CINTA BERLUMUR DARAH
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar Sampul : Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode 004:
Cinta Berlumur Darah
128 hal ; 12 x 18 cm
1
“Hup! Yeaaa...!”
“Uts, ha...!”
“Cukup!”
Seorang laki-laki tua berjubah putih melompat ke
tengah-tengah dua orang muda yang saling ber-
hadapan. Dua orang muda itu serentak mengambil
sikap hormat dengan telapak tangan merapat di
depan dada, kemudian duduk bersila di atas
rerumputan. Sedangkan laki-laki tua itu tetap berdiri
dengan kepala terangguk-angguk. Bibirnya yang tipis
hampir tertutup kumis putih itu terus menyungging-
kan senyum.
“Hari ini kalian berlatih begitu luar biasa. Terutama
kau, Intan. Jurus-jurusmu maju begitu pesat. Semakin
mantap dan sempurna,” ujar laki-laki berjubah putih
itu bernada bangga.
“Terima kasih, semua ini berkat bimbingan Eyang,”
sahut gadis cantik yang memakai baju merah terang.
“Dan kau, Indranata! Kulihat pengerahan tenaga
dalammu tidak penuh. Itu bisa membahayakan dirimu
sendiri seandainya bertarung dalam arti yang sesung-
guhnya. Ingat! Pengerahan tenaga dalam sangat pen-
ting dan harus tepat pada waktunya,” jelas laki-laki
berjubah putih itu seraya memandang pemuda
berkulit sawo matang yang duduk bersila di samping
Intan Delima.
“Maaf, Eyang. Aku tidak sampai hati untuk melukai
Intan,” sahut pemuda yang dipanggil Indranata.
“Itu bukan alasan yang tepat, Indranata. Rasa
kasihan harus kau hilangkan. Dalam dunia persilatan,
hanya ada satu kalimat yang harus kau ingat.
Dibunuh, atau membunuh! Camkan itu, Indranata!”
“Baik, Eyang.”
“Hm…” laki-laki tua berjubah putih itu mengalihkan
pandangannya pada Intan Delima, kemudian kembali
memandang Indranata yang tengah menundukkan
kepalanya.
Indranata mengangkat kepalanya. Tatapan mata-
nya langsung tertuju pada tatapan mata Eyang
Watuagung. Seperti mengerti arti tatapan itu,
Indranata bangkit berdiri, lalu menjura hormat.
“Pergilah istirahat, Indranata. Aku ada perlu
dengan Intan sebentar. Ada yang ingin kukatakan
padanya,” kata Eyang Watuagung pelan.
“Aku mohon diri, Eyang,” ucap Indranata seraya
menjura hormat.
“Hm,” Eyang Watuagung hanya menggumam tidak
jelas.
Indranata bergegas melangkah meninggalkan
halaman luas berumput di depan pondok yang berada
di Puncak Gunung Rangkas. Intan bangkit berdiri
setelah Indranata lenyap di belakang pondok. Eyang
Watuagung membalikkan tubuhnya dan berjalan
pelan menjauhi pondok kecil itu. Intan Delima
mengikuti dari belakang. Keningnya berkerut sedikit.
Hatinya bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan
Eyang Watuagung padanya?
“Sudah berapa lama kau di sini?” tanya Eyang
Watuagung setelah mereka berada di bibir tebing
sangat curam
Dari sini, mereka bisa memandang ke bagian
Selatan Gunung Rangkas. Tampak sebuah
perkampungan yang tidak begitu besar berdiri tidak
jauh dari kaki gunung ini. Di situ hanya ada beberapa
rumah yang letaknya cukup berjauhan.
“Entahlah! Aku tidak pernah mengingatnya,” sahut
Intan setengah mendesah.
“Hm...,” Eyang Watuagung kembali bergumam
tidak jelas.
Intan Delima semakin bertanya-tanya di dalam
hatinya, dan berusaha mencari jawaban dari raut
wajah laki-laki tua itu. Tapi jawaban yang diingin-
kannya sulit didapat, karena wajah Eyang Watuagung
begitu datar dan sukar diterka. Hanya tatapan
matanya saja yang menyiratkan sesuatu, namun
sangat sulit untuk diartikan.
“Apa yang ingin Eyang katakan?” tanya Intan
Delima tidak sabaran.
“Hhh.... Aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Tiba-tiba saja aku teringat dengan mendiang ayahmu,
yang juga murid kesayanganku,” kata Eyang
Watuagung setelah menarik napas panjang.
Intan Delima kembali diam membisu. Dia memang
tidak pernah lupa akan kematian ayahnya yang begitu
tragis sebagai seorang laki-laki jantan dan ksatria.
Apalagi untuk bisa melupakan lawan ber-tarung
ayahnya, yaitu seorang pemuda tampan yang telah
menorehkan tinta asmara di dasar hatinya yang
paling dalam. Tidak mungkin Intan melupakan begitu
saja. Sampai saat ini pun dia jelas terbayang, bahkan
sampai kapan pun.
“Semula, kukira dia sudah mati di dasar jurang
Tapi tidak kusangka, ternyata dia masih hidup dan
mampu membunuh muridku,” ujar Eyang Watuagung
setengah bergumam.
“Eyang! Aku sudah berusaha untuk melupakan-
nya...,” kata Intan berdusta. Nada suaranya agak ber-
getar saat mengatakan itu.
“Benar kau akan melupakannya, Intan?” tanya
Eyang Watuagung penuh selidik.
Intan Delima tidak segera manjawab, tapi hanya
menunduk saja karena tidak mampu lagi membalas
tatapan mata laki-laki tua berjubah putih di depannya.
Dalam hati, dikutuki dirinya sendiri yang berani men-
dustai eyang gurunya ini.
““Aku tidak percaya kau akan melupakan semua
itu, Intan. Aku tahu perasaanmu. Tapi aku tidak ingin
menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Kau berhak
mencintainya meskipun orang yang kau cintai itu
telah membunuh ayahmu sendiri. Itu hakmu, Intan.
Tapi aku hanya ingin mengingatkan, bahwa orang
yang kau cintai adalah seorang pembunuh kejam!”
agak sedikit ditahan suara Eyang Watuagung.
“Eyang...,” suara Intan tertahan di tenggorokan.
“Aku tak bermaksud mengajarkan atau mem-bakar
dendam pada dirimu, Intan. Hanya yang ingin kukata-
kan, bahwa semua yang telah terjadi hendaknya kau
jadikan pelajaran berharga bagi dirimu sendiri. Kau
seorang wanita, dan harus lebih bisa menjaga diri
daripada laki-laki.”
Intan hanya menundukkan kepalanya saja. Hatinya
jadi tidak menentu, dan kepalanya terasa pening.
Kata-kata Eyang Watuagung seolah-olah sengaja me-
nyingkap tirai kenangannya pada seorang pendekar
gagah dan tampan, dengan tingkat kepandaian
sangat tinggi. Orang yang sangat dicintai, tapi yang
juga telah menghancurkan hati dan harapannya. Dia
telah membunuh ayah kandungnya. Haruskah mesti
dicintai...?
***
Pembicaraan Eyang Watuagung dan Intan Delima
dilanjutkan terus sampai menjelang sore hari. Namun
sampai sejauh ini Intan belum dapat menangkap
maksud pembicaraan Eyang Watuagung yang meng-
ungkit peristiwa di Kadipaten Jati Anom.
Intan Iebih banyak diam dan berbicara dengan
dirinya sendiri di dalam hati. Semakin diingatnya
semua kejadian itu, semakin disadari kalau ternyata
ada kebencian di hatinya terhadap Pendekar Pulau
Neraka. Tapi rasa benci itu segera pupus begitu
perasaan cinta dan kerinduan melanda hatinya.
Memang, Intan harus menghadapi dua pilihan yang
sangat sulit.
“Selama kau berada di pondokku, latihanmu
begitu giat dan tekun. Kesungguhanmu dalam ber-
latih tidak pernah kujumpai sebelum ini...,” ujar Eyang
Watuagung seraya mengayunkan langkahnya kembali
menuju ke pondok.
“Apakah aku salah, Eyang?” tanya Intan sambil
mengikuti langkah laki-laki berjubah putih itu.
“Tidak! Sama sekali tidak! Justru aku senang jika
kau bersungguh-sungguh ingin menyempurnakan
jurus-jurusmu, bukan karena sebab-sebab lain yang
tertanam di dalam hatimu,” jawab Eyang Watuagung,
tapi masih sulit dimengerti.
“Aku tidak mengerti, Eyang.”
“Memang sulit untuk dimengerti, karena
jawabannya ada pada dirimu sendiri. Sedangkan aku
tidak tahu, apa yang ada di dalam hatimu saat ini
Hanya saja jika kau memiliki suatu maksud...,” Eyang
Watuagung tidak melanjutkan.
“Eyang.... Apakah Eyang menyangka bahwa aku
menyimpan dendam, begitu?” tebak Intan Delima
masih menduga-duga.
Eyang Watuagung tidak menjawab, tapi hanya
tersenyum. Ayunan kakinya tidak berhenti, meskipun
pelahan-lahan sekali. Intan Delima semakin diliputi
ketidakmengertian akan sikap eyang gurunya ini.
“Terus terang, Eyang. Aku memang membencinya,
tapi juga mencintainya. Aku ingin punya kesempatan
untuk bertarung secara jujur dengannya. Ini bukan
dendam, juga bukan pelampiasan kebencian atau
perasaan cinta. Aku hanya ingin menunjukkan kalau
diriku bukan wanita lemah yang hanya bisa mengemis
cinta dan perlindungan laki-laki,” tegas Intan.
“Kau berkata dari hatimu sendiri, Intan?” nada
suara Eyang Watuagung seakan tidak percaya.
“Kalau Eyang tidak percaya, aku harus bicara apa
lagi?” agak kesal juga Intan.
“Aku percaya padamu, Intan. Aku bangga jika kau
punya pendirian seperti itu. Pendirian yang keluar dari
dalam hati, bukan hanya di mulut saja.”
Intan kembali diam. Dia tahu kalau Eyang
Watuagung tidak percaya dengan pendiriannya. Tapi
dia sendiri memang tidak yakin dengan apa yang baru
saja diucapkan. Yang jelas ketidakpercayaan gurunya
bukan merupakan hambatan bagi Intan. Masalahnya
dia sendiri memang belum tahu arah dan tujuannya
saat ini.
***
Hampir seharian penuh Intan Delima duduk
merenung di atas batu di pinggir sungai. Sebagian
kakinya terayun-ayun ke dalam sungai, memper-
mainkan riak air yang mengalir jernih dari sumbernya
di puncak gunung ini. Sejak matahari terbit tadi,
sampai senja sekarang ini dia masih duduk merenung
di atas batu yang menjorok ke tepi sungai.
Pandangannya lurus menatap dasar sungai yang
berbatu.
“Intan...!”
Intan menoleh saat mendengar namanya di-
panggil. Kembali dialihkan pandangannya ke dalam
sung begitu dilihatnya Indranata datang menghampiri.
Pemuda berwajah cukup tampan dengan kulit sawo
matang terbakar matahari ini, duduk di atas batu lain
samping Intan Delima.
“Ada apa kau ke sini? Apakah kau membawa
amanat Eyang untukku?” tanya Intan memberondong.
“Tidak! Aku memang sengaja mencarimu,” sahut
Indranata tidak tersinggung dengan nada ketus gadis
itu.
“Apa perlunya kau mencariku?” “Ngobrol.”
“Hhh...!” Intan mendesah panjang.
Jawaban yang diberikan Indranata begitu mudah
dan terdengar hanya alasan yang dibuat-buat saja.
Intan tahu betul itu. Apalagi sejak kedatangannya di
Puncak Gunung Rangkas ini, Indranata selalu mencari
perhatian. Bahkan sikapnya sangat berlebihan. Hal-
hal kecil pun juga diperhatikan. Intan tahu, kalau
Indranata jatuh cinta padanya. Hanya saja pemuda itu
tidak punya keberanian untuk mengucapkannya. Dan
Intan sendiri tidak pernah memberi peluang terhadap
pemuda itu.
“Dari pagi tadi aku mencarimu, Intan. Kau tidak
latihan hari ini. Eyang Guru juga menanyakanmu. Aku
tidak tahu kalau kau ada di sini,” kata Indranata lagi.
“Katakan saja pada Eyang, bahwa aku ingin
istirahat dalam beberapa hari,” masih ketus nada
suara Intan.
“Ada apa dengan dirimu, Intan. Kau kelihatan
tidak....”
“Sudahlah, Indranata. Ini bukan urusanmu.
Biarkan aku sendiri di sini. Saat ini aku butuh
ketenangan. Aku tidak suka berdebat denganmu.
Mengertilah sedikit, Indranata,” kata Intan setengah
memohon. Hilang keketusannya.
Indranata memandangi wajah gadis itu lekat-lekat.
Keningnya sedikit berkerut. Tidak pernah di-lihatnya
Intan begitu murung, sampai betah duduk sendirian
satu hari penuh. Intan memang selalu ber-wajah mu-
rung, sejak datang ke pondok di Puncak Gunung
Rangkas ini. Tapi tidak separah ini! Kedatangannya
waktu itu pun dalam keadaan tubuh tidak begitu
sehat. Satu pekan penuh Eyang Watu-agung
merawatnya. Dan baru tiga purnama ini Intan mulai
berlatih ilmu olah kanuragan langsung di bawah
bimbingan Eyang Watuagung.
“Kau masih di situ, Indranata?” nada suara Intan
setengah mengusir.
“Intan! Kau boleh susah dengan dirimu sendiri.
Kau boleh punya persoalan apa saja. Aku tahu, kau
membenci seseorang yang mungkin telah melukai
hatimu. Tapi jangan limpahkan kebencian itu kepada
ku,” ungkap Indranata mengeluarkan segala ke-
kesalan yang selama ini ditahan.
Intan memang tidak pernah bersikap ramah
terhadap Indranata. Kata-katanya selalu bernada
ketus. Bahkan mereka jarang bicara kalau tidak
sedang berlatih. Indranata sadar betul kalau Intan
tidak menyukainya, bahkan mungkin membencinya.
Tapi Indranata tidak ambil peduli. Malahan dia selalu
bersikap manis, seolah-olah tidak tahu. Bahkan
segala keperluan gadis itu dipenuhi hanya untuk men-
dapatkan sebuah senyuman.
Tapi Intan tidak pernah memberi senyuman manis
yang tulus. Senyumannya selalu dipaksakan dan pahit
dirasakan. Terhadap sikap Intan yang demikian itu,
bagi Indranata mulanya memang menyebalkan. Tapi
setelah tahu siapa Intan Delima sebenarnya, sikapnya
pun berubah. Dia tidak peduli lagi dengan sikap gadis
itu yang tidak bersahabat. Bahkan sulit untuk
menolak timbulnya perasaan simpati yang
berkembang menjadi perasaan cinta, meskipun
belum pernah diungkapkan secara terus terang.
“Kau seorang gadis cantik, anggun, dan suci di
mataku, Intan. Seharusnya semua itu tidak kau rusak
dengan sikapmu yang kekanak-kanakan. Bagiku
bukan persoalan jika kau membenciku selamanya.
Tapi cobalah berpikir secara dewasa. Kau tidak hidup
sendirian di sini. Tidak mungkin kau dapat menye-
lesaikan segala persoalan seorang diri. Kau mem-
butuhkan seorang teman yang dapat diajak bertukar
pikiran, yang bisa mengerti dirimu, dan bisa me-
numbuhkan kembali semangat dalam dirimu,”
ungkap Indranata lagi.
Intan masih diam membisu. Begitu pula dengan
Indranata. Dirasakan semua yang dikatakannya
hanya terbawa angin saja. Pemuda itu menggeleng-
gelengkan kepala menghadapi kekerasan hati gadis
itu.
“Sudah selesai khotbahmu?” masih bernada sinis
suara Intan.
“Edan! Hampir berbusa mulutku, masih kau
anggap angin lalu saja!” dengus Indranata kesal.
Indranata langsung bangkit berdiri dan me-langkah
pergi. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, dia
kembali berhenti dan berbalik. Intan masih tetap
duduk memandang ke dalam sungai.
“Eyang berpesan agar kau menemuinya malam
nanti di bilik semadi!” kata Indranata lantang.
Sama sekali Intan tidak menyahut. Indranata
kembali berbalik dan melangkah pergi. Intan tetap
duduk di atas batu di tepi sungai itu hingga matahari
benar-benar tenggelam di ufuk Barat. Dia baru beran-
jak meninggalkan tempat itu setelah keadaan
menjadi gelap. Wajahnya tetap murung, dan ayunan
kakinya sedikit gontai. Beberapa kali terdengar
tarikan napasnya yang panjang dan berat.
***
Agak ragu-ragu juga Intan membuka pintu bilik
semadi. Sore tadi Indranata mengatakan kalau dia
dipanggil Eyang Watuagung di bilik semadi. Dan saat
pulang tadi, Eyang Watuagung juga mengatakan hal
yang sama. Tidak biasanya Eyang Watuagung me-
manggilnya ke dalam bilik semadi.
Intan sempat terkejut begitu pintu bilik terbuka.
Tampak Indranata telah duduk bersila di depan Eyang
Watuagung yang mengenakan baju jubah putih de-
ngan ikat kepala juga berwarna putih bersih. Intan
mengayunkan kakinya melangkah masuk, kemudian
duduk di samping Indranata tanpa sedikit pun
menoleh pada pemuda itu.
“Lama sekali kau baru datang, Intan,” tegur Eyangl
Watuagung.
“Maaf, Eyang. Aku...,” Intan tidak melanjutkan!
kata-katanya, hanya ditundukkan kepalanya dalam-
dalam.
“Aku sengaja memanggil kalian ke bilik semadiku
ini, karena ada sesuatu yang hendak kukatakan pada
kalian berdua,” kata Eyang Watuagung langsung.
Intan dan Indranata hanya diam dengan kepala
setengah tertunduk. Sementara Eyang Watuagung
merayapi wajah yang tertunduk itu dalam-dalam.
“Besok, pagi-pagi sekali aku akan pergi. Dan....”
“Eyang...!” Intan tersentak, langsung mengangkat
kepalanya.
“Dengarkan dulu, Intan. Aku belum selesai bicara.”
Intan Delima kembali terdiam.
“Kalian tidak perlu cemas. Aku pergi karena ada
sesuatu yang harus kuselesaikan. Keperluanku
sangat penting dan mendesak sekali. Memang berat
untuk meninggalkan kalian yang belum menyelesai-
kan seluruh pelajaran. Tapi apa boleh buat, itu harus
kulakukan,” kata Eyang Watuagung.
“Eyang, apa yang membuatmu harus pergi dengan
tiba-tiba?” tanya Intan.
“Aku mendapat kabar bahwa adikku telah kembali.
Aku harus menemuinya.” sahut Eyang Watuagung.
Intan Delima langsung terlonjak. Dia ingin
mengatakan sesuatu, tapi telah lebih dulu dicegah.
Gadis itu hanya bisa diam dengan dada bergemuruh.
Dia tahu, Siapa orang yang dimaksud Eyang
Watuagung. Dan Intan juga sudah bisa menebak apa
yang bakal terjadi. Hanya satu yang dikhawatirkan
Intan. Saat ini Eyang Watuagung masih menderita
luka dalam akibat pertarungannya dengan Pendekar
Pulau Neraka. Meskipun Eyang Watuagung sudah
berusaha menyembuhkannya, tapi Intan tahu kalau
luka dalam itu belum seluruhnya hilang. Bahkan
mungkin tidak akan hilang sampai ajal merenggutnya.
Dan kini Eyang Watuagung akan menghadapi sesuatu
yang sulit dibayangkan jadinya.
“Satu pesanku lagi untuk kalian berdua,” lanjut
Eyang Watuagung. “Seandainya aku tidak kembali
dalam waktu tiga purnama, kalian berdua tidak usah
mencariku. Aku lebih senang jika kalian menganggap-
ku sudah mati.”
“Eyang...!” kembali Intan tersentak.
Eyang Watuagung tersenyum lembut. Namun
senyumnya seperti sangat dipaksakan. Tangannya
yang sejak tadi berada di atas sebuah kotak kayu
berukir berwarna hitam pekat, kini berusaha mem-
buka tutupnya. Dikeluarkannya dua buah pedang
pendek berwarna hitam dengan gagang berbentuk
kepala naga dan sebuah kitab bersampul hitam pula.
“Pedang ini bernama Naga Hitam Kembar. Se-
dangkan kitab ini bernama Kitab Naga Kembar,” kata
Eyang Watuagung seraya meletakkan benda-benda
pusaka itu di atas tutup kotak kayu di depannya.
Intan menyipitkan kedua matanya memandandj
benda-benda pusaka itu. Benda-benda pusaka dan
keramat itu memang tidak pernah dikeluarkan Eyang
Watuagung sebelumnya. Bahkan muridnya yang ter-
dahulu saja, yaitu ayah Intan Delima, belum pernah
melihat, meskipun telah mendengarnya.
“Benda pusaka ini kuserahkan pada kalian ber-
dua! Selama aku pergi, pelajari dan kuasailah jurus-
jurus 'Naga Kembar'. Sudah kalian pelajari dasar-
dasarnya dan kitab ini akan menjadi penuntun kalian
selama mempelajari jurus-jurus 'Naga Kembar',” kata
Eyang Watuagung lagi.
Laki-laki tua berjubah putih itu menyerahkan
sebuah pedang yang berada di sebelah kanannya
kepada Indranata. Dan sebuah pedang lagi diserah-
kan pada Intan Delima. Sementara Kitab Naga
Kembar diserahkan pada Indranata yang menerirna
dengan sikap penuh hormat.
“Jika kalian sudah menguasai jurus-jurus 'Naga
Kembar', musnahkanlah kitab itu. Dan jangan kalian
lupa, pedang yang kalian miliki tidak dapat digunakan
secara terpisah. Jadi, selama masih memegang
pedang itu, kalian harus selalu bersatu. Mengapa
demikian? Nanti akan kalian ketahui jika telah
menguasai jurus-jurus 'Naga Kembar',” lanjut Eyang
Watuagung.
Intan melirik pemuda di sampingnya. Pada saat
yang sama, Indranata pun melirik pada gadis itu.
Intan buru-buru membuang mukanya.
“Pergilah kalian beristirahat,” kata Eyang
Watuagung lagi.
Laki-laki tua berjubah putih itu memandang dua
orang muda itu meninggalkan bilik semadi ini.
Sebentar dia masih duduk bersila di atas altar semadi
yang terbuat dari batu pipih berbentuk persegi.
Kemudian matanya mulai terpejam, sedangkan
telapak tangannya menempel pada lutut. Eyang
Watuagung mulai bersemadi untuk mengembalikan
kembali kondisi tubuhnya. Sejak pertarungannya
dengan Pendekar Pulau Neraka, dia sering ber-
semadi.
“Ugh! Dada ini...!” keluhnya dalam hati.
***
2
“Eyang...!”
Intan Delima membuka pintu bilik semadi. Sejenak
dia tertegun mendapati altar semadi telah kosong.
Tidak ada lagi Eyang Watuagung di dalam bilik.
Pelahan-lahan gadis itu melangkah masuk. Matanya
beredar merayapi seluruh sudut bilik yang berukuran
tidak begitu luas ini.
Matahari belum lagi terbit, tapi Eyang Watuagung
sudah pergi.
“Eyang...,” lirih suara Intan.
Intan duduk di atas akar semadi. Diangkat
kepalanya ketika mendengar langkah kaki memasuki
bilik. Tatapan matanya kosong ke arah Indranata yang
be diri di ambang pintu bilik. Pemuda itu juga me-
mandang lurus pada Intan dengan sinar mata kosong.
Sesaat mereka hanya saling pandang saja.
“Belum pernah Eyang pergi dengan meninggalkan
banyak pesan,” kata Intan lirih, memecahkan ke-
bisuan.
“Eyang pasti kembali dalam waktu tiga purnama,
kata Indranata mencoba membesarkan hati gadis itu.
“Hhh! Kau hanya menghibur saja, Indranata, Intan
tersenyum sinis.
“Ya, kau memang perlu dihibur. Aku yakin kala
hatimu yang kosong pasti membutuhkan seseorang
untuk menghibur dan mengisinya kembali,” sahut
Indranata datar.
Intan Delima bangkit berdiri, kemudian bergegas
melangkah keluar dari bilik semadi itu. Indranata
menyusul dan menggamit pergelangan tangan gadis
itu. Intan berusaha menyentakkannya, tapi cekalan
Indranata begitu kuat. Gadis itu berbalik dan menatap
tajam pada pemuda itu, maka Indranata pun
melepaskan cekalannya.
“Kau benar-benar kepala batu, Intan!” dengus
Indranata gusar. “Apa kau lupa dengan pesan-pesan
Eyang Watuagung semalam? Kau boleh membenciku
tanpa alasan, tapi jangan abaikan amanat Eyang
Watuagung!”
Intan diam membisu. Dalam hati diakui kalau kata-
kata Indranata benar. Lagi pula sungguh tak ber-
alasan jika harus membenci pemuda itu. Indranata
tidak pernah berbuat salah sedikit pun terhadap diri-
nya. Bahkan belum pernah dia melukai hatinya, apa-
lagi menyakitinya. Mengapa harus membenci pemuda
itu?
Kata-kata Indranata kemarin sore kembali
terngiang-ngiang di telinga gadis itu. Sangat jelas, dan
tidak bisa dibantah sedikit pun. Dia memang tidak
punya alasan sama sekali. Tapi yang jelas, dia
membenci Indranata hanya karena meluapkan
kekesalan dan kekecewaan hati terhadap Bayu.
Sedangkan Indranata hanya jadi korban dari
perasaan hatinya. Perasaan kekanak-kanakannya.
Intan mendesah pelan. Terseliplah rasa sesal dan
malu pada pemuda itu. Memang tidak seharusnya
membenci Indranata yang telah begitu baik dan selalu
memperhatikannya.
“Aku sudah membacanya semalam. Sekarang,
giliranmu untuk membaca dan memahami isinya!”
kata Indranata seraya menyerahkan Kitab Naga
Kembar.
Intan memandangi sesaat kitab berwarna hitam
pekat itu, kemudian menerimanya dengan tangan
bergetar. Indranata langsung berbalik dan melangkah
ke tengah-tengah halaman depan pondok. Intan
memandangi pemuda itu. Hatinya diliputi berbagai
macam perasaan yang tak terungkapkan.
“Kakang...,” pelan dan agak bergetar suara Intan
memanggil.
Indranata menghentikan langkahnya. Pelahan-
lahan dia berbalik menghadap pada gadis itu. Tampak
bibir Intan Delima bergetar, seolah-olah ingin
mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara sedikit pun
meluncur dari bibirnya yang bergetar.
“Ada apa?” tanya Indranata tanpa gairah.
“Maafkan aku,” ucap Intan pelan. Begitu pelannya
sehingga hampir tidak terdengar suaranya.
“Ah, sudahlah! Tidak ada yang perlu dimaafkan,”
kata Indranata.
“Katakanlah, Kakang. Maukah kau memaafkan
aku?” desak Intan.
“Kau sudah memanggilku Kakang. Dan itu sudah
cukup menyenangkan hatiku, Intan,” kata Indranata.
“Oh! Terima kasih, Kakang.”
Indranata tersenyum. Intan melangkah meng-
hampiri dan mengajak pemuda itu duduk di tangga
beranda pondok. Indranata tidak menolak. Mereka
kini duduk berdampingan tanpa ada kata-kata yang
terucap untuk beberapa saat lamanya. Pandangan
mereka lurus ke depan.
“Kau membenciku, Kakang?” tanya Intan pelan.
“Tidak ada alasan untuk membencimu,” jawab
Indranata juga pelan.
“Aku selalu membencimu, tapi kau tidak pernah
membenciku. Ah, kau baik sekali...,” suara Intan
tengah mendesah.
Indranata memandang wajah gadis di sampingnya.
Sedangkan Intan tetap memandang lurus ke depan.
Sinar matanya begitu kosong, tidak bermakna sedikit
pun.
“Intan! Mengapa kau membenciku selama ini?”
tanya Indranata ragu-ragu.
“Seperti yang pernah kau katakan sore kemarin.
Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku membencimu.
Yah..., mungkin kau benar, Kakang. Aku hanya me-
lampiaskan perasaanku saja,” sahut Intan.
“Aku sebenarnya sedikit tahu tentang dirimu dari
Eyang Guru Watuagung. Tapi aku tidak tahu,
persoalan yang kau hadapi hingga kau lampiaskan
padaku,” kata Indranata mulai mengorek.
“Aku malu mengatakannya, Kakang,” sahut Intan
polos.
“Kenapa harus malu? Katakan saja, mungkin aku
dapat membantu meringankan bebanmu.”
Intan menarik napas panjang-panjang dan meng-
hembuskannya kuat-kuat. Berat rasanya untuk men-
ceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya. Tapi
akhirnya diceritakannya juga. Dan tentu saja dengan
menutupi hubungan intimnya bersama Pendekar Pu-
lau Neraka. Dia memang lupa daratan, sehingga
menyerahkan mahkota satu-satunya yang paling ber-
harga bagi dirinya! Sesuatu yang tidak mungkin di-
dapatkannya kembali!
***
Hari-hari kini dilalui dua anak manusia yang masih
muda itu dengan berlatih tekun mengikuti petunjuk
yang tertulis dalam Kitab Naga Kembar. Saat-saat
luang dihabiskan untuk mengenal diri masing-masing.
Kini mereka mulai saling terbuka dalam beberapa hal.
Hanya saja masih ada sesuatu yang masih disem-
bunyikan Intan Delima.
“Kakang, kau belum menceritakan awal per-
temuanmu dengan Eyang Watuagung,” kata Intan di
saat mereka tengah beristirahat setelah berlatih
keras.
“Oh, ya...?”
“Iya.”
“Baiklah,” desah Indranata.
Intan diam menunggu sabar.
“Aku bertemu Eyang Watuagung ketika berusia
lima belas tahun. Waktu itu, keadaan desaku tengah
dilanda kekacauan. Seorang tokoh rimba persilatan
datang lalu membuat onar. Ilmunya sangat tinggi, dan
tidak ada yang dapat menandingi...,” Indranata mulai
bercerita tentang hidupnya.
“Lalu?” Intan mulai tidak sabaran.
“Tokoh digdaya itu sebenarnya hanya mencari
kepala desa. Sedangkan kami semua sangat men-
cintai kepala desa karena selalu membela ke-
pentingan orang banyak. Beliau selalu bertindak adil,
tidak memandang golongan. Baik kaya atau pun
miskin, sama saja di matanya.”
“Lalu?”
“Kami semua tak rela jika orang gila itu mem-
bunuh beliau. Tapi akhirnya, kekhawatiran kami men
jadi kenyataan. Malam itu terjadi kegemparan di
rumah kepala desa. Benar saja. Orang gila itu telah
membunuh kepala desa, dan orang-orang yang
mencoba menghalanginya. Tidak sedikit pendekar
yang tewas. Bahkan para penduduk pun menjadi
korban, termasuk ayahku,” semakin pelan suara
Indranata.
“Lalu, di mana kau bertemu dengan Eyang?” tanya
Intan.
“Kematian Ayah membuatku kehilangan kendali.
Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu meninggal ketika
aku masih berusia tiga tahun. Kemudian kuputuskan
untuk pergi mengembara. Tapi belum berapa jauh
meninggalkan tanah kelahiran, malapetaka kembali
menimpa. Sekelompok orang telah merampok semua
harta yang kumiliki. Tidak berhenti sampai di situ, aku
pun dianiaya hingga hampir mati. Untungnya, Eyang
Watuagung cepat datang menolong dan membawaku
ke sini. Sejak itulah aku tinggal di sini, menuntut ilmu
dari Eyang Watuagung.”
“Malang sekali nasibmu, Kakang,” ucap Intan lirih.
“Kemalangan bukan untuk disesali, Intan. Tapi
untuk direnungi dan diambil hikmahnya. Semua yang
telah terjadi terhadap diriku merupakan suatu
pelajaran yang sangat berharga.”
“Kau meniru kata-kata Eyang, Kakang.”
“Semua yang dikatakan Eyang, tidak pernah
kulupakan. Kata-katanya merupakan api semangat
yang selalu menyulut pelita kehidupanku, Intan. Di
sini kutemukan kembali arti kehidupan, semangat
dan masa depanku. Aku sangat berhutang budi pada
Eyang Watuagung. Hutang yang tidak mungkin dapat
terbalaskan sepanjang sisa hidupku.”
“Kau merasa berhutang budi pada Eyang
Watuagung, tapi kenapa kau tidak bersamanya pada
saat Eyang menghadapi bahaya?”
“Eyang sudah mengatakan yang benar, Intan. Dan
itu harus kupatuhi. Aku yakin Eyang bisa meng-atasi
persoalannya tanpa harus ada campur tangan-ku. Aku
sangat menghormatinya, dan tidak mungkin
melanggar perintahnya.”
“Kau murid yang setia dan taat, Kakang. Tidak
heran kalau Eyang begitu menyayangimu. Bahkan aku
sempat iri melihat kasih sayangnya padamu.”
“Ah! Kau hanya membesarkan hatiku saja, Intan.
“Aku mengatakan yang sebenarnya, Kakang.
Semua ilmu yang kau miliki tidak seluruhnya kumiliki
juga.”
“Intan, hal itu jangan kau jadikan rasa dengki! Aku
yakin, Eyang Watuagung mempunyai per-timbangan
lain, mengapa beberapa ilmu tidak diturunkan
kepadamu. Dan juga harus kau ingat, beberapa ilmu
yang kau miliki belum tentu dapat kumiliki! Tapi hal
itu tidak membuatku berkecil hati. Karena aku
melihat beberapa ilmu yang tidak kau kuasai,
memiliki keistimewaan tersendiri. Begitu pula
sebaliknya. Bahkan bila digabungkan dengan kerja-
sama yang baik, akan menghasilkan ilmu yang
dahsyat.”
“He! Dari mana kau tahu?” Intan terkejut.
“Kau sudah baca semua yang tertuang di dalam
Kitab Naga Kembar?” Indranata balik bertanya.
Intan tidak langsung menjawab. Memang kitab itu
belum dibaca seluruhnya. Malahan sebagian yang
dibaca belum dapat dipahami betul. Terlalu sulit
untuk mencernanya seorang diri.
“Kau melalaikan amanat Eyang Watuagung, Intan,”
nada suara Indranata seperti menyesalkan.
“Maaf, Kakang. Aku tidak bisa terlalu cepat
memahami. Terlalu sulit bagiku,” Intan mengakui
terus terang.
“Ah, sudahlah! Ayo kita berlatih lagi. Malam nanti
aku akan membantumu memahami isi Kitab Naga
Kembar. Ingat, Intan. Waktu yang diberikan hanya tiga
purnama. Waktu yang tidak panjang.”
Baru saja Intan akan mengatakan sesuatu, tiba-
tiba....
“Awas...!” seru Intan Delima.
***
Sebatang anak panah tiba-tiba melesat cepat ke
arah Indranata. Seketika itu juga Intan menggenjot
tubuhnya dan menangkap anak panah berwarna hijau
itu. Tapi, belum juga berhasil menjejak tanah, dua ba-
tang tombak melesat cepat bagai kilat ke arah Intan.
“Hiyaaa...!”
Indranata melompat cepat sambil menggerakkan
kedua tangannya.
Trak! Trak!
Tombak itu langsung patah kena sampokan keras
bertenaga dalam. Indranata menjejakkan kakinya
tepat di samping Intan Delima. Tangannya merebut
anak panah di genggaman gadis itu. Wajah Indranata
langsung memerah ketika melihat goresan kilat pada
batang panah hijau itu.
“Keparat...!” geram Indranata.
“Ada apa, Kakang?” tanya Intan.
“Hhh! Rupanya dia masih mencariku!” sahut
Indranata mendesis.
“Ha ha ha...!”
Intan dan Indranata agak terperanjat begitu men-
dengar suara tawa menggelegar bagai hendak meng-
hancurkan alam ini. Suara tawa itu demikian keras
memekakkan telinga. Intan dan Indranata segera me-
ngerahkan hawa murni dan menutup pendengaran-
nya. Suara tawa itu jelas disalurkan dengan penge-
rahan tenaga dalam cukup tinggi.
Indranata menggerak-gerakkan kedua tangannya
turun naik di depan dada dengan cepat. Kedua
kakinya dipentang lebar setengah tertekuk.
Kemudian, sambil berteriak keras, tangannya
terangkat tinggi-tinggi di utas kepala.
“Hiyaaa...!”
Suara tawa itu langsung terhenti, bersamaan
dengan terdengarnya ledakan dahsyat, setelah
tangan Indranata menghentak ke depan. Sebongkah
batu besar di balik pepohonan, hancur seketika
terhantam pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup
tinggi. Dari bongkahan batu dan kepulan debu,
nampak berkelebat satu bayangan hijau.
Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun,
tahu-tahu sudah berdiri di depan Indranata dan Intan
Delima. Seluruh pakaiannya berwarna hijau. Di
pinggangnya tergantung sekantung anak panah. Tapi
anehnya tidak membawa busur! Laki-laki aneh itu
menatap tajam pada Indranata. Sedangkan Intan
Delima memperhatikan tanpa berkedip.
“Siapa dia, Kakang?” tanya Intan tanpa menoleh
“Setan Panah Hijau...,” sahut Indranata.
Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dan
berjuluk Setan Panah Hijau sebenarnya adalah bekas
penjahat yang telah merampok Indranata dulu. Suatu
saat, Indranata berhasil mempermalukannya di depan
anak buahnya, setelah dia cukup mendapat ilmu dari
Eyang Watuagung. Oleh karena diliputi rasa dendam,
Setan Panah Hijau pun mencari Indranata sampai di
maha pun.
“He he he.... Kau masih mengenaliku, Indranata?”
si Setan Panah Hijau terkekeh. Suaranya terdengar
kering dan serak.
“Sampai kapan pun aku tidak lupa!” sahut
Indranata dingin.
“Bagus! Itu berarti kau sudah siap ke neraka!”
Setelah berkata demikian, Setan Panah Hijau
langsung melompat menerjang. Dua pukulan keras
beruntun dilayangkan ke tubuh Indranata. Namun
dengan manis, pemuda itu mengelakkannya.
Sementara Intan Delima menyingkir beberapa tombak
jauhnya.
“Bagus! Tidak sia-sia kau berguru, Bocah!” sindir
Setan Panah Hijau. “Hup! Hiyaaa...!”
“Hih!”
Indranata melompat mundur ketika Setan Panah,
Hijau mencabut dua batang anak panah, dan
langsung dilontarkan ke arah pemuda itu. Indranata
meliuk-liukkan tubuhnya menghindari terjangan dua
anak panah yang berwarna hijau itu.
Melihat dua senjatanya luput dari sasaran, Setan
Panah Hijau kembali melontarkan panah-panahnya
dengan cepat dan beruntun. Namun Indranata bukan-
lah pemuda kosong. Dengan manis dihindarinya
serbuan anak panah hijau itu. Tentu saja hal ini mem-
buat Setan Panah Hijau jadi berang. Sampai panah-
nya habis, tidak satu pun yang berhasil menemui
sasaran.
“Awas kepala...!” teriak Indranata tiba-tiba.
Seketika itu juga Indranata melentingkan tubuhnya
ke atas, dan meluruk cepat menyambar kepala Setan
Panah Hijau.
“Uts!”
Setan Panah Hijau merunduk. Tapi tanpa diduga
sama sekali, kaki Indranata menyepak keras
punggungnya. Setan Panah Hijau mengumpat,
merasakan nyeri pada tulang punggungnya. Buru-buru
dia berbalik. Tapi, tangan Indranata lebih cepat lagi
menggedor keras disertai pengerahan tenaga dalam
penuh ke arah dada.
“Akh...!” Setan Panah Hijau memekik keras.
Pada saat tubuh Setan Panah Hijau terjajar ke
belakang, Indranata melompat cepat sambil men-
cabut pedangnya.
Sret!
“Hiyaaa...!”
“Aaa...!”
Pedang di tangan Indranata lantas saja menusuk
dada Setan Panah Hijau hingga hampir tembus ke
punggungnya! Darah muncrat keluar dari dada yang
menganga tertembus pedang itu. Hanya sekali
tendangan saja, tubuh si Setan Panah Hijau meng-
gelepar di tanah. Indranata pun segera menyarung-
kan kembali pedangnya di pinggang. Matanya tajam
menatap Setan Panah Hijau yang menggelepar
bersimbah darah. Dan akhirnya, mati.
***
Waktu terus berjalan dengan pasti. Hari berganti
hari, sejalan dengan peredaran matahari. Dua anak
manusia di Puncak Gunung Rangkas semakin terlihat
akrab. Ke mana-mana selalu berdua. Mereka sudah
mengenal diri masing-masing, meskipun masih di-
sadari kalau tidak semuanya dapat diungkapkan
secara langsung. Jelas masih ada sesuatu yang harus
dirahasiakan.
Namun masing-masing tidak ingin menuntut untuk
harus terbuka dalam berbagai hal.
Mereka terus mendalami jurus-jurus 'Naga
Kembar'. Semakin dikuasai, mereka semakin yakin
kalau, jurus-jurus simpanan Eyang Watuagung
memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Lebih-lebih
setelah Pedang Naga Kembar digunakan. Hasilnya,
jurus-jurus merekai semakin dahsyat. Jadi, yang
dikatakan Eyang Watuagung memang benar. Jurus-
jurus yang mereka pelajari selama ini adalah dasar
dari jurus 'Naga Kembar. Dan mereka kini semakin
merasakan adanya suatu keterikatan yang sulit
dipisahkan satu sama lain.
Siang itu, udara di Puncak Gunung Rangkas panas
luar biasa. Langit tampak mendung tersaput awan
hitam, tapi udaranya begitu menyengat. Intan keluar
dari dalam pondok, mencoba mencari angin. Rasanya
seperti berada di dalam tungku saja jika terus-
menerus di dalam pondok. Langkah kakinya terayun
menghampiri Indranata yang tengah duduk bersandar
di bawal sebuah pohon yang cukup besar dan
rindang. Pemuda itu begitu tekun membaca sebuah
buku.
“Buku apa yang kau baca?” tanya Intan setelah
dekat jaraknya dengan Indranata.
“Sastra. Mau baca?” Indranata mengangkat
kepalanya sedikit.
“Males, ah! Aku tidak suka baca sastra,” sahut
Intan seraya menempatkan dirinya di depan pemuda
itu,
“Sastra itu penting untuk pedoman hidup, Intan.”
“Ah! Lagakmu seperti seorang pujangga saja,”
rungut Intan mencibir.
“Tapi aku tidak ingin jadi pujangga. Yang kuingin-
kan hanyalah menjadi resi. Aku ingin seperti Eyang
Watuagung.”
“Aneh...,” gumam Intan pelan.
“Apanya yang aneh?”
“Keinginanmu itu.”
Indranata hanya tersenyum saja. Memang bagi
kebanyakan orang, keinginan menjadi resi masih
dianggap sesuatu yang aneh. Sedikit sekali orang
yang berkeinginan menjadi resi atau pertapa, yang
selalu menyepi meninggalkan segala nafsu duniawi.
Lebih-lebih dalam usia muda seperti Indranata ini.
Kalaupun ada pemuda yang masuk ke kuil atau
pertapaan, pada akhirnya bukan untuk menjadi resi.
Mereka hanya sekedar menuntut ilmu. Dan biasanya,
mereka akan keluar begitu selesai menamatkan
pelajarannya.
Indranata dan Intan mengangkat kepala hampir
berbarengan ketika muncul seseorang menghampiri.
Mereka lantas bangkit berdiri dan menunggu. Orang
itu semakin dekat dan membungkukkan badannya
begitu sampai di depan dua orang muda itu. Intan
memandang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh
tahun itu. Tatapan matanya sedikit tajam dan penuh
selidik.
“Maaf. Apakah Eyang Watuagung ada?” tanya laki-
laki tua itu penuh rasa hormat.
“Bapak siapa?” tanya Intan.
“Aku datang dari Desa Sirna Galih. Namaku Ki
Adong,” laki-laki tua itu memperkenalkan diri.
“Apa keperluan Ki Adong mencari Eyang
Watuagung?” tanya Indranata.
“Kami memang sangat memerlukannya, Kisanak,”
jawab Ki Adong.
“Sayang sekali, Eyang Watuagung sedang pergi.
Kira-kira sudah tiga pekan ini,” jelas Intan.
“Oh...,” Ki Adong mengeluh lesu.
Intan memandangi wajah laki-laki tua itu. Wajah
yang semula penuh harap, kini berubah lesu tanpa se-
mangat. Gadis itu menatap pada Indranata yang juga
sedang memandang ke arahnya. Sesaat mereka
saling melempar pandang. Kemudian sama-sama
mengalihkan pandangan kembali ke arah laki-laki tua
di depan mereka.
“Ada yang bisa kami bantu, Ki?” lembut suara
Intan.
“Aku tidak tahu pasti, apakah kalian mampu. Kami
semua mengharapkan kehadiran Eyang Watuagung.
Tolong tunjukkan, di mana beliau berada?”
“Eyang Watuagung tidak mengatakan hendak pergi
ke mana. Tapi kalau Ki Adong percaya, kami bisa
mewakilinya. Kami adalah murid Eyang Watuagung,”
kata Indranata tetap lembut dan ramah.
Ki Adong menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sedangkan Intan dan Indranata kembali saling lempar
pandangan. Sesaat tidak ada yang bicara. Masing-
masing sibuk dengan pikirannya. Namun wajah laki-
laki tua yang berpakaian lusuh dan kotor berdebu itu
semakin kelihatan lesu tanpa gairah.
“Sudah kuduga sejak semula. Seharusnya aku
memang tidak perlu jauh-jauh datang ke sini. Eyang
Watuagung banyak yang membutuhkan, dan tidak
mungkin beliau berada di dua tempat dalam waktu
yang singkat,” kata Ki Adong pelan setengah ber-
gumam. Dia seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Boleh kami tahu, persoalan apa yang sedang
Anda hadapi?” tanya Indranata tetap ramah.
“Hanya Eyang Watuagung yang bisa menyelesai-
kannya. Maaf, sebaiknya aku segera kembali sebelum
keadaan semakin bertambah buruk,” ujar Ki Adong
segera berbalik.
“Tunggu...!” cegah Indranata.
Tapi Ki Adong terus saja melangkah. Indranata
akan mengejar, namun Intan sudah keburu mencekal
tangannya. Laki-laki tua berusia cukup lanjut itu terus
melangkah lesu. Wajahnya tertunduk seperti kehilang-
an semangat.
“Kelihatannya ia benar-benar membutuhkan per-
tolongan Eyang Watuagung,” kata Indranata.
“Kelihatannya memang begitu,” gumam Intan.
“Kau tahu, di mana letak Desa Sirna Galih?” tanya
Indranata.
“Untuk apa?”
“Aku yakin, pasti ada sesuatu yang sedang terjadi
di sana.”
“Kalau iya, kau mau apa?”
“Ki Adong datang atas nama warga desa itu, dan
tampaknya sangat mengharapkan sekali kehadiran
Eyang Watuagung. Rasanya tidak mungkin jika tidak
terjadi apa-apa.”
“Mengapa harus ikut campur? Dia sendiri tidak
memandang sedikit pun pada kita. Nada suaranya
meremehkan sekali.”
“Intan, jangan bersikap begitu. Aku tahu, dia tidak
bermaksud meremehkan. Dia hanya memerlukan
Eyang Watuagung, lalu kecewa karena yang diharap-
kan tidak ada. Mungkin rasa kecewanya membuatnya
jadi bersikap begitu.”
Intan hanya mengangkat bahunya saja.
“Kau tahu letak Desa Sirna Galih?” tanya Indra-
nata lagi.
“Tidak jauh dari Kadipaten Jati Anom. Desa itu
memang masih termasuk wilayah Kadipaten Jati
Anom,” sahut Intan acuh.
“Hanya satu hari perjalanan dengan kuda. Tidak
terlalu jauh,” gumam Indranata.
“Mau apa sih?”
“Aku akan ke sana! Mungkin ada yang dapat
kulakukan di sana.”
“Edan! Kita belum sempurna menguasai ilmu 'Na-
ga Kembar', bagaimana mungkin dapat meninggalkan
tempat ini, Kakang? Sedangkan Eyang berpesan agar
jangan pergi sebelum batas waktu tiga purnama.
Pokoknya, Eyang tidak mengijinkan kita pergi sebelum
menguasai penuh jurus-jurus 'Naga Kembar', meski-
pun sampai tahunan!”
“Eyang Watuagung selalu meninggalkan ke-
pentingan pribadi jika ada orang yang datang
meminta bantuannya. Aku yakin, Eyang tidak akan
marah,”' bantah Indranata.
“Terserah kaulah...,” Intan menyerah.
Kata-kata Indranata memang benar. Intan pun
menyerah tanpa mampu mendebat lagi. Dia memang
tidak pernah menang jika berdebat dengan Indranata.
Apalagi kalau berkaitan dengan ucapan, tingkah laku,
serta kebiasaan-kebiasaan Eyang Watuagung. Intan
memang tidak begitu mengenal tentang diri Eyangnya
itu yang diketahuinya, dirinya adalah cucu Eyang
Watuagung. Sebelumnya belum pernah Intan tinggal
begitu lama bersama Eyang Watuagung di tempat
yang sepi dan menyendiri. Sedangkan Indranata,
entah sudah berapa tahun hidup bersama laki-laki tua
Itu.
“Aku akan siapkan kuda. Hari ini juga kita berang-
kat,” kata Indranata.
“Hey...!” Intan terkejut.
“Kenapa? Kau akan melarang lagi?”
“Ini sudah hampir sore. Kalau berangkat sekarang,
bisa tengah malam baru tiba di sana.”
“Baiklah. Besok pagi-pagi sekali kita harus berang-
kat,” kali ini Indranata yang mengalah, karena
memang tidak tahu letak Desa Sirna Galih.
“Lalu, bagaimana dengan Kitab Naga Kembar?”
tanya Intan.
“Simpan di tempat yang aman,” sahut Indranata.
Lagi-lagi Intan hanya mengangkat bahunya saja.
***
3
Kadipaten Jati Anom tampak sepi lengang. Kesunyian
sangat terasa menyelimuti sekitarnya. Tidak terdengar
lagi canda dan tawa ceria anak-anak bermain. Tidak
juga terdengar gadis-gadis bersenda gurau di sungai.
Bahkan ladang-ladang tampak sepi tanpa seorang
pun yang menggarap. Kadipaten Jati Anom kini bagai-
kan sebuah kota mati tak berpenghuni.
Sayup-sayup terdengar derap langkah kaki kuda
dari arah Utara. Kemudian terlihat debu mengepul ke
udara. Suara kaki kuda dipacu semakin jelas ter-
dengar mengusik kesunyian ini. Dari kepulan debu
yang menggumpal, muncul seekor kuda yang berpacu
cepat membawa seorang laki-laki tua berjubah putih.
Kuda hitam pekat itu terus berlari memasuki jalan
utama kadipaten ini.
“Hiya! Yeaaah...!”
Dari balik pintu dan jendela rumah di sepanjang
jalan utama Kadipaten Jati Anom ini, bersembulan
kepala-kepala manusia. Kuda yang berlari cepat bagai
dikejar setan itu sempat menimbulkan perhatian para
penduduk. Laki-laki tua berjubah putih yang tengah
menunggang kuda itu menghentikan laju kudanya
tepat di tengah-tengah jalan yang langsung menuju ke
istana kadipaten. Sepasang bola matanya yang tajam
mengamati keadaan sekitarnya.
“Hm...,” gumamnya tidak jelas.
Dari salah satu rumah, muncul seorang laki-laki
bertubuh gemuk dengan kepala setengah botak.
Sebentar laki-laki gemuk itu merayapi penunggang
kuda Itu, lalu berlari menghampiri. Penunggang kuda
itu melompat turun, sedangkan laki-laki gemuk
berkepala agak botak itu segera berlutut memeluk
kaki yang tertutup jubah putih longgar.
“Eyang...,” laki-laki gemuk berkepala setengah
botak itu merintih lirih.
“Bangunlah.”
Laki-laki gemuk itu bangkit berdiri. Dari tiap rumah
sekitar jalan itu bermunculan orang-orang, laki-laki,
perempuan, tua, dan muda. Bahkan anak-anak pun
ikut keluar dari dalam rumahnya masing-masing.
Mereka langsung merubungi laki-laki tua berjubah
putih yang kini berdiri tak jauh dari kuda hitam itu.
Laki-laki berjubah putih yang ternyata adalah
Eyang Watuagung itu merayapi para penduduk yang
mendatanginya dengan wajah lesu tanpa gairah
hidup. Mereka merubung dengan kepala tertunduk.
Eyang Watuagung menarik napas panjang dan berat.
Perhatiannya tertuju pada laki-laki gemuk berkepala
setengah botak di depannya. Orang itu juga me-
nundukkan kepalanya dengan tangan di depan.
“Waraketu! Bukankah seharusnya kau berada di
Istana sampai pengganti Adipati Rakondah datang?”
tanya Eyang Watuagung.
“Benar, Eyang. Seharusnya aku memang berada di
istana kadipaten. Tapi...,” laki-laki gemuk yang
dipanggil Waraketu itu menghentikan kata-katanya.
“Kenapa?”
“Perubahan besar terjadi setelah Eyang pergi dari
kadipaten ini.”
“Maksudmu?”
“Pendekar Pulau Neraka datang lagi bersama
orang-orangnya. Mereka menguasai istana dan
membuat peraturan-peraturan yang sangat mem-
beratkan. Bahkan yang berani menentang langsung
dihukum mati di tempat itu juga,” jelas Waraketu.
“Benar, Eyang. Bahkan utusan kerajaan yang mem-
bawa pengganti adipati dibantai habis,” celetuk salah
seorang yang berada di belakang Waraketu.
“Mereka sangat kejam, Eyang!” celetuk salah
seorang lagi.
“Pendekar Pulau Neraka...,” desis Eyang Watu-
agung.
Laki-laki tua berjubah putih itu mengangkat
kepalanya ketika tiba-tiba terdengar suara hiruk-
pikuk. Para penduduk yang berkerumun, serentak
berlarian sambil berteriak ketakutan. Tampak be-
berapa tubuh berpentalan ke udara dengan darah
mengucur deras. Teriakan ketakutan ditingkahi jerit
dan pekik kematian mewarnai keadaan di Kadipaten
Jati Anom ini. Eyang Watuagung segera melompat
begitu matanya melihat tiga orang bertampang kasar
dan bengis mengamuk, memporak-porandakan
kerumunan penduduk.
Lesatan Eyang Watuagung begitu cepat, disertai
kiriman sebuah tendangan keras pada salah seorang
yang tengah mengamuk itu. Orang itu langsung ter-
pental, tidak menduga akan ada serangan begitu
cepat dan tiba-tiba. Dua orang lagi serentak melesat
mundur setelah melihat temannya tergeletak dengan
kepala pecah. Bola mata mereka bersinar merah
menyala melihat seorang laki-laki tua berjubah putih
tahu-tahu sudah berdiri tegak dengan sikap me-
nantang. Sementara para penduduk langsung
menyingkir, masuk ke rumahnya masing-masing.
Mereka harus mengintip dari balik lubang pintu dan
jendela. Hanya beberapa saja yang masih berada di
luar rumah, tapi tarjarak agak jauh. Mereka adalah
bekas para prajurit dan pembesar kadipaten.
“Setan! Berani kau membunuh teman kami, heh!”
geram salah seorang.
“Membunuh kalian bukan pekerjaan yang sulit,”
dingin suara Eyang Watuagung.
“Monyet! Kau harus bayar mahal nyawa temanku!”
“Seharusnya kalian yang membayar nyawa mereka
yang tidak berdosa.”
“Kurang ajar! Kubunuh kau! Hiyaaa...!”
Eyang Watuagung memiringkan tubuhnya ke kiri
ketika salah seorang melompat sambil mengayunkan
goloknya. Tebasan golok itu hanya lewat di depan
dadanya. Dan pada saat itu, dengan kecepatan kilat,
tangan kanan laki-laki berjubah putih itu menyodok
lambung lawannya.
“Hughk!” orang itu mengeluh pendek
Tubuhnya terbungkuk. Dan belum sempat berbuat
banyak, satu pukulan keras bertenaga dalam sangat
tinggi menghajar mukanya. Raungan keras terdengar
bersamaan dengan terpentalnya tubuh orang itu ke
belakang. Eyang Watuagung membalikkan tubuhnya
ketika seorang lawan lagi menyerang dari arah
samping. Goloknya menyodok ke arah dada.
Hanya sedikit Eyang Watuagung memiringkan
tubuhnya, maka golok lawan terkempit di ketiak
Seketika itu pula tangan kirinya mendarat telak di
dada lawan. Orang itu terjungkal keras ke belakang.
Eyang Watuagung melemparkan golok lawannya
disertai pengerahan tenaga dalam. Golok itu
meluncur deras lalu menancap di dada pemiliknya.
“Aaa...!”
Eyang Watuagung langsung melompat ketika salah
seorang yang wajahnya telah berlumuran darah
mencoba bangkit. Kakinya segera menjejak dada
orang itu seraya tangannya merampas goloknya,
dilemparkan begitu saja.
“Jawab pertanyaanku! Siapa yang menyuruhmu?”
dingin suara Eyang Watuagung bertanya.
Orang berwajah kasar dan berlumuran darah itu
berusaha menggeliat, tapi kaki Eyang Watuagung kian
kuat menekan dadanya.
“Akh!”
“Aku bisa membunuhmu semudah membalikkan
telapak tangan! Jawab pertanyaanku, keparat!”
bentak Eyang Watuagung.
Orang itu masih belum menjawab. Sementara
Waraketu dan beberapa orang lainnya sudah mulai
bergerak mendekati. Mereka memandang dengan
penuh rasa kebencian yang amat sangat pada orang
yang tidak berdaya di bawah injakan kaki Eyang
Watuagung. Paras wajahnya kelihatan pucat, dan
tubuhnya menggeletar menggigil. Bibirnya bergerak-
gerak seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.
“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Eyang Wai
agung lagi.
“Pen.... Pendekar Pu....”
“Jawab yang benar!” bentak Eyang Watuagu gusar.
“Aduh!”
“Kau akan semakin tersiksa kalau tidak mau
mejawab!” ancam Eyang Watuagung.
“Pendekar Pulau Neraka, Tuan. Dia yang menyuruh
kami menguasai kota ini,” kata orang itu bergetar
suaranya.
“Kau jangan main-main, keparat!”
“Benar, Tuan. Aku tidak main-main.”
“Hih!”
Eyang Watuagung menendang tubuh orang itu
hingga menggelinding ke kaki Waraketu. Saat itu juga,
Waraketu mencabut goloknya yang terselip di
pinggang, dan mengibaskan dengan cepat ke tubuh
orang itu.
“Aaa...!”
***
Eyang Watuagung duduk bersila di ruangan depan
rumah Waraketu. Di depannya juga bersila Waraketu
dan beberapa orang bekas pembesar kadipaten.
Mereka membicarakan keadaan kadipaten yang kini
dikuasai seseorang yang mengaku Pendekar Pulau
Neraka. Eyang Watuagung kelihatan masih belum
percaya dengan kabar yang diterimanya.
Dia memang tidak menyaksikan kematian kedua
muridnya yang menjabat sebagai adipati di Kadipaten
Jati Anom ini dan menjadi panglima kerajaan. Tapi
dari kabar yang didengar, kedua muridnya itu tewas
oleh Pendekar Pulau Neraka. Memang sulit untuk
mempercayai berita yang diterimanya itu. Dan dia
sengaja datang ke kadipaten ini untuk mengetahui
secara jelas kebenaran berita itu.
Tapi yang didapati di kadipaten Jati Anom, sungguh
mencengangkan sekali. Sambutan yang diterima
sangat luar biasa. Tiga orang yang tewas telah meng-
aku suruhan Pendekar Pulau Neraka untuk
menguasai Kadipaten Jati Anom, lewat tindakan
brutal dan kesadisan. Eyang Watuagung begitu yakin
kalau Pendekar Pulau Neraka telah tewas di dalam
jurang ketika bertarung dengannya. Sukar dipercaya
kalau pendekar itu ternyata masih hidup dan mampu
membunuh dua orang muridnya.
“Pendekar Pulau Neraka memang masih hidup,
Eyang. Aku melihat sendiri, bagaimana dia bertarung
dan membunuh Gusti Adipati dan Gusti Panglima di
halaman depan Istana Kadipaten,” ungkap Waraketu
memecah kebisuan yang terjadi.
''Lantas, yang sekarang menguasai istana
kadipaten itu benar-benar Pendekar Pulau Neraka?”
tanya Eyang Watuagung.
“Tidak tahu pasti, Eyang,” sahut Waraketu.
“Hm...,” Eyang Watuagung mengerutkan kening-
nya.
“Mereka memang selalu menyebut-nyebut nama
Pendekar Pulau Neraka. Tapi sejak peristiwa di Istana
Kadipaten waktu itu, kami semua tidak pernah lagi
melihat Pendekar Pulau Neraka di sini,” ujar salah
seorang yang duduk di samping Waraketu.
“Sulit dipercaya...,” gumam Eyang Watuagung.
Eyang Watuagung menggeleng-gelengkan kepala-
nya. Sebelum datang ke kadipaten ini, dia memang
telah memeriksa jurang tempat jatuhnya Pendekar
Pulau Neraka di sana. Memang tidak terdapat satu
mayat pun di dalam jurang itu. Dan sekarang
Waraketu bersumpah kalau telah melihat dengan
mata kepala sendiri bahwa Pendekar Pulau Neraka
masih hidup dan telah membunuh kedua muridnya.
Kalau memang benar pendekar itu dapat selamat!
dari dalam jurang setelah terkena pukulan maut dan
tendangan bertenaga dalam tinggi, tentulah ilmunya
sukar diukur tingkatannya. Apalagi dapat membunuh
dua orang muridnya dalam waktu yang tidak begitu
lama setelah bertarung dengannya. Padahal kalaupun
masih bisa selamat, tentu dia membutuhkan waktu
paling tidak satu pekan untuk memulihkan kekuatan
kembali. Tapi hanya dalam waktu kurang satu hari,
Pendekar Pulau Neraka mampu memulihkan
kekuatan tubuhnya. Bahkan mampu menandingi dan
mengalahkan dua orang yang berilmu cukup tinggi.
Eyang Watuagung benar-benar tidak percaya
menerima kenyataan ini. Sejak menerima kabar
berita itu, kepercayaannya mulai hilang. Terlebih lagi
setelah menyaksikan sendiri mayat kedua muridnya
yang tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka. Saat
itu dia tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Akhirnya
dia memutuskan untuk kembali ke Gunung Rangkas
dan mendidik Intan serta Indranata, sambil me-
mulihkan kembali kekuatannya akibat pertarungan
dengan Pendekar Pulau Neraka. Dia ingin mem-
buktikan sendiri kebenarannya sebelum mengambil
tindakan. Tapi semua yang diperolehnya mendekati
kebenaran.
“Setahuku, Pendekar Pulau Neraka selalu ber-
tindak sendiri. Dia tidak punya pengikut seorang pun.
Bahkan teman dalam perjalanan saja tidak punya...,”
gumam Eyang Watuagung pelan. “Aneh...! Kenapa
berita yang kuperoleh jadi simpang-siur? Aku datang
justru untuk menemui adikku. Tapi.... Ah, jangan-ja-
ngan ini ulah si Hastama.... Hhh! Kalau memang
benar, aku harus menyadarkannya...!” lanjut Eyang
Watuagung dalam hati.
“Barangkali dia mengambil para begal dan
perampok, lalu membawanya ke sini untuk
menguasai seluruh kedipaten ini, Eyang,” celetuk
Waraketu.
“Tidak mungkin...! Meskipun aku pernah bentrok
dan dia memusuhi muridku, tapi aku dapat menilai
kalau dia seorang ksatria yang keras pada
pendiriannya. Dia bukan jenis manusia yang ingin
memiliki kekuasaan dan harta benda duniawi. Dia
seorang pendekar sejati, meskipun tindakannya
sangat kejam tanpa mengenal ampun,” bantah Eyang
Watuagung jujur.
“Lalu, siapa orang yang kini menguasai Istana
Kadipaten, Eyang?” tanya salah seorang yang duduk
paling kanan.
“Perasaanku mengatakan ada seseorang yang
mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi,
dan memakai nama Pendekar Pulau Neraka untuk
mengecilkan hati semua orang. Saat ini Pendekar
Pulau Neraka memang sukar dicari lawan tandingnya.
Secara jujur, aku sendiri menaruh hormat padanya,”
sahut Eyang Watuagung agak ditekan suaranya.
“Kalau memang bukan Pendekar Pulau Neraka,
kita harus bertindak, Eyang!” kata Waraketu.
“Benar! Kita harus membebaskan kesengsaraan
penduduk!” sambung yang lain.
“Benar!”
“Bekas para prajurit kadipaten pasti mampu meng-
hadapi mereka!”
Eyang Watuagung hanya diam saja. Kepalanya
agak tertunduk, dan keningnya sedikit berkerut. Dia
memang harus bertindak, tapi tidak secara brutal
tanpa perencanaan matang. Masalahnya, hal itu pasti
akan membuat kerugian yang tidak kecil. Harus ada
cara lain yang lebih tepat untuk menghindari
kemungkinan jatuh korban terlalu banyak.
***
Eyang Watuagung memandangi bangunan megah
yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan kokoh.
Suasana kelihatan sepi, dan keadaannya kotor tidak
terawat. Keadaan bangunan kebanggaan seluruh
rakyat Kadipaten Jati Anom ini sungguh mengenaskan
sekali. Bahkan Eyang Watuagung sempat menitikkan
air mata melihat keadaan istana kadipaten itu.
Mendadak, Eyang Watuagung tersentak kaget
begitu melihat sebuah bayangan berkelebat cepat
memasuki benteng istana itu dengan melompati
tembok
“Hup!”
Eyang Watuagung segera melesat ke atas tembok
benteng. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kaki-
nya mendarat manis di atas tembok benteng itu.
Matanya tajam beredar ke sekeliling. Hampir dia tidak
percaya dengan penglihatannya sendiri. Di balik
bayang-bayang sebuah pohon yang sangat besar,
terlihat seorang laki-laki yang selama ini selalu
mengganggu pikirannya.
Tanpa buang-buang waktu lagi, Eyang Watuagung
segera melentingkan tubuhnya ke arah orang itu.
Gerakannya cepat dan ringan sekali, dan dengan
manis mendarat tepat di depan orang itu.
“Hm..., rupanya kau belum mati, Pendekar Pulau
Neraka!” gumam Eyang Watuagung mendengus.
“Heh...!” laki-laki muda yang memakai baju dari
kulit harimau itu terkejut.
Laki-laki berwajah tampan dan keras itu
melangkah mundur dua tindak. Kedua bola matanya
berputar merayapi orang tua berjubah putih di
depannya. Dia memang Pendekar Pulau Neraka atau
den nama asli Bayu Hanggara. Masih diingatnya siapa
laki-laki tua berjubah putih itu. Orang yang pernah
mengalahkan dan hampir membunuhnya di jurang,
tidak jauh dari perbatasan Kadipaten Jati Anom (Baca
Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah Lambang
Kematian).
“Tidak kusangka kau punya maksud buruk dengan
Kadipaten Jati Anom ini, Pendekar Pulau Neraka. Tapi
selama aku masih hidup, kau tidak akan bisa
menguasai tanah kelahiranku ini!” kata Eyang
Watuagung dingin.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Eyang Watu-
agung...,” kata Bayu keheranan.
“Phuih! Jangan berlagak bodoh, bocah setan! Apa
saja yang telah kau lakukan di Istana Kadipaten ini
heh?” geram Eyang Watuagung, tidak bisa menahan
amarahnya.
“Aku...? Aku melakukan apa?” Bayu semakin
kelihatan kebingungan. Memang tuduhan itu baginya
sulit dimengerti.
“Bocah setan...! Aku menghormatimu karena kau
bersikap ksatria waktu itu. Tapi rasa hormatku luntuh
karena kelakuanmu yang membuatku muak!” desis
Eyang Watuagung.
Setelah berkata demikian, Eyang Watuagung
segera membuka jurus. Bayu kembali menggeser
kekinya ke belakang satu tindak. Dia pernah melihat
dan merasakan jurus laki-laki tua itu. Sangat dahsyat
dan hampir tidak terbendung. Memang dia sempat
mengalami kekalahan pahit, tapi ketika itu hanya
dilayani setengah-setengah.
“Tunggu dulu, Eyang! Aku tidak mengerti apa yang
kau maksudkan,” sergah Bayu berusaha menenang-
kan laki-laki tua itu.
“Sudah cukup penjelasan yang kuberikan, Bocah!
kau benar-benar manusia busuk yang berkedok
ksatria!”
“Eh, tung... Uts!”
Bayu tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena
Eyang Watuagung telah menyerang dengan jurus-
jurus mautnya yang sangat dahsyat dan berbahaya.
Bayu terpaksa berlompatan dan berkelit menghindar
setiap serangan yang dilancarkan laki-laki tua
berjubah putih itu. Masih belum dimengerti, kenapa
Eyang Watuagung langsung menyerang dengan jurus-
jurus mautnya.
Bayu masih terus berkelit dan menghindar meski-
pun agak kewalahan juga menghadapinya. Sampai
sejauh itu, Pendekar Pulau Neraka belum mau mem-
balas serangan-serangan Eyang Watuagung. Dia tidak
ingin bertarung dengan seseorang karena belum jelas
permasalahannya.
“Eyang, hentikan! Hup, yaaa...!” seru Bayu keras.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka melesat tinggi ke
udara, tepat ketika Eyang Watuagung mengibaskan
kakinya ke arah kaki pemuda berbaju kulit harimau
itu. Dua kali Bayu berputar di udara, lalu hinggap di
atas dahan pohon. Eyang Watuagung berdiri tegak de-
ngan tangan di pinggang. Kepalanya menengadah
atas memandang tajam ke arah Bayu.
“Turun kau, setan keparat!” bentak Eyang Watu-
agung menggeram.
“Eyang! Coba jelaskan, kenapa kau menyerangku
dan menuduhku yang tidak-tidak?” agak keras suara
Bayu.
“Kau terlalu congkak, Pendekar Pulau Neraka. Kau
menganggap dirimu tangguh dan digdaya tanpa
tanding. Kau lupa, bahwa di dunia ini masih banyak
orang berilmu tinggi, yang tingkat kepandaiannya jauh
di atasmu!”
“Jangan berbelit-belit, Eyang.”
“Turun kau, setani Biar kupecahkan kepalamu
bentak Eyang Watuagung.
“Sial! Setan apa yang ada di dalam kepalamu.
Tanpa sebab apa-apa kau begitu bernafsu ingin
membunuhku,” dengus Bayu setengah berteriak.
“Keparat! Yaaah...!”
Eyang Watuagung mengibaskan kedua tangann
keatas. Beberapa buah pisau kecil meluncur dan
menimbulkan cahaya keperakan yang memijar. Bayu
sempat terkesiap juga. Buru-buru dilentingkan tubuh
nya dan berputar beberapa kali di udara. Pisau-pisau
itu lewat di antara putaran-putaran tubuhnya, lalu
dengan manis sekali dijejakkan kakinya di tanah.
Pada saat itu, Eyang Watuagung melompat
menerjang sambil mengirimkan tiga kali pukulan
beruntun. Bayu meliuk-liukkan tubuhnya menghindari
pukulan-pukulan bertenaga dalam sangat tinggi itu,
kemudian melompat mundur. Tapi Eyang Watuagung
tidak memberi kesempatan pada Pendekar Pulau
Neraka untuk mengambil jarak. Dia langsung
menyerang kembali, bahkan semakin ganas.
“Uts! Edan...!” dengus Bayu ketika sebuah pukulan
mengandung hawa panas hampir menjebol dadanya.
Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri, maka pukulan
keras mengandung hawa panas menyengat itu lewat
di depan dadanya. Dengan kecepatan yang sukar
diikuti mata biasa, tangan kiri Pendekar Pulau Neraka
menyodok perut lawan.
“Hugh!” Eyang Watuagung mengeluh tertahan.
Sodokan tangan kiri Bayu tepat menghajar
lambungnya. Dan pada saat tubuh Eyang Watuagung
agak terbungkuk, satu pukulan tanpa pengerahan
tenaga dalam mendarat di wajahnya. Eyang
Watuagung terdongak. Bayu kembali menghantam
dada laki-laki tua itu dengan satu tendangan keras,
juga tanpa pengerahan tenaga dalam. Akibatnya,
Eyang Watuagung terjajar beberapa langkah ke
belakang
“Keparat!” geram Eyang Watuagung.
Laki-laki berjubah putih itu tahu betul kalau
Pendekar Pulau Neraka tidak mengerahkan tenaga
dalam saat mendapat kesempatan tadi. Kalau saja
Bayu mengerahkannya, dapat dipastikan tulang-
tulang tua Eyang Watuagung bakalan remuk. Bahkan
mungkin nyawanya melayang malam ini juga.
“Maaf, Eyang. Aku masih punya urusan yang lebih
penting lagi,” kata Bayu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung
melesat pergi. Gerakannya demikian cepat, sehingga
dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya lenyap
ditelan kegelapan malam. Eyang Watuagung
mengeluh pendek. Meskipun tendangan dan pukulan
Pendekar Pulau Neraka tidak disertai pengerahan
tenaga dalam, tapi cukup membuat tubuh terasa
sakit, dan tulang-tulang terasa nyeri.
Dari situ saja Eyang Watuagung mengerti kalau
tingkat kepandaian Pendekar Pulau Neraka sukar
diukur. Pukulan dan tendangan kosong dengan
tenaga luar saja, sudah begitu keras dan dahsyat.
Apalagi disertai pengerahan tenaga dalam? Sulit
dibayangkan, bagaimana akibatnya jika hal itu sampai
terjadi.
“Uh! Aku tidak mengerti, ilmu apa yang digunakan-
nya? Aku pernah bertarung dengannya, dan dia
masuk ke dalam jurang. Aku kira sudah tewas...
Hhh...! Apa jadinya dunia persilatan jika seandainya
orang setangguh dia sampai masuk ke dalam
golongan hitam...?” Eyang Watuagung mengeluh
berbicara sendiri.
Dengan langkah lunglai, laki-laki tua berjubah putih
itu berjalan meninggalkan halaman istana kadipaten
itu. Dilewatinya pintu gerbang yang hancur
berantakan. Tapi begitu kakinya sampai di ambang
pintu gerbang, langkahnya terhenti. Tubuhnya pun
berbalik menghadap pada bangunan megah tak
terawat itu.
“Uh! Sial...! Hampir aku lupa. Tapi....”
Eyang Watuagung berdiri tertegun memandang
bangunan megah di depannya. Dia jadi ragu-ragu
untuk memeriksa bangunan itu malam ini. Munculnya
Pendekar Pulau Neraka di sini tadi membuatnya jadi
berpikir lagi. Sedangkan suasana di sini demikian
sepi, tidak terlihat tanda-tanda kehidupan.
“Hhh! Sebaiknya besok siang saja aku kembali lagi
ke sini,” gumam Eyang Watuagung.
Laki-laki berjubah putih itu membalikkan tubuhnya
kembali dan berjalan meninggalkan pintu gerbang
istana kadipaten itu. Ayunan langkahnya kembali
mantap dan ringan. Begitu ringannya, seolah-olah
berjalan tidak menapak tanah.
***
4
Pagi baru saja datang menjelang. Fajar menyingsing.
Matahari di ufuk Timur memancarkan cahaya merah
Jingga. Seorang pemuda berwajah tampan, tapi
menyiratkan kekerasan berdiri tegak membelakang
cahaya matahari. Rambutnya yang panjang, meriap
melambai-lambai dipermainkan angin. Udara masih
terasa dingin, meskipun kehangatan mulai menjalar
mengusir titik-titik embun.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak berkedip
memandang ke arah Kadipaten Jati Anom. Tatapan-
nya lurus ke sebuah bangunan megah dikelilingi tem-
bok benteng yang tinggi dan kokoh. Suasana
bangunan istana itu masih kelihatan sepi senyap,
meskipun hampir semua rakyat Kadipaten Jati Anom
sudah mulai keluar dan bekerja kembali.
Dari tempat yang cukup tinggi ini, Kadipaten Jati
Anom memang bisa terlihat jelas. Bahkan desa-desa
di sekitarnya seperti hanya tinggal melangkah saja.
Pandangan pemuda berbaju kulit harimau itu beralih
ketika telinganya yang tajam bagai mata elang itu
mendengar suara dari arah sebelah Selatan
Kadipaten Jati Anom. Kelopak matanya agak
menyipit, begitu melihat dua orang tengah bertarung
sengit.
“Hm..., sepertinya aku kenal dengan orang yang
satu itu...,” gumam pemuda itu pelan.
Pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata
adalah Pendekar Pulau Neraka langsung melesat,
berlari cepat ke arah desa itu. Dengan mengerahkan
ilmu lari cepat, maka dalam waktu sebentar saja,
telah berada dekat pertarungan yang dilihatnya dari
atas bukit.
“Intan...,” desisnya begitu mengenali gadis yang
tengah bertarung melawan seorang laki-laki ber-
kepala gundul.
Tidak jauh dari Intan, Indranata tengah bertarung
melawan seorang laki-laki tua mengenakan baju
hitam, dan memegang tongkat berkeluk yang juga
berwarna hitam pekat. Bayu mengedarkan
pandangannya berkeliling. Agak terkesiap juga dia
melihat di sekitarnya banyak mayat bergelimpangan.
“Akh!”
Tiba-tiba terdengar jeritan keras tertahan. Bayu
langsung menolehkan kepalanya. Tampak Intan
Delima terjajar sambil memegangi dadanya. Darah
mengucur dari sela-sela jari tangannya. Orang
berkepala gundul, dan yang bersenjatakan ruyung
raksasa itu langsung melompat sambil mengibaskan
senjatanya ke arah leher Intan. Pada saat itu posisi
Intan Delima tidak menguntungkan sama sekali.
Intan memejamkan matanya, tidak mampu berkelit
lagi. Dan pada saat ujung senjata ruyung itu hampir
mengoyak lehernya, sebuah bayangan berkelebat
cepat menahan laju senjata itu.
Trak!
“He!” laki-laki gundul itu tersentak kaget.
Senjatanya hampir terlepas dari tangannya. Buru-
buru dia melompat mundur. Di depan Intan kini telah
berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan keras
mengenakan baju kulit harimau. Intan membuka
matanya, dan langsung terbeliak lebar begitu melihat
depannya telah berdiri seseorang yang amat dikenal,
dirindukan, sekaligus dibencinya.
“Kakang Bayu...,” desis Intan agak bergetar
suaranya.
“Menyingkirlah, Intan. Dia bukan lawanmu,” kata
Bayu.
Intan yang akan mundur, tiba-tiba mengurungkan
niatnya. Bahkan tanpa berkata-kata lagi, gadis itu
melesat kembali menerjang orang berkepala gundul
itu. Bayu tersentak kaget, tapi tidak bisa berbuat
banyak. Intan sudah kembali terlibat pertarungan
sengit dengan lawannya. Tapi baru saja pertarungan
itu berjalan beberapa jurus, kembali gadis itu ter-
pental seraya memekik keras.
“Intan...!” sentak Bayu cemas.
Intan menggeletak dengan tubuh bersimbah darah.
Dia masih berusaha bangkit. Namun luka-luka di
tubuhnya tidak mengijinkannya bangkit kembali,
meskipun sudah berusaha sekuat tenaga. Gadis itu
memang berhasil berdiri, tapi tidak dapat tegak.
Tubuhnya limbung seperti pohon kelapa ditiup angin
topan.
“Hiyaaa...!” laki-laki berkepala gundul itu melompat
menerjang Intan.
“Yaaa...!”
Bayu langsung melesat memapak serangan orang
berkepala gundul itu. Tangan kirinya mendorong ke
depan. Sedangkan orang itu melentingkan tubuhnya
berputar di udara. Mereka sama-sama mendarat
manis, dan saling berhadapan berjarak cukup dekat.
Orang berkepala gundul itu segera memberondong
dengan sodokan senjata ruyungnya. Bayu mengangkat tubuh Intan dan membawanya ke bawah po-
hon rindang. Diletakkan tubuh gadis itu di bawah po-
hon, terlindung dari sengatan matahari. Sebentar di-
periksanya luka-luka di tubuh Intan Delima.
Sebentar Intan memejamkan mata, lalu kembali
membukanya. Dadanya bergemuruh setiap kali me-
mandang wajah pemuda di dekatnya. Ingin rasanya
memeluk dan menumpahkan rasa cintanya. Tapi,
begitu teringat ayahnya yang tewas di tangan pemuda
ini, perasaan yang menggelora di hatinya langsung
ditekan dalam-dalam. Dua kutub yang saling berten-
tangan bergelut di dalam dirinya. Intan diam saja
ketika Bayu berusaha mengobati luka-lukanya.
“Untung hanya luka luar. Tapi kau cukup banyak
kehilangan darah,” kata Bayu setengah mendesah.
“Oh...,” Intan hanya bergumam lirih.
Tatapan mata gadis itu beralih pada pertarungan
Indranata dan kakek tua bertongkat hitam. Kelihatan-
nya Indranata pun juga kewalahan menghadapi
lawannya. Beberapa kali tongkat kakek tua berbaju
hitam itu menghantam tubuhnya. Indranata jatuh
bangun berusaha menghindari serangan-serangan
lawannya
Pada saat yang sama, Bayu Hanggara juga meng-
arahkan pandangannya ke sana.
“Yang mana temanmu?” tanya Bayu tanpa meng-
alihkan pandangannya.
“Indranata...,” sahut Intan pelan. Hampir tidak
terdengar suaranya.
“Yang tua, atau yang muda?”
“Muda,” sahut Intan tetap pelan.
Bayu langsung melompat ke arah pertarungan itu.
Sementara Intan beringsut duduk bersandar pada
pohon. Matanya tidak berkedip memandangi pemuda
berbaju kulit harimau itu. Bibirnya bergetar, seolah-
olah ingin mengucapkan sesuatu. Namun tidak ada
satu kata pun yang terucap.
***
Indranata lantas melompat mundur ketika
Pendekar Pulau Neraka terjun dalam pertempuran itu.
Laki-laki tua berbaju hitam bersenjata tongkat hitam
pula, juga segera melompat mundur. Matanya yang
merah membara menatap tajam pada pemuda ber-
baju kulit harimau yang telah mencampuri pertarung-
annya.
“Bocah setan!” geram laki-laki tua berbaju hitam
itu.
Bayu menoleh pada Indranata yang berdiri di
belakangnya agak ke samping.
“Bantu temanmu, dia terluka cukup parah,” kata
Bayu.
“Kau berani mencampuri urusanku! Sebagai
imbalannya kau harus mampus, Bocah!” geram laki-
laki tua bertongkat hitam itu.
Baru saja Bayu mengalihkan pandangannya
kembali, laki-laki bertongkat hitam itu sudah
menyerang ganas. Bayu melompat ke samping,
menghindar sodokan ujung tongkat yang runcing. Dan
dengan, cepat didupakkan kakinya ke arah pinggang.
Laki tua bertongkat hitam itu tidak menyangka, dan
terlambat untuk berkelit.
“Uh!” dia mengeluh pendek seraya menyemburkan
ludahnya.
Cepat sekali tubuhnya berbalik berputar sambil
melayangkan tongkatnya ke arah kaki. Pendekar
Pulau Neraka melompat dan berputar satu kali di
udara. Kembali kakinya mendupak dari atas. Laki-laki
tua bertongkat hitam itu terperanjat. Buru-buru
diangkat tongkatnya, mencoba memapak serangan
kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun kembali Bayu
menarik kakinya dengan memutar tubuhnya ke
bawah.
Sangat di luar dugaan, dengan posisi kaki berada
atas, Bayu ternyata masih bisa melontarkan dua
pukulan dengan kecepatan penuh. Orang bertongkat
hitam itu terpekik kaget. Buru-buru dia melompat
mundur ke belakang dua tindak. Bayu kembali
memutar tubuhnya dengan cepat, dan mendarat
manis tanah. Dia berdiri tegak dengan tangan melipat
di depan dada.
“Siapa kau, Bocah?” tanya laki-laki tua bertongkat
Hitam itu.
“Untuk apa kau ingin tahu namaku? Kalau gentar,
cepat pergi! Sebelum aku berubah pikiran!” dingin
kata-kata Bayu.
“Setan alas! Kau terlalu besar kepala, Bocah!”
geram laki-laki tua itu.
Sementara Indranata telah menghampiri Intan
Delima yang sedang duduk di sebuah batang pohon
tumbang. Diperiksanya luka-luka di tubuh gadis itu.
keningnya berkerut, melihat luka-luka yang diderita
Intan sudah tidak membahayakan lagi. Hanya perlu
sedikit perawatan untuk mengeringkan lukanya saja.
Kemudian dia memandang ke arah Bayu dan bekas
lawannya yang berdiri saling berhadapan.
“Siapa dia, Intan?” tanya Indranata, tanpa meng-
alihkan pandangannya.
“Pendekar Pulau Neraka,” sahut Intan pelan.
“Hm..., apakah dia mampu menandingi Gagak
Ireng?” gumam Indranata seperti bertanya untuk
dirinya sendiri.
“Dia pasti mampu, Kakang.”
“Kau kenal dia, Intan?”
“Ya...,” pelan suara Intan. Gadis itu menggigit
bibirnya sendiri. Untung saja Indranata tidak sedang
memandang ke arahnya, sehingga tak melihat
perubahan wajah gadis itu. Entah kenapa, Intan tidak
bisa menghilangkan perasaan cintanya pada Bayu
Hanggara. Dia sudah berusaha, dan bahkan mencoba
untuk menggantinya dengan perasaan benci. Tapi
tetap saja tidak mampu. Kebenciannya memang ada,
tapi cintanya ternyata lebih besar lagi.
Saat itu laki-laki tua bertongkat hitam yang
bernama Gagak lreng sudah kembali menyerang
Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan kali ini lebih
sengit lagi. Gagak lreng langsung mengeluarkan jurus-
jurus mautnya. Sementara, Bayu hanya sesekali saja
membalas serangan lawan, tapi mampu membuat
Gagak lreng jumpalitan menghindari.
Jurus demi jurus dilalui dengan cepat. Dan
kelihatannya Gagak lreng kewalahan sekali meng-
hadapi Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali
tendangan dan pukulan keras bertenaga dalam tinggi
mendarat di tubuhnya. Sedangkan Gagak lreng belum
berhasil menyarangkan satu pukulan pun terhadap
lawannya. Hal ini tentu saja membuat Gagak lreng
semakin berang.
“Hup! Hiyaaa...!!!”
Gagak lreng memutar tongkatnya dengan cepat.
Dan seketika itu juga tubuhnya melesat bagai kilat ke
udara. Dengan pengerahan tenaga dalam penuh,
Gagak lreng mengibaskan tongkatnya ke kepala
Pendekar Pulau Neraka.
“Uts! Yaaah...!”
Bayu segera merundukkan kepalanya dengan
tubuh miring ke kiri. Dan pada saat itu juga, tangan
kanannya mengibas ke atas dengan cepat Cakra
Maut melesat bagaikan kilat dari pergelangan
tangannya.
Gagak lreng terperangah sesaat, cepat-cepat
diputar tongkatnya.
Trak!
“Hah...!”
Gagak Ireng terbelalak matanya begitu tongkatnya
terpenggal jadi dua bagian. Dan belum sempat hilang
rasa terkejutnya, Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka
langsung meluruk deras ke arah perutnya.
“Aaa...!” Gagak Ireng menjerit keras.
Tubuh yang terbalut kain hitam itu langsung ter-
jerembab jatuh. Keras sekali tubuhnya menghunjam
tanah. Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala. Cakra Maut berwarna keperakan pun
bergerak ke luar dari perut Gagak Ireng dan langsung
melesat cepat. Bayu Hanggara mengambil potongan
tongkat Gagak Ireng, begitu senjatanya kembali
menempel di pergelangan tangannya.
“Modar! Yiaaa...!”
Sambil berteriak, Pendekar Pulau Neraka itu
melompat, dan menghunjamkan potongan tongkat itu
ke tubuh pemiliknya. Gagak Ireng menjerit me-
lengking. Darah segar muncrat begitu dadanya ter
tembus tongkatnya sendiri. Bayu bangkit berdiri dan
memandangi mayat lawannya.
Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu berbalik
menghadap ke arah Intan dan lndranata yang duduk
di bawah pohon. Pada saat itu, dari setiap rumah pen-
duduk, bermunculan orang dengan wajah cerah ceria.
Mereka serentak berhamburan ke arah Pendekar Pu-
lau Neraka. Di antara mereka, tampak Ki Adong. Laki-
laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu langsung
membungkuk ke depan Bayu dan menyalaminya
dengan hangat.
Bayu jadi terheran-heran menyaksikan semua itu.
Tidak sedikit orang yang merubung dan mengelu-
elukannya. Yang pasti, dia seperti seorang pahlawan
yang baru saja pulang dari medan perang dan
membawa kemenangan. Bayu tidak bisa menolak
ketika para penduduk itu menggiringnya ke sebuah
rumah besar dengan halaman luas. Dia berusaha
mengangkat kepalanya, mencari Intan dan lndranata.
Tapi kerumunan orang itu menghalangi pandangan-
nya. Terlebih lagi, dia terus digiring menuju ke rumah
besar berhalaman luas itu.
Pada saat itu, Intan sudah dapat berdiri kembali
dibantu lndranata. Sesaat gadis itu memandang ke
arah kerumunan penduduk Desa Sirna Galih yang
menggiring Pendekar Pulau Neraka ke rumah kepala
desa. Pelahan-lahan pandangan gadis itu beralih
pada wajah pemuda di sampingnya. Saat yang sama,
lndranata juga tengah mengarahkan pandangannya
pada gadis itu.
“Ayo, kita pulang,” ajak Intan pelan.
***
Bayu masih belum dapat mengerti terhadap sikap
para penduduk Desa Sirna Galih padanya. Dia dijamu
dan dielu-elukan bagai seorang pahlawan perang
yang pulang dengan membawa kemenangan. Dia
belum sempat bertanya, karena penduduk ber-
datangan silih berganti ke rumah Ki Adong hanya
untuk berbicara dan mengenal lebih dekat Rumah
Kepala Desa Sirna Galih itu pun sesak oleh
kerumunan penduduk.
Baru pada tengah malam, Bayu bisa beristirahat.
Dirasakannya kelelahan yang amat sangat pada
seluruh tubuh. Baginya lebih baik bertarung tiga hari
penuh daripada harus melayani begitu banyak orang,
dengan tingkah dan tujuan yang bermacam-macam.
Masih bisa dimaklumi kalau mengerti permasalahan
nya. Tapi ini..Sama sekali Bayu tidak bisa memahami
dan mengerti permasalahan yang dihadapi para
penduduk itu.
Bayu duduk bersila di dipan bambu, beranda
depan rumah Ki Adong. Saat itu malam sudah
demikian larut. Dan Desa Sirna Galih pun telah sepi.
Tak ada seorang penduduk pun yang ke luar dari
rumahnya lagi. Bayu merayapi suasana di sekitarnya.
Digeser duduknya ketika Ki Adong menghampiri. Laki-
laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu duduk di
samping Pendekar Pulau Neraka.
“Aku mengharapkan Tuan Pendekar bersedia
tinggal beberapa hari di sini, sampai keadaan benar-
benar pulih,” pinta Ki Adong penuh harap.
Bayu tidak menjawab, tapi hanya menarik napas
saja.
“Sudah beberapa purnama ini mereka menguasai
desa ini. Mereka adalah orang-orang yang sangat
kejam...,” sambung Ki Adong.
“Siapa mereka sebenarnya?” tanya Bayu.
“Kaki tangan Pendekar Pulau Neraka,” sahut Ki
Adong.
“Heh!
Bayu terkejut setengah mati. Seketika dirasakan
jantungnya berhenti berdetak. Jawaban Ki Adong
sungguh di luar dugaan sama sekali. Bayu menatap
dalam-dalam pada laki-laki tua di sampingnya.
“Tuan kenal dengan Pendekar Pulau Neraka?”
tanya Ki Adong. Jengah juga dia mendapat tatapan
begitu dalam.
Bayu menarik napas dalam-dalam. Bagaimana
mungkin tidak kenal dengan Pendekar Pulau Neraka?
Karena pendekar itu adalah dirinya sendiri! Hanya
yang menjadi pertanyaan, Ki Adong menyebut kalau
dua orang yang berhasil dibunuhnya adalah kaki
tangan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Ki Adong
sendiri tidak mengenal pendekar itu sebenarnya.
“Kabarnya, Pendekar Pulau Neraka sudah
menguasai Istana Kadipaten Jari Anom. Bahkan kaki-
tangannya menyebar ke desa-desa di sekitar
Kadipaten Jati Anom. Ya, termasuk Desa Sirna Galih
ini,” sambung Ki Adong.
Bayu tetap diam. Kepalanya serasa akan pecah.
Dia memang datang ke Istana Kadipaten Jati Anom
semalam. Tujuannya ke sini lagi memang karena dia
mendengar ada seseorang yang memakai namanya
untuk tujuan pribadi. Atau mungkin juga untuk men-
cemarkan namanya. Bisa juga karena untuk mem-
balas dendam.
Bayu jadi paham, mengapa Eyang Watuagung
begitu berang dan ingin membunuhnya kemarin
malam. Benar-benar tidak disangka kalau kehadiran-
nya kembali di Kadipaten Jati Anom bakal ber-
hadapan dengan satu persoalan yang mem-
bingungkan. Dia hanya untuk membuktikan
kebenaran yang didengarnya. Tapi kenyataannya
sungguh di luar dugaan.
“Ki Adong pernah melihat Pendekar Pulau
Neraka?” tanya Bayu memancing.
“Melihat sih belum. Tapi, dengar-dengar Pendekar
Pulau Neraka-lah yang membunuh Gusti Adipati
Rakondah dan Panglima Bantaraji. Mungkin dia
kembali ke sini dengan membawa kaki-tangan untuk
menguasai seluruh Kadipaten Jati Anom. Bahkan
belum lama ini, rombongan pengganti adipati
diserang dan semuanya tewas terbunuh. Sudah dua
kali hal itu terjadi, tapi dari pihak kerajaan kelihatan-
nya tidak ada tanda-tanda mengambil tindakan.”
“Kenapa?” tanya Bayu ingin tahu.
“Pernah dikirim satu pasukan prajurit, tapi mereka
semua mundur. Prajurit-prajurit itu tidak mampu
menghadapi orang-orang Pendekar Pulau Neraka.
Mereka cukup tangguh, meskipun jumlahnya tidak ba-
nyak. Tuan Pendekar sendiri sudah berhadapan
dengan dua kaki-tangan Pendekar Pulau Neraka. Un-
tungnya Tuan begitu hebat! Tidak seperti murid-murid
Eyang Watuagung itu. Kalau tidak ada Tuan Pendekar
pasti mereka sudah tewas. Selanjutnya aku tak tahu
lagi, apa yang akan terjadi pada desa ini,” kata Ki
Adong agak mengeluh.
Kembali Bayu terdiam. Dia jadi teringat dengan
Intan Delima. Dia tahu kalau Intan adalah cucu Eyang
Watuagung yang juga muridnya. Tapi pemuda itu….
Sudah pasti dia juga murid Eyang Watuagung.
“Sudah terlalu larut, sebaiknya Tuan beristirahat,”
Adong seraya bangkit berdiri.
“Terima kasih,” ucap Bayu.
Ki Adong melangkah masuk ke dalam rumahnya,
Sedangkan Bayu Hanggara tetap duduk bersila di
atas balai-balai beranda depan rumah laki-laki tua
kepala desa itu. Bayu menyadari nama baiknya bisa
hancur kalo tidak cepat bertindak. Untuk sementara,
semua urusan pribadinya harus dapat di kesamping-
kan dulu.
***
5
Intan terbaring lemah di atas dipan kayu dalam bilik
kamar tidurnya. Luka-luka akibat pertarungan Desa
Sirna Galih belum lagi pulih benar. Gadis menatap
kosong pada langit-langit kamarnya. Pikirannya
menerawang jauh pada Pendekar Pulau Neraka.
Pemuda yang dicintainya dan dirindukan, sekaligus
dibencinya. Ada kesempatan untuk memenuhi
keinginannya, tapi kesempatan itu lewat tanpa dapat
dicegah lagi.
Kepala gadis itu berpaling ketika terdengar
ketukan pintu. Di ambang pintu kamar yang tidak
tertutup, Indranata berdiri dengan tangan membawa
semangkuk bubur. Pemuda itu tersenyum dan me-
langkah masuk. Disodorkan mangkuk bubur kepada
Intan. Gadis itu segera beranjak bangkit, dan duduk
bersandar.
“Terima kasih,” ucap Intan seraya menerima
mangkuk bubur itu.
“Sejak kemarin kau belum makan. Kubuatkan
bubur ini khusus untukmu,” kata Indranata.
“Kau baik sekali, Kakang,” lirih suara Intan.
“Makanlah, biar perutmu tidak terlalu kosong.”
Intan tersenyum, dan mulai memakan bubur itu
pelahan-lahan. Indranata memperhatikannya disertai
senyuman di bibir. Dia senang melihat Intan sudah
mau makan lagi. Sejak pertempurannya di Desa Sirna
Galih, kelihatannya gadis itu berubah. Lebih senang
murung dan selalu menyendiri. Tidak mau makan,
tidak mau berlatih lagi. Bahkan bicara pun hanya se-
perlunya.
“Kenapa tidak dihabiskan?”
“Sudah,” sahut Intan sambil meletakkan mangkuk
buburnya di meja dekat pembaringan.
“Bagaimana kesehatanmu? Sudah mendingan?”
tanya Indranata.
“Yah..., lumayan,” sahut Intan, tetap pelan suara-
nya.
“Intan, boleh aku bicara padamu?” “Sejak tadi juga
sudah.”
“Maksudku...,” Indranata jadi tersipu kelabakan.
“Aku tahu, kau pasti ingin menanyakan tentang
pemuda yang menolong kita, kan?” tebak Intan
langsung.
Indranata mengangguk membenarkan.
Intan kembali memalingkan wajahnya. Pandangan-
nya lurus menatap keadaan di luar, dari jendela
kamar yang terbuka lebar. Wajahnya kembali berubah
murung. Bayang-bayang Bayu Hanggara kembali ber-
main di pelupuk matanya.
“Kau kenal siapa dia, Intan?” tanya Indranata.
“Ya. Bahkan lebih dari sekedar kenal,” sahut Intan
pelan. “Namanya Bayu Hanggara, dan biasa dikenal
dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.”
“O...! Yang membuat kerusuhan itu rupanya. Tapi....
Kok aneh, malah membunuh dua orang temannya
sendiri?”
“Tidak aneh, karena mereka bukan temannya.”
Indranata menatap tidak mengerti pada gadis itu.
Sudah jelas kerusuhan yang terjadi di Kadipaten Jati
Anom dan desa-desa di sekitarnya akibat ulah
Pendekar Pulau Neraka. Tapi, kenapa Intan malah
membantahnya?
Indranata semakin tidak mengerti. Dia tahu kalau
ayah Intan mati terbunuh oleh Pendekar Pulau
Neraka. Itu cerita dari Eyang Watuagung. Dan
sekarang, Intan malah mengakui kalau dia lebih dari
sekedar kenal terhadap Pendekar Pulau Neraka.
Indranata jadi bertanya-tanya dalam hati. Tapi dia
tidak ingin menduga-duga terlalu jauh lebih dahulu.
“Aku yakin, bukan dia yang melakukan semua itu.
Pasti ada orang lain yang menjual namanya untuk
kepentingan pribadi,” kata Intan seperti bicara pada
dirinya sendiri.
“Bagaimana kau bisa begitu yakin, Intan?” tanya
Indranata.
“Aku tahu siapa Bayu. Dia seorang pendekar yang
tangguh dan keras pada pendiriannya, meskipun
tindakannya bisa dikatakan kejam. Tapi semua yang
dilakukan bukan untuk kepentingan diri pribadi. Apa
lagi untuk menggapai kekuasaan dan kesenangan
duniawi! Dia seorang pendekar sejati,” jelas Intan
tegas penuh semangat.
“Sejauh itu kau mengenal pribadinya?”
“Ya! Bahkan lebih jauh lagi.”
“Kau punya hubungan khusus dengan...?”
Indranata tidak melanjutkan.
Intan menoleh dan tersenyum pada pemuda itu.
“Terus terang, aku mencintainya: Walaupun dia
yang membunuh ayahku, tapi aku tetap mencintainya.
Aku tidak bisa menipu diriku sendiri. Aku memang
dendam dan ingin membunuhnya, tapi tidak sanggup
melakukannya! Aku sangat mencintainya! Aku...,”
Intan menutup wajah dengan kedua telapak tangan
nya. Bahunya berguncang-guncang, tapi tidak terde-
ngar suara isak tangis.
Indranata menghampiri dan duduk di samping
gadis itu. Dilingkarkan tangannya di bahu, dan
dipeluknya gadis itu. Intan merebahkan kepalanya di
dada pemuda itu. Pelan, namun terdengar juga isak-
nya. Setitik air bening menggulir jatuh ke pipi.
“Tumpahkan semua perasaanmu, Intan. Menangis-
lah, kalau itu bisa membuatmu lebih tenang
Menangislah, Intan...,” kata Indranata.
Intan tidak dapat lagi bertahan. Tangisnya meledak
di dalam pelukan Indranata. Air matanya membasahi
dada pemuda itu. Indranata membiarkan Intan me-
numpahkan semua perasaannya. Dia bisa me-
maklumi kemelut yang tengah melanda batin gadis
ini. Indranata semakin mengetatkan pelukannya.
Sebentar dia menarik napas panjang seraya me-
nengadahkan kepalanya.
Indranata baru melepaskan pelukannya setelah
Intan tidak menangis lagi. Namun sesekali masih
terdengar isaknya yang tertahan. Gadis itu duduk
dengan kepala tertunduk dalam. Bahunya masih ter-
lihat guncang menahan isaknya. Indranata memindah
duduknya di depan gadis itu. Diambilnya kedua
tangan Intan. Digenggamnya jari-jari tangan yang
lentik halus itu, kemudian pelahan-lahan dibawanya
mulutnya. Dengan lembut dikecup jari-jemari itu.
Intan mengangkat kepalanya pelahan-lahan.
Tatapan matanya langsung tertuju ke bola mata
pemuda di depannya. Untuk beberapa saat lamanya
mereka saling berpandangan, tanpa kata-kata
terucapkan. Begitu banyak yang ingin diucapkan, tapi
sulit untuk diungkapkan, Pelahan-lahan kepala Intan
Delima kembali tertunduk.
“Akan kubalaskan sakit hatimu, Intan,” kata
Indranata pelan, namun terdengar mantap suaranya.
“Oh!” Intan tersentak kaget. Kata-kata Indranata
yang begitu pelan, bagaikan petir yang menggelegar
menggetarkan hati.
Ditatapnya dalam-dalam bola mata Indranata.
Seolah-olah Intan ingin mencari kepastian akan kata
kata yang hampir membuat jantungnya berhenti ber
detak. Gadis itu mengeluh lirih. Ditemukan secercah
kepastian dalam sorot mata pemuda itu.
“Percayalah! Aku akan membalaskan sakit hati
mu. Meskipun aku tahu dia seorang yang tangguh dan
digdaya. Aku rela mati untukmu, Intan,” kata
lndranata lagi.
“Oh, Kakang...,” desah Intan.
Gadis itu langsung menjatuhkan dirinya dalam
pelukan Indranata, dan kembali menangis. Tangisan
hampa yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-
kata. Belum ada seorang pun yang berkata seperti itu
padanya, hanya Indranatalah yang pertama kali
mengatakannya. Hatinya luluh dalam keharuan. Intan
tidak tahu lagi, apa yang harus dikatakannya.
Indranata rela mengorbankan nyawa demi dirinya,
hati Intan tidak mungkin dapat membiarkan dua
orang yang begitu dekat dengannya bertarung
menyabung nyawa. Intan sadar kalau Indranata men-
cintainya dengan tulus dan murni. Tapi hatinya belum
bisa terbuka pada pemuda ini. Cintanya masih ter-
paku pada Bayu Hanggara, pemuda tampan yang
telah membunuh ayahnya. Intan tahu, kenapa
Pendekar Pulau Neraka membunuh Adipati
Rakondah, ayahnya. Tapi dalam hal ini, dia tidak bisa
menyalahkan siapa-siapa (Baca serial Pendekar Pulau
Neraka, dalam kisah: Lambang Kematian).
***
“Hup! Hiyaaa...!”
“Yaaa...!”
Glarrr!
Batu cadas sebesar badan kerbau, hancur ber-
keping-keping begitu dua senjata pedang berwarna
hitam pekat menghantamnya. Di antara kepulan debu
dan reruntuhan batu, berdiri tegak dua orang
manusia dengan pedang hitam melintang di depan
dada. Mereka adalah Intan dan Indranata yang baru
saja menyelesaikan tahap terakhir jurus-jurus 'Naga
Kembar'.
Intan membalikkan tubuhnya dan melangkah
menuju pondok. Indranata mengikutinya dari
belakang. Gadis itu duduk di tangga beranda depan
pondok. Sedangkan Indranata hanya berdiri di
depannya. Pedang hitam pekat bertangkai kepala
naga sudah tersampir di punggung.
“Kau kelihatan murung, Intan. Ada apa?” tanya
Indranata.
“Tidak apa-apa,” sahut Intan pelan seraya meng-
hembuskan napas kuat-kuat.
“Ada yang kau pikirkan?
Indranata mengambil tempat di samping gadis itu.
“Hhh...,” Intan hanya menghembuskan napas saja.
Indranata memandang wajah gadis di sampingnya.
Sebentar dia bernapas panjang, lalu beranjak bangkit
berdiri. Pemuda berkulit sawo matang itu melangkah
masuk ke dalam rumah. Sedangkan Intan Delima
masih duduk di beranda. Pandangannya kosong lurus
ke depan.
Tidak lama Indranata berada di dalam pondok kini
keluar lagi, Bajunya telah berganti menjadi berwarna
biru terang dengan bagian dada terbuka lebar.
Gagang pedang berbentuk kepala naga hitam
menyembul dari balik punggunya. Pemuda itu terus
melangkah melewati Intan yang tetap duduk
memandang kosong ke depan.
“Kakang…!” seru Intan Delima begitu menyadari
kalau Indranata bermaksud pergi.
Indranata menghentikan langkahnya, tanpa ber-
balik sedikit pun. Bahkan menoleh pun tidak. Intan
bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Gadis itu
melewati sedikit dan berdiri di depannya.
“Mau ke mana?” tanya Intan.
“Pergi,” sahut Indranata singkat.
“Pergi ke mana?”
“Ini sudah lewat tiga purnama Eyang Watuagung
pergi. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya,” jelas
Indranata.
“Kau akan mencari Eyang?”
“Ya! Aku tahu ke mana tujuan Eyang.”
“Kakang! Kau lupa pesan Eyang? Meskipun tidak
kembali, Eyang tidak mau kita mencarinya. Aku juga
khawatir, tapi aku tidak mau melanggar amanatnya.
Kau sendiri selalu mengatakan begitu, kan?” Intan
mengingatkan.
“Aku pun selalu ingat amanatnya, Intan. Tapi aku
tidak bisa menipu diriku sendiri. Memang selalu
kupatuhi segala kata dan amanatnya selama ini. Tapi
kali aku merasakan lain. Perasaan hatiku mengata-
kan bahwa Eyang Watuagung tengah mengalami
kesulitan yang besar. Belum pernah Eyang pergi
dengan meninggalkan pesan yang bernada ragu-ragu.
Biasanya Eyang selalu mengatakan kapan akan
kembalinya lagi. Tapi ini lain, Intan. Apa kau tidak
merasakan adanya perbedaan?”
“Aku tahu.”
“Sekarang terserah kau, Intan. Ikut, atau tetap
mengurung diri di gunung ini sendirian,” Indranata
memberikan pilihan.
“Kau membawa Pedang Naga Hitam Kembar, tidak
mungkin dapat digunakan hanya sebelah, Kakang,”
pelan suara Intan.
“Aku mampu menggunakannya seperti pedang
biasa, tanpa harus tergantung pada pasangannya.”
“Percuma! Jangan membohongi dirimu sendiri. Aku
telah lihat ketika kau berusaha menguasai pedang itu
sendirian, ternyata kau tidak mampu. Bahkan hampir
mati kalau aku tidak cepat datang membawa
pasangannya. Pedang Naga Hitam Kembar tidak
dapat digunakan sendiri-sendiri, Kakang.”
“Paling tidak, untuk lima puluh jurus aku masih
mampu.”
“Dan setelah itu kau akan mati karena tenagamu
habis tersedot kekuatan pedang itu!”
“Aku tidak peduli, asalkan dapat membunuh orang
yang kau cintai, sekaligus kau benci. Apalagi dia pem-
bunuh ayahmu!”
“Kakang...!” Intan tersentak kaget.
“Maafkan aku, Intan. Aku memang bertekat untuk
menantang Pendekar Pulau Neraka. Aku mencintai-
mu, Intan. Aku tidak ingin melihatmu tenggelam terus-
menerus dalam bayangan semu. Kau mengharapkan
sesuatu yang tidak mungkin didapat!” tegas kata-kata
Indranata.
“Kakang..., kau...,” suara Intan tersekat di teng-
gorokannya.
“Sejak aku melihatmu pertama kali, aku sudah
menyukaimu, Intan. Dan aku tidak peduli meskipun
kau membenciku setengah mati. Aku tetap men-
cintaimu, walaupun kau sudah mencintai pemuda
lain. Aku akan menantangnya! Akan kubuktikan, siapa
yang lebih pantas mendapatkan cintamu!” tetap tegas
kata-kata Indranata.
Kini Intan tahu, Indranata akan pergi bukan untuk
mencari Eyang Watuagung. Tapi untuk menantang
bertarung Pendekar Pulau Neraka. Hal inilah yang
selalu dicemaskan Intan. Ada sedikit penyesalan di
dalam hatinya, karena telah menceritakan semuanya
pada pemuda ini. Sama sekali tidak disadari kalau
keterbukaannya telah menimbulkan api cemburu di
dada Indranata.
“Aku minta padamu, Kakang. Jangan pergi! Aku
mohon...,'' rajuk Intan memelas.
“Maafkan aku, Intan. Aku memang tidak pantas
mendapatkan cintamu. Tapi aku tidak rela Pendekar
Pulau Neraka menghancurkan hidupmu.”
“Lupakan saja tentang dia, Kakang,” pinta Intan
berharap.
“Tentu! Aku pasti akan melupakannya setelah dia
menjadi santapan cacing-cacing tanah!”
“Oh..., Kakang,” lirih suara Intan.
“Sudahlah, Intan. Tidak ada gunanya kau mem-
bujukku. Aku harus pergi sekarang juga, dengan atau
tanpa kau.”
Intan tidak bisa lagi membujuk. Tapi dia juga tidak
bisa membiarkan dua orang yang sebenarnya sama-
sama disukainya, bertarung hanya karena mempere-
butkan cintanya. Meskipun Intan tahu, Bayu Hanggara
pasti tidak akan melayani keinginan Indranata. Bayu
pasti akan menyerahkan Intan dengan sukarela. Dia
tahu watak-watak seorang pendekar kelana yang
tidak suka terikat dengan seorang gadis mana pun
juga.
Intan Delima menggeser kakinya ke samping
ketika Indranata mengayunkan kakinya. Gadis itu ber-
gegas mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di
samping pemuda itu. Sementara Indranata terus
melangkah mantap. Intan tetap berusaha membujuk
walau disadari tidak akan berhasil.
Merasa setiap bujukannya tidak mengena, pada
akhirnya Intan Delima terdiam. Kakinya tetap terayun
melangkah di samping Indranata. Sedangkan pikiran-
nya kacau tidak menentu. Terlebih lagi hatinya. Indra-
nata telah mengungkapkan langsung rasa cintanya.
Intan sendiri tidak tahu, apakah menunggu kata-kata
itu atau tidak. Namun dia tidak bisa menipu dirinya
sendiri. Dalam hati, dia memang menyukai Indranata.
Pemuda yang selalu lembut dan penuh perhatian
padanya.
“Kakang....”
“Sudahlah, Intan. Aku tidak mau lagi mendengar
bujukanmu. Aku sudah bertekad harus menantang
Pendekar Pulau Neraka!” potong Indranata cepat.
“Bukan itu yang ingin kukatakan,” kata Intan pelan.
Nada suaranya terdengar agak tertahan.
“Hm, apa?”
“Kau benar-benar mencintaiku, Kakang?” tanya
Intan seraya menggigit bibirnya.
Indranata menghentikan langkahnya. Ditatapnya
Intan Delima dalam-dalam. Pertanyaan Intan mem-
buatnya jadi berpikir. Benaknya menduga kalau gadis
itu tengah menggunakan cara lain untuk mem-
batalkan niatnya menantang Pendekar Pulau Neraka.
“Intan! Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Tapi
tolong, jangan paksa aku untuk merubah tujuan,”
kata Indranata serius.
“Aku..., aku....”
“Ah, sudahlah! Ayo kita jalan lagi.”
Intan tidak bisa membantah. Kembali dilangkah-
kan kakinya dengan kepala tertunduk. Memang sulit
untuk mengatakannya. Tapi dia tidak ingin melukai
hati pemuda itu. Dia tahu kalau Indranata sungguh-
sungguh dan tulus mencintainya. Kesungguhan dan
ketulusan itulah yang membuat Intan tersiksa. Intan
hanya bisa menjerit dalam hati, menyesali semua ke-
adaan yang telah terjadi pada dirinya. Kalau saja hal
itu tidak pernah terjadi, tidak akan segundah ini
hatinya.
“Tidak! Dia tidak boleh tahu! Dia juga tidak boleh
mati di tangan Pendekar Pulau Neraka. Aku harus ber-
buat sesuatu. Ya...! Berbuat sesuatu...!” tekad Intan
dalam hati.
***
Sementara itu di Desa Sirna Galih, Pendekar Pulau
Neraka sudah bersiap-siap meninggalkan rumah
kepala desa. Selama berada di desa ini, keadaannya
sangat tenang dan tentram. Para penduduk pun
sudah melakukan kesibukannya masing-masing.
Tidak ada lagi kekacauan dan segala macam tindak
kekerasan! Desa Sirna Galih benar-benar pulih seperti
sediakala.
“Jadi berangkat sekarang, Tuan?” tegur Ki Adong.
“Ya,” sahut Bayu.
“Sebenarnya seluruh penduduk desa ini meng-
harapkan agar Tuan bersedia tetap tinggal di sini,”
kata Ki Adong lagi.
“Terima kasih, tapi maaf aku tidak bisa memenuhi.
Masih banyak yang harus kuselesaikan,” sahut Bayu
tanpa bermaksud menyinggung perasaan laki-laki tua
itu.
“Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, kecuali
hanya ucapan terima kasih,” kata Ki Adong.
Bayu tersenyum dan menepuk pundak laki-laki tua
itu. Kakinya terayun melangkah keluar dari rumah
kepala desa itu. Dia agak terkejut saat kakinya
sampai di luar. Para penduduk Desa Sirna Galih telah
berkumpul di depan rumah kepala desa. Bayu meng-
ayunkan langkahnya, dan beberapa penduduk meng-
hampiri seraya menyalaminya. Pendekar Pulau
Neraka itu tidak dapat menahan keharuan. Baru kali
ini dia diterima dan disambut begitu baik dan hangat
oleh seluruh warga desa yang didatanginya.
Seorang laki-laki muda menghampirinya, sambil
menuntun seekor kuda coklat yang tinggi dan tegap.
Bayu memandanginya sebentar. Pemuda desa itu
menyerahkan tali kekang kudanya.
“Untuk apa?” tanya Bayu.
“Tuan pasti membutuhkan,” kata pemuda desa itu.
“Maaf, tidak ada lagi yang dapat kuberikan.”
Bayu menepuk-nepuk pundak pemuda desa itu.
Kepalanya tergeleng-geleng dengan mata agak ber
kaca-kaca. Terharu sekali. Hatinya jadi berat untuk
meninggalkan desa ini. Tapi dia harus pergi dan men-
cari pembunuh keluarganya.
“Bukannya aku menolak. Aku tidak bisa me-
nunggang kuda,” kata Bayu pelan.
“Tuan bisa belajar,” desak pemuda itu.
“Kuda ini sangat bagus. Kau pasti lebih memerlu-
kan daripadaku. Sayang, kalau kuda sebagus ini mati
tertembus panah atau tombak.”
“Tuan....”
“Baiklah, aku terima kuda ini. Tapi biar kutitipkan
padamu. Kau bisa merawatnya, kan?”
“Oh, Terima kasih, Tuan. Aku janji, pasti akan
merawatnya dengan baik,” pemuda desa itu gembira.
Wajahnya berseri-seri.
Bayu tersenyum dan menepuk pundak pemuda
desa itu beberapa kali, kemudian kembali meng-
ayunkan kakinya melangkah pergi. Begitu banyak
yang diberikan penduduk padanya, tapi tidak dapat
diterima semuanya. Tidak mungkin menerima dan
membawa semua yang diberikan mereka.
Pendekar Pulau Neraka itu mempercepat langkah-
nya dengan mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Langkah kakinya begitu ringan, seolah-olah
berjalan tanpa menapak tanah. Dalam waktu tidak
terlalu lama, dia sudah sampai di perbatasan desa.
Bayu menolehkan kepalanya ke belakang. Para
penduduk Desa Sirna Galih masih berkumpul di
depan rumah kepala desa.
“Hup!”
Bayu melompat dan langsung berlari cepat bagai
kan angin. Ilmu lari cepat yang diimbangi dengan
pengerahan ilmu meringankan tubuh, membuat
Pendekar Pulau Neraka itu bagaikan terbang saja.
Hanya bayangannya saja yang berkelebat cepat
menerobos semak dan pepohonan.
Pendekar Pulau Neraka itu terus berlari cepat
menuju sebuah hutan lebat dengan pohon-pohon
besar menjulang tinggi menentang langit. Dan ketika
baru saja mencapai tepian hutan itu, mendadak
sebuah ranting kecil meluncur deras ke arahnya. Bayu
langsung melentingkan tubuhnya ke udara, lalu
bersalto dua kali sebelum mendarat manis di tanah.
Entah bagaimana caranya, ranting yang tadi
melunak deras ke arahnya sudah berada dalam
genggaman tangan. Bayu memegangi ranting itu
sesaat, kemudian tatapannya tajam beredar ke
sekelilingnya. Tidak terlihat seorang pun di tepian
hutan ini. Tapi telinganya yang tajam bisa menangkap
sumber suara dari sebelah kiri.
“Hup!”
Bayu mengibas tangan, melontarkan ranting yang
ditangkapnya. Ranting itu meluruk deras disertai
hempasan tenaga dalam hampir mencapai taraf
kesempurnaan, dan menembus gerumbul semak.
Maka....
Srak!
“Aaa...!”
Satu jeritan melengking terdengar menyayat. Tidak
lama kemudian muncul sesosok tubuh yang langsung
ambruk bergulingan dengan leher tertembus ranting.
Pada saat yang hampir bersamaan, dua buah
bayangan berkelebat keluar dari balik pepohonan.
“Hm...,” Bayu menggumam pelan tidak jelas.
“Hebat...!” kata salah seorang yang memakai baju
biru tua dengan rantai baja tergenggam di tangannya.
“Siapa kalian? Kenapa menghadang jalanku?”
tanya Bayu dingin.
“He he he...! Rupanya tikus kecil ini bisa juga main
gertak...!” seorang tua bertubuh kurus memakai baju
panjang longgar berwarna putih, tertawa mengejek.
Sebilah pedang panjang tergantung di pinggang.
“Hm... aku tidak kenal siapa kalian. Maaf, aku
tidak punya waktu untuk melayani orang gendeng!”
dengus Bayu ketus.
“Bangsat! Kau terlalu memandang rendah, Bocah!”
bentak laki-laki berbaju biru tua.
“Jika kalian tidak ingin disamakan dengan anjing
buduk, menyingkirlah!”
“Bocah setan! Buka matamu lebar-lebar...! Kau
tahu, siapa kami, heh!”
“Siapa pun kalian, aku tidak peduli! Aku tidak
punya urusan dengan tikus-tikus comberan macam
kalian!”
“Beledek gembel!” laki-laki tua bertubuh kurus itu
terlonjak dengan wajah merah-padam menahan
marah.
“Kau akan berlutut minta ampun kalau tahu siapa
kami!” bentak orang yang berbaju biru. “Aku si Rantai
Iblis Pencabut Nyawa!”
“Dan aku, si Pedang Kilat!” sambung laki-laki tua
kurus itu.
“Hebat...,” Bayu tersenyum sinis. “Anak kecil boleh
pingsan mendengar nama bau kencur itu. Tapi aku....”
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tetap
tersenyum sinis.
“Kau benar-benar bocah setan!”
“Kau sudah bosan hidup rupanya, heh!”
“Hidup matiku bukan urusan kalian! Tapi.... Yah..
kalau kalian ingin mati sekarang, silakan. Aku bisa
membantu kalian untuk lebih cepat pergi ke neraka!”
Kata-kata Bayu memang lembut, tapi membuat
telinga kedua orang itu panas membara. Kemaraha-
nnya tidak bisa dibendung lagi. Kedua orang itu
berlompatan ke samping sambil menghunus senjata
masing-masing. Si Rantai Iblis Pencabut Nyawa me-
mutar-mutar rantai baja putihnya. Sedangkan si Pe-
dang Kilat mengibas-ngibaskan pedangnya di depan
dada.
“Hhh...! Lucu sekali. Tidak ada panas, tidak ada
hujan, kalian marah-marah mencegat perjalananku.
Dan sekarang akan menyerangku. Ada apa sebenar-
nya ini...?” Bayu seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Jangan banyak omong! Kau harus mampus
Pendekar Pulau Neraka!” bentak si Pedang Kilat.
“He! Kau tahu namaku?” agak terkejut juga Bayu.
“Ya! Karena itu kau harus mampus! Kau adalah
penghalang kami untuk menguasai seluruh Kadipaten
Jati Anom!” sahut si Rantai Iblis Pencabut Nyawa.
“Aku?Ha ha ha...!”
Bayu merasakan tenggorokannya jadi tergelitik. Dia
tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu.
Sedangkan si Rantai Iblis Pencabut Nyawa dan si
Pedang Kilat, hanya saling pandang.
“Menggelikan sekali. Aku tidak kenal kalian ber-
dua, tapi kalian menuduhku sebagai penghalang.
Dunia ini benar-benar sudah edan! Kenapa begitu
banyak orang gila hidup di dunia ini...?” Bayu kembali
seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Tutup mulutmu, bangsat!” bentak si Rantai Iblis
Pencabut Nyawa keras menggelegar.
Belum lagi hilang suara bentakan itu, si Rantai Iblis
Pencabut Nyawa langsung melesat sambil mengebut-
kan rantainya ke arah Pendekar Pulau Neraka. Pada
saat yang sama, si Pedang Kilat juga melompat
menyerang. Bayu masih berdiri menanti, dan...
“Yaaa...!”
***
6
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat
ke udara. Itu dilakukan di saat kedua orang itu sudah
dekat dengan dirinya. Dua kakinya dengan cepat
merentang ke samping. Sedangkan kedua pe-
nyerangnya itu terkejut. Buru-buru mereka menarik
mundur tubuhnya ke belakang. Namun Bayu dengan
cepat meluruk ke arah si Rantai Iblis Pencabut
Nyawa. Dua pukulan beruntun dilepaskan dengan
cepat, di sertai pengerahan tenaga dalam sangat
tinggi.
Si Rantai Iblis Pencabut Nyawa gelagapan
seketika, dan semampunya mencoba menghindar
dengan menjatuhkan tubuh ke tanah. Tapi belum juga
tubuhnya sempat menyentuh tanah, dengan ke-
cepatan luar biasa, kaki Pendekar Pulau Neraka
sudah bergerak mendupaknya.
“Akh...!” si Rantai Iblis Pencabut Nyawa menjerit
keras.
Tak ampun lagi, tubuhnya jatuh keras bergulingan
di tanah berumput kering. Tendangan bertenaga
dalam hampir sempurna itu membuat tulang iga laki-
laki berbaju biru tua itu seperti remuk. Sementara
Bayu berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan
dada. Tatapan matanya tajam pada si Pedang Kilat.
Laki-laki tua itu sepertinya ragu-ragu untuk melaku-
kan penyerangan.
“Sudah kukatakan, tikus-tikus macam kalian tidak
pantas berhadapan denganku!” kata Bayu sinis.
“Phuih! Kau terlalu besar kepala, Bocah!” dengus
si Pedang Kilat.
“Kepalaku memang besar, dan yang pasti lebih
keras dari kepalamu!”
“Setan! Mampus kau! Hiyaaa...!”
Si Pedang Kilat memuncak kembari amarahnya.
Dia tidak peduli lagi kalau lawan begitu mudah
menjatuhkan temannya. Sambil berteriak keras, laki-
laki tua itu menyerang dengan senjatanya. Kibasan
dan tusukan pedangnya begitu cepat bagaikan kilat.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka seperti tergulung
cahaya kemerahan. Memang pantas kalau dia ber-
juluk si Pedang Kilat. Gerakan-gerakan pedangnya
cepat luar biasa, dan selalu mendesis-desis seperti
seorang musafir kehausan di padang pasir.
Tapi sampai sejauh itu, serangan-serangan si
Pedang Kilat belum mendapatkan hasil yang
memuaskan. Gerakan tubuh Bayu begitu lentur, bagai
seekor belut. Sulit untuk menyentuhnya. Dan hal ini
membuat si Pedang Kilat semakin bertambah berang.
Si Pedang Kilat mengibaskan senjatanya ke arah
kepala. Dengan cepat Bayu mengangkat tangan
kanannya, dan membiarkan pergelangan tangan
kanannya yang tertempel senjata Cakra Maut mem-
bentur pedang lawan.
Tring!
Si Pedang Kilat tersentak bukan main begitu
pedangnya membentur pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka. Seluruh persendian tangan-
nya bergetar dan nyeri, bagai tersengat ribuan kala
berbisa.
Pada saat laki-laki tua itu menarik tangannya!
pulang, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka
menyodokkan tangan kirinya ke lambung. Sodokan
dengan pengerahan tenaga dalam itu tidak bisa
dihindari lagi. Laki-laki tua berbaju putih itu mengeluh
pendek, dan tubuhnya agak terbungkuk.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras, Bayu mengirimkan satu
pukulan telak ke rahang lawannya. Si Pedang Kilat
tersentak ke belakang. Tulang rahangnya serasa
patah, sedangkan kepalanya sampai terangkat. Saat
itu Bayu tidak membuang-buang kesempatan lagi
Kakinya terayun deras, dan masuk tepat di dada
lawannya.
“Akh!”
Laki-laki tua kurus itu terpental ke belakang sejauh
tiga batang tombak. Kesempatan itu digunakan Bayu
untuk mengibaskan tangan kanannya ke depan.
Secercah cahaya keperakan melesat cepat bagaikan
kilat. Dan belum juga si Pedang Kilat sempat ambruk
ke tanah, senjata Cakra Maut yang dilepaskan
Pendeka Pulau Neraka amblas di dadanya.
“Aaa...!” si Pedang Kilat menjerit melengking.
Darah langsung muncrat dengan keras, begitu
Cakra Maut kembali melesat keluar dari dalam dada
yang berlubang cukup besar itu. Bayu mengangkat
tangannya ke atas kepala, maka Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan kanannya.
Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan tubuhnya.
Pandangannya langsung tertuju pada si Rantai Iblis
Pencabut Nyawa.
Langkah kakinya mantap, dan tatapan matanya
tajam menusuk Si Rantai Iblis Pencabut Nyawa
beringsut mundur menyeret tubuhnya. Raut wajahnya
nampak pucat pasi, dan seluruh tubuhnya bergetar
bagai terserang malaria. Keringat sebesar butiran
jagung menitik membasahi kening dan lehernya.
“Kau akan bernasib sama dengan temanmu,
keparat!” dingin suara Bayu Hanggara.
“Tolong..., jangan bunuh aku...,” ratap si Rantai
Iblis Pencabut Nyawa memelas.
“Hey! Kenapa ketakutan begitu? Tadi kau kelihatan
garang, dan bangga dengan julukanmu yang memuak-
kan,” ejek Bayu.
“Tuan, aku mohon. Jangan bunuh aku...,” rengek
laki-laki berbaju biru tua itu.
“Tidak kusangka, kau akan ketakutan juga meng-
hadapi kematian,” sinis kata-kata Bayu.
“Apa yang kau inginkan dariku, Tuan. Pasti akan
kuberikan, asal kau tidak membunuhku.”
“Baik! Katakan, siapa yang menyuruhmu meng-
hadang jalanku?” tanya Bayu, dingin suaranya.
“Pendekar Pulau Neraka.”
“Aku tidak main-main, Setan!”
Plak!
Tamparan tangan Bayu begitu keras mendarat di
wajah laki-laki itu, sehingga tubuhnya sampai ter-
guling beberapa kali. Bayu melompat dan menjejak
dada orang itu. Wajahnya nampak bengis, ditambah
matanya yang memerah membara terselimut hawa
kemeriahan.
“Siapa yang menyuruhmu? Jawab!” bentak Bayu
gusar.
“Aku tidak bohong, Tuan. Aku.... Akh!”
Bayu jadi geram setengah mati. Ditekannya dada
orang itu dengan kuat. Darah menyembur muncrat
dari mulut laki-laki berbaju biru tua itu. Tulang-tulang
dadanya berkeretuk patah. Pendekar Pulau Neraka
itu setengah membungkuk, dan mencengkeram leher
si Rantai Iblis Pencabut Nyawa. Cengkeramannya
begitu kuat, membuat laki-laki bertampang angker itu
meringis kesakitan.
“Di mana dia sekarang?” tanya Bayu tetap dingin
suaranya.
“Di Istana Kadipaten.”
“Hih!”
Bayu mencampakkan tubuh orang itu dengan
kasar. Lalu sambil berteriak keras, dihantamnya dada
laki-laki berbaju biru tua itu dengan pengerahan
tenaga dalam penuh. Si Rantai Iblis Pencabut Nyawa
tidak mampu bersuara lagi. Kepalan tangan Bayu me-
lesak ke dalam dada hingga pergelangan tangan.
Bayu mendorong tubuh orang itu dengan kakinya.
Tangan kirinya berlumuran darah segar begitu keluar
dari dalam dada si Rantai Iblis Pencabut Nyawa.
Sebentar dipandangi tubuh-tubuh yang ber-
gelimpangan tak bernyawa lagi.
“Siapa pun dia, harus mampus di tanganku!” desis
Bayu menggeram penuh amarah.
Pendekar Pulau Neraka itu segera melesat pergi ke
arah Kadipaten Jati Anom. Lesatan yang begitu
sempurna dan cepat bagaikan kilat. Dalam sekejap
mata saja, bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat
lagi. Sementara di sekitar tepian hutan itu kembali
sunyi senyap dengan dua sosok tubuh menggeletak
tak bernyawa lagi.
***
Hari masih siang. Matahari telah naik tinggi tepat
di atas kepala. Sinarnya yang terik menyengat,
membuat kulit terasa panas terbakar. Kadipaten Jati
Anom tampak sepi lengang, bagaikan sebuah kota
mati tak berpenghuni. Hanya ada satu orang terlihat.
Dialah Bayu Hanggara yang berjalan cepat menuju
bangunan megah dikelilingi tembok benteng yang
tinggi dan kokoh.
Langkah kaki Pendekar Pulau Neraka itu berhenti
di ambang pintu gerbang yang telah hancur porak-
poranda. Sepasang bola matanya tajam merayapi
sekelilingnya. Keadaan bangunan istana kadipaten itu
tampak kotor dan berantakan. Suasananya seperti
baru saja terjadi pertempuran dahsyat. Pelahan-lahan
Bayu mengayunkan kakinya melewati pintu gerbang
itu.
Ayunan kakinya pelan dan ringan. Tak ada sedikit
pun suara terdengar. Hanya desiran angin saja yang
mengusik gendang telinganya. Bayu terus melangkah
melintasi halaman yang luas dan berantakan. Angin
siang ini terasa begitu kencang berhembus me-
nerbangkan debu dan dedaunan kering. Pendekar
Pulau Neraka itu berdiri tegak di tengah-tengah
halaman depan istana kadipaten yang luas ini.
Sing!
“Hup!”
Tiba-tiba saja dari arah depan meluncur sebatang
tombak panjang. Bayu segera memiringkan tubuhnya
ke kanan, lalu tangan kirinya bergerak cepat
menangkap tombak itu. Dan belum lagi sempat mena-
rik tubuhnya, kembali sebuah tombak meluncur ke
arahnya.
“Hup! Yaaa...!”
Bayu memutar tombak yang berhasil ditangkapnya,
dan dilemparkan dengan mengerahkan tenaga dalam
penuh. Dua batang tombak berbenturan di tengah-
tengah, dan hancur berkeping-keping. Bayu berdiri
tegak dengan tangan melipat di depan dada.
“Ha ha ha...!”
Tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar.
Jelas tawa itu disertai pengerahan tenaga dalam yang
cukup tinggi. Hal itu terbukti dengan daun-daunan
yang berguguran, dan batu-batu kerikil yang ber-
lompatan seperti terkena gempa. Bayu segera
mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengimbangi
suara tawa itu.
“Hup! Yaaa...!”
Bayu menggerak-gerakkan tangannya di depan
dada, lalu berteriak keras melengking tinggi. Teriakan
yang disertai pengerahan tenaga dalam hampir men-
capai taraf kesempurnaan itu membuat suara tawa
berhenti seketika. Bangunan megah itu dibuat ber-
getar, bagai diguncang gempa!
Begitu suara teriakan Bayu hilang, dari dalam
Istana Kadipaten Jati Anom melesat sebuah
bayangan. Dan tahu-tahu di depan Pendekar Pulau
Neraka telah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh
agak bungkuk. Bajunya longgar berwarna merah.
Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat
dengan kepala berbentuk tengkorak manusia.
Tongkat itu juga berwarna merah bagai berlumur
darah.
“He he he...! Kau benar-benar pendekar jantan,
Pendekar Pulau Neraka,” kata laki-laki tua itu. Suara-
nya terdengar kecil dan serak, namun melengking
tinggi menyakitkan telinga.
“Siapa kau?” tanya Bayu ketus.
“Kau akan terkejut bila mendengar namaku,
Pendekar Pulau Neraka,” sahut laki-laki tua itu.
“Huh!” Bayu hanya mendengus saja.
“Dengar baik-baik, Anak Muda. Aku yang bernama
si Tua Tongkat Merah!” laki-laki tua itu memper-
kenalkan diri.
Bayu mengerutkan keningnya sedikit. Memang
pernah didengarnya nama itu dari gurunya. Eyang
Gardika di Pulau Neraka. Nama yang menjadi musuh
bebuyutan, dan yang telah membuat cacat Eyang
Gardika. Si Tua Tongkat Merah adalah salah satu dari
orang yang mengeroyok guru Bayu itu.
“Sudah lama kuikuti perkembanganmu, Anak
Muda. Sepak terjangmu tidak berbeda jauh dari si
keparat Gardika!” kata si Tua Tongkat Merah itu lagi.
“Mengapa kau memakai namaku?” tanya Bayu.
“He he he.... Aku hanya ingin memancingmu. Aku
tahu kau datang ke sini untuk mencari Adipati
Rakondah untuk membalas dendam. Aku juga tahu
kau berhasil membunuhnya. Kesempatan itu kuper-
gunakan untuk memancingmu, sekaligus membukti-
kan anggapan semua orang yang mengatakan bahwa
kau manusia berbahaya yang tidak boleh dibiarkan
hidup!”
“Licik!” geram Bayu marah.
“Kau baru seumur jagung, Anak Muda.
Pengalamanmu belum seberapa dalam pahit getirnya
kehidupan rimba persilatan. Pertarungan tidak hanya
mengandalkan kekuatan dan tingginya tingkat kepan-
daian. Tapi juga ini...!” si Tua Tongkat Merah menge-
tuk-ngetuk keningnya sendiri.
“Tua bangka busuk! Kau harus menanggung
semua kelicikanmu!” dengus Bayu menggeram.
“He he he...! Bocah baru kemarin sore sudah besar
kepala. Gurumu saja tidak mampu menghadapiku....
He he he...!” si Tua Tongkat Merah terkekeh meng-
ejek.
“Setan keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaa...!”
Bayu tidak bisa mengendalikan amarahnya lagi.
Pantang baginya berhadapan dengan orang yang
menghina gurunya. Dengan kecepatan kilat, Pendekar
Pulau Neraka itu melompat sambil mengirimkan
beberapa pukulan beruntun.
“Uts!”
Si Tua Tongkat Merah berlompatan menghindari
serangan Bayu Hanggara. Tubuh tua setengah
bungkuk yang kelihatannya rapuh itu, ternyata begitu
gesit dan tangkas. Gerakan kakinya lincah, dan
tubuhnya sangat lentur. Beberapa kali pukulan dan
tendangan Bayu hampir mengenai sasaran, tapi laki-
laki tua berbaju merah itu masih mampu meng-
hindarinya.
“He he he..., kau boleh juga, Anak Muda!” si Tua
Tongkat,Merah terkekeh.
“Awas kepala!” bentak Bayu tiba-tiba.
“Uts!”
Si Tua Tongkat Merah langsung berhenti tawanya.
Buru-buru dirundukkan kepalanya begitu tangan kiri
Bayu melayang ke arah kepalanya. Tapi begitu merun-
duk, tidak terduga sama sekali, tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka itu menyodok ke arah
lambung.
“Heh!”
Si Tua Tongkat Merah tersentak kaget. Dengan
cepat dia melompat mundur menghindari serangan
mendadak dan tidak terduga itu. Kesempatan ini
tidak disia-siakan begitu saja oleh Pendekar Pulau
Neraka. Dengan cepat dimiringkan tubuhnya ke kiri
setengah membungkuk, dan kakinya tertekuk hampir
menyentuh tanah. Seketika itu juga tangan kanannya
mengibas ke depan.
Secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai-
kan kilat Si Tua Tongkat Merah terperangah sesaat.
Buru-buru diangkat tongkatnya dan diputarnya
dengan cepat, membuat perisai bagi dirinya sendiri.
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, dan
Cakra Maut melesat cepat ke atas. Begitu tangan
Bayu menghantam ke bawah, senjata bulat pipih
bergerigi enam buah itu langsung meluruk turun ke
bawah.
“Edan!” dengus si Tua Tongkat Merah terperanjat.
Buru-buru dikibaskan tongkatnya ke atas kepala.
Pada saat itu, Bayu melompat cepat dengan kaki
kanan tertuju ke depan. Lompatan yang cepat dan
deras itu, membuat si Tua Tongkat Merah kelabakan.
Tidak mungkin ditarik tongkatnya kembali yang
berada di atas kepala untuk menangkis serangan
senjata Cakra Maut.
Tidak ada kesempatan lagi. Si Tua Tongkat Merah
mendorong tangan kirinya ke depan, dan langsung
berbenturan dengan telapak kaki Pendekar Pulau
Neraka.
“Akh!”
Si Tua Tongkat Merah terpental dua batang
tombak ke belakang. Sedangkan Bayu melesat ke
udara, dan bersalto dua kali sebelum kakinya kembali
menjejak tanah Sementara si Tua Tongkat Merah
makin terperanjat setengah mati.
Ternyata pada saat yang bersamaan, senjata Cakra
Maut telah membabat tongkatnya hingga terpotong
jadi dua bagian. Si Tua Tongkat Merah memang tidak
bisa membagi dua kekuatan secara penuh. Dua
serangan yang datang secara bersamaan mem-
buatnya harus membagi dua kekuatan. Dan itu
sangat fatal akibatnya.
Tangan kirinya tidak bisa digerakkan lagi. Seluruh
tulang tangan kirinya remuk, sedangkan tongkat
kebanggaannya terpotong jadi dua. Si Tua Tongkat
Merah hampir tidak percaya dengan kenyataan yang
dihadapinya. Benar-benar tidak disangka kalau
Pendekar Pulau Neraka bisa melakukan dua
serangan dalam waktu yang bersamaan!
Hal itu tidak pernah diduga sebelumnya. Dia kenal
betul Gardika yang menjadi guru tunggal Pendekar
Pulau Neraka. Beberapa kali si Tua Tongkat Merah
bentrok dengan Gardika. Dan sudah barang tentu dia
mengenal betul jurus-jurusnya. Tingkat kepandaian-
nya dengan Gardika memang seimbang. Bahkan
kalau boleh dikatakan, dia berada satu tingkat di
atasnya. Tapi kenyataan yang kini dihadapinya,
sungguh diluar dugaan.
“Kau ternyata lebih sempurna dari Gardika,
Pendekar Pulau Neraka!” kata si Tua Tongkat Merah
memuji tulus.
“Hhh! Pertarungan belum selesai, Tua Bangka!”
dengus Bayu ketus.
“Jangan besar kepala dulu! Aku belum kalah!”
“Hup, yaaa...!”
***
Pertarungan antara Bayu Hanggara dengan si Tua
Tongkat Merah kembali berlangsung sengit. Masing-
masing mengerahkan jurus-jurus andalannya.
Semakin banyak jurus yang dikeluarkan, semakin
disadari kalau Pendekar Pulau Neraka berada di atas
angin.
Tentu saja hal ini sangat mengejutkan si Tua
Tongkat Merah. Jurus-jurus yang dimiliki Pendekar
Pulau Neraka tidak berbeda jauh, bahkan sama
persis dengan yang dimiliki Gardika. Hanya saja
dalam diri Pendekar Pulau Neraka, jurus-jurus itu
semakin mantap dan lebih sempurna. Bahkan begitu
banyak gerak tipuan disertai penggabungan beberapa
jurus.
Penggabungan beberapa jurus inilah yang mem-
buat si Tua Tongkat Merah jadi kelabakan. Dia selalu
mati langkah, dan sering kecolongan. Beberapa kali
pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya, meski-
pun pukulan dan tendangannya juga bisa disarangkan
ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi tanpa tongkat
yang utuh, si Tua Tongkat Merah bagaikan macan
yang kehilangan hampir seluruh giginya.
“Modar! Hiya...!” teriak Bayu keras.
Dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu
melepaskan beberapa pukulan beruntun dari arah
depan, lalu disusul dengan dua buah tendangan kaki
kanan dan kiri. Serangan itu demikian cepat,
sehingga membuat si Tua Tongkat Merah kewalahan
menghindarinya. Hingga....
“Akh!” si Tua Tongkat Merah memekik tertahan.
Satu pukulan keras jurus 'Pukulan Racun Hitam'
berhasil mendarat di dadanya. Si Tua Tongkat Merah
terhuyung ke belakang dengan tangan kiri menekap
dada. Begitu tangannya diturunkan, tampak di dada
yang kurus tergambar telapak tangan berwarna hitam
kebiru-biruan. Dari sudut bibirnya pun mengalir darah
kental kehitaman.
Bayu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan
dada. Matanya menatap tajam, sedangkan bibirnya
menyunggingkan senyuman tipis dan sinis.
Sementara si Tua Tongkat Merah menggerak-
gerakkan tangannya, berusaha menghimpun hawa
murni untuk membendung racun yang mulai menjalar
merasuki peredaran jalan darahnya. Disadarinya
kalau 'Pukulan Racun Hitam' sangat berbahaya.
“Kau hebat, Pendekar Pulau Neraka...,” pelan dan
agak tersendat suara si Tua Tongkat Merah.
“Dan kau tinggal menunggu kematian, Tua
Bangka!” sambut Bayu dingin.
“Ugh!”
Si Tua Tongkat Merah menyemburkan darah kental
kehitaman dari mulutnya. Tubuhnya semakin limbung,
dan kakinya bergetar, sepertinya tidak mampu lagi
menopang berat tubuhnya. Dan pada muntahan
darah kedua kalinya, tubuhnya langsung ambruk.
Bayu melepaskan jurus 'Pukulan Racun Hitam'
dengan tenaga penuh. Dan sudah tentu akibatnya
sangat fatal. Bukan hanya racun yang menjalar di
seluruh aliran darah, tapi juga membuat tulang-tulang
dada remuk Sebentar. si Tua Tongkat Merah meng-
gelepar, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Saat itu
juga nyawanya melayang dari badan.
“Hhh...!” Bayu mendesah panjang
***
7
Bayu baru saja membalikkan tubuhnya, menjadi
terperanjat karena di depannya kini sudah berdiri
seorang laki-laki tua berjubah putih. Bayu kenal betul
siapa laki-laki tua itu. Dia tidak lain dari Eyang
Watuagung. Seorang tua yang selalu jadi panutan dan
amat disegani seluruh rakyat Kadipaten Jati Anom.
Bahkan para penduduk desa-desa di sekitar Gunung
Rangkas pun sangat menghormatinya. Hal itu bisa
saja terjadi karena Eyang Watuagung pernah
menjabat sebagai adipati di Kadipaten Jati Anom ini.
“Eyang...,” desis Bayu merasa sungkan.
“Untuk apa kau kembali lagi ke sini, Pendekar
Pulau Neraka?” tanya Eyang Watuagung. Dingin
suaranya.
“Rasanya tidak perlu kujelaskan lagi, Eyang,” sahut
Bayu seraya melirik mayat si Tua Tongkat Merah.
“Kau tahu siapa dia?”
“Ya! Dia salah seorang yang telah menganiaya dan
membuat cacat guruku,” sahut Bayu lagi.
“Aku tidak peduli siapa gurumu!”
Bayu agak tertegun mendengar kata-kata bernada
kasar itu. Tapi dicobanya bersabar. Meskipun Eyang
Watuagung adalah guru dari orang yang pernah jadi
musuhnya, Bayu tetap menghormati karena sikapnya
yang arif dan bijaksana. Bahkan Eyang Watuagung
pernah mencoba menghalangi tindakannya dan
hampir membunuhnya di dasar jurang. Bayu dapat
memaklumi hal itu. Seorang guru pasti tidak akan
berdiam diri melihat muridnya terancam bahaya.
Demikian juga sebaliknya.
“Kau tahu, orang yang terbujur itu? Dia bernama
Hastama, adik kandungku!” kata Eyang Watuagung
dengan nada suara agak tertahan.
“Oh!” Bayu benar-benar terkejut mendengarnya.
Sama sekali tidak disangka kalau si Tua Tongkat
Merah adalah adik kandung Eyang Watuagung.
Sesaat kemudian Pendekar Pulau Neraka itu
mengeluh dalam hati. Bukannya gentar menghadapi
laki-laki tua itu, tapi rasa sungkan dan hormat
membuatnya enggan untuk kembali bentrok.
“Aku bisa memahami dan memaklumi saat kau
membunuh kedua muridku, Pendekar Pulau Neraka!
Tapi sekarang, kau juga telah membunuh adik
kandungku! Di saat aku sedang berusaha menyadar-
kan kekeliruannya. Perbuatanmu benar-benar tidak
bisa kumaafkan lagi!” semakin dingin nada suara
Eyang Watuagung.
“Eyang! Aku sungkan padamu, dan aku juga
menghormatimu sebagaimana rakyat kadipaten ini
menghormatimu. Aku membunuh muridmu karena
dia telah membantai keluargaku dan memporak-
porandakan padepokan milik ayahku. Dan sekarang
adik kandungmu, dia sengaja memancingku ke sini
dengan menyebarkan fitnah dan merusak nama
baikku. Dia telah menganiaya guruku, dengan mem-
buntungi kedua kaki dan membutakan matanya! Dia
tidak suka ada orang yang mewarisi ilmu-ilmu Eyang
Gardika, makanya sengaja memancingku ke sini dan
ingin membunuhku karena aku murid musuhnya!
Apakah aku salah kalau semua yang kulakukan hanya
untuk membela diri dan rasa bakti pada orang tua
dan guruku?” lantang dan gamblang kata-kata Bayu.
Eyang Watuagung terdiam.
“Eyang adalah seorang yang sangat dihormati dari
menjadi panutan semua orang. Aku pun sangat
menghormatimu. Sepertinya berat jika rasa hormatku
rusak hanya karena masalah kecil dan kesalah-
pahaman yang tidak berarti,” lanjut Bayu.
Eyang Watuagung semakin terdiam mendengar
penjelasan Bayu yang gamblang. Diakui kalau dia
tidak bisa menyalahkan penuh pada Pendekar Pulau
Neraka itu. Secara jujur, Eyang Watuagung merasa
malu dengan perbuatan kedua murid dan adik
kandungnya. Tidak ada salahnya jika Bayu membalas
dendam dan membela martabat orang tua dan
gurunya. Di samping itu pula, kehadiran Bayu
sekarang ini bukan kehendaknya sendiri.
Secara diam-diam, Eyang Watuagung memang
mengikuti Pendekar Pulau Neraka saat memasuki
Kadipaten Jati Anom ini. Dan dia terus mengawasi
kejadian di halaman depan istana kadipaten ini.
Semua pembicaraan dan semua yang terjadi didengar
dan dilihatnya. Hatinya mengakui kalau sikap dan
perbuatan Bayu adalah ciri seorang pendekar sejati.
Datang menantang lawan dengan sikap jantan dan
tidak bertindak curang. Pertarungannya juga murni,
meskipun terlihat kejam pada lawannya. Hal itu
memang bisa dimaklumi dalam dunia kependekaran.
“Maaf, kalau kata-kata dan perbuatanku terlalu
kasar dan menyinggung perasaanmu selama ini. Aku
tidak tahu harus berkata dan berbuat apa lagi untuk
menjelaskannya. Semua yang kulakukan bukan
berdasar kebencian semata. Aku hanya....”
“Cukup!” sentak Eyang Watuagung memotong.
Bayu langsung diam.
“Sebaiknya kau cepat tinggalkan kadipaten ini!
Dan kuminta jangan kembali lagi ke sini dengan
meninggalkan mayat-mayat,” tegas Eyang Watuagung.
Sesaat Bayu tertegun.
“Aku tidak menyalahkanmu, dan juga tidak mem-
benarkan segala tindakanmu. Meskipun kau telah
melangkahiku. Dan sebelum pikiranku berubah,
sebaiknya segera kau tinggalkan Kadipaten Jati
Anom!” tegas kata-kata Eyang Watuagung.
Sejenak Bayu menatap pada laki-laki tua berjubah
putih itu, kemudian melangkah pergi. Eyang
Watuagung masih berdiri tegak memandangi
kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Batinnya terasa
terpukul dengan semua peristiwa yang terjadi secara
beruntun di tanah kelahirannya ini.
“Oh, Tuhan..., mengapa Kau timpakan cobaan
begini berat padaku...?” desis Eyang Watuagung lirih.
Eyang Watuagung melangkah mendekati mayat si
Tua Tongkat Merah. Dia berlutut di samping tubuh
yang sudah tidak bernyawa lagi. Batinnya benar-benar
bergolak menghadapi kenyataan pahit ini. Hatinya
menjerit dan teramat sakit. Kematian adik kandung-
nya ini teramat tragis, dan berlangsung di depan
matanya.
“Aku memang sudah berjanji untuk selalu me-
lindungimu, Adikku. Tapi kau bukan anak kecil lagi.
Selalu kuperingatkan agar kau jangan mengobarkan
api yang hampir padam...,” lirih suara Eyang
Watuagung.
Kepala laki-laki tua itu tertunduk dalam. Sebentar
matanya terpejam rapat, lalu kembali terbuka seraya
mengangkat kepalanya ke atas. Tarikan napasnya
begitu berat.
“Sejak kecil kita selalu bersama-sama, Adikku. Kita
selalu saling membela. Kita selalu saling merasakan
bila tersakiti. Kini kau telah tiada, dan aku merasa
diriku juga telah mati. Ah...! Seharusnya aku
membalas kematianmu, Hastama. Tapi..., ah, tidak!
Aku tidak boleh mendendam. Dendam bukan satu-
satunya jalan mencari penyelesaian. Dendam dapat
mengakibatkan timbulnya permasalahan baru yang
tidak akan pernah berakhir, Hastama! Relakan dirimu
pergi, dan aku juga akan merelakanmu. Biarlah
semuanya menjadi kenangan dan menjadi cambuk
dalam kehidupan. Selamat jalan, Adikku,” semakin
lirih suara Eyang Watuagung.
Eyang Watuagung mengangkat tubuh yang sudah
tidak bernyawa lagi itu, kemudian pelahan-lahan kaki-
nya melangkah. Saat itu senja mulai merayap turun.
Bias-bias cahaya matahari mengintip dari balik awan
hitam. Eyang Watuagung terus berjalan pelahan-lahan
meninggalkan halaman depan Istana Kadipaten Jati
Anom.
***
Eyang Watuagung berdiri tegak memandangi
gundukan tanah merah yang masih baru. Pada bagian
ujungnya tertancap sebatang tongkat berkepala teng-
korak manusia. Tanpa terasa, setitik air bening meng-
gulir di pipinya. Setegar apa pun, hatinya terasa teriris
juga menghadapi kematian satu-satunya adik
kandung yang sudah bertahun-tahun berpisah.
Sejak kemarin sore, sampai menjelang pagi ini,
Eyang Watuagung berdiri mematung di samping
makam adiknya. Dia baru mengangkat kepala begitu
merasakan sengatan matahari mulai membakar
kulitnya. Saat itu baru disadari kalau telah
semalaman penuh dia berdiri dengan pikiran meng-
ambang, melayang-layang tidak tentu arah dan
tujuannya.
Kepalanya berpaling ke kanan ketika mendengar
suara langkah kaki menuju ke arahnya. Kelopak
matanya agak menyipit melihat Intan Delima dan
Indranata datang. Eyang Watuagung melangkah
menuju sebuah pohon rindang, kemudian duduk di
bawah pohon itu. Intan sempat berhenti dan me-
mandang gundukan tanah merah itu, kemudian
mendekati dan duduk di samping Indranata yang
telah lebih dahulu berada di depan laki-laki tua
berjubah putih itu.
“Dari mana kalian tahu aku ada di sini?” tanya
Eyang Watuagung.
“Seorang perambah hutan kebetulan melihat
Eyang berada di sini,” sahut Indranata.
“Eyang! Makam siapa itu?” tanya Intan melirik ku-
buran yang masih baru.
“Adikku,” sahut Eyang Watuagung.
“Eyang Hastama?” Intan ingin kejelasan.
“Ya.
Intan memandangi kuburan itu. Dia ingat ketika
masih kecil dulu, Eyang Hastama-lah yang meng-
ajarkan dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Dan ketika
ibunya meninggal, Eyang Hastama pula yang selalu
menghiburnya. Meskipun sikap dan segala tindakan-
nya kasar, tapi di mata Intan, Eyang Hastama merupa-
kan seorang yang paling baik dan bijaksana.
“Kapan Eyang Hastama meninggal?” tanya Intan
kembali berpaling ke arah Eyang Watuagung
“Kemarin sore,” sahut Eyang Watuagung.
“Bertarung?” tanya Intan lagi.
“Ya.”
“Dengan siapa?”
“Pendekar Pulau Neraka.”
Seketika itu juga Intan merasakan jantungnya
berhenti berdetak. Sedangkan Indranata langsung
menatap pada gadis itu. Sementara Intan menatap
tajam, meminta penjelasan pada laki-laki berjubah
putih di depannya.
“Sudanlah, Intan. Pertarungan itu jujur dan
ksatria,” jelas Eyang Watuagung seolah-olah bisa
mengerti perasaan dan tatapan mata gadis itu.
“Keterlaluan! Benar-benar keparat dia!” geram
Indranata.
“Indranata!” sentak Eyang Watuagung.
“Maaf, Eyang. Perbuatan Pendekar Pulau Neraka
tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini sudah keterlaluan!
Pertama, yang dibunuh Paman Adipati Rakondah dan
Paman Panglima Bantaraji. Semuanya murid Eyang.
Dan sekarang dia membunuh Eyang Hastama. Entah
besok, lusa, atau kapan waktu dia pasti membunuh
kita semua! Aku tidak bisa menerima semua ini,
Eyang! Perbuatannya harus dihentikan!” ujar
Indranata berapi-api.
“Hentikan kata-katamu, Indranata!” bentak Eyang
Watuagung.
“Eyang....”
“Cukup!”
Indranata langsung bungkam. Kepalanya tertunduk
dalam. Bentakan Eyang Watuagung begitu keras, dan
menciutkan hatinya. Sementara Intan hanya diam
saja. Hatinya benar-benar tidak menentu saat ini.
“Indranata! Aku tidak pernah mengajarkanmu
untuk mendendam. Buang jauh-jauh perasaan
dendam di hatimu. Aku tidak mengerti, setan mana
yang mengurung hatimu, sehingga kau bisa berkata
begitu?” Eyang Watuagung menggeleng-gelengkan
kepala.
“Maafkan, Eyang. Aku hanya....”
“Ah, sudahlah!” potong Eyang Watuagung cepat.
Indranata kembali diam. Dia memang tidak
mungkin membantah dan berdebat dengan gurunya
ini. Meskipun hatinya masih membara, tapi tidak
mungkin untuk menentang kata-kata Eyang Watu-
agung. Indranata melirik Intan yang hanya diam saja
tanpa berkata sepatah kata pun.
“Untuk apa kalian meninggalkan pondok?” tanya
Eyang Watuagung setelah lama terdiam.
Tidak ada yang menjawab.
“Intan...?” Eyang Watuagung menatap Intan
Delima.
'Mencari Eyang,” sahut Intan pelan suaranya.
“Kau lupa pesanku, Intan.”
“Sudah tiga purnama lebih Eyang tidak kembali.
Aku hanya khawatir, Eyang. Tidak ada maksud lain,”
jelas Intan agak bergetar suaranya.
“Sebaiknya kalian kembali ke pondok. Aku akan ke
Kadipaten Jati Anom, sampai ada pengganti adipati,”
kata Eyang Watuagung.
Intan dan Indranata saling berpandangan,
kemudian beranjak bangkit berdiri. Setelah menjura
memberi hormat, kedua anak muda itu berbalik dan
melangkah pergi. Sementara Eyang Watuagung juga
segera berlalu menuju Kadipaten Jati Anom. Tapi baru
saja berjalan beberapa langkah, mendadak berhenti.
“Hm..., mereka pasti bukan mencariku,” gumam
Eyang Watuagung. “Ah, tidak! Itu tidak boleh ter-
jadi...!”
Eyang Watuagung tersentak kaget, dan langsung
berbalik. Sebentar dipandang arah kepergian Intan
dar Indranata pergi. Laki-laki tua berjubah putih itu
baru menyadari kalau kepergian cucu dan muridnya
bukan menuju ke Gunung Rangkas. Tanpa berpikir
panjang lagi, Eyang Watuagung langsung melesat
mengejar kedua muridnya.
***
Saat itu Intan dan Indranata sudah tiba di tepi
hutan yang berbatasan dengan Desa Sirna Galih.
Mereka sempat terkejut begitu melihat tiga sosok
mayat tergeletak berlumuran darah. Sekitar tempat
itu juga porak-poranda, seperti bekas terjadi
pertempuran. Intan mengajak Indranata untuk terus
berlalu.
“Eyang Watuagung pasti marah kalau tahu kita
tidak kembali ke pondok, Intan,” kata Indranata
sambil terus melangkah menyusuri tepian hutan itu.
“Aku kan sudah bilang, tidak ada gunanya mencari
Pendekar Pulau Neraka. Eyang Watuagung juga tidak
mengijinkan,” sahut Intan.
“Tapi, Intan. Perbuatannya sudah keterlaluan!”
Intan tidak menyahuti.
“Kau masih mencintainya, Intan?” tanya Indranata
setengah menyelidik.
“Entahlah,” sahut Intan mendesah.
Indranata berhenti melangkah. Ditatapnya Intan
Delima dalam-dalam. Setiap kali menanyakan hal itu,
dan jawabannya selalu sama. Maka dada Indranata
langsung bergemuruh. Indranata mengakui kalau dia
merasa cemburu. Yang diinginkan, agar Intan menum-
pahkan rasa cinta hanya pada dirinya saja.
“Kenapa kau memandangku seperti itu?” tegur
Intan.
“Sebaiknya kita kembali saja ke pondok,” kata
Indranata pelan. Suaranya terdengar datar tanpa
tekanan sama sekali.
“Kenapa?” kali ini Intan agak terkejut.
“Tidak mungkin aku dapat menghadapinya. Kau
pasti tidak ingin melihat dia terluka, apalagi tewas,”
ada nada kecemburuan pada suara Indranata.
Intan Delima hanya memandang pada sorot mata
pemuda itu. Bisa dirasakan ada nada kecemburuan
pada suara lndranata. Dia tahu kalau pemuda itu
mencintainya dengan tulus dan murni, lapi Intan
belum bisa memupuskan cintanya pada Bayu
Hanggara, Pemuda tampan dan gagah, juga berilmu
sangat tinggi. Pemuda yang telah membuat hatinya
terpisah-pisah bagai kepingan kapal terhempas badai.
Gadis itu memang mendendam dan membenci
Pendekar Pulau Neraka. Tapi juga sangat men-
cintainya. Ingin dia membunuhnya, mencabik-cabik
tubuh nya, meminum darahnya. Tapi rasa cinta yang
amat besar selalu menghalangi dan memupuskan
keinginannya itu. Sedangkan cinta lndranata begitu
besar, tulus dan murni. Apakah dia akan mengecewa-
kan pemuda itu? Padahal pemuda ini selalu mem-
perhatikan, dan rela mengorbankan nyawa demi
cintanya.
“Ah...!” Intan menggeleng-gelengkan kepalanya
“Ayo, jalan lagi,” ajaknya.
“Kau menyembunyikan sesuatu, Intan,” tebak
Indranata.
“Tidak!” sahut Intan. “Ah, sudahlah. Ayo kita cari
Pendekar Pulau Neraka. Aku pasti akan membantumu
untuk membunuhnya!”
“Kau tidak sungguh-sungguh, Intan.”
“Aku serius!”
“Sungguh?”
“Iya!”
lndranata tersenyum mendengar jawaban bernada
sungguh-sungguh itu. Kemudian dilingkarkan tangan-
nya ke pinggang gadis itu dan dipeluknya erat-erat.
Namun dengan halus Intan melepaskan pelukan pe-
muda itu. Agak terkejut juga gadis itu, karena pelukan
lndranata demikian ketat dan sukar dilepaskan.
“Kakang....”
lndranata tidak peduli lagi dengan penolakan
Intan. Dengan liar disumpalnya bibir gadis itu dengan
bibirnya. Intan hanya bisa menggumam dan men-
desis. Gadis itu memegang tangan lndranata yang
mulai nakal merayapi tubuhnya. Dan pada saat bibir
pemuda itu lepas dari bibirnya, Intan segera
melangkah mundur seraya mendorong dada pemuda
itu dengan halus.
“Kau nakal, Kakang,” desah Intan agak terengah.
lndranata hanya tersenyum saja. Ingin digamitnya
pinggang gadis itu kembali, tapi Intan lebih cepat
berkelit dan melangkah kembali. lndranata mengikuti-
nya, dan mensejajarkan langkahnya di samping Intan.
Tangannya memeluk pinggang gadis itu. Intan tidak
bisa menolak tangan yang melingkari pinggangnya.
Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Sesekali Intan menggelinjang jika jari-jari tangan
lndranata mulai nakal. Dan saat tiba di tepi sungai,
langkah mereka langsung terhenti. Pandangan
mereka tidak berkedip, tertumbuk pada sesosok
tubuh yang tengah duduk bersandar di bawah pohon
rindang. Saat itu Intan merasa jantungnya berhenti
berdetak lndranata melepaskan pelukannya di
pinggang gadis itu.
“Kakang Bayu...,” desis Intan tidak sadar.
***
8
Pemuda berbaju kulit harimau yang duduk bawah
pohon itu berpaling. Keningnya sedikit berkerut
melihat Intan dan Indranata. Pemuda itu bangkit dan
berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.
Sedangkan Indranata melangkah menghampiri.
Tatapan matanya tajam menusuk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Indranata langsung
melompat dan menyerang. Tentu saja Bayu terkejut,
lalu buru-buru melompat ke samping menghindari
serangan itu. Tapi Indranata tidak menghentikan
serangannya. Gagal dengan serangan pertama, maka
disusul dengan serangan kedua yang lebih hebat.
“Hey, tunggu...!” seru Bayu terus berkelit meng-
hindari serangan yang gencar itu.
“Ayo! Lawanlah aku, pendekar keparat! Kita ber-
tarung sampai mati!” geram Indranata.
“Hup!”
Bayu melentingkan tubuhnya ke atas ketika kaki
Indranata berputar menyambar ke arah kakinya. Dua
kali Bayu berputar di udara, kemudian dengan manis
mendarat agak jauh dari pemuda itu. Sementara
Intan Delima tetap diam. Perasaannya diliputi
kebimbangan.
“Ada apa ini? Mengapa kau menyerangku?” tanya
Bayu minta penjelasan.
“Jangan banyak tanya! Kau harus mampus
sekarang juga!” bentak Indranata.
“Hey...! Hup!”
Bayu tidak dapat bertanya lagi, karena Indranata
kembali menyerang dengan jurus-jurus tangan kosong
yang cepat dan bertenaga dalam cukup tinggi. Pukul-
an-pukulan Indranata demikian dahsyat. Pohon-pohon
di sekitarnya tumbang berantakan terkena pukulan
nyasar. Bayu tetap berkelit dan berlompatan menghin-
dar tanpa balas menyerang. Beberapa kali Indranata
diperingatkan agar berhenti menyerang, tapi tidak
digubris sama sekali.
“Berhenti...!” teriak Intan keras dan tiba-tiba.
Bayu seketika menoleh. Dan pada saat yang sama,
Indranata melontarkan satu pukulan telak disertai
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Bayu tidak
bisa mengelak lagi. Tubuhnya terpental ketika
pukulan Indranata menghantam telak dadanya.
Sebuah pohon yang sangat besar langsung terbentur
punggung Pendekar Pulau Neraka itu.
“Hoek...!”
Bayu memuntahkan darah kental dari mulutnya.
Bergegas dia bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan
tangannya. Dia tengah menghimpun hawa murni yang
kemudian disalurkannya ke bagian dada. Rasa sesak
menyelimuti seluruh dadanya. Pukulan Indranata de-
mikian keras dan hampir meremukkan tulang-tulang
dada Pendekar Pulau Neraka itu.
Sekali lagi Bayu memuntahkan darah dari mulut-
nya, kemudian menatap Indranata yang sudah melo-
loskan pedang pendek berwarna hitam pekat. Bayu
menggeleng-gelengkan kepalanya sebentar, mencoba
mengusir rasa pening akibat napasnya sempat ter-
ganggu tadi. Sementara Intan berlari menghampiri
Pendekar Pulau Neraka itu, tapi Indranata lebih cepat
melompat menghadang.
“Intan...!” sentak Indranata seraya menatap tajam
pada gadis itu.
Intan tampak kebingungan. Sebentar menatap
Indranata, sebentar kemudian beralih pada Bayu
Hanggara. Sementara itu Pendekar Pulau Neraka
berhasil mengatur napasnya kembali, meskipun
dadanya masih sedikit terasa nyeri.
“Kakang, sudah..., jangan diteruskan,” pinta Inta
memohon.
“Aku harus membunuhnya, Intan! Dia berhutang
tiga nyawa, dan aku harus membalas kematian
mereka!” tegas Indranata.
“Lupakan saja, Kakang.”
“Lupakan? Heh! Tidak semudah itu, Intan! Dia
telah membunuh dua orang murid Eyang Watuagung,
membunuh ayahmu, membunuh adik kandung Eyang,
Dan dia juga telah menyakiti hatimu! Apakah semua
ini harus dilupakan? Dan membiarkannya bebas
hidup lalu membunuh orang-orang yang tidak
berdosa. Tidak, Intan. Aku tidak bisa membiarkan
orang seperti dia hidup lebih lama lagi!” lantang suara
Indranata.
“Aku mohon padamu, Kakang. Lupakan saja
Sebaiknya kita kembali ke pondok,” kata Intan
berharap.
“Minggiriah, Intan!” dingin nada suara Indranata.
“Kakang... Oh!”
Intan terdorong ke samping. Indranata langsung
melompat menendang Pendekar Pulau Neraka. Saat
itu Bayu memang sudah siap untuk menghadapi
serangan pemuda itu kembali. Dan pada saat pedang
hitam di tangan Indranata menebas ke arah lehernya,
dengan cepat Bayu menarik kepalanya ke belakang.
Dengan gerakan bagaikan kilat, kaki kanannya cepat
melayang menghantam perut Indranata.
“Hugh!” Indranata mengeluh tertahan.
Selagi tubuh Indranata terbungkuk, satu pukulan
keras mendarat di wajahnya. Kepala pemuda itu
terdongak ke atas. Dan sekali lagi Bayu mendaratkan
tendangan keras ke dada pemuda itu. Indranata
langsung terjungkal ke belakang. Namun pemuda itu
cepat bangkit kembali.
“Kakang...!” Intan menghampiri Indranata.
Gadis itu memeluk dan menghapus darah yang
meleleh di sudut bibir pemuda itu. Indranata melepas-
kan pelukan Intan dan mendorongnya ke samping.
Dia menggeram hebat, dan kembali menyerang
Pendekar Pulau Neraka dengan jurus-jurus 'Naga
Kembar'.
Kali ini Bayu sedikit kerepotan juga meng-
hadapinya. Jurus-jurus yang dimainkan Indranata luar
biasa dahsyatnya. Tebasan pedangnya menimbulkan
hawa panas yang menyesakkan dada. Tempat di
sekitar pertarungan seperti hampa udara. Bayu
segera mengalihkan pernapasannya melalui perut.
Disadarinya bahwa menghadapi jurus itu tidak dapat
dilakukan dengai pernapasan biasa.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tidak terasa,
lndranata telah menghabiskan lebih dari tiga puluh
jurus. Tapi sampai sejauh itu belum bisa menyentuh-
kan pedangnya ke tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Meskipun beberapa kali pukulan dan tendangannya
berhasil disarangkan, tapi dia juga tidak luput dari
pukulan dan tendangan Pendekar Pulau Neraka.
“Huh!” Indranata mendengus keras.
Memasuki jurus yang keempat puluh, Indranata
mulai merasa tangannya pegal dan kesemutan. Lalu
pelahan-lahan tenaganya seperti terkuras, terserap ke
dalam Pedang Naga Hitam Kembar. Indranata sadar
kalau dalam beberapa saat lagi pasti tidak dapat
mengendalikan pedangnya. Dengan demikian,
kemungkinan mati kehabisan tenaga. Tapi kebencian
yang memuncak dan rasa cemburu yang meng-
gelegak di dalam dada membuatnya tidak peduli.
Bahkan semakin ganas menyerang, meskipun
gerakan-gerakan tubuhnya mulai tidak teratur.
Sementara itu, Intan yang menyaksikan jalannya
pertarungan dengan penuh perasaan kecemasan dan
kebimbangan, mulai menyadari kalau Indranata tidak
akan mampu bertahan lebih lama lagi. Jelas ini akan
membahayakan dirinya sendiri, maupun lawannya.
Pedang itu tidak dapat dikendalikan, dan akan
bergerak sendiri disertai hawa kematian. Pedang itu
tidak akan dapat diam sebelum minum darah dari
lawannya.
“Oh, tidak...! Ini tidak boleh terjadi!” desis Intan
cemas.
Saat itu juga Intan Delima segera melesat sambil
mencabut pedangnya yang bentuk dan warnanya
sama persis dengan pedang di tangan Indranata.
“'Naga Kembar'...!” teriak Intan keras.
Mendengar teriakan itu, Indranata langsung meng-
angkat pedangnya ke atas. Intan segera membentur-
kan pedangnya dengan pedang di tangan Indranata.
Tring!
Bunga api berpijar begitu dua pedang kembar
beradu di udara. Dan seketika itu juga, Indranata
merasa tenaganya pulih kembali. Secepat kilat;
kembali diterjangnya Bayu.
***
Bayu benar-benar kewalahan menghadapi
gempuran yang beruntun dan saling sambut itu. Tapi
setelah melewati beberapa jurus, baru diketahui
kalau Intan Delima tidak bersungguh-sungguh dalam
setiap serangannya. Gadis itu hanya menunjang
tenaga simpanan bagi Indranata.
Menyadari hal itu, Pendekar Pulau Neraka
memusatkan perhatiannya pada Indranata. Dia tidak
peduli dengan serangan-serangan Intan lagi. Meski-
pun ujung pedang Intan hampir menyentuh tubuhnya,
gadis itu selalu cepat membelokkannya. Ini dilakukan
karena Intan tidak bisa membunuh atau melukai
orang yang telah mengisi hatinya. Tapi dia juga tidak
ingin Indranata tewas di tangan Pendekar Pulau
Neraka. Suatu pilihan yang amat sulit dan harus
dilakukan.
“Yaaa...!”
Tring!
Bayu tersentak kaget, dan langsung melompat
mundur tiga tindak. Pergelangan tangannya seperti
terbakar ketika menangkis tebasan pedang Indranata
dengan senjata Cakra Maut yang menempel di
pergelangan tangan kanannya. Hal yang sama juga
terjadi pada diri Indranata. Dia juga melompat
mundur beberapa tindak. Seluruh persendian tulang
tangan kanannya terasa nyeri dan kaku.
“Intan! Gunakan jurus 'Naga Api'!” seru Indrana
keras.
Intan tersentak kaget. Sejenak dipandangnya
Indranata, lalu beralih ke arah Bayu. Jurus 'Naga Api’
sangat dahsyat, dan merupakan jurus terakhir 'Naga
Kembar'. Batu sebesar kerbau pun dapat hancur jika
terkena sambaran pedang mereka berdua. Apalagi
manusia...? Sedangkan baru terkena anginnya saja
pohon-pohon akan mati layu, dan binatang-binatang
akan mati terbakar.
Belum sempat Intan berpikir lebih jauh, Indranata
sudah membuka jurus 'Naga Api', dan langsung
melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Hawa
panas segera terasa menyengat bagai hendak
menghanguskan sekitar tepian sungai ini. Tanpa
berpikir panjang lagi, Intan langsung melompat
memotong arah gerakan Indranata. Pada saat itu,
pedang di tangan Indranata sudah berkelebat
menusuk ke arah dada.
“Intan...!” Indranata tersentak kaget.
“Tidak...!” pekik Bayu sambil melompat. Indranata
berusaha menarik kembali pedangnya, namun tubuh
Intan sudah lebih dulu meluruk deras.
Dan....
“Aaa...!” Intan menjerit melengking.
Pedang di tangan Indranata menembus dada gadis
itu hingga ke punggung. Sedangkan Indranata hanya
mampu berdiri tegak seraya melepaskan genggaman-
nya pada tangkai pedang. Sebentar Intan masih
mampu berdiri, dan akhirnya jatuh sambil memegangi
pedang yang menembus dadanya. Darah mengucur
deras membasahi tubuhnya.
“Intan...,” desis Indranata tidak percaya dengan
apa yang dilihatnya.
Sedangkan Bayu hanya bisa terpaku memandangi
tubuh yang menggeletak meregang nyawa. Sesaat
kemudian, Pendekar Pulau Neraka menjatuhkan diri.
Diangkatnya tubuh gadis itu ke pangkuannya,
dipandangi wajah yang kian pucat pasi itu dalam-
dalam. Sementara Indranata masih berdiri gemetar.
“Kakang...,” lirih suara Intaa
“Intan, mengapa kau lakukan ini?” tanya Bayu
agak tertahan suaranya.
“Aku mencintaimu, Kakang. Aku tidak ingin kau
mati.. ,” semakin lirih suara Intan.
Bayu tidak mampu berkata-kata lagi. Wajahnya
tertunduk dalam, dan bibirnya bergetar, seolah-olah
hendak mengatakan sesuatu. Sementara wajah Intan
Delima semakin memucat. Dengan tangan bergetar
dan berlumuran darah, dirabanya wajah Bayu.
“Oh, tidak...,” desis Bayu tertahan.
“Selamat tinggal, Kakang,” ucap Intan lirih
“Intan...! Intaaan...!” Bayu menjerit keras.
Intan terkulai lemas. Tangannya jatuh ke tanah
menjuntai. Bayu memeluk tubuh yang sudah tidak
bernyawa lagi. Pendekar Pulau Neraka benar-benar
menyesali dirinya yang telah menyia-nyiakan cinta
suci Intan Delima. Cinta yang harus berakhir per-
tumpahan darah. Sungguh besar pengorbanan Intan.
Dia rela mati demi cintanya yang suci.
Bayu tahu kalau Intan sengaja memotong
serangan Indranata, dan membiarkan dirinya
tertembus pedang pemuda itu. Peristiwanya begitu
cepat, dan tidak terduga sama sekali. Pelahan-lahan
Bayu bangkit berdiri sambil memondong tubuh Intan
Delima. Pedang pendek berwarna hitam pekat masih
menancap di dadanya. Sementara Indranata masih
berdiri terpaku tanpa mampu berbuat apa-apa.
Beberapa saat Bayu menatap tajam pemuda murid
Eyang Watuagung itu, Kemudian berbalik dan
melangkah tanpa berkata-kata lagi. Indranata masih
berdiri terpaku, tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Dan ketika Bayu sudah berjalan sejauh beberapa
depa, Indranata tersentak. Sambil memungut pedang
Intan yang menggeletak di tanah, pemuda itu segera
melompat mengejar.
“Berhenti!” bentak Indranata keras
Indranata melompati kepala Bayu Hanggara. Dan
begitu kakinya mendarat di depan Pendekar Pulau
Neraka itu, dia langsung berbalik. Pedang pendek
berwarna hitam pekat melintang di depan dada. Bayu
menghentikan langkahnya. Pandangannya tajam
menusuk langsung ke bola mata pemuda di
depannya.
“Kau masih belum puas, Indranata?” dingin suara
Bayu.
“Tinggalkan Intan di sini!” bentak Indranata berapi-
api.
“Dia tewas karena kebodohanrnu, Indranata. Tidak
pantas kau memilikinya lagi, meskipun hanya berupa
mayat!”
“Tinggalkan Intan di sini, kataku!”
“Untuk apa? Ingin kau cincang?”
“Setan! Kau benar-benar iblis keparat, Pendekar
Pulau Neraka!” geram Indranata seraya mengibaskan
pedang ke depan.
“Hup!”
Bayu melompat mundur, sehingga terhindar dari
tebasan pedang Intan Delima yang dipegang pemuda
itu. Indranata yang sudah demikian kalap, langsung
melompat sambil menusukkan pedangnya. Dan pada
saat yang tepat, sebuah bayangan berkelebat cepat
memapak. Tubuh Indranata terpental balik ke
belakang. Dia bergulingan beberapa kali di tanah, lalu
bergegas bangkit.
Namun mendadak tubuhnya jadi gemetar. Sedang-
kan matanya membeliak lebar dengan mulut ter-
nganga. Hampir dia tidak bisa percaya dengan
penglihatannya sendiri. Ternyata tiba-tiba saja di
depannya sudah berdiri Eyang Watuagung. Sedang-
kan Bayu tepat berada di samping kanannya,
Indranata langsung menjatuhkan diri berlutut.
“Eyang...,” ucap Indranata pelan, agak bergetar.
“Bangun, Indranata!” bentak Eyang Watuagung
Indranata mengangkat kepalanya pelahan-lahan
lalu bangkit berdiri. Kembali ditundukkan kepalanya
tidak sanggup menentang sorot mata Eyang
Watuagung yang begitu tajam menusuk.
“Aku tidak tahu, harus berkata apa lagi padamu
Kau benar-benar mengecewakan hatiku, Indranata!”
sesal Eyang Watuagung agak tertahan suaranya.
“Maafkan aku, Eyang. Aku....”
“Diam!” bentak Eyang Watuagung memotong
cepat.
Indranata langsung bungkam.
“Sengaja kuberikan Kitab Naga Kembar dan
Pedang Naga Hitam Kembar untuk kau pelajari dan
kau kuasai. Sengaja kuberi waktu tiga purnama dan
melarangmu untuk meninggalkan pondok. Tapi
semua kau langgar. Bahkan kau jadikan ilmu
simpananku itu untuk membalas dendam! Kau lupa
Indranata. Apakah kau tidak membaca seluruh isi
Kitab Naga Kembar? Hawa nafsu dan dendam akan
memakan dirimu sendiri! Kau tidak akan mampu
mengendalikan diri, dan akan termakan oleh ilmumu
sendiri! Kau dengar itu, Indranata!”
Indranata hanya diam tertunduk. Memang pernah
dibaca satu kalimat yang melarangnya untuk mem-
punyai perasaan dendam, nafsu yang berkelebihan
setelah menguasai ilmu 'Naga Kembar'. Rasa
penyesalan pelahan-lahan menghinggapi diri pemuda
itu. Tapi penyesalan sudah terlambat. Intan sudah jadi
korban dari perasaan dendam, benci, dan cemburu-
nya yang berlebihan.
“Oh, tidak...!” jerit Indranata langsung berlari dan
memeluk kaki Eyang Watuagung.
Indranata menangis memeluk erat-erat kaki guru-
nya itu. Sementara Bayu yang menyaksikan, hanya
bisa menarik napas panjang. Dia masih memondong
mayat Intan Delima. Sedangkan Eyang Watuagung
menggamit pundak pemuda itu dan membawanya
berdiri.
“Ampunkan aku. Eyang. Ampunkan aku yang telah
mengecewakan hatimu...,” rintih Indranata.
“Indranata. Bertahun-tahun aku memeliharamu,
mendidikmu, dan mempersiapkanmu agar menjadi
seorang pendekar digdaya. Terlalu banyak harapanku
padamu, Indranata...,” pelan suara Eyang Watuagung.
“Hukumlah aku, Eyang,” pinta Indranata.
“Hukuman tidak akan berguna bagimu, Anakku.”
“Eyang....”
Indranata kembali menjatuhkan diri dan berlutut,
tapi Eyang Watuagung membangunkannya lagi. Laki-
laki tua berjubah putih itu berpaling menatap Bayu
Hanggara yang tetap berdiri di samping kanannya.
Bayu menyerahkan mayat Intan Delima, dan Eyang
Watuagung menerimanya dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf, aku tidak dapat mencegah,” ucap Bayu
pelan.
“Aku bisa memahami,” sahut Eyang Watuagung.
Setelah berkata demikian, Eyang Watuagung
berbalik dan berjalan pelahan-lahan. Indranata masih
berdiri tegak, kemudian berpaling kepada Pendekar
Pulau Neraka. Sesaat mereka saling berpandangan.
Indranata lantas menyodorkan tangannya yang
kemudian disambut hangat oleh Bayu.
“Aku harap kita dapat bertemu kembali sebagai
seorang laki-laki jantan tanpa persoalan,” kata
lndranata.
“Aku menanti harapanmu” sahut Bayu mantap
Indranata melepaskan tangannya, kemudian
segera melangkah mengikuti Eyang Watuagung. Bayu
masih berdiri memandangi kepergian mereka. Dia
tahu betul arti kata-kata Indranata tadi. Satu saat
kelak Ya..., satu saat kelak Indranata ingin bertemu
dan bertarung sebagai seorang pendekar ksatria.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar