1
Seekor kuda putih tampak tengah dipacu dengan cepat
memasuki daerah perbatasan Kadipaten Jati Anom.
Penunggangnya seorang laki‐laki berusia sekitar lima
puluh tahun. Dia berpakaian indah yang terbuat dari
bahan sutra halus dan bersulam benang emas.
Rambutnya panjang tergelung ke atas, dengan anak‐
anak rambut yang meriap tertiup angin
"Heya! Heya...!"
Laki‐laki itu menggebah kudanya lebih kencang lagi.
Sementara debu‐debu yang mengepul oleh kaki‐kaki
kuda itu bertambah banyak beterbangan. Tidak sedikit
pun dia memperlambat lari kudanya meskipun sudah
memasuki pusat kota yang ramai. Hal itu tentu saja
menarik perhatian semua orang yang memadati jalan
utama Kadipaten Jati Anom. Tapi nampaknya tidak
seorang pun yang berani menegur, apalagi sampai
menghentikannya!
"Cepat buka pintu!" seru laki‐laki itu ketika hampir
sampai ke pintu gerbang sebuah bangunan besar dan
berpagar tembok batu tebal yang tinggi dan kokoh.
Sebentar saja dua orang penjaga pintu gerbang
segera membuka pintu yang terbuat dari kayu jati yang
tebal dan keras. Bunyi bergerit terdengar saat pintu
gerbang itu terkuak. Dan tanpa memperlambat lari
kudanya, laki‐laki berpakaian indah itu langsung
menerobos masuk. Sedangkan dua orang penjaga pintu
gerbang hanya bisa menggeleng‐gelengkan kepalanya
saja.
"Hooop...!"
Laki‐laki berusia sekitar lima puluh tahun itu
langsung melompat turun dari punggung kuda putihnya,
begitu sampai di depan tangga yang menuju ke serambi
depan dari bangunan itu. Tampak beberapa orang yang
berseragam dan membawa tombak panjang langsung
berdiri berbaris dan memberi hormat.
Laki‐laki itu terus melangkah dengan tergesa‐gesa
menaiki anak‐anak tangga yang menuju serambi depan
yang luas dengan pilar‐pilar besar menyangga atap.
Langkahnya terus terayun melintasi serambi yang
berlantai batu pualam putih berkilat. Seorang laki‐laki
tua yang memakai jubah warna kuning dengan kepala
botak menyambutnya dengan membungkukkan badan.
Tangannya tidak berhenti mengelus‐elus janggut putih
yang panjang menutupi lehernya.
"Di mana Adipati Rakondah?" tanya laki‐laki itu
dengan napas tersengal memburu.
"Gusti Adipati berada di taman belakang, Gusti
Panglima," sahut laki‐laki berjubah kuning itu.
Dan tanpa berkata apa‐apa lagi, laki‐laki berbaju
indah itu langsung melangkah ke dalam. Langkahnya
tetap lebar dan tergesa‐gesa melintasi ruangan dalam
yang lebar dan luas. Sepertinya dia sudah tidak asing
lagi dengan keadaan bangunan itu. Tak lama kemudian
dia disambut oleh beberapa orang berpakaian seragam
yang berjaga‐jaga di sekitar bangunan itu.
"Kakang Panglima Bantaraji...!"
Satu seruan terkejut dan gembira terdengar saat laki‐
laki setengah baya itu memasuki sebuah taman yang
ditata indah di belakang bangunan istana itu. Tampak
seorang laki laki yang berwajah tampan dengan rambut
berwarna dua segera menyongsongnya dengan tangan
yang terbuka lebar.
Laki‐laki berusia setengah baya yang ternyata adalah
seorang panglima bernama Bantaraji itu hanya berdiri
tegak dengan bibir mengulas senyuman tipis.
"Kau tidak keberatan kalau aku akan mengganggu
sebentar, Adik Adipati Rakondah?"
Laki‐laki tampan yang usianya sebaya dengan
Panglima Bantaraji itu hanya tersenyum. Kemudian dia
mempersilakan tamunya itu untuk duduk di sebuah
bangku taman yang terbuat dari kayu jati berukir indah.
Sejenak Panglima Bantaraji mengedarkan pandangan‐
nya berkeliling, menyapu beberapa wanita cantik dan
beberapa orang pengawal yang berseragam prajurit
dengan senjata tombak panjang di tangan.
Adipati Rakondah menepuk tangan tiga kali. Dia
seperti mengerti dengan keinginan Panglima Bantaraji.
Sebentar saja semua orang yang berada di sekitar
taman itu bergegas meninggalkan tempat itu seraya
memberi hormat. Kini suasana taman yang semula
ramai dan penuh dengan canda tawa, kembali sepi.
Hanya ada satu orang yang masih tinggal. Seorang gadis
cantik mengenakan baju biru masih duduk di pinggir
kolam.
"Anakku, Intan Delima, Kakang," kata Adipati
Rakondah, ketika melihat tatapan mata Panglima
Bantaraji terarah ke dekat kolam.
"Kau bisa meminta Intan Delima untuk meninggalkan
taman ini?" pinta Panglima Bantaraji.
"Kenapa? Apakah berita yang kau bawa begitu
rahasia, sehingga keponakanmu sendiri tidak boleh
mendengar?" Adipati Rakondah tampak keberatan.
"Sebaiknya memang begitu. Soalnya hal ini
menyangkut masa lalumu," agak berbisik suara
Panglima Bantaraji.
"Intan...," panggil Adipati Rakondah.
"Ya, Ayah," lembut dan merdu sekali suara gadis itu
menyahut.
"Kau bisa pergi sebentar? Ayah ingin bicara dengan
pamanmu," kata Adipati Rakondah.
Intan Delima memandang Panglima Bantaraji
sebentar. Lalu dia bangkit berdiri, dan mengangguk ke
arah pamannya yang baru datang. Kemudian dia
melangkah pergi tanpa membantah sedikit pun.
Langkah kakinya gemulai dan sedap dipandang mata.
Panglima Bantaraji menunggu sampai gadis itu lenyap di
balik pintu.
"Berita apa yang kau bawa?" tanya Adipati Rakondah
langsung.
"Kau ingat dengan Rengganis?"
***
Adipati Rakondah langsung berubah raut wajahnya.
Nama Rengganis sudah begitu dikenalnya. Dan hampir
setiap tahun, wanita cantik itu selalu mengundangnya
untuk datang ke pesta yang selalu diadakan di atas
sebuah kapal layar besar dan mewah di Pesisir Pantai
Selatan. Makanya dia tahu betul siapa Rengganis itu.
Orang tuanya adalah seorang patih kerajaan, namun
kemudian berkhianat hendak menggulingkan Raja
Kandaka yang sekarang sudah mangkat dan digantikan
oleh putranya.
Di samping itu dia juga pernah membantu Rengganis
untuk menghancurkan Padepokan Teratai Putih yang
diketuai oleh Dewa Pedang, bekas seorang panglima
yang mengundurkan ciri setelah menunaikan tugas
berat. Hal itu dilakukannya karena Adipati Rakondah
merasa berhutang budi pada orang tua Rengganis. Dan
dia memang punya dendam pribadi dengan Dewa
Pedang.
"Aku tidak akan pernah melupakannya, Kakang.
Memang tahun ini aku tidak bisa memenuhi
undangannya, karena aku tidak bisa meninggalkan
putriku yang baru pulang dari padepokan pamannya di
Gunung Rangkas," kata Adipati Rakondah.
"Kalau waktu itu kau ada di sana, tentu aku tidak
perlu repot‐repot datang ke sini, Adik Rakondah,"
sungut Panglima Bantaraji.
"Kau datang ke sana? Apa ada sesuatu yang terjadi,
Kakang?" tanya Adipati Rakondah mengerutkan kening‐
nya.
"Mungkin kau tidak akan percaya kalau aku
mengatakan bahwa pesta itu berantakan, dan kapal
Rengganis hancur," sahut Panglima Bantaraji.
"Apa...?!" Adipati Rakondah tersentak tidak percaya.
"Jangan bicara main‐main, Kakang. Mereka yang
diundang bukan orang‐orang sembarangan. Bagaimana
mungkin hal itu bisa terjadi?"
"Sudah aku katakan tadi, ini adalah peristiwa lama
dan ada hubungannya dengan masa lalumu."
Sejenak Adipati Rakondah menggeser duduknya
untuk lebih mendekat. Sedangkan bola matanya ber‐
putar mengedar berkeliling. Seolah‐olah dia takut kalau
pembicaraan ini ada yang mendengar.
"Siapa yang telah melakukan itu?" tanya Adipati
Rakondah setengah berbisik.
"Kau pasti akan lebih terkejut kalau mendengarnya."
"Katakan, siapa?" desak Adipati Rakondah tak sabar.
"Putra Dewa Pedang, sekarang dia memakai nama
julukan Pendekar Pulau Neraka...!"
Adipati Rakondah tidak bisa lagi berkata‐kata.
Mulutnya ternganga lebar, dan kedua bola matanya
berputar‐putar. Sedangkan raut wajahnya berubah
kemerahan, dan sebentar kemudian pucat‐pasi. Dia
seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
Rasanya mustahil kalau Bayu masih hidup. Apalagi
sampai muncul lagi dengan nama julukan Pendekar
Pulau Neraka. Waktu itu dia menyaksikan sendiri,
bagaimana Badar, murid utama Padepokan Teratai
Putih membawa lari seorang bayi yang berumur
beberapa hari menuju Pulau Neraka. Sebuah pulau yang
sangat ditakuti dan tak ada seorang pun yang mau
menginjakkan kakinya ke sana. Dan sampai sekarang
belum pernah ada seorang pun yang bisa keluar dengan
selamat kalau sudah masuk ke sana (Untuk lebih
jelasnya, bacalah serial Pendekar Pulau Neraka dalam
episode perdananya yang berjudul: Geger Rimba
Persilatan).
"Mustahil...!" Adipati Rakondah menggeleng‐
gelengkan kepalanya tidak percaya.
"Kau akan percaya kalau sudah melihatnya, Adik
Rakondah," kata Panglima Bantaraji.
Adipati Rakondah jadi terdiam lagi.
"Aku yakin, sekarang Pendekar Pulau Neraka sedang
mencari orang‐orang yang waktu itu mendukung
Rengganis untuk menghancurkan Padepokan Teratai
Putih," lanjut Panglima Bantaraji.
Sejenak Adipati Rakondah mengangkat kepalanya.
Dia menatap tajam pada laki‐laki gagah yang duduk di
sampingnya itu. Kini otaknya tiba‐tiba jadi buntu, tidak
mampu lagi untuk dipakai berpikir! Berita yang dibawa
oleh Panglima Bantaraji benar‐benar mengejutkannya,
bahkan seperti berita datangnya kiamat.
Kabar yang dibawa oleh Panglima Bantaraji sudah
jelas! Dan dia bisa menebak bahwa Rengganis tewas di
tangan seorang pemuda yang mengaku bernama
Pendekar Pulau Neraka itu. Beberapa saat kemudian
Adipati Rakondah bangkit dari duduknya dan berjalan
mondar‐mandir dengan kening berkerut dalam.
Sementara Panglima Bantaraji tetap duduk sambil
memperhatikan.
***
Sejak mendapat berita dari kakaknya, Panglima
Bantaraji, Adipati Rakondah selalu tampak gelisah. Dia
jadi lebih senang menyendiri dan melamun. Hanya
kalau malam hari saja dia pergi ke kaki Gunung Panjaran
untuk memperdalam ilmu‐ilmu olah kanuragannya.
Seperti malam ini, dia tampak sudah berada di sekitar
kaki gunung itu.
"Hiyaaa...!"
Glarrr!
Malam yang sunyi sepi tiba‐tiba pecah oleh suara
ledakan dan gemuruh bebatuan yang hancur berkeping‐
keping. Tampak Adipati Rakondah berdiri tegak dengan
kedua telapak tangan masih terbuka dan menjulur ke
depan. Sedangkan matanya dengan tajam menatap
reruntuhan batu yang berada sekitar sepuluh depa di
depannya. Kepulan debu masih membayang di udara.
Sedangkan pecahan‐pecahan batu juga masih ber‐
hamburan turun bagai hujan.
"Bagus...!" tiba‐tiba terdengar suara diiringi tepuk
tangan.
Adipati Rakondah langsung berbalik. Betapa ter‐
kejutnya dia ketika melihat Panglima Bantaraji tiba‐tiba
sudah berada di belakangnya. Panglima Kerajaan Banyu
Biru itu kemudian melangkah pelahan‐lahan neng‐
hampirinya. Tampak bibirnya yang tipis dengan kumis
tebal di atasnya menyunggingkan senyuman cerah.
"Jurus 'Tapak Sakti'mu benar‐benar luar biasa!" puji
Panglima Bantaraji sambil geleng‐geleng kepala per‐
lahan.
"Jangan memperolokku, Kakang," rungut Adipati
Kakondah.
"Aku yakin dengan jurus itu kau akan mampu me‐
nandingi Pendekar Pulau Neraka."
"Aku justru merasa sebaliknya, Kakang. Jurus ‘Tapak
Sakti'ku memang seimbang dengan jurus ‘Kipas Maut'
Nyai Rengganis. Tapi aku baru bisa menguasainya di
bawah jurus 'Kipas Maut'. Rasanya aku belum mampu,
Kakang," nada suara Adipati Rakondah terdengar
mengeluh.
"Jangan berkecil hati dulu, Adik Rakondah. Meskipun
aku tahu bahwa kau salah, tapi aku tidak akan tinggal
diam begitu saja. Aku sudah mengirim utusan ke
kerajaan, dan meminta prajurit‐prajurit pilihanku untuk
datang ke sini."
"Untuk apa? Kakang hanya membuang‐buang waktu
dan nyawa sia‐sia," Adipati Rakondah menyesalkan.
"Jangan berpikir yang bukan‐bukan dulu, Adik
Rakondah. Aku melakukan semua itu hanya untuk
sekedar berjaga‐jaga. Aku dengar sudah beberapa
tokoh sakti yang dulu ikut menghancurkan Padepokan
Teratai Putih tewas di tangannya. Tindakan pendekar
itu kejam dan tidak kenal ampun. Siapa saja yang men‐
coba menghalangi maksudnya, tidak diberi kesempatan
hidup lagi. Aku harap kau bisa mengerti, Adik Rakondah.
Aku hanya menjaga kemungkinan, kalau‐kalau dia akan
berbuat kejam. Bagaimanapun juga keselamatan
Kadipaten Jati Anom adalah tanggung jawabku juga,"
Panglima Bantaraji mencoba menjelaskan.
"Terima kasih, Kakang," ucap Adipati Rakondal
terharu.
"Hanya satu pesanku, Adik Rakondah," lanjut
Panglima Bantaraji.
Adipati Rakondah menatap lurus ingin tahu. "Kau
harus hati‐hati terhadap senjatanya."
"Maksudmu, Kakang?"
"Senjata Pendekar Pulau Neraka berbentuk cakram
bersegi enam. Senjata itu dapat melayang seperti
memiliki mata. Dan sampai saat ini belum ada satu
senjata pun yang mampu menandinginya. Bahkan
Tongkat Sakti Jantara pun sudah dibabat buntung!"
"Kakang...?! Apakah Kakang Jantara juga ikut
tewas?" Adipati Rakondah terkejut.
"Benar."
"Bagaimana Kakang bisa tahu semuanya?" tanya
Adipati Rakondah seperti menyelidik.
"Aku mengikuti semua kejadian dengan sembunyi‐
sembunyi. Dan aku melihat semua kejadian yang
dilakukan oleh Pendekar Pulau Neraka itu. Aku sendiri
tidak tahu, apakah pendekar itu mengetahui kehadiran‐
ku atau tidak. Yang jelas, aku selalu menguntit ke mana
pendekar itu pergi untuk mencari orang‐orang yang
telah bersekutu menghancurkan Padepokan Teratai
Putih," kembali Panglima Bantaraji menjelaskan.
"Dan sekarang Kakang tiba‐tiba berada di sini,
apakah Pendekar Pulau Neraka itu juga ada di sekitar
sini?" tebak Adipati Rakondah mulai bisa mengerti.
"Entahlah, dia sudah sampai atau belum. Tapi yang
jelas arah perjalanannya menuju Kadipaten Jati Anom
ini."
Kembali Adipati Rakondah terdiam.
"Malam sudah terlalu larut, sebaiknya sekarang kau
pulang saja. Dan aku akan terus berusaha menjauhkan
pendekar itu dari Kadipaten Jati Anom," kata Panglima
Bantaraji.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Adipati
Rakondah.
Panglima Bantaraji hanya tersenyum. Kemudian
Iangkahnya terayun. Sedangkan Adipati Rakondah juga
ikut melangkah di belakang laki‐laki setengah baya yang
masih kelihatan gagah itu. Mereka terus berjalan tanpa
banyak bicara lagi. Sementara malam terus merayap
semakin larut. Dan angin malam yang dingin me‐
nebarkan titik‐titik embun, menambah suasana semakin
sunyi dan dingin.
***
2
Pagi ini awan hitam tampak menggantung dan berarak
di angkasa. Sementara cahaya matahari seperti tak
sanggup untuk menembus kepekatan awan yang
menyelimuti seluruh langit di atas Kadipatan Jati Anom.
Sedangkan hembusan angin yang bertiup kencang
menebarkan udara dingin seperti menusuk sampai ke
tulang. Tampak daun‐daun berguguran, dan debu‐debu
berkepulan tersapu angin. Seluruh kota kadipaten itu
tampak sepi, hanya sesekali terlihat satu dua orang
yang melintasi jalan utama kota itu.
Dari arah pintu gerbang perbatasan kadipaten
sebelah Utara, tampak seorang laki‐laki gagah sedang
melangkah ringan mendekati pintu gerbang. Sampai di
depan pintu gerbang, pemuda itu hanya melirik pada
dua penjaga yang memandanginya denga tatapan mata
penuh selidik. Hingga pemuda itu berlalu, kedua
penjaga itu masih tetap memperhatikannya. Kadipaten
Jati Anom memang sering kedatangan tamu, baik yang
hanya singgah maupun yang ingin menetap, sehingga
setiap kali ada pendatang baru para penjaga pintu
gerbang perbatasan tidak pernah menegur atau
bertanya.
"Orang itu tampaknya mencurigakan, ya...?" bisi
salah seorang penjaga.
"Hm...," gumam satunya lagi tidak jelas, namun
matanya terus mengamati pemuda yang sudah jauh
berjalan.
"Ciri‐cirinya seperti yang pernah dikatakan oleh
Panglima Bantaraji," kata penjaga itu lagi.
"Benar!" seru yang satunya.
Dan tanpa berkata apa‐apa lagi, kedua penjaga pintu
gerbang perbatasan itu langsung berlari kencang mem‐
buru pemuda tadi.
"Berhenti...!"
Pemuda gagah itu segera menghentikan langkahnya.
Namun sedikit pun dia tidak berbalik atau menoleh. Dia
tetap berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan.
Kedua penjaga itu terus menghampiri dan mencegat‐
nya.
"Maaf, Kisanak. Kami harus memeriksa Anda dulu,"
kata salah seorang penjaga dengan sopan.
"Bukankah kota ini bebas untuk didatangi oleh
pendatang?"
"Benar, tapi sekarang Gusti Adipati dan Gusti
Panglima telah memerintahkan kami untuk memeriksa
setiap pendatang baru."
"Sejak kapan peraturan itu berlaku?"
"Tujuh hari yang lalu."
"Kalau aku menolak...?"
Sejenak kedua penjaga itu saling berpandangan.
Kata‐kata pemuda gagah itu terdengar dingin dan kaku.
Sedangkan sinar matanya tampak tajam, seakan‐akan
mampu membuat siapa saja yang memandangnya
bergidik tanpa sebab. Maka seperti dikomando saja,
kedua penjaga itu segera melangkah mundur dua
tindak. Sementara tangannya menggenggam tombak
dengan lebih erat.
"Maaf, Kisanak. Sebenarnya kami juga enggan untuk
memeriksa setiap orang yang datang ke kota ini, tapi
kami hanya menjalankan tugas," kata salah seorang
penjaga masih bersikap sopan, meskipun sudah
waspada.
"Katakan pada Gusti‐mu, aku tidak akan lama di sini.
Dan aku akan segera meninggalkan kota ini setelah
urusanku selesai!" lantang dan tegas kata‐kata pemuda
itu.
Dan tanpa menghiraukan kebingungan kedua
penjaga itu, dia segera mengayunkan langkahnya
kembali. Ayunan kakinya tampak ringan dan tenang.
Tapi kemudian, kedua penjaga itu langsung melompat
dan kembali menghadang. Kali ini ujung tombaknya
sudah terhunus.
"Maaf, kami terpaksa menahanmu, Kisanak," kata
salah seorang penjaga.
"Hm...!"
Pemuda itu tidak mempedulikan. Dia terus saja
mengayunkan kakinya.
"Berhenti!"
Tapi pemuda itu tetap tidak menghiraukan, dia terus
melangkah maju. Sementara kedua penjaga itu saling
pandang, lalu dengan cepat salah seorang dari mereka
menggerakkan tombaknya ke arah perut pemuda itu.
Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya
sedikit ke samping, pemuda itu luput dari serangan.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan pemuda itu
bergerak cepat dan mengempit batang tombak itu di
ketiaknya. Sedangkan tangan satunya lagi berhasil
mematahkan tombak itu. Dan belum lagi penjaga itu
sempat menguasai keadaan, sebuah ayunan kaki yang
bergerak bagai kilat, langsung menghantam dadanya
yang keras.
"Hugh!" penjaga itu mengeluh pendek. Tubuhnya
sampai terjajar ke belakang beberapa depa.
Melihat keadaan itu, penjaga yang satunya lagi
segera mengibaskan tombaknya ke arah leher. Namun
dengan cepat pemuda itu menarik kepalanya ke
belakang, dan tangan kanannya terangkat ke atas
menangkap tombak itu. Lalu dengan satu kali hantaman
tangan kiri, tombak itu kembali patah jadi dua bagian.
"Akh...!"
Kedua penjaga itu terkejut bukan main. Dalam
sekejap saja kedua tombak mereka sudah patah jadi
dua bagian. Sementara pemuda itu masih tetap berdiri
tegak tanpa menggeser kakinya sedikit pun. Sebentar
mereka saling pandang, lalu....
Sret!
Hampir bersamaan kedua penjaga itu mencabut
pedang yang tergantung di pinggang. Kedua pedang
penjaga itu berukuran panjang dan berwarna keperakan
berkilat. Tampak pemuda gagah itu hanya menatap
dengan bibir yang mengulas senyum sinis.
"Sayang sekali, nama kalian tidak tercantum dalam
daftarku...," kata pemuda gagah itu bergumam.
Setelah berkata demikian, pemuda itu langsung
melesat pergi bagai kilat melewati kepala kedua
penjaga itu. Tentu saja hal itu membuat kedua penjaga
itu melongo seperti melihat dewa baru turun dari
kahyangan. Dan saat mereka membalikkan tubuh
pemuda gagah itu sudah tidak terlihat lagi bayangan
nya.
"Siapa dia, ya...?" salah seorang penjaga bergumam
sambil memasukkan pedangnya kembali ke dalam
warangkanya.
"Kau tunggu dulu di sini, aku akan melaporkan hal ini
pada Gusti Adipati," kata seorang lagi.
"Cepatlah, tidak enak berjaga sendirian. "
"Sebentar saja aku pasti sudah kembali, kalau tidak...
Paling‐paling juga mampir di rumah janda sebelah!"
"Sialan!"
***
Adipati Rakondah segera berdiri begitu melihat
seorang berpakaian prajurit penjaga datang dengan
tergopoh‐gopoh. Prajurit itu langsung berlutut memberi
hormat. Tampak tubuhnya bersimbah peluh, sementara
debu menempel di wajah dan bajunya. Napasnya masih
terengah‐engah seperti baru saja menempuh per‐
jalanan jauh dan melelahkan.
"Ada apa? Bukankah kau seharusnya masih menjaga
di pintu gerbang perbatasan sebelah Utara kota?" tanya
Adipati Rakondah sedikit terkejut.
"Ampun, Gusti. Hamba sengaja datang ke sini karena
ada sesuatu hal yang harus segera hamba laporkan,"
sahut prajurit penjaga perbatasan itu.
"Katakan cepat, apa yang akan kau laporkan?"
"Baru saja ada seorang pemuda yang mencurigakan
melewati pintu gerbang, Gusti. Hamba sudah berusaha
untuk menahan dan memeriksanya, tapi pemuda itu
malah melawan. Ilmu olah kanuragannya sangat tinggi,
Gusti. Hanya sekali gebrak saja, hamba dan teman
hamba terkecoh dan dia berhasil kabur," lapor prajurit
penjaga itu.
Sejenak Adipati Rakondah memalingkan mukanya
dan menatap pada Panglima Bantaraji yang tetap duduk
di kursinya. Di sebelah Panglima Bantaraji, duduk
seorang gadis cantik yang mengenakan baju ungu yang
terbuat dan bahan sutra halus yang indah. Gadis itu
adalah putri tunggal Adipati Rakondah yang bernama
Intan Delima.
"Bagaimana ciri‐cirinya?" tanya Panglima Bantaraji.
"Dia mengenakan baju yang terbuat dari kulit
harimau, Gusti Panglima," sahut prajurit penjaga
perbatasan itu.
"Kau tidak salah lihat, Prajurit?" Panglima Bantaraji
bangkit dari duduknya.
"Tidak, Gusti."
"Ada apa, Kakang? Kau kenal?" tanya Adipati
Rakondah.
"Tidak salah lagi. Pasti dialah orangnya. .," gumam
Panglima Bantaraji pelan.
"Maksudmu...?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu memakai baju dari
kulit harimau. Hm..., tapi...."
"Kenapa, Kakang?" tanya Adipati Rakondah tak
sabar.
Panglima Bantaraji tidak segera menyahut. Di malah
melangkah menghampiri prajurit penjaga pintu gerbang
perbatasan itu. Matanya tajam menatap prajurit yang
duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam itu.
"Prajurit!"
"Hamba, Gusti Panglima."
"Kau sempat bertarung dengannya?" tanya Panglima
Bantaraji.
"Benar, Gusti. Tapi hanya sekali gebrakan saja."
"Apa dia mengeluarkan senjatanya?"
"Tidak, Gusti."
Panglima Bantaraji kemudian berbalik dan meng‐
hadap Adipati Rakondah yang sudah duduk kembali di
kursinya. Sementara putrinya tetap diam sejak tadi,
seperti tidak mau peduli sama sekali dengan pem‐
bicaraan itu. Namun dari keningnya yang sedikit
berkerut, bisa dipastikan kalau gadis itu sedang berpikir
juga.
"Adik Rakondah. Sebaiknya mulai sekarang kau
melipatgandakan penjagaan. Aku akan segera
menyelidiki orang itu," kata Panglima Bantaraji.
"Hati‐hati, Kakang," hanya itu yang bisa diucapkan
Adipati Rakondah.
Kemudian Panglima Bantaraji segera berbalik dan
melangkah meninggalkan ruangan balai agung
Kadipaten Jati Anom itu. Sedangkan Adipati Rakondah
segera memerintahkan pada prajurit penjaga itu untuk
kembali bertugas. Dia juga memerintahkan untuk
melipatgandakan penjagaan di pintu gerbang masuk
batas kota kadipaten.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah?" tanya Intan
Delima setelah lama berdiam diri.
"Tidak apa‐apa, hanya sedikit persbalan kecil," sahut
Adipati Rakondah.
"Siapa orang itu, Ayah?" desak Intan Delima. Adipati
Rakondah tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, dan
melangkah meninggalkan ruangan besar itu. Sementara
Intan Delima nampak masih diliputi oleh rasa
penasaran, tapi dia tidak berani mendesak ayahnya
untuk berkata terus terang. Kemudian gadis itu hanya
mengangkat bahunya saja dan berlalu dari ruangan itu.
***
Keadaan di Istana Kadipaten Jati Anom sekarang
telah berubah. Dari siang sampai malam para prajurit
kadipaten tampak selalu bersiaga dengan senjata
lengkap seperti mau diserang musuh saja. Adipati
Rakondah memang telah memerintahkan untuk
melipat‐gandakan penjagaan di sekitar istana itu.
Sementara itu Intan Delima yang belum memahami
betul akan situasi dan persoalan yang sedang dihadapi
ayahnya, makin bertambah penasaran melihat keadaan
itu. Kini Kadipaten Jati Anom benar‐benar seperti mau
perang saja. Bukan hanya di sekitar istana kadipaten
saja yang dijaga ketat, tapi juga hampir seluruh pelosok
kota kadipaten.
"Aku tidak percaya kalau hal ini hanya karena
persoalan kecil...," gumam Intan Delima yang pagi itu
sedang berjalan‐jalan mengelilingi istana kadipaten.
"Mungkin ada musuh yang akan menyerang, Gusti
Ayu," celetuk seorang emban pengasuh yang
mendampinginya.
"Tidak, Bibi Emban. Aku sudah mendengar sedikit
pembicaraan. Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya
pemuda yang begitu ditakuti oleh Ayah dan Paman
Panglima?" Intan Delima seperti bicara pada dirinya
sendiri.
Dua orang emban yang mengikutinya tidak
membuka suara. Mereka terus saja berjalan pelan‐pelan
menuju taman samping. Beberapa saat kemudian, Intan
Delima menghenyakkan tubuhnya di kursi panjang yang
terbuat dari bambu di dekat kolam yang diisi dengan
berbagai jenis ikan.
"Bibi Emban, tolong katakan pada pengurus kuda
agar segera menyiapkan seekor kuda untukku
sekarang," perintah Intan Delima.
"Gusti Ayu hendak ke mana?" tanya salah seorang
emban yang bertubuh gemuk.
"Laksanakan saja perintahku!" sentak Intan Delima.
"Baik, Gusti Ayu."
Perempuan bertubuh gemuk itu pun bergegas
menuju istal. Sedangkan Intan Delima kembali berdiri
dan melangkah menuju ke bagian depan. Ayunan
kakinya lebar‐lebar, dan bibirnya terkatup rapat.
Sementara seorang emban lagi terus menguntitnya
dengan wajah dipenuhi tanda tanya.
"Gusti Ayu...," Emban itu memberanikan diri
membuka suara.
"Ada apa?" tanya Intan Delima sambil terus
melangkah.
"Gusti Adipati menyatakan bahwa seluruh kadipaten
dalam keadaan gawat, sebaiknya Gusti Ayu membawa
beberapa orang prajurit pengawal," saran limban itu.
Namun Intan Delima tidak menanggapi. Dia berhenti
melangkah pada saat ada seorang laki‐laki tua yang
datang menghampirinya dengan menuntun seekor kuda
putih dengan kaki‐kakinya belang hitam. Di belakangnya
tampak seorang wanita gemuk mengikuti Kuda itu
sudah siap dengan pelana dari kain tebal yang ber‐
sulamkan benang emas.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Intan Delima langsung
melompat naik ke punggung kuda. Dan saal itu juga
Intan Delima segera menggebah kudanya menuju ke
pintu gerbang istana kadipaten yang dijaga tidak kurang
dari sepuluh prajurit.
Kuda putih dengan belang hitam pada kakinya itu
terus dipacu cepat meninggalkan kepulan debu di
belakangnya. Dua orang penjaga pintu gerbang ber‐
gegas membuka pintu dengan raut wajah yang diliputi
berbagai macam perasaan. Sepertinya mereka tidak
ingin membukakan pintu, tapi begitu melihat yang
menunggang kuda adalah putri Adipati Jati Anom,
mereka segera membuka pintu gerbang itu.
Intan Delima terus menggebah kudanya dengan
kencang ke luar dari lingkungan benteng istana
kadipaten. Sementara penjaga pintu gerbang segera
menutup kembali pintunya setelah kuda yang di‐
tunggangi Intan Delima ke luar.
"Hiya! Hiya !"
Intan Delima terus menggebah kudanya dengan
cepat melintasi jalan utama Kadipaten Jati Anom.
Beberapa orang penduduk kota yang berpapasan
dengannya, langsung membungkukkan badannya. Intan
Delima terus memacu kudanya menuju perbatasan
Utara kadipaten.
***
"Hooop...!"
Intan Delima segera menghentikan lari kudanya
tepat di depan pintu gerbang perbatasan yang terbuat
dari batu ukir di kanan kiri jalan. Enam orang prajurit
penjaga yang ada langsung membungkukkan badan
memberi hormat. Intan Delima menatap salah seorang
prajurit penjaga yang berdiri paling pinggir.
"Kau, ke sini!"
"Hamba, Gusti Ayu," sahut prajurit penjaga itu
segera menghampiri.
"Kau yang melapor kemarin?"
"Benar, Gusti Ayu."
"Aku minta agar kau berkata jujur dan terus terang.
Siapa pemuda yang berbaju kulit harimau itu?" tegas
nada suara Intan Delima.
"Maksud, Gusti Ayu?"
'Yang kau laporkan kemarin. Goblok!"
"Maaf, Gusti Ayu. Hamba‐..., hamba hanya men‐
dapat perintah untuk menjaga pintu gerbang
perbatasan Utara saja, Gusti. Hamba...."
"Jangan banyak alasan! Cepat katakan, siapa nama
pemuda itu?" potong Intan Delima gusar.
Prajurit itu jadi kebingungan. Sejenak bola matanya
berputar melirik pada temannya yang bungkam saja
sejak tadi. Dia seperti sedang berpikir keras dan
menimbang‐nimbang permintaan putri tunggal
junjungannya ini. Rasanya sulit bagi dia untuk mengata‐
kan yang sebenarnya, karena Adipati Rakondah sendiri
sudah berpesan padanya untuk tidak mengatakan hal
ini pada Intan Delima. Adipati Rakondah tidak ingin
putrinya itu terlibat, dan menjadi korban dari
kekejaman Pendekar Pulau Neraka yang kini hatinya
sedang tersulut oleh api dendam.
Lama kelamaan Intan Delima jadi geregetan juga
melihat sikap prajurit itu. Kemudian gadis itu melompat
turun dari atas punggung kudanya, dan mendarat manis
tepat di depan prajurit itu.
"Katakan, siapa nama pemuda yang berbaju kulit
harimau itu?" dingin dan datar suara Intan Delima.
"Ampunkan hamba, Gusti Ayu. Hamba..., hamba
sudah dipesan untuk..."
"Tidak mengatakan padaku, begitu?!" sentak Intan
Delima semakin gusar.
Prajurit penjaga itu hanya diam tertunduk.
"Siapa yang telah memerintahmu begitu? Paman
Panglima...? Ayah?" berondong Intan Delima.
"Gusti Adipati Rakondah sendiri, Gusti Ayu," pelan
jawaban prajurit penjaga itu.
"Dengar kalian semua! Siapa saja yang berani buka
mulut bahwa aku telah mengorek keterangan, akan
berhadapan langsung denganku!" lantang suara Intan
Delima.
Enam orang prajurit penjaga tersebut langsung diam
sambil menundukkan kepala. Tidak ada seorang pun
yang bisa menentang gadis itu. Selain karena dia adalah
putri tunggal junjungan mereka, Intan Delima juga
memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi.
Sementara itu Intan Delima terus memandangi para
prajurit itu satu persatu dengan tatapan tajam.
"Cepat katakan, siapa nama pemuda itu? Dan apa
maksudnya datang ke sini?" tanya Intan Delima dingin.
"Tapi, Gusti Ayu..., hamba..."
"Kau tidak perlu takut, juga yang lainnya. Kalau
sampai Ayahanda Adipati tahu, aku yang akan membela
kalian!" janji Intan Delima.
Serentak enam orang prajurit tersebut saling
berpandangan. Kemudian yang lima orang meng‐
anggukkan kepala pada kawannya yang ada di depan
Intan Delima. Sejenak prajurit itu menarik napas dan
menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokan yang
mendadak kering.
"Cepat katakan," desak Intan Delima tidak sabaran.
"Ampun, Gusti Ayu. Pemuda yang berbaju kulit
harimau itu bernama Pendekar Pulau Neraka. Dia
datang ke Kadipaten Jati Anom ini untuk mencari Gusti
Adipati. Dia ingin membalas dendam, Gusti Ayu," kata
prajurit itu menjelaskan dengan suara gemetaran.
"Dendam...?!" Intan Delima mengerutkan keningnya.
"Dendam apa?"
"Hamba tidak tahu persis, Gusti. Yang tahu hanya
Gusti Panglima dan Gusti Adipati sendiri."
"Apakah orang itu sangat tangguh dan berbahaya,
sehingga harus memperkuat penjagaan dengan prajurit‐
prajurit pilihan kerajaan?"
"Hamba tidak tahu pasti, Gusti Ayu. Tapi yang hamba
sempat dengar, Pendekar Pulau Neraka sangat kejam.
Dia selalu membunuh setiap orang yang ditujunya,
bahkan mereka yang mencoba melindungi juga di‐
bunuh. Mungkin itulah sebabnya, kenapa Gusti Adipati
Rakondah tidak ingin Gusti Ayu mengetahui per‐
soalannya," kata prajurit itu sudah tenang suaranya
"Bagaimana tingkat kepandaiannya?"
"Tidak tahu, Gusti Ayu. Tapi kemarin dia
melumpuhkan hamba dan teman hamba hanya dalam
sekali gebrak saja. Dia juga bisa hilang, Gusti Ayu."
"Hm...," Intan DeHma mengerutkan keningnya.
Keterangan yang sedikit diperoleh itu sudah bisa
membuat Intan Delima mengerti. Seseorang yang bisa
menghilang dalam pandangan orang berilmu olah
kanuragan rendah, sudah dapat dipastikan kalau orang
itu memiliki tingkat kepandaian yang sulit diukur dan
dicari tandingannya.
Dan tanpa berkata apa‐apa lagi, Intan Delima
langsung berbalik dan melompat naik ke punggung
kudanya. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda
ilmu meringankan tubuhnya sudah cukup tinggi. Gadis
itu menggebah kudanya pelahan‐lahan meninggalkan
perbatasan Utara Kadipaten Jati Anom. Dia kembali
masuk ke kota. Sepanjang jalan keningnya terus
berkerenyut memikirkan setiap kata yang barusan
diucapkan oleh prajurit penjaga itu.
***
3
Keadaan di dalam kola Kadipaten Jati Anom benar‐
benar seperti mau perang. Suasana seperti itu tentu
saja membuat penduduk jadi bertanya‐tanya dalam
hati, namun tidak pernah menemukan jawaban yang
tepat. Keadaan seperti itu sudah berjalan lima hari di
dalam kota Kadipaten Jati Anom, namun belum berubah
juga.
Sementara itu Intan Delima yang sedang mencari
tahu orang yang bernama Pendekar Pulau Neraka,
setiap hari terus mengelilingi kota kadipaten.
Sebenarnya dia ingin menanyakan langsung peristiwa
yang sebenarnya pada ayahnya, tapi setiap kali dia mau
bicara, selalu tertunda dan dibatalkan. Intan Delima
sudah tahu bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan
keterangan apa‐apa dari ayahnya. Bisa‐bisa ayahnya
malah memperketat pengawalan pada dirinya. Hal
itulah yang selalu dihindarkan Intan Delima.
Sejak pagi sampai tengah hari, Intan Delima berada
di atas punggung kudanya. Hari ini adalah hari yang
ketiga bagi Intan Delima mencari orang yang berjuluk
Pendekar Pulau Neraka. Sudah seluruh pelosok kota dia
jelajahi, tapi sampai saat ini belum juga berhasil.
Memang tidak mudah untuk mencari seseorang di
tengah‐tengah begitu banyak orang. Apalagi belum
pernah berjumpa sekali pun!
"Huh! Udara siang ini panas sekali...!" keluh Intan
Delima seraya menyeka keringat yang meleleh lehernya
yang jenjang.
Intan Delima kemudian menghentikan langkah kaki
kudanya di pinggir sebuah sungai kecil yang berair
jernih. Sebentar dia mengedarkan pandangannya ber‐
keliling sebelum turun dari punggung kudanya. Tidak
terlihat seorang pun di sekitar tempat itu, karena
daerah ini memang sudah jauh masuk ke hutan per‐
batasan sebelah Selatan. Intan Delima tertegun sejenak
begitu matanya memandang seonggok batu cadas yang
berdiri menjulang dari gerumbul pepohonan.
Batu cadas itu seperti diukir oleh tangan ahli,
berbentuk seperti seekor ular raksasa yang melingkar di
tengah‐tengah hutan melibat sebatang pohon raksasa.
Benar‐benar suatu pemandangan yang indah. Sayang
tak seorang pun yang berani mendekatinya. Banyak
legenda yang menceritakan tentang batu dan hutan itu.
Tapi semuanya hanya berupa legenda yang diseram‐
seramkan. Belum ada bukti dan kebenarannya.
"Hutan Naga... Hhh...! Mudah‐mudahan tidak ada
apa‐apa. Aku hanya singgah sebentar," desah Intan
Delima menenangkan diri. Kemudian gadis itu
menuntun kudanya dan mendekati sungai kecil berair
jernih yang mengalir tenang dari hutan yang membukit
itu. Lalu dia berlutut di tepian sungai itu dan dengan
kedua tangannya dia menyiduk air dan membasuh
mukanya. Terasa sejuk dan segar begitu air sungai
menyentuh wajahnya yang putih kemerahan dan
berkulit halus lembut bagai sutra.
Dan ketika tangannya hendak menciduk air lagi,
mendadak gerakannya terhenti. Di permukaan air
sungai yang bening terbayang seseorang sedang berdiri
di seberang. Buru buru Intan Delima mengangkat
luipalanya. Dan tampaklah seorang pemuda gagah
sudah berdiri di seberang sungai. Pemuda itu berwajah
tampan, namun terlihat garis‐garis kekerasannya.
Kemudian dengan pelahan‐lahan, Intan Delima bangkit
lari jongkoknya.
Matanya terus menatap tajam memperhatikan laki‐
laki muda itu. Dari ujung kepala hingga ke ujung kaki dia
perhatikan dengan seksama. Sejenak Intan Delima
melangkah mundur dua tindak.
"Apakah dia orangnya? Ciri‐cirinya sama persis
seperti yang dikatakan oleh prajurit penjaga per‐
batasan. Masih muda, gagah dan bajunya terbuat dari
kulit harimau. Tapi.... Ah! Rasanya tidak mungkin. Dia
tidak kelihatan kejam dan jahat. Malah...," Intan Delima
tidak melanjutkan kata‐kata yang terlintas di hatinya.
"Tuan siapa? Dan kenapa ada di tempat yang angker
ini?" tanya Intan Delima menegur lebih dulu setelah
menenangkan pikirannya.
"Kau sendiri, kenapa juga berada di sini?" pemuda
itu balik bertanya.
"He! Aku yang bertanya padamu!" bentak Intan
Delima.
"Aku tidak pernah memberitahu siapa diriku lebih
dahulu, sebelum orang lain memperkenalkan diri," kata
pemuda itu tenang, namun nada suaranya terdengar
tegas.
"Hm..., rupanya kau orang asing di sini, sehingga
tidak tahu dengan siapa kau sedang berhadapan."
"Siapa pun kau, aku tidak peduli!"
Intan Delima berkerenyut keningnya. Belum pernah
ada seorang pun yang berani bicara kasar seperti itu
padanya. Dia adalah seorang putri adipati yan sangat
dihormati dan berilmu tinggi! Dan semua orang selalu
membungkuk hormat bila berhadapan dengannya, tapi
pemuda ini. Sedikit pun tidak memandang sebelah mata
padanya!
"Sikapmu bisa menyulitkan dirimu sendiri...," gumam
Intan Delima setengah mengancam.
"Aku memang terlahir penuh kesulitan, jadi apapun
bentuknya kesulitan itu tidak pernah merubah sikapku,"
tegas jawaban pemuda gagah itu.
"Kurang ajar! Kau benar‐benar tidak memandangku
sebelah mata. Kau tahu siapa aku, heh?" bentak Intan
Delima langsung mendidih darahnya.
"Aku tahu, kau adalah seorang gadis yang manja dan
mudah marah. Tapi kau sangat cantik, dan...."
“Setan!" merah‐padam seluruh wajah Intan Delima.
Gadis itu tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Dan
bagaikan seekor burung elang, dia menggenjot tubuh‐
nya menyeberangi sungai. Kemudian tanpa banyak
bicara lagi, gadis itu langsung mengirimkan pukulan
mautnya yang bertenaga dalam cukup tinggi kearah
pemuda itu.
"Eit!"
Pemuda itu hanya berkelit sedikit ke samhping, dan
tangan kanannya memukul ke arah dada Intan Delima.
Untung saja gadis itu cepat cepat menarik mundur
tubuhnya, dan langsung melayangkan kakinya ke arah
perut.
"Kau hebat, tapi sayang... uts!"
Pemuda itu segera menggeser kakinya dua tindak ke
belakang, dan tendangan Intan Delima pun tidak sampai
mengenai perutnya. Tapi Intan Delima tidak lagi mem‐
beri kesempatan. Dia segera menyerang lagi dengan
jurus‐jurus yang mengandung tenaga dalam tinggi,
sehingga membuat pemuda itu hanya bisa berkelit dan
berlompatan ke sana kemari menghindari serangan
Intan Delima yang dahsyat dan mematikan itu.
***
Pertarungan antara Intan Delima dan pemuda
berbaju kulit harimau itu terus berlangsung semakin
sengit. Dan keadaan di sekitar pertarungan itu sudah
porak‐poranda seperti diamuk oleh puluhan ekor ajah.
Namun sampai pertarungan berjalan lebih dari dua
puluh jurus, belum sedikit pun pemuda itu melakukan
serangan balasan.
"Kau telah mempermainkan aku, Pemuda Setan! Kau
harus mati di tangan Intan Delima, putri tunggal Adipati
Jati Anom!" bentak Intan Delima, tanpa sadar dia telah
membuka rahasia dirinya sendiri.
"Heh...!" pemuda berbaju kulit harimau itu tampak
terkejut. Buru‐buru dia melompat mundur dan
menghindar dari pertarungan.
"Kenapa kau mundur? Takut...?" dengus Intan
Delima sinis.
"Tidak kusangka, temyata adipati pembunuh licik
hanya mampu mengirim gadis bau kencur!" geram
pemuda itu sambil menatap tajam ke bola mata Intan
Delima.
"Setan jelek! Kau telah menghina ayahku...!” Intan
Delima menggeram hebat.
"Bukan itu saja, aku sengaja datang ke kota ini untuk
berurusan dengan pembunuh licik yang berkedok jadi
adipati!"
"Eh, jadi...!" Intan Delima menggerinjang kaget.
"Kau.... Kau Pendekar Pulau Neraka...?!"
"Ya, akulah Pendekar Pulau Neraka yang akan mem‐
buat perhitungan dengan Rakondah!" tegas jawaban
pemuda itu.
Sejenak Intan Delima memandangi pemuda yang
memakai baju kulit harimau itu dengan tidak percaya.
Bagaimana mungkin, seorang pemuda yang usianya
paling‐paling dua puluh lima tahun sudah begitu
kondang namanya. Sampai‐sampai membuat tokoh‐
tokoh tua rimba persilatan gempar. Tak terkecuali
Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji yang terkenal
memiliki ilmu olah kanuragan yang tinggi! Itu baru
mendengar namanya saja. belum berhadapan langsung
dengan orangnya yang... Intan Delima sukar untuk
mempercayai kalau pemuda tampan dan angkuh itu
yang telah membuat gempar seluruh rimba persilatan.
"Kenapa wajahmu tiba tiba pucat, Gadis Manja?
Apakah kau juga gentar seperti ayahmu?" ejek pemuda
yang nama lengkapnya Bayu Hanggara itu.
"Jangan besar kepala dulu, Setan Jelek! Kau sendiri
tidak akan mampu untuk menandingiku, apalagi ber‐
hadapan dengan ayahku, yang sekarang dibantu oleh
Panglima Bantaraji!" balas Intan Delirrja menggertak.
"Bagus! Berarti tanganku akan lebih banyak lagi
berlumur darah. Seluruh penduduk Kadipaten Jati Anom
boleh berlindung di belakang tikus pengecut itu, biar
aku lebih puas mengadakan pesta darah dan mayat!"
Bayu tersenyum lebar.
Bergidik juga hati Intan Delima mendengarnya.
sungguh jauh berbeda kata‐kata yang mengalir lancar
lengan wajah dan penampilannya. Rasanya semua
orang juga tidak akan percaya kalau pemuda ini ter‐
nyata berhati kejam dan selalu berlumuran darah dalam
hidupnya. Wajah dan bentuk tubuhnya tidak sedikit pun
mencerminkan kekejaman. Tapi kata‐katanya barusan...
Semua orang pasti bergidik mendengarnya!
"Sebaiknya sekarang kau pulang saja, dan segera
berlindung di bawah ketiak ayahmu. Katakan padanya
kalau saat kematiannya sudah dekat!" dengus Bayu.
"Heh...!"
Baru saja Intan Delima ingin mengatakan sesua tiba‐
tiba saja pemuda itu sudah mencelat cepat. Begitu
cepatnya, tahu‐tahu dia sudah lenyap dari pandangan
mata. Tampak Intan Delima celingukan mencari‐cari.
Meskipun gadis itu sudah terlatih dalam berbagai ilmu
olah kanuragan, tapi dia benar‐benar tercengang
melihat tingginya ilmu yang dimiliki oleh Pendeka Pulau
Neraka. Sulit diukur, sampai di mana tingkat kepandaian
Pendekar Pulau Neraka itu!
"Hhh, rasanya tadi dia tidak melayaniku dengan
sungguh‐sungguh! Apakah Ayah dan Paman Panglima
akan mampu menandinginya! Ilmunya benar‐benar luar
biasa...," Intan Delima bergumam sendiri sambil
menggeleng‐gelengkan kepala.
Beberapa saat lamanya gadis itu masih berdiri saja di
tempatnya. Dia tampak tertegun dengan kejadian yang
barusan dialaminya.
***
Sejak pertemuannya dengan Pendekar Pulau Neraka,
Intan Delima jadi tampak lebih banyak melamun dan
berdiam diri di dalam kamar. Kegagahan dan
ketampanan pemuda itu telah menggores dalam di
hatinya. Dia jadi sangsi akan kemampuan Ayah dan
Pamannya. Mampukah mereka menandingi Pendekar
Pulau Neraka? Sedangkan dia sendiri yang sempat
bentrok belum mampu untuk mengukur, sampai di
mana tingkat kepandaian pendekar muda itu.
Intan Delima juga memikirkan tentang peristiwa
yang menyangkut ayahnya dengan Pendekar Pulau
Neraka itu, hingga sampai menyulut api dendam yang
begitu parah dan harus diselesaikan dengan per‐
tumpahan darah. Beberapa saat kemudian, Intan
Delima bangkit dari pembaringan, dan melangkah
menuju jendela. Sudah setengah harian dia berada di
dalam kamar itu, namun belum juga bisa menemukan
jawaban dari pertanyaan‐pertanyaan yang mengganggu
pikirannya. Dan pertanyaan yang paling pokok, dendam
apa yang telah bersemayam di dada Pendekar Pulau
Neraka?
"Rasanya tidak mungkin kalau dia mencari Ayah
tanpa sebab," gumam Intan Delima pelahan.
Sejenak gadis itu mengedarkan pandangannya
berkeliling melalui jendela kamarnya yang terbuka. Dan
matanya langsung terpaku pada pohon beringin yang
tumbuh dekat tembok. Tampak seseorang sedang
berada di atas pohon itu sambil mengawasi. Dan Intan
Delima semakin membeliakkan matanya begitu
mengenali siapa orang itu. Maka tanpa pikir panjang
lagi, dia langsung melompat ke luar. Dan begitu ujung
dari kakinya menyentuh tanah, dia kembali melenting‐
kan tubuhnya ke udara menuju pohon itu.
Slap!
"Hey...!"
Intan Delima terkejut begitu kakinya menjejak lahan,
orang itu langsung melesat kabur. Dan dengan cepat
Intan Delima kembali melenting dan mengejar orang
yang mencurigakan itu. Tubuhnya bergerak ringan bagai
kapas. Kejar‐kejaran pun terjadi. Sedikit pun Intan
Delima tidak melepaskan pandangannya dari orang
yang berlompatan jauh di depannya.
"Huh! Ilmu meringankan tubuhnya sungguh hebat.
Tidak mungkin aku bisa mengejarnya tanpa ilmu 'Sayiti
Angin'," dengus Intan Delima.
Gadis itu tampak semakin cepat berlari setelah dia
mengerahkan ilmu 'Sayiti Angin'nya. Dan jarak dengan
orang yang ada di depannya pun semakin pendek, dan
akhirnya...
"Hiyaaa...!"
Intan Delima segera melentingkan tubuhnya dan
melompati kepala orang yang dikejarnya itu. Lalu
dengan manis dia mendarat di depannya, dan langsung
berbalik.
"Berhenti!" bentak Intan Delima.
"Hebat...! Ternyata kau mampu juga menyusulku,"
puji orang itu yang ternyata adalah seorang pemuda
gagah yang memakai baju dari kulit harimau.
"Mau apa kau mengintai rumahku, Pendekar Pulau
Neraka?" Intan Delima bertanya sinis.
Bayu hanya tersenyum saja. Lalu dia mengayunkan
kakinya mendekati sebongkah batu hitam sebesar
kerbau, dan dengan enak dia duduk di sana. Tampak
bibirnya yang tipis masih menyunggingkan senyum.
Sedangkan matanya tidak lepas dari wajah cantik yang
tidak mencerminkan persahabatan itu.
Intan Delima merasa jengah juga dipandangi
sedemikian rupa. Buru‐buru dia mengalihkan
pandangannya ke arah lain. Entah kenapa, mendadak
saja dadanya jadi bergemuruh. Detak jantungnya juga
semakin cepat bekerja. Tatapan mata Pendekar Pulau
Neraka itu demikian menusuk, dan langsung menuju
lubuk hatinya yang paling dalam. Tanpa disadari,
wajahnya menyemburat merah dadu.
"Uh! Tatapan matanya. , tapi... Ah, tidak! Dia adalah
musuh ayahku, aku tidak boleh ter... Eh! Apa yang
sedang kupikirkan? Gila!" Intan Delima jadi berperang
sendiri dengan batinnya.
Gadis itu semakin tidak menentu saja perasaannya,
saat dia melirik, dan langsung bertemu pandang dengan
pemuda itu. Gadis itu terus merutuki dirinya sendiri.
Secara jujur, dia memang mengakui kalau pemuda itu
benar‐benar gagah dan tampan. Tatapan matanya
mengandung daya tarik yang luar biasa. Intan Delima
merasa tidak sanggup lagi untuk mengusir gemuruh
yang semakin deras melanda dadanya.
Sebenarnya perasaan itu sudah ada sejak pertama
kali mereka bertemu. Namun dia masih sanggup untuk
mengenyahkan, tapi sekarang..., rasanya makin sulit
untuk menghalau perasaan itu dari hatinya. Kini Intan
Delima jadi tidak mengerti, kenapa tiba‐tiba saja dia
mempunyai perasaan yang sulit untuk dimengerti?
Suatu perasaan yang belum pernah dia alami sebelum
nya. Apakah ini yang dinamakan.... Tidak! Intan Delima
buru‐buru membantah kata hatinya. Lama juga mereka
hanya saling berdiam diri dengan hati dan perasaan
yang berbicara masing‐masing.
Intan Delima merasa, semakin lama dia berada di
tempat itu, semakin gelisah perasaan hatinya.
Sementara Pendekar Pulau Neraka masih duduk diam
dengan pandangan tidak berkedip pada wajah cantik
yang sebentar‐sebentar berubah warnanya. Sementara
Intan Delima sendiri semakin diliputi oleh suatu
perasaan yang dia sendiri tidak tahu apa artinya.
"Mau ke mana kau?" tanya Bayu begitu melihat
Intan Delima mau pergi.
Sejenak Intan Delima mengurungkan niatnya. Dan
seperti ada satu kekuatan yang amat dahsyat, dia
mengangkat kepalanya dan menatap langsung ke bola
mata Bayu. Seketika hatinya bergetar hebat begitu
matanya bertemu pada satu titik. Dengan sekuat tenaga
Intan Delima menguatkan diri dan berusaha untuk tetap
terlihat tegar.
"Sebenarnya mau apa kau mengintai rumahku?"
tanya Intan Delima setelah menarik napas dalam‐dalam.
"Siapa bilang aku mengintai rumahmu?" Bayu malah
balik bertanya.
"He! Kau ada di pohon dekat rumah! Untuk apa lagi
kalau bukan untuk mengintai?"
"O..., itu. Sengaja, aku memang sengaja memancin‐
gmu," tenang sekali jawaban Bayu.
"Memangnya aku ikan!" rungut Intan Delima, geli
juga dia.
"Bisa kita bicara baik‐baik? Sebenarnya di antara kita
tidak terjadi apa‐apa. Aku memang mencari ayahmu,
tapi aku tidak mau melibatkanmu. Kau tidak bersalah
apa‐apa padaku," kata‐kata Bayu terdengar serius.
"Kau sepertinya menganggap ayahku adalah orang
yang paling berdosa di dunia. Apa kau pikir dirimu
paling suci?" ketus nada suara Intan Delima.
"Tidak ada satu pun manusia yang suci di dunia ini.
Tapi aku tidak akan berhenti untuk menimbun dosa
sebelum semua orang yang telah membunuh
keluargaku dengan kejam, habis!"
"Kau.... Jadi...," Intan Delima jadi tersekat.
"Seharusnya aku tidak mengatakan persoalan ini
padamu. Tapi rasanya kau perlu tahu persoalan
sebenarnya. Dan aku harap kau bisa memahaminya,"
Bayu Hanggara berusaha memberikan pengertian.
"Terus terang, aku juga ingin tahu persoalan yang
sebenarnya. Katakan saja, apa sebabnya kau ingin
membunuh ayahku?" Intan Delima berusaha keras
menenangkan diri.
"Sebenarnya peristiwa itu sudah terjadi dua puluh
lima tahun lalu, saat itu aku baru saja lahir. Ayahku
memimpin sebuah padepokan yang bernama
Padepokan Teratai Putih. Kemudian pada waktu pesta
pemberian namaku, tiba‐tiba padepokan itu diserang
oleh gerombolan yang digerakkan ibu tiriku. Ayahku
tewas, juga ibu kandungku. Dan aku hidup sebatang
kara sejak masih berumur beberapa hari. Kau bisa
merasakan, betapa beratnya hidup yang harus kujalani
di sebuah pulau yang terpencil hanya dengan seorang
laki‐laki tua yang buntung dan buta! Apakah kau juga
akan menyalahkan, jika aku membalas dendam?
Seandai‐nya hal itu terjadi padamu, apa yang akan
kamu lakukan? Mencari pembunuh keluargamu, atau
kamu hanya diam saja dan melupakan semuanya?
Tentu saja tidak...!" Bayu menggeleng‐gelengkan
kepalanya beberapa kali.
Sementara Intan Delima jadi bungkam. Dia bisa
memahami persoalan yang sedang dihadapi pemuda
itu. Sebagai seorang anak, memang sudah menjadi
kewajiban untuk membela dan mempertahankan nama
baik orang tuanya. Namun Intan Delima belum dapat
untuk memutuskan saat ini, siapa yang bersalah, dan
siapa yang harus dibela? Dua kutub yang begitu berat
seperti sedang menarik dirinya.
Sebagai orang yang baru selesai mengikuti
gemblengan di sebuah padepokan, dia memang harus
membela kebenaran. Sejak kecil ia sudah dididik untuk
menjadi seorang pendekar wanita yang tangguh dan
digdaya. Tapi sebagai seorang anak yang berbakti,
rasanya sulit kalau hanya berdiam diri saja melihat
ayahnya sedang menghadapi suatu persoalan berat
yang mempertaruhkan nyawa. Intan Delima memang
tidak menyalahkan Bayu yang memburu ayahnya, tapi
dia juga tidak bisa melihat ayahnya mati begitu saja.
"Mungkin kau akan menganggapku mengada‐ada
saja, Adik...."
"Intan. Namaku Intan Delima," potong Intan Delima
cepat.
"Hm..., kau bisa memanggilku Bayu."
"Maaf, aku tidak bisa begitu saja percaya. Aku juga
harus mendengar sendiri dari ayahku," kata Intan
Delima tegas.
"Memang begitu seharusnya, dan aku harap kau
tidak ikut campur setelah mengetahui persoalan yang
sebenarnya. Tapi kalau kau juga ingin membela
ayahmu, jangan anggap aku kejam. Aku sudah ber‐
sumpah, akan membunuh siapa saja yang membela
orang yang telah membunuh keluargaku," Bayu mem‐
peringatkan.
"Mungkin kita akan berhadapan, Bayu. Entah sebagai
kawan atau lawan
"Ternyata kau berjiwa seorang pendekar juga, Adik
Intan," puji Bayu tulus.
"Terima kasih," Intan Delima tersipu.
Sesaat mereka kembali terdiam. Sementara itu
matahari semakin condong ke arah Barat. Sinarnya yang
semula terik, kini sudah tidak terasa lagi. Kabut pun
tampak telah mulai kelihatan turun. Beberapa saat
kemudian, Intan Delima berpamitan ingin kembali, tapi
Bayu buru‐bum mencegah.
"Ada apa lagi?" tanya Intan Delima.
"Katakan pada Pamanmu, Panglima Bantaraji. Agar
jangan mencampuri urusan ini. Aku tidak mau orang
jujur, baik dan ksatria seperti dia mati sia‐sia," pesan
Bayu.
"Baiklah, tapi aku tidak janji," sahut Intan Delima
"Terima kasih, dan yang lebih penting, aku minta
agar kau juga tidak ikut campur. Aku akan menghadapi
secara ksatria dengan sedikit permainan."
"Apa yang akan kau lakukan?"
Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum saja
sembari bangkit dari duduknya. Dan tanpa berkata apa‐
apa lagi, Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat
pergi. Begitu cepatnya, sehingga seperti menghilang
saja. Sejenak Intan Delima menarik napas panjang,
kemudian kakinya terayun menuju ke istana kadipaten
kembali.
***
4
Malam baru saja menjelang. Dan kegelapan segera
menyelimuti seluruh bumi di sekitar Kadipaten Jati
Anom. Tampak Intan Delima ke luar dari kamarnya, dan
langsung menuju taman belakang. Langkahnya ringan
dan anggun. Namun keningnya terlihat berkerut tipis,
pertanda kalau dia tengah menghadapi satu persoalan
yang sangat serius. Gadis itu berhenti melangkah begitu
sampai di taman belakang. Di sana tampak Adipati
Rakondah sedang duduk sendirian di kursi taman yang
terbuat dari bambu yang diukir indah dan halus.
"Ayah...."
Adipati Rakondah segera mengangkat kepalanya.
Dan langsung tersenyum begitu melihat anak gadisnya
itu sudah berdiri di dekatnya. Sementara Intan Delima
segera duduk di samping ayahnya.
"Ada apa? Kelihatannya serius sekali," tegur Adipati
Rakondah seraya memperhatikan wajah putrinya.
"Ya...," desah Intan Delima.
"Katakan saja, Anakku."
"Ayah tidak akan marah?"
Adipati Rakondah tersenyum dan menggeleng‐
gelengkan kepalanya. Tangannya mengusap‐usap
rambut Intan Delima dengan penuh kasih.
"Kenapa Ayah harus marah? Katakan saja," lembut
suara Adipati Rakondah.
Sejenak Intan Delima berpikir. Sepertinya dia berat
untuk mengucapkannya. Beberapa kali dia hanya
menarik napas panjang, dan menghembuskannya
dengan kuat.
"Ayah tahu, kau pasti ingin menanyakan persoalan
yang sedang Ayah hadapi, kan?" tebak Adipa Rakondah.
Intan Delima terperanjat. Sungguh dia tidak
menyangka kalau ayahnya bisa menebak demikian
tepat.
"Kau memang sudah besar, Anakku. Berapa usiamu
sekarang?"
"Delapan belas, Ayah."
"Tidak kusangka, kau sudah begitu dewasa. Sudah
pantas kau mengetahui persoalan dunia," Adipati
Rakondah seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Ayah, apa sebenarnya yang sedang terjadi?" tanya
Intan Delima langsung menjurus ke pokok per‐
soalannya. Dia tidak ingin ayahnya mengingat‐ingat
kembali masa‐masa lalu. Lebih‐lebih kalau sudah
mengenang istrinya.
Intan Delima jadi teringat dengan ibunya. Seorang
wanita yang lembut dan selalu menerima apa adanya,
sebagaimana kodratnya sebagai wanita. Masa‐masa
yang indah dan tidak bisa terlupakan begitu saja.
Namun sayang, rupanya Tuhan menghendaki lain.
Ibunya meninggal saat Intan Delima baru menginjak
usia tujuh tahun.
"Intan, persoalan yang sedang Ayah hadapi memang
cukup serius. Suatu persoalan yang menyangkut hidup
dan matiku...," Adipati Rakondah mulai bercerita.
Tampak Intan Delima mendengarkan dengan serius.
Sedikit pun dia tidak menyelak kata‐kata ayahnya,
meskipun laki‐laki setengah baya itu terdiam untuk
beberapa saat.
"Aku memang bukan seorang Ayah yang baik. Masa
laluku dilumuri dengan dosa dan darah. Ilmuku memang
tangguh, dan sukar dicari tandingannya. Tapi aku salah
menggunakannya. Aku selalu menuruti hawa nafsu dan
kepentingan pribadi. Hingga satu saat...," Adipati
Rakondah kembali menghentikan kata‐katanya.
"Teruskan, Ayah," pinta Intan Delima tidak dapat lagi
menahan diri.
"Dalam pengembaraanku, di sebuah desa aku
bertemu dengan seorang wanita. Aku tahu, kalau
wanita itu sudah bersuami, tapi kecantikannya mem‐
buatku mata gelap dan ingin memilikinya. Kemudian
aku memaksakan kehendakku, dan hampir memperkosa
wanita itu, tapi seorang pendekar berhasil menyelamat‐
kannya. Dia mengalahkanku, Intan. Aku dendam dan
berjanji akan menghancurkannya kelak. Kau tahu, Intan.
Siapa nama pendekar itu? Dialah Pendekar Dewa
Pedang, Ayah dari Bayu si Pendekar Pulau Neraka."
"Jadi, Ayah telah membunuhnya?" Intan Delima
seperti tidak percaya.
"Bukan aku saja, Intan. Banyak tokoh‐tokoh lain yang
ikut membunuh dan menghancurkan padepokan yang
dipimpinnya. Dan semua itu juga berkat istri muda
Dewa Pedang yang berhasil kami hasut dengan
memutarbalikkan fakta yang sebenarnya."
Intan Delima memandangi ayahnya tidak percaya.
Sungguh dia sulit untuk percaya kalau ayahnya bisa
sekejam itu. Semula dia sudah berharap bahwa ayahnya
akan membantah semua cerita Pendekar Pulau Neraka,
tapi yang didapatnya sekarang benar‐benar di luar
dugaannya sama sekali. Ternyata masa lalu Adipati
Rakondah begitu kelam dan penuh dengan dosa.
"Tidak...! Tidak mungkin...!" Intan Delima meng‐
geleng‐gelengkan kepalanya seraya bangkit dari
duduknya. Tatapan matanya mengandung ketidak‐
percayaan dengan apa yang barusan didengarnya. Gadis
itu kemudian melangkah mundur pelahan‐lahan.
"Intan...," suara Adipati Rakondah tersekat di
tenggorokannya.
"Tidak...! Katakan padaku, Ayah. Kau tidak
melakukan itu. Kau tidak tahu apa‐apa. Katakan, Ayah!
Katakan kalau kau telah berdusta!" mendadak Intan
Delima jadi histeris.
"Aku tidak dusta, Anakku. Memang pahit, tapi semua
itu sudah berlalu, dan aku sudah melupakan semuanya,
Intan. Kalaupun sekarang muncul putra Dewa Pedang,
dan ingin membalas dendam, aku harus menghadapinya
secara ksatria."
"Oh, tidak...," lirih suara Intan Delima.
"Intan...!"
Namun Intan Delima sudah keburu berbalik, dan
langsung berlari masuk ke dalam bangunan besar yang
indah itu. Sedangkan Adipati Rakondah hanya bisa
tertunduk lemas. Ada sedikit rasa penyesalan di hatinya,
tapi hal itu memang harus dia lakukan. Cepat atau
lambat, Intan Delima pasti tahu.
"Maafkan ayahmu, Intan...," desah Adipati
Rakondah.
***
Malam terus merayap semakin larut. Suasana di
Istana Kadipaten Jati Anom semakin sepi. Hanya
beberapa penjaga yang masih tampak terlihat di
tempat‐tempat yang terlindung dari cahaya bulan dan
lampu pelita. Dan di taman belakang, Adipati Rakondah
juga masih terlihat duduk di kursi panjang yang terbuat
dari bambu.
Beberapa kali terdengar tarikan napasnya yang
panjang dan dalam. Tampaknya dia masih merenungi
sikap putrinya yang langsung berubah begitu dia
menceritakan masa lalunya itu. Tapi, bagaimanapun
juga dia tidak bisa menyalahkan Intan Delima kalau
gadis itu sampai membencinya. Adipati Rakondah sadar,
bahwa dirinya memang patut untuk dibenci. Memang
penyesalan datangnya selalu belakangan.
Tepat ketika Adipati Rakondah bangkit dari
duduknya, tiba‐tiba secercah cahaya keperakan melesat
cepat bagai kilat mengarah dirinya. Dan dengan satu
gerakan refleks, adipati itu memiringkan tubuhnya
sedikit ke kanan. Dan cahaya keperakan itu lewat sedikit
di depan dadanya. Namun belum juga dia sempat
menarik tubuhnya kembali, mendadak satu cahaya
keperakan kembali meluncur deras mengancam nyawa
nya.
"Uts!"
Untung saja Adipati Rakondah kembali berhasil
mengelak dengan menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Dan
matanya yang tajam sempat menangkap berkelebatnya
satu sosok bayangan yang melompati tembok benteng
bagian belakang.
"Pengawal...!" teriak Adipati Rakondah keras.
Setelah berkata begitu, secepat kilat dia melenting‐
kan tubuhnya mengejar sosok bayangan tadi. Dan pada
saat yang sama, enam orang prajurit pengawal sudah
berdatangan. Mereka sempat melihat bayangan Adipati
Rakondah melompati tembok. Maka tanpa membuang‐
buang waktu lagi, mereka langsung mengejar. Dari cara
berlari dan melompati tembok, sudah dapat dilihat
kalau enam orang prajurit itu memiliki ilmu olah
kanuragan yang tidak rendah. Mereka adalah para
prajurit pilihan yang sengaja didatangkan oleh Panglima
Bantaraji dari kerajaan.
Sementara itu Adipati Rakondah masih tetap berdiri
di balik tembok belakang. Dia telah kehilangan jejak.
Bayangan yang dilihatnya tadi langsung hilang ditelan
kegelapan malam. Tak lama kemudian enam orang
pengawal kadipaten sudah berada di belakangnya.
"Cepat kalian cari di sekitar benteng!" perintah
Adipati Rakondah.
"Baik, Gusti," sahut enam orang prajurit pilihan itu
serentak.
Sedangkan Adipati Rakondah segera melentingkan
tubuhnya melewati tembok. Dan pada saat kakinya
menjejak tanah, di depannya sudah berdiri Panglima
Bantaraji yang didampingi sekitar sepuluh orang prajurit
dengan pedang terhunus.
"Ada apa?" tanya Panglima Bantaraji bernada cemas.
"Dia sempat datang, tapi langsung kabur," sahut
Adipati Rakondah seraya melangkah.
Panglima Bantaraji pun segera memerintahkan pada
sepuluh orang prajuritnya untuk mencari orang yang
dilihat Adipati Kakondah. Kemudian dia melangkah
mengikuti Adipati Jati Anom itu. Mereka lalu berhenti di
depan sebuah pilar yang terbuat dari kayu jati bulat
yang berukir. Adipati Rakondah segera menjulurkan
tangannya dan mencabut dua buah logam berwarna
keperakan yang menancap di pilar itu. Dua benda itu
berbentuk bintang bersegi enam.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Panglima Bantaraji
begitu melihat benda tersebut.
Sejenak Adipati Rakondah berbalik dan menatap
Panglima Bantaraji. Kemudian tatapannya beralih pada
benda‐benda yang kini di dalam genggamannya.
"Berapa buah yang dia lontarkan?" tanya Panglima
Bantaraji.
"Dua," sahut Adipati Rakondah pelahan.
"Hm..., itu berarti dua hari lagi," gumam Panglima
Bantaraji.
Adipati Rakondah menatap tajam ke bola mata
Panglima Bantaraji. Dia seperti meminta penjelasan.
"Pendekar Pulau Neraka selalu memberi tanda
kedatangannya dengan mengirimkan bintang perak
bersegi enam. Dan hari yang ditentukan berjumlah
sama dengan bintang yang dilemparkan," Panglima
Bantaraji seperti mengerti tatapan mata itu.
"Hm, jadi dia akan datang menantangku dua hari
lagi?"
"Tidak."
"Maksudmu?”
"Mulai melakukan tekanan dan teror dua hari lagi.”
"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu, Kakang?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu membuat teror untuk
melemahkan lawannya."
"Apa yang akan dia lakukan?"
"Entahlah, tapi kau harus lebih berhati‐hati dan
jangan terpancing. Terutama sekali pada anakmu, aku
merasa Intan Delima akan diperalat untuk melemahkan
kepercayaanmu."
"Phuih! Cara apa itu? Pengecut!" dengus Adipati
Rakondah.
Adipati Rakondah terus bersungut‐sungut sambil
melangkah ke dalam istananya. Sementara Panglima
Bantaraji segera mengikutinya dari belakang. Dia yang
selama ini selalu mengikuti sepak terjang Pendekar
Pulau Neraka, sudah bisa mengetahui, kalau kejadian
barusan adalah merupakan suatu tanda akan datangnya
sebuah malapetaka di Kadipaten Jati Anom ini. Suatu
tanda sebagai lambang kematian bagi adik kandungnya!
***
Dua hari dilalui dengan cepat dan penuh ketegangan.
Sudah berapa kali Panglima Bantaraji memperingatkan
adiknya agar bisa mengendalikan diri dan jangan
terpancing Tapi rasanya sulit bagi Adipati Rakondah,
apalagi sekarang sikap Intan Delima padanya jadi lain.
Gadis itu tidak mau lagi berbicara padanya. Hatinya
sudah terluka menghadapi kenyataan pahit ini. Suatu
kenyataan yang tidak diduganya sama sekali.
Laki‐laki yang sangat dihormati dan dianggap yang
terbaik selama ini ternyata mempunyai masa lalu yang
sangat buruk. Masa lalu yang memalukan untuk
dikenang. Intan Delima benar‐benar kecewa. Luka yang
menggores hatinya begitu dalam, rasanya sulit untuk
disembuhkan lagi.
Hari ini adalah hari ketiga setelah terlontarnya
bintang sebagai tanda dimulainya suasana berselimut
maut. Dan selama tiga hari ini juga Intan Delima terus
mengurung diri di dalam kamarnya. Tidak ada seorang
pun yang diperbolehkan masuk. Pintu kamar itu selalu
tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Tapi sampai tiga
hari dilalui, belum ada tanda‐tanda kalau Pendekar
Pulau Neraka mulai melakukan tekanan.
"Intan...!" Adipati Rakondah memanggil sambil
mengetuk pintu kamar anaknya.
Tidak ada sahutan dari dalam. Adipati Rakondah
terus mengetuk pintu sambil memanggil‐manggil.
Mendadak perasaannya jadi tidak enak, karena dari
dalam kamar anaknya itu tidak terdengar suara sedikit
pun. Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung
mendobrak pintu kamar itu. Seketika tubuhnya melesat
masuk ke kamar bersamaan dengan hancurnya daun
pintu.
"Intan...!" seru Adipati Rakondah mulai cemas.
Tak ada seorang pun di dalam kamar itu. Buru‐buru
Adipati Rakondah berlari ke arah jendela yang terbuka
lebar. Dan kedua matanya langsung membeliak begitu
mendapati sebuah bintang yang berwarna keperakan,
dan bersegi enam tertancap pada dinding dekat jendela.
"Intan...!" teriak Adipati Rakondah panik.
Tentu saja suara gaduh itu mengundang beberapa
prajurit berdatangan. Begitu pula dengan Panglima
Bantaraji, dia langsung berlari masuk ke kamar.
"Ada apa...?!" tanya Panglima Bantaraji terkejut.
Adipati Rakondah tidak menjawab. Dia hanya
terduduk lemas di tepi tempat tidur yang berantakan.
Matanya beredar berkeliling. Keadaan kamar itu seperti
baru saja terjadi pertarungan. Tampak pecahan guci
berserakan di lantai. Dan meja kursi juga berantakan.
Panglima Bantaraji segera mencabut senjata yang
berbentuk bintang bersegi enam berwarna perak dari
dinding. Sejenak dia mengamati benda yang kini berada
di tangannya itu, lalu tatapannya beralih pada Adipati
Rakondah yang masih terduduk lemas di tepi pem‐
baringan.
"Cepat geledah seluruh pelosok kadipaten! Tanyai
semua orang!" perintah Panglima Bantaraji.
Dan tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit
yang berada di kamar itu langsung pergi melaksanakan
perintah itu. Sedangkan Panglima Bantaraji meng‐
hampiri adiknya dan ikut duduk di sampingnya. Tidak
sedikit pun Adipati Rakondah mengangkat kepalanya
Berbagai macam perasaan kini tengah berkecamuk di
dalam dadanya.
"Aku sudah peringatkan padamu, Adik Rakondah.
Sekarang semua sudah terjadi, dan kita hanya bisa
berharap agar Intan Delima bisa selamat dari maut,"
kata Panglima Bantaraji pelan.
"Ini semua memang salahku, Kakang. Seharusnya
aku tidak menceritakan semuanya...," keluh Adipati
Rakondah lirih.
Seketika Panglima Bantaraji menatap tajam pada
adiknya itu. Dia sepertinya tidak percaya dengan pen‐
dengarannya barusan.
"Adik Rakondah, apa yang kau katakan tadi?"
"Maafkan aku, Kakang. Aku terpaksa menceritakan
semuanya pada Intan. Dan aku tidak menyangka kalau
akan begini jadinya."
Panglima Bantaraji bangkit dari duduknya. Kemudian
dia melangkah pelan‐pelan dengan kepala tertunduk.
Dan ketika sampai di ambang pintu, dia berbalik. Tepat
pada saat itu Adipati Rakondah tengah menatapnya.
Sejenak mereka saling berpandangan.
"Jadi itulah sebabnya Intan Delima mengurung diri di
kamar, Adik Rakondah?" Panglima Bantaraji ingin pen‐
jelasan.
"Ya," sahut Adipati Rakondah mendesah.
"Hhh...!" Panglima Bantaraji menarik napas panjang.
Kemudian dia berbalik lagi.
"Kakang...," pelan suara Adipati Rakondah.
"Ada apa lagi?" Panglima Bantaraji tidak berbalik
lagi.
"Terus terang, aku tidak tahu lagi, apa yang harus
kulakukan...?" keluh Adipati Rakondah.
Panglima Bantaraji tidak menjawab. Dia terus meng‐
ayunkan kakinya meninggalkan kamar itu. Dia sendiri
tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Sampai saat ini,
tindakan Pendekar Pulau Neraka memang sulit untuk
ditebak dan dimengerti. Tindakannya sangat ganjil!
Melakukan tekanan, membuat lawan jadi lemah
mentalnya dan kehilangan kepercayaan diri. Kemudian
muncul dengan didahului suatu tanda yang aneh dan
mengejutkan.
Panglima Bantaraji benar‐benar merasakan suatu
suasana yang membingungkan. Sepertinya dia tengah
berada pada satu lingkungan yang terkepung oleh
makhluk‐makhluk haus darah. Kini keadaannya benar‐
benar seperti di dalam neraka. Apa pun yang dilakukan,
sepertinya Pendekar Pulau Neraka bisa mengetahui,
dan menciptakan neraka baru yang lebih mengerikan
dan menyakitkan.
***
5
Benarkah Intan Delima telah diculik oleh Pendekar
Pulau Neraka?
Sebenarnya, Intan Delima memang sengaja mening‐
galkan istana kadipaten Dia pergi dengan membawa
kehancuran dan rasa kecewa yang sangat dalam di
hatinya. Kepergian gadis itu diketahui oleh Bayu si
Pendekar Pulau Neraka, yang selalu mengamati suasana
di sekitar Istana Kadipaten Jati Anom. Kemudian dia
memanfaatkan kesempatan itu dengan menyusup ke
dalam kamar gadis itu, dan membuatnya seolah‐olah
seperti telah terjadi pertarungan dengan meninggalkan
sebuah bintang keperakan bersegi enam.
Lalu, ke mana sebenarnya Intan Delima pergi? Tak
ada seorang pun yang tahu, kecuali Bayu. Sekarang
Intan Delima berada di sebuah goa kecil di Lereng
Gunung Panjaran. Setiap waktu dihabiskannya di dalam
goa. Dan dia baru ke luar dari dalam goa kalau me‐
rasakan perutnya lapar. Rasa kecewa yang dalam
terhadap ayahnya telah membuat gadis itu seperti ingin
menghilang dari dunia ramai.
Pagi itu Intan Delima baru saja ke luar dari mulut goa
tempatnya mengasingkan diri. Langkah kakinya
langsung terhenti ketika tiba‐tiba di depannya sudah
berdiri seorang laki‐laki muda berwajah tampan dengan
tubuh tinggi tegap. Laki‐laki itu mengenakan baju dari
kulit harimau. Kedua tangannya melipat di depan dada.
"Mau apa kau datang ke sini?" ketus suara Intan
Delima.
Pemuda gagah itu hanya tersenyum saja, kemudian
dia melangkah mendekati. Dan dengan enak dia lalu
duduk di atas akar pohon yang menyembul dari dalam
tanah. Sedangkan Intan Delima hanya memandanginya
saja dengan wajah tidak menunjukkan persahabatan.
"Terus terang, aku heran denganmu. Keadaan
Kadipaten Jati Anom kini sedang kacau, kau malah enak‐
enakan menyendiri di sini," kata pemuda itu kalem.
Sepertinya dia tidak tahu‐menahu dengan suasana yang
ditimbulkannya.
"Itu semua gara‐gara kau!" bentak Intan Delima.
"Tidak juga, kalau ayahmu tidak membuat persoalan
lebih dulu," pemuda itu mengelak.
"Jangan bersilat lidah! Katakan saja terus terang, apa
maumu datang ke sini?"
"Hanya ingin melihatmu."
"Huh!" Intan Delima mencibirkan bibirnya seraya
memalingkan wajahnya.
Namun dia merasakan wajahnya jadi panas. Kata‐
kata yang meluncur dari mulut pemuda gagah itu
membuat jantungnya seperti berhenti berdetak. Intan
Delima tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dia
sudah terpikat sejak pertemuannya yang pertama kali di
Hutan Naga. Rasa simpatinya semakin menebal setelah
mengetahui persoalan dan kemelut hidup pemuda yang
bernama Bayu itu. Tapi kalau mengingat persoalan yang
sedang terjadi antara Bayu dengan Adipati Rakondah,
Intan Delima seperti terjepit pada dua sisi yang
menyulitkan
Di satu pihak, dia begitu menyayangi dan mencintai
ayahnya. Meskipun hatinya sempat terluka dan kecewa.
Dan di pihak lain, hatinya sudah terukir suatu kata‐kata
yang sulit untuk dihapuskan kembali. Kini Intan Delima
tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Rasanya tidak
mungkin lagi dia untuk membujuk Bayu agar me‐
madamkan api dendamnya. Dia bisa mengerti dan
memahami dendam yang sudah bersemayam kuat di
dalam dada pemuda itu Tapi dia juga tidak mungkin
berdiam diri melihat nyawa ayahnya terancam oleh
Pendekar Pulau Neraka ini.
"Adik Intan...," lembut suara Bayu.
"He! Kau..., kau memanggilku adik...?!" Intan Delima
terperangah setengah tidak percaya. Dia sampai ber‐
balik dan menatap tajam ke bola mata pemuda itu,
namun cepat‐cepat dialihkan pandangannya ke arah
lain.
"Kenapa? Apakah aku tidak pantas menyebutmu
adik?"
"Tidak! Eh..., boleh..., boleh," Intan Delima jadi
gugup.
"Antara aku dan ayahmu memang saling ber‐
musuhan, tapi aku tidak mau kau ikut memusuhiku. Di
dunia ini aku hidup sendiri, tanpa teman dan kerabat.
Semua orang memandangku dengan benci, sepertinya
kehadiranku hanya akan menimbulkan malapetaka saja.
Yah..., mungkin memang sudah takdirku harus hidup
sendiri tanpa seorang pun yang mau menjadi teman
bicara," Bayu mengeluh.
Kata‐kata Bayu yang bernada keluhan itu membuat
hati Intan Delima tergerak. Dia kemudian kembali
menatap dalam ke bola mata pemuda itu, seakan‐akan
ingin mencari kebenaran pada sinar matanya. Dan gadis
itu sedikit tersentak begitu melihat sepasang bola mata
itu berkaca‐kaca. Dan tanpa sadar, dia segera meng‐
hampiri dan berlutut di depannya.
"Kau benar‐benar cantik, Adik Intan. Aku memang
seorang yang tidak tahu diri, terlalu banyak berharap
untuk bisa berteman denganmu. Terlalu jauh per‐
bedaan yang ada, terlalu dalam jurang pemisah di
antara kita. Maaf, tidak seharusnya aku berharap bisa
berteman denganmu," pelan dan lirih suara Bayu.
Intan Delima tidak lagi bisa berkata‐kata. Sebenarnya
banyak yang ingin dia ucapkan, tapi tenggorokannya
serasa tersekat, sulit untuk mengucapkan satu kata pun.
Hanya sinar matanya saja yang memberikan banyak
perasaan yang tak bisa dilukiskan.
Pelahan‐lahan Bayu bangkit seraya mendesah
panjang. Kemudian kakinya terayun pelan meninggalkan
gadis itu. Sementara Intan Delima juga ikut berdiri.
Rasanya dia ingin ikut melangkah, tapi kakinya seperti
terpaku, sulit untuk digerakkan.
"Kakang...," ke luar satu kata dari bibirnya yang
bergetar.
Bayu segera menghentikan langkahnya. Dia mem‐
balikkan tubuhnya dan menghadap pada gadis itu.
Sesaat mereka hanya berdiam diri saling tatap. Namun
teriihat kepala pemuda itu rnenggeleng‐geleng lemah,
dan tanpa berkata apa‐apa lagi, tubuhnya langsung
melenting cepat dan lenyap ditelan oleh lebatnya
pepohonan di Lereng Gunung Panjaran itu.
"Oh.... Kasihan kau, Kakang. Ternyata nasibmu lebih
buruk dariku," desah Intan Delima lirih.
Gadis itu tetap berdiri terpaku dengan pandangan
mata lurus ke arah kepergian Pendekar Pulau Neraka.
Lama juga Intan Delima berdiri di depan goa. Hingga
sampai matahari berada tepat di atas kepala, baru dia
melangkah meninggalkan tempat itu. Perutnya sudah
berkeruyuk minta diisi. Kemudian Intan Delima ber‐lalan
gontai menembus kelebatan hutan di Lereng Gunung
Panjaran.
***
Sementara itu suasana di Kadipaten Jati Anom
semakin tidak menentu. Di seluruh pelosok kota,
penjagaan semakin ditingkatkan. Namun sampai saat ini
tidak ada yang bisa mengetahui tempat persembunyian
Pendekar Pulau Neraka. Dan keadaan semakin ber‐
tambah parah, ketika satu persatu para prajurit yang
didatangkan dari kerajaan, tewas dengan dada ter‐
tembus senjata yang berbentuk bintang perak bersegi
enam. Hal itu tentu saja makin membuat Adipati
Rakondah dan Panglima Bantaraji kalang‐kabut.
Lebih‐lebih Adipati Rakondah, kepercayaan pada
dirinya sendiri semakin goyah. Emosinya sudah tidak
terkontrol lagi. Perang urat syaraf yang ditimbulkan
oleh sepak‐terjang Pendekar Pulau Neraka benar‐benar
telah membuat Adipati Rakondah dan Panglima
Bantaraji seperti kehilangan diri.
"Gila! Ini benar benar gila!" geram Adipati Rakondah
ketika pagi itu dia mendapat laporan bahwa seluruh
kuda‐kuda di istal hilang.
Adipati Rakondah yang selalu didampingi kakaknya,
Panglima Bantaraji segera melihat istal yang sudah
kosong tanpa seekor kuda pun di dalamnya. Dia
langsung menggerutu sendiri, mencaci‐maki tidak
karuan! Perang urat syaraf yang dilontarkan Pendekar
Pulau Neraka benar‐benar menyakitkan. Setegar apa
pun jiwa seseorang, pasti akan rapuh juga jika terus‐
menerus dilanda teror tanpa mampu untuk berbuat
sesuatu.
"Kendalikan dirimu, Adik Rakondah," kata Panglima
Bantaraji berusaha menenangkan, padahal di dalam
dadanya sendiri juga bergemuruh.
"Bagaimana aku bisa tenang, Kakang. Dia sudah
mengambil anakku, kemudian disusul dengan tewasnya
sebagian prajurit‐prajurit kita! Sedangkan apa yang
sudah kita lakukan? Diam...! Diam terus!" Adipati
Rakondah jadi semakin berang.
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Mengobrak‐abrik
seluruh kadipaten?" Panglima Bantaraji juga jadi gusar.
"Aku akan mencari sendiri bajingan itu!"
"Rakondah...!"
Peringatan Panglima Bantaraji tidak digubris lagi.
Adipati Rakondah bergegas meninggalkan istal yang
sudah kosong itu. Hatinya benar‐benar panas, tidak
tahan lagi menghadapi tekanan yang datang secara
beruntun. Rasanya tidak ada lagi yang bisa dia lakukan,
selain mencari pendekar itu dan menantangnya untuk
bertarung sampai salah satu di antara mereka ada yang
tewas!
"Rakondah!" Panglima Bantaraji menyentakkan bahu
adiknya hingga adipati itu berbalik dan meng‐
hadangnya.
Sejenak Adipati Rakondah menatap tajam pada
kakaknya itu. Kini mereka tidak peduli lagi dengan
jabatan yang disandang masing‐masing. Mereka terus
saling tatap dengan tajam, seperti dua orang musuh
yang sudah siap mengadu nyawa.
"Bagaimanapun juga kau harus bisa mengendalikan
diri, Adik Rakondah. Aku sudah menyebarkan puluhan
telik sandi terpercaya untuk menemukan tempat per‐
sembunyian Pendekar Pulau Neraka," kata Panglima
Bantaraji terus berusaha menenangkan adiknya.
"Percuma, Kakang. Lebih baik segera kau tarik
kembali para prajuritmu untuk pulang. Aku tidak mau
lagi lebih banyak korban berjatuhan," sahut Adipati
Rakondah bernada putus asa.
"Kau sepertinya tidak mempercayai kemampuanku,
Rakondah."
"Maaf, Kakang. Pendekar itu hanya menginginkan
diriku. Rasanya sia‐sia saja meskipun kau datangkan
seluruh prajurit pilihan kerajaan. Dia sangat licik dan
punya siasat yang kejam. Maaf, aku harus segera meng‐
ambil tindakan sebelum terlambat," tegas kata‐kata
Adipati Rakondah.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Panglima
Bantaraji.
"Mengosongkan istana."
"Gila! Apa kau mau bunuh diri, Rakondah? Pendekar
Pulau Neraka sukar dicari tandingannya. Kita berdua
saja belum tentu mampu menghadapinya!' Panglima
Bantaraji terkejut setengah mati.
"Tapi itu lebih‐baik. Kakang. Daripada semakin
banyak orang yang tidak berdosa tewas di tangannya,
Aku akan semakin merasa berdosa jika membiarkan
orang‐orang tidak berdosa ikut tewas karena membela
ku. "
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri,
Rakondah. Ingat, masih ada aku, masih banyak sahabat‐
sahabat kita yang memiliki ilmu tinggi. Kalau kita mau
menghubungi, mereka pasti mau membantumu," kata
Panglima Bantaraji.
Adipati Rakondah segera menggeleng‐gelengkan
kepalanya.
"Sudah terlambat, Kakang. Rasanya tidak ada lagi
yang harus jadi korban. Kini semuanya benar‐benar
sudah terlambat. Hidup pun tidak ada gunanya lagi
bagiku. Terima kasih, kau telah berkorban banyak untuk
membelaku, Kakang. Sebaiknya kau segera kembali saja
ke kerajaan, dan bawa semua prajuritmu," kata Adipati
Rakondah tetap pada pendiriannya.
"Adik Rakondah..."
"Maaf, aku tidak bisa lagi menerima bantuanmu.
terima kasih, Kakang," tegas kata‐kata Adipati
Rakondah.
Panglima Bantaraji tidak bisa lagi menahan kepergian
adiknya. Dia sudah tahu betul akan watak adiknya itu.
Keras dan teguh pada pendiriannya! Ada rasa ke‐
kaguman pada hatinya melihat sikap adiknya yang
berjiwa ksatria itu. Benar benar sudah jauh berbeda
lengan masa‐masa lalunya. Kini Panglima Bantaraji
hanya bisa memandangi Adipati Rakondah yang me‐
langkah gontai menuju istana.
"Kasihan kau, Adikku," desah Panglima Bantaraji
pelan. "Kau harus menanggung semua akibat per‐
buatanmu sendiri."
Dan dengan langkah pelan, Panglima Bantaraji juga
meninggalkan halaman depan istal yang sepi itu.
Tampak pengurus kuda tengah duduk melamun di
samping pintu istal Kini tidak ada lagi yang bisa dia
kerjakan. Semua kuda kuda telah lenyap semalam,
tanpa sisa satu ekor pun. Suatu kejadian yang aneh, dan
baru pertama kali terjadi. Semua orang seperti kena
sirep, tidur lelap dan tidak mendengar suara apa pun.
***
Meskipun sudah berkali‐kali disuruh pulang, tapi
Panglima Bantaraji tetap tidak mau meninggalkan
Kadipaten Jati Anom. Bagaimanapun juga, dia tidak tega
untuk meninggalkan adik kandung satu‐satunya meng‐
hadapi maut seorang diri. Meskipun sudah jelas bahwa
adiknya yang bersalah!
Adipati Rakondah sendiri kini sudah mengosongkan
istananya. Semua pelayan dan abdi setianya sudah
disuruh meninggalkan istana. Bahkan para pejabat
kadipaten tidak diperbolehkan datang lagi. Tidak ada
seorang pun yang berani membantah, mereka seperti
sudah mengerti dengan semua persoalan yang sedang
dihadapi junjungannya itu. Sekarang yang masih tinggal
di lingkungan Istana Kadipaten, hanya Adipati Rakondah
sendiri dengan Panglima Bantaraji dan dua puluh orang
prajurit pilihan dari kerajaan. Suasana di istana
kadipaten benar benar sudah sunyi. Suatu kesunyian
yang mencekam dan berselimut maut!
Sejak sore, Adipati Rakondah duduk merenung di
beranda depan istananya. Di sampingnya duduk pula
Panglima Bantaraji. Sementara empat orang prajurit
yang bersenjata pedang di pinggang berdiri di belakang
mereka. Tak ada yang bicara sedikit pun sejak senja
tadi. Masing‐masing sibuk dengan pikirannya. Sedang‐
kan di bagian halaman depan, tampak enam belas
prajurit berjaga‐jaga dengan senjata yang sudah ter‐
hunus di tangan.
"Huh! Seperti sedang menunggu mati saja!" dengus
Panglima Bantaraji mengeluh.
Sejenak Adipati Rakondah menoleh dan memandang
sayu pada kakaknya.
"Sudah dua malam kita duduk di sini. Mau sampai
kapan lagi begini terus...?" lagi‐lagi Panglima Bantaraji
mengeluh.
"Jangan mengeluh terus, Kakang. Aku sudah me‐
mintamu untuk meninggalkan Kadipaten Jati Anom,"
rungut Adipati Rakondah
"Meninggalkanmu sendirian dicincang”
"Kalaupun aku harus mati, ini adalah kesempatanku
untuk mati secara ksatria, Kakang."
Kini Panglima Bantaraji menatap tajam pada adiknya.
Selama ini dia belum pernah mendengar kata‐kata
seperti itu ke luar dari mulut adiknya itu. Dia seperti
tidak percaya, bahwa adiknya yang selama ini berada di
jalan hitam sudah benar‐benar berubah. Apakah Adipati
Rakondah sudah putus asa? Atau memang dia sudah
bertobat dan ingin menebus segala dosa‐dosanya di
masa lalu? Tidak ada seorang pun yang tahu!
Sementara malam terus merayap semakin larut.
Kedua. bersaudara itu terus berbincang‐bincang
mengenang kembali masa masa lalu. Di mana mereka
terkenal sebagai tokoh yang sangat disegani di rimba
persilatan, dengan julukan Sepasang Gagak Hitam dari
Utara. Dan meskipun mereka selalu bersama‐sama
mengarungi keganasan rimba persilatan, namun watak
dan tindakan mereka selalu bertentangan. Yang satu
selalu mementingkan orang lain dan membela
kebenaran, sedangkan satunya lagi selalu bertindak
sangat bertentangan, namun anehnya mereka bisa ber‐
satu seiring sejalan. Hal itu tentu saja membuat tokoh‐
tokoh sakti rimba persilatan jadi bingung menentukan
mereka berada dalam golongan mana.
Satu hari mereka memberantas kejahatan bersama‐
sama, tapi pada hari berikutnya mereka bisa bentrok
dengan pendekar golongan putih. Mereka berdua
memang bisa saling bantu dan mendukung satu sama
lainnya, tapi untuk kepentingan pribadi tidak mau saling
mencampuri.
"Kakang, awas...!" tiba‐tiba Adipati Rakondah
berseru nyaring sambil melompat dan menubruk
kakaknya.
Dan pada saat yang bersamaan, secercah cahaya
keperakan meluncur deras bagai kilat. Kakak beradik itu
jatuh bergulingan, dan sinar keperakan itu langsung
menghantam seorang prajurit yang tengah berdiri tepat
di belakang Panglima Bantaraji. Jeritan melengking
terdengar disusul dengan ambruknya prajurit itu.
Panglima Bantaraji bergegas melompat dan meng‐
hampiri prajurit yang malang itu. Dan kemudian dia
segera mencabut benda berbentuk bintang berwarna
keperakan dari dada prajurit itu.
Wut, wut, wut...!
Belum lagi rasa terkejut mereka hilang, tiba‐tiba tiga
buah benda bercahaya keperakan kembali meluncur
dan menancap berjajar pada daun pintu. Seketika
Adipati Rakondah dan Paglima Bantaraji melompat
begitu mereka melihat berkelebatnya sebuah bayangan
melompati tembok.
"Hey! Berhenti...!" seru Adipati Rakondah lantang.
Namun begitu kakinya hinggap di atas tembok
benteng yang tinggi dan tebal, bayangan itu sudah
lenyap tak berbekas. Sejenak Adipati Rakondah meng‐
edarkan pandangannya berkeliling, menembus ke‐
gelapan malam. Sedangkan Panglima Bantaraji tetap
menunggu di bawah.
"Huh! Sial...!" rutuk Adipati Rakondah menggeram
seraya meluncur ke bawah.
Dan dengan manis sekali kakinya segera hinggap di
tanah, tepat di depan Panglima Bantaraji. Tampak di
beranda depan, dua orang prajurit tengah menggotong
seorang prajurit yang tewas tertembus bintang perak
bersegi enam. Sesaat Adipati Rakondah dan Panglima
Bantaraji saling berpandangan.
"Apa maksudnya dia mengirimkan senjata itu,
Kakang?" tanya Adipati Rakondah tetap memandang ke
bola mata kakaknya.
"Hari penentuan," sahut Panglima Bantaraji setengah
mendesah.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang?"
"Berapa yang dia lemparkan?" Panglima Bantaraji
malah balik bertanya.
"Empat, dan satu berhasil menewaskan seorang
prajuritmu," sahut Adipati Rakondah.
"Berarti tiga buah, dan itu tandanya tiga hari lagi dia
akan datang menantangmu. Satu lontaran yang
pertama tadi merupakan peringatan," Panglima
Bantaraji menjelaskan.
Adipati Rakondah segera terdiam mendengar pen‐
jelasan itu. Dan dengan kepala tertunduk lesu, dia me‐
langkah kembali ke beranda depan istananya.
Sementara Panglima Bantaraji segera mengatur sisa
para prajuritnya untuk tetap berjaga‐jaga dari segala
mungkinan yang ada.
***
Tanpa seorang pun yang mengetahui, sesosok tubuh
berada di kerimbunan pepohonan yang tidak jauh dari
benteng bagian Barat Istana Kadipaten Jati Anom.
Sepasang matanya yang bening bercahaya, menatap
tajam mengawasi sekitar bangunan besar dan megah
itu. Dan tatapannya langsung terpaku pada seorang laki‐
laki setengah baya yang mengenakan pakaian indah
seorang panglima.
Sosok tubuh itu terus mengamati setiap gerak‐gerik
Panglima Bantaraji. Tampak Panglima Bantaraji me‐
langkah menuju ke bagian belakang bangunan megah
itu. Tak ada seorang prajurit pun yang terlihat di sana.
Semua prajurit dikhususkan untuk menjaga bagian
depan.
Beberapa saat kemudian, sosok tubuh itu melenting
ringan ke bawah tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Lalu kembali dia melentingkan tubuhnya, dan hinggap di
atas atap. Dan hanya dengan menginjakkan sedikit
ujung jari kakinya, sosok tubuh itu meluruk turun dan
langsung mendarat di depan Panglima Bantaraji!
"Heh!" Panglima Bantaraji terkejut, langsung
melompat mundur dua tindak.
Sosok tubuh itu ternyata seorang pemuda gagah
berwajah tampan. Badannya yang tegap berisi,
teringkus baju dari kulit harimau. Tangannya tampak
melipat di depan dada. Tampak di pergelangan tangan
kanannya menempel sebuah lempengan logam yang
berwarna keperakan. Benda itu berkilauan tertimpa
oleh cahaya bulan yang mengintip dari balik awan
hitam. Tatapan matanya tajam menembus langsung ke
bola mata Panglima Bantaraji.
"Pendekar Pulau Neraka ," desis Panglima Bantaraji.
"Kau pasti Panglima Bantaraji," dingin dan datar
suara pemuda gagah itu yang ternyata adalah Bayu si
Pendekar Pulau Neraka.
"Benar! Akulah Panglima Bantaraji!" sahut Panglima
Bantaraji sudah bisa mengendalikan dirinya dengan
tenang.
"Di antara kita tidak pernah punya persoalan. Maka
aku minta padamu, agar jangan mencampuri urusanku,
Panglima Bantaraji," tegas kata‐kata Bayu.
"Aku sudah tahu persoalan yang kau bawa ke sini,
tapi kau juga harus tahu, bahwa antara aku dan Adipati
Rakondah tidak dapat dipisahkan. Kami adalah dua
bersaudara yang berjuluk Sepasang Gagak Hitam dari
Utara!" tegas juga jawaban Panglima Bantaraji.
"Hm..., mereka memang benar. Aku tidak mungkin
bisa memberi peringatan padamu," gumam Bayu.
"Apa yang kau katakan, Pendekar Pulau Neraka?"
"Ketahuilah, Panglima Bantaraji. Sebagian prajurit
Kadipaten Jati Anom ini masih sayang pada nyawanya.
Dan mereka mau menuruti kehendakmu. Tapi prajurit‐
prajurit yang kau bawa itu sikapnya tidak jauh berbeda
denganmu. Keras kepala! Maaf aku harus menyingkir‐
kan semua yang menjadi penghalangku!"
"Jadi...?!" Panglima Bantaraji terperangah.
"Tidak satu pun penduduk maupun prajurit
kadipaten yang berpihak lagi pada Adipati Rakondah.
Mereka semua sudah tahu, siapa sebenarnya manusia
iblis yang berkedok adipati itu!"
"Pengecut! Kau hasut mereka untuk memberontak,
heh!" geram Panglima Bantaraji.
"Mereka manusia‐manusia yang masih mempunyai
pikiran wajar, Panglima. Mereka tidak akan mem‐
berontak, mereka telah menyerahkan segalanya pada‐
ku. Dan mereka menyesal telah mengabdi pada
manusia iblis itu. Nah, Panglima Bantaraji. Kalau kau
masih punya otak waras, ikuti jejak mereka. Sedangkan
anaknya sendiri tidak mau lagi bertemu dia!"
"Keparat...! Tidak kusangka, nama Pendekar Pulau
Neraka yang begitu terkenal ternyata seorang manusia
pengecut dan licik!"
"Tidak jauh berbeda dengan cara kalian memperoleh
jabatan, Panglima. Kau dan adikmu juga menggunakan
akal licik dan pengecut. Menjilat Gusti Prabu, dan
menyingkirkan orang‐orang yang tidak menyukai kalian
dengan cara kotor dan keji!"
"Heh...!" Panglima Bantaraji tersentak kaget. Benar‐
benar di luar dugaan, kalau pemuda gagah yang
kondang namanya ini mengetahui seluruhnya tentang
kehidupan masa lalu diri mereka. Kini Panglima
Bantaraji benar‐benar dibuat tidak berkutik lagi.
Kedoknya sudah terbuka lebar di hadapan pemuda ini.
"Panglima, sekali lagi aku memintamu untuk tidak
ikut campur, karena aku sudah tahu siapa kau. Jika kau
mau menuruti kata‐kataku, hidupmu akan bisa lebih
panjang lagi, dan kau bisa tenang berada di keraton
memimpin ribuan prajurit," kata Bayu lagi.
"Phuih! Kau bocah kemarin sore berani mengatur‐
ku!" dengus Panglima Bantaraji.
Bagi Panglima Bantaraji, memang tidak ada pilihan
lagi. Dia sudah kepalang basah, dan tidak akan mundur
setapak pun juga, meskipun nyawa sebagai taruhannya.
Lagi pula, dia memang tidak mungkin meninggalkan
adiknya menantang maut seorang diri. Mereka sudah
dikenal sebagai sepasang tokoh yang tangguh, dan
sudah kenyang mengenyam pahit getirnya kehidupan
rimba persilatan selama puluhan tahun.
"Hm..., rupanya benar kata mereka, kau benar‐benar
seorang yang keras kepala! Sebenarnya aku enggan
berhadapan denganmu, Panglima. Tapi karena kau
memaksaku juga, apa boleh buat, kita terpaksa bertemu
dalam arena pertarungan nanti."
Setelah berkata begitu, Bayu langsung melentingkan
tubuhnya bagai kilat meninggalkan tampat itu.
"Hey, tunggu ..!" sentak Panglima Bantaraji.
Namun begitu Panglima Bantaraji menggenjot
tubuhnya, bayangan Pendekar Pulau Neraka itu sudah
tidak terlihat lagi. Pendekar itu bagaikan hilang ditelan
kepekatan malam. Sementara Panglima Bantaraji hanya
bisa mengeluh pendek, dan tidak jadi mengejar. Malam
terus merayap semakin larut, suasana di Kadipaten Jati
Anom benar‐benar sepi. Tak ada seorang penduduk pun
yang terlihat berada di luar rumah. Mereka semua
sudah mengetahui persoalan yang kini sedang dihadapi
oleh Adipati Rakondah, dan mereka juga sudah
mengetahui, siapa sebenarnya adipati itu. Hal ini semua
karena pekerjaan Pendekar Pula Neraka.
Meskipun segala tindakannya dapat dikatakan
kejam, namun kekejaman itu hanya ditujukan pada
orang‐orang yang memang harus diberi tindakan
begitu. Pendekar Pulau Neraka tidak akan pernah
melukai atau menyakiti orang yang tidak mempunyai
urusan dengannya, kecuali mereka yang benar‐benar
keras kepala dan menghalangi tindakannya.
"Benar‐benar hebat dia. Aku jadi sangsi, apakah
mampu untuk menandinginya...?" desah Panglima
Bantaraji bimbang.
Panglima Bantaraji kemudian melangkah pelan
memasuki bangunan istana Kadipatan Jati Anom itu. Di
benaknya terus berputar dan dipenuhi oleh kata‐kata
Pendekar Pulau Neraka barusan. Dalam hati kecilnya,
dia tidak membantah kalau kata‐kata pemuda itu
memang benar. Selama hidupnya, dia memang berada
di jalur yang tidak bisa ditentukan. Dia sendiri
sebenarnya tidak pernah menyetujui dan membenarkan
tindakan adiknya, tapi mengingat Adipati Rakondah
adalah adik kandung satu‐satunya, dia tidak bisa
meninggalkannya begitu saja!
Dan sekarang mereka sedang menghadapi suatu
persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Lawan
mereka kali, ini bukan lawan sembarangan. Dia ialah
seorang pendekar yang selalu bertindak kejam!
Mengingat semua itu, Panglima Bantaraji jadi bergidik.
Dia jadi ingat akan nasib yang telah dialami Jantara, si
Tongkat Samber Nyawa. Kedua kakinya dibuntungi dan
matanya dibutakan, persis seperti ketika Jantara
nembuntungi dan membutakan Gardika.
"Hhh..., apakah Adik Rakondah juga akan dicincang
seperti dia mencincang Dewa Pedang...?" kembali
Panglima Bantaraji mendesah lirih.
***
6
Pagi hari itu di Lereng Gunung Panjaran, Intan Delima
tengah duduk merenung di atas akar sebuah pohon
besar yang menyembul dari dalam tanah. Jari‐jari
tangannya yang lentik dan halus menyentil‐nyentilkan
batu kerikil ke sungai kecil di depannya. Wajahnya
kelihatan murung, dan sinar matanya redup menatap
lurus ke arah sungai kecil yang berair jernih depannya.
Gadis itu sama sekali tidak menyadari kalau sejak
tadi ada sepasang mata yang memperhatikannya.
Sepasang mata yang bening itu memancarkan cahaya
penuh ketegasan dan kekerasan hati. Pelahan‐lahan
pemilik sepasang mata itu menghampirinya. Mendadak
gadis itu tersentak begitu mendengar suara batuk
keluar dari belakangnya. Dia langsung menoleh, dan
menggeser duduknya begitu melihat pemuda gagah
suda berdiri di belakangnya. Pemuda itu kemudian
mengambil tempat, dan duduk di rerumputan di depan
Inta Delima.
"Sudah tiga hari ini kau kelihatan murung. Ada apa,
Adik Intan?" tanya pemuda gagah itu. Suaranya lembut,
dan sinar matanya juga lembut menata langsung ke
bola mata gadis itu.
"Entahlah, Kakang Bayu. Aku sendiri tidak tahu,”
sahut Intan Delima mendesah lirih.
"Kau rindu dengan ayahmu?" tebak Bayu.
Intan Delima tidak langsung menjawab. Dia hanya
menatap pemuda itu dengan sinar mata yang sulit
untuk diartikan. Sebenarnya dia memang rindu dengan
ayahnya, tapi mengingat kekecewaan hatinya yang
sudah demikian mendalam, kerinduannya itu pupus.
Dan Intan Delima membiarkan saja ketika tangan Bayu
mulai menggenggam tangannya. Dia juga tak bergeming
saat pemuda itu pindah duduk di sampingnya.
"Maafkan aku, Intan Seharusnya kita tidak bertemu
dalam suasana seperti ini," lembut suara Bayu.
"Kakang...," suara Intan Delima terputus. Kepalanya
tampak menggeleng‐geleng lemah. Sedangkan tatapan
matanya mengandung sejuta kata‐kata yang sulit untuk
diucapkan.
"Kau ingin mengatakan sesuatu, Intan? Katakanlah,
apa pun yang akan kau katakan, aku akan men‐
dengarkan," kata Bayu tetap lembut.
"Kau tidak akan marah?"
Bayu menggeleng dan tersenyum manis.
"Juga tidak akan membenciku?"
Tidak ada alasan untuk membencimu, Intan."
"Kakang, aku. , aku...," Intan Delima sepertinya sulit
untuk berkata. Pelahan‐lahan dia kemudian menunduk‐
kan kepalanya.
Sementara Bayu terus memperhatikan wajah gadis
itu. Dan dengan pelahan‐lahan dia lalu mengangkat
kepala Intan Delima dengan ujung jarinya. Sesaat
mereka saling bertatapan. Tanpa kata, tanpa suara!
Mereka terus bertatapan dengan sejuta kata yang
terpancar dari sinar mata. Pelahan‐lahan sekali Bayu
mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Napasnya
yang hangat menerpa langsung membuat paras wajah
Intan Delima bersemu merah dadu.
Namun belum sempat gadis itu menyadari apa yang
akan dilakukan Bayu, mendadak tubuhnya menggeletar
bagi tersengat ribuan lebah. Intan Delima merasakan
tubuhnya seperti melayang, jauh menembus mega.
Napasnya pun jadi terasa sesak, sedangkan dadanya
berdebar keras bagai genderang yang dipukul bertalu‐
talu. Bibirnya bergetar hebat dalam kuluman bibir Bayu
Hanggara.
Intan Delima langsung menundukkan kepalanya
begitu Bayu melepaskan pagutannya. Merah sudah
seluruh wajahnya. Berbagai perasaan kini berkecamuk
di dalam dadanya. Entah dia menyukai semua itu, atau
malah membencinya. Belum pernah sekali pun dia
melakukan hal itu. Namun Intan Delima seolah ingin
merasakannya lagi, dan lagi! Pagutan Pendekar Pulau
Neraka itu benar‐benar menghanyutkan. Indah, dan...
Ah!
"Kau cantik sekali, Intan...," bisik Bayu lembut dan
lirih di telinga Intan Delima.
"Kakang...," desah Intan Delima tidak mampu lagi
untuk mengatakan sesuatu.
Kembali Intan Delima tidak mampu menolak saat
tangan yang kekar itu merengkuh dan memeluknya
dengan erat. Gadis itu hanya mampu mendesah dan
mengeluh lirih. Kepalanya menengadah ke atas dengan
mata yang terpejam. Bibirnya dia gigit sekuat‐kuatnya
menahan sesuatu yang begitu kuat mendesak dirinya.
Ciuman‐ciuman yang hangat di lehernya benar‐benar
telah membuat gadis itu lupa diri.
"Oh, ahhh..., Kakang. ," desis Intan Delima lirih.
Gadis itu menggelinjangkan tubuhnya saat jari‐jenari
tangan Bayu mulai menjelajahi tubuhnya. Kembali gadis
itu tidak mampu menolak, saat Bayu membimbingnya
ke bawah sebuah pphon besar dan rindang. Intan
Delima menurut saja ketika dirinya dibaringkan di atas
rerumputan di bawah pohon rindang itu. Sementara
cahaya matahari pagi hanya mampu nengintip malu dari
balik kerimbunan daun.
Ciuman‐ciuman hangat, elusan lembut jari‐jari, dan
bisikan halus dari Pendekar Pulau Neraka membuat
Intan Delima bagai terbang ke suatu tempat indah yang
belum pernah dia datangi sebelumnya. Gadis itu hanya
bisa mengeluh dan merintih lirih dalam dekapan Bayu
Hanggara. Keangkuhan dan ketegarannya luruh hari itu
juga. Intan Delima bagaikan seekor anak ayam yang
pasrah berada di tangan serigala.
"Kakang, akh...!" pekikan tertahan terdengar. Ber‐
samaan dengan mengejangnya tubuh di dalam dekapan
Bayu.
"Ohhh..."
***
Intan Delima segera merapikan pakaiannya.
Wajahnya tampak pucat, dan setirik air bening
menggulir jatuh di pipinya yang putih kemerahan.
Sejenak melirik pada Bayu yang rebah di sampingnya.
Tampak keringat membasahi tubuh mereka. Bayu
mengangkat tubuhnya dan duduk di samping Intan
Delima. Dengan lembut dia kembali merengkuh tubuh
gadis itu ke dalam pelukannya.
Kini Intan Delima tidak mampu lagi menahan air
matanya. Air bening langsung mengucur deras jatuh
menimpa dada Bayu yang masih telanjang. Sedangkan
pemuda itu hanya bisa memeluk dan mengusap‐usap
punggung Intan Delima yang terbuka. Pakaian gadis itu
belum seluruhnya rapi. Punggungnya masih terlihat
terbuka lebar, menampakkan kulit punggung yang putih
mulus tanpa cacat.
"Kau menyesal, Intan?" bisik Bayu lembut. Intan
Delima merenggangkan tubuhnya, dan bergegas
merapikan pakaiannya. Dan dengan punggung tangan‐
nya dia menghapus air mata yang membasahi pipinya.
Gadis itu tidak tahu lagi, apa yang harus dia katakan. Dia
juga tidak tahu, perasaan apa yang dialaminya saat ini.
Apakah dia bahagia? Sedih? Kehilangan? Atau....
Entahlah. Yang jelas semuanya sudah terjadi tanpa ada
paksaan. Penyesalan juga tidak ada gunanya lagi,
sesuatu yang sudah hilang tidak akan bisa kembali lagi.
Dan tanpa berkata sedikit pun, Intan Delima berdiri
dan berjalan meninggalkan pemuda itu. Sementara
Bayu juga bergegas mengenakan pakaiannya, lalu
bangkit dan mengejar gadis itu. Dia mensejajarkan
langkahnya di samping Intan Delima. Mereka terus
berjalan pelan‐pelan tanpa berkata‐kata.
"Intan..."
Intan Delima menghentikan langkahnya. Dia
menoleh dan menatap langsung ke bola mata Bayu.
Bibirnya yang selalu merah, tampak bergetar. Sedang‐
kan sepasang bola matanya juga masih merembang,
namun tidak setitik pun air bening yang memenuhi
kelopak matanya itu jatuh.
"Maafkan aku, Intan. Seharusnya hal itu tidak perlu
terjadi," kata Bayu menyesaj.
"Kau harus menikahiku, Kakang. Kau harus menemui
ayahku, dan melamarku," kata Intan Delima agak
tersendat suaranya.
"Mustahil! Tidak mungkin, Intan. Masih banyak
pekerjaanku yang belum selesai. Lagi pula aku tidak
mungkin menarik kembali kata‐kataku! Aku sudah
memberikan waktu pertarungan. Aku atau ayahmu yang
harus mati!" kata Bayu mantap.
"Aku mencintaimu, Kakang. Dan aku tidak mau
kehilanganmu, juga ayahku. Hentikan semua dendam‐
mu, Kakang." Intan Delima setengah merengek.
Kini Bayu hanya bisa menggeleng‐gelengkan kepala‐
nya. Baginya tidak mungkin untuk mencabut kembali
ucapannya. Dia memang menyukai gadis itu, tapi
dendamnya pada ayah gadis itu tidak bisa dilupakan
begitu saja. Seperti apa pun rintangan yang meng‐
hadang, Bayu tetap bertekad untuk melaksanakan
dendam itu.
"Aku mohon padamu, Kakang. Kita bisa hidup tenang
dan bahagia, tanpa harus dibebani dengan segala
macam dendam. Aku bisa meminta pada Paman
Panglima Bantaraji agar kau diberi kedudukan yang
tinggi di kerajaan," bujuk Intan Delima. Bayu diam saja.
"Ayah pasti mau memaafkan dan menerimamu
Kakang. Aku yakin, Ayah pasti akan menyesali per‐
buatannya yang telah lalu," sambung Intan Delima tetap
membujuk.
"Maaf, Intan. Aku benar‐benar tidak bisa menuruti
permintaanmu. Hari pertarungan sudah ditentukan dan
aku sudah memberikan tanda sebagai lambang
kematian baginya!"" kata Bayu tegas.
"Kakang...!" suara Intan Delima tercekat.
"Jangan membujuk lagi, Intan," tegas kata‐ka Bayu.
Kini Intan Delima tidak kuasa lagi membendung air
matanya. Dan dia hanya bisa berdiri terpaku dengan
bibir bergetar. Sementara Bayu mulai melangkah
meninggalkannya. Pertentangan batin melanda di gadis
itu. Hatinya judah terpaut kuat oleh ketampanan dan
kegagahan pendekar muda itu, tapi dia juga mencintai
ayahnya. Tidak mungkin membiarkan ayahnya tewas di
tangan orang yang sudah menggoreskan tinta merah di
hatinya.
"Kakang...!" teriak Intan Delima memanggil.
Namun Bayu tetap melangkah meninggalkannya.
Sedikit pun dia tidak menoleh ke belakang. Buru‐buru
Intan Delima berlari mengejar sambil memanggil‐
manggil. Dia melewati Pendekar Pulau Neraka itu, dan
langsung berdiri menghadangnya. Di tangannya kini
sudah tergenggam sebilah pedang yang berkilat te
timpa cahaya matahari. Tentu saja Bayu tersentak
melihat Intan Delima telah menghunus pedangnya.
"Jangan main‐main, Intan. Masukkan kembali
pedangmu!" sentak Bayu keras.
"Tidak Bayu! Sebelum kau berjanji tidak akan
bertarung dengan ayahku, aku akan tetap menghadang‐
mu!" suara Intan Delima terdengar bergetar.
"Intan! Apa‐apaan kamu?" sentak Bayu.
"Aku mohon padamu, Kakang. Batalkan pertarungan
itu! Aku benar‐benar mencintaimu...," rengek Intan
Delima. Air matanya berderai tak terbendung lagi.
"Jangan main‐main, Intan. Masukkan kembali
pedangmu!"
"Tidak! Sebelum kau berjanji tidak akan bertarung
dengan ayahku!" suara Intan Delima agak bergetar.
"Mengertilah, Intan. Aku...."
"Kau tidak mencintaiku, Kakang?!" potong Intan
Delima cepat.
"Intan...," Bayu jadi kebingungan juga.
"Kau kejam, Kakang. Kau hanya bermaksud memper‐
mainkan aku!" tangis Intan Delima meledak Hatinya
benar‐benar serasa hancur begitu menyadari kalau
pemuda yang telah merenggut segala‐galanya itu tidak
mencintainya.
"Aku..., aku menyukaimu, Intan," suara Bayu me
lembut.
"Tidak! Kau hanya menginginkan tubuhku! Kau tidak
mencintaiku! Kau kejam, Kakang...! Kejam...!' Intan
Delima jadi histeris.
"Intan...!"
Bayu tidak mampu lagi melanjutkan ucapannya.
Intan Delima sudah keburu mengibaskan pedangnya
dengan cepat. Untung saja Pendekar Pulau Neraka itu
cepat‐cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga
ujung pedang Intan Delima lewat beberapa helai
rambut di depan dadanya.
Dan belum lagi Bayu sempat menyadarkan gadis itu,
mendadak Intan Delima sudah kembali menyerangnya
dengan ganas. Tampaknya gadis itu sudah tidak bisa lagi
mengendalikan dirinya. Rasa kecewa yang bertumpuk
membuat jiwanya terguncang hebat. Baginya lebih baik
mati, atau pemuda itu tewas di tangannya daripada
hidup menanggung malu dan kekecewaan.
"Intan! Hentikan, dengarkan aku dulu..., uts!"
Buru‐buru Bayu menarik kepalanya ke belakang
begitu ujung pedang Intan Delima hampir membabat
!ehernya. Pendekar Pulau Neraka itu benar‐benar tidak
diberi kesempatan sama sekali. Jangankan untuk mem‐
balas menyerang, untuk bicara saja dia tidak punya
kesempatan lagi! Serangan‐serangan yang dilancarkan
Intan Delima benar‐benar dahsyat dan mengarah pada
bagian‐bagian tubuh yang mematikan. Rasa cinta,
kecewa dan marah telah menggulung dirinya menjadi
satu! Hilang sudah kelembutan dan kemanisan di
wajahnya yang kini memerah kaku bagai seekor singa
betina yang kehilangan anaknya.
"Huh! Gadis ini benar‐benar ingin membunuhku!"
keluh Bayu dalam hati.
Serangan‐serangan Intan Delima benar‐benar ber‐
bahaya, dan Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Begitu
pedang Intan Delima mejuruk deras ke arah dadanya,
dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu mengegoskan
tubuhnya ke samping, dan bagaikan seekor ular marah,
tangannya bergerak cepat menepuk punggung tangan
gadis itu.
"Akh!" Intan Delima memekik tertahan.
Tepukan yang disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi itu membuat pegangan pedang gadis itu terlepas.
Dan tanpa dapat dicegah lagi, pedang bercah keperakan
itu meluncur dan menancap pada sebatang pohon
cemara.
Belum lagi Intan Delima menyadari apa yang terjadi,
satu totokan lembut sudah bersarang di pundak kirinya.
Dan disusul satu totokan lagi mendarat di dada kanan.
Maka tanpa ampun lagi gadis itu ambruk dengan tubuh
lemas tertotok jalan darahnya. Bayu segera memburu
dan berlutut di samping gadis itu.
"Intan...."
"Bunuhlah aku, Kakang. Ayo bunuhlah aku...!" jerit
Intan Delima histeris. Air matanya yang sudah kering
kembali mengalir deras.
"Maafkan aku Intan. Aku menyukaimu, tapi...."!
"Kau kejam, Kakang! Kejam...!" jerit Intan Delima
memotong cepat. Kepalanya menggeleng‐geleng.
Bayu menarik napas panjang. Kemudian jari‐jari
tangannya bergerak lembut ke beberapa bagian tubuh
Intan Delima. Setelah itu dia bangkit berdiri. Sejenak,
dipandanginya wajah gadis itu, kemudian melangkah
mundur. Intan Delima menatapnya tajam dengan sinar,
mata yang penuh dengan perasaan cinta, benci dan
kecewa yang bercampur menjadi satu.
"Sebentar lagi pengaruh totokanku hilang. Maaf, aku
harus segera pergi," kata Bayu dengan nada suara agak
tertahan.
Setelah berkata begitu, Bayu segera melompat pergi,
dan langsung lenyap ditelan kerimbunan pepohonan di
Lereng Gunung Panjaran ini. Memang benar, tidak lama
kemudian Intan Delima sudah bisa bangun lagi. Namun
dia masih terduduk lemas, dan menangis tersedu‐sedu.
Hancur sudah seluruh hatinya. Laki‐laki yang sangat
dicintainya telah pergi meninggalkannya dengan luka
yang tergores di hati.
"Aku mencintaimu, Kakang Bayu.... Ketahuilah,
Kakang. Aku tidak ingin kau tewas di tangan Ayah, aku
juga tidak ingin Ayah tewas di tanganmu. Oh, Tuhan...,
kenapa Kau pertemukan kami dalam keadaan seperti
ini?" Intan Delima merintih lirih. Air matanya semakin
banyak berlinang.
Seluruh Lereng Gunung Panjaran seperti mendengar
rintihan gadis itu. Angin serasa berhenti berhembus,
dan matahari pun meredupkan cahayanya. Rintihan
Intan Delima begitu menyayat, terucap dari lubuk
hatinya yang paling dalam. Lama Intan Delima duduk
bersimpuh dan merintih lirih. Kemudian pelahan‐lahan
dia bangkit berdiri. Kemudian dipungutnya pedang yang
tertancap di pohon cemara, lalu dimasukkan ke dalam
sarungnya kembali di pinggang.
Sebentar dia menarik napas panjang dan dalam. Dan
dengan punggung tangannya, dia menyusut air mata‐
nya. Kemudian pelahan‐lahan kakinya terayun kembali
menuruni Lereng Gunung Panjaran yang sepi itu. Lesu
dan gontai langkahnya terayun. Sesekali masih ter‐
dengar isaknya yang lirih. Sementara anginpun kembali
berhembus, dan matahari kembali menyorotkan sinar‐
nya dengan terik. Intan Delima telah melangkah gontai
dengan membawa berbagai macam perasaan yang ber‐
kecamuk di dalam hatinya.
***
Hari terus berganti seiring dengan bergulirnya sang
waktu. Matahari pun terus berputar sejalan dengan
peredarannya. Siang berganti senja, dan senja pun
kemudian lenyap digantikan malam. Tugas matahari
sepanjang siang telah berganti dengan sang dewi
malam dengan cahayanya yang lembut menyirami
bumi. Kabut tipis sudah sejak tadi menyelimuti seluruh
kawasan Kadipaten Jati Anom, yang berada Kaki Lereng
Gunung Panjaran.
Kesunyian yang tengah menyelimuti seluruh pelosok
Lereng Gunung Panjaran dan Kadipaten Jati Anom, tidak
menghalangi sebuah bayangan putih yang berkelebatan
cepat menyelinap dari rumah‐rumah penduduk.
Bayangan putih itu jelas bergerak menuju Istana
Kadipaten Jati Anom yang kini hanya dijaga oleh tidak
lebih dari dua puluh orang prajurit.
Dari gerakannya, yang ringan saat melompati
tembok benteng istana itu, jelaslah kalau orang itu
memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi. Dan
tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sosok bayangan
putih itu segera hinggap di atas genting bangunan
megah itu.
Hanya sekejap dia berada di atas atap, lalu dengan
ringan tubuhnya kembali meluruk ke bawah, dan
langsung mendarat di beranda depan. Lima orang
prajurit yang tengah menjaga tempat itu, terkejut dan
langsung mengepung dengan senjata terhunus.
"Tahan!" terdengar suara bentakan keras dari arah
dalam.
Tidak lama kemudian, keluarlah Adipati Rakondah
yang diikuti oleh Panglima Bantaraji. Mereka langsung
berlutut di depan orang berjubah putih dengan rambut
dan janggut juga putih semua. Bibirnya hampir tertutup
oleh kumis panjang yang menyatu dengan janggutnya.
Sementara lima orang prajurit yang sudah mengepung,
langsung menyimpan kembali senjatanya, dan segera
berlutut mengikuti junjungan mereka.
"Bangunlah, anak‐anakku," lembut dan berwibawa
suara laki‐laki berjubah putih yang usianya hampir
mencapai seratus tahun itu
Kemudian Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji
bangkit pelahan. Panglima Bantaraji memberi isyarat
kepada lima orang prajurit agar segera pergi. Setelah
memberi hormat, kelima prajurit itu pun segera
meninggalkan beranda.
"Ah, kedatangan Eyang Guru benar‐benar mengejut‐
kan," kata Adipati Rakondah seraya mempersilakan laki‐
laki tua yang dipanggil Eyang Guru itu masuk.
Laki‐laki tua itu pun segera melangkah ringan
memasuki bagian dalam istana itu. Mereka bertiga
kemudian duduk di kursi berukir yang terbuat dari kayu
jati, dan mengelilingi sebuah meja bundar yang juga
berukir dengan batu puatern putih di atasnya.
"Maaf, Eyang. Ada maksud apakah sehingga Eyang
Guru Watuagung datang secara tiba‐tiba? tanya Adipati
Rakondah hormat.
Laki‐laki tua berusia hampir seratus tahun itu tidak
segera menjawab. Matanya yang bening dan tajam
memandangi sekitamya, kemudian satu persatu di‐
pandanginya Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji
secara bergantian.
"Ketahuilah, anak‐anakku Aku datang karena
mendengar bahwa kalian tengah mendapat musibah
yang cukup serius. Aku memang sudah mendengar
banyak, meskipun tempat tinggalku jauh dari sini. Tapi
aku ingin mendengar langsung dari kalian berdua,”
tetap lembut dan berwibawa nada suara Eyang
Watuagung.
Sejenak Adipati Rakondah memandang Panglima
Bantaraji, lalu dia menceritakan keadaan sebenarnya
dengan singkat namun jelas. Sedangkan laki‐laki tua
berjubah putih itu mengangguk‐anggukkan kepalanya
beberapa kali. Sementara jari‐jari tangannya yang kecil
dan berkeriput terus mengelus‐elus janggutnya.
"Maafkan kami, Eyang. Bukannya kami tidak mau
memberitahukan perihal ini padamu. Kami merasa,
bahwa hal ini adalah tanggung jawab kami berdua,
terutama aku, Eyang," kata Adipati Rakondah setelah
selesai bercerita.
"Hm..., jadi benar anakmu telah diculik oleh seorang
pemuda yang mengaku bernama Pendeka Pulau Neraka
itu?" Eyang Watuagung seperti ingin kejelasan.
"Benar, Eyang," sahut Adipati Rakondah.
"Maaf Eyang," Panglima Bantaraji menyelak. "Dari
mana Eyang tahu semua tentang keadaan di ini?"
"Beberapa prajuritmu yang meninggalkan kadipaten
ini telah datang ke tempatku. Bahkan para pelayan dan
abdi‐abdimu juga datang. Mereka semua menceritakan
perihal keadaan di sini. Kemudian aku memutuskan
untuk mengetahui kebenarannya secara langsung."
“Tapi, Eyang..."
"Kau tidak usah cemas Rakondah. Kalian adalah
anak‐anakku, murid‐murid utamaku yang sudah ber‐
hasil. Aku merasa bangga pada kalian berdua. Tapi aku
juga menyesalkan setiap langkah dan tindakanmu,
Rakondah. Sejak kecil watakmu memang sudah begitu,
dan aku tidak bisa menyalahkanmu. Sebagai orang tua
yang mengasuh dan mendidikmu, aku juga merasa ber‐
tanggung jawab atas segala akibat perbuatanmu,
Rakondah."
"Maafkan aku, Eyang," pelan suara Adipati
Rakondah.
"Sudahlah, semuanya telah terjadi. Aku datang justru
untuk meluruskan jalan. Mudah‐mudahan pertumpahan
darah tidak sampai terjadi. Tapi...," kata‐kata Eyang
Watuagung tertunda.
"Ada apa, Eyang...?"
Belum lagi pertanyaan Panglima Bantaraji terjawab,
mendadak Eyang Watuagung melesat bagai kilat men‐
jebol atap. Dan pada saat yang sama sebuah bayangan
berkelebat cepat melenting dari atas atap. Begitu
cepatnya bayangan itu berkelebat, tahu‐tahu sudah
lenyap ditelan kegelapan malam. Kini Eyang Watuagung
hanya bisa berdiri tegak di atas atap sambil memandang
ke arah Lereng Gunung Panjaran. Jubahnya yang putih
dan longgar berkibar‐kibar dipermainkan angin.
***
"Ada apa, Eyang?" tanya Panglima Bantaraji setelah
Eyang Watuagung tidak segera menjawab. Dia kembali
duduk di kursinya dengan pandangan mata lurus ke luar
jendela. Keningnya yang memang sudah banyak
kerutannya, tampak semakin dalam berkerut.
Sementara Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji
hanya bisa saling berpandangan tidak mengerti.
Saat itu, tiba‐tiba secercah sinar berwarna keperakan
meluncur deras ke arah mereka. Seketika Eyang
Watuagung mengegoskan kepalanya sedikit, dan segera
mengebutkan tangan kanannya. Sinar keperakan itu
langsung lenyap di dalam genggaman tangannya. Dan
begitu tangan itu terbuka, tampaklah sebuah logam
yang berbentuk bintang dan berwarna keperakan
bersegi enam. Ada secarik kain merah yang tergulung di
tengah‐tengah benda itu. Eyang Watuagung segera
mencopot kain itu dan membuka lipatannya.
Tampak beberapa baris tulisan yang tertera dengan
tinta emas. Hanya ada satu kalimat, tapi mampu untuk
membuat mata laki‐laki yang berusia hampir seratus
tahun itu membeliak lebar. Kemudian Panglima
Bantaraji segera merebut kain itu dari tangan Eyang
Watuagung.
"Jangan campuri urusanku jika kau tidak ingin mati!"
desis Panglima Bantaraji membaca sebaris kalimat di
kain merah itu.
"Gila!" geram Adipati Rakondah.
"Ini benar‐benar, sudah keterlaluan! Berani‐
beraninya dia menghina Eyang Guru'" desis Panglima
Bantaraji menahan geram.
Sedangkan Eyang Watuagung hanya berdiam diri
dengan pandangan mata yang tetap lurus ke depan,
menembus kepekatan malam melalui jendela yang
terbuka lebar. Tampak Gunung Panjaran berdiri megah
melatarbelakangi Kadipaten Jati Anom ini. Sebuah
gunung yang selalu berselimut kabut pada puncaknya.
"Eyang, penghinaan ini harus dibalas!" kata Adipati
Rakondah geram. Hatinya benar‐benar tak rela, karena
laki‐laki tua yang menjadi gurunya dan mendidiknya
sejak kecil mendapat penghinaan seperti itu.
Memang hanya sebuah kalimat yang tertulis pada
sehelai kain merah, tapi kalimat itu benar‐benar
menyakitkan. Tidak memandang sebelah mata pun
pada seorang yang paling dihormati dan diseganinya.
Baginya, perbuatan Pendekar Pulau Neraka benar‐benar
sudah melampaui batas. Selama ini dia masih bisa
menahan diri karena memang merasa bersalah. Tapi
kalau sampai penghinaan pada guru dan orang tua
angkatnya itu.... Rasanya tidak ada seorang pun di dunia
ini yang bisa tinggal diam memperoleh perlakuan
seperti itu.
"Benar, Eyang. Aku rela mati demi membalas
penghinaan ini!" sambung Panglima Bantaraji.
"Tenangkan diri kalian!" sentak Eyang Watuagung.
"Dia benar, aku memang tidak boleh mencampuri
urusan ini."
"Tapi, Eyang," Adipati Rakondah ingin membantah.
"Aku tahu, kalian memang tidak rela dengan peng‐
hinaan pada diriku. Tapi dia tidak juga salah kalau
memintaku untuk tidak ikut campur dalam urusan ini.
Meskipun aku tidak menyukai caranya, tapi aku bisa
memaklumi," Eyang Watuagung langsung memutus
ucapan Adipati Rakondah.
Suasana jadi hening sesaat.
"Dan kau, Bantaraji. Tidak sepatutnya kau
mengorbankan orang‐orang yang tidak bersalah dan
tida tahu‐menahu mengenai masalah ini. Terus terang,
aku tidak setuju dengan caramu," tajam tatapan mata
Eyang Watuagung kepada Panglima Rakondah.
"Eyang, aku hanya...."
"Aku tahu, Bantaraji. Kau memang seorang kakak
yang baik. Meskipun kau tahu kalau adikmu berada di
pihak yang salah, kau tetap rela berkorban untuk
membela. Tapi seharusnya kau tidak perlu membawa‐
bawa orang lain. Besok, aku tidak mau lagi melihat
prajurit‐prajurit itu masih ada di sini. Kau mengerti,
Bantaraji?" tegas kata‐kata Eyang Watuagung.
"Ya, Eyang," tidak ada pilihan lagi buat Panglima
Bantaraji. Meskipun berat, dia harus mematuhi kata‐
kata gurunya yang juga ayah angkatnya ini.
"Kapan Pendekar Pulau Neraka itu akan datang me‐
nantangmu?" tanya Eyang Watuagung beralih menatap
pada Adipati Rakondah.
"Besok, tengah malam," sahut Adipati Rakondah.
"Kau harus menghadapinya secara ksatria, Rakondah.
Aku akan tersenyum melihat kau mati dengan cara
seorang pendekar sejati "
Adipati Rakondah hanya diam menunduk. "Dan kau,
Bantaraji. Aku tidak mau lagi melihatmu berlaku bodoh!
Kau paham, Bantaraji?" "Paham, Eyang."
"Mulai besok, pagi‐pagi sekali, seluruh prajuritmu
harus sudah meninggalkan Kadipaten Jadi Anom. Aku
tidak mau lagi melihat darah sia‐sia mengalir di bumi
Jati Anom ini," sambung Kyang Watuagung lagi.
"Aku mengerti, Eyang," sahut Panglima Bantaraji.
Tak lama kemudian Eyang Watuagung bangkit dari
duduknya, dan melangkah ke luar. Sedangkan Adipati
Rakondah dan Panglima Bantaraji masih tetap duduk di
kursinya. Di satu sisi mereka memang senang dengan
kedatangan gurunya, tapi di sisi lain membuat gelisah
dengan keputusan‐keputusannya yang benar‐benar di
luar dugaan itu. Dari dulu mereka memang telah dididik
untuk menjadi seorang pendekar tangguh yang
membela kebenaran dan keadilan, tapi jalan hidup
manusia memang tidak bisa diduga sebelumnya.
***
7
Hari masih pagi sekali. Matahari pun belum me‐
nampakkan diri. Sementara kabut yang masih me‐
nyelimuti sekitar Lereng Gunung Panjaran, me‐
nyebarkan hawa dingin serasa menusuk kulit. Namun
keadaan yang demikian itu tidak menghalangi sesosok
bayangan putih mendaki lereng gunung itu. Langkahnya
ringan dan cepat, bagaikan berjalan di atas angin.
Kemudian ia berhenti di sebuah sungai kecil dengan
airnya yang mengalir jernih.
Sejenak laki‐laki tua berjubah putih yang tidak lain
adalah Eyang Watuagung itu mengedarkan pandangan‐
nya berkeliling. Daun telinganya bergerak‐gerak
pertanda bahwa dia tengah mendengarkan suara‐suara
yang ada di sekitar tempat itu. Dan pada saat
pandangannya mengarah ke sebelah kiri, tampaklah
seorang pemuda tampan dan gagah sudah berdiri
membelakangi sebongkah batu besar.
"Aku tahu kalau kau ada di sekitar sini, Anak Muda,"
kata Eyang Watuagung. Suaranya terdengar tenang,
namun berwibawa.
Pemuda gagah yang berbaju dari kulit harimau itu
kemudian melangkah mendekat. Dia berhenti setelah
jaraknya dengan laki‐laki tua berusia hampir seratus
tahun itu tinggal dua batang tombak lagi. Tangannya
tetap melipat di depan dada, memperlihatkan sebentuk
logam pipih yang bergerigi enam buah di pergelangan
tangannya. Pemuda itu tak lain adalah Pendekar Pulau
Neraka.
"Hebat! Kau bisa mengetahui tempatku, Orang Tua,"
kata Bayu memuji.
"Aku sudah tahu sejak kau muncul di istana
kadipaten. "
"Dan aku juga sudah tahu kedatanganmu," balas
Bayu.
"Kau salah kalau menyangka aku akan membela
muridku, Anak Muda. Aku justru datang untuk
menyadarkannya, dan mencegah terjadinya per‐
tumpahan darah di antara kalian," masih tenang kata‐
kata Eyang Watuagung.
"Terlambat...!" kata Bayu tegas.
"Tidak ada kata terlambat kalau kau mau memikirkan
kembali. Aku tahu semua persoalan yang kau bawa, dan
aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Tapi menurutku,
dendam bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Apalagi
harus diakhiri dengan mengadu jiwa!"
"Aku kagum padamu, Orang Tua. Ternyata kau
adalah seorang yang bijaksana. Tapi sebagai seorang
pendekar ksatria, aku pantang menarik kembali kata‐
kataku yang sudah terucap. Saat pertarungan sudah
ditentukan, dan aku tidak mungkin lagi menarik
keputusanku. Kau pasti bisa lebih paham dari aku, yang
masih belum berpengalaman dalam mengarungi rimba
persilatan."
Eyang Watuagung mengangguk‐anggukkan kepala‐
nya. Dalam hati dia memuji dan mengagumi sikap
ksatria yang dimiliki oleh anak muda ini. Tapi sebagai
seorang guru dan orang tua angkat Adipati Rakondah,
Eyang Watuagung rasanya tidak akan bisa membiarkan
muridnya tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka.
Meskipun dia merasa senang melihat muridnya itu bisa
bersikap ksatria, namun dalam hati kecilnya tidak rela
jika muridnya harus kalah di depan matanya. Lebih‐
lebih oleh seorang pemuda yang baru saja terjun dalam
kancah rimba persilatan. Nama besarnya sebagai tokoh
tua yang banyak melahirkan pendekar tangguh bisa
tercemar.
"Baiklah, Anak Muda. Aku tidak akan mencampuri
urusanmu dengan Rakondah. Tapi aku minta agar kau
kembalikan cucuku, Intan Delima. Jangan kau peralat
dia jadi sanderamu hanya untuk melemahkan jiwa
lawan," kata Eyang Watuagung memohon.
"Aku tidak pernah menculik dan menyandera Intan
Delima. Aku tidak tahu di mana kini dia berada. Dia
pergi karena malu mempunyai orang tua yang berhati
busuk dan kerdil!"
"Kata‐katamu benar‐benar menyakitkan, Anak
Muda!" desis Eyang Watuagung merasa tersinggung
muridnya dikatakan berhati busuk. Kalau muridnya
berhati busuk, tentu gurunya lebih busuk lagi Eyang
Watuagung bisa menangkap arti dari kata‐kata itu.
"Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud untuk
menyinggungmu. Tapi semua yang kukatakan itu adalah
kenyataan. Aku tidak keberatan jika kau membelanya,
tapi kau harus berhadapan denganku!" kata Bayu tegas.
"Hm..., kau menantangku, Pendekar Pulau Neraka?"
"Terserah apa tanggapanmu. Yang jelas, tujuanku
hanya satu. Dan aku tidak peduli siapa saja yang ada di
belakangnya. Bagiku, penghalang tetap penghalang, dan
harus aku hadapi!" tegas kata‐kata Bayu.
Eyang Watuagung berdecak. Rasa kagumnya
semakin bertambah, namun dia juga tidak menyukai
sifat yang congkak, angkuh dan menganggap dirinya
lebih dari orang lain. Di matanya, Pendekar Pulau
Neraka adalah seorang pendekar angkuh yang tidak
pernah memandang sebelah mata pun pada siapa saja.
Kata‐katanya selalu tegas, dan meluncur deras bagai tak
pernah dipikirkan sebelumnya.
Eyang Watuagung yang sudah kenyang makan asam
garamnya dunia persilatan, tidak terkejut lagi meng‐
hadapi orang seperti Bayu Hanggara ini. Sehingga dia
tetap bisa bersikap tenang.
"Maaf, aku tidak punya banyak waktu lagi," kata
Bayu.
"Tunggu!" buru buru Eyang Watuagung mencegah.
"Ada apa lagi?" Bayu mengurungkan niatnya.
"Kau belum menjawab satu pertanyaanku, Anak
Muda."
"Pertanyaan yang mana?"
"Di mana kau sembunyikan Intan Delima?"
"Sudah kukatakan, aku tidak tahu! Dia pergi sendiri
karena malu dengan kelakuan ayahnya. Apa itu tidak
cukup jelas?" agak kasar kata kata Bayu.
"Nada suaramu menyembunyikan sesuatu, Anak
Muda...," gumam Eyang Watuagung tidak percaya.
"Terserah!" sahut Bayu agak terkejut juga. Sebelum
dia lebih jauh didesak, dengan cepat Pendekar Pulau
Neraka itu melesat meninggalkan orang tua itu.
Sedangkan Eyang Watuagung tidak mau mengejar lagi.
Dia hanya berdiri memandang ke arah kepergian Bayu.
Sebentar dia mendesah pendek, kemudian berbalik dan
melangkah menuruni lereng kembali. Namun baru
beberapa langkah dia berjalan, mendadak tubuhnya
berbalik dengan cepat. Dan tangan kanannya ber‐
kelebat bersamaan dengan berbaliknya tubuhnya.
"Jangan...!"
"Heh...!"
***
Eyang Watuagung buru‐buru merentangkan tangan‐
nya ke samping, dan dari balik lengan jubahnya yang
longgar, meluncurlah tiga buah benda kecil bagai jarum.
Benda yang berwarna kuning keemasan itu, meluncur
bagai kilat dan menghantam pohon tua yang tidak jauh
di samping kanannya. Dan tiga buah benda kecil itu
langsung menembus pohon itu. Aneh! Pohon itu,
langsung kering dan tumbang bagai terhempas satu
kekuatan yang amat dahsyat.
"Intan...!" seru Eyang Watuagung tersentak kaget.
"Eyang...!"
Intan Delima yang muncul dari gerumbul semak,
langsung berlari dan memeluk kaki laki‐laki tua itu.
Sedangkan Eyang Watuagung segera memegang bahu
gadis itu dan membawanya berdiri. Sejenak dia me‐
mandangi wajah cucunya yang tampak murung itu.
Tampak setitik air bening menggulir di pipinya yang
halus kemerahan.
"Apa yang telah terjadi padamu, Cucuku?" tanya
Eyang Watuagung sambil menuntun Intan Delima dan
membawanya duduk pada sebatang pohon yang telah
tumbang.
Intan Delima tidak langsung menjawab. Dia malah
menangis di pangkuan laki‐laki tua itu. Sulit baginya
untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia sangat men‐
cintai pemuda itu, tapi sekaligus juga membencinya,
karena laki‐laki yang dicintainya itu ternyata hanya
menginginkan tubuhnya saja.
Untuk beberapa saat lamanya, Eyang Watuagung
membiarkan saja gadis itu menumpahkan tangisnya. Dia
hanya membelai belai rambut yang hitam pekat dengan
lembut. Agak lama juga Intan Delima menumpahkan
perasaan dalam tangisnya. Kini setelah isaknya agak
reda, dia kembali mengangkat kepalanya. Sisa‐sisa air
matanya segera dihapusnya dengan ujung baju. Sejenak
gadis itu mencoba menenangkan diri.
"Apa yang telah terjadi padamu, Intan?" tanya Eyang
Watuagung lagi. ,
"Eyang..., dia..., dia telah...," Intan Delima serasa
tidak sanggup lagi meneruskan.
Tiba‐tiba saja perasaan malu menghinggapi dirinya.
Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Dia
memang telah menyerahkan tubuhnya tanpa paksaan.
Dia merelakan semuanya dengan rasa cinta, karena
menganggap Bayu Hanggara juga mencintainya dan
mau melupakan semua dendamnya. Tapi semua itu
ternyata malah terbalik, dan membuatnya kecewa serta
sakit hati. Kini kekecewaan yang dalam di hatinya tak
mungkin bisa dihapuskan begitu saja. Luka di hatinya
sudah begitu parah, tidak mungkin lagi bisa terobati.
Namun Intan juga tidak bisa membohongi dirinya.
Bagaimanapun juga dia masih mencintai dan meng‐
harapkan Bayu Hanggara.
"Apa yang telah dia lakukan padamu?" agak dikit
ditekan suara Eyang Watuagung.
"Eyang... Aku..., aku malu. Aku tidak kuasa untuk
menolaknya, Eyang Aku malu...," kembali Intan Delima
menangis.
Kembali Eyang Watuagung menarik napas panjang
dan dalam. Meskipun Intan Delima belum mengatakan‐
nya dengan terus terang, namun dia sudah bisa
menangkap maksudnya. Entah apa yang ada dalam
hatinya saat ini, dan jelas wajahnya jadi memerah, dam
gerahamnya bergemeletuk hebat.
"Tolong aku, Eyang...," rintih Intan Delima setelah
reda tangisnya.
"Katakan, apa yang bisa aku lakukan?"
"Jangan katakan hal ini pada Ayah. Tolong Eyang.
Aku..., aku tidak sanggup lagi bertemu dengan Ayah.
Aku malu...."
"Kenapa kau harus malu? Itu semua bukan karena
salahmu. Kau hanya jadi korban dari kebiadaban
manusia yang berhati iblis!" agak menggeram suara
yang Watuagung.
"Tapi...," Intan Delima menggigit bibirnya. Hampir aja
dia keterlepasan bicara. Hatinya tetap tidak rela kalau
Bayu dikatakan demikian.
"Aku mengerti perasaanmu. Intan. Sekarang pulang‐
lah, dan tenangkan dirimu Aku akan mencari setan
keparat itu. Dia harus bertanggung jawab dengan
perbuatannya," kata Eyang Watuagung.
"Aku tidak mau pulang, Eyang," tolak Intan Delima.
"Lalu, kau mau ke mana?"
Intan Delima tidak segera menjawab. Dia sendiri juga
bingung mau pergi ke mana lagi. Untuk kembali kepada
ayahnya, rasanya tidak mungkin. Hatinya sudah telanjur
kecewa dengan kelakuan ayahnya, dan dia juga malu
untuk bertemu lagi, mengingat dirinya kini sudah bukan
seorang gadis suci lagi.
"Baiklah, sebaiknya kau kembali saja ke Gunung
Rangkas. Katakan pada pamanmu di sana, bahwa aku
akan segera datang menjemputmu. Kau akan menjadi
murid terakhirku," kata Eyang Watuagung.
"Oh, Eyang...," Intan Delima tidak bisa lagi meng‐
ucapkan sesuatu.
Sudah lama dia ingin memperoleh ilmu‐ilmu yang
dimiliki kakeknya ini. Kini Intan Delima berlutut dan
memeluk kaki laki‐laki tua itu. Kemudian pelahan‐lahan
dia bangkit dan menjura hormat. Sedangkan Eyang
Watuagung hanya tersenyum, namun senyumnya itu
terasa getir.
"Eyang, apakah Eyang akan membunuh Pendekar
Pulau Neraka?" tanya Intan Delima ragu‐ragu.
"Kalau dia mau berjanji dan bertanggung jawab atas
perbuatannya, mungkin tidak. Tergantung nanti saja,
Intan," sahut Eyang Watuagung berusaha bersikap
bijaksana.
"Terima kasih, Eyang."
"Kenapa kau tanyakan itu, Intan?" tanya Eyang
Watuagung dengan tatapan curiga.
"Ah, tidak..., tidak Aku hanya ingin dia mati di
tanganku," sahut Intan Delima tergagap.
"Hhh..., dendam. Rupanya bumi belum berhenti ter‐
siram oleh darah," desah Eyang Watuagung berat.
Beberapa saat kemudian, Eyang Watuagung
meminta agar Intan Delima segera meninggalkan
Kadipaten Jati Anom. Dia tidak lagi mendesak agar gadis
itu mau menemui ayahnya dulu. Sedangkan Intan
Delima sendiri sebenarnya rindu, tapi kerinduannya dia
tekan dalam‐dalam. Gadis itu terus melangkah
menuruni Lereng Gunung Panjaran dengan hati
membawa cinta, dendam, benci dan rasa kecewa yang
bertumpuk menjadi satu.
Sementara Eyang Watuagung masih saja berdiri
sambil memandangi kepergian Intan Delima. Dan
setelah bayangan gadis itu tidak teriihat lagi, barulah
laki‐laki tua berjubah putih itu mengayunkan kakinya.
Arahnya menuju tempat di mana Pendekar Pulau
Neraka tadi pergi. Jelas kalau dia bermaksud mencari
pendekar muda itu.
***
Bayu Hanggara tampak berdiri tegak sambil
memandang ke arah Kadipaten Jati Anom yang tampak
sepi. Dari tempat ketinggian seperti itu, dia bisa
memandang luas ke arah kadipaten itu. Tampak pintu
gerbang bentengnya tertutup mpat tanpa satu orang
pun prajurit yang menjaganya. Sejenak Bayu tersenyum
melihat keadaan Kadipaten Jati Anom yang sudah
terpengaruhi oleh kedatangannya.
"Tidak lama lagi, Rakondah. Bersiap‐siaplah men‐
jemput ajalmu," desah Bayu.
"Kau juga harus bersiap siap, Pendekar Pulau
Neraka!"
Bayu langsung tersentak kaget begitu mendengar
suara dari arah belakangnya. Buru‐buru dia mem‐
balikkan tubuhnya, dan tampaklah di depannya,
seorang laki‐laki tua mengenakan jubah putih yang
longgar.
"Kau lagi, Orang Tua. Mau apa kau mengikutiku?"
nada suara Bayu terdengar ketus.
"Kali ini aku datang untuk meminta tanggung jawab‐
mu, Anak Muda!" tegas kata‐kata yang terucap dari
bibir Eyang Watuagung.
"Hm...," Bayu mengerutkan keningnya.
"Apa yang telah kau lakukan pada cucuku Intan
Delima?" agak bergetar suara Eyang Watuagung.
"O..., rupanya kau telah bertemu dengan gadis itu?"
Bayu langsung menebak.
"Semula aku bisa memahamimu, Anak Muda. Tapi
perbuatanmu pada Intan Delima..., rasanya aku tidak
bisa lagi memaafkanmu, kecuali kau mau tanggung
jawab!" dingin suara Eyang Watuagung.
"Pasti dia mengadu yang bukan‐bukan," desis Bayu.
"Asal kau tahu saja, Orang Tua. Intan Delima datang
sendiri padaku dengan sukarela. Aku tidak memaksa‐
nya, dia sendiri yang menginginkannya."
"Biadab! Pandai sekali kau memutarbalikkan lidah!"
geram Eyang Watuagung membentak. "Seharusnya aku
memang tahu, bahwa kau tidak mungkin mau ber‐
tanggung jawab. Kau memang laki‐laki iblis. Tidak ada
gunanya aku bersilat lidah padamu!"
"Ah..., tidak kusangka. Ternyata aku juga harus ber‐
hadapan dengan manusia‐manusia yang culas licik,"
kata‐kata Bayu masih terdengar tenang.
"Kurang ajar! Kelakuanmu sudah kelewat batas.
Anak Muda! Aku tidak pernah marah seperti ini, tapi
kau telah memaksaku untuk menurunkan tangan,”
Eyang Watuagung benar‐benar tidak bisa lagi mengen‐
dalikan amarahnya.
"Sudah kuduga, kau pasti akan mencari‐cari alasan
untuk menjadi penghalangku," kata Bayu kalem.
"Bersiaplah, Anak Muda! Intan Delima akan senang
melihat kepalamu tanpa leher!" ancam Eyang
Watuagung.
"Sadis...!"
Eyang Watuagung menggeram hebat, lalu dengan
cepat dia mengebutkan tangan kanannya ke depan.
Seketika itu juga tampaklah tiga buah benda kecil bagai
jarum yang berwarna keperakan, meluncur deras ke
luar dari lengan bajunya yang longgar.
"Hup!"
Bayu segera memutar tangan kanannya ke depan,
lan menyambut senjata‐senjata kecil itu tanpa meng‐
geser kakinya sedikit pun.
Tring!
Tiga buah jarum keemasan itu rontok begitu mem‐
bentur pergelangan tangan kanan Bayu yang menempel
sebuah cakra bersegi enam berwarna keperakan.
Pendekar Pulau Neraka itu berdiri tegak dengan tangan
melipat di depan dada. Bibirnya menyunggingkan
senyum bagai mengejek.
"Jangan besar kepala dulu, Anak Muda! Tahan
seranganku!" bentak Eyang Watuagung.
Laki‐laki tua berjubah putih itu langsung melompat,
dan memberikan beberapa pukulan bertenaga dalam
tinggi. Belum juga pukulannya sampai, namun anginnya
sudah terasa menyengat. Bayu bergegas menggeser
kakinya ke samping, dan memiringkan tubuhnya sedikit
sambil mengibaskan tangannya dan nemapak serangan
itu.
"Ikh!"
Eyang Watuagung tersentak kaget. Buru‐buru dia
menarik kembali tangannya yang mendadak jadi
kesemutan begitu beradu dengan tangan Pendekar
Pulau Neraka. Bersamaan dengan itu Bayu juga
melompat mundur dua tindak. Dia juga merasakan
tangannya seperti remuk begitu berbenturan dengan
tangan laki‐laki tua itu.
"Huh! Tenaga dalamnya benar‐benar luar biasa!"
dengus Eyang Watuagung mengeluh.
Kini Eyang Watuagung tidak mau lagi gegabah. Dia
kembali menyerang dengan penuh perhitungan dan
hati‐hati. Sedangkan Bayu sendiri segera melayaninya
dengan sikap waspada. Dia sudah merasakan kalau
tenaga dalam lawannya kali ini sangat dahsyat. Dan
sebentar saja pertempuran di Kaki Lereng Gunung
Panjaran itu sudah berlangsung dengan sengit. Masing‐
masing mengeluarkan jurus‐jurus andalannya!
***
8
Pertarungan antara Bayu Hanggara dengan Eyang
Watuagung terus berlangsung dengan sengit. Bagi Bayu,
pertarungan dengan jarak dekat seperti ini, tidak
memungkinkan untuk melontarkan senjata andalan nya,
yaitu cakra bersegi enam dan berwarna keperakan.
Sedangkan Eyang Watuagung sudah mengeluarkan
senjatanya yang berupa pedang pendek bercabang tiga.
Menghadapi senjata genggam itu, Bayu terpaksa
memegang Cakra Maut nya di tangan kanan. Sudah
berpuluh‐puluh jurus yang telah mereka keluarkan
namun belum ada tanda‐tanda mana yang bakal
terdesak. Sedangkan tempat di sekitar pertarungan
sudah porak‐poranda. Bahkan meluas sampai ke daerah
yang berjurang serta berbatu‐batu cadas yang besar
dan tajam.
Tring!
Mendadak satu benturan senjata keras terjadi udara.
Tampak percikan bunga api memijar. Dua orang yang
tengah bertarung itu saling terpental ke belakang, dan
jatuh bergulingan di tanah. Namun dengan cepat
mereka segera bangkit, dan kembali berlompatan saling
menyerang.
"Hup! Hiaaa...!"
Tiba‐tiba dengan satu teriakan nyaring melengking,
Bayu melontarkan senjata Cakra Maut‐nya sambil
melompat dan mengirimkan dua buah pukulan dahsyat
yang bertenaga dalam sangat tinggi.
"Ikh!"
Buru‐buru Eyang Watuagung memiringkan tubuhnya
menghindari serangan yang bertubi‐tubi itu. Dan dia
berhasil mengelakkan senjata yang meluncur deras
bagai memiliki mata itu. Namun satu gebrakan dari
pukulan yang bertenaga dalam, tidak bisa dihindarkan.
Seketika Eyang Watuagung terlontar sejauh tiga batang
tombak. Namun dia masih sempat mengibaskan
pedangnya yang bercabang tiga.
"Hugh!"
"Akh...!"
Bayu Hanggara terhuyung tiga langkah ke belakang.
Darah mengucur deras dari bahu kirinya yang sobek
tersambar ujung pedang Eyang Watuagung. Namun
dengan cepat dia mengangkat tangan kanannya, dan
menangkap senjata Cakra Maut‐nya yang kembali
berbalik
"Hiya...!"
Dan bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka itu
melemparkan kembali senjata mautnya di saat tubuh
Eyang Watuagung sedang limbung. Tak pelak lagi,
lontaran yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna, tidak dapat dihindarkan lagi. Perut orang tua
itu sobek tergores ujung cakra yang melayang bagaikan
kilat itu.
"Akh...!" Eyang Watuagung menjerit keras.
Tubuh tua itu terhuyung‐huyung beberapa langkah
ke belakang. Untunglah dengan cepat dia mampu
menguasai tubuhnya kembali. Dan tanpa mem‐
pedulikan darah yang mengucur dari perutnya, Eyang
Watuagung segera menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Seketika itu juga satu desiran angin yang amat
dahsyat meluncur bagai topan, dan menghajar tubuh
Pendekar Pulau Neraka yang baru saja menangkap
senjatanya kembali
"Hiya...! Hiyaaa!"
Buru‐buru Bayu Hanggara melentingkan tubuhnya
sambil membalas dengan dua kali pukulan jarak jauh
bertenaga dahsyat. Namun deburan angin topan yang
menggemuruh dahsyat sudah keburu menghantam
tubuhnya. Kini tubuh Pendekar Pulau Neraka ter‐
pelanting deras ke udara, lalu dengan cepat meluruk ke
bawah dan langsung masuk ke dalam jurang yang
menganga lebar.
"Aaakh...!"
Jeritan melengking terdengar menyayat bersamaan
dengan meluncumya tubuh Bayu ke dalam jurang yang
besar dan dalam itu. Eyang Watuagung bergegas
memburu, dan berdiri di tepi jurang. Tangan kirinya
terus menekap perutnya yang sobek dan mengucurkan
darah segar.
"Hhh...! Luar biasa anak itu. Entah apa yang akan
terjadi pada dunia persilatan kalau dia masih hidup,"
Eyang Watuagung mengeluh dalam hari.
Sejenak laki‐laki berjubah putih itu menjulurkan
kepalanya ke dalam jurang. Tak tampak apa pun di
dalam sana. Seluruh permukaan jurang itu tertutup
kabut tebal yarig menghalangi pandangan mata.
"Ugh! Hoaaak...!"
Eyang Watuagung memuntahkan darah kental
kehitaman. Buru‐buru dia merobek baju bagian
dalamnya. Mendadak kedua matanya membeliak lebar
begitu melihat gambar tapak tangan hitam tertera di
dadanya.
'"Pukulan Racun Hitam... !" desisnya terkejut.
"Ugh! Ada hubungan apa dia dengan Gardika. .?"
Eyang Watuagung buru‐buru duduk bersila. Sebentar
kemudian matanya terpejam. Tampak keringat sebesar‐
besar butiran jagung menitik di keningnya. Lalu dia
membuka matanya kembali. Lagi‐lagi dia memuntahkan
darah kental kehitaman.
"Aku harus segera kembali ke Pesanggrahan. Racun
hitam ini bisa membunuhku secara pelahan‐lahan. Gila!
Kenapa aku tidak menyadari kalau jurus‐jurusnya sama
dengan Gardika si Cakra Maut! Dan lagi..., senjata itu....
Huh! Untung saja aku berhasil membunuhnya, kalau dia
sampai masih hidup beberapa tahun lagi..., aku tidak
tahu lagi, bagaimana keadaan dunia persilatan. Sulit
mencari tandingan jurus‐jurus si Cakra Maut. Ugh ...
Ugh!"
Eyang Watuagung segera bangkit dari duduknya,
kemudian melangkah cepat dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan. Beberapa kali dia masih menyemburkan
darah kental kehitaman dari mulutnya. Namun semua
itu tidak dihiraukan lagi. Hanya satu yang kini ada dalam
pikirannya, dia harus segera sampai ke pesanggrahan‐
nya, dan mengurangi pengaruh racun hitam. Paling
tidak, hidupnya bisa diperpanjang lagi sampai dia bisa
mewariskan seluruh ilmunya pada Intan Delima.
***
Tapi, benarkah Bayu Hanggara atau Pendekar Pulau
Neraka tewas di dasar jurang yang dalam itu?
Yang Kuasa rupanya belum menginginkan Pendekar
Pulau Neraka meninggalkan dunia. Tubuhnya tidak
langsung jatuh ke dasar jurang. Sebatang akar pohon
besar yang menyembul dari dalam tanah di bibir jurang,
menyanggah tubuhnya. Beberapa saat lamanya Bayu
tidak sadarkan diri. Dan begitu dia siuman, seluruh
tubuhnya terasa nyeri dan tulang‐tulangnya seperti mau
rontok semua.
Bayu tampak terkejut begitu menyadari tubuhnya
tersangkut pada sebatang akar yang cukup besar dan
kuat. Dan sambil menahan nyeri pada seluruh tubuh‐
nya, dia kemudian merayap dan berusaha mencapai
tepi tebing jurang ini. Sejenak kepalanya menengadah
ke atas. Tak terlihat apa pun, hanya kabut tebal yan
menghalangi pandangan matanya.
"Huh...!" Bayu mendengus sambil menghembuskan
napasnya.
Lalu dia duduk pada pangkal pohon yang berongga
besar. Kembali matanya memandang berkeliling.
Sepanjang matanya memandang, yang tampak hanya
kabut dengan bayang bayang pohon menyemaki tebing
jurang. Pemuda itu kemudian mengatur duduknya
untuk bersemadi menyalurkan hawa murni ke seluruh
aliran darahnya. Dia berusaha membuka jalan darahnya
agar sempurna. Kini rasa hangat mulai menjalari
tubuhnya, dan rasa nyeri serta pegal‐pegal berangsur
hilang. Namun bibirnya menyeringai dan mendesis.
Bayu segera menyobek kain merah yang membelit
pinggangnya. Dan dengan kain itu dia kemudian
membalut luka di bahunya. Jari‐jari tangannya bergerak
lincah di sekitar luka, menghentikan aliran darahnya.
Sejenak dia menarik napas panjang, kemudian meng‐
hembuskannya lagi dengan kuat.
"Hhh! Orang tua itu benar‐benar hebat. Apakah
muridnya juga setangguh dia?" Bayu bergumam sendiri.
"Aku harus segera ke luar dari jurang ini. Tengah malam
nanti adalah saatnya pertarungan. Uh! Luka ini...!"
Pelahan‐lahan Bayu ke luar dari rongga pohon itu.
Kemudian mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Pendekar Pulau Neraka itu mulai merayap mendaki
tebing jurang. Kabut tebal masih menghalangi
pandangannya, ditambah dengan hembusan angin
kencang yang membuat usahanya itu agak terhambat.
Sedikit demi sedikit dia mulai merayap mendaki, hingga
akhirnya sampailah dia di bibir jurang.
Saat itu hari sudah menjelang senja. Di ufuk Barat
matahari hampir tenggelam, berganti dengan
kegelapan. Sementara udara di sekitar Lereng Gunung
Panjaran itu juga sudah terasa dingin. Bayu meng‐
gelimpangkan tubuhnya ke atas rerumputan yang sudah
basah oleh embun. Penat dan letih melanda tubuhnya.
Sejenak dia memejamkan matanya sebelum bangkit
berdiri.
"Seandainya aku harus bentrok lagi dengan orang
tua itu, aku pasti akan bisa mengalahkannya. Racun
hitam yang kulepaskan sudah pasti merasuk ke dalam
darahnya. Hhh..., 'Pukulan Angin Badai'nya benar‐benar
luar biasa," lagi lagi Bayu bergumam sendiri.
Perlahan‐lahan Pendekar Pulau Neraka itu
melangkah menuruni Lereng Gunung Panjaran.
"Masih ada sedikit waktu, aku harus bersemadi dulu
untuk memulihkan kekuatan," gumam Bayu.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu memilih
tempat di antara dua buah batu besar yang agak
tersembunyi. Kemudian dia duduk bersila dengan sikap
bersemadi. Kakinya terlipat dengan kedua telapak
tangan menempel pada lutut. Pelahan‐lahan napasnya
mulai diatur bersamaan dengan menutupnya kedua
kedua kelopak matanya. Bagi dunia kependekaran, cara
memulihkan kondisi tubuh dengan bersemadi bukanlah
hal yang aneh lagi. Dan inilah yang tengah dilakukan
oleh Bayu Hanggara.
***
Malam terus merayap semakin larut. Suasana di
Istana Kadipaten Jati Anom tampak sunyi senyap. Hanya
ada dua orang yang teriihat duduk di bagian depan
bangunan istana itu. Mereka adalah Adipati Rakondah
dan Panglima Bantaraji Sejak matahari tenggelam tadi
mereka sudah berada di sana.
Sejak tadi mereka hanya diam. Masing‐masing sibuk
dengan pikirannya. Semakin larut malam, kesunyian
semakin terasa mencekam. Detak jantung mereka
semakin jelas terdengar berdegup kencang.
"Apa kau tidak salah lihat siang tadi, Kakang?" tanya
Adipati Rakondah memecah kesunyian
"Maksudmu?" Panglima Bantaraji balik bertanya.
"Yang kau lihat di Lereng Gunung Panjaran."
"Tidak! Jelas sekali aku lihat Pendekar Pulau Neraka
jatuh ke dalam jurang setelah kena 'Pukulan Angin
Badai' Eyang Guru," kata Panglima Bantaraji yakin.
"Hm..., malam sudah larut. Kalau dia tidak datang,
berarti tamat sudah riwayatnya," gumam Adipati
Rakondah.
"Ya, mudah‐mudahan dia tewas di dasar jurang,"
sambut Panglima Bantaraji.
"Sebenarnya aku tidak tega melepas Eyang Guru
pulang sendirian, Kakang. Beliau dalam keadaan terluka
cukup parah. Aku benar‐benar menyesali semua ini,"
nada suara Adipati Rakondah seolah mengeluh.
"Sudahlah, Adik Rakondah. Saat ini kita hanya bisa
berharap, semoga ..."
Kata‐kata Panglima Bantaraji terputus. Saat itu
terdengar suara siulan nyaring melengking menyakitkan
telinga. Siulan itu menggema seolah‐olah datang dari
segala peniuru mata angin. Jelas kalau suara itu
dikeluarkan dengan disertai penyaluran tenaga dalam
yang sangat sempurna.
Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji langsung
melompat ke luar. Dan hanya dengan sekali lentingan
tubuh saja, mereka sudah berada di tengah‐tengah
halaman depan yang luas dan sunyi. Sementara suara
siulan itu semakin jelas dan menyakitkan telinga. Kedua
laki‐laki bersaudara itu segera mengerahkan hawa
murni, dan menyalurkannya ke seluruh aliran jalan
darah. Terutama menutup gendang telinga mereka.
"Dia datang...," desis Panglima Bantaraji.
Adipati Rakondah menatap kakaknya dengan tajam.
Dan belum lagi mereka sempat melakukan sesuatu,
tiba‐tiba sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat
melewati tembok benteng Istana Kadipaten Jati Anom.
"Pendekar Pulau Neraka...!" sentak kedua laki‐laki itu
hampir berbarengan.
Kini di depan mereka telah berdiri seorang laki‐laki
muda, gagah dan tampan. Laki‐laki yang ternyata adalah
Bayu itu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan
dada. Tatapan matanya tajam, langsung menusuk ke
bola mata Adipati Rakondah. Sekejap saja ketegangan
menyelimuti mereka semua.
"Engkau pasti sudah memahami tanda dariku,
Adipati Rakondah. Tanda itu boleh kau anggap sebagai
lambang kematian bagimu. Kini saatnya sudah tiba,
bersiaplah menuju ke neraka!" dingin dan datar suara
Bayu Hanggara.
"Kakang, menyingkirlah," kata Adipati Rakondah
tanpa menoleh sedikit pun.
"Hati‐hati, Adik Rakondah," kata Panglima Bantaraji
seraya melangkah mundur beberapa tindak.
"Pendekar Pulau Neraka! Mari kita mulai. Hait...!"
"Hup!"
***
Sret!
Adipati Rakondah mencabut pedangnya seraya
melompat menerjang. Gerakannya sangat cepat dan
ringan, sedangkan kibasan pedangnya menimbulkan
suara angin yang amat dahsyat. Sejenak Bayu
menunggu, lalu dengan cepat dia menghentakkan
tangannya ke depan. Seketika secercah cahaya
keperakan melesat dari pergelangan tangan kanannya.
Begitu cepatnya, sehingga Adipati Rakondah tidak
sempat lagi untuk menarik pedangnya. Dan....
Tring!
"Ah!" Adipati Rakondah terkejut bukan main.
Satu benturan keras langsung terjadi antara dua
logam, sampai menimbulkan percikan api. Tampak
pedang di tangan Adipati Rakondah bergetar hebat.
Untung dia cepat‐cepat menekan ujung pedangnya ke
tanah, sehinga pegangannya tidak terlepas.
Kini Bayu kembali melompat sambil menjulurkan
tangan kanannya ke atas. Dan benda pipih bergerigi
enam yang berwarna keperakan itu menempel kembali
di pergelangan tangan kanannya. Dengan manis sekali
kakinya kembali menjejak tanah. Tapi tiba‐tiba dia
mengebutkan tangannya lagi ke depan.
"Awas...!" Panglima Bantaraji berteriak nyaring.
Dan secepat kilat dia merogoh ke balik bajunya, dan
melontarkan sebilah pisau kecil ke arah cakra itu.
Sedangkan Adipati Rakondah yang belum hilang rasa
terkejutnya, jadi terperangah! Satu jengkal lagi cakra itu
pasti menembus dadanya. Namun beruntung pisau
yang dilemparkan oleh Panglima Bantaraji mematahkan
serangan Pendekar Pulau Neraka itu. Dan cakra
keperakan bergerigi enam itu kembali berputar balik
pada pemiliknya.
"Huh!" dengus Bayu kesal.
Panglima Bantaraji melompat ke samping adiknya.
Tampak di tangan kirinya sudah tergenggam seutas
rantai baja hitam dengan ujungnya terpaut lima buah
pisau kecil. Dia juga sudah melepaskan baju luarnya.
Tampak di seputar pinggang dan dadanya dipenuhi oleh
pisau‐pisau kecil yang menempel pada kulit binatang.
"Kau tidak akan mampu menghadapinya sendiri, Adik
Rakondah. Senjatanya sangat berbahaya," kata
Panglima Bantaraji berbisik.
"Bagus! Aku bisa mengirim kalian ke neraka
sekaligus!" dengus Bayu.
Adipati Rakondah melemparkan pedangnya.
Kemudian dia membuka baju luarnya. Bayu agak
terkejut juga melihat kedua lawannya memiliki senjata
yang sama persis. Tubuh mereka penuh tertempel
pisau‐pisau kecil. Dan di tangan mereka juga
tergenggam senjata rantai baja dengan lima pisau di
ujungnya. Sebuah rantai hitam yang panjangnya hanya
satu hasta.
"'Seribu Pisau Terbang'...!" seru Panglima Bantaraji.
Secepat dia berteriak, secepat itu pula tubuhnya
melenting ke udara, dan tahu‐tahu sudah berada di
belakang Pendekar Pulau Neraka. Dan belum lagi Bayu
sempat menyadari, kedua laki‐laki itu sudah mengibas‐
kan tangannya dengan cepat. Tampak puluhan pisau‐
pisau kecil bertebaran mengarah ke tubuhnya.
"Hup! Hiyaaa...!" teriak Bayu nyaring.
Seketika Pendekar Pulau Neraka itu memutar
tubuhnya dengan cepat. Dan senjata Cakra Maut
andalannya yang sudah tergenggam di tangan kanan,
dia lepaskan untuk menghalau pisau‐pisau yang
meluncur deras ke arah tubuhnya. Tampak kedua
kakinya juga bergerak lincah, berlompatan, dan
tubuhnya meliuk‐liuk bagai belut menghindari hujan
pisau dari dua jurusan itu.
Bayu sempat menggeram begitu melihat lawannya
bergerak memutari tubuhnya. Dan anehnya lagi,
mereka bisa saling bertukar senjata yang terlontar
hanya dengan menjentikkan ujung jarinya saja. Pisau‐
pisau itu benar‐benar bagaikan berjumlah ribuan,
bertebaran di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hhh! Serangan mereka hanya satu arah. Aku harus
bisa membuatnya pincang," dengus Bayu dalam hati.
Matanya yang tajam dan sudah terlatih, langsung
dapat melihat kelemahan lawannya. Dan tanpa mem‐
buang‐buang waktu lagi, tubuhnya segera melenting ke
udara. Lalu dengan cepat tangan kanannya mengibas ke
arah Adipati Rakondah. Seketika itu juga senjata cakra
bergerigi enam meluruk deras. Adipati Rakondah
terkesiap sesaat, dan serangannya jadi tidak beraturan.
Bayu tidak menyia‐nyiakan kesempatan itu, dengan
cepat dia meluruk turun ke arah Panglima Bantaraji.
Kedua tangannya bergerak cepat dan melontarkan
'Pukulan Rancun Hitam'. Tentu saja hal itu membuat
Panglima Bantaraji jadi terkejut setengah mati. Buru‐
buru dia menjatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah.
Sementara itu Adipati Rakondah tengah sibuk
menghalau Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka yang
bergerak sendiri seperti memiliki mata. Dan Bayu kini
terus mencecar Panglima Bantaraji dengan serangan‐
serangan mautnya. Mendadak tangan kanannya
terangkat ke atas, menerima senjatanya yang berbalik,
kembali, lalu dengan cepat dia segera menghentak‐
kannya ke arah Adipati Rakondah.
"Awas kepala!" tiba‐tiba Bayu berteriak nyaring.
"Uts!"
Buru‐buru Panglima Bantaraji merundukkan
kepalanya sedikit begitu melihat tangan kanan Bayu
meluruk ke arah kepalanya. Namun tanpa diduga sama
sekali, kaki kiri Pendekar Pulau Neraka sudah terangkat
naik, dan dengan kecepatan penuh menghentak ke arah
perut.
"Hugh!"
Panglima Bantaraji mengeluh pendek. Tubuhnya
membungkuk menahan mual pada perutnya. Dan pada
saat itu senjata cakra yang menyerang Adipati
Rakondah segera berbalik dan berputar pada
pemiliknya. Dengan cepat Bayu menangkap senjata itu,
dan secepat itu pula dia melontarkannya kembali ke
arah Panglima Bantaraji.
"Aaakh...!" Panglima Bantaraji menjerit melengking.
Ujung‐ujung Cakra Maut itu langsung menggorok
lehernya hingga hampir buntung. Dan hanya dengan
satu kali tendangan keras, tubuh Panglima Bantaraji
terjungkal dengan leher berlumuran darah seperti ayam
yang disembelih!
"Kakang...!" pekik Adipati Rakondah terkesiap.
"Sekarang giliranmu, Adipati Rakondah!" dengus
Bayu.
"Setan! Kau harus bayar mahal nyawa Kakang
Bantaraji!" geram Adipati Rakondah. "Hiyaaa...!"
"'Pukulan Racun Hitam'! Hup, yeaaah...!"
***
"Akh!"
Adipati Rakondah memekik tertahan, tubuhnya
limbung dengan tangan menekan dada. Sementara itu
Bayu juga langsung melompat mundur dua tindak ke
belakang. Tangan kirinya menekan lambung. Dan darah
mengucur deras dari lambungnya. Ternyata ujung
senjata Adipati Rakondah berhasil merobek lambung
Pendekar Pulau Neraka itu, tapi 'Pukulan Racun Hitam'
juga bersarang di dada Adipati Rakondah.
"Hugh. Hoaaak...!" Adipati Rakondah memuntahkan
darah kental kehitaman.
"Ah...!" Bayu mengeluh sedikit.
Mendadak Pendekar Pulau Neraka itu merasakan
tubuhnya jadi panas bagai terpanggang. Sedangkan
matanya agak menyipit begitu melihat darah yang
mengucur dari lambungnya berwarna kehitaman. Dia
sadar kalau senjata Adipati Rakondah mengandung
racun yang sangat berbahaya. Sejenak dia memandang
lawannya yang sedang berusaha menguasai diri dari
pengaruh 'Pukulan Racun Hitam'.
"Mampus kau, Adipati Rakondah!" bentak Bayu
lantang.
Dan bagaikan seekor singa yang terluka, secepat kilat
Bayu berlari sambil mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya pada telapak tangan. Sesaat Adipati
Rakondah terkesiap namun dengan cepat dia
melentingkan tubuhnya ke atas. Tapi sungguh di luar
dugaan, tubuh Bayu juga langsung melenting. Dan
secepat kilat tangan kanannya mengibas ke depan.
Secercah cahaya keperakan meluncar deras ke arah
tubuh Adipati Rakondah.
Tring!
Adipati Rakondah berhasil menghalau senjata cakra
itu, namun dia tidak sempat berkelit dari pukulan
tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Dan sambil meraung
keras, tubuh adipati itu meluruk jatuh ke tanah. Tepat
pada saat itu Bayu menangkap senjatanya yang balik
lagi, dan dengan cepat dia melontarkannya kembali ke
arah lawan.
"Hiyaaa...!"
"Aaakh...!"
Kembali jeritan melengking tinggi terdengar
menyayat. Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka itu
tertanam dalam di dada Adipati Rakondah. Dan
bersamaan dengan mendaratnya Bayu di tanah, tubuh
Adipati Rakondah tampak mengejang kaku tanpa nyawa
lagi.
"Ayah, Ibu..., satu lagi musuhmu telah terbalaskan,"
desah Bayu seraya mencabut senjatanya dari dada
Adipati Rakondah.
Kemudian Bayu memasang kembali senjatanya di
pergelangan tangan kanan, setelah membersihkannya,
dari noda‐noda darah. Untuk beberapa saat, pemuda
itu masih berdiri sambil memandangi Adipati Rakondah
yang terbujur kaku tanpa nyawa lagi.
Bayu tidak menyadari kalau ada sepasang mata
bening memperhatikannya sejak tadi. Pendekar Pulau
Neraka itu terus berjalan pelan‐pelan menuju ke arah
Timur.
"Eyang Watuagung harus tahu...," terdengar
gumaman pelan setelah bayangan tubuh Bayu lenyap
dari pandangan.
Nah, bagaimana sikap Eyang Watuagung setelah
mengetahui muridnya tewas? Percayakah dia kalau
Pendekar Pulau Neraka masih hidup? Lalu bagaimana
pula sikap Intan Delima pada pemuda yang telah
membunuh orang tuanya dan sekaligus telah
merenggut kegadisannya? Untuk lebih jelas,
ikutilah
kisah Pendekar Pulau Neraka dalam episode CINTA
BERLUMUR DARAH.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar