PEMBALASAN RATU SIHIR
Oleh Teguh S.
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia,
Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Teguh S.
Serial Pendekar Pulau Neraka dalam
episode:
Pembalasan Ratu Sihir 128 hal. ; 12 x 18
cm
1
Dari kejauhan, Gunung Tangkar tampak
menjulang tinggi mencakar langit. Puncaknya
yang membentuk kerucut, selalu terselimut oleh
kabut tebal. Dalam Ibeberapa tahun belakangan
ini, tak seorang pun yang berani mendaki
gunung itu. Hal itu disebabkan oleh adanya
seorang perempuan tua yang bersemayam di
puncaknya. Dia adalah seorang yang ahli dalam
ilmu sihir dan sangat kejam. Maka tidak heran
kalau desa-desa di sekitarnya selalu tampak
sunyi, jauh dari kegiatan sehari-hari.
Namun keangkeran gunung itu tidak
menghalangi seorang laki-laki tua yang diikuti
oleh sekitar dua puluh orang, mendaki Lereng
Gunung Tangkar itu dengan langkah-langkah
lebar dan tergesa-gesa. Laki-laki itu adalah
Ketua Padepokan Tongkat Merah, yang bernama Ki
Pulut. Sedangkan para pengikutnya yang
berjumlah dua puluh orang tersebut, adalah
murid-muridnya. Mereka terus mendaki tanpa
menghiraukan lagi keangkeran gunung itu.
Di samping Ki Pulut, berjalan seorang
gadis yang beusia sekitar delapan belas tahun.
Dia berpakaian warna hijau muda dan sangat
ketat, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya yang
indah dan ramping terlihat jelas, sementara
rambutnya yang hitam dan panjang terikat oleh
kain pita yang warnanya hijau. Sedangkan
dipinggangnya terselip sebilah pedang pendek
yang gagangnya berbentuk kepala naga, dan
bermata dari batu merah delima.
"Masih jauhkah letak puncaknya, Ayah?"
tanya gadis itu. Suaranya mendesah dan
terputus-putus lantaran kecapaian.
"Kenapa? Takut?" Ki Pulut balik bertanya.
Gadis itu tidak menjawab.
"Dewi, sudah kukatakan sejak semula,
sebaiknya kau tinggal saja di padepokan. Nyai
Lumping itu orangnya sangat kejam dan ilmu
sihirnya sangat tinggi. Aku saja belum tentu
mampu menandinginya," kata Ki Pulut setengah
kesal.
"Kalau Ayah sendiri sudah merasa tidak
akan mampu menandinginya, kenapa menyanggupi
juga perintah Gusti Prabu Indrajaya?"
"Titah seorang raja tidak bisa dibantah,
Anakku. Kau tahu, apa akibatnya kalau aku
sampai menolak perintah itu? Bukan saja
padepokan kita akan hancur tapi kita semua
juga akan mati di tiang gantungan!"
"Huh! Apakah sikap semua raja selalu
begitu?" dengus Dewi Puspita.
"Tidak semuanya begitu, Dewi. Ada juga
seorang raja yang bijaksana dan adil. Dan
tidak pernah membebani rakyat dengan tugas-
tugas yang berat."
"Kan masih banyak padepokan-padepokan lain
yang lebih besar, Ayah. Kenapa Gusti Prabu
menunjuk padepokan kita?"
"Dewi, sebelum aku mendirikan Padepokan
Tongkat Merah, aku adalah seorang panglima
perang. Dulu, kerajaan Bumi Loka masih
diperintah oleh Ayahanda Gusti Prabu
Indrajaya. Dan aku mengundurkan diri setelah
Gusti Prabu Swarajaya mangkat. Aku merasa
sudah tua dan tidak kuat lagi untuk memimpin
sekian ribu prajurit."
"Aku merasa bahwa perintah ini bukan
datang dari Gusti Prabu Indrajaya. Aku menduga
hal ini adalah ulah...."
"Dewi! Jangan coba-coba berprasangka buruk
dulu pada orang lain," potong Ki Pulut agak
membentak.
"Ayah tidak perlu menutup-nutupi hal ini,
aku sudah tahu semuanya. Aku juga mengerti
kenapa Ayah mengundurkan diri dari jabatan
panglima. Dan aku juga sudah tahu, kenapa...?"
"Sudahlah, Dewi. Tuhan Maha Adil, barang
siapa yang menanam, pasti akan memetik
hasilnya! Yang penting sekarang, kita harus
melaksanakan tugas berat ini. Lihat, sebentar
lagi kita akan sampai di puncak. Mudah-mudahan
Nyai Lumping mau menerima kedatangan kita
dengan baik."
Meskipun dalam hatinya Dewi Puspita tidak
menyetujui sikap ayahnya itu, namun dia tidak
banyak bertanya lagi. Dia hanya berpikir,
siapa pun orangnya, pasti akan menolak tugas
ini. Karena semua orang tahu, menemui Nyai
Lumping berarti menyerahkan nyawa dengan sia-
sia!
Tiba-tiba Ki Pulut mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi di hadapan murid-
muridnya. Seketika pula pengikutnya
langsung berhenti melangkah, dan segera
mencabut senjatanya masing-masing. Tapi Ki
Pulut segera memerintahkan untuk menyimpan
kembali senjata mereka. Kini perasaan tegang
dan mencekam melanda mereka semua.
Sejenak Ki Pulut mengedarkan pandangan
berkeliling. Namun sejauh matanya memandang,
hanya kabut tebal yang terlihat. Sementara
angin yang bertiup kencang menyebarkan hawa
dingin seperti menusuk tulang. Mereka sekarang
sudah berada Puncak Gunung Tangkar, di mana
wanita tua yang berjuluk Ratu Sihir itu
tinggal.
***
Pelahan-lahan Ki Pulut mengayunkan
kakinya. Sementara Dewi Puspita dan semua
murid-muridnya mengikuti dari belakang. Bola
mata mereka terus mengawasi dengan tajam
keadaan sekitarnya.
"Barangkali Nyai Lumping sudah tidak ada
di sini lagi, Ayah," kata Dewi Puspita
setengah berbisik. Namun keadaan yang sunyi di
sekitar tempat itu membuat suara gadis itu
terdengar jelas.
"Hm...," Kl Pulut hanya bergumam tidak
jelas.
"Graaagh...!"
Tiba-tiba terdengar suara menggerung yang
dahsyat dan menggetarkan jantung. Mereka semua
langsung bersiaga dengan menghunus senjatanya
masing-masing!
"Hati-hati, kedatangan kita sudah
diketahui," kata Ki Pulut memperingatkan.
Suaranya terdengar setengah berbisik.
Belum lagi kering kata-kata laki-laki tua
itu, mendadak di sekitar tempat itu melayang
batu-batu cadas yang runcing dan tajam. Batu-
batu itu datang dari empat penjuru, bagaikan
dilontarkan oleh tangan-tangan yang besar dan
kuat. Tentu saja keadaan itu membuat dua puluh
orang murid Padepokan Tongkat Merah jadi
panik.
"Tenang! Itu cuma tipuan!" bentak Ki
Pulut. Aneh! Batu-batu itu langsung hilang
begitu menyentuh tanah, dan tidak ada satu
batu pun yang sempat mengenai tubuh mereka.
Namun tak lama sesudah hujan batu itu reda,
mendadak mereka dikejutkan kembali dengan
munculnya sesosok makhluk yang bertubuh
seperti raksasa. Tubuh makhluk itu dipenuhi
oleh bulu-bulu hitam yang tebal dan kasar.
Sedangkan wajahnya tidak berbeda jauh dengan
seekor kera, dengan sepasang bola mata
berwarna kemerahan dan bersorot tajam.
"Grhaaagh...!" makhluk itu kembali
menggeram dahsyat
"Tolooong...!" mendadak salah seorang
murid Ki Pulut menjerit keras sambil berlari.
Namun baru beberapa batang tombak dia
berlari, makhluk itu sudah melompat, dan
langsung mencengkeram pundaknya. Maka tanpa
ampun lagi, dengan giginya yang bertaring
tajam, makhluk mengoyak tubuh salah seorang
murid Padepokan Tongkat Merah itu!
"Kejam...!" desis Dewi Puspita tidak
sanggup untuk menyaksikan makhluk itu memakan
tubuh korbannya.
"Jangan!" sentak Ki Pulut ketika melihat
tiga muridnya maju.
Namun ketiga orang tersebut sudah keburu
lompat seraya menghunus senjatanya. Tampak dua
orang sudah memegang pedang, dan seorang lagi
menggenggam sebuah tongkat pendek berwarna
merah. Mereka langsung menyerang makhluk yang
mengerikan itu.
"Hiya...!"
"Yeaaa...!"
"Aaargh!"
Dengan bertubi-tubi mereka segera
membabatkan senjatanya masing-masing ke tubuh
makhluk itu. Namun makhluk itu hanya menggeram
dan membiarkan saja tubuhnya jadi bulan-
bulanan mereka. Tidak sedikit pun kulitnya
cidera.
Tiba-tiba saja tangan makhluk itu bergerak
menyambar, sehingga salah seorang dari mereka
terpental jauh sampai puluhan tombak. Suara
jeritannya terdengar melengking dan menyayat
hati. Belum lagi suara jeritan itu hilang dari
pendengaran, segera disusul dengan
terdengarnya satu jeritan, dan satu pekikan
tertahan. Tampak dua tubuh dengan kepala
hancur dan dada terbelah, menggeletak di
samping kaki makhluk itu.
"Graaagh...!" mendadak makhluk itu kembali
menggeram dahsyat sambil mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi.
"Kalian semua diam! Jangan ada lagi yang
bergerak tanpa perintahku!" seru Ki Pulut.
Seketika mereka yang mulai ribut, kembali
terdiam. Tampak jelas wajah mereka pucat
dengan tubuh gemetaran. Sementara makhluk
raksasa itu terus menggerung-gerung, sehingga
menggetarkan tanah yang mereka pijak. Namun
lama kelamaan raungan-nya makin melemah,
bersamaan dengan tubuhnya yang menyusut kecil.
Kini yang ada di depan mereka hanyalah seekor
kera biasa yang kelihatan jinak. Dan hewan itu
segera berlari menembus kabut dengan
meninggalkan suara yang mencericit ribut.
"Kalian harus tetap menuruti kata-kataku,
agar tidak ada lagi yang bernasib seperti
teman-temanmu!" kata Ki Pulut agak tertahan
suaranya. Bagaimanapun juga dia menyesali
kejadian barusan.
Kini suasana di Puncak Gunung Tangkar itu
kembali sunyi. Hanya terdengar deru angin dan
detak jantung mereka yang bergerak cepat.
Sementara kabut di sekitar tempat itu semakin
tebal dan menghalangi perjalanan mereka.
***
"Guru, sebaiknya kita kembali saja," kata
seorang memberanikan diri dengan wajah pucat.
"Benar, Guru," sambung yang lainnya dengan
tubuh bergemetaran.
Sejenak Ki Pulut memandangi wajah murid-
muridnya yang kini jumlahnya tinggal enam
belas orang. Hatinya sedih melihat kekerdilan
jiwa mereka, namun dengan bijaksana, Ki Pulut
segera bisa memakluminya.
Nama Nyai Lumping memang mampu
menggetarkan jiwa orang yang mendengarnya,
apalagi mereka telah menyaksikan kejadian yang
sangat mengerikan itu.
Bagi Ki Pulut, kematian seseorang dengan
cara apa pun juga, tidak membuatnya gentar
lagi. Sejak masih berkelana dalam dunia
persilatan, hingga menjadi seorang panglima
perang, dan sekarang menjadi guru dan ketua
sebuah padepokan, dia sudah biasa menghadapi
kematian. Tapi bagi murid-muridnya yang belum
pernah bertarung secara sungguh-sungguh tentu
kematian merupakan hal yang baru. Padepokan
yang didirikannya boleh dikatakan masih seumur
jagung, maka sudah sepantasnya kalau murid
muridnya yang baru beberapa orang itu masih
memiliki jiwa yang kerdil.
"Hik hik hik..!" tiba-tiba terdengar suara
tawa yang mengikik keras.
Suara tawa itu panjang dan mengerikan,
seolah-olah bergema dari segala arah! Seketika
enam belas orang pengikut Ki Pulut saling
berpandangan dengan wajah pucat pasi.
Sedangkan tubuh mereka juga semakin keras
menggigil. Kini mereka tidak sanggup lagi
untuk menahan diri, dan segera lari pontang-
panting sambil berteriak-teriak ketakutan.
Sementara Ki Pulut dan Dewi Puspita masih
terlihat tenang.
Tiba-tiba terlihat sinar-sinar yang
menyilaukan mata berkelebat cepat dan
menyambar-nyambar di antara tubuh-tubuh yang
sedang berlari tersebut.
Seketika terdengar jerit dan pekik
kematian yang memilukan, disusul dengan
bergelimpangannya enam tubuh orang-orang
pengikut Ki Pulut. Benar-benar mengerikan!
Tubuh mereka hangus terbakar, dan tewas tanpa
bisa berkutik lagi.
"Manusia-manusia bodoh! Berani-beraninya
kalian mengotori tempat tinggalku!" mendadak
terdengar suara nyaring melengking tinggi.
Belum lagi gema suara itu hilang, tiba-
tiba di hadapan mereka muncul seorang
perempuan tua yang usianya sekitar seratus
tahun. Dia mengenakan baju longgar yang
warnanya sudah kusam. Sedangkan di tangan
kanannya tergenggam sebatang tongkat berkeluk-
keluk yang ujungnya berbentuk tengkorak kepala
manusia. Wajahnya nyaris tertutup oleh rambut
yang warnanya sudah putih dan kusut. Namun
sinar matanya masih terlihat nyalang dan
tajam. Sementara jari tangannya berkuku hitam
panjang dan runcing.
Kini semua mata memandang pada perempuan
tua itu tidak berkedip. Degup jantung mereka
terasa lebih cepat dari biasanya.
"Hik hik hik.., aku sudah tahu maksud
kedatanganmu, Ki Pulut," perempuan tua itu
kembali bersuara.
Ki Pulut tidak heran lagi kalau Nyai
Lumping sudah mengetahui namanya, dan bisa
menebak maksud kedatangannya. Perempuan tua
itu memang punya kepandaian yang jarang
dimiliki oleh orang lain. Dia bisa mengetahui
jalan pikiran seseorang, dan juga bisa melihat
semua kejadian meskipun sangat jauh tempatnya.
"Tidak ada seorang pun yang mampu
menghalangi kehendakku, Ki Pulut! Dewa pun
pasti akan berpikir seribu kali sebelum
menegurku!" kata perempuan tua itu pongah.
"Ketahuilah, Nyai Lumping. Aku datang
dengan maksud untuk menghentikan segala
tindakan angkara murkamu! Sudah banyak orang-
orang yang tak berdosa mati di tanganmu!" kata
Ki Pulut lantang dan tak merasa gentar sedikit
pun.
"Hik hik hik...! Nyalimu cukup besar juga,
Ki Pulut. Tapi sayang, kau belum cukup kuat
untuk meredamku!"
"Atas nama Gusti Prabu lndrajaya, aku rela
menyabung nyawa demi kebenaran!"
"Hebat! Hik hik hik...! Rupanya bocah
ingusan ini kini sudah mulai mengikuti jejak
orang tuanya. Hebat...!"
Kembali Nyai Lumping tertawa mengikik dan
menyeramkan. Dan pada saat itu, diam-diam Ki
Pulut mencabut senjatanya yang berupa sebatang
tongkat berwarna merah. Sejak tadi tongkat
sepanjang lengan itu terselip di pinggangnya
dan tertutup jubah yang panjang. Tangannya
sedikit bergetar sambil menggenggam ujung
tongkat.
"Tahan seranganku, Perempuan Iblis!"
bentak Ki Pulut keras. "Hih! Hiyaaa...!" "Huh!
Hik hik hik...!"
***
Suara tawa Ratu Sihir itu terus terdengar
meskipun dia tengah melayani serangan-serangan
Ki Pulut yang dahsyat dan mematikan. Tongkat
merah di tangan laki-laki tua itu terus
berlebatan cepat hingga menimbulkan suara
angin yang menderu-deru. Sementara kabut yang
menyelimuti Puncak Gunung Tangkar tersibak,
dann terhempas oleh hembusan angin yang ke
luar dari klbasan-kibasan tongkatnya.
Sedangkan Dewi Puspita dan sepuluh orang
lainnya tampak sudah berjaga-jaga dengan
senjata terhumus. Pertarungan antara Ki Pulut
dengan Nyai Lumping terus berjalan makin
sengit dan cepat. Begitu cepatnya, sehingga
yang tampak hanyalah dua bayangan berkelebatan
saling serang dan bertahan.
"Hik hik hik...! Keluarkan seluruh
kepandaianmu, Kl Pulut!" ejek Nyai Lumping
terus mengikik.
"Setan...!" geram Ki Pulut sengit.
Ketua Padepokan Tongkat Merah itu semakin
memperhebat serangan-serangannya. Bahkan kini
tidak tanggung-tanggung lagi, dia langsung
mengeluarkan jurus-jurus andalannya! Namun
tampaknya Nyai Lumping masih menanggapinya
dengan ringan. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu
lincah. Tak sedikitpun tongkat merah milik Ki
Pulut mampu menyentuhnya.
Hal itu tentu saja membuat Ki Pulut
semakin penasaran, karena serangan-serangannya
selalu dapat dipatahkan dengan mudah. Kini
hampir semua ilmu yang dia andalkan sudah
dikerahkan, namun belum juga mampu mendesak
perempuan tua itu. Bahkan sudah beberapa kali
dia harus jatuh bangun untuk menghindari
serangan-serangan balasan dari Ratu Sihir itu.
Melihat ayahnya semakin kewalahan dan
mulai terdesak, Dewi Puspita segera
memerintahkan kepada sepuluh orang murid
ayahnya untuk membantu. Dan tanpa menunggu
perintah dua kali, mereka langsung berlompatan
ke depan.
"Hik hik hik...! Bagus...! Biar sekalian
kubereskan kalian semua!" seru Nyai Lumping
gembira..
Sementara Ki Pulut yang sudah merasa
kewalahan, tidak melarang murid-muridnya ikut
menyerang Nyai Lumping. Sedangkan Dewi Puspita
juga tidak mau ketinggalan, dengan pedang
peraknya dia segera merangsek dengan jurus-
jurus pedangnya yang dahsyat.
"Lebih enak kalau kalian mati terpanggang!
Hup!" Wus...!
Mendadak Ratu Sihir itu melenting tinggi
sambil mengebutkan kedua tangannya. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, dari kedua telapak
tangannya tiba-tiba meluncur api. Seketika
tempat di sekitar itu terbakar hebat! Sebentar
saja jerit pekik terdengar memilukan,
mengiringi beberapa orang yang belingsatan
terjilat oleh api. Bahkan ada beberapa orang
yang berguling-guling di tanah dengan tubuh
berkobar api.
Buru-buru Ki Pulut segera menyambar tangan
Dewi Puspita, dan membawanya ke luar dari
lingkaran api itu. Sementara sepuluh orang
muridnya sudah menggelepar-gelepar di tanah.
"Hik hik hik...!" Nyai Lumping tertawa
mengikik menyaksikan lawan-lawannya tidak
berdaya terkurung oleh api buatannya.
Namun tawa perempuan itu tiba-tiba
terhenti! Mendadak di sekitar tempat itu
bertiup angin topan yang langsung memadamkan
api itu. Tampak Ki Pulut lengah merentangkan
tangannya ke depan. Ternyata laki-laki tua
itulah yang menciptakan angin yang sangat
dahsyat itu. Namun terlambat, karena seluruh
murid-muridnya sudah tewas terbakar.
"Grrr...!" Nyai Lumping langsung menggeram
bagai singa betina.
Tiba-tiba perempuan tua itu mengangkat
tongkatnya tinggi-tinggi, dan dengan cepat
tongkat itu dibantingkan ke tanah. Lalu
secepat kilat tongkatnya diarahkan ke depan,
seketika itu juga meluncurlah sinar-sinar yang
sangat menyilaukan mata. Sinar-sinar itu
kemudian meluruk deras ke arah Ki Pulut dan
Dewi Puspita.
"Dewi, awas...!" seru Ki Pulut
memperingatkan.
Dengan cepat Ki Pulut kemudian memutar
tongkat merahnya, membuat tameng! Dan sinar-
sinar itu segera berlompatan dan tak mampu
menembus lingkaran merah yang keluar dari
tongkat itu. Sementara itu Dewi Puspita juga
tengah sibuk berlompatan untuk menghindari
sinar-sinar yang tertuju kepadanya. Beberapa
kali dia memekik tertahan sambil menghalau
sinar-sinar itu dengan pedangnya.
Aneh! Sinar itu seakan-akan memiliki
nyawa, dan mampu menghancurkan benda apa saja.
Kalau saja pedang gadis itu hanya sebuah
pedang biasa, mungkin sudah hancur sejak tadi
terhantam sinar itu.
"Dewi! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru
Ki Pulut sambil terus menghindar dari gempuran
sinar-sinar itu!
"Bagaimana dengan Ayah!"
"Jangan hiraukan aku, aku akan segera
menyusul!"
Sebentar Dewi Puspita menatap ayahnya,
lalu dengan cepat dia melompat dan
meninggalkan tempat itu. Namun kepergian Dewi
Puspita segera diketahui oleh Nyai Lumping.
Dan perempuan tua itu langsung mengarahkan
kepala tongkatnya kepada gadis itu. Namun
dengan cepat Ki Pulut melenting dan menghajar
tongkat itu. Seketika satu ledakan keras
terdengar begitu tongkat merah membentur
kepala tongkat berbentuk tengkorak manusia
itu.
Tubuh Ki Pulut terpental sejauh sepuluh
batang tombak. Sedangkan Nyai Lumping hanya
terdorong dua langkah ke belakang. Saat itu
Dewi Puspita sempat berbalik, dan dia
tersentak ketika melihat ayahnya terpental
jauh dan membentur sebuah dinding batu yang
keras.
"Ayah...!" jerit Dewi Puspita tak bisa
menahan diri
"Cepat pergi!" bentak Ki Pulut seraya
berusaha bangkit.
Sejenak Dewi Puspita masih ragu-ragu,
namun begitu melihat ayahnya kembali berdiri
dengan tegar, gadis itu segera berbalik dan
berlari cepat dengan mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya.
"Kalian tidak akan bisa lolos dariku,
keparat...!" geram Nyai Lumping seraya
melenting dan mengejar Dewi Puspita.
Melihat itu, dengan cepat Ki Pulut
melenting dan memapak perempuan tua itu.
Kembali mereka saling berbenturan di udara.
Dan untuk kedua kalinya terdengar satu ledakan
dahsyat disusul dengan terpentalnya tubuh
mereka. Namun dengan cepat keduanya segera
bangkit kembali. Sementara itu Dewi Puspita
sudah jauh meninggalkan Puncak Gunung Tangkar.
"Setan! Kubunuh kau. Pulut...!" geram Nyai
Lumping gusar.
Dan tanpa menghiraukan Dewi Puspita lagi,
Nyai Lumping langsung menyerang Ki Pulut yang
sudah dalam kondisi tidak stabil lagi. Dengan
sisa-sisa tenagannya, Ki Pulut masih mampu
menandingi serangan-serangan perempuan tua
itu. Namun baru berjalan beberapa jurus saja,
nampaknya Ki Pulut sudah tidak mampu lagi
untuk bertahan. Gerakan-gerakannya kini mulai
tidak beraturan lagi, dan pertahanannya
semakin mengendur. Hingga suatu saat....
"Mampus kau, hiyaaa...!" pekik Nyai
Lumping sambil melompat cepat.
Saat itu juga ujung tongkatnya menusuk ke
dada Ki Pulut. Dengan bersusah payah, Ki Pulut
berusaha menghindar dengan menjatuhkan diri ke
tanah, namun ujung tongkat perempuan tua itu
masih juga sempat merobek bahunya. Darah segar
mengucur deras keluar dari bahu yang menganga
lebar.
Kl Pulut terhuyung-huyung kebelakang. Dan
tanpa dapat dicegah lagi, satu tendangan keras
mendarat di dadanya. Kembali laki-laki tua itu
terpental jauh membentur pohon hingga tumbang.
Rupanya Nyai Lumping belum juga merasa puas.
Sambil berteriak nyaring, dia melompat dan
menghunjamkan ujung tongkatnya ke dada Ki
Pulut.
"Aaakh...!" Ki Pulut langsung menjerit
keras.
Darah segar menyembur dari dada Ki Pulut
begitu ujung tongkat yang tertanam dalam di
dada tercabut. Nyai Lumping segera
membersihkan ujung tongkatnya yang penuh darah
dengan baju yang dikenakan oleh Ki Pulut yang
kini telah tidak bernyawa lagi itu.
"Huh! Anak setan itu harus segera
dilenyapkan, kalau tidak pasti dia akan
menjadi penghalangku kemudian hari!" geram
Nyai Lumping.
Lolosnya Dewi Puspita membuat Ratu Sihir
itu marah luar biasa. Dan dia tidak akan
membiarkan seorang pun lolos dari tangannya.
Dan sekali loncat saja, perempuan tua itu
sudah lenyap ditelan kabut, meninggalkan
beberapa mayat yang bergelimpangan. Kini
kesunyian kembali menyelimuti Puncak Gunung
Tangkar itu. Sementara angin yang berhembus
kencang menyebarkan bau anyir darah yang
menggenang di tanah sekitar tempat itu.
***
2
Di Istana Kerajaan Bumi Loka, Prabu
Indrajaya tengah duduk di singgasana,
didampingi oleh permaisurinya yang cantik dan
anggun. Sedangkan para patih, panglima dan
pembesar-pembesar kerajaan lainnya duduk
menghadap dengan takjim. Mereka kini tengah
membicarakan keadaan kerajaan yang belakangan
ini sering dilanda musibah. Bahkan ada sebuah
desa yang tidak jauh dari Kaki Gunung Tangkar
hampir musnah diserang wabah penyakit yang
sulit untuk diberantas.
Sudah puluhan tabib didatangkan untuk
dimintai pertolongan, namun tidak satu pun
yang mampu mengusir wabah itu Dan mereka semua
punya pendapat yang sama, wabah itu sengaja
dikirimkan oleh seorang ahli sihir yang
tinggal di Puncak Gunung Tangkar. Semua orang
tahu, siapa ahli sihir itu. Seorang perempuan
tua yang dijuluki Ratu Sihir dan bernama Nyai
Lumping
"Paman Patih Ardareja, apakah tidak ada
lagi seorang tabib atau orang pandai di negeri
ini yang mampu mengusir wabah itu?" tanya
Prabu lndrajaya sambil memandang seorang laki-
laki setengah baya.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba sudah
mengerahkan berpuluh-puluh tabib dan orang
pandai, namun wabah itu sukar untuk
diberantas. Karena wabah itu memang sengaja
diciptakan oleh nenek sihir jahat yang
bermukim di Puncak Gunung Tangkar," sahut
Patih Ardareja seraya memberi sembah.
"Hm..., maksudmu Nyai Lumping?" tanya
Prabu Indrajaya seraya mengerutkan keningnya.
"Benar, Gusti Prabu."
Untuk beberapa saat lamanya Prabu
Indrajaya terdiam merenung. Sementara semua
orang yang berada di Balai Agung Istana Bumi
Loka itu juga diam membisu. Namun saat suasana
tengah dicekam kesunyian itu, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara tawa yang mengikik
keras.
"Hik hik hik...!"
Seketika mereka semua tersentak seraya
mengangkat kepalanya. Sedangkan suara tawa
mengikik itu semakin jelas terdengar, dan
bergema ke seluruh ruangan. Para patih dan
panglima segera berdiri seraya menghunus
senjata masing-masing. Sedangkan para prajurit
yang menjaga, juga sudah siap dengan senjata.
Sementara dayang-dayang yang berjumlah tidak
lebih dari dua puluh orang, segera membawa
masuk Permaisuri Puspa Sari ke kaputren.
Kemudian dengan diiringi oleh empat orang
panglima perang kerajaan, Prabu lndrajaya
segera melangkah ke luar.
***
Seorang perempuan tua berbaju kusam dengan
memegang tongkat berkepala tengkorak, berdiri
di tengah-tengah halaman depan istana yang
luas. Tidak kurang dari tiga puluh orang
prajurit sudah mengepungnya. Sementara
perempuan tua itu terus terkekeh, membuat
tubuhnya yang bungkuk semakin bertambah
bungkuk.
Sedangkan Prabu Indrajaya sudah berdiri
tegak pada undakan pertama tangga istana
didampingi oleh empat orang panglima. Di
belakangnya berjejer para patih dan pembesar-
pembesarnya. Wajah-wajah mereka kelihatan
tegang. Mereka sudah tahu, siapa perempuan tua
yang datang dengan tiba-tiba dan tanpa aturan
itu.
"Hik hik hik...!"
"Nyai Lumping! Apa maksudmu datang ke
sini? tanya Patih Ardareja lantang suaranya.
"Hik hik hik...! Sudah bertahun-tahun aku
melupakan semuanya. Aku menyepi tanpa mau
diganggu oleh siapa pun. Aku juga sudah
berusaha untuk mematuhi perjanjianku dengan
ayahmu, Indrajaya!" Nyai Lumping tidak sedikit
pun hormat pada Prabu Indra jaya.
"Nyai Lumping, jika kedatanganmu memang
bermaksud baik, marilah kita bicara baik-baik
di dalam." ajak Prabu Indrajaya ramah dan
sopan. Dia sama sekali tidak merasa
tersinggung dengan sikap perempuan tua itu
yang tidak menghormatinya sebagaimana mestinya
"Kedatanganku bisa bermaksud baik ataupun
buruk, tergantung dari sikap tikus-tikusmu,
Indrajaya!"
Para panglima, patih dan pembesar kerajaan
lainnya hanya bisa menggerutu dalam hati. Dan
tidak ada satu pun yang berani menunjukkan
sikap berang pada wanita itu. Meskipun kata-
katanya sangat menusuk dan menyakitkan.
"Mari, silakan masuk," ajak Prabu
Indrajaya dengan ramah.
"Tidak perlu! Kedatanganku hanya ingin
mengatakan bahwa kau telah membuka kembali
pertikaian lama!" tegas kata-kata Nyai
Lumping.
"Nyai Lumping, aku tidak mengerti
maksudmu! Tolong dijelaskan," pinta Prabu
Indrajaya setengah kaget.
"Hm..., aku tidak percaya kalau ternyata
kau pandai berpura-pura. Seluruh rakyatmu akan
binasa jika kau tidak mau meminta maaf padaku
seperti yang telah dilakukan oleh ayahmu,
Indrajaya! Camkan itu baik-baik!"
"Nyai Lumping, aku merasa tidak pernah
melakukan tindakan apa pun terhadapmu!
Katakan, apa yang telah terjadi," Prabu
Indrajaya jadi bingung.
"Aku yakin, kau telah mengirim tikus-tikus
yang tak berguna ke Puncak Gunung Tangkar! Itu
berarti bahwa kau telah melanggar janji ayahmu
terhadapku! Kau pasti sudah tahu akibatnya,
Indrajaya!"
Seketika Prabu Indrajaya tersentak kaget.
Dia sama sekali tidak merasa telah mengirim
satu orang pun ke Puncak Gunung Tangkar,
apalagi dengan maksud membunuh perempuan tua
ini. Dia memang tahu betul akan perjanjian
yang telah disepakati antara ayahnya dengan
Nyai Lumping, yaitu untuk tidak saling
mengganggu dan menyeberangi batas wilayah
masing-masing. Dan jika ada seorang rakyatnya
yang kesasar, itu tanggung jawabnya sendiri,
pihak kerajaan tidak akan ikut campur.
"Semua orang yang telah kau kirim sudah
mampus, lndrajaya! Hanya satu orang yang
berhasil lolos dari tanganku, dan kau harus
segera menyerahkan orang itu padaku, paling
lambat satu pekan setelah kedatanganku ini!"
kata Nyai Lumping lagi seraya hendak beranjak
pergi.
"Tunggu dulu, Nyai...!" teriak Prabu
Indrajaya. Tapi Nyai Lumping sudah keburu
menghilang dengan meninggalkan kepulan asap
putih. Kini Prabu Indrajaya tidak dapat
berbuat apa-apa lagi. Kedatangan wanita tua
itu adalah suatu tanda akan terjadinya
malapetaka besar, dan tidak mudah untuk
dihadapi. Satu pekan bukanlah waktu yang
panjang, lagi pula di antara mereka tidak ada
yang tahu, siapa orang yang dimaksud oleh Nyai
Lumping.
Beberapa saat kemudian, Prabu Indrajaya
bergegas masuk kembali ke Balai Agung. Tampak
wajahnya muram, dan keningnya berkerut dalam.
Sementara para panglima, patih dan pembesar
kerajaan lainnya juga makin bingung. Ancaman
wanita penyihir itu bukan hanya gertak kosong
belaka! Ancaman itu sudah didahului dengan
sebuah tindakan, yakni menyebarkan wabah
penyakit pada salah satu desa.
"Aku tidak tahu, siapa orang yang telah
berani menggunakan namaku...?" gumam Prabu
Indrajaya seraya menghenyakkan tubuhnya di
singgasana.
"Gusti Prabu, ijinkanlah hamba untuk
mencari orang yang diinginkan oleh Nyai
Lumping," kata Patih Ardareja pelan.
"Bukan hanya kau saja, Paman Patih
Ardareja. Aku juga akan perintahkan kepada
seluruh patih dari panglima untuk segera
menangkap orang itu. Nanti biarlah aku sendiri
yang akan menyerahkannya pada Nyai Lumping!"
kata Prabu lndrajaya tegas.
Semua patih dan panglima segera
menghaturkan sembah, lalu tanpa diperintah dua
kali, mereka segera meninggalkan tempat itu.
Sementara Prabu Indrajaya duduk merenung
dengan kening berkerut dalam. Persoalan yang
dihadapi kali ini sangat berat. Tidak ada
jalan lain lagi, selain menuruti keinginan
Nyai Lumping. Sedangkan para pembesar kerajaan
lainnya masih tetap menemani tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun.
***
Hari terus berlalu menurut perputaran
waktu yang telah ditentukan oleh Yang Kuasa.
Sementara keadaan di Kerajaan Bumi Loka, sejak
kedatangan Nyai Lumping ke istana, semakin
dilanda keresahan. Setiap hari ada saja
seorang prajurit yang tewas di tangannya.
Sedangkan Prabu lndrajaya nampaknya juga
semakin gelisah menghadapi kenyataan itu.
Selama dua hari ini, sudah tidak terhitung
lagi jumlah rakyatnya yang tewas!
Sementara itu, para panglima dan patih-
patih kerajaan terus berusaha mencari orang
yang diinginkan oleh Nyai Lumping. Dan hampir
seluruh prajurit dikerahkan, namun sampai saat
ini belum juga berhasil. Memang sulit, karena
Nyai Lumping tidak mau memberitahu siapa nama
orang yang dimaksudkan itu. Sedangkan dalang
yang telah membuat perempuan ahli sihir itu
berang, juga belum ketahuan.
Pagi itu langit di atas Kerajaan Bumi Loka
diselimuti oleh awan hitam, seolah-olah ikut
bersedih de ngan keadaan yang tengah menimpa
Kerajaan Bumi Loka. Kini tak ada seorang pun
yang berani ke luar rumah, mereka takut
bertemu dengan Nyai Lumping yang selalu
berkeliaran membunuh siapa saja yang
ditemuinya.
"Uh! Kalau keadaan begini terus, bisa
bangkrut aku, Mak...!" keluh seorang pemilik
kedai.
Seorang perempuan tua yang tengah sibuk
mengunyah sirih, hanya diam saja mendengar
keluhan itu. Pandangan matanya tetap lurus ke
depan melalui pintu jendela yang terbuka
sedikit. Tampak laki-laki tua yang mengeluh
tadi, hanya duduk sambil bersungut-sungut di
dalam kedainya yang sepi.
"Sampai kapan tindakan perempuan iblis itu
mau berhenti? Kalau cuma menginginkan satu
orang saja, kenapa harus menghancurkan sebuah
kerajaan? Huh! Bisa rusak semua daganganku
kalau begini!" laki-laki tua itu terus
mengeluh.
"Hati-hati kalau bicara, Ki. Kalau dia
dengar, bisa celaka kita!" rungut perempuan
tua itu seraya meludahkan air sirih yang
berwarna merah kekuningan.
"Peduli setan! Kalau iblis itu mau
membunuhku, bunuh saja! Habiskan semua rakyat
Bumi Loka! Tuhan pasti akan mengutuk
perbuatannya!" laki-laki tua pemilik kedai itu
tidak peduli.
"Ki..!" sentak wanita itu gemetaran Dan
saat laki-laki tua itu mau membuka mulutnya
lagi, tiba-tiba terdengar suara ketukan di
pintu. Sejenak mereka saling berpandangan
dengan wajah pucat pasi. Tampak seluruh tubuh
perempuan tua itu menggigil, dan titik-titik
keringat yang sebesar-besar jagung merembes
dari keningnya.
"Apa kubilang, hati-hati kalau bicara!"
rungut perempuan tua itu menyalahkan suaminya.
"Sss..., siapa...?" seru laki-laki tua itu
bergetar tiaranya.
"Aku...!" sahut sebuah suara dari luar.
"Aku, siapa...?" "Aku! Boleh masuk?"
Laki-laki tua itu kembali menoleh pada
istrinya, kemudian dengan pelan ia beringsut
bangun dari kursinya. Namun tampaknya dia
masih ragu-ragu untuk melangkah.
"Ki...!" parau suara wanita tua itu.
Laki-laki tua pemilik kedai itu memandang
istrinya sejenak, lalu kakinya terayun
menghampiri pintu kedainya yang masih tertutup
rapat. Dan dengan tangan bergetar, dia membuka
palang pintu. Sedikit demi sedikit pintu dari
kayu itu terkuak, dan menimbulkan suara
bergerit.
Tampak di depan pintu sudah berdiri
seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda
itu segera tersenyum seraya menganggukkan
kepalanya sedikit. Sedangkan laki-laki tua
pemilik kedai itu menyambutnya dengan
tersenyum dan mengangguk pula. Sejenak dia
melangkah mundur beberapa tindak sambil
mengamati tamunya itu. Sementara pemuda itu
mulai melangkah masuk sambil menunduk agar
tidak membentur tiang pintu yang rendah.
"Apakah kedai ini masih menerima tamu,
Pak?" tanya pemuda itu dengan sopan.
Laki-laki pemilik kedai itu tidak segera
menjawab. Dia kemudian menoleh pada istrinya
yang masih gemetaran. Lalu buru-buru dia
menghampiri pintu dan menutupnya dengan rapat.
Keadaan itu tentu saja membuat pemuda itu
heran.
"Maaf, kalau kedatanganku telah membuatmu
takut," kata pemuda itu tetap sopan.
"Oh, tid..., tidak, Tuan. Silakan," sambut
laki-laki tua pemilik kedai itu agak tergagap.
"Terima kasih."
Pemuda itu kemudian duduk di kursi yang
berada di tengah-tengah ruangan kedai itu.
Sementara perempuan tua yang sejak tadi
memperhatikan dengan wajah pucat, bergegas
melangkah ke belakang.
"Aku seorang pengembara, namaku Bayu
Hanggara. Bapak cukup memanggilku Bayu,"
pemuda itu memperkenalkan diri.
"Aku biasa dipanggil Ki Bawuk. Sedangkan
perempuan yang tadi itu adalah istriku. Maaf
kalau penyambutan kami tidak berkenan di hati
Tuan," kata laki-laki pemilik kedai itu juga
memperkenalkan diri.
"Kenapa kedaimu tutup, Ki?" tanya Bayu
atau yang lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Pulau Neraka.
"Sudah dua hari ini aku memang menutup
kedai. Sepi, Tuan."
"Hm..., kenapa? Aku lihat keadaan di luar
sana juga sepi," tanya Bayu sambil mengerutkan
keningnya.
Ki Bawuk tidak segera menjawab. Dia malah
melangkah ke pintu belakang.
"Mak, cepat sediakan makanan dan minuman!"
serunya agak keras.
"Iya, sebentar!" terdengar teriakan dari
dapur.
Lalu Ki Bawuk kembali mendekati pemuda
itu. Sejenak dia menarik sebuah kursi dan
duduk di depan pemuda itu.
"Tampaknya ada sesuatu yang tengah terjadi
di sini," gumam Bayu. "Oh, ya. Apa nama tempat
ini, Ki?"
"Kerajaan Bumi Loka, rajanya bernama Gusti
Prabu Indrajaya. Di sini memang sedang terjadi
suatu bencana besar, Tuan," sahut Ki Bawuk
menjelaskan.
"Bencana...? Bencana apa, Ki?"
Belum lagi Ki Bawuk sempat menjawab,
istrinya sudah ke luar sambil membawa hidangan
sederhana. Dan tanpa bicara sepatah kata pun,
dia segera menghidangkan makanan dan minuman
itu di atas meja.
"Maaf, kami tidak bisa menyediakan yang
lebih baik dari ini," kata Ki Bawuk seraya
mempersilakan.
"Terima kasih. Bagiku ini saja sudah lebih
dari cukup," sahut Bayu tersenyum maklum.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu segera
menikmati hidangannya itu dengan lahap. Hampir
satu bulan dia tidak pernah menikmati masakan
seperti itu. Selama dalam pengembaraannya,
yang biasa menjadi makanannya hanyalah
binatang-binatang buruan saja. Ki Bawuk dan
istrinya terus memandanginya dengan kepala
yang dipenuhi berbagai macam tanda tanya.
Mereka belum pernah melihat pemuda ini
sebelumnya. Sementara Bayu tetap makan tanpa
peduli dirinya diperhatikan. Dia memang lapar,
karena perutnya dari pagi belum terisi makanan
sedikit pun.
***
Bayu tampak tengah mengamati keadaan
sekitarnya dari balik jendela kamarnya.
Beruntung dia telah mendapatkan kamar sewaan
yang menghadap langsung ke jalan utama
Kerajaan Bumi Loka. Di samping membuka kedai,
Ki Bawuk juga menyediakan kamar untuk menginap
bagi para pelancong. Dan kini, sedikitnya Bayu
sudah bisa mengetahui situasi yang sedang
terjadi dari Ki Bawuk.
Selama dalam pengembaraannya, Bayu belum
pernah sekali pun mendengar atau bertemu
dengan seorang ahli sihir. Dia sudah merasakan
adanya keganjilan saat dia mulai memasuki
pintu gerbang kerajaan ini.
"Masuk!" seru Bayu sambil menoleh ke pintu
ketika mendengar suara ketukan dari luar.
Tampak pintu kamar itu kemudian terkuak
pelahan-lahan, lalu muncullah seorang gadis
cantik yang memakai baju ketat berwarna hijau.
Di pinggangnya terselip sebilah pedang pendek.
Dari tanpa dipersilakan lagi, dia segera
melangkah masuk seraya menutup pintu kamar
kembali. Sejenak Bayu memandangi tamunya itu,
kemudian dia membalikkan tubuhnya dan
membelakangi jendela.
"Benarkah kau yang bernama Bayu Hanggara,
si Pendekar Pulau Neraka?" nada suara gadis
itu seperti ingin meyakinkan.
"Benar," sahut Bayu seraya kembali memutar
tubuhnya, dan menutup pintu jendela. Kemudian
dia berbalik lagi dan melangkah ke kursi. Dan
dengan enak dia segera duduk di kursi itu.
"Silakan duduk."
Gadis itu pun mengambil tempat di kursi
dekat pintu.
"Siapa nama Nona?" tanya Bayu
"Namaku Dewi Puspita, tapi kau cukup
memang gilku Dewi saja," gadis itu
memperkenalkan diri.
"Dari mana kau tahu namaku? Apakah Ki
Bawuk yang telah mengatakannya padamu?"
"Ya, dan aku memang sudah mengetahui
kedatanganmu sejak siang tadi," sahut Dewi
Puspita terus terang.
"Lalu, apa maksudmu menemuiku?"
"Sebenarnya ini adalah persoalan rahasia,
dan ada hubungannya dengan keadaan yang sedang
terjadi di Kerajaan Bumi Loka ini."
Sejenak Bayu mengerutkan keningnya.
Matanya agak menyipit sambil terus memandangi
wajah cantik di depannya. Sejak pertama kali
datang ke kerajaan ini, dia memang menyimpan
berbagai macam pertanyaan. Dan sekarang datang
seorang gadis cantikyang tampaknya sudah
mengetahui persis keadaan yang tengah terjadi
di sini.
"Terus terang. Pamanku sendiri, Ki Bawuk,
tidak mengetahui persoalan yang sesungguhnya.
Dan sampai sekarang pun aku masih
merahasiakannya," lanjut Dewi Puspita.
"Hm..., kenapa kau justru ingin
mengatakannya padaku?" selidik Bayu.
"Aku sudah sering mendengar namamu,
seorang pendekar yang tangguh dan digdaya.
Meskipun banyak orang dari kalangan rimba
persilatan tidak menyukai tindakanmu, tapi
pada saat ini aku membutuhkan pertolonganmu.
Aku percaya bahwa kau akan membantuku dalam
mengatasi kemelut ini."
Kembali Bayu terdiam untuk beberapa saat.
Dia tidak kaget lagi mendengar gadis itu
mengetahui tentang dirinya, meskipun mereka
belum pernah berjumpa sebelumnya. Nama
Pendekar Pulau Neraka memang sedang menjadi
buah bibir di kalangan rimba persilatan. Sepak
terjangnya yang tegas dan tidak mengenal kata
ampun itu, membuat tokoh-tokoh rimba
persilatan, baik golongan hitam maupun putih
merasa terusik. Sedangkan Bayu sendiri tidak
mengenal golongan dalam rimba persilatan. Dia
punya prinsip yang dipegang kuat. Dibunuh,
atau membunuh!
Namun selama dalam masa pengembaraannya,
belum pernah Bayu mencampuri urusan orang
lain. Persoalannya sendiri saja belum tuntas,
dan masih banyak lagi orang-orang yang harus
dicarinya untuk mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya. Di samping itu, Bayu juga masih
diliputi oleh rasa penasaran, karena dia belum
menemukan pusara ibunya, tapi pusara ayahnya.
Dewa Pedang, sudah dia ketahui dari salah
seorang murid Padepokan Teratai Putih yang
selamat, dan kini mengurus pusara gurunya itu.
"Aku tahu, memang akan sia-sia saja
menemuimu. Tapi setidaknya aku kan sudah
berusaha. Maaf aku telah mengganggu waktu
istirahatmu," kata Dewi Puspita seraya
beranjak dari duduknya. "Tunggu dulu," cegah
Bayu. Dewi Puspita tidak jadi membuka pintu.
Dia lalu menoleh dengan tatapan mata penuh
harap. Wajahnya nampak murung, dan terlihat
adanya keputusasaan.
"Aku memang pengecut, mementingkan
keselamatan diri sendiri tanpa menghiraukan
orang lain. Seharusnya aku segera menyerahkan
diri," lirih suara Dewi Puspita.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi?"
tanya Bayu.
Secercah harapan muncul di wajah gadis
itu. Sinar matanya yang semula redup, kini
kembali bercahaya. Pertanyaan Pendekar Pulau
Neraka itu menyiratkan suatu maksud yang
semula dianggapnya mustahil. Kini Bayu kembali
meminta gadis itu untuk duduk dan menceritakan
semua peristiwa yang tengah melanda Kerajaan
Bumi Loka ini.
***
3
Sampai tengah malam Dewi Puspita masih
berada di kamar penginapan Bayu Hanggara.
Gadis itu telah menceritakan semua peristiwa
dari awal hingga saat ini. Sementara Bayu pun
mendengarkan semua itu dengan penuh perhatian.
Kini hatinya jadi semakin tertarik untuk
mengetahui semuanya dengan jelas. Dia ingin
tahu, seperti apa ilmu sihir itu. Sering dia
mendengar cerita tentang ilmu sihir, tapi
belum pernah melihat langsung dengan mata
kepala sendiri.
"Kau sudah yakin, bahwa tugas itu tidak
datang dari raja, kenapa masih mau
melakukannya juga?" tanya Bayu setelah Dewi
Puspita selesai dengan ceritanya.
"Aku sudah katakan hal itu pada Ayah, tapi
Ayah tidak mau mendengar. Dia terlalu patuh
pada titah Gusti Prabu," sahut Dewi Puspita
setengah menyesali sikap ayahnya.
"Siapa yang telah menemui ayahmu?" tanya
Bayu.
"Patih Ardareja dan Panglima Rupadi dengan
dikawal beberapa prajurit," sahut Dewi Puspita
menjelaskan
"Hm..., menarik juga ceritamu...," gumam
Bayu pelan.
"Tampaknya kau tidak percaya, Pendekar
Pulau Neraka," keluh Dewi Puspita agak lesu.
"Aku percaya, dan aku merasa tertarik
dengan ceritamu barusan. Memang aneh, dan....
Yah!" Bayu mengangkat pundaknya.
"Terima kasih atas kepercayaanmu, Pendekar
Pulau Neraka. Tapi kepercayaan saja tidak
cukup, cepat atau lambat, mereka pasti bisa
menangkapku, dan tamatlah riwayatku...," agak
sinis nada suara Dewi Puspita. Entah dia sinis
kepada siapa. Mungkin juga dia mencibir pada
dirinya sendiri.
"Dengar. Dewi. Aku berjanji akan
membantumu! dan kau sebaiknya jangan
memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Panggil
saja aku Bayu. Bagaimana?"
Dewi Puspita tersenyum cerah. Pernyataan
Pendekar Pulau Neraka barusan menumbuhkan
kembali rasa percaya pada dirinya, dan
harapannya untuk tetap tegar dalam menghadapi
kemelut ini Memang bukan saja Nyai Lumping
yang akan dihadapi, tapi juga pihak kerajaan
yang telah menjadi sumber malapeta ini. Dewi
Puspita memang mencurigai Patih Ardareja dan
Panglima Rupadi yang mengatur semua ini, namun
dia belum memiliki bukti yang cukup kuat.
Setelah lewat tengah malam. Dewi Puspita
baru meninggalkan kamar penginapan itu. Dan
sepeninggal gadis itu, Bayu masih duduk sambil
merenung diatas pembaringannya. Inilah untuk
pertama kalinya akan mengurusi persoalan orang
lain. Persoalan yang tidak ada hubungannya
sama sekali dengan dirinya. Sebenarnya dia
datang ke sini hanya sekedar lewat dalam
pengembaraannya mencari para pembunuh Ayahnya,
juga ingin mendapatkan kepastian tentang nasib
ibunya.
"Hm..., aneh juga. Aku merasakan ada
sesuatu di balik semua peristiwa ini. Sesuatu
yang tersembunyi...."
***
Pagi-pagi sekali Bayu tampak sudah keluar
dari kamarnya. Dia terkejut ketika telinganya
mendengar suara ribut-ribut di bagian depan.
Kemudian bergegas Pendekar Pulau Neraka itu
melangkah menuju bagian depan rumah ini, yang
merupakan sebuah kedai. Tampak di sana sudah
berdiri beberapa orang yang berseragam
prajurit kerajaan. Buru-buru dia berlindung di
bidik pintu untuk menghindari penglihatan
mereka.
Sementara itu Ki Bawuk tampak duduk
berdampingan dengan istrinya. Seluruh tubuh
mereka bergetar, dan wajahnya pucat pasi.
Sedangkan di depan suami istri itu berdiri dua
orang laki-laki yang berusia setengah baya
dengan pakaian indah. Jelas kalau mereka
adalah para pembesar Kerajaan Bumi Loka.
"Ampun, Gusti. Hamba benar-benar tidak
tahu di mana Dewi Puspita berada. Hamba memang
mendengar kalau padepokan ayahnya sudah hancur
digempur oleh para perampok, tapi hamba tidak
tahu kalau..."
"Bohong!" bentak seorang yang berpakaian
panglima perang.
"Ampun, Gusti Panglima. Hamba tidak
bohong. Hamba berani sumpah," kata Ki Bawuk
mencoba menyakinkan.
"Dengar Ki Bawuk, kini keselamatan seluruh
keluarga Gusti Prabu, dan semua rakyat
Kerajaan Bumi Loka ada di tangan keponakanmu
itu. Nyai Lumping menginginkannya karena dia
telah berani melanggar perjanjian yang telah
dibuat bersama mendiang Gusti Prabu Swarajaya.
Jadi Dewi Puspita harus bertanggung jawab!"
keras dan tegas kata-kata Panglima Rupadi.
"Tapi hamba benar-benar tidak tahu, Gusti.
Hamba hanyalah seorang pedagang. Hamba tidak
pernah mencampuri urusan Kakang Pulut. Kalau
Dewi Puspita ada di sini. pasti sudah hamba
serahkan. Sungguh Gusti...," kata Ki Bawuk
menghiba.
"Apakah kata-katamu bisa dipercaya, Ki
Bawuk? dingin suara Patih Ardareja.
"Hamba bersedia dipancung jika berdusta,
Gusti Patih," sahut Ki Bawuk.
Patih Ardareja dan Panglima Rupadi
berpandangan sejenak, lalu mereka kembali
melangkah meninggalkan kedai itu. Sementara
para prajurit segera mengikutinya dari
belakang. Untuk beberapa saat, Ki Bawuk masih
duduk berlutut di lantai. Sedangkan istrinya
sudah tidak mampu lagi bersuara. Seluruh
tubuhnya tampak bergetar hebat dengan keringat
mengucur deras membasahi bajunya.
Sementara Bayu yang sejak tadi menguping
pembicaraan itu, pelahan-pelahan ke luar
setelah Patih Ardareja dan Panglima Rupadi
serta beberapa prajurit, jauh meninggalkan
kedai Ki Bawuk ini. Dia jadi heran dengan
semua pembicaraan yang didengarnya barusan.
Semalam dia baru saja berbicara panjang lebar
dengan Dewi Puspita, tapi kini laki laki tua
itu sampai berani bersumpah, dan merelakan
lehernya dipancung demi keselamatan Dewi
Puspita.
"Ki..," pelan suara Bayu.
"Oh!" Ki Bawuk tersentak. "Tuan..., Tuan
sudah bangun...?"
Dengan tergopoh-gopoh Ki Bawuk berdiri.
Sejenak dia membantu istrinya untuk bangkit
Kemudian menuntun wanita itu ke belakang,
melewati Bayu. Tak lama kemudian, Ki Bawuk
sudah ke luar lagi dengan tergesa-gesa. Tampak
bibirnya menyunggingkan senyum, tapi Bayu
melihatnya sebagai senyum yang dipaksakan.
"Maaf, kami terlambat menyiapkan makan
pagi," kata Ki Bawuk.
"Tidak apa, Ki," sahut Bayu tersenyum.
"Hm..., siapa mereka tadi, Ki?"
Ki Bawuk tidak segera menjawab. Dia tampak
kebingungan untuk menjawab pertanyaan Pendekar
Pulau Neraka itu. Sinar matanya tidak dapat
lagi menyembunyikan kegelisahan. Sedangkan
Bayu hanya tersenyum, dan segera mengajak Ki
Bawuk duduk di balai-balai bambu dekat
jendela.
"Sekilas tadi aku mendengar percakapanmu
dengan orang-orang itu. Apakah mereka Patih
Ardareja dan Panglima Rupadi?" lembut suara
Bayu terdengar.
Ki Bawuk tidak menyahut, tapi kepalanya
menangguk juga.
"Aku seharusnya memang tidak mencampuri
urusanmu, Ki. Tapi tidak ada salahnya jika kau
mempercayaiku. Siapa tahu aku bisa membantu
mengatasi persoalanmu," masih tetap lembut
suara Bayu.
"Tuan...," tercekat suara Ki Bawuk. Dia
masih bingung harus berkata apa.
Persoalan yang tengah dihadapinya bukanlah
persoalan biasa. Masalah itu menyangkut nyawa
dan keutuhan Kerajaan Bumi Loka. Rasanya berat
jika dia harus memasukkan pemuda yang begitu
baik padanya itu. Ki Bawuk memang bukan
seorang tokoh rimba persilatan, dari dulu dia
hidup dari hasil membuka kedai dan rumah
penginapan. Dan dia tidak tahu sama sekali,
siapa sebenarnya pemuda yang kini tengah
berada di depannya.
"Aku seorang pengembara, Ki. Aku sudah
biasa menghadapi segala macam persoalan. Dan
aku tidak akan bisa tinggal diam melihat
seseorang menderita dalam tekanan berat. Kau
bersedia mengatakan padaku, kan? Percayalah,
Ki. Aku pasti akan membantu mengatasinya,"
desak Bayu tetap lembut.
"Ini bukan persoalan biasa, Tuan... " kata
Ki Bawuk setelah cukup lama berpikir.
"Katakan saja, Ki. Jangan ragu-ragu,"
desak Bayu.
"Kau pasti pernah mendengar nama Nyai
Lumping...," kata Ki Bawuk pelan.
"Ya," sahut Bayu Hanggara asal saja.
"Dia seorang wanita penyihir yang jahat
dan kejam. Dia tinggal di Puncak Gunung
Tangkar. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah
lagi membuat bencana di sini, tapi beberapa
hari ini dia kembali menghancurkan beberapa
desa dan membunuh banyak orang yang tidak
berdosa. Semua itu terjadi akibat dari
kecerobohan beberapa orang. Mereka telah
melanggar perjanjian yang telah disepakati
antara Nyai Lumping dan mendiang Gusti Prabu
Swarajaya. Perjanjian itu berisi untuk tidak
saling mengganggu dan melanggar wilayah
masing-masing. Dan jika hal itu sampai
dilanggar, maka bencana besar akan segera
menimpa seluruh wilayah Kerajaan Bumi Loka,"
Ki Bawuk mulai menceritakan.
"Lalu, kenapa Patih Ardareja dan Panglima
Rupadi mencari Dewi Puspita?" tanya Bayu
memancing.
"Dewi Puspita adalah keponakanku, dia ikut
ayahnya dan murid-muridnya ke Gunung Tangkar
untuk mendatangi Nyai Lumping. Akhirnya
semuanya hancur binasa, dan hanya Dewi Puspita
yang bisa meloloskan diri. tDan kini Nyai
Lumping menginginkan nyawa gadis itu. Dia
memberi jangka waktu selama tujuh hari, dan
sekarang sudah berjalan tiga hari dari waktu
yang diberikan. Kalau sampai Dewi Puspita
tidak segera diserahkan, maka seluruh Kerajaan
Bumi Loka akan dihancurkan dengan kekuatan
sihirnya yang dahsyat "Hm..., kenapa Ki Pulut
ingin membinasakan Nyai Lumping?" gumam Bayu
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kakang Pulut telah mendapat perintah dari
Gusti Prabu Indrajaya," sahut Ki Bawuk.
"Lho, aneh...?! Kalau raja sendiri yang
memerintahkan, lalu kenapa sekarang dia juga
memerintahkan para pembesar kerajaan untuk
mencari Dewi Puspita?"
"Itulah yang membuatku tidak habis pikir,
Tuan. Padahal sampai saat ini belum ada
seorang pun yang mengetahui, siapa sebenarnya
dalang di balik semua ini. Tapi anehnya Patih
Ardareja dan Panglima Rupadi sudah
mengetahuinya. Sedangkan sampai saat ini Dewi
Puspita tidak ketahuan di mana adanya," kata-
kata Ki Bawuk bernada mengeluh.
"Jadi, kau sendiri juga tidak tahu, di
mana Dewi Puspita berada?" tanya Bayu
terperanjat.
"Sejak peristiwa itu, aku tidak pernah
lagi melihat keponakanku itu."
Untuk beberapa saat Bayu terdiam
tercenung. Rasanya mustahil kalau laki-laki
tua itu tidak mengetahui kehadiran Dewi
Puspita semalam. Kini Bayu merasakan bahwa
persoalan yang sedang dihadapinya semakin
bertambah rumit dan membingungkan. Dan
sepertinya, masing-masing orang saling menutup
diri tidak mau terlibat dengan persoalan ini!
Bayu bisa merasakan adanya nada lain pada
suara KI Bawuk. Keterangannya memang tidak
jauh berbeda dengan cerita Dewi Puspita,
maupun yang dia dengar dari percakapan dua
pembesar kerajaan di kedai ini. Namun nada
suara Ki Bawuk seperti menyembunyikan sesuatu
yang dirahasiakan.
***
Bukan saja Pendekar Pulau Neraka yang
kebingungan dalam menghadapi masalah di
Kerajaan Bumi Loka ini, Prabu Indrajaya yang
menjadi rajanya pun juga merasakan hal yang
sama. Dia sama sekali tidak pernah mengutus Ki
Pulut untuk datang ke Puncak Gunung Tangkar.
Dia sudah tahu betul, siapa Ki Pulut. Bekas
seorang Panglima Perang Kerajaan Bumi Loka,
yang sangat setia dan patuh pada perintah
rajanya. Dan rasanya tidak mungkin dia
bertindak ceroboh seperti itu.
Prabu Indrajaya segera mengangkat
kepalanya ketika melihat seorang wanita cantik
dan bergaun indah datang menghampiri.
Senyumnya langsung terkembang membalas senyum
wanita itu. Kemudian wanita canntik itu duduk
dengan anggunnya di samping Prabu Indrajaya.
"Kau datang seorang diri. Ke mana dayang-
dayangmu. Dinda?" tanya Prabu Indrajaya
lembut.
"Sengaja, aku ingin bicara berdua saja
denganmu, Kanda Prabu," sahut wanita cantik
itu yang ternyata adalah Permaisuri Puspa
Sari.
"Begitu pentingkah, sehingga tidak seorang
kau perkenankan mendengar?" Prabu Indra
mengamati wajah permaisurinya itu.
"Menyangkut keutuhan Bumi Loka, Kanda,"
sahut Puspa Sari membalas tatapan suaminya.
Sejenak Prabu lndrajaya mengerutkan
keningnya. Dia hampir tidak percaya dengan
pendengaran sendiri. Selama ini belum pernah
permaisurinya membicarakan masalah
pemerintahan dan seluk-beluk kerajaan. Dia
merasakan, persoalan yang akan bicarakan
permaisurinya pasti sangat penting!
"Apa yang ingin kau bicarakan. Dinda?"
tanya Prabu lndrajaya.
"Kemelut yang sedang kita hadapi."
"O...?!"
"Kanda, aku merasakan ada sesuatu di balik
semua kejadian ini. Sesuatu yang belum kita
ketahui maksudnya, tapi sudah jelas merongrong
kewibawaan Kanda Prabu sebagai raja di
Kerajaan Bumi Loka Maaf, Kanda. Bukannya aku
ingin mencampuri urusan kerajaan, tapi aku
merasa ikut prihatin dan tanggung jawab atas
keutuhan dan kejayaan Bumi Loka," kata
Permaisuri Puspa Sari.
Prabu Indrajaya merasa terharu dengan
kata-kata yang meluncur lancar dari bibir
mungil yang indah Kata-kata itu juga merupakan
pukulan baginya, karena selama ini dia selalu
menganggap bahwa urusan pemerintahan adalah
urusan laki-laki. Dan kini Prabu Indrajaya
merasa seolah-olah baru terbuka matanya. Dia
sebenarnya memang tengah memerlukan seseorang
untuk diajak bicara dari hati ke hati.
"Maaf, Kanda. Mungkin apa yang akan
kukatakan dapat menyinggung perasaanmu, tapi
ini demi keutuhan Kerajaan Bumi Loka yang kita
cintai ini," lanjut Permaisuri Puspa Sari.
"Katakanlah, Dinda. Apa pun yang akan kau
katakan, aku akan mempertimbangkannya dengan
baik."
"Terus terang. Kanda. Aku merasa adanya
keanehan pada diri Paman Patih Ardareja dan
Panglima Rupadi."
"Maksudmu?"
"Kanda telah mengatakan bahwa tidak pernah
merasa memberi perintah pada Paman Pulut. Tapi
Nyai Lumping juga tidak akan berdusta dan
mencari-cari perkara. Padepokan Tongkat Merah
yang dipimpin Paman Pulut memang hancur,
sehari sebelum Nyai Lumping muncul disini.
Sedangkan wanita penyihir itu tidak
memberitahukan, siapa-siapa saja yang telah
mendatangi tempatnya di Puncak Gunung Tangkar.
Namun Paman Patih Ardareja dan Panglima Rupadi
mengetahui persis kalau Paman Pulut dan anak
gadisnya serta murid-muridnyalah yang telah ke
sana. Apakah hal ini tidak aneh, Kanda?"
panjang lebar Permaisurl Puspa Sari
mengemukakan perasaan hatinya.
"Tidak kusangka, kau punya pikiran sampai
kesitu, Dinda Puspa Sari," puji Prabu
lndrajaya sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Maaf, Kanda. Aku tahu, kau sangat
mempercayai Paman Patih Ardareja. Di antara
patih-patih lainnya, memang dialah yang
terbaik dan paling tinggi ilmunya. Tapi Kanda
harus ingat, mundurnya Paman Pulut dari
kerajaà n juga diakibatkan pertentangannya
dengan Paman Patih Ardareja. Aku sama sekali
tidak bermaksud buruk, apalagi memfitnah. Aku
hanya mengatakan berdasarkan beberapa
kenyataan yang aku lihat, Kanda," kembali
Permaisudi Puspa Sari mengutarakan
pendapatnya.
"Dinda, apakah kau sudah mengatakan hal
ini pada orang lain?"
"Belum, hanya pada Kanda saja."
"Dengar, Dinda. Semua yang telah kau
katakan itu akan menjadi pertimbangan dan
pemikiranku. Tapi kau harus bisa merahasiakan
semua itu. Jangan sampai ada seorang pun yang
mengetahuinya," kata Prabu Indrajaya berpesan.
"Kecuali aku...!" tiba-tiba terdengar
suara menyelak.
Seketika Prabu lndrajaya dan Permaisuri
Puspa Sari tersentak! Dan belum lagi hilang
rasa terkejut mereka, tiba-tiba dari balik
tembok pembatas taman belakang dengan luar,
melompat sesosok bayangan. Prabu Indrajaya
langsung melompat dan berdiri begitu di
depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-
laki muda yang gagah dan tampan.
"Siapa kau? Berani benar kau masuk ke
taman
Istana ini tanpa ijin!" bentak Prabu
Indrajaya. Tangannya tampak meraba gagang
pedang yang masih tersimpan di warangkanya.
Sementara pemuda itu hanya tersenyum saja
sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
***
"Pengawal...!" teriak Prabu Indrajaya
keras.
"Percuma saja, Gusti Prabu. Tidak ada
seorang pengawal pun yang akan mendengar,"
kata pemuda itu tenang.
Sret!
Tanpa berkata-kata lagi, Prabu Indrajaya
langsung mencabut pedangnya yang tergantung di
pinggang. Bola matanya beredar ke sekitarnya
yang sepi, tanpa seorang prajurit penjaga pun
terlihat. Sejenak tangannya sedikit mendorong
permaisurinya ke belakang.
"Kau pasti akan mendapal hukuman berat
atas kelancanganmu, Kisanak!" kata Prabu
Indrajaya dengan suara agak membentak.
"Tapi Gusti Prabu pasti akan segera
berterima kasih jika mengetahui bahwa
kedatanganku ke sini untuk mewakili Dewi
Puspita," kata pemuda itu tetap tenang.
"Heh! Siapa kau sebenarnya?" sentak Prabu
Indrajaya terkejut
"Namaku Bayu Hanggara. Aku berada di sini
hanya singgah dan menginap di rumah penginapan
Ki Bawuk. Kedatanganku ini bukan sebagai
musuh, atau ingin menambah keruh suasana, tapi
justru akan membawa angin segar bagi Gusti
Prabu dan seluruh rakyat Bumi Loka."
"Jangan berbelit-belit! Katakan cepat, apa
maksud kedatanganmu?"
"Ki Pulut memang telah datang ke Puncak
Gunung Tangkar bersama anak gadisnya dan
seluruh murid-muridnya. Tapi malang, mereka
semua tewas kecuali Dewi Puspita...," kata
Bayu
"Aku sudah tahu itu! Apa lagi yang akan
kau sampaikan?" potong Prabu Indrajaya.
"Gusti Prabu, aku juga telah bertemu
dengan Dewi Puspita. Dan kami telah berbicara
banyak tentang kemelut yang tengah melanda
seluruh Kerajaan Bumi Loka ini. Ayahnya memang
datang ke Gunung Tangkar dengan maksud untuk
membunuh Nyai Lumping. Namun hal itu
dilakukannya dengan perasaan terpaksa, karena
rasa pengabdian dan kesetiaannya pa Gusti
Prabu."
"Hm..., kau akan mengatakan bahwa Paman
Pulut bertindak atas perintahku, begitu kan?"
kembali Prabu Indrajaya memotong ucapan Bayu
"Semula aku memang telah berpikir
demikian! Gusti Prabu. Tapi setelah mendengar
penuturan Dewi Puspita, dan juga mendengar
sendiri pembicaraan Gusti Prabu dengan Gusti
Permaisuri tadi, rasanya ada hal yang
tersembunyi di balik semua kejadian ini.
Danrahasia itu sudah kuketahui."
"O...! Apa saja yang telah kau ketahui?"
agak terkejut juga Prabu Indrajaya
mendengarnya.
"Apa yang aku ketahui, tidak jauh berbeda
dengan yang telah dikatakan oleh Gusti
Permaisuri. Semua peristiwa ini memang sudah
diatur oleh Patih Ardareja dan Panglima
Rupadi. Merekalah yang telah menemui Ki Pulut
dan mengatakan, bahwa dia mendapat perintah
dari Raja Bumi Loka untuk menumpas Nyai
Lumping," tegas dan jelas kata-kata Bayu.
"Heh! Kau jangan berkata sembarangan,
Kisanak!" bentak Prabu lndrajaya terperanjat.
"Sejak semula aku memang sudah menduga,
kau pasti tidak akan menerima pernyataanku.
Tapi apa yang telah aku katakan ini bisa
dipertanggungjawabkan, hanya saja aku belum
mengetahui maksud sebenarnya yang terkandung
di balik rencana itu," kata Bayu tetap tegas.
"Kanda...," lembut suara Permaisuri Puspa
Sari. Tangannya menepuk pundak Prabu Indrajaya
dengan pelahan.
Prabu Indrajaya segera memasukkan kembali
pedangnya ke warangkanya di pinggang. Kemudian
dia melangkah menghampiri Pendekar Pulau
Neraka itu.
"Apa jaminanmu jika kau ternyata memfitnah
salah seorang patihku, dan seorang
panglimaku?" tanya Prabu lndrajaya dingin.
"Kepala, Gusti Prabu," sahut Bayu tegas.
"Kepalamu tidak ada harganya bagiku,
Kisanak "
"Hm...," Bayu mengerutkan keningnya.
"Kau sudah berani masuk ke taman pribadiku
tanpa ijin. Kau pasti juga sudah melumpuhkan
penjaga taman ini, dan itu harus kau tanggung
hukumannya ditambah lagi dengan beritamu yang
membuat keruh suasana. Tapi aku akan
mengampunimu jika kau berani menghadapi Nyai
Lumping, si Ratu Sihir!" tegas kata-kata Prabu
Indrajaya.
"Hm..., jadi Gusti Prabu juga menghendaki
wanita itu lenyap?"
"Selama masih ada wanita iblis itu,
Kerajaan Bumi Loka tidak akan pernah merasa
damai. Terus terang aku memang menginginkan
dia segera lenyap untuk selamanya, tapi aku
tidak ingin mengorbankan seorang pun dari
rakyatku. Nah, sekarang aku mengutusmu untuk
tugas itu, tapi bukan atas namaku!"
Tentu saja Bayu terkejut bukan main
mendengar perintah itu. Dia benar-benar tidak
menyangka kalau Prabu Indrajaya sendiri
ternyata juga menginginkan wanita penyihir itu
lenyap dari muka bumi. Sebenarnya itu adalah
suatu keinginan yang wajar, namun membuat
benak Bayu berpikir keras juga.
Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi,
Pendekar Pulau Neraka itu segera melesat cepat
dan melompati pagar benteng yang tinggi dan
tebal. Sedangkan Prabu Indrajaya segera
tersenyum lebar sambil memandangi kepergian
pemuda itu.
"Kanda, kenapa mesti memberi perintah itu?
Bukankah dengan begitu Kanda malah
memperuncing suasana?" tegur Pennaisuri Puspa
Sari.
"Bagaimanapun juga, wanita iblis itu tetap
merupakan ancaman bagi kita, Dinda. "Tapi...."
"Ah sudahlah. Kalau pemuda itu berhasil
mengalahkan Nyai Lumping, aku akan memberinya
hadiah dan pangkat yang tinggi. Tapi jika
ternyata dia tewas, tidak ada urusannya
denganku lagi.
"Kanda...," Permaisuri Puspa Sari
menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
4
Bayu tampak tengah memandangi puing-puing
bekas reruntuhan Padepokan Tongkat Merah.
Padepokan itu letaknya di pinggir sebelah
Utara perbatasan Kerajaan Bumi Loka dengan
Hutan Gunung Tangkar.
Dia agak heran juga karena tidak mendapati
satu sosok mayat pun di antara puing-puing
itu. Sementara keadaan di sekitarnya juga
tidak nampak seperti baru saja terjadi
pertarungan. Mungkinkah Padepokan Tongkat
Merah sengaja dibakar hangus setelah seluruh
penghuninya meninggalkan tempat itu? Hal itu
berarti bahwa Ki Pulut hanya dijadikan boneka
untuk nafsukeji seseorang!
"Kakang,.. "
Seketika Bayu tersentak kaget dan berbalik
saat mendengar suara dari arah belakangnya.
Tampak seorang gadis cantik berbaju hijau
sudah berdiri tidak jauh darinya. Di pinggang
gadis itu tergantung sebilah pedang dengan
gagang berbentuk kepala naga, dan bermata dari
batu merah delima.
"Sejak kapan kau berada di sini. Dewi?"
tanya Bayu seraya menghampiri.
"Sejak kau meninggalkan Istana Bumi Loka,"
sahut Dewi Puspita kalem.
"Kau sudah tahu kalau aku ke sana?" Bayu
setengah terkejut.
"Aku selalu mengikutimu terus, Kakang.
Maaf, bukannya aku tidak percaya padamu, tapi
aku hanya bermaksud menjaga segala
kemungkinan."
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia
tak habis pikir, bagaimana Dewi Puspita selalu
mengikutinya tanpa bisa diketahui sama sekali.
Ini jelas membuktikan, bahwa tingkat
kepandaian gadis itu cukup tinggi. Tapi yang
lebih penting, ilmu meringankan tubuhnya pasti
sangat tinggi.
"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa
padaku, Kakang. Aku sudah tahu semua
pembicaraanmu dengan Gusti Prabu Indrajaya,"
kata Dewi Puspita menyerobot begitu melihat
mulut Bayu sudah ternganga hendak berkata.
"Bagaimana kau bisa mengetahui dan
mendengar semua pembicaraanku?" tanya Bayu.
"Mudah saja, aku rasa semua orang yang
berkecimpung di dalam rimba persilatan juga
mampu melakukannya, " sahut Dewi Puspita
kalem.
Bayu hanya mengangkat pundaknya.
"Aku merasa bersalah, telah menyeretmu
terlalu jauh dalam masalah ini, Kakang," desah
Dewi Puspita menyesal.
Lagi-lagi Bayu hanya mengangkat pundaknya
dan tersenyum. Lalu pelahan-lahan kakinya
mulai terayun melangkah meninggalkan tempat
itu. Sedangkan Dewi Puspita segera
mengikutinya dan mensejajarkan langkahnya di
samping pemuda itu.
"Tenis terang, aku jadi heran dengan sikap
Gusti Prabu. Aku malah punya pikiran lain,
jangan-jangan semua ini memang sudah
direncanakan sebelumnya, dan dia pura pura
tidak tahu," kata Bayu setengah bergumam.
"Sejak nenek moyangnya dulu, keluarga
istana memang sudah bermusuhan dengan Nyai
Lumping. Dan aku tidak heran, kalau Gusti
Prabu menghendaki perempuan tua itu segera
lenyap dari muka bumi," sahut Dewi Puspita.
"Kau bilang tadi, sejak dari nenek
moyangnya... Jadi Nyai Lumping itu...," Bayu
tidak melanjutkan ucapannya.
"Nyai Lumping juga mempunyai keluarga,
bahkan dulu memiliki pengikut yang tidak
sedikit jumlahnya," Dewi Puspita menjelaskan.
"Kenapa sekarang hanya tinggal dia
sendiri?" Bayu jadi ingin tahu.
"Dulu, yaitu pada masa pemerintahan Gusti
Prabu Swarajaya, terjadi perselisihan yang
mengakibatkan meletusnya perang, antara
Kerajaan Bumi Loka dengan kerajaan penyihir
yang bersemayam di Puncak Gunung Tangkar.
Pertempuran itu begitu hebatnya sehingga
menimbulkan korban yang cukup banyak. Tapi
meskipun Gusti Prabu kehilangan banyak
prajurit, dia berhasil memenangkan
pertempuran. Hampir semua keluarga penyihir
itu serta para pengikutnya tewas!"
"Hm..., terus...?" pinta Bayu yang mulai
tertarik dengan cerita itu.
"Saat itu, sebenarnya masih ada tiga orang
lagi yang lolos. Tapi kemudian yang dua orang
bunuh diri, karena tidak mau menjadi tawanan
dan mendapat hukuman. Dan tinggal Nyai Lumping
sendiri yang pada saat itu belum begitu tua.
Lalu atas kesepakatan bersama, Gusti Prabu
memberikan kebebasan pada Nyai Lumping dengan
satu perjanjian, yakni tidak akan saling
mengganggu dan melewati batas kekuasaan
masing-masing. Dan semua perjanjian itu akan
berakhir jika Nyai Lumping telah tiada. Dan
Gunung Tangkar masuk kembali ke dalam wiiayah
Kerajaan Bumi Loka."
"Sepertinya aku tidak melihat adanya
hubungan dengan persoalan yang sedang
terjadi," kata Bayu agak bergumam.
"Memang tidak ada, kalau ayahku tidak
terjebak dan mendatangi Puncak Gunung
Tangkar," sahut Dewi Puspita.
"Kau yakin ada seseorang yang dengan
sengaja membuat malapetaka ini?"
"Ya, dan dari dulu orang itu memang selalu
ingin menyingkirkan Ayah. Padahal Ayah sudah
mengalah dengan mengundurkan diri dari
kedudukannya sebagai panglima perang tertinggi
kerajaan, tapi rupanya hal itu belum
membuatnya puas."
"Patih Ardareja, maksudmu?" tebak Bayu.
"Ya, sejak muda Patih Ardareja dan ayahku
memang sudah bermusuhan."
"Rupanya kau sudah tahu segalanya, Dewi."
"Aku tahu, sebab Ayah sering menceritakann
padaku. Dan dia selalu berpesan, agar aku
selalu berhati-hati dengan Patih Ardareja dan
kaki tangannya. Mereka semua licik, dan tak
segan-segan menggunakan segala macam cara
untuk memperoleh kekuasaan dan kedudukan."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sekarang dia sudah bisa mengerti semuanya
dengan jelas meskipun di benaknya masih
tersimpan berbagai macam pertanyaan yang sulit
untuk dijawab. Namun pada garis besarnya, dia
sudah bisa menarik kesimpulan!
Sementara itu di dalam kedai milik Ki
Bawuk, Patih Ardareja dan Panglima Rupadi,
kembali mendesak laki-laki tua pemilik kedai
dan rumah penginapan itu. Sementara para
prajurit yang berjumlah tidak kurang dari dua
puluh orang, telah menghancurkan semua perabot
dan barang-barang yang ada di dalam kedai itu.
Bahkan sampai ke seluruh kamar penginapan yang
ada di bagian belakang kedai, hancur diobrak-
abrik!
Kini keadaan Ki Bawuk benar-benar
mengenaskan. Wajahnya tampak bengkak-bengkak
biru lebam dan darah terus menetes dari sudut
bibir, hidung dan pelipisnya. Sedangkan Nyi
Bawuk hanya bisa menangis dan merintih memohon
belas kasihan. Keadaan wanita tua itu juga
tidak jauh berbeda dengan suaminya.
"Aku sebenarnya enggan berbuat kasar
padamu, Ki Bawuk. Tapi kau telah memaksaku
untuk bertindak keras!" dingin suara Patih
Ardareja.
Ki Bawuk hanya diam saja dengan kepala
terkulai lemah.
"Katakan, di mana Dewi Puspita kau
sembunyikan?" desak Patih Ardareja emosi.
Tapi Ki Bawuk tetap diam membisu.
Sedangkan darah makin banyak menetes dari
luka-luka di wajahnya yang sudah keriput. Hal
itu tentu saja membuat Patih Ardareja semakin
geram! Maka tanpa mengenal rasa kasihan lagi,
tangannya langsung melayang dan mendarat telak
di wajah Ki Bawuk.
"Akh!" Ki Bawuk memekik tertahan. Darah
kembali mengucur deras dari mulutnya.
Sedangkan Nyi Bawuk menjerit melengking, namun
dia tidak mampu berbuat apa-apa. Karena kaki
dan tangannya terikat di kursi. Dua orang
prajurit menodongkan pedangnya ke leher wanita
tua itu.
"Kakang, rasanya tidak ada gunanya lagi
menyiksa orang tua ini," kata Panglima Rupadi
yang sudah hilang kesabarannya.
"Memang sudah tidak ada gunanya! Bahkan
hidup pun mereka sudah tidak ada gunanya
lagi!" dengus Patih Ardareja. Patih Ardareja
kemudian merebut pedang yang berada di tangan
salah seorang prajurit Dan tanpa berkedip
sedikit pun, dia langsung mengibaskan pedang
itu ke leher Nyi Bawuk.
"Aaakh...!" Nyi Bawuk segera menjerit
melengking.
Bersamaan dengan itu, darah langsung
muncrat dari leher yang terpenggal hampir
putus. Dan belum puas juga, Patih Ardareja
lalu menendang tubuh perempuan itu hingga
terguling bersama kursinya. Ki Bawuk hanya
bisa memejamkan matanya sambil menggeram
hebat. Hatinya menjerit, namun dia tidak mampu
untuk memberontak. Kedua tangan dan kakinya
terikat tambang dengan kuat.
"Kau akan bernasib sama jika terus
membungkam, Ki Bawuk!" ancam Patih Ardareja
seraya menempelkan mata pedang yang telah
berlumur darah ke leher laki-laki tua pemilik
kedai itu.
"Iblis...! Bunuh saja aku! Kau tidak akan
bisa menemukan keponakanku!" bentak Ki Bawuk
dengan sisa-sisa keberaniannya.
Patih Ardareja menggeram marah. Tiba-tiba
saja tangannya berkelebat cepat, dan langsung
membabat leher Ki Bawuk. Tak sedikit pun
terdengar laki-laki tua itu mengeluh atau
berteriak. Kepalanya langsung terkulai dengan
darah segar yang memuncrat deras. Beberapa
saat kemudian, Patih Ardareja membuang pedang
yang berlumuran darah itu. Wajahnya merah
padam memandangi dua mayat yang telah
menggeletak di lantai kedai itu.
"Huh! Orang tua tidak tahu diuntung,"
gumam Patih Ardareja kesal.
Patih Ardareja segera melangkah ke luar
setelah menyemburkan ludahnya beberapa kali.
Sementara para prajurit yang mengawalnya hanya
bisa diam dengan sinar mata yang sulit untuk
diartikan. Sedangkan Panglima Rupadi segera
mengikutinya, diiringi para prajurit yang
berjumlah dua puluh orang itu. Sebentar
kemudian terdengar suara derap langkah kaki-
kaki kuda yang dipacu cepat meninggalkan
halaman depan kedai itu. Kini keadaan kembali
sunyi, tak terdengar suara sedikit pun juga.
Kuda-kuda itu terus berlari semakin jauh
meninggalkan kehancuran di dalam kedai.
Sementara itu dari arah yang berbeda, tampak
Bayu dan Dewi Puspita berjalan sambil
mengendap-endap mendekati kedai.
"Paman...!" pekik Dewi Puspita begitu
kakinya menginjak ambang pintu depan kedai.
Bayu juga tertegun menyaksikan satu
pemandangan yang memilukan hati itu. Dewi
Puspita segera berlari menubruk tubuh paman
dan bibinya bergantian. Gadis itu tidak bisa
menahan diri lagi, dia segera menangis dan
meratapi nasib paman dan bibinya itu.
Sementara Bayu hanya bisa diam dengan mulut
terkatup rapat.
"Dewi...," pelan suara Bayu. Dengan lembut
tangannya menyentuh pundak gadis itu.
Dewi Puspita mengangkat kepalanya, dan
menoleh agak ke atas. Kemudian pelahan lahan
dia bangkit, namun pandangannya tetap tertuju
pada dua gundukan tanah merah yang masih baru.
Mereka terpaksa menguburkan jenazah Ki Bawuk
dan Nyi Bawuk ili belakang rumah, agar tidak
menarik perhatian orang lain.
"Aku harus membalas kekejaman mereka,
Kakang. Harus...!" dengus Dewi Puspita
menggeram, namun suaranya masih bergetar.
"Kau tidak akan mampu menghadapi mereka
dengan hati panas, Ratih," kata Bayu lembut.
"Mereka telah membunuh ayahku, dan
sekarang mereka membunuh orang yang bisa
kujadikan sandaran hidupku. Paman dan Bibi
tidak tahu apa-apa, bahkan mereka juga tidak
tahu kalau aku menyelinap ke sini, Kakang...,"
kata Dewi Puspita dengan air mata mengalir
deras.
Dalam suasana seperti itu, Bayu tidak mau
berdebat, meskipun Dewi Puspita kadang-kadang
juga berdusta. Kini pemuda itu melingkarkan
tangannya kepundak gadis itu, dan membawanya
masuk ke dalam rumah. Sejenak Bayu menutup dan
mengunci semua pintu dan jendela. Sementara
Dewi Puspita segera duduk dengan wajah lesu di
atas dipan kayu yang beralaskan tilam
bersulam. Kemudian Bayu menghampiri dan duduk
bersandar di samping gadis itu.
"Dewi, kenapa kau selalu bersembunyi dan
mebohongiku? Padahal kau bisa berterus terang,
dan mengatakan apa adanya. Kalau sejak semula
kau berterus terang padaku, mungkin peristiwa
ini tidak perlu terjadi," kata Bayu menyesali
sikap Dewi Puspita selama ini.
"Maaf, Kakang. Aku terpaksa, dalam situasi
seperti ini, aku tidak boleh begitu saja
percaya pada siapa pun," sahut Dewi Puspita
membela diri.
"Aku Bdak mengerti, Dewi," desah Bayu.
"Hhh.. sudah banyak korban berjatuhan, bukan
saja dari pihak kerajaan, tapi juga dari
orang-orang yang belum kita ketahui dengan
pasti apa maksud dan tujuan sebenarnya?"
"Kakang...."
"Hm."
"Kita harus segera menemui Gusti Prabu."
"Untuk apa?"
"Kita harus menjelaskan persoalan ini pada
Gusti Prabu. Kalau hal ini didiamkan sampai
berlarut-larut, keadaannya bisa bertambah
parah. Aku yakin, Patih Ardareja juga tengah
mengincar kedudukan Gusti Prabu."
"Jangan menduga begitu jauh, Dewi."
"Aku yakin, pasti Patih Ardareja juga
menginginkan tahta Kerajaan Bumi Loka," Dewi
Puspita tetap bertahan pada pendiriannya.
"Tampaknya kau yakin sekali, Dewi."
"Kalau kau tahu siapa sebenarnya Patih
Ardareja itu, kau pasti akan punya pikiran
yang sama denganku!"
Bayu mengerutkan keningnya.
"Patih Ardareja adalah adik tiri dari
Gusti Prabu Swarajaya, Ayahanda Gusti Prabu
Indrajaya. Dan sammpai saat ini kematian Gusti
Prabu Swarajaya juga masih dirahasiakan.
Bahkan Ayah sendiri juga tidak tahu sebab-
sebabnya. Waktu itu Gusti Prabu Swarajaya
tahu-tahu sudah dimakamkan tanpa ada upacara
terlebih dahulu. Hanya pihak keluarga saja
yang boleh menghadiri, katanya hal itu adalah
pesan dari Gusti Prabu Swarajaya sendiri,"
ujar Dewi Puspita menjelaskan.
"Dewi, kalau Patih Ardareja benar-benar
menginginkan tahta Kerajaan Bumi Loka, dia
pasti sudah merebutnya sejak dulu begitu Prabu
Swarajaya wafat. Untuk apa dia sampai menunggu
bertahun-tahun? Sudahlah, Dewi. Mungkin Patih
Ardareja menginginkan sesuatu yang lain. Atau
bisa saja dia ingin Kerajaan Bumi Loka hancur.
Pokoknya begitu banyak kemungkinan yang kita
sendiri tidak bisa mengetahuinya sekarang,"
ujar Bayu yang mencoba bertindak bijaksana
dalam masalah ini.
Dewi Puspita hanya terdiam. Memang begitu
banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi,
dan tidak mereka ketahui saat ini. Tapi gadis
itu tetap pada pendiriannya, bahwa Patih
Ardareja-lah yang menjadi biang keladi dari
semua malapetaka ini. Hanya saja yang masih
menjadi beban pertanyaannya, kenapa Patih
Ardareja melibatkan Nyai Lumpung? Padahal
sudah tahu, kalau perempuan rua itu sangat
kejam, dan bisa menghancurkan Kerajaan Bumi
Loka dengan kekuatan sihirnya.
***
5
Matahari baru saja menampakkan dirinya di
ufuk tmur. Namun kabut masih tebal menyelimuti
Puncak Gunung Tangkar. Angin pun tetap bertiup
kencang dan menebarkan udara dingin yang
membekukan tulang. Dan keadaan seperti itu
tidak terasakan oleh mereka yang berada di
dalam sebuah bangunan batu tua yang berusia
ratusan tahun.
Pada salah satu ruangan dari bangunan tua
itu, tampaklah Nyai Lumping tengah duduk di
kursinya yang terbuat dari batu, dan berpahat
gambar seekor ular naga. Di depannya, duduk
dua orang laki-laki setengah baya yang
mengenakan pakaian indah pembesar kerajaan.
Mereka adalah Patih Ardareja dan Panglima
Rupadi.
"Waktu yang kuberikan tinggal dua hari,
Ardareja. Kapan kau akan menyerahkan gadis itu
padaku?" dingin dan kecil suara Nyai Lumping.
"Tampaknya Dewi Puspita tidak berada lagi
di wilayah Kerajaan Bumi Loka, Nyai. Sudah
seluruh pelosok kerajaan aku jelajahi, tapi
gadis itu seperti lenyap ditelan bumi," sahut
Patih Ardareja.
"Dia masih ada di sana, Ardareja. Bahkan
sekarang dia bersama seorang laki-laki muda
yang memiliki tingkat kepandaian sangat
tinggi. Mereka berada di rumah Ki Bawuk."
"Nyai, rumah itu sudah aku obrak-abrik,
tapi Dewi Puspita tidak ada," bantah Patih
Ardareja setengah terkejut.
"Huh! Hanya menangkap tikus kecil saja kau
sudah kewalahan begitu. Apalagi harus
menghadapi Indrajaya? Rasanya percuma saja
selama ini aku membantumu, Ardareja!" dengus
Nyai Lumping kesal.
"Nyai, apa pun yang akan terjadi, aku
pasti akan segera membawa gadis itu padamu.
Soalnya dialah satu-satunya orang yang bisa
membocorkan rahasia ini"
"Percuma, Ardareja. Indrajaya juga sudah
mengetahuinya."
Patih Ardareja terperanjat.
"Kau tahu, siapa pemuda yang sekarang
bersama Dewi Puspita?" tanya Nyai Lumping
dengan mata menyipit.
Sejenak Patih Ardareja menoleh pada
Panglima Rupadi, kemudian kepalanya
menggeleng. Dia memang belum tahu kalau Dewi
Puspita sekarang dibantu oleh seorang pemuda.
"Dia bernama Bayu Hanggara dan julukannya
Pendekar Pulau Neraka," dingin suara Nyai
Lumping.
Mendadak wajah Patih Ardareja pucat pasi
mendengar nama itu. Dia memang sudah sering
mendengar sepak terjang pendekar muda itu,
meskipun belum pernah berhadapan langsung
dengan orangnya. Nama Pendekar Pulau Neraka
memang sempat meng
getarkan rimba persilatan, dan menjadi
buah bibir di kalangan tokoh-tokoh rimba
persilatan. Baik dari liolongan putih maupun
golongan hitam. Dan sampai saat ini belum ada
satu tokoh pun yang mampu menandingi
kepandaiannya.
"Ardareja, ruang gerakmu saat ini sudah
semakin sempit. Kau tidak punya pilihan lain
lagi, kecuali membunuh Prabu Indrajaya dan
seluruh keluarganya. Aku sudah banyak
membantumu, kini giliran kau yang harus
membantuku. Hidupku tidak akan pernah merasa
tentram, kalau keturunan musuh-musuhku masih
hidup bebas di muka bumi ini," kata Nyai
Lumping tegas.
"Nyai...!" sentak Patih Ardareja
terperanjat. "Dalam perjanjian kita, aku tidak
harus membunuh Indrajaya dan keluarganya!"
"Kau menginginkan tahtanya, kan?"
"Ya, tapi..."
"Membiarkan musuh hidup, berarti memupuk
benih permusuhan baru. Kau mengerti maksudku,
Ardareja?"
"Licik! Kau benar-benar manusia iblis,
Nyai Lumping!" Patih Ardareja jadi sengit. Dia
baru menyadari kalau dirinya ternyata telah
diperalat oleh perempuan tua itu.
"Hik hik hik...! Ternyata seekor singa
yang sering mengaum itu bergigi ompong! Hik
hik hik...!"
Patih Ardareja hanya mampu menggeretakkan
gerahamnya menahan marah. Seharusnya dari dulu
dia sudah menyadari, bahwa bekerjasama dengan
orang yang berhati iblis tidak akan pernah
mendapatkan keuntungan apa-apa. Namun kini
semuanya sudah terlambat. Ibaratnya dia telah
tercebur ke dalam sungai, dan harus basah
seluruhnya!
Maka dengan hati yang dongkol. Patih
Ardareja segera bangkit dan melangkah
meninggalkan ruangan itu dengan diikuti oleh
Panglima Rupadi. Sementara Nyai Lumping hanya
tertawa mengikik mengiringi kepergian mereka.
***
"Sekarang apa yang kita lakukan, Kakang?"
tanya Panglima Rupadi saat mereka sudah berada
di Kaki Gunung Tangkar.
"Aku tidak tahu," sahut Patih Ardareja
masih terus memberengut.
"Sejak semula aku sudah memperingatkanmu,
Kakang. Tidak ada gunanya bekeriasama dengan
Nyai Lumping. Kini terbukti sudah, bahwa
kekhawatiranku menjadi kenyataan, dan
kedudukan kita saat ini semakin terjepit,"
nada suara Panglima Rupadi seperti menyesal.
"Sudah kepalang basah!"
"Kakang, sebaiknya kita segera berterus
terang pada Gusti Prabu Indrajaya," Panglima
Rupadi mengusulkan.
Sejenak Patih Ardareja menghentikan
langkahnya, tampak matanya tajam menatap lurus
ke bola mata Panglima Rupadi.
"Sebelum terlanjur, Kakang. Dan kita masih
punya waktu untuk menjernihkan keadaan," kata
Panglima Rupadi lagi.
"Percuma...," Patih Ardareja menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Tidak ada yang percuma, Kakang. Kita bisa
ambil siasat."
"Hmm, apa maksudmu?"
"Saat ini, Dewi Puspita kan dibantu deh
seorang pendekar yang namanya sudah kondang
dan digdaya. Kita harus bisa memperalat
Pendekar Pulau Neraka itu untuk bertarung
melawan Nyai Lumping. Dengan begitu, tidak ada
lagi orang yang mengetahui semua ini. Dan kita
justru bisa dianggap sebagai pahlawan dengan
membunuh mereka sekaligus."
"Hm...."
"Kita harus atur agar mereka bentrok,
sambil menyiapkan regu panah yang akan merejam
tubuh mereka pada saat bertarung. Sedangkan
untuk persoalan Dewi Puspita, bukan hal yang
sukar. Bagaimana, Kakang?"
"Tampaknya memang mudah, tapi aku merasa
semua itu tidak akan berhasil. Mereka adalah
orang-orang yang berkepandaian sangat tinggi,"
Patih Ardareja masih ragu-ragu dengan rencana
Panglima Rupadi.
"Bagaimanapun tingginya tingkat kepandaian
seseorang, tidak akan mungkin bisa selamat
kalau diserang secara mendadak dari segala
arah. Apalagi dalam keadaan sedang bertarung,
yang perhatian pusat sepenuhnya pada lawan,
Kakang."
"Mungkin bisa, tapi untuk memancing mereka
bukanlah hal yang mudah."
"Harus ada korban, Kakang."
"Maksudmu?"
"Gusti Permaisuri Puspa Sari."
"Adik Rupadi!" sentak Patih Ardareja
terkejut.
"Jangan berbuat gila-gilaan begitu! Aku
tidak setuju kalau sampai melibatkan Gusti
Permaisuri Puspa Sari.
"Hanya siasat saja, Kakang. Toh
keselamatan Gusti Permaisuri masih terjamin."
"Tapi...."
"Serahkan saja semuanya padaku, Kakang,"
ujar Panglima Rupadi pongah.
Patih Ardareja tidak menyahut. Dia kembali
melangkah menuju Kerajaan Bumi Loka.
Menurutnya rencana yang telah diutarakan
Panglima Rupadi itu sangat berbahaya, apalagi
sampai melibatkan Permaisuri Puspa Sari!
Meskipun dirinya selalu mengimpikan tahta
Kerajaan Bumi Loka, namun dia tidak mau
mencelakakan seorang pun dari keluarga Prabu
Indrajaya. Bagaimanapun juga, Prabu lndrajaya
itu masih keponakannya.
Semula dia hanya bermaksud menggulingkan
tahta, dan memenjarakan seluruh keluarga Prabu
Indrajaya. Tapi yang terjadi malah sesuatu
yang tidak
diharapkannya sama sekali. Kerjasamanya
dengan Nyai Lumping, justru membuat posisinya
kini semakin terjepit. Sebelumnya dia memang
tidak pernah berpikir, kalau perempuan tua
ahli sihir itu akan memanfaatkannya untuk
membalas dendam!
Patih Ardareja kini benar-benar bingung,
apa yang harus dilakukannya untuk mencapai
ambisinya itu. Dan dia terpaksa mengikuti
semua rencana yang telah diutarakan oleh
Panglima Rupadi. Dia pikir, memang hanya
itulah cara satu-satunya untuk menghindari
kecurigaan Prabu Indrajaya padanya.
***
Malam itu suasana di Istana Kerajaan Bumi
Loka tampak sepi. Meskipun penjagaan telah
diperketat, namun itu hanya pada tempat-tempat
yang tertentu. Dan pada saat hampir seluruh
penghuni istana tengah tertidur lelap, tampak
dua sosok tubuh hitam berkelebatan cepat
mendekati kamar peraduan Permaisuri Puspa
Sari. Kedua sosok tubuh hitam itu berlindung
pada sebuah pohon besar yang tidak jauh dari
jendela kamar itu. Kemudian tampak salah
seorang dari kedua sosok tubuh hitam itu
menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya,
lalu mendekatkannya ke mulut. Dan....
"Phuih!"
Sebentar mereka menunggu, tampak para
penjaga di sekitar kamar peraduan Permaisuri
Puspa Sari sudah tertidur pulas. Rupanya orang
bertubuh hitam tadi telah mengeluarkan aji
sirep yang bisa menidurkan orang. Maka dengan
gerakan yang ringan dan lincah kedua sosok
hitam itu mendekati jendela. "Hup!"
Salah seorang melompat masuk ke dalam
kamar setelah berhasil membuka pintunya.
Sedangkan yang seorang lagi tetap menunggu di
luar. Keadaan di dalam kamar yang besar dan
indah itu tampak sunyi. Beberapa dayang telah
menggeletak tidur di lantai yang beralaskan
hambat berbulu tebal dan halus. Kemudian sosok
tubuh hitam itu melangkah pelan-pelan
mendekati pembaringan besar, dan beralaskan
kain sutra halus yang berwarna merah muda.
Di atas pembaringan itu terlihat
Permaisuri Puspa Sari tertidur dengan
nyenyaknya. Mungkin dia sedang bermimpi indah
dalam tidurnya. Sejenak sepasang mata itu
mengintip dari kain hitam penutup wajah dan
matanya berputar-putar liar menyoroti paha
putih yang tersingkap agak lebar. Dan
tangannya agak gemetar ketika hendak menjamah
tubuh yang hanya berkain tipis itu.
"Hhh...," terdengar suara tarikan napas
panjang dan berat.
Seketika orang itu mengambil kain tebal
yang tergolek di bawah pembaringan, dan
membungkus tubuh permaisuri itu. Setelah itu
dia bergegas melompat ke jendela yang masih
terbuka lebar.
Gerakannya ringan saat melompati jendela.
Sementara orang yang tengah menunggu di luar
segera menutup pintu jendela kembali, dan
langsung mengikuti kawannya. Sayang sekali tak
ada seorang pun yang melihat kejadian itu!
Kedua sosok tubuh hitam itu berlompatan
melewati tembok benteng yang tinggi dan kokoh,
lalu lenyap begitu berada di luar benteng
istana.
***
Berita tentang hilangnya Permaisuri Puspa
Sari, cepat menyebar dari mulut ke mulut. Dan
berita itu juga sampai ke telinga Bayu.
Sementara hampir seluruh prajurit sudah
dikerahkan mencari Permaisuri Puspa Sari, Bayu
malah menyelinap masuk ke Istana Bumi Loka.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung menuju
tempat pribadi Prabu Indrajaya, yang terus
dijaga ketat oleh beberapa orang prajurit
pengawal. Namun bagi seorang pendekar
sepertinya, bukanlah hal yang sukar untuk
melewati para prajurit pengawal tanpa
diketahui. Saat pengawal yang menjaga kamar
pribadi Prabu Indrajaya sedikit lengah, dengan
cepat Bayu melesat masuk melalui jendela yang
terbuka lebar.
Tentu saja Prabu Indrajaya terkejut
melihat hal itu. Dan hampir saja dia berteriak
memanggil pengawal, kalau saja Bayu tidak
cepat-cepat meringkus dan membungkam mulutnya.
"Aku tidak bermaksud buruk. Jangan membuat
keributan yang bisa mencelakakan dirimu," kata
Bayu setengah mengancam.
Seketika Prabu Indrajaya menganggukkan
kenya. Sedangkan Bayu pun segera melepaskan
ringkusannya, dan menutup jendela. Sebenarnya
seorang prajurit sempat melihat pintu itu
tertutup, tapi dia tidak bisa melihat, siapa
yang telah menutupnya. Dia hanya menduga,
Prabu Indrajaya-lah yang menutupnya.
"Dua kali kau masuk ke sini seperti
maling, Kisanak! Sekali lagi kuperingatkan,
kau bisa mendapat hukuman berat, tahu!" dengus
Prabu Indrajaya jengkel.
"Maaf, Gusti Prabu. Terpaksa hal ini aku
lakukan karena banyak tikus yang berkeliaran
di istana," kata Bayu kalem.
"Apa maksudmu sebenarnya, Kisanak?" tanya
Prabu Indrajaya mulai sedikit ramah.
"Aku hanya ingin membantu menyelamatkan
Kerajaan Bumi Loka dari kehancuran. Dan aku
sudah tahu, siapa yang telah menculik Gusti
Permaisuri. Aku pun tahu, akan rencana mereka
yang bermaksud menggulingkan tahta Gusti
Prabu," kata Bayu tetap tenang.
"Katakan, siapa orang itu?"
"Gusti Prabu pasti tidak akan percaya,
tapi aku akan mengatakan yang sebenarnya."
"Aku tahu, kau pasti akan mengatakan kalau
ini perbuatan Patih Ardareja dan Panglima
Rupadi, kan? Kau memang benar-benar sinting,
Kisanak. Kemarin kau mengatakan, bahwa semua
kekacauan karena ulah Patih Ardareja. Dan
sekarang kau pasti akan mengatakan hal yang
sama," Prabu Indrajaya langsung menebak.
"Gusti Prabu masih tidak percaya?"
"Tidak ada seorang pun yang mau
mempercayai omongan orang sinting sepertimu!"
dengus Prabu Indrajaya.
"Hm..., ternyata Dewi Puspita benar. Kau
adalah seorang raja yang tidak bisa melihat
keanehan-keanehann di sekitarmu," gumam Bayu
tanpa memandang hormat lagi.
"Hati-hati bicaramu, Kisanak!" bentak
Prabu Indrajaya tersinggung. "Pengawal...!"
Bayu langsung terkejut begitu tiba-tiba
seorang pengawal muncul. Maka tanpa pamit
lagi, ia langsung melesat ke atas dan menjebol
atap.
"Kejar orang itu, tangkap!" teriak Prabu
Indrajaya keras.
Bayu jadi gusar, karena beberapa orang
pengawal sudah melihatnya, dan segera
berlompatan ke atas atap. Sementara Pendekar
Pulau Neraka itu langsung melentingkan
tubuhnya dan turun ke bawah. Namun baru saja
kakinya menjejak tanah, puluhan anak panah
telah berdesingan ke arahnya.
Maka tidak ada pilihan lain, Bayu hanya
bisa berlompatan ke sana kemari menghindarkan
hujan anak panah itu. Untung saja dia berhasil
ke luar dari kepungan itu, dan langsung
melesat melompati tembok benteng yang tinggi.
Para punggawa istana yang memiliki kepandaian
cukup tinggi segera berlompatan mengejar.
Namun mereka tidak bisa lagi menemukan jejak
Pendekar Pulau Neraka itu.
***
Kegemparan belum lagi reda, dan Prabu
Indrajaya semakin gusar saat menerima sepucuk
surat yang dibawa oleh seorang prajurit
penjaga pintu gerbang istana. Surat itu berisi
ancaman, agar dia turun tahta secepatnya jika
menginginkan Permaisuri Puspa Sari selamat.
"Siapa yang telah mengirim surat ini?"
tanya Prabu Indrajaya membentak
"Ampun, Gusti Prabu Surat itu dilemparkan
seseorang yang berbaju hitam dan menunggung
kuda," lapor prajurit yang membawa surat itu.
Prabu Indrajaya menggeretakkan gerahamnya
menahan marah. Dia kemudian memandangi satu
persatu para pembesar, patih dan panglima
serta punggawa yang berada di depannya.
Sejenak mata agak menyipit, karena dia tidak
melihat Patih Ardareja dan Panglima Rupadi.
"Di mana Patih Ardareja dan Panglima
Rupadi?
"Patih Ardareja dan Panglima Rupadi sedang
tugas keliling bersama lima puluh prajurit,
Gusti Prabu," sahut salah seorang panglima.
Prabu Indrajaya tampak semakin mengerutkan
keningnya. Belum pernah sekali pun dia
mendengar, bahwa Patih Ardareja melakukan
tugas keliling bersama Panglima Rupadi. Lagi
pula, seharusnya Patih Ardareja tetap berada
di istana, karena keamanan Mana adalah
tanggung jawabnya. Sedangkan tugas keliling
biasanya hanya dilakukan oleh para prajurit
dan punggawa. Bukan oleh seorang patih atau
panglima kerajaan
Prabu Indrajaya jadi ingat akan kata-kata
pemuda yang berbaju kulit harimau itu.
Belakangan ini tingkah laku Patih Ardareja dan
Panglima Rupadi memang kelihatan tidak seperti
biasanya. Seringkali mereka keluar istana
tanpa alasan yang jelas. Bahkan semalam pun,
di saat seluruh pembesar istana tengah
berkumpul di Balai Sema, kedua pembesar itu
juga tidak ada. Padahal pertemuan itu
berlangsung sampai menjelang fajar, bersamaan
dengan hilangnya Permaisuri Puspa Sari.
"Susul Patih Ardareja, dan katakan aku
memanggilnya, cepat!" perintah Prabu Indrajaya
setengah emosi.
Dua orang punggawa segera menghaturkan
sembah, dan bergegas pergi. Sedangkan Prabu
Indrajaya masih memberikan perintah-perintah
pada para pembesar lainnya. Dan mereka yang
telah ditugaskan, langsung menjalankan
perintah itu tanpa membantah edikit pun. Kini
Prabu Indrajaya bergegas masuk ke dalam kamar
pribadinya, dan mengganti baju dengan baju
yang ringkas. Tak ketinggalan sebilah pedang
dia gantungkan di pinggang. Dan tidak lama
kemudian sudah ke luar lagi.
"Pengawal, siapkan kuda!" perintah Prabu
Indrajaya.
"Hamba, Gusti."
***
6
Di sebuah gubuk kecil yang letaknya agak
terpencil di dalam Hutan Gunung Tangkar,
tampak Permaisuri Puspa Sari tengah tergolek
di atas dipan kayu dengan tangan dan kaki
terikat merentang. Tubuhnya hanya tertutup
oleh selembar kain tipis merah muda, sehingga
lekuk-lekuk tubuhnya membayang jelas.
Tidak jauh darinya, tampak Panglima Rupadi
dan Patih Ardareja duduk menghadapi meja
kecil. Dua guci arak menggeletak di atas meja
itu. Sementara di sekitar gubuk itu terlihat
sekitar lima puluh prajurit sedang berjaga-
jaga.
"Seharusnya kau tidak menuruti rencana
gilamu ini. Adik Rupadi!" rungut Patih
Ardareja seraya melirik pada Permaisuri Puspa
Sari, yang masih belum juga sadarkan diri dari
pengaruh aji sirep yang telah dilepaskan oleh
Panglima Rupadi semalam.
"Tenang saja, Kakang. Ini baru langkah
permulaan," sahut Panglima Rupadi kalem.
"Gusti Prabu Indrajaya pasti sudah tahu
kalau ini perbuatan kita!"
"Tidak ada yang tahu, Kakang. Kalau kau
sendiri tidak membuka mulut."
"Aku tidak yakin rencanamu akan berhasil!"
"Tenang sajalah, kita tunggu saja
perkembangan selanjutnya, baru menyusul
langkah kedua."
"Huh!" Patih Ardareja mendengus.
Dan sambil memberengut, Patih Ardareja
segera melangkah ke luar.
"Kau mau ke mana?" tanya Panglima Rupadi.
"Ke istana!"
"Kalau Gusti Prabu menanyakan aku, katakan
kalau aku sedang memeriksa keamanan di bagian
Selatan!"
Patih Ardareja tidak menyahut. Dia
langsung naiki ke punggung kudanya, dan dengan
cepat menggebah kuda itu. Sementara Panglima
Rupadi hanya memandanginya saja dari pintu.
Bibirnya menyunggingkan senyum. Kemudian dia
berbalik dan menutup pintu pondok itu. Kini
matanya langsung menatap pada Permaisuri Puspa
Sari yang masih tergolek.
Kemudian dengan pelahan-lahan Panglima
Rupadi menghampirinya dan duduk di tepi dipan
itu. Bola matanya terus berputar liar merayapi
wajah dan tubuh wanita cantik itu. Lidahnya
tampak menjulur dan menjilati bibirnya
sendiri. Kecantikan dan kemolekan Permaisuri
Puspa Sari mendadak menggugah gairahnya. Lalu
dengan tangan agak gemetar, dia mulai mengusap
pipi yang halus dan lembut itu. Jantungnya
jadi berdetak kencang, merasakan kehalusan
kulit wajah wanita itu
"Hm..., sungguh sayang wanita secantik ini
dilewatkan begitu saja," gumam Panglima
Rupadi.
Kemudian tanpa menghiraukan lagi siapa
sebenarnya wanita itu, dia segera merenggut
kain yang menutupi tubuh Puspa Sari. Matanya
semakin membeliak lebar menyaksikan kemolekan
tubuh wanita itu. Dengan cepat jakunnya turun
naik menahan gairah yang memuncak mendesak
dada. Rupanya setan telah menutupi seluruh
akal sehat Panglima Rupadi. Dia tidak lagi
peduli siapa dirinya, dan siapa wanita itu.
Dan dengan gairah yang berkobar-kobar, dia
langsung memeluk dan menciumi wajah serta
leher Puspa Sari. Sementara jari-jari
tangannya menjelajah liar ke seluruh tubuh
wanita itu. Semakin dia merasakan kehalusan
kulit tubuh Puspa Sari, semakin tidak
tertahankan lagi nafsu setannya. Maka Panglima
Rupa di segera menjentikan jarinya di depan
wanita itu.
Tidak lama kemudian tampak Puspa Sari
mulai sadarkan diri. Dia langsung terkejut
begitu melihat Panglima Rupadi sudah berada di
atasnya, dengan dada telanjang. Dan dia lebih
terkejut lagi begitu menyadan bahwa dirinya
dalam keadaan tanpa busana, dengan tangan
serta kakinya terikat.
"Panglima! Apa yang telah kau lakukan?
Lepaskan aku!" sentak Permaisuri Puspa Sari.
"Tenanglah, Manis. Kau sekarang telah jadi
milik ku, dan kita akan segera menikmati saat-
saat yang indah," desah Panglima Rupadi dengan
napas tersengal.
"Tidak...! Akh!" Puspa Sari terus
memberontak, dan berusaha melepaskan diri.
Namun Panglima Rupadi tidak
mempedulikannya lagi. Dia kembali memeluk dan
menciumi wajah tubuh wanita itu. Sedangkan
Permaisuri Puspa Sari kini menjerit-jerit
minta tolong, tapi tak seorang pun yang datang
"Tidak! Oh..., lepaskan!" teriak
Permaisuri Puspa Sari mulai dihinggapi
perasaan takut luar biasa.
Namun jerit dan pekikan Puspa Sari malah
semakin membuat Panglima Rupadi bergairah.
Rontaannya menimbulkan rangsangan yang
menggelora.
"Oh... aaakh...!" Puspa Sari menjerit
melengking.
Dan tubuhnya langsung lemas lunglai.
Sementara air matanya mulai menitik ke luar.
Sia-sia saja memberontak dan menjerit minta
tolong sampai suaranya serak. Kini Panglima
Rupadi sudah benar-kerasukan setan.
Sakit dan perih seluruh tubuh Puspa Sari,
hancur sudah semua harapan dan hatinya!
Kesuciannya yang dia jaga selama ini, telah
ternoda oleh panglimanya sendiri. Tidak ada
lagi yang bisa dia lakukan, hanya air mata dan
rasa kehancuran saja yang dapat dirasakan.
Beberapa saat kemudian Panglima Rupadi
tampak tersenyum penuh kepuasan. Lalu dia
beranjak turun dari dipan kayu sambil
merapikan pakaiannya kembali. Sedangkan
tangannya menyambar kain yang teronggok di
lantai, lalu melemparkannya ke tubuh wanita
itu.
"Binatang kau, Rupadi!" maki Puspa Sari
disela isaknya.
"Makilah sepuasmu, kini tak ada lagi yang
bisa kau banggakan. Suamimu sendiri pasti
tidak akan mau menerimamu lagi," kata Panglima
Rupadi tersenyum penuh kemenangan.
"Setan! Kubunuh kau! Kubunuh kau,
Rupadi...!"
"Ha ha ha...!"
***
Sementara itu Patih Ardareja yang tengah
memacu kudanya kembali ke Kerajaan Bumi Loka,
dihadang oleh tiga orang punggawa yang memang
sedang mencarinya. Ketiga punggawa itu segera
turun dari ku danya, dan membungkuk memberi
hormat.
"Ada apa kau menghadangku?" tanya Patih
Ardareja.
"Ampun, Gusti Patih. Hamba bertiga diutus
oleh Gusti Prabu mencari Gusti Patih," sahut
salah seorang punggawa.
"Ada keperluan apa, Gusti Prabu
memanggilku?"
"Hamba tidak tahu, Gusti. Mungkin ada
suatu persoalan yang hendak dibicarakan,
sehubungan dengan hilangnya Gusti Permaisuri."
"Baiklah, kembalilah kalian lebih dulu,
nanti aku akan segera menyusul," kata Patih
Ardareja langsung merasa tidak enak hatinya.
"Ampun, Gusti Patih. Gusti Prabu
menghendaki dengan segera, dan hamba bertiga
diperintahkan untuk membawa Gusti Patih
menghadap."
"Punggawa! Aku perintahkan pada kalian
untuk kembali lebih dulu!" Patih Ardareja jadi
gusar. "Tapi, Gusti...."
"Kalian mau membangkang perintahku, heh?!"
"Gusti Prabu akan menghukum hamba bertiga
jika tidak berhasil menunaikan perintah."
"Perintah apa?" Patih Ardareja jadi cemas.
"Sebaiknya Gusti Patih segera menemui
Gusti Prabu."
"Kalian sudah berani menentangku, ya?"
"Ampun, Gusti Patih. Hamba hanya
menjalankan perintah Gusti Prabu."
Seketika Patih Ardareja jadi tidak menentu
hatinya. Dia merasakan, kalau perbuatannya
sudah diketahui oleh Prabu Indrajaya. Rasanya
memang tidak mungkin, tiga orang punggawa itu
tetap bertahan jika hanya untuk menyampaikan
pesan saja. Kemudian Patih Ardareja segera
melompat turun dari kudanya, dan secepat kilat
dia menarik pedang dari sarungnya.
Sret!
"Hiyaaa...!"
"Gusti...!"
"Aaakh...!"
Seketika seorang punggawa langsung roboh
terbabat pedang Patih Ardareja. Sedangkan dua
orang lagi berhasil melompat menghindar. Namun
Patih Ardareja yang sudah kalap, tidak mau
memberi ampun lagi. Dia segera melompat dan
mengejar sambil mengibaskan pedangnya dengan
cepat. Dan dua orang punggawa itu masih bisa
menahan gempuran Patih Ardareja, tapi karena
kemampuan mereka memang masih berada jauh di
bawah Patih Ardareja, maka dalam waktu singkat
saja kedua punggawa itu pun roboh dengan tubuh
bermandikan darah.
Sejenak Patih Ardareja menarik napas
panjang sambil menyarungkan pedangnya kembali.
Lalu bergegas dia melompat naik ke punggung
kudanya, dan kembali menggebahnya. Namun kali
ini dia berbalik ke Lereng Gunung Tangkar.
Tapi baru saja dia memacu kudanya beberapa
depa, mendadak terdengar suara bentakan keras
menggelegar.
"Berhenti...!"
Namun Patih Ardareja tidak mempedulikan
bentakan itu, dia terus memacu kudanya dengan
cepat. Sejenak dia menoleh ke belakang, tampak
sekitar sepuluh orang prajurit dan seorang
punggawa tengah mengejarnya.
Merasa dirinya sudah tidak mungkin lagi
untuk kembali ke istana, Patih Ardareja jadi
nekad. Dia segera melompat dari punggung
kudanya yang tetap berpacu cepa.t Tiga kali
tubuhnya melenting dan berputar di udara, lalu
sambil mencabut pedangnya, dia meluruk ke arah
para pengejarnya.
"Hiya...!" teriaknya melengking tinggi.
"Aaa...!"
Tiga orang prajurit langsung ambruk
tersambar sabetan pedang Patih Ardareja.
Sedangkan mereka yang selamat langsung
melompat turun dari kudanya masing-masing, dan
menghunus senjata!
"Gusti Prabu telah memerintahkan kami
untuk menangkapmu, Gusti Patih," kata punggawa
itu masih memandang hormat.
"Tangkaplah aku kalau kalian bisa!"
Kembali Patih Ardareja melompat seraya
mengibaskan pedangnya dengan cepat. Sementara
para prajurit dan seorang punggawa yang sudah
mengetahui tingkat kepandaian Patih Ardareja,
bersikap lebih hati-hati. Namun mereka memang
bukanlah tandingan Patih Ardareja. Sebentar
saja jerit pekik kemarian terdengar saling
susul, bersamaan dengan robohnya tubuh para
prajurit itu.
Punggawa yang memimpin sepuluh orang
prajurit itu jadi gentar. Maka tanpa pikir
panjang lagi, dia segera melompat ke punggung
kudanya, dan menggebahnya dengan cepat
menuruni Lereng Gunung Tangkar.
Patih Ardareja tidak sempat lagi mengejar,
karena sisa-sisa prajurit langsung
merangseknya. Dan dengan kemarahan yang luar
biasa, Patih Ardareja segera membabat habis
prajurit-prajurit itu. Sejenak dia memandang
punggawa yang sudah jauh melarikan diri,
kemudian dia kembali menaiki kudanya dan
menggebahnya menuju ke Lereng Gunung Tangkar.
***
Seorang punggawa yang telah berhasil lolos
dari tangan Patih Ardareja itu, tampak memacu
kudanya bagai kesetanan. Dan dia langsung
melompat turun dari punggung kudanya begitu
sampai di depan Istana Bumi Loka. Prabu
lndrajaya yang kebetulan sedang berjalan ke
luar, setengah terkejut. Punggawa itu langsung
berlutut menjatuhkan diri.
"Ada apa, Punggawa?" tanya Prabu Indrajaya
dengan kening berkerut dalam.
"Ampun, Gusti Prabu. Sebenarnya hamba
telah berhasil bertemu dengan Patih Ardareja,
tapi...," punggawa itu mengatur napasnya
sebentar.
"Teruskan, Punggawa."
"Ampun, Gusti Prabu. Patih Ardareja
melawan, dan membunuh semua prajurit yang ikut
bersama hamba. Bahkan tiga orang punggawa juga
telah tewas terbunuh."
Prabu Indrajaya menggeram hebat mendengar
laporan itu. Dia benar-benar tidak menyangka
sama sekali, kalau orang yang selama ini
dipercaya dan masih ada ikatan saudara
dengannya, justru yang akan menggulingkan
tahta Kerajaan Bumi Loka.
"Di mana kau bertemu dengan Patih
Ardareja?" tanya Prabu lndrajaya seraya
menahan geram.
"Di Lereng Gunung Tangkar, Gusti Prabu."
"Panglima Jamparan!"
"Hamba, Gusti Prabu."
"Kerahkan para prajurit tangkap Patih
Ardareja hidup atau mati!" perintah Prabu
Indrajaya.
"Titah Gusti Prabu segera hamba
laksanakan."
Panglima Jamparan segera berangkat untuk
mengumpulkan para prajurit Sementara Prabu
Indrajaya terus melangkah menuruni tangga
istana. Dan dia segera naik ke punggung kuda
yang memang sudah disiapkan sejak tadi.
Sepuluh orang punggawa, tiga panglima dan
hampir seratus prajurit menyertai Raja Bumi
Loka itu.
Namun baru saja mereka ke luar dari pintu
gerbang, mendadak dua buah bayangan berkelebat
dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri
Bayu dan Dewi Puspita.
"Maaf kalau perjalanan Gusti Prabu
terhambat," kata Bayu.
"Kisanak, apa lagi yang hendak kau
sampaikan padaku?" Prabu Indrajaya langsung
mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Ampun, Gusti. Kalau boleh aku sarankan,
sebaiknya tidak usah mengerahkan begitu banyak
prajurit. Hal itu justru akan membuat Nyai
Lumping semakin murka. Kini Patih Ardareja dan
Panglima Rupadi sedang bersembunyi di Lereng
Gunung Tangkar, dan tempat itu merupakan
wilayah Nyai Lumping," Bayu mengingatkan.
"Gusti Prabu, ijinkanlah kami berdua yang
akan membebaskan Gusti Permaisuri dan
menangkap kedua pengkhianat itu," sambung Dewi
Puspita.
"Nini, siapakah kau ini?" tanya Prabu
Indrajaya.
"Hamba yang bernama Dewi Puspita, hamba
putri tunggal Ki Pulut."
"Hm..., jadi kaulah yang selama ini dicari
Nyai Lumping?"
"Benar, Gusti, dan hamba akan menyerahkan
diri pada perempuan tua itu. Hamba akan
menghadapinya sampai tetes darah terakhir."
Prabu Indrajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Hatinya begitu terharu mendengar
kata-kata yang telah diucapkan gadis itu. Dia
sudah tahu kalau gadis itu sebenarnya tidak
bersalah, dan hanya menjadi korban fitnah
Patih Ardareja. Dan Prabu Indrajaya tahu betul
siapa ayah gadis itu, seorang panglima yang
sangat disegani, jujur, setia dan patuh pada
perintah.
"Panglima Jamparan," panggil Prabu
Indrajaya.
"Hamba, Gusti Prabu."
"Perintahkan pada seluruh prajurit agar
segera kembali, dan aku percayakan keamanan
istana padamu. "
"Titah Gusti Prabu hamba junjung tinggi."
"Kisanak, mari kita segera berangkat," ajak
Prabu Indrajaya
Dua orang punggawa turun dari kudanya, dan
menyerahkan kuda masing-masing pada Bayu dan
Dewi Puspita. Kemudian mereka segera berangkat
menuju Lereng Gunung Tangkar. Hanya ada dua
orang panglima dan tiga punggawa saja yang
mengawal. Sedang selebihnya kembali lagi ke
Istana Bumi Loka.
***
Saat itu di sebuah pondok kecil di Lereng
Gunung Tangkar, Panglima Rupadi baru saja
selesai melampiaskan nafsu yang ke sekian
kalinya pada Permaisuri Puspa Sari. Sedangkan
Permaisuri Puspa Sari terpaksa menyerahkan
tubuhnya dalam keadaan tidak berdaya. Baru
saja Panglima Rupadi telah merapikan diri,
ketika pintu pondok tiba-tiba terbuka dengan
keras.
"Kakang Ardareja...!" desis Panglima
Rupadi sedikit terkejut.
"Kita harus segera pergi dari sini. Adik
Rupadi," kata Patih Ardareja tersengal.
"Kenapa?" tanya Panglima Rupadi
mengerutkan keningnya.
"Sebentar lagi para prajurit Kerajaan Bumi
Loka pasti segera datang ke sini."
"Tunggu dulu, Kakang. Apa sebenarnya yang
telah terjadi?"
"Aku telah bentrok dengan beberapa
prajurit yang ingin menangkapku. Rupanya
mereka sudah mengetahui semua perbuatan kita."
Sejenak Patih Ardareja menoleh pada
Permaisuri Puspa Sari yang masih dalam keadaan
tanpa busana. Tentu saja ia sangat terperanjat
begitu melihat keadaan wanita itu.
"Adik Rupadi! Apa yang telah kau lakukan?"
"Tidak apa-apa, Kakang. Hanya..." "Gila, kau!"
dengus Patih Ardareja gusar. Buru-buru Patih
Ardareja memungut kain yang teronggok di
lantai, kemudian menutupi tubuh Permaisuri
Puspa Sari yang tergolek pingsan. Lalu dia
berbalik dan menatap tajam pada Panglima
Rupadi.
"Kenapa kau lakukan itu, Adik Rupadi?"
"Hanya sebagai pelampiasan dendam saja,
Kakang. Aku dulu memang kalah bersaing dengan
Indrajaya. Dan aku terpaksa menelan kekecewaan
saat dia mempersunting Puspa Sari."
Patih Ardareja tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Semuanya sudah terjadi, dan dia memang
tahu betul kalau adiknya itu mencintai Puspa
Sari. Patih Ardareja kemudian menghampiri
adiknya, dan membawanya ke luar pondok.
"Adik Rupadi, lupakanlah Puspa Sari.
Sekarang ini kita jadi buronan prajurit-
prajurit Bumi Loka. Kita harus segera
menyingkir dari tempat ini sebelum mereka
datang," kata Patih Ardareja.
"Kenapa harus menyingkir, Kakang. Toh kita
bisa meminta bantuan pada Nyai Lumping Aku
yakin, seribu prajurit pun Hdak akan mampu
menghadapi Nyai Lumping."
"Sudahlah, Jangan hiraukan lagi tahta
Kerajaan Bumi Loka. Yang penting sekarang,
bagaimana ki bisa menyelamatkan diri!"
Panglima Rupadi tidak menjawab. Dia hanya
mengangkat bahunya dan mengikuti langkah
kakaknya. Sementara lima puluh orang prajurit
yang setia pada mereka juga mengikuti. Tapi
baru saja mereka berjalan beberapa langkah,
mendadak terdengar suara tawa yang mengikik
nyaring.
"Hik hik hik...!" "Nyai Lumping...," desis
Patih Ardareja setengah tersentak.
Tampak seorang perempuan tua bungkuk dan
berbaju kusam, muncul dari balik semak dan
pepohonan. Perempuan tua yang ternyata adalah
Nyai Lumping itu, segera melangkah ringan dan
menghampiri mereka.
"Kalian mau ke mana?" tanya Nyai Lumping.
"Maaf, Nyai. Kami harus meninggalkan Bumi
Loka," sahut Patih Ardareja
"Untuk apa? Mau jadi buronan seumur
hidup?"
"Tidak ada jalan lain, Nyai."
"Hik hik hik... Kalian tidak percaya
padaku, heh? Seluruh manusia di Bumi Loka bisa
kuhancurkan dalam sekejap mata saja. Biarkan
saja mereka datang ke sini, dan kalian akan
melihat, bagaimana mereka hancur binasa."
Sejenak Patih Ardareja menoleh pada
adiknya. Kemudian hampir bersamaan mereka
mengangguk.
"Hik hik hik...! Memang sebaiknya begitu.
Kalian bisa jadi pengikutku yang setia, dan
kau Ardareja, sebentar lagi akan menduduki
tahta Kerajaan Bumi Loka."
"Aku percaya padamu, Nyai," sahut Patih
Ardareja pasrah.
"Hik hik hik...!"
Patih Ardareja memang tidak punya pilihan
lain lagi. Kalau tidak melarikan diri dari
Bumi Loka, tentu menuruti saja keinginan
perempuan tua ahli sihir itu.
"Rupadi, kau suka pada wanita yang berada
dalam gubuk itu?"
"Iya, Nyai. Sudah lama aku menginginkan
dia jadi istriku," sahut Panglima Rupadi.
"Pergilah ke sana, puaskan dirimu."
"Tentu, Nyai," sahut Panglima Rupadi
gembira.
"Hik hik hik..!"
***
7
"Oh, Tuhan..., kenapa kau berikan cobaan
yang begini berat padaku," rintih Permaisuri
Puspa Sari di dalam pondok.
Pelan-pelan dia berusaha bangkit, namun
seluruh tubuhnya terasa nyeri. Dan dia hanya
mampu duduk saja di atas pembaringan. Matanya
yang terus beredar langsung tertumbuk pada
sebilah pisau yang tergeletak di atas meja.
Tidak ada orang lain yang berada di dalam
pondok itu. Hanya sekali-sekali terdengar
suara-suara tawa dari luar.
Maka sambil menahan rasa sakit dan nyeri,
Puspa Sari kemudian merayap turun dari dipan.
Tangannya menggapai-gapai dan berusaha meraih
pisau itu. Dan dengan tangan bergetar, dia
berhasil menggenggam pisau itu erat-erat. Air
matanya semakin deras mengalir.
"Kanda Indrajaya, maafkan aku. Selamat
tinggal, Kanda...," rintih Puspa Sari lirih.
Dan dengan sisa-sisa tenaganya, dia
mengayunkan pisau itu ke arah dadanya sendiri.
"Hugh!"
Puspa Sari tampak meringis menahan sakit
yang amat sangat pada dadanya. Bersamaan
dengan itu, darah mengucur deras dari lukanya
itu. Kini tubuhnya benar-benar tidak berdaya,
dan ambruk ke lantai. Darah segera menggenang
di sekitar tubuhnya yang hanya terbungkus oleh
kain tipis.
Hening, tak ada seorang pun yang tahu
dengan peristiwa itu. Puspa Sari tewas dengan
membawa ke pedihan dan kehancuran di dalam
dirinya. Sementara di luar pondok, samar-samar
masih terdengar suara tawa mereka yang seperti
menertawakan keadaan wanita itu.
***
Sementara itu Patih Ardareja tampak
semakin bertambah gelisah, karena para
prajurit Kerajaan Bumi Loka yang mereka
tunggu-tunggu tidak juga muncul. Sedangkan
adiknya, Panglima Rupadi hanya bersenang-
senang saja dengan para prajuritnya. Mereka
sepertinya tidak peduli dengan situasi yang
tengah mereka hadapi saat ini.
"Huh! Kenapa tidak seorang pun yang
kelihatan datang...?" keluh Patih Ardareja
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Barangkali mereka takut datang, Kakang!"
seru Panglima Rupadi.
"Benar, Gusti. Mereka pasti takut karena
ada Nyai Lumping yang melindungi kita,"
celetuk salah seorang prajurit.
"Huh!" Patih Ardareja hanya mendengus
saja. Dia kemudian bangkit dan melangkah
menuruni lereng.
"Mau ke mana kau, Ardareja?" tegur Nyai
Lumping.
"Aku bosan menunggu di sini terus!" sahut
Patih Ardareja.
"Prajurit-prajurit itu memang tidak akan
muncul di sini, Ardareja," kata Nyai Lumping
lagi.
Sejenak Patih Ardareja menghentikan
langkahnya, lalu berbalik dan memandang pada
perempuan tua itu.
"Hanya ada tujuh orang yang kini sedang
mendaki Lereng Gunung Tangkar ini," kata Nyai
Lumping tenang.
"Tujuh orang...!?" tanya Patih Ardareja,
seolah-olah tidak percaya dengan
pendengarannya sendiri.
"Aku merasakan ada tujuh ekor kuda yang
sedang menuju tempat ini. Hm...," ujar Nyai
Lumping sambil memiringkan kepalanya sedikit.
"Ada apa, Nyai?" tanya Patih Ardareja
seraya mendekati.
"Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya..."
kata-kata Nyai Lumping terputus.
Patih Ardareja segera memandangi wajah
wanita tua itu yang jadi berubah warnanya.
Juga tangannya yang memegang tongkat mulai
bergetar. Sedangkan dari bibirnya yang keriput
dan terkatup rapat ke luar suara yang mendesis
bagai ulat. Sejenak Patih Ardareja melangkah
mundur dua tindak. Sementara Panglima Rupadi
dan para prajuritnya yang tengah bersenang-
senang mendadak diam. Mereka semua ikut
memandang ke arah Nyai Lumping yang kini sudah
duduk bersila di bawah pohon.
Kelopak mata perempuan tua itu terpejam,
sedangkan tongkatnya tetap bergetar di dalam
genggaman tangannya. Kemudian pelahan-lahan
matanya yang berkeriput itu terbuka, dan
getaran pada tongkat nya berhenti. Namun
napasnya terdengar tersengal-sengal, seolah-
olah baru saja menempuh perjalanan jauh.
"Huh! Siapa dia...?" lenguh Nyai Lumping
seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Nyai...," Patih Ardareja mendekati dan
duduk bersila di depan perempuan tua itu.
"Ardareja, sebaiknya kau segera menghadang
mereka. Tapi usahakan agar tidak sampai
bentrok dengan orang yang memakai baju dari
kulit harimau. Kalian tidak akan mampu
menghadapinya," kata Nyai Lumping agak parau
suaranya.
"Siapa orang itu. Nyai?" tanya Patih
Ardareja.
"Entahlah, mata batinku seperti buta.
Mungkin yang sering bersama Dewi Puspita."
"Maksudmu..., Pendekar Pulau Neraka?"
tanya Patih Ardareja ingin meyakinkan.
"Mungkin, aku sendiri belum begitu yakin.
Semakin dekat, malah semakin sulit untuk
diketahui. Tapi yang jelas di antara mereka
ada Prabu Indrajaya. Dan orang itu... Uh! Dia
selalu berada di samping Dewe Puspita."
"Dia pasti Pendekar Pulau Neraka, Nyai,"
Patih Ardareja menegaskan.
"Siapa pun orangnya, kalian jangan sampai
bentrok dengannya. Biar aku sendiri nanti yang
akan menghadapinya. Tampaknya dia memiliki
kekuatan yang sukar untuk kutembus dengan mata
batin."
Kemudian Patih Ardareja bangkit dan
berjalan mendekati adiknya.
"Adik Rupadi, bawa semua prajuritmu. Dan
hadang mereka di Kaki Lereng Gunung Tangkar,"
perintah Patih Ardareja.
"Baik, Kakang," sahut Panglima Rupadi.
"Ayo, kita segera berangkat dan menggempur
mereka!"
Dan tanpa diperintah dua kali, para
prajurit itu langsung bergerak mengikuti
Panglima Rupadi. Sementara itu Nyai Lumping
masih tetap duduk bersila dengan bibir
bergerak komat-kamit. Sedangkan Patih Ardareja
hanya bisa memperhatikan tanpa mengerti
maksudnya.
"Tampaknya kau sedang menghadapi
kesulitan, Nyai," kata Patih Ardareja
memberanikan diri.
"Kenapa kau tidak ikut pergi?" Nyai
Lumping malah bertanya.
"Aku rasa, Adik Rupadi dan lima puluh
prajurit sudah cukup, Nyai."
"Seratus orang prajurit dan sepuluh orang
sepertimu juga tidak akan mampu menandinginya!
Cepat pergi!"
"Lantas, Nyai bagaimana?"
"Sudah kubilang, kau hadapi yang lainnya!
Tapi hindari bentrok dengan orang yang berbaju
harimau. Dia akan kuhadapi sendiri nanti!"
"Baik, Nyai."
"Sudah, cepat sana!"
***
Saat itu tidak jauh dari Kaki Lereng
Gunung Tangkar, tampak Prabu Indrajaya, Bayu,
Dewi Puspita da dua orang panglima, serta tiga
orang punggawa terus memacu kudanya mendekati
lereng gunung itu. Kini jalan yang mereka
lalui sudah mulai dirapati oleh rimbunnya
pepohonan, sehingga perjalanan agak terganggu.
Dan mereka baru bisa leluasa bergerak
setelah mencapai padang rumput yang tidak
begitu luas, tepat ketika mereka berada di
Kaki Lereng Gunung Tangkar. Tampak Bayu
meminta yang lainnya untuk segera berhenti,
dan dia sendiri bergegas turun dari kuda.
Sejenak kepalanya dimiringkan sedikit ke kiri,
menoleh pada Prabu lndrajaya.
"Ada banyak orang yang tengah menuruni
lereng, Gusti Prabu," kata Bayu.
"Hm..., nampaknya mereka akan menghadang
kita," gumam Prabu Indrajaya sambil
mengangguk-angguk.
"Sebaiknya kita tunggu saja mereka di
sini, Gusti," kata Dewi Puspita memberi
usul."Tempat ini cukup luas untuk
pertarungan."
"Baiklah, kita tunggu mereka di sini,"
sahut Prabu Indrajaya kemudian.
Dan Raja Bumi Loka itu pun segera melompat
turun dari punggung kudanya. Gerakannya tampak
ringan dan lincah, pertanda dia memiliki ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi. Namun
bagi telinga Bayu, masih terdengar gemerisik
halus saat kaki Prabu Indrajaya menyentuh
rerumputan.
Sementara Dewi Puspita juga segera turun
dari punggung kudanya, diikuti oleh dua orang
panglima dan tiga punggawa yang menyertai
mereka. Prabu Indrajaya mendekati Pendekar
Pulau Neraka yang berdiri tegak sambil
memandang ke Puncak Gunung Tangkar. Tangannya
yang berotot kekar, melipat di depan dada.
"Berapa orang jumlah mereka?" tanya Prabu
Indrajaya seperti menguji.
"Sekitar lima puluh orang," sahut Bayu.
"Hm...," Prabu Indrajaya bergumam tidak
jelas.
"Kau telah melihat sesuatu, Kakang?" tanya
Dewi Puspita yang juga sudah berada di
sampingnya.
"Tidak, tapi aku sudah merasakan ada
getaran yang aneh...," sahut Bayu ragu-ragu.
"Hm, kau bisa merasakan kehadiran
perempuan penyihir itu, Kisanak?" gumam Prabu
Indrajaya seperti bertanya.
Bayu tidak menjawab. Dia merasakan, bahwa
getaran itu kini semakin kuat, seolah-olah
ingin mengacaukan dan membelah-belah jiwanya.
Dan Bayu segera menyalurkan hawa murni ke
seluruh tubuh untuk menggempur getaran yang
semakin lama semakin terasa kuat.
"Hhh! Apakah ini yang dinamakan kekuatan
sihir?" gumam Bayu dalam hati.
Getaran aneh itu terus bertambah kuat
saja. Dan tubuh Bayu tampak mulai bergetar
seperti menggigil kedinginan. Wajahnya memerah
bagai kepiting rebus. Sedangkan keringat yang
sebesar-besar biji jagung merembes ke luar
dari dahinya. Bayu terus bertahan dengan
menyalurkan hawa murni pada seluruh tubuhnya.
"Kakang... kenapa kau?" tanya Dewi Puspita
cemas.
"Menyingkirlah, Dewi," kata Bayu agak
tersengal-sengal napasnya.
Dewi Puspita memberanikan diri untuk
menyentuh tubuh Pendekar Pulau Neraka itu,
namun dia langsung terpekik kaget! Ternyata
tubuh Bayu bagaikan batu api yang sangat panas
dan menggigit. Dan Dewi Puspita segera
melompat mundur sambil memegangi tangannya
yang seperti melepuh terbakar.
"Kau tidak apa-apa. Dewi?" tanya Prabu
Indrajaya.
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa," sahut Dewi
Puspita masih belum hilang dari rasa
terkejutnya.
Sementara seluruh tubuh Bayu tampak
semakin hebat saja bergetar. Antara sadar dan
tidak, Pendekar Pulau Neraka itu bagai melihat
gurunya, Eyang Gardika datang di depannya.
"Kau sedang menghadapi kekuatan ilmu
sihir, Anakku. Dan kau akan sia-sia saja jika
melawannya dengan kekuatan ilmu olah
kanuragan. Hadapilah dia dengan kekuatan
batinmu, dan gunakan Cakra Maut sebagai
pelindung dirimu."
Sebentar kemudian Bayu tersentak kaget.
Kata-kata itu jelas sekali terdengar di
telinganya. Kini Pendekar Pulau Neraka itu
mulai sadar, kalau dulu dia meninggalkan Pulau
Neraka saat gurunya itu tengah bersemadi untuk
menghadapi kesempurnaan diri dalam
meninggalkan dunia lana ini. Dan seperti
lazimnya orang-orang yang berilmu tinggi, dia
sebenarnya tidak mati, tapi hanya muksa.
Berangsur-angsur Bayu menarik kembali hawa
murninya. Dan pada saat itu getaran yang
dirasakannya begitu kuat seperti berubah
menjadi satu tenaga dorongan yang sangat kuat
dan menghentak. Seketika tubuh Bayu terpental
keras ke belakang, dan langsung menghantam
pohon hingga tumbang. Namun Pendekar Pulau
Neraka itu segera bisa menguasai diri dan
duduk bersila.
Sejenak dia mencopot senjata Cakra Maut-
nya, dan menggenggamnya dengan erat pada salah
satu ujungnya. Masih dalam sikap bersemedi,
dan cakra terangkat ke depan. Bayu
mengosongkan seluruh kekuatan dirinya pada
jiwa.
Kemudian pelahan-lahan tubuhnya mulai
tampak tenang, dan getaran aneh itu terasa
semakin berkurang. Namun pada saat seluruh
getaran itu hilang, mendadak dari arah Lereng
Gunung Tangkar, meluncur sinar merah yang
langsung meluruk deras ke arah Pendekar Pulau
Neraka itu. Namun keajaiban segera terjadi,
cakra di tangan Bayu juga langsung memancarkan
cahaya keperakan yang menyilaukan mata. Dan
cahaya bergumpal yang membentuk bulatan
sebesar kepala manusia itu, terus meluruk
deras menyongsong sinar merah itu.
Glarrr!
Seketika satu ledakan keras dan dahsyat
terdengar menggelegar! Bayu segera bangkit
berdiri, dan melangkah tegap ke depan.
Kemudian dia berdiri tegak dengan tangan kanan
yang menjulur ke depan sambil memegang Cakra
Maut-nya. Tepat pada saat itu, mendadak sebuah
bola api kembali meluncur ke arahnya. Dan
seperti tadi, sebuah cahaya perak berbentuk
bola kembali melesat ke luar dari Cakra Maut
di tangan Pendekar Pulau Neraka.
Slap!
Glarrr...!
Beberapa kali terjadi luncuran-luncuran
cahaya yang saling berbenturan di udara dan
menimbulkan suara ledakan menggelegar
memekakkan telinga. Tampak mereka yang
menyaksikan semua itu, jadi terpana kagum.
Pertarungan aneh itu memang benar-benar
mempesona, namun amat berbahaya dan dahsyat.
Dan pada saat Bayu tengah sibuk menghadang
gempuran-gempuran kekuatan sihir dari Nyai
Lumping, dari balik hutan di Kaki Lereng
Gunung Tangkar, mendadak bermunculan tidak
kurang dari lima puluh orang yang berpakaian
seragam prajurit Kerajaan Bumi Loka. Mereka
terus berteriak-teriak dengan gegap-gempita
bagai hendak menyerang musuh. Tampak Panglima
Rupadi berlari paling depan dengan pedang yang
sudah tergenggam di tangannya.
Melihat keadaan itu, Prabu Indrajaya
segera memerintahkan pada kedua panglima dan
tiga orang punggawanya untuk bersiap-siap
menghadapi mereka. Sementara itu Dewi Puspita
masih tercenung dan mengkhawatirkan
keselamatan Bayu Hanggara yang masih terus
bertempur melawan kekuatan sihir Nyai Lumping.
***
Sebentar saja para prajurit yang membelot
dan ikut dengan Panglima Rupadi, sudah
menyerbu pada Prabu Indrajaya yang hanya
dikawal oleh dua orang panglima dan tiga orang
punggawa. Pertempuran yang tidak seimbang
segera berlangsung tanpa dapat dicegah lagi.
Sementara Dewi Puspita pun tidak bisa menahan
diri lagi. Dengan kemarahan yang meluap-luap
karena merasa difitnah, gadis itu langsung
mengamuk seperti seekor singa betina yang
kehilangan anaknya.
Pedangnya terus berkelebatan cepat bagai
kilat, diiringi dengan gerakan tubuh yang
lincah dan ringan. Sedangkan para prajurit
pengkhianat itu yang memang bukan tandingan
Dewi Puspita, segera berantakan kesana kemari.
Sementara itu Prabu Indrajaya yang juga
memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi,
mengamuk seperti banteng ketaton! Pedangnya
terus berkelebat cepat, dan selalu meminta
nyawa. Sedangkan tidak jauh dari tempat
pertempuran itu, Bayu masih tetap sibuk
menghadapi gempuran kekuatan sihir Nyai
Lumping jarak jauh.
"Hhh..., untunglah mereka masih mampu
untuk menandingi para pengkhianat itu," desah
Bayu yang matanya sempat melirik ke arah
pertarungan yang tidak seimbang itu.
Memang, kekuatan yang sedikit dari pihak
Prabu Indrajaya, tidak bisa dianggap remeh.
Dua orang panglima dan tiga orang punggawanya
adalah orang-orang yang memiliki ilmu olah
kanuragan yang cukup tinggi. Dan tingkat
kepandaian mereka rata-rata berada jauh di
atas para prajurit pengkhianat tersebut.
Sehingga kelihatannya tidak mengalami
kesulitan dalam pertarungan itu.
Sebentar saja jerit dan pekik kematian
terus membahana saling susul. Bersamaan dengan
tubuh-tubuh yang bergelimpangan dengan
bersimbah darah. Kini Kaki Lereng Gunung
Tangkar kembali tersiram darah! Namun
pertempuran seakan tidak mau berhenti.
Saat itu, Dewi Puspita tampak berusaha
untuk mendekati Panglima Rupadi yang tengah
bertarung melawan salah seorang punggawa.
"Panglima Rupadi, akulah lawanmu...!"
teriak Dewi Puspita lantang. Dan bersamaan
dengan itu juga tubuhnya segera melenting ke
arah Panglima Rupadi. Tapi terlambat...!
Pedang di tangan panglima itu sudah berkelebat
cepat dan menembus dada punggawa lawannya.
"Aaa...!" punggawa itu menjerit
melengking.
Dada punggawa itu sobek dan menganga
lebar! Melihat itu, seketika Dewi Puspita
menggeram hebat, dan langsung melancarkan
serangan dengan jurus-jurus mautnya. Sedangkan
Panglima Rupadi agak sedikit kewalahan, namun
dengan cepat dia segera bisa menguasai diri.
Sebenarnya tingkat kepandaian Dewi Puspita
seimbang dengan Panglima Rupadi. Tapi kali ini
dia agak kewalahan, karena harus membagi
perhatiannya pada para prajurit yang membantu
panglima itu untuk menyerangnya.
"Ha ha ha...! Ayo, Manis. Keluarkan semua
kepandaianmu!" ujar Panglima Rupadi yang
mencoba membangkitkan amarah gadis itu.
Dewi Puspita hanya mendengus dan semakin
memperhebat serangannya. Sejenak dia berkelit
kesamping saat salah satu pedang prajurit
hampir membelah iganya, lalu dengan cepat
tangannya memutar pedangnya dan membabat robek
dada prajurit itu. Namun pada saat itu, tiba-
tiba Panglima Rupadi dengan licik
membokongnya.
"Hup!"
Panglima Rupadi menendang pedang yang
berada dekat ujung kakinya, sehingga meluncur
deras ke arah Dewi Puspita. Mau tidak mau,
gadis itu segera melompat ke samping sambil
memutar pedangnya untuk menangkis serangan
yang tiba-tiba itu. Namun pada yang bersamaan,
Panglima Rupadi sudah melompat seraya
mengibaskan pedangnya kearah kepala Dewi
Puspita.
"Hih!"
Sejenak Dewi Puspita terperanjat! Buru-
buru dia menjatuhkan diri, sambil berusaha
menghalau pedang yang meluncur deras ke
arahnya. Namun gerakannya terlambat hanya
sekejap mata saja. Ujung pedang Panglima"
Rupadi itu berhasil menggores pundak kiri
gadis itu.
"Akh!" Dewi Puspita memekik tertahan.
Bergegas gadis itu melompat berdiri.
Bibirnya mendesis menahan geram. Sedangkan
darah terus mengucur deras dari bahu kirinya
yang sobek cukup lebar. Pada saat itu, tiba-
tiba seorang prajurit membokongnya dari
belakang.
"Hait!"
Tring!
Dewi Puspita langsung memutar tubuhnya,
menangkis senjata prajurit itu. Lalu dengan
kecepatan kilat, dia segera membelokkan
pedangnya, dan langsung merobek dada prajurit
pembokong itu. "Akh!"
Kembali Dewi Puspita memutar tubuhnya
begitu mendengar suara desiran halus dari
belakang. Dan tiba-tiba matanya membebak
lebar, begitu melihat ujung pedang Panglima
Rupadi sudah meluruk deras ke arahnya. Buru-
buru gadis itu mengangkat pedangnya, dan
menangkis serangan gelap panglima pembangkang
itu. Namun satu dupakan kaki yang keras tidak
dapat dihindarkan.
Duk!
"Hugh...!" Dewi Puspita mengeluh pendek,
tubuhnya meluncur deras ke belakang.
"Mampus kau, Gadis Setan...!" teriak
Panglima Rupadi geram.
Dewi Puspita yang masih dalam keadaan
terjajar, tidak mungkin lagi bisa mengelak.
Sebisanya dia mencoba mempertahankan diri,
namun ujung pedang Panglima Rupadi berhasil
juga menggores lengan gadis itu, bahkan satu
pukulan tangan kiri bertenaga dalam dahsyat
mendarat di bahu kanannya.
Gadis itu memekik tertahan, bahu kanannya
terasa remuk, dan matanya berkunang-kunang.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dewi
Puspita tak sanggup lagi mengangkat pedangnya,
tapi pada saat yang kritis itu, tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan dan dengan cepat
menyambar tubuh Dewi Puspita! Hal itu tentu
saja membuat Panglima Rupadi yang hendak
menyerang kembali dengan pedangnya menjadi
terperangah. Matanya dengan nyalang mencari.
Namun Dewi Puspita sudah lenyap bagai ditelan
bumi.
***
8
Pertempuran di Lereng Gunung Tangkar terus
berlangsung sengit! Kekuatan rombongan Prabu
Indrajaya yang cuma beberapa orang itu semakin
berkurang. Kini sudah dua orang punggawa yang
tewas, sedangkan Dewi Puspita lenyap disambar
suatu bayangan. Sementara di pihak Panglima
Rupadi, masih banyak prajurit yang masih
hidup. Dan mereka sudah bisa menguasai
jalannya pertarungan. Tampak Prabu Indrajaya
yang kini hanya dibantu oleh dua panglima dan
satu punggawa, semakin kelihatan terdesak!
"Ha ha ha...! Terus, gempur! Jangan
biarkan mereka hidup!" Panglima Rupadi tertawa
terbahak-bahak Dia tidak peduli lagi dengan
hilangnya Dewi Puspita.
Sementara itu, Bayu yang sedang menahan
gempuran Nyai Lumping, mendengar bisikan
halus.
"Bayu, kau bereskan saja permasalahan di
sini! Kau jangan cemas memikirkan keadaan Dewi
Puspita. Dia cucuku sendiri, dan akan aman
bersamaku!" bisik suara yang disampaikan dari
jarak jauh itu.
Belum sempat Bayu berterima kasih pada
orang yang berbisik itu, tiba-tiba dia telah
menerima serangan mendadak yang melesat cepat
ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
Bayu langsung mengibaskan senjata cakranya
yang dia genggam. Seketika tiga orang lawan
langsung menggelepar tanpa mampu membalas.
Pendekar Pulau Neraka itu terus bergerak cepat
bagai kilat, berlompatan ke sana kemari dengan
senjata cakra berkelebat mencabut nyawa.
Hanya dalam waktu yang singkat, sepuluh
orang sudah tewas di tangannya. Dan keadaan
jadi berbalik, kini semangat Prabu Indrajaya
dan dua orang panglimanya bangkit kembali.
Saat itu seorang punggawa yang masih tersisa,
sudah tewas di tangan Panglima Rupadi. Dan
terjunnya Pendekar Pulau Neraka kedalam kancah
pertarungan, tentu saja membuat Panglima
Rupadi jadi cemas.
Dan kecemasan Panglima Rupadi semakin
menebal, ketika melihat para prajuritnya sudah
bergeletakan kena amukan Pendekar Pulau
Neraka. Jerit dan pekik kematian terus
membahana saling susul bersamaan dengan
robohnya tubuh-tubuh yang bergelimpangan darah
saling tumpang tindih. Kini jumlah prajurit
pembangkang itu semakin berkurang dan
menyusut. Dan semangat mereka pun tampaknya
mulai mengendur. Melihat kenyataan ini,
Panglima Rupadi langsung melesat kabur,
namun....
"Rupadi! Jangan lari kau!" bentak Prabu
Indrajaya.
Raja Bumi Loka itu langsung melesat
mengejar. Tangannya yang menggenggam pedang,
terus berkelebat cepat bagai kilat. Sedangkan
Panglima Rupadi buru-buru merundukkan
kepalanya dan memutar tubuhnya sambil
mengibaskan senjatanya. Prabu Indrajaya
menarik kembali pedangnya, lalu dengan cepat
membenturkannya ke pedang Panglima Rupadi.
Tring!
"Pengkhianat! Kau harus mampus...!" geram
Prabu Indrajaya.
"Kaulah yang harus mampus, Raja Bodoh!"
balas Panglima Rupadi tak kalah sengit.
"Setan! Hiyaaa...!"
"Hup!"
Prabu Indrajaya langsung menyerang dengan
jurus-jurus mautnya. Sementara Panglima Rupadi
yang menyadari bahwa tingkat kepandaiannya
masih berada di bawah Prabu Indrajaya,
mengambil sikap hati-hati. Namun hanya dalam
beberapa jurus saja, nampaknya dia sudah mulai
terdesak.
Dan pada saat keadaan Panglima Rupadi
semakin kritis itu, tiba-tiba melesatlah
sesosok tubuh yang langsung menyerang Prabu
Indrajaya.
"Paman Ardareja...." desis Prabu Indrajaya
terkejut.
Kedatangan Patih Ardareja membuat semangat
Panglima Rupadi bangkit kembali. Kakak beradik
itu kemudian segera menyerang Prabu Indrajaya
tanpa banyak bicara lagi. Sementara itu
pertarungan di tempat lain sudah berakhir. Dua
orang panglima yang masih hidup langsung
berlompatan dan membantu Prabu Indrajaya.
"Paman Patih Ardareja, di mana kau
sembunyikan permaisuriku?" bentak Prabu
Indrajaya.
"Dia ada di tangan Nyai Lumping!" sahut
Patih Ardareja.
"Setan! Kau harus kubunuh, Patih
Ardareja!" geram Prabu Indrajaya.
Kemarahan Prabu Indrajaya semakin memuncak
ketika mendengar jawaban itu. Dan seperti
orang yang kesetanan, dia langsung menggempur
habis-habisan patih pembangkang itu. Sementara
Panglima Rupadi harus melayani dua orang
panglima lainnya.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba seorang perempuan tua muncul
sambil memperdengarkan suara tawanya yang
mengikik dan mendirikan bulu kuduk. Namun
kehadirannya tidak mempengaruhi jalannya
pertempuran. Dan memang kehadiran Nyai Lumping
langsung disambut oleh Pendekar Pulau Neraka.
"Aku lawanmu, Perempuan Iblis!" kata Bayu
geram.
"Hik hik hik...! Kau memang tangguh, Anak
Muda. Tapi, ilmumu belum cukup untuk
menandingiku!" sahut Nyai Lumping pongah.
"Mari kita buktikan, siapa di antara kita
yang lebih dulu terbang ke neraka!"
"Hik hik hik...!"
Tanpa buang-buang waktu lagi, Bayu
langsung mengibaskan tangan kanannya ke depan
dengan tubuh agak membungkuk miring. Tampak
senjata cakra yang berada di pergelangan
tangannya langsung melesat bagai kilat, dan
mengarah ke tubuh perempuan tua itu.
"Hup!"
Buru-buru Nyai Lumping mengangkat
tongkatnya, dan menghalau cakra berwarna
keperakan itu. Namun dia segera terperanjat,
karena senjata itu bisa berkelit sendiri, dan
langsung mencecarnya seperti memiliki mata
saja. Sedangkan Bayu terus memain-mainkan
jari-jari tangan kanannya untuk mengendalikan
senjata andalannya itu.
Perempuan tua ahli sihir itu nampak agak
kerepotan menghadapi senjata itu. Cakra Maut
berwarna keperakan itu terus melayang-layang
dengan kecepatan bagai kilat, mengarah ke
bagian-bagian tubuh Nyai Lumping yang
mematikan.
"Hih! Bocah Setan!" rutuk Nyai Lumping
sengit Nyai Lumping sempat melihat Bayu tengah
mengendalikan cakra itu dari jarak yang cukup
jauh. Dan tanpa membuang kesempatan lagi,
perempuan tua itu langsung menghentakkan
kepala tongkatnya ke arah Pendekar Pulau
Neraka itu, sambil berkelit menghindari
terjangan Cakra Maut
"Hup, hiyaaa...!"
Buru-buru Bayu melentingkan tubuhnya ke
udara saat melihat secercah sinar merah
meluruk deras kearahnya. Dan sinar itu
langsung menghantam tanah hingga menimbulkan
suara yang menggelegar dan menggetarkan. Tepat
pada saat tubuh Bayu berada di udara, Cakra
Maut itu berbalik ke arahnya. Dan dengan cepat
Bayu segera menangkapnya, dan langsung
melemparkannya kembali ke arah Nyai Lumping.
"Heh!"
Nyai Lumping terkejut setengah mati. Buru-
buru dia merundukkan kepalanya untuk
menghindar. Dan Cakra Maut itu hanya lewat
sejengkal di atas kepalanya. Sedangkan Bayu
kini sudah meluruk deras kearahnya. Kemudian
bagaikan kilat, kaki kanannya langsung
mendupak tubuh perempuan tua itu.
"Ikh! Setaaan...!"
Kembali Nyai Lumping tersentak kaget!
Buru-buru dia melompat mundur. Tapi baru saja
rubuhnya bisa berdiri, Cakra Maut itu sudah
meluruk cepat dan menyerangnya. Mau tidak mau
Nyai Lumping harus melompat ke udara
menghindari terjangan senjata yang bagai
bernyawa itu.
Dan pada saat itulah, Bayu juga melesat
sambil mengirimkan 'Pukulan Racun Hitam'.
Seketika Nyai Lumping memekik tertahan, dia
tidak bisa lagi untuk mengelak. Bahunya sudah
terkena 'Pukulan Racun Hitam' dengan telak.
Tubuh perempuan tua itu meluruk deras, jatuh
ke tanah dan bergulingan.
"Hup!"
Bayu mendarat dengan manis di tanah.
Sejenak tangannya terangkat dan Cakra Mautnya
kembali menempel pada pergelangan tangan
kanannya. Sementara Nyai Lumping sudah kembali
bangkit, namun tubuhnya masih terhuyung-
huyung. Tampak dari sudut bibirnya mengucur
darah kental berwarna kehitaman. "Hoak...!"
Nyai Lumping memuntahkan darah kental
kehitaman. Matanya yang keriput membeliak
lebar. Dia menyadari kalau dirinya sudah
terkena pukulan beracun. Buru-buru dia
mengambil sikap untuk menyalurkan hawa murni.
Tentu saja kesempatan itu tidak dibiarkan
lewat oleh Bayu. Dengan cepat Pendekar Pulau
Neraka itu menghentakkan tangan kanannya ke
depan, seketika Cakra Maut di pergelangan
tangan kanannya melesat bagaikan anak panah
yang lepas dari busurnya.
"Bocah setan! Monyet buntung...!" Nyai
Lumping langsung memaki-maki tak karuan sambil
berkelit menghindari terjangan senjata pipih
yang bergerigi enam itu.
Sementara pertarungan di tempat lain terus
berlangsung sengit. Belum ada satu pihak pun
yang kelihatan bakal unggul. Rupanya kekuatan
mereka cukup berimbang juga. Dan Bayu sudah
kembali bertarung jarak dekat dengan Nyai
Lumping. Namun sedikit pun dia tidak memberi
kesempatan lagi pada perempuan tua itu untuk
merapalkan ilmu sihirnya. Dia sudah merasakan
kehebatan ilmu sihir perempuan tua itu. Dan
menyadari tidak akan mampu untuk menandingi
kekuatan ilmu sihirnya.
"Hiya...!"
"Hiyaaa...!"
***
Dalam ilmu sihir, Nyai Lumping memang
sangat ditakuti! Namun dalam ilmu olah
kanuragan, dia masih bisa ditandingi, meskipun
tingkatannya juga tinggi. Dan kini Nyai
Lumping benar-benar merasa kewalahan
menghadapi gempuran Bayu yang sama sekali
tidak memberi kesempatan lagi padanya untuk
menggunakan kekuatan sihirnya.
Nyai Lumping semakin geram saja, karena
racun yang mengendap dalam tubuhnya mulai
terasa bekerja. Kini napasnya mulai sesak, dan
persendiannya juga terasa nyeri. Tapi
bagaimanapun juga dia harus tetap menghadapi
Bayu yang menyerang dengan kesetanan.
"Huh! Dia benar-benar sudah tahu
kelemahanku!" dengus Nyai Lumping dalam hati.
Namun diam-diam Nyai Lumping segera
merapalkan salah satu ilmu sihirnya. Tampak
sepasang bola matanya jadi berwarna merah
bagai darah menggumpal. Kemudian ia melesat
mundur, dan pada saat Bayu hendak merangsek,
tiba-tiba dari kedua mata perempuan tua itu
meluncur sinar merah.
"Heh!" Bayu tersentak kaget.
Buru-buru dia melompat ke samping, dan
sinar merah itu langsung menghantam tanah,
hingga segera menimbulkan suara ledakan yang
dahsyat. Debu tampak mengepul dari hantaman
sinar merah itu. Kali ini Bayu benar-benar
dibuat jungkir-balik menghindari sinar-sinar
merah yang terus-menerus meluruk ke arahnya.
"Bayu, jangan pandang matanya. Ikuti saja
gerakan kakinya. Jangan kau hiraukan sinar-
sinar merah itu, tidak akan berbahaya bagimu!"
tiba-tiba terdengar bisikan halus di telinga
Bayu.
Sejenak Bayu tersentak, dia sudah kenal
betul dengan suara itu. Suara Eyang Gardika,
gurunya. Maka tanpa membuang waktu lagi, Bayu
kemudian mengalihkan perhatiannya pada gerakan
kaki Nyai Lumping. Dan dia membiarkan saja
sinar-sinar merah itu menghajar tubuhnya.
Aneh! Sinar merah itu bisa tersedot ke dalam
senjata cakra di pergelangan tangannya!
Bayu tampak tersenyum. Dalam hati dia
mengucapkan terima kasih pada gurunya yang
telah membantunya itu. Kini Pendekar Pulau
Neraka itu terus bergerak mengikuti setiap
gerakan kaki Nyai Lumping. Lalu sedikit demi
sedikit dia berusaha mendekatkan jaraknya. Dan
begitu jaraknya tinggal satu batang tombak
lagi, Bayu segera melenting dan mengebutkan
tangan kanannya dengan cepat
Wut!
"Akh!" Nyai Lumping langsung memekik
terperangah.
Buru-buru dia melompat mundur seraya
berkelit ke samping, tapi terjangan yang
datang secara beruntun itu membuatnya
kelabakan. Lebih-lebih dalam keadaan mata yang
sedang mengandung kekuatan ilmu sihir.
Penglihatan Nyai Lumping pun terhalang! "Hih!"
Seketika Bayu mencobloskan dua jarinya ke
mata Nyai Lumping yang memerah membara.
"Aaakh...!" Nyai Lumping segera menjerit
melengking tinggi.
Dan belum lagi perempuan tua itu sempat
menyadari apa yang terjadi, mendadak saja
telinganya seperti terpanggang. Dan memang,
Bayu menusuk telinga perempuan itu dengan
menggunakan sebatang ranting yang dipungutnya
dari tanah.
Bayu kemudian melompat mundur sejauh tiga
batang tombak, dan dengan kecepatan penuh, dia
langsung melontarkan senjatanya. Seketika
Cakra Maut yang berwarna keperakan itu melesat
cepat dengan suara mendesing. Tentu saja Nyai
Lumping gelagapan, karena mata dan telinganya
tidak lagi berfungsi. Maka tanpa ampun lagi,
cakra itu langsung memenggal kepalanya.
"Hup!"
Bayu segera menangkap cakra yang tengah
kembali kepadanya. Dan dia langsung melenting
cepat sambil mengarahkan kakinya ke tubuh
wanita tua itu. Secara beruntun kedua kaki
Pendekar Pulau Neraka itu menghajar tubuh tua
yang bungkuk itu.
Tubuh Nyai Lumping terjengkang dan ambruk
ke tanah dengan keras! Kepalanya menggelinding
terpisah agak jauh. Sejenak Bayu masih berdiri
tegak dengan napas memburu. Baru kali ini dia
benar-benar merasakan lawan yang sangat
tangguh. Kalau saja tadi gurunya tidak
membantu, mungkin akan lain jadinya.
***
Kematian Nyai Lumping benar-benar
mengejutkan Patih Ardareja dan Panglima
Rupadi. Seketika kepercayaan diri mereka
langsung mengendur. Tentu saja hal itu
dimanfaatkan dengan baik oleh Prabu Indrajaya.
Maka dengan satu teriakan yang melengking,
Prabu Indrajaya langsung melompat cepat sambil
mengibaskan pedangnya.
Sejenak Patih Ardareja terperangah, lalu
buru-buru dia memapak serangan itu. Namun
gerakannya kalah cepat dan dadanya tergores
ujung pedang Prabu Indrajaya. Belum lagi Patih
Ardareja bisa menguasai tubuhnya, tiba-tiba
satu tendangan geledek sudah mendarat di dada
dan kepalanya secara beruntun. Seketika tubuh
Patih Ardareja limbung, dan....
"Aaakh...!" Patih Ardareja menjerit
melengking tinggi.
Dengan cepat pedang Prabu Indrajaya
menusuk tenggorokan patih pembangkang itu.
Sebentar Patih Ardareja masih sanggup berdiri
limbung, namun begitu satu pukulan telak
mendarat di dadanya, tubuhnya langsung ambruk
di tanah. Tampak darah mengucur deras dari
dada dan lehernya. Sejenak Prabu Indrajaya
berdiri tegak sambil memandangi tubuh lawannya
yang sudah tak berkutik itu.
"Gusti, sebaiknya kita segera mencari
Gusti Permaisuri," kata Bayu yang tahu-tahu
sudah berada di belakang Prabu Indrajaya.
"Baiklah, ayo," sahut Prabu Indrajaya.
Sejenak Prabu Indrajaya memandang ke arah
dua panglimanya yang tengah bertarung melawan
Panglima Rupadi. Kemudian Raja Bumi Loka itu
segera berlari cepat mengikuti Pendekar Pulau
Neraka. Mereka terus berlari mendaki Lereng
Gunung Tangkal itu.
Sementara itu pertarungan antara Panglima
Rupadi melawan dua orang Panglima Kerajaan
Bumi Loka terus berlangsung dengan sengit.
Kini jelas terlihat kalau Panglima Rupadi kian
terdesak, dan dalam beberapa jurus lagi, pasti
bisa dikalahkan. Namun dasar otaknya yang
memang cerdik, dia segera bisa mendapat jalan.
Maka sambil melemparkan senjatanya ke arah
seorang lawannya, Panglima Rupadi melesat
cepat melarikan diri.
"Hey! Jangan lari, kau!" bentak salah
seorang panglima seraya melesat mengejar.
Kedua panglima itu terus berlari cepat
mengejar Panglima Rupadi. Dan salah seorang
kemudian melemparkan pedangnya dengan
pengerahan tenaga dalam penuh. Pedang itu
terus meluncur cepat ke arah tubuh Panglima
Rupadi. Dan tanpa ampun lagi, pedang itu
langsung menembus punggung Panglima Rupadi.
"Aaaa...!" seketika Panglima Rupadi
menjerit melengking.
Tak pelak lagi, tubuhnya ambruk
bergulingan di tanah. Salah seorang panglima
yang masih memegang pedang, segera melompat
sambil mengibaskan senjatanya. Dan langsung
saja dia membabatkan pedangnya ke leher
lawannya itu. Darah segar langsung muncrat ke
luar dari leher yang hampir putus itu. Sejenak
Panglima Rupadi menggelepar, dan kemudian diam
untuk selamanya!
***
Prabu Indrajaya segera berhenti berlari
begitu sampai pada sebuah pondok kecil. Pondok
itu berdiri agak terpencil di tengah-tengah
Hutan Gunung Tangkar. Sejenak Prabu Indrajaya
memandangi pintu pondok itu. Lalu dengan hati-
hati kakinya terayun mendekati pintu yang
masih tertutup rapat itu.
"Tunggu, Gusti Prabu," cegah Bayu menahan
langkah Prabu Indrajaya.
Kemudian Bayu segera mendahului dan
melangkah ke pintu pondok itu. Ayunan kakinya
tetap perlahan-lahan dan hati-hati. Matanya
tidak berkedip memandang ke arah pintu pondok.
Sementara Prabu Indrajaya hanya menunggu
sambil memperhatikan dengan hati berdebar.
"Hiyaaa...!" seketika Bayu berteriak
keras.
Tubuhnya langsung melesat dan menjebol
pintu pondok itu. Namun tidak lama kemudian
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melompat ke
luar. Matanya langsung menatap Prabu Indrajaya
dengan sinar mata yang sulit diartikan.
"Ada apa?" tanya Prabu Indrajaya sambil
bergegas menghampiri.
Bayu tidak segera menjawab. Kepalanya
kemudian tertunduk, seakan tidak sanggup lagi
memandangi wajah Raja Bumi Loka ini. Prabu
Indrajaya tidak sabar lagi. Dia bergegas masuk
ke pondok, seketika matanya membelalak lebar
begitu melihat tubuh permaisurinya telah
menggeletak di lantai dengan hanya tertutup
kain tipis seadanya. Sedangkan sebilah pisau
tertanam dalam dadadanya. Darah juga
menggenang di sekitar tubuh permaisuri itu.
"Dinda Puspa...," suara Prabu Indrajaya
getir.
Prabu Indrajaya tak dapat menahan emosinya
lagi. Dia langsung menubruk tubuh
permaisurinya, dan memeluknya dengan erat.
Tubuh Permaisuri Puspa Sari terkulai lemas
saat diangkat oleh Prabu Indrajaya. Lalu
dengan langkah lesu, Prabu Indrajaya melangkah
ke luar dari dalam pondok. Sementara Bayu
hanya memandangnya saja dengan bibir yang
terkatup rapat.
"Maafkan aku, Dinda. Aku datang
terlambat...," rintih Prabu Indrajaya.
Raja Bumi Loka itu terus melangkah
pelahan-lahan meninggalkan pondok kecil itu.
Sedangkan Bayu hanya bisa memperhatikannya
dengan hati ikut berduka. Sedikit pun dia
tidak merasa tersinggung karena Prabu
Indrajaya tidak menghiraukannya lagi. Perasaan
duka yang amat dalam, membuat Raja Bumi Loka
itu lupa akan keadaan sekitarnya.
Prabu Indrajaya terus saja melangkah
pelan-pelan sambil meratapi kematian
permaisurinya. Saat itu langit tampak dipenuhi
oleh awan hitam. Sementara angin pun berhenti
berhembus, seakan-akan ikut merasakan
kepedihan hati Prabu Indrajaya. Pepohonan juga
seperti merunduk saat Raja Bumi Loka itu
melewatinya. Kini rintik-rintik air hujan
mulai jatuh menyiram bumi, sepertinya langit
juga ikut berduka atas kematian wanita ayu
Permaisuri Kerajaan Bumi Loka itu.
Sementara Bayu masih saja berdiri mematung
sambil memandangi kepergian Raja Bumi Loka
yang membawa mayat permaisurinya itu. Tiba-
tiba saja pikirannya teringat pada ibunya,
yang sampai saat ini belum ketahuan nasibnya.
Apakah sudah meninggal, atau masih hidup. Bayu
mendesah panjang, lalu dengan cepat dia
melesat meninggalkan Lereng Gunung Tangkar
itu.
Tepat pada saat itu, dua orang panglima
yang sudah menyelesaikan pertarungan telah
tiba ditempat itu. Mereka langsung terkejut
begitu melihat Prabu Indrajaya tengah
melangkah lesu sambil memondong tubuh
Permaisuri Puspa Sari yang terkulai lemas,
dengan sebilah pisau tertanam di dada.
"Gusti Prabu...," salah seorang
menghaturkan sembah.
"Cepat kembali ke istana, dan bawa kereta
kencana ke sini," perintah Prabu Indrajaya.
"Hamba segera laksanakan, Gusti Prabu."
Kemudian salah seorang panglima segera
berlari cepat menghampiri seekor kuda yang
sedang merumput. Tampak ada beberapa ekor kuda
milik para prajurit pembangkang sedang
merumput di situ. Dengan cepat panglima itu
melompat ke punggung kuda, dan langsung
menggebahnya menuju Istana Kerajaan Bumi Loka.
Sementara Prabu Indrajaya terus melangkah
pelan sambil memondong tubuh permaisurinya
dengan diiringi oleh seorang panglimanya.
SAMPAI
0 comments:
Posting Komentar