..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 12 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PENGANTIN DEWA RIMBA

matjenuh

 

Suara gamelan mengalun merdu mengiringi langkah-

langkah rombongan manusia yang berjalan pelahan-

lahan, menyusuri jalan setapak di sebuah bukit batu. 

Tampak delapan orang laki-laki bertubuh kekar, 

menggotong tandu berhiaskan kain warna-warni dan 

bunga-bunga indah. Berjalan paling depan adalah 

seorang laki-laki yang mengenakan jubah kuning 

gading dan berkepala gundul. Di tangan kanan laki-

laki itu, tergenggam seuntai tasbih dari rangkaian 

batu hitam pekat dan berkilat. 

Di belakang orang berjubah kuning gading itu, 

berjalan dengan rapi sekitar tiga puluh orang pemuda 

tampan yang mengenakan jubah warna putih. Mereka 

terus berjalan pelahan-lahan dengan tangan melipat 

di dada. Lengan baju mereka yang panjang dan 

longgar, tergulung sampai ke siku. Pada bagian 

belakang tandu, tampak orang-orang dari berbagai 

golongan. Laki-laki, perempuan, tua dan muda, 

bahkan juga anak-anak. Mereka terus mengikuti 

dengan wajah tertunduk, tanpa mengeluarkan satu 

patah kata pun. 

Para nayaga terus memainkan gamelan bernada 

lembut dan syahdu. Sedangkan rombongan itu pun 

terus mendaki ke Puncak Bukit Batu itu. Beberapa 

saat kemudian, suara gamelan terhenti setelah 

mereka mencapai puncak bukit tersebut. Tampak di 

depan mereka berdiri dengan megahnya dua buah 

batu yang menyerupai sebuah pintu gerbang. 

Laki-laki yang berada paling depan, langsung



berlutut, diikuti oleh para pengikutnya. Kemudian 

tandu segera diturunkan, disusul dengan berlututnya 

semua orang yang berjalan di belakang tandu. 

Keadaan di sekitar Puncak Bukit Batu itu sunyi 

senyap. Tampak laki-laki yang berkepala gundul dan 

berjubah kuning gading itu mulai bangkit berdiri. 

Sejenak tubuhnya membungkuk tiga kali dengan 

telapak tangan merapat di depan dada. 

"Dewata yang bersemayam di Swargaloka, terima-

lah persembahan kami ini...!" lantang dan besar suara 

laki-laki itu. 

Setelah berkata demikian dia kembali mem-

bungkukkan badannya tiga kali, kemudian menoleh 

ke belakang. Tampak delapan orang yang masih ber-

lutut di samping tandu, segera bangkit. Mereka juga 

membungkuk tiga kali, dan kembali mengangkat 

tandu itu. Sementara itu tiga puluh orang yang ber-

baju seragam putih sedikit menggeser kakinya ke 

samping, memberi jalan. Lalu dengan langkah pelan-

pelan, delapan orang bertubuh tegap dan kekar itu 

mulai berjalan menggotong tandu. 

Dan pada saat delapan orang tersebut melewati 

celah batu yang menyerupai pintu gerbang itu, ter-

dengarlah isak pelan dan tertahan. Tampak seorang 

perempuan yang berbaju hitam dan berkerudung, 

terisak dalam pelukan seorang laki-laki berbaju hitam 

juga. 

"Cepat, masukkan!" perintah laki-laki gundul itu. 

Delapan orang bertubuh tegap yang menggotong 

tandu, bergegas melewati celah batu itu, dan 

meletakkannya pada sebuah batu ceper yang cukup 

lebar. Kemudian mereka segera berbalik lagi dan 

melangkah ke luar. Dan pada saat yang hampir ber-

samaan, di angkasa tampak sebuah bayangan hitam



besar melayang-layang. Seketika semua orang yang 

berada di Puncak Bukit Batu itu langsung berlutut. 

Bayangan hitam yang melayang-layang di angkasa 

itu bergerak turun dengan kecepatan tinggi, lalu 

menyambar tandu itu hingga hancur berantakan. 

Seketika terdengar satu jeritan melengking, ber-

samaan dengan melesatnya kembali bayangan itu ke 

angkasa, lalu lenyap di balik gumpalan awan. 

Tidak lama setelah kejadian itu, laki-laki berkepala 

gundul segera melangkah dan menuruni Puncak 

Bukit Batu itu. Sementara para pengikutnya segera 

mengikutinya dari belakang. Dan para nayaga pun 

kembali mengalunkan gending mengiringi langkah-

langkah mereka meninggalkan tempat itu. 

*** 

Keadaan di Desa Gampil tampak tenang dan 

damai. Sehari-harinya para penduduk sibuk bekerja 

mengolah ladang, berniaga, atau pekerjaan lain yang 

dapat menunjang kelangsungan hidup. Sementara 

anak-anak dengan cerianya bermain, seakan-akan 

mereka tidak peduli dengan orang-orang tua mereka 

yang memeras keringat demi kelangsungan hidup 

mereka. Kedamaian memang sangat terasa di desa 

itu. Namun kedamaian dan keceriaan itu kelihatan-

nya tidak dinikmati oleh sepasang suami istri 

setengah baya, yang tinggal di sebuah rumah kecil 

berdinding papan. Mereka adalah Ki Sudra dan Nyi 

Sudra. Kini mereka tengah duduk dengan wajah 

murung di balai-balai bambu, di beranda rumahnya. 

Sejenak mereka mengangkat kepalanya, ketika 

tampak seorang gadis yang berkulit kuning langsat 

keluar dari dalam rumah itu. Dia mengenakan baju


warna biru yang ketat, sehingga memetakan bentuk 

tubuhnya yang ramping. Sedangkan tangannya 

menenteng sebuah bungkusan kain yang tidak begitu 

besar. Gadis itu berdiri di ambang pintu dengan 

kepala tertunduk dan mata merembang berkaca-

kaca. 

"Mau ke mana?" tanya Ki Sudra pelan. 

"Pergi," sahut gadis itu singkat. 

Nyi Sudra segera bangkit dan menghampiri gadis 

itu, kemudian membimbingnya ke dalam kembali. 

Sedangkan Ki Sudra juga ikut bangkit dan mengikuti 

mereka dan duduk di lantai beralaskan selembar 

tikar dari daun pandan. 

"Kau akan pergi ke mana?" tanya Ki Sudra lagi. 

Suaranya terdengar pelan tanpa gairah. 

"Ke mana saja, Pak," sahut gadis itu getir. 

"Lastri, ke mana pun kau akan pergi, Pendeta 

Pasanta pasti akan tahu. Kau tidak mungkin bisa 

terlepas dari pengamatannya," kata Nyi Sudra lirih. 

"Lastri, aku sudah tua, juga Mak-mu. Kami sudah 

tidak kuat lagi bekerja di ladang. Hanya kaulah satu-

satunya harapan kami. Apa kau tega meninggalkan 

orang tuamu yang sudah jompo ini?" agak bergetar 

suara Ki Sudra. 

"Tapi, Pak...," gadis yang bernama Lastri itu mau 

membantah, namun suaranya seperti tercekat di 

tenggorokan. Hanya matanya saja yang terus me-

mandang kedua orang tuanya dengan sejuta kata-

kata. 

"Aku mengerti, Lastri. Tapi coba kau lihat, semua 

gadis sebayamu tidak ada yang mau menentang 

Pendeta Pasanta, mereka semua pasrah, dan tetap 

bergembira." 

"Mereka bodoh, Pak!" sentak Lastri.


"Lastri...!" Nyi Sudra tersentak kaget. Buru-buru dia 

menggeser duduknya mendekati gadis itu. 

"Mereka memang kelihatan gembira, tapi di hati 

mereka sebenarnya sedih dan gelisah. Juga orang-

orang tua di desa ini, semuanya tidak ada yang 

gembira. Juga Bapak dan Mak, memangnya aku tidak 

tahu, kalau sebenarnya Bapak dan Mak juga sedih!" 

agak keras suara Lastri, meskipun terdengar 

bergetar. 

Ki Sudra dan Nyi Sudra tidak bisa lagi berkata apa-

apa. Dalam hati mereka memang membenarkan 

kata-kata anak gadisnya itu. Bagaimanapun kuatnya 

mereka berusaha memendam perasaan, namun tidak 

mungkin bisa berlangsung lama. Selama ini mereka 

selalu menunjukkan wajah gembira di depan Lastri, 

namun dalam hati mereka sebenarnya tidak gembira. 

Sudah beberapa kali Lastri memergoki kedua orang 

tuanya duduk termenung, dengan pandangan kosong 

dan mata berkaca-kaca. Dan Lastri sendiri bisa 

merasakan, apa yang tengah dirasakan oleh kedua 

orang tuanya. Lalu dia memutuskan untuk segera 

meninggalkan desa itu. 

"Bagaimanapun juga, aku harus pergi!" kata Lastri 

seraya bangkit dari duduknya. 

"Lastri...!" Nyi Sudra bergegas berdiri dan menahan 

langkah gadis itu. Dia memegangi tangan Lastri 

dengan mata berkaca-kaca. 

"Biarkan aku pergi, Mak," pinta Lastri memohon. 

"Lastri, pikirkan dulu niatmu itu. Sebenarnya aku 

tidak keberatan jika kau mau pergi juga, tapi Pendeta 

Pasanta sudah memilihmu untuk.. ." 

"Tidak!" sentak Lastri cepat memotong ucapan Ki 

Sudra. 

"Lastri...," melemah suara Ki Sudra.


"Lastri memang sayang sama Mak dan Bapak, tapi 

Lastri harus pergi...," kata Lastri bersikeras dengan 

niatnya. 

Ki Sudra hanya menunduk. Memang sulit untuk 

menghalangi niat anak gadisnya itu. Sementara Nyi 

Sudra tampak sudah terisak-isak. Lastri terus me-

mandangi kedua orang tuanya itu dengan terharu. 

Orang tua yang telah mengasuh dan merawatnya 

sejak dia masih bayi. 

"Maafkan kelancangan Lastri, Mak," ucap Lastri 

pelan. 

"Lastri, biarpun bukan aku yang telah melahir-

kanmu, tapi aku sangat sayang padamu, tidak pernah 

membeda-bedakan kasih sayangku antara kau 

dengan semua anak-anakku...," kata Nyi Sudra di 

tengah-tengah isaknya. 

Ingin rasanya Lastri memeluk perempuan tua itu, 

dan mengurungkan niatnya. Namun dia tetap ber-

usaha menguatkan hati untuk tetap pergi meninggal-

kan orang tua yang telah begitu besar budinya, 

merawatnya sejak dia masih berumur satu bulan. 

Lastri tahu semua itu karena Ki Sudra dan Nyi Sudra 

selalu menceritakan asal-usul anak-anak angkatnya 

yang berjumlah tiga orang. Meskipun mereka sendiri 

punya dua orang anak kandung. Kini semuanya 

sudah tidak ada lagi di rumah ini. Tinggal Lastri 

sendiri yang masih ada. Dan kini giliran dia juga harus 

pergi meninggalkan orang tua itu. Berat memang, tapi 

tekadnya sudah bulat. Pelan-pelan Lastri melangkah 

mundur mendekati pintu. 

"Lastri, Anakku...," rintih Nyi Sudra lirih. 

"Maafkan aku, Mak..., Bapak...," ucap Lastri pelan, 

hampir tidak terdengar suaranya. 

Setelah berkata begitu, dengan cepat Lastri ber


balik dan melangkah ke luar Nyi Sudra ingin 

mengejar, namun keburu dicegah suaminya. 

Kemudian kedua orang tua itu saling berpelukan 

sambil memandangi tubuh Lastri yang semakin jauh 

melangkah. 

"Lastri…" rintih Nyi Sudra. Semakin deras air mata-

nya mengalir. 

"Sudahlah, Mak. Mungkin itu sudah menjadi 

pilihannya yang terbaik. Kita doakan saja agar Hyang 

Widi melindunginya," kata Ki Sudra berusaha meng-

hibur, padahal dia tak bisa menahan air matanya. 

"Semoga Hyang Widi akan mempertemukan kita 

kembali...," bisik Nyi Sudra disela isaknya. 

Beberapa saat lamanya, suami istri itu masih 

berdiri saja di ambang pintu sambil berpelukan. 

Pandangan mereka tetap ke arah kepergian Lastri. 

*** 

Hari terus berjalan dengan pasti. Senja pun 

berganti dengan malam. Tampak bulan yang bersinar 

di atas sana tersaput oleh awan tipis yang meng-

gantung. Sementara itu seluruh penduduk Desa 

Gampil sudah beristirahat di dalam rumahnya 

masing-masing. Kini tidak lagi terdengar canda ria 

anak-anak yang bermain, tidak ada lagi gurauan 

gadis-gadis atau celetukan usil para pemuda. Malam 

ini suasana Desa Gampil benar-benar sunyi senyap. 

Hanya mereka yang tengah meronda saja yang masih 

berada di luar rumah. 

Dan kesunyian itu semakin terasa di dalam rumah 

Ki Sudra. Rumah yang tidak begitu besar itu, kini 

hanya dihuni oleh sepasang suami istri setengah baya 

yang tengah dirundung duka. Tidak ada seorang pun


yang mau peduli dengan kedukaan mereka. Dan Ki 

Sudra memang tidak pernah menunjukkan kedukaan-

nya pada orang lain. 

Di malam yang sunyi dan dingin itu. Tampak Nyi 

Sudra masih saja duduk merenung di balai-balai 

bambu sambil memandang bulan dari balik jendela. 

Tatapan matanya tampak kosong, dan wajahnya tak 

menyiratkan suatu perasaan apa pun. Sepertinya 

seluruh jiwanya sudah hilang dari raga. Tidak jauh 

darinya, Ki Sudra terlihat tengah duduk di kursi 

goyang. Asap tembakaunya yang keluar dari pipa 

hitamnya, mengepul dipermainkan oleh angin malam 

yang dingin. 

"Sudah larut malam, Mak. Sebaiknya kau segera 

tidur saja. Serahkan saja semuanya pada kekuasaan 

Hyang Widi," kata Ki Sudra pelan. 

"Hhh...," Nyi Sudra hanya mendesah saja. 

"Setelah kupikir-pikir, sebaiknya kita, juga segera 

meninggalkan desa ini, Mak. Rasanya tidak ada 

gunanya lagi bertahan di desa yang keadaannya 

panas bagai neraka," kata Ki Sudra lagi. 

"Kalau kau juga mau pergi, pergilah sana!" dingin 

dan datar suara Nyi Sudra. Sedikit pun dia tidak 

menoleh. 

"Memang tidak ada gunanya kita melakukan 

sesuatu apa pun. Ke mana kita pergi, Pendeta 

Pasanta pasti akan segera mengetahui. Yah..., 

memang sama saja. Tetap tinggal di sini, atau pergi 

dari desa ini tidak ada bedanya," nada suara Ki Sudra 

terdengar mengeluh putus asa. 

"Kalau kau sudah tahu, kenapa masih juga ber-

pikiran begitu? Kau selalu bisa bilang, pasrahkan saja 

segalanya pada Hyang Widi, tapi hatimu tidak mau 

pasrah," Nyi Sudra membalikkan tubuhnya dan me


natap pada suaminya. 

Kali ini Ki Sudralah yang mendesah panjang. Kata-

kata istrinya itu memang benar, dan dia pun meng-

akuinya. Dalam keadaan seperti ini, memang jarang 

orang yang hanya pasrah. Pasti ada sedikit terbetik di 

hatinya untuk memberontak. Dan itulah yang kini 

dirasakan oleh Ki Sudra. 

Pada saat mereka berdua tengah terdiam itu, tiba-

tiba terdengar suara ketukan di pintu. Sejenak 

pasangan tua itu saling berpandangan, lalu hampir 

bersamaan mereka menoleh ke arah pintu yang 

tertutup. Ketukan itu terdengar kembali, kali ini 

ketukannya lebih keras dan yang pertama. 

"Siapa...?" tanya Ki Sudra seraya bangkit dari 

duduknya. 

Namun tak ada sahutan dari luar. Ki Sudra 

melangkah mendekati pintu rumahnya. Sejenak dia 

ragu-ragu untuk membuka pintu. Matanya melirik 

istrinya. 

"Ah...!" Ki Sudra tersentak ketika dia membuka 

pintu. 

*** 

Tampak laki-laki gemuk dan berperut buncit sudah 

berdiri di depannya. Jubahnya yang berwarna kuning 

gading, terus berkibar-kibar tertiup angin. Sedang di 

belakangnya tampak berdiri empat orang berpakaian 

serba putih, dengan tangan yang terlipat di depan 

dada. Sejenak Ki Sudra melangkah mundur dengan 

wajah yang pucat pasi. 

"Tuan Pendeta..., ada apa gerangan hingga malam-

malam begini datang ke rumahku?" tanya Ki Sudra, 

agak bergetar suaranya.


"Boleh aku masuk?" 

"Oh, silakan. Silakan, Tuan Pendeta." 

Laki-laki gundul yang ternyata adalah Pendeta 

Pasanta itu melangkah masuk. Sementara empat 

orang laki-laki muda yang mengawalnya juga segera 

mengikutinya. Mereka kemudian berdiri berjajar dan 

membelakangi pintu. Sedang Ki Sudra segera men-

dekati istrinya, dan duduk di tepi balai-balai bambu 

itu. Sejenak Pendeta Pasanta menyeret sebuah kursi 

kayu, dan duduk di depan pasangan tua itu. 

"Aku datang hanya ingin menanyakan anakmu. 

Apakah dia ada di rumah?" pelan dan lembut kata-

kata Pendeta Pasanta. 

Ki Sudra tidak segera menjawab. Dia malah 

menoleh ke arah istrinya. Pertanyaan Pendeta 

Pasanta itu membuat seluruh tubuhnya jadi bergetar. 

Dan jantungnya pun ikut berdetak lebih cepat dari 

biasanya. 

"Aku sudah mengenalmu cukup lama, Ki Sudra. 

Karena sebagai bekas kepala desa, kau sangat 

disegani. Dan aku pun menaruh hormat padamu. 

Maka kuharap agar kau tidak menodai rasa hormatku 

ini, Ki Sudra," tetap lembut kata-kata Pendeta 

Pasanta, namun mengandung ancaman yang tidak 

bisa dipandang remeh. 

"Maaf, Tuan Pendeta. Aku tidak mengerti maksud-

mu," kata Ki Sudra dengan suara semakin bergetar. 

"Lastri sudah tidak ada di rumah, kan?" kali ini 

nada suara pendeta itu makin dingin. Tatapan 

matanya juga tajam menusuk. 

Kini Ki Sudra tidak bisa lagi berkata-kata. Rasa 

kecemasan yang sejak tadi melanda dirinya, kini 

benar-benar meledak. Baru siang tadi Lastri pergi 

meninggalkan rumah ini, dan sekarang Pendeta


Pasanta sudah mengetahuinya. Ki Sudra sudah bisa 

membayangkan, malapetaka apa yang bakal me-

nimpa dirinya. Sedangkan Nyi Sudra sudah tidak 

dapat berbuat apa-apa lagi. Tubuhnya terasa lemas, 

dan wajahnya pucat pasi dengan keringat dingin 

membasahi seluruh wajah dan lehernya. 

"Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu, Ki 

Sudra. Aku hanya minta agar kau segera mencari 

Lastri, dan bawa dia padaku," tegas kata-kata 

Pendeta Pasanta, namun suaranya masih juga 

terdengar lembut. 

"Tuan Pendeta, aku tidak tahu ke mana anakku 

pergi. Tadinya aku sudah mencoba melarangnya, tapi 

dia tetap saja pergi. Maafkan aku, Tuan Pendeta," lirih 

suara Ki Sudra. 

"Sayang sekali, aku tidak bisa memutuskan. Aku 

hanya menyampaikan pesan saja." 

Ki Sudra hanya bisa tertunduk lemas. Sedang 

Pendeta Pasanta segera menjentikkan jarinya. Lalu 

tampak dua orang dari pengawalnya segera men-

dekat, dan menyeret tangan Nyi Sudra yang masih 

duduk dengan wajah pucat. 

"Pak...," ratap Nyi Sudra. 

"Tuan Pendeta, hendak kau apakan istriku?" 

"Hanya untuk jaminan akan tugasmu, Ki Sudra," 

sahut Pendeta Pasanta kalem seraya bangkit dari 

duduknya. "Bawa dia ke luar!" 

"Tuan...." 

Ki Sudra ingin mencegah dua orang yang sudah 

memegangi tangan istrinya, tapi dua orang lagi segera 

melompat dan menekan tubuh laki-laki tua itu, se-

hingga dia kembali terduduk di balai-balai bambu. 

Sementara Nyi Sudra tidak mampu lagi untuk berbuat 

apa-apa. Dia kemudian diseret ke luar tanpa dapat


melakukan perlawanan. Hanya suaranya saja yang 

lirih terdengar meminta tolong pada suaminya. 

Namun Ki Sudra hanya bisa duduk dengan pundak 

ditekan oleh dua orang. 

"Waktumu hanya satu pekan, Ki Sudra. Kalau 

sampai batas waktu itu kau tidak bisa menyerahkan 

anakmu, maka dengan berat hati aku harus me-

misahkanmu dengan istrimu untuk selamanya," 

dingin kata-kata Pendeta Pasanta. 

"Tuan Pendeta, tolong..., ampuni aku. Aku benar-

benar tidak tahu ke mana harus mencari Lastri. 

Tolong, Tuan Pendeta...," rintih Ki Sudra memelas. 

"Sebenarnya aku ingin menolongmu, Ki Sudra… 

Tapi aku tidak bisa melakukannya. Rasanya hanya 

Lastrilah yang bisa menolongmu keluar dari kesulitan 

ini," pelan suara Pendeta Pasanta. 

Ki Sudra hanya bisa tertunduk lemas. Sementara 

Pendeta Pasanta pun segera ke luar diiringi semua 

pengawalnya. Beberapa saat lamanya, Ki Sudra 

masih terduduk lemas tanpa daya. Dia tidak tahu lagi, 

apa yang harus diperbuatnya. Memang tidak ada cara 

lain, dia harus mencari Lastri. Satu pekan..., bukan 

waktu yang panjang!


Pagi baru saja datang menjelang. Sementara di ufuk 

Timur, matahari belum menampakkan diri dengan 

penuh. Hanya cahayanya saja yang membias merah 

jingga di celah-celah dedaunan. Kabut pun masih 

menyelimuti sebagian permukaan bumi. Udara juga 

masih terasa dingin menusuk kulit. Namun suasana 

pagi yang indah itu tidak menggugah hati seorang 

gadis muda berbaju hijau dari kesedihannya. 

Gadis itu kelihatan sangat lelah, langkahnya ter-

seok-seok merambah hutan di Lereng Gunung 

Cangking. Udara pagi yang dingin tidak menghalangi 

keringatnya yang mengucur deras, membasahi wajah 

dan tubuhnya. Kakinya terus terayun gontai menuju 

sebuah sungai yang mengalir jemih menuruni lereng 

gunung itu. 

Gadis itu langsung menjatuhkan dirinya begitu 

sampai di tepi sungai yang berair jernih. Begitu 

jernihnya, sehingga dasar sungai itu tampak jelas 

seperti dalam kaca. Dengan pelahan tangan yang 

kecil halus itu terulur berusaha menarik tubuhnya 

untuk lebih ke tepi. Seperti seorang musafir yang 

sudah tiga hari tidak bertemu air, gadis itu segera 

membasuh muka dan tubuhnya. Lalu tanpa meng-

hiraukan dinginnya air itu, dia pun meneguknya 

sepuas-puasnya. 

"Ohhh...," gadis itu mendesah lirih, dan meng-

gelimpangkan tubuhnya kembali menjauh dari tepi 

sungai. 

Kelopak matanya yang dihiasi bulu mata lentik,


terpejam rapat. Buru-buru gadis itu membuka mata-

nya ketika mendengar suara ranting patah. Dia 

langsung membeliak kaget dan segera bangkit 

berdiri. 

"Maaf, kalau aku telah mengejutkanmu," terdengar 

sebuah suara lembut. 

Gadis itu memperhatikan seorang pemuda gagah, 

tampan dan tegap yang sudah berdiri di depannya. 

Senyum pemuda itu begitu memikat, sedang sinar 

matanya juga lembut, namun menyiratkan ketajaman 

dan kekerasan. Lalu tanpa menghiraukan tatapan 

jadis itu, pemuda itu segera melangkah ke sungai, 

dan membasuh wajahnya. Sebentar kepalanya 

menoleh, dan kembali tersenyum. 

"Silakan, kalau ingin melanjutkan istirahatnya. Aku 

hanya ingin membasuh muka sebentar," kata pemuda 

itu, tetap lembut suaranya. 

Gadis itu masih berdiri terpaku dengan wajah yang 

kelihatan gelisah. Sejenak matanya berputar meng-

amati ke sekitarnya. Tak terlihat seorang manusia 

pun di hutan ini kecuali mereka berdua. Tak lama 

kemudian, pemuda itu menghenyakkan tubuhnya dan 

bersandar pada sebatang pohon tua yang hampir 

mati. Dia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari 

daun waru dari balik ikat pinggangnya, dan me-

letakkan bungkusan itu di depannya. Perlahan-lahan 

dia membuka bungkusan itu, maka tampaklah tiga 

ekor kelinci yang sudah matang, tergolek di 

bungkusan itu. Pemuda itu segera mengambil seekor 

dan mendekatkannya ke mulut. Tapi dia tidak jadi 

menggigitnya. Sejenak matanya memandang gadis 

yang masih berdiri tidak jauh darinya. 

"Mau?" pemuda itu menawarkan. 

Gadis itu kelihatan ragu-ragu.


"Bekas makanan semalam. Memang sudah tidak 

hangat lagi, tapi cukup untuk mengganjal perut 

sampai tengah hari nanti," kata pemuda itu seraya 

mengambil satu lagi, dan menjulurkannya pada gadis 

itu. 

Gadis itu masih kelihatan ragu-ragu, namun 

lehernya tampak bergerak-gerak. Pertanda bahwa dia 

sebenarnya menginginkannya. Sinar matanya masih 

memancarkan rasa curiga dan takut. 

"Ambillah. Aku tidak akan habis makan sendirian," 

kata pemuda itu lagi. 

Lalu dengan perasaan was-was, gadis itu pun 

melangkah mendekat, dan duduk di depan pemuda 

itu. Tangannya agak gemetar saat menerima daging 

itu. Namun setelah daging itu berada di tangannya, 

langsung disantap dengan rakus. Perutnya memang 

lapar, karena sejak kemarin siang belum terisi. 

Pemuda itu hanya tersenyum dan mulai menikmati 

makanannya. 

"Siapa namamu?" tanya pemuda itu setelah cukup 

lama mereka terdiam sambil menikmati daging 

kelinci. 

"Lastri," sahut gadis itu pelan. 

"Nama yang cantik, secantik orangnya." 

"Terima kasih," sahut Lastri tersipu. 

"Oh, ya. Kenapa kau berada-di hutan ini 

sendirian?" tanya pemuda itu lagi. Suaranya tetap 

lembut. 

"Aku..., oh, eh...," gadis yang ternyata bernama 

Lastri itu menjawab dengan tergagap. 

"Ah, sudahlah. Kau tidak perlu menjawab. Aku 

hanya iseng saja kok bertanya." 

Lastri hanya diam. Dia kembali menikmati daging 

kelinci yang sudah dingin itu. Sedangkan pemuda itu


juga ikut menikmati lagi makan paginya yang sangat 

sederhana itu. Untuk beberapa saat lamanya mereka 

kemudian terdiam. 

"Kau punya minuman?" tanya pemuda itu. 

Lastri menggeleng lemah. 

"Ah, ya! Tentu saja tidak. Bodohnya aku, bertanya 

begitu!" rutuk pemuda itu sambil memukul kepalanya 

sendiri. 

Lastri jadi tersenyum melihat kekocakan pemuda 

itu. Rasa takut dan curiga yang tadinya sudah 

menghinggapi dirinya, berangsur menghilang. 

Sikapnya yang ramah dan sesekali membuat canda, 

membuat kemurungan dan kegelisahan di wajah 

gadis itu mulai sirna. Kini wajahnya mulai 

menyemburat kemerahan, dan senyumnya beberapa 

kali terukir indah di bibirnya yang selalu nampak 

merah basah itu. 

Mereka terus menikmati sisa-sisa daging kelinci 

panggang dingin itu. Dan keduanya terpaksa minum 

air sungai, karena memang tidak ada lagi yang bisa 

mereka minum. Sebentar saja keakraban sudah 

terlihat di antara mereka. Pemuda itu memang 

pandai membuat suasana akrab dan menyenangkan. 

*** 

"Rasanya sudah terlalu lama kita berada di sini. 

Aku harus segera melanjutkan perjalanan. Oh, ya.... 

Ke mana tujuanmu?" tanya pemuda itu sambil 

beranjak bangun dari duduknya. 

Lastri tidak segera menjawab. Dia tidak tahu, ke 

mana tujuannya. Dia pergi meninggalkan rumah dan 

orang tuanya karena suatu sebab, dan ini masih 

tersimpan rapi di dalam hatinya. Dan dari tadi



pemuda itu memang tidak menanyakan soal itu 

sedikit pun. 

"Tampaknya kau bingung, ada masalah?" tanya 

pemuda itu. 

Lastri masih diam. Wajah yang tadi mulai ceria, kini 

kembali termenung. Matanya tetap menatap kosong 

jauh ke depan. Dan pemuda itu memperhatikan 

dengan mata agak menyipit dan kening berkerut. 

"Maaf, kalau aku terlalu jauh ingin tahu urusan 

pribadimu. Memang seharusnya aku tidak bertanya 

begitu," kata pemuda itu seperti menyesal. 

"Oh, tidak.... Tidak apa-apa," sahut Lastri buru-buru 

dan sedikit tergagap. 

"Oh, ya. Kita akan berpisah di sini. Senang aku 

berteman denganmu, Gadis Manis." ujar pemuda itu 

sambil melangkahkan kakinya. 

"Eh, tunggu...," cegah Lastri sambil beranjak. 

Pemuda gagah, tampan dan berbaju kulit harimau 

itu tidak jadi melangkah. Dia kembali menatap wajah 

gadis di depannya itu dalam-dalam. Hatinya langsung 

bisa menebak, kalau gadis itu tengah menyimpan 

persoalan. Dari tadi sebenarnya dia sudah heran, di 

dalam hutan yang lebat ini, dan tak seorang manusia 

pun sudi menginjakkan kakinya di sini, ada seorang 

gadis muda yang cantik. 

"Boleh aku tahu, ke mana tujuanmu?" tanya Lastri 

agak ragu-ragu. 

"'Untuk apa kau tanyakan itu?" pemuda itu malah 

balik bertanya. 

"Aku..., eh, tidak. Maaf, memang tidak sepantas-

nya aku bertanya begitu," kata Lastri semakin 

tergagap. 

"Aku hanya seorang pengembara yang tidak 

menentu tujuannya. Ke mana kakiku melangkah, ke


sanalah aku menuju," kata pemuda itu tnenjelaskan. 

"Boleh aku ikut?" tanya Lastri memberanikan diri. 

"Ikut...?!" pemuda itu tersentak heran. 

"Aku tahu, kau pasti keberatan. Tapi aku merasa 

bahwa kau bukan orang jahat. Dan aku hanyalah 

seorang wanita lemah yang tentunya akan mem-

buatmu kerepotan. Ah, sudahlah. Kita berpisah saja 

di sini," kata Lastri lesu. 

"Sebentar...," cegah pemuda itu saat gadis di 

depannya mau pergi. 

Kini ganti Lastri yang mengurungkan niatnya. 

Sebentar mereka berdiri saling berpandangan. 

Namun baru sejenak, kepala gadis itu sudah 

tertunduk dengan wajah bersemu merah dadu. Sinar 

mata pemuda itu telah membuatnya gugup dan tak 

menentu perasaannya. Lastri sendiri tidak tahu, 

kenapa dia jadi begitu saja percaya pada laki-laki 

yang baru dikenalnya. 

"Aku melihat ada persoalan pada wajahmu. 

Memang terasa aneh bertemu seorang gadis cantik di 

dalam hutan yang sepi begini. Kau mau mengatakan 

persoalanmu padaku?" kata pemuda itu lagi. Kali ini 

dia tidak lagi bisa menahan rasa ingin tahunya. 

"Untuk apa? Rasanya percuma saja kau tahu," 

pelan dan lirih suara Lastri. 

"Barangkali aku bisa membantu untuk menyelesai-

kan persoalanmu," sahut pemuda itu. 

"Tidak ada gunanya," kata Lastri sambil meng-

geleng-gelengkan kepalanya. 

"Kau tadi bilang akan ikut denganku. Sebenarnya 

aku keberatan. Soalnya aku belum tahu sebabnya, 

kenapa kau mau ikut denganku?" pemuda itu 

memancing. 

"Aku tidak tahu, tapi...."


"Kenapa?" 

"Aku merasa kalau kau tidak akan berbuat yang 

tidak-tidak padaku. Aku merasa Dewata memang 

mengirimmu kemari. Entahlah, perasaan itu tiba-tiba 

saja datang padaku," kata Lastri pelan. Kata-kata itu 

seolah meluncur begitu saja tanpa disadari. 

"Ha ha ha...! Kau ini lucu, Gadis Manis. Aku datang 

ke sini tidak sengaja. Dan bertemu denganmu di 

tempat ini tentu saja juga hanya kebetulan. Ah, 

sudahlah! Ke mana sebenarnya tujuanmu, dan aku 

akan dengan senang hati mengantarmu sampai 

tempat tujuan. Tanpa imbalan...," pemuda itu sempat 

juga bergurau. 

"Terima kasih, tapi aku tidak punya tujuan," sahut 

Lastri pelan. Namun seulas senyum tipis tersungging 

di bibirnya. 

"Aku tidak percaya kalau kau adalah seorang 

pengembara." 

"Memang bukan, dan ini baru pertama kalinya aku 

meninggalkan rumah, kampung halaman dan...," 

Lastri tidak jadi meneruskan kata-katanya. 

"Kekasih?" pemuda itu langsung menebak. 

Lastri segera menggeleng dan tersenyum pahit. 

"Seorang gadis muda, cantik, telah meninggalkan 

rumah seorang diri tanpa tujuan yang pasti. Tentu ada 

sebabnya, kan?" pemuda itu seperti bicara pada 

dirinya sendiri. 

"Ya...," desah Lastri tak sadar. 

"Boleh aku tahu?" 

Lastri tidak segera menjawab. Dia kemudian 

malah berbalik dan mengayunkan kakinya pelan-

pelan. Kepalanya tetap tertunduk memandangi ujung 

kakinya yang berjalan pelan di atas daun-daun kering. 

Sementara pemuda itu masih tetap berdiri sambil


memandanginya. Kemudian dia pun segera 

melangkah menyusul gadis itu. Rasa penasarannya 

membuat dia semakin ingin tahu. 

*** 

Sementara itu matahari terus merambat semakin 

tinggi. Sinarnya yang terik telah menghalau kabut, 

dan seakan ingin membakar seluruh makhluk yang 

ada di atas permukaan bumi. Namun teriknya sinar 

matahari itu tidak mampu untuk menghentikan 

langkah dua orang yang tengah berjalan pelahan-

lahan, merambah hutan di Lereng Gunung Cangking. 

Mereka terus berjalan ke arah Barat dari lereng 

gunung itu. 

Semakin jauh mereka berjalan, pohon-pohon 

semakin teriihat jarang. Namun langkah mereka tidak 

juga berhenti. Mereka terus saja melangkah ke kaki 

lereng gunung. Kedua orang itu kemudian berhenti 

setelah sampai pada sebuah danau kecil yang ada air 

terjunnya. Sebenarnya tempat itu bukan merupakan 

danau, hanya cekungan tanah yang terkikis dan 

membesar akibat irisan air yang mengalir cukup 

deras dari dataran yang tinggi. Ada beberapa sungai 

yang membawa air itu mengalir ke tempat yang lebih 

rendah. 

Kini mereka beristirahat di sebuah batu pipih yang 

menjorok ke danau itu. Pada bagian ini air kelihatan 

tenang, karena banyak batu-batu yang menghambat 

lajunya arus. Gadis berbaju hijau itu lalu 

menceburkan sebagian kakinya ke dalam air, dan 

membasuh wajahnya yang berdebu dan disimbahi 

keringat. Sedangkan pemuda di sampingnya hanya 

duduk mencangkung sambil memandangi air terjun di



seberangnya. 

"Sudah setengah hari kita bersama-sama, dan kau 

sudah tahu tentang diriku. Tapi aku belum tahu 

tentang dirimu," kata gadis itu beberapa saat 

kemudian. 

"Apa itu perlu?" tanya pemuda itu tanpa menoleh. 

"Kalau kau tidak keberatan." 

"Namaku Bayu Hanggara, tapi kau cukup 

memanggilku dengan sebutan Bayu," pemuda itu 

mulai memperkenalkan diri. 

"Umurmu pasti lebih tua dariku. Boleh aku 

memanggilmu dengan sebutan Kakang?" 

"Sama sekali tidak keberatan." 

"Dan kau juga jangan memanggilku lagi dengan 

sebutan Gadis Manis. Panggil saja aku Lastri," pinta 

gadis itu setengah tersipu. 

"Boleh juga," sahut Bayu seraya menoleh ke arah 

gadis itu. 

Lastri tersenyum manis. 

"Kau tadi bilang, bahwa kau adalah seorang 

pengembara. Apakah kau seorang pendekar?" tanya 

Lastri lagi. 

"Apakah seorang pengembara sudah berarti 

pendekar?" Bayu balik bertanya. 

"Biasanya memang begitu. Dan biasanya juga, 

seorang pendekar selalu punya nama julukan. Apa 

nama julukanmu?" 

"Kau ini seperti sudah tahu saja tentang dunia 

kependekaran." 

"Sedikit-sedikit aku sudah tahu tentang rimba 

persilatan." 

"Oh, ya? Dari mana kau tahu?" 

"Ayahku sering cerita, juga pamanku yang memang 

seorang pendekar. Tapi itu dulu, ketika Paman masih


hidup. Dan Ayah juga masih tampak gagah," Lastri 

seperti mengenang. "Pamanku dulu berjuluk 

Pendekar Cakar Maut. Dia memang kejam pada 

musuh-musuhnya, tapi hatinya baik dan lembut. 

Selalu menolong siapa saja yang membutuhkan." 

"Kau pernah belajar ilmu olah kanuragan?" tanya 

Bayu tertarik juga. 

"Tidak," sahut Lastri. 

"Kenapa?" 

"Ayah tidak pernah mengijinkan." 

"Tentu ada alasannya, kan?" 

"Entahlah, yang jelas aku tidak diperbolehkan 

untuk belajar ilmu olah kanuragan. Padahal itu kan 

penting, apalagi kalau dalam keadaan seperti ini. 

Yaaah..., seandainya aku dulu sempat belajar, pasti 

tidak akan melarikan diri seperti ini," agak pelan 

suara Lastri. 

"Aku yakin, ayahmu pasti punya alasan atas 

tindakannya itu," Bayu membesarkan hati gadis itu. 

"Mungkin," desah Lastri. "Oh, ya. Siapa sebenarnya 

nama julukanmu?" tanya Lastri kembali teringat 

dengan pertanyaannya yang belum terjawab. 

"Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu berterus 

terang. 

"Ihhh...!" mendadak Lastri bergidik. 

"Kenapa?" 

"Seram! Kenapa memilih nama julukan itu? Kan 

masih banyak nama julukan yang baik. Julukan itu 

bisa menyiratkan akan watakmu yang kejam, sadis. 

Seperti Paman dulu, tindakannya juga selalu kejam, 

tidak pernah mengampuni setiap lawannya. Jadi 

banyak orang memusuhinya, tapi juga banyak yang 

menyenanginya." 

"Mungkin keadaan pamanmu dan aku ada


persamaan," kata Bayu bisa merasakan kalau kata-

kata Lastri itu seperti sedang menelanjangi dirinya. 

"Siapa yang telah memberimu nama julukan 

seperti itu?" tanya Lastri mau tahu. 

"Aku sendiri," sahut Bayu terus terang. 

"Kausuka?" 

"Ya." 

"Bangga?" 

"Tentu saja, setiap pendekar selalu bangga dengan 

nama julukannya." 

"Tidak takut?" 

"Kau ini ada-ada saja, Lastri. Apa yang harus 

kutakutkan?" Bayu merasa geli sendiri mendengar 

pertanyaan-pertanyaan gadis itu. 

"Pendekar Pulau Neraka..., sebuah nama julukan 

yang bisa membangkitkah bulu kuduk. Orang pasti 

akan menyangka kalau kau adalah seorang yang 

kejam, sadis dan jahat!" 

Bayu hanya tersenyum. Dia sama sekali tidak 

tersinggung dengan dugaan Lastri. Dan hal itu justru 

malah membuat hatinya merasa bangga. Dalam 

hatinya Bayu memuji kecerdasan gadis itu. Meskipun 

Lastri tidak pernah belajar ilmu olah kanuragan, tapi 

dia sendiri sudah tahu betul seluk-beluk dunia 

kependekaran. 

"Tapi aku sendiri tidak percaya kalau kau adalah 

seorang yang berhati kejam. Aku tidak melihat adanya 

sifat kekejaman pada wajahmu, Kakang," sambung 

Lastri. Sepertinya tahu, apa yang tengah dipikirkan 

Bayu. 

"Mudah-mudahan kau salah menduga," kata Bayu 

tersenyum geli. 

"Maksudmu, dugaan yang baik atau yang buruk?" 

"Yang baik."


Lastri hanya tertawa. Dan tawanya kali ini adalah 

tawa yang pertama kali sejak beberapa hari 

belakangan ini. Dia merasa kalau Bayu hanya 

berolok-olok saja. Dan Pendekar Pulau Neraka itu pun 

tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya itu. 

Mungkin juga dia merasa senang begitu melihat 

adanya keceriaan lagi pada wajah gadis itu.


Tidak sulit bagi Bayu untuk membuat seorang gadis 

bersikap terbuka dan berterus terang padanya. 

Pendekar Pulau Neraka itu mempunyai cara sendiri 

untuk mengorek keluar semua isi hati seseorang, 

apalagi seorang gadis seperti Lastri. Dalam 

perjalanan, Pendekar Pulau Neraka itu terus-menerus 

menanyakan semua kesulitan yang tengah dialami 

Lastri. Dan cara yang dilakukan oleh Bayu itu telah 

berhasil membuat Lastri semakin merasa dekat dan 

menaruh kepercayaan padanya. 

"Sudah berapa lama hal itu berlangsung?" tanya 

Bayu. 

"Sejak ayahku tidak menjabat sebagai kepala desa 

lagi, kira-kira lima tahun lalu," sahut Lastri. 

"Lalu, siapa yang telah menggantikan kedudukan 

ayahmu?" 

"Adik Pendeta Pasanta, namanya Ki Durangga." 

"Ah, sebuah persoalan biasa. Membodohi 

penduduk desa demi kepentingan pribadi," nada 

suara Bayu seolah mengeluh. 

"Kelihatannya memang persoalan biasa, tapi hal 

itu bisa menjadi berlarut-larut kalau tidak segera 

ditangani," kata Lastri. 

"Apa di desamu tidak ada sebuah padepokan?" 

tanya Bayu lagi. 

"Desa Gampil adalah sebuah desa yang tentram. 

Selama ini tidak pernah terjadi kerusuhan. Bahkan 

pencoleng kecil pun tidak ada di sana, jadi mungkin 

para penduduknya merasa tidak perlu untuk


mendirikan sebuah padepokan. Lagi pula seluruh 

penduduknya memang tidak menyukai kekerasan," 

Lastri menjelaskan keadaan desanya. 

"Kamu ini aneh, Lastri. Belum lama bilang, bahwa 

desamu sedang mengalami kehancuran pelan-pelan. 

Dan sekarang sudah berubah, kalau desamu aman 

tentram dan damai. Mana yang benar?" 

"Dulu Desa Gampil memang keadaannya aman, 

tentram dan damai. Tapi sekarang tidak lagi." 

"O..., jadi kau kabur karena takut melihat 

kehancuran desamu, begitu?" 

"Bukan hanya itu, tapi ada sesuatu yang lebih 

penting. Tapi rasanya kau tidak akan percaya kalau 

kujelaskan. Sebaiknya buktikan saja sendiri." 

"Bagaimana mungkin? Sedangkan aku sendiri 

tidak tahu, di mana letak desamu itu. Apalagi kau 

sendiri sedang menjauhi desa itu...." 

"Aku mau mengantarkan kau pergi ke sana, 

asalkan kau janji mau menyelamatkan dan 

membebaskan keadaan desa itu dari belenggu." 

"Siapa mereka?" 

"Kau akan tahu sendiri nanti." 

Bayu hanya bisa mengangkat bahunya saja. Untuk 

saat ini dia memang masih diliputi oleh berbagai 

macam tanda tanya, tapi sebagian besar sudah bisa 

dimengerti. Dia merasakan, kalau kali ini dia harus 

segera kembali bertualang untuk menumpas 

keangkaramurkaan. 

"Ayo, sebaiknya kita segera menuju Desa Gampil," 

ajak Bayu kemudian. 

"Tapi kau harus janji...," tagih Lastri. 

"Iya..., aku janji. Keselamatanmu aku yang 

tanggung," potong Bayu cepat. 

Lastri segera tersenyum lebar. Entah apa


sebenarnya arti senyumannya itu. Kemudian mereka 

mulai melangkah menuju Desa Gampil. 

*** 

Malam kian merambat semakin larut. Seluruh 

permukaan bumi sudah terselimuti oleh kegelapan. 

Bayu dan Lastri telah tiba di perbatasan Desa Gampil, 

di saat seluruh penduduk desa itu tengah terbuai 

dalam mimpi. Sejenak mereka berhenti sambil 

memandang ke desa yang keadaannya sudah sepi 

itu. Tak terlihat seorang pun yang berada di luar 

rumah. 

Suasana desa itu memang damai, aman dan 

tentram. Namun Pendekar Pulau Neraka itu segera 

merasakan adanya hawa lain menyelimuti desa di 

depannya itu. Indra keenamnya yang tajam dan 

terlatih baik, langsung merasakan kalau dirinya 

tengah diawasi. Dan perasaan itu semakin menebal 

kala telinganya mendengar suara gemerisik yang 

halus. 

"Hm...," Bayu bergumam pelan, hampir tidak 

terdengar. 

"Ada apa, Kakang?" tanya Lastri yang sempat 

mendengar gumaman itu. 

"Tidak ada apa-apa," sahut Bayu pelan seperti 

bergumam. "Rumahmu masih jauh dari sini? 

"Tidak lama lagi. Dari sini saja sudah kelihatan. Itu 

yang tampak gelap, tidak ada lampunya...," suara 

Lastri jadi pelan. 

"Kenapa?" tanya Bayu yang merasakan kalau nada 

suara gadis itu telah berubah. Seperti ada yang 

dicemaskannya. 

"Aneh..., tidak biasanya gelap begitu," sahut Lastri


seperti untuk dirinya sendiri. 

Bayu menatap ke arah rumah yang tidak begitu 

besar itu. Memang tidak seperti rumah-rumah 

lainnya, yang semuanya menaruh pelita pada bagian 

depan rumahnya. 

Bayu sedikit menggeser kakinya untuk lebih 

mendekati Lastri. Telinganya yang selalu terpasang 

tajam, kembali mendengar suara gemerisik dari arah 

samping kanan. Suara itu sangat halus, dan Lastri 

pasti tidak merasakannya. Kini Pendekar Pulau 

Neraka itu semakin yakin, pasti ada seseorang yang 

sedang mengintainya. Dan orang itu tentu memiliki 

tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Terbukti dari 

desahan napasnya yang halus tersamar oleh 

hembusan angin. 

Bayu sengaja tidak memberitahukan hal itu pada 

Lastri. Dia tidak ingin melihat gadis itu jadi terkejut 

dan ketakutan. Bayu memang baru sekali datang ke 

desa itu. Makanya harus bersikap hati-hati agar tidak 

mengundang perhatian. 

"Perasaanku jadi tidak enak, Kang...," bisik Lastri. 

"Kau mencemaskan keadaan orang tuamu?" tanya 

Bayu menebak. 

"Ya. Aku khawatir telah terjadi sesuatu yang 

menimpa Ayah dan Ibuku. Tidak biasanya mereka 

mematikan semua lampu di rumah," sahut Lastri 

cemas. 

"Kau ingin agar aku segera memeriksa ke sana?" 

Lastri tidak segera menyahut. Tatapan matanya tetap 

lurus ke arah rumahnya. Hatinya terus berkecamuk 

penuh dengan rasa kekhawatiran. 

"Kau tunggu sebentar di sini, aku tidak akan lama," 

kata Bayu seraya melangkah. 

"Hati-hati, Kang," hanya itu yang bisa diucapkan


Lastri. 

Bayu hanya tersenyum. Tampak telinganya 

bergerak-gerak, pertanda dia semakin jelas 

mendengar suara yang mencurigakan sejak tadi. 

Maka tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Pulau 

Neraka itu segera melesat cepat bagai kilat. Begitu 

cepatnya dia bergerak, sehingga bagaikan hilang saja. 

Sejenak Lastri terkejut, dan dia celingukan mencari-

cari, namun bayangan pemuda itu sudah tidak 

tampak lagi. Entah menghilang ke mana...? 

Belum lagi hilang rasa terkejut dan herannya gadis 

itu, tiba-tiba di depannya muncul seorang laki-laki 

bertubuh tinggi tegap. Dia memakai baju putih yang 

ketat dan berlengan panjang yang lebar. Tentu saja 

Lastri jadi semakin ketakutan. Apalagi kini dari arah 

samping kanan dan kirinya juga muncul dua orang 

laki-laki yang perawakan tubuh dan pakaiannya sama 

dengan yang pertama. 

"Mau apa kalian?" sentak Lastri, agak bergetar 

suaranya. 

"Kami hanya menjalankan perintah untuk segera 

membawamu pulang," sahut seorang yang berdiri 

paling depan. 

"Tidak...!" pekik Lastri. Buru-buru dia berbalik, 

namun di belakangnya tiba-tiba sudah berdiri seorang 

laki-laki lain lagi. 

Kini Lastri jadi panik. Dia sudah terkepung oleh 

empat orang laki-laki yang muncul secara tiba-tiba 

bagaikan setan saja. Lalu hampir bersamaan, empat 

orang berpakaian putih itu bergerak ringan 

mendekati. Dan Lastri semakin kebingungan. 

"Tidak! Jangan dekati aku...! Pergi kalian semua...!" 

jerit Lastri histeris. 

Namun mereka tetap saja bergerak mendekati.


Lastri terus menjerit-jerit, dia berusaha memberontak 

ketika salah seorang secara tiba-tiba melompat dan 

mencengkeramnya. Namun pada saat itu mendadak 

terdengar suara bentakan keras menggelegar. 

"Lepaskan gadis itu!" 

Seketika empat orang laki-laki berbaju putih itu 

terkejut dan langsung menoleh. Tampak seorang 

pemuda tampan dan berbaju kulit harimau, telah 

berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. 

"Kakang...! Tolong aku...," jerit Lastri sambil 

memberontak berusaha melepaskan diri dari 

ringkusan salah seorang laki-laki berbaju putih itu. 

"Kisanak, sebaiknya kau jangan ikut campur 

urusan kami," kata salah seorang yang berdiri paling 

depan. Suaranya tegas penuh nada ancaman. 

"Lepaskan! Iblis, kalian semua...!" bentak Lastri 

terus memberontak. 

Tapi pemberontakan gadis itu hanya sampai di situ 

saja, karena tiba-tiba dia jadi lemas lunglai tertotok 

jalan darahnya. Sedangkan seorang laki-laki yang dari 

tadi meringkusnya, langsung memanggul tubuh 

ramping gadis itu. Sedangkan tiga orang lainnya 

segera berdiri di depannya dengan sikap melindungi. 

"Kisanak, sebaiknya kau cepat pergi dari sini 

sebelum aku mengambil tindakan tegas," kembali 

orang yang kini berdiri di tengah berkata mengancam. 

"O..., kalian main ancam rupanya. Baik, Pendekar 

Pulau Neraka pantang digertak!" sambung Bayu 

dingin. 

Mendengar tantangan itu, laki-laki yang berdiri di 

tengah, segera menjentikkan jarinya. Seketika dua 

orang yang berada di sampingnya langsung bergerak 

maju. Hampir bersamaan, kedua orang itu 

mengeluarkan seuntai kalung yang terbuat dari batu


hitam, namun berkilat. Sejenak mereka maju ke 

depan tiga langkah. 

Bayu segera bersiap-siap untuk menyambut 

serangan. Dia sudah bisa menduga kalau empat 

orang itu pasti memiliki tingkat kepandaian yang 

tinggi, dan ini sudah disadarinya sebelum 

meninggalkan Lastri. Dia berbuat begitu hanya untuk 

memancing saja, dan dugaannya ternyata tepat! 

"Kami beri kesempatan sekali lagi padamu, 

Kisanak," kata orang itu lagi. Suaranya tetap dingin. 

"Aku akan segera pergi, jika kalian melepaskan 

gadis itu!" sahut Bayu tegas. 

"Rupanya kau seorang yang keras kepala juga, 

Kisanak. Beri dia pelajaran!" 

"Hup!" 

"Hiyaaa...!" 

Dua orang yang sejak tadi sudah mengeluarkan 

seuntai kalung hitam, langsung berlompatan 

menerjang Pendekar Pulau Neraka. Gerakan mereka 

sangat cepat dan tiba-tiba sekali, sehingga Bayu 

terpaksa melentingkan tubuhnya ke belakang. 

Namun dengan cepat salah seorang penyerangnya 

telah mengebutkan untaian kalung di tangan 

kanannya. 

Wut! 

"Uts!" 

Bayu segera memiringkan tubuhnya sedikit, dan 

untaian kalung itu lewat sedikit di depan dadanya. 

Dan belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu sempat 

menarik tubuhnya kembali, satu tendangan sudah 

keburu mendarat di punggungnya. Tubuh Bayu 

langsung terjungkal keras ke depan. Dan dua kali dia 

bergulingan di tanah, namun dengan cepat dia segera 

bangkit kembali.


*** 

Pendekar Pulau Neraka benar-benar terkejut! 

Sama sekali dia tidak menyangka, kalau serangan 

dua orang itu sangat cepat dan terpadu rapi. Untung 

saja tendangan yang sempat mendarat di 

punggungnya tidak disertai dengan pengerahan 

tenaga dalam penuh, sehingga tidak menimbulkan 

luka dalam. Namun begitu, tendangan orang itu 

sangat keras dan membuat punggungnya terasa 

nyeri. 

"Itu baru peringatan, Kisanak. Dan jika kau tidak 

segera meninggalkan desa ini, kami akan berbuat 

lebih dari itu!" kata laki-laki yang mungkin sebagai 

pemimpinnya. 

"Heh! Jangan besar kepala dulu, Sobat! Ak mampu 

membunuh kalian semua jika kuinginkan!' sahut Bayu 

sengit. 

"Dan kami bisa lebih kejam darimu!" sahut salah 

seorang dari mereka tak kalah ketus. 

Bayu benar-benar jengkel. Selama ini belum 

pernah ada seorang pun yang berani merendahkan 

dirinya begitu rupa. Biasanya, baru mendengar 

namanya saja orang pasti sudah gemetar! Tapi empat 

orang laki-laki di hadapannya itu sama sekali tidak 

gentar sedikit pun walau sudah digertak dengan 

menyebutkan nama julukannya yang angker itu. 

"Cepat! Beri dia pelajaran yang lebih keras!' 

perintah yang diduga sebagai pemimpinnya. 

Langsung saja dua orang laki-laki itu kembal 

berlompatan menerjang. Sedangkan Bayu segera 

melayani dengan sungguh-sungguh. Dia langsung 

saja mengeluarkan jurus andalannya! Hatinya sudah


benar benar panas dan jengkel. Dan pertarungan kali 

ini pun segera berlangsung dengan sangat dahsyat. 

Sementara keempat musuhnya itu seakan baru 

menyadari, lebih- lebih dua orang yang kini tengah 

berhadapan langsung dengan Pendekar Pulau Neraka 

itu. Mereka telah merasakan bagaimana hebatnya 

angin pukulan Pendeka Pulau Neraka itu! Sebuah 

hempasan yang menebarkan hawa panas dan dingin 

secara bergantian. 

Dan pada saat pertarungan memasuki jurus ke 

sepuluh, Bayu sudah bisa mengukur tingkat 

kemampuan lawan-lawannya itu. Otaknya yang cerdas 

terus bekerja, namun sedikit pun dia tidak 

mengurangi daya serangnya. Dan pada saat salah 

seorang lawannya mengebutkan untaian kalungnya 

ke arah kepala, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka 

itu merunduk sambil melayangkan pukulan tangan 

kirinya ke arah perut. 

Buk! 

"Hugh!" seketika orang itu mengeluh pendek. 

Bayu tidak membuang kesempatan itu, secepat 

kilat melentingkan tubuhnya ke atas sambil 

mengirimkan tendangan geledeknya ke arah dada 

orang itu. Seketika orang berbaju putih itu terpental 

sejauh tiga batang tombak ke belakang. Dan pada 

saat itu juga tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah 

mendarat di tanah dengan manis. 

Lalu secepat kilat tangan kanannya berkelebat ke 

depan dengan tubuh agak membungkuk. Seketika 

secercah sinar keperakan meluncur deras ke arah 

musuhnya yang baru saja bisa bangkit. Dan tanpa 

ampun lagi, senjata cakra bergerigi enam dan 

berwarna keperakan itu langsung menembus 

dadanya.


"Aaakh...!" laki-laki itu menjerit melengking tinggi. 

Sejenak Bayu menghentakkan tangan kanannya 

ke depan dada. Dan senjata cakra andalannya itu pun 

kembali meluncur ke arahnya. Dan sambil melompat 

ke atas, Pendekar Pulau Neraka itu menangkap 

senjatanya itu. 

Tepat pada saat itu sebuah bayangan putih tiba-

tiba meluncur deras ke arahnya. Buru-buru Bayu 

meluruk turun ke bawah. Namun tanpa diduga sama 

sekali, sebuah tendangan menggeledek langsung 

menghantam punggungnya. 

"Akh!" 

Bayu tersungkur ke tanah dan bergulingan 

beberapa kali sebelum melompat bangkit. Tampak 

seorang lawannya lagi sudah menerjangnya kembali 

dengan dahsyat. Kini seluruh perhatian Bayu benar-

benar terpusat pada pertarungannya itu. Belum habis 

dia menikmati hasilnya menjatuhkan satu lawan, kini 

datang kembali serangan dari lawan satunya lagi. 

Sepertinya Pendekar Pulau Neraka itu benar-benar 

tidak diberi kesempatan untuk menarik napas sedikit 

pun. Serangan-serangan lawannya kali ini sangat 

cepat dan dahsyat, sepertinya dia tidak ingin memberi 

kesempatan pada Bayu untuk melepaskan 

senjatanya. 

Dalam pertarungan jarak pendek begini, biasanya 

Pendekar Pulau Neraka mengandalkan kelincahan 

gerak tubuhnya, dan kedahsyatan pukulan-

pukulannya. Namun menghadapi lawan yang tingkat 

kepandaiannya cukup tinggi itu, dia terpaksa 

menggenggam erat senjatanya, untuk mengimbangi 

senjata lawan yang berupa seuntai kalung dari batu 

hitam.


*** 

"Mampus kau!" bentak Bayu ketika dia punya 

kesempatan untuk mengeluarkan jurus 'Pukulan 

Racun Hitam'nya. 

Kini telapak tangan kirinya tampak terbuka lebar, 

dan mengarah langsung ke depan dada lawannya. 

Namun tanpa diduga sama sekali, lawannya itu 

mampu berkelit dengan cepat. Dan dia juga sempat 

mengibaskan kalungnya ke arah kaki Bayu. 

"Uts!" 

Buru-buru Bayu melompat sedikit menghindari 

senjata lawannya itu. Dan dia segera memutar 

tubuhnya sambil melayangkan kaki kanannya. Buk! 

Satu benturan keras langsung terjadi. Seketika 

lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum 

lagi sempat menguasai tubuhnya, tiba-tiba Pendekar 

Pula Neraka itu berteriak nyaring. 

"Hiyaaa...!" 

Kali ini jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang 

dikerahkan Bayu, langsung mendarat telak di dada 

lawannya. Kembali orang itu terjengkang ke belakang 

dengan tubuh limbung. 

Rupanya Pendekar Pulau Neraka tidak mau lagi 

memberi kesempatan. Maka sambil berteriak nyaring 

dia segera melompat ke atas sambil melontarkan 

senjata mautnya. Seketika senjata cakra itu meluncur 

deras, dan langsung memenggal leher lawannya. Dan 

tanpa mengeluarkan keluhan sedikit pun, tubuh laki-

laki berbaju putih itu langsung ambruk ke tanah! 

Sejenak Bayu berdiri tegak sambil memandang 

kedua mayat yang menggeletak di tanah. Lalu buru-

buru dia memalingkan kepalanya. Dan betapa 

terkejutnya dia, karena dua orang lawannya lagi


sudah hilang sambil membawa Lastri. Rupanya 

mereka telah mengambil kesempatan di saat seluruh 

perhatian Pendekar Pulau Neraka itu terpusat penuh 

pada pertarungannya. 

"Pengecut! Licik...!" geram Bayu. 

Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu meng-

edarkan pandangannya berkeliling. Hanya kegelapan 

yang menyelimuti sekitar tempat itu. Bayu benar-

benar menyesal karena telah terlalu memusatkan 

perhatiannya pada dua orang lawannya. 

"Hhh! Ke mana mereka membawa Lastri...?" 

dengus Bayu seorang diri. 

Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu kini 

terpusat pada rumah yang tampak gelap gulita. 

Rumah itu telah dikatakan Lastri sebagai rumahnya. 

Dan ada orang tuanya di sana. Tapi kenapa 

keadaannya begitu gelap? Bayu belum bisa 

menjawabnya. Dia tadi perginya untuk memancing 

orang-orang yang mengintainya ke luar. Dan ternyata 

mereka tidak bermaksud baik. Bahkan mereka telah 

berhasil membawa Lastri kabur. Gadis yang telah 

dijanjikan keselamatannya. 

"Fiuh! Aku jadi merasa berhutang pada gadis itu," 

dengus Bayu. 

Pendekar Pulau Neraka itu segera berlari cepat 

dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. 

Tubuhnya bagaikan sebuah bayangan yang 

terbawa angin, meluncur cepat ke arah rumah yang 

tampak gelap itu. Dan dalam waktu yang singkat saja, 

dia sudah berada di depan pintu rumah itu. Sebentar 

matanya memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sepi, 

tak terlihat satu manusia pun di tempat itu. 

Pelahan-lahan Bayu mendekati pintu rumah itu. 

keningnya agak berkerut, karena pintu itu tidak


tertutup sepenuhnya. Maka dengan pelahan, 

tangannya terjulur dan membuka pintu yang memang 

sudah sedikit terbuka itu. Sejenak Bayu mengerjap-

kan matanya, membiasakan penglihatan-nya dalam 

keadaan gelap. Kemudian dengan hati-hati sekali 

kakinya melangkah masuk. Namun belum lagi 

Pendekar Pulau Neraka itu masuk lebih ke dalam, 

mendadak telinganya mendengar desiran angin halus 

dari arah belakang. Buru-buru dia mengegoskan 

tubuhnya ke samping. Dan seleret cahaya kemerahan 

membersit di samping kepalanya. 

"Hup!" 

Pendekar Pulau Neraka itu segera melompat ke 

luar. Matanya yang tajam langsung dapat melihat 

berkelebatnya sebuah bayangan dari atap sebuah 

rumah di depan rumah yang gelap itu. Tanpa 

membuang-buang waktu lagi, Bayu segera melompat 

dan mengejar. Matanya terus memperhatikan 

bayangan yang berlompatan dari satu atap ke atap 

rumah lainnya. Gerakannya begitu cepat dan ringan. 

"Hup! Hih...!" 

Bayu mengempos seluruh ilmu meringankan 

tubuhnya. Dan lompatannya semakin cepat bagai 

kilat. Jarak mereka pun semakin tambah dekat saja. 

Tampak Pendekar Pulau Neraka itu sedikit 

berkerenyit keningnya, karena bayangan itu menuju 

perbatasan Desa Gampil dengan hutan yang 

dilewatinya tadi. 

*** 

"Berhenti...!" seru Bayu lantang. 

Bersamaan dengan itu, Pendekar Pulau Neraka itu 

segera melentingkan tubuhnya, dan melompati


kepala orang yang tengah dikejarnya itu. Dan dengar 

manis sekali kakinya segera mendarat persis di 

depan orang itu. Bayu langsung berbalik, bertepatan 

dengar berhentinya lari orang itu. Tampak seorang 

laki-laki tua yang berbaju kumal dan penuh dehgan 

tambalan. Di tangannya tergenggam sebatang 

tongkat berwarna hitam. 

Bayu terus mengamati laki-laki yang kelihatan 

seperti seorang pengemis itu. Rupanya orang tua 

berongkat hitam itu juga tengah mengamati pemuda 

di depannya. Beberapa saat lamanya mereka saling 

berdiam diri, dengan mata sama-sama memper-

hatikan dengan tajam. Seakan-akan mereka tengah 

mengukur tingkat kepandaian masing-masing. 

"Kakek tua, siapa kau? Kenapa membokongku?" 

tanya Bayu tetap berwaspada. 

"He he he...," laki-laki tua itu terkekeh. "Seharusnya 

akulah yang bertanya padamu, Bocah!" 

"Heh!" Bayu terperanjat. 

"Apa maksudmu masuk ke rumah Ki Sudra? Mau 

mencuri?" tanya laki-laki bertongkat hitam itu tanpa 

menghiraukan keterkejutan Bayu. 

"Jangan menuduh serabarangan, Kakek Tua!" 

dengus Bayu sengit. 

"Sudah biasa, seorang pencuri akan berlaku kasar 

kalau kepergok." 

"Gila! Siapa yang mau mencuri?" 

"Kalau tidak mau mencuri, untuk apa kau masuk 

ke rumah yang sudah ditinggalkan oleh peng-

huninya?" 

"Justru aku bermaksud mencari pemilik rumah itu!" 

"Untuk apa? Malam-malam begini, Ki Sudra tidak 

pernah membuka kedainya. Lagi pula dia memang 

tidak ada."


"Tidak ada...?! Ke mana?" 

"Huh! Pakai tanya segala!" 

"Kakek tua, jangan menambah-nambah persoalan. 

Kau telah membokongku dengan licik. Berarti kau 

lebih tahu keadaan rumah itu. Apa sebenarnya yang 

kau inginkan? Apakah kau ini sebenarnya Ki Sudra? 

"He he he...!" laki-laki tua itu kembali terkekeh. 

"Huh! Memang susah ngomong sama orang 

gendeng!" dengus Bayu kesal. 

"Heh, Bocah! Jaga mulutmu!" bentak laki-laki itu. 

"Kau sendiri yang harus hati-hati, Kakek Tua. Kau 

tahu, dengan siapa kini kau berhadapan? Akulah 

orang yang bergelar Pendekar Pulau Neraka!" Bayu 

mencoba menggertak. 

"Ha ha ha...!" kali ini tawa laki-laki tua itu terbahak-

bahak. Telinganya seperti tergelitik mendengar 

gertakan itu. 

"Benar-benar sudah gila dia!" rungut Bayu dalam 

hati. 

"Kau pikir aku akan gentar mendengar nama 

kosongmu, Bocah? Orang lain mungkin bisa mati 

berdiri mendengarnya. Tapi Pengemis Tongkat Hitam 

tidak gentar!" kata laki-laki tua itu menyebutkan nama 

julukannya. 

"O...! Ternyata kaulah orang yang berjuluk 

Pengemis Tongkat Hitam...!" kini Bayulah yang 

terkejut mendengarnya. 

"Kau kaget, kan? He he he...!" 

"Aku sedikit kaget bukan karena namamu yang 

sedikit tersohor, Pengemis Tongkat Hitam. Aku hanya 

heran, jauh-jauh dari daerah Selatan ke sini, tentu 

ada maksudnya," sahut Bayu. 

"Dan kau sendiri juga berasal dari daerah Selatan. 

untuk apa kau datang ke sini?" Pengemis Tongkat


Hitam balik bertanya. 

"Aku pergi ke mana aku suka!" sahut Bayu jadi 

sengit lagi. 

"Sama. Aku juga mau pergi ke mana aku suka," 

sahut Pengemis Tongkat Hitam tak kalah ketus. 

Bayu menggeram jengkel. Laki-laki tua itu benar-

benar membuatnya kesal. Pintar memutarbalikkan 

kata-kata. Bayu memang sudah sering mendengar 

nama Pengemis Tongkat Hitam. Tapi baru sekali ini 

dia bertemu muka dengan orangnya. Dan 

pertemuannya itu malah membuatnya jengkel. 

Pendekar Pulau Neraka itu tetap yakin, kalau 

kehadiran Pengemis Tongkat Hitam bukan hanya 

sekedar menuruti langkah kaki, tapi pasti ada 

maksud tertentu. 

Dia sudah tahu, kalau Pengemis Tongkat Hitam 

tidak mungkin meninggalkan daerah Selatan, kalau 

tidak punya maksud dan tujuan yang pasti. Bayu juga 

sudah tahu, laki-laki tua itu bukan tokoh dari 

golongan hitam. Tingkat kepandaiannya sukar dicari 

tandingannya. Dia sendiri belum tentu mampu 

menandinginya. 

"Kenapa kau diam?" tegur Pengemis Tongkat 

Hitam sinis. 

"Tidak apa-apa, hanya malas saja bicara 

denganmu," sahut Bayu masih sengit. 

"He he he..., ternyata kabar yang telah kudengar 

tentang Pendekar Pulau Neraka, bukan omong 

kosong. Kau memang sulit untuk diajak berbicara. 

Kau angkuh, keras kepala, dan tindakanmu sangat 

kejam!" 

"Jangan menghakimiku, Pengemis Tongkat Hitam!" 

dengus Bayu tersinggung. 

"Aku tidak menghakimimu, aku agak terganggu


dengan kemunculanmu di sini!" 

"Ooo..., begitu! Tapi maaf, kau tidak bisa 

mengusirku seenaknya saja. Aku masih punya urusan 

di Desa Gampil," Bayu bisa menangkap maksud kata-

kata Pengemis Tongkat Hitam itu. 

"Sudah kuduga, kau datang ke sini bukan untuk 

sekedar lewat. Dan itulah yang membuatku tidak 

suka. Kau pasti akan mencampuri urusanku di sini!" 

"Urusanku sendiri saja belum selesai, kenapa 

harus susah-susah mencampuri urusanmu?" 

"Kalau begitu, kau urus saja persoalanmu sendiri. 

Dan aku..." 

"Tidak semudah itu, Pengemis Tongkat Hitam," 

celetuk Bayu memotong. 

"Apa maksudmu?" 

"Kau telah mencampuri urusanku dengan 

membokongku dari belakang!" 

"Bocah setan! Kaulah yang memulai lebih dahulu 

tahu!" sentak Pengemis Tongkat Hitam sengit. 

"He...!" Bayu jadi tersentak.


Pertengkaran dua tokoh rimba persilatan itu 

mendadak terhenti. Kini mereka mulai menyadari, 

bahwa persoalan yang sedang dihadapi terpusat pada 

satu tujuan. Meskipun belum terucapkan, tapi 

masing-masing sudah bisa mengerti. Dan hal itu 

benar-benar sangat mengejutkan. Mereka masing-

masing sebenarnya tidak mau saling berurusan, 

tetapi kali ini mereka terbentur pada pokok persoalan 

yang sama tanpa diduga sebelumnya. Mereka 

sepertinya sama-sama menyesali pertemuan yang 

tidak diharapkan itu. 

"Baiklah, Pendekar Pulau Neraka. Meskipun aku 

tidak mengharapkan kehadiranmu, tapi tujuan kita 

sama," kata Pengemis Tongkat Hitam mulai melunak 

suaranya. 

"Apa maumu sekarang?" tanya Bayu. Juga sudah 

melemah suaranya. 

"Aku ingin sebaiknya kita saling berterus terang. 

Tapi itu bukan berarti bahwa kita akan bekerja sama," 

sahut Pengemis Tongkat Hitam memberi penawaran. 

"Untuk apa?" 

"Agar di antara kita tidak saling mencelakakan 

dalam menyelesaikan persoalan masing-masing." 

Sejenak Bayu terdiam. Dia segera menimbang-

nimbang tawaran yang diajukan oleh Pengemis 

Tongkat Hitam itu. Sebenarnya dia sendiri masih 

belum jelas persoalan yang dihadapi, tapi juga tidak 

mau begitu saja menerima. Ada kemungkinan 

Pengemis Tongkat Hitam hanya memancing, karena



dia sendiri masih meraba-raba. 

Diamnya Pendekar Pulau Neraka itu segera 

disadari oleh Pengemis Tongkat Hitam. Sebenarnya 

dia mengajukan penawaran itu hanya untuk 

memancing keterangan yang mungkin sangat 

diperlukan. Dan pancingannya itu tampaknya sulit 

untuk mengena, karena Pendekar Pulau Neraka 

terlalu cerdik untuk dikelabui begitu saja. 

Agak lama juga mereka saling berdiam diri. 

Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Yang satu 

berharap, dan satunya lagi menimbang-nimbang. 

Namun masing-masing saling menjaga diri dengan 

keangkuhannya. Mereka memang memiliki watak 

yang hampir sama. Hanya bedanya, Pengemis 

Tongkat Hitam adalah benar-benar seorang tokoh 

rimba persilatan dari golongan putih, dan selalu 

bertindak dengan penuh perhitungan, dan masih 

memiliki rasa belas kasihan pada lawannya. 

Sedangkan Pendekar Pulau Neraka, selalu bertindak 

cepat tanpa pikir panjang lagi. Dan tidak segan-segan 

membunuh lawan-lawannya tanpa perlu mengenal 

lebih dulu, apakah lawannya itu hanya sebagai 

pengikut atau sekedar diperalat saja. 

Perbedaan yang menyolok itulah yang membuat 

mereka sama-sama saling menjaga diri. Terlebih lagi, 

Pendekar Pulau Neraka tidak pernah memilih-milih 

lawan. Apakah itu dari golongan putih atau dari 

golongan hitam! Apalagi jika diketahui, bahwa 

lawannya itu ada hubungannya dengan terbunuhnya 

ayahnya. Dan kekejaman Pendekar Pulau Neraka itu 

sudah menjadi buah bibir di kalangan kaum rimba 

persilatan. 

"Bagaimana, Pendekar Pulau Neraka?" Pengemis 

Tongkat Hitam memecah kebisuan yang terjadi.



"Aku rasa sebaiknya kita berjalan sendiri-sendiri. 

Selama ini aku tidak pernah bekerja sama dengan 

seorang pun, kecuali jika orang itu meminta 

pertolongan dariku," sahut Bayu tegas. 

Kata-kata Bayu itu memang agak merendahkan, 

tapi Pengemis Tongkat Hitam dapat menahan diri. Di 

antara mereka memang tidak punya persoalan apa 

pun, dan tidak ada untungnya menggali persoalan 

tanpa sebab yang pasti. Kini Pengemis Tongkat Hitam 

itu hanya mengangkat pundaknya. 

"Kalau begitu, kita berpisah saja di sini. Dan 

mudah-mudahan tidak akan bertemu lagi," kata 

Pengemis Tongkat Hitam. 

"Sebaiknya memang begitu," sahut Bayu kalem. 

Kemudian tanpa berkata-kata lagi, Pengemis 

Tongkat Hitam langsung melesat, dan menghilang di 

balik pepohonan. Bayu masih sempat melihat arah 

yang ditempuh oleh laki-laki tua bertongkat hitam itu. 

Sejenak dia memandang ke arah Desa Gampil, lalu 

dengan langkah pelan dia menuju desa itu. 

*** 

Siang itu matahari sangat terik. Namun sengatan 

cahaya matahari yang membakar itu, tidak 

menghalangi para penduduk Desa Gampil untuk 

menunaikan tugas rutinnya. Para orang tua tampak 

sibuk bekerja di ladang, sementara anak-anak 

dengan cerianya bermain-main. Suasana di Desa 

Gampil itu sama sekali tidak menunjukkan adanya 

sesuatu yang telah membuat dua tokoh rimba 

persilatan yang sudah kondang namanya, muncul di 

sana. 

Kemunculan dua tokoh rimba persilatan di Desa


Gampil itu, tentu saja tidak luput dari perhatian 

Pendeta Pasanta. Lebih-lebih dengan Pendekar Pulau 

Neraka yang sempat bentrok dan membunuh dua 

orang muridnya. Siang itu tampak Pendeta Pasanta 

tengah duduk dengan dikelilingi oleh murid-muridnya 

yang kini hanya berjumlah dua puluh delapan orang. 

"Mulai hari ini kalian harus meningkatkan 

kewaspadaan. Aku yakin, Lastri pasti sudah 

menceritakan semuanya pada Pendekar Pulau 

Neraka. Dan itu berarti akan munculnya suatu 

ancaman yang tidak bisa dianggap enteng," kata 

Pendeta Pasanta. 

Dua puluh delapan muridnya hanya diam dengan 

kepala tertunduk. Mereka semua duduk bersila di 

lantai yang beralaskan permadani bulu yang tebal. 

"Kalian tahu, Pendekar Pulau Neraka memiliki 

tingkat kepandaian yang sukar dicari tandingannya! 

Terbukti, dua saudara kita telah tewas semalam 

dengan cara mengenaskan. Pendekar itu terkenal 

sangat kejam, membunuh setiap lawannya tanpa 

mau peduli besar kecilnya lawan yang dihadapi. Maka 

aku memperingatkan kalian agar tidak bertindak 

ceroboh," sambung Pendeta Pasanta. 

Kembali tidak ada sahutan. Dua puluh delapan 

orang muridnya hanya menundukkan kepala saja. 

"Satu lagi yang harus kalian ketahui. Di sini juga 

telah muncul seorang pendekar yang berjuluk 

Pengemis Tongkat Hitam. Dan aku sudah tahu, 

kedatangannya di sini khusus untuk mencariku. Tapi 

kalian tidak perlu khawatir padanya." 

Semua murid-muridnya tetap diam dengan kepala 

tertunduk. Beberapa saat kemudian, Pendeta 

Pasanta bangkit dari duduknya, dan melangkah di 

antara murid-muridnya, yang juga segera berdiri


seraya merapatkan kedua telapak tangannya di 

depan dada dengan tubuh sedikit membungkuk. 

Laki-laki bertubuh gemuk dan berjubah kuning 

gading itu, terus melangkah meninggalkan ruangan 

besar itu. Langkahnya tampak ringan, pertanda kalau 

tingkat kepandaiannya sudah mencapai taraf yang 

hampir sempurna. Sementara para muridnya pun 

segera mengikutinya dari belakang. 

Pendeta Pasanta kemudian berhenti melangkah 

saat tiba di depan sebuah pintu yang masih tertutup 

rapat. Seorang muridnya segera melangkah maju, 

dan membuka pintu itu. Lalu laki-laki gemuk 

berkepala gundul itu segera melangkah masuk, dan 

pintu kembali diturup dari luar. 

Seorang gadis cantik berkulit kuning langsat, 

tampak duduk di tepi pembaringan. Gadis itu hanya 

mengangkat kepalanya sedikit, dan memandang 

Pendeta Pasanta dengan sinar mata penuh 

kebencian. Gadis berbaju hijau itu adalah Lastri, yang 

semalam berhasil dibawa kabur oleh dua orang laki-

laki berpakaian serba putih, murid pendeta gundul 

itu. 

Pendeta Pasanta mendekati jendela, dan 

membukanya lebar-lebar. Cahaya matahari langsung 

menerobos masuk dan menerangi seluruh ruangan 

itu. Angin yang bertiup kencang pun segera 

mengibarkan kain tirai jendela. Di depan jendela ada 

sebuah taman yang cukup luas dan tertata indah. Di 

sana tampak tengah duduk seorang perempuan tua 

yang dikelilingi oleh gadis-gadis cantik berjumlah lima 

orang. 

"Mak...," desis Lastri begitu mengenali wanita tua 

itu. 

"Ibumu tidak apa-apa, dia tetap sehat dan terjaga


di sini," kata Pendeta Pasanta. 

Lastri lalu mendekati jendela, dan memandangi 

wanita tua itu. Pandangannya tidak salah, wanita tua 

itu memang ibunya. Meskipun keadaan tubuhnya 

segar dan sehat, tapi raut wajahnya tidak men-

cerminkan kebahagiaan. Kemudian Lastri segera 

berbalik dan memandang Pendeta Pasanta yang kini 

sudah duduk di kursi dekat pintu. 

"Mana Bapak?" tanya Lastri ketus. 

"Tidak ada di sini," sahut Pendeta Pasanta kalem. 

"Ke mana? Kau bunuh...?" agak tertahan suara 

Lastri. 

Pendeta Pasanta hanya tersenyum dan meng-

geleng-gelengkan kepalanya. 

"Aku seorang pendeta, Anakku. Aku tidak pernah 

membunuh manusia tanpa alasan yang pasti. 

Ayahmu pergi mencarimu, dan aku kasihan melihat 

ibumu yang tinggal seorang diri. Itulah sebabnya aku 

segera membawanya ke sini agar tetap terurus 

segala-galanya," kata Pendeta Pasanta lembut. 

Kembali Lastri menoleh ke arah ibunya yang tetap 

duduk di kursi taman. Kemudian pandangan gadis itu 

beralih pada Pendeta Pasanta lagi. Dia sebenarnya 

tidak mempercayai kata-kata pendeta itu, tapi melihat 

keadaan ibunya yang kelihatan segar, meskipun 

berwajah murung, hati Lastri jadi tergerak juga. Dan 

memang tidak mustahil kalau ayahnya juga tengah 

mencarinya. 

"Aku mau bertemu Mak," kata Lastri. 

"Kau sudah berada dalam pingitan, Anakku," 

masih terdengar lembut suara Pendeta Pasanta. 

"Pingitan...?!" Lastri terperangah kaget. 

"Ya, seminggu lagi kau akan jadi pengantin. Segala 

sesuatunya sudah dipersiapkan."


"Tidak...," desis Lastri menggeleng-gelengkan 

kepalanya. 

"Segala keperluanmu akan selalu dipenuhi di sini. 

Dan kau harus bisa merawat diri agar tetap kelihatan 

cantik," kata Pendeta Pasanta lagi. 

Kini Lastri tidak dapat lagi berkata-kata. Dia 

kemudian berlari dan menjatuhkan dirinya di 

pembaringan. Air matanya segera tumpah di sana, 

mengeluarkan semua perasaannya. Sedangkan 

Pendeta Pasanta kemudian berdiri dan melangkah ke 

luar. 

*** 

Sementara itu di bagian luar rumah besar yang 

dikelilingi pagar batu tinggi, tampak seorang laki-laki 

muda yang berwajah tampan sedang berdiri di bawah 

pohon rindang. Tatapan matanya tidak berkedip 

mengamati rumah besar itu. Dia sama sekali tidak 

peduli dengan orang-orang yang lalu-lalang di 

sekitarnya. 

Sejenak pemuda itu menggeser tubuhnya untuk 

berlindung di balik pohon, ketika matanya melihat 

pintu gerbang rumah itu terbuka. Tampak dari dalam 

keluar empat orang berkuda yang mengenakan baju 

putih ketat dan berlengan panjang. Dan empat orang 

berkuda itu langsung memacu kudanya menuju arah 

Utara. 

Dan tanpa menunggu waktu lagi, pemuda gagah 

itu segera melesat cepat mengikuti arah mereka. 

Gerakannya sangat cepat, sehingga yang terlihat 

hanya bayangan tubuhnya. 

Sementara empat orang penunggang kuda itu 

terus memacu kudanya menuju Bukit Batu di sebelah


Utara Desa Gampil. Mereka sama sekali tidak 

menyadari kalau ada seseorang yang tengah 

mengikuti. 

Beberapa saat kemudian, mereka berhenti begitu 

sampai di Kaki Bukit Batu. Dan dengan berjalan kaki, 

mereka kemudian meneruskan mendaki bukit itu. 

Sementara pemuda yang tengah menguntitnya, tetap 

menjaga jarak. Namun ketika empat orang itu sampai 

di puncak bukit, tiba-tiba lenyap begitu saja, seperti 

tertelan Bukit Batu itu. 

"Heh! Ke mana mereka...?!" pemuda gagah yang 

mengikuti, jadi kebingungan. 

Maka dengan hanya sekali lompatan saja, pemuda 

gagah itu sudah berada di tempat mereka tadi 

menghilang. Sebuah tempat yang sangat asing dan 

mengandung hawa aneh. Indra keenamnya yang peka 

dan tajam, langsung memberikan peringatan. Buru-

buru pemuda itu melayangkan pandangannya ber-

keliling. 

Dan pada saat tatapan matanya tertuju pada dua 

buah batu terpahat yang menyerupai pintu gerbang, 

tiba-tiba dari celah batu itu keluarlah seberkas 

cahaya jingga yang meluncur ke arahnya. 

"Hup!" 

Langsung saja pemuda itu melentingkan tubuhnya 

ke udara, dan cahaya jingga itu lewat di bawah 

telapak kakinya. Namun begitu kakinya menjejak 

tanah yang berpasir, kembali secercah cahaya jingga 

meluruk deras ke arahnya. Dan kali ini cahaya itu 

datangnya secara beruntun bagaikan hujan sinar. 

Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu 

segera berlompatan ke sana kemari menghindarinya. 

Matanya yang tajam, segera dapat mengetahui 

kalau sinar-sinar jingga itu keluar dari senjata lempar


yang kecil dan berbentuk bola sebesar kerikil. Kini 

pemuda gagah berbaju kulit harimau itu segera 

menangkis serangan-serangan itu, dengan 

pergelangan tangannya yang tertempel sebuah 

senjata cakra bergerigi enam dan berwarna 

keperakan. 

Tring! 

"Ikh!" 

Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung 

memekik tertahan, dan tubuhnya terpental dua tindak 

ke belakang. Dia segera merasakan pergelangan 

tangan kanannya seperti tersengat oleh ribuan ular 

berbisa. Namun dia tidak sempat lagi untuk berpikir, 

karena cahaya-cahaya jingga itu terus saja mencecar 

tubuhnya tanpa ampun. 

"Edan! Napasku bisa putus kalau begini terus!" 

dengus pemuda itu dalam hati. 

Seketika itu juga dia segera melentingkan 

tubuhnya tinggi-tinggi, dan dengan cepat meluruk ke 

arah salah satu batu yang menyerupai sebuah pintu 

gerbang perbatasan itu. Dan dengan ringan sekali 

kakinya mendarat di atas batu itu. 

Kini dengan tajam matanya menatap ke 

sekitarnya. Sejenak keningnya agak berkerut ketika 

mendapati tempat sekitarnya itu tampak sepi. Batu 

kembar yang menyerupai pintu gerbang itu ternyata 

merupakan sebuah tempat yang menuju padang 

rumput yang luas. Hampir dia tidak percaya melihat 

keadaan itu. Tampak di tengah-tengah padang 

rumput itu.... 

"Mustahil...!" desis pemuda berbaju kulit harimau 

itu setengah tidak percaya dengan penglihatannya 

sendiri. 

Tampak di tengah-tengah padang rumput itu


terdapat sebuah bangunan megah bagai istana. 

Bangunan itu berdiri tepat di tengah-tengah padang 

rumput yang luas terhampar bagai permadani. 

Bangunan itu sangat indah, dan berlapis bagaikan 

emas. Cahayanya begitu kemilau dan menyilaukan 

mata. 

Tapi anehnya, bangunan itu tidak dikelilingi 

dengan tembok benteng seperti pada umumnya 

bangunan-bangunan istana lainnya. Dan keadaannya 

juga sunyi, seperti tidak berpenghuni sama sekali. 

Namun untuk mendekatinya, mustahil kalau tidak 

ketahuan. Istana itu berada di tengah-tengah padang 

rumput yang luas dan datar. Satu gerakan sedikit 

saja, pasti akan ketahuan oleh pemiliknya. Dan 

serangan-serangan tadi sudah merupakan pertanda 

kalau di Puncak Bukit Batu ini ada penghuninya. 

"Aku harus mengetahui tempat itu. Orang-orang 

yang kuintai tadi telah menghilang di sini. Hm..., pasti 

mereka berada di dalam bangunan istana itu," bisik 

pemuda berbaju kulit harimau itu dalam hati. 

*** 

Beberapa saat kemudian, pemuda berbaju kulit 

harimau yang tak lain adalah Bayu Hanggara itu 

segera melompat turun dari atas batu berbentuk 

gapura itu. Namun begitu kakinya menjejak tanah 

yang berumput, mendadak dari dalam tanah di 

sekitarnya, bermunculan orang-orang yang berbaju 

hitam dan memegang pedang panjang. Pemuda itu 

tidak sempat untuk berpikir lagi, karena mereka 

langsung menyerangnya tanpa bicara sedikit pun. 

Dan pertarungan satu melawan sepuluh orang itu 

tidak dapat dihindarkan lagi. Bayu langsung



mengamuk bagai singa padang pasir. Namun mereka 

ternyata tidak bisa dianggap enteng. Serangan-

serangannya sangat dahsyat dan berbahaya. 

Sedangkan gerakan-gerakan tubuh mereka juga 

lentur dan lincah. 

"Modar...!" bentak Pendekar Pulau Neraka seraya 

menghantamkan jurus 'Pukulan Racun Hitam', 

dengan pengerahan tenaga dalam yang sempurna. 

Satu orang lawannya yang terkena pukulan tepat 

di bagian dadanya, langsung terjungkal ke tanah. 

Tampak dadanya robek dalam dan menghitam bagai 

terbakar. Sedangkan dari mulut dan hidungnya 

keluarlah darah kental berwarna kehitaman. Orang itu 

langsung ambruk tidak bangun-bangun lagi. 

Kini Bayu semakin ganas saja mengerahkan jurus 

andalannya yang dahsyat itu. Dan belum lagi ada 

setengah jurus, satu orang kembali terjungkal dengan 

keadaan yang sama dengan korban yang pertama 

tadi. Dan tidak tanggung-tanggung lagi, Bayu pun 

segera mencabut senjatanya yang berupa cakra 

bergerigi enam dan berwarna keperakan dari 

pergelangan tangannya. Dan dengan senjata yang 

sudah tergenggam di tangan itu, serangan-

serangannya semakin ganas dan dahsyat! 

Tidak lama kemudian, satu persatu dari lawan-

lawannya itu pun mulai bertumbangan dengan 

keadaan luka yang mengenaskan. Kini sudah lima 

orang yang telah tewas di tangan Pendekar Pulau 

Neraka itu. Namun rupanya orang-orang berbaju 

hitam itu tidak mudah gentar, meskipun separuh dari 

jumlah mereka sudah tewas. Serangan-serangan 

mereka tidak mengendur sedikit pun. Bahkan 

semakin ganas dan rapat. 

"Huh! Kalau begini terus, tenagaku bisa habis,"


dengus Pendekar Pulau Neraka. 

Seketika itu juga, Pendekar Pulau Neraka segera 

mengubah jurusnya. Kini dia mengerahkan jurus 

'Pukulan Berantai'. Dengan menggunakan jurus itu, 

kedua tangan Pendekar Pulau Neraka jadi bergerak 

lebih cepat, diimbangi dengan gerakan-gerakan kaki 

dan tubuhnya yang lentur bagai belut. Kembali orang-

orang berbaju hitam itu bertumbangan. Mereka tidak 

sanggup lagi menghadapi serangan-serangan Bayu 

yang maha dahsyat itu. Sekali saja kena hantaman 

tangan Pendekar Pulau Neraka, maka pasti tidak 

akan sanggup untuk bangun lagi. Kalau tidak 

kepalanya yang pecah, pasti tulang dadanya hancur. 

"Tinggal satu! Hiyaaa...!" 

Seketika Bayu mengibaskan tangan kanannya, dan 

senjata cakra bergerigi enam itu pun langsung 

melesat cepat, dan menggorok leher lawannya yang 

tinggal satu itu. Maka tanpa ampun lagi, darah 

langsung muncrat dari lukanya itu, dan membasahi 

rumput hijau bagai permadani itu. Sejenak Bayu 

mengangkat tangan kanannya, dan Cakra Maut itu 

pun segera kembali menempel di pergelangan tangan 

kanannya. 

"Hhh...! Mereka pasti hanya kroco, tapi sudah 

begitu hebat," desah Bayu seraya menarik napas 

panjang. 

Pendekar Pulau Neraka itu masih memandangi 

sepuluh orang yang menggeletak jadi mayat. Tidak 

ada lagi bagian yang utuh dari tubuh mereka. Kini 

Bayu mengalihkan pandangannya ke arah bangunan 

istana itu. Munculnya sepuluh orang berbaju hitam itu 

membuatnya harus lebih berhati-hati lagi. Dia sudah 

tahu kalau kehadirannya pasti sudah diketahui oleh 

penghuni istana itu.


Tampak di atas sana matahari sudah menggelincir 

di ufuk Barat. Cahayanya yang kemerahan memantul 

lembut, membuat istana di tengah-tengah padang 

rumput itu semakin kelihatan indah bercahaya. 

"Sebentar lagi malam, sebaiknya aku bergerak 

malam hari saja," gumam Bayu pelan.


Bulan tampak bersinar penuh menghiasi langit yang 

cerah bertaburkan bintang. Tak sedikit pun awan 

berarak menghalangi sinar bulan. Malam yang indah, 

namun berselimut maut dan bersimbah darah. 

Keadaan Puncak Bukit Batu itu sangat sepi, namun 

terlihat begitu indah di malam hari. Tapi keindahan 

malam itu tidak dirasakan sama sekali oleh Pendekar 

Pulau Neraka yang sedang menunggu waktu dalam 

usahanya mendekati bangunan istana di depannya. 

Dan pada saat posisi bulan tepat berada di atas 

kepala, Pendekar Pulau Neraka, bergerak cepat 

menuju bangunan megah tersebut. Gerakannya 

sangat cepat dan ringan bagaikan tiupan angin. 

"Hup...!" Pendekar Pulau Neraka melompat ke atap 

bangunan megah itu. 

Dia segera merapatkan tubuhnya di atap yang 

bagaikan berlapis emas murni. Telinganya dipasang 

tajam untuk menangkap setiap gerak dan suara. 

Keningnya agak berkerut, karena tidak terdengar satu 

suara pun. Setelah beberapa lamanya Bayu berada di 

atas atap, dia kemudian melentingkan tubuhnya 

turun. 

Dan belum lagi Bayu mencapai tanah, mendadak 

berpuluh-puluh batang anak panah menghujaninya. 

Dan otaknya yang cerdas, langsung bisa mengatasi 

keadaan itu. Dengan meminjam tenaga dari salah 

satu anak panah yang tengah meluncur ke arahnya, 

Bayu kembali melenting ke udara, setelah jari 

tangannya menotok anak panah itu. Anak-anak panah



itu pun berhamburan lewat di bawah kakinya. 

Manis sekali Pendekar Pulau Neraka itu hinggap 

kembali di atas atap. Mendadak matanya yang 

setajam mata elang, langsung dapat melihat sosok-

sosok tubuh hitam, yang sedang bersembunyi di balik 

pepohonan dan tembok. Mereka semua sudah siap 

dengan senjata panah. 

"Hm..., rupanya kehadiranku memang sudah 

ditunggu," gumam Pendekar Pulau Neraka dalam 

hati. 

Matanya terus beredar berkeliling. Seketika dia 

tersentak ketika mereka keluar dari balik 

persembunyiannya. Jumlah mereka tidak terhitung 

lagi karena banyaknya. Dan semua sudah meng-

hunus senjata masing-masing. Tampak mereka yang 

memegang panah sudah mengarahkannya pada 

Pendekar Pulau Neraka. 

Menyadari dirinya sudah terkepung, Bayu segera 

mencari jalan untuk bisa keluar dari tempat itu. Tapi 

semua sudut dan celah sudah terisi rapat. Dan pada 

saat Bayu tengah berpikir keras itu, mendadak dua 

buah bayangan biru berkelebat ke atas atap. 

Sebentar saja di samping kiri dan kanan Pendekar 

Pulau Neraka itu kini sudah berdiri dua orang yang 

berpakaian biru dan ketat. 

Dan tanpa banyak bicara lagi mereka langsung 

berlompatan menyerang. Sementara tidak ada pilihan 

lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka. Dia pun 

terpaksa menghadapi dua orang itu. Kini 

pertempuran di atas atap itu tidak bisa lagi dihindar-

kan. Tiga bayangan tampak berkelebatan saling 

sambar. Mereka langsung bertarung dengan men-

ggunakan ilmu olah kanuragan tingkat tinggi.


*** 

Sepuluh jurus telah berlangsung dengan cepat. 

Dan pertarungan di atas atap itu pun terus 

berlangsung semakin sengit. Kini mereka sudah 

saling menggunakan senjata. Tampak kilatan-kilatan 

senjata berkelebat cepat saling sambar dan 

mengurung. Ketika memasuki jurus yang kedua 

belas, tampak Pendekar Pulau Neraka mulai 

terdesak. Serangan-serangannya selalu dapat 

dipatahkan. Dan beberapa kali tubuhnya harus rela 

menerima pukulan dan tendangan keras. 

Namun Pendekar Pulau Neraka tidak mau untuk 

menyerah begitu saja. Dia masih punya andalan, 

walaupun masih sulit untuk mengeluarkannya, 

karena kedua lawannya terus mencecar secara 

beruntun tanpa berhenti. Pendekar Pulau Neraka 

sama sekali tidak diberi kesempatan untuk 

melontarkan senjata andalannya. Untuk merubah 

jurus andalan pun sulit dilakukan. Saat ini keadaan 

Pendekar Pulau Neraka benar-benar meng-

khawatirkan. 

Hingga pada satu saat, satu tendangan keras 

kembali mendarat di dada Bayu. Seketika tubuhnya 

terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. 

Naas, belum lagi dia sempat menguasai tubuhnya, 

tiba-tiba sebuah tendangan keras menghantam 

punggungnya! 

Tubuh Pendekar Pulau Neraka meluncur deras ke 

bawah. Dan pada saat itu pula kedua lawannya 

langsung meluruk mengejar. Tepat pada saat kaki 

Bayu menjejak tanah, tanpa dapat dicegah lagi satu 

pukulan Keras mendarat telak di dadanya. 

"Hugh!"



Satu keluhan pendek kontan terdengar, 

bersamaan dengan limbungnya tubuh Bayu ke 

belakang. Seketika napasnya terasa sesak, dan 

matanya mulai berkunang-kunang. Kembali Pendekar 

Pulau Neraka itu harus menerima satu pukulan telak 

pada rahangnya, sehingga dia benar-benar terjungkal 

ambruk ke tanah. 

"Hiyaaa...!" 

Tiba-tiba salah seorang berbaju biru melompat 

sambil mengarahkan pedangnya pada leher Bayu. 

Namun begitu ujung pedangnya hampir menyentuh 

tenggorokan Bayu, mendadak terdengar bentakan 

keras menggelegar. 

"Cukup...!" 

Orang berbaju biru itu langsung menghentikan 

gerakannya, tapi dengan segera ujung pedangnya 

ditempelkan ke leher Bayu yang masih menggeletak 

di tanah. Sedangkan satu orang lawannya lagi sudah 

berdiri tepat di atas ubun-ubun kepalanya. Kini 

keadaan Pendekar Pulau Neraka itu benar-benar 

tidak berdaya! 

Seorang laki-laki muda dan tampan, serta 

mengenakan baju indah yang bersulamkan benang-

benang emas, melangkah menghampiri. Di 

belakangnya tampak mengikuti sepuluh orang yang 

berpakaian jubah putih. Kini pemuda tampan berkulit 

kuning langsat itu sudah berdiri tegak dengan penuh 

wibawa di samping tubuh Bayu yang tetap 

menggeletak di tanah. 

"Siapa kau?" tanya pemuda tampan itu. Suaranya 

lembut, namun sangat berwibawa. 

"Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu memper-

kenalkan nama julukannya. 

"Apa maksudmu datang ke istanaku?"


"Cuma kebetulan lewat," sahut Bayu berusaha 

tenang. 

Trik! 

Pemuda tampan itu menjentikkan ujung jarinya. 

Dua orang berpakaian putih segera melangkah maju, 

dan mengangkat tubuh Bayu agar berdiri. Tidak ada 

jalan lain bagi Pendekar Pulau Neraka, dia hanya 

menurut saja. Bahkan sama sekali dia tidak 

memberontak ketika gelang rantai dilingkarkan ke 

pergelangan tangannya. Rantai baja yang kuat itu 

juga dililitkan di leher dan kakinya. Kini Bayu benar-

benar pasrah. Dia tidak bisa melawan, karena senjata 

andalannya pun sudah ikut terampas, dan kini sudah 

berada di tangan pemuda tampan yang berpakaian 

indah itu. 

"Paman Branta Ireng, kau kenal dengan senjata 

ini?" tanya pemuda itu sambil menunjukkan senjata 

Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka. 

Laki-laki tua berjanggut putih dengan kulit hitam 

legam, segera menghampiri dan menerima senjata 

itu. Sebentar dia memperhatikan dan matanya yang 

bulat kecil itu menoleh ke arah Bayu. 

"Hamba kenal senjata ini, Prabu Dewa Rimba. 

Senjata ini adalah milik seorang yang bernama 

Gardika. Dia adalah seorang tokoh dari golongan 

hitam dan sudah tewas puluhan tahun lalu," kata 

Branta Ireng pasti. 

Kini Bayu menatap tajam pada laki-laki bertubuh 

hitam itu. Dadanya mendadak terasa bergemuruh 

begitu mendengar nama gurunya disebut-sebut. 

"Hm...," pemuda yang dipanggil Prabu Dewa Rimba 

itu bergumam kecil sambil terangguk-angguk pelan. 

"Gusti Prabu, boleh hamba bicara empat mata?" 

pinta Branta Ireng..


Prabu Dewa Rimba tidak segera menjawab. 

Sejenak dia memandang pada Pendekar Pulau 

Neraka, lalu jari tangannya kembali menjentik. Kini 

Pendekar Pulau Neraka segera digiring oleh para 

pengawal yang sejak tadi telah mengepungnya. 

Sementara pemuda tampan itu segera berbalik dan 

melangkah diikuti para pengiringnya yang terdiri dari 

orang-orang tua berpakaian jubah putih. 

*** 

Malam kian merayap semakin larut. Suasana di 

sekitar istana megah di Puncak Bukit Baru itu 

kembali sunyi, seperti tidak pernah terjadi sesuatu. 

Namun pemuda tampan yang dipanggil Prabu Dewa 

Rimba, masih duduk di kursi indah yang berukir dan 

berwarna keemasan. Di depannya tampak duduk 

bersila seorang laki-laki tua yang berkulit hitam, dan 

mengenakan jubah putih yang panjang dan longgar. 

Di dalam ruangan besar dan indah itu hanya 

terlihat mereka berdua saja. Kesunyian masih 

menyelimuti ruangan itu. Tampak laki-laki tua berkulit 

hitam dengan nama Branta Ireng itu menundukkan 

kepalanya. Di tangannya masih tergenggam senjata 

Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka. 

"Paman Branta Ireng, apa sebenarnya yang hendak 

kau bicarakan?" tanya Prabu Dewa Rimba memecah 

kesunyian. 

"Tentang senjata Cakra Maut ini, Gusti Prabu," 

sahut Branta Ireng sambil mengangkat kepalanya. 

"Hm..., ya. Kau tadi bilang kalau senjata itu 

sebenarnya milik orang yang bernama Gardika. Lalu, 

kenapa bisa sampai berada di tangan orang yang 

berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu?"


"Itulah yang ingin hamba bicarakan, Gusti Prabu." 

"Begitu pentingkah, sehingga kau ingin bicara 

denganku berdua saja?" 

"Rasanya sangat penting, Gusti Prabu. Karena 

kalau Pendekar Pulau Neraka ada hubungan dengan 

Gardika, maka dia merupakan ancaman yang besar 

bagi kelangsungan Istana Dewa Rimba." 

Prabu Dewa Rimba tampak mengerutkan 

keningnya. 

"Hamba sudah kenal betul dengan orang yang 

bernama Gardika itu, Gusti Prabu. Karena hamba 

adalah adik seperguruannya. Tidak mudah untuk 

menandingi ilmu-ilmu olah kanuragan yang dimiliki 

Gardika. Hamba sendiri belum tentu bisa 

menandinginya, Gusti Prabu," kata Branta Ireng. 

"Kau lihat pertarungan tadi, apakah kau mengenali 

jurus-jurusnya?" 

"Sejak dia bertarung di Gerbang Dewa, hamba 

sudah mengenali jurus-jurusnya, Gusti Prabu. Itulah 

sebabnya, kenapa hamba memerintahkan si Kembar 

Iblis Biru untuk mencecarnya dan jangan memberinya 

kesempatan untuk menggunakan senjata ini. Tapi 

hamba benar-benar tidak menyangka, kalau jurus-

jurus pemuda itu ternyata lebih dahsyat dari Gardika. 

Jurus- jurusnya bertenaga luar biasa. Dan semuanya 

terlihat sempurna, tanpa cacat sedikit pun." 

"Hm..., kalau memang benar dia adalah murid dari 

kakak sepergurjaanmu, kenapa harus merasa jadi 

ancaman besar? Bukankah kita bisa memanfaat-

kannya, Paman Branta Ireng." 

"Mungkin bisa, Gusti Prabu. Tapi antara aku dan 

Gardika tidak pernah sepaham, meskipun di antara 

kami belum pernah bentrok. Tapi hamba rasa hal itu 

sulit, Gusti Prabu."


"Kenapa?" 

"Gardika adalah seorang tokoh dari golongan 

hitam yang tidak pernah tunduk pada perintah siapa 

pun juga. Dia mengembara seorang diri, dan mencari 

kepuasan juga seorang diri. Hamba khawatir, kalau 

semua sifat-sifat Gardika sudah merasuki jiwa 

Pendekar Pulau Neraka itu. Dan kalau hal itu benar-

benar terjadi, tidak mungkin dia mau mengabdi pada 

Gusti Prabu." 

"Lain orang lain jiwanya, Paman Branta Ireng. 

Cobalah dulu, dan kalau memang tidak bisa, 

kuserahkan semuanya padamu," kata Prabu Dewa 

Rimba. 

"Hamba, Gusti Prabu." 

"Aku rasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, 

Paman. Aku harus beristirahat penuh. Beberapa hari 

lagi pengantinku akan datang," kata Prabu Dewa 

Rimba seraya bangkit. 

Branta Ireng pun segera bangkit dan mem-

bungkukkan badannya. 

"Aku harus segera menyelidiki, siapa pemuda itu 

sebenarnya. Dan apa maksudnya datang ke tempat 

ini," gumam Branta Ireng dalam hati. 

Kemudian Branta Ireng segera melangkah ke luar 

setelah pemuda yang bernama Prabu Dewa Rimba 

tidak kelihatan lagi di ruangan itu. Langkahnya lebar 

dan sedikit tergesa-gesa. Dua orang penjaga pintu 

yang berpakaian serba hitam, langsung membungkuk 

begitu Branta Ireng melewatinya. 

*** 

Branta Ireng berdiri tegak sambil menatap tajam 

pada Pendekar Pulau Neraka, yang kini sudah terikat


rantai di sebuah tiang bersilang. Kedua tangan dan 

kakinya tampak dipentang lebar-lebar. Bayu juga 

balas menatap tajam pada laki-laki tua itu. Tidak ada 

orang lain lagi di ruangan yang pengap dan sempit itu. 

"Aku kagum pada keberanianmu datang ke sini, 

Anak Muda," kata Branta Ireng pelan. 

"Katakan saja terus terang, apa sebenarnya yang 

kau inginkan dariku?" dengus Bayu ketus. 

Branta Ireng hanya tersenyum mendengar nada 

suara Bayu itu. Dia kemudian melangkah dan 

mendekati pemuda itu. Bibirnya masih menyungging-

kan senyuman. Namun Bayu tetap menatapnya 

tajam. 

"Aku sama sekali tidak peduli dengan tujuanmu 

datang ke Istana Dewa Rimba ini, Anak Muda. Aku 

hanya ingin kau mengatakan terus terang, dari mana 

kau dapatkan senjata Cakra Maut ini?" tanya Branta 

Ireng sambil mengeluarkan senjata andalan Pendekar 

Pulau Neraka dari balik lipatan jubahnya. 

Bayu tidak langsung menjawab. Kelopak matanya 

semakin lebar begitu melihat senjata andalannya itu. 

Tanpa senjata itu, rasanya Bayu seperti kehilangan 

separuh dari nyawanya. 

"Aku tahu siapa sebenarnya pemilik senjata ini, 

dan aku juga kenal betul dengan jurus-jurusmu. Kau 

tidak bisa berdusta di depanku, Anak Muda," kata 

Branta Ireng lagi. 

"Kalau sudah tahu, kenapa pakai tanya segala?" 

tetap sinis nada suara Bayu. 

"Berpuluh-puluh tahun aku tidak pernah men-

dengar lagi kabar tentang Gardika. Dan kini aku 

seperti melihat dia lagi pada dirimu, Anak Muda. 

Jurus-jurus yang kau miliki dan senjata yang kau 

gunakan telah mengingatkanku padanya," kata


Branta Ireng pelan. 

Tampak Bayu menyipitkan matanya. Kata-kata 

Branta Ireng itu membuat otaknya jadi bekerja keras. 

Rasanya dia belum pernah bertemu dengan laki-laki 

tua berkulit hitam itu. Dan namanya juga belum 

pernah dia dengar. Tapi Branta Ireng sudah tahu 

banyak tentang Gardika, gurunya. Kini berbagai 

pertanyaan terus berkecamuk di benak Bayu 

Hanggara. 

"Kau pasti sudah berpikir yang bukan-bukan 

tentang diriku, Anak Muda. Mungkin ada baiknya 

kalau aku mengalah sedikit," kata Branta Ireng lagi. 

Bayu masih tetap diam dengan otak yang terus 

bekerja keras menduga-duga. 

"Antara aku dan Gardika adalah saudara 

seperguruan. Aku adik seperguruan dari Gardika. 

Meskipun di antara kami banyak terjadi perbedaan, 

tapi aku sangat menyayanginya. Aku juga sangat 

sedih dan merasa kehilangan ketika mendengar 

kabar tentang kematiannya," Branta Ireng mulai 

membuka diri. 

Tentu saja Bayu terkejut setengah mati men-

dengarnya. Dia benar-benar tidak menduga, kalau 

laki-laki tua itu masih saudara seperguruan dengan 

gurunya. Kini Bayu tidak bisa lagi berkata-kata, 

namun sinar matanya menyiratkan belum sepenuh-

nya percaya. 

"Kau juga pasti berpikir, kenapa aku tidak mem-

balas dendam pada mereka yang telah membunuh 

saudara seperguruanku. Ketahuilah, Anak Muda. Aku 

sudah bersumpah pada diriku sendiri untuk melepas-

kan segala urusan dunia. Lebih-lebih dengan urusan 

dendam yang tidak akan pernah berakhir. Dan aku 

sudah memutuskan untuk mengabdi pada Prabu



Dewa Rimba, karena kehidupan di sini selalu dalam 

keadaan damai, jauh dari segala macam urusan 

dunia. Aku memang sangat menyesali kematian 

Gardika yang tragis itu, tapi aku tidak mau lagi 

melumuri tanganku dengan darah dan dosa," kata 

Branta Ireng. 

"Apakah kata-katamu bisa kupercaya?" Bayu ingin 

meyakinkan. 

"Kau bisa lihat ini," kata Branta Ireng sambil 

merogoh ke balik lipatan jubahnya. 

Seketika mata Bayu membeliak lebar. Di tangan 

kiri Branta Ireng kini tergenggam sebuah cakra yang 

berwarna kuning emas, dan berbentuk serta 

berukuran sama persis dengan cakra yang ter-

genggam di tangan kanannya yang berwarna 

keperakan. 

"Kau mungkin sudah merasakan, bahwa dirimu 

dalah seorang pendekar digdaya yang sulit dicari 

tandingannya. Tapi kau jangan heran, jika aku sudah 

mengetahui semua kelemahan-kelemahan jurus-

jurusmu. Itulah sebabnya kau bisa dikalahkan oleh si 

Kembar Iblis Biru." 

Bayu jadi tercenung. Dalam pertempurannya tadi, 

dia memang merasakan kalau lawan-lawannya sudah 

mengetahui setiap gerak dan serangannya. Sehingga 

dengan mudah mereka dapat mengalahkan dirinya. 

"Anak muda, jika kau masih juga belum percaya, 

aku akan segera memperagakan beberapa jurus yang 

juga sudah kau miliki. Lihatlah...!" 

Dan Branta Ireng pun segera memperlihatkan 

beberapa jurus yang memang sama dengan apa yang 

dimiliki oleh Bayu. Jurus-jurus yang diperagakan itu 

sama persis dengan yang telah dipelajarinya dari 

Eyang Gardika di Pulau Neraka. Dia tampak


tercengang melihatnya. 

"Cukup...!" seru Bayu. 

Branta Ireng pun segera menghentikan gerakan-

gerakannya. 

"Paman, aku mohon maaf karena tadi tidak 

mempercayaimu," kata Bayu setelah merasa yakin 

sepenuhnya, kalau Branta Ireng adalah adik 

seperguruan gurunya, Eyang Gardika. 

Branta Ireng tersenyum lebar, dan matanya 

bersinar cerah mendengar dirinya disebut paman. Dia 

pun bergegas mendekati, dan menatap dalam-dalam 

ke bola mata Bayu. Sedangkan Bayu sendiri juga 

memberikan senyum, seraya menganggukkan 

kepalanya memberi hormat. 

"Anak muda, ceritakanlah. Dari mana kau dapat 

kan Cakra Maut, dan bagaimana kau bisa menguasai 

jurus-jurus milik Gardika dengan begitu sempurna?" 

pinta Branta Ireng. 

"Paman Branta Ireng, aku adalah murid tunggal 

Eyang Gardika. Aku menjadi murid sekaligus anak 

angkatnya, setelah beliau mendapat musibah 

dikeroyok tokoh-tokoh rimba persilatan...," Bayu mulai 

menceritakan semua yang telah dialaminya dan 

dilakukannya bersama gurunya, di sebuah Pulau 

terpencil yang sangat ditakuti oleh semua orang 

(Baca serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah 

"Geger Rimba Persilatan"). 

Sementara Branta Ireng terus mendengarkannya 

dengan penuh perhatian. Sedikit pun dia tidak 

menyelak cerita Bayu. Kejujuran tercermin dari sinar 

mata Pendekar Pulau Neraka itu. Beberapa saat 

lamanya mereka terdiam setelah Bayu menyelesaikan 

ceritanya. Tampak sepasang bola mata Branta Ireng 

berkaca-kaca.


"Maaf, Paman. Aku terpaksa menceritakan 

semuanya...," kata Bayu pelan. 

"Aku sebenarnya yang minta maaf padamu, 

Anakku. Kau adalah murid tunggal kakak seper-

guruanku, dan itu berarti kau juga muridku, sekaligus 

anakku," kata Branta Ireng tidak bisa menahan rasa 

harunya. 

"Pengawal...!" seru Branta Ireng keras. 

Sebentar saja seorang laki-laki yang berpakaian 

serba hitam datang menghampiri. Dia segera mem-

bungkuk memberi hormat pada Branta Ireng. 

Sedangkan seorang pengawal lagi menjaga di depan 

pintu ruangan itu. 

"Buka belenggunya!" perintah Branta Ireng. 

"Gusti...," pengawal itu ingin membantah. 

"Buka, kataku!" bentak Branta Ireng. 

"Baik, Gusti." 

Pengawal itu pun bergegas membuka belenggu 

vang mengikat kedua pergelangan tangan dan kaki 

Pendekar Pulau Neraka. Setelah selesai, pengawal itu 

memberi hormat dan segera meninggalkan ruangan 

itu. Sedangkan Bayu langsung berlutut di depan 

Branta Ireng. Bagaimanapun juga, dia harus meng-

hormati paman gurunya itu, meskipun pertemuan 

mereka dalam suasana yang tidak menyenangkan. 

"Bangunlah, Anakku," kata Branta Ireng. 

Bayu segera beranjak bangkit 

"Ini senjatamu," kata Branta Ireng sambil 

menyerahkan kembali senjata cakra keperakan 

bersegi enam. 

Dan tanpa ragu-ragu, Bayu segera menerimanya, 

dan memasangnya kembali di pergelangan tangan 

kanannya. Kemudian dia membungkuk dengan kedua 

tangan melipat di depan dada. Sementara Branta


Ireng hanya tersenyum dan membalas salam 

penghormatan itu dengan sikap yang sama. Laki-laki 

tua berkulit hitam itu semakin percaya kalau Bayu 

adalah benar-benar murid tunggal kakak seper-

guruannya. 

"Ayo, ikut aku," kata Branta Ireng seraya berbalik. 

Bayu tidak membantah. Dia segera ikut melangkah 

keluar dari kamar tahanan yang pengap itu. Dia 

berjalan di belakang Branta Ireng. Tampak beberapa 

orang pengawal yang melihatnya, langsung menaruh 

rasa curiga, meskipun mereka masih memberi 

hormat pada Branta Ireng. 

"Paman, kita mau ke mana?" tanya Bayu. 

"Menghadap Gusti Prabu Dewa Rimba," sahul 

Branta Ireng. 

"Untuk apa?" 

"Menjernihkan semua persoalan." 

"Tapi, Paman belum tahu tujuanku datang ke 

tempat ini." 

"Kau bisa mengatakannya nanti di depan Gusti 

Prabu Dewa Rimba." 

Bayu hanya diam dan jadi serba salah. Jelas kalau 

maksud kedatangannya kurang baik, meskipun 

tujuannya adalah baik, yaitu untuk membebaskan 

para penduduk Desa Gampil dari kesewenang-

wenangan. Otak Bayu terus berputar memikirkan cara 

yang tepat untuk menyampaikannya agar tidak 

membuat siapa saja yang mendengarnya merasa 

tersinggung. 

Mereka terus berjalan menyusuri lorong gelap 

bawah tanah. Penerangan yang ada, hanya terdiri dari 

beberapa buah api obor yang menempel di dinding 

dengan jarak berjauhan. Bayu sempat melihat ke 

arah kamar-kamar tahanan, yang berbaris rapi di


sepanjang kiri dan kanan losong. Sungguh dia tidak 

menyangka, kalau kamar tahanan penjara itu tidak 

ada penghuninya sama sekali. 

"Besok pagi kita akan menghadap Gusti Prabu 

Dewa Rimba. Malam ini kau istirahat saja di 

kediamanku," kata Branta Ireng. 

"Kenapa tidak malam ini saja, Paman?" 

"Tidak enak mengganggu istirahatnya. Lagi pula 

memang sudah terlalu larut." 

Kembali Bayu terdiam. Dan mereka terus saja 

berjalan keluar dari tempat itu. Dua orang penjaga 

segera membungkuk saat mereka melewati pintu 

keluar. Cahaya bulan langsung menyambut mereka 

dengan lembutnya. Bayu tetap melangkah di samping 

Branta Ireng. Matanya selalu memperhatikan sekitar-

nya. Dan dia juga sempat melihat mata para prajurit 

yang berpakaian hitam memandangnya dengan 

penuh kecurigaan.


Bayu tampak duduk bersila di lantai yang beralaskan 

permadani tebal dan berwarna merah hati. Di 

sampingnya duduk pula Branta Ireng. Sementara di 

belakang Branta Ireng adalah si Kembar Iblis Biru. 

Kini ruangan yang besar dan indah itu sudah dipenuhi 

orang-orang yang berpakaian putih dan hitam. 

Sedangkan di depan mereka tampak duduk dengan 

penuh wibawa, seorang pemuda tampan yang 

mengenakan pakaian indah dan bersulamkan benang 

emas. Pemuda itu duduk di kursi yang berukir dan 

berlapis bagai emas. 

"Aku sudah dengar semua tentang dirimu dari 

Paman Branta Ireng. Dan sekarang aku hanya ingin 

tahu, apa tujuanmu datang ke Istana Dewa Rimba 

ini?" tanya Prabu Dewa Rimba. Suaranya besar dan 

berwibawa. 

"Aku hanya kebetulan lewat. Tadinya aku sedang 

mengejar empat orang yang berpakaian serba putih 

yang..., maaf, sama persis dengan yang mereka 

pakai," sahut Bayu sambil menunjuk orang-orang 

yang mengenakan baju serba putih yang ketat. 

"Apakah mereka ada di antara orang-orang itu?" 

tanya Prabu Dewa Rimba lagi. 

"Tidak!" sahut Bayu tegas. 

"Hm..., semua orang berpakaian putih sudah hadir 

di sini, Kisanak." 

"Bayu, kenapa kau mengejar empat orang yang 

berpakaian serba putih?" tanya Branta Ireng langsung 

memanggil dengan menyebut Bayu.


"Terus terang, sebenarnya aku sedang mempunyai 

persoalan di Desa Gampil," sahut Bayu. 

"Persoalan apa?" tanya Prabu Dewa Rimba. 

"Menumpas keangkaramurkaan. Desa Gampil kini 

sedang dilanda musibah besar yang bisa meng-

habiskan seluruh gadis-gadisnya. Ada segelintir orang 

yang menamakan dirinya utusan Dewa Rimba..." 

Seketika suara bergumam tak jelas terdengar 

memenuhi ruangan itu. Branta Ireng dan Prabu Dewa 

Rimba segera menatap tajam pada Bayu. Tampak 

sekali kalau mereka sangat terkejut mendengarnya. 

"Mereka selalu mengorbankan gadis-gadis dengan 

alasan permintaan Dewa Rimba untuk dijadikan 

pengantinnya. Mereka menamakannya Persembahan 

Pengantin Rimba," lanjut Bayu menjelaskan. "Terus 

terang, aku belum tahu siapa dalang di balik semua 

kejadian itu. Tapi hal itu sudah berlangsung cukup 

lama, dan sudah banyak gadis-gadis telah menjadi 

korban. Mereka selalu mengirimkan korbannya dalam 

pakaian pengantin, dan dibawa ke Puncak Bukit Batu 

ini." 

"Hm..., tampaknya ada seseorang yang telah 

memfitnahku," gumam Prabu Dewa Rimba. 

"Bahkan tidak lama lagi mereka juga akan segera 

mengirim calon pengantin rimba wanitanya ke Puncak 

Bukit Batu ini," lanjut Bayu. 

"Berapa hari lagi?" tanya Prabu Dewa Rimba. 

"Tiga hari lagi," sahut Bayu. 

"Gila!" sentak Prabu Dewa Rimba. 

Kini Bayu menatap dalam-dalam pada Prabu Dewa 

Rimba. Semakin jauh dia telusuri persoalan ini, 

semakin membingungkan jadinya. Dia datang ke 

Puncak Bukit Batu ini tadinya hanya mengikuti empat 

orang berpakaian serba putih yang dicurigainya, sama


sekali tidak tahu kalau di puncak bukit ini ada sebuah 

istana yang dihuni oleh orang-orang yang cinta akan 

kedamaian. 

Dan yang membuat Bayu semakin tidak mengerti, 

dia kini berhadapan langsung dengan orang yang 

bernama Prabu Dewa Rimba, yang sering disebut-

sebut oleh penduduk Desa Gampil, sebagai raja dewa 

yang menginginkan pengantin wanita dalam waktu 

tertentu. 

Tapi, tampaknya Prabu Dewa Rimba dan semua 

orang yang ada di sini tidak mengetahui sama sekali 

tentang hal itu. Jelas kalau Prabu Dewa Rimba 

terkejut mendengarnya. 

"Bayu, kau adalah murid tunggal saudara seper-

guruanku, dan itu berarti kau juga muridku. Jangan 

membuat malu aku di sini, Bayu," kata Branta Ireng. 

"Aku mengatakan yang sebenarnya, Paman. Aku 

sendiri tidak tahu kalau di Puncak Bukit Batu ini ada 

istana. Aku datang ke sini tadinya hanya mengejar 

empat orang yang kucurigai!" tegas kata-kata Bayu. 

"Paman Branta Ireng, aku merasakan kejujuran 

pada kata-kata anak muda ini," kata Prabu Dewa 

Rimba lembut. "Kita berada di sini memang untuk 

menjauhkan segala persoalan dunia. Tapi rupanya 

ada saja orang yang tidak menyukai, dan ingin 

menghancurkan kita dengan cara keji." 

"Gusti Prabu, ijinkan aku menyelidiki orang yang 

keji itu. Kalau ternyata Bayu berdusta, biar aku yang 

akan memberinya hukuman," kata Branta Ireng. 

"Paman, kau akan melumuri tanganmu dengan 

darah dan dosa lagi?" Prabu Dewa Rimba merasa 

keberatan. 

"Tapi, Gusti Prabu...." 

"Tidak!" tegas Prabu Dewa Rimba menolak.


Branta Ireng diam. 

"Setiap orang yang ingin tinggal di sini, sudah 

disumpah untuk meninggalkan semua urusan dunia 

dari segala perbuatan keji dan dendam. Bayu, 

sebenarnya kau harus diberi hukuman karena telah 

menodai kesucian tempat ini dengan pertumpahan 

darah. Tapi aku akan membebaskan dari segala 

hukuman, bila kau sanggup membawa kepala orang 

yang ingin menghancurkan Istana Dewa Rimba ini!" 

tegas kata-kata Prabu Dewa Rimba. 

"Gusti Prabu...." 

"Tidak apa-apa, Paman. Tugas ini memang sudah 

seharusnya kupikul," kata Bayu cepat "Maaf kalau 

kedatanganku telah mengacaukan ketentraman 

seluruh penghuni istana ini." 

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua yang 

terjadi hanya kesalahpahaman saja," kata Prabu 

Dewa Rimba. 

"Jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, 

sebaiknya aku mohon diri," pamit Bayu. 

"Silakan." 

Sejenak Bayu memandangi istana di Puncak Bukit 

Batu itu. Kemudian dia berbalik dan melangkah 

melintasi padang rumput yang luas. Namun baru saja 

Pendekar Pulau Neraka itu berjalan beberapa depa, 

langkahnya mendadak terhenti. Telinganya men-

dengar suara langkah kaki cepat mengejar di 

belakangnya. Buru-buru Bayu berbalik, tampak Branta 

Ireng berjalan cepat menghampirinya. 

"Paman...," sambut Bayu setelah Branta Ireng 

dekat. "Ada apa Paman menyusulku?" 

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Bayu," 

sahut Branta Ireng. 

"Tentang apa?"


"Keselamatanmu." 

Bayu sedikit mengerutkan keningnya. 

"Meskipun kau tidak mengatakan siapa orang yang 

telah membuat kacau itu, tapi aku sudah bisa 

menebak. Kau harus hati-hati karena dia sangat 

tangguh, dan memiliki ilmu yang bisa membuat mata 

orang lain tidak dapat membedakan antara tipuan 

dan kenyataan," kata Branta Ireng. 

"Ilmu sihir, maksud Paman?" 

"Semacam itu." 

"Hm...," Bayu bergumam tidak jelas. "Paman tahu, 

siapa orang itu?" 

"Aku hanya menduga, mungkin benar, mungkin 

juga salah. Tapi dugaanku sangat beralasan." 

"Siapa?" 

"Pendeta Pasanta." 

"Ah...!" Bayu tersentak kaget. Dia memang sudah 

menduga, kalau orang di balik semua kemelut ini 

adalah Pendeta Pasanta. Dan itu pernah diucapkan 

oleh Lastri padanya. 

"Kau sudah tahu, Bayu?" 

"Belum," sahut Bayu cepat. 

"Beberapa tahun lalu, Pendeta Pasanta memang 

berada di istana ini. Dia adalah seorang pendeta 

murtad yang ingin bertobat. Tapi kedatangannya 

rupanya bukan untuk bertobat, melainkan punya 

maksud tersembunyi. Dan hal itu dapat diketahui 

dengan cepat oleh Prabu Dewa Rimba. Dan atas 

kesepakatan bersama, kami mengusir Pendeta 

Pasanta, dan tidak boleh kembali lagi sebelum dia 

benar-benar bertobat," Branta Ireng menjelaskan. 

"Hm..., aku mengerti sekarang. Rupanya Pendeta 

Pasanta membalas dendam pada Istana Dewa 

Rimba," gumam Bayu.


"Benar, dan itu sudah diketahui oleh Prabu Dewa 

Rimba." 

"Kalau sudah tahu, kenapa tidak mengambil 

tindakan?" agak heran juga Bayu dengan sikap orang-

orang di Istana Dewa Rimba itu. 

"Bayu..., kami semua yang datang dan tinggal di 

Istana Dewa Rimba sudah berniat untuk meninggal-

kan semua urusan dunia, dan melebur segala dosa-

dosa yang telah diperbuat. Kau lihat, si Kembar Iblis 

Biru, baru dua purnama dia berada di sini. Mereka 

adalah dua orang berhati iblis yang kejam. Tapi 

rupanya Dewata memberikan jalan bagi mereka 

untuk bertobat. Mereka memang masih dalam tahap 

percobaan, sebelum sepenuhnya diakui menjadi 

warga Istana Dewa Rimba. Jadi kau tidak perlu heran, 

kenapa kami semua tidak melakukan tindakan apa-

apa," jelas Branta Ireng. 

"Rasanya sulit untuk dipercaya, Paman. Semua 

orang yang ada di sini tidak ingin berlumuran darah. 

Tapi kenapa kedatanganku malah disambut dengan 

serangan?" 

"Semua orang yang datang pasti diuji dengan 

serangan mendadak dan berbagai macam. Tapi 

kedatanganmu tidak dengan niat yang baik, sehingga 

Prabu Dewa Rimba segera memerintahkan kami 

untuk menangkapmu hidup atau mati. Bagi kami, 

setiap orang yang datang dengan maksud tidak baik, 

adalah setan, iblis yang harus dibasmi. Kau 

beruntung, Bayu. Prabu Dewa Rimba mengampunimu 

saat kau sudah berada di ambang maut." 

"Aku masih belum mengerti, Paman...," Bayu 

semakin bertambah bingung saja. 

"Ya, sudahlah. Kau memang tidak perlu mengerti 

semua tentang kami dan Istana Dewa Rimba. Aku


bisa merasakan adanya ketidakpuasan hidup dalam 

hatimu. Baiklah, Bayu. Aku tidak mau mengganggu 

perjalananmu lagi. Selesaikan semua urusan di dunia 

dengan caramu sendiri," kata Branta Ireng tersenyum 

maklum. 

"Paman.... Paman tidak ingin tahu lebih banyak 

tentang Eyang Gardika?" Bayu buru-buru 

membelokkan persoalan. 

"Oh, ya. Di mana pusaranya?" tanya Branta Ireng. 

"Saat aku meninggalkannya, Eyang Gardika 

meminta agar dia ditinggalkan sendiri di dalam goa. 

Eyang Gardika ingin membersihkan diri dalam sisa-

sisa hidupnya, dengan menyerahkan diri dan jiwa 

pada Hyang Widi," Bayu mulai menceritakan. 

"Ah..., Gardika..., Gardika. Pada saat menjelang 

ajalmu kau masih belum juga mau meninggalkan 

urusan dunia," desah Branta Ireng. 

"Aku rasa, Eyang Gardika sudah meninggal, 

Paman," kata Bayu. 

"Tidak! Raganya memang meninggal, tapi jiwanya 

masih hidup. Dan dia akan muncul lagi pada saat kau 

memerlukannya, Bayu. Gardika hanya muksa, 

memisahkan raga dari jiwa." 

"Ah, kenapa Eyang memilih begitu, Paman?" 

"Karena dia merasa urusannya dengan dunia 

belum selesai. Dan dia akan merasa tenang, dan 

meninggalkan dunia, setelah semua urusannya 

selesai. Tapi selama dunia masih ada, urusan 

manusia tidak akan pernah selesai. Dan selamanya 

dia akan muksa, hingga dunia ini berakhir." 

"Paman, Eyang Guru Gardika memang pernah 

cerita, bahwa sampai saat ini dia belum bisa 

membalas sakit hatinya pada mereka yang telah 

membuatnya cacat dan hidup terpencil di sebuah


pulau yang angker. Lagi pula, dia masih merasa kalau 

anaknya masih hidup." 

"Ya..., mungkin itulah yang membuatnya memutus-

kan diri untuk muksa." 

"Apakah aku bisa membantu agar sempurna, 

Paman?" 

"Tidak. Mungkin kau bisa saja menemukan 

anaknya, dan membalaskan sakit hatinya pada 

mereka yang telah menganiayanya sampai semua 

orang mengira kalau dia sudah tewas. Tapi keturunan 

mereka masih ada, dan darah mereka masih 

mengalir hidup. Mereka juga akan terus mencarimu, 

dan begitu seterusnya sampai ke anak cucumu. Dan 

selama itu pula dendam tidak akan pernah berakhir, 

dan Gardika tetap pada kemuksaannya." 

"Ah..., kasihan, Eyang," desah Bayu. 

"Tidak periu dikasihani. Itu sudah pilihan jalan 

hidupnya. Tidak sedikit orang yang memilih muksa 

dengan alasan berbeda. Mungkin juga aku, atau kau 

sendiri nanti juga akan memilih jalan yang sama, jika 

tidak mau merelakan urusan dunia." 

"Mungkin aku bisa, tapi Paman tidak." 

"Kenapa?" 

"Karena Paman telah memilih tempat yang tepat. 

Meninggalkan semua urusan dunia dengan 

mensucikan diri, mendekatkan diri pada Hyang Widi." 

"Ha ha ha...! Rupanya kau telah mengerti juga, 

Bayu." 

"Sedikit, Paman." 

Tanpa terasa dari tadi mereka telah bicara sambil 

berjalan. Dan mereka baru menyadari setelah tiba di 

perbatasan padang rumput itu, dengan Puncak Bukit 

Batu yang seperti gurun. Kemudian mereka berhenti 

di ambang gerbang batu.



"Bayu, hati-hati. Jangan sampai terpancing oleh 

tipuannya," pesan Branta Ireng. 

"Jangan khawatir, Paman," sahut Bayu. 

"Ingat pesanku, Bayu. Jangan sekali-sekali kau 

memandang matanya. Kau akan lemah, dan dapat 

dikuasainya." 

"Ya, Paman." 

"Nah, berangkatlah. Ingat pesan Prabu Dewa 

Rimba. Bawa kepalanya padanya, karena akan 

menjadi contoh bagi penghuni Istana Dewa Rimba 

lainnya." 

"Aku akan usahakan, Paman." 

Branta Ireng segera tersenyum, dan menepuk 

pundak Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Bayu 

membungkukkan badannya sedikit dengan tangan 

melipat di depan dada. Kemudian mereka pun 

berpisah untuk menjalani hidup dengan cara masing-

masing. 

Bayu terus menuruni Lereng Bukit Batu itu dengan 

langkah pelan tanpa terburu-buru. Otaknya terus 

berputar memikirkan persoalan yang tengah 

dihadapinya. Semakin jauh dia melangkah masuk ke 

dalam kemelut ini, semakin sulit untuk bisa 

dimengerti. Tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka itu 

tersentak, dan mengangkat kepalanya. Sayup-sayup 

dia mendengar suara pertarungan dari arah kaki 

bukit. 

Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar 

Pulau Neraka itu segera berlari cepat menuruni 

Lereng Bukit Batu itu. Cepat sekali gerakannya, 

sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja yang 

meluncur menuruni Bukit Batu. 

"Pengemis Tongkat Hitam...," desis Bayu begitu 

sampai di tempat pertempuran.


Tampak seorang laki-laki tua yang berbaju kumal 

dan memegang tongkat hitam, tengah bertarung 

dengan tiga orang laki-laki berbaju putih bersih. Dan 

tidak jauh dari tempat pertarungan itu, terlihat 

seseorang berpakaian putih menggeletak dengan 

dada sobek bersimbah darah. Juga ada empat ekor 

kuda yang tengah asyik merumput, sepertinya tidak 

peduli dengan pertarungan itu. 

"Kelihatannya Pengemis Tongkat Hitam mampu 

menandingi mereka," gumam Bayu dalam hati. 

Pendekar Pulau Neraka itu kemudian duduk di 

bawah pohon. Dia terus memperhatikan jalannya 

pertarungan itu. Dugaannya memang tidak meleset. 

Dalam beberapa gebrakan saja, satu orang sudah 

terjungkal dengan bersimbah darah. Dan disusul 

dengan satu orang lagi ambruk dengan leher 

menganga leibar. 

"Hebat...!" seru Bayu seraya bertepuk tangan 

seperti anak kecil. 

Pengemis Tongkat Hitam menoleh saat dia sudah 

menewaskan lawan terakhirnya. Dia segera 

mendengus kurang senang melihat Pendekar Pulau 

Neraka menyaksikan pertarungannya. Dan dengan 

sekali lompatan saja, laki-laki tua itu sudah berada di 

depan Bayu. 

"Bocah setan! Apa saja kerjamu di sini?" dengus 

Pengemis Tongkat Hitam. 

"Lho! Kok, marah...? Sejak tadi aku duduk di sini. 

Aku kagum padamu, Kek. Kau hebat!" 

"Bukan waktunya untuk bergurau!" 

"Heh...!" 

"Huh! Menyesal aku telah menyelamatkanmu. 

Memang seharusnya aku tidak perlu bersusah-payah 

membantumu dari jahanam-jahanam itu!" rungut


Pengemis Tongkat Hitam. 

"Wah! Ada apa ini?" Pendekar Pulau Neraka jadi 

tidak mengerti. 

"Seharusnya kau berterima kasih, atau paling tidak 

nembantuku, Bocah Setan! Sejak kemarin aku 

bertarung karena nyawamu, tapi kau malah enak-

enakan menonton! Hugh...!" Pengemis Tongkat Hitam 

terbatuk. 

"Kek..," Bayu terkejut melihat perubahan pada 

wajah Pengemis Tongkat Hitam. 

Mendadak wajah laki-laki tua itu tampak jadi 

pucat, dan berkeringat. Dua kali dia terbatuk, lalu dari 

mulutnya menyemburlah darah kental berwarna 

kehitaman. Buru-buru Bayu melompat, dan membawa 

Pengemis Tongkat Hitam ke bawah pohon. Kemudian 

laki-laki tua itu duduk bersila, sedangkan Bayu duduk 

di depannya. Dan tanpa permisi dulu, Pendekar Pulau 

Neraka itu segera merobek baju bagian dada 

Pengemis Tongkat Hitam. 

"Pukulan Tapak Beracun'...," desis Bayu, ketika 

melihat dada Pengemis Tongkat Hitam terluka memar 

dan berbentuk telapak tangan hitam. 

Tampak wajah Pengemis Tongkat Hitam semakin 

pucat. Dan keringat pun terus merembes dan 

membanjiri tubuhnya. Kini noda hitam di dadanya 

semakin kelihatan membesar. Dan Bayu segera 

membuka seluruh baju laki-laki tua itu. Kemudian 

kedua telapak tangannya ditempelkannya di 

punggung laki-laki tua itu. 

"Hsss...," dari mulut Bayu keluar suara mendesis 

bagai ular. 

Bersamaan dengan itu, tubuh Pengemis Tongkat 

Hitam menggeletar. Wajah yang pucat, kini berubah 

menjadi merah bagai kepiting direbus. Sementara


Bayu terus memusatkan hawa murni pada telapak 

tangan, dan menyalurkannya ke seluruh tubuh 

Pengemis Tongkat Hitam. 

"Akh...!" tiba-tiba Pengemis Tongkat Hitam 

memekik tertahan. 

"Pingsan...," desah Bayu ketika melihat laki-laki tua 

itu terjatuh. 

Lalu Bayu segera membaringkan tubuh tua itu di 

rerumputan. Tangannya terus bergerak lincah dan 

lembut di sekitar dada yang kurus dengan tulang-

tulang bersembulan itu. Kini noda hitam di dada itu 

tidak lagi bergerak membesar. Dan Bayu hanya 

menarik napas panjang, matanya tetap tertuju pada 

luka itu. 

"Tidak ada jalan lain. Aku harus segera mengeluar-

kan racun di dalam tubuhnya," gumam Bayu 

mendesah. 

Pendekar Pulau Neraka itu pun segera mencabut 

senjata cakra, yang menempel di pergelangan tangan 

kanannya. Kemudian pelahan-lahan dia meng-

goreskan ujung senjata itu ke dada Pengemis Tongkat 

Hitam. Seketika darah langsung merembes keluar. 

Tampak darah yang sudah bercampur dengan racun 

dari 'Pukulan Tapak Beracun' itu berwarna hitam 

kebiru-biruan. 

Bayu kemudian mendekatkan mulutnya ke luka di 

dada itu, dan menyedot darah yang ke luar. Dia 

menyedot darah beracun itu berulang-ulang, dan 

menyemburkannya ke tanah. Hal itu dilakukan 

sampai darah yang ke luar kembali berwarna merah. 

Setelah semuanya selesai, Bayu membalut luka itu 

dengan kain merah yang membelit pinggangnya. Jari-

jari tangannya terus bergerak lincah di sekitar luka, 

dan darah pun langsung berhenti mengalir. Dia


kemudian duduk seraya menarik napas panjang di 

samping laki-laki tua yang tergolek tidak sadarkan 

diri. 

*** 

Menjelang senja, Pengemis Tongkat Hitam baru 

bisa sadarkan diri. Dan dia menurut saja ketika Bayu 

menyuruhnya agar segera bersemadi. Kini wajahnya 

sudah kembali cerah. Tubuhnya pun sudah kembali 

terasa hangat, dan aliran darahnya berangsur normal. 

Pengemis Tongkat Hitam masih duduk bersila, 

meskipun dia telah menyelesaikan semadinya. 

Sedangkan Bayu hanya melirik saja, sambil memutar-

mutar kelinci panggang di atas api. 

"Bau daging panggang, membuat perutku terasa 

lapar...," gumam Pengemis Tongkat Hitam, sambil 

memandang ke arah Bayu. 

"Ah, rupanya kau sudah sadar, Kakek Pengemis. 

Mau?" Bayu segera mengambil satu daging kelinci 

yang sudah matang, dan menyerahkannya pada 

Pengemis Tongkat Hitam. 

Dan tanpa basa-basi lagi, Pengemis Tongkat Hitam 

segera menerimanya. Kemudian dia memakannya 

dengan nikmat sekali. Sedangkan Bayu tersenyum 

dan mengambil satu lagi. Lalu dia pun duduk di 

samping Pengemis Tongkat hitam. 

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bayu. 

"Sudah mendingan, terima kasih," sahut Pengemis 

Tongkat Hitam. 

"Kau telah terkena racun dari 'Pukulan Tapak 

Beracun'." 

"Kau tahu tentang jurus itu?" Pengemis Tongkat 

Hitam menatap tajam.


"Ya, aku pernah mendengarnya. Tapi tidak terlalu 

berbahaya. Ya..., mungkin kalau tidak segera 

dikeluarkan, bisa mengakibatkan nyawa melayang." 

"Tampaknya kau sudah tahu betul tentang 

'Pukulan Tapak Beracun'." 

Bayu hanya tersenyum. Dia memang sudah tahu 

betul dengan pukulan itu, karena dia sendiri juga 

memilikinya. Dan 'Pukulan Tapak Beracun' yang 

mengena pada Pengemis Tongkat Hitam itu masih 

dalam tahap yang tidak begitu tinggi, sehingga 

dengan mudah Bayu dapat menyembuhkannya. 

Mungkin kalau dia yang melakukan pukulan itu, 

Pengemis Tongkat Hitam sudah langsung tewas saat 

menerima pukulannya. 

Bayu jadi termenung. Dulu dia mempelajari jurus 

'Pukulan Tapak Beracun' dari gurunya, Eyang Gardika. 

Dan di Istana Dewa Rimba dia telah berjumpa dengan 

seorang laki-laki tua bernama Branta Ireng, dan 

mengaku masih saudara seperguruan dengan Eyang 

Gardika. Kalau mengingat itu semua, Bayu jadi 

berpikir lagi. Jurus 'Pukulan Tapak Beracun' tidak 

dimiliki orang lain lagi menurut Eyang Gardika. Dan 

kini Bayu mendapatkan ada orang lain yang telah 

mempunyai jurus itu. 

"Ada apa, Pendekar Pulau Neraka? Kau kelihatan 

termenung," kata Pengemis Tongkat Hitam, yang 

memperhatikan sejak tadi. 

"Kakek Pengemis, siapa yang telah memukulmu 

dengan jurus 'Pukulan Tapak Beracun'?" tanya Bayu. 

"Si Iblis Hitam," sahut Pengemis Tongkat Hitam. 

"Iblis Hitam...?!" Bayu langsung tersentak kaget. 

"Ada apa? Kau tampaknya terkejut mendengar 

nama itu." 

Bayu tidak segera menjawab. Dia jadi teringat


dengan kata-kata gurunya, Eyang Gardika. Dia harus 

mencari orang yang bernama Iblis Hitam, karena 

orang itu telah mencuri buku yang berisi jurus-jurus 

maut milik Eyang Gardika. Hal itu terjadi ketika Eyang 

Gardika dikeroyok oleh tokoh-tokoh rimba persilatan, 

hingga kedua kakinya buntung dan matanya buta. 

"Kakek Pengemis, di mana kau telah bertemu 

dengan Iblis Hitam?" tanya Bayu. 

"Di sini, semalam," sahut Pengemis Tongkat Hitam 

masih keheranan dengan sikap Pendekar Pulau 

Neraka itu. 

"Kakek tahu ciri-cirinya?" 

"Mungkin sebelum kau lahir, aku sudah kenal betul 

dengan si Iblis Hitam. Seorang tokoh yang sangat 

kejam!" 

"Katakan ciri-cirinya, Kek," desak Bayu. 

"Dia adalah seorang tua yang berkulit hitam, dan 

selalu memakai baju putih. Rambutnya juga sudah 

putih semua." 

"Apa dia juga mempunyai senjata sepertiku ini...?'" 

tanya Bayu sambil memperlihatkan cakra yang 

menempel di tangan kanannya. Dia sudah menduga, 

siapa orang yang barusan disebutkan ciri-cirinya itu. 

"Benar! Tapi warnanya kuning keemasan," sahut 

Pengemis Tongkat Hitam, setelah memperhatikan 

cakra di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. 

"Branta Ireng...," desis Bayu menggeretak. 

Pengemis Tongkat Hitam menatap dalam-dalam ke 

bola mata Bayu. Banyak sebenarnya yang ingin dia 

ketahui, tapi tidak bisa diucapkan. Benaknya kini 

masih dipenuhi dengan berbagai macam pikiran dan 

pertanyaan yang belum bisa dijawab. Beberapa saat 

lamanya mereka hanya saling berdiam diri. Nafsu 

makan mereka mendadak jadi hilang. Daging kelinci


panggang yang baru dimakan sedikit, hanya dipegang 

saja. 

Beberapa saat kemudian, Bayu bangkit dari 

duduknya, dan melemparkan daging kelinci 

panggangnya kuat-kuat ke udara, sambil berteriak 

keras. Dia merasa bahwa dirinya telah dipermainkan! 

Sejenak Pendekar Pulau Neraka itu menatap senjata 

cakra di pergelangan tangan kanannya. Kemudian dia 

mengibaskan tangan kanannya dengan kuat. Tapi, dia 

langsung tersentak karena senjata mautnya itu tidak 

mau terlontar. 

"Setaaan…! Kubunuh kau, Branta Ireng...!" teriak 

Bayu keras. 

Pendekar Pulau Neraka itu lalu mencabut cakra di 

tangan kanannya, dan membantingnya ke tanah. 

Cakra itu tepat menghantam batu dan langsung 

pecah berkeping-keping. Dan dengan kemarahan 

meluap-luap, Bayu segera menginjak-injak senjata 

palsu itu. Sementara Pengemis Tongkat Hitam 

memandanginya tidak mengerri. Dia hanya berdiri 

saja tanpa berbuat apa-apa. Kini Pendekar Pulau 

Neraka itu benar-benar diliputi kemarahan luar biasa! 

"Aku akan menyabung nyawa denganmu, Branta 

Ireng!" kembali Bayu berteriak keras. 

Dan suara teriakan Pendekar Pulau Neraka 

tersebut segera bergema ke seluruh Kaki Bukit Batu. 

Begitu kerasnya, sehingga daun-daun pohon ikut 

berguguran, dan batu-batu di atas bukit jadi bergetar 

dan menimbulkan suara gemuruh. Kemarahan yang 

telah meluap-luap membuat Bayu mengerahkan 

tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat 

kesempurnaan. Tampak batu-batu sudah meng-

gelinding dari atas bukit. Suaranya keras bergemuruh, 

seperti hendak kiamat saja.


"Kubunuh kau, Branta Ireng! Kubunuh kau! Se-

taaan...!"


Suara teriakan Bayu yang disertai dengan 

pengerahan tenaga dalam sempurna, membuat Bukit 

Batu bergetar bagai terjadi gempa. Dan getaran 

tersebut sangat dirasakan oleh seluruh penghuni 

Istana Dewa Rimba. Seketika kepanikan langsung 

melanda, saat mereka melihat ke arah bukit yang 

batu-batunya berguguran. Tampak dua buah batu 

yang menyerupai pintu gerbang itu juga ikut bergetar 

hebat. Prabu Dewa Rimba bergegas ke luar diikuti 

oleh tokoh-tokoh sakti yang berada di istana itu. 

Branta Ireng kelihatan berjalan di samping pemuda 

tampan itu. 

"Paman Branta Ireng, apa yang sedang terjadi?" 

tanya Prabu Dewa Rimba setelah berada di luar 

istananya. 

"Hamba tidak tahu, Gusti," sahut Branta Ireng. 

Saat itu suara gemuruh masih terus terdengar, dan 

batu-batu di bukit itu juga terus berguguran. Namun 

getarannya sudah tidak lagi sehebat tadi. Tiba-tiba 

dua orang yang berpakaian serba biru berlari cepat 

melintasi padang rumput, dan mereka segera berlutut 

di depan Prabu Dewa Rimba. 

"Ada apa, Iblis Biru?" tanya Prabu Dewa Rimba. 

"Ampun, Gusti Prabu. Kegemparan itu berasal dari 

kaki bukit," sahut salah seorang dari si Kembar Iblis 

Biru. 

"Jelaskan," pinta Branta Ireng. 

"Hamba melihat ada dua orang berada di kaki 

bukit Mereka adalah Pendekar Pulau Neraka dan


Pengemis Tongkat Hitam. Kegemparan ini disebabkan 

oleh teriakan Pendekar Pulau Neraka, Gusti Prabu." 

Seketika Prabu Dewa Rimba memandang ke arah 

Branta Ireng. 

"Hamba akan melihatnya sendiri, Gusti Prabu," 

kata Branta Ireng seraya melangkah pergi 

"Iblis Kembar, ikuti Paman Branta Ireng. Dan bawa 

beberapa prajurit," perintah Prabu Dewa Rimba. 

Si Kembar Iblis Biru kembali memberi hormat, dan 

melangkah pergi mengikuti Branta Ireng. Sementara 

tiga puluh orang yang berpakaian serba hitam 

mengawal mereka. Kini Prabu Dewa Rimba bergegas 

kembali ke dalam istananya yang megah. 

Sementara itu Branta Ireng, si Kembar Iblis Biru 

dan tiga puluh orang berpakaian hitam terus 

melintasi padang rumput yang luas. Mereka semua 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga 

dalam waktu singkat sudah berada di gerbang masuk 

ke padang rumput itu. Kini suara gemuruh sudah 

tidak terdengar lagi, dan batu-batu yang berguguran 

juga sudah tidak ada. Sejenak Branta Ireng 

melayangkan pandangannya ke arah kaki bukit. 

Tampak Desa Gampil terlihat jelas dari tempat itu. 

"Iblis Biru, perintahkan mereka semua segera 

memeriksa ke kaki bukit," perintah Branta Ireng. 

Dan tanpa membantah sedikit pun, Iblis Biru 

segera melaksanakan tugasnya itu. Dan Branta Ireng 

segera mencegah si Kembar Iblis Biru untuk ikut 

memeriksa ke kaki bukit. 

"Kenapa kau laporkan hal ini pada Prabu Dewa 

Rimba?!" agak tertahan suara Branta Ireng. 

"Maaf, Guru. Aku terpaksa," sahut salah seorang 

laki-laki kembar itu. 

"Kau tahu, tindakanmu itu bisa merusak



rencanaku!" dengus Branta Ireng. 

"Ampunkan kami, Guru," kedua laki-laki itu 

membungkuk dalam. 

"Ah, sudahlah! Semuanya sudah terjadi, dan ini 

akibat dari ketololan kalian. Sekarang kalian harus 

mencari Pendekar Pulau Neraka, dan bunuh dia." 

"Baik, Guru." 

Si Kembar Iblis Biru itu pun bergegas menjura 

memberi hormat, dan langsung melangkah 

meninggalkan tempat itu. Sementara Branta Ireng 

masih berdiri sambil memandang ke arah Desa 

Gampil. Tangannya tampak mengepal erat, dan 

gerahamnya bergemeletuk. Dan pada saat tubuhnya 

berbalik, seketika matanya membeliak lebar. 

"Heh! Kau...!" Branta Ireng tersentak. 

Tampak seorang pemuda tampan yang mengena-

kan baju dari kulit harimau, tahu-tahu sudah berdiri di 

depan Branta Ireng. Seperti biasanya, kedua 

tangannya melipat di depan dada. Sedangkan 

bibirnya terkatup rapat dengan mata menatap tajam 

penuh sinar kebencian. Sejenak Branta Ireng meng-

geser kakinya ke samping. Dia segera bisa meraba, 

apa yang akan terjadi. 

*** 

Sebentar Branta Ireng melirik ke samping kiri. Dan 

di sana juga sudah berdiri seorang laki-laki tua 

berpakaian kumal memegang tongkat hitam. Branta 

Ireng pun segera mempersiapkan diri untuk 

menghadapi kedua tokoh yang sudah kondang 

namanya itu. 

"Bayu, apa maksudmu membuat kekacauan ini?" 

tanya Branta Ireng.



"Jangan banyak tanya, Iblis Hitam!" dengus Bayu 

geram. 

"He! Apa yang kau katakan, Bayu?" Branta Ireng 

langsung tersentak kaget, karena Bayu sudah tahu 

nama julukannya dalam rimba persilatan. Tapi begitu 

matanya melirik pada Pengemis Tongkat Hitam, dia 

segera tahu siapa biang keladinya. 

"Kau kaget melihat Kakek Pengemis Tongkat 

Hitam masih hidup? Heh! 'Pukulan Tapak Beracun'mu 

masih tingkat dua, Iblis Hitam!" terdengar sinis nada 

suara Bayu Hanggara. 

"Hm..., rupanya kau sudah tahu siapa aku, Bayu. 

Nah! Apa maumu sekarang?" kini Branta Ireng tidak 

mau berbasa-basi lagi. 

"Merebut Cakra Mautku dan membunuhmu!" 

dingin jawaban Bayu. 

"Ha ha ha...!" Branta Ireng tertawa terbahak-bahak 

mendengar jawaban tegas itu. "Tidak semudah itu, 

Pendekar Pulau Neraka!" 

"Aku kini sudah tahu siapa kau, Iblis Hitam. Kau 

adalah manusia licik yang telah mencuri kitab guruku. 

Dan sekarang kau juga telah memperalatku, merebut 

Cakra Maut! Maka aku pun akan menyabung nyawa 

denganmu, Iblis Hitam!" 

Setelah berkata begitu, Bayu langsung berteriak 

nyaring melengking. Tubuhnya segera melesat cepat 

bagai kilat menerjang Branta Ireng. 

Tepat pada saat itu, si Kembar Iblis Biru muncul. 

Dan mereka sangat terkejut melihat pertarungan itu. 

Tapi baru saja mereka hendak membantu, Pengemis 

Tongkat Hitam sudah menghadang. Dan Puncak Bukit 

Batu itu yang semula tenang, kini jadi penuh dengan 

teriakan-teriakan pertempuran. 

Bayu terus menyerang dengan mengeluarkan



seluruh kemampuan yang dimilikinya. Kemarahan 

yang telah memuncak, membuat dia tidak mau lagi 

main-main! Serangan-serangannya sangat dahsyat, 

dan setiap angin pukulannya sanggup untuk meng-

hancurkan batu. Sementara Iblis Hitam 

mengimbanginya dengan berhati-hati. Dia sudah 

mengenal semua jurus-jurus yang dimiliki oleh 

Pendekar Pulau Neraka, tapi dia tidak menduga sama 

sekali, kalau jurus-jurus itu ternyata lebih dahsyat di 

tangan Pendekar Pulau Neraka. 

"Huh! Aku harus segera menggunakan senjata 

cakra emas!" dengus Branta Ireng. 

Lalu dengan cepat, Branta Ireng langsung 

mengibaskan tangan kanannya. Seketika secercah 

cahaya keemasan meluncur deras ke arah Bayu. 

Buru-buru Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat 

tangan kanannya tinggi-tinggi. Dan tepat pada saat 

cakra emas itu hampir menembus dadanya, dengan 

cepat Bayu menarik turun tangannya. 

Tring! 

Senjata cakra itu langsung menempel pada 

pergelangan tangan Bayu yang memakai gelang 

keperakan. Tentu saja Branta Ireng terkejut begitu 

melihat senjatanya sudah menempel pada per-

gelangan tangan kanan lawannya. Buru-buru dia 

mengeluarkan senjata Cakra Maut berwarna 

keperakan, yang telah dicurinya dari Pendekar Pulau 

Neraka. Dan tanpa berpikir panjang lagi, dia segera 

melontarkannya dengan pengerahan tenaga dalam 

penuh. 

Suara mendesing membelah udara, dan Cakra 

Maut bergerigi enam itu meluncur deras ke arah Bayu 

Hanggara. Namun dengan cepat, Pendekar Pulau 

Neraka itu mengibaskan tangan kanannya! Dan cakra


emas di pergelangan tangan kanannya pun, langsung 

melesat cepat ke arah cakra perak. 

Satu ledakan keras terjadi begitu dua senjata 

berbenturan di udara. Bunga api memercik, disertai 

dengan memancarnya cahaya yang menyilaukan 

mata. 

"Heh...!" Branta Ireng langsung terkejut begitu 

melihat kepingan-kepingan cakra emasnya ber-

jatuhan ke tanah. 

Dan dari pijaran cahaya yang menyilaukan 

tersebut, meluncurlah cakra perak bergerigi enam ke 

arah Bayu. Pendekar Pulau Neraka segera melompat 

ke atas, karena arah cakra itu berubah naik ke atas. 

Dan pada saat itu juga, Branta Ireng pun langsung 

melentingkan tubuhnya ke atas. Tampak dua tubuh 

melayang deras mengejar senjata cakra yang 

meluncur cepat ke angkasa. 

"Hiyaaa...!" Bayu memekik keras seraya 

menggenjot tubuhnya lebih kencang. 

Dua tokoh sakti itu segera berbenturan di udara 

dengan kecepatan bagai kilat. Dan tahu-tahu kedua 

tubuh itu kembali meluncur ke bawah dengan cepat. 

Tampak tubuh Pendekar Pulau Neraka bergulingan ke 

tanah. Sedangkan Branta Ireng juga bergulingan 

begitu tubuhnya menghantam tanah. 

Namun dengan cepat mereka dapat bangkit 

kembali. Tampak Bayu sudah berdiri tegak sambil 

tersenyum dengan tangan melipat di depan dada. 

Sedangkan cakra bergerigi enam dan berwarna 

keperakan, sudah menempel kembali di pergelangan 

tangannya. Melihat hal itu, Branta Ireng hanya bisa 

mendengus geram. 

"Bagaimana, Iblis Hitam? Akal licik apa lagi yang 

sedang kau pikirkan?" ejek Bayu sinis.


"Phuih! Seharusnya kubunuh kau di penjara, 

Pendekar Pulau Neraka!" geram Branta Ireng. 

"Kenapa tidak kau lakukan? Sekarang sudah 

terlambat. Dan aku akan segera mengirimmu ke 

neraka, Iblis Hitam!" 

"Ha ha ha...! Kau boleh bangga jadi murid Gardika, 

tapi aku sudah tahu semua jurus-jurus yang kau 

miliki, Bayu! Sebaiknya kau segera bunuh dirimu 

sendiri, sebelum aku terpaksa membunuhmu!" 

"Kau salah, kalau menganggap semua ilmu Eyang 

Gardika tertuang di dalam kitab. Masih banyak yang 

tidak dia tulis, dan aku memiliki lebih dari apa yang 

kau kira! Kitab yang telah kau curi itu, hanya berisi 

sepertiga dari ilmu-ilmu Eyang Gardika!" 

"Keparat! Kau jangan coba-coba menggertakku, 

Bayu!" 

"Untuk apa? Majulah, kalau kau ingin merasakan 

yang tidak bisa kau curi!" 

Seketika Branta Ireng kembali menggeram. 

Kemudian dia segera mengerahkan jurus 'Pukulan 

Tapak Beracun'. Sementara Bayu juga mengerahkan 

jurus yang sama. Namun tingkatannya tentu saja 

berbeda. Bayu sudah menguasai jurus 'Pukulan 

Tapak Beracun' sampai pada tahap kesempurnaan. 

Sedangkan yang pernah terjadi pada Pengemis 

Tongkat Hitam, baru sepertiga bagian saja. 

"Mampus kau, bocah setan! Hiyaaa...!" teriak 

Branta Ireng sambil melompat. 

"Hup! Yeaaah...'!" 

*** 

Dua tokoh kondang tersebut kemudian saling 

berlompatan dengan kedua tangan yang menjulur ke


depan. Dan tepat pada satu titik, kedua telapak 

tangan mereka bertemu. Seketika terdengarlah satu 

ledakan keras, disusul dengan terlontarnya tubuh 

Branta Ireng. Sedangkan Bayu hanya terdorong dua 

langkah ke belakang. 

"Phuih!" Branta Ireng segera menyemburkan 

ludahnya yang bercampur darah. 

Dia pun kembali melompat dan berusaha berdiri. 

Namun tubuhnya masih sempoyongan. Kekuatan dari 

jurus 'Pukulan Tapak Beracun' yang dimilikinya masih 

jauh di bawah Pendekar Pulau Neraka. Kalau saja 

Branta Ireng tidak memiliki jurus pukulan itu, 

mungkin tubuhnya sudah hangus! 

"Ayo kita mulai lagi, Bocah!" bentak Branta Ireng 

geram. 

"Kau memang sudah tidak pantas untuk hidup lagi, 

Iblis Hitam! Bersiaplah untuk mati!" sambut Bayu 

dingin. 

Pendekar Pulau Neraka sudah mencium bau 

darah. Dan itu pertanda bahwa dia tidak mungkin lagi 

bisa dihalangi. Lawan yang berhadapan harus tewas 

di tangannya! Kini, Bayu segera membungkukkan 

tubuhnya, dan memiringkannya ke kiri. Lutut kirinya 

agak tertekuk dengan tangan menyilang di depan 

dada. Dia sedang menyiapkan jurus 'Pukulan Racun 

Hitam'. Satu jurus andalan yang belakangan ini jarang 

digunakan. 

Sejenak Branta Ireng agak berkerenyut keningnya 

melihat kembangan jurus yang tengah dikeluarkan 

Pendekar Pulau Neraka itu. Rasanya dia pernah 

melihat jurus itu diperagakan oleh Gardika, dan dia 

sudah tahu pula kedahsyatannya. Buru-buru Branta 

Ireng mengerahkan jurus andalannya juga. 

"Hiya...!" Bayu mendadak berteriak nyaring seraya


melompat ke depan. 

"Yeaaah...!" Branta Ireng pun segera 

menyambutnya. 

Dan pertarungan antara kedua tokoh itu pun tidak 

bisa dielakkan lagi. Mereka bertarung dengan jurus 

andalan masing-masing. Tampak Bayu terus 

menghantamkan pukulannya secara beruntun ke 

arah bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. 

Namun dia juga tidak mengurangi daya per-

tahanannya. Branta Ireng agak kewalahan juga 

menghadapi jurus yang dikeluarkan Pendekar Pulau 

Neraka itu. 

Beberapa kali pukulan yang dilontarkan oleh Bayu 

berhasil dihindarkan oleh Branta Ireng. Namun pada 

saat si Iblis Hitam itu menghindari tendangan yang 

menyamping, tanpa diduga sama sekali tangan kiri 

Bayu menyodok ke arah perutnya. 

"Ikh!" 

Branta Ireng segera berkelit menarik tubuhnya ke 

belakang. Dan pada saat itu tangan kanan Bayu 

kembali menyodok ke arah dada. Kini Branta Ireng 

tidak sempat lagi untuk menghindar. Serangan itu 

langsung mendarat telak di dadanya. 

"Akh...!" Branta Ireng memekik keras. 

Tubuhnya seketika limbung, dan terdorong ke 

belakang beberapa tindak. Bersamaan dengan itu, 

Bayu segera memiringkan tubuhnya ke kiri, dan 

secepat kilat dia mengibaskan tangan kanannya ke 

depan. Seketika itu juga, secercah cahaya keperakan 

melesat bagai kilat dari pergelangan tangan 

kanannya. 

Tentu saja Branta Ireng membeliak terperangah. 

Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu melesat 

cepat dan tidak dapat terbendung lagi. Maka dengan



satu jeritan melengking tinggi, tubuh Branta Ireng 

langsung terjungkal ke tanah, begitu Cakra Maut yang 

dilepaskan oleh Pendekar Pulau Neraka itu 

membentur dadanya. 

Sejenak Bayu menarik tangan kanannya ke depan 

dada. Dan cakra yang telah menembus dada Branta 

Ireng, melesat kembali ke arahnya. Senjata bergerigi 

enam dan berwarna keperakan itu langsung 

menempel di pergelangan tangannya. Sebentar Bayu 

meman-dangi tubuh Branta Ireng yang berkelojotan 

meregang nyawa. 

"Akh! Kau... kau hebat, Bayu. Tentu Gardika 

bangga mempunyai murid sepertimu," kata Branta 

Ireng masih sempat memuji dalam keadaan kritis. 

"Kau tidak pantas untuk menyebut nama guruku, 

Branta Ireng!" dengus Bayu tidak senang. 

"Aku tahu, tidak lama lagi aku pasti akan mati. Tapi 

ketahuilah, bahwa aku tidak mencuri kitab gurumu 

itu. Aku hanya menyelamatkan dari tangan orang-

orang yang tidak berhak. Memang benar aku adik 

seperguruan Gardika, gurumu. Dan aku merasa 

menyesal telah mengkhianatinya. Rasa penyesalan 

membuat diriku sengsara, Bayu. Dan aku memutus-

kan untuk tinggal dan mengabdi pada Dewa Rimba. 

Utusan dewa dari kahyangan yang menampung 

orang-orang yang ingin bertobat," lemah dan bergetar 

suara Branta Ireng. 

"Aku tidak percaya dengan kata-katamu lagi, 

Branta Ireng!" 

"Kau boleh saja membenciku, Bayu. Tapi kau 

harus ingat, persoalan yang sedang kau hadapi tidak 

ada sangkut pautnya sama sekali dengan Prabu 

Dewa Rimba. Semua itu adalah ulah Pendeta Pasanta 

yang ingin menguasai Istana Dewa Rimba. Dia


memang pernah bermukim di sana cukup lama, dan 

mengetahui betul seluk beluknya. Kau harus hati-hati 

Bayu. Pendeta Pasanta mempunyai cambuk sakti 

yang berhasil dicurinya dari Dewa Rimba." 

Sejenak Bayu mengerutkan keningnya. Kali ini dia 

mau tidak mau mempertimbangkan juga kata-kata 

Branta Ireng. 

"Aku sudah mengetahui semua tindakan Pendeta 

Pasanta, tapi aku tidak mau melaporkannya pada 

Prabu Dewa Rimba. Karena...," Branta Ireng terbatuk. 

"Karena apa?" desak Bayu. 

"Aku terpaksa mengikuti keinginannya dan menjadi 

mata-mata di dalam Istana Dewa Rimba. Pendeta 

Pasantalah yang telah menahan kitab gurumu, Bayu. 

Dan dia mengancam akan melenyapkan kitab itu jika 

aku tidak mau menururi perintahnya. Aku merasa 

berdosa pada Gardika, aku merasa bertanggung 

jawab dengan kitab itu. Sangat berbahaya jika 

Pendeta Pasanta sampai mempelajarinya suara 

Branta Ireng makin melemah. 

Kini Bayu jadi terdiam. Entah apa yang sedang 

dipikirkannya. Kata-kata Branta Ireng telah membuat 

hatinya bimbang. Dia memang telah mendapat pesan 

dari Eyang Gardika untuk membunuh Branta Ireng 

atau yang berjuluk si Iblis Hitam, karena telah 

mencuri kitab miliknya dan mengkhianatinya, dengan 

memberitahukan tempat persembunyiannya pada 

tokoh-tokoh rimba persilatan, yang memang 

menginginkan kematiannya. 

Kini setelah dia melaksanakan amanat gurunya, 

datang lagi kebimbangan. Karena ternyata Branta 

Ireng telah jauh berubah. Laki laki tua berkulit hitam 

itu bukan lagi seperti dulu. Seorang yang kejam dan 

selalu mementingkan diri pribadi. Bahkan berkhianat


pada Eyang Gardika karena merasa kalah dalam 

memperebutkan gadis desa yang cantik. Penyesalan 

memang selalu terlambat datangnya. Dan penyesalan 

itu tidak berguna lagi di saat maut telah begitu dekat 

menjemput. 

"Bayu..., aku mohon padamu. Jangan me-

mandangku seperti yang dulu. Aku bukan lagi Iblis 

Hitam, tapi aku Branta Ireng. Iblis Hitam sudah mati. 

Aku mohon padamu, Bayu. Bawalah mayatku..., dan 

kuburkan dekat tempat tinggal Gardika. Aku 

mohon...," Branta Ireng tidak mampu lagi melanjutkan 

kata-katanya. Dia tersentak, dan langsung diam dan 

tak bergerak-gerak lagi! 

Bayu hanya bisa diam memandangi. Hatinya masih 

diliputi kebimbangan dengan kata-kata terakhir laki-

laki tua itu. Sementara itu pertempuran antara 

Pengemis Tongkat Hitam dengan si Kembar Iblis Biru 

sudah terhenti sejak tadi. Dan Bayu tidak menyadari, 

kalau mereka semua mendengarkan apa yang 

barusan dibicarakan. Kini dia baru tersadar saat dua 

orang kembar itu berlari dan menubruk mayat Branta 

Ireng. 

"Guru...!" 

"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang.



Bayu tampak menundukkan kepalanya dalam-dalam. 

Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. 

Sementara dua orang laki-laki kembar dan berbaju 

biru masih menangisi kematian Branta Ireng, lama 

juga mereka meratapi mayat gurunya. Tak lama 

kemudian pelahan-lahan kepala mereka terangkat. 

Kedua laki-laki yang berwajah bengis dan kembar 

menatap Bayu dengan pandangan sayu. Hilang sudah 

kekejaman dan kebengisan pada sorot matanya. Dan 

Bayu hanya menarik napas panjang saja. 

Kini semuanya sudah jelas Branta Ireng telah 

melakukan semuanya itu karena merasa bertanggung 

jawab atas kitab saudara seperguruannya, yang 

dicurinya dengan cara mengkhianatinya. Dan si 

Kembar Iblis Biru yang sempat menjadi muridnya 

tidak mengetahui hal itu. Mereka hanya tahu bahwa 

gurunya punya suatu rencana dengan Pendeta 

Pasanta. Hanya rencana saja yang dikatakan Branta 

Ireng. Tidak sedikit pun dikatakan rencana apa. 

Semuanya menjadi rahasia Branta Ireng. Dan si 

Kembar Iblis Biru hanya menurut saja padanya, 

sehingga tidak mau mendesak dan menanyakannya. 

"Kami mohon, kau sudi menuruti permintaan 

Guru," kata salah seorang dari si Kembar Iblis Biru. 

Bayu tidak langsung menjawab. 

"Kami bersedia melakukan apa saja, asal kau sudi 

memenuhi permintaan Guru yang terakhir," katanya 

lagi berharap.


"Kalian murid Iblis Hitam?" tanya Pengemis 

Tongkat Hitam seperti ingin meyakinkan dirinya. Dia 

sudah berdiri di samping Bayu. 

"Ya, hanya kami berdua muridnya." 

"Benar apa yang telah dikatakan oleh gurumu 

tadi?" tanya Pengemis Tongkat Hitam lagi. 

"Benar, dan kami tidak tahu persis persoalannya. 

Yang kami tahu, guru kehilangan kitab pusaka. Dan 

kitab itu ternyata dicuri oleh Pendeta Pasanta. Guru 

sudah merencanakan untuk mengambil kitab itu 

kembali, tapi kami tidak tahu rencana keseluruhan-

nya." 

"Bayu, tampaknya mereka dalam posisi tertekan," 

kata Pengemis Tongkat Hitam seraya menoleh pada 

pemuda di sampingnya. 

"Eyang Gardika tinggal di Pulau Neraka, dan 

tempatnya sangat jauh dari sini. Harus ke Pantai 

Selatan dulu sebelum menyeberangi pulau itu. Dan 

hanya akulah yang bisa masuk ke sana," kata Bayu 

pelan. 

"Bagaimanapun juga dia adik seperguruan 

gurumu, Bayu. Dan dia juga telah menyesali segala 

perbuatannya. Kau harus bisa memaafkannya, dan 

memenuhi permintaan terakhirnya," Pengemis 

Tongkat Hitam menasehati. 

"Baiklah, tapi aku harus menyelesaikan urusanku 

dulu dengan Pendeta Pasanta," sahut Bayu seraya 

menarik napas panjang. 

"Kami akan membantumu," kata si Kembar Iblis 

Biru serentak. 

"Tak perlu, kalian jaga saja jenazah guru kalian di 

sini. Dan aku akan segera menjemput kalian setelah 

urusanku selesai," sahut Bayu cepat. 

Si Kembar Iblis Biru hanya bisa mengangguk.


"Sebaiknya jangan di sini, Bayu. Tempat ini terlalu 

terbuka. Aku khawatir ada orang Iain yang akan 

mengetahuinya," Pengemis Tongkat Hitam memberi 

saran. 

"Kami punya suatu tempat yang tidak akan bisa 

diketahui oleh siapa pun," celetuk salah seorang 

kembar itu. 

"Di mana?" tanya Bayu. 

"Sebelah Selatah Bukit Batu ini." 

"Kalau begitu, sekarang juga kita harus ke sana!" 

usul Bayu. 

Dan tanpa ada yang membantah lagi, mereka 

segera meninggalkan Bukit Batu itu menuju arah 

Selatan. Tampak si Kembar Iblis Biru membopong 

mayat gurunya. Sedangkan Bayu dan Pengemis 

Tongkat Hitam mengikuti dari belakang. 

"Kalian berjuluk si Kembar Iblis Biru. Kenapa 

memakai julukan itu? Rasanya kurang cocok dengan 

watak kalian," kata Pengemis Tongkat Hitam. 

"Sebenarnya kami punya nama. Aku bernama 

Waka Biru, dan ini adikku bernama Watu Biru," sahut 

salah seorang yang berjalan di sebelah kanan. 

"Lalu kenapa memakai julukan itu?" tanya 

Pengemis Tongkat Hitam lagi. 

"Guru yang telah memberi kami nama julukan 

begitu. Katanya harus memakai julukan dari golongan 

hitam, untuk bisa masuk ke Istana Dewa Rimba. 

Dansebetulnya kami punya julukan juga, yaitu si 

Kembar Dari Utara. Kami sebenarnya tidak mau 

melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang 

lain." 

"Hm..., jadi selama ini gurumu mendustaiku? 

Kenapa dia lakukan itu?" Bayu seperti bertanya pada 

dirinya sendiri.



"Guru mengetahui jurus-jurus yang kau gunakan. 

Dan dia khawatir kalau kau akan menuntut kembali 

kitab pusaka itu." 

"Sayang, kalau saja dia mau berterus terang sejak 

semula, mungkin nasibnya tidak sampai begini," 

gumam Bayu pelan. 

"Guru memang menginginkan mati di tangan orang 

yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi. Dan itu 

hanya bisa dilakukan oleh adik seperguruannya. Kami 

rasa guru senang karena keinginannya terkabul. 

Katanya dia ingin menebus segala dosa yang telah 

diperbuatnya pada saudara seperguruannya." 

Bayu hanya diam. Dan Pengemis Tongkat Hitam 

juga tidak banyak tanya lagi. Entah apa yang sedang 

mereka pikirkan saat ini. Yang jelas, Bayu sudah tidak 

sabar lagi untuk menantang Pendeta Pasanta. Dia 

tidak peduli lagi dengan kitab pusaka peninggalan 

gurunya yang dicuri pendeta murtad itu. Kalaupun dia 

berhasil merampasnya kembali, akan segera 

dimusnahkan. Karena kini Bayu tidak memerlukannya 

lagi. 

*** 

Malam sudah demikian larut. Kegelapan kini 

menyelimuti seluruh Desa Gampil. Keadaan seluruh 

pelosok desa itu sunyi senyap. Angin bertiup agak 

keras malam ini, dan menebarkan hawa dingin 

seperti menusuk kulit. Namun suasana malam itu 

tidak mempengaruhi keadaan di dalam sebuah 

rumah besar di desa itu. 

Pada salah satu kamar di rumah itu, tampak 

seorang gadis cantik tengah duduk merenung di tepi 

pembaringan. Gadis itu tidak menyadari kalau ada


seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Seorang 

laki-laki gemuk berkepala gundul dan berjubah 

kuning gading. Gadis itu baru sadar setelah laki-laki 

itu duduk di sampingnya. 

"Mau apa kau?" sentak gadis itu sengit. Dia segera 

menggeser duduknya menjauh. 

"He he he...," laki-laki yang ternyata adalah 

Pendeta Pasanta itu hanya terkekeh. Matanya yang 

liar terus merayapi wajah gadis itu. 

Dan gadis cantik itu semakin menggeser duduknya 

menjauh. Tapi pendeta gundul itu segera bangkit, dan 

melangkah pelan-pelan menghampiri. Senyumnya 

lebar menyeringai, dan matanya semakin liar 

merayapi wajah yang mulai dilanda ketakutan. 

"Kenapa kau harus takut, Lastri? Besok kau akan 

menjadi pengantin. Aku sudah memutuskan untuk 

mempercepat pelaksanaannya," kata Pendeta 

Pasanta. 

"Huh! Siapa yang mau menjadi pengantin? Kau 

kira aku tidak tahu akal licikmu, Pendeta Murtad! Kau 

telah memperalat Prabu Dewa Rimba, dan meracuni 

semua penduduk dengan kata-kata manismu. Tapi di 

balik semua itu, kau hanya melampiaskan nafsu 

bejadmu!" garang kata-kata Lastri. 

"Itu tidak benar, Lastri. Siapa yang mengatakan itu 

padamu?" agak terkejut juga Pendeta Pasanta 

mendengarnya. Namun dia segera bisa mengatasinya 

dengan cepat. 

"Semua dayang-dayangmu berkata begitu padaku! 

Kau pikir mereka senang? Mereka selalu mengutuk-

mu!" sahut Lastri sengit. 

Seketika merah padamlah seluruh wajah Pendeta 

Pasanta. Gerahamnya bergemeletuk dan tiba-tiba 

saja dia melompat dan menerkam gadis itu. Tentu

saja Lastri langsung memekik kaget. Dia terus 

meronta dan berusaha melepaskan diri dari pelukan 

laki-laki gendut itu. Namun pelukan Pendeta Pasanta 

demikian kuat. 

"Lepaskan!" jerit Lastri sambil memukuli tubuh 

gemuk itu. 

"Kau memang tidak akan jadi pengantin, gadis liar! 

Malam inilah malam pengantinmu!" desis Pendeta 

Pasanta. 

"Tidak! Akh...!" 

Lastri benar-benar terkejut. Dia baru menyadari, 

ternyata selama ini Pendeta Pasantalah yang berada 

di belakang semua kejadian itu. 

Semua gadis-gadis yang dijadikan Pengantin Dewa 

Rimba, ternyata hanya dijadikan pemuas nafsu 

olehnya. Dan dia memfitnah Prabu Dewa Rimba 

dalam menutupi semua aksinya itu. Benar-benar 

suatu perbuatan yang licik dan terencana rapi. 

Bret! 

Lastri menjerit histeris, ketika dengan kasar 

Pendeta Pasanta berhasil merenggut baju yang 

dikenakannya. Mata laki-laki gemuk dan gundul itu 

semakin liar menatap kulit tubuh yang putih halus 

dan sudah terbuka lebar. Lastri jadi sibuk berusaha 

menutupi tubuhnya sambil terus memberontak, 

berusaha melepaskan diri dari dekapan laki-laki itu. 

Sedangkan Pendeta Pasanta nampaknya sudah 

tidak bisa lagi mengendalikan diri. Dengan kasar dia 

merenggut baju yang masih tersisa di tubuh gadis itu. 

Lastri terus menjerit-jerit minta tolong, tapi siapa yang 

mau menolongnya? Tidak seorang pun yang peduli 

dengan jeritan gadis itu. Kini tidak ada yang bisa 

diperbuatnya lagi. Air matanya mulai menitik turun 

dan membasahi pipinya.


"Jangan..., kasihani aku, Pendeta. Tolong jangan 

lakukan itu...," rintih Lastri memelas. 

Namun Pendeta Pasanta tidak mau mendengarnya 

sama sekali. Dia bergerak semakin liar saja. Dan 

pada saat pertahanan Lastri hampir jebol, mendadak 

daun jendela kamar itu terdobrak hancur, dan 

melesatlah seberkas sinar keperakan. 

"Uts!" 

Buru-buru Pendeta Pasanta menggulingkan 

tubuhnya ke samping. Sedangkan tangannya meraih 

pakaiannya, dan mengenakannya kembali. Matanya 

mendelik melihat sebuah bintang perak sudah ter-

tancap di dinding. Sementara Lastri buru-buru 

menutupi tubuhnya dengan kain seadanya. 

"Suiiit..!" 

Terdengar siulan panjang melengking tinggi. 

Pendeta Pasanta langsung melompat ke luar, 

menembus jendela kamar yang sudah jebol 

berantakan. Suara siulan itu masih terdengar panjang 

melengking. Laki-laki gundul dan gemuk itu 

melentingkan tubuhnya ke atas atap. Telinganya 

mendadak mendengar suara jeritan dan pekikan, 

ditingkahi dentingan senjata dari arah depan. 

"Edan! Siapa yang telah berani main gila di sini?!" 

dengusnya geram ketika melihat di halaman depan, 

tampak para pengikutnya tengah bertarung melawan 

seorang laki-laki tua bertongkat hitam. 

Dan baru saja Pendeta Pasanta mau melompat 

turun, mendadak sebuah bayangan berkelebat naik 

ke atas genting. Tentu saja Pendeta Pasanta terkejut, 

begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang 

pemuda tampan dan gagah, mengenakan baju kulit 

harimau.



"Pendekar Pulau Neraka...," desis Pendeta 

Pasanta. 

"Aku datang untuk mengirimmu ke neraka, 

Pendeta Murtad!" dingin suara Pendekar Pulau 

Neraka. 

"Ha ha ha...! Tidak ada ceritanya tikus menantang 

harimau!" ejek Pendeta Pasanta sambil tertawa 

terbahak-bahak. 

"Tikus itu berani karena harimaunya sudah 

ompong!" ujar Bayu tak kalah sengit. 

"Keparat!" geram Pendeta Pasanta. Merah padam 

seluruh mukanya mendengar ejekan itu. 

"Bersiaplah untuk mati, Pendeta Pasanta!" 

"Hup!" 

Pendeta Pasanta langsung mengeluarkan sebuah 

pecut berwarna hitam pekat, dengan ujung-ujungnya 

seperti buntut kuda. Dia pun segera mengebutkan 

pecutnya itu ke udara. Seketika terdengarlah suara 

menggeletar bagai guntur, yang memekakkan telinga. 

Bayu yang sudah diperingatkan oleh Branta Ireng 

langsung bersikap hati-hati menghadapinya. Ujung 

ujung pecut itu tampak memercikkan api saat 

dikebutkan. Kini Pendeta Pasanta langsung 

menyerang sambil mengebut-ngebutkan pecutnya. 

Sementara Bayu segera berlompatan menghindari 

ujung cambuk itu, sedikit kaget juga melihat ujung 

cambuk itu seperti bermata saja. Ke mana dia 

melompat menghindar, selalu terkejar dengan cepat. 

"Ha ha ha...!" Pendeta Pasanta tertawa terbahak 

bahak. 

Pendekar Pulau Neraka benar-benar merasa 

kewalahan menghadapi senjata maut itu. Kini dia 

berusaha menandinginya dengan melontarkan Cakra


Maut. Tapi senjata andalannya itu langsung berbalik 

lagi begitu dilontarkan, sepertinya cakra itu tidak mau 

berbenturan dengan cambuk hitam di tangan 

Pendeta Pasanta. 

"Mampus kau, bocah setan!" bentak Pendeta 

Pasanta. 

Bersamaan dengan itu, Pendeta Pasanta meng-

angkat tangannya tinggi-tinggi, dan langsung 

mengebutkan senjatanya dengan kuat. Namun pada 

saat itu, dia jadi tersentak! Pecut di tangannya tiba-

tiba terbetot, sepertinya ada tangan yang menariknya. 

Sejenak Pendeta Pasanta mendongak ke atas. Dan 

tubuhnya langsung gemetaran. 

Bayu sendiri juga terpana melihatnya. Di atas 

kepala Pendeta Pasanta, melayanglah seorang laki-

laki muda dan tampan, serta berbaju putih bersih. 

Tangan kanannya tampak menggenggam ujung 

cambuk dengan kuat. Dan dengan sekali tarik saja, 

pegangan Pendeta Pasanta pada cambuk itu 

langsung terlepas. 

Seketika Pendeta Pasanta melompat mundur. 

Wajahnya kini jadi berubah pucat, melihat pemuda itu 

melayang turun dan hinggap di atap. Sementara Bayu 

masih terpana melihat kedatangan Prabu Dewa 

Rimba yang begitu tiba-tiba, dan bisa melayang bagai 

burung! 

Sementara pertarungan di halaman depan rumah 

itu masih terus berlangsung. Kini Pengemis Tongkat 

Hitam tidak lagi kerepotan, karena dia sudah dibantu 

oleh dua orang laki-laki kembar berbaju biru. Sudah 

tidak terhitung lagi, berapa mayat bergelimpangan 

dengan bersimbah darah. Dan di atas atap, tampak 

tiga orang laki-laki tengah berdiri tegak dengan mulut 

terkunci rapat.


"Aku tidak menyangka, kalau kau akan berbuat 

sekeji itu, Pendeta Pasanta," kata Prabu Dewa Rimba 

dingin. 

"Kau tahu, kenapa aku ingin menghancurkanmu? 

Karena kau lebih percaya pada kata-kata si tua bodoh 

Branta Ireng!" agak bergetar suara Pendeta Pasanta. 

"Hal itu bukanlah alasan tepat untuk kau kembali 

ke dunia hitam, Pendeta Pasanta." 

"Ha ha ha...! Memang bukan! Sebenarnya sudah 

bertahun-tahun aku merencanakan semua ini, dan 

mempelajari segala kelemahanmu. Rasanya aku 

memang harus menghancurkanmu, Dewa Rimba. 

Karena kau telah menghancurkan puri kami, tempat 

kami!" 

"Aku memang harus menghancurkan puri sesat itu! 

Tidak kusangka, kau adalah salah satu pendeta 

murtad yang berhasil lolos dari puri hitam itu!" 

"Bukan aku saja yang berhasil lolos, Dewa Rimba. 

Tapi masih banyak saudara-saudaraku yang masih 

hidup. Dan mereka tidak akan pernah berhenti untuk 

mengajarkan aliran yang sesat, Dewa Rimba! Aku pun 

tidak akan tenang jika kau masih hidup!" 

"Sayang, dewa-dewa di nirwana tidak lagi 

mengijinkan aku untuk membunuh manusia lagi. 

Maaf, aku harus kembali, masih banyak tugas yang 

harus kuselesaikan." 

"Tunggu, pengecut!" 

Tapi Dewa Rimba sudah melayang cepat 

meninggalkan tempat itu. Buru-buru Pendeta Pasanta 

hendak mengejar, namun Bayu lebih cepat lagi 

bertindak. Dia segera mengibaskan tangan kanannya, 

dan senjata cakra langsung melesat cepat bagai kilat.


"Akh!" seketika Pendeta Pasanta memekik 

tertahan begitu pundaknya dirobek senjata itu. 

Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, senjata 

cakra itu sudah berbalik dan meluruk deras ke 

arahnya. Maka tanpa ampun lagi, Cakra Maut 

bergerigi enam itu langsung menghunjam dadanya. 

"Hiya...!" Bayu segera melenting sambil 

mengangkat tangan kanannya ke atas. 

Lalu bersamaan dengan menempelnya senjata 

Cakra Maut ke pergelangan tangan kanan, kaki Bayu 

segera menghajar kepala Pendeta Pasanta. Tidak 

ampun lagi, laki-laki gemuk berkepala gundul itu 

langsung meluruk jatuh ke tanah. Namun dia masih 

sempat bangkit lagi, meskipun dari pundak dan 

dadanya sudah mengucur darah. Sejenak Pendeta 

Pasanta menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Saat itu Bayu juga sudah meluruk deras ke 

arahnya. Dia tidak mau lagi bertindak tanggung-

tanggung. Maka dengan mengerahkan jurus 'Pukulan 

Racun Hitam', secara bertubi-tubi dia menyarangkan 

pukulannya ke tubuh Pendeta Pasanta. Sejenak Bayu 

heran juga melihat daya tahan yang luar biasa dari 

laki-laki gemuk itu. Dadanya telah bolong, dan 

pundaknya sudah tergores dalam. Darah pun banyak 

bercucuran. 'Pukulan Racun Hitam' sudah beberapa 

kali menghajar tubuhnya, tapi laki-laki gemuk itu 

masih saja bisa berdiri, meskipun limbung. 

"Kau tidak akan bisa membunuhnya, Pendekar 

Pulau Neraka...," tiba-tiba terdengar bisikan halus di 

telinga Bayu. 

Bayu segera mendongak ke atas. Tampak sebuah 

bayangan putih melayang-layang di angkasa. Dia tahu 

kalau bayangan itu adalah Dewa Rimba.



"Pendeta Pasanta memiliki kekebalan pada 

sabuknya. Jika kau berhasil merampasnya, baru dia 

akan bisa mati," terdengar lagi suara bisikan halus. 

Bayu menatap Pendeta Pasanta yang sudah 

bergerak lagi hendak menyerangnya. Mata Pendekar 

Pulau Neraka itu menatap tajam ke pinggang Pendeta 

Pasanta. Tampak sebuah sabuk besar yang berwarna 

hitam, melingkar di perut gendut itu. Maka dengan 

mengerahkan jurus 'Bayangan Dewa Maut', Bayu 

segera mendahului menyerang. Gerakannya begitu 

cepat seperti bayangan saja. 

Dan dengan mudah, Bayu berhasil memegang 

sabuk di pinggang Pendeta Pasanta, namun dia 

terkejut karena sabuk itu ternyata sulit terlepas. 

Tepat pada saat Bayu berusaha menarik sabuk itu, 

pukulan geledek Pendeta Pasanta langsung meng-

hajar tubuhnya. Tak pelak lagi, tubuh Pendekar Pulau 

Neraka itu segera terpental sejauh dua batang 

tombak. Sedangkan Pendeta Pasanta buru-buru 

melompat menerjang. 

Melihat keadaan itu, Bayu bergegas meng-

gulingkan tubuhnya ke samping, lalu dengan cepat 

kembali melompat bangkit. Dan bagaikan seekor 

kucing tengah menerkam ikan, Pendekar Pulau 

Neraka melompat sambil melancarkan pukulan 

mautnya dengan bertubi-tubi. 

Gerakan Pendeta Pasanta yang memang sudah 

lamban, tidak sanggup untuk berkelit. Dan pukulan 

Bayu dengan telak menghajar tubuhnya. Namun Bayu 

merasakan pukulannya seperti mengenai buntalan 

kapas. Pendeta Pasanta masih tangguh, tidak goyah 

sedikit pun! Dia kini malah menyeringai menyeram-

kan. Buru-buru Bayu melompat mundur dua tindak.


Lalu dengan cepat dimiringkan tubuhnya sambil 

melontarkan senjatanya. 

Seketika Cakra Maut bergerigi enam itu langsung 

melesat cepat, dan menancap tepat di mata Pendeta 

Pasanta. Kontan saja laki-laki gemuk dan gundul itu 

meraung keras. Sejenak Bayu menghentakkan 

tangan kanannya dengan kuat, dan cakra yang 

tengah tertancap di mata Pendeta Pasanta itu pun 

tercabut ke luar. 

Namun sebelum senjata itu kembali pada 

pemiliknya, Bayu segera mengebutkan tangan 

kanannya ke arah perut lawannya. 

Trak! 

"Aaakh...!" Pendeta Pasanta langsung menjerit 

melengking. 

Dan tanpa membuang-buang kesempatan, Bayu 

langsung melompat dan mengirimkan tendangan 

geledeknya ke arah tubuh Pendeta Pasanta. Kontan 

saja tubuh gemuk itu terjungkal keras menghantam 

tanah. Lalu sekali lagi Pendekar Pulau Neraka itu 

mengebutkan tangan kanannya, dan senjatanya itu 

kembali meluncur deras ke arah tubuh yang sudah 

menggeletak itu. 

Cras! 

Seketika Cakra Maut bergerigi enam merobek 

perut lawannya. Dan hampir bersamaan pula, Bayu 

segera melompat dengan tangan bergerak cepat 

merampas sabuk yang sudah terpotong senjatanya. 

Dengan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, kali 

ini dia berhasil mencopot sabuk itu dari pinggang 

Pendeta Pasanta. 

"Mampus kau..., hih! " 

Sekali lagi Bayu menghantamkan pukulan 

mautnya ke arah dada. Sebentar Pendeta Pasanta


masih berkelojotan, lalu diam dan tak bergerak lagi. 

Bayu masih berdiri tegak sambil memandangi mayat 

lawannya. Lalu dia mendongakkan kepalanya ke atas. 

Tampak bayangan tubuh putih tengah melayang 

menjauh. Pendekar Pulau Neraka itu pun segera 

memeriksa tubuh gemuk yang sudah menjadi mayat 

Dan dari balik lipatan bajunya dia menemukan 

sebuah kitab yang bersampul kulit hitam. 

Maka tanpa berpikir panjang lagi, Bayu segera 

menghancurkan kitab itu dengan 'Pukulan Tapak Api'. 

Seketika itu juga kitab itu hangus terbakar jadi abu. 

Kembali Pendekar Pulau Neraka menarik napas 

panjang, kemudian melangkah meninggalkan mayat 

Pendeta Pasanta. 

Pada saat itu semua pertempuran yang 

berlangsung di halaman depan rumah besar tersebut 

sudah berhenti. Tampak Pengemis Tongkat Hitam 

yang dibantu oleh si Kembar Iblis Biru tengah berlari-

lari menghampiri Bayu. Mereka telah berhasil 

menumpas habis semua pengikut Pendeta Pasanta. 

Bayu segera berhenti melangkah, menanti tokoh-

tokoh yang telah membantunya itu. 

*** 

"Bayu, aku tadi sempat melihat Prabu Dewa 

Rimba. Ke mana dia sekarang?" tanya Pengemis 

Tongkat Hitam, begitu sampai di depan Bayu. 

"Pergi," sahut Bayu pelan. 

"Aku yang telah memberitahunya," celetuk Waka 

Biru, salah satu dari manusia kembar itu. 

"Kenapa kau lakukan itu?" tanya Pengemis 

Tongkat Hitam. 

"Maaf, aku memang harus mengatakan semuanya


pada Gusti Prabu Dewa Rimba. Dan beliau pun 

memahami. Kami juga akan diterima, jika mau 

kembali ke Istana Dewa Rimba," sahut Waka Biru. 

"Kalian akan kembali ke sana?" tanya Bayu. 

"Ya," sahut si Kembar Iblis Biru serempak. 

Bayu hanya bisa tersenyum saja. Entah apa arti 

senyumnya itu. 

"Bayu, tolong! Bawalah mayat guru kami ke Pulau 

Neraka. Maaf, kami tidak bisa ikut. Prabu Dewa 

Rimba sudah memperingatkan, kalau kami tidak akan 

bisa masuk ke sana. Hanya kaulah yang bisa 

melakukannya! Pulau itu selalu dijaga oleh kekuatan 

Gardika," kata Waka Biru lagi. 

"Tidak apa, aku juga tidak keberatan,'' sahut Bayu 

memaklumi. 

"Terima kasih, kami permisi dulu." 

"Tunggu dulu," cegah Bayu ketika dua orang 

kembar itu sudah mulai melangkah. 

Waka Biru dan saudara kembarnya itu segera 

menghentikan langkahnya. Mereka kembali berbalik 

dan menghadap Pendekar Pulau Neraka. 

"Terus terang, aku belum tahu betul, siapa Dewa 

Rimba itu?" tanya Bayu. 

"Dia adalah utusan Dewa-dewa di Swargaloka. Dan 

dia datang untuk memberi pengampunan pada setiap 

manusia. Sudah banyak orang-orang dari kalangan 

rimba persilatan yang bertobat dan meninggalkan 

dunianya yang keras," Waka Biru menjelaskan. 

Bayu segera mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Oh, ya...! Prabu Dewa Rimba juga telah meng-

undangmu untuk menghadiri upacara perkawinannya. 

Kali ini benar-benar Penqantin Dewa Rimba 

sungguhan!" sambung Waka Biru.


"Terima kasih, akan kuusahakan untuk datang." 

Si Kembar Iblis Biru segera meninggalkan halaman 

rumah besar di Desa Gampil itu. Mereka terus berlari 

cepat menuju Bukit Batu. Sementara Bayu masih 

memperhatikan kepergian mereka dengan hati 

mengucapkan sejuta kata. Namun tidak mampu 

untuk dikeluarkannya. Kemudian dia segera meng-

ayunkan kakinya setelah bayangan si Kembar Iblis 

Biru lenyap dari pandangan. 

"Mau ke mana?" tanya Pengemis Tongkat Hitam, 

yang sejak tadi terus memperhatikannya. 

"Aku rasa tugasku sudah selesai, Kek. Aku harus 

memenuhi keinginan terakhir Paman Branta Ireng," 

sahut Bayu pelan. 

"Bayu, aku ingin minta maaf padamu," kata 

Pengemis Tongkat Hitam pelan. 

"Hey! Apa ini?" Bayu sedikit kaget tidak mengerti. 

"Aku sudah menduga buruk sebelumnya terhadap-

mu. Kau memang kejam, sadis dan tidak mengenal 

kata ampun! Tapi aku merasakan kelembutan dan 

kebaikan hatimu," kata Pengemis Tongkat Hitam. 

"Ah, sudahlah. Kebetulan saja kau melihatku lagi 

baik," Bayu merasa tidak enak juga. 

Dan baru saja Bayu hendak melangkah kembali, 

tampak Lastri berlari-lari kecil menghampirinya. Gadis 

itu hanya mengenakan kain seadanya untuk mem-

balut tubuhnya. Di belakang gadis itu terlihat seorang 

laki-laki dan perempuan tua. 

"Kakang, kau hendak ke mana?" tanya Lastri 

begitu sampai di depan Bayu. 

"Pergi. Masih banyak tugas yang harus kuselesai-

kan," sahut Bayu pelan. 

"Kakang, aku mau mengucapkan terima kasih,


karena kau telah menyelamatkanku," ucap Lastri. 

"Juga kedua orang tuaku, mereka sangat berterima 

kasih sekali padamu. Bahkan ayahku berkenan 

mengundangmu untuk menginap di rumah." 

"Benar, Nak," sambung Ki Sudra meyakinkan. 

Kini Bayu tidak bisa menjawab. Dia lalu melirik 

pada Pengemis Tongkat Hitam. 

"Ah, sebaiknya Tuan juga ikut bersama kami. Aku 

akan menjamu Tuan berdua dengan sebaik mungkin," 

kata Nyi Sudra sambil memandang ke arah Pengemis 

Tongkat Hitam. 

"Ayolah, Kakang...," rengek Lastri memohon. 

"Bagaimana, Kek?" Bayu meminta pendapat 

Pengemis Tongkat Hitam. 

"Aku rasa tidak baik untuk menolak suatu 

undangan," sahut Pengemis Tongkat Hitam bijak. 

"Kau bisa ke...." 

"Aku tahu, Kek!" potong Bayu cepat. "Baiklah, aku 

terima undangan kalian." 

Tentu saja Lastri gembira mendengar jawaban 

Bayu tersebut. Dia langsung memeluk tubuh pemuda 

itu tanpa malu-malu lagi. Sementara Pengemis 

Tongkat Hitam dan kedua orang tua Lastri segera 

mulai melangkah meninggalkan mereka. Bayu ingin 

melepaskan pelukan gadis itu, tapi Lastri malah 

melingkarkan tangannya dengan kuat ke leher 

pemuda itu. 

"Lastri...," bisik Bayu merasa tidak enak dengan 

yang lain. 

"Tinggallah di sini, Kakang," kata Lastri membujuk. 

Kembali Bayu tidak bisa menjawab. Rasanya 

setiap kali dia menerima kata-kata seperti itu dari 

seorang gadis, sulit untuk menjawabnya. Namun Bayu 

punya cara tersendiri, dan hanya dialah yang bisa


tahu. Kini Pendekar Pulau Neraka itu mulai 

mendekatkan wajahnya ke wajah Lastri, sedang 

tangannya melingkar di pinggang gadis yang ramping 

itu. Lalu bibir mereka menyatu rapat dalam dekapan hangat! 



                        SELESAI 





Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar