..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 11 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PEMBALASAN RATU SIHIR

matjenuh


PEMBALASAN RATU SIHIR 

Oleh Teguh S. 

Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, 

Jakarta 

Gambar sampul oleh Tony G. 

Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy 

atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi 

buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit. 

Teguh S. 

Serial Pendekar Pulau Neraka dalam 

episode: 

Pembalasan Ratu Sihir 128 hal. ; 12 x 18 

cm 


Dari kejauhan, Gunung Tangkar tampak 

menjulang tinggi mencakar langit. Puncaknya 

yang membentuk kerucut, selalu terselimut oleh 

kabut tebal. Dalam Ibeberapa tahun belakangan 

ini, tak seorang pun yang berani mendaki 

gunung itu. Hal itu disebabkan oleh adanya 

seorang perempuan tua yang bersemayam di 

puncaknya. Dia adalah seorang yang ahli dalam 

ilmu sihir dan sangat kejam. Maka tidak heran 

kalau desa-desa di sekitarnya selalu tampak 

sunyi, jauh dari kegiatan sehari-hari. 

Namun keangkeran gunung itu tidak 

menghalangi seorang laki-laki tua yang diikuti 

oleh sekitar dua puluh orang, mendaki Lereng 

Gunung Tangkar itu dengan langkah-langkah 

lebar dan tergesa-gesa. Laki-laki itu adalah 

Ketua Padepokan Tongkat Merah, yang bernama Ki 

Pulut. Sedangkan para pengikutnya yang



berjumlah dua puluh orang tersebut, adalah 

murid-muridnya. Mereka terus mendaki tanpa 

menghiraukan lagi keangkeran gunung itu. 

Di samping Ki Pulut, berjalan seorang 

gadis yang beusia sekitar delapan belas tahun. 

Dia berpakaian warna hijau muda dan sangat 

ketat, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya yang 

indah dan ramping terlihat jelas, sementara 

rambutnya yang hitam dan panjang terikat oleh 

kain pita yang warnanya hijau. Sedangkan 

dipinggangnya terselip sebilah pedang pendek 

yang gagangnya berbentuk kepala naga, dan 

bermata dari batu merah delima. 

"Masih jauhkah letak puncaknya, Ayah?" 

tanya gadis itu. Suaranya mendesah dan 

terputus-putus lantaran kecapaian. 

"Kenapa? Takut?" Ki Pulut balik bertanya. 

Gadis itu tidak menjawab. 

"Dewi, sudah kukatakan sejak semula, 

sebaiknya kau tinggal saja di padepokan. Nyai 

Lumping itu orangnya sangat kejam dan ilmu 

sihirnya sangat tinggi. Aku saja belum tentu 

mampu menandinginya," kata Ki Pulut setengah 

kesal. 

"Kalau Ayah sendiri sudah merasa tidak 

akan mampu menandinginya, kenapa menyanggupi 

juga perintah Gusti Prabu Indrajaya?" 

"Titah seorang raja tidak bisa dibantah, 

Anakku. Kau tahu, apa akibatnya kalau aku 

sampai menolak perintah itu? Bukan saja 

padepokan kita akan hancur tapi kita semua 

juga akan mati di tiang gantungan!" 

"Huh! Apakah sikap semua raja selalu 

begitu?" dengus Dewi Puspita. 

"Tidak semuanya begitu, Dewi. Ada juga 

seorang raja yang bijaksana dan adil. Dan 

tidak pernah membebani rakyat dengan tugas-

tugas yang berat."


"Kan masih banyak padepokan-padepokan lain 

yang lebih besar, Ayah. Kenapa Gusti Prabu 

menunjuk padepokan kita?" 

"Dewi, sebelum aku mendirikan Padepokan 

Tongkat Merah, aku adalah seorang panglima 

perang. Dulu, kerajaan Bumi Loka masih 

diperintah oleh Ayahanda Gusti Prabu 

Indrajaya. Dan aku mengundurkan diri setelah 

Gusti Prabu Swarajaya mangkat. Aku merasa 

sudah tua dan tidak kuat lagi untuk memimpin 

sekian ribu prajurit." 

"Aku merasa bahwa perintah ini bukan 

datang dari Gusti Prabu Indrajaya. Aku menduga 

hal ini adalah ulah...." 

"Dewi! Jangan coba-coba berprasangka buruk 

dulu pada orang lain," potong Ki Pulut agak 

membentak. 

"Ayah tidak perlu menutup-nutupi hal ini, 

aku sudah tahu semuanya. Aku juga mengerti 

kenapa Ayah mengundurkan diri dari jabatan 

panglima. Dan aku juga sudah tahu, kenapa...?" 

"Sudahlah, Dewi. Tuhan Maha Adil, barang 

siapa yang menanam, pasti akan memetik 

hasilnya! Yang penting sekarang, kita harus 

melaksanakan tugas berat ini. Lihat, sebentar 

lagi kita akan sampai di puncak. Mudah-mudahan 

Nyai Lumping mau menerima kedatangan kita 

dengan baik." 

Meskipun dalam hatinya Dewi Puspita tidak 

menyetujui sikap ayahnya itu, namun dia tidak 

banyak bertanya lagi. Dia hanya berpikir, 

siapa pun orangnya, pasti akan menolak tugas 

ini. Karena semua orang tahu, menemui Nyai 

Lumping berarti menyerahkan nyawa dengan sia-

sia! 

Tiba-tiba Ki Pulut mengangkat kedua 

tangannya tinggi-tinggi di hadapan murid-

muridnya. Seketika pula pengikutnya 


langsung berhenti melangkah, dan segera 

mencabut senjatanya masing-masing. Tapi Ki 

Pulut segera memerintahkan untuk menyimpan 

kembali senjata mereka. Kini perasaan tegang 

dan mencekam melanda mereka semua. 

Sejenak Ki Pulut mengedarkan pandangan 

berkeliling. Namun sejauh matanya memandang, 

hanya kabut tebal yang terlihat. Sementara 

angin yang bertiup kencang menyebarkan hawa 

dingin seperti menusuk tulang. Mereka sekarang 

sudah berada Puncak Gunung Tangkar, di mana 

wanita tua yang berjuluk Ratu Sihir itu 

tinggal. 

*** 

Pelahan-lahan Ki Pulut mengayunkan 

kakinya. Sementara Dewi Puspita dan semua 

murid-muridnya mengikuti dari belakang. Bola 

mata mereka terus mengawasi dengan tajam 

keadaan sekitarnya. 

"Barangkali Nyai Lumping sudah tidak ada 

di sini lagi, Ayah," kata Dewi Puspita 

setengah berbisik. Namun keadaan yang sunyi di 

sekitar tempat itu membuat suara gadis itu 

terdengar jelas. 

"Hm...," Kl Pulut hanya bergumam tidak 

jelas. 

"Graaagh...!" 

Tiba-tiba terdengar suara menggerung yang 

dahsyat dan menggetarkan jantung. Mereka semua 

langsung bersiaga dengan menghunus senjatanya 

masing-masing! 

"Hati-hati, kedatangan kita sudah 

diketahui," kata Ki Pulut memperingatkan. 

Suaranya terdengar setengah berbisik. 

Belum lagi kering kata-kata laki-laki tua 

itu, mendadak di sekitar tempat itu melayang


batu-batu cadas yang runcing dan tajam. Batu-

batu itu datang dari empat penjuru, bagaikan 

dilontarkan oleh tangan-tangan yang besar dan 

kuat. Tentu saja keadaan itu membuat dua puluh 

orang murid Padepokan Tongkat Merah jadi 

panik. 

"Tenang! Itu cuma tipuan!" bentak Ki 

Pulut. Aneh! Batu-batu itu langsung hilang 

begitu menyentuh tanah, dan tidak ada satu 

batu pun yang sempat mengenai tubuh mereka. 

Namun tak lama sesudah hujan batu itu reda, 

mendadak mereka dikejutkan kembali dengan 

munculnya sesosok makhluk yang bertubuh 

seperti raksasa. Tubuh makhluk itu dipenuhi 

oleh bulu-bulu hitam yang tebal dan kasar. 

Sedangkan wajahnya tidak berbeda jauh dengan 

seekor kera, dengan sepasang bola mata 

berwarna kemerahan dan bersorot tajam. 

"Grhaaagh...!" makhluk itu kembali 

menggeram dahsyat 

"Tolooong...!" mendadak salah seorang 

murid Ki Pulut menjerit keras sambil berlari. 

Namun baru beberapa batang tombak dia 

berlari, makhluk itu sudah melompat, dan 

langsung mencengkeram pundaknya. Maka tanpa 

ampun lagi, dengan giginya yang bertaring 

tajam, makhluk mengoyak tubuh salah seorang 

murid Padepokan Tongkat Merah itu! 

"Kejam...!" desis Dewi Puspita tidak 

sanggup untuk menyaksikan makhluk itu memakan 

tubuh korbannya. 

"Jangan!" sentak Ki Pulut ketika melihat 

tiga muridnya maju. 

Namun ketiga orang tersebut sudah keburu 

lompat seraya menghunus senjatanya. Tampak dua 

orang sudah memegang pedang, dan seorang lagi 

menggenggam sebuah tongkat pendek berwarna


merah. Mereka langsung menyerang makhluk yang 

mengerikan itu. 

"Hiya...!" 

"Yeaaa...!" 

"Aaargh!" 

Dengan bertubi-tubi mereka segera 

membabatkan senjatanya masing-masing ke tubuh 

makhluk itu. Namun makhluk itu hanya menggeram 

dan membiarkan saja tubuhnya jadi bulan-

bulanan mereka. Tidak sedikit pun kulitnya 

cidera. 

Tiba-tiba saja tangan makhluk itu bergerak 

menyambar, sehingga salah seorang dari mereka 

terpental jauh sampai puluhan tombak. Suara 

jeritannya terdengar melengking dan menyayat 

hati. Belum lagi suara jeritan itu hilang dari 

pendengaran, segera disusul dengan 

terdengarnya satu jeritan, dan satu pekikan 

tertahan. Tampak dua tubuh dengan kepala 

hancur dan dada terbelah, menggeletak di 

samping kaki makhluk itu. 

"Graaagh...!" mendadak makhluk itu kembali 

menggeram dahsyat sambil mengangkat kedua 

tangannya tinggi-tinggi. 

"Kalian semua diam! Jangan ada lagi yang 

bergerak tanpa perintahku!" seru Ki Pulut. 

Seketika mereka yang mulai ribut, kembali 

terdiam. Tampak jelas wajah mereka pucat 

dengan tubuh gemetaran. Sementara makhluk 

raksasa itu terus menggerung-gerung, sehingga 

menggetarkan tanah yang mereka pijak. Namun 

lama kelamaan raungan-nya makin melemah, 

bersamaan dengan tubuhnya yang menyusut kecil. 

Kini yang ada di depan mereka hanyalah seekor 

kera biasa yang kelihatan jinak. Dan hewan itu 

segera berlari menembus kabut dengan 

meninggalkan suara yang mencericit ribut.


"Kalian harus tetap menuruti kata-kataku, 

agar tidak ada lagi yang bernasib seperti 

teman-temanmu!" kata Ki Pulut agak tertahan 

suaranya. Bagaimanapun juga dia menyesali 

kejadian barusan. 

Kini suasana di Puncak Gunung Tangkar itu 

kembali sunyi. Hanya terdengar deru angin dan 

detak jantung mereka yang bergerak cepat. 

Sementara kabut di sekitar tempat itu semakin 

tebal dan menghalangi perjalanan mereka. 

*** 

"Guru, sebaiknya kita kembali saja," kata 

seorang memberanikan diri dengan wajah pucat. 

"Benar, Guru," sambung yang lainnya dengan 

tubuh bergemetaran. 

Sejenak Ki Pulut memandangi wajah murid-

muridnya yang kini jumlahnya tinggal enam 

belas orang. Hatinya sedih melihat kekerdilan 

jiwa mereka, namun dengan bijaksana, Ki Pulut 

segera bisa memakluminya. 

Nama Nyai Lumping memang mampu 

menggetarkan jiwa orang yang mendengarnya, 

apalagi mereka telah menyaksikan kejadian yang 

sangat mengerikan itu. 

Bagi Ki Pulut, kematian seseorang dengan 

cara apa pun juga, tidak membuatnya gentar 

lagi. Sejak masih berkelana dalam dunia 

persilatan, hingga menjadi seorang panglima 

perang, dan sekarang menjadi guru dan ketua 

sebuah padepokan, dia sudah biasa menghadapi 

kematian. Tapi bagi murid-muridnya yang belum 

pernah bertarung secara sungguh-sungguh tentu 

kematian merupakan hal yang baru. Padepokan 

yang didirikannya boleh dikatakan masih seumur 

jagung, maka sudah sepantasnya kalau murid


muridnya yang baru beberapa orang itu masih 

memiliki jiwa yang kerdil. 

"Hik hik hik..!" tiba-tiba terdengar suara 

tawa yang mengikik keras. 

Suara tawa itu panjang dan mengerikan, 

seolah-olah bergema dari segala arah! Seketika 

enam belas orang pengikut Ki Pulut saling 

berpandangan dengan wajah pucat pasi. 

Sedangkan tubuh mereka juga semakin keras 

menggigil. Kini mereka tidak sanggup lagi 

untuk menahan diri, dan segera lari pontang-

panting sambil berteriak-teriak ketakutan. 

Sementara Ki Pulut dan Dewi Puspita masih 

terlihat tenang. 

Tiba-tiba terlihat sinar-sinar yang 

menyilaukan mata berkelebat cepat dan 

menyambar-nyambar di antara tubuh-tubuh yang 

sedang berlari tersebut. 

Seketika terdengar jerit dan pekik 

kematian yang memilukan, disusul dengan 

bergelimpangannya enam tubuh orang-orang 

pengikut Ki Pulut. Benar-benar mengerikan! 

Tubuh mereka hangus terbakar, dan tewas tanpa 

bisa berkutik lagi. 

"Manusia-manusia bodoh! Berani-beraninya 

kalian mengotori tempat tinggalku!" mendadak 

terdengar suara nyaring melengking tinggi. 

Belum lagi gema suara itu hilang, tiba-

tiba di hadapan mereka muncul seorang 

perempuan tua yang usianya sekitar seratus 

tahun. Dia mengenakan baju longgar yang 

warnanya sudah kusam. Sedangkan di tangan 

kanannya tergenggam sebatang tongkat berkeluk-

keluk yang ujungnya berbentuk tengkorak kepala 

manusia. Wajahnya nyaris tertutup oleh rambut 

yang warnanya sudah putih dan kusut. Namun 

sinar matanya masih terlihat nyalang dan


tajam. Sementara jari tangannya berkuku hitam 

panjang dan runcing. 

Kini semua mata memandang pada perempuan 

tua itu tidak berkedip. Degup jantung mereka 

terasa lebih cepat dari biasanya. 

"Hik hik hik.., aku sudah tahu maksud 

kedatanganmu, Ki Pulut," perempuan tua itu 

kembali bersuara. 

Ki Pulut tidak heran lagi kalau Nyai 

Lumping sudah mengetahui namanya, dan bisa 

menebak maksud kedatangannya. Perempuan tua 

itu memang punya kepandaian yang jarang 

dimiliki oleh orang lain. Dia bisa mengetahui 

jalan pikiran seseorang, dan juga bisa melihat 

semua kejadian meskipun sangat jauh tempatnya. 

"Tidak ada seorang pun yang mampu 

menghalangi kehendakku, Ki Pulut! Dewa pun 

pasti akan berpikir seribu kali sebelum 

menegurku!" kata perempuan tua itu pongah. 

"Ketahuilah, Nyai Lumping. Aku datang 

dengan maksud untuk menghentikan segala 

tindakan angkara murkamu! Sudah banyak orang-

orang yang tak berdosa mati di tanganmu!" kata 

Ki Pulut lantang dan tak merasa gentar sedikit 

pun. 

"Hik hik hik...! Nyalimu cukup besar juga, 

Ki Pulut. Tapi sayang, kau belum cukup kuat 

untuk meredamku!" 

"Atas nama Gusti Prabu lndrajaya, aku rela 

menyabung nyawa demi kebenaran!" 

"Hebat! Hik hik hik...! Rupanya bocah 

ingusan ini kini sudah mulai mengikuti jejak 

orang tuanya. Hebat...!" 

Kembali Nyai Lumping tertawa mengikik dan 

menyeramkan. Dan pada saat itu, diam-diam Ki 

Pulut mencabut senjatanya yang berupa sebatang 

tongkat berwarna merah. Sejak tadi tongkat 

sepanjang lengan itu terselip di pinggangnya


dan tertutup jubah yang panjang. Tangannya 

sedikit bergetar sambil menggenggam ujung 

tongkat. 

"Tahan seranganku, Perempuan Iblis!" 

bentak Ki Pulut keras. "Hih! Hiyaaa...!" "Huh! 

Hik hik hik...!" 

*** 

Suara tawa Ratu Sihir itu terus terdengar 

meskipun dia tengah melayani serangan-serangan 

Ki Pulut yang dahsyat dan mematikan. Tongkat 

merah di tangan laki-laki tua itu terus 

berlebatan cepat hingga menimbulkan suara 

angin yang menderu-deru. Sementara kabut yang 

menyelimuti Puncak Gunung Tangkar tersibak, 

dann terhempas oleh hembusan angin yang ke 

luar dari klbasan-kibasan tongkatnya. 

Sedangkan Dewi Puspita dan sepuluh orang 

lainnya tampak sudah berjaga-jaga dengan 

senjata terhumus. Pertarungan antara Ki Pulut 

dengan Nyai Lumping terus berjalan makin 

sengit dan cepat. Begitu cepatnya, sehingga 

yang tampak hanyalah dua bayangan berkelebatan 

saling serang dan bertahan. 

"Hik hik hik...! Keluarkan seluruh 

kepandaianmu, Kl Pulut!" ejek Nyai Lumping 

terus mengikik. 

"Setan...!" geram Ki Pulut sengit. 

Ketua Padepokan Tongkat Merah itu semakin 

memperhebat serangan-serangannya. Bahkan kini 

tidak tanggung-tanggung lagi, dia langsung 

mengeluarkan jurus-jurus andalannya! Namun 

tampaknya Nyai Lumping masih menanggapinya 

dengan ringan. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu 

lincah. Tak sedikitpun tongkat merah milik Ki 

Pulut mampu menyentuhnya.


Hal itu tentu saja membuat Ki Pulut 

semakin penasaran, karena serangan-serangannya 

selalu dapat dipatahkan dengan mudah. Kini 

hampir semua ilmu yang dia andalkan sudah 

dikerahkan, namun belum juga mampu mendesak 

perempuan tua itu. Bahkan sudah beberapa kali 

dia harus jatuh bangun untuk menghindari 

serangan-serangan balasan dari Ratu Sihir itu. 

Melihat ayahnya semakin kewalahan dan 

mulai terdesak, Dewi Puspita segera 

memerintahkan kepada sepuluh orang murid 

ayahnya untuk membantu. Dan tanpa menunggu 

perintah dua kali, mereka langsung berlompatan 

ke depan. 

"Hik hik hik...! Bagus...! Biar sekalian 

kubereskan kalian semua!" seru Nyai Lumping 

gembira.. 

Sementara Ki Pulut yang sudah merasa 

kewalahan, tidak melarang murid-muridnya ikut 

menyerang Nyai Lumping. Sedangkan Dewi Puspita 

juga tidak mau ketinggalan, dengan pedang 

peraknya dia segera merangsek dengan jurus-

jurus pedangnya yang dahsyat. 

"Lebih enak kalau kalian mati terpanggang! 

Hup!" Wus...! 

Mendadak Ratu Sihir itu melenting tinggi 

sambil mengebutkan kedua tangannya. Dan begitu 

kakinya menjejak tanah, dari kedua telapak 

tangannya tiba-tiba meluncur api. Seketika 

tempat di sekitar itu terbakar hebat! Sebentar 

saja jerit pekik terdengar memilukan, 

mengiringi beberapa orang yang belingsatan 

terjilat oleh api. Bahkan ada beberapa orang 

yang berguling-guling di tanah dengan tubuh 

berkobar api. 

Buru-buru Ki Pulut segera menyambar tangan 

Dewi Puspita, dan membawanya ke luar dari


lingkaran api itu. Sementara sepuluh orang 

muridnya sudah menggelepar-gelepar di tanah. 

"Hik hik hik...!" Nyai Lumping tertawa 

mengikik menyaksikan lawan-lawannya tidak 

berdaya terkurung oleh api buatannya. 

Namun tawa perempuan itu tiba-tiba 

terhenti! Mendadak di sekitar tempat itu 

bertiup angin topan yang langsung memadamkan 

api itu. Tampak Ki Pulut lengah merentangkan 

tangannya ke depan. Ternyata laki-laki tua 

itulah yang menciptakan angin yang sangat 

dahsyat itu. Namun terlambat, karena seluruh 

murid-muridnya sudah tewas terbakar. 

"Grrr...!" Nyai Lumping langsung menggeram 

bagai singa betina. 

Tiba-tiba perempuan tua itu mengangkat 

tongkatnya tinggi-tinggi, dan dengan cepat 

tongkat itu dibantingkan ke tanah. Lalu 

secepat kilat tongkatnya diarahkan ke depan, 

seketika itu juga meluncurlah sinar-sinar yang 

sangat menyilaukan mata. Sinar-sinar itu 

kemudian meluruk deras ke arah Ki Pulut dan 

Dewi Puspita. 

"Dewi, awas...!" seru Ki Pulut 

memperingatkan. 

Dengan cepat Ki Pulut kemudian memutar 

tongkat merahnya, membuat tameng! Dan sinar-

sinar itu segera berlompatan dan tak mampu 

menembus lingkaran merah yang keluar dari 

tongkat itu. Sementara itu Dewi Puspita juga 

tengah sibuk berlompatan untuk menghindari 

sinar-sinar yang tertuju kepadanya. Beberapa 

kali dia memekik tertahan sambil menghalau 

sinar-sinar itu dengan pedangnya. 

Aneh! Sinar itu seakan-akan memiliki 

nyawa, dan mampu menghancurkan benda apa saja. 

Kalau saja pedang gadis itu hanya sebuah


pedang biasa, mungkin sudah hancur sejak tadi 

terhantam sinar itu. 

"Dewi! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru 

Ki Pulut sambil terus menghindar dari gempuran 

sinar-sinar itu! 

"Bagaimana dengan Ayah!" 

"Jangan hiraukan aku, aku akan segera 

menyusul!" 

Sebentar Dewi Puspita menatap ayahnya, 

lalu dengan cepat dia melompat dan 

meninggalkan tempat itu. Namun kepergian Dewi 

Puspita segera diketahui oleh Nyai Lumping. 

Dan perempuan tua itu langsung mengarahkan 

kepala tongkatnya kepada gadis itu. Namun 

dengan cepat Ki Pulut melenting dan menghajar 

tongkat itu. Seketika satu ledakan keras 

terdengar begitu tongkat merah membentur 

kepala tongkat berbentuk tengkorak manusia 

itu. 

Tubuh Ki Pulut terpental sejauh sepuluh 

batang tombak. Sedangkan Nyai Lumping hanya 

terdorong dua langkah ke belakang. Saat itu 

Dewi Puspita sempat berbalik, dan dia 

tersentak ketika melihat ayahnya terpental 

jauh dan membentur sebuah dinding batu yang 

keras. 

"Ayah...!" jerit Dewi Puspita tak bisa 

menahan diri 

"Cepat pergi!" bentak Ki Pulut seraya 

berusaha bangkit. 

Sejenak Dewi Puspita masih ragu-ragu, 

namun begitu melihat ayahnya kembali berdiri 

dengan tegar, gadis itu segera berbalik dan 

berlari cepat dengan mengerahkan seluruh ilmu 

meringankan tubuhnya. 

"Kalian tidak akan bisa lolos dariku, 

keparat...!" geram Nyai Lumping seraya 

melenting dan mengejar Dewi Puspita.



Melihat itu, dengan cepat Ki Pulut 

melenting dan memapak perempuan tua itu. 

Kembali mereka saling berbenturan di udara. 

Dan untuk kedua kalinya terdengar satu ledakan 

dahsyat disusul dengan terpentalnya tubuh 

mereka. Namun dengan cepat keduanya segera 

bangkit kembali. Sementara itu Dewi Puspita 

sudah jauh meninggalkan Puncak Gunung Tangkar. 

"Setan! Kubunuh kau. Pulut...!" geram Nyai 

Lumping gusar. 

Dan tanpa menghiraukan Dewi Puspita lagi, 

Nyai Lumping langsung menyerang Ki Pulut yang 

sudah dalam kondisi tidak stabil lagi. Dengan 

sisa-sisa tenagannya, Ki Pulut masih mampu 

menandingi serangan-serangan perempuan tua 

itu. Namun baru berjalan beberapa jurus saja, 

nampaknya Ki Pulut sudah tidak mampu lagi 

untuk bertahan. Gerakan-gerakannya kini mulai 

tidak beraturan lagi, dan pertahanannya 

semakin mengendur. Hingga suatu saat.... 

"Mampus kau, hiyaaa...!" pekik Nyai 

Lumping sambil melompat cepat. 

Saat itu juga ujung tongkatnya menusuk ke 

dada Ki Pulut. Dengan bersusah payah, Ki Pulut 

berusaha menghindar dengan menjatuhkan diri ke 

tanah, namun ujung tongkat perempuan tua itu 

masih juga sempat merobek bahunya. Darah segar 

mengucur deras keluar dari bahu yang menganga 

lebar. 

Kl Pulut terhuyung-huyung kebelakang. Dan 

tanpa dapat dicegah lagi, satu tendangan keras 

mendarat di dadanya. Kembali laki-laki tua itu 

terpental jauh membentur pohon hingga tumbang. 

Rupanya Nyai Lumping belum juga merasa puas. 

Sambil berteriak nyaring, dia melompat dan 

menghunjamkan ujung tongkatnya ke dada Ki 

Pulut.


"Aaakh...!" Ki Pulut langsung menjerit 

keras. 

Darah segar menyembur dari dada Ki Pulut 

begitu ujung tongkat yang tertanam dalam di 

dada tercabut. Nyai Lumping segera 

membersihkan ujung tongkatnya yang penuh darah 

dengan baju yang dikenakan oleh Ki Pulut yang 

kini telah tidak bernyawa lagi itu. 

"Huh! Anak setan itu harus segera 

dilenyapkan, kalau tidak pasti dia akan 

menjadi penghalangku kemudian hari!" geram 

Nyai Lumping. 

Lolosnya Dewi Puspita membuat Ratu Sihir 

itu marah luar biasa. Dan dia tidak akan 

membiarkan seorang pun lolos dari tangannya. 

Dan sekali loncat saja, perempuan tua itu 

sudah lenyap ditelan kabut, meninggalkan 

beberapa mayat yang bergelimpangan. Kini 

kesunyian kembali menyelimuti Puncak Gunung 

Tangkar itu. Sementara angin yang berhembus 

kencang menyebarkan bau anyir darah yang 

menggenang di tanah sekitar tempat itu. 

*** 

Di Istana Kerajaan Bumi Loka, Prabu 

Indrajaya tengah duduk di singgasana, 

didampingi oleh permaisurinya yang cantik dan 

anggun. Sedangkan para patih, panglima dan 

pembesar-pembesar kerajaan lainnya duduk 

menghadap dengan takjim. Mereka kini tengah 

membicarakan keadaan kerajaan yang belakangan 

ini sering dilanda musibah. Bahkan ada sebuah 

desa yang tidak jauh dari Kaki Gunung Tangkar



hampir musnah diserang wabah penyakit yang 

sulit untuk diberantas. 

Sudah puluhan tabib didatangkan untuk 

dimintai pertolongan, namun tidak satu pun 

yang mampu mengusir wabah itu Dan mereka semua 

punya pendapat yang sama, wabah itu sengaja 

dikirimkan oleh seorang ahli sihir yang 

tinggal di Puncak Gunung Tangkar. Semua orang 

tahu, siapa ahli sihir itu. Seorang perempuan 

tua yang dijuluki Ratu Sihir dan bernama Nyai 

Lumping 

"Paman Patih Ardareja, apakah tidak ada 

lagi seorang tabib atau orang pandai di negeri 

ini yang mampu mengusir wabah itu?" tanya 

Prabu lndrajaya sambil memandang seorang laki-

laki setengah baya. 

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba sudah 

mengerahkan berpuluh-puluh tabib dan orang 

pandai, namun wabah itu sukar untuk 

diberantas. Karena wabah itu memang sengaja 

diciptakan oleh nenek sihir jahat yang 

bermukim di Puncak Gunung Tangkar," sahut 

Patih Ardareja seraya memberi sembah. 

"Hm..., maksudmu Nyai Lumping?" tanya 

Prabu Indrajaya seraya mengerutkan keningnya. 

"Benar, Gusti Prabu." 

Untuk beberapa saat lamanya Prabu 

Indrajaya terdiam merenung. Sementara semua 

orang yang berada di Balai Agung Istana Bumi 

Loka itu juga diam membisu. Namun saat suasana 

tengah dicekam kesunyian itu, tiba-tiba mereka 

dikejutkan oleh suara tawa yang mengikik 

keras. 

"Hik hik hik...!" 

Seketika mereka semua tersentak seraya 

mengangkat kepalanya. Sedangkan suara tawa 

mengikik itu semakin jelas terdengar, dan 

bergema ke seluruh ruangan. Para patih dan


panglima segera berdiri seraya menghunus 

senjata masing-masing. Sedangkan para prajurit 

yang menjaga, juga sudah siap dengan senjata. 

Sementara dayang-dayang yang berjumlah tidak 

lebih dari dua puluh orang, segera membawa 

masuk Permaisuri Puspa Sari ke kaputren. 

Kemudian dengan diiringi oleh empat orang 

panglima perang kerajaan, Prabu lndrajaya 

segera melangkah ke luar. 

*** 

Seorang perempuan tua berbaju kusam dengan 

memegang tongkat berkepala tengkorak, berdiri 

di tengah-tengah halaman depan istana yang 

luas. Tidak kurang dari tiga puluh orang 

prajurit sudah mengepungnya. Sementara 

perempuan tua itu terus terkekeh, membuat 

tubuhnya yang bungkuk semakin bertambah 

bungkuk. 

Sedangkan Prabu Indrajaya sudah berdiri 

tegak pada undakan pertama tangga istana 

didampingi oleh empat orang panglima. Di 

belakangnya berjejer para patih dan pembesar-

pembesarnya. Wajah-wajah mereka kelihatan 

tegang. Mereka sudah tahu, siapa perempuan tua 

yang datang dengan tiba-tiba dan tanpa aturan 

itu. 

"Hik hik hik...!" 

"Nyai Lumping! Apa maksudmu datang ke 

sini? tanya Patih Ardareja lantang suaranya. 

"Hik hik hik...! Sudah bertahun-tahun aku 

melupakan semuanya. Aku menyepi tanpa mau 

diganggu oleh siapa pun. Aku juga sudah 

berusaha untuk mematuhi perjanjianku dengan 

ayahmu, Indrajaya!" Nyai Lumping tidak sedikit 

pun hormat pada Prabu Indra jaya.


"Nyai Lumping, jika kedatanganmu memang 

bermaksud baik, marilah kita bicara baik-baik 

di dalam." ajak Prabu Indrajaya ramah dan 

sopan. Dia sama sekali tidak merasa 

tersinggung dengan sikap perempuan tua itu 

yang tidak menghormatinya sebagaimana mestinya 

"Kedatanganku bisa bermaksud baik ataupun 

buruk, tergantung dari sikap tikus-tikusmu, 

Indrajaya!" 

Para panglima, patih dan pembesar kerajaan 

lainnya hanya bisa menggerutu dalam hati. Dan 

tidak ada satu pun yang berani menunjukkan 

sikap berang pada wanita itu. Meskipun kata-

katanya sangat menusuk dan menyakitkan. 

"Mari, silakan masuk," ajak Prabu 

Indrajaya dengan ramah. 

"Tidak perlu! Kedatanganku hanya ingin 

mengatakan bahwa kau telah membuka kembali 

pertikaian lama!" tegas kata-kata Nyai 

Lumping. 

"Nyai Lumping, aku tidak mengerti 

maksudmu! Tolong dijelaskan," pinta Prabu 

Indrajaya setengah kaget. 

"Hm..., aku tidak percaya kalau ternyata 

kau pandai berpura-pura. Seluruh rakyatmu akan 

binasa jika kau tidak mau meminta maaf padaku 

seperti yang telah dilakukan oleh ayahmu, 

Indrajaya! Camkan itu baik-baik!" 

"Nyai Lumping, aku merasa tidak pernah 

melakukan tindakan apa pun terhadapmu! 

Katakan, apa yang telah terjadi," Prabu 

Indrajaya jadi bingung. 

"Aku yakin, kau telah mengirim tikus-tikus 

yang tak berguna ke Puncak Gunung Tangkar! Itu 

berarti bahwa kau telah melanggar janji ayahmu 

terhadapku! Kau pasti sudah tahu akibatnya, 

Indrajaya!"


Seketika Prabu Indrajaya tersentak kaget. 

Dia sama sekali tidak merasa telah mengirim 

satu orang pun ke Puncak Gunung Tangkar, 

apalagi dengan maksud membunuh perempuan tua 

ini. Dia memang tahu betul akan perjanjian 

yang telah disepakati antara ayahnya dengan 

Nyai Lumping, yaitu untuk tidak saling 

mengganggu dan menyeberangi batas wilayah 

masing-masing. Dan jika ada seorang rakyatnya 

yang kesasar, itu tanggung jawabnya sendiri, 

pihak kerajaan tidak akan ikut campur. 

"Semua orang yang telah kau kirim sudah 

mampus, lndrajaya! Hanya satu orang yang 

berhasil lolos dari tanganku, dan kau harus 

segera menyerahkan orang itu padaku, paling 

lambat satu pekan setelah kedatanganku ini!" 

kata Nyai Lumping lagi seraya hendak beranjak 

pergi. 

"Tunggu dulu, Nyai...!" teriak Prabu 

Indrajaya. Tapi Nyai Lumping sudah keburu 

menghilang dengan meninggalkan kepulan asap 

putih. Kini Prabu Indrajaya tidak dapat 

berbuat apa-apa lagi. Kedatangan wanita tua 

itu adalah suatu tanda akan terjadinya 

malapetaka besar, dan tidak mudah untuk 

dihadapi. Satu pekan bukanlah waktu yang 

panjang, lagi pula di antara mereka tidak ada 

yang tahu, siapa orang yang dimaksud oleh Nyai 

Lumping. 

Beberapa saat kemudian, Prabu Indrajaya 

bergegas masuk kembali ke Balai Agung. Tampak 

wajahnya muram, dan keningnya berkerut dalam. 

Sementara para panglima, patih dan pembesar 

kerajaan lainnya juga makin bingung. Ancaman 

wanita penyihir itu bukan hanya gertak kosong 

belaka! Ancaman itu sudah didahului dengan 

sebuah tindakan, yakni menyebarkan wabah 

penyakit pada salah satu desa.


"Aku tidak tahu, siapa orang yang telah 

berani menggunakan namaku...?" gumam Prabu 

Indrajaya seraya menghenyakkan tubuhnya di 

singgasana. 

"Gusti Prabu, ijinkanlah hamba untuk 

mencari orang yang diinginkan oleh Nyai 

Lumping," kata Patih Ardareja pelan. 

"Bukan hanya kau saja, Paman Patih 

Ardareja. Aku juga akan perintahkan kepada 

seluruh patih dari panglima untuk segera 

menangkap orang itu. Nanti biarlah aku sendiri 

yang akan menyerahkannya pada Nyai Lumping!" 

kata Prabu lndrajaya tegas. 

Semua patih dan panglima segera 

menghaturkan sembah, lalu tanpa diperintah dua 

kali, mereka segera meninggalkan tempat itu. 

Sementara Prabu Indrajaya duduk merenung 

dengan kening berkerut dalam. Persoalan yang 

dihadapi kali ini sangat berat. Tidak ada 

jalan lain lagi, selain menuruti keinginan 

Nyai Lumping. Sedangkan para pembesar kerajaan 

lainnya masih tetap menemani tanpa 

mengeluarkan suara sedikit pun. 

*** 

Hari terus berlalu menurut perputaran 

waktu yang telah ditentukan oleh Yang Kuasa. 

Sementara keadaan di Kerajaan Bumi Loka, sejak 

kedatangan Nyai Lumping ke istana, semakin 

dilanda keresahan. Setiap hari ada saja 

seorang prajurit yang tewas di tangannya. 

Sedangkan Prabu lndrajaya nampaknya juga 

semakin gelisah menghadapi kenyataan itu. 

Selama dua hari ini, sudah tidak terhitung 

lagi jumlah rakyatnya yang tewas! 

Sementara itu, para panglima dan patih-

patih kerajaan terus berusaha mencari orang


yang diinginkan oleh Nyai Lumping. Dan hampir 

seluruh prajurit dikerahkan, namun sampai saat 

ini belum juga berhasil. Memang sulit, karena 

Nyai Lumping tidak mau memberitahu siapa nama 

orang yang dimaksudkan itu. Sedangkan dalang 

yang telah membuat perempuan ahli sihir itu 

berang, juga belum ketahuan. 

Pagi itu langit di atas Kerajaan Bumi Loka 

diselimuti oleh awan hitam, seolah-olah ikut 

bersedih de ngan keadaan yang tengah menimpa 

Kerajaan Bumi Loka. Kini tak ada seorang pun 

yang berani ke luar rumah, mereka takut 

bertemu dengan Nyai Lumping yang selalu 

berkeliaran membunuh siapa saja yang 

ditemuinya. 

"Uh! Kalau keadaan begini terus, bisa 

bangkrut aku, Mak...!" keluh seorang pemilik 

kedai. 

Seorang perempuan tua yang tengah sibuk 

mengunyah sirih, hanya diam saja mendengar 

keluhan itu. Pandangan matanya tetap lurus ke 

depan melalui pintu jendela yang terbuka 

sedikit. Tampak laki-laki tua yang mengeluh 

tadi, hanya duduk sambil bersungut-sungut di 

dalam kedainya yang sepi. 

"Sampai kapan tindakan perempuan iblis itu 

mau berhenti? Kalau cuma menginginkan satu 

orang saja, kenapa harus menghancurkan sebuah 

kerajaan? Huh! Bisa rusak semua daganganku 

kalau begini!" laki-laki tua itu terus 

mengeluh. 

"Hati-hati kalau bicara, Ki. Kalau dia 

dengar, bisa celaka kita!" rungut perempuan 

tua itu seraya meludahkan air sirih yang 

berwarna merah kekuningan. 

"Peduli setan! Kalau iblis itu mau 

membunuhku, bunuh saja! Habiskan semua rakyat 

Bumi Loka! Tuhan pasti akan mengutuk


perbuatannya!" laki-laki tua pemilik kedai itu 

tidak peduli. 

"Ki..!" sentak wanita itu gemetaran Dan 

saat laki-laki tua itu mau membuka mulutnya 

lagi, tiba-tiba terdengar suara ketukan di 

pintu. Sejenak mereka saling berpandangan 

dengan wajah pucat pasi. Tampak seluruh tubuh 

perempuan tua itu menggigil, dan titik-titik 

keringat yang sebesar-besar jagung merembes 

dari keningnya. 

"Apa kubilang, hati-hati kalau bicara!" 

rungut perempuan tua itu menyalahkan suaminya. 

"Sss..., siapa...?" seru laki-laki tua itu 

bergetar tiaranya. 

"Aku...!" sahut sebuah suara dari luar. 

"Aku, siapa...?" "Aku! Boleh masuk?" 

Laki-laki tua itu kembali menoleh pada 

istrinya, kemudian dengan pelan ia beringsut 

bangun dari kursinya. Namun tampaknya dia 

masih ragu-ragu untuk melangkah. 

"Ki...!" parau suara wanita tua itu. 

Laki-laki tua pemilik kedai itu memandang 

istrinya sejenak, lalu kakinya terayun 

menghampiri pintu kedainya yang masih tertutup 

rapat. Dan dengan tangan bergetar, dia membuka 

palang pintu. Sedikit demi sedikit pintu dari 

kayu itu terkuak, dan menimbulkan suara 

bergerit. 

Tampak di depan pintu sudah berdiri 

seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda 

itu segera tersenyum seraya menganggukkan 

kepalanya sedikit. Sedangkan laki-laki tua 

pemilik kedai itu menyambutnya dengan 

tersenyum dan mengangguk pula. Sejenak dia 

melangkah mundur beberapa tindak sambil 

mengamati tamunya itu. Sementara pemuda itu 

mulai melangkah masuk sambil menunduk agar 

tidak membentur tiang pintu yang rendah.

"Apakah kedai ini masih menerima tamu, 

Pak?" tanya pemuda itu dengan sopan. 

Laki-laki pemilik kedai itu tidak segera 

menjawab. Dia kemudian menoleh pada istrinya 

yang masih gemetaran. Lalu buru-buru dia 

menghampiri pintu dan menutupnya dengan rapat. 

Keadaan itu tentu saja membuat pemuda itu 

heran. 

"Maaf, kalau kedatanganku telah membuatmu 

takut," kata pemuda itu tetap sopan. 

"Oh, tid..., tidak, Tuan. Silakan," sambut 

laki-laki tua pemilik kedai itu agak tergagap. 

"Terima kasih." 

Pemuda itu kemudian duduk di kursi yang 

berada di tengah-tengah ruangan kedai itu. 

Sementara perempuan tua yang sejak tadi 

memperhatikan dengan wajah pucat, bergegas 

melangkah ke belakang. 

"Aku seorang pengembara, namaku Bayu 

Hanggara. Bapak cukup memanggilku Bayu," 

pemuda itu memperkenalkan diri. 

"Aku biasa dipanggil Ki Bawuk. Sedangkan 

perempuan yang tadi itu adalah istriku. Maaf 

kalau penyambutan kami tidak berkenan di hati 

Tuan," kata laki-laki pemilik kedai itu juga 

memperkenalkan diri. 

"Kenapa kedaimu tutup, Ki?" tanya Bayu 

atau yang lebih dikenal dengan julukan 

Pendekar Pulau Neraka. 

"Sudah dua hari ini aku memang menutup 

kedai. Sepi, Tuan." 

"Hm..., kenapa? Aku lihat keadaan di luar 

sana juga sepi," tanya Bayu sambil mengerutkan 

keningnya. 

Ki Bawuk tidak segera menjawab. Dia malah 

melangkah ke pintu belakang. 

"Mak, cepat sediakan makanan dan minuman!" 

serunya agak keras.


"Iya, sebentar!" terdengar teriakan dari 

dapur. 

Lalu Ki Bawuk kembali mendekati pemuda 

itu. Sejenak dia menarik sebuah kursi dan 

duduk di depan pemuda itu. 

"Tampaknya ada sesuatu yang tengah terjadi 

di sini," gumam Bayu. "Oh, ya. Apa nama tempat 

ini, Ki?" 

"Kerajaan Bumi Loka, rajanya bernama Gusti 

Prabu Indrajaya. Di sini memang sedang terjadi 

suatu bencana besar, Tuan," sahut Ki Bawuk 

menjelaskan. 

"Bencana...? Bencana apa, Ki?" 

Belum lagi Ki Bawuk sempat menjawab, 

istrinya sudah ke luar sambil membawa hidangan 

sederhana. Dan tanpa bicara sepatah kata pun, 

dia segera menghidangkan makanan dan minuman 

itu di atas meja. 

"Maaf, kami tidak bisa menyediakan yang 

lebih baik dari ini," kata Ki Bawuk seraya 

mempersilakan. 

"Terima kasih. Bagiku ini saja sudah lebih 

dari cukup," sahut Bayu tersenyum maklum. 

Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu segera 

menikmati hidangannya itu dengan lahap. Hampir 

satu bulan dia tidak pernah menikmati masakan 

seperti itu. Selama dalam pengembaraannya, 

yang biasa menjadi makanannya hanyalah 

binatang-binatang buruan saja. Ki Bawuk dan 

istrinya terus memandanginya dengan kepala 

yang dipenuhi berbagai macam tanda tanya. 

Mereka belum pernah melihat pemuda ini 

sebelumnya. Sementara Bayu tetap makan tanpa 

peduli dirinya diperhatikan. Dia memang lapar, 

karena perutnya dari pagi belum terisi makanan 

sedikit pun. 

***


Bayu tampak tengah mengamati keadaan 

sekitarnya dari balik jendela kamarnya. 

Beruntung dia telah mendapatkan kamar sewaan 

yang menghadap langsung ke jalan utama 

Kerajaan Bumi Loka. Di samping membuka kedai, 

Ki Bawuk juga menyediakan kamar untuk menginap 

bagi para pelancong. Dan kini, sedikitnya Bayu 

sudah bisa mengetahui situasi yang sedang 

terjadi dari Ki Bawuk. 

Selama dalam pengembaraannya, Bayu belum 

pernah sekali pun mendengar atau bertemu 

dengan seorang ahli sihir. Dia sudah merasakan 

adanya keganjilan saat dia mulai memasuki 

pintu gerbang kerajaan ini. 

"Masuk!" seru Bayu sambil menoleh ke pintu 

ketika mendengar suara ketukan dari luar. 

Tampak pintu kamar itu kemudian terkuak 

pelahan-lahan, lalu muncullah seorang gadis 

cantik yang memakai baju ketat berwarna hijau. 

Di pinggangnya terselip sebilah pedang pendek. 

Dari tanpa dipersilakan lagi, dia segera 

melangkah masuk seraya menutup pintu kamar 

kembali. Sejenak Bayu memandangi tamunya itu, 

kemudian dia membalikkan tubuhnya dan 

membelakangi jendela. 

"Benarkah kau yang bernama Bayu Hanggara, 

si Pendekar Pulau Neraka?" nada suara gadis 

itu seperti ingin meyakinkan. 

"Benar," sahut Bayu seraya kembali memutar 

tubuhnya, dan menutup pintu jendela. Kemudian 

dia berbalik lagi dan melangkah ke kursi. Dan 

dengan enak dia segera duduk di kursi itu. 

"Silakan duduk." 

Gadis itu pun mengambil tempat di kursi 

dekat pintu. 

"Siapa nama Nona?" tanya Bayu


"Namaku Dewi Puspita, tapi kau cukup 

memang gilku Dewi saja," gadis itu 

memperkenalkan diri. 

"Dari mana kau tahu namaku? Apakah Ki 

Bawuk yang telah mengatakannya padamu?" 

"Ya, dan aku memang sudah mengetahui 

kedatanganmu sejak siang tadi," sahut Dewi 

Puspita terus terang. 

"Lalu, apa maksudmu menemuiku?" 

"Sebenarnya ini adalah persoalan rahasia, 

dan ada hubungannya dengan keadaan yang sedang 

terjadi di Kerajaan Bumi Loka ini." 

Sejenak Bayu mengerutkan keningnya. 

Matanya agak menyipit sambil terus memandangi 

wajah cantik di depannya. Sejak pertama kali 

datang ke kerajaan ini, dia memang menyimpan 

berbagai macam pertanyaan. Dan sekarang datang 

seorang gadis cantikyang tampaknya sudah 

mengetahui persis keadaan yang tengah terjadi 

di sini. 

"Terus terang. Pamanku sendiri, Ki Bawuk, 

tidak mengetahui persoalan yang sesungguhnya. 

Dan sampai sekarang pun aku masih 

merahasiakannya," lanjut Dewi Puspita. 

"Hm..., kenapa kau justru ingin 

mengatakannya padaku?" selidik Bayu. 

"Aku sudah sering mendengar namamu, 

seorang pendekar yang tangguh dan digdaya. 

Meskipun banyak orang dari kalangan rimba 

persilatan tidak menyukai tindakanmu, tapi 

pada saat ini aku membutuhkan pertolonganmu. 

Aku percaya bahwa kau akan membantuku dalam 

mengatasi kemelut ini." 

Kembali Bayu terdiam untuk beberapa saat. 

Dia tidak kaget lagi mendengar gadis itu 

mengetahui tentang dirinya, meskipun mereka 

belum pernah berjumpa sebelumnya. Nama 

Pendekar Pulau Neraka memang sedang menjadi


buah bibir di kalangan rimba persilatan. Sepak 

terjangnya yang tegas dan tidak mengenal kata 

ampun itu, membuat tokoh-tokoh rimba 

persilatan, baik golongan hitam maupun putih 

merasa terusik. Sedangkan Bayu sendiri tidak 

mengenal golongan dalam rimba persilatan. Dia 

punya prinsip yang dipegang kuat. Dibunuh, 

atau membunuh! 

Namun selama dalam masa pengembaraannya, 

belum pernah Bayu mencampuri urusan orang 

lain. Persoalannya sendiri saja belum tuntas, 

dan masih banyak lagi orang-orang yang harus 

dicarinya untuk mempertanggungjawabkan segala 

perbuatannya. Di samping itu, Bayu juga masih 

diliputi oleh rasa penasaran, karena dia belum 

menemukan pusara ibunya, tapi pusara ayahnya. 

Dewa Pedang, sudah dia ketahui dari salah 

seorang murid Padepokan Teratai Putih yang 

selamat, dan kini mengurus pusara gurunya itu. 

"Aku tahu, memang akan sia-sia saja 

menemuimu. Tapi setidaknya aku kan sudah 

berusaha. Maaf aku telah mengganggu waktu 

istirahatmu," kata Dewi Puspita seraya 

beranjak dari duduknya. "Tunggu dulu," cegah 

Bayu. Dewi Puspita tidak jadi membuka pintu. 

Dia lalu menoleh dengan tatapan mata penuh 

harap. Wajahnya nampak murung, dan terlihat 

adanya keputusasaan. 

"Aku memang pengecut, mementingkan 

keselamatan diri sendiri tanpa menghiraukan 

orang lain. Seharusnya aku segera menyerahkan 

diri," lirih suara Dewi Puspita. 

"Apa sebenarnya yang sedang terjadi?" 

tanya Bayu. 

Secercah harapan muncul di wajah gadis 

itu. Sinar matanya yang semula redup, kini 

kembali bercahaya. Pertanyaan Pendekar Pulau 

Neraka itu menyiratkan suatu maksud yang


semula dianggapnya mustahil. Kini Bayu kembali 

meminta gadis itu untuk duduk dan menceritakan 

semua peristiwa yang tengah melanda Kerajaan 

Bumi Loka ini. 

*** 

Sampai tengah malam Dewi Puspita masih 

berada di kamar penginapan Bayu Hanggara. 

Gadis itu telah menceritakan semua peristiwa 

dari awal hingga saat ini. Sementara Bayu pun 

mendengarkan semua itu dengan penuh perhatian. 

Kini hatinya jadi semakin tertarik untuk 

mengetahui semuanya dengan jelas. Dia ingin 

tahu, seperti apa ilmu sihir itu. Sering dia 

mendengar cerita tentang ilmu sihir, tapi 

belum pernah melihat langsung dengan mata 

kepala sendiri. 

"Kau sudah yakin, bahwa tugas itu tidak 

datang dari raja, kenapa masih mau 

melakukannya juga?" tanya Bayu setelah Dewi 

Puspita selesai dengan ceritanya. 

"Aku sudah katakan hal itu pada Ayah, tapi 

Ayah tidak mau mendengar. Dia terlalu patuh 

pada titah Gusti Prabu," sahut Dewi Puspita 

setengah menyesali sikap ayahnya. 

"Siapa yang telah menemui ayahmu?" tanya 

Bayu. 

"Patih Ardareja dan Panglima Rupadi dengan 

dikawal beberapa prajurit," sahut Dewi Puspita 

menjelaskan 

"Hm..., menarik juga ceritamu...," gumam 

Bayu pelan. 

"Tampaknya kau tidak percaya, Pendekar 

Pulau Neraka," keluh Dewi Puspita agak lesu.


"Aku percaya, dan aku merasa tertarik 

dengan ceritamu barusan. Memang aneh, dan.... 

Yah!" Bayu mengangkat pundaknya. 

"Terima kasih atas kepercayaanmu, Pendekar 

Pulau Neraka. Tapi kepercayaan saja tidak 

cukup, cepat atau lambat, mereka pasti bisa 

menangkapku, dan tamatlah riwayatku...," agak 

sinis nada suara Dewi Puspita. Entah dia sinis 

kepada siapa. Mungkin juga dia mencibir pada 

dirinya sendiri. 

"Dengar. Dewi. Aku berjanji akan 

membantumu! dan kau sebaiknya jangan 

memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Panggil 

saja aku Bayu. Bagaimana?" 

Dewi Puspita tersenyum cerah. Pernyataan 

Pendekar Pulau Neraka barusan menumbuhkan 

kembali rasa percaya pada dirinya, dan 

harapannya untuk tetap tegar dalam menghadapi 

kemelut ini Memang bukan saja Nyai Lumping 

yang akan dihadapi, tapi juga pihak kerajaan 

yang telah menjadi sumber malapeta ini. Dewi 

Puspita memang mencurigai Patih Ardareja dan 

Panglima Rupadi yang mengatur semua ini, namun 

dia belum memiliki bukti yang cukup kuat. 

Setelah lewat tengah malam. Dewi Puspita 

baru meninggalkan kamar penginapan itu. Dan 

sepeninggal gadis itu, Bayu masih duduk sambil 

merenung diatas pembaringannya. Inilah untuk 

pertama kalinya akan mengurusi persoalan orang 

lain. Persoalan yang tidak ada hubungannya 

sama sekali dengan dirinya. Sebenarnya dia 

datang ke sini hanya sekedar lewat dalam 

pengembaraannya mencari para pembunuh Ayahnya, 

juga ingin mendapatkan kepastian tentang nasib 

ibunya. 

"Hm..., aneh juga. Aku merasakan ada 

sesuatu di balik semua peristiwa ini. Sesuatu 

yang tersembunyi...."


*** 

Pagi-pagi sekali Bayu tampak sudah keluar 

dari kamarnya. Dia terkejut ketika telinganya 

mendengar suara ribut-ribut di bagian depan. 

Kemudian bergegas Pendekar Pulau Neraka itu 

melangkah menuju bagian depan rumah ini, yang 

merupakan sebuah kedai. Tampak di sana sudah 

berdiri beberapa orang yang berseragam 

prajurit kerajaan. Buru-buru dia berlindung di 

bidik pintu untuk menghindari penglihatan 

mereka. 

Sementara itu Ki Bawuk tampak duduk 

berdampingan dengan istrinya. Seluruh tubuh 

mereka bergetar, dan wajahnya pucat pasi. 

Sedangkan di depan suami istri itu berdiri dua 

orang laki-laki yang berusia setengah baya 

dengan pakaian indah. Jelas kalau mereka 

adalah para pembesar Kerajaan Bumi Loka. 

"Ampun, Gusti. Hamba benar-benar tidak 

tahu di mana Dewi Puspita berada. Hamba memang 

mendengar kalau padepokan ayahnya sudah hancur 

digempur oleh para perampok, tapi hamba tidak 

tahu kalau..." 

"Bohong!" bentak seorang yang berpakaian 

panglima perang. 

"Ampun, Gusti Panglima. Hamba tidak 

bohong. Hamba berani sumpah," kata Ki Bawuk 

mencoba menyakinkan. 

"Dengar Ki Bawuk, kini keselamatan seluruh 

keluarga Gusti Prabu, dan semua rakyat 

Kerajaan Bumi Loka ada di tangan keponakanmu 

itu. Nyai Lumping menginginkannya karena dia 

telah berani melanggar perjanjian yang telah 

dibuat bersama mendiang Gusti Prabu Swarajaya. 

Jadi Dewi Puspita harus bertanggung jawab!" 

keras dan tegas kata-kata Panglima Rupadi.


"Tapi hamba benar-benar tidak tahu, Gusti. 

Hamba hanyalah seorang pedagang. Hamba tidak 

pernah mencampuri urusan Kakang Pulut. Kalau 

Dewi Puspita ada di sini. pasti sudah hamba 

serahkan. Sungguh Gusti...," kata Ki Bawuk 

menghiba. 

"Apakah kata-katamu bisa dipercaya, Ki 

Bawuk? dingin suara Patih Ardareja. 

"Hamba bersedia dipancung jika berdusta, 

Gusti Patih," sahut Ki Bawuk. 

Patih Ardareja dan Panglima Rupadi 

berpandangan sejenak, lalu mereka kembali 

melangkah meninggalkan kedai itu. Sementara 

para prajurit segera mengikutinya dari 

belakang. Untuk beberapa saat, Ki Bawuk masih 

duduk berlutut di lantai. Sedangkan istrinya 

sudah tidak mampu lagi bersuara. Seluruh 

tubuhnya tampak bergetar hebat dengan keringat 

mengucur deras membasahi bajunya. 

Sementara Bayu yang sejak tadi menguping 

pembicaraan itu, pelahan-pelahan ke luar 

setelah Patih Ardareja dan Panglima Rupadi 

serta beberapa prajurit, jauh meninggalkan 

kedai Ki Bawuk ini. Dia jadi heran dengan 

semua pembicaraan yang didengarnya barusan. 

Semalam dia baru saja berbicara panjang lebar 

dengan Dewi Puspita, tapi kini laki laki tua 

itu sampai berani bersumpah, dan merelakan 

lehernya dipancung demi keselamatan Dewi 

Puspita. 

"Ki..," pelan suara Bayu. 

"Oh!" Ki Bawuk tersentak. "Tuan..., Tuan 

sudah bangun...?" 

Dengan tergopoh-gopoh Ki Bawuk berdiri. 

Sejenak dia membantu istrinya untuk bangkit 

Kemudian menuntun wanita itu ke belakang, 

melewati Bayu. Tak lama kemudian, Ki Bawuk 

sudah ke luar lagi dengan tergesa-gesa. Tampak


bibirnya menyunggingkan senyum, tapi Bayu 

melihatnya sebagai senyum yang dipaksakan. 

"Maaf, kami terlambat menyiapkan makan 

pagi," kata Ki Bawuk. 

"Tidak apa, Ki," sahut Bayu tersenyum. 

"Hm..., siapa mereka tadi, Ki?" 

Ki Bawuk tidak segera menjawab. Dia tampak 

kebingungan untuk menjawab pertanyaan Pendekar 

Pulau Neraka itu. Sinar matanya tidak dapat 

lagi menyembunyikan kegelisahan. Sedangkan 

Bayu hanya tersenyum, dan segera mengajak Ki 

Bawuk duduk di balai-balai bambu dekat 

jendela. 

"Sekilas tadi aku mendengar percakapanmu 

dengan orang-orang itu. Apakah mereka Patih 

Ardareja dan Panglima Rupadi?" lembut suara 

Bayu terdengar. 

Ki Bawuk tidak menyahut, tapi kepalanya 

menangguk juga. 

"Aku seharusnya memang tidak mencampuri 

urusanmu, Ki. Tapi tidak ada salahnya jika kau 

mempercayaiku. Siapa tahu aku bisa membantu 

mengatasi persoalanmu," masih tetap lembut 

suara Bayu. 

"Tuan...," tercekat suara Ki Bawuk. Dia 

masih bingung harus berkata apa. 

Persoalan yang tengah dihadapinya bukanlah 

persoalan biasa. Masalah itu menyangkut nyawa 

dan keutuhan Kerajaan Bumi Loka. Rasanya berat 

jika dia harus memasukkan pemuda yang begitu 

baik padanya itu. Ki Bawuk memang bukan 

seorang tokoh rimba persilatan, dari dulu dia 

hidup dari hasil membuka kedai dan rumah 

penginapan. Dan dia tidak tahu sama sekali, 

siapa sebenarnya pemuda yang kini tengah 

berada di depannya. 

"Aku seorang pengembara, Ki. Aku sudah 

biasa menghadapi segala macam persoalan. Dan


aku tidak akan bisa tinggal diam melihat 

seseorang menderita dalam tekanan berat. Kau 

bersedia mengatakan padaku, kan? Percayalah, 

Ki. Aku pasti akan membantu mengatasinya," 

desak Bayu tetap lembut. 

"Ini bukan persoalan biasa, Tuan... " kata 

Ki Bawuk setelah cukup lama berpikir. 

"Katakan saja, Ki. Jangan ragu-ragu," 

desak Bayu. 

"Kau pasti pernah mendengar nama Nyai 

Lumping...," kata Ki Bawuk pelan. 

"Ya," sahut Bayu Hanggara asal saja. 

"Dia seorang wanita penyihir yang jahat 

dan kejam. Dia tinggal di Puncak Gunung 

Tangkar. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah 

lagi membuat bencana di sini, tapi beberapa 

hari ini dia kembali menghancurkan beberapa 

desa dan membunuh banyak orang yang tidak 

berdosa. Semua itu terjadi akibat dari 

kecerobohan beberapa orang. Mereka telah 

melanggar perjanjian yang telah disepakati 

antara Nyai Lumping dan mendiang Gusti Prabu 

Swarajaya. Perjanjian itu berisi untuk tidak 

saling mengganggu dan melanggar wilayah 

masing-masing. Dan jika hal itu sampai 

dilanggar, maka bencana besar akan segera 

menimpa seluruh wilayah Kerajaan Bumi Loka," 

Ki Bawuk mulai menceritakan. 

"Lalu, kenapa Patih Ardareja dan Panglima 

Rupadi mencari Dewi Puspita?" tanya Bayu 

memancing. 

"Dewi Puspita adalah keponakanku, dia ikut 

ayahnya dan murid-muridnya ke Gunung Tangkar 

untuk mendatangi Nyai Lumping. Akhirnya 

semuanya hancur binasa, dan hanya Dewi Puspita 

yang bisa meloloskan diri. tDan kini Nyai 

Lumping menginginkan nyawa gadis itu. Dia 

memberi jangka waktu selama tujuh hari, dan


sekarang sudah berjalan tiga hari dari waktu 

yang diberikan. Kalau sampai Dewi Puspita 

tidak segera diserahkan, maka seluruh Kerajaan 

Bumi Loka akan dihancurkan dengan kekuatan 

sihirnya yang dahsyat "Hm..., kenapa Ki Pulut 

ingin membinasakan Nyai Lumping?" gumam Bayu 

seperti bertanya pada dirinya sendiri. 

"Kakang Pulut telah mendapat perintah dari 

Gusti Prabu Indrajaya," sahut Ki Bawuk. 

"Lho, aneh...?! Kalau raja sendiri yang 

memerintahkan, lalu kenapa sekarang dia juga 

memerintahkan para pembesar kerajaan untuk 

mencari Dewi Puspita?" 

"Itulah yang membuatku tidak habis pikir, 

Tuan. Padahal sampai saat ini belum ada 

seorang pun yang mengetahui, siapa sebenarnya 

dalang di balik semua ini. Tapi anehnya Patih 

Ardareja dan Panglima Rupadi sudah 

mengetahuinya. Sedangkan sampai saat ini Dewi 

Puspita tidak ketahuan di mana adanya," kata-

kata Ki Bawuk bernada mengeluh. 

"Jadi, kau sendiri juga tidak tahu, di 

mana Dewi Puspita berada?" tanya Bayu 

terperanjat. 

"Sejak peristiwa itu, aku tidak pernah 

lagi melihat keponakanku itu." 

Untuk beberapa saat Bayu terdiam 

tercenung. Rasanya mustahil kalau laki-laki 

tua itu tidak mengetahui kehadiran Dewi 

Puspita semalam. Kini Bayu merasakan bahwa 

persoalan yang sedang dihadapinya semakin 

bertambah rumit dan membingungkan. Dan 

sepertinya, masing-masing orang saling menutup 

diri tidak mau terlibat dengan persoalan ini! 

Bayu bisa merasakan adanya nada lain pada 

suara KI Bawuk. Keterangannya memang tidak 

jauh berbeda dengan cerita Dewi Puspita, 

maupun yang dia dengar dari percakapan dua


pembesar kerajaan di kedai ini. Namun nada 

suara Ki Bawuk seperti menyembunyikan sesuatu 

yang dirahasiakan. 

*** 

Bukan saja Pendekar Pulau Neraka yang 

kebingungan dalam menghadapi masalah di 

Kerajaan Bumi Loka ini, Prabu Indrajaya yang 

menjadi rajanya pun juga merasakan hal yang 

sama. Dia sama sekali tidak pernah mengutus Ki 

Pulut untuk datang ke Puncak Gunung Tangkar. 

Dia sudah tahu betul, siapa Ki Pulut. Bekas 

seorang Panglima Perang Kerajaan Bumi Loka, 

yang sangat setia dan patuh pada perintah 

rajanya. Dan rasanya tidak mungkin dia 

bertindak ceroboh seperti itu. 

Prabu Indrajaya segera mengangkat 

kepalanya ketika melihat seorang wanita cantik 

dan bergaun indah datang menghampiri. 

Senyumnya langsung terkembang membalas senyum 

wanita itu. Kemudian wanita canntik itu duduk 

dengan anggunnya di samping Prabu Indrajaya. 

"Kau datang seorang diri. Ke mana dayang-

dayangmu. Dinda?" tanya Prabu Indrajaya 

lembut. 

"Sengaja, aku ingin bicara berdua saja 

denganmu, Kanda Prabu," sahut wanita cantik 

itu yang ternyata adalah Permaisuri Puspa 

Sari. 

"Begitu pentingkah, sehingga tidak seorang 

kau perkenankan mendengar?" Prabu Indra 

mengamati wajah permaisurinya itu. 

"Menyangkut keutuhan Bumi Loka, Kanda," 

sahut Puspa Sari membalas tatapan suaminya. 

Sejenak Prabu lndrajaya mengerutkan 

keningnya. Dia hampir tidak percaya dengan 

pendengaran sendiri. Selama ini belum pernah


permaisurinya membicarakan masalah 

pemerintahan dan seluk-beluk kerajaan. Dia 

merasakan, persoalan yang akan bicarakan 

permaisurinya pasti sangat penting! 

"Apa yang ingin kau bicarakan. Dinda?" 

tanya Prabu lndrajaya. 

"Kemelut yang sedang kita hadapi." 

"O...?!" 

"Kanda, aku merasakan ada sesuatu di balik 

semua kejadian ini. Sesuatu yang belum kita 

ketahui maksudnya, tapi sudah jelas merongrong 

kewibawaan Kanda Prabu sebagai raja di 

Kerajaan Bumi Loka Maaf, Kanda. Bukannya aku 

ingin mencampuri urusan kerajaan, tapi aku 

merasa ikut prihatin dan tanggung jawab atas 

keutuhan dan kejayaan Bumi Loka," kata 

Permaisuri Puspa Sari. 

Prabu Indrajaya merasa terharu dengan 

kata-kata yang meluncur lancar dari bibir 

mungil yang indah Kata-kata itu juga merupakan 

pukulan baginya, karena selama ini dia selalu 

menganggap bahwa urusan pemerintahan adalah 

urusan laki-laki. Dan kini Prabu Indrajaya 

merasa seolah-olah baru terbuka matanya. Dia 

sebenarnya memang tengah memerlukan seseorang 

untuk diajak bicara dari hati ke hati. 

"Maaf, Kanda. Mungkin apa yang akan 

kukatakan dapat menyinggung perasaanmu, tapi 

ini demi keutuhan Kerajaan Bumi Loka yang kita 

cintai ini," lanjut Permaisuri Puspa Sari. 

"Katakanlah, Dinda. Apa pun yang akan kau 

katakan, aku akan mempertimbangkannya dengan 

baik." 

"Terus terang. Kanda. Aku merasa adanya 

keanehan pada diri Paman Patih Ardareja dan 

Panglima Rupadi." 

"Maksudmu?"


"Kanda telah mengatakan bahwa tidak pernah 

merasa memberi perintah pada Paman Pulut. Tapi 

Nyai Lumping juga tidak akan berdusta dan 

mencari-cari perkara. Padepokan Tongkat Merah 

yang dipimpin Paman Pulut memang hancur, 

sehari sebelum Nyai Lumping muncul disini. 

Sedangkan wanita penyihir itu tidak 

memberitahukan, siapa-siapa saja yang telah 

mendatangi tempatnya di Puncak Gunung Tangkar. 

Namun Paman Patih Ardareja dan Panglima Rupadi 

mengetahui persis kalau Paman Pulut dan anak 

gadisnya serta murid-muridnyalah yang telah ke 

sana. Apakah hal ini tidak aneh, Kanda?" 

panjang lebar Permaisurl Puspa Sari 

mengemukakan perasaan hatinya. 

"Tidak kusangka, kau punya pikiran sampai 

kesitu, Dinda Puspa Sari," puji Prabu 

lndrajaya sambil menggeleng-gelengkan 

kepalanya. 

"Maaf, Kanda. Aku tahu, kau sangat 

mempercayai Paman Patih Ardareja. Di antara 

patih-patih lainnya, memang dialah yang 

terbaik dan paling tinggi ilmunya. Tapi Kanda 

harus ingat, mundurnya Paman Pulut dari 

kerajaàn juga diakibatkan pertentangannya 

dengan Paman Patih Ardareja. Aku sama sekali 

tidak bermaksud buruk, apalagi memfitnah. Aku 

hanya mengatakan berdasarkan beberapa 

kenyataan yang aku lihat, Kanda," kembali 

Permaisudi Puspa Sari mengutarakan 

pendapatnya. 

"Dinda, apakah kau sudah mengatakan hal 

ini pada orang lain?" 

"Belum, hanya pada Kanda saja." 

"Dengar, Dinda. Semua yang telah kau 

katakan itu akan menjadi pertimbangan dan 

pemikiranku. Tapi kau harus bisa merahasiakan


semua itu. Jangan sampai ada seorang pun yang 

mengetahuinya," kata Prabu Indrajaya berpesan. 

"Kecuali aku...!" tiba-tiba terdengar 

suara menyelak. 

Seketika Prabu lndrajaya dan Permaisuri 

Puspa Sari tersentak! Dan belum lagi hilang 

rasa terkejut mereka, tiba-tiba dari balik 

tembok pembatas taman belakang dengan luar, 

melompat sesosok bayangan. Prabu Indrajaya 

langsung melompat dan berdiri begitu di 

depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-

laki muda yang gagah dan tampan. 

"Siapa kau? Berani benar kau masuk ke 

taman 

Istana ini tanpa ijin!" bentak Prabu 

Indrajaya. Tangannya tampak meraba gagang 

pedang yang masih tersimpan di warangkanya. 

Sementara pemuda itu hanya tersenyum saja 

sambil melipat kedua tangannya di depan dada. 

*** 

"Pengawal...!" teriak Prabu Indrajaya 

keras. 

"Percuma saja, Gusti Prabu. Tidak ada 

seorang pengawal pun yang akan mendengar," 

kata pemuda itu tenang. 

Sret! 

Tanpa berkata-kata lagi, Prabu Indrajaya 

langsung mencabut pedangnya yang tergantung di 

pinggang. Bola matanya beredar ke sekitarnya 

yang sepi, tanpa seorang prajurit penjaga pun 

terlihat. Sejenak tangannya sedikit mendorong 

permaisurinya ke belakang. 

"Kau pasti akan mendapal hukuman berat 

atas kelancanganmu, Kisanak!" kata Prabu 

Indrajaya dengan suara agak membentak.



"Tapi Gusti Prabu pasti akan segera 

berterima kasih jika mengetahui bahwa 

kedatanganku ke sini untuk mewakili Dewi 

Puspita," kata pemuda itu tetap tenang. 

"Heh! Siapa kau sebenarnya?" sentak Prabu 

Indrajaya terkejut 

"Namaku Bayu Hanggara. Aku berada di sini 

hanya singgah dan menginap di rumah penginapan 

Ki Bawuk. Kedatanganku ini bukan sebagai 

musuh, atau ingin menambah keruh suasana, tapi 

justru akan membawa angin segar bagi Gusti 

Prabu dan seluruh rakyat Bumi Loka." 

"Jangan berbelit-belit! Katakan cepat, apa 

maksud kedatanganmu?" 

"Ki Pulut memang telah datang ke Puncak 

Gunung Tangkar bersama anak gadisnya dan 

seluruh murid-muridnya. Tapi malang, mereka 

semua tewas kecuali Dewi Puspita...," kata 

Bayu 

"Aku sudah tahu itu! Apa lagi yang akan 

kau sampaikan?" potong Prabu Indrajaya. 

"Gusti Prabu, aku juga telah bertemu 

dengan Dewi Puspita. Dan kami telah berbicara 

banyak tentang kemelut yang tengah melanda 

seluruh Kerajaan Bumi Loka ini. Ayahnya memang 

datang ke Gunung Tangkar dengan maksud untuk 

membunuh Nyai Lumping. Namun hal itu 

dilakukannya dengan perasaan terpaksa, karena 

rasa pengabdian dan kesetiaannya pa Gusti 

Prabu." 

"Hm..., kau akan mengatakan bahwa Paman 

Pulut bertindak atas perintahku, begitu kan?" 

kembali Prabu Indrajaya memotong ucapan Bayu 

"Semula aku memang telah berpikir 

demikian! Gusti Prabu. Tapi setelah mendengar 

penuturan Dewi Puspita, dan juga mendengar 

sendiri pembicaraan Gusti Prabu dengan Gusti 

Permaisuri tadi, rasanya ada hal yang


tersembunyi di balik semua kejadian ini. 

Danrahasia itu sudah kuketahui." 

"O...! Apa saja yang telah kau ketahui?" 

agak terkejut juga Prabu Indrajaya 

mendengarnya. 

"Apa yang aku ketahui, tidak jauh berbeda 

dengan yang telah dikatakan oleh Gusti 

Permaisuri. Semua peristiwa ini memang sudah 

diatur oleh Patih Ardareja dan Panglima 

Rupadi. Merekalah yang telah menemui Ki Pulut 

dan mengatakan, bahwa dia mendapat perintah 

dari Raja Bumi Loka untuk menumpas Nyai 

Lumping," tegas dan jelas kata-kata Bayu. 

"Heh! Kau jangan berkata sembarangan, 

Kisanak!" bentak Prabu lndrajaya terperanjat. 

"Sejak semula aku memang sudah menduga, 

kau pasti tidak akan menerima pernyataanku. 

Tapi apa yang telah aku katakan ini bisa 

dipertanggungjawabkan, hanya saja aku belum 

mengetahui maksud sebenarnya yang terkandung 

di balik rencana itu," kata Bayu tetap tegas. 

"Kanda...," lembut suara Permaisuri Puspa 

Sari. Tangannya menepuk pundak Prabu Indrajaya 

dengan pelahan. 

Prabu Indrajaya segera memasukkan kembali 

pedangnya ke warangkanya di pinggang. Kemudian 

dia melangkah menghampiri Pendekar Pulau 

Neraka itu. 

"Apa jaminanmu jika kau ternyata memfitnah 

salah seorang patihku, dan seorang 

panglimaku?" tanya Prabu lndrajaya dingin. 

"Kepala, Gusti Prabu," sahut Bayu tegas. 

"Kepalamu tidak ada harganya bagiku, 

Kisanak " 

"Hm...," Bayu mengerutkan keningnya. 

"Kau sudah berani masuk ke taman pribadiku 

tanpa ijin. Kau pasti juga sudah melumpuhkan 

penjaga taman ini, dan itu harus kau tanggung


hukumannya ditambah lagi dengan beritamu yang 

membuat keruh suasana. Tapi aku akan 

mengampunimu jika kau berani menghadapi Nyai 

Lumping, si Ratu Sihir!" tegas kata-kata Prabu 

Indrajaya. 

"Hm..., jadi Gusti Prabu juga menghendaki 

wanita itu lenyap?" 

"Selama masih ada wanita iblis itu, 

Kerajaan Bumi Loka tidak akan pernah merasa 

damai. Terus terang aku memang menginginkan 

dia segera lenyap untuk selamanya, tapi aku 

tidak ingin mengorbankan seorang pun dari 

rakyatku. Nah, sekarang aku mengutusmu untuk 

tugas itu, tapi bukan atas namaku!" 

Tentu saja Bayu terkejut bukan main 

mendengar perintah itu. Dia benar-benar tidak 

menyangka kalau Prabu Indrajaya sendiri 

ternyata juga menginginkan wanita penyihir itu 

lenyap dari muka bumi. Sebenarnya itu adalah 

suatu keinginan yang wajar, namun membuat 

benak Bayu berpikir keras juga. 

Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, 

Pendekar Pulau Neraka itu segera melesat cepat 

dan melompati pagar benteng yang tinggi dan 

tebal. Sedangkan Prabu Indrajaya segera 

tersenyum lebar sambil memandangi kepergian 

pemuda itu. 

"Kanda, kenapa mesti memberi perintah itu? 

Bukankah dengan begitu Kanda malah 

memperuncing suasana?" tegur Pennaisuri Puspa 

Sari. 

"Bagaimanapun juga, wanita iblis itu tetap 

merupakan ancaman bagi kita, Dinda. "Tapi...." 

"Ah sudahlah. Kalau pemuda itu berhasil 

mengalahkan Nyai Lumping, aku akan memberinya 

hadiah dan pangkat yang tinggi. Tapi jika 

ternyata dia tewas, tidak ada urusannya 

denganku lagi.


"Kanda...," Permaisuri Puspa Sari 

menggeleng-gelengkan kepalanya. 

*** 

Bayu tampak tengah memandangi puing-puing 

bekas reruntuhan Padepokan Tongkat Merah. 

Padepokan itu letaknya di pinggir sebelah 

Utara perbatasan Kerajaan Bumi Loka dengan 

Hutan Gunung Tangkar. 

Dia agak heran juga karena tidak mendapati 

satu sosok mayat pun di antara puing-puing 

itu. Sementara keadaan di sekitarnya juga 

tidak nampak seperti baru saja terjadi 

pertarungan. Mungkinkah Padepokan Tongkat 

Merah sengaja dibakar hangus setelah seluruh 

penghuninya meninggalkan tempat itu? Hal itu 

berarti bahwa Ki Pulut hanya dijadikan boneka 

untuk nafsukeji seseorang! 

"Kakang,.. " 

Seketika Bayu tersentak kaget dan berbalik 

saat mendengar suara dari arah belakangnya. 

Tampak seorang gadis cantik berbaju hijau 

sudah berdiri tidak jauh darinya. Di pinggang 

gadis itu tergantung sebilah pedang dengan 

gagang berbentuk kepala naga, dan bermata dari 

batu merah delima. 

"Sejak kapan kau berada di sini. Dewi?" 

tanya Bayu seraya menghampiri. 

"Sejak kau meninggalkan Istana Bumi Loka," 

sahut Dewi Puspita kalem. 

"Kau sudah tahu kalau aku ke sana?" Bayu 

setengah terkejut. 

"Aku selalu mengikutimu terus, Kakang. 

Maaf, bukannya aku tidak percaya padamu, tapi



aku hanya bermaksud menjaga segala 

kemungkinan." 

Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia 

tak habis pikir, bagaimana Dewi Puspita selalu 

mengikutinya tanpa bisa diketahui sama sekali. 

Ini jelas membuktikan, bahwa tingkat 

kepandaian gadis itu cukup tinggi. Tapi yang 

lebih penting, ilmu meringankan tubuhnya pasti 

sangat tinggi. 

"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa 

padaku, Kakang. Aku sudah tahu semua 

pembicaraanmu dengan Gusti Prabu Indrajaya," 

kata Dewi Puspita menyerobot begitu melihat 

mulut Bayu sudah ternganga hendak berkata. 

"Bagaimana kau bisa mengetahui dan 

mendengar semua pembicaraanku?" tanya Bayu. 

"Mudah saja, aku rasa semua orang yang 

berkecimpung di dalam rimba persilatan juga 

mampu melakukannya, " sahut Dewi Puspita 

kalem. 

Bayu hanya mengangkat pundaknya. 

"Aku merasa bersalah, telah menyeretmu 

terlalu jauh dalam masalah ini, Kakang," desah 

Dewi Puspita menyesal. 

Lagi-lagi Bayu hanya mengangkat pundaknya 

dan tersenyum. Lalu pelahan-lahan kakinya 

mulai terayun melangkah meninggalkan tempat 

itu. Sedangkan Dewi Puspita segera 

mengikutinya dan mensejajarkan langkahnya di 

samping pemuda itu. 

"Tenis terang, aku jadi heran dengan sikap 

Gusti Prabu. Aku malah punya pikiran lain, 

jangan-jangan semua ini memang sudah 

direncanakan sebelumnya, dan dia pura pura 

tidak tahu," kata Bayu setengah bergumam. 

"Sejak nenek moyangnya dulu, keluarga 

istana memang sudah bermusuhan dengan Nyai 

Lumping. Dan aku tidak heran, kalau Gusti


Prabu menghendaki perempuan tua itu segera 

lenyap dari muka bumi," sahut Dewi Puspita. 

"Kau bilang tadi, sejak dari nenek 

moyangnya... Jadi Nyai Lumping itu...," Bayu 

tidak melanjutkan ucapannya. 

"Nyai Lumping juga mempunyai keluarga, 

bahkan dulu memiliki pengikut yang tidak 

sedikit jumlahnya," Dewi Puspita menjelaskan. 

"Kenapa sekarang hanya tinggal dia 

sendiri?" Bayu jadi ingin tahu. 

"Dulu, yaitu pada masa pemerintahan Gusti 

Prabu Swarajaya, terjadi perselisihan yang 

mengakibatkan meletusnya perang, antara 

Kerajaan Bumi Loka dengan kerajaan penyihir 

yang bersemayam di Puncak Gunung Tangkar. 

Pertempuran itu begitu hebatnya sehingga 

menimbulkan korban yang cukup banyak. Tapi 

meskipun Gusti Prabu kehilangan banyak 

prajurit, dia berhasil memenangkan 

pertempuran. Hampir semua keluarga penyihir 

itu serta para pengikutnya tewas!" 

"Hm..., terus...?" pinta Bayu yang mulai 

tertarik dengan cerita itu. 

"Saat itu, sebenarnya masih ada tiga orang 

lagi yang lolos. Tapi kemudian yang dua orang 

bunuh diri, karena tidak mau menjadi tawanan 

dan mendapat hukuman. Dan tinggal Nyai Lumping 

sendiri yang pada saat itu belum begitu tua. 

Lalu atas kesepakatan bersama, Gusti Prabu 

memberikan kebebasan pada Nyai Lumping dengan 

satu perjanjian, yakni tidak akan saling 

mengganggu dan melewati batas kekuasaan 

masing-masing. Dan semua perjanjian itu akan 

berakhir jika Nyai Lumping telah tiada. Dan 

Gunung Tangkar masuk kembali ke dalam wiiayah 

Kerajaan Bumi Loka."


"Sepertinya aku tidak melihat adanya 

hubungan dengan persoalan yang sedang 

terjadi," kata Bayu agak bergumam. 

"Memang tidak ada, kalau ayahku tidak 

terjebak dan mendatangi Puncak Gunung 

Tangkar," sahut Dewi Puspita. 

"Kau yakin ada seseorang yang dengan 

sengaja membuat malapetaka ini?" 

"Ya, dan dari dulu orang itu memang selalu 

ingin menyingkirkan Ayah. Padahal Ayah sudah 

mengalah dengan mengundurkan diri dari 

kedudukannya sebagai panglima perang tertinggi 

kerajaan, tapi rupanya hal itu belum 

membuatnya puas." 

"Patih Ardareja, maksudmu?" tebak Bayu. 

"Ya, sejak muda Patih Ardareja dan ayahku 

memang sudah bermusuhan." 

"Rupanya kau sudah tahu segalanya, Dewi." 

"Aku tahu, sebab Ayah sering menceritakann 

padaku. Dan dia selalu berpesan, agar aku 

selalu berhati-hati dengan Patih Ardareja dan 

kaki tangannya. Mereka semua licik, dan tak 

segan-segan menggunakan segala macam cara 

untuk memperoleh kekuasaan dan kedudukan." 

Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Sekarang dia sudah bisa mengerti semuanya 

dengan jelas meskipun di benaknya masih 

tersimpan berbagai macam pertanyaan yang sulit 

untuk dijawab. Namun pada garis besarnya, dia 

sudah bisa menarik kesimpulan! 

Sementara itu di dalam kedai milik Ki 

Bawuk, Patih Ardareja dan Panglima Rupadi, 

kembali mendesak laki-laki tua pemilik kedai 

dan rumah penginapan itu. Sementara para 

prajurit yang berjumlah tidak kurang dari dua 

puluh orang, telah menghancurkan semua perabot 

dan barang-barang yang ada di dalam kedai itu. 

Bahkan sampai ke seluruh kamar penginapan yang


ada di bagian belakang kedai, hancur diobrak-

abrik! 

Kini keadaan Ki Bawuk benar-benar 

mengenaskan. Wajahnya tampak bengkak-bengkak 

biru lebam dan darah terus menetes dari sudut 

bibir, hidung dan pelipisnya. Sedangkan Nyi 

Bawuk hanya bisa menangis dan merintih memohon 

belas kasihan. Keadaan wanita tua itu juga 

tidak jauh berbeda dengan suaminya. 

"Aku sebenarnya enggan berbuat kasar 

padamu, Ki Bawuk. Tapi kau telah memaksaku 

untuk bertindak keras!" dingin suara Patih 

Ardareja. 

Ki Bawuk hanya diam saja dengan kepala 

terkulai lemah. 

"Katakan, di mana Dewi Puspita kau 

sembunyikan?" desak Patih Ardareja emosi. 

Tapi Ki Bawuk tetap diam membisu. 

Sedangkan darah makin banyak menetes dari 

luka-luka di wajahnya yang sudah keriput. Hal 

itu tentu saja membuat Patih Ardareja semakin 

geram! Maka tanpa mengenal rasa kasihan lagi, 

tangannya langsung melayang dan mendarat telak 

di wajah Ki Bawuk. 

"Akh!" Ki Bawuk memekik tertahan. Darah 

kembali mengucur deras dari mulutnya. 

Sedangkan Nyi Bawuk menjerit melengking, namun 

dia tidak mampu berbuat apa-apa. Karena kaki 

dan tangannya terikat di kursi. Dua orang 

prajurit menodongkan pedangnya ke leher wanita 

tua itu. 

"Kakang, rasanya tidak ada gunanya lagi 

menyiksa orang tua ini," kata Panglima Rupadi 

yang sudah hilang kesabarannya. 

"Memang sudah tidak ada gunanya! Bahkan 

hidup pun mereka sudah tidak ada gunanya 

lagi!" dengus Patih Ardareja. Patih Ardareja 

kemudian merebut pedang yang berada di tangan


salah seorang prajurit Dan tanpa berkedip 

sedikit pun, dia langsung mengibaskan pedang 

itu ke leher Nyi Bawuk. 

"Aaakh...!" Nyi Bawuk segera menjerit 

melengking. 

Bersamaan dengan itu, darah langsung 

muncrat dari leher yang terpenggal hampir 

putus. Dan belum puas juga, Patih Ardareja 

lalu menendang tubuh perempuan itu hingga 

terguling bersama kursinya. Ki Bawuk hanya 

bisa memejamkan matanya sambil menggeram 

hebat. Hatinya menjerit, namun dia tidak mampu 

untuk memberontak. Kedua tangan dan kakinya 

terikat tambang dengan kuat. 

"Kau akan bernasib sama jika terus 

membungkam, Ki Bawuk!" ancam Patih Ardareja 

seraya menempelkan mata pedang yang telah 

berlumur darah ke leher laki-laki tua pemilik 

kedai itu. 

"Iblis...! Bunuh saja aku! Kau tidak akan 

bisa menemukan keponakanku!" bentak Ki Bawuk 

dengan sisa-sisa keberaniannya. 

Patih Ardareja menggeram marah. Tiba-tiba 

saja tangannya berkelebat cepat, dan langsung 

membabat leher Ki Bawuk. Tak sedikit pun 

terdengar laki-laki tua itu mengeluh atau 

berteriak. Kepalanya langsung terkulai dengan 

darah segar yang memuncrat deras. Beberapa 

saat kemudian, Patih Ardareja membuang pedang 

yang berlumuran darah itu. Wajahnya merah 

padam memandangi dua mayat yang telah 

menggeletak di lantai kedai itu. 

"Huh! Orang tua tidak tahu diuntung," 

gumam Patih Ardareja kesal. 

Patih Ardareja segera melangkah ke luar 

setelah menyemburkan ludahnya beberapa kali. 

Sementara para prajurit yang mengawalnya hanya 

bisa diam dengan sinar mata yang sulit untuk



diartikan. Sedangkan Panglima Rupadi segera 

mengikutinya, diiringi para prajurit yang 

berjumlah dua puluh orang itu. Sebentar 

kemudian terdengar suara derap langkah kaki-

kaki kuda yang dipacu cepat meninggalkan 

halaman depan kedai itu. Kini keadaan kembali 

sunyi, tak terdengar suara sedikit pun juga. 

Kuda-kuda itu terus berlari semakin jauh 

meninggalkan kehancuran di dalam kedai. 

Sementara itu dari arah yang berbeda, tampak 

Bayu dan Dewi Puspita berjalan sambil 

mengendap-endap mendekati kedai. 

"Paman...!" pekik Dewi Puspita begitu 

kakinya menginjak ambang pintu depan kedai. 

Bayu juga tertegun menyaksikan satu 

pemandangan yang memilukan hati itu. Dewi 

Puspita segera berlari menubruk tubuh paman 

dan bibinya bergantian. Gadis itu tidak bisa 

menahan diri lagi, dia segera menangis dan 

meratapi nasib paman dan bibinya itu. 

Sementara Bayu hanya bisa diam dengan mulut 

terkatup rapat. 

"Dewi...," pelan suara Bayu. Dengan lembut 

tangannya menyentuh pundak gadis itu. 

Dewi Puspita mengangkat kepalanya, dan 

menoleh agak ke atas. Kemudian pelahan lahan 

dia bangkit, namun pandangannya tetap tertuju 

pada dua gundukan tanah merah yang masih baru. 

Mereka terpaksa menguburkan jenazah Ki Bawuk 

dan Nyi Bawuk ili belakang rumah, agar tidak 

menarik perhatian orang lain. 

"Aku harus membalas kekejaman mereka, 

Kakang. Harus...!" dengus Dewi Puspita 

menggeram, namun suaranya masih bergetar. 

"Kau tidak akan mampu menghadapi mereka 

dengan hati panas, Ratih," kata Bayu lembut. 

"Mereka telah membunuh ayahku, dan 

sekarang mereka membunuh orang yang bisa


kujadikan sandaran hidupku. Paman dan Bibi 

tidak tahu apa-apa, bahkan mereka juga tidak 

tahu kalau aku menyelinap ke sini, Kakang...," 

kata Dewi Puspita dengan air mata mengalir 

deras. 

Dalam suasana seperti itu, Bayu tidak mau 

berdebat, meskipun Dewi Puspita kadang-kadang 

juga berdusta. Kini pemuda itu melingkarkan 

tangannya kepundak gadis itu, dan membawanya 

masuk ke dalam rumah. Sejenak Bayu menutup dan 

mengunci semua pintu dan jendela. Sementara 

Dewi Puspita segera duduk dengan wajah lesu di 

atas dipan kayu yang beralaskan tilam 

bersulam. Kemudian Bayu menghampiri dan duduk 

bersandar di samping gadis itu. 

"Dewi, kenapa kau selalu bersembunyi dan 

mebohongiku? Padahal kau bisa berterus terang, 

dan mengatakan apa adanya. Kalau sejak semula 

kau berterus terang padaku, mungkin peristiwa 

ini tidak perlu terjadi," kata Bayu menyesali 

sikap Dewi Puspita selama ini. 

"Maaf, Kakang. Aku terpaksa, dalam situasi 

seperti ini, aku tidak boleh begitu saja 

percaya pada siapa pun," sahut Dewi Puspita 

membela diri. 

"Aku Bdak mengerti, Dewi," desah Bayu. 

"Hhh.. sudah banyak korban berjatuhan, bukan 

saja dari pihak kerajaan, tapi juga dari 

orang-orang yang belum kita ketahui dengan 

pasti apa maksud dan tujuan sebenarnya?" 

"Kakang...." 

"Hm." 

"Kita harus segera menemui Gusti Prabu." 

"Untuk apa?" 

"Kita harus menjelaskan persoalan ini pada 

Gusti Prabu. Kalau hal ini didiamkan sampai 

berlarut-larut, keadaannya bisa bertambah


parah. Aku yakin, Patih Ardareja juga tengah 

mengincar kedudukan Gusti Prabu." 

"Jangan menduga begitu jauh, Dewi." 

"Aku yakin, pasti Patih Ardareja juga 

menginginkan tahta Kerajaan Bumi Loka," Dewi 

Puspita tetap bertahan pada pendiriannya. 

"Tampaknya kau yakin sekali, Dewi." 

"Kalau kau tahu siapa sebenarnya Patih 

Ardareja itu, kau pasti akan punya pikiran 

yang sama denganku!" 

Bayu mengerutkan keningnya. 

"Patih Ardareja adalah adik tiri dari 

Gusti Prabu Swarajaya, Ayahanda Gusti Prabu 

Indrajaya. Dan sammpai saat ini kematian Gusti 

Prabu Swarajaya juga masih dirahasiakan. 

Bahkan Ayah sendiri juga tidak tahu sebab-

sebabnya. Waktu itu Gusti Prabu Swarajaya 

tahu-tahu sudah dimakamkan tanpa ada upacara 

terlebih dahulu. Hanya pihak keluarga saja 

yang boleh menghadiri, katanya hal itu adalah 

pesan dari Gusti Prabu Swarajaya sendiri," 

ujar Dewi Puspita menjelaskan. 

"Dewi, kalau Patih Ardareja benar-benar 

menginginkan tahta Kerajaan Bumi Loka, dia 

pasti sudah merebutnya sejak dulu begitu Prabu 

Swarajaya wafat. Untuk apa dia sampai menunggu 

bertahun-tahun? Sudahlah, Dewi. Mungkin Patih 

Ardareja menginginkan sesuatu yang lain. Atau 

bisa saja dia ingin Kerajaan Bumi Loka hancur. 

Pokoknya begitu banyak kemungkinan yang kita 

sendiri tidak bisa mengetahuinya sekarang," 

ujar Bayu yang mencoba bertindak bijaksana 

dalam masalah ini. 

Dewi Puspita hanya terdiam. Memang begitu 

banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, 

dan tidak mereka ketahui saat ini. Tapi gadis 

itu tetap pada pendiriannya, bahwa Patih 

Ardareja-lah yang menjadi biang keladi dari


semua malapetaka ini. Hanya saja yang masih 

menjadi beban pertanyaannya, kenapa Patih 

Ardareja melibatkan Nyai Lumpung? Padahal 

sudah tahu, kalau perempuan rua itu sangat 

kejam, dan bisa menghancurkan Kerajaan Bumi 

Loka dengan kekuatan sihirnya. 

*** 

Matahari baru saja menampakkan dirinya di 

ufuk tmur. Namun kabut masih tebal menyelimuti 

Puncak Gunung Tangkar. Angin pun tetap bertiup 

kencang dan menebarkan udara dingin yang 

membekukan tulang. Dan keadaan seperti itu 

tidak terasakan oleh mereka yang berada di 

dalam sebuah bangunan batu tua yang berusia 

ratusan tahun. 

Pada salah satu ruangan dari bangunan tua 

itu, tampaklah Nyai Lumping tengah duduk di 

kursinya yang terbuat dari batu, dan berpahat 

gambar seekor ular naga. Di depannya, duduk 

dua orang laki-laki setengah baya yang 

mengenakan pakaian indah pembesar kerajaan. 

Mereka adalah Patih Ardareja dan Panglima 

Rupadi. 

"Waktu yang kuberikan tinggal dua hari, 

Ardareja. Kapan kau akan menyerahkan gadis itu 

padaku?" dingin dan kecil suara Nyai Lumping. 

"Tampaknya Dewi Puspita tidak berada lagi 

di wilayah Kerajaan Bumi Loka, Nyai. Sudah 

seluruh pelosok kerajaan aku jelajahi, tapi 

gadis itu seperti lenyap ditelan bumi," sahut 

Patih Ardareja. 

"Dia masih ada di sana, Ardareja. Bahkan 

sekarang dia bersama seorang laki-laki muda


yang memiliki tingkat kepandaian sangat 

tinggi. Mereka berada di rumah Ki Bawuk." 

"Nyai, rumah itu sudah aku obrak-abrik, 

tapi Dewi Puspita tidak ada," bantah Patih 

Ardareja setengah terkejut. 

"Huh! Hanya menangkap tikus kecil saja kau 

sudah kewalahan begitu. Apalagi harus 

menghadapi Indrajaya? Rasanya percuma saja 

selama ini aku membantumu, Ardareja!" dengus 

Nyai Lumping kesal. 

"Nyai, apa pun yang akan terjadi, aku 

pasti akan segera membawa gadis itu padamu. 

Soalnya dialah satu-satunya orang yang bisa 

membocorkan rahasia ini" 

"Percuma, Ardareja. Indrajaya juga sudah 

mengetahuinya." 

Patih Ardareja terperanjat. 

"Kau tahu, siapa pemuda yang sekarang 

bersama Dewi Puspita?" tanya Nyai Lumping 

dengan mata menyipit. 

Sejenak Patih Ardareja menoleh pada 

Panglima Rupadi, kemudian kepalanya 

menggeleng. Dia memang belum tahu kalau Dewi 

Puspita sekarang dibantu oleh seorang pemuda. 

"Dia bernama Bayu Hanggara dan julukannya 

Pendekar Pulau Neraka," dingin suara Nyai 

Lumping. 

Mendadak wajah Patih Ardareja pucat pasi 

mendengar nama itu. Dia memang sudah sering 

mendengar sepak terjang pendekar muda itu, 

meskipun belum pernah berhadapan langsung 

dengan orangnya. Nama Pendekar Pulau Neraka 

memang sempat meng 

getarkan rimba persilatan, dan menjadi 

buah bibir di kalangan tokoh-tokoh rimba 

persilatan. Baik dari liolongan putih maupun 

golongan hitam. Dan sampai saat ini belum ada


satu tokoh pun yang mampu menandingi 

kepandaiannya. 

"Ardareja, ruang gerakmu saat ini sudah 

semakin sempit. Kau tidak punya pilihan lain 

lagi, kecuali membunuh Prabu Indrajaya dan 

seluruh keluarganya. Aku sudah banyak 

membantumu, kini giliran kau yang harus 

membantuku. Hidupku tidak akan pernah merasa 

tentram, kalau keturunan musuh-musuhku masih 

hidup bebas di muka bumi ini," kata Nyai 

Lumping tegas. 

"Nyai...!" sentak Patih Ardareja 

terperanjat. "Dalam perjanjian kita, aku tidak 

harus membunuh Indrajaya dan keluarganya!" 

"Kau menginginkan tahtanya, kan?" 

"Ya, tapi..." 

"Membiarkan musuh hidup, berarti memupuk 

benih permusuhan baru. Kau mengerti maksudku, 

Ardareja?" 

"Licik! Kau benar-benar manusia iblis, 

Nyai Lumping!" Patih Ardareja jadi sengit. Dia 

baru menyadari kalau dirinya ternyata telah 

diperalat oleh perempuan tua itu. 

"Hik hik hik...! Ternyata seekor singa 

yang sering mengaum itu bergigi ompong! Hik 

hik hik...!" 

Patih Ardareja hanya mampu menggeretakkan 

gerahamnya menahan marah. Seharusnya dari dulu 

dia sudah menyadari, bahwa bekerjasama dengan 

orang yang berhati iblis tidak akan pernah 

mendapatkan keuntungan apa-apa. Namun kini 

semuanya sudah terlambat. Ibaratnya dia telah 

tercebur ke dalam sungai, dan harus basah 

seluruhnya! 

Maka dengan hati yang dongkol. Patih 

Ardareja segera bangkit dan melangkah 

meninggalkan ruangan itu dengan diikuti oleh


Panglima Rupadi. Sementara Nyai Lumping hanya 

tertawa mengikik mengiringi kepergian mereka. 

*** 

"Sekarang apa yang kita lakukan, Kakang?" 

tanya Panglima Rupadi saat mereka sudah berada 

di Kaki Gunung Tangkar. 

"Aku tidak tahu," sahut Patih Ardareja 

masih terus memberengut. 

"Sejak semula aku sudah memperingatkanmu, 

Kakang. Tidak ada gunanya bekeriasama dengan 

Nyai Lumping. Kini terbukti sudah, bahwa 

kekhawatiranku menjadi kenyataan, dan 

kedudukan kita saat ini semakin terjepit," 

nada suara Panglima Rupadi seperti menyesal. 

"Sudah kepalang basah!" 

"Kakang, sebaiknya kita segera berterus 

terang pada Gusti Prabu Indrajaya," Panglima 

Rupadi mengusulkan. 

Sejenak Patih Ardareja menghentikan 

langkahnya, tampak matanya tajam menatap lurus 

ke bola mata Panglima Rupadi. 

"Sebelum terlanjur, Kakang. Dan kita masih 

punya waktu untuk menjernihkan keadaan," kata 

Panglima Rupadi lagi. 

"Percuma...," Patih Ardareja menggeleng-

gelengkan kepalanya. 

"Tidak ada yang percuma, Kakang. Kita bisa 

ambil siasat." 

"Hmm, apa maksudmu?" 

"Saat ini, Dewi Puspita kan dibantu deh 

seorang pendekar yang namanya sudah kondang 

dan digdaya. Kita harus bisa memperalat 

Pendekar Pulau Neraka itu untuk bertarung 

melawan Nyai Lumping. Dengan begitu, tidak ada 

lagi orang yang mengetahui semua ini. Dan kita


justru bisa dianggap sebagai pahlawan dengan 

membunuh mereka sekaligus." 

"Hm...." 

"Kita harus atur agar mereka bentrok, 

sambil menyiapkan regu panah yang akan merejam 

tubuh mereka pada saat bertarung. Sedangkan 

untuk persoalan Dewi Puspita, bukan hal yang 

sukar. Bagaimana, Kakang?" 

"Tampaknya memang mudah, tapi aku merasa 

semua itu tidak akan berhasil. Mereka adalah 

orang-orang yang berkepandaian sangat tinggi," 

Patih Ardareja masih ragu-ragu dengan rencana 

Panglima Rupadi. 

"Bagaimanapun tingginya tingkat kepandaian 

seseorang, tidak akan mungkin bisa selamat 

kalau diserang secara mendadak dari segala 

arah. Apalagi dalam keadaan sedang bertarung, 

yang perhatian pusat sepenuhnya pada lawan, 

Kakang." 

"Mungkin bisa, tapi untuk memancing mereka 

bukanlah hal yang mudah." 

"Harus ada korban, Kakang." 

"Maksudmu?" 

"Gusti Permaisuri Puspa Sari." 

"Adik Rupadi!" sentak Patih Ardareja 

terkejut. 

"Jangan berbuat gila-gilaan begitu! Aku 

tidak setuju kalau sampai melibatkan Gusti 

Permaisuri Puspa Sari. 

"Hanya siasat saja, Kakang. Toh 

keselamatan Gusti Permaisuri masih terjamin." 

"Tapi...." 

"Serahkan saja semuanya padaku, Kakang," 

ujar Panglima Rupadi pongah. 

Patih Ardareja tidak menyahut. Dia kembali 

melangkah menuju Kerajaan Bumi Loka. 

Menurutnya rencana yang telah diutarakan 

Panglima Rupadi itu sangat berbahaya, apalagi


sampai melibatkan Permaisuri Puspa Sari! 

Meskipun dirinya selalu mengimpikan tahta 

Kerajaan Bumi Loka, namun dia tidak mau 

mencelakakan seorang pun dari keluarga Prabu 

Indrajaya. Bagaimanapun juga, Prabu lndrajaya 

itu masih keponakannya. 

Semula dia hanya bermaksud menggulingkan 

tahta, dan memenjarakan seluruh keluarga Prabu 

Indrajaya. Tapi yang terjadi malah sesuatu 

yang tidak 

diharapkannya sama sekali. Kerjasamanya 

dengan Nyai Lumping, justru membuat posisinya 

kini semakin terjepit. Sebelumnya dia memang 

tidak pernah berpikir, kalau perempuan tua 

ahli sihir itu akan memanfaatkannya untuk 

membalas dendam! 

Patih Ardareja kini benar-benar bingung, 

apa yang harus dilakukannya untuk mencapai 

ambisinya itu. Dan dia terpaksa mengikuti 

semua rencana yang telah diutarakan oleh 

Panglima Rupadi. Dia pikir, memang hanya 

itulah cara satu-satunya untuk menghindari 

kecurigaan Prabu Indrajaya padanya. 

*** 

Malam itu suasana di Istana Kerajaan Bumi 

Loka tampak sepi. Meskipun penjagaan telah 

diperketat, namun itu hanya pada tempat-tempat 

yang tertentu. Dan pada saat hampir seluruh 

penghuni istana tengah tertidur lelap, tampak 

dua sosok tubuh hitam berkelebatan cepat 

mendekati kamar peraduan Permaisuri Puspa 

Sari. Kedua sosok tubuh hitam itu berlindung 

pada sebuah pohon besar yang tidak jauh dari 

jendela kamar itu. Kemudian tampak salah 

seorang dari kedua sosok tubuh hitam itu



menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, 

lalu mendekatkannya ke mulut. Dan.... 

"Phuih!" 

Sebentar mereka menunggu, tampak para 

penjaga di sekitar kamar peraduan Permaisuri 

Puspa Sari sudah tertidur pulas. Rupanya orang 

bertubuh hitam tadi telah mengeluarkan aji 

sirep yang bisa menidurkan orang. Maka dengan 

gerakan yang ringan dan lincah kedua sosok 

hitam itu mendekati jendela. "Hup!" 

Salah seorang melompat masuk ke dalam 

kamar setelah berhasil membuka pintunya. 

Sedangkan yang seorang lagi tetap menunggu di 

luar. Keadaan di dalam kamar yang besar dan 

indah itu tampak sunyi. Beberapa dayang telah 

menggeletak tidur di lantai yang beralaskan 

hambat berbulu tebal dan halus. Kemudian sosok 

tubuh hitam itu melangkah pelan-pelan 

mendekati pembaringan besar, dan beralaskan 

kain sutra halus yang berwarna merah muda. 

Di atas pembaringan itu terlihat 

Permaisuri Puspa Sari tertidur dengan 

nyenyaknya. Mungkin dia sedang bermimpi indah 

dalam tidurnya. Sejenak sepasang mata itu 

mengintip dari kain hitam penutup wajah dan 

matanya berputar-putar liar menyoroti paha 

putih yang tersingkap agak lebar. Dan 

tangannya agak gemetar ketika hendak menjamah 

tubuh yang hanya berkain tipis itu. 

"Hhh...," terdengar suara tarikan napas 

panjang dan berat. 

Seketika orang itu mengambil kain tebal 

yang tergolek di bawah pembaringan, dan 

membungkus tubuh permaisuri itu. Setelah itu 

dia bergegas melompat ke jendela yang masih 

terbuka lebar. 

Gerakannya ringan saat melompati jendela. 

Sementara orang yang tengah menunggu di luar


segera menutup pintu jendela kembali, dan 

langsung mengikuti kawannya. Sayang sekali tak 

ada seorang pun yang melihat kejadian itu! 

Kedua sosok tubuh hitam itu berlompatan 

melewati tembok benteng yang tinggi dan kokoh, 

lalu lenyap begitu berada di luar benteng 

istana. 

*** 

Berita tentang hilangnya Permaisuri Puspa 

Sari, cepat menyebar dari mulut ke mulut. Dan 

berita itu juga sampai ke telinga Bayu. 

Sementara hampir seluruh prajurit sudah 

dikerahkan mencari Permaisuri Puspa Sari, Bayu 

malah menyelinap masuk ke Istana Bumi Loka. 

Pendekar Pulau Neraka itu langsung menuju 

tempat pribadi Prabu Indrajaya, yang terus 

dijaga ketat oleh beberapa orang prajurit 

pengawal. Namun bagi seorang pendekar 

sepertinya, bukanlah hal yang sukar untuk 

melewati para prajurit pengawal tanpa 

diketahui. Saat pengawal yang menjaga kamar 

pribadi Prabu Indrajaya sedikit lengah, dengan 

cepat Bayu melesat masuk melalui jendela yang 

terbuka lebar. 

Tentu saja Prabu Indrajaya terkejut 

melihat hal itu. Dan hampir saja dia berteriak 

memanggil pengawal, kalau saja Bayu tidak 

cepat-cepat meringkus dan membungkam mulutnya. 

"Aku tidak bermaksud buruk. Jangan membuat 

keributan yang bisa mencelakakan dirimu," kata 

Bayu setengah mengancam. 

Seketika Prabu Indrajaya menganggukkan 

kenya. Sedangkan Bayu pun segera melepaskan 

ringkusannya, dan menutup jendela. Sebenarnya 

seorang prajurit sempat melihat pintu itu 

tertutup, tapi dia tidak bisa melihat, siapa


yang telah menutupnya. Dia hanya menduga, 

Prabu Indrajaya-lah yang menutupnya. 

"Dua kali kau masuk ke sini seperti 

maling, Kisanak! Sekali lagi kuperingatkan, 

kau bisa mendapat hukuman berat, tahu!" dengus 

Prabu Indrajaya jengkel. 

"Maaf, Gusti Prabu. Terpaksa hal ini aku 

lakukan karena banyak tikus yang berkeliaran 

di istana," kata Bayu kalem. 

"Apa maksudmu sebenarnya, Kisanak?" tanya 

Prabu Indrajaya mulai sedikit ramah. 

"Aku hanya ingin membantu menyelamatkan 

Kerajaan Bumi Loka dari kehancuran. Dan aku 

sudah tahu, siapa yang telah menculik Gusti 

Permaisuri. Aku pun tahu, akan rencana mereka 

yang bermaksud menggulingkan tahta Gusti 

Prabu," kata Bayu tetap tenang. 

"Katakan, siapa orang itu?" 

"Gusti Prabu pasti tidak akan percaya, 

tapi aku akan mengatakan yang sebenarnya." 

"Aku tahu, kau pasti akan mengatakan kalau 

ini perbuatan Patih Ardareja dan Panglima 

Rupadi, kan? Kau memang benar-benar sinting, 

Kisanak. Kemarin kau mengatakan, bahwa semua 

kekacauan karena ulah Patih Ardareja. Dan 

sekarang kau pasti akan mengatakan hal yang 

sama," Prabu Indrajaya langsung menebak. 

"Gusti Prabu masih tidak percaya?" 

"Tidak ada seorang pun yang mau 

mempercayai omongan orang sinting sepertimu!" 

dengus Prabu Indrajaya. 

"Hm..., ternyata Dewi Puspita benar. Kau 

adalah seorang raja yang tidak bisa melihat 

keanehan-keanehann di sekitarmu," gumam Bayu 

tanpa memandang hormat lagi. 

"Hati-hati bicaramu, Kisanak!" bentak 

Prabu Indrajaya tersinggung. "Pengawal...!"


Bayu langsung terkejut begitu tiba-tiba 

seorang pengawal muncul. Maka tanpa pamit 

lagi, ia langsung melesat ke atas dan menjebol 

atap. 

"Kejar orang itu, tangkap!" teriak Prabu 

Indrajaya keras. 

Bayu jadi gusar, karena beberapa orang 

pengawal sudah melihatnya, dan segera 

berlompatan ke atas atap. Sementara Pendekar 

Pulau Neraka itu langsung melentingkan 

tubuhnya dan turun ke bawah. Namun baru saja 

kakinya menjejak tanah, puluhan anak panah 

telah berdesingan ke arahnya. 

Maka tidak ada pilihan lain, Bayu hanya 

bisa berlompatan ke sana kemari menghindarkan 

hujan anak panah itu. Untung saja dia berhasil 

ke luar dari kepungan itu, dan langsung 

melesat melompati tembok benteng yang tinggi. 

Para punggawa istana yang memiliki kepandaian 

cukup tinggi segera berlompatan mengejar. 

Namun mereka tidak bisa lagi menemukan jejak 

Pendekar Pulau Neraka itu. 

*** 

Kegemparan belum lagi reda, dan Prabu 

Indrajaya semakin gusar saat menerima sepucuk 

surat yang dibawa oleh seorang prajurit 

penjaga pintu gerbang istana. Surat itu berisi 

ancaman, agar dia turun tahta secepatnya jika 

menginginkan Permaisuri Puspa Sari selamat. 

"Siapa yang telah mengirim surat ini?" 

tanya Prabu Indrajaya membentak 

"Ampun, Gusti Prabu Surat itu dilemparkan 

seseorang yang berbaju hitam dan menunggung 

kuda," lapor prajurit yang membawa surat itu. 

Prabu Indrajaya menggeretakkan gerahamnya 

menahan marah. Dia kemudian memandangi satu



persatu para pembesar, patih dan panglima 

serta punggawa yang berada di depannya. 

Sejenak mata agak menyipit, karena dia tidak 

melihat Patih Ardareja dan Panglima Rupadi. 

"Di mana Patih Ardareja dan Panglima 

Rupadi? 

"Patih Ardareja dan Panglima Rupadi sedang 

tugas keliling bersama lima puluh prajurit, 

Gusti Prabu," sahut salah seorang panglima. 

Prabu Indrajaya tampak semakin mengerutkan 

keningnya. Belum pernah sekali pun dia 

mendengar, bahwa Patih Ardareja melakukan 

tugas keliling bersama Panglima Rupadi. Lagi 

pula, seharusnya Patih Ardareja tetap berada 

di istana, karena keamanan Mana adalah 

tanggung jawabnya. Sedangkan tugas keliling 

biasanya hanya dilakukan oleh para prajurit 

dan punggawa. Bukan oleh seorang patih atau 

panglima kerajaan 

Prabu Indrajaya jadi ingat akan kata-kata 

pemuda yang berbaju kulit harimau itu. 

Belakangan ini tingkah laku Patih Ardareja dan 

Panglima Rupadi memang kelihatan tidak seperti 

biasanya. Seringkali mereka keluar istana 

tanpa alasan yang jelas. Bahkan semalam pun, 

di saat seluruh pembesar istana tengah 

berkumpul di Balai Sema, kedua pembesar itu 

juga tidak ada. Padahal pertemuan itu 

berlangsung sampai menjelang fajar, bersamaan 

dengan hilangnya Permaisuri Puspa Sari. 

"Susul Patih Ardareja, dan katakan aku 

memanggilnya, cepat!" perintah Prabu Indrajaya 

setengah emosi. 

Dua orang punggawa segera menghaturkan 

sembah, dan bergegas pergi. Sedangkan Prabu 

Indrajaya masih memberikan perintah-perintah 

pada para pembesar lainnya. Dan mereka yang 

telah ditugaskan, langsung menjalankan


perintah itu tanpa membantah edikit pun. Kini 

Prabu Indrajaya bergegas masuk ke dalam kamar 

pribadinya, dan mengganti baju dengan baju 

yang ringkas. Tak ketinggalan sebilah pedang 

dia gantungkan di pinggang. Dan tidak lama 

kemudian sudah ke luar lagi. 

"Pengawal, siapkan kuda!" perintah Prabu 

Indrajaya. 

"Hamba, Gusti." 

*** 

Di sebuah gubuk kecil yang letaknya agak 

terpencil di dalam Hutan Gunung Tangkar, 

tampak Permaisuri Puspa Sari tengah tergolek 

di atas dipan kayu dengan tangan dan kaki 

terikat merentang. Tubuhnya hanya tertutup 

oleh selembar kain tipis merah muda, sehingga 

lekuk-lekuk tubuhnya membayang jelas. 

Tidak jauh darinya, tampak Panglima Rupadi 

dan Patih Ardareja duduk menghadapi meja 

kecil. Dua guci arak menggeletak di atas meja 

itu. Sementara di sekitar gubuk itu terlihat 

sekitar lima puluh prajurit sedang berjaga-

jaga. 

"Seharusnya kau tidak menuruti rencana 

gilamu ini. Adik Rupadi!" rungut Patih 

Ardareja seraya melirik pada Permaisuri Puspa 

Sari, yang masih belum juga sadarkan diri dari 

pengaruh aji sirep yang telah dilepaskan oleh 

Panglima Rupadi semalam. 

"Tenang saja, Kakang. Ini baru langkah 

permulaan," sahut Panglima Rupadi kalem. 

"Gusti Prabu Indrajaya pasti sudah tahu 

kalau ini perbuatan kita!"


"Tidak ada yang tahu, Kakang. Kalau kau 

sendiri tidak membuka mulut." 

"Aku tidak yakin rencanamu akan berhasil!" 

"Tenang sajalah, kita tunggu saja 

perkembangan selanjutnya, baru menyusul 

langkah kedua." 

"Huh!" Patih Ardareja mendengus. 

Dan sambil memberengut, Patih Ardareja 

segera melangkah ke luar. 

"Kau mau ke mana?" tanya Panglima Rupadi. 

"Ke istana!" 

"Kalau Gusti Prabu menanyakan aku, katakan 

kalau aku sedang memeriksa keamanan di bagian 

Selatan!" 

Patih Ardareja tidak menyahut. Dia 

langsung naiki ke punggung kudanya, dan dengan 

cepat menggebah kuda itu. Sementara Panglima 

Rupadi hanya memandanginya saja dari pintu. 

Bibirnya menyunggingkan senyum. Kemudian dia 

berbalik dan menutup pintu pondok itu. Kini 

matanya langsung menatap pada Permaisuri Puspa 

Sari yang masih tergolek. 

Kemudian dengan pelahan-lahan Panglima 

Rupadi menghampirinya dan duduk di tepi dipan 

itu. Bola matanya terus berputar liar merayapi 

wajah dan tubuh wanita cantik itu. Lidahnya 

tampak menjulur dan menjilati bibirnya 

sendiri. Kecantikan dan kemolekan Permaisuri 

Puspa Sari mendadak menggugah gairahnya. Lalu 

dengan tangan agak gemetar, dia mulai mengusap 

pipi yang halus dan lembut itu. Jantungnya 

jadi berdetak kencang, merasakan kehalusan 

kulit wajah wanita itu 

"Hm..., sungguh sayang wanita secantik ini 

dilewatkan begitu saja," gumam Panglima 

Rupadi. 

Kemudian tanpa menghiraukan lagi siapa 

sebenarnya wanita itu, dia segera merenggut


kain yang menutupi tubuh Puspa Sari. Matanya 

semakin membeliak lebar menyaksikan kemolekan 

tubuh wanita itu. Dengan cepat jakunnya turun 

naik menahan gairah yang memuncak mendesak 

dada. Rupanya setan telah menutupi seluruh 

akal sehat Panglima Rupadi. Dia tidak lagi 

peduli siapa dirinya, dan siapa wanita itu. 

Dan dengan gairah yang berkobar-kobar, dia 

langsung memeluk dan menciumi wajah serta 

leher Puspa Sari. Sementara jari-jari 

tangannya menjelajah liar ke seluruh tubuh 

wanita itu. Semakin dia merasakan kehalusan 

kulit tubuh Puspa Sari, semakin tidak 

tertahankan lagi nafsu setannya. Maka Panglima 

Rupa di segera menjentikan jarinya di depan 

wanita itu. 

Tidak lama kemudian tampak Puspa Sari 

mulai sadarkan diri. Dia langsung terkejut 

begitu melihat Panglima Rupadi sudah berada di 

atasnya, dengan dada telanjang. Dan dia lebih 

terkejut lagi begitu menyadan bahwa dirinya 

dalam keadaan tanpa busana, dengan tangan 

serta kakinya terikat. 

"Panglima! Apa yang telah kau lakukan? 

Lepaskan aku!" sentak Permaisuri Puspa Sari. 

"Tenanglah, Manis. Kau sekarang telah jadi 

milik ku, dan kita akan segera menikmati saat-

saat yang indah," desah Panglima Rupadi dengan 

napas tersengal. 

"Tidak...! Akh!" Puspa Sari terus 

memberontak, dan berusaha melepaskan diri. 

Namun Panglima Rupadi tidak 

mempedulikannya lagi. Dia kembali memeluk dan 

menciumi wajah tubuh wanita itu. Sedangkan 

Permaisuri Puspa Sari kini menjerit-jerit 

minta tolong, tapi tak seorang pun yang datang


"Tidak! Oh..., lepaskan!" teriak 

Permaisuri Puspa Sari mulai dihinggapi 

perasaan takut luar biasa. 

Namun jerit dan pekikan Puspa Sari malah 

semakin membuat Panglima Rupadi bergairah. 

Rontaannya menimbulkan rangsangan yang 

menggelora. 

"Oh... aaakh...!" Puspa Sari menjerit 

melengking. 

Dan tubuhnya langsung lemas lunglai. 

Sementara air matanya mulai menitik ke luar. 

Sia-sia saja memberontak dan menjerit minta 

tolong sampai suaranya serak. Kini Panglima 

Rupadi sudah benar-kerasukan setan. 

Sakit dan perih seluruh tubuh Puspa Sari, 

hancur sudah semua harapan dan hatinya! 

Kesuciannya yang dia jaga selama ini, telah 

ternoda oleh panglimanya sendiri. Tidak ada 

lagi yang bisa dia lakukan, hanya air mata dan 

rasa kehancuran saja yang dapat dirasakan. 

Beberapa saat kemudian Panglima Rupadi 

tampak tersenyum penuh kepuasan. Lalu dia 

beranjak turun dari dipan kayu sambil 

merapikan pakaiannya kembali. Sedangkan 

tangannya menyambar kain yang teronggok di 

lantai, lalu melemparkannya ke tubuh wanita 

itu. 

"Binatang kau, Rupadi!" maki Puspa Sari 

disela isaknya. 

"Makilah sepuasmu, kini tak ada lagi yang 

bisa kau banggakan. Suamimu sendiri pasti 

tidak akan mau menerimamu lagi," kata Panglima 

Rupadi tersenyum penuh kemenangan. 

"Setan! Kubunuh kau! Kubunuh kau, 

Rupadi...!" 

"Ha ha ha...!" 

***


Sementara itu Patih Ardareja yang tengah 

memacu kudanya kembali ke Kerajaan Bumi Loka, 

dihadang oleh tiga orang punggawa yang memang 

sedang mencarinya. Ketiga punggawa itu segera 

turun dari ku danya, dan membungkuk memberi 

hormat. 

"Ada apa kau menghadangku?" tanya Patih 

Ardareja. 

"Ampun, Gusti Patih. Hamba bertiga diutus 

oleh Gusti Prabu mencari Gusti Patih," sahut 

salah seorang punggawa. 

"Ada keperluan apa, Gusti Prabu 

memanggilku?" 

"Hamba tidak tahu, Gusti. Mungkin ada 

suatu persoalan yang hendak dibicarakan, 

sehubungan dengan hilangnya Gusti Permaisuri." 

"Baiklah, kembalilah kalian lebih dulu, 

nanti aku akan segera menyusul," kata Patih 

Ardareja langsung merasa tidak enak hatinya. 

"Ampun, Gusti Patih. Gusti Prabu 

menghendaki dengan segera, dan hamba bertiga 

diperintahkan untuk membawa Gusti Patih 

menghadap." 

"Punggawa! Aku perintahkan pada kalian 

untuk kembali lebih dulu!" Patih Ardareja jadi 

gusar. "Tapi, Gusti...." 

"Kalian mau membangkang perintahku, heh?!" 

"Gusti Prabu akan menghukum hamba bertiga 

jika tidak berhasil menunaikan perintah." 

"Perintah apa?" Patih Ardareja jadi cemas. 

"Sebaiknya Gusti Patih segera menemui 

Gusti Prabu." 

"Kalian sudah berani menentangku, ya?" 

"Ampun, Gusti Patih. Hamba hanya 

menjalankan perintah Gusti Prabu." 

Seketika Patih Ardareja jadi tidak menentu 

hatinya. Dia merasakan, kalau perbuatannya



sudah diketahui oleh Prabu Indrajaya. Rasanya 

memang tidak mungkin, tiga orang punggawa itu 

tetap bertahan jika hanya untuk menyampaikan 

pesan saja. Kemudian Patih Ardareja segera 

melompat turun dari kudanya, dan secepat kilat 

dia menarik pedang dari sarungnya. 

Sret! 

"Hiyaaa...!" 

"Gusti...!" 

"Aaakh...!" 

Seketika seorang punggawa langsung roboh 

terbabat pedang Patih Ardareja. Sedangkan dua 

orang lagi berhasil melompat menghindar. Namun 

Patih Ardareja yang sudah kalap, tidak mau 

memberi ampun lagi. Dia segera melompat dan 

mengejar sambil mengibaskan pedangnya dengan 

cepat. Dan dua orang punggawa itu masih bisa 

menahan gempuran Patih Ardareja, tapi karena 

kemampuan mereka memang masih berada jauh di 

bawah Patih Ardareja, maka dalam waktu singkat 

saja kedua punggawa itu pun roboh dengan tubuh 

bermandikan darah. 

Sejenak Patih Ardareja menarik napas 

panjang sambil menyarungkan pedangnya kembali. 

Lalu bergegas dia melompat naik ke punggung 

kudanya, dan kembali menggebahnya. Namun kali 

ini dia berbalik ke Lereng Gunung Tangkar. 

Tapi baru saja dia memacu kudanya beberapa 

depa, mendadak terdengar suara bentakan keras 

menggelegar. 

"Berhenti...!" 

Namun Patih Ardareja tidak mempedulikan 

bentakan itu, dia terus memacu kudanya dengan 

cepat. Sejenak dia menoleh ke belakang, tampak 

sekitar sepuluh orang prajurit dan seorang 

punggawa tengah mengejarnya. 

Merasa dirinya sudah tidak mungkin lagi 

untuk kembali ke istana, Patih Ardareja jadi


nekad. Dia segera melompat dari punggung 

kudanya yang tetap berpacu cepa.t Tiga kali 

tubuhnya melenting dan berputar di udara, lalu 

sambil mencabut pedangnya, dia meluruk ke arah 

para pengejarnya. 

"Hiya...!" teriaknya melengking tinggi. 

"Aaa...!" 

Tiga orang prajurit langsung ambruk 

tersambar sabetan pedang Patih Ardareja. 

Sedangkan mereka yang selamat langsung 

melompat turun dari kudanya masing-masing, dan 

menghunus senjata! 

"Gusti Prabu telah memerintahkan kami 

untuk menangkapmu, Gusti Patih," kata punggawa 

itu masih memandang hormat. 

"Tangkaplah aku kalau kalian bisa!" 

Kembali Patih Ardareja melompat seraya 

mengibaskan pedangnya dengan cepat. Sementara 

para prajurit dan seorang punggawa yang sudah 

mengetahui tingkat kepandaian Patih Ardareja, 

bersikap lebih hati-hati. Namun mereka memang 

bukanlah tandingan Patih Ardareja. Sebentar 

saja jerit pekik kemarian terdengar saling 

susul, bersamaan dengan robohnya tubuh para 

prajurit itu. 

Punggawa yang memimpin sepuluh orang 

prajurit itu jadi gentar. Maka tanpa pikir 

panjang lagi, dia segera melompat ke punggung 

kudanya, dan menggebahnya dengan cepat 

menuruni Lereng Gunung Tangkar. 

Patih Ardareja tidak sempat lagi mengejar, 

karena sisa-sisa prajurit langsung 

merangseknya. Dan dengan kemarahan yang luar 

biasa, Patih Ardareja segera membabat habis 

prajurit-prajurit itu. Sejenak dia memandang 

punggawa yang sudah jauh melarikan diri, 

kemudian dia kembali menaiki kudanya dan 

menggebahnya menuju ke Lereng Gunung Tangkar.


*** 

Seorang punggawa yang telah berhasil lolos 

dari tangan Patih Ardareja itu, tampak memacu 

kudanya bagai kesetanan. Dan dia langsung 

melompat turun dari punggung kudanya begitu 

sampai di depan Istana Bumi Loka. Prabu 

lndrajaya yang kebetulan sedang berjalan ke 

luar, setengah terkejut. Punggawa itu langsung 

berlutut menjatuhkan diri. 

"Ada apa, Punggawa?" tanya Prabu Indrajaya 

dengan kening berkerut dalam. 

"Ampun, Gusti Prabu. Sebenarnya hamba 

telah berhasil bertemu dengan Patih Ardareja, 

tapi...," punggawa itu mengatur napasnya 

sebentar. 

"Teruskan, Punggawa." 

"Ampun, Gusti Prabu. Patih Ardareja 

melawan, dan membunuh semua prajurit yang ikut 

bersama hamba. Bahkan tiga orang punggawa juga 

telah tewas terbunuh." 

Prabu Indrajaya menggeram hebat mendengar 

laporan itu. Dia benar-benar tidak menyangka 

sama sekali, kalau orang yang selama ini 

dipercaya dan masih ada ikatan saudara 

dengannya, justru yang akan menggulingkan 

tahta Kerajaan Bumi Loka. 

"Di mana kau bertemu dengan Patih 

Ardareja?" tanya Prabu lndrajaya seraya 

menahan geram. 

"Di Lereng Gunung Tangkar, Gusti Prabu." 

"Panglima Jamparan!" 

"Hamba, Gusti Prabu." 

"Kerahkan para prajurit tangkap Patih 

Ardareja hidup atau mati!" perintah Prabu 

Indrajaya.


"Titah Gusti Prabu segera hamba 

laksanakan." 

Panglima Jamparan segera berangkat untuk 

mengumpulkan para prajurit Sementara Prabu 

Indrajaya terus melangkah menuruni tangga 

istana. Dan dia segera naik ke punggung kuda 

yang memang sudah disiapkan sejak tadi. 

Sepuluh orang punggawa, tiga panglima dan 

hampir seratus prajurit menyertai Raja Bumi 

Loka itu. 

Namun baru saja mereka ke luar dari pintu 

gerbang, mendadak dua buah bayangan berkelebat 

dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri 

Bayu dan Dewi Puspita. 

"Maaf kalau perjalanan Gusti Prabu 

terhambat," kata Bayu. 

"Kisanak, apa lagi yang hendak kau 

sampaikan padaku?" Prabu Indrajaya langsung 

mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu. 

"Ampun, Gusti. Kalau boleh aku sarankan, 

sebaiknya tidak usah mengerahkan begitu banyak 

prajurit. Hal itu justru akan membuat Nyai 

Lumping semakin murka. Kini Patih Ardareja dan 

Panglima Rupadi sedang bersembunyi di Lereng 

Gunung Tangkar, dan tempat itu merupakan 

wilayah Nyai Lumping," Bayu mengingatkan. 

"Gusti Prabu, ijinkanlah kami berdua yang 

akan membebaskan Gusti Permaisuri dan 

menangkap kedua pengkhianat itu," sambung Dewi 

Puspita. 

"Nini, siapakah kau ini?" tanya Prabu 

Indrajaya. 

"Hamba yang bernama Dewi Puspita, hamba 

putri tunggal Ki Pulut." 

"Hm..., jadi kaulah yang selama ini dicari 

Nyai Lumping?"


"Benar, Gusti, dan hamba akan menyerahkan 

diri pada perempuan tua itu. Hamba akan 

menghadapinya sampai tetes darah terakhir." 

Prabu Indrajaya mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Hatinya begitu terharu mendengar 

kata-kata yang telah diucapkan gadis itu. Dia 

sudah tahu kalau gadis itu sebenarnya tidak 

bersalah, dan hanya menjadi korban fitnah 

Patih Ardareja. Dan Prabu Indrajaya tahu betul 

siapa ayah gadis itu, seorang panglima yang 

sangat disegani, jujur, setia dan patuh pada 

perintah. 

"Panglima Jamparan," panggil Prabu 

Indrajaya. 

"Hamba, Gusti Prabu." 

"Perintahkan pada seluruh prajurit agar 

segera kembali, dan aku percayakan keamanan 

istana padamu. " 

"Titah Gusti Prabu hamba junjung tinggi." 

"Kisanak, mari kita segera berangkat," ajak 

Prabu Indrajaya 

Dua orang punggawa turun dari kudanya, dan 

menyerahkan kuda masing-masing pada Bayu dan 

Dewi Puspita. Kemudian mereka segera berangkat 

menuju Lereng Gunung Tangkar. Hanya ada dua 

orang panglima dan tiga punggawa saja yang 

mengawal. Sedang selebihnya kembali lagi ke 

Istana Bumi Loka. 

*** 

Saat itu di sebuah pondok kecil di Lereng 

Gunung Tangkar, Panglima Rupadi baru saja 

selesai melampiaskan nafsu yang ke sekian 

kalinya pada Permaisuri Puspa Sari. Sedangkan 

Permaisuri Puspa Sari terpaksa menyerahkan 

tubuhnya dalam keadaan tidak berdaya. Baru


saja Panglima Rupadi telah merapikan diri, 

ketika pintu pondok tiba-tiba terbuka dengan 

keras. 

"Kakang Ardareja...!" desis Panglima 

Rupadi sedikit terkejut. 

"Kita harus segera pergi dari sini. Adik 

Rupadi," kata Patih Ardareja tersengal. 

"Kenapa?" tanya Panglima Rupadi 

mengerutkan keningnya. 

"Sebentar lagi para prajurit Kerajaan Bumi 

Loka pasti segera datang ke sini." 

"Tunggu dulu, Kakang. Apa sebenarnya yang 

telah terjadi?" 

"Aku telah bentrok dengan beberapa 

prajurit yang ingin menangkapku. Rupanya 

mereka sudah mengetahui semua perbuatan kita." 

Sejenak Patih Ardareja menoleh pada 

Permaisuri Puspa Sari yang masih dalam keadaan 

tanpa busana. Tentu saja ia sangat terperanjat 

begitu melihat keadaan wanita itu. 

"Adik Rupadi! Apa yang telah kau lakukan?" 

"Tidak apa-apa, Kakang. Hanya..." "Gila, kau!" 

dengus Patih Ardareja gusar. Buru-buru Patih 

Ardareja memungut kain yang teronggok di 

lantai, kemudian menutupi tubuh Permaisuri 

Puspa Sari yang tergolek pingsan. Lalu dia 

berbalik dan menatap tajam pada Panglima 

Rupadi. 

"Kenapa kau lakukan itu, Adik Rupadi?" 

"Hanya sebagai pelampiasan dendam saja, 

Kakang. Aku dulu memang kalah bersaing dengan 

Indrajaya. Dan aku terpaksa menelan kekecewaan 

saat dia mempersunting Puspa Sari." 

Patih Ardareja tidak bisa berkata apa-apa 

lagi. Semuanya sudah terjadi, dan dia memang 

tahu betul kalau adiknya itu mencintai Puspa 

Sari. Patih Ardareja kemudian menghampiri 

adiknya, dan membawanya ke luar pondok.


"Adik Rupadi, lupakanlah Puspa Sari. 

Sekarang ini kita jadi buronan prajurit-

prajurit Bumi Loka. Kita harus segera 

menyingkir dari tempat ini sebelum mereka 

datang," kata Patih Ardareja. 

"Kenapa harus menyingkir, Kakang. Toh kita 

bisa meminta bantuan pada Nyai Lumping Aku 

yakin, seribu prajurit pun Hdak akan mampu 

menghadapi Nyai Lumping." 

"Sudahlah, Jangan hiraukan lagi tahta 

Kerajaan Bumi Loka. Yang penting sekarang, 

bagaimana ki bisa menyelamatkan diri!" 

Panglima Rupadi tidak menjawab. Dia hanya 

mengangkat bahunya dan mengikuti langkah 

kakaknya. Sementara lima puluh orang prajurit 

yang setia pada mereka juga mengikuti. Tapi 

baru saja mereka berjalan beberapa langkah, 

mendadak terdengar suara tawa yang mengikik 

nyaring. 

"Hik hik hik...!" "Nyai Lumping...," desis 

Patih Ardareja setengah tersentak. 

Tampak seorang perempuan tua bungkuk dan 

berbaju kusam, muncul dari balik semak dan 

pepohonan. Perempuan tua yang ternyata adalah 

Nyai Lumping itu, segera melangkah ringan dan 

menghampiri mereka. 

"Kalian mau ke mana?" tanya Nyai Lumping. 

"Maaf, Nyai. Kami harus meninggalkan Bumi 

Loka," sahut Patih Ardareja 

"Untuk apa? Mau jadi buronan seumur 

hidup?" 

"Tidak ada jalan lain, Nyai." 

"Hik hik hik... Kalian tidak percaya 

padaku, heh? Seluruh manusia di Bumi Loka bisa 

kuhancurkan dalam sekejap mata saja. Biarkan 

saja mereka datang ke sini, dan kalian akan 

melihat, bagaimana mereka hancur binasa."


Sejenak Patih Ardareja menoleh pada 

adiknya. Kemudian hampir bersamaan mereka 

mengangguk. 

"Hik hik hik...! Memang sebaiknya begitu. 

Kalian bisa jadi pengikutku yang setia, dan 

kau Ardareja, sebentar lagi akan menduduki 

tahta Kerajaan Bumi Loka." 

"Aku percaya padamu, Nyai," sahut Patih 

Ardareja pasrah. 

"Hik hik hik...!" 

Patih Ardareja memang tidak punya pilihan 

lain lagi. Kalau tidak melarikan diri dari 

Bumi Loka, tentu menuruti saja keinginan 

perempuan tua ahli sihir itu. 

"Rupadi, kau suka pada wanita yang berada 

dalam gubuk itu?" 

"Iya, Nyai. Sudah lama aku menginginkan 

dia jadi istriku," sahut Panglima Rupadi. 

"Pergilah ke sana, puaskan dirimu." 

"Tentu, Nyai," sahut Panglima Rupadi 

gembira. 

"Hik hik hik..!" 

*** 

"Oh, Tuhan..., kenapa kau berikan cobaan 

yang begini berat padaku," rintih Permaisuri 

Puspa Sari di dalam pondok. 

Pelan-pelan dia berusaha bangkit, namun 

seluruh tubuhnya terasa nyeri. Dan dia hanya 

mampu duduk saja di atas pembaringan. Matanya 

yang terus beredar langsung tertumbuk pada 

sebilah pisau yang tergeletak di atas meja. 

Tidak ada orang lain yang berada di dalam 

pondok itu. Hanya sekali-sekali terdengar 

suara-suara tawa dari luar.


Maka sambil menahan rasa sakit dan nyeri, 

Puspa Sari kemudian merayap turun dari dipan. 

Tangannya menggapai-gapai dan berusaha meraih 

pisau itu. Dan dengan tangan bergetar, dia 

berhasil menggenggam pisau itu erat-erat. Air 

matanya semakin deras mengalir. 

"Kanda Indrajaya, maafkan aku. Selamat 

tinggal, Kanda...," rintih Puspa Sari lirih. 

Dan dengan sisa-sisa tenaganya, dia 

mengayunkan pisau itu ke arah dadanya sendiri. 

"Hugh!" 

Puspa Sari tampak meringis menahan sakit 

yang amat sangat pada dadanya. Bersamaan 

dengan itu, darah mengucur deras dari lukanya 

itu. Kini tubuhnya benar-benar tidak berdaya, 

dan ambruk ke lantai. Darah segera menggenang 

di sekitar tubuhnya yang hanya terbungkus oleh 

kain tipis. 

Hening, tak ada seorang pun yang tahu 

dengan peristiwa itu. Puspa Sari tewas dengan 

membawa ke pedihan dan kehancuran di dalam 

dirinya. Sementara di luar pondok, samar-samar 

masih terdengar suara tawa mereka yang seperti 

menertawakan keadaan wanita itu. 

*** 

Sementara itu Patih Ardareja tampak 

semakin bertambah gelisah, karena para 

prajurit Kerajaan Bumi Loka yang mereka 

tunggu-tunggu tidak juga muncul. Sedangkan 

adiknya, Panglima Rupadi hanya bersenang-

senang saja dengan para prajuritnya. Mereka 

sepertinya tidak peduli dengan situasi yang 

tengah mereka hadapi saat ini. 

"Huh! Kenapa tidak seorang pun yang 

kelihatan datang...?" keluh Patih Ardareja 

seperti bicara pada dirinya sendiri.



"Barangkali mereka takut datang, Kakang!" 

seru Panglima Rupadi. 

"Benar, Gusti. Mereka pasti takut karena 

ada Nyai Lumping yang melindungi kita," 

celetuk salah seorang prajurit. 

"Huh!" Patih Ardareja hanya mendengus 

saja. Dia kemudian bangkit dan melangkah 

menuruni lereng. 

"Mau ke mana kau, Ardareja?" tegur Nyai 

Lumping. 

"Aku bosan menunggu di sini terus!" sahut 

Patih Ardareja. 

"Prajurit-prajurit itu memang tidak akan 

muncul di sini, Ardareja," kata Nyai Lumping 

lagi. 

Sejenak Patih Ardareja menghentikan 

langkahnya, lalu berbalik dan memandang pada 

perempuan tua itu. 

"Hanya ada tujuh orang yang kini sedang 

mendaki Lereng Gunung Tangkar ini," kata Nyai 

Lumping tenang. 

"Tujuh orang...!?" tanya Patih Ardareja, 

seolah-olah tidak percaya dengan 

pendengarannya sendiri. 

"Aku merasakan ada tujuh ekor kuda yang 

sedang menuju tempat ini. Hm...," ujar Nyai 

Lumping sambil memiringkan kepalanya sedikit. 

"Ada apa, Nyai?" tanya Patih Ardareja 

seraya mendekati. 

"Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya..." 

kata-kata Nyai Lumping terputus. 

Patih Ardareja segera memandangi wajah 

wanita tua itu yang jadi berubah warnanya. 

Juga tangannya yang memegang tongkat mulai 

bergetar. Sedangkan dari bibirnya yang keriput 

dan terkatup rapat ke luar suara yang mendesis 

bagai ulat. Sejenak Patih Ardareja melangkah 

mundur dua tindak. Sementara Panglima Rupadi


dan para prajuritnya yang tengah bersenang-

senang mendadak diam. Mereka semua ikut 

memandang ke arah Nyai Lumping yang kini sudah 

duduk bersila di bawah pohon. 

Kelopak mata perempuan tua itu terpejam, 

sedangkan tongkatnya tetap bergetar di dalam 

genggaman tangannya. Kemudian pelahan-lahan 

matanya yang berkeriput itu terbuka, dan 

getaran pada tongkat nya berhenti. Namun 

napasnya terdengar tersengal-sengal, seolah-

olah baru saja menempuh perjalanan jauh. 

"Huh! Siapa dia...?" lenguh Nyai Lumping 

seperti bicara untuk dirinya sendiri. 

"Nyai...," Patih Ardareja mendekati dan 

duduk bersila di depan perempuan tua itu. 

"Ardareja, sebaiknya kau segera menghadang 

mereka. Tapi usahakan agar tidak sampai 

bentrok dengan orang yang memakai baju dari 

kulit harimau. Kalian tidak akan mampu 

menghadapinya," kata Nyai Lumping agak parau 

suaranya. 

"Siapa orang itu. Nyai?" tanya Patih 

Ardareja. 

"Entahlah, mata batinku seperti buta. 

Mungkin yang sering bersama Dewi Puspita." 

"Maksudmu..., Pendekar Pulau Neraka?" 

tanya Patih Ardareja ingin meyakinkan. 

"Mungkin, aku sendiri belum begitu yakin. 

Semakin dekat, malah semakin sulit untuk 

diketahui. Tapi yang jelas di antara mereka 

ada Prabu Indrajaya. Dan orang itu... Uh! Dia 

selalu berada di samping Dewe Puspita." 

"Dia pasti Pendekar Pulau Neraka, Nyai," 

Patih Ardareja menegaskan. 

"Siapa pun orangnya, kalian jangan sampai 

bentrok dengannya. Biar aku sendiri nanti yang 

akan menghadapinya. Tampaknya dia memiliki


kekuatan yang sukar untuk kutembus dengan mata 

batin." 

Kemudian Patih Ardareja bangkit dan 

berjalan mendekati adiknya. 

"Adik Rupadi, bawa semua prajuritmu. Dan 

hadang mereka di Kaki Lereng Gunung Tangkar," 

perintah Patih Ardareja. 

"Baik, Kakang," sahut Panglima Rupadi. 

"Ayo, kita segera berangkat dan menggempur 

mereka!" 

Dan tanpa diperintah dua kali, para 

prajurit itu langsung bergerak mengikuti 

Panglima Rupadi. Sementara itu Nyai Lumping 

masih tetap duduk bersila dengan bibir 

bergerak komat-kamit. Sedangkan Patih Ardareja 

hanya bisa memperhatikan tanpa mengerti 

maksudnya. 

"Tampaknya kau sedang menghadapi 

kesulitan, Nyai," kata Patih Ardareja 

memberanikan diri. 

"Kenapa kau tidak ikut pergi?" Nyai 

Lumping malah bertanya. 

"Aku rasa, Adik Rupadi dan lima puluh 

prajurit sudah cukup, Nyai." 

"Seratus orang prajurit dan sepuluh orang 

sepertimu juga tidak akan mampu menandinginya! 

Cepat pergi!" 

"Lantas, Nyai bagaimana?" 

"Sudah kubilang, kau hadapi yang lainnya! 

Tapi hindari bentrok dengan orang yang berbaju 

harimau. Dia akan kuhadapi sendiri nanti!" 

"Baik, Nyai." 

"Sudah, cepat sana!" 

*** 

Saat itu tidak jauh dari Kaki Lereng 

Gunung Tangkar, tampak Prabu Indrajaya, Bayu,


Dewi Puspita da dua orang panglima, serta tiga 

orang punggawa terus memacu kudanya mendekati 

lereng gunung itu. Kini jalan yang mereka 

lalui sudah mulai dirapati oleh rimbunnya 

pepohonan, sehingga perjalanan agak terganggu. 

Dan mereka baru bisa leluasa bergerak 

setelah mencapai padang rumput yang tidak 

begitu luas, tepat ketika mereka berada di 

Kaki Lereng Gunung Tangkar. Tampak Bayu 

meminta yang lainnya untuk segera berhenti, 

dan dia sendiri bergegas turun dari kuda. 

Sejenak kepalanya dimiringkan sedikit ke kiri, 

menoleh pada Prabu lndrajaya. 

"Ada banyak orang yang tengah menuruni 

lereng, Gusti Prabu," kata Bayu. 

"Hm..., nampaknya mereka akan menghadang 

kita," gumam Prabu Indrajaya sambil 

mengangguk-angguk. 

"Sebaiknya kita tunggu saja mereka di 

sini, Gusti," kata Dewi Puspita memberi 

usul."Tempat ini cukup luas untuk 

pertarungan." 

"Baiklah, kita tunggu mereka di sini," 

sahut Prabu Indrajaya kemudian. 

Dan Raja Bumi Loka itu pun segera melompat 

turun dari punggung kudanya. Gerakannya tampak 

ringan dan lincah, pertanda dia memiliki ilmu 

meringankan tubuh yang cukup tinggi. Namun 

bagi telinga Bayu, masih terdengar gemerisik 

halus saat kaki Prabu Indrajaya menyentuh 

rerumputan. 

Sementara Dewi Puspita juga segera turun 

dari punggung kudanya, diikuti oleh dua orang 

panglima dan tiga punggawa yang menyertai 

mereka. Prabu Indrajaya mendekati Pendekar 

Pulau Neraka yang berdiri tegak sambil 

memandang ke Puncak Gunung Tangkar. Tangannya 

yang berotot kekar, melipat di depan dada.


"Berapa orang jumlah mereka?" tanya Prabu 

Indrajaya seperti menguji. 

"Sekitar lima puluh orang," sahut Bayu. 

"Hm...," Prabu Indrajaya bergumam tidak 

jelas. 

"Kau telah melihat sesuatu, Kakang?" tanya 

Dewi Puspita yang juga sudah berada di 

sampingnya. 

"Tidak, tapi aku sudah merasakan ada 

getaran yang aneh...," sahut Bayu ragu-ragu. 

"Hm, kau bisa merasakan kehadiran 

perempuan penyihir itu, Kisanak?" gumam Prabu 

Indrajaya seperti bertanya. 

Bayu tidak menjawab. Dia merasakan, bahwa 

getaran itu kini semakin kuat, seolah-olah 

ingin mengacaukan dan membelah-belah jiwanya. 

Dan Bayu segera menyalurkan hawa murni ke 

seluruh tubuh untuk menggempur getaran yang 

semakin lama semakin terasa kuat. 

"Hhh! Apakah ini yang dinamakan kekuatan 

sihir?" gumam Bayu dalam hati. 

Getaran aneh itu terus bertambah kuat 

saja. Dan tubuh Bayu tampak mulai bergetar 

seperti menggigil kedinginan. Wajahnya memerah 

bagai kepiting rebus. Sedangkan keringat yang 

sebesar-besar biji jagung merembes ke luar 

dari dahinya. Bayu terus bertahan dengan 

menyalurkan hawa murni pada seluruh tubuhnya. 

"Kakang... kenapa kau?" tanya Dewi Puspita 

cemas. 

"Menyingkirlah, Dewi," kata Bayu agak 

tersengal-sengal napasnya. 

Dewi Puspita memberanikan diri untuk 

menyentuh tubuh Pendekar Pulau Neraka itu, 

namun dia langsung terpekik kaget! Ternyata 

tubuh Bayu bagaikan batu api yang sangat panas 

dan menggigit. Dan Dewi Puspita segera


melompat mundur sambil memegangi tangannya 

yang seperti melepuh terbakar. 

"Kau tidak apa-apa. Dewi?" tanya Prabu 

Indrajaya. 

"Oh, tidak.... Tidak apa-apa," sahut Dewi 

Puspita masih belum hilang dari rasa 

terkejutnya. 

Sementara seluruh tubuh Bayu tampak 

semakin hebat saja bergetar. Antara sadar dan 

tidak, Pendekar Pulau Neraka itu bagai melihat 

gurunya, Eyang Gardika datang di depannya. 

"Kau sedang menghadapi kekuatan ilmu 

sihir, Anakku. Dan kau akan sia-sia saja jika 

melawannya dengan kekuatan ilmu olah 

kanuragan. Hadapilah dia dengan kekuatan 

batinmu, dan gunakan Cakra Maut sebagai 

pelindung dirimu." 

Sebentar kemudian Bayu tersentak kaget. 

Kata-kata itu jelas sekali terdengar di 

telinganya. Kini Pendekar Pulau Neraka itu 

mulai sadar, kalau dulu dia meninggalkan Pulau 

Neraka saat gurunya itu tengah bersemadi untuk 

menghadapi kesempurnaan diri dalam 

meninggalkan dunia lana ini. Dan seperti 

lazimnya orang-orang yang berilmu tinggi, dia 

sebenarnya tidak mati, tapi hanya muksa. 

Berangsur-angsur Bayu menarik kembali hawa 

murninya. Dan pada saat itu getaran yang 

dirasakannya begitu kuat seperti berubah 

menjadi satu tenaga dorongan yang sangat kuat 

dan menghentak. Seketika tubuh Bayu terpental 

keras ke belakang, dan langsung menghantam 

pohon hingga tumbang. Namun Pendekar Pulau 

Neraka itu segera bisa menguasai diri dan 

duduk bersila. 

Sejenak dia mencopot senjata Cakra Maut-

nya, dan menggenggamnya dengan erat pada salah 

satu ujungnya. Masih dalam sikap bersemedi,



dan cakra terangkat ke depan. Bayu 

mengosongkan seluruh kekuatan dirinya pada 

jiwa. 

Kemudian pelahan-lahan tubuhnya mulai 

tampak tenang, dan getaran aneh itu terasa 

semakin berkurang. Namun pada saat seluruh 

getaran itu hilang, mendadak dari arah Lereng 

Gunung Tangkar, meluncur sinar merah yang 

langsung meluruk deras ke arah Pendekar Pulau 

Neraka itu. Namun keajaiban segera terjadi, 

cakra di tangan Bayu juga langsung memancarkan 

cahaya keperakan yang menyilaukan mata. Dan 

cahaya bergumpal yang membentuk bulatan 

sebesar kepala manusia itu, terus meluruk 

deras menyongsong sinar merah itu. 

Glarrr! 

Seketika satu ledakan keras dan dahsyat 

terdengar menggelegar! Bayu segera bangkit 

berdiri, dan melangkah tegap ke depan. 

Kemudian dia berdiri tegak dengan tangan kanan 

yang menjulur ke depan sambil memegang Cakra 

Maut-nya. Tepat pada saat itu, mendadak sebuah 

bola api kembali meluncur ke arahnya. Dan 

seperti tadi, sebuah cahaya perak berbentuk 

bola kembali melesat ke luar dari Cakra Maut 

di tangan Pendekar Pulau Neraka. 

Slap! 

Glarrr...! 

Beberapa kali terjadi luncuran-luncuran 

cahaya yang saling berbenturan di udara dan 

menimbulkan suara ledakan menggelegar 

memekakkan telinga. Tampak mereka yang 

menyaksikan semua itu, jadi terpana kagum. 

Pertarungan aneh itu memang benar-benar 

mempesona, namun amat berbahaya dan dahsyat. 

Dan pada saat Bayu tengah sibuk menghadang 

gempuran-gempuran kekuatan sihir dari Nyai 

Lumping, dari balik hutan di Kaki Lereng



Gunung Tangkar, mendadak bermunculan tidak 

kurang dari lima puluh orang yang berpakaian 

seragam prajurit Kerajaan Bumi Loka. Mereka 

terus berteriak-teriak dengan gegap-gempita 

bagai hendak menyerang musuh. Tampak Panglima 

Rupadi berlari paling depan dengan pedang yang 

sudah tergenggam di tangannya. 

Melihat keadaan itu, Prabu Indrajaya 

segera memerintahkan pada kedua panglima dan 

tiga orang punggawanya untuk bersiap-siap 

menghadapi mereka. Sementara itu Dewi Puspita 

masih tercenung dan mengkhawatirkan 

keselamatan Bayu Hanggara yang masih terus 

bertempur melawan kekuatan sihir Nyai Lumping. 

*** 

Sebentar saja para prajurit yang membelot 

dan ikut dengan Panglima Rupadi, sudah 

menyerbu pada Prabu Indrajaya yang hanya 

dikawal oleh dua orang panglima dan tiga orang 

punggawa. Pertempuran yang tidak seimbang 

segera berlangsung tanpa dapat dicegah lagi. 

Sementara Dewi Puspita pun tidak bisa menahan 

diri lagi. Dengan kemarahan yang meluap-luap 

karena merasa difitnah, gadis itu langsung 

mengamuk seperti seekor singa betina yang 

kehilangan anaknya. 

Pedangnya terus berkelebatan cepat bagai 

kilat, diiringi dengan gerakan tubuh yang 

lincah dan ringan. Sedangkan para prajurit 

pengkhianat itu yang memang bukan tandingan 

Dewi Puspita, segera berantakan kesana kemari. 

Sementara itu Prabu Indrajaya yang juga 

memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi, 

mengamuk seperti banteng ketaton! Pedangnya 

terus berkelebat cepat, dan selalu meminta 

nyawa. Sedangkan tidak jauh dari tempat


pertempuran itu, Bayu masih tetap sibuk 

menghadapi gempuran kekuatan sihir Nyai 

Lumping jarak jauh. 

"Hhh..., untunglah mereka masih mampu 

untuk menandingi para pengkhianat itu," desah 

Bayu yang matanya sempat melirik ke arah 

pertarungan yang tidak seimbang itu. 

Memang, kekuatan yang sedikit dari pihak 

Prabu Indrajaya, tidak bisa dianggap remeh. 

Dua orang panglima dan tiga orang punggawanya 

adalah orang-orang yang memiliki ilmu olah 

kanuragan yang cukup tinggi. Dan tingkat 

kepandaian mereka rata-rata berada jauh di 

atas para prajurit pengkhianat tersebut. 

Sehingga kelihatannya tidak mengalami 

kesulitan dalam pertarungan itu. 

Sebentar saja jerit dan pekik kematian 

terus membahana saling susul. Bersamaan dengan 

tubuh-tubuh yang bergelimpangan dengan 

bersimbah darah. Kini Kaki Lereng Gunung 

Tangkar kembali tersiram darah! Namun 

pertempuran seakan tidak mau berhenti. 

Saat itu, Dewi Puspita tampak berusaha 

untuk mendekati Panglima Rupadi yang tengah 

bertarung melawan salah seorang punggawa. 

"Panglima Rupadi, akulah lawanmu...!" 

teriak Dewi Puspita lantang. Dan bersamaan 

dengan itu juga tubuhnya segera melenting ke 

arah Panglima Rupadi. Tapi terlambat...! 

Pedang di tangan panglima itu sudah berkelebat 

cepat dan menembus dada punggawa lawannya. 

"Aaa...!" punggawa itu menjerit 

melengking. 

Dada punggawa itu sobek dan menganga 

lebar! Melihat itu, seketika Dewi Puspita 

menggeram hebat, dan langsung melancarkan 

serangan dengan jurus-jurus mautnya. Sedangkan


Panglima Rupadi agak sedikit kewalahan, namun 

dengan cepat dia segera bisa menguasai diri. 

Sebenarnya tingkat kepandaian Dewi Puspita 

seimbang dengan Panglima Rupadi. Tapi kali ini 

dia agak kewalahan, karena harus membagi 

perhatiannya pada para prajurit yang membantu 

panglima itu untuk menyerangnya. 

"Ha ha ha...! Ayo, Manis. Keluarkan semua 

kepandaianmu!" ujar Panglima Rupadi yang 

mencoba membangkitkan amarah gadis itu. 

Dewi Puspita hanya mendengus dan semakin 

memperhebat serangannya. Sejenak dia berkelit 

kesamping saat salah satu pedang prajurit 

hampir membelah iganya, lalu dengan cepat 

tangannya memutar pedangnya dan membabat robek 

dada prajurit itu. Namun pada saat itu, tiba-

tiba Panglima Rupadi dengan licik 

membokongnya. 

"Hup!" 

Panglima Rupadi menendang pedang yang 

berada dekat ujung kakinya, sehingga meluncur 

deras ke arah Dewi Puspita. Mau tidak mau, 

gadis itu segera melompat ke samping sambil 

memutar pedangnya untuk menangkis serangan 

yang tiba-tiba itu. Namun pada yang bersamaan, 

Panglima Rupadi sudah melompat seraya 

mengibaskan pedangnya kearah kepala Dewi 

Puspita. 

"Hih!" 

Sejenak Dewi Puspita terperanjat! Buru-

buru dia menjatuhkan diri, sambil berusaha 

menghalau pedang yang meluncur deras ke 

arahnya. Namun gerakannya terlambat hanya 

sekejap mata saja. Ujung pedang Panglima" 

Rupadi itu berhasil menggores pundak kiri 

gadis itu. 

"Akh!" Dewi Puspita memekik tertahan.


Bergegas gadis itu melompat berdiri. 

Bibirnya mendesis menahan geram. Sedangkan 

darah terus mengucur deras dari bahu kirinya 

yang sobek cukup lebar. Pada saat itu, tiba-

tiba seorang prajurit membokongnya dari 

belakang. 

"Hait!" 

Tring! 

Dewi Puspita langsung memutar tubuhnya, 

menangkis senjata prajurit itu. Lalu dengan 

kecepatan kilat, dia segera membelokkan 

pedangnya, dan langsung merobek dada prajurit 

pembokong itu. "Akh!" 

Kembali Dewi Puspita memutar tubuhnya 

begitu mendengar suara desiran halus dari 

belakang. Dan tiba-tiba matanya membebak 

lebar, begitu melihat ujung pedang Panglima 

Rupadi sudah meluruk deras ke arahnya. Buru-

buru gadis itu mengangkat pedangnya, dan 

menangkis serangan gelap panglima pembangkang 

itu. Namun satu dupakan kaki yang keras tidak 

dapat dihindarkan. 

Duk! 

"Hugh...!" Dewi Puspita mengeluh pendek, 

tubuhnya meluncur deras ke belakang. 

"Mampus kau, Gadis Setan...!" teriak 

Panglima Rupadi geram. 

Dewi Puspita yang masih dalam keadaan 

terjajar, tidak mungkin lagi bisa mengelak. 

Sebisanya dia mencoba mempertahankan diri, 

namun ujung pedang Panglima Rupadi berhasil 

juga menggores lengan gadis itu, bahkan satu 

pukulan tangan kiri bertenaga dalam dahsyat 

mendarat di bahu kanannya. 

Gadis itu memekik tertahan, bahu kanannya 

terasa remuk, dan matanya berkunang-kunang. 

Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dewi 

Puspita tak sanggup lagi mengangkat pedangnya,


tapi pada saat yang kritis itu, tiba-tiba 

berkelebat sebuah bayangan dan dengan cepat 

menyambar tubuh Dewi Puspita! Hal itu tentu 

saja membuat Panglima Rupadi yang hendak 

menyerang kembali dengan pedangnya menjadi 

terperangah. Matanya dengan nyalang mencari. 

Namun Dewi Puspita sudah lenyap bagai ditelan 

bumi. 

*** 

Pertempuran di Lereng Gunung Tangkar terus 

berlangsung sengit! Kekuatan rombongan Prabu 

Indrajaya yang cuma beberapa orang itu semakin 

berkurang. Kini sudah dua orang punggawa yang 

tewas, sedangkan Dewi Puspita lenyap disambar 

suatu bayangan. Sementara di pihak Panglima 

Rupadi, masih banyak prajurit yang masih 

hidup. Dan mereka sudah bisa menguasai 

jalannya pertarungan. Tampak Prabu Indrajaya 

yang kini hanya dibantu oleh dua panglima dan 

satu punggawa, semakin kelihatan terdesak! 

"Ha ha ha...! Terus, gempur! Jangan 

biarkan mereka hidup!" Panglima Rupadi tertawa 

terbahak-bahak Dia tidak peduli lagi dengan 

hilangnya Dewi Puspita. 

Sementara itu, Bayu yang sedang menahan 

gempuran Nyai Lumping, mendengar bisikan 

halus. 

"Bayu, kau bereskan saja permasalahan di 

sini! Kau jangan cemas memikirkan keadaan Dewi 

Puspita. Dia cucuku sendiri, dan akan aman 

bersamaku!" bisik suara yang disampaikan dari 

jarak jauh itu. 

Belum sempat Bayu berterima kasih pada 

orang yang berbisik itu, tiba-tiba dia telah


menerima serangan mendadak yang melesat cepat 

ke arahnya. 

"Hiyaaa...!" 

Bayu langsung mengibaskan senjata cakranya 

yang dia genggam. Seketika tiga orang lawan 

langsung menggelepar tanpa mampu membalas. 

Pendekar Pulau Neraka itu terus bergerak cepat 

bagai kilat, berlompatan ke sana kemari dengan 

senjata cakra berkelebat mencabut nyawa. 

Hanya dalam waktu yang singkat, sepuluh 

orang sudah tewas di tangannya. Dan keadaan 

jadi berbalik, kini semangat Prabu Indrajaya 

dan dua orang panglimanya bangkit kembali. 

Saat itu seorang punggawa yang masih tersisa, 

sudah tewas di tangan Panglima Rupadi. Dan 

terjunnya Pendekar Pulau Neraka kedalam kancah 

pertarungan, tentu saja membuat Panglima 

Rupadi jadi cemas. 

Dan kecemasan Panglima Rupadi semakin 

menebal, ketika melihat para prajuritnya sudah 

bergeletakan kena amukan Pendekar Pulau 

Neraka. Jerit dan pekik kematian terus 

membahana saling susul bersamaan dengan 

robohnya tubuh-tubuh yang bergelimpangan darah 

saling tumpang tindih. Kini jumlah prajurit 

pembangkang itu semakin berkurang dan 

menyusut. Dan semangat mereka pun tampaknya 

mulai mengendur. Melihat kenyataan ini, 

Panglima Rupadi langsung melesat kabur, 

namun.... 

"Rupadi! Jangan lari kau!" bentak Prabu 

Indrajaya. 

Raja Bumi Loka itu langsung melesat 

mengejar. Tangannya yang menggenggam pedang, 

terus berkelebat cepat bagai kilat. Sedangkan 

Panglima Rupadi buru-buru merundukkan 

kepalanya dan memutar tubuhnya sambil 

mengibaskan senjatanya. Prabu Indrajaya


menarik kembali pedangnya, lalu dengan cepat 

membenturkannya ke pedang Panglima Rupadi. 

Tring! 

"Pengkhianat! Kau harus mampus...!" geram 

Prabu Indrajaya. 

"Kaulah yang harus mampus, Raja Bodoh!" 

balas Panglima Rupadi tak kalah sengit. 

"Setan! Hiyaaa...!" 

"Hup!" 

Prabu Indrajaya langsung menyerang dengan 

jurus-jurus mautnya. Sementara Panglima Rupadi 

yang menyadari bahwa tingkat kepandaiannya 

masih berada di bawah Prabu Indrajaya, 

mengambil sikap hati-hati. Namun hanya dalam 

beberapa jurus saja, nampaknya dia sudah mulai 

terdesak. 

Dan pada saat keadaan Panglima Rupadi 

semakin kritis itu, tiba-tiba melesatlah 

sesosok tubuh yang langsung menyerang Prabu 

Indrajaya. 

"Paman Ardareja...." desis Prabu Indrajaya 

terkejut. 

Kedatangan Patih Ardareja membuat semangat 

Panglima Rupadi bangkit kembali. Kakak beradik 

itu kemudian segera menyerang Prabu Indrajaya 

tanpa banyak bicara lagi. Sementara itu 

pertarungan di tempat lain sudah berakhir. Dua 

orang panglima yang masih hidup langsung 

berlompatan dan membantu Prabu Indrajaya. 

"Paman Patih Ardareja, di mana kau 

sembunyikan permaisuriku?" bentak Prabu 

Indrajaya. 

"Dia ada di tangan Nyai Lumping!" sahut 

Patih Ardareja. 

"Setan! Kau harus kubunuh, Patih 

Ardareja!" geram Prabu Indrajaya. 

Kemarahan Prabu Indrajaya semakin memuncak 

ketika mendengar jawaban itu. Dan seperti


orang yang kesetanan, dia langsung menggempur 

habis-habisan patih pembangkang itu. Sementara 

Panglima Rupadi harus melayani dua orang 

panglima lainnya. 

"Hik hik hik...!" 

Tiba-tiba seorang perempuan tua muncul 

sambil memperdengarkan suara tawanya yang 

mengikik dan mendirikan bulu kuduk. Namun 

kehadirannya tidak mempengaruhi jalannya 

pertempuran. Dan memang kehadiran Nyai Lumping 

langsung disambut oleh Pendekar Pulau Neraka. 

"Aku lawanmu, Perempuan Iblis!" kata Bayu 

geram. 

"Hik hik hik...! Kau memang tangguh, Anak 

Muda. Tapi, ilmumu belum cukup untuk 

menandingiku!" sahut Nyai Lumping pongah. 

"Mari kita buktikan, siapa di antara kita 

yang lebih dulu terbang ke neraka!" 

"Hik hik hik...!" 

Tanpa buang-buang waktu lagi, Bayu 

langsung mengibaskan tangan kanannya ke depan 

dengan tubuh agak membungkuk miring. Tampak 

senjata cakra yang berada di pergelangan 

tangannya langsung melesat bagai kilat, dan 

mengarah ke tubuh perempuan tua itu. 

"Hup!" 

Buru-buru Nyai Lumping mengangkat 

tongkatnya, dan menghalau cakra berwarna 

keperakan itu. Namun dia segera terperanjat, 

karena senjata itu bisa berkelit sendiri, dan 

langsung mencecarnya seperti memiliki mata 

saja. Sedangkan Bayu terus memain-mainkan 

jari-jari tangan kanannya untuk mengendalikan 

senjata andalannya itu. 

Perempuan tua ahli sihir itu nampak agak 

kerepotan menghadapi senjata itu. Cakra Maut 

berwarna keperakan itu terus melayang-layang 

dengan kecepatan bagai kilat, mengarah ke


bagian-bagian tubuh Nyai Lumping yang 

mematikan. 

"Hih! Bocah Setan!" rutuk Nyai Lumping 

sengit Nyai Lumping sempat melihat Bayu tengah 

mengendalikan cakra itu dari jarak yang cukup 

jauh. Dan tanpa membuang kesempatan lagi, 

perempuan tua itu langsung menghentakkan 

kepala tongkatnya ke arah Pendekar Pulau 

Neraka itu, sambil berkelit menghindari 

terjangan Cakra Maut 

"Hup, hiyaaa...!" 

Buru-buru Bayu melentingkan tubuhnya ke 

udara saat melihat secercah sinar merah 

meluruk deras kearahnya. Dan sinar itu 

langsung menghantam tanah hingga menimbulkan 

suara yang menggelegar dan menggetarkan. Tepat 

pada saat tubuh Bayu berada di udara, Cakra 

Maut itu berbalik ke arahnya. Dan dengan cepat 

Bayu segera menangkapnya, dan langsung 

melemparkannya kembali ke arah Nyai Lumping. 

"Heh!" 

Nyai Lumping terkejut setengah mati. Buru-

buru dia merundukkan kepalanya untuk 

menghindar. Dan Cakra Maut itu hanya lewat 

sejengkal di atas kepalanya. Sedangkan Bayu 

kini sudah meluruk deras kearahnya. Kemudian 

bagaikan kilat, kaki kanannya langsung 

mendupak tubuh perempuan tua itu. 

"Ikh! Setaaan...!" 

Kembali Nyai Lumping tersentak kaget! 

Buru-buru dia melompat mundur. Tapi baru saja 

rubuhnya bisa berdiri, Cakra Maut itu sudah 

meluruk cepat dan menyerangnya. Mau tidak mau 

Nyai Lumping harus melompat ke udara 

menghindari terjangan senjata yang bagai 

bernyawa itu. 

Dan pada saat itulah, Bayu juga melesat 

sambil mengirimkan 'Pukulan Racun Hitam'.


Seketika Nyai Lumping memekik tertahan, dia 

tidak bisa lagi untuk mengelak. Bahunya sudah 

terkena 'Pukulan Racun Hitam' dengan telak. 

Tubuh perempuan tua itu meluruk deras, jatuh 

ke tanah dan bergulingan. 

"Hup!" 

Bayu mendarat dengan manis di tanah. 

Sejenak tangannya terangkat dan Cakra Mautnya 

kembali menempel pada pergelangan tangan 

kanannya. Sementara Nyai Lumping sudah kembali 

bangkit, namun tubuhnya masih terhuyung-

huyung. Tampak dari sudut bibirnya mengucur 

darah kental berwarna kehitaman. "Hoak...!" 

Nyai Lumping memuntahkan darah kental 

kehitaman. Matanya yang keriput membeliak 

lebar. Dia menyadari kalau dirinya sudah 

terkena pukulan beracun. Buru-buru dia 

mengambil sikap untuk menyalurkan hawa murni. 

Tentu saja kesempatan itu tidak dibiarkan 

lewat oleh Bayu. Dengan cepat Pendekar Pulau 

Neraka itu menghentakkan tangan kanannya ke 

depan, seketika Cakra Maut di pergelangan 

tangan kanannya melesat bagaikan anak panah 

yang lepas dari busurnya. 

"Bocah setan! Monyet buntung...!" Nyai 

Lumping langsung memaki-maki tak karuan sambil 

berkelit menghindari terjangan senjata pipih 

yang bergerigi enam itu. 

Sementara pertarungan di tempat lain terus 

berlangsung sengit. Belum ada satu pihak pun 

yang kelihatan bakal unggul. Rupanya kekuatan 

mereka cukup berimbang juga. Dan Bayu sudah 

kembali bertarung jarak dekat dengan Nyai 

Lumping. Namun sedikit pun dia tidak memberi 

kesempatan lagi pada perempuan tua itu untuk 

merapalkan ilmu sihirnya. Dia sudah merasakan 

kehebatan ilmu sihir perempuan tua itu. Dan


menyadari tidak akan mampu untuk menandingi 

kekuatan ilmu sihirnya. 

"Hiya...!" 

"Hiyaaa...!" 

*** 

Dalam ilmu sihir, Nyai Lumping memang 

sangat ditakuti! Namun dalam ilmu olah 

kanuragan, dia masih bisa ditandingi, meskipun 

tingkatannya juga tinggi. Dan kini Nyai 

Lumping benar-benar merasa kewalahan 

menghadapi gempuran Bayu yang sama sekali 

tidak memberi kesempatan lagi padanya untuk 

menggunakan kekuatan sihirnya. 

Nyai Lumping semakin geram saja, karena 

racun yang mengendap dalam tubuhnya mulai 

terasa bekerja. Kini napasnya mulai sesak, dan 

persendiannya juga terasa nyeri. Tapi 

bagaimanapun juga dia harus tetap menghadapi 

Bayu yang menyerang dengan kesetanan. 

"Huh! Dia benar-benar sudah tahu 

kelemahanku!" dengus Nyai Lumping dalam hati. 

Namun diam-diam Nyai Lumping segera 

merapalkan salah satu ilmu sihirnya. Tampak 

sepasang bola matanya jadi berwarna merah 

bagai darah menggumpal. Kemudian ia melesat 

mundur, dan pada saat Bayu hendak merangsek, 

tiba-tiba dari kedua mata perempuan tua itu 

meluncur sinar merah. 

"Heh!" Bayu tersentak kaget. 

Buru-buru dia melompat ke samping, dan 

sinar merah itu langsung menghantam tanah, 

hingga segera menimbulkan suara ledakan yang 

dahsyat. Debu tampak mengepul dari hantaman 

sinar merah itu. Kali ini Bayu benar-benar 

dibuat jungkir-balik menghindari sinar-sinar 

merah yang terus-menerus meluruk ke arahnya.


"Bayu, jangan pandang matanya. Ikuti saja 

gerakan kakinya. Jangan kau hiraukan sinar-

sinar merah itu, tidak akan berbahaya bagimu!" 

tiba-tiba terdengar bisikan halus di telinga 

Bayu. 

Sejenak Bayu tersentak, dia sudah kenal 

betul dengan suara itu. Suara Eyang Gardika, 

gurunya. Maka tanpa membuang waktu lagi, Bayu 

kemudian mengalihkan perhatiannya pada gerakan 

kaki Nyai Lumping. Dan dia membiarkan saja 

sinar-sinar merah itu menghajar tubuhnya. 

Aneh! Sinar merah itu bisa tersedot ke dalam 

senjata cakra di pergelangan tangannya! 

Bayu tampak tersenyum. Dalam hati dia 

mengucapkan terima kasih pada gurunya yang 

telah membantunya itu. Kini Pendekar Pulau 

Neraka itu terus bergerak mengikuti setiap 

gerakan kaki Nyai Lumping. Lalu sedikit demi 

sedikit dia berusaha mendekatkan jaraknya. Dan 

begitu jaraknya tinggal satu batang tombak 

lagi, Bayu segera melenting dan mengebutkan 

tangan kanannya dengan cepat 

Wut! 

"Akh!" Nyai Lumping langsung memekik 

terperangah. 

Buru-buru dia melompat mundur seraya 

berkelit ke samping, tapi terjangan yang 

datang secara beruntun itu membuatnya 

kelabakan. Lebih-lebih dalam keadaan mata yang 

sedang mengandung kekuatan ilmu sihir. 

Penglihatan Nyai Lumping pun terhalang! "Hih!" 

Seketika Bayu mencobloskan dua jarinya ke 

mata Nyai Lumping yang memerah membara. 

"Aaakh...!" Nyai Lumping segera menjerit 

melengking tinggi. 

Dan belum lagi perempuan tua itu sempat 

menyadari apa yang terjadi, mendadak saja 

telinganya seperti terpanggang. Dan memang,


Bayu menusuk telinga perempuan itu dengan 

menggunakan sebatang ranting yang dipungutnya 

dari tanah. 

Bayu kemudian melompat mundur sejauh tiga 

batang tombak, dan dengan kecepatan penuh, dia 

langsung melontarkan senjatanya. Seketika 

Cakra Maut yang berwarna keperakan itu melesat 

cepat dengan suara mendesing. Tentu saja Nyai 

Lumping gelagapan, karena mata dan telinganya 

tidak lagi berfungsi. Maka tanpa ampun lagi, 

cakra itu langsung memenggal kepalanya. 

"Hup!" 

Bayu segera menangkap cakra yang tengah 

kembali kepadanya. Dan dia langsung melenting 

cepat sambil mengarahkan kakinya ke tubuh 

wanita tua itu. Secara beruntun kedua kaki 

Pendekar Pulau Neraka itu menghajar tubuh tua 

yang bungkuk itu. 

Tubuh Nyai Lumping terjengkang dan ambruk 

ke tanah dengan keras! Kepalanya menggelinding 

terpisah agak jauh. Sejenak Bayu masih berdiri 

tegak dengan napas memburu. Baru kali ini dia 

benar-benar merasakan lawan yang sangat 

tangguh. Kalau saja tadi gurunya tidak 

membantu, mungkin akan lain jadinya. 

*** 

Kematian Nyai Lumping benar-benar 

mengejutkan Patih Ardareja dan Panglima 

Rupadi. Seketika kepercayaan diri mereka 

langsung mengendur. Tentu saja hal itu 

dimanfaatkan dengan baik oleh Prabu Indrajaya. 

Maka dengan satu teriakan yang melengking, 

Prabu Indrajaya langsung melompat cepat sambil 

mengibaskan pedangnya. 

Sejenak Patih Ardareja terperangah, lalu 

buru-buru dia memapak serangan itu. Namun


gerakannya kalah cepat dan dadanya tergores 

ujung pedang Prabu Indrajaya. Belum lagi Patih 

Ardareja bisa menguasai tubuhnya, tiba-tiba 

satu tendangan geledek sudah mendarat di dada 

dan kepalanya secara beruntun. Seketika tubuh 

Patih Ardareja limbung, dan.... 

"Aaakh...!" Patih Ardareja menjerit 

melengking tinggi. 

Dengan cepat pedang Prabu Indrajaya 

menusuk tenggorokan patih pembangkang itu. 

Sebentar Patih Ardareja masih sanggup berdiri 

limbung, namun begitu satu pukulan telak 

mendarat di dadanya, tubuhnya langsung ambruk 

di tanah. Tampak darah mengucur deras dari 

dada dan lehernya. Sejenak Prabu Indrajaya 

berdiri tegak sambil memandangi tubuh lawannya 

yang sudah tak berkutik itu. 

"Gusti, sebaiknya kita segera mencari 

Gusti Permaisuri," kata Bayu yang tahu-tahu 

sudah berada di belakang Prabu Indrajaya. 

"Baiklah, ayo," sahut Prabu Indrajaya. 

Sejenak Prabu Indrajaya memandang ke arah 

dua panglimanya yang tengah bertarung melawan 

Panglima Rupadi. Kemudian Raja Bumi Loka itu 

segera berlari cepat mengikuti Pendekar Pulau 

Neraka. Mereka terus berlari mendaki Lereng 

Gunung Tangkal itu. 

Sementara itu pertarungan antara Panglima 

Rupadi melawan dua orang Panglima Kerajaan 

Bumi Loka terus berlangsung dengan sengit. 

Kini jelas terlihat kalau Panglima Rupadi kian 

terdesak, dan dalam beberapa jurus lagi, pasti 

bisa dikalahkan. Namun dasar otaknya yang 

memang cerdik, dia segera bisa mendapat jalan. 

Maka sambil melemparkan senjatanya ke arah 

seorang lawannya, Panglima Rupadi melesat 

cepat melarikan diri.


"Hey! Jangan lari, kau!" bentak salah 

seorang panglima seraya melesat mengejar. 

Kedua panglima itu terus berlari cepat 

mengejar Panglima Rupadi. Dan salah seorang 

kemudian melemparkan pedangnya dengan 

pengerahan tenaga dalam penuh. Pedang itu 

terus meluncur cepat ke arah tubuh Panglima 

Rupadi. Dan tanpa ampun lagi, pedang itu 

langsung menembus punggung Panglima Rupadi. 

"Aaaa...!" seketika Panglima Rupadi 

menjerit melengking. 

Tak pelak lagi, tubuhnya ambruk 

bergulingan di tanah. Salah seorang panglima 

yang masih memegang pedang, segera melompat 

sambil mengibaskan senjatanya. Dan langsung 

saja dia membabatkan pedangnya ke leher 

lawannya itu. Darah segar langsung muncrat ke 

luar dari leher yang hampir putus itu. Sejenak 

Panglima Rupadi menggelepar, dan kemudian diam 

untuk selamanya! 

*** 

Prabu Indrajaya segera berhenti berlari 

begitu sampai pada sebuah pondok kecil. Pondok 

itu berdiri agak terpencil di tengah-tengah 

Hutan Gunung Tangkar. Sejenak Prabu Indrajaya 

memandangi pintu pondok itu. Lalu dengan hati-

hati kakinya terayun mendekati pintu yang 

masih tertutup rapat itu. 

"Tunggu, Gusti Prabu," cegah Bayu menahan 

langkah Prabu Indrajaya. 

Kemudian Bayu segera mendahului dan 

melangkah ke pintu pondok itu. Ayunan kakinya 

tetap perlahan-lahan dan hati-hati. Matanya 

tidak berkedip memandang ke arah pintu pondok. 

Sementara Prabu Indrajaya hanya menunggu 

sambil memperhatikan dengan hati berdebar.


"Hiyaaa...!" seketika Bayu berteriak 

keras. 

Tubuhnya langsung melesat dan menjebol 

pintu pondok itu. Namun tidak lama kemudian 

Pendekar Pulau Neraka itu kembali melompat ke 

luar. Matanya langsung menatap Prabu Indrajaya 

dengan sinar mata yang sulit diartikan. 

"Ada apa?" tanya Prabu Indrajaya sambil 

bergegas menghampiri. 

Bayu tidak segera menjawab. Kepalanya 

kemudian tertunduk, seakan tidak sanggup lagi 

memandangi wajah Raja Bumi Loka ini. Prabu 

Indrajaya tidak sabar lagi. Dia bergegas masuk 

ke pondok, seketika matanya membelalak lebar 

begitu melihat tubuh permaisurinya telah 

menggeletak di lantai dengan hanya tertutup 

kain tipis seadanya. Sedangkan sebilah pisau 

tertanam dalam dadadanya. Darah juga 

menggenang di sekitar tubuh permaisuri itu. 

"Dinda Puspa...," suara Prabu Indrajaya 

getir. 

Prabu Indrajaya tak dapat menahan emosinya 

lagi. Dia langsung menubruk tubuh 

permaisurinya, dan memeluknya dengan erat. 

Tubuh Permaisuri Puspa Sari terkulai lemas 

saat diangkat oleh Prabu Indrajaya. Lalu 

dengan langkah lesu, Prabu Indrajaya melangkah 

ke luar dari dalam pondok. Sementara Bayu 

hanya memandangnya saja dengan bibir yang 

terkatup rapat. 

"Maafkan aku, Dinda. Aku datang 

terlambat...," rintih Prabu Indrajaya. 

Raja Bumi Loka itu terus melangkah 

pelahan-lahan meninggalkan pondok kecil itu. 

Sedangkan Bayu hanya bisa memperhatikannya 

dengan hati ikut berduka. Sedikit pun dia 

tidak merasa tersinggung karena Prabu 

Indrajaya tidak menghiraukannya lagi. Perasaan


duka yang amat dalam, membuat Raja Bumi Loka 

itu lupa akan keadaan sekitarnya. 

Prabu Indrajaya terus saja melangkah 

pelan-pelan sambil meratapi kematian 

permaisurinya. Saat itu langit tampak dipenuhi 

oleh awan hitam. Sementara angin pun berhenti 

berhembus, seakan-akan ikut merasakan 

kepedihan hati Prabu Indrajaya. Pepohonan juga 

seperti merunduk saat Raja Bumi Loka itu 

melewatinya. Kini rintik-rintik air hujan 

mulai jatuh menyiram bumi, sepertinya langit 

juga ikut berduka atas kematian wanita ayu 

Permaisuri Kerajaan Bumi Loka itu. 

Sementara Bayu masih saja berdiri mematung 

sambil memandangi kepergian Raja Bumi Loka 

yang membawa mayat permaisurinya itu. Tiba-

tiba saja pikirannya teringat pada ibunya, 

yang sampai saat ini belum ketahuan nasibnya. 

Apakah sudah meninggal, atau masih hidup. Bayu 

mendesah panjang, lalu dengan cepat dia 

melesat meninggalkan Lereng Gunung Tangkar 

itu. 

Tepat pada saat itu, dua orang panglima 

yang sudah menyelesaikan pertarungan telah 

tiba ditempat itu. Mereka langsung terkejut 

begitu melihat Prabu Indrajaya tengah 

melangkah lesu sambil memondong tubuh 

Permaisuri Puspa Sari yang terkulai lemas, 

dengan sebilah pisau tertanam di dada. 

"Gusti Prabu...," salah seorang 

menghaturkan sembah. 

"Cepat kembali ke istana, dan bawa kereta 

kencana ke sini," perintah Prabu Indrajaya. 

"Hamba segera laksanakan, Gusti Prabu." 

Kemudian salah seorang panglima segera 

berlari cepat menghampiri seekor kuda yang 

sedang merumput. Tampak ada beberapa ekor kuda 

milik para prajurit pembangkang sedang


merumput di situ. Dengan cepat panglima itu 

melompat ke punggung kuda, dan langsung 

menggebahnya menuju Istana Kerajaan Bumi Loka. 

Sementara Prabu Indrajaya terus melangkah 

pelan sambil memondong tubuh permaisurinya 

dengan diiringi oleh seorang panglimanya. 



                               SAMPAI




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar