..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 12 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE MENEMBUS LORONG MAUT

matjenuh

 

MENEMBUS LORONG MAUT 

oleh Teguh Suprianto 

Cetakan pertama 

Penerbit Cintamedia, Jakarta 

Gambar Sampul : Tony G. 

Hak cipta pada Penerbit 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit 

Teguh Suprianto 

Serial Pendekar Rajawali Sakti 

dalam episode 009 : 

Menembus Lorong Maut 

128 hal ; 12 x 18 cm




Bukit Bojong tampak anggun berselimut kabut tipis. 

Puncaknya yang menjulang tinggi, bagai menantang 

langit biru dengan awan tipis berarak terbawa angin. 

Seluruh permukaan bukit itu tampak hijau, indah 

dipandang mata. Namun di balik keindahan itu, 

tersimpan suatu misteri yang dalam dan sukar untuk 

ditembus. 

Tidak seperti kebanyakan bukit-bukit lainnya, Bukit 

Bojong tampak sepi, tak ada sebuah desa pun berada 

di sekitar kaki bukit itu. Sepanjang mata memandang, 

hanya kehijauan yang terhampar. Bukit itu seperti 

tidak pernah terjamah oleh tangan-tangan manusia. 

Bahkan binatang pun sepertinya enggan untuk meng-

injakkan kakinya di sana. 

Namun kesunyian dan keindahan Bukit Bojong, 

suatu ketika pecah oleh suara ledakan dahsyat dari 

arah Barat. Tampak debu mengepul ke udara disertai 

dengan pecahan-pecahan batu dan cahaya kilat. Di 

antara kepulan debu dan bebatuan itu, terlihat 

sesosok bayangan berkelebat cepat bagai kilat. 

Sesosok bayangan itu kemudian hinggap di atas 

dahan sebatang pohon besar dengan daun-daunnya 

yang hampir rontok dimakan usia. Ternyata bayangan 

itu adalah seorang wanita berambut panjang yang 

memakai baju berwarna hijau menyala. Wajahnya 

kehitaman dengan bola mata merah melesak ke 

dalam. 

Garis-garis wajahnya yang kaku, menunjukkan


kalau wanita itu mengenakan topeng yang berwarna 

pucat bagai mayat. Dia berdiri tegak sambil 

memandangi kepulan debu dan bebatuan di 

depannya. Sesaat kemudian, setelah kepulan debu 

itu memudar, tampak seorang laki-laki tua berjubah 

putih, berdiri limbung dengan tangan menekap dada. 

Sebilah tombak pendek menancap di dada hingga 

tembus ke punggung. 

“Hi hi hi...!” wanita bertopeng pucat itu tertawa 

mengikik kecil dan nyaring. 

Untuk beberapa saat, laki-laki tua berjubah putih 

itu masih mampu berdiri. Namun kemudian tubuhnya 

limbung, dan ambruk ke tanah sambil mencabut 

tombak pendek yang menancap di dadanya. Darah 

langsung mengucur deras membasahi tanah be-

rumput tebal. Dengan sekuat tenaga laki-laki tua itu 

berusaha bangkit, tapi baru saja tubuhnya terangkat, 

dia kembali terguling. 

“Hi hi hi...!” kembali wanita bertopeng pucat itu 

tertawa penuh kepuasan. 

“Perempuan iblis! Kali ini aku mengaku kalah, tapi 

lain kali...,” laki-laki tua itu tidak dapat melanjutkan 

kata-katanya. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, lalu 

diam dan tak bergerak-gerak lagi. 

“Hi hi hi...! Tidak ada waktu lagi membalasku, laki-

laki tua!” 

Namun laki-laki tua itu tidak menjawab. Dan tubuh-

nya juga sudah tidak bergerak-gerak lagi. Kemudian 

perempuan bertopeng pucat yang berdiri di atas 

dahan itu meluruk turun. Gerakannya begitu indah 

dan ringan, pertanda bahwa dia memiliki tingkat 

kepandaian yang tinggi. Sepasang kakinya mendarat 

ringan tanpa suara di samping mayat laki-laki tua 

lawannya itu. Sebentar dia memandangi, lalu mem



bungkuk dan menjumput tombak pendek yang ter-

geletak di samping mayat itu. 

Tombak pendek berwarna hitam pekat itu, lalu 

diselipkan ke pinggangnya. Matanya sempat menatap 

tajam pada tubuh yang menggeletak bersimbah 

darah. Kemudian pelahan-lahan kakinya terayun 

meninggalkan tempat itu. Kini kesunyian kembali 

menyelimuti seluruh Bukit Bojong itu. 

*** 

Siang itu langit tampak cerah. Angin berhembus 

semilir menyejukkan. Awan yang menggantung tipis 

dan berarak indah, tak mampu melindungi bumi dari 

sengatan sinar matahari. Namun suasana seperti itu 

tidak dirasakan oleh seorang pemuda dan seorang 

gadis yang mengenakan baju yang bentuk dan 

warnanya sama. 

Mereka berdiri dengan gelisah memandang ke 

arah Bukit Bojong. Sepasang manusia berbaju merah 

menyala itu sesekali menarik napas panjang dan 

menghembuskannya dengan kuat. Seolah-olah 

mereka tengah menantikan sesuatu yang akan 

datang dari bukit itu. 

“Perasaanku tidak enak, Kakang,” kata gadis itu 

dengan nada cemas. 

“Hm...,” pemuda di sampingnya hanya meng-

gumam. 

“Sebaiknya kita lihat saja ke sana, Kakang,” kata 

gadis itu lagi. 

“Jangan! Eyang Resi sudah berpesan, kita dilarang 

menyusulnya. “ 

“Tapi....” 

Belum sempat gadis itu meneruskan kata-katanya,


tiba-tiba tidak jauh dari tempat mereka berdiri, me-

luncurlah sebuah bayangan hijau menuruni Lereng 

Bukit Bojong itu. Bayangan itu bergerak sangat cepat, 

sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap. 

“Ayo, Adik Narita!” seru pemuda itu sembari 

melesat cepat ke arah Lereng Bukit Bojong sebelah 

Barat. 

Tanpa menunggu lagi, gadis itu langsung bergerak 

mengikutinya. Mereka mengerahkan ilmu meringan-

kan tubuh, sehingga sebentar saja tubuh mereka 

sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan di se-

panjang lereng bukit itu. 

Dalam waktu tidak berapa lama, mereka telah 

sampai di suatu tempat yang cukup luas bagai 

lapangan rumput. Sejenak kedua manusia berbaju 

merah itu tertegun, melihat sesosok tubuh berjubah 

putih tergolek berlumuran darah di rerumputan. 

Kemudian hampir bersamaan mereka melompat 

menghampiri. 

“Eyang...!” seru pemuda itu keras. 

“Eyang, apa yang telah terjadi?” suara gadis itu 

juga keras, namun terdengar agak bergetar. 

Kemudian pemuda berbaju merah itu mengangkat 

mayat laki-laki tua berjubah putih. Sesaat dia 

memeriksa, lalu meletakkannya kembali di tempat 

yang terlindung dari sengatan matahari. Sementara 

gadis di sampingnya hanya mampu memandangi 

dengan bola mata berkaca-kaca. Sesaat kesenyapan 

menyelimuti tempat itu. 

“Kau tunggu di sini dulu, Narita,” kata pemuda itu 

langsung melompat pergi. 

Gadis yang dipanggil Narita hanya mengangguk 

saja. Dia kemudian duduk bersila di samping jenazah 

laki-laki tua itu. Matanya tidak berkedip memandang


darah yang mengalir dari dada berlubang itu. Tanpa 

disadari, setitik air bening bergulir di pipinya. 

Sebentar kepalanya terangkat ke atas, dan terdengar 

tarikan napas yang panjang dan berat. 

Beberapa saat kemudian, pemuda itu kembali 

dengan punggung penuh kayu-kayu kering. Pemuda 

itu meletakkan kayu-kayu yang dibawanya ke dekat 

mayat laki-laki tua berjubah putih. Kemudian dia pergi 

lagi. Sementara gadis itu segera bangkit dan menata 

kayu-kayu tersebut menjadi tempat berbentuk dipan. 

Saat dia tengah meletakkan mayat laki-laki tua itu di 

atas kayu-kayu yang sudah ditatanya, pemuda itu 

kembali datang dengan punggung penuh kayu-kayu 

kering. Dia meletakkan kayu itu di depan tumpukan 

kayu yang sudah tertata rapi. 

Mereka kemudian menata kayu-kayu tersebut 

menjadi bentuk sebuah rumah kecil. Setelah rapi 

semuanya, mereka membakarnya dengan bibir 

terkatup rapat. Api berkobar cepat melahap kayu-

kayu kering berbentuk rumah, dengan mayat seorang 

laki-laki tua berjubah putih di dalamnya. Kedua 

manusia berlainan jenis itu memandanginya dengan 

mata tidak berkedip dari jarak yang cukup jauh. 

Letupan-letupan kecil terdengar, disertai percikan 

bunga api yang membumbung tinggi ke angkasa. Api 

terus berkobar semakin besar. Sebentar saja udara di 

sekitar Lereng Bukit Bojong sebelah Barat itu jadi 

terasa panas menyengat. Asap hitam mengepul 

menghalangi cahaya matahari yang siang itu bersinar 

terik. 

“Selamat jalan, Eyang...,” desis Narita lirih. 

“Ayo, Narita,” ajak pemuda itu seraya berbalik. . 

Narita tidak menyahut. Dia tetap berdiri memandang 

api yang masih berkobar besar.


“Narita...,” pemuda itu menepuk pundak Narita. 

“Ke mana lagi kita pergi, Kakang Seta?” tanya 

Narita seraya membalikkan tubuhnya. Suaranya 

pelan, seperti tidak punya gairah hidup lagi. 

“Kita harus mencari si Iblis Topeng Mayat,” sahut 

pemuda yang dipanggil Seta itu. 

Narita kembali diam. Sejenak kepalanya menoleh 

pada api yang tetap berkobar besar melahap kayu-

kayu kering. Kemudian pelahan-lahan kakinya 

terayun mengikuti langkah Seta. Mereka berjalan 

berdampingan tanpa bicara sedikit pun. Wajah 

mereka tampak sendu, dengan mata merembang 

kosong ke depan. 

Sesekali Narita masih juga menoleh ke belakang. 

Sepertinya dia berat untuk meninggalkan tempat itu. 

Namun dia harus pergi, meskipun dengan hati berat. 

*** 

Senja mulai merayap mendekati sang malam. 

Cahaya matahari mulai redup memerah jingga di ufuk 

Barat. Sementara itu tampak Seta dan Narita terus 

melangkah pelan-pelan melintasi sungai kecil dengan 

air jernih yang mengalir dari atas Bukit Bojong. Sungai 

itu sebagai pembatas Bukit Bojong dengan suatu 

daerah yang dinamakan Karang Waja. 

Daerah itu merupakan hutan yang tidak begitu 

lebat. Beberapa jalan setapak terdapat di sepanjang 

hutan itu. Bahkan tidak jauh dari hutan itu terdapat 

sebuah padukuhan kecil, dengan beberapa rumah 

yang terbuat dari kayu beratapkan rumbia. 

Padukuhan itu bernama Dukuh Karang Waja. Ke 

sanalah Seta dan Narita kini tengah menuju. Memang 

hanya itulah satu-satunya padukuhan yang ada di


Hutan Karang Waja ini. 

Dua orang berbaju merah itu kemudian berhenti di 

tepi Dukuh Karang Waja. Tatapan mata Seta tidak 

berkedip ke arah padukuhan itu. Sementara Narita 

hanya berdiri saja di sampingnya dengan pandangan 

kosong. Namun garis-garis wajahnya terlihat suatu 

ketegangan. Degup jantungnya lebih keras dari biasa 

nya. Sejenak gadis itu mengalihkan pandangannya 

pada pemuda di sampingnya. Pada saat itu, Seta juga 

menoleh ke arahnya. Sesaat mereka saling pandang. 

“Aku merasa kalau kedatangan kita ini memang 

telah ditunggu, Kakang,” kata Narita pelan, setengah 

berbisik suaranya. 

“Hati-hatilah, tidak biasanya Padukuhan Karang 

Waja sepi begini,” sahut Seta seraya mengalihkan 

kembali pandangannya ke arah padukuhan yang 

tampak sepi itu. 

“Kakang....” 

“Awas!” seru Seta tiba-tiba. 

Narita tidak bisa melanjutkan kata-katanya. 

Seketika saja dari arah depan mereka meluncur 

puluhan tombak pendek, berwarna hitam pekat. Dua 

orang berbaju merah itu segera berlompatan meng-

hindari serangan-serangan itu. 

Begitu tombak-tombak itu berhenti menghujani 

mereka, tiba-tiba muncullah lima orang wanita 

berbaju hijau dengan wajah memakai topeng 

berwarna pucat bagai mayat. Gerakan mereka sangat 

lincah dan cepat! Tanpa berkata apa-apa, mereka 

langsung menyerang dengan senjata tombak pendek 

berwarna hitam pekat. 

Aneh! Mereka membagi serangan itu tidak 

seimbang. Satu orang menyerang Seta, dan empat 

orang lagi mendesak Narita. Tentu saja gadis itu


kerepotan, karena serangan-serangan empat orang 

lawannya demikian cepat dan dahsyat. Sedangkan 

Seta merasakan dirinya hanya dibuat sibuk saja, dan 

digiring menjauhi Narita. 

“Hiya! Hiyaaa...!” 

Seta yang merasakan adanya keanehan pada 

serangan-serangan itu, langsung mengerahkan jurus-

jurus andalannya. Dan hal itu tampak membuat 

lawannya kewalahan. Namun dengan mengandalkan 

gerakan kaki yang lincah dan kelenturan tubuhnya, 

lawannya itu mampu menghalau setiap serangan-

serangan Seta yang dahsyat dan mematikan! 

“Akh!” 

Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan. Tampak 

Narita sempoyongan terhajar punggungnya. Pada 

saat itu, satu pukulan keras mendarat di dada gadis 

itu. Kembali Narita memekik, disusul tubuhnya ter-

jungkal ke tanah dengan keras. Tanpa memberi 

kesempatan lagi, salah seorang lawannya melompat 

seraya berteriak keras. Tombak pendek di tangan 

kanannya sudah terangkat tinggi-tinggi, siap untuk 

ditembuskan ke tubuh Narita. 

Namun pada saat yang genting itu, tiba-tiba 

sebuah bayangan berkelebat cepat. Tombak di 

tangan orang bertopeng pucat bagai mayat itu 

terpental. Dan orang itu memekik tertahan sambil 

melentingkan tubuhnya ke belakang. Empat orang 

yang mengeroyok Narita, jadi terlongong. Karena 

gadis itu mendadak saja lenyap tak berbekas. 

Namun mereka tidak sempat lagi berpikir, karena 

tiba-tiba terdengar jeritan melengking dari arah lain. 

Tampak orang bertopeng pucat yang bertarung 

dengan Seta, terjungkal mencium tanah. Empat orang 

itu langsung berlompatan menyerang Seta.


“Hiyaaa...!” Seta berteriak keras sambil mengebut-

kan tangannya ke depan. 

“Aaa...!” seketika satu jeritan melengking tinggi 

terdengar. 

Tampak seorang dari penyerang-penyerang itu 

menggelepar di tanah. Dadanya tertembus oleh tiga 

buah pisau kecil berwarna keperakan. Tanpa mem-

buang-buang waktu lagi, empat orang lagi segera 

berlompatan mengepung. Sejenak Seta memutar 

tubuhnya mengamati empat orang lawannya yang 

bergerak pelahan-lahan memutarinya. 

“Narita...!” desis Seta tersentak ketika matanya 

tidak lagi melihat Narita. 

Kedua bola mata Seta menatap nyalang pada 

empat orang wanita bertopeng pucat yang 

mengepungnya itu. Gerahamnya bergemeletuk 

menahan amarah yang meluap-luap. Pelahan-lahan 

tangan kanannya menarik sabuk perak yang mem-

belit pinggangnya. Kemudian sabuk itu langsung 

dikebutkan dengan keras ke depan. Benar-benar luar 

biasa! Sabuk itu meregang kaku menjadi sebilah 

pedang perak yang sangat tipis dan nampak lentur. 

Melihat Seta telah menghunus senjata, empat 

orang pengeroyoknya segera memecah tongkat 

pendeknya menjadi dua bagian. Tampak masing-

masing ujungnya kini terdapat sebilah mata tombak 

tipis bercabang dua. 

“Hiyaaat...!” 

Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak 

nyaring, dan tubuhnya melesat ke depan seraya 

mengebutkan senjatanya ke arah perut dan dada 

Seta. 

Langsung saja pemuda itu melompat mundur 

sambil mengibaskan senjatanya menyampok senjata


lawan. 

Baru saja terlepas dari serangan pertama, 

menyusul serangan berikutnya. Pemuda itu terpaksa 

membagi perhatiannya dalam empat jurusan. 

Serangan lawan-lawannya terus datang secara ber-

gantian dengan cepat dari empat jurusan. Sebentar 

saja teriakan-teriakan pertempuran kembali ter-

dengar, ditingkahi dengan denting senjata beradu! 

Seta terpaksa mengerahkan seluruh kemampuan 

yang dimilikinya. Dia sadar, kalau empat lawannya 

memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. 

*** 

Pertarungan empat lawan satu, terus berlangsung 

semakin sengit. Sudah beberapa kali Seta berhasil 

menyarangkan tendangan dan pukulan ke tubuh 

lawannya. Tapi sesekali dia juga tidak bisa meng-

hindar dari pukulan dan tendangan lawan. Seluruh 

tubuhnya telah basah oleh keringat Sedangkan debu 

juga banyak menempel mengotori bajunya. Namun 

serangan-serangannya tidak mengendor sedikit pun. 

“Akh!” tiba-tiba Seta memekik tertahan. 

Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke 

belakang. Tangan kirinya segera menekap lambung-

nya yang sobek kena senjata lawan. Darah mengucur 

dari luka yang cukup dalam pada lambungnya. 

“Phuih!” Seta menyemburkan ludahnya. 

“Sebaiknya kau menyerah saja, Pemuda Tampan,” 

kata salah seorang dengan suara lembut merayu. 

“Ikutlah bersama kami, kau akan menikmati 

indahnya hidup di sorga,” sambung yang lain. 

“Kau sangat tampan, tentu ratu kami akan 

mengampuni dan mengijinkanmu tinggal di istana


nya,” kata satunya lagi. 

Seta menggeram muak mendengar kata-kata yang 

lembut namun sangat menyakitkan hatinya itu. Dan 

tanpa menghiraukan luka di lambungnya, pemuda itu 

berteriak keras sambil melompat menerjang 

perempuan bertopeng pucat bagai mayat yang 

berada di depannya. 

“Heit!” 

Wanita itu langsung berkelit sambil mengibaskan 

senjatanya. Dan tanpa diduga sama sekali, Seta 

melayangkan tangan kirinya dengan cepat. 

Bug! 

“Hugh!” wanita itu mengeluh pendek. 

Dan pada saat tubuhnya limbung terdorong ke 

belakang, dengan cepat Seta mengibaskan 

senjatanya ke arah leher. Namun satu senjata lawan 

lainnya berhasil memapak serangan itu. 

Trang! 

Seta segera menarik kembali senjatanya, lalu 

langsung berputar dan menyerang lawan yang me-

mapaknya tadi. Tepat pada saat itu, dari arah 

samping, berkelebat satu bayangan dengan cepat. 

Seta yang tengah terpusat perhatiannya pada satu 

lawannya, tidak sempai lagi untuk menghindari satu 

tendangan dahsyat ke kepalanya. 

“Aaakh...!” Seta menjerit keras. 

Kepalanya terasa mau pecah terkena hantaman 

kaki yang begitu keras dan bertenaga dalam cukup 

tinggi. Belum lagi Seta mampu menguasai dirinya, 

mendadak satu tusukan benda tajam berhasil 

merobek dadanya. Kembali dia menjerit melengking 

tinggi! Darah segar segera muncrat dari dada yang 

menganga lebar.



Pemuda berbaju merah menyala itu semakin tidak 

dapat menguasai dirinya. Dua pukulan beruntun 

berhasil bersarang di tubuhnya. Seketika itu juga dia 

ambruk ke tanah. Dan tanpa menunggu lebih lama 

lagi, tiba-tiba sebatang tombak pendek hitam meluruk 

deras ke arahnya. Kini Seta benar-benar tidak bisa 

lagi untuk menghindar. Seketika dia kembali menjerit 

melengking tinggi, begitu tongkat itu memanggang 

lehernya. Sebentar tubuhnya menggelepar, lalu diam 

dan tidak bergerak-gerak lagi. 

Seorang lawannya segera menghampiri, dan 

mencabut tongkat yang memanggang leher pemuda 

itu. Kemudian dia menyatukannya kembali dengan 

yang tergenggam di tangan kiri. Sebentar dia menarik 

napas panjang, lalu berbalik menghadap tiga orang 

temannya yang berdiri berjajar sambil memandang ke 

arahnya. 

“Cepat tinggalkan tempat ini!” kata wanita 

bertopeng pucat itu tegas. 

“Bagaimana dengan...,” kata salah seorang lagi 

sambil menoleh ke arah mayat temannya yang meng-

geletak tidak jauh darinya. 

“Bawa dia, dan jangan sampai ada jejak!” sahut 

yang satu lagi. 

Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera membawa 

mayat itu dan melompat cepat meninggalkan tempat 

itu. Orang-orang itu tidak lagi peduli pada tubuh Seta 

yang menggeletak bersimbah darah. Di tangan 

pemuda itu masih menggenggam senjata, yang kini 

sudah kembali berubah jadi sabuk perak yang lemas 

dan lentur. 

Saat itu matahari benar-benar sudah tenggelam di 

ufuk Barat. Kegelapan sudah menyelimuti di sekitar 

tempat itu. Seolah-olah ingin mengantarkan

seseorang yang melepas nyawanya dengan tubuh 

penuh luka bersimbah darah! 

***


 

Jauh di sebelah Utara Hutan Karang Waja, tampak 

sebuah bangunan besar dikelilingi pagar tembok yang 

tinggi dan tebal. Di belakang bangunan besar itu 

terdapat beberapa bangunan berbentuk panjang. 

Beberapa orang bersenjata tombak, selalu berjaga-

jaga di sekeliling tempat itu. 

Di dalam sebuah kamar yang cukup besar di 

rumah itu, tergolek seorang wanita berwajah cantik 

dengan kulit putih bersih, terpadu baju merah 

menyala dan ikat pinggang dari lempengan perak tipis 

yang lentur. 

Di sisi pembaringan kecil itu, tampak berdiri tiga 

orang laki-laki dan dua orang wanita. Mereka rata-

rata sudah berusia di atas tujuh puluh tahun. 

Pandangan mata mereka tidak lepas dari gadis cantik 

yang tengah tergolek tidak sadarkan diri. 

Beberapa saat kemudian, kepala gadis itu mulai 

bergerak lemah. Kelopak matanya berkerjap be-

berapa kali. Dia tampak terkejut begitu menyadari 

dirinya berada di suatu ruangan dan dikelilingi oleh 

beberapa orang. Sejenak gadis itu berusaha bangkit, 

tapi sebuah tangan kurus segera menahan bahunya. 

“Jangan bangkit dulu, racun yang mengendap di 

dalam tubuhmu belum keluar semua,” kata suara 

lembut bernada kering. 

“Siapa kalian? Bagaimana aku bisa sampai di 

sini?” tanya gadis itu. 

“Kau berada di Puri Watu Ukir,” sahut salah 

seorang laki-laki yang memakai jubah berwarna putih


bersih. 

“Puri Watu Ukir...?!” gadis itu nampak terkejut. 

Gadis berbaju merah itu terus memandangi wajah-

wajah di sekelilingnya. Kini dia mulai sadar, kalau 

dirinya tengah dikelilingi oleh lima tokoh tua 

pemimpin besar Puri Watu Ukir. Buru-buru gadis itu 

bangkit dari pembaringan dan berlutut di lantai. Salah 

seorang wanita tua yang mengenakan jubah warna 

biru, mendekati dan membangunkan gadis itu. Dan 

tanpa menoleh sedikit pun, gadis itu menurut saja 

ketika wanita tua itu memintanya kembali berbaring. 

“Kau telah terkena jarum hitam yang mengandung 

racun dahsyat dan mematikan,” kata wanita tua itu 

lembut. 

“Jarum hitam...?!” gadis itu kembali menggumam 

pelan. 

“Apakah kau bertarung dengan Perempuan Iblis 

Topeng Mayat?” tanya seorang laki-laki berjubah 

kuning. 

Gadis itu tidak langsung menjawab. Pelahan-lahan 

ingatannya kembali pada saat sebelum dia berada di 

tempat suci ini. Pada saat itu dia memang tengah 

bertarung melawan empat orang wanita berbaju 

hijau, dan mengenakan topeng pucat bagai mayat. 

Dia tidak tahu kalau salah seorang lawannya berhasil 

melontarkan jarum hitam yang mengandung racun. 

Gadis itu hanya ingat, kalau badannya tiba-tiba 

saja terasa panas, dan satu pukulan keras telah 

menghantam dadanya. Dia juga sempat melihat, 

ketika salah seorang lawannya hampir membunuh 

dengan senjatanya. Tapi pada saat itu, tubuhnya 

seperti melayang cepat, dan langsung tidak ingat apa-

apa lagi. Rasa panas yang menyelimuti tubuhnya, 

membuat dia tidak sadarkan diri. Rupanya rasa panas


itu datang dari jarum hitam yang berhasil masuk ke 

dalam tubuhnya. 

“Siapa namamu, Anak Manis?” tanya seorang 

wanita yang mengenakan jubah hijau. 

“Narita,” sahut gadis itu pelan. 

“Bagaimana kau bisa bentrok dengan Perempuan 

Iblis Topeng Mayat?” tanyanya lagi. 

“Aku tidak tahu, mereka ada lima orang, dan yang 

satu bertarung dengan kakakku. Oh...! Kakang Seta, 

apakah dia juga selamat?” keluh gadis berbaju merah 

yang ternyata bernama Narita. 

Tidak ada yang menjawab. Semua yang ada di situ 

memandang pada seorang laki-laki tua berjubah putih 

bersih. Sedangkan laki-laki berjubah putih itu tampak 

berpikir sebentar, dan mendekati Narita yang tetap 

berbaring di pembaringan kayu itu. 

“Kakakmu tewas. Maaf, kami terlambat menolong-

nya,” kata laki-laki tua itu. 

“Oh...,” Narita mendesah lirih. 

Sesaat kesepian melanda mereka semua. Laki-laki 

berjubah putih itu mengerdipkan matanya. Kemudian 

semua orang tua yang berada di ruangan itu, segera 

melangkah meninggalkan Narita seorang diri. Sedang-

kan gadis itu tetap terbaring dengan wajah murung 

berselimut duka. Kini tak ada lagi yang tersisa. Kakek, 

yang sekaligus juga gurunya, telah meninggal di 

tangan Perempuan Iblis Topeng Mayat. Dan kakak 

satu-satunya juga telah tewas! 

Sejenak Narita memalingkan mukanya, meman-

dang pada lima orang yang berjalan meninggalkan 

kamar itu. Tak lama kemudian, pintu kamar kembali 

tertutup rapat setelah orang terakhir ke luar. Dalam 

hatinya, dia mengucapkan terima kasih pada lima 

orang pemimpin besar Puri Watu Ukir itu. Mereka


adalah tokoh-tokoh tua yang tingkat kepandaiannya 

sudah mencapai taraf kesempurnaan. Orang-orang itu 

bernama Resi Wanakara yang berjubah putih, Resi 

Jagabaya yang mengenakan jubah kuning. Dan Resi 

Danuraga yang berjubah kelabu. Sedangkan dua lagi 

adalah perempuan tua. Mereka bernama Nyai Resi 

Puspita Rani yang memakai jubah biru, sedangkan 

satunya lagi berjubah hijau, namanya Nyai Resi Rara 

Kitri. 

Narita benar-benar tidak pernah menyangka kalau 

dia bisa berada di suatu tempat yang suci dan 

bertemu langsung dengan mereka. Tidak sembarang 

orang bisa bertemu dan berbicara langsung dengan 

lima tokoh Puri Watu Ukir itu. Namun saat ini Narita 

tidak peduli, hatinya tengah dilanda kedukaan yang 

amat dalam, dengan kematian dua orang yang sangat 

dicintainya. 

“Eyang..., Kakang Seta...,” desis Narita lirih. 

*** 

Tiga hari sudah Narita berada di kamar bangunan 

besar Puri Watu Ukir. Selama itu pula dia selalu 

dikunjungi oleh lima tokoh tua Puri Watu Ukir secara 

bergantian. Mereka selalu memberikan pengobatan 

untuk memulihkan kondisi tubuh gadis itu seperti 

sedia kala. 

Narita baru saja beranjak turun dari pem-

baringannya ketika pintu kamar itu terbuka. Seorang 

wanita tua berusia lebih tujuh puluh tahun segera 

melangkah masuk. Wanita itu mengenakan baju biru 

yang panjang dan longgar. Dia menyunggingkan 

senyuman manis di bibirnya. Narita pun membalas-

nya, dan berlutut memberi hormat.


“Nyai Resi Puspita Rani, terimalah salam hormat-

ku,” kata Narita tetap berlutut. 

“Bangunlah, Anakku. Aku terima salam hormat-

mu,” sahut Nyai Resi Puspita Rani lembut. 

Narita segera berdiri kembali 

“Bagaimana keadaanmu?” 

“Jauh lebih baik, Nyai Resi,” sahut Narita. 

Wanita berjubah biru itu lalu menekan pundak 

Narita, dan menyuruhnya duduk. Gadis itu hanya 

menurut, dan duduk di tepi pembaringan. Sebentar 

Nyai Resi Puspita Rani memeriksa beberapa bagian 

tubuh gadis itu, kemudian dia duduk di kursi dekat 

jendela. Bibirnya tetap menyunggingkan senyuman 

manis. 

“Kau sudah benar-benar pulih, Anakku,” kata Nyai 

Resi Puspita Rani gembira. 

“Terima kasih, Nyai Resi.” 

“Tapi kau masih perlu istirahat dan bersamadi, 

agar kesehatan dan kondisi tubuhmu benar-benar 

sempurna. “ 

Narita tidak menjawab. Kepalanya tetap tertunduk 

dalam. 

“Ada apa, Narita?” tanya Nyai Resi Puspita Rani 

seraya menatap dalam ke wajah yang tertunduk itu. 

“Tidak apa-apa, Nyai Resi. Aku hanya teringat pada 

Eyang Resi dan Kakang Seta,” sahut Narita pelan. 

“Hm..., siapa nama Eyang Resi-mu?” 

“Eyang Resi Galadipa.” 

“Resi Galadipa...,” gumam Nyai Resi Puspita Rani. 

“Ada apa, Nyai Resi?” tanya Narita dengan kening 

berkerut. 

“Sepertinya aku pernah mendengar nama itu,” 

sahut Nyai Resi Puspita Rani. “Hm..., apakah Eyang 

Resi-mu berjuluk Pendekar Welut Putih?”


“Benar, tapi itu dulu ketika Eyang Resi masih 

muda,” sahut Narita sambil mengangguk. 

“Ah...,” Nyai Resi Puspita Rani mendesah panjang. 

Narita menatap dalam pada wanita tua itu. Hatinya 

penasaran melihat perubahan wajah pada Nyai Resi 

Puspita Rani. Wanita tua itu seolah tengah terkenang 

sesuatu. 

Beberapa saat kemudian, Nyai Resi Puspita Rani 

bangkit, dan melangkah mendekati pintu kamar. 

Sementara Narita tetap duduk di tepi pembaringan. 

Benaknya jadi berputar melihat sikap wanita tua itu. 

Sementara benak Narita tengah disibuki oleh 

pikiran dan dugaan-dugaan, Nyai Resi Puspita Rani 

berdiri bersandar di pintu kamar yang telah tertutup 

rapat Kepalanya tampak terdongak ke atas. Lalu 

setelah mendesah panjang, kakinya kembali me-

langkah. Beberapa kali dia menggeleng-gelengkan 

kepalanya. Dia tidak tahu, kalau ada sepasang mata 

bening kecoklatan yang mengamatinya sejak tadi. 

Sepasang mata bening itu ternyata milik seorang 

laki-laki tua berjubah putih. Tentu saja Nyai Resi 

Puspita Rani terkejut, ketika laki-laki tua berjubah 

putih itu menghadang langkahnya. 

“Aku lihat kau murung setelah keluar dari kamar 

itu,” kata laki-laki berjubah putih itu, seraya melirik ke 

arah pintu kamar yang sudah tertutup rapat. 

Nyai Resi Puspita Rani tidak segera menyahuti. Dia 

hanya menarik napas panjang dan menghembus-

kannya pelan-pelan. Sementara laki-laki tua yang 

bernama Resi Wanakara, terus memperhatikannya 

dalam-dalam. 

“Ada yang menyusahkanmu, Nyai?” tanya Resi 

Wanakara lembut. 

“Kau ingat dengan peristiwa di Gunung Jati Sewu?”



Nyai Resi Puspita Rani malah balik bertanya. 

“Ya,” sahut Resi Wanakara. 

Kembali Nyai Resi Puspita Rani menarik napas 

panjang. Dia kembali mengayunkan langkahnya 

pelan-pelan. Sementara Resi Wanakara mengikutinya 

dengan benak yang diliputi berbagai macam per-

tanyaan. 

“Aku rasa kita telah melupakan, dan mengubur 

semua peristiwa yang terjadi di Gunung Jati Sewu itu, 

Nyai,” kata Resi Wanakara. 

“Ya, kita memang telah melupakannya. Juga 

semua saudara kita yang telah menjadi korban. Tapi 

kini kita harus mengingatnya, Kakang,” kata Nyai Resi 

Puspita Rani. 

Resi Wanakara mengerutkan keningnya. 

“Bertahun-tahun kita telah meninggalkan rimba 

persilatan dan mendirikan tempat suci ini. Kita semua 

juga sudah berjanji, untuk tidak terjun kembali ke 

dalam dunia itu. Tapi aku merasakan, bahwa kita 

akan kembali bergelimang darah,” pelan dan hampir 

tidak terdengar suara Nyai Resi Puspita Rani. 

“Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan.” 

“Gadis itu....” 

“Narita?” 

“Ya.” 

“Ada apa dengan Narita?” 

“Dia cucu Resi Galadipa atau Pendekar Welut 

Putih.” 

Seketika Resi Wanakara terdiam! Nama itu benar-

benar menyengat telinganya. Sungguh dia tidak 

menyangka akan mendengar nama itu lagi. 

***


“Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Adik 

Galadipa berbuat tolol seperti itu...?” gumam Resi 

Jagabaya menyesalkan. 

“Apa pun yang dia lakukan, kita pasti akan 

tersangkut juga. Sia-sialah semua usaha yang kita 

lakukan berpuluh-puluh tahun,” gumam Nyai Resi 

Rara Kitri pelan, seolah-olah bicara untuk dirinya 

sendiri. 

“Hhh! Kita seperti berada di suatu lorong maut 

yang panjang dan tidak akan pernah berakhir,” desah 

Nyai Resi Puspita Rani. 

“Nyai Puspita Rani, apakah Narita sudah 

mengetahui hal ini?” tanya Resi Danufaga yang sejak 

tadi diam saja. 

“Aku rasa belum,” sahut Nyai Resi Puspita Rani 

dengan kening agak berkerut. “Kenapa?” 

“Tidak apa-apa, aku hanya...,” Resi Danuraga tidak 

melanjutkan kata-katanya. 

“Ada apa, Adik Danuraga?” tanya Resi Jagabaya 

penasaran. 

“Mungkin perasaanku yang berlebihan, aku 

memang menduga kalau kehadiran gadis itu akan 

membawa malapetaka besar bagi Puri Watu Ukir ini,” 

pelan suara Resi Danuraga. 

“Mungkin,” desah Nyai Resi Rara Kitri. “Benar juga 

apa yang telah dikatakan oleh Kakak Puspita Rani, 

kita memang berada pada suatu lorong maut yang 

amat panjang dan tak berakhir.” 

Mereka semua kemudian terdiam. Lima orang 

bersaudara yang sudah tua renta itu sibuk dengan 

pikirannya masing-masing. Mereka kembali teringat 

dengan peristiwa beberapa puluh tahun lalu. Di mana 

mereka masih berenam, dan malang-melintang 

dalam rimba persilatan yang ganas bergelimang


darah. 

Suatu ketika salah seorang dari mereka memisah-

kan diri. Hal itu terjadi setelah peristiwa di Gunung 

Jati Sewu. Suatu peristiwa yang tidak mungkin bisa 

terlupakan! Dan peristiwa itu kembali terungkap, 

dengan munculnya seorang gadis yang ditolong oleh 

Resi Wanakara dari lubang maut. 

Puluhan tahun yang lalu, mereka enam saudara 

yang dikenal sebagai Enam Dewa Keadilan, 

mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya 

dengan tujuan memberantas keangkaramurkaan. 

Enam orang bersaudara itu adalah tokoh-tokoh 

berilmu tinggi yang sukar dicari tandingannya. Setelah 

sekian lama berkecimpung dalam dunia yang penuh 

dengan kekerasan, mereka kemudian meninggal-

kannya. Dan mendirikan sebuah puri yang diberi 

nama Puri Watu Ukir. Dinamakan begitu karena 

letaknya di sebuah tempat berbatu yang berukir. 

Entah siapa yang mengukir batu-batu itu, mungkin 

karena proses alami. 

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya 

Resi Danuraga, setelah cukup lama mereka semua 

berdiam diri. 

“Maksudmu?” Resi Wanakara balik bertanya. 

“Dengan gadis itu,” sahut Resi Danuraga. 

Tidak ada yang langsung memberikan jawaban. 

Semua terdiam dan saling menukar pandang. 

“Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, bagai-

manapun juga Narita adalah cucu Adik Galadipa, dan 

itu berarti cucu kita juga,” kata Resi Wanakara. 

“Dan yang pasti, Perempuan Iblis Topeng Mayat 

tidak akan tinggal diam. Lebih-lebih kalau dia tahu 

Narita itu cucu kita semua,” sambung Nyai Resi 

Puspita Rani.


“Hhh...! Galadipa, selalu saja membuat persoalan,” 

keluh Nyai Resi Rara Kitri pelan. 

“Sudahlah, semuanya sudah terjadi. Aku akan 

berusaha mencari jalan agar tidak ada pertumpahan 

darah,” Resi Wanakara yang tertua di antara mereka, 

berusaha mencari penyelesaian dengan baik. 

“Kau sudah punya cara, Kakang?” tanya Resi 

Jagabaya. 

“Saat ini belum,” sahut Resi Wanakara. 

*** 

Pagi itu Narita sudah bisa keluar dari kamarnya. 

Sejak matahari belum menampakkan diri, dia sudah 

bergerak ringan, melemaskan otot-ototnya yang 

terasa kaku. Dua pekan lebih dia telah berada di 

kamar, tanpa boleh melakukan gerakan-gerakan yang 

bisa membuat keadaan tubuhnya bertambah buruk. 

Setelah beberapa saat, gadis itu kemudian ber-

henti bergerak. Dia berdiri tegak dengan mata tidak 

berkedip memandang ke arah Puncak Bukit Bojong. 

Tampak kabut tipis masih menyelimuti puncak bukit 

itu. Pandangan gadis itu lalu beralih ke sekelilingnya. 

Sepi, tak ada seorang pun yang terlihat. 

Sejenak Narita memandangi bagian atas tembok 

pagar yang mengelilingi Puri Watu Ukir itu. Kemudian 

dia menatap bangunan besar dan sebuah bangunan 

puri, yang terbuat dari tumpukan batu-batuan dengan 

ukiran yang mengandung arti yang sangat dalam. 

“Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan 

sebagai ucapan terima kasih pada kalian semua. Kini 

aku harus pergi. Aku harus membalas kematian 

Eyang Resi dan Kakang Seta,” bisik Narita pelan. 

Gadis itu kembali melangkah pelan-pelan men


dekati pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Sebentar 

dia memandangi pagar tembok itu, seolah-olah 

sedang mengukur ketinggiannya. 

“Maafkan aku Eyang Resi, Nyai Resi. Aku pergi 

tanpa pamit...,” bisik Narita lagi. 

Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Narita 

segera melompat melenting tinggi. Tubuhnya 

melayang ringan bagaikan kapas tertiup angin. Dua 

kali dia salto di udara, melewati pagar tembok yang 

tinggi itu. Lalu meluruk turun, dan hinggap di tanah 

dengan manisnya. Gadis itu langsung berlari cepat 

dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. 

Narita memang tidak tahu, kalau sepasang mata 

memperhatikannya sejak tadi. Sepasang mata milik 

seorang perempuan tua itu baru keluar dari balik 

dinding rumah besar, setelah gadis itu hilang di luar 

pagar tembok. Saat dia menarik napas panjang, 

muncul seorang laki-laki tua berjubah putih. 

“Kau tidak berusaha mencegahnya?” 

“Oh!” perempuan tua berjubah biru itu tersentak. 

“Aku terus memperhatikannya sejak dia keluar dari 

kamarnya,” kata laki-laki tua berjubah putih yang 

ternyata Resi Wanakara. 

“Ya, aku juga,” sahut Nyai Resi Puspita Rani. 

“Apa yang akan dia lakukan di luar sana?” 

“Membalas dendam.” 

“Sinting!” dengus Resi Wanakara. 

“Dia seorang anak yang baik. Aku pasti akan ber-

buat yang sama jika keadaannya seperti itu,” desah 

Nyai Resi Puspita Rani pelan. 

“Perempuan Iblis Topeng Mayat bukan lawannya. 

Aku sendiri belum tentu mampu untuk menandingi-

nya. Dia juga hampir membunuhku ketika terjadi 

peristiwa di Gunung Jati Sewu.”

Nyai Resi Puspita Rani hanya diam saja. 

“Kakeknya sendiri tidak mampu menandinginya, 

apalagi dia? Gadis seumur jagung yang hampir tewas 

hanya melawan murid-muridnya saja,” sambung Resi 

Wanakara tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. 

“Aku mau pergi,” kata Nyai Resi Puspita Rani. 

“Kau mau ke mana?” 

“Melindungi cucuku.” 

“Mengotori tanganmu dengan darah lagi?” Resi 

Wanakara tersentak kaget. 

“Di sini pun sama saja. Aku, kau dan semua 

saudara-saudara kita tidak akan bisa menghindar. 

Takdir sudah berbicara, dan kita harus meng-

hadapinya. Tidak mudah meninggalkan rimba 

persilatan, meskipun dengan niat yang paling suci 

sekalipun.” 

Kini Resi Wanakara yang diam membisu. Kata-kata 

adik perempuannya itu memang benar. Mereka 

sudah ditakdirkan untuk bergelut dalam rimba 

persilatan. Sudah puluhan tahun mereka me-

ninggalkannya, tapi takdir yang sudah digariskan 

tidak akan mungkin bisa dihindari lagi. Sejak muncul-

nya gadis itu di Puri Watu Ukir ini, takdir itu kembali 

terbuka lebar. 

“Aku pergi dulu, Kakang. Aku tidak ingin kau 

berharap aku akan kembali,” kata Nyai Resi Puspita 

Rani. 

“Ya, hati-hatilah,” desah Resi Wanakara menyerah. 

Wanita berjubah biru itu segera melentingkan 

tubuhnya dengan cepat. Gerakannya ringan, tidak 

sedikit pun menimbulkan suara. Sementara Resi 

Wanakara hanya memandanginya sambil mendesah 

panjang.


 

Desa Batang Hulu tampak meriah. Umbul-umbul 

terpasang di setiap sudut desa itu. Wajah-wajah 

penduduknya kelihatan cerah, dan anak-anak 

bermain dengan gembiranya. Kemeriahan itu terpusat 

dari rumah kepala desa yang sedang mengadakan 

pesta perkawinan putranya. Suasana di rumah kepala 

desa lebih ramai lagi. Banyak panggung-panggung 

hiburan tergelar. Sorak-sorai dan tabuhan gamelan 

menambah hangat suasana. 

Di pelaminah, terlihat pasangan yang berbahagia 

tengah bersanding dengan senyum cerah. Sesekali 

mereka berdiri dan menyambut kedatangan tamu 

yang mengalir seperti air di sungai. 

“Sariti memang beruntung mendapatkan Den 

Paksi,” bisik salah seorang tamu yang hadir. 

“Tapi mereka memang pasangan yang cocok. 

Lakinya tampan, dan wanitanya cantik!” celetuk yang 

lain. 

“Tapi kekayaannya tidak.” 

“Ah, cinta mana bisa diukur dengan harta?” 

“Bagaimanapun juga, Ki Parta tidak akan 

kekurangan lagi hidupnya.” 

Macam-macam tanggapan terdengar di antara 

tamu-tamu yang hadir. Ada yang merasa iri, ada juga 

yang senang. Bahkan ada yang masa bodoh, dan 

tidak mau peduli. Paksi memang putra tunggal 

Kepala Desa Batang Hulu. Dan Sariti hanyalah putri 

seorang petani miskin. Tapi, Ki Rungkut, sang Kepala


Desa Batang Hulu, tidak melihat kaya atau miskinnya 

seseorang. Dia seorang yang arif dan bijaksana. Di 

matanya, kaya atau miskin tidak ada bedanya! 

Pesta itu terus berlangsung hingga senja datang. 

Semakin matahari condong ke arah Barat, suasana-

nya semakin bertambah meriah. Lentera, obor dan 

segala macam penerangan mulai dinyalakan di 

beberapa tempat. 

Saat sang mentari benar benar sudah tenggelam, 

mendadak suasana pesta yang meriah itu menjadi 

berubah. Jerit dan pekik melengking terdengar saling 

sambut. Orang-orang yang berada di sekitar tempat 

itu jadi kalang-kabut! 

Ki Rungkut segera menyuruh anaknya untuk 

masuk. Tampak empat orang bertubuh ramping dan 

mengenakan baju hijau ketat, membantai orang-

orang yang berlarian serabutan. Laki-laki kepala desa 

itu langsung mengerahkan orang-orangnya untuk 

mengamankan suasana yang sudah berubah jadi 

ajang pembantaian. Dua puluh orang bersenjata 

golok, terlihat berlompatan dan mengepung empat 

orang wanita perusuh tersebut. 

“Ayah, siapa mereka?” tanya Paksi yang belum 

juga masuk ke dalam rumah. 

“Anak buah Iblis Topeng Mayat,” sahut Ki Rungkut 

mendesis. 

“Mau apa mereka datang mengacau?” Ki Rungkut 

tidak menjawab. Saat itu dua puluh orangnya sudah 

bertarung melawan empat orang wanita bertopeng 

pucat seperti mayat. Beberapa undangan yang 

kelihatannya memiliki kepandaian, masih tetap 

berada di tempat. 

Baru beberapa saat saja, dua puluh orang 

bersenjata golok tampak kewalahan menghadapi


mereka. Satu persatu mereka tumbang bersimbah 

darah. Rupanya empat orang tersebut terlalu 

tangguh, sehingga dalam waktu sebentar saja bisa 

merobohkan lebih dari separuh lawannya. 

“Hiya...!” 

“Yaaat...!” 

Tiga orang undangan langsung berlompatan sambil 

mencabut senjatanya masing-masing. Dan tanpa 

banyak bicara, mereka segera menyerang empat 

orang bertopeng mayat itu. Namun turunnya tiga 

orang itu tidak membuat keadaan jadi berubah. 

Sebentar saja dua orang sudah menggeletak tak 

bernyawa lagi. Sedangkan orang-orang Ki Rungkut 

kini sudah mulai gentar. 

“Berhenti!” seru Ki Rungkut keras. 

Seketika itu juga pertempuran berhenti. Ki 

Rungkut segera melompat sekitar dua batang tombak 

jauhnya. Gerakannya ringan, pertanda kalau dia 

memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. 

Sedangkan putranya, Paksi, hanya memperhatikan 

saja. Di samping pemuda itu sudah berdiri Sariti yang 

memeluk tangannya dengan tubuh gemetaran. 

“Apa maksud kalian datang dan membuat 

keonaran di sini?” tanya Ki Rungkut dengan suara 

lantang. 

“Hi hi hi...!” terdengar suara mengikik dari arah 

atap rumah. 

Ki Rungkut langsung berbalik dan memandang ke 

atap rumahnya. Tak terkecuali semua orang yang 

berada di tempat itu juga segera menolehkan 

kepalanya ke atap. Tampak di sana seorang wanita 

berambut panjang dengan tubuh ramping, dan 

terbungkus baju hijau menyala yang ketat. Wajahnya 

tertutup topeng berwarna pucat seperti mayat.


Sedangkan di pinggangnya terselip sebatang tongkat 

pendek berwarna hitam. 

*** 

Dengan satu gerakan yang ringan dan indah, 

wanita itu meluncur ke bawah. Manis sekali dia 

mendarat sekitar dua batang tombak jaraknya di 

depan Ki Rungkut. Sementara empat orang lainnya 

yang juga bertopeng, segera berlompatan dan berdiri 

mengapit perempuan yang baru datang itu. 

“Iblis Topeng Mayat, apa maksudmu membuat 

keonaran di sini? Aku dan seluruh penduduk Desa 

Batang Hulu tidak pernah berurusan denganmu!” 

lantang suara Ki Rungkut. 

“Hi hi hi..., kalian memang tidak pernah berurusan 

denganku. Tapi kalian telah menampung musuh 

besarku!” sahut Iblis Topeng Mayat diselingi dengan 

tawa mengikik. 

“Siapa musuhmu?” tanya Ki Rungkut tidak 

mengerti. 

“Galadipa dan dua cucunya!” 

Tentu saja Ki Rungkut tersentak kaget. Dia sudah 

kenal betul siapa Galadipa, yang berjuluk Pendekar 

Welut Putih. Seorang anak tunggal Galadipa telah 

menikah dengan adik perempuan Ki Rungkut. Mereka 

mempunyai dua orang anak. Namun pasangan muda 

itu tewas, di saat anak-anaknya masih kecil-kecil. 

Hingga kini tak seorang pun yang tahu sebab-sebab 

kematiannya. Mereka tewas di rumahnya sendiri 

dalam keadaan yang mengenaskan. Sedangkan dua 

orang anaknya diasuh oleh Galadipa di desa itu. 

Ki Rungkut memang tidak pernah tahu, kalau 

Galadipa ternyata punya urusan dengan Iblis Topeng


Mayat. Yang dia tahu, waktu itu Galadipa datang ke 

Desa Batang Hulu dengan membawa seorang istri 

dan anak tunggalnya. Mereka kemudian menetap 

agak jauh dari rumah-rumah penduduk. Dan selama 

mereka menetap di Desa Batang Hulu itu, tidak 

pernah ada kejadian apa-apa. Galadipa memang 

sudah meninggalkan rimba persilatan. 

“Sudah hampir satu purnama ini, aku tidak lagi 

melihat Galadipa. Dia memang pergi bersama cucu-

cucunya meninggalkan desa ini. Jika kau datang 

untuk mencarinya, bukan di sini, Iblis Topeng Mayat!” 

kata Ki Rungkut, tetap lantang suaranya. 

“Galadipa dan Seta sudah tewas! Tapi Narita 

belum. Di mana kau sembunyikan anak itu?” dingin 

kata-kata Iblis Topeng Mayat. 

“Iblis...!” desis Ki Rungkut begitu mendengar kabar 

itu. 

“Aku beri kau waktu tiga hari untuk menyerahkan 

anak itu, Rungkut. Anggap saja kejadian ini sebagai 

peringatan dariku!” sambung Iblis Topeng Mayat. 

Setelah berkata begitu, lima orang berpakaian 

hijau dan mengenakan topeng pucat bagai mayat itu, 

langsung melesat pergi. Gerakan mereka sangat 

cepat dan ringan bagaikan kapas. Maka dalam 

sekejap saja mereka sudah lenyap dari pandangan. 

Sementara Ki Rungkut hanya bisa mendesah 

panjang. Kata-kata Iblis Topeng Mayat tidak pernah 

main-main! 

Sepak terjang Iblis Topeng Mayat sudah terkenal di 

seantero jagat. Satu kata yang terucap, berarti maut! 

Memang sudah beberapa puluh tahun belakangan ini, 

nama Iblis Topeng Mayat jarang terdengar. Namun 

kini muncul lagi dengan segala perbuatannya yang 

kejam.


“Ayah...,” Paksi segera menghampiri ayahnya yang 

masih tetap berdiri di halaman depan rumahnya. 

Ki Rungkut kembali mendesah panjang. 

“Aku tahu di mana Narita berada,” kata Paksi. 

Ki Rungkut tersentak. Ditatapnya Paksi dengan 

tajam. 

“Sehari sebelum mereka meninggalkan desa ini, 

Seta sudah menceritakan tujuannya bersama Narita. 

Mereka pergi memang khusus untuk mencari Iblis 

Topeng Mayat,” kata Paksi lagi. 

“Kenapa kau tidak mengatakan padaku, Paksi?” Ki 

Rungkut menyesalkan. 

“Aku telah berjanji kepada Seta untuk tidak 

mengatakan hal ini pada siapa pun. Tapi kini keadaan 

memaksaku untuk mengingkari janji itu. Maafkan 

aku, Ayah,” pelan suara Paksi. 

“Sudahlah, kau tahu, apa sebenarnya yang terjadi 

antara Pamanmu Galadipa dengan Iblis Topeng 

Mayat?” 

“Lebih kurang empat puluh tahun yang lalu, 

Paman Galadipa dan lima orang saudaranya yang 

berjuluk Enam Dewa Keadilan, datang ke sebuah 

desa di Kaki Bukit Bojong. Mereka datang untuk 

melamar seorang gadis untuk Paman Galadipa...,” 

Paksi berhenti sebentar. 

“Teruskan,” pintu Ki Rungkut. 

“Gadis yang akan dilamar adalah putri seorang 

ketua padepokan di desa itu. Tapi semuanya tidak 

berjalan lancar, karena Iblis Topeng Mayat datang 

dan mengacaukan suasana di saat pesta perkawinan 

berlangsung,” sambung Paksi. 

“Hm..., apakah Seta juga menceritakan, kenapa 

terjadi demikian?” tanya Ki Rungkut. 

“Ya. Iblis Topeng Mayat tidak rela kalau Galadipa


menyunting gadis lain.” 

“Cinta...,” desis Ki Rungkut bergumam. 

Satu persoalan yang kelihatannya sepele, tapi 

kalau sudah menyangkut orang-orang kalangan rimba 

persilatan, bisa berakibat fatal! Dan Ki Rungkut sudah 

bisa mengerti, apa yang menjadi penyebab Iblis 

Topeng Mayat mencari Ki Galadipa dan anak 

cucunya. Rupanya wanita itu ingin melenyapkan 

semua keturunan Galadipa! 

Ki Rungkut memang pernah mendengar tentang 

enam orang pendekar tangguh, yang berjuluk Enam 

Dewa Keadilan. Waktu itu enam orang pendekar 

tersebut bertarung di Puncak Bukit Bojong. Namun 

tidak ada yang mengetahui, mereka bertarung 

dengan siapa. Dan hasilnya juga tidak diketahui. Yang 

jelas, setelah pertarungan itu, nama-nama mereka 

tenggelam dalam kancah rimba persilatan. 

Ki Rungkut benar-benar tidak mengetahui, kalau 

Galadipa ternyata salah satu dari Enam Dewa 

Keadilan. Galadipa datang ke Desa Batang Hulu ini 

dengan membawa seorang istri dan seorang anak. 

Mereka datang seperti orang kebanyakan, namun 

sifat-sifat kependekaran Galadipa masih menonjol. 

“Tadi kau bilang tahu di mana Narita berada, 

Paksi...,” kata Ki Rungkut. 

“Ya, Narita pasti berada di Puri Watu Ukir. 

Letaknya tidak jauh dari Hutan Karang Waja. Di puri 

itulah tinggal lima saudara Paman Galadipa,” sahut 

Paksi menjelaskan. 

“Aku akan segera ke sana. Kau jangan pergi 

sampai aku kembali, Paksi,” kata Ki Rungkut. 

Paksi hanya mengangguk saja. 

***


Jarak dari Desa Batang Hulu ke Puri Watu Ukir 

memang tidak seberapa jauh, kira-kira hanya 

memakan waktu setengah hari perjalanan dengan 

kuda. Itulah sebabnya, meskipun sudah malam, Ki 

Rungkut berangkat juga ke Puri Watu Ukir. Dia 

ditemani oleh sekitar lima orang sahabatnya. Mereka 

terus memacu kuda dengan cepat tanpa berhenti 

sejenak pun. Dan hampir tengah malam mereka tiba 

di tempat suci itu. 

Kebetulan Resi Wanakara sendiri yang. 

menyambut kedatangan Ki Rungkut dan lima orang 

sahabatnya. Sesampainya di dalam, baru mereka 

disambut oleh tiga orang Ketua Puri Watu Ukir 

lainnya. Walaupun empat orang resi itu sudah bisa 

menebak maksud dan kedatangan tamu-tamunya, 

mereka tetap bersikap wajar. 

“Maaf kalau kedatangan kami tidak pada 

waktunya,” ucap Ki Rungkut seraya membungkuk 

sopan. 

“Ada maksud apa anakku datang ke tempat suci 

ini?” tanya Resi Wanakara. 

“Kami datang untuk menjemput Narita, Eyang 

Resi,” sahut Ki Rungkut langsung pada pokok 

persoalannya. 

Langsung saja empat orang resi tersebut saling 

berpandangan. Mereka memang sudah menduga 

kalau kedatangan enam orang tamu itu ada 

hubungannya dengan Narita. 

“Kenapa kau mencari cucuku?” tanya Resi 

Wanakara, tetap lembut suaranya. 

“Maaf, Eyang Resi. Sore tadi, desa kami didatangi 

oleh Iblis Topeng Mayat. Banyak warga desa kami 

yang tewas dibunuh. Mereka menginginkan Narita, 

Eyang Resi,” sahut Ki Rungkut.


“Aneh...! Untuk apa perempuan itu mengacau 

desamu?” 

“Sebelumnya Narita memang tinggal di sana 

bersama kakek dan saudara laki-lakinya.” 

Resi Wanakara segera mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Ia tahu betul watak Iblis Topeng Mayat. 

Satu orang yang diinginkan, puluhan nyawa bisa 

melayang! 

“Kalau dalam waktu tiga hari ini kami tidak bisa 

menyerahkan Narita, mereka akan membantai habis 

penduduk Desa Batang Hulu. Tolonglah kami, Eyang 

Resi,” kata Ki Rungkut menghiba. 

Resi Wanakara hanya menarik napas panjang. Dia 

lalu menatap tiga orang saudaranya. Mereka hanya 

bisa saling tatap tanpa mengucapkan satu kata pun. 

Sementara Ki Rungkut terus mengamati mereka 

dengan sinar mata penuh harap. Bagaimanapun juga, 

dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan 

seluruh warga desanya. 

“Kemarin, Narita memang berada di sini. Tapi dia 

sekarang sudah pergi. Hhh..., sebaiknya kalian pulang 

saja dulu. Aku berjanji, akan menyelesaikan per-

soalan ini tanpa mengorbankan orang lain,” kata Resi 

Wanakara pelan. 

“Bagaimana kalau kalian menginap saja dulu. 

Tidak baik menempuh perjalanan tengah malam 

begini,” sambung Nyai Resi Rara Kitri. 

“Besok pagi aku akan menemani kalian ke Desa 

Batang Hulu,” kata Resi Jagabaya menyambung. 

“Oh, terima kasih.... Terima kasih, Resi,” ucap Ki 

Rungkut seraya membungkukkan badannya beberapa 

kali. 

“Silakan kalian beristirahat, “ kata Resi Wanakara. 

Seorang cantrik kemudian mengantarkan enam



orang dari Desa Batang Hulu itu ke tempat istirahat-

nya. Sementara empat orang resi Puri Watu Ukir 

masih berada di ruangan besar tempat menerima 

tamu. Wajah mereka kelihatan murung, apa yang 

telah dikhawatirkan, kini menjadi kenyataan. Iblis 

Topeng Mayat sudah memulai aksinya kembali. Dan 

hal itu dimulai dengan tewasnya Galadipa. Salah 

seorang dari enam bersaudara yang berjuluk Enam 

Dewa Keadilan. 

Mengingat Desa Batang Hulu jaraknya tidak jauh 

dari Puri Watu Ukir, bukannya tidak mustahil kalau 

Iblis Topeng Mayat akan menjarah ke tempat itu juga. 

Lebih-lebih dengan datangnya Kepala Desa Batang 

Hulu itu. Empat orang resi itu sudah bisa menduga, 

kalau kejadian di Desa Batang Hulu hanya sekedar 

siasat dari Iblis Topeng Mayat. 

*** 

Pagi-pagi sekali, Ki Rungkut dan lima orang 

sahabatnya meninggalkan Puri Watu Ukir. Mereka 

didampingi oleh Resi Jagabaya. Sedangkan Resi 

Wanakara juga meninggalkan puri itu untuk mencari 

Narita. Mereka terpaksa kembali lagi ke dalam dunia 

luar. 

Dunia yang sudah puluhan tahun ditinggalkannya! 

Ki Rungkut, Resi Jagabaya dan lima orang lainnya 

memacu kudanya dengan cepat menuju Desa Batang 

Hulu. Mereka melintasi Hutan Karang Waja. Sebuah 

hutan yang tidak begitu lebat, dan banyak terdapat 

jalan lintas. Hutan itu memang sering dimasuki oleh 

orang-orang yang bertempat tinggal di sekitarnya. 

Tujuh orang itu terus memacu kudanya dengan 

kencang tanpa berhenti sedikit pun. Sementara itu


matahari semakin naik dengan sinar hangatnya. 

“Awas...!” tiba-tiba Resi Jagabaya berseru keras. 

Mendadak sebuah benda hitam sepanjang satu 

lengan, meluncur deras ke arah rombongan kecil itu. 

Resi Jayabaya dan Ki Rungkut yang berada di depan, 

langsung melompat dari punggung kudanya. Namun 

benda hitam itu terus meluruk demikian deras, 

sehingga seorang yang berada di belakang Resi 

Jagabaya tidak bisa menghindar lagi. 

“Aaa...!” seketika orang itu menjerit keras. 

Tubuhnya langsung terpental kena sambar benda 

hitam itu. Tampak dadanya tertembus senjata itu. 

Empat orang lainnya bergegas melompat turun dari 

punggung kudanya. 

Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba 

dari balik pohon berlompatan empat orang berbaju 

hijau, dan mengenakan topeng yang berwarna pucat 

bagai mayat. Dan di atas dahan yang tidak begitu 

tinggi, berdiri seorang lagi yang juga mengenakan 

baju hijau ketat, hingga membentuk tubuhnya yang 

ramping. 

Trik! 

Orang yang berada di atas dahan itu, menjentikkan 

jarinya. Saat itu juga, empat orang bertopeng mayat 

berlompatan menyerang. Ki Rungkut langsung 

mencabut senjatanya, yang berupa sebilah golok 

besar dengan salah satu sisinya bergerigi. Sedangkan 

lima orang lainnya juga segera mengeluarkan 

senjatanya masing-masing. 

Kini empat orang tersebut sudah menyerang 

dengan cepat dan dahsyat. Mereka sama sekali tidak 

menghiraukan Resi Jagabaya, sehingga orang tua 

berjubah kuning itu terpaksa hanya jadi penonton. 

Resi Jagabaya langsung menggeretakkan rahangnya


begitu melihat dua orang pihaknya sudah terjungkal 

tewas dalam waktu sebentar saja. 

Empat orang wanita bertopeng pucat bagai mayat 

tersebut memang kejam. Mereka tidak pernah 

memberi kesempatan pada lawannya untuk 

meningkatkan serangan dan pertahanannya. Senjata 

tongkat pendek berwarna hitam, terus berkelebatan 

cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang 

mematikan. 

“Berhenti!” bentak Resi Jagabaya, ketika dua 

orang lagi terjungkal bersimbah darah. 

Seketika pertarungan tersebut berhenti. Ki 

Rungkut dan satu orang sahabatnya yang tersisa, 

langsung melompat mendekati Resi Jagabaya. Napas 

mereka tersengal memburu. Keringat pun bercucuran 

deras membasahi seluruh tubuh. Sinar mata mereka 

juga menunjukkan kegentaran, menghadapi Iblis 

Topeng Mayat yang begitu tinggi tingkat 

kepandaiannya. 

Kalau saja Resi Jagabaya tidak segera meng-

hentikan, mereka pasti tidak akan bisa meneruskan 

pertarungan itu. 

“Kau hanya berurusan dengan Enam Dewa 

Keadilan, kenapa kau libatkan juga orang-orang yang 

tidak tahu apa-apa?” agak tertekan suara Resi 

Jagabaya. 

“Hi hi hi...! Enam Dewa Keadilan..., sebuah nama 

yang cukup indah. Tapi bernyali kecil, pengecut! Dan 

hanya dengan cara inilah, aku bisa memancing kalian 

keluar dari sarang!” sahut orang yang berada di atas 

dahan pohon. 

“Kami semua memang sudah berniat meninggal-

kan dunia persilatan!” 

“Ha ha ha...!” Orang di atas dahan pohon itu


kembali tergelak. “Sebenarnya aku memang sudah 

puas, Karena Galadipa tewas di tanganku sendiri. 

Tapi aku sudah terlanjur bersumpah, bahwa kalian 

semua harus mati, juga keturunan kalian!” 

Setelah berkata demikian, orang yang berada di 

atas dahan pohon itu langsung melesat turun. Dan 

dengan sekali lompatan saja, dia sudah meluruk ke 

arah Resi Jagabaya sambil mencabut senjatanya yang 

berupa tongkat pendek sepanjang lengan berwarna 

hitam pekat. 

“Mampus kau, Jagabaya! Hiyaaa...!” 

“Eits!” 

Resi Jagabaya segera menarik tubuhnya mundur 

seraya memiringkannya sedikit ke kiri. Dan dengan 

jcepatan penuh, dia menyampok senjata tongkat 

litam itu dengan telapak tangannya. 

Wut! 

Cepat sekali orang bertopeng pucat bagai mayat 

itu memutar senjatanya, dan langsung mengibas ke 

arah kepala. Buru-buru Resi Jagabaya merunduk 

sedikit, sehingga senjata tongkat itu lewat di atas 

kepalanya. Tepat pada saat itu, tangan kanan Resi 

Jagabaya langsung menyodok ke arah perut. Sejenak 

orang bertopeng mayat itu memekik kaget, lalu buru-

buru dia menarik tubuhnya ke belakang. 

Sementara itu, Ki Rungkut dan seorang sahabat-

nya sudah kembali disibukkan dengan serangan-

serangan empat orang yang memakai baju dan 

topeng berwarna sama. Kini pertarungan kembali 

pecah tanpa dapat dihindarkan lagi. Tampak Ki 

Rungkut dan seorang sahabatnya sudah mulai 

kewalahan menghadapi empat orang musuhnya. 

Sementara Resi Jagabaya masih terus bertarung 

sengit melawan satu orang dari Iblis Topeng Mayat.


“Aaa…!” 

Tiba-tiba terdengar satu jeritan melengking. 

Tampak satu-satunya sahabat Ki Rungkut yang masih 

hidup, terjungkal mencium tanah! Dari dadanya 

langsung menyembur darah segar. Dan begitu 

tubuhnya menggelepar di tanah, satu dari empat 

orang bertopeng mayat itu, langsung mengibaskan 

senjatanya ke arah leher. 

Krak! 

“Iblis! Keparat...!” geram Resi Jagabaya yang 

sempat melihat kejadian itu. 

Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Resi 

Jagabaya segera melompat ke arah empat orang Iblis 

Topeng Mayat yang tengah mengeroyok Ki Rungkut. 

Dengan cepat tangan dan kakinya bergerak 

menghantam punggung empat orang itu. Seketika 

pekik tertahan terdengar saling susul. Kini empat 

orang yang tengah mengeroyok Ki Rungkut sudah 

bergulingan di tanah. 

“Hup!” 

Buru-buru mereka bangkit kembali. Sedangkan 

Resi Jagabaya berdiri tegak dengan sikap melindungi 

Ki Rungkut Dia merasa sangat bertanggung jawab 

atas keselamatan jiwa Kepala Desa Batang Hulu itu. 

“Pramurti! Hentikan kekejamanmu!” bentak Resi 

Jagabaya menyebut nama asli Iblis Topeng Mayat. 

“Aku akan berhenti kalau kalian semua sudah 

musnah!” jawab Pramurti tegas dan lantang. 

“Huh! Seharusnya dulu aku tidak membiarkan kau 

selamat, perempuan iblis!” gerutu Resi Jagabaya. 

“Tidak ada waktu untuk mengenang masa lalu, 

Jagabaya! Bersiaplah untuk ke neraka!” bentak 

Pramurti sengit 

Iblis Topeng Mayat yang di pinggangnya membelit


selendang berwarna kuning keemasan itu, segera 

melompat menerjang. Sedangkan empat orang 

lainnya kembali menyerang Ki Rungkut. Dalam 

keadaan begitu, Resi Jagabaya tidak bisa berbuat 

banyak untuk melindungi Kepala Desa Batang Hulu 

itu. 

Saat pertarungan itu tengah berlangsung sengit, 

tiba-tiba terdengar suara siulan panjang bernada 

tinggi melengking. Siulan itu bergema seolah-olah 

datang dari segala penjuru. Jelaslah kalau suara itu 

dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang 

sangat tinggi, sehingga mampu membuat per-

tarungan itu berhenti seketika. 

***


 

Suara siulan itu semakin lama semakin terdengar 

menyakitkan. Ki Rungkut segera menutup kedua 

telinganya. Juga empat orang Iblis Topeng Mayat, 

sedangkan Resi Jagabaya dan Pramurti sudah 

mengerahkan tenaga dalam untuk menahan suara 

siulan itu. Begitu hebatnya suara itu, sehingga daun-

daun pohon di sekitar Hutan Karang Waja rontok 

berguguran. 

“Yaaah...!” tiba-tiba Pramurti, atau Iblis Topeng 

Mayat berteriak nyaring melengking. 

Seketika itu juga suara siulan berhenti. Dan semua 

orang yang berada di situ menolehkan kepalanya 

begitu mendengar suara senandung kecil berirama 

tak jelas. Tampak seorang pemuda tampan berambut 

gondrong, tengah duduk bersila di atas sebuah batu 

yang cukup besar. 

“Bocah sinting! Siapa kau? Berani-beraninya 

mengganggu urusanku!” bentak Pramurti sengit. 

“Ah, aku cuma menonton. Silakan teruskan,” sahut 

pemuda tampan itu kalem. 

“Widarti, beri bocah lancang itu pelajaran!” 

perintah Pramurti pada anak buahnya. 

Langsung saja salah seorang dari empat orang 

bertopeng mayat, melompat sambil mengibaskan 

tangannya yang memegang senjata tongkat pendek 

hitam. 

Gerakannya cepat luar biasa, hingga semua orang 

yang berada di situ, menahan napas. Mereka 

mengira, leher pemuda tampan itu pasti akan putus


terbabat senjata itu. Namun yang terjadi benar-benar 

mencengangkan. Hanya dengan mengangkat sedikit 

tangannya saja, pemuda itu berhasil menyampok 

senjata Widarti, dan langsung menyepak, meng-

hantam pundak wanita bertopeng mayat tersebut. 

“Akh!” seketika Widarti memekik tertahan. 

Wanita itu langsung terdorong beberapa langkah 

ke belakang. Sedangkan pemuda tampan berambut 

gondrong itu tetap duduk bersila dengan tenang di 

atas batu. Bibirnya yang tipis dan kemerahan, 

tersenyum lebar. Namun matanya bersinar tajam, 

dengan garis-garis wajah yang menampakkan 

kekerasan dan ketegasan dalam hidupnya. 

Widarti yang semula menganggap remeh pemuda 

tampan itu, langsung berteriak keras seraya melesat 

cepat menyerang kembali. Kali ini dia mengerahkan 

beberapa kibasan tongkatnya dan tendangan keras 

menggeledek. Namun pemuda tampan berambut 

gondrong itu hanya menggeser duduknya ke sana 

kemari. Diremehkan begitu, tentu saja Widarti jadi 

berang. 

Tap! 

Pada satu kesempatan, tangan kanan pemuda itu 

terangkat naik, tepat di saat tongkat Widarti 

mengarah kepalanya. Dan dengan manis sekali 

pemuda itu berhasil menangkap tongkat Widarti, 

sedangkan tangan kirinya menyampok ke arah dada. 

“Ih...!” Widarti memekik kaget. 

Buru-buru wanita bertopeng itu menarik tubuhnya, 

namun tanpa diduga sama sekali, tangan kiri pemuda 

itu kembali melayang ke arah muka. Widarti yang 

tengah terperanjat, tidak sempat lagi untuk 

mengelak. Maka dengan sekali renggut saja, topeng 

yang menutup wajah wanita itu terenggut copot.


Pemuda itu segera melepaskan pegangannya pada 

ujung tongkat lawannya seraya mendorongnya 

dengan kuat. 

Kembali Widarti memekik tertahan. Dan tubuhnya 

terdorong sejauh tiga batang tombak. Tampak, 

wajahnya yang kini tidak tertutup topeng, merah 

padam. Namun wajah itu cantik sekali. Iblis Topeng 

Mayat lainnya, terperanjat melihat nasib yang diderita 

Widarti. Lebih-lebih Pramurti! Dia tidak menyangka 

sama sekali kalau muridnya dapat dipermainkan 

begitu mudah oleh seorang pemuda tampan yang 

selalu tersenyum itu. 

“Setan! Kubunuh kau!” geram Widarti seraya 

bergerak hendak menyerang lagi. 

“Widarti, mundur!” bentak Pramurti cepat. 

Widarti langsung diam. Wajahnya yang cantik 

masih terlihat merah padam menahan kemarahan. 

Sementara di tangan pemuda itu tergenggam 

sebentuk topeng berwarna pucat bagai mayat. 

Sebentar dia mengamati topeng di tangannya. 

Kemudian melirik ke arah Pramurti yang melangkah 

menghampirinya. 

“Aku tidak pernah punya urusan denganmu, tapi 

kau telah mencampuri urusanku, Bocah. Kau tahu, 

apa akibatnya?” dingin dan datar suara Pramurti. 

“Ancaman...,” gumam pemuda berambut gondrong 

itu. “Bosan aku mendengar ancaman kosong!” 

Kalau saja wajah Pramurti tidak tertutup topeng, 

mungkin sudah berwarna merah menahan geram 

mendengar kata-kata pemuda itu. Dan pelampiasan-

nya, Pramurti tidak berkata-kata lagi. Dia langsung 

bergerak cepat menggeser kakinya ke depan, seraya 

mengirimkan serangan beruntun. 

Dalam beberapa serangan, pemuda tampan itu


masih bisa menandingi dengan posisi duduk bersila. 

Namun pada serangan-serangan berikutnya, dia 

harus berlompatan bangun untuk menghindarinya. 

Serangan-serangan Pramurti begitu dahsyat, dan 

selalu mengarah pada tubuh-tubuh yang mematikan. 

Dan pemuda itu juga merasakan, kalau serangan-

serangan lawannya kali ini lebih dahsyat dari yang 

semula. 

Pramurti tampak semakin geram. Sudah dua puluh 

jurus berlalu dengan cepat, namun belum sedikit pun 

dia berhasil mengangsurkan pukulannya dengan 

telak ke tubuh pemuda itu. Bahkan pada satu 

kesempatan, sepakan kaki pemuda itu berhasil 

mendarat di punggungnya. Tentu saja Pramurti meng-

geram dahsyat Dia langsung mencabut senjatanya 

yang berupa tongkat pendek hitam yang tadi sempat 

dia selipkan di pinggangnya. Kini dengan senjata di 

tangan, Iblis Topeng Mayat itu semakin dahsyat 

menyerang lawannya. 

Namun pemuda tampan berbaju kulit harimau itu 

memang luar biasa tangguhnya. Gerakan-gerakan 

tubuhnya demikian lentur bagai karet. Dan kakinya 

lincah berlompatan, atau menggeser mengimbangi 

gerak Iblis Topeng Mayat. Tring! 

Seketika Pramurti tersentak ketika ujung senjata-

nya beradu dengan pergelangan tangan kanan lawan-

nya. Dia segera menarik kembali senjatanya. Jari-jari 

tangannya mendadak terasa kaku dan bergetar 

kesemutan. Dia tadi mengira kalau tangan pemuda 

itu akan putus terpenggal, namun kenyataannya 

benar-benar di luar dugaan! Sejenak Pramurti 

melompat mundur tiga langkah, kemudian dilebarkan 

matanya melihat lempengan bundar bersegi enam 

keperakan yang menempel di pergelangan tangan


kanan pemuda itu. 

“Siapa kau?” bentak Pramurti keras. Namun 

pemuda berbaju kulit harimau itu hanya tersenyum 

sinis. 

*** 

Resi Jagabaya yang sejak tadi memperhatikan 

jalannya pertarungan itu, juga dibuat bingung. Dia 

benar-benar tidak menduga sebelumnya, kalau 

pemuda tampan yang kelihatan tidak memiliki apa 

apa itu, mampu membuat Iblis Topeng Mayat 

kewalahan. Sementara Ki Rungkut mulai tumbuh 

kembali harapan dan semangatnya, melihat kedig-

dayaan pemuda berbaju kulit harimau itu. 

“Kau tidak perlu tahu siapa aku. Aku datang hanya 

untuk menyaksikan kekejaman. Aku suka dengan 

segala tindakan kejam dan berbau darah,” kata 

pemuda tampan berbaju kulit harimau itu dingin dan 

datar. Kata-katanya menyiratkan, betapa kejamnya 

dia. Seakan-akan melihat sebuah pertarungan yang 

mengancam nyawa, merupakan tontonan menarik 

dan menghibur hati. 

“Kau terlalu besar kepala, Bocah! Jangan 

menyesal kalau kau harus mati di tanganku!” desis 

Iblis Topeng Mayat. 

“O..., mungkin darahmu yang akan menyiram 

bumi,” sahut pemuda itu kalem. 

“Setan keparat! Tahan seranganku, hiyaaa...!” 

Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat langsung 

menyerang kembali. Kali ini serangannya berlipat 

ganda. Semakin cepat dan dahsyat. Dia juga segera 

membagi tongkatnya menjadi dua, pada ujungnya-

ujungnya terdapat sebilah mata pisau yang sangat


tipis dan tajam. Suara angin terdengar menderu-deru, 

akibat kibasan dua senjata yang berada di tangan 

kanan dan kirinya. Sementara pemuda berbaju kulit 

harimau itu masih melayaninya dengan tangan 

kosong. 

Lempengan logam bersegi enam di pergelangan 

tangannya, digunakan untuk menangkis serangan-

serangan yang tidak mungkin lagi dielakkan. 

Beberapa kali Pramurti harus menarik mundur 

senjatanya begitu beradu dengan pergelangan tangan 

pemuda itu. Dalam hati, dia sudah bisa mengukur 

tingkat kepandaian lawannya. 

Menyadari hal itu, Iblis Topeng Mayat segera 

melompat mundur, dan menghentikan serangannya. 

Dia kemudian menyatukan kembali senjata tongkat-

nya. Nampak butir-butir keringat merembes keluar 

dari lehernya. Sedangkan bola matanya yang cekung 

dan dalam hampir tertutup topeng, nampak berkilat 

merah menyimpan sejuta perasaan. 

“Anak muda, urusan kita belum selesai sampai di 

sini! Aku masih ada urusan lain yang lebih penting!” 

kata Pramurti. 

Setelah berkata begitu, Iblis Topeng Mayat itu 

melesat pergi, diikuti oleh empat orang muridnya. 

Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu sempat 

melemparkan topeng yang berhasil dirampasnya, ke 

arah Widarti. Wanita itu langsung menangkapnya 

seraya melesat pergi mengikuti gurunya. 

Resi Jagabaya dan Ki Rungkut segera meng-

hampiri pemuda itu, setelah lima orang berbaju hijau 

dan bertopeng pucat bagai mayat itu lenyap dari 

pandangan. Sesaat mereka hanya berdiri saling 

berhadapan tanpa berkata-kata. 

“Anak muda, bukannya aku tidak berterima kasih


padamu. Tapi campur tanganmu membuat susah 

dirimu sendiri. Kau tidak tahu siapa mereka itu,” kata 

Resi Jagabaya, seraya menatap langsung ke bola 

mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya. 

“Siapa mereka?” tanya pemuda itu kalem. 

“Iblis Topeng Mayat. Mereka sangat kejam, mem-

bunuh siapa saja yang menjadi penghalang dan 

dianggap musuh,” sahut Resi Jagabaya. 

Pemuda berbaju kulit harimau itu diam. Kemudian 

pelahan-lahan kakinya terayun. Dari bibirnya ter-

dengar gumaman alunan berirama tidak jelas. 

“Kisanak, tunggu!” cegah Ki Rungkut. 

Pemuda itu segera menghentikan langkahnya, dia 

menolehkan kepalanya sedikit tanpa berbalik. 

“Kalau aku boleh tahu, siapa nama Kisanak?” 

tanya Ki Rungkut. 

“Pendekar Pulau Neraka.” 

*** 

Ki Rungkut tertegun beberapa saat lamanya. 

Matanya tidak berkedip memandangi punggung 

pemuda berbaju kulit harimau yang terus melangkah. 

Dia baru menoleh ketika pundaknya ditepuk dari 

belakang. Sementara Pendekar Pulau Neraka sudah 

lenyap di balik pepohonan Hutan Karang Waja itu. 

“Mari kita lanjutkan perjalanan, Ki,” ajak Resi 

Jagabaya. 

Ki Rungkut hanya mendesah panjang. 

“Terpaksa kita harus berjalan kaki.” 

“Ya, semua kuda telah lari ketakutan,” desah Ki 

Rungkut. 

Kedua laki-laki tua itu kemudian segera 

melangkah meninggalkan tempat itu. Ki Rungkut


sempat memandang kepada lima orang sahabatnya 

yang tewas tergeletak. Hatinya begitu sedih melihat 

kesetiaan sahabatnya, hingga berkorban nyawa 

hanya untuk membela kepentingannya. 

Ki Rungkut terus berjalan dengan kepala berputar. 

Benaknya masih dipenuhi dengan nama Pendekar 

Pulau Neraka. Sepertinya dia pernah mendengar 

nama itu. Tapi di mana dan kapan? 

“Ada yang mengganggu pikiranmu, Ki Rungkut?” 

tanya Resi Jagabaya. 

“Ya,” desah Ki Rungkut pelan. 

“Katakan, mungkin aku bisa membantu,” pinta 

Resi Jagabaya. 

Ki Rungkut hanya diam. 

“Kau sedih dengan kematian lima orang sahabat-

mu?” tebak Resi Jagabaya. 

“Salah satunya.” 

“Mencemaskan keadaan desamu?” 

“Juga itu.” 

“Aku bisa memahami perasaanmu, aku berjanji 

akan menyelesaikan semua ini tanpa menambah 

korban lagi dari warga desamu,” kata Resi Jagabaya 

bernada menghibur. 

Ki Rungkut kembali diam. 

“Memang sukar untuk menghadapi Iblis Topeng 

Mayat dan keempat muridnya...,” sambung Resi 

Jagabaya. 

Laki-laki tua berjubah kuning itu jadi berkerut 

keningnya melihat Ki Rungkut tetap diam dengan 

kepala tertunduk. Dia menduga kalau Ki Rungkut 

tengah memikirkan sesuatu. Tampaknya bukan 

masalah kematian lima orang sahabat, atau keadaan 

desanya yang terancam. 

“Hm..., kau masih juga memikirkan sesuatu.


Katakan, apa yang kau pikirkan, Ki Rungkut,” desak 

Resi Jagabaya. 

“Pemuda itu,” sahut Ki Rungkut seraya 

mengangkat kepalanya. 

“Pendekar Pulau Neraka?” 

'Ya.” 

“Ada apa dengan Pendekar Pulau Neraka?” tanya 

Resi Jagabaya. 

“Aku seperti pernah mendengar namanya, tapi...,” 

Ki Rungkut tidak melanjutkan. Dia seperti ragu-ragu. 

“Pendekar Pulau Neraka memang sudah terkenal 

namanya. Dia seorang pendekar digdaya yang sukar 

dicari tandingannya saat ini. Aku pun tadinya tidak 

menduga kalau pemuda itu ternyata pendekar 

digdaya yang kondang,” kata Resi Jagabaya. 

“Resi tahu...?!” Ki Rungkut agak terkejut. 

“Aku selalu mengikuti perkembangan rimba 

persilatan. Meskipun aku belum pernah bertemu 

sebelumnya, tapi aku sering mendengar tentang 

sepak terjangnya di dalam rimba persilatan. Aku 

sendiri tidak tahu, apakah Pendekar Pulau Neraka 

bisa dikatakan bergolongan putih atau hitam. 

Tampaknya dia tidak pernah membedakan golongan 

di kalangan rimba persilatan. Baginya lawan harus 

ditantang, dan kawan harus dilindungi. Tidak peduli 

apakah itu dari golongan putih atau hitam,” Resi 

Jagabaya menjelaskan. 

Ki Rungkut diam saja. Sedikit demi sedikit 

ingatannya kembali terang. Desa Batang Hulu 

memang sering kedatangan para pengembara dari 

kalangan persilatan. Dan dari mereka banyak 

didengar tentang keadaan rimba persilatan yang tidak 

pernah menentu keadaannya. 

“Aku sedang berpikir untuk meminta bantuan



padanya,” kata Ki Rungkut pelan dan agak ragu-ragu. 

“Tidak mudah, Ki. Pendekar Pulau Neraka tidak 

pernah mengurusi persoalan orang lain,” kata Resi 

Jagabaya. 

Kembali Ki Rungkut terdiam. Dia terus berjalan 

tanpa berkata-kata lagi. Sedangkan Resi Jagabaya 

mulai berpikir dengan kata-kata yang barusan 

terucapkan dari mulut Kepala Desa Batang Hulu itu. 

*** 

Saat itu matahari sudah berada di balik 

peraduannya, ketika Resi Jagabaya dan Ki Rungkut 

tiba di Desa Batang Hulu. Suasana di desa itu tampak 

sunyi senyap. Munculnya Iblis Topeng Mayat di desa 

itu telah membuat seluruh penduduknya tidak berani 

keluar rumah. Keganasan perempuan iblis bertopeng 

pucat bagai mayat itu sudah menyebar dengan cepat 

sampai ke pelosok. 

Kedatangan Resi Jagabaya dan Ki Rungkut 

tersebut segera disambut oleh Paksi, putra tunggal 

Kepala Desa Batang Hulu itu. Pemuda yang baru saja 

melangsungkan pernikahannya, tampak lusuh seperti 

baru saja bertarung. Bajunya kotor berdebu, dan di 

sudut bibirnya masih terlihat setetes darah kering. 

Tentu saja Ki Rungkut terheran-heran melihat 

keadaan anaknya. 

“Paksi, kenapa keadaanmu kotor begitu?” tanya Ki 

Rungkut bernada cemas. 

“Ketiwasan, Ayah. Mereka datang ke sini 

semalam,” sahut Paksi lesu. 

Kedua laki-laki tersebut langsung tersentak. 

“Apa yang terjadi?” tanya Resi Jagabaya. 

“Mereka mengamuk, setelah tahu kalau Ayah pergi


ke Puri Watu Ukir. Mereka menyangka kalau Ayah 

meminta bantuan ke sana. Hampir semua orang-

orang kita tewas, dan beberapa penduduk juga jadi 

korban...,” suara Paksi semakin melemah. Matanya 

tampak merembang berkaca-kaca. 

“Ada apa, Paksi?” tanya Ki Rungkut, tidak bisa 

menyembunyikan kecemasan. 

“Sariti...,” semakin lemah suara pemuda itu. 

“Ada apa dengan Sariti?” desak Ki Rungkut. 

“Dia..., dia tewas semalam,” suara Paksi hampir 

tidak terdengar. 

“Astaga...!” Ki Rungkut terkejut. 

“Aku sudah berusaha untuk menyelamatkannya, 

tapi mereka terlalu tangguh. Aku sendiri hampir saja 

tewas, kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda 

yang sangat tangguh. Dia lalu membawaku pergi ke 

luar desa,” lanjut Paksi. 

“Siapa pemuda itu?” tanya Resi Jaga baya. 

“Aku tidak sempat bertanya. Dia langsung pergi 

begitu saja.” 

Resi Jagabaya dan Ki Rungkut saling melempar 

pandang. Mereka seperti berada dalam satu pikiran 

sesudah mendengar cerita Paksi. Sementara suasana 

di rumah kepala desa itu sudah sunyi senyap. Darah 

yang telah mengering masih terlihat di beberapa 

tempat. Dalam hati, Ki Rungkut merasa bangga, 

karena anaknya mampu bergerak cepat mengatasi 

keadaan. 

“Bagaimana ciri-ciri pemuda itu?” tanya Resi 

Jagabaya. 

“Keadaan waktu itu terlalu gelap, dan kejadiannya 

juga begitu cepat. Tapi aku sempat melihat kalau dia 

memakai baju dari kulit harimau,” sahut Paksi. 

“Tidak salah!” desis Resi Jagabaya.


Paksi segera memandangi laki-laki tua berjubah 

kuning itu. Sinar matanya memancarkan ketidak-

mengertian, tapi belum sempat dia bertanya, Resi 

Jagabaya sudah melangkah pergi, diikuti oleh Ki 

Rungkut. Kedua laki-laki itu berjalan ke dalam rumah. 

Sementara Paksi tetap berdiri di beranda depan. 

“Hhh..., seharusnya aku mengatakan yang 

sebenarnya tentang Sariti,” desah Paksi bergumam. 

“Tapi aku tidak mau dikatakan pengecut! Bagai-

manapun juga, aku harus membebaskan Sariti!” 

Sejenak pemuda itu menarik napas panjang, lalu 

melangkah memutari rumah besar itu menuju bagian 

samping. Tampak beberapa orang tengah duduk 

bersandar dengan wajah lesu dan tubuh lusuh. 

Mereka hanya menoleh sedikit pada putra kepala 

desa itu. Paksi menghampiri dan menghenyakkan 

tubuhnya begitu saja di tanah yang berlapis rumput 

tebal. Sebuah pohon rindang menaunginya dari 

sengatan sinar matahari. 

“Ayah sudah datang bersama Resi Jagabaya,” kata 

Paksi memberitahu. 

Mereka yang berjumlah sekitar dua puluh orang 

itu, langsung menggerinjang hendak bangkit. 

“Eh, tunggu...! Ayah tidak mau diganggu,” cegah 

Paksi. 

Mereka kembali duduk bersandar pada dinding. 

“Aku minta pada kalian, kalau Ayah atau Resi 

Jagabaya bertanya tentang Sariti, kalian harus 

menjawab Sariti tewas,” kata Paksi pelan. 

“Den...,” salah seorang mau membantah. 

“Sudah, bilang saja begitu. Kalian sudah 

menguburkan semua yang tewas kan?” 

Dua puluh orang itu mengangguk serempak. 

“Nah! Kalau Ayah menanyakan kuburannya,


tunjukkan saja yang paling sebelah kiri. Aku tidak 

mau Ayah tahu tentang keadaan Sariti yang 

sebenarnya. Kalian paham?” 

“Mengerti, Den,” sahut mereka lagi hampir 

serempak. 

“Sekarang istirahatlah dulu. Besok pagi aku akan 

membutuhkan beberapa di antara kalian untuk 

membebaskan Sariti dari tangan mereka,” kata Paksi 

lagi. 

Setelah berkata begitu, putra kepala desa itu 

beranjak bangun dari duduknya, lalu melangkah ke 

beranda depan. Sementara kedua puluh orang 

tersebut tetap beristirahat di samping rumah. 

***


Pagi baru saja datang menjelang. Cahaya matahari 

menabur lembut membangunkan seluruh isi 

mayapada mi. Sinarnya yang memerah Jingga, 

menyembul menyemburat indah di balik Bukit Bojong. 

Kabut mulai berpencar tersentuh hangatnya sinar 

sang surya. Kicau burung bernyanyi riang 

menyongsong datangnya fajar. 

Di Puncak Bukit Bojong yang masih berselimut 

Kabut, seorang gadis berbaju merah menyala ketat, 

berdiri tegak memandangi setumpuk abu dari kayu-

kayu yang terbakar. Angin yang berhembus agak 

kencang menebarkan abu itu ke segala arah. 

Wajahnya yang terbalut kulit putih, tampak murung. 

Sepasang bola matanya yang bulat indah, terlihat 

berkaca-kaca. 

Entah sudah berapa lama gadis itu berdiri di situ. 

Sama sekali dia tidak menghiraukan kicauan burung, 

dan hangatnya sinar matahari pagi. Setitik air bening 

menggulir dari sudut matanya. Tapi buru-buru dia 

menghapus dengan punggung tangannya. Gadis itu 

seperti tidak ingin kelihatan menangis. Dia berusaha 

tegar, meskipun dadanya bergemuruh, bergolak ingin 

memberontak. 

Sejenak gadis itu mengangkat kepalanya, dan 

memiringkannya ke kiri. Telinganya yang tajam, dapat 

mendengar suara halus langkah kaki seseorang. 

Belum lagi dia sempat mengetahui persis, tiba-tiba di 

sekelilingnya sudah berlompatan empat orang 

berpakaian hijau ketat, dan mengenakan topeng


pucat bagai mayat. Gadis itu memutar tubuhnya, dan 

saat matanya menatap ke arah sebuah dahan, 

tampak seorang lagi berdiri di sana dengan 

angkuhnya. 

“Ke mana pun kau pergi, tidak akan lepas dari 

tanganku, Narita!” dingin kata-kata orang bertopeng 

mayat, yang berdiri di atas dahan pohon. 

“Aku memang tengah mencarimu, iblis!” balas 

Narita tidak kalah dinginnya. 

“Ha ha ha...!” Iblis Topeng Mayat terbahak-bahak. 

Tenggorokannya serasa tergelitik mendengar kata-

kata gadis berbaju merah itu. 

“Kau berhutang nyawa padaku! Hari ini juga aku 

akan menagih nyawamu!” dengus Narita geram. 

“Jangan terlalu bermimpi besar, Narita. Gurumu 

saja tidak sanggup menandingiku, apalagi kau? 

Bocah baru kemarin sore! Ha ha ha...!” 

Narita menggeretakkan gerahamnya dengan 

perasaan geram. Dia memang menyadari, kalau 

dirinya bukanlah tandingan Iblis Topeng Mayat. 

Melawan empat orang muridnya saja, belum tentu 

mampu. 

Tapi gadis itu sudah tidak peduli lagi. Kematian 

dua orang yang sangat dicintainya, membuatnya 

nekad! Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Narita segera meloloskan sabuknya yang berwarna 

keperakan. Dan dengan satu kebutan keras, sabuk 

itu berubah kaku bagai pedang tipis yang kelihatan 

lentur. Sementara empat orang berbaju hijau dan 

bertopeng pucat bagai mayat, juga segera mencabut 

senjatanya yang berupa tongkat pendek berwarna 

hitam pekat. 

“Majulah kalian!” bentak Narita keras. 

“Hup!”


Iblis Topeng Mayat yang nama aslinya Pramurti, 

melompat turun dari dahan pohon. Lalu dengan 

manis sekali kakinya mendarat di depan Narita. Kini 

jarak mereka hanya sekitar dua batang tombak. 

Narita segera menyilangkan sabuknya yang sudah 

menegang kaku di depan dada. Matanya menatap 

langsung ke bola mata yang tersembunyi di balik 

topeng pucat bagai mayat itu. 

“Hup! Hiyaaa...!” 

Narita langsung melompat menerjang seraya 

mengibaskan senjatanya dengan cepat ke arah leher 

Iblis Topeng Mayat. Serangan yang cepat dan 

bertenaga penuh itu, hanya dilayani Pramurti dengan 

mengegoskan kepala sedikit saja. Hingga serangan 

Narita lewat beberapa helai rambut di depan leher 

Iblis Topeng Mayat. Dan pada saat itu, tangan kiri 

wanita bertopeng itu bergerak ke depan. 

“Ugh!” 

Seketika Narita mengeluh pendek, dan tubuhnya 

terdorong beberapa langkah ke belakang. Dadanya 

mendadak tersa sesak. Namun gadis itu segera 

melompat kembali. Dia mengibaskan senjatanya 

beberapa kali dengan cepat ke arah bagian tubuh 

lawan yang mematikan. Sedangkan Pramurti 

langsung berkelit meliuk-liukkan tubuhnya, meng-

hindari tebasan senjata gadis berbaju merah itu. 

Pertarungan memang berjalan tidak seimbang. 

Jelas sudah kalau Narita masih berada jauh di bawah 

tingkat kepandaian Iblis Topeng Mayat. Serangan-

serangan gadis itu lewat tanpa membawa hasil yang 

memuaskan. Bahkan baru beberapa jurus saja, 

sudah beberapa kali Narita terjungkal mencium 

tanah. Tapi gadis itu tampaknya tidak mau menyerah 

begitu saja. Dia terus saja menyerang dengan



dahsyat. 

“Hup!” 

Sejenak Iblis Topeng Mayat melompat mundur. 

Kemudian jari tangannya bergerak menjentik, mem-

perdengarkan suara bagai ranting patah. Saat itu juga 

empat orang muridnya segera melompat mengurung 

Narita. 

“Kau bukan lawanku, Narita. Jika kau berhasil 

merobohkan salah satu dari muridku, kau akan bebas 

hidup dan aku akan melupakanmu,” kata Iblis Topeng 

Mayat. 

“Huh!” Narita mendengus kesal. 

“Beri bocah itu pelajaran, anak-anak!” seru Iblis 

Topeng Mayat. 

Langsung saja empat orang wanita berbaju hijau 

dan bertopeng pucat bagai mayat itu berlompatan 

menyerang Narita. Sedangkan gadis berbaju merah 

itu mengamuk bagai singa betina kehilangan 

anaknya. Senjatanya berkelebatan cepat ke arah para 

penyerangnya. Kadang-kadang senjata keperakan itu 

meregang kaku bagai pedang, namun di lain saat 

berubah lemas bagai cambuk. 

Senjata yang dipegang Narita rupanya berhasil 

membuat empat orang bertopeng pucat itu gentar. 

Beberapa kali mereka berbenturan senjata, namun 

mereka merasakan seperti membentur benda lunak 

yang dapat memantulkan tenaga dengan keras. Dan 

Narita memang sudah mengeluarkan jurus-jurus 

andalannya. Dia tidak mau tanggung-tanggung lagi 

dalam menghadapi lawannya kali ini. 

***


Narita yang sudah pernah bentrok dengan empat 

orang bertopeng pucat bagai mayat itu, benar-benar 

nekad. Dia langsung mengeluarkan jurus-jurus 

andalannya! Hal itu sangat jelas, karena empat orang 

lawannya kelihatan sulit untuk mematahkan 

serangan-serangan gadis berbaju merah itu. 

Namun setelah melewati lebih dari dua puluh 

jurus, tampak keadaan mulai bisa dilihat. Gerakan-

gerakan Narita tidak lagi sedahsyat semula. 

Tenaganya sudah terkuras banyak, dan dia mulai sulit 

mengontrol diri. Sementara empat orang lawannya 

segera memanfaatkan keadaan tersebut. Mereka 

langsung meningkatkan tekanan dan serangannya. 

Beberapa kali Narita harus berkelit menghindari 

serangan lawan-lawannya. Bahkan tidak jarang dia 

harus memekik, terkena pukulan atau tendangan 

yang keras. 

“Akh!” tiba-tiba Narita memekik tertahan. 

Salah seorang lawannya berhasil merobek pundak 

kiri gadis itu. Darah langsung keluar dengan deras. 

Tampak Narita melangkah mundur dengan ter-

huyung-huyung. Sedangkan jari-jari tangannya ber-

gerak cepat menotok di sekitar lukanya. Sebentar 

saja darah sudah berhenti keluar. Namun bibirnya 

masih berkerut mendesis, menahan marah yang 

memuncak. 

Saat itu satu orang yang berada di depan, men-

dadak berteriak keras sambil melompat dan 

mengibaskan tongkat hitamnya. Buru-buru Narita 

merunduk menghindari serangan itu. Tapi selagi 

Narita merunduk, seorang lagi dari arah samping 

kirinya, segera melepaskan pukulan yang dahsyat 

“Uts!” 

Cepat-cepat Narita menarik tubuhnya ke belakang


seraya menangkis pukulan itu dengan tangan kiri. 

Dan belum lagi gadis itu bisa menguasai diri, satu 

serangan lagi datang dengan cepat. Kali ini sebuah 

kaki melayang ke arah dada. Narita yang sudah 

diserang beberapa kali dari berbagai jurusan, tidak 

mampu lagi berkelit. Tendangan geledek itu tepat 

menghantam dadanya. 

“Akh...!” lagi-lagi Narita memekik keras. 

Tubuh gadis itu langsung terpental ke belakang 

sejauh dua batang tombak. Pada saat itu, salah 

seorang yang berada di belakangnya, menerimanya 

dengan melepaskan pukulan keras ke arah 

punggung. Seketika Narita tersuruk jatuh mencium 

tanah. Dan belum lagi gadis itu sempat bangkit, satu 

batang tongkat melunak deras ke arahnya! Kini Narita 

benar-benar pasrah. Dia hanya dapat memejamkan 

mata, tak mampu lagi untuk berkelit. 

Tapi pada saat ujung tongkat itu hampir 

menembus dadanya, secercah cahaya keperakan 

melesat dan mengarah tongkat itu. Buru-buru orang 

yang memegang tongkat hitam itu menariknya 

dengan cepat, sehingga cahaya keperakan itu lewat 

di bawah ujung tongkatnya. Sedangkan Narita yang 

sudah menunggu saat ajalnya, jadi terkejut begitu 

membuka matanya. Tampak seorang pemuda 

tampan telah berdiri di sampingnya. Maka dengan 

sisa-sisa tenaganya, gadis itu berusaha bangkit. 

Pemuda itu berdiri tegak, dengan kedua tangan 

yang melipat di depan dada. Matanya tajam menatap 

pada lima orang berpakaian hijau dengan wajah 

tertutup topeng pucat bagai mayat. Pemuda itu 

mengenakan baju dari kulit harimau. Di pergelangan 

tangan kanannya, menempel sebuah benda bulat 

pipih bersegi enam yang melengkung, dan berwarna


keperakan. 

“Huh! Kalian benar-benar manusia binatang! 

Mengeroyok seorang gadis yang tidak berdaya!” 

dengus pemuda itu dingin. 

“Bocah setan! Kau terlalu usil, selalu mencampuri 

urusanku!” bentak Pramurti atau Iblis Topeng Mayat 

yang segera mengenali pemuda tersebut. 

“Aku tidak akan ikut campur, jika kalian mau 

bertarung secara ksatria!” sahut pemuda itu tegas. 

“Apa pedulimu?!” bentak Pramurti sengit. 

Pemuda itu tidak menanggapi, kemudian dia 

menoleh kepada Narita yang sudah bisa berdiri di 

sampingnya. Sedikit dia melemparkan senyumnya. 

Lalu pandangannya beralih pada wanita berbaju hijau 

di depannya. Sedangkan empat orang lainnya sudah 

berdiri di belakang Pramurti. 

“Narita! Kali ini kau bisa bernapas kembali, tapi 

kau tidak akan lepas dari pengawasanku!” kata 

Pramurti tajam. “Dan kau, bocah usil! Perbuatanmu 

harus kau tebus dengan mahal!” 

Setelah memberikan ancaman demikian, Iblis 

Topeng Mayat langsung melesat pergi diikuti oleh 

empat orang lainnya. Sementara pemuda berbaju 

kulit harimau itu hanya bisa memandangi. 

“Huh! Ancaman orang pengecut!” dengus pemuda 

itu. 

*** 

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu 

kemudian berbalik dan memandang Narita. Sedang-

kan gadis itu malah memalingkan mukanya, dan 

menatap pada gundukan abu yang mulai menipis 

terhempas angin. Pelahan-lahan kakinya terayun


mendekati abu pembakaran itu, dan berdiri di 

dekatnya dengan mata tidak berkedip. Sementara 

pemuda itu masih berdiri di tempatnya sambil mem-

perhatikan. 

“Maaf, kalau kehadiranku ini membuatmu tidak 

senang,” kata pemuda tampan itu pelan. 

Narita segera berbalik dan menatap pada pemuda 

yang berada dua batang tombak di depannya. Bola 

matanya berputar, seolah-olah dia tengah menyelidik. 

Rasanya belum pernah dia melihat pemuda tampan 

berambut gondrong, dan berbaju dari kulit harimau 

itu. Tapi kalau melihat Iblis Topeng Mayat seakan-

akan segan bentrok dengannya, pastilah tingkat 

kepandaiannya sudah sangat tinggi. 

“Jika kau memang tidak suka, sebaiknya aku 

pergi,” kata pemuda itu seraya berbalik 

“Tunggu dulu!” cegah Narita sambil melangkah 

menghampiri. 

Pemuda itu kembali membalikkan tubuhnya. Kini 

jarak mereka begitu dekat. Sesaat mereka saling 

pandang, lalu Narita melangkah menjauh, dia duduk 

di batang pohon yang tumbang. Sedangkan pemuda 

itu segera menghampiri dan duduk bersandar di 

bawah pohon yang tidak jauh dari tempat Narita 

duduk. Beberapa saat kemudian mereka masih 

belum membuka percakapan. 

“Siapa kau? Kenapa mau bersusah-payah me-

nolongku?” tanya Narita, datar suaranya. 

“Namaku Bayu Hanggara, tapi biasa dipanggil 

Pendekar Pulau Neraka,” sahut pemuda itu kalem. 

“Aku menolongmu karena kebetulan lewat, dan 

melihat kau seperti membutuhkan pertolongan.” 

“Terima kasih, tapi aku tidak perlu kau tolong. 

Lebih baik aku mati, daripada tidak bisa membalas


kematian Guru yang juga kakekku. Mereka juga telah 

membunuh saudaraku satu-satunya,” pelan suara 

Narita. 

“Siapa yang membunuh mereka?” tanya Bayu. 

“Iblis Topeng Mayat. Mereka memang sudah lama 

menjadi musuh keluargaku. Mereka tidak akan puas 

kalau belum membunuhku,” sahut Narita menjelas-

kan dengan singkat. 

“Apakah kau dari Desa Batang Hulu?” tanya Bayu 

lagi. 

Narita tidak langsung menjawab. Dia lalu menoleh 

dan menatap pemuda itu dengan tajam. Kemudian 

pelahan-lahan kepalanya terangguk. 

“Dari mana kau tahu aku berasal dari Desa Batang 

Hulu?” tanya Narita bernada heran. 

“Hanya kebetulan saja. Kemarin malam aku juga 

menyaksikan pembantaian di sana, dan aku berhasil 

menyelamatkan seseorang yang tampaknya mem-

punyai pengaruh di sana. Lalu paginya lagi aku 

bentrok dengan mereka, karena berusaha menye-

lamatkan beberapa orang yang baru keluar dari 

sebuah tempat seperti benteng. Dan sekarang aku 

bertemu denganmu yang juga bentrok dengan 

mereka. Aku hanya menduga, kalau semua peristiwa 

itu saling berkaitan. Benar begitu?” 

“Mungkin,” desah Narita pelan. 

Sebenarnya gadis itu agak terkejut juga men-

dengar penuturan Bayu. Tapi dia bisa menyem-

bunyikan rasa terkejutnya dengan cepat. Hatinya kini 

mendadak jadi gelisah. Dia sadar kalau semua yang 

dilakukan kakeknya akan berakibat luas! Kakeknya, 

Eyang Galadipa atau Pendekar Welut Putih sudah 

bercerita banyak tentang Iblis Topeng Mayat dan 

segala persoalan yang ada.


Dan semua yang telah terjadi itu, sebelumnya 

memang sudah menjadi bahan pemikiran Eyang 

Galadipa. Dan Narita merasa bahwa semua itu 

sekarang menjadi tanggung jawabnya. Pelahan dia 

menarik napas dalam-dalam, dan menghembus-

kannya dengan kuat. Dadanya terasa sesak, 

menyadari persoalan yang dihadapinya semakin pelik 

dan meluas. 

“Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur dalam 

urusan ini. Tapi melihat begitu banyak orang-orang 

yang terancam jiwanya, aku....” 

“Kau sudah ikut terlibat!” potong Narita cepat. 

Bayu langsung menatap gadis itu dengan tajam. 

“Iblis Topeng Mayat tidak akan pernah melepaskan 

orang yang sudah pernah berurusan dengannya!” 

kata Narita lagi. 

“Oh, begitu? Lalu kenapa kau sampai bisa bentrok 

dengan mereka?” 

“Ceritanya panjang, dan kalau ingin lebih jelas, 

datang saja ke Puri Watu Ukir,” sahut Narita. 

“Di mana itu?” 

“Cari saja sendiri. Orang yang kau tolong kemarin 

berasal dari sana.” 

Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bisa 

menebak kalau semua peristiwa itu pasti saling 

berkaitan dan menyangkut banyak orang. Bayu 

merasakan, kalau Pendekar Pulau Neraka bakal 

bertualang kembali dan tangannya akan berlumuran 

darah lagi. Untuk kesekian kalinya dia terpaksa 

mencampuri urusan orang lain, yang tidak ada 

sangkut-pautnya dengan tujuan pengembaraannya. 

***


Saat itu di Puri Watu Ukir, suasananya tidak seperti 

biasa. Mayat-mayat tampak bergelimpangan di mana-

mana. Sedangkan di beberapa tempat, masih 

terdengar suara pertempuran. Hampir seluruh 

bangunan di tempat itu porak poranda bagai baru 

saja terjadi badai yang amat dahsyat! Di dalam 

sebuah ruangan yang sangat luas, Resi Danuraga 

tengah bertarung melawan Iblis Topeng Mayat. 

Pertarungan itu sudah mencapai pada tahap yang 

sangat tinggi. Mereka sama sama telah mengeluar-

kan jurus-jurus andalan masing-masing. Namun pada 

jurus-jurus akhir, tampaklah kalau Resi Danuraga 

terdesak terus. 

“Mampus kau, Danuraga!” bentak Iblis Topeng 

Mayat. 

Saat itu juga dia mengayunkan senjatanya ke arah 

dada Resi Danuraga. Namun dengan cepat laki-laki 

tua berjubah kelabu itu mengegoskan tubuhnya ke 

samping, menghindari tusukan tongkat pendek 

berwarna hitam pekat itu. Namun tanpa diduga sama 

sekali, Iblis Topeng Mayat memutar arah senjatanya 

dengan cepat dan tiba-tiba. 

Resi Danuraga terperangah sejenak. Buru-buru dia 

melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Tapi 

Iblis Topeng Mayat terus mencecarnya dengan 

mengecutkan senjatanya beberapa kali. Terpaksa 

Resi Danuraga kembali bersalto ke belakang meng-

hindari serangan yang beruntun itu. Dan pada 

lompatan yang kesekian kalinya, sebilah kakinya 

berhasil mendupak tangan Iblis Topeng Mayat. 

“Akh!” Iblis Topeng Mayat memekik tertahan. 

Dan begitu Resi Danuraga berdiri tegak, dengan 

cepat Iblis Topeng Mayat mengebutkan senjatanya ke 

depan. Sungguh di luar dugaan sama sekali, senjata


itu terlepas pada bagian tengahnya, dan meluruk 

deras ke arah Resi Danuraga. Buru-buru laki laki tua 

berjubah kelabu itu memiringkan tubuhnya. Dan 

lontaran senjata itu lewat sedikit di sampingnya. 

Tepat pada saat itu, kembali Iblis Topeng Mayat 

melompat bagaikan kilat, seraya melemparkan 

potongan senjatanya ke arah dada. Sedangkan Resi 

Danuraga yang tengah berkelit menghindari lontaran 

potongan senjata yang pertama, tidak bisa lagi meng-

hindar dengan cepat. 

“Aaakh...!” seketika Resi Danuraga memekik 

keras. 

Ujung tongkat hitam Iblis Topeng Mayat tersebut 

berhasil menembus dadanya. Dan begitu dia menarik 

senjata itu, darah langsung muncrat keluar! 

Sementara perempuan berbaju hijau yang 

mengenakan topeng pucat bagai mayat itu, 

melayangkan kakinya dengan keras ke arah perut. 

Buk! Resi Danuraga kontan terbungkuk, dan tongkat 

pendek dengan ujungnya terdapat pisau tipis itu 

berkelebat cepat ke arah leher. 

Seketika tubuh Resi Danuraga ambruk! Iblis 

Topeng Mayat kemudian mencabut potongan 

senjatanya yang menancap di dinding, dan 

menyatukannya kembali dengan yang dia pegang. 

Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, wanita 

berbaju hijau itu langsung melompat ke luar. 

“Hiya...!” 

Pada saat itu, di luar masih berlangsung per-

tempuran sengit antara empat orang murid Iblis 

Topeng Mayat, melawan seorang wanita tua yang 

mengenakan jubah hijau. Wanita itu adalah Nyai Resi 

Rara Kitri. Tampak di sekitar pertarungan itu, mayat-

mayat bergelimpangan tidak tentu arah dan saling


tumpang tindih. Bau anyir darah pun menyebar 

terbawa angin. 

“Mundur...!” seru Iblis Topeng Mayat. 

Seketika itu juga, empat orang muridnya 

berlompatan mundur. Sedangkan Nyai Resi Rara Kitri 

tampak tersengal napasnya. Kedatangan Iblis Topeng 

Mayat itu merupakan tanda, kalau Resi Danuraga 

sudah tewas. Sejenak Nyai Resi Rara Kitri 

memandang berkeliling. Hatinya sedih bercampur 

geram melihat seluruh, cantrik dan murid-muridnya 

telah tewas. 

“Lama aku menunggu kesempatan seperti ini, 

Rara Kitri,” kata Iblis Topeng Mayat, dingin dan datar 

suaranya. 

“Hhh! Kau benar-benar perempuan iblis, Pramurti!” 

dengus Nyai Resi Rara Kitri menyebut nama asli Iblis 

Topeng Mayat. 

“Tapi aku bukan tikus sepertimu! Bersembunyi 

balik lorong hanya menunggu maut!” balas Pramurti. 

“Sebenarnya aku sudah melupakan semua per-

selisihan di antara kita, Rara Kitri. Tapi saudaramu 

yang memulai lebih dulu. Dia membantai habis murid-

muridku di saat aku sedang bepergian, hingga tinggal 

tersisa lima orang. Bahkan satu lagi sudah tewas 

terbunuh oleh cucu saudaramu. Aku pun berusaha 

melupakan semua itu, karena aku begitu mencintai 

Galadipa, tapi rupanya dia masih menyimpan dendam 

padaku. Kau tahu, Rara Kitri. Bukan aku yang 

membunuh istri Galadipa. Dia tewas karena terjatuh 

di dalam jurang, dan aku sudah berusaha untuk 

menolongnya. Tapi saudara-saudaramu menuduhku 

lain, juga kau! Apa boleh buat, api permusuhan telah 

kalian sulutkan. Dan api itu tidak akan padam 

sebelum di antara kita ada yang tewas!” kata


Pramurti mengingatkan kejadian beberapa puluh 

tahun silam. 

“Kau sudah membunuh Galadipa, lalu kenapa kau 

masih juga berkeliaran? Bahkan membantai para 

penduduk yang tidak berdosa!” rungut Nyai Resi Rara 

Kitri. 

“Aku sengaja berbuat demikian untuk memancing 

saudara-saudaramu keluar. Dan aku pun bersumpah, 

aku dan murid-muridku yang tewas, atau kau dan 

seluruh saudara-saudaramu, serta keturunanmu 

semua!” sahut Pramurti. 

“Iblis! Kau benar-benar bukan lagi manusia, 

Pramurti!” geram Nyai Resi Rara Kitri menggeretak. 

“Ha ha ha...! Itulah aku, Iblis Topeng Mayat! Apa 

pun akan kulakukan, demi tercapainya maksudku!” 

kata Pramurti pongah. 

“Setan! Mampus kau! Hiyaaa...!” 

Nyai Resi Rara Kitri tidak dapat lagi menahan 

amarahnya. Dengan cepat dia melompat menerjang 

Iblis Topeng Mayat itu. Namun dengan manis sekali 

Iblis Topeng Mayat menghindari serangan-serangan 

tersebut. Nyai Resi Rara Kitri yang sudah dirasuki 

hawa amarah, langsung mengerahkan jurus-jurus 

andalannya yang dahsyat dan sangat berbahaya! 

Sementara dua orang yang saling bermusuhan 

selama bertahun-tahun itu menyabung nyawa, empat 

orang murid Iblis Topeng Mayat terus mengamatinya 

dengan sikap siaga. Mereka mengambil tempat dari 

empat jurusan. Masing-masing sudah menggenggam 

senjata berupa tongkat hitam pendek, dengan cincin 

berwarna merah pada tengahnya. 

“Hiya...!” 

“Yeah...!” 

Dua orang wanita yang bertarung itu saling


melompat tinggi ke udara, dan berbenturan di udara. 

Tampak Nyai Resi Rara Kitri terlempar dan jatuh 

dengan keras ke tanah. Sedangkan Iblis Topeng 

Mayat mendarat dengan manis di tanah. Dan begitu 

kakinya menjejak tanah, kembali dia melenting, dan 

bersalto beberapa kali di udara. Kemudian dengan 

satu gerakan yang cepat dan sukar diikuti oleh mata 

biasa, ujung tongkatnya menghunjam ke dada Nyai 

Resi Rara Kitri yang baru saja bisa bangkit. 

“Hugh!” Nyai Resi Rara Kitri langsung mengeluh 

pendek. 

“Yap!” 

Pramurti segera mencabut senjatanya kembali dari 

dada lawannya. Lalu dengan cepat sekali kaki 

kanannya terayun mendupak tubuh resi wanita 

tersebut Tubuh Nyai Resi Rara Kitri pun kembali 

terjungkal ke belakang. Dari dadanya tampak 

mengucur darah segar. Sedangkan mulutnya 

mengeluarkan darah kental kehitaman. Sebentar dia 

masih menggelepar, lalu diam dan tidak berkutik lagi. 

“Hi hi hi...!” Pramurti tertawa mengikik penuh 

kepuasan. 

Dan tanpa banyak bicara lagi, Iblis Topeng Mayat 

segera melesat pergi meninggalkan korban-korban-

nya. Sementara empat orang muridnya langsung 

mengikuti tanpa diperintah lagi. Tepat pada saat 

mereka lenyap di balik kerimbunan pepohonan, 

muncul dua orang di Puri Watu Ukir itu. 

“Bibi...!” 

***


Narita langsung menubruk dan memeluk tubuh Resi 

Rara Kitri yang bersimbah darah. Gadis itu kemudian 

menggoyang-goyangkan tubuh wanita tua berjubah 

hijau itu. Dari bibirnya yang mungil, tidak berhenti 

menyuarakan kata-kata. Sementara di sampingnya 

tampak berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda 

tampan, tegap dan berbaju kulit harimau itu, hanya 

bisa memandang dengan dada diliputi oleh berbagai 

macam perasaan. 

“Bi...,” rintih Narita bernada putus asa. 

“Oh...,” terdengar rintihan lirih dari bibir yang 

berlumur darah kental. 

“Bi...! Bibi...!” seru Narita. 

“Narita..., cucuku...,” Resi Rara Kitri mendesis lirih. 

Kelopak matanya terbuka sedikit. Dan napasnya 

tersengal satu-satu. 

“Siapa yang melakukan ini, Bi?” tanya Narita. 

“Narita.... Oh, kau tahu aku bibimu?” Resi Rara 

Kitri malah balik bertanya. 

“Iya, Bi. Sejak semula aku memang sudah tahu. 

Maafkan aku, Bi. Aku pergi tanpa pamit lagi, karena 

tidak ingin Bibi dan Paman semua ikut terlibat,” kata 

Narita. 

“Bukan salahmu, Narita. Kami memang sudah 

lama bermusuhan. Akh...!” tubuh Resi Rara Kitri tiba-

tiba mengejang. 

“Bi...!” Narita tersentak kaget. 

“Dengar, Narita. Sebentar lagi aku akan mati. 

Carilah Paman dan Bibimu yang lain. Beritahu semua


kejadian di sini. dan.... Oh!” tubuh Resi Rara Kitri 

kembali mengejang. 

“Bi...! Bibi...!” Narita terus mengguncang-guncang 

tubuh wanita tua itu. 

Tapi Resi Rara Kitri sudah tidak bergerak lagi. 

Seketika Narita menjerit keras, dan memeluk tubuh 

yang sudah tidak bernyawa itu. Gadis itu tidak 

sanggup lagi membendung air matanya. Dia 

menangis meraung-raung. 

“Narita...,” Bayu menepuk pundak gadis itu, 

setelah cukup lama ia membiarkannya menumpah-

kan perasaan. 

Pelahan-lahan Narita menoleh, dan meletakkan 

tubuh bibinya dengan hati-hati. Kemudian dia segera 

bangkit, dan menatap pemuda tampan di 

sampingnya. Gadis itu tidak peduli dengan air 

matanya yang merembes ke luar dengan deras. 

“Tidak perlu kau tangisi. Yang sudah pergi tidak 

mungkin kembali lagi,” kata Bayu pelan. 

“Semua ini karena salahku. Kalau saja aku tidak 

berpura-pura dan tidak pergi dari sini, pasti mereka 

semua masih hidup. Aku memang bodoh! Tolol!” 

Narita mengutuki dirinya sendiri. 

“Kau tidak bodoh, Narita. Kau hanya tidak bisa 

mengendalikan diri, dan semua yang terjadi memang 

sudah takdir. Semua manusia pasti akan mati, hanya 

cara dan waktunya saja yang tidak kita ketahui. Aku 

tidak melihat kesalahan pada dirimu, Narita. 

Tindakanmu benar, kau bermaksud baik. Tapi takdir 

menentukan lain. Penyesalan diri dan air mata 

bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Jika kau 

merasa bahwa semua yang terjadi karena 

kesalahanmu, kau harus menentukan sikap, bukan 

menyesali dan meratap mengutuk diri sendiri. Kau


seorang pendekar, Narita. Kau harus lebih segala-

galanya dari wanita-wanita lain,” lembut kata-kata 

Bayu, namun terdengar tegas, penuh perasaan dan 

dorongan moril. 

“Kau benar, Kakang,” kata Narita serasa baru 

tergugah dari mimpi buruk yang hampir meneng-

gelamkan dirinya. 

“Hapuslah air matamu, tegarkan hatimu. Kau tidak 

akan bisa menyelesaikan suatu persoalan dengan air 

mata dan penyesalan diri.” 

Pelahan-lahan Narita mulai tersenyum, kemudian 

menghapus air matanya dengan punggung tangan-

nya. Sejenak kepalanya berpaling pada mayat Nyai 

Resi Rara Kitri. 

“Ayo, Kakang. Bantu aku mengurus mayat-mayat 

ini,” ajak Narita. 

Bayu segera tersenyum melihat Narita kembali 

bangkit. Maka tanpa diminta dua kali, dia segera 

mengumpulkan mayat-mayat yang bergelimpangan, 

pada satu tempat di halaman depan Puri Watu Ukir. 

Sementara Narita mengambil cangkul untuk menggali 

lubang. Dia sempat tertegun dan hampir guncang 

kembali saat menemukan mayat Resi Danuraga di 

dalam rumah. Mayat itu keadaannya sangat 

mengenaskan, kepala terpisah dari badan. 

Namun gadis itu tidak lagi mau larut dalam 

kesedihan dan perasaan bersalah. Kata kata Bayu 

barusan bagaikan setitik air sejuk yang mem-

bangkitkan semangat, dan menyalakan kembali pelita 

di dalam hatinya. Narita seolah-olah bagaikan 

seorang musafir yang baru saja menemukan jalan, 

setelah sekian lama tersesat di dalam luasnya gurun. 

Narita membantu Pendekar Pulau Neraka 

menguburkan seluruh mayat-mayat yang ber


gelimpangan bersimbah darah. Dan Narita hampir 

pecah kembali tangisnya, saat mayat Nyai Resi Rara 

Kitri dan mayat Resi Danuraga dikuburkan. Gadis itu 

segera berlari menjauh untuk menguatkan hatinya. 

Sementara Bayu hanya bisa melihat sambil menerus-

kan pekerjaannya. Dia bisa memaklumi perasaan 

gadis itu. 

Bayu kemudian menghampiri gadis cantik berbaju 

merah menyala itu, setelah dia menyelesaikan 

pekerjaannya. Sedangkan Narita tetap duduk dengan 

kepala tertunduk di bawah pohon yang cukup 

rindang. 

“Narita, kau mau tetap di sini, atau mencari Paman 

dan Bibimu yang lain?” tegur Bayu. 

Narita mendesah panjang, kemudian pelahan-

lahan dia bangkit. Sebentar dia menatap ke arah 

gundukan tanah yang cukup besar, tidak jauh di 

depannya. Lalu tatapan matanya beralih kepada 

Pendekar Pulau Neraka. 

“Maaf, aku tidak bisa...,” Narita tidak melanjutkan 

kata-katanya. 

“Sudahlah, aku bisa mengerti perasaanmu,” kata 

Bayu memahami. 

“'Terima kasih.” 

“Ayo, kita pergi, sebelum hari menjadi gelap,” ajak 

Bayu. 

Narita mengangguk dan kakinya terayun me-

langkah. Pendekar Pulau Neraka juga mengayunkan 

kakinya di samping gadis itu. Mereka berjalan 

meninggalkan Puri Watu Ukir tanpa berkata-kata lagi. 

Sementara itu senja mulai merayap mendekati 

pergantian waktu. Sang surya dengan cahayanya yang 

merah jingga, menyemburat semakin tenggelam di 

balik belahan bumi sebelah Barat


*** 

Siang berganti dengan malam, sejalan dengan 

berputarnya sang waktu. Matahari pun berganti 

dengan sang dewi malam. Kini suasana di sekitar 

Bukit Bojong agak sunyi. Hanya binatang-binatang 

malam saja yang memperdengarkan suaranya, meng-

halau kesunyia yang menyelimuti mayapada ini. 

Seorang wanita tua berjubah biru, tampak berjalan 

pelahan-lahan merambah hutan di Lereng Bukit 

Bojong itu. Dari bentuk tubuhnya yang kurus dan agak 

bungkuk, orang tidak akan menyangka kalau wanita 

tua renta itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup 

tinggi. Tapi kalau dilihat dari caranya berjalan, sudah 

dapat diketahui bahwa dia berjalan dengan mem-

pergunakan ilmu meringankan tubuh. 

Ayunan kakinya ringan, seolah olah dia berjalan 

tidak menapak tanah. Rumput-rumput yang terinjak 

pun tidak nampak bekas-bekas tapak kakinya. Sinar 

matanya bersorot tajam, seakan akan menembus 

pekatnya malam. Beberapa saat kemudian, wanita 

tua itu berhenti setelah tiba di sebuah tempat yang 

berbatu, dengan tebing-tebing curam dan beberapa 

tonjolan batu. 

“Hm, ada orang lain menuju ke sini,” gumam 

wanita tua itu pelan. 

Sebentar dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Begitu 

matanya menatap pada sebuah batu besar yang 

menjorok ke luar dari tebing, dia langsung melesat 

cepat ke arah batu itu. Dalam sekejap saja tubuhnya 

sudah lenyap di balik batu besar dan hitam pekat itu. 

Tidak lama berselang, tampak beberapa orang laki-

laki berjalan di bawah tebing batu itu. Mereka adalah 

Paksi dan sepuluh orang pengawalnya.



“Hati-hati, kita sudah berada dekat dengan sarang 

mereka,” kata Paksi yang berjalan paling depan. 

“Di mana tempatnya, Den?” tanya salah seorang 

yang berjalan di belakangnya. 

“Menurut yang kudengar, tempatnya ada di 

seberang jurang itu,” sahut putra kepala desa itu, 

sambil menunjuk sebuah jurang yang tidak begitu 

besar. 

Mereka terus saja berjalan mendekati sebuah 

arang yang menganga lebar bagaikan membelah 

Bukit Bojong. Kesebelas orang itu lalu berhenti tepat 

di bibir jurang. Tampak Paksi mengamati seberang 

jurang. Hanya dengan satu loncatan saja, pasti bisa 

menyeberangi jurang itu. 

“Barangkali salah, Den,'' kata orang yang berada di 

samping putra kepala desa itu. 

“Tidak, aku yakin. Pasti ini tempatnya,” sahu Paksi. 

“Tapi, di seberang sana cuma ada hamparan batu 

batu saja. Rasanya tidak mungkin kalau Iblis Topeng 

Mayat mengambil tempat di sana. Terlalu mudah di 

jangkau, Den,” bantah orang itu lagi. 

“Hm...,” Paksi mengerutkan keningnya. 

Kata-kata orang itu memang benar. Tempat 

tersebut terlalu mudah untuk dijangkau oleh siapa 

saja Dan biasanya, seorang tokoh persilatan selalu 

memiliki tempat tinggal yang sulit dijangkau, dan 

banyak rintangannya. Sedangkan untuk mencapai 

seberang jurang itu, tidak terlalu sulit. Bahkan 

seorang yang tingkat kepandaiannya masih rendah 

sekalipun dapat melompatinya. Jurang itu tidak begitu 

besar, lebarnya hanya sekitar tiga batang tombak, 

dan juga tidak begitu dalam. 

Paksi mengambil sebatang ranting kering yang 

menggeletak di dekat kakinya. Sebentar dia


menimang-nimang ranting itu, lalu dengan mengerah-

kan tenaga dalam, dia melemparkan ranting itu ke 

seberang jurang. Ranting kering itu meluncur deras 

bagai sebatang anak panah lepas dari busurnya. Dan 

begitu mencapai tepi seberang jurang, puluhan anak 

panah hitam meluruk deras menghantam ranting 

kering itu. 

Tentu saja sepuluh orang yang berada di sekitar 

Paksi, jadi terperangah melihat kejadian itu. Sedang-

kan Paksi hanya tersenyum dan bergumam kecil. 

Kemudian tangannya menjumput sebongkah batu 

yang cukup besar. Dan batu itu langsung amblas 

begitu tiba di dasar jurang. Bahkan ranting-ranting 

yang berada di dasar jurang itu, ikut melesak masuk 

ke dalam. Kembali sepuluh orang itu terheran-heran 

dibuatnya. 

“Kelihatannya mudah, tapi sukar untuk dijangkau,” 

kata Paksi setengah bergumam. 

“Bagaimana, Den? Kita tidak mungkin bisa 

menyeberanginya,” kata salah seorang lagi. 

“Iblis Topeng Mayat memang cerdik, tapi aku tidak 

mau kalah cerdik. Lihat saja,” sahut Paksi kalem. 

Paksi kemudian meminta busur dan sekantung 

anak panah dari salah seorang pengikutnya. Dengan 

panah itu dia lalu membidikkan ke seberang jurang. 

Sungguh di luar dugaan sama sekali. Setiap batang 

anak panah yang melesat, selalu disambut anak-anak 

panah hitam. Beberapa kali Paksi melepaskan anak-

anak panahnya, hingga sampai pada panah yang ke 

lima belas, tidak ada lagi sambutan. 

“Aman, Den,” kata orang yang diminta panahnya 

tadi. 

“Belum,” sahut Paksi tetap tenang. 

Sepuluh orang yang mengikutinya saling ber


pandangan. Mereka tidak mengerti, tapi dalam hati 

memuji kecerdikan tuannya ini. Mereka tetap 

menunggu, apa yang akan dilakukan putra kepala 

desa itu selanjutnya. 

Sedangkan Paksi masih berdiri tegak sambil 

memandang tajam ke arah seberang jurang. 

*** 

Sementara itu tidak jauh dari tempat Paksi dan 

sepuluh orangnya di tepi jurang, seorang wanita tua 

berjubah biru terus memperhatikan sejak tadi. Wanita 

tua itu adalah Resi Puspita Rani. Resi wanita itu 

memperhatikan dari balik batu besar yang menjorok 

ke luar dari dinding tebing. 

“Anak itu benar-benar cerdik. Aku ingin tahu, 

bagaimana caranya dia menembus rintangan itu, 

sebelum sampai pada Lorong Maut,” gumam Nyai 

Resi Puspita Rani dalam hati. 

Saat itu Paksi masih tetap berdiri tegak sambil 

memandang ke seberang jurang. Keningnya berkerut 

dalam, pertanda kalau dia tengah berpikir keras. 

Sedangkan sepuluh orang lainnya hanya menunggu 

dengan tidak sabar. 

“Kalian cari binatang apa saja yang ada di sekitar 

sini,” kata Paksi memerintah. 

“Den...,” salah seorang mau protes. 

“Sedapatnya! Binatang apa saja!” sergah Paksi 

cepat. 

Lima orang segera beranjak pergi dengan benak 

dipenuhi berbagai macam tanda tanya. Mereka tidak 

mengerti, dengan apa yang diinginkan putra kepal 

desa itu. 

“Kalian cari tempat untuk berlindung. Aku tidak


mau ada korban jatuh sia-sia,” kata Paksi lagi. 

“Den Paksi sendiri...?” 

“Cepatlah, aku yakin mereka tidak ada di sini 

malam ini,” sergah Paksi. 

Lima orang lainnya segera mencari tempat yang 

cukup terlindung. Sementara Paksi memperhatikan 

saja. Hatinya cukup puas melihat orang-orangnya 

sudah berada di tempat yang cukup terlindung. Tidak 

lama kemudian, lima orang yang mencari binatang, 

sudah kembali. Mereka membawa tiga ekor kelinci, 

dan dua ekor ayam hutan. Binatang-binatang itu 

semuanya sudah mati. 

Paksi segera menerima, dan menyuruh lima orang 

itu untuk berlindung bersama yang lainnya. Maka 

tanpa membantah sedikit pun, mereka segera 

menghampiri teman-temannya yang sudah lebih dulu 

mendapatkan tempat untuk berlindung. Mereka terus 

memperhatikan putra kepala desa itu dengan benak 

diliputi pertanyaan. 

“Kau pikir tempatmu cukup aman, Iblis Topeng 

Mayat! Lihatlah, aku Paksi, yang akan mendobrak 

Lorong Maut-mu!” kata Paksi dengan suara mendesis. 

Setelah berkata begitu, Paksi mengambil seekor 

ayam hutan. Dan dengan mengerahkan tenaga dalam 

penuh, dia melemparkan ayam hutan itu ke seberang 

jurang. Ayam yang sudah mati itu meluncur deras, 

dan.... 

Glarrr...! 

Satu ledakan keras langsung terdengar ketika 

secercah cahaya bagaikan kilat menyambarnya, 

hingga ayam hutan itu hancur berkeping-keping. 

“Ha ha ha...! Tidak ada gunanya kau membentengi 

tempatmu dengan Pagar Cahaya Kilat!” seru Paksi 

keras.


Paksi kembali melemparkan binatang-binatang 

yang sudah tidak bernyawa lagi. Setiap kali dia 

melemparkan binatang itu, selalu terdengar ledakan 

keras disertai dengan meluncurnya secercah cahaya 

kilat. Sampai pada lemparan yang terakhir, cahaya 

kilat itu tidak lagi terlihat, dan bangkai kelinci itu pun 

melesat jauh ke dalam jurang yang gelap. 

“Ha ha ha...!” Paksi kembali tertawa penuh 

kepuasan. 

Sementara itu di balik batu besar yang menjorok 

ke luar dari dinding tebing, Nyai Resi Puspita Rani 

menggeleng-gelengkan kepalanya, kagum melihat 

kecerdikan Paksi. Namun di balik rasa kagumnya, dia 

juga merasa heran. Tidak sembarang orang bisa 

mengetahui pagar pengaman yang dibuat oleh 

Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat di daerah 

kekuasaannya. 

“Hm..., dari mana dia memperoleh semua itu?” 

gumam Nyai Resi Puspita Rani dalam hati. 

Saat itu, Paksi sudah melompat menyeberangi 

jurang yang tidak begitu besar itu. Tubuhnya 

melayang ringan, dan hanya sekali dia bersalto, 

sudah mencapai seberang. Pemuda itu kemudian 

berdiri tegak dengan tangan berada di pinggang. 

Sementara sepuluh orang yang berlindung, belum 

juga keluar dari tempat persembunyiannya. Sejenak 

Paksi memandang berkeliling. Namun sepanjang 

mata memandang, hanya kegelapan dan hamparan 

batu-batu saja yang terlihat. 

“Hm, menurut Eyang Resi Jagabaya, aku harus 

menemukan Lorong Maut. Lorong itu hanya berupa 

gulungan angin yang berputar, dan sulit untuk 

ditembus. Hm..., di mana letak lorong itu?” gumam 

Paksi dalam hati.


Setelah melewati rintangan anak panah dan Pagar 

Cahaya Kilat, Paksi segera melompat menyeberangi 

jurang yang tidak begitu besar! 

Tubuhnya melayang ringan, dan ditambah dengan 

sekali salto, dia sudah mencapai seberang. Pelahan-

lahan Paksi melangkah menjauhi bibir jurang. 

Matanya terus bersorot tajam mengamati keadaan 

sekitarnya. 

Pelahan-lahan Paksi mulai melangkah menjauhi 

bibir jurang. Kakinya terayun ringan, pertanda kalau 

dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Matanya 

bersorot tajam mengamati keadaan sekitarnya. 

Otaknya juga terus berputar keras. 

Belum lagi sampai sepuluh tombak dia berjalan, 

tiba-tiba terdengar suara gemuruh, disusul dengan 

bertiupnya angin kencang. Seketika Paksi tersentak, 

tapi belum sempat dia berbuat apa-apa, tubuhnya 

mendadak terangkat dan berputar cepat. Tampak 

lingkaran debu dan batu-batuan menggulung tubuh 

pemuda itu. 

Dengan sekuat tenaga Paksi berusaha meronta, 

tapi usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya semakin 

terseret dalam, masuk gulungan angin itu. Semakin 

lama, semakin jauh saja tubuh pemuda itu masuk ke 

dalam pusaran angin yang ganas, membentuk lorong 

bagai rongga goa. 

“Aaa...!” 

Tiba-tiba Paksi menjerit keras melengking. 

Bersamaan dengan itu, tubuhnya lenyap, disusul 

dengan lenyapnya angin yang bergulung-gulung itu. 

Suasana di tempat itu kembali sunyi senyap. Dan 

kejadian tersebut disaksikan oleh berpasang-pasang 

mata yang bersembunyi di balik batu dan pepohonan. 

Tak ada seorang pun yang menampakkan diri.



Mereka semua seperti terpaku, setengah tidak 

percaya dengan apa yang telah disaksikannya. 

*** 

Apa sebenarnya yang terjadi pada Paksi? 

Paksi terus tergulung oleh angin kencang yang 

berputar, dan membentuk sebuah lorong bagai goa 

terapung. Tubuh pemuda itu berputar cepat, mem-

buatnya seperti terhempas ke dalam suatu alam yang 

belum pernah dimasukinya. Paksi merasakan seluruh 

tulang-tulangnya remuk, dan kesadarannya hilang 

tanpa mampu dicegah lagi. 

Lorong Maut itu membawanya ke suatu tempat 

yang sangat asing, dan tak pernah diimpikan 

sebelumnya. Cukup lama juga pemuda itu tidak 

sadarkan diri. Dan dia baru sadar setelah ada 

sesuatu yang dingin mengguyur tubuhnya. Pemuda itu 

tampak gelagapan, seperti mau terbenam ke dalam 

kubangan air yang dalam. 

“Ah...!” 

Paksi terkejut begitu menyadari seluruh tubuhnya 

terikat oleh rantai besi yang besar dan kuat. 

Tubuhnya menggigil kedinginan. Seluruh bajunya 

basah kuyup oleh air yang mengguyurnya. Sejenak 

pandangan pemuda itu terpaku pada sesosok tubuh 

ramping, berdiri tidak jauh di depannya. Sosok tubuh 

itu mengenakan baju hijau, dengan wajah tertutup 

topeng berwarna pucat bagai mayat. 

“Sariti...!” sentak Paksi ketika pandangannya 

beralih pada seorang wanita yang juga terikat pada 

sebuah tiang. 

Paksi berusaha bangkit, namun seluruh tubuhnya 

terasa lemas, tidak mampu untuk digerakkan lagi.


Pemuda itu hanya bisa memandang lemah pada 

gadis yang baru dinikahinya. Gadis itu terikat dengan 

tangan terentang dan kakinya terbuka lebar. Seluruh 

bajunya tampak koyak dan cabik-cabik. Sedangkan 

kepalanya terkulai lemas, dengan rambut terurai 

menutupi hampir seluruh wajahnya. 

Pandangan mata pemuda itu kembali beralih pada 

sosok tubuh ramping berbaju hijau, dengan topeng 

pucat menutupi wajahnya. Di belakangnya, berdiri 

empat orang lainnya yang mengenakan baju dan 

topeng berwarna sama. Hanya saja mereka tidak 

memakai sabuk berwarna kuning emas di pinggang. 

Paksi langsung menyadari kalau dirinya kini menjadi 

tawanan Iblis Topeng Mayat. 

“Siapa yang telah memberitahumu, untuk 

menembus Pagar Cahaya Kilat-ku, Bocah?” terdengar 

suara kecil, namun tajam dan datar. 

Paksi tidak menjawab. Dia mengetahui hal itu dari 

pembicaraan ayahnya dengan Resi Jagabaya. Waktu 

itu dia sempat menguping, tapi tidak semuanya bisa 

didengar. 

“Siapa yang memberitahumu, Bocah? Jawab!” 

bentak Iblis Topeng Mayat gusar. 

“Aku tahu sendiri!” sahut Paksi ketus. 

“Hm..., kau datang untuk membebaskan istrimu, 

kan?” 

Paksi melirik pada Sariti yang terikat pada tiang. 

Rahangnya bergemeletuk menahan geram. Hatinya 

panas melihat keadaan gadis yang baru dinikahinya, 

dan belum dia sentuh sedikit pun. 

“Kau sayang dengan istrimu, Bocah?” kembali 

suara Iblis Topeng Mayat terdengar. 

“Lepaskan Sariti! Dia tidak tahu apa-apa!” geram 

Paksi.


“Aku tidak akan mengganggu kebahagiaanmu, jika 

ayahmu tidak berbuat bodoh!” kata Iblis Topeng 

Mayat. 

“Ayahku tidak melakukan apa-apa!” 

“Heh! Jangan menutup matamu, Bocah! Kau tahu, 

kalau ayahmu memberi tempat hidup pada orang 

yang kubenci...!” agak ditekan suara Pramurti atau 

Iblis Topeng Mayat. 

“Kami semua tidak tahu musuhmu! Kenapa kau 

melibatkan seluruh warga Desa Batang Hulu? Kenapa 

tidak kau cari saja musuhmu? Aku, ayahku dan 

seluruh warga Desa Batang Hulu tidak pernah 

berurusan denganmu!” tegas kata-kata Paksi. 

“Sudah kukatakan, ayahmu membuat kebodohan 

yang harus ditanggung oleh semua orang di Desa 

Batang Hulu. Kalau saja ayahmu tidak memberi 

tempat pada Galadipa dan keluarganya, tentu aku 

tidak akan pernah menginjak Desa Batang Hulu! Tapi 

semua sudah terlambat. Hanya ada dua pilihan, 

menyerahkan Narita dan membunuh saudara-

saudara Galadipa, atau seluruh orang di Desa Batang 

Hulu musnah dalam semalam!” 

“Iblis!” desis Paksi menggeram. 

“Ha ha ha...!” Pramurti tertawa terbahak-bahak. 

“Kau bisa memaki sepuas hatimu, Bocah. Nyawamu 

akan selamat, jika ayahmu sanggup memenuhi 

semua permintaanku!” 

“Pengecut! Kau tidak berani menghadapi musuh-

musuhmu sendiri, dan kau peralat kami!” 

“Ha ha ha...!” Pramurti hanya tertawa saja. 

“Pengecut! Iblis...! Kubunuh kau...!” maki Paksi 

habis-habisan. 

Tapi caci-maki pemuda itu hanya dibalas dengan 

tawa saja. Iblis Topeng Mayat kemudian berbalik, dan


melangkah meninggalkan ruangan yang seluruh 

dindingnya terbuat dari batu itu. Sedangkan empat 

orang muridnya segera mengikuti dari belakang. 

Sementara Paksi terus berteriak-teriak memaki 

sepuas hatinya. Tampak satu sisi dinding batu itu 

bergerak menggeser ke samping, hingga seberkas 

cahaya terang menerobos masuk. Dan sesaat 

kemudian, dinding batu itu kembali bergerak 

menutup, setelah lima orang berpakaian hijau itu 

berada di luar. 

Kembali keadaan di dalam ruangan itu sunyi dan 

remang-remang. Hanya sebuah obor kecil dengan 

apinya yang redup menerangi ruangan itu. Cahayanya 

hanya samar-samar, tidak sanggup memberikan 

penerangan pada ruangan yang cukup luas itu. Paksi 

berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi seluruh 

tubuhnya terasa lemas, dan tulang-tulangnya nyeri 

saat digerakkan. Pemuda itu hanya bisa merintih lirih, 

dan mengeluh di dalam hati. 

 “Keparat...!” 

***


Resi Jagabaya sedikit kaget, ketika hari itu Narita 

datang bersama seorang pemuda berbaju kulit 

harimau. Laki-laki tua itu pernah bertemu sekali 

dengan pemuda yang mengaku bernama Pendekar 

Pulau Neraka itu, dan dia juga sudah sering 

mendengar segala sepak terjangnya. Resi Jagabaya 

segera mengajak Narita dan Bayu ke ruangan tengah 

rumah Kepala Desa Batang Hulu itu. 

“Kau tidak bertemu dengan Nyai Resi Puspita Rani, 

Narita?” tanya Resi Jagabaya. 

Narita hanya menggeleng saja. 

“Lalu ada maksud apa kau datang ke sini?” 

“Paman....” 

Narita tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan-

nya. Dia langsung menubruk dan memeluk lutut laki-

laki tua berjubah kuning itu. Resi Jagabaya hanya 

mengangguk-anggukkan kepalanya. Bibirnya yang 

hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum. 

Kemudian dengan lembut tangannya mengusap-usap 

kepala gadis itu. 

“Bangunlah, Cucuku,” lembut suara Resi Jagabaya. 

“Maafkan Narita, Paman,” ucap Narita seraya 

bangkit. 

“Kau sudah tahu siapa kami, kenapa masih 

tertutup juga?” tanya Resi Jagabaya meminta 

penjelasan. 

“Eyang Resi Galadipa yang meminta, Paman,” 

sahut Narita. 

“Duduklah.”


Resi Jagabaya lalu mengambil tempat di kursi 

dekat jendela. Sedangkan Narita duduk di samping 

Bayu. Sesaat mereka semua terdiam. Resi Jagabaya 

menarik napas panjang, dan matanya menatap ke 

luar melalui jendela yang terbuka. 

“Paman, aku sempat datang ke Puri Watu Ukir. 

Tapi...,” Narita tidak melanjutkan kata-katanya. 

“Aku tahu. Seorang cantrikku yang berhasil lolos, 

telah memberitahukan tentang kejadian itu. Terima 

kasih, kalian telah menguburkan mereka,” selak Resi 

Jagabaya, agak tertekan suaranya. 

“Kalau saja aku tidak....” 

“Sudahlah, Narita. Tidak perlu menyesali semua 

yang telah terjadi. Apa yang terjadi di dunia ini sudah 

kehendak-Nya. Semua itu sudah digariskan oleh Yang 

Maha Kuasa, dan itu namanya takdir. Kita tidak 

mampu menolak, apalagi untuk melawan,” kembali 

Resi Jagabaya menyelak cepat. 

Mereka kembali terdiam beberapa saat. Pada saat 

itu Ki Rungkut datang dengan tergopoh-gopoh. 

Napasnya tampak terengah-engah seperti baru saja 

berlari jauh. Resi Jagabaya, Narita dan Bayu langsung 

beranjak bangkit. 

“Ada apa, Ki Rungkut?” tanya Resi Jagabaya. 

“Ketiwasan, Resi. Paksi..,” Ki Rungkut segera 

menarik napas panjang. 

“Ada apa dengan Paksi?” desak Resi Jaga baya. 

“Anak itu pergi dengan sepuluh orang. Katanya 

mereka hendak membebaskan Sariti yang ditawan 

oleh Iblis Topeng Mayat,” sahut Ki Rungkut. 

“Sudah kuduga, dia pasti sudah mendengar 

pembicaraan kita kemarin malam,'' gumam Resi 

Jagabaya sambil mengangguk-angguk pelan. 

“Bagaimana, Resi? Anak itu pasti akan celaka.”


“Hm..., hanya orang yang memiliki tenaga dalam 

sempurna, yang mampu menembus Lorong Maut. Aku 

tidak tahu, siapa lagi yang sanggup selain Adik 

Galadipa dan aku sendiri. Lorong Maut itu hanya bisa 

dilalui oleh orang orang yang pernah mandi di 

Sendang Sembilan Mata Dewa. Di samping harus 

memiliki tenaga dalam sempurna dan penguasaan 

hawa murni yang sempurna di dalam perut,” kata 

Resi Jagabaya setengah bergumam. 

“Di mana letak tempat mereka, Resi?” tanya Bayu 

menyelak. 

“Di Puncak Bukit Bojong sebelah Selatan. 

Tepatnya di seberang jurang yang membelah puncak 

bukit itu,” sahut Resi Jagabaya. 

“Aku yang akan pergi ke sana!” 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar 

Pulau Neraka langsung melesat cepat bagai kilat. 

Resi Jagabaya tidak bisa mencegah lagi. Dia hanya 

bisa mencegah Narita yang mau ikut pergi. 

“Aku harus ke sana juga, Paman Resi,” kata Narita 

memohon. 

“Bukan hanya kau, tapi aku juga,” sahut Resi 

Jagabaya seraya menolah pada Ki Rungkut. “Ki 

Rungkut, bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah 

Sariti sudah tewas?” 

“Maaf, Resi. Anakku malu mengatakan yang 

sebenarnya. Dia merasa bertanggung jawab dan tidak 

ingin dikatakan sembrono, karena tidak bisa menjaga 

keselamatan istrinya,” sahut Ki Rungkut. “Aku sendiri 

baru tahu tadi. Salah seorang bawahanku yang 

mengatakannya. “ 

“Cari penyakit!” dengus Resi Jagabaya. 

“Maafkan anakku, Resi,” ucap Ki Rungkut. 

“Ah, sudahlah. Aku harap dia belum sempat


melakukan kebodohan. Terlalu berbahaya bagi dirinya 

sendiri, jika sampai mencoba menembus Lorong 

Maut, tanpa mensucikan diri lebih dulu di Sendang 

Sembilan Mata Dewa.” 

Sejenak Resi Jagabaya menoleh pada Narita, 

kemudian dia melangkah ke luar diikuti oleh gadis itu. 

Sedangkan Ki Rungkut pun bergegas mengikuti dari 

belakang. Resi Jagabaya segera berhenti melangkah 

setelah sampai di beranda depan. Dia menoleh pada 

Ki Rungkut. 

“Sebaiknya kau tetap di sini. Kalau saudaraku 

datang, katakan bahwa aku ke Bukit Bojong,” kata 

Resi Jagabaya berpesan. 

“Aku ikut, Paman,” selak Narita. 

“Jangan, kau diperlukan di sini,” cegah Resi 

Jagabaya. 

Narita masih ingin memaksa, tapi dia mengurung-

kan niatnya. Gadis itu segera sadar, bahwa dia tidak 

mungkin mampu menghadapi Iblis Topeng Mayat. 

Narita pun segera mengerti, memang ada 

kemungkinan Iblis Topeng Mayat menjarah ke desa 

ini, di saat Resi Jagabaya pergi. 

*** 

Sementara itu Bayu baru saja tiba di Puncak Bukit 

Bojong. Tampak dia berdiri tegak di tepi jurang yang 

tidak begitu dalam, dan tidak lebar. Telinganya yang 

tajam, langsung bisa mengetahui kalau di sekitarnya 

ada beberapa orang yang tengah mengawasi. 

“Keluarlah kalian, jangan bersembunyi seperti 

tikus!” seru Bayu keras. 

Sebentar setelah teriakan Bayu itu, dari balik batu 

dan pepohonan, keluarlah sepuluh orang yang datang


ke puncak bukit itu bersama Paksi. Wajah-wajah 

mereka kelihatan ketakutan. 

“Siapa kalian?” tanya Bayu. 

“Kami..., kami bekerja untuk Kepala Desa Batang 

Hulu,” sahut salah seorang terbata-bata. 

“Kalian datang bersama Paksi?” 

“Benar.” 

“Di mana Paksi?” 

“Den Paksi sudah menyeberangi jurang, tapi dia 

hilang digulung angin.” 

Hm..., sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat 

ini.” 

Maka tanpa menunggu perinlah dua kali, sepuluh 

orang itu bergegas meninggalkan Puncak Bukit 

Bojong itu. Sedangkan Bayu segera mengedarkan 

pandangannya berkeliling setelah orang-orang itu 

tidak terlihat lagi. Dia sedikit memiringkan kepalanya 

ke kiri. Pendengarannya yang tajam, kembali men-

dengar tarikan napas lembut yang hampir tidak 

terdengar. Matanya tertuju pada sebongkah batu 

hitam yang menjorok keluar dari dinding tebing. 

“Siapa pun kau, keluarlah!” seru Bayu lantang. 

Seketika tampaklah sebuah bayangan biru 

berkelebat, keluar dari balik batu itu. Sebentar saja, 

di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri 

seorang perempuan tua yang agak bungkuk dan 

memakai jubah berwarna biru terang. Bayu 

memperhatikan sebentar wanita tua itu. 

“Pendengaranmu sangat tajam, Anak Muda. Apa 

maksudmu datang ke tempat ini?” suara perempuan 

tua itu agak serak. 

“Kau pasti bukan Iblis Topeng Mayat,” kata Bayu 

tidak menghiraukan pertanyaan wanita tua itu. 

“Benar, aku Resi Puspita Rani.”


“Apakah kau juga dari Puri Watu Ukir?” 

“Benar.” 

“Hm, aku rasa tujuan kita datang ke tempat ini 

sama. Tapi aku datang hanya untuk menunaikan 

kewajiban sebagai pendekar.” 

“Kau tadi menyebut nama Paksi, apakah kau kenal 

dengannya?” 

“Tidak, aku hanya mendengar namanya saja.” 

“Anak muda, aku tahu kau memiliki ilmu yang 

tidak rendah. Tapi Iblis Topeng Mayat bukanlah orang 

sembarangan. Aku sendiri dan saudara-saudaraku 

belum tentu dapat mengalahkannya. Maaf, bukannya 

aku merendahkan kepandaianmu. Tapi kalau kau 

tidak mempunyai urusan yang penting dengan wanita 

iblis itu, sebaiknya jangan kau teruskan niatmu,” kata 

Nyai Resi Puspita Rani memperingatkan. 

“Terima kasih, tapi aku sudah berjanji pada 

seseorang. “ 

“Siapa?” 

“Narita.” 

“Oh...!” Nyai Resi Puspita Rani mendesah kaget. 

“Di mana dia?” 

“Di Desa Batang Hulu, bersama pamannya.” 

“Resi Jagabaya...?” Bayu hanya mengangguk. 

“Ah, gadis yang malang. Seharusnya dia tidak perlu 

terlibat sampai sejauh ini. Dia hanya korban dari rasa 

dendam orang-orang tuanya,” gumam Nyai Resi 

Puspita Rani mendesah lirih. 

Bayu masih tetap diam sambil memperhatikan 

wanita tua di depannya itu. 

“Anak muda, jika kau benar-benar ingin meng-

hadapi Iblis Topeng Mayat, kau tidak bisa meng-

hadapinya di daerahnya. Terlalu berbahaya! Dulu aku 

dan saudara-saudaraku pemah bertarung dengannya


di Puncak Bukit Bojong ini. Kami hampir berhasil 

mengalahkannya, tapi dia berhasil melompati jurang 

itu. Kekuatannya akan berlipat ganda bila berada di 

daerahnya sendiri. Tubuhnya kebal terhadap segala 

macam senjata dan racun,” kata Nyai Resi Puspita 

Rani menjelaskan. 

“Hm...,” Bayu hanya menggumam tidak jelas. 

Keningnya berkerut dengan mata agak menyipit. 

“Di samping itu, kau tidak mungkin bisa 

menembus Lorong Maut sebelum mensucikan diri di 

Sendang Sembilan Mata Dewa. Itu pun kau masih 

harus tirakat selama tujuh hari tujuh malam sambil 

berendam di dalam sendang itu,” lanjut Nyai Resi 

Puspita Rani. 

“Hm, apakah Iblis Topeng Mayat pernah 

melakukan hal itu?” tanya Bayu. 

“Ya, bahkan dia melakukannya selama empat 

puluh hari empat puluh malam. Sehingga tubuhnya 

menjadi kebal terhadap segala jenis senjata dan 

racun. Di samping itu, dia juga memiliki ilmu yang 

bisa menyatukan dan menghidupkannya kembali dari 

kematian.” 

“Ilmu 'Batara Karang'...?!” desah Bayu. 

“Benar.” 

“Tidak semua orang bisa memiliki ilmu itu. Dan 

mereka yang telah memilikinya tidak bisa dibunuh, 

juga selalu tampak muda. Dia tidak akan pernah 

mati, selama kakinya masih berpijak pada tanah,” 

kata Bayu setengah bergumam. 

“Benar, Anak Muda. Itulah sebabnya yang mem-

buat aku dan saudara-saudaraku enggan berurusan 

dengannya. Sekali berurusan, berarti menyerahkan 

nyawa sia-sia.” 

Bayu kembali terdiam. Dia tidak menyangka sama


sekali kalau Iblis Topeng Mayat memiliki ilmu yang 

sangat langka. Pantas saja tak seorang pun yang 

mampu mengalahkannya, bahkan para resi dari Puri 

Watu Ukir sendiri tidak berdaya menghadapinya. 

“Di mana letak Sendang Sembilan Mata Dewa 

itu?” tanya Bayu. 

“Di seberang jurang itu.” 

“Heh! Untuk memasukinya harus mandi dulu di 

sana, lalu bagaimana mungkin bisa mencapai ke 

sana?” 

“Harus bisa melawan arus dan menembus Lorong 

Maut. Dan hanya orang yang memiliki ilmu dan 

tenaga dalam sempurna, serta hawa mumi terpusat 

pada perut secara sempurna saja yang mampu 

menembus Lorong Maut itu. Tapi nampaknya hal itu 

pun tidak mudah, karena Lorong Maut itu sudah 

dikuasai oleh Iblis Topeng Mayat” 

Sejenak Bayu termenung. Dia tidak tahu apakah 

ilmu tenaga dalamnya sudah mencapai taraf 

sempurna atau belum. Dia memang bisa memusat-

kan hawa murni pada perutnya, tapi hal itu tidak bisa 

bertahan lama, juga dia tidak tahu tingkatannya. Bayu 

belum pernah mencobanya sekalipun. Pendekar 

Pulau Neraka itu jadi ragu-ragu juga. Beberapa kali 

dia melayangkan pandangannya ke seberang jurang. 

Semakin dia memikirkan kata-kata perempuan 

berjubah biru itu, semakin besar rasa penasaran dan 

keinginannya untuk mencoba. Kata-kata yang 

diucapkan Nyai Resi Puspita Rani tadi, membuatnya 

merasa ditantang. Bayu memang belum pernah 

mencoba kepandaiannya sampai pada tingkatan 

paling tinggi yang dimilikinya selama ini. 

Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu me-

langkah mendekati bibir jurang Tatapan matanya


tajam, menembus langsung ke seberang jurang di 

depannya. Mungkin inilah saatnya dia mengukur 

tingkat kepandaiannya sendiri. Dia seorang pendekar 

yang amat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. 

Tapi belum tahu, sampai di mana tingkat kepandaian 

yang dimilikinya. 

“Hiyaaa...!” 

Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu 

melentingkan tubuhnya menyeberangi jurang itu. Nyai 

Resi Puspita Rani ingin mencegah, tapi terlambat. 

Bayu sudah berada di udara, melompati jurang yang 

membelah Puncak Bukit Bojong itu. 

*** 

Hanya dengan satu kali salto di udara, Bayu 

mendarat di seberang jurang dengan manis sekali. 

Tapi begitu kakinya menapak tanah, beberapa puluh 

anak panah hitam meluncur deras ke arahnya. 

Seketika Pendekar Pulau Neraka itu kembali 

melentingkan tubuhnya! 

“Hiya...! Hiya...!” 

Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan dan 

jungkir balik di udara. Dan anak-anak panah hitam itu 

pun berdesingan di sekitar tubuhnya. Tak satu pun 

yang berhasil menjamah tubuh Bayu. Sejenak dia 

menarik napas lega, ketika hujan anak panah hitam 

itu berhenti. 

Belum lagi Bayu sempat melakukan apa-apa, 

mendadak secercah cahaya bagai kilat berkelebat ke 

arahnya. Pendekar Pulau Neraka itu tersentak kaget 

Secepat kilat dia mengibaskan tangan kanannya ke 

arah ujung cahaya bagai kilat itu. Seketika secercah 

cahaya keperakan melesat cepat dari pergelangan


tangan kanannya. 

Glar! 

Suara ledakan keras langsung terdengar meng-

gelegar begitu senjata cakra bersegi enam keperakan 

menghantam cahaya bagai kilat itu. Sejenak Bayu 

mengangkat tangan kanannya ke udara, dan Cakra 

Maut itu pun kembali melesat ke arahnya, lalu 

menempel di pergelangan tangannya. 

'“Pagar Cahaya Kilat'...,” desis Bayu pelan. 

Bayu memang pernah membaca dari salah satu 

buku kepunyaan gurunya di Pulau Neraka. Buku itu 

berisi tentang ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Sebuah ilmu 

yang dapat membentengi diri, atau suatu wilayah dari 

serangan lawannya. Pagar yang tidak ketahuan 

bentuknya, tapi sukar untuk ditembus. Orang yang 

terkena sambaran cahaya itu, bisa langsung hangus 

tubuhnya. 

“Bayu, jika kau menemukan benteng yang terbuat 

dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat', kau harus menghadapi 

dengan mengosongkan jiwa, dan penyaluran hawa 

murni pada pusat tubuhmu. Putar balik aliran darah-

mu, dan pergunakan pernapasan pada perut. Ilmu 

'Pagar Cahaya Kilat' hanya menyerang pada benda 

yang memiliki nyawa dan berdarah panas terisi 

jiwa...,” Bayu teringat kata-kata gurunya, Eyang 

Gardika. 

Maka tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau 

Neraka itu segera menuruti kata-kata gurunya 

tersebut. Tahap demi tahap dia melakukan semua 

yang dikatakan oleh gurunya untuk menghadapi 

benteng dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Saat itu juga 

Bayu merasakan tubuhnya ringan bagai kapas. Dan 

jiwanya bagaikan terbang keluar dari raganya. 

Seluruh tubuhnya terasa dingin, Bayu merasakan


dirinya seperti mati. Tapi otaknya masih tetap 

bekerja, penglihatan serta pendengarannya pun tidak 

terganggu. Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu 

berjalan pelan-pelan. Tampak secercah cahaya kilat 

tertuju ke arahnya, dan langsung mengenai tubuhnya. 

Namun Pendekar Pulau Neraka itu tidak merasakan 

apa-apa. Dan cahaya bagai kilat itu pun seperti 

teredam di dalam tubuhnya. 

Beberapa kali tubuhnya tersambar cahaya kilat, 

tapi Bayu hanya tersenyum. Dia terus melangkah 

pelahan-lahan menembus pagar benteng dari ilmu 

'Pagar Cahaya Kilat'. Sambaran-sambaran kilat 

tersebut baru berhenti setelah Pendekar Pulau 

Neraka itu berjalan sejauh lima batang tombak. Bayu 

segera memulihkan kembali kondisi tubuhnya. 

“Hhh..., terima kasih, Eyang,” desah Bayu lirih. 

Sementara itu, di seberang jurang sana, Nyai Resi 

Puspita Rani hampir tidak percaya dengan peng-

lihatannya. Jelas dia melihat kalau lidah kilat itu 

menyambar tubuh Bayu, tapi Pendekar Pulau Neraka 

itu tidak terpengaruh sama sekali. 

Resi Puspita Rani menahan napasnya ketika 

mendengar suara gemuruh dari seberang jurang. 

Tampak Bayu berdiri tegak dengan pandangan mata 

lurus ke depan. Saat itu Bayu merasakan, angin 

bertiup semakin kencang dan bergulung gulung di 

sekitarnya. 

“Hm..., inikah yang dinamakan Lorong Maut?” 

gumam Bayu. 

Pendekar Pulau Neraka itu segera mengerahkan 

tenaga dalamnya dengan penuh, lalu pelahan-lahan 

dia memusatkan hawa murni pada perutnya. Pada 

saat itu, di depannya tampak gulungan angin yang 

membentuk seperti lorong sebuah goa. Debu dan


kerikil pun bergulung-gulung berputar membentuk 

sebuah lorong bayangan. Bayu tetap berdiri tegak 

dengan mata tajam memandang lurus ke depan. Dia 

mulai merasakan adanya satu tarikan kuat yang 

menyedot tubuhnya ke dalam gumpalan angin itu. 

Bayu terus berusaha menahan tarikan itu, tapi 

sedikit demi sedikit kakinya mulai bergeser ke depan. 

Suara gemuruh semakin jelas terdengar memekak-

kan telinga. Bayu merasakan tarikan itu semakin 

kuat, ia tidak kuasa lagi menahannya. Seketika 

tubuhnya terpental masuk ke dalam lingkaran angin 

yang berputar membentuk sebuah lorong bagai goa 

itu. 

“Hiyaaa...!” tiba-tiba Bayu berteriak keras. 

Tubuhnya mulai berputar mengikuti jalannya 

putaran angin itu. Sekuat tenaga Pendekar Pulau 

Neraka itu mengerahkan tenaga dalam, dan menjaga 

hawa murni agar tetap berada di perut. Memang 

suatu pekerjaan yang sangat sukar, menyalurkan dua 

kekuatan sekaligus dalam satu tubuh pada waktu 

yang bersamaan. Namun Pendekar Pulau Neraka Itu 

tidak mau menyerah begitu saja. 

“Hih! Aaakh...!” 

***


 

Bayu merasakan dirinya seperti terbanting ke dalam 

sebuah sumur yang sangat dalam dan tidak berujung. 

Pandangannya jadi gelap, dan seluruh tubuhnya 

terasa lemah tak bertenaga. Sekuat tenaga dia terus 

berusaha mempertahankan hawa murni pada perut-

nya, dan mengempos tenaga dalamnya. 

Semakin dia bertahan, semakin kuat daya tarik 

yang menyedot dan mengombang-ambingkan tubuh-

nya. Bayu merasakan seperti dilemparkan oleh 

tangan-tangan raksasa. Terhempas dari satu dinding 

batu yang satu ke dinding batu lainnya. 

Pendekar Pulau Neraka itu segera mencopot 

senjata cakra bersegi enam keperakan, dan meng-

genggamnya erat-erat pada salah satu ujungnya. Lalu 

dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga 

dalamnya, dia memutar tubuhnya dengan cepat. 

“Aaargh...!” 

Dari mulutnya terdengar suara raungan yang 

sangat dahsyat. Disusul kemudian dengan ter-

dengarnya suara ledakan-ledakan keras, disertai 

gemuruh yang amat sangat. Seketika itu juga, Bayu 

merasakan tubuhnya bagai terhempas dengan keras. 

Dan dia meringis ketika sesuatu yang keras meng-

hantam punggungnya. Pendekar Pulau Neraka itu 

bergulingan, dan punggungnya membentur se-

bongkah batu cadas yang sangat besar, hingga batu 

itu hancur berkeping-keping. 

“Hup!” 

Bayu segera bangkit setelah menyadari dirinya


kembali berpijak pada tanah. Sebentar dia 

memandang berkeliling. Hatinya agak tercekat, begitu 

menyadari bahwa sekelilingnya hanya berupa daerah 

berbatu dan berpasir yang luas bagai tak bertepi. 

Sejauh mata memandang, hanya kegersangan yang 

tampak. 

“Hhh! Di mana aku?” Bayu bertanya-tanya sendiri. 

“Kau berada di tempatku, Anak Muda...,” ter-

dengar suara lembut namun kecil dan serak. 

Bayu langsung membalikkan tubuhnya. Tampak 

tidak jauh darinya berdiri seorang wanita cantik 

dengan rambut hitam panjang terurai. Wanita itu 

mengenakan baju hijau yang ketat, sehingga 

membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan 

indah. 

“Siapa kau?” tanya Bayu dengan tatapan mata 

penuh selidik. 

“Bukankah kau datang mencariku?” wanita itu 

balik bertanya. 

Pendekar Pulau Neraka itu mengerutkan kening-

nya. Dia menempelkan kembali senjata Cakra Maut 

ke pergelangan tangan kanannya. Bayu mengamati 

wanita itu dari ujung kepala, hingga ke ujung kaki. 

“Apakah kau Iblis Topeng Mayat?” tanya Bayu ingin 

memastikan. 

“Ha ha ha...!” wanita itu terbahak-bahak. “Namaku 

Pramurti, dan aku memang biasa disebut dengan 

nama Iblis Topeng Mayat” 

Wanita yang mengaku bernama Pramurti itu lalu 

merogoh sabuk yang membelit pinggangnya. Dia 

mengeluarkan sebuah topeng lemas berwarna pucat 

bagai mayat Dan topeng itu pun dilemparkan begitu 

saja. 

“Kau sudah berada di tempatku, Anak Muda. Aku


tidak perlu lagi menggunakan benda itu,” kata 

Pramurti. 

Bayu diam saja. Dia teringat dengan kata-kata Resi 

Puspita Rani. Wanita berjuluk Iblis Topeng Mayat ini 

mempunyai ilmu 'Batara Karang' yang sangat tangguh 

dan tidak sembarang orang bisa memilikinya. Ilmu itu 

selain bisa menghidupkan dirinya sendiri dari 

kematian, juga bisa memperlambat ketuaan. Tidak 

heran kalau orang yang memiliki ilmu itu tetap 

kelihatan muda, meskipun umurnya sudah melebihi 

seratus tahun. 

“Selama ini tidak ada seorang pun yang bisa 

menembus Lorong Maut dalam keadaan hidup tanpa 

seijinku. Dan kau telah berhasil melewatinya, Anak 

Muda. Aku senang..., tapi kau harus mati!” 

Setelah berkata begitu, Pramurti langsung 

melompat sambil mengirimkan serangan yang cepat 

dan mendadak. Bayu sedikit terperangah. Namun 

dengan cepat dia melompat ke belakang untuk 

menghindarinya. 

Serangan-serangan Iblis Topeng Mayat itu sangat 

cepat dan dahsyat, sehingga membuat Bayu sedikit 

kewalahan. Hingga pada satu serangan kilat dan 

beruntun, Bayu tidak bisa menghindarinya. Dan satu 

pukulan telak, segera bersarang di dadanya. 

Pendekar Pulau Neraka itu terdorong ke belakang 

beberapa langkah. 

“Mampus kau! Hiyaaa...!” 

“Uts! Hup...!” 

Bayu langsung mengetatkan tangan kanannya 

pada saat Pramurti melompat menerjangnya. 

Seketika Cakra Maut-nya melesat dengan cepat. 

Pramurti terperangah sesaat namun dia terlambat 

untuk berkelit Dan senjata cakra itu pun berhasil


membabat lehernya sampai buntung. 

Tubuh wanita itu kontan terjungkal ke tanah 

dengan kepala terpisah. Namun benar-benar di luar 

dugaan! Kepala yang sudah terpisah itu bisa menyatu 

kembali dengan lehernya, dan wanita itu bangkit lagi 

dengan tegar. Tidak ada luka sedikit pun pada 

lehernya! 

“Ha ha ha...!” Iblis Topeng Mayat langsung tertawa 

terbahak-bahak. 

“Gila! Ilmu 'Batara Karang' benar-benar luar biasa!” 

desah Bayu terperangah. 

“Kau tidak akan bisa membunuhku, Anak Muda! 

Ha ha ha...!” 

Sejenak Bayu menggeretakkan rahangnya, lalu 

kembali mengecutkan senjatanya. Cakra Maut itu pun 

meluncur bagaikan kilat. Namun Pramurti diam saja 

dan tidak berusaha berkelit sedikit pun. Cakra Maut 

itu kembali menebas kepala wanita itu, namun belum 

juga kepala itu sampai jatuh, tangan Pramurti sudah 

menyanggahnya, dan kepala itu langsung menyatu 

kembali seperti semula! 

Beberapa kali Bayu mengibaskan senjatanya, tapi 

Iblis Topeng Mayat tidak berkelit sedikit pun. Hampir 

seluruh tubuhnya terpotong-potong, tapi dengan 

cepat bisa menyatu kembali. Tidak ada luka sedikit 

pun pada tubuhnya. Bayu jadi kewalahan juga. Dia 

tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Selama 

wanita itu masih menyentuh tanah, tidak akan 

mungkin bisa mati. 

“Apa akalku sekarang. ' gumam Bayu bertanya 

pada dirinya sendiri. 

“Ayo, Anak Muda! Apa lagi yang kau andalkan?” 

tantang Pramurti pongah. 

Bayu hanya diam saja. Otaknya terus bekerja keras


mencari jalan untuk membunuh wanita itu. Dia tidak 

ingin membuang tenaga percuma tanpa hasil. 

“Harus ada cara! Harus...!” dengus Bayu dalam 

hati. 

*** 

Pendekar Pulau Neraka kali ini benar-benar 

memeras otak untuk bisa mengalahkan lawannya. 

Dia tidak mungkin hanya mengandalkan kekuatan 

dan kedahsyatan jurus-jurusnya saja. Lawan yang 

dihadapinya sekarang, bukanlah lawan yang biasa. 

“Hm..., aku ada akal! Harus dilakukan dengan 

cepat dan tidak membuatnya curiga. Ini kesempatan 

bagiku selagi dia lengah dan bangga!” gumam Bayu 

dalam hati. 

“Ayo, Anak Muda. Apakah kau gentar?” ejek Iblis 

Topeng Mayat meremehkan. 

Sejenak Bayu merogoh sakunya, dan mengeluar-

kan bintang perak tiga buah. Selama ini dia tidak 

pernah menggunakan bintang perak Itu sebagai 

senjata dalam pertarungan. Tapi kali ini dia terpaksa 

menggunakannya. Dan itu hanya sebagai pancingan 

saja. 

“Hiya...!” 

Dengan cepat Bayu melontarkan bintang-bintang 

perak itu ke arah kaki Iblis Topeng Mayat. Namun 

wanita berbaju hijau itu hanya tertawa, dan bersikap 

meremehkan. Dia hanya melompat menghindari 

lontaran senjata bintang perak itu, tanpa membalas 

menyerang. Namun saat tubuh wanita itu berada di 

udara, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu 

mengibaskan tangan kanannya. 

Wut!


Senjata Cakra Maut kembali melesat cepat 

bagaikan kilat. Sedangkan Pramurti yang tengah 

diliputi kesombongan, menganggap enteng senjata 

itu. Dia membiarkan saja Cakra Maut bersegi enam 

itu menebas lehernya. 

“Hiyaaa...!” 

Bagaikan kilat, Bayu melompat begitu leher Iblis 

Topeng Mayat terpenggal. Dan dengan cepat, kedua 

tangannya menyambar rambut serta pinggang wanita 

itu. Pendekar Pulau Neraka itu berputar dua kali di 

udara, sebelum kakinya menjejak pada dahan pohon 

yang hanya satu-satunya tumbuh di daerah gersang 

berbatu itu. 

Bayu langsung mengikat rambut yang panjang itu 

pada dahan yang tinggi. Lalu dia meletakkan tubuh 

wanita itu pada dahan satunya lagi. Dia mengikat 

tubuh tanpa kepala itu dengan sulur-sulur pohon yang 

banyak menjuntai. Setelah selesai, Pendekar Pulau 

Neraka kembali meluruk turun 

“Bocah setan! Lepaskan aku! Licik! Curang...!” 

Pramurti yang kepalanya sudah terpisah dari 

badannya itu menjerit-jerit memaki. 

“Terimalah kematianmu, perempuan iblis!” seru 

Bayu merasa menang dengan kecerdikannya. 

“Kubunuh kau, Bocah!” 

“Ayo, bunuhlah aku kalau memang kau mampu!” 

tantang Bayu balas mengejek. 

“Setan...! Keparat! Lepaskan aku! Kita bertarung 

sampai mati!” 

“Tidak perlu, sebentar lagi kau juga akan mati!” 

“Bocah setan! Keparat! Kubunuh kau...! Kubunuh 

kau... keparat...!” jerit Pramurti memaki-maki. 

Bayu tidak mempedulikan teriakan-teriakan Iblis 

Topeng Mayat. Dia sudah tahu, selama tubuh wanita


itu masih berada di atas pohon, tidak bisa berbuat 

banyak lagi. Ilmu 'Batara Karang' memang sangat 

menguntungkan, tapi kalau keadaannya sudah 

seperti Iblis Topeng Mayat sekarang ini, selamanya 

akan tetap begitu. Tergantung di atas pohon, antara 

mati dan hidup. 

“Nyai Ratu...!” 

*** 

Bayu langsung menoleh. Tampak empat orang 

gadis cantik berbaju hijau berlarian menghampiri. 

Dengan cepat Bayu melompat menghadang. Empat 

orang gadis itu kelihatan terkejut begitu ada, seorang 

pemuda tampan memakai baju dari kulit harimau, 

menghadang di depan. Dan tanpa dijelaskan, mereka 

sudah bisa menebak, apa yang telah terjadi barusan 

di tempat itu. Mereka memang sudah pernah bentrok 

dengan pemuda berbaju kulit harimau itu sebelum-

nya. 

“Widarti, turunkan Nyai Ratu!” perintah salah 

seorang. 

Gadis yang dipanggil Widarti, langsung melesat ke 

atas. Namun dengan cepat Bayu mengebutkan 

tangan kanannya ke arah gadis itu. Seketika senjata 

Cakra Maut di pergelangan tangannya mencelat cepat 

bagaikan kilat Widarti yang tengah berada di udara, 

terperangah. Buru-buru dia melurukkan tubuhnya ke 

bawah. Namun dengan cepat Bayu menerimanya 

dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Tapak Beracun'. 

“Akh!” gadis itu langsung memekik tertahan. 

Dan begitu Cakra Maut kembali menempel di 

pergelangan tangan, dengan cepat Bayu melontar-

kannya kembali ke arah tiga orang gadis lainnya.


Sementara itu Widarti hanya sempat bergerak sedikit, 

lalu diam dan tidak berkutik lagi. Di dadanya tertera 

gambar telapak tangan berwarna hitam. Sedangkan 

dari mulut dan hidungnya mengalir darah kental 

kehitaman. 

“Aaakh...!” 

Kembali terdengar jeritan melengking tinggi. 

Tampak salah seorang sudah menggelepar dengan 

dada robek terkena sabetan Cakra Maut. Sedangkan 

dua orang lagi berhasil menghindar. Namun Bayu 

tidak lagi memberi kesempatan. Dia segera 

menerjang dengan mengerahkan jurus andalannya, 

jurus 'Kelelawar Maut'. Kemudian disusul dengan 

jurus 'Pukulan Tapak Beracun' yang sangat dahsyat. 

Dua orang gadis murid Iblis Topeng Mayat itu 

benar-benar kewalahan, menghadapi gempuran-

gempuran Pendekar Pulau Neraka yang sangat 

dahsyat dan tidak kenal ampun itu. Sedangkan dua 

orang lagi sudah tewas tanpa mampu melakukan 

perlawanan. 

“Winarni, awas...!” 

Teriakan peringatan itu terdengar keras, namun 

gadis yang diperingati hanya sempat mendongak 

kaget. Dan satu totokan telak bersarang di dadanya. 

Seketika itu gadis yang dipanggil Winarni itu jatuh ke 

tanah. 

Setelah menotok satu orang, Bayu langsung 

menyerang satunya lagi. Jurus 'Pukulan Tapak 

Beracun'-nya begitu dahsyat. Gadis itu tampak tidak 

bisa berbuat banyak. Dia hanya mampu berkelit dan 

menghindar sebisanya. Dan pada satu kesempatan, 

Bayu berhasil mendaratkan tendangan keras ke arah 

perut, disusul dengan satu pukulan keras ke dada. 

“Akh!” seketika gadis itu memekik tertahan.


Dan sebelum tubuhnya ambruk, Pendekar Pulau 

Neraka segera melayangkan tangannya ke arah leher. 

Tak pelak lagi, kepala gadis itu terpisah dari lehernya. 

Setelah itu, Bayu langsung melompat ke arah gadis 

yang ditotok jalan darahnya di bagian dada. Gadis itu 

tampak mendelik, dan berusaha menggeliat, namun 

tubuhnya tidak mampu lagi digerakkan. 

“Di mana kau sembunyikan Paksi dan Sariti?” 

tanya Bayu tajam. 

Gadis itu tidak menyahut. Dia tetap mendelik saja 

dengan marah. 

“Hm..., memang tidak ada gunanya bertanya 

padamu,” gumam Bayu pelan. “Tapi kau akan segera 

merasakan, bagaimana tersiksanya mati secara 

pelahan-lahan!” 

Bayu kemudian mengangkat tubuh gadis itu, dan 

meletakkannya di atas sebongkah batu yang cukup 

besar. Lalu dia mengambil batu lagi. Batu sebesar 

anak kerbau itu segera ditumpangkan pada tubuh 

gadis itu. Bayu pun kembali menotok jalan darah 

pada leher, sehingga gadis itu bisa menggerak-

gerakkan lehernya, dan bisa bersuara lagi. 

“Panas matahari akan memanggangmu, dan 

dinginnya malam akan membekukanmu. Kau akan 

merasakan bagaimana tersiksanya mati secara 

pelahan-lahan,” desis Bayu dingin. 

“Bunuhlah aku, keparat!” bentak gadis itu. 

“Kau terlalu enak kalau dibunuh, Manis. Lihat, 

guru dan temanmu sudah mati. Aku akan memenuhi 

keinginanmu, jika kau mau menunjukkan di mana 

kau sembunyikan Paksi dan Sariti?” 

Gadis itu tidak segera menjawab. Rupanya dia 

sedang mempertimbangkan tawaran Pendekar Pulau 

Neraka itu. Matanya tampak beredar memandangi


mayat tiga orang temannya, dan mayat gurunya yang 

terikat di dahan pohon. Dia tidak tahu, apakah 

gurunya sudah mati atau belum. Gurunya tidak akan 

mati kalau kembali menyentuh tanah. 

“Kau tidak sayang dengan kecantikanmu?” 

kembali Bayu menawarkan. 

“Baiklah, tapi kau harus membebaskanku?” sahut 

gadis itu menyerah. 

“Itu soal mudah, yang penting sekarang tunjukkan 

di mana Paksi dan Sariti berada.” 

“Di dalam ruangan batu itu,” jawab gadis itu 

sambil menunjuk sebongkah batu besar bagai bukit, 

dengan sudut matanya. 

Bayu segera menoleh ke arah batu itu. Cukup 

besar dan tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu lalu 

melangkah menghampiri batu besar dan hitam 

berlumut itu. Sejenak dia mengamati, keningnya 

tampak berkerut Dan dia berpaling kembali pada 

gadis yang masih tertindih sebongkah batu besar itu. 

“Geser tonggak batu yang berada di kananmu ke 

kiri,” kata gadis itu memberitahu. 

Bayu segera menggeser tonggak batu yang berada 

di kanannya ke sebelah kiri. Seketika terdengar suara 

bergemuruh! Tampak dinding batu di depannya 

bergerak ke arah kanan. Bayu berkerut juga 

keningnya melihat batu itu ternyata berongga. Tak 

lama kemudian, terlihat Paksi dan Sariti terikat tak 

berdaya di dalam rongga batu itu. 

Pendekar Pulau Neraka itu bergegas masuk dan 

membebaskan ikatan mereka. Bayu agak heran juga 

melihat Paksi tidak bisa bergerak, meskipun matanya 

bergerak-gerak. Pendekar Pulau Neraka itu segera 

memeriksa tubuh putra kepala desa itu. Dan jari-jari 

tangannya langsung bergerak cepat di beberapa


bagian tubuh Paksi. Sesaat kemudian, pemuda itu 

pun mampu bergerak kembali. Dia bergegas bangkit, 

dan memeluk Sariti yang masih lemas. 

“Cepat keluar dari sini,” kata Bayu memerintah. 

Paksi segera memondong tubuh gadis yang baru 

saja dinikahinya, dan membawanya keluar dari 

ruangan batu itu. Sedangkan Bayu mengikutinya dari 

belakang. Dan begitu mereka sampai di luar, dinding 

batu itu kembali bergerak menutup. Bayu meng-

hampiri gadis yang masih tergolek dengan tubuh 

tertindih batu. 

“Apa permintaanmu sekarang?” tanya Bayu 

memenuhi janjinya. 

“Bunuhlah aku!” sahut gadis itu tegas. 

“Heh!” Bayu tersentak kaget. 

Sungguh dia tidak menyangka kalau gadis itu tetap 

pada permintaannya. Semula dia mengira, gadis itu 

pasti minta dibebaskan. Bayu terus memandangi 

setengah tidak percaya. Kemudian Pendekar Pulau 

Neraka itu mengangkat batu yang menindih tubuh 

gadis itu. 

Bayu segera melangkah mundur, setelah dia 

membebaskan totokan pada gadis cantik berbaju 

hijau itu. Sementara Paksi dan Sariti hanya 

memperhatikan saja. Mereka tampak lemas, setelah 

terkurung di dalam ruangan batu yang udaranya 

sedikit. Sementara gadis berbaju hijau itu sudah 

berdiri. Dia menatap tiga orang di depannya. Dan 

seketika itu juga.... 

Prak! 

“Hey!” 

Bayu langsung terperanjat melihat kenekatan 

gadis itu. Dia memukul kepalanya sendiri hingga 

retak. Sejenak gadis itu menggelepar, lalu diam dan


tidak bergerak-gerak lagi. Pendekat Pulau Neraka itu 

hanya menarik napas panjang, dan membalikkan 

tubuhnya. Dia lalu mengajak Paksi dan Sariti untuk 

meninggalkan tempat itu. 

Mereka pun melangkah menuju lingkaran angin 

yang membentuk sebuah lorong goa. Tubuh mereka 

langsung tergulung dan terhempas, membuat 

kesadaran mereka melayang. 

Bayu merasakan perjalanan menembus lorong ini 

tidak seperti dia datang tadi. Kali ini dia merasakan 

seperti terbang terbawa angin. Tak lama kemudian, 

tubuhnya seperti terlontar dari suatu ketinggian, dan 

jatuh terhempas dengan lembut di atas rerumputan. 

*** 

“Paksi...!” 

“Kakang Bayu...!” 

Bayu segera tersenyum ketika kesadarannya mulai 

pulih kembali. Tampak di seberang jurang sana, 

beberapa orang telah menanti. Di antara mereka 

terlihat tiga orang resi dari Puri Watu Ukir, Kepala 

Desa Batang Hulu, dan Narita, serta beberapa orang 

lagi. 

“Kau masih mampu melompati jurang ini, Paksi?” 

tanya Bayu. 

“Rasanya aku masih mampu, tapi Sariti....” 

“Biar aku yang membawanya.” 

Paksi lalu menyerahkan istrinya pada pemuda 

berbaju kulit harimau itu. Kemudian dia meng-

konsentrasikan dirinya sebentar, dan melompat ke 

seberang jurang. Dia berputar dua kali di udara, dan 

hinggap dengan manis di seberang jurang. 

Sedangkan Bayu pun segera melentingkan tubuh


nya sambil memondong Sariti. Sama sekali dia tidak 

berputar di udara. Pendekar Pulau Neraka itu 

bagaikan terbang saja, melintasi mulut jurang yang 

menganga. Dan dengan mulus, kakinya hinggap di 

seberang. 

“Sariti, Anakku...,” seorang wanita tua menyeruak 

dari kerumunan orang-orang itu. 

“Ibu....” 

Sariti langsung berlari begitu Bayu menurunkannya 

dari pondongannya. Anak dan ibu itu saling ber-

pelukan dan bertangisan. Sementara Ki Rungkut 

segera mendekati anaknya dan menepuk pundaknya 

beberapa kali. Mereka juga saling berpelukan. 

Tampak kedua mata Ki Rungkut berkaca-kaca. 

“Bagaimana kau dapat mengalahkan Iblis Topeng 

Mayat, Kakang Bayu?” tanya Narita yang tahu-tahu 

sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka itu. 

“Ceritanya panjang,” sahut Bayu. 

“Kau mau menceritakannya padaku, kan?” pinta 

Narita agak manja. 

Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum. 

Beberapa saat kemudian, semua orang yang berada 

di Puncak Bukit Bojong, mulai bergerak meninggalkan 

tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri saja sambil 

memandang ke seberang jurang. Dia masih belum 

mengerti dengan sikap salah seorang gadis murid 

Iblis Topeng Mayat, yang bunuh diri dengan me-

mecahkan kepalanya sendiri. 

Belum pernah dia menemukan seorang yang 

begitu setia, dan rela mati bersama guru dan teman-

temannya. Padahal dia bisa saja meminta untuk 

dibebaskan, dan bahkan mungkin membalas 

dendam. Benar-benar satu keputusan yang sangat 

sulit, dan jarang ditemukan.


“Kakang...,” tegur Narita lembut. Bayu menoleh. 

Dia segera tersenyum melihat Narita masih berada di 

sampingnya. 

“Kau mau di sini terus?” masih lembut suara 

Narita. 

“Hhh...,” Bayu menarik napas panjang. 

Perlahan-lahan kaki Pendekar Pulau Neraka itu 

terayun meninggalkan bibir jurang itu. Narita pun 

segera mengikutinya dan mensejajarkan langkahnya 

di samping pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka 

terus melangkah tanpa berbicara lagi. Sementara di 

ufuk Timur, cahaya matahari mulai menyemburat 

merah 



                            SELESAI 



Share:

0 comments:

Posting Komentar