1
Suara gamelan mengalun merdu mengiringi langkah-
langkah rombongan manusia yang berjalan pelahan-
lahan, menyusuri jalan setapak di sebuah bukit batu.
Tampak delapan orang laki-laki bertubuh kekar,
menggotong tandu berhiaskan kain warna-warni dan
bunga-bunga indah. Berjalan paling depan adalah
seorang laki-laki yang mengenakan jubah kuning
gading dan berkepala gundul. Di tangan kanan laki-
laki itu, tergenggam seuntai tasbih dari rangkaian
batu hitam pekat dan berkilat.
Di belakang orang berjubah kuning gading itu,
berjalan dengan rapi sekitar tiga puluh orang pemuda
tampan yang mengenakan jubah warna putih. Mereka
terus berjalan pelahan-lahan dengan tangan melipat
di dada. Lengan baju mereka yang panjang dan
longgar, tergulung sampai ke siku. Pada bagian
belakang tandu, tampak orang-orang dari berbagai
golongan. Laki-laki, perempuan, tua dan muda,
bahkan juga anak-anak. Mereka terus mengikuti
dengan wajah tertunduk, tanpa mengeluarkan satu
patah kata pun.
Para nayaga terus memainkan gamelan bernada
lembut dan syahdu. Sedangkan rombongan itu pun
terus mendaki ke Puncak Bukit Batu itu. Beberapa
saat kemudian, suara gamelan terhenti setelah
mereka mencapai puncak bukit tersebut. Tampak di
depan mereka berdiri dengan megahnya dua buah
batu yang menyerupai sebuah pintu gerbang.
Laki-laki yang berada paling depan, langsung
berlutut, diikuti oleh para pengikutnya. Kemudian
tandu segera diturunkan, disusul dengan berlututnya
semua orang yang berjalan di belakang tandu.
Keadaan di sekitar Puncak Bukit Batu itu sunyi
senyap. Tampak laki-laki yang berkepala gundul dan
berjubah kuning gading itu mulai bangkit berdiri.
Sejenak tubuhnya membungkuk tiga kali dengan
telapak tangan merapat di depan dada.
"Dewata yang bersemayam di Swargaloka, terima-
lah persembahan kami ini...!" lantang dan besar suara
laki-laki itu.
Setelah berkata demikian dia kembali mem-
bungkukkan badannya tiga kali, kemudian menoleh
ke belakang. Tampak delapan orang yang masih ber-
lutut di samping tandu, segera bangkit. Mereka juga
membungkuk tiga kali, dan kembali mengangkat
tandu itu. Sementara itu tiga puluh orang yang ber-
baju seragam putih sedikit menggeser kakinya ke
samping, memberi jalan. Lalu dengan langkah pelan-
pelan, delapan orang bertubuh tegap dan kekar itu
mulai berjalan menggotong tandu.
Dan pada saat delapan orang tersebut melewati
celah batu yang menyerupai pintu gerbang itu, ter-
dengarlah isak pelan dan tertahan. Tampak seorang
perempuan yang berbaju hitam dan berkerudung,
terisak dalam pelukan seorang laki-laki berbaju hitam
juga.
"Cepat, masukkan!" perintah laki-laki gundul itu.
Delapan orang bertubuh tegap yang menggotong
tandu, bergegas melewati celah batu itu, dan
meletakkannya pada sebuah batu ceper yang cukup
lebar. Kemudian mereka segera berbalik lagi dan
melangkah ke luar. Dan pada saat yang hampir ber-
samaan, di angkasa tampak sebuah bayangan hitam
besar melayang-layang. Seketika semua orang yang
berada di Puncak Bukit Batu itu langsung berlutut.
Bayangan hitam yang melayang-layang di angkasa
itu bergerak turun dengan kecepatan tinggi, lalu
menyambar tandu itu hingga hancur berantakan.
Seketika terdengar satu jeritan melengking, ber-
samaan dengan melesatnya kembali bayangan itu ke
angkasa, lalu lenyap di balik gumpalan awan.
Tidak lama setelah kejadian itu, laki-laki berkepala
gundul segera melangkah dan menuruni Puncak
Bukit Batu itu. Sementara para pengikutnya segera
mengikutinya dari belakang. Dan para nayaga pun
kembali mengalunkan gending mengiringi langkah-
langkah mereka meninggalkan tempat itu.
***
Keadaan di Desa Gampil tampak tenang dan
damai. Sehari-harinya para penduduk sibuk bekerja
mengolah ladang, berniaga, atau pekerjaan lain yang
dapat menunjang kelangsungan hidup. Sementara
anak-anak dengan cerianya bermain, seakan-akan
mereka tidak peduli dengan orang-orang tua mereka
yang memeras keringat demi kelangsungan hidup
mereka. Kedamaian memang sangat terasa di desa
itu. Namun kedamaian dan keceriaan itu kelihatan-
nya tidak dinikmati oleh sepasang suami istri
setengah baya, yang tinggal di sebuah rumah kecil
berdinding papan. Mereka adalah Ki Sudra dan Nyi
Sudra. Kini mereka tengah duduk dengan wajah
murung di balai-balai bambu, di beranda rumahnya.
Sejenak mereka mengangkat kepalanya, ketika
tampak seorang gadis yang berkulit kuning langsat
keluar dari dalam rumah itu. Dia mengenakan baju
warna biru yang ketat, sehingga memetakan bentuk
tubuhnya yang ramping. Sedangkan tangannya
menenteng sebuah bungkusan kain yang tidak begitu
besar. Gadis itu berdiri di ambang pintu dengan
kepala tertunduk dan mata merembang berkaca-
kaca.
"Mau ke mana?" tanya Ki Sudra pelan.
"Pergi," sahut gadis itu singkat.
Nyi Sudra segera bangkit dan menghampiri gadis
itu, kemudian membimbingnya ke dalam kembali.
Sedangkan Ki Sudra juga ikut bangkit dan mengikuti
mereka dan duduk di lantai beralaskan selembar
tikar dari daun pandan.
"Kau akan pergi ke mana?" tanya Ki Sudra lagi.
Suaranya terdengar pelan tanpa gairah.
"Ke mana saja, Pak," sahut gadis itu getir.
"Lastri, ke mana pun kau akan pergi, Pendeta
Pasanta pasti akan tahu. Kau tidak mungkin bisa
terlepas dari pengamatannya," kata Nyi Sudra lirih.
"Lastri, aku sudah tua, juga Mak-mu. Kami sudah
tidak kuat lagi bekerja di ladang. Hanya kaulah satu-
satunya harapan kami. Apa kau tega meninggalkan
orang tuamu yang sudah jompo ini?" agak bergetar
suara Ki Sudra.
"Tapi, Pak...," gadis yang bernama Lastri itu mau
membantah, namun suaranya seperti tercekat di
tenggorokan. Hanya matanya saja yang terus me-
mandang kedua orang tuanya dengan sejuta kata-
kata.
"Aku mengerti, Lastri. Tapi coba kau lihat, semua
gadis sebayamu tidak ada yang mau menentang
Pendeta Pasanta, mereka semua pasrah, dan tetap
bergembira."
"Mereka bodoh, Pak!" sentak Lastri.
"Lastri...!" Nyi Sudra tersentak kaget. Buru-buru dia
menggeser duduknya mendekati gadis itu.
"Mereka memang kelihatan gembira, tapi di hati
mereka sebenarnya sedih dan gelisah. Juga orang-
orang tua di desa ini, semuanya tidak ada yang
gembira. Juga Bapak dan Mak, memangnya aku tidak
tahu, kalau sebenarnya Bapak dan Mak juga sedih!"
agak keras suara Lastri, meskipun terdengar
bergetar.
Ki Sudra dan Nyi Sudra tidak bisa lagi berkata apa-
apa. Dalam hati mereka memang membenarkan
kata-kata anak gadisnya itu. Bagaimanapun kuatnya
mereka berusaha memendam perasaan, namun tidak
mungkin bisa berlangsung lama. Selama ini mereka
selalu menunjukkan wajah gembira di depan Lastri,
namun dalam hati mereka sebenarnya tidak gembira.
Sudah beberapa kali Lastri memergoki kedua orang
tuanya duduk termenung, dengan pandangan kosong
dan mata berkaca-kaca. Dan Lastri sendiri bisa
merasakan, apa yang tengah dirasakan oleh kedua
orang tuanya. Lalu dia memutuskan untuk segera
meninggalkan desa itu.
"Bagaimanapun juga, aku harus pergi!" kata Lastri
seraya bangkit dari duduknya.
"Lastri...!" Nyi Sudra bergegas berdiri dan menahan
langkah gadis itu. Dia memegangi tangan Lastri
dengan mata berkaca-kaca.
"Biarkan aku pergi, Mak," pinta Lastri memohon.
"Lastri, pikirkan dulu niatmu itu. Sebenarnya aku
tidak keberatan jika kau mau pergi juga, tapi Pendeta
Pasanta sudah memilihmu untuk.. ."
"Tidak!" sentak Lastri cepat memotong ucapan Ki
Sudra.
"Lastri...," melemah suara Ki Sudra.
"Lastri memang sayang sama Mak dan Bapak, tapi
Lastri harus pergi...," kata Lastri bersikeras dengan
niatnya.
Ki Sudra hanya menunduk. Memang sulit untuk
menghalangi niat anak gadisnya itu. Sementara Nyi
Sudra tampak sudah terisak-isak. Lastri terus me-
mandangi kedua orang tuanya itu dengan terharu.
Orang tua yang telah mengasuh dan merawatnya
sejak dia masih bayi.
"Maafkan kelancangan Lastri, Mak," ucap Lastri
pelan.
"Lastri, biarpun bukan aku yang telah melahir-
kanmu, tapi aku sangat sayang padamu, tidak pernah
membeda-bedakan kasih sayangku antara kau
dengan semua anak-anakku...," kata Nyi Sudra di
tengah-tengah isaknya.
Ingin rasanya Lastri memeluk perempuan tua itu,
dan mengurungkan niatnya. Namun dia tetap ber-
usaha menguatkan hati untuk tetap pergi meninggal-
kan orang tua yang telah begitu besar budinya,
merawatnya sejak dia masih berumur satu bulan.
Lastri tahu semua itu karena Ki Sudra dan Nyi Sudra
selalu menceritakan asal-usul anak-anak angkatnya
yang berjumlah tiga orang. Meskipun mereka sendiri
punya dua orang anak kandung. Kini semuanya
sudah tidak ada lagi di rumah ini. Tinggal Lastri
sendiri yang masih ada. Dan kini giliran dia juga harus
pergi meninggalkan orang tua itu. Berat memang, tapi
tekadnya sudah bulat. Pelan-pelan Lastri melangkah
mundur mendekati pintu.
"Lastri, Anakku...," rintih Nyi Sudra lirih.
"Maafkan aku, Mak..., Bapak...," ucap Lastri pelan,
hampir tidak terdengar suaranya.
Setelah berkata begitu, dengan cepat Lastri ber
balik dan melangkah ke luar Nyi Sudra ingin
mengejar, namun keburu dicegah suaminya.
Kemudian kedua orang tua itu saling berpelukan
sambil memandangi tubuh Lastri yang semakin jauh
melangkah.
"Lastri…" rintih Nyi Sudra. Semakin deras air mata-
nya mengalir.
"Sudahlah, Mak. Mungkin itu sudah menjadi
pilihannya yang terbaik. Kita doakan saja agar Hyang
Widi melindunginya," kata Ki Sudra berusaha meng-
hibur, padahal dia tak bisa menahan air matanya.
"Semoga Hyang Widi akan mempertemukan kita
kembali...," bisik Nyi Sudra disela isaknya.
Beberapa saat lamanya, suami istri itu masih
berdiri saja di ambang pintu sambil berpelukan.
Pandangan mereka tetap ke arah kepergian Lastri.
***
Hari terus berjalan dengan pasti. Senja pun
berganti dengan malam. Tampak bulan yang bersinar
di atas sana tersaput oleh awan tipis yang meng-
gantung. Sementara itu seluruh penduduk Desa
Gampil sudah beristirahat di dalam rumahnya
masing-masing. Kini tidak lagi terdengar canda ria
anak-anak yang bermain, tidak ada lagi gurauan
gadis-gadis atau celetukan usil para pemuda. Malam
ini suasana Desa Gampil benar-benar sunyi senyap.
Hanya mereka yang tengah meronda saja yang masih
berada di luar rumah.
Dan kesunyian itu semakin terasa di dalam rumah
Ki Sudra. Rumah yang tidak begitu besar itu, kini
hanya dihuni oleh sepasang suami istri setengah baya
yang tengah dirundung duka. Tidak ada seorang pun
yang mau peduli dengan kedukaan mereka. Dan Ki
Sudra memang tidak pernah menunjukkan kedukaan-
nya pada orang lain.
Di malam yang sunyi dan dingin itu. Tampak Nyi
Sudra masih saja duduk merenung di balai-balai
bambu sambil memandang bulan dari balik jendela.
Tatapan matanya tampak kosong, dan wajahnya tak
menyiratkan suatu perasaan apa pun. Sepertinya
seluruh jiwanya sudah hilang dari raga. Tidak jauh
darinya, Ki Sudra terlihat tengah duduk di kursi
goyang. Asap tembakaunya yang keluar dari pipa
hitamnya, mengepul dipermainkan oleh angin malam
yang dingin.
"Sudah larut malam, Mak. Sebaiknya kau segera
tidur saja. Serahkan saja semuanya pada kekuasaan
Hyang Widi," kata Ki Sudra pelan.
"Hhh...," Nyi Sudra hanya mendesah saja.
"Setelah kupikir-pikir, sebaiknya kita, juga segera
meninggalkan desa ini, Mak. Rasanya tidak ada
gunanya lagi bertahan di desa yang keadaannya
panas bagai neraka," kata Ki Sudra lagi.
"Kalau kau juga mau pergi, pergilah sana!" dingin
dan datar suara Nyi Sudra. Sedikit pun dia tidak
menoleh.
"Memang tidak ada gunanya kita melakukan
sesuatu apa pun. Ke mana kita pergi, Pendeta
Pasanta pasti akan segera mengetahui. Yah...,
memang sama saja. Tetap tinggal di sini, atau pergi
dari desa ini tidak ada bedanya," nada suara Ki Sudra
terdengar mengeluh putus asa.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa masih juga ber-
pikiran begitu? Kau selalu bisa bilang, pasrahkan saja
segalanya pada Hyang Widi, tapi hatimu tidak mau
pasrah," Nyi Sudra membalikkan tubuhnya dan me
natap pada suaminya.
Kali ini Ki Sudralah yang mendesah panjang. Kata-
kata istrinya itu memang benar, dan dia pun meng-
akuinya. Dalam keadaan seperti ini, memang jarang
orang yang hanya pasrah. Pasti ada sedikit terbetik di
hatinya untuk memberontak. Dan itulah yang kini
dirasakan oleh Ki Sudra.
Pada saat mereka berdua tengah terdiam itu, tiba-
tiba terdengar suara ketukan di pintu. Sejenak
pasangan tua itu saling berpandangan, lalu hampir
bersamaan mereka menoleh ke arah pintu yang
tertutup. Ketukan itu terdengar kembali, kali ini
ketukannya lebih keras dan yang pertama.
"Siapa...?" tanya Ki Sudra seraya bangkit dari
duduknya.
Namun tak ada sahutan dari luar. Ki Sudra
melangkah mendekati pintu rumahnya. Sejenak dia
ragu-ragu untuk membuka pintu. Matanya melirik
istrinya.
"Ah...!" Ki Sudra tersentak ketika dia membuka
pintu.
***
Tampak laki-laki gemuk dan berperut buncit sudah
berdiri di depannya. Jubahnya yang berwarna kuning
gading, terus berkibar-kibar tertiup angin. Sedang di
belakangnya tampak berdiri empat orang berpakaian
serba putih, dengan tangan yang terlipat di depan
dada. Sejenak Ki Sudra melangkah mundur dengan
wajah yang pucat pasi.
"Tuan Pendeta..., ada apa gerangan hingga malam-
malam begini datang ke rumahku?" tanya Ki Sudra,
agak bergetar suaranya.
"Boleh aku masuk?"
"Oh, silakan. Silakan, Tuan Pendeta."
Laki-laki gundul yang ternyata adalah Pendeta
Pasanta itu melangkah masuk. Sementara empat
orang laki-laki muda yang mengawalnya juga segera
mengikutinya. Mereka kemudian berdiri berjajar dan
membelakangi pintu. Sedang Ki Sudra segera men-
dekati istrinya, dan duduk di tepi balai-balai bambu
itu. Sejenak Pendeta Pasanta menyeret sebuah kursi
kayu, dan duduk di depan pasangan tua itu.
"Aku datang hanya ingin menanyakan anakmu.
Apakah dia ada di rumah?" pelan dan lembut kata-
kata Pendeta Pasanta.
Ki Sudra tidak segera menjawab. Dia malah
menoleh ke arah istrinya. Pertanyaan Pendeta
Pasanta itu membuat seluruh tubuhnya jadi bergetar.
Dan jantungnya pun ikut berdetak lebih cepat dari
biasanya.
"Aku sudah mengenalmu cukup lama, Ki Sudra.
Karena sebagai bekas kepala desa, kau sangat
disegani. Dan aku pun menaruh hormat padamu.
Maka kuharap agar kau tidak menodai rasa hormatku
ini, Ki Sudra," tetap lembut kata-kata Pendeta
Pasanta, namun mengandung ancaman yang tidak
bisa dipandang remeh.
"Maaf, Tuan Pendeta. Aku tidak mengerti maksud-
mu," kata Ki Sudra dengan suara semakin bergetar.
"Lastri sudah tidak ada di rumah, kan?" kali ini
nada suara pendeta itu makin dingin. Tatapan
matanya juga tajam menusuk.
Kini Ki Sudra tidak bisa lagi berkata-kata. Rasa
kecemasan yang sejak tadi melanda dirinya, kini
benar-benar meledak. Baru siang tadi Lastri pergi
meninggalkan rumah ini, dan sekarang Pendeta
Pasanta sudah mengetahuinya. Ki Sudra sudah bisa
membayangkan, malapetaka apa yang bakal me-
nimpa dirinya. Sedangkan Nyi Sudra sudah tidak
dapat berbuat apa-apa lagi. Tubuhnya terasa lemas,
dan wajahnya pucat pasi dengan keringat dingin
membasahi seluruh wajah dan lehernya.
"Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu, Ki
Sudra. Aku hanya minta agar kau segera mencari
Lastri, dan bawa dia padaku," tegas kata-kata
Pendeta Pasanta, namun suaranya masih juga
terdengar lembut.
"Tuan Pendeta, aku tidak tahu ke mana anakku
pergi. Tadinya aku sudah mencoba melarangnya, tapi
dia tetap saja pergi. Maafkan aku, Tuan Pendeta," lirih
suara Ki Sudra.
"Sayang sekali, aku tidak bisa memutuskan. Aku
hanya menyampaikan pesan saja."
Ki Sudra hanya bisa tertunduk lemas. Sedang
Pendeta Pasanta segera menjentikkan jarinya. Lalu
tampak dua orang dari pengawalnya segera men-
dekat, dan menyeret tangan Nyi Sudra yang masih
duduk dengan wajah pucat.
"Pak...," ratap Nyi Sudra.
"Tuan Pendeta, hendak kau apakan istriku?"
"Hanya untuk jaminan akan tugasmu, Ki Sudra,"
sahut Pendeta Pasanta kalem seraya bangkit dari
duduknya. "Bawa dia ke luar!"
"Tuan...."
Ki Sudra ingin mencegah dua orang yang sudah
memegangi tangan istrinya, tapi dua orang lagi segera
melompat dan menekan tubuh laki-laki tua itu, se-
hingga dia kembali terduduk di balai-balai bambu.
Sementara Nyi Sudra tidak mampu lagi untuk berbuat
apa-apa. Dia kemudian diseret ke luar tanpa dapat
melakukan perlawanan. Hanya suaranya saja yang
lirih terdengar meminta tolong pada suaminya.
Namun Ki Sudra hanya bisa duduk dengan pundak
ditekan oleh dua orang.
"Waktumu hanya satu pekan, Ki Sudra. Kalau
sampai batas waktu itu kau tidak bisa menyerahkan
anakmu, maka dengan berat hati aku harus me-
misahkanmu dengan istrimu untuk selamanya,"
dingin kata-kata Pendeta Pasanta.
"Tuan Pendeta, tolong..., ampuni aku. Aku benar-
benar tidak tahu ke mana harus mencari Lastri.
Tolong, Tuan Pendeta...," rintih Ki Sudra memelas.
"Sebenarnya aku ingin menolongmu, Ki Sudra…
Tapi aku tidak bisa melakukannya. Rasanya hanya
Lastrilah yang bisa menolongmu keluar dari kesulitan
ini," pelan suara Pendeta Pasanta.
Ki Sudra hanya bisa tertunduk lemas. Sementara
Pendeta Pasanta pun segera ke luar diiringi semua
pengawalnya. Beberapa saat lamanya, Ki Sudra
masih terduduk lemas tanpa daya. Dia tidak tahu lagi,
apa yang harus diperbuatnya. Memang tidak ada cara
lain, dia harus mencari Lastri. Satu pekan..., bukan
waktu yang panjang!
2
Pagi baru saja datang menjelang. Sementara di ufuk
Timur, matahari belum menampakkan diri dengan
penuh. Hanya cahayanya saja yang membias merah
jingga di celah-celah dedaunan. Kabut pun masih
menyelimuti sebagian permukaan bumi. Udara juga
masih terasa dingin menusuk kulit. Namun suasana
pagi yang indah itu tidak menggugah hati seorang
gadis muda berbaju hijau dari kesedihannya.
Gadis itu kelihatan sangat lelah, langkahnya ter-
seok-seok merambah hutan di Lereng Gunung
Cangking. Udara pagi yang dingin tidak menghalangi
keringatnya yang mengucur deras, membasahi wajah
dan tubuhnya. Kakinya terus terayun gontai menuju
sebuah sungai yang mengalir jemih menuruni lereng
gunung itu.
Gadis itu langsung menjatuhkan dirinya begitu
sampai di tepi sungai yang berair jernih. Begitu
jernihnya, sehingga dasar sungai itu tampak jelas
seperti dalam kaca. Dengan pelahan tangan yang
kecil halus itu terulur berusaha menarik tubuhnya
untuk lebih ke tepi. Seperti seorang musafir yang
sudah tiga hari tidak bertemu air, gadis itu segera
membasuh muka dan tubuhnya. Lalu tanpa meng-
hiraukan dinginnya air itu, dia pun meneguknya
sepuas-puasnya.
"Ohhh...," gadis itu mendesah lirih, dan meng-
gelimpangkan tubuhnya kembali menjauh dari tepi
sungai.
Kelopak matanya yang dihiasi bulu mata lentik,
terpejam rapat. Buru-buru gadis itu membuka mata-
nya ketika mendengar suara ranting patah. Dia
langsung membeliak kaget dan segera bangkit
berdiri.
"Maaf, kalau aku telah mengejutkanmu," terdengar
sebuah suara lembut.
Gadis itu memperhatikan seorang pemuda gagah,
tampan dan tegap yang sudah berdiri di depannya.
Senyum pemuda itu begitu memikat, sedang sinar
matanya juga lembut, namun menyiratkan ketajaman
dan kekerasan. Lalu tanpa menghiraukan tatapan
jadis itu, pemuda itu segera melangkah ke sungai,
dan membasuh wajahnya. Sebentar kepalanya
menoleh, dan kembali tersenyum.
"Silakan, kalau ingin melanjutkan istirahatnya. Aku
hanya ingin membasuh muka sebentar," kata pemuda
itu, tetap lembut suaranya.
Gadis itu masih berdiri terpaku dengan wajah yang
kelihatan gelisah. Sejenak matanya berputar meng-
amati ke sekitarnya. Tak terlihat seorang manusia
pun di hutan ini kecuali mereka berdua. Tak lama
kemudian, pemuda itu menghenyakkan tubuhnya dan
bersandar pada sebatang pohon tua yang hampir
mati. Dia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari
daun waru dari balik ikat pinggangnya, dan me-
letakkan bungkusan itu di depannya. Perlahan-lahan
dia membuka bungkusan itu, maka tampaklah tiga
ekor kelinci yang sudah matang, tergolek di
bungkusan itu. Pemuda itu segera mengambil seekor
dan mendekatkannya ke mulut. Tapi dia tidak jadi
menggigitnya. Sejenak matanya memandang gadis
yang masih berdiri tidak jauh darinya.
"Mau?" pemuda itu menawarkan.
Gadis itu kelihatan ragu-ragu.
"Bekas makanan semalam. Memang sudah tidak
hangat lagi, tapi cukup untuk mengganjal perut
sampai tengah hari nanti," kata pemuda itu seraya
mengambil satu lagi, dan menjulurkannya pada gadis
itu.
Gadis itu masih kelihatan ragu-ragu, namun
lehernya tampak bergerak-gerak. Pertanda bahwa dia
sebenarnya menginginkannya. Sinar matanya masih
memancarkan rasa curiga dan takut.
"Ambillah. Aku tidak akan habis makan sendirian,"
kata pemuda itu lagi.
Lalu dengan perasaan was-was, gadis itu pun
melangkah mendekat, dan duduk di depan pemuda
itu. Tangannya agak gemetar saat menerima daging
itu. Namun setelah daging itu berada di tangannya,
langsung disantap dengan rakus. Perutnya memang
lapar, karena sejak kemarin siang belum terisi.
Pemuda itu hanya tersenyum dan mulai menikmati
makanannya.
"Siapa namamu?" tanya pemuda itu setelah cukup
lama mereka terdiam sambil menikmati daging
kelinci.
"Lastri," sahut gadis itu pelan.
"Nama yang cantik, secantik orangnya."
"Terima kasih," sahut Lastri tersipu.
"Oh, ya. Kenapa kau berada-di hutan ini
sendirian?" tanya pemuda itu lagi. Suaranya tetap
lembut.
"Aku..., oh, eh...," gadis yang ternyata bernama
Lastri itu menjawab dengan tergagap.
"Ah, sudahlah. Kau tidak perlu menjawab. Aku
hanya iseng saja kok bertanya."
Lastri hanya diam. Dia kembali menikmati daging
kelinci yang sudah dingin itu. Sedangkan pemuda itu
juga ikut menikmati lagi makan paginya yang sangat
sederhana itu. Untuk beberapa saat lamanya mereka
kemudian terdiam.
"Kau punya minuman?" tanya pemuda itu.
Lastri menggeleng lemah.
"Ah, ya! Tentu saja tidak. Bodohnya aku, bertanya
begitu!" rutuk pemuda itu sambil memukul kepalanya
sendiri.
Lastri jadi tersenyum melihat kekocakan pemuda
itu. Rasa takut dan curiga yang tadinya sudah
menghinggapi dirinya, berangsur menghilang.
Sikapnya yang ramah dan sesekali membuat canda,
membuat kemurungan dan kegelisahan di wajah
gadis itu mulai sirna. Kini wajahnya mulai
menyemburat kemerahan, dan senyumnya beberapa
kali terukir indah di bibirnya yang selalu nampak
merah basah itu.
Mereka terus menikmati sisa-sisa daging kelinci
panggang dingin itu. Dan keduanya terpaksa minum
air sungai, karena memang tidak ada lagi yang bisa
mereka minum. Sebentar saja keakraban sudah
terlihat di antara mereka. Pemuda itu memang
pandai membuat suasana akrab dan menyenangkan.
***
"Rasanya sudah terlalu lama kita berada di sini.
Aku harus segera melanjutkan perjalanan. Oh, ya....
Ke mana tujuanmu?" tanya pemuda itu sambil
beranjak bangun dari duduknya.
Lastri tidak segera menjawab. Dia tidak tahu, ke
mana tujuannya. Dia pergi meninggalkan rumah dan
orang tuanya karena suatu sebab, dan ini masih
tersimpan rapi di dalam hatinya. Dan dari tadi
pemuda itu memang tidak menanyakan soal itu
sedikit pun.
"Tampaknya kau bingung, ada masalah?" tanya
pemuda itu.
Lastri masih diam. Wajah yang tadi mulai ceria, kini
kembali termenung. Matanya tetap menatap kosong
jauh ke depan. Dan pemuda itu memperhatikan
dengan mata agak menyipit dan kening berkerut.
"Maaf, kalau aku terlalu jauh ingin tahu urusan
pribadimu. Memang seharusnya aku tidak bertanya
begitu," kata pemuda itu seperti menyesal.
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa," sahut Lastri buru-buru
dan sedikit tergagap.
"Oh, ya. Kita akan berpisah di sini. Senang aku
berteman denganmu, Gadis Manis." ujar pemuda itu
sambil melangkahkan kakinya.
"Eh, tunggu...," cegah Lastri sambil beranjak.
Pemuda gagah, tampan dan berbaju kulit harimau
itu tidak jadi melangkah. Dia kembali menatap wajah
gadis di depannya itu dalam-dalam. Hatinya langsung
bisa menebak, kalau gadis itu tengah menyimpan
persoalan. Dari tadi sebenarnya dia sudah heran, di
dalam hutan yang lebat ini, dan tak seorang manusia
pun sudi menginjakkan kakinya di sini, ada seorang
gadis muda yang cantik.
"Boleh aku tahu, ke mana tujuanmu?" tanya Lastri
agak ragu-ragu.
"'Untuk apa kau tanyakan itu?" pemuda itu malah
balik bertanya.
"Aku..., eh, tidak. Maaf, memang tidak sepantas-
nya aku bertanya begitu," kata Lastri semakin
tergagap.
"Aku hanya seorang pengembara yang tidak
menentu tujuannya. Ke mana kakiku melangkah, ke
sanalah aku menuju," kata pemuda itu tnenjelaskan.
"Boleh aku ikut?" tanya Lastri memberanikan diri.
"Ikut...?!" pemuda itu tersentak heran.
"Aku tahu, kau pasti keberatan. Tapi aku merasa
bahwa kau bukan orang jahat. Dan aku hanyalah
seorang wanita lemah yang tentunya akan mem-
buatmu kerepotan. Ah, sudahlah. Kita berpisah saja
di sini," kata Lastri lesu.
"Sebentar...," cegah pemuda itu saat gadis di
depannya mau pergi.
Kini ganti Lastri yang mengurungkan niatnya.
Sebentar mereka berdiri saling berpandangan.
Namun baru sejenak, kepala gadis itu sudah
tertunduk dengan wajah bersemu merah dadu. Sinar
mata pemuda itu telah membuatnya gugup dan tak
menentu perasaannya. Lastri sendiri tidak tahu,
kenapa dia jadi begitu saja percaya pada laki-laki
yang baru dikenalnya.
"Aku melihat ada persoalan pada wajahmu.
Memang terasa aneh bertemu seorang gadis cantik di
dalam hutan yang sepi begini. Kau mau mengatakan
persoalanmu padaku?" kata pemuda itu lagi. Kali ini
dia tidak lagi bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Untuk apa? Rasanya percuma saja kau tahu,"
pelan dan lirih suara Lastri.
"Barangkali aku bisa membantu untuk menyelesai-
kan persoalanmu," sahut pemuda itu.
"Tidak ada gunanya," kata Lastri sambil meng-
geleng-gelengkan kepalanya.
"Kau tadi bilang akan ikut denganku. Sebenarnya
aku keberatan. Soalnya aku belum tahu sebabnya,
kenapa kau mau ikut denganku?" pemuda itu
memancing.
"Aku tidak tahu, tapi...."
"Kenapa?"
"Aku merasa kalau kau tidak akan berbuat yang
tidak-tidak padaku. Aku merasa Dewata memang
mengirimmu kemari. Entahlah, perasaan itu tiba-tiba
saja datang padaku," kata Lastri pelan. Kata-kata itu
seolah meluncur begitu saja tanpa disadari.
"Ha ha ha...! Kau ini lucu, Gadis Manis. Aku datang
ke sini tidak sengaja. Dan bertemu denganmu di
tempat ini tentu saja juga hanya kebetulan. Ah,
sudahlah! Ke mana sebenarnya tujuanmu, dan aku
akan dengan senang hati mengantarmu sampai
tempat tujuan. Tanpa imbalan...," pemuda itu sempat
juga bergurau.
"Terima kasih, tapi aku tidak punya tujuan," sahut
Lastri pelan. Namun seulas senyum tipis tersungging
di bibirnya.
"Aku tidak percaya kalau kau adalah seorang
pengembara."
"Memang bukan, dan ini baru pertama kalinya aku
meninggalkan rumah, kampung halaman dan...,"
Lastri tidak jadi meneruskan kata-katanya.
"Kekasih?" pemuda itu langsung menebak.
Lastri segera menggeleng dan tersenyum pahit.
"Seorang gadis muda, cantik, telah meninggalkan
rumah seorang diri tanpa tujuan yang pasti. Tentu ada
sebabnya, kan?" pemuda itu seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Ya...," desah Lastri tak sadar.
"Boleh aku tahu?"
Lastri tidak segera menjawab. Dia kemudian
malah berbalik dan mengayunkan kakinya pelan-
pelan. Kepalanya tetap tertunduk memandangi ujung
kakinya yang berjalan pelan di atas daun-daun kering.
Sementara pemuda itu masih tetap berdiri sambil
memandanginya. Kemudian dia pun segera
melangkah menyusul gadis itu. Rasa penasarannya
membuat dia semakin ingin tahu.
***
Sementara itu matahari terus merambat semakin
tinggi. Sinarnya yang terik telah menghalau kabut,
dan seakan ingin membakar seluruh makhluk yang
ada di atas permukaan bumi. Namun teriknya sinar
matahari itu tidak mampu untuk menghentikan
langkah dua orang yang tengah berjalan pelahan-
lahan, merambah hutan di Lereng Gunung Cangking.
Mereka terus berjalan ke arah Barat dari lereng
gunung itu.
Semakin jauh mereka berjalan, pohon-pohon
semakin teriihat jarang. Namun langkah mereka tidak
juga berhenti. Mereka terus saja melangkah ke kaki
lereng gunung. Kedua orang itu kemudian berhenti
setelah sampai pada sebuah danau kecil yang ada air
terjunnya. Sebenarnya tempat itu bukan merupakan
danau, hanya cekungan tanah yang terkikis dan
membesar akibat irisan air yang mengalir cukup
deras dari dataran yang tinggi. Ada beberapa sungai
yang membawa air itu mengalir ke tempat yang lebih
rendah.
Kini mereka beristirahat di sebuah batu pipih yang
menjorok ke danau itu. Pada bagian ini air kelihatan
tenang, karena banyak batu-batu yang menghambat
lajunya arus. Gadis berbaju hijau itu lalu
menceburkan sebagian kakinya ke dalam air, dan
membasuh wajahnya yang berdebu dan disimbahi
keringat. Sedangkan pemuda di sampingnya hanya
duduk mencangkung sambil memandangi air terjun di
seberangnya.
"Sudah setengah hari kita bersama-sama, dan kau
sudah tahu tentang diriku. Tapi aku belum tahu
tentang dirimu," kata gadis itu beberapa saat
kemudian.
"Apa itu perlu?" tanya pemuda itu tanpa menoleh.
"Kalau kau tidak keberatan."
"Namaku Bayu Hanggara, tapi kau cukup
memanggilku dengan sebutan Bayu," pemuda itu
mulai memperkenalkan diri.
"Umurmu pasti lebih tua dariku. Boleh aku
memanggilmu dengan sebutan Kakang?"
"Sama sekali tidak keberatan."
"Dan kau juga jangan memanggilku lagi dengan
sebutan Gadis Manis. Panggil saja aku Lastri," pinta
gadis itu setengah tersipu.
"Boleh juga," sahut Bayu seraya menoleh ke arah
gadis itu.
Lastri tersenyum manis.
"Kau tadi bilang, bahwa kau adalah seorang
pengembara. Apakah kau seorang pendekar?" tanya
Lastri lagi.
"Apakah seorang pengembara sudah berarti
pendekar?" Bayu balik bertanya.
"Biasanya memang begitu. Dan biasanya juga,
seorang pendekar selalu punya nama julukan. Apa
nama julukanmu?"
"Kau ini seperti sudah tahu saja tentang dunia
kependekaran."
"Sedikit-sedikit aku sudah tahu tentang rimba
persilatan."
"Oh, ya? Dari mana kau tahu?"
"Ayahku sering cerita, juga pamanku yang memang
seorang pendekar. Tapi itu dulu, ketika Paman masih
hidup. Dan Ayah juga masih tampak gagah," Lastri
seperti mengenang. "Pamanku dulu berjuluk
Pendekar Cakar Maut. Dia memang kejam pada
musuh-musuhnya, tapi hatinya baik dan lembut.
Selalu menolong siapa saja yang membutuhkan."
"Kau pernah belajar ilmu olah kanuragan?" tanya
Bayu tertarik juga.
"Tidak," sahut Lastri.
"Kenapa?"
"Ayah tidak pernah mengijinkan."
"Tentu ada alasannya, kan?"
"Entahlah, yang jelas aku tidak diperbolehkan
untuk belajar ilmu olah kanuragan. Padahal itu kan
penting, apalagi kalau dalam keadaan seperti ini.
Yaaah..., seandainya aku dulu sempat belajar, pasti
tidak akan melarikan diri seperti ini," agak pelan
suara Lastri.
"Aku yakin, ayahmu pasti punya alasan atas
tindakannya itu," Bayu membesarkan hati gadis itu.
"Mungkin," desah Lastri. "Oh, ya. Siapa sebenarnya
nama julukanmu?" tanya Lastri kembali teringat
dengan pertanyaannya yang belum terjawab.
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu berterus
terang.
"Ihhh...!" mendadak Lastri bergidik.
"Kenapa?"
"Seram! Kenapa memilih nama julukan itu? Kan
masih banyak nama julukan yang baik. Julukan itu
bisa menyiratkan akan watakmu yang kejam, sadis.
Seperti Paman dulu, tindakannya juga selalu kejam,
tidak pernah mengampuni setiap lawannya. Jadi
banyak orang memusuhinya, tapi juga banyak yang
menyenanginya."
"Mungkin keadaan pamanmu dan aku ada
persamaan," kata Bayu bisa merasakan kalau kata-
kata Lastri itu seperti sedang menelanjangi dirinya.
"Siapa yang telah memberimu nama julukan
seperti itu?" tanya Lastri mau tahu.
"Aku sendiri," sahut Bayu terus terang.
"Kausuka?"
"Ya."
"Bangga?"
"Tentu saja, setiap pendekar selalu bangga dengan
nama julukannya."
"Tidak takut?"
"Kau ini ada-ada saja, Lastri. Apa yang harus
kutakutkan?" Bayu merasa geli sendiri mendengar
pertanyaan-pertanyaan gadis itu.
"Pendekar Pulau Neraka..., sebuah nama julukan
yang bisa membangkitkah bulu kuduk. Orang pasti
akan menyangka kalau kau adalah seorang yang
kejam, sadis dan jahat!"
Bayu hanya tersenyum. Dia sama sekali tidak
tersinggung dengan dugaan Lastri. Dan hal itu justru
malah membuat hatinya merasa bangga. Dalam
hatinya Bayu memuji kecerdasan gadis itu. Meskipun
Lastri tidak pernah belajar ilmu olah kanuragan, tapi
dia sendiri sudah tahu betul seluk-beluk dunia
kependekaran.
"Tapi aku sendiri tidak percaya kalau kau adalah
seorang yang berhati kejam. Aku tidak melihat adanya
sifat kekejaman pada wajahmu, Kakang," sambung
Lastri. Sepertinya tahu, apa yang tengah dipikirkan
Bayu.
"Mudah-mudahan kau salah menduga," kata Bayu
tersenyum geli.
"Maksudmu, dugaan yang baik atau yang buruk?"
"Yang baik."
Lastri hanya tertawa. Dan tawanya kali ini adalah
tawa yang pertama kali sejak beberapa hari
belakangan ini. Dia merasa kalau Bayu hanya
berolok-olok saja. Dan Pendekar Pulau Neraka itu pun
tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya itu.
Mungkin juga dia merasa senang begitu melihat
adanya keceriaan lagi pada wajah gadis itu.
3
Tidak sulit bagi Bayu untuk membuat seorang gadis
bersikap terbuka dan berterus terang padanya.
Pendekar Pulau Neraka itu mempunyai cara sendiri
untuk mengorek keluar semua isi hati seseorang,
apalagi seorang gadis seperti Lastri. Dalam
perjalanan, Pendekar Pulau Neraka itu terus-menerus
menanyakan semua kesulitan yang tengah dialami
Lastri. Dan cara yang dilakukan oleh Bayu itu telah
berhasil membuat Lastri semakin merasa dekat dan
menaruh kepercayaan padanya.
"Sudah berapa lama hal itu berlangsung?" tanya
Bayu.
"Sejak ayahku tidak menjabat sebagai kepala desa
lagi, kira-kira lima tahun lalu," sahut Lastri.
"Lalu, siapa yang telah menggantikan kedudukan
ayahmu?"
"Adik Pendeta Pasanta, namanya Ki Durangga."
"Ah, sebuah persoalan biasa. Membodohi
penduduk desa demi kepentingan pribadi," nada
suara Bayu seolah mengeluh.
"Kelihatannya memang persoalan biasa, tapi hal
itu bisa menjadi berlarut-larut kalau tidak segera
ditangani," kata Lastri.
"Apa di desamu tidak ada sebuah padepokan?"
tanya Bayu lagi.
"Desa Gampil adalah sebuah desa yang tentram.
Selama ini tidak pernah terjadi kerusuhan. Bahkan
pencoleng kecil pun tidak ada di sana, jadi mungkin
para penduduknya merasa tidak perlu untuk
mendirikan sebuah padepokan. Lagi pula seluruh
penduduknya memang tidak menyukai kekerasan,"
Lastri menjelaskan keadaan desanya.
"Kamu ini aneh, Lastri. Belum lama bilang, bahwa
desamu sedang mengalami kehancuran pelan-pelan.
Dan sekarang sudah berubah, kalau desamu aman
tentram dan damai. Mana yang benar?"
"Dulu Desa Gampil memang keadaannya aman,
tentram dan damai. Tapi sekarang tidak lagi."
"O..., jadi kau kabur karena takut melihat
kehancuran desamu, begitu?"
"Bukan hanya itu, tapi ada sesuatu yang lebih
penting. Tapi rasanya kau tidak akan percaya kalau
kujelaskan. Sebaiknya buktikan saja sendiri."
"Bagaimana mungkin? Sedangkan aku sendiri
tidak tahu, di mana letak desamu itu. Apalagi kau
sendiri sedang menjauhi desa itu...."
"Aku mau mengantarkan kau pergi ke sana,
asalkan kau janji mau menyelamatkan dan
membebaskan keadaan desa itu dari belenggu."
"Siapa mereka?"
"Kau akan tahu sendiri nanti."
Bayu hanya bisa mengangkat bahunya saja. Untuk
saat ini dia memang masih diliputi oleh berbagai
macam tanda tanya, tapi sebagian besar sudah bisa
dimengerti. Dia merasakan, kalau kali ini dia harus
segera kembali bertualang untuk menumpas
keangkaramurkaan.
"Ayo, sebaiknya kita segera menuju Desa Gampil,"
ajak Bayu kemudian.
"Tapi kau harus janji...," tagih Lastri.
"Iya..., aku janji. Keselamatanmu aku yang
tanggung," potong Bayu cepat.
Lastri segera tersenyum lebar. Entah apa
sebenarnya arti senyumannya itu. Kemudian mereka
mulai melangkah menuju Desa Gampil.
***
Malam kian merambat semakin larut. Seluruh
permukaan bumi sudah terselimuti oleh kegelapan.
Bayu dan Lastri telah tiba di perbatasan Desa Gampil,
di saat seluruh penduduk desa itu tengah terbuai
dalam mimpi. Sejenak mereka berhenti sambil
memandang ke desa yang keadaannya sudah sepi
itu. Tak terlihat seorang pun yang berada di luar
rumah.
Suasana desa itu memang damai, aman dan
tentram. Namun Pendekar Pulau Neraka itu segera
merasakan adanya hawa lain menyelimuti desa di
depannya itu. Indra keenamnya yang tajam dan
terlatih baik, langsung merasakan kalau dirinya
tengah diawasi. Dan perasaan itu semakin menebal
kala telinganya mendengar suara gemerisik yang
halus.
"Hm...," Bayu bergumam pelan, hampir tidak
terdengar.
"Ada apa, Kakang?" tanya Lastri yang sempat
mendengar gumaman itu.
"Tidak ada apa-apa," sahut Bayu pelan seperti
bergumam. "Rumahmu masih jauh dari sini?
"Tidak lama lagi. Dari sini saja sudah kelihatan. Itu
yang tampak gelap, tidak ada lampunya...," suara
Lastri jadi pelan.
"Kenapa?" tanya Bayu yang merasakan kalau nada
suara gadis itu telah berubah. Seperti ada yang
dicemaskannya.
"Aneh..., tidak biasanya gelap begitu," sahut Lastri
seperti untuk dirinya sendiri.
Bayu menatap ke arah rumah yang tidak begitu
besar itu. Memang tidak seperti rumah-rumah
lainnya, yang semuanya menaruh pelita pada bagian
depan rumahnya.
Bayu sedikit menggeser kakinya untuk lebih
mendekati Lastri. Telinganya yang selalu terpasang
tajam, kembali mendengar suara gemerisik dari arah
samping kanan. Suara itu sangat halus, dan Lastri
pasti tidak merasakannya. Kini Pendekar Pulau
Neraka itu semakin yakin, pasti ada seseorang yang
sedang mengintainya. Dan orang itu tentu memiliki
tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Terbukti dari
desahan napasnya yang halus tersamar oleh
hembusan angin.
Bayu sengaja tidak memberitahukan hal itu pada
Lastri. Dia tidak ingin melihat gadis itu jadi terkejut
dan ketakutan. Bayu memang baru sekali datang ke
desa itu. Makanya harus bersikap hati-hati agar tidak
mengundang perhatian.
"Perasaanku jadi tidak enak, Kang...," bisik Lastri.
"Kau mencemaskan keadaan orang tuamu?" tanya
Bayu menebak.
"Ya. Aku khawatir telah terjadi sesuatu yang
menimpa Ayah dan Ibuku. Tidak biasanya mereka
mematikan semua lampu di rumah," sahut Lastri
cemas.
"Kau ingin agar aku segera memeriksa ke sana?"
Lastri tidak segera menyahut. Tatapan matanya tetap
lurus ke arah rumahnya. Hatinya terus berkecamuk
penuh dengan rasa kekhawatiran.
"Kau tunggu sebentar di sini, aku tidak akan lama,"
kata Bayu seraya melangkah.
"Hati-hati, Kang," hanya itu yang bisa diucapkan
Lastri.
Bayu hanya tersenyum. Tampak telinganya
bergerak-gerak, pertanda dia semakin jelas
mendengar suara yang mencurigakan sejak tadi.
Maka tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Pulau
Neraka itu segera melesat cepat bagai kilat. Begitu
cepatnya dia bergerak, sehingga bagaikan hilang saja.
Sejenak Lastri terkejut, dan dia celingukan mencari-
cari, namun bayangan pemuda itu sudah tidak
tampak lagi. Entah menghilang ke mana...?
Belum lagi hilang rasa terkejut dan herannya gadis
itu, tiba-tiba di depannya muncul seorang laki-laki
bertubuh tinggi tegap. Dia memakai baju putih yang
ketat dan berlengan panjang yang lebar. Tentu saja
Lastri jadi semakin ketakutan. Apalagi kini dari arah
samping kanan dan kirinya juga muncul dua orang
laki-laki yang perawakan tubuh dan pakaiannya sama
dengan yang pertama.
"Mau apa kalian?" sentak Lastri, agak bergetar
suaranya.
"Kami hanya menjalankan perintah untuk segera
membawamu pulang," sahut seorang yang berdiri
paling depan.
"Tidak...!" pekik Lastri. Buru-buru dia berbalik,
namun di belakangnya tiba-tiba sudah berdiri seorang
laki-laki lain lagi.
Kini Lastri jadi panik. Dia sudah terkepung oleh
empat orang laki-laki yang muncul secara tiba-tiba
bagaikan setan saja. Lalu hampir bersamaan, empat
orang berpakaian putih itu bergerak ringan
mendekati. Dan Lastri semakin kebingungan.
"Tidak! Jangan dekati aku...! Pergi kalian semua...!"
jerit Lastri histeris.
Namun mereka tetap saja bergerak mendekati.
Lastri terus menjerit-jerit, dia berusaha memberontak
ketika salah seorang secara tiba-tiba melompat dan
mencengkeramnya. Namun pada saat itu mendadak
terdengar suara bentakan keras menggelegar.
"Lepaskan gadis itu!"
Seketika empat orang laki-laki berbaju putih itu
terkejut dan langsung menoleh. Tampak seorang
pemuda tampan dan berbaju kulit harimau, telah
berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.
"Kakang...! Tolong aku...," jerit Lastri sambil
memberontak berusaha melepaskan diri dari
ringkusan salah seorang laki-laki berbaju putih itu.
"Kisanak, sebaiknya kau jangan ikut campur
urusan kami," kata salah seorang yang berdiri paling
depan. Suaranya tegas penuh nada ancaman.
"Lepaskan! Iblis, kalian semua...!" bentak Lastri
terus memberontak.
Tapi pemberontakan gadis itu hanya sampai di situ
saja, karena tiba-tiba dia jadi lemas lunglai tertotok
jalan darahnya. Sedangkan seorang laki-laki yang dari
tadi meringkusnya, langsung memanggul tubuh
ramping gadis itu. Sedangkan tiga orang lainnya
segera berdiri di depannya dengan sikap melindungi.
"Kisanak, sebaiknya kau cepat pergi dari sini
sebelum aku mengambil tindakan tegas," kembali
orang yang kini berdiri di tengah berkata mengancam.
"O..., kalian main ancam rupanya. Baik, Pendekar
Pulau Neraka pantang digertak!" sambung Bayu
dingin.
Mendengar tantangan itu, laki-laki yang berdiri di
tengah, segera menjentikkan jarinya. Seketika dua
orang yang berada di sampingnya langsung bergerak
maju. Hampir bersamaan, kedua orang itu
mengeluarkan seuntai kalung yang terbuat dari batu
hitam, namun berkilat. Sejenak mereka maju ke
depan tiga langkah.
Bayu segera bersiap-siap untuk menyambut
serangan. Dia sudah bisa menduga kalau empat
orang itu pasti memiliki tingkat kepandaian yang
tinggi, dan ini sudah disadarinya sebelum
meninggalkan Lastri. Dia berbuat begitu hanya untuk
memancing saja, dan dugaannya ternyata tepat!
"Kami beri kesempatan sekali lagi padamu,
Kisanak," kata orang itu lagi. Suaranya tetap dingin.
"Aku akan segera pergi, jika kalian melepaskan
gadis itu!" sahut Bayu tegas.
"Rupanya kau seorang yang keras kepala juga,
Kisanak. Beri dia pelajaran!"
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Dua orang yang sejak tadi sudah mengeluarkan
seuntai kalung hitam, langsung berlompatan
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Gerakan mereka
sangat cepat dan tiba-tiba sekali, sehingga Bayu
terpaksa melentingkan tubuhnya ke belakang.
Namun dengan cepat salah seorang penyerangnya
telah mengebutkan untaian kalung di tangan
kanannya.
Wut!
"Uts!"
Bayu segera memiringkan tubuhnya sedikit, dan
untaian kalung itu lewat sedikit di depan dadanya.
Dan belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu sempat
menarik tubuhnya kembali, satu tendangan sudah
keburu mendarat di punggungnya. Tubuh Bayu
langsung terjungkal keras ke depan. Dan dua kali dia
bergulingan di tanah, namun dengan cepat dia segera
bangkit kembali.
***
Pendekar Pulau Neraka benar-benar terkejut!
Sama sekali dia tidak menyangka, kalau serangan
dua orang itu sangat cepat dan terpadu rapi. Untung
saja tendangan yang sempat mendarat di
punggungnya tidak disertai dengan pengerahan
tenaga dalam penuh, sehingga tidak menimbulkan
luka dalam. Namun begitu, tendangan orang itu
sangat keras dan membuat punggungnya terasa
nyeri.
"Itu baru peringatan, Kisanak. Dan jika kau tidak
segera meninggalkan desa ini, kami akan berbuat
lebih dari itu!" kata laki-laki yang mungkin sebagai
pemimpinnya.
"Heh! Jangan besar kepala dulu, Sobat! Ak mampu
membunuh kalian semua jika kuinginkan!' sahut Bayu
sengit.
"Dan kami bisa lebih kejam darimu!" sahut salah
seorang dari mereka tak kalah ketus.
Bayu benar-benar jengkel. Selama ini belum
pernah ada seorang pun yang berani merendahkan
dirinya begitu rupa. Biasanya, baru mendengar
namanya saja orang pasti sudah gemetar! Tapi empat
orang laki-laki di hadapannya itu sama sekali tidak
gentar sedikit pun walau sudah digertak dengan
menyebutkan nama julukannya yang angker itu.
"Cepat! Beri dia pelajaran yang lebih keras!'
perintah yang diduga sebagai pemimpinnya.
Langsung saja dua orang laki-laki itu kembal
berlompatan menerjang. Sedangkan Bayu segera
melayani dengan sungguh-sungguh. Dia langsung
saja mengeluarkan jurus andalannya! Hatinya sudah
benar benar panas dan jengkel. Dan pertarungan kali
ini pun segera berlangsung dengan sangat dahsyat.
Sementara keempat musuhnya itu seakan baru
menyadari, lebih- lebih dua orang yang kini tengah
berhadapan langsung dengan Pendekar Pulau Neraka
itu. Mereka telah merasakan bagaimana hebatnya
angin pukulan Pendeka Pulau Neraka itu! Sebuah
hempasan yang menebarkan hawa panas dan dingin
secara bergantian.
Dan pada saat pertarungan memasuki jurus ke
sepuluh, Bayu sudah bisa mengukur tingkat
kemampuan lawan-lawannya itu. Otaknya yang cerdas
terus bekerja, namun sedikit pun dia tidak
mengurangi daya serangnya. Dan pada saat salah
seorang lawannya mengebutkan untaian kalungnya
ke arah kepala, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka
itu merunduk sambil melayangkan pukulan tangan
kirinya ke arah perut.
Buk!
"Hugh!" seketika orang itu mengeluh pendek.
Bayu tidak membuang kesempatan itu, secepat
kilat melentingkan tubuhnya ke atas sambil
mengirimkan tendangan geledeknya ke arah dada
orang itu. Seketika orang berbaju putih itu terpental
sejauh tiga batang tombak ke belakang. Dan pada
saat itu juga tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah
mendarat di tanah dengan manis.
Lalu secepat kilat tangan kanannya berkelebat ke
depan dengan tubuh agak membungkuk. Seketika
secercah sinar keperakan meluncur deras ke arah
musuhnya yang baru saja bisa bangkit. Dan tanpa
ampun lagi, senjata cakra bergerigi enam dan
berwarna keperakan itu langsung menembus
dadanya.
"Aaakh...!" laki-laki itu menjerit melengking tinggi.
Sejenak Bayu menghentakkan tangan kanannya
ke depan dada. Dan senjata cakra andalannya itu pun
kembali meluncur ke arahnya. Dan sambil melompat
ke atas, Pendekar Pulau Neraka itu menangkap
senjatanya itu.
Tepat pada saat itu sebuah bayangan putih tiba-
tiba meluncur deras ke arahnya. Buru-buru Bayu
meluruk turun ke bawah. Namun tanpa diduga sama
sekali, sebuah tendangan menggeledek langsung
menghantam punggungnya.
"Akh!"
Bayu tersungkur ke tanah dan bergulingan
beberapa kali sebelum melompat bangkit. Tampak
seorang lawannya lagi sudah menerjangnya kembali
dengan dahsyat. Kini seluruh perhatian Bayu benar-
benar terpusat pada pertarungannya itu. Belum habis
dia menikmati hasilnya menjatuhkan satu lawan, kini
datang kembali serangan dari lawan satunya lagi.
Sepertinya Pendekar Pulau Neraka itu benar-benar
tidak diberi kesempatan untuk menarik napas sedikit
pun. Serangan-serangan lawannya kali ini sangat
cepat dan dahsyat, sepertinya dia tidak ingin memberi
kesempatan pada Bayu untuk melepaskan
senjatanya.
Dalam pertarungan jarak pendek begini, biasanya
Pendekar Pulau Neraka mengandalkan kelincahan
gerak tubuhnya, dan kedahsyatan pukulan-
pukulannya. Namun menghadapi lawan yang tingkat
kepandaiannya cukup tinggi itu, dia terpaksa
menggenggam erat senjatanya, untuk mengimbangi
senjata lawan yang berupa seuntai kalung dari batu
hitam.
***
"Mampus kau!" bentak Bayu ketika dia punya
kesempatan untuk mengeluarkan jurus 'Pukulan
Racun Hitam'nya.
Kini telapak tangan kirinya tampak terbuka lebar,
dan mengarah langsung ke depan dada lawannya.
Namun tanpa diduga sama sekali, lawannya itu
mampu berkelit dengan cepat. Dan dia juga sempat
mengibaskan kalungnya ke arah kaki Bayu.
"Uts!"
Buru-buru Bayu melompat sedikit menghindari
senjata lawannya itu. Dan dia segera memutar
tubuhnya sambil melayangkan kaki kanannya. Buk!
Satu benturan keras langsung terjadi. Seketika
lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum
lagi sempat menguasai tubuhnya, tiba-tiba Pendekar
Pula Neraka itu berteriak nyaring.
"Hiyaaa...!"
Kali ini jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang
dikerahkan Bayu, langsung mendarat telak di dada
lawannya. Kembali orang itu terjengkang ke belakang
dengan tubuh limbung.
Rupanya Pendekar Pulau Neraka tidak mau lagi
memberi kesempatan. Maka sambil berteriak nyaring
dia segera melompat ke atas sambil melontarkan
senjata mautnya. Seketika senjata cakra itu meluncur
deras, dan langsung memenggal leher lawannya. Dan
tanpa mengeluarkan keluhan sedikit pun, tubuh laki-
laki berbaju putih itu langsung ambruk ke tanah!
Sejenak Bayu berdiri tegak sambil memandang
kedua mayat yang menggeletak di tanah. Lalu buru-
buru dia memalingkan kepalanya. Dan betapa
terkejutnya dia, karena dua orang lawannya lagi
sudah hilang sambil membawa Lastri. Rupanya
mereka telah mengambil kesempatan di saat seluruh
perhatian Pendekar Pulau Neraka itu terpusat penuh
pada pertarungannya.
"Pengecut! Licik...!" geram Bayu.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu meng-
edarkan pandangannya berkeliling. Hanya kegelapan
yang menyelimuti sekitar tempat itu. Bayu benar-
benar menyesal karena telah terlalu memusatkan
perhatiannya pada dua orang lawannya.
"Hhh! Ke mana mereka membawa Lastri...?"
dengus Bayu seorang diri.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu kini
terpusat pada rumah yang tampak gelap gulita.
Rumah itu telah dikatakan Lastri sebagai rumahnya.
Dan ada orang tuanya di sana. Tapi kenapa
keadaannya begitu gelap? Bayu belum bisa
menjawabnya. Dia tadi perginya untuk memancing
orang-orang yang mengintainya ke luar. Dan ternyata
mereka tidak bermaksud baik. Bahkan mereka telah
berhasil membawa Lastri kabur. Gadis yang telah
dijanjikan keselamatannya.
"Fiuh! Aku jadi merasa berhutang pada gadis itu,"
dengus Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu segera berlari cepat
dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Tubuhnya bagaikan sebuah bayangan yang
terbawa angin, meluncur cepat ke arah rumah yang
tampak gelap itu. Dan dalam waktu yang singkat saja,
dia sudah berada di depan pintu rumah itu. Sebentar
matanya memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sepi,
tak terlihat satu manusia pun di tempat itu.
Pelahan-lahan Bayu mendekati pintu rumah itu.
keningnya agak berkerut, karena pintu itu tidak
tertutup sepenuhnya. Maka dengan pelahan,
tangannya terjulur dan membuka pintu yang memang
sudah sedikit terbuka itu. Sejenak Bayu mengerjap-
kan matanya, membiasakan penglihatan-nya dalam
keadaan gelap. Kemudian dengan hati-hati sekali
kakinya melangkah masuk. Namun belum lagi
Pendekar Pulau Neraka itu masuk lebih ke dalam,
mendadak telinganya mendengar desiran angin halus
dari arah belakang. Buru-buru dia mengegoskan
tubuhnya ke samping. Dan seleret cahaya kemerahan
membersit di samping kepalanya.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka itu segera melompat ke
luar. Matanya yang tajam langsung dapat melihat
berkelebatnya sebuah bayangan dari atap sebuah
rumah di depan rumah yang gelap itu. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Bayu segera melompat
dan mengejar. Matanya terus memperhatikan
bayangan yang berlompatan dari satu atap ke atap
rumah lainnya. Gerakannya begitu cepat dan ringan.
"Hup! Hih...!"
Bayu mengempos seluruh ilmu meringankan
tubuhnya. Dan lompatannya semakin cepat bagai
kilat. Jarak mereka pun semakin tambah dekat saja.
Tampak Pendekar Pulau Neraka itu sedikit
berkerenyit keningnya, karena bayangan itu menuju
perbatasan Desa Gampil dengan hutan yang
dilewatinya tadi.
***
"Berhenti...!" seru Bayu lantang.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Pulau Neraka itu
segera melentingkan tubuhnya, dan melompati
kepala orang yang tengah dikejarnya itu. Dan dengar
manis sekali kakinya segera mendarat persis di
depan orang itu. Bayu langsung berbalik, bertepatan
dengar berhentinya lari orang itu. Tampak seorang
laki-laki tua yang berbaju kumal dan penuh dehgan
tambalan. Di tangannya tergenggam sebatang
tongkat berwarna hitam.
Bayu terus mengamati laki-laki yang kelihatan
seperti seorang pengemis itu. Rupanya orang tua
berongkat hitam itu juga tengah mengamati pemuda
di depannya. Beberapa saat lamanya mereka saling
berdiam diri, dengan mata sama-sama memper-
hatikan dengan tajam. Seakan-akan mereka tengah
mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Kakek tua, siapa kau? Kenapa membokongku?"
tanya Bayu tetap berwaspada.
"He he he...," laki-laki tua itu terkekeh. "Seharusnya
akulah yang bertanya padamu, Bocah!"
"Heh!" Bayu terperanjat.
"Apa maksudmu masuk ke rumah Ki Sudra? Mau
mencuri?" tanya laki-laki bertongkat hitam itu tanpa
menghiraukan keterkejutan Bayu.
"Jangan menuduh serabarangan, Kakek Tua!"
dengus Bayu sengit.
"Sudah biasa, seorang pencuri akan berlaku kasar
kalau kepergok."
"Gila! Siapa yang mau mencuri?"
"Kalau tidak mau mencuri, untuk apa kau masuk
ke rumah yang sudah ditinggalkan oleh peng-
huninya?"
"Justru aku bermaksud mencari pemilik rumah itu!"
"Untuk apa? Malam-malam begini, Ki Sudra tidak
pernah membuka kedainya. Lagi pula dia memang
tidak ada."
"Tidak ada...?! Ke mana?"
"Huh! Pakai tanya segala!"
"Kakek tua, jangan menambah-nambah persoalan.
Kau telah membokongku dengan licik. Berarti kau
lebih tahu keadaan rumah itu. Apa sebenarnya yang
kau inginkan? Apakah kau ini sebenarnya Ki Sudra?
"He he he...!" laki-laki tua itu kembali terkekeh.
"Huh! Memang susah ngomong sama orang
gendeng!" dengus Bayu kesal.
"Heh, Bocah! Jaga mulutmu!" bentak laki-laki itu.
"Kau sendiri yang harus hati-hati, Kakek Tua. Kau
tahu, dengan siapa kini kau berhadapan? Akulah
orang yang bergelar Pendekar Pulau Neraka!" Bayu
mencoba menggertak.
"Ha ha ha...!" kali ini tawa laki-laki tua itu terbahak-
bahak. Telinganya seperti tergelitik mendengar
gertakan itu.
"Benar-benar sudah gila dia!" rungut Bayu dalam
hati.
"Kau pikir aku akan gentar mendengar nama
kosongmu, Bocah? Orang lain mungkin bisa mati
berdiri mendengarnya. Tapi Pengemis Tongkat Hitam
tidak gentar!" kata laki-laki tua itu menyebutkan nama
julukannya.
"O...! Ternyata kaulah orang yang berjuluk
Pengemis Tongkat Hitam...!" kini Bayulah yang
terkejut mendengarnya.
"Kau kaget, kan? He he he...!"
"Aku sedikit kaget bukan karena namamu yang
sedikit tersohor, Pengemis Tongkat Hitam. Aku hanya
heran, jauh-jauh dari daerah Selatan ke sini, tentu
ada maksudnya," sahut Bayu.
"Dan kau sendiri juga berasal dari daerah Selatan.
untuk apa kau datang ke sini?" Pengemis Tongkat
Hitam balik bertanya.
"Aku pergi ke mana aku suka!" sahut Bayu jadi
sengit lagi.
"Sama. Aku juga mau pergi ke mana aku suka,"
sahut Pengemis Tongkat Hitam tak kalah ketus.
Bayu menggeram jengkel. Laki-laki tua itu benar-
benar membuatnya kesal. Pintar memutarbalikkan
kata-kata. Bayu memang sudah sering mendengar
nama Pengemis Tongkat Hitam. Tapi baru sekali ini
dia bertemu muka dengan orangnya. Dan
pertemuannya itu malah membuatnya jengkel.
Pendekar Pulau Neraka itu tetap yakin, kalau
kehadiran Pengemis Tongkat Hitam bukan hanya
sekedar menuruti langkah kaki, tapi pasti ada
maksud tertentu.
Dia sudah tahu, kalau Pengemis Tongkat Hitam
tidak mungkin meninggalkan daerah Selatan, kalau
tidak punya maksud dan tujuan yang pasti. Bayu juga
sudah tahu, laki-laki tua itu bukan tokoh dari
golongan hitam. Tingkat kepandaiannya sukar dicari
tandingannya. Dia sendiri belum tentu mampu
menandinginya.
"Kenapa kau diam?" tegur Pengemis Tongkat
Hitam sinis.
"Tidak apa-apa, hanya malas saja bicara
denganmu," sahut Bayu masih sengit.
"He he he..., ternyata kabar yang telah kudengar
tentang Pendekar Pulau Neraka, bukan omong
kosong. Kau memang sulit untuk diajak berbicara.
Kau angkuh, keras kepala, dan tindakanmu sangat
kejam!"
"Jangan menghakimiku, Pengemis Tongkat Hitam!"
dengus Bayu tersinggung.
"Aku tidak menghakimimu, aku agak terganggu
dengan kemunculanmu di sini!"
"Ooo..., begitu! Tapi maaf, kau tidak bisa
mengusirku seenaknya saja. Aku masih punya urusan
di Desa Gampil," Bayu bisa menangkap maksud kata-
kata Pengemis Tongkat Hitam itu.
"Sudah kuduga, kau datang ke sini bukan untuk
sekedar lewat. Dan itulah yang membuatku tidak
suka. Kau pasti akan mencampuri urusanku di sini!"
"Urusanku sendiri saja belum selesai, kenapa
harus susah-susah mencampuri urusanmu?"
"Kalau begitu, kau urus saja persoalanmu sendiri.
Dan aku..."
"Tidak semudah itu, Pengemis Tongkat Hitam,"
celetuk Bayu memotong.
"Apa maksudmu?"
"Kau telah mencampuri urusanku dengan
membokongku dari belakang!"
"Bocah setan! Kaulah yang memulai lebih dahulu
tahu!" sentak Pengemis Tongkat Hitam sengit.
"He...!" Bayu jadi tersentak.
4
Pertengkaran dua tokoh rimba persilatan itu
mendadak terhenti. Kini mereka mulai menyadari,
bahwa persoalan yang sedang dihadapi terpusat pada
satu tujuan. Meskipun belum terucapkan, tapi
masing-masing sudah bisa mengerti. Dan hal itu
benar-benar sangat mengejutkan. Mereka masing-
masing sebenarnya tidak mau saling berurusan,
tetapi kali ini mereka terbentur pada pokok persoalan
yang sama tanpa diduga sebelumnya. Mereka
sepertinya sama-sama menyesali pertemuan yang
tidak diharapkan itu.
"Baiklah, Pendekar Pulau Neraka. Meskipun aku
tidak mengharapkan kehadiranmu, tapi tujuan kita
sama," kata Pengemis Tongkat Hitam mulai melunak
suaranya.
"Apa maumu sekarang?" tanya Bayu. Juga sudah
melemah suaranya.
"Aku ingin sebaiknya kita saling berterus terang.
Tapi itu bukan berarti bahwa kita akan bekerja sama,"
sahut Pengemis Tongkat Hitam memberi penawaran.
"Untuk apa?"
"Agar di antara kita tidak saling mencelakakan
dalam menyelesaikan persoalan masing-masing."
Sejenak Bayu terdiam. Dia segera menimbang-
nimbang tawaran yang diajukan oleh Pengemis
Tongkat Hitam itu. Sebenarnya dia sendiri masih
belum jelas persoalan yang dihadapi, tapi juga tidak
mau begitu saja menerima. Ada kemungkinan
Pengemis Tongkat Hitam hanya memancing, karena
dia sendiri masih meraba-raba.
Diamnya Pendekar Pulau Neraka itu segera
disadari oleh Pengemis Tongkat Hitam. Sebenarnya
dia mengajukan penawaran itu hanya untuk
memancing keterangan yang mungkin sangat
diperlukan. Dan pancingannya itu tampaknya sulit
untuk mengena, karena Pendekar Pulau Neraka
terlalu cerdik untuk dikelabui begitu saja.
Agak lama juga mereka saling berdiam diri.
Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Yang satu
berharap, dan satunya lagi menimbang-nimbang.
Namun masing-masing saling menjaga diri dengan
keangkuhannya. Mereka memang memiliki watak
yang hampir sama. Hanya bedanya, Pengemis
Tongkat Hitam adalah benar-benar seorang tokoh
rimba persilatan dari golongan putih, dan selalu
bertindak dengan penuh perhitungan, dan masih
memiliki rasa belas kasihan pada lawannya.
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka, selalu bertindak
cepat tanpa pikir panjang lagi. Dan tidak segan-segan
membunuh lawan-lawannya tanpa perlu mengenal
lebih dulu, apakah lawannya itu hanya sebagai
pengikut atau sekedar diperalat saja.
Perbedaan yang menyolok itulah yang membuat
mereka sama-sama saling menjaga diri. Terlebih lagi,
Pendekar Pulau Neraka tidak pernah memilih-milih
lawan. Apakah itu dari golongan putih atau dari
golongan hitam! Apalagi jika diketahui, bahwa
lawannya itu ada hubungannya dengan terbunuhnya
ayahnya. Dan kekejaman Pendekar Pulau Neraka itu
sudah menjadi buah bibir di kalangan kaum rimba
persilatan.
"Bagaimana, Pendekar Pulau Neraka?" Pengemis
Tongkat Hitam memecah kebisuan yang terjadi.
"Aku rasa sebaiknya kita berjalan sendiri-sendiri.
Selama ini aku tidak pernah bekerja sama dengan
seorang pun, kecuali jika orang itu meminta
pertolongan dariku," sahut Bayu tegas.
Kata-kata Bayu itu memang agak merendahkan,
tapi Pengemis Tongkat Hitam dapat menahan diri. Di
antara mereka memang tidak punya persoalan apa
pun, dan tidak ada untungnya menggali persoalan
tanpa sebab yang pasti. Kini Pengemis Tongkat Hitam
itu hanya mengangkat pundaknya.
"Kalau begitu, kita berpisah saja di sini. Dan
mudah-mudahan tidak akan bertemu lagi," kata
Pengemis Tongkat Hitam.
"Sebaiknya memang begitu," sahut Bayu kalem.
Kemudian tanpa berkata-kata lagi, Pengemis
Tongkat Hitam langsung melesat, dan menghilang di
balik pepohonan. Bayu masih sempat melihat arah
yang ditempuh oleh laki-laki tua bertongkat hitam itu.
Sejenak dia memandang ke arah Desa Gampil, lalu
dengan langkah pelan dia menuju desa itu.
***
Siang itu matahari sangat terik. Namun sengatan
cahaya matahari yang membakar itu, tidak
menghalangi para penduduk Desa Gampil untuk
menunaikan tugas rutinnya. Para orang tua tampak
sibuk bekerja di ladang, sementara anak-anak
dengan cerianya bermain-main. Suasana di Desa
Gampil itu sama sekali tidak menunjukkan adanya
sesuatu yang telah membuat dua tokoh rimba
persilatan yang sudah kondang namanya, muncul di
sana.
Kemunculan dua tokoh rimba persilatan di Desa
Gampil itu, tentu saja tidak luput dari perhatian
Pendeta Pasanta. Lebih-lebih dengan Pendekar Pulau
Neraka yang sempat bentrok dan membunuh dua
orang muridnya. Siang itu tampak Pendeta Pasanta
tengah duduk dengan dikelilingi oleh murid-muridnya
yang kini hanya berjumlah dua puluh delapan orang.
"Mulai hari ini kalian harus meningkatkan
kewaspadaan. Aku yakin, Lastri pasti sudah
menceritakan semuanya pada Pendekar Pulau
Neraka. Dan itu berarti akan munculnya suatu
ancaman yang tidak bisa dianggap enteng," kata
Pendeta Pasanta.
Dua puluh delapan muridnya hanya diam dengan
kepala tertunduk. Mereka semua duduk bersila di
lantai yang beralaskan permadani bulu yang tebal.
"Kalian tahu, Pendekar Pulau Neraka memiliki
tingkat kepandaian yang sukar dicari tandingannya!
Terbukti, dua saudara kita telah tewas semalam
dengan cara mengenaskan. Pendekar itu terkenal
sangat kejam, membunuh setiap lawannya tanpa
mau peduli besar kecilnya lawan yang dihadapi. Maka
aku memperingatkan kalian agar tidak bertindak
ceroboh," sambung Pendeta Pasanta.
Kembali tidak ada sahutan. Dua puluh delapan
orang muridnya hanya menundukkan kepala saja.
"Satu lagi yang harus kalian ketahui. Di sini juga
telah muncul seorang pendekar yang berjuluk
Pengemis Tongkat Hitam. Dan aku sudah tahu,
kedatangannya di sini khusus untuk mencariku. Tapi
kalian tidak perlu khawatir padanya."
Semua murid-muridnya tetap diam dengan kepala
tertunduk. Beberapa saat kemudian, Pendeta
Pasanta bangkit dari duduknya, dan melangkah di
antara murid-muridnya, yang juga segera berdiri
seraya merapatkan kedua telapak tangannya di
depan dada dengan tubuh sedikit membungkuk.
Laki-laki bertubuh gemuk dan berjubah kuning
gading itu, terus melangkah meninggalkan ruangan
besar itu. Langkahnya tampak ringan, pertanda kalau
tingkat kepandaiannya sudah mencapai taraf yang
hampir sempurna. Sementara para muridnya pun
segera mengikutinya dari belakang.
Pendeta Pasanta kemudian berhenti melangkah
saat tiba di depan sebuah pintu yang masih tertutup
rapat. Seorang muridnya segera melangkah maju,
dan membuka pintu itu. Lalu laki-laki gemuk
berkepala gundul itu segera melangkah masuk, dan
pintu kembali diturup dari luar.
Seorang gadis cantik berkulit kuning langsat,
tampak duduk di tepi pembaringan. Gadis itu hanya
mengangkat kepalanya sedikit, dan memandang
Pendeta Pasanta dengan sinar mata penuh
kebencian. Gadis berbaju hijau itu adalah Lastri, yang
semalam berhasil dibawa kabur oleh dua orang laki-
laki berpakaian serba putih, murid pendeta gundul
itu.
Pendeta Pasanta mendekati jendela, dan
membukanya lebar-lebar. Cahaya matahari langsung
menerobos masuk dan menerangi seluruh ruangan
itu. Angin yang bertiup kencang pun segera
mengibarkan kain tirai jendela. Di depan jendela ada
sebuah taman yang cukup luas dan tertata indah. Di
sana tampak tengah duduk seorang perempuan tua
yang dikelilingi oleh gadis-gadis cantik berjumlah lima
orang.
"Mak...," desis Lastri begitu mengenali wanita tua
itu.
"Ibumu tidak apa-apa, dia tetap sehat dan terjaga
di sini," kata Pendeta Pasanta.
Lastri lalu mendekati jendela, dan memandangi
wanita tua itu. Pandangannya tidak salah, wanita tua
itu memang ibunya. Meskipun keadaan tubuhnya
segar dan sehat, tapi raut wajahnya tidak men-
cerminkan kebahagiaan. Kemudian Lastri segera
berbalik dan memandang Pendeta Pasanta yang kini
sudah duduk di kursi dekat pintu.
"Mana Bapak?" tanya Lastri ketus.
"Tidak ada di sini," sahut Pendeta Pasanta kalem.
"Ke mana? Kau bunuh...?" agak tertahan suara
Lastri.
Pendeta Pasanta hanya tersenyum dan meng-
geleng-gelengkan kepalanya.
"Aku seorang pendeta, Anakku. Aku tidak pernah
membunuh manusia tanpa alasan yang pasti.
Ayahmu pergi mencarimu, dan aku kasihan melihat
ibumu yang tinggal seorang diri. Itulah sebabnya aku
segera membawanya ke sini agar tetap terurus
segala-galanya," kata Pendeta Pasanta lembut.
Kembali Lastri menoleh ke arah ibunya yang tetap
duduk di kursi taman. Kemudian pandangan gadis itu
beralih pada Pendeta Pasanta lagi. Dia sebenarnya
tidak mempercayai kata-kata pendeta itu, tapi melihat
keadaan ibunya yang kelihatan segar, meskipun
berwajah murung, hati Lastri jadi tergerak juga. Dan
memang tidak mustahil kalau ayahnya juga tengah
mencarinya.
"Aku mau bertemu Mak," kata Lastri.
"Kau sudah berada dalam pingitan, Anakku,"
masih terdengar lembut suara Pendeta Pasanta.
"Pingitan...?!" Lastri terperangah kaget.
"Ya, seminggu lagi kau akan jadi pengantin. Segala
sesuatunya sudah dipersiapkan."
"Tidak...," desis Lastri menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Segala keperluanmu akan selalu dipenuhi di sini.
Dan kau harus bisa merawat diri agar tetap kelihatan
cantik," kata Pendeta Pasanta lagi.
Kini Lastri tidak dapat lagi berkata-kata. Dia
kemudian berlari dan menjatuhkan dirinya di
pembaringan. Air matanya segera tumpah di sana,
mengeluarkan semua perasaannya. Sedangkan
Pendeta Pasanta kemudian berdiri dan melangkah ke
luar.
***
Sementara itu di bagian luar rumah besar yang
dikelilingi pagar batu tinggi, tampak seorang laki-laki
muda yang berwajah tampan sedang berdiri di bawah
pohon rindang. Tatapan matanya tidak berkedip
mengamati rumah besar itu. Dia sama sekali tidak
peduli dengan orang-orang yang lalu-lalang di
sekitarnya.
Sejenak pemuda itu menggeser tubuhnya untuk
berlindung di balik pohon, ketika matanya melihat
pintu gerbang rumah itu terbuka. Tampak dari dalam
keluar empat orang berkuda yang mengenakan baju
putih ketat dan berlengan panjang. Dan empat orang
berkuda itu langsung memacu kudanya menuju arah
Utara.
Dan tanpa menunggu waktu lagi, pemuda gagah
itu segera melesat cepat mengikuti arah mereka.
Gerakannya sangat cepat, sehingga yang terlihat
hanya bayangan tubuhnya.
Sementara empat orang penunggang kuda itu
terus memacu kudanya menuju Bukit Batu di sebelah
Utara Desa Gampil. Mereka sama sekali tidak
menyadari kalau ada seseorang yang tengah
mengikuti.
Beberapa saat kemudian, mereka berhenti begitu
sampai di Kaki Bukit Batu. Dan dengan berjalan kaki,
mereka kemudian meneruskan mendaki bukit itu.
Sementara pemuda yang tengah menguntitnya, tetap
menjaga jarak. Namun ketika empat orang itu sampai
di puncak bukit, tiba-tiba lenyap begitu saja, seperti
tertelan Bukit Batu itu.
"Heh! Ke mana mereka...?!" pemuda gagah yang
mengikuti, jadi kebingungan.
Maka dengan hanya sekali lompatan saja, pemuda
gagah itu sudah berada di tempat mereka tadi
menghilang. Sebuah tempat yang sangat asing dan
mengandung hawa aneh. Indra keenamnya yang peka
dan tajam, langsung memberikan peringatan. Buru-
buru pemuda itu melayangkan pandangannya ber-
keliling.
Dan pada saat tatapan matanya tertuju pada dua
buah batu terpahat yang menyerupai pintu gerbang,
tiba-tiba dari celah batu itu keluarlah seberkas
cahaya jingga yang meluncur ke arahnya.
"Hup!"
Langsung saja pemuda itu melentingkan tubuhnya
ke udara, dan cahaya jingga itu lewat di bawah
telapak kakinya. Namun begitu kakinya menjejak
tanah yang berpasir, kembali secercah cahaya jingga
meluruk deras ke arahnya. Dan kali ini cahaya itu
datangnya secara beruntun bagaikan hujan sinar.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu
segera berlompatan ke sana kemari menghindarinya.
Matanya yang tajam, segera dapat mengetahui
kalau sinar-sinar jingga itu keluar dari senjata lempar
yang kecil dan berbentuk bola sebesar kerikil. Kini
pemuda gagah berbaju kulit harimau itu segera
menangkis serangan-serangan itu, dengan
pergelangan tangannya yang tertempel sebuah
senjata cakra bergerigi enam dan berwarna
keperakan.
Tring!
"Ikh!"
Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung
memekik tertahan, dan tubuhnya terpental dua tindak
ke belakang. Dia segera merasakan pergelangan
tangan kanannya seperti tersengat oleh ribuan ular
berbisa. Namun dia tidak sempat lagi untuk berpikir,
karena cahaya-cahaya jingga itu terus saja mencecar
tubuhnya tanpa ampun.
"Edan! Napasku bisa putus kalau begini terus!"
dengus pemuda itu dalam hati.
Seketika itu juga dia segera melentingkan
tubuhnya tinggi-tinggi, dan dengan cepat meluruk ke
arah salah satu batu yang menyerupai sebuah pintu
gerbang perbatasan itu. Dan dengan ringan sekali
kakinya mendarat di atas batu itu.
Kini dengan tajam matanya menatap ke
sekitarnya. Sejenak keningnya agak berkerut ketika
mendapati tempat sekitarnya itu tampak sepi. Batu
kembar yang menyerupai pintu gerbang itu ternyata
merupakan sebuah tempat yang menuju padang
rumput yang luas. Hampir dia tidak percaya melihat
keadaan itu. Tampak di tengah-tengah padang
rumput itu....
"Mustahil...!" desis pemuda berbaju kulit harimau
itu setengah tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri.
Tampak di tengah-tengah padang rumput itu
terdapat sebuah bangunan megah bagai istana.
Bangunan itu berdiri tepat di tengah-tengah padang
rumput yang luas terhampar bagai permadani.
Bangunan itu sangat indah, dan berlapis bagaikan
emas. Cahayanya begitu kemilau dan menyilaukan
mata.
Tapi anehnya, bangunan itu tidak dikelilingi
dengan tembok benteng seperti pada umumnya
bangunan-bangunan istana lainnya. Dan keadaannya
juga sunyi, seperti tidak berpenghuni sama sekali.
Namun untuk mendekatinya, mustahil kalau tidak
ketahuan. Istana itu berada di tengah-tengah padang
rumput yang luas dan datar. Satu gerakan sedikit
saja, pasti akan ketahuan oleh pemiliknya. Dan
serangan-serangan tadi sudah merupakan pertanda
kalau di Puncak Bukit Batu ini ada penghuninya.
"Aku harus mengetahui tempat itu. Orang-orang
yang kuintai tadi telah menghilang di sini. Hm..., pasti
mereka berada di dalam bangunan istana itu," bisik
pemuda berbaju kulit harimau itu dalam hati.
***
Beberapa saat kemudian, pemuda berbaju kulit
harimau yang tak lain adalah Bayu Hanggara itu
segera melompat turun dari atas batu berbentuk
gapura itu. Namun begitu kakinya menjejak tanah
yang berumput, mendadak dari dalam tanah di
sekitarnya, bermunculan orang-orang yang berbaju
hitam dan memegang pedang panjang. Pemuda itu
tidak sempat untuk berpikir lagi, karena mereka
langsung menyerangnya tanpa bicara sedikit pun.
Dan pertarungan satu melawan sepuluh orang itu
tidak dapat dihindarkan lagi. Bayu langsung
mengamuk bagai singa padang pasir. Namun mereka
ternyata tidak bisa dianggap enteng. Serangan-
serangannya sangat dahsyat dan berbahaya.
Sedangkan gerakan-gerakan tubuh mereka juga
lentur dan lincah.
"Modar...!" bentak Pendekar Pulau Neraka seraya
menghantamkan jurus 'Pukulan Racun Hitam',
dengan pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
Satu orang lawannya yang terkena pukulan tepat
di bagian dadanya, langsung terjungkal ke tanah.
Tampak dadanya robek dalam dan menghitam bagai
terbakar. Sedangkan dari mulut dan hidungnya
keluarlah darah kental berwarna kehitaman. Orang itu
langsung ambruk tidak bangun-bangun lagi.
Kini Bayu semakin ganas saja mengerahkan jurus
andalannya yang dahsyat itu. Dan belum lagi ada
setengah jurus, satu orang kembali terjungkal dengan
keadaan yang sama dengan korban yang pertama
tadi. Dan tidak tanggung-tanggung lagi, Bayu pun
segera mencabut senjatanya yang berupa cakra
bergerigi enam dan berwarna keperakan dari
pergelangan tangannya. Dan dengan senjata yang
sudah tergenggam di tangan itu, serangan-
serangannya semakin ganas dan dahsyat!
Tidak lama kemudian, satu persatu dari lawan-
lawannya itu pun mulai bertumbangan dengan
keadaan luka yang mengenaskan. Kini sudah lima
orang yang telah tewas di tangan Pendekar Pulau
Neraka itu. Namun rupanya orang-orang berbaju
hitam itu tidak mudah gentar, meskipun separuh dari
jumlah mereka sudah tewas. Serangan-serangan
mereka tidak mengendur sedikit pun. Bahkan
semakin ganas dan rapat.
"Huh! Kalau begini terus, tenagaku bisa habis,"
dengus Pendekar Pulau Neraka.
Seketika itu juga, Pendekar Pulau Neraka segera
mengubah jurusnya. Kini dia mengerahkan jurus
'Pukulan Berantai'. Dengan menggunakan jurus itu,
kedua tangan Pendekar Pulau Neraka jadi bergerak
lebih cepat, diimbangi dengan gerakan-gerakan kaki
dan tubuhnya yang lentur bagai belut. Kembali orang-
orang berbaju hitam itu bertumbangan. Mereka tidak
sanggup lagi menghadapi serangan-serangan Bayu
yang maha dahsyat itu. Sekali saja kena hantaman
tangan Pendekar Pulau Neraka, maka pasti tidak
akan sanggup untuk bangun lagi. Kalau tidak
kepalanya yang pecah, pasti tulang dadanya hancur.
"Tinggal satu! Hiyaaa...!"
Seketika Bayu mengibaskan tangan kanannya, dan
senjata cakra bergerigi enam itu pun langsung
melesat cepat, dan menggorok leher lawannya yang
tinggal satu itu. Maka tanpa ampun lagi, darah
langsung muncrat dari lukanya itu, dan membasahi
rumput hijau bagai permadani itu. Sejenak Bayu
mengangkat tangan kanannya, dan Cakra Maut itu
pun segera kembali menempel di pergelangan tangan
kanannya.
"Hhh...! Mereka pasti hanya kroco, tapi sudah
begitu hebat," desah Bayu seraya menarik napas
panjang.
Pendekar Pulau Neraka itu masih memandangi
sepuluh orang yang menggeletak jadi mayat. Tidak
ada lagi bagian yang utuh dari tubuh mereka. Kini
Bayu mengalihkan pandangannya ke arah bangunan
istana itu. Munculnya sepuluh orang berbaju hitam itu
membuatnya harus lebih berhati-hati lagi. Dia sudah
tahu kalau kehadirannya pasti sudah diketahui oleh
penghuni istana itu.
Tampak di atas sana matahari sudah menggelincir
di ufuk Barat. Cahayanya yang kemerahan memantul
lembut, membuat istana di tengah-tengah padang
rumput itu semakin kelihatan indah bercahaya.
"Sebentar lagi malam, sebaiknya aku bergerak
malam hari saja," gumam Bayu pelan.
5
Bulan tampak bersinar penuh menghiasi langit yang
cerah bertaburkan bintang. Tak sedikit pun awan
berarak menghalangi sinar bulan. Malam yang indah,
namun berselimut maut dan bersimbah darah.
Keadaan Puncak Bukit Batu itu sangat sepi, namun
terlihat begitu indah di malam hari. Tapi keindahan
malam itu tidak dirasakan sama sekali oleh Pendekar
Pulau Neraka yang sedang menunggu waktu dalam
usahanya mendekati bangunan istana di depannya.
Dan pada saat posisi bulan tepat berada di atas
kepala, Pendekar Pulau Neraka, bergerak cepat
menuju bangunan megah tersebut. Gerakannya
sangat cepat dan ringan bagaikan tiupan angin.
"Hup...!" Pendekar Pulau Neraka melompat ke atap
bangunan megah itu.
Dia segera merapatkan tubuhnya di atap yang
bagaikan berlapis emas murni. Telinganya dipasang
tajam untuk menangkap setiap gerak dan suara.
Keningnya agak berkerut, karena tidak terdengar satu
suara pun. Setelah beberapa lamanya Bayu berada di
atas atap, dia kemudian melentingkan tubuhnya
turun.
Dan belum lagi Bayu mencapai tanah, mendadak
berpuluh-puluh batang anak panah menghujaninya.
Dan otaknya yang cerdas, langsung bisa mengatasi
keadaan itu. Dengan meminjam tenaga dari salah
satu anak panah yang tengah meluncur ke arahnya,
Bayu kembali melenting ke udara, setelah jari
tangannya menotok anak panah itu. Anak-anak panah
itu pun berhamburan lewat di bawah kakinya.
Manis sekali Pendekar Pulau Neraka itu hinggap
kembali di atas atap. Mendadak matanya yang
setajam mata elang, langsung dapat melihat sosok-
sosok tubuh hitam, yang sedang bersembunyi di balik
pepohonan dan tembok. Mereka semua sudah siap
dengan senjata panah.
"Hm..., rupanya kehadiranku memang sudah
ditunggu," gumam Pendekar Pulau Neraka dalam
hati.
Matanya terus beredar berkeliling. Seketika dia
tersentak ketika mereka keluar dari balik
persembunyiannya. Jumlah mereka tidak terhitung
lagi karena banyaknya. Dan semua sudah meng-
hunus senjata masing-masing. Tampak mereka yang
memegang panah sudah mengarahkannya pada
Pendekar Pulau Neraka.
Menyadari dirinya sudah terkepung, Bayu segera
mencari jalan untuk bisa keluar dari tempat itu. Tapi
semua sudut dan celah sudah terisi rapat. Dan pada
saat Bayu tengah berpikir keras itu, mendadak dua
buah bayangan biru berkelebat ke atas atap.
Sebentar saja di samping kiri dan kanan Pendekar
Pulau Neraka itu kini sudah berdiri dua orang yang
berpakaian biru dan ketat.
Dan tanpa banyak bicara lagi mereka langsung
berlompatan menyerang. Sementara tidak ada pilihan
lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka. Dia pun
terpaksa menghadapi dua orang itu. Kini
pertempuran di atas atap itu tidak bisa lagi dihindar-
kan. Tiga bayangan tampak berkelebatan saling
sambar. Mereka langsung bertarung dengan men-
ggunakan ilmu olah kanuragan tingkat tinggi.
***
Sepuluh jurus telah berlangsung dengan cepat.
Dan pertarungan di atas atap itu pun terus
berlangsung semakin sengit. Kini mereka sudah
saling menggunakan senjata. Tampak kilatan-kilatan
senjata berkelebat cepat saling sambar dan
mengurung. Ketika memasuki jurus yang kedua
belas, tampak Pendekar Pulau Neraka mulai
terdesak. Serangan-serangannya selalu dapat
dipatahkan. Dan beberapa kali tubuhnya harus rela
menerima pukulan dan tendangan keras.
Namun Pendekar Pulau Neraka tidak mau untuk
menyerah begitu saja. Dia masih punya andalan,
walaupun masih sulit untuk mengeluarkannya,
karena kedua lawannya terus mencecar secara
beruntun tanpa berhenti. Pendekar Pulau Neraka
sama sekali tidak diberi kesempatan untuk
melontarkan senjata andalannya. Untuk merubah
jurus andalan pun sulit dilakukan. Saat ini keadaan
Pendekar Pulau Neraka benar-benar meng-
khawatirkan.
Hingga pada satu saat, satu tendangan keras
kembali mendarat di dada Bayu. Seketika tubuhnya
terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Naas, belum lagi dia sempat menguasai tubuhnya,
tiba-tiba sebuah tendangan keras menghantam
punggungnya!
Tubuh Pendekar Pulau Neraka meluncur deras ke
bawah. Dan pada saat itu pula kedua lawannya
langsung meluruk mengejar. Tepat pada saat kaki
Bayu menjejak tanah, tanpa dapat dicegah lagi satu
pukulan Keras mendarat telak di dadanya.
"Hugh!"
Satu keluhan pendek kontan terdengar,
bersamaan dengan limbungnya tubuh Bayu ke
belakang. Seketika napasnya terasa sesak, dan
matanya mulai berkunang-kunang. Kembali Pendekar
Pulau Neraka itu harus menerima satu pukulan telak
pada rahangnya, sehingga dia benar-benar terjungkal
ambruk ke tanah.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba salah seorang berbaju biru melompat
sambil mengarahkan pedangnya pada leher Bayu.
Namun begitu ujung pedangnya hampir menyentuh
tenggorokan Bayu, mendadak terdengar bentakan
keras menggelegar.
"Cukup...!"
Orang berbaju biru itu langsung menghentikan
gerakannya, tapi dengan segera ujung pedangnya
ditempelkan ke leher Bayu yang masih menggeletak
di tanah. Sedangkan satu orang lawannya lagi sudah
berdiri tepat di atas ubun-ubun kepalanya. Kini
keadaan Pendekar Pulau Neraka itu benar-benar
tidak berdaya!
Seorang laki-laki muda dan tampan, serta
mengenakan baju indah yang bersulamkan benang-
benang emas, melangkah menghampiri. Di
belakangnya tampak mengikuti sepuluh orang yang
berpakaian jubah putih. Kini pemuda tampan berkulit
kuning langsat itu sudah berdiri tegak dengan penuh
wibawa di samping tubuh Bayu yang tetap
menggeletak di tanah.
"Siapa kau?" tanya pemuda tampan itu. Suaranya
lembut, namun sangat berwibawa.
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu memper-
kenalkan nama julukannya.
"Apa maksudmu datang ke istanaku?"
"Cuma kebetulan lewat," sahut Bayu berusaha
tenang.
Trik!
Pemuda tampan itu menjentikkan ujung jarinya.
Dua orang berpakaian putih segera melangkah maju,
dan mengangkat tubuh Bayu agar berdiri. Tidak ada
jalan lain bagi Pendekar Pulau Neraka, dia hanya
menurut saja. Bahkan sama sekali dia tidak
memberontak ketika gelang rantai dilingkarkan ke
pergelangan tangannya. Rantai baja yang kuat itu
juga dililitkan di leher dan kakinya. Kini Bayu benar-
benar pasrah. Dia tidak bisa melawan, karena senjata
andalannya pun sudah ikut terampas, dan kini sudah
berada di tangan pemuda tampan yang berpakaian
indah itu.
"Paman Branta Ireng, kau kenal dengan senjata
ini?" tanya pemuda itu sambil menunjukkan senjata
Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka.
Laki-laki tua berjanggut putih dengan kulit hitam
legam, segera menghampiri dan menerima senjata
itu. Sebentar dia memperhatikan dan matanya yang
bulat kecil itu menoleh ke arah Bayu.
"Hamba kenal senjata ini, Prabu Dewa Rimba.
Senjata ini adalah milik seorang yang bernama
Gardika. Dia adalah seorang tokoh dari golongan
hitam dan sudah tewas puluhan tahun lalu," kata
Branta Ireng pasti.
Kini Bayu menatap tajam pada laki-laki bertubuh
hitam itu. Dadanya mendadak terasa bergemuruh
begitu mendengar nama gurunya disebut-sebut.
"Hm...," pemuda yang dipanggil Prabu Dewa Rimba
itu bergumam kecil sambil terangguk-angguk pelan.
"Gusti Prabu, boleh hamba bicara empat mata?"
pinta Branta Ireng..
Prabu Dewa Rimba tidak segera menjawab.
Sejenak dia memandang pada Pendekar Pulau
Neraka, lalu jari tangannya kembali menjentik. Kini
Pendekar Pulau Neraka segera digiring oleh para
pengawal yang sejak tadi telah mengepungnya.
Sementara pemuda tampan itu segera berbalik dan
melangkah diikuti para pengiringnya yang terdiri dari
orang-orang tua berpakaian jubah putih.
***
Malam kian merayap semakin larut. Suasana di
sekitar istana megah di Puncak Bukit Baru itu
kembali sunyi, seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Namun pemuda tampan yang dipanggil Prabu Dewa
Rimba, masih duduk di kursi indah yang berukir dan
berwarna keemasan. Di depannya tampak duduk
bersila seorang laki-laki tua yang berkulit hitam, dan
mengenakan jubah putih yang panjang dan longgar.
Di dalam ruangan besar dan indah itu hanya
terlihat mereka berdua saja. Kesunyian masih
menyelimuti ruangan itu. Tampak laki-laki tua berkulit
hitam dengan nama Branta Ireng itu menundukkan
kepalanya. Di tangannya masih tergenggam senjata
Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka.
"Paman Branta Ireng, apa sebenarnya yang hendak
kau bicarakan?" tanya Prabu Dewa Rimba memecah
kesunyian.
"Tentang senjata Cakra Maut ini, Gusti Prabu,"
sahut Branta Ireng sambil mengangkat kepalanya.
"Hm..., ya. Kau tadi bilang kalau senjata itu
sebenarnya milik orang yang bernama Gardika. Lalu,
kenapa bisa sampai berada di tangan orang yang
berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu?"
"Itulah yang ingin hamba bicarakan, Gusti Prabu."
"Begitu pentingkah, sehingga kau ingin bicara
denganku berdua saja?"
"Rasanya sangat penting, Gusti Prabu. Karena
kalau Pendekar Pulau Neraka ada hubungan dengan
Gardika, maka dia merupakan ancaman yang besar
bagi kelangsungan Istana Dewa Rimba."
Prabu Dewa Rimba tampak mengerutkan
keningnya.
"Hamba sudah kenal betul dengan orang yang
bernama Gardika itu, Gusti Prabu. Karena hamba
adalah adik seperguruannya. Tidak mudah untuk
menandingi ilmu-ilmu olah kanuragan yang dimiliki
Gardika. Hamba sendiri belum tentu bisa
menandinginya, Gusti Prabu," kata Branta Ireng.
"Kau lihat pertarungan tadi, apakah kau mengenali
jurus-jurusnya?"
"Sejak dia bertarung di Gerbang Dewa, hamba
sudah mengenali jurus-jurusnya, Gusti Prabu. Itulah
sebabnya, kenapa hamba memerintahkan si Kembar
Iblis Biru untuk mencecarnya dan jangan memberinya
kesempatan untuk menggunakan senjata ini. Tapi
hamba benar-benar tidak menyangka, kalau jurus-
jurus pemuda itu ternyata lebih dahsyat dari Gardika.
Jurus- jurusnya bertenaga luar biasa. Dan semuanya
terlihat sempurna, tanpa cacat sedikit pun."
"Hm..., kalau memang benar dia adalah murid dari
kakak sepergurjaanmu, kenapa harus merasa jadi
ancaman besar? Bukankah kita bisa memanfaat-
kannya, Paman Branta Ireng."
"Mungkin bisa, Gusti Prabu. Tapi antara aku dan
Gardika tidak pernah sepaham, meskipun di antara
kami belum pernah bentrok. Tapi hamba rasa hal itu
sulit, Gusti Prabu."
"Kenapa?"
"Gardika adalah seorang tokoh dari golongan
hitam yang tidak pernah tunduk pada perintah siapa
pun juga. Dia mengembara seorang diri, dan mencari
kepuasan juga seorang diri. Hamba khawatir, kalau
semua sifat-sifat Gardika sudah merasuki jiwa
Pendekar Pulau Neraka itu. Dan kalau hal itu benar-
benar terjadi, tidak mungkin dia mau mengabdi pada
Gusti Prabu."
"Lain orang lain jiwanya, Paman Branta Ireng.
Cobalah dulu, dan kalau memang tidak bisa,
kuserahkan semuanya padamu," kata Prabu Dewa
Rimba.
"Hamba, Gusti Prabu."
"Aku rasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan,
Paman. Aku harus beristirahat penuh. Beberapa hari
lagi pengantinku akan datang," kata Prabu Dewa
Rimba seraya bangkit.
Branta Ireng pun segera bangkit dan mem-
bungkukkan badannya.
"Aku harus segera menyelidiki, siapa pemuda itu
sebenarnya. Dan apa maksudnya datang ke tempat
ini," gumam Branta Ireng dalam hati.
Kemudian Branta Ireng segera melangkah ke luar
setelah pemuda yang bernama Prabu Dewa Rimba
tidak kelihatan lagi di ruangan itu. Langkahnya lebar
dan sedikit tergesa-gesa. Dua orang penjaga pintu
yang berpakaian serba hitam, langsung membungkuk
begitu Branta Ireng melewatinya.
***
Branta Ireng berdiri tegak sambil menatap tajam
pada Pendekar Pulau Neraka, yang kini sudah terikat
rantai di sebuah tiang bersilang. Kedua tangan dan
kakinya tampak dipentang lebar-lebar. Bayu juga
balas menatap tajam pada laki-laki tua itu. Tidak ada
orang lain lagi di ruangan yang pengap dan sempit itu.
"Aku kagum pada keberanianmu datang ke sini,
Anak Muda," kata Branta Ireng pelan.
"Katakan saja terus terang, apa sebenarnya yang
kau inginkan dariku?" dengus Bayu ketus.
Branta Ireng hanya tersenyum mendengar nada
suara Bayu itu. Dia kemudian melangkah dan
mendekati pemuda itu. Bibirnya masih menyungging-
kan senyuman. Namun Bayu tetap menatapnya
tajam.
"Aku sama sekali tidak peduli dengan tujuanmu
datang ke Istana Dewa Rimba ini, Anak Muda. Aku
hanya ingin kau mengatakan terus terang, dari mana
kau dapatkan senjata Cakra Maut ini?" tanya Branta
Ireng sambil mengeluarkan senjata andalan Pendekar
Pulau Neraka dari balik lipatan jubahnya.
Bayu tidak langsung menjawab. Kelopak matanya
semakin lebar begitu melihat senjata andalannya itu.
Tanpa senjata itu, rasanya Bayu seperti kehilangan
separuh dari nyawanya.
"Aku tahu siapa sebenarnya pemilik senjata ini,
dan aku juga kenal betul dengan jurus-jurusmu. Kau
tidak bisa berdusta di depanku, Anak Muda," kata
Branta Ireng lagi.
"Kalau sudah tahu, kenapa pakai tanya segala?"
tetap sinis nada suara Bayu.
"Berpuluh-puluh tahun aku tidak pernah men-
dengar lagi kabar tentang Gardika. Dan kini aku
seperti melihat dia lagi pada dirimu, Anak Muda.
Jurus-jurus yang kau miliki dan senjata yang kau
gunakan telah mengingatkanku padanya," kata
Branta Ireng pelan.
Tampak Bayu menyipitkan matanya. Kata-kata
Branta Ireng itu membuat otaknya jadi bekerja keras.
Rasanya dia belum pernah bertemu dengan laki-laki
tua berkulit hitam itu. Dan namanya juga belum
pernah dia dengar. Tapi Branta Ireng sudah tahu
banyak tentang Gardika, gurunya. Kini berbagai
pertanyaan terus berkecamuk di benak Bayu
Hanggara.
"Kau pasti sudah berpikir yang bukan-bukan
tentang diriku, Anak Muda. Mungkin ada baiknya
kalau aku mengalah sedikit," kata Branta Ireng lagi.
Bayu masih tetap diam dengan otak yang terus
bekerja keras menduga-duga.
"Antara aku dan Gardika adalah saudara
seperguruan. Aku adik seperguruan dari Gardika.
Meskipun di antara kami banyak terjadi perbedaan,
tapi aku sangat menyayanginya. Aku juga sangat
sedih dan merasa kehilangan ketika mendengar
kabar tentang kematiannya," Branta Ireng mulai
membuka diri.
Tentu saja Bayu terkejut setengah mati men-
dengarnya. Dia benar-benar tidak menduga, kalau
laki-laki tua itu masih saudara seperguruan dengan
gurunya. Kini Bayu tidak bisa lagi berkata-kata,
namun sinar matanya menyiratkan belum sepenuh-
nya percaya.
"Kau juga pasti berpikir, kenapa aku tidak mem-
balas dendam pada mereka yang telah membunuh
saudara seperguruanku. Ketahuilah, Anak Muda. Aku
sudah bersumpah pada diriku sendiri untuk melepas-
kan segala urusan dunia. Lebih-lebih dengan urusan
dendam yang tidak akan pernah berakhir. Dan aku
sudah memutuskan untuk mengabdi pada Prabu
Dewa Rimba, karena kehidupan di sini selalu dalam
keadaan damai, jauh dari segala macam urusan
dunia. Aku memang sangat menyesali kematian
Gardika yang tragis itu, tapi aku tidak mau lagi
melumuri tanganku dengan darah dan dosa," kata
Branta Ireng.
"Apakah kata-katamu bisa kupercaya?" Bayu ingin
meyakinkan.
"Kau bisa lihat ini," kata Branta Ireng sambil
merogoh ke balik lipatan jubahnya.
Seketika mata Bayu membeliak lebar. Di tangan
kiri Branta Ireng kini tergenggam sebuah cakra yang
berwarna kuning emas, dan berbentuk serta
berukuran sama persis dengan cakra yang ter-
genggam di tangan kanannya yang berwarna
keperakan.
"Kau mungkin sudah merasakan, bahwa dirimu
dalah seorang pendekar digdaya yang sulit dicari
tandingannya. Tapi kau jangan heran, jika aku sudah
mengetahui semua kelemahan-kelemahan jurus-
jurusmu. Itulah sebabnya kau bisa dikalahkan oleh si
Kembar Iblis Biru."
Bayu jadi tercenung. Dalam pertempurannya tadi,
dia memang merasakan kalau lawan-lawannya sudah
mengetahui setiap gerak dan serangannya. Sehingga
dengan mudah mereka dapat mengalahkan dirinya.
"Anak muda, jika kau masih juga belum percaya,
aku akan segera memperagakan beberapa jurus yang
juga sudah kau miliki. Lihatlah...!"
Dan Branta Ireng pun segera memperlihatkan
beberapa jurus yang memang sama dengan apa yang
dimiliki oleh Bayu. Jurus-jurus yang diperagakan itu
sama persis dengan yang telah dipelajarinya dari
Eyang Gardika di Pulau Neraka. Dia tampak
tercengang melihatnya.
"Cukup...!" seru Bayu.
Branta Ireng pun segera menghentikan gerakan-
gerakannya.
"Paman, aku mohon maaf karena tadi tidak
mempercayaimu," kata Bayu setelah merasa yakin
sepenuhnya, kalau Branta Ireng adalah adik
seperguruan gurunya, Eyang Gardika.
Branta Ireng tersenyum lebar, dan matanya
bersinar cerah mendengar dirinya disebut paman. Dia
pun bergegas mendekati, dan menatap dalam-dalam
ke bola mata Bayu. Sedangkan Bayu sendiri juga
memberikan senyum, seraya menganggukkan
kepalanya memberi hormat.
"Anak muda, ceritakanlah. Dari mana kau dapat
kan Cakra Maut, dan bagaimana kau bisa menguasai
jurus-jurus milik Gardika dengan begitu sempurna?"
pinta Branta Ireng.
"Paman Branta Ireng, aku adalah murid tunggal
Eyang Gardika. Aku menjadi murid sekaligus anak
angkatnya, setelah beliau mendapat musibah
dikeroyok tokoh-tokoh rimba persilatan...," Bayu mulai
menceritakan semua yang telah dialaminya dan
dilakukannya bersama gurunya, di sebuah Pulau
terpencil yang sangat ditakuti oleh semua orang
(Baca serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah
"Geger Rimba Persilatan").
Sementara Branta Ireng terus mendengarkannya
dengan penuh perhatian. Sedikit pun dia tidak
menyelak cerita Bayu. Kejujuran tercermin dari sinar
mata Pendekar Pulau Neraka itu. Beberapa saat
lamanya mereka terdiam setelah Bayu menyelesaikan
ceritanya. Tampak sepasang bola mata Branta Ireng
berkaca-kaca.
"Maaf, Paman. Aku terpaksa menceritakan
semuanya...," kata Bayu pelan.
"Aku sebenarnya yang minta maaf padamu,
Anakku. Kau adalah murid tunggal kakak seper-
guruanku, dan itu berarti kau juga muridku, sekaligus
anakku," kata Branta Ireng tidak bisa menahan rasa
harunya.
"Pengawal...!" seru Branta Ireng keras.
Sebentar saja seorang laki-laki yang berpakaian
serba hitam datang menghampiri. Dia segera mem-
bungkuk memberi hormat pada Branta Ireng.
Sedangkan seorang pengawal lagi menjaga di depan
pintu ruangan itu.
"Buka belenggunya!" perintah Branta Ireng.
"Gusti...," pengawal itu ingin membantah.
"Buka, kataku!" bentak Branta Ireng.
"Baik, Gusti."
Pengawal itu pun bergegas membuka belenggu
vang mengikat kedua pergelangan tangan dan kaki
Pendekar Pulau Neraka. Setelah selesai, pengawal itu
memberi hormat dan segera meninggalkan ruangan
itu. Sedangkan Bayu langsung berlutut di depan
Branta Ireng. Bagaimanapun juga, dia harus meng-
hormati paman gurunya itu, meskipun pertemuan
mereka dalam suasana yang tidak menyenangkan.
"Bangunlah, Anakku," kata Branta Ireng.
Bayu segera beranjak bangkit
"Ini senjatamu," kata Branta Ireng sambil
menyerahkan kembali senjata cakra keperakan
bersegi enam.
Dan tanpa ragu-ragu, Bayu segera menerimanya,
dan memasangnya kembali di pergelangan tangan
kanannya. Kemudian dia membungkuk dengan kedua
tangan melipat di depan dada. Sementara Branta
Ireng hanya tersenyum dan membalas salam
penghormatan itu dengan sikap yang sama. Laki-laki
tua berkulit hitam itu semakin percaya kalau Bayu
adalah benar-benar murid tunggal kakak seper-
guruannya.
"Ayo, ikut aku," kata Branta Ireng seraya berbalik.
Bayu tidak membantah. Dia segera ikut melangkah
keluar dari kamar tahanan yang pengap itu. Dia
berjalan di belakang Branta Ireng. Tampak beberapa
orang pengawal yang melihatnya, langsung menaruh
rasa curiga, meskipun mereka masih memberi
hormat pada Branta Ireng.
"Paman, kita mau ke mana?" tanya Bayu.
"Menghadap Gusti Prabu Dewa Rimba," sahul
Branta Ireng.
"Untuk apa?"
"Menjernihkan semua persoalan."
"Tapi, Paman belum tahu tujuanku datang ke
tempat ini."
"Kau bisa mengatakannya nanti di depan Gusti
Prabu Dewa Rimba."
Bayu hanya diam dan jadi serba salah. Jelas kalau
maksud kedatangannya kurang baik, meskipun
tujuannya adalah baik, yaitu untuk membebaskan
para penduduk Desa Gampil dari kesewenang-
wenangan. Otak Bayu terus berputar memikirkan cara
yang tepat untuk menyampaikannya agar tidak
membuat siapa saja yang mendengarnya merasa
tersinggung.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong gelap
bawah tanah. Penerangan yang ada, hanya terdiri dari
beberapa buah api obor yang menempel di dinding
dengan jarak berjauhan. Bayu sempat melihat ke
arah kamar-kamar tahanan, yang berbaris rapi di
sepanjang kiri dan kanan losong. Sungguh dia tidak
menyangka, kalau kamar tahanan penjara itu tidak
ada penghuninya sama sekali.
"Besok pagi kita akan menghadap Gusti Prabu
Dewa Rimba. Malam ini kau istirahat saja di
kediamanku," kata Branta Ireng.
"Kenapa tidak malam ini saja, Paman?"
"Tidak enak mengganggu istirahatnya. Lagi pula
memang sudah terlalu larut."
Kembali Bayu terdiam. Dan mereka terus saja
berjalan keluar dari tempat itu. Dua orang penjaga
segera membungkuk saat mereka melewati pintu
keluar. Cahaya bulan langsung menyambut mereka
dengan lembutnya. Bayu tetap melangkah di samping
Branta Ireng. Matanya selalu memperhatikan sekitar-
nya. Dan dia juga sempat melihat mata para prajurit
yang berpakaian hitam memandangnya dengan
penuh kecurigaan.
6
Bayu tampak duduk bersila di lantai yang beralaskan
permadani tebal dan berwarna merah hati. Di
sampingnya duduk pula Branta Ireng. Sementara di
belakang Branta Ireng adalah si Kembar Iblis Biru.
Kini ruangan yang besar dan indah itu sudah dipenuhi
orang-orang yang berpakaian putih dan hitam.
Sedangkan di depan mereka tampak duduk dengan
penuh wibawa, seorang pemuda tampan yang
mengenakan pakaian indah dan bersulamkan benang
emas. Pemuda itu duduk di kursi yang berukir dan
berlapis bagai emas.
"Aku sudah dengar semua tentang dirimu dari
Paman Branta Ireng. Dan sekarang aku hanya ingin
tahu, apa tujuanmu datang ke Istana Dewa Rimba
ini?" tanya Prabu Dewa Rimba. Suaranya besar dan
berwibawa.
"Aku hanya kebetulan lewat. Tadinya aku sedang
mengejar empat orang yang berpakaian serba putih
yang..., maaf, sama persis dengan yang mereka
pakai," sahut Bayu sambil menunjuk orang-orang
yang mengenakan baju serba putih yang ketat.
"Apakah mereka ada di antara orang-orang itu?"
tanya Prabu Dewa Rimba lagi.
"Tidak!" sahut Bayu tegas.
"Hm..., semua orang berpakaian putih sudah hadir
di sini, Kisanak."
"Bayu, kenapa kau mengejar empat orang yang
berpakaian serba putih?" tanya Branta Ireng langsung
memanggil dengan menyebut Bayu.
"Terus terang, sebenarnya aku sedang mempunyai
persoalan di Desa Gampil," sahut Bayu.
"Persoalan apa?" tanya Prabu Dewa Rimba.
"Menumpas keangkaramurkaan. Desa Gampil kini
sedang dilanda musibah besar yang bisa meng-
habiskan seluruh gadis-gadisnya. Ada segelintir orang
yang menamakan dirinya utusan Dewa Rimba..."
Seketika suara bergumam tak jelas terdengar
memenuhi ruangan itu. Branta Ireng dan Prabu Dewa
Rimba segera menatap tajam pada Bayu. Tampak
sekali kalau mereka sangat terkejut mendengarnya.
"Mereka selalu mengorbankan gadis-gadis dengan
alasan permintaan Dewa Rimba untuk dijadikan
pengantinnya. Mereka menamakannya Persembahan
Pengantin Rimba," lanjut Bayu menjelaskan. "Terus
terang, aku belum tahu siapa dalang di balik semua
kejadian itu. Tapi hal itu sudah berlangsung cukup
lama, dan sudah banyak gadis-gadis telah menjadi
korban. Mereka selalu mengirimkan korbannya dalam
pakaian pengantin, dan dibawa ke Puncak Bukit Batu
ini."
"Hm..., tampaknya ada seseorang yang telah
memfitnahku," gumam Prabu Dewa Rimba.
"Bahkan tidak lama lagi mereka juga akan segera
mengirim calon pengantin rimba wanitanya ke Puncak
Bukit Batu ini," lanjut Bayu.
"Berapa hari lagi?" tanya Prabu Dewa Rimba.
"Tiga hari lagi," sahut Bayu.
"Gila!" sentak Prabu Dewa Rimba.
Kini Bayu menatap dalam-dalam pada Prabu Dewa
Rimba. Semakin jauh dia telusuri persoalan ini,
semakin membingungkan jadinya. Dia datang ke
Puncak Bukit Batu ini tadinya hanya mengikuti empat
orang berpakaian serba putih yang dicurigainya, sama
sekali tidak tahu kalau di puncak bukit ini ada sebuah
istana yang dihuni oleh orang-orang yang cinta akan
kedamaian.
Dan yang membuat Bayu semakin tidak mengerti,
dia kini berhadapan langsung dengan orang yang
bernama Prabu Dewa Rimba, yang sering disebut-
sebut oleh penduduk Desa Gampil, sebagai raja dewa
yang menginginkan pengantin wanita dalam waktu
tertentu.
Tapi, tampaknya Prabu Dewa Rimba dan semua
orang yang ada di sini tidak mengetahui sama sekali
tentang hal itu. Jelas kalau Prabu Dewa Rimba
terkejut mendengarnya.
"Bayu, kau adalah murid tunggal saudara seper-
guruanku, dan itu berarti kau juga muridku. Jangan
membuat malu aku di sini, Bayu," kata Branta Ireng.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Paman. Aku
sendiri tidak tahu kalau di Puncak Bukit Batu ini ada
istana. Aku datang ke sini tadinya hanya mengejar
empat orang yang kucurigai!" tegas kata-kata Bayu.
"Paman Branta Ireng, aku merasakan kejujuran
pada kata-kata anak muda ini," kata Prabu Dewa
Rimba lembut. "Kita berada di sini memang untuk
menjauhkan segala persoalan dunia. Tapi rupanya
ada saja orang yang tidak menyukai, dan ingin
menghancurkan kita dengan cara keji."
"Gusti Prabu, ijinkan aku menyelidiki orang yang
keji itu. Kalau ternyata Bayu berdusta, biar aku yang
akan memberinya hukuman," kata Branta Ireng.
"Paman, kau akan melumuri tanganmu dengan
darah dan dosa lagi?" Prabu Dewa Rimba merasa
keberatan.
"Tapi, Gusti Prabu...."
"Tidak!" tegas Prabu Dewa Rimba menolak.
Branta Ireng diam.
"Setiap orang yang ingin tinggal di sini, sudah
disumpah untuk meninggalkan semua urusan dunia
dari segala perbuatan keji dan dendam. Bayu,
sebenarnya kau harus diberi hukuman karena telah
menodai kesucian tempat ini dengan pertumpahan
darah. Tapi aku akan membebaskan dari segala
hukuman, bila kau sanggup membawa kepala orang
yang ingin menghancurkan Istana Dewa Rimba ini!"
tegas kata-kata Prabu Dewa Rimba.
"Gusti Prabu...."
"Tidak apa-apa, Paman. Tugas ini memang sudah
seharusnya kupikul," kata Bayu cepat "Maaf kalau
kedatanganku telah mengacaukan ketentraman
seluruh penghuni istana ini."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua yang
terjadi hanya kesalahpahaman saja," kata Prabu
Dewa Rimba.
"Jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,
sebaiknya aku mohon diri," pamit Bayu.
"Silakan."
Sejenak Bayu memandangi istana di Puncak Bukit
Batu itu. Kemudian dia berbalik dan melangkah
melintasi padang rumput yang luas. Namun baru saja
Pendekar Pulau Neraka itu berjalan beberapa depa,
langkahnya mendadak terhenti. Telinganya men-
dengar suara langkah kaki cepat mengejar di
belakangnya. Buru-buru Bayu berbalik, tampak Branta
Ireng berjalan cepat menghampirinya.
"Paman...," sambut Bayu setelah Branta Ireng
dekat. "Ada apa Paman menyusulku?"
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Bayu,"
sahut Branta Ireng.
"Tentang apa?"
"Keselamatanmu."
Bayu sedikit mengerutkan keningnya.
"Meskipun kau tidak mengatakan siapa orang yang
telah membuat kacau itu, tapi aku sudah bisa
menebak. Kau harus hati-hati karena dia sangat
tangguh, dan memiliki ilmu yang bisa membuat mata
orang lain tidak dapat membedakan antara tipuan
dan kenyataan," kata Branta Ireng.
"Ilmu sihir, maksud Paman?"
"Semacam itu."
"Hm...," Bayu bergumam tidak jelas. "Paman tahu,
siapa orang itu?"
"Aku hanya menduga, mungkin benar, mungkin
juga salah. Tapi dugaanku sangat beralasan."
"Siapa?"
"Pendeta Pasanta."
"Ah...!" Bayu tersentak kaget. Dia memang sudah
menduga, kalau orang di balik semua kemelut ini
adalah Pendeta Pasanta. Dan itu pernah diucapkan
oleh Lastri padanya.
"Kau sudah tahu, Bayu?"
"Belum," sahut Bayu cepat.
"Beberapa tahun lalu, Pendeta Pasanta memang
berada di istana ini. Dia adalah seorang pendeta
murtad yang ingin bertobat. Tapi kedatangannya
rupanya bukan untuk bertobat, melainkan punya
maksud tersembunyi. Dan hal itu dapat diketahui
dengan cepat oleh Prabu Dewa Rimba. Dan atas
kesepakatan bersama, kami mengusir Pendeta
Pasanta, dan tidak boleh kembali lagi sebelum dia
benar-benar bertobat," Branta Ireng menjelaskan.
"Hm..., aku mengerti sekarang. Rupanya Pendeta
Pasanta membalas dendam pada Istana Dewa
Rimba," gumam Bayu.
"Benar, dan itu sudah diketahui oleh Prabu Dewa
Rimba."
"Kalau sudah tahu, kenapa tidak mengambil
tindakan?" agak heran juga Bayu dengan sikap orang-
orang di Istana Dewa Rimba itu.
"Bayu..., kami semua yang datang dan tinggal di
Istana Dewa Rimba sudah berniat untuk meninggal-
kan semua urusan dunia, dan melebur segala dosa-
dosa yang telah diperbuat. Kau lihat, si Kembar Iblis
Biru, baru dua purnama dia berada di sini. Mereka
adalah dua orang berhati iblis yang kejam. Tapi
rupanya Dewata memberikan jalan bagi mereka
untuk bertobat. Mereka memang masih dalam tahap
percobaan, sebelum sepenuhnya diakui menjadi
warga Istana Dewa Rimba. Jadi kau tidak perlu heran,
kenapa kami semua tidak melakukan tindakan apa-
apa," jelas Branta Ireng.
"Rasanya sulit untuk dipercaya, Paman. Semua
orang yang ada di sini tidak ingin berlumuran darah.
Tapi kenapa kedatanganku malah disambut dengan
serangan?"
"Semua orang yang datang pasti diuji dengan
serangan mendadak dan berbagai macam. Tapi
kedatanganmu tidak dengan niat yang baik, sehingga
Prabu Dewa Rimba segera memerintahkan kami
untuk menangkapmu hidup atau mati. Bagi kami,
setiap orang yang datang dengan maksud tidak baik,
adalah setan, iblis yang harus dibasmi. Kau
beruntung, Bayu. Prabu Dewa Rimba mengampunimu
saat kau sudah berada di ambang maut."
"Aku masih belum mengerti, Paman...," Bayu
semakin bertambah bingung saja.
"Ya, sudahlah. Kau memang tidak perlu mengerti
semua tentang kami dan Istana Dewa Rimba. Aku
bisa merasakan adanya ketidakpuasan hidup dalam
hatimu. Baiklah, Bayu. Aku tidak mau mengganggu
perjalananmu lagi. Selesaikan semua urusan di dunia
dengan caramu sendiri," kata Branta Ireng tersenyum
maklum.
"Paman.... Paman tidak ingin tahu lebih banyak
tentang Eyang Gardika?" Bayu buru-buru
membelokkan persoalan.
"Oh, ya. Di mana pusaranya?" tanya Branta Ireng.
"Saat aku meninggalkannya, Eyang Gardika
meminta agar dia ditinggalkan sendiri di dalam goa.
Eyang Gardika ingin membersihkan diri dalam sisa-
sisa hidupnya, dengan menyerahkan diri dan jiwa
pada Hyang Widi," Bayu mulai menceritakan.
"Ah..., Gardika..., Gardika. Pada saat menjelang
ajalmu kau masih belum juga mau meninggalkan
urusan dunia," desah Branta Ireng.
"Aku rasa, Eyang Gardika sudah meninggal,
Paman," kata Bayu.
"Tidak! Raganya memang meninggal, tapi jiwanya
masih hidup. Dan dia akan muncul lagi pada saat kau
memerlukannya, Bayu. Gardika hanya muksa,
memisahkan raga dari jiwa."
"Ah, kenapa Eyang memilih begitu, Paman?"
"Karena dia merasa urusannya dengan dunia
belum selesai. Dan dia akan merasa tenang, dan
meninggalkan dunia, setelah semua urusannya
selesai. Tapi selama dunia masih ada, urusan
manusia tidak akan pernah selesai. Dan selamanya
dia akan muksa, hingga dunia ini berakhir."
"Paman, Eyang Guru Gardika memang pernah
cerita, bahwa sampai saat ini dia belum bisa
membalas sakit hatinya pada mereka yang telah
membuatnya cacat dan hidup terpencil di sebuah
pulau yang angker. Lagi pula, dia masih merasa kalau
anaknya masih hidup."
"Ya..., mungkin itulah yang membuatnya memutus-
kan diri untuk muksa."
"Apakah aku bisa membantu agar sempurna,
Paman?"
"Tidak. Mungkin kau bisa saja menemukan
anaknya, dan membalaskan sakit hatinya pada
mereka yang telah menganiayanya sampai semua
orang mengira kalau dia sudah tewas. Tapi keturunan
mereka masih ada, dan darah mereka masih
mengalir hidup. Mereka juga akan terus mencarimu,
dan begitu seterusnya sampai ke anak cucumu. Dan
selama itu pula dendam tidak akan pernah berakhir,
dan Gardika tetap pada kemuksaannya."
"Ah..., kasihan, Eyang," desah Bayu.
"Tidak periu dikasihani. Itu sudah pilihan jalan
hidupnya. Tidak sedikit orang yang memilih muksa
dengan alasan berbeda. Mungkin juga aku, atau kau
sendiri nanti juga akan memilih jalan yang sama, jika
tidak mau merelakan urusan dunia."
"Mungkin aku bisa, tapi Paman tidak."
"Kenapa?"
"Karena Paman telah memilih tempat yang tepat.
Meninggalkan semua urusan dunia dengan
mensucikan diri, mendekatkan diri pada Hyang Widi."
"Ha ha ha...! Rupanya kau telah mengerti juga,
Bayu."
"Sedikit, Paman."
Tanpa terasa dari tadi mereka telah bicara sambil
berjalan. Dan mereka baru menyadari setelah tiba di
perbatasan padang rumput itu, dengan Puncak Bukit
Batu yang seperti gurun. Kemudian mereka berhenti
di ambang gerbang batu.
"Bayu, hati-hati. Jangan sampai terpancing oleh
tipuannya," pesan Branta Ireng.
"Jangan khawatir, Paman," sahut Bayu.
"Ingat pesanku, Bayu. Jangan sekali-sekali kau
memandang matanya. Kau akan lemah, dan dapat
dikuasainya."
"Ya, Paman."
"Nah, berangkatlah. Ingat pesan Prabu Dewa
Rimba. Bawa kepalanya padanya, karena akan
menjadi contoh bagi penghuni Istana Dewa Rimba
lainnya."
"Aku akan usahakan, Paman."
Branta Ireng segera tersenyum, dan menepuk
pundak Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Bayu
membungkukkan badannya sedikit dengan tangan
melipat di depan dada. Kemudian mereka pun
berpisah untuk menjalani hidup dengan cara masing-
masing.
Bayu terus menuruni Lereng Bukit Batu itu dengan
langkah pelan tanpa terburu-buru. Otaknya terus
berputar memikirkan persoalan yang tengah
dihadapinya. Semakin jauh dia melangkah masuk ke
dalam kemelut ini, semakin sulit untuk bisa
dimengerti. Tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka itu
tersentak, dan mengangkat kepalanya. Sayup-sayup
dia mendengar suara pertarungan dari arah kaki
bukit.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka itu segera berlari cepat menuruni
Lereng Bukit Batu itu. Cepat sekali gerakannya,
sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja yang
meluncur menuruni Bukit Batu.
"Pengemis Tongkat Hitam...," desis Bayu begitu
sampai di tempat pertempuran.
Tampak seorang laki-laki tua yang berbaju kumal
dan memegang tongkat hitam, tengah bertarung
dengan tiga orang laki-laki berbaju putih bersih. Dan
tidak jauh dari tempat pertarungan itu, terlihat
seseorang berpakaian putih menggeletak dengan
dada sobek bersimbah darah. Juga ada empat ekor
kuda yang tengah asyik merumput, sepertinya tidak
peduli dengan pertarungan itu.
"Kelihatannya Pengemis Tongkat Hitam mampu
menandingi mereka," gumam Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu kemudian duduk di
bawah pohon. Dia terus memperhatikan jalannya
pertarungan itu. Dugaannya memang tidak meleset.
Dalam beberapa gebrakan saja, satu orang sudah
terjungkal dengan bersimbah darah. Dan disusul
dengan satu orang lagi ambruk dengan leher
menganga leibar.
"Hebat...!" seru Bayu seraya bertepuk tangan
seperti anak kecil.
Pengemis Tongkat Hitam menoleh saat dia sudah
menewaskan lawan terakhirnya. Dia segera
mendengus kurang senang melihat Pendekar Pulau
Neraka menyaksikan pertarungannya. Dan dengan
sekali lompatan saja, laki-laki tua itu sudah berada di
depan Bayu.
"Bocah setan! Apa saja kerjamu di sini?" dengus
Pengemis Tongkat Hitam.
"Lho! Kok, marah...? Sejak tadi aku duduk di sini.
Aku kagum padamu, Kek. Kau hebat!"
"Bukan waktunya untuk bergurau!"
"Heh...!"
"Huh! Menyesal aku telah menyelamatkanmu.
Memang seharusnya aku tidak perlu bersusah-payah
membantumu dari jahanam-jahanam itu!" rungut
Pengemis Tongkat Hitam.
"Wah! Ada apa ini?" Pendekar Pulau Neraka jadi
tidak mengerti.
"Seharusnya kau berterima kasih, atau paling tidak
nembantuku, Bocah Setan! Sejak kemarin aku
bertarung karena nyawamu, tapi kau malah enak-
enakan menonton! Hugh...!" Pengemis Tongkat Hitam
terbatuk.
"Kek..," Bayu terkejut melihat perubahan pada
wajah Pengemis Tongkat Hitam.
Mendadak wajah laki-laki tua itu tampak jadi
pucat, dan berkeringat. Dua kali dia terbatuk, lalu dari
mulutnya menyemburlah darah kental berwarna
kehitaman. Buru-buru Bayu melompat, dan membawa
Pengemis Tongkat Hitam ke bawah pohon. Kemudian
laki-laki tua itu duduk bersila, sedangkan Bayu duduk
di depannya. Dan tanpa permisi dulu, Pendekar Pulau
Neraka itu segera merobek baju bagian dada
Pengemis Tongkat Hitam.
"Pukulan Tapak Beracun'...," desis Bayu, ketika
melihat dada Pengemis Tongkat Hitam terluka memar
dan berbentuk telapak tangan hitam.
Tampak wajah Pengemis Tongkat Hitam semakin
pucat. Dan keringat pun terus merembes dan
membanjiri tubuhnya. Kini noda hitam di dadanya
semakin kelihatan membesar. Dan Bayu segera
membuka seluruh baju laki-laki tua itu. Kemudian
kedua telapak tangannya ditempelkannya di
punggung laki-laki tua itu.
"Hsss...," dari mulut Bayu keluar suara mendesis
bagai ular.
Bersamaan dengan itu, tubuh Pengemis Tongkat
Hitam menggeletar. Wajah yang pucat, kini berubah
menjadi merah bagai kepiting direbus. Sementara
Bayu terus memusatkan hawa murni pada telapak
tangan, dan menyalurkannya ke seluruh tubuh
Pengemis Tongkat Hitam.
"Akh...!" tiba-tiba Pengemis Tongkat Hitam
memekik tertahan.
"Pingsan...," desah Bayu ketika melihat laki-laki tua
itu terjatuh.
Lalu Bayu segera membaringkan tubuh tua itu di
rerumputan. Tangannya terus bergerak lincah dan
lembut di sekitar dada yang kurus dengan tulang-
tulang bersembulan itu. Kini noda hitam di dada itu
tidak lagi bergerak membesar. Dan Bayu hanya
menarik napas panjang, matanya tetap tertuju pada
luka itu.
"Tidak ada jalan lain. Aku harus segera mengeluar-
kan racun di dalam tubuhnya," gumam Bayu
mendesah.
Pendekar Pulau Neraka itu pun segera mencabut
senjata cakra, yang menempel di pergelangan tangan
kanannya. Kemudian pelahan-lahan dia meng-
goreskan ujung senjata itu ke dada Pengemis Tongkat
Hitam. Seketika darah langsung merembes keluar.
Tampak darah yang sudah bercampur dengan racun
dari 'Pukulan Tapak Beracun' itu berwarna hitam
kebiru-biruan.
Bayu kemudian mendekatkan mulutnya ke luka di
dada itu, dan menyedot darah yang ke luar. Dia
menyedot darah beracun itu berulang-ulang, dan
menyemburkannya ke tanah. Hal itu dilakukan
sampai darah yang ke luar kembali berwarna merah.
Setelah semuanya selesai, Bayu membalut luka itu
dengan kain merah yang membelit pinggangnya. Jari-
jari tangannya terus bergerak lincah di sekitar luka,
dan darah pun langsung berhenti mengalir. Dia
kemudian duduk seraya menarik napas panjang di
samping laki-laki tua yang tergolek tidak sadarkan
diri.
***
Menjelang senja, Pengemis Tongkat Hitam baru
bisa sadarkan diri. Dan dia menurut saja ketika Bayu
menyuruhnya agar segera bersemadi. Kini wajahnya
sudah kembali cerah. Tubuhnya pun sudah kembali
terasa hangat, dan aliran darahnya berangsur normal.
Pengemis Tongkat Hitam masih duduk bersila,
meskipun dia telah menyelesaikan semadinya.
Sedangkan Bayu hanya melirik saja, sambil memutar-
mutar kelinci panggang di atas api.
"Bau daging panggang, membuat perutku terasa
lapar...," gumam Pengemis Tongkat Hitam, sambil
memandang ke arah Bayu.
"Ah, rupanya kau sudah sadar, Kakek Pengemis.
Mau?" Bayu segera mengambil satu daging kelinci
yang sudah matang, dan menyerahkannya pada
Pengemis Tongkat Hitam.
Dan tanpa basa-basi lagi, Pengemis Tongkat Hitam
segera menerimanya. Kemudian dia memakannya
dengan nikmat sekali. Sedangkan Bayu tersenyum
dan mengambil satu lagi. Lalu dia pun duduk di
samping Pengemis Tongkat hitam.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bayu.
"Sudah mendingan, terima kasih," sahut Pengemis
Tongkat Hitam.
"Kau telah terkena racun dari 'Pukulan Tapak
Beracun'."
"Kau tahu tentang jurus itu?" Pengemis Tongkat
Hitam menatap tajam.
"Ya, aku pernah mendengarnya. Tapi tidak terlalu
berbahaya. Ya..., mungkin kalau tidak segera
dikeluarkan, bisa mengakibatkan nyawa melayang."
"Tampaknya kau sudah tahu betul tentang
'Pukulan Tapak Beracun'."
Bayu hanya tersenyum. Dia memang sudah tahu
betul dengan pukulan itu, karena dia sendiri juga
memilikinya. Dan 'Pukulan Tapak Beracun' yang
mengena pada Pengemis Tongkat Hitam itu masih
dalam tahap yang tidak begitu tinggi, sehingga
dengan mudah Bayu dapat menyembuhkannya.
Mungkin kalau dia yang melakukan pukulan itu,
Pengemis Tongkat Hitam sudah langsung tewas saat
menerima pukulannya.
Bayu jadi termenung. Dulu dia mempelajari jurus
'Pukulan Tapak Beracun' dari gurunya, Eyang Gardika.
Dan di Istana Dewa Rimba dia telah berjumpa dengan
seorang laki-laki tua bernama Branta Ireng, dan
mengaku masih saudara seperguruan dengan Eyang
Gardika. Kalau mengingat itu semua, Bayu jadi
berpikir lagi. Jurus 'Pukulan Tapak Beracun' tidak
dimiliki orang lain lagi menurut Eyang Gardika. Dan
kini Bayu mendapatkan ada orang lain yang telah
mempunyai jurus itu.
"Ada apa, Pendekar Pulau Neraka? Kau kelihatan
termenung," kata Pengemis Tongkat Hitam, yang
memperhatikan sejak tadi.
"Kakek Pengemis, siapa yang telah memukulmu
dengan jurus 'Pukulan Tapak Beracun'?" tanya Bayu.
"Si Iblis Hitam," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Iblis Hitam...?!" Bayu langsung tersentak kaget.
"Ada apa? Kau tampaknya terkejut mendengar
nama itu."
Bayu tidak segera menjawab. Dia jadi teringat
dengan kata-kata gurunya, Eyang Gardika. Dia harus
mencari orang yang bernama Iblis Hitam, karena
orang itu telah mencuri buku yang berisi jurus-jurus
maut milik Eyang Gardika. Hal itu terjadi ketika Eyang
Gardika dikeroyok oleh tokoh-tokoh rimba persilatan,
hingga kedua kakinya buntung dan matanya buta.
"Kakek Pengemis, di mana kau telah bertemu
dengan Iblis Hitam?" tanya Bayu.
"Di sini, semalam," sahut Pengemis Tongkat Hitam
masih keheranan dengan sikap Pendekar Pulau
Neraka itu.
"Kakek tahu ciri-cirinya?"
"Mungkin sebelum kau lahir, aku sudah kenal betul
dengan si Iblis Hitam. Seorang tokoh yang sangat
kejam!"
"Katakan ciri-cirinya, Kek," desak Bayu.
"Dia adalah seorang tua yang berkulit hitam, dan
selalu memakai baju putih. Rambutnya juga sudah
putih semua."
"Apa dia juga mempunyai senjata sepertiku ini...?'"
tanya Bayu sambil memperlihatkan cakra yang
menempel di tangan kanannya. Dia sudah menduga,
siapa orang yang barusan disebutkan ciri-cirinya itu.
"Benar! Tapi warnanya kuning keemasan," sahut
Pengemis Tongkat Hitam, setelah memperhatikan
cakra di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Branta Ireng...," desis Bayu menggeretak.
Pengemis Tongkat Hitam menatap dalam-dalam ke
bola mata Bayu. Banyak sebenarnya yang ingin dia
ketahui, tapi tidak bisa diucapkan. Benaknya kini
masih dipenuhi dengan berbagai macam pikiran dan
pertanyaan yang belum bisa dijawab. Beberapa saat
lamanya mereka hanya saling berdiam diri. Nafsu
makan mereka mendadak jadi hilang. Daging kelinci
panggang yang baru dimakan sedikit, hanya dipegang
saja.
Beberapa saat kemudian, Bayu bangkit dari
duduknya, dan melemparkan daging kelinci
panggangnya kuat-kuat ke udara, sambil berteriak
keras. Dia merasa bahwa dirinya telah dipermainkan!
Sejenak Pendekar Pulau Neraka itu menatap senjata
cakra di pergelangan tangan kanannya. Kemudian dia
mengibaskan tangan kanannya dengan kuat. Tapi, dia
langsung tersentak karena senjata mautnya itu tidak
mau terlontar.
"Setaaan…! Kubunuh kau, Branta Ireng...!" teriak
Bayu keras.
Pendekar Pulau Neraka itu lalu mencabut cakra di
tangan kanannya, dan membantingnya ke tanah.
Cakra itu tepat menghantam batu dan langsung
pecah berkeping-keping. Dan dengan kemarahan
meluap-luap, Bayu segera menginjak-injak senjata
palsu itu. Sementara Pengemis Tongkat Hitam
memandanginya tidak mengerri. Dia hanya berdiri
saja tanpa berbuat apa-apa. Kini Pendekar Pulau
Neraka itu benar-benar diliputi kemarahan luar biasa!
"Aku akan menyabung nyawa denganmu, Branta
Ireng!" kembali Bayu berteriak keras.
Dan suara teriakan Pendekar Pulau Neraka
tersebut segera bergema ke seluruh Kaki Bukit Batu.
Begitu kerasnya, sehingga daun-daun pohon ikut
berguguran, dan batu-batu di atas bukit jadi bergetar
dan menimbulkan suara gemuruh. Kemarahan yang
telah meluap-luap membuat Bayu mengerahkan
tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaan. Tampak batu-batu sudah meng-
gelinding dari atas bukit. Suaranya keras bergemuruh,
seperti hendak kiamat saja.
"Kubunuh kau, Branta Ireng! Kubunuh kau! Se-
taaan...!"
7
Suara teriakan Bayu yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam sempurna, membuat Bukit
Batu bergetar bagai terjadi gempa. Dan getaran
tersebut sangat dirasakan oleh seluruh penghuni
Istana Dewa Rimba. Seketika kepanikan langsung
melanda, saat mereka melihat ke arah bukit yang
batu-batunya berguguran. Tampak dua buah batu
yang menyerupai pintu gerbang itu juga ikut bergetar
hebat. Prabu Dewa Rimba bergegas ke luar diikuti
oleh tokoh-tokoh sakti yang berada di istana itu.
Branta Ireng kelihatan berjalan di samping pemuda
tampan itu.
"Paman Branta Ireng, apa yang sedang terjadi?"
tanya Prabu Dewa Rimba setelah berada di luar
istananya.
"Hamba tidak tahu, Gusti," sahut Branta Ireng.
Saat itu suara gemuruh masih terus terdengar, dan
batu-batu di bukit itu juga terus berguguran. Namun
getarannya sudah tidak lagi sehebat tadi. Tiba-tiba
dua orang yang berpakaian serba biru berlari cepat
melintasi padang rumput, dan mereka segera berlutut
di depan Prabu Dewa Rimba.
"Ada apa, Iblis Biru?" tanya Prabu Dewa Rimba.
"Ampun, Gusti Prabu. Kegemparan itu berasal dari
kaki bukit," sahut salah seorang dari si Kembar Iblis
Biru.
"Jelaskan," pinta Branta Ireng.
"Hamba melihat ada dua orang berada di kaki
bukit Mereka adalah Pendekar Pulau Neraka dan
Pengemis Tongkat Hitam. Kegemparan ini disebabkan
oleh teriakan Pendekar Pulau Neraka, Gusti Prabu."
Seketika Prabu Dewa Rimba memandang ke arah
Branta Ireng.
"Hamba akan melihatnya sendiri, Gusti Prabu,"
kata Branta Ireng seraya melangkah pergi
"Iblis Kembar, ikuti Paman Branta Ireng. Dan bawa
beberapa prajurit," perintah Prabu Dewa Rimba.
Si Kembar Iblis Biru kembali memberi hormat, dan
melangkah pergi mengikuti Branta Ireng. Sementara
tiga puluh orang yang berpakaian serba hitam
mengawal mereka. Kini Prabu Dewa Rimba bergegas
kembali ke dalam istananya yang megah.
Sementara itu Branta Ireng, si Kembar Iblis Biru
dan tiga puluh orang berpakaian hitam terus
melintasi padang rumput yang luas. Mereka semua
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga
dalam waktu singkat sudah berada di gerbang masuk
ke padang rumput itu. Kini suara gemuruh sudah
tidak terdengar lagi, dan batu-batu yang berguguran
juga sudah tidak ada. Sejenak Branta Ireng
melayangkan pandangannya ke arah kaki bukit.
Tampak Desa Gampil terlihat jelas dari tempat itu.
"Iblis Biru, perintahkan mereka semua segera
memeriksa ke kaki bukit," perintah Branta Ireng.
Dan tanpa membantah sedikit pun, Iblis Biru
segera melaksanakan tugasnya itu. Dan Branta Ireng
segera mencegah si Kembar Iblis Biru untuk ikut
memeriksa ke kaki bukit.
"Kenapa kau laporkan hal ini pada Prabu Dewa
Rimba?!" agak tertahan suara Branta Ireng.
"Maaf, Guru. Aku terpaksa," sahut salah seorang
laki-laki kembar itu.
"Kau tahu, tindakanmu itu bisa merusak
rencanaku!" dengus Branta Ireng.
"Ampunkan kami, Guru," kedua laki-laki itu
membungkuk dalam.
"Ah, sudahlah! Semuanya sudah terjadi, dan ini
akibat dari ketololan kalian. Sekarang kalian harus
mencari Pendekar Pulau Neraka, dan bunuh dia."
"Baik, Guru."
Si Kembar Iblis Biru itu pun bergegas menjura
memberi hormat, dan langsung melangkah
meninggalkan tempat itu. Sementara Branta Ireng
masih berdiri sambil memandang ke arah Desa
Gampil. Tangannya tampak mengepal erat, dan
gerahamnya bergemeletuk. Dan pada saat tubuhnya
berbalik, seketika matanya membeliak lebar.
"Heh! Kau...!" Branta Ireng tersentak.
Tampak seorang pemuda tampan yang mengena-
kan baju dari kulit harimau, tahu-tahu sudah berdiri di
depan Branta Ireng. Seperti biasanya, kedua
tangannya melipat di depan dada. Sedangkan
bibirnya terkatup rapat dengan mata menatap tajam
penuh sinar kebencian. Sejenak Branta Ireng meng-
geser kakinya ke samping. Dia segera bisa meraba,
apa yang akan terjadi.
***
Sebentar Branta Ireng melirik ke samping kiri. Dan
di sana juga sudah berdiri seorang laki-laki tua
berpakaian kumal memegang tongkat hitam. Branta
Ireng pun segera mempersiapkan diri untuk
menghadapi kedua tokoh yang sudah kondang
namanya itu.
"Bayu, apa maksudmu membuat kekacauan ini?"
tanya Branta Ireng.
"Jangan banyak tanya, Iblis Hitam!" dengus Bayu
geram.
"He! Apa yang kau katakan, Bayu?" Branta Ireng
langsung tersentak kaget, karena Bayu sudah tahu
nama julukannya dalam rimba persilatan. Tapi begitu
matanya melirik pada Pengemis Tongkat Hitam, dia
segera tahu siapa biang keladinya.
"Kau kaget melihat Kakek Pengemis Tongkat
Hitam masih hidup? Heh! 'Pukulan Tapak Beracun'mu
masih tingkat dua, Iblis Hitam!" terdengar sinis nada
suara Bayu Hanggara.
"Hm..., rupanya kau sudah tahu siapa aku, Bayu.
Nah! Apa maumu sekarang?" kini Branta Ireng tidak
mau berbasa-basi lagi.
"Merebut Cakra Mautku dan membunuhmu!"
dingin jawaban Bayu.
"Ha ha ha...!" Branta Ireng tertawa terbahak-bahak
mendengar jawaban tegas itu. "Tidak semudah itu,
Pendekar Pulau Neraka!"
"Aku kini sudah tahu siapa kau, Iblis Hitam. Kau
adalah manusia licik yang telah mencuri kitab guruku.
Dan sekarang kau juga telah memperalatku, merebut
Cakra Maut! Maka aku pun akan menyabung nyawa
denganmu, Iblis Hitam!"
Setelah berkata begitu, Bayu langsung berteriak
nyaring melengking. Tubuhnya segera melesat cepat
bagai kilat menerjang Branta Ireng.
Tepat pada saat itu, si Kembar Iblis Biru muncul.
Dan mereka sangat terkejut melihat pertarungan itu.
Tapi baru saja mereka hendak membantu, Pengemis
Tongkat Hitam sudah menghadang. Dan Puncak Bukit
Batu itu yang semula tenang, kini jadi penuh dengan
teriakan-teriakan pertempuran.
Bayu terus menyerang dengan mengeluarkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya. Kemarahan
yang telah memuncak, membuat dia tidak mau lagi
main-main! Serangan-serangannya sangat dahsyat,
dan setiap angin pukulannya sanggup untuk meng-
hancurkan batu. Sementara Iblis Hitam
mengimbanginya dengan berhati-hati. Dia sudah
mengenal semua jurus-jurus yang dimiliki oleh
Pendekar Pulau Neraka, tapi dia tidak menduga sama
sekali, kalau jurus-jurus itu ternyata lebih dahsyat di
tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Huh! Aku harus segera menggunakan senjata
cakra emas!" dengus Branta Ireng.
Lalu dengan cepat, Branta Ireng langsung
mengibaskan tangan kanannya. Seketika secercah
cahaya keemasan meluncur deras ke arah Bayu.
Buru-buru Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat
tangan kanannya tinggi-tinggi. Dan tepat pada saat
cakra emas itu hampir menembus dadanya, dengan
cepat Bayu menarik turun tangannya.
Tring!
Senjata cakra itu langsung menempel pada
pergelangan tangan Bayu yang memakai gelang
keperakan. Tentu saja Branta Ireng terkejut begitu
melihat senjatanya sudah menempel pada per-
gelangan tangan kanan lawannya. Buru-buru dia
mengeluarkan senjata Cakra Maut berwarna
keperakan, yang telah dicurinya dari Pendekar Pulau
Neraka. Dan tanpa berpikir panjang lagi, dia segera
melontarkannya dengan pengerahan tenaga dalam
penuh.
Suara mendesing membelah udara, dan Cakra
Maut bergerigi enam itu meluncur deras ke arah Bayu
Hanggara. Namun dengan cepat, Pendekar Pulau
Neraka itu mengibaskan tangan kanannya! Dan cakra
emas di pergelangan tangan kanannya pun, langsung
melesat cepat ke arah cakra perak.
Satu ledakan keras terjadi begitu dua senjata
berbenturan di udara. Bunga api memercik, disertai
dengan memancarnya cahaya yang menyilaukan
mata.
"Heh...!" Branta Ireng langsung terkejut begitu
melihat kepingan-kepingan cakra emasnya ber-
jatuhan ke tanah.
Dan dari pijaran cahaya yang menyilaukan
tersebut, meluncurlah cakra perak bergerigi enam ke
arah Bayu. Pendekar Pulau Neraka segera melompat
ke atas, karena arah cakra itu berubah naik ke atas.
Dan pada saat itu juga, Branta Ireng pun langsung
melentingkan tubuhnya ke atas. Tampak dua tubuh
melayang deras mengejar senjata cakra yang
meluncur cepat ke angkasa.
"Hiyaaa...!" Bayu memekik keras seraya
menggenjot tubuhnya lebih kencang.
Dua tokoh sakti itu segera berbenturan di udara
dengan kecepatan bagai kilat. Dan tahu-tahu kedua
tubuh itu kembali meluncur ke bawah dengan cepat.
Tampak tubuh Pendekar Pulau Neraka bergulingan ke
tanah. Sedangkan Branta Ireng juga bergulingan
begitu tubuhnya menghantam tanah.
Namun dengan cepat mereka dapat bangkit
kembali. Tampak Bayu sudah berdiri tegak sambil
tersenyum dengan tangan melipat di depan dada.
Sedangkan cakra bergerigi enam dan berwarna
keperakan, sudah menempel kembali di pergelangan
tangannya. Melihat hal itu, Branta Ireng hanya bisa
mendengus geram.
"Bagaimana, Iblis Hitam? Akal licik apa lagi yang
sedang kau pikirkan?" ejek Bayu sinis.
"Phuih! Seharusnya kubunuh kau di penjara,
Pendekar Pulau Neraka!" geram Branta Ireng.
"Kenapa tidak kau lakukan? Sekarang sudah
terlambat. Dan aku akan segera mengirimmu ke
neraka, Iblis Hitam!"
"Ha ha ha...! Kau boleh bangga jadi murid Gardika,
tapi aku sudah tahu semua jurus-jurus yang kau
miliki, Bayu! Sebaiknya kau segera bunuh dirimu
sendiri, sebelum aku terpaksa membunuhmu!"
"Kau salah, kalau menganggap semua ilmu Eyang
Gardika tertuang di dalam kitab. Masih banyak yang
tidak dia tulis, dan aku memiliki lebih dari apa yang
kau kira! Kitab yang telah kau curi itu, hanya berisi
sepertiga dari ilmu-ilmu Eyang Gardika!"
"Keparat! Kau jangan coba-coba menggertakku,
Bayu!"
"Untuk apa? Majulah, kalau kau ingin merasakan
yang tidak bisa kau curi!"
Seketika Branta Ireng kembali menggeram.
Kemudian dia segera mengerahkan jurus 'Pukulan
Tapak Beracun'. Sementara Bayu juga mengerahkan
jurus yang sama. Namun tingkatannya tentu saja
berbeda. Bayu sudah menguasai jurus 'Pukulan
Tapak Beracun' sampai pada tahap kesempurnaan.
Sedangkan yang pernah terjadi pada Pengemis
Tongkat Hitam, baru sepertiga bagian saja.
"Mampus kau, bocah setan! Hiyaaa...!" teriak
Branta Ireng sambil melompat.
"Hup! Yeaaah...'!"
***
Dua tokoh kondang tersebut kemudian saling
berlompatan dengan kedua tangan yang menjulur ke
depan. Dan tepat pada satu titik, kedua telapak
tangan mereka bertemu. Seketika terdengarlah satu
ledakan keras, disusul dengan terlontarnya tubuh
Branta Ireng. Sedangkan Bayu hanya terdorong dua
langkah ke belakang.
"Phuih!" Branta Ireng segera menyemburkan
ludahnya yang bercampur darah.
Dia pun kembali melompat dan berusaha berdiri.
Namun tubuhnya masih sempoyongan. Kekuatan dari
jurus 'Pukulan Tapak Beracun' yang dimilikinya masih
jauh di bawah Pendekar Pulau Neraka. Kalau saja
Branta Ireng tidak memiliki jurus pukulan itu,
mungkin tubuhnya sudah hangus!
"Ayo kita mulai lagi, Bocah!" bentak Branta Ireng
geram.
"Kau memang sudah tidak pantas untuk hidup lagi,
Iblis Hitam! Bersiaplah untuk mati!" sambut Bayu
dingin.
Pendekar Pulau Neraka sudah mencium bau
darah. Dan itu pertanda bahwa dia tidak mungkin lagi
bisa dihalangi. Lawan yang berhadapan harus tewas
di tangannya! Kini, Bayu segera membungkukkan
tubuhnya, dan memiringkannya ke kiri. Lutut kirinya
agak tertekuk dengan tangan menyilang di depan
dada. Dia sedang menyiapkan jurus 'Pukulan Racun
Hitam'. Satu jurus andalan yang belakangan ini jarang
digunakan.
Sejenak Branta Ireng agak berkerenyut keningnya
melihat kembangan jurus yang tengah dikeluarkan
Pendekar Pulau Neraka itu. Rasanya dia pernah
melihat jurus itu diperagakan oleh Gardika, dan dia
sudah tahu pula kedahsyatannya. Buru-buru Branta
Ireng mengerahkan jurus andalannya juga.
"Hiya...!" Bayu mendadak berteriak nyaring seraya
melompat ke depan.
"Yeaaah...!" Branta Ireng pun segera
menyambutnya.
Dan pertarungan antara kedua tokoh itu pun tidak
bisa dielakkan lagi. Mereka bertarung dengan jurus
andalan masing-masing. Tampak Bayu terus
menghantamkan pukulannya secara beruntun ke
arah bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.
Namun dia juga tidak mengurangi daya per-
tahanannya. Branta Ireng agak kewalahan juga
menghadapi jurus yang dikeluarkan Pendekar Pulau
Neraka itu.
Beberapa kali pukulan yang dilontarkan oleh Bayu
berhasil dihindarkan oleh Branta Ireng. Namun pada
saat si Iblis Hitam itu menghindari tendangan yang
menyamping, tanpa diduga sama sekali tangan kiri
Bayu menyodok ke arah perutnya.
"Ikh!"
Branta Ireng segera berkelit menarik tubuhnya ke
belakang. Dan pada saat itu tangan kanan Bayu
kembali menyodok ke arah dada. Kini Branta Ireng
tidak sempat lagi untuk menghindar. Serangan itu
langsung mendarat telak di dadanya.
"Akh...!" Branta Ireng memekik keras.
Tubuhnya seketika limbung, dan terdorong ke
belakang beberapa tindak. Bersamaan dengan itu,
Bayu segera memiringkan tubuhnya ke kiri, dan
secepat kilat dia mengibaskan tangan kanannya ke
depan. Seketika itu juga, secercah cahaya keperakan
melesat bagai kilat dari pergelangan tangan
kanannya.
Tentu saja Branta Ireng membeliak terperangah.
Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu melesat
cepat dan tidak dapat terbendung lagi. Maka dengan
satu jeritan melengking tinggi, tubuh Branta Ireng
langsung terjungkal ke tanah, begitu Cakra Maut yang
dilepaskan oleh Pendekar Pulau Neraka itu
membentur dadanya.
Sejenak Bayu menarik tangan kanannya ke depan
dada. Dan cakra yang telah menembus dada Branta
Ireng, melesat kembali ke arahnya. Senjata bergerigi
enam dan berwarna keperakan itu langsung
menempel di pergelangan tangannya. Sebentar Bayu
meman-dangi tubuh Branta Ireng yang berkelojotan
meregang nyawa.
"Akh! Kau... kau hebat, Bayu. Tentu Gardika
bangga mempunyai murid sepertimu," kata Branta
Ireng masih sempat memuji dalam keadaan kritis.
"Kau tidak pantas untuk menyebut nama guruku,
Branta Ireng!" dengus Bayu tidak senang.
"Aku tahu, tidak lama lagi aku pasti akan mati. Tapi
ketahuilah, bahwa aku tidak mencuri kitab gurumu
itu. Aku hanya menyelamatkan dari tangan orang-
orang yang tidak berhak. Memang benar aku adik
seperguruan Gardika, gurumu. Dan aku merasa
menyesal telah mengkhianatinya. Rasa penyesalan
membuat diriku sengsara, Bayu. Dan aku memutus-
kan untuk tinggal dan mengabdi pada Dewa Rimba.
Utusan dewa dari kahyangan yang menampung
orang-orang yang ingin bertobat," lemah dan bergetar
suara Branta Ireng.
"Aku tidak percaya dengan kata-katamu lagi,
Branta Ireng!"
"Kau boleh saja membenciku, Bayu. Tapi kau
harus ingat, persoalan yang sedang kau hadapi tidak
ada sangkut pautnya sama sekali dengan Prabu
Dewa Rimba. Semua itu adalah ulah Pendeta Pasanta
yang ingin menguasai Istana Dewa Rimba. Dia
memang pernah bermukim di sana cukup lama, dan
mengetahui betul seluk beluknya. Kau harus hati-hati
Bayu. Pendeta Pasanta mempunyai cambuk sakti
yang berhasil dicurinya dari Dewa Rimba."
Sejenak Bayu mengerutkan keningnya. Kali ini dia
mau tidak mau mempertimbangkan juga kata-kata
Branta Ireng.
"Aku sudah mengetahui semua tindakan Pendeta
Pasanta, tapi aku tidak mau melaporkannya pada
Prabu Dewa Rimba. Karena...," Branta Ireng terbatuk.
"Karena apa?" desak Bayu.
"Aku terpaksa mengikuti keinginannya dan menjadi
mata-mata di dalam Istana Dewa Rimba. Pendeta
Pasantalah yang telah menahan kitab gurumu, Bayu.
Dan dia mengancam akan melenyapkan kitab itu jika
aku tidak mau menururi perintahnya. Aku merasa
berdosa pada Gardika, aku merasa bertanggung
jawab dengan kitab itu. Sangat berbahaya jika
Pendeta Pasanta sampai mempelajarinya suara
Branta Ireng makin melemah.
Kini Bayu jadi terdiam. Entah apa yang sedang
dipikirkannya. Kata-kata Branta Ireng telah membuat
hatinya bimbang. Dia memang telah mendapat pesan
dari Eyang Gardika untuk membunuh Branta Ireng
atau yang berjuluk si Iblis Hitam, karena telah
mencuri kitab miliknya dan mengkhianatinya, dengan
memberitahukan tempat persembunyiannya pada
tokoh-tokoh rimba persilatan, yang memang
menginginkan kematiannya.
Kini setelah dia melaksanakan amanat gurunya,
datang lagi kebimbangan. Karena ternyata Branta
Ireng telah jauh berubah. Laki laki tua berkulit hitam
itu bukan lagi seperti dulu. Seorang yang kejam dan
selalu mementingkan diri pribadi. Bahkan berkhianat
pada Eyang Gardika karena merasa kalah dalam
memperebutkan gadis desa yang cantik. Penyesalan
memang selalu terlambat datangnya. Dan penyesalan
itu tidak berguna lagi di saat maut telah begitu dekat
menjemput.
"Bayu..., aku mohon padamu. Jangan me-
mandangku seperti yang dulu. Aku bukan lagi Iblis
Hitam, tapi aku Branta Ireng. Iblis Hitam sudah mati.
Aku mohon padamu, Bayu. Bawalah mayatku..., dan
kuburkan dekat tempat tinggal Gardika. Aku
mohon...," Branta Ireng tidak mampu lagi melanjutkan
kata-katanya. Dia tersentak, dan langsung diam dan
tak bergerak-gerak lagi!
Bayu hanya bisa diam memandangi. Hatinya masih
diliputi kebimbangan dengan kata-kata terakhir laki-
laki tua itu. Sementara itu pertempuran antara
Pengemis Tongkat Hitam dengan si Kembar Iblis Biru
sudah terhenti sejak tadi. Dan Bayu tidak menyadari,
kalau mereka semua mendengarkan apa yang
barusan dibicarakan. Kini dia baru tersadar saat dua
orang kembar itu berlari dan menubruk mayat Branta
Ireng.
"Guru...!"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang.
8
Bayu tampak menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya.
Sementara dua orang laki-laki kembar dan berbaju
biru masih menangisi kematian Branta Ireng, lama
juga mereka meratapi mayat gurunya. Tak lama
kemudian pelahan-lahan kepala mereka terangkat.
Kedua laki-laki yang berwajah bengis dan kembar
menatap Bayu dengan pandangan sayu. Hilang sudah
kekejaman dan kebengisan pada sorot matanya. Dan
Bayu hanya menarik napas panjang saja.
Kini semuanya sudah jelas Branta Ireng telah
melakukan semuanya itu karena merasa bertanggung
jawab atas kitab saudara seperguruannya, yang
dicurinya dengan cara mengkhianatinya. Dan si
Kembar Iblis Biru yang sempat menjadi muridnya
tidak mengetahui hal itu. Mereka hanya tahu bahwa
gurunya punya suatu rencana dengan Pendeta
Pasanta. Hanya rencana saja yang dikatakan Branta
Ireng. Tidak sedikit pun dikatakan rencana apa.
Semuanya menjadi rahasia Branta Ireng. Dan si
Kembar Iblis Biru hanya menurut saja padanya,
sehingga tidak mau mendesak dan menanyakannya.
"Kami mohon, kau sudi menuruti permintaan
Guru," kata salah seorang dari si Kembar Iblis Biru.
Bayu tidak langsung menjawab.
"Kami bersedia melakukan apa saja, asal kau sudi
memenuhi permintaan Guru yang terakhir," katanya
lagi berharap.
"Kalian murid Iblis Hitam?" tanya Pengemis
Tongkat Hitam seperti ingin meyakinkan dirinya. Dia
sudah berdiri di samping Bayu.
"Ya, hanya kami berdua muridnya."
"Benar apa yang telah dikatakan oleh gurumu
tadi?" tanya Pengemis Tongkat Hitam lagi.
"Benar, dan kami tidak tahu persis persoalannya.
Yang kami tahu, guru kehilangan kitab pusaka. Dan
kitab itu ternyata dicuri oleh Pendeta Pasanta. Guru
sudah merencanakan untuk mengambil kitab itu
kembali, tapi kami tidak tahu rencana keseluruhan-
nya."
"Bayu, tampaknya mereka dalam posisi tertekan,"
kata Pengemis Tongkat Hitam seraya menoleh pada
pemuda di sampingnya.
"Eyang Gardika tinggal di Pulau Neraka, dan
tempatnya sangat jauh dari sini. Harus ke Pantai
Selatan dulu sebelum menyeberangi pulau itu. Dan
hanya akulah yang bisa masuk ke sana," kata Bayu
pelan.
"Bagaimanapun juga dia adik seperguruan
gurumu, Bayu. Dan dia juga telah menyesali segala
perbuatannya. Kau harus bisa memaafkannya, dan
memenuhi permintaan terakhirnya," Pengemis
Tongkat Hitam menasehati.
"Baiklah, tapi aku harus menyelesaikan urusanku
dulu dengan Pendeta Pasanta," sahut Bayu seraya
menarik napas panjang.
"Kami akan membantumu," kata si Kembar Iblis
Biru serentak.
"Tak perlu, kalian jaga saja jenazah guru kalian di
sini. Dan aku akan segera menjemput kalian setelah
urusanku selesai," sahut Bayu cepat.
Si Kembar Iblis Biru hanya bisa mengangguk.
"Sebaiknya jangan di sini, Bayu. Tempat ini terlalu
terbuka. Aku khawatir ada orang Iain yang akan
mengetahuinya," Pengemis Tongkat Hitam memberi
saran.
"Kami punya suatu tempat yang tidak akan bisa
diketahui oleh siapa pun," celetuk salah seorang
kembar itu.
"Di mana?" tanya Bayu.
"Sebelah Selatah Bukit Batu ini."
"Kalau begitu, sekarang juga kita harus ke sana!"
usul Bayu.
Dan tanpa ada yang membantah lagi, mereka
segera meninggalkan Bukit Batu itu menuju arah
Selatan. Tampak si Kembar Iblis Biru membopong
mayat gurunya. Sedangkan Bayu dan Pengemis
Tongkat Hitam mengikuti dari belakang.
"Kalian berjuluk si Kembar Iblis Biru. Kenapa
memakai julukan itu? Rasanya kurang cocok dengan
watak kalian," kata Pengemis Tongkat Hitam.
"Sebenarnya kami punya nama. Aku bernama
Waka Biru, dan ini adikku bernama Watu Biru," sahut
salah seorang yang berjalan di sebelah kanan.
"Lalu kenapa memakai julukan itu?" tanya
Pengemis Tongkat Hitam lagi.
"Guru yang telah memberi kami nama julukan
begitu. Katanya harus memakai julukan dari golongan
hitam, untuk bisa masuk ke Istana Dewa Rimba.
Dansebetulnya kami punya julukan juga, yaitu si
Kembar Dari Utara. Kami sebenarnya tidak mau
melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang
lain."
"Hm..., jadi selama ini gurumu mendustaiku?
Kenapa dia lakukan itu?" Bayu seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Guru mengetahui jurus-jurus yang kau gunakan.
Dan dia khawatir kalau kau akan menuntut kembali
kitab pusaka itu."
"Sayang, kalau saja dia mau berterus terang sejak
semula, mungkin nasibnya tidak sampai begini,"
gumam Bayu pelan.
"Guru memang menginginkan mati di tangan orang
yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi. Dan itu
hanya bisa dilakukan oleh adik seperguruannya. Kami
rasa guru senang karena keinginannya terkabul.
Katanya dia ingin menebus segala dosa yang telah
diperbuatnya pada saudara seperguruannya."
Bayu hanya diam. Dan Pengemis Tongkat Hitam
juga tidak banyak tanya lagi. Entah apa yang sedang
mereka pikirkan saat ini. Yang jelas, Bayu sudah tidak
sabar lagi untuk menantang Pendeta Pasanta. Dia
tidak peduli lagi dengan kitab pusaka peninggalan
gurunya yang dicuri pendeta murtad itu. Kalaupun dia
berhasil merampasnya kembali, akan segera
dimusnahkan. Karena kini Bayu tidak memerlukannya
lagi.
***
Malam sudah demikian larut. Kegelapan kini
menyelimuti seluruh Desa Gampil. Keadaan seluruh
pelosok desa itu sunyi senyap. Angin bertiup agak
keras malam ini, dan menebarkan hawa dingin
seperti menusuk kulit. Namun suasana malam itu
tidak mempengaruhi keadaan di dalam sebuah
rumah besar di desa itu.
Pada salah satu kamar di rumah itu, tampak
seorang gadis cantik tengah duduk merenung di tepi
pembaringan. Gadis itu tidak menyadari kalau ada
seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Seorang
laki-laki gemuk berkepala gundul dan berjubah
kuning gading. Gadis itu baru sadar setelah laki-laki
itu duduk di sampingnya.
"Mau apa kau?" sentak gadis itu sengit. Dia segera
menggeser duduknya menjauh.
"He he he...," laki-laki yang ternyata adalah
Pendeta Pasanta itu hanya terkekeh. Matanya yang
liar terus merayapi wajah gadis itu.
Dan gadis cantik itu semakin menggeser duduknya
menjauh. Tapi pendeta gundul itu segera bangkit, dan
melangkah pelan-pelan menghampiri. Senyumnya
lebar menyeringai, dan matanya semakin liar
merayapi wajah yang mulai dilanda ketakutan.
"Kenapa kau harus takut, Lastri? Besok kau akan
menjadi pengantin. Aku sudah memutuskan untuk
mempercepat pelaksanaannya," kata Pendeta
Pasanta.
"Huh! Siapa yang mau menjadi pengantin? Kau
kira aku tidak tahu akal licikmu, Pendeta Murtad! Kau
telah memperalat Prabu Dewa Rimba, dan meracuni
semua penduduk dengan kata-kata manismu. Tapi di
balik semua itu, kau hanya melampiaskan nafsu
bejadmu!" garang kata-kata Lastri.
"Itu tidak benar, Lastri. Siapa yang mengatakan itu
padamu?" agak terkejut juga Pendeta Pasanta
mendengarnya. Namun dia segera bisa mengatasinya
dengan cepat.
"Semua dayang-dayangmu berkata begitu padaku!
Kau pikir mereka senang? Mereka selalu mengutuk-
mu!" sahut Lastri sengit.
Seketika merah padamlah seluruh wajah Pendeta
Pasanta. Gerahamnya bergemeletuk dan tiba-tiba
saja dia melompat dan menerkam gadis itu. Tentu
saja Lastri langsung memekik kaget. Dia terus
meronta dan berusaha melepaskan diri dari pelukan
laki-laki gendut itu. Namun pelukan Pendeta Pasanta
demikian kuat.
"Lepaskan!" jerit Lastri sambil memukuli tubuh
gemuk itu.
"Kau memang tidak akan jadi pengantin, gadis liar!
Malam inilah malam pengantinmu!" desis Pendeta
Pasanta.
"Tidak! Akh...!"
Lastri benar-benar terkejut. Dia baru menyadari,
ternyata selama ini Pendeta Pasantalah yang berada
di belakang semua kejadian itu.
Semua gadis-gadis yang dijadikan Pengantin Dewa
Rimba, ternyata hanya dijadikan pemuas nafsu
olehnya. Dan dia memfitnah Prabu Dewa Rimba
dalam menutupi semua aksinya itu. Benar-benar
suatu perbuatan yang licik dan terencana rapi.
Bret!
Lastri menjerit histeris, ketika dengan kasar
Pendeta Pasanta berhasil merenggut baju yang
dikenakannya. Mata laki-laki gemuk dan gundul itu
semakin liar menatap kulit tubuh yang putih halus
dan sudah terbuka lebar. Lastri jadi sibuk berusaha
menutupi tubuhnya sambil terus memberontak,
berusaha melepaskan diri dari dekapan laki-laki itu.
Sedangkan Pendeta Pasanta nampaknya sudah
tidak bisa lagi mengendalikan diri. Dengan kasar dia
merenggut baju yang masih tersisa di tubuh gadis itu.
Lastri terus menjerit-jerit minta tolong, tapi siapa yang
mau menolongnya? Tidak seorang pun yang peduli
dengan jeritan gadis itu. Kini tidak ada yang bisa
diperbuatnya lagi. Air matanya mulai menitik turun
dan membasahi pipinya.
"Jangan..., kasihani aku, Pendeta. Tolong jangan
lakukan itu...," rintih Lastri memelas.
Namun Pendeta Pasanta tidak mau mendengarnya
sama sekali. Dia bergerak semakin liar saja. Dan
pada saat pertahanan Lastri hampir jebol, mendadak
daun jendela kamar itu terdobrak hancur, dan
melesatlah seberkas sinar keperakan.
"Uts!"
Buru-buru Pendeta Pasanta menggulingkan
tubuhnya ke samping. Sedangkan tangannya meraih
pakaiannya, dan mengenakannya kembali. Matanya
mendelik melihat sebuah bintang perak sudah ter-
tancap di dinding. Sementara Lastri buru-buru
menutupi tubuhnya dengan kain seadanya.
"Suiiit..!"
Terdengar siulan panjang melengking tinggi.
Pendeta Pasanta langsung melompat ke luar,
menembus jendela kamar yang sudah jebol
berantakan. Suara siulan itu masih terdengar panjang
melengking. Laki-laki gundul dan gemuk itu
melentingkan tubuhnya ke atas atap. Telinganya
mendadak mendengar suara jeritan dan pekikan,
ditingkahi dentingan senjata dari arah depan.
"Edan! Siapa yang telah berani main gila di sini?!"
dengusnya geram ketika melihat di halaman depan,
tampak para pengikutnya tengah bertarung melawan
seorang laki-laki tua bertongkat hitam.
Dan baru saja Pendeta Pasanta mau melompat
turun, mendadak sebuah bayangan berkelebat naik
ke atas genting. Tentu saja Pendeta Pasanta terkejut,
begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang
pemuda tampan dan gagah, mengenakan baju kulit
harimau.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Pendeta
Pasanta.
"Aku datang untuk mengirimmu ke neraka,
Pendeta Murtad!" dingin suara Pendekar Pulau
Neraka.
"Ha ha ha...! Tidak ada ceritanya tikus menantang
harimau!" ejek Pendeta Pasanta sambil tertawa
terbahak-bahak.
"Tikus itu berani karena harimaunya sudah
ompong!" ujar Bayu tak kalah sengit.
"Keparat!" geram Pendeta Pasanta. Merah padam
seluruh mukanya mendengar ejekan itu.
"Bersiaplah untuk mati, Pendeta Pasanta!"
"Hup!"
Pendeta Pasanta langsung mengeluarkan sebuah
pecut berwarna hitam pekat, dengan ujung-ujungnya
seperti buntut kuda. Dia pun segera mengebutkan
pecutnya itu ke udara. Seketika terdengarlah suara
menggeletar bagai guntur, yang memekakkan telinga.
Bayu yang sudah diperingatkan oleh Branta Ireng
langsung bersikap hati-hati menghadapinya. Ujung
ujung pecut itu tampak memercikkan api saat
dikebutkan. Kini Pendeta Pasanta langsung
menyerang sambil mengebut-ngebutkan pecutnya.
Sementara Bayu segera berlompatan menghindari
ujung cambuk itu, sedikit kaget juga melihat ujung
cambuk itu seperti bermata saja. Ke mana dia
melompat menghindar, selalu terkejar dengan cepat.
"Ha ha ha...!" Pendeta Pasanta tertawa terbahak
bahak.
Pendekar Pulau Neraka benar-benar merasa
kewalahan menghadapi senjata maut itu. Kini dia
berusaha menandinginya dengan melontarkan Cakra
Maut. Tapi senjata andalannya itu langsung berbalik
lagi begitu dilontarkan, sepertinya cakra itu tidak mau
berbenturan dengan cambuk hitam di tangan
Pendeta Pasanta.
"Mampus kau, bocah setan!" bentak Pendeta
Pasanta.
Bersamaan dengan itu, Pendeta Pasanta meng-
angkat tangannya tinggi-tinggi, dan langsung
mengebutkan senjatanya dengan kuat. Namun pada
saat itu, dia jadi tersentak! Pecut di tangannya tiba-
tiba terbetot, sepertinya ada tangan yang menariknya.
Sejenak Pendeta Pasanta mendongak ke atas. Dan
tubuhnya langsung gemetaran.
Bayu sendiri juga terpana melihatnya. Di atas
kepala Pendeta Pasanta, melayanglah seorang laki-
laki muda dan tampan, serta berbaju putih bersih.
Tangan kanannya tampak menggenggam ujung
cambuk dengan kuat. Dan dengan sekali tarik saja,
pegangan Pendeta Pasanta pada cambuk itu
langsung terlepas.
Seketika Pendeta Pasanta melompat mundur.
Wajahnya kini jadi berubah pucat, melihat pemuda itu
melayang turun dan hinggap di atap. Sementara Bayu
masih terpana melihat kedatangan Prabu Dewa
Rimba yang begitu tiba-tiba, dan bisa melayang bagai
burung!
Sementara pertarungan di halaman depan rumah
itu masih terus berlangsung. Kini Pengemis Tongkat
Hitam tidak lagi kerepotan, karena dia sudah dibantu
oleh dua orang laki-laki kembar berbaju biru. Sudah
tidak terhitung lagi, berapa mayat bergelimpangan
dengan bersimbah darah. Dan di atas atap, tampak
tiga orang laki-laki tengah berdiri tegak dengan mulut
terkunci rapat.
"Aku tidak menyangka, kalau kau akan berbuat
sekeji itu, Pendeta Pasanta," kata Prabu Dewa Rimba
dingin.
"Kau tahu, kenapa aku ingin menghancurkanmu?
Karena kau lebih percaya pada kata-kata si tua bodoh
Branta Ireng!" agak bergetar suara Pendeta Pasanta.
"Hal itu bukanlah alasan tepat untuk kau kembali
ke dunia hitam, Pendeta Pasanta."
"Ha ha ha...! Memang bukan! Sebenarnya sudah
bertahun-tahun aku merencanakan semua ini, dan
mempelajari segala kelemahanmu. Rasanya aku
memang harus menghancurkanmu, Dewa Rimba.
Karena kau telah menghancurkan puri kami, tempat
kami!"
"Aku memang harus menghancurkan puri sesat itu!
Tidak kusangka, kau adalah salah satu pendeta
murtad yang berhasil lolos dari puri hitam itu!"
"Bukan aku saja yang berhasil lolos, Dewa Rimba.
Tapi masih banyak saudara-saudaraku yang masih
hidup. Dan mereka tidak akan pernah berhenti untuk
mengajarkan aliran yang sesat, Dewa Rimba! Aku pun
tidak akan tenang jika kau masih hidup!"
"Sayang, dewa-dewa di nirwana tidak lagi
mengijinkan aku untuk membunuh manusia lagi.
Maaf, aku harus kembali, masih banyak tugas yang
harus kuselesaikan."
"Tunggu, pengecut!"
Tapi Dewa Rimba sudah melayang cepat
meninggalkan tempat itu. Buru-buru Pendeta Pasanta
hendak mengejar, namun Bayu lebih cepat lagi
bertindak. Dia segera mengibaskan tangan kanannya,
dan senjata cakra langsung melesat cepat bagai kilat.
"Akh!" seketika Pendeta Pasanta memekik
tertahan begitu pundaknya dirobek senjata itu.
Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, senjata
cakra itu sudah berbalik dan meluruk deras ke
arahnya. Maka tanpa ampun lagi, Cakra Maut
bergerigi enam itu langsung menghunjam dadanya.
"Hiya...!" Bayu segera melenting sambil
mengangkat tangan kanannya ke atas.
Lalu bersamaan dengan menempelnya senjata
Cakra Maut ke pergelangan tangan kanan, kaki Bayu
segera menghajar kepala Pendeta Pasanta. Tidak
ampun lagi, laki-laki gemuk berkepala gundul itu
langsung meluruk jatuh ke tanah. Namun dia masih
sempat bangkit lagi, meskipun dari pundak dan
dadanya sudah mengucur darah. Sejenak Pendeta
Pasanta menggeleng-gelengkan kepalanya.
Saat itu Bayu juga sudah meluruk deras ke
arahnya. Dia tidak mau lagi bertindak tanggung-
tanggung. Maka dengan mengerahkan jurus 'Pukulan
Racun Hitam', secara bertubi-tubi dia menyarangkan
pukulannya ke tubuh Pendeta Pasanta. Sejenak Bayu
heran juga melihat daya tahan yang luar biasa dari
laki-laki gemuk itu. Dadanya telah bolong, dan
pundaknya sudah tergores dalam. Darah pun banyak
bercucuran. 'Pukulan Racun Hitam' sudah beberapa
kali menghajar tubuhnya, tapi laki-laki gemuk itu
masih saja bisa berdiri, meskipun limbung.
"Kau tidak akan bisa membunuhnya, Pendekar
Pulau Neraka...," tiba-tiba terdengar bisikan halus di
telinga Bayu.
Bayu segera mendongak ke atas. Tampak sebuah
bayangan putih melayang-layang di angkasa. Dia tahu
kalau bayangan itu adalah Dewa Rimba.
"Pendeta Pasanta memiliki kekebalan pada
sabuknya. Jika kau berhasil merampasnya, baru dia
akan bisa mati," terdengar lagi suara bisikan halus.
Bayu menatap Pendeta Pasanta yang sudah
bergerak lagi hendak menyerangnya. Mata Pendekar
Pulau Neraka itu menatap tajam ke pinggang Pendeta
Pasanta. Tampak sebuah sabuk besar yang berwarna
hitam, melingkar di perut gendut itu. Maka dengan
mengerahkan jurus 'Bayangan Dewa Maut', Bayu
segera mendahului menyerang. Gerakannya begitu
cepat seperti bayangan saja.
Dan dengan mudah, Bayu berhasil memegang
sabuk di pinggang Pendeta Pasanta, namun dia
terkejut karena sabuk itu ternyata sulit terlepas.
Tepat pada saat Bayu berusaha menarik sabuk itu,
pukulan geledek Pendeta Pasanta langsung meng-
hajar tubuhnya. Tak pelak lagi, tubuh Pendekar Pulau
Neraka itu segera terpental sejauh dua batang
tombak. Sedangkan Pendeta Pasanta buru-buru
melompat menerjang.
Melihat keadaan itu, Bayu bergegas meng-
gulingkan tubuhnya ke samping, lalu dengan cepat
kembali melompat bangkit. Dan bagaikan seekor
kucing tengah menerkam ikan, Pendekar Pulau
Neraka melompat sambil melancarkan pukulan
mautnya dengan bertubi-tubi.
Gerakan Pendeta Pasanta yang memang sudah
lamban, tidak sanggup untuk berkelit. Dan pukulan
Bayu dengan telak menghajar tubuhnya. Namun Bayu
merasakan pukulannya seperti mengenai buntalan
kapas. Pendeta Pasanta masih tangguh, tidak goyah
sedikit pun! Dia kini malah menyeringai menyeram-
kan. Buru-buru Bayu melompat mundur dua tindak.
Lalu dengan cepat dimiringkan tubuhnya sambil
melontarkan senjatanya.
Seketika Cakra Maut bergerigi enam itu langsung
melesat cepat, dan menancap tepat di mata Pendeta
Pasanta. Kontan saja laki-laki gemuk dan gundul itu
meraung keras. Sejenak Bayu menghentakkan
tangan kanannya dengan kuat, dan cakra yang
tengah tertancap di mata Pendeta Pasanta itu pun
tercabut ke luar.
Namun sebelum senjata itu kembali pada
pemiliknya, Bayu segera mengebutkan tangan
kanannya ke arah perut lawannya.
Trak!
"Aaakh...!" Pendeta Pasanta langsung menjerit
melengking.
Dan tanpa membuang-buang kesempatan, Bayu
langsung melompat dan mengirimkan tendangan
geledeknya ke arah tubuh Pendeta Pasanta. Kontan
saja tubuh gemuk itu terjungkal keras menghantam
tanah. Lalu sekali lagi Pendekar Pulau Neraka itu
mengebutkan tangan kanannya, dan senjatanya itu
kembali meluncur deras ke arah tubuh yang sudah
menggeletak itu.
Cras!
Seketika Cakra Maut bergerigi enam merobek
perut lawannya. Dan hampir bersamaan pula, Bayu
segera melompat dengan tangan bergerak cepat
merampas sabuk yang sudah terpotong senjatanya.
Dengan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, kali
ini dia berhasil mencopot sabuk itu dari pinggang
Pendeta Pasanta.
"Mampus kau..., hih! "
Sekali lagi Bayu menghantamkan pukulan
mautnya ke arah dada. Sebentar Pendeta Pasanta
masih berkelojotan, lalu diam dan tak bergerak lagi.
Bayu masih berdiri tegak sambil memandangi mayat
lawannya. Lalu dia mendongakkan kepalanya ke atas.
Tampak bayangan tubuh putih tengah melayang
menjauh. Pendekar Pulau Neraka itu pun segera
memeriksa tubuh gemuk yang sudah menjadi mayat
Dan dari balik lipatan bajunya dia menemukan
sebuah kitab yang bersampul kulit hitam.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, Bayu segera
menghancurkan kitab itu dengan 'Pukulan Tapak Api'.
Seketika itu juga kitab itu hangus terbakar jadi abu.
Kembali Pendekar Pulau Neraka menarik napas
panjang, kemudian melangkah meninggalkan mayat
Pendeta Pasanta.
Pada saat itu semua pertempuran yang
berlangsung di halaman depan rumah besar tersebut
sudah berhenti. Tampak Pengemis Tongkat Hitam
yang dibantu oleh si Kembar Iblis Biru tengah berlari-
lari menghampiri Bayu. Mereka telah berhasil
menumpas habis semua pengikut Pendeta Pasanta.
Bayu segera berhenti melangkah, menanti tokoh-
tokoh yang telah membantunya itu.
***
"Bayu, aku tadi sempat melihat Prabu Dewa
Rimba. Ke mana dia sekarang?" tanya Pengemis
Tongkat Hitam, begitu sampai di depan Bayu.
"Pergi," sahut Bayu pelan.
"Aku yang telah memberitahunya," celetuk Waka
Biru, salah satu dari manusia kembar itu.
"Kenapa kau lakukan itu?" tanya Pengemis
Tongkat Hitam.
"Maaf, aku memang harus mengatakan semuanya
pada Gusti Prabu Dewa Rimba. Dan beliau pun
memahami. Kami juga akan diterima, jika mau
kembali ke Istana Dewa Rimba," sahut Waka Biru.
"Kalian akan kembali ke sana?" tanya Bayu.
"Ya," sahut si Kembar Iblis Biru serempak.
Bayu hanya bisa tersenyum saja. Entah apa arti
senyumnya itu.
"Bayu, tolong! Bawalah mayat guru kami ke Pulau
Neraka. Maaf, kami tidak bisa ikut. Prabu Dewa
Rimba sudah memperingatkan, kalau kami tidak akan
bisa masuk ke sana. Hanya kaulah yang bisa
melakukannya! Pulau itu selalu dijaga oleh kekuatan
Gardika," kata Waka Biru lagi.
"Tidak apa, aku juga tidak keberatan,'' sahut Bayu
memaklumi.
"Terima kasih, kami permisi dulu."
"Tunggu dulu," cegah Bayu ketika dua orang
kembar itu sudah mulai melangkah.
Waka Biru dan saudara kembarnya itu segera
menghentikan langkahnya. Mereka kembali berbalik
dan menghadap Pendekar Pulau Neraka.
"Terus terang, aku belum tahu betul, siapa Dewa
Rimba itu?" tanya Bayu.
"Dia adalah utusan Dewa-dewa di Swargaloka. Dan
dia datang untuk memberi pengampunan pada setiap
manusia. Sudah banyak orang-orang dari kalangan
rimba persilatan yang bertobat dan meninggalkan
dunianya yang keras," Waka Biru menjelaskan.
Bayu segera mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Oh, ya...! Prabu Dewa Rimba juga telah meng-
undangmu untuk menghadiri upacara perkawinannya.
Kali ini benar-benar Penqantin Dewa Rimba
sungguhan!" sambung Waka Biru.
"Terima kasih, akan kuusahakan untuk datang."
Si Kembar Iblis Biru segera meninggalkan halaman
rumah besar di Desa Gampil itu. Mereka terus berlari
cepat menuju Bukit Batu. Sementara Bayu masih
memperhatikan kepergian mereka dengan hati
mengucapkan sejuta kata. Namun tidak mampu
untuk dikeluarkannya. Kemudian dia segera meng-
ayunkan kakinya setelah bayangan si Kembar Iblis
Biru lenyap dari pandangan.
"Mau ke mana?" tanya Pengemis Tongkat Hitam,
yang sejak tadi terus memperhatikannya.
"Aku rasa tugasku sudah selesai, Kek. Aku harus
memenuhi keinginan terakhir Paman Branta Ireng,"
sahut Bayu pelan.
"Bayu, aku ingin minta maaf padamu," kata
Pengemis Tongkat Hitam pelan.
"Hey! Apa ini?" Bayu sedikit kaget tidak mengerti.
"Aku sudah menduga buruk sebelumnya terhadap-
mu. Kau memang kejam, sadis dan tidak mengenal
kata ampun! Tapi aku merasakan kelembutan dan
kebaikan hatimu," kata Pengemis Tongkat Hitam.
"Ah, sudahlah. Kebetulan saja kau melihatku lagi
baik," Bayu merasa tidak enak juga.
Dan baru saja Bayu hendak melangkah kembali,
tampak Lastri berlari-lari kecil menghampirinya. Gadis
itu hanya mengenakan kain seadanya untuk mem-
balut tubuhnya. Di belakang gadis itu terlihat seorang
laki-laki dan perempuan tua.
"Kakang, kau hendak ke mana?" tanya Lastri
begitu sampai di depan Bayu.
"Pergi. Masih banyak tugas yang harus kuselesai-
kan," sahut Bayu pelan.
"Kakang, aku mau mengucapkan terima kasih,
karena kau telah menyelamatkanku," ucap Lastri.
"Juga kedua orang tuaku, mereka sangat berterima
kasih sekali padamu. Bahkan ayahku berkenan
mengundangmu untuk menginap di rumah."
"Benar, Nak," sambung Ki Sudra meyakinkan.
Kini Bayu tidak bisa menjawab. Dia lalu melirik
pada Pengemis Tongkat Hitam.
"Ah, sebaiknya Tuan juga ikut bersama kami. Aku
akan menjamu Tuan berdua dengan sebaik mungkin,"
kata Nyi Sudra sambil memandang ke arah Pengemis
Tongkat Hitam.
"Ayolah, Kakang...," rengek Lastri memohon.
"Bagaimana, Kek?" Bayu meminta pendapat
Pengemis Tongkat Hitam.
"Aku rasa tidak baik untuk menolak suatu
undangan," sahut Pengemis Tongkat Hitam bijak.
"Kau bisa ke...."
"Aku tahu, Kek!" potong Bayu cepat. "Baiklah, aku
terima undangan kalian."
Tentu saja Lastri gembira mendengar jawaban
Bayu tersebut. Dia langsung memeluk tubuh pemuda
itu tanpa malu-malu lagi. Sementara Pengemis
Tongkat Hitam dan kedua orang tua Lastri segera
mulai melangkah meninggalkan mereka. Bayu ingin
melepaskan pelukan gadis itu, tapi Lastri malah
melingkarkan tangannya dengan kuat ke leher
pemuda itu.
"Lastri...," bisik Bayu merasa tidak enak dengan
yang lain.
"Tinggallah di sini, Kakang," kata Lastri membujuk.
Kembali Bayu tidak bisa menjawab. Rasanya
setiap kali dia menerima kata-kata seperti itu dari
seorang gadis, sulit untuk menjawabnya. Namun Bayu
punya cara tersendiri, dan hanya dialah yang bisa
tahu. Kini Pendekar Pulau Neraka itu mulai
mendekatkan wajahnya ke wajah Lastri, sedang
tangannya melingkar di pinggang gadis yang ramping
itu. Lalu bibir mereka menyatu rapat dalam dekapan hangat!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar