”
“Sinting!” dengus Resi Wanakara.
“Dia seorang anak yang baik. Aku pasti akan ber-
buat yang sama jika keadaannya seperti itu,” desah
Nyai Resi Puspita Rani pelan.
“Perempuan Iblis Topeng Mayat bukan lawannya.
Aku sendiri belum tentu mampu untuk menandingi-
nya. Dia juga hampir membunuhku ketika terjadi
peristiwa di Gunung Jati Sewu.”
Nyai Resi Puspita Rani hanya diam saja.
“Kakeknya sendiri tidak mampu menandinginya,
apalagi dia? Gadis seumur jagung yang hampir tewas
hanya melawan murid-muridnya saja,” sambung Resi
Wanakara tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
“Aku mau pergi,” kata Nyai Resi Puspita Rani.
“Kau mau ke mana?”
“Melindungi cucuku.”
“Mengotori tanganmu dengan darah lagi?” Resi
Wanakara tersentak kaget.
“Di sini pun sama saja. Aku, kau dan semua
saudara-saudara kita tidak akan bisa menghindar.
Takdir sudah berbicara, dan kita harus meng-
hadapinya. Tidak mudah meninggalkan rimba
persilatan, meskipun dengan niat yang paling suci
sekalipun.”
Kini Resi Wanakara yang diam membisu. Kata-kata
adik perempuannya itu memang benar. Mereka
sudah ditakdirkan untuk bergelut dalam rimba
persilatan. Sudah puluhan tahun mereka me-
ninggalkannya, tapi takdir yang sudah digariskan
tidak akan mungkin bisa dihindari lagi. Sejak muncul-
nya gadis itu di Puri Watu Ukir ini, takdir itu kembali
terbuka lebar.
“Aku pergi dulu, Kakang. Aku tidak ingin kau
berharap aku akan kembali,” kata Nyai Resi Puspita
Rani.
“Ya, hati-hatilah,” desah Resi Wanakara menyerah.
Wanita berjubah biru itu segera melentingkan
tubuhnya dengan cepat. Gerakannya ringan, tidak
sedikit pun menimbulkan suara. Sementara Resi
Wanakara hanya memandanginya sambil mendesah
panjang.
3
Desa Batang Hulu tampak meriah. Umbul-umbul
terpasang di setiap sudut desa itu. Wajah-wajah
penduduknya kelihatan cerah, dan anak-anak
bermain dengan gembiranya. Kemeriahan itu terpusat
dari rumah kepala desa yang sedang mengadakan
pesta perkawinan putranya. Suasana di rumah kepala
desa lebih ramai lagi. Banyak panggung-panggung
hiburan tergelar. Sorak-sorai dan tabuhan gamelan
menambah hangat suasana.
Di pelaminah, terlihat pasangan yang berbahagia
tengah bersanding dengan senyum cerah. Sesekali
mereka berdiri dan menyambut kedatangan tamu
yang mengalir seperti air di sungai.
“Sariti memang beruntung mendapatkan Den
Paksi,” bisik salah seorang tamu yang hadir.
“Tapi mereka memang pasangan yang cocok.
Lakinya tampan, dan wanitanya cantik!” celetuk yang
lain.
“Tapi kekayaannya tidak.”
“Ah, cinta mana bisa diukur dengan harta?”
“Bagaimanapun juga, Ki Parta tidak akan
kekurangan lagi hidupnya.”
Macam-macam tanggapan terdengar di antara
tamu-tamu yang hadir. Ada yang merasa iri, ada juga
yang senang. Bahkan ada yang masa bodoh, dan
tidak mau peduli. Paksi memang putra tunggal
Kepala Desa Batang Hulu. Dan Sariti hanyalah putri
seorang petani miskin. Tapi, Ki Rungkut, sang Kepala
Desa Batang Hulu, tidak melihat kaya atau miskinnya
seseorang. Dia seorang yang arif dan bijaksana. Di
matanya, kaya atau miskin tidak ada bedanya!
Pesta itu terus berlangsung hingga senja datang.
Semakin matahari condong ke arah Barat, suasana-
nya semakin bertambah meriah. Lentera, obor dan
segala macam penerangan mulai dinyalakan di
beberapa tempat.
Saat sang mentari benar benar sudah tenggelam,
mendadak suasana pesta yang meriah itu menjadi
berubah. Jerit dan pekik melengking terdengar saling
sambut. Orang-orang yang berada di sekitar tempat
itu jadi kalang-kabut!
Ki Rungkut segera menyuruh anaknya untuk
masuk. Tampak empat orang bertubuh ramping dan
mengenakan baju hijau ketat, membantai orang-
orang yang berlarian serabutan. Laki-laki kepala desa
itu langsung mengerahkan orang-orangnya untuk
mengamankan suasana yang sudah berubah jadi
ajang pembantaian. Dua puluh orang bersenjata
golok, terlihat berlompatan dan mengepung empat
orang wanita perusuh tersebut.
“Ayah, siapa mereka?” tanya Paksi yang belum
juga masuk ke dalam rumah.
“Anak buah Iblis Topeng Mayat,” sahut Ki Rungkut
mendesis.
“Mau apa mereka datang mengacau?” Ki Rungkut
tidak menjawab. Saat itu dua puluh orangnya sudah
bertarung melawan empat orang wanita bertopeng
pucat seperti mayat. Beberapa undangan yang
kelihatannya memiliki kepandaian, masih tetap
berada di tempat.
Baru beberapa saat saja, dua puluh orang
bersenjata golok tampak kewalahan menghadapi
mereka. Satu persatu mereka tumbang bersimbah
darah. Rupanya empat orang tersebut terlalu
tangguh, sehingga dalam waktu sebentar saja bisa
merobohkan lebih dari separuh lawannya.
“Hiya...!”
“Yaaat...!”
Tiga orang undangan langsung berlompatan sambil
mencabut senjatanya masing-masing. Dan tanpa
banyak bicara, mereka segera menyerang empat
orang bertopeng mayat itu. Namun turunnya tiga
orang itu tidak membuat keadaan jadi berubah.
Sebentar saja dua orang sudah menggeletak tak
bernyawa lagi. Sedangkan orang-orang Ki Rungkut
kini sudah mulai gentar.
“Berhenti!” seru Ki Rungkut keras.
Seketika itu juga pertempuran berhenti. Ki
Rungkut segera melompat sekitar dua batang tombak
jauhnya. Gerakannya ringan, pertanda kalau dia
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Sedangkan putranya, Paksi, hanya memperhatikan
saja. Di samping pemuda itu sudah berdiri Sariti yang
memeluk tangannya dengan tubuh gemetaran.
“Apa maksud kalian datang dan membuat
keonaran di sini?” tanya Ki Rungkut dengan suara
lantang.
“Hi hi hi...!” terdengar suara mengikik dari arah
atap rumah.
Ki Rungkut langsung berbalik dan memandang ke
atap rumahnya. Tak terkecuali semua orang yang
berada di tempat itu juga segera menolehkan
kepalanya ke atap. Tampak di sana seorang wanita
berambut panjang dengan tubuh ramping, dan
terbungkus baju hijau menyala yang ketat. Wajahnya
tertutup topeng berwarna pucat seperti mayat.
Sedangkan di pinggangnya terselip sebatang tongkat
pendek berwarna hitam.
***
Dengan satu gerakan yang ringan dan indah,
wanita itu meluncur ke bawah. Manis sekali dia
mendarat sekitar dua batang tombak jaraknya di
depan Ki Rungkut. Sementara empat orang lainnya
yang juga bertopeng, segera berlompatan dan berdiri
mengapit perempuan yang baru datang itu.
“Iblis Topeng Mayat, apa maksudmu membuat
keonaran di sini? Aku dan seluruh penduduk Desa
Batang Hulu tidak pernah berurusan denganmu!”
lantang suara Ki Rungkut.
“Hi hi hi..., kalian memang tidak pernah berurusan
denganku. Tapi kalian telah menampung musuh
besarku!” sahut Iblis Topeng Mayat diselingi dengan
tawa mengikik.
“Siapa musuhmu?” tanya Ki Rungkut tidak
mengerti.
“Galadipa dan dua cucunya!”
Tentu saja Ki Rungkut tersentak kaget. Dia sudah
kenal betul siapa Galadipa, yang berjuluk Pendekar
Welut Putih. Seorang anak tunggal Galadipa telah
menikah dengan adik perempuan Ki Rungkut. Mereka
mempunyai dua orang anak. Namun pasangan muda
itu tewas, di saat anak-anaknya masih kecil-kecil.
Hingga kini tak seorang pun yang tahu sebab-sebab
kematiannya. Mereka tewas di rumahnya sendiri
dalam keadaan yang mengenaskan. Sedangkan dua
orang anaknya diasuh oleh Galadipa di desa itu.
Ki Rungkut memang tidak pernah tahu, kalau
Galadipa ternyata punya urusan dengan Iblis Topeng
Mayat. Yang dia tahu, waktu itu Galadipa datang ke
Desa Batang Hulu dengan membawa seorang istri
dan anak tunggalnya. Mereka kemudian menetap
agak jauh dari rumah-rumah penduduk. Dan selama
mereka menetap di Desa Batang Hulu itu, tidak
pernah ada kejadian apa-apa. Galadipa memang
sudah meninggalkan rimba persilatan.
“Sudah hampir satu purnama ini, aku tidak lagi
melihat Galadipa. Dia memang pergi bersama cucu-
cucunya meninggalkan desa ini. Jika kau datang
untuk mencarinya, bukan di sini, Iblis Topeng Mayat!”
kata Ki Rungkut, tetap lantang suaranya.
“Galadipa dan Seta sudah tewas! Tapi Narita
belum. Di mana kau sembunyikan anak itu?” dingin
kata-kata Iblis Topeng Mayat.
“Iblis...!” desis Ki Rungkut begitu mendengar kabar
itu.
“Aku beri kau waktu tiga hari untuk menyerahkan
anak itu, Rungkut. Anggap saja kejadian ini sebagai
peringatan dariku!” sambung Iblis Topeng Mayat.
Setelah berkata begitu, lima orang berpakaian
hijau dan mengenakan topeng pucat bagai mayat itu,
langsung melesat pergi. Gerakan mereka sangat
cepat dan ringan bagaikan kapas. Maka dalam
sekejap saja mereka sudah lenyap dari pandangan.
Sementara Ki Rungkut hanya bisa mendesah
panjang. Kata-kata Iblis Topeng Mayat tidak pernah
main-main!
Sepak terjang Iblis Topeng Mayat sudah terkenal di
seantero jagat. Satu kata yang terucap, berarti maut!
Memang sudah beberapa puluh tahun belakangan ini,
nama Iblis Topeng Mayat jarang terdengar. Namun
kini muncul lagi dengan segala perbuatannya yang
kejam.
“Ayah...,” Paksi segera menghampiri ayahnya yang
masih tetap berdiri di halaman depan rumahnya.
Ki Rungkut kembali mendesah panjang.
“Aku tahu di mana Narita berada,” kata Paksi.
Ki Rungkut tersentak. Ditatapnya Paksi dengan
tajam.
“Sehari sebelum mereka meninggalkan desa ini,
Seta sudah menceritakan tujuannya bersama Narita.
Mereka pergi memang khusus untuk mencari Iblis
Topeng Mayat,” kata Paksi lagi.
“Kenapa kau tidak mengatakan padaku, Paksi?” Ki
Rungkut menyesalkan.
“Aku telah berjanji kepada Seta untuk tidak
mengatakan hal ini pada siapa pun. Tapi kini keadaan
memaksaku untuk mengingkari janji itu. Maafkan
aku, Ayah,” pelan suara Paksi.
“Sudahlah, kau tahu, apa sebenarnya yang terjadi
antara Pamanmu Galadipa dengan Iblis Topeng
Mayat?”
“Lebih kurang empat puluh tahun yang lalu,
Paman Galadipa dan lima orang saudaranya yang
berjuluk Enam Dewa Keadilan, datang ke sebuah
desa di Kaki Bukit Bojong. Mereka datang untuk
melamar seorang gadis untuk Paman Galadipa...,”
Paksi berhenti sebentar.
“Teruskan,” pintu Ki Rungkut.
“Gadis yang akan dilamar adalah putri seorang
ketua padepokan di desa itu. Tapi semuanya tidak
berjalan lancar, karena Iblis Topeng Mayat datang
dan mengacaukan suasana di saat pesta perkawinan
berlangsung,” sambung Paksi.
“Hm..., apakah Seta juga menceritakan, kenapa
terjadi demikian?” tanya Ki Rungkut.
“Ya. Iblis Topeng Mayat tidak rela kalau Galadipa
menyunting gadis lain.”
“Cinta...,” desis Ki Rungkut bergumam.
Satu persoalan yang kelihatannya sepele, tapi
kalau sudah menyangkut orang-orang kalangan rimba
persilatan, bisa berakibat fatal! Dan Ki Rungkut sudah
bisa mengerti, apa yang menjadi penyebab Iblis
Topeng Mayat mencari Ki Galadipa dan anak
cucunya. Rupanya wanita itu ingin melenyapkan
semua keturunan Galadipa!
Ki Rungkut memang pernah mendengar tentang
enam orang pendekar tangguh, yang berjuluk Enam
Dewa Keadilan. Waktu itu enam orang pendekar
tersebut bertarung di Puncak Bukit Bojong. Namun
tidak ada yang mengetahui, mereka bertarung
dengan siapa. Dan hasilnya juga tidak diketahui. Yang
jelas, setelah pertarungan itu, nama-nama mereka
tenggelam dalam kancah rimba persilatan.
Ki Rungkut benar-benar tidak mengetahui, kalau
Galadipa ternyata salah satu dari Enam Dewa
Keadilan. Galadipa datang ke Desa Batang Hulu ini
dengan membawa seorang istri dan seorang anak.
Mereka datang seperti orang kebanyakan, namun
sifat-sifat kependekaran Galadipa masih menonjol.
“Tadi kau bilang tahu di mana Narita berada,
Paksi...,” kata Ki Rungkut.
“Ya, Narita pasti berada di Puri Watu Ukir.
Letaknya tidak jauh dari Hutan Karang Waja. Di puri
itulah tinggal lima saudara Paman Galadipa,” sahut
Paksi menjelaskan.
“Aku akan segera ke sana. Kau jangan pergi
sampai aku kembali, Paksi,” kata Ki Rungkut.
Paksi hanya mengangguk saja.
***
Jarak dari Desa Batang Hulu ke Puri Watu Ukir
memang tidak seberapa jauh, kira-kira hanya
memakan waktu setengah hari perjalanan dengan
kuda. Itulah sebabnya, meskipun sudah malam, Ki
Rungkut berangkat juga ke Puri Watu Ukir. Dia
ditemani oleh sekitar lima orang sahabatnya. Mereka
terus memacu kuda dengan cepat tanpa berhenti
sejenak pun. Dan hampir tengah malam mereka tiba
di tempat suci itu.
Kebetulan Resi Wanakara sendiri yang.
menyambut kedatangan Ki Rungkut dan lima orang
sahabatnya. Sesampainya di dalam, baru mereka
disambut oleh tiga orang Ketua Puri Watu Ukir
lainnya. Walaupun empat orang resi itu sudah bisa
menebak maksud dan kedatangan tamu-tamunya,
mereka tetap bersikap wajar.
“Maaf kalau kedatangan kami tidak pada
waktunya,” ucap Ki Rungkut seraya membungkuk
sopan.
“Ada maksud apa anakku datang ke tempat suci
ini?” tanya Resi Wanakara.
“Kami datang untuk menjemput Narita, Eyang
Resi,” sahut Ki Rungkut langsung pada pokok
persoalannya.
Langsung saja empat orang resi tersebut saling
berpandangan. Mereka memang sudah menduga
kalau kedatangan enam orang tamu itu ada
hubungannya dengan Narita.
“Kenapa kau mencari cucuku?” tanya Resi
Wanakara, tetap lembut suaranya.
“Maaf, Eyang Resi. Sore tadi, desa kami didatangi
oleh Iblis Topeng Mayat. Banyak warga desa kami
yang tewas dibunuh. Mereka menginginkan Narita,
Eyang Resi,” sahut Ki Rungkut.
“Aneh...! Untuk apa perempuan itu mengacau
desamu?”
“Sebelumnya Narita memang tinggal di sana
bersama kakek dan saudara laki-lakinya.”
Resi Wanakara segera mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu betul watak Iblis Topeng Mayat.
Satu orang yang diinginkan, puluhan nyawa bisa
melayang!
“Kalau dalam waktu tiga hari ini kami tidak bisa
menyerahkan Narita, mereka akan membantai habis
penduduk Desa Batang Hulu. Tolonglah kami, Eyang
Resi,” kata Ki Rungkut menghiba.
Resi Wanakara hanya menarik napas panjang. Dia
lalu menatap tiga orang saudaranya. Mereka hanya
bisa saling tatap tanpa mengucapkan satu kata pun.
Sementara Ki Rungkut terus mengamati mereka
dengan sinar mata penuh harap. Bagaimanapun juga,
dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan
seluruh warga desanya.
“Kemarin, Narita memang berada di sini. Tapi dia
sekarang sudah pergi. Hhh..., sebaiknya kalian pulang
saja dulu. Aku berjanji, akan menyelesaikan per-
soalan ini tanpa mengorbankan orang lain,” kata Resi
Wanakara pelan.
“Bagaimana kalau kalian menginap saja dulu.
Tidak baik menempuh perjalanan tengah malam
begini,” sambung Nyai Resi Rara Kitri.
“Besok pagi aku akan menemani kalian ke Desa
Batang Hulu,” kata Resi Jagabaya menyambung.
“Oh, terima kasih.... Terima kasih, Resi,” ucap Ki
Rungkut seraya membungkukkan badannya beberapa
kali.
“Silakan kalian beristirahat, “ kata Resi Wanakara.
Seorang cantrik kemudian mengantarkan enam
orang dari Desa Batang Hulu itu ke tempat istirahat-
nya. Sementara empat orang resi Puri Watu Ukir
masih berada di ruangan besar tempat menerima
tamu. Wajah mereka kelihatan murung, apa yang
telah dikhawatirkan, kini menjadi kenyataan. Iblis
Topeng Mayat sudah memulai aksinya kembali. Dan
hal itu dimulai dengan tewasnya Galadipa. Salah
seorang dari enam bersaudara yang berjuluk Enam
Dewa Keadilan.
Mengingat Desa Batang Hulu jaraknya tidak jauh
dari Puri Watu Ukir, bukannya tidak mustahil kalau
Iblis Topeng Mayat akan menjarah ke tempat itu juga.
Lebih-lebih dengan datangnya Kepala Desa Batang
Hulu itu. Empat orang resi itu sudah bisa menduga,
kalau kejadian di Desa Batang Hulu hanya sekedar
siasat dari Iblis Topeng Mayat.
***
Pagi-pagi sekali, Ki Rungkut dan lima orang
sahabatnya meninggalkan Puri Watu Ukir. Mereka
didampingi oleh Resi Jagabaya. Sedangkan Resi
Wanakara juga meninggalkan puri itu untuk mencari
Narita. Mereka terpaksa kembali lagi ke dalam dunia
luar.
Dunia yang sudah puluhan tahun ditinggalkannya!
Ki Rungkut, Resi Jagabaya dan lima orang lainnya
memacu kudanya dengan cepat menuju Desa Batang
Hulu. Mereka melintasi Hutan Karang Waja. Sebuah
hutan yang tidak begitu lebat, dan banyak terdapat
jalan lintas. Hutan itu memang sering dimasuki oleh
orang-orang yang bertempat tinggal di sekitarnya.
Tujuh orang itu terus memacu kudanya dengan
kencang tanpa berhenti sedikit pun. Sementara itu
matahari semakin naik dengan sinar hangatnya.
“Awas...!” tiba-tiba Resi Jagabaya berseru keras.
Mendadak sebuah benda hitam sepanjang satu
lengan, meluncur deras ke arah rombongan kecil itu.
Resi Jayabaya dan Ki Rungkut yang berada di depan,
langsung melompat dari punggung kudanya. Namun
benda hitam itu terus meluruk demikian deras,
sehingga seorang yang berada di belakang Resi
Jagabaya tidak bisa menghindar lagi.
“Aaa...!” seketika orang itu menjerit keras.
Tubuhnya langsung terpental kena sambar benda
hitam itu. Tampak dadanya tertembus senjata itu.
Empat orang lainnya bergegas melompat turun dari
punggung kudanya.
Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba
dari balik pohon berlompatan empat orang berbaju
hijau, dan mengenakan topeng yang berwarna pucat
bagai mayat. Dan di atas dahan yang tidak begitu
tinggi, berdiri seorang lagi yang juga mengenakan
baju hijau ketat, hingga membentuk tubuhnya yang
ramping.
Trik!
Orang yang berada di atas dahan itu, menjentikkan
jarinya. Saat itu juga, empat orang bertopeng mayat
berlompatan menyerang. Ki Rungkut langsung
mencabut senjatanya, yang berupa sebilah golok
besar dengan salah satu sisinya bergerigi. Sedangkan
lima orang lainnya juga segera mengeluarkan
senjatanya masing-masing.
Kini empat orang tersebut sudah menyerang
dengan cepat dan dahsyat. Mereka sama sekali tidak
menghiraukan Resi Jagabaya, sehingga orang tua
berjubah kuning itu terpaksa hanya jadi penonton.
Resi Jagabaya langsung menggeretakkan rahangnya
begitu melihat dua orang pihaknya sudah terjungkal
tewas dalam waktu sebentar saja.
Empat orang wanita bertopeng pucat bagai mayat
tersebut memang kejam. Mereka tidak pernah
memberi kesempatan pada lawannya untuk
meningkatkan serangan dan pertahanannya. Senjata
tongkat pendek berwarna hitam, terus berkelebatan
cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang
mematikan.
“Berhenti!” bentak Resi Jagabaya, ketika dua
orang lagi terjungkal bersimbah darah.
Seketika pertarungan tersebut berhenti. Ki
Rungkut dan satu orang sahabatnya yang tersisa,
langsung melompat mendekati Resi Jagabaya. Napas
mereka tersengal memburu. Keringat pun bercucuran
deras membasahi seluruh tubuh. Sinar mata mereka
juga menunjukkan kegentaran, menghadapi Iblis
Topeng Mayat yang begitu tinggi tingkat
kepandaiannya.
Kalau saja Resi Jagabaya tidak segera meng-
hentikan, mereka pasti tidak akan bisa meneruskan
pertarungan itu.
“Kau hanya berurusan dengan Enam Dewa
Keadilan, kenapa kau libatkan juga orang-orang yang
tidak tahu apa-apa?” agak tertekan suara Resi
Jagabaya.
“Hi hi hi...! Enam Dewa Keadilan..., sebuah nama
yang cukup indah. Tapi bernyali kecil, pengecut! Dan
hanya dengan cara inilah, aku bisa memancing kalian
keluar dari sarang!” sahut orang yang berada di atas
dahan pohon.
“Kami semua memang sudah berniat meninggal-
kan dunia persilatan!”
“Ha ha ha...!” Orang di atas dahan pohon itu
kembali tergelak. “Sebenarnya aku memang sudah
puas, Karena Galadipa tewas di tanganku sendiri.
Tapi aku sudah terlanjur bersumpah, bahwa kalian
semua harus mati, juga keturunan kalian!”
Setelah berkata demikian, orang yang berada di
atas dahan pohon itu langsung melesat turun. Dan
dengan sekali lompatan saja, dia sudah meluruk ke
arah Resi Jagabaya sambil mencabut senjatanya yang
berupa tongkat pendek sepanjang lengan berwarna
hitam pekat.
“Mampus kau, Jagabaya! Hiyaaa...!”
“Eits!”
Resi Jagabaya segera menarik tubuhnya mundur
seraya memiringkannya sedikit ke kiri. Dan dengan
jcepatan penuh, dia menyampok senjata tongkat
litam itu dengan telapak tangannya.
Wut!
Cepat sekali orang bertopeng pucat bagai mayat
itu memutar senjatanya, dan langsung mengibas ke
arah kepala. Buru-buru Resi Jagabaya merunduk
sedikit, sehingga senjata tongkat itu lewat di atas
kepalanya. Tepat pada saat itu, tangan kanan Resi
Jagabaya langsung menyodok ke arah perut. Sejenak
orang bertopeng mayat itu memekik kaget, lalu buru-
buru dia menarik tubuhnya ke belakang.
Sementara itu, Ki Rungkut dan seorang sahabat-
nya sudah kembali disibukkan dengan serangan-
serangan empat orang yang memakai baju dan
topeng berwarna sama. Kini pertarungan kembali
pecah tanpa dapat dihindarkan lagi. Tampak Ki
Rungkut dan seorang sahabatnya sudah mulai
kewalahan menghadapi empat orang musuhnya.
Sementara Resi Jagabaya masih terus bertarung
sengit melawan satu orang dari Iblis Topeng Mayat.
“Aaa…!”
Tiba-tiba terdengar satu jeritan melengking.
Tampak satu-satunya sahabat Ki Rungkut yang masih
hidup, terjungkal mencium tanah! Dari dadanya
langsung menyembur darah segar. Dan begitu
tubuhnya menggelepar di tanah, satu dari empat
orang bertopeng mayat itu, langsung mengibaskan
senjatanya ke arah leher.
Krak!
“Iblis! Keparat...!” geram Resi Jagabaya yang
sempat melihat kejadian itu.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Resi
Jagabaya segera melompat ke arah empat orang Iblis
Topeng Mayat yang tengah mengeroyok Ki Rungkut.
Dengan cepat tangan dan kakinya bergerak
menghantam punggung empat orang itu. Seketika
pekik tertahan terdengar saling susul. Kini empat
orang yang tengah mengeroyok Ki Rungkut sudah
bergulingan di tanah.
“Hup!”
Buru-buru mereka bangkit kembali. Sedangkan
Resi Jagabaya berdiri tegak dengan sikap melindungi
Ki Rungkut Dia merasa sangat bertanggung jawab
atas keselamatan jiwa Kepala Desa Batang Hulu itu.
“Pramurti! Hentikan kekejamanmu!” bentak Resi
Jagabaya menyebut nama asli Iblis Topeng Mayat.
“Aku akan berhenti kalau kalian semua sudah
musnah!” jawab Pramurti tegas dan lantang.
“Huh! Seharusnya dulu aku tidak membiarkan kau
selamat, perempuan iblis!” gerutu Resi Jagabaya.
“Tidak ada waktu untuk mengenang masa lalu,
Jagabaya! Bersiaplah untuk ke neraka!” bentak
Pramurti sengit
Iblis Topeng Mayat yang di pinggangnya membelit
selendang berwarna kuning keemasan itu, segera
melompat menerjang. Sedangkan empat orang
lainnya kembali menyerang Ki Rungkut. Dalam
keadaan begitu, Resi Jagabaya tidak bisa berbuat
banyak untuk melindungi Kepala Desa Batang Hulu
itu.
Saat pertarungan itu tengah berlangsung sengit,
tiba-tiba terdengar suara siulan panjang bernada
tinggi melengking. Siulan itu bergema seolah-olah
datang dari segala penjuru. Jelaslah kalau suara itu
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang
sangat tinggi, sehingga mampu membuat per-
tarungan itu berhenti seketika.
***
4
Suara siulan itu semakin lama semakin terdengar
menyakitkan. Ki Rungkut segera menutup kedua
telinganya. Juga empat orang Iblis Topeng Mayat,
sedangkan Resi Jagabaya dan Pramurti sudah
mengerahkan tenaga dalam untuk menahan suara
siulan itu. Begitu hebatnya suara itu, sehingga daun-
daun pohon di sekitar Hutan Karang Waja rontok
berguguran.
“Yaaah...!” tiba-tiba Pramurti, atau Iblis Topeng
Mayat berteriak nyaring melengking.
Seketika itu juga suara siulan berhenti. Dan semua
orang yang berada di situ menolehkan kepalanya
begitu mendengar suara senandung kecil berirama
tak jelas. Tampak seorang pemuda tampan berambut
gondrong, tengah duduk bersila di atas sebuah batu
yang cukup besar.
“Bocah sinting! Siapa kau? Berani-beraninya
mengganggu urusanku!” bentak Pramurti sengit.
“Ah, aku cuma menonton. Silakan teruskan,” sahut
pemuda tampan itu kalem.
“Widarti, beri bocah lancang itu pelajaran!”
perintah Pramurti pada anak buahnya.
Langsung saja salah seorang dari empat orang
bertopeng mayat, melompat sambil mengibaskan
tangannya yang memegang senjata tongkat pendek
hitam.
Gerakannya cepat luar biasa, hingga semua orang
yang berada di situ, menahan napas. Mereka
mengira, leher pemuda tampan itu pasti akan putus
terbabat senjata itu. Namun yang terjadi benar-benar
mencengangkan. Hanya dengan mengangkat sedikit
tangannya saja, pemuda itu berhasil menyampok
senjata Widarti, dan langsung menyepak, meng-
hantam pundak wanita bertopeng mayat tersebut.
“Akh!” seketika Widarti memekik tertahan.
Wanita itu langsung terdorong beberapa langkah
ke belakang. Sedangkan pemuda tampan berambut
gondrong itu tetap duduk bersila dengan tenang di
atas batu. Bibirnya yang tipis dan kemerahan,
tersenyum lebar. Namun matanya bersinar tajam,
dengan garis-garis wajah yang menampakkan
kekerasan dan ketegasan dalam hidupnya.
Widarti yang semula menganggap remeh pemuda
tampan itu, langsung berteriak keras seraya melesat
cepat menyerang kembali. Kali ini dia mengerahkan
beberapa kibasan tongkatnya dan tendangan keras
menggeledek. Namun pemuda tampan berambut
gondrong itu hanya menggeser duduknya ke sana
kemari. Diremehkan begitu, tentu saja Widarti jadi
berang.
Tap!
Pada satu kesempatan, tangan kanan pemuda itu
terangkat naik, tepat di saat tongkat Widarti
mengarah kepalanya. Dan dengan manis sekali
pemuda itu berhasil menangkap tongkat Widarti,
sedangkan tangan kirinya menyampok ke arah dada.
“Ih...!” Widarti memekik kaget.
Buru-buru wanita bertopeng itu menarik tubuhnya,
namun tanpa diduga sama sekali, tangan kiri pemuda
itu kembali melayang ke arah muka. Widarti yang
tengah terperanjat, tidak sempat lagi untuk
mengelak. Maka dengan sekali renggut saja, topeng
yang menutup wajah wanita itu terenggut copot.
Pemuda itu segera melepaskan pegangannya pada
ujung tongkat lawannya seraya mendorongnya
dengan kuat.
Kembali Widarti memekik tertahan. Dan tubuhnya
terdorong sejauh tiga batang tombak. Tampak,
wajahnya yang kini tidak tertutup topeng, merah
padam. Namun wajah itu cantik sekali. Iblis Topeng
Mayat lainnya, terperanjat melihat nasib yang diderita
Widarti. Lebih-lebih Pramurti! Dia tidak menyangka
sama sekali kalau muridnya dapat dipermainkan
begitu mudah oleh seorang pemuda tampan yang
selalu tersenyum itu.
“Setan! Kubunuh kau!” geram Widarti seraya
bergerak hendak menyerang lagi.
“Widarti, mundur!” bentak Pramurti cepat.
Widarti langsung diam. Wajahnya yang cantik
masih terlihat merah padam menahan kemarahan.
Sementara di tangan pemuda itu tergenggam
sebentuk topeng berwarna pucat bagai mayat.
Sebentar dia mengamati topeng di tangannya.
Kemudian melirik ke arah Pramurti yang melangkah
menghampirinya.
“Aku tidak pernah punya urusan denganmu, tapi
kau telah mencampuri urusanku, Bocah. Kau tahu,
apa akibatnya?” dingin dan datar suara Pramurti.
“Ancaman...,” gumam pemuda berambut gondrong
itu. “Bosan aku mendengar ancaman kosong!”
Kalau saja wajah Pramurti tidak tertutup topeng,
mungkin sudah berwarna merah menahan geram
mendengar kata-kata pemuda itu. Dan pelampiasan-
nya, Pramurti tidak berkata-kata lagi. Dia langsung
bergerak cepat menggeser kakinya ke depan, seraya
mengirimkan serangan beruntun.
Dalam beberapa serangan, pemuda tampan itu
masih bisa menandingi dengan posisi duduk bersila.
Namun pada serangan-serangan berikutnya, dia
harus berlompatan bangun untuk menghindarinya.
Serangan-serangan Pramurti begitu dahsyat, dan
selalu mengarah pada tubuh-tubuh yang mematikan.
Dan pemuda itu juga merasakan, kalau serangan-
serangan lawannya kali ini lebih dahsyat dari yang
semula.
Pramurti tampak semakin geram. Sudah dua puluh
jurus berlalu dengan cepat, namun belum sedikit pun
dia berhasil mengangsurkan pukulannya dengan
telak ke tubuh pemuda itu. Bahkan pada satu
kesempatan, sepakan kaki pemuda itu berhasil
mendarat di punggungnya. Tentu saja Pramurti meng-
geram dahsyat Dia langsung mencabut senjatanya
yang berupa tongkat pendek hitam yang tadi sempat
dia selipkan di pinggangnya. Kini dengan senjata di
tangan, Iblis Topeng Mayat itu semakin dahsyat
menyerang lawannya.
Namun pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
memang luar biasa tangguhnya. Gerakan-gerakan
tubuhnya demikian lentur bagai karet. Dan kakinya
lincah berlompatan, atau menggeser mengimbangi
gerak Iblis Topeng Mayat. Tring!
Seketika Pramurti tersentak ketika ujung senjata-
nya beradu dengan pergelangan tangan kanan lawan-
nya. Dia segera menarik kembali senjatanya. Jari-jari
tangannya mendadak terasa kaku dan bergetar
kesemutan. Dia tadi mengira kalau tangan pemuda
itu akan putus terpenggal, namun kenyataannya
benar-benar di luar dugaan! Sejenak Pramurti
melompat mundur tiga langkah, kemudian dilebarkan
matanya melihat lempengan bundar bersegi enam
keperakan yang menempel di pergelangan tangan
kanan pemuda itu.
“Siapa kau?” bentak Pramurti keras. Namun
pemuda berbaju kulit harimau itu hanya tersenyum
sinis.
***
Resi Jagabaya yang sejak tadi memperhatikan
jalannya pertarungan itu, juga dibuat bingung. Dia
benar-benar tidak menduga sebelumnya, kalau
pemuda tampan yang kelihatan tidak memiliki apa
apa itu, mampu membuat Iblis Topeng Mayat
kewalahan. Sementara Ki Rungkut mulai tumbuh
kembali harapan dan semangatnya, melihat kedig-
dayaan pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku. Aku datang hanya
untuk menyaksikan kekejaman. Aku suka dengan
segala tindakan kejam dan berbau darah,” kata
pemuda tampan berbaju kulit harimau itu dingin dan
datar. Kata-katanya menyiratkan, betapa kejamnya
dia. Seakan-akan melihat sebuah pertarungan yang
mengancam nyawa, merupakan tontonan menarik
dan menghibur hati.
“Kau terlalu besar kepala, Bocah! Jangan
menyesal kalau kau harus mati di tanganku!” desis
Iblis Topeng Mayat.
“O..., mungkin darahmu yang akan menyiram
bumi,” sahut pemuda itu kalem.
“Setan keparat! Tahan seranganku, hiyaaa...!”
Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat langsung
menyerang kembali. Kali ini serangannya berlipat
ganda. Semakin cepat dan dahsyat. Dia juga segera
membagi tongkatnya menjadi dua, pada ujungnya-
ujungnya terdapat sebilah mata pisau yang sangat
tipis dan tajam. Suara angin terdengar menderu-deru,
akibat kibasan dua senjata yang berada di tangan
kanan dan kirinya. Sementara pemuda berbaju kulit
harimau itu masih melayaninya dengan tangan
kosong.
Lempengan logam bersegi enam di pergelangan
tangannya, digunakan untuk menangkis serangan-
serangan yang tidak mungkin lagi dielakkan.
Beberapa kali Pramurti harus menarik mundur
senjatanya begitu beradu dengan pergelangan tangan
pemuda itu. Dalam hati, dia sudah bisa mengukur
tingkat kepandaian lawannya.
Menyadari hal itu, Iblis Topeng Mayat segera
melompat mundur, dan menghentikan serangannya.
Dia kemudian menyatukan kembali senjata tongkat-
nya. Nampak butir-butir keringat merembes keluar
dari lehernya. Sedangkan bola matanya yang cekung
dan dalam hampir tertutup topeng, nampak berkilat
merah menyimpan sejuta perasaan.
“Anak muda, urusan kita belum selesai sampai di
sini! Aku masih ada urusan lain yang lebih penting!”
kata Pramurti.
Setelah berkata begitu, Iblis Topeng Mayat itu
melesat pergi, diikuti oleh empat orang muridnya.
Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu sempat
melemparkan topeng yang berhasil dirampasnya, ke
arah Widarti. Wanita itu langsung menangkapnya
seraya melesat pergi mengikuti gurunya.
Resi Jagabaya dan Ki Rungkut segera meng-
hampiri pemuda itu, setelah lima orang berbaju hijau
dan bertopeng pucat bagai mayat itu lenyap dari
pandangan. Sesaat mereka hanya berdiri saling
berhadapan tanpa berkata-kata.
“Anak muda, bukannya aku tidak berterima kasih
padamu. Tapi campur tanganmu membuat susah
dirimu sendiri. Kau tidak tahu siapa mereka itu,” kata
Resi Jagabaya, seraya menatap langsung ke bola
mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
“Siapa mereka?” tanya pemuda itu kalem.
“Iblis Topeng Mayat. Mereka sangat kejam, mem-
bunuh siapa saja yang menjadi penghalang dan
dianggap musuh,” sahut Resi Jagabaya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu diam. Kemudian
pelahan-lahan kakinya terayun. Dari bibirnya ter-
dengar gumaman alunan berirama tidak jelas.
“Kisanak, tunggu!” cegah Ki Rungkut.
Pemuda itu segera menghentikan langkahnya, dia
menolehkan kepalanya sedikit tanpa berbalik.
“Kalau aku boleh tahu, siapa nama Kisanak?”
tanya Ki Rungkut.
“Pendekar Pulau Neraka.”
***
Ki Rungkut tertegun beberapa saat lamanya.
Matanya tidak berkedip memandangi punggung
pemuda berbaju kulit harimau yang terus melangkah.
Dia baru menoleh ketika pundaknya ditepuk dari
belakang. Sementara Pendekar Pulau Neraka sudah
lenyap di balik pepohonan Hutan Karang Waja itu.
“Mari kita lanjutkan perjalanan, Ki,” ajak Resi
Jagabaya.
Ki Rungkut hanya mendesah panjang.
“Terpaksa kita harus berjalan kaki.”
“Ya, semua kuda telah lari ketakutan,” desah Ki
Rungkut.
Kedua laki-laki tua itu kemudian segera
melangkah meninggalkan tempat itu. Ki Rungkut
sempat memandang kepada lima orang sahabatnya
yang tewas tergeletak. Hatinya begitu sedih melihat
kesetiaan sahabatnya, hingga berkorban nyawa
hanya untuk membela kepentingannya.
Ki Rungkut terus berjalan dengan kepala berputar.
Benaknya masih dipenuhi dengan nama Pendekar
Pulau Neraka. Sepertinya dia pernah mendengar
nama itu. Tapi di mana dan kapan?
“Ada yang mengganggu pikiranmu, Ki Rungkut?”
tanya Resi Jagabaya.
“Ya,” desah Ki Rungkut pelan.
“Katakan, mungkin aku bisa membantu,” pinta
Resi Jagabaya.
Ki Rungkut hanya diam.
“Kau sedih dengan kematian lima orang sahabat-
mu?” tebak Resi Jagabaya.
“Salah satunya.”
“Mencemaskan keadaan desamu?”
“Juga itu.”
“Aku bisa memahami perasaanmu, aku berjanji
akan menyelesaikan semua ini tanpa menambah
korban lagi dari warga desamu,” kata Resi Jagabaya
bernada menghibur.
Ki Rungkut kembali diam.
“Memang sukar untuk menghadapi Iblis Topeng
Mayat dan keempat muridnya...,” sambung Resi
Jagabaya.
Laki-laki tua berjubah kuning itu jadi berkerut
keningnya melihat Ki Rungkut tetap diam dengan
kepala tertunduk. Dia menduga kalau Ki Rungkut
tengah memikirkan sesuatu. Tampaknya bukan
masalah kematian lima orang sahabat, atau keadaan
desanya yang terancam.
“Hm..., kau masih juga memikirkan sesuatu.
Katakan, apa yang kau pikirkan, Ki Rungkut,” desak
Resi Jagabaya.
“Pemuda itu,” sahut Ki Rungkut seraya
mengangkat kepalanya.
“Pendekar Pulau Neraka?”
'Ya.”
“Ada apa dengan Pendekar Pulau Neraka?” tanya
Resi Jagabaya.
“Aku seperti pernah mendengar namanya, tapi...,”
Ki Rungkut tidak melanjutkan. Dia seperti ragu-ragu.
“Pendekar Pulau Neraka memang sudah terkenal
namanya. Dia seorang pendekar digdaya yang sukar
dicari tandingannya saat ini. Aku pun tadinya tidak
menduga kalau pemuda itu ternyata pendekar
digdaya yang kondang,” kata Resi Jagabaya.
“Resi tahu...?!” Ki Rungkut agak terkejut.
“Aku selalu mengikuti perkembangan rimba
persilatan. Meskipun aku belum pernah bertemu
sebelumnya, tapi aku sering mendengar tentang
sepak terjangnya di dalam rimba persilatan. Aku
sendiri tidak tahu, apakah Pendekar Pulau Neraka
bisa dikatakan bergolongan putih atau hitam.
Tampaknya dia tidak pernah membedakan golongan
di kalangan rimba persilatan. Baginya lawan harus
ditantang, dan kawan harus dilindungi. Tidak peduli
apakah itu dari golongan putih atau hitam,” Resi
Jagabaya menjelaskan.
Ki Rungkut diam saja. Sedikit demi sedikit
ingatannya kembali terang. Desa Batang Hulu
memang sering kedatangan para pengembara dari
kalangan persilatan. Dan dari mereka banyak
didengar tentang keadaan rimba persilatan yang tidak
pernah menentu keadaannya.
“Aku sedang berpikir untuk meminta bantuan
padanya,” kata Ki Rungkut pelan dan agak ragu-ragu.
“Tidak mudah, Ki. Pendekar Pulau Neraka tidak
pernah mengurusi persoalan orang lain,” kata Resi
Jagabaya.
Kembali Ki Rungkut terdiam. Dia terus berjalan
tanpa berkata-kata lagi. Sedangkan Resi Jagabaya
mulai berpikir dengan kata-kata yang barusan
terucapkan dari mulut Kepala Desa Batang Hulu itu.
***
Saat itu matahari sudah berada di balik
peraduannya, ketika Resi Jagabaya dan Ki Rungkut
tiba di Desa Batang Hulu. Suasana di desa itu tampak
sunyi senyap. Munculnya Iblis Topeng Mayat di desa
itu telah membuat seluruh penduduknya tidak berani
keluar rumah. Keganasan perempuan iblis bertopeng
pucat bagai mayat itu sudah menyebar dengan cepat
sampai ke pelosok.
Kedatangan Resi Jagabaya dan Ki Rungkut
tersebut segera disambut oleh Paksi, putra tunggal
Kepala Desa Batang Hulu itu. Pemuda yang baru saja
melangsungkan pernikahannya, tampak lusuh seperti
baru saja bertarung. Bajunya kotor berdebu, dan di
sudut bibirnya masih terlihat setetes darah kering.
Tentu saja Ki Rungkut terheran-heran melihat
keadaan anaknya.
“Paksi, kenapa keadaanmu kotor begitu?” tanya Ki
Rungkut bernada cemas.
“Ketiwasan, Ayah. Mereka datang ke sini
semalam,” sahut Paksi lesu.
Kedua laki-laki tersebut langsung tersentak.
“Apa yang terjadi?” tanya Resi Jagabaya.
“Mereka mengamuk, setelah tahu kalau Ayah pergi
ke Puri Watu Ukir. Mereka menyangka kalau Ayah
meminta bantuan ke sana. Hampir semua orang-
orang kita tewas, dan beberapa penduduk juga jadi
korban...,” suara Paksi semakin melemah. Matanya
tampak merembang berkaca-kaca.
“Ada apa, Paksi?” tanya Ki Rungkut, tidak bisa
menyembunyikan kecemasan.
“Sariti...,” semakin lemah suara pemuda itu.
“Ada apa dengan Sariti?” desak Ki Rungkut.
“Dia..., dia tewas semalam,” suara Paksi hampir
tidak terdengar.
“Astaga...!” Ki Rungkut terkejut.
“Aku sudah berusaha untuk menyelamatkannya,
tapi mereka terlalu tangguh. Aku sendiri hampir saja
tewas, kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda
yang sangat tangguh. Dia lalu membawaku pergi ke
luar desa,” lanjut Paksi.
“Siapa pemuda itu?” tanya Resi Jaga baya.
“Aku tidak sempat bertanya. Dia langsung pergi
begitu saja.”
Resi Jagabaya dan Ki Rungkut saling melempar
pandang. Mereka seperti berada dalam satu pikiran
sesudah mendengar cerita Paksi. Sementara suasana
di rumah kepala desa itu sudah sunyi senyap. Darah
yang telah mengering masih terlihat di beberapa
tempat. Dalam hati, Ki Rungkut merasa bangga,
karena anaknya mampu bergerak cepat mengatasi
keadaan.
“Bagaimana ciri-ciri pemuda itu?” tanya Resi
Jagabaya.
“Keadaan waktu itu terlalu gelap, dan kejadiannya
juga begitu cepat. Tapi aku sempat melihat kalau dia
memakai baju dari kulit harimau,” sahut Paksi.
“Tidak salah!” desis Resi Jagabaya.
Paksi segera memandangi laki-laki tua berjubah
kuning itu. Sinar matanya memancarkan ketidak-
mengertian, tapi belum sempat dia bertanya, Resi
Jagabaya sudah melangkah pergi, diikuti oleh Ki
Rungkut. Kedua laki-laki itu berjalan ke dalam rumah.
Sementara Paksi tetap berdiri di beranda depan.
“Hhh..., seharusnya aku mengatakan yang
sebenarnya tentang Sariti,” desah Paksi bergumam.
“Tapi aku tidak mau dikatakan pengecut! Bagai-
manapun juga, aku harus membebaskan Sariti!”
Sejenak pemuda itu menarik napas panjang, lalu
melangkah memutari rumah besar itu menuju bagian
samping. Tampak beberapa orang tengah duduk
bersandar dengan wajah lesu dan tubuh lusuh.
Mereka hanya menoleh sedikit pada putra kepala
desa itu. Paksi menghampiri dan menghenyakkan
tubuhnya begitu saja di tanah yang berlapis rumput
tebal. Sebuah pohon rindang menaunginya dari
sengatan sinar matahari.
“Ayah sudah datang bersama Resi Jagabaya,” kata
Paksi memberitahu.
Mereka yang berjumlah sekitar dua puluh orang
itu, langsung menggerinjang hendak bangkit.
“Eh, tunggu...! Ayah tidak mau diganggu,” cegah
Paksi.
Mereka kembali duduk bersandar pada dinding.
“Aku minta pada kalian, kalau Ayah atau Resi
Jagabaya bertanya tentang Sariti, kalian harus
menjawab Sariti tewas,” kata Paksi pelan.
“Den...,” salah seorang mau membantah.
“Sudah, bilang saja begitu. Kalian sudah
menguburkan semua yang tewas kan?”
Dua puluh orang itu mengangguk serempak.
“Nah! Kalau Ayah menanyakan kuburannya,
tunjukkan saja yang paling sebelah kiri. Aku tidak
mau Ayah tahu tentang keadaan Sariti yang
sebenarnya. Kalian paham?”
“Mengerti, Den,” sahut mereka lagi hampir
serempak.
“Sekarang istirahatlah dulu. Besok pagi aku akan
membutuhkan beberapa di antara kalian untuk
membebaskan Sariti dari tangan mereka,” kata Paksi
lagi.
Setelah berkata begitu, putra kepala desa itu
beranjak bangun dari duduknya, lalu melangkah ke
beranda depan. Sementara kedua puluh orang
tersebut tetap beristirahat di samping rumah.
***
5
Pagi baru saja datang menjelang. Cahaya matahari
menabur lembut membangunkan seluruh isi
mayapada mi. Sinarnya yang memerah Jingga,
menyembul menyemburat indah di balik Bukit Bojong.
Kabut mulai berpencar tersentuh hangatnya sinar
sang surya. Kicau burung bernyanyi riang
menyongsong datangnya fajar.
Di Puncak Bukit Bojong yang masih berselimut
Kabut, seorang gadis berbaju merah menyala ketat,
berdiri tegak memandangi setumpuk abu dari kayu-
kayu yang terbakar. Angin yang berhembus agak
kencang menebarkan abu itu ke segala arah.
Wajahnya yang terbalut kulit putih, tampak murung.
Sepasang bola matanya yang bulat indah, terlihat
berkaca-kaca.
Entah sudah berapa lama gadis itu berdiri di situ.
Sama sekali dia tidak menghiraukan kicauan burung,
dan hangatnya sinar matahari pagi. Setitik air bening
menggulir dari sudut matanya. Tapi buru-buru dia
menghapus dengan punggung tangannya. Gadis itu
seperti tidak ingin kelihatan menangis. Dia berusaha
tegar, meskipun dadanya bergemuruh, bergolak ingin
memberontak.
Sejenak gadis itu mengangkat kepalanya, dan
memiringkannya ke kiri. Telinganya yang tajam, dapat
mendengar suara halus langkah kaki seseorang.
Belum lagi dia sempat mengetahui persis, tiba-tiba di
sekelilingnya sudah berlompatan empat orang
berpakaian hijau ketat, dan mengenakan topeng
pucat bagai mayat. Gadis itu memutar tubuhnya, dan
saat matanya menatap ke arah sebuah dahan,
tampak seorang lagi berdiri di sana dengan
angkuhnya.
“Ke mana pun kau pergi, tidak akan lepas dari
tanganku, Narita!” dingin kata-kata orang bertopeng
mayat, yang berdiri di atas dahan pohon.
“Aku memang tengah mencarimu, iblis!” balas
Narita tidak kalah dinginnya.
“Ha ha ha...!” Iblis Topeng Mayat terbahak-bahak.
Tenggorokannya serasa tergelitik mendengar kata-
kata gadis berbaju merah itu.
“Kau berhutang nyawa padaku! Hari ini juga aku
akan menagih nyawamu!” dengus Narita geram.
“Jangan terlalu bermimpi besar, Narita. Gurumu
saja tidak sanggup menandingiku, apalagi kau?
Bocah baru kemarin sore! Ha ha ha...!”
Narita menggeretakkan gerahamnya dengan
perasaan geram. Dia memang menyadari, kalau
dirinya bukanlah tandingan Iblis Topeng Mayat.
Melawan empat orang muridnya saja, belum tentu
mampu.
Tapi gadis itu sudah tidak peduli lagi. Kematian
dua orang yang sangat dicintainya, membuatnya
nekad! Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi,
Narita segera meloloskan sabuknya yang berwarna
keperakan. Dan dengan satu kebutan keras, sabuk
itu berubah kaku bagai pedang tipis yang kelihatan
lentur. Sementara empat orang berbaju hijau dan
bertopeng pucat bagai mayat, juga segera mencabut
senjatanya yang berupa tongkat pendek berwarna
hitam pekat.
“Majulah kalian!” bentak Narita keras.
“Hup!”
Iblis Topeng Mayat yang nama aslinya Pramurti,
melompat turun dari dahan pohon. Lalu dengan
manis sekali kakinya mendarat di depan Narita. Kini
jarak mereka hanya sekitar dua batang tombak.
Narita segera menyilangkan sabuknya yang sudah
menegang kaku di depan dada. Matanya menatap
langsung ke bola mata yang tersembunyi di balik
topeng pucat bagai mayat itu.
“Hup! Hiyaaa...!”
Narita langsung melompat menerjang seraya
mengibaskan senjatanya dengan cepat ke arah leher
Iblis Topeng Mayat. Serangan yang cepat dan
bertenaga penuh itu, hanya dilayani Pramurti dengan
mengegoskan kepala sedikit saja. Hingga serangan
Narita lewat beberapa helai rambut di depan leher
Iblis Topeng Mayat. Dan pada saat itu, tangan kiri
wanita bertopeng itu bergerak ke depan.
“Ugh!”
Seketika Narita mengeluh pendek, dan tubuhnya
terdorong beberapa langkah ke belakang. Dadanya
mendadak tersa sesak. Namun gadis itu segera
melompat kembali. Dia mengibaskan senjatanya
beberapa kali dengan cepat ke arah bagian tubuh
lawan yang mematikan. Sedangkan Pramurti
langsung berkelit meliuk-liukkan tubuhnya, meng-
hindari tebasan senjata gadis berbaju merah itu.
Pertarungan memang berjalan tidak seimbang.
Jelas sudah kalau Narita masih berada jauh di bawah
tingkat kepandaian Iblis Topeng Mayat. Serangan-
serangan gadis itu lewat tanpa membawa hasil yang
memuaskan. Bahkan baru beberapa jurus saja,
sudah beberapa kali Narita terjungkal mencium
tanah. Tapi gadis itu tampaknya tidak mau menyerah
begitu saja. Dia terus saja menyerang dengan
dahsyat.
“Hup!”
Sejenak Iblis Topeng Mayat melompat mundur.
Kemudian jari tangannya bergerak menjentik, mem-
perdengarkan suara bagai ranting patah. Saat itu juga
empat orang muridnya segera melompat mengurung
Narita.
“Kau bukan lawanku, Narita. Jika kau berhasil
merobohkan salah satu dari muridku, kau akan bebas
hidup dan aku akan melupakanmu,” kata Iblis Topeng
Mayat.
“Huh!” Narita mendengus kesal.
“Beri bocah itu pelajaran, anak-anak!” seru Iblis
Topeng Mayat.
Langsung saja empat orang wanita berbaju hijau
dan bertopeng pucat bagai mayat itu berlompatan
menyerang Narita. Sedangkan gadis berbaju merah
itu mengamuk bagai singa betina kehilangan
anaknya. Senjatanya berkelebatan cepat ke arah para
penyerangnya. Kadang-kadang senjata keperakan itu
meregang kaku bagai pedang, namun di lain saat
berubah lemas bagai cambuk.
Senjata yang dipegang Narita rupanya berhasil
membuat empat orang bertopeng pucat itu gentar.
Beberapa kali mereka berbenturan senjata, namun
mereka merasakan seperti membentur benda lunak
yang dapat memantulkan tenaga dengan keras. Dan
Narita memang sudah mengeluarkan jurus-jurus
andalannya. Dia tidak mau tanggung-tanggung lagi
dalam menghadapi lawannya kali ini.
***
Narita yang sudah pernah bentrok dengan empat
orang bertopeng pucat bagai mayat itu, benar-benar
nekad. Dia langsung mengeluarkan jurus-jurus
andalannya! Hal itu sangat jelas, karena empat orang
lawannya kelihatan sulit untuk mematahkan
serangan-serangan gadis berbaju merah itu.
Namun setelah melewati lebih dari dua puluh
jurus, tampak keadaan mulai bisa dilihat. Gerakan-
gerakan Narita tidak lagi sedahsyat semula.
Tenaganya sudah terkuras banyak, dan dia mulai sulit
mengontrol diri. Sementara empat orang lawannya
segera memanfaatkan keadaan tersebut. Mereka
langsung meningkatkan tekanan dan serangannya.
Beberapa kali Narita harus berkelit menghindari
serangan lawan-lawannya. Bahkan tidak jarang dia
harus memekik, terkena pukulan atau tendangan
yang keras.
“Akh!” tiba-tiba Narita memekik tertahan.
Salah seorang lawannya berhasil merobek pundak
kiri gadis itu. Darah langsung keluar dengan deras.
Tampak Narita melangkah mundur dengan ter-
huyung-huyung. Sedangkan jari-jari tangannya ber-
gerak cepat menotok di sekitar lukanya. Sebentar
saja darah sudah berhenti keluar. Namun bibirnya
masih berkerut mendesis, menahan marah yang
memuncak.
Saat itu satu orang yang berada di depan, men-
dadak berteriak keras sambil melompat dan
mengibaskan tongkat hitamnya. Buru-buru Narita
merunduk menghindari serangan itu. Tapi selagi
Narita merunduk, seorang lagi dari arah samping
kirinya, segera melepaskan pukulan yang dahsyat
“Uts!”
Cepat-cepat Narita menarik tubuhnya ke belakang
seraya menangkis pukulan itu dengan tangan kiri.
Dan belum lagi gadis itu bisa menguasai diri, satu
serangan lagi datang dengan cepat. Kali ini sebuah
kaki melayang ke arah dada. Narita yang sudah
diserang beberapa kali dari berbagai jurusan, tidak
mampu lagi berkelit. Tendangan geledek itu tepat
menghantam dadanya.
“Akh...!” lagi-lagi Narita memekik keras.
Tubuh gadis itu langsung terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak. Pada saat itu, salah
seorang yang berada di belakangnya, menerimanya
dengan melepaskan pukulan keras ke arah
punggung. Seketika Narita tersuruk jatuh mencium
tanah. Dan belum lagi gadis itu sempat bangkit, satu
batang tongkat melunak deras ke arahnya! Kini Narita
benar-benar pasrah. Dia hanya dapat memejamkan
mata, tak mampu lagi untuk berkelit.
Tapi pada saat ujung tongkat itu hampir
menembus dadanya, secercah cahaya keperakan
melesat dan mengarah tongkat itu. Buru-buru orang
yang memegang tongkat hitam itu menariknya
dengan cepat, sehingga cahaya keperakan itu lewat
di bawah ujung tongkatnya. Sedangkan Narita yang
sudah menunggu saat ajalnya, jadi terkejut begitu
membuka matanya. Tampak seorang pemuda
tampan telah berdiri di sampingnya. Maka dengan
sisa-sisa tenaganya, gadis itu berusaha bangkit.
Pemuda itu berdiri tegak, dengan kedua tangan
yang melipat di depan dada. Matanya tajam menatap
pada lima orang berpakaian hijau dengan wajah
tertutup topeng pucat bagai mayat. Pemuda itu
mengenakan baju dari kulit harimau. Di pergelangan
tangan kanannya, menempel sebuah benda bulat
pipih bersegi enam yang melengkung, dan berwarna
keperakan.
“Huh! Kalian benar-benar manusia binatang!
Mengeroyok seorang gadis yang tidak berdaya!”
dengus pemuda itu dingin.
“Bocah setan! Kau terlalu usil, selalu mencampuri
urusanku!” bentak Pramurti atau Iblis Topeng Mayat
yang segera mengenali pemuda tersebut.
“Aku tidak akan ikut campur, jika kalian mau
bertarung secara ksatria!” sahut pemuda itu tegas.
“Apa pedulimu?!” bentak Pramurti sengit.
Pemuda itu tidak menanggapi, kemudian dia
menoleh kepada Narita yang sudah bisa berdiri di
sampingnya. Sedikit dia melemparkan senyumnya.
Lalu pandangannya beralih pada wanita berbaju hijau
di depannya. Sedangkan empat orang lainnya sudah
berdiri di belakang Pramurti.
“Narita! Kali ini kau bisa bernapas kembali, tapi
kau tidak akan lepas dari pengawasanku!” kata
Pramurti tajam. “Dan kau, bocah usil! Perbuatanmu
harus kau tebus dengan mahal!”
Setelah memberikan ancaman demikian, Iblis
Topeng Mayat langsung melesat pergi diikuti oleh
empat orang lainnya. Sementara pemuda berbaju
kulit harimau itu hanya bisa memandangi.
“Huh! Ancaman orang pengecut!” dengus pemuda
itu.
***
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
kemudian berbalik dan memandang Narita. Sedang-
kan gadis itu malah memalingkan mukanya, dan
menatap pada gundukan abu yang mulai menipis
terhempas angin. Pelahan-lahan kakinya terayun
mendekati abu pembakaran itu, dan berdiri di
dekatnya dengan mata tidak berkedip. Sementara
pemuda itu masih berdiri di tempatnya sambil mem-
perhatikan.
“Maaf, kalau kehadiranku ini membuatmu tidak
senang,” kata pemuda tampan itu pelan.
Narita segera berbalik dan menatap pada pemuda
yang berada dua batang tombak di depannya. Bola
matanya berputar, seolah-olah dia tengah menyelidik.
Rasanya belum pernah dia melihat pemuda tampan
berambut gondrong, dan berbaju dari kulit harimau
itu. Tapi kalau melihat Iblis Topeng Mayat seakan-
akan segan bentrok dengannya, pastilah tingkat
kepandaiannya sudah sangat tinggi.
“Jika kau memang tidak suka, sebaiknya aku
pergi,” kata pemuda itu seraya berbalik
“Tunggu dulu!” cegah Narita sambil melangkah
menghampiri.
Pemuda itu kembali membalikkan tubuhnya. Kini
jarak mereka begitu dekat. Sesaat mereka saling
pandang, lalu Narita melangkah menjauh, dia duduk
di batang pohon yang tumbang. Sedangkan pemuda
itu segera menghampiri dan duduk bersandar di
bawah pohon yang tidak jauh dari tempat Narita
duduk. Beberapa saat kemudian mereka masih
belum membuka percakapan.
“Siapa kau? Kenapa mau bersusah-payah me-
nolongku?” tanya Narita, datar suaranya.
“Namaku Bayu Hanggara, tapi biasa dipanggil
Pendekar Pulau Neraka,” sahut pemuda itu kalem.
“Aku menolongmu karena kebetulan lewat, dan
melihat kau seperti membutuhkan pertolongan.”
“Terima kasih, tapi aku tidak perlu kau tolong.
Lebih baik aku mati, daripada tidak bisa membalas
kematian Guru yang juga kakekku. Mereka juga telah
membunuh saudaraku satu-satunya,” pelan suara
Narita.
“Siapa yang membunuh mereka?” tanya Bayu.
“Iblis Topeng Mayat. Mereka memang sudah lama
menjadi musuh keluargaku. Mereka tidak akan puas
kalau belum membunuhku,” sahut Narita menjelas-
kan dengan singkat.
“Apakah kau dari Desa Batang Hulu?” tanya Bayu
lagi.
Narita tidak langsung menjawab. Dia lalu menoleh
dan menatap pemuda itu dengan tajam. Kemudian
pelahan-lahan kepalanya terangguk.
“Dari mana kau tahu aku berasal dari Desa Batang
Hulu?” tanya Narita bernada heran.
“Hanya kebetulan saja. Kemarin malam aku juga
menyaksikan pembantaian di sana, dan aku berhasil
menyelamatkan seseorang yang tampaknya mem-
punyai pengaruh di sana. Lalu paginya lagi aku
bentrok dengan mereka, karena berusaha menye-
lamatkan beberapa orang yang baru keluar dari
sebuah tempat seperti benteng. Dan sekarang aku
bertemu denganmu yang juga bentrok dengan
mereka. Aku hanya menduga, kalau semua peristiwa
itu saling berkaitan. Benar begitu?”
“Mungkin,” desah Narita pelan.
Sebenarnya gadis itu agak terkejut juga men-
dengar penuturan Bayu. Tapi dia bisa menyem-
bunyikan rasa terkejutnya dengan cepat. Hatinya kini
mendadak jadi gelisah. Dia sadar kalau semua yang
dilakukan kakeknya akan berakibat luas! Kakeknya,
Eyang Galadipa atau Pendekar Welut Putih sudah
bercerita banyak tentang Iblis Topeng Mayat dan
segala persoalan yang ada.
Dan semua yang telah terjadi itu, sebelumnya
memang sudah menjadi bahan pemikiran Eyang
Galadipa. Dan Narita merasa bahwa semua itu
sekarang menjadi tanggung jawabnya. Pelahan dia
menarik napas dalam-dalam, dan menghembus-
kannya dengan kuat. Dadanya terasa sesak,
menyadari persoalan yang dihadapinya semakin pelik
dan meluas.
“Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur dalam
urusan ini. Tapi melihat begitu banyak orang-orang
yang terancam jiwanya, aku....”
“Kau sudah ikut terlibat!” potong Narita cepat.
Bayu langsung menatap gadis itu dengan tajam.
“Iblis Topeng Mayat tidak akan pernah melepaskan
orang yang sudah pernah berurusan dengannya!”
kata Narita lagi.
“Oh, begitu? Lalu kenapa kau sampai bisa bentrok
dengan mereka?”
“Ceritanya panjang, dan kalau ingin lebih jelas,
datang saja ke Puri Watu Ukir,” sahut Narita.
“Di mana itu?”
“Cari saja sendiri. Orang yang kau tolong kemarin
berasal dari sana.”
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bisa
menebak kalau semua peristiwa itu pasti saling
berkaitan dan menyangkut banyak orang. Bayu
merasakan, kalau Pendekar Pulau Neraka bakal
bertualang kembali dan tangannya akan berlumuran
darah lagi. Untuk kesekian kalinya dia terpaksa
mencampuri urusan orang lain, yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan tujuan pengembaraannya.
***
Saat itu di Puri Watu Ukir, suasananya tidak seperti
biasa. Mayat-mayat tampak bergelimpangan di mana-
mana. Sedangkan di beberapa tempat, masih
terdengar suara pertempuran. Hampir seluruh
bangunan di tempat itu porak poranda bagai baru
saja terjadi badai yang amat dahsyat! Di dalam
sebuah ruangan yang sangat luas, Resi Danuraga
tengah bertarung melawan Iblis Topeng Mayat.
Pertarungan itu sudah mencapai pada tahap yang
sangat tinggi. Mereka sama sama telah mengeluar-
kan jurus-jurus andalan masing-masing. Namun pada
jurus-jurus akhir, tampaklah kalau Resi Danuraga
terdesak terus.
“Mampus kau, Danuraga!” bentak Iblis Topeng
Mayat.
Saat itu juga dia mengayunkan senjatanya ke arah
dada Resi Danuraga. Namun dengan cepat laki-laki
tua berjubah kelabu itu mengegoskan tubuhnya ke
samping, menghindari tusukan tongkat pendek
berwarna hitam pekat itu. Namun tanpa diduga sama
sekali, Iblis Topeng Mayat memutar arah senjatanya
dengan cepat dan tiba-tiba.
Resi Danuraga terperangah sejenak. Buru-buru dia
melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Tapi
Iblis Topeng Mayat terus mencecarnya dengan
mengecutkan senjatanya beberapa kali. Terpaksa
Resi Danuraga kembali bersalto ke belakang meng-
hindari serangan yang beruntun itu. Dan pada
lompatan yang kesekian kalinya, sebilah kakinya
berhasil mendupak tangan Iblis Topeng Mayat.
“Akh!” Iblis Topeng Mayat memekik tertahan.
Dan begitu Resi Danuraga berdiri tegak, dengan
cepat Iblis Topeng Mayat mengebutkan senjatanya ke
depan. Sungguh di luar dugaan sama sekali, senjata
itu terlepas pada bagian tengahnya, dan meluruk
deras ke arah Resi Danuraga. Buru-buru laki laki tua
berjubah kelabu itu memiringkan tubuhnya. Dan
lontaran senjata itu lewat sedikit di sampingnya.
Tepat pada saat itu, kembali Iblis Topeng Mayat
melompat bagaikan kilat, seraya melemparkan
potongan senjatanya ke arah dada. Sedangkan Resi
Danuraga yang tengah berkelit menghindari lontaran
potongan senjata yang pertama, tidak bisa lagi meng-
hindar dengan cepat.
“Aaakh...!” seketika Resi Danuraga memekik
keras.
Ujung tongkat hitam Iblis Topeng Mayat tersebut
berhasil menembus dadanya. Dan begitu dia menarik
senjata itu, darah langsung muncrat keluar!
Sementara perempuan berbaju hijau yang
mengenakan topeng pucat bagai mayat itu,
melayangkan kakinya dengan keras ke arah perut.
Buk! Resi Danuraga kontan terbungkuk, dan tongkat
pendek dengan ujungnya terdapat pisau tipis itu
berkelebat cepat ke arah leher.
Seketika tubuh Resi Danuraga ambruk! Iblis
Topeng Mayat kemudian mencabut potongan
senjatanya yang menancap di dinding, dan
menyatukannya kembali dengan yang dia pegang.
Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, wanita
berbaju hijau itu langsung melompat ke luar.
“Hiya...!”
Pada saat itu, di luar masih berlangsung per-
tempuran sengit antara empat orang murid Iblis
Topeng Mayat, melawan seorang wanita tua yang
mengenakan jubah hijau. Wanita itu adalah Nyai Resi
Rara Kitri. Tampak di sekitar pertarungan itu, mayat-
mayat bergelimpangan tidak tentu arah dan saling
tumpang tindih. Bau anyir darah pun menyebar
terbawa angin.
“Mundur...!” seru Iblis Topeng Mayat.
Seketika itu juga, empat orang muridnya
berlompatan mundur. Sedangkan Nyai Resi Rara Kitri
tampak tersengal napasnya. Kedatangan Iblis Topeng
Mayat itu merupakan tanda, kalau Resi Danuraga
sudah tewas. Sejenak Nyai Resi Rara Kitri
memandang berkeliling. Hatinya sedih bercampur
geram melihat seluruh, cantrik dan murid-muridnya
telah tewas.
“Lama aku menunggu kesempatan seperti ini,
Rara Kitri,” kata Iblis Topeng Mayat, dingin dan datar
suaranya.
“Hhh! Kau benar-benar perempuan iblis, Pramurti!”
dengus Nyai Resi Rara Kitri menyebut nama asli Iblis
Topeng Mayat.
“Tapi aku bukan tikus sepertimu! Bersembunyi
balik lorong hanya menunggu maut!” balas Pramurti.
“Sebenarnya aku sudah melupakan semua per-
selisihan di antara kita, Rara Kitri. Tapi saudaramu
yang memulai lebih dulu. Dia membantai habis murid-
muridku di saat aku sedang bepergian, hingga tinggal
tersisa lima orang. Bahkan satu lagi sudah tewas
terbunuh oleh cucu saudaramu. Aku pun berusaha
melupakan semua itu, karena aku begitu mencintai
Galadipa, tapi rupanya dia masih menyimpan dendam
padaku. Kau tahu, Rara Kitri. Bukan aku yang
membunuh istri Galadipa. Dia tewas karena terjatuh
di dalam jurang, dan aku sudah berusaha untuk
menolongnya. Tapi saudara-saudaramu menuduhku
lain, juga kau! Apa boleh buat, api permusuhan telah
kalian sulutkan. Dan api itu tidak akan padam
sebelum di antara kita ada yang tewas!” kata
Pramurti mengingatkan kejadian beberapa puluh
tahun silam.
“Kau sudah membunuh Galadipa, lalu kenapa kau
masih juga berkeliaran? Bahkan membantai para
penduduk yang tidak berdosa!” rungut Nyai Resi Rara
Kitri.
“Aku sengaja berbuat demikian untuk memancing
saudara-saudaramu keluar. Dan aku pun bersumpah,
aku dan murid-muridku yang tewas, atau kau dan
seluruh saudara-saudaramu, serta keturunanmu
semua!” sahut Pramurti.
“Iblis! Kau benar-benar bukan lagi manusia,
Pramurti!” geram Nyai Resi Rara Kitri menggeretak.
“Ha ha ha...! Itulah aku, Iblis Topeng Mayat! Apa
pun akan kulakukan, demi tercapainya maksudku!”
kata Pramurti pongah.
“Setan! Mampus kau! Hiyaaa...!”
Nyai Resi Rara Kitri tidak dapat lagi menahan
amarahnya. Dengan cepat dia melompat menerjang
Iblis Topeng Mayat itu. Namun dengan manis sekali
Iblis Topeng Mayat menghindari serangan-serangan
tersebut. Nyai Resi Rara Kitri yang sudah dirasuki
hawa amarah, langsung mengerahkan jurus-jurus
andalannya yang dahsyat dan sangat berbahaya!
Sementara dua orang yang saling bermusuhan
selama bertahun-tahun itu menyabung nyawa, empat
orang murid Iblis Topeng Mayat terus mengamatinya
dengan sikap siaga. Mereka mengambil tempat dari
empat jurusan. Masing-masing sudah menggenggam
senjata berupa tongkat hitam pendek, dengan cincin
berwarna merah pada tengahnya.
“Hiya...!”
“Yeah...!”
Dua orang wanita yang bertarung itu saling
melompat tinggi ke udara, dan berbenturan di udara.
Tampak Nyai Resi Rara Kitri terlempar dan jatuh
dengan keras ke tanah. Sedangkan Iblis Topeng
Mayat mendarat dengan manis di tanah. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, kembali dia melenting, dan
bersalto beberapa kali di udara. Kemudian dengan
satu gerakan yang cepat dan sukar diikuti oleh mata
biasa, ujung tongkatnya menghunjam ke dada Nyai
Resi Rara Kitri yang baru saja bisa bangkit.
“Hugh!” Nyai Resi Rara Kitri langsung mengeluh
pendek.
“Yap!”
Pramurti segera mencabut senjatanya kembali dari
dada lawannya. Lalu dengan cepat sekali kaki
kanannya terayun mendupak tubuh resi wanita
tersebut Tubuh Nyai Resi Rara Kitri pun kembali
terjungkal ke belakang. Dari dadanya tampak
mengucur darah segar. Sedangkan mulutnya
mengeluarkan darah kental kehitaman. Sebentar dia
masih menggelepar, lalu diam dan tidak berkutik lagi.
“Hi hi hi...!” Pramurti tertawa mengikik penuh
kepuasan.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Iblis Topeng Mayat
segera melesat pergi meninggalkan korban-korban-
nya. Sementara empat orang muridnya langsung
mengikuti tanpa diperintah lagi. Tepat pada saat
mereka lenyap di balik kerimbunan pepohonan,
muncul dua orang di Puri Watu Ukir itu.
“Bibi...!”
***
6
Narita langsung menubruk dan memeluk tubuh Resi
Rara Kitri yang bersimbah darah. Gadis itu kemudian
menggoyang-goyangkan tubuh wanita tua berjubah
hijau itu. Dari bibirnya yang mungil, tidak berhenti
menyuarakan kata-kata. Sementara di sampingnya
tampak berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda
tampan, tegap dan berbaju kulit harimau itu, hanya
bisa memandang dengan dada diliputi oleh berbagai
macam perasaan.
“Bi...,” rintih Narita bernada putus asa.
“Oh...,” terdengar rintihan lirih dari bibir yang
berlumur darah kental.
“Bi...! Bibi...!” seru Narita.
“Narita..., cucuku...,” Resi Rara Kitri mendesis lirih.
Kelopak matanya terbuka sedikit. Dan napasnya
tersengal satu-satu.
“Siapa yang melakukan ini, Bi?” tanya Narita.
“Narita.... Oh, kau tahu aku bibimu?” Resi Rara
Kitri malah balik bertanya.
“Iya, Bi. Sejak semula aku memang sudah tahu.
Maafkan aku, Bi. Aku pergi tanpa pamit lagi, karena
tidak ingin Bibi dan Paman semua ikut terlibat,” kata
Narita.
“Bukan salahmu, Narita. Kami memang sudah
lama bermusuhan. Akh...!” tubuh Resi Rara Kitri tiba-
tiba mengejang.
“Bi...!” Narita tersentak kaget.
“Dengar, Narita. Sebentar lagi aku akan mati.
Carilah Paman dan Bibimu yang lain. Beritahu semua
kejadian di sini. dan.... Oh!” tubuh Resi Rara Kitri
kembali mengejang.
“Bi...! Bibi...!” Narita terus mengguncang-guncang
tubuh wanita tua itu.
Tapi Resi Rara Kitri sudah tidak bergerak lagi.
Seketika Narita menjerit keras, dan memeluk tubuh
yang sudah tidak bernyawa itu. Gadis itu tidak
sanggup lagi membendung air matanya. Dia
menangis meraung-raung.
“Narita...,” Bayu menepuk pundak gadis itu,
setelah cukup lama ia membiarkannya menumpah-
kan perasaan.
Pelahan-lahan Narita menoleh, dan meletakkan
tubuh bibinya dengan hati-hati. Kemudian dia segera
bangkit, dan menatap pemuda tampan di
sampingnya. Gadis itu tidak peduli dengan air
matanya yang merembes ke luar dengan deras.
“Tidak perlu kau tangisi. Yang sudah pergi tidak
mungkin kembali lagi,” kata Bayu pelan.
“Semua ini karena salahku. Kalau saja aku tidak
berpura-pura dan tidak pergi dari sini, pasti mereka
semua masih hidup. Aku memang bodoh! Tolol!”
Narita mengutuki dirinya sendiri.
“Kau tidak bodoh, Narita. Kau hanya tidak bisa
mengendalikan diri, dan semua yang terjadi memang
sudah takdir. Semua manusia pasti akan mati, hanya
cara dan waktunya saja yang tidak kita ketahui. Aku
tidak melihat kesalahan pada dirimu, Narita.
Tindakanmu benar, kau bermaksud baik. Tapi takdir
menentukan lain. Penyesalan diri dan air mata
bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Jika kau
merasa bahwa semua yang terjadi karena
kesalahanmu, kau harus menentukan sikap, bukan
menyesali dan meratap mengutuk diri sendiri. Kau
seorang pendekar, Narita. Kau harus lebih segala-
galanya dari wanita-wanita lain,” lembut kata-kata
Bayu, namun terdengar tegas, penuh perasaan dan
dorongan moril.
“Kau benar, Kakang,” kata Narita serasa baru
tergugah dari mimpi buruk yang hampir meneng-
gelamkan dirinya.
“Hapuslah air matamu, tegarkan hatimu. Kau tidak
akan bisa menyelesaikan suatu persoalan dengan air
mata dan penyesalan diri.”
Pelahan-lahan Narita mulai tersenyum, kemudian
menghapus air matanya dengan punggung tangan-
nya. Sejenak kepalanya berpaling pada mayat Nyai
Resi Rara Kitri.
“Ayo, Kakang. Bantu aku mengurus mayat-mayat
ini,” ajak Narita.
Bayu segera tersenyum melihat Narita kembali
bangkit. Maka tanpa diminta dua kali, dia segera
mengumpulkan mayat-mayat yang bergelimpangan,
pada satu tempat di halaman depan Puri Watu Ukir.
Sementara Narita mengambil cangkul untuk menggali
lubang. Dia sempat tertegun dan hampir guncang
kembali saat menemukan mayat Resi Danuraga di
dalam rumah. Mayat itu keadaannya sangat
mengenaskan, kepala terpisah dari badan.
Namun gadis itu tidak lagi mau larut dalam
kesedihan dan perasaan bersalah. Kata kata Bayu
barusan bagaikan setitik air sejuk yang mem-
bangkitkan semangat, dan menyalakan kembali pelita
di dalam hatinya. Narita seolah-olah bagaikan
seorang musafir yang baru saja menemukan jalan,
setelah sekian lama tersesat di dalam luasnya gurun.
Narita membantu Pendekar Pulau Neraka
menguburkan seluruh mayat-mayat yang ber
gelimpangan bersimbah darah. Dan Narita hampir
pecah kembali tangisnya, saat mayat Nyai Resi Rara
Kitri dan mayat Resi Danuraga dikuburkan. Gadis itu
segera berlari menjauh untuk menguatkan hatinya.
Sementara Bayu hanya bisa melihat sambil menerus-
kan pekerjaannya. Dia bisa memaklumi perasaan
gadis itu.
Bayu kemudian menghampiri gadis cantik berbaju
merah menyala itu, setelah dia menyelesaikan
pekerjaannya. Sedangkan Narita tetap duduk dengan
kepala tertunduk di bawah pohon yang cukup
rindang.
“Narita, kau mau tetap di sini, atau mencari Paman
dan Bibimu yang lain?” tegur Bayu.
Narita mendesah panjang, kemudian pelahan-
lahan dia bangkit. Sebentar dia menatap ke arah
gundukan tanah yang cukup besar, tidak jauh di
depannya. Lalu tatapan matanya beralih kepada
Pendekar Pulau Neraka.
“Maaf, aku tidak bisa...,” Narita tidak melanjutkan
kata-katanya.
“Sudahlah, aku bisa mengerti perasaanmu,” kata
Bayu memahami.
“'Terima kasih.”
“Ayo, kita pergi, sebelum hari menjadi gelap,” ajak
Bayu.
Narita mengangguk dan kakinya terayun me-
langkah. Pendekar Pulau Neraka juga mengayunkan
kakinya di samping gadis itu. Mereka berjalan
meninggalkan Puri Watu Ukir tanpa berkata-kata lagi.
Sementara itu senja mulai merayap mendekati
pergantian waktu. Sang surya dengan cahayanya yang
merah jingga, menyemburat semakin tenggelam di
balik belahan bumi sebelah Barat
***
Siang berganti dengan malam, sejalan dengan
berputarnya sang waktu. Matahari pun berganti
dengan sang dewi malam. Kini suasana di sekitar
Bukit Bojong agak sunyi. Hanya binatang-binatang
malam saja yang memperdengarkan suaranya, meng-
halau kesunyia yang menyelimuti mayapada ini.
Seorang wanita tua berjubah biru, tampak berjalan
pelahan-lahan merambah hutan di Lereng Bukit
Bojong itu. Dari bentuk tubuhnya yang kurus dan agak
bungkuk, orang tidak akan menyangka kalau wanita
tua renta itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup
tinggi. Tapi kalau dilihat dari caranya berjalan, sudah
dapat diketahui bahwa dia berjalan dengan mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuh.
Ayunan kakinya ringan, seolah olah dia berjalan
tidak menapak tanah. Rumput-rumput yang terinjak
pun tidak nampak bekas-bekas tapak kakinya. Sinar
matanya bersorot tajam, seakan akan menembus
pekatnya malam. Beberapa saat kemudian, wanita
tua itu berhenti setelah tiba di sebuah tempat yang
berbatu, dengan tebing-tebing curam dan beberapa
tonjolan batu.
“Hm, ada orang lain menuju ke sini,” gumam
wanita tua itu pelan.
Sebentar dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Begitu
matanya menatap pada sebuah batu besar yang
menjorok ke luar dari tebing, dia langsung melesat
cepat ke arah batu itu. Dalam sekejap saja tubuhnya
sudah lenyap di balik batu besar dan hitam pekat itu.
Tidak lama berselang, tampak beberapa orang laki-
laki berjalan di bawah tebing batu itu. Mereka adalah
Paksi dan sepuluh orang pengawalnya.
“Hati-hati, kita sudah berada dekat dengan sarang
mereka,” kata Paksi yang berjalan paling depan.
“Di mana tempatnya, Den?” tanya salah seorang
yang berjalan di belakangnya.
“Menurut yang kudengar, tempatnya ada di
seberang jurang itu,” sahut putra kepala desa itu,
sambil menunjuk sebuah jurang yang tidak begitu
besar.
Mereka terus saja berjalan mendekati sebuah
arang yang menganga lebar bagaikan membelah
Bukit Bojong. Kesebelas orang itu lalu berhenti tepat
di bibir jurang. Tampak Paksi mengamati seberang
jurang. Hanya dengan satu loncatan saja, pasti bisa
menyeberangi jurang itu.
“Barangkali salah, Den,'' kata orang yang berada di
samping putra kepala desa itu.
“Tidak, aku yakin. Pasti ini tempatnya,” sahu Paksi.
“Tapi, di seberang sana cuma ada hamparan batu
batu saja. Rasanya tidak mungkin kalau Iblis Topeng
Mayat mengambil tempat di sana. Terlalu mudah di
jangkau, Den,” bantah orang itu lagi.
“Hm...,” Paksi mengerutkan keningnya.
Kata-kata orang itu memang benar. Tempat
tersebut terlalu mudah untuk dijangkau oleh siapa
saja Dan biasanya, seorang tokoh persilatan selalu
memiliki tempat tinggal yang sulit dijangkau, dan
banyak rintangannya. Sedangkan untuk mencapai
seberang jurang itu, tidak terlalu sulit. Bahkan
seorang yang tingkat kepandaiannya masih rendah
sekalipun dapat melompatinya. Jurang itu tidak begitu
besar, lebarnya hanya sekitar tiga batang tombak,
dan juga tidak begitu dalam.
Paksi mengambil sebatang ranting kering yang
menggeletak di dekat kakinya. Sebentar dia
menimang-nimang ranting itu, lalu dengan mengerah-
kan tenaga dalam, dia melemparkan ranting itu ke
seberang jurang. Ranting kering itu meluncur deras
bagai sebatang anak panah lepas dari busurnya. Dan
begitu mencapai tepi seberang jurang, puluhan anak
panah hitam meluruk deras menghantam ranting
kering itu.
Tentu saja sepuluh orang yang berada di sekitar
Paksi, jadi terperangah melihat kejadian itu. Sedang-
kan Paksi hanya tersenyum dan bergumam kecil.
Kemudian tangannya menjumput sebongkah batu
yang cukup besar. Dan batu itu langsung amblas
begitu tiba di dasar jurang. Bahkan ranting-ranting
yang berada di dasar jurang itu, ikut melesak masuk
ke dalam. Kembali sepuluh orang itu terheran-heran
dibuatnya.
“Kelihatannya mudah, tapi sukar untuk dijangkau,”
kata Paksi setengah bergumam.
“Bagaimana, Den? Kita tidak mungkin bisa
menyeberanginya,” kata salah seorang lagi.
“Iblis Topeng Mayat memang cerdik, tapi aku tidak
mau kalah cerdik. Lihat saja,” sahut Paksi kalem.
Paksi kemudian meminta busur dan sekantung
anak panah dari salah seorang pengikutnya. Dengan
panah itu dia lalu membidikkan ke seberang jurang.
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Setiap batang
anak panah yang melesat, selalu disambut anak-anak
panah hitam. Beberapa kali Paksi melepaskan anak-
anak panahnya, hingga sampai pada panah yang ke
lima belas, tidak ada lagi sambutan.
“Aman, Den,” kata orang yang diminta panahnya
tadi.
“Belum,” sahut Paksi tetap tenang.
Sepuluh orang yang mengikutinya saling ber
pandangan. Mereka tidak mengerti, tapi dalam hati
memuji kecerdikan tuannya ini. Mereka tetap
menunggu, apa yang akan dilakukan putra kepala
desa itu selanjutnya.
Sedangkan Paksi masih berdiri tegak sambil
memandang tajam ke arah seberang jurang.
***
Sementara itu tidak jauh dari tempat Paksi dan
sepuluh orangnya di tepi jurang, seorang wanita tua
berjubah biru terus memperhatikan sejak tadi. Wanita
tua itu adalah Resi Puspita Rani. Resi wanita itu
memperhatikan dari balik batu besar yang menjorok
ke luar dari dinding tebing.
“Anak itu benar-benar cerdik. Aku ingin tahu,
bagaimana caranya dia menembus rintangan itu,
sebelum sampai pada Lorong Maut,” gumam Nyai
Resi Puspita Rani dalam hati.
Saat itu Paksi masih tetap berdiri tegak sambil
memandang ke seberang jurang. Keningnya berkerut
dalam, pertanda kalau dia tengah berpikir keras.
Sedangkan sepuluh orang lainnya hanya menunggu
dengan tidak sabar.
“Kalian cari binatang apa saja yang ada di sekitar
sini,” kata Paksi memerintah.
“Den...,” salah seorang mau protes.
“Sedapatnya! Binatang apa saja!” sergah Paksi
cepat.
Lima orang segera beranjak pergi dengan benak
dipenuhi berbagai macam tanda tanya. Mereka tidak
mengerti, dengan apa yang diinginkan putra kepal
desa itu.
“Kalian cari tempat untuk berlindung. Aku tidak
mau ada korban jatuh sia-sia,” kata Paksi lagi.
“Den Paksi sendiri...?”
“Cepatlah, aku yakin mereka tidak ada di sini
malam ini,” sergah Paksi.
Lima orang lainnya segera mencari tempat yang
cukup terlindung. Sementara Paksi memperhatikan
saja. Hatinya cukup puas melihat orang-orangnya
sudah berada di tempat yang cukup terlindung. Tidak
lama kemudian, lima orang yang mencari binatang,
sudah kembali. Mereka membawa tiga ekor kelinci,
dan dua ekor ayam hutan. Binatang-binatang itu
semuanya sudah mati.
Paksi segera menerima, dan menyuruh lima orang
itu untuk berlindung bersama yang lainnya. Maka
tanpa membantah sedikit pun, mereka segera
menghampiri teman-temannya yang sudah lebih dulu
mendapatkan tempat untuk berlindung. Mereka terus
memperhatikan putra kepala desa itu dengan benak
diliputi pertanyaan.
“Kau pikir tempatmu cukup aman, Iblis Topeng
Mayat! Lihatlah, aku Paksi, yang akan mendobrak
Lorong Maut-mu!” kata Paksi dengan suara mendesis.
Setelah berkata begitu, Paksi mengambil seekor
ayam hutan. Dan dengan mengerahkan tenaga dalam
penuh, dia melemparkan ayam hutan itu ke seberang
jurang. Ayam yang sudah mati itu meluncur deras,
dan....
Glarrr...!
Satu ledakan keras langsung terdengar ketika
secercah cahaya bagaikan kilat menyambarnya,
hingga ayam hutan itu hancur berkeping-keping.
“Ha ha ha...! Tidak ada gunanya kau membentengi
tempatmu dengan Pagar Cahaya Kilat!” seru Paksi
keras.
Paksi kembali melemparkan binatang-binatang
yang sudah tidak bernyawa lagi. Setiap kali dia
melemparkan binatang itu, selalu terdengar ledakan
keras disertai dengan meluncurnya secercah cahaya
kilat. Sampai pada lemparan yang terakhir, cahaya
kilat itu tidak lagi terlihat, dan bangkai kelinci itu pun
melesat jauh ke dalam jurang yang gelap.
“Ha ha ha...!” Paksi kembali tertawa penuh
kepuasan.
Sementara itu di balik batu besar yang menjorok
ke luar dari dinding tebing, Nyai Resi Puspita Rani
menggeleng-gelengkan kepalanya, kagum melihat
kecerdikan Paksi. Namun di balik rasa kagumnya, dia
juga merasa heran. Tidak sembarang orang bisa
mengetahui pagar pengaman yang dibuat oleh
Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat di daerah
kekuasaannya.
“Hm..., dari mana dia memperoleh semua itu?”
gumam Nyai Resi Puspita Rani dalam hati.
Saat itu, Paksi sudah melompat menyeberangi
jurang yang tidak begitu besar itu. Tubuhnya
melayang ringan, dan hanya sekali dia bersalto,
sudah mencapai seberang. Pemuda itu kemudian
berdiri tegak dengan tangan berada di pinggang.
Sementara sepuluh orang yang berlindung, belum
juga keluar dari tempat persembunyiannya. Sejenak
Paksi memandang berkeliling. Namun sepanjang
mata memandang, hanya kegelapan dan hamparan
batu-batu saja yang terlihat.
“Hm, menurut Eyang Resi Jagabaya, aku harus
menemukan Lorong Maut. Lorong itu hanya berupa
gulungan angin yang berputar, dan sulit untuk
ditembus. Hm..., di mana letak lorong itu?” gumam
Paksi dalam hati.
Setelah melewati rintangan anak panah dan Pagar
Cahaya Kilat, Paksi segera melompat menyeberangi
jurang yang tidak begitu besar!
Tubuhnya melayang ringan, dan ditambah dengan
sekali salto, dia sudah mencapai seberang. Pelahan-
lahan Paksi melangkah menjauhi bibir jurang.
Matanya terus bersorot tajam mengamati keadaan
sekitarnya.
Pelahan-lahan Paksi mulai melangkah menjauhi
bibir jurang. Kakinya terayun ringan, pertanda kalau
dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Matanya
bersorot tajam mengamati keadaan sekitarnya.
Otaknya juga terus berputar keras.
Belum lagi sampai sepuluh tombak dia berjalan,
tiba-tiba terdengar suara gemuruh, disusul dengan
bertiupnya angin kencang. Seketika Paksi tersentak,
tapi belum sempat dia berbuat apa-apa, tubuhnya
mendadak terangkat dan berputar cepat. Tampak
lingkaran debu dan batu-batuan menggulung tubuh
pemuda itu.
Dengan sekuat tenaga Paksi berusaha meronta,
tapi usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya semakin
terseret dalam, masuk gulungan angin itu. Semakin
lama, semakin jauh saja tubuh pemuda itu masuk ke
dalam pusaran angin yang ganas, membentuk lorong
bagai rongga goa.
“Aaa...!”
Tiba-tiba Paksi menjerit keras melengking.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya lenyap, disusul
dengan lenyapnya angin yang bergulung-gulung itu.
Suasana di tempat itu kembali sunyi senyap. Dan
kejadian tersebut disaksikan oleh berpasang-pasang
mata yang bersembunyi di balik batu dan pepohonan.
Tak ada seorang pun yang menampakkan diri.
Mereka semua seperti terpaku, setengah tidak
percaya dengan apa yang telah disaksikannya.
***
Apa sebenarnya yang terjadi pada Paksi?
Paksi terus tergulung oleh angin kencang yang
berputar, dan membentuk sebuah lorong bagai goa
terapung. Tubuh pemuda itu berputar cepat, mem-
buatnya seperti terhempas ke dalam suatu alam yang
belum pernah dimasukinya. Paksi merasakan seluruh
tulang-tulangnya remuk, dan kesadarannya hilang
tanpa mampu dicegah lagi.
Lorong Maut itu membawanya ke suatu tempat
yang sangat asing, dan tak pernah diimpikan
sebelumnya. Cukup lama juga pemuda itu tidak
sadarkan diri. Dan dia baru sadar setelah ada
sesuatu yang dingin mengguyur tubuhnya. Pemuda itu
tampak gelagapan, seperti mau terbenam ke dalam
kubangan air yang dalam.
“Ah...!”
Paksi terkejut begitu menyadari seluruh tubuhnya
terikat oleh rantai besi yang besar dan kuat.
Tubuhnya menggigil kedinginan. Seluruh bajunya
basah kuyup oleh air yang mengguyurnya. Sejenak
pandangan pemuda itu terpaku pada sesosok tubuh
ramping, berdiri tidak jauh di depannya. Sosok tubuh
itu mengenakan baju hijau, dengan wajah tertutup
topeng berwarna pucat bagai mayat.
“Sariti...!” sentak Paksi ketika pandangannya
beralih pada seorang wanita yang juga terikat pada
sebuah tiang.
Paksi berusaha bangkit, namun seluruh tubuhnya
terasa lemas, tidak mampu untuk digerakkan lagi.
Pemuda itu hanya bisa memandang lemah pada
gadis yang baru dinikahinya. Gadis itu terikat dengan
tangan terentang dan kakinya terbuka lebar. Seluruh
bajunya tampak koyak dan cabik-cabik. Sedangkan
kepalanya terkulai lemas, dengan rambut terurai
menutupi hampir seluruh wajahnya.
Pandangan mata pemuda itu kembali beralih pada
sosok tubuh ramping berbaju hijau, dengan topeng
pucat menutupi wajahnya. Di belakangnya, berdiri
empat orang lainnya yang mengenakan baju dan
topeng berwarna sama. Hanya saja mereka tidak
memakai sabuk berwarna kuning emas di pinggang.
Paksi langsung menyadari kalau dirinya kini menjadi
tawanan Iblis Topeng Mayat.
“Siapa yang telah memberitahumu, untuk
menembus Pagar Cahaya Kilat-ku, Bocah?” terdengar
suara kecil, namun tajam dan datar.
Paksi tidak menjawab. Dia mengetahui hal itu dari
pembicaraan ayahnya dengan Resi Jagabaya. Waktu
itu dia sempat menguping, tapi tidak semuanya bisa
didengar.
“Siapa yang memberitahumu, Bocah? Jawab!”
bentak Iblis Topeng Mayat gusar.
“Aku tahu sendiri!” sahut Paksi ketus.
“Hm..., kau datang untuk membebaskan istrimu,
kan?”
Paksi melirik pada Sariti yang terikat pada tiang.
Rahangnya bergemeletuk menahan geram. Hatinya
panas melihat keadaan gadis yang baru dinikahinya,
dan belum dia sentuh sedikit pun.
“Kau sayang dengan istrimu, Bocah?” kembali
suara Iblis Topeng Mayat terdengar.
“Lepaskan Sariti! Dia tidak tahu apa-apa!” geram
Paksi.
“Aku tidak akan mengganggu kebahagiaanmu, jika
ayahmu tidak berbuat bodoh!” kata Iblis Topeng
Mayat.
“Ayahku tidak melakukan apa-apa!”
“Heh! Jangan menutup matamu, Bocah! Kau tahu,
kalau ayahmu memberi tempat hidup pada orang
yang kubenci...!” agak ditekan suara Pramurti atau
Iblis Topeng Mayat.
“Kami semua tidak tahu musuhmu! Kenapa kau
melibatkan seluruh warga Desa Batang Hulu? Kenapa
tidak kau cari saja musuhmu? Aku, ayahku dan
seluruh warga Desa Batang Hulu tidak pernah
berurusan denganmu!” tegas kata-kata Paksi.
“Sudah kukatakan, ayahmu membuat kebodohan
yang harus ditanggung oleh semua orang di Desa
Batang Hulu. Kalau saja ayahmu tidak memberi
tempat pada Galadipa dan keluarganya, tentu aku
tidak akan pernah menginjak Desa Batang Hulu! Tapi
semua sudah terlambat. Hanya ada dua pilihan,
menyerahkan Narita dan membunuh saudara-
saudara Galadipa, atau seluruh orang di Desa Batang
Hulu musnah dalam semalam!”
“Iblis!” desis Paksi menggeram.
“Ha ha ha...!” Pramurti tertawa terbahak-bahak.
“Kau bisa memaki sepuas hatimu, Bocah. Nyawamu
akan selamat, jika ayahmu sanggup memenuhi
semua permintaanku!”
“Pengecut! Kau tidak berani menghadapi musuh-
musuhmu sendiri, dan kau peralat kami!”
“Ha ha ha...!” Pramurti hanya tertawa saja.
“Pengecut! Iblis...! Kubunuh kau...!” maki Paksi
habis-habisan.
Tapi caci-maki pemuda itu hanya dibalas dengan
tawa saja. Iblis Topeng Mayat kemudian berbalik, dan
melangkah meninggalkan ruangan yang seluruh
dindingnya terbuat dari batu itu. Sedangkan empat
orang muridnya segera mengikuti dari belakang.
Sementara Paksi terus berteriak-teriak memaki
sepuas hatinya. Tampak satu sisi dinding batu itu
bergerak menggeser ke samping, hingga seberkas
cahaya terang menerobos masuk. Dan sesaat
kemudian, dinding batu itu kembali bergerak
menutup, setelah lima orang berpakaian hijau itu
berada di luar.
Kembali keadaan di dalam ruangan itu sunyi dan
remang-remang. Hanya sebuah obor kecil dengan
apinya yang redup menerangi ruangan itu. Cahayanya
hanya samar-samar, tidak sanggup memberikan
penerangan pada ruangan yang cukup luas itu. Paksi
berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi seluruh
tubuhnya terasa lemas, dan tulang-tulangnya nyeri
saat digerakkan. Pemuda itu hanya bisa merintih lirih,
dan mengeluh di dalam hati.
“Keparat...!”
***
7
Resi Jagabaya sedikit kaget, ketika hari itu Narita
datang bersama seorang pemuda berbaju kulit
harimau. Laki-laki tua itu pernah bertemu sekali
dengan pemuda yang mengaku bernama Pendekar
Pulau Neraka itu, dan dia juga sudah sering
mendengar segala sepak terjangnya. Resi Jagabaya
segera mengajak Narita dan Bayu ke ruangan tengah
rumah Kepala Desa Batang Hulu itu.
“Kau tidak bertemu dengan Nyai Resi Puspita Rani,
Narita?” tanya Resi Jagabaya.
Narita hanya menggeleng saja.
“Lalu ada maksud apa kau datang ke sini?”
“Paman....”
Narita tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan-
nya. Dia langsung menubruk dan memeluk lutut laki-
laki tua berjubah kuning itu. Resi Jagabaya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bibirnya yang
hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum.
Kemudian dengan lembut tangannya mengusap-usap
kepala gadis itu.
“Bangunlah, Cucuku,” lembut suara Resi Jagabaya.
“Maafkan Narita, Paman,” ucap Narita seraya
bangkit.
“Kau sudah tahu siapa kami, kenapa masih
tertutup juga?” tanya Resi Jagabaya meminta
penjelasan.
“Eyang Resi Galadipa yang meminta, Paman,”
sahut Narita.
“Duduklah.”
Resi Jagabaya lalu mengambil tempat di kursi
dekat jendela. Sedangkan Narita duduk di samping
Bayu. Sesaat mereka semua terdiam. Resi Jagabaya
menarik napas panjang, dan matanya menatap ke
luar melalui jendela yang terbuka.
“Paman, aku sempat datang ke Puri Watu Ukir.
Tapi...,” Narita tidak melanjutkan kata-katanya.
“Aku tahu. Seorang cantrikku yang berhasil lolos,
telah memberitahukan tentang kejadian itu. Terima
kasih, kalian telah menguburkan mereka,” selak Resi
Jagabaya, agak tertekan suaranya.
“Kalau saja aku tidak....”
“Sudahlah, Narita. Tidak perlu menyesali semua
yang telah terjadi. Apa yang terjadi di dunia ini sudah
kehendak-Nya. Semua itu sudah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa, dan itu namanya takdir. Kita tidak
mampu menolak, apalagi untuk melawan,” kembali
Resi Jagabaya menyelak cepat.
Mereka kembali terdiam beberapa saat. Pada saat
itu Ki Rungkut datang dengan tergopoh-gopoh.
Napasnya tampak terengah-engah seperti baru saja
berlari jauh. Resi Jagabaya, Narita dan Bayu langsung
beranjak bangkit.
“Ada apa, Ki Rungkut?” tanya Resi Jagabaya.
“Ketiwasan, Resi. Paksi..,” Ki Rungkut segera
menarik napas panjang.
“Ada apa dengan Paksi?” desak Resi Jaga baya.
“Anak itu pergi dengan sepuluh orang. Katanya
mereka hendak membebaskan Sariti yang ditawan
oleh Iblis Topeng Mayat,” sahut Ki Rungkut.
“Sudah kuduga, dia pasti sudah mendengar
pembicaraan kita kemarin malam,'' gumam Resi
Jagabaya sambil mengangguk-angguk pelan.
“Bagaimana, Resi? Anak itu pasti akan celaka.”
“Hm..., hanya orang yang memiliki tenaga dalam
sempurna, yang mampu menembus Lorong Maut. Aku
tidak tahu, siapa lagi yang sanggup selain Adik
Galadipa dan aku sendiri. Lorong Maut itu hanya bisa
dilalui oleh orang orang yang pernah mandi di
Sendang Sembilan Mata Dewa. Di samping harus
memiliki tenaga dalam sempurna dan penguasaan
hawa murni yang sempurna di dalam perut,” kata
Resi Jagabaya setengah bergumam.
“Di mana letak tempat mereka, Resi?” tanya Bayu
menyelak.
“Di Puncak Bukit Bojong sebelah Selatan.
Tepatnya di seberang jurang yang membelah puncak
bukit itu,” sahut Resi Jagabaya.
“Aku yang akan pergi ke sana!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka langsung melesat cepat bagai kilat.
Resi Jagabaya tidak bisa mencegah lagi. Dia hanya
bisa mencegah Narita yang mau ikut pergi.
“Aku harus ke sana juga, Paman Resi,” kata Narita
memohon.
“Bukan hanya kau, tapi aku juga,” sahut Resi
Jagabaya seraya menolah pada Ki Rungkut. “Ki
Rungkut, bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah
Sariti sudah tewas?”
“Maaf, Resi. Anakku malu mengatakan yang
sebenarnya. Dia merasa bertanggung jawab dan tidak
ingin dikatakan sembrono, karena tidak bisa menjaga
keselamatan istrinya,” sahut Ki Rungkut. “Aku sendiri
baru tahu tadi. Salah seorang bawahanku yang
mengatakannya. “
“Cari penyakit!” dengus Resi Jagabaya.
“Maafkan anakku, Resi,” ucap Ki Rungkut.
“Ah, sudahlah. Aku harap dia belum sempat
melakukan kebodohan. Terlalu berbahaya bagi dirinya
sendiri, jika sampai mencoba menembus Lorong
Maut, tanpa mensucikan diri lebih dulu di Sendang
Sembilan Mata Dewa.”
Sejenak Resi Jagabaya menoleh pada Narita,
kemudian dia melangkah ke luar diikuti oleh gadis itu.
Sedangkan Ki Rungkut pun bergegas mengikuti dari
belakang. Resi Jagabaya segera berhenti melangkah
setelah sampai di beranda depan. Dia menoleh pada
Ki Rungkut.
“Sebaiknya kau tetap di sini. Kalau saudaraku
datang, katakan bahwa aku ke Bukit Bojong,” kata
Resi Jagabaya berpesan.
“Aku ikut, Paman,” selak Narita.
“Jangan, kau diperlukan di sini,” cegah Resi
Jagabaya.
Narita masih ingin memaksa, tapi dia mengurung-
kan niatnya. Gadis itu segera sadar, bahwa dia tidak
mungkin mampu menghadapi Iblis Topeng Mayat.
Narita pun segera mengerti, memang ada
kemungkinan Iblis Topeng Mayat menjarah ke desa
ini, di saat Resi Jagabaya pergi.
***
Sementara itu Bayu baru saja tiba di Puncak Bukit
Bojong. Tampak dia berdiri tegak di tepi jurang yang
tidak begitu dalam, dan tidak lebar. Telinganya yang
tajam, langsung bisa mengetahui kalau di sekitarnya
ada beberapa orang yang tengah mengawasi.
“Keluarlah kalian, jangan bersembunyi seperti
tikus!” seru Bayu keras.
Sebentar setelah teriakan Bayu itu, dari balik batu
dan pepohonan, keluarlah sepuluh orang yang datang
ke puncak bukit itu bersama Paksi. Wajah-wajah
mereka kelihatan ketakutan.
“Siapa kalian?” tanya Bayu.
“Kami..., kami bekerja untuk Kepala Desa Batang
Hulu,” sahut salah seorang terbata-bata.
“Kalian datang bersama Paksi?”
“Benar.”
“Di mana Paksi?”
“Den Paksi sudah menyeberangi jurang, tapi dia
hilang digulung angin.”
Hm..., sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat
ini.”
Maka tanpa menunggu perinlah dua kali, sepuluh
orang itu bergegas meninggalkan Puncak Bukit
Bojong itu. Sedangkan Bayu segera mengedarkan
pandangannya berkeliling setelah orang-orang itu
tidak terlihat lagi. Dia sedikit memiringkan kepalanya
ke kiri. Pendengarannya yang tajam, kembali men-
dengar tarikan napas lembut yang hampir tidak
terdengar. Matanya tertuju pada sebongkah batu
hitam yang menjorok keluar dari dinding tebing.
“Siapa pun kau, keluarlah!” seru Bayu lantang.
Seketika tampaklah sebuah bayangan biru
berkelebat, keluar dari balik batu itu. Sebentar saja,
di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri
seorang perempuan tua yang agak bungkuk dan
memakai jubah berwarna biru terang. Bayu
memperhatikan sebentar wanita tua itu.
“Pendengaranmu sangat tajam, Anak Muda. Apa
maksudmu datang ke tempat ini?” suara perempuan
tua itu agak serak.
“Kau pasti bukan Iblis Topeng Mayat,” kata Bayu
tidak menghiraukan pertanyaan wanita tua itu.
“Benar, aku Resi Puspita Rani.”
“Apakah kau juga dari Puri Watu Ukir?”
“Benar.”
“Hm, aku rasa tujuan kita datang ke tempat ini
sama. Tapi aku datang hanya untuk menunaikan
kewajiban sebagai pendekar.”
“Kau tadi menyebut nama Paksi, apakah kau kenal
dengannya?”
“Tidak, aku hanya mendengar namanya saja.”
“Anak muda, aku tahu kau memiliki ilmu yang
tidak rendah. Tapi Iblis Topeng Mayat bukanlah orang
sembarangan. Aku sendiri dan saudara-saudaraku
belum tentu dapat mengalahkannya. Maaf, bukannya
aku merendahkan kepandaianmu. Tapi kalau kau
tidak mempunyai urusan yang penting dengan wanita
iblis itu, sebaiknya jangan kau teruskan niatmu,” kata
Nyai Resi Puspita Rani memperingatkan.
“Terima kasih, tapi aku sudah berjanji pada
seseorang. “
“Siapa?”
“Narita.”
“Oh...!” Nyai Resi Puspita Rani mendesah kaget.
“Di mana dia?”
“Di Desa Batang Hulu, bersama pamannya.”
“Resi Jagabaya...?” Bayu hanya mengangguk.
“Ah, gadis yang malang. Seharusnya dia tidak perlu
terlibat sampai sejauh ini. Dia hanya korban dari rasa
dendam orang-orang tuanya,” gumam Nyai Resi
Puspita Rani mendesah lirih.
Bayu masih tetap diam sambil memperhatikan
wanita tua di depannya itu.
“Anak muda, jika kau benar-benar ingin meng-
hadapi Iblis Topeng Mayat, kau tidak bisa meng-
hadapinya di daerahnya. Terlalu berbahaya! Dulu aku
dan saudara-saudaraku pemah bertarung dengannya
di Puncak Bukit Bojong ini. Kami hampir berhasil
mengalahkannya, tapi dia berhasil melompati jurang
itu. Kekuatannya akan berlipat ganda bila berada di
daerahnya sendiri. Tubuhnya kebal terhadap segala
macam senjata dan racun,” kata Nyai Resi Puspita
Rani menjelaskan.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam tidak jelas.
Keningnya berkerut dengan mata agak menyipit.
“Di samping itu, kau tidak mungkin bisa
menembus Lorong Maut sebelum mensucikan diri di
Sendang Sembilan Mata Dewa. Itu pun kau masih
harus tirakat selama tujuh hari tujuh malam sambil
berendam di dalam sendang itu,” lanjut Nyai Resi
Puspita Rani.
“Hm, apakah Iblis Topeng Mayat pernah
melakukan hal itu?” tanya Bayu.
“Ya, bahkan dia melakukannya selama empat
puluh hari empat puluh malam. Sehingga tubuhnya
menjadi kebal terhadap segala jenis senjata dan
racun. Di samping itu, dia juga memiliki ilmu yang
bisa menyatukan dan menghidupkannya kembali dari
kematian.”
“Ilmu 'Batara Karang'...?!” desah Bayu.
“Benar.”
“Tidak semua orang bisa memiliki ilmu itu. Dan
mereka yang telah memilikinya tidak bisa dibunuh,
juga selalu tampak muda. Dia tidak akan pernah
mati, selama kakinya masih berpijak pada tanah,”
kata Bayu setengah bergumam.
“Benar, Anak Muda. Itulah sebabnya yang mem-
buat aku dan saudara-saudaraku enggan berurusan
dengannya. Sekali berurusan, berarti menyerahkan
nyawa sia-sia.”
Bayu kembali terdiam. Dia tidak menyangka sama
sekali kalau Iblis Topeng Mayat memiliki ilmu yang
sangat langka. Pantas saja tak seorang pun yang
mampu mengalahkannya, bahkan para resi dari Puri
Watu Ukir sendiri tidak berdaya menghadapinya.
“Di mana letak Sendang Sembilan Mata Dewa
itu?” tanya Bayu.
“Di seberang jurang itu.”
“Heh! Untuk memasukinya harus mandi dulu di
sana, lalu bagaimana mungkin bisa mencapai ke
sana?”
“Harus bisa melawan arus dan menembus Lorong
Maut. Dan hanya orang yang memiliki ilmu dan
tenaga dalam sempurna, serta hawa mumi terpusat
pada perut secara sempurna saja yang mampu
menembus Lorong Maut itu. Tapi nampaknya hal itu
pun tidak mudah, karena Lorong Maut itu sudah
dikuasai oleh Iblis Topeng Mayat”
Sejenak Bayu termenung. Dia tidak tahu apakah
ilmu tenaga dalamnya sudah mencapai taraf
sempurna atau belum. Dia memang bisa memusat-
kan hawa murni pada perutnya, tapi hal itu tidak bisa
bertahan lama, juga dia tidak tahu tingkatannya. Bayu
belum pernah mencobanya sekalipun. Pendekar
Pulau Neraka itu jadi ragu-ragu juga. Beberapa kali
dia melayangkan pandangannya ke seberang jurang.
Semakin dia memikirkan kata-kata perempuan
berjubah biru itu, semakin besar rasa penasaran dan
keinginannya untuk mencoba. Kata-kata yang
diucapkan Nyai Resi Puspita Rani tadi, membuatnya
merasa ditantang. Bayu memang belum pernah
mencoba kepandaiannya sampai pada tingkatan
paling tinggi yang dimilikinya selama ini.
Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu me-
langkah mendekati bibir jurang Tatapan matanya
tajam, menembus langsung ke seberang jurang di
depannya. Mungkin inilah saatnya dia mengukur
tingkat kepandaiannya sendiri. Dia seorang pendekar
yang amat disegani, baik oleh kawan maupun lawan.
Tapi belum tahu, sampai di mana tingkat kepandaian
yang dimilikinya.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu
melentingkan tubuhnya menyeberangi jurang itu. Nyai
Resi Puspita Rani ingin mencegah, tapi terlambat.
Bayu sudah berada di udara, melompati jurang yang
membelah Puncak Bukit Bojong itu.
***
Hanya dengan satu kali salto di udara, Bayu
mendarat di seberang jurang dengan manis sekali.
Tapi begitu kakinya menapak tanah, beberapa puluh
anak panah hitam meluncur deras ke arahnya.
Seketika Pendekar Pulau Neraka itu kembali
melentingkan tubuhnya!
“Hiya...! Hiya...!”
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan dan
jungkir balik di udara. Dan anak-anak panah hitam itu
pun berdesingan di sekitar tubuhnya. Tak satu pun
yang berhasil menjamah tubuh Bayu. Sejenak dia
menarik napas lega, ketika hujan anak panah hitam
itu berhenti.
Belum lagi Bayu sempat melakukan apa-apa,
mendadak secercah cahaya bagai kilat berkelebat ke
arahnya. Pendekar Pulau Neraka itu tersentak kaget
Secepat kilat dia mengibaskan tangan kanannya ke
arah ujung cahaya bagai kilat itu. Seketika secercah
cahaya keperakan melesat cepat dari pergelangan
tangan kanannya.
Glar!
Suara ledakan keras langsung terdengar meng-
gelegar begitu senjata cakra bersegi enam keperakan
menghantam cahaya bagai kilat itu. Sejenak Bayu
mengangkat tangan kanannya ke udara, dan Cakra
Maut itu pun kembali melesat ke arahnya, lalu
menempel di pergelangan tangannya.
'“Pagar Cahaya Kilat'...,” desis Bayu pelan.
Bayu memang pernah membaca dari salah satu
buku kepunyaan gurunya di Pulau Neraka. Buku itu
berisi tentang ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Sebuah ilmu
yang dapat membentengi diri, atau suatu wilayah dari
serangan lawannya. Pagar yang tidak ketahuan
bentuknya, tapi sukar untuk ditembus. Orang yang
terkena sambaran cahaya itu, bisa langsung hangus
tubuhnya.
“Bayu, jika kau menemukan benteng yang terbuat
dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat', kau harus menghadapi
dengan mengosongkan jiwa, dan penyaluran hawa
murni pada pusat tubuhmu. Putar balik aliran darah-
mu, dan pergunakan pernapasan pada perut. Ilmu
'Pagar Cahaya Kilat' hanya menyerang pada benda
yang memiliki nyawa dan berdarah panas terisi
jiwa...,” Bayu teringat kata-kata gurunya, Eyang
Gardika.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau
Neraka itu segera menuruti kata-kata gurunya
tersebut. Tahap demi tahap dia melakukan semua
yang dikatakan oleh gurunya untuk menghadapi
benteng dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Saat itu juga
Bayu merasakan tubuhnya ringan bagai kapas. Dan
jiwanya bagaikan terbang keluar dari raganya.
Seluruh tubuhnya terasa dingin, Bayu merasakan
dirinya seperti mati. Tapi otaknya masih tetap
bekerja, penglihatan serta pendengarannya pun tidak
terganggu. Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu
berjalan pelan-pelan. Tampak secercah cahaya kilat
tertuju ke arahnya, dan langsung mengenai tubuhnya.
Namun Pendekar Pulau Neraka itu tidak merasakan
apa-apa. Dan cahaya bagai kilat itu pun seperti
teredam di dalam tubuhnya.
Beberapa kali tubuhnya tersambar cahaya kilat,
tapi Bayu hanya tersenyum. Dia terus melangkah
pelahan-lahan menembus pagar benteng dari ilmu
'Pagar Cahaya Kilat'. Sambaran-sambaran kilat
tersebut baru berhenti setelah Pendekar Pulau
Neraka itu berjalan sejauh lima batang tombak. Bayu
segera memulihkan kembali kondisi tubuhnya.
“Hhh..., terima kasih, Eyang,” desah Bayu lirih.
Sementara itu, di seberang jurang sana, Nyai Resi
Puspita Rani hampir tidak percaya dengan peng-
lihatannya. Jelas dia melihat kalau lidah kilat itu
menyambar tubuh Bayu, tapi Pendekar Pulau Neraka
itu tidak terpengaruh sama sekali.
Resi Puspita Rani menahan napasnya ketika
mendengar suara gemuruh dari seberang jurang.
Tampak Bayu berdiri tegak dengan pandangan mata
lurus ke depan. Saat itu Bayu merasakan, angin
bertiup semakin kencang dan bergulung gulung di
sekitarnya.
“Hm..., inikah yang dinamakan Lorong Maut?”
gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu segera mengerahkan
tenaga dalamnya dengan penuh, lalu pelahan-lahan
dia memusatkan hawa murni pada perutnya. Pada
saat itu, di depannya tampak gulungan angin yang
membentuk seperti lorong sebuah goa. Debu dan
kerikil pun bergulung-gulung berputar membentuk
sebuah lorong bayangan. Bayu tetap berdiri tegak
dengan mata tajam memandang lurus ke depan. Dia
mulai merasakan adanya satu tarikan kuat yang
menyedot tubuhnya ke dalam gumpalan angin itu.
Bayu terus berusaha menahan tarikan itu, tapi
sedikit demi sedikit kakinya mulai bergeser ke depan.
Suara gemuruh semakin jelas terdengar memekak-
kan telinga. Bayu merasakan tarikan itu semakin
kuat, ia tidak kuasa lagi menahannya. Seketika
tubuhnya terpental masuk ke dalam lingkaran angin
yang berputar membentuk sebuah lorong bagai goa
itu.
“Hiyaaa...!” tiba-tiba Bayu berteriak keras.
Tubuhnya mulai berputar mengikuti jalannya
putaran angin itu. Sekuat tenaga Pendekar Pulau
Neraka itu mengerahkan tenaga dalam, dan menjaga
hawa murni agar tetap berada di perut. Memang
suatu pekerjaan yang sangat sukar, menyalurkan dua
kekuatan sekaligus dalam satu tubuh pada waktu
yang bersamaan. Namun Pendekar Pulau Neraka Itu
tidak mau menyerah begitu saja.
“Hih! Aaakh...!”
***
8
Bayu merasakan dirinya seperti terbanting ke dalam
sebuah sumur yang sangat dalam dan tidak berujung.
Pandangannya jadi gelap, dan seluruh tubuhnya
terasa lemah tak bertenaga. Sekuat tenaga dia terus
berusaha mempertahankan hawa murni pada perut-
nya, dan mengempos tenaga dalamnya.
Semakin dia bertahan, semakin kuat daya tarik
yang menyedot dan mengombang-ambingkan tubuh-
nya. Bayu merasakan seperti dilemparkan oleh
tangan-tangan raksasa. Terhempas dari satu dinding
batu yang satu ke dinding batu lainnya.
Pendekar Pulau Neraka itu segera mencopot
senjata cakra bersegi enam keperakan, dan meng-
genggamnya erat-erat pada salah satu ujungnya. Lalu
dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya, dia memutar tubuhnya dengan cepat.
“Aaargh...!”
Dari mulutnya terdengar suara raungan yang
sangat dahsyat. Disusul kemudian dengan ter-
dengarnya suara ledakan-ledakan keras, disertai
gemuruh yang amat sangat. Seketika itu juga, Bayu
merasakan tubuhnya bagai terhempas dengan keras.
Dan dia meringis ketika sesuatu yang keras meng-
hantam punggungnya. Pendekar Pulau Neraka itu
bergulingan, dan punggungnya membentur se-
bongkah batu cadas yang sangat besar, hingga batu
itu hancur berkeping-keping.
“Hup!”
Bayu segera bangkit setelah menyadari dirinya
kembali berpijak pada tanah. Sebentar dia
memandang berkeliling. Hatinya agak tercekat, begitu
menyadari bahwa sekelilingnya hanya berupa daerah
berbatu dan berpasir yang luas bagai tak bertepi.
Sejauh mata memandang, hanya kegersangan yang
tampak.
“Hhh! Di mana aku?” Bayu bertanya-tanya sendiri.
“Kau berada di tempatku, Anak Muda...,” ter-
dengar suara lembut namun kecil dan serak.
Bayu langsung membalikkan tubuhnya. Tampak
tidak jauh darinya berdiri seorang wanita cantik
dengan rambut hitam panjang terurai. Wanita itu
mengenakan baju hijau yang ketat, sehingga
membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan
indah.
“Siapa kau?” tanya Bayu dengan tatapan mata
penuh selidik.
“Bukankah kau datang mencariku?” wanita itu
balik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka itu mengerutkan kening-
nya. Dia menempelkan kembali senjata Cakra Maut
ke pergelangan tangan kanannya. Bayu mengamati
wanita itu dari ujung kepala, hingga ke ujung kaki.
“Apakah kau Iblis Topeng Mayat?” tanya Bayu ingin
memastikan.
“Ha ha ha...!” wanita itu terbahak-bahak. “Namaku
Pramurti, dan aku memang biasa disebut dengan
nama Iblis Topeng Mayat”
Wanita yang mengaku bernama Pramurti itu lalu
merogoh sabuk yang membelit pinggangnya. Dia
mengeluarkan sebuah topeng lemas berwarna pucat
bagai mayat Dan topeng itu pun dilemparkan begitu
saja.
“Kau sudah berada di tempatku, Anak Muda. Aku
tidak perlu lagi menggunakan benda itu,” kata
Pramurti.
Bayu diam saja. Dia teringat dengan kata-kata Resi
Puspita Rani. Wanita berjuluk Iblis Topeng Mayat ini
mempunyai ilmu 'Batara Karang' yang sangat tangguh
dan tidak sembarang orang bisa memilikinya. Ilmu itu
selain bisa menghidupkan dirinya sendiri dari
kematian, juga bisa memperlambat ketuaan. Tidak
heran kalau orang yang memiliki ilmu itu tetap
kelihatan muda, meskipun umurnya sudah melebihi
seratus tahun.
“Selama ini tidak ada seorang pun yang bisa
menembus Lorong Maut dalam keadaan hidup tanpa
seijinku. Dan kau telah berhasil melewatinya, Anak
Muda. Aku senang..., tapi kau harus mati!”
Setelah berkata begitu, Pramurti langsung
melompat sambil mengirimkan serangan yang cepat
dan mendadak. Bayu sedikit terperangah. Namun
dengan cepat dia melompat ke belakang untuk
menghindarinya.
Serangan-serangan Iblis Topeng Mayat itu sangat
cepat dan dahsyat, sehingga membuat Bayu sedikit
kewalahan. Hingga pada satu serangan kilat dan
beruntun, Bayu tidak bisa menghindarinya. Dan satu
pukulan telak, segera bersarang di dadanya.
Pendekar Pulau Neraka itu terdorong ke belakang
beberapa langkah.
“Mampus kau! Hiyaaa...!”
“Uts! Hup...!”
Bayu langsung mengetatkan tangan kanannya
pada saat Pramurti melompat menerjangnya.
Seketika Cakra Maut-nya melesat dengan cepat.
Pramurti terperangah sesaat namun dia terlambat
untuk berkelit Dan senjata cakra itu pun berhasil
membabat lehernya sampai buntung.
Tubuh wanita itu kontan terjungkal ke tanah
dengan kepala terpisah. Namun benar-benar di luar
dugaan! Kepala yang sudah terpisah itu bisa menyatu
kembali dengan lehernya, dan wanita itu bangkit lagi
dengan tegar. Tidak ada luka sedikit pun pada
lehernya!
“Ha ha ha...!” Iblis Topeng Mayat langsung tertawa
terbahak-bahak.
“Gila! Ilmu 'Batara Karang' benar-benar luar biasa!”
desah Bayu terperangah.
“Kau tidak akan bisa membunuhku, Anak Muda!
Ha ha ha...!”
Sejenak Bayu menggeretakkan rahangnya, lalu
kembali mengecutkan senjatanya. Cakra Maut itu pun
meluncur bagaikan kilat. Namun Pramurti diam saja
dan tidak berusaha berkelit sedikit pun. Cakra Maut
itu kembali menebas kepala wanita itu, namun belum
juga kepala itu sampai jatuh, tangan Pramurti sudah
menyanggahnya, dan kepala itu langsung menyatu
kembali seperti semula!
Beberapa kali Bayu mengibaskan senjatanya, tapi
Iblis Topeng Mayat tidak berkelit sedikit pun. Hampir
seluruh tubuhnya terpotong-potong, tapi dengan
cepat bisa menyatu kembali. Tidak ada luka sedikit
pun pada tubuhnya. Bayu jadi kewalahan juga. Dia
tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Selama
wanita itu masih menyentuh tanah, tidak akan
mungkin bisa mati.
“Apa akalku sekarang. ' gumam Bayu bertanya
pada dirinya sendiri.
“Ayo, Anak Muda! Apa lagi yang kau andalkan?”
tantang Pramurti pongah.
Bayu hanya diam saja. Otaknya terus bekerja keras
mencari jalan untuk membunuh wanita itu. Dia tidak
ingin membuang tenaga percuma tanpa hasil.
“Harus ada cara! Harus...!” dengus Bayu dalam
hati.
***
Pendekar Pulau Neraka kali ini benar-benar
memeras otak untuk bisa mengalahkan lawannya.
Dia tidak mungkin hanya mengandalkan kekuatan
dan kedahsyatan jurus-jurusnya saja. Lawan yang
dihadapinya sekarang, bukanlah lawan yang biasa.
“Hm..., aku ada akal! Harus dilakukan dengan
cepat dan tidak membuatnya curiga. Ini kesempatan
bagiku selagi dia lengah dan bangga!” gumam Bayu
dalam hati.
“Ayo, Anak Muda. Apakah kau gentar?” ejek Iblis
Topeng Mayat meremehkan.
Sejenak Bayu merogoh sakunya, dan mengeluar-
kan bintang perak tiga buah. Selama ini dia tidak
pernah menggunakan bintang perak Itu sebagai
senjata dalam pertarungan. Tapi kali ini dia terpaksa
menggunakannya. Dan itu hanya sebagai pancingan
saja.
“Hiya...!”
Dengan cepat Bayu melontarkan bintang-bintang
perak itu ke arah kaki Iblis Topeng Mayat. Namun
wanita berbaju hijau itu hanya tertawa, dan bersikap
meremehkan. Dia hanya melompat menghindari
lontaran senjata bintang perak itu, tanpa membalas
menyerang. Namun saat tubuh wanita itu berada di
udara, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu
mengibaskan tangan kanannya.
Wut!
Senjata Cakra Maut kembali melesat cepat
bagaikan kilat. Sedangkan Pramurti yang tengah
diliputi kesombongan, menganggap enteng senjata
itu. Dia membiarkan saja Cakra Maut bersegi enam
itu menebas lehernya.
“Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat, Bayu melompat begitu leher Iblis
Topeng Mayat terpenggal. Dan dengan cepat, kedua
tangannya menyambar rambut serta pinggang wanita
itu. Pendekar Pulau Neraka itu berputar dua kali di
udara, sebelum kakinya menjejak pada dahan pohon
yang hanya satu-satunya tumbuh di daerah gersang
berbatu itu.
Bayu langsung mengikat rambut yang panjang itu
pada dahan yang tinggi. Lalu dia meletakkan tubuh
wanita itu pada dahan satunya lagi. Dia mengikat
tubuh tanpa kepala itu dengan sulur-sulur pohon yang
banyak menjuntai. Setelah selesai, Pendekar Pulau
Neraka kembali meluruk turun
“Bocah setan! Lepaskan aku! Licik! Curang...!”
Pramurti yang kepalanya sudah terpisah dari
badannya itu menjerit-jerit memaki.
“Terimalah kematianmu, perempuan iblis!” seru
Bayu merasa menang dengan kecerdikannya.
“Kubunuh kau, Bocah!”
“Ayo, bunuhlah aku kalau memang kau mampu!”
tantang Bayu balas mengejek.
“Setan...! Keparat! Lepaskan aku! Kita bertarung
sampai mati!”
“Tidak perlu, sebentar lagi kau juga akan mati!”
“Bocah setan! Keparat! Kubunuh kau...! Kubunuh
kau... keparat...!” jerit Pramurti memaki-maki.
Bayu tidak mempedulikan teriakan-teriakan Iblis
Topeng Mayat. Dia sudah tahu, selama tubuh wanita
itu masih berada di atas pohon, tidak bisa berbuat
banyak lagi. Ilmu 'Batara Karang' memang sangat
menguntungkan, tapi kalau keadaannya sudah
seperti Iblis Topeng Mayat sekarang ini, selamanya
akan tetap begitu. Tergantung di atas pohon, antara
mati dan hidup.
“Nyai Ratu...!”
***
Bayu langsung menoleh. Tampak empat orang
gadis cantik berbaju hijau berlarian menghampiri.
Dengan cepat Bayu melompat menghadang. Empat
orang gadis itu kelihatan terkejut begitu ada, seorang
pemuda tampan memakai baju dari kulit harimau,
menghadang di depan. Dan tanpa dijelaskan, mereka
sudah bisa menebak, apa yang telah terjadi barusan
di tempat itu. Mereka memang sudah pernah bentrok
dengan pemuda berbaju kulit harimau itu sebelum-
nya.
“Widarti, turunkan Nyai Ratu!” perintah salah
seorang.
Gadis yang dipanggil Widarti, langsung melesat ke
atas. Namun dengan cepat Bayu mengebutkan
tangan kanannya ke arah gadis itu. Seketika senjata
Cakra Maut di pergelangan tangannya mencelat cepat
bagaikan kilat Widarti yang tengah berada di udara,
terperangah. Buru-buru dia melurukkan tubuhnya ke
bawah. Namun dengan cepat Bayu menerimanya
dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Tapak Beracun'.
“Akh!” gadis itu langsung memekik tertahan.
Dan begitu Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangan, dengan cepat Bayu melontar-
kannya kembali ke arah tiga orang gadis lainnya.
Sementara itu Widarti hanya sempat bergerak sedikit,
lalu diam dan tidak berkutik lagi. Di dadanya tertera
gambar telapak tangan berwarna hitam. Sedangkan
dari mulut dan hidungnya mengalir darah kental
kehitaman.
“Aaakh...!”
Kembali terdengar jeritan melengking tinggi.
Tampak salah seorang sudah menggelepar dengan
dada robek terkena sabetan Cakra Maut. Sedangkan
dua orang lagi berhasil menghindar. Namun Bayu
tidak lagi memberi kesempatan. Dia segera
menerjang dengan mengerahkan jurus andalannya,
jurus 'Kelelawar Maut'. Kemudian disusul dengan
jurus 'Pukulan Tapak Beracun' yang sangat dahsyat.
Dua orang gadis murid Iblis Topeng Mayat itu
benar-benar kewalahan, menghadapi gempuran-
gempuran Pendekar Pulau Neraka yang sangat
dahsyat dan tidak kenal ampun itu. Sedangkan dua
orang lagi sudah tewas tanpa mampu melakukan
perlawanan.
“Winarni, awas...!”
Teriakan peringatan itu terdengar keras, namun
gadis yang diperingati hanya sempat mendongak
kaget. Dan satu totokan telak bersarang di dadanya.
Seketika itu gadis yang dipanggil Winarni itu jatuh ke
tanah.
Setelah menotok satu orang, Bayu langsung
menyerang satunya lagi. Jurus 'Pukulan Tapak
Beracun'-nya begitu dahsyat. Gadis itu tampak tidak
bisa berbuat banyak. Dia hanya mampu berkelit dan
menghindar sebisanya. Dan pada satu kesempatan,
Bayu berhasil mendaratkan tendangan keras ke arah
perut, disusul dengan satu pukulan keras ke dada.
“Akh!” seketika gadis itu memekik tertahan.
Dan sebelum tubuhnya ambruk, Pendekar Pulau
Neraka segera melayangkan tangannya ke arah leher.
Tak pelak lagi, kepala gadis itu terpisah dari lehernya.
Setelah itu, Bayu langsung melompat ke arah gadis
yang ditotok jalan darahnya di bagian dada. Gadis itu
tampak mendelik, dan berusaha menggeliat, namun
tubuhnya tidak mampu lagi digerakkan.
“Di mana kau sembunyikan Paksi dan Sariti?”
tanya Bayu tajam.
Gadis itu tidak menyahut. Dia tetap mendelik saja
dengan marah.
“Hm..., memang tidak ada gunanya bertanya
padamu,” gumam Bayu pelan. “Tapi kau akan segera
merasakan, bagaimana tersiksanya mati secara
pelahan-lahan!”
Bayu kemudian mengangkat tubuh gadis itu, dan
meletakkannya di atas sebongkah batu yang cukup
besar. Lalu dia mengambil batu lagi. Batu sebesar
anak kerbau itu segera ditumpangkan pada tubuh
gadis itu. Bayu pun kembali menotok jalan darah
pada leher, sehingga gadis itu bisa menggerak-
gerakkan lehernya, dan bisa bersuara lagi.
“Panas matahari akan memanggangmu, dan
dinginnya malam akan membekukanmu. Kau akan
merasakan bagaimana tersiksanya mati secara
pelahan-lahan,” desis Bayu dingin.
“Bunuhlah aku, keparat!” bentak gadis itu.
“Kau terlalu enak kalau dibunuh, Manis. Lihat,
guru dan temanmu sudah mati. Aku akan memenuhi
keinginanmu, jika kau mau menunjukkan di mana
kau sembunyikan Paksi dan Sariti?”
Gadis itu tidak segera menjawab. Rupanya dia
sedang mempertimbangkan tawaran Pendekar Pulau
Neraka itu. Matanya tampak beredar memandangi
mayat tiga orang temannya, dan mayat gurunya yang
terikat di dahan pohon. Dia tidak tahu, apakah
gurunya sudah mati atau belum. Gurunya tidak akan
mati kalau kembali menyentuh tanah.
“Kau tidak sayang dengan kecantikanmu?”
kembali Bayu menawarkan.
“Baiklah, tapi kau harus membebaskanku?” sahut
gadis itu menyerah.
“Itu soal mudah, yang penting sekarang tunjukkan
di mana Paksi dan Sariti berada.”
“Di dalam ruangan batu itu,” jawab gadis itu
sambil menunjuk sebongkah batu besar bagai bukit,
dengan sudut matanya.
Bayu segera menoleh ke arah batu itu. Cukup
besar dan tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu lalu
melangkah menghampiri batu besar dan hitam
berlumut itu. Sejenak dia mengamati, keningnya
tampak berkerut Dan dia berpaling kembali pada
gadis yang masih tertindih sebongkah batu besar itu.
“Geser tonggak batu yang berada di kananmu ke
kiri,” kata gadis itu memberitahu.
Bayu segera menggeser tonggak batu yang berada
di kanannya ke sebelah kiri. Seketika terdengar suara
bergemuruh! Tampak dinding batu di depannya
bergerak ke arah kanan. Bayu berkerut juga
keningnya melihat batu itu ternyata berongga. Tak
lama kemudian, terlihat Paksi dan Sariti terikat tak
berdaya di dalam rongga batu itu.
Pendekar Pulau Neraka itu bergegas masuk dan
membebaskan ikatan mereka. Bayu agak heran juga
melihat Paksi tidak bisa bergerak, meskipun matanya
bergerak-gerak. Pendekar Pulau Neraka itu segera
memeriksa tubuh putra kepala desa itu. Dan jari-jari
tangannya langsung bergerak cepat di beberapa
bagian tubuh Paksi. Sesaat kemudian, pemuda itu
pun mampu bergerak kembali. Dia bergegas bangkit,
dan memeluk Sariti yang masih lemas.
“Cepat keluar dari sini,” kata Bayu memerintah.
Paksi segera memondong tubuh gadis yang baru
saja dinikahinya, dan membawanya keluar dari
ruangan batu itu. Sedangkan Bayu mengikutinya dari
belakang. Dan begitu mereka sampai di luar, dinding
batu itu kembali bergerak menutup. Bayu meng-
hampiri gadis yang masih tergolek dengan tubuh
tertindih batu.
“Apa permintaanmu sekarang?” tanya Bayu
memenuhi janjinya.
“Bunuhlah aku!” sahut gadis itu tegas.
“Heh!” Bayu tersentak kaget.
Sungguh dia tidak menyangka kalau gadis itu tetap
pada permintaannya. Semula dia mengira, gadis itu
pasti minta dibebaskan. Bayu terus memandangi
setengah tidak percaya. Kemudian Pendekar Pulau
Neraka itu mengangkat batu yang menindih tubuh
gadis itu.
Bayu segera melangkah mundur, setelah dia
membebaskan totokan pada gadis cantik berbaju
hijau itu. Sementara Paksi dan Sariti hanya
memperhatikan saja. Mereka tampak lemas, setelah
terkurung di dalam ruangan batu yang udaranya
sedikit. Sementara gadis berbaju hijau itu sudah
berdiri. Dia menatap tiga orang di depannya. Dan
seketika itu juga....
Prak!
“Hey!”
Bayu langsung terperanjat melihat kenekatan
gadis itu. Dia memukul kepalanya sendiri hingga
retak. Sejenak gadis itu menggelepar, lalu diam dan
tidak bergerak-gerak lagi. Pendekat Pulau Neraka itu
hanya menarik napas panjang, dan membalikkan
tubuhnya. Dia lalu mengajak Paksi dan Sariti untuk
meninggalkan tempat itu.
Mereka pun melangkah menuju lingkaran angin
yang membentuk sebuah lorong goa. Tubuh mereka
langsung tergulung dan terhempas, membuat
kesadaran mereka melayang.
Bayu merasakan perjalanan menembus lorong ini
tidak seperti dia datang tadi. Kali ini dia merasakan
seperti terbang terbawa angin. Tak lama kemudian,
tubuhnya seperti terlontar dari suatu ketinggian, dan
jatuh terhempas dengan lembut di atas rerumputan.
***
“Paksi...!”
“Kakang Bayu...!”
Bayu segera tersenyum ketika kesadarannya mulai
pulih kembali. Tampak di seberang jurang sana,
beberapa orang telah menanti. Di antara mereka
terlihat tiga orang resi dari Puri Watu Ukir, Kepala
Desa Batang Hulu, dan Narita, serta beberapa orang
lagi.
“Kau masih mampu melompati jurang ini, Paksi?”
tanya Bayu.
“Rasanya aku masih mampu, tapi Sariti....”
“Biar aku yang membawanya.”
Paksi lalu menyerahkan istrinya pada pemuda
berbaju kulit harimau itu. Kemudian dia meng-
konsentrasikan dirinya sebentar, dan melompat ke
seberang jurang. Dia berputar dua kali di udara, dan
hinggap dengan manis di seberang jurang.
Sedangkan Bayu pun segera melentingkan tubuh
nya sambil memondong Sariti. Sama sekali dia tidak
berputar di udara. Pendekar Pulau Neraka itu
bagaikan terbang saja, melintasi mulut jurang yang
menganga. Dan dengan mulus, kakinya hinggap di
seberang.
“Sariti, Anakku...,” seorang wanita tua menyeruak
dari kerumunan orang-orang itu.
“Ibu....”
Sariti langsung berlari begitu Bayu menurunkannya
dari pondongannya. Anak dan ibu itu saling ber-
pelukan dan bertangisan. Sementara Ki Rungkut
segera mendekati anaknya dan menepuk pundaknya
beberapa kali. Mereka juga saling berpelukan.
Tampak kedua mata Ki Rungkut berkaca-kaca.
“Bagaimana kau dapat mengalahkan Iblis Topeng
Mayat, Kakang Bayu?” tanya Narita yang tahu-tahu
sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka itu.
“Ceritanya panjang,” sahut Bayu.
“Kau mau menceritakannya padaku, kan?” pinta
Narita agak manja.
Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum.
Beberapa saat kemudian, semua orang yang berada
di Puncak Bukit Bojong, mulai bergerak meninggalkan
tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri saja sambil
memandang ke seberang jurang. Dia masih belum
mengerti dengan sikap salah seorang gadis murid
Iblis Topeng Mayat, yang bunuh diri dengan me-
mecahkan kepalanya sendiri.
Belum pernah dia menemukan seorang yang
begitu setia, dan rela mati bersama guru dan teman-
temannya. Padahal dia bisa saja meminta untuk
dibebaskan, dan bahkan mungkin membalas
dendam. Benar-benar satu keputusan yang sangat
sulit, dan jarang ditemukan.
“Kakang...,” tegur Narita lembut. Bayu menoleh.
Dia segera tersenyum melihat Narita masih berada di
sampingnya.
“Kau mau di sini terus?” masih lembut suara
Narita.
“Hhh...,” Bayu menarik napas panjang.
Perlahan-lahan kaki Pendekar Pulau Neraka itu
terayun meninggalkan bibir jurang itu. Narita pun
segera mengikutinya dan mensejajarkan langkahnya
di samping pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka
terus melangkah tanpa berbicara lagi. Sementara di
ufuk Timur, cahaya matahari mulai menyemburat
merah
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar