..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 11 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE LAMBANG KEMATIAN

matjenuh

 


1

Seekor kuda putih tampak tengah dipacu dengan cepat

memasuki daerah perbatasan Kadipaten Jati Anom.

Penunggangnya seorang laki‐laki berusia sekitar lima

puluh tahun. Dia berpakaian indah yang terbuat dari

bahan sutra halus dan bersulam benang emas.

Rambutnya panjang tergelung ke atas, dengan anak‐

anak rambut yang meriap tertiup angin

"Heya! Heya...!"

Laki‐laki itu menggebah kudanya lebih kencang lagi.

Sementara debu‐debu yang mengepul oleh kaki‐kaki

kuda itu bertambah banyak beterbangan. Tidak sedikit

pun dia memperlambat lari kudanya meskipun sudah

memasuki pusat kota yang ramai. Hal itu tentu saja

menarik perhatian semua orang yang memadati jalan

utama Kadipaten Jati Anom. Tapi nampaknya tidak

seorang pun yang berani menegur, apalagi sampai

menghentikannya!

"Cepat buka pintu!" seru laki‐laki itu ketika hampir

sampai ke pintu gerbang sebuah bangunan besar dan

berpagar tembok batu tebal yang tinggi dan kokoh.

Sebentar saja dua orang penjaga pintu gerbang

segera membuka pintu yang terbuat dari kayu jati yang

tebal dan keras. Bunyi bergerit terdengar saat pintu

gerbang itu terkuak. Dan tanpa memperlambat lari

kudanya, laki‐laki berpakaian indah itu langsung

menerobos masuk. Sedangkan dua orang penjaga pintu

gerbang hanya bisa menggeleng‐gelengkan kepalanya


saja.

"Hooop...!"

Laki‐laki berusia sekitar lima puluh tahun itu

langsung melompat turun dari punggung kuda putihnya,

begitu sampai di depan tangga yang menuju ke serambi

depan dari bangunan itu. Tampak beberapa orang yang

berseragam dan membawa tombak panjang langsung

berdiri berbaris dan memberi hormat.

Laki‐laki itu terus melangkah dengan tergesa‐gesa

menaiki anak‐anak tangga yang menuju serambi depan

yang luas dengan pilar‐pilar besar menyangga atap.

Langkahnya terus terayun melintasi serambi yang

berlantai batu pualam putih berkilat. Seorang laki‐laki

tua yang memakai jubah warna kuning dengan kepala

botak menyambutnya dengan membungkukkan badan.

Tangannya tidak berhenti mengelus‐elus janggut putih

yang panjang menutupi lehernya.

"Di mana Adipati Rakondah?" tanya laki‐laki itu

dengan napas tersengal memburu.

"Gusti Adipati berada di taman belakang, Gusti

Panglima," sahut laki‐laki berjubah kuning itu.

Dan tanpa berkata apa‐apa lagi, laki‐laki berbaju

indah itu langsung melangkah ke dalam. Langkahnya

tetap lebar dan tergesa‐gesa melintasi ruangan dalam

yang lebar dan luas. Sepertinya dia sudah tidak asing

lagi dengan keadaan bangunan itu. Tak lama kemudian

dia disambut oleh beberapa orang berpakaian seragam

yang berjaga‐jaga di sekitar bangunan itu.

"Kakang Panglima Bantaraji...!"

Satu seruan terkejut dan gembira terdengar saat laki‐

laki setengah baya itu memasuki sebuah taman yang


ditata indah di belakang bangunan istana itu. Tampak

seorang laki laki yang berwajah tampan dengan rambut

berwarna dua segera menyongsongnya dengan tangan

yang terbuka lebar.

Laki‐laki berusia setengah baya yang ternyata adalah

seorang panglima bernama Bantaraji itu hanya berdiri

tegak dengan bibir mengulas senyuman tipis.

"Kau tidak keberatan kalau aku akan mengganggu

sebentar, Adik Adipati Rakondah?"

Laki‐laki tampan yang usianya sebaya dengan

Panglima Bantaraji itu hanya tersenyum. Kemudian dia

mempersilakan tamunya itu untuk duduk di sebuah

bangku taman yang terbuat dari kayu jati berukir indah.

Sejenak Panglima Bantaraji mengedarkan pandangan‐

nya berkeliling, menyapu beberapa wanita cantik dan

beberapa orang pengawal yang berseragam prajurit

dengan senjata tombak panjang di tangan.

Adipati Rakondah menepuk tangan tiga kali. Dia

seperti mengerti dengan keinginan Panglima Bantaraji.

Sebentar saja semua orang yang berada di sekitar

taman itu bergegas meninggalkan tempat itu seraya

memberi hormat. Kini suasana taman yang semula

ramai dan penuh dengan canda tawa, kembali sepi.

Hanya ada satu orang yang masih tinggal. Seorang gadis

cantik mengenakan baju biru masih duduk di pinggir

kolam.

"Anakku, Intan Delima, Kakang," kata Adipati

Rakondah, ketika melihat tatapan mata Panglima

Bantaraji terarah ke dekat kolam.

"Kau bisa meminta Intan Delima untuk meninggalkan

taman ini?" pinta Panglima Bantaraji.


"Kenapa? Apakah berita yang kau bawa begitu

rahasia, sehingga keponakanmu sendiri tidak boleh

mendengar?" Adipati Rakondah tampak keberatan.

"Sebaiknya memang begitu. Soalnya hal ini

menyangkut masa lalumu," agak berbisik suara

Panglima Bantaraji.

"Intan...," panggil Adipati Rakondah.

"Ya, Ayah," lembut dan merdu sekali suara gadis itu

menyahut.

"Kau bisa pergi sebentar? Ayah ingin bicara dengan

pamanmu," kata Adipati Rakondah.

Intan Delima memandang Panglima Bantaraji

sebentar. Lalu dia bangkit berdiri, dan mengangguk ke

arah pamannya yang baru datang. Kemudian dia

melangkah pergi tanpa membantah sedikit pun.

Langkah kakinya gemulai dan sedap dipandang mata.

Panglima Bantaraji menunggu sampai gadis itu lenyap di

balik pintu.

"Berita apa yang kau bawa?" tanya Adipati Rakondah

langsung.

"Kau ingat dengan Rengganis?"

***

Adipati Rakondah langsung berubah raut wajahnya.

Nama Rengganis sudah begitu dikenalnya. Dan hampir

setiap tahun, wanita cantik itu selalu mengundangnya

untuk datang ke pesta yang selalu diadakan di atas

sebuah kapal layar besar dan mewah di Pesisir Pantai

Selatan. Makanya dia tahu betul siapa Rengganis itu.

Orang tuanya adalah seorang patih kerajaan, namun


kemudian berkhianat hendak menggulingkan Raja

Kandaka yang sekarang sudah mangkat dan digantikan

oleh putranya.

Di samping itu dia juga pernah membantu Rengganis

untuk menghancurkan Padepokan Teratai Putih yang

diketuai oleh Dewa Pedang, bekas seorang panglima

yang mengundurkan ciri setelah menunaikan tugas

berat. Hal itu dilakukannya karena Adipati Rakondah

merasa berhutang budi pada orang tua Rengganis. Dan

dia memang punya dendam pribadi dengan Dewa

Pedang.

"Aku tidak akan pernah melupakannya, Kakang.

Memang tahun ini aku tidak bisa memenuhi

undangannya, karena aku tidak bisa meninggalkan

putriku yang baru pulang dari padepokan pamannya di

Gunung Rangkas," kata Adipati Rakondah.

"Kalau waktu itu kau ada di sana, tentu aku tidak

perlu repot‐repot datang ke sini, Adik Rakondah,"

sungut Panglima Bantaraji.

"Kau datang ke sana? Apa ada sesuatu yang terjadi,

Kakang?" tanya Adipati Rakondah mengerutkan kening‐

nya.

"Mungkin kau tidak akan percaya kalau aku

mengatakan bahwa pesta itu berantakan, dan kapal

Rengganis hancur," sahut Panglima Bantaraji.

"Apa...?!" Adipati Rakondah tersentak tidak percaya.

"Jangan bicara main‐main, Kakang. Mereka yang

diundang bukan orang‐orang sembarangan. Bagaimana

mungkin hal itu bisa terjadi?"

"Sudah aku katakan tadi, ini adalah peristiwa lama

dan ada hubungannya dengan masa lalumu."


Sejenak Adipati Rakondah menggeser duduknya

untuk lebih mendekat. Sedangkan bola matanya ber‐

putar mengedar berkeliling. Seolah‐olah dia takut kalau

pembicaraan ini ada yang mendengar.

"Siapa yang telah melakukan itu?" tanya Adipati

Rakondah setengah berbisik.

"Kau pasti akan lebih terkejut kalau mendengarnya."

"Katakan, siapa?" desak Adipati Rakondah tak sabar.

"Putra Dewa Pedang, sekarang dia memakai nama

julukan Pendekar Pulau Neraka...!"

Adipati Rakondah tidak bisa lagi berkata‐kata.

Mulutnya ternganga lebar, dan kedua bola matanya

berputar‐putar. Sedangkan raut wajahnya berubah

kemerahan, dan sebentar kemudian pucat‐pasi. Dia

seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

Rasanya mustahil kalau Bayu masih hidup. Apalagi

sampai muncul lagi dengan nama julukan Pendekar

Pulau Neraka. Waktu itu dia menyaksikan sendiri,

bagaimana Badar, murid utama Padepokan Teratai

Putih membawa lari seorang bayi yang berumur

beberapa hari menuju Pulau Neraka. Sebuah pulau yang

sangat ditakuti dan tak ada seorang pun yang mau

menginjakkan kakinya ke sana. Dan sampai sekarang

belum pernah ada seorang pun yang bisa keluar dengan

selamat kalau sudah masuk ke sana (Untuk lebih

jelasnya, bacalah serial Pendekar Pulau Neraka dalam

episode perdananya yang berjudul: Geger Rimba

Persilatan).

"Mustahil...!" Adipati Rakondah menggeleng‐

gelengkan kepalanya tidak percaya.

"Kau akan percaya kalau sudah melihatnya, Adik



Rakondah," kata Panglima Bantaraji.

Adipati Rakondah jadi terdiam lagi.

"Aku yakin, sekarang Pendekar Pulau Neraka sedang

mencari orang‐orang yang waktu itu mendukung

Rengganis untuk menghancurkan Padepokan Teratai

Putih," lanjut Panglima Bantaraji.

Sejenak Adipati Rakondah mengangkat kepalanya.

Dia menatap tajam pada laki‐laki gagah yang duduk di

sampingnya itu. Kini otaknya tiba‐tiba jadi buntu, tidak

mampu lagi untuk dipakai berpikir! Berita yang dibawa

oleh Panglima Bantaraji benar‐benar mengejutkannya,

bahkan seperti berita datangnya kiamat.

Kabar yang dibawa oleh Panglima Bantaraji sudah

jelas! Dan dia bisa menebak bahwa Rengganis tewas di

tangan seorang pemuda yang mengaku bernama

Pendekar Pulau Neraka itu. Beberapa saat kemudian

Adipati Rakondah bangkit dari duduknya dan berjalan

mondar‐mandir dengan kening berkerut dalam.

Sementara Panglima Bantaraji tetap duduk sambil

memperhatikan.

***

Sejak mendapat berita dari kakaknya, Panglima

Bantaraji, Adipati Rakondah selalu tampak gelisah. Dia

jadi lebih senang menyendiri dan melamun. Hanya

kalau malam hari saja dia pergi ke kaki Gunung Panjaran

untuk memperdalam ilmu‐ilmu olah kanuragannya.

Seperti malam ini, dia tampak sudah berada di sekitar

kaki gunung itu.

"Hiyaaa...!"


Glarrr!

Malam yang sunyi sepi tiba‐tiba pecah oleh suara

ledakan dan gemuruh bebatuan yang hancur berkeping‐

keping. Tampak Adipati Rakondah berdiri tegak dengan

kedua telapak tangan masih terbuka dan menjulur ke

depan. Sedangkan matanya dengan tajam menatap

reruntuhan batu yang berada sekitar sepuluh depa di

depannya. Kepulan debu masih membayang di udara.

Sedangkan pecahan‐pecahan batu juga masih ber‐

hamburan turun bagai hujan.

"Bagus...!" tiba‐tiba terdengar suara diiringi tepuk

tangan.  

Adipati Rakondah langsung berbalik. Betapa ter‐

kejutnya dia ketika melihat Panglima Bantaraji tiba‐tiba

sudah berada di belakangnya. Panglima Kerajaan Banyu

Biru itu kemudian melangkah pelahan‐lahan neng‐

hampirinya. Tampak bibirnya yang tipis dengan kumis

tebal di atasnya menyunggingkan senyuman cerah.

"Jurus 'Tapak Sakti'mu benar‐benar luar biasa!" puji

Panglima Bantaraji sambil geleng‐geleng kepala per‐

lahan.

"Jangan memperolokku, Kakang," rungut Adipati

Kakondah.

"Aku yakin dengan jurus itu kau akan mampu me‐

nandingi Pendekar Pulau Neraka."

"Aku justru merasa sebaliknya, Kakang. Jurus ‘Tapak

Sakti'ku memang seimbang dengan jurus ‘Kipas Maut'

Nyai Rengganis. Tapi aku baru bisa menguasainya di

bawah jurus 'Kipas Maut'. Rasanya aku belum mampu,

Kakang," nada suara Adipati Rakondah terdengar

mengeluh.


"Jangan berkecil hati dulu, Adik Rakondah. Meskipun

aku tahu bahwa kau salah, tapi aku tidak akan tinggal

diam begitu saja. Aku sudah mengirim utusan ke

kerajaan, dan meminta prajurit‐prajurit pilihanku untuk

datang ke sini."

"Untuk apa? Kakang hanya membuang‐buang waktu

dan nyawa sia‐sia," Adipati Rakondah menyesalkan.

"Jangan berpikir yang bukan‐bukan dulu, Adik

Rakondah. Aku melakukan semua itu hanya untuk

sekedar berjaga‐jaga. Aku dengar sudah beberapa

tokoh sakti yang dulu ikut menghancurkan Padepokan

Teratai Putih tewas di tangannya. Tindakan pendekar

itu kejam dan tidak kenal ampun. Siapa saja yang men‐

coba menghalangi maksudnya, tidak diberi kesempatan

hidup lagi. Aku harap kau bisa mengerti, Adik Rakondah.

Aku hanya menjaga kemungkinan, kalau‐kalau dia akan

berbuat kejam. Bagaimanapun juga keselamatan

Kadipaten Jati Anom adalah tanggung jawabku juga,"

Panglima Bantaraji mencoba menjelaskan.

"Terima kasih, Kakang," ucap Adipati Rakondal

terharu.

"Hanya satu pesanku, Adik Rakondah," lanjut

Panglima Bantaraji.

Adipati Rakondah menatap lurus ingin tahu. "Kau

harus hati‐hati terhadap senjatanya."  

"Maksudmu, Kakang?"

"Senjata Pendekar Pulau Neraka berbentuk cakram

bersegi enam. Senjata itu dapat melayang seperti

memiliki mata. Dan sampai saat ini belum ada satu

senjata pun yang mampu menandinginya. Bahkan

Tongkat Sakti Jantara pun sudah dibabat buntung!"


"Kakang...?! Apakah Kakang Jantara juga ikut

tewas?" Adipati Rakondah terkejut.

"Benar."

"Bagaimana Kakang bisa tahu semuanya?" tanya

Adipati Rakondah seperti menyelidik.

"Aku mengikuti semua kejadian dengan sembunyi‐

sembunyi. Dan aku melihat semua kejadian yang

dilakukan oleh Pendekar Pulau Neraka itu. Aku sendiri

tidak tahu, apakah pendekar itu mengetahui kehadiran‐

ku atau tidak. Yang jelas, aku selalu menguntit ke mana

pendekar itu pergi untuk mencari orang‐orang yang

telah bersekutu menghancurkan Padepokan Teratai

Putih," kembali Panglima Bantaraji menjelaskan.

"Dan sekarang Kakang tiba‐tiba berada di sini,

apakah Pendekar Pulau Neraka itu juga ada di sekitar

sini?" tebak Adipati Rakondah mulai bisa mengerti.

"Entahlah, dia sudah sampai atau belum. Tapi yang

jelas arah perjalanannya menuju Kadipaten Jati Anom

ini."

Kembali Adipati Rakondah terdiam.

"Malam sudah terlalu larut, sebaiknya sekarang kau

pulang saja. Dan aku akan terus berusaha menjauhkan

pendekar itu dari Kadipaten Jati Anom," kata Panglima

Bantaraji.

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Adipati

Rakondah.

Panglima Bantaraji hanya tersenyum. Kemudian

Iangkahnya terayun. Sedangkan Adipati Rakondah juga

ikut melangkah di belakang laki‐laki setengah baya yang

masih kelihatan gagah itu. Mereka terus berjalan tanpa

banyak bicara lagi. Sementara malam terus merayap


semakin larut. Dan angin malam yang dingin me‐

nebarkan titik‐titik embun, menambah suasana semakin

sunyi dan dingin.

***

2

Pagi ini awan hitam tampak menggantung dan berarak

di angkasa. Sementara cahaya matahari seperti tak

sanggup untuk menembus kepekatan awan yang

menyelimuti seluruh langit di atas Kadipatan Jati Anom.

Sedangkan hembusan angin yang bertiup kencang

menebarkan udara dingin seperti menusuk sampai ke

tulang. Tampak daun‐daun berguguran, dan debu‐debu

berkepulan tersapu angin. Seluruh kota kadipaten itu

tampak sepi, hanya sesekali terlihat satu dua orang

yang melintasi jalan utama kota itu.

Dari arah pintu gerbang perbatasan kadipaten

sebelah Utara, tampak seorang laki‐laki gagah sedang

melangkah ringan mendekati pintu gerbang. Sampai di

depan pintu gerbang, pemuda itu hanya melirik pada

dua penjaga yang memandanginya denga tatapan mata

penuh selidik. Hingga pemuda itu berlalu, kedua

penjaga itu masih tetap memperhatikannya. Kadipaten

Jati Anom memang sering kedatangan tamu, baik yang

hanya singgah maupun yang ingin menetap, sehingga

setiap kali ada pendatang baru para penjaga pintu

gerbang perbatasan tidak pernah menegur atau

bertanya.

"Orang itu tampaknya mencurigakan, ya...?" bisi

salah seorang penjaga.

"Hm...," gumam satunya lagi tidak jelas, namun

matanya terus mengamati pemuda yang sudah jauh

berjalan.



"Ciri‐cirinya seperti yang pernah dikatakan oleh

Panglima Bantaraji," kata penjaga itu lagi.

"Benar!" seru yang satunya.

Dan tanpa berkata apa‐apa lagi, kedua penjaga pintu

gerbang perbatasan itu langsung berlari kencang mem‐

buru pemuda tadi.

"Berhenti...!"

Pemuda gagah itu segera menghentikan langkahnya.

Namun sedikit pun dia tidak berbalik atau menoleh. Dia

tetap berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan.

Kedua penjaga itu terus menghampiri dan mencegat‐

nya.

"Maaf, Kisanak. Kami harus memeriksa Anda dulu,"

kata salah seorang penjaga dengan sopan.

"Bukankah kota ini bebas untuk didatangi oleh

pendatang?"

"Benar, tapi sekarang Gusti Adipati dan Gusti

Panglima telah memerintahkan kami untuk memeriksa

setiap pendatang baru."

"Sejak kapan peraturan itu berlaku?"

"Tujuh hari yang lalu."

"Kalau aku menolak...?"

Sejenak kedua penjaga itu saling berpandangan.

Kata‐kata pemuda gagah itu terdengar dingin dan kaku.

Sedangkan sinar matanya tampak tajam, seakan‐akan

mampu membuat siapa saja yang memandangnya

bergidik tanpa sebab. Maka seperti dikomando saja,

kedua penjaga itu segera melangkah mundur dua

tindak. Sementara tangannya menggenggam tombak

dengan lebih erat.

"Maaf, Kisanak. Sebenarnya kami juga enggan untuk


memeriksa setiap orang yang datang ke kota ini, tapi

kami hanya menjalankan tugas," kata salah seorang

penjaga masih bersikap sopan, meskipun sudah

waspada.

"Katakan pada Gusti‐mu, aku tidak akan lama di sini.

Dan aku akan segera meninggalkan kota ini setelah

urusanku selesai!" lantang dan tegas kata‐kata pemuda

itu.

Dan tanpa menghiraukan kebingungan kedua

penjaga itu, dia segera mengayunkan langkahnya

kembali. Ayunan kakinya tampak ringan dan tenang.

Tapi kemudian, kedua penjaga itu langsung melompat

dan kembali menghadang. Kali ini ujung tombaknya

sudah terhunus.

"Maaf, kami terpaksa menahanmu, Kisanak," kata

salah seorang penjaga.  

"Hm...!"

Pemuda itu tidak mempedulikan. Dia terus saja

mengayunkan kakinya.  

"Berhenti!"

Tapi pemuda itu tetap tidak menghiraukan, dia terus

melangkah maju. Sementara kedua penjaga itu saling

pandang, lalu dengan cepat salah seorang dari mereka

menggerakkan tombaknya ke arah perut pemuda itu.

Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya

sedikit ke samping, pemuda itu luput dari serangan.

Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan pemuda itu

bergerak cepat dan mengempit batang tombak itu di

ketiaknya. Sedangkan tangan satunya lagi berhasil

mematahkan tombak itu. Dan belum lagi penjaga itu

sempat menguasai keadaan, sebuah ayunan kaki yang


bergerak bagai kilat, langsung menghantam dadanya

yang keras.  

"Hugh!" penjaga itu mengeluh pendek. Tubuhnya

sampai terjajar ke belakang beberapa depa.

Melihat keadaan itu, penjaga yang satunya lagi

segera mengibaskan tombaknya ke arah leher. Namun

dengan cepat pemuda itu menarik kepalanya ke

belakang, dan tangan kanannya terangkat ke atas

menangkap tombak itu. Lalu dengan satu kali hantaman

tangan kiri, tombak itu kembali patah jadi dua bagian.

"Akh...!"

Kedua penjaga itu terkejut bukan main. Dalam

sekejap saja kedua tombak mereka sudah patah jadi

dua bagian. Sementara pemuda itu masih tetap berdiri

tegak tanpa menggeser kakinya sedikit pun. Sebentar

mereka saling pandang, lalu....

Sret!

Hampir bersamaan kedua penjaga itu mencabut

pedang yang tergantung di pinggang. Kedua pedang

penjaga itu berukuran panjang dan berwarna keperakan

berkilat. Tampak pemuda gagah itu hanya menatap

dengan bibir yang mengulas senyum sinis.

"Sayang sekali, nama kalian tidak tercantum dalam

daftarku...," kata pemuda gagah itu bergumam.

Setelah berkata demikian, pemuda itu langsung

melesat pergi bagai kilat melewati kepala kedua

penjaga itu. Tentu saja hal itu membuat kedua penjaga

itu melongo seperti melihat dewa baru turun dari

kahyangan. Dan saat mereka membalikkan tubuh

pemuda gagah itu sudah tidak terlihat lagi bayangan

nya.


"Siapa dia, ya...?" salah seorang penjaga bergumam

sambil memasukkan pedangnya kembali ke dalam

warangkanya.

"Kau tunggu dulu di sini, aku akan melaporkan hal ini

pada Gusti Adipati," kata seorang lagi.

"Cepatlah, tidak enak berjaga sendirian. "

"Sebentar saja aku pasti sudah kembali, kalau tidak...

Paling‐paling juga mampir di rumah janda sebelah!"

"Sialan!"

***

Adipati Rakondah segera berdiri begitu melihat

seorang berpakaian prajurit penjaga datang dengan

tergopoh‐gopoh. Prajurit itu langsung berlutut memberi

hormat. Tampak tubuhnya bersimbah peluh, sementara

debu menempel di wajah dan bajunya. Napasnya masih

terengah‐engah seperti baru saja menempuh per‐

jalanan jauh dan melelahkan.

"Ada apa? Bukankah kau seharusnya masih menjaga

di pintu gerbang perbatasan sebelah Utara kota?" tanya

Adipati Rakondah sedikit terkejut.

"Ampun, Gusti. Hamba sengaja datang ke sini karena

ada sesuatu hal yang harus segera hamba laporkan,"

sahut prajurit penjaga perbatasan itu.

"Katakan cepat, apa yang akan kau laporkan?"  

"Baru saja ada seorang pemuda yang mencurigakan

melewati pintu gerbang, Gusti. Hamba sudah berusaha

untuk menahan dan memeriksanya, tapi pemuda itu

malah melawan. Ilmu olah kanuragannya sangat tinggi,

Gusti. Hanya sekali gebrak saja, hamba dan teman


hamba terkecoh dan dia berhasil kabur," lapor prajurit

penjaga itu.

Sejenak Adipati Rakondah memalingkan mukanya

dan menatap pada Panglima Bantaraji yang tetap duduk

di kursinya. Di sebelah Panglima Bantaraji, duduk

seorang gadis cantik yang mengenakan baju ungu yang

terbuat dan bahan sutra halus yang indah. Gadis itu

adalah putri tunggal Adipati Rakondah yang bernama

Intan Delima.

"Bagaimana ciri‐cirinya?" tanya Panglima Bantaraji.

"Dia mengenakan baju yang terbuat dari kulit

harimau, Gusti Panglima," sahut prajurit penjaga

perbatasan itu.

"Kau tidak salah lihat, Prajurit?" Panglima Bantaraji

bangkit dari duduknya.  

"Tidak, Gusti."

"Ada apa, Kakang? Kau kenal?" tanya Adipati

Rakondah.

"Tidak salah lagi. Pasti dialah orangnya. .," gumam

Panglima Bantaraji pelan.  

"Maksudmu...?"

"Pendekar Pulau Neraka selalu memakai baju dari

kulit harimau. Hm..., tapi...."

"Kenapa, Kakang?" tanya Adipati Rakondah tak

sabar.

Panglima Bantaraji tidak segera menyahut. Di malah

melangkah menghampiri prajurit penjaga pintu gerbang

perbatasan itu. Matanya tajam menatap prajurit yang

duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam itu.

"Prajurit!"

"Hamba, Gusti Panglima."


"Kau sempat bertarung dengannya?" tanya Panglima

Bantaraji.

"Benar, Gusti. Tapi hanya sekali gebrakan saja."  

"Apa dia mengeluarkan senjatanya?"  

"Tidak, Gusti."

Panglima Bantaraji kemudian berbalik dan meng‐

hadap Adipati Rakondah yang sudah duduk kembali di

kursinya. Sementara putrinya tetap diam sejak tadi,

seperti tidak mau peduli sama sekali dengan pem‐

bicaraan itu. Namun dari keningnya yang sedikit

berkerut, bisa dipastikan kalau gadis itu sedang berpikir

juga.

"Adik Rakondah. Sebaiknya mulai sekarang kau

melipatgandakan penjagaan. Aku akan segera

menyelidiki orang itu," kata Panglima Bantaraji.

"Hati‐hati, Kakang," hanya itu yang bisa diucapkan

Adipati Rakondah.

Kemudian Panglima Bantaraji segera berbalik dan

melangkah meninggalkan ruangan balai agung

Kadipaten Jati Anom itu. Sedangkan Adipati Rakondah

segera memerintahkan pada prajurit penjaga itu untuk

kembali bertugas. Dia juga memerintahkan untuk

melipatgandakan penjagaan di pintu gerbang masuk

batas kota kadipaten.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah?" tanya Intan

Delima setelah lama berdiam diri.

"Tidak apa‐apa, hanya sedikit persbalan kecil," sahut

Adipati Rakondah.

"Siapa orang itu, Ayah?" desak Intan Delima. Adipati

Rakondah tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, dan

melangkah meninggalkan ruangan besar itu. Sementara


Intan Delima nampak masih diliputi oleh rasa

penasaran, tapi dia tidak berani mendesak ayahnya

untuk berkata terus terang. Kemudian gadis itu hanya

mengangkat bahunya saja dan berlalu dari ruangan itu.

***

Keadaan di Istana Kadipaten Jati Anom sekarang

telah berubah. Dari siang sampai malam para prajurit

kadipaten tampak selalu bersiaga dengan senjata

lengkap seperti mau diserang musuh saja. Adipati

Rakondah memang telah memerintahkan untuk

melipat‐gandakan penjagaan di sekitar istana itu.

Sementara itu Intan Delima yang belum memahami

betul akan situasi dan persoalan yang sedang dihadapi

ayahnya, makin bertambah penasaran melihat keadaan

itu. Kini Kadipaten Jati Anom benar‐benar seperti mau

perang saja. Bukan hanya di sekitar istana kadipaten

saja yang dijaga ketat, tapi juga hampir seluruh pelosok

kota kadipaten.

"Aku tidak percaya kalau hal ini hanya karena

persoalan kecil...," gumam Intan Delima yang pagi itu

sedang berjalan‐jalan mengelilingi istana kadipaten.

"Mungkin ada musuh yang akan menyerang, Gusti

Ayu," celetuk seorang emban pengasuh yang

mendampinginya.

"Tidak, Bibi Emban. Aku sudah mendengar sedikit

pembicaraan. Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya

pemuda yang begitu ditakuti oleh Ayah dan Paman

Panglima?" Intan Delima seperti bicara pada dirinya

sendiri.


Dua orang emban yang mengikutinya tidak

membuka suara. Mereka terus saja berjalan pelan‐pelan

menuju taman samping. Beberapa saat kemudian, Intan

Delima menghenyakkan tubuhnya di kursi panjang yang

terbuat dari bambu di dekat kolam yang diisi dengan

berbagai jenis ikan.

"Bibi Emban, tolong katakan pada pengurus kuda

agar segera menyiapkan seekor kuda untukku

sekarang," perintah Intan Delima.

"Gusti Ayu hendak ke mana?" tanya salah seorang

emban yang bertubuh gemuk.

"Laksanakan saja perintahku!" sentak Intan Delima.

"Baik, Gusti Ayu."

Perempuan bertubuh gemuk itu pun bergegas

menuju istal. Sedangkan Intan Delima kembali berdiri

dan melangkah menuju ke bagian depan. Ayunan

kakinya lebar‐lebar, dan bibirnya terkatup rapat.

Sementara seorang emban lagi terus menguntitnya

dengan wajah dipenuhi tanda tanya.

"Gusti Ayu...," Emban itu memberanikan diri

membuka suara.

"Ada apa?" tanya Intan Delima sambil terus

melangkah.

"Gusti Adipati menyatakan bahwa seluruh kadipaten

dalam keadaan gawat, sebaiknya Gusti Ayu membawa

beberapa orang prajurit pengawal," saran limban itu.

Namun Intan Delima tidak menanggapi. Dia berhenti

melangkah pada saat ada seorang laki‐laki tua yang

datang menghampirinya dengan menuntun seekor kuda

putih dengan kaki‐kakinya belang hitam. Di belakangnya

tampak seorang wanita gemuk mengikuti Kuda itu


sudah siap dengan pelana dari kain tebal yang ber‐

sulamkan benang emas.

Dan tanpa banyak bicara lagi, Intan Delima langsung

melompat naik ke punggung kuda. Dan saal itu juga

Intan Delima segera menggebah kudanya menuju ke

pintu gerbang istana kadipaten yang dijaga tidak kurang

dari sepuluh prajurit.

Kuda putih dengan belang hitam pada kakinya itu

terus dipacu cepat meninggalkan kepulan debu di

belakangnya. Dua orang penjaga pintu gerbang ber‐

gegas membuka pintu dengan raut wajah yang diliputi

berbagai macam perasaan. Sepertinya mereka tidak

ingin membukakan pintu, tapi begitu melihat yang

menunggang kuda adalah putri Adipati Jati Anom,

mereka segera membuka pintu gerbang itu.

Intan Delima terus menggebah kudanya dengan

kencang ke luar dari lingkungan benteng istana

kadipaten. Sementara penjaga pintu gerbang segera

menutup kembali pintunya setelah kuda yang di‐

tunggangi Intan Delima ke luar.

"Hiya! Hiya !"

Intan Delima terus menggebah kudanya dengan

cepat melintasi jalan utama Kadipaten Jati Anom.

Beberapa orang penduduk kota yang berpapasan

dengannya, langsung membungkukkan badannya. Intan

Delima terus memacu kudanya menuju perbatasan

Utara kadipaten.

***


"Hooop...!"

Intan Delima segera menghentikan lari kudanya

tepat di depan pintu gerbang perbatasan yang terbuat

dari batu ukir di kanan kiri jalan. Enam orang prajurit

penjaga yang ada langsung membungkukkan badan

memberi hormat. Intan Delima menatap salah seorang

prajurit penjaga yang berdiri paling pinggir.

"Kau, ke sini!"

"Hamba, Gusti Ayu," sahut prajurit penjaga itu

segera menghampiri.

"Kau yang melapor kemarin?"  

"Benar, Gusti Ayu."

"Aku minta agar kau berkata jujur dan terus terang.

Siapa pemuda yang berbaju kulit harimau itu?" tegas

nada suara Intan Delima.

"Maksud, Gusti Ayu?"

'Yang kau laporkan kemarin. Goblok!"

"Maaf, Gusti Ayu. Hamba‐..., hamba hanya men‐

dapat perintah untuk menjaga pintu gerbang

perbatasan Utara saja, Gusti. Hamba...."

"Jangan banyak alasan! Cepat katakan, siapa nama

pemuda itu?" potong Intan Delima gusar.

Prajurit itu jadi kebingungan. Sejenak bola matanya

berputar melirik pada temannya yang bungkam saja

sejak tadi. Dia seperti sedang berpikir keras dan

menimbang‐nimbang permintaan putri tunggal

junjungannya ini. Rasanya sulit bagi dia untuk mengata‐

kan yang sebenarnya, karena Adipati Rakondah sendiri

sudah berpesan padanya untuk tidak mengatakan hal

ini pada Intan Delima. Adipati Rakondah tidak ingin

putrinya itu terlibat, dan menjadi korban dari


kekejaman Pendekar Pulau Neraka yang kini hatinya

sedang tersulut oleh api dendam.

Lama kelamaan Intan Delima jadi geregetan juga

melihat sikap prajurit itu. Kemudian gadis itu melompat

turun dari atas punggung kudanya, dan mendarat manis

tepat di depan prajurit itu.

"Katakan, siapa nama pemuda yang berbaju kulit

harimau itu?" dingin dan datar suara Intan Delima.

"Ampunkan hamba, Gusti Ayu. Hamba..., hamba

sudah dipesan untuk..."

"Tidak mengatakan padaku, begitu?!" sentak Intan

Delima semakin gusar.

Prajurit penjaga itu hanya diam tertunduk.

"Siapa yang telah memerintahmu begitu? Paman

Panglima...? Ayah?" berondong Intan Delima.

"Gusti Adipati Rakondah sendiri, Gusti Ayu," pelan

jawaban prajurit penjaga itu.

"Dengar kalian semua! Siapa saja yang berani buka

mulut bahwa aku telah mengorek keterangan, akan

berhadapan langsung denganku!" lantang suara Intan

Delima.

Enam orang prajurit penjaga tersebut langsung diam

sambil menundukkan kepala. Tidak ada seorang pun

yang bisa menentang gadis itu. Selain karena dia adalah

putri tunggal junjungan mereka, Intan Delima juga

memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi.

Sementara itu Intan Delima terus memandangi para

prajurit itu satu persatu dengan tatapan tajam.

"Cepat katakan, siapa nama pemuda itu? Dan apa

maksudnya datang ke sini?" tanya Intan Delima dingin.

"Tapi, Gusti Ayu..., hamba..."


"Kau tidak perlu takut, juga yang lainnya. Kalau

sampai Ayahanda Adipati tahu, aku yang akan membela

kalian!" janji Intan Delima.

Serentak enam orang prajurit tersebut saling

berpandangan. Kemudian yang lima orang meng‐

anggukkan kepala pada kawannya yang ada di depan

Intan Delima. Sejenak prajurit itu menarik napas dan

menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokan yang

mendadak kering.

"Cepat katakan," desak Intan Delima tidak sabaran.

"Ampun, Gusti Ayu. Pemuda yang berbaju kulit

harimau itu bernama Pendekar Pulau Neraka. Dia

datang ke Kadipaten Jati Anom ini untuk mencari Gusti

Adipati. Dia ingin membalas dendam, Gusti Ayu," kata

prajurit itu menjelaskan dengan suara gemetaran.

"Dendam...?!" Intan Delima mengerutkan keningnya.

"Dendam apa?"

"Hamba tidak tahu persis, Gusti. Yang tahu hanya

Gusti Panglima dan Gusti Adipati sendiri."

"Apakah orang itu sangat tangguh dan berbahaya,

sehingga harus memperkuat penjagaan dengan prajurit‐

prajurit pilihan kerajaan?"

"Hamba tidak tahu pasti, Gusti Ayu. Tapi yang hamba

sempat dengar, Pendekar Pulau Neraka sangat kejam.

Dia selalu membunuh setiap orang yang ditujunya,

bahkan mereka yang mencoba melindungi juga di‐

bunuh. Mungkin itulah sebabnya, kenapa Gusti Adipati

Rakondah tidak ingin Gusti Ayu mengetahui per‐

soalannya," kata prajurit itu sudah tenang suaranya  

"Bagaimana tingkat kepandaiannya?"  

"Tidak tahu, Gusti Ayu. Tapi kemarin dia


melumpuhkan hamba dan teman hamba hanya dalam

sekali gebrak saja. Dia juga bisa hilang, Gusti Ayu."

"Hm...," Intan DeHma mengerutkan keningnya.

Keterangan yang sedikit diperoleh itu sudah bisa

membuat Intan Delima mengerti. Seseorang yang bisa

menghilang dalam pandangan orang berilmu olah

kanuragan rendah, sudah dapat dipastikan kalau orang

itu memiliki tingkat kepandaian yang sulit diukur dan

dicari tandingannya.

Dan tanpa berkata apa‐apa lagi, Intan Delima

langsung berbalik dan melompat naik ke punggung

kudanya. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda

ilmu meringankan tubuhnya sudah cukup tinggi. Gadis

itu menggebah kudanya pelahan‐lahan meninggalkan

perbatasan Utara Kadipaten Jati Anom. Dia kembali

masuk ke kota. Sepanjang jalan keningnya terus

berkerenyut memikirkan setiap kata yang barusan

diucapkan oleh prajurit penjaga itu.

***

3

Keadaan di dalam kola Kadipaten Jati Anom benar‐

benar seperti mau perang. Suasana seperti itu tentu

saja membuat penduduk jadi bertanya‐tanya dalam

hati, namun tidak pernah menemukan jawaban yang

tepat. Keadaan seperti itu sudah berjalan lima hari di

dalam kota Kadipaten Jati Anom, namun belum berubah

juga.

Sementara itu Intan Delima yang sedang mencari

tahu orang yang bernama Pendekar Pulau Neraka,

setiap hari terus mengelilingi kota kadipaten.

Sebenarnya dia ingin menanyakan langsung peristiwa

yang sebenarnya pada ayahnya, tapi setiap kali dia mau

bicara, selalu tertunda dan dibatalkan. Intan Delima

sudah tahu bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan

keterangan apa‐apa dari ayahnya. Bisa‐bisa ayahnya

malah memperketat pengawalan pada dirinya. Hal

itulah yang selalu dihindarkan Intan Delima.

Sejak pagi sampai tengah hari, Intan Delima berada

di atas punggung kudanya. Hari ini adalah hari yang

ketiga bagi Intan Delima mencari orang yang berjuluk

Pendekar Pulau Neraka. Sudah seluruh pelosok kota dia

jelajahi, tapi sampai saat ini belum juga berhasil.

Memang tidak mudah untuk mencari seseorang di

tengah‐tengah begitu banyak orang. Apalagi belum

pernah berjumpa sekali pun!  

"Huh! Udara siang ini panas sekali...!" keluh Intan

Delima seraya menyeka keringat yang meleleh lehernya

yang jenjang.


Intan Delima kemudian menghentikan langkah kaki

kudanya di pinggir sebuah sungai kecil yang berair

jernih. Sebentar dia mengedarkan pandangannya ber‐

keliling sebelum turun dari punggung kudanya. Tidak

terlihat seorang pun di sekitar tempat itu, karena

daerah ini memang sudah jauh masuk ke hutan per‐

batasan sebelah Selatan. Intan Delima tertegun sejenak

begitu matanya memandang seonggok batu cadas yang

berdiri menjulang dari gerumbul pepohonan.

Batu cadas itu seperti diukir oleh tangan ahli,

berbentuk seperti seekor ular raksasa yang melingkar di

tengah‐tengah hutan melibat sebatang pohon raksasa.

Benar‐benar suatu pemandangan yang indah. Sayang

tak seorang pun yang berani mendekatinya. Banyak

legenda yang menceritakan tentang batu dan hutan itu.

Tapi semuanya hanya berupa legenda yang diseram‐

seramkan. Belum ada bukti dan kebenarannya.

"Hutan Naga... Hhh...! Mudah‐mudahan tidak ada

apa‐apa. Aku hanya singgah sebentar," desah Intan

Delima menenangkan diri. Kemudian gadis itu

menuntun kudanya dan mendekati sungai kecil berair

jernih yang mengalir tenang dari hutan yang membukit

itu. Lalu dia berlutut di tepian sungai itu dan dengan

kedua tangannya dia menyiduk air dan membasuh

mukanya. Terasa sejuk dan segar begitu air sungai

menyentuh wajahnya yang putih kemerahan dan

berkulit halus lembut bagai sutra.

Dan ketika tangannya hendak menciduk air lagi,

mendadak gerakannya terhenti. Di permukaan air

sungai yang bening terbayang seseorang sedang berdiri

di seberang. Buru buru Intan Delima mengangkat


luipalanya. Dan tampaklah seorang pemuda gagah

sudah berdiri di seberang sungai. Pemuda itu berwajah

tampan, namun terlihat garis‐garis kekerasannya.

Kemudian dengan pelahan‐lahan, Intan Delima bangkit

lari jongkoknya.  

Matanya terus menatap tajam memperhatikan laki‐

laki muda itu. Dari ujung kepala hingga ke ujung kaki dia

perhatikan dengan seksama. Sejenak Intan Delima

melangkah mundur dua tindak.

"Apakah dia orangnya? Ciri‐cirinya sama persis

seperti yang dikatakan oleh prajurit penjaga per‐

batasan. Masih muda, gagah dan bajunya terbuat dari

kulit harimau. Tapi.... Ah! Rasanya tidak mungkin. Dia

tidak kelihatan kejam dan jahat. Malah...," Intan Delima

tidak melanjutkan kata‐kata yang terlintas di hatinya.

"Tuan siapa? Dan kenapa ada di tempat yang angker

ini?" tanya Intan Delima menegur lebih dulu setelah

menenangkan pikirannya.

"Kau sendiri, kenapa juga berada di sini?" pemuda

itu balik bertanya.

"He! Aku yang bertanya padamu!" bentak Intan

Delima.

"Aku tidak pernah memberitahu siapa diriku lebih

dahulu, sebelum orang lain memperkenalkan diri," kata

pemuda itu tenang, namun nada suaranya terdengar

tegas.

"Hm..., rupanya kau orang asing di sini, sehingga

tidak tahu dengan siapa kau sedang berhadapan."

"Siapa pun kau, aku tidak peduli!"

Intan Delima berkerenyut keningnya. Belum pernah

ada seorang pun yang berani bicara kasar seperti itu


padanya. Dia adalah seorang putri adipati yan sangat

dihormati dan berilmu tinggi! Dan semua orang selalu

membungkuk hormat bila berhadapan dengannya, tapi

pemuda ini. Sedikit pun tidak memandang sebelah mata

padanya!

"Sikapmu bisa menyulitkan dirimu sendiri...," gumam

Intan Delima setengah mengancam.

"Aku memang terlahir penuh kesulitan, jadi apapun

bentuknya kesulitan itu tidak pernah merubah sikapku,"

tegas jawaban pemuda gagah itu.

"Kurang ajar! Kau benar‐benar tidak memandangku

sebelah mata. Kau tahu siapa aku, heh?" bentak Intan

Delima langsung mendidih darahnya.

"Aku tahu, kau adalah seorang gadis yang manja dan

mudah marah. Tapi kau sangat cantik, dan...."

“Setan!" merah‐padam seluruh wajah Intan Delima.

Gadis itu tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Dan

bagaikan seekor burung elang, dia menggenjot tubuh‐

nya menyeberangi sungai. Kemudian tanpa banyak

bicara lagi, gadis itu langsung mengirimkan pukulan

mautnya yang bertenaga dalam cukup tinggi kearah

pemuda itu.  

"Eit!"

Pemuda itu hanya berkelit sedikit ke samhping, dan

tangan kanannya memukul ke arah dada Intan Delima.

Untung saja gadis itu cepat cepat menarik mundur

tubuhnya, dan langsung melayangkan kakinya ke arah

perut.

"Kau hebat, tapi sayang... uts!"

Pemuda itu segera menggeser kakinya dua tindak ke

belakang, dan tendangan Intan Delima pun tidak sampai


mengenai perutnya. Tapi Intan Delima tidak lagi mem‐

beri kesempatan. Dia segera menyerang lagi dengan

jurus‐jurus yang mengandung tenaga dalam tinggi,

sehingga membuat pemuda itu hanya bisa berkelit dan

berlompatan ke sana kemari menghindari serangan

Intan Delima yang dahsyat dan mematikan itu.

***

Pertarungan antara Intan Delima dan pemuda

berbaju kulit harimau itu terus berlangsung semakin

sengit. Dan keadaan di sekitar pertarungan itu sudah

porak‐poranda seperti diamuk oleh puluhan ekor ajah.

Namun sampai pertarungan berjalan lebih dari dua

puluh jurus, belum sedikit pun pemuda itu melakukan

serangan balasan.

"Kau telah mempermainkan aku, Pemuda Setan! Kau

harus mati di tangan Intan Delima, putri tunggal Adipati

Jati Anom!" bentak Intan Delima, tanpa sadar dia telah

membuka rahasia dirinya sendiri.

"Heh...!" pemuda berbaju kulit harimau itu tampak

terkejut. Buru‐buru dia melompat mundur dan

menghindar dari pertarungan.

"Kenapa kau mundur? Takut...?" dengus Intan

Delima sinis.

"Tidak kusangka, temyata adipati pembunuh licik

hanya mampu mengirim gadis bau kencur!" geram

pemuda itu sambil menatap tajam ke bola mata Intan

Delima.

"Setan jelek! Kau telah menghina ayahku...!” Intan

Delima menggeram hebat.


"Bukan itu saja, aku sengaja datang ke kota ini untuk

berurusan dengan pembunuh licik yang berkedok jadi

adipati!"

"Eh, jadi...!" Intan Delima menggerinjang kaget.

"Kau.... Kau Pendekar Pulau Neraka...?!"

"Ya, akulah Pendekar Pulau Neraka yang akan mem‐

buat perhitungan dengan Rakondah!" tegas jawaban

pemuda itu.

Sejenak Intan Delima memandangi pemuda yang

memakai baju kulit harimau itu dengan tidak percaya.

Bagaimana mungkin, seorang pemuda yang usianya

paling‐paling dua puluh lima tahun sudah begitu

kondang namanya. Sampai‐sampai membuat tokoh‐

tokoh tua rimba persilatan gempar. Tak terkecuali

Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji yang terkenal

memiliki ilmu olah kanuragan yang tinggi! Itu baru

mendengar namanya saja. belum berhadapan langsung

dengan orangnya yang... Intan Delima sukar untuk

mempercayai kalau pemuda tampan dan angkuh itu

yang telah membuat gempar seluruh rimba persilatan.

"Kenapa wajahmu tiba tiba pucat, Gadis Manja?

Apakah kau juga gentar seperti ayahmu?" ejek pemuda

yang nama lengkapnya Bayu Hanggara itu.

"Jangan besar kepala dulu, Setan Jelek! Kau sendiri

tidak akan mampu untuk menandingiku, apalagi ber‐

hadapan dengan ayahku, yang sekarang dibantu oleh

Panglima Bantaraji!" balas Intan Delirrja menggertak.

"Bagus! Berarti tanganku akan lebih banyak lagi

berlumur darah. Seluruh penduduk Kadipaten Jati Anom

boleh berlindung di belakang tikus pengecut itu, biar

aku lebih puas mengadakan pesta darah dan mayat!"


Bayu tersenyum lebar.

Bergidik juga hati Intan Delima mendengarnya.

sungguh jauh berbeda kata‐kata yang mengalir lancar

lengan wajah dan penampilannya. Rasanya semua

orang juga tidak akan percaya kalau pemuda ini ter‐

nyata berhati kejam dan selalu berlumuran darah dalam

hidupnya. Wajah dan bentuk tubuhnya tidak sedikit pun

mencerminkan kekejaman. Tapi kata‐katanya barusan...

Semua orang pasti bergidik mendengarnya!

"Sebaiknya sekarang kau pulang saja, dan segera

berlindung di bawah ketiak ayahmu. Katakan padanya

kalau saat kematiannya sudah dekat!" dengus Bayu.

"Heh...!"

Baru saja Intan Delima ingin mengatakan sesua tiba‐

tiba saja pemuda itu sudah mencelat cepat. Begitu

cepatnya, tahu‐tahu dia sudah lenyap dari pandangan

mata. Tampak Intan Delima celingukan mencari‐cari.

Meskipun gadis itu sudah terlatih dalam berbagai ilmu

olah kanuragan, tapi dia benar‐benar tercengang

melihat tingginya ilmu yang dimiliki oleh Pendeka Pulau

Neraka. Sulit diukur, sampai di mana tingkat kepandaian

Pendekar Pulau Neraka itu!

"Hhh, rasanya tadi dia tidak melayaniku dengan

sungguh‐sungguh! Apakah Ayah dan Paman Panglima

akan mampu menandinginya! Ilmunya benar‐benar luar

biasa...," Intan Delima bergumam sendiri sambil

menggeleng‐gelengkan kepala.

Beberapa saat lamanya gadis itu masih berdiri saja di

tempatnya. Dia tampak tertegun dengan kejadian yang

barusan dialaminya.


***

Sejak pertemuannya dengan Pendekar Pulau Neraka,

Intan Delima jadi tampak lebih banyak melamun dan

berdiam diri di dalam kamar. Kegagahan dan

ketampanan pemuda itu telah menggores dalam di

hatinya. Dia jadi sangsi akan kemampuan Ayah dan

Pamannya. Mampukah mereka menandingi Pendekar

Pulau Neraka? Sedangkan dia sendiri yang sempat

bentrok belum mampu untuk mengukur, sampai di

mana tingkat kepandaian pendekar muda itu.

Intan Delima juga memikirkan tentang peristiwa

yang menyangkut ayahnya dengan Pendekar Pulau

Neraka itu, hingga sampai menyulut api dendam yang

begitu parah dan harus diselesaikan dengan per‐

tumpahan darah. Beberapa saat kemudian, Intan

Delima bangkit dari pembaringan, dan melangkah

menuju jendela. Sudah setengah harian dia berada di

dalam kamar itu, namun belum juga bisa menemukan

jawaban dari pertanyaan‐pertanyaan yang mengganggu

pikirannya. Dan pertanyaan yang paling pokok, dendam

apa yang telah bersemayam di dada Pendekar Pulau

Neraka?

"Rasanya tidak mungkin kalau dia mencari Ayah

tanpa sebab," gumam Intan Delima pelahan.

Sejenak gadis itu mengedarkan pandangannya

berkeliling melalui jendela kamarnya yang terbuka. Dan

matanya langsung terpaku pada pohon beringin yang

tumbuh dekat tembok. Tampak seseorang sedang

berada di atas pohon itu sambil mengawasi. Dan Intan

Delima semakin membeliakkan matanya begitu


mengenali siapa orang itu. Maka tanpa pikir panjang

lagi, dia langsung melompat ke luar. Dan begitu ujung

dari kakinya menyentuh tanah, dia kembali melenting‐

kan tubuhnya ke udara menuju pohon itu.  

Slap!  

"Hey...!"

Intan Delima terkejut begitu kakinya menjejak lahan,

orang itu langsung melesat kabur. Dan dengan cepat

Intan Delima kembali melenting dan mengejar orang

yang mencurigakan itu. Tubuhnya bergerak ringan bagai

kapas. Kejar‐kejaran pun terjadi. Sedikit pun Intan

Delima tidak melepaskan pandangannya dari orang

yang berlompatan jauh di depannya.

"Huh! Ilmu meringankan tubuhnya sungguh hebat.

Tidak mungkin aku bisa mengejarnya tanpa ilmu 'Sayiti

Angin'," dengus Intan Delima.

Gadis itu tampak semakin cepat berlari setelah dia

mengerahkan ilmu 'Sayiti Angin'nya. Dan jarak dengan

orang yang ada di depannya pun semakin pendek, dan

akhirnya...

"Hiyaaa...!"

Intan Delima segera melentingkan tubuhnya dan

melompati kepala orang yang dikejarnya itu. Lalu

dengan manis dia mendarat di depannya, dan langsung

berbalik.

"Berhenti!" bentak Intan Delima.

"Hebat...! Ternyata kau mampu juga menyusulku,"

puji orang itu yang ternyata adalah seorang pemuda

gagah yang memakai baju dari kulit harimau.

"Mau apa kau mengintai rumahku, Pendekar Pulau

Neraka?" Intan Delima bertanya sinis.


Bayu hanya tersenyum saja. Lalu dia mengayunkan

kakinya mendekati sebongkah batu hitam sebesar

kerbau, dan dengan enak dia duduk di sana. Tampak

bibirnya yang tipis masih menyunggingkan senyum.

Sedangkan matanya tidak lepas dari wajah cantik yang

tidak mencerminkan persahabatan itu.

Intan Delima merasa jengah juga dipandangi

sedemikian rupa. Buru‐buru dia mengalihkan

pandangannya ke arah lain. Entah kenapa, mendadak

saja dadanya jadi bergemuruh. Detak jantungnya juga

semakin cepat bekerja. Tatapan mata Pendekar Pulau

Neraka itu demikian menusuk, dan langsung menuju

lubuk hatinya yang paling dalam. Tanpa disadari,

wajahnya menyemburat merah dadu.

"Uh! Tatapan matanya. , tapi... Ah, tidak! Dia adalah

musuh ayahku, aku tidak boleh ter... Eh! Apa yang

sedang kupikirkan? Gila!" Intan Delima jadi berperang

sendiri dengan batinnya.

Gadis itu semakin tidak menentu saja perasaannya,

saat dia melirik, dan langsung bertemu pandang dengan

pemuda itu. Gadis itu terus merutuki dirinya sendiri.

Secara jujur, dia memang mengakui kalau pemuda itu

benar‐benar gagah dan tampan. Tatapan matanya

mengandung daya tarik yang luar biasa. Intan Delima

merasa tidak sanggup lagi untuk mengusir gemuruh

yang semakin deras melanda dadanya.

Sebenarnya perasaan itu sudah ada sejak pertama

kali mereka bertemu. Namun dia masih sanggup untuk

mengenyahkan, tapi sekarang..., rasanya makin sulit

untuk menghalau perasaan itu dari hatinya. Kini Intan

Delima jadi tidak mengerti, kenapa tiba‐tiba saja dia


mempunyai perasaan yang sulit untuk dimengerti?

Suatu perasaan yang belum pernah dia alami sebelum

nya. Apakah ini yang dinamakan.... Tidak! Intan Delima

buru‐buru membantah kata hatinya. Lama juga mereka

hanya saling berdiam diri dengan hati dan perasaan

yang berbicara masing‐masing.

Intan Delima merasa, semakin lama dia berada di

tempat itu, semakin gelisah perasaan hatinya.

Sementara Pendekar Pulau Neraka masih duduk diam

dengan pandangan tidak berkedip pada wajah cantik

yang sebentar‐sebentar berubah warnanya. Sementara

Intan Delima sendiri semakin diliputi oleh suatu

perasaan yang dia sendiri tidak tahu apa artinya.

"Mau ke mana kau?" tanya Bayu begitu melihat

Intan Delima mau pergi.

Sejenak Intan Delima mengurungkan niatnya. Dan

seperti ada satu kekuatan yang amat dahsyat, dia

mengangkat kepalanya dan menatap langsung ke bola

mata Bayu. Seketika hatinya bergetar hebat begitu

matanya bertemu pada satu titik. Dengan sekuat tenaga

Intan Delima menguatkan diri dan berusaha untuk tetap

terlihat tegar.

"Sebenarnya mau apa kau mengintai rumahku?"

tanya Intan Delima setelah menarik napas dalam‐dalam.

"Siapa bilang aku mengintai rumahmu?" Bayu malah

balik bertanya.

"He! Kau ada di pohon dekat rumah! Untuk apa lagi

kalau bukan untuk mengintai?"

"O..., itu. Sengaja, aku memang sengaja memancin‐

gmu," tenang sekali jawaban Bayu.

"Memangnya aku ikan!" rungut Intan Delima, geli


juga dia.

"Bisa kita bicara baik‐baik? Sebenarnya di antara kita

tidak terjadi apa‐apa. Aku memang mencari ayahmu,

tapi aku tidak mau melibatkanmu. Kau tidak bersalah

apa‐apa padaku," kata‐kata Bayu terdengar serius.

"Kau sepertinya menganggap ayahku adalah orang

yang paling berdosa di dunia. Apa kau pikir dirimu

paling suci?" ketus nada suara Intan Delima.

"Tidak ada satu pun manusia yang suci di dunia ini.

Tapi aku tidak akan berhenti untuk menimbun dosa

sebelum semua orang yang telah membunuh

keluargaku dengan kejam, habis!"

"Kau.... Jadi...," Intan Delima jadi tersekat.

"Seharusnya aku tidak mengatakan persoalan ini

padamu. Tapi rasanya kau perlu tahu persoalan

sebenarnya. Dan aku harap kau bisa memahaminya,"

Bayu Hanggara berusaha memberikan pengertian.

"Terus terang, aku juga ingin tahu persoalan yang

sebenarnya. Katakan saja, apa sebabnya kau ingin

membunuh ayahku?" Intan Delima berusaha keras

menenangkan diri.

"Sebenarnya peristiwa itu sudah terjadi dua puluh

lima tahun lalu, saat itu aku baru saja lahir. Ayahku

memimpin sebuah padepokan yang bernama

Padepokan Teratai Putih. Kemudian pada waktu pesta

pemberian namaku, tiba‐tiba padepokan itu diserang

oleh gerombolan yang digerakkan ibu tiriku. Ayahku

tewas, juga ibu kandungku. Dan aku hidup sebatang

kara sejak masih berumur beberapa hari. Kau bisa

merasakan, betapa beratnya hidup yang harus kujalani

di sebuah pulau yang terpencil hanya dengan seorang



laki‐laki tua yang buntung dan buta! Apakah kau juga

akan menyalahkan,    jika aku membalas dendam?

Seandai‐nya hal itu terjadi padamu, apa yang akan

kamu lakukan? Mencari pembunuh keluargamu, atau

kamu hanya diam saja dan melupakan semuanya?

Tentu saja tidak...!" Bayu menggeleng‐gelengkan

kepalanya beberapa kali.

Sementara Intan Delima jadi bungkam. Dia bisa

memahami persoalan yang sedang dihadapi pemuda

itu. Sebagai seorang anak, memang sudah menjadi

kewajiban untuk membela dan mempertahankan nama

baik orang tuanya. Namun Intan Delima belum dapat

untuk memutuskan saat ini, siapa yang bersalah, dan

siapa yang harus dibela? Dua kutub yang begitu berat

seperti sedang menarik dirinya.

Sebagai orang yang baru selesai mengikuti

gemblengan di sebuah padepokan, dia memang harus

membela kebenaran. Sejak kecil ia sudah dididik untuk

menjadi seorang pendekar wanita yang tangguh dan

digdaya. Tapi sebagai seorang anak yang berbakti,

rasanya sulit kalau hanya berdiam diri saja melihat

ayahnya sedang menghadapi suatu persoalan berat

yang mempertaruhkan nyawa. Intan Delima memang

tidak menyalahkan Bayu yang memburu ayahnya, tapi

dia juga tidak bisa melihat ayahnya mati begitu saja.

"Mungkin kau akan menganggapku mengada‐ada

saja, Adik...."

"Intan. Namaku Intan Delima," potong Intan Delima

cepat.

"Hm..., kau bisa memanggilku Bayu."

"Maaf, aku tidak bisa begitu saja percaya. Aku juga


harus mendengar sendiri dari ayahku," kata Intan

Delima tegas.

"Memang begitu seharusnya, dan aku harap kau

tidak ikut campur setelah mengetahui persoalan yang

sebenarnya. Tapi kalau kau juga ingin membela

ayahmu, jangan anggap aku kejam. Aku sudah ber‐

sumpah, akan membunuh siapa saja yang membela

orang yang telah membunuh keluargaku," Bayu mem‐

peringatkan.

"Mungkin kita akan berhadapan, Bayu. Entah sebagai

kawan atau lawan

"Ternyata kau berjiwa seorang pendekar juga, Adik

Intan," puji Bayu tulus.

"Terima kasih," Intan Delima tersipu.

Sesaat mereka kembali terdiam. Sementara itu

matahari semakin condong ke arah Barat. Sinarnya yang

semula terik, kini sudah tidak terasa lagi. Kabut pun

tampak telah mulai kelihatan turun. Beberapa saat

kemudian, Intan Delima berpamitan ingin kembali, tapi

Bayu buru‐bum mencegah.

"Ada apa lagi?" tanya Intan Delima.

"Katakan pada Pamanmu, Panglima Bantaraji. Agar

jangan mencampuri urusan ini. Aku tidak mau orang

jujur, baik dan ksatria seperti dia mati sia‐sia," pesan

Bayu.

"Baiklah, tapi aku tidak janji," sahut Intan Delima

"Terima kasih, dan yang lebih penting, aku minta

agar kau juga tidak ikut campur. Aku akan menghadapi

secara ksatria dengan sedikit permainan."

"Apa yang akan kau lakukan?"

Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum saja

sembari bangkit dari duduknya. Dan tanpa berkata apa‐

apa lagi, Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat

pergi. Begitu cepatnya, sehingga seperti menghilang

saja. Sejenak Intan Delima menarik napas panjang,

kemudian kakinya terayun menuju ke istana kadipaten

kembali.

***

4

Malam baru saja menjelang. Dan kegelapan segera

menyelimuti seluruh bumi di sekitar Kadipaten Jati

Anom. Tampak Intan Delima ke luar dari kamarnya, dan

langsung menuju taman belakang. Langkahnya ringan

dan anggun. Namun keningnya terlihat berkerut tipis,

pertanda kalau dia tengah menghadapi satu persoalan

yang sangat serius. Gadis itu berhenti melangkah begitu

sampai di taman belakang. Di sana tampak Adipati

Rakondah sedang duduk sendirian di kursi taman yang

terbuat dari bambu yang diukir indah dan halus.

"Ayah...."

Adipati Rakondah segera mengangkat kepalanya.

Dan langsung tersenyum begitu melihat anak gadisnya

itu sudah berdiri di dekatnya. Sementara Intan Delima

segera duduk di samping ayahnya.

"Ada apa? Kelihatannya serius sekali," tegur Adipati

Rakondah seraya memperhatikan wajah putrinya.

"Ya...," desah Intan Delima.

"Katakan saja, Anakku."

"Ayah tidak akan marah?"

Adipati Rakondah tersenyum dan menggeleng‐

gelengkan kepalanya. Tangannya mengusap‐usap

rambut Intan Delima dengan penuh kasih.

"Kenapa Ayah harus marah? Katakan saja," lembut

suara Adipati Rakondah.

Sejenak Intan Delima berpikir. Sepertinya dia berat

untuk mengucapkannya. Beberapa kali dia hanya


menarik napas panjang, dan menghembuskannya

dengan kuat.

"Ayah tahu, kau pasti ingin menanyakan persoalan

yang sedang Ayah hadapi, kan?" tebak Adipa Rakondah.

Intan Delima terperanjat. Sungguh dia tidak

menyangka kalau ayahnya bisa menebak demikian

tepat.

"Kau memang sudah besar, Anakku. Berapa usiamu

sekarang?"

"Delapan belas, Ayah."

"Tidak kusangka, kau sudah begitu dewasa. Sudah

pantas kau mengetahui persoalan dunia," Adipati

Rakondah seperti bicara untuk dirinya sendiri.

"Ayah, apa sebenarnya yang sedang terjadi?" tanya

Intan Delima langsung menjurus ke pokok per‐

soalannya. Dia tidak ingin ayahnya mengingat‐ingat

kembali masa‐masa lalu. Lebih‐lebih kalau sudah

mengenang istrinya.

Intan Delima jadi teringat dengan ibunya. Seorang

wanita yang lembut dan selalu menerima apa adanya,

sebagaimana kodratnya sebagai wanita. Masa‐masa

yang indah dan tidak bisa terlupakan begitu saja.

Namun sayang, rupanya Tuhan menghendaki lain.

Ibunya meninggal saat Intan Delima baru menginjak

usia tujuh tahun.

"Intan, persoalan yang sedang Ayah hadapi memang

cukup serius. Suatu persoalan yang menyangkut hidup

dan matiku...," Adipati Rakondah mulai bercerita.

Tampak Intan Delima mendengarkan dengan serius.

Sedikit pun dia tidak menyelak kata‐kata ayahnya,

meskipun laki‐laki setengah baya itu terdiam untuk



beberapa saat.

"Aku memang bukan seorang Ayah yang baik. Masa

laluku dilumuri dengan dosa dan darah. Ilmuku memang

tangguh, dan sukar dicari tandingannya. Tapi aku salah

menggunakannya. Aku selalu menuruti hawa nafsu dan

kepentingan pribadi. Hingga satu saat...," Adipati

Rakondah kembali menghentikan kata‐katanya.

"Teruskan, Ayah," pinta Intan Delima tidak dapat lagi

menahan diri.

"Dalam pengembaraanku, di sebuah desa aku

bertemu dengan seorang wanita. Aku tahu, kalau

wanita itu sudah bersuami, tapi kecantikannya mem‐

buatku mata gelap dan ingin memilikinya. Kemudian

aku memaksakan kehendakku, dan hampir memperkosa

wanita itu, tapi seorang pendekar berhasil menyelamat‐

kannya. Dia mengalahkanku, Intan. Aku dendam dan

berjanji akan menghancurkannya kelak. Kau tahu, Intan.

Siapa nama pendekar itu? Dialah Pendekar Dewa

Pedang, Ayah dari Bayu si Pendekar Pulau Neraka."

"Jadi, Ayah telah membunuhnya?" Intan Delima

seperti tidak percaya.

"Bukan aku saja, Intan. Banyak tokoh‐tokoh lain yang

ikut membunuh dan menghancurkan padepokan yang

dipimpinnya. Dan semua itu juga berkat istri muda

Dewa Pedang yang berhasil kami hasut dengan

memutarbalikkan fakta yang sebenarnya."

Intan Delima memandangi ayahnya tidak percaya.

Sungguh dia sulit untuk percaya kalau ayahnya bisa

sekejam itu. Semula dia sudah berharap bahwa ayahnya

akan membantah semua cerita Pendekar Pulau Neraka,

tapi yang didapatnya sekarang benar‐benar di luar


dugaannya sama sekali. Ternyata masa lalu Adipati

Rakondah begitu kelam dan penuh dengan dosa.

"Tidak...! Tidak mungkin...!" Intan Delima meng‐

geleng‐gelengkan kepalanya seraya bangkit dari

duduknya. Tatapan matanya mengandung ketidak‐

percayaan dengan apa yang barusan didengarnya. Gadis

itu kemudian melangkah mundur pelahan‐lahan.

"Intan...," suara Adipati Rakondah tersekat di

tenggorokannya.

"Tidak...! Katakan padaku, Ayah. Kau tidak

melakukan itu. Kau tidak tahu apa‐apa. Katakan, Ayah!

Katakan kalau kau telah berdusta!" mendadak Intan

Delima jadi histeris.

"Aku tidak dusta, Anakku. Memang pahit, tapi semua

itu sudah berlalu, dan aku sudah melupakan semuanya,

Intan. Kalaupun sekarang muncul putra Dewa Pedang,

dan ingin membalas dendam, aku harus menghadapinya

secara ksatria."

"Oh, tidak...," lirih suara Intan Delima.

"Intan...!"

Namun Intan Delima sudah keburu berbalik, dan

langsung berlari masuk ke dalam bangunan besar yang

indah itu. Sedangkan Adipati Rakondah hanya bisa

tertunduk lemas. Ada sedikit rasa penyesalan di hatinya,

tapi hal itu memang harus dia lakukan. Cepat atau

lambat, Intan Delima pasti tahu.

"Maafkan ayahmu, Intan...," desah Adipati

Rakondah.

***


Malam terus merayap semakin larut. Suasana di

Istana Kadipaten Jati Anom semakin sepi. Hanya

beberapa penjaga yang masih tampak terlihat di

tempat‐tempat yang terlindung dari cahaya bulan dan

lampu pelita. Dan di taman belakang, Adipati Rakondah

juga masih terlihat duduk di kursi panjang yang terbuat

dari bambu.

Beberapa kali terdengar tarikan napasnya yang

panjang dan dalam. Tampaknya dia masih merenungi

sikap putrinya yang langsung berubah begitu dia

menceritakan masa lalunya itu. Tapi, bagaimanapun

juga dia tidak bisa menyalahkan Intan Delima kalau

gadis itu sampai membencinya. Adipati Rakondah sadar,

bahwa dirinya memang patut untuk dibenci. Memang

penyesalan datangnya selalu belakangan.

Tepat ketika Adipati Rakondah bangkit dari

duduknya, tiba‐tiba secercah cahaya keperakan melesat

cepat bagai kilat mengarah dirinya. Dan dengan satu

gerakan refleks, adipati itu memiringkan tubuhnya

sedikit ke kanan. Dan cahaya keperakan itu lewat sedikit

di depan dadanya. Namun belum juga dia sempat

menarik tubuhnya kembali, mendadak satu cahaya

keperakan kembali meluncur deras mengancam nyawa

nya.

"Uts!"

Untung saja Adipati Rakondah kembali berhasil

mengelak dengan menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Dan

matanya yang tajam sempat menangkap berkelebatnya

satu sosok bayangan yang melompati tembok benteng

bagian belakang.

"Pengawal...!" teriak Adipati Rakondah keras.


Setelah berkata begitu, secepat kilat dia melenting‐

kan tubuhnya mengejar sosok bayangan tadi. Dan pada

saat yang sama, enam orang prajurit pengawal sudah

berdatangan. Mereka sempat melihat bayangan  Adipati

Rakondah melompati tembok.  Maka tanpa membuang‐

buang waktu lagi, mereka langsung mengejar. Dari cara

berlari dan melompati tembok, sudah dapat dilihat

kalau enam orang prajurit itu memiliki ilmu olah

kanuragan yang tidak rendah. Mereka adalah para

prajurit pilihan yang sengaja didatangkan oleh Panglima

Bantaraji dari kerajaan.

Sementara itu Adipati Rakondah masih tetap berdiri

di balik tembok belakang. Dia telah kehilangan jejak.

Bayangan yang dilihatnya tadi langsung hilang ditelan

kegelapan malam. Tak lama kemudian enam orang

pengawal kadipaten sudah berada di belakangnya.

"Cepat kalian cari di sekitar benteng!" perintah

Adipati Rakondah.

"Baik, Gusti," sahut enam orang prajurit pilihan itu

serentak.

Sedangkan Adipati Rakondah segera melentingkan

tubuhnya melewati tembok. Dan pada saat kakinya

menjejak tanah, di depannya sudah berdiri Panglima

Bantaraji yang didampingi sekitar sepuluh orang prajurit

dengan pedang terhunus.

"Ada apa?" tanya Panglima Bantaraji bernada cemas.

"Dia sempat datang, tapi langsung kabur," sahut

Adipati Rakondah seraya melangkah.

Panglima Bantaraji pun segera memerintahkan pada

sepuluh orang prajuritnya untuk mencari orang yang

dilihat Adipati Kakondah. Kemudian dia melangkah


mengikuti Adipati Jati Anom itu. Mereka lalu berhenti di

depan sebuah pilar yang terbuat dari kayu jati bulat

yang berukir. Adipati Rakondah segera menjulurkan

tangannya dan mencabut dua buah logam berwarna

keperakan yang menancap di pilar itu. Dua benda itu

berbentuk bintang bersegi enam.

"Pendekar Pulau Neraka...," desis Panglima Bantaraji

begitu melihat benda tersebut.

Sejenak Adipati Rakondah berbalik dan menatap

Panglima Bantaraji. Kemudian tatapannya beralih pada

benda‐benda yang kini di dalam genggamannya.

"Berapa buah yang dia lontarkan?" tanya Panglima

Bantaraji.

"Dua," sahut Adipati Rakondah pelahan.

"Hm..., itu berarti dua hari lagi," gumam Panglima

Bantaraji.

Adipati Rakondah menatap tajam ke bola mata

Panglima Bantaraji. Dia seperti meminta penjelasan.

"Pendekar Pulau Neraka selalu memberi tanda

kedatangannya dengan mengirimkan bintang perak

bersegi enam. Dan hari yang ditentukan berjumlah

sama dengan bintang yang dilemparkan," Panglima

Bantaraji seperti mengerti tatapan mata itu.

"Hm, jadi dia akan datang menantangku dua hari

lagi?"

"Tidak."

"Maksudmu?”

"Mulai melakukan tekanan dan teror dua hari lagi.”

"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu, Kakang?"

"Pendekar Pulau Neraka selalu membuat teror untuk

melemahkan lawannya."


"Apa yang akan dia lakukan?"

"Entahlah, tapi kau harus lebih berhati‐hati dan

jangan terpancing. Terutama sekali pada anakmu, aku

merasa Intan Delima akan diperalat untuk melemahkan

kepercayaanmu."

"Phuih! Cara apa itu? Pengecut!" dengus Adipati

Rakondah.

Adipati Rakondah terus bersungut‐sungut sambil

melangkah ke dalam istananya. Sementara Panglima

Bantaraji segera mengikutinya dari belakang. Dia yang

selama ini selalu mengikuti sepak terjang Pendekar

Pulau Neraka, sudah bisa mengetahui, kalau kejadian

barusan adalah merupakan suatu tanda akan datangnya

sebuah malapetaka di Kadipaten Jati Anom ini. Suatu

tanda sebagai lambang kematian bagi adik kandungnya!

***

Dua hari dilalui dengan cepat dan penuh ketegangan.

Sudah berapa kali Panglima Bantaraji memperingatkan

adiknya agar bisa mengendalikan diri dan jangan

terpancing Tapi rasanya sulit bagi Adipati Rakondah,

apalagi sekarang sikap Intan Delima padanya jadi lain.

Gadis itu tidak mau lagi berbicara padanya. Hatinya

sudah terluka menghadapi kenyataan pahit ini. Suatu

kenyataan yang tidak diduganya sama sekali.

Laki‐laki yang sangat dihormati dan dianggap yang

terbaik selama ini ternyata mempunyai masa lalu yang

sangat buruk. Masa lalu yang memalukan untuk

dikenang. Intan Delima benar‐benar kecewa. Luka yang

menggores hatinya begitu dalam, rasanya sulit untuk


disembuhkan lagi.

Hari ini adalah hari ketiga setelah terlontarnya

bintang sebagai tanda dimulainya suasana berselimut

maut. Dan selama tiga hari ini juga Intan Delima terus

mengurung diri di dalam kamarnya. Tidak ada seorang

pun yang diperbolehkan masuk. Pintu kamar itu selalu

tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Tapi sampai tiga

hari dilalui, belum ada tanda‐tanda kalau Pendekar

Pulau Neraka mulai melakukan tekanan.

"Intan...!" Adipati Rakondah memanggil sambil

mengetuk pintu kamar anaknya.

Tidak ada sahutan dari dalam. Adipati Rakondah

terus mengetuk pintu sambil memanggil‐manggil.

Mendadak perasaannya jadi tidak enak, karena dari

dalam kamar anaknya itu tidak terdengar suara sedikit

pun. Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung

mendobrak pintu kamar itu. Seketika tubuhnya melesat

masuk ke kamar bersamaan dengan hancurnya daun

pintu.

"Intan...!" seru Adipati Rakondah mulai cemas.

Tak ada seorang pun di dalam kamar itu. Buru‐buru

Adipati Rakondah berlari ke arah jendela yang terbuka

lebar. Dan kedua matanya langsung membeliak begitu

mendapati sebuah bintang yang berwarna keperakan,

dan bersegi enam tertancap pada dinding dekat jendela.

"Intan...!" teriak Adipati Rakondah panik.

Tentu saja suara gaduh itu mengundang beberapa

prajurit berdatangan. Begitu pula dengan Panglima

Bantaraji, dia langsung berlari masuk ke kamar.

"Ada apa...?!" tanya Panglima Bantaraji terkejut.

Adipati Rakondah tidak menjawab. Dia hanya


terduduk lemas di tepi tempat tidur yang berantakan.

Matanya beredar berkeliling. Keadaan kamar itu seperti

baru saja terjadi pertarungan. Tampak pecahan guci

berserakan di lantai. Dan meja kursi juga berantakan.

Panglima Bantaraji segera mencabut senjata yang

berbentuk bintang bersegi enam berwarna perak dari

dinding. Sejenak dia mengamati benda yang kini berada

di tangannya itu, lalu tatapannya beralih pada Adipati

Rakondah yang masih terduduk lemas di tepi pem‐

baringan.

"Cepat geledah seluruh pelosok kadipaten! Tanyai

semua orang!" perintah Panglima Bantaraji.

Dan tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit

yang berada di kamar itu langsung pergi melaksanakan

perintah itu. Sedangkan Panglima Bantaraji meng‐

hampiri adiknya dan ikut duduk di sampingnya. Tidak

sedikit pun Adipati Rakondah mengangkat kepalanya

Berbagai macam perasaan kini tengah berkecamuk di

dalam dadanya.

"Aku sudah peringatkan padamu, Adik Rakondah.

Sekarang semua sudah terjadi, dan kita hanya bisa

berharap agar Intan Delima bisa selamat dari maut,"

kata Panglima Bantaraji pelan.

"Ini semua memang salahku, Kakang. Seharusnya

aku tidak menceritakan semuanya...," keluh Adipati

Rakondah lirih.

Seketika Panglima Bantaraji menatap tajam pada

adiknya itu. Dia sepertinya tidak percaya dengan pen‐

dengarannya barusan.

"Adik Rakondah, apa yang kau katakan tadi?"  

"Maafkan aku, Kakang. Aku terpaksa menceritakan


semuanya pada Intan. Dan aku tidak menyangka kalau

akan begini jadinya."

Panglima Bantaraji bangkit dari duduknya. Kemudian

dia melangkah pelan‐pelan dengan kepala tertunduk.

Dan ketika sampai di ambang pintu, dia berbalik. Tepat

pada saat itu Adipati Rakondah tengah menatapnya.

Sejenak mereka saling berpandangan.

"Jadi itulah sebabnya Intan Delima mengurung diri di

kamar, Adik Rakondah?" Panglima Bantaraji ingin pen‐

jelasan.

"Ya," sahut Adipati Rakondah mendesah.  

"Hhh...!" Panglima Bantaraji menarik napas panjang.

Kemudian dia berbalik lagi.

"Kakang...," pelan suara Adipati Rakondah.  

"Ada apa lagi?" Panglima Bantaraji tidak berbalik

lagi.

"Terus terang, aku tidak tahu lagi, apa yang harus

kulakukan...?" keluh Adipati Rakondah.

Panglima Bantaraji tidak menjawab. Dia terus meng‐

ayunkan kakinya meninggalkan kamar itu. Dia sendiri

tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Sampai saat ini,

tindakan Pendekar Pulau Neraka memang sulit untuk

ditebak dan dimengerti. Tindakannya sangat ganjil!

Melakukan tekanan, membuat lawan jadi lemah

mentalnya dan kehilangan kepercayaan diri. Kemudian

muncul dengan didahului suatu tanda yang aneh dan

mengejutkan.

Panglima Bantaraji benar‐benar merasakan suatu

suasana yang membingungkan. Sepertinya dia tengah

berada pada satu lingkungan yang terkepung oleh

makhluk‐makhluk haus darah. Kini keadaannya benar‐


benar seperti di dalam neraka. Apa pun yang dilakukan,

sepertinya Pendekar Pulau Neraka bisa mengetahui,

dan menciptakan neraka baru yang lebih mengerikan

dan menyakitkan.

***


5

Benarkah Intan Delima telah diculik oleh Pendekar

Pulau Neraka?

Sebenarnya, Intan Delima memang sengaja mening‐

galkan istana kadipaten Dia pergi dengan membawa

kehancuran dan rasa kecewa yang sangat dalam di

hatinya. Kepergian gadis itu diketahui oleh Bayu si

Pendekar Pulau Neraka, yang selalu mengamati suasana

di sekitar Istana Kadipaten Jati Anom. Kemudian dia

memanfaatkan kesempatan itu dengan menyusup ke

dalam kamar gadis itu, dan membuatnya seolah‐olah

seperti telah terjadi pertarungan dengan meninggalkan

sebuah bintang keperakan bersegi enam.

Lalu, ke mana sebenarnya Intan Delima pergi? Tak

ada seorang pun yang tahu, kecuali Bayu. Sekarang

Intan Delima berada di sebuah goa kecil di Lereng

Gunung Panjaran. Setiap waktu dihabiskannya di dalam

goa. Dan dia baru ke luar dari dalam goa kalau me‐

rasakan perutnya lapar. Rasa kecewa yang dalam

terhadap ayahnya telah membuat gadis itu seperti ingin

menghilang dari dunia ramai.

Pagi itu Intan Delima baru saja ke luar dari mulut goa

tempatnya mengasingkan diri. Langkah kakinya

langsung terhenti ketika tiba‐tiba di depannya sudah

berdiri seorang laki‐laki muda berwajah tampan dengan

tubuh tinggi tegap. Laki‐laki itu mengenakan baju dari

kulit harimau. Kedua tangannya melipat di depan dada.

"Mau apa kau datang ke sini?" ketus suara Intan


Delima.

Pemuda gagah itu hanya tersenyum saja, kemudian

dia melangkah mendekati. Dan dengan enak dia lalu

duduk di atas akar pohon yang menyembul dari dalam

tanah. Sedangkan Intan Delima hanya memandanginya

saja dengan wajah tidak menunjukkan persahabatan.

"Terus terang, aku heran denganmu. Keadaan

Kadipaten Jati Anom kini sedang kacau, kau malah enak‐

enakan menyendiri di sini," kata pemuda itu kalem.

Sepertinya dia tidak tahu‐menahu dengan suasana yang

ditimbulkannya.

"Itu semua gara‐gara kau!" bentak Intan Delima.

"Tidak juga, kalau ayahmu tidak membuat persoalan

lebih dulu," pemuda itu mengelak.

"Jangan bersilat lidah! Katakan saja terus terang, apa

maumu datang ke sini?"

"Hanya ingin melihatmu."

"Huh!" Intan Delima mencibirkan bibirnya seraya

memalingkan wajahnya.

Namun dia merasakan wajahnya jadi panas. Kata‐

kata yang meluncur dari mulut pemuda gagah itu

membuat jantungnya seperti berhenti berdetak. Intan

Delima tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dia

sudah terpikat sejak pertemuannya yang pertama kali di

Hutan Naga. Rasa simpatinya semakin menebal setelah

mengetahui persoalan dan kemelut hidup pemuda yang

bernama Bayu itu. Tapi kalau mengingat persoalan yang

sedang terjadi antara Bayu dengan Adipati Rakondah,

Intan Delima seperti terjepit pada dua sisi yang

menyulitkan

Di satu pihak, dia begitu menyayangi dan mencintai


ayahnya. Meskipun hatinya sempat terluka dan kecewa.

Dan di pihak lain, hatinya sudah terukir suatu kata‐kata

yang sulit untuk dihapuskan kembali. Kini Intan Delima

tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Rasanya tidak

mungkin lagi dia untuk membujuk Bayu agar me‐

madamkan api dendamnya. Dia bisa mengerti dan

memahami dendam yang sudah bersemayam kuat di

dalam dada pemuda itu Tapi dia juga tidak mungkin

berdiam diri melihat nyawa ayahnya terancam oleh

Pendekar Pulau Neraka ini.

"Adik Intan...," lembut suara Bayu.  

"He! Kau..., kau memanggilku adik...?!" Intan Delima

terperangah setengah tidak percaya. Dia sampai ber‐

balik dan menatap tajam ke bola mata pemuda itu,

namun cepat‐cepat dialihkan pandangannya ke arah

lain.

"Kenapa? Apakah aku tidak pantas menyebutmu

adik?"

"Tidak! Eh..., boleh..., boleh," Intan Delima jadi

gugup.

"Antara aku dan ayahmu memang saling ber‐

musuhan, tapi aku tidak mau kau ikut memusuhiku. Di

dunia ini aku hidup sendiri, tanpa teman dan kerabat.

Semua orang memandangku dengan benci, sepertinya

kehadiranku hanya akan menimbulkan malapetaka saja.

Yah..., mungkin memang sudah takdirku harus hidup

sendiri tanpa seorang pun yang mau menjadi teman

bicara," Bayu mengeluh.

Kata‐kata Bayu yang bernada keluhan itu membuat

hati Intan Delima tergerak. Dia kemudian kembali

menatap dalam ke bola mata pemuda itu, seakan‐akan


ingin mencari kebenaran pada sinar matanya. Dan gadis

itu sedikit tersentak begitu melihat sepasang bola mata

itu berkaca‐kaca. Dan tanpa sadar, dia segera meng‐

hampiri dan berlutut di depannya.

"Kau benar‐benar cantik, Adik Intan. Aku memang

seorang yang tidak tahu diri, terlalu banyak berharap

untuk bisa berteman denganmu. Terlalu jauh per‐

bedaan yang ada, terlalu dalam jurang pemisah di

antara kita. Maaf, tidak seharusnya aku berharap bisa

berteman denganmu," pelan dan lirih suara Bayu.

Intan Delima tidak lagi bisa berkata‐kata. Sebenarnya

banyak yang ingin dia ucapkan, tapi tenggorokannya

serasa tersekat, sulit untuk mengucapkan satu kata pun.

Hanya sinar matanya saja yang memberikan banyak

perasaan yang tak bisa dilukiskan.

Pelahan‐lahan Bayu bangkit seraya mendesah

panjang. Kemudian kakinya terayun pelan meninggalkan

gadis itu. Sementara Intan Delima juga ikut berdiri.

Rasanya dia ingin ikut melangkah, tapi kakinya seperti

terpaku, sulit untuk digerakkan.

"Kakang...," ke luar satu kata dari bibirnya yang

bergetar.

Bayu segera menghentikan langkahnya. Dia mem‐

balikkan tubuhnya dan menghadap pada gadis itu.

Sesaat mereka hanya berdiam diri saling tatap. Namun

teriihat kepala pemuda itu rnenggeleng‐geleng lemah,

dan tanpa berkata apa‐apa lagi, tubuhnya langsung

melenting cepat dan lenyap ditelan oleh lebatnya

pepohonan di Lereng Gunung Panjaran itu.

"Oh.... Kasihan kau, Kakang. Ternyata nasibmu lebih

buruk dariku," desah Intan Delima lirih.


Gadis itu tetap berdiri terpaku dengan pandangan

mata lurus ke arah kepergian Pendekar Pulau Neraka.

Lama juga Intan Delima berdiri di depan goa. Hingga

sampai matahari berada tepat di atas kepala, baru dia

melangkah meninggalkan tempat itu. Perutnya sudah

berkeruyuk minta diisi. Kemudian Intan Delima ber‐lalan

gontai menembus kelebatan hutan di Lereng Gunung

Panjaran.

***

Sementara itu suasana di Kadipaten Jati Anom

semakin tidak menentu. Di seluruh pelosok kota,

penjagaan semakin ditingkatkan. Namun sampai saat ini

tidak ada yang bisa mengetahui tempat persembunyian

Pendekar Pulau Neraka. Dan keadaan semakin ber‐

tambah parah, ketika satu persatu para prajurit yang

didatangkan dari kerajaan, tewas dengan dada ter‐

tembus senjata yang berbentuk bintang perak bersegi

enam. Hal itu tentu saja makin membuat Adipati

Rakondah dan Panglima Bantaraji kalang‐kabut.

Lebih‐lebih Adipati Rakondah, kepercayaan pada

dirinya sendiri semakin goyah. Emosinya sudah tidak

terkontrol lagi. Perang urat syaraf yang ditimbulkan

oleh sepak‐terjang Pendekar Pulau Neraka benar‐benar

telah membuat Adipati Rakondah dan Panglima

Bantaraji seperti kehilangan diri.

"Gila! Ini benar benar gila!" geram Adipati Rakondah

ketika pagi itu dia mendapat laporan bahwa seluruh

kuda‐kuda di istal hilang.

Adipati Rakondah yang selalu didampingi kakaknya,


Panglima Bantaraji segera melihat istal yang sudah

kosong tanpa seekor kuda pun di dalamnya. Dia

langsung menggerutu sendiri, mencaci‐maki tidak

karuan! Perang urat syaraf yang dilontarkan Pendekar

Pulau Neraka benar‐benar menyakitkan. Setegar apa

pun jiwa seseorang, pasti akan rapuh juga jika terus‐

menerus dilanda teror tanpa mampu untuk berbuat

sesuatu.

"Kendalikan dirimu, Adik Rakondah," kata Panglima

Bantaraji berusaha menenangkan, padahal di dalam

dadanya sendiri juga bergemuruh.

"Bagaimana aku bisa tenang, Kakang. Dia sudah

mengambil anakku, kemudian disusul dengan tewasnya

sebagian prajurit‐prajurit kita! Sedangkan apa yang

sudah kita lakukan? Diam...! Diam terus!" Adipati

Rakondah jadi semakin berang.

"Lalu apa yang akan kau lakukan? Mengobrak‐abrik

seluruh kadipaten?" Panglima Bantaraji juga jadi gusar.

"Aku akan mencari sendiri bajingan itu!"

"Rakondah...!"

Peringatan Panglima Bantaraji tidak digubris lagi.

Adipati Rakondah bergegas meninggalkan istal yang

sudah kosong itu. Hatinya benar‐benar panas, tidak

tahan lagi menghadapi tekanan yang datang secara

beruntun. Rasanya tidak ada lagi yang bisa dia lakukan,

selain mencari pendekar itu dan menantangnya untuk

bertarung sampai salah satu di antara mereka ada yang

tewas!    

"Rakondah!" Panglima Bantaraji menyentakkan bahu

adiknya hingga adipati itu berbalik dan meng‐

hadangnya.


Sejenak Adipati Rakondah menatap tajam pada

kakaknya itu. Kini mereka tidak peduli lagi dengan

jabatan yang disandang masing‐masing. Mereka terus

saling tatap dengan tajam, seperti dua orang musuh

yang sudah siap mengadu nyawa.

"Bagaimanapun juga kau harus bisa mengendalikan

diri, Adik Rakondah. Aku sudah menyebarkan puluhan

telik sandi terpercaya untuk menemukan tempat per‐

sembunyian Pendekar Pulau Neraka," kata Panglima

Bantaraji terus berusaha menenangkan adiknya.

"Percuma, Kakang. Lebih baik segera kau tarik

kembali para prajuritmu untuk pulang. Aku tidak mau

lagi lebih banyak korban berjatuhan," sahut Adipati

Rakondah bernada putus asa.

"Kau sepertinya tidak mempercayai kemampuanku,

Rakondah."

"Maaf, Kakang. Pendekar itu hanya menginginkan

diriku. Rasanya sia‐sia saja meskipun kau datangkan

seluruh prajurit pilihan kerajaan. Dia sangat licik dan

punya siasat yang kejam. Maaf, aku harus segera meng‐

ambil tindakan sebelum terlambat," tegas kata‐kata

Adipati Rakondah.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Panglima

Bantaraji.

"Mengosongkan istana."

"Gila! Apa kau mau bunuh diri, Rakondah? Pendekar

Pulau Neraka sukar dicari tandingannya. Kita berdua

saja belum tentu mampu menghadapinya!' Panglima

Bantaraji terkejut setengah mati.

"Tapi itu lebih‐baik. Kakang. Daripada semakin

banyak orang yang tidak berdosa tewas di tangannya,


Aku akan semakin merasa berdosa jika membiarkan

orang‐orang tidak berdosa ikut tewas karena membela

ku. "

"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri,

Rakondah. Ingat, masih ada aku, masih banyak sahabat‐

sahabat kita yang memiliki ilmu tinggi. Kalau kita mau

menghubungi, mereka pasti mau membantumu," kata

Panglima Bantaraji.

Adipati Rakondah segera menggeleng‐gelengkan

kepalanya.

"Sudah terlambat, Kakang. Rasanya tidak ada lagi

yang harus jadi korban. Kini semuanya benar‐benar

sudah terlambat. Hidup pun tidak ada gunanya lagi

bagiku. Terima kasih, kau telah berkorban banyak untuk

membelaku, Kakang. Sebaiknya kau segera kembali saja

ke kerajaan, dan bawa semua prajuritmu," kata Adipati

Rakondah tetap pada pendiriannya.

"Adik Rakondah..."

"Maaf, aku tidak bisa lagi menerima bantuanmu.

terima kasih, Kakang," tegas kata‐kata Adipati

Rakondah.

Panglima Bantaraji tidak bisa lagi menahan kepergian

adiknya. Dia sudah tahu betul akan watak adiknya itu.

Keras dan teguh pada pendiriannya! Ada rasa ke‐

kaguman pada hatinya melihat sikap adiknya yang

berjiwa ksatria itu. Benar benar sudah jauh berbeda

lengan masa‐masa lalunya. Kini Panglima Bantaraji

hanya bisa memandangi Adipati Rakondah yang me‐

langkah gontai menuju istana.

"Kasihan kau, Adikku," desah Panglima Bantaraji

pelan. "Kau harus menanggung semua akibat per‐


buatanmu sendiri."

Dan dengan langkah pelan, Panglima Bantaraji juga

meninggalkan halaman depan istal yang sepi itu.

Tampak pengurus kuda tengah duduk melamun di

samping pintu istal Kini tidak ada lagi yang bisa dia

kerjakan. Semua kuda kuda telah lenyap semalam,

tanpa sisa satu ekor pun. Suatu kejadian yang aneh, dan

baru pertama kali terjadi. Semua orang seperti kena

sirep, tidur lelap dan tidak mendengar suara apa pun.

***

Meskipun sudah berkali‐kali disuruh pulang, tapi

Panglima Bantaraji tetap tidak mau meninggalkan

Kadipaten Jati Anom. Bagaimanapun juga, dia tidak tega

untuk meninggalkan adik kandung satu‐satunya meng‐

hadapi maut seorang diri. Meskipun sudah jelas bahwa

adiknya yang bersalah!

Adipati Rakondah sendiri kini sudah mengosongkan

istananya. Semua pelayan dan abdi setianya sudah

disuruh meninggalkan istana. Bahkan para pejabat

kadipaten tidak diperbolehkan datang lagi. Tidak ada

seorang pun yang berani membantah, mereka seperti

sudah mengerti dengan semua persoalan yang sedang

dihadapi junjungannya itu. Sekarang yang masih tinggal

di lingkungan Istana Kadipaten, hanya Adipati Rakondah

sendiri dengan Panglima Bantaraji dan dua puluh orang

prajurit pilihan dari kerajaan. Suasana di istana

kadipaten benar benar sudah sunyi. Suatu kesunyian

yang mencekam dan berselimut maut!

Sejak sore, Adipati Rakondah duduk merenung di


beranda depan istananya. Di sampingnya duduk pula

Panglima Bantaraji. Sementara empat orang prajurit

yang bersenjata pedang di pinggang berdiri di belakang

mereka. Tak ada yang bicara sedikit pun sejak senja

tadi. Masing‐masing sibuk dengan pikirannya. Sedang‐

kan di bagian halaman depan, tampak enam belas

prajurit berjaga‐jaga dengan senjata yang sudah ter‐

hunus di tangan.

"Huh! Seperti sedang menunggu mati saja!" dengus

Panglima Bantaraji mengeluh.

Sejenak Adipati Rakondah menoleh dan memandang

sayu pada kakaknya.

"Sudah dua malam kita duduk di sini. Mau sampai

kapan lagi begini terus...?" lagi‐lagi Panglima Bantaraji

mengeluh.

"Jangan mengeluh terus, Kakang. Aku sudah me‐

mintamu untuk meninggalkan Kadipaten Jati Anom,"

rungut Adipati Rakondah

"Meninggalkanmu sendirian dicincang”

"Kalaupun aku harus mati, ini adalah kesempatanku

untuk mati secara ksatria, Kakang."

Kini Panglima Bantaraji menatap tajam pada adiknya.

Selama ini dia belum pernah mendengar kata‐kata

seperti itu ke luar dari mulut adiknya itu. Dia seperti

tidak percaya, bahwa adiknya yang selama ini berada di

jalan hitam sudah benar‐benar berubah. Apakah Adipati

Rakondah sudah putus asa? Atau memang dia sudah

bertobat dan ingin menebus segala dosa‐dosanya di

masa lalu? Tidak ada seorang pun yang tahu!

Sementara malam terus merayap semakin larut.

Kedua. bersaudara itu terus berbincang‐bincang


mengenang kembali masa masa lalu. Di mana mereka

terkenal sebagai tokoh yang sangat disegani di rimba

persilatan, dengan julukan Sepasang Gagak Hitam dari

Utara. Dan meskipun mereka selalu bersama‐sama

mengarungi keganasan rimba persilatan, namun watak

dan tindakan mereka selalu bertentangan. Yang satu

selalu mementingkan orang lain dan membela

kebenaran, sedangkan satunya lagi selalu bertindak

sangat bertentangan, namun anehnya mereka bisa ber‐

satu seiring sejalan. Hal itu tentu saja membuat tokoh‐

tokoh sakti rimba persilatan jadi bingung menentukan

mereka berada dalam golongan mana.

Satu hari mereka memberantas kejahatan bersama‐

sama, tapi pada hari berikutnya mereka bisa bentrok

dengan pendekar golongan putih. Mereka berdua

memang bisa saling bantu dan mendukung satu sama

lainnya, tapi untuk kepentingan pribadi tidak mau saling

mencampuri.

"Kakang, awas...!" tiba‐tiba Adipati Rakondah

berseru nyaring sambil melompat dan menubruk

kakaknya.

Dan pada saat yang bersamaan, secercah cahaya

keperakan meluncur deras bagai kilat. Kakak beradik itu

jatuh bergulingan, dan sinar keperakan itu langsung

menghantam seorang prajurit yang tengah berdiri tepat

di belakang Panglima Bantaraji. Jeritan melengking

terdengar disusul dengan ambruknya prajurit itu.

Panglima Bantaraji bergegas melompat dan meng‐

hampiri prajurit yang malang itu. Dan kemudian dia

segera mencabut benda berbentuk bintang berwarna

keperakan dari dada prajurit itu.


Wut, wut, wut...!

Belum lagi rasa terkejut mereka hilang, tiba‐tiba tiga

buah benda bercahaya keperakan kembali meluncur

dan menancap berjajar pada daun pintu. Seketika

Adipati Rakondah dan Paglima Bantaraji melompat

begitu mereka melihat berkelebatnya sebuah bayangan

melompati tembok.

"Hey! Berhenti...!" seru Adipati Rakondah lantang.

Namun begitu kakinya hinggap di atas tembok

benteng yang tinggi dan tebal, bayangan itu sudah

lenyap tak berbekas. Sejenak Adipati Rakondah meng‐

edarkan pandangannya berkeliling, menembus ke‐

gelapan malam. Sedangkan Panglima Bantaraji tetap

menunggu di bawah.

"Huh! Sial...!" rutuk Adipati Rakondah menggeram

seraya meluncur ke bawah.

Dan dengan manis sekali kakinya segera hinggap di

tanah, tepat di depan Panglima Bantaraji. Tampak di

beranda depan, dua orang prajurit tengah menggotong

seorang prajurit yang tewas tertembus bintang perak

bersegi enam. Sesaat Adipati Rakondah dan Panglima

Bantaraji saling berpandangan.

"Apa maksudnya dia mengirimkan senjata itu,

Kakang?" tanya Adipati Rakondah tetap memandang ke

bola mata kakaknya.

"Hari penentuan," sahut Panglima Bantaraji setengah

mendesah.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang?"  

"Berapa yang dia lemparkan?" Panglima Bantaraji

malah balik bertanya.

"Empat, dan satu berhasil menewaskan seorang


prajuritmu," sahut Adipati Rakondah.

"Berarti tiga buah, dan itu tandanya tiga hari lagi dia

akan datang menantangmu. Satu lontaran yang

pertama tadi merupakan peringatan," Panglima

Bantaraji menjelaskan.

Adipati Rakondah segera terdiam mendengar pen‐

jelasan itu. Dan dengan kepala tertunduk lesu, dia me‐

langkah kembali ke beranda depan istananya.

Sementara Panglima Bantaraji segera mengatur sisa

para prajuritnya untuk tetap berjaga‐jaga dari segala

mungkinan yang ada.

***

Tanpa seorang pun yang mengetahui, sesosok tubuh

berada di kerimbunan pepohonan yang tidak jauh dari

benteng bagian Barat Istana Kadipaten Jati Anom.

Sepasang matanya yang bening bercahaya, menatap

tajam mengawasi sekitar bangunan besar dan megah

itu. Dan tatapannya langsung terpaku pada seorang laki‐

laki setengah baya yang mengenakan pakaian indah

seorang panglima.

Sosok tubuh itu terus mengamati setiap gerak‐gerik

Panglima Bantaraji. Tampak Panglima Bantaraji me‐

langkah menuju ke bagian belakang bangunan megah

itu. Tak ada seorang prajurit pun yang terlihat di sana.

Semua prajurit dikhususkan untuk menjaga bagian

depan.

Beberapa saat kemudian, sosok tubuh itu melenting

ringan ke bawah tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Lalu kembali dia melentingkan tubuhnya, dan hinggap di


atas atap. Dan hanya dengan menginjakkan sedikit

ujung jari kakinya, sosok tubuh itu meluruk turun dan

langsung  mendarat di depan Panglima Bantaraji!

"Heh!" Panglima Bantaraji terkejut, langsung

melompat mundur dua tindak.

Sosok tubuh itu ternyata seorang pemuda gagah

berwajah tampan. Badannya yang tegap berisi,

teringkus baju dari kulit harimau. Tangannya tampak

melipat di depan dada. Tampak di pergelangan tangan

kanannya menempel sebuah lempengan logam yang

berwarna keperakan. Benda itu berkilauan tertimpa

oleh cahaya bulan yang mengintip dari balik awan

hitam. Tatapan matanya tajam menembus langsung ke

bola mata Panglima Bantaraji.

"Pendekar Pulau Neraka ," desis Panglima Bantaraji.

"Kau pasti Panglima Bantaraji," dingin dan datar

suara pemuda gagah itu yang ternyata adalah Bayu si

Pendekar Pulau Neraka.

"Benar! Akulah Panglima Bantaraji!" sahut Panglima

Bantaraji sudah bisa mengendalikan dirinya dengan

tenang.

"Di antara kita tidak pernah punya persoalan. Maka

aku minta padamu, agar jangan mencampuri urusanku,

Panglima Bantaraji," tegas kata‐kata Bayu.

"Aku sudah tahu persoalan yang kau bawa ke sini,

tapi kau juga harus tahu, bahwa antara aku dan Adipati

Rakondah tidak dapat dipisahkan. Kami adalah dua

bersaudara yang berjuluk Sepasang Gagak Hitam dari

Utara!" tegas juga jawaban Panglima Bantaraji.

"Hm..., mereka memang benar. Aku tidak mungkin

bisa memberi peringatan padamu," gumam Bayu.


"Apa yang kau katakan, Pendekar Pulau Neraka?"  

"Ketahuilah, Panglima Bantaraji. Sebagian prajurit

Kadipaten Jati Anom ini masih sayang pada nyawanya.

Dan mereka mau menuruti kehendakmu. Tapi prajurit‐

prajurit yang kau bawa itu sikapnya tidak jauh berbeda

denganmu. Keras kepala! Maaf aku harus menyingkir‐

kan semua yang menjadi penghalangku!"

"Jadi...?!" Panglima Bantaraji terperangah.

"Tidak satu pun penduduk maupun prajurit

kadipaten yang berpihak lagi pada Adipati Rakondah.

Mereka semua sudah tahu, siapa sebenarnya manusia

iblis yang berkedok adipati itu!"

"Pengecut! Kau hasut mereka untuk memberontak,

heh!" geram Panglima Bantaraji.

"Mereka manusia‐manusia yang masih mempunyai

pikiran wajar, Panglima. Mereka tidak akan mem‐

berontak, mereka telah menyerahkan segalanya pada‐

ku. Dan mereka menyesal telah mengabdi pada

manusia iblis itu. Nah, Panglima Bantaraji. Kalau kau

masih punya otak waras, ikuti jejak mereka. Sedangkan

anaknya sendiri tidak mau lagi bertemu dia!"

"Keparat...! Tidak kusangka, nama Pendekar Pulau

Neraka yang begitu terkenal ternyata seorang manusia

pengecut dan licik!"

"Tidak jauh berbeda dengan cara kalian memperoleh

jabatan, Panglima. Kau dan adikmu juga menggunakan

akal licik dan pengecut. Menjilat Gusti Prabu, dan

menyingkirkan orang‐orang yang tidak menyukai kalian

dengan cara kotor dan keji!"

"Heh...!" Panglima Bantaraji tersentak kaget. Benar‐

benar di luar dugaan, kalau pemuda gagah yang


kondang namanya ini mengetahui seluruhnya tentang

kehidupan masa lalu diri mereka. Kini Panglima

Bantaraji benar‐benar dibuat tidak berkutik lagi.

Kedoknya sudah terbuka lebar di hadapan pemuda ini.

"Panglima, sekali lagi aku memintamu untuk tidak

ikut campur, karena aku sudah tahu siapa kau. Jika kau

mau menuruti kata‐kataku, hidupmu akan bisa lebih

panjang lagi, dan kau bisa tenang berada di keraton

memimpin ribuan prajurit," kata Bayu lagi.

"Phuih! Kau bocah kemarin sore berani mengatur‐

ku!" dengus Panglima Bantaraji.

Bagi Panglima Bantaraji, memang tidak ada pilihan

lagi. Dia sudah kepalang basah, dan tidak akan mundur

setapak pun juga, meskipun nyawa sebagai taruhannya.

Lagi pula, dia memang tidak mungkin meninggalkan

adiknya menantang maut seorang diri. Mereka sudah

dikenal sebagai sepasang tokoh yang tangguh, dan

sudah kenyang mengenyam pahit getirnya kehidupan

rimba persilatan selama puluhan tahun.

"Hm..., rupanya benar kata mereka, kau benar‐benar

seorang yang keras kepala! Sebenarnya aku enggan

berhadapan denganmu, Panglima. Tapi karena kau

memaksaku juga, apa boleh buat, kita terpaksa bertemu

dalam arena pertarungan nanti."

Setelah berkata begitu, Bayu langsung melentingkan

tubuhnya bagai kilat meninggalkan tampat itu.

"Hey, tunggu ..!" sentak Panglima Bantaraji.

Namun begitu Panglima Bantaraji menggenjot

tubuhnya, bayangan Pendekar Pulau Neraka itu sudah

tidak terlihat lagi. Pendekar itu bagaikan hilang ditelan

kepekatan malam. Sementara Panglima Bantaraji hanya



bisa mengeluh pendek, dan tidak jadi mengejar. Malam

terus merayap semakin larut, suasana di Kadipaten Jati

Anom benar‐benar sepi. Tak ada seorang penduduk pun

yang terlihat berada di luar rumah. Mereka semua

sudah mengetahui persoalan yang kini sedang dihadapi

oleh Adipati Rakondah, dan mereka juga sudah

mengetahui, siapa sebenarnya adipati itu. Hal ini semua

karena pekerjaan Pendekar Pula Neraka.

Meskipun segala tindakannya dapat dikatakan

kejam, namun kekejaman itu hanya ditujukan pada

orang‐orang yang    memang    harus diberi tindakan

begitu. Pendekar Pulau Neraka tidak akan pernah

melukai atau menyakiti orang yang tidak mempunyai

urusan dengannya, kecuali mereka yang benar‐benar

keras kepala dan menghalangi tindakannya.

"Benar‐benar hebat dia. Aku jadi sangsi, apakah

mampu untuk menandinginya...?" desah Panglima

Bantaraji bimbang.

Panglima Bantaraji kemudian melangkah pelan

memasuki bangunan istana Kadipatan Jati Anom itu. Di

benaknya terus berputar dan dipenuhi oleh kata‐kata

Pendekar Pulau Neraka barusan. Dalam hati kecilnya,

dia tidak membantah kalau kata‐kata pemuda itu

memang benar. Selama hidupnya, dia memang berada

di jalur yang tidak bisa ditentukan. Dia sendiri

sebenarnya tidak pernah menyetujui dan membenarkan

tindakan adiknya, tapi mengingat Adipati Rakondah

adalah adik kandung satu‐satunya, dia tidak bisa

meninggalkannya begitu saja!

Dan sekarang mereka sedang menghadapi suatu

persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Lawan


mereka kali, ini bukan lawan sembarangan. Dia ialah

seorang pendekar yang selalu bertindak kejam!

Mengingat semua itu, Panglima Bantaraji jadi bergidik.

Dia jadi ingat akan nasib yang telah dialami Jantara, si

Tongkat Samber Nyawa. Kedua kakinya dibuntungi dan

matanya dibutakan, persis seperti ketika Jantara

nembuntungi dan membutakan Gardika.

"Hhh..., apakah Adik Rakondah juga akan dicincang

seperti dia mencincang Dewa Pedang...?" kembali

Panglima Bantaraji mendesah lirih.

***


6

Pagi hari itu di Lereng Gunung Panjaran, Intan Delima

tengah duduk merenung di atas akar sebuah pohon

besar yang menyembul dari dalam tanah. Jari‐jari

tangannya yang lentik dan halus menyentil‐nyentilkan

batu kerikil ke sungai kecil di depannya. Wajahnya

kelihatan murung, dan sinar matanya redup menatap

lurus ke arah sungai kecil yang berair jernih depannya.

Gadis itu sama sekali tidak menyadari kalau sejak

tadi ada sepasang mata yang memperhatikannya.

Sepasang mata yang bening itu memancarkan cahaya

penuh ketegasan dan kekerasan hati. Pelahan‐lahan

pemilik sepasang mata itu menghampirinya. Mendadak

gadis itu tersentak begitu mendengar suara batuk

keluar dari belakangnya. Dia langsung menoleh, dan

menggeser duduknya begitu melihat pemuda gagah

suda berdiri di belakangnya. Pemuda itu kemudian

mengambil tempat, dan duduk di rerumputan di depan

Inta Delima.

"Sudah tiga hari ini kau kelihatan murung. Ada apa,

Adik Intan?" tanya pemuda gagah itu. Suaranya lembut,

dan sinar matanya juga lembut menata langsung ke

bola mata gadis itu.

"Entahlah, Kakang Bayu. Aku sendiri tidak tahu,”

sahut Intan Delima mendesah lirih.

"Kau rindu dengan ayahmu?" tebak Bayu.

Intan Delima tidak langsung menjawab. Dia hanya

menatap pemuda itu dengan sinar mata yang sulit


untuk diartikan. Sebenarnya dia memang rindu dengan

ayahnya, tapi mengingat kekecewaan hatinya yang

sudah demikian mendalam, kerinduannya itu pupus.

Dan Intan Delima membiarkan saja ketika tangan Bayu

mulai menggenggam tangannya. Dia juga tak bergeming

saat pemuda itu pindah duduk di sampingnya.

"Maafkan aku, Intan Seharusnya kita tidak bertemu

dalam suasana seperti ini," lembut suara Bayu.

"Kakang...," suara Intan Delima terputus. Kepalanya

tampak menggeleng‐geleng lemah. Sedangkan tatapan

matanya mengandung sejuta kata‐kata yang sulit untuk

diucapkan.

"Kau ingin mengatakan sesuatu, Intan? Katakanlah,

apa pun yang akan kau katakan, aku akan men‐

dengarkan," kata Bayu tetap lembut.

"Kau tidak akan marah?"

Bayu menggeleng dan tersenyum manis.

"Juga tidak akan membenciku?"

Tidak ada alasan untuk membencimu, Intan."

"Kakang, aku. , aku...," Intan Delima sepertinya sulit

untuk berkata. Pelahan‐lahan dia kemudian menunduk‐

kan kepalanya.

Sementara Bayu terus memperhatikan wajah gadis

itu. Dan dengan pelahan‐lahan dia lalu mengangkat

kepala Intan Delima dengan ujung jarinya. Sesaat

mereka saling bertatapan.  Tanpa kata,  tanpa suara!

Mereka terus bertatapan dengan sejuta kata yang

terpancar dari sinar mata. Pelahan‐lahan sekali Bayu

mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Napasnya

yang hangat menerpa langsung membuat paras wajah

Intan Delima bersemu merah dadu.


Namun belum sempat gadis itu menyadari apa yang

akan dilakukan Bayu, mendadak tubuhnya menggeletar

bagi tersengat ribuan lebah. Intan Delima merasakan

tubuhnya seperti melayang, jauh menembus mega.

Napasnya pun jadi terasa sesak, sedangkan dadanya

berdebar keras bagai genderang yang dipukul bertalu‐

talu. Bibirnya bergetar hebat dalam kuluman bibir Bayu

Hanggara.

Intan Delima langsung menundukkan kepalanya

begitu Bayu melepaskan pagutannya. Merah sudah

seluruh wajahnya. Berbagai perasaan kini berkecamuk

di dalam dadanya. Entah dia menyukai semua itu, atau

malah membencinya. Belum pernah sekali pun dia  

melakukan hal itu. Namun Intan Delima seolah ingin

merasakannya lagi, dan lagi! Pagutan Pendekar Pulau

Neraka itu benar‐benar menghanyutkan. Indah, dan...

Ah!

"Kau cantik sekali, Intan...," bisik Bayu lembut dan

lirih di telinga Intan Delima.

"Kakang...," desah Intan Delima tidak mampu lagi

untuk mengatakan sesuatu.

Kembali Intan Delima tidak mampu menolak saat

tangan yang kekar itu merengkuh dan memeluknya

dengan erat. Gadis itu hanya mampu mendesah dan

mengeluh lirih. Kepalanya menengadah ke atas dengan

mata yang terpejam. Bibirnya dia gigit sekuat‐kuatnya

menahan sesuatu yang begitu kuat mendesak dirinya.

Ciuman‐ciuman yang hangat di lehernya benar‐benar

telah membuat gadis itu lupa diri.

"Oh, ahhh..., Kakang. ," desis Intan Delima lirih.

Gadis itu menggelinjangkan tubuhnya saat jari‐jenari


tangan Bayu mulai menjelajahi tubuhnya. Kembali gadis

itu tidak mampu menolak, saat Bayu membimbingnya

ke bawah sebuah pphon besar dan rindang. Intan

Delima menurut saja ketika dirinya dibaringkan di atas

rerumputan di bawah pohon rindang itu. Sementara

cahaya matahari pagi hanya mampu nengintip malu dari

balik kerimbunan daun.

Ciuman‐ciuman hangat, elusan lembut jari‐jari, dan

bisikan halus dari Pendekar Pulau Neraka membuat

Intan Delima bagai terbang ke suatu tempat indah yang

belum pernah dia datangi sebelumnya. Gadis itu hanya

bisa mengeluh dan merintih lirih dalam dekapan Bayu

Hanggara. Keangkuhan dan ketegarannya luruh hari itu

juga. Intan Delima bagaikan seekor anak ayam yang

pasrah berada di tangan serigala.

"Kakang, akh...!" pekikan tertahan terdengar. Ber‐

samaan dengan mengejangnya tubuh di dalam dekapan

Bayu.

"Ohhh..."

***

Intan Delima segera merapikan pakaiannya.

Wajahnya tampak pucat, dan setirik air bening

menggulir jatuh di pipinya yang putih kemerahan.

Sejenak melirik pada Bayu yang rebah di sampingnya.

Tampak keringat membasahi tubuh mereka. Bayu

mengangkat tubuhnya dan duduk di samping Intan

Delima. Dengan lembut dia kembali merengkuh tubuh

gadis itu ke dalam pelukannya.  

Kini Intan Delima tidak mampu lagi menahan air


matanya. Air bening langsung mengucur deras jatuh

menimpa dada Bayu yang masih telanjang. Sedangkan

pemuda itu hanya bisa memeluk dan mengusap‐usap

punggung Intan Delima yang terbuka. Pakaian gadis itu

belum seluruhnya rapi. Punggungnya masih terlihat

terbuka lebar, menampakkan kulit punggung yang putih

mulus tanpa cacat.

"Kau menyesal, Intan?" bisik Bayu lembut. Intan

Delima merenggangkan tubuhnya, dan bergegas

merapikan pakaiannya. Dan dengan punggung tangan‐

nya dia menghapus air mata yang membasahi pipinya.

Gadis itu tidak tahu lagi, apa yang harus dia katakan. Dia

juga tidak tahu, perasaan apa yang dialaminya saat ini.

Apakah dia bahagia? Sedih? Kehilangan? Atau....

Entahlah. Yang jelas semuanya sudah terjadi tanpa ada

paksaan. Penyesalan juga tidak ada gunanya lagi,

sesuatu yang sudah hilang tidak akan bisa kembali lagi.

Dan tanpa berkata sedikit pun, Intan Delima berdiri

dan berjalan meninggalkan pemuda itu. Sementara

Bayu juga bergegas mengenakan pakaiannya, lalu

bangkit dan mengejar gadis itu. Dia mensejajarkan

langkahnya di samping Intan Delima. Mereka terus

berjalan pelan‐pelan tanpa berkata‐kata.  

"Intan..."

Intan Delima menghentikan langkahnya. Dia

menoleh dan menatap langsung ke bola mata Bayu.

Bibirnya yang selalu merah, tampak bergetar. Sedang‐

kan sepasang bola matanya juga masih merembang,

namun tidak setitik pun air bening yang memenuhi

kelopak matanya itu jatuh.

"Maafkan aku, Intan. Seharusnya hal itu tidak perlu


terjadi," kata Bayu menyesaj.

"Kau harus menikahiku, Kakang. Kau harus menemui

ayahku, dan melamarku," kata Intan Delima agak

tersendat suaranya.

"Mustahil! Tidak mungkin, Intan. Masih banyak

pekerjaanku yang belum selesai. Lagi pula aku tidak

mungkin menarik kembali kata‐kataku! Aku sudah

memberikan waktu pertarungan. Aku atau ayahmu yang

harus mati!" kata Bayu mantap.

"Aku mencintaimu, Kakang. Dan aku tidak mau

kehilanganmu, juga ayahku. Hentikan semua dendam‐

mu, Kakang." Intan Delima setengah merengek.

Kini Bayu hanya bisa menggeleng‐gelengkan kepala‐

nya. Baginya tidak mungkin untuk mencabut kembali

ucapannya. Dia memang menyukai gadis itu, tapi

dendamnya pada ayah gadis itu tidak bisa dilupakan

begitu saja. Seperti apa pun rintangan yang meng‐

hadang, Bayu tetap bertekad untuk melaksanakan

dendam itu.

"Aku mohon padamu, Kakang. Kita bisa hidup tenang

dan bahagia, tanpa harus dibebani dengan segala

macam dendam. Aku bisa meminta pada Paman

Panglima Bantaraji agar kau diberi kedudukan yang

tinggi di kerajaan," bujuk Intan Delima. Bayu diam saja.

"Ayah pasti mau memaafkan dan menerimamu

Kakang. Aku yakin, Ayah pasti akan menyesali per‐

buatannya yang telah lalu," sambung Intan Delima tetap

membujuk.

"Maaf, Intan. Aku benar‐benar tidak bisa menuruti

permintaanmu. Hari pertarungan sudah ditentukan dan

aku sudah memberikan tanda sebagai lambang


kematian baginya!"" kata Bayu tegas.

"Kakang...!" suara Intan Delima tercekat.

"Jangan membujuk lagi, Intan," tegas kata‐ka Bayu.

Kini Intan Delima tidak kuasa lagi membendung air

matanya. Dan dia hanya bisa berdiri terpaku dengan

bibir bergetar. Sementara Bayu mulai melangkah

meninggalkannya. Pertentangan batin melanda di gadis

itu. Hatinya judah terpaut kuat oleh ketampanan dan

kegagahan pendekar muda itu, tapi dia juga mencintai

ayahnya. Tidak mungkin membiarkan ayahnya tewas di

tangan orang yang sudah menggoreskan tinta merah di

hatinya.

"Kakang...!" teriak Intan Delima memanggil.

Namun Bayu tetap melangkah meninggalkannya.

Sedikit pun dia tidak menoleh ke belakang. Buru‐buru

Intan Delima berlari mengejar sambil memanggil‐

manggil. Dia melewati Pendekar Pulau Neraka itu, dan

langsung berdiri menghadangnya. Di tangannya kini

sudah tergenggam sebilah pedang yang berkilat te

timpa cahaya matahari. Tentu saja Bayu tersentak

melihat Intan Delima telah menghunus pedangnya.

"Jangan main‐main, Intan. Masukkan kembali

pedangmu!" sentak Bayu keras.

"Tidak Bayu! Sebelum kau berjanji tidak akan

bertarung dengan ayahku, aku akan tetap menghadang‐

mu!" suara Intan Delima terdengar bergetar.

"Intan! Apa‐apaan kamu?" sentak Bayu.

"Aku mohon padamu, Kakang. Batalkan pertarungan

itu! Aku benar‐benar mencintaimu...," rengek Intan

Delima. Air matanya berderai tak terbendung lagi.

"Jangan main‐main, Intan. Masukkan kembali


pedangmu!"

"Tidak! Sebelum kau berjanji tidak akan bertarung

dengan ayahku!" suara Intan Delima agak bergetar.

"Mengertilah, Intan. Aku...."

"Kau tidak mencintaiku, Kakang?!" potong Intan

Delima cepat.

"Intan...," Bayu jadi kebingungan juga.

"Kau kejam, Kakang. Kau hanya bermaksud memper‐

mainkan aku!" tangis Intan Delima meledak Hatinya

benar‐benar serasa hancur begitu menyadari kalau

pemuda yang telah merenggut segala‐galanya itu tidak

mencintainya.

"Aku..., aku menyukaimu, Intan," suara Bayu me

lembut.

"Tidak! Kau hanya menginginkan tubuhku! Kau tidak

mencintaiku! Kau kejam, Kakang...! Kejam...!' Intan

Delima jadi histeris.   

"Intan...!"

Bayu tidak mampu lagi melanjutkan ucapannya.

Intan Delima sudah keburu mengibaskan pedangnya

dengan cepat. Untung saja Pendekar Pulau Neraka itu

cepat‐cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga

ujung pedang Intan Delima lewat beberapa helai

rambut di depan dadanya.

Dan belum lagi Bayu sempat menyadarkan gadis itu,

mendadak Intan Delima sudah kembali menyerangnya

dengan ganas. Tampaknya gadis itu sudah tidak bisa lagi

mengendalikan dirinya. Rasa kecewa yang bertumpuk

membuat jiwanya terguncang hebat. Baginya lebih baik

mati, atau pemuda itu tewas di tangannya daripada

hidup menanggung malu dan kekecewaan.



"Intan! Hentikan, dengarkan aku dulu..., uts!"

Buru‐buru Bayu menarik kepalanya ke belakang

begitu ujung pedang Intan Delima hampir membabat

!ehernya. Pendekar Pulau Neraka itu benar‐benar tidak

diberi kesempatan sama sekali. Jangankan untuk mem‐

balas menyerang, untuk bicara saja dia tidak punya

kesempatan lagi! Serangan‐serangan yang dilancarkan

Intan Delima benar‐benar dahsyat dan mengarah pada

bagian‐bagian tubuh yang mematikan. Rasa cinta,

kecewa dan marah telah menggulung dirinya menjadi

satu! Hilang sudah kelembutan dan kemanisan di

wajahnya yang kini memerah kaku bagai seekor singa

betina yang kehilangan anaknya.

"Huh! Gadis ini benar‐benar ingin membunuhku!"

keluh Bayu dalam hati.

Serangan‐serangan Intan Delima benar‐benar ber‐

bahaya, dan Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Begitu

pedang Intan Delima mejuruk deras ke arah dadanya,

dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu mengegoskan

tubuhnya ke samping, dan bagaikan seekor ular marah,

tangannya bergerak cepat menepuk punggung tangan

gadis itu.

"Akh!" Intan Delima memekik tertahan.

Tepukan yang disertai pengerahan tenaga dalam

tinggi itu membuat pegangan pedang gadis itu terlepas.

Dan tanpa dapat dicegah lagi, pedang bercah keperakan

itu meluncur dan menancap pada sebatang pohon

cemara.

Belum lagi Intan Delima menyadari apa yang terjadi,

satu totokan lembut sudah bersarang di pundak kirinya.

Dan disusul satu totokan lagi mendarat di dada kanan.


Maka tanpa ampun lagi gadis itu ambruk dengan tubuh

lemas tertotok jalan darahnya. Bayu segera memburu

dan berlutut di samping gadis itu.

"Intan...."

"Bunuhlah aku, Kakang. Ayo bunuhlah aku...!" jerit

Intan Delima histeris. Air matanya yang sudah kering

kembali mengalir deras.

"Maafkan aku Intan. Aku menyukaimu, tapi...."!

"Kau kejam, Kakang! Kejam...!" jerit Intan Delima

memotong cepat. Kepalanya menggeleng‐geleng.

Bayu menarik napas panjang. Kemudian jari‐jari

tangannya bergerak lembut ke beberapa bagian tubuh

Intan Delima. Setelah itu dia bangkit berdiri. Sejenak,

dipandanginya wajah gadis itu, kemudian melangkah

mundur. Intan Delima menatapnya tajam dengan sinar,

mata yang penuh dengan perasaan cinta, benci dan

kecewa yang bercampur menjadi satu.

"Sebentar lagi pengaruh totokanku hilang. Maaf, aku

harus segera pergi," kata Bayu dengan nada suara agak

tertahan.

Setelah berkata begitu, Bayu segera melompat pergi,

dan langsung lenyap ditelan kerimbunan pepohonan di

Lereng Gunung Panjaran ini. Memang benar, tidak lama

kemudian Intan Delima sudah bisa bangun lagi. Namun

dia masih terduduk lemas, dan menangis tersedu‐sedu.

Hancur sudah seluruh hatinya. Laki‐laki yang sangat

dicintainya telah pergi meninggalkannya dengan luka

yang tergores di hati.

"Aku mencintaimu, Kakang Bayu.... Ketahuilah,

Kakang. Aku tidak ingin kau tewas di tangan Ayah, aku

juga tidak ingin Ayah tewas di tanganmu. Oh, Tuhan...,


kenapa Kau pertemukan kami dalam keadaan seperti

ini?" Intan Delima merintih lirih. Air matanya semakin

banyak berlinang.

Seluruh Lereng Gunung Panjaran seperti mendengar

rintihan gadis itu. Angin serasa berhenti berhembus,

dan matahari pun meredupkan cahayanya. Rintihan

Intan Delima begitu menyayat, terucap dari lubuk

hatinya yang paling dalam. Lama Intan Delima duduk

bersimpuh dan merintih lirih. Kemudian pelahan‐lahan

dia bangkit berdiri. Kemudian dipungutnya pedang yang

tertancap di pohon cemara, lalu dimasukkan ke dalam

sarungnya kembali di pinggang.

Sebentar dia menarik napas panjang dan dalam. Dan

dengan punggung tangannya, dia menyusut air mata‐

nya. Kemudian pelahan‐lahan kakinya terayun kembali

menuruni Lereng Gunung Panjaran yang sepi itu. Lesu

dan gontai langkahnya terayun. Sesekali masih ter‐

dengar isaknya yang lirih. Sementara anginpun kembali

berhembus, dan matahari kembali menyorotkan sinar‐

nya dengan terik. Intan Delima telah melangkah gontai

dengan membawa berbagai macam perasaan yang ber‐

kecamuk di dalam hatinya.

***

Hari terus berganti seiring dengan bergulirnya sang

waktu. Matahari pun terus berputar sejalan dengan

peredarannya. Siang berganti senja, dan senja pun

kemudian lenyap digantikan malam. Tugas matahari

sepanjang siang telah berganti dengan sang dewi

malam dengan cahayanya yang lembut menyirami


bumi. Kabut tipis sudah sejak tadi menyelimuti seluruh

kawasan Kadipaten Jati Anom, yang berada Kaki Lereng

Gunung Panjaran.

Kesunyian yang tengah menyelimuti seluruh pelosok

Lereng Gunung Panjaran dan Kadipaten Jati Anom, tidak

menghalangi sebuah bayangan putih yang berkelebatan

cepat menyelinap dari rumah‐rumah penduduk.

Bayangan putih itu jelas bergerak menuju Istana

Kadipaten Jati Anom yang kini hanya dijaga oleh tidak

lebih dari dua puluh orang prajurit.

Dari gerakannya, yang ringan saat melompati

tembok benteng istana itu, jelaslah kalau orang itu

memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi. Dan

tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sosok bayangan

putih itu segera hinggap di atas genting bangunan

megah itu.

Hanya sekejap dia berada di atas atap, lalu dengan

ringan tubuhnya kembali meluruk ke bawah, dan

langsung mendarat di beranda depan. Lima orang

prajurit yang tengah menjaga tempat itu, terkejut dan

langsung mengepung dengan senjata terhunus.

"Tahan!" terdengar suara bentakan keras dari arah

dalam.

Tidak lama kemudian, keluarlah Adipati Rakondah

yang diikuti oleh Panglima Bantaraji. Mereka langsung

berlutut di depan orang berjubah putih dengan rambut

dan janggut juga putih semua. Bibirnya hampir tertutup

oleh kumis panjang yang menyatu dengan janggutnya.

Sementara lima orang prajurit yang sudah mengepung,

langsung menyimpan kembali senjatanya, dan segera

berlutut mengikuti junjungan mereka.


"Bangunlah, anak‐anakku," lembut dan berwibawa

suara laki‐laki berjubah putih yang usianya hampir

mencapai seratus tahun itu

Kemudian Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji

bangkit pelahan. Panglima Bantaraji memberi isyarat

kepada lima orang prajurit agar segera pergi. Setelah

memberi hormat, kelima prajurit itu pun segera

meninggalkan beranda.

"Ah, kedatangan Eyang Guru benar‐benar mengejut‐

kan," kata Adipati Rakondah seraya mempersilakan laki‐

laki tua yang dipanggil Eyang Guru itu masuk.

Laki‐laki tua itu pun segera melangkah ringan

memasuki bagian dalam istana itu. Mereka bertiga

kemudian duduk di kursi berukir yang terbuat dari kayu

jati, dan mengelilingi sebuah meja bundar yang juga

berukir dengan batu puatern putih di atasnya.

"Maaf, Eyang. Ada maksud apakah sehingga Eyang

Guru Watuagung datang secara tiba‐tiba? tanya Adipati

Rakondah hormat.

Laki‐laki tua berusia hampir seratus tahun itu tidak

segera menjawab. Matanya yang bening dan tajam

memandangi sekitamya, kemudian satu persatu di‐

pandanginya Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji

secara bergantian.

"Ketahuilah, anak‐anakku Aku datang karena

mendengar bahwa kalian tengah mendapat musibah

yang cukup serius. Aku memang sudah mendengar

banyak, meskipun tempat tinggalku jauh dari sini. Tapi

aku ingin mendengar langsung dari kalian berdua,”

tetap lembut dan berwibawa nada suara Eyang

Watuagung.


Sejenak Adipati Rakondah memandang Panglima

Bantaraji, lalu dia menceritakan keadaan sebenarnya

dengan singkat namun jelas. Sedangkan laki‐laki tua

berjubah putih itu mengangguk‐anggukkan kepalanya

beberapa kali. Sementara jari‐jari tangannya yang kecil

dan berkeriput terus mengelus‐elus janggutnya.

"Maafkan kami, Eyang. Bukannya kami tidak mau

memberitahukan perihal ini padamu. Kami merasa,

bahwa hal ini adalah tanggung jawab kami berdua,

terutama aku, Eyang," kata Adipati Rakondah setelah

selesai bercerita.    

"Hm..., jadi benar anakmu telah diculik oleh seorang

pemuda yang mengaku bernama Pendeka Pulau Neraka

itu?" Eyang Watuagung seperti ingin kejelasan.

"Benar, Eyang," sahut Adipati Rakondah.

"Maaf Eyang," Panglima Bantaraji menyelak. "Dari

mana Eyang tahu semua tentang keadaan di ini?"

"Beberapa prajuritmu yang meninggalkan kadipaten

ini telah datang ke tempatku. Bahkan para pelayan dan

abdi‐abdimu juga datang. Mereka semua menceritakan

perihal keadaan di sini. Kemudian aku memutuskan

untuk mengetahui kebenarannya secara langsung."

“Tapi, Eyang..."  

"Kau tidak usah cemas Rakondah. Kalian adalah

anak‐anakku, murid‐murid utamaku yang sudah ber‐

hasil. Aku merasa bangga pada kalian berdua. Tapi aku

juga menyesalkan setiap langkah dan tindakanmu,

Rakondah. Sejak kecil watakmu memang sudah begitu,

dan aku tidak bisa menyalahkanmu. Sebagai orang tua

yang mengasuh dan mendidikmu, aku juga merasa ber‐


tanggung jawab atas segala akibat perbuatanmu,

Rakondah."

"Maafkan aku, Eyang," pelan suara Adipati

Rakondah.

"Sudahlah, semuanya telah terjadi. Aku datang justru

untuk meluruskan jalan. Mudah‐mudahan pertumpahan

darah tidak sampai terjadi. Tapi...," kata‐kata Eyang

Watuagung tertunda.

"Ada apa, Eyang...?"

Belum lagi pertanyaan Panglima Bantaraji terjawab,

mendadak Eyang Watuagung melesat bagai kilat men‐

jebol atap. Dan pada saat yang sama sebuah bayangan

berkelebat cepat melenting dari atas atap. Begitu

cepatnya bayangan itu berkelebat, tahu‐tahu sudah

lenyap ditelan kegelapan malam. Kini Eyang Watuagung

hanya bisa berdiri tegak di atas atap sambil memandang

ke arah Lereng Gunung Panjaran. Jubahnya yang putih

dan longgar berkibar‐kibar dipermainkan angin.

***

"Ada apa, Eyang?" tanya Panglima Bantaraji setelah

Eyang Watuagung tidak segera menjawab. Dia kembali

duduk di kursinya dengan pandangan mata lurus ke luar

jendela. Keningnya yang memang sudah banyak

kerutannya, tampak semakin dalam berkerut.

Sementara Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji

hanya bisa saling berpandangan tidak mengerti.

Saat itu, tiba‐tiba secercah sinar berwarna keperakan

meluncur deras ke arah mereka. Seketika Eyang

Watuagung mengegoskan kepalanya sedikit, dan segera



mengebutkan tangan kanannya. Sinar keperakan itu

langsung lenyap di dalam genggaman tangannya. Dan

begitu tangan itu terbuka, tampaklah sebuah logam

yang berbentuk bintang dan berwarna keperakan

bersegi enam. Ada secarik kain merah yang tergulung di

tengah‐tengah benda itu. Eyang Watuagung segera

mencopot kain itu dan membuka lipatannya.

Tampak beberapa baris tulisan yang tertera dengan

tinta emas. Hanya ada satu kalimat, tapi mampu untuk

membuat mata laki‐laki yang berusia hampir seratus

tahun itu membeliak lebar. Kemudian Panglima

Bantaraji segera merebut kain itu dari tangan Eyang

Watuagung.

"Jangan campuri urusanku jika kau tidak ingin mati!"

desis Panglima Bantaraji membaca sebaris kalimat di

kain merah itu.

"Gila!" geram Adipati Rakondah.

"Ini benar‐benar, sudah keterlaluan! Berani‐

beraninya dia menghina Eyang Guru'" desis Panglima

Bantaraji menahan geram.

Sedangkan Eyang Watuagung hanya berdiam diri

dengan pandangan mata yang tetap lurus ke depan,

menembus kepekatan malam melalui jendela yang

terbuka lebar. Tampak Gunung Panjaran berdiri megah

melatarbelakangi Kadipaten Jati Anom ini. Sebuah

gunung yang selalu berselimut kabut pada puncaknya.

"Eyang, penghinaan ini harus dibalas!" kata Adipati

Rakondah geram. Hatinya benar‐benar tak rela, karena

laki‐laki tua yang menjadi gurunya dan mendidiknya

sejak kecil mendapat penghinaan seperti itu.

Memang hanya sebuah kalimat yang tertulis pada


sehelai kain merah, tapi kalimat itu benar‐benar

menyakitkan. Tidak memandang sebelah mata pun

pada seorang yang paling dihormati dan diseganinya.

Baginya, perbuatan Pendekar Pulau Neraka benar‐benar

sudah melampaui batas. Selama ini dia masih bisa

menahan diri karena memang merasa bersalah. Tapi

kalau sampai penghinaan pada guru dan orang tua

angkatnya itu.... Rasanya tidak ada seorang pun di dunia

ini yang bisa tinggal diam memperoleh perlakuan

seperti itu.

"Benar, Eyang. Aku rela mati demi membalas

penghinaan ini!" sambung Panglima Bantaraji.

"Tenangkan diri kalian!" sentak Eyang Watuagung.

"Dia benar, aku memang tidak boleh mencampuri

urusan ini."

"Tapi, Eyang," Adipati Rakondah ingin membantah.

"Aku tahu, kalian memang tidak rela dengan peng‐

hinaan pada diriku. Tapi dia tidak juga salah kalau

memintaku untuk tidak ikut campur dalam urusan ini.

Meskipun aku tidak menyukai caranya, tapi aku bisa

memaklumi," Eyang Watuagung langsung memutus

ucapan Adipati Rakondah.

Suasana jadi hening sesaat.

"Dan kau, Bantaraji. Tidak sepatutnya kau

mengorbankan orang‐orang yang tidak bersalah dan

tida tahu‐menahu mengenai masalah ini. Terus terang,

aku tidak setuju dengan caramu," tajam tatapan mata

Eyang Watuagung kepada Panglima Rakondah.

"Eyang, aku hanya...."

"Aku tahu, Bantaraji. Kau memang seorang kakak

yang baik. Meskipun kau tahu kalau adikmu berada di


pihak yang salah, kau tetap rela berkorban untuk

membela. Tapi seharusnya kau tidak perlu membawa‐

bawa orang lain. Besok, aku tidak mau lagi melihat

prajurit‐prajurit itu masih ada di sini. Kau mengerti,

Bantaraji?" tegas kata‐kata Eyang Watuagung.

"Ya, Eyang," tidak ada pilihan lagi buat Panglima

Bantaraji. Meskipun berat, dia harus mematuhi kata‐

kata gurunya yang juga ayah angkatnya ini.

"Kapan Pendekar Pulau Neraka itu akan datang me‐

nantangmu?" tanya Eyang Watuagung beralih menatap

pada Adipati Rakondah.

"Besok, tengah malam," sahut Adipati Rakondah.

"Kau harus menghadapinya secara ksatria, Rakondah.

Aku akan tersenyum melihat kau mati dengan cara

seorang pendekar sejati "

Adipati Rakondah hanya diam menunduk. "Dan kau,

Bantaraji. Aku tidak mau lagi melihatmu berlaku bodoh!

Kau paham, Bantaraji?" "Paham, Eyang."

"Mulai besok, pagi‐pagi sekali, seluruh prajuritmu

harus sudah meninggalkan Kadipaten Jadi Anom. Aku

tidak mau lagi melihat darah sia‐sia mengalir di bumi

Jati Anom ini," sambung Kyang Watuagung lagi.

"Aku mengerti, Eyang," sahut Panglima Bantaraji.

Tak lama kemudian Eyang Watuagung bangkit dari

duduknya, dan melangkah ke luar. Sedangkan Adipati

Rakondah dan Panglima Bantaraji masih tetap duduk di

kursinya. Di satu sisi mereka memang senang dengan

kedatangan gurunya, tapi di sisi lain membuat gelisah

dengan keputusan‐keputusannya yang benar‐benar di

luar dugaan itu. Dari dulu mereka memang telah dididik

untuk menjadi seorang pendekar tangguh yang


membela kebenaran dan keadilan, tapi jalan hidup

manusia memang tidak bisa diduga sebelumnya.

***


7

Hari masih pagi sekali. Matahari pun belum me‐

nampakkan diri. Sementara kabut yang masih me‐

nyelimuti sekitar Lereng Gunung Panjaran, me‐

nyebarkan hawa dingin serasa menusuk kulit. Namun

keadaan yang demikian itu tidak menghalangi sesosok

bayangan putih mendaki lereng gunung itu. Langkahnya

ringan dan cepat, bagaikan berjalan di atas angin.

Kemudian ia berhenti di sebuah sungai kecil dengan

airnya yang mengalir jernih.

Sejenak laki‐laki tua berjubah putih yang tidak lain

adalah Eyang Watuagung itu mengedarkan pandangan‐

nya berkeliling. Daun telinganya bergerak‐gerak

pertanda bahwa dia tengah mendengarkan suara‐suara

yang ada di sekitar tempat itu. Dan pada saat

pandangannya mengarah ke sebelah kiri, tampaklah

seorang pemuda tampan dan gagah sudah berdiri

membelakangi sebongkah batu besar.

"Aku tahu kalau kau ada di sekitar sini, Anak Muda,"

kata Eyang Watuagung. Suaranya terdengar tenang,

namun berwibawa.

Pemuda gagah yang berbaju dari kulit harimau itu

kemudian melangkah mendekat. Dia berhenti setelah

jaraknya dengan laki‐laki tua berusia hampir seratus

tahun itu tinggal dua batang tombak lagi. Tangannya

tetap melipat di depan dada, memperlihatkan sebentuk

logam pipih yang bergerigi enam buah di pergelangan

tangannya. Pemuda itu tak lain adalah Pendekar Pulau


Neraka.

"Hebat! Kau bisa mengetahui tempatku, Orang Tua,"

kata Bayu memuji.

"Aku sudah tahu sejak kau muncul di istana

kadipaten. "

"Dan aku juga sudah tahu kedatanganmu," balas

Bayu.

"Kau salah kalau menyangka aku akan membela

muridku, Anak Muda. Aku justru datang untuk

menyadarkannya, dan mencegah terjadinya per‐

tumpahan darah di antara kalian," masih tenang kata‐

kata Eyang Watuagung.

"Terlambat...!" kata Bayu tegas.

"Tidak ada kata terlambat kalau kau mau memikirkan

kembali. Aku tahu semua persoalan yang kau bawa, dan

aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Tapi menurutku,

dendam bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Apalagi

harus diakhiri dengan mengadu jiwa!"

"Aku kagum padamu, Orang Tua. Ternyata kau

adalah seorang yang bijaksana. Tapi sebagai seorang

pendekar ksatria, aku pantang menarik kembali kata‐

kataku yang sudah terucap. Saat pertarungan sudah

ditentukan, dan aku tidak mungkin lagi menarik

keputusanku. Kau pasti bisa lebih paham dari aku, yang

masih belum berpengalaman dalam mengarungi rimba

persilatan."

Eyang Watuagung mengangguk‐anggukkan kepala‐

nya. Dalam hati dia memuji dan mengagumi sikap

ksatria yang dimiliki oleh anak muda ini. Tapi sebagai

seorang guru dan orang tua angkat Adipati Rakondah,

Eyang Watuagung rasanya tidak akan bisa membiarkan


muridnya tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka.

Meskipun dia merasa senang melihat muridnya itu bisa

bersikap ksatria, namun dalam hati kecilnya tidak rela

jika muridnya harus kalah di depan matanya. Lebih‐

lebih oleh seorang pemuda yang baru saja terjun dalam

kancah rimba persilatan. Nama besarnya sebagai tokoh

tua yang banyak melahirkan pendekar tangguh bisa

tercemar.

"Baiklah, Anak Muda. Aku tidak akan mencampuri

urusanmu dengan Rakondah. Tapi aku minta agar kau

kembalikan cucuku, Intan Delima. Jangan kau peralat

dia jadi sanderamu hanya untuk melemahkan jiwa

lawan," kata Eyang Watuagung memohon.

"Aku tidak pernah menculik dan menyandera Intan

Delima. Aku tidak tahu di mana kini dia berada. Dia

pergi karena malu mempunyai orang tua yang berhati

busuk dan kerdil!"

"Kata‐katamu benar‐benar menyakitkan, Anak

Muda!" desis Eyang Watuagung merasa tersinggung

muridnya dikatakan berhati busuk. Kalau muridnya

berhati busuk, tentu gurunya lebih busuk lagi Eyang

Watuagung bisa menangkap arti dari kata‐kata itu.

"Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud untuk

menyinggungmu. Tapi semua yang kukatakan itu adalah

kenyataan. Aku tidak keberatan jika kau membelanya,

tapi kau harus berhadapan denganku!" kata Bayu tegas.

"Hm..., kau menantangku, Pendekar Pulau Neraka?"

"Terserah apa tanggapanmu. Yang jelas, tujuanku

hanya satu. Dan aku tidak peduli siapa saja yang ada di

belakangnya. Bagiku, penghalang tetap penghalang, dan

harus aku hadapi!" tegas kata‐kata Bayu.


Eyang Watuagung berdecak. Rasa kagumnya

semakin bertambah, namun dia juga tidak menyukai

sifat yang congkak, angkuh dan menganggap dirinya

lebih dari orang lain. Di matanya, Pendekar Pulau

Neraka adalah seorang pendekar angkuh yang tidak

pernah memandang sebelah mata pun pada siapa saja.

Kata‐katanya selalu tegas, dan meluncur deras bagai tak

pernah dipikirkan sebelumnya.

Eyang Watuagung yang sudah kenyang makan asam

garamnya dunia persilatan, tidak terkejut lagi meng‐

hadapi orang seperti Bayu Hanggara ini. Sehingga dia

tetap bisa bersikap tenang.

"Maaf, aku tidak punya banyak waktu lagi," kata

Bayu.

"Tunggu!" buru buru Eyang Watuagung mencegah.

"Ada apa lagi?" Bayu mengurungkan niatnya.  

"Kau belum menjawab satu pertanyaanku, Anak

Muda."

"Pertanyaan yang mana?"

"Di mana kau sembunyikan Intan Delima?"

"Sudah kukatakan, aku tidak tahu! Dia pergi sendiri

karena malu dengan kelakuan ayahnya. Apa itu tidak

cukup jelas?" agak kasar kata kata Bayu.

"Nada suaramu menyembunyikan sesuatu, Anak

Muda...," gumam Eyang Watuagung tidak percaya.  

"Terserah!" sahut Bayu agak terkejut juga. Sebelum

dia lebih jauh didesak, dengan cepat Pendekar Pulau

Neraka itu melesat meninggalkan orang tua itu.

Sedangkan Eyang Watuagung tidak mau mengejar lagi.

Dia hanya berdiri memandang ke arah kepergian Bayu.

Sebentar dia mendesah pendek, kemudian berbalik dan


melangkah menuruni lereng kembali. Namun baru

beberapa langkah dia berjalan, mendadak tubuhnya

berbalik dengan cepat. Dan tangan kanannya ber‐

kelebat bersamaan dengan berbaliknya tubuhnya.   

"Jangan...!"  

"Heh...!"

***

Eyang Watuagung buru‐buru merentangkan tangan‐

nya ke samping, dan dari balik lengan jubahnya yang

longgar, meluncurlah tiga buah benda kecil bagai jarum.

Benda yang berwarna kuning keemasan itu, meluncur

bagai kilat dan menghantam pohon tua yang tidak jauh

di samping kanannya. Dan tiga buah benda kecil itu

langsung menembus pohon itu. Aneh! Pohon itu,

langsung kering dan tumbang bagai terhempas satu

kekuatan yang amat dahsyat.

"Intan...!" seru Eyang Watuagung tersentak kaget.  

"Eyang...!"  

Intan Delima yang muncul dari gerumbul semak,

langsung berlari dan memeluk kaki laki‐laki tua itu.

Sedangkan Eyang Watuagung segera memegang bahu

gadis itu dan membawanya berdiri. Sejenak dia me‐

mandangi wajah cucunya yang tampak murung itu.

Tampak setitik air bening menggulir di pipinya yang

halus kemerahan.

"Apa yang telah terjadi padamu, Cucuku?" tanya

Eyang Watuagung sambil menuntun Intan Delima dan

membawanya duduk pada sebatang pohon yang telah

tumbang.


Intan Delima tidak langsung menjawab. Dia malah

menangis di pangkuan laki‐laki tua itu. Sulit baginya

untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia sangat men‐

cintai pemuda itu, tapi sekaligus juga membencinya,

karena laki‐laki yang dicintainya itu ternyata hanya

menginginkan tubuhnya saja.

Untuk beberapa saat lamanya, Eyang Watuagung

membiarkan saja gadis itu menumpahkan tangisnya. Dia

hanya membelai belai rambut yang hitam pekat dengan

lembut. Agak lama juga Intan Delima menumpahkan

perasaan dalam tangisnya. Kini setelah isaknya agak

reda, dia kembali mengangkat kepalanya. Sisa‐sisa air

matanya segera dihapusnya dengan ujung baju. Sejenak

gadis itu mencoba menenangkan diri.

"Apa yang telah terjadi padamu, Intan?" tanya Eyang

Watuagung lagi. ,

"Eyang..., dia..., dia telah...," Intan Delima serasa

tidak sanggup lagi meneruskan.

Tiba‐tiba saja perasaan malu menghinggapi dirinya.

Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Dia

memang telah menyerahkan tubuhnya tanpa paksaan.

Dia merelakan semuanya dengan rasa cinta, karena

menganggap Bayu Hanggara juga mencintainya dan

mau melupakan semua dendamnya. Tapi semua itu

ternyata malah terbalik, dan membuatnya kecewa serta

sakit hati. Kini kekecewaan yang dalam di hatinya tak

mungkin bisa dihapuskan begitu saja. Luka di hatinya

sudah begitu parah, tidak mungkin lagi bisa terobati.

Namun Intan juga tidak bisa membohongi dirinya.

Bagaimanapun juga dia masih mencintai dan meng‐

harapkan Bayu Hanggara.


"Apa yang telah dia lakukan padamu?" agak dikit

ditekan suara Eyang Watuagung.

"Eyang... Aku..., aku malu. Aku tidak kuasa untuk

menolaknya, Eyang Aku malu...," kembali Intan Delima

menangis.

Kembali Eyang Watuagung menarik napas panjang

dan dalam. Meskipun Intan Delima belum mengatakan‐

nya dengan terus terang, namun dia sudah bisa

menangkap maksudnya. Entah apa yang ada dalam

hatinya saat ini, dan jelas wajahnya jadi memerah, dam

gerahamnya bergemeletuk hebat.

"Tolong aku, Eyang...," rintih Intan Delima setelah

reda tangisnya.

"Katakan, apa yang bisa aku lakukan?"  

"Jangan katakan hal ini pada Ayah.    Tolong Eyang.

Aku..., aku tidak sanggup lagi bertemu dengan Ayah.

Aku malu...."

"Kenapa kau harus malu? Itu semua bukan karena

salahmu. Kau hanya jadi korban dari kebiadaban

manusia yang berhati iblis!" agak menggeram suara

yang Watuagung.

"Tapi...," Intan Delima menggigit bibirnya. Hampir aja

dia keterlepasan bicara. Hatinya tetap tidak rela kalau

Bayu dikatakan demikian.

"Aku mengerti perasaanmu. Intan. Sekarang pulang‐

lah, dan tenangkan dirimu Aku akan mencari setan

keparat itu. Dia harus bertanggung jawab dengan

perbuatannya," kata Eyang Watuagung.

"Aku tidak mau pulang, Eyang," tolak Intan Delima.

"Lalu, kau mau ke mana?"

Intan Delima tidak segera menjawab. Dia sendiri juga


bingung mau pergi ke mana lagi. Untuk kembali kepada

ayahnya, rasanya tidak mungkin. Hatinya sudah telanjur

kecewa dengan kelakuan ayahnya, dan dia juga malu

untuk bertemu lagi, mengingat dirinya kini sudah bukan

seorang gadis suci lagi.

"Baiklah, sebaiknya kau kembali saja ke Gunung

Rangkas. Katakan pada pamanmu di sana, bahwa aku

akan segera datang menjemputmu. Kau akan menjadi

murid terakhirku," kata Eyang Watuagung.

"Oh, Eyang...," Intan Delima tidak bisa lagi meng‐

ucapkan sesuatu.

Sudah lama dia ingin memperoleh ilmu‐ilmu yang

dimiliki kakeknya ini. Kini Intan Delima berlutut dan

memeluk kaki laki‐laki tua itu. Kemudian pelahan‐lahan

dia bangkit dan menjura hormat. Sedangkan Eyang

Watuagung hanya tersenyum, namun senyumnya itu

terasa getir.

"Eyang, apakah Eyang akan membunuh Pendekar

Pulau Neraka?" tanya Intan Delima ragu‐ragu.

"Kalau dia mau berjanji dan bertanggung jawab atas

perbuatannya, mungkin tidak. Tergantung nanti saja,

Intan," sahut Eyang Watuagung berusaha bersikap

bijaksana.

"Terima kasih, Eyang."

"Kenapa kau tanyakan itu, Intan?" tanya Eyang

Watuagung dengan tatapan curiga.

"Ah, tidak..., tidak Aku hanya ingin dia mati di

tanganku," sahut Intan Delima tergagap.

"Hhh..., dendam. Rupanya bumi belum berhenti ter‐

siram oleh darah," desah Eyang Watuagung berat.

Beberapa saat kemudian, Eyang Watuagung


meminta agar Intan Delima segera meninggalkan

Kadipaten Jati Anom. Dia tidak lagi mendesak agar gadis

itu mau menemui ayahnya dulu. Sedangkan Intan

Delima sendiri sebenarnya rindu, tapi kerinduannya dia

tekan dalam‐dalam. Gadis itu terus melangkah

menuruni Lereng Gunung Panjaran dengan hati

membawa cinta, dendam, benci dan rasa kecewa yang

bertumpuk menjadi satu.

Sementara Eyang Watuagung masih saja berdiri

sambil memandangi kepergian Intan Delima. Dan

setelah bayangan gadis itu tidak teriihat lagi, barulah

laki‐laki tua berjubah putih itu mengayunkan kakinya.

Arahnya menuju tempat di mana Pendekar Pulau

Neraka tadi pergi. Jelas kalau dia bermaksud mencari

pendekar muda itu.

***

Bayu Hanggara tampak berdiri tegak sambil

memandang ke arah Kadipaten Jati Anom yang tampak

sepi. Dari tempat ketinggian seperti itu, dia bisa

memandang luas ke arah kadipaten itu. Tampak pintu

gerbang bentengnya tertutup mpat tanpa satu orang

pun prajurit yang menjaganya. Sejenak Bayu tersenyum

melihat keadaan Kadipaten Jati Anom yang sudah

terpengaruhi oleh kedatangannya.

"Tidak lama lagi, Rakondah. Bersiap‐siaplah men‐

jemput ajalmu," desah Bayu.

"Kau juga harus bersiap siap, Pendekar Pulau

Neraka!"

Bayu langsung tersentak kaget begitu mendengar


suara dari arah belakangnya. Buru‐buru dia mem‐

balikkan tubuhnya, dan tampaklah di depannya,

seorang laki‐laki tua mengenakan jubah putih yang

longgar.

"Kau lagi, Orang Tua. Mau apa kau mengikutiku?"

nada suara Bayu terdengar ketus.

"Kali ini aku datang untuk meminta tanggung jawab‐

mu, Anak Muda!" tegas kata‐kata yang terucap dari

bibir Eyang Watuagung.

"Hm...," Bayu mengerutkan keningnya.

"Apa yang telah kau lakukan pada cucuku Intan

Delima?" agak bergetar suara Eyang Watuagung.

"O..., rupanya kau telah bertemu dengan gadis itu?"

Bayu langsung menebak.

"Semula aku bisa memahamimu, Anak Muda. Tapi

perbuatanmu pada Intan Delima..., rasanya aku tidak

bisa lagi memaafkanmu, kecuali kau mau tanggung

jawab!" dingin suara Eyang Watuagung.

"Pasti dia mengadu yang bukan‐bukan," desis Bayu.

"Asal kau tahu saja, Orang Tua. Intan Delima datang

sendiri padaku dengan sukarela. Aku tidak memaksa‐

nya, dia sendiri yang menginginkannya."

"Biadab! Pandai sekali kau memutarbalikkan lidah!"

geram Eyang Watuagung membentak. "Seharusnya aku

memang tahu, bahwa kau tidak mungkin mau ber‐

tanggung jawab. Kau memang laki‐laki iblis. Tidak ada

gunanya aku bersilat lidah padamu!"

"Ah..., tidak kusangka. Ternyata aku juga harus ber‐

hadapan dengan manusia‐manusia yang culas licik,"

kata‐kata Bayu masih terdengar tenang.

"Kurang ajar! Kelakuanmu sudah kelewat batas.


Anak Muda! Aku tidak pernah marah seperti ini, tapi

kau telah memaksaku untuk menurunkan tangan,”

Eyang Watuagung benar‐benar tidak bisa lagi mengen‐

dalikan amarahnya.

"Sudah kuduga, kau pasti akan mencari‐cari alasan

untuk menjadi penghalangku," kata Bayu kalem.

"Bersiaplah, Anak Muda! Intan Delima akan senang

melihat kepalamu tanpa leher!" ancam Eyang

Watuagung.

"Sadis...!"

Eyang Watuagung menggeram hebat, lalu dengan

cepat dia mengebutkan tangan kanannya ke depan.

Seketika itu juga tampaklah tiga buah benda kecil bagai

jarum yang berwarna keperakan, meluncur deras ke

luar dari lengan bajunya yang longgar.  

"Hup!"

Bayu segera memutar tangan kanannya ke depan,

lan menyambut senjata‐senjata kecil itu tanpa meng‐

geser kakinya sedikit pun.

Tring!

Tiga buah jarum keemasan itu rontok begitu mem‐

bentur pergelangan tangan kanan Bayu yang menempel

sebuah cakra bersegi enam berwarna keperakan.

Pendekar Pulau Neraka itu berdiri tegak dengan tangan

melipat di depan dada. Bibirnya menyunggingkan

senyum bagai mengejek.

"Jangan besar kepala dulu, Anak Muda! Tahan

seranganku!" bentak Eyang Watuagung.

Laki‐laki tua berjubah putih itu langsung melompat,

dan memberikan beberapa pukulan bertenaga dalam

tinggi. Belum juga pukulannya sampai, namun anginnya


sudah terasa menyengat. Bayu bergegas menggeser

kakinya ke samping, dan memiringkan tubuhnya sedikit

sambil mengibaskan tangannya dan nemapak serangan

itu.

"Ikh!"

Eyang Watuagung tersentak kaget. Buru‐buru dia

menarik kembali tangannya yang mendadak jadi

kesemutan begitu beradu dengan tangan Pendekar

Pulau Neraka. Bersamaan dengan itu Bayu juga

melompat mundur dua tindak. Dia juga merasakan

tangannya seperti remuk begitu berbenturan dengan

tangan laki‐laki tua itu.

"Huh! Tenaga dalamnya benar‐benar luar biasa!"

dengus Eyang Watuagung mengeluh.

Kini Eyang Watuagung tidak mau lagi gegabah. Dia

kembali menyerang dengan penuh perhitungan dan

hati‐hati. Sedangkan Bayu sendiri segera melayaninya

dengan sikap waspada. Dia sudah merasakan kalau

tenaga dalam lawannya kali ini sangat dahsyat. Dan

sebentar saja pertempuran di Kaki Lereng Gunung

Panjaran itu sudah berlangsung dengan sengit. Masing‐

masing mengeluarkan jurus‐jurus andalannya!

***


8

Pertarungan antara Bayu Hanggara dengan Eyang

Watuagung terus berlangsung dengan sengit. Bagi Bayu,

pertarungan dengan jarak dekat seperti ini, tidak

memungkinkan untuk melontarkan senjata andalan nya,

yaitu cakra bersegi enam dan berwarna keperakan.

Sedangkan Eyang Watuagung sudah mengeluarkan

senjatanya yang berupa pedang pendek bercabang tiga.

Menghadapi senjata genggam itu, Bayu terpaksa

memegang Cakra Maut nya di tangan kanan. Sudah

berpuluh‐puluh jurus yang telah mereka keluarkan

namun belum ada tanda‐tanda mana yang bakal

terdesak. Sedangkan tempat di sekitar pertarungan

sudah porak‐poranda. Bahkan meluas sampai ke daerah

yang berjurang serta berbatu‐batu cadas yang besar

dan tajam.

Tring!

Mendadak satu benturan senjata keras terjadi udara.

Tampak percikan bunga api memijar. Dua orang yang

tengah bertarung itu saling terpental ke belakang, dan

jatuh bergulingan di tanah. Namun dengan cepat

mereka segera bangkit, dan kembali berlompatan saling

menyerang.

"Hup! Hiaaa...!"

Tiba‐tiba dengan satu teriakan nyaring melengking,

Bayu melontarkan senjata Cakra Maut‐nya sambil

melompat dan mengirimkan dua buah pukulan dahsyat

yang bertenaga dalam sangat tinggi.

"Ikh!"


Buru‐buru Eyang Watuagung memiringkan tubuhnya

menghindari serangan yang bertubi‐tubi itu. Dan dia

berhasil mengelakkan senjata yang meluncur deras

bagai memiliki mata itu. Namun satu gebrakan dari

pukulan yang bertenaga dalam, tidak bisa dihindarkan.

Seketika Eyang Watuagung terlontar sejauh tiga batang

tombak. Namun dia masih sempat mengibaskan

pedangnya yang bercabang tiga.

"Hugh!"

"Akh...!"

Bayu Hanggara terhuyung tiga langkah ke belakang.

Darah mengucur deras dari bahu kirinya yang sobek

tersambar ujung pedang Eyang Watuagung. Namun

dengan cepat dia mengangkat tangan kanannya, dan

menangkap senjata Cakra Maut‐nya yang kembali

berbalik

"Hiya...!"

Dan bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka itu

melemparkan kembali senjata mautnya di saat tubuh

Eyang Watuagung sedang limbung. Tak pelak lagi,

lontaran yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam

sempurna, tidak dapat dihindarkan lagi. Perut orang tua

itu sobek tergores ujung cakra yang melayang bagaikan

kilat itu.

"Akh...!" Eyang Watuagung menjerit keras.

Tubuh tua itu terhuyung‐huyung beberapa langkah

ke belakang. Untunglah dengan cepat dia mampu

menguasai tubuhnya kembali. Dan tanpa mem‐

pedulikan darah yang mengucur dari perutnya, Eyang

Watuagung segera menghentakkan kedua tangannya ke

depan. Seketika itu juga satu desiran angin yang amat


dahsyat meluncur bagai topan, dan menghajar tubuh

Pendekar Pulau Neraka yang baru saja menangkap

senjatanya kembali

"Hiya...! Hiyaaa!"

Buru‐buru Bayu Hanggara melentingkan tubuhnya

sambil membalas dengan dua kali pukulan jarak jauh

bertenaga dahsyat. Namun deburan angin topan yang

menggemuruh dahsyat sudah keburu menghantam

tubuhnya. Kini tubuh Pendekar Pulau Neraka ter‐

pelanting deras ke udara, lalu dengan cepat meluruk ke

bawah dan langsung masuk ke dalam jurang yang

menganga lebar.

"Aaakh...!"

Jeritan melengking terdengar menyayat bersamaan

dengan meluncumya tubuh Bayu ke dalam jurang yang

besar dan dalam itu. Eyang Watuagung bergegas

memburu, dan berdiri di tepi jurang. Tangan kirinya

terus menekap perutnya yang sobek dan mengucurkan

darah segar.

"Hhh...! Luar biasa anak itu. Entah apa yang akan

terjadi pada dunia persilatan kalau dia masih hidup,"

Eyang Watuagung mengeluh dalam hari.

Sejenak laki‐laki berjubah putih itu menjulurkan

kepalanya ke dalam jurang. Tak tampak apa pun di

dalam sana. Seluruh permukaan jurang itu tertutup

kabut tebal yarig menghalangi pandangan mata.  

"Ugh! Hoaaak...!"

Eyang Watuagung memuntahkan darah kental

kehitaman. Buru‐buru dia merobek baju bagian

dalamnya. Mendadak kedua matanya membeliak lebar

begitu melihat gambar tapak tangan hitam tertera di


dadanya.

'"Pukulan Racun Hitam... !" desisnya terkejut.

"Ugh! Ada hubungan apa dia dengan Gardika. .?"

Eyang Watuagung buru‐buru duduk bersila. Sebentar

kemudian matanya terpejam. Tampak keringat sebesar‐

besar butiran jagung menitik di keningnya. Lalu dia

membuka matanya kembali. Lagi‐lagi dia memuntahkan

darah kental kehitaman.

"Aku harus segera kembali ke Pesanggrahan. Racun

hitam ini bisa membunuhku secara pelahan‐lahan. Gila!

Kenapa aku tidak menyadari kalau jurus‐jurusnya sama

dengan Gardika si Cakra Maut! Dan lagi..., senjata itu....

Huh! Untung saja aku berhasil membunuhnya, kalau dia

sampai masih hidup beberapa tahun lagi..., aku tidak

tahu lagi, bagaimana keadaan dunia persilatan. Sulit

mencari tandingan jurus‐jurus si Cakra Maut. Ugh ...

Ugh!"

Eyang Watuagung segera bangkit dari duduknya,

kemudian melangkah cepat dengan mengerahkan ilmu

meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf

kesempurnaan. Beberapa kali dia masih menyemburkan

darah kental kehitaman dari mulutnya. Namun semua

itu tidak dihiraukan lagi. Hanya satu yang kini ada dalam

pikirannya, dia harus segera sampai ke pesanggrahan‐

nya, dan mengurangi pengaruh racun hitam. Paling

tidak, hidupnya bisa diperpanjang lagi sampai dia bisa

mewariskan seluruh ilmunya pada Intan Delima.

***


Tapi, benarkah Bayu Hanggara atau Pendekar Pulau

Neraka tewas di dasar jurang yang dalam itu?

Yang Kuasa rupanya belum menginginkan Pendekar

Pulau Neraka meninggalkan dunia. Tubuhnya tidak

langsung jatuh ke dasar jurang. Sebatang akar pohon

besar yang menyembul dari dalam tanah di bibir jurang,

menyanggah tubuhnya. Beberapa saat lamanya Bayu

tidak sadarkan diri. Dan begitu dia siuman, seluruh

tubuhnya terasa nyeri dan tulang‐tulangnya seperti mau

rontok semua.

Bayu tampak terkejut begitu menyadari tubuhnya

tersangkut pada sebatang akar yang cukup besar dan

kuat. Dan sambil menahan nyeri pada seluruh tubuh‐

nya, dia kemudian merayap dan berusaha mencapai

tepi tebing jurang ini. Sejenak kepalanya menengadah

ke atas. Tak terlihat apa pun, hanya kabut tebal yan

menghalangi pandangan matanya.

"Huh...!" Bayu mendengus sambil menghembuskan

napasnya.

Lalu dia duduk pada pangkal pohon yang berongga

besar. Kembali matanya memandang berkeliling.

Sepanjang matanya memandang, yang tampak hanya

kabut dengan bayang bayang pohon menyemaki tebing

jurang. Pemuda itu kemudian mengatur duduknya

untuk bersemadi menyalurkan hawa murni ke seluruh

aliran darahnya. Dia berusaha membuka jalan darahnya

agar sempurna. Kini rasa hangat mulai menjalari

tubuhnya, dan rasa nyeri serta pegal‐pegal berangsur

hilang. Namun bibirnya menyeringai dan mendesis.

Bayu segera menyobek kain merah yang membelit

pinggangnya. Dan dengan kain itu dia kemudian


membalut luka di bahunya. Jari‐jari tangannya bergerak

lincah di sekitar luka, menghentikan aliran darahnya.

Sejenak dia menarik napas panjang, kemudian meng‐

hembuskannya lagi dengan kuat.

"Hhh! Orang tua itu benar‐benar hebat. Apakah

muridnya juga setangguh dia?" Bayu bergumam sendiri.

"Aku harus segera ke luar dari jurang ini. Tengah malam

nanti adalah saatnya pertarungan. Uh! Luka ini...!"

Pelahan‐lahan Bayu ke luar dari rongga pohon itu.

Kemudian mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Pendekar Pulau Neraka itu mulai merayap mendaki

tebing jurang. Kabut tebal masih menghalangi

pandangannya, ditambah dengan hembusan angin

kencang yang membuat usahanya itu agak terhambat.

Sedikit demi sedikit dia mulai merayap mendaki, hingga

akhirnya sampailah dia di bibir jurang.

Saat itu hari sudah menjelang senja. Di ufuk Barat

matahari hampir tenggelam, berganti dengan

kegelapan. Sementara udara di sekitar Lereng Gunung

Panjaran itu juga sudah terasa dingin. Bayu meng‐

gelimpangkan tubuhnya ke atas rerumputan yang sudah

basah oleh embun. Penat dan letih melanda tubuhnya.

Sejenak dia memejamkan matanya sebelum bangkit

berdiri.

"Seandainya aku harus bentrok lagi dengan orang

tua itu, aku pasti akan bisa mengalahkannya. Racun

hitam yang kulepaskan sudah pasti merasuk ke dalam

darahnya. Hhh..., 'Pukulan Angin Badai'nya benar‐benar

luar biasa," lagi lagi Bayu bergumam sendiri.

Perlahan‐lahan Pendekar Pulau Neraka itu

melangkah menuruni Lereng Gunung Panjaran.


"Masih ada sedikit waktu, aku harus bersemadi dulu

untuk memulihkan kekuatan," gumam Bayu.

Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu memilih

tempat di antara dua buah batu besar yang agak

tersembunyi. Kemudian dia duduk bersila dengan sikap

bersemadi. Kakinya terlipat dengan kedua telapak

tangan menempel pada lutut. Pelahan‐lahan napasnya

mulai diatur bersamaan dengan menutupnya kedua

kedua kelopak matanya. Bagi dunia kependekaran, cara

memulihkan kondisi tubuh dengan bersemadi bukanlah

hal yang aneh lagi. Dan inilah yang tengah dilakukan

oleh Bayu Hanggara.

***

Malam terus merayap semakin larut. Suasana di

Istana Kadipaten Jati Anom tampak sunyi senyap. Hanya

ada dua orang yang teriihat duduk di bagian depan

bangunan istana itu. Mereka adalah Adipati Rakondah

dan Panglima Bantaraji Sejak matahari tenggelam tadi

mereka sudah berada di sana.

Sejak tadi mereka hanya diam. Masing‐masing sibuk

dengan pikirannya. Semakin larut malam, kesunyian

semakin terasa mencekam. Detak jantung mereka

semakin jelas terdengar berdegup kencang.

"Apa kau tidak salah lihat siang tadi, Kakang?" tanya

Adipati Rakondah memecah kesunyian

"Maksudmu?" Panglima Bantaraji balik bertanya.

"Yang kau lihat di Lereng Gunung Panjaran."

"Tidak! Jelas sekali aku lihat Pendekar Pulau Neraka

jatuh ke dalam jurang setelah kena 'Pukulan Angin


Badai' Eyang Guru," kata Panglima Bantaraji yakin.

"Hm..., malam sudah larut. Kalau dia tidak datang,

berarti tamat sudah riwayatnya," gumam Adipati

Rakondah.

"Ya, mudah‐mudahan dia tewas di dasar jurang,"

sambut Panglima Bantaraji.

"Sebenarnya aku tidak tega melepas Eyang Guru

pulang sendirian, Kakang. Beliau dalam keadaan terluka

cukup parah. Aku benar‐benar menyesali semua ini,"

nada suara Adipati Rakondah seolah mengeluh.

"Sudahlah, Adik Rakondah. Saat ini kita hanya bisa

berharap, semoga ..."

Kata‐kata Panglima Bantaraji terputus. Saat itu

terdengar suara siulan nyaring melengking menyakitkan

telinga. Siulan itu menggema seolah‐olah datang dari

segala peniuru mata angin. Jelas kalau suara itu

dikeluarkan dengan disertai penyaluran tenaga dalam

yang sangat sempurna.

Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji langsung

melompat ke luar. Dan hanya dengan sekali lentingan

tubuh saja, mereka sudah berada di tengah‐tengah

halaman depan yang luas dan sunyi. Sementara suara

siulan itu semakin jelas dan menyakitkan telinga. Kedua

laki‐laki bersaudara itu segera mengerahkan hawa

murni, dan menyalurkannya ke seluruh aliran jalan

darah. Terutama menutup gendang telinga mereka.

"Dia datang...," desis Panglima Bantaraji.

Adipati Rakondah menatap kakaknya dengan tajam.

Dan belum lagi mereka sempat melakukan sesuatu,

tiba‐tiba sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat

melewati tembok benteng Istana Kadipaten Jati Anom.


"Pendekar Pulau Neraka...!" sentak kedua laki‐laki itu

hampir berbarengan.

Kini di depan mereka telah berdiri seorang laki‐laki

muda, gagah dan tampan. Laki‐laki yang ternyata adalah

Bayu itu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan

dada. Tatapan matanya tajam, langsung menusuk ke

bola mata Adipati Rakondah. Sekejap saja ketegangan

menyelimuti mereka semua.

"Engkau pasti sudah memahami tanda dariku,

Adipati Rakondah. Tanda itu boleh kau anggap sebagai

lambang kematian bagimu. Kini saatnya sudah tiba,

bersiaplah menuju ke neraka!" dingin dan datar suara

Bayu Hanggara.

"Kakang, menyingkirlah," kata Adipati Rakondah

tanpa menoleh sedikit pun.

"Hati‐hati, Adik Rakondah," kata Panglima Bantaraji

seraya melangkah mundur beberapa tindak.

"Pendekar Pulau Neraka! Mari kita mulai. Hait...!"  

"Hup!"

***

Sret!

Adipati Rakondah mencabut pedangnya seraya

melompat menerjang. Gerakannya sangat cepat dan

ringan, sedangkan kibasan pedangnya menimbulkan

suara angin yang amat dahsyat. Sejenak Bayu

menunggu, lalu dengan cepat dia menghentakkan

tangannya ke depan. Seketika secercah cahaya

keperakan melesat dari pergelangan tangan kanannya.

Begitu cepatnya, sehingga Adipati Rakondah tidak


sempat lagi untuk menarik pedangnya. Dan....

Tring!

"Ah!" Adipati Rakondah terkejut bukan main.

Satu benturan keras langsung terjadi antara dua

logam, sampai menimbulkan percikan api. Tampak

pedang di tangan Adipati Rakondah bergetar hebat.

Untung dia cepat‐cepat menekan ujung pedangnya ke

tanah, sehinga pegangannya tidak terlepas.

Kini Bayu kembali melompat sambil menjulurkan

tangan kanannya ke atas. Dan benda pipih bergerigi

enam yang berwarna keperakan itu menempel kembali

di pergelangan tangan kanannya. Dengan manis sekali

kakinya kembali menjejak tanah. Tapi tiba‐tiba dia

mengebutkan tangannya lagi ke depan.

"Awas...!" Panglima Bantaraji berteriak nyaring.

Dan secepat kilat dia merogoh ke balik bajunya, dan

melontarkan sebilah pisau kecil ke arah cakra itu.

Sedangkan Adipati Rakondah yang belum hilang rasa

terkejutnya, jadi terperangah! Satu jengkal lagi cakra itu

pasti menembus dadanya. Namun beruntung pisau

yang dilemparkan oleh Panglima Bantaraji mematahkan

serangan Pendekar Pulau Neraka itu. Dan cakra

keperakan bergerigi enam itu kembali berputar balik

pada pemiliknya.

"Huh!" dengus Bayu kesal.

Panglima Bantaraji melompat ke samping adiknya.

Tampak di tangan kirinya sudah tergenggam seutas

rantai baja hitam dengan ujungnya terpaut lima buah

pisau kecil. Dia juga sudah melepaskan baju luarnya.

Tampak di seputar pinggang dan dadanya dipenuhi oleh

pisau‐pisau kecil yang menempel pada kulit binatang.



"Kau tidak akan mampu menghadapinya sendiri, Adik

Rakondah. Senjatanya sangat berbahaya," kata

Panglima Bantaraji berbisik.

"Bagus! Aku bisa mengirim kalian ke neraka

sekaligus!" dengus Bayu.

Adipati Rakondah melemparkan pedangnya.

Kemudian dia membuka baju luarnya. Bayu agak

terkejut juga melihat kedua lawannya memiliki senjata

yang sama persis. Tubuh mereka penuh tertempel

pisau‐pisau kecil. Dan di tangan mereka juga

tergenggam senjata rantai baja dengan lima pisau di

ujungnya. Sebuah rantai hitam yang panjangnya hanya

satu hasta.

"'Seribu Pisau Terbang'...!" seru Panglima Bantaraji.

Secepat dia berteriak, secepat itu pula tubuhnya

melenting ke udara, dan tahu‐tahu sudah berada di

belakang Pendekar Pulau Neraka. Dan belum lagi Bayu

sempat menyadari, kedua laki‐laki itu sudah mengibas‐

kan tangannya dengan cepat. Tampak puluhan pisau‐

pisau kecil bertebaran mengarah ke tubuhnya.

"Hup! Hiyaaa...!" teriak Bayu nyaring.

Seketika Pendekar Pulau Neraka itu memutar

tubuhnya dengan cepat. Dan senjata Cakra Maut

andalannya yang sudah tergenggam di tangan kanan,

dia lepaskan untuk menghalau pisau‐pisau yang

meluncur deras ke arah tubuhnya. Tampak kedua

kakinya juga bergerak lincah, berlompatan, dan

tubuhnya meliuk‐liuk bagai belut menghindari hujan

pisau dari dua jurusan itu.

Bayu sempat menggeram begitu melihat lawannya

bergerak memutari tubuhnya. Dan anehnya lagi,


mereka bisa saling bertukar senjata yang terlontar

hanya dengan menjentikkan ujung jarinya saja. Pisau‐

pisau itu benar‐benar bagaikan berjumlah ribuan,

bertebaran di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka itu.

"Hhh! Serangan mereka hanya satu arah. Aku harus

bisa membuatnya pincang," dengus Bayu dalam hati.

Matanya yang tajam dan sudah terlatih, langsung

dapat melihat kelemahan lawannya. Dan tanpa mem‐

buang‐buang waktu lagi, tubuhnya segera melenting ke

udara. Lalu dengan cepat tangan kanannya mengibas ke

arah Adipati Rakondah. Seketika itu juga senjata cakra

bergerigi enam meluruk deras. Adipati Rakondah

terkesiap sesaat, dan serangannya jadi tidak beraturan.

Bayu tidak menyia‐nyiakan kesempatan itu, dengan

cepat dia meluruk turun ke arah Panglima Bantaraji.

Kedua tangannya bergerak cepat dan melontarkan

'Pukulan Rancun Hitam'. Tentu saja hal itu membuat

Panglima Bantaraji jadi terkejut setengah mati. Buru‐

buru dia menjatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah.

Sementara itu Adipati Rakondah tengah sibuk

menghalau Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka yang

bergerak sendiri seperti memiliki mata. Dan Bayu kini

terus mencecar Panglima Bantaraji dengan serangan‐

serangan mautnya. Mendadak tangan kanannya

terangkat ke atas, menerima senjatanya yang berbalik,

kembali, lalu dengan cepat dia segera menghentak‐

kannya ke arah Adipati Rakondah.

"Awas kepala!" tiba‐tiba Bayu berteriak nyaring.

"Uts!"

Buru‐buru Panglima Bantaraji merundukkan

kepalanya sedikit begitu melihat tangan kanan Bayu


meluruk ke arah kepalanya. Namun tanpa diduga sama

sekali, kaki kiri Pendekar Pulau Neraka sudah terangkat

naik, dan dengan kecepatan penuh menghentak ke arah

perut.

"Hugh!"  

Panglima Bantaraji mengeluh pendek. Tubuhnya

membungkuk menahan mual pada perutnya. Dan pada

saat itu senjata cakra yang menyerang Adipati

Rakondah segera berbalik dan berputar pada

pemiliknya. Dengan cepat Bayu menangkap senjata itu,

dan secepat itu pula dia melontarkannya kembali ke

arah Panglima Bantaraji.

"Aaakh...!" Panglima Bantaraji menjerit melengking.

Ujung‐ujung Cakra Maut itu langsung menggorok

lehernya hingga hampir buntung. Dan hanya dengan

satu kali tendangan keras, tubuh Panglima Bantaraji

terjungkal dengan leher berlumuran darah seperti ayam

yang disembelih!

"Kakang...!" pekik Adipati Rakondah terkesiap.

"Sekarang giliranmu, Adipati Rakondah!" dengus

Bayu.

"Setan! Kau harus bayar mahal nyawa Kakang

Bantaraji!" geram Adipati Rakondah. "Hiyaaa...!"  

"'Pukulan Racun Hitam'! Hup, yeaaah...!"

***

"Akh!"

Adipati Rakondah memekik tertahan, tubuhnya

limbung dengan tangan menekan dada. Sementara itu

Bayu juga langsung melompat mundur dua tindak ke


belakang. Tangan kirinya menekan lambung. Dan darah

mengucur deras dari lambungnya. Ternyata ujung

senjata Adipati Rakondah berhasil merobek lambung

Pendekar Pulau Neraka itu, tapi 'Pukulan Racun Hitam'

juga bersarang di dada Adipati Rakondah.

"Hugh. Hoaaak...!" Adipati Rakondah memuntahkan

darah kental kehitaman.

"Ah...!" Bayu mengeluh sedikit.

Mendadak Pendekar Pulau Neraka itu merasakan

tubuhnya jadi panas bagai terpanggang. Sedangkan

matanya agak menyipit begitu melihat darah yang

mengucur dari lambungnya berwarna kehitaman. Dia

sadar kalau senjata Adipati Rakondah mengandung

racun yang sangat berbahaya. Sejenak dia memandang

lawannya yang sedang berusaha menguasai diri dari

pengaruh 'Pukulan Racun Hitam'.

"Mampus kau, Adipati Rakondah!" bentak Bayu

lantang.

Dan bagaikan seekor singa yang terluka, secepat kilat

Bayu berlari sambil mengerahkan seluruh tenaga

dalamnya pada telapak tangan. Sesaat Adipati

Rakondah terkesiap namun dengan cepat dia

melentingkan tubuhnya ke atas. Tapi sungguh di luar

dugaan, tubuh Bayu juga langsung melenting. Dan

secepat kilat tangan kanannya mengibas ke depan.

Secercah cahaya keperakan meluncar deras ke arah

tubuh Adipati Rakondah.

Tring!

Adipati Rakondah berhasil menghalau senjata cakra

itu, namun dia tidak sempat berkelit dari pukulan

tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Dan sambil meraung


keras, tubuh adipati itu meluruk jatuh ke tanah. Tepat

pada saat itu Bayu menangkap senjatanya yang balik

lagi, dan dengan cepat dia melontarkannya kembali ke

arah lawan.

"Hiyaaa...!"

"Aaakh...!"

Kembali jeritan melengking tinggi terdengar

menyayat. Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka itu

tertanam dalam di dada Adipati Rakondah. Dan

bersamaan dengan mendaratnya Bayu di tanah, tubuh

Adipati Rakondah tampak mengejang kaku tanpa nyawa

lagi.

"Ayah, Ibu..., satu lagi musuhmu telah terbalaskan,"

desah Bayu seraya mencabut senjatanya dari dada

Adipati Rakondah.

Kemudian Bayu memasang kembali senjatanya di

pergelangan tangan kanan, setelah membersihkannya,

dari noda‐noda darah. Untuk beberapa saat, pemuda

itu masih berdiri sambil memandangi Adipati Rakondah

yang terbujur kaku tanpa nyawa lagi.

Bayu tidak menyadari kalau ada sepasang mata

bening memperhatikannya sejak tadi. Pendekar Pulau

Neraka itu terus berjalan pelan‐pelan menuju ke arah

Timur.

"Eyang Watuagung harus tahu...," terdengar

gumaman pelan setelah bayangan tubuh Bayu lenyap

dari pandangan.

Nah, bagaimana sikap Eyang Watuagung setelah

mengetahui muridnya tewas? Percayakah dia kalau

Pendekar Pulau Neraka masih hidup? Lalu bagaimana

pula sikap Intan Delima pada pemuda yang telah


membunuh orang tuanya dan sekaligus telah

merenggut kegadisannya? Untuk lebih jelas, 


ikutilah

kisah Pendekar Pulau Neraka dalam episode CINTA

BERLUMUR DARAH.



                           SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar