..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 11 Desember 2024

DEWA ARAK EPISODE PEDANG BINTANG

DEWA ARAK EPISODE PEDANG BINTANG

 SATU


Hari masih pagi, ketika di kaki lereng Gunung Waru 

berkelebat beberapa bayangan yang bergerak cepat 

menuju ke puncak. Menilik dari gerakan yang rata-

rata ringan dan gesit, dapat diketahui kalau bayangan-

bayangan itu adalah orang-orang persilatan yang 

berkepandaian cukup tinggi 

Tentu saja berkelebatnya bayangan-bayangan itu 

segera diketahui para murid Perguruan Tangan Sakti yang 

bermarkas di sana. Maka murid-murid itupun segera 

memberitahukan hal tersebut kepada kakak seperguruan 

mereka. 

Ketika berita itu sampai di telinga tiga orang kakak 

seperguruan mereka yang bernama Seta, Satria dan Mega, 

tokoh-tokoh yang berdatangan itu sudah tiba di depan 

pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti yang cukup luas. 

Sedangkan para murid Perguruan Tangan Sakti yang ber-

tugas jaga di sana hanya mengawasi dengan sikap 

waspada. 

“Wanayasa, keluar kau! Serahkan Pedang Bintang itu!” 

teriak salah seorang yang datang itu. 

“Benar, serahkanlah pedang itu…..!” sambung yang 

lain. 

“Cepat, Wanayasa! Kalau tidak, jangan salahkan kalau 

aku terpaksa menerobos masuk menggunakan ke-

kerasan!” ancam seorang yang bertubuh tinggi besar, ber-

teriak tak sabar. Tangannya yang besar dan kekar berotot 

nampak menggenggam sebatang tongkat yang terbuat dari 

baja putih. 

Tokoh itu berjuluk si Kerbau Gila. Seorang tokoh sesat 

yang terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ber-

tenaga kuat. Apalagi ilmu tongkatnya juga dahsyat. Entah 

berapa banyak tokoh golongan putih yang mencegah sepak


terjang si Kerbau Gila, tewas di tangannya. 

Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya 

membuat si Kerbau Gila ini manjadi sombong dan jumawa. 

Pikirnya, selain datuk-datuk dunia persilatan, tidak ada lagi 

tokoh yang bisa menandinginya! 

Karena keyakinannya yang besar, si Kerbau Gila segera 

memisahkan diri dari orang-orang yang bersamanya. 

Dengan langkah lebar sambil menggenggam tongkat, 

dihampirinya pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti. 

Tentu saja melihat tindakan si Kerbau Gila itu, tokoh-

tokoh persilatan lainnya menjadi kawatir. Sebab mereka 

takut kalau-kalau keduluan laki-laki tinggi besar itu. Maka, 

begitu si Kerbau Gila ini menghampiri pintu gerbang, 

mereka segera berbondong-bondong ikut melangkah maju. 

Tapi baru beberapa tindak saja, terdengar suara ber-

derak keras disusul bergeraknya pintu gerbang itu. Si 

Kerbau Gila beserta para tokoh persilatan yang mengikuti 

di belakangnya, serentak menghentikan langkah. Mereka 

semua sama-sama memandang ke arah pintu gerbang itu 

sambil memasang sikap waspada. 

Perlahan-lahan pintu gerbang itu terbuka. Dari balik 

pintunya, muncul belasang sosok yang kemudian dengan 

gagahnya melangkah ke luar. 

Laki-laki tingi besar yang berjuluk si Kerbau Gila itu 

menatap satu persatu belasan wajah yang berdiri beberapa 

tombak di hadapannya. Ia mencoba menduga-duga, mana 

di antara mereka yang bernama Ki Wanayasa. 

“Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa?! 

Majulah! Dan berikan Pedang Bintang itu padaku!” ucap si 

Kerbau Gila keras dan kasar. 

Belum sempat salah satu dari belasan orang itu 

menyahut, terdengar suara tawa bergelak. Tak lama 

kemudian, salah seorang dari belasan orang yang berdiri di 

belakang si Kerbau Gila melesat maju ke depan. 

“Ha..ha…ha….! kau jangan mau menang sendiri, 

Kerbau Gila! Dikira hanya kau saja yang berniat memiliki


Pedang Bintang? Aku dan semua orang yang berada di 

belakangmupun mempunyai niat yang sama.” 

Si Kerbau Gila menoleh ke arah orang yang baru saja 

bicara lantang yang kini telah berada setengah tombak di 

samping kanannya. Untuk sesaat dia agak terkejut melihat 

seseorang yang bertubuh kecil kurus. Wajahnya mirip tikus 

dan berwarna merah. Rupanya dia adalah si Tikus Muka 

Merah yang tak mau ketinggalan. Tokoh sesat yang 

pengaruhnya merajalela di beberapa desa, dan sampai 

saat ini tak ada yang berani menentangnya! 

Hanya untuk sesaat si Kerbau Gila ini agak terkejut, 

dan kini sudah kembali pada sikapnya semula. Sombong 

dan memandang rendah orang lain. 

“Apa peduliku dengan segala urusanmu, tikus got?” 

ejek Kerbau Gila bernada kasar. 

Wajah si Tikus Muka Merah berubah semakin merah 

mendengar ejekan kasar itu. Seumur hidupnya, baru kali 

ini dirinya dihina orang. Kemarahan yang hebat, kini 

membakar hatinya. Pada saat dia sangat ditakuti sampai di 

beberapa desa, tapi kini dihina si Kerbau Gila begitu saja. 

Memang nama besar si Kerbau Gila telah didengarnya, 

maka tentu saja hatinya menjadi gentar juga. Walaupun 

belum dibuktikan kebenarannya. 

“Kerbau Gila,” ucap si Tikus Muka Merah mencoba 

bersikap tenang, sungguhpun nada suaranya tetap 

terdengar gemetar dan penuh tekanan. “Kalau tidak 

mengingat urusan yang sangat penting ini, saat ini juga aku 

sudah turun tangan untuk menghancurkan mulutmu yang 

telah begitu lancang menghinaku. Tapi biarlah. Kalau tidak 

sekarang, nantipun jangan harap kau bisa lolos dari 

tanganku!” sambungnya, berusaha memberanikan diri, 

karena di hadapan orang banyak. 

“Keparat!” Kerbau Gila berteriak memaki. Ia marah 

bukan main mendengar ucapan Tikus Muka Merah yang 

begitu merendahkan dirinya. Hampir-hampir saja diterjang 

laki-laki kurus berwajah merah itu. Untung saja segera


teringat akan tujuannya datang ke Gunung Waru ini. Maka 

segera diredam amarahnya. Tapi sempat juga dikeluarkan 

sebuah ancaman yang berbau maut. 

“Berhati-hatilah kau, tikus got. Sehabis mengambil 

Pedang Bintang, aku akan mencarimu ke manapun. 

Dan…..kukuliti dagingmu!” 

Setelah puas mengancam, Kerbau Gila kini 

mengalihkan perhatiannya kepada belasan orang yang 

keluar dari pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti. 

“Jawab pertanyaanku sebelum kesabaranku hilang. 

Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa?!” bentak 

Kerbau Gila. 

“Apa urusanmu mencari guru kami?” tanya Seta, salah 

seorang dari tiga orang yang berdiri paling depan. 

“O, jadi kalian ini murid-murid Wanayasa?’ tanya 

Kerbau Gila lagi, bernada kurang ajar sambil 

memperhatikan Seta yang bertubuh tinggi kurus dan 

berkumis tipis. Kulitnya coklat sawo matang. 

Seta hanya mengangguk. Masih dicobanya untuk 

bersabar, walaupun kemarahannya sejak tadi telah ber-

golak melihat kekurangajaran orang yang berdiri di 

hadapannya ini. beginya kemarahan hanya akan men-

datangkan kerugian. 

“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!” bentak 

si Kerbau Gila keras. “Aku hanya mempunyai urusan 

dengan Wanayasa! Ayo, panggil dia dan cepat 

menemuiku!” 

Sret! Sret! 

Bagai dikomando, belasan murid Perguruan Tangan 

Sakti yang berdiri di belakang Seta, bersama-sama 

menghunus pedangnya. Para murid Perguruan Tangan 

Sakti itu sudah tidak sanggup lagi menahan amarah 

melihat sikap si Kerbau Gila yang telah keterlaluan 

menghina guru mereka. Bahkan Satria dan Megapun 

sudah bersiap-siap menyerang. Kalau saja tidak meng-

hormati kakak seperguruan, mungkin sudah sejak tadi


mereka menerjang si Kerbau Gila yang keterlaluan itu. 

“Tahan….!” Teriak Seta mencegah tindak lanjut adik-

adik seperguruannya. 

Kemudian dengan sikap masih tenang, dihadapinya si 

Kerbau Gila. 

“Kerbau Gila! Perlu kau ketahui. Bahwa setiap per-

soalan apapun yang menyangkut guru kami, juga menjadi 

wewenangku untuk mengurusnya. Apapun bentuk per-

soalan itu. Apalagi hanya persoalan denganmu, yang 

sangat sepele ini. Jangankan guruku. Akupun mampu 

mengatasinya!” ujar Seta tandas. 

“Keparat! Kau tidak akan mampu mengurus masalah 

ini. Panggil Wanayasa. Cepat, sebelum kesabaranku 

hilang!” 

“Sudah kukatakan tadi. Semua urusan yan menyangkut 

guruku, apapun bentuk urusan itu, telah diserahkan 

padaku untuk mengurusnya.” 

“Baiklah!” si Kerbau Gila itu terpaksa mengalah. 

“Karena kau telah mengaku wakil Wanayasa, maka cepat 

serahkan Pedang Bintang itu padaku!” desak Kerbau Gila. 

“Pedang Bintang?’ Seta mengerutkan keningnya, dan 

untuk sesaat lamanya tercenung. Tentu saja berita 

mengenai pedang itu telah didengarnya. Sebilah pedang 

yang telah membuat dunia persilatan gempar. Kabarnya 

Pedang Bintang itu dapat menurunkan ilmu-ilmu pe-

ninggalan Ki Gering Langit, tokoh persilatan yang pernah 

mengalahkan datuk-datuk dunia persilatan di empat 

penjuru angin! Itulah sebabnya semua tokoh persilatan ter-

giur untuk mencari dan mendapatkan pedang itu. 

“Ya!” ulang Kerbau Gila keras, karena melihat pemuda 

di hadapannya terbengong. 

“Hah!” Seta sedikit terkejut. “Luar biasa! Kau meminta 

Pedang Bintang pada kami? Apa aku tidak salah dengar, 

Kerbau Gila? Sepanjang yang kuketahui, guruku tidak 

memiliki Pedang Bintang. Ki Gering Langitlah yang me-

milikinya. Minta padanya, bukan pada kami.”


Tidak usah banyak alasan! Kau tinggal pilih. Berikan, 

atau mampus?!” gertak si Kerbau Gila. 

“Tidak!” jawab Seta tegas. 

“Kalau begitu, mampuslah!” si Kerbau Gila segera 

menerjang Seta. Dalam kemarahannya yang memuncak, 

laki-laki tinggi besar itu langsung menyerang dengan 

tongkatnya. Angin menderu-deru hebat mengawali 

serangannya. 

“Menyingkir kalian semua!” perintah Seta pada adik-

adik seperguruannya. 

Tanpa diperintah dua kali, Satria, Mega dan para murid 

Perguruan Tangan Sakti lainnya segera menghindar dari 

situ. 

Bagai dikomando, begitu si Kerbau Gila telah 

menyerang Seta, Tikus Muka Merah dan tokoh-tokoh 

persilatan lainnyapun meluruk menyerang murid Perguruan 

Tangan Sakti lainnya. 

Tikus Muka Merah segera menerjang Satria, yang 

paling dekat dengannya. Terpaksa Satria melayaninya. 

Begitu juga para murid Perguruan Tangan Sakti. Mereka 

semuapun diserbu puluhan orang yang sejak tadi ber-

gerombol di belakang si Kerbau Gila. 

Tentu saja hal ini amat mengejutkan Seta dan adik-adik 

seperguruannya. Mereka tidak punya pilihan lain lagi 

kecuali mempertahankan diri. Bahkan kalau mungkin, 

melawan sekuat tenaga dan balas menyerang. Para murid 

Perguruan Tangan Sakti yang masih berada di dalam, 

segera berbondong-bondong keluar, membantu kakak-

kakak seperguruannya. Memang, para murid yang keluar 

sejak tadi adalah yang memiliki tingkat kepandaian paling 

tinggi. Mereka terdiri dari tiga orang murid kepala, Seta, 

Satria dan Mega. Dan tiga belas orang murid yang se-

tingkat di bawah mereka. 

Sudah dapat diduga, maka terjadilah pertarungan 

semrawut di lapangan yang luas itu, antara para murid 

Perguruan Tangan Sakti melawan para pemburu pedang


pusaka milik Ki Gering Langit. 

Di antara semua pertarungan itu yang paling dahsyat 

adalah pertarungan antara Seta melawan si Kerbau Gila. 

Laki-laki tinggi besar ini adalah seorang tokoh sesat yang 

memiliki kepandaian tinggi. Terutama ilmu tongkatnya 

yang bernama ‘Ilmu Tongkat Angin Badai’. Boleh dibilang, 

sekali tongkatnya digunakan sudah dapat dipastikan kalau 

nyawa lawan melayang. ‘Ilmu Tongkat Angin Badai’ itu 

memang luar biasa. Dan itu dirasakan Seta secara 

langsung yang menghadapi si Kerbau Gila. 

Sejak awal, si Kerbau Gila itu menyerang lewat sapuan 

tongkatnya ke arah kaki. Dan hembusan angin dahsyat 

dirasakan betul oleh Seta. Angin akibat sapuan tongkat itu 

bisa membuat orang yang kurang kuat tenaga dalamnya 

akan terlempar. Suara menderu-deru mengiringi serangan 

tongkat itu. Sehingga kalau saja Seta tidak memiliki tenaga 

dalam tinggi, tentu sudah terjengkang sebelum serangan 

tongkat itu mengenai sasaran. 

Akan tetapi, Seta adalah salah satu murid andalan Per-

guruan Tangan Sakti. Maka saat melihat sambaran tongkat 

yang menyapu kakinya, sikapnya begitu tenang. Hanya 

dengan lompatan sederhana, Seta telah membuat sapuan 

tongkat Kerbau Gila itu menyambar tempat kosong, lewat 

di bawah kakinya. Dengan cepat, murid andalan Perguruan 

Tangan Sakti itu segera membalas dengan serangan-

serangan yang tak kalah dahsyatnya. Sebentar saja 

keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit. 

Seperti halnya Seta, Satriapun menghadapi lawan yang 

amat tangguh, yakni Tikus Muka Merah. Laki-laki kurus ini 

adalah tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Tak 

terhitung tokoh golongan putih yang tewas di tangannya. 

Malah sebagian besar dari mereka tewas, di saat Tikus 

Muka Merah belum mengeluarkan senjata andalannya 

berupa sepasang tombak pendek berwarna hitam meng-

kilat! 

Akan tetapi, lawannya kali ini adalah Satria, salah se


orang murid kepala Perguruan Tangan Sakti. Bahkan juga 

murid kesayangan Ki Wanayasa! Jadi, walaupun Tikus 

Muka Merah telah berusaha sekuat tenaga untuk me-

rubuhkan Satria, tetap saja tidak mampu melakukannya. 

Jangankan untuk merubuhkan, mendesakpun tidak 

mampu. Padahal, segenap kemampuan yang dimilikinya 

telah dikerahkan. Bahkan pelahan namun pasti, Satria 

mulai mendesaknya. 

Tikus Muka Merah akhirnya sadar kalau Satria terlalu 

tangguh jika dihadapi dengan tangan kosong. Jelas dia 

kalah segala-galanya. Baik tenaga, kelincahan, maupun 

ilmu silat. Kalau hal ini dipaksakan, sudah dapat dipasikan 

dia akan rubuh di tangan Satria. Maka pantaslah kalau Ki 

Wanayasa menamakan perguruan silatnya, Perguruan 

Tangan Sakti. Memang, ilmu silat tangan kosong perguruan 

ini luar biasa. Pertahanannya sulit ditembus. Sedangkan 

penyerangannya begitu dahsyat dan bertubi-tubi laksana 

gelombang. 

Maka, tanpa ragu-ragu lagi Tikus Muka Merah langsung 

mengeluarkan senjata andalannya yang berupa sepasang 

tombak pendek berwarna hitam mengkilat. Kini dengan 

senjata andalannya, laki-laki kurus bermuka merah itu 

berusaha mendesak Satria. 

Satria terperanjat ketika merasakan desakan lawan 

yang menggunakan sepasang tombak pendek itu. 

Kemampuan Tikus Muka Merah menjadi berlipat ganda! 

Maka Satria tidak mau mengambil resiko. Cepat-cepat 

dicabut pedangnya dan langsung dikerahkan ilmu 

andalannya ‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’. 

Dengan ‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’, memang 

gerakan-gerakan Satria menjadi luar biasa. Belum lagi ilmu 

pedang itu sendiri yang memang dahsyat. Tidak heran 

dalam bebrapa gebrakan saja, Tikus Muka Merah mulai 

terdesak hebat. Dan pada jurus yang kedelapan, sebuah 

sabetan pedang Satria berhasil membacok leher laki-laki 

kurus itu.


Crakkk! 

Tanpa dapat berteriak lagi, tubuh Tikus Muka Merah 

rubuh ke tanah dengan leher hampir putus. Darah 

langsung muncrat dari luka sayatan di lehernya. Tokoh 

sesat itupun tewas seketika, setelah meregang nyawa 

sesaat. 

Sementara itu pertarungan yang berlangsung antara 

Seta melawan Kerbau Gila masih berlangsung sengit. 

Walaupun laki-laki tinggi besar itu telah menggunakan 

senjata andalannya, dan Seta hanya bertangan kosong, 

tapi tetap saja Kerbau Gila tidak mampu berbuat banyak. 

Jurus ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’ yang diguna-

kan Seta terlalu tangguh buat si Kerbau Gila. Pertahanan 

Seta begitu kokoh, membuat setiap serangan Kerbau Gila 

kandas di tengah jalan. Sementara serangan balasan dari 

pemuda murid Perguruan Tangan Sakti itu semakin lama 

semakin bertambah saja kekuatannya. Sehingga dalam be-

berapa puluh jurus saja Kerbau Gila sudah terdesak hebat. 

Sampai akhirnya pada jurus kelima puluh delapan, sebuah 

totokan ujung kaki kanan Seta dengan keras menghantam 

lutut kiri laki-laki tinggi besar itu. 

Tukkk! 

Si Kerbau Gila meringis. Totokan ujung kaki Seta yang 

ditunjang tenaga dalam tinggi itu membuat sambungan 

tulang lututnya terlepas. Rasa sakit yang hebatpun 

seketika menyerang lututnya. Akan tetapi, tidak sedikitpun 

terdengar keluhan dari mulut Kerbau Gila. Sifat sombong 

melarangnya bersikap cengeng di hadapan lawan. Dan 

saat Kerbau Gila sempoyongan, tiba-tiba Seta menyerang 

dahsyat. 

Pemuda murid Perguruan Tangan Sakti itu mengibas-

kan kaki kirinya sambil berputar. Inilah salah satu gerakan 

‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’. 

Desss!

aaakh….!” 

Diiringi suara berdebum keras, tubuh si Kerbau Gila itu 

ambruk ke tanah. Tidak bangun-bangun lagi. 

***


DUA


Sementara itu di arena lain, pertarungan antara murid-

murid Perguruan Tangan Sakti dengan para pemburu 

pusaka Ki Gering Langit kian menghebat. Murid-

murid tingkat rendahan perguruan itu sudah banyak yang 

berguguran. Begitu pula dari pihak para pemburu pusaka 

Ki Gering Langit. 

Baru saja Seta hendak terjun lagi dalam kancah 

pertarungan itu, tiba-tiba terdengar suara tawa tergelak. 

Sesaat kemudian muncul sesosok tubuh tinggi besar dan 

berkulit hitam legam. Dua tangannya yang kekar itu 

langsung diputar-putarkan di depan dada dari luar ke 

dalam. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Seketika bertiup 

angin keras yang mampu membuat mereka yang sedang 

bertarung bagai dilanda angin ribut. Padahal jarak orang 

bertubuh tinggi besar itu dengan arena pertempuran tak 

kurang dari lima tombak. 

Pertarungan seketika berhenti. Seluruh pasang mata 

kini tertuju pada manusia tinggi besar yang masih berdiri 

sambil terkekeh. Tak terkecuali Seta. Murid terpandai Ki 

Wanayasa ini kaget bukan main melihat peragaan tenaga 

dalam yang dipertunjukkan manusia tinggi besar itu. Dia 

sadar kalau orang yang baru datang itu memiliki kekuatan 

tenaga dalam yang berada jauh di atasnya. 

Terdengar gumaman kaget dari kerumunan para 

pemburu pusaka Ki Gering Langit. Rupanya banyak di 

antara mereka yang mengenal laki-laki tinggi besar itu. Dia 

adalah Bargola, yang merupakan datuk bagi kaum sesat. 

Bagai kucing ditakut-takuti sapu lidi, kerumunan para 

pemburu pusaka Ki Gering Langit kontan buyar. Mereka 

semua saling mendahului melangkah mundur, karena 

takut menjadi korban Bargola. 

Jantung Seta berdebar keras ketika mengetahui


manusia tinggi besar ini adalah Bargola. Sungguh di luar 

dugaan kalau dia saat ini berhadapan dengan tokoh yang 

belum pernah terkalahkan, kecuali oleh Ki Gering Langit! 

Tanpa bertempur lagi, Setapun sudah tahu kalau Bargola 

tak mungkin dapat dikalahkannya. Bahkan gurunya sendiri 

yang bernama Ki Wanayasa, belum tentu mampu 

menandingi Bargola. Akan tetapi walau demikian Seta 

merasa bertanggung jawab sebagai wakil penuh dari 

gurunya. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi ia maju 

menghampiri laki-laki tinggi besar itu. 

Melihat hal ini Satria dan Mega tidak mau berdiam diri 

saja. Mereka memang telah mendengar kedahsyatan ilmu 

Bargola. Merekapun tahu kalau Seta bukanlah tandingan 

tokoh sesat itu. Namun demikian mereka segera 

melangkah mengikuti di belakang Seta. Satria dan Mega 

benar-benar tidak sampai hati jika harus membiarkan 

kakak seperguruan mereka menentang maut sendirian. 

“Merupakan kehormatan besar, seorang tokoh besar 

sepertimu sudi mengunjungi tempat kami, Bargola,” ucap 

Seta dengan suara yang terdengar tenang. Tapi ke-

tegangan yang luar biasa masih juga menyelimuti hatinya. 

“Siapa kau? Menyingkirlah sebelum kesabaranku 

hilang!” bentak Bargola tanpa memperdulikan ucapan 

Seta. 

“Namaku Seta, murid Ki Wanayasa,” jawab Seta tegas. 

“O, jadi kau murid Wanayasa? Bagus. Kalau begitu 

cepat panggil Wanayasa! Katakan padanya aku meminta 

Pedang Bintang!” tegas Bargola dengan suara keras. 

“Sayang sekali Bargola. Guruku saat ini tidak ingin 

diganggu. Jadi menyesal sekali kalau aku tidak dapat 

menyampaikan pesanmu!” 

“He…he…he…. Kau beruntung Anak Muda. Sekarang ini 

hatiku tengah gembira. Kalau tidak, sudah sejak tadi kau 

telah jadi mayat! Tapi biarlah. Kalau kau tak mau 

memanggil Wanayasa, aku sendiri yang akan 

memanggilnya.”

Setelah berkata demikian, Bargola melangkah tenang 

menuju pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti. 

“Langkahi dulu mayatku!” teriak Seta tegas. Dengan 

berani dihadangnya tokoh sesat itu. dan….. 

Srattt! 

Cepat sekali Seta mencabut pedangnya. Ia tahu betul 

kalau lawannya kali ini memiliki tingkat kepandaian yang 

sulit diukur. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dicabut 

sebjata. Sebab, Bargola tidak bisa disamakan dengan 

Kerbau Gila! Kapandaian Bargola jauh di atas Kerbau Gila. 

“Ha…ha…ha…!” Bargola tertawa terbahak-bahak. “Maju 

dan seranglah aku, kunyuk! Ingin kulihat sampai di mana 

kelihaian ‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’ milik gurumu itu!” 

“Hiyaaaa….!” Teriak Seta keras. Tubuhnya melesat 

menerjang Bargola dengan satu tusukan lurus ke arah 

perut. Cepat sekali seangan yang dilakukan Seta itu. 

“Hm…..” dengus Bargola. 

Dengan gerakan yang seperti malas-malasan, Bargola 

memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada dari 

luar ke dalam. Angin keras seketika timbul dari kedua 

tangan yang berputaran itu. begitu kerasnya angin itu 

sehingga membuat tubuh Seta tertahan, tak dapat maju. 

Tubuhnya bagai menembus dinding yang tidak nampak. 

Seta menggertakkan giginya. Dikerahkan seluruh 

tenaganya, mencoba meneruskan serangannya yang 

kandas sebelum mencapai sasaran. Sekujur tubuhnya 

terutama tangannya yang terjulur menusukkan pedang ber-

getar keras. Sementara Bargola tenang-tenang saja sambil 

memuta-mutarkan kedua tangannya di depan dada. 

Sementara Satria dan Mega yang kawatir melihat 

keadaan kakak seperguruan mereka yang kritis, segera 

mencabut pedangnya hampir bersamaan. 

Srattt! Srattt! 

Dengan gerakan lincah dan indah, Satria dan Mega 

segera meloncat ke depan dan bersalto di udara melewati 

kepala Bargola. Dalam keadaan masih di atas, mereka


menukik menyerang bagian atas tubuh Bargola dengan 

tusukan pedang. 

Hebat juga serangan kedua orang murid Perguruan 

Tangan Sakti itu. semua yang ada di situ dan menyaksikan 

pertempuran mereka sampai menahan nafas melihat 

kedahsyatan serangan itu. Mereka semua merasa tegang 

menantikan bagaimana caranya datuk kaum sesat itu 

menghadapi serangan gabungan dalam keadaan yang 

tidak menguntungkan. 

Rupanya menghadapi keadaan yang sulit itu, Bargola 

hanya mendengus. Putaran tangannya mendadak ber-

tambah cepat dan berakibat dahsyat. Seta yang sejak tadi 

asih memaksa maju tanpa ampun lagi terlempar ke 

belakang. Tampak dari sudut bibirnya menetes darah 

segar. 

Setelah merubuhkan Seta dengan kecepatan 

mengagumkan, Bargola mengibaskan kedua tangannya ke 

atas. Hasilnya tusukan pedang Satria dan Mega tersampok 

tangna telanjang datuk kaum sesat itu. 

Trak! Trak! 

Satria dan Mega merasakan seluruh tubuh mereka ber-

getar hebat. Terutama sekali tangan yang meng-genggam 

pedang yang bagaikan lumpuh. Tubuh kedua murid Per-

guruan Tangan Sakti itu berputar di udara, lalu hinggap be-

berapa depa di belakang Bargola seraya terhuyung-huyung. 

Wajah keduanya nampak agak pucat karena sampokan 

tangan Bargola memang dahsyat sekali. 

Bargola balikkan tubuhnya menghadap Satria dan 

Mega. Kedua murid kepala itu merasakan jantungnya ber-

debar hebat. Datuk kaum sesat itu memang memiliki sorot 

mata yang menggiriskan. 

 Dengan menggertakkan gigi, Satria dan Mega ber-

usaha menghilangkan debaran jantung mereka. Kini kedua 

murid kepala itu bersama-sama mulai memasang jurus 

pembukaan ‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’. Walaupun 

keduanya sadar kalau ilmu yang diandalkan itu tidak


berarti apa-apa bagi Bargola, tapi tetap saja meraka ber-

siap-siap menyerang kembali. 

“Manusia-manusia tak tahu diri!” teriak Bargola dengan 

suara mengguntur. “Sebenarnya aku tidak berniat bermain-

main pada kalian. Tapi karena terlalu kurang ajar, maka 

aku tidak sungkan-sungkan lagi memberi pelajaran pada 

kalian!” 

“Hiyaaat….!” Teriak Satria sambil melompat menerjang 

Bargola, begitu datuk sesat tiu menyelesaikan kata-

katanya. 

“Hiyaaa….!” Mega menyusul menerjang pula. 

Hebat sekali serangan kedua kakak beradik 

seperguruan ini. apalagi dilakukan secara bersamaan. Tapi 

kini yang diserang adalah sosok yang telah terkenal 

kehebatannya. Bahkan boleh dibilang sebagai pentolan 

kaum sesat. Tokoh yang menggiriskan ini seolah-olah 

hanya diam saja menantikan serangan itu. Dan ketika 

serangan itu dekat, kedua tangannya bergerak cepat 

bukan main. 

Satria dan Mega tidak tahu lagi apa yang terjadi! Yang 

jelas, tangan mereka yang menggenggam pedang terasa 

lumpuh. Dan di lain saat pedang mereka sudah berpindah 

tangan! Rupanya saat serangan Satria dan Mega telah 

dekat, Bargola cepat menotok pangkal lengan mereka 

dengan mengandalkan kecepatan geraknya. Di saat tanagn 

mereka lumpuh, datuk kaum sesat itu merampas pedang-

pedang itu. 

Wajah Satria dan Mega seketika berurbah pucat. 

Sekilas mereka melirik Seta yang masih terbungkuk-

bungkuk menahan luka dalamnya, lalu beralih memandang 

Bargola yang telah merampas pedang begitu mudahnya. 

“Ha..ha…ha…!” Bargola tertawa bergelak. Kemudain 

dengan sedikit menggerakkan jari-jari tangannya, dipatah-

patahkannya pedang-pedang itu. 

Tiba-tiba terdengar tepuk tangan yang nyaring sekali, 

begitu Bargola menyelesaikan aksinya. Dan begitu suara


tepukan berhenti terdengar sebuah suara pujian yang 

mengandung ejekan. 

“Luar biasa! Ternyata nama besar Bargola bukan 

omong kosong belaka. Kini telah kulihat sendiri kebenaran 

berita itu. Buktinya tiga orang pemuda yang sama sekali 

tidak terkenal bisa dikalahkan.” 

Merah padam wajah Bargola. Bahkan kedua telinganya 

seperti terasa sakit. Disertai kemarahan menggelegak, 

ditolehkan kepalanya ke belakang kearah sumber suara 

tadi. 

Di sebelah Seta ternyata telah berdiri seorang kakek 

yang berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi 

kurus, agak bongkok dan berjenggot putih panjang hingga 

mencapai dada. Begitu melihat kakek ini, Satria dan Mega 

segera maju menghampiri dan memberi hormat. 

“Guru….” Satria dan Mega menyebut berbarengan. 

Kakek bongkok udang yang ternyata Ki Wanayasa 

hanya mengibaskan tangannya perlahan. 

“Menyingkirlah. Bargola bukan lawan kalian.” 

Tanpa diperintah dua kali, Satria dan Mega segera 

menyingkir ke balik punggung gurunya disebelah Seta. Kini 

mereka menyadari kelihaian Bargola yang luar biasa itu. 

Bargola mendengus sebentar. 

“Jadi kau rupanya yang bernama Wanayasa, Ketua 

Perguruan Tangan Sakti itu?! Kebetulan sekali kau keluar, 

jadi aku tak perlu repot-repot lagi mencarimu ke dalam!” 

kata Bargola. 

Ki Wanayasa menatap tajam dan masih tetap bersikap 

tenang. 

“Setahuku aku tidak pernah mempunyai urusan 

denganmu Bargola. Lalu mengapa tiba-tiba mencariku?! 

Apa ada hubungannya dengan Pedang Bintang milik Ki 

Gering Langit itu?” ujar Ki Wanayasa seperti minta pen-

jelasan. 

“Tentu saja ada. Justru kedatanganku ke mari hanya 

untuk mengambil Pedang Bintang itu!” tegas Bargola


cepat. 

“Sayang sekali…. Kau salah alamat Bargola! Aku sama 

sekali tidak tahu tentang pedang yang kau cari itu,” ujar Ki 

Wanayasa. 

“Maksudmu….?” Bargola terperangah kaget. 

“Ya…..” Ki Wanayasa menganggukkan kepalanya. 

“Pedang Bintang itu tidak ada padaku!” 

“Keparat!” teriak Bargola geram. Datuk sesat iu 

memang percaya akan ucapan itu. Ia tahu, seorang 

pemimpin perguruan besar seperti Ki Wanayasa tidak 

mungkin akan berbohong. Entah kemarahan Bargola 

ditujukan kepada siapa. 

“Bagaimana Bargola?” 

“Kalau begitu menyingkirlah Wanayasa. Aku akan 

memberi pelajaran pada orang-orang yang tidak tahu adat 

padaku!” dengus Bargola. 

Setelah berkata demikian Bargola menatap tajam 

ketiga orang murid kepala Perguruan Tangan Sakti yang 

berada di belakang Ki Wanayasa. Sementara Ki Wanayasa 

tahu kalau Bargola ingin melampiaskan kekecewaan pada 

tiga orang muridnya itu. Tentu saja hal itu akan berkibat 

fatal. Maka sambil tetap tersenyum, ditatapnya mata 

Bargola tajam-tajam. Tapi laki-laki tua itu tidak memungkiri 

kalau hatinya tegang juga. 

“Kalau aku tidak mau?” tanya Ki Wanayasa 

memancing. 

“Terpaksa kau yang akan kusingkirkan lebih dulu!” 

tegas Bargola. “Kau tinggal memilih Wanayasa. Menyingkir 

atau berhadapan denganku!” 

“Aku pilih yang kedua!” tegas Ki Wanayasa. 

Bargola tertawa terbahak-bahak. 

“Kalau begitu bersiaplah Wanayasa!” tantang Bargola. 

“Menyingkirlah kalian!” perintah Ki Wanayasa pada 

ketiga orang muris kepalanya. 

Tanpa diperintah dua kali Seta, Satria dan Mega segera 

menyingkir dari tempat itu. Hingga kini di situ tinggal Ki


Wanayasa dan Bargola yang sudah saling tatap sejarak 

empat tombak. 

“Silahkan Bargola,” ucap Ki Wanayasa dengan suara 

tenang. Namun demikian sebenarnya jantungnya berdegup 

keras dalam ketegangan yang memuncak. Ki Wanayasa 

tahu betul siapa itu Bargola. Sesungguhnya dia ragu, 

apakah mampu menghadapinya atau tidak. Itulah 

sebabnya mengapa tanpa ragu-ragu lagi Ki Wanayasa 

sudah menyiapkan ilmu andalannya ‘Delapan Cara 

Menaklukkan Harimau’. 

Ilmu andalan Ki Wanayasa itu adalah ilmu yang 

diciptakan langsung olehnya. Dia mengambil dan 

menggabung-gabungkan inti beberapa ilmu. Di antaranya 

adalah jurus ‘Kelabang’, ‘Naga’, ‘Belalang’ dan 

‘Kalajengking’. Sesuai dengan namanya jurus ini menitik 

beratkan pada bagian-bagian penyerangan. Memang pada 

dasarnya setiap ilmu selalu mempunyai jurus untuk 

bertahan dan jurus untuk menyerang. Hanya saja ilmu 

‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’. Yang lebih 

ditonjolkan adalah penyerangan. 

“Hm….!” Dengus Bargola. 

Selesai mendengus yang menjadi ciri khasnya, Bargola 

meluruk menerjang Ki Wanayasa. Kedua tangannya yang 

berbentuk cakar siap menggedor dada Ketua Perguruan 

Tangan Sakti ini. 

Angin yang berciutan keras dan tajam mengiringi 

serangan laki-laki tinggi besar itu. Ki Wanayasa yang sudha 

dapat memperkirakan kedahsyatan serangan itu tidak 

berani bersikap gegabah. Kesalahan sedikit saja akan 

berakibat fatal. Maka untuk sementara dia tidak berani 

sembarangan menangkis, tapi segera menggeser tubuhnya 

ke kanan. 

Akan tetapi Bargola sudah memperhitungkan hal itu. 

maka begitu dilihat Ki Wanayasa menggeser ke kanan, 

iapun segera menyampok ke kiri tetap mengarah ke dada 

Ketua Perguruan Tangan Sakti itu.


Kali ini Ki Wanayasa tidak mempunyai pilihan lain lagi. 

Terpaksa ditangkis serangan itu dengan jari-jari tangan 

terbuka disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya. 

Prattt….! 

Tubuh kedua tokoh sakti itu sama-sama bergetar hebat 

ketika dua pasang tangan beradu. Hanya saja tubuh Ki 

Wanayasa nampak terhuyung. Jelas, kalau adu tenaga 

dalam Bargola masih sedikit unggul darinya. 

Bargola cukup terkejut juga. Walaupun kepandaian Ki 

Wanayasa memang sudah diduganya, namun sungguh di 

luar dugaan kalau tenaga dalam Ketua Perguruan Tangan 

Sakti ini tinggi juga. Bahkan mungkin hampir menyamai 

tenaga dalamnya sendiri! Hal ini membuat Bargola yang 

memang beringas ini menjadi semakin murka. 

“Hm…..” Bargola segera mengeluarkan ilmu ‘Tapak 

Bara’ andalannya. 

Diiringi dengusan keras, datuk itu membuka serangan 

dengan tapak tangan kanan terbuka ke arah dada Ki 

Wanayasa. Sementara tangan kiri yang jari-jarinya terbuka 

bersilang di depan dada. 

Ki Wanayasa terperanjat bukan main. Kekagetannya itu 

bukan karena serangan melainkan akibat angin panas 

yang mendahului menyergapnya sebelum serangan 

Bargola tiba. Sebagai orang yang telah kenyang 

pengalaman, laki-laki tua ini tidak mau bertindak gegabah. 

Cepat-cepat dielakkan serangan itu dengan melentingkan 

tubuh ke samping sambil berputar di udara menjauh. Hawa 

panas itu membuat dadanya terasa sesak. 

Tentu saja Bargola tidak tinggal diam. Datuk beringas 

yang tengah murka ini segera memburunya dengan 

serangan-serangan yang dahsyat. Sebentar saja Ki 

Wanayasa telah terdesak. Ia hanya mengelak setiap 

serangan Bargola, tanpa berani menangkis. Sesekali 

memang balas menyerang tapi segera ditariknya kembali 

begitu dilihatnya Bargola akan memapak. 

Keadaan Ki Wanayasa ini tentu saja diketahui Satria,


Seta dan Mega. Mereka ingin segera membantu tapi 

bagaimana caranya? Jangankan ikut bertarung, untuk 

mendekat dalam jarak tiga tombak saja tidak sanggup. 

Hawa panas begitu terasa menyengat! 

Ki Wanayasa sadar jika keadaan ini terus berlangsung 

lambat laun akan rubuh di tanan Bargola yang dahsyat itu. 

hawa panas yang ditimbulkan ilmu ‘Tapak Bara’ Bargola 

benar-benar membuatnya tersiksa. Sekujur wajah dan 

tubuhnya sduah dibasahi keringat. Bahkan wajahnya 

nampak memerah bagai kepiting rebus. Dadanyapun 

terasa sesak. 

Dan pada jurus ketiga belas, Ki Wanayasa tidak mampu 

lagi mengelak. Bargola telah memojokkannya sedemikian 

rupa. Akibatnya dia tidak menemukan jalan keluar kecuali 

menangkis untuk menyelamatkan selebar nyawanya. 

Dengan terpaksa disambutnya tapak kanan Bargola yang 

merah membara dengan tapak tangannya. 

Plak! 

Tubuh Ki Wanayasa terhuyung-huyung. Kakek ini 

merasakan hawa panas yang amat sangat menjalar di 

sekujur tubuhnya. Tapak tangannya yang dipakai untuk 

menangkis nampak hangus. Ada bau sangit daging 

terbakar menyeruak dari tapak tangan itu. Sementara 

Bargola hanya bergetar saja tubuhnya. 

Ki Wanayasa menahan napas. Dikerahkannya seluruh 

hawa murni yang dimiliki untuk mengusir hawa panas yang 

menjalari sekujru tubuhnya. Untuk sesaat pertarungan ter-

henti. 

“Ha..ha…ha…!” Bargola tertawa tergelak penuh 

kemenangan! Dengan langkah lambat-lambat dihampirinya 

Ki Wanayasa yang masih berusaha mengusir hawa panas 

yang menjalari sekujur tubuhnya. 

“Bersiaplah untuk mati Wanayasa! Pantang bagiku 

membiarkan hidup seorang lawan yang berani menentang-

ku!” tegas Bargola. Suaranya begitu mengguntur. 

Kakek bongkok udang itu masih berusaha mengusir


hawa panas yang menyengat ketika datuk itu meng-

hampirinya. Kini semua pandangan mata tertuju pada 

Bargola yang tengah melangkah lambat menghampiri Ki 

Wanayasa. Sedangkan Ki Wanayasa hanya bersikap 

pasrah menanti ajal. 

Sebelum niat Bargola itu terlaksana, terdengar suara 

mendesing nyaring. Tak lama kemudian disusul 

melayangnya beberapa buah benda berkilatan ke arah 

Bargola. 

“Hm….” Dengus Bargola. 

Seketika kedua tangan laki-laki beringas itu bergerak 

menyampok benda berkilatan yang melesat cepat ke 

arahnya! Dari suara mendesing yang sangat nyaring, datuk 

kaum sesat itu dapat mengetahui betapa kuatnya tenaga 

dalam orang yang melemparkannya. Namun tanpa ragu-

ragu lagi Bargola menyampok dengan tangan telanjang. 

Dia benar-benar tidak merasa kawatir kalau benda-benda 

berkilatan itu akan melukai tangannya. Memang, pada saat 

mengerahkan ilmu ‘Tapak Bara’ kedua tangannya menjadi 

kebal terhadap segala macam senjata tajam. 

Trak, trak, trak! Tap! 

Tiga dari empat benda berkilatan yang mengarah ke 

tubuhnya terpental rubuh ketika ditangkis Bargola. 

Sedangkan sebuah lagi ditangkap tangannya. 

Mulanya Bargola kaget bukan main ketika merasakan 

tangan yang dipergunakan untuk menyampok bergetar 

hebat. Dan ketika melihat benda berkilat yang ada di 

tangannya, wajahnya seketika berubah! Benda berkilat itu 

ternyata adalah sebuah pisau berwarna putih. Bargola tahu 

betul siapa pemilik pisau itu. 

“Raja Pisau Terbang….” Gumam Bargola menyebut 

suatu nama. 

Belum habis ucapan itu, tahu-tahu di depan Bargola 

telah muncul sesosok tubuh berperawakan sedang. 

Wajahnya gagah dan menyorotkan kesabaran. Usianya 

sekitar lima puluh tahun. Memang dialah tokoh yang telah


melemparkan pisau-pisau yang berwarna putih mengkilat 

itu. Dia memang berjuluk Raja Pisau Terbang, seorang 

tokoh beraliran putih yang disegani lawan maupun kawan. 

“Sungguh tidak kusangka kalau kau bisa tersesat jauh 

ke sini, Bargola….” Sindir Raja Pisau Terbang pelan. 

Bargola hanya mendengus. Raut ketidak senangan 

tersirat jalas pada wajahnya. 

“Sayang sekali, Raja Pisau Terbang. Kali ini aku tidak 

berminat untuk berdebat atau bertarung denganmu. Saat 

ini aku tengah ada urusan lain yang lebih penting. Kalau 

tidak, sekarangpun bisa ditentukan siapa yang lebih kuat di 

antara kita. Jangan berharap kau akan semujur dulu!” 

tegas datuk sesat itu. Suaranya kasar dan terdengar berat. 

“Sampai kapanpun aku akan selalu siap sedia, 

Bargola,” ujar Raja Pisau Terbang sambil tersenyum. 

Bargola tidak menjawab. Datuk sesat itu lagi-lagi hanya 

mendengus. Suatu kebiasaan buruk yang telah menjadi ciri 

khasnya. Kemudian tanpa berkata-kata lagi digerakkan 

tubuhnya. Tampaknya hanya seperti menggeliat, tapi tahu-

tahu tubuhnya telah bergeser sejauh lima tombak. Raja 

Pisau Terbang hanya memandangi hingga tubuh Bargola 

lenyap di kajauhan. 

Melihat kepergian Bargola, apalagi setelah mendengar 

bahwa Pedang Bintang tidak ada di situ, maka para tokoh 

rimba persilatan pemburu Pusaka Ki Gering Langit itu satu 

persatu meninggalkan tempat. Dan tak lama kemudian 

yang tertinggal di situ hanya Ki Wanayasa dan murid-

muridnya serta si Raja Pisau Terbang. 

Ki Wanayasa yang telah pulih dari serangan hawa 

panas pada sekujur tubuhnya bergegas mengahampiri Raja 

Pisau Terbang. 

“Terima kasih atas pertolonganmu, Adi Kirin. Kalau 

tidak……, hhh! Bargola memang hebat. Ilmu ‘Tapak 

Bara’nya benar-benar dahsyat! Bahkan ilmu meringankan 

tubuhnyapun luar biasa sekali….” Ucap Ki Wanayasa. 

“Lupakanlah Kakang Wanayasa. Di antara kita rasanya


tidak perlu berbasa basi seperti itu. Kedatanganku ke sini 

hanya secara kebetulan. Katika kulihat Bargola di Desa 

Ketapang di Kaki Gunung Waru ini, aku curiga. Maka 

akupun mengikutinya. Jelas ini sangat mengherankan 

sekaligus mencurigakan kalau Bargola yang berada jauh di 

Barat, tiba-tiba berkeliaran sampai ke Timur sini. Setelah 

kuikuti, ternyata dia memang ingin ke sini. Sayang, aku 

agak terlambat….” Sesal Raja Pisau Terbang yang bernama 

Kirin ini sambil tersenyum kecil. “Ilmu ‘Tapak Bara’nya 

memang hebat. Tapi mengenai ilmu meringankan tubuh, 

rasanya masih bisa kusaingi. Kecuali terhadap tokoh yang 

satu itu…. Terus terang aku takluk pada ilmu meringankan 

tubuh dan kecepatan geraknya…..” 

“Ki Gering Langit?” tebak Ki Wanayasa. 

“Bukan. Beliau tidak masuk hitungan,” Raja Pisau 

Terbang menggelengkan kepalanya perlahan. 

“Lalu siapa?” tanya Ki Wanayasa. Pikirannya berputar 

keras. Dan tiba-tiba mendapatkan satu nama. 

“Maksudmu…… si Ular Hitam?” 

“Benar,” Raja Pisau Terbang mengangguk. Ia sudah 

dapat menduga ketajaman berpikir Ketua Perguruan 

Tangan Sakti itu. 

“Ahhh….!” Ki Wanayasa mendesah pelan. 

“Dialah si pemilik ilmu meringankan tubuh yang luar 

biasa. Bahkan kecepatan gerak tangannya tidak bisa 

kusaingi. Kalau saja aku tidak memiliki pisau terbang, 

mungkin sudah tewas di tangannya dulu….” 

Ki Wanayasa mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Ya, pernah kudengar berita itu. kalau tidak salah ilmu 

meringankan tubuh dan kecepatan geraknya yang luar 

biasa itu adalah ilmu ‘Ular Terbang’ dan terkenal sebagai 

ilmu andalannya.” 

Raja Pisau Terbang hanya mengangguk. 

“Kudengar selama beberapa tahun ini nama Ular Hitam 

tidak pernah terdengar lagi. Apa betul begitu, Adi Kirin?” 

tanya Ki Wanayasa lebih jauh.


“Benar. Aku sendiri juga heran kakang Wanayasa. 

Mendadak saja ia lenyap tanpa berita bagai ditelan bumi. 

Kabar yang tersiar di dunia persilatan simpang siur. Ada 

yang mengatakan menyembunyikan diri untuk 

menciptakan ilmu-ilmu baru yang akan digunakan untuk 

membalas kekalahannya terhadap Ki Gering Langit. Berita 

yang pasti tidak ada yang tahu. Mendadak saja ia lenyap 

tanpa jejak…” 

Ki Wanayasa termenung sejenak mendengar cerita 

Raja Pisau Terbang itu, tapi tiba-tiba saja teringat sesuatu. 

Ditepuknya keningnya sebentar. 

“Tuan rumah macam apa aku ini. Ada tamu agung 

bukannya disambut, diajak masuk dan disediakan minum. 

Tapi malah dibiarkan berdiri berpanas-panas di luar! 

Ahhh…. Mari masuk dulu Adi Kirin. Kita rayakan pertemuan 

yang istimewa ini di dalam.” 

Raja Pisau Terbang hanya tersenyum. 

“Usul yang baik sekali,” ucap laki-laki setengah baya ini 

gembira sambil mengikuti langkah kaki Ki Wanayasa yang 

telah lebih dulu berjalan menuju ke dalam bangunan 

Perguruan Tangan Sakti. 

Sementara itu Satria segera menolong Seta yang 

terluka cukup parah. Sedangkan Mega sibuk mengatur 

adik-adik seperguruannya untuk mengurus mayat-mayat 

yang bergelimpangan di tempat itu. Beberapa murid 

lainnya menolong saudara seperguruannya yang terluka.


TIGA



Malam itu langit kelihatan kelam. Bulan yang hanya 

sepotong di langit terlihat tidak berdaya 

menembus awan hitam dan tebal yang bergumpal-

gumpal menutupinya. Angin dingin yang berhembus dan 

terkadang sesekali keras itu kian menambah seramnya 

suasana malam. Dan dalam suasana seperti itu orang-

orang merasa lebih suka tinggal di dalam rumah. Mereka 

lebih suka dibuai mimpi di peraduannya daripada 

berkeliaran di luar. 

Tetapi kenikmatan seperti itu tidak diperoleh murid-

murid Perguruan Tangan Sakti yang tengah mendapat 

tugas berjaga. Walaupun keadaan alam yang tidak 

bersahabat, mereka harus tetap berjaga-jaga bersikap 

waspada. Apalagi mengingat kejadian tadi pagi. Bukan 

tidak mungkin kalau malam ini ada tokoh-tokoh persilatan 

yang masih penasaran ingin menyatroni perguruan mereka 

untuk mencari Pedang Bintang. 

Empat orang murid nampak berjaga-jaga dekat pintu 

gerbang memandang ke sekeliling. Sikap mereka benar-

benar waspada dalam keremangan cahaya sinar obor yang 

nampak lemah tak berdaya. Beberapa murid lain 

menunggu di pos. Sementara dua orang lainnya berkeliling 

ke sekeliling perguruan. 

Keadaan benar-benar gelap. Walaupun sepasang mata 

dibelelakkan sebesar-besarnya tetap saja tidak akan ter-

lihat apa-apa selain kegelapan pekat. Tapi empat orang 

murid yang bertugas jaga itu tetap memperhatikan se-

kelilingnya dengan mata nyalang. 

Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka melihat 

sesuatu dalam kegelapan malam yang pekat itu. Beberapa 

saat lamanya murid itu menggeleng-gelengkan kepalanya 

sambil mengucek-ucek mata untuk meyakini peng


lihatannya. Tetapi tetap saja dia melihat sosok bayangan 

putih yang begitu enaknya bersila di atas sebatang ranting. 

Padahal ranting pohon itu hanya sebesar ibu jari! 

“Ha…hantu….” Keluar jua ucapan itu dari mulut salah 

seorang murid walaupun dengan bibir gemetar. 

Sebenarnya ucapan yang keluar dari mulut murid yang 

sial itu tidak keras bahkan hanya perlahan saja. Tapi 

karena keadaan yang begitu hening, suara yang perlahan 

itu jadi terdengar keras. Dan tentu saja terdengar oleh 

teman-temannya yang berada tidak jauh dari situ. 

“Ada apa, Parja?” tanya salah seorang temannya 

sambil bergerak mendekat. 

Parja, murid yang melihat sosok tubuh putih itu 

mencoba untuk menyahut. Tapi ternyata tidak mampu. 

Yang keluar dari mulutnya hanyala suara gumaman tidak 

jelas. 

Tentu saja yang lain tidak mengerti maksudnya. 

Untungnya Parja juga menuding-nudingkan jari telunjuk ke 

arah tempat ia melihat sosok tubuh serba putih itu tadi. 

Serentak kepala teman-temannya menoleh ke arah 

yang ditunjuk Parja. Dan betapa terkesiapnya hati mereka 

ketika melihat sesuatu yang ditunjuk Parja. 

“Han…hantu….” Desis mereka dengan suara bergetar. 

Walaupun mereka telah digembleng untuk tidak takut 

menghadapi maut, akan tetapi pada mahluk halus tetap 

saja gentar! 

Tapi rupanya salah seorang penjaga yang beranama 

Wiji tidak percaya dengan adanya hantu. 

“Aku tidak percaya kalau hantu atau siluman itu ada. 

Buktinya dari dulu aku tidak pernah bertemu segala 

mahluk tetek bengek itu! aku yakin ini hanyalah satu siasat 

orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari 

suasana malam yang tidak seperti biasanya ini!” tegas Wiji 

dengan sikap tenang. 

Ucapan dan sikap dari Wiji membuat Parja dan teman-

temannya menjadi agak lebih berani. Kini mereka menatap


sosok bayangan putih itu penuh perhatian. 

Mendadak saja sosok bayangan putih itu bangkit dari 

bersilanya. Dan secepat itu pula tubuhnya melompat dari 

ranting pohon yang tadi didudukinya kearah Wiji, Parja dan 

seorang rekannya yang tengah memperhatikan. Sosok 

bayangan putih itu begitu ringan hinggap sekitar empat 

tombak di depan para murid Perguruan Tangan Sakti. 

Dengan bantuan sinar obor apalagi pakaian orang itu 

serba putih, Wiji dan tiga murid lainnya dapat melihat lebih 

jelas sosok bayangan putih itu lagi. Sedangkan Parja 

bergerak menjauh karena rasa takut yang menyerangnya. 

Dia hanya memperhatikan tanpa berkedip. 

Sosok bayangan putih itu bertubuh tinggi kurus. 

Wajahnya tertutup selubung putih yang memiliki dua buah 

lobang kecil untuk mata. Pakaiannya juga serba putih. Di 

bagian dada terdapat sebuah gambar tengkorak kepala 

manusia. 

Wiji dan teman-temannya memperhatikan sosok 

bayangan putih itu dengan bulu tengkuk meremang. 

Apalagi ketika menatap sepasang mata yang mencorong 

kehijauan di balik selubung itu! Sepasang mata itu lebih 

mirip mata harimau dalam gelap! Manusiakah sosok yang 

berdiri di hadapan mereka ini? 

Dan belum lagi sadar dari keterpakuannya, sosok serba 

putih itu tiba-tiba mengebutkan tangannya. Kelihatannya 

pelan saja tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Wiji dan 

kedua orang temannya terlempar ke belakang sejauh lima 

tombak lebih. Bagai diterjang angin ribut saja layaknya. 

Tubuh mereka masih terguling-guling di tanah 

beberapa tombak jauhnya. Dan begitu daya lontar 

serangan sosok serba putih itu habis, tubuh merekapun 

berhenti. Mereka kini tidak bergeak lagi dengan sekujur 

tubuh berwarna kebiruan. Tewas! 

Parja dari kajauhan menatap mayat ketiga temannya 

dengan perasaan campur aduk. Marah, kaget dan juga 

ngeri! Jelas sekali dilihatnya kalau sosok serba putih itu


hanya menggerakkan tangannya perlahan saja. Dan 

akibatnya begitu hebat dan mengerikan! Parja sadar kalau 

sosok serba putih ini memiliki kepandaian amat tinggi dan 

jelas bukan tandingannya. Maka cepat-cepat dia memukul 

kentongan tanda bahaya. 

“Tidak ada ampun bagi orang yang berani meremehkan 

Siluman Tengkorak Putih!” ucap sosok serba putih itu. 

Tok! Tok! Tok! 

Dalam sekejapan saja suara kentongan itu telah 

memecah keheningan malam kelam. Sosok serba putih 

yang ternyata berjuluk Siluman Tengkorak Putih 

membiarkan saja apa yang dilakukan Parja. Parja memang 

sengaja tidak di bunuh agar memberitahukan 

kedatangannya. Keonaran ini memang sengaja dibuat 

untuk membuat Ki Wanayasa keluar dari tempatnya. 

Apa yang diharapkan Siluman Tengkorak Putih ternyata 

memang tidak salah. Suara kentongan yang dipukul Parja 

itu segera saja menimbulkan kegemparan di bangunan 

besar Perguruan Tangan Sakti. Berbondong-bondong para 

murid perguruan bergerak menuju arah kentongan 

berbunyi. Di antara mereka nampak pula murid utama 

Perguruan Tangan Sakti. 

Seta yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling 

tinggi di antara murid-murid lainnya adalah orang pertama 

yang paling dulu tiba di tempat Parja memukul kentongan. 

Ia telah sembuh kembali seperti sediakala setelah diobati 

gurunya siang tadi. 

Yang pertama dilihat Seta adalah sosok serba putih 

yang tengah berdiri tenang sambil menatap parja yang 

masih sibuk memukul kentongan. 

“Ada apa Parja?” tanya Seta begitu tiba di samping 

Parja. 

“Siluman itu membunuh rekan-rekan kita Kang,” jawab 

Parja dengan suara tersendat. 

Untuk beberapa saatnya lamanya Seta celingukan. 

Sepasang matanya nyalang mengawasi sekitarnya. Yang


dicari adalah mayat adik-adik seperguruannya yang 

menurut laporan Parja telah dubunuh sosok putih di 

depannya. Tapi sampai sakit matanya dia tidak melihat 

apa-apa. Suasana malam yang gelap menghalangi 

pandangannya. 

Beberapa saat kemudian ketika para murid perguruan 

lainnya yang membawa obor tiba, Seta akhirnya dapat 

melihat mayat adik-adik seperguruannya. Obor-obor yang 

dibawa cukup menerangi keadaan sekitar tempat itu. 

Melihat hal ini amarah Seta meluap. Dengan sinar mata 

merah ditatapnya sosok bayangan putih di depannya. 

“Hai, Siluman! Apa persoalannya dengan kami sehingga 

kau begitu kejam membunuh murid-murid Perguruan 

Tangan Sakti?!” 

Siluman Tengkorak Putih hanya tertawa. Tawanya 

begitu aneh. Pelan, berat dan bergaung. Sepertinya bukan 

keluar dari mulut manusia! 

Semula tidak ada yang aneh pada awa itu selain 

bunyinya yang tidak seperti tawa manusia pada umumnya. 

Tapi beberapa saat kemudian suara tawa itu mulai 

menampakkan akibatnya. Seta merasakan suara tawa 

pelahan namun pasti, mulai menyakiti telinga dan 

membuat sesak dadanya. Otak Seta yang cerdas segera 

saja menduga ada ketidak wajaran pada suara tawa itu. 

Sekilas diliriknya Parja. 

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Seta melihat 

Parja tengah duduk bersila. Kedua tangannya menutupi 

kedua telinga untuk menghalangi serangan suara tawa itu. 

Ternyata bukan hanya Praja saja. Terlihat semua adik 

seperguruannya duduk bersila dan menutup kedua 

telinganya. Tak terkecuali Satria dan Mega! Bahkan ada 

beberapa orang adik seperguruannya yang telah menggigil 

sekujur tubuhnya. Seta yang telah berpengalaman, tahu 

kalau adik seperguruannya itu tidak akan dapat bertahan 

lama. Sebenarnya dia juga mengalami hal yang sama. Tapi 

karena tenaga dalamnya lebih kuat, dia lebih dapat


bertahan. 

“Hiyaaaat…..!” 

Sambil berteriak keras Seta melompat menerjang 

Siluman Tengkorak Putih yang masih tertawa. Disadari 

kalau lawannya ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi. 

Maka tanpa ragu-ragu lagi dicabut pedangnya dan 

langsung dikeluarkan ilmu andalan ‘Ilmu Pedang 

Pembunuh Naga’! 

Suara berdesing nyaring mengawali serangan. 

Walaupun Siluman Tengkorak Putih sudah dapat 

memperkirakan kedahsyatan serangan lawan, tetapi dia 

hanya mendengus saja. 

“Manusia tidak tahu diri! Kalau mau aku telah 

membunuhmu dengan suara tawaku itu!” 

Setelah berkata demikian tangannya yang telanjang 

bergerak cepat menangkis serangan pedang Seta. 

Kecepatan gerak tangannya mengingatkan orang pada 

serangan seekor ular pada mangsanya. Begitu cepat dan 

tiba-tiba. 

Trak! 

“Akh….!” 

Seta menyeringai. Tangannya yang menggenggam 

pedang mendadak lumpuh sesaat begitu tangan Siluman 

Tengkorak Putih menangkis pedangnya. Tanpa dapat 

dicegah lagi pedangnya terlepas dari pegangan. 

Belum lagi Seta sempat berbuat sesuatu, serangan 

belasan Siluman Tengkorak Putih telah mengancam. Murid 

utama Perguruan Tangan Sakti itu hanya melihat kelebatan 

sinar putih menyambar ke arahnya. Dirasakannya juga 

hembusan angin dingin menuju ke arahnya. 

Seta kaget bukan main. Sebisa-bisanya dilempar 

tubuhnya ke belakang dan bergulingan di tanah beberapa 

kali. Tapi tetap saja ekor matanya melihat ada sekelabatan 

sinar putih mendekati ubun-ubunnya. Seta terus ber-

gulingan. Sementara itu kelebatan sinar putih itu tetap 

mencecar ubun-ubunnya.


Satria, Mega dan beberapa adik seperguruannya 

melihat semua itu disertai rasa cemas yang mendalam. 

Berbeda dengan Seta mereka yang kini sudah bebas dari 

serangan tawa itu dapat melihat jelas semua yang terjadi. 

Memang kakak seperguruan mereka berusaha mati-matian 

mengelak dari ancaman tangan Siluman Tengkorak Putih 

yang mencecar ubun-ubunnya. 

Satria dan Mega yang bergegas melompat hendak 

membantu ternyata terlambat! Tangan manusia siluman itu 

telak sekali menghantam ubun-ubun murid utama 

Perguruan Tangan Sakti itu. 

Crokkk….! 

“Akh!” 

Seta memekik tertahan, sebelum tubuhnya rubuh 

dengan ubun-ubun kepala pecah. 

“Kang Seta…..!” teriak Satria dan Mega hampir 

bersamaan. Dua orang murid utama Perguruan Tangan 

Sakti itu tercenung. Pandangan mata mereka seolah-olah 

tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk beberapa 

saat lamanya keduanya terbengong-bengong. 

“Tidak ada ampun bagi orang yang berani menyerang 

Siluman Tengkorak Putih!” ancam sosok bayangan putih itu 

dengan suara yang khas. Pelan, berat dan bergaung. 

Kontan Satria dan Mega tersadar dari termenungnya. 

Ketika kesadaran mereka timbul maka timbul pula 

kemarahan di dada. 

Srat! Srat! 

Bagai dikomando kedunya mencabut pedangnya 

masing-masing secara bersamaan. Akan tetapi….. 

“Tahan…..!” 

Tiba-tiba suatu bentakan nyaring menahan gerak Satria 

dan Mega yang akan menerjang Siluman Tengkorak Putih. 

Serentak keduanya mengurungkan niatnya. Dikenali betul 

pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan guru mereka, Ki 

Wanayasa. 

Keduanya serentak menoleh ke arah asal suara.


Tampaklah Ki Wanayasa berjalan bersama tamunya Raja 

Pisau Terbang. 

“Aku telah dapat memastikan, Kakang Wanayasa. 

Siluman Tengkorak Putih ini ada hubungannya dengan si 

Ular Hitam! Aku tahu betul gerakannya waktu menewaskan 

Seta adalah ilmu ‘Ular Terbang’!” bisik Raja Pisau Terbang 

pada Ki Wanayasa. 

“Tapi…. bukankah Ular Hitam telah lama lenyap dari 

dunia persilatan? Lagi pula, sepanjang yang kuketahui si 

Ular Hitam tidak pernah punya murid!” bantah Ki 

Wanayasa. Sepasang matanya menatap marah ke arah 

Siluman Tengkorak Putih yang telah membunuh murid 

kesayangannya. 

“Ah, Kakang. Siapa yang mengetahuinya? Di antara 

seluruh datuk persilatan dialah satu-satunya datuk yang 

paling misterius. Siapa yang tahu dia punya murid atau 

tidak?” 

“Hey…..! Siapa di antara kalian yang bernama 

Wanayasa? Mengakulah sebelum terlambat!” bentak 

Siluman Tengkorak Putih. Nadanya tidak sabar begitu 

melihat keduanya telah mendekat. 

Raja Pisau Terbang dan Ki Wanayasa hanya tersenyum. 

Apalagi si Raja Pisau Terbang. Padahal si Raja Pisau 

Terbang adalah salah seorang datuk persilatan yang 

ditakuti lawan dan disegani kawan. Dan kini diancam 

seroang tokoh yang baru dikenal dan berjuluk Siluman 

Tengkorak Putih! Siapa yang tidak geli? 

“Kisanak,” ucap Raja Pisau Terbang dengan sabar. 

“Sungguh tidak kusangka kalau kau begitu sombong. 

Melihat gerakanmu aku yakin kau mempunyai hubungan 

dengan si Ular Hitam. Entah sebagai murid atau adik 

seperguruannya. Atau kau adalah pencuri kitab-kitab ilmu 

silatnya? Hanya yang perlu kau ketahui Kisanak. 

Jangankan dirimu. Ular Hitam saja tidak berani berkata 

seperti itu kepadaku!” 

Ha…ha…ha…!


Tiba-tiba terdengar suara tawa terbahak-bahak begitu 

Raja Pisau Terbang mengakhiri ucapannya. Belum lagi 

gema suara itu lenyap, muncul sesosok tubuh pendek 

kekar. Rambutnya awut-awutan dan bermata merah. Dan 

kini orang itu telah berada di sebelah kanan Siluman 

Tengkorak Putih. 

“Raja Racun Pencabut Nyawa….” Desis Raja Pisau 

Terbang begitu melihat sosok tubuh yang berdiri di sebelah 

kanan Siluman Tengkorak Putih. 

Ki Wanayasa tersentak kaget juga. Telah didengar 

banyak tentak tokoh ini dari adik seperguruannya. Raja 

Racun Pencabut Nyawa tinggal di Barat dan pernah 

dikalahkan si Ular Hitam dalam pertarungan merebutkan 

kedudukan datuk di Barat. Karena kekalahannya itu dia 

menyingkir ke Selatan. Ternyata dia di situ membuat 

kekacauan sehinnga membuat adik seperguruan Ki 

Wanayasa turun tangan menantangnya. Kali inipun Raja 

Racun Pencabut Nyawa harus menelan pil pahit. Adik 

seperguruan Ki Wanayasa tidak mampu dikalahkannya. 

Kepandaian keduanya berimbang. Sehingga dalam per-

tarungan mati-matian itu mereka sama-sama mendapat 

luka. Itulah berita yang didengar Ki Wanayasa dari adik se-

perguruannya. Sungguh tidak diduga kalau malam ini dia 

akan bertemu tokoh itu. 

“Gerda, orang yang berbicara tadi itu adalah Raja Pisau 

Terbang,” ujar Raja Racun Pencabut Nyawa memberitahu. 

“Oh, pantas. Dia begitu sombong. Jadi kalau bagitu 

orang yang disebelahnya adalah Ki Wanayasa, Paman?” 

tanya Siluman Tengkorak Putih meminta ketegasan. 

“Betul.” 

Kini dengan sorot mata garang, Siluman Tengkorak 

Putih menatap Ki Wanayasa penuh selidik. 

Diperhatikannya kakek bongkok udang itu lekat-lekat. 

“Ki Wanayasa! Kau tentu sudah tahu maksud 

kedatanganku ke sini bukan?” tanya Siluman Tengkorak 

Putih tenang.


Ki Wanayasa hanya tersenyum. 

“Sudah bisa kutebak maksud kedatanganmu, Siluman 

Tengkorak Putih. Apalagi kalau bukan masalah Pedang 

Bintang?! Bukankah demikian?” 

“He…he….he…” Siluman Tengkorak Putih hanya 

terkekeh. 

“Ahhhh….sayang sekali!” ujar Ki Wanayasa sambil 

menghela napas. 

“Mengapa?” 

“Pedang itu sama sekalu tidak ada padaku.” 

“Bohong!” bentak Siluman Tengkorak Putih keras. 

“Jaga mulutmu Kisanak!!” bentak Ki Wanayasa tak 

kalah garangnya. “Jangan dikira aku takut padamu!” 

“Keparat!” Siluman Tengkorak Putih menggeram hebat. 

Sudah dapat diduga kalau akhirnya laki-laki berjubah ini 

akan menyerang Ki Wanayasa. 

“Gerda, sabar dulu….” 

Siluman Tengkorak Putih yang bernama Gerda itu 

mengurungkan niatnya. Ditatapnya wajah Raja Racun 

Pencabut Nyawa lekat-lekat. 

“Dia telah menghinaku, paman” protes Siluman 

Tengkorak Putih. 

“Hal itu bisa diurus nanti. Sekarang yang penting 

adalah persoalan Pedang Bintang. Sabarlah sebentar……” 

jelas Raja Racun Pencabut Nyawa sambil memegang bahu 

Siluman Tengkorak Putih. 

Beberapa saat lamanya Siluman Tengkorak Putih ter-

menung. Tapi akhirnya menganggukkan kepalanya juga. 

Kini Raja Racun Pencabut Nyawa mengalihkan pandangan-

nya pada Ki Wanayasa. 

“Ki Wanayasa….” Sapa Raja Racun Pencabut Nyawa 

pelan. Seulas senyum licik tersungging di bibirnya. 

“Tidak usah banyak peradatan, Raja Racun!” selak Ki 

Wanayasa keras. “Katakan saja apa maumu dan jangan 

bertele-tele!” 

Seketika wajah Raja Racun Pencabut Nyawa berubah


setelah mendengar teguran kasar itu. Sesaat sepasang 

matanya berkilat penuh kemarahan. Tapi itu hanya 

sebentar saja karena sekejap kemudian sudah kembali 

biasa. 

“Baiklah Wanayasa. Sungguh tidak kusangka sama 

sekali kalau orang terhormat seperti dirimu yang juga 

Ketua Perguruan Tangan Sakti ternyata hanya seorang 

pengecut! Bahkan tidak segan-segan berdusta untuk 

menyelamatkan nyawanya!” 

“Keparat kau, Raja Racun!” bentak Ki Wanayasa 

marah. “Jelaskan apa maksudmu, sebelum aku terpaksa 

bersikap yang tidak sepantasnya terhadapmu!” kakek 

bongkok udang ini memang paling pantang di katakan 

pengecut. Maka kemarahannyapun langsung bergolak 

mendengar ucapan Raja Racun Pencabut Nyawa. 

Raja Racun Pencabut Nyawa hanya terkekeh saja men-

dengar ancaman itu. 

“Wanayasa. Hampir semua orang persilatan tahu kalau 

Pedang Bintang itu ada padamu. Tapi kini kau 

menyangkalnya! Bukankah orang seperti itu pengecut 

namanya?” 

“Raja Racun Pencabut Nyawa….. dan kau juga Siluman 

Tengkorak Putih!” ucap Ki Wanayasa seraya memandang 

Siluman Tengkorak Putih sekilas. “Dengarlah baik-baik. 

Demi kehormatanku selaku Ketua Perguruan Tangan Sakti, 

kukatakan pada kalian bahwa Pedang Bintang itu tidak ada 

di sini!” 

“Kau berdusta, Wanayasa!” teriak Siluman Tengkorak 

Putih kalap seraya melangkah maju. 

“Tenang Gerda,” Raja Racun Pencabut Nyawa 

menyentuh tangan Siluman Tengkorak Putih. 

“Dia berdusta, Paman….” 

“Dia berkata benar.” Raja Racun Pencabut Nyawa 

menggelengkan kepalanya. Dia tahu pasti kalau Ki 

Wanayasa tidak berdusta. Seorang seperti dia lebih meng-

hargai kehormatan dari pada nyawa. Dan diketahui betul


hal itu. 

“Tapi, Paman…..” Siluman Tengkorak Putih masih 

penasaran. 

“Biar aku yang mengurusnya, Gerda. Percayalah. 

Masalah ini pasti akan tuntas!” 

mendengar jaminan Raja Racun Pencabut Nyawa, 

Siluman Tengkorak Putih kembali mundur ke tempatnya. 

Dia percaya penuh akan kemampuan orang yang dipanggil-

nya paman ini. Dia juga tahu kalau pamannya itu mem-

punyai berbagai macam tipu muslihat. 

“Wanayasa….. aku mempercayai keterangan yang kau 

berikan itu. Aku juga percaya kalau Pedang Bintang itu 

memang tidak ada padamu. Tapi itu bukan berarti kalau 

kau tidak tahu menahu di mana adanya pedang itu. Bukan 

begitu Wanayasa?” pancing Raja Racun Pencabut Nyawa. 

Wajah Ki Wanayasa beubah hebat. Sungguh di luar 

dugaan kalau Raja Racun Pencabut Nyawa itu sedemikian 

cerdiknya. Dan ini membuatnya cemas bukan main. 

“Apa urusannya hal itu denganku?!” 

“Katakan saja di mana adanya Pedang Bintang itu. 

Maka, kami akan segera pergi dari sini!” desak Raja Racun 

Pencabut Nyawa tidak sabar. 

“Kalau aku tidak memberitahukannya?” 

“Aku akan memaksamu!” 

“Silahkan, Raja Racun,” tantang Ki Wanayasa sambil 

tersenyum. 

“Keparat!” Raja Racun Pencabut Nyawa memaki. 

“Tunggu, Paman!” Siluman Tengkorak Putih segera 

mencekal lengan Raja Racun Pencabut Nyawa yang 

hendak menerjang Ki Wanayasa. Raja Racun Pencabut 

Nyawa menoleh. “Serahkan dia padaku,” ucapnya lagi. 

Raja Racun Pencabut Nyawa menangkap adanya 

tekanan pada nada suara itu. Dan ia tahu kalau kali ini 

Siluman Tengkorak Putih itu tidak ingin dibantah lagi. Maka 

dengan berat kakinya melangkah mundur. 

Siluman Tengkorak Putih maju beberapa tindak


“Wanayasa, sekali lagi kau kuberi kesempatan. 

Katakan di mana Pedang Bintang itu!” 

“Jangan harap aku mengatakannya, bocah!” tegas Ki 

Wanayasa tajam. 

“Keparat! Kalau begitu mampuslah kau!” 

Setelah berkata demikian, Siluman Tengkorak Putih 

menerjang Ki Wanayasa. Gerakannya cepat bukan main. 

Kedua tangannya yang terbuka lurus dan mengejang kaku 

menyerang bertubi-tubi pada pusar, ulu hati dan 

tenggorokan Ketua Perguruan Tangan Sakti itu. Deru angin 

nyaring mengawali tibanya serangan Siluman Tengkorak 

Putih. 

Ki Wanayasa yang sudah mengetahui kecepatan gerak 

lawannya yang luar biasa ini, memang sudah sejak tadi 

bersikap waspada. Maka ketika melihat serangan yang 

bertubi-tubi mengancam beberapa bagian yang berbahaya 

di tubuhnya, dia tidak menjadi gugup. Cepat-cepat ditarik 

mundur kaki kirinya ke kanan belakang. Sehingga 

serangan-serangan Siluman Tengkorak Putih itu lewat 

beberapa rambut di depan tubuhnya. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Ki Wanayasa. Saat 

ditarik mundur kaki kirinya, kedua tangannya yang disertai 

pengerahan ilmu ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’, 

mencengkeram ke arah pelipis dan lambung lawan. 

Hebat dan berbahaya bukan main serangan yang 

dilakukan Ki Wanayasa itu! Apalagi dilakukan dalam jarak 

yang demikian dekat. Maka serangan itu menjadi tambah 

berbahaya saja. Dan rasa-rasanya tidak ada kesempatan 

lagi bagi Siluman Tengkorak Putih itu untuk menangkis 

atau mengelakkan serangan itu. Begitu tiba-tiba dan 

mendadak! 

“Ah…..” desah Raja Racun Pencabut Nyawa pelan, 

ketika melihat keadaan berbahaya yang mengancam 

Siluman Tengkorak Putih. Bahkan Raja Pisau Terbang 

diam-diam menarik nafas karena terlalu tegang. 

Hati Siluman Tengkorak Putihpun sempat terkesiap,


melihat serangan yang begitu tiba-tiba itu. Akan tetapi 

dengan kecepatan gerak yang luar biasa segera ditarik 

pulang serangannya dan cepat-cepat ditangkis serangan Ki 

Wanayasa. Tangan kiri melindungi pelipis, sedangkan 

tangan kanannya menjegal serangan yang menuju ke 

lambung. 

Plak! Plak! 

Ki Wanayasa terhuyung tiga langkah ke belakang 

akibat benturan dua pasang tangan yang sama-sama 

mengandung tenaga dalam tinggi itu. Sedangkan Siluman 

Tengkorak Putih hanya terhuyung satu langkah. Ki 

Wanayasa kaget bukan main melihat kenyataan ini. 

Sungguh tidak disangka kalau dirinya akan terhuyung 

sampai tiga langkah. Bahkan sekujur tangannyapun 

dirasakan sakit akibat benturan itu. Dan herannya lawan 

hanya terhuyung satu langkah ke belakang! Tidak adakah 

yang salah dalam hal ini? Bukankah tadi telah dikerahkan 

segenap tenaga dalam penyerangannya tadi? Bukankah 

dia menang posisi bila dibandingkan dengan Siluman 

Tengkorak Putih dalam benturan tadi? Mungkinkah tenaga 

dalam lawannya ini lebih kuat dari Bargola? Mustahil! 

Akan tetapi Ki Wanayasa tidak dapat berpikir lebih 

lama lagi. Serangan susulan dari Siluman Tengkorak Putih 

menghentikan kesibukan berpikirnya. Cepat-cepat 

dielakkan serangan itu dan kemudian dibalasnya dengan 

ilmu ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’. Maka kini 

keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan yang 

luar biasa. 

Akan tetapi tidak sampai lima belas jurus kemudian 

terbuktilah Ki Wanayasa bukan tandingan Siluman 

Tengkorak Putih. Kakek bongkok udang itu perlahan 

namun pasti mulai terdesak. Hal inilah tidaklah aneh 

karena memang Ketua Perguruan Tangan Sakti ini kalah 

segala-galanya dibanding lawannya. Dapat dipastikan 

kalau tak lama lagi Ki Wanayasa akan rubuh di tangan 

lawannya yang luar biasa itu.


Tiba-tiba terdengar teriakan dari mulut Raja Racun 

Pencabut Nyawa. 

“Gerda! Hentikan!” teriaknya keras. 

“Tidak, Paman. Aku tidak akan berhenti sebelum 

membunuh tua bangka keparat ini!” bentak Siluman 

Tengkorak Putih yang memang bernama asli Gerda dengan 

suara keras pula. Bahkan dia terus menhujani lawan 

dengan serangan-serangan yang mematikan. 

Raja Pisau Terbang segera bersiap melihat sikap Raja 

Racun Pencabut Nyawa yang aneh ini. Akan tetapi tidak 

terlihat tanda-tanda kalau tokoh itu akan bertindak curang. 

“Hentikan, Gerda! Cepat! Aku sudah tahu di mana 

Pedang Bintang itu!” teriak Raja Racun Pencabut Nyawa 

lagi. 

Mendengar ucapan itu lagsung Siluman Tengkorak 

Putih menghentikan desakannya pada Ki Wanayasa. 

Tubuhnya melenting cepat ke belakang meninggalkan 

lawannya. Akan tetapi Ki Wanayasa yang sudah mencium 

adanya bahaya yang mengancam tempat Pedang Bintang 

berada tidak membiarkan lawannya. Cepat-cepat dia 

melompat mengejar. 

“Adi Kirin tolong cegah Raja Racun itu pergi!” teriak Ki 

Wanayasa sambil terus mengejar. 

Raja Pisau Terbang yang telah melihat Ki Wanayasa 

tengah berusaha menghalangi kepergian Siluman 

Tengkorak Putih, segera bergerak ke arah Raja Racun 

Pencabut Nyawa begitu mendengar teriakan rekannya itu. 

Raja Racun Pencabut Nyawa yang juga mendengar 

teriakan tadi juga tahu kalau sampai berhadapan si Raja 

Pisau Terbang, kemungkinan untuk dapat lolos sangat 

kecil. Buru-buru dirogoh balik bajunya untuk mengambil 

sebuah benda bulat sebesar telur bebek. Tanpa ragu-ragu 

lagi benda itu dilemparkan ke arah Raja Pisau Terbang 

yang tengah bergerak mengejar. 

Tentu saja Raja Pisau Terbang yang telah tahu betapa 

telengasnya Raja Racun itu dengan permainan racunnya,


tidak berani bertindak ceroboh. Segera dilempar tubuhnya 

ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara menjauhi 

benda bulat itu. 

Blarrr….! 

Terdengar ledakan keras begitu benda bulat itu 

menyentuh tanah. Asap yang berwarna hitampun 

menyebar mengahalangi pandangan. 

Sedangkan Siluman Tengkorak Putih yang tengah 

dikejar Ki Wanayasa rupanya menjadi tidak sabar juga. 

Sambil terus bersalto ke belakang dikirimkan serangan 

jarak jauh. Seketika angin keras yang berabu amis keluar 

dari tangan Siluman Tengkorak Putih. 

Ki Wanayasa segera tahu kalau pukulan jarak jauh itu 

di samping mengandung tenaga dalam kuat, juga 

mengandung racun amat jahat. Maka dia tidak bertindak 

gegabah lalu buru-buru melompat ke samping. Tubuhnya 

langsung bergulingan di tanah menghindari pukulan itu. 

Kesempatan itupun digunakan Gerda atau Siluman 

Tengkorak Putih untuk meloloskan diri dari kejaran Ki 

Wanayasa.


EMPAT



Setelah sama-sama gagal dalam mengejar Raja Racun 

Pencabut Nyawa dan Siluman Tengkorak Putih, Ki 

Wanayasa hanya menatap kepergian Siluman 

Tengkorak Putih diiringi sinar mata cemas. Ia tahu kalau 

Raja Racun Pencabut Nyawa tidak main-main dengan 

ucapannya yang mengatakan telah mengetahui tempat 

Pedang Bintang itu berada. 

“Betulkah apa yang dikatakan Raja Racun itu, 

Kakang?” tanya Raja Pisau Terbang yang tahu-tahu sudah 

berada di sampingnya. 

Ki Wanayasa menghela napas berat sebelum men-

jawab pertanyaan itu. “Kemungkinan besar memang 

begitu, Adi” ucapnya pelan. 

“Aku jadi tidak mengerti Kakang….” 

“Begini, Adi. Beberapa tahun yang lalu Ki Gering Langit 

berkunjung ke tempat ini menemuiku. Kami berbincang-

bincang beberapa lama, sampai akhirnya dia mengajakku 

bermain sintir. Padahal telah lama aku berjanji dalam 

hatiku untuk tidak memainkan permainan itu. Tapi Ki 

Gering Langit terus memaksa. Aku menolak, tapi dia terus 

mendesak. Bahkan sampai-sampai mempertaruhkan kitab-

kitab ilmu silatnya. Akhirnya aku tidak tega, lalu mengalah. 

Dan akhirnya kami bermain. Melalui sebuah permainan 

yang lama dan menegangkan akhirnya aku dapat 

mengalahkannya. Maka iapun memenuhi janjinya 

menyerahkan kitab-kitab ilmu silatnya padaku. Tentu saja 

hal itu kutolak. Kukatakan padanya kalau aku terpaksa 

menerima ajakan itu bukan karena ingin taruhan. Tapi ia 

tetap memaksa. Katanya janji adalah hutang. Dan ia tak 

ingin berhutang. Tapi aku berkeras menolak. Sampai 

akhirnya kami menemukan jalan tengah yang disepakati


bersama. Kitab-kitab itu dibawa olehnya tapi dia 

meninggalkan sebilah pedang yang di dalamnya terdapat 

petunjuk mengenai tempat kitab-kitab peninggalannya. 

Pedang itu bernama Pedang Bintang.” 

“Lalu mengapa tadi Kakang bersikeras mengatakan 

tidak menyimpannya? Bahkan sampai membawa-bawa 

kedudukan untuk menguatkan pernyataan Kakang itu,” 

selak Raja Pisau Terbang. 

“Sabar, Adi Kirin,” ucap Ki Wanayasa sambil tersenyum. 

“Aku belum selesai dengan ceritaku.” 

Wajah Raja Pisau Terbang memerah mendengar 

teguran halus itu. 

“Mulanya aku berniat menyerahkan Pedang Bintang itu 

pada salah satu seorang murdku. Tapi sayangnya tidak ada 

satupun murid-muridku yang memiliki bakat luar biasa. 

Sampai akhirnya suatu hari adik seperguruanku yang 

berjuluk Pendekar Ruyung Maut datang mengunjungiku 

bersama anak lelakinya. Anak itu ternyata memiliki bakat 

yang luar biasa dalam ilmu silat. Jadi kuberikan saja 

Pedang Bintang itu padanya.” 

“Tapi kenapa Raja Racun Pencabut Nyawa itu 

mengatakan bahwa ia tahu di mana adanya Pedang 

Bintang itu, Kakang? Apakah itu hanya tipu muslihat saja?” 

“Kemungkinan besar yang dikatakannya benar,” ujar Ki 

Wanayasa. Kecemasan nampak tergambar di wajahnya. 

“Karena dia pernah bertarung mati-matina melawan adik 

seperguruanku. Dalam pertarungan itu tidak ada yang 

kalah dan tidak ada yang menang. Kedua-duanya sama-

sama terluka.” 

“Aku mengerti sekarang, Kakang.” Tandas Raja Pisau 

Terbang mulai paham. “Karena pernah bertarung dengan 

adik seperguruanmu sampai sekian lamanya, setidak-

tidaknya ia mengenali ilmu-ilmu andalan dan mengenal 

gerakan-gerakannya. Pantaslah, tadi begitu melihat 

pertaruganmu dengan Siluman Tengkorak Putih, ia tampak 

kaget.”


“Benar. Rupanya ia melihat adanya persamaan jurus 

yang kugunakan dengan lawannya dulu, Pendekar Ruyung 

Maut….” Desah Ki Wanayasa pelan. “Tapi mudah-mudahan 

saja dia salah duga….” 

“Menurutku kemungkinan itu sangat kecil, Kakang. 

Raja Racun Pencabut Nyawa itu sudah terkenal ke-

cerdikannya di samping kelicikannya. Kakang toh telah 

lihat sendiri kenyataannya sewaktu dia menyudutkan 

Kakang dengan pertanyaan yang membuat Kakang tidak 

mampu berkelit lagi,” tebak Raja Pisau Terbang seraya 

menggelengkan kepalanya. 

“Ya,” ucap Ketua Perguruan Tangan Sakti itu singkat. 

“Hhh…. Entah siapa tokoh yang tersembunyi di balik 

selubung itu….” Raja Pisau Terbang mengerutkan alisnya. 

Ki Wanayasa menghela napas. “Akupun tidak habis 

pikir, Adi Kirin. Kepandaian siluman itu malah lebih hebat 

dari Bargola….!” 

“Aku tahu itu. sebetulnya jika menuruti keinginan hati 

rasanya ingin kujajal kelihaiannya. Sayangnya aku sudah 

jenuh berkelahi terus, Kakang. Aku ke sinipun sebenarnya 

sekalian ingin mengucapkan selamat tinggal karena ingin 

pergi ke tempat yang sepi. Mendidik Ningrum putri tunggal-

ku.” 

Ki Wanayasa termenung. Nampak jelas kalau kakek ini 

dilanda kebingungan. 

“Memang sudah seharusnya kalau kita yang sudah tua-

tua ini menyepi. Biarlah sekarang giliran yang muda-muda 

untuk turun tangan. Ah, mudah-mudahan saja adik 

seperguruanku itu telah menunaikan amanatku. Kalau 

tidak….” 

“Benar. Kita memang hanya bisa berharap, Kakang. 

Sekarang aku pamit, Kang.” 

“Silahkan Adi. Terima kasih atas kunjunganmu.” 

Setelah memberi hormat sebentar, tubuh Raja Pisau 

Terbang langsung berkelebat. Dalam sekejap saja yang 

nampak hanya titik hitam yang semakin lama semakin


mengecil untuk kemudian lenyap sama sekali. 

“Haaat….! Hup,,,,! Hiyaaaa….!” 

Terdengar teriakan-teriakan nyaring dari balik sebuah 

tembok yang mengelilingi sebuah bangunan besar dan 

megah. 

Teriakan-teriakan itu ternyata berasal dari mulut 

seorang pemuda tampan yang tengah berlatih silat. Usia-

nya sekitar lima belas tahun. Bertubuh tegap dan kekar. 

Bentuk wajahnya persegi dan terlihat jantan. Alis matanya 

tebal dan berbentuk golok menampakkan kekerasan 

wajahnya. 

“Hiyaaat….!” 

Untuk kesekian kalinya pemuda itu berteriak keras. 

Belum lagi gema suaranya itu lenyap, tubuhnya sudah me-

lompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, dia 

melakukan tendangan sambil memutar tubuhnya. 

Wut….! 

Angin keras berhembus mengiringi tendangan itu. 

Suatu tanda kalau tendangan itu mengandung tenaga 

dalam tinggi. 

“Hup!” 

Dengan ringan dan indah kedua kaki pemuda itu men-

jejak tanah. Tapi baru saja hendak melanjutkan gerakan-

nya, tiba-tiba…. 

“Cukup Arya….!” 

Suara itu membuat pemuda yang ternyata bernama 

Arya Buana menghentikan gerakannya. Dengan ragu-ragu 

dipalingkan wajahnya ke arah asal suara itu. Dikenali betul 

siapa pemilik suara itu. Sedangkan si pemilik suara itu 

rupanya mengentahui juga keragu-raguan Arya Buana. 

“Ayah ingin bicara sebentar…” 

Kali ini Arya Buana tidak ragu-ragu lagi dan segera 

menghentikan latihannya. Disekanya peluh yang mem-

basahi leher, dahi dan wajahnya. Tak lama kemudian kaki-

nya melangkah menghampiri ayahnya. 

“Ada apa Ayah?” tanya Arya Buana sambil menatap


wajah laki-laki setengah tua yang masih kelihatan gagah. 

Tubuhnya tinggi tegap. Ada sebaris kumis tipis menghiasi 

bagian atas bibirnya. Dia adalah Pendekar Ruyung Maut. 

“Kita bicara di dalam saja,” ucap Pendekar Ruyung 

Maut sambil beranjak ke dalam. 

Tanpa banyak cakap, Arya Buana ikut melangkah 

masuk menguntit di belakang ayahnya. 

“Arya….” Ucap Pendekar Ruyung Maut itu ketika 

mereka telah berada di dalam beranda rumah besar itu. 

Mereka duduk berhadapan di kursi berukir indah dari kayu 

jati. “Rasanya ini adalah hari terakhir pertemuan kita….” 

“Maksud Ayah?” tanya Arya Buana kaget. Sepasang 

matanya terbelalak. 

Pendekar Ruyung Maut menarik napas dalam-dalam. 

Nampak jelas kalau ia merasa berat untuk mengatakan 

apa yang terkandung dalam benaknya. 

“Terpaksa, Arya. Ini terpaksa harus kulakukan kalau 

aku masih ingin melihatmu hidup….” 

“Jadi maksud Ayah…. Kalau kita tidak berpisah aku 

akan mati? Mati oleh siapa, Ayah?” tanya Arya Buana 

penasaran. 

“Ceritanya cukup panjang Arya” Pendekar Ruyung Maut 

menghela napas dalam-dalam seolah-olah ingin 

melonggarkan dadanya yang terasa sesak. 

“Tak mengapa, Ayah. Aku akan sabar mendengar-

kannya….” 

“Baiklah kalau begitu,” Pendekar Ruyung Maut menarik 

napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Masih 

ingatkah kau waktu aku membawamu ke tempat paman 

gurumu di Gunung Waru?” 

“Masih Ayah,” Arya Buana mengangguk. 

“Nah! Sewaktu aku akan pulang, Paman Gurumu itu 

memberi Pedang Bintang kepadaku.” 

“Pedang Bintang?!” tanya Arya Buana terkejut. 

Memang pemuda itu juga mendengar akan kerusuhan 

yang terjadi di dunia persilatan akibat berita mengenai


pedang itu. Di mana-mana selalu terjadi keributan dan 

pembunuhan. Semuanya itu berpokok pangkal dari Pedang 

Bintang. 

“Ya,” Pendekar Ruyung Maut mengangguk membenar-

kan. “Pesannya pedang itu harus kuserahkan padamu….” 

“Untukku, Ayah?” lagi-lagi Arya Buana menyelak cerita 

ayahnya. 

“Benar. Paman gurumu juga mengatakan kepadaku 

apa yang tersembunyi di balik pedang itu. Dan semua itu 

ternyata sesuai dengan berita yang tersebar di dunia per-

silatan. Akupun telah menyelidiki rahasia yang tersembunyi 

dalam pedang itu….” 

“Dan Ayah berhasil?” tanya Arya Buana penuh rasa 

ingin tahu. 

Pendekar Ruyung Maut tercenung sebentar sebelum 

mengangguk ragu-ragu. 

“Bisa dikatakan begitu.” 

“Maksud ayah?” Arya Buana mengerutkan keningnya 

bingung. 

“Semua tempat dan petunjuk yang diberikan telah ku-

temukan. Tapi tempat terakhir yang menunjukkan di mana 

kitab-kitab itu berada belum kudatangi…. Maksudku biar 

kau sendiri yang mencarinya.” 

Arya Buana mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Lalu, mengapa tadi ayah mengatakan kalau ini adalah 

hari terakhir kita bertemu? Dan kalau kita tetap bersama-

sama aku akan tewas?” 

“Arya, kau tentu telah mendengar akibat yang ditimbul-

kan berita mengenai Pedang Bintang ini. Pada mulanya 

aku masih tidak ambil pusing. Tapi perkembangan terakhir 

yang kudengar membuatku kawatir. Entah bagaimana 

caranya orang-orang persilatan itu akhirnya mengetahui 

kalau Pedang Bintang itu berada di Perguruan Tangan 

Sakti. Lambat laun merekapun tahu di mana pedang itu 

kini. Apabila itu terjadi pasti mereka berbondong-bondong 

datang ke sini. Dan tidak berani kupastikan apakah aku


akan dapat mengahadapi mereka atau tidak. Apalagi jika 

yang datang itu datuk-datuk persilatan. Jangankan aku, 

walau paman gurumu membantupun tetap tidak akan 

dapat membendung mereka.” 

“Kalau begitu kenapa kita tidak pergi saja dari sini, 

Ayah?” usul Arya Buana. 

Pendekar Ruyung Maut menatap Arya Buana tajam. 

Wajahnya nampak agak memerah. 

“Ucapan apa itu, Arya?! Apakah kau ingin melihat aku 

ditertawakan orang-orang persilatan? Mereka pasti bilang, 

lihat! Pendekar Ruyung Maut melarikan diri seperti seekor 

anjing! Tidak, Arya! Apapun yang terjadi aku tidak akan 

pergi dari sini! Aku bukan seorang pengecut!” 

“Akupun bukan seorang pengecut, Ayah! Aku tidak akan 

meninggalkan Ayah dan akan tetap di sini, untuk mem-

bantu Ayah menghadapi mereka.” 

“Jangan salah mengerti, Arya,” potong Pendekar 

Ruyung Maut cepat. “Musuh yang akan kita hadapi tidak 

sedikit. Tidak ada gunanya kalau kau berniat menentang 

mereka. Hanya membuang nyawa sia-sia saja.” 

“Tapi, Ayah….” Arya Buana coba membantah. 

“Kalau aku lain, Arya. Lagi pula kalau kau ikut tewas 

bersamaku di sini, siapa yang akan menyelamatkan 

Pedang Bintang? Apakah kau tidak merasa sayang kalau 

pedang ini nanti akan terjatuh ke tangan orang yang jahat? 

Bagaimana nanti harus kupertanggung jawabkan semua ini 

pada paman gurumu? Apakah kau senang bila nanti 

paman gurumu menuding di kuburku sebagai orang yang 

menyia-nyiakan amanat?” 

Arya Buana terdiam. Pertanyaan ayahnya bertubi-tubi 

itu membuatnya bingung dan tidak tahu harus berkata apa. 

“Dan lagi…. Tidak rindukan kau apda ibumu, Arya? 

Tidak inginkah kau bertemu dengannya?” tanya Pendekar 

Ruyung Maut lagi. Tapi kali ini suaranya bergetar tidak 

meledak-ledak seperti tadi. 

Kontan Arya Buana tersentak. Ibunya? Dia tidak rindu


kepada ibunya? Dia tidak ingin bertemu ibunya? Ingin 

rasanya dia berteriak untuk mengatakan betapa rindunya 

pada ibunya. Bertahun-tahun rasa rindunya ini dipendam 

sejak ibunya pergi meninggalkan dirinya dan ayahnya. 

Waktu itu Arya Buana berusia lima tahun sehingga tidak 

pernah tahu ibunya pergi meninggalkan mereka. 

“Ibu…Ibu… Ayah?’ tanya Arya Buana ragu-ragu sambil 

menatap ayahnya. Nampak dilihatnya wajah laki-laki 

setengah baya itu berubah muram. 

“Benar. Rasanya perlu kuberitahukan padamu per-

soalan yang sebenarnya. Aku takut nanti kau menduga 

jelek pada Ibu ataupun Ayah.” 

Pemuda remaja itu hanya menundukkan kepalanya 

diam tanpa berkata-kata. 

“Enam belas tahun yang lalu aku menikahi seorang 

gadis yang kemudian menjadi ibumu. Namun sama sekali 

tidak kuketahui asal-usul ibumu. Sewaktu kutanyakan dia 

mengatakan kalau kedua orang tuanya telah tiada. Yang 

tinggal hanya kakak laki-lakinya yang saat itu berada entah 

di mana. Setelah kau berumur empat tahun baru kuketahui 

siapa kakak kandung ibumu. Dan hal ini membuat aku 

kaget bukan kepalang. Ternyata kakak ibumu si Raja 

Racun Pencabut Nyawa, seorang tokoh sesat yang terkenal 

kejam dan telengas! Si Raja Racun ini pernah bertarung 

denganku yang berkesudahan tanpa pemenang. Rupanya 

dia masih dendam padaku. Sewaktu kau berumur lima 

hampir lima tahun, ia datang lagi hendak menantangku 

dan hendak membunuhmu. Ibumu tentu saja menjadi 

bingung ketika menyadari kalau pertarungan di antara 

kami tidak dapat dielakkan lagi. Ia tidak ingin salah satu di 

antara kami terluka atau tewas. Akhirnya si Raja Racun 

mengalah. Ia bersedia membatalkan pertarungan asal 

ibumu pergi meninggalkan aku dan dirimu. Ibumu tidak 

punya pilihan lain, Arya. Jadi, yahhh…. Itulah yang terjadi.” 

Arya Buana tercenung begitu ayahnya menyelesaikan 

ceritanya. Pemuda remaja itu masih tetap menundukkan


kepalanya. 

“Arya….” 

Perlahan-lahan Arya mengangkat kapalanya. 

“Ini amanat dari paman gurumu,” ujar Pendekar 

Ruyung Maut sambil mengulurkan tangannya menyerahkan 

Pedang Bintang. 

Dengan tangan gemetar, Arya Buana menerima pedang 

itu. 

“Di dalam gagang pedang itu ada petunjuk. Pergilah, 

Arya. Mudah-mudahan kelak kita dapat berjumpa dan ber-

kumpul lagi bersama. Kau, aku dan….ibumu.” 

Arya Buana memperhatikan pedang yang kini berada di 

tangannya itu sejenak. Pada kedua ujung sisi gagang 

pedang masing-masing melekar sebuah bintang bersegi 

lima berwarna keemasan. Segera dicabutnya gagang 

pedang itu. memang tepat perkataan ayahnya. Di dalam 

gagang itu terdapat segulung kain yang berisikan coretan-

coretan. Arya memperhatikannya beberapa saat lalu 

disimpannya gulungan kain itu. Selanjutnya dimasuk-

kannya kembali pedang itu ke dalam warangkanya. 

“Aku rasa sudah tiba waktunya kau harus pergi, Arya” 

kata ayahnya lagi. 

Arya Buana hanya mengangguk. 

“Kalau begitu cepatlah!” setelah berkata begitu 

Pendekar Ruyung Maut itu bergegas melangkah ke 

belakang, diikuti oleh Arya Buana di belakangnya. 

Laki-laki setengah baya itu menghentikan langkahnya 

di dekat sebuah sumur. Arya yang telah memperhatikan 

coretan-coretan pada gulungann kain itu segera 

mengetahui kalau sumur ini adalah pintu pertama menuju 

tempat kitab-kitab peninggalan Ki Gering Langit. 

“Inilah pintu pertama itu, Arya. Di atas permukaan 

sumur ini kira-kira setengah tombak di atasnya terdapat 

sebuah lobang. Dari situlah awal perjalananmu. Cepatlah! 

Jangan membuang-buang waktu lagi.” 

Arya hanya menganggukkan kepalanya. Setelah


berpamitan tanpa ragu-ragu pemuda ini melompat ke 

dalam sumur itu. Dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya 

untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin 

terjadi di bawah sana. 

Pendekar Ruyung Maut memperhatikan sejenak, 

sampai tubuh Arya Buana menyentuh permukaan air 

sumur. Baru setelah Arya Buana melambaikan tangan 

tanda siap, ia berjalan meninggalkan sumur itu menuju 

ruangan dalam bangunan besar rumahnya. 

*** 

Malam itu langit kelihatan cerah. Tidak ada awan yang 

mengantung di langit. Bulan penuh yang tampak di langit 

menambah terangnya suasana. 

Tetapi rupanya suasan cerah tidak menjamin bahwa 

suasana akan aman. Terbukti di malam ini nampak dua 

sosok tubuh berkelebat cepat melompati pagar tembok 

bangunan milik Pendekar Ruyung Maut, yang dulunya 

adalah milik Ki Gering Langit. Gerakan mereka cepat bukan 

main. Suatu tanda kalau dua sosok tubuh itu bukanlah 

orang sembarangan! Dan hal itu memang tidak salah. 

Ternyata dua sosok itu adalah Gerda, si Siluman Tengkorak 

Putih dan si Raja Racun Pencabut Nyawa. 

“Tribuana! Keluar kau!” teriak Raja Racun Pencabut 

Nyawa memanggil nama asli Pendekar Ruyung Maut. 

Begitu ia dan Siluman Tengkorak Putih berada di depan 

pintu bangunan besar itu. Suara yang dikeluarkan dengan 

pengerahan tenaga dalam yang kuat itu, bergema ke 

sekitar bangunan besar milik Tribuana alias Pendekar 

Ruyung Maut. 

Karuan saja suara penggilan dari luar itu mengagetkan 

Pendekar Ruyung Maut yang berada di dalam. Apalagi 

suara penggilan itu menyebut nama aslinya. Nama yang 

jarang diketahui orang. Sepengetahuannya hanya dua 

orang saja yang tahu nama aslinya. Mereka adalah kakak


seperguruannya, Ki Wanayasa dan istrinya sendiri. Tetapi 

menilik dari suara panggilan itu, Tribuana berani bertaruh 

kalau suara itu bukan salah satu dari kedua orang yang 

dimaksudkan. Lalu siapa? 

Pendekar Ruyung Maut melangkah ke luar. Tidak lupa 

diselipkan ruyungnya di pinggang. Memang dari nada 

suaranya orang yang memanggil itu tidak bermaksud baik. 

Begitu pintu dibuka, nampak sekitar tiga tombak di 

depannya berdiri dua sosok tubuh. Suasana yang cukup 

terang membuat Pendekar Ruyung Maut ini dapat melihat 

jelas dua sosok tubuh itu. salah satunya langsung dapat 

dikenali sebagai si Raja Racun Pencabut Nyawa. Telah dua 

kali dia bertemu tokoh ini. iblis itu adalah kakak kandung 

istrinya. Dan hal ini membuatnya serba salah. Sulit baginya 

untuk bertempur melawan si Raja Racun Pencabut Nyawa 

ini! 

Perhatian Tribuana kini beralih pada sosok serba putih 

yang berdiri di samping Raja Racun Pencabut Nyawa. 

Dicobanya untuk mengingat-ingat barangkali saja pernah 

kenal atau setidaknya mendengar tokoh ini. Tapi sampai 

lelah mengingat-ingat, tidak juga dikenali orang itu. 

meskipun demikian Pendekar Ruyung Maut ini harus 

bersikap waspada. Sepasang matanya yang tajam 

mencorong dan bersinar kehijauan seperti maka kucing 

dalam gelap itu benar-benar membuatnya terkejut. Sebagai 

seorang yang telah kenyang dengan pengalaman, Tribuana 

tahu kalau sorot mata seperti itu hanya akan muncul pada 

mata orang yang telah memiliki tenaga dalam tinggi. 

“Apa keperluanmu sehingga Kakang Lindu 

menemuiku?” tanya Pendekar Ruyung Maut pelan. 

Si Raja Racun Pencabut Nyawa yang ternyata bernama 

Lindu, mendengus. “Tidak perlu berbasa-basi, Tribuana! 

Cepat serahkan Pedang Bintang padaku!” 

“Pedang Bintang?!” sahut Pendekar Ruyung Maut pura-

pura. 

“Tidak usah pura-pura, Tribuana! Atau kini kau telah


menjadi seorang pengecut sehingga tidak berani mengakui 

benda yang ada di tanganmu?!” 

Pendekar Ruyung Maut menghela napas panjang. 

Ucapan Raja Racun Pencabut Nyawa membuatnya mati 

kutu. 

“Kuakui, kalau pedang itu semula ada padaku, Kang 

Lindu. Tapi sekarang, tidak lagi….” 

“Keparat! Lalu, sekarang di mana pedang itu?!” desak 

si Raja Racun Pencabut Nyawa. 

“Sayang sekali, Kang Lindu. Tidak mungkin kuberitahu-

kan padamu!” tegas sekali kata-kata Pendekar Ruyung 

Maut itu. 

“Menyingkirlah, Paman” selak Siluman Tengkorak Putih 

sambil melangkah maju menghampiri Tribuana. 

“Jangan gegabah dulu, Gerda. Akan kuperiksa dulu 

bangunan ini. Seingatku ia mempunya seorang anak lelaki 

yang kini pasti sudah remaja. Aku akan mencari anak itu 

dulu!” 

“Cepatlah, Paman” sahut Siluman Tengkorak Putih tak 

sabar. 

Raja Racun Pencabut Nyawa segera melesat ke dalam 

rumah besar itu, Pendekar Ruyung Maut berusaha meng-

hadang, tetapi terjangan Siluman Tengkorak Putih mem-

buat niatnya terhenti. 

Kagetlah pendekar ini melihat kehebatan serangan dan 

kekuatan tenaga yang tekandung dalam serangan Siluman 

Tengkorak Putih. Tanpa ragu-ragu lagi, pem langsung 

mengerahkan ilmu andalan ‘Delapan Cara Menaklukkan 

Harimau’. 

Tetapi dalam beberapa jurus saja Pendekar Ruyung 

Maut sudah terdesak. Pendekar ini memang kalah segala-

segalanya jika dibandingkan lawannya. Baik kecepatan 

gerak maupun kekuatan tenaga dalam. Sehingga tidak 

aneh jika hanya sebentar saja ia sudah dibuat pontang-

panting. 

“Hiyaaa….!”


Pendekar Ruyung Maut berteriak keras sambil men-

cabut senjatanya. Langsung diayunkan ruyungnya itu ke 

kepala lawan. 

Siluman Tengkorak Putih hanya mendengus. Tangan 

kanannya cepat-cepat diangkat melindungi kepalanya. 

Takkk….! 

Pendekar Ruyung Maut terhuyung. Mulutnya me-

nyeringai. Sekujur tangannya seolah-olah terasa lumpuh 

tatkala tangna sosok serba putih itu menangkis ruyungnya. 

Di saat yang tidak menguntungkan bagi pendekar itu, 

totokan ujung kaki Siluman Tengkorak Putih menyambar 

cepat ke arah lututnya. 

Tukkk….! 

“Akh….!” 

Pendekar Ruyung Maut mangeluh. Sambungan tulang 

lututnya kontan terlepas. Akibatnya tubuhnyapun 

sempoyongan. Dan kini lagi-lagi serangan susulan dari 

Siluman Tengkorak Putih kembali menyambar. 

“Hugh….!” 

Kembali Tribuana mengeluh ketika sebuah tepakan 

laki-laki berjubah putih itu telak menghantam dadanya. 

Ketika pendekar ini terbatuk ada segumpal darah kental 

keluar dari mulutnya. Tanpa ampun lagi tubuhnya ter-

banting ke tanah. Serangan itu memang dahsyat sekali. 

Dan saat itulah si Raja Racun Pencabut Nyawa keluar 

dari dalam rumah besar itu. 

“Bagaimana, Paman?” tanya Siluman Tengkorak Putih. 

Si Raja Racun Pencabut Nyawa hanya menggeleng. 

“Bagaimana Tribuana?” Siluman Tengkorak Putih 

menoleh ke arah Pendekar Ruyung Maut yang masih ter-

golek di tanah dengan napas tersenggal-senggal. “Kau 

ingin menunjukkan ke mana perginya putramu itu dengan 

Pedang Bintangnya?” 

“Lebih baik aku mati!” tandas Tribuana. 

“Baik, kalau itu yang diinginkan! Tapi jangan harap 

akan kubunuh begitu saja! Kau akan kusiksa pelan-pelan!”


ancamnya. 

“Jangan harap dapat membuatku takut, iblis! Cuhhh…!” 

“Bangsat!” maki Siluman Tengkorak Putih. 

Seketika kaki Siluman Tengkorak Putih bergerak meng-

injak. Kemarahan membuatnya lupa pada ancamannya. 

Kakinya dijejakkan pada dada Tribuana sambil menekan 

kuat-kuat. Terdengar suara gemeretaknya tulang-tulang 

yang berpatahan. Darah segar memancur deras dari mulut, 

hidung, telinga dan bahkan mata Pendekar Ruyung Maut. 

Sejak malam itu maka gemparlah dunia persilatan. 

Siluman Tengkorak Putih benar-benar mengamuk. Setiap 

perguruan silat yang beraliran putih dihancurkan, tak 

terkecuali Perguruan Tangan Sakti. Bahkan Ki Wanayasa 

telah ditewaskannya! Sementara para tokoh kaum hitam 

mulai bersorak gembira. Kini mereka berani melakukan 

kejahatan dengan lebih leluasa. Hanya saja si Raja Pisau 

Terbang dan Bargola belum terdengar lagi beritanya. 

*** 

Byurrr…! 

Setelah beberapa saat lamanya melayang di udara 

tubuh Arya Buana langsung jatuh di permukaan air sumur 

itu. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup 

tinggi, pemuda itu tidak menemukan halangan berarti. 

Beberapa saat tubuh Arya Buana mengapung di 

permukaan air. Sepasang matanya nyalang mengamati 

bagian dinding sumur mencari-cari lubang yang dikatakan 

ayahnya. Berkat kegigihannya akhirnya lubang itu berhasil 

ditemukan. Persis seperti yang dikatakan ayahnya. Lubang 

itu terletak hanya sekitar setengah tombak dari pemukaan 

air sumur. 

Arya Buana menimbang-nimbang sejenak. Rasanya 

tidak mungkin dapat mencapai lubang itu dengan 

melompat. Kalau di darat jarak seperti itu memang bukan-

lah apa-apa. Tapi kalau di air bagaimana hal itu dapat di


lakukannya? Kakinya tidak mempunyai landasan yang 

cukup mantap untuk tempat menjejak. Kalau ayahnya 

memang sudah dapat dipastikan akan melakukan hal itu. 

Setelah beerpikir beberapa saat lamanya, Arya Buana 

segera berenang ke dinding sumur mendekati lubang itu. 

segera diambilnya sebilah pisau kemudian pelan saja 

ditancapkannya di dinding sumur. Sesaat kemudian 

dikeluarkan pula Pedang Bintang dari warangkanya. Baru 

setelah itu tubuhnya melenting dan hinggap di atas pisau 

yang tadi ditancapkannya di dinding. Pisau itu nampak 

agak goyah karena Arya Buana hanya menghujamkan per-

lahan saja. 

“Hup!” 

Sambil menekankan pada landasan, Arya Buana 

melompat ke atas. Dan ketika tubuhnya berada tepat di 

depan lubang yang hanya kecil saja itu. Segera 

ditancapkan pedangnya sekuat tenaga. 

Crap! 

Pedang itu amblas ke dinding sumur hingga setengah-

nya lebih. Karuan saja hal ini membuat tubuh Arya Buana 

tergantung di depan lubang itu. Sekilas Arya melirik ke 

bawah, ke tempat ia menancapkan pisaunya. Mulutnya 

menyunggingkan senyum lega ketika pisau itu sudah tidak 

ada lagi di tempatnya. Memang agar tidak meninggalkan 

jejak yang dapat diketahui para pemburu pusaka Ki Gering 

Langit. 

Kini Arya mengalihkan perhatian pada lubang kecil 

yang tepat berada di depannya. Lubang itu kelihatan kecil 

dan gelap. Garis tengahnya tidak lebih dari setengah 

tombak. Dengan hanya mengayunkan tubuhnya sedikit, 

pemuda remaja itu telah berada di dalam. 

Arya Buana memasukkan Pedang Bintang ke 

warangkanya kembali. Tubuhnya terpakda merangkak 

karena sempitnya lubang untuk masuk lebih ke dalam. Dan 

ternyata lubang itu tidak datar saja. Arya Buana merasa 

kalau arah lubang ini menanjak. Dan ternyata semakin ke


dalam, lubang itu semakin membesar. Sampai akhirnya 

pemuda remaja itu tidak merangkak lagi bahkan bisa 

berjalan biasa. 

Setelah beberapa lama akhirnya sampailah Arya Buana 

pada sebuah ruangan yang cukup luas dan terang seperti 

ada cahaya yang menyinarinya. Entah dari mana asal sinar 

itu dan pemuda itu tidak mengetahuinya. Apalagi untuk 

memikirkannya. Tubuh dan pikirannya lelah sekali. Di sini 

Arya Buana menjatuhkan tubuhnya kemudian bersandar 

pada dinding. Untuk beberapa saat lamanya tubuhnya 

tetap bersandar tapi sebentar kemudian telah duduk ber-

sila. Ditegakkannya tubuhnya dan dirapatkan kedua 

tangannya di depan dada. Dan kini Arya Buana sudah 

tenggelam dalam semadinya. Suasana sekitar tempat itu 

yang semula hening, kini dipecahkan suara napas yang 

keluar masuk dari mulut dan hidung Arya Buana. Suara 

napas yang berirama tetap. 

Setelah dirasakan tenaganya kembali pulih, Arya Buana 

menghentikan semadinya. Sebentar diperhatikan ruangan 

di sekitarnya. Ruangan ini ternyata mempunyai beberapa 

buha lorong. Segera pemuda ini mengeluarkan gulungan 

kain yang disimpan. Dibuka dan diperhatikannya petunjuk 

dan coretan yang ada. Setelah hatinya mantap barulan di-

pilihnya lorong sebelah kanan. 

Berbeda dengan lorong gua di atas permukaan sumur, 

lorong ini lebih nyaman dan enak untuk dijalani. Arya 

Buana melewatinya sambil mengerahkan ilmu meringan-

kan tubuh. 

Entah berapa lama Arya Buana menempuh lorong itu 

sehingga tidak tahu siang atau malam. Yang dilakukannya 

hanya terus berlari sampai lelah dan lapar. Baru setelah di-

rasakan letih dia beristirahat dan makan. Kini dia harus 

melanjutkan perjalanan lagi hingga akhirnya ia melihat 

berkas sinar di ujung lorong yang tengah dilalui. 

Dengan perasaan gembira yang meluap-luap, Arya 

Buana segera mempercepat langkah menuju asal sinar itu.


Sekali lihat saja dari jarak jauh, Arya telah mengetahui 

kalau sinar itu berasal dari cahaya matahari. Dan itu berarti 

di ujung yang berhubungan dengan dunia bebas! 

Tak berapa lama kemudian, Arya Buana telah berada 

tidak jauh dari sinar itu. setibanya di sini, dugaannya 

memang benar. Ujung lorong ini memang berhubungan 

dengan dunia luar. Hanya saja lubangnya ditutupi 

rerimbunan semak belukar sehingga tak terlihat oleh 

pandangan orang luar. Dan sinar yang dilihatnya itu 

memang berasal dari sinar matahari yang menerobos 

rerimbunan semak belukar itu. 

***


LIMA


Dengan tangan agak gemetar, Arya menyibakkan 

semak belukar itu. untuk sesaat lamanya pemuda 

itu menundukkan kepala sambil menutupi kedua 

matanya dengan tangan kanan. Silau rasanya diterpa sinar 

yang telah sekian lama tidak dilihatnya. 

Setelah agak terbiasa, barulah Arya menurunkan 

tangannya. Dilangkahkan kakinya keluar dari lorong itu 

setelah terlebih dahulu merapikan kembali semak belukar 

yang tadi disibaknya. Kemudian sepasang matanya 

memandang berkeliling mengamati sekitarnya. 

Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu masih 

mengamati sekitarnya. Sepasang alisnya yang tebal dan 

berbentuk golok nampak berkerut. Rupanya ada yang 

tengah dipikirkan. Tak lama kemudian dikeluarkan kembali 

gulungan kain yang diselipkannya di balik baju di pinggang. 

Dibukanya kembali dan diamat-amati lagi coretan-coretan 

dan garis-garis yang tertera di situ. 

“Hm….pantas saja tidak kutemukan. Rupanya ada 

sesuatu yang kulupakan….” Gumam pemuda itu seperti 

untuk dirinya sendiri. “Dari mulut lorong melangkah ke 

kanan sejauh dua puluh langkah. Lalu ke kiri sepuluh 

langkah dan ke depan tiga langkah….” 

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Arya 

menyelipkan kembali gulungan kain itu di pinggang. Maka 

kakinya mulai melangkah sesuai petunjuk yang tertera di 

gulungan kain itu. dan kini tubuh Arya telah berada di 

depan sebuah pohon berbatang besar dan berongga. 

Tanpa ragu-ragu lagi dimasukinya rongga pohon itu. 

Baru sekitar lima langkah melangkahkan kaki di 

depannya telah terbentang sebuah tangga menuju ke 

bawah yang terdapat jalan lurus sekitar sepuluh tombak.


Tak lama ditemukan tangga lagi yang menuju ke atas. Arya 

segera menaikinya. Di situ ditemukan lagi jalan yang 

berakhir pada sebuah ruangan yang pintunya tertutup 

rapat dan Arya segera melangkahkan kakinya. Sampai di 

sini Arya bimbang. Haruskan dibukanya pintu itu? Tidakkah 

perbuatan itu sangat tidak sopan. Karena bagaimanapun 

juga diyakini kalau tempat ini mempunyai pemilik. 

Selagi Arya dicekam keragu-raguan, tiba-tiba terdengar 

bentakan keras dari dalam ruangan itu.”Mengapa ragu-

ragu murid murtad! Ayo masuk! Dan bunuhlah aku! 

Mengapa hanya termenung di depan pintu?” 

Karuan saja bentakan itu membuat Arya kebingungan. 

Siapakah yang dimaksud oleh orang yang membentak di 

dalam itu. Diakah? Lalu, kalau betul kenapa dia dimaki 

sebagai murid murtad? Bukankah Arya hanya mempunyai 

seorang guru yakni ayahnya sendiri? Jangan-jangan yang 

dimaksudkan orang yang di dalam itu adalah dirinya. Kalau 

bukan lalu siapa? Berbagai macam pertanyaan dan 

dugaan berkecamuk di benak Arya. 

Beberapa saat lamanya Arya termenung di depan pintu 

ruangan itu. Dipertimbangkan apakah lebih baik masuk 

atau menunggu saja. Jelas bila melihat coretan dan garis 

yang tertera di gulungan kain itu, di ruang itulah tersimpan 

kitab-kitab Ki Gering Langit. Tapi apakah sepantasnya jika 

langsung masuk? Tidakkah sebaiknya meminta ijin dulu 

pada pemiliknya? Benar! Ia harus meminta ijin dulu. Dan 

pemiliknya pasti berada di dalam. 

Kini Arya tidak ragu-ragu lagi. Segera digerakkan 

tangannya hendak mengetuk pintu itu. Tapi mendadak 

gerakan tangannya terhenti di udara. Ternyata dia 

menemukan adanya kejanggalan pada pintu ini! Pintu itu 

ternyata dikunci dari luar. Berkerut kening Arya melihat hal 

ini. Otaknya yang cerdas segera dapat menduga kalau 

orang yang melakukan ini bermaksud mengurung sesuatu. 

Dan suara makian tadi berasal dari dalam. Jadi itu adalah 

suara orang yang terkurung!


Kembali hati Arya dilanda kebimbangan. Haruskah 

dibuka paksa pintu itu? tidakkah itu berarti telah bertindak 

lancang? Siapa tahu kalau seseorang yang terkurung itu 

adalah tokoh yang berbahaya. Bukankah itu berarti dia 

telah berbuat suatu kesalahan? Pemuda ini memutar 

otaknya. Diingat-ingatnya lagi ucapan yang tadi keluar dari 

dalam. Masih jelas terngiang di telinganya bunyi makian 

tadi. 

 Dari bunyi makian itu Arya segera saja dapat menduga 

kalau yang terkurung itu adalah seorang guru. Sementara 

orang yang mengurungnnya adalah muridnya yang murtad. 

Lenyaplah kini keragu-raguan Arya. Ditatapnya pintu itu 

sejenak. Walau kelihatannya pintu itu begitu tebal dan 

kuat, tapi pemuda itu yakin kalau akan mampu 

menghancurkannya dengan sekali pukul saja! Hal ini diam-

diam membuat Arya agak heran. Ia tahu seorang tokoh 

rendahpun akan mampu menghancurkan pintu itu. Tapi 

kenapa orang yang berkedudukan sebagai guru itu tidak 

mampu melakukannya? 

Brakkk….! 

Dengan mengeluarkan suara agak ribut, pintu itu 

hancur berkeping-keping. Sejenak Arya mengawasi 

keadaan di dalamnya. Segera dilangkahkan kakinya masuk 

disertai sikap waspada. Begitu melangkah masuk, Arya 

sudah menyiapkan ilmu andalannya, ‘Delapan Cara 

Menaklukkan Harimau’. 

Tapi kewaspadaannya seketika pupus. Ternyata dia 

melihat pemandangan yang mengenaskan di hadapannya 

kini. Tampak sesosok tubuh kurus tua yang tengah duduk 

bersila di atas tanah lembab. Kedua tangannya nampak 

dililit gelang baja yang masing-masing dihubungkan dengan 

rantai. Begitu pula pada sepasang kakinya. 

Kakek itu mengangkat wajahnya menatap Arya. 

Seketika meremang bulu kuduk pemuda itu. sepasang 

mata kakek itu begitu tajam mencorong dan bersinar 

kehijauan mirip mata seekor kucing dalam gelap. Sekali


pandang saja Arya sadar kalau kakek itu pasti memiliki 

tenaga dalam yang sangat tinggi. Hanya orang yang 

memiliki tenaga dalam tinggilah yang memiliki sinar mata 

seperti itu. hanya saja yang masih menjadi teka-teki bagi 

Arya mengapa kakek ini tidak membebaskan diri dari 

kurungan dan belenggu rantai itu? Dengan tenaga dalam 

yang dimiliki semua belenggu bagaikan permainan anak-

anak saja! 

“Siapa kau, Anak Muda?” tanya kakek itu pelan. 

Sepasang mata itupun kembali meredup. “Dan apa 

hubunganmu dengan Boma?” 

“Boma? Maaf, Kek. Aku tidak mengenal nama itu,” 

jawab Arya hati-hati. 

“Tidak mengenalnya? Jangan bohong kau, Anak Muda. 

Kalau bukan teman atau suruhannya, mana mungkin kau 

bisa tiba di sini. Tidak ada seorangpun yang tahu tempat ini 

kecuali Boma. Bomantara si murid murtad!” tegas kakek 

itu. 

“Sungguh, Kek. Aku tidak mengenal orang yang Kakek 

sebut itu. aku tahu tempat ini secara kebetulan saja,” 

bantah Arya. 

“Kebetulan?!” kakek itu tersenyum pahit. Sepasang 

matanya kini kembali mencorong menatap Arya penuh 

selidik. Tapi tiba-tiba saja sepasang mata itu terbelalak. 

Arya tentu saja dapat melihat keterkejutan sorot mata 

dan wajah kakek itu. segera diikuti arah pandangan kakek 

itu. Dan hatinya tersentak ketika ia menyadari kalau yang 

membuat kakek itu terkejut adalah benda yang tergantung 

di punggungnya. Pedang Bintang! 

Cepat-cepat Arya berusaha menyembunyikannya dari 

pandangan kakek itu, tapi terlambat. Kakek itu rupanya 

sudah mengetahui. 

“Pedang Bintang….” Desak kakek itu pelan. “Kakang 

Gering. Setelah sekian tahun, akhirnya muncul juga 

pewaris yang kau sebut-sebut itu…. Ah, rupanya Gusti Allah 

masih berkenan mengabulkan permohonanku. Anak Muda,


kemarilah….!” Ajak kakek itu sambil melambaikan 

tangannya. Dengan agak ragu, Arya melangkah mendekat. 

Kakek itu rupanya tahu kalau pemuda remaja di 

hadapannya ini masih curiga padanya. 

“Tak perlu takut padaku, Anak Muda. Aku tidak akan 

mungkin bisa mencelakaimu. Dulu, memang hampir setiap 

orang menyebut namaku dengan perasaan gentar. Tapi 

sekarang tidak lebih dari seorang anak bayi!” 

Tercekat Arya mendengar ucapan kakek itu. Dirasakan 

ada nada kesungguhan dan kegetiran di dalam hatinya. 

Keadaan kakek inipun lebih mempertegas ucapannya. 

“Bomantara, si murid murtad itulah yang telah 

membuatku lemah seperti kakek-kakek jompo,” tutur 

kakek itu lagi. “Ahhh…. Aku berdosa! Aku telah 

menciptakan seorang iblis di dunia persilatan. Iblis jahat 

yang tidak akan ada yang sanggup menandinginya….” 

“Kek….” Tegur Arya pelan. 

Kakek itu menatap Arya lekat-lekat. “Anak Muda jawab 

secara jujur pertanyaanku. Dari mana kau dapatkan 

Pedang Bintang itu?’ 

Tanpa ragu-ragu lagi Aryapun menceritakan semuanya. 

Dari awal mula kedatangan dia bersama ayahnya ke 

Gunung Waru sampai akhirnya terpaksa harus berpisah 

dengan ayahnya. 

“Ah! rupanya kau bukan orang sembarangan, Arya. Aku 

kenal siapa itu Ki Wanayasa, paman gurumu maupun 

Pendekar Ruyung Maut ayahmu. Mereka adalah orang-

orang yang senantiasa membela kebenaran. Pedang 

Bintang benar-benar jatuh ke tangan yang tepat.” 

“Kalau boleh kutahum siapakah Kakek sebenarnya?’ 

tanya Arya. 

Semula pemuda ini menduga kakek ini adalah Ki 

Gering Langit. Tapi setelah kakek ini menyebut Kakang 

Gering, barulah dia tahu kalau kakek ini bukanlah tokoh 

yang dimaksud. 

Kakek itu terkekeh pelan. “Aku? Perlukan itu Arya?”


“Perlu, Kek.” 

“Baiklah. Akan kuperkenalkan diriku. Dulu, dunia 

persilatan menjuluki diriku Ular Hitam. Tapi sekarang 

julukan yang pantas buatku adalah Ular Sakit!” 

“Hugh!” 

Arya merasakan betapa perutnya mendadak sakit. 

Sungguh di luar dugaannya kalau dirinya sampai bertemu 

datuk golongan hitam ini. 

“Kau tidak usah takut, Arya. Seperti yang telah 

kukatkan tadi, sekarang aku telah menjadi seorang yang 

lemah seperti bayi.” Tegas kakek yang mengaku berjuluk 

Ular Hitam, ketika melihat Arya yang wajahnya mendadak 

pucat. 

Penegasan kakek itu membuat keberanian Arya timbul. 

Ya, mengapa harus takut? Kakek ini entah karena 

mengapa, kini telah menjadi orang lemah. Dan telah 

dilihatnya sendiri kenyataannya. Lagi pula nampaknya 

kakek itu tidak bermaksud jahat padanya. Apalagi yang 

harus dikawatirkan? Maka iapun melangkah maju 

menghampiri. 

“Mengapa bisa begitu, Kek?” tanya Arya ingin tahu. 

“Ceritanya cukup panjang, Arya. Kau akan bosan 

mendengarkannya.” 

“Tidak, Kek.” 

“Baiklah.” Ujar Ular Hitam mengalah. 

Sejenak suasana hening, sementara kakek itu memulai 

ceritanya. 

“Sekitar tujuh belas tahun yang lalu, aku memungut 

murid yang bernama Bomantara. Karena kulihat dia 

memiliki bakat yang amat baik untuk mempelajari ilmu 

silat. Kugembleng dia dengan sungguh-sungguh dan 

kuwariskan seluruh ilmu yang kumiliki,” sejenak Ular Hitam 

terdiam. Sepertinya tengah mencari napas untuk menguat-

kan perasaannya. Sementara itu Arya Buana hanya diam 

penuh perhatian. 

“Pada suatu ketika, kakak kandungku, Ki Gering Langit


silatnya di sini dengan pesan agar diberikan kepada orang 

yang nanti membawa Pedang Bintang,” kembali kakek 

yang berjuluk Ular Hitam ini menghentikan ceritanya. 

Ditatapnya wajah Arya Buana dalam-dalam. Sedangkan 

Arya Buana tak kuasa untuk membalas tatapan itu. 

“Aku meminta pada Ki Gering Langit untuk 

menurunkan sebagian dari ilmu-ilmunya kepada 

Bomantara. Pada mulanya dia berkeberatan. Tapi karena 

terus kudesak, akhirnya iapun memberikan sebuah kitab 

padaku untuk diberikan pada Bomantara. Sehabis itu 

iapun pergi. Tapi sungguh di luar dugaan kalau Bomantara 

itu ternyata mengkhianatiku. Bersama-sama Raja Racun 

Pencabut Nyawa yang sangat membenciku, ia 

mencelakaiku.” Sebentar Ular Hitam menghentikan 

ceritanya, lalu menarik napas panjang dalam-dalam. 

Matanya sedikit berkaca-kaca, seperti menahan perasaan 

yang amat dalam. 

“Dengan keji mereka menjebakku untuk meminum 

racun yang membuatku jadi orang lemah selamanya. 

Racun itu akan menyerangku apabila mengerahkan sedikit 

saja tenaga dalam. Serangan yang begitu menyiksa. Itulah 

sebabnya mengapa aku tidak mampu membuka rantai ini 

dan pintu yang terkunci dari luar iu. Karena begitu kumulai 

menyalurkan tenaga dalam, racun itupun langsung 

menyerangku.” 

Arya tercenung begitu kakek itu telah menyelesaikan 

ceritanya. Sungguh tidak diduga begitu pahitnya kenyataan 

yang dihadapi si Ular Hitam. Dikhianati muridnya sendiri! 

“Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, dapat 

kupastikan tidak ada satupun tokoh yang sanggup 

menghadapinya. Tak terkecuali para datuk persilatan. 

Kecuali kakak kandungku, Ki Gering Langit! Tapi mana 

mau ia turun tangan menghadapi seorang anak ingusan 

macam Bomantara! Maka jelas sudah murid murtad itu 

akan mengacau dunia persilatan tanpa ada yang bisa


menghalangi. Ia telah mewarisi seluruh kepandaianku 

dengan sempurna. Demikian pula seluruh ilmu Raja Racun 

Pencabut Nyawa. Dan yang lebih gila lagi, diapun telah 

menerima ilmu-ilmu Ki Gering Langit yang membuatnya 

memiliki tenaga dalam luar biasa. Lengkaplah sudah 

kepandaian yang dimilikinya. Kecepatan gerak diwarisi 

dariku. Kekuatan tenaga dalam dari Ki Gering Langit. Dan 

pengetahuan racun dari Raja Racun Pencabut Nyawa!” Ular 

Hitam berhenti sebentar, seperti ingin mengambil napas. 

Dadanya memang terasa sesak jika mengingat-ingat 

pengkhianatan bekas muridnya, Bomantara. 

“Bomantara akan menjelma jadi iblis yang tidak ter-

lawan! Dan semua ini akibat salahku yang tidak bisa 

menangkap hati orang. Hhh….! Bertahun-tahun aku mohon 

pada Gusti Allah agar segera mengirimkan orang yang 

menurut kakakku akan membawa Pedang Bintang. Waktu 

itu aku sudah hampir putus asa menunggunya. Sungguh 

tidak kusangka kalau Gusti Allah akhirnya mengabulkan 

permohonanku dengan mengutusmu ke sini, Arya” jelas 

Ular Hitam lagi. 

“Maafkan saya, Kek.” 

Setelah berkata demikian, Arya membungkuk memberi 

hormat. Kemudian dijulurkan tangannya untuk meraih 

belenggu di tangan Ular Hitam. Sekali Arya mengerahkan 

tenaganya, maka seketika gelang-gelang baja dan rantai-

rantai yang membelenggu tangan dan kaki Ular Hitam 

patah-patah. 

“Ah! Terima kasih, Arya.” Ucap Ular Hitam pelan sambil 

bangkit berdiri. Kemudian dia melangkah menuju ke sudut 

ruangan, sementara Arya hanya memperhatikannya saja. 

“Hm. Ada apa, Arya?” tanya Ular Hitam tanpa 

mengehentikan langkahnya. 

“Apakah racun yang mengeram di tubuh Kakek tidak 

bisa dikeluarkan?” 

Langkah Ular Hitam terhenti. Perlahan-lahan kepalanya 

menoleh ke belakang, menatap Arya lekat-lekat.


“Tidak. Tapi memang dapat disembuhkan. Kakang 

Gering Langit pernah mengajarkan padaku sebuah semadi 

untuk mengusir racun yang mengeram dalam tubuh. 

Memang dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat 

sembuh total. Tapi hanya itulah jalan satu-satunya. Racun 

yang dimasukkan dalam tubuhku memang racun ganas 

Arya.” 

Kembali Kakek itu melangkahkan kakinya kembali. Dan 

sesampai di sudut ruangan itu dia memanggil Arya. 

Pemuda itu bergegas menghampirinya. 

“Bongkar lantai ini!” 

Tanpa banyak tanya, Arya mengayunkan tangannya ke 

arah lantai yang ditunjuk Ular Hitam. 

Brakkk…! 

Seketika lantai itu ambrol. Tampak di balik lantai itu ter-

dapat sebuah lubang berbentuk persegi. Dalamnya tak 

lebih dari satu hasta. Dan di dasar lubang itu terlihat 

sebuah peti kecil berwarna hitam mengkilat. 

“Ambil peti itu, Arya.” Perintah kakek yang berjuluk Ular 

Hitam itu lagi. 

Aryapun segera mengulurkan tangannya dan meng-

ambil peti itu lalu memberikannya pada Ular Hitam. 

Sebentar kemudian kakek itu segera membukanya. 

Nampak dua buah kitab yang berwarna kekuningan di 

dalamnya. Ular Hitam mengambil kitab itu lalu melihat-

lihatnya sejenak. Baru setelah itu diberikan pada Arya. 

“Milikmu, Arya.” Ucap Ular Hitam pelan. 

Arya segera menerimanya. Pada bagian muka kitab 

yang pertama nampak tertera huruf-huruf berbunyi TENAGA 

DALAM INTI MATAHARI. Sedangkan pada buku yang kedua 

tertulis kalimat yang berbunyi ILMU BELALANG SAKTI. 

Mulai saat itulah Arya berlatih mempelajari kedua ilmu 

yang diwariskan Ki Gering Langit, di bawah bimbingan Ular 

Hitam. Sementara kakek itupun tak kalah sibuknya. Hampir 

pada setiap kesempatan waktu yang senggang, ia 

bersemadi untuk mengusir racun yang mengeram di


tubuhnya. 

Dengan semangat meluap-luap, Arya mulai membuka 

halaman pertama Kitab Tenaga Dalam Inti Matahari. 

Memang Ular Hitam menyuruhnya mempelajari kitab itu 

dulu. Baru setelah memiliki Tenaga Inti Matahari yang 

cukup kuat, ia boleh mempelajari ‘Ilmu Belalang Sakti’. 

Muridku…… 

Untuk memiliki tenaga dalam, yang tidak boleh dilupakan 

adalah tekanan gambaran dari pikiranmu pada batinmu. Saat 

bersemadi, tariklah napas dalam-dalam disertai penekanan alam 

bawah sadarmu. Bayangkan bahwa tengah menarik kekuatan 

matahari yang masuk melalui lubang hidungmu dan terus turun 

hingga ke pusar. Sesampainya di sana putarkan ‘kekuatan’ yang 

kau tarik itu mengelilingi pusar, lalu naik ke atas dan buang 

kembali. Itulah yang harus kau camkan muridku…… 

Dengan tekun dan sungguh-sungguh, Aryapun 

mengikuti petunjuk itu. tidak hanya pelajaran semadi saja 

yang terdapat di kitab itu. Sikap kuda-kuda dan 

pernapasan juga diajarkan. 

Pada minggu-minggu pertama, tidak ada hal-hal aneh 

dirasakan Arya, selain hawa hangat yang senantiasa 

berputar di pusarnya. Tapi pada minggu-minggu selanjut-

nya. Arya mulai merasakan hal lain yang diterimanya. 

Setiap pagi sehabis bangun tidur, sekujur tubunya terasa 

panas sekali. Bukan hanya itu saja. Rasa haus yang amat 

sangat selalu menderanya. Bahkan kulitnyapun mulai 

mengering. 

Ular Hitampun mengetahui apa yang dialami Arya. Dan 

dia tahu betul kalau hal itu karena pemuda itu belum bisa 

mengendalikan tenaga itu. Dia juga tahu kalau hal itu 

paling lama hanya berlangsung sebulan. Jika Arya 

mengalami demikian itu hanyalah suatu proses. Maka Ular 

Hitampun membiarkannya saja. Dan memang, kejadian 

yang dialami Arya itu hanya berlangsung tiga minggu. Dan 

setelah itu semuanya kembali seperti biasa. 

Setahun kemudian. Arya baru diperkenankan mem-

pelajari kitab ‘Ilmu Belalang Sakti’. Ilmu itu ternyata terdiri


Pedang Bintang 

Aji Saka ( created ebook by fujidenkikagawa 11

dari dua jurus, jurus ‘Delapan Langkah Belalang’ dan jurus 

‘Belalang Mabuk’. 

Setelah sampai pada kitab pelajaran ilmu ini, Arya 

mulai menjumpai kesultian. Dan sebelumnya hal iu sudah 

dikatakan Ular Hitam yang telah mempunyai banyak 

pengalaman. Setelah memperhatikan kedua jurus iu, dia 

segera tahu kalau Arya tidak akan dapat menguasainya 

dengan baik. Jurus itu harus dilakukan dalam keadaan 

tidak sadar! Terutama sekali jurus ‘Belalang Mabuk’! Bila 

ingin menguasai dengan baik dan memainkannya dengan 

sempurna, Arya harus mabuk! 

“Arya….” Sapa Ular Hitam pada suatu pagi ketika Arya 

tengah berlatih kedua ilmu itu. di tangan kakek itu 

tergenggam sebuah guci dari perak. 

“Ya, Kek.” Pemuda itu langsung menghentikan 

latihannya. 

“Aku sungguh tidak habis pikir, kenapa Kakang Gering 

memberikan ilmu itu padamu. Dan bila ingin me-

mainkannya dengan baik kau harus mau tidak mau ber-

gantung pada arak. Tapi yang jelas dia telah matang 

memikirkan semua itu. buktinya sebelum pergi dia telah 

menitipkan guci arak ini padaku untuk diberikan pada 

orang yang membawa Pedang Bintang.” 

Setelah berkata demikian kakek itu lalu memberikan 

guci arak tersebut pada Arya. 

Pemuda itu lalu mengulurkan tangannya menerima 

guci itu. Diperhatikannya sejenak kemudian ditimang-

timangnya. 

“Coba mainkalah kedua ilmu itu dengan guci ini Arya,” 

perintah Ular Hitam. 

“Baik, Kek.” Arya menganggukkan kepalanya kemudian 

bergerak menjahui Ular Hitam. Dan mulailah dimainkan 

kedua ilmu yang telah cukup dikuasainya dengan meng-

gunakan guci. 

Diam-diam Arya merasa kaget. Dengan adanya guci di 

tangan, gerakannya jadi lebih hidup. Sesekali kedua


tangannya memeluk guci itu. Sedangkan tubuhnya meliuk-

liuk aneh. Di lain saat ia menyerang dengan menggunakan 

guci itu. 

Ular Hitam mengangguk-angguk puas. 

“Cukup, Arya!” 

Pemuda itu menghentikan latihannya. Disusut peluh 

yang membasahi leher dan dahinya sebelum menghampiri 

kakek itu. 

“Satu hal yang luar biasa pada guci ini, Arya.” Ucap 

kakek itu lagi. “Guci ini bukanlah guci sembarangan dan 

merupakan guci pusaka. Ia tidak akan hancur oleh apapun. 

Baik oleh senjata maupun oleh pukulan yang mengandung 

tenaga dalam.” 

“Oh! Benarkah itu, Kek?’ tanya Arya setengah tidak 

percaya. 

Kakek itu menganggukkan kepalanya. 

“Ya. Aku sendiri telah membuktikannya. Dulu guci ini 

pernah kupukul dengan pengerahan seluruh tenaga 

dalamku. Hasilnya, nol besar! Jangankan pecah, retakpun 

tidak!” 

“Hebat….!” Desah pemuda itu takjub. 

“Dan yang lebih hebat lagi, guci ini mampu membuat 

arak yang masuk ke dalamnya menjadi arak keras. Dan ini 

menguntungkanmu, Arya. Karena apabila telah menguasai 

‘Tenaga Dalam Inti Matahari’ dan ilmu ‘Belalang Sakti’, 

berguci-guci arakpun tidak akan mampu membuatmu 

mabuk, kecuali arak keras. Tapi dengan keisimewaan guci 

ini, arak yang paling ringanpun akan menjadi arak keras. 

Dan tentu saja langsung akan membuatmu mabuk.” Urai 

Ular Hitam panjang lebar. 

Arya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. 

***


ENAM


Waktu berlalu tak terasa. Kadang seperti merayap 

lambat bagai langkah seekor siput. Tapi kadang 

pula seperti melesat laksana kelebatan anak 

panah. Tak terasa sudah lima tahun Arya berada di tempat 

si Ular Hitam berada, untuk berlatih ilmu-ilmu yang 

diwariskan Ki Gering Langit. Kini Arya telah menjelma 

menjadi seorang pemuda yang tegap dan berdada 

bidang.bentuk wajahnya yang memang sudah terlihat 

jantan semakin bertambah jantan karena rahangnya yang 

kokoh. Rambutnya yang dulu berwarna hitam, sekarang 

berubah menjadi putih keperakan. Mungkin karena 

pengaruh ‘Tenaga Dalam Inti Matahari’ dan ilmu ‘Belalang 

Sakti’. Usia Arya kini dua puluh tahun. 

“Arya,” tegur Ular Hitam pagi itu. Wajah kakek ini yang 

dulu agak gelap, sudah bersih lagi. Suatu tanda kalau 

racun yang berada di tubuhnya sudha lenyap. 

“Ya, Kek.” Jawab Arya yang tetap memanggil Ular Hitam 

seperti itu karena memang kakek itu tidak mau dipanggil 

guru. 

“Kakek rasa sudah cukup rasanya kau menggembleng 

diri. Sudah tiba saatnya bagimu untuk mengamalkan apa 

yang dipelajari di sini untuk kepentingan orang banyak. 

Kakek kini telah lega melepasmu pergi. Besok kau boleh 

meninggalkan tempat ini....” 

“Tapi, Kek....” Arya mencoba membantah. 

“Tidak ada tapi-tapian lagi, Arya!” tegas Ular Hitam. 

“Ingat, kau banyak mempunyai tugas yang harus 

diselesaikan. Mencari Bomantara, ibumu juga ayahmu. 

Dan juga kalau aku tidak salah, Kakang Gering memberimu 

tugas pula, bukan?” 

“Benar, Kek” Arya mengangguk.


h! Kalau begitu, apalagi yang memberatkanmu 

meninggalkan tempat ini?” 

“Aku tidak tega meninggalkan Kakek….” Lirih suara 

Arya. 

“Ha..ha..ha…!” Ular Hitam tertawa terbahak-bahak. 

“Kau ini aneh, Arya. Sekarang kekuatanku telah pulih 

seperti Ular Hitam yang dulu. Apa yang dikawatirkan? 

Sudahlah Arya. Pokoknya besok kau harus meninggalkan 

tempat ini. Seorang pendekar tidak akan mementingkan 

diri sendiri, Arya. Tapi orang banyak!” 

Setelah berkata demikian, Ular Hitam melangkah pergi 

meninggalkan Arya yang hanya termenung memandangi 

punggung kakek itu hingga lenyap di kajauhan. Sama 

sekali pemuda itu tidak mengetahui kalau pipi kakek itu 

basah! 

Pagi-pagi sekali Arya telah berangkat meninggalkan 

tempat itu. Di punggung pemuda itu bertengger guci arak 

terbuat dari perak pemberian Ki Gering Langit. Sedangkan 

Pedang Bintang sengaja ditinggalkan di tempat kediaman 

Ular Hitam. Senjata itu memang tidak diperlukan lagi. 

Pemuda berambut putih keperakan itu melangkahkan 

kakinya penuh semangat. Tujuannya yang pertama kali 

adalah mencari ayahnya. Dia juga ingin tahu apa yang 

terjadi terhadap ayahnya sejak ia meninggalkannya lima 

tahun lalu. Apakah yang dikawatikrna oleh ayahnya itu 

akan terjadi? 

Beberapa hari kemudian sampailah pemuda itu di 

mulut sebuah desa. Maka dipercepat langkah kakinya. 

Perutnya kini terasa lapar bukan main. Hanya satu yang 

diinginkan. Makan! 

Akan tetapi, Arya mengerutkan keningnya melihat 

suasana desa itu yang lenggang. Semua pintu dan jendela 

nempak tertutup rapat. 

“Ada apa ini?” tanya Arya dalam hati sambil mengamat-

amati sekelilingnya. 

Singgg


ya terkejut mendengar desingan benda tajam yang 

menuju ke arahnya. Dari suaranya pemuda ini sudah bisa 

memperkirakan benda tajam yang terlontar itu adalah 

pisau. Maka dibiarkan saja senjata gelap itu mengenainya. 

Pemuda ini tahu dengan tingkat tenaga dalam yang 

dimilikinya sekarang ini, serangan itu sama sekali tidak 

berarti apa-apa. 

Takkk! 

Dengan telak senjata gelap itu menghantam tubuhnya, 

dan langsung runtuh ke tanah! Seolah-olah yang 

dihantamnya bukanlah tubuh manusia, melainkan 

gumpalan baja! 

Begitu serangan pisau itu kandas, tiba-tiba terdengar 

suara langkah-langkah kaki berlarian menuju ke arah Arya. 

Pemuda ini kontan menoleh. Tampak puluhan orang 

menyerbu ke arahnya. Di tangan mereka tergenggam 

berbagai macam senjata seperti pisau, golok, kapak, pacul 

dan sekop! 

Melihat pakaian dan senjata yang digunakan, Arya 

segera saja dapat menduga kalau mereka itu adalah 

penduduk desa ini. hanya saja yang masih menjadi tanda 

tanya besar mengapa para penduduk itu tiba-tiba 

menyerangnya? 

“Tahan….!” Teriak Arya keras. 

Akan tetapi para penduduk yang tengah marah itu tidak 

memperdulikan teriakan Arya. Mereka terus saja maju 

menerjang. 

Arya segera menyadari kalau saat ini terjadi kesalah 

pahaman antara dirinya dengan mereka. Maka ia tidak 

akan bersikap keras. Setiap serangan yang datang, 

pemuda itu hanya berusaha menghindar saja. Apalagi 

setelah melihat serangan mereka. Pemuda ini tahu kalau 

penyerangnya kebanyakan tidak menguasai ilmu silat. 

Arya hanya menggunakan jurus ‘Delapan Langakah 

Belalang’ saja yang mempunyai kegunaan untuk 

mengelakkan serangan lawan. Dengan langkah


sempoyongan dan gerak tubuh meliuk-liuk, dielakkan 

semua serangan itu sekaligus dirampasnya senjata para 

pengeroyoknya. 

Hanya sekejap saja Arya telah membuat senjata para 

pengeroyoknya berpindah tangan. Sebagian di pegang 

sebagian lagi berserakan di tanah. 

Karuan saja hal itu membuat para pengeroyoknya 

terbengong-bengong. Tapi hanya sebentar saja, karena di 

lain saat mereka sudah menyerbu kembali dengan tangan 

kosong. Itu setelah terdengar perintah dari orang yang 

paling depan yang berusia setengah baya dan berkumis 

tebal. 

Kini Arya tahu. Maka mau tidak mau mereka harus 

segera dirubuhkan. Namun demikian tetap saja pemuda itu 

tidak ingin melukainya. Digerak-gerakkan tangannya 

perlahan saja dan dikerahkan sebagian kecil dari 

tenaganya. 

Akibatnya hebat sekali! Dari keduda tangan Arya keluar 

angin keras berhawa hangat. Sehingga para pengeroyok itu 

terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah 

kecuali si kumis tebal itu. Dia hanya terhuyung-huyung ke 

belakang. 

“Tahan….!” Bentak Arya keras begitu dilihat para 

pengeroyoknya itu masih ingin bangkit dan menyerang lagi. 

Sengaja Arya mengerahkan tenaga dalam waktu berteriak 

sehingga membuat mereka tertegun. 

“Mengapa kisanak semua menyerangku? Apa salah-

ku?” tanya Arya penasaran. 

Si kumis tebal tersenyum mengejek. Diperhatikan 

sebentar pemuda berpakaian ungu di hadapannya. 

“Tidak usah pura-pura, Anak Muda. Bukankah kau 

utusan si Harimau Mata Satu untuk mematai-matai kami?” 

“Ah! Kisanak salah paham. Aku bukanlah utusan si 

Harimau Mata Satu. Aku Arya yang kebetulan lewat sini.” 

Si kumis tebal meragu sejenak. 

“Bisa kupercaya kata-katamu, Anak Muda?’


“Kalau aku utusan si Harimau Mata Satu, apakah 

kisanak semua masih selamat?” kilah Arya sambil 

tersenyum. 

“Hm…. Benar juga ya?” si kumis tebal mengangguk. 

Pertanyaan itu seperti ditujukan untuk dirinya sendiri. “Aku 

juga tidak percaya kalau utusan si keparat itu bisa sehebat 

ini.” 

“Syukurlah kalau kisanak percaya….” Desah Arya lega. 

“Oh ya…. Kalau boleh tahu siapakah si Harimau Mata Satu 

itu?’ 

“Jadi, Nak….” 

“Arya” potong pemuda itu memperkenalkan namanya. 

“Arya Buana. Panggil saja Arya. Dan kalau boleh tahu 

kisanak siapa?” 

“Aku kepala desa di sini. Panggil saja Ki Pandu. Jadi, 

kau benar-benar tidak mengenal Harimau Mata Satu?” 

tanya laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Ki 

Pandu tidak percaya. 

“Tidak. Mendengar namanya saja baru kali ini, Ki” 

jawab pemuda itu polos. 

“Ah, rasanya mustahil! Orang sesakti Nak Arya ini tidak 

pernah mendengar namanya. Si Harimau Mata Satu ter-

kenal sekali. Dia adalah pemimpin gerombolan perampok 

yang amat kejam. Biasanya hanya beroperasi di hutan. Dia 

waktu itu tidak berani menyerbu desa-desa karena masih 

banyak perguruan silat yang beraliran lurus dan pendekar-

pendekar pembela kebenaran. Tapi kini sejak Siluman 

Tengkorak Putih muncul untuk menghancurkan perguruan-

perguruan silat dan membunuh para pendekar, si Harimau 

Mata Satu berani meninggalkan sarangnya. Desa demi 

desa mereka datangi. Bagi desa yang tidak bersedia 

tunduk tidak segan-segan untuk dibumihanguskannya. 

Kemarin desa kami kedatangan utusan mereka yang me-

minta agar takluk. Setiap musim panen, kami diwajibkan 

membayar upeti. Bahkan setiap minggu minta disediakan 

dua orang gadis cantik. Pokoknya banyak lagi permintaan


yang tidak masuk akal. Dengan tegas semua itu kutolak 

mentah-mentah. Kami lebih suka mati terhormat 

ketimbang hidup tapi terhina! Jadi itu sebabnya mengapa 

kami tadi menyerangmu, Arya. Kami pikir kau adalah mata-

mata mereka yang ingin mengetahui kekuatan kami.” 

Arya mengangguk-angguk maklum. 

“Ki Pandu…..! Ki Pandu….!” Tiba-tiba terdengar suara 

teriakan seseorang yang tergopoh-gopoh. Seketika kepala 

desa yang berkumis tebal itu menoleh ke arah asal suara. 

Nampak seorang laki-laki berlari-lari menghampiri. 

“Ada apa, Surya?” tanya Ki Pandu. 

“Mereka telah datang, Ki….” Ucap orang yang dipanggil 

Surya terengah-engah. 

“Gerombolan Harimau Mata Satu ?” tegas Ki Pandu. 

“Benar!” jawab Surya singkat. 

“Kalau begitu, mari kita sambut kedatangan mereka!” 

sahut Ki Pandu. 

“Tunggu, Ki!” cegah Arya begitu melihat Ki Pandu dan 

para penduduk hendak meninggalkan tempat itu. 

“Ada apa, Arya?’ tanya Ki Pandu sambil menghentikan 

langkahnya. 

“Biarlah aku yang akan menghadapi mereka….” 

“Tapi….” kepala desa itu masih coba membantah. 

“Tegakah, Aki mengorbankan para penduduk itu?” 

desak Arya. 

“Memang aku tidak tega. Tapi….” 

“Sudahlah, Ki. Nanti kalau aku tidak mampu meng-

hadapi mereka, baru Ki Pandu dan para penduduk bisa 

membantuku!” 

Setelah berkata demikian, Arya segera menginggalkan 

tempat itu menuju mulut desa. Ki Pandu dan para pen-

duduk memandangi pemuda berambut putih keperak-

perakan yang hanya melangkah perlahan saja. Namun 

anehnya tubuh pemuda itu sudah berada lebih dari 

sepuluh tombak di depan. 

“Luar biasa….!” Puji Ki Pandu sambil menggeleng


gelengkan kepalanya. “Rasanya kali ini si Harimau Mata 

Satu ini harus menghadapi rintangan yang amat berat!” 

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Arya sudah 

mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga dalam waktu 

sebentar saja pemuda itu telah berada di mulut desa. Agak 

jauh di depan, terlihat debu mengepul tinggi ke udara. Dari 

suara berderap yang menggetarkan bumi pemuda ini tahu 

gerombolam si Harimau Mata Satu ini berkendaraan kuda. 

Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang. 

Dalam waktu yang tidak berapa lama, rombongan 

orang berkuda itu telah berada dekat mulut desa. 

“Hooop…!” 

Orang yang berada paling depan bertubuh tinggi besar 

berwajah kasar dan bermata picak sebelah berteriak keras 

sambil mengangkat tangannya. Maka serentak rombongan 

itu hentikan lari kudanya. 

“Siapa kau, Anak Muda?! Dan mengapa menghadang 

kami?! Menyingkirlah cepat!” bentak si mata picak yang 

berjuluk Harimau Mata Satu itu. Dipandangnya Arya yang 

berdiri menghalangi jalan dengan mata merah menyala. 

“Siapa diriku tidak perlu kau tahu! Yang jelas aku 

berdiri di sini untuk membasmi orang-orang semacam kau 

dan gerombolanmu itu!” sahut Arya tegas. Kemudian di-

angkatnya guci arak yang sejak tadi dipegangnya. 

Kemudian guci itu dibawanya ke atas mulut lalu di-

teguknya. Arya memang berniat mencoba kehebatan ilmu 

yang selama ini dipelajarinya. 

Gluk….gluk….gluk….! 

“Keparat! Bentak si Harimau Mata Satu. “Bunuh tikus 

kecil ini!” perintah orang bermata picak itu pada anak 

buahnya. 

Bergegas dua orang anak buanya melompat turun dari 

kuda sambil menghunus goloknya. Tanpa bicara apa-apa 

kedua orang perampok itu segera menerjang Arya. 

Singggg….! Singgg…! 

Dua bilah golok itu melayang deras menyambar leher


dan dada Arya. Tapi Arya yang memang telah memutuskan 

untuk tidak memberi ampun pada gerombolan perampok 

itu membiarkan saja serangan dua batang golok yang 

datang ke arahnya. 

Takkk! Takkk! 

Kedua batang golok itu patah-patah ketika 

menghantam sasaran. Dan belum lagi kedua orang 

perampok itu sadar dari keterkejutannya, kedua tangan 

Arya yang diiringi jurus ‘Belalang Mabuk’ telah menghajar 

mereka. 

Bukkkk! Bukkkk! 

Tubuh kedua orang perampok itu terpental jauh seperti 

diseruduk banteng. Tanpa sempat mengeluh lagi dua orang 

itu tewas dengan tulang dada hancur berantakan! Darah 

langsung mengalir deras dari mulut, hidung dan matanya. 

Sekujur tubuh merekapun hangus bagai terbakar! 

Mata si Harimau Mata Satu terbelalak. Untuk sesaat 

dipandangnya tubuh kedua anak buahnya yang terkapar di 

tanah, kemudian beralih pada Arya yang masih meliuk-liuk 

sempoyongan. Itulah jurus ‘Belalang Mabuk’! 

“Serbu….!” Teriak Harimau Mata Satu keras. 

Disadari kalau kepandaian pemuda berpakaian ungu 

itu tidak mungkin dapat dihadapi sendiri maka si Harimau 

Mata Satu tidak main-main lagi. Rasanya pemuda itu 

memang harus dihadapi bersama-sama. 

Puluhan orang perampok itu bergegas melompat turun 

dari kuda masing-masing dan meluruk menyerbu Arya 

dengan senjata terhunus. Puluhan senjata yang beraneka 

ragam segera berkelebatan mengancam pemuda itu. 

Arya sama sekali tidak bergerak atau menangkis. 

Dibiarkan saja hujan bermacam-macam senjata yang 

mengancam tubuhnya. Hanya yang mengancam bagian-

bagian yang berbahaya saja yang ditangkis atau dielakkan 

dengan langkah sempoyongan. 

Takkk! Takkk! 

Senjata-senjata itu terpental balik ketika mengahantam


tubuh maupun tangkisan tangan Arya. Dan sekali pemuda 

itu membalas dengan menggerakkan tangannya, nampak 

sesosok tubuh terlempar keluar dari gelanggang per-

tempuran dalam keadaan tewas mengerikan. 

Harimau Mata Satu menggeram murka melihat betapa 

anak buahnya seperti semut menerjang api. Satu persatu 

mereka berguguran di tangan pemuda berambut putih 

keperak-perakan itu. Dengan perasaan geram dikeluarkan 

senjata andalannya, sebuah rantai baja panjang yang di 

ujungnya terdapat bola berduri. 

“Hiyaaa…!” sambil berteriak nyaring, Harimau Mata 

Satu melompat turun dari kudanya. Diputar-putarnya 

rantai berujung bola berduri itu sebentar sebelum 

diarahkan pada Arya. 

Wuuut…! 

Angin yang keras menderu mengiringi tibanya serangan 

boal berduri itu. 

Arya yang tengah dikeroyok puluhan orang perampok 

itu tidak menjadi gugup melihat sambaran bola berduri 

yang menuju ke arah kepalanya. Dengan hanya 

menundukkan kepalanya sedikit, maka serangan bola 

berduri itu hanya mengenai tempat kosong di atas 

kepalanya. Betapa kuat tenaga yang terkandung dalam 

lontaran itu sehingga rambut Arya yang panjang keperakan 

dibuat berkibar. 

Tidak hanya sampai di situ saa yang dilakukan Arya. 

Pemuda itu segera mengulurkan tangan menangkap rantai 

itu, lalu menyentakknnya. Harimau Mata Satu kaget bukan 

main. Sungguh tidak disangka kalau lawannya ini mampu 

bergerak secepat itu. sekuat tenaga dicobanya untuk 

bertahan dari sentakan itu tapi kalah kuat. Tenaga dalam 

yang dimiliki Arya jauh di atasnya. Maka tanpa ampun lagi 

tubuhnyapun tersentak melayang ke arah pemuda itu. 

Begitu tubuh Harimau Mata Satu itu berada di udara, 

Arya langsung menggerakkan rantai yang berhasil 

ditangkapnya. Dan dengan sekali sentak bola berduri itu


melayang deras menyambut kedatangan tuannya. 

Untuk kesekian kalinya Harimau Mata Satu terperanjat 

dan tidak punya pilihan lain lagi. Segea dilepaskan 

pegangannya pada rantai, setelah sebelumnya 

menggunakan rantai itu sebagai tempat berpijak untuk 

melenting ke udara. 

Tetapi hal itu sudah diperhitungkan Arya. Cepat 

pemuda ini menyusulinya dengan menyampok beberapa 

batang golok yang mengancam bagian-bagian berbahaya di 

tubuhnya. 

Trakkk! Trakkk! 

Singgg…! Singgg…! 

Beberapa batang golok menyambar deras ke arah 

Harimau Mata Satu. Kali ini Harimau Mata Satu tidak 

mampu lagi mengelak. Hanya tinggal satu jalan baginya 

untuk menyelamatkan diri yaitu menangkap golok-golok itu. 

Dan Harimau Mata Satu terpaksa melakukannya. 

Tappp! Cappp! Cappp! 

“Akh….!” 

Harimau Mata Satu menjerit keras. Telapak tangan 

kanannya yang digunakan untuk menangkap seketika 

berlumuran darah. Sedangkan di perutnya tertancap tiga 

batang golok yang menembus hingga ke punggung. 

Harimau Mata Satu gagal menyelamatkan selembar 

nyawanya. Lontaran golok-golok itu terlampau deras. 

Sehingga walau golok pertama yang menyambar ke 

arahnya dapat ditangkap, tapi tenaga pendorong golokitu 

terlalu kuat. Akibatnya golok itu terus meluncur deras dan 

menancap di prut, setelah melukai tangannya. Dan belum 

lagi sempat berbuat sesuatu dua batang golok lainnya 

menyusul tiba. 

Tubuh Harimau Mata Satu langsung ambruk ke tanah. 

Sesaat lamanya ia menggeliat-geliat sebelum akhirnya 

diam tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya. 

Tentu saja kematian pemimpin membuat gerombolan 

perampok itu menjadi semakin gentar. Sejak tadi hati


mereka memang sudah ciut bukan main melihat 

kehebatan pemuda itu. Sudah lebih separuh dari mereka 

yang tewas di tangan pemuda yang rupanya pemabukan 

ini. Berkali-kali sambil menangkis, mengelak ataupun 

menyerang, pemuda itu meminum araknya. Sesekali 

terdengar suara dengikan keluar dari mulut pemuda itu. 

Dalam sekejapan saja beberapa orang perampok itu 

sudah menyusul temannya ke akhirat. Yang tinggal kini 

hanya beberapa gelintir saja. Dan merekapun rupanya 

sadar kalau terus-terusan melawan tidak akan ada 

gunanya. Maka bergegas mereka semua melemparkan 

senjata masing-masing kemudian menjatuhkan diri 

berlutut di depan Arya. 

“Ampun…. Ampunkan kami, Tuan Pendekar…. Kami 

berjanji tidak akan berbuat jahat lagi,” ujar salah seorang 

dari mereka dengan suara gemetar. Ucapan itu disambut 

anggukan kepala teman-temannya. 

“Orang semacam kalian sudah selayaknya dilenyapkan 

dari muka bumi….!” Arya dengan posisi tidak tetap sambil 

sesekali meneguk araknya. 

“Benar, Arya!” sambut satu suara. Disusul munculnya 

Ki Pandu dan pada penduduk desa itu. Mereka sudah 

sejak tadi berada di situ dan melihat semua sepak terjang 

Arya. 

“Ampun, Tuan Pendekar! Jangan bunuh kami. Kami 

benar-benar tobat dan berjanji tidak akan berbuat jahat 

lagi. Kami akan menjadi orang baik-baik….” 

“Masih berlakukah janji-janji bagi orang semacam 

kalian?” 

“Kami berjanji, Tuan Pendekar….” 

“Baiklah. Tapi bila kudengar kalian berbuat jahat lagi. 

Aku tak akan mengampuni kalian lagi. Mengerti?!” 

“Mengerti, Tuan Pendekar.” 

“Kalau begitu, pergilah! Sebelum aku mengubah 

keputusanku.” Usir Arya. 

“Terima kasih, Tuan Pendekar” ucap mereka hampir


bersamaan. Saking gembiranya dibentur-benturkan dahi 

mereka ke tanah. 

“Tapi, Arya….” Ki Pandu mencoba membantah. Dan 

para penduduk sudah bergerak menghadang para 

perampok yang akan meninggalkan tempat itu. 

Arya menggoyang-goyangkan tangannya. “Biarkan 

mereka pergi.” 

Para penduduk itu merasa ragu-ragu dan langsung 

menatap Ki Pandu. Ketika kepala desa itupun 

menganggukkan kepalanya, maka para penduduk itupun 

menyingkir membiarkan para permpok itu pergi. Debu 

kembali mengepul tinggi ketika beberapa gelintir permpok 

itu pergi dari situ sambil membawa kawan-kawan mereka 

yang tewas. 

Selagi semua pandangan mata tertuju pada para 

permpok yang kian menjauh, Arya telah melesat cepat 

meninggalkan tempat itu. 

“Arya…. Arya….!” Ki Pandu celingukan mencari-cari 

begitu teringat pada pemuda itu. “Ah, dia sudah pergi…. 

Pendekar aneh. Gerakan-gerakannyapun aneh. Baru kali ini 

kulihat orang mabuk bermain silat begitu hebatnya. Hhh…. 

Kepandaian yang dimilikinya tak lumrah bagi manusia. 

Atau jangan-jangan dia adalah Dewa yang menyamar 

menjadi manusia?” 

“Benar, Ki. Aku juga yakin kalau pemuda itu bukan 

manusia biasa, melainkan Dewa.” Sambut salah seorang 

penduduk. 

“Tapi mana ada Dewa yang begitu doyan arak?” bantah 

yang lainnya. 

“Lho?! Siapa tahu dia… Dewa Arak,” sahut penduduk 

yang lainnya membantu yang pertama. 

“Ah, tepat sekali…. Tepat sekali julukan itu. Yahhh…. 

Dewa Arak. Julukan yang amat cocok buat pemuda yang 

berkepandaian luar biasa itu. Dewa Arak. Ya….!” Tegas Ki 

Pandu sambil merenung. 

Tak lama kemudian mereka meninggalkan tempat itu.


sepanjang perjalanan yang dipercakapkan hanya tentang 

Arya, yang hanya seorang diri telah mampu 

menghancurkan gerombolan si Harimau Mata Satu yang 

selama ini merajalela. 

Beberapa hari kemudian, nama Arya alias si Dewa Arak 

telah mulai terkenal ke desa-desa sekitar. Seorang pemuda 

yang bertubuh kekar berwajah jantan dengan rahang 

kokoh dan alis tebal. Tambutnya berwarna putih keperakan 

dan pakaiannya ungun. Itulah Dewa Arak! Seorang 

pendekar yang siap menumpas keangkaramurkaan! 

***


TUJUH



Dalam waktu yang tak lama, kehadiran pemuda yang 

dijuluki orang sebagai Dewa Arak telah 

menggegerkan rimba persilatan. Kata orang ciri-ciri 

dia adalah berambut putih keperakan dan berpakaian 

ungu. Sedangkan ciri yang menonjol adalah sebuah guci 

yang selalu tersampir di punggung! 

Pagi ini udara nampak cerah. Hanya sedikit awan 

menggantung di langit. Walaupun udara begitu bersih tak 

ada tanda akan hujan namun seorang pemuda bergegas 

melangkah kakinya. Apalagi setelah melihat perbatasan 

Desa Kecipir. Dia adalah Arya Buana yang ingin segera 

mengetahui keadaan ayahnya. Pemuda ini kawatir terjadi 

sesuatu pada ayahnya. Ucapan Ki Pandu waktu itu telah 

mengganggu pikirannya. Katanya Siluman Tengkorak Putih 

telah mengganas, membunuhi pada pendekar dan meng-

hancurkan perguruan-perguruan silat yang beraliran putih. 

Kata-kata itu kembali terngiang di telinga Arya Buana. 

Tetapi sebelum kakinya mencapai perbatasan desa, 

sebuah bisikan halus membuat dia harus menghentikan 

langkahnya. 

“Dik Arya….” 

Arya Buana menoleh ke arah asal suara. Dan dari balik 

kerimbunan semak-semak terlihat sebuah kepala 

tersembul. Untuk sesaat lamanya alis pemuda berbaju 

ungu ini berkerut. Rasanya pernah melihat wajah ini tapi 

kapan dan di mana, ia lupa. 

“Aku Satria…..” 

“Ah, Ka….” Kini Arya teringat di mana pernah bertemu 

pemuda itu. di mana lagi kalau bukan di Perguruan Tangan 

Sakti yang bermarkas di Gunung Waru. 

“Dik Arya, seudah demikian besarnya dirimu. Hampir


hampir saja aku lupa.” 

“Kang Satria bagaimana kabarmu?” tanya Arya gembira 

sehingga bersuara agak keras. 

“Ssst….!” Si pemilik suara yang ternyata adalah Satria 

itu menempelkan jari telunjuknya di bibir mencegah Arya 

bicara keras-keras. Dilambaikan tangannya pada pemuda 

itu. 

Arya menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah dilihatnya 

suasana sekitar situ sepi, bergegas dihampirinya Satria 

yang hanya berjarak dua tombak darinya. 

“Ada apa Kakang Satria?” tanya Arya dengan suara 

perlahan. 

“Nanti saja kuceritakan. Sekarang kau ikut aku saja…..” 

ajak Satria. 

Arya meragu sejenak. “Sayang sekali, Kang. Kalau 

sekarang aku tidak bisa ikut…..aku masih ada urusan.” 

Wajah Satria mendadak murung. 

“Aku tahu Arya. Kau ingin menjumpai ayahmu, kan?” 

“Syukurlah kalau Kakang sudah tahu,” desah Arya 

pelan. Dia memang merasa tidak enak melihat wajah 

Satria yang murung begitu menolak ajakannya. 

“Lebih baik kau urungkan niatmu, Arya.” 

“Mengapa, Kang?’ Arya tersentak. 

“Karena….karena ayahmu….sudah tidak ada lagi, 

Arya….” Desah Satria pelan. 

“Maksud, Kakang….. ayah…. tewas….?” tanya Arya 

dengan wajah pucat pasi. 

Satria tidak mampu menjawab dan hanya mengangguk 

sambil menundukkan kepalanya. Tapi anggukkan itu sudah 

cukup buat Arya. Tiba-tiba saja pemuda ini berteriak keras. 

Satria kontan jatuh terduduk karena dengkulnya 

mendadak lemas. Cepat dikerahkan tenaga dalamnya 

untuk mengusir pengaruh teriakan yang masih tersisa itu. 

Dengan mata terbelalak tampaklah sebatang pohon 

besar tumbang. Daun-daunnya layu mengering. Pohon itu 

rubuh dengan diiringi suara bergemuruh begitu Arya


mendorongkan kedua tangannya ke depan. 

“Kubunuh kalian….! Kubunuh….! Ku... bunuuuuh….!” 

Teriak pemuda berambut putih keperak-perakan itu keras. 

Sepasang matanya mencorong kehijauan. 

Satria memandang pemuda itu dengan hati bedebar. 

Apa yang dlihat benar-benar mengejutkan hatinya. Sebuah 

pertunjukan yang menggirikan hati! 

“Katakan, Kakang… Katakan siapa yang telah mem-

bunuh ayahku?” tanya Arya dengan naas terengah-engah. 

“Sabar Arya. Tenangkan dulu pikiranmu. Aku tidak akan 

memberitahukan siapa pembunuh ayahmu jika kau masih 

diliputi amarah. Biarpun untuk itu aku harus mati di 

tanganmu!” tegas Satria. 

Ucapan itu menyadarkan Arya dari amarahnya. Pemuda 

itu mengeluh pelan. Ditutupi mukanya dengan kedua 

tangannya. Baru setelah itu ditariknya napas dalam-dalam 

dan dihembuskannya kuat-kuat. Beberapa saat lamanya ia 

melakukan hal itu. Setelah dirasakan amarahnya telah 

mereda ditatapnya Satria dalam-dalam. 

Satria tersenyum. “Hebat kau Arya. Jadi kau telah 

mendapatkan kitab-kitab peninggalan Ki Gering Langit itu?’ 

Arya hanya mengangguk. 

“Jadi rupanya kaulah yang dijuluki Dewa Arak itu, 

Arya?” tanya Satria lebih lanjut. 

“Dewa Arak? Aku? Ah, tidak salahkah apa yang kau 

ucapkan itu, Kang?” tanya Arya heran. Dia memang tidak 

tahu julukan itu. Sebab itu memang pemberian dari orang-

orang yang pernah ditolongnya. 

“Ciri-ciri yang kau miliki memang menunjukkan kalau 

kaulah tokoh yang menggemparkan itu. Tokoh yang berani 

menentang kejahatan secara terang-terangan setelah 

Siluman Tengkorak Putih merajalela.” 

“Ciri-ciri? Apakah ciri-ciri yang menunjukkan kalau aku 

adalah Dewa Arak itu, Kakang?” 

“Yahhh…. Semua yang ada padamu itu adalah ciri-

cirinya. Dewa Arak itu masih muda. Wajahnya tampan dan


jantan, rahangnya kokoh rambutnya putih keperak-perakan 

berpakaian ungu. Selalu membawa guci arak. Dan 

kepandaiannya seperti Dewa yang tidak mempan senjata!” 

“Ah, belum tentu aku yang dimaksud sebagai tokoh itu, 

Kakang. Aku yakin bukan aku yang dimaksud,” Arya masih 

mencoba berkelit. 

“Baiklah. Ada satu bukti lagi yang paling penting. Dan 

bukti inilah yang dapat menunjukkan benar tidaknya kalau 

kau adalah Dewa Arak yang telah menggemparkan itu.” 

“Apa bukti itu, Kakang?” tanya Arya penuh gairah. 

“Kenalkah kau dengan Harimau Mata Satu ?” 

“Kenal sih tidak. Tapi memang akulah yang mem-

binasakan ketika ia hendak membumi hanguskan Desa 

Jati Alas.” 

Satria tertawa penuh kemenangan. “Kau tahu Arya. 

Berita yang menyebar itupun menyebutkan demikian. 

Harimau Mata Satu dan gerombolannya telah dihancurkan 

secara mudah oleh seorang pemuda yang bernama Arya 

buana dan berjuluk Dewa Arak!” 

“Jadi….jadi….” 

“Kau adalah Dewa Arak itu!” tegas Satria. 

Arya termenung. Julukan yang aneh, pikirnya. Tapi 

kalau dipikir-pikir ada benarnya juga julukan itu. 

“Sudahlah, Kang. Aku tidak memperdulikan hal itu. Ter-

serah orang akan menjuluki apa. Yang kuinginkan 

sekarang adalah jawaban darimu, Kakang. Siapa sebenar-

nya orang yang membunuh ayahku. Hanya itu!” 

Satria menghela napas seperti ingin mencari kata-kata 

yang tepat. 

“Baiklah Arya. Semula aku ingin mengajakmu ke 

tempat kami. Aku dan tokoh-tokoh persilatan golongan 

putih diam-diam telah menyusun kekuatan. Di antara kami 

ada pula putir si Raja Pisau Terbang. Tapi karena tidak 

mempunyai orang yang dapat diandalkan untuk meng-

hadapi Siluman Tengkorak Putih, kami terpaksa menahan 

diri. Putri Raja Pisau Terbang telah meminta ayahnya untuk


membantu usaha kami. Mula-mula beliau menolak karena 

sudah terlalu tua dan tidak ingin mengotori tangannya 

dengan darah lagi. Tapi berkat usaha Ningrum yang tidak 

kenal putus asa, Raja Pisau Terbang mengalah juga. Beliau 

berjanji akan datang hari ini. Dan rencananya kami akan 

menyerang markas mereka nanti malam.” 

“Mereka?” alir Arya berkerut. 

“Ya,” jawab Satria singkat. 

“Siapa mereka?’ tanya Arya lagi. 

“Siluman Tengkorak Putih dan anak buahnya.” 

“Lalu siapa yang membunuh ayahku, Kakang?” 

“Siluman Tengkorak Putih” 

“Hm…. Dia rupanya! Tunggulah pembalasanku 

keparat!” desis Arya yang berjuluk Dewa Arak dengan 

perasaan geram. 

“Arya….” Panggil Satria ragu-ragu. 

“Ada apa, Kakang.” 

“Kau tidak ingin bergabung bersama kami? Kita 

menyerang mereka nanti malam dan sekarang hanya 

tinggal menunggu Raja Pisau Terbang.” 

“Maafkan aku, Kakang. Aku sudah tidak sabar lagi 

menunggu. Ingin selekasnya aku membuat perhitungan 

dengan siluman itu!” tandas Arya. 

“Terserah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu,” ujar 

Satria sambil mengangkat bahu. “Aku tidak akan meng-

halangi. Hanya saja pesanku, berhati-hatilah Arya. Siluman 

Tengkorak Putih hebat sekali. Bahkan paman gurumu telah 

tewas di tangannya….” 

“Apa….?!” Sepasang mata Arya terbelalak. Terbayang di 

benaknya sesosok tubuh tua yang bertubuh bongkok 

udang yang amat menyayanginya. “Paman guru…. 

tewas….?!” 

“Ya….bukan hanya itu saja. Si keparat itu telah 

membantai semua murid Perguruan Tangan Sakti. 

Beruntung aku, Mega dan beberapa orang berhasil 

menyelamatkan diri. Kalau tidak berpikir untuk membalas


dendam mungkin kami labih suka mati bersama-sama 

mereka….” Jelas Satria lebih lanjut. 

“Siluman Tengkorak Putih….” Desisi Arya dengan suara 

ditekan. “Dosamu sudah terlampau banyak. Kau atau aku 

yang harus mati!” 

“Arya redakan kemarahanmu supaya kau tak celaka di 

tangannya. Sebelum guru tewas, Raja Pisau Terbang 

mengatakan kalau Siluman Tengkorak Putih itu memiliki 

ilmu ‘Ular Terbang’. Dan itu sempat kudengar.” 

“Ilmu ‘Ular Terbang’? bukankah ilmu itu milik Ular 

Hitam?” 

“Benar. Begitu pula yang diucapkan Raja Pisau 

Terbang….” 

“Bomantara. Pasti! Ya, siluman itu pasti Bomantara. 

Tak ada lagi orang yang memiliki ilmu ‘Ular Terbang’, milik 

Ular Hitam kecuali dia….” 

“Bomantara?” Satria mengerutkan alisnya. “Bukan, 

Arya. Bukan Bomantara nama siluman itu. aku ingat betul 

karena Raja Racun Pencabut Nyawa berkali-kali memanggil 

namanya. Dan bukan Bomantara nama yang dipanggil. 

Tapi, Gerda! Ya, Gerda.” 

Beberapa saat lamanya, Arya buana termenung. Mana 

yang benar, Gerda atau Bomantara. Pusing memikirkan-

nya! Apalagi ketika mendengar nama Raja Racun Pencabut 

Nyawa disebut-sebut. Ayahnya mengatakan kalau iblis itu 

adalah pamannya karena dia adalah kakak kandung ibu-

nya. Tapi kini dia harus bertentangan dengan pamannya 

itu. Memang terpaksa. Bisakah ia bertarung dengan 

pamannya sendiri? 

“Lalu di manakah markas mereka, Kang?” tanya Arya 

tak ingin memikirkan masalah itu. 

“Di rumahmu yang dulu….” Sahut Satria mengalah. 

“Kalau begitu aku pergi dulu, Kang.” 

Setelah berkata demikian tanpa menunggu jawaban 

Satria tubuh Arya melesat. Sebentar saja yang terlihat 

hanyalah titik hitam yang akhirnya lenyap di kejauhan.



DEKAP


Beberapa saat lamanya, Arya buana memperhatikan 

keadaan rumah tempat tinggalnya dari atas cabag 

sebuah pohon. Tampak halaman depan bangunan 

besar itu sepi. Hanya ada beberapa orang yang nampak 

berjaga-jaga. Itupun kelihatannya tidak sungguh-sungguh. 

“Ah, hari sudah hampir gelap,” desah Arya dengan 

perasaan tidak sabar. Matahari memang sudah condong 

ke barat. Bercak-bercak kemerahan nampak menyemburat 

di ujung barat sana. 

Pemuda berambut putih keperakan ini tidak sabar lagi. 

Cepat dia melompat turun dadri pohon itu dan bergerak 

mendekati tembok. Hanya dengan sebuah totolan ujung 

kaki yang ringan di tanah, tembok batu itu telah terlompati. 

“Hup….!” 

Ringan seperti jatuhnya seekor kucing, didaratkan 

kedua kakinya di tanah. 

“Siluman Tengkorak Putih! Keluar kau!” teriak Arya 

dengan suara keras. 

Karuan saja teriakan itu mengejutkan para penjaga. 

Langusng saja mereka datang mengurung pemuda berbaju 

ungu itu. sementara yang dikurung tenang-tenang saja 

sambil menenggak araknya. 

Gluk….gluk….gluk….! 

“Dia pasti Dewa Arak….” Desah salah seorang dari 

penjaga itu. 

“Yang membasmi gerombolan Harimau Mata Satu 

itu?” tanya yang lainnya. 

“Benar!” jawab orang itu lagi. 

“Hm….!” Terdengar suara mendengus dari mulut Arya 

buana. Suara dengusan itu menyadarkan para penjaga


akan tujuan Dewa Arak datang ke situ. Apalagi kalau bukan 

membalas dendam? Bukankah Dewa Arak itu adalah Arya 

Buana, anak dari Tribuana alias Pendekar Ruyung Maut? 

Dan kini serempak para penjaga itu menyerbu Dewa 

Arak dengan senjata di tangan. 

Arya buana yang tahu kalau nanti akan berhadapan 

dengan banyak lawan tidak mau bersikap main-main lagi. 

Langsung saja dikeluarkan ilmu andalannya. Jurus 

‘Delapan Langkah Belalang’ dan jurus ‘Belalang Mabuk’. 

Guci, tangan dan semburan araknya semua ikut ambil 

bagian. Sesekali di tengah hujan serangan lawannya, Arya 

tenang-tenang saja meminum araknya. 

Prakkk! Tukkk! Prattt! 

“Akh….! Akh….! Akh….! 

Dalam segebrakan saja tiga orang penjaga kembali 

menjadi korban amukan Arya. Yang seorang tewas dengan 

kepala pecah terhantam guci arak. Seorang lagi pecah 

ubun-ubunnya terkena totokan jari pemuda berambut putih 

keperakan itu. Sedangkan yang lain lagi tewas dengan 

leher berlubang terkena semburan araknya. 

Jerit kematian saling susul. Ke mana Arya bergerak di 

situ pasti ada lawan yang tewas. 

Tak lama kemudian habislah para pengeroyoknya. 

Sebuah tawa yang pelan, berat dan bergaung segera 

menyambutnya begitu lawannya yang terakhir rubuh. 

“Ha…ha….ha….!” 

Arya cepat menoleh ke arah asal suara tawa itu. Di 

depannya dalam jarak sekitar tiga tombak berdiri dua 

sosok tubuh. Sosok pertama bertubuh pendek tapi kekar, 

berambut awut-awutan dan bermata merah. Menilik ciri-

cirinya Arya dapat menduga kalau si pendek kekar ini 

adalah kakak ibunya. Dialah Raja Racun Pencabut Nyawa. 

Sosok kedua bertubuh tinggi kurus. Berselubung putih 

dan berpakaian juga serba putih. Inilah rupanya Siluman 

Tengkorak Putih yang menggemparkan itu. dipandanginya 

tokoh yang menggemparkan ini penuh perhatian. Dan


betapa kagetnya Arya ketika melihat sorot mata Siluman 

Tengkorak Putih itu. Sorot mata itu begitu tajam 

mencorong dan berdinar kehijauan. Persis mata seekor 

kucing dalam gelap! 

“Inikah putra Pendekar Ruyung Maut itu, Paman? 

Pemuda yang dulu membawa lari Pedang Bintang?” tanya 

Siluman Tengkorak Putih pada Raja Racun Pencabut 

Nyawa. 

“Betul, Gerda,” jawab Raja Racun itu. 

“Kakang Satria benar,” gumam Arya pelan. nama iblis 

itu bukan Bomantara melainkan Gerda. Tapi kalau bukan 

Bomantara mengapa menguasai ilmu ‘Ular Terbang’? 

“Ha…ha…ha…! hanya sekian sajakah ilmu yang 

diterimanya dari Ki Gering Langit? Huh! Kalau dulu kutahu, 

tidak akan sudi aku bersusah payah untuk 

mendapatkannya.” 

“Siluman Tengkorak Putih!” bentak Arya geram. “Kau 

harus bayar nyawa ayahku!” 

Setelah berkata demikian, Arya segera melompat 

menerjang Siluman Tengkorak Putih. Menyadari kelihaian 

lawan, sekali menyerang Arya sudah menggunakan ilmu 

andalannya. Guci di tangannya menyambar deras ke arah 

kepala lawannya. 

Melihat Arya telah menerjang Siluman Tengkorak Putih, 

Raja Racun Pencabut Nyawa segera menghindar dari situ. 

Sedangkan Siluman Tengkorak Putih yang begitu melihat 

sambaran guci itu segera menundukkan kepalanya. 

Untunglah sambaran guci itu lewat bebrapa rambut di atas 

kepalanya. Malah pakaian dan selubung yang dikenakan 

siluman itu sampai berkibar, begitu sambaran guci itu 

menyambar tempat kosong. Suatu tanda kalau tenaga 

yang mengayunkan guci itu sangat kuat. 

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Siluman Tengkorak 

Putih alias gerda ini. secepat ia mengelak secepat itu pula 

balas menyerang dengan sodokan tangan bertubi-tubi 

pada ulu hati dan leher Arya.


Arya Buana alias Dewa Arak buru-buru memiringkan 

kepalanya, maka serangan yang menuju lehernya me-

ngenai tempat kosong. Sedangkan serangan yang menuju 

ulu hati ditangkisnya dengan tangan kiri disertai pe-

ngerahan seluruh tenaga. 

Plakkk! 

Sebuah benturan keras terdengar. Akibatnya tubuh 

Siluman Tengkorak Putih terhuyung mundur dua langkah. 

Sedangkan tubuh Arya yang berada di udara terlempar ke 

udara. Namun dengan manis tubuhnya melenting di udara 

kemudian laksana seekor kucing kedua kakinya hinggap di 

tanah. 

“Jurus ‘Ular Terbang’?!” teriak Dewa Arak kaget. Walau 

Siluman Tengkorak Putih itu baru mengeluarkan beberapa 

gerakan, Arya langsung mengenalinya. 

“Hm. Pandangan matamu awas juga, tikus kecil!” ejek 

Siluman Tengkorak Putih. Baru kali ini dalam adu tenaga ia 

sampai terdorong dua langkah. Hal ini membuatnya pe-

nasaran bukan main. “Tapi ingin kutahu apakah kaupun 

mampu mengenali yang ini!” 

Setelah berkata demikian, Siluman Tengkorak Putih 

kembali menyerang Dewa Arak dengan sebuah tendangan 

lurus ke arah pusar. Kemudian langsung dilanjutkan 

tendangan menyamping ke arah leher begitu Arya menarik 

tubuhnya ke belakang. Tidak berhenti di situ lalu disusul 

tendangan yang dilakukannya sambil memutar tubuh. 

“Ah….! ‘Tendangan Kilat’….?!” Desah Arya kaget. 

Itulah ilmu milik Ki Gering Langit yang diwariskan ke-

pada Bomantara. Cepat-cepat dielakkan tendangan itu de-

ngan jurus ‘Delapan Langkah Belalang’. 

“Tidak salah lagi, pasti kau Bomantara!” 

Mendadak Siluman Tengkorak Putih menghentikan 

gerakannya. 

“Jahanam! Dari mana kau tahu nama itu, heh?!” 

“Memang sudah lama aku mencari-carimu manusia 

keparat! Murid murtad!” pemuda berpakaian ungu ini balas


membentak. 

“Keparat!” 

Setelah berkata demikian diterjangnya dewa arak. 

Tetapi pemuda itu tak menjadi gugup. Cepat-cepat 

dielakkan serangan itu dan dibalasnya dengan serangan-

serangan yang tak kalah dahsyat. 

Siluman Tengkorak Putih benar-benar telah mengamuk. 

Dikeluarkannya seluruh kemampuan yang dimiliki. Ilmu 

‘Ular Terbang’ warisan Ular Hitam, ilmu ‘Tendangan Kilat’ 

warisan Ki Gering Langit dan ilmu-ilmu racun yang diterima 

dari Raja Racun Pencabut Nyawa. Dan ini baru untuk 

pertama kalinya dilakukannya. 

Tapi lawan yang dihadapi adalah Arya buana. Pewaris 

tunggal dari seluruh ilmu ciptaan Ki Gering Langit yang 

terbaru. Maka, walaupun Siluman Tengkorak Putih telah 

mengeluarkan segenap kemampuan tetap saja pemuda ini 

mampu menghadapi. Bahkan membalas dengan serangan-

serangan yang tak kalah dahsyatnya. Kini Arya yang 

mengetahui kesaktian lawannya segera mengerahkan 

‘Tenaga Inti Matahari’ yang disusul dengan jurus ‘Belalang 

Mabuk’ dan akhirnya jurus ‘Delapan Langkah Belalang’ 

sehingga tubuhnya meliuk-liuk. 

Raja Racun Pencabut Nyawa menonton pertarungan 

antara dua orang sakti itu tanpa berkedip. Baru kali ini 

disaksikan pertarungan yang begitu dahsyatnya. Debu 

mengepul tinggi ke udara. Batu-batu besar dan kecil 

beterbangan tak tentu arah. Pohon-pohon besar dan kecil 

yang terlanda angin pukulan nyasar bertumbangan diiringi 

suara gaduh. 

Bukan hanya itu saja. Decit angin tajam yang 

berhembus dan diiringi bau amis yang memualkan perut, 

keluar dari setiap serangan Siluman Tengkorak Putih. 

Tentu saja gerombolan penjahat terpaksa menjauhi tempat 

itu. Belum lagi akibat setiap gerakan Arya yang berjuluk 

Dewa Arak itu menyebarkan hawa panas menyengat. 

Bahkan bisa menghanguskan kulit!


Siluman Tengkorak Putih penasaran bukan main. 

Apalagi ketika menyadari serangan pukulan beracunnya 

tidak berarti sama sekali bagi pemuda itu. dan memang 

tanpa diketahui Arya sendiri, pasangan ilmu ‘Belalang 

Sakti’ dan ‘Tenaga Dalam Inti Matahari’ membuatnya tidak 

terpengaruh segala macam racun. Hawa beracun sudah 

terusir sebelum mendekati tubuh Arya. Hawa panas yang 

keluar dari tubuh pemuda itu telah menangkal hawa 

beracun yang datang menyerbu ke arahnya. 

Lima puluh jurus telah cepat terlewat. Tapi tidak 

nampak ada tanda-tanda siapa yang akan terdesak dan 

siapa yang akan mendesak. Kepandaian mereka berdua 

sepertinya berimbang. 

Raja Racun Pencabut Nyawa yang menonton 

pertarungan itu menjadi tidak sabar, sehingga segera 

mendekati pertarungan. Sudah bulat tekadnya untuk 

membantu Gerda alias Siluman Tengkorak Putih meng-

hadapi Dewa Arak yang sakti itu. 

Tetapi baru juga bergerak mendekati terdengar suara 

bentakan keras disusul berkelebatnya tiga sosok tubuh 

yang kemudian menghadang di depannya. Dua orang laki-

laki yang berumur tiga puluhan dan seorang gadis yang 

berusia sekitar sembilan belas tahun dan berpakaian serba 

hijau. Wajahnya cantik manis. Apalagi dihiasi tahi lalat di 

pipinya. Inilah Ningrum putri Raja Pisau Terbang. Sedang-

kan dua laki-laki itu adalah Satria dan Mega. 

Raja Racun Pencabut Nyawa menatap tiga sosok tubuh 

di depannya dengan pandagan mata meremehkan. Ia 

hanya melihat dengan ekor mata, walaupun dua laki-laki 

itu sudah bersiap-siap sambil menghunus pedang. 

Sedangkan gadis itu juga nampak sudah menggenggam 

sebilah pisau berwarna putih mengkilat pada kedua 

tangannya. 

“Raja Racun! Kini saatnya kekejianmu harus ditebus 

dengan nyawamu!” teriak Satria keras. Bersamaan dengan 

itu pedang di tangannya cepat meluncur lurus ke arah


pusar Raja Racun Pencabut Nyawa. 

“Hiyaaa….!” Mega yang tahu pasti betapa lihaynya si 

Raja Racun ini dan sadar kalau kakak seperguruannya ini 

bukanlah lawan iblis itu segera membantu Satria. Pedang 

di tangannya melesat cepat membabat leher! 

Ningrum pun tidak mau ketinggalan. Gadis perkasa ini 

segera ikut ambil bagian. Sepasang pisau terbang di 

tangannya berkelebat mencari sasaran di berbagai bagian 

tubuh lawan. 

Kini Raja Racun Pencabut Nyawa tidak bisa main-main 

lagi. Apalagi setelah terbukti kalau tiga lawannya ini 

mampu saling membantu. Ia lalu mengerahkan seluruh 

kemampuannya. 

Baru beberapa jurus bertarung tiba-tiba terdengar 

suara riuh disusul munculnya puluhan orang rimba per-

silatan golongan putih. Inilah orang-orang yang berhasil 

dikumpulkan Satria dan Mega. 

Karuan saja melihat serbuan ini anak buah Siluman 

Tengkorak Putih yang sejak tadi menonton pertarungan 

dahsyat itu bubar. Mereka segera menyambut serbuan 

tamu-tamu yang tak diundang itu. Maka kini terjadilah tiga 

kelompok pertempuran. 

Di antara pertarungan itu yang paling ramai dan 

menegangkan adalah pertarungan antara Arya buana alias 

Dewa Arak melawan Siluman Tengkorak Putih. Mereka ber-

dualah yang menjadi penentu kemenangan dua golongan 

yang saling bertarung itu. 

Berbeda dengan pertarungan Siluman Tengkorak Putih 

yang berimbang, pertarungan Raja Racun Pencabut Nyawa 

melawan Satria, Mega dan Ningrum berjalan berat sebelah. 

Memang bila diperhitungkan kepandaian Satria dan Mega 

masih terlalu jauh untuk menghadapi Raja Racun itu. di 

antara mereka bertiga Ningrumlah yang memiliki kepandai-

an paling tinggi. Maka gadis itulah yang mendapat tekanan 

dari Lindu alias Raja Racun Pencabut Nyawa. Raja Racun 

yang cerdik tahu kalau gadis putri si Raja Pisau Terbang ini


bisa dirubuhkan maka rubuh pulalah semuanya. 

Tentu saja akibatnya terasa sekali bagi Ningrum. 

Memang gadis ini masih kalah segala-galanya dibanding 

lawannya. Kalah tenaga, kelincahan dan juga pengalaman. 

Gadis putri Raja Pisau Terbang inipun segera terdesak. 

Sepasang pisau terbang di tangannya kini hanya dapat di-

gunakan untuk melindungi dirinya. 

Raja Racun Pencabut Nyawa yang tidakingin berlama-

lama dalam pertarungan ini apalagi setelah sekian lama 

lawannya tidak juga dapat dirubuhkan segera mengeluar-

kan pukulan beracun. Sudah dapat dipastikan kalau tak 

lama kemudian ketiga orang muda itu akan rubuh di 

tangan raja racun ini. Kalau saja…… 

“Keji sekali kau Raja Racun! Menghadapi anak-anak 

muda pun masih bermain racun!” 

Berbareng dengan suara teguran itu muncullah 

sesosok tubuh tinggi kurus dan berkulit hitam. Kumis dan 

jenggot yang telah memutih menghias wajahnya. Yang luar 

biasa adalah sepasang matanya. Begitu tajam mencorong 

dan bersinar kehijauan seperti mata seekor kucing dalam 

gelap. 

Begitu datang kakek ini segera menggerakkan kedua 

tangannya menghalau serangan-serangan beracun Raja 

Racun iu. Gerakan tangannya begitu cepat dan tiba-tiba 

seperti gerak seekor ular yang menyambar mangsa. 

“Ah! Kau…. Kau….!” Teriak Raja Racun Pencabut Nyawa 

tertahan. Kegugupan tergambar jelas pada wajahnya. 

Untuk beberapa saat kewaspadaannya mengendur. 

Kesempatan ini tak disia-siakan Satria. Dengan kecepatan 

kilat pedangnya menyambar ke arah perut Raja Racun ini. 

“Akh…!” Raja Racun Pencabut Nyawa memekik ter-

tahan. Darah langsung muncrat dari perut yang tertembus 

pedang hingga ke punggung itu. 

Raja Racun Pencabut Nyawa meraung keras. 

Tangannya pun bergerak mengancam Satria sehingga 

pemuda itu kelihatan gugup. Untungnya ‘kakek penolong’


itu bertindak cepat dan menangkis serangan itu. 

Plakkk! 

Tubuh Raja Racun Pencabut Nyawa terhuyung ke 

belakang. Dan saat itu hampir berbarengan Ningrum dan 

Mega melancarkan serangan. 

Cappp! Cappp! Cappp! 

Dua pisau terbang dan satu pedang itu telak sekali 

menghunjam tubuh Raja Racun. Laki-laki yang bernama 

asli Lindu itu berteriak ngeri. Tanpa ampun lagi tubuhnya 

ambruk ke tanah. Napasnya megap-megap. 

“Arya….. Arya….” Lirih terdengar suara iblis itu. 

 Satria yang melihat iblis itu belum tewas segera 

menyusuli dengan seuah tusukan ke arah jantung. Tetapi 

sebelum pedang itu mengenai sasaran segundukan angin 

keras mendorongnya hingga terjengkang. Cepat pemuda ini 

bersalto di udara beberapa kali untuk mematahkan daya 

dorong itu lalu hinggap ringan di tanah. 

“Tahan dulu pedangmu, Anak Muda. Nampaknya ia 

ingin mengatakan sesuatu….” Kata kakek yang telah 

menolongnya tadi. Tahulah pemuda itu kini. Rupanya angin 

keras tadi berasal dari kakek ini. 

Setelah berkata demikian kakek itu menghampiri Raja 

Racun Pencabut Nyawa yang tergolek tak berdaya. 

“Ada yang ingin kau katakan untuk Arya, Raja Racun? 

Cepatlah katakan biar aku yang akan menyampaikannya,” 

ujar kakek itu ramah. 

Bibir Raja Racun Pencabut Nyawa bergerak-gerak 

pelan. terpaksa kakek itu mendekatkan telinganya ke 

mulut Raja Racun beberapa saat lamanya. Kakek itu baru 

menjauhkan kepalanya setelah tidak terdengar lagi suara 

dari mulut Raja Racun Pencabut Nyawa. Dia kini telah 

tewas. 

Sementara itu pertarungan antara Arya buana melawan 

Siluman Tengkorak Putih telah berlangsung hampir seratus 

lima puluh jurus! Perlahan namun pasti Dewa Arak yang 

mengerahkan jurus ‘Delapan Langkah Belalang’ dan jurus


‘Belalang Mabuk’ yang dialiri pengerahan ‘Tenaga Dalam 

Inti Matahari’, mulai dapat menguasai keadaan. Sampai 

pada suatu saat…. 

“Hiyaaa….!” Siluman Tengkorak Putih yang sudah putus 

asa langsung menyerang Dewa Arak tanpa memperdulikan 

pertahanan lagi. Jari-jari kedua tangannya yang 

membentuk patuk ular bertubi-tubi menyerang pelipis 

danubun-ubun Arya. 

Arya Buana kaget sekali. Disadari kalau lawannya ini 

berniat menadu nyawa. Rasanya tidak mungkin lagi 

mengelakkan serangan itu kalau masih ingin selamat. 

Dewa Arak itu tahu kalau mengelakkan serangan sepasang 

kaki Siluman Tengkorak Putih akan bertubi-tubi meng-

ancamnya dengan juru ‘Tendangan Kilat’. Dan hal ini akan 

lebih membahayakan dirinya. Maka pemuda ini memutus-

kan untuk menangkis walaupun posisinya saat itu tidak 

memungkinkan. 

Arya mengangkat tangan kirinya menejgal kedua 

serangan yang mengancam ubun-ubun dan pelipisnya itu. 

Berbarengan dengan itu guci di tangan kanannya 

menggedor dada Siluman Tengkorak Putih yang terbuka 

lebar. 

Plakkk! Tukkk! Buggg! 

Arya terhuyung satu langkah. Mulutnya menyeringai 

menahan rasa sakit yang mendera tangan kiri. Serangan 

yang menuju ubun-ubunnya memang dapat ditangkis 

dengan jari-jari tangan. Akan tetapi serangan yang 

mengancam pelipis terpaksa dihadang dengan pangkal 

lengan. Dan akibatnya sesaat lamanya dirasakan tangan 

itu bagaikan lumpuh. 

Tetapi meskipun demikian keadaan yang diterima Arya 

masih lebih ringan ketimbang yang diterima Siluman 

Tengkorak Putih. Tubuh siluman itu terjengkang ketika guci 

Dewa Arak menghantam keras dadanya. Bagian bawah 

selubungnya yang berwarna putih nampak kini memerah. 

Siluman itu telah menyemburkan darah dari mulutnya


Arya yang tahu betapa berbahayanya Siluman 

Tengkorak Putih itu, tidak lagi memberi kesempatan. Cepat 

tubuhnya melesat menyusul tubuh siluman itu. 

“Haaat…!” 

Arya melempar gucinya ke udara. Dan kini dengan 

tangan kosong dihajarnya dada siluman itu. 

Bukkk…! 

“Hugh!” 

Siluman Tengkorak Putih mengeluh tertahan. Jelas 

terdengar suara gemeretak dari tulang-tulang dada yang 

berpatahan. Tetapi Arya tidak berhenti sampai di situ saja. 

Cepat-cepat tangan kanannya menangkap guci yang kini 

meluncur turun. Dan secepat guci itu tertangkap secepat 

itu pula diayunkan ke arah kepala Siluman Tengkorak 

Putih. 

Wuuut…! 

Prakkk…! 

Terdengar suara berderak keras ketika guci itu 

menghantam sasaran. Kontan tubuh siluman itu rubuh ke 

tanah. Tanpa dapat bersambat lagi dia tergeletak tak 

bergerak-gerak. Mati. 

Arya segera menghampiri tubuh siluman itu. dicopotnya 

selubung yang selama ini menutupi wajah aslinya. Nampak 

seraut wajah kurus berkumis jarang-jarang. Usianya sekitar 

tiga puluh lima tahun. Ada sebuah tompel pada pipi 

sebelah kiri. 

“Bomantara….” Desis Dewa Arak begitu melihat ciri-ciri 

siluman itu. 

“Benar, dia Bomantara alias Gerda,” sambut sebuah 

suara. 

Arya menoleh ke sebelahnya dengan perasaan kaget. 

Suara itu amat dikenalnya! Nampak olehnya seorang kakek 

bertubuh tinggi kurus, berkulit hitam berkumis dan 

berjenggot putih. Sorot matanya nampak mencorong 

kehijauan. 

Beberapa saat lamanya Arya terdiam. Diamat-amati


kakek ini penuh perhatian. Rasa-rasanya dikenali betul 

suara dan potongan kakek ini. Tapi…. 

“Ha…ha…ha… Tidak mengenaliku lagi Arya?” setelah 

berkata demikian kakek itu mencopot kumis dan 

jenggotnya. Kini yakinlah Arya siapa kakek ini. 

“Kakek Ular Hitam….!” Serunya gembira. 

Si kakek yang ternyata memang Ular Hitam itu tertawa 

bergelak. Dipeluknya Arya penuh rasa kasih sayang. 

“Bagaimana Kakek bisa sampai di sini?” tanya Arya 

gembira. 

“Nanti kuceritakan. Sekarang supaya kau tidak 

bingung, perlu kujelaskan mengenai Siluman Tengkorak 

Putih ini. dia oleh orang-orang persilatan dikenal bernama 

asli Gerda. Aku sendiri baru mengetahuinya sewaktu 

melihat kau bertarung dengannya. Nama aslinya memang 

Gerda. Dia murid Raja Racun Pencabut Nyawa. Padaku dia 

memakai nama palsu sebagai Bomantara. Jadi murid 

murtad itu telah sekaligus menjadi tiga tokoh. Gerda, 

Bomantara dan Siluman Tengkorak Putih. Untung saja 

waktu Bomantara masih jadi muridku aku tak pernah 

menceritakan kalau kitab-kitab ilmu milik Ki Gering Langit 

seluruhnya ada padaku. Kalau tidak….!” Desah Ular Hitam 

seperti untuk dirinya sendiri. 

Arya manggut-manggut “Lalu kenapa Kakek sampai 

berada di sini? Dan mengapa pula harus menyamar?” 

Ular Hitam tersenyum. 

“Sewaktu kau pergi aku mendengar kekacauan di 

dunia persilatan dengan munculnya Siluman Tengkorak 

Putih. Kudengar juga dia telah langsung merajai kaum 

sesat. Dugaanku siluman itu pasti Bomantara. Dan jika 

benar…. Kau akan berhadapan dengan banyak lawan. 

Bomantara, Raja Racun Pencabut Nyawa dan juga Bargola. 

Maka kuputuskan untuk menyusulmu. Yah…..siapa tahu 

kau butuh bantuan. Hm, paling tidak aku dapat mencegah 

Bargola membantu Bomantara. Dalam perjalanan aku 

bertemu Raja Pisau Terbang. Dan ketika melihatku dia


langsung saja memohon agar aku mewakilinya membantu 

putrinya yang ingin menyerbu markas Siluman Tengkorak 

Putih. Karena telah menduga bahwa siluman itu adalah 

Bomantara aku terpaksa menyamar agar tidak mem-

buatnya terkejut.” 

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda telah 

mengerti. Tak lama kemudian, Ular Hitam memberitahukan 

pesan mendiang Raja Racun Pencabut Nyawa kepada 

pemuda itu. 

“Ah….!” Dewa Arak tersentak kaget. Baru pemuda itu 

teringat pada pamannya. Bergegas ia berlari menghampiri 

mayat Raja Racun. Ada tersirat penyesalan yang mendalam 

pada wajah pemuda itu. biar bagaimanapun juga orang itu 

adalah pamannya sendiri. 

Arya berjongkok di depan mayat Raja Racun itu. 

Dipandanginya sosok yang telah kaku itu dengan perasaan 

sedih. Bagaimanapun jahatnya pamannya itu tapi di saat-

saat terakhir telah tumbuh kasih sayang kepada 

keponakannya. Ya, di saat menjelang ajal Raja Racun 

Pencabut Nyawa telah memberitahukan bahwa ibu Arya 

buana berada di Perguruan Mawar Merah. 

Tanpa ragu-ragu lagi Arya punmengulurkan tangan dan 

memondong tubuh pamannya itu. Perlahan-lahan ia 

bergerak bangkit dan berjalan meninggalkan tempat itu. 

 Seiring tewasnya Siluman Tengkorak Putih pertarugnan 

langsung berhenti. Para anak buah siluman itu sadar, 

bahwa tidak ada gunanya melawan lagi. Maka mereka 

segera melarikan diri. Yang tidak sempat melarikan diri 

segera menyerah untuk mencari selamat. 

Sejak Arya berhasil merubuhkan Siluman Tengkorak 

Putih, pandang mata Ningrum tidak lepas-lepasnya 

menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu. 

jantungnya berdetak aneh. Berkali-kali ia mencuri-curi 

pandang. Ia baru mengalihkan perhatian ketika Satria 

memanggilnya. Dan sewaktu menoleh lagi ke arah Dewa 

Arak dan Ular Hitam berada, keduanya telah lenyap.


Betapapun Ningrum mengedarkan pandangannya tetap 

saja tidak terlihat pemuda berpakaian ungu itu lagi. 

“Mencari siapa, Ningrung?” tanya Satria heran melihat 

gadis itu celingukan ke sana ke mari. 

“Eh…..anu… orang yang mengalahkan Siluman 

Tengkorak Putih….” Sahut gadis itu gugup. 

“Oh! Arya Buana, si Dewa Arak yang kuceritakan 

padamu. Ingat?” 

“Oh…..” Ningrum manggut-manggut. “Lalu ke mana dia 

sekarang?” 

Satria celingukan sebentar. 

“Dia sudah pergi, Ningrum.” 

“Pergi?” tanya Ningrum. Ada nada kekecewaan dalam 

suaranya. Dengan lunglai dilangkahkan kakinya meninggal-

kan tempat itu. Terasa seperti ada sesuatu yang hilang dari 

hatinya, seiring perginya pemuda gagah bernama Arya 

buana yang dijuluki Dewa Arak. 

Sementara itu di sebuah tempat yang jauh dari 

keramaian, seorang pemuda berwajah jantan dan 

berambut putih keperakan perlahan-lahan meninggalkan 

sebuah gundukan tanah merah yang masih baru. 

Jelas, pemuda itu adalah si Dewa Arak. Kini dengan 

langkah pasti pemuda berpakaian ungu itu melanjutkan 

perjalanannya. Banyak tugas yang menantinya sebagai 

seorang pendekar. Terlebih dia masi harus mencari ibunya 

di Perguruan Mawar Merah. 

Nah, bagi para pembaca ang ingin mengikuti 

petualangan Arya buana selanjutnya, silahkan tunggu serial 

Dewa Arak dalam episode “Dewi Penyebar Maut.” 



                        SELESAI






Share:

0 comments:

Posting Komentar