..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 18 Januari 2025

DEWI SRI TANJUNG EPISODE DEWI SRI TANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG


 

Pengantar. 

Buku berjudul "Dewi Sritanjung Mencari Ayah kandung" ini 

didahului oleh buku berjudul "Persekutuan Dua Iblis". 

Dalam buku tersebut diceritakan terjadinya usaha 

peracunan yang dilakukan oleh dua orang murid Si Tangan 

Iblis, bernama Kaligis dan Sangkan, dan yang ingin diracun 

tokoh sakti bernama Julung Pujud. Tetapi usaha peracunan 

itu tidak berhasil karena tokoh itu tidak mempan diracun. 

Namun celakanya tuduhan malah kepada gadis cantik 

cucu Si Tangan Iblis sendiri bernama Sarindah. Dan Julung 

Pujud menuntut agar cucu berdosa itu diserahkan 

kepadama untuk diadili. 

Setelah Julung Pujud pergi, Sarwiyah tidak percaya 

apabila yang melakukan peracunan kakak perempuannya. 

Ia menduga tentu orang dalam sendiri, dan perlu dicari. 

Alasan Sarwiyah dapat diterima oleh Si Tangan Iblis, dan 

kakek ini menjadi khawatir kalau Sarindah yang pergi 

sampai bertemu dengan Julung Pujud dan dihukum. Untuk 

itu Si Tangan Iblis bersama Sarwiyah lalu meninggalkan 

rumah, setelah semua murid diperintahkan mencari 

Sarindah, juga Sentiko (cucu laki-laki) yang sudah tiga 

bulan lebih pergi tanpa kabar. 

Kaligis dan Sangkan yang merasa rahasianya tertutup 

karena tuduhan malah kepada Sarindah, gembira. Dalam 

perjalanan mencari Sarindah maupun Sentiko ini, mereka 

bertemu dengan Dewi Sritanjung di sebuah warung. Gadis 

yang cantik, polos, lugu ini bisa ditipu oleh mereka. Di 

dalam hutan Dewi Sritanjung ditangkap oleh mereka 

dengan maksud yang tidak baik. Untung Dewi Sritanjung 

gadis perkasa, hingga Sangkan dan Kaligis dapat 

dikalahkan, tetapi dilepas tanpa disakiti. 

Di saat gadis ini akan melanjutkan perjalanan, ia kaget 

mendengar bentakan perempuan. Dewi Sritanjung lalu



mengintip, dan melihat Sarindah berhadapan dengan 

Kaligis dan Sangkan. Gadis ini marah kepada dua pemuda 

tersebut, karena merasa difilnah meracun Julung Pujud. 

Padahal yang berbuat malah Kaligis dan Sangkan sendiri. 

Apa yang terjadi dengan Sangkan dan Kaligis, maupun 

Dewi Sritanjung dalam ancaman Si Tangan Ibhs silakan 

Anda mengikuti cerita dalam buku ini. Nama pengarang 

menjadi jaminan!! 

***


1

Dewi Sritanjung kaget mendengar bentakan nyaring 

suara perempuan. 

“Hai Sangkan dan Kaligis. Kamu lari ke mana?” 

Dewi Sritanjung heran. Bukankah Kaligis dan Sangkan 

itu, dua pemuda yang baru saja ia kalahkan dan ia usir? 

Sekarang ada perempuan membentak. Agaknya 

perempuan itu seperti dirinya, pernah ditipu oleh dua 

pemuda itu. 

Bagi Dewi Sritanjung apapun peristiwa akan menarik 

perhatiannya. Karena kejadian dan peristiwa yang ia alami 

dan ia saksikan akan memberi pengalaman berharga bagi 

dirinya. Maka ia membatalkan niatnya melanjutkan per-

jalanan ke ibukota Majapahit untuk mencari ayah kandung-

nya, kemudian malah timbullah keinginan tahunya, apa 

yang bakal terjadi antara perempuan itu dengan Kaligis 

dan Sangkan? Maka menggunakan kecepatan larinya 

gadis ini sudah menerobos hutan. Tak lama kemudian ia 

melihat seorang gadis yang wajahnya cukup cantik ber-

hadapan dengan Sangkan dan Kaligis, dan gadis itu 

bertolak pinggang. 

Dewi Sritanjung segera mendekati dengan hati-hati lalu 

menyembunyikan diri di belakang batu besar. 

“Adi Indah….. ahh sungguh kebetulan. Aku dan Kakang 

Kaligis mencari engkau setengah mati ternyata sekarang 

kami malah bertemu di sini.” Sangkan berkata. 

Perempuan muda yang memang Sarindah itu men-

dengus dingin. “Apakah keperluanmu mencari aku?” 

“Atas perintah Guru, kami harus memanggil engkau 

pulang.” 

“Untuk diadili karena sudah mencoba meracun Julung 

Pujud?” 

“Ahh.... Adi Indah sudah tahu?” Sangkan dan Kaligis


terkejut sekali. 

“Hi hi hik, kamu jangan berpura-pura di depanku dan 

kamu jangan mencoba membela diri dengan cara mencuci 

tanganmu yang kotor. Huh, bukankah kamu sendiri yang 

sudah sengaja menaruh racun dalam tuak itu?” 

“Tid.... tidak!” Hampir berbareng Kaligis dan Sangkan 

menyangkal, akan tetapi ucapannya tidak lancar. 

“Huh huh, kamu bisa menipu orang lain, tetapi kamu 

tidak dapat menipu diriku. Kamu sudah memberi racun 

pada tuak yang dihidangkan kepada Paman Julung Pujud 

kemudian kamu memfitnah aku, bukan? Pengecut!” 

Sangkan yang lebih licin dan pandai bicara cepat 

membela diri, “Tidak! Sungguh mati aku dan Kakang 

Kaligis tidak melakukan perbuatan itu. Adi Indah, kami 

berani bersumpah. Kami tidak melakukan perbuatan itu.” 

“Kamu keparat huh! Siapakah yang mau percaya 

kepada omonganmu? Tanganmu sudah berlumuran darah! 

Kamu bangsat busuk! Bukankah kamu secara curang 

sudah membunuh Kakang Tanu Pada dan Kakang Kebo 

Pradah?!” 

“Ohh .... ohh..... tidak! Demi Dewata Agung, aku tidak 

melakukannya!” sahut Kaligis cepat, tetapi wajahnya 

berubah pucat. 

“Aku juga tidak!” bantah Sangkan dengan wajah pucat 

pula. “Selama mencari Adi Sentiko, aku belum pernah 

ketemu dengan mereka.” 

Akan tetapi diam-diam dua orang pemuda ini kaget 

seengah mati, mengapa rahasia yang selama ini mereka 

tutup rapat, Sarindah sudah bisa tahu? 

Lalu siapakah yang sudah membocorkan rahasia ini? 

Tetapi kemudian dua orang ini teringat Mahisa Singkir yang 

ketika itu menyaksikan apa yang sudah mereka lakukan, 

membunuh Tanu Pada dan Kebo Pradah. Tentu dialah yang 

sudah membocorkan rahasia ini. 

Teringat kepada Mahisa Singkir, mereka amat menyesal. 

Mengapa ketika itu tidak membunuh mati saja Mahisa 

Singkir seperti yang telah mereka lakukan kepada Tanu


Pada dan Kebo Pradah? Kalau saja ketika itu membunuh 

Mahisa Singkir tentunya rahasia ini takkan bisa terbuka 

karena tidak ada saksi lagi. 

Akan tetapi semuanya sudah terjadi, sesal kemudian 

tidak ada gunanya lagi. Sekarang orang sudah tahu rahasia 

mereka. Maka apabila dapat mereka akan membela diri 

dengan mulut. Kalau tidak mungkin mereka akan membela 

diri dengan ketajaman pedang. 

“Kamu keparat busuk!” caci Sarindah dengan marah. 

“Baik usahamu meracun itu, maupun pernbunuhan yang 

kamu lakukan terhadap Kakang Tanu Pada maupun Kebo 

Pradah....” 

Sarindah berhenti sejenak, karena sedu sedan naik ke 

kerongkongan. Lalu “......tak mungkin kamu dapat mungkir 

lagi. Tahu? Kamu manusia busuk yang tidak pandai 

membalas budi. Maka sekarang menyerahlah aku tangkap 

agar mendapat pengadilan dari Kakekku. Jika kamu 

melawan, pedang ini akan bicara!” 

“Sring.....” 

Seleret sinar putih memancar dari sebatang pedang, 

tertimpa sinar matahari. Sarindah sekarang sudah tidak 

kuasa menahan kemarahannya lagi berhadapan dengan 

Sangkan dan Kaligis. 

Karena sudah menduga rahasia sudah bocor maka tidak 

ada perlunya lagi berpanjang mulut. Sangkan menatap 

Kaligis. 

“Kakang Kaligis!” Katanya. “Cabut senjatamu. Tidak ada 

gunanya lagi kita membela diri dengan mulut. Hayo, 

rahasia sudah bocor. Mau apa lagi?” 

“Tapi..... tapi....” Kaligis masih ragu dan berusaha men-

cegah. 

Sangkan memotong, “Kakang Kaligis! Kalau rahasia 

sudah bocor, mau apa lagi? Mungkirpun tak ada gunanya 

lagi. Huh, semua ini gara-gara Mahisa Singkir.” 

Sarindah ketawa terkekeh nyaring, dan suara ketawa itu 

bercampur dengan sedu sedan yang naik ke 

kerongkongan, “Kakang Tanu Pada..... Oh, ternyata kau


sudah dibunuh oleh manusia biadab ini. Hemm, 

saksikanlah hari ini aku akan membalaskan sakit hatimu, 

dan akan aku penggal kepala manusia busuk itu, lalu akan 

kubawa kepada Kakek, sebagai bukti selesainya tugasku!” 

“Trang!” 

“Trang!” 

Terdengar benturan yang nyaring kelika pedang 

Sarindah menyambar dan ditangkis oleh Kaligis maupun 

Sangkan. 

Dewi Sritanjung yang mengintip dari belakang batu men-

jadi berdebar dan hatinya tegang. Ia tidak tahu arti dan 

arah yang mereka bicarakan. Yang dapat ia simpulkan 

hanya sedikit, gadis ini marah karena dua orang pemuda 

ini sudah mencoba meracun orang. Disamping itu juga 

dituduh pula sudah membunuh dua orang. Dalam hati 

gadis ini kemudian timbul pendapat, kalau benar tuduhan 

itu, berarti dua orang pemuda ini memang jahat. Dirinya 

mendapat beban tugas dan kewajiban oleh guru, agar 

selalu ringan tangan membela kebenaran dan keadilan. 

Maka dalam hatinya sudah memutuskan, apabila 

perempuan itu sampai kalah, ia akan turun tangan dan 

menolong. 

Apa yang sudah terjadi, sehingga bertemu dengan 

Sangkan dan Kaligis, Sarindah sudah dapat memastikan 

bahwa percobaan peracunan maupun pembunuhan ter-

hadap Tanu Pada dan Kebo Pradah, semua dilakukan oleh 

Sangkan dan Kaligis? 

Memang ada sebabnya. 

Seperti apa yang sudah di ceritakan di dalam cerita 

berjudul "Kobaran Api Asmara", para murid Si Tangan Iblis 

atau kakek Sarindah mendapat tugas supaya mencari 

Sentiko yang pergi diam-diam. Si Tangan Iblis kawatir, 

karena jelas kepergian Sentiko itu dengan maksud mem-

balas dendam kepada Gajah Mada dan Mpu Nala. Tetapi 

ternyata di antara murid ini ada yang tidak melakukan 

tugas dengan baik, malah mementingkan kepentingan 

pribadi. Murid ini adalah Sangkan dan Kaligis, karena diam



diam mereka mencintai cucu guru mereka sendiri bernama 

Sarindah dan Sarwiyah. 

Padahal diam-diam, Sarindah dan Sarwiyah sudah terl-

anjur mencintai Tanu Pada dan Kebo Pradah. Dalam usaha 

mendapatkan cinta dari dua gadis ini maka Kaligis dan 

Sangkan secara curang membunuh pemuda tersebut. 

Maksudnya apabila dua orang pemuda itu mati, cintanya 

akan beralih kepada mereka. Pada saat terjadinya pem-

bunuhan atas diri Tanu Pada dan Kebo Pradah di desa 

Sukorejo ini, justru ada seorang saksi hidup, ialah Mahisa 

Singkir. Tetapi pemuda ini diancam akan dibunuh apabila 

berani membocorkan rahasia itu. 

Akibatnya Mahisa Singkir ketakutan. Ia tidak berani 

pulang kepada gurunya, dan malah bermaksud membunuh 

diri. Tetapi usahanya membunuh diri ini gagal dihalangi 

oleh Mpu Anusa Dwipa, yang kemudian malah menjadi 

guru Mahisa Singkir secara tidak resmi. 

Sesudah berhasil membunuh Kebo Pradah dan Tanu 

Pada ini, kemudian mereka menjadi kecewa, karena atas 

persetujuan antara Si Tangan Iblis dan Julung Pujud, maka 

Sarwiyah dipertunangkan dengan Warigagung. Akibat 

kekecewaan ini maka kemudian Kaligis bekerjasama 

dengan Sangkan berusaha meracuni tuak yang dihidang-

kan untuk Julung Pujud. 

Pada saat itu Sarindah sendiri justru kecewa hatinya, 

karena Sarwiyah mau saja dijodohkan dengan Warigagung. 

Akibat kecewa ini maka kemudian Sarindah pergi dengan 

maksud mencari Tanu Pada yang terlambat kembali pulang 

dan melaporkan hasilnya mencari Sentiko. Tetapi justru 

kepergiannya secara diam-diam ini, kemudian menimbul-

kan salah duga, Sarindah dicurigai telah melakukan 

peracunan tuak itu. (Baca cerita berjudul "Persekutuan Dua 

Iblis”, Anda akan tahu lebih jelas duduk perkaranya ). 

Dalam penasaran dan jengkelnya dituduh meracun 

Julung Pujud ini kemudian tanpa kenal lelah Sarindah 

pergi. Kepergiannya itu, disamping mencari kakeknya 

untuk membersihkan diri dari tuduhan, iapun curiga bahwa


peracunan itu tentu dilakukan oleh Kaligis dan Sangkan. 

Ketika dirinya tiba di desa Nongkojajar, berhentilah 

Sarindah dalam sebuah warung, untuk mengisi perut. Di 

warung ini Sarindah curiga oleh pandang main seorang 

pemuda yang jajan pula di warung itu dan gadis ini menjadi 

gelisah. Untung ia segera tertolong oleh keadaan, karena 

pemuda yang bernama Rudra Sangkala itu kemudian 

terlibat perselisihan dengan Adityawarman. Maka setelah 

perut kenyang dan rasa haus hilang, Sarindah meneruskan 

perjalanan. 

Akan tetapi betapa kaget gadis ini, ketika sedang masuk 

ke dalam kawasan hutan kecil tak jauh dari desa 

Poncokusumo, gadis ini menjerit saking kagetnya. Sebab 

secara tiba-tiba seorang pemuda sudah melompal turun 

dari sebatang dahan pnhon. Dan yang menyebabkan 

Sarindah kaget adalah karena turunnya pemuda tersebut 

justru tepat di depannya, hingga hampir saja dirinya dapat 

dipeluk. Untung sekali ia masih dapat menghindarkan diri 

kemudian ia berdiri dengan sepasang matanya yang 

memancarkan kemarahan. 

“Kurangajar kau!” Bentaknya. 

Namun kemudian hati gadis ini berdebar dan tegang, 

ketika mengenal kembali pemuda kurang ajar ini bukan 

lain adalah pemuda yang mencurigakan di warung 

kemarin, yang bukan lain adalah Rudra Sangkala. 

Bentakan Sarindah ini disambut dengan ketawa Rudra 

Sangkala yang terkekeh. Lalu sambil mengamati wajah 

jelita Sarindah, mulut pemuda itu cengar-cengir. 

“Siapakah yang kau sebut kurang ajar itu?” tanyanya. 

“Huh, siapa lagi kalau bukan kau. Aku sedang lewat, 

kenapa engkau melompat turun dari pohon tanpa melihat-

lihat dahulu? Huh, apakah jadinya apabila kakimu tadi 

jatuh tepat pada pundakku? Kau manusia tanpa aturan!” 

Rudra Sangkala terkekeh. Lalu. “Tetapi nyatanya toh 

tidak, heh heh heh heh.” 

“Tetapi engkau kurang ajar karena mau memeluk 

orang!”


“Apakah salahnya? Engkau gadis dan aku jejaka. 

Engkau perempuan cantik dan aku laki-laki. Bukankah itu 

sudah lumrah?” 

Jawaban Rudra Sangkala yang seenaknya sendiri ini 

memancing kemarahan Sarindah. Dasar gadis ini wataknya 

berangasan, maka sudah membantingkan kakinya saking 

gemas, lalu dampratnya, 

“Bangsat kau, mulutmu kotor! Huh, aku tidak sudi bicara 

dengan kau. Minggirlah!” 

Rudra Sangkala menyeringai. Jawabnya seenaknya, 

“Kalau aku tak mau, kau bisa apa?!” 

Seperti meledak dada gadis yang berangasan ini men-

dengar jawaban yang menantang itu. Bentaknya geram. 

“Huh, akan kupukul remuk kepalamu!” 

“Aduh, jangan, heh heh heh heh!” Rudra Sangkala 

malah mengejek. “Jauh-jauh aku menyusulmu, mengapa 

tanggapanmu malah seperti ini, manis. Ahh, Adikku yang 

aku kasihi, tidakkah engkau merasa bagaimanakah 

perasaanku sejak kemarin bertemu di warung itu? Aku 

menjadi jatuh cinta pada saat pandang mata pertama kali. 

Apakah engkau tidak merasa? Ahh, engkau jangan 

menyiksa hatiku Manis, dan tanggapilah cintaku ini. 

Ketahuilah aku tidak enak makan dan tidak enak tidur 

akibat selalu ingat padamu yang jelita. Hayo......” 

“Tutup mulutmu!” bentak Sarindah memotong ucapan 

Rudra Sangkala yang belum selesai. Gadis ini menjadi 

amat muak mendengar ucapan pemuda itu. “Huh, 

sangkamu aku ini perempuan macam apa?” 

“Heh... heh... heh... heh, tentu saja engkau bukanlah 

perempuan palsu. Adik manis, lihatlah aku. Bukankah aku 

seorang pemuda gagah dan ganteng? Hayolah, jangan 

rewel lagi. Kita.....” 

“Makanlah pedang ini!” bentaknya memotong ucapan 

Rudra Sangkala yang belum selesai. 

Gadis berangasan ini, tidak kuat lagi menahan sabarnya, 

ketika ucapan Rudra Sangkala semakin menjadi kurang 

ajar.


“Ahhh... pedang itu tidak bermata Adikku cantik, engkau 

jangan sembrono! Heh... heh... heh... heh!” Dengan ringan 

dan gesit pemuda ini melompat ke samping, namun mulut-

nya tetap terkekeh dan mengejek. 

Akan tetapi Sarindah yang berwatak berangasan ini, 

sudah tidak peduli lagi. Pedangnya bergerak seperti kilat 

cepatnya menyambar-nyambar menghujani serangan 

kepada pemuda yang dianggap kurangajar itu. Sambaran 

pedangnya demikian mantap dan berbahaya. 

Memang tidak percuma gadis ini sebagai salah seorang 

cucu dan murid Si Tangan Iblis. Sambaran pedangnya 

mantap, gerak pedangnya menggetar, menyebabkan arah 

serangan sulit diduga. Tampaknya menyerang sebelah kiri, 

tetapi sebenamya menyerang sebelah kanan. Tampaknya 

menyerang bagian atas, tahu-tahu ujung pedang sudah 

menukik turun dan menyerang bagian bawah. Ilmu pedang 

hasil gubahan Si Tangan Iblis ini gerakannya campuran 

antara gerak ilmu tombak dan ilmu pedang memang benar-

benar berbahaya. 

Sebaliknya Rudra Sangkala bukanlah pemuda 

sembarangan. Ia murid seorang wanita sakti Murti Sari, 

yang sudah menganggapnya sebagai anak kandungnya 

sendiri. Maka walaupun sambaran pedang gadis ini seperti 

kilat cepatnya, ia tidak kesulitan menghindarkan diri 

dengan berlompatan. 

“Tring... tring... cring... cring....!” terdengar beberapa kali 

dencingan pedang nyaring oleh sentilan jari tangan Rudra 

Sangkala. Pedang gadis ini menyeleweng dan diam-diam 

gadis yang berangasan ini menjadi kaget juga, ketika ia 

merasakan lengannya tergetar hebat dan panas. Namun 

dalam marahnya, ia terus menghujani serangan-serangan 

berantai yang amat dahsyat. 

“Heh... heh... heh... heh,” Rudra Sangkala terkekeh. 

“Engkau jangan bandel dan keras kepala Adik Manis. 

Percayalah, aku benar-benar sudah jatuh cinta padamu!” 

Tetapi Sarindah terus menghujani serangan berbahaya, 

tanpa membuka mulut. Sebab ia sudah menduga, pemuda


ini tentu seorang pemuda bejat moral. Pemuda yang suka 

mempemiainkan perempuan, dan seorang pemuda yang 

hanya mengumbar nafsu. Ia sadar akan celakalah dirinya 

apabila sampai jatuh ke tangan pemuda macam ini. Maka 

apapun jadinya, ia harus dapat merobohkan pemuda 

kurangajar ini. 

“Cring... cring... tring... tring....!” sentilah jari tangan 

Rudra Sangkala secara tepat memukul batang pedang, 

hingga pedang Sarindah menyeleweng. Tetapi apa yang 

dilakukan oleh pemuda ini sekarang, bukan hanya sekadar 

menangkis pedang. Sebab sambil menangkis, diam-diam ia 

sudah menyebarkan racun wangi untuk membuat gadis ini 

pening lalu tidak sadarkan diri. Dan dengan demikian ia 

akan dengan gampang dapat menangkap gadis galak yang 

ayu ini. 

Hidung Sarindah tiba-tiba menghirup bau yang wangi. 

Namun karena gadis ini tidak menduga buruk, ia tidak 

menutup pernapasannya. Pedangnya terus menyambar 

dengan dahsyat sedang pemuda itu belompatan ke sana 

dan kemari sambil mengejek dan tertawa. 

Tiba-tiba saja Sarindah merasakan kepalanya ber-

denyutan pening sekali. Pandang matanya menjadi kabur. 

Namun demikian Sarindah masih terus menyerang Rudra 

Sangkala dengan dahsyat Hanya sayang, gerakannya 

sekarang mulai kacau dan ngawur. 

Tring.....! Ahhhhh......! 

Pedang gadis itu sudah terpental terbang, ketika dipukul 

keras oleh Rudra Sangkala dan Sarindah berteriak nyaring 

saking kaget. 

Kemudian sambil ketawa terkekeh gembira Rudra 

Sangkala sudah melompat maju dengan maksud me-

nubruk, menangkap dan memeluk gadis jelita yang me-

narik hatinya itu. 

Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring dan angin 

pukulan menyambar dari arah belakang. Tetapi tanpa 

membalikkan tubuh Rudra Sangkala sudah menggerakkan 

tangan kin ke belakang.


“Plakk..... Aihhh.....!” seruan kaget meluncur dari mulut 

dua-duanya. 

Sebagai akibat benturan tangan tadi, dua-duanya sudah 

terhuyung dan sesaat kemudian mereka sudah melompat, 

lalu berhadapan dengan mata saling mendelik. 

Adapun Sarindah yang sudah terpengaruh oleh racun 

wangi itu tidak kuasa bertahan lagi, gadis ini terhuyung, 

kemudian roboh terguling di tanah dan tidak sadarkan diri 

lagi. 

“Siapa kau!” bentak Rudra Sangkala marah karena 

merasa terganggu. 

“Hemm, tidak ada yang perlu aku sembunyikan. Aku 

Mahisa Singkir. Dan kau, apakah namamu Rudra 

Sangkala?” 

Rudra Sangkala berjingkrak kaget, pemuda yang baru 

datang ini sudah mengenal namanya. Namun sejenak 

kemudian pemuda ini terkekeh. Karena sudah barang 

tentu pemuda yang baru datang ini mengenal namanya. 

Bukankah namanya sekarang menjadi semakin menanjak 

tinggi sesudah ia membuai kegemparan di Mojoduwur, 

membunuh Tumenggung Gora Swara dan membakar desa 

itu ? 

“Heh... heh... heh... heh, engkau sudah mengenal aku?” 

Rudra Sangkala mengejek. “Hayo, lekaslah enyah dari sini, 

sebelum aku marah dan menghajarmu. Apakah sebabnya 

engkau mencampuri urusanku?” 

Hemm. Mahisa Singkir mendengus dingin, “jika engkau 

tidak melakukan kejahatan dan berbuat sewenang-

wenang, tentu saja aku takkan mencampuri urusanmu ini. 

Tetapi dengan perbuatanmu sekarang ini, yang mau 

mencelakakan Mbakyu Sarindah manakah mungkin aku 

dapat berdiam diri?” 

Rudra Sangkala mendelik. Tetapi sejenak kemudian 

segera terkekeh, “Heh heh heh heh, engkau sudah kenal 

dengan gadis ini? Bagus! Engkau akan menjadi 

pembelanya? Bagus! Ha... ha... ha... ha, marilah kita coba!” 

Selesai mengucapkan kata-katanya, dengan gerak yang


cepat luar biasa. Rudra Sangkala sudah melesat. Jari 

tangannya terbuka seperti cakar garuda. Cengkeramannya 

segera mengancam bagian tubuh Mahisa Singkir yaug 

lemah, bertubi-tubi dan tidak terduga. 

Akan tetapi untunglah, Mahisa Singkir sekarang bukan-

lah Mahisa Singkir beberapa bulan lalu, setelah ia men-

dapat gemblengan dari Mpu Anusa Dwipa. Cengkeraman 

cengkeraman berbahaya dan bertubi-tubi itu tanpa 

kesulitan dapat ia hindari, dan salah satu cengkeraman 

Rudra Sangkala yang mengancam ubun-ubunnya ia tangkis 

dengan tangan kanan. Sedang pukulan tangan kanan 

lawan yang mengarah dadanya, diterima oleh Mahisa 

Singkir dengan tangan dengan gerakan mendorong. 

“Plak........Aihh.....!” 

Tubuh dua orang muda itu masing-masing terhuyung 

mundur beberapa langkah ke belakang. Rudra Sangkala 

kaget setengah mati. Sebaliknya Mahisa Singkir juga men-

jadi kagum. Pikirnya, Ahh benar-benar perkasa bocah ini. 

Maka pantas menjadi begitu sombong dan tidak 

memandang sebelah mata kepadaku.

Dalam pada itu Rudra Sangkala menjadi penasaran. 

Sambil menggeram keras pemuda ini sudah melompat 

tinggi ke depan. Dua belah tangannya dengan jari terbuka 

sudah melakukan serangan dari atas sedang tangan 

kirinya berusaha mencengkeram ubun-ubun dan tangan 

kanan berusaha menusuk mata. 

Dengan gerak gesit Mahisa Singkir sudah berhasil 

menyelamatkan diri. Kemudian ia membalas dengan 

dorongan menggunakan dua tangan. Rudra Sangkala 

jungkir balik di udara untuk raenghindarkan diri dari 

dorongan lawan yang bertenaga itu. Namun Mahisa Singkir 

tidak mau memberi kesempatan, dan ia sudah melompat 

tinggi dengan maksud memukul lawan di saat lawan 

kurang menjaga diri. Tetapi tahu-tahu kepalanya menjadi 

pening dan pandang matanya menjadi kabur. 

“Dess.......blukk.....!” 

Tubuh Mahisa Singkir terbanting keras di tanah. Muntah


darah lalu pingsan. Pemuda ini ketika menghirup bau 

wangi tidak curiga, dan ia tidak berusaha menutup 

pernapasannya. Dan sebagai akibatnya ia menjadi korban 

racun wangi Rudra Sangkala. 

“Heh... heh... heh, mana mungkin engkau dapat menang 

melawan aku?” Sesumbar Rudra Sangkala sambil 

terkekeh. “Tetapi huh... engkau sudah mengganggu diriku. 

Engkau sekarang harus mampus. Enyahlah sekarang juga!” 

Sambil berkata, kakinya sudah bergerak untuk 

menendang. “Buk.... Aduh….!” 

Ternyata bukan tubuh Mahisa Singkir yang terpental 

oleh tendangannya, malah dirinya sendiri yang terpental, 

kemudian jatuh terguling. 

Pemuda inipun cepat-cepat melompat dan berdiri. 

Namun celakanya tubuhnya terhuyung-huyung seperti 

orang mabuk. Dan ketika ia dapat berdiri tegak, mata 

pemuda ini terbelalak. Ternyata di samping tubuh Mahisa 

Singkir yang menggeletak pingsan itu sekarang ada 

seorang laki-laki tua yang gendut, memakai jubah putih 

kedodoran dan kepalanya gundul pula. Agaknya 

tendangannya tadi tidak memukul tubuh Mahisa Singkir, 

tetapi malah memukul kakek itu. Pantas saja dirinya 

terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. 

Kakek gendut yang berjubah putih kedodoran itu, 

sekarang sudah meloncat berdiri sambil mengebas-ngebas 

jubahnya yang kotor oleh tanah. 

“Heh... heh... heh... heh, kurangajar kau. Mengapa 

sebabnya ada orang tidur kau tendang?” 

Wajah Rudra Sangkala merah padam, karena merasa 

diejek dan direndahkan. Maka meledaklah kemarahan 

pemuda ini, kemudian “sring....” pedang pusaka Wesi 

Kuning sudah tercabut dari sarung. Sinar kuining 

kemilauan tertimpa oleh sinar matahari. Dan sambil 

mengamangkan pedang pusakanya ini Rudra Sangkala 

sudah membentak. 

“Jahanam tua! Siapa kau berani mencampuri urusanku? 

Hayo, lekas enyahlah sebelum pedang ku ini memancung


kepalamu!” 

“Heh... heh... heh... heh, anak muda, mengapa engkau 

bermain-main dengan pedang itu?” tegur Mpu Anusa 

Dwipa guru Mahisa Singkir yang baru. “Sarungkanlah 

pedangmu dan kemudian pergilah. Apakah kesalahan 

muridku, hingga engkau membuat dia pingsan seperti ini? 

Huh, kau terlalu sembrono. Bukankah engkau meng-

gunakan semacam racun yang baunya wangi? Hai, apakah 

hubunganmu dengan Murti Sari?” 

Kalau saja Rudra Sangkala mau berpikir dan tidak 

takabur, seharusnya ia sadar bahwa orang tua gendut ini 

amat luas pengetahuan dan pengalaman. Ini membuktikan 

seorang sakti mandraguna, dan seharusnya ia tahu diri dan 

lekas pergi sambil minta maaf. Tetapi sayang sekali ia 

terlalu membanggakan diri dan membanggakan nama 

besar gurunya. Dan ia malah menduga, apabila kakek ini 

tahu dirinya murid tunggal dan anak angkat Murti Sari, 

kakek gendut ini tentu ketakutan, lalu lari terkencing-

kencing. 

“Huh, kau ingin tahu siapa aku?” sahut Rudra Sangkala 

dengan nadanya yang amat merendahkan. “Aku adalah 

anak angkat dan murid tunggal Murti Sari. Dan sekarang 

kau tak lekas pergi apakah minta kuhajar babak belur?” 

Mendengar jawaban Rudra Sangkala yang sombong dan 

ketus ini Mpu Anusa Dwipa mengerutkan alis kurang 

senang. Kemudian katanya, “Hemm, gurumu sesat 

engkaupun ikut menjadi sesat. Sayang .... engkau masih 

muda, tetapi sepak terjangmu sudah sewenang-wenang. 

Anak, ingatlah engkau akan hari depanmu sendiri.” 

“Aku tidak butuh obrolanmu!” bentak Rudra Sangkala 

semakin marah. “Sekali lagi aku peringatkan. Lekaslah 

engkau enyah dari sini, dan bawa pergi pula muridmu yang 

memuakkan itu. Salahnya sendiri muridmu lancang 

mengganggu kesenanganku. Pergi. Pergi! Dan aku akan 

memadu kasih dengan perempuan cantik ini!” 

“Hemm, bocah! Engkau jangan meneruskan niatmu 

yang sesat itu!”


“Cerewet!” bentak pemuda ini. “Terimalah pedangku!” 

Sambil mengucapkan ancaman ini, Rudra Sangkala 

sudah menerjang maju dan pedangnya menyambar ke 

depan menikam ke arah dada. Akan tetapi sebelum tiba 

pada sasarannya, gerak pedang itu sudah berubah meng-

geletar ke kiri, lalu menyabat leher. 

“Plakk.....dess......Aduhh.....!” Rudra Sangkala mengeluh 

dan terhuyung ke belakang. 

Gerakan Rudra Sangkala memang cepat. Tetapi gerak 

tangan Mpu Anusa Dwipa lebih cepat lagi. Tangan kanan 

telah menampar batang pedang sehingga pedang itu ter-

pental lalu jatuh ke tanah. Belum hilang rasa kagetnya, 

tubuhnya sudah terpental dan terhuyung-huyung oleh 

pukulan tangan kiri lawan. 

Masih untung pemuda ini berhadapan dengan Mpu 

Anusa Dwipa, seorang kakek berhati emas. Pukulan kakek 

tersebut tidak menyebabkan terluka, hanya menyebabkan 

dadanya sesak saja. Tetapi sekalipun demikian pemuda ini 

sekarang menjadi sadar diri. Kakek gendut ini jelas sakti 

mandraguna dan bukanlah tandingannya. Sebagai seorang 

yang licik dan cerdik, ia takkan menjadi nekad apabila 

tidak ingin celaka. 

Ia sadar dirinya tidak boleh nekad. Karena nekad sama 

artinya membunuh diri. Tetapi sekalipun demikian sebelum 

melangkah pergi, ia berkata ketus, “Lumrah saja engkau 

menang melawan aku. Tetapi huh, kemudian hari jika 

engkau berhadapan dengan Guruku, tahu rasa!” 

Mpu Anusa Dwipa tidak menyahut, dan hanya sepasang 

matanya saja memandang kepergian Rudra Sangkala. Ia 

menghela napas terharu, merasa kasihan kepada pemuda 

sesat itu. Sebab pemuda itu tidak bersalah, maka kakek ini 

tidak benci kepada pemuda itu. Sebab bagi dirinya, rasa 

benci itu adalah salah satu bentuk dari kekecewaan dan 

kekecewaan bukan lain adalah bentuk dari perwujudan 

dari "si aku" yang selalu menghendaki terpenuhinya 

keinginan. 

Sesudah bayangan Rudra Sangkala tidak nampak lagi,


kakek gendut ini segera mengambil butiran ohat dari 

tempat simpanannya. Sebutir obat dimasukkan ke dalam 

mulut Mahisa Singkir, dan sedikit air dituangkan ke dalam 

mulut Mahisa Singkir. Sesudah itu ia berbuat sama untuk 

Sarindah. Lalu tanpa mengucapkan sesuatu kakek gendut 

ini sudah pergi dan membiarkan Mahisa Singkir dan 

Sarindah menggeletak di tanah. 

Tak lama kemudian Mahisa Singkir sudah bergerak dan 

membuka matanya. Pemuda ini mula-mula heran men-

dapatkan dirinya menggeletak di tanah. Tetapi sesudah 

otaknya kembali bekerja, ia segera ingat apa yang sudah 

terjadi. Rasa pening sudah hilang dan pandang matanya 

juga sudah pulih kembali, la meloncat bangkit, tetapi lawan 

yang tadi menyebabkan dirinya roboh pingsan sudah tidak 

tampak lagi. Di sekitar tempat ini sudah sepi. 

Namun ketika ia melihat Sarindah masih belum ber-

gerak dan menggeletak, Mahisa Singkir terjingkrak. Ia 

cepat menghampiri. Tetapi belum juga pemuda ini sempat 

menyentuh tubuh Sarindah, gadis inipun sudah bergerak 

pula. 

Melihat pemuda tadi sudah pergi, dirinya tahu-tahu pulih 

kembali seperti sedia kala, dan Sarindah pun sekarang 

sudah sadar, maka pemuda ini segera pula sadar apa yang 

terjadi. Ia percaya, Mpu Anusa Dwipa sudah muncul pada 

saat yang tepat, sehingga dapat mengusir pemuda itu dan 

menolong dirinya maupun Sarindah. 

Diam-diam Mahisa Singkir geleng-geleng kepala, apabila 

teringat sepak terjang kakek gendut itu. Selama beberapa 

bulan ini dirinya digembleng penuh kasih dan mencapai 

kemajuan pesat. Namun demikian Mpu Anusa Dwipa tetap 

saja tidak mau disebut sebagai guru, Kakek gendut itu 

selalu saja memberi alasan, dirinya bukanlah guru. Mpu 

Anusa Dwipa selalu mengatakan, secara kebetulan dirinya 

mempunyai ilmu yang perlu dipelajari Mahisa Singkir, dan 

diajarkannya. Maka hubungan antara Mahisa Singkir 

dengan Mpu Anusa Dwipa selama ini seperti dua orang 

sahabat saja.


Akan tetapi betapa kaget Mahisa Singkir, ketika tiba-tiba 

Sarindah sudah menodongkan pedang mengancam dada. 

Maka pemuda ini pucat disamping heran. 

“Mbakyu Indah, apa-apaan ini?” tanya Mahisa Singkir 

sambil memandang gadis itu. 

Diam diam pemuda ini khawatir sekali, melihat wajah 

yang marah dan sepasang mata yang mengeluarkan sinar 

api. 

“Engkau jahanam Mahisa Singkir!” bentak Sarindah. 

“Apa saja yang sudah engkau lakukan terhadap diriku. 

Huh, apakah sebabnya tahu-tahu aku sudah menggeletak 

di tanah dan pakaianku menjadi kotor seperti ini?” 

Gadis berangasan ini sudah tentu salah duga. Karena 

dirinya menggeletak di tanah dan melihat Mahisa Singkir 

berdiri tak jauh dari tempatnya terbaring, lalu menduga 

buruk. Gadis ini cepat menduga, Mahisa Singkir sudah 

melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap dirinya. 

Untung sekali Mahisa Singkir tidak menjadi gugup oleh 

todongan ujung pedang yang tajam itu. Dan dalam pada 

itu, pemuda ini pun sudah dapat menduga, tentang 

sebabnya Sarindah berbuat seperti ini. 

“Mbakyu, mau bunuh boleh bunuh, tetapi dengarkan 

dahulu keteranganku. Sebelum aku datang di sini, lebih 

dahulu engkau berhadapan dengan siapa? Bukankah 

engkau tadi berkelahi dengan seorang laki-laki?” 

Mendengar ucapan Mahisa Singkir ini, semula Sarindah 

mengerutkan alis. Namun kemudian lengannya gemetar 

dan pedangnya runtuh di tanah, kemudian gadis ini 

menjatuhkan diri dan menangis sesenggukan. 

Melihat ini Mahisa Singkir menjadi semakin heran dan 

tidak mengerti. Apa-apaan ini? Tadi begitu bangun sudah 

marah dan menodong dirinya. Sekarang setelah diberi 

penjelasan, tahu-tahu sudah menangis. 

Mahisa Singkir terharu, lalu bertanya. “Mbakyu, apakah 

sebabnya kau menangis?” 

“Hu... hu... huk.... huuuuu.... memang nasibku amat 

buruk.” Sarindah meratap di tengah tangisnya. “Aku.... aku


sekarang sudah ternoda.... oh.... aku tentu sudah bukan 

gadis suci lagi.... oleh perbuatan manusia terkutuk tadi. 

Oh… lebih baik aku bunuh diri saja.....” 

Tiba-tiba tangan Sarindah menyambar pedangnya guna 

memenggal lehernya sendiri. Untung Mahisa Singkir 

waspada, secepat kilat tangannya menyambar pergelangan 

tangan Sarindah lalu memencet. 

A”duhh, jahanam kau Mahisa Singkir!” cacinya. 

“Sabarlah Mbakyu,” hibur Mahisa Singkir. “Bertindak 

tanpa pikir hanya akan merugikau diri sendiri. Maka.....” 

“Jangan cerewet! bentak Sarindah. Keparat kau! 

Gampang saja orang buka mulut, tetapi aku... hu hu 

huuuu.....aku sudah tidak berharga lagi sesudah......hu hu 

huuuuu.....” 

“Apakah dugaanmu itu sudah benar?” tanya pemuda ini. 

“Sebaiknya Mbakyu memeriksa diri sendiri lebih dahulu. 

Ada perubahan ataukah tidak? Kalau tidak, jelas dugaan 

Mbakyu hanya ngawur belaka. Dan sebaliknya apabila itu 

memang benar terjadi, bukan engkau saja yang mati. 

Hemm, sebelum engkau bunuh diri, bunuhlah aku lebih 

dahulu.” 

Gadis ini matanya terbelalak, memandang Mahisa 

Singkir. Tetapi mendadak tangisnya berhenti. Ia mengusap 

air matanya yang membasahi pipi. 

“Ahh, Mahisa Singkir, engkau benar. Hemm, biarlah aku 

sekarang mencari tem pat untuk memeriksa diriku sendiri, 

tetapi janganlah engkau berani pergi dari sini dan 

mengintip. Jika engkau berani melanggar perintahku ini, 

hemm, jangan sesalkan aku kalau tanganku sampai hati 

membunuhmu. Mengerti?” 

“Mengerti. Mbakyu,” sahut Mahisa Singkir sungguh-

sungguh. 

Akan tetapi diam-diam hatinya kurang senang juga, akan 

sikap Sarindah yang selalu mau menang sendiri ini. Untung 

ia sudah mengenal watak gadis ini, maka sekalipun tidak 

senang, ia dapat memaklumi. 

Sarindah sudah melompat dan berlarian mencari tempat


bersembunyi. 

Mahisa Singkir duduk di tanah sambil me-undukkan 

kepala memandang ke bawah. Dan sambil menunggu 

kembalinya Sarindah ini, lalu terbayang kembali peristiwa 

beberapa bulan lalu. Peristiwa yang menyedihkan dan 

menyebabkan dirinya tidak berani lagi pulang ke Tosari. 

Dan sekarang secara tidak terduga, ia bertemu dengan 

Sarindah. 

Kemudian timbul keinginannya untuk membeberkan 

semua peristiwa itu kepada Sarindah. Maksudnya agar 

Sarindah mengetahui peristiwa yang sebenarnya, 

kemudian dapat memberi laporan kepada kakeknya. 

Tak lama kemudian sudah terdengar suara ketawa 

Sarindah. Mendengar ini Mahisa Singkir mengangkat 

kepalanya lalu memandang gadis itu yang sekang 

melangkah bcrgontai. Sekarang gadis itu sudah tidak 

tampak lagi bekas menangis, dan bayangan rasa sesal dan 

kekecewaan juga sudah tak berbekas lagi. Wajah gadis itu 

sekarang berseri, cantik dan sudah berganti pakaian pula. 

Diam-diam Mahisa Singkir kagum pula akan kecantikan 

Sarindah ini. Kendati galak gadis ini mempunyai daya tarik 

tersendiri. Wajahnya ayu dan tubuh padat berisi. 

Masih agak jauh gadis itu sudah berkata. “Adi Singkir, 

ah..... maafkanlah kekasaranku tadi. Ahh......ternyata kau 

benar.” 

“Benar bagaimana?” 

“Hi hi hik….benar ya benar. Mengapa sebabnya kau 

masih bertanya? Dan sekarang, di manakah pemuda 

bangsat tadi? Hemm, aku ingin menghajar dia dengan 

pedangku.” 

Sambil berkata Sarindah menebarkan pandang matanya 

ke sekeliling. 

“Mbakyu, duduklah! Aku akan memberi keterangan 

penting!” 

Tetapi gadis ini tidak juga duduk dan masih menyelidik 

dengan pandang matanya. 

“Engkau tadi tentu sudah mengalahkan pemuda


bangsat itu. Tetapi mengapa engkau biarkan pergi?!” 

tegurnya. 

“Mbakyu, aku sendiri juga roboh dalam usahaku 

membela kau. Lihatlah, pakaianku juga kotor.” 

“Hi... hi... hik, mengapa aku ini berubah menjadi tolol? 

Kalau aku saja kalah, manakah mungkin engkau bisa 

menang melawan bangsat itu?” ujarnya dengan bangga, 

karena dalam ilmu kesaktian gadis ini merasa lebih tinggi 

tingkatannya. 

Mahisa Singkir mengangguk. Ia tidak tersinggung oleh 

ucapan Sarindah. Dan ia juga tidak ingin membocorkan 

apa yang sudah diperoleh dari Mpu Anusa Dwipa. Bukan 

hanya kepada Sarindah, tetapi juga kepada Si Tangan Iblis 

maupun saudara seperguruannya yang lain. 

“Mbakyu benar. Aku tadi hanya dalam dua gebrakan 

saja sudah roboh.” 

“Tetapi.... apakah sebabnya engkau selamat dan aku 

juga selamat?” 

“Oh.... memang ada sebabnya, Mbakyu. Begini, di saat 

aku tadi akan roboh pingsan, aku melihat berkelebatnya 

bayangan seorang kakek gendut. Kakek itu menangkis 

pukulan pemuda bangsat itu yang diarahkan kepadaku. 

Hemm, tentu kakek itu pula yang sudah mengusir dia.” 

“Siapakah dia?” 

“Mana aku tahu?” 

Sarindah menghela napas. Diam-diam ia bersyukur 

dapat terhindar dari malapetaka yang mengerikan. Namun 

setelah bahaya lewat, ia segera ingat kembali sebabnya 

pergi dari Tosari. Karena itu ia kemudian mengangkat 

kepalanya dan memandang Mahisa Singkir penuh selidik. 

“Adi Singkir. Mana Kakang Tanu Pada dan Kebo 

Pradah?” 

“Marilah kita mencari tempat yang enak dan semuanya 

akan aku ceritakan.” 

Mahisa Singkir bangkit lalu menuju tempat di bawah 

pohon gayam yang rindang, kemudian duduk di akar 

pohon. Sarindah pun duduk di atas akar pohon


berhadapan dengan Mahisa Singkir. 

Akan tetapi gadis yang tidak sabaran ini cepat 

mendesak. “Lekas katakanlah. Hemm, engkau jangan 

dusta dan mengarang cerita. Engkau akan tahu sendiri 

upah yang bakal kau terima jika berani bohong.” 

Mahisa Singkir menghela napas panjang, terkenang 

kembali akan peristiwa yang menyedihkan itu. Diam-diam 

ia amat menyesal mengapa Sangkan dan Kaligis sampai 

hati berbuat seperti itu terhadap saudara seperguruan 

sendiri. 

Setelah ia berhasil menekan perasaan, kemudian ia 

menceritakan peristiwa pembunuhan itu. Namun karena 

dalam dadanya berkecamuk perasaan tidak keruan. maka 

dalam bercerita ini tidak lancar. 

“Apa? Kakang Tanu Pada…” 

Mahisa Singkir mengangguk. 

Tiba-tiba saja Sarindah sudah menutup wajahnya 

dengan telapak tangan, lalu menangis sesenggukan. Tentu 

saja! Sulit diiukiskan betapa perasaan gadis ini saat 

sekarang, mendengar pemuda yang sudah meucuri hatinya 

dan selama ini ia cari karena rindu, sudah mati dibunuh 

oleh Kaligis dan Sangkan. 

“Mbakyu, engkau jangan menangis,” hibur Mahisa 

Singkir. “Betapa sedih hatiku ketika itu, tidak dapat 

kugambarkan. Timbul hasratku untuk membalas dendam 

dan sakit hati Kakang Tanu Pada maupun Kakang Kebo 

Pradah. Tetapi manakah mungkin aku bisa menang 

melawan dua orang itu?” 

Mendadak Sarindah melepaskan telapak tangannya. 

Sedang air mata gadis ini masih membasahi pipi yang 

montok Namun ketika gadis ini memhuka mulut, Mahisa 

Singkir kaget setengah mati. 

“Pengecut.....! Engkau pengecut! Mengapakah sebabnya 

engkau tidak berani membela orang tak bersalah? Mati 

membela kebenaran lebih berharga dibanding mati 

sebagai pengecut. Tahu?” 

Mahisa Singkir menghela napas panjang. Kemudian,


“Mbakyu, engkau memang tidak salah apabila menuduh 

diriku sebagai pengecut! Tetapi sebaliknya aku mempunyai 

pendirian, kalau aku mengorbankan diri, kemudian aku 

mati, akan merugikan kita dan menyebabkan rahasia ini 

tidak mungkin bisa dibongkar.” 

Mahisa Singkir berhenti mengambil napas. Lalu, 

“Mengapa demikian? Karena satu-satunya orang yang 

dapat diajukau sebagai saksi tentang pembunuhan itu ikut 

mati pula Mbakyu, terserah penilaianmu. Namun yang jelas 

sekarang terbukti aku yang benar, karena masih ada 

gunanya aku ini hidup. Sekarang aku dapat bertemu 

dengan Mbakyu, hingga kemudian hari dosa dan 

kesalahan dua orang itu masih dapat diusut dan dihukum 

sesuai kesalahannya.” 

“Tetapi apakah sebabnya engkau tidak segera pulang 

dan memberi laporan kepada Kakek?” 

“Ketika itu aku tidak berani mengambil risiko, Mbakyu. 

Mereka mengancam akan membunuh aku jika berani 

pulang ke Tosari. Mengingat itu maka aku memilih 

gelandangan sambil menunggu kesempatan.” 

Mahisa Singkir tidak berani berterus lerang, dirinya 

berguru kepada Mpu Anusa Dwipa. 

“Huh... huh, bangsat busuk Kaligis dan Sangkan!” desis 

Sarindah geram. “Akan datang saatnya aku membunuh 

dua murid durhaka itu. Hemm, pantas yang lain sudah 

pulang, tetapi Kakang Tanu Pada dan Kebo Pradah dan 

juga kau sendiri tidak pulang. Hemm, tahukah engkau. 

Ananto juga mati dibunuh oleh dua bedebah itu?” 

Mahisa Singkir berjingkrak saking kaget. “Benarkah 

itu?” 

“Mengapa tidak betul? Sangkan dan Kaligis bertugas 

bersama Ananto. Tetapi mereka pulang tanpa Ananto dan 

lapor kepada Kakek, bocah itu mati tergelincir masuk 

jurang. Manakah mungkin? Siapa dapat percaya? Huh, 

dosa dua orang itu bertumpuk. Merekapun sampai hati 

memfitnah diriku.” 

“Memfitnah apa?”


“Memfitnah diriku meracun tamu. Akibatnya Kakek 

marah sekali dan akan membunuh aku.” 

“Ahhh....!” Mahisa Singkir berjingkrak kaget. “Mengapa 

bisa begitu?” 

“Hemm, itu bisa terjadi karena waktu itu aku sedang 

pergi. Begini, aku gelisah memikirkan Kakang Tanu Pada 

yang belum juga pulang, dan maksudku akan 

menyongsong. Nah, disaat aku pergi itulah dua bangsat itu 

meracun tamu, kemudian memfitnah diriku. Aku tidak 

sabar lagi, lalu pergi mencari bangsat itu. Dan kau, hayo 

sekarang ikut aku sebagai saksi.” 

“Ahhh.... Mbakyu....” Mahisa Singkir kaget berbareng 

bingung. “Kiranya... tidak baik apabila aku menyertai 

engkau pergi mencari dua orang itu. Aku.... aku takut....” 

Gadis ini sekarang terkekeh. “Hi hi hik, mengapa takut? 

Toh ada aku yang akan melindungi keselamatanmu dari 

ancaman mereka.” 

Mahisa Singkir menggelengkan kepala, “Tidak Mbakyu. 

Aku mohon jangan memaksa aku dalam masalah ini. 

Mbakyu, kasihanilah diriku ini dan biarkanlah aku pulang 

ke Tosari saja, melapor kepada Guru. Dengan demikian 

engkau terbebas dari tuduhan itu dan agar guru tahu pula 

tentang pengkhianatan dua orang itu”. 

Sarindah memandang Mahisa Singkir dengan mata 

mendelik. Gadis ini tidak senang perintahnya dibantah 

orang. Namun sejenak kemudian dia menghela napas dan 

kemudian berkata, “Hemm, baiklah jika demikian. Lapor-

kanlah juga kepada Kakek, aku takkan pulang sebelum 

dapat menyeret dua orang murid durhaka itu.” 

“Nah, itu lebih bagus”, puji Mahisa Singkir dengan lega. 

“Biarlah Guru sendiri yang akan menjatuhkan hukuman 

kepada mereka itu.” 

“Baiklah. Kita sekarang berpisah dan sampai ketemu!” 

Itulah yang terjadi. Dan itu pula sebabnya Sarindah 

dapat membongkar rahasia pembunuhan atas diri Tanu 

Pada dan Kebo Pradah, bersumber keterangan Mahisa 

Singkir.


2


Perkelahian yang terjadi antara Sangkan dan Kaligis 

yang mengeroyok Sarindah seru sekali. Perkelahian 

antara hidup dan mati, karena Sarindah ingin 

membalas dendam atas kematian pemuda yang ia cintai. 

Sedang di pihak Kaligis dan Sangkan, berusaha membela 

nyawa dari ancaman maut. 

Berkali-kali terdengar dencing pedang yang berbenturan. 

Mereka menggunakan ilmu dari satu sumber, baik 

menyerang maupun bertahan. Bedanya gerak Sarindah 

lebih cepat dan mantap dibanding dua orang pemuda itu, 

sedang ilmunya juga setingkat lebih tinggi. 

Akan tetapi karena menghadapi keroyokan dua orang, 

maka sulitlah bagi Sarindah untuk dapat mengalahkan 

dalam waktu singkat. Sebaliknya kalau satu lawan satu, 

tentu Sarindah bisa menang dengan gampang. 

Menghadapi kesulitan ini, Sarindah menjadi penasaran. 

Gadis ini tambah sesalnya, mengapa Mahisa Singkir tidak 

mau bersama dirinya. Kalau saja Mahisa Singkir ada, tentu 

takkan kesulitan seperti ini. 

Saking penasaran mulut Sarindah melengking nyaring 

sambil menerjang dengan pedangnya. Sambaran 

pedangnya cepat sekali kearah mata, leher dan dada 

Kaligis. Sedangkan tangan kiri membantu dengan 

cengkeraman ke arah pundak. Akan tetapi gerakan itu 

kemudian terpaksa ia ubah, pedang ia tarik dan ia 

sabatkan ke belakang untuk menghalau sambaran pedang 

Sangkan. 

“Trang! 

Kaligis terhuyung mundur dengan lengan bergetar. 

Akan tetapi manakah dua pemuda ini mau mengalah 

dan mundur? Secepat kilat dua pemuda ini menerjang lagi 

dari kiri dan kanan. Lalu terjadi lagi perkelahian sengit.


Dewi Sritanjung yang menonton sambil bersembunyi ini 

hatinya tegang. Sebenarnya ia ingin muncul lalu membantu 

gadis yang belum ia kenal itu, agar secepatnya dapat 

mengalahkan dan menangkap dua orang berdosa itu. 

Namun Dewi Sritanjung ingat kembali pesan kakeknya. 

Membantu orang yang belum kalah, bisa menimbulkan 

akibat salah paham. Dan salah-salah bisa dianggap meng-

hina atau merendahkan orang. Yang akibatnya bermaksud 

mendapat sahabat malah berbalik mendapat musuh. 

Karena itu ia tahankan hatinya, terus bersembunyi sambil 

menonton perkelahian sengit itu. 

Mendadak Dewi Sritanjung kaget dan jantungnya ber-

debar keras ketika mendengar bentakan menggeledek. 

“Berhenti! Apakah sebabnya kamu berkelahi?!” 

Suara bentakan itu menyebabkan wajah Sarindah 

berseri. Ia kenal suara kakeknya, dan diam-diam ia men-

duga, lengkingannya yang tidak sengaja tadi telah meng-

undang kakeknya. 

Sarindah melompat mundur dan membalikkan tubuh, 

kemudian tampaklah kakeknya dan Sarwiyah. 

Hadirnya Si Tangan Iblis ini menyebabkan Kaligis dan 

Sangkan kaget setengah mati. Pada saat masih ada 

kesempatan mengapa tidak lari? Maka mereka sudah 

melompat dan pergi menyelamatkan diri. 

“Berhenti!” bentak Si Tangan Iblis. 

Tetapi mereka bukannya berhenti, malah semakin 

mempercepat lannya Sarindah menjadi amat penasaran 

dan mengejar. Namun tahu-tahu berkelebatlah bayangan 

kakeknya yang mendahului. Saking takutnya, mereka 

membalikkan tubuh sambil menyerang. 

“Cring.... cring....” dua batang pedang itu terpental 

terbang oleh sentilan jari tangan Si Tangan Iblis. Sebelum 

Sangkan dan Kaligis dapat berbuat sesuatu dua orang ini 

sudah roboh terduduk dan wajah mereka pucat. 

Sarindah yang penasaran sudah menyerbu sambil 

membentak. “Hu... huu, mampuslah kamu!” 

“Cring...!” pedang Sarindah tertangkis oleh sentilan Si

Tangan Iblis dan menyeleweng. 

Pedang gadis ini memang tidak lepas dari tangan, 

namun demikian ia merasakan lengannya sakit seperti 

lumpuh mendadak. 

Sarindah menjadi tidak senang dan protes, “Kakek! 

Mengapa sebabnya engkau melarang aku membunuh 

murid durhaka ini? Semua yang terjadi adalah gara-gara 

perbuatan mereka ini. Mereka bukan saja meracun Kakek 

Julung Pujud, tetapi mereka jugalah yang membunuh 

Kakang Tanu Pada maupun Kebo Pradah... hu... hu... 

huuuu.” 

Ia memang tidak kuasa menahan perasaannya lagi dan 

menangis setelah menyebut nama Tanu Pada maupun 

Kebo Pradah. 

“Apa? Tanu Pada dan Kebo Pradah terbunuh?” Si 

Tangan Iblis kaget dan setengah tidak percaya. 

Sarwiyah cepat menghampiri Mbakyunya, lalu men-

desak, “Mbakyu, benarkah itu? Lalu siapakah pelakunya?” 

Sarindah melompat dan menggerakkan pedangnya 

untuk menikam Sangkan. Tetapi dengan tangkas Si Tangan 

Iblis sudah menangkis dengan jari telunjuk dan jari tengah, 

untuk menjepit batang pedang kemudian mendorong. 

Sebagai akibatnya gadis ini terhuyung ke belakang dan 

pedangnya lepas. 

Setelah dapat berdiri tegak lagi, Sarindah mendelik dan 

membentak, “Engkau mau mungkir ya? Kamu sudah 

membunuh Kakang Tanu Pada dan Kebo Pradah.....” 

“Ahhh….!” Sarwiyah menjerit dan wajahnya pucat 

Sekarang ia baru menyadari, Kebo Pradah yang ia cintai itu 

terbunuh mati. 

Sangkan dan Kaligis tidak membuka mulut. 

“Kamu membunuh mereka di pinggir Desa Sukorejo. 

Kamu masih mau mungkir?” Sarindah meneruskan 

tuduhannya. 

“Tidak! Aku tidak pernah melakukan itu!” bantah 

Sangkan dengan mantap dalam usaha membela diri. 

“Huh, kamu jangan coha-coba mungkir!” geram


Sarindah yang tambah penasaran. 

Tangan dan kakinya gemetar ingin sekali memukul 

remuk kepala dua orang pemuda itu, dan kakinya juga 

ingin menendang. “Kamu membunuh dua orang saudara 

seperguruanmu sendiri, di saat ditugaskan oleh Kakek, 

mencari Sentiko.” 

Sangkan tetap menggelengkan kepala dan tetap 

mungkir. “Tidak. Aku tidak berbuat!” 

Dengan wajah pucat Kaligis memandang Sangkan, 

karena mendengar keterangan Sangkan yang mengatakan 

Aku tidak berbuat. Tiba-tiba saja dalam hatinya timbul rasa 

khawatir, apabila Sangkan akan menimpakan seluruh 

kesalahan pada dirinya. 

Pemuda ini sudah akan membuka mulut dan protes, 

tetapi sudah didahului oleh bentakan Sarindah, “Bangsat 

kau! Mahisa Singkir sudah menceritakan semuanya, dan 

mungkirpun tak ada gunanya. Hayo, sekarang apakah 

masih tetap mungkir?” 

Di sebut nama Mahisa Singkir makin menjadi 

khawatirlah Kaligis, apabila Sangkan yang licik itu 

menimpakan seluruh kesalahan kepada dirinya. Karena 

khawatir tanpa pikir panjang lagi Kaligis sudah menegur. 

“Adi Sangkan, engkau ini bagaimana? Kalau Mahisa 

Singkir sudah membuka rahasia, mungkirpun tak ada 

gunanya lagi. Apakah engkau lupa bahwa waktu itu engkau 

malah membujuk aku, supaya bekerja sama membunuh 

Tanu Pada dan Kebo Pradah? 

Sangkan marah sekali dan mendelik dan dalam hati 

mengumpat caci. “Tolol! Goblog! Aku membela diri dan 

mungkir, ternyata engkau malah mencari mampus. Karena 

gara-garamu, aku bakal celaka di tangan guru. Huh, aku 

belum ingin mati. Engkau sendirilah yang harus mampus.” 

Tiba-tiba Sangkan terkekeh, “Heh... heh... heh... heh, 

mengapakah sebabnya engkau menjadi pengecut seperti 

itu, Kakang Kaligis. Huh, engkau mau menyeret aku yang 

bersalah? Engkau sendiri yang sudah melakukan 

pembunuhan, mengapa orang tidak bersalah engkau


libatkan? Hemm, sayang sekali Adi Mahisa Singkir tidak 

ada di sini. Kalau hadir, dia akan dapat kujadikan saksi, 

engkaulah yang membunuh saudara seperguruan sendiri!” 

“Sangkan!” teriak Kaligis yang kaget berbareng 

penasaran. “Engkau bilang apa? Semua adalah gara-

garamu. Malah Adi Ananto yang tergelincir ke jurang pun, 

engkau sendiri yang melakukannya....” 

“Plakk..... Aihhh.....!” 

Sarindah terhuyung, ketika kakinya yang dipergunakan 

menendang Sangkan ditangkis kaki kakeknya. Hingga 

Sarindah memekik tertahan dan meringis menahan sakit. 

“Indah, mundurlah,” bentak kakeknya. “Biarkan 

kakekmu sendiri yang mengurus soal ini. Yang salah harus 

dihukum, tetapi tidak di sini dan harus di rumah, sambil 

mendengar keterangan Mahisa Singkir sebagai saksi satu-

satunya. “Indah, engkau harus mengerti persoalan ini 

merupakan urusan rumah tangga perguruan. Karena itu 

orang luar tidak boleh mendengar dan mengerti.” 

Bentakan kakeknya ini menyebabkan Sarindah takut 

lalu mundur. Sedang Si Tangan Iblis lalu memandang ke 

arah batu besar lalu meneruskan bentakannya, “Hai! Siapa 

yang bersembunyi di belakang batu dan mendengarkan 

urusan kami? Hayo cepatlah keluar sebelum aku terpaksa 

memaksamu!” 

Dewi Sritanjung kaget setengah mati mendengar 

bentakan yang ditujukan kepada dirinya itu. Diam-diam 

gadis ini heran sekali. Sudah lama dirinya bersembunyi di 

belakang batu ini dan tidak terlihat oleh siapapun. Tetapi 

setelah kakek ini datang, tahu-tahu dirinya sudah dibentak 

dan disuruh muncul. 

Sarindah dan Sarwiyah saling pandang keheranan. 

Mereka tidak melihat seorangpun. Tetapi mengapa kakek-

nya menyuruh orang keluar dari tempat persembunyian? 

Karena kurang percaya, dua gadis ini sudah melompat ke 

arah batu besar dalam usaha membuktikan. Tetapi pada 

saat itu justru Dewi Sritanjung sudah melompat dari balik 

batu.


“Aihhh….!” hampir berbareng Sarindah dan Sarwiyah 

berseru tertahan. 

Sebaliknya Dewi Sritanjung yang berdiri dengan tenang 

ini, menyebabkan Sarindah penasaran dan menjadi marah 

Bentaknya, “Siapa engkau, berani mencuri dengar orang 

bicara?” 

Dewi Sritanjung tidak senang dibentak seperti ini dan 

mengerutkan alis. Dalam dada gadis ini timbul pula rasa 

penasaran. Kehadirannya di tempat ini bukan lain siap 

menolong gadis ini sendiri kalau terancam bahaya. Tetapi 

mengapa sekarang gadis ini tahu-tahu malah bersikap 

galak kepada dirinya? 

Sebagai gadis yang baru saja terjun ke dunia 

masyarakat, tentu saja menjadi tersinggung dan tidak 

senang. Beginikah sikap orang kepada dirinya yang tidak 

bersalah? Sebagai seorang gadis yang belum mengenal 

tata hidup dan tata kesopanan masyarakat, tentu saja 

kurang dapat menguasai sikap dan bahasa dalam 

menjawab pertanyaan orang. 

Gadis ini hanya merasa dirinya tidak bersalah, maka 

jawabnya angkuh, “Huh, siapa yang melarang aku berada 

di belakang batu itu? Aku sudah lebih dahulu di belakang 

batu itu dibanding kalian semua. Dan aku juga tidak 

mempunyai kepentingan dengan apa yang sekarang kamu 

bicarakan. Apakah gunanya aku harus mencuri dengar 

pembicaraanmu? Huh, entah urusanmu penting atau tidak, 

pendeknya aku tidak membutuhkan!” 

Celakanya Dewi Sritanjung sekarang ini berhadapan 

dengan Sarindah, seorang gadis berangasan. Jawaban 

yang angkuh ini menyebabkan Sarindah tambah 

penasaran. 

“Kurangajar engkau!” bentaknya. “Kurangajar kau! 

Orang sudah bersalah tidak mau minta maaf, malah 

lagaknya angkuh. Tahukah engkau, siapa kami?” 

Dewi Sritanjung dengan sikap yang polos menggeleng. 

“Tak tahu! Engkau keliru, jika mengatakan aku bersalah. 

Aku sudah lebih dahulu datang di sini dan kamu datang


belakangan, dan kemudian membuat keributan di sini. 

Hemm, engkau yang mengganggu aku di saat istirahat, 

mestinya malah engkaulah yang minta maaf kepadaku 

dan bukan aku.” 

Melihat munculnya Dewi Sritanjung ini, Kaligis dan 

Sangkan kaget sekali. Namun di balik itu tiba saja Sangkan 

memperoleh pikiran bagus dan ingin membalas dendam. Ia 

akan menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Rasa 

penasaran dan dengki kepada gadis itu campur aduk 

dalam dadanya. Sebab gadis itu yang membuat dirinya 

tergila-gila, yang semula dikira gadis lemah, ternyata malah 

menyebabkan dirinya malu. 

‘Jangan percaya omongan siluman perempuan itu, Adi 

Indah!” teriaknya lantang. “Dia datang di sini dan mencuri 

dengan pembicaraan kita, tentu mengandung maksud 

tidak baik. Buktinya, siluman perempuan itu tadi sudah 

berusaha membujuk Kakang Kaligis, supaya bersedia 

membocorkan rahasia perguruan. Dan ketika aku dan 

Kakang Kaligis menolak, dia marah lalu menggunakan 

kekerasan. Sudah tentu kami tak sampai hati berhadapan 

dengan perempuan. Kami mengalah dan memilih 

melarikan diri. Lalu secara tidak terduga bertemu dengan 

engkau di sini!” 

Dewi Sritanjung mendelik marah mendengar ucapan 

orang yang memutarbalikkan kenyataan itu. Teriaknya. 

“Keparat kau! Huh, kau jangan mengumbar mulut 

sembarangan. Siapa yang butuh rahasia perguruanmu?” 

“Huh, kamu manusia tidak tahu malu, siapa yang tadi lari 

terbirit-birit setelah kalah berkelahi melawan aku? 

Berdirilah sekarang! Keroyoklah! Mana aku takut 

menghadapi kamu dua orang bangsat itu?” 

Mendengar ucapan gadis berbaju biru muda ini. Si 

Tangan Iblis memandang dengan mata berapi tanda 

marah. Gadis ini demikian sombong dan di depannya 

berani menantang dua orang muridnya agar mengeroyok. 

Manakah ada seorang guru tidak merasa terhina oleh 

ucapan orang lain yang demikian takabur? Sebab



menantang muridnya sama pula menantang gurunya. 

Dalam marahnya Si Tangan Iblis menjadi lupa 

kedudukannya sebagai seorang kakek. 

“Bocah! Siapakah kau!” bentaknva tiba-tiba. 

Karena pengalamannya yang tadi hampir celaka di 

tangan Sangkan dan Kaligis, sekarang gadis ini hati-hati. 

Huh, apakah gunanya nama ku perkenalkan? Sekalipun 

engkau mengerti, juga tidak ada gunanya. 

Baik Si Tangan Iblis, Sarindah maupun Sarwiyah marah 

kepada gadis ini dan mereka menganggap terlalu angkuh 

dan sombong. Tetapi sebelum Sarindah sempat mem-

bentak, telah didahului oleh teriakan Sangkan. 

“Guru! Perempuan itu mempunyai hubungan dekat 

dengan Gajah Mada!” 

Si Tangan Iblis membalikkan tubuh dan memandang 

Sangkan. Bentaknya. “Apa?” 

“Guru! Manakah murid berani berdusta kepada guru? Di 

Nganjuk, dia mengatakan mau pergi ke Majapahit, dan 

untuk bertemu dengan Gajah Mada. Itulah sebabnya murid 

bersama Kakang Kaligis tadi berusaha menangkap dia. 

Tetapi.....murid......gagal....” 

“Apakah sebabnya gagal?” desak Sarindah. “Karena.... 

sekalipun sudah mengeroyok dua…tetap saja kalah.....” 

“Huh ... murid memalukan!” Sarindah penasaran. “Kek, 

kalau benar gadis ini mempunyai hubungan dekat dengan 

Gajah Mada, biarkanlah aku yang menangkap. Siapa tahu, 

Kek, gadis ini dapat kita jadikan sandera sehubungan 

dengan cita-cita kita?” 

“Baiklah Indah, tetapi kau harus berhati-hati.” 

Sulit dilukiskan betapa kaget dan gentar hati Dewi 

Sritanjung saat ini. Diam-diam ia menyesal, mengapa diri-

nya begitu sembrono, sehingga dirinya berhadapan dengan 

bahaya? 

Di samping ia menyesal akan kelancangannya, dalam 

hati gadis ini juga timbul rasa heran. Mengapa sebabnva 

Mahapatih Gajah Mada dimusuhi oleh guru dan murid ini? 

Kalau demikian apakah Mahapatih Gajah Mada seorang



jahat, sehingga dimusuhi banyak orang? 

Sebagai seorang gadis yang masih hijau dalam per-

gaulan dan sama sekali belum mempunyai pengetahuan 

akan faedahnya membohong dan menipu orang guna 

menyelamatkan diri dan membela kepentingannya, maka 

gadis ini jawabannya lugu. 

“Huh, huh, kamu ini manusia-manusia macam apa? 

Begitu bertemu dengan orang sudah memusuhi aku. Kalau 

benar aku mempunyai hubungan dengan Mahapatih Gajah 

Mada, apakah salahnya?” 

“Kami akan membunuh engkau,” bentak Sarindah yang 

berangasan. 

Sambil membentak, Sarindah sudah menerjang ke 

depan, menggerakkan dua tangannya. Tangan kanan 

dengan jari telunjuk, sedangkan jari lain ditekuk untuk 

menusuk mata orang dan untuk tangan kiri dengan jari ter-

buka membentuk cakar garuda mencengkeram ulu hati. 

Akan tetapi serangan tersebut sebelum sampai ke 

sasaran sudah berubah. Sekarang menjadi pukulan ke 

dada, sedang tangan kiri menyusul mencengkeram ke arah 

kepala. Gerakan gadis ini cukup cepat. Namun Dewi 

Sritanjung tidak menjadi gentar. Ia menggeser kaki 

setengah lingkaran dan kaki kanan mundur dengan 

setengah langkah. Lalu disusul tangannya bergerak seperti 

kilat memukul pundak lawan. 

Untung Sarindah waspada, menarik tangan yang kanan 

guna menangkis. 

“Plaaakkk.....Aih.....!” 

Sarindah berseru tertahan, ketika tangannya ber-

benturan. Bukan saja tubuhnya terdorong sehingga ter-

huyung, tetapi juga merasakan lengannya panas dan 

kesemutan. 

Dewi Sritanjung menjadi penasaran merasa dimusuhi 

orang. Ia cepat menerjang ke depan tanpa memberi 

kesempatan lawan bernapas. Gerakannya cepat tidak 

terduga dan tahu-tahu.... “Bukkk....!” 

“Aduhhh....!”


Sarindah sudah tertendang pantatnya sekalipun sudah 

berusaha menghindar dan menangkis. Sarindah menjerit 

kesakitan, lalu terhuyung-huyung hampir roboh. Dewi 

Sritanjung sudah menyerbu dengan maksud untuk 

secepatnya dapat mengalahkan lawan. 

“Plakk....!” Pukulannya sudah tertangkis. 

Namun Sarwiyah yang menolong mbakyunya dengan 

menangkis pukulan Dewi Sritanjung itu meringis kesakitan 

dan terhuyung mundur. 

“Bagus! Kamu mau mengeroyok?” desisnya. 

Kemudian tubuhnya sudah berkelebat seperti kilat 

menyambar, menghujani serangan kepada dua gadis itu. 

Angin yang halus keluar dari telapak tangannya 

menyambar-nyambar ke arah lawan, menyebabkan 

Sarindah dan Sarwiyah gelagapan kaget, karena dada 

mereka seperti ditindih batu berat. 

Si Tangan Iblis yang memperhatikan heran bukan main. 

“Murid siapakah bocah ini? Masih amat muda, tetapi 

sungguh luar biasa.” Kalau dua orang cucunya yang sudah 

mempunyai ilmu lebih tinggi dari saudara-saudara seper-

guruannya saja kesulitan melawan, apalagi Sangkan dan 

Kaligis. Kakek ini mengamati penuh perhatian. Ia ingin 

mengenal ciri-ciri gerakan gadis itu, sehingga dengan tepat 

akan dapat menebak, siapakah guru gadis ini ? 

Akan tetapi Si Tangan Iblis semakin tambah keheranan. 

Telah lama ia mengamati gerakan gadis ini, belum juga 

dapat meraba asal usul ilmu gadis ini. Gerakannya cepat 

bukan main disamping setiap gerakannya berisi tenaga 

kilat yang tidak tampak. 

Dewi Sritanjung menjadi penasaran merasa dimusuhi 

orang. Ia cepat menerjang ke depan tanpa memberi 

kesempatan lawan bernapas. Gerakannya cepat tidak 

terduga dan tahu-tahu.... “bukkk....! 

Makin lama kakek ini menjadi tambah heran. Ia sudah 

mendidik cucunya sejak masih kecil dengan gemblengan 

keras. Tetapi mengapa dalam hal kecepatan bergerak 

maupun tenaga, dua cucunya masih belum dapat

memadai? Ia menjadi penasaran. Namun perasaan itu 

masih ditahan dalam dada. Kalau ternyata dua orang 

cucunya tidak mampu mengalahkan dan menangkap gadis 

itu, barulah ia mempunyai alasan kuat untuk bertindak 

sendiri. 

***


3


Perkelahian satu lawan dua ini makin lama menjadi 

semakin sengit. Lebih-lebih Sarindah dan Sarwiyah 

didorong oleh rasa penasaran, menyebabkan kakak 

beradik ini mengerahkan seluruh kepandaian yang mereka 

miliki. Serangannya ganas dan menyambar-nyambar, 

pukulannya bertubi-tubi mengarah bagian tubuh lawan 

yang mematikan. Akan tetapi yang menggemaskan, semua 

serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Bagi kakak 

beradik ini gerakan Dewi Sritanjung teramat cepat di 

samping aneh, sehingga tidak berhasil menyentuh ujung 

bajunya. 

Dewi Sritanjung melawan keroyokan ini dengan hati 

mantap dan tanpa rasa gentar sedikit pun. Makin lama 

berkelahi, peredaran darah dalam tubuhnya makin tambah 

lancar, dan hawa sakti dalam tubuh menyebar sendiri 

tanpa ia gerakkan, dan gerakannya menjadi semakin luwes 

dan berbahaya, di samping juga tidak merasakan lelah. 

Gadis ini masih tetap dalam keadaan segar, scbaliknya 

Sarindah dan Sarwiyah dadanya sesak hampir kehabisan 

napas, peluh sudah membanjir membasahi tubuh. 

Sarindah yang berangasan menjadi tidak telaten lagi. 

“Wiyah! teriaknya. Mari kita gunakan pedang!” 

“Sring! Sring...!” Dua leret sinar putih sudah menyambar 

tubuh lawan. 

Tetapi Dewi Sritanjung menghindari serangan ini dengan 

mantap, sekalipun masih tetap bertangan kosong. Untung 

sekali gadis ini ketika berhadapan dengan Kaligis dan 

Sangkan, ia amat memperhatikan gerak serangan lawan. 

Maka sedikit banyak ia sudah mengenal ilmu pedang 

lawan. 

Namun diam-diam timbul pula rasa heran dalam hati


gadis ini. Ternyata walaupun gerakannya serupa tetapi 

lawan ini gerakannya lebih cepat dan lebih bertenaga. 

Sekalipun demikian gadis ini dapat menghadapi serangan 

bertubi-tubi tanpa kesulitan. Ilmu tangan kosong yang 

bernama “Sindung Riwut” ternyata menolong dirinya dari 

ancaman bahaya. 

Dewi Sritanjung tidak sadar sama sekali, bukan hanya 

ilmu ajaran gurunya saja yang menolong dirinya. Gadis ini 

tidak sadar, bahwa di samping ilmu tangan kosong ini 

merupakan kesaktian tingkat tinggi, juga air susu harimau 

yang menghidupi dirinya ketika bayi itu amat besar 

pengaruhnya bagi dirinya. Air susu harimau yang memberi 

hidup pada saat dirinya masih bayi, pengaruhnya 

mempunyai tubuh yang kuat luar biasa. 

“Cring! Cring....! sentilan jari tangannya menyebabkan 

dua pedang itu terpental dan menyeleweng. Kemudian 

disusul oleh gerak tangan dan kaki menyerang, 

menyebabkan dua gadis itu meloncat untuk meng-

hindarkan diri dari serangan, sambil meringis karena 

lengannya bergetar hebat. 

Sarindah tambah penasaran, lawannya belum juga 

mencabut pedang, Teriaknya, “Cabutlah senjatamu! 

Apakah engkau memang ingin mampus?” 

“Tangan dan kakiku masih sanggup menghadapi engkau 

berdua,” sahut Dewi Sritanjung dingin. 

“Hiaaaattt...!” lengking Sarindah yang sudah menerjang 

maju menyabatkan pedangnya ke arah leher. Kemudian 

diikuti oleh gerakan Sarwiyah yang menyerang bagian 

bawah. 

Tetapi walanpun serangan dua orang gadis ini demikian 

cepat, Dewi Sritanjung dapat bergerak lebih cepat lagi. 

“Trang....!” kakak beradik ini kaget dan pucat. Secara 

tidak terduga pedang mereka berbenturan lawan. Tadi 

Sarindah hanya merasa, pedangnya disentil lawan dan ia 

sudah berusaha menahan gerak tangannya namun tidak 

juga berhasil, sehingga sabatannya yang luput malah 

mengarah Sarwiyah dan ditangkis.


Celakanya dua orang gadis ini seperti tidak merasakan 

lengannya bergetar. Mereka sudah kembali menerjang 

dengan serangan maut. Pendeknya mereka harus dapat 

membunuh gadis ini kalau tidak dapat menangkap. 

Si Tangan Iblis terbelalak heran. Sungguh sulit dipercaya 

dua orang cucunya itu mengeroyok, tidak juga dapat 

mengalahkan lawan yang lebih muda dan hanya bertangan 

kosong. Sungguh hal ini merupakan tamparan hebat bagi 

dirinya, murid-muridnya belum pantas muncul di depan 

umum dan membanggakan kepandaiannya. 

Dari heran kakek ini menjadi penasaran dan jengkel. 

Sebab, sulit diharapkan dua orang cucunya ini dapat 

mengatasi gadis muda itu. Ia menjadi tidak telaten lagi 

harus menunggu. 

“Indah! Wiyah!” teriaknya. “Mundurlah. Biar kakekmu 

yang menangkap bocah sombong itu!” 

Perintah kakeknya ini diam-diam menyebabkan kakak 

beradik ini tidak senang. Dada mereka sudah sesak, peluh 

sudah membanjir rnembasahi tubuh seperti mandi, dan 

tenaga mereka juga sudah hampir habis. Maka setelah 

mereka menyerang berbareng dengan serangan berantai, 

kemudian mereka melompat meninggalkan gelanggang. 

Dan kedudukan mereka sekarang sudah diganti oleh kakek 

itu. 

“Bocah! Engkau jangan jual lagak dan sombong di 

depanku!” hardiknya. 

“Siapakah yang jual lagak dan sombong?” sahut gadis 

ini tanpa gentar. “Aku tidak ingin bermusuhan dengan 

siapapun. Tetapi engkau sendiri yang sudah memaksa 

memusuhi aku.” 

Sepasang mata Si Tangan Iblis mendelik mendengar 

jawaban itu. Ia merasa tersinggung. Sebab memang 

demikianlah kenyataannya, ia yang memaksa gadis ini 

supaya menuntut untuk ditangkap. Namun sebagai 

seorang kakek, tentu saja Si Tangan Iblis merasa malu 

harus menghadapi gadis muda ini. 

Karena itu Si Tangan Iblis berusaha menyabarkan diri


lalu berkata, “Bocah! Apabila engkau tidak mempunyai 

hubungan dengan Gajah Mada, tentu aku tidak memusuhi. 

Karena itu sebelum aku menggunakan kekerasan, 

menyerahlah engkau, aku jadikan sandra.” 

Sepasang mata gadis ini menyala. Jawabnya lantang, 

“Apakah salahnva orang mempunyai hubungan dengan 

Gajah Mada? Orang yang berani memusuhi beliau berarti 

pemberontak?” 

“Kurangajar kau!” bentak Sarindah lantang penuh 

emosi, “Siapakah yang mau memberontak? Kami 

memusuhi Gajah Mada karena dia jahat. Tahukah engkau 

bahwa Gajah Mada berdosa kepada kami, karena sudah 

membunuh orang tuaku?” 

Mendengar bentakan Sarindah yang menyebutkan 

Gajah Mada sudah membunuh orang tua Sarindah, tentu 

saja Sritanjung terbelalak. Dirinya sendiri sejak kecil belum 

pernah kenal siapa ayah bundanya. Ia amat merindukan 

kasih sayang ayah dan ibu. Maka kalau benar orang tua 

gadis ini sudah dibunuh Gajah Mada betapa menyesal dan 

sedihnya. Dan kalau demikian, apakah Gajah Mada itu 

jahat? 

Namun dugaannya itu cepat bantah sendiri. Manakah 

mungkin raja memilih orang jahat menjadi pembantunya 

dan menguasai seluruh negeri? Bukankah ini hanya fitnah 

saja? Teringatlah ia kemudian akan peristiwa yang baru 

saja terjadi. Kalau setiap orang gampang saja memfitnah 

orang lain, tentunya untuk memfitnah Mahapatih Gajah 

Mada juga tidak sulit. 

Berdasarkan apa yang tadi ia dengar, maka Dewi 

Sritanjung mendelik marah. Dampratnya, “Engkau sendiri 

yang kurangajar dan lancang mulut. Huh, mulutmupun 

patut dihajar. Siapakah yang mau percaya omong 

kosongmu itu? Tentu kau sudah memfitnah nama baik 

Mahapatih Gajah Mada.” 

Si Tangan Iblis tidak telaten lagi harus bertengkar mulut. 

Maka sambil mendelik bentaknya, “Bocah! Menyerahlah 

sebelum aku turun tangan.”


“Hemm,” Dewi Sritanjung mendengus dingin. “Aku tidak 

bersalah, mengapa aku harus menyerah kau tangkap dan 

harus menuruti kehendakmu?” 

“Huh, engkau berani menentang perintah Si Tangan 

Iblis?” 

“Aku tidak menentang Tangan Gendruwo atau Kaki 

Banaspati. Aku tidak menentang siapapun. Akan tetapi 

sebaliknya aku tentu membela diri jika orang bermaksud 

jahat kepadaku.” 

“Heh... heh... heh... heh,” Si Tangan Iblis terkekeh saking 

penasaran. “Lekas cabut pedangmu, yang kemudian 

menyebabkan engkau menjadi sesombong ini?” 

Akan tetapi Dewi Sritanjung selalu ingat akan pesan 

kakeknya, tidak boleh sembrono menggunakan pedang 

pusaka Tunggul Wulung apabila tidak terancam bahaya 

benar-benar. “Huh untuk apa senjata? Tangan dan kakiku 

masih cukup mampu menghadapi kau.” 

Hampir meledak dada Si Tangan Iblis saking marah, 

mendengar jawaban yang takabur ini. Sungguh sulit ia 

percaya, gadis ini akan melawan dirinya dengan tangan 

kosong. 

Bocah! bentaknya sambil mendelik. “Engkau terlalu 

sombong. Tetapi baiklah, lekas bersiap diri menghadapi 

seranganku. Apabila engkau sanggup melawan aku sampai 

lima belas jurus saja, engkau boleh pergi dan tak kuganggu 

lagi.” 

“Limabelas jurus? Apakah ucapanmu ini dapat aku 

jadikan pegangan?” 

“Kurangajar kau!” bentak Si Tangan Iblis menggeledek. 

“Aku seorang tua. Sekali bicara takkan mungkin kucabut 

kembali. Engkau akan aku bebaskan dan tidak kuganggu 

lagi, apabila sanggup melawan aku sampai lima belas jurus 

saja.” 

Janji itu tentu saja amat menggembirakan Dewi 

Sritanjung. Bagaimanapun pula ia merupakan orang baru 

di dalam masyarakat. Kemenangannya yang dua kali 

berturut-turut itu belum juga dapat dijadikan ukuran bahwa


dirinya sudah mampu menghadapi bahaya. Maka bagai-

manapun ia agak gentar juga menghadapi kakek ini. 

Akan tetapi kakek ini sudah berjanji sendiri. Bukankah 

apabila dirinya dalam lima belas jurus belum dapat ia 

kalahkan, berarti dirinya bebas? Diam-diam ia berjanji 

kepada dirinya sendiri akan berhati-hati. Sedikit banyak ia 

sudah mengenal ilmu tatakelahi murid-muridnya. Maka 

kiranya takkan begitu jauh perbedaannya dengan apa yang 

akan dipergunakan oleh kakek itu. 

Sama sekali tidak disadari oleh gadis ini, sekalipun 

ilmunya serupa, tetapi digunakan oleh murid dan gurunya, 

tentu berbeda jauh sekali. Ilmu tatakelahi di dunia ini, 

sekalipun bermacam-macam gaya dan nama pada dasar-

nya memang hampir sama. 

Meskipun demikian keampuhan ilmu bukanlah terletak 

pada ilmu itu sendiri. Sebab kecerdasan pengalaman dan 

latihan maupun hawa sakti dalam tubuh memegang 

peranan menentukan dalam setiap perkelahian. Karena 

dari setiap gerak serangan maupun tangkisannya, akan 

mengundang tenaga tidak tampak, sesuai dengan tingkat 

kemahiran orang itu sendiri. 

Dan tanpa ragu sedikitpun, Dewi Sritanjung sudah 

melesat ke depan. Ia langsung menyerang bagian atas 

kakek itu. Terbelalak juga kakek ini melihat kecepatan 

gerak gadis muda ini, sekalipun ia tadi sudah memperhati-

kan cukup lama. Sehingga diam-diam kakek ini sudah 

dapat mengenal ilmu gadis ini sekalipun baru serba sedikit. 

Si Tangan Iblis tidak bergerak dari tempatnya berdiri. 

Ketika tangan Dewi Sritanjung sudah hampir menyentuh 

tubuhnya, barulah kakek ini mengebutkan tangan kiri 

disusul gerakan tangan kanan yang seperti kilat cepatnya 

menyambar pergelangan tangan gadis ini. 

“Wut wut..... Aiihhh......!” 

Si Tangan Iblis berseru tertahan sambil menarik kembali 

tangannya lalu berjungkir balik ke samping. 

Kalau saja Dewi Sritanjung tidak dapat bergerak segesit 

burung walet tentu sekali gebrak sudah tertangkap dan


tidak dapat berkutik lagi. Ia tadi gembira melihat lawan 

tidak bergerak. Tetapi ketika tangan kakek itu mengebut ia 

menjadi kaget. Dadanya seperti tertindih oleh batu sebesar 

gajah disamping pula menyambar hawa panas sekali, 

hingga dirinya sesak napas. Belum juga hilang rasa 

kagetnya, tangannya sudah hampir tertangkap si kakek. 

Saking gugupnya ia sudah membanting diri ke samping lalu 

berjungkir balik. 

“Heh... heh... heh... heh... heh,” Si Tangan Iblis terkekeh. 

“Hanya seperti itu kepandaianmu sudah berani jual lagak 

dan sombong di depan Si Tangan Iblis.” 

Dewi Sritanjung mendelik marah, tetapi tidak membuka 

mulut. Apa yang baru saja terjadi menyebabkan gadis ini 

sadar dan tidak boleh sembrono lagi. Sambaran tangan 

yang menyebabkan dadanya seperti tertindih batu, 

membuktikan kakek ini seorang tokoh sakti. Dan walaupun 

sambaran tangannya jauh kalah kuat dibanding dengan 

gurunya, namun bagi dirinya merupakan ancaman bahaya 

pula. 

Sambil menguatkan hati gadis ini sudah kembali 

melesat ke depan melakukan serangan lagi. Tetapi sambil 

menyerang ini ia sudah waspada. Ia harus menggunakan 

kecepatan gerakannya. Dan sebagai seorang gadis yang 

tidak tolol, ia tahu bahwa dalam melayani kakek ini tidak 

perlu bernafsu untuk mengalahkan. Yang penting asal 

dirinya dapat menjaga diri tidak roboh oleh lawan dalam 

waktu lima belas jurus. Apabila dirinya dapat melayani 

sampai lima belas jurus sesuai dengan perjanjian, dirinya 

bebas. Dan ia percaya apabila dia menggunakan 

kecepatannya bergerak, kiranya akan dapat bertahan lebih 

dari lima belas jurus. 

“Wut! Wut.!” Sambaran tangan kakek itu berusaha 

menangkap lengan Dewi Sritanjung lagi. Kemudian ketika 

tangannya bergerak mendorong, sambaran anginnya 

mengenai tempat kosong. Si Tangan Iblis keheranan ketika 

lawannya lenyap dari depan matanya. Tetapi tiba-tiba ia 

merasakan angin pukulan menyambar dari belakang.


Tanpa memutarkan tubuhnya, ia membalikkan tangannya 

ke belakang punggung untuk menangkis. 

“Plak.... Aihhh.....!” 

Gadis ini kaget sekali ketika merasakan lengannya 

tergetar hebat sekali, ketika pukulannya bertemu dengan 

langan lawan. Guna mematahkan tenaga lawan ia sudah 

berjungkir balik beberapa kali, kemudian gadis ini sudah 

berdiri tegak lagi dan siap siaga. 

Si Tangan Iblis terbelalak tangkisannya tidak menyebab-

kan gadis ini roboh. Anak setankah bocah ini? Kakek ini 

hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. 

Apakah tubuh bocah ini kerasnya melebihi batu? 

Dari heran kakek ini menjadi marah. Tiba-tiba Si Tangan 

Iblis menggeram lalu tubuhnya melesat ke depan 

menyerang. Sepuluh jari tangannya dikembangkan. Kuku-

nya yang panjang dan runcing membentuk cengkeraman 

dan sulit dibayangkan akibatnya apabila tercengkeram. 

Sedikitnya kulit akan robek dan sebagian dagingnya akan 

terpisah dari tubuh. 

Akan tetapi Dewi Sritanjung tidak gentar dan ia percaya 

kegesitannya bergerak. Dan dalam pada itu, pengalaman-

nya berbenturan tangan tadi hanya menyebabkan lengan-

nya kesemutan, menyebabkan gadis ini menjadi mantap 

dan besar hati. Membuktikan bahwa tangannya cukup kuat 

menghadapi lawan tua ini, sekalipun dalam hal tenaga 

sakti masih jauh ketinggalan. 

Perkelahian antara gadis muda dengan kakek ini be-

rlangsung cepat. Angin pukulan Si Tangan Iblis menyambar-

nyambar, tetapi dengan kecepatannya bergerak, Dewi 

Sritanjung dapat menghindarkan diri, sehingga pukulan 

kakek itu tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Dan 

saking cepatnya bergerak lenyaplah bayangan tubuh gadis 

ini dan yang tampak tinggal segulung warna biru muda 

yang bekelebat ke sana dan kemari. 

Dalam waktu singkat lima jurus sudah dilewati. Pukulan 

Si Tangan Iblis tidak juga berhasil menyebabkan gadis ini 

roboh. Hal ini di samping menyebabkan Si Tangan Iblis


keheranan juga menimbulkan penasaran. Akibatnya kakek 

ini menjadi lupa kedudukannya sebagai orang tua. Ia terus 

menghujani serangan berbahaya, sehingga angin yang kuat 

semakin melanda dalam gelanggang. 

Sarindah dan Sarwiyah yang menonton terbelalak. Mata 

dua gadis ini tidak berkedip dan hatinya tegang. Pantas 

saja mereka tadi mengeroyok dan menggunakan pedang, 

tidak juga berhasil mengalahkan gadis yang bertangan 

kosong itu, terbuktilah sekarang gadis yang lebih muda itu 

bukan gadis sembarangan. 

Memperoleh bukti bahwa kepandaian mereka berdua 

masih di bawah gadis baju biru muda itu, berkuranglah 

rasa malu dan penasaran mereka. Mereka berdiri tanpa 

bergerak dan perhatian mereka tercurah di gelanggang. 

Mereka berharap agar kakek mereka cepat dapat 

mengalahkan dan menangkap gadis itu, sehingga 

kemudian dapat menghina gadis itu. 

Saking asyik memperhatikan perkelahian yang berl-

angsung sengit itu. Sarindah maupun Sarwiyah menjadi 

lengah. Mereka menjadi lupa kepada Sangkan dan Kaligis. 

Dua orang pemuda itu menggunakan kesempatan disaat 

orang lengah, diam-diam dan dengan gerakan hati-hati 

sudah pergi meninggalkan tempat itu. 

Sarwiyah teringat kepada Sangkan dan Kaligis sudah 

terlambat. 

“Celaka! Dua bangsat itu sudah minggat!” ujarnya. 

Sarindah kaget dan cepat memandang ke arah Sangkan 

dan Kaligis tadi duduk. Dua orang gadis ini kemudian me-

lompat hampir berbareng, lalu berlarian mengejar ke arah 

barat. Tetapi betapa kecewa dua gadis ini, setelah mencari 

ke sana dan kemari, dua pemuda itu tidak tampak lagi 

batang hidung dan bayangannya. Maka pada akhirnya 

dengan hati masygul, dua gadis ini kembali lagi ke tempat 

perkelahian. 

Ketika itu sepuluh jurus sudah lewat. Perkelahian cepat 

sekali dan angin yang kuat menyambar sekitarnya. 

Sarindah berteriak kepada kakeknya, “Kek, celaka!

P

Sangkan dan Kaligis melarikan diri!” 

Si Tangan Iblis tidak menyahut. Tetapi rasa marahnva 

semakin menjadi-jadi kepada gadis muda yang ulet ini. 

Karena gara-gara bocah inilah dua orang muridnya yang 

sudah tertangkap dan tinggal memberi hukuman, sekarang 

dapat melarikan diri. 

Memang semula kakek ini berkeyakinan, dalam dua 

gebrakan saja bocah ini tentu dapat ia kalahkan. Namun 

ternyata sekarang, sepuluh jurus sudah lewat, harapannya 

belum terwujud. 

Gadis ini ternyata masih dapat memberi perlawanan 

baik sekali dan gerak cepatnya tidak juga berkurang, 

sekalipun ia sudah berusaha menekan lawan muda ini 

dengan kebutan dan dorongan bertenaga. Seakan 

pengaruh tenaganya begitu saja lenyap dan gadis ini masih 

tetap segar serta kecepatannva geraknya juga tidak 

berkurang. 

Maka kakek ini berapi-api sambil terus bergerak dalam 

usahanya mengalahkan gadis ini. Maka timbullah niatnya 

sekarang untuk mengerahkan tenaga saktinya agar dapat 

membuat gadis ini tidak berkutik lagi. Maka sambaran 

kebutan dan pukulannya makin bertambah kuat dan angin 

yang dahsyat menyambar-nyambar. 

Dewi Sritanjung kaget juga merasakan sambaran 

pukulan lawan terasa semakin kuat dan menyebabkan 

dada sesak. Akan tetapi Dewi Sritanjung terus berusaha 

mempertahankan diri dan berusaha pula menahan 

pengaruh tenaga lawan yang menekan itu. Celakanya 

sekalipun sudah berusaha keras untuk bertahan, tidak 

urung gadis ini terengah-engah disamping peluh mulai 

membasahi sekujur tubuh. 

Tiba-tiba Dewi Sritanjung berseru nyaring, “Sudah lima 

belas jurus!” 

Sambil berkata gadis ini sudah melompat jauh dan 

menghindarkan diri dari pukulan kakek itu. Lalu 

sambungnya, “Sekarang aku mau pergi dan jangan ganggu 

aku lagi.”


“Berhenti!” teriak Si Tangan Iblis menggeledek. 

Pengaruhnya kuat sekali sehingga Dewi Sritanjung yang 

lari, berhenti dan membalikkan tubuh. 

“Ada apa lagi? Bukankah kau sendiri sudah berjanji 

takkan mengganggu lagi?” 

“Huh huh, enak saja engkau bicara!” bentak Si Tangan 

Iblis. “Janji itu sudah aku cabut! Jika engkau tetap keras 

kepala, jangan sesalkan aku kalau aku menggunakan 

tangan maut.” 

Sepasang mata gadis ini merah menyala. Kakek itu 

sendiri yang sudah berjanji, tetapi mengapa tiba-tiba di-

cabut sendiri tanpa malu sedikitpun? 

Akan tetapi Si Tangan Iblis tidak memberi kesempatan 

kepada gadis ini membuka mulut. Kakek ini sudah 

menerjang maju dengan gerakan menubruk dan men-

cengkeram. 

Diam-diam Dewi Sritanjung amat khawatir, dan ia sadar 

sekali ini harus hati-hati di samping tidak mungkin dirinya 

harus bertahan hanya dengan kosong. Tadi ia memang ber-

harap agar dapat bertahan dalam lima belas jurus dan 

dirinya bisa bebas. Maka yang penting asal dirinya dapat 

bertahan selama lima belas jurus itu sudah cukup. 

Sebaliknya sekarang terus bertahan akibatnya hanya 

bakal merugikan diri sendiri, karena perkelahian tanpa 

batas dan tanpa dapat membalas, dirinya sendiri yang 

akan kehabisan tenaga. 

Merasa dirinya tak mungkin dapat bertahan lagi ini, 

maka tiba-tiba sring.... 

Seleret sinar biru menyambar ketika pedang pusaka 

“Tunggul Wulung" yang ia sembunyikan di dalam baju itu ia 

cabut dari sarungnya. Katanya dingin, “Hemm, engkau 

terlalu memaksa aku. Siapa takut?” 

Si Tangan Iblis terbelalak melihat pedang yang 

mengeluarkan sinar biru itu. Sebagai seorang tokoh yang 

sudah luas pengalaman sekali pandang sudah dapat mem-

bedakan mana pedang baik dan mana pedang tidak baik. 

“Pedang bagus! Serahkan padaku!” teriak kakek ini yang


amat ingin. 

Sarindah dan Sarwiyah pun melihat sebatang pedang 

yang mengeluarkan sinar biru itu. Maka dua gadis inipun 

menjadi ngiler dan ingin sekali memiliki. Karena pedang 

pusaka tentu akan banyak kegunaannya. 

“Kek, rampaslah pedang itu dan berikan padaku.” teriak 

Sarindah yaug menjadi tidak sabar, begitu melihat pedang 

pusaka bagus itu. 

Dewi Sritanjung tersenyum dingin. Gadis ini tidak gentar 

sedikitpun, walaupun berhadapan dengan maut. Sahutnya, 

“Hemm, senjata bagi seorang gagah sama harganya 

dengan nyawa. Engkau dapat memiliki pedang pusaka 

Tunggul Wulung ini, setelah dapat melangkahi mayatku!” 

“Bagus! Apakah sulitnya membunuh kau?!” Si Tangan 

Iblis merendahkan. 

“Makanlah!” bentak Sritanjung sambil menerjang ke 

depan. Seleret sinar biru yang panjang menyambar ke 

depan. Kemudian sudah berubah menjadi gulungan sinar 

yang tidak pemah putus, membentuk lingkaran besar dan 

kecil, cepat sekali menyambar di sekitar tubuh Si Tangan 

Iblis. 

Si Tangan Iblis kaget juga menghadapi sambaran sinar 

pedang yang cepat dan berbahaya itu, disamping sulit 

diduga arah serangannya. Si Tangan Iblis sadar pedang 

pusaka seperti itu tajam luar biasa. Maka dirinya tidak 

boleh sembrono menghadapinya. 

Karena itu ia tidak berani menggunakan jari tangannya 

untuk menyentil, karena takut meleset dan jari tangannya 

bisa menjadi korban. Maka terpaksa dalam usaha meng-

halau pedang gadis ini, ia menggunakan telapak tangan 

mengebut sambil mencari kesempatan untuk menerkam 

pergelangan tangan lawan untuk merebut pedang. 

Akan tetapi gerakan pedang Dewi Sritanjung cepat 

bukan main. Lingkaran-lingkaran pedangnya yang ber-

bentuk kecil dan besar itu ternyata mengandung tenaga 

tersembunyi. Ketika tangan kakek itu memberanikan diri 

masuk dalam lingkaran sinar pedang, kakek itu berteriak


“Aihhhh.....!” 

Secepat kilat Si Tangan Iblis menarik kembali tangan-

nya, namun sayang, terlambat. Bret, lengan bajunya robek 

oleh tajamnya pedang. 

Si Tangan Iblis marah bukan main. Ia terkenal dengan 

julukan Si Tangan Iblis bukan saja tangannya ganas 

menghadapi lawan, tetapi juga karena kecepatan gerak 

tangannya. Saking cepat gerak tangan kakek ini maka 

orang memberi julukan Si Tangan Iblis. 

Namun sekarang ternyata gerak cepat tangannya 

ketanggor dengan seorang bocah perempuan saja. 

Sekarang lengan bajunya sudah robek oleh pedang dan 

tentu saja kakek ini merasa terhina. 

Tiba-tiba Si Tangan Iblis melompat mundur. Lalu 

terdengar suara menggeram dalam tenggorokkan kakek ini 

seperti geraman seekor harimau marah. Belum juga lenyap 

suara geraham marah itu, tiba-tiba Si Tangan Iblis meng-

gosokkan telapak tangan kiri ke telapak tangan kanan. 

Sarindah dan Sarwiyah merasa heran, mengapa kakek 

mereka menggosokkan telapak tangan, hanya menghadapi 

gadis itu saja? Sebab dua gadis ini tahu belaka, kakeknya 

sekarang ini sudah akan menggunakan Aji Mega Langking. 

Padahal biasanya kakek mereka ini menggunakan aji 

tersebut tidak akan sembarangan. 

Akan tetapi Dewi Sri Tanjung yang merasa besar hatinya 

setelah dapat merobek baju lawan, sama sekali tidak 

takut. 

Di luar tahu gadis ini, Aji Mega Langking amat ber-

bahaya. Sebab uap hitam yang keluar dari telapak tangan 

kakek itu mengandung racun dan hawa panas yang dapat 

membunuh lawan. 

***


4


Hiaaattt.....!” Untuk menambah semangatnya Dewi 

Sritanjung mengelebatkan pedang pusakanya 

menusuk ke arah mata dan leher sambil berteriak 

nyaring. 

Akan tetapi betapa kaget gadis ini, ketika tiba-tiba 

melihat keluarnya asap hitam dari telapak tangan lawan, 

lalu menyambar ke arah dirinya, ketika telapak tangan 

kakek dikebutkan. Hawa yang panas segera menyambar 

mukanya dan gadis ini kaget serta melompat mundur, 

menarik pedangnya sambil berjungkir balik. 

Pada saat ia sedang memunahkan tenaga dorongan 

lawan dan pengaruh hawa panas tadi, mendadak ia 

mendengar suara yang amat mengejutkan. 

“Darrr.....!” Suara benturan tenaga amat hebat, meng-

gelegar bagai guntur. 

Baru saja ia berdiri tegak, sudah terdengar suara halus 

masuk telinganya,” Tanjung.... ahh, tak kusangka aku 

dapat bertemu kau di sini......” 

Ketika ia menoleh, serunya, “Ohh.... kau..... Surya 

Lelana? Aduhhh.....megapa engkau berada di sini.....?” 

“Marilah kita mundur. Guruku sekarang sudah menolong 

kau dari maut!” Surya Lelana mengajak dengan halus 

sambil menarik lengan gadis ini. 

Dewi Sritanjung menurut. Hatinya tiba-tiba saja merasa 

besar dan gembira sekali, dapat bertemu dengan pemuda 

yang sudah ia kenal baik. Akan tetapi ketika teringat 

tingkah laku Surya Lelana waktu itu, tiba-tiba saja ia 

mengibaskan tangannya dan wajahnya berubah merah 

agak malu. Untuk menutupi perasaannya ia cepat meng-

amati ke gelanggang. 

Ternyata kakek ganas lawannya tadi sekarang sudah 

berkelahi sengit melawan seorang laki-laki setengah umur,


bertubuh tegap, dan pakaiannya seperti petani. Per-

kelahian itu berlangsung cepat dan sengit. Angin pukulan 

menyambar asap hitam sedangkan dari telapak tangan 

guru Surya Lelana menyamhar asap wama putih. 

“Surya,” ujar Dewi Sritanjung tanpa memaling-an muka. 

“Engkau tadi bilang, dia gurumu. Apakah dia..... Mpu Mada 

atau Mahapatih Gajah Mada? 

“Siapa lagi guruku kalau bukan beliau?” sahut Surya 

Lelana sambil tersenyum. “Guru menolong engkau pada 

saat tepat. Pada saat dirimu dalam ancaman bahaya.” 

“Oh.....kalau demikian.....” 

“Aku dan guru sudah lama hadir, sejak engkau masih 

bersembunyi di belakang batu.” 

”Ohh ...jadi kau sudah mendengar seluruhnya?” 

“Benar! Tetapi Guru masih cukup sabar menunggu 

kesempatan yang tepat. Maka setelah engkau terancam 

oleh bahaya itu, Guru muncul dan menangkis pukulan 

kakek itu.” 

“Darr….!” Tiba-tiba terdengar lagi benturan nyaring. Si 

Tangan Iblis terhuyung mundur lebih tujuh langkah ke 

belakang, sedang Mpu Mada juga terhuyung ke belakang 

tetapi hanya dua langkah saja. 

Si Tangan Iblis mendelik dan dadanya berombak. 

Bentaknya, “Siapa kau! Mengapa sebabnya engkau 

mencampuri urusanku?” 

“Hemm. Taruno! Engkau lupa kepadaku?” 

Si Tangan Iblis mengamati lawannya penuh selidik. Akan 

tetapi kakek ini tidak juga dapat mengenal kembali, 

siapakah laki-laki di depannya sekarang ini. 

“Siapa kau?” bentaknya lagi. 

“Taruno! Belum lama, engkau tadi sudah menyebut 

namaku. Mengapa engkau sudah lupa lagi? Engkau sudah 

memfitnah aku, menyebar bisa kepada cucu-cucumu, 

bahwa akulah yang sudah menghancurkan keluargamu. 

Kapankah itu terjadi?” 

“Kau.... kaukah Mpu Mada yang sekarang menjadi 

Mahapatih Majapahit itu?”


Si Tangan Iblis terbelakak tidak percaya. Sebab kalau 

benar orang yang di depannya sekarang ini Gajah Mada, 

mengapa pakaiannya sederhana, dari kain kasar, seperti 

layaknya pakaian para petani? 

Memang sudah menjadi kebiasaan Mahapatih Gajah 

Mada, suka sekali meluangkan waktu masuk dan keluar 

desa, guna mengetahui keadaan dan kehidupan para 

kawula Majapahit. Maksudnya agar dirinya mendapat 

bahan-bahan laporan maupun masukan yang berguna bagi 

usahanya memajukan dan memakmurkan Kerajaan 

Majapahit. 

Dalam perjalanan keluar dan masuk desa ini ia melepas 

pakaian kebesarannya, mengganti dengan pakaian seperti 

layaknya petani. Dengan demikian Gajah Mada akan dapat 

berbicara dari hati ke hati dengan para kawula kecil. Ia bisa 

mendengar keluhan atau kekesalan hati mereka, uneg-

unegnya, akibat kebutuhan kawula belum tercukupi oleh 

pemerintah. 

Gajah Mada meninggalkan Ibukota Majapahit semenjak 

sepekan lalu. Ia hanya disertai muridnya, Surya Lelana, 

sekaligus untuk melatih pemuda ini agar pandai mengenal 

kebutuhan para kawula. 

Secara kebetulan saja Gajah Mada dan Surya Lelana 

lewat di hutan ini. Surya Lelana kaget ketika mengenal 

Dewi Sritanjung yang bersembunyi di belakang batu, dan 

hampir saja pemuda ini melompat dan mendapatkan Dewi 

Sritanjung, gadis sederhana yang kuasa memikat hatinya 

itu. 

Akan tetapi Gajah Mada yang selalu waspada cepat 

mencegah, “Surya. Mau ke mana?” 

“Bapa, gadis itu.....gadis berbaju biru di belakang batu 

itu, adalah murid Uwa Guru Tunjung Biru. Murid ingin sekali 

datang menemuinya,” dalih Surya Lelana. 

Dengan bijaksana Mpu Mada berkata, “Surya! Biarkan-

lah dahulu, dan jangan kau ganggu. Agaknya dia sedang 

memperhatikan mereka berkelahi itu dan tentunya mem-

punyai kepentingan pula. Tetapi apabila ternyata dia ter


ancam bahaya, barulah kita muncul dan menolong. 

Sekarang duduk dan tenanglah. Dan mari kita melihat per-

kelahian itu. 

“Tetapi Bapa, Dewi Sritanjung tidak pernah meninggal-

kan tempat tinggal Uwa Guru. Mengapa tiba-tiba dia 

sekarang di hutan ini? Murid menjadi khawatir apabila 

telah terjadi apa-apa atas diri Uwa Guru.” 

Surya Lelana berdalih menggunakan kekhawatirannya 

terhadap Kiageng Tunjung Biru. Tetapi maksud yang 

sebenarnya agar dirinya bisa diberi izin bertemu dengan 

gadis itu. 

Namun Mpu Mada seorang sabar yang luas pandangan. 

Katanya halus, “Surya, sabarkan hatimu. Kalau benar telah 

terjadi apa-apa atas diri Kakang Tunjung Biru belum 

terlambat kita bertindak.” 

Demikianlah yang sudah terjadi. Kalau Dewi Sritanjung 

mengintip perkelahian yang terjadi antara Sarindah 

melawan Kaligis dan Sangkan, di tempat lain terdapat pula 

orang yang mengintip. 

Munculnya Si Tangan Iblis dan Sarwiyah tadi segera 

mengubah keadaan. Namun kemudian hati pemuda ini 

semakin tegang, ketika Dewi Sritanjung harus muncul 

karena kehadirannya diketahui oleh Si Tangan Iblis. 

Lalu betapa bangga hati Mpu Mada maupun Surya 

Lelana ketika mendengar ucapan Dewi yang tanpa gentar, 

membantah tuduhan Si Tangan Iblis. Dan malah tanpa 

ragu lagi gadis itu sudah menganggap Si Tangan Iblis 

sebagai pemberontak. Rasa bangga ini kemudian ber-

kembang menjadi kagum dan memuji, ketika Dewi 

Sritanjung tanpa gentar sedikitpun melawan keroyokan 

Sarindah maupun Sarwiyah. Namun rasa kagum itu 

kemudian berubah menjadi berdebar tegang, ketika Dewi 

Sritanjung berani menghadapi Si Tangan Iblis. 

Ternyata kemudian Dewi Sritanjung memang tidak 

mengecewakan. Gerakannya gesit, sehingga serangan 

lawan selalu luput. Kalau saja Si Tangan Iblis tidak meng-

gunakan Aji Mega Lengking yang mengeluarkan asap hitarn


dari telapak tangannya, agaknya Mpu Mada belum juga 

mau keluar dan menolong. 

Demikianlah yang terjadi, mengapa tiba-tiba Mpu Mada 

dan Surya Lelana muncul di hutan ini. Dan sekarang Si 

Tangan Iblis berhadapan langsung dengan musuh be-

buyutannya. 

Sepasang mala Si Tangan Iblis menyala. Bentaknya, 

“Mpu Mada! Siapakah yang menyebar bisa? Apakah 

engkau sudah menjadi pengecut, ingkar akan apa yang 

sudah engkau lakukan sendiri, membunuh anakku 

Karimun?” 

“Hemm,” Mpu Mada mendengus dingin. “Sesungguhnya 

aku tidak ingin bicara masalah yang sudah amat lama 

berlalu itu. Akan tetapi karena engkau sendiri yang 

mengungkit-ungkit, biarlah sekarang semua tahu dan 

terbuka matanya.” 

Mpu Mada berhenti dan menatap tajam Si Tangan Iblis. 

Lalu, “Apakah engkau lupa ketika itu, anakmu Kebo 

Karimun bersama aku sebagai Bekel Bhayangkara, 

mengawal keselamatan Raja Jayanegara yang meninggal-

kan Ibukota Majapahit secara diam-diam? Akan tetapi 

setelah tiba di Bedander, anakmu Karimun minta diri untuk 

pulang.” 

“Tetapi apakah sebabnya kau bunuh begitu saja?” 

hardik Si Tangan Iblis. “Dan salahkah kalau anakku minta 

diri untuk pulang menjenguk keluarganya?” 

“Heh heh heh heh,” Mpu Mada terkekeh. “Orang lain 

dapat kautipu dan dapat kaukelabui, tetapi aku tidak 

mungkin! Kebo Karimun, anakmu laki-laki itu, diam-diam 

sudah merupakan sekutumu, dan juga sekutu Kuti itu, 

jelas bermaksud membocorkan tempat persembunyian 

Raja yang aku selamatkan dan kulindungi. Engkau sebagai 

pembantu Kuti, bersekongkol dengan anakmu, agar dapat 

menangkap dan menawan Raja. Bukankah ini benar?” 

Mpu Mada berhenti sambil memandang Si Tangan Iblis 

penuh selidik. Dan sejenak kemudian ia baru meneruskan, 

“Hai Taruna! Katakan terus terang bukankah sudah tepat


apabila petugas yang berkhianat harus dibunuh mati?” 

Mpu Mada berhenti lagi mengambil napas. Sejenak ia 

meneruskan. “Sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah 

maksudmu memfitnah aku sebagai pembunuh isteri Kebo 

Karimun dan ibu dari cucumu itu? Padahal, bukankah 

perempuan itu mati oleh tanganmu sendiri yang ber-

lumuran darah?” 

Mendengar kata-kata Mpu mada ini, betapa kaget 

Sarindah maupun Sarwiyah. Benarkah kakeknya sendiri 

yang sudah membunuh ibunya? Tetapi mengapa sebabnya 

kakeknya ingkar dan melemparkan tuduhan itu kepada 

orang lain? 

Namun sebagai cucu, mereka tidak lekas mau percaya. 

Sebab, sulit dipercaya seorang mertua sampai hati mem-

bunuh menantunya sendiri padahal masih mempunyai 

anak yang kecil-kecil. 

Akan tetapi kemudian betapa heran kakak-beradik ini 

ketika mendengar bentakan kakeknya yang tidak memberi 

penjelasan, dan mereka menjadi kecewa bukan main. 

“Keparat engkau. Gajah Mada. Pendeknya, semua 

peristiwa, engkaulah yang menjadi penyebabnya.” 

“Heh... heh... heh... heh, apakah sebabnya engkau tidak 

menjawab pertanyaanku? Taruno! Siapakah pembunuh 

perempuan yang menjadi ibu dari cucu-cucumu?!” 

Si Tangan Iblis sudah menggeram dan menerjang maju 

tanpa mau melayani pertanyaan maupun beradu mulut 

lagi. Sebab kakek ini khawatir apabila beradu tajamnya 

lidah tidak urung semuanya akan terbongkar rahasianya. 

Melihat kakeknya tidak dapat menjawab pertanyaan 

Mpu Mada ini, sulit dilukiskan betapa penasaran perasaan 

dua gadis ini. Sebab kalau benar pembunuh ibunya malah 

kakeknya sendiri, jeias selama ini mereka dijejali dengan 

kebohongan. Yang semua itu disengaja oleh kakeknya 

sendiri dalam usahanya menutup rahasia dirinya. Dan 

betapa kecewa Sarindah maupun Sarwiyah, merasa ditipu 

mentah-mentah oleh kakeknya sendiri ini. 

Sarindah yang berangasan tak kuasa lagi menahan


perasaan. Ia sudah menjerit nyaring lalu melompat dan lari 

sambil menangis. Sarwiyah kaget dan cepat memburu 

sambil berteriak. “Mbakyu, mau ke mana kau?” 

Sarindah tidak peduli dan terus lari. 

Surya Lelana sudah menggerakkan tubuh untuk 

mengejar dua gadis itu. Tetapi Dewi Sritanjung menahan, 

“Mau ke mana?” 

“Akan kutangkap gadis itu!” 

“Biarkan mereka pergi. Kasihan gadis itu, hatinya tentu 

terpukul setelah mendengar keterangan yang sebenamva 

tentang keluarganya. Hemm, mereka sudah yatim piatu. 

Dengan demikian, aku masih bernasib lebih baik dari 

mereka. Sekalipun sampai sekarang aku belum pemah 

berhadapan dengan ayah-bundaku, tetapi tidak lama lagi 

aku bakal dapat bertemu.” 

Surya Lelana tertarik dan lupa kepada kakak beradik itu. 

Ia tersenyum, wajahnya berseri, lalu bertanya, “Kalau 

demikian, kau sudah memperoleh keterangan tentang 

orang tuamu? Lalu, siapakah Tanjung?” 

“Surya, aku belum tahu siapakah orang tuaku.” 

Surya Lelana heran dapat jawaban ini. Sejenak 

kemudian ia bertanya. “Bagaimanakah ini? Engkau tadi 

bilang bakal bertemu dengan ayah-bundamu. Kalau belum 

tahu, bagaimanakah caramu bisa mencari?” 

“Gurumu yang memegang kunci rahasianya. Kakek 

hanya bilang, aku harus ke Ibukota, Majapahit dan datang 

kepada Gurumu sambil membawa surat Kakek. Sungguh 

kebetulan sekarang ini, sebelum aku sampai di sana, telah 

bertemu dengan gurumu di hutan ini.” 

“Hemm, tetapi apakah sebabnya engkau sampai di 

hutan ini?” 

“Memang ada sebabnya. 

Kemudian gadis ini menceritakan apa yang sudah ter-

jadi, sejak meninggalkan gurunya, sampai perjumpaannya 

dengan Sangkan dan Kaligis di Nganjuk. Ternyata dirinya 

tertipu dan hampir celaka di dalam hutan, apabila dirinya 

tak dapat mengalahkan dua pemuda itu.


Surya Lelana geleng-geleng, marah dan geram. Jari 

tangannya ia kepalkan, sedang giginya gemeretak, dan 

sepasang matanya menyala. Entah apa sebabnya tiba-tiba 

saja pemuda ini menjadi amat marah kepada dua pemuda 

yang mau berbuat kurang ajar kepada gadis ini. 

Sementara itu antara Si Tangan Iblis dan Gajah Mada 

masih berkelahi mati-matian. Saking cepatnya gerak 

mereka, tubuh mereka bagaikan lenyap dan yang tampak 

tinggal gulungan sinar wama pakaian masing-masing, yang 

berkelebat ke sana dan kemari berpindah-pindah. 

Sambil berkelahi hati dan perasaan Si Tangan Iblis 

dilanda kemarahan hebat. Ia menyembunyikan diri di 

Tosari dan puluhan tahun lamanya menggembleng diri 

guna mendapat kemajuan dalam llmu kesaktian. Di 

samping itu iapun menggembleng beberapa orang murid 

tidak kenal lelah dan kesulitan. Semua itu hanya dengan 

satu tujuan saja, guna membalas dendam kepada musuh-

musuhnya, Gajah Mada maupun Mpu Nala. Karena dua 

orang ini yang menjadi penyebab hancurnya keluarga. 

Sekarang tanpa sengaja dapat bertemu dengan salah 

seorang musuh itu. Sekarang berhadapan dengan Gajah 

Mada namun ternyata hasilnya tidak memuaskan. Baru 

menghadapi Gajah Mada seorang diri saja, dirinya masih 

belum mendapat gambaran pasti apakah dapat mengatasi. 

Terbukti ilmu yang amat diandalkan, Aji Mega Langking 

masih dapat dihalau oleh Gajah Mada. 

Apabila baru menghadapi Gajah Mada seorang diri saja 

belum mampu, apalagi kalau harus memusuhi Nala. 

Kemudian para cucu dan muridnya yang sudah ia didik ber-

tahun-tahun itu, ternyata tidak ada gunanya sama sekali. 

Sebab di antara saudara seperguruan sendiri tiada 

kerukunan dan malah saling bunuh. 

Terdorong oleh cita-citanya ini, ia telah berhasil mem-

bujuk Julung Pujud menjadi sekutunya. Tetapi ahh, mana 

sahabatnya yang mau membantu itu? Sekarang dirinya 

sudah berhadapan dengan Gajah Mada, tetapi Julung 

Pujud tidak muncul. Ahh, betapa gampangnya membunuh


Gajah Mada ini, kalau sekarang Julung Pujud muncul. 

Teringat kepada Julung Pujud, sambil melancarkan 

serangan berbahaya, Si Tangan Iblis sudah berteriak 

nyaring. Maksudnya sudah jelas, kalau Julung Pujud 

berada di tempat yang tidak jauh dari tempat ini tentu akan 

mendengar lengkingannya, dan kemudian sahabatnya itu 

akan datang dan membantu. 

Gajah Mada mengerutkan alis. Sebagai seorang cerdik, 

berkedudukan tinggi dan luas pengalaman, ia menjadi 

curiga dan menduga tentu Si Tangan Iblis ini melengking 

dalam usahanya mengundang bantuan. Adalah amat ber-

bahaya kalau dirinya harus berhadapan dengan dua orang 

lawan sakti sekaligus. Maka dirinya harus dapat mengalah-

kan lawannya ini sebelum bantuan itu datang. 

Tiba-tiba cara berkelahinya berubah. Kalau tadi ia ber-

gerak cepat seperti kilat, sekarang gerakannya malah men-

jadi lambat. Tetapi dalam gerak lambatnya ini, disusul oleh 

menyambarnya angin yang dahsyat memukul, setiap 

tangannya mengebut maupun mendorong. Makin lama 

sambaran anginnya semakin dahsyat dan dari telapak 

tangan mengepul asap putih yang halus. 

Sadarlah Si Tangan Iblis, lawannya sekarang sudah 

menggunakan ilmu kesaktian yang membuat Gajah Mada 

amat terkenal, ialah Aji Brama Seta atau api putih. Itulah 

sebabnya dari telapak tangannya mengepul uap putih. 

Melihat lawan sudah menggunakan Aji Brama Seta, 

maka tidaklah mungkin dirinya dapat bertahan tanpa 

menggunakan Aji Mega Langking, atau awan hitam. Tetapi 

bagaimanapun dalam hati timbul keraguannya mungkin-

kah dirinya dapat mengatasi lawan? Tadi sudah terjadi 

percobaan, ketika tangannya berbenturan. Dirinya terpaksa 

terhuyung sampai tujuh langkah, sebaliknya Gajah Mada 

hanya surut dua langkah saja. 

Akan tetapi keadaan sudah amat mendesak. Ia sudah 

dipaksa oleh keadaan yang tidak mungkin dapat ia hindari 

lagi. Kalau tidak cepat-cepat menggunakan aji kesaktian-

nya, dirinya sendiri akan celaka.


Dalam keadaan terdesak ini Si Tangan Iblis menjadi 

nekad. Dua telapak tangannya segera saling gosok. 

Telapak tangan yang terdiri dari kulit dan daging ini, men-

dadak berubah bagai api yang membara merah dan 

mengeluarkan asap hitam. Hampi berbareng dengan 

geraman dahsyat dari kerongkongannya masing-masing, 

tubuh mereka melompat ke depan. 

“Darr......!” Terjadi benturan tenaga yang dahsyat sekali 

dari dua macam aji kesaktian dan terjadi ledakan yang 

keras, seperti ledakan halilintar di angkasa. 

Tubuh dua orang tersebut kemudian terhempas ke 

belakang dan kemudian terhuyung-huyung seperti layang-

layang putus talinya. 

Dua orang sakti ini sekarang wajahnya tampak berbeda 

Gajah Mada wajahnya pucat setelah terhuyung beberapa 

langkah ke belakang lalu jatuh terduduk. Dari mulutnya 

menyembur darah kental dan agak hitam, sedang dadanya 

turun naik seperti kehabisan napas. 

Akan tetapi keadaan Si Tangan iblis lebih parah lagi. 

Wajah kakek dari Tosari ini sekarang menjadi hitam seperti 

hangus. Setelah terhuyung beberapa langkah ke belakang, 

menyemburlah darah hitam cukup banyak, lalu roboh 

terguling tidak bergerak lagi. 

Peristiwa itu menyebabkan Surya Lelana dan Dewi 

Sritanjung amat terkejut. Dewi Sritanjung sudah melompat 

maju menghampiri Gajah Mada. Tetapi Surya Lelana cepat 

menyambar lengan gadis itu. 

“Jangan!” Cegahnya 

“Tetapi.....gurumu.....” 

Surya Lelana menggeleng. Katanya, “Biarkanlah dahulu 

agar istirahat. Sekalipun Guru terluka parah, tetapi tidak 

membahayakan. Setelah selesai mengatur pernapasan. 

Guru akan segar kembali.” 

Dewi Sritanjung memandang Surya Lelana dengan 

gelisah. Katanya, “Kau ini bagaimana? Gurumu jelas mem-

butuhkan pertolongan. Tetapi mengapa engkau malah 

membiarkan gurumu menderita?”


“Percayalah Tanjung. Guru tidak apa-apa.” Surya Lelana 

menerangkan. Setelah berhasil mengatasi darahnya yang 

bergolak dan terguncang dalam dadanya sebagai akibat 

benturan tenaga tadi Guru akan kembali seperti biasa. 

Melihat sikap Surya Lelana yang tenang dan mendengar 

ucapan pemuda itu yang tidak khawatir, Dewi Sritanjung 

tidak mendesak lagi. 

Kemudian perhatiannya beralih ke kakek Si Tangan Iblis 

yang roboh miring tidak berkutik. Dan tiba-tiba saja ber-

golaklah rasa penasaran dalam dada gadis ini. Tadi dirinya 

hampir celaka dalam tangan kakek jahat itu. Apakah 

salahnya dalam keadaan kakek jahat itu tidak berdaya, 

sekarang menggunakan kesempatan untuk melakukan 

pembalasan. 

“Biarlah aku tebas saja leher kakek jahat itu!” katanya 

dalam hati. 

“Sring....!” Sinar biru memancar menyilaukan ketika 

pedang pusaka Tunggul Wulung tercabut dari sarung. 

Surya Lelana kaget berbareng heran. Tanyanya, 

“Tanjung! Untuk apa engkau mencabut pedang?” 

“Aku hampir celaka di tangan kakek jahat itu. Dia 

sewenang-wenang dan mau menangkap aku, setelah 

mengetahui aku mempunyai hubungan dengan gurumu. 

Hemm, di saat tidak berdaya seperti itu, apakah salahnya 

aku menggunakan kesempatan menabas lehernya?” ujar 

gadis itu dengan nada gemas. 

“Jangan! Engkau jangan mengotori tanganmu dengan 

perbuatan yang kurang patut.” 

Dewi Sritanjung tersinggung lalu membentak, “Apa yang 

kurang patut? Dia musuh dan jahat. Maka sepantasnyalah 

aku menggunakan kesempatan ini untuk membunuh dia.” 

“Tidak, Tanjung, tidak boleh! Mencelakakan orang 

dalam keadaan sudah terluka dan tak berdaya, adalah 

pantangan bagi ksatrya sejati.” 

Dengan halus Surya Lelana berusaha menenangkan 

gadis ini, setelah melihat wajah gadis ini merah padam. 

“Tanjung, hendaknya engkau mau mendengar



nasihatku. Baik Guruku maupun Gurumu tentu akan me-

larang, apabila akan mencelakakan orang yang sudah tidak 

berdaya. Sebab, perbuatan itu dianggap tidak patut, dan 

akan mencemarkan martabat ksatrya.” 

Dewi Sritanjung yang hatinya masih diianda rasa 

penasaran, sudah akan membuka mulut guna membela 

pendiriannya. 

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara halus masuk 

telinganya, “Sritanjung, apa yang sudah dikatakan oleh 

Surya Lelana itu memang benar. Memang tidaklah patut 

bagimu, kamu harus menggunakan kesempatan pada saat 

orang terluka dan tidak berdaya. Apapun alasannya, bagi 

ksatrya tidak bisa dibenarkan, karena hai itu akan 

mencemarkan nama ksatrya.” 

Dewi Sritanjung memalingkan muka, lalu sepasang 

matanya terbelalak. Ternyata Gajah Mada sudah bangkit. 

Wajah orang itu sudah tidak pucat lagi dan sekarang malah 

berseri. Gadis ini kagum sekali. Mengapa Gajah Mada 

sudah tampak segar kembali dalam waktu singkat sedang-

kan Si Tangan Iblis masih belum berkutik? 

Gajah Mada berdiri sambil memandang Si Tangan Iblis. 

Ia menghela napas, terdapat perasaan yang menyebabkan 

Mahapatih Gajah Mada ini menyesal sekali. 

Agak lama Gajah Mada berdiri tanpa membuka mulut 

Surya Lelana memandang Si Tangan Iblis penuh perhatian. 

Sedangkan Dewi Sritanjung sekalipun masih kurang puas 

terpaksa menyarungkan pedang pusakanya. Ia tidak 

membuka mulut, tetapi dalam dadanya bergolak macam-

macam perasaan yang menyebabkan ia merasa heran. 

Menurut pendapatnya, dalam setiap perkelahian, hanya 

satu di antara dua yang akan diperoleh. Kalah mati 

terbunuh atau menang dan membunuh. Akan tetapi 

sekarang ada larangan semacam itu, larangan membunuh 

musuh di saat sudah tidak berdaya? Padahal di saat orang 

tidak berdaya itu, merupakan kesempatan yang amat 

bagus untuk memperoleh kemenangan. Dan bukankah 

setelah musuh mati, akan lenyap pula orang yang


memusuhi. 

Namun sekarang ternyata tiba-tiba Si Tangan Iblis 

bergerak. Kemudian tangan kakek itu bergerak dan 

meraba raba. Dia berusaha mengangkat tubuhnya dengan 

tangan. Tetapi agaknya dia sudah kehabisan tenaga, 

buktinya baru setengah terangkat tubuhnya sudah 

terbanting lagi ke tanah. 

Nyatalah bahwa keadaan Si Tangan Iblis memang 

payah. Kakek itu terluka parah sekali, dan sekarang kakek 

yang terkenal dengan julukan Si Tangan Iblis ini dalam 

keadaan sekarat. 

Setelah melihat Si Tangan Iblis belum mati, Gajah Mada 

berkata, “Taruno! Tentunya engkau puas sekarang, 

setelah, mendapat kesempatan saling gempur dengan aku, 

bukan?” 

Sambil roboh miring Si Tangan Iblis membuka mata. 

Walaupun dalam keadaan setengah mati, sepasang mata 

Si Tangan Iblis seperti menyinarkan api menatap Gajah 

Mada tidak berkedip. Dadanya naik turun. 

“Gajah Mada! katanya. Huh, jika engkau jantan sejati, 

bunuhlah aku sekarang juga. Engkau jangan menghina aku 

seperti ini. Huh, tahukah engkau Si Tangan Iblis tidak takut 

mati....?” 

“Taruno, hemm, dengarlah baik-baik. tidak pernah 

terpikir olehku untuk menghina siapapun.” Gajah Mada 

menyahut halus. “Dua orang yang berkelahi, kalau yang 

seorang menang, tentu saja yang seorang pasti kalah. Jadi 

itu sudah lumrah! Taruno, engkau keliru jika menganggap 

sikapku ini menghina engkau. Kenapa kita harus saling 

bunuh? Nyawa bukan milik manusia tetapi di tangan Yang 

Maha Tinggi.” 

“Engkau keparat Gajah Mada!” teriak Si Tangan Iblis. 

Akan tetapi tiba-tiba, “Huaaahhhhhh....!” Si Tangan Iblis 

muntah darah lagi cukup banyak. Darah yang menyembur 

ke luar itu membasahi pipi, kumis dan jenggotnya. 

Akan tetapi Si Tangan Iblis seperti tidak memperhatikan 

keadaannya, malah berteriak lagi, “Aku tidak butuh



khotbahmu, Gajah Mada. Aku hanya menuntut kepadamu, 

engkau jangan menghina aku. Hayo, bunuhlah aku 

sekarang juga, seperti apa yang sudah menjadi cita-citaku, 

akan membunuhmu jika menang melawan kau. Cepat 

Gajah Mada, bunuhlah aku!” 

Gajah Mada menggelengkan kepalanya. Sahutnya halus, 

“Taruno! Terserahlah penilaianmu terhadap diriku. Tetapi 

tak mungkin engkau dapat memaksa aku, untuk 

mengotorkan tanganku dengan darahmu. Taruno! Yang 

Maha Tinggi belum menghendaki engkau mati, tidak juga 

akan mati. Sekalipun demikian engkau memerlukan waktu 

cukup lama guna memulihkan kesehatanmu. Harapanku 

hanyalah sadarlah engkau dari kegelapan. Gunakan 

waktumu yang tinggal sedikit ini untuk mendekatkan dirimu 

dengan perbuatan baik dan selalu mohonlah kepada 

Dewata Yang Agung agar diampun segala kesalahanmu. 

Engkau jangan mengotori hidupmu yang akan datang 

dengan perbuatanmu dalam kehidupan sekarang ini. 

Bukankah manusia hidup di dunia ini terbilang tahunnya 

sedangkan di alam sana kita hidup tidak terbilang 

tahunnya? Karena itu waktu bagi manusia hidup di dunia 

ini mengumpulkan bekal menghadapi pengadilan Yang 

Maha Tinggi.......” 

“Huh... huh, peduli apa dengan kehidupanku di sana 

yang akan datang. Aku memang lebih suka mendapat 

hukuman masuk neraka, kemudian menjelma menjadi 

setan gentayangan dan aku akan mengoyak-ngoyak tubuh 

dan dagingmu guna membalas dendam.” 

Mahapatih Gajah Mada hanya tersenyum mendengar 

ucapan Si Tangan Iblis yang menyakitkan hati itu. Padahal 

Dewi Sritajung yang hanya mendengar saja perutnya sudah 

muak dan dalam dadanya bergolak rasa marah. 

Setelah menghela napas pendek. Gajah Mada mem-

balikkan tubuh, lalu tangannya menggapai Dewi Sritanjung 

dan Surya Lelana. Katanya halus, Marilah kita pergi. 

Biarkan dia marah-marah seorang diri. 

Surya Lelana dan Dewi Sritanjung tidak berani mem


bantah. Kemudian dua orang muda ini melangkah 

mengikuti Mahapatih Gajah Mada. Tetapi sekalipun 

demikian mereka masih mendengar teriakan Si Tangan 

Iblis yang penuh ancaman. 

“Hai Gajah Mada! Dengarkanlah sumpahku ini, huh! Aku 

Si Tangan Iblis bersumpah disaksikan oleh langit dan bumi. 

Apabila aku bisa sembuh kembali, aku akan meng-

gembleng diri untuk membalas hinaanmu hari ini. Huh, 

kelak kemudian hari apabila aku dapat mengalahkan 

engkau, huh huh, akan kucincang hancur tubuhmu dan 

aku minum habis darahmu.” 

Dewi Sritanjung tak kuat menahan perasaan, lalu 

membalikkan tubuh dan mencaci, “Bangsat tua! Jika 

engkau tak dapat menahan mulutmu, aku akan kembali 

dan meremuk mulut dan kepalamu!” 

Tanjung, Gajah Mada mencegah dengan halus. “Marilah 

kita pergi dan jangan hiraukan ucapannya. Aku ingin sekali 

mendengar kabar tentang Gurumu, di samping ingin pula 

bertanya, apakah sebabnya engkau tiba di tempat ini?” 

Kendati ucapan Gajah Mada ini halus tetapi pengaruh-

nya besar sekali. Dewi Sritanjung membalikkan tubuh, me-

neruskan langkah mengikuti di belakang Gajah Mada. 

Sekalipun Si Tangan Iblis masih terus mengumbar mulut 

dan caci makinya, suara itu masuk telinga kanan dan 

keluar telinga kiri. 

Dewi Sritanjung dan Surya Lelana melangkah ber-

dampingan di belakang Gajah Mada. Berkali-kali dua orang 

muda ini bertatap pandang, dan diakhiri dengan sekulum 

senyum. Tidak terucapkan kata-kata dari bibir masing-

masing, tetapi hati mereka sudah berbicara. 

Seperti ada kekuatan yang tidak terlawan, mereka saling 

sentuh, dan sesaat kemudian sudah bergandengan 

tangan. Entah apa saja sebabnya, tetapi yang jelas jari 

tangan dua orang muda ini kemudian saling pijit dan setiap 

kali saling pandang dengan bibir tersenyum. Mata me-

mancarkan sinar penuh harap dan wajah masing-masing 

berseri.


Gajah Mada melangkah tanpa membuka mulut dan 

tidak pernah berpaling. Mahapatih Majapahit yang 

menyamar sebagai kawula kecil ini, dalam perjalanan 

selalu aman karena tidak seorangpun menduga, sebagai 

orang kedua di Majapahit. 

Setelah keluar dari hutan barulah Gajah Mada 

menghentikan langkah dan memalingkan muka ke arah 

dua orang muda itu. Bibir Gajah Mada tersenyum melihat 

mereka demikian rukun. Namun, diam-diam orang tua ini 

menjadi sedih juga apabila akhirnya mereka harus kecewa. 

Tanjung, Gajah Mada berkata halus. “Engkau belum 

menjawab pertanyaanku. Apakah sebabnya seorang diri 

engkau sampai di tempat ini?” 

Dewi Sritanjung memberikan hormatnya dengan 

berlutul. Tetapi Gajah Mada cepat-cepat membangunkan, 

“Bangkitlah! Engkau akan berkata apa?” 

“Murid Dewi Sritanjung melaksanakan perintah Kakek 

untuk pergi ke Ibukota Majapahit dan datang menghadap 

Paman Guru, sambil menyampaikan surat.” 

“Surat?” 

“Benar. Dan inilah surat itu.” 

Dewi Sritanjung mengambil surat dari tempatnya 

menyimpan, lalu diterimakan kepada Gajah Mada. 

Setelah menerima surat tersebut, secepatnya disimpan 

di dalam baju. Katanya, “Marilah kita langsung ke 

Majapahit.” 

Dewi Sritanjung keheranan. Mengapa surat yang 

diberikan tidak dibaca dan malah disimpan, lalu mengajak 

pulang ke Majapahit? Akan tetapi sekalipun demikian gadis 

ini tidak bertanya. 

Dewi Sritanjung tidak tahu bahwa Gajah Mada 

mempunyai alasan lain, Gajah Mada sadar surat dari kakak 

seperguruannya itu tentu amat penting sekali bagi dirinya. 

Maka timbullah kekhawatirannya apabila ada orang yang 

mendengar dan melihat, kemudian berusaha merebut dari 

tangannya. Sekalipun tidak gampang orang, merebut surat 

ini dari tangannya, namun apakah salahnya selalu berhati


hati? 

* * * 

Dan beberapa kekaguman gadis ini setelah dirinya 

menginjakkan kaki di Ibukota Majapahit. 

Jalan yang dilalui lebar dan rata. Sebagai pengeras jalan 

dipasang oleh orang batu yang diatur rapi. Rumah di kiri 

dan kanan jalan besar dan bagus-bagus. Jalan itu penuh 

orang lalu lalang dan di sana sini banyak orang membuka 

rumah untuk berjualan. Baik laki-laki maupun perempuan 

memakai pakaian bagus. Juga ia melihat pula laki-laki 

memakai pakaian seragam dengan membawa senjata 

tombak maupun pedang dengan perisai. Dan mereka itu 

semuanya memakai kain batik dengan corak gringsing. 

Memang demikianlah, semua prajurit Majapahit 

memakai kain batik corak gringsing sebagai seragamnya. 

Sedang pada dada tampak simbul dengan gambar buah 

maja. 

Surya Lelana dengan senang hati menerangkan kepada 

Dewi Sritanjung, yang ia anggap perlu untuk diketahui. 

Kemudian ia mengajak gadis ini masuk ke dalam sebuah 

rumah sederhana berpagar batu kuat, yang pada 

gerbangnya dijaga oleh prajurit bersenjata tombak. 

“Disinikah rumah gurumu?” bisik Dewi Sritanjung. 

Surya Lelana menggeleng. Ketika itu mereka sedang 

lewat pada pintu gerbang. Prajurit yang berjaga memberi 

hormat dengan memberikan sembah. Dan tanpa me-

mandang mereka, Gajah Mada langsung masuk ke 

halaman. 

“Ini rumah peristirahatan Guru, Surya Lelana menerang-

kan. Dan sekarang ini kita masih di pinggiran kota 

Majapahit. Nanti setelah kita tiba di tengah kota engkau 

akan melihat keramaian kota Majapahit yang sebenarnya. 

Engkau akan melihat rumah rumah besar dan kuat. Ialah 

keraton.....” 

“Apakah itu keraton?” potong Sritanjung.


“Keraton adalah tempat kediaman Raja. Juga rumah 

para pejabat tinggi Majapahit merupakah rumah-rumah 

yang indah dan megah. Letak antara rumah para pembesar 

itu memang saling berjauhan. Ada pula yang di dalam kota 

dan ada juga yang meniilih di luar kota.” 

Akan tetapi keterangan Surya Lelana ini kurang begitu 

mendapat perhatian gadis ini, sebab ia melihat pe-

mandangan baru, yang diam-diam menyebabkan gadis ini 

keheranan. Ia melihat semua orang yang berada di tempat 

ini berlutut ketika melihat Gajah Mada. Baik di saat orang 

itu berdekatan maupun di tempat yang agak jauh. 

Agaknya Surya Lelana tahu apa yang terpikir oleh gadis 

ayu ini. Katanya halus, “Tanjung, kedudukan Guru memang 

amat tinggi. Itulah sebabnya semua orang berlutut sebagai 

tanda menghormati. Tetapi sebenarnya Guru sendiri 

kurang senang dengan penghormatan seperti ini. Tetapi 

karena hal ini sudah merupakan adat kebiasaan dan tata 

krama pergaulan antara para bangsawan dengan kawula, 

maka Guru terpaksa menerima saja.” 

“Dan kau....” Dewi Sritanjung menatap pemuda tampan 

itu, “tentunya putera salah seorang pejabat tinggi 

Majapahit pula....” 

Surya Lelana tersenyum lalu mengangguk, “Kau benar. 

Tetapi tidak setinggi jabatan Guru maupun jabatan Gusti 

Adityawarman.” 

“Siapakah dia itu?” 

“Gusti Adityawarman adalah seorang yang memegang 

jabatan paling tinggi di antara bangsawan Majapahit. 

Kekuasaannya dan kekuasaan Guru bisa dikatakan 

seimbang. Hanya bedanya, Guru merupakan wakil Raja 

dalam bidang urusan luar, artinya urusan pemerintahan, 

sedang Gusti Adityawarman adalah wakil Raja dalam 

urusan dharmaputra maupun kerabat Raja. Urusan Gusti 

Adityawarman masih ada lagi yang penting. Beliau merupa-

kan pembesar tinggi kerajaan dalam bidang hukum dan 

peraturan yang berlaku. Semua keputusan di bidang 

hukum baru berlaku apabila sudah mendapat persetujuan


beliau.” 

“Apakah hukum itu” ? tanya gadis ini penuh minat. 

Tentu saja bagi seorang gadis yang semula hidup 

terasing itu sama sekali asing dengan apa yang disebut 

hukum. 

“Tanjung, masalah ini uraiannya terlalu panjang dan 

rumit. Nanti bisa kita tanyakan kepada Guru. Mari, 

sekarang ikutlah aku.” 

“Ke mana?” 

“Nanti kau akan tahu sendiri.” 

Lengan Dewi Sritanjung segera ia sambar dan setengah 

ia seret lalu ia ajak memisahkan diri dengan Gajah Mada. 

Mereka lewat jalan berbatu pada teritis rumah, sedangkan 

Gajah Mada langsung masuk ke pendapa. 

Hatinya berdebar tidak keruan ketika gadis ini mengikuti 

Surya Lelana. Namun demikian ia percaya pemuda ini 

takkan melakukan perbuatan yang kurang baik. 

Dugaan gadis ini ternyata benar. Tak lama kemudian 

tibalah ia pada ruangan belakang yang luas. Ia diserahkan 

kepada para pelayan perempuan. 

“Bawalah Diajeng Dewi Sritanjung ini ke dalam kamar 

rias,” perintahnya kepada para pelayan itu. “Layanilah 

kebutuhannya untuk ganti pakaian. Sesuai dengan 

perintah Rama, kalian boleh mengambil pakaian Puteri 

Tisna Dewi”. 

Surya Lelana sudah mengubah panggilannya kepada 

Gajah Mada. Sekarang tidak menyebut Guru lagi, tetapi 

menyebut Rama, berarti Ayah. 

Sesudah memberi perintah kepada tiga pelayan 

perempuan itu. Surya Lelana memandang Dewi Sritanjung 

dengan bibir mengulum senyum. 

“Diajeng Tanjung, ikutlah mereka untuk ganti pakaian. 

Setelah kita selesai ganti pakaian, kita segera menghadap 

Rama Gajah Mada, kita akan langsung pulang ke rumah 

kepatihan.” 

Dewi Sritanjung hanya mengangguk, karena gadis ini 

kurang tahu maksudnya, mengapa harus berganti pakaian.


Surya Lelana bisa menduga perasaan Dewi Sritanjung 

sekarang ini. Maka katanya lagi, “Diajeng, semua akan aku 

terangkan sesudah engkau selesai berganti pakaian. 

Engkau adalah seorang puteri, maka mulai hari ini engkau 

harus meninggalkan keadaan dan kebiasaan lama.” 

Dewi Sritanjung mengangguk lagi, sekalipun hatinya 

ragu berbareng keheranan. Mengapa secara tiba-tiba Surya 

Lelana mengatakan dirinya seorang puteri bangsawan? 

Kalau demikian, apakah dirinya salah seorang anak 

pejabat tinggi kerajaan? Dan apakah Surya Lelana telah 

tahu siapakah dirinya ini? 

Surya Lelana sudah melangkah pergi, sedang Dewi 

Sritanjung segera mengikuti tiga orang pelayan itu. Ia 

dipersilakan masuk ke dalam kamar yang amat indah dan 

berbau harum. Tiga pelayan perempuan itu kemudian 

sibuk membuka beberapa almari besar dan Dewi 

Sritanjung dipersilakan memilih sendiri pakaian yang 

disukai dan tersimpan dalam almari itu. Dewi Sritanjung 

terbelalak kagum ketika melihat pakaian dari bahan sutera 

halus, bertumpuk dalam tiga almari tersebut. Sebagai 

seorang gadis yang sejak kecil hidup dalam hutan dan 

tidak pernah mendapat kesempatan untuk memiliki 

pakaian bagus dari bahan sutera, tentu saja malah 

menjadi bingung. 

Akan tetapi ia memang menyukai warna biru. Maka di-

ambillah baju dari bahan sutera warna biru muda. 

Sedangkan perlengkapan pakaian yang lain, ia tidak dapat 

memilih, maka para pelayan diminta memilihkannya. 

Dewi Sritanjung menjadi agak malu, ketika dirinya harus 

melepaskan pakaiannya kemudian ganti dan semuanya 

dilayani para pelayan. Sejak ia dapat menyelenggarakan 

kebutuhannya sendiri, ia selalu mencukupi sendiri 

kebutuhannya. Namun ternyata hari ini dirinya harus 

mengubah kebiasaan itu, dan gadis ini serasa mimpi. 

Lalu hatinya berdebaran membayangkan setelah dirinya 

nanti dapat bertemu dengan ayah-bundanya yang selama 

ini belum pernah ia kenal.


Dewi Sritanjung merasakan tubuhnya menjadi berat dan 

kaku, setelah pada beberapa bagian tubuhnya harus 

dipasang berbagai macam perhiasan emas yang cukup 

berat. Ia menjadi merasa lucu dan geli ketika melihat 

dirinya sendiri. 

Kaki yang biasanya tidak pemah dipasang apa-apa itu 

sekarang harus menggunakan alas dari kulit binatang, 

sehingga kakinya tidak menapak bumi dan sulit me-

langkah. Pada pergelangan kakinya sekarang terdapat 

hiasan yang terbuat dari emas. Pada lehernya bertambah 

lagi hiasan kalung yang berat, gemerlapan dihias berlian 

dan mutiara. Kemudian pada pergelangan tangan yang 

semula tidak ada apa-apa itu sekarang dipasang beberapa 

buah gelang, dan apabila tangannya bergerak timbullah 

suara gemerincing nyaring. 

Ketika Surya Lelana muncul di depan pintu dan melihat 

Dewi Sritanjung, kontan saja mulutnya sudah memuji dan 

matanya memandang kagum. 

“Aduh Diajeng Tanjung... engkau tambah cantik....” 

Sekalipun kata-kata ini diucapkan oleh Surya Lelana 

secara jujur namun tidak urung Dewi Sritanjung agak malu 

juga. Tetapi di samping malu itupun terselip perasaan 

bangga. Manakah ada perempuan muda yang tidak 

menjadi bangga dipuji kecantikannya? Lebih lagi yang 

meniuji cantik itu adalah pemuda tampan, pemuda yang 

diam-diam sudah menarik perhatiannya. 

Ya pemuda tampan yang dahulu pernah memberi 

ciuman tanpa seijinnya, tetapi sekalipun demikian ia tidak 

menjadi marah. Ia tidak tahu apakah sebabnya ia selalu 

terkenang kepada peristiwa itu. Karena nyatanya kenangan 

itu memang indah dan menyenangkan. Ia juga tidak tahu 

mengapa hatinya terliputi kegembiraan yang sulit terlukis-

kan begitu dirinya dapat berdekatan dengan Surya Lelana. 

Dewi Sritanjung tersenyum manis oleh pujian Surya 

Lelana. Dan begitu memandang si pemuda, gadis inipun 

kagum. Pemuda itu tampak semakin tampan dan ganteng 

setelah ganti pakaian yang indah, pakaian bangsawanan.


“Surya..... ehh..... engkaupun lebih tampan lagi.....” puji 

gadis ini tanpa sungkan. 

Pujian ini disambut oleh Surya Lelana dengan ketawa-

nya yang lepas. 

Adapun tiga orang pelayan itu bibirnya tersenyum agak 

takut. Tetapi bagaimanapun dalam hati tiga pelayan 

perempuan ini timbul pula rasa kagum. Karena pada 

kenyataannya Surya Lelana memang merupakan seorang 

pemuda tampan, sedangkan si gadis jelita inipun 

merupakan puteri yang cantik molek. 

“Marilah kita menghadap Rama,” ajak Surya Lelana 

sambil menyambar tangan Dewi Sritanjung. Kemudian 

mereka meninggalkan kamar ini menuju ruangan besar 

dalam rumah besar bagian belakang. 

Akan tetapi rumah besar itu sepi. Surya Lelana 

mengajak Dewi Sritanjung ke pendapa. Ternyata Gajah 

Mada sudah duduk di pendapa, sedangkan di depannya 

telah duduk bersimpnh dua orang tumenggung yang 

agaknya sedang memberi laporan. 

Gajah Mada tersenyum ketika melihat munculnya dua 

orang muda itu. Ia menggerakkan tangan kanan memberi 

isyarat supaya dua orang muda itu datang mendekat. 

Ketika Surya Lelana dan Dewi Sritanjung sudah meng-

hadap dan berlutut sambil memberi sembah, Gajah Mada 

berkata, “Anakku, syukur sekali kalian sudah siap dan 

selesai ganti pakaian. Sekarang marilah kita secepatnya 

pulang dan masuklah lebih dahulu ke dalam kereta.” 

Surya Lelana mengiakan, lalu mengajak Dewi Sritanjung 

menuju ke kereta yang sudah siap di depan pendapa. 

Sebuah kereta kebesaran Mahapatih Majapahit. Kereta 

beroda empat dan ditarik oleh delapan ekor kuda yang 

besar dan gagah. 

Kereta yang indah, sehingga Dewi Sritanjung me-

mandang kagum. Kereta itu tertutup rapat berpintu dan 

pada beberapa lubang pada dinding kereta yang dapat 

dipergunakan memandang ke luar kereta, ditutup oleh tirai 

dari kain sutera.


Dewi Sritanjung dipersilakan masuk lebih dahulu ketika 

pintu kereta dibuka Surya Lelana. Tanpa ragu sedikitpun 

gadis ini masuk, lalu duduk pada bagian belakang. 

Namun ketika Surya Lelana sudah masuk, pemuda ini 

cepat memberitahu, “Diajeng, kita harus duduk di sini. Kita 

berjajar, sebab bak belakang untuk tempat duduk Rama.” 

“Idih! Kau ini bagaimana?” sahut Dewi Sritanjung sambil 

tersenyum dan mata yang indah itu mengerling. “Bukankah 

alasanmu ini, karena engkau bermaksud agar engkau 

dapat duduk berdampingan dengan aku?” 

Sekalipun berkata demikian, sebenarnya gadis ini 

merasa senang sekali apabila dapat duduk berdampingan 

dengan Surya Lelana. Entah apa sebabnya, rasanya 

bahagia sekali apabila ia dapat duduk berdampingan 

dengan Surya Lelana. 

Surya Lelana menyambut ucapan gadis ini dengan 

ketawa lirih. Lalu, “Diajeng, aku memang berkata sejujur-

nya. Memang pada bagian belakang itu merupakan tempat 

duduk kebesaran bagi Rama dalam kedudukannva sebagai 

Mahapatih Majapahit. Sedang engkau dan aku harus 

duduk di sini, dan......” 

Dewi Sritanjung yang sudah duduk di samping Surya 

Lelana menatap wajah pemuda ini sambil bertanya. “Dan 

apa....?” 

Surya Lelana tidak cepat menjawab. Bibirnya tersenyum 

dan matanya menatap wajah ayu itu. Yang dipandang 

menjadi berdebar dan malu, tetapi dalam dadanya terasa 

amat bahagia. 

“Apakah engkau tidak marah dengan kejadian waktu 

itu? Ketika aku mau pergi dan minta diri dari kau sambil.... 

mencium ...?” 

Pipi gadis ini berubah merah mendengar pertanyaan itu. 

Untuk sejenak gadis menundukkan muka. Setelah diangkat 

lagi, kepalanya menggeleng. 

“Tidak Surya. Tidak ada rasa marah dalam hatiku.” 

jawabnya polos. 

“Apakah sebabnva engkau tidak marah?”


Gadis ini tergagap mendengar pertanyaan ini. Se-

sungguhnya ingin sekali mengatakan, dirinya tak tahu 

mengapa sebabnya tidak marah atas perlakuan Surya 

Lelana. Dan sungguh aneh pula dirinya malah selalu 

terkenang pengalaman itu. 

Dewi Sritanjung menggeleng kepalanya, jawabnya lirih. 

“Aku tidak tahu.....” 

Jantung Surya Lelana berdebar mendengar jawaban 

gadis yang singkat ini. Kalau demikian halnya apakah 

jawaban ini merupakan tanda, gadis inipun mengimbangi 

perasaan hatinya? Ia sudah terlanjur tercuri hatinya oleh 

gadis ini. Gadis sederhana, tetapi memiliki kecantikan luar 

biasa, kecantikan yang alami. 

Dengan agak takut Surya Lelana bergerak. Pemuda ini 

ingin menjajaki bagaimanakah sikap Sritanjung. Maka jari 

tangannya lalu meraba jari-tangan Dewi Sritanjung yang 

kecil, runcing dan halus itu. Jari tangan itu untuk beberapa 

saat lamanya ia usap-usap dan ia permainkan. Setelah 

melihat gadis ini diam saja, gerakannya mulai berani dan 

merembet naik ke lengan. Lain sambil mengusap-usap 

lengan itu, Surya Lelana berkata halus. 

“Diajeng, apakah engkau takkan marah apabila men-

dengar perkataanku?” 

“Engkau mau berkata apa?” sahut Dewi Sritanjung 

sambil menundukkan kepalanya, karena usapan tangan 

Surya Lelana itu kuasa membuat jantungnya berdebar 

tegang. “Dan mengapa pula aku harus marah?” 

“Diajeng, tahukah engkau bahwa sejak pertemuanku 

denganmu yang pertama kali, aku sudah jatuh cinta 

kepadamu?” 

Dewi Sritanjung berjingkrak mendengar istilah asing 

yang diucapkan oleh pemuda tampan di sampingnya ini. 

Tetapi justru kata-kata asing ini, sebenarnya sudah lama 

tersimpan dalam dadanya dan selalu berharap agar Surya 

Lelana mengucapkan kata-kata itu. 

Akan tetapi sekarang, anehnya, setelah mendengar 

ucapan dan mulut Surya Lelana yang mencintai dirinya,


mulut Dewi Sritanjung malah seperti terkunci dan tidak 

bisa menjawab, sekalipun dalam dadanya bergolak pe-

rasaan yang mendesak agar segera memberi jawaban. Dan 

gadis ini hanya bisa menundukkan muka, dadanya turun 

naik. 

“Diajeng Tanjung,” bisik Surya Lelana halus, sedang jari 

tangannya dengan lancang sudah mengangkat dagu Dewi 

Sritanjung yang halus dan kuning itu. “Bagaimana? Engkau 

terimakah perasaan cintaku ini?” 

Dewi Sritanjung belum juga menjawab, sekalipun 

hatinya amat ingin. Namun sekalipun gadis ini belum men-

jawab. Surya Lelana sudah cukup maklum bahwa gadis ini 

mengimbangi perasaannya. Terbukti Dewi Sritanjung tidak 

berusaha melepaskan jari tangan Surya Lelana yang me-

megang dagu. 

Tahu-tahu Surya Lelana sudah memeluk, lalu mencium 

mulut Dewi Sritanjung. Untuk sejenak Dewi Sritanjung 

gelagapan, namun sejenak lagi gadis ini sudah mendorong 

pundak Surya Lelana perlahan. 

“Surya......ya.....agaknya akupun mempunyai perasaan 

yang sama ....” jawabnya. 

“Mengapa masih menggunakah istilah agaknya, 

Diajeng? Apakah engkau masih meragukan cinta kasihku?” 

“Surya, hal ini bisa kita bicarakan setelah aku bertemu 

dengan orang tuaku. Kemudian orang tuamu bisa bicara 

ngan orang tuaku. Hemmm, Sudahlah.....Guru datang.....” 

* * * 

Cerita ini terpaksa berhenti sampai di sini dahulu, lalu 

menyusul cerita baru dengan judul " TERSIKSA SEPERTI DI 

NERAKA ". 

Siapakah yang tersiksa seperti di neraka? Baca saja dan 

Anda akan memperoleh jawabannya. 

Kasihan juga Dewi Sritanjung ini. Gadis yang sejak kecil 

belum pemah mengenal ayah dan bundanya, di Ibukota 

Majapahit harus berhadapan dengan pengalaman pahit



dan amat mengecewakan hatinya. Sebagai akibatnya ia 

"minggat" dengan perasaan tidak keruan. Dalam keadaan 

seperti ini, Dewi Sritanjung kurang waspada. Dan akibatnya 

tertangkap oleh pemuda bejat moral Rudra Sangkala, 

murid sakti tokoh Murti Sari. 

Sungguh kasihan. Gadis jelita, polos dan lugu itu di 

dalam cengkeraman laki-iaki bejat seperti Rudra Sangkala 

yang mempunyai senjata ampuh racun wangi itu. 

........Dan kasihan sekali cucu Si Tangan Iblis yang tertua 

dan bernama Sarindah itu, dalam usahanya menuntut 

balas kepada Gajah Mada. Gadis itu mencari dukun 

tenung. 

“Dengarlah baik-baik. Engkau harus tahu baik tenung 

laki-laki maupun perempuan yang akan melakukan tugas 

itu menghuni dalam tubuhku. Jadi, antara aku dan engkau, 

syaratnya harus rukun seperti suami dan isteri.” 

“Aku sedia. Tetapi.....” 

“Tetapi apa.......?” 

“Kerjakan dahulu tenung itu......” 

Sarindah puas tenung itu sudah pergi. Kemudian siutt... 

wut cap....! Sarindah terbelalak kaget. Pedangnya tak dapat 

ditarik kembali terjepit jari tangan Kakek Madrim. 

Sarindah marah. Cacinya. “Setan tua! Cabul, keparat! 

Lepaskan pedangku!” 

“Heh heh heh heh, engkau cantik sekali dan harus 

menjadi isteriku.....” 

Entah sudah herapa lama Sarindah tertidur. Ia merasa 

dingin dan membuka mata, ia hampir menjerit kaget 

mendapatkan dirinya tanpa memakai selembar benang 

pun. Dan disampingnya Kakek Madrim tertidur dalam 

keadaan sama..... 


                           *** Tamat *** 




 


Share:

0 comments:

Posting Komentar