..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 12 Desember 2024

DEWA ARAK EPISODE DEWI PENYEBAR MAUT

DEWA ARAK EPISODE DEWI PENYEBAR MAUT

 "Ayah...," suara pelan mengandung isak terdengar 

memecah kesunyian pagi. Suara itu berasal dari 

sebuah mulut mungil berpakaian serba putih yang 

duduk bersimpuh di depan sebuah gundukan tanah 

merah. 

Wajah sosok tubuh ramping ini tidak terlihat 

karena kepalanya tertunduk 

"Aku menyesal sekali, Ayah...," kembali suara 

mengandung isak itu terdengar. Menilik suaranya 

yang begitu menyayat, dapat diperkirakan kalau 

sosok tubuh ramping ini adalah seorang wanita. 

"Kalau aku tidak datang terlambat, mungkin Ayah 

tidak meninggal. Aku menyesal sekali. Tapi, tenanglah 

di dalam kuburmu. Akan kubalaskan sakit hatimu. 

Akan kubunuh mereka yang telah secara curang 

mengeroyokmu. Dengar janjiku ini, Ayah. Kalau tidak 

berhasil memenuhi janjiku ini, maka akan kuganti 

namaku, Ayah. Akan kubuang nama Melati!" 

Tegas dan mantap sekali ucapan terakhir yang 

keluar dari mulut sosok yang berpakaian serba putih, 

dan ternyata bernama Melati itu. Apalagi kata-kata itu 

ditutup dengan kepalan tangannya di depan dada, 

sambil mengangkat wajah! Tangan yang terkepal itu 

begitu indah! Jari-jemarinya terlihat lentik, halus, dan 

berkulit putih mulus. Punggung tangannya yang tidak 

tertutup baju bertangan panjang itu pun putih, halus, 

dan mulus! Tetapi bila dibandingkan dengan wajah 

yang kini nampak jelas itu, tangan itu tidak berarti 

apa-apa. Wajah sosok serba putih itu begitu cantik


jelita, laksana Dewi! Kulit wajahnya putih, halus, dan 

mulus. Hidungnya mbangir, dan bibirnya yang tipis 

dan mungil itu berwarna merah segar. 

Hanya satu yang menyeramkan pada gadis berusia 

sekitar sembilan belas tahun itu. Sepasang matanya 

yang tajam mencorong, dan bersinar kehijauan! 

Persis seperti sorot mata kucing dalam gelap. 

Setelah mengucapkan sumpahnya, Melati bangkit 

dari duduknya, kemudian melesat dari situ. Cepat 

sekali gerakannya. Sehingga dalam sekejap mata 

saja, hanya terlihat sebuah titik di kejauhan yang 

semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap. 

*** 

Seraut wajah cantik jelita berpakaian serba putih, 

dengan sikap tak acuh melangkah memasuki sebuah 

kedai di Desa Waringin. Dihampirinya sebuah meja 

yang masih kosong. Dan dengan malas dihenyakkan 

tubuhnya ke kursi. Tak dipedulikan berpasang-pasang 

mata yang menatap liar ke arahnya. 

Sang pemilik kedai, seorang setengah tua yang 

berwajah totol-totol hitam, tergopoh-gopoh datang 

menghampirinya. 

"Mau pesan apa, Nisanak?" tanya pemilik kedai 

ramah. 

Wanita yang tidak lain dari Melati ini lalu memesan 

makanan yang disukainya. Suaranya begitu merdu. 

Sang pemilik kedai mengangguk-angguk mengerti, 

kemudian berlalu untuk menyiapkan pesanan itu. 

Sebelum berlalu, mulutnya sempat berbisik pelahan 

pada Melati. 

"Hati-hati, Nisanak. Di sini banyak orang jahat. 

Kalau bisa, cepatlah pergi dari sini..."


Melati hanya tersenyum sinis. Sama sekali tidak 

digubris peringatan. pemilik kedai itu. 

Tidak lama, pemilik kedai itu sudah kembali sambil 

membawa makanan pesanan Melati. Setelah 

mempersilakan, ia pun berlalu dari situ. 

Baru beberapa langkah pemilik kedai itu 

meninggalkan meja Melati, dua orang berwajah kasar 

yang sejak tadi menatap liar pada Melati, bangkit dari 

kursinya. Tampaknya mereka melangkah mendekati 

meja Melati. 

"Nisanak...," ucap salah seorang di antara mereka 

yang berkulit hitam dan berwajah penuh bercak-

bercak putih. Lagaknya membuat Melati merasa 

perutnya mual. "Makan sendirian tidak enak. Lebih 

baik pindah ke meja kami, dan kita makan bersama-

sama." 

"Benar, Nisanak," sambut seorang lagi, yang 

bermulut lebar. 

"Lalat-lalat kotor menyebalkan!" ucap Melati tak 

acuh. Tanpa mempedullkan mereka, gadis itu terus 

saja melanjutkan makannya. "Aku heran, kenapa di 

kedai sebersih ini masih ada dua ekor lalat busuk 

yang menjemukan?!" 

"Keparat!" teriak si muka hitam berang. 

"Perempuan tak tahu diuntung! Berani benar kau 

menghina Sepasang Setan Hitam?! Kau harus 

dihukum atas kekurangajaranmu itu! Kecuali kalau 

kau mau meminta maaf dan mencium kami masing-

masing sepuluh kali." 

"Ya, betul," sambut si mulut lebar. Sudah 

terbayang di benaknya betapa nikmat dicium gadis 

secantik wanita berpakaian serba putih ini. 

Sepasang mata Melati mencorong mendengar 

ucapan yang kurang ajar itu. Tangannya yang tengah


menyuap nasi, terhenti di depan mulut. 

"Lalat-lalat busuk bermulut kotor! Orang seperti 

kalian tidak pantas hidup lebih lama lagi!" bentak 

gadis itu geram. 

"Ha ha ha...!" si mulut lebar tertawa bergelak. "Kau 

dengar apa yang dikatakannya, Kang? Lucu! Sungguh 

lucu! Kelinci hendak mengalahkan harimau!" 

Si muka hitam yang berangasan tidak menyahuti 

gurauan rekannya. Sambil mendengus seperti kerbau 

marah, kedua tangannya begitu kurang ajar hendak 

mencengkeram ke arah dada Melati. 

Wajah gadis itu langsung memerah melihat 

serangan yang kurang ajar ini. Seketika itu juga 

tangannya cepat bergerak menyambut. Dan di lain 

saat, dua tangan yang mungil dan indah itu sudah 

mencekal pergelangan kedua tangan si muka hitam 

yang terarah ke dada. Pelahan sekali tangan gadis itu 

meremas, tetapi akibatnya hebat bukan kepalang! 

Terdengar suara gemeretak tulang patah dari 

pergelangan si muka hitam. Kelihatannya tulang-

tulang itu hancur diremas tangan mungil yang 

mengandung tenaga dalam tinggi itu. 

"Akh...!" si muka hitam berteriak kesakitan. 

Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di 

wajahnya karena menahan rasa sakit pada kedua 

tangannya. 

Si muka hitam kaget bukan main. Sekuat tenaga 

ditarik kedua tangannya yang dipegangi Melati. Tapi 

betapa pun telah mengerahkan segenap tenaganya, 

tetap saja dia tidak mampu membebaskan kedua 

tangannya dari cekalan tangan halus itu. Belum lagi 

sempat berbuat sesuatu, tangan kiri gadis berpakaian 

serba putih itu sudah bergerak menampar pelipis si 

muka hitam.


Prakkk...!" 

"Akh...!" 

Terdengar suara berderak keras ketika tangan 

halus gadis itu menghantam pelipis si muka hitam. 

Orang pertama dari Sepasang Setan Hitam ini 

mengeluh tertahan, sebelum rubuh ke tanah dengan 

napas putus. 

Si mulut lebar meraung murka melihat temannya 

tewas. Tak dipikirkan lagi, bahwa kematian rekannya 

yang begitu mudah menjadi suatu tanda betapa 

tingginya kepandaian yang dimiliki gadis berpakaian 

serba putih itu. Dengan amarah meluap-luap, dicabut 

senjatanya yang berupa sebuah kapak dari baja putih. 

Seketika diayunkannya senjata itu ke kepala Melati. 

Dan memang, hilang sudah gairahnya pada gadis itu. 

Wuttt..! 

Angin keras berhembus sebelum serangan kapak 

itu tiba. Tetapi, Melati sama sekali tidak gugup 

melihat serangan itu. Hanya dimiringkan kepalanya 

sedikit, maka kapak itu lewat beberapa rambut di 

depan mukanya. Dan sebelum kapak itu 

menghantam meja, tangan Melati sudah bergerak 

cepat menotok pergelangan tangan si mulut lebar. 

Si mulut lebar mengeluh tertahan. Pergelangan 

tangannya terasa lumpuh, sulit digerakkan lagi. Dan 

sebelum ia berbuat sesuatu, kapak itu kini sudah 

berpindah ke tangan Melati. Begitu tangan gadis yang 

kini telah menggenggam kapak itu bergerak, si mulut 

lebar menjerit ngeri. Dadanya tertembus kapaknya 

sendiri. Beberapa saat lamanya tubuh salah satu dari 

Sepasang Setan Hitam itu menggelepar-gelepar 

sebelum akhirnya tidak bergerak-gerak untuk selama-

lamanya. 

Setelah menewaskan si mulut lebar, Melati


Prakkk...!" 

"Akh...!" 

Terdengar suara berderak keras ketika tangan 

halus gadis itu menghantam pelipis si muka hitam. 

Orang pertama dari Sepasang Setan Hitam ini 

mengeluh tertahan, sebelum rubuh ke tanah dengan 

napas putus. 

Si mulut lebar meraung murka melihat temannya 

tewas. Tak dipikirkan lagi, bahwa kematian rekannya 

yang begitu mudah menjadi suatu tanda betapa 

tingginya kepandaian yang dimiliki gadis berpakaian 

serba putih itu. Dengan amarah meluap-luap, dicabut 

senjatanya yang berupa sebuah kapak dari baja putih. 

Seketika diayunkannya senjata itu ke kepala Melati. 

Dan memang, hilang sudah gairahnya pada gadis itu. 

Wuttt..! 

Angin keras berhembus sebelum serangan kapak 

itu tiba. Tetapi, Melati sama sekali tidak gugup 

melihat serangan itu. Hanya dimiringkan kepalanya 

sedikit, maka kapak itu lewat beberapa rambut di 

depan mukanya. Dan sebelum kapak itu 

menghantam meja, tangan Melati sudah bergerak 

cepat menotok pergelangan tangan si mulut lebar. 

Si mulut lebar mengeluh tertahan. Pergelangan 

tangannya terasa lumpuh, sulit digerakkan lagi. Dan 

sebelum ia berbuat sesuatu, kapak itu kini sudah 

berpindah ke tangan Melati. Begitu tangan gadis yang 

kini telah menggenggam kapak itu bergerak, si mulut 

lebar menjerit ngeri. Dadanya tertembus kapaknya 

sendiri. Beberapa saat lamanya tubuh salah satu dari 

Sepasang Setan Hitam itu menggelepar-gelepar 

sebelum akhirnya tidak bergerak-gerak untuk selama-

lamanya. 

Setelah menewaskan si mulut lebar, Melati


kembali duduk menghadapi mejanya. Sikapnya tak 

acuh, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Para 

pengunjung yang melihat keganasan gadis itu 

menjadi ngeri. Beberapa di antara mereka secara 

diam-diam meninggalkan kedai itu setelah membayar 

makanannya. Tentu saja Melati mengetahuinya. Tapi, 

gadis itu tidak mempedulikan. Terus saja dilanjutkan 

makannya yang tertunda. 

Tak lama kemudian, Melati menyelesaikan 

makannya. Diletakkan pembayarannya di atas meja. 

Dengan sikap tidak peduli, dilangkahkan kakinya 

berjalan ke luar kedai. 

Sepeninggal Melati, maka terdengarlah suara-

suara bergumam mirip kerumunan lebah di dalam 

kedai itu. Semuanya sibuk membicarakan kejadian 

yang baru saja terjadi. 

"Sayang sekali!" ucap salah seorang pengunjung 

menyayangkan. "Siapa sangka kalau di balik wajah 

cantik seperti Dewi, tersembunyi hati yang kejam." 

"Benar!" sambut yang lain. "Begitu mudah dan 

enaknya ia menyebar maut di sini!" 

"Tindakannya seperti Malaikat Pencabut Nyawa 

saja!" orang pertama menyahuti lagi. 

"Ah, tidak cocok dong!" sergah yang lain. "Mana 

ada malaikat wanita! Kalau menurutku, julukan yang 

pantas baginya adalah Dewi Penyebar Maut!" 

"Benar...!" sahut salah seorang. 

"Akur...!" 

Sejak peristiwa di kedai itu, tanpa sepengetahuan 

Melati sendiri, ia telah dijuluki orang Dewi Penyebar 

Maut. Dalam waktu sebentar saja, julukan itu telah 

menyebar ke seluruh pelosok desa. Bahkan sampai 

ke desa-desa sekitar. Dewi Penyebar Maut, sebuah 

julukan bagi seorang gadis cantik yang berpakaian


serba putih, tapi berhati kejam. 

*** 

"Perguruan Elang Sakti," gumam Melati sinis, 

membaca tulisan pada sebuah papan besar dan tebal 

yang tergantung di depan pintu gerbang sebuah 

bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi. 

"Hup!" 

Melati melompati tembok yang tingginya tidak 

kurang dari satu tombak itu. Tanpa suara, kakinya 

mendarat seperti seekor kucing. 

Tetapi belum juga gadis itu berbuat sesuatu, 

terdengar sebuah bentakan keras. 

"Berhenti!" 

Melati menoleh ke arah asal suara itu. Nampak di 

depannya berdiri seorang pemuda gagah dengan 

kedua tangan bersedekap. Tatapan matanya penuh 

selidik. Tetapi, sepasang mata yang semula tajam itu 

mendadak lunak begitu melihat wajah Melati. 

"Eh! Nggg..., siapa Nini? Mengapa masuk secara 

gelap-gelapan?" tanya pemuda itu gagap. 

"Siapa pun aku, tidak perlu kau tahu. Yang jelas, 

kedatanganku ke sini adalah karena mempunyai 

keperluan yang sangat penting dengan gurumu!" 

sahut Melati sambil tersenyum sinis. 

"Ahhh.... Ada keperluan apakah, sehingga Nini 

ingin bertemu guruku?" 

"Aku ingin mengirimnya ke akherat!" lantang dan 

tegas kata-kata Melati. 

"Apa?!" Sepasang mata pemuda itu terbelalak. Kini 

sikapnya seketika berubah kembali. "Jangan harap 

mampu melakukannya sebelum melangkahi 

mayatku!"


"Hi hi hi...! Berapa sih, susahnya melangkahi 

mayatmu?!" ejek Melati tajam, setelah tawa 

mengikiknya selesai. 

"Boleh kau coba!" tantang pemuda itu. 

"Manusia dungu yang suka mencari penyakit 

sendiri! Jangan salahkan aku kalau kau mati di 

tanganku!" 

Setelah berkata demikian, tubuh Melati berkelebat 

ke arah sasaran. Pemuda itu kaget sekali. Yang 

terlihat hanya sekelebat bayangan yang cepat 

meluruk ke arahnya. Dengan sebisanya, pemuda itu 

bergerak menangkis. Tapi usahanya sia-sia. 

Crokkk! 

"Aaakh...!" 

Pemuda malang itu langsung rubuh sambil 

berteriak keras menyayat. Darah segar seketika 

membasahi ubun-ubunnya yang pecah! 

Tanpa mempedulikan keadaan pemuda itu lagi, 

Melati bergerak menghampiri pintu gerbang. Tepat di 

depan pintu gerbang itu langkahnya terhenti seraya 

bertolak pinggang. 

"Satria, Mega..., keluar! Kalian harus menerima 

kematian!" teriak Melati lantang. 

Teriakan Melati yang disertai pengerahan tenaga 

dalam, langsung menggema ke sekitar tempat itu. 

Akibatnya sudah bisa diduga. Belasan murid 

Perguruan Elang Sakti bermunculan, dan bersikap 

waspada. 

"Iblis dari mana yang tersesat ke sini?!" tanya salah 

seorang murid kepala, bernada kasar. Kemudian 

dengan amarah meluap-luap, dihampirinya Melati. 

Untuk sesaat hatinya terperangah melihat kecantikan 

si pengacau yang luar biasa itu. Tapi, sekejap 

kemudian perasaannya sudah bisa dikuasai.


Tetapi sebelum Melati menjawab, terdengar 

sebuah suara dari arah belakang para murid itu. 

"Mundur, Kusna!" 

Si murid kepala yang ternyata bernama Kusna, 

segera mengenali suara gurunya. Maka buru-buru dia 

melangkah mundur. Seiring mundurnya Kusna, dari 

belakang kerumunan murid itu menyeruak dua orang 

pria berusia tiga puluhan. 

"Kaliankah yang bernama Satria dan Mega itu?" 

tanya Melati sinis. 

"Tidak salah! Aku Satria, dan ini temanku, Mega," 

jawab Satria yang kini bersama Mega menjadi Ketua 

Perguruan Elang Sakti (Untuk mengetahui kisah ten-

tang Satria dan Mega sebelumnya, silakan baca serial 

Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang"). 

"Ada urusan apakah, sehingga Nini datang mencari 

kami? Bahkan dengan cara yang sangat tidak sopan!" 

Wajah Melati berubah beringas melihat orang yang 

dicarinya telah di depan mata. 

"Hutang nyawa!" sahut gadis itu keras, bernada 

penuh kebencian. 

Berkerut kening Satria mendengar jawaban yang 

tidak disangka-sangka itu. 

"Hutang nyawa? Aku tidak mengerti maksudmu, 

Nini. Apakah kau tidak salah alamat?" 

"Tidak!" bentak Melati lagi. "Bersiaplah kalian 

berdua untuk menerima kematian!" 

"Tunggu dulu, Nini!" cegah Satria cepat. "Kalau 

boleh tahu, siapakah yang telah kami bunuh?" 

Semakin beringas wajah Melati. Kini sepasang 

matanya mencorong tajam bersinar kehijauan. 

"Ayahku," jawab Melati, agak ditekan suaranya. 

"Ayahmu? Siapa nama ayahmu?" tanya Mega 

cepat.


"Ayahku berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa! 

Jelas?! Atau masih mau mungkir?" Geraham Melati 

bergemeletuk, karena menahan amarah (Bila ingin 

jelas tentang Raja Racun Pencabut Nyawa, silakan 

baca serial Dewa Arak, dalam episode "Pedang 

Bintang"). 

"Tidak mungkin!" potong Satria cepat. "Raja Racun 

itu tidak mempunyai anak, lagipula..." 

"Terimalah kematianmu, manusia pengecut!" 

potong gadis itu cepat sambil menyerang Satria 

dengan mendorongkan tangannya ke depan. 

Wuuuttt...! 

Angin kuat berhembus menyambar ke arah Satria. 

Ketua Perguruan Elang Sakti ini buru-buru melempar 

tubuh ke samping dan bergulingan beberapa kali di 

tanah. Akibatnya serangan itu lewat terus ke 

belakang dan kontan menghantam murid-murid 

Satria yang tidak sempat mengelak lagi. 

Suara jerit kesakitan terdengar saling susul, ketika 

pukulan jarak jauh Melati menghantam mereka. Tidak 

kurang dari lima orang terjengkang rubuh ke 

belakang dengan dada pecah! 

Satria dan Mega terkejut bukan main. Dalam 

segebrakan saja dapat diketahui kalau gadis 

berpakaian serba putih ini memiliki tenaga dalam 

tinggi. Tanpa ragu-ragu lagi, keduanya segera 

mencabut senjatanya dan menyerang secara 

berbareng. 

"Hi hi hi...," Melati tertawa mengikik. "Keroyoklah 

aku, manusia-manusia pengecut! Tapi, kali ini jangan 

harap akan semujur dulu!" berbareng dengan 

selesainya Melati mengucapkan ancamannya, 

serangan dua batang pedang itu telah menyambar 

kembali. Tetapi, gadis itu hanya tersenyum sinis.


Kemudian, tangannya yang telanjang segera 

memapak bacokan kedua pedang itu. 

Satria dan Mega kaget sekali. Apa yang diperbuat 

gadis berpakaian serba putih ini benar-benar 

membuat mereka terkejut. Menangkis serangan 

pedang dengan tangan telanjang, membutuhkan 

tenaga dalam yang amat tinggi. Dan selama ini hanya 

Bargolalah yang berani menangkis seperti itu (Baca; 

Serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang"). 

Mungkinkah gadis yang mengaku putri Raja Racun 

Pencabut Nyawa itu mempunyai tenaga dalam 

setingkat Bargola? Tapi.... 

Trakkk! Trakkk! 

Satria dan Mega menyeringai. Tangan dua orang 

Ketua Perguruan Elang Sakti yang menggenggam 

pedang, terasa lumpuh ketika tangan telanjang gadis 

itu menangkis pedang mereka. Hampir saja pedang 

mereka terlepas dari genggaman. Kini, terbukti 

bahwa tenaga dalam yang dimiliki gadis itu benar-

benar setingkat dengan Bargola. 

"Hi hi hi...," kembali Melati tertawa mengikik. 

Hati gadis itu kelihatan gembira melihat kedua 

lawannya kaget. Sengaja dia tidak terburu-buru 

membinasakan, karena ingin melihat mereka 

ketakutan sebelum maut menjemput. 

"Kini, terimalah kematian kalian!" 

Setelah berkata demikian, tubuh Melati melesat 

cepat menerjang kedua pemimpin Perguruan Elang 

Sakti itu. Jari-jari kedua tangannya berkelebat cepat, 

membentuk cakar naga. Angin tajam berciutan 

mengiringi tibanya serangan itu. 

Satria dan Mega kebingungan. Gerakan lawan 

yang terlalu cepat membuat mereka tidak dapat 

menduga, ke arah mana dan dengan cara bagaimana


gadis itu menyerang. Dengan cara untung-untungan 

mereka memutar pedang bagai baling-baling untuk 

membuat pertahanan. 

Tapi, mendadak putaran pedang itu lenyap. Se-

dangkan pedang-pedang itu sendiri sudah 

berpentalan jatuh ke lantai, sehingga menimbulkan 

suara berkerontangan. Satria dan Mega tidak tahu 

bagaimana hal itu terjadi. Yang jelas, tiba-tiba sekujur 

tangan mereka terasa lumpuh. Tetapi diyakini, pasti 

tangan gadis berpakaian serba putih itu telah 

menotok pergelangan tangan mereka. Dan belum lagi 

dapat berbuat sesuatu, tangan Melati telah 

menyambar pelipis dan ubun-ubun mereka, yang 

merupakan dua bagian tubuh yang mematikan. 

Crokkk! Plakkk! 

Terdengar suara berderak dua kali berturut-turut 

Dan seiring lenyapnya suara itu, tubuh Satria dan 

Mega rubuh ke tanah, tanpa bersuara lagi. Mati. 

Tentu saja kematian kedua pemimpin Perguruan 

Elang Sakti itu membuat para muridnya menjadi 

terkejut bercampur marah. Dengan serentak mereka 

yang kini berjumlah tiga belas orang, mencabut 

senjata masing-masing. 

Srattt! Srattt! Srattt! 

Melati hanya tersenyum sinis. 

"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. 

Kuperingatkan, jangan ikut campur dalam masalah 

ini, kalau tidak ingin bernasib seperti guru kalian," 

ancam gadis itu. 

"Perempuan keparat! lblis berwajah manusia! Kau 

kira kami takut mati? Serbuuu...!" teriak salah 

seorang dari mereka. 

Tiga belas orang murid itu pun serentak menerjang 

Melati. Belasan senjata tajam yang terdiri dari pedang


dan golok berkelebat menyambar sekujur tubuh gadis 

itu. Tapi Melati melayani hanya dengan senyum sinis. 

Dan seketika kedua tangannya yang lembut dan 

halus itu memapak semua serangan lawannya, 

sekaligus memberikan serangan-serangan balasan. 

Akibatnya sudah bisa diduga. Ke mana tangan 

atau kaki Melati bergerak, berarti di situ ada korban. 

Dan dalam waktu yang singkat, tidak ada seorang pun 

murid Perguruan Elang Sakti yang masih berdiri. 

Semua telah terkapar tanpa nyawa. 

Melati memandangi hamparan mayat-mayat di 

sekelilingnya beberapa saat. Pandang matanya 

berhenti agak lama pada tubuh Satria dan Mega. 

Kepalanya pun kemudian menengadah. 

"Ayah...," desis gadis itu pelan tapi tajam. "Lihat-

lah! Telah kubalaskan dendammu. Telah kubunuh 

dua dari empat orang yang telah secara pengecut 

mengeroyokmu! Kini tinggal dua orang lagi, Ayah. Dan 

setelah itu tenanglah kau di alam sana!" 

Belum habis gema suaranya, Melati sudah melesat 

dari situ. Tujuannya jelas, mencari pembunuh Raja 

Racun Pencabut Nyawa. Masih tinggal dua orang lagi 

yang dicarinya. Ningrum, dan Ular Hitam. 

Tanpa sepengetahuan Melati, ada sepasang mata 

yang mengintai semua perbuatannya. Dan begitu 

dilihatnya gadis itu telah pergi, baru si pemilik 

sepasang mata itu berani keluar. Ditatapnya belasan 

sosok tubuh yang terkapar bergelimpangan disertai 

perasaan ngeri. 

"Sungguh ganas dan kejam sekali, Dewi Penyebar 

Maut itu...," desahnya bergidik. Memang, dia juga 

sudah melihat peristiwa di kedai beberapa hari yang 

lalu, sewaktu Melati menewaskan Sepasang Setan 

Hitam. Oleh karena itu, begitu melihat, langsung


dikenalinya. 

"Tolooong...! Tolooong...! Ada pembunuhan!" te-

riaknya sambil berlari ke luar. 

Dalam waktu sebentar saja, halaman depan 

Perguruan Elang Sakti dipenuhi penduduk yang 

berkumpul karena mendengar teriakan itu! Dan 

julukan Dewi Penyebar Maut pun, kembali 

digumamkan orang dengan perasaan ngeri.


DUA


Suara irama napas teratur, tetap, dan berulang-ulang 

terdengar memecah keheningan pagi dalam sebuah 

hutan di luar Desa Kemukus. Suara itu ternyata 

berasal dari hidung dan mulut seorang gadis yang 

tengah bersemadi. 

Gadis itu berwajah cantik manis, dan berpakaian 

serba hijau. Di pipi kirinya bertengger sebuah tahi 

lalat, yang membuat wajahnya yang memang cantik 

itu kian bertambah menarik. Gadis itu adalah 

Ningrum, putri Raja Pisau Terbang. Sudah beberapa 

hari ini, gadis itu berada di hutan. Dia memang dalam 

perjalanan mengikuti jejak Arya Buana, si Dewa Arak 

yang telah membuat hatinya terguncang pada 

pandangan pertama. 

Selama beberapa hari di dalam hutan ini, Ningrum 

berlatih keras. Gadis ini merasa kecewa menyadari 

betapa kepandaiannya masih terlalu rendah. 

Sehingga sewaktu menghadapi Raja Racun Pencabut 

Nyawa, ia terdesak. Padahal, waktu itu ia dibantu dua 

orang murid kepala Perguruan Tangan Sakti! Hal ini 

membuatnya penasaran sekali. Maka, dalam 

perjalanannya menyusuri jejak pemuda berambut 

putih keperakan, ia selalu menyempatkan diri untuk 

berlatih. Tapi bila situasinya tidak memungkinkan, dia 

hanya bersemadi dan latihan pemapasan saja. Dan 

bila situasinya memungkinkan, ia pun melatih pula 

jurus-jurus pisau terbang dan tangan kosong. 

Pelahan-lahan sang mentari mulai meninggi.


Sinarnya yang hangat pun mulai menerpa sekujur 

tubuh dan wajah Ningrum. Tapi, sedikit pun gadis itu 

tidak terganggu, dan tetap tenggelam dalam 

semadinya. Napasnya keluar masuk dengan irama 

tetap. 

Putri Raja Pisau Terbang ini baru menghentikan 

semadi, ketika pendengarannya yang tajam 

menangkap suara-suara langkah kaki menuju ke 

arahnya. 

Baru saja Ningrum membuka mata, di depannya, 

telah berdiri beberapa sosok tubuh berwajah kasar 

sambil menatap liar. Bergegas gadis yang bertahi lalat 

di pipi kiri ini bangkit dari bersilanya. Melihat dari 

gelagatnya, Ningrum tahu bahwa saat ini tengah 

berhadapan dengan orang-orang yang tidak berniat 

baik. 

"Ha ha ha...! Sungguh tidak disangka di dalam 

hutan ini aku dapat bertemu seorang bidadari! Ha ha 

ha...! Mimpi apa aku semalam?!" seru orang paling 

depan yang bertubuh tinggi besar, berwajah kasar. Di 

lehernya tergantung seuntai kalung bermatakan 

tengkorak kepala bayi. Tampaknya dia gembira sekali. 

Ucapan si tinggi besar ini segera disambut gelak 

tawa tujuh sosok tubuh yang berada di belakangnya. 

"Bagaimana? Cocokkah bila kujadikan 

permaisuriku?" tanya si tinggi besar yang rupanya 

pemimpin gerombolan itu sambil menoleh ke 

belakang. 

"Ha ha ha...! Kakang memang pintar memilih. 

Wanita ini memang pantas menjadi permaisuri 

Kakang. Dan kelihatannya dia menguasai sedikit ilmu 

silat. Dunia persilatan akan memuji Kakang, karena 

pandai memilih istri," sahut salah seorang dari 

mereka.


Ningrum tak kuat lagi menahan kemarahannya 

mendengar pembicaraan mereka. 

"Manusia-manusia bermulut kotor! Pergilah kalian 

sebelum hilang kesabaranku!" 

"Ha ha ha...!" kembali laki laki tinggi besar yang 

berjuluk Raksasa Kulit Baja itu tertawa bergelak. 

"Kalian lihat! Bukan hanya wajahnya saja, sikapnya 

pun memenuhi persyaratan untuk menjadi 

permaisuriku. Ha ha ha...!" 

Untuk yang kesekian kalinya tujuh orang yang 

berada di belakang Raksasa Kulit Baja itu tertawa 

bergelak. Kali ini amarah Ningrum pun meledak. 

"Tutup mulutmu yang bau itu, raksasa busuk!" 

bentak gadis itu keras. 

Kontan berubah merah wajah si tinggi besar 

mendengar makian pedas itu. Tawanya pun seketika 

terhenti. 

"Rupanya kau tidak senang diperlakukan baik-baik, 

Cah Ayu! Kau lebih suka diperlakukan secara kasar 

dulu, baru mau tunduk, heh?! Akan kuturuti bila itu 

yang diinginkan!" 

Setelah berkata demikian, Raksasa Kulit Baja 

menggerakkan ujung telunjuk, pada salah seorang 

yang berdiri di belakangnya. 

Sambil tertawa-tawa, si muka kuning, yang diberi 

isyarat Raksasa Kulit Baja ini melangkah maju. 

Sepasang matanya liar menatap Ningrum. Sekejap 

kemudian, dia telah bergerak menyerang gadis itu. 

Tangannya menangkap lengan kanan gadis yang 

bertahi lalat di pipi kirinya ini. Dikiranya, gadis ini pasti 

tak akan dapat mengelakkan sergapannya. 

Tetapi, si muka kuning tertipu. Dengan sebuah 

gerakan sederhana, Ningrum telah membuat 

tangkapan itu hanya mengenai tempat kosong.


Sebaliknya adalah ujung kaki putri Raja Pisau 

Terbang ini telah mendarat di perut si muka kuning. 

Bukkk..! 

"Hugh!" 

Si muka kuning mengeluh tertahan. Sodokan ujung 

kaki Ningrum memang keras sekali. Tak pelak lagi, 

tubuh si muka kuning terbungkuk-bungkuk seraya 

memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas 

bukan main. Dan selagi si muka kuning sibuk 

merasakan sakit pada perutnya, kaki Ningrum 

kembali bergerak menendang bahunya. Tentu saja 

gadis itu tidak mengerahkan seluruh tenaganya. 

Sebab kalau hal itu dilakukan, si muka kuning ini 

pasti tewas. 

Desss! 

Tubuh si muka kuning terpental ke belakang dan 

keras sekali mencium tanah. Laki-laki itu terguling-

guling sesaat, untuk kemudian tidak bergerak lagi. 

Pingsan. 

Tentu saja hal ini membuat Raksasa Kulit Baja dan 

anak buahnya yang lain terperanjat kaget. Dengan 

mata terbelalak, mereka menatap Ningrum. Sungguh 

sulit dipercaya dengan apa yang terjadi di depan 

mereka ini. Benarkah gadis yang mereka sangka 

seekor domba ternyata adalah singa betina? 

Raksasa Kulit Baja tentu saja merasa penasaran 

sekali. Dengan gerak kepalanya, diperintahkan sisa 

anak buahnya untuk menyerang berbareng. Maka 

keenam orang anak buahnya melangkah maju 

mengepung Ningrum. Sadar kalau gadis itu bukanlah 

lawan empuk, mereka pun tidak mau bersikap main-

main lagi. 

"Mengapa tanggung-tanggung, raksasa busuk? 

Majulah! Biar urusan ini cepat selesai!' ejek Ningrum


sambil tersenyum sinis. 

Mendengar ejekan itu, Raksasa Kulit Baja 

meraung murka. 

"Kau terlalu sombong, perempuan keparat! Kalau 

nanti sudah tertangkap, kau akan kutelanjangi dan 

kuperkosa sampai aku puas. Tidak sampai di situ 

saja, tubuhmu akan kuberikan pada mereka, agar 

dapat dinikmati sampai kau mati kelelahan!" 

Ningrum bergidik mendengarnya, dan wajahnya 

langsung memerah. Ucapan Raksasa Kulit Baja itu 

benar-benar membuat kemarahannya berkobar. 

Orang seperti dia memang tidak patut untuk 

dibiarkan hidup. Tetapi putri Raja Pisau Terbang itu 

tidak bisa berlama-lama termenung. Serangan-

serangan anak buah Raksasa Kulit Baja itu telah 

menyambar cepat ke arahnya 

Ningrum tersenyum mengejek. Dari gerakan dan 

serangan mereka, sudah dapat dinilai kekuatan 

lawannya. Jangankan hanya tujuh orang, biar 

ditambah dua kali lipat lagi pun masih sanggup 

menghadapinya. Maka, sikapnya pun tenang 

menghadapi hujan serangan itu. 

Ningrum yang tidak sudi bersentuhan tangan 

dengan mereka, tidak menangkis serangan-serangan 

itu. Dengan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas 

lawan-lawannya, dihindari setiap serangan yang 

datang. Serta-merta, dibalas serangan-serangan yang 

datang dengan sepasang kakinya yang berkelebatan 

ke sana kemari. Terdengar suara berdebuk berulang 

ulang, disusul berpentalannya tubuh para 

pengeroyoknya. Hanya beberapa gebrakan saja, 

semua lawan telah bergeletakan di tanah dalam 

keadaan pingsan. Beberapa di antaranya mengalami 

patah kaki, maupun patah tangan. Bahkan ada pula


yang benjol-benjol kepalanya. 

"Kini giliranmu, raksasa busuk!" tantang Ningrum 

sambil berkacak-pinggang. 

Raksasa Kulit Baja menggeram. Wanita ini 

sungguh keterlaluan! Berkali-kali menghinanya. Maka 

dengan wajah merah, dilangkahkan kakinya 

menghampiri Ningrum. 

"Hiyaaa...!" manusia bertubuh raksasa itu 

membuka serangan dengan sebuah cengkeraman ke 

arah bahu Ningrum. Bagaimanapun juga Raksasa 

Kulit Baja ini merasa sayang untuk memukul mati 

gadis yang telah membangkitkan gairahnya ini. 

Wut...! 

Sambaran angin keras mengawali tibanya 

cengkeraman itu. Dari angin serangan ini, Ningrum 

dapat mengetahui kalau lawannya ini memiliki tenaga 

dalam tinggi. 

Tetapi, walaupun serangan itu mengandung 

tenaga dalam tinggi, tapi gerakannya kelihatan terlalu 

lambat. Mudah saja bagi putri Raja Pisau Terbang ini 

untuk mengelakkannya. Bahkan menyusuli dengan 

totokan ujung kakinya pada punggung Raksasa Kulit 

Baja. 

Tukkk...! 

"Aih...!" 

Ningrum menjerit kaget, ketika ujung kakinya 

membentur kulit daging yang keras, sehingga 

tendangannya membalik. Dirasakan, jari-jari kakinya 

terasa nyeri bukan main. Dan ini membuatnya kaget 

tak terkirakan, juga penasaran. Maka dikirimkan 

serangan bertubi-tubi pada bagian tubuh Raksasa 

Kulit Baja yang lainnya. Namun tetap saja hasilnya 

sama saja. Ningrum menjadi bingung. Laki-laki tinggi 

besar itu ternyata memiliki ilmu kebal! Bahkan pisau


terbang gadis itu pun tidak mampu melukai kulit 

lawannya ini. 

"Ha ha ha...! Silakan kau pilih kulitku yang paling 

empuk, Manis," ejek Raksasa Kulit Baja menantang. 

Ningrum sadar, bahwa tidak ada gunanya lagi 

melawan Raksasa Kulit Baja yang ternyata memiliki 

ilmu kebal ini. Maka gadis ini memutuskan untuk 

melarikan diri saja. Dan memang, adalah suatu 

perbuatan bodoh untuk melawan terus. Karena sudah 

dapat dipastikan, lama-kelamaan gadis itu akan 

kehabisan tenaga. Dan apabila hal itu terjadi, bahaya 

yang mengerikan akan diterima dari si tinggi besar ini. 

Setelah berpikir demikian, Ningrum segera melesat 

kabur. Tentu saja Raksasa Kulit Baja menjadi terkejut 

bukan main. Sungguh di luar dugaan kalau lawannya 

ini melarikan diri. Buru-buru manusia bertubuh bagai 

raksasa itu berlari mengejar. Tapi karena ilmu 

meringankan tubuhnya masih berada jauh di bawah 

putri Raja Pisau Terbang itu, jarak antara mereka 

semakin bertambah jauh saja. Sampai akhirnya tubuh 

gadis itu lenyap di kejauhan. 

Raksasa Kulit Baja memaki-maki dan menyumpah 

serapah. Dipandangi arah tubuh Ningrum 

menghilang, kemudian bergerak mengikutinya. Tak 

dipedulikan lagi anak buahnya yang tergeletak di 

dalam hutan dalam keadaan pingsan. 

"Akan kucari ke mana pun kau pergi, perempuan 

keparat!" teriaknya keras. "Sekalian akan kucari 

pembunuh saudara angkatku, si Harimau Mata Satu. 

Ya, akan kucari si Dewa Arak alias Arya Buana...." 

(Harimau Mata Satu terbunuh oleh Arya Buana dalam 

serial Dewa Arak, episode "Pedang Bintang"). 

***


Ningrum mengerahkan segenap kemampuannya. 

Hatinya benar-benar ngeri membayangkan kalau 

sampai bisa ditangkap Raksasa Kulit Baja itu. 

Ancaman si tinggi besar itu tidak main-main dan 

benar-benar membuat bulu tengkuknya meremang. 

Legalah hati Ningrum ketika tidak melihat lagi 

bayangan tubuh Raksasa Kulit Baja yang 

mengejarnya. 

"Hhh...!" desah Ningrum pelan. 

Gadis itu menghentikan larinya, dan untuk 

beberapa saat hanya berdiri termenung. Otaknya 

berpikir keras, apakah terus melanjutkan perjalanan 

atau kembali ke tempat ayahnya. Jika kembali ke 

tempat ayahnya, dia bisa kembali berlatih. Disadari 

kalau dengan tingkat kepandaian sekarang ini, akan 

banyak mengalami kekecewaan-kekecewaan dalam 

petualangannya. 

Setelah lama mempertimbangkan, Ningrum 

memutuskan untuk kembali pulang ke tempat 

kediaman ayahnya. Tekadnya, harus berlatih keras, 

dan tidak malas-malasan seperti dulu. Setelah 

keputusannya bulat, gadis berpakaian serba hijau ini 

pun melesat dengan tujuan pasti. Tempat kediaman 

ayahnya. 

Beberapa hari kemudian, sampailah gadis ini di 

mulut sebuah hutan yang menjadi tempat menyepi 

ayahnya. Dan baru saja hendak melangkah masuk, 

sebuah seruan keras membuatnya terpaksa 

mengurungkan langkah. 

"Nisanak yang di depan! Tunggu sebentar!" 

Ningrum menoleh ke belakang. Tampak di kejauhan, 

sesosok bayangan putih melesat cepat menuju ke 

arahnya. Dalam waktu sekejap saja sosok bayangan 

itu telah berada di depannya.


Ningrum memperhatikan sosok tubuh di 

hadapannya ini dengan pandangan mata kagum. 

Betapa tidak? Sosok tubuh di hadapannya ini ternyata 

adalah seorang wanita cantik jelita. Walaupun 

Ningrum menyadari kalau dirinya terhitung cantik, 

tapi secara jujur diakui kalau wanita di hadapannya 

ini memiliki kecantikan yang mengunggulinya. 

"Ada apa, Kak?" tanya Ningrum ramah. 

"Ah, tidak. Aku hanya ingin bertanya. Apakah betul 

di sini tempat tinggal Raja Pisau Terbang?" tanya 

wanita yang tidak lain adalah Melati. 

Ningrum mengerutkan alisnya yang indah. Dari 

mana wanita di hadapannya ini mengetahui kalau 

ayahnya tinggal di sini? 

"Kalau boleh tahu, Kakak ini sebenarnya siapa?" 

"Panggil saja aku Melati," jawab gadis berpakaian 

serba putih ini pelan. Dari raut wajah dan nada 

suaranya, nampak kalau gadis itu tidak suka 

mendapat pertanyaan itu. 

"Hm... Begini, Kak. Ada urusan apa sehingga 

Kakak menanyakan tempat tinggal Raja 

PisauTerbang?" tanya Ningrum lagi, bernada tidak 

enak. Tentu saja dia pun mengetahui kalau wanita di 

hadapannya ini tidak senang mendapat pertanyaan 

seperti itu. Perasaan simpatinya pun pupus seketika. 

"Apa urusannya hal itu denganmu?!" sambut Melati 

ketus. 

"Apa urusannya?!" pekik Ningrum keras. Meluap 

sudah kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahannya. 

"Perlu kau ketahui, wanita liar! Aku adalah putri 

dari orang yang kau cari itu!" 

Terbelalak sepasang mata Melati yang berjuluk 

Dewi Penyebar Maut itu. 

"Apa?! Kau putri Raja Pisau Terbang? Kau..., kau


yang bernama Ningrum itu? Ah...! Mengapa aku 

begitu bodoh?! Gadis cantik bertahi lalat di pipi kiri, 

dan berpakaian serba hijau! Tololnya aku...! Sungguh 

aku tidak tahu kalau musuhku berada di depan 

mata!" 

Kini ganti sepasang mata Ningrum yang terbelalak. 

"Apa katamu?! Siapa dan apa maksudmu 

sebenarnya?" tanya Ningrum tak mengerti. 

"Ingatkah kau pada Raja Racun Pencabut Nyawa 

yang telah kau bunuh secara curang?!" tanya Melati 

dengan kasar sambil mencorongkan matanya. 

Tak terasa Ningrum mengangguk. 

"Nah! Perlu kau ketahui, Ningrum. Raja Racun 

Pencabut Nyawa itu adalah ayahku. Sengaja aku 

datang ke sini untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah, 

Ningrum. Agar kau tidak mati secara percuma!" 

"Ayahnya iblis, anaknya pun pasti kuntilanak! Jadi, 

sudah kewajibanku untuk melenyapkan bibit penyakit 

yang ada di dunia!" balas Ningrum tak kalah gertak. 

"Terimalah kematianmu, Ningrum!" 

Dibarengi ucapannya, Melati menerjang putri Raja 

Pisau Terbang dengan jari-jari tangan berbentuk 

cakar naga ke arah ulu hati. 

Suara bercicitan terdengar mengawali serangan 

Melati. Dari bunyi angin itu, Ningrum sudah dapat 

mengetahui betapa tingginya tenaga dalam yang 

mengarah dadanya itu. 

Buru-buru gadis bertahi lalat ini melangkahkan 

kaki kanannya ke kiri belakang, sehingga serangan 

itu lewat di depan dadanya. Dengan cepat Ningrum 

mengirimkan serangan balasan ke arah pelipis Dewi 

Penyebar Maut itu. 

Gadis berpakaian serba putih itu memiringkan 

kepalanya, sambil tangan kirinya menangkis


serangan itu. 

Plakkk...! 

"Aih...!" 

Ningrum menjerit. Dirasakan jari-jari tangannya 

yang beradu dengan jari-jari tangan lawan sakit bukan 

main. Bahkan sekujur tangannya terasa lumpuh. 

Suatu bukti kalau tenaga dalam Dewi Penyebar Maut 

jauh lebih kuat darinya. 

Tetapi bukan Ningrum namanya kalau baru beradu 

tangan sekali, sudah kapok. Malah sebaliknya, rasa 

penasaran segera timbul. Mana mungkin gadis itu 

lebih lihai darinya. Gurunya saja belum jelas. 

Mungkinkah guru gadis itu lebih lihai dari ayahnya? 

Karena belum dibuktikan, jadi tidak ada alasan 

baginya untuk tidak melawan gadis itu. Dan kini 

Ningrum menyerang dahsyat. Dikeluarkan seluruh 

kemampuan yang dimilikinya. 

Tetapi, lagi-lagi untuk yang kesekian kalinya, 

Ningrum harus menerima kenyataan pahit. Setiap 

serangannya selalu mudah dapat dielakkan Dewi 

Penyebar Maut. Sebaliknya, setiap serangan balasan 

yang dilakukan gadis itu, memaksanya pontang-

panting untuk menyelamatkan diri. 

Setelah beberapa jurus bertarung, sadarlah 

Ningrum kalau gadis yang bernama Melati itu 

memiliki kemampuan beberapa tingkat di atasnya. 

Baik dalam tenaga, maupun kecepatan gerak. Dan 

dalam waktu sebentar saja Ningrum sudah terdesak 

hebat, sehingga hanya mampu bertahan tanpa berani 

balas menyerang. 

Ningrum sadar. Kalau keadaan ini terus 

berlangsung, sudah pasti akhirnya ia akan rubuh di 

tangan putri Raja Racun Pencabut Nyawa ini. Maka 

taktik harus dirubah, kalau ingin selamat.


"Cabut senjatamu, gadis jahat! Kalau kau tidak 

mau mati sia-sia di tanganku!" dengus Ningrum. 

Belum habis ucapannya, tubuh Ningrum sudah 

melenting ke belakang. Dan ketika hinggap di tanah 

dengan manis, pada kedua tangannya telah 

tergenggam sebuah pisau putih berkilat. 

"Menghadapi pengecut-pengecut seperti kau dan 

dua orang temanmu yang telah kukirim ke akherat, 

tidak perlu mengeluarkan senjata!" dengus Dewi 

Penyebar Maut tak kalah garangnya. 

Putri Raja Pisau Terbang ini kaget mendengar 

ucapan gadis berpakaian serba putih itu. Sudah bisa 

ditebak, siapa yang dimaksud dua orang temannya 

itu. Pasti Satria dan Mega! Jadi, iblis wanita ini telah 

membunuhnya! 

Menilik kepandaiannya, memang merupakan 

suatu hal yang mudah bagi gadis itu untuk 

membunuh kedua murid kepala Perguruan Tangan 

Sakti. 

"Kuntilanak sombong! Kau harus mati di tanganku 

untuk menebus nyawa kedua orang temanku yang 

telah kau bunuh itu! Haaat...!" 

Sambil berteriak nyaring, Ningrum melompat 

menerjang Melati. Dua buah pisau putih berkilat di 

tangannya, mengeluarkan suara berdesing ketika 

berkelebat cepat mencari sasaran-sasaran di tubuh 

gadis berpakaian serba putih itu. 

Melati tahu betapa berbahayanya sepasang pisau 

terbang itu. Juga, betapa kuatnya tenaga yang 

terkandung dalam setiap sabetan, atau tusukan pisau 

itu. Maka gadis itu tidak berani bertindak ceroboh. 

Apalagi untuk memapak kedua pisau itu dengan 

tangan telanjang. Sekarang ini Ningrum tidak bisa 

disamakan dengan Satria dan Mega!


Beberapa saat lamanya, Dewi Penyebar Maut 

hanya menghindar terus. Gadis ini tidak ingin 

bertindak gegabah. Diperhatikan baik-baik setiap 

serangan Ningrum. Memang, dengan tingkat ilmu 

meringankan tubuh yang berada cukup jauh di atas 

Ningrum tidak sukar baginya untuk mengelakkan 

setiap serangan. 

Ningrum menggertakkan giginya dengan perasaan 

geram. Hatinya dongkol bukan kepalang, melihat 

lawannya itu hanya mengelak tanpa balas 

menyerang. Jelas dia merasa diremehkan. Hal ini 

membuat amarahnya kian meluap. Dan sebagai 

akibatnya, serangan kedua pisau terbangnya pun 

semakin bertubi-tubi. 

Melati yang merasa sudah cukup mengetahui 

perkembangan gerak dan ciri khas pada setiap 

serangan lawan, kini mulai balas menyerang. 

Pelahan namun pasti, putri Raja Pisau Terbang itu 

mulai terdesak. Serangan-serangan pisau terbangnya 

mulai mengendor. Sampai akhirnya sepasang pisau 

berwarna putih berkilat itu hanya dipakai untuk 

mempertahankan diri dari setiap serangan Melati. 

Tak terasa Ningrum mengeluh dalam hati. Diakui 

kalau kepandaian Melati memang berada jauh di 

atasnya. Dan rasa-rasanya, kepandaian gadis ini tak 

kalah dengan kepandaian Raja Racun Pencabut 

Nyawa! 

"Akh...!" 

Ningrum memekik ketika sebuah totokan ujung 

kaki Dewi Penyebar Maut menyerang pergelangan 

tangan kirinya. Kontan sekujur tangannya terasa 

lumpuh. Dan tanpa dapat ditahan lagi, pisau 

terbangnya pun terlepas dari pegangan. 

Belum lagi gadis itu berbuat sesuatu, serangan


susulan dari Melati telah menyusul tiba. Tangan 

kanan menyampok pelipis, sedangkan tangan kiri dari 

arah bawah, mengancam dagu. 

Ningrum kaget bukan main. Serangan itu datang 

begitu cepat. Sudah bisa diperkirakan kalau akhirnya 

ia akan tewas di tangan putri Raja Racun Pencabut 

Nyawa ini. 

Mendadak saja, ada sesuatu yang menarik 

tubuhnya ke belakang. Dan untunglah, kedua 

serangan maut itu hanya mengenai tempat kosong. 

Buru-buru Ningrum menoleh ke belakang, melihat 

sosok yang telah menolongnya. 

Tampak di belakangnya telah berdiri sosok tubuh 

tua dari seorang kakek berusia enam puluh tahun. 

Sepasang matanya tampak tajam berkilat. Raut 

mukanya menampakkan kesabaran. Ningrum kenal 

betul siapa pemilik wajah ini. 

"Ayah...," desah gadis itu dengan suara lemah. 

Kakek penolong yang ternyata adalah Raja Pisau 

Terbang itu hanya tersenyum getir. Ditarik tubuh 

putrinya ke belakang, kemudian dilangkahkan 

kakinya beberapa tindak. 

"Ada urusan apa dengan anakku, sehingga 

sedemikian tega hendak menurunkan tangan maut 

padanya, Nisanak?" tanya Raja Pisau Terbang, 

bernada sabar. Tidak tampak ada nada kemarahan, 

baik pada suara maupun wajahnya. 

"Dia adalah putri Raja Racun, Ayah!" selak Ningrum 

cepat. 

"Ahhh...! Benarkah demikian?" tanya Raja Pisau 

Terbang memastikan. 

"Benar!" jawab Melati ketus. 

Melati mengangkat dagunya, seperti menantang. 

Memang, begitu geram hatinya melihat pada saat


terakhir Ningrum berhasil lolos dari maut. Dan gadis 

ini tahu betul orang yang telah menyelamatkan gadis 

itu. 

Raja Pisau Terbang! Ini diketahui karena Ningrum 

memanggil orang itu dengan sebutan ayah. 

"Dan aku datang untuk membalaskan kematian 

ayahku pada anakmu itu!" tegas Melati. 

Raja Pisau Terbang mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Walaupun berkali-kali Melati bersikap 

kasar padanya, tetap saja ia tidak menampakkan 

kemarahan. 

"Putri Raja Racun Pencabut Nyawa? Aneh! Tidak 

salahkah pendengaranku, Nisanak. Sepanjang 

pengetahuanku, almarhum Raja Racun tidak 

mempunyai anak seorang pun. Yang justru kudengar 

adalah keponakannya, yang bernama Arya Buana 

alias si Dewa Arak!" bantah Raja Pisau Terbang, 

seperti tidak mengerti. 

"Aku tidak butuh keterangan darimu, Orang Tua! 

Yang kuinginkan adalah melenyapkan anakmu untuk 

membalas kematian ayahku! Menyingkirlah dari situ! 

Aku tidak mau membunuh orang yang tidak punya 

urusan apa-apa denganku!" tandas Melati tegas. 

"Bagus! Aku hargai pendirianmu. Berarti, kau 

bukanlah seorang gadis jahat. Marilah kita 

berbincang-bincang. Aku yakin ada kesalahpahaman 

dalam hal ini..." 

"Jaga seranganku, Orang Tua!" teriak Melati tiba-

tiba sambil menyerang bagian dada kakek itu dengan 

jari-jari tangan berbentuk cakar naga. Jari-jari tangan 

yang membentuk cakar itu nampak berwarna merah. 

Raja Pisau Terbang hanya tersenyum. Ia tahu 

kalau serangan cakar itu tidak akan mencapai 

sasaran. Jarak antara dirinya dengan gadis itu sekitar


satu setengah tombak. Jadi, mustahil dapat dijangkau 

tangan manusia. 

Dapat dibayangkan betapa kagetnya kakek ini 

ketika melihat cengkeraman itu terus menjulur 

menyambar dadanya. Gadis ini ternyata memiliki ilmu 

yang dapat memanjangkan tangan! Dan Raja Pisau 

Terbang ini tahu, siapa pemilik ilmu itu. Ki Gering 

Langit! 

"Jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku'...!" teriak 

kakek itu dengan hati kaget bukan kepalang. Jelaslah 

kalau ilmu yang digunakan gadis itu adalah ilmu 

'Cakar Naga Merah'! 

Buru-buru kakek ini menangkis serangan maut itu 

dengan pengerahan seluruh tenaga dalam. 

Prattt...! 

Tubuh Raja Pisau Terbang terhuyung dua langkah 

ke belakang. Sementara tubuh Melati hanya 

terhuyung satu langkah. Tangannya yang tadinya 

mulur, langsung memendek lagi seperti sediakala. 

Seketika pucat wajah Raja Pisau Terbang! Dari adu 

tenaga itu tadi sudah dapat diketahui kalau tenaga 

dalam yang dimiliki gadis berpakaian serba putih itu, 

masih lebih tinggi darinya. Suatu hal yang nampaknya 

amat mustahil! 

"Tahan...!" teriak Raja Pisau Terbang untuk 

mencegah gadis itu menyerangnya lebih lanjut. "Ada 

hubungan apa kau dengan Ki Gering Langit?" 

Seketika Melati pun menghentikan gerakannya. 

Sikap kakek itu membuat gadis itu jadi 

menghormatinya, sehingga tanpa sadar dihentikan 

gerakannya. 

"Aku tidak mengenalnya!" tandas gadis itu, setelah 

mengerutkan alisnya sesaat. 

"Tidak mungkin! Bukankah jurus itu adalah 'Naga


Merah Mengulur Kuku'? Salah satu jurus dari ilmu 

'Cakar Naga Merah'?" desak kakek berwajah sabar ini 

penasaran. 

Melati menganggukkan kepalanya. 

"Memang betul apa yang kau katakan itu, Orang 

Tua. Tapi, aku sama sekali tidak kenal terhadap orang 

yang kau sebutkan tadi!" 

"Aneh! Lalu dari mana kau mendapatkan ilmu itu? 

Apakah kau menemukan kitab-kitab 

peninggalannya?" 

"Kau ini aneh, Orang Tua. Tentu saja ilmu itu 

kupelajari dari guruku. Beliaulah yang telah 

mengajarkan aku...." 

"Siapa nama gurumu?" selak Raja Pisau Terbang 

cepat. 

Gadis berpakaian serba putih itu menggelengkan 

kepalanya. 

"Ia melarangku untuk menyebutkan namanya. Jadi, 

terpaksa tidak dapat kuberitahukan padamu." 

Alis Raja Pisau Terbang nampak berkerut. Ia 

bingung memikirkan masalah ini. Tapi yang sudah 

jelas, gadis itu sama sekali tidak mengenal Ki Gering 

Langit! 

"Jaga seranganku, Nisanak!" tiba-tiba Raja Pisau 

Terbang menyambitkan beberapa buah pisau 

terbangnya ke arah Melati. 

Karuan saja serangan tiba-tiba itu membuat Melati 

terkejut bukan main. Apalagi yang melepaskan adalah 

seorang ahli pisau, sehingga berjuluk Raja Pisau 

Terbang. Sudah dapat diperkirakan kedahsyatan 

serangan pisau-pisau itu. 

Dewi Penyebar Maut melempar tubuhnya ke 

belakang, kemudian bergulingan beberapa kali di 

tanah. Maka semua serangan itu hanya mengenai


tempat kosong. Dan cepat-cepat gadis itu bangkit 

berdiri, tapi menjadi terlongong. Kakek itu dan 

Ningrum telah lenyap dari tempatnya semula. 

Melati menggertakkan giginya menahan rasa 

geram. Secara untung-untungan dia mengejar masuk 

ke dalam hutan itu. Cukup lama juga gadis itu berada 

di dalam hutan. Dan sewaktu kembali ke luar, wajah 

gadis itu merah padam. 

"Kali ini kau boleh mujur, Ningrum! Tapi, kelak 

apabila kita berjumpa lagi, jangan harap akan 

semujur ini!" Dewi Penyebar Maut itu berteriak sambil 

mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga suaranya 

bergema ke seluruh pelosok hutan. 

Puas dengan ancamannya, Melati melesat 

meninggalkan tempat itu. Dari mulutnya yang mungil 

itu terdengar suara desahan. "Dewa Arak, kau pun 

harus bertanggung jawab atas kematian ayahku. 

Meskipun bukan kau yang membunuhnya, tapi jika 

tidak kau biarkan, Ayah tidak mungkin mati. Ya, kau 

harus mendapat hukuman pula. Apalagi kau tidak 

berniat membalas dendam atas kematiannya. 

Padahal, ia pamanmu sendiri..."


TIGA


Seorang pemuda yang berwajah tampan, berahang 

kokoh, berambut putih keperak-perakan, dan 

berpakaian berwarna ungu tengah melangkah 

memasuki pintu gerbang Desa Canting. 

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun. Di 

punggungnya tergantung sebuah guci arak yang 

terbuat dari perak. Dengan langkah yang tidak 

tergesa-gesa, pemuda itu mengayun kakinya 

memasuki desa yang kelihatan sepi. Sepasang 

matanya bergerak liar memperhatikan setiap 

bangunan yang ditemukan. 

Langkah pemuda yang tak lain adalah Dewa Arak 

atau Arya Buana ini baru terhenti ketika sepasang 

matanya tertumbuk pada sebuah papan tebal, dan 

lebar. Di situ tertulis huruf-huruf yang berbunyi 

'Perguruan Mawar Merah'. Papan tebal itu bergantung 

pada pintu gerbang sebuah bangunan yang dikelilingi 

tembok cukup tinggi. 

Arya mengerutkan alisnya yang tebal. Ada 

perasaan curiga yang timbul di hati ketika melihat 

keadaan papan nama perguruan yang begitu kumuh, 

dan tak terurus. Bahkan huruf-huruf yang membentuk 

nama Perguruan Mawar Merah itu pun sudah banyak 

yang terkelupas. 

"Kalau tidak salah, inilah yang dimaksud Paman 

Lindu itu," gumam Arya pelan. 

Sebelum tewas, Raja Racun Pencabut Nyawa 

memang sempat memberitahu Ular Hitam tentang


keberadaan ibu kandung Arya Buana (Untuk jelasnya, 

silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang 

Bintang"). Dan berdasarkan pesan itulah, pemuda 

berpakaian ungu ini memasuki Desa Canting dan 

mencari Perguruan Mawar Merah. 

Beberapa saat lamanya Dewa Arak termenung di 

depan pintu gerbang perguruan itu. Sedikit pun tidak 

ada suara yang terdengar dari dalam. Sepi sekali. Dari 

celah pintu gerbang yang tidak tertutup rapat itu, 

pemuda berambut putih keperakan ini mengintai ke 

dalam. Tetap sepi. Perasaan curiga dan penasaran 

memaksa Arya melangkahkan kakinya memasuki 

pintu gerbang itu. 

Tapi, baru beberapa langkah kakinya melewati 

ambang pintu, terdengar sebuah teguran halus. 

"Apa yang kau cari, Anak Muda?" 

Arya menoleh ke arah asal suara itu. Tampak 

seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun, 

berjalan menghampirinya. Tubuhnya kecil dan kurus, 

sehingga membuatnya terlihat lebih tua. 

"Betulkah ini Perguruan Mawah Merah, Nyi?" tanya 

Arya Buana sopan. 

"Betul," wanita itu menganggukkan kepalanya. 

"Kau siapa, Anak Muda?" 

"Aku Arya Buana, Nyi. Orang-orang biasa 

memanggil Arya. Lalu, kalau boleh tahu, siapa 

namamu, Nyi?" 

"Aku? Panggil saja Nyi Parti," jawab nenek itu 

memperkenalkan diri. "Ada urusan apa kau ke sini, 

Nak Arya?" 

Pemuda berambut putih keperakan ini termenung 

sejenak. 

"Betulkah ini Perguruan Mawar Merah, Nyi?" tanya 

Arya ingin memastikan.


"Betul," Nyi Parti menganggukkan kepalanya, tapi 

hatinya heran. Memang pertanyaan itu sudah 

dijawabnya tadi. 

Arya memperhatikan sekelilingnya sekilas. Keragu-

raguan nampak terbayang pada wajahnya. 

"Mengapa begitu sepi, Nyi?" 

Wanita yang bernama Nyi Parti itu menghela 

napas. 

"Sudah bertahun-tahun perguruan ini bubar, Anak 

Muda. Yahhh..., sejak pemimpin kami diculik orang." 

"Diculik?!" Sepasang mata Arya terbelalak. 

Perasaan tidak enak seketika menjalari hatinya. 

Pemimpin Perguruan Mawar Merah diculik! Bukankah 

menurut penururan Raja Racun Pencabut Nyawa 

sebelum meninggal, Ketua Perguruan Mawar Merah 

adalah ibunya? Jadi ibunya.... Tidak berani pemuda 

berpakaian ungu ini melanjutkan dugaannya. 

"Ya, diculik. Oleh seorang datuk sesat...." 

"Bukankah Ketua Perguruan Mawar Merah adalah 

Nyi Sani?" tanya Arya memastikan. 

"Memang. Padahal Nyi Sani memiliki ilmu 

kepandaian tinggi, akan tetapi tidak berdaya juga 

menghadapi lawannya..." 

Lemaslah tubuh Arya. Benar. Ibunya telah diculik 

orang yang disebut datuk kaum sesat oleh Nyi Parti. 

Datuk kaum sesat? Arya terlonjak bagai disengat 

kalajengking. Datuk kaum sesat hanya ada dua. Ular 

Hitam dan Bargola. Tidak mungkin kalau Ular Hitam 

yang melakukannya. Jadi, tinggal satu tertuduh lagi. 

Bargola! 

"Tadi, Nyi Parti katakan I..., eh! Nyi Sani diculik 

datuk kaum sesat. Bagaimana ciri-cirinya, Nyi?" tanya 

Arya. 

Beberapa saat lamanya, kening Nyi Parti berkerut.


Tampaknya tengah berpikir keras. 

"Penculik itu bertubuh tinggi besar. Dan berkulit 

hitam legam. Di telinga kirinya terdapat sebuah 

anting, anting yang berukuran sebesar gelang dan 

berwarna putih." 

"Bargola...," desis Arya Buana pelan. 

Tiba-tiba Nyi Parti terlonjak. 

"Ya. Nama itu pula yang diucapkan Den Lindu. 

Beberapa waktu yang lalu, Den Lindu bersama 

temannya yang selalu berselubung putih itu juga 

mencari-cari ke mana Bargola membawa Nyi Sani." 

"Ketemu?" Arya tiba-tiba merasa bodoh 

mengajukan pertanyaan itu. 

"Tidak!" 

"Sudah lamakah kejadian itu, Nyi?" tanya Arya lagi. 

Kembali Nyi Parti mengerutkan keningnya. 

Rupanya begitulah yang dilakukan kalau sedang 

mengingat-ingat. 

"Kalau tidak salah..., sudah empat belas tahun!" 

"Empat belas tahun!" pemuda berambut putih 

keperakan ini terpekik kaget. Apakah dalam waktu 

yang selama itu ibunya masih hidup? Perasaan ragu-

ragu yang hebat melanda hari Arya Buana. Tetapi 

hidup atau mati, harus ditemuinya. Paling tidak, jika 

ibunya sudah meninggal, harus ditemukan 

kuburannya! 

Setelah mengambil keputusan begitu, Arya segera 

melesat meninggalkan tempat itu, setelah terlebih 

dulu berpamit pada Nyi Parti. 

Nyi Parti memandangi kepergian pemuda 

berambut putih keperakan itu sambil menggeleng-

gelengkan kepalanya. Sampai bayangan tubuh 

pemuda itu lenyap ditelan jalan, dia masih terpaku di 

situ.


*** 

Arya bergerak cepat meninggalkan Perguruan 

Mawar Merah dengan perasaan resah. Ke mana 

harus mencari Bargola? Mencari seseorang di dunia 

yang luas ini laksana mencari sebuah jarum di 

tumpukan jerami! Apalagi, tokoh ini sudah terlalu 

lama tidak terdengar beritanya. Jelas kalau datuk itu 

telah mengasingkan diri. 

Hanya ada satu patokan yang bisa dijadikan 

pegangan Dewa Arak ini. Bargola adalah datuk yang 

merajai daerah Timur. Jadi, kemungkinan besar tetap 

berada di wilayah kekqasaannya. Tapi wilayah Timur 

sangat luas. Apalagi, jangan-jangan dia telah 

menyepi. Perasaan putus asa mulai merayapi hari 

Arya Buana. Ke mana ia harus mencari datuk itu? 

Plakkk! 

Arya menepak kepalanya sendiri. Betapa bodohnya 

ia! Mengapa bingung-bingung? Bukankah di antara 

dua datuk, hanya Bargola yang mempunyai 

perguruan? Mengapa harus pusing-pusing? Ya, 

datangi saja perguruan itu! 

Wajah pemuda berambut putih keperakan ini pun 

kembali cerah. Dengan langkah penuh semangat, 

kembali dilanjutkan pencariannya. 

Beberapa hari kemudian, pemuda ini sudah 

sampai pada sebuah desa yang termasuk dalam 

wilayah Timur. Rasa lelah yang menyerang kedua 

kaki, membuatnya memutuskan untuk beristirahat. 

Pandangan mata Arya liar mengawasi sekelilingnya. 

Dan senyumnya pun melebar ketika menemukan apa 

yang dicari. 

Dengan langkah lebar, dihampirinya sebuah pohon


yang cukup besar. Dan... 

"Hup!" 

Sekali mengenjotkan kaki, tubuh Dewa Arak ini 

melayang ke atas dan hinggap ringan pada sebuah 

cabang besar. Diambilnya guci yang bertengger di 

punggung, kemudian digantungkan pada sebuah 

ranting. Baru setelah itu dibaringkan tubuhnya. 

Tanpa sengaja pandangan mata Arya menerawang 

jauh ke arah rumah-rumah penduduk yang berada di 

depannya. Dan seketika matanya yang sudah merem-

melek itu membelalak lebar. 

Dari ketinggian di atas cabang pohon itu, pemuda 

ini melihat asap tebal dan hitam yang membumbung 

tinggi. Sekali lihat saja Arya tahu kalau asap itu 

berasal dari rumah yang terbakar. Dan tidak hanya 

satu buah! Jelas, ada kejanggalan di sini! 

Naluri Dewa Arak sebagai seorang pendekar 

langsung bangkit. Lenyap seketika rasa lelahnya. 

Segera disambarnya guci arak yang baru saja 

digantungkan di ranting pohon, lalu diikatkan lagi ke 

punggungnya. Bergegas pemuda itu melompat turun. 

Ringan sekali kedua kaki Dewa Arak hinggap di 

tanah, sehingga tak terdengar suara sedikit pun. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya 

melesat ke arah asap itu berasal. 

Berkat ilmu meringankan tubuh yang memang 

sudah mencapai taraf kesempurnaan, Arya tidak 

membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk tiba di 

tempat asal api itu. 

Seperti yang diduga Arya, api itu memang tidak 

wajar. Di depan rumah yang terbakar itu, tampak 

tengah terjadi pertempuran yang tidak seimbang. 

Arya memperhatikan orang-orang yang bertempur 

itu sejenak. Tampak seorang yang bertubuh bagai


raksasa, berwajah kasar, dan memakai kalung ber-

matakan tengkorak kepala bayi, tengah dikeroyok 

belasan orang bersenjata. Melihat senjata yang 

mereka gunakan, Dewa Arak itu dapat menduga 

kalau para pengeroyok itu adalah penduduk desa 

yang rata-rata tidak memiliki ilmu olah kanuragan. 

Si tinggi besar yang tidak lain dari Raksasa Kulit 

Baja ini tertawa-tawa. Dibiarkan saja hujan senjata 

menghantam tubuhnya. Dan setiap senjata yang 

mengenai tubuh raksasa ini, selalu terpental balik. 

Sebaliknya, setiap Raksasa Kulit Baja ini 

melakukan serangan balasan, sudah dapat 

dipastikan ada satu tubuh yang tumbang. Beberapa 

di antaranya, dengan tulang tangan atau kaki patah. 

Malah ada pula yang menyemburkan darah dari 

mulut. 

Sekali lihat saja Arya tahu, jika hal ini terus 

dibiarkan, tidak akan ada lagi penduduk yang berdiri 

tegak. Jiwa kependekaran pemuda berarnbut putih 

keperak-perakan ini bangkit. Apalagi si tinggi besar ini 

juga bertangan telengas. Setiap kali melakukan 

serangan, selalu menimbulkan akibat yang parah bagi 

para pengeroyoknya. 

"Manusia keji! Akulah lawanmu!" Sambil berkata 

demikian, Arya bergerak memasuki kancah 

pertempuran. Langsung saja dikirimkan sebuah 

serangan berupa tepakan ke arah hahu Raksasa Kulit 

Baja ini. Dewa Arak yang memang tidak pernah 

menurunkan tangan maut kalau tidak terpaksa sekali, 

sengaja mengarahkan serangan ke arah bagian tubuh 

yang tidak berbahaya. Pemuda ini memang tahu 

kalau lawannya memiliki ilmu kebal, sehingga tidak 

sungkan-sungkan lagi mengerahkan separuh dari 

tenaga dalamnya.


Plakkk! 

Arya Buana terperanjat kaget. Tepakan tangannya 

seolah-olah bukan menghantam tubuh manusia, 

melainkan seperti menghantam gumpalan karet 

keras yang membuat tenaganya berbalik! 

"Hebat...," puji Dewa Arak dalam hati. 

Sementara itu, Raksasa Kulit Baja juga dilanda 

kekagetan serupa. Walaupun tepakan tangan Arya 

tidak membuatnya kesakitan atau terluka dalam, tapi 

karena kuatnya tenaga dalam lawan, tubuhnya tak 

urung terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. 

"Menyingkirlah, Kisanak semua!" perintah Arya 

pada para penduduk yang masih berdiri di situ. 

"Tapi.... Orang ini sangat berbahaya, Kisanak," 

bantah salah seorang penduduk, memberitahu 

pemuda berambut putih keperak-perakan di 

depannya. 

"Saya akan mencoba menjauhkan dia dari desa ini, 

Paman," jawab Arya merendah, sambil tersenyum 

tipis. 

"Tapi...." 

"Sudahlah, Paman. Lebih baik, padamkanlah api 

yang membakar rumah itu sebelum seluruh desa ini 

musnah dilalap api!" 

Ucapan itu menyadarkan para penduduk desa 

akan ancaman bahaya lain. Kontan mereka serentak 

meninggalkan arena pertarungan. 

"Groahhh..!" tiba-tiba saja Raksasa Kulit Baja itu 

menggeram hebat. Sejak tadi ia memang menatap 

Arya seperti orang terkesima. Keningnya berkerut, 

seperti sedang mengingat sesuatu. 

"Jahanam! Kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu?!" 

tanya manusia tinggi besar itu dengan suara keras. 

Sepasang matanya memerah karena amarah yang


meluap-luap. 

Belum lagi Arya memberikan tanggapan, Raksasa 

Kulit Baja itu telah menyelak lagi. "Ya. Kau pasti Dewa 

Arak itu. Pakaianmu, rambutmu, dan juga guci arak di 

punggungmu! Grrrhhh...! Kau harus mati di tanganku, 

keparat!" 

"Tunggu...!" cegah Arya begitu melihat manusia 

raksasa itu akan menyerangnya. "Siapa kau? Dan 

mengapa ingin membunuhku?! Padahal kita bertemu 

pun baru kali ini?" 

"Groahhh...!" dengus Raksasa Kulit Baja 

menggeram. 

"Baiklah! Agar tidak mati penasaran, akan 

kuberitahu padamu, keparat! Aku, Raksasa Kulit Baja. 

Saudara angkat Harimau Mata Satu yang telah kau 

bunuh! Dan aku membakar rumah itu, karena orang-

orang keparat itu tidak mau memberitahu di mana 

dirimu. Sungguh tidak kusangka kalau kau datang 

sendiri mencari mati. Orang lain boleh takut padamu. 

Tapi, jangan harap kau akan mampu menghadapiku!" 

Arya manggut-manggut. Disadari kalau tidak 

mungkin lagi menghindari pertempuran. Raksasa 

Kulit Baja tidak mungkin akan menghabiskan 

persoalan sebelum salah satu di antara mereka 

tewas. Tentu saja pemuda berambut putih keperak-

perakan ini tidak ingin mati. Masih banyak tugas yang 

belum diselesaikan. 

"Mampuslah kau, keparat!" teriak Raksasa Kulit 

Baja disertai suara mengguntur seraya menyerang 

dengan sebuah pukulan ke arah dada Dewa Arak. 

Angin keras bertiup mengawali serangan itu. Dari 

sini saja Dewa Arak dapat menilai kekuatan yang 

terkandung dalam serangan itu. Hanya saja gerakan 

itu terlalu lambat.


Dewa Arak mencondongkan tubuhnya ke kanan 

sehingga serangan itu lewat di depan dadanya. Dan 

cepat bagai kilat kaki kanannya terayun deras ke arah 

perut lawan. 

Tukkk...! 

Tendangan cepat yang dilakukan Dewa Arak tidak 

mampu dielakkan Raksasa Kulit Baja yang memiliki 

gerakan terlampau lambat. Dengan telak tendangan 

itu mengenai perutnya. 

Tapi lagi-lagi tendangan Dewa Arak tidak 

menghasilkan apa-apa. Tubuh manusia raksasa itu 

hanya terhuyung dua langkah ke belakang. Kini ia 

kembali menerjang dengan serangan-serangan buas 

dan brutal. 

Sadarlah Arya kalau lawannya ini benar-benar 

memiliki kekebalan tubuh. Pemuda itu kini tidak ragu-

ragu lagi untuk menyarangkan serangan pada 

sasaran-sasaran yang berbahaya dan bertenaga 

dalam penuh. Hanya saja, Dewa Arak ini masih belum 

ingin menggunakan ilmu andalannya. Untuk 

menghadapi Raksasa Kulit Baja ini, hanya digunakan 

ilmu warisan ayahnya saja. 

Beberapa jurus telah berlalu. Dan entah sudah 

berapa kali serangan Dewa Arak mendarat di 

berbagai bagian tubuh Raksasa Kulit Baja. Namun tak 

nampak tanda tanda sedikit pun kalau serangan Arya 

itu dirasakannya. 

Diam-diam pemuda berpakaian ungu ini terkejut 

bukan kepalang melihat kekuatan tubuh lawannya ini. 

Sepanjang pengetahuannya, kekebalan hanya dapat 

dimiliki oleh orang yang telah memiliki tenaga dalam 

tinggi, misalnya Dewa Arak sendiri. Itu pun hanya 

terbatas pada bagian-bagian yang tidak berbahaya 

saja. Tapi kekebalan yang dimiliki Raksasa Kulit Baja


ini sungguh aneh. Padahal si manusia raksasa ini 

tidak memiliki tenaga dalam, tapi hanya memiliki 

tenaga luar yang besar. 

Dewa Arak segera sadar kalau Raksasa Kulit Baja 

ini mendapatkan ilmu kekebalan tubuh lewat cara 

yang tidak wajar. Ular Hitam pernah menceritakan 

kepadanya tentang berbagai macam ilmu yang 

terdapat di dunia persilatan. 

Sebagai seorang yang telah lama malang-

melintang dalam rimba persilatan, tentu saja Ular 

Hitam memiliki pengetahuan luas. Pengalamannya 

yang sudah ratusan kali bertempur menghadapi 

lawan. Ular Hitam mengatakan kalau kekebalan bisa 

didapat dengan dua cara. Dengan meningkatkan 

tenaga dalam, dan dengan mempelajari ilmu hitam. 

Dari sini Arya menduga bahwa orang macam Raksasa 

Kulit Baja pasti mendapatkannya dari ilmu hitam. 

Tak terasa dua puluh jurus telah berlalu. Dan 

pertarungan antara kedua orang itu telah bergeser 

jauh dari tempat semula. Itu memang disengaja Dewa 

Arak, karena ingin menghindari dari kejadian-kejadian 

yang tidak diinginkan. 

Plakkk! 

Kibasan kaki Dewa Arak yang dilakukan sambil 

berputar itu telak menghantam pelipis Raksasa Kulit 

Baja. Kibasan yang disertai pengerahan tenaga 

sepenuhnya itu membuat tubuh lawannya terlempar, 

melayang sejauh beberapa tombak. Kemudian tubuh 

besar itu jatuh, dan terguling guling di tanah. 

Tapi lagi-lagi, Raksasa Kulit Baja kembali bangkit 

tanpa kurang suatu apa pun. 

"Gila...!" teriak Arya putus asa. Pemuda berambut 

putih keperak-perakan ini jadi hilang kesabarannya. 

Dengan perasaan geram bercampur bingung, diambil


guci araknya. 

Gluk... gluk... gluk.... 

Terdengar suara berceglukan ketika arak itu 

memasuki tenggorokan. Arya mengusap mulutnya 

dengan punggung tangan, lalu disimpan lagi guci 

araknya di punggung. 

Tak berapa lama kemudian, tubuhnya pun mulai 

sempoyongan. Pemuda berbaju ungu ini terpaksa 

menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'-nya. 

"Haaat...!" Raksasa Kulit Baja melolos senjatanya. 

Tampak sebuah rantai baja berujung mata arit tajam 

berkilat, yang sejak tadi melilit pinggang, kini 

berputar-putar mencari mangsa. 

Wukkk... wukkk... wukkk...! 

Seketika disabetkan rantai baja itu ke arah kepala 

Dewa Arak. 

Singgg. .! 

Suara mendesing nyaring terdengar ketika rantai 

baja itu menyambar ke arah kepala Arya. 

Tubuh pemuda berambut putih keperak-perakan 

yang semula sempoyongan itu, mendadak berubah 

kokoh. Dan secepat posisi tubuh itu berubah, secepat 

itu pula tubuh Dewa Arak melayang ke arah Raksasa 

Kulit Baja. Kedua tangannya bergerak persis seperti 

seekor belalang yang tengah mempermainkan kaki-

kakinya. 

Prattt...! 

Pralll. .! 

Rantai baja yang menyambar kepala itu tertangkis 

tangan Arya, dan kontan putus berantakan! 

Belum lagi, Raksasa Kulit Baja berbuat sesuatu, 

tubuh Arya telah berada di mukanya. Dan... 

Prattt! Prattt! Desss. ! 

Bertubi-tubi dan hampir bersamaan, tiga buah


serangan Dewa Arak mendarat telak pada sasaran. 

Kedua tangannya menghantam pelipis dan ubun-

ubun. 

Disusul kedua kakinya menggedor dada. 

Kelihatannya itu adalah serangan maut! 

Jangankan ketiga-tiganya. Satu saja serangan itu 

diterima seorang seperti datuk sesat sekalipun, 

cukup membuat orang itu pergi ke alam kubur! Kini 

ketiga tiganya diterima sekaligus oleh Raksasa Kulit 

Baja! 

Tanpa ampun lagi, tubuh Raksasa Kulit Baja 

terlempar jauh, tidak kurang dari delapan tombak! 

Luncuran tubuhnya baru berhenti ketika menabrak 

sebuah pohon besar hingga tumbang, menimbulkan 

suara gemuruh. Bahkan pohon itu juga menimpa 

tubuh Raksasa Kulit Baja yang tergolek di bawahnya. 

Arya menghentikan gerakannya. Dengan posisi 

kaki tidak tetap, dia masih bergerak sempoyongan. 

Kedua tangannya terus bergerak-gerak liar di depan 

dada. 

Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih 

keperakan ini menunggu. Sepertinya tidak ada tanda-

tanda kalau lawannya yang luar biasa itu akan 

bangkit kembali. 

Lalu Arya pun membalikkan tubuhnya untuk 

meninggalkan tempat itu, walaupun langkahnya 

sempoyongan. Tapi tiba-tiba saja terdengar suara 

ribut-ribut dari arah belakangnya. Segera Arya 

menoleh. Terbelalaklah sepasang matanya yang 

sudah sayu itu ketika melihat pemandangan di 

belakangnya. 

Tampak batang pohon itu bergerak-gerak, 

kemudian tiba-tiba terangkat dan terlempar ke 

arahnya. Suara yang ditimbulkan begitu bergemuruh.


Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak 

segera mendorongkan kedua telapak tangannya ke 

depan, mengirimkan pukulan jarak jauh. 

Wuttt...! Brakkk...! 

Batang pohon itu hancur berkeping-keping 

sebelum mengenai Arya. Bahkan daun-daunnya 

langsung mengering layu. 

Arya Buana menatap sosok tubuh yang kini bangkit 

dari tindihan pohon tadi. Siapa lagi kalau bukan 

sosok Raksasa Kulit Baja. Seketika sepasang mata 

Dewa Arak membelalak. Ternyata manusia raksasa 

itu tidak terluka sama sekali! 

"Ilmu iblis!" desah Arya, antara takjub dan ngeri. 

"Ha ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, dewa 

keparat!" Raksasa Kulit Baja tertawa pongah. 

"Sekarang kau baru tahu kehebatan ilmu 'Tameng 

Waja'ku! Kalau saja ilmu ini sudah kumiliki sejak dulu, 

mungkin akulah yang akan menjadi raja kaum sesat! 

Ha ha ha...!" 

Dewa Arak menarik napas dalam-dalam. 

Dikumpulkannya segenap tenaganya. Kemudian... 

"Hiyaaa...!" Arya Buana berteriak keras, kemudian 

mendorongkan kedua tangannya ke depan. 

Wuttt...! 

Angin panas berhembus keras menyambar tubuh 

Raksasa Kulit Baja yang tengah melangkah 

menghampirinya. 

Bresss...! 

Pukulan jarak jauh yang dilepaskan pemuda 

berambut putih keperakan itu telak menghantam 

dada saudara angkat Harimau Mata Satu. 

Akibatnya hebat sekali! Tubuh Raksasa Kulit Baja 

melayang jauh bagai dihempas angin ribut, dan jatuh 

belasan tombak dari tempat semula.


"Iblis!" pekik Arya ketika melihat lawannya itu 

bangkit kembali. 

Sungguh tidak ada tanda-tanda sedikit pun kalau 

tokoh itu terpengaruh pukulan yang merupakan 

usaha terakhir Dewa Arak. Hanya satu yang 

membuktikan kalau pukulan Arya tepat menghantam 

sasaran. Pakaian Raksasa Kulit Baja itu hangus, dan 

pelahan-lahan hancur berkeping-keping ketika angin 

meniupnya. Dan kini, si tinggi besar ini jadi telanjang 

bulat! 

"Keparat!" Raksasa Kulit Baja berteriak memaki. 

"Kali ini kau mujur, Dewa Arak! Tapi, jangan harap 

lain kali akan seberuntung ini!" 

Setelah berkata demikian, Raksasa Kulit Baja 

melesat kabur dari situ. Dia merasa malu 

melanjutkan pertarungan tanpa penutup tubuh. 

Arya menghela napas lega. Pemuda berambut 

putih keperakan ini merasa lelah bukan main. 

Sungguh bingung memikirkan bagaimana caranya 

menghadapi Raksasa Kulit Baja itu. Dengan langkah 

lunglai, diayunkan kakinya melanjutkan perjalanan 

mencari jejak Bargola.


EMPAT


Siang ini udara begitu panas. Matahari menyengat 

kulit sejuruh makhluk yang ada di permukaan maya-

pada ini. Demikian pula dengan Arya Buana. Pemuda 

itu tengah mempercepat langkahnya ketika beberapa 

tombak di depannya membentang sebuah sungai. 

Ingin rasanya segera mandi atau setidak-tidaknya 

membasuh muka untuk menyegarkan diri. Sekujur 

tubuhnya dirasakan penat dan lengket akibat 

pertarung-annya melawan Raksasa Kulit Baja. Apalagi 

udara demikian panasnya. 

Pertarungannya yang alot tadi benar-benar 

membuat tenaga Dewa Arak terkuras. Tetapi diam-

diam pemuda itu mengakui kehebatan ilmu Tameng 

Waja' milik Raksasa Kulit Baja. Bahkan 

pertarungannya melawan Siluman Tengkorak Putih 

seperti tidak berarti apa-apa bila dibandingkan 

dengan manusia yang tubuhnya bagai raksasa itu. 

"Hhh...!" Arya menghela napas berat. 

Dia memang baru menyadari kalau kepandaian 

yang tinggi tidak menjamin kemenangan dalam suatu 

pertarungan. Ternyata pengalaman dan pengetahuan 

luas juga tidak kalah pentingnya. Dan ini telah 

dialaminya sendiri. 

Pemuda berbaju ungu ini yakin, masih banyak lagi 

hal baru yang akan dijumpai dalam petualangannya. 

Ia memang belum berpengalaman, sehingga 

banyak hal yang tidak diketahuinya. Berbeda dengan 

Ular Hitam. Pembimbing Dewa Arak itu banyak


pengalaman dalam dunia persilatan. Mungkin kalau 

Ular Hitam yang menghadapi, Raksasa Kulit Baja 

belum tentu akan mampu menandingi. 

Arya terus menyusuri sepanjang sungai itu. Melihat 

betapa jernihnya air itu, maka dia berniat mandi 

untuk menyegarkan tubuh. Tentu saja untuk itu, 

harus dicari tempat yang tersembunyi sehingga tidak 

dapat dilihat orang. 

Hampir saja pemuda itu bersorak ketika melihat 

ada tempat tersembunyi, yang terletak di kelokan 

sungai. Rerimbunan semak dan pepohonan, rapat 

menutupinya. 

Bergegas Dewa Arak menghampiri tempat itu. 

Ketika rerimbunan semak-semak dan pepohonan 

disibak, mendadak wajah Arya memerah. Ternyata di 

dalam sungai itu ada seorang wanita yang tengah 

mandi! Memang, hanya rambutnya saja yang terlihat, 

tapi cukup membuat pemuda ini memerah wajahnya. 

Tubuh wanita itu terlindung sebuah baru besar yang 

datar, dan tengah menundukkan kepalanya. 

Rupanya bunyi semak-semak dan pepohonan yang 

tersibak tangan Arya cukup keras. Terbukti wanita itu 

mendongakkan kepalanya, memandang ke arah 

suara itu berasal. Sesaat lamanya sepasang mata 

wanita itu terbelalak. Keterkejutan yang amat sangat 

nampak pada wajahnya. 

"Manusia kurang ajar!" teriak wanita itu keras 

seraya lebih menyembunyikan tubuhnya ke dalam air. 

Kontan wajah Arya kian memerah. 

"Celaka! Bisa-bisa aku dituduh sebagai lelaki 

hidung belang yang hendak mengintip wanita mandi!" 

ujar Dewa Arak dalam hati. 

Pemuda berambut putih keperakan itu langsung 

membatalkan niatnya untuk mandi, dan buru-buru


berlalu dari situ dengan wajah memerah. Jantung 

dalam dadanya berdetak keras. Ada perasaan aneh 

menyelinap ketika sekilas melihat wajah yang 

memandang kepadanya dengan terbelalak itu. 

Wajah itu demikian cantik. Belum pernah Arya 

melihat wajah secantik itu. Ada sesuatu yang terselip 

dalam dadanya ketika melihat wajah itu. Sesuatu 

yang belum pernah dirasakan ketika melihat wanita-

wanita cantik lainnya. 

Pemuda berbaju ungu ini meninggalkan tempat itu 

dengan perasaan berat. Seketika ada sesuatu yang 

hilang dan dalam rongga dadanya. Hal ini membuat 

Arya merasa bingung sendiri. Apa yang terjadi pada 

dirinya? Baru kali ini Arya mengalami hal seperti itu. 

Dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya. 

Tanpa sadar Arya menghentikan larinya. 

Ditolehkan kepalanya ke arah tempat yang baru saja 

ditinggalkan. Ada dorongan kuat yang seolah-olah 

membetot kedua kakinya untuk kembali ke sana. 

Selagi Dewa Arak ini dilanda perasaan bimbang, 

tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat 

mendekatinya. Cepat sekali gerakan bayangan itu, 

sehingga dalam sekejap saja telah berdiri di 

depannya. 

Arya menatap sosok bayangan putih di 

hadapannya, yang ternyata seorang wanita berwajah 

sangat cantik. Beberapa saat lamanya pemuda 

berambut putih keperak-perakan ini terkesima, tapi 

mendadak tersentak kaget. Memang! Wajah wanita di 

depannya adalah wanita yang tadi tengah mandi! 

"Mau lari ke mana kau, manusia kurang ajar?!" 

tanya gadis yang berpakaian serba putih itu sinis. 

Mulutnya menyunggingkan senyum mengejek. 

"Manusia semacam kau tidak pantas dibiarkan


hidup!" 

Kontan wajah Arya memerah. 

"Ini..., eh anu ... Kau salah paham, Nini. Nggg... 

sungguh! Aku... aku tidak bermaksud begitu.... 

Sungguh!" dengan gugup pemuda ini mencoba 

menerangkan yang sebenarnya. 

"Pengecut!" desis sosok serba putih itu. 

Walaupun wanita itu mendamprat, namun tak 

urung memperhatikan Arya sekilas. Diam-diam dipuji 

kegagahan pemuda berambut putih keperakan yang 

ada di depannya ini. Dan memang ada perasaan aneh 

yang mencuat dari dalam dadanya ketika menatap 

wajah pemuda ini. Dan perasaannya ini pula yang 

telah mencegahnya untuk menurunkan tangan maut 

pada pemuda di hadapannya. 

Gadis yang berpakaian serba putih ini ternyata 

Melati. Kalau saja tidak terpengaruh perasaan aneh 

yang menjalari hatinya, pasti ia akan tahu kalau 

pemuda berambut putih keperakan ini adalah orang 

yang dicari-carinya untuk diberikan hukuman! Arya 

Buana, si Dewa Arak yang juga keponakan ayahnya! 

Merah padam wajah Arya dimaki seperti itu. Kalau 

saja bukan gadis ini yang mengatakan demikian, 

mungkin sudah turun tangan menghajarnya. Pantang 

baginya dimaki seperti itu. 

Sementara itu, si gadis setelah memaki Arya 

segera melesat kabur dari situ. Tercekat hati Dewa 

Arak melihat kecepatan gerak gadis itu. Dan ini 

dipujinya dalam hati. Mata pemuda itu terus menatap 

punggung gadis yang habis memakinya hingga lenyap 

di kejauhan. 

"Huh...!" Arya mendesah pelan, mencoba mengusir 

perasaan aneh yang tiba-tiba menyerang. Rasanya 

seperti ada sesuatu yang hilang dari dada, seiring


dengan perginya gadis berpakaian putih itu. 

*** 

Arya memasuki sebuah kedai dengan langkah 

lunglai. Memang, sejak pertemuannya dengan gadis 

yang ditemuinya di sungai, Arya jadi sering merasa 

lesu. Bahkan jadi sering melamun. Kadang-kadang 

tersenyum sendiri, bila teringat pada raut wajah gadis 

itu sewaktu dipergoki tengah mandi di sungai. Tapi di 

lain saat, wajah pemuda berambut keperakan ini 

menjadi murung, mengingat betapa gadis itu seperti 

jadi membencinya karena persoalan itu. 

"Hhh...!" desah Arya pelan. 

Pemuda itu menghenyakkan tubuhnya di salah 

satu kursi dalam kedai. Sering dicobanya untuk 

mengusir bayangan gadis itu dari pelupuk matanya, 

tapi tidak mampu. Selalu terbayang kembali di 

benaknya, senyum sinis gadis itu. Juga, 

keterkejutannya sewaktu dipergokinya tengah mandi. 

Apalagi sikapnya yang begitu dingin. Dan anehnya, 

semua tingkah laku itu di matanya sangat menarik. 

"Mau pesan apa, Tuan?" sebuah suara, pelan dan 

sopan menyadarkan Arya dari lamunan. Dengan 

suara agak gagap, disebutkan pesanannya. Dan 

pemilik kedai itu pun bergegas masuk ke dalam untuk 

menyiapkan pesanan pemuda berbaju ungu itu. 

"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar tawa terbahak-

bahak dari meja yang terletak di sebelah kiri Arya. 

Dengan sudut mata, Arya melirik ke arah asal 

suara itu. Dilihatnya tiga orang laki-laki kasar tengah 

tertawa-tawa. Dengan lagak memuakkan, mereka 

memandang ke satu arah. 

Sambil lalu Arya mengikuti arah pandangan ketiga


orang kasar itu. Kontan sepasang matanya terbelalak. 

Jantung dalam dadanya berdebar kencang. Betapa 

tidak? Di sebuah meja di sudut sana duduk tenang 

sesosok tubuh yang selama ini mengganggu 

pikirannya. 

Jadi, rupanya orang-orang kasar itu tengah 

mengganggu gadis itu Perasaan tegang melanda 

hatinya. Dan ini disadari Arya. Diam-diam pemuda itu 

merasa heran, karena tidak pernah merasa tegang 

seperti ini walaupun keadaan yang dihadapi begitu 

gawat. Tapi sekarang? 

Salah seorang dari tiga laki-laki kasar itu tiba-tiba 

bangkit dari kursinya. Sambil tertawa-tawa 

dihampirinya meja gadis berpakaian serba putih, yang 

ternyata Melati. 

Jantung dalam dada Arya kian keras berdetak. 

Perasaan pemuda ini tegang bukan main. Seluruh 

urat syaraf di tubuhnya menegang, untuk bersiap-siap 

menghadapi segala kemungkinan. Sungguh bertolak 

belakang keadaan pemuda ini dengan keadaan 

Melati. Gadis itu nampak tenang-tenang saja 

menikmati makanannya. 

Perasaan tegang yang melanda Dewa Arak 

memaksanya meraih guci arak yang sejak tadi sudah 

diletakkan di atas meja. 

Gluk... gluk... gluk.... 

Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki 

tenggorokan. Sesaat kemudian hawa arak yang 

hangat menyerbu, membuat perasaan tegangnya 

berkurang. 

Suara tegukan yang timbul sewaktu Arya meminum 

arak, rupanya terdengar tiga orang kasar itu. Terbukti 

ketiganya menoleh ke arah asal suara itu. Dan ketika 

pandangan mereka tertumbuk pada sesosok tubuh


yang mengeluarkan suara tegukan itu, kontan wajah 

mereka memucat. 

"De..., Dewa Arak?!" desis mereka dengan suara 

bergetar. Tentu saja mereka telah mendengar berita 

yang menggemparkan tentang tokoh aneh ini, yang 

dalam pemunculannya telah membuat dunia 

persilatan gempar. 

Sebenarnya mereka tadi juga telah melihat Arya. 

Tapi karena tengah terpusat pada gadis berpakaian 

serba putih, mereka tidak teringat akan tokoh itu. 

Baru setelah pemuda berambut putih keperak-

perakan itu mengeluarkan suara tegukan yang keluar 

dari mulutnya, mereka semua tersadar. 

Ketiga pasang mata milik orang-orang kasar itu 

berputar liar, mencari jalan untuk kabur. Begitu ada 

kesempatan, bergegas mereka bergerak saling 

mendahului untuk melarikan diri. Sedangkan Arya 

sama sekali tidak mengejar, dan dibiarkan saja ketiga 

orang kasar itu melarikan diri. 

Tetapi baru saja Dewa Arak hendak menikmati 

araknya kembali, terdengar bunyi kursi tarseret. 

Sebentar kemudian disusul suara langkah kaki 

mendekati mejanya. Arya mengangkat kepalanya, dan 

tampaklah gadis berpakaian serba putih itu telah 

berdiri di hadapannya. Pandangan matanya begitu 

menusuk. 

"Kau yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya Melati 

dengan suara merdu. 

Dan sebenarnya diam-diam gadis ini merasa heran 

terhadap kelakuannya kali ini. Tidak biasanya ia 

bersikap seperti ini jika berhadapan dengan orang 

yang diduga sebagai musuh. Biasanya, Melati selalu 

mengharapkan anggukan kepala dari orang yang 

ditanya. Namun kali ini, gadis itu berharap agar


pemuda itu menggelengkan kepalanya. 

Betapa kecewanya hati gadis itu ketika dilihatnya 

Arya menganggukkan kepalanya. 

"Namamu Arya Buana?" tanya Melati lagi. 

Kembali Arya menganggukkan kepalanya. 

"Begitulah nama yang diberikan orang tuaku, Nini..." 

"Kalau begitu, bersiaplah kau, Dewa Arak...!" teriak 

Melati dengan suara yang diusahakan keras. Berat 

rasanya bersikap kasar terhadap pemuda di 

hadapannya ini. Tapi, hal itu mau tidak mau harus 

dilakukannya. Tidak mungkin sumpahnya sendiri 

dikhianati. 

Srattt! 

Dicabut pedangnya, dan ditodongkan ke dada 

Arya. 

"Keluarkan senjatamu, Dewa Arak! Atau kau lebih 

suka mati sia-sia di tanganku!" teriak Melati yang 

dijuluki Dewi Penyebar Maut itu. Namun demikian, 

suaranya terdengar agak gemetar. Bukan karena 

perasaan marah, tapi karena harus berperang 

melawan perasaannya sendiri. Tak heran kalau dia 

mencabut pedang, karena untuk lebih menguatkan 

hatinya. 

"Nini," ucap Arya sambil menengadahkan kepala. 

Sesaat tak ada suara yang keluar dari mulut 

pemuda itu. Dia hanya menatap wajah cantik yang 

berdiri di depannya. Pandangan matanya sayu. 

Memang pemuda ini merasa terpukul melihat gadis 

yang dikagumi ini nampak membencinya. Dan 

sekarang bahkan memusuhinya. 

"Bukankah telah kukatakan padamu, kalau 

peristiwa itu terjadi tidak sengaja. Aku...." 

"Aku tidak meributkan masalah itu lagi!" potong 

Melati cepat. Wajahnya seketika menyemburat


merah. 

"Lalu masalah apa, Nini? Rasanya baru dua kali 

kita bertemu. Dan sepengetahuanku, belum pernah 

aku berbuat salah pada Nini. Kecuali peristiwa di 

sungai itu...," sahut pemuda ini setelah termenung 

beberapa saat lamanya. 

"Kau memang tidak salah padaku, Dewa Arak. 

Tapi, pada ayahku kau mempunyai kesalahan besar." 

Tercekat hati Arya Buana mendengar ucapan gadis 

itu. 

"Ayahmu? Siapa ayahmu?" 

Melati menghela napas berat. Digertakkan giginya 

untuk lebih menguatkan hati. 

"Raja Racun Pencabut Nyawa..." 

Pelan dan lambat-lambat gadis itu mengucapkan 

kata-katanya. Tapi, akibatnya tidak demikian bagi 

Arya. 

"Apa?!" Arya terlonjak kaget. Bangku yang 

didudukinya hancur berantakan karena getaran 

tenaga dalam yang menghambur dari tubuhnya. 

"Siapa nama ayahmu, Nini...?" pemuda berambut 

putih keperakan ini mengulangi pertanyaannya 

dengan suara gemetar. 

"Raja Racun Pencabut Nyawa!" ulang Melati. Kali 

ini suaranya lebih keras. 

"Tidak mungkin!" teriak Arya lantang. Benda-benda 

yang terletak di atas meja, bergetaran keras. Jelas, ini 

akibat pengaruh teriakan pemuda itu yang 

mengandung tenaga dalam dahsyat. 

"Paman Lindu tidak punya anak!" 

Melati sama sekali tidak mengacuhkan bantahan 

Arya. Sambil meletakkan tangan kirinya di pinggang, 

tangan kanannya yang menggenggam pedang 

menuding wajah pemuda berpakaian ungu ini.


"Paman?! Kau memanggil ayahku paman?! Aneh 

sekali! Sang Paman mati dibunuh, tapi si Keponakan 

membiarkan saja pembunuh-pembunuh pamannya 

berkeliaran! Aneh sekali! Keponakan macam apa kau 

ini, Dewa Arak?!" 

Merah muka Arya mendengar sindiran tajam itu. 

Ditatapnya wajah gadis yang telah menjatuhkan 

hatinya ini lekat-lekat. 

"Banyak hal yang tidak kau mengerti, Nini. Paman 

Lindu bukan orang baik-baik. Tindakannya banyak 

merugikan orang. Tak sedikit orang yang tewas di 

tangannya. Dan adalah wajar kalau akhirnya tewas di 

tangan orang-orang yang telah dirugikannya itu. 

Setidak-tidaknya, orang yang membunuh Paman 

Lindu memiliki itikad baik, yakni memusnahkan 

sumber kerusakan di muka bumi," kilah Arya. 

"Aku tidak peduli orang macam apa ayahku! Yang 

kutahu, beliau telah dibunuh secara pengecut. Dan 

telah menjadi kewajibanku untuk membalaskan 

kematiannya. Pikirlah, Dewa Arak! Kapan lagi aku 

membalas budinya, kalau tidak sekarang?" 

Suara gadis itu kian pelan. Dan Arya menangkap 

ada isak tertahan di dalamnya, sehingga membuat 

hatinya tersentuh. Bisa dimaklumi perasaan yang 

terkandung dalam hati gadis itu, karena dia sendiri 

pernah mengalami hal yang serupa. Hal ini 

membuatnya terdiam. 

"Bersiaplah, Dewa Arak," tegas Melati lagi. Kini 

suaranya sudah kembali terdengar seperti biasa. 

Dingin. 

"Eh! Apa maksudmu, Nini?" tanya Arya kaget. 

"Tidak usah banyak cakap, Dewa Arak! Aku harus 

membuat perhitungan padamu atas kematian 

ayahku! Bersiaplah, agar tidak mati percuma!"


"Tahan dulu, Nini!" teriak pemuda ini mencegah. 

Tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Pedang di 

tangan kanannya berkelebat menebas leher Arya. 

Suara berdesing nyaring mengawali tibanya 

serangan itu. Buru-buru Arya melempar tubuhnya ke 

belakang seraya tangan kanannya menyambar guci 

arak yang terletak di atas meja. 

Wut...! 

Tappp! 

Pedang Melati hanya menyambar tempat kosong, 

karena tubuh pemuda berambut putih keperakan itu 

telah agak jauh dari situ. 

Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Arya 

segera melompat ke luar kedai. Tak lupa dilemparkan 

uang pembayaran pesanannya ke meja tempat dia 

tadi duduk. 

"Mau kabur ke mana kau, pengecut! Jangan harap 

dapat lolos dari tanganku!" sambil berkata demikian, 

Melati melompat mengejar. 

Dewa Arak tentu saja tidak suka dianggap 

pengecut Sesampainya di luar kedai, dihentikan 

langkahnya. Kemudian dibalikkan tubuhnya, menanti 

Melati. 

Baru juga Arya membalikkan tubuhnya, Melati 

telah berdiri di hadapannya. Dalam hati, Arya memuji 

kecepatan gerak gadis ini. Sulit dibayangkan 

kepandaian dan tenaga dalam gadis itu. Dan jika 

melihat ilmu meringankan tubuhnya, gadis 

berpakaian serba putih ini merupakan seorang lawan 

yang amat berat dan berbahaya! 

"Rupanya kau tidak pengecut, Dewa Arak. Tidak 

seperti Raja Pisau Terbang dan putrinya! Sebelum 

berhasil kubunuh, mereka telah melarikan diri 

dengan cara licik. Mudah-mudahan kau tidak


sepengecut itu," ujar Dewi Penyebar Maut seraya 

tersenyum sinis. 

Berubah wajah Arya. Benarkah apa yang dikatakan 

gadis ini. Rasanya mustahil Raja Pisau Terbang dapat 

dikalahkan. Tokoh itu adalah seorang datuk. Kalau 

benar gadis itu telah mengalahkannya, sukar 

dibayangkan sampai di mana tingkat kepandaian 

gadis berpakaian serba putih itu. 

"Kau..., kau telah menemui mereka? Dari mana 

kau mengetahuinya?" tanya pemuda berambut putih 

keperakan ini dengan suara tersendat. 

Memang, Arya Buana kaget juga mendengar 

ucapan itu. Dia dapat memperkirakan kalau ikut 

campurnya Raja Pisau Terbang, karena anaknya 

terancam maut. Tapi yang menjadi pertanyaan, dari 

mana gadis itu mengetahui kalau Ningrum adalah 

salah seorang pembunuh ayahnya? 

"Lho, apa susahnya mengetahui siapa pengecut-

pengecut yang membunuh ayahku? Saksi sangat 

banyak!" jawab Dewi Penyebar Maut. "Sayang sekali, 

Ningrum bisa lolos dari tanganku. Kalau tidak, hanya 

tinggal kau dan Ular Hitam. Dan setelah itu tugasku 

pun selesai!" 

"Jadi..., jadi..." Arya tergagap, karena tercekat 

hatinya. 

"Ya. Dua orang yang ikut andil dalam membunuh 

ayahku telah kubereskan," selak Melati sambil 

menganggukkan kepalanya. 

"Maksudmu, Kakang Satria dan Kakang Mega?" 

tanya Dewa Arak dengan wajah pucat pasi. 

Gadis berpakaian serba putih itu tidak menjawab, 

tapi hanya mengangguk kecil. Tapi anggukan itu 

sudah cukup bagi Arya. 

"Kau keterlaluan, Nini!" bentak Arya Buana keras.


Tapi gadis itu hanya menyambutnya dengan tawa 

sinis. 

Srakkk! 

Melati memasukkan pedang ke dalam sarungnya. 

"Sekarang giliranmu, Dewa Arak!" Setelah berkata 

demikian, gadis berpakaian serba putih ini menerjang 

Arya. Kaki kanannya melangkah ke depan 

membentuk kuda-kuda ke arah kanan. Tangan kiri 

mengancam pelipis, sedangkan tangan kanan 

terpalang di depan perut. Melati yang sebenarnya 

tidak sampai hati mencelakai pemuda yang telah 

menjatuhkan hatinya ini, tidak mengerahkan seluruh 

tenaga sewaktu menyerang. Hanya dikerahkan tiga 

perempat dari tenaganya. 

Angin berciut keras menyambar Arya sebelum 

serangan itu tiba. Pemuda berambut putih keperakan 

ini pun segera tahu kalau serangan lawan itu 

mengandung tenaga dalam cukup kuat. 

Dewa Arak cepat menarik kaki kanannya mundur 

sambil mencondongkan tubuhnya ke belakang. 

Berbarengan dengan itu, tangan kanannya diulurkan 

memapak serangan yang mengarah ke pelipis. Arya 

yang tidak ingin mencelakakan gadis yang mengaku 

putri pamannya ini, hanya mengerahkan separuh dari 

tenaganya. 

Plakkk! 

Dua buah tangan yang mengandung tenaga dalam 

yang sangat kuat bertemu. Arya terhuyung dua 

langkah ke belakang. Sedangkan Melati hanya 

terhuyung satu langkah. 

Pemuda berambut putih keperakan ini terkejut. 

Ternyata tenaga dalam gadis itu cukup tinggi juga. 

Sedangkan Melati sudah bisa memastikan kalau 

pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini, ternyata hanya


mengeluarkan kekuatan tenaga dalam sedikit rendah 

dibanding tenaga dalamnya. Jadi dia tidak akan 

menambah kekuatan tenaganya dalam serangan 

selanjutnya. 

Sedangkan Arya yang merasakan betapa kuatnya 

tenaga dalam gadis itu, terpaksa menambah tenaga 

untuk pertarungan selanjutnya. Dalam 

pertarungannya melawan gadis ini, pemuda berambut 

putih keperakan ini hanya menggunakan ilmu 

'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Rasanya, tidak 

tega jika menggunakan ilmu andalannya. 

Dalam waktu sebentar saja, mereka sudah 

bertarung lebih dari lima jurus. Melati penasaran 

bukan main ketika menyadari tenaga dalam pemuda 

itu ternyata sepertinya semakin lama semakin kuat. 

Semula dengan tiga perempat dari tenaganya saja, 

pemuda itu sudah terhuyung. Tapi kini sampai 

mengeluarkan hampir seluruh tenaganya, pemuda itu 

mampu menangkisnya tanpa terhuyung. Kini gadis ini 

sadar kalau Dewa Arak tadi tidak bersungguh-

sungguh dalam menangkis serangannya. 

Hal ini membuat Dewi Penyebar Maut yang 

memang mempunyai watak ganjil jadi tersinggung. 

Gadis ini merasa diremehkan. Dan sebagai akibatnya, 

kini dikerahkan seluruh kemampuan dalam serangan 

selanjutnya. Ilmu 'Cakar Naga Merah'-nya 

menyambar-nyambar buas ke arah Arya. 

"Tahan...!" Dewa Arak berseru keras sambil 

melentingkan tubuhnya ke belakang menghindari 

serangan Melati yang bertubi-tubi. 

Gadis berpakaian serba putih yang tengah dilanda 

penasaran itu terpaksa menahan serangannya. 

Dengan napas masih memburu, ditatapnya Arya. 

"Mengapa berhenti, Dewa Arak? Takut?"


Pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak 

menggubris ejekan tajam Melati. Wajahnya terlihat 

tegang bukan main. 

"Dari mana kau dapatkan ilmu itu, Nini?" tanya 

Dewa Arak dengan suara gemetar. 

Sepasang mata putri Raja Racun Pencabut Nyawa 

itu seketika membelalak. 

"Apa hubunganmu dengan ilmu yang kumiliki?! 

Mau kudapatkan dari mana saja, atau dari mencuri 

pun itu urusanku. Dan tidak ada sangkut-pautnya 

denganmu!" jawab gadis itu ketus. 

"Memang ada hubungannya, jika dugaanku benar. 

Maka sudah menjadi urusanku kalau ilmu yang kau 

gunakan itu adalah 'Cakar Naga Merah'," tandas Arya 

tegas. 

"Kalau memang benar ilmu itu adalah 'Cakar Naga 

Merah', kau mau apa?" tantang Melati. 

"Harus kau katakan dari mana memperolehnya! 

Apakah kau mempelajarinya dari Ki Gering Langit?" 

Wajah Melati memerah. Pelahan-lahan kemarahan 

mulai membakar hatinya. Pemuda di hadapannya ini 

terlalu usilan dan sombong. 

"Apa hakmu dengan ilmuku ini, Dewa Arak?!" 

"Apakah Ki Gering Langit itu gurumu, Nini?" desak 

Arya, tidak menggubris ucapan gadis itu. 

Kemarahan yang sejak tadi membakar hati Melati, 

kini tak bisa ditahan lagi. 

"Keparat! Kau terlalu sombong, Dewa Arak! Jangan 

dikira aku takut padamu!" 

Setelah berkata demikian, gadis itu kembali 

menerjang Arya. Tidak dipedulikannya lagi teriakan-

teriakan mencegah dari pemuda itu. Hatinya telah 

sangat tersinggung terhadap sikap pemuda itu, yang 

sama sekali tidak menganggap dirinya.


Dewa Arak tidak punya pilihan lagi. Cepat-cepat 

disambut serangan Melati, dan dibalasnya dengan 

serangan yang tak kalah dahsat. Kali ini Dewa Arak 

terpaksa menggunakan ilmu andalannya. 'Belalang 

Mabuk', dan 'Delapan langkah Belalang'. Tak lupa, 

diambilnya guci arak yang berada di punggungnya. 

Dan diangkat ke atas mulutnya. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Terdengar suara berceglukan dari mulut Arya 

ketika arak itu memasuki mulutnya. Sesaat kemudian 

tubuhnya mulai sempoyongan. 

Melati mulai menyerang secara ganas. Kini hatinya 

tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan segenap 

kemampuannya. Disadari kalau kepandaian pemuda 

di hadapannya ini tidak serendah dugaannya. Berkali-

kali tubuhnya terhuyung setiap kali pemuda itu 

menangkis serangannya. 

Hal ini membuat amarah gadis itu kian meluap. 

Apalagi terlihat jelas kalau pemuda itu jarang sekali 

membalas serangannya. Lebih sering Arya 

mengelakkan serangan atau menangkisnya. 

Delapan puluh jurus telah terlewati, tapi belum 

nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Diam-

diam Arya memuji kelihaian lawannya ini. Pantaslah 

kalau Raja Pisau Terbang harus melarikan diri dari 

hadapannya. Kepandaian gadis berpakaian serba 

putih ini memang sangat tinggi. 

Melati menggertakkan gigi. Gadis ini sadar, tak 

mungkin rasanya mengalahkan Arya Buana. Diiringi 

sebuah keluhan tertahan dari kerongkongannya, Dewi 

Penyebar Maut segera melesat meninggalkan Dewa 

Arak. 

Tentu saja Arya yang tidak menduga hal itu 

menjadi kaget bukan main.


"Nini!" teriak Arya keras. "Tunggu...!" 

Tetapi gadis berpakaian serba putih itu tak 

menggubris teriakan Arya, dan terus saja berlari. 

Dalam sekejap tubuhnya sudah lenyap di kejauhan. 

Arya hanya termenung memandangi kepergian 

Melati. Disadari kalau tidak ada gunanya mengejar 

gadis itu. 

"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Dilangkahkan 

kakinya meninggalkan tempat itu, untuk menyusuri 

jejak Bargola yang telah menculik ibunya.


LIMA


Pandangan mata pemuda berbaju ungu itu terpaku 

pada sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tinggi. 

Dia adalah Arya Buana alias Dewa Arak. Setelah 

cukup lama bersikap seperti itu, baru kemudian 

dihampirinya gerbang yang sudah tidak memiliki pintu 

lagi. 

Di ambang pintu itu, langkah kaki Arya terhenti. 

Pemuda ini lalu berjongkok, mengamat-amati 

kepingan-kepingan papan tebal yang berserakan di 

bawah kakinya. Pada tiap kepingan papan tebal itu 

tertera tulisan. 

Dewa Arak lalu menyusun tiap kepingan papan 

bertulisan itu, dan benarlah dugaannya. Kepingan 

papan tebal itu memang mulanya adalah papan nama 

perguruan, yang kini sudah hancur berantakan. 

"Perguruan Beruang Hitam," gumam pemuda itu 

pelan. 

Perguruan itu memang didirikan Bargola, yang 

sekarang tengah dicarinya. Pemuda itu datang ke sini 

dengan harapan ada berita mengenai tempat Datuk 

Timur itu mengasingkan diri. 

Dengan langkah setengah hati-hati, Arya 

melangkah masuk. Seperti yang sudah diduganya, 

hanya kelengangan dan kesunyian saja yang 

dijumpai. Juga, bangunan-bangunan yang bekas 

terbakar di sana-sini. 

"Hhh...!" Arya menghembuskan napas kecewa. 

Tanpa diberitahu pun, ia telah bisa menebak orang 

yang mengobrak-abrik perguruan ini. Siapa lagi kalau


bukan Raja Racun Pencabut Nyawa yang dibantu 

Siluman Tengkorak Putih? 

Kali ini Arya tidak menyalahkan tindakan 

pamannya itu. Wajar bila pamannya melampiaskan 

kekesalan atas tindakan Bargola yang menculik adik 

kandungnya. Tidak tanggung-tanggung, 

dihancurkannya perguruan yang didirikan Bargola itu. 

Tengah pemuda itu termenung bingung, 

pendengarannya yang tajam menangkap suara 

langkah kaki dari arah bangunan yang tidak terbakar. 

Tanpa pikir panjang lagi, Arya melompat ke atas 

dan hinggap di atas sebuah cabang pohon yang 

terletak tidak jauh dari situ. Dari situ Dewa Arak 

mengintai ke arah suara langkah kaki tadi berasal. 

Tampaklah seorang laki-laki tengah melangkah 

keluar dari bangunan itu. Wajah maupun potongan 

tubuhnya tidak jelas, karena jarak yang cukup jauh. 

Kepala laki-laki itu nampak menoleh ke kanan dan ke 

kiri, seolah-olah ada sesuatu yang ditakutinya. Baru 

setelah itu, sosok tubuh itu melangkah ke luar 

dengan berindap-indap. 

Melihat tindak-tanduk orang itu, Arya menjadi 

curiga. Keadaan tempat itu sebenarnya sudah 

membuat orang berpikir kalau di situ tidak ada 

penghuninya. Kalau sosok tubuh itu tetap tinggal di 

situ, berarti ada satu dugaan. Dia sengaja 

bersembunyi di situ. 

Setelah sosok tubuh itu lenyap ditelan kejauhan, 

Arya melompat turun dari tempat persembunyiannya. 

Rasa ingin tahu memaksanya untuk menyelidiki ke 

dalam bangunan itu. 

Dengan sikap waspada, Arya melangkah masuk. 

Heran juga hatinya ketika melihat keadaan dalam 

bangunan itu. Begitu kotor, kumuh dan tak terurus.


Debu dan sarang laba-laba berserakan di sana-sini. 

Semua ruangan keadaannya sama. Lalu, di manakah 

orang itu tinggal? 

Sungguh pun jaraknya cukup jauh, Arya dapat 

melihat kalau pakaian orang itu bersih. Padahal di 

seluruh ruangan yang ada di dalam bangunan ini, 

tidak ada tempat yang bersih. Aneh! Ataukah ada 

ruang rahasia di dalam bangunan besar ini? 

Pemuda berambut putih keperakan ini tahu bahwa 

akan memakan waktu yang sangat lama, kalau 

mencoba mencari ruang rahasia itu. Jalan yang paling 

mudah adalah menunggu lelaki tadi kembali, 

kemudian menguntitnya menuju ruang rahasia itu. 

Kalau memang benar ruang rahasia itu ada. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera 

keluar dari gedung itu. Diintainya keadaan di depan 

sebelum dilangkahkan kakinya ke luar. Barangkali 

saja orang yang tadi diintainya telah kembali. Tapi di 

luar sepi. Bergegas pemuda ini kembali ke tempat 

persembunyiannya semula. Menunggu. 

Cukup lama juga pemuda berambut putih 

keperakan ini menunggu, sebelum akhirnya melihat 

orang itu di kejauhan. 

Kini nampak jelas, kalau kelakuan orang itu yang 

aneh. Sebelum melangkahkan kakinya memasuki 

pintu gerbang yang terdapat papan nama perguruan, 

orang itu menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sikap 

penuh curiga. 

Baru setelah yakin tidak ada yang melihatnya, 

orang itu bergegas masuk ke dalam. Kelihatennya 

setengah berlari saat memasuki bangunan besar 

yang baru saja ditinggalkan Arya. 

Bergegas Dewa Arak melompat turun dari cabang 

pohon itu. Dan dengan hati-hati diikutinya orang itu.


Orang yang ternyata adalah seorang laki-laki 

berusia sekitar tiga puluh lima tahun, bertubuh 

sedang, dan berkumis tebal itu, sama sekali tidak 

sadar kalau tengah diikuti. Bahkan tenang-tenang 

saja saat melangkahkan kakinya di dalam. 

Sampai di sebuah ruangan, diambilnya sebuah 

kursi rusak yang memang terdapat di situ, lalu, berdiri 

di atasnya. Sebentar kemudian diulurkan tangannya 

ke atas. 

Arya yang mengintip dari balik pintu yang terbuka, 

kaget juga melihat apa yang dilakukan orang itu. Si 

kumis tebal itu ternyata hendak menangkap cecak 

yang tadi juga dilihatnya. 

Anehnya, cecak itu diam saja. Binatang melata itu 

tidak berusaha mengelak dari ancaman tangan si 

kumis tebal. Seolah-olah tidak tahu adanya bahaya 

yang mengancam. 

Kreppp! 

Tangan si kumis tebal dengan tepatnya 

mencengkeram tubuh cecak itu. Arya terbelalak. Tapi 

di lain saat, pemuda ini sadar, kalau cecak itu 

bukanlah cecak sungguhan. Cecak itu pasti alat 

rahasia menuju ruangan tersembunyi. 

Dugaan Arya tidak salah. Begitu si kumis telah 

memutar 'cecak' itu, tiba-tiba terdengar suara 

berderak keras. Sesaat kemudian lantai di tengah-

tengah ruangan bergeser. Dan begitu bunyi berderak 

itu berakhir di belakang si kumis tebal terlihat sebuah 

lubang berukuran setengah tombak kali setengah 

tombak. 

Begitu melihat lantai ruangan itu bergeser, tanpa 

membuang-buang waktu lagi, Arya segera melesat 

dan melompat masuk ke dalam. Untuk berjaga-jaga 

terhadap sesuatu yang tidak diinginkan, pemuda


berambut putih keperakan ini mengerahkan ilmu 

meringankan tubuhnya. 

Ringan dan hampir tanpa suara, kedua kaki Arya 

hinggap di tanah. Belum lagi pemuda ini berbuat 

sesuatu, terdengar sebuah teguran keras. 

"Kaukah itu, Sentaka?" 

Tercekat hati Arya mendengar teguran keras itu 

dan buru-buru menyelinap ke balik tiang. 

Baru saja Arya bersembunyi, terdengar suara yang 

cukup keras. Pemuda berbaju ungu ini mengintai dari 

balik tiang. Tampak si kumis tebal itu kini telah turut 

pula. Rupanya suara itu berasal dari kedua kaki 

kumis tebal itu yang hinggap di dalam ruangan ini. 

Sekilas Arya memperhatikan sekelilingnya. Segera 

saja dapat diketahui, kalau dirinya kini berada di 

dalam sebuah ruangan cukup luas. Keadaan di sini 

hanya remang-remang saja, karena hanya diterangi 

sebuah obor yang terpasang di sudut ruangan ini. 

Arya memperhatikan arah asal suara teguran itu. 

Segera saja dapat diketahui kalau suara itu berasal 

dari ruangan yang terang benderang di sebelah sana. 

Kini Arya mengalihkan perhatiannya pada si kumis 

tebal yang sekarang diketahui bernama Sentaka. 

Tampak Sentaka tengah mendekati sebuah tangkai 

obor yang tidak terpakai, lalu ditarik ke bawah. 

Terdengar suara berderak keras. Maka, lantai di 

ruangan atas yang tadi terbuka itu pun bergerak 

menutup kembali. 

Tiba-tiba pendengaran Arya yang tajam 

menangkap suara langkah mendekati. Dari bunyi 

suara langkah yang pelan hampir tanpa suara, 

pemuda berbaju ungu ini dapat memperkirakan kalau 

orang yang akan hadir ini memiliki kepandaian tinggi. 

Dengan demikian dia harus bersikap waspada.


Bahkan suara napasnya pun ditahan. 

Sesaat kemudian terlihat sesosok tubuh tinggi 

besar dan berkulit hitam legam tiba di situ. 

Sungguhpun suasana di situ remang-remang, Arya 

dapat mengenali kalau sosok tubuh itu adalah orang 

yang tengah dicari-carinya. Siapa lagi kalau bukan 

Bargola! Ciri-ciri orang itu persis dengan apa yang 

dikatakan Kakek Ular Hitam. 

"Sentaka," sapa orang tinggi besar itu kepada si 

kumis tebal. 

"Ada apa, Guru?" sahut Sentaka. 

"Tahukah kau, ada orang lain yang masuk ke sini 

sebelum kau tiba? Kuakui ilmu meringankan tubuh 

orang itu hebat sekali. Kalau saja tidak waspada 

penuh, tidak mungkin aku mendengarnya." 

"Tapi, Guru. Aku yakin betul, kalau aku masuk ke 

dalam bangunan ini sendiri. Bagaimana mungkin ada 

orang yang masuk ke sini?" bantah si kumis tebal 

yang bernama Sentaka itu. 

"Tapi aku mendengar suaranya, Sentaka! Dan 

telingaku belum pernah tertipu!" tandas Bargola. 

"Barangkali saja hanya suara kucing melompat..." 

Dan seperti hendak membela Sentaka, terdengar 

suara mengeong lirih. Sebentar kemudian muncullah? 

seekor kucing, yang langsung berjalan mendekati 

kedua orang itu. 

Dengan sorot mata penuh kemenangan, Sentaka 

menatap wajah gurunya. Bargola tidak bisa berkata 

apa-apa lagi. Ditatapnya binatang itu sejenak, 

sebelum dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat 

itu. 

Arya menunggu sampai tubuh Bargola lenyap di 

balik ruangan. Kemudian, dipungutnya sebuah batu 

sebesar kacang kedelai dan dijentokkan ke arah


Sentaka. 

Singgg .! 

Tukkk! 

Tubuh Sentaka mengejang ketika batu itu 

mengenai punggungnya. Tanpa sempat mengeluh 

lagi, si kumis tebal itu pingsan. Sebelum tubuh itu 

sempat jatuh ke tanah, pemuda berambut putih 

keperakan itu telah lebih dulu melesat untuk 

menyangga tubuh Sentaka yang hendak rubuh. 

Pelahan-lahan sekali, direbahkannya tubuh itu di 

tanah. Setelah itu dengan hati-hati, Arya 

melangkahkan kakinya menuju arah Bargola tadi 

lenyap. 

Pemuda berpakaian ungu ini melintasi lorong yang 

diterangi cahaya obor yang terpancang di kanan kiri 

dinding. Baru beberapa langkah Arya memasuki 

lorong, terdengar suara-suara bernada marah dari 

arah depannya. Buru-buru Dewa Arak mempercepat 

langkahnya, seraya tetap mendengarkan suara itu. 

"Sampai kapan lagi aku harus bersabar, Sani," 

pendengaran Arya menangkap suara yang bernada 

marah itu. Suara itu segera dikenal sebagai suara 

Bargola! 

Arya merasa tengkuknya tiba-tiba dingin 

mendengar suara itu. Bukan karena gentar pada 

pemilik suara itu. Tapi, karena isi ucapan itu. Datuk 

itu marah-marah pada orang yang bernama Sani! 

"Sani? Ibukukah?" tanya Arya dalam hati. 

Tak terasa pemuda itu mempercepat langkahnya. 

Sementara suara itu terus bergema sepanjang lorong 

yang dilalui. 

"Empat belas tahun bukan waktu yang singkat, 

Sani. Bayangkan! Empat belas tahun lamanya aku 

menunggu kesediaanmu, untuk sukarela


menyerahkan diri padaku. Tapi kau benar-benar 

wanita tak tahu diuntung! Padahal, karena kaulah aku 

rela mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekuat 

tenaga kutahan rasa penasaranku untuk menantang 

Siluman Tengkorak Putih. Hhh...! Kini kesabaranku 

sudah habis, Sani! Mungkin kau termasuk seorang 

wanita yang lebih suka dikasari daripada 

diperlakukan baik-baik!" 

"Jangan harap dapat menyentuh tubuhku, 

Bargola!" teriak wanita itu. "Sebelum kau menjamah 

tubuhku, aku lebih dulu akan bunuh diri!" 

"Ha ha ha...! Boleh kau coba kalau bisa, Sani!" 

tantang Bargola. 

Tepat pada saat itu, Arya berada di ambang pintu. 

Tampak Bargola bergerak lambat-lambat meng-

hampiri seorang wanita setengah baya berpakaian 

kuning, yang di dada sebelah kirinya terdapat 

sulaman bunga mawar merah. Dan pemuda 

berambut putih keperakan ini melihat jelas kalau 

wanita itu tengah menggerakkan tangan kanannya 

untuk memukul ubun-ubunnya sendiri. 

Wut...! 

Serasa terbang semangat Arya melihat hal ini. 

Jaraknya yang terlampau jauh dan kedatangannya 

yang agak terlambat, membuatnya tidak berdaya 

untuk mencegah. 

Tapi sebelum niat wanita itu terlaksana, Bargola 

sambil tertawa terbahak-bahak memutar-mutar 

kedua tangannya di depan dada dari luar ke dalam. 

Dari kedua tangan yang berputar itu, bertiup angin 

keras yang langsung menyerbu ke arah wanita 

setengah baya itu. 

Wanita berpakaian kuning itu memekik. Tanpa 

dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlontar ke


belakang, dan jatuh di pembaringan. Untung Bargola 

tidak berniat mencelakainya, sehingga dalam 

serangannya itu hanya membuat perut wanita itu 

mual dan tubuhnya terlempar. 

Sambil terkekeh-kekeh, Datuk Timur itu 

melangkah mendekati wanita yang di dada sebelah 

kirinya terdapat sulaman bunga mawar merah. 

Pandang matanya nampak liar penuh nafsu. Tapi 

sebelum datuk yang menggiriskan ini mengoyak-

ngoyak pakaian wanita yang dipanggil Sani, tiba-tiba... 

"Bargola, manusia rendah! Orang semacam kau 

memang tidak layak dibiarkan hidup!" terdengar 

bentakan keras menggeledek. 

"Heh!" Bargola sangat terkejut mendengar teriakan 

itu. Dengan amarah yang meluap karena 

kesenangannya terganggu, dibalikkan tubuhnya 

menghadap ke arah asal suara. 

Di ambang pintu, tampak berdiri seorang pemuda 

berambut putih keperak-perakan, berwajah jantan, 

dan berpakaian ungu. Di tangannya tergenggam 

sebuah guci arak yang terbuat dari perak. 

"Ha ha ha...!" kembali Bargola tertawa bergelak. 

Tidak salahkah penglihatanku? Bukankah kau yang 

berjuluk Dewa Arak itu? Ha ha ha...! Pucuk dicinta. 

ulam tiba! Bahkan lebih dari yang kuharapkan. Mari, 

mari Dewa Arak. Ingin kulihat, sampai di mana 

kelihaianmu. Sehingga mampu menundukkan 

Siluman Tengkorak Putih yang tersohor itu!" (Untuk 

jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode 

"Pedang Bintang"). 

Arya sudah bisa mengukur kelihaian lawan di 

hadapannya ini. Memang, kemungkinan besar 

kepandaian datuk ini masih di bawah kepandaian 

Siluman Tengkorak Putih. Tapi biar bagaimanapun,


datuk ini tidak kalah berbahaya. Bargola telah 

memiliki pengalaman luas. Dan itu kelebihannya 

dibanding Siluman Tengkorak Putih. 

Sekilas Dewa Arak menatap wajah wanita 

berpakaian kuning yang masih meringkuk di 

pembaringan. Kontan hatinya bergetar. Walaupun 

waktu itu usianya belum mencapai lima tahun saat 

ibunya pergi meninggalkan dia dan ayahnya, raut 

wajah ibunya tak mungkin dapat terlupakan. Wanita 

yang tengah meringkuk di pembaringan itu benar-

benar ibunya! 

Amarah Arya pun bangkit. Bargola nyata-nyata 

telah melukai ibunya. Bahkan kalau ia tadi terlambat, 

mungkin datuk ini telah pula menodai. Kesalahan 

datuk sesat ini tidak dapat diampuni lagi. Maka, 

pemuda berambut putih keperakan ini bertekad 

untuk melenyapkan datuk ini selama-lamanya. 

"Hm...!" 

Diawali sebuah dengusan yang menjadi ciri 

khasnya, Datuk Timur itu melesat menerjang Arya. 

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Bargola mengerahkan 

ilmu andalannya, 'Tapak Bara'. Kedua tangannya 

dengan jari-jari terbuka berwarna merah, menyambar 

ganas ke arah ulu hati dan pusar Dewa Arak. Seketika 

hawa panas berhembus keras sebelum serangan itu 

tiba. 

Arya yang tahu betapa berbahayanya kedua 

serangan itu, sebelum datuk itu menyerangnya, telah 

menuangkan guci arak ke dalam mulutnya. 

Gluk... gluk... gluk...! 

Begitu serangan Bargola tiba, Arya 

mengelakkannya dengan jurus 'Delapan Langkah 

Belalang'. Kakinya bergerak sempoyongan seperti 

akan jatuh, melangkah, dan meliuk-liuk aneh.


Hebatnya, kedua serangan itu dapat dielakkan 

seperti tidak sengaja. Bahkan tubuh Dewa Arak ini 

telah berada di belakang datuk itu. Dengan cepat 

pemuda berambut putih keperakan ini pun 

mengayunkan gucinya menghantam punggung 

Bargola. 

Bargola terperanjat. Sungguh di luar dugaan kalau 

lawannya bisa berbuat seperti itu dalam tempo yang 

cepat! Tapi, Bargola adalah seorang datuk yang telah 

kenyang pengalaman. Telah puluhan bahkan mungkin 

ratusan kali laki-laki kasar ini berhasil meloloskan diri 

dari ancaman maut. 

Maka, pada saat yang kritis itu pun ia masih 

sanggup menyelamatkan selembar nyawanya. Cepat 

dibanting tubuhnya ke tanah, dan hinggap dengan 

bertumpu pada kedua tangan dan ujung kakinya. 

Wuttt! 

Sambaran guci Arya lewat di atas tubuhnya. 

Sementara itu, saat kedua tapak tangannya 

hinggap di tanah, kaki kanan Bargola menendang ke 

belakang, mengarah dada Dewa Arak. 

Pemuda berambut putih keperakan ini tercekat 

hatinya melihat serangan itu. Tidak ada waktu lagi 

untuk menghindari serangan tiba-tiba itu. Tendangan 

Bargola datangnya hampir bersamaan dengan 

lolosnya serangan guci yang mengancam punggung 

datuk itu. 

Tidak ada jalan lain bagi Arya, kecuali menangkis 

serangan itu dengan tangan kirinya yang bebas. 

Cepat-cepat digerakkan tangan kirinya menepak kaki 

Bargola. 

Plakkk! 

Tubuh Datuk Timur itu terputar dan terpelanting. 

Sedangkan tubuh Arya sendiri terjajar satu langkah ke


belakang. 

Bargola meraung murka. Selama puluhan bahkan 

mungkin ratusan kali bertarung, baru kali ini sewaktu 

adu tenaga dalam, tubuhnya sampai terpelanting. 

Apalagi oleh seorang lawan yang masih sangat muda. 

Rasa penasarannya pun semakin memuncak. 

Sebagai akibatnya, serangan-serangannya 

seketika bertambah dahsyat! Datuk ini mengamuk 

membabi buta. Kedua tangannya yang berisi ilmu 

'Tapak Bara', dan mengandung tenaga panas itu 

menyambar-nyambar ganas mencari sasaran. 

Tetapi yang dihadapi Bargola kali ini adalah Dewa 

Arak, murid pilihan Ki Gering Langit. Bagi pemuda 

berambut putih keperak-perakan itu, hawa panas 

yang mengiringi setiap serangan Bargola seperti 

tiupan angin sejuk. Karena, dia sendiri memiliki 

tenaga yang mengandung hawa panas. Bahkan jauh 

lebih dahsyat ketimbang hawa panas yang dimiliki 

datuk itu. 

Dengan ilmu 'Belalang Sakti', Arya menghadapi 

setiap serangan Bargola. Setiap serangan yang 

datang dielakkan secara mudah, menggunakan jurus 

'Delapan Langkah Belalang'. Bahkan pemuda itu 

sekaligus mengirimkan serangan balasan yang tak 

kalah dahsyatnya, menggunakan jurus 'Belalang 

Mabuk'. 

Nyi Sani bergegas menghindar dari tempat itu. 

Karena untuk keluar dari ruangan sudah tidak 

sempat lagi, terpaksa dia bersembunyi di balik 

sebuah lemari. Ini dilakukan untuk berjaga-jaga dari 

sambaran pukulan yang nyasar. 

Sebentar saja sekujur tubuh Ketua Perguruan 

Mawar Merah ini sudah basah oleh keringat. Hawa di 

dalam ruangan ini terasa panas bukan main, dan


terasa menyengat kulit. 

Sementara itu pertarungan antara kedua orang 

sakti itu berjalan sengit, dan terlihat seimbang. Tapi 

lewat enam puluh jurus, Bargola mulai terdesak. 

Datuk sesat ini memang kalah segala-galanya 

dibanding Dewa Arak. Baik tenaga dalam, ilmu 

meringankan tubuh, maupun kalah dalam mutu 

ilmunya. 

Hanya berkat pengalaman bertarung saja yang 

membuat Arya agak mengalami sedikit kesulitan 

untuk mendesak laki-laki kasar itu. 

Keadaan sekitar arena pertempuran. itu sudah 

kacau-balau. Dinding ruangan itu tak henti-hentinya 

bergetar setiap kali Dewa Arak atau Bargola 

melepaskan pukulan. Dan setiap kali kedua tangan 

atau kaki mereka beradu, lantai dan dinding ruangan 

bergetar lebih kuat lagi. 

Pada jurus ke delapan puluh satu, Bargola 

menggerakkan kaki kanannya menyapu kaki Arya. 

Wut...! 

"Hup...!" Dewa Arak melompat ke belakang dengan 

langkah sempoyongan. 

Bargola memang sudah menunggu saat ini. Begitu 

dilihatnya Arya melompat ke belakang, segera 

disusulnya tubuh Arya dengan kedua tangan yang 

berisi tenaga dalam penuh. Seketika didorongkan ke 

arah dada pemuda berambut putih keperak-perakan 

itu. 

Wut..! 

Angin berhawa panas luar biasa kerasnya, 

menderu hebat. Dalam perkiraan Datuk Timur ini, 

Dewa Arak tidak akan sanggup mengelak lagi. Jalan 

satu-satunya hanya menangkis, karena serangannya 

itu begitu tiba-tiba. Dan melihat posisi lawan yang


kurang menguntungkan, ia banyak menerima 

keuntungan dalam adu tenaga ini. 

Tetapi, Bargola lupa pada satu hal. Ilmu yang 

dimiliki Arya adalah ilmu 'Belalang Sakti'. Dan 

belalang adalah binatang yang dapat terbang. 

Sehingga walaupun sebagai manusia Arya tidak 

mungkin dapat terbang, tapi keistimewaan binatang 

itu dimiliki juga. Dewa Arak memang memiliki ilmu 

meringankan tubuh yang tidak dimiliki manusia biasa! 

Dalam posisi yang seburuk apa pun, ia dapat 

melompat atau melenting sempurna. 

Baru datuk ini terperanjat kaget ketika tiba-tiba 

Dewa Arak melompat melewati atas kepalanya. 

Bukan itu saja yang diperbuat pemuda berambut 

putih keperakan itu. Sambil melompat, diayunkan 

guci araknya ke kepala Datuk Timur itu. 

Wuuuttt! 

Bargola terperanjat kaget bukan main. Serangan 

guci itu berbarengan dengan serangan kedua 

tangannya yang hanya menghantam tempat kosong. 

Itu jelas, karena Dewa Arak telah melompat dari situ. 

Sebisa-bisanya dirundukkan kepalanya. 

Bukkk...! 

Bargola menyeringai. Tubuhnya terhuyung-huyung 

jauh ke depan. Kepalanya memang dapat 

diselamatkan dari ancaman maut guci Dewa Arak, 

tapi tak urung guci itu berhasil juga menghantam 

bahunya. Terdengar suara berderak keras, ketika guci 

itu menghantam sasaran. Suatu bukti kalau tulang-

tulang bahu itu patah. 

Datuk Timur ini berusaha memperbaiki posisi, dan 

secepat itu pula membalikkan tubuhnya. Tapi, 

sayangnya terlambat. Arya yang melihat tubuh datuk 

sesat itu terhuyung-huyung jauh ke depan, segera


melesat mengejar. 

Dewa Arak kembali mengayunkan gucinya ke arah. 

kepala Bargola, tepat saat tubuh datuk itu berbalik. 

Kali ini serangan susulan Arya tidak dapat 

dielakkan lagi. Dan.... 

Wut...! 

Prakkk...! 

"Akh...!" 

Telak dan keras sekali guci perak itu menghantam 

kepala Bargola. Terdengar suara berderak keras 

ketika kepala datuk itu pecah, terhantam guci yang 

mengandung tenaga dalam tinggi. 

Darah seketika muncrat dari kepala yang pecah. 

Sesaat lamanya tubuh Bargola bergoyang-goyang, 

baru kemudian ambruk dan tidak bergerak lagi untuk 

selama-lamanya.


ENAM



Arya memandangi sosok tubuh tinggi besar berkulit 

hitam legam yang kini terkapar di depannya. Sebentar 

kemudian pandangannya dialihkan pada sesosok 

tubuh wanita setengah baya yang masih bersembunyi 

di balik lemari. 

Dada Arya berdebar keras menatap wanita 

berpakaian serba kuning itu. Wajah ibunya yang telah 

sekian belas tahun dirindukan. 

Wanita berpakaian serba kuning yang bernama Nyi 

Sani, memperhatikan pemuda berambut putih 

keperakan itu tanpa berkedip. Wajah Arya memang 

mirip wajah suaminya, sehingga tidak aneh kalau Nyi 

Sani merasa mengenali. 

"I... Ibu...," Arya memanggil dengan suara serak. 

"Si... siapa kau?" tanya Nyi Sani tersentak. Nada 

suaranya terdengar menggigil. 

"A... aku... aku Arya, Bu. Arya Buana...," jawab 

pemuda berpakaian ungu itu. 

"Arya... Arya Buana...?" ulang Ketua Perguruan 

Mawar Merah itu. Nada suaranya terdengar ragu-

ragu. 

"B... benar, Bu. Ayahku bernama Tribuana, dan 

berjuluk Pendekar Ruyung Maut..." 

"Tidak mungkin!" sentak Nyi Sani. "Wajahmu 

memang mirip suamiku. Juga, warna pakaianmu 

memang warna kesenangan anakku. Tapi.., kau 

bukan Arya Buana! Kau bukan anakku!" 

"Ibu...," lirih suara pemuda berambut putih


keperakan itu. "Aku benar-benar Arya Buana 

anakmu..." 

"Bukan! Kau bohong! Anakku tidak memiliki 

rambut mengerikan seperti itu! Juga tidak 

pemabukan! Arya adalah anak yang baik!" Nyi Sani 

masih mencoba menyangkal. 

"Percayalah, Bu. Aku memang benar Arya Buana, 

anakmu. Rambutku menjadi seperti ini karena 

pengaruh ilmu yang kupelajari. Begitu pula arak yang 

selalu menemaniku." 

Nyi Sani hanya terdiam saja. Ia sebenarnya sudah 

menduga keras kalau pemuda yang berdiri di 

hadapannya ini adalah anaknya. Nalurinya sebagai 

seorang ibu menyatakan demikian. Tapi melihat 

keadaan aneh pada pemuda itu membuatnya ragu, 

walaupun bukti-bukti telah cukup meyakinkan. 

Melihat wanita yang diduga ibunya itu diam saja, 

Arya buru-buru melanjutkan ucapannya. 

"Aku mencari Ibu atas perintah Ayah, dan petunjuk 

Paman Lindu..." 

Kini wanita berpakaian serba kuning ini tidak ragu-

ragu lagi. Mulutnya yang gemetar nampak komat-

kamit seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi 

tidak ada suara yang ke luar. Beberapa saat lamanya, 

baru keluarlah kata-kata yang sejak tadi hendak 

diucapkannya. 

"Arya..., Arya anakku..." 

"Ibu...!" seru Arya. Tubuhnya pun meluruk ke arah 

ibunya. Dijatuhkan tubuhnya bersimpuh di hadapan 

ibunya dan dipeluknya kedua kaki itu erat-erat. 

"Bu.... betapa rindunya aku pada Ibu...." 

Nyi Sani mengusap-usap rambut anaknya yang 

putih keperak-perakan itu penuh kasih sayang. 

"Aku pun merindukanmu, Arya...," ucap Nyi Sani


lirih menahan keharuan yang menyeruak ke dalam 

rongga dadanya. "Bagaimana keadaan ayahmu? 

Apakah baik-baik saja?" 

Tangan pemuda yang memeluk kedua kaki wanita 

itu menegang seketika. Didongakkan kepalanya dan 

ditatapnya wajah ibunya dengan pandangan sedih. 

"Ada apa, Arya? Katakan, apa yang terjadi 

terhadap ayahmu?" desak wanita berpakaian kuning 

itu dengan perasaan tidak enak. 

Dari sikap yang diperlihatkan anaknya, wanita itu 

merasa ada sesuatu yang tidak menyenangkan. 

Hatinya kini dalam perasaan yang tidak menentu. 

Pelahan-lahan Arya bangkit dari beriututnya. 

Sambil menundukkan kepala, karena tak ingin 

melihat kekecewaan dan kesedihan yang akan 

dialami ibunya, pemuda itu menatap tanah di ujung 

kaki ibunya. 

"Ayah sudah tiada, Bu..." 

"Apa katamu, Arya?" walau sudah dapat menduga, 

tak urung berita yang didengar dari mulut anaknya ini 

membuatnya kaget bukan kepalang. Tanpa sadar 

dicengkeram kedua bahu Arya dan diguncang-

guncangnya. 

"Ayahmu tewas? Siapa yang membunuhnya, Arya?" 

Pemuda berambut putih keperak-perakan ini lalu 

menceritakan semuanya. Mulai dari perpisahan 

dengan ayahnya, sampai menerima pesan dari 

pamannya tempat di mana ibunya berada. 

"Walau Paman telah mengetahui bahwa Ibu telah 

tidak berada lagi di Perguruan Mawar Merah, Paman 

tetap memberitahu tempat itu. Mungkin maksud 

Paman agar aku dapat melacak jejak Ibu," ucap Arya 

Buana menutup ceritanya. 

Nyi Sani tercenung setelah putranya itu mengakhiri


cerita. Raut wajahnya nampak memancarkan 

kesedihan yang hebat. Baru saja ia merasa gembira 

dapat bertemu putranya kembali, kini harus 

mendengar berita mengenai kematian suami dari 

kakak kandungnya. 

"Sungguh tidak kusangka, kalau umur ayah dan 

pamanmu begitu singkat, Arya," keluh Nyi Sani. 

Mendengar keluhan ibunya, Arya tersadar. Tidak 

sepantasnya kalau mereka tenggelam dalam 

kesedihan yang berlarut-larut. Yang mati tidak akan 

hidup kembali, sekalipun mereka menangis hingga 

mengeluarkan air mata darah. 

"Sudahlah, Bu. Tidak ada gunanya kita menangisi 

kepergian mereka. Ini akan merugikan diri kita sendiri 

Yang sudah tiada, toh tidak akan kembali lagi." 

Mendengar ucapan putranya, Nyi Sani tersadar. 

Disusut air matanya, kemudian sambil tersenyum 

ditakapnya wajah Arya. Senyumnya terlihat getir. 

"Nah! Begitu dong, Bu," puji pemuda berpakaian 

ungu ini. "Sekarang, aku ingin mendengar 

pengalaman Ibu sejak Paman Lindu membawa Ibu 

meninggalkan aku dan Ayah." 

Istri Pendekar Ruyung Maut itu menghela napas 

sebelum memulai bicara. 

"Ceritanya panjang, Arya. Panjang dan sama sekali 

tidak menarik." 

"Tak apa, Bu. Aku ingin mendengarnya," sahut 

pemuda berambut putih keperakan ini mendesak. 

"Baiklah, kalau itu maumu." Nyi Sani terpaksa 

mengalah. Pandang matanya menerawang ke atas. 

"Lebih dari lima belas tahun lalu, karena tidak 

punya pilihan lain lagi, aku terpaksa pergi mengikuti 

kakak kandungku, yaitu pamanmu Arya. Ia 

membawaku ke sebuah tempat yang jauh. Di sana,


kami tinggal berdua. Tapi itu hanya berlangsung 

beberapa bulan saja, karena pamanmu kembali pergi 

dan lama tidak pernah kembali. Untuk mengisi waktu 

luang yang membuatku bosan, aku mendirikan 

perguruan silat. Perguruan itu kuberi nama Perguruan 

Mawar Merah." 

Sampai di sini, wanita setengah baya ini 

menghentikan ceritanya. Arya yang memang tidak 

berniat memotong cerita itu, tetap diam 

mendengarkan. Sesaat lamanya suasana menjadi 

hening. 

"Lebih dari setengah tahun suasana tenang-tenang 

saja. Sampai suatu hari muncul seorang kakek tinggi 

besar berkulit hitam legam... 

"Bargola...," desis Arya 

"Benar. Sialnya kakek itu tertarik padaku. Wajahku, 

katanya, mengingatkan pada istrinya. Ia pun lalu 

meminta agar aku bersedia menjadi istrinya." 

"Dan Ibu mau?" selak Arya. 

"Tidak! Dengan tegas permintaannya kutolak!" 

tandas wanita berpakaian kuning ini. "Tapi ternyata, 

itu tidak membuatnya putus asa. Tahu kalau lewat 

cara baik-baik gagal, dia lalu menggunakan cara 

kasar. Maka dengan paksa aku dibawanya kabur. 

Karena kepandaiannya jauh berada di atasku, aku 

jadi tidak berdaya sehingga dibawa ke sini. Setiap 

hari dia membujukku agar aku bersedia menjadi 

istrinya. Tapi aku tetap mengulur waktu, sampai 

akhirnya kesabarannya habis. Untung engkau datang, 

Arya," ucap Nyi Sani menutup ceritanya. 

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini 

pemuda itu mengerti, mengapa Bargola tidak 

terdengar kabar beritanya lagi. Rupanya datuk itu 

disibuki oleh urusan asmara! Hatinya telah terpincuk


pada seorang wanita. Terpikir begitu, tak terasa 

jantung dalam dada pemuda berambut putih keperak-

perakan ini berdebar keras. 

Terbayang kembali di benaknya wajah seorang 

gadis berpakaian serba putih yang telah membuat 

pikirannya tak karuan. Wajah seorang wanita yang 

telah mencuri sekeping hatinya. Tak terasa wajah 

pemuda ini berubah mendung. 

"Ada apa, Arya?" tanya ibunya yang tentu saja 

melihat perubahan wajah putranya. Karena memang 

sejak tadi ibunya memperhatikan wajah pemuda itu. 

Dari sepasang mata pemuda di hadapannya yang 

tengah memandang kosong pada satu titik, Nyi Sani 

tahu kalau putranya ini tengah melamun. Hanya saja 

ia tidak tahu, apa yang dilamunkan Arya Buana. 

Dewa Arak tersentak. Teguran itu mengingatkan 

kalau dirinya tidak sendirian di tempat ini. 

"Ah...! Tid..., tidak ada apa-apa, Bu," jawab Arya 

gagap. 

"Ibu tahu ada sesuatu yang sedang memberatkan 

pikiranmu. Katakanlah, barangkali Ibu bisa 

membantumu. Atau..., Ibu tidak boleh 

mengetahuinya? Rahasia pribadimu barangkali?" 

tanya Nyi Sani sambil tersenyum maklum. 

Seketika wajah Arya menyemburat merah. 

"Sama sekali bukan, Bu." 

"Lalu, kenapa kau tampaknya berat untuk 

mengatakannya?" 

Dewa Arak menghembuskan napasnya. Sepertinya 

dangan menghembuskan napas, dia berharap dapat 

membuang beban yang bersarang di dadanya. 

"Ini menyangkut Paman Lindu, Bu." 

"Paman Lindu?! Memangnya ada apa dengan 

pamanmu?!"


"Bu, apakah Paman Lindu mempunyai anak?" 

"Anak? Pamanmu? Tidak, Arya. Pamanmu tidak 

mempunyai anak. Bagaimana mungkin mempunyai 

anak kalau beristri pun tidak. Dari mana kau 

mendapat berita seperti itu, Arya?" tanya Nyi Sani 

penasaran. 

"Itulah masalahnya, Bu," keluh Arya. 

"Katakan Arya, dari mana kau mendapat fitnah 

seperti itu?" desak ibunya lagi. 

Pemuda berambut putih keperakan ini ragu. Tapi 

ketika melihat pandangan mata ibunya, ia tidak dapat 

menghindar lagi. 

"Dari orang yang bersangkutan, Bu," ujar Arya 

lemah. 

"Dari orang yang bersangkutan? Apa maksudmu, 

Arya? Ibu tidak mengerti! Katakanlah yang jelas! 

Aneh, mengapa kau kelihatannya takut betul untuk 

mengatakannya," desak Nyi Sani sambil mengerutkan 

dahinya. 

Merah wajah pemuda itu. Teguran ibunya telak 

betul mengenai sasaran. Segera dikuatkan hatinya 

untuk mengucapkan sesuatu. 

"Dari anak Paman Lindu sendiri, Bu." 

"Anak Paman Lindu? Baiklah. Rupanya kau perlu 

tahu juga, Arya. Tapi janganlah berprasangka buruk 

pada pamanmu, karena mungkin saja kau menduga 

dia mempunyai istri gelap. Kau tahu, pamanmu itu 

mandul. Itu karena kesukaannya bermain racun yang 

akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. Bahkan bukan 

hanya mandul saja. Pamanmu itu sama sekali tidak 

mempunyai keinginan terhadap wanita. Jadi, 

bagaimana mungkin mempunyai seorang anak? O 

ya..., orang yang mengaku-aku anak pamanmu itu 

laki-laki?" jelas Nyi Sani yang diakhiri dengan


pertanyaan. 

Arya menggelengkan kepalanya. 

"Wanita?" 

Kali ini Arya menganggukkan kepalanya. 

"Berapa kira-kira usianya?" tanya Nyi Sani lagi. 

Dan memang, sedikit banyak istri Pendekar 

Ruyung Maut ini sudah bisa menduga, kalau putranya 

ini mempunyai perasaan lain terhadap wanita yang 

mengaku anak kakak kandungnya. Sebenarnya tanpa 

diberitahu pun bekas Ketua Perguruan Mawar Merah 

ini sudah dapat memperkirakan usia wanita itu. Tapi 

dia ingin memastikan kebenaran dugaannya lebih 

dahulu. 

"Kira-kira..., sembilan belas atau delapan belas, 

Bu...," jelas Arya, yang wajahnya kian memerah. 

Bahkan dahinya pun berkerut. 

Nyi Sani menahan senyum yang hampir saja 

tercipta dari mulutnya. Tepat dugaannya! Putranya ini 

pasti sudah terpincuk pada gadis itu. 

"Cantik?" goda Nyi Sani. 

Semakin merah wajah Arya. 

"Begitulah kira-kira, Bu." 

"Siapa namanya?" tanya wanita itu dengan senyum 

dikulum. 

"Entahlah, Bu," jawab Arya sambil menggeleng kan 

kepalanya. 

"Lho, aneh?! Kau tidak tahu namanya?" sepasang 

mata Nyi Sani terbelalak. 

"Bagaimana mungkin ia akan memperkenalkan 

namanya, Bu. Begitu bertemu, dia marah-marah. 

Bahkan hendak membunuhku." 

"Heh?! Ini lebih gila lagi! Apakah tidak kau katakan 

kalau kau adalah keponakan orang yang dianggap 

ayahnya?"


"Dia sudah tahu, Bu. Justru karena itulah ia 

hendak membunuhku. Katanya, aku keponakan yang 

sama sekali tidak berguna. Pamannya dibunuh orang, 

sama sekali tidak berniat membalaskan kematiannya. 

Begitu katanya." 

Bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini 

tercenung. Bisa diterima alasan gadis itu menyerang 

Arya. Tapi, Arya pun sama sekali tidak bersalah. 

Lindu, kakaknya memang terlalu banyak membuat 

kesalahan. Adalah wajar kalau akhirnya tewas di 

tangan orang yang dendam padanya. 

Sesaat lamanya suasana menjadi hening. Arya 

telah selesai dengan ceritanya. Sementara ibunya 

sibuk dengan pikirannya sendiri. Wanita ini tengah 

mencoba memeras seluruh ingatannya terhadap 

setiap perkataan yang diucapkan kakaknya dulu. 

Tapi, tetap saja dia tidak mampu mengingatnya. 

"Bu, apa tidak sebaiknya kalau kita keluar dari 

tempat ini dulu...?" usul Arya memenggal lamunan 

ibunya. 

Nyi Sani tersentak sadar dari lamunannya. 

"Kau benar, Arya. Memang sebaiknya kalau kita 

keluar dari tempat terkutuk ini. Aku sudah bosan 

tinggal di sini, dan ingin melihat dunia luar yang 

bebas lepas!" 

Di lain saat ibu dan anak ini sudah beranjak dari 

ruangan itu. Masing-masing melangkahkan kakinya 

dengan benak yang dipenuhi pikiran sendiri-sendiri. 

Sementara itu, Sentaka masih tergeletak pingsan.


TUJUH


"Haaat...! Hiyaaa...!" 

Wut! 

Brakkk...! 

Teriakan-teriakan melengking tinggi, diselingi angin 

menderu-deru keras, terdengar dari dalam sebuah 

hutan. Itu pun masih ditingkahi suara bergemuruh, 

Semua itu ternyata berasal dari tindakan seraut 

wajah cantik. Usianya sekitar sembilan belas tahun, 

dan berpakaian serba putih. Rambutnya panjang 

terurai, hampir mencapai pinggang. Siapa lagi kalau 

bukan Melati. 

Gadis ini rupanya sedang marah. Di dalam hutan 

ini, kekesalan hatinya dilampiaskan pada pepohonan 

dan semak-semak belukar. 

"Mampus kau, pemuda sombong!" teriak gadis itu 

keras. Tangan kanannya dengan jurus 'Naga Merah 

Membuang Mustika' didorongkan ke depan. 

Wuuusss...! 

Angin keras berhembus keluar dari tangan yang 

mendorong itu. Desiran angin itu terus melesat ke 

depan dan menghantam sebatang pohon sebesar 

dua pelukan tangan orang dewasa. 

Brakkk...! 

Pohon itu hancur berkeping-keping menimbulkan 

suara bergemuruh dahsyat! 

"Hhh...!" Melati menghela napas. Lega sudah 

dadanya sekarang. 

Kegagalannya mengalahkan Arya Buana alias 

Dewa Arak, dan melihat sikap pemuda itu


membuatnya mendongkol bukan kepalang. Rasa 

kemangkelan hatinya itu pun dilampiaskan dengan 

mengamuk di dalam hutan ini. Kini kedongkolannya 

telah sirna. Yang tinggal sekarang hanyalah akibat 

dari pelampiasan kedongkolannya. Dipandangi 

keadaan sekelilingnya. Pohon-pohon bertumbangan, 

semak-semak yang centang perenang, dan tanah 

yang terbongkar di sana sini. 

"Semua ini gara-gara Dewa Arak!" sangkal gadis itu 

membela diri, dalam hati. 

Dengan punggung tangan, disusuti peluh yang 

membasahi dahi dan lehernya yang mulus. Kemudian 

dihampirinya sebatang pohon, lalu direbahkan 

tubuhnya di situ untuk beristirahat. 

Setelah cukup lama berbaring seperti itu, Melati 

beranjak bangkit. Kemudian sekali menggerakkan 

kaki, tubuhnya sudah melesat dari situ. Dalam 

sekejap saja tubuhnya sudah lenyap bagai ditelan 

bumi. 

*** 

Tubuh Melati berkelebatan cepat. Kini tinggal satu 

lagi tujuannya. Menuju tempat Ular Hitam! Dari berita 

yang didapat, dia tahu kalau tanpa bantuan Datuk 

Barat itu, ayahnya tidak akan bisa dikalahkan lawan-

lawannya. Jadi, bila dihitung-hitung, kakek itulah yang 

menjadi penyebab utama ayahnya tewas. 

Kalau saja gadis berpakaian serba putih ini 

mencari tempat tinggal Ular Hitam sepuluh tahun 

yang lalu, sampai kapan pun tidak akan bisa 

menemukan. Untungnya, ia mencarinya sekarang. 

Sejak kemunculan Arya Buana alias Dewa Arak, 

tempat tinggal Ular Hitam sudah bukan merupakan


rahasia lagi. 

Maka, mudah saja bagi gadis yang berjuluk Dewi 

Penyebar Maut ini mendapat petunjuk tempat tinggal 

Ular Hitam. 

Beberapa hari kemudian, ia pun sudah melewati 

Desa Jati Alas. Desa yang paling dekat dengan tempat 

tinggal Ular Hitam. 

Sesampai di luar Desa Jati Alas, menurut petunjuk 

yang diterima, dia hanya tinggal melalui sebuah 

hutan. Dan setelah itu akan sampai di tempat 

kediaman Ular Hitam. 

Petunjuk yang diterimanya itu benar. Beberapa 

lama kemudian setelah ia keluar dari mulut Desa Jati 

Alas, dijumpai sebuah hutan. Bergegas dipercepat 

langkahnya. 

Sesaat kemudian Melati telah tiba di mulut hutan 

itu. Tapi baru saja hendak melangkahkan kakinya 

memasuki mulut hutan, dari depan terlihat sesosok 

bayangan hitam melesat cepat menuju mulut hutan. 

Seketika Melati menahan langkahnya. Gerakan 

sosok bayