..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 18 Januari 2025

MESTIKA LIDAH NAGA BAGIAN 1

matjenuh

 MESTIKA LIDAH NAGA

1

Karya: Panjidarma

Copyright naskah ini di tangan penerbit LOKAJAYA 

Hak cipta pengarang dilindungi undang-undang


LELAKI muda itu turun dari pedati di batas utara 

Desa Tilugalur.

“Terima kasih, Mang. Benar-benar tak mau singgah 

dulu di rumahku?” lelaki muda itu membetulkan letak 

gembolannya.

“Lain kali saja, Rangga. Aku harus tiba di Kawah-

suling besok pagi,” sais pedati itu menarik tali kenda-

linya. Dan pedatinya bergerak lagi ke arah timur.

Lelaki muda yang dipanggil Rangga itu melambai-

kan tangannya. Lalu melangkah ke selatan, dengan 

senyum di bibirnya.

“Tineng pasti menyambutku dengan gembira,” pikir 

lelaki muda bernama Rangga itu, “Lima bulan aku me-

ninggalkannya. Tapi sekarang aku pulang dengan oleh-

oleh yang tidak bisa didapatkan di Tilugalur ini. O, 

ya... apakah Tineng sudah melahirkan? Waktu aku 

pergi lima bulan yang lalu, dia sedang mengandung. 

Mungkin sekarang kandungannya sudah tua... atau 

mungkin juga sudah... Eh...? Kenapa kampungnya jadi 

sunyi begini?”

Rangga menoleh ke kanan kirinya, dan ia mulai me-

nyadari keganjilan itu, bahwa kampung halamannya 

begitu sunyi, sungguh lain dari biasanya.

Ketika Rangga melangkah terus ke selatan, di mana 

rumah-rumah berderet di kanan-kiri jalan yang tengah 

dilangkahinya, suasana lain dari biasanya itu semakin 

terasa olehnya.

“Pintu-pintu terbuka... tapi tidak tampak seorang 

manusia pun!” Rangga mempercepat langkahnya, ingin 

segera tiba di rumahnya.

Mentari hampir terbenam di ufuk barat ketika 

Rangga tiba di depan rumahnya.

“Pintu rumahku juga terbuka lebar. Tapi ke mana 

Tineng?” Rangga bergegas memasuki pekarangan ru


mahnya.

“Tineng! Aku pulang, Tineng!” Rangga berseru di 

ambang pintu.

Tidak terdengar sahutan. Rangga memanggil-

manggil lagi, “Tineng! Tineng...!”

Dan... tiba-tiba saja Rangga memekik, karena dili-

hatnya sesosok tubuh perempuan hamil tergeletak di 

lantai, “Tineeeeng...!”

Rangga memburu tubuh yang tergeletak itu. Tubuh 

istrinya itu. Dan Rangga menemukan satu kenyataan, 

perempuan hamil itu tak bernyawa lagi!

Rangga memeluk tubuh tak bernyawa itu. “Tineng... 

oh, Tineng! Apa sebenarnya yang telah terjadi? Menga-

pa orang-orang membiarkanmu tergeletak begini? 

Mengapa tiada seorang pun yang mengurusi jenazah-

mu?”

Rangga mengangkat mayat istrinya, lalu meletak-

kannya di atas dipan bambu. Kemudian ditutupnya 

mayat itu dengan kain. Dan air mata berjatuhan dari 

kelopak mata lelaki muda itu.

“Oh, Tineng panutanku! Kalau aku tahu akan begini 

jadinya, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,” 

Rangga mulai menangis, benar-benar menangis.

Ketika tangisnya mulai reda, Rangga melangkah ke 

luar rumahnya, pada saat udara mulai memburam.

“Aku harus memberitahu Juragan Lurah, sekalian 

menanyakan kenapa kematian istriku tidak ada yang 

mengetahui,” Rangga berlari menuju rumah lurah Ti-

lugalur.

Pintu rumah lurah pun terbuka lebar. Tapi Rangga 

tidak berani masuk begitu saja. Ia hanya berdiri di de-

kat pintu yang terbuka itu, sambil berseru perlahan, 

“Sampurasun!”

Tak terdengar sahutan.


Rangga agak memperkeras suaranya. “Sampura-

suuuun...!”

Tak juga terdengar sahutan, sehingga Rangga mem-

beranikan diri menengok-nengok ke dalam, lewat pintu 

yang ternganga itu.

Dan Rangga melihat pemandangan mengerikan di 

dalam rumah itu... Lurah Tilugalur dan keluarganya 

bergeletakan di lantai dalam keadaan tak bernyawa la-

gi!

“Agan Lurah!” pekik Rangga di ambang pintu rumah 

lurah, tanpa berani masuk ke dalamnya.

Dalam kepanikannya, Rangga memukul-mukul ken-

tongan yang tergantung di depan rumah lurah.

Trong... trong... tong.. tong.. tong.. tong.. tong...!

“Kumpul! Kumpuuul! Gan Lurah dibunuh orang! 

Kumpuuul” Rangga berteriak-teriak sambil terus-

terusan memukuli kentongan itu.

Lama juga Rangga memukul kentongan di depan 

rumah lurah itu. Tapi... tak seorang manusia pun da-

tang! Padahal biasanya penduduk Tilugalur sangat pa-

tuh, begitu mendengar bunyi kentongan langsung ber-

hamburan menuju rumah lurah, untuk mendengarkan 

apa yang harus mereka lakukan.

Matahari sudah tenggelam. Rembulan baru mem-

perlihatkan diri sebagian di ufuk timur.

Rangga lelah sendiri, memukuli kentongan tanpa 

hasil. Kemudian ia meninggalkan pekarangan rumah 

lurah sambil berteriak-teriak, “Rakyat Tilugalur! Ke 

mana kalian semua?”

Tilugalur tetap sunyi.

“Hai! Ke mana kalian? Agan Lurah sekeluarga dan 

istriku dibunuh orang! Keluarlah!” Rangga berteriak-te-

riak terus sambil melangkah ke salah satu rumah yang 

terletak paling dekat dengan rumah lurah.


Pintu rumah itu pun terbuka. Dan Rangga meng-

hampiri pintu rumah itu. Ketika Rangga berada di am-

bang pintu yang terbuka itu, lagi-lagi ia melihat mayat-

mayat bergelimpangan di lantai!

“Waaak! Di rumah ini juga banyak mayat! Gustiiii... 

apa sebenarnya yang telah terjadi?” Rangga bergegas 

meninggalkan rumah itu.

Lalu ia berlari ke rumah lain. Dan lagi-lagi ia me-

nemukan hal yang sama. Hanya mayat dan mayat saja 

yang ditemukan olehnya.

“Seluruh penduduk Tilugalur mati! Oooh... di sana-

sini mayat!” Rangga berlari-lari dalam kepanikannya.

Dan lalu ia berteriak-teriak seperti orang gila, 

“Mayaaat! Mayaaaat!”

Tak peduli dengan mayat istrinya yang belum diku-

burkan, tak peduli dengan mayat-mayat penduduk Ti-

lugalur yang bergeletakan di rumahnya masing-

masing, Rangga berlari sekuat-kuatnya ke arah utara.

Ketika Rangga tiba di batas utara Desa Tilugalur, di 

tempat ia turun dari pedati tadi, tiba-tiba terdengar 

suara menegurnya, “Ada apa, orang muda?”

Hampir saja Rangga memekik saking kagetnya, ka-

rena tahu-tahu seorang kakek-kakek berpakaian serba 

putih berdiri di depannya. Sinar rembulan yang jatuh 

di wajah kakek-kakek berjanggut panjang putih itu, 

memperlihatkan seraut wajah bijaksana dan mampu 

menimbulkan ketentraman bagi siapa pun yang meli-

hatnya. Termasuk Rangga.

“Ka... kakek si... siapa?” tanya Rangga tergagap.

Kakek-kakek berpakaian serba putih itu menjawab 

“Siapa diriku, tidak penting bagimu. Yang jelas, tadi 

aku mendengar bunyi kentongan bertalu-talu. Dan 

aku yakin bunyi kentongan itu datang dari kampung 

ini.”


“Benar. Akulah yang memukul kentongan itu. Aku 

baru pulang dari kotaraja. Dan... aku melihat istriku 

sudah tergeletak mati... seluruh penduduk kampung 

ini sudah mati! Aku tidak tahu malapetaka apa sebe-

narnya yang telah terjadi di kampung ini... Oh... aku 

pun tidak tahu apa yang harus kulakukan...” Rangga 

tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, karena ha-

tinya terlarut dalam kesedihan lagi.

Tapi kakek-kakek berpakaian serba putih itu seperti 

tidak membutuhkan keterangan Rangga lebih lanjut. 

Ia meninggalkan Rangga begitu saja, lalu melangkah 

ke selatan, ke Desa Tilugalur yang sudah dilanda ma-

lapetaka itu.

“Kakek!” Rangga mengejar kakek-kakek itu, “Mau 

ke mana? Jangan tinggalkan aku, Kek. Aku... aku ta-

kut!”

Kakek-kakek itu melangkah terus tanpa menoleh ke 

belakang. Tapi terdengar suaranya ditujukan kepada 

Rangga, “Seorang laki-laki tidak boleh menyimpan rasa 

takut di dalam hatinya.”

Dan Rangga tidak tahu bagaimana caranya, tahu-

tahu si Kakek sudah memegang obor yang menyala!

Dengan obor itu si Kakek memasuki salah satu ru-

mah yang terletak paling utara. Dan Rangga mengiku-

tinya dari belakang.

Di dalam rumah itu ada dua sosok mayat. Dua-dua-

nya mayat perempuan. Dan kakek-kakek itu terbela-

lak, lalu berkata, “Peristiwa dahsyat itu telah terjadi. 

Dan aku terlambat datang ke kampung ini.”

“Mak... maksud Kakek?” Rangga terheran-heran.

Kakek-kakek itu seperti sangat menyesal. Lalu ka-

tanya, “Bertahun-tahun aku menunggu di puncak Gu-

nung Limagagak, hanya untuk sesuatu yang sia-sia. 

Telur itu keburu menetas sebelum aku sempat memanfaatkan mukjizatnya. Hmm... nasibku memang 

kurang mujur.”

Rangga semakin tidak mengerti.

Dan tampaknya kakek-kakek itu memaklumi kehe-

ranan Rangga. Kata kakek-kakek itu lagi, “Lihatlah ti-

tik hijau di dahi perempuan malang ini.”

Memang benar. Di dahi kedua mayat perempuan itu 

tampak titik hijau sebesar ujung lidi.

“Nanti semuanya akan kuterangkan,” kata si kakek. 

“Sekarang marilah kita cari korban lainnya, kalau-

kalau ada perempuan hamil tua.”

“Perempuan hamil?!”

“Ya. Apakah kau melihat ada perempuan hamil 

yang jadi korban?”

“Ada. Istriku sendiri!”

“Hah?! Ayo cepat kita ke sana! Jangan sampai ter-

lambat!”

Mereka lalu berlari menuju rumah Rangga.

Tetapi mereka benar-benar sudah terlambat. Jena-

zah Tineng masih berada di bangku bambu itu. Namun 

perut Tineng itu... sudah kempes!

“Tadi perutnya masih besar! Kenapa sekarang jadi 

kempes?” Rangga mau menyentuh perut mayat itu, ta-

pi si kakek menarik tangan Rangga.

“Jangan! Jangan sentuh mayat istrimu!”

Rangga terpana dan semakin tak mengerti.

“Sekarang semuanya sudah jelas bagiku. Marilah 

kita tinggalkan kampung ini,” kakek-kakek itu meraih 

lengan Rangga.

“Tapi... mayat istriku itu...” Rangga ragu-ragu men-

gikuti kakek itu.

“Biarkan saja. Besok pagi mayat-mayat di kampung 

ini akan lenyap semuanya.”

“Lenyap?!”


“Ya. Besok akan kuceritakan semuanya.”

Bulan purnama tertutup awan tipis. Tapi cahayanya 

masih mampu menyinari bumi. Dan Desa Tilugalur 

tampak remang-remang, sebagai desa yang lengang 

dan menyeramkan.

Semilir angin malam menggoyangkan daun-daun 

bambu yang tumbuh di sana-sini, menimbulkan bunyi 

gemerisik lembut.

Rangga dan kakek-kakek berpakaian serba putih 

itu meninggalkan Desa Tilugalur, dengan kepala ter-

tunduk.

***

BEGITU tiba di batas utara Tilugalur, Rangga meng-

alami peristiwa yang aneh dan tidak masuk di 

akalnya. Mula-mula ia merasa pergelangan tangannya 

digenggam oleh kakek-kakek berpakaian serba putih 

itu, kemudian ia mendengar si kakek mengucapkan 

sesuatu yang tidak jelas dan... tahu-tahu ia merasa tu-

buhnya seperti melesat demikian cepatnya, sehingga ia 

memejamkan matanya saking ngerinya. Ketika ia 

membuka kembali matanya, ia sudah berada di daerah 

yang gelap dan dingin sekali.

“Kakek... di mana kita berada sekarang? Aku belum 

pernah menginjak daerah ini!” Rangga menggigil kedi-

nginan.

“Kita berada di puncak Gunung Limagagak,” sahut 

si kakek.

“Gunung Limagagak?! Oh... bagaimana mungkin?!” 

Rangga menggosok-gosok matanya dan memperhati-

kan lagi alam sekitarnya. Tidak tampak apa-apa, kare-

na gunung tinggi itu selalu diselimuti kabut.



Sebelum Rangga sempat bertanya lagi, tiba-tiba saja 

si kakek melemparkan sehelai kulit binatang padanya, 

sambil berkata, “Pakailah kulit itu untuk selimut, lalu 

tidurlah. Jangan bertanya apa-apa lagi.”

Kulit binatang itu sangat lebar. Dan Rangga menye-

limutkannya ke badannya. Tapi bagaimana mungkin ia 

bisa tidur di alam terbuka sedingin itu?

Rangga lalu duduk di atas batu besar, sambil mere-

nungkan kembali apa yang telah dialaminya. Dan si 

kakek tidak terdengar lagi suaranya.

Udara pun semakin dingin saja rasanya. Tapi Rang-

ga yang sedang mengenang masa-masa indahnya ber-

sama Tineng, tidak lagi mempedulikan kedinginan 

puncak gunung berkabut di tengah malam itu.

Rangga bahkan mencucurkan air matanya lagi. Dan 

ketika kesedihannya sudah mencapai puncaknya, ia 

menangis tersedu-sedu.

Tidak terdengar suara si kakek. Mungkin ia sengaja 

membiarkan Rangga melampiaskan kesedihannya da-

lam tangis.

Dan ketika pagi mulai tiba, ketika sinar matahari 

berusaha menembus kepekatan kabut yang menyeli-

muti puncak Gunung Limagagak, Rangga masih belum 

dapat memicingkan matanya.

“Siapa namamu, orang muda?” tanya si kakek yang 

tiba-tiba saja muncul di depan Rangga.

“Namaku Rangga. Dan Kakek sendiri... mengapa ti-

dak mau memperkenalkan nama padaku?”

Si kakek tersenyum lembut dan menjawab, “Aku 

sudah melupakan namaku. Tapi orang-orang menjulu-

ki aku sebagai Kudawulung.”

“Kudawulung?!” Rangga terperanjat dan terundur 

beberapa langkah.

“Benar,” sahut Kudawulung. “Kenapa kau terkejut


mendengar namaku?”

“A... aku sering mendengar nama besar itu... seba-

gai nama yang sangat ditakuti orang-orang!”

“Apakah aku memang menakutkan?” tanya Kuda-

wulung sambil tersenyum.

“Ti... tidak,” sahut Rangga tergagap. “Ka... kakek ke-

lihatannya ba... baik.”

Kakek-kakek bergelar Kudawulung itu tertawa ter-

gelak-gelak. Tapi ketika mulutnya masih tertawa-tawa 

itu, air matanya mengalir dengan derasnya.

Tapi Rangga tidak memperhatikan keanehan itu. 

Rangga juga tidak tahu bahwa tokoh besar bergelar 

Kudawulung itu jauh lebih hebat daripada dugaannya. 

Dan Rangga juga tidak tahu bahwa salah satu keane-

han Kudawulung, adalah bisa tertawa sambil menan-

gis!

Rangga juga tidak memperhatikan bunyi tawa Ku-

dawulung itu, yang sebenarnya lebih mirip ringkikan 

seekor kuda!

Setelah tawa anehnya reda, Kudawulung berkata, 

“Sebenarnya aku selalu menyendiri dalam menjalani 

sisa-sisa hidupku ini. Tapi sekarang takdir memperte-

mukan kita, sebagai dua orang yang senasib. Itulah 

sebabnya aku bermaksud untuk mengajakmu bersa-

maku, Rangga.”

Siapa sebenarnya Kudawulung itu? Mengapa ia 

berkata bahwa ia senasib dengan Rangga?

***

Pada masa mudanya, Kudawulung bernama Sude-

sa. Gelar Kudawulung sama sekali belum dikenal saat 

itu.

Sudesa bekerja sebagai pengurus kuda-kuda milik 

Adipati Nawanggana. Sebagai tukang kuda, tentu saja


Sudesa hanya dianggap sebagai manusia jelata. Tetapi 

ia dikaruniai wajah yang tampan dan kulit yang cemer-

lang, laksana seorang putra bangsawan.

Kecemerlangan Sudesa diperhatikan secara diam-

diam oleh putri Adipati Nawanggana, bernama Rupati. 

Putri yang cantik jelita itu seringkali datang ke dekat 

istal (kandang kuda), hanya untuk memandang ke-

tampanan Sudesa.

Terlalu seringnya Rupati memperhatikan ketampa-

nan Sudesa, membuat putri Adipati Nawanggana itu 

jatuh hati. Sering Rupati berpikir, “Ah... sebenarnya 

Sudesa tidak kalah tampan oleh putra-putra bangsa-

wan mana pun. Terlebih lagi kalau ia diberi pakaian 

yang pantas, pasti ia akan mirip dewa yang turun dari 

Kahyangan.”

Sudesa sendiri belum menyadari bahwa dirinya se-

ring diperhatikan oleh putri majikannya. Dan tentu sa-

ja Sudesa tidak berani membalas senyum manis Rupa-

ti yang seringkali dilayangkan padanya. Sudesa hanya 

mengira bahwa putri majikannya itu seorang gadis 

yang baik hati dan selalu memperhatikan hamba-

hamba ayahnya.

Sampailah pada suatu hari... Rupati meminta Su-

desa mengantarkannya ke Telaga Darana. Sudesa me-

rasa heran juga, karena seharusnya Rupati minta di-

antarkan oleh dayang-dayang kadipaten. Tidaklah wa-

jar seorang tukang kuda mengantarkan putri seorang 

adipati.

Namun Rupati yang bisa membaca keheranan Su-

desa, berkata, “Aku ingin membicarakan sesuatu pa-

damu. Kebetulan sekarang Rama Adipati sedang pergi 

ke kotaraja bersama ibundaku.”

Maka tanpa bertanya apa-apa lagi, Sudesa mengi-

kuti kehendak putri majikannya, menuju Telaga Dara


na yang letaknya tidak begitu jauh dari istana kadipa-

ten.

Setibanya di tepi telaga yang berair bening itu, Ru-

pati merebahkan diri di atas rumput hijau, sambil ber-

kata, “Duduklah di dekatku sini, Sudesa. Aku ingin 

berbicara padamu. Tapi seekor semut pun tidak boleh 

ikut mendengarkan apa yang akan kukatakan pada-

mu.”

Dengan heran dan ragu, Sudesa menghampiri putri 

majikannya. Tapi tidak berani terlalu dekat.

“Ke sini...” tiba-tiba saja Rupati bangkit dan meng-

genggam pergelangan tangan Sudesa, lalu tangan yang 

halus itu meraihnya.

“Gu... Gusti Putri...!” Sudesa gelagapan, karena ia 

diraih sedemikian rupa, sehingga ia terduduk merapat 

di samping putri majikannya.

Sudesa berusaha untuk menjauhkan diri dari putri 

majikannya. Tapi gadis jelita itu mencengkeram lengan 

Sudesa, sehingga akhirnya Sudesa tertunduk dengan 

jantung memukul-mukul kencang.

“Sudesa,” kata Rupati setengah berbisik, “tahukah 

kau bahwa selama ini aku selalu memperhatikanmu?”

“Be... betul... Gusti Putri ba... baik sekali kepada 

hamba,” sahut Sudesa tanpa berani memandang wajah 

lawan bicaranya.

Rupati tersenyum manis. Lalu mendekatkan bibir-

nya ke telinga Sudesa dan berbisik, “Sebenarnya aku 

mencintaimu, Sudesa.”

“Gusti Putri?!” Sudesa terperanjat dan berusaha un-

tuk menepiskan pelukan Rupati. Namun pelukan itu 

bahkan semakin erat.

“Tidak ada yang perlu kau herankan,” kata Rupati. 

“Seorang perempuan mencintai seorang laki-laki itu 

merupakan kodrat yang biasa terjadi di mana-mana,


bukan?”

“Be... betul. Tapi Gusti Putri bukanlah tandingan 

hamba,” sahut Sudesa sambil menundukkan kepala-

nya. “Kedudukan hamba jauh di bawah kehinaan, se-

dangkan Gusti Putri di puncak keagungan. Bagaimana 

mungkin hamba berani melangkahi jarak itu?!”

“Tapi sekarang jarak itu sudah tidak ada lagi, bu-

kan?” Rupati kembali menggenggam pergelangan ta-

ngan Sudesa. Dan kehangatan telapak tangan yang 

halus lembut itu seakan-akan menjalar sampai ke ulu 

hati Sudesa.

Tapi Sudesa tetap tahu diri. Ia tidak berani memba-

las perlakuan mesra Rupati. Ia hanya membiarkan se-

muanya itu berjalan sesuka hati putri majikannya, 

tanpa berani menggerakkan anggota badannya sedikit 

pun.

Namun sebagai pemuda yang sedang menanjak re-

maja, Sudesa tidak bisa menipu dirinya sendiri. Jauh 

di dalam hatinya terselip perasaan aneh, yang belum 

pernah dirasakan sebelumnya.

Dan sepulangnya dari Telaga Darana, Sudesa ter-

menung-menung sendiri di istal Adipati, mengenang 

kembali kejadian indah yang baru dialaminya. Ia tidak 

menyangkal bahwa secercah kebahagiaan menyelusup 

ke dalam sanubarinya. Tapi manakala ia menyadari 

siapa dirinya dan siapa Rupati, kebahagiaan itu pun 

seolah-olah ditikam oleh keperihan.

Sudesa pun lalu teringat pada bisikan Rupati sebe-

lum meninggalkan Telaga Darana tadi. “Besok pagi kita 

berjumpa lagi di sini. Tapi sebaiknya kita jangan pergi 

bersama-sama dari kadipaten, supaya orang lain tidak 

mencurigai kita.”

Sudesa tidak tahu apakah bisikan itu perintah seo-

rang putri majikan atau ajakan seorang kekasih. Yang


pasti, keesokan paginya Sudesa pergi seorang diri ke 

Telaga Darana, untuk memenuhi keinginan Rupati.

Telaga yang dikelilingi hutan belukar itu tampak 

sunyi. Dan Sudesa mengira bahwa ia harus lama me-

nunggu di tepi telaga itu. Namun ternyata Rupati telah 

lebih dahulu tiba di tempat sunyi itu. Rupati memang-

gil Sudesa dari balik semak-semak, “Sudesa!”

Sudesa menengok ke arah datangnya suara itu. La-

lu dilihatnya tangan gadis melambai-lambai. Dengan 

jantung berdegup-degup Sudesa menghampiri pemilik 

tangan indah itu.

Dan... ah, betapa menggigilnya hasrat Sudesa demi 

dilihatnya senyum Rupati yang sedang berlutut di ba-

lik semak-semak itu.

“Di sini sangat aman dan tersembunyi,” desis Rupa-

ti sambil meraih tangan Sudesa demikian kuatnya, se-

hingga Sudesa terjerembab dan terhempas ke dada 

Rupati.

“Gu... Gusti Putri...!” hanya itu yang terlontar dari 

mulut Sudesa ketika pipinya bergeseran dengan pipi 

Rupati.

Tapi Rupati memang sengaja menggeserkan pipinya 

yang hangat dan lembut itu ke pipi Sudesa. Dan hal 

itu diulanginya... diulanginya terus, sehingga batin 

Sudesa serasa melayang-layang tak menentu, dihem-

bus badai asmara yang tak mengenal kasta!

Dan ketika badai asmara itu masih menderu-deru, 

Sudesa mendengar suara Rupati, “Bagaimana sepu-

langnya dari sini kemarin? Apakah kau memikirkan di-

riku?”

Sudesa tidak berani menjawab.

“Kenapa kau diam? Apakah kau tidak memikirkan 

diriku sedikit pun?” lagi-lagi Rupati merapatkan pi-

pinya ke pipi Sudesa.


“Hamba hanya berani memikirkan Gusti Putri seba-

gai putri majikan hamba, yang harus hamba hormati 

sedalam-dalamnya,” kata Sudesa dengan kepala tetap 

tertunduk.

“Tidak lebih dari itu?” Rupati tampak kecewa.

“Hamba tidak berani berpikir lebih dari itu, Gusti 

Putri.”

“Ah... kalau begitu jelaslah, aku ini hanya bertepuk 

sebelah tangan. Mungkin kau telah menyimpan gadis 

lain di dalam hatimu.”

“Bukan begitu, Gusti Putri. Hamba hanya merasa 

bahwa diri hamba terlalu hina untuk disejajarkan de-

ngan Gusti Putri.”

“Sekarang kita telah duduk sejajar. Mengapa kau 

masih mempersoalkannya?”

“Ampun, Gusti Putri. Hamba memang tidak bisa 

menentang kodrat hamba sebagai seorang laki-laki. 

Tapi hamba merasa tidaklah pada tempatnya untuk 

memikirkan Gusti Putri secara kodrat hamba.”

Begitulah selalu jawaban Sudesa pada mulanya. Na-

mun secara sadar atau tidak, ia selalu memenuhi kei-

nginan Rupati untuk berjumpa di tepi Telaga Darana 

pada hari-hari berikutnya. Dan hal itu membuat Sude-

sa berubah sedikit demi sedikit. Bahkan beberapa 

minggu berikutnya, Sudesa mulai membahasakan 

“Rayi” (Dinda) kepada Rupati, sesuai dengan kehendak 

Rupati sendiri. Rupati pun lalu membahasakan “Ka-

kang” (Kanda) pada Sudesa.

Dan Telaga Darana jadi saksi bisu tentang pertemu-

an demi pertemuan Rupati dan Sudesa yang telah sa-

ling mencintai.

Ya, akhirnya Sudesa tidak dapat menyembunyikan 

perasaannya lagi. Bahwa ia sudah sangat mencintai 

Rupati yang rupawan. Sudesa pun tidak lagi mengang


gap dirinya sebagai hamba yang harus mengabdi kepa-

da Rupati. Bahkan sebaliknya, Rupatilah yang lalu mem-

perlihatkan tekadnya untuk mengabdi kepada Sudesa.

Pernah pada suatu hari mereka bercakap-cakap de-

ngan mesranya di tepi Telaga Darana...

“Rayi Rupati, sekarang kita telah saling mencintai 

begini dalamnya, sehingga aku tak dapat membayang-

kan apa yang akan terjadi pada diriku seandainya Rayi 

dipersunting oleh lelaki pilihan Gusti Adipati kelak.”

“Jangan takut, Kakang. Walaupun apa yang akan 

terjadi, aku tidak akan menerima lelaki lain sebagai ca-

lon suamiku, kecuali Kakang sendiri.”

“Tapi sampai kapan kita dapat menyembunyikan 

hubungan kita ini? Rasanya pada suatu saat Gusti 

Adipati akan mencium juga rahasia kita.”

“Apa pun yang akan terjadi, akan kuhadapi dengan 

tabah. Sekalipun aku diusir dari kadipaten, aku rela, 

asalkan aku tetap berada di sampingmu.”

Namun ternyata justru pada hari itulah cinta mere-

ka mulai dinaungi awan mendung. Ketika Rupati pu-

lang dari Telaga Darana, Adipati Nawanggana me-

manggilnya.

“Rupati anakku,” kata Adipati Nawanggana, “Rupa-

nya nasib baik menerangi kehidupanmu. Aku bahagia 

sekali dibuatnya.”

“Kanjeng Rama, hamba tidak mengerti apa yang di-

maksudkan oleh Kanjeng Rama dengan nasib baik 

yang menerangi kehidupan hamba itu,” sahut Rupati 

sambil menyimpan kedua tangannya di dahi.

“Tadi datang utusan dari Pangeran Gandaseta, yang 

maksudnya mau melamarmu.”

Rupati terkejut sekali mendengar ucapan ayahnya 

itu. Namun ia tidak berani memperlihatkan perasaan 

tidak setujunya, karena tatakrama di dalam lingkungan para bangsawan pada masa itu sangat keras. Ru-

pati hanya berani bertanya sambil menyembah, “Kalau 

boleh hamba tahu, apakah Kanjeng Rama sudah me-

nerima lamaran itu?”

“Tentu saja,” jawab Adipati Nawanggana. “Siapa 

yang tidak senang anaknya dilamar oleh seorang pan-

geran yang sangat berpengaruh seperti Pangeran Gan-

daseta?”

Rupati tertunduk dengan hati bingung. Ia tahu bah-

wa seandainya ia berterus terang kepada ayahnya, 

bahwa ia sudah menjalin hubungan cinta dengan Su-

desa, pastilah Sudesa yang akan menjadi korban ke-

marahan ayahnya. Dan itu tidak dikehendakinya. Ia 

akan memilih dirinya sendiri yang jadi korban daripa-

da membiarkan Sudesa menjadi korban.

Karena itu Rupati tidak mau menanggapi kata-kata 

ayahnya. Rupati bersikap seakan-akan menyetujui kei-

nginan ayahnya. Namun jauh di dalam hatinya, Rupati 

menyimpan sebuah rencana, “Aku tidak mau dipersan-

dingkan dengan Pangeran Gandaseta. Tapi kalau aku 

menolaknya secara terang-terangan, pasti Kanjeng Ra-

ma akan murka. Maka jalan yang terbaik, adalah me-

larikan diri bersama Kakang Sudesa!”

Cinta mampu membuat orang menjadi nekad. De-

mikian pula halnya dengan Rupati. Keesokan paginya 

ia memasuki istal, untuk menemui Sudesa.

Setelah bertemu dengan Sudesa yang tengah mem-

beri makan kuda-kuda sang Adipati, berkatalah Rupa-

ti, “Kakang Sudesa, rupanya sekaranglah saatnya ba-

giku untuk membuktikan cinta kasihku padamu. Kan-

jeng Rama akan menyandingkan aku dengan Pangeran 

Gandaseta. Tapi aku akan memilih pergi selama-

lamanya dari kadipaten ini, asalkan aku tetap bisa 

bersamamu. Karena itu bersiap-siaplah. Nanti malam


kita harus meninggalkan tempat ini. Tunggulah aku di 

pintu belakang. Kalau orang-orang sudah tertidur, aku 

akan meninggalkan kamarku, lalu menjumpaimu di 

pintu belakang dan... bersama-sama melarikan diri...!”

Setelah berkata demikian, Rupati cepat-cepat keluar 

dari istal, meninggalkan Sudesa yang masih terlon-

gong-longong.

Sudesa tidak tahu apakah rencana yang telah diten-

tukan oleh Rupati itu merupakan jalan keselamatan 

atau jalan menuju malapetaka. Sudesa hanya tahu 

bahwa ia merasa harus memenuhi keinginan Rupati, 

kekasihnya.

Maka ketika malam tiba, Sudesa mulai bersiap-siap 

di dekat pintu belakang istana kadipaten.

Lalu... ketika para penghuni istana kadipaten sudah 

nyenyak tidur sementara para penjaga sedang berca-

kap-cakap di dekat pintu gerbang, tampaklah sesosok 

tubuh perempuan berjalan mengendap-endap menuju 

pintu belakang. Itulah Rupati yang sudah bertekad bu-

lat untuk meninggalkan istana kadipaten, demi cinta-

nya kepada Sudesa.

Di pintu belakang yang tidak dijaga, Sudesa me-

nyongsong Rupati. Kemudian mereka melarikan diri ke 

arah selatan, di tengah kegelapan malam.

Esoknya dayang-dayang kadipaten terheran-heran 

melihat kamar Rupati kosong. Padahal biasanya pagi-

pagi sekali Rupati sudah mengajak dayang-dayangnya 

mandi di kolam, lalu berjalan-jalan di taman. Memang 

Rupati sering ‘hilang’, yakni bila sedang menjumpai 

Sudesa di tepi Telaga Darana. Tapi kebiasaan ‘hilang’ 

itu selalu terjadi setelah mandi dan duduk-duduk atau 

berjalan-jalan di dalam taman bersama dayang-

dayangnya.

Sampai tengah hari dayang-dayang kadipaten sibuk


mencari-cari Rupati. Namun mereka tak berhasil me-

nemukan putri majikannya.

Dan akhirnya salah seorang dayang menghadap ke-

pada sang Adipati yang sedang bercengkerama dengan 

istrinya di beranda timur.

Dayang itu menyembah di depan majikannya, sam-

bil berkata dengan nada takut, “Ampunkan hamba, 

Kanjeng Gusti...”

Adipati Nawanggana mengernyitkan dahinya. Lalu 

bertanya, “Ada apa, Emban?”

“Gusti Dewi Rupati sejak tadi tidak ada di dalam is-

tana ini. Hamba dan kawan-kawan hamba sudah men-

carinya ke sana-sini, namun hamba semua tidak ber-

hasil menemukannya, Kanjeng Gusti.”

Belum sempat Adipati Nawanggana menanggapi la-

poran dayang itu, datang pula seorang prajurit peme-

riksa lingkungan istana kadipaten.

Prajurit itu berkata, “Ampunkan hamba, Kanjeng 

Gusti. Sejak tadi pagi kuda-kuda kesayangan Kanjeng 

Gusti tidak diberi makan. Hamba sudah mencari-cari 

Sudesa, namun kemungkinan besar dia melarikan diri, 

Kanjeng Gusti.”

“Melarikan diri?!” Adipati Nawanggana terperangah.

“Benar, Kanjeng Gusti. Bahkan kemungkinan besar 

dia melarikan diri bersama... bersama...”

“Bersama siapa?”

“Bersama Gusti Dewi Rupati, Kanjeng Gusti.”

“Apa?! Sudesa melarikan diri bersama putriku?!” 

Adipati Nawanggana terperanjat.

“Benar, Kanjeng Gusti. Baru saja hamba menerima 

laporan dari seorang tukang kayu, yang mengaku ber-

jumpa dengan Gusti Dewi Rupati dan Sudesa di hutan 

sebelah selatan, Kanjeng Gusti.”

Wajah Adipati Nawanggana merah padam. Sambil


menghentakkan kakinya di lantai, Adipati Nawanggana 

membentak prajuritnya, “Kenapa ini bisa terjadi? Ke-

napa?!”

“Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba pernah mendengar 

desas-desus bahwa Gusti Dewi Rupati dan Sudesa se-

ring mengadakan pertemuan rahasia di tepi Telaga Da-

rana. Tapi tadinya hamba kurang percaya, karena 

hamba belum pernah membuktikannya sendiri. Baru-

lah sekarang hamba percaya bahwa laporan itu benar, 

Kanjeng Gusti.”

Adipati Nawanggana yang cepat menghubungkan 

peristiwa itu dengan lamaran Pangeran Gandaseta, se-

gera saja dapat menarik kesimpulan bahwa putrinya 

menjalin hubungan rahasia dengan Sudesa. Kesimpu-

lan itu semakin kuat setelah sang Adipati teringat akan 

ketampanan Sudesa.

“Mungkin dengan modal ketampanannya, Sudesa 

telah berhasil merayu putriku,” pikir Adipati Nawang-

gana. “Kemudian putriku lupa daratan dan terbujuk 

oleh Sudesa untuk melarikan diri! Oh... malapetaka 

apa pula yang akan terjadi sehingga putriku sudi pergi 

bersama seorang tukang kuda?”

Pada hari itu juga Adipati Nawanggana mengerah-

kan prajurit-prajurit kadipaten untuk mengejar Rupati 

dan Sudesa ke arah selatan, sesuai dengan laporan 

tukang kayu yang disampaikan kepada pemeriksa 

lingkungan istana kadipaten.

Tiga hari kemudian, prajurit-prajurit itu sudah pu-

lang dengan hasil yang ‘gemilang’. Mereka berhasil 

memboyong Rupati dan menangkap Sudesa.

Sudesa diseret dalam keadaan terbelenggu, semen-

tara Rupati mengikutinya sambil menangis meraung-

raung di sepanjang jalan. Rakyat yang tinggal di kota 

kadipaten berkerumun di pinggir jalan dengan pera


saan heran dan iba.

Pada umumnya rakyat Kadipaten Nawanggana me-

rasa kasihan kepada Sudesa, yang mereka kenal seba-

gai pemuda yang baik. Mereka pun terheran-heran me-

lihat Rupati menangis di sepanjang jalan. Namun tak 

seorang pun di antara mereka yang berani mengelua-

rkan komentar.

Disiplin kaku yang diterapkan pada zaman itu, me-

nyebabkan mulut-mulut seperti beku. Memberi ko-

mentar atas ‘kebijaksanaan’ raja dan pembesar-

pembesar lainnya, dianggap sebagai suatu kejahatan!

Itulah sebabnya, rakyat Kadipaten Nawanggana 

hanya terlongong dalam kebisuan, sekalipun mereka 

menganggap tindakan prajurit-prajurit kadipaten itu 

sudah melewati batas perikemanusiaan. Mereka hanya 

dapat memandang dengan mata berkaca-kaca, betapa 

banyaknya darah yang mengucur dari sekujur tubuh 

Sudesa, karena tukang kuda yang malang itu diseret 

oleh seekor kuda, sedangkan kaki dan tangan Sudesa 

dibelenggu oleh tali kulit yang sangat kuat.

Memang memilukan, bahwa Sudesa berguling-

guling dan terombang-ambing di sepanjang jalan yang 

‘mengasah’ kulit dan dagingnya, sampai ke depan ista-

na sang Adipati.

Namun ada sesuatu yang aneh dan kurang diperha-

tikan oleh rakyat Kadipaten Nawanggana, yakni ke-

kuatan lahir-batin Sudesa itu... benar-benar luar bi-

asa. Kalau orang biasa, diseret dalam keadaan terbe-

lenggu dari hutan menuju istana kadipaten, mungkin 

sudah binasa di tengah jalan. Tapi Sudesa benar-benar 

mengherankan. Tubuhnya sudah berlumuran darah, 

namun ia tetap sadar, dan... tak sedikit pun terdengar 

rintihan dari mulutnya!

Setibanya di depan istana kadipaten, Rupati memeluk kaki ayahnya yang sedang berdiri di ambang pintu, 

sambil meratap, “Kanjeng Rama! Hamba mohon am-

pun... hamba mohon Kakang Sudesa jangan dihukum, 

karena hamba sudah terlanjur mencintainya. Semua-

nya ini kesalahan hamba. Kakang Sudesa tidak bersa-

lah sedikit pun, Kanjeng Rama...!”

Gigi sang Adipati gemeletuk, karena menahan ama-

rah yang seolah-olah hendak memecahkan dadanya. 

Lalu terdengar suara sang Adipati, perlahan tapi tajam, 

“Rupati, apakah kau sadar akan apa yang kau 

ucapkan tadi?!”

“Hamba sadar, Kanjeng Rama,” sahut Rupati sambil 

menyembah kaki ayahnya.

“Dan apakah kau sadar di mana letak derajatmu?” 

tanya sang Adipati lagi dengan suara yang agak keras.

“Hamba sadar bahwa hamba berderajat bangsa-

wan.”

“Dan engkau tahu derajat Sudesa?”

“Kakang Sudesa adalah abdi kadipaten. Namun 

hamba merasa bahwa dia memiliki jiwa yang tak kalah 

oleh putra-putra raja. Sebagaimana Kanjeng Rama 

saksikan, Kakang Sudesa diseret-seret dari dalam hu-

tan selama sehari-semalam. Tapi dia masih bertahan 

hidup dan tidak merintih sedikit pun. Hamba rasa, 

orang biasa tidak mungkin mempunyai ketahanan se-

perti Kakang Sudesa. Dan itu semua membuat hamba 

semakin mencintai Kakang Sudesa...”

Belum habis Rupati bicara, terdengar perintah sang 

Adipati yang gagal mengendalikan amarah dan keben-

ciannya, “Prajurit! Gantung tukang kuda itu di alun-

alun, sampai mati!”

“Kanjeng Rama!” pekik Rupati sambil memeluk kaki 

ayahnya. “Jangan hukum Kakang Sudesa! Kalau mau 

menghukum, hukumlah hamba! Hambalah yang ber


salah dalam kejadian ini!”

Namun Adipati Nawanggana memanggil prajurit 

yang lain. Dan kata sang Adipati kepada prajurit itu, 

“Bawa putriku ke dalam keputren. Jaga dia baik-baik. 

Hanya dengan izinku dia boleh keluar dari keputren!”

Sementara itu Sudesa sudah diseret ke tengah 

alun-alun. Di situ ada sebuah tiang gantungan, yang 

hanya dipakai untuk menghukum mati orang-orang 

jahat atau pemberontak saja. Namun hari itu tiang 

gantungan tersebut akan dipergunakan untuk meng-

hukum seorang pemuda yang tidak berdosa.

Sang Adipati pun memasuki kamarnya, sambil be-

rusaha meredakan amarahnya.

Lama juga Adipati Nawanggana termenung sendiri 

di dalam kamarnya. Dan akhirnya ia merebahkan diri 

di atas peraduannya.

Baru saja beberapa saat sang Adipati memejamkan 

matanya, tiba-tiba di luar istana terdengar suara hi-

ruk-pikuk.

Adipati Nawanggana terbangun, lalu keluar lagi dari 

dalam kamarnya. Seorang dayang dipanggil. “Apakah 

kau tahu apa yang diributkan orang-orang di depan 

pintu gerbang itu?”

Setelah menyembah, dayang itu menjawab, “Am-

pun, Kanjeng Gusti. Menurut berita yang hamba den-

gar, para prajurit telah salah menggantung orang. Tapi 

hamba sendiri belum berani melihatnya ke alun-alun.”

Adipati Nawanggana terheran-heran. Lalu katanya 

kepada dayang itu, “Panggil salah seorang prajurit ke 

sini.”

“Baik, Kanjeng Gusti,” dayang itu mengundurkan 

diri, lalu bergegas menuju pintu gerbang istana.

Tak lama kemudian seorang prajurit kadipaten da-

tang menghadap.


“Apa yang telah terjadi?” tanya Adipati Nawanggana.

“Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba semua sudah me-

laksanakan titah Kanjeng Gusti untuk menghukum 

tukang kuda bernama Sudesa itu. Tapi... terjadi sesua-

tu yang sangat aneh, Kanjeng Gusti.”

“Ceritakanlah sejelas-jelasnya,” kata Adipati Na-

wanggana.

Prajurit itu lalu menceritakan peristiwa yang baru 

terjadi...

Bahwa para prajurit kadipaten sudah menyeret Su-

desa ke tiang gantungan. Kemudian mereka menggan-

tung Sudesa di tiang gantungan itu. Setelah mereka 

yakin bahwa Sudesa sudah mati, mereka menurunkan 

tubuh Sudesa yang dikira sudah menjadi mayat. Tapi 

mereka terkejut sekali setelah melihat mayat yang me-

reka turunkan itu... ternyata mayat Murtiwi, selir Adi-

pati Nawanggana yang paling disayangi!

Baru saja selesai prajurit itu bertutur, tiba-tiba da-

tanglah serombongan prajurit yang mengusung mayat 

Murtiwi.

Salah seorang pembawa mayat itu bersimpuh di de-

pan Adipati Nawanggana, sambil berkata, “Ampun, 

Kanjeng Gusti. Hamba semua memasrahkan diri un-

tuk menerima hukuman apa pun yang akan dijatuh-

kan oleh Kanjeng Gusti, karena hamba semua tidak 

kuasa mencegah peristiwa aneh dan menyedihkan ini.”

Kemudian mayat selir kesayangan sang Adipati itu 

diletakkan di atas altar kadipaten. Adipati Nawanggana 

menciumi mayat wanita cantik itu, dengan air mata 

bercucuran.

“Murtiwi kekasihku! Mengapa malapetaka ini mesti 

terjadi? Dan mengapa justru kau yang harus jadi kor-

ban?” Adipati Nawanggana meratap-ratap di dekat 

mayat Murtiwi.


Peristiwa itu sangat menggemparkan rakyat Kadipa-

ten Nawanggana. Mereka tetap tidak mengerti apa se-

babnya tubuh Sudesa bisa berganti menjadi tubuh se-

lir kesayangan Adipati Nawanggana.

Walaupun Murtiwi hanya seorang selir, bukan istri 

utama sang Adipati, namun sang Adipati menetapkan 

hari berkabung selama tujuh hari tujuh malam bagi 

seluruh wilayah Kadipaten Nawanggana.

Peristiwa aneh itu tetap merupakan misteri tak ter-

pecahkan bagi rakyat Kadipaten Nawanggana. Semen-

tara sang Adipati sendiri menilai peristiwa itu sebagai 

peringatan dewata terhadap dirinya. Karena ia telah 

memutuskan untuk melenyapkan nyawa seseorang 

yang dicintai oleh putrinya. Lalu terjadi yang sebalik-

nya, yakni bahwa selir yang paling disayanginyalah 

yang menjadi korban.

Walaupun begitu, semuanya hanya menebak-

nebak, tanpa memiliki kepastian.

Sementara itu, Rupati hanya mampu menangis dan 

menangis terus di dalam keputren yang senantiasa di-

jaga dengan ketatnya. Ia sudah mendengar berita ten-

tang peristiwa aneh itu. Namun ia pun tidak tahu apa 

sebenarnya yang telah terjadi pada diri Sudesa, keka-

sihnya.

Pada suatu hari, datanglah Pangeran Gandaseta ke 

Kadipaten Nawanggana, dikawal oleh sepasukan bala-

tentara kerajaan, diiringi oleh beberapa ksatria dan 

penasihat.

Tentu saja Adipati Nawanggana sibuk menyambut 

kedatangan tamu-tamu agung dari kotaraja itu. Pa-

ngeran Gandaseta dan rombongannya diterima di pa-

seban kadipaten, dengan upacara kehormatan.

Setelah upacara resmi selesai, Adipati Nawanggana 

berkata, “Sungguh besar hati hamba, karena Gusti Pangeran berkenan mengunjungi kadipaten yang serba 

sederhana ini. Hamba mohon agar Gusti Pangeran sudi 

memaafkan atas segala kekurangan dalam penyambu-

tan ini.”

Pangeran Gandaseta yang memiliki perawakan ting-

gi besar itu, lalu berkata, “Paman Dipati, sebenarnya 

kedatangan kami yang mendadak ini disebabkan oleh 

berita yang sampai ke telinga kami.”

Dengan sikap yang angkuh, Pangeran Gandaseta 

melirik ke arah para pengikutnya, kemudian melan-

jutkan kata-katanya, “Kami mendengar bahwa di kota 

kadipaten ini pernah terjadi peristiwa menghebohkan. 

Sedangkan sumber kehebohan itu berasal dari putri 

Paman Dipati yang sudah dicanangkan sebagai calon 

istriku. Maka dalam kesempatan ini, kami ingin men-

dengar penjelasan dari Paman Dipati, supaya kami 

mengetahui duduk perkara yang sebenarnya.”

Pada mulanya agak ragu Adipati Nawanggana men-

ceritakan peristiwa yang telah terjadi sebulan yang lalu 

itu, namun akhirnya diceritakannya juga kejadian 

yang sangat menggemparkan itu.

Di akhir penuturannya, Adipati Nawanggana berka-

ta, “Demikianlah besarnya kesetiaan hamba kepada 

Gusti Pangeran, sehingga dengan tegas hamba menja-

tuhkan hukuman mati kepada pemuda yang berani 

menggoda anak hamba yang akan dipersunting oleh 

Gusti Pangeran itu. Namun entah apa yang terjadi, ka-

rena tahu-tahu mayat pemuda itu lenyap dan berganti 

menjadi mayat selir hamba sendiri.”

Pangeran Gandaseta terheran-heran mendengarkan 

penuturan itu. Dan salah seorang anggota rombongan 

sang Pangeran, tampak terkejut sekali mendengar pe-

nuturan Adipati Nawanggana tadi. Orang itu adalah 

Resi Badrapati.


Sebenarnya Resi Badrapati seorang pertapa berilmu 

tinggi. Dan seharusnya, seorang pertapa yang telah 

bergelar resi seperti Badrapati, sudah mampu membe-

baskan diri dari segala pengaruh keduniawian. Namun 

tidak demikian halnya dengan Resi Badrapati. Setelah 

memiliki ilmu yang cukup tinggi, ia tergoda untuk 

memperoleh kesenangan di dunia. Maka ketika datang 

tawaran dari Pangeran Gandaseta, untuk menjadi pe-

nasihat dan pelindung sang Pangeran (tentu dengan 

imbalan yang sangat tinggi), tergiurlah Resi Badrapati 

dibuatnya. Kemudian ia meninggalkan pertapaannya, 

untuk menikmati hidup mewah di lingkungan istana 

kerajaan.

Setelah tinggal di dalam lingkungan istana kera-

jaan, watak asli Resi Badrapati tidak dapat disembu-

nyikan lagi. Ternyata ia bukan hanya seorang manusia 

yang haus harta-benda dan kemewahan, melainkan 

juga seorang lelaki yang gemar melampiaskan nafsu 

birahinya.

Pangeran Gandaseta sangat membutuhkan tenaga, 

pikiran dan ilmu Resi Badrapati. Karena itu Pangeran 

Gandaseta sangat memanjakan sang Resi. Apa pun 

yang diinginkan oleh sang Resi, selalu dikabulkan oleh 

Pangeran Gandaseta, termasuk kebutuhan sang Resi 

dalam soal perempuan!

“Bagaimana pendapat Paman Resi mengenai peris-

tiwa itu?” tanya Pangeran Gandaseta setelah menden-

gar uraian Adipati Nawanggana.

Resi Badrapati yang biasanya selalu yakin pada ke-

ampuhan ilmunya, kali ini memperlihatkan sikap agak 

kecut. Dan hatinya jauh lebih kecut lagi. Namun ia se-

gera mengubah sikapnya, karena merasa pamornya 

jangan sampai jatuh di mata Pangeran Gandaseta.

Lalu kata sang Resi, “Rasanya sulit dipercaya bahwa Sekarpadma masih hidup dan masih mau men-

campuri urusan di dunia ini.”

“Sekarpadma?!” Pangeran Gandaseta semakin he-

ran. “Siapa Sekarpadma itu, Paman Resi?”

Resi Badrapati menjawab, “Tidak ada yang tahu as-

al-usulnya secara pasti. Yang jelas, dia seorang wanita 

aneh dan sudah berhasil menyatukan dirinya dengan 

alam gaib, sehingga dia dapat mengubah-ubah wujud 

sekehendak hatinya. Hal ini hanya diketahui oleh 

orang-orang tertentu saja, termasuk diri hamba.”

Orang-orang yang hadir di paseban kadipaten itu 

tercengang.

Lalu kata Badrapati lagi, “Setelah mendengar uraian 

Kanjeng Adipati tadi, hamba yakin bahwa seandainya 

tukang kuda bernama Sudesa itu diselamatkan secara 

gaib oleh seseorang... hanya Sekarpadma yang mampu 

melakukan pertolongan semacam itu. Tapi hamba sen-

diri heran, karena Sekarpadma sudah duapuluh tahun 

tidak muncul di dunia ramai. Dan tokoh-tokoh yang 

pernah mengenal dia, semuanya sependapat bahwa dia 

sudah tiada lagi di dunia ini.”

“Lalu?” kata Pangeran Gandaseta. “Seandainya dia 

masih hidup, alasan apa yang membuatnya ingin me-

nyelamatkan tukang kuda itu?”

Resi Badrapati menghela napas panjang-panjang, 

lalu katanya, “Itulah yang membingungkan hamba. 

Tapi sudahlah... untuk apa kita mempersoalkan peris-

tiwa yang sudah berlalu? Lagipula yang terpenting, pu-

tri Kanjeng Adipati masih ada dan bisa diboyong ke ko-

taraja pada hari ini juga.”

Pangeran Gandaseta tersenyum, lalu menoleh ke 

arah Adipati Nawanggana sambil berkata, “Memang 

benar. Yang terpenting bagiku, putri Paman Dipati da-

pat kami bawa ke kotaraja pada hari ini juga. Untuk


itulah kami membawa usungan kosong dan pasukan 

pengawal selengkapnya. Apakah Paman Dipati tidak 

berkeberatan?”

“Oh, te... tentu saja hamba tidak berkeberatan, 

Gusti Pangeran,” sahut Adipati Nawanggana yang ter-

kejut juga mendengar rencana di luar dugaannya itu.

“Hahahahaa... Paman Dipati memang sangat baik 

dan setia kepada kerajaan! Kalau aku berhasil menjadi 

putra mahkota nanti, aku tidak akan melupakan ke-

baikan Paman Dipati ini!”

Begitulah, pada hari itu juga Rupati dikeluarkan 

dari keputren, didandani secantik-cantiknya, dinasiha-

ti oleh ayah dan ibunya, dinaikkan ke dalam joli ken-

cana, lalu diusung ke luar istana kadipaten.

Adipati Nawanggana tidak merasa berat melepaskan 

kepergian putrinya. Bahkan sebaliknya, ia merasa se-

nang sekali, karena putrinya akan dipersunting oleh 

seorang pangeran yang sangat berpengaruh di kotara-

ja.

Pangeran Gandaseta lebih senang lagi, karena ia 

sudah membayangkan betapa menyenangkannya gadis 

cantik yang berada di dalam joli kencana itu. Gadis 

yang akan dijadikan selir ke 40 itu.

Ya, di samping istri resminya, Pangeran Gandaseta 

telah mempunyai 39 orang selir. Dan bila ia berhasil 

memperselir Rupati, genaplah himpunan selirnya men-

jadi 40 orang!

Dalam perjalanan pulang ke kotaraja itu, berulang-

ulang Pangeran Gandaseta menyingkapkan kain tirai 

joli, untuk memandang wajah Rupati yang jelita. Dan 

perbuatan yang dilakukannya itu, menimbulkan ke-

nikmatan tersendiri baginya. Karena dengan meman-

dang kecantikan Rupati, sang Pangeran semakin jauh 

membayangkan apa yang akan ia lakukan setibanya di


kotaraja nanti.

Bagaimana dengan Rupati sendiri?

Setiap kali tirai joli dibuka dan mata sang Pangeran 

berkeliaran memandangnya, Rupati hanya dapat me-

nundukkan kepalanya dengan hati pilu sedalam lau-

tan. Seandainya ia memiliki kekuatan dan kekuasaan, 

mau saja rasanya ia memberontak dari dalam joli itu, 

kemudian melarikan diri sejauh-jauhnya. Namun ia 

menyadari bahwa dirinya hanya seorang perempuan 

lemah. Dan ia tahu bahwa prajurit-prajurit kerajaan 

yang mengawal di kanan-kirinya, dengan mudah akan 

menangkapnya kembali jika ia bertindak nekad dalam 

perjalanan itu.

Itulah sebabnya, Rupati seolah-olah sudah pasrah 

untuk dijadikan selir Pangeran Gandaseta yang ke 40. 

Padahal di dalam hatinya, Rupati sudah menyimpan 

tekad, “Setibanya di kotaraja nanti, aku akan bunuh 

diri, sebelum pangeran mata keranjang itu sempat 

menjamah tubuhku!”

Namun setibanya rombongan itu di kotaraja, terja-

dilah peristiwa yang di luar dugaan dan sangat meng-

hebohkan. Ketika joli diturunkan di depan pintu puri 

para selir, Pangeran Gandaseta sudah tidak kuat lagi 

mengekang nafsunya yang ditahan-tahan di sepanjang 

perjalanan. Tapi apa yang dilihatnya? Rupati sudah le-

nyap dari dalam joli itu. Dan sebagai gantinya, seorang 

nenek-nenek berada di dalam joli itu, dalam keadaan 

terikat dengan mulut tersumpal!

“Keparaaat!” Pangeran Gandaseta berteriak kaget 

dan kesal sekali. “Kenapa putri yang cantik itu bisa 

menjadi nenek-nenek ini?”

Para anggota rombongan sang Pangeran terperanjat 

menyaksikan kejadian itu. Demikian pula Resi Badra-

pati, bergegas melepaskan belenggu nenek-nenek itu,



sekaligus melepaskan penyumpal mulutnya, lalu ber-

tanya, “Perempuan tua renta! Siapakah kau sebe-

narnya? Kenapa pula kau bisa berada di dalam joli 

kencana ini?”

Pertanyaan Resi Badrapati itu sebenarnya bermak-

sud menyelidiki siapa yang menjadi dalang peristiwa 

aneh tersebut.

Nenek-nenek itu gelagapan menjawab pertanyaan 

Resi Badrapati, “Ha... hamba sedang mencari kayu ba-

kar di hutan... ti... tiba-tiba hamba merasa seperti di-

terbangkan oleh angin yang sangat kencang... lalu 

hamba seperti dibisiki oleh seseorang... yang mengata-

kan bahwa hamba akan dijadikan selir Gusti Pangeran 

Gandaseta... lalu hamba tidak ingat apa-apa lagi... dan 

tahu-tahu sudah berada di sini.”

Pangeran Gandaseta menghentak-hentakkan kaki-

nya saking geram dan jengkelnya. Beberapa pengikut-

nya terpaksa menahan tawanya ketika mendengar si 

nenek akan dijadikan selir sang Pangeran.

Tapi Resi Badrapati tidak melihat hal yang mengge-

likan dalam peristiwa itu. Bahkan sebaliknya, ia meng-

anggap peristiwa itu sebagai ancaman yang lebih me-

ngerikan daripada ujung keris.

Lalu Resi Badrapati bertanya lagi kepada si nenek, 

“Apakah kau masih ingat, suara yang membisikimu itu 

suara laki-laki atau suara perempuan?”

“Su... suara perempuan! Suaranya begitu merdu... 

laksana suara buluh perindu!” sahut si nenek sambil 

memejamkan matanya.

Wajah Resi Badrapati mendadak pucat pasi. Dengan 

suara yang hampir tak terdengar, ia bergumam, “Pe-

rempuan bersuara merdu seperti buluh perindu... tak 

salah lagi... Dia telah muncul kembali di dunia ramai 

ini.”


“Apa yang kau ucapkan, Paman Resi?” tanya Pange-

ran Gandaseta dengan kemarahan yang masih me-

luap-luap.

“Ti... tidak ada apa-apa. Gusti. Tapi... sebaiknya 

mulai hari ini kita harus waspada, untuk menghadapi 

segala kemungkinan,” sahut sang Resi dengan suara 

bergetar.

“Lalu bagaimana dengan putri Adipati Nawanggana 

itu? Apakah persoalan ini harus dianggap selesai sam-

pai di sini saja? Oh... tidak!” Pangeran Gandaseta 

menghentakkan kakinya lagi di lantai. “Siapa pun yang 

berani mempermainkanku, berarti telah menjadi mu-

suh kerajaan! Dan aku tidak akan puas sebelum bisa 

memenggal leher manusia keparat itu!”

Para pengikut Pangeran Gandaseta menyatakan 

dukungan mereka atas tekad sang Pangeran itu. 

Hanya Resi Badrapati yang berdiam diri. Bahkan jauh 

di dalam hatinya, sang Resi berkata, “Berbicara me-

mang mudah. Tapi melaksanakannya?! Aku saja tidak 

sanggup memenggal leher Sekarpadma, apalagi orang-

orang yang belum pernah mengenal wanita sakti dan 

aneh itu!”

Namun sejak saat itu tidak terdengar lagi berita ten-

tang Rupati. Demikian pula nasib Sudesa yang se-

sungguhnya, tidak ada orang yang tahu. Barulah bebe-

rapa tahun kemudian, muncul seorang tokoh yang ti-

dak mau menyebutkan nama aslinya. Orang-orang lalu 

menggelari tokoh tersebut sebagai Kudawulung, kare-

na tawanya mirip ringkikan kuda dan seringkali me-

megang tongkat yang terbuat dari batu wulung.

Munculnya Kudawulung sangat menggemparkan, 

karena ia sering muncul secara tiba-tiba, untuk mem-

bela yang lemah dan menegakkan kebenaran.

Tiada orang yang tahu bahwa sebenarnya tokoh


muda bergelar Kudawulung itu, adalah Sudesa.

Demikianlah sebagian riwayat masa muda Kudawu-

lung. Dan riwayat masa lalu Kudawulung itu dicerita-

kan juga kepada Rangga di puncak Gunung Limagagak 

yang selalu diselimuti kabut.

“Tapi, siapa sebenarnya yang telah menolong Kakek 

dahulu? Mengapa pula Kakek mengatakan bahwa na-

sib Kakek sama dengan nasibku?” tanya Rangga sete-

lah Kudawulung berhenti bicara.

Kudawulung memandang langit yang mulai tampak 

cerah. Lalu katanya, “Memang benar, aku ditolong oleh 

sang Sekarpadma yang sakti, lalu dijadikan muridnya. 

Besok saja kulanjutkan ceritanya. Sekarang perutmu 

tentu lapar bukan?”

“Be... betul, Kek. Tapi di mana kita bisa menda-

patkan makanan?”

“Tentu saja kita harus turun gunung dulu. Di lereng 

sana ada rumah seorang petani yang baik hati yang se-

lalu bersedia membagi makanannya untukku. Ayo kita 

ke sana sekarang.”

Rangga mengangguk, lalu mengikuti langkah Kuda-

wulung menuruni gunung yang selalu diselimuti kabut 

itu.

Pada waktu mengikuti langkah Kudawulung itu, ba-

rulah Rangga sadar bahwa permukaan Gunung Lima-

gagak itu sebagian besar terdiri dari batu-batuan tajam 

yang ditutupi oleh lumut tebal. Maka baru saja bebe-

rapa langkah menuruni gunung itu, Rangga sudah ter-

gelincir dan terjerembab, sehingga dahinya membentur 

batu tajam dan mengeluarkan darah.

Rangga merintih perlahan, sambil menyeka darah 

yang mengucur dari dahinya. Tapi ketika melihat Ku-

dawulung yang tampak enak saja melompat-lompat di 

atas batu-batu tajam, Rangga seakan-akan dilecut.


Orang yang sudah tua saja begitu mudah menuruni 

gunung ini, kenapa aku yang masih muda tidak sang-

gup?

Rangga melangkah lagi. Tapi baru tiga langkah, ia 

tergelincir lagi. Dan ketika melihat Kudawulung masih 

tenang-tenang saja melangkah, semangat Rangga ber-

kobar lagi. Kemudian melangkah lagi, dan... tergelincir 

lagi!

Demikianlah seterusnya, Rangga terjatuh dan terja-

tuh lagi. Sehingga akhirnya Rangga berseru, “Kakek! 

Bagaimana mungkin aku bisa menuruni gunung yang 

licin sekali ini?”

Kudawulung menjawab sambil tertawa kecil, “Aku 

saja yang sudah tua begini bisa berjalan dengan mu-

dah. Kenapa kau yang masih muda tidak sanggup?”

Rangga terkejut dan berpikir, “Gila! Dia bukan 

hanya pandai melompat-lompat di atas bebatuan tajam 

dan licin, tapi juga pandai menebak isi hati orang! Ilmu 

apa sebenarnya yang telah dimilikinya itu?”

Rangga pun lalu teringat pada pengalamannya tadi 

malam. Ya, ia ingat benar bahwa tadi malam ia berja-

lan sampai di batas utara Tilugalur. Di situ pergelan-

gan tangannya digenggam oleh Kudawulung. Lalu ia 

merasa tubuhnya seperti melesat dengan cepat sekali, 

sehingga ia memejamkan matanya saking ngerinya. 

Dan ketika ia membuka matanya kembali, tahu-tahu 

ia sudah berada di puncak Gunung Limagagak.

Ingatan Rangga tentang peristiwa tadi malam mulai 

menyadarkannya, bahwa Kudawulung bukan orang 

sembarangan. Rangga memang belum pernah belajar 

ilmu kedigjayaan. Tapi dari cerita orang-orang, ia ser-

ing mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dan du-

nianya yang penuh dengan teka-teki.

Ketika Rangga masih memikirkan hal itu, tiba-tiba


Kudawulung menghentikan langkahnya, lalu berkata, 

“Di alam raya ini memang banyak hal yang tidak terpi-

kirkan oleh akal dangkal. Karena itu, makin tinggi ilmu 

seseorang, akan semakin menyadarkannya bahwa ia 

tak ubahnya sebutir pasir di tengah samudera yang 

mahaluas. Kenyataannya bahkan lebih dari itu, karena 

alam raya ini tiada batasnya. Dan samudera yang luas 

itu pun tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan 

alam ciptaan Hyang Widhi ini.”

Rangga tertunduk dan bergumam perlahan, “Be-

nar... dibandingkan dengan gunung yang tinggi ini 

pun, rasanya diriku bukan apa-apa. Rasanya diriku 

kecil sekali.”

“Ya,” sahut Kudawulung. “Kau baru mengakui ke-

besaran gunung ini setelah kau memasuki wilayahnya, 

bukan?! Demikian juga dengan ilmu, Rangga. Setelah 

kau mempelajari suatu ilmu, kalau kau bijaksana, kau

akan sadar bahwa dirimu bukan apa-apa. Itulah se-

babnya orang-orang pandai sering berkata ‘makin ba-

nyak aku tahu, aku semakin tahu bahwa banyak yang 

belum kuketahui’. Kau boleh mencamkan kata-kata bi-

jaksana itu, sebagai pelajaran pertamamu, kalau kau 

bermaksud menjadi muridku.”

Rangga terperanjat dan kontan menjatuhkan di-

rinya di depan Kudawulung, lalu mencium kaki lelaki 

tua renta itu sambil berkata, “Rama Guru, mulai saat 

ini hamba akan mematuhi segala petunjuk Rama 

Guru.”

Kudawulung tersenyum dan mengelus-elus rambut 

Rangga dengan penuh kasih sayang.

***

SEBENARNYA kau kurang berbakat untuk menjadi 

muridku,” kata Kudawulung keesokan harinya di 

puncak Gunung Limagagak, “Tubuhmu kurang kuat, 

semangatmu pun lemah. Aku menerimamu sebagai 

muridku, semata-mata karena merasa bahwa kau se-

nasib denganku.”

“Lagi-lagi Rama Guru mengatakan bahwa hamba 

senasib dengan Rama Guru. Tapi Rama Guru belum 

juga menceritakan apa yang menyebabkan Rama Guru 

merasa senasib dengan hamba.”

Kudawulung mengelus-elus janggutnya yang putih 

laksana kapas, lalu berkata, “Pada waktu aku masih 

sering mengadakan pertemuan dengan putri Adipati 

Nawanggana di Telaga Darana, sedikit pun aku tak 

menduga bahwa setiap gerak-gerikku diperhatikan 

oleh sang Sekarpadma yang bersemayam di telaga itu.”

“Bersemayam di telaga?” Rangga tampak heran.

“Ya, beliau memang bersemayam di dasar Telaga 

Darana. Dan hal itu tidak diketahui oleh orang banyak. 

Aku pun baru mengetahuinya setelah ditolong oleh be-

liau.”

Kemudian Kudawulung menceritakan kejadian demi 

kejadian yang pernah dialami pada masa mudanya.

Seperti yang telah dikatakan oleh Kudawulung tadi, 

pada waktu ia masih sering mengadakan pertemuan 

dengan Rupati di tepi Telaga Darana (pada waktu ia 

masih bernama Sudesa), ia tidak tahu bahwa gerak-

geriknya selalu diperhatikan oleh seorang wanita sakti 

yang telah berhasil menyatukan diri dengan alam gaib.

Sebenarnya sang Sekarpadma telah mengundurkan 

diri dari segala urusan dunia nyata, lalu semata-mata 

ingin menyucikan dirinya dalam alam yang tidak keli-

hatan oleh mata biasa. Namun setelah berkali-kali me-

lihat gerak-gerik Sudesa, terbetiklah perasaan sayang


sang Sekarpadma terhadap tukang kuda yang masih 

muda belia itu.

Sang Sekarpadma pun tahu bahwa Sudesa dan Ru-

pati telah saling mencintai, namun derajat mereka 

berbeda, sehingga mereka hanya dapat mencurahkan 

perasaannya masing-masing di tepi Telaga Darana.

Diam-diam sang Sekarpadma pun merasa kasihan 

kepada Sudesa, yang dianggapnya kurang beruntung. 

Derajat Sudesa yang rendah, menjadi penghalang cin-

tanya terhadap Rupati. Dan sang Sekarpadma ingin 

melenyapkan penghalang itu. Ia ingin melihat Sudesa 

dan Rupati hidup bahagia dan tetap saling mencintai.

Tapi sang Sekarpadma telah bertekad mengundur-

kan diri dari segala urusan dunia nyata. Hal itu lalu 

menjadi penghalang baginya untuk menolong Sudesa 

dan Rupati.

Kalau sang Sekarpadma turun tangan untuk me-

nyingkirkan Sudesa dan Rupati dari pandangan orang 

banyak, berarti sang Sekarpadma ikut campur lagi de-

ngan urusan dunia nyata. Dan itu berarti bahwa sang 

Sekarpadma mengingkari janjinya sendiri. Itu pun be-

rarti bahwa kesucian yang didambakannya tidak akan 

tercapai secara sempurna.

Itulah sebabnya sang Sekarpadma tetap berpangku 

tangan pada mulanya, ia hanya duduk menonton dari 

alam gaibnya, dengan perasaan iba terhadap nasib Su-

desa.

Tapi ketika penglihatan gaib sang Sekarpadma me-

nyaksikan kekejaman balatentara kadipaten, waktu 

menyeret Sudesa dari dalam hutan menuju kota kadi-

paten, sang Sekarpadma tidak dapat menahan diri lagi. 

Ia segera memaparkan mantra keselamatan yang ditu-

jukan untuk menolong Sudesa.

Itulah sebabnya Sudesa tampak tidak mengalami


kesakitan pada waktu tubuhnya diseret-seret oleh see-

kor kuda dari hutan ke kota kadipaten. Padahal seku-

jur tubuhnya sudah berlumuran darah.

Itu baru campur tangan ‘kecil-kecilan’ dari sang Se-

karpadma. Karena pada saat itu sang Sekarpadma 

masih membatasi diri, untuk tidak terlalu jauh men-

gingkari janjinya.

Ketika mengetahui Sudesa akan dihukum gantung, 

sang Sekarpadma tak dapat membatasi diri lagi. De-

ngan cara yang tidak kelihatan oleh manusia biasa, 

sang Sekarpadma ‘mencomot’ tubuh Sudesa, lalu 

menggantikannya dengar selir kesayangan Adipati Na-

wanggana yang telah dipukau terlebih dahulu.

Antara sadar dan tidak, Sudesa merasa dirinya di-

bawa melayang ke alam yang serba asing. Lalu kesada-

rannya pulih setelah ia berada di dasar Telaga Darana.

“Di mana aku berada sekarang ini?” gumam Sudesa 

sambil menggosok-gosok matanya.

Lalu terdengar suara wanita yang begitu merdu, 

“Kau berada di dasar Telaga Darana, Sudesa.”

Sudesa terperangah, lalu memperhatikan wanita 

itu, sang Sekarpadma itu. Sungguh silau mata Sudesa 

ketika memandang wajah wanita itu.

“A... apakah aku sudah mati dan berada di alam 

kekal?”

“Tidak, Sudesa. Kau masih berada di alam fana. Ta-

pi dirimu sudah diselimuti oleh kekuatan dwiguna, se-

hingga kau bisa bernapas di dalam air.”

Sudesa terperanjat. Ia baru sadar bahwa ia berada 

di dalam air, tapi ia tetap dapat bernapas secara wajar.

Sudesa pun lalu sadar bahwa luka-luka di tubuh-

nya telah lenyap tanpa bekas. Tapi ia tidak berani ber-

tanya lebih jauh lagi. Dan ia mulai menyadari bahwa 

dirinya sudah diselamatkan oleh wanita yang memancarkan cahaya menyilaukan dari wajahnya itu.

Setelah menyadari semuanya itu, Sudesa langsung 

bersujud di depan sang Sekarpadma sambil berkata, 

“Hamba menghaturkan terima kasih atas pertolongan 

Gusti Dewi.”

“Sudesa,” ujar sang Sekarpadma, “aku bukan bida-

dari, bukan pula putri raja. Karena itu kau tak usah 

memanggilku dengan sebutan dewi. Aku lebih senang 

kalau kau memanggilku ibu, karena aku memang telah 

lama menyayangimu seperti seorang ibu kepada anak-

nya.” Kemudian sang Sekarpadma berkata lagi, “Sejak 

pertama kali kau datang bersama Rupati ke tepi Telaga 

Darana, aku sudah mulai menyayangimu. Karena aku 

melihat sikapmu yang tetap merendahkan diri di depan 

gadis yang menggilaimu itu. Aku pun melihat betapa 

kau mampu mengendalikan nafsumu dalam pertemu-

an-pertemuanmu dengan Rupati di tepi Telaga Darana 

ini. Karena itu aku menganggap bahwa kau patut men-

jadi anak angkatku. Maka sejak saat ini, kau boleh 

tinggal bersamaku selama tiga tahun. Kau pun akan 

memperoleh sebagian besar dari ilmu-ilmu yang kumi-

liki, supaya kau dapat menjaga dirimu sendiri kelak.”

Kemudian sang Sekarpadma bertepuk tangan tiga 

kali, dan muncullah makhluk-makhluk aneh di depan-

nya.

Makhluk-makhluk aneh itu berwujud gadis-gadis 

cantik dari kepala sampai pusat perutnya. Tapi dari 

pusat perut ke bawah, berbentuk badan dan ekor 

ular... dengan sisik-sisik yang gemerlapan laksana ta-

buran permata intan!

Makhluk-makhluk aneh itu tampak begitu patuh 

dan takut kepada sang Sekarpadma. Kemudian sang 

Sekarpadma berkata kepada mereka, “Wahai para da-

yangipri! Ketahuilah bahwa sejak saat ini aku mempunyai anak angkat, bernama Sudesa, yang kini berada 

di sampingku.”

Makhluk-makhluk yang disebut ‘para dayangipri’ 

itu kontan bersujud di depan Sudesa.

Tentu saja Sudesa kebingungan dibuatnya. Karena 

selain masih heran melihat bentuk para dayangipri itu, 

ia pun belum terbiasa diperlakukan seperti putra raja 

begitu.

“Sudesa,” ujar sang Sekarpadma, “tentu kau merasa 

heran melihat para dayangipri ini, bukan?! Memang 

Telaga Darana yang berair bening ini mengandung ba-

nyak teka-teki yang takkan terpecahkan oleh akal 

dangkal. Orang-orang yang berdiri di tepi Telaga Dara-

na tidak akan melihat bentuk para dayangipri ini. Me-

reka hanya akan melihat ikan-ikan besar yang tidak 

bisa dipancing maupun dijaring. Padahal makhluk-

makhluk yang tampak seperti ikan di mata manusia 

biasa itu, adalah para dayangipri ini.”

Sudesa tercengang mendengar keterangan sang Se-

karpadma yang sudah menjadi ibu angkatnya itu.

Namun apa yang Sudesa saksikan selanjutnya, le-

bih menakjubkan lagi. Sudesa melihat sang Sekar-

padma menyingkirkan sebongkah batu besar hanya 

dengan menggunakan ujung telunjuknya. Ternyata ba-

tu besar itu dipakai sebagai penutup mulut terowon-

gan di dasar telaga. Dan setelah batu besarnya dige-

serkan, tampaklah mulut terowongan itu.

Lewat terowongan itu Sudesa dibawa ke alam ba-

wah tanah yang lebih menakjubkan. Di sini pun Sude-

sa terheran-heran setelah menyadari bahwa di dalam 

tempat yang jauh di bawah tanah itu, udaranya terang 

benderang. Padahal jelas, cahaya matahari tidak bisa 

masuk ke situ.

Dengan agak ragu, Sudesa pun bertanya kepada


sang Sekarpadma, “Dapatkah Kanjeng Ibu menje-

laskan, apa sebabnya tempat ini terang benderang?”

Sang Sekarpadma menjawab dengan senyum, “Se-

benarnya tempat ini gelap gulita. Tapi aku telah mem-

buatmu dapat melihat di kegelapan.”

“Oh!” Sudesa terperangah dan mengusap-usap ma-

tanya.

“Banyak lagi hal lain yang belum kau ketahui,” ujar 

sang Sekarpadma sambil tersenyum. “Dan semuanya 

itu akan kau dapatkan sedikit demi sedikit.”

Demikianlah, Sudesa lalu tinggal di dasar Telaga 

Darana dengan segala keanehan yang terdapat di da-

lamnya. Dan sang Sekarpadma membimbingnya den-

gan penuh kasih sayang, tak ubahnya seorang ibu 

membimbing anak kandungnya.

Sang Sekarpadma juga maklum bahwa Sudesa su-

dah sangat mencintai Rupati. Dan pada suatu hari 

sang Sekarpadma bertindak sendiri, menculik Rupati 

yang sedang diboyong ke kotaraja, lalu menyimpannya 

di tengah hutan terpencil.

Di situlah sang Sekarpadma mempertemukan Su-

desa dengan Rupati.

“Apakah putri Adipati Nawanggana itu juga dibawa 

ke dasar Telaga Darana?” tanya Rangga ketika Kuda-

wulung menghentikan penuturannya di tengah jalan.

“Tidak,” Kudawulung menggeleng. “Sang Sekarpad-

ma tidak mengijinkanku membawa Rupati ke dasar Te-

laga Darana.”

Kemudian Kudawulung alias Sudesa menceritakan 

bagaimana kisah yang ia alami selanjutnya.

Sudesa merasa bahagia sekali setelah dipertemukan 

dengan Rupati di tengah hutan itu. Kemudian sang Se-

karpadma membawa sepasang muda-mudi itu ke pun-

cak gunung Limagagak yang sangat sunyi dan selalu


diselimuti kabut tebal. Di situlah sang Sekarpadma 

menempatkan Sudesa dan Rupati.

Tidak hanya kebetulan sang Sekarpadma memilih 

puncak gunung Limagagak untuk menempatkan Sude-

sa dan Rupati. Selain dianggap aman, dari gunung itu 

terdapat semacam terowongan rahasia menuju ke da-

sar Telaga Darana.

Tapi tidak selamanya Sudesa dapat bersama-sama 

Rupati (yang lalu diperistrikannya) di puncak Gunung 

Limagagak. Sudesa hanya dapat sebulan sekali menje-

nguk istrinya, yakni di setiap bulan purnama, semen-

tara waktu sisanya harus dihabiskan di dasar Telaga 

Darana. Hal itu adalah untuk memenuhi janji sang Se-

karpadma, bahwa Sudesa boleh tinggal di dasar Telaga 

Darana selama tiga tahun. Tentu bukan cuma tidur-

tiduran di situ, melainkan untuk menimba ilmu dari 

sang Sekarpadma yang telah menjadi ibu angkatnya.

Selama tiga tahun itu, sang Sekarpadma seolah-

olah berkejaran dengan waktu, untuk menurunkan se-

luruh ilmu yang pernah dimilikinya kepada Sudesa.

Sampailah pada suatu hari, sang Sekarpadma me-

manggil Sudesa dan berkata dengan nada yang lain 

dari biasanya, “Sudesa... hari ini genaplah tiga tahun 

kau berada di bawah gemblenganku. Hari ini juga me-

rupakan hari terakhir bagi setiap benda dan makhluk 

bernyawa yang berada di dalam Telaga Darana... ter-

masuk diriku.”

Sudesa terperanjat, “Kanjeng Ibu! Hamba kurang 

mengerti, apa yang Kanjeng Ibu maksudkan dengan 

hari terakhir bagi diri Kanjeng Ibu?”

Sang Sekarpadma tersenyum lirih. Lalu katanya, 

“Setiap makhluk bernyawa, pada akhirnya akan me-

nemui kematian. Tiada suatu kekuatan pun yang da-

pat menentang kehendak Hyang Widhi ini. Bahkan


bumi yang kita pijak ini pun pada akhirnya akan men-

galami kehancuran juga. Demikian pula dengan diri-

ku... pada akhirnya harus rela meninggalkan alam 

yang fana ini, untuk menuju alam yang kekal.”

Kemudian sang Sekarpadma membuka rahasia 

yang selama itu tidak pernah diungkapkan pada Sude-

sa, “Sebenarnya campur tanganku pada urusanmu, 

merupakan pelanggaran atas sumpahku sendiri. Kare-

na aku pernah bersumpah untuk tidak ikut campur 

lagi pada urusan duniawi, demi kesucian yang kudam-

bakan. Dan jika aku melanggar sumpah ini, berarti 

aku hanya bisa hidup selama tiga tahun lagi sejak pe-

langgaran itu kulakukan. Memang sumpah yang kui-

krarkan sangat berat, karena ilmu yang kuperoleh pun 

bukan ilmu yang ringan. Dan aku berusaha untuk 

memegang teguh-teguh sumpahku pada mulanya. Tapi 

begitu melihat kau dan Rupati, aku tak kuasa lagi 

mempertahankan keteguhanku. Aku merasa kasihan 

kepadamu yang ditakdirkan jadi manusia terhina. Aku 

juga merasa kasihan kepada Rupati yang begitu dalam 

mencintaimu. Karena itu aku melanggar sumpahku 

sendiri. Dan ini berarti bahwa aku harus memusnah-

kan diriku sendiri, tiga tahun setelah aku melanggar 

sumpahku. Walaupun begitu, aku tidak menyesal, ka-

rena manusia yang kutolong tidak pernah mengecewa-

kan hatiku.”

Sudesa yang sudah digembleng untuk menjadi ma-

nusia tabah dalam menghadapi segala hal, saat itu tak 

dapat mengekang keharuannya lagi. Dengan suara 

sendu ia berkata, “Kalau begitu, Kanjeng Ibu rela men-

gorbankan hidup Kanjeng Ibu sendiri, hanya untuk 

membela hamba. Oh... ini benar-benar tidak dapat 

hamba terima. Biarlah hamba saja yang mengorban-

kan diri, asalkan Kanjeng Ibu tetap hidup dan...”


Belum habis Sudesa bicara, sang Sekarpadma me-

motongnya, “Itu tidak benar, anakku. Kalau dikaji se-

cara mendalam, sebenarnya setiap amal perbuatanku 

adalah untuk bekalku sendiri di alam kekal kelak. De-

mikian pula dengan pertolongan yang telah kuberikan 

padamu, mudah-mudahan diterima oleh Hyang Widhi, 

sebagai salah satu perbuatan baik yang pernah kula-

kukan di dunia ini. Karena itu, janganlah merasa bah-

wa aku telah mengorbankan diriku untukmu.”

Ketika Sudesa masih termangu-mangu, sang Sekar-

padma seperti terburu-buru berkata, “Sekarang den-

garlah sebuah rahasia yang mungkin ada gunanya ba-

gi dirimu. Menurut bisikan gaib yang pernah kuterima 

dalam salah satu semadiku... tujuhpuluh tahun lagi... 

hanya ada satu benda yang paling ampuh di daratan 

ini, yakni Mestika Lidah Naga.”

“Mestika Lidah Naga?!” Sudesa terheran-heran.

Sang Sekarpadma mengangguk. Lalu katanya, 

“Mestika itu berada di lidah naga yang baru menetas 

pada malam bulan purnama. Dan tempat menetasnya 

naga keturunan Sang Anantaboga itu, adalah di bekas 

Telaga Darana ini. Tapi, untuk menyempurnakan kete-

rangan ini, harus kau cari sendiri lewat semadi.”

Sudesa mau bertanya lagi. Tapi sang Sekarpadma 

cepat-cepat menyerahkan tongkat yang terbuat dari 

batu wulung, sambil berkata, “Sekarang cepatlah pergi 

dari sini, karena tempat ini akan menjadi kancah yang 

mengerikan. Cepatlah pergi, Sudesa. Dan... jangan 

kembali ke sini!”

Sudesa tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya 

kecuali mengikuti perintah sang Sekarpadma itu. Ma-

ka setelah menyembah kaki sang Sekarpadma, Sudesa 

memaparkan mantra ‘Bayusuta’ yang telah diturunkan 

dari sang Sekarpadma.



Kemudian... tubuh Sudesa melesat dari dasar Tela-

ga Darana, laksana anak panah terlepas dari busur-

nya, lalu hinggap di puncak bukit yang tidak begitu 

jauh letaknya dari Telaga Darana.

Itulah Sudesa yang telah memiliki ilmu-ilmu sang 

Sekarpadma. Sudesa bukan lagi seorang tukang kuda 

yang bodoh dan lemah, melainkan telah menjadi seo-

rang pemuda yang sulit dicari tandingannya di zaman 

itu.

Begitu kaki Sudesa menginjak puncak bukit itu, ti-

ba-tiba saja air Telaga Darana bergolak.

Sudesa terpana, dibuatnya.

Telaga Darana menjadi pemandangan yang sangat 

menakjubkan. Namun bagi Sudesa, telaga itu tampak 

demikian mengerikan dan menyedihkan, karena Sude-

sa tahu apa yang sedang terjadi di dalam telaga itu.

Air bening yang sedang bergolak itu mulai tampak 

berwarna-warni. Kemudian terdengar suara bergemu-

ruh, disusul oleh menyemburnya air dari dalam telaga 

itu... jauh tinggi ke angkasa, tak ubahnya lahar yang 

muncrat dari puncak gunung berapi!

Sesaat kemudian... Telaga Darana telah berubah 

menjadi lembah yang kering. Dan orang yang belum 

pernah melihat Telaga Darana, tidak akan menduga 

bahwa ‘lembah’ kering itu dahulunya sebuah telaga 

yang indah dan penuh dengan misteri.

Sudesa menyaksikan semuanya itu dengan hati pi-

lu.

“Beliau benar-benar telah memusnahkan dirinya 

sendiri,” pikir Sudesa dengan air mata berlinang-

linang. “Mudah-mudahan saja Hyang Widhi menem-

patkan Kanjeng Ibu Sekarpadma di Suargaloka.”

Sambil memejamkan matanya yang basah, Sudesa 

memaparkan mantra ‘Bayusuta’ lagi. Dan begitu ia selesai memaparkan mantra tersebut, tubuhnya menda-

dak lenyap dari puncak bukit itu.

Pada saat berikutnya, Sudesa muncul di puncak 

Gunung Limagagak, di depan Rupati, istri tercintanya.

Rupati yang sudah tahu bahwa suaminya bisa le-

nyap atau muncul secara tiba-tiba di depan matanya, 

tidak lagi merasa heran dengan kehadiran Sudesa saat 

itu. Yang membuat Rupati heran, adalah linangan air 

mata di kelopak mata Sudesa itu.

Maka ujar Rupati, “Tak seperti biasanya, Kakang 

datang dengan wajah murung dan mata berkaca-kaca. 

Mungkin ada sesuatu yang membuat hati Kakang ber-

sedih.”

Sudesa mengangguk dan menyahut, “Kanjeng Ibu 

Sekarpadma telah tiada.”

“Oh!” Rupati memegang kedua belah pipinya yang 

lembut kemerahan.

“Aku merasa sangat kehilangan,” ujar Sudesa. “Ka-

lau tidak ada beliau, mungkin aku sudah tewas di 

tiang gantungan.”

“Tapi... bagaimana kejadian yang sebenarnya, Ka-

kang?”

Sudesa menghela napas panjang. Kemudian mence-

ritakan apa yang telah terjadi di Telaga Darana.

Kematian sang Sekarpadma yang musnah tanpa be-

kas, berikut lenyapnya Telaga Darana yang lalu men-

jadi lembah, memang merupakan kehilangan yang 

sangat memilukan bagi Sudesa. Hanya dengan jalan 

bersemadilah Sudesa dapat menekan kesedihan yang 

amat mencekam itu. Dan memang di hari-hari beri-

kutnya Sudesa lebih banyak menghabiskan waktunya 

dalam persemadian.

Sampai pada suatu hari, Sudesa bukan hanya ber-

hasil mengumpulkan kembali semangatnya, melainkan


juga menerima bisikan gaib yang ditunggu-tunggunya 

sejak mendapat keterangan dari sang Sekarpadma... 

mengenai Mestika Lidah Naga!

“Aku telah berhasil memiliki ilmu-ilmu sang Sekar-

padma. Aku juga telah berhasil mendapatkan keteran-

gan yang lebih jelas tentang mestika itu,” ujar Kuda-

wulung pada Rangga. “Tapi aku tidak berhasil menda-

patkan kebahagiaan bagi diriku sendiri.”

“Maksud Rama Guru?” tanya Rangga.

“Ketika istriku mengidam, aku merasa senang seka-

li. Maka waktu ia menyatakan ingin makan buah deli-

ma, aku sangat bernafsu untuk mencarikannya,” sa-

hut Kudawulung. “Namun... ternyata itulah awal ben-

cana bagi kebahagiaanku.”

“Awal bencana bagi kebahagiaan Rama Guru?!”

“Ya. Memang aneh, saat itu pohon-pohon delima 

tiada yang berbuah. Aku sudah mencarinya ke mana-

mana, tapi tak sebuah delima pun kudapatkan. Tiga 

bulan lebih aku berkelana, hanya untuk buah delima 

yang diidamkan oleh istriku. Dan akhirnya aku pulang 

ke puncak Gunung Limagagak ini, dengan tangan 

hampa.”

“Istri Rama Guru tentu kecewa sekali,” kata Rangga.

Kudawulung menggeleng dengan senyum getir. Ke-

luhnya, “Dia tidak bisa lagi merasakan sedih ataupun 

kecewa. Ketika aku pulang ke puncak Gunung Lima-

gagak ini, dia sudah tidak ada lagi di sini. Aku menca-

ri-carinya dengan segenap kemampuanku. Ternyata 

dia sudah binasa di kotaraja.”

“Binasa di kotaraja?”

“Ya,” Kudawulung mengangguk. “Rupanya istriku 

mulai resah setelah tiga bulan aku tak pulang-pulang. 

Kemudian dia turun dari puncak gunung ini... dan... di 

daerah lereng sana, pasukan Pangeran Gandaseta


memergoki istriku. Mereka menyeret istriku ke kotara-

ja dan menyerahkannya kepada pangeran mata keran-

jang itu. Dan setelah Pangeran Gandaseta tahu bahwa 

Rupati sedang dalam keadaan hamil, Rupati dibu-

nuh... sebagai pelampiasan dendam sang Pangeran 

atas cintanya yang tak terbalas.”

Darah muda Rangga mendidih mendengar cerita 

gurunya itu. Lalu tanyanya, “Apakah Rama Guru 

membiarkan saja kenyataan pahit itu?”

Kudawulung seperti berat menjawab pertanyaan itu. 

Tapi lalu dijawabnya juga, “Pada saat itu aku masih 

muda seperti kau sekarang. Darah mudaku jelas tak 

dapat menerima kenyataan pahit itu. Dan aku lalu 

menganggap bahwa kekejaman harus dibalas dengan 

kekejaman. Karena kalau kekejaman dibalas dengan 

kelemahan, akan membuat kekejaman itu semakin 

merajalela.”

Lalu Kudawulung menceritakan apa yang dilaku-

kannya setelah mengetahui bahwa Rupati binasa di 

tangan Pangeran Gandaseta.

Kotaraja dibuat gempar dengan munculnya seorang 

tokoh yang mengenakan topeng hitam dan membawa-

bawa tongkat batu wulung di tangannya. Tokoh miste-

rius itu menjagal istri-istri dan seluruh keturunan Pa-

ngeran Gandaseta! Tak cukup dengan itu saja, pasu-

kan Pangeran Gandaseta pun dibuat menderita. Nyawa 

keluarga mereka dihabisi! Dan tak seorang pun yang 

mampu mencegah tindakan tokoh misterius itu.

Namun tokoh bertopeng hitam itu masih belum 

puas juga. Dengan cara yang aneh, ia mengebiri Pan-

geran Gandaseta. Sehingga pangeran mata keranjang 

itu tak dapat lagi melampiaskan nafsu birahinya.

Sebelum meninggalkan kotaraja, tokoh misterius 

yang tak lain dari Sudesa itu masih sempat mengumandangkan suaranya yang bergemuruh dan terden-

gar ke setiap pelosok kotaraja, “Sekarang kalian mera-

sakan sendiri bagaimana sedihnya berpisah dengan 

keluarga yang kalian cintai. Dan setiap kali kalian ber-

buat kekejaman, aku akan membalas dengan cara 

yang lebih ganas lagi!”

Suara itu lenyap. Lalu terdengar suara tawa yang 

mirip ringkik kuda. Suara tawa itu pun lalu lenyap.

Dan gemparlah seluruh penghuni kotaraja setelah 

mereka menyadari apa yang telah dilakukan oleh to-

koh misterius bertopeng hitam itu.

Pangeran Gandaseta meratapi istri dan selir-

selirnya yang telah dibunuh oleh tokoh tak dikenal itu. 

Ia juga meratapi anak-anaknya yang tak disisakan seo-

rang pun. Semuanya dibunuh dengan cara yang aneh 

dan mengerikan. Dan yang paling menyedihkan hati 

sang Pangeran, adalah kejantanannya yang juga telah 

dilenyapkan oleh tokoh misterius itu.

Pasukan Pangeran Gandaseta pun tak kurang se-

dihnya, karena istri dan anak-anak mereka juga telah 

menjadi korban pembalasan dendam Sudesa.

Banyak yang menganggap kejadian itu sebagai pe-

ristiwa yang amat mengerikan. Namun rakyat yang 

pernah merasakan kekejaman Pangeran Gandaseta 

dan balatentaranya, diam-diam mensyukuri kejadian 

itu. Walaupun mulut mereka terkatup rapat-rapat, 

namun hati mereka seolah-olah berkata, “Pembalasan 

telah datang. Memang demikianlah seharusnya. Keke-

jaman mesti dibalas dengan kekejaman lagi!”

Apakah pembalasan dendam seperti itu menda-

tangkan kepuasan bagi Sudesa? Sama sekali tidak. 

Bagaimanapun juga Rupati yang telah tewas, tak dapat 

dihidupkan kembali. Dan tindakan ganas Sudesa ju-

stru hanya mendatangkan penyesalan di hari-hari berikutnya.

“Aku telah membunuhi perempuan-perempuan dan 

anak-anak tak berdosa. Ah... betapa menumpuknya 

dosa yang telah kulakukan.”

Demikianlah selalu yang terpikir di benak Sudesa 

pada hari-hari berikutnya.

Kudawulung mengakhiri ceritanya dengan, “Se-

karang, setelah aku tua begini, penyesalanku semakin 

bertumpuk. Kalau teringat tindakanku yang pernah 

kulakukan di kotaraja dahulu, rasanya aku telah men-

jadi orang yang paling berdosa di muka bumi ini.”

“Tapi nama Rama Guru terkenal sebagai tokoh 

pembela kebenaran,” kata Rangga.

Kudawulung tersenyum getir. Desahnya, “Memang... 

sekarang diriku hanya dikenal sebagai tokoh pembela 

keadilan dan kebenaran. Sedikit sekali yang tahu bah-

wa aku pernah melakukan kekejaman yang sangat 

mengerikan. Kekejaman yang hanya terdorong oleh bu-

jukan iblis.”

Dan tiba-tiba Kudawulung menatap wajah Rangga 

tajam-tajam. “Kau tidak boleh mengulang kesalahan 

yang pernah kulakukan! Bersumpahlah dulu, bahwa 

kau hanya akan membunuh orang manakala nyawamu 

sendiri sedang sangat terancam! Bersumpahlah! Aku 

tidak ingin ilmu yang kuturunkan padamu akan men-

jadi ilmu membunuh! Bersumpahlah, Rangga!”

Rangga mengangguk, lalu tertunduk.

“Bersumpahlah!” bentak Kudawulung.

“Ya... hamba bersumpah tidak akan membunuh, 

kecuali dalam keadaan yang sangat memaksa!”

Kudawulung tertawa terkikik-kikik. Dan lagi-lagi 

tampak keanehan pada dirinya. Ketika ia tertawa, air 

matanya bercucuran. Dan suara tawanya itu... benar-

benar mirip ringkik kuda!


Tapi, tiba-tiba saja tawa Kudawulung terhenti. Dan 

dengan suara sungguh-sungguh, ia berkata, “Kau ja-

ngan lagi membahasakan dirimu dengan sebutan ham-

ba! Aku bukan berasal dari keturunan ningrat. Aku ti-

dak patut dipertuan oleh siapa pun! Kau kujadikan 

muridku. Bukan kujadikan hambaku. Mengerti?”

“Mengerti, Rama Guru.”

“Hahahahaaaa... lucu! Lucu!”

“Apanya yang lucu?” Rangga terheran-heran.

“Kau telah berkali-kali memanggilku Rama Guru. 

Padahal aku belum menurunkan ilmu apa-apa pada-

mu, kecuali cerita masa laluku saja.”

“Tapi aku senang sekali mendengar kisah masa lalu 

Rama Guru. Sayangnya Rama Guru tidak mencerita-

kannya secara lengkap.”

“Apanya yang kurang lengkap?”

“Rama Guru tidak menceritakan tentang Pangeran 

Gandaseta, Adipati Nawanggana dan lain-lainnya sam-

pai tuntas.”

“Mereka memang sudah tiada,” desis Kudawulung. 

“Kota Kadipaten Nawanggana pun sekarang tidak dii-

ngat orang lagi. Orang-orang hanya tahu nama sebuah 

kota kecil, bernama Kawahsuling.”

“Kawahsuling?!” Rangga terperanjat. “Jadi Kawah-

suling itu tadinya sebuah kota kadipaten?”

Kudawulung mengangguk.

“Lalu... bekas Telaga Darana yang kata Rama Guru 

telah menjadi lembah itu, di mana letaknya?”

Dengan tawa kecil Kudawulung menjawab, “Kam-

pungmu sendiri, tolol!”

“Kampungku?!”

“Ya,” Kudawulung mengangguk. “Telaga Darana 

yang telah berubah menjadi lembah itu, bertahun-

tahun kemudian menjadi kampung, yang lalu dinamai


Tilugalur!”

Rangga tercengang.

***


TILUGALUR sunyi senyap. Rumah-rumah penduduk 

masih berdiri tegak. Tapi tak tampak seorang ma-

nusia pun di desa yang berbentuk lembah itu. Bahkan 

seekor binatang pun tidak kelihatan di situ.

Matahari sepenggalah ketika debu mengepul di se-

belah barat Tilugalur, di jalan berbatu-batu yang 

menghubungkan kotaraja dengan Kawahsuling. Debu 

itu dikepulkan oleh kaki dua ekor kuda yang ditung-

gangi dua orang lelaki bertombak. Dua orang prajurit 

kerajaan!

Yang seorang berperawakan tinggi besar dan meme-

lihara kumis tebal, yang seorang lagi berperawakan 

tinggi kurus dengan kepala gundul mengkilap.

Mereka menghentikan kuda mereka di batas utara 

Tilugalur yang merupakan simpang tiga.

“Mau menengok janda yang dulu itu?” tanya si ku-

rus gundul.

Prajurit yang tinggi besar mengangguk dengan se-

nyum. “Ya. Mudah-mudahan saja dia belum kawin la-

gi. Hihihihi...!”

Kedua prajurit berkuda itu membelokkan kuda me-

reka ke selatan.

“Kenapa Tilugalur jadi sepi begini, heh?”

“Mungkin orang-orangnya sedang berada di sawah.”

“Ke rumah lurah saja dulu. Dia pasti terkejut men-

dapat kunjungan kita. Mudah-mudahan saja dia me-

nyuguhi makanan yang enak-enak. Perutku lapar sekali, nih.”



“Ah, perut saja yang kau pikir. Aku malah mem-

bayangkan betapa enaknya kalau di pagi yang cerah 

ini ketemu perempuan cantik seperti janda yang dulu 

itu.”

“Huh! Kamu sendiri hanya memikirkan perempuan 

saja! Apa belum kenyang dengan suguhan Lurah Gin-

ding kemarin?”

Prajurit yang tinggi besar menggelengkan kepala, la-

lu ketawa kecil.

“Kamu memang rakus. Seperti kudamu saja,” cetus 

si kurus gundul.

“Mumpung masih muda! Hahahahaaaa... eh... rasa-

nya Tilugalur ini lain dari biasanya. Anak-anak pun ti-

dak kelihatan...!”

“Iya,” sahut si kurus gundul. “Desa ini seperti desa 

mati...!”

Di depan rumah lurah, mereka menghentikan kuda 

mereka. Lalu mereka melompat turun dari kudanya 

masing-masing.

Dengan langkah tegap, prajurit berkumis itu berja-

lan duluan, menuju pintu rumah lurah yang terbuka 

lebar. “Luraaah!” serunya sambil bertolak pinggang 

dan mendadak pasang wajah angker.

Tak terdengar sahutan. Ia menengok-nengok di pin-

tu. Dan si kurus gundul merebahkan diri di atas balai-

balai dekat kentongan, sambil bersiul-siul.

“Gundul...!”

“Heh?”

“Kenapa rumah lurah ini seperti tidak ada orang-

nya?”

“Mungkin orangnya sedang pada pergi ke sawah.”

“Ah, tidak! Kelihatannya seperti ada sesuatu yang 

tidak beres.”

“Tidak beres bagaimana?” si kurus gundul turun


dari balai-balai bambu itu, lalu mengikuti si kumis ke 

dalam rumah lurah.

“Kosong melompong dan... bau kembang kenanga 

ini... kau menciumnya?”

Si kurus gundul mengangguk-angguk. “Yayaya... 

aku menciumnya! Ah, jangan-jangan....”

“Jangan-jangan apa?” si kumis menoleh pada ka-

wannya.

Belum lagi si kurus gundul menjawab, tiba-tiba ter-

dengar ringkik kesakitan kuda-kuda yang ditambatkan 

di pekarangan rumah lurah itu.

Si kumis menoleh ke luar. “Hai! Kuda kita itu...!”

Si gundul pun menoleh ke luar. Dan dilihatnya ke-

dua ekor kuda itu sedang menggelepar-gelepar di ta-

nah, lalu terkapar, tak bergerak lagi.

Kedua prajurit kerajaan itu berlari ke luar, meng-

hampiri kuda mereka, yang ternyata sudah mati dua-

duanya!

“Hai... kenapa kuda-kuda kita ini?”

“Mati! Dua-duanya mati!”

“Aneh...!”

“Mungkin ada daun tuba yang termakan...”

“Daun tuba gundulmu! Rumput pun tak ada di si-

ni!”

“Hai! Aku serasa diingatkan! Dulu di pekarangan 

rumah lurah ini banyak tumbuh bunga-bungaan. Tapi 

sekarang... gundul begini?!”

“Ya, gundul! Gundul seperti kepalamu!”

“Jangan melawak, Baplang! Dalam keadaan seperti 

ini, mulutmu kelihatan jelek sekali!”

“Kau juga jangan melucu! Kita terpaksa harus ber-

jalan kaki sampai Kawahsuling. Hai?! Apa yang mau 

kau lakukan dengan kentongan itu?”

Si kurus gundul menyahut, “Aku akan mengumpul


kan rakyat desa ini. Aku harus meminta keterangan 

pada mereka, apa sebenarnya yang telah terjadi di Ti-

lugalur ini.”

“Ya, pukullah kentongan itu, Bolenang!”

Prajurit berkepala botak itu mulai memukul ken-

tongan, Trong... trong... trooong... trong... tong... tong-

tongtong... troooong... tong...!

Dan Tilugalur tetap sunyi. Hanya dua prajurit kera-

jaan itu yang sibuk sendiri, menengok-nengok dan 

menengok-nengok terus.

Si kurus gundul yang dipanggil Bolenang itu letih 

sendiri. Diserahkannya pemukul kentongan itu kepada 

kawannya. “Kau saja yang memukul kentongannya, 

Baplang. Aku letih sekali.”

“Huh, prajurit apaan kamu ini? Mukul kentongan 

saja bisa letih. Apalagi disuruh bertempur...!” si kumis 

yang dipanggil Baplang menyambut pemukul kentong-

an.

Lalu..., trong... trong... tongtongtong... tongtong-

tong...!

Dan Tilugalur tetap sepi. Sehingga prajurit bernama 

Baplang itu membantingkan pemukul kentongan ke ta-

nah, sambil menggerutu, “Huh! Tampaknya penduduk 

di sini sudah tuli semua!”

Lalu Baplang menoleh ke arah Bolenang yang se-

dang terduduk di tanah. Bibir Bolenang seperti terse-

nyum. Tapi senyum itu tampak aneh di mata Baplang!

“Apa yang lucu? Kamu... senyum-senyum sendiri...” 

Baplang menepuk bahu kawannya.

Tapi, begitu tangan Baplang menyentuh bahu Bole-

nang, memekiklah Baplang, “Bolenaaang!”

Bolenang tersungkur. Dan ketika Baplang memerik-

sanya, ternyata lelaki kurus gundul itu sudah menjadi 

mayat!


Sadarlah Baplang kini, bahwa Tilugalur sudah me-

nyimpan sesuatu yang mengerikan. Namun kesadaran 

Baplang hanya sekejap mata. Karena pada saat beri-

kutnya, ia melihat sesosok tubuh kecil berkelebat di 

depan matanya. Dan sebelum sempat Baplang mem-

perhatikan bentuk yang berkelebat itu, tenggorokan-

nya terasa seperti dicabut ke luar... lalu Baplang ter-

sungkur di samping mayat Bolenang, dalam keadaan 

tak bernyawa lagi!

Tilugalur hening kembali. Tiada bunyi apa-apa. A-

ngin pun tak berhembus. Segalanya diam. Daun-daun 

bambu pun diam, terpaku, seolah-olah sedang meng-

heningkan cipta. Seakan-akan ngeri menyaksikan ke-

jadian demi kejadian yang berlangsung di Tilugalur, se-

jak tiga tahun yang lalu.

***

Sebenarnya peristiwa kematian Bolenang dan Ba-

plang itu bukan merupakan peristiwa bagi prajurit-

prajurit kerajaan. Namun ‘hilangnya’ Bolenang dan Ba-

plang, mulai menyadarkan Pangeran Aria Pamungkas 

beberapa hari berikutnya, di kotaraja.

“Sudah tiga kali kita mengirim prajurit ke Kawah-

suling untuk memungut pajak tahunan, tapi semua-

nya tidak kembali. Itulah yang ingin kubicarakan de-

ngan Paman Senapati,” ujar Pangeran Aria Pamung-

kas.

Senapati Jugala menatap wajah Pangeran Aria Pa-

mungkas sesaat. Lalu katanya, “Sebenarnya hamba 

juga sedang berpikir untuk menanyakannya kepada 

Gusti. Karena keenam prajurit yang diutus ke Kawah-

suling itu merupakan tanggung jawab hamba.”

Aria Pamungkas berdiri. “Sebaiknya kita berbicara 

di taman, supaya udaranya lebih segar,” katanya.


“Baik, Gusti.” Senapati Jugala bangkit dan mengi-

kuti langkah sang Putra Mahkota, menuju taman.

Aria Pamungkas duduk di batu berbentuk kubus. 

Senapati Jugala pun duduk di batu lain. Lalu, “Menu-

rut dugaan Paman, apakah tidak terjadi sesuatu di 

Kawahsuling?”

“Maksud Gusti?”

“Aku agak curiga. Jangan-jangan adipati yang baru 

diangkat itu mempersiapkan suatu pemberontakan, 

Paman.”

“Dalam laut bisa diukur, hati orang siapa tahu. Ta-

pi, menurut pendapat hamba, adipati yang baru itu 

sangat setia terhadap kerajaan.”

“Lalu kenapa prajurit-prajurit yang dikirim ke sana 

hilang semuanya? Apakah Paman tidak pernah berpi-

kir bahwa mereka disergap oleh prajurit kadipaten un-

tuk maksud-maksud tertentu? Sebagai seorang sena-

pati, seharusnya Paman sudah memperhitungkan ke-

mungkinan buruk itu,” suara Aria Pamungkas terden-

gar tajam.

Senapati Jugala tertunduk.

“Paman tentu masih ingat cerita-cerita lama tentang 

malapetaka yang pernah melanda kerajaan ini. Seo-

rang pemberontak yang mengatasnamakan keadilan 

dan kebenaran, telah menjagal keluarga pamanku.”

“Ya, hamba masih ingat, Gusti.”

“Dan pemberontak itu berasal dari Kawahsuling, 

yang dulu lebih dikenal dengan nama Kadipaten Na-

wanggana.”

“Betul, Gusti.”

“Pemberontak itu bernama Kudawulung. Dan sam-

pai saat ini, kita tidak tahu apakah dia masih hidup 

atau sudah mati...”

“Kalau Gusti menghendaki, hari ini juga hamba


akan berangkat ke Kawahsuling, untuk menyelidiki 

persoalan yang sebenarnya.”

“Jangan potong dulu kata-kataku, Paman.”

“Maafkan, Gusti...!”

“Aku memang menghendaki Paman segera berang-

kat ke Kawahsuling, dengan balatentara secukupnya. 

Dan kalau Adipati Kawahsuling berani bertindak ma-

cam-macam terhadap prajurit yang enam orang itu, se-

ret adipati itu ke sini. Rama Prabu pasti berkenan 

menjatuhkan hukuman mati bagi setiap pengkhianat.”

“Tentu, Gusti, tentu!”

Aria Pamungkas bangkit. Memegang bau Senapati 

Jugala. Dan berkata, “Hari masih pagi. Tiada salahnya 

Paman berangkat hari ini juga.”

“Baik, Gusti. Hamba mohon diri.”

Senapati Jugala bergegas meninggalkan taman.

Dan Pangeran Aria Pamungkas termenung sesaat. 

Lalu melangkah ke dalam istana.

“Kalau Paman Jugala tak berhasil menyelesaikan 

persoalan ini, aku harus mengusulkan kepada Rama 

Prabu, untuk memecat Paman Jugala dan mengganti-

kannya dengan senapati baru,” pikir Aria Pamungkas.

Beberapa saat kemudian, tampaklah sebarisan pra-

jurit kerajaan meninggalkan kotaraja, dipimpin lang-

sung oleh Senapati Jugala. Pangeran Aria Pamungkas 

memperhatikan gerakan pasukan kerajaan itu dari me-

nara istana.

“Gusti Aria memberangkatkan balatentara di bawah 

pimpinan Senapati Jugala?” tiba-tiba saja sang Mang-

kubumi muncul di belakang Aria Pamungkas.

Aria Pamungkas terkejut dan menyahut dengan na-

da kurang enak, “Kurasa itu urusanku sebagai putra 

mahkota.”

“O, memang betul, Gusti Aria,” Mangkubumi sedikit


membungkukkan badannya. “Tapi kalau boleh hamba 

memberikan pendapat, tampaknya....”

“Paman Mangkubumi...!” potong Aria Pamungkas. 

“Undang-undang di kerajaan kita telah menentukan, 

bahwa kedudukan seorang mangkubumi hanya ber-

tanggungjawab dalam soal-soal harta kerajaan. Dan 

Paman sama sekali tidak berhak ikut campur dalam 

urusan angkatan perang.”

“Benar sekali, Gusti Aria. Hamba mohon ampun, 

karena telah lancang mencampuri urusan yang bukan 

hak hamba,” sang Mangkubumi membungkuk lagi, 

kemudian melangkah mundur, untuk meninggalkan 

menara istana itu.

Tapi tiba-tiba Aria Pamungkas memanggilnya, 

“Tunggu, Paman!”

Sang Mangkubumi menghentikan langkahnya. 

“Gusti Aria hendak memerintahkan sesuatu kepada 

hamba?”

Suara Mangkubumi itu terdengar dingin. Tapi Aria 

Pamungkas masih terlalu muda untuk menilai hal itu.

“Apa yang ingin Paman kemukakan tadi?” tanya 

sang Putra Mahkota.

Sang Mangkubumi menghela napas panjang. Lalu 

katanya, “Kalau hamba tidak salah dengar, Senapati 

Jugala diperintahkan untuk berangkat ke Kawahsul-

ing, untuk menanyakan masalah enam prajurit yang 

tidak kembali ke kotaraja.”

“Betul,” Aria Pamungkas mengangguk, sambil berto-

lak pinggang.

“Dan kalau hamba tidak salah duga, keenam praju-

rit itu ditugaskan untuk menagih pajak tahunan ke 

Kawahsuling.”

“Juga betul.”

“Kalau tidak salah, pajak itu merupakan salah satu


urusan hamba.”

Wajah Aria Pamungkas memucat. “Apa maksud Pa-

man?”

“Hamba tidak ingin mengatakan bahwa keberangka-

tan balatentara Senapati Jugala itu merupakan salah 

satu urusan hamba, karena hamba hanya seorang 

bendahara. Tapi, barangkali seorang rakyat kecil pun 

berhak berbicara, manakala keselamatan negaranya 

mulai terancam.”

“Paman Mangkubumi tidak usah menyindirku. Ka-

takan saja terus terang, apa yang ingin Paman kemu-

kakan?”

“Ampun, Gusti Aria. Menurut pendapat hamba, kee-

nam prajurit yang hilang itu tidak pernah sampai di 

Kawahsuling.”

“Kenapa Paman berpendapat begitu?”

“Seorang pedagang yang baru pulang dari Kawah-

suling, bercerita kepada hamba bahwa desa lembah Ti-

lugalur telah banyak memakan korban secara aneh. 

Sedangkan yang hamba tahu, setiap orang yang ada di 

dalam perjalanan menuju Kawahsuling, akan tergoda 

untuk singgah dulu di Tilugalur.”

“Paman tahu siapa aku, bukan?! Sejak kecil aku 

sudah digembleng untuk tidak merasa gentar mengha-

dapi bahaya sehebat apa pun!”

Sang Mangkubumi tertunduk. Desahnya, “Hamba 

bahkan ingin mengusulkan supaya Senapati Jugala 

disusul dan membatalkan kepergian mereka.”

Aria Pamungkas terbelalak. “Paman Mangkubumi 

ini bicara soal apa?”

“Soal keselamatan bagi kita semua, Gusti Aria.”

“Lantas, kalau Senapati Jugala disuruh pulang lagi, 

apa yang harus kita lakukan?”

“Mencari seseorang yang berilmu, untuk menyelidiki


keadaan di Tilugalur.”

“Lagi-lagi Paman bicara soal Tilugalur. Sebenarnya 

ada apa di desa kecil itu?”

“Seperti yang hamba katakan tadi, Tilugalur telah 

banyak memakan korban. Dan hamba yakin, keenam 

prajurit yang ditugaskan oleh Gusti Aria itu, binasa di 

Tilugalur.”

“Baiklah. Kita tunggu sampai Senapati Jugala pu-

lang atau binasa di Tilugalur.”

Sang Mangkubumi terbelalak. “Ja... jadi... Gusti 

Aria akan membiarkan Senapati Jugala jadi korban?”

Aria Pamungkas menyeringai. “Seorang senapati ha-

rus memperlihatkan kelebihannya, bahwa ia patut 

memegang kedudukan penting itu.”

***

SEORANG lelaki muda berjalan dengan kepala ter-

tunduk, memasuki tapal batas Kawahsuling. Tiada 

yang memperhatikannya ketika ia menghentikan lang-

kahnya di depan warung nasi yang terletak tidak begi-

tu jauh dari batas sebelah barat Kawahsuling itu. 

Bahkan setelah ia duduk di warung nasi itu pun, ke-

hadirannya tidak menarik perhatian orang.

Lelaki muda itu, adalah Rangga.

Sikap Rangga yang begitu sederhana membuat 

orang-orang yang sedang makan di warung nasi itu ti-

dak memperhatikannya. Sikap sederhana itu memang 

merupakan salah satu hasil ajaran Kudawulung, yang 

selama tiga tahun menggembleng Rangga.

Kehadiran Rangga di Kawahsuling pun bukan tidak 

ada sebabnya. Rangga masih ingat benar apa yang di-

katakan oleh gurunya, ketika ia akan meninggalkan 


puncak Gunung Limagagak.

“Sekarang kau telah mengerti apa yang menyebab-

kan kematian seluruh penduduk Tilugalur tiga tahun 

yang lalu. Mereka telah menjadi tumbal penetasan te-

lur naga perkasa itu.]

“Dan sekarang kau telah mengerti, apa sebabnya 

aku melarangmu menyentuh mayat istrimu dahulu. 

Kalau kau menyentuhnya, saat itu juga ajalmu akan 

tiba.]

“Memang waktu kau baru tiba di Tilugalur, kau 

sempat memeluk mayat istrimu, tanpa sesuatu yang 

terjadi pada dirimu, karena pada saat itu tubuh istri-

mu masih mengandung anakmu. Sedangkan anakmu 

dibutuhkan oleh naga yang baru menetas itu, sehingga 

tubuh istrimu belum mengandung hawa maut yang 

dahsyat itu. Tapi setelah bayi itu diambil oleh yang 

berkepentingan, mayat istrimu tidak dilindungi lagi 

olehnya.]

“Satu hal yang harus kau ketahui, anakmu itu 

mungkin masih hidup sampai sekarang. Ia akan men-

jadi saudara angkat naga yang baru menetas itu. Tapi 

kau harus berhati-hati, karena mungkin sekali anak-

mu sudah tidak mirip dengan manusia biasa. Kau juga 

harus merelakannya, seandainya ia tidak mengenalmu 

sebagai ayahnya.]

“Sekarang, untuk sementara lupakanlah mestika li-

dah naga itu. Jalan yang harus ditempuh untuk men-

dapatkannya sudah sangat sulit, karena aku terlambat 

bertindak dahulu.]

“Kau juga jangan mencoba-coba memasuki Tiluga-

lur, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 

Sebaiknya kau pergi ke Kawahsuling, lalu diamlah di 

kota kadipaten itu selama tiga atau empat hari. Mung-

kin ada sesuatu yang cukup menarik untuk kau kerja



kan di situ.]

“Tapi ingat, Rangga, jangan sekali-kali mengaku se-

bagai muridku. Bersikaplah seperti orang biasa. Dan 

jangan mengeluarkan ilmu-ilmu yang telah kuturun-

kan padamu, kecuali dalam keadaan terpaksa saja.”

Begitulah sebagian pesan dan nasihat Kudawulung, 

yang disampaikan menjelang keberangkatan Rangga 

menuju Kawahsuling.

Dan kini, ketika Rangga berada di dalam warung 

nasi itu, setiap pesan gurunya terngiang-ngiang lagi di 

telinganya. Itulah sebabnya ia bersikap masa bodoh 

ketika seorang lelaki setengah tua bertindak kurang 

ajar kepada pemilik warung nasi itu, seorang janda 

muda yang oleh penduduk Kawahsuling biasa dipang-

gil Nyi Tiwi.

“Aku minta tuak keras, kenapa tuak manis begini 

yang kau hidangkan?!” desis lelaki bercambang tebal 

itu, sambil menggenggam pergelangan tangan Nyi Tiwi.

“Me... memang hanya itu adanya, Mang. Ja... jan-

gan begini, ah,” sahut Nyi Tiwi sambil menepiskan 

genggaman lelaki itu.

Dan Rangga tetap tenang menyantap nasi dengan 

pepes ikan terinya.

“Mang Ucen,” kata seorang lelaki muda yang duduk 

di samping Rangga, “Nyi Tiwi memang biasa begitu.”

“Begitu bagaimana?” lelaki bercambang dan dipang-

gil Mang Ucen itu menoleh kepada si lelaki muda yang 

duduk di samping Rangga.

“Tuak manis itu sebagai isyarat bahwa Mang Ucen 

boleh nginap di sini nanti malam, tapi jangan terlalu 

ganas. Hihihihi.”

Lelaki bernama Ucen itu terbahak-bahak. “Hahaha-

haha! Kamu betul, Sakri! Nyi Tiwi takut kalau aku ma-

bok, lantas bermain galak...!”


Wajah Nyi Tiwi kemerahan. Tampaknya ia seperti 

ingin membantah omongan lelaki bernama Sakri dan 

Ucen itu. Tapi sebagai seorang pedagang, mungkin ia 

ingin bersikap seluwes mungkin, sekalipun ia merasa 

dikurangajari.

Tapi semuanya itu tidak menarik perhatian Rangga. 

Rangga lebih banyak memperhatikan, secara diam-

diam, kepada seorang lelaki kurus setengah tua, yang 

duduk di sudut. Lelaki itu bertelanjang dada, sementa-

ra sudut matanya kerap mengerling ke jalan, seakan-

akan ada sesuatu yang dinantikannya. Atau, mungkin 

juga ada sesuatu yang ditakutinya.

Yang menarik perhatian Rangga adalah bahwa lela-

ki kurus itu seperti tidak kenal dengan lelaki-lelaki 

yang bernama Sakri dan Ucen itu. “Mungkin dia juga 

seorang pendatang seperti aku,” pikir Rangga.

Belum lagi selesai Rangga makan, tiba-tiba seorang 

anak muda datang dengan tergopoh-gopoh. “Mang 

Ucen... Kang Sakri... ada prajurit kadipaten...!” seru 

anak muda itu tertahan.

“Hah?!” lelaki bernama Ucen dan Sakri itu terperan-

jat, lalu bergegas meninggalkan warung nasi setelah 

berkata kepada Nyi Tiwi, “Nanti saja uangnya, Nyi!”

Nyi Tiwi menghela napas dan menggerutu perlahan, 

“Lagi-lagi ngutang....”

“Kenapa mereka seperti ketakutan?” tanya si lelaki 

kurus yang sejak tadi berdiam diri.

Nyi Tiwi menyahut, “Mereka sedang dicari-cari oleh 

prajurit kadipaten. Entah apa kesalahan yang pernah 

mereka lakukan.”

Lelaki kurus itu mengernyit, lalu melirik ke arah 

Rangga yang masih asyik makan. Memang tinggal 

Rangga dan lelaki kurus itu yang masih berada di da-

lam warung makan.


“Dunia ini sudah mulai lucu. Orang baik-baik ma-

lah takut sama pencuri, perampok dan pemerkosa,” 

gumam lelaki kurus itu sambil menyeka mulutnya 

dengan telapak tangan.

“Maksudmu?” Rangga mulai bersuara.

Lelaki kurus itu menoleh kepada Rangga, lalu me-

nyahut, “Lelaki muda bernama Sakri itu pasti orang 

baik-baik, sekalipun omongannya kedengaran melan-

tur.”

“Betul,” sahut Nyi Tiwi ikut berbicara. “Kang Sakri 

memang orang baik. Tapi Mang Ucen itu genit sekali.”

“Hahahahaaa... soal genit kepada perempuan, itu 

kan biasa. Laki-laki sebaik apa pun, kalau sudah ber-

hadapan dengan perempuan cantik seperti kamu, pasti 

jadi lain,” kata lelaki kurus itu.

“Saya baru sekali ini melihat A... Akang,” desis Nyi 

Tiwi. “Tapi kelihatannya Akang sudah banyak tahu 

tentang penduduk di sini.”

Lelaki kurus itu mengangguk-angguk sambil terse-

nyum. “Memang benar,” katanya. “Aku bukan pendu-

duk Kawahsuling. Tapi aku sudah banyak tahu ten-

tang Sakri dan Ucen. Aku masih ingat kepada mereka, 

ketika mereka datang ke kampungku beberapa tahun 

yang lalu. Tapi tampaknya mereka sudah lupa pada-

ku.”

“Kampungnya di mana. Kang?” tanya Rangga.

“Di Cisumpit.”

“Cisumpit?! Wah, kalau begitu kampung kita berde-

katan, Kang.”

“Kampungmu di mana, Jang?” lelaki kurus itu balik 

bertanya.

“Tilugalur.”

Lelaki kurus itu menatap wajah Rangga tajam-

tajam. Lalu, “Tilugalur?!”


Rangga mengangguk. “Memangnya kenapa, Kang?”

“Mudah-mudahan saja kau tidak membohongiku, 

Jang. Karena setahuku, Tilugalur sudah tidak dihuni 

manusia lagi. Mungkin semut pun sudah tidak bisa 

hidup lagi di sana.”

“Aku sudah tiga tahun tidak pulang-pulang ke sana. 

Tapi, apa sebenarnya yang telah terjadi di sana, Kang?”

“Hhhh... hhh... lucu! Orang Tilugalur malah ber-

tanya tentang kampungnya sendiri. Selama tiga tahun 

ini, kamu ada di mana, Jang?”

“Mengembara tanpa tujuan, Kang.”

“Dan sekarang Ujang mau pulang ke Tilugalur, begi-

tu?”

Rangga mengangguk, sekalipun ia tidak punya niat 

pulang ke Tilugalur, karena dilarang oleh gurunya.

Lelaki kurus itu pindah duduknya ke samping 

Rangga. Lalu ditepuknya bahu Rangga, sambil berkata 

setengah berbisik, “Sebaiknya jangan coba-coba pu-

lang ke Tilugalur, Jang.”

“Memangnya kenapa, Kang?” Rangga pura-pura ti-

dak mengerti.

“Tilugalur telah menjadi neraka aneh. Setiap orang 

yang memasuki kampung itu, selalu tidak kembali la-

gi,” sahut si lelaki kurus.

“Benar,” timbrung Nyi Tiwi. “Orang-orang yang ma-

sih waras, akan berpikir seribu kali sebelum mengor-

bankan diri ke lembah neraka itu.”

Rangga mengalihkan pandangannya pada Nyi Tiwi. 

Tapi sebelum sempat ia bertanya lebih jauh, tiba-tiba 

terdengar derap kaki kuda di jalan. Dan lelaki kurus 

itu berbisik ke telinga Rangga, “Itulah para pencuri, 

perampok dan pemerkosa yang kubilang tadi.”

Rangga menoleh ke jalan. Tiga prajurit kadipaten 

turun dari kuda mereka, lalu melangkah ke warung



nasi Nyi Tiwi.

Dan Nyi Tiwi tampak gemetaran.

Ketiga prajurit itu melangkah masuk ke dalam wa-

rung nasi Nyi Tiwi, dengan sikap garang dan pongah.

Salah seorang di antara mereka langsung meng-

hampiri Nyi Tiwi yang sedang gemetaran. “Tiwi!” ben-

taknya, “Kami dengar si Ucen dan si Sakri makan di 

sini tadi, ya?”

“Be... benar,” sahut Tiwi tergagap.

Prajurit yang dua orang lagi langsung duduk di de-

pan Rangga. Salah seorang di antara mereka bertanya, 

“Ke mana mereka sekarang?”

“Su... sudah pergi,” lagi-lagi Nyi Tiwi menjawab ter-

gagap.

“Ke sebelah mana perginya?”

Nyi Tiwi tampak sangsi.

“Ke mana perginya?!” bentak prajurit yang masih 

berdiri.

“Ke... ke sana...” Nyi Tiwi menunjuk ke sebelah uta-

ra.

“Kamu tidak bohong?”

“Ti... tidak.”

“Kamu tahu apa akibatnya kalau membohong?”

“Ta... tahu.”

“Baik. Kami akan membuktikannya!” kata prajurit 

yang masih berdiri itu sambil menoleh kepada kawan-

kawannya. “Ayo kita kejar mereka!”

Tapi salah seorang prajurit yang duduk di depan 

Rangga itu mengedipkan sebelah matanya, sambil me-

ngerling ke arah lelaki yang duduk di samping Rangga.

Prajurit yang mau melangkah ke luar itu lalu meng-

hampiri si lelaki yang duduk di samping Rangga. “Ka-

mu orang mana?!” bentaknya.

“Dari Cisumpit,” sahut lelaki itu tenang.


“Apa tujuanmu datang ke sini?”

“Dagang.”

“Mana barang daganganmu?”

“Sudah habis.”

“Barang apa yang kamu dagangkan di sini?”

Lelaki kurus itu menunduk.

Prajurit itu mengulangi pertanyaannya, dengan sua-

ra lebih keras, “Barang apa yang kamu dagangkan di 

sini?”

“Golok.”

“Golok?!”

“Iya.”

“Sekarang barang daganganmu sudah habis semu-

anya?”

“Iya.”

“Kamu tidak bohong?”

“Tidak.

“Itu apa?” tanya si prajurit sambil menunjuk ke se-

buah buntalan yang diletakkan di bawah meja.

Si lelaki kurus tidak menjawab. Suasana menjadi 

tegang. Rangga tetap diam di tempatnya, tanpa menge-

luarkan suara sepatah pun.

“Itu apa?!” bentak si prajurit sambil menusukkan 

tombaknya ke buntalan di bawah meja itu.

Lelaki kurus itu pura-pura tidak melihat apa yang 

dilakukan terhadap buntalannya, lalu dengan tenang 

meletakkan sekeping uang tembaga di atas meja, sam-

bil berseru kepada Nyi Tiwi, “Ini uangnya, Nyi!”

Ia bangkit dari bangkunya, lalu melangkah ke arah 

pintu keluar. Tapi dua prajurit yang sejak tadi duduk 

di depan Rangga, melompat dan menghadangnya.

“Tunggu! Persoalan belum selesai! Kamu tidak boleh 

meninggalkan warung ini!” bentak salah seorang praju-

rit yang menghadang lelaki kurus itu.



“Apa lagi yang belum selesai?” lelaki kurus itu 

menghentikan langkahnya. “Buntalan itu sudah kalian 

sita, bukan?!”

Prajurit yang menusuk-nusukkan tombaknya ke 

buntalan itu menyahut, “Setelah kami tahu isi bunta-

lan ini, baru kamu boleh menganggap urusanmu sele-

sai!”

Prajurit itu lalu membuka buntalan tersebut. Tapi 

tiba-tiba ia memekik, “Jagat Dewa Batara!”

Ternyata buntalan itu berisi kepala manusia. Kepala 

pemimpin pasukan pengawal adipati!

Prajurit yang duluan melihat isi buntalan itu sece-

patnya berseru kepada kawan-kawannya, “Tangkap 

dia!”

Kedua prajurit yang menghadang si lelaki kurus 

langsung menodongkan tombak mereka ke arah lelaki 

kurus itu.

Namun, tiba-tiba saja lelaki kurus itu menggerak-

kan kakinya, demikian cepatnya, sehingga tahu-tahu 

kedua tombak yang diacukan ke dadanya berpentalan 

ke langit-langit warung nasi... dan bertancapan di situ!

Rangga yang memperhatikan semuanya itu secara 

diam-diam memuji di dalam hatinya, “Rupanya orang 

itu berilmu tinggi. Tapi siapa dia sebenarnya? Benar-

kah dia berasal dari Cisumpit?”

Pada saat berikutnya, Rangga melihat lelaki kurus 

itu melesat ke luar, dan ketiga prajurit kadipaten me-

ngejarnya.

Di depan warung nasi itu, si lelaki kurus tidak be-

rusaha melarikan diri, sekalipun ketiga prajurit kadi-

paten mulai mengepungnya dengan sikap garang. Di 

antara ketiga prajurit itu, hanya seorang yang masih 

memegang tombak. Sedangkan yang dua orang lagi 

sama-sama memegang golok, karena tombak mereka


masih menancap di langit-langit warung nasi Nyi Tiwi.

“Siapa kau sebenarnya, bedebah?!” bentak prajurit 

yang masih memegang tombak.

Lelaki kurus itu menyahut tenang, “Sebenarnya aku 

tidak punya urusan dengan kalian. Aku hanya punya 

urusan dengan bayangkara adipati yang bernama Ja-

rot itu. Dan sekarang aku telah membunuhnya. Segala 

dendamku atas kematian adikku, sudah selesai. Ada-

lah bodoh kalau kalian mau membuka persoalan baru 

denganku.”

“Aku tanya siapa kau sebenarnya?!” bentak prajurit 

bertombak itu lagi.

Tapi lelaki kurus itu menyahut dengan kemauannya 

sendiri, “Kalian tentu masih ingat peristiwa dua tahun 

yang lalu. Si Jarot yang baru diangkat sebagai pemim-

pin pasukan pengawal adipati itu telah seenaknya 

membunuh Braja. Dan Braja itu adalah adikku! Wajar-

lah kalau aku selalu mencari jalan untuk membalas 

dendam, bukan?”

Ketiga prajurit itu tercengang. Mereka memang ma-

sih ingat peristiwa dua tahun yang lalu itu. Peristiwa 

kematian Braja, yang dibunuh oleh Jarot, tanpa alasan 

yang kuat. Tapi mereka tidak tahu bahwa Braja mem-

punyai seorang kakak, lelaki kurus itu.

“Aku memang tidak suka mencari keributan dengan 

prajurit kadipaten,” kata lelaki kurus itu lagi. “Tapi ba-

gaimana mungkin aku bisa membiarkan tindakan se-

wenang-wenang terhadap adik kandungku yang cuma 

satu-satunya itu?”

“Braja dihukum, karena terlalu sering melakukan 

pencurian dan perampokan!” sahut salah seorang pra-

jurit yang memegang golok.

Lelaki kurus itu tertawa dingin. “Hahahaaaa... ka-

lian ini tak ubahnya maling teriak maling! Yang pencu



ri dan perampok itu sebenarnya kalian sendiri! Seha-

rusnya rakyat Kawahsuling yang bertindak membunu-

hi seluruh prajurit kadipaten, karena sudah menjadi 

rahasia umum bahwa pajak rakyat disalahgunakan 

untuk kesenangan pribadi kalian! Kenapa kalian justru 

menimpakan kesalahan kepada adikku?”

Prajurit yang memegang tombak, tidak mau berde-

bat lebih jauh lagi. Dengan garang ia menusukkan 

tombaknya ke arah si lelaki kurus, sambil berseru, 

“Kamu sengaja cari mati di Kawahsuling!”

Namun... sttt... tubuh lelaki kurus itu mencelat ke 

udara. Dan ketika kakinya menginjak tanah kembali, 

tangannya telah menggenggam sebilah kujang yang 

terbuat dari gading gajah!

“Kujang Gading?!” ketiga prajurit itu terundur se-

rempak.

Lelaki kurus itu menyeringai. “Sebenarnya aku ti-

dak suka membunuh manusia tanpa sebab. Tapi ku-

jangku pantang masuk ke dalam sarungnya, sebelum 

menjilat darah manusia! Ini adalah kesalahan kalian 

sendiri!”

Begitu habis bicara, lelaki kurus itu bergerak den-

gan cepat sekali. Dan sebelum sempat mengetahui apa 

yang akan dilakukan oleh lelaki kurus itu, dua prajurit 

yang memegang golok terkulai roboh... dengan dada 

bermandikan darah!

Prajurit yang masih memegang tombak itu gemeta-

ran. Ia mau melarikan diri. Tapi tiba-tiba dari arah ti-

mur tampak debu mengepul. Derap pasukan berkuda 

makin lama makin mendekat. Pasukan terdepan, tam-

pak membawa umbul-umbul kerajaan.

Ini adalah suatu kejutan menggembirakan bagi si 

prajurit bertombak. Dan lebih gembira lagi hatinya, 

demi dilihatnya Senapati Jugala sendiri yang memimpin pasukan kerajaan itu.

Rangga yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu 

dari dalam warung nasi Nyi Tiwi, lalu bergumam, 

“Wah... pasti ramai nih.”

Nyi Tiwi yang berdiri setengah menyembunyikan diri 

di belakang Rangga, menyahut, “Iya. Tapi... jangan ke 

luar, Kang. Aku takut.”

Sedikit pun Nyi Tiwi tidak tahu bahwa sebenarnya 

tadi telah terjadi sesuatu yang aneh, bahwa ketika pra-

jurit-prajurit kadipaten itu berada di dalam warung 

nasi Nyi Tiwi, hanya lelaki kurus itu yang diperhatikan 

oleh mereka. Sedangkan Rangga sama sekali tidak di-

perhatikan.

Sebenarnya ketiga prajurit kadipaten itu bukannya 

tidak memperhatikan Rangga, melainkan tidak meli-

hatnya! Tadi, ketika prajurit-prajurit kadipaten itu 

memasuki warung nasi Nyi Tiwi, secara diam-diam 

Rangga mengerahkan ilmu ‘Halimunan’ yang mem-

buatnya tidak dapat dilihat oleh orang-orang yang ti-

dak diinginkannya. Itulah sebabnya prajurit-prajurit 

kadipaten itu hanya menanyai si lelaki kurus, tanpa 

sedikit pun menanyai Rangga,

“Apa sebenarnya yang telah terjadi?” tanya Senapati 

Jugala dari atas kudanya.

“Orang ini telah membunuh bayangkara Kanjeng 

Adipati. Dia juga telah membunuh dua kawan hamba, 

Gusti Senapati,” sahut prajurit kadipaten yang masih 

memegang tombak itu.

Senapati Jugala turun dari kudanya, lalu meng-

hampiri lelaki kurus yang masih menggenggam kujang 

gading itu. Tanya sang Senapati, “Aku pernah men-

dengar cerita tentang seorang pendekar bergelar Ku-

jang Gading, apakah kau orangnya?”

Lelaki kurus itu mengangguk, “Benar, orang-orang


menjulukiku sebagai Kujang Gading.”

“Dan sekarang kujang gadingmu telah menelan kor-

ban yang ada sangkut-pautnya dengan kerajaan,” de-

sis Senapati Jugala. “Apakah kau memang telah mem-

persiapkan diri untuk melawan kerajaan?”

Lelaki bergelar Kujang Gading itu memandang sen-

jatanya yang masih bersimbah darah. Lalu katanya, 

“Sejak lama aku selalu membantu kerajaan dalam 

memadamkan pemberontakan demi pemberontakan. 

Tapi, setelah melihat tindakan sewenang-wenang para 

prajurit Kawahsuling, aku menjadi muak sekali! Dari 

hari ke hari, mereka tidak lagi berwujud sebagai pelin-

dung rakyat, melainkan sebaliknya. Dan dua tahun 

yang lalu, adik kandungku telah dibunuh secara ke-

jam! Aku tidak dapat membiarkan keadaan ini berla-

rut-larut. Aku harus memanfaatkan sisa-sisa hidupku, 

untuk melakukan sesuatu!”

Senapati Jugala mengernyitkan keningnya. Sebagai 

orang kerajaan, Senapati Jugala tidak bisa membenar-

kan tindakan Kujang Gading dengan membunuh pra-

jurit-prajurit Kawahsuling. Tapi Senapati Jugala sendi-

ri baru tiba di kota kadipaten itu, sementara sikap 

Adipati Natajaya (adipati yang berkuasa di Kawahsul-

ing) belum diketahui secara pasti. Sedangkan tujuan 

Senapati Jugala datang ke Kawahsuling bersama bala-

tentaranya, adalah untuk menyelidiki sebab-sebab ti-

dak kembalinya prajurit-prajurit kerajaan yang ditu-

gaskan menagih pajak tahunan ke Kawahsuling. Dan 

salah satu sebabnya, mungkin saja karena Adipati Na-

tajaya tidak setia lagi terhadap kerajaan.

Maka setelah termenung sesaat Senapati Jugala 

berkata, “Aku belum mendengar dengan jelas persoa-

lan yang sedang kau hadapi. Mungkin saja kau justru 

berada di pihak yang salah. Tapi, mengingat jasa-jasa


yang pernah kau lakukan terhadap kerajaan, aku 

membebaskanmu dengan syarat, tinggalkan Kawahsul-

ing sekarang juga!”

Prajurit yang masih memegang tombak itu terce-

ngang. Keputusan Senapati Jugala sungguh di luar 

dugaannya. Namun tentu saja ia tidak berani bicara 

apa-apa di hadapan panglima perang kerajaan itu.

***

Adipati Natajaya hampir panik menerima laporan 

yang beruntun itu. Berita tentang terbunuhnya 

Bayangkara Jarot, dengan kepala yang sudah lenyap. 

Berita tentang ditemukannya seorang lelaki di warung 

nasi Nyi Tiwi, dengan buntalan yang berisi kepala Ja-

rot. Berita tentang tibanya Senapati Jugala bersama 

balatentaranya, dan kini sedang menuju istana kadipa-

ten. Dan yang sangat mengejutkan, adalah berita ten-

tang dibebaskannya kembali lelaki bergelar Kujang 

Gading itu.

“Aku tidak tahu jasa-jasa apa yang pernah diberi-

kan oleh Kujang Gading terhadap kerajaan,” pikir Adi-

pati Natajaya. “Yang jelas, tindakan Senapati Jugala 

itu bukanlah tindakan yang patut. Tidak seharusnya 

dia melakukan sesuatu di daerahku sebelum berund-

ing dulu denganku!”

Tetapi sang Adipati menyembunyikan perasaan ke-

salnya itu manakala ia menyongsong kedatangan Se-

napati Jugala di pintu gerbang istana kadipaten. “Se-

lamat datang di Kawahsuling, Kanjeng Senapati. Ham-

ba tidak mendengar berita sebelumnya, tentang akan 

datangnya Kanjeng Senapati, sehingga hamba tidak 

dapat menyediakan penyambutan yang layak bagi 

Kanjeng Senapati.

Senapati Jugala dipersilakan memasuki ruangan


yang khusus disediakan untuk para tamu agung. Di si-

tulah sang Senapati berkata, “Sebenarnya keberangka-

tan kami ke sini, atas perintah sang Putra Mahkota.”

Adipati Natajaya terkejut, “A... apakah ada sesuatu 

yang harus hamba laksanakan untuk kerajaan?”

Senapati Jugala menyahut tegar, “Sudah tiga kali 

Gusti Pangeran Aria Pamungkas mengutus prajurit ke-

rajaan ke sini, untuk menagih pajak tahunan. Tapi 

semuanya tidak kembali ke kotaraja. Apa sebenarnya 

yang telah terjadi?”

Adipati Natajaya tercengang. Lalu katanya, “Se-

sungguhnya hamba pun sedang menunggu-nunggu 

kedatangan utusan dari kotaraja.”

“Jadi mereka tidak pernah datang ke sini?” tanya 

Senapati Jugala.

“Tidak pernah, Kanjeng Senapati.”

“Kalau begitu... pasti ada sesuatu yang tidak beres,” 

desis Senapati Jugala sambil berdiri dan memandang 

ke luar jendela.

“Jangan-jangan mereka jadi korban Tilugalur,” ujar 

Adipati Natajaya mengambang.

“Tilugalur?!” Senapati Jugala membalikkan badan-

nya dan menatap wajah Adipati Natajaya tajam-tajam. 

“Ada apa di Tilugalur?”

“Sesuatu yang aneh dan belum terpecahkan,” sahut 

Adipati. “Setiap orang yang mencoba memasuki Tilu-

galur, tidak pernah ada yang selamat. Semuanya hi-

lang di sana. Prajurit-prajurit Kawahsuling pun sudah 

lima orang yang hilang di Tilugalur. Mereka ditugaskan 

untuk menyelidiki apa sebenarnya yang menyebabkan 

orang-orang hilang di desa lembah itu. Tapi justru me-

reka pun tidak kembali.”

“Lalu sampai sekarang belum juga diketahui apa 

yang menyebabkan orang-orang itu hilang di Tiluga


lur?” tanya sang Senapati.

“Belum,” sahut Adipati Natajaya. “Sekarang bahkan 

tiada yang berani ditugaskan kesana, karena takut 

mengalami nasib seperti orang-orang yang hilang itu.”

“Hmm... aneh,” gumam Senapati Jugala. “Jangan-

jangan di Tilugalur ada semacam perkumpulan raha-

sia, yang tujuan utamanya hendak merongrong kewi-

bawaan kerajaan. Lalu mereka menculiki orang-orang 

yang ada sangkut-pautnya dengan kerajaan. Apakah 

Dinda Adipati berpendapat begitu juga?”

“Hamba belum berani mengemukakan pendapat, se-

belum menyelidikinya sampai tuntas. Maka hamba pi-

kir, sekaranglah saatnya bagi kita untuk menyelidiki 

sendiri ke sana.”

“Baik,” Senapati Jugala mengangguk. “Kebetulan 

sekarang kami datang dengan balatentara yang cukup, 

sehingga kalau kita menemukan hal-hal yang tidak di-

inginkan di sana, dengan mudah kita bisa mengatasi-

nya.”

***


LELAKI bergelar Kujang Gading itu melangkah de-

ngan tenang ke arah timur. Beberapa penduduk 

Kawahsuling, yang tadi melihat peristiwa bentrokan 

Kujang Gading dengan prajurit dari kadipaten, mem-

perhatikan gerak-gerik Kujang Gading dengan pandan-

gan cemas

Salah seorang rakyat berbisik kepada kawannya, 

“Gila juga orang itu. Tadi dia sudah diampuni oleh 

Gusti Senapati, dengan syarat bahwa dia harus segera 

meninggalkan Kawahsuling. Tapi, sekarang dia malah 

seperti mau menuju istana kadipaten!”


Orang yang dibisiki itu menyahut, “Mungkin ada se-

suatu yang belum memuaskan hatinya. Tapi... ah... ja-

ngan-jangan kebandelannya itu akan membangkitkan 

kemarahan Gusti Senapati.”

Saat itu hari mulai sore. Dan Kujang Gading me-

langkah terus ke arah timur.

Salah seorang prajurit kerajaan yang sedang beristi-

rahat di depan istana Adipati Natajaya, memandang ke 

arah barat, lalu menepuk bahu kawannya, “Lihat! Le-

laki itu sedang menuju kemari!”

“Wah... dia benar-benar cari mati rupanya!” sahut 

prajurit yang lain. “Ayo laporkan cepat pada Gusti Se-

napati.”

Salah seorang prajurit kerajaan bergegas memasuki 

istana Adipati Natajaya, lalu menghadap sang Senapa-

ti.

“Ada apa?” tanya Senapati Jugala kepada prajurit-

nya itu.

“Lelaki yang dibebaskan oleh Gusti tadi, sekarang 

sedang menuju kemari,” sahut si prajurit.

Adipati Natajaya yang ikut mendengarkan laporan 

itu, langsung mendahului berkata, “Kebetulan! Sebaik-

nya Kanjeng Senapati memerintahkan prajurit-prajurit 

kerajaan untuk menangkap pembunuh itu!”

Senapati Jugala menoleh pada sang Adipati, lalu 

katanya, “Sebenarnya Kujang Gading sudah sering 

membantu kerajaan dalam menumpas pemberonta-

kan-pemberontakan di daerah timur. Tapi sekarang, 

tampaknya dia sengaja ingin mencari gara-gara. Dan 

itu tidak akan kubiarkan.”

Kemudian Senapati Jugala berkata kepada prajurit-

nya, “Tangkap dia dan seret kemari!”

“Baik, Gusti,” sahut prajurit itu, yang lalu bergegas 

meninggalkan ruangan tamu agung.


Setibanya di depan istana, prajurit itu membisiki 

kawan-kawannya. Kemudian prajurit-prajurit kerajaan 

itu bergerak, untuk ‘menjemput’ Kujang Gading yang 

sudah semakin mendekati istana Adipati Natajaya.

Kujang Gading menghentikan langkahnya, demi di-

sadarinya bahwa lebih dari sepuluh prajurit kerajaan 

telah mengepungnya.

Lalu terdengar suara salah seorang prajurit, “Ku-

jang Gading! Atas perintah Gusti Senapati, kau harus 

kami tangkap!”

Kujang Gading menyapukan pandangan ke sekeli-

lingnya. Lalu sahutnya, “Katakan kepada Senapati ka-

lian, aku ingin berbicara secara baik-baik dengannya!”

“Nanti kau bisa bicara dengan beliau. Tapi seka-

rang, serahkan tanganmu untuk kami ikat!” seru salah 

seorang prajurit kerajaan.

Prajurit-prajurit kerajaan yang masih tertinggal di 

sekitar istana Adipati Natajaya, mulai berhamburan ke 

arah Kujang Gading.

“Kalian memang hanya anjing-anjing dungu yang 

tidak tahu aturan! Gusti Prabu saja tidak berani ber-

tindak sewenang-wenang padaku,” bentak Kujang 

Gading sambil memasang kuda-kuda, di tengah-

tengah kepungan prajurit-prajurit kerajaan yang jum-

lahnya lebih dari empatpuluh orang!

Namun prajurit-prajurit kerajaan itu tidak mau 

mendengar kata-kata Kujang Gading. Mereka langsung 

maju dan memperkecil lingkaran, sehingga Kujang 

Gading seperti mau dijepit oleh kepungan ketat itu.

Tapi... tiba-tiba saja tubuh Kujang Gading melesat 

ke udara... ke arah timur... dan ‘hinggap’ di depan pin-

tu gerbang istana Adipati Natajaya!

“Kejar!” seru salah seorang prajurit sambil berlari 

paling dulu, memburu Kujang Gading yang sudah berhadapan dengan dua orang prajurit penjaga istana 

Adipati.

Kedua prajurit kadipaten itu menyergap Kujang Ga-

ding dengan tombak mereka. Tapi dengan gerakan 

yang hampir tak terlihat, Kujang Gading melompat-

lompat ke sana-ke mari, dan tahu-tahu kedua prajurit 

kadipaten itu sudah roboh sambil memuntahkan da-

rah segar dari mulut mereka!

Pada saat berikutnya, Kujang Gading sudah men-

ginjak pelataran depan istana, Di situ ia harus berha-

dapan dengan tiga orang prajurit lagi. Tapi sebelum ke-

tiga prajurit itu bertindak, tiba-tiba terdengar bunyi le-

tusan... taaaar..., dan tahu-tahu Senapati Jugala su-

dah berdiri di depan Kujang Gading, sambi! memegang 

tali kulit yang panjangnya lebih dari sepuluh depa.

“Kau telah menghabiskan kesabaranku, Kujang Ga-

ding!” bentak Senapati Jugala dengan sikap siap tem-

pur.

“Justru prajurit-prajuritmu yang membuat kesaba-

ranku hampir hilang!” sahut Kujang Gading dengan si-

kap siap tempur pula. “Aku ingin berbicara secara 

baik-baik denganmu, tapi mereka malah mau coba-

coba menangkapku!”

Tiba-tiba muncullah Adipati Natajaya di belakang 

Senapati Jugala. “Kanjeng Senapati, hamba mohon 

jangan biarkan dia lolos lagi,” bisik sang Adipati perla-

han.

Tapi bisikan Adipati Natajaya itu tampaknya terde-

ngar oleh Kujang Gading, karena Kujang Gading lalu 

tertawa, “Hahahahahaaaaaaaa... sang Adipati tentu ke-

takutan sekali, karena sudah menduga bahwa aku 

akan menelanjanginya di depan sang Senapati!” Ke-

mudian Kujang Gading menatap Senapati Jugala, dan 

katanya, “Rakyat Kawahsuling sudah terlalu lama di



peras oleh Adipati biadab ini. Seharusnya dialah yang 

ditangkap dan diseret ke kotaraja!”

Senapati Jugala menyahut tegar, “Kujang Gading! 

Kau sedang berhadapan dengan panglima perang kera-

jaan! Apakah kau memang tidak pernah belajar tata 

krama sama sekali?”

“Hahahahahahaaaaaa... maafkan aku, Senapati! 

Aku memang tidak bisa bicara sambil berlutut-lutut 

seperti kuda kehabisan tenaga di tengah perjalanan. 

Aku pun tidak bisa membahasakan diri dengan ham-

ba-hambaan, karena aku seorang manusia yang bebas, 

tidak pernah menghamba kepada siapa pun, kecuali 

kebenaran! Dan sekarang, demi kebenaran pula aku 

memaksakan diri menginjak istana yang menjijikkan 

ini, untuk melaporkan kebiadaban dan kejalangan 

Adipati Natajaya!”

Sebelum sempat Senapati Jugala menyahut, Kujang 

Gading telah melanjutkan kata-katanya, “Kematian 

Adipati Wiralaga dua tahun yang lalu, didalangi oleh 

manusia yang kini berada di belakangmu! Dialah yang 

menciptakan perkumpulan Bajing Bodas! Lalu, dia pu-

la yang bertindak seolah-olah memberantas perkum-

pulan itu, setelah Adipati Wiralaga gugur! Semuanya 

itu dilakukannya demi tiga hal, yakni tahta, harta dan 

wanita. Dan ketiga-tiganya telah dimilikinya sekarang. 

Kedudukan Adipati telah dimilikinya. Harta terkutuk 

telah ditumpuknya di gudang tersembunyi. Dan... iste-

ri Adipati Wiralaga yang sudah lama digilainya itu, juga 

sudah dipaksa untuk menjadi gundiknya, yang seka-

rang disembunyikan di Leuwisapi! Tapi biadabnya ma-

nusia yang kini berada di belakangmu itu tidak terba-

tas sampai di situ saja. Sekarang dia sedang berusaha 

mencari-cari Nilamsari, putri sulung Adipati Wirala-

ga..., untuk dijadikan gundik barunya!”


“Bohong!” teriak Adipati Natajaya dengan wajah pu-

cat pasi.

Kujang Gading menyeringai dan berkata dingin, 

“Bagi seorang manusia gila, kebenaran itu adalah ke-

bohongan dan kebohongan itu adalah kebenaran! Aku 

punya bukti-bukti kuat untuk mem...”

“Kanjeng Senapati!” Adipati Natajaya cepat-cepat 

memotong, “Demi kesetiaan hamba terhadap kerajaan, 

hamba mohon agar penjahat ini jangan dibawa berbi-

cara lagi. Tangkap atau bunuh saja dia.”

Senapati Jugala tampak sangsi.

***

Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Kujang Gading 

bukan fitnah. Lebih dari dua tahun yang lalu, ketika 

Kadipaten Kawahsuling masih dipimpin oleh Adipati 

Wiralaga, daerah yang subur dan tenang itu mendadak 

dicengkeram kekacauan dan ketakutan. Setiap pengi-

kut setia Adipati Wiralaga diteror. Keluarga mereka di-

aniaya, diperkosa, dirampok dan bahkan banyak yang 

dibunuh.

Pengacau itu menamakan kelompok mereka sebagai 

Bajing Bodas (tupai putih). Dan mereka berhasil men-

ciptakan suasana sedemikian rupa, sehingga rakyat 

Kawahsuling mulai menyangsikan kepemimpinan Adi-

pati Wiralaga, di samping perasaan cemas dan takut 

yang telah tersebar di daerah kadipaten yang subur 

dan makmur itu.

Adipati Wiralaga hampir putus asa, karena tidak 

berhasil menemukan sarang pengacau dan penjahat 

itu. Ia telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada 

di Kawahsuling, untuk memberantas perkumpulan ge-

lap itu. Tetapi ia selalu menubruk angin, karena setiap 

kali prajurit kadipaten hampir berhasil melacak perkumpulan rahasia itu, para anggota Bajing Bodas su-

dah lenyap dari markas mereka... tanpa meninggalkan 

bekas sedikit pun.

Banyak pengikut setia Adipati Wiralaga menyaran-

kan, agar segera meminta bantuan ke kotaraja, untuk 

memberantas para pengacau itu. Tapi sang Adipati me-

rasa malu melaporkan ketidak-tentraman itu kepada 

Baginda. Dan sang Adipati berusaha untuk mema-

damkannya dengan kekuatan yang ada di Kawahsuling 

saja.

Tapi Adipati Wiralaga tidak berhasil memberantas 

perkumpulan rahasia Bajing Bodas itu. Bahkan seba-

liknya, pada suatu malam, pasukan Bajing Bodas me-

nyerbu ke dalam istana Adipati Wiralaga!

Para pengawal istana Adipati Wiralaga tidak mampu 

membendung serangan kilat di malam hari itu. Mereka 

roboh seorang demi seorang. Dan akhirnya sang Adipa-

ti sendiri tewas dalam peristiwa menyedihkan itu.

Rakyat Kawahsuling sangat berduka-cita oleh peris-

tiwa kematian pemimpin mereka itu. Dari kotaraja pun 

datang utusan untuk menyampaikan belasungkawa, 

sekaligus mencari masukan siapa kiranya yang tepat 

untuk diangkat menjadi adipati baru di Kawahsuling.

Pada saat itu pula muncul Natajaya, saudara sepu-

pu Adipati Wiralaga almarhum, yang bersikap seolah-

olah ingin memulihkan keamanan dan ketertiban di 

Kawahsuling. Dengan lagak seorang pahlawan, Nata-

jaya berseru kepada seluruh rakyat Kawahsuling, un-

tuk bersatu-padu dalam satu barisan... untuk membe-

rantas perkumpulan rahasia Bajing Bodas, padahal 

sebenarnya Natajaya sendiri yang memimpin perkum-

pulan Bajing Bodas itu!

Demikian pandainya Natajaya mempengaruhi ra-

kyat Kawahsuling dan orang-orang kerajaan, sehingga


akhirnya ia diangkat menjadi adipati baru.

Memang setelah Natajaya menjadi adipati, keama-

nan dan ketertiban di Kawahsuling pulih kembali. Per-

kumpulan rahasia Bajing Bodas seolah-olah lenyap 

tanpa bekas. Dan rakyat Kawahsuling merasa lega, ka-

rena sejak mereka mempunyai adipati baru, mereka ti-

dak lagi diganggu oleh para pengacau yang selalu me-

makai topeng itu.

Natajaya sendiri merasa lega, karena sebagian dari 

tujuannya telah tercapai, yakni cita-cita menduduki 

jabatan adipati dan hasrat untuk menumpuk ke-

kayaan sebanyak-banyaknya.

Tetapi ada satu hasrat yang belum menjadi kenya-

taan, yakni hasrat Natajaya untuk memiliki Purwanin-

grum, bekas istri Adipati Wiralaga almarhum. Bahkan 

sesungguhnya wanita cantik itulah yang membuat Na-

tajaya tega melaksanakan kekejian terhadap saudara 

sepupunya sendiri.

Memang Purwaningrum sangat cantik, sehingga wa-

laupun ia sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, 

pancaran wajahnya masih mampu membetikkan birahi 

lelaki. Waktu suaminya masih hidup, ia tidak tahu 

bahwa sesungguhnya ia sedang digilai oleh saudara 

sepupu suaminya sendiri. Ia juga tidak tahu, bahwa 

sesungguhnya saudara sepupu suaminya itu sedang 

merencanakan sesuatu yang keji dan biadab.

Namun Natajaya sangat pandai menyembunyikan 

kebusukannya. Bahkan dengan sikap yang meyakin-

kan, ia berhasil membujuk Purwaningrum untuk men-

gungsi ke Leuwisapi, daerah sunyi di sebelah selatan 

Kawahsuling.

Dengan alasan menyayangi Purwaningrum sebagai 

bekas istri saudaranya, Natajaya pun berhasil merayu 

wanita cantik itu sedikit demi sedikit... sampai akhir


nya berhasil mempergundiknya!

Namun Natajaya belum puas juga dengan segala 

yang telah dicapainya. Nilamsari (putri Adipati Wirala-

ga dengan Purwaningrum), yang telah menanjak rema-

ja, mulai membangkitkan birahinya, dan akhirnya Adi-

pati Natajaya tak kuat lagi menyekap nafsu binatang-

nya.

Adipati Natajaya berhasil mencari kesempatan baik 

itu. Ia berhasil membawa Nilamsari ke sebuah tempat 

terpencil, di mana sang Adipati memiliki sebuah ru-

mah yang cukup tenang untuk melaksanakan kebina-

tangannya.

Nilamsari sendiri tidak mengira kalau ayah tirinya 

akan melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap di-

rinya, maka ia patuh saja ketika sang Adipati menga-

jaknya masuk ke dalam rumah terpencil itu. Ia baru 

sadar bahwa Adipati Natajaya berjiwa iblis, ketika den-

gan paksa sang Adipati hendak memperkosanya di 

rumah terpencil itu.

Hampir saja Nilamsari kehilangan kesuciannya di 

rumah terpencil itu. Namun tiba-tiba... ya... tiba-tiba 

saja pintu kamar terkutuk itu pecah berantakan... dan 

tahu-tahu seorang lelaki bertopeng telah berdiri di da-

lam kamar itu.

Sebelum sempat Adipati Natajaya bertindak, tahu-

tahu lelaki bertopeng itu berkelebat secepat kilat... lalu 

lenyap sambil memboyong Nilamsari!

***

Begitulah riwayat singkat Adipati Natajaya, yang ki-

ni sedang berdiri di belakang Senapati Jugala.

Ketika Senapati Jugala masih tampak sangsi juga, 

Adipati Natajaya mengulangi desakannya, “Orang ini 

sangat berbahaya. Sekali lagi, demi kesetiaan hamba


terhadap kerajaan, tangkap atau bunuhlah dia, Kan-

jeng Senapati!”

Akhirnya Senapati Jugala menguraikan senja-

tanya... seutas tali yang terbuat dari kulit kerbau itu, 

sambil berseru, “Menyerahlah, Kujang Gading! Aku 

terpaksa harus menangkapmu!”

(Bersambung)


https://matjenuhkhairil.blogspot.com




Share:

0 comments:

Posting Komentar