..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 11 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE CINTA BERLUMUR DARAH

matjenuh

 

CINTA BERLUMUR DARAH 

oleh Teguh Suprianto 

Cetakan pertama 

Penerbit Cintamedia, Jakarta 

Gambar Sampul : Tony G. 

Hak cipta pada Penerbit 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit 

Teguh Suprianto 

Serial Pendekar Pulau Neraka 

dalam episode 004: 

Cinta Berlumur Darah 

128 hal ; 12 x 18 cm



 

“Hup! Yeaaa...!” 

“Uts, ha...!” 

 “Cukup!” 

Seorang laki-laki tua berjubah putih melompat ke 

tengah-tengah dua orang muda yang saling ber-

hadapan. Dua orang muda itu serentak mengambil 

sikap hormat dengan telapak tangan merapat di 

depan dada, kemudian duduk bersila di atas 

rerumputan. Sedangkan laki-laki tua itu tetap berdiri 

dengan kepala terangguk-angguk. Bibirnya yang tipis 

hampir tertutup kumis putih itu terus menyungging-

kan senyum. 

“Hari ini kalian berlatih begitu luar biasa. Terutama 

kau, Intan. Jurus-jurusmu maju begitu pesat. Semakin 

mantap dan sempurna,” ujar laki-laki berjubah putih 

itu bernada bangga. 

“Terima kasih, semua ini berkat bimbingan Eyang,” 

sahut gadis cantik yang memakai baju merah terang. 

“Dan kau, Indranata! Kulihat pengerahan tenaga 

dalammu tidak penuh. Itu bisa membahayakan dirimu 

sendiri seandainya bertarung dalam arti yang sesung-

guhnya. Ingat! Pengerahan tenaga dalam sangat pen-

ting dan harus tepat pada waktunya,” jelas laki-laki 

berjubah putih itu seraya memandang pemuda 

berkulit sawo matang yang duduk bersila di samping 

Intan Delima. 

“Maaf, Eyang. Aku tidak sampai hati untuk melukai 

Intan,” sahut pemuda yang dipanggil Indranata.


“Itu bukan alasan yang tepat, Indranata. Rasa 

kasihan harus kau hilangkan. Dalam dunia persilatan, 

hanya ada satu kalimat yang harus kau ingat. 

Dibunuh, atau membunuh! Camkan itu, Indranata!” 

“Baik, Eyang.” 

“Hm…” laki-laki tua berjubah putih itu mengalihkan 

pandangannya pada Intan Delima, kemudian kembali 

memandang Indranata yang tengah menundukkan 

kepalanya. 

Indranata mengangkat kepalanya. Tatapan mata-

nya langsung tertuju pada tatapan mata Eyang 

Watuagung. Seperti mengerti arti tatapan itu, 

Indranata bangkit berdiri, lalu menjura hormat. 

“Pergilah istirahat, Indranata. Aku ada perlu 

dengan Intan sebentar. Ada yang ingin kukatakan 

padanya,” kata Eyang Watuagung pelan. 

“Aku mohon diri, Eyang,” ucap Indranata seraya 

menjura hormat. 

“Hm,” Eyang Watuagung hanya menggumam tidak 

jelas. 

Indranata bergegas melangkah meninggalkan 

halaman luas berumput di depan pondok yang berada 

di Puncak Gunung Rangkas. Intan bangkit berdiri 

setelah Indranata lenyap di belakang pondok. Eyang 

Watuagung membalikkan tubuhnya dan berjalan 

pelan menjauhi pondok kecil itu. Intan Delima 

mengikuti dari belakang. Keningnya berkerut sedikit. 

Hatinya bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan 

Eyang Watuagung padanya? 

“Sudah berapa lama kau di sini?” tanya Eyang 

Watuagung setelah mereka berada di bibir tebing 

sangat curam


Dari sini, mereka bisa memandang ke bagian 

Selatan Gunung Rangkas. Tampak sebuah 

perkampungan yang tidak begitu besar berdiri tidak 

jauh dari kaki gunung ini. Di situ hanya ada beberapa 

rumah yang letaknya cukup berjauhan. 

“Entahlah! Aku tidak pernah mengingatnya,” sahut 

Intan setengah mendesah. 

“Hm...,” Eyang Watuagung kembali bergumam 

tidak jelas. 

Intan Delima semakin bertanya-tanya di dalam 

hatinya, dan berusaha mencari jawaban dari raut 

wajah laki-laki tua itu. Tapi jawaban yang diingin-

kannya sulit didapat, karena wajah Eyang Watuagung 

begitu datar dan sukar diterka. Hanya tatapan 

matanya saja yang menyiratkan sesuatu, namun 

sangat sulit untuk diartikan. 

“Apa yang ingin Eyang katakan?” tanya Intan 

Delima tidak sabaran. 

“Hhh.... Aku tidak tahu harus mulai dari mana. 

Tiba-tiba saja aku teringat dengan mendiang ayahmu, 

yang juga murid kesayanganku,” kata Eyang 

Watuagung setelah menarik napas panjang. 

Intan Delima kembali diam membisu. Dia memang 

tidak pernah lupa akan kematian ayahnya yang begitu 

tragis sebagai seorang laki-laki jantan dan ksatria. 

Apalagi untuk bisa melupakan lawan ber-tarung 

ayahnya, yaitu seorang pemuda tampan yang telah 

menorehkan tinta asmara di dasar hatinya yang 

paling dalam. Tidak mungkin Intan melupakan begitu 

saja. Sampai saat ini pun dia jelas terbayang, bahkan 

sampai kapan pun. 

“Semula, kukira dia sudah mati di dasar jurang 

Tapi tidak kusangka, ternyata dia masih hidup dan


mampu membunuh muridku,” ujar Eyang Watuagung 

setengah bergumam. 

“Eyang! Aku sudah berusaha untuk melupakan-

nya...,” kata Intan berdusta. Nada suaranya agak ber-

getar saat mengatakan itu. 

“Benar kau akan melupakannya, Intan?” tanya 

Eyang Watuagung penuh selidik. 

Intan Delima tidak segera manjawab, tapi hanya 

menunduk saja karena tidak mampu lagi membalas 

tatapan mata laki-laki tua berjubah putih di depannya. 

Dalam hati, dikutuki dirinya sendiri yang berani men-

dustai eyang gurunya ini. 

““Aku tidak percaya kau akan melupakan semua 

itu, Intan. Aku tahu perasaanmu. Tapi aku tidak ingin 

menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Kau berhak 

mencintainya meskipun orang yang kau cintai itu 

telah membunuh ayahmu sendiri. Itu hakmu, Intan. 

Tapi aku hanya ingin mengingatkan, bahwa orang 

yang kau cintai adalah seorang pembunuh kejam!” 

agak sedikit ditahan suara Eyang Watuagung. 

“Eyang...,” suara Intan tertahan di tenggorokan. 

“Aku tak bermaksud mengajarkan atau mem-bakar 

dendam pada dirimu, Intan. Hanya yang ingin kukata-

kan, bahwa semua yang telah terjadi hendaknya kau 

jadikan pelajaran berharga bagi dirimu sendiri. Kau 

seorang wanita, dan harus lebih bisa menjaga diri 

daripada laki-laki.” 

Intan hanya menundukkan kepalanya saja. Hatinya 

jadi tidak menentu, dan kepalanya terasa pening. 

Kata-kata Eyang Watuagung seolah-olah sengaja me-

nyingkap tirai kenangannya pada seorang pendekar 

gagah dan tampan, dengan tingkat kepandaian 

sangat tinggi. Orang yang sangat dicintai, tapi yang


juga telah menghancurkan hati dan harapannya. Dia 

telah membunuh ayah kandungnya. Haruskah mesti 

dicintai...? 

***

Pembicaraan Eyang Watuagung dan Intan Delima 

dilanjutkan terus sampai menjelang sore hari. Namun 

sampai sejauh ini Intan belum dapat menangkap 

maksud pembicaraan Eyang Watuagung yang meng-

ungkit peristiwa di Kadipaten Jati Anom. 

Intan Iebih banyak diam dan berbicara dengan 

dirinya sendiri di dalam hati. Semakin diingatnya 

semua kejadian itu, semakin disadari kalau ternyata 

ada kebencian di hatinya terhadap Pendekar Pulau 

Neraka. Tapi rasa benci itu segera pupus begitu 

perasaan cinta dan kerinduan melanda hatinya. 

Memang, Intan harus menghadapi dua pilihan yang 

sangat sulit. 

“Selama kau berada di pondokku, latihanmu 

begitu giat dan tekun. Kesungguhanmu dalam ber-

latih tidak pernah kujumpai sebelum ini...,” ujar Eyang 

Watuagung seraya mengayunkan langkahnya kembali 

menuju ke pondok. 

“Apakah aku salah, Eyang?” tanya Intan sambil 

mengikuti langkah laki-laki berjubah putih itu. 

“Tidak! Sama sekali tidak! Justru aku senang jika 

kau bersungguh-sungguh ingin menyempurnakan 

jurus-jurusmu, bukan karena sebab-sebab lain yang 

tertanam di dalam hatimu,” jawab Eyang Watuagung, 

tapi masih sulit dimengerti. 

“Aku tidak mengerti, Eyang.” 

“Memang sulit untuk dimengerti, karena 

jawabannya ada pada dirimu sendiri. Sedangkan aku


tidak tahu, apa yang ada di dalam hatimu saat ini 

Hanya saja jika kau memiliki suatu maksud...,” Eyang 

Watuagung tidak melanjutkan. 

“Eyang.... Apakah Eyang menyangka bahwa aku 

menyimpan dendam, begitu?” tebak Intan Delima 

masih menduga-duga. 

Eyang Watuagung tidak menjawab, tapi hanya 

tersenyum. Ayunan kakinya tidak berhenti, meskipun 

pelahan-lahan sekali. Intan Delima semakin diliputi 

ketidakmengertian akan sikap eyang gurunya ini. 

“Terus terang, Eyang. Aku memang membencinya, 

tapi juga mencintainya. Aku ingin punya kesempatan 

untuk bertarung secara jujur dengannya. Ini bukan 

dendam, juga bukan pelampiasan kebencian atau 

perasaan cinta. Aku hanya ingin menunjukkan kalau 

diriku bukan wanita lemah yang hanya bisa mengemis 

cinta dan perlindungan laki-laki,” tegas Intan. 

“Kau berkata dari hatimu sendiri, Intan?” nada 

suara Eyang Watuagung seakan tidak percaya. 

“Kalau Eyang tidak percaya, aku harus bicara apa 

lagi?” agak kesal juga Intan. 

“Aku percaya padamu, Intan. Aku bangga jika kau 

punya pendirian seperti itu. Pendirian yang keluar dari 

dalam hati, bukan hanya di mulut saja.” 

Intan kembali diam. Dia tahu kalau Eyang 

Watuagung tidak percaya dengan pendiriannya. Tapi 

dia sendiri memang tidak yakin dengan apa yang baru 

saja diucapkan. Yang jelas ketidakpercayaan gurunya 

bukan merupakan hambatan bagi Intan. Masalahnya 

dia sendiri memang belum tahu arah dan tujuannya 

saat ini. 

***


Hampir seharian penuh Intan Delima duduk 

merenung di atas batu di pinggir sungai. Sebagian 

kakinya terayun-ayun ke dalam sungai, memper-

mainkan riak air yang mengalir jernih dari sumbernya 

di puncak gunung ini. Sejak matahari terbit tadi, 

sampai senja sekarang ini dia masih duduk merenung 

di atas batu yang menjorok ke tepi sungai. 

Pandangannya lurus menatap dasar sungai yang 

berbatu. 

“Intan...!” 

Intan menoleh saat mendengar namanya di-

panggil. Kembali dialihkan pandangannya ke dalam 

sung begitu dilihatnya Indranata datang menghampiri. 

Pemuda berwajah cukup tampan dengan kulit sawo 

matang terbakar matahari ini, duduk di atas batu lain 

samping Intan Delima. 

“Ada apa kau ke sini? Apakah kau membawa 

amanat Eyang untukku?” tanya Intan memberondong. 

“Tidak! Aku memang sengaja mencarimu,” sahut 

Indranata tidak tersinggung dengan nada ketus gadis 

itu. 

“Apa perlunya kau mencariku?” “Ngobrol.” 

“Hhh...!” Intan mendesah panjang. 

Jawaban yang diberikan Indranata begitu mudah 

dan terdengar hanya alasan yang dibuat-buat saja. 

Intan tahu betul itu. Apalagi sejak kedatangannya di 

Puncak Gunung Rangkas ini, Indranata selalu mencari 

perhatian. Bahkan sikapnya sangat berlebihan. Hal-

hal kecil pun juga diperhatikan. Intan tahu, kalau 

Indranata jatuh cinta padanya. Hanya saja pemuda itu 

tidak punya keberanian untuk mengucapkannya. Dan


Intan sendiri tidak pernah memberi peluang terhadap 

pemuda itu. 

“Dari pagi tadi aku mencarimu, Intan. Kau tidak 

latihan hari ini. Eyang Guru juga menanyakanmu. Aku 

tidak tahu kalau kau ada di sini,” kata Indranata lagi. 

“Katakan saja pada Eyang, bahwa aku ingin 

istirahat dalam beberapa hari,” masih ketus nada 

suara Intan. 

“Ada apa dengan dirimu, Intan. Kau kelihatan 

tidak....” 

“Sudahlah, Indranata. Ini bukan urusanmu. 

Biarkan aku sendiri di sini. Saat ini aku butuh 

ketenangan. Aku tidak suka berdebat denganmu. 

Mengertilah sedikit, Indranata,” kata Intan setengah 

memohon. Hilang keketusannya. 

Indranata memandangi wajah gadis itu lekat-lekat. 

Keningnya sedikit berkerut. Tidak pernah di-lihatnya 

Intan begitu murung, sampai betah duduk sendirian 

satu hari penuh. Intan memang selalu ber-wajah mu-

rung, sejak datang ke pondok di Puncak Gunung 

Rangkas ini. Tapi tidak separah ini! Kedatangannya 

waktu itu pun dalam keadaan tubuh tidak begitu 

sehat. Satu pekan penuh Eyang Watu-agung 

merawatnya. Dan baru tiga purnama ini Intan mulai 

berlatih ilmu olah kanuragan langsung di bawah 

bimbingan Eyang Watuagung. 

“Kau masih di situ, Indranata?” nada suara Intan 

setengah mengusir. 

“Intan! Kau boleh susah dengan dirimu sendiri. 

Kau boleh punya persoalan apa saja. Aku tahu, kau 

membenci seseorang yang mungkin telah melukai 

hatimu. Tapi jangan limpahkan kebencian itu kepada


ku,” ungkap Indranata mengeluarkan segala ke-

kesalan yang selama ini ditahan. 

Intan memang tidak pernah bersikap ramah 

terhadap Indranata. Kata-katanya selalu bernada 

ketus. Bahkan mereka jarang bicara kalau tidak 

sedang berlatih. Indranata sadar betul kalau Intan 

tidak menyukainya, bahkan mungkin membencinya. 

Tapi Indranata tidak ambil peduli. Malahan dia selalu 

bersikap manis, seolah-olah tidak tahu. Bahkan 

segala keperluan gadis itu dipenuhi hanya untuk men-

dapatkan sebuah senyuman. 

Tapi Intan tidak pernah memberi senyuman manis 

yang tulus. Senyumannya selalu dipaksakan dan pahit 

dirasakan. Terhadap sikap Intan yang demikian itu, 

bagi Indranata mulanya memang menyebalkan. Tapi 

setelah tahu siapa Intan Delima sebenarnya, sikapnya 

pun berubah. Dia tidak peduli lagi dengan sikap gadis 

itu yang tidak bersahabat. Bahkan sulit untuk 

menolak timbulnya perasaan simpati yang 

berkembang menjadi perasaan cinta, meskipun 

belum pernah diungkapkan secara terus terang. 

“Kau seorang gadis cantik, anggun, dan suci di 

mataku, Intan. Seharusnya semua itu tidak kau rusak 

dengan sikapmu yang kekanak-kanakan. Bagiku 

bukan persoalan jika kau membenciku selamanya. 

Tapi cobalah berpikir secara dewasa. Kau tidak hidup 

sendirian di sini. Tidak mungkin kau dapat menye-

lesaikan segala persoalan seorang diri. Kau mem-

butuhkan seorang teman yang dapat diajak bertukar 

pikiran, yang bisa mengerti dirimu, dan bisa me-

numbuhkan kembali semangat dalam dirimu,” 

ungkap Indranata lagi.


Intan masih diam membisu. Begitu pula dengan 

Indranata. Dirasakan semua yang dikatakannya 

hanya terbawa angin saja. Pemuda itu menggeleng-

gelengkan kepala menghadapi kekerasan hati gadis 

itu. 

“Sudah selesai khotbahmu?” masih bernada sinis 

suara Intan. 

“Edan! Hampir berbusa mulutku, masih kau 

anggap angin lalu saja!” dengus Indranata kesal. 

Indranata langsung bangkit berdiri dan me-langkah 

pergi. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, dia 

kembali berhenti dan berbalik. Intan masih tetap 

duduk memandang ke dalam sungai. 

“Eyang berpesan agar kau menemuinya malam 

nanti di bilik semadi!” kata Indranata lantang. 

Sama sekali Intan tidak menyahut. Indranata 

kembali berbalik dan melangkah pergi. Intan tetap 

duduk di atas batu di tepi sungai itu hingga matahari 

benar-benar tenggelam di ufuk Barat. Dia baru beran-

jak meninggalkan tempat itu setelah keadaan 

menjadi gelap. Wajahnya tetap murung, dan ayunan 

kakinya sedikit gontai. Beberapa kali terdengar 

tarikan napasnya yang panjang dan berat. 

*** 

Agak ragu-ragu juga Intan membuka pintu bilik 

semadi. Sore tadi Indranata mengatakan kalau dia 

dipanggil Eyang Watuagung di bilik semadi. Dan saat 

pulang tadi, Eyang Watuagung juga mengatakan hal 

yang sama. Tidak biasanya Eyang Watuagung me-

manggilnya ke dalam bilik semadi.


Intan sempat terkejut begitu pintu bilik terbuka. 

Tampak Indranata telah duduk bersila di depan Eyang 

Watuagung yang mengenakan baju jubah putih de-

ngan ikat kepala juga berwarna putih bersih. Intan 

mengayunkan kakinya melangkah masuk, kemudian 

duduk di samping Indranata tanpa sedikit pun 

menoleh pada pemuda itu. 

“Lama sekali kau baru datang, Intan,” tegur Eyangl 

Watuagung. 

“Maaf, Eyang. Aku...,” Intan tidak melanjutkan! 

kata-katanya, hanya ditundukkan kepalanya dalam-

dalam. 

“Aku sengaja memanggil kalian ke bilik semadiku 

ini, karena ada sesuatu yang hendak kukatakan pada 

kalian berdua,” kata Eyang Watuagung langsung. 

Intan dan Indranata hanya diam dengan kepala 

setengah tertunduk. Sementara Eyang Watuagung 

merayapi wajah yang tertunduk itu dalam-dalam. 

“Besok, pagi-pagi sekali aku akan pergi. Dan....” 

“Eyang...!” Intan tersentak, langsung mengangkat 

kepalanya. 

“Dengarkan dulu, Intan. Aku belum selesai bicara.” 

Intan Delima kembali terdiam. 

“Kalian tidak perlu cemas. Aku pergi karena ada 

sesuatu yang harus kuselesaikan. Keperluanku 

sangat penting dan mendesak sekali. Memang berat 

untuk meninggalkan kalian yang belum menyelesai-

kan seluruh pelajaran. Tapi apa boleh buat, itu harus 

kulakukan,” kata Eyang Watuagung. 

“Eyang, apa yang membuatmu harus pergi dengan 

tiba-tiba?” tanya Intan. 

“Aku mendapat kabar bahwa adikku telah kembali. 

Aku harus menemuinya.” sahut Eyang Watuagung.


Intan Delima langsung terlonjak. Dia ingin 

mengatakan sesuatu, tapi telah lebih dulu dicegah. 

Gadis itu hanya bisa diam dengan dada bergemuruh. 

Dia tahu, Siapa orang yang dimaksud Eyang 

Watuagung. Dan Intan juga sudah bisa menebak apa 

yang bakal terjadi. Hanya satu yang dikhawatirkan 

Intan. Saat ini Eyang Watuagung masih menderita 

luka dalam akibat pertarungannya dengan Pendekar 

Pulau Neraka. Meskipun Eyang Watuagung sudah 

berusaha menyembuhkannya, tapi Intan tahu kalau 

luka dalam itu belum seluruhnya hilang. Bahkan 

mungkin tidak akan hilang sampai ajal merenggutnya. 

Dan kini Eyang Watuagung akan menghadapi sesuatu 

yang sulit dibayangkan jadinya. 

“Satu pesanku lagi untuk kalian berdua,” lanjut 

Eyang Watuagung. “Seandainya aku tidak kembali 

dalam waktu tiga purnama, kalian berdua tidak usah 

mencariku. Aku lebih senang jika kalian menganggap-

ku sudah mati.” 

“Eyang...!” kembali Intan tersentak. 

Eyang Watuagung tersenyum lembut. Namun 

senyumnya seperti sangat dipaksakan. Tangannya 

yang sejak tadi berada di atas sebuah kotak kayu 

berukir berwarna hitam pekat, kini berusaha mem-

buka tutupnya. Dikeluarkannya dua buah pedang 

pendek berwarna hitam dengan gagang berbentuk 

kepala naga dan sebuah kitab bersampul hitam pula. 

“Pedang ini bernama Naga Hitam Kembar. Se-

dangkan kitab ini bernama Kitab Naga Kembar,” kata 

Eyang Watuagung seraya meletakkan benda-benda 

pusaka itu di atas tutup kotak kayu di depannya. 

Intan menyipitkan kedua matanya memandandj 

benda-benda pusaka itu. Benda-benda pusaka dan


keramat itu memang tidak pernah dikeluarkan Eyang 

Watuagung sebelumnya. Bahkan muridnya yang ter-

dahulu saja, yaitu ayah Intan Delima, belum pernah

melihat, meskipun telah mendengarnya. 

“Benda pusaka ini kuserahkan pada kalian ber-

dua! Selama aku pergi, pelajari dan kuasailah jurus-

jurus 'Naga Kembar'. Sudah kalian pelajari dasar-

dasarnya dan kitab ini akan menjadi penuntun kalian 

selama mempelajari jurus-jurus 'Naga Kembar',” kata 

Eyang Watuagung lagi. 

Laki-laki tua berjubah putih itu menyerahkan 

sebuah pedang yang berada di sebelah kanannya 

kepada Indranata. Dan sebuah pedang lagi diserah-

kan pada Intan Delima. Sementara Kitab Naga 

Kembar diserahkan pada Indranata yang menerirna 

dengan sikap penuh hormat. 

“Jika kalian sudah menguasai jurus-jurus 'Naga 

Kembar', musnahkanlah kitab itu. Dan jangan kalian 

lupa, pedang yang kalian miliki tidak dapat digunakan 

secara terpisah. Jadi, selama masih memegang 

pedang itu, kalian harus selalu bersatu. Mengapa 

demikian? Nanti akan kalian ketahui jika telah 

menguasai jurus-jurus 'Naga Kembar',” lanjut Eyang 

Watuagung. 

Intan melirik pemuda di sampingnya. Pada saat 

yang sama, Indranata pun melirik pada gadis itu. 

Intan buru-buru membuang mukanya. 

“Pergilah kalian beristirahat,” kata Eyang 

Watuagung lagi. 

Laki-laki tua berjubah putih itu memandang dua 

orang muda itu meninggalkan bilik semadi ini. 

Sebentar dia masih duduk bersila di atas altar semadi 

yang terbuat dari batu pipih berbentuk persegi.


Kemudian matanya mulai terpejam, sedangkan 

telapak tangannya menempel pada lutut. Eyang 

Watuagung mulai bersemadi untuk mengembalikan 

kembali kondisi tubuhnya. Sejak pertarungannya 

dengan Pendekar Pulau Neraka, dia sering ber-

semadi. 

“Ugh! Dada ini...!” keluhnya dalam hati. 

***


“Eyang...!” 

Intan Delima membuka pintu bilik semadi. Sejenak 

dia tertegun mendapati altar semadi telah kosong. 

Tidak ada lagi Eyang Watuagung di dalam bilik. 

Pelahan-lahan gadis itu melangkah masuk. Matanya 

beredar merayapi seluruh sudut bilik yang berukuran 

tidak begitu luas ini. 

Matahari belum lagi terbit, tapi Eyang Watuagung 

sudah pergi. 

“Eyang...,” lirih suara Intan. 

Intan duduk di atas akar semadi. Diangkat 

kepalanya ketika mendengar langkah kaki memasuki 

bilik. Tatapan matanya kosong ke arah Indranata yang 

be diri di ambang pintu bilik. Pemuda itu juga me-

mandang lurus pada Intan dengan sinar mata kosong. 

Sesaat mereka hanya saling pandang saja. 

“Belum pernah Eyang pergi dengan meninggalkan 

banyak pesan,” kata Intan lirih, memecahkan ke-

bisuan. 

“Eyang pasti kembali dalam waktu tiga purnama, 

kata Indranata mencoba membesarkan hati gadis itu. 

“Hhh! Kau hanya menghibur saja, Indranata, Intan 

tersenyum sinis. 

“Ya, kau memang perlu dihibur. Aku yakin kala 

hatimu yang kosong pasti membutuhkan seseorang 

untuk menghibur dan mengisinya kembali,” sahut 

Indranata datar.


Intan Delima bangkit berdiri, kemudian bergegas 

melangkah keluar dari bilik semadi itu. Indranata 

menyusul dan menggamit pergelangan tangan gadis 

itu. Intan berusaha menyentakkannya, tapi cekalan 

Indranata begitu kuat. Gadis itu berbalik dan menatap 

tajam pada pemuda itu, maka Indranata pun 

melepaskan cekalannya. 

“Kau benar-benar kepala batu, Intan!” dengus 

Indranata gusar. “Apa kau lupa dengan pesan-pesan 

Eyang Watuagung semalam? Kau boleh membenciku 

tanpa alasan, tapi jangan abaikan amanat Eyang 

Watuagung!” 

Intan diam membisu. Dalam hati diakui kalau kata-

kata Indranata benar. Lagi pula sungguh tak ber-

alasan jika harus membenci pemuda itu. Indranata 

tidak pernah berbuat salah sedikit pun terhadap diri-

nya. Bahkan belum pernah dia melukai hatinya, apa-

lagi menyakitinya. Mengapa harus membenci pemuda 

itu? 

Kata-kata Indranata kemarin sore kembali 

terngiang-ngiang di telinga gadis itu. Sangat jelas, dan 

tidak bisa dibantah sedikit pun. Dia memang tidak 

punya alasan sama sekali. Tapi yang jelas, dia 

membenci Indranata hanya karena meluapkan 

kekesalan dan kekecewaan hati terhadap Bayu. 

Sedangkan Indranata hanya jadi korban dari 

perasaan hatinya. Perasaan kekanak-kanakannya. 

Intan mendesah pelan. Terseliplah rasa sesal dan 

malu pada pemuda itu. Memang tidak seharusnya 

membenci Indranata yang telah begitu baik dan selalu 

memperhatikannya. 

“Aku sudah membacanya semalam. Sekarang, 

giliranmu untuk membaca dan memahami isinya!”


kata Indranata seraya menyerahkan Kitab Naga 

Kembar. 

Intan memandangi sesaat kitab berwarna hitam 

pekat itu, kemudian menerimanya dengan tangan 

bergetar. Indranata langsung berbalik dan melangkah 

ke tengah-tengah halaman depan pondok. Intan 

memandangi pemuda itu. Hatinya diliputi berbagai 

macam perasaan yang tak terungkapkan. 

“Kakang...,” pelan dan agak bergetar suara Intan 

memanggil. 

Indranata menghentikan langkahnya. Pelahan-

lahan dia berbalik menghadap pada gadis itu. Tampak 

bibir Intan Delima bergetar, seolah-olah ingin 

mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara sedikit pun 

meluncur dari bibirnya yang bergetar. 

“Ada apa?” tanya Indranata tanpa gairah. 

“Maafkan aku,” ucap Intan pelan. Begitu pelannya 

sehingga hampir tidak terdengar suaranya. 

“Ah, sudahlah! Tidak ada yang perlu dimaafkan,” 

kata Indranata. 

“Katakanlah, Kakang. Maukah kau memaafkan 

aku?” desak Intan. 

“Kau sudah memanggilku Kakang. Dan itu sudah 

cukup menyenangkan hatiku, Intan,” kata Indranata. 

“Oh! Terima kasih, Kakang.” 

Indranata tersenyum. Intan melangkah meng-

hampiri dan mengajak pemuda itu duduk di tangga 

beranda pondok. Indranata tidak menolak. Mereka 

kini duduk berdampingan tanpa ada kata-kata yang 

terucap untuk beberapa saat lamanya. Pandangan 

mereka lurus ke depan. 

“Kau membenciku, Kakang?” tanya Intan pelan.


“Tidak ada alasan untuk membencimu,” jawab 

Indranata juga pelan. 

“Aku selalu membencimu, tapi kau tidak pernah 

membenciku. Ah, kau baik sekali...,” suara Intan 

tengah mendesah. 

Indranata memandang wajah gadis di sampingnya. 

Sedangkan Intan tetap memandang lurus ke depan. 

Sinar matanya begitu kosong, tidak bermakna sedikit 

pun. 

“Intan! Mengapa kau membenciku selama ini?” 

tanya Indranata ragu-ragu. 

“Seperti yang pernah kau katakan sore kemarin. 

Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku membencimu. 

Yah..., mungkin kau benar, Kakang. Aku hanya me-

lampiaskan perasaanku saja,” sahut Intan. 

“Aku sebenarnya sedikit tahu tentang dirimu dari 

Eyang Guru Watuagung. Tapi aku tidak tahu, 

persoalan yang kau hadapi hingga kau lampiaskan 

padaku,” kata Indranata mulai mengorek. 

“Aku malu mengatakannya, Kakang,” sahut Intan 

polos. 

“Kenapa harus malu? Katakan saja, mungkin aku 

dapat membantu meringankan bebanmu.” 

Intan menarik napas panjang-panjang dan meng-

hembuskannya kuat-kuat. Berat rasanya untuk men-

ceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya. Tapi 

akhirnya diceritakannya juga. Dan tentu saja dengan 

menutupi hubungan intimnya bersama Pendekar Pu-

lau Neraka. Dia memang lupa daratan, sehingga 

menyerahkan mahkota satu-satunya yang paling ber-

harga bagi dirinya! Sesuatu yang tidak mungkin di-

dapatkannya kembali!


*** 

Hari-hari kini dilalui dua anak manusia yang masih 

muda itu dengan berlatih tekun mengikuti petunjuk 

yang tertulis dalam Kitab Naga Kembar. Saat-saat 

luang dihabiskan untuk mengenal diri masing-masing. 

Kini mereka mulai saling terbuka dalam beberapa hal. 

Hanya saja masih ada sesuatu yang masih disem-

bunyikan Intan Delima. 

“Kakang, kau belum menceritakan awal per-

temuanmu dengan Eyang Watuagung,” kata Intan di 

saat mereka tengah beristirahat setelah berlatih 

keras. 

“Oh, ya...?” 

“Iya.” 

“Baiklah,” desah Indranata. 

Intan diam menunggu sabar. 

“Aku bertemu Eyang Watuagung ketika berusia 

lima belas tahun. Waktu itu, keadaan desaku tengah 

dilanda kekacauan. Seorang tokoh rimba persilatan 

datang lalu membuat onar. Ilmunya sangat tinggi, dan 

tidak ada yang dapat menandingi...,” Indranata mulai 

bercerita tentang hidupnya. 

“Lalu?” Intan mulai tidak sabaran. 

“Tokoh digdaya itu sebenarnya hanya mencari 

kepala desa. Sedangkan kami semua sangat men-

cintai kepala desa karena selalu membela ke-

pentingan orang banyak. Beliau selalu bertindak adil, 

tidak memandang golongan. Baik kaya atau pun 

miskin, sama saja di matanya.” 

“Lalu?” 

“Kami semua tak rela jika orang gila itu mem-

bunuh beliau. Tapi akhirnya, kekhawatiran kami men


jadi kenyataan. Malam itu terjadi kegemparan di 

rumah kepala desa. Benar saja. Orang gila itu telah 

membunuh kepala desa, dan orang-orang yang 

mencoba menghalanginya. Tidak sedikit pendekar 

yang tewas. Bahkan para penduduk pun menjadi 

korban, termasuk ayahku,” semakin pelan suara 

Indranata. 

“Lalu, di mana kau bertemu dengan Eyang?” tanya 

Intan. 

“Kematian Ayah membuatku kehilangan kendali. 

Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu meninggal ketika 

aku masih berusia tiga tahun. Kemudian kuputuskan 

untuk pergi mengembara. Tapi belum berapa jauh 

meninggalkan tanah kelahiran, malapetaka kembali 

menimpa. Sekelompok orang telah merampok semua 

harta yang kumiliki. Tidak berhenti sampai di situ, aku 

pun dianiaya hingga hampir mati. Untungnya, Eyang 

Watuagung cepat datang menolong dan membawaku 

ke sini. Sejak itulah aku tinggal di sini, menuntut ilmu 

dari Eyang Watuagung.” 

“Malang sekali nasibmu, Kakang,” ucap Intan lirih. 

“Kemalangan bukan untuk disesali, Intan. Tapi 

untuk direnungi dan diambil hikmahnya. Semua yang 

telah terjadi terhadap diriku merupakan suatu 

pelajaran yang sangat berharga.” 

“Kau meniru kata-kata Eyang, Kakang.” 

“Semua yang dikatakan Eyang, tidak pernah 

kulupakan. Kata-katanya merupakan api semangat 

yang selalu menyulut pelita kehidupanku, Intan. Di 

sini kutemukan kembali arti kehidupan, semangat 

dan masa depanku. Aku sangat berhutang budi pada 

Eyang Watuagung. Hutang yang tidak mungkin dapat 

terbalaskan sepanjang sisa hidupku.”


“Kau merasa berhutang budi pada Eyang 

Watuagung, tapi kenapa kau tidak bersamanya pada 

saat Eyang menghadapi bahaya?” 

“Eyang sudah mengatakan yang benar, Intan. Dan 

itu harus kupatuhi. Aku yakin Eyang bisa meng-atasi 

persoalannya tanpa harus ada campur tangan-ku. Aku 

sangat menghormatinya, dan tidak mungkin 

melanggar perintahnya.” 

“Kau murid yang setia dan taat, Kakang. Tidak 

heran kalau Eyang begitu menyayangimu. Bahkan aku 

sempat iri melihat kasih sayangnya padamu.” 

“Ah! Kau hanya membesarkan hatiku saja, Intan. 

“Aku mengatakan yang sebenarnya, Kakang. 

Semua ilmu yang kau miliki tidak seluruhnya kumiliki 

juga.” 

“Intan, hal itu jangan kau jadikan rasa dengki! Aku 

yakin, Eyang Watuagung mempunyai per-timbangan 

lain, mengapa beberapa ilmu tidak diturunkan 

kepadamu. Dan juga harus kau ingat, beberapa ilmu 

yang kau miliki belum tentu dapat kumiliki! Tapi hal 

itu tidak membuatku berkecil hati. Karena aku 

melihat beberapa ilmu yang tidak kau kuasai, 

memiliki keistimewaan tersendiri. Begitu pula 

sebaliknya. Bahkan bila digabungkan dengan kerja-

sama yang baik, akan menghasilkan ilmu yang 

dahsyat.” 

“He! Dari mana kau tahu?” Intan terkejut. 

“Kau sudah baca semua yang tertuang di dalam 

Kitab Naga Kembar?” Indranata balik bertanya. 

Intan tidak langsung menjawab. Memang kitab itu 

belum dibaca seluruhnya. Malahan sebagian yang 

dibaca belum dapat dipahami betul. Terlalu sulit 

untuk mencernanya seorang diri.


“Kau melalaikan amanat Eyang Watuagung, Intan,” 

nada suara Indranata seperti menyesalkan. 

“Maaf, Kakang. Aku tidak bisa terlalu cepat 

memahami. Terlalu sulit bagiku,” Intan mengakui 

terus terang. 

“Ah, sudahlah! Ayo kita berlatih lagi. Malam nanti 

aku akan membantumu memahami isi Kitab Naga 

Kembar. Ingat, Intan. Waktu yang diberikan hanya tiga 

purnama. Waktu yang tidak panjang.” 

Baru saja Intan akan mengatakan sesuatu, tiba-

tiba.... 

“Awas...!” seru Intan Delima. 

*** 

Sebatang anak panah tiba-tiba melesat cepat ke 

arah Indranata. Seketika itu juga Intan menggenjot 

tubuhnya dan menangkap anak panah berwarna hijau 

itu. Tapi, belum juga berhasil menjejak tanah, dua ba-

tang tombak melesat cepat bagai kilat ke arah Intan. 

“Hiyaaa...!” 

Indranata melompat cepat sambil menggerakkan 

kedua tangannya. 

Trak! Trak! 

Tombak itu langsung patah kena sampokan keras 

bertenaga dalam. Indranata menjejakkan kakinya 

tepat di samping Intan Delima. Tangannya merebut 

anak panah di genggaman gadis itu. Wajah Indranata 

langsung memerah ketika melihat goresan kilat pada 

batang panah hijau itu. 

“Keparat...!” geram Indranata. 

“Ada apa, Kakang?” tanya Intan. 

“Hhh! Rupanya dia masih mencariku!” sahut 

Indranata mendesis.


“Ha ha ha...!” 

Intan dan Indranata agak terperanjat begitu men-

dengar suara tawa menggelegar bagai hendak meng-

hancurkan alam ini. Suara tawa itu demikian keras 

memekakkan telinga. Intan dan Indranata segera me-

ngerahkan hawa murni dan menutup pendengaran-

nya. Suara tawa itu jelas disalurkan dengan penge-

rahan tenaga dalam cukup tinggi. 

Indranata menggerak-gerakkan kedua tangannya 

turun naik di depan dada dengan cepat. Kedua 

kakinya dipentang lebar setengah tertekuk. 

Kemudian, sambil berteriak keras, tangannya 

terangkat tinggi-tinggi di utas kepala. 

“Hiyaaa...!” 

Suara tawa itu langsung terhenti, bersamaan 

dengan terdengarnya ledakan dahsyat, setelah 

tangan Indranata menghentak ke depan. Sebongkah 

batu besar di balik pepohonan, hancur seketika 

terhantam pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup 

tinggi. Dari bongkahan batu dan kepulan debu, 

nampak berkelebat satu bayangan hijau. 

Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, 

tahu-tahu sudah berdiri di depan Indranata dan Intan 

Delima. Seluruh pakaiannya berwarna hijau. Di 

pinggangnya tergantung sekantung anak panah. Tapi 

anehnya tidak membawa busur! Laki-laki aneh itu 

menatap tajam pada Indranata. Sedangkan Intan 

Delima memperhatikan tanpa berkedip. 

“Siapa dia, Kakang?” tanya Intan tanpa menoleh 

“Setan Panah Hijau...,” sahut Indranata. 

Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dan 

berjuluk Setan Panah Hijau sebenarnya adalah bekas 

penjahat yang telah merampok Indranata dulu. Suatu



saat, Indranata berhasil mempermalukannya di depan 

anak buahnya, setelah dia cukup mendapat ilmu dari 

Eyang Watuagung. Oleh karena diliputi rasa dendam, 

Setan Panah Hijau pun mencari Indranata sampai di 

maha pun. 

“He he he.... Kau masih mengenaliku, Indranata?” 

si Setan Panah Hijau terkekeh. Suaranya terdengar 

kering dan serak. 

“Sampai kapan pun aku tidak lupa!” sahut 

Indranata dingin. 

“Bagus! Itu berarti kau sudah siap ke neraka!” 

Setelah berkata demikian, Setan Panah Hijau 

langsung melompat menerjang. Dua pukulan keras 

beruntun dilayangkan ke tubuh Indranata. Namun 

dengan manis, pemuda itu mengelakkannya. 

Sementara Intan Delima menyingkir beberapa tombak 

jauhnya. 

“Bagus! Tidak sia-sia kau berguru, Bocah!” sindir 

Setan Panah Hijau. “Hup! Hiyaaa...!” 

“Hih!” 

Indranata melompat mundur ketika Setan Panah, 

Hijau mencabut dua batang anak panah, dan 

langsung dilontarkan ke arah pemuda itu. Indranata 

meliuk-liukkan tubuhnya menghindari terjangan dua 

anak panah yang berwarna hijau itu. 

Melihat dua senjatanya luput dari sasaran, Setan 

Panah Hijau kembali melontarkan panah-panahnya 

dengan cepat dan beruntun. Namun Indranata bukan-

lah pemuda kosong. Dengan manis dihindarinya 

serbuan anak panah hijau itu. Tentu saja hal ini mem-

buat Setan Panah Hijau jadi berang. Sampai panah-

nya habis, tidak satu pun yang berhasil menemui 

sasaran.


“Awas kepala...!” teriak Indranata tiba-tiba. 

Seketika itu juga Indranata melentingkan tubuhnya 

ke atas, dan meluruk cepat menyambar kepala Setan 

Panah Hijau. 

“Uts!” 

Setan Panah Hijau merunduk. Tapi tanpa diduga 

sama sekali, kaki Indranata menyepak keras 

punggungnya. Setan Panah Hijau mengumpat, 

merasakan nyeri pada tulang punggungnya. Buru-buru 

dia berbalik. Tapi, tangan Indranata lebih cepat lagi 

menggedor keras disertai pengerahan tenaga dalam 

penuh ke arah dada. 

“Akh...!” Setan Panah Hijau memekik keras. 

Pada saat tubuh Setan Panah Hijau terjajar ke 

belakang, Indranata melompat cepat sambil men-

cabut pedangnya. 

Sret! 

“Hiyaaa...!” 

“Aaa...!” 

Pedang di tangan Indranata lantas saja menusuk 

dada Setan Panah Hijau hingga hampir tembus ke 

punggungnya! Darah muncrat keluar dari dada yang 

menganga tertembus pedang itu. Hanya sekali 

tendangan saja, tubuh si Setan Panah Hijau meng-

gelepar di tanah. Indranata pun segera menyarung-

kan kembali pedangnya di pinggang. Matanya tajam 

menatap Setan Panah Hijau yang menggelepar 

bersimbah darah. Dan akhirnya, mati. 

*** 

Waktu terus berjalan dengan pasti. Hari berganti 

hari, sejalan dengan peredaran matahari. Dua anak 

manusia di Puncak Gunung Rangkas semakin terlihat


akrab. Ke mana-mana selalu berdua. Mereka sudah 

mengenal diri masing-masing, meskipun masih di-

sadari kalau tidak semuanya dapat diungkapkan 

secara langsung. Jelas masih ada sesuatu yang harus 

dirahasiakan. 

Namun masing-masing tidak ingin menuntut untuk 

harus terbuka dalam berbagai hal. 

Mereka terus mendalami jurus-jurus 'Naga 

Kembar'. Semakin dikuasai, mereka semakin yakin 

kalau, jurus-jurus simpanan Eyang Watuagung 

memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Lebih-lebih 

setelah Pedang Naga Kembar digunakan. Hasilnya, 

jurus-jurus merekai semakin dahsyat. Jadi, yang 

dikatakan Eyang Watuagung memang benar. Jurus-

jurus yang mereka pelajari selama ini adalah dasar 

dari jurus 'Naga Kembar. Dan mereka kini semakin 

merasakan adanya suatu keterikatan yang sulit 

dipisahkan satu sama lain. 

Siang itu, udara di Puncak Gunung Rangkas panas 

luar biasa. Langit tampak mendung tersaput awan 

hitam, tapi udaranya begitu menyengat. Intan keluar 

dari dalam pondok, mencoba mencari angin. Rasanya 

seperti berada di dalam tungku saja jika terus-

menerus di dalam pondok. Langkah kakinya terayun 

menghampiri Indranata yang tengah duduk bersandar 

di bawal sebuah pohon yang cukup besar dan 

rindang. Pemuda itu begitu tekun membaca sebuah 

buku. 

“Buku apa yang kau baca?” tanya Intan setelah 

dekat jaraknya dengan Indranata. 

“Sastra. Mau baca?” Indranata mengangkat 

kepalanya sedikit.


“Males, ah! Aku tidak suka baca sastra,” sahut 

Intan seraya menempatkan dirinya di depan pemuda 

itu, 

“Sastra itu penting untuk pedoman hidup, Intan.” 

“Ah! Lagakmu seperti seorang pujangga saja,” 

rungut Intan mencibir. 

“Tapi aku tidak ingin jadi pujangga. Yang kuingin-

kan hanyalah menjadi resi. Aku ingin seperti Eyang 

Watuagung.” 

“Aneh...,” gumam Intan pelan. 

“Apanya yang aneh?” 

“Keinginanmu itu.” 

Indranata hanya tersenyum saja. Memang bagi 

kebanyakan orang, keinginan menjadi resi masih 

dianggap sesuatu yang aneh. Sedikit sekali orang 

yang berkeinginan menjadi resi atau pertapa, yang 

selalu menyepi meninggalkan segala nafsu duniawi. 

Lebih-lebih dalam usia muda seperti Indranata ini. 

Kalaupun ada pemuda yang masuk ke kuil atau 

pertapaan, pada akhirnya bukan untuk menjadi resi. 

Mereka hanya sekedar menuntut ilmu. Dan biasanya, 

mereka akan keluar begitu selesai menamatkan 

pelajarannya. 

Indranata dan Intan mengangkat kepala hampir 

berbarengan ketika muncul seseorang menghampiri. 

Mereka lantas bangkit berdiri dan menunggu. Orang 

itu semakin dekat dan membungkukkan badannya 

begitu sampai di depan dua orang muda itu. Intan 

memandang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh 

tahun itu. Tatapan matanya sedikit tajam dan penuh 

selidik. 

“Maaf. Apakah Eyang Watuagung ada?” tanya laki-

laki tua itu penuh rasa hormat.


“Bapak siapa?” tanya Intan. 

“Aku datang dari Desa Sirna Galih. Namaku Ki 

Adong,” laki-laki tua itu memperkenalkan diri. 

“Apa keperluan Ki Adong mencari Eyang 

Watuagung?” tanya Indranata. 

“Kami memang sangat memerlukannya, Kisanak,” 

jawab Ki Adong. 

“Sayang sekali, Eyang Watuagung sedang pergi. 

Kira-kira sudah tiga pekan ini,” jelas Intan. 

“Oh...,” Ki Adong mengeluh lesu. 

Intan memandangi wajah laki-laki tua itu. Wajah 

yang semula penuh harap, kini berubah lesu tanpa se-

mangat. Gadis itu menatap pada Indranata yang juga 

sedang memandang ke arahnya. Sesaat mereka 

saling melempar pandang. Kemudian sama-sama 

mengalihkan pandangan kembali ke arah laki-laki tua 

di depan mereka. 

“Ada yang bisa kami bantu, Ki?” lembut suara 

Intan. 

“Aku tidak tahu pasti, apakah kalian mampu. Kami 

semua mengharapkan kehadiran Eyang Watuagung. 

Tolong tunjukkan, di mana beliau berada?” 

“Eyang Watuagung tidak mengatakan hendak pergi 

ke mana. Tapi kalau Ki Adong percaya, kami bisa 

mewakilinya. Kami adalah murid Eyang Watuagung,” 

kata Indranata tetap lembut dan ramah. 

Ki Adong menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Sedangkan Intan dan Indranata kembali saling lempar 

pandangan. Sesaat tidak ada yang bicara. Masing-

masing sibuk dengan pikirannya. Namun wajah laki-

laki tua yang berpakaian lusuh dan kotor berdebu itu 

semakin kelihatan lesu tanpa gairah.


“Sudah kuduga sejak semula. Seharusnya aku 

memang tidak perlu jauh-jauh datang ke sini. Eyang 

Watuagung banyak yang membutuhkan, dan tidak 

mungkin beliau berada di dua tempat dalam waktu 

yang singkat,” kata Ki Adong pelan setengah ber-

gumam. Dia seperti bicara pada dirinya sendiri. 

“Boleh kami tahu, persoalan apa yang sedang 

Anda hadapi?” tanya Indranata tetap ramah. 

“Hanya Eyang Watuagung yang bisa menyelesai-

kannya. Maaf, sebaiknya aku segera kembali sebelum 

keadaan semakin bertambah buruk,” ujar Ki Adong 

segera berbalik. 

“Tunggu...!” cegah Indranata. 

Tapi Ki Adong terus saja melangkah. Indranata 

akan mengejar, namun Intan sudah keburu mencekal 

tangannya. Laki-laki tua berusia cukup lanjut itu terus 

melangkah lesu. Wajahnya tertunduk seperti kehilang-

an semangat. 

“Kelihatannya ia benar-benar membutuhkan per-

tolongan Eyang Watuagung,” kata Indranata. 

“Kelihatannya memang begitu,” gumam Intan. 

“Kau tahu, di mana letak Desa Sirna Galih?” tanya 

Indranata. 

“Untuk apa?” 

“Aku yakin, pasti ada sesuatu yang sedang terjadi 

di sana.” 

“Kalau iya, kau mau apa?” 

“Ki Adong datang atas nama warga desa itu, dan 

tampaknya sangat mengharapkan sekali kehadiran 

Eyang Watuagung. Rasanya tidak mungkin jika tidak 

terjadi apa-apa.”


“Mengapa harus ikut campur? Dia sendiri tidak 

memandang sedikit pun pada kita. Nada suaranya 

meremehkan sekali.” 

“Intan, jangan bersikap begitu. Aku tahu, dia tidak 

bermaksud meremehkan. Dia hanya memerlukan 

Eyang Watuagung, lalu kecewa karena yang diharap-

kan tidak ada. Mungkin rasa kecewanya membuatnya 

jadi bersikap begitu.” 

Intan hanya mengangkat bahunya saja. 

“Kau tahu letak Desa Sirna Galih?” tanya Indra-

nata lagi. 

“Tidak jauh dari Kadipaten Jati Anom. Desa itu 

memang masih termasuk wilayah Kadipaten Jati 

Anom,” sahut Intan acuh. 

“Hanya satu hari perjalanan dengan kuda. Tidak 

terlalu jauh,” gumam Indranata. 

“Mau apa sih?” 

“Aku akan ke sana! Mungkin ada yang dapat 

kulakukan di sana.” 

“Edan! Kita belum sempurna menguasai ilmu 'Na-

ga Kembar', bagaimana mungkin dapat meninggalkan 

tempat ini, Kakang? Sedangkan Eyang berpesan agar 

jangan pergi sebelum batas waktu tiga purnama. 

Pokoknya, Eyang tidak mengijinkan kita pergi sebelum 

menguasai penuh jurus-jurus 'Naga Kembar', meski-

pun sampai tahunan!” 

“Eyang Watuagung selalu meninggalkan ke-

pentingan pribadi jika ada orang yang datang 

meminta bantuannya. Aku yakin, Eyang tidak akan 

marah,”' bantah Indranata. 

“Terserah kaulah...,” Intan menyerah. 

Kata-kata Indranata memang benar. Intan pun 

menyerah tanpa mampu mendebat lagi. Dia memang


tidak pernah menang jika berdebat dengan Indranata. 

Apalagi kalau berkaitan dengan ucapan, tingkah laku, 

serta kebiasaan-kebiasaan Eyang Watuagung. Intan 

memang tidak begitu mengenal tentang diri Eyangnya 

itu yang diketahuinya, dirinya adalah cucu Eyang 

Watuagung. Sebelumnya belum pernah Intan tinggal 

begitu lama bersama Eyang Watuagung di tempat 

yang sepi dan menyendiri. Sedangkan Indranata, 

entah sudah berapa tahun hidup bersama laki-laki tua 

Itu. 

“Aku akan siapkan kuda. Hari ini juga kita berang-

kat,” kata Indranata. 

“Hey...!” Intan terkejut. 

“Kenapa? Kau akan melarang lagi?” 

“Ini sudah hampir sore. Kalau berangkat sekarang, 

bisa tengah malam baru tiba di sana.” 

“Baiklah. Besok pagi-pagi sekali kita harus berang-

kat,” kali ini Indranata yang mengalah, karena 

memang tidak tahu letak Desa Sirna Galih. 

“Lalu, bagaimana dengan Kitab Naga Kembar?” 

tanya Intan. 

“Simpan di tempat yang aman,” sahut Indranata. 

Lagi-lagi Intan hanya mengangkat bahunya saja. 

***

Kadipaten Jati Anom tampak sepi lengang. Kesunyian 

sangat terasa menyelimuti sekitarnya. Tidak terdengar 

lagi canda dan tawa ceria anak-anak bermain. Tidak 

juga terdengar gadis-gadis bersenda gurau di sungai. 

Bahkan ladang-ladang tampak sepi tanpa seorang 

pun yang menggarap. Kadipaten Jati Anom kini bagai-

kan sebuah kota mati tak berpenghuni. 

Sayup-sayup terdengar derap langkah kaki kuda 

dari arah Utara. Kemudian terlihat debu mengepul ke 

udara. Suara kaki kuda dipacu semakin jelas ter-

dengar mengusik kesunyian ini. Dari kepulan debu 

yang menggumpal, muncul seekor kuda yang berpacu 

cepat membawa seorang laki-laki tua berjubah putih. 

Kuda hitam pekat itu terus berlari memasuki jalan 

utama kadipaten ini. 

“Hiya! Yeaaah...!” 

Dari balik pintu dan jendela rumah di sepanjang 

jalan utama Kadipaten Jati Anom ini, bersembulan 

kepala-kepala manusia. Kuda yang berlari cepat bagai 

dikejar setan itu sempat menimbulkan perhatian para 

penduduk. Laki-laki tua berjubah putih yang tengah 

menunggang kuda itu menghentikan laju kudanya 

tepat di tengah-tengah jalan yang langsung menuju ke 

istana kadipaten. Sepasang bola matanya yang tajam 

mengamati keadaan sekitarnya. 

“Hm...,” gumamnya tidak jelas. 

Dari salah satu rumah, muncul seorang laki-laki 

bertubuh gemuk dengan kepala setengah botak. 

Sebentar laki-laki gemuk itu merayapi penunggang


kuda Itu, lalu berlari menghampiri. Penunggang kuda 

itu melompat turun, sedangkan laki-laki gemuk 

berkepala agak botak itu segera berlutut memeluk 

kaki yang tertutup jubah putih longgar. 

“Eyang...,” laki-laki gemuk berkepala setengah 

botak itu merintih lirih. 

“Bangunlah.” 

Laki-laki gemuk itu bangkit berdiri. Dari tiap rumah 

sekitar jalan itu bermunculan orang-orang, laki-laki, 

perempuan, tua, dan muda. Bahkan anak-anak pun 

ikut keluar dari dalam rumahnya masing-masing. 

Mereka langsung merubungi laki-laki tua berjubah 

putih yang kini berdiri tak jauh dari kuda hitam itu. 

Laki-laki berjubah putih yang ternyata adalah 

Eyang Watuagung itu merayapi para penduduk yang 

mendatanginya dengan wajah lesu tanpa gairah 

hidup. Mereka merubung dengan kepala tertunduk. 

Eyang Watuagung menarik napas panjang dan berat. 

Perhatiannya tertuju pada laki-laki gemuk berkepala 

setengah botak di depannya. Orang itu juga me-

nundukkan kepalanya dengan tangan di depan. 

“Waraketu! Bukankah seharusnya kau berada di 

Istana sampai pengganti Adipati Rakondah datang?” 

tanya Eyang Watuagung. 

“Benar, Eyang. Seharusnya aku memang berada di 

istana kadipaten. Tapi...,” laki-laki gemuk yang 

dipanggil Waraketu itu menghentikan kata-katanya. 

“Kenapa?” 

“Perubahan besar terjadi setelah Eyang pergi dari 

kadipaten ini.” 

“Maksudmu?” 

“Pendekar Pulau Neraka datang lagi bersama 

orang-orangnya. Mereka menguasai istana dan


membuat peraturan-peraturan yang sangat mem-

beratkan. Bahkan yang berani menentang langsung 

dihukum mati di tempat itu juga,” jelas Waraketu. 

“Benar, Eyang. Bahkan utusan kerajaan yang mem-

bawa pengganti adipati dibantai habis,” celetuk salah 

seorang yang berada di belakang Waraketu. 

“Mereka sangat kejam, Eyang!” celetuk salah 

seorang lagi. 

“Pendekar Pulau Neraka...,” desis Eyang Watu-

agung. 

Laki-laki tua berjubah putih itu mengangkat 

kepalanya ketika tiba-tiba terdengar suara hiruk-

pikuk. Para penduduk yang berkerumun, serentak 

berlarian sambil berteriak ketakutan. Tampak be-

berapa tubuh berpentalan ke udara dengan darah 

mengucur deras. Teriakan ketakutan ditingkahi jerit 

dan pekik kematian mewarnai keadaan di Kadipaten 

Jati Anom ini. Eyang Watuagung segera melompat 

begitu matanya melihat tiga orang bertampang kasar 

dan bengis mengamuk, memporak-porandakan 

kerumunan penduduk. 

Lesatan Eyang Watuagung begitu cepat, disertai 

kiriman sebuah tendangan keras pada salah seorang 

yang tengah mengamuk itu. Orang itu langsung ter-

pental, tidak menduga akan ada serangan begitu 

cepat dan tiba-tiba. Dua orang lagi serentak melesat 

mundur setelah melihat temannya tergeletak dengan 

kepala pecah. Bola mata mereka bersinar merah 

menyala melihat seorang laki-laki tua berjubah putih 

tahu-tahu sudah berdiri tegak dengan sikap me-

nantang. Sementara para penduduk langsung 

menyingkir, masuk ke rumahnya masing-masing. 

Mereka harus mengintip dari balik lubang pintu dan



jendela. Hanya beberapa saja yang masih berada di 

luar rumah, tapi tarjarak agak jauh. Mereka adalah 

bekas para prajurit dan pembesar kadipaten. 

“Setan! Berani kau membunuh teman kami, heh!” 

geram salah seorang. 

“Membunuh kalian bukan pekerjaan yang sulit,” 

dingin suara Eyang Watuagung. 

“Monyet! Kau harus bayar mahal nyawa temanku!” 

“Seharusnya kalian yang membayar nyawa mereka 

yang tidak berdosa.” 

“Kurang ajar! Kubunuh kau! Hiyaaa...!” 

Eyang Watuagung memiringkan tubuhnya ke kiri 

ketika salah seorang melompat sambil mengayunkan 

goloknya. Tebasan golok itu hanya lewat di depan 

dadanya. Dan pada saat itu, dengan kecepatan kilat, 

tangan kanan laki-laki berjubah putih itu menyodok 

lambung lawannya. 

“Hughk!” orang itu mengeluh pendek 

Tubuhnya terbungkuk. Dan belum sempat berbuat 

banyak, satu pukulan keras bertenaga dalam sangat 

tinggi menghajar mukanya. Raungan keras terdengar 

bersamaan dengan terpentalnya tubuh orang itu ke 

belakang. Eyang Watuagung membalikkan tubuhnya 

ketika seorang lawan lagi menyerang dari arah 

samping. Goloknya menyodok ke arah dada. 

Hanya sedikit Eyang Watuagung memiringkan 

tubuhnya, maka golok lawan terkempit di ketiak 

Seketika itu pula tangan kirinya mendarat telak di 

dada lawan. Orang itu terjungkal keras ke belakang. 

Eyang Watuagung melemparkan golok lawannya 

disertai pengerahan tenaga dalam. Golok itu 

meluncur deras lalu menancap di dada pemiliknya. 

“Aaa...!”


Eyang Watuagung langsung melompat ketika salah 

seorang yang wajahnya telah berlumuran darah 

mencoba bangkit. Kakinya segera menjejak dada 

orang itu seraya tangannya merampas goloknya, 

dilemparkan begitu saja. 

“Jawab pertanyaanku! Siapa yang menyuruhmu?” 

dingin suara Eyang Watuagung bertanya. 

Orang berwajah kasar dan berlumuran darah itu 

berusaha menggeliat, tapi kaki Eyang Watuagung kian 

kuat menekan dadanya. 

“Akh!” 

“Aku bisa membunuhmu semudah membalikkan 

telapak tangan! Jawab pertanyaanku, keparat!” 

bentak Eyang Watuagung. 

Orang itu masih belum menjawab. Sementara 

Waraketu dan beberapa orang lainnya sudah mulai 

bergerak mendekati. Mereka memandang dengan 

penuh rasa kebencian yang amat sangat pada orang 

yang tidak berdaya di bawah injakan kaki Eyang 

Watuagung. Paras wajahnya kelihatan pucat, dan 

tubuhnya menggeletar menggigil. Bibirnya bergerak-

gerak seolah-olah ingin mengatakan sesuatu. 

“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Eyang Wai 

agung lagi. 

“Pen.... Pendekar Pu....” 

“Jawab yang benar!” bentak Eyang Watuagu gusar. 

“Aduh!” 

“Kau akan semakin tersiksa kalau tidak mau 

mejawab!” ancam Eyang Watuagung. 

“Pendekar Pulau Neraka, Tuan. Dia yang menyuruh 

kami menguasai kota ini,” kata orang itu bergetar 

suaranya. 

“Kau jangan main-main, keparat!”


“Benar, Tuan. Aku tidak main-main.” 

“Hih!” 

Eyang Watuagung menendang tubuh orang itu 

hingga menggelinding ke kaki Waraketu. Saat itu juga, 

Waraketu mencabut goloknya yang terselip di 

pinggang, dan mengibaskan dengan cepat ke tubuh 

orang itu. 

“Aaa...!” 

*** 

Eyang Watuagung duduk bersila di ruangan depan 

rumah Waraketu. Di depannya juga bersila Waraketu 

dan beberapa orang bekas pembesar kadipaten. 

Mereka membicarakan keadaan kadipaten yang kini 

dikuasai seseorang yang mengaku Pendekar Pulau 

Neraka. Eyang Watuagung kelihatan masih belum 

percaya dengan kabar yang diterimanya. 

Dia memang tidak menyaksikan kematian kedua 

muridnya yang menjabat sebagai adipati di Kadipaten 

Jati Anom ini dan menjadi panglima kerajaan. Tapi 

dari kabar yang didengar, kedua muridnya itu tewas 

oleh Pendekar Pulau Neraka. Memang sulit untuk 

mempercayai berita yang diterimanya itu. Dan dia 

sengaja datang ke kadipaten ini untuk mengetahui 

secara jelas kebenaran berita itu. 

Tapi yang didapati di kadipaten Jati Anom, sungguh 

mencengangkan sekali. Sambutan yang diterima 

sangat luar biasa. Tiga orang yang tewas telah meng-

aku suruhan Pendekar Pulau Neraka untuk 

menguasai Kadipaten Jati Anom, lewat tindakan 

brutal dan kesadisan. Eyang Watuagung begitu yakin 

kalau Pendekar Pulau Neraka telah tewas di dalam 

jurang ketika bertarung dengannya. Sukar dipercaya


kalau pendekar itu ternyata masih hidup dan mampu 

membunuh dua orang muridnya. 

“Pendekar Pulau Neraka memang masih hidup, 

Eyang. Aku melihat sendiri, bagaimana dia bertarung 

dan membunuh Gusti Adipati dan Gusti Panglima di 

halaman depan Istana Kadipaten,” ungkap Waraketu 

memecah kebisuan yang terjadi. 

''Lantas, yang sekarang menguasai istana 

kadipaten itu benar-benar Pendekar Pulau Neraka?” 

tanya Eyang Watuagung. 

“Tidak tahu pasti, Eyang,” sahut Waraketu. 

“Hm...,” Eyang Watuagung mengerutkan kening-

nya. 

“Mereka memang selalu menyebut-nyebut nama 

Pendekar Pulau Neraka. Tapi sejak peristiwa di Istana 

Kadipaten waktu itu, kami semua tidak pernah lagi 

melihat Pendekar Pulau Neraka di sini,” ujar salah 

seorang yang duduk di samping Waraketu. 

“Sulit dipercaya...,” gumam Eyang Watuagung. 

Eyang Watuagung menggeleng-gelengkan kepala-

nya. Sebelum datang ke kadipaten ini, dia memang 

telah memeriksa jurang tempat jatuhnya Pendekar 

Pulau Neraka di sana. Memang tidak terdapat satu 

mayat pun di dalam jurang itu. Dan sekarang 

Waraketu bersumpah kalau telah melihat dengan 

mata kepala sendiri bahwa Pendekar Pulau Neraka 

masih hidup dan telah membunuh kedua muridnya. 

Kalau memang benar pendekar itu dapat selamat! 

dari dalam jurang setelah terkena pukulan maut dan 

tendangan bertenaga dalam tinggi, tentulah ilmunya 

sukar diukur tingkatannya. Apalagi dapat membunuh 

dua orang muridnya dalam waktu yang tidak begitu 

lama setelah bertarung dengannya. Padahal kalaupun


masih bisa selamat, tentu dia membutuhkan waktu 

paling tidak satu pekan untuk memulihkan kekuatan 

kembali. Tapi hanya dalam waktu kurang satu hari, 

Pendekar Pulau Neraka mampu memulihkan 

kekuatan tubuhnya. Bahkan mampu menandingi dan 

mengalahkan dua orang yang berilmu cukup tinggi. 

Eyang Watuagung benar-benar tidak percaya 

menerima kenyataan ini. Sejak menerima kabar 

berita itu, kepercayaannya mulai hilang. Terlebih lagi 

setelah menyaksikan sendiri mayat kedua muridnya 

yang tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka. Saat 

itu dia tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Akhirnya 

dia memutuskan untuk kembali ke Gunung Rangkas 

dan mendidik Intan serta Indranata, sambil me-

mulihkan kembali kekuatannya akibat pertarungan 

dengan Pendekar Pulau Neraka. Dia ingin mem-

buktikan sendiri kebenarannya sebelum mengambil 

tindakan. Tapi semua yang diperolehnya mendekati 

kebenaran. 

“Setahuku, Pendekar Pulau Neraka selalu ber-

tindak sendiri. Dia tidak punya pengikut seorang pun. 

Bahkan teman dalam perjalanan saja tidak punya...,” 

gumam Eyang Watuagung pelan. “Aneh...! Kenapa 

berita yang kuperoleh jadi simpang-siur? Aku datang 

justru untuk menemui adikku. Tapi.... Ah, jangan-ja-

ngan ini ulah si Hastama.... Hhh! Kalau memang 

benar, aku harus menyadarkannya...!” lanjut Eyang 

Watuagung dalam hati. 

“Barangkali dia mengambil para begal dan 

perampok, lalu membawanya ke sini untuk 

menguasai seluruh kedipaten ini, Eyang,” celetuk 

Waraketu.


“Tidak mungkin...! Meskipun aku pernah bentrok 

dan dia memusuhi muridku, tapi aku dapat menilai 

kalau dia seorang ksatria yang keras pada 

pendiriannya. Dia bukan jenis manusia yang ingin 

memiliki kekuasaan dan harta benda duniawi. Dia 

seorang pendekar sejati, meskipun tindakannya 

sangat kejam tanpa mengenal ampun,” bantah Eyang 

Watuagung jujur. 

“Lalu, siapa orang yang kini menguasai Istana 

Kadipaten, Eyang?” tanya salah seorang yang duduk 

paling kanan. 

“Perasaanku mengatakan ada seseorang yang 

mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi, 

dan memakai nama Pendekar Pulau Neraka untuk 

mengecilkan hati semua orang. Saat ini Pendekar 

Pulau Neraka memang sukar dicari lawan tandingnya. 

Secara jujur, aku sendiri menaruh hormat padanya,” 

sahut Eyang Watuagung agak ditekan suaranya. 

“Kalau memang bukan Pendekar Pulau Neraka, 

kita harus bertindak, Eyang!” kata Waraketu. 

“Benar! Kita harus membebaskan kesengsaraan 

penduduk!” sambung yang lain. 

“Benar!” 

“Bekas para prajurit kadipaten pasti mampu meng-

hadapi mereka!” 

Eyang Watuagung hanya diam saja. Kepalanya 

agak tertunduk, dan keningnya sedikit berkerut. Dia 

memang harus bertindak, tapi tidak secara brutal 

tanpa perencanaan matang. Masalahnya, hal itu pasti 

akan membuat kerugian yang tidak kecil. Harus ada 

cara lain yang lebih tepat untuk menghindari 

kemungkinan jatuh korban terlalu banyak. 

***


Eyang Watuagung memandangi bangunan megah 

yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan kokoh. 

Suasana kelihatan sepi, dan keadaannya kotor tidak 

terawat. Keadaan bangunan kebanggaan seluruh 

rakyat Kadipaten Jati Anom ini sungguh mengenaskan 

sekali. Bahkan Eyang Watuagung sempat menitikkan 

air mata melihat keadaan istana kadipaten itu. 

Mendadak, Eyang Watuagung tersentak kaget 

begitu melihat sebuah bayangan berkelebat cepat 

memasuki benteng istana itu dengan melompati 

tembok 

“Hup!” 

Eyang Watuagung segera melesat ke atas tembok 

benteng. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kaki-

nya mendarat manis di atas tembok benteng itu. 

Matanya tajam beredar ke sekeliling. Hampir dia tidak 

percaya dengan penglihatannya sendiri. Di balik 

bayang-bayang sebuah pohon yang sangat besar, 

terlihat seorang laki-laki yang selama ini selalu 

mengganggu pikirannya. 

Tanpa buang-buang waktu lagi, Eyang Watuagung 

segera melentingkan tubuhnya ke arah orang itu. 

Gerakannya cepat dan ringan sekali, dan dengan 

manis mendarat tepat di depan orang itu. 

“Hm..., rupanya kau belum mati, Pendekar Pulau 

Neraka!” gumam Eyang Watuagung mendengus. 

“Heh...!” laki-laki muda yang memakai baju dari 

kulit harimau itu terkejut. 

Laki-laki berwajah tampan dan keras itu 

melangkah mundur dua tindak. Kedua bola matanya 

berputar merayapi orang tua berjubah putih di 

depannya. Dia memang Pendekar Pulau Neraka atau 

den nama asli Bayu Hanggara. Masih diingatnya siapa


laki-laki tua berjubah putih itu. Orang yang pernah 

mengalahkan dan hampir membunuhnya di jurang, 

tidak jauh dari perbatasan Kadipaten Jati Anom (Baca 

Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah Lambang 

Kematian). 

“Tidak kusangka kau punya maksud buruk dengan 

Kadipaten Jati Anom ini, Pendekar Pulau Neraka. Tapi 

selama aku masih hidup, kau tidak akan bisa 

menguasai tanah kelahiranku ini!” kata Eyang 

Watuagung dingin. 

“Aku tidak mengerti maksudmu, Eyang Watu-

agung...,” kata Bayu keheranan. 

“Phuih! Jangan berlagak bodoh, bocah setan! Apa 

saja yang telah kau lakukan di Istana Kadipaten ini 

heh?” geram Eyang Watuagung, tidak bisa menahan 

amarahnya. 

“Aku...? Aku melakukan apa?” Bayu semakin 

kelihatan kebingungan. Memang tuduhan itu baginya 

sulit dimengerti. 

“Bocah setan...! Aku menghormatimu karena kau 

bersikap ksatria waktu itu. Tapi rasa hormatku luntuh 

karena kelakuanmu yang membuatku muak!” desis 

Eyang Watuagung. 

Setelah berkata demikian, Eyang Watuagung 

segera membuka jurus. Bayu kembali menggeser 

kekinya ke belakang satu tindak. Dia pernah melihat 

dan merasakan jurus laki-laki tua itu. Sangat dahsyat 

dan hampir tidak terbendung. Memang dia sempat 

mengalami kekalahan pahit, tapi ketika itu hanya 

dilayani setengah-setengah. 

“Tunggu dulu, Eyang! Aku tidak mengerti apa yang 

kau maksudkan,” sergah Bayu berusaha menenang-

kan laki-laki tua itu.



“Sudah cukup penjelasan yang kuberikan, Bocah! 

kau benar-benar manusia busuk yang berkedok 

ksatria!” 

“Eh, tung... Uts!” 

Bayu tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena 

Eyang Watuagung telah menyerang dengan jurus-

jurus mautnya yang sangat dahsyat dan berbahaya. 

Bayu terpaksa berlompatan dan berkelit menghindar 

setiap serangan yang dilancarkan laki-laki tua 

berjubah putih itu. Masih belum dimengerti, kenapa 

Eyang Watuagung langsung menyerang dengan jurus-

jurus mautnya. 

Bayu masih terus berkelit dan menghindar meski-

pun agak kewalahan juga menghadapinya. Sampai 

sejauh itu, Pendekar Pulau Neraka belum mau mem-

balas serangan-serangan Eyang Watuagung. Dia tidak 

ingin bertarung dengan seseorang karena belum jelas 

permasalahannya. 

“Eyang, hentikan! Hup, yaaa...!” seru Bayu keras. 

Tubuh Pendekar Pulau Neraka melesat tinggi ke 

udara, tepat ketika Eyang Watuagung mengibaskan 

kakinya ke arah kaki pemuda berbaju kulit harimau 

itu. Dua kali Bayu berputar di udara, lalu hinggap di 

atas dahan pohon. Eyang Watuagung berdiri tegak de-

ngan tangan di pinggang. Kepalanya menengadah 

atas memandang tajam ke arah Bayu. 

“Turun kau, setan keparat!” bentak Eyang Watu-

agung menggeram. 

“Eyang! Coba jelaskan, kenapa kau menyerangku 

dan menuduhku yang tidak-tidak?” agak keras suara 

Bayu. 

“Kau terlalu congkak, Pendekar Pulau Neraka. Kau 

menganggap dirimu tangguh dan digdaya tanpa



tanding. Kau lupa, bahwa di dunia ini masih banyak 

orang berilmu tinggi, yang tingkat kepandaiannya jauh 

di atasmu!” 

“Jangan berbelit-belit, Eyang.” 

“Turun kau, setani Biar kupecahkan kepalamu 

bentak Eyang Watuagung. 

“Sial! Setan apa yang ada di dalam kepalamu. 

Tanpa sebab apa-apa kau begitu bernafsu ingin 

membunuhku,” dengus Bayu setengah berteriak. 

“Keparat! Yaaah...!” 

Eyang Watuagung mengibaskan kedua tangann 

keatas. Beberapa buah pisau kecil meluncur dan 

menimbulkan cahaya keperakan yang memijar. Bayu 

sempat terkesiap juga. Buru-buru dilentingkan tubuh 

nya dan berputar beberapa kali di udara. Pisau-pisau 

itu lewat di antara putaran-putaran tubuhnya, lalu 

dengan manis sekali dijejakkan kakinya di tanah. 

Pada saat itu, Eyang Watuagung melompat 

menerjang sambil mengirimkan tiga kali pukulan 

beruntun. Bayu meliuk-liukkan tubuhnya menghindari 

pukulan-pukulan bertenaga dalam sangat tinggi itu, 

kemudian melompat mundur. Tapi Eyang Watuagung 

tidak memberi kesempatan pada Pendekar Pulau 

Neraka untuk mengambil jarak. Dia langsung 

menyerang kembali, bahkan semakin ganas. 

“Uts! Edan...!” dengus Bayu ketika sebuah pukulan 

mengandung hawa panas hampir menjebol dadanya. 

Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri, maka pukulan 

keras mengandung hawa panas menyengat itu lewat 

di depan dadanya. Dengan kecepatan yang sukar 

diikuti mata biasa, tangan kiri Pendekar Pulau Neraka 

menyodok perut lawan. 

“Hugh!” Eyang Watuagung mengeluh tertahan.


Sodokan tangan kiri Bayu tepat menghajar 

lambungnya. Dan pada saat tubuh Eyang Watuagung 

agak terbungkuk, satu pukulan tanpa pengerahan 

tenaga dalam mendarat di wajahnya. Eyang 

Watuagung terdongak. Bayu kembali menghantam 

dada laki-laki tua itu dengan satu tendangan keras, 

juga tanpa pengerahan tenaga dalam. Akibatnya, 

Eyang Watuagung terjajar beberapa langkah ke 

belakang 

“Keparat!” geram Eyang Watuagung. 

Laki-laki berjubah putih itu tahu betul kalau 

Pendekar Pulau Neraka tidak mengerahkan tenaga 

dalam saat mendapat kesempatan tadi. Kalau saja 

Bayu mengerahkannya, dapat dipastikan tulang-

tulang tua Eyang Watuagung bakalan remuk. Bahkan 

mungkin nyawanya melayang malam ini juga. 

“Maaf, Eyang. Aku masih punya urusan yang lebih 

penting lagi,” kata Bayu. 

Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung 

melesat pergi. Gerakannya demikian cepat, sehingga 

dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya lenyap 

ditelan kegelapan malam. Eyang Watuagung 

mengeluh pendek. Meskipun tendangan dan pukulan 

Pendekar Pulau Neraka tidak disertai pengerahan 

tenaga dalam, tapi cukup membuat tubuh terasa 

sakit, dan tulang-tulang terasa nyeri. 

Dari situ saja Eyang Watuagung mengerti kalau 

tingkat kepandaian Pendekar Pulau Neraka sukar 

diukur. Pukulan dan tendangan kosong dengan 

tenaga luar saja, sudah begitu keras dan dahsyat. 

Apalagi disertai pengerahan tenaga dalam? Sulit 

dibayangkan, bagaimana akibatnya jika hal itu sampai 

terjadi.



“Uh! Aku tidak mengerti, ilmu apa yang digunakan-

nya? Aku pernah bertarung dengannya, dan dia 

masuk ke dalam jurang. Aku kira sudah tewas... 

Hhh...! Apa jadinya dunia persilatan jika seandainya 

orang setangguh dia sampai masuk ke dalam 

golongan hitam...?” Eyang Watuagung mengeluh 

berbicara sendiri. 

Dengan langkah lunglai, laki-laki tua berjubah putih 

itu berjalan meninggalkan halaman istana kadipaten 

itu. Dilewatinya pintu gerbang yang hancur 

berantakan. Tapi begitu kakinya sampai di ambang 

pintu gerbang, langkahnya terhenti. Tubuhnya pun 

berbalik menghadap pada bangunan megah tak 

terawat itu. 

“Uh! Sial...! Hampir aku lupa. Tapi....” 

Eyang Watuagung berdiri tertegun memandang 

bangunan megah di depannya. Dia jadi ragu-ragu 

untuk memeriksa bangunan itu malam ini. Munculnya 

Pendekar Pulau Neraka di sini tadi membuatnya jadi 

berpikir lagi. Sedangkan suasana di sini demikian 

sepi, tidak terlihat tanda-tanda kehidupan. 

“Hhh! Sebaiknya besok siang saja aku kembali lagi 

ke sini,” gumam Eyang Watuagung. 

Laki-laki berjubah putih itu membalikkan tubuhnya 

kembali dan berjalan meninggalkan pintu gerbang 

istana kadipaten itu. Ayunan langkahnya kembali 

mantap dan ringan. Begitu ringannya, seolah-olah 

berjalan tidak menapak tanah. 

***


 

Pagi baru saja datang menjelang. Fajar menyingsing. 

Matahari di ufuk Timur memancarkan cahaya merah 

Jingga. Seorang pemuda berwajah tampan, tapi 

menyiratkan kekerasan berdiri tegak membelakang 

cahaya matahari. Rambutnya yang panjang, meriap 

melambai-lambai dipermainkan angin. Udara masih 

terasa dingin, meskipun kehangatan mulai menjalar 

mengusir titik-titik embun. 

Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak berkedip 

memandang ke arah Kadipaten Jati Anom. Tatapan-

nya lurus ke sebuah bangunan megah dikelilingi tem-

bok benteng yang tinggi dan kokoh. Suasana 

bangunan istana itu masih kelihatan sepi senyap, 

meskipun hampir semua rakyat Kadipaten Jati Anom 

sudah mulai keluar dan bekerja kembali. 

Dari tempat yang cukup tinggi ini, Kadipaten Jati 

Anom memang bisa terlihat jelas. Bahkan desa-desa 

di sekitarnya seperti hanya tinggal melangkah saja. 

Pandangan pemuda berbaju kulit harimau itu beralih 

ketika telinganya yang tajam bagai mata elang itu 

mendengar suara dari arah sebelah Selatan 

Kadipaten Jati Anom. Kelopak matanya agak 

menyipit, begitu melihat dua orang tengah bertarung 

sengit. 

“Hm..., sepertinya aku kenal dengan orang yang 

satu itu...,” gumam pemuda itu pelan. 

Pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata 

adalah Pendekar Pulau Neraka langsung melesat,


berlari cepat ke arah desa itu. Dengan mengerahkan 

ilmu lari cepat, maka dalam waktu sebentar saja, 

telah berada dekat pertarungan yang dilihatnya dari 

atas bukit. 

“Intan...,” desisnya begitu mengenali gadis yang 

tengah bertarung melawan seorang laki-laki ber-

kepala gundul. 

Tidak jauh dari Intan, Indranata tengah bertarung 

melawan seorang laki-laki tua mengenakan baju 

hitam, dan memegang tongkat berkeluk yang juga 

berwarna hitam pekat. Bayu mengedarkan 

pandangannya berkeliling. Agak terkesiap juga dia 

melihat di sekitarnya banyak mayat bergelimpangan. 

“Akh!” 

Tiba-tiba terdengar jeritan keras tertahan. Bayu 

langsung menolehkan kepalanya. Tampak Intan 

Delima terjajar sambil memegangi dadanya. Darah 

mengucur dari sela-sela jari tangannya. Orang 

berkepala gundul, dan yang bersenjatakan ruyung 

raksasa itu langsung melompat sambil mengibaskan 

senjatanya ke arah leher Intan. Pada saat itu posisi 

Intan Delima tidak menguntungkan sama sekali. 

Intan memejamkan matanya, tidak mampu berkelit 

lagi. Dan pada saat ujung senjata ruyung itu hampir 

mengoyak lehernya, sebuah bayangan berkelebat 

cepat menahan laju senjata itu. 

Trak! 

“He!” laki-laki gundul itu tersentak kaget. 

Senjatanya hampir terlepas dari tangannya. Buru-

buru dia melompat mundur. Di depan Intan kini telah 

berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan keras 

mengenakan baju kulit harimau. Intan membuka 

matanya, dan langsung terbeliak lebar begitu melihat


depannya telah berdiri seseorang yang amat dikenal, 

dirindukan, sekaligus dibencinya. 

“Kakang Bayu...,” desis Intan agak bergetar 

suaranya. 

“Menyingkirlah, Intan. Dia bukan lawanmu,” kata 

Bayu. 

Intan yang akan mundur, tiba-tiba mengurungkan 

niatnya. Bahkan tanpa berkata-kata lagi, gadis itu 

melesat kembali menerjang orang berkepala gundul 

itu. Bayu tersentak kaget, tapi tidak bisa berbuat 

banyak. Intan sudah kembali terlibat pertarungan 

sengit dengan lawannya. Tapi baru saja pertarungan 

itu berjalan beberapa jurus, kembali gadis itu ter-

pental seraya memekik keras. 

“Intan...!” sentak Bayu cemas. 

Intan menggeletak dengan tubuh bersimbah darah. 

Dia masih berusaha bangkit. Namun luka-luka di 

tubuhnya tidak mengijinkannya bangkit kembali, 

meskipun sudah berusaha sekuat tenaga. Gadis itu 

memang berhasil berdiri, tapi tidak dapat tegak. 

Tubuhnya limbung seperti pohon kelapa ditiup angin 

topan. 

“Hiyaaa...!” laki-laki berkepala gundul itu melompat 

menerjang Intan. 

“Yaaa...!” 

Bayu langsung melesat memapak serangan orang 

berkepala gundul itu. Tangan kirinya mendorong ke 

depan. Sedangkan orang itu melentingkan tubuhnya 

berputar di udara. Mereka sama-sama mendarat 

manis, dan saling berhadapan berjarak cukup dekat. 

Orang berkepala gundul itu segera memberondong 

dengan sodokan senjata ruyungnya. Bayu mengangkat tubuh Intan dan membawanya ke bawah po-

hon rindang. Diletakkan tubuh gadis itu di bawah po-

hon, terlindung dari sengatan matahari. Sebentar di-

periksanya luka-luka di tubuh Intan Delima. 

Sebentar Intan memejamkan mata, lalu kembali 

membukanya. Dadanya bergemuruh setiap kali me-

mandang wajah pemuda di dekatnya. Ingin rasanya 

memeluk dan menumpahkan rasa cintanya. Tapi, 

begitu teringat ayahnya yang tewas di tangan pemuda 

ini, perasaan yang menggelora di hatinya langsung 

ditekan dalam-dalam. Dua kutub yang saling berten-

tangan bergelut di dalam dirinya. Intan diam saja 

ketika Bayu berusaha mengobati luka-lukanya. 

“Untung hanya luka luar. Tapi kau cukup banyak 

kehilangan darah,” kata Bayu setengah mendesah. 

“Oh...,” Intan hanya bergumam lirih. 

Tatapan mata gadis itu beralih pada pertarungan 

Indranata dan kakek tua bertongkat hitam. Kelihatan-

nya Indranata pun juga kewalahan menghadapi 

lawannya. Beberapa kali tongkat kakek tua berbaju 

hitam itu menghantam tubuhnya. Indranata jatuh 

bangun berusaha menghindari serangan-serangan 

lawannya 

Pada saat yang sama, Bayu Hanggara juga meng-

arahkan pandangannya ke sana. 

“Yang mana temanmu?” tanya Bayu tanpa meng-

alihkan pandangannya. 

“Indranata...,” sahut Intan pelan. Hampir tidak 

terdengar suaranya. 

“Yang tua, atau yang muda?” 

“Muda,” sahut Intan tetap pelan. 

Bayu langsung melompat ke arah pertarungan itu. 

Sementara Intan beringsut duduk bersandar pada


pohon. Matanya tidak berkedip memandangi pemuda 

berbaju kulit harimau itu. Bibirnya bergetar, seolah-

olah ingin mengucapkan sesuatu. Namun tidak ada 

satu kata pun yang terucap. 

*** 

Indranata lantas melompat mundur ketika 

Pendekar Pulau Neraka terjun dalam pertempuran itu. 

Laki-laki tua berbaju hitam bersenjata tongkat hitam 

pula, juga segera melompat mundur. Matanya yang 

merah membara menatap tajam pada pemuda ber-

baju kulit harimau yang telah mencampuri pertarung-

annya. 

“Bocah setan!” geram laki-laki tua berbaju hitam 

itu. 

Bayu menoleh pada Indranata yang berdiri di 

belakangnya agak ke samping. 

“Bantu temanmu, dia terluka cukup parah,” kata 

Bayu. 

“Kau berani mencampuri urusanku! Sebagai 

imbalannya kau harus mampus, Bocah!” geram laki-

laki tua bertongkat hitam itu. 

Baru saja Bayu mengalihkan pandangannya 

kembali, laki-laki bertongkat hitam itu sudah 

menyerang ganas. Bayu melompat ke samping, 

menghindar sodokan ujung tongkat yang runcing. Dan 

dengan, cepat didupakkan kakinya ke arah pinggang. 

Laki tua bertongkat hitam itu tidak menyangka, dan 

terlambat untuk berkelit. 

“Uh!” dia mengeluh pendek seraya menyemburkan 

ludahnya.


Cepat sekali tubuhnya berbalik berputar sambil 

melayangkan tongkatnya ke arah kaki. Pendekar 

Pulau Neraka melompat dan berputar satu kali di 

udara. Kembali kakinya mendupak dari atas. Laki-laki 

tua bertongkat hitam itu terperanjat. Buru-buru 

diangkat tongkatnya, mencoba memapak serangan 

kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun kembali Bayu 

menarik kakinya dengan memutar tubuhnya ke 

bawah. 

Sangat di luar dugaan, dengan posisi kaki berada 

atas, Bayu ternyata masih bisa melontarkan dua 

pukulan dengan kecepatan penuh. Orang bertongkat 

hitam itu terpekik kaget. Buru-buru dia melompat 

mundur ke belakang dua tindak. Bayu kembali 

memutar tubuhnya dengan cepat, dan mendarat 

manis tanah. Dia berdiri tegak dengan tangan melipat 

di depan dada. 

“Siapa kau, Bocah?” tanya laki-laki tua bertongkat 

Hitam itu. 

“Untuk apa kau ingin tahu namaku? Kalau gentar, 

cepat pergi! Sebelum aku berubah pikiran!” dingin 

kata-kata Bayu. 

“Setan alas! Kau terlalu besar kepala, Bocah!” 

geram laki-laki tua itu. 

Sementara Indranata telah menghampiri Intan 

Delima yang sedang duduk di sebuah batang pohon 

tumbang. Diperiksanya luka-luka di tubuh gadis itu. 

keningnya berkerut, melihat luka-luka yang diderita 

Intan sudah tidak membahayakan lagi. Hanya perlu 

sedikit perawatan untuk mengeringkan lukanya saja. 

Kemudian dia memandang ke arah Bayu dan bekas 

lawannya yang berdiri saling berhadapan.


“Siapa dia, Intan?” tanya Indranata, tanpa meng-

alihkan pandangannya. 

“Pendekar Pulau Neraka,” sahut Intan pelan. 

“Hm..., apakah dia mampu menandingi Gagak 

Ireng?” gumam Indranata seperti bertanya untuk 

dirinya sendiri. 

“Dia pasti mampu, Kakang.” 

“Kau kenal dia, Intan?” 

“Ya...,” pelan suara Intan. Gadis itu menggigit 

bibirnya sendiri. Untung saja Indranata tidak sedang 

memandang ke arahnya, sehingga tak melihat 

perubahan wajah gadis itu. Entah kenapa, Intan tidak 

bisa menghilangkan perasaan cintanya pada Bayu 

Hanggara. Dia sudah berusaha, dan bahkan mencoba 

untuk menggantinya dengan perasaan benci. Tapi 

tetap saja tidak mampu. Kebenciannya memang ada, 

tapi cintanya ternyata lebih besar lagi. 

Saat itu laki-laki tua bertongkat hitam yang 

bernama Gagak lreng sudah kembali menyerang 

Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan kali ini lebih 

sengit lagi. Gagak lreng langsung mengeluarkan jurus-

jurus mautnya. Sementara, Bayu hanya sesekali saja 

membalas serangan lawan, tapi mampu membuat 

Gagak lreng jumpalitan menghindari. 

Jurus demi jurus dilalui dengan cepat. Dan 

kelihatannya Gagak lreng kewalahan sekali meng-

hadapi Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali 

tendangan dan pukulan keras bertenaga dalam tinggi 

mendarat di tubuhnya. Sedangkan Gagak lreng belum 

berhasil menyarangkan satu pukulan pun terhadap 

lawannya. Hal ini tentu saja membuat Gagak lreng 

semakin berang. 

“Hup! Hiyaaa...!!!”


Gagak lreng memutar tongkatnya dengan cepat. 

Dan seketika itu juga tubuhnya melesat bagai kilat ke 

udara. Dengan pengerahan tenaga dalam penuh, 

Gagak lreng mengibaskan tongkatnya ke kepala 

Pendekar Pulau Neraka. 

“Uts! Yaaah...!” 

Bayu segera merundukkan kepalanya dengan 

tubuh miring ke kiri. Dan pada saat itu juga, tangan 

kanannya mengibas ke atas dengan cepat Cakra 

Maut melesat bagaikan kilat dari pergelangan 

tangannya. 

Gagak lreng terperangah sesaat, cepat-cepat 

diputar tongkatnya. 

Trak! 

 “Hah...!” 

Gagak Ireng terbelalak matanya begitu tongkatnya 

terpenggal jadi dua bagian. Dan belum sempat hilang 

rasa terkejutnya, Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka 

langsung meluruk deras ke arah perutnya. 

“Aaa...!” Gagak Ireng menjerit keras. 

Tubuh yang terbalut kain hitam itu langsung ter-

jerembab jatuh. Keras sekali tubuhnya menghunjam 

tanah. Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas 

kepala. Cakra Maut berwarna keperakan pun 

bergerak ke luar dari perut Gagak Ireng dan langsung 

melesat cepat. Bayu Hanggara mengambil potongan 

tongkat Gagak Ireng, begitu senjatanya kembali 

menempel di pergelangan tangannya. 

“Modar! Yiaaa...!” 

Sambil berteriak, Pendekar Pulau Neraka itu 

melompat, dan menghunjamkan potongan tongkat itu 

ke tubuh pemiliknya. Gagak Ireng menjerit me-

lengking. Darah segar muncrat begitu dadanya ter


tembus tongkatnya sendiri. Bayu bangkit berdiri dan 

memandangi mayat lawannya. 

Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu berbalik 

menghadap ke arah Intan dan lndranata yang duduk 

di bawah pohon. Pada saat itu, dari setiap rumah pen-

duduk, bermunculan orang dengan wajah cerah ceria. 

Mereka serentak berhamburan ke arah Pendekar Pu-

lau Neraka. Di antara mereka, tampak Ki Adong. Laki-

laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu langsung 

membungkuk ke depan Bayu dan menyalaminya 

dengan hangat. 

Bayu jadi terheran-heran menyaksikan semua itu. 

Tidak sedikit orang yang merubung dan mengelu-

elukannya. Yang pasti, dia seperti seorang pahlawan 

yang baru saja pulang dari medan perang dan 

membawa kemenangan. Bayu tidak bisa menolak 

ketika para penduduk itu menggiringnya ke sebuah 

rumah besar dengan halaman luas. Dia berusaha 

mengangkat kepalanya, mencari Intan dan lndranata. 

Tapi kerumunan orang itu menghalangi pandangan-

nya. Terlebih lagi, dia terus digiring menuju ke rumah 

besar berhalaman luas itu. 

Pada saat itu, Intan sudah dapat berdiri kembali 

dibantu lndranata. Sesaat gadis itu memandang ke 

arah kerumunan penduduk Desa Sirna Galih yang 

menggiring Pendekar Pulau Neraka ke rumah kepala 

desa. Pelahan-lahan pandangan gadis itu beralih 

pada wajah pemuda di sampingnya. Saat yang sama, 

lndranata juga tengah mengarahkan pandangannya 

pada gadis itu. 

“Ayo, kita pulang,” ajak Intan pelan. 

***


Bayu masih belum dapat mengerti terhadap sikap 

para penduduk Desa Sirna Galih padanya. Dia dijamu 

dan dielu-elukan bagai seorang pahlawan perang 

yang pulang dengan membawa kemenangan. Dia 

belum sempat bertanya, karena penduduk ber-

datangan silih berganti ke rumah Ki Adong hanya 

untuk berbicara dan mengenal lebih dekat Rumah 

Kepala Desa Sirna Galih itu pun sesak oleh 

kerumunan penduduk. 

Baru pada tengah malam, Bayu bisa beristirahat. 

Dirasakannya kelelahan yang amat sangat pada 

seluruh tubuh. Baginya lebih baik bertarung tiga hari 

penuh daripada harus melayani begitu banyak orang, 

dengan tingkah dan tujuan yang bermacam-macam. 

Masih bisa dimaklumi kalau mengerti permasalahan 

nya. Tapi ini..Sama sekali Bayu tidak bisa memahami 

dan mengerti permasalahan yang dihadapi para 

penduduk itu. 

Bayu duduk bersila di dipan bambu, beranda 

depan rumah Ki Adong. Saat itu malam sudah 

demikian larut. Dan Desa Sirna Galih pun telah sepi. 

Tak ada seorang penduduk pun yang ke luar dari 

rumahnya lagi. Bayu merayapi suasana di sekitarnya. 

Digeser duduknya ketika Ki Adong menghampiri. Laki-

laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu duduk di 

samping Pendekar Pulau Neraka. 

“Aku mengharapkan Tuan Pendekar bersedia 

tinggal beberapa hari di sini, sampai keadaan benar-

benar pulih,” pinta Ki Adong penuh harap. 

Bayu tidak menjawab, tapi hanya menarik napas 

saja.


“Sudah beberapa purnama ini mereka menguasai 

desa ini. Mereka adalah orang-orang yang sangat 

kejam...,” sambung Ki Adong. 

“Siapa mereka sebenarnya?” tanya Bayu. 

“Kaki tangan Pendekar Pulau Neraka,” sahut Ki 

Adong. 

“Heh! 

Bayu terkejut setengah mati. Seketika dirasakan 

jantungnya berhenti berdetak. Jawaban Ki Adong 

sungguh di luar dugaan sama sekali. Bayu menatap 

dalam-dalam pada laki-laki tua di sampingnya. 

“Tuan kenal dengan Pendekar Pulau Neraka?” 

tanya Ki Adong. Jengah juga dia mendapat tatapan 

begitu dalam. 

Bayu menarik napas dalam-dalam. Bagaimana 

mungkin tidak kenal dengan Pendekar Pulau Neraka? 

Karena pendekar itu adalah dirinya sendiri! Hanya 

yang menjadi pertanyaan, Ki Adong menyebut kalau 

dua orang yang berhasil dibunuhnya adalah kaki 

tangan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Ki Adong 

sendiri tidak mengenal pendekar itu sebenarnya. 

“Kabarnya, Pendekar Pulau Neraka sudah 

menguasai Istana Kadipaten Jari Anom. Bahkan kaki-

tangannya menyebar ke desa-desa di sekitar 

Kadipaten Jati Anom. Ya, termasuk Desa Sirna Galih 

ini,” sambung Ki Adong. 

Bayu tetap diam. Kepalanya serasa akan pecah. 

Dia memang datang ke Istana Kadipaten Jati Anom 

semalam. Tujuannya ke sini lagi memang karena dia 

mendengar ada seseorang yang memakai namanya 

untuk tujuan pribadi. Atau mungkin juga untuk men-

cemarkan namanya. Bisa juga karena untuk mem-

balas dendam.



Bayu jadi paham, mengapa Eyang Watuagung 

begitu berang dan ingin membunuhnya kemarin 

malam. Benar-benar tidak disangka kalau kehadiran-

nya kembali di Kadipaten Jati Anom bakal ber-

hadapan dengan satu persoalan yang mem-

bingungkan. Dia hanya untuk membuktikan 

kebenaran yang didengarnya. Tapi kenyataannya 

sungguh di luar dugaan. 

“Ki Adong pernah melihat Pendekar Pulau 

Neraka?” tanya Bayu memancing. 

“Melihat sih belum. Tapi, dengar-dengar Pendekar 

Pulau Neraka-lah yang membunuh Gusti Adipati 

Rakondah dan Panglima Bantaraji. Mungkin dia 

kembali ke sini dengan membawa kaki-tangan untuk 

menguasai seluruh Kadipaten Jati Anom. Bahkan 

belum lama ini, rombongan pengganti adipati 

diserang dan semuanya tewas terbunuh. Sudah dua 

kali hal itu terjadi, tapi dari pihak kerajaan kelihatan-

nya tidak ada tanda-tanda mengambil tindakan.” 

“Kenapa?” tanya Bayu ingin tahu. 

“Pernah dikirim satu pasukan prajurit, tapi mereka 

semua mundur. Prajurit-prajurit itu tidak mampu 

menghadapi orang-orang Pendekar Pulau Neraka. 

Mereka cukup tangguh, meskipun jumlahnya tidak ba-

nyak. Tuan Pendekar sendiri sudah berhadapan 

dengan dua kaki-tangan Pendekar Pulau Neraka. Un-

tungnya Tuan begitu hebat! Tidak seperti murid-murid 

Eyang Watuagung itu. Kalau tidak ada Tuan Pendekar 

pasti mereka sudah tewas. Selanjutnya aku tak tahu 

lagi, apa yang akan terjadi pada desa ini,” kata Ki 

Adong agak mengeluh. 

Kembali Bayu terdiam. Dia jadi teringat dengan 

Intan Delima. Dia tahu kalau Intan adalah cucu Eyang


Watuagung yang juga muridnya. Tapi pemuda itu…. 

Sudah pasti dia juga murid Eyang Watuagung. 

“Sudah terlalu larut, sebaiknya Tuan beristirahat,” 

Adong seraya bangkit berdiri. 

“Terima kasih,” ucap Bayu. 

Ki Adong melangkah masuk ke dalam rumahnya, 

Sedangkan Bayu Hanggara tetap duduk bersila di 

atas balai-balai beranda depan rumah laki-laki tua 

kepala desa itu. Bayu menyadari nama baiknya bisa 

hancur kalo tidak cepat bertindak. Untuk sementara, 

semua urusan pribadinya harus dapat di kesamping-

kan dulu. 

***


 

Intan terbaring lemah di atas dipan kayu dalam bilik 

kamar tidurnya. Luka-luka akibat pertarungan Desa 

Sirna Galih belum lagi pulih benar. Gadis menatap 

kosong pada langit-langit kamarnya. Pikirannya 

menerawang jauh pada Pendekar Pulau Neraka. 

Pemuda yang dicintainya dan dirindukan, sekaligus 

dibencinya. Ada kesempatan untuk memenuhi 

keinginannya, tapi kesempatan itu lewat tanpa dapat 

dicegah lagi. 

Kepala gadis itu berpaling ketika terdengar 

ketukan pintu. Di ambang pintu kamar yang tidak 

tertutup, Indranata berdiri dengan tangan membawa 

semangkuk bubur. Pemuda itu tersenyum dan me-

langkah masuk. Disodorkan mangkuk bubur kepada 

Intan. Gadis itu segera beranjak bangkit, dan duduk 

bersandar. 

“Terima kasih,” ucap Intan seraya menerima 

mangkuk bubur itu. 

“Sejak kemarin kau belum makan. Kubuatkan 

bubur ini khusus untukmu,” kata Indranata. 

“Kau baik sekali, Kakang,” lirih suara Intan. 

“Makanlah, biar perutmu tidak terlalu kosong.” 

Intan tersenyum, dan mulai memakan bubur itu 

pelahan-lahan. Indranata memperhatikannya disertai 

senyuman di bibir. Dia senang melihat Intan sudah 

mau makan lagi. Sejak pertempurannya di Desa Sirna 

Galih, kelihatannya gadis itu berubah. Lebih senang 

murung dan selalu menyendiri. Tidak mau makan,


tidak mau berlatih lagi. Bahkan bicara pun hanya se-

perlunya. 

“Kenapa tidak dihabiskan?” 

“Sudah,” sahut Intan sambil meletakkan mangkuk 

buburnya di meja dekat pembaringan. 

“Bagaimana kesehatanmu? Sudah mendingan?” 

tanya Indranata. 

“Yah..., lumayan,” sahut Intan, tetap pelan suara-

nya. 

“Intan, boleh aku bicara padamu?” “Sejak tadi juga 

sudah.” 

“Maksudku...,” Indranata jadi tersipu kelabakan. 

“Aku tahu, kau pasti ingin menanyakan tentang 

pemuda yang menolong kita, kan?” tebak Intan 

langsung. 

Indranata mengangguk membenarkan. 

Intan kembali memalingkan wajahnya. Pandangan-

nya lurus menatap keadaan di luar, dari jendela 

kamar yang terbuka lebar. Wajahnya kembali berubah 

murung. Bayang-bayang Bayu Hanggara kembali ber-

main di pelupuk matanya. 

“Kau kenal siapa dia, Intan?” tanya Indranata. 

“Ya. Bahkan lebih dari sekedar kenal,” sahut Intan 

pelan. “Namanya Bayu Hanggara, dan biasa dikenal 

dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.” 

“O...! Yang membuat kerusuhan itu rupanya. Tapi.... 

Kok aneh, malah membunuh dua orang temannya 

sendiri?” 

“Tidak aneh, karena mereka bukan temannya.” 

Indranata menatap tidak mengerti pada gadis itu. 

Sudah jelas kerusuhan yang terjadi di Kadipaten Jati 

Anom dan desa-desa di sekitarnya akibat ulah


Pendekar Pulau Neraka. Tapi, kenapa Intan malah 

membantahnya? 

Indranata semakin tidak mengerti. Dia tahu kalau 

ayah Intan mati terbunuh oleh Pendekar Pulau 

Neraka. Itu cerita dari Eyang Watuagung. Dan 

sekarang, Intan malah mengakui kalau dia lebih dari 

sekedar kenal terhadap Pendekar Pulau Neraka. 

Indranata jadi bertanya-tanya dalam hati. Tapi dia 

tidak ingin menduga-duga terlalu jauh lebih dahulu. 

“Aku yakin, bukan dia yang melakukan semua itu. 

Pasti ada orang lain yang menjual namanya untuk 

kepentingan pribadi,” kata Intan seperti bicara pada 

dirinya sendiri. 

“Bagaimana kau bisa begitu yakin, Intan?” tanya 

Indranata. 

“Aku tahu siapa Bayu. Dia seorang pendekar yang 

tangguh dan keras pada pendiriannya, meskipun 

tindakannya bisa dikatakan kejam. Tapi semua yang 

dilakukan bukan untuk kepentingan diri pribadi. Apa 

lagi untuk menggapai kekuasaan dan kesenangan 

duniawi! Dia seorang pendekar sejati,” jelas Intan 

tegas penuh semangat. 

“Sejauh itu kau mengenal pribadinya?” 

“Ya! Bahkan lebih jauh lagi.” 

“Kau punya hubungan khusus dengan...?” 

Indranata tidak melanjutkan. 

Intan menoleh dan tersenyum pada pemuda itu. 

“Terus terang, aku mencintainya: Walaupun dia 

yang membunuh ayahku, tapi aku tetap mencintainya. 

Aku tidak bisa menipu diriku sendiri. Aku memang 

dendam dan ingin membunuhnya, tapi tidak sanggup 

melakukannya! Aku sangat mencintainya! Aku...,” 

Intan menutup wajah dengan kedua telapak tangan



nya. Bahunya berguncang-guncang, tapi tidak terde-

ngar suara isak tangis. 

Indranata menghampiri dan duduk di samping 

gadis itu. Dilingkarkan tangannya di bahu, dan 

dipeluknya gadis itu. Intan merebahkan kepalanya di 

dada pemuda itu. Pelan, namun terdengar juga isak-

nya. Setitik air bening menggulir jatuh ke pipi. 

“Tumpahkan semua perasaanmu, Intan. Menangis-

lah, kalau itu bisa membuatmu lebih tenang 

Menangislah, Intan...,” kata Indranata. 

Intan tidak dapat lagi bertahan. Tangisnya meledak 

di dalam pelukan Indranata. Air matanya membasahi 

dada pemuda itu. Indranata membiarkan Intan me-

numpahkan semua perasaannya. Dia bisa me-

maklumi kemelut yang tengah melanda batin gadis 

ini. Indranata semakin mengetatkan pelukannya. 

Sebentar dia menarik napas panjang seraya me-

nengadahkan kepalanya. 

Indranata baru melepaskan pelukannya setelah 

Intan tidak menangis lagi. Namun sesekali masih 

terdengar isaknya yang tertahan. Gadis itu duduk 

dengan kepala tertunduk dalam. Bahunya masih ter-

lihat guncang menahan isaknya. Indranata memindah 

duduknya di depan gadis itu. Diambilnya kedua 

tangan Intan. Digenggamnya jari-jari tangan yang 

lentik halus itu, kemudian pelahan-lahan dibawanya 

mulutnya. Dengan lembut dikecup jari-jemari itu. 

Intan mengangkat kepalanya pelahan-lahan. 

Tatapan matanya langsung tertuju ke bola mata 

pemuda di depannya. Untuk beberapa saat lamanya 

mereka saling berpandangan, tanpa kata-kata 

terucapkan. Begitu banyak yang ingin diucapkan, tapi


sulit untuk diungkapkan, Pelahan-lahan kepala Intan 

Delima kembali tertunduk. 

“Akan kubalaskan sakit hatimu, Intan,” kata 

Indranata pelan, namun terdengar mantap suaranya. 

“Oh!” Intan tersentak kaget. Kata-kata Indranata 

yang begitu pelan, bagaikan petir yang menggelegar 

menggetarkan hati. 

Ditatapnya dalam-dalam bola mata Indranata. 

Seolah-olah Intan ingin mencari kepastian akan kata 

kata yang hampir membuat jantungnya berhenti ber 

detak. Gadis itu mengeluh lirih. Ditemukan secercah 

kepastian dalam sorot mata pemuda itu. 

“Percayalah! Aku akan membalaskan sakit hati 

mu. Meskipun aku tahu dia seorang yang tangguh dan 

digdaya. Aku rela mati untukmu, Intan,” kata 

lndranata lagi. 

“Oh, Kakang...,” desah Intan. 

Gadis itu langsung menjatuhkan dirinya dalam 

pelukan Indranata, dan kembali menangis. Tangisan 

hampa yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-

kata. Belum ada seorang pun yang berkata seperti itu 

padanya, hanya Indranatalah yang pertama kali 

mengatakannya. Hatinya luluh dalam keharuan. Intan 

tidak tahu lagi, apa yang harus dikatakannya. 

Indranata rela mengorbankan nyawa demi dirinya, 

hati Intan tidak mungkin dapat membiarkan dua 

orang yang begitu dekat dengannya bertarung 

menyabung nyawa. Intan sadar kalau Indranata men-

cintainya dengan tulus dan murni. Tapi hatinya belum 

bisa terbuka pada pemuda ini. Cintanya masih ter-

paku pada Bayu Hanggara, pemuda tampan yang 

telah membunuh ayahnya. Intan tahu, kenapa 

Pendekar Pulau Neraka membunuh Adipati


Rakondah, ayahnya. Tapi dalam hal ini, dia tidak bisa 

menyalahkan siapa-siapa (Baca serial Pendekar Pulau 

Neraka, dalam kisah: Lambang Kematian). 

*** 

“Hup! Hiyaaa...!” 

“Yaaa...!” 

Glarrr! 

Batu cadas sebesar badan kerbau, hancur ber-

keping-keping begitu dua senjata pedang berwarna 

hitam pekat menghantamnya. Di antara kepulan debu 

dan reruntuhan batu, berdiri tegak dua orang 

manusia dengan pedang hitam melintang di depan 

dada. Mereka adalah Intan dan Indranata yang baru 

saja menyelesaikan tahap terakhir jurus-jurus 'Naga 

Kembar'. 

Intan membalikkan tubuhnya dan melangkah 

menuju pondok. Indranata mengikutinya dari 

belakang. Gadis itu duduk di tangga beranda depan 

pondok. Sedangkan Indranata hanya berdiri di 

depannya. Pedang hitam pekat bertangkai kepala 

naga sudah tersampir di punggung. 

“Kau kelihatan murung, Intan. Ada apa?” tanya 

Indranata. 

“Tidak apa-apa,” sahut Intan pelan seraya meng-

hembuskan napas kuat-kuat. 

“Ada yang kau pikirkan? 

Indranata mengambil tempat di samping gadis itu. 

“Hhh...,” Intan hanya menghembuskan napas saja. 

Indranata memandang wajah gadis di sampingnya. 

Sebentar dia bernapas panjang, lalu beranjak bangkit 

berdiri. Pemuda berkulit sawo matang itu melangkah 

masuk ke dalam rumah. Sedangkan Intan Delima


masih duduk di beranda. Pandangannya kosong lurus 

ke depan. 

Tidak lama Indranata berada di dalam pondok kini 

keluar lagi, Bajunya telah berganti menjadi berwarna 

biru terang dengan bagian dada terbuka lebar. 

Gagang pedang berbentuk kepala naga hitam 

menyembul dari balik punggunya. Pemuda itu terus 

melangkah melewati Intan yang tetap duduk 

memandang kosong ke depan. 

“Kakang…!” seru Intan Delima begitu menyadari 

kalau Indranata bermaksud pergi. 

Indranata menghentikan langkahnya, tanpa ber-

balik sedikit pun. Bahkan menoleh pun tidak. Intan 

bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Gadis itu 

melewati sedikit dan berdiri di depannya. 

“Mau ke mana?” tanya Intan. 

“Pergi,” sahut Indranata singkat. 

“Pergi ke mana?” 

“Ini sudah lewat tiga purnama Eyang Watuagung 

pergi. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya,” jelas 

Indranata. 

“Kau akan mencari Eyang?” 

“Ya! Aku tahu ke mana tujuan Eyang.” 

“Kakang! Kau lupa pesan Eyang? Meskipun tidak 

kembali, Eyang tidak mau kita mencarinya. Aku juga 

khawatir, tapi aku tidak mau melanggar amanatnya. 

Kau sendiri selalu mengatakan begitu, kan?” Intan 

mengingatkan. 

“Aku pun selalu ingat amanatnya, Intan. Tapi aku 

tidak bisa menipu diriku sendiri. Memang selalu 

kupatuhi segala kata dan amanatnya selama ini. Tapi 

kali aku merasakan lain. Perasaan hatiku mengata-

kan bahwa Eyang Watuagung tengah mengalami


kesulitan yang besar. Belum pernah Eyang pergi 

dengan meninggalkan pesan yang bernada ragu-ragu. 

Biasanya Eyang selalu mengatakan kapan akan 

kembalinya lagi. Tapi ini lain, Intan. Apa kau tidak 

merasakan adanya perbedaan?” 

“Aku tahu.” 

“Sekarang terserah kau, Intan. Ikut, atau tetap 

mengurung diri di gunung ini sendirian,” Indranata 

memberikan pilihan. 

“Kau membawa Pedang Naga Hitam Kembar, tidak 

mungkin dapat digunakan hanya sebelah, Kakang,” 

pelan suara Intan. 

“Aku mampu menggunakannya seperti pedang 

biasa, tanpa harus tergantung pada pasangannya.” 

“Percuma! Jangan membohongi dirimu sendiri. Aku 

telah lihat ketika kau berusaha menguasai pedang itu 

sendirian, ternyata kau tidak mampu. Bahkan hampir 

mati kalau aku tidak cepat datang membawa 

pasangannya. Pedang Naga Hitam Kembar tidak 

dapat digunakan sendiri-sendiri, Kakang.” 

“Paling tidak, untuk lima puluh jurus aku masih 

mampu.” 

“Dan setelah itu kau akan mati karena tenagamu 

habis tersedot kekuatan pedang itu!” 

“Aku tidak peduli, asalkan dapat membunuh orang 

yang kau cintai, sekaligus kau benci. Apalagi dia pem-

bunuh ayahmu!” 

“Kakang...!” Intan tersentak kaget. 

“Maafkan aku, Intan. Aku memang bertekat untuk 

menantang Pendekar Pulau Neraka. Aku mencintai-

mu, Intan. Aku tidak ingin melihatmu tenggelam terus-

menerus dalam bayangan semu. Kau mengharapkan


sesuatu yang tidak mungkin didapat!” tegas kata-kata 

Indranata. 

“Kakang..., kau...,” suara Intan tersekat di teng-

gorokannya. 

“Sejak aku melihatmu pertama kali, aku sudah 

menyukaimu, Intan. Dan aku tidak peduli meskipun 

kau membenciku setengah mati. Aku tetap men-

cintaimu, walaupun kau sudah mencintai pemuda 

lain. Aku akan menantangnya! Akan kubuktikan, siapa 

yang lebih pantas mendapatkan cintamu!” tetap tegas 

kata-kata Indranata. 

Kini Intan tahu, Indranata akan pergi bukan untuk 

mencari Eyang Watuagung. Tapi untuk menantang 

bertarung Pendekar Pulau Neraka. Hal inilah yang 

selalu dicemaskan Intan. Ada sedikit penyesalan di 

dalam hatinya, karena telah menceritakan semuanya 

pada pemuda ini. Sama sekali tidak disadari kalau 

keterbukaannya telah menimbulkan api cemburu di 

dada Indranata. 

“Aku minta padamu, Kakang. Jangan pergi! Aku 

mohon...,'' rajuk Intan memelas. 

“Maafkan aku, Intan. Aku memang tidak pantas 

mendapatkan cintamu. Tapi aku tidak rela Pendekar 

Pulau Neraka menghancurkan hidupmu.” 

“Lupakan saja tentang dia, Kakang,” pinta Intan 

berharap. 

“Tentu! Aku pasti akan melupakannya setelah dia 

menjadi santapan cacing-cacing tanah!” 

“Oh..., Kakang,” lirih suara Intan. 

“Sudahlah, Intan. Tidak ada gunanya kau mem-

bujukku. Aku harus pergi sekarang juga, dengan atau 

tanpa kau.”



Intan tidak bisa lagi membujuk. Tapi dia juga tidak 

bisa membiarkan dua orang yang sebenarnya sama-

sama disukainya, bertarung hanya karena mempere-

butkan cintanya. Meskipun Intan tahu, Bayu Hanggara 

pasti tidak akan melayani keinginan Indranata. Bayu 

pasti akan menyerahkan Intan dengan sukarela. Dia 

tahu watak-watak seorang pendekar kelana yang 

tidak suka terikat dengan seorang gadis mana pun 

juga. 

Intan Delima menggeser kakinya ke samping 

ketika Indranata mengayunkan kakinya. Gadis itu ber-

gegas mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di 

samping pemuda itu. Sementara Indranata terus 

melangkah mantap. Intan tetap berusaha membujuk 

walau disadari tidak akan berhasil. 

Merasa setiap bujukannya tidak mengena, pada 

akhirnya Intan Delima terdiam. Kakinya tetap terayun 

melangkah di samping Indranata. Sedangkan pikiran-

nya kacau tidak menentu. Terlebih lagi hatinya. Indra-

nata telah mengungkapkan langsung rasa cintanya. 

Intan sendiri tidak tahu, apakah menunggu kata-kata 

itu atau tidak. Namun dia tidak bisa menipu dirinya 

sendiri. Dalam hati, dia memang menyukai Indranata. 

Pemuda yang selalu lembut dan penuh perhatian 

padanya. 

“Kakang....” 

“Sudahlah, Intan. Aku tidak mau lagi mendengar 

bujukanmu. Aku sudah bertekad harus menantang 

Pendekar Pulau Neraka!” potong Indranata cepat. 

“Bukan itu yang ingin kukatakan,” kata Intan pelan. 

Nada suaranya terdengar agak tertahan. 

“Hm, apa?”


“Kau benar-benar mencintaiku, Kakang?” tanya 

Intan seraya menggigit bibirnya. 

Indranata menghentikan langkahnya. Ditatapnya 

Intan Delima dalam-dalam. Pertanyaan Intan mem-

buatnya jadi berpikir. Benaknya menduga kalau gadis 

itu tengah menggunakan cara lain untuk mem-

batalkan niatnya menantang Pendekar Pulau Neraka. 

“Intan! Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Tapi 

tolong, jangan paksa aku untuk merubah tujuan,” 

kata Indranata serius. 

“Aku..., aku....” 

“Ah, sudahlah! Ayo kita jalan lagi.” 

Intan tidak bisa membantah. Kembali dilangkah-

kan kakinya dengan kepala tertunduk. Memang sulit 

untuk mengatakannya. Tapi dia tidak ingin melukai 

hati pemuda itu. Dia tahu kalau Indranata sungguh-

sungguh dan tulus mencintainya. Kesungguhan dan 

ketulusan itulah yang membuat Intan tersiksa. Intan 

hanya bisa menjerit dalam hati, menyesali semua ke-

adaan yang telah terjadi pada dirinya. Kalau saja hal 

itu tidak pernah terjadi, tidak akan segundah ini 

hatinya. 

“Tidak! Dia tidak boleh tahu! Dia juga tidak boleh 

mati di tangan Pendekar Pulau Neraka. Aku harus ber-

buat sesuatu. Ya...! Berbuat sesuatu...!” tekad Intan 

dalam hati. 

*** 

Sementara itu di Desa Sirna Galih, Pendekar Pulau 

Neraka sudah bersiap-siap meninggalkan rumah 

kepala desa. Selama berada di desa ini, keadaannya 

sangat tenang dan tentram. Para penduduk pun 

sudah melakukan kesibukannya masing-masing.


Tidak ada lagi kekacauan dan segala macam tindak 

kekerasan! Desa Sirna Galih benar-benar pulih seperti 

sediakala. 

“Jadi berangkat sekarang, Tuan?” tegur Ki Adong. 

“Ya,” sahut Bayu. 

“Sebenarnya seluruh penduduk desa ini meng-

harapkan agar Tuan bersedia tetap tinggal di sini,” 

kata Ki Adong lagi. 

“Terima kasih, tapi maaf aku tidak bisa memenuhi. 

Masih banyak yang harus kuselesaikan,” sahut Bayu 

tanpa bermaksud menyinggung perasaan laki-laki tua 

itu. 

“Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, kecuali 

hanya ucapan terima kasih,” kata Ki Adong. 

Bayu tersenyum dan menepuk pundak laki-laki tua 

itu. Kakinya terayun melangkah keluar dari rumah 

kepala desa itu. Dia agak terkejut saat kakinya 

sampai di luar. Para penduduk Desa Sirna Galih telah 

berkumpul di depan rumah kepala desa. Bayu meng-

ayunkan langkahnya, dan beberapa penduduk meng-

hampiri seraya menyalaminya. Pendekar Pulau 

Neraka itu tidak dapat menahan keharuan. Baru kali 

ini dia diterima dan disambut begitu baik dan hangat 

oleh seluruh warga desa yang didatanginya. 

Seorang laki-laki muda menghampirinya, sambil 

menuntun seekor kuda coklat yang tinggi dan tegap. 

Bayu memandanginya sebentar. Pemuda desa itu 

menyerahkan tali kekang kudanya. 

“Untuk apa?” tanya Bayu. 

“Tuan pasti membutuhkan,” kata pemuda desa itu. 

“Maaf, tidak ada lagi yang dapat kuberikan.” 

Bayu menepuk-nepuk pundak pemuda desa itu. 

Kepalanya tergeleng-geleng dengan mata agak ber


kaca-kaca. Terharu sekali. Hatinya jadi berat untuk 

meninggalkan desa ini. Tapi dia harus pergi dan men-

cari pembunuh keluarganya. 

“Bukannya aku menolak. Aku tidak bisa me-

nunggang kuda,” kata Bayu pelan. 

“Tuan bisa belajar,” desak pemuda itu. 

“Kuda ini sangat bagus. Kau pasti lebih memerlu-

kan daripadaku. Sayang, kalau kuda sebagus ini mati 

tertembus panah atau tombak.” 

“Tuan....” 

“Baiklah, aku terima kuda ini. Tapi biar kutitipkan 

padamu. Kau bisa merawatnya, kan?” 

“Oh, Terima kasih, Tuan. Aku janji, pasti akan 

merawatnya dengan baik,” pemuda desa itu gembira. 

Wajahnya berseri-seri. 

Bayu tersenyum dan menepuk pundak pemuda 

desa itu beberapa kali, kemudian kembali meng-

ayunkan kakinya melangkah pergi. Begitu banyak 

yang diberikan penduduk padanya, tapi tidak dapat 

diterima semuanya. Tidak mungkin menerima dan 

membawa semua yang diberikan mereka. 

Pendekar Pulau Neraka itu mempercepat langkah-

nya dengan mempergunakan ilmu meringankan 

tubuh. Langkah kakinya begitu ringan, seolah-olah 

berjalan tanpa menapak tanah. Dalam waktu tidak 

terlalu lama, dia sudah sampai di perbatasan desa. 

Bayu menolehkan kepalanya ke belakang. Para 

penduduk Desa Sirna Galih masih berkumpul di 

depan rumah kepala desa. 

“Hup!” 

Bayu melompat dan langsung berlari cepat bagai 

kan angin. Ilmu lari cepat yang diimbangi dengan 

pengerahan ilmu meringankan tubuh, membuat


Pendekar Pulau Neraka itu bagaikan terbang saja. 

Hanya bayangannya saja yang berkelebat cepat 

menerobos semak dan pepohonan. 

Pendekar Pulau Neraka itu terus berlari cepat 

menuju sebuah hutan lebat dengan pohon-pohon 

besar menjulang tinggi menentang langit. Dan ketika 

baru saja mencapai tepian hutan itu, mendadak 

sebuah ranting kecil meluncur deras ke arahnya. Bayu 

langsung melentingkan tubuhnya ke udara, lalu 

bersalto dua kali sebelum mendarat manis di tanah. 

Entah bagaimana caranya, ranting yang tadi 

melunak deras ke arahnya sudah berada dalam 

genggaman tangan. Bayu memegangi ranting itu 

sesaat, kemudian tatapannya tajam beredar ke 

sekelilingnya. Tidak terlihat seorang pun di tepian 

hutan ini. Tapi telinganya yang tajam bisa menangkap 

sumber suara dari sebelah kiri. 

“Hup!” 

Bayu mengibas tangan, melontarkan ranting yang 

ditangkapnya. Ranting itu meluruk deras disertai 

hempasan tenaga dalam hampir mencapai taraf 

kesempurnaan, dan menembus gerumbul semak. 

Maka.... 

Srak! 

“Aaa...!” 

Satu jeritan melengking terdengar menyayat. Tidak 

lama kemudian muncul sesosok tubuh yang langsung 

ambruk bergulingan dengan leher tertembus ranting. 

Pada saat yang hampir bersamaan, dua buah 

bayangan berkelebat keluar dari balik pepohonan. 

“Hm...,” Bayu menggumam pelan tidak jelas. 

“Hebat...!” kata salah seorang yang memakai baju 

biru tua dengan rantai baja tergenggam di tangannya.


“Siapa kalian? Kenapa menghadang jalanku?” 

tanya Bayu dingin. 

“He he he...! Rupanya tikus kecil ini bisa juga main 

gertak...!” seorang tua bertubuh kurus memakai baju 

panjang longgar berwarna putih, tertawa mengejek. 

Sebilah pedang panjang tergantung di pinggang. 

“Hm... aku tidak kenal siapa kalian. Maaf, aku 

tidak punya waktu untuk melayani orang gendeng!” 

dengus Bayu ketus. 

“Bangsat! Kau terlalu memandang rendah, Bocah!” 

bentak laki-laki berbaju biru tua. 

“Jika kalian tidak ingin disamakan dengan anjing 

buduk, menyingkirlah!” 

“Bocah setan! Buka matamu lebar-lebar...! Kau 

tahu, siapa kami, heh!” 

“Siapa pun kalian, aku tidak peduli! Aku tidak 

punya urusan dengan tikus-tikus comberan macam 

kalian!” 

“Beledek gembel!” laki-laki tua bertubuh kurus itu 

terlonjak dengan wajah merah-padam menahan 

marah. 

“Kau akan berlutut minta ampun kalau tahu siapa 

kami!” bentak orang yang berbaju biru. “Aku si Rantai 

Iblis Pencabut Nyawa!” 

“Dan aku, si Pedang Kilat!” sambung laki-laki tua 

kurus itu. 

“Hebat...,” Bayu tersenyum sinis. “Anak kecil boleh 

pingsan mendengar nama bau kencur itu. Tapi aku....” 

Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tetap 

tersenyum sinis. 

“Kau benar-benar bocah setan!” 

“Kau sudah bosan hidup rupanya, heh!”


“Hidup matiku bukan urusan kalian! Tapi.... Yah.. 

kalau kalian ingin mati sekarang, silakan. Aku bisa 

membantu kalian untuk lebih cepat pergi ke neraka!” 

Kata-kata Bayu memang lembut, tapi membuat 

telinga kedua orang itu panas membara. Kemaraha-

nnya tidak bisa dibendung lagi. Kedua orang itu 

berlompatan ke samping sambil menghunus senjata 

masing-masing. Si Rantai Iblis Pencabut Nyawa me-

mutar-mutar rantai baja putihnya. Sedangkan si Pe-

dang Kilat mengibas-ngibaskan pedangnya di depan 

dada. 

“Hhh...! Lucu sekali. Tidak ada panas, tidak ada 

hujan, kalian marah-marah mencegat perjalananku. 

Dan sekarang akan menyerangku. Ada apa sebenar-

nya ini...?” Bayu seperti bicara pada dirinya sendiri. 

“Jangan banyak omong! Kau harus mampus 

Pendekar Pulau Neraka!” bentak si Pedang Kilat. 

“He! Kau tahu namaku?” agak terkejut juga Bayu. 

“Ya! Karena itu kau harus mampus! Kau adalah 

penghalang kami untuk menguasai seluruh Kadipaten 

Jati Anom!” sahut si Rantai Iblis Pencabut Nyawa. 

“Aku?Ha ha ha...!” 

Bayu merasakan tenggorokannya jadi tergelitik. Dia 

tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. 

Sedangkan si Rantai Iblis Pencabut Nyawa dan si 

Pedang Kilat, hanya saling pandang. 

“Menggelikan sekali. Aku tidak kenal kalian ber-

dua, tapi kalian menuduhku sebagai penghalang. 

Dunia ini benar-benar sudah edan! Kenapa begitu 

banyak orang gila hidup di dunia ini...?” Bayu kembali 

seperti bicara pada dirinya sendiri. 

“Tutup mulutmu, bangsat!” bentak si Rantai Iblis 

Pencabut Nyawa keras menggelegar.


Belum lagi hilang suara bentakan itu, si Rantai Iblis 

Pencabut Nyawa langsung melesat sambil mengebut-

kan rantainya ke arah Pendekar Pulau Neraka. Pada 

saat yang sama, si Pedang Kilat juga melompat 

menyerang. Bayu masih berdiri menanti, dan... 

“Yaaa...!” 

***

 

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat 

ke udara. Itu dilakukan di saat kedua orang itu sudah 

dekat dengan dirinya. Dua kakinya dengan cepat 

merentang ke samping. Sedangkan kedua pe-

nyerangnya itu terkejut. Buru-buru mereka menarik 

mundur tubuhnya ke belakang. Namun Bayu dengan 

cepat meluruk ke arah si Rantai Iblis Pencabut 

Nyawa. Dua pukulan beruntun dilepaskan dengan 

cepat, di sertai pengerahan tenaga dalam sangat 

tinggi. 

Si Rantai Iblis Pencabut Nyawa gelagapan 

seketika, dan semampunya mencoba menghindar 

dengan menjatuhkan tubuh ke tanah. Tapi belum juga 

tubuhnya sempat menyentuh tanah, dengan ke-

cepatan luar biasa, kaki Pendekar Pulau Neraka 

sudah bergerak mendupaknya. 

“Akh...!” si Rantai Iblis Pencabut Nyawa menjerit 

keras. 

Tak ampun lagi, tubuhnya jatuh keras bergulingan 

di tanah berumput kering. Tendangan bertenaga 

dalam hampir sempurna itu membuat tulang iga laki-

laki berbaju biru tua itu seperti remuk. Sementara 

Bayu berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan 

dada. Tatapan matanya tajam pada si Pedang Kilat. 

Laki-laki tua itu sepertinya ragu-ragu untuk melaku-

kan penyerangan.


“Sudah kukatakan, tikus-tikus macam kalian tidak 

pantas berhadapan denganku!” kata Bayu sinis. 

“Phuih! Kau terlalu besar kepala, Bocah!” dengus 

si Pedang Kilat. 

“Kepalaku memang besar, dan yang pasti lebih 

keras dari kepalamu!” 

“Setan! Mampus kau! Hiyaaa...!” 

Si Pedang Kilat memuncak kembari amarahnya. 

Dia tidak peduli lagi kalau lawan begitu mudah 

menjatuhkan temannya. Sambil berteriak keras, laki-

laki tua itu menyerang dengan senjatanya. Kibasan 

dan tusukan pedangnya begitu cepat bagaikan kilat. 

Tubuh Pendekar Pulau Neraka seperti tergulung 

cahaya kemerahan. Memang pantas kalau dia ber-

juluk si Pedang Kilat. Gerakan-gerakan pedangnya 

cepat luar biasa, dan selalu mendesis-desis seperti 

seorang musafir kehausan di padang pasir. 

Tapi sampai sejauh itu, serangan-serangan si 

Pedang Kilat belum mendapatkan hasil yang 

memuaskan. Gerakan tubuh Bayu begitu lentur, bagai 

seekor belut. Sulit untuk menyentuhnya. Dan hal ini 

membuat si Pedang Kilat semakin bertambah berang. 

Si Pedang Kilat mengibaskan senjatanya ke arah 

kepala. Dengan cepat Bayu mengangkat tangan 

kanannya, dan membiarkan pergelangan tangan 

kanannya yang tertempel senjata Cakra Maut mem-

bentur pedang lawan. 

Tring! 

Si Pedang Kilat tersentak bukan main begitu 

pedangnya membentur pergelangan tangan kanan 

Pendekar Pulau Neraka. Seluruh persendian tangan-

nya bergetar dan nyeri, bagai tersengat ribuan kala 

berbisa.


Pada saat laki-laki tua itu menarik tangannya! 

pulang, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka 

menyodokkan tangan kirinya ke lambung. Sodokan 

dengan pengerahan tenaga dalam itu tidak bisa 

dihindari lagi. Laki-laki tua berbaju putih itu mengeluh 

pendek, dan tubuhnya agak terbungkuk. 

“Hiyaaa...!” 

Sambil berteriak keras, Bayu mengirimkan satu 

pukulan telak ke rahang lawannya. Si Pedang Kilat 

tersentak ke belakang. Tulang rahangnya serasa 

patah, sedangkan kepalanya sampai terangkat. Saat 

itu Bayu tidak membuang-buang kesempatan lagi 

Kakinya terayun deras, dan masuk tepat di dada 

lawannya. 

“Akh!” 

Laki-laki tua kurus itu terpental ke belakang sejauh 

tiga batang tombak. Kesempatan itu digunakan Bayu 

untuk mengibaskan tangan kanannya ke depan. 

Secercah cahaya keperakan melesat cepat bagaikan 

kilat. Dan belum juga si Pedang Kilat sempat ambruk 

ke tanah, senjata Cakra Maut yang dilepaskan 

Pendeka Pulau Neraka amblas di dadanya. 

“Aaa...!” si Pedang Kilat menjerit melengking. 

Darah langsung muncrat dengan keras, begitu 

Cakra Maut kembali melesat keluar dari dalam dada 

yang berlubang cukup besar itu. Bayu mengangkat 

tangannya ke atas kepala, maka Cakra Maut kembali 

menempel di pergelangan tangan kanannya. 

Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan tubuhnya. 

Pandangannya langsung tertuju pada si Rantai Iblis 

Pencabut Nyawa. 

Langkah kakinya mantap, dan tatapan matanya 

tajam menusuk Si Rantai Iblis Pencabut Nyawa


beringsut mundur menyeret tubuhnya. Raut wajahnya 

nampak pucat pasi, dan seluruh tubuhnya bergetar 

bagai terserang malaria. Keringat sebesar butiran 

jagung menitik membasahi kening dan lehernya. 

“Kau akan bernasib sama dengan temanmu, 

keparat!” dingin suara Bayu Hanggara. 

“Tolong..., jangan bunuh aku...,” ratap si Rantai 

Iblis Pencabut Nyawa memelas. 

“Hey! Kenapa ketakutan begitu? Tadi kau kelihatan 

garang, dan bangga dengan julukanmu yang memuak-

kan,” ejek Bayu. 

“Tuan, aku mohon. Jangan bunuh aku...,” rengek 

laki-laki berbaju biru tua itu. 

“Tidak kusangka, kau akan ketakutan juga meng-

hadapi kematian,” sinis kata-kata Bayu. 

“Apa yang kau inginkan dariku, Tuan. Pasti akan 

kuberikan, asal kau tidak membunuhku.” 

“Baik! Katakan, siapa yang menyuruhmu meng-

hadang jalanku?” tanya Bayu, dingin suaranya. 

“Pendekar Pulau Neraka.” 

“Aku tidak main-main, Setan!” 

Plak! 

Tamparan tangan Bayu begitu keras mendarat di 

wajah laki-laki itu, sehingga tubuhnya sampai ter-

guling beberapa kali. Bayu melompat dan menjejak 

dada orang itu. Wajahnya nampak bengis, ditambah 

matanya yang memerah membara terselimut hawa 

kemeriahan. 

“Siapa yang menyuruhmu? Jawab!” bentak Bayu 

gusar. 

“Aku tidak bohong, Tuan. Aku.... Akh!” 

Bayu jadi geram setengah mati. Ditekannya dada 

orang itu dengan kuat. Darah menyembur muncrat


dari mulut laki-laki berbaju biru tua itu. Tulang-tulang 

dadanya berkeretuk patah. Pendekar Pulau Neraka 

itu setengah membungkuk, dan mencengkeram leher 

si Rantai Iblis Pencabut Nyawa. Cengkeramannya 

begitu kuat, membuat laki-laki bertampang angker itu 

meringis kesakitan. 

“Di mana dia sekarang?” tanya Bayu tetap dingin 

suaranya. 

“Di Istana Kadipaten.” 

“Hih!” 

Bayu mencampakkan tubuh orang itu dengan 

kasar. Lalu sambil berteriak keras, dihantamnya dada 

laki-laki berbaju biru tua itu dengan pengerahan 

tenaga dalam penuh. Si Rantai Iblis Pencabut Nyawa 

tidak mampu bersuara lagi. Kepalan tangan Bayu me-

lesak ke dalam dada hingga pergelangan tangan. 

Bayu mendorong tubuh orang itu dengan kakinya. 

Tangan kirinya berlumuran darah segar begitu keluar 

dari dalam dada si Rantai Iblis Pencabut Nyawa. 

Sebentar dipandangi tubuh-tubuh yang ber-

gelimpangan tak bernyawa lagi. 

“Siapa pun dia, harus mampus di tanganku!” desis 

Bayu menggeram penuh amarah. 

Pendekar Pulau Neraka itu segera melesat pergi ke 

arah Kadipaten Jati Anom. Lesatan yang begitu 

sempurna dan cepat bagaikan kilat. Dalam sekejap 

mata saja, bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat 

lagi. Sementara di sekitar tepian hutan itu kembali 

sunyi senyap dengan dua sosok tubuh menggeletak 

tak bernyawa lagi. 

***


Hari masih siang. Matahari telah naik tinggi tepat 

di atas kepala. Sinarnya yang terik menyengat, 

membuat kulit terasa panas terbakar. Kadipaten Jati 

Anom tampak sepi lengang, bagaikan sebuah kota 

mati tak berpenghuni. Hanya ada satu orang terlihat. 

Dialah Bayu Hanggara yang berjalan cepat menuju 

bangunan megah dikelilingi tembok benteng yang 

tinggi dan kokoh. 

Langkah kaki Pendekar Pulau Neraka itu berhenti 

di ambang pintu gerbang yang telah hancur porak-

poranda. Sepasang bola matanya tajam merayapi 

sekelilingnya. Keadaan bangunan istana kadipaten itu 

tampak kotor dan berantakan. Suasananya seperti 

baru saja terjadi pertempuran dahsyat. Pelahan-lahan 

Bayu mengayunkan kakinya melewati pintu gerbang 

itu. 

Ayunan kakinya pelan dan ringan. Tak ada sedikit 

pun suara terdengar. Hanya desiran angin saja yang 

mengusik gendang telinganya. Bayu terus melangkah 

melintasi halaman yang luas dan berantakan. Angin 

siang ini terasa begitu kencang berhembus me-

nerbangkan debu dan dedaunan kering. Pendekar 

Pulau Neraka itu berdiri tegak di tengah-tengah 

halaman depan istana kadipaten yang luas ini. 

Sing! 

“Hup!” 

Tiba-tiba saja dari arah depan meluncur sebatang 

tombak panjang. Bayu segera memiringkan tubuhnya 

ke kanan, lalu tangan kirinya bergerak cepat 

menangkap tombak itu. Dan belum lagi sempat mena-

rik tubuhnya, kembali sebuah tombak meluncur ke 

arahnya. 

“Hup! Yaaa...!”


Bayu memutar tombak yang berhasil ditangkapnya, 

dan dilemparkan dengan mengerahkan tenaga dalam 

penuh. Dua batang tombak berbenturan di tengah-

tengah, dan hancur berkeping-keping. Bayu berdiri 

tegak dengan tangan melipat di depan dada. 

“Ha ha ha...!” 

Tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar. 

Jelas tawa itu disertai pengerahan tenaga dalam yang 

cukup tinggi. Hal itu terbukti dengan daun-daunan 

yang berguguran, dan batu-batu kerikil yang ber-

lompatan seperti terkena gempa. Bayu segera 

mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengimbangi 

suara tawa itu. 

“Hup! Yaaa...!” 

Bayu menggerak-gerakkan tangannya di depan 

dada, lalu berteriak keras melengking tinggi. Teriakan 

yang disertai pengerahan tenaga dalam hampir men-

capai taraf kesempurnaan itu membuat suara tawa 

berhenti seketika. Bangunan megah itu dibuat ber-

getar, bagai diguncang gempa! 

Begitu suara teriakan Bayu hilang, dari dalam 

Istana Kadipaten Jati Anom melesat sebuah 

bayangan. Dan tahu-tahu di depan Pendekar Pulau 

Neraka telah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh 

agak bungkuk. Bajunya longgar berwarna merah. 

Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat 

dengan kepala berbentuk tengkorak manusia. 

Tongkat itu juga berwarna merah bagai berlumur 

darah. 

“He he he...! Kau benar-benar pendekar jantan, 

Pendekar Pulau Neraka,” kata laki-laki tua itu. Suara-

nya terdengar kecil dan serak, namun melengking 

tinggi menyakitkan telinga.


“Siapa kau?” tanya Bayu ketus. 

“Kau akan terkejut bila mendengar namaku, 

Pendekar Pulau Neraka,” sahut laki-laki tua itu. 

“Huh!” Bayu hanya mendengus saja. 

“Dengar baik-baik, Anak Muda. Aku yang bernama 

si Tua Tongkat Merah!” laki-laki tua itu memper-

kenalkan diri. 

Bayu mengerutkan keningnya sedikit. Memang 

pernah didengarnya nama itu dari gurunya. Eyang 

Gardika di Pulau Neraka. Nama yang menjadi musuh 

bebuyutan, dan yang telah membuat cacat Eyang 

Gardika. Si Tua Tongkat Merah adalah salah satu dari 

orang yang mengeroyok guru Bayu itu. 

“Sudah lama kuikuti perkembanganmu, Anak 

Muda. Sepak terjangmu tidak berbeda jauh dari si 

keparat Gardika!” kata si Tua Tongkat Merah itu lagi. 

“Mengapa kau memakai namaku?” tanya Bayu. 

“He he he.... Aku hanya ingin memancingmu. Aku 

tahu kau datang ke sini untuk mencari Adipati 

Rakondah untuk membalas dendam. Aku juga tahu 

kau berhasil membunuhnya. Kesempatan itu kuper-

gunakan untuk memancingmu, sekaligus membukti-

kan anggapan semua orang yang mengatakan bahwa 

kau manusia berbahaya yang tidak boleh dibiarkan 

hidup!” 

“Licik!” geram Bayu marah. 

“Kau baru seumur jagung, Anak Muda. 

Pengalamanmu belum seberapa dalam pahit getirnya 

kehidupan rimba persilatan. Pertarungan tidak hanya 

mengandalkan kekuatan dan tingginya tingkat kepan-

daian. Tapi juga ini...!” si Tua Tongkat Merah menge-

tuk-ngetuk keningnya sendiri.


“Tua bangka busuk! Kau harus menanggung 

semua kelicikanmu!” dengus Bayu menggeram. 

“He he he...! Bocah baru kemarin sore sudah besar 

kepala. Gurumu saja tidak mampu menghadapiku.... 

He he he...!” si Tua Tongkat Merah terkekeh meng-

ejek. 

“Setan keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaa...!” 

Bayu tidak bisa mengendalikan amarahnya lagi. 

Pantang baginya berhadapan dengan orang yang 

menghina gurunya. Dengan kecepatan kilat, Pendekar 

Pulau Neraka itu melompat sambil mengirimkan 

beberapa pukulan beruntun. 

“Uts!” 

Si Tua Tongkat Merah berlompatan menghindari 

serangan Bayu Hanggara. Tubuh tua setengah 

bungkuk yang kelihatannya rapuh itu, ternyata begitu 

gesit dan tangkas. Gerakan kakinya lincah, dan 

tubuhnya sangat lentur. Beberapa kali pukulan dan 

tendangan Bayu hampir mengenai sasaran, tapi laki-

laki tua berbaju merah itu masih mampu meng-

hindarinya. 

“He he he..., kau boleh juga, Anak Muda!” si Tua 

Tongkat,Merah terkekeh. 

“Awas kepala!” bentak Bayu tiba-tiba. 

“Uts!” 

Si Tua Tongkat Merah langsung berhenti tawanya. 

Buru-buru dirundukkan kepalanya begitu tangan kiri 

Bayu melayang ke arah kepalanya. Tapi begitu merun-

duk, tidak terduga sama sekali, tangan kanan 

Pendekar Pulau Neraka itu menyodok ke arah 

lambung. 

“Heh!”


Si Tua Tongkat Merah tersentak kaget. Dengan 

cepat dia melompat mundur menghindari serangan 

mendadak dan tidak terduga itu. Kesempatan ini 

tidak disia-siakan begitu saja oleh Pendekar Pulau 

Neraka. Dengan cepat dimiringkan tubuhnya ke kiri 

setengah membungkuk, dan kakinya tertekuk hampir 

menyentuh tanah. Seketika itu juga tangan kanannya 

mengibas ke depan. 

Secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai-

kan kilat Si Tua Tongkat Merah terperangah sesaat. 

Buru-buru diangkat tongkatnya dan diputarnya 

dengan cepat, membuat perisai bagi dirinya sendiri. 

Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, dan 

Cakra Maut melesat cepat ke atas. Begitu tangan 

Bayu menghantam ke bawah, senjata bulat pipih 

bergerigi enam buah itu langsung meluruk turun ke 

bawah. 

“Edan!” dengus si Tua Tongkat Merah terperanjat. 

Buru-buru dikibaskan tongkatnya ke atas kepala. 

Pada saat itu, Bayu melompat cepat dengan kaki 

kanan tertuju ke depan. Lompatan yang cepat dan 

deras itu, membuat si Tua Tongkat Merah kelabakan. 

Tidak mungkin ditarik tongkatnya kembali yang 

berada di atas kepala untuk menangkis serangan 

senjata Cakra Maut. 

Tidak ada kesempatan lagi. Si Tua Tongkat Merah 

mendorong tangan kirinya ke depan, dan langsung 

berbenturan dengan telapak kaki Pendekar Pulau 

Neraka. 

“Akh!” 

Si Tua Tongkat Merah terpental dua batang 

tombak ke belakang. Sedangkan Bayu melesat ke 

udara, dan bersalto dua kali sebelum kakinya kembali


menjejak tanah Sementara si Tua Tongkat Merah 

makin terperanjat setengah mati. 

Ternyata pada saat yang bersamaan, senjata Cakra 

Maut telah membabat tongkatnya hingga terpotong 

jadi dua bagian. Si Tua Tongkat Merah memang tidak 

bisa membagi dua kekuatan secara penuh. Dua 

serangan yang datang secara bersamaan mem-

buatnya harus membagi dua kekuatan. Dan itu 

sangat fatal akibatnya. 

Tangan kirinya tidak bisa digerakkan lagi. Seluruh 

tulang tangan kirinya remuk, sedangkan tongkat 

kebanggaannya terpotong jadi dua. Si Tua Tongkat 

Merah hampir tidak percaya dengan kenyataan yang 

dihadapinya. Benar-benar tidak disangka kalau 

Pendekar Pulau Neraka bisa melakukan dua 

serangan dalam waktu yang bersamaan! 

Hal itu tidak pernah diduga sebelumnya. Dia kenal 

betul Gardika yang menjadi guru tunggal Pendekar 

Pulau Neraka. Beberapa kali si Tua Tongkat Merah 

bentrok dengan Gardika. Dan sudah barang tentu dia 

mengenal betul jurus-jurusnya. Tingkat kepandaian-

nya dengan Gardika memang seimbang. Bahkan 

kalau boleh dikatakan, dia berada satu tingkat di 

atasnya. Tapi kenyataan yang kini dihadapinya, 

sungguh diluar dugaan. 

“Kau ternyata lebih sempurna dari Gardika, 

Pendekar Pulau Neraka!” kata si Tua Tongkat Merah 

memuji tulus. 

“Hhh! Pertarungan belum selesai, Tua Bangka!” 

dengus Bayu ketus. 

“Jangan besar kepala dulu! Aku belum kalah!” 

“Hup, yaaa...!” 

***


Pertarungan antara Bayu Hanggara dengan si Tua 

Tongkat Merah kembali berlangsung sengit. Masing-

masing mengerahkan jurus-jurus andalannya. 

Semakin banyak jurus yang dikeluarkan, semakin 

disadari kalau Pendekar Pulau Neraka berada di atas 

angin. 

Tentu saja hal ini sangat mengejutkan si Tua 

Tongkat Merah. Jurus-jurus yang dimiliki Pendekar 

Pulau Neraka tidak berbeda jauh, bahkan sama 

persis dengan yang dimiliki Gardika. Hanya saja 

dalam diri Pendekar Pulau Neraka, jurus-jurus itu 

semakin mantap dan lebih sempurna. Bahkan begitu 

banyak gerak tipuan disertai penggabungan beberapa 

jurus. 

Penggabungan beberapa jurus inilah yang mem-

buat si Tua Tongkat Merah jadi kelabakan. Dia selalu 

mati langkah, dan sering kecolongan. Beberapa kali 

pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya, meski-

pun pukulan dan tendangannya juga bisa disarangkan 

ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi tanpa tongkat 

yang utuh, si Tua Tongkat Merah bagaikan macan 

yang kehilangan hampir seluruh giginya. 

“Modar! Hiya...!” teriak Bayu keras. 

Dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu 

melepaskan beberapa pukulan beruntun dari arah 

depan, lalu disusul dengan dua buah tendangan kaki 

kanan dan kiri. Serangan itu demikian cepat, 

sehingga membuat si Tua Tongkat Merah kewalahan 

menghindarinya. Hingga.... 

“Akh!” si Tua Tongkat Merah memekik tertahan. 

Satu pukulan keras jurus 'Pukulan Racun Hitam' 

berhasil mendarat di dadanya. Si Tua Tongkat Merah 

terhuyung ke belakang dengan tangan kiri menekap


dada. Begitu tangannya diturunkan, tampak di dada 

yang kurus tergambar telapak tangan berwarna hitam 

kebiru-biruan. Dari sudut bibirnya pun mengalir darah 

kental kehitaman. 

Bayu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan 

dada. Matanya menatap tajam, sedangkan bibirnya 

menyunggingkan senyuman tipis dan sinis. 

Sementara si Tua Tongkat Merah menggerak-

gerakkan tangannya, berusaha menghimpun hawa 

murni untuk membendung racun yang mulai menjalar 

merasuki peredaran jalan darahnya. Disadarinya 

kalau 'Pukulan Racun Hitam' sangat berbahaya. 

“Kau hebat, Pendekar Pulau Neraka...,” pelan dan 

agak tersendat suara si Tua Tongkat Merah. 

“Dan kau tinggal menunggu kematian, Tua 

Bangka!” sambut Bayu dingin. 

“Ugh!” 

Si Tua Tongkat Merah menyemburkan darah kental 

kehitaman dari mulutnya. Tubuhnya semakin limbung, 

dan kakinya bergetar, sepertinya tidak mampu lagi 

menopang berat tubuhnya. Dan pada muntahan 

darah kedua kalinya, tubuhnya langsung ambruk. 

Bayu melepaskan jurus 'Pukulan Racun Hitam' 

dengan tenaga penuh. Dan sudah tentu akibatnya 

sangat fatal. Bukan hanya racun yang menjalar di 

seluruh aliran darah, tapi juga membuat tulang-tulang 

dada remuk Sebentar. si Tua Tongkat Merah meng-

gelepar, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Saat itu 

juga nyawanya melayang dari badan. 

“Hhh...!” Bayu mendesah panjang 

***


Bayu baru saja membalikkan tubuhnya, menjadi 

terperanjat karena di depannya kini sudah berdiri 

seorang laki-laki tua berjubah putih. Bayu kenal betul 

siapa laki-laki tua itu. Dia tidak lain dari Eyang 

Watuagung. Seorang tua yang selalu jadi panutan dan 

amat disegani seluruh rakyat Kadipaten Jati Anom. 

Bahkan para penduduk desa-desa di sekitar Gunung 

Rangkas pun sangat menghormatinya. Hal itu bisa 

saja terjadi karena Eyang Watuagung pernah 

menjabat sebagai adipati di Kadipaten Jati Anom ini. 

“Eyang...,” desis Bayu merasa sungkan. 

“Untuk apa kau kembali lagi ke sini, Pendekar 

Pulau Neraka?” tanya Eyang Watuagung. Dingin 

suaranya. 

“Rasanya tidak perlu kujelaskan lagi, Eyang,” sahut 

Bayu seraya melirik mayat si Tua Tongkat Merah. 

“Kau tahu siapa dia?” 

“Ya! Dia salah seorang yang telah menganiaya dan 

membuat cacat guruku,” sahut Bayu lagi. 

“Aku tidak peduli siapa gurumu!” 

Bayu agak tertegun mendengar kata-kata bernada 

kasar itu. Tapi dicobanya bersabar. Meskipun Eyang 

Watuagung adalah guru dari orang yang pernah jadi 

musuhnya, Bayu tetap menghormati karena sikapnya 

yang arif dan bijaksana. Bahkan Eyang Watuagung 

pernah mencoba menghalangi tindakannya dan 

hampir membunuhnya di dasar jurang. Bayu dapat 

memaklumi hal itu. Seorang guru pasti tidak akan


berdiam diri melihat muridnya terancam bahaya. 

Demikian juga sebaliknya. 

“Kau tahu, orang yang terbujur itu? Dia bernama 

Hastama, adik kandungku!” kata Eyang Watuagung 

dengan nada suara agak tertahan. 

“Oh!” Bayu benar-benar terkejut mendengarnya. 

Sama sekali tidak disangka kalau si Tua Tongkat 

Merah adalah adik kandung Eyang Watuagung. 

Sesaat kemudian Pendekar Pulau Neraka itu 

mengeluh dalam hati. Bukannya gentar menghadapi 

laki-laki tua itu, tapi rasa sungkan dan hormat 

membuatnya enggan untuk kembali bentrok. 

“Aku bisa memahami dan memaklumi saat kau 

membunuh kedua muridku, Pendekar Pulau Neraka! 

Tapi sekarang, kau juga telah membunuh adik 

kandungku! Di saat aku sedang berusaha menyadar-

kan kekeliruannya. Perbuatanmu benar-benar tidak 

bisa kumaafkan lagi!” semakin dingin nada suara 

Eyang Watuagung. 

“Eyang! Aku sungkan padamu, dan aku juga 

menghormatimu sebagaimana rakyat kadipaten ini 

menghormatimu. Aku membunuh muridmu karena 

dia telah membantai keluargaku dan memporak-

porandakan padepokan milik ayahku. Dan sekarang 

adik kandungmu, dia sengaja memancingku ke sini 

dengan menyebarkan fitnah dan merusak nama 

baikku. Dia telah menganiaya guruku, dengan mem-

buntungi kedua kaki dan membutakan matanya! Dia 

tidak suka ada orang yang mewarisi ilmu-ilmu Eyang 

Gardika, makanya sengaja memancingku ke sini dan 

ingin membunuhku karena aku murid musuhnya! 

Apakah aku salah kalau semua yang kulakukan hanya


untuk membela diri dan rasa bakti pada orang tua 

dan guruku?” lantang dan gamblang kata-kata Bayu. 

Eyang Watuagung terdiam. 

“Eyang adalah seorang yang sangat dihormati dari 

menjadi panutan semua orang. Aku pun sangat 

menghormatimu. Sepertinya berat jika rasa hormatku 

rusak hanya karena masalah kecil dan kesalah-

pahaman yang tidak berarti,” lanjut Bayu. 

Eyang Watuagung semakin terdiam mendengar 

penjelasan Bayu yang gamblang. Diakui kalau dia 

tidak bisa menyalahkan penuh pada Pendekar Pulau 

Neraka itu. Secara jujur, Eyang Watuagung merasa 

malu dengan perbuatan kedua murid dan adik 

kandungnya. Tidak ada salahnya jika Bayu membalas 

dendam dan membela martabat orang tua dan 

gurunya. Di samping itu pula, kehadiran Bayu 

sekarang ini bukan kehendaknya sendiri. 

Secara diam-diam, Eyang Watuagung memang 

mengikuti Pendekar Pulau Neraka saat memasuki 

Kadipaten Jati Anom ini. Dan dia terus mengawasi 

kejadian di halaman depan istana kadipaten ini. 

Semua pembicaraan dan semua yang terjadi didengar 

dan dilihatnya. Hatinya mengakui kalau sikap dan 

perbuatan Bayu adalah ciri seorang pendekar sejati. 

Datang menantang lawan dengan sikap jantan dan 

tidak bertindak curang. Pertarungannya juga murni, 

meskipun terlihat kejam pada lawannya. Hal itu 

memang bisa dimaklumi dalam dunia kependekaran. 

“Maaf, kalau kata-kata dan perbuatanku terlalu 

kasar dan menyinggung perasaanmu selama ini. Aku 

tidak tahu harus berkata dan berbuat apa lagi untuk 

menjelaskannya. Semua yang kulakukan bukan 

berdasar kebencian semata. Aku hanya....”


“Cukup!” sentak Eyang Watuagung memotong. 

Bayu langsung diam. 

“Sebaiknya kau cepat tinggalkan kadipaten ini! 

Dan kuminta jangan kembali lagi ke sini dengan 

meninggalkan mayat-mayat,” tegas Eyang Watuagung. 

Sesaat Bayu tertegun. 

“Aku tidak menyalahkanmu, dan juga tidak mem-

benarkan segala tindakanmu. Meskipun kau telah 

melangkahiku. Dan sebelum pikiranku berubah, 

sebaiknya segera kau tinggalkan Kadipaten Jati 

Anom!” tegas kata-kata Eyang Watuagung. 

Sejenak Bayu menatap pada laki-laki tua berjubah 

putih itu, kemudian melangkah pergi. Eyang 

Watuagung masih berdiri tegak memandangi 

kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Batinnya terasa 

terpukul dengan semua peristiwa yang terjadi secara 

beruntun di tanah kelahirannya ini. 

“Oh, Tuhan..., mengapa Kau timpakan cobaan 

begini berat padaku...?” desis Eyang Watuagung lirih. 

Eyang Watuagung melangkah mendekati mayat si 

Tua Tongkat Merah. Dia berlutut di samping tubuh 

yang sudah tidak bernyawa lagi. Batinnya benar-benar 

bergolak menghadapi kenyataan pahit ini. Hatinya 

menjerit dan teramat sakit. Kematian adik kandung-

nya ini teramat tragis, dan berlangsung di depan 

matanya. 

“Aku memang sudah berjanji untuk selalu me-

lindungimu, Adikku. Tapi kau bukan anak kecil lagi. 

Selalu kuperingatkan agar kau jangan mengobarkan 

api yang hampir padam...,” lirih suara Eyang 

Watuagung. 

Kepala laki-laki tua itu tertunduk dalam. Sebentar 

matanya terpejam rapat, lalu kembali terbuka seraya


mengangkat kepalanya ke atas. Tarikan napasnya 

begitu berat. 

“Sejak kecil kita selalu bersama-sama, Adikku. Kita 

selalu saling membela. Kita selalu saling merasakan 

bila tersakiti. Kini kau telah tiada, dan aku merasa 

diriku juga telah mati. Ah...! Seharusnya aku 

membalas kematianmu, Hastama. Tapi..., ah, tidak! 

Aku tidak boleh mendendam. Dendam bukan satu-

satunya jalan mencari penyelesaian. Dendam dapat 

mengakibatkan timbulnya permasalahan baru yang 

tidak akan pernah berakhir, Hastama! Relakan dirimu 

pergi, dan aku juga akan merelakanmu. Biarlah 

semuanya menjadi kenangan dan menjadi cambuk 

dalam kehidupan. Selamat jalan, Adikku,” semakin 

lirih suara Eyang Watuagung. 

Eyang Watuagung mengangkat tubuh yang sudah 

tidak bernyawa lagi itu, kemudian pelahan-lahan kaki-

nya melangkah. Saat itu senja mulai merayap turun. 

Bias-bias cahaya matahari mengintip dari balik awan 

hitam. Eyang Watuagung terus berjalan pelahan-lahan 

meninggalkan halaman depan Istana Kadipaten Jati 

Anom. 

*** 

Eyang Watuagung berdiri tegak memandangi 

gundukan tanah merah yang masih baru. Pada bagian 

ujungnya tertancap sebatang tongkat berkepala teng-

korak manusia. Tanpa terasa, setitik air bening meng-

gulir di pipinya. Setegar apa pun, hatinya terasa teriris 

juga menghadapi kematian satu-satunya adik 

kandung yang sudah bertahun-tahun berpisah. 

Sejak kemarin sore, sampai menjelang pagi ini, 

Eyang Watuagung berdiri mematung di samping


makam adiknya. Dia baru mengangkat kepala begitu 

merasakan sengatan matahari mulai membakar 

kulitnya. Saat itu baru disadari kalau telah 

semalaman penuh dia berdiri dengan pikiran meng-

ambang, melayang-layang tidak tentu arah dan 

tujuannya. 

Kepalanya berpaling ke kanan ketika mendengar 

suara langkah kaki menuju ke arahnya. Kelopak 

matanya agak menyipit melihat Intan Delima dan 

Indranata datang. Eyang Watuagung melangkah 

menuju sebuah pohon rindang, kemudian duduk di 

bawah pohon itu. Intan sempat berhenti dan me-

mandang gundukan tanah merah itu, kemudian 

mendekati dan duduk di samping Indranata yang 

telah lebih dahulu berada di depan laki-laki tua 

berjubah putih itu. 

“Dari mana kalian tahu aku ada di sini?” tanya 

Eyang Watuagung. 

“Seorang perambah hutan kebetulan melihat 

Eyang berada di sini,” sahut Indranata. 

“Eyang! Makam siapa itu?” tanya Intan melirik ku-

buran yang masih baru. 

“Adikku,” sahut Eyang Watuagung. 

“Eyang Hastama?” Intan ingin kejelasan. 

“Ya. 

Intan memandangi kuburan itu. Dia ingat ketika 

masih kecil dulu, Eyang Hastama-lah yang meng-

ajarkan dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Dan ketika 

ibunya meninggal, Eyang Hastama pula yang selalu 

menghiburnya. Meskipun sikap dan segala tindakan-

nya kasar, tapi di mata Intan, Eyang Hastama merupa-

kan seorang yang paling baik dan bijaksana.


“Kapan Eyang Hastama meninggal?” tanya Intan 

kembali berpaling ke arah Eyang Watuagung 

“Kemarin sore,” sahut Eyang Watuagung. 

“Bertarung?” tanya Intan lagi. 

“Ya.” 

“Dengan siapa?” 

“Pendekar Pulau Neraka.” 

Seketika itu juga Intan merasakan jantungnya 

berhenti berdetak. Sedangkan Indranata langsung 

menatap pada gadis itu. Sementara Intan menatap 

tajam, meminta penjelasan pada laki-laki berjubah 

putih di depannya. 

“Sudanlah, Intan. Pertarungan itu jujur dan 

ksatria,” jelas Eyang Watuagung seolah-olah bisa 

mengerti perasaan dan tatapan mata gadis itu. 

“Keterlaluan! Benar-benar keparat dia!” geram 

Indranata. 

“Indranata!” sentak Eyang Watuagung. 

“Maaf, Eyang. Perbuatan Pendekar Pulau Neraka 

tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini sudah keterlaluan! 

Pertama, yang dibunuh Paman Adipati Rakondah dan 

Paman Panglima Bantaraji. Semuanya murid Eyang. 

Dan sekarang dia membunuh Eyang Hastama. Entah 

besok, lusa, atau kapan waktu dia pasti membunuh 

kita semua! Aku tidak bisa menerima semua ini, 

Eyang! Perbuatannya harus dihentikan!” ujar 

Indranata berapi-api. 

“Hentikan kata-katamu, Indranata!” bentak Eyang 

Watuagung. 

“Eyang....” 

“Cukup!” 

Indranata langsung bungkam. Kepalanya tertunduk 

dalam. Bentakan Eyang Watuagung begitu keras, dan


menciutkan hatinya. Sementara Intan hanya diam 

saja. Hatinya benar-benar tidak menentu saat ini. 

“Indranata! Aku tidak pernah mengajarkanmu 

untuk mendendam. Buang jauh-jauh perasaan 

dendam di hatimu. Aku tidak mengerti, setan mana 

yang mengurung hatimu, sehingga kau bisa berkata 

begitu?” Eyang Watuagung menggeleng-gelengkan 

kepala. 

“Maafkan, Eyang. Aku hanya....” 

“Ah, sudahlah!” potong Eyang Watuagung cepat. 

Indranata kembali diam. Dia memang tidak 

mungkin membantah dan berdebat dengan gurunya 

ini. Meskipun hatinya masih membara, tapi tidak 

mungkin untuk menentang kata-kata Eyang Watu-

agung. Indranata melirik Intan yang hanya diam saja 

tanpa berkata sepatah kata pun. 

“Untuk apa kalian meninggalkan pondok?” tanya 

Eyang Watuagung setelah lama terdiam. 

Tidak ada yang menjawab. 

“Intan...?” Eyang Watuagung menatap Intan 

Delima. 

'Mencari Eyang,” sahut Intan pelan suaranya. 

“Kau lupa pesanku, Intan.” 

“Sudah tiga purnama lebih Eyang tidak kembali. 

Aku hanya khawatir, Eyang. Tidak ada maksud lain,” 

jelas Intan agak bergetar suaranya. 

“Sebaiknya kalian kembali ke pondok. Aku akan ke 

Kadipaten Jati Anom, sampai ada pengganti adipati,” 

kata Eyang Watuagung. 

Intan dan Indranata saling berpandangan, 

kemudian beranjak bangkit berdiri. Setelah menjura 

memberi hormat, kedua anak muda itu berbalik dan 

melangkah pergi. Sementara Eyang Watuagung juga



segera berlalu menuju Kadipaten Jati Anom. Tapi baru 

saja berjalan beberapa langkah, mendadak berhenti. 

“Hm..., mereka pasti bukan mencariku,” gumam 

Eyang Watuagung. “Ah, tidak! Itu tidak boleh ter-

jadi...!” 

Eyang Watuagung tersentak kaget, dan langsung 

berbalik. Sebentar dipandang arah kepergian Intan 

dar Indranata pergi. Laki-laki tua berjubah putih itu 

baru menyadari kalau kepergian cucu dan muridnya 

bukan menuju ke Gunung Rangkas. Tanpa berpikir 

panjang lagi, Eyang Watuagung langsung melesat 

mengejar kedua muridnya. 

***

Saat itu Intan dan Indranata sudah tiba di tepi 

hutan yang berbatasan dengan Desa Sirna Galih. 

Mereka sempat terkejut begitu melihat tiga sosok 

mayat tergeletak berlumuran darah. Sekitar tempat 

itu juga porak-poranda, seperti bekas terjadi 

pertempuran. Intan mengajak Indranata untuk terus 

berlalu. 

“Eyang Watuagung pasti marah kalau tahu kita 

tidak kembali ke pondok, Intan,” kata Indranata 

sambil terus melangkah menyusuri tepian hutan itu. 

“Aku kan sudah bilang, tidak ada gunanya mencari 

Pendekar Pulau Neraka. Eyang Watuagung juga tidak 

mengijinkan,” sahut Intan. 

“Tapi, Intan. Perbuatannya sudah keterlaluan!” 

Intan tidak menyahuti. 

“Kau masih mencintainya, Intan?” tanya Indranata 

setengah menyelidik. 

“Entahlah,” sahut Intan mendesah.


Indranata berhenti melangkah. Ditatapnya Intan 

Delima dalam-dalam. Setiap kali menanyakan hal itu, 

dan jawabannya selalu sama. Maka dada Indranata 

langsung bergemuruh. Indranata mengakui kalau dia 

merasa cemburu. Yang diinginkan, agar Intan menum-

pahkan rasa cinta hanya pada dirinya saja. 

“Kenapa kau memandangku seperti itu?” tegur 

Intan. 

“Sebaiknya kita kembali saja ke pondok,” kata 

Indranata pelan. Suaranya terdengar datar tanpa 

tekanan sama sekali. 

“Kenapa?” kali ini Intan agak terkejut. 

“Tidak mungkin aku dapat menghadapinya. Kau 

pasti tidak ingin melihat dia terluka, apalagi tewas,” 

ada nada kecemburuan pada suara Indranata. 

Intan Delima hanya memandang pada sorot mata 

pemuda itu. Bisa dirasakan ada nada kecemburuan 

pada suara lndranata. Dia tahu kalau pemuda itu 

mencintainya dengan tulus dan murni, lapi Intan 

belum bisa memupuskan cintanya pada Bayu 

Hanggara, Pemuda tampan dan gagah, juga berilmu 

sangat tinggi. Pemuda yang telah membuat hatinya 

terpisah-pisah bagai kepingan kapal terhempas badai. 

Gadis itu memang mendendam dan membenci 

Pendekar Pulau Neraka. Tapi juga sangat men-

cintainya. Ingin dia membunuhnya, mencabik-cabik 

tubuh nya, meminum darahnya. Tapi rasa cinta yang 

amat besar selalu menghalangi dan memupuskan 

keinginannya itu. Sedangkan cinta lndranata begitu 

besar, tulus dan murni. Apakah dia akan mengecewa-

kan pemuda itu? Padahal pemuda ini selalu mem-

perhatikan, dan rela mengorbankan nyawa demi 

cintanya.


“Ah...!” Intan menggeleng-gelengkan kepalanya 

“Ayo, jalan lagi,” ajaknya. 

“Kau menyembunyikan sesuatu, Intan,” tebak 

Indranata. 

“Tidak!” sahut Intan. “Ah, sudahlah. Ayo kita cari 

Pendekar Pulau Neraka. Aku pasti akan membantumu 

untuk membunuhnya!” 

“Kau tidak sungguh-sungguh, Intan.” 

“Aku serius!” 

“Sungguh?” 

“Iya!” 

lndranata tersenyum mendengar jawaban bernada 

sungguh-sungguh itu. Kemudian dilingkarkan tangan-

nya ke pinggang gadis itu dan dipeluknya erat-erat. 

Namun dengan halus Intan melepaskan pelukan pe-

muda itu. Agak terkejut juga gadis itu, karena pelukan 

lndranata demikian ketat dan sukar dilepaskan. 

“Kakang....” 

lndranata tidak peduli lagi dengan penolakan 

Intan. Dengan liar disumpalnya bibir gadis itu dengan 

bibirnya. Intan hanya bisa menggumam dan men-

desis. Gadis itu memegang tangan lndranata yang 

mulai nakal merayapi tubuhnya. Dan pada saat bibir 

pemuda itu lepas dari bibirnya, Intan segera 

melangkah mundur seraya mendorong dada pemuda 

itu dengan halus. 

“Kau nakal, Kakang,” desah Intan agak terengah. 

lndranata hanya tersenyum saja. Ingin digamitnya 

pinggang gadis itu kembali, tapi Intan lebih cepat 

berkelit dan melangkah kembali. lndranata mengikuti-

nya, dan mensejajarkan langkahnya di samping Intan. 

Tangannya memeluk pinggang gadis itu. Intan tidak 

bisa menolak tangan yang melingkari pinggangnya.


Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi. 

Sesekali Intan menggelinjang jika jari-jari tangan 

lndranata mulai nakal. Dan saat tiba di tepi sungai, 

langkah mereka langsung terhenti. Pandangan 

mereka tidak berkedip, tertumbuk pada sesosok 

tubuh yang tengah duduk bersandar di bawah pohon 

rindang. Saat itu Intan merasa jantungnya berhenti 

berdetak lndranata melepaskan pelukannya di 

pinggang gadis itu. 

“Kakang Bayu...,” desis Intan tidak sadar. 

***


 

Pemuda berbaju kulit harimau yang duduk bawah 

pohon itu berpaling. Keningnya sedikit berkerut 

melihat Intan dan Indranata. Pemuda itu bangkit dan 

berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. 

Sedangkan Indranata melangkah menghampiri. 

Tatapan matanya tajam menusuk. 

Tanpa berkata apa-apa lagi, Indranata langsung 

melompat dan menyerang. Tentu saja Bayu terkejut, 

lalu buru-buru melompat ke samping menghindari 

serangan itu. Tapi Indranata tidak menghentikan 

serangannya. Gagal dengan serangan pertama, maka 

disusul dengan serangan kedua yang lebih hebat. 

“Hey, tunggu...!” seru Bayu terus berkelit meng-

hindari serangan yang gencar itu. 

“Ayo! Lawanlah aku, pendekar keparat! Kita ber-

tarung sampai mati!” geram Indranata. 

“Hup!” 

Bayu melentingkan tubuhnya ke atas ketika kaki 

Indranata berputar menyambar ke arah kakinya. Dua 

kali Bayu berputar di udara, kemudian dengan manis 

mendarat agak jauh dari pemuda itu. Sementara 

Intan Delima tetap diam. Perasaannya diliputi 

kebimbangan. 

“Ada apa ini? Mengapa kau menyerangku?” tanya 

Bayu minta penjelasan. 

“Jangan banyak tanya! Kau harus mampus 

sekarang juga!” bentak Indranata. 

“Hey...! Hup!”


Bayu tidak dapat bertanya lagi, karena Indranata 

kembali menyerang dengan jurus-jurus tangan kosong 

yang cepat dan bertenaga dalam cukup tinggi. Pukul-

an-pukulan Indranata demikian dahsyat. Pohon-pohon 

di sekitarnya tumbang berantakan terkena pukulan 

nyasar. Bayu tetap berkelit dan berlompatan menghin-

dar tanpa balas menyerang. Beberapa kali Indranata 

diperingatkan agar berhenti menyerang, tapi tidak 

digubris sama sekali. 

“Berhenti...!” teriak Intan keras dan tiba-tiba. 

Bayu seketika menoleh. Dan pada saat yang sama, 

Indranata melontarkan satu pukulan telak disertai 

pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Bayu tidak 

bisa mengelak lagi. Tubuhnya terpental ketika 

pukulan Indranata menghantam telak dadanya. 

Sebuah pohon yang sangat besar langsung terbentur 

punggung Pendekar Pulau Neraka itu. 

“Hoek...!” 

Bayu memuntahkan darah kental dari mulutnya. 

Bergegas dia bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan 

tangannya. Dia tengah menghimpun hawa murni yang 

kemudian disalurkannya ke bagian dada. Rasa sesak 

menyelimuti seluruh dadanya. Pukulan Indranata de-

mikian keras dan hampir meremukkan tulang-tulang 

dada Pendekar Pulau Neraka itu. 

Sekali lagi Bayu memuntahkan darah dari mulut-

nya, kemudian menatap Indranata yang sudah melo-

loskan pedang pendek berwarna hitam pekat. Bayu 

menggeleng-gelengkan kepalanya sebentar, mencoba 

mengusir rasa pening akibat napasnya sempat ter-

ganggu tadi. Sementara Intan berlari menghampiri

Pendekar Pulau Neraka itu, tapi Indranata lebih cepat 

melompat menghadang.


“Intan...!” sentak Indranata seraya menatap tajam 

pada gadis itu. 

Intan tampak kebingungan. Sebentar menatap 

Indranata, sebentar kemudian beralih pada Bayu 

Hanggara. Sementara itu Pendekar Pulau Neraka 

berhasil mengatur napasnya kembali, meskipun 

dadanya masih sedikit terasa nyeri. 

“Kakang, sudah..., jangan diteruskan,” pinta Inta 

memohon. 

“Aku harus membunuhnya, Intan! Dia berhutang 

tiga nyawa, dan aku harus membalas kematian 

mereka!” tegas Indranata. 

“Lupakan saja, Kakang.” 

“Lupakan? Heh! Tidak semudah itu, Intan! Dia 

telah membunuh dua orang murid Eyang Watuagung, 

membunuh ayahmu, membunuh adik kandung Eyang, 

Dan dia juga telah menyakiti hatimu! Apakah semua 

ini harus dilupakan? Dan membiarkannya bebas 

hidup lalu membunuh orang-orang yang tidak 

berdosa. Tidak, Intan. Aku tidak bisa membiarkan 

orang seperti dia hidup lebih lama lagi!” lantang suara 

Indranata. 

“Aku mohon padamu, Kakang. Lupakan saja 

Sebaiknya kita kembali ke pondok,” kata Intan 

berharap. 

“Minggiriah, Intan!” dingin nada suara Indranata. 

“Kakang... Oh!” 

Intan terdorong ke samping. Indranata langsung 

melompat menendang Pendekar Pulau Neraka. Saat 

itu Bayu memang sudah siap untuk menghadapi 

serangan pemuda itu kembali. Dan pada saat pedang 

hitam di tangan Indranata menebas ke arah lehernya, 

dengan cepat Bayu menarik kepalanya ke belakang.


Dengan gerakan bagaikan kilat, kaki kanannya cepat 

melayang menghantam perut Indranata. 

“Hugh!” Indranata mengeluh tertahan. 

Selagi tubuh Indranata terbungkuk, satu pukulan 

keras mendarat di wajahnya. Kepala pemuda itu 

terdongak ke atas. Dan sekali lagi Bayu mendaratkan 

tendangan keras ke dada pemuda itu. Indranata 

langsung terjungkal ke belakang. Namun pemuda itu 

cepat bangkit kembali. 

“Kakang...!” Intan menghampiri Indranata. 

Gadis itu memeluk dan menghapus darah yang 

meleleh di sudut bibir pemuda itu. Indranata melepas-

kan pelukan Intan dan mendorongnya ke samping. 

Dia menggeram hebat, dan kembali menyerang 

Pendekar Pulau Neraka dengan jurus-jurus 'Naga 

Kembar'. 

Kali ini Bayu sedikit kerepotan juga meng-

hadapinya. Jurus-jurus yang dimainkan Indranata luar 

biasa dahsyatnya. Tebasan pedangnya menimbulkan 

hawa panas yang menyesakkan dada. Tempat di 

sekitar pertarungan seperti hampa udara. Bayu 

segera mengalihkan pernapasannya melalui perut. 

Disadarinya bahwa menghadapi jurus itu tidak dapat 

dilakukan dengai pernapasan biasa. 

Jurus demi jurus berlalu cepat. Tidak terasa, 

lndranata telah menghabiskan lebih dari tiga puluh 

jurus. Tapi sampai sejauh itu belum bisa menyentuh-

kan pedangnya ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. 

Meskipun beberapa kali pukulan dan tendangannya 

berhasil disarangkan, tapi dia juga tidak luput dari 

pukulan dan tendangan Pendekar Pulau Neraka. 

“Huh!” Indranata mendengus keras.


Memasuki jurus yang keempat puluh, Indranata 

mulai merasa tangannya pegal dan kesemutan. Lalu 

pelahan-lahan tenaganya seperti terkuras, terserap ke 

dalam Pedang Naga Hitam Kembar. Indranata sadar 

kalau dalam beberapa saat lagi pasti tidak dapat 

mengendalikan pedangnya. Dengan demikian, 

kemungkinan mati kehabisan tenaga. Tapi kebencian 

yang memuncak dan rasa cemburu yang meng-

gelegak di dalam dada membuatnya tidak peduli. 

Bahkan semakin ganas menyerang, meskipun 

gerakan-gerakan tubuhnya mulai tidak teratur. 

Sementara itu, Intan yang menyaksikan jalannya 

pertarungan dengan penuh perasaan kecemasan dan 

kebimbangan, mulai menyadari kalau Indranata tidak 

akan mampu bertahan lebih lama lagi. Jelas ini akan 

membahayakan dirinya sendiri, maupun lawannya. 

Pedang itu tidak dapat dikendalikan, dan akan 

bergerak sendiri disertai hawa kematian. Pedang itu 

tidak akan dapat diam sebelum minum darah dari 

lawannya. 

“Oh, tidak...! Ini tidak boleh terjadi!” desis Intan 

cemas. 

Saat itu juga Intan Delima segera melesat sambil 

mencabut pedangnya yang bentuk dan warnanya 

sama persis dengan pedang di tangan Indranata. 

“'Naga Kembar'...!” teriak Intan keras. 

Mendengar teriakan itu, Indranata langsung meng-

angkat pedangnya ke atas. Intan segera membentur-

kan pedangnya dengan pedang di tangan Indranata. 

Tring! 

Bunga api berpijar begitu dua pedang kembar 

beradu di udara. Dan seketika itu juga, Indranata


merasa tenaganya pulih kembali. Secepat kilat; 

kembali diterjangnya Bayu. 

***

Bayu benar-benar kewalahan menghadapi 

gempuran yang beruntun dan saling sambut itu. Tapi 

setelah melewati beberapa jurus, baru diketahui 

kalau Intan Delima tidak bersungguh-sungguh dalam 

setiap serangannya. Gadis itu hanya menunjang 

tenaga simpanan bagi Indranata. 

Menyadari hal itu, Pendekar Pulau Neraka 

memusatkan perhatiannya pada Indranata. Dia tidak 

peduli dengan serangan-serangan Intan lagi. Meski-

pun ujung pedang Intan hampir menyentuh tubuhnya, 

gadis itu selalu cepat membelokkannya. Ini dilakukan 

karena Intan tidak bisa membunuh atau melukai 

orang yang telah mengisi hatinya. Tapi dia juga tidak 

ingin Indranata tewas di tangan Pendekar Pulau 

Neraka. Suatu pilihan yang amat sulit dan harus 

dilakukan. 

“Yaaa...!” 

Tring! 

Bayu tersentak kaget, dan langsung melompat 

mundur tiga tindak. Pergelangan tangannya seperti 

terbakar ketika menangkis tebasan pedang Indranata 

dengan senjata Cakra Maut yang menempel di 

pergelangan tangan kanannya. Hal yang sama juga 

terjadi pada diri Indranata. Dia juga melompat 

mundur beberapa tindak. Seluruh persendian tulang 

tangan kanannya terasa nyeri dan kaku. 

“Intan! Gunakan jurus 'Naga Api'!” seru Indrana 

keras.


Intan tersentak kaget. Sejenak dipandangnya 

Indranata, lalu beralih ke arah Bayu. Jurus 'Naga Api’ 

sangat dahsyat, dan merupakan jurus terakhir 'Naga 

Kembar'. Batu sebesar kerbau pun dapat hancur jika 

terkena sambaran pedang mereka berdua. Apalagi 

manusia...? Sedangkan baru terkena anginnya saja 

pohon-pohon akan mati layu, dan binatang-binatang 

akan mati terbakar. 

Belum sempat Intan berpikir lebih jauh, Indranata 

sudah membuka jurus 'Naga Api', dan langsung 

melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Hawa 

panas segera terasa menyengat bagai hendak 

menghanguskan sekitar tepian sungai ini. Tanpa 

berpikir panjang lagi, Intan langsung melompat 

memotong arah gerakan Indranata. Pada saat itu, 

pedang di tangan Indranata sudah berkelebat 

menusuk ke arah dada. 

“Intan...!” Indranata tersentak kaget. 

“Tidak...!” pekik Bayu sambil melompat. Indranata 

berusaha menarik kembali pedangnya, namun tubuh 

Intan sudah lebih dulu meluruk deras. 

Dan.... 

“Aaa...!” Intan menjerit melengking. 

Pedang di tangan Indranata menembus dada gadis 

itu hingga ke punggung. Sedangkan Indranata hanya 

mampu berdiri tegak seraya melepaskan genggaman-

nya pada tangkai pedang. Sebentar Intan masih 

mampu berdiri, dan akhirnya jatuh sambil memegangi 

pedang yang menembus dadanya. Darah mengucur 

deras membasahi tubuhnya. 

“Intan...,” desis Indranata tidak percaya dengan 

apa yang dilihatnya.


Sedangkan Bayu hanya bisa terpaku memandangi 

tubuh yang menggeletak meregang nyawa. Sesaat 

kemudian, Pendekar Pulau Neraka menjatuhkan diri. 

Diangkatnya tubuh gadis itu ke pangkuannya, 

dipandangi wajah yang kian pucat pasi itu dalam-

dalam. Sementara Indranata masih berdiri gemetar. 

“Kakang...,” lirih suara Intaa 

“Intan, mengapa kau lakukan ini?” tanya Bayu 

agak tertahan suaranya. 

“Aku mencintaimu, Kakang. Aku tidak ingin kau 

mati.. ,” semakin lirih suara Intan. 

Bayu tidak mampu berkata-kata lagi. Wajahnya 

tertunduk dalam, dan bibirnya bergetar, seolah-olah 

hendak mengatakan sesuatu. Sementara wajah Intan 

Delima semakin memucat. Dengan tangan bergetar 

dan berlumuran darah, dirabanya wajah Bayu. 

“Oh, tidak...,” desis Bayu tertahan. 

“Selamat tinggal, Kakang,” ucap Intan lirih 

“Intan...! Intaaan...!” Bayu menjerit keras. 

Intan terkulai lemas. Tangannya jatuh ke tanah 

menjuntai. Bayu memeluk tubuh yang sudah tidak 

bernyawa lagi. Pendekar Pulau Neraka benar-benar 

menyesali dirinya yang telah menyia-nyiakan cinta 

suci Intan Delima. Cinta yang harus berakhir per-

tumpahan darah. Sungguh besar pengorbanan Intan. 

Dia rela mati demi cintanya yang suci. 

Bayu tahu kalau Intan sengaja memotong 

serangan Indranata, dan membiarkan dirinya 

tertembus pedang pemuda itu. Peristiwanya begitu 

cepat, dan tidak terduga sama sekali. Pelahan-lahan 

Bayu bangkit berdiri sambil memondong tubuh Intan 

Delima. Pedang pendek berwarna hitam pekat masih


menancap di dadanya. Sementara Indranata masih 

berdiri terpaku tanpa mampu berbuat apa-apa. 

Beberapa saat Bayu menatap tajam pemuda murid 

Eyang Watuagung itu, Kemudian berbalik dan 

melangkah tanpa berkata-kata lagi. Indranata masih 

berdiri terpaku, tidak tahu lagi harus berbuat apa. 

Dan ketika Bayu sudah berjalan sejauh beberapa 

depa, Indranata tersentak. Sambil memungut pedang 

Intan yang menggeletak di tanah, pemuda itu segera 

melompat mengejar. 

“Berhenti!” bentak Indranata keras 

Indranata melompati kepala Bayu Hanggara. Dan 

begitu kakinya mendarat di depan Pendekar Pulau 

Neraka itu, dia langsung berbalik. Pedang pendek 

berwarna hitam pekat melintang di depan dada. Bayu 

menghentikan langkahnya. Pandangannya tajam 

menusuk langsung ke bola mata pemuda di 

depannya. 

“Kau masih belum puas, Indranata?” dingin suara 

Bayu. 

“Tinggalkan Intan di sini!” bentak Indranata berapi-

api. 

“Dia tewas karena kebodohanrnu, Indranata. Tidak 

pantas kau memilikinya lagi, meskipun hanya berupa 

mayat!” 

“Tinggalkan Intan di sini, kataku!” 

“Untuk apa? Ingin kau cincang?” 

“Setan! Kau benar-benar iblis keparat, Pendekar 

Pulau Neraka!” geram Indranata seraya mengibaskan 

pedang ke depan. 

“Hup!” 

Bayu melompat mundur, sehingga terhindar dari 

tebasan pedang Intan Delima yang dipegang pemuda


itu. Indranata yang sudah demikian kalap, langsung 

melompat sambil menusukkan pedangnya. Dan pada 

saat yang tepat, sebuah bayangan berkelebat cepat 

memapak. Tubuh Indranata terpental balik ke 

belakang. Dia bergulingan beberapa kali di tanah, lalu 

bergegas bangkit. 

Namun mendadak tubuhnya jadi gemetar. Sedang-

kan matanya membeliak lebar dengan mulut ter-

nganga. Hampir dia tidak bisa percaya dengan 

penglihatannya sendiri. Ternyata tiba-tiba saja di 

depannya sudah berdiri Eyang Watuagung. Sedang-

kan Bayu tepat berada di samping kanannya, 

Indranata langsung menjatuhkan diri berlutut. 

“Eyang...,” ucap Indranata pelan, agak bergetar. 

“Bangun, Indranata!” bentak Eyang Watuagung 

Indranata mengangkat kepalanya pelahan-lahan 

lalu bangkit berdiri. Kembali ditundukkan kepalanya 

tidak sanggup menentang sorot mata Eyang 

Watuagung yang begitu tajam menusuk. 

“Aku tidak tahu, harus berkata apa lagi padamu 

Kau benar-benar mengecewakan hatiku, Indranata!” 

sesal Eyang Watuagung agak tertahan suaranya. 

“Maafkan aku, Eyang. Aku....” 

“Diam!” bentak Eyang Watuagung memotong 

cepat. 

Indranata langsung bungkam. 

“Sengaja kuberikan Kitab Naga Kembar dan 

Pedang Naga Hitam Kembar untuk kau pelajari dan 

kau kuasai. Sengaja kuberi waktu tiga purnama dan 

melarangmu untuk meninggalkan pondok. Tapi 

semua kau langgar. Bahkan kau jadikan ilmu 

simpananku itu untuk membalas dendam! Kau lupa 

Indranata. Apakah kau tidak membaca seluruh isi


Kitab Naga Kembar? Hawa nafsu dan dendam akan 

memakan dirimu sendiri! Kau tidak akan mampu 

mengendalikan diri, dan akan termakan oleh ilmumu 

sendiri! Kau dengar itu, Indranata!” 

Indranata hanya diam tertunduk. Memang pernah 

dibaca satu kalimat yang melarangnya untuk mem-

punyai perasaan dendam, nafsu yang berkelebihan 

setelah menguasai ilmu 'Naga Kembar'. Rasa 

penyesalan pelahan-lahan menghinggapi diri pemuda 

itu. Tapi penyesalan sudah terlambat. Intan sudah jadi 

korban dari perasaan dendam, benci, dan cemburu-

nya yang berlebihan. 

“Oh, tidak...!” jerit Indranata langsung berlari dan 

memeluk kaki Eyang Watuagung. 

Indranata menangis memeluk erat-erat kaki guru-

nya itu. Sementara Bayu yang menyaksikan, hanya 

bisa menarik napas panjang. Dia masih memondong 

mayat Intan Delima. Sedangkan Eyang Watuagung 

menggamit pundak pemuda itu dan membawanya 

berdiri. 

“Ampunkan aku. Eyang. Ampunkan aku yang telah 

mengecewakan hatimu...,” rintih Indranata. 

“Indranata. Bertahun-tahun aku memeliharamu, 

mendidikmu, dan mempersiapkanmu agar menjadi 

seorang pendekar digdaya. Terlalu banyak harapanku 

padamu, Indranata...,” pelan suara Eyang Watuagung. 

“Hukumlah aku, Eyang,” pinta Indranata. 

“Hukuman tidak akan berguna bagimu, Anakku.” 

“Eyang....” 

Indranata kembali menjatuhkan diri dan berlutut, 

tapi Eyang Watuagung membangunkannya lagi. Laki-

laki tua berjubah putih itu berpaling menatap Bayu 

Hanggara yang tetap berdiri di samping kanannya.


Bayu menyerahkan mayat Intan Delima, dan Eyang 

Watuagung menerimanya dengan mata berkaca-kaca. 

“Maaf, aku tidak dapat mencegah,” ucap Bayu 

pelan. 

“Aku bisa memahami,” sahut Eyang Watuagung. 

Setelah berkata demikian, Eyang Watuagung

berbalik dan berjalan pelahan-lahan. Indranata masih 

berdiri tegak, kemudian berpaling kepada Pendekar 

Pulau Neraka. Sesaat mereka saling berpandangan. 

Indranata lantas menyodorkan tangannya yang 

kemudian disambut hangat oleh Bayu. 

“Aku harap kita dapat bertemu kembali sebagai 

seorang laki-laki jantan tanpa persoalan,” kata 

lndranata. 

“Aku menanti harapanmu” sahut Bayu mantap 

Indranata melepaskan tangannya, kemudian 

segera melangkah mengikuti Eyang Watuagung. Bayu 

masih berdiri memandangi kepergian mereka. Dia 

tahu betul arti kata-kata Indranata tadi. Satu saat 

kelak Ya..., satu saat kelak Indranata ingin bertemu 

dan bertarung sebagai seorang pendekar ksatria. 


                              SELESAI 

 



Share:

0 comments:

Posting Komentar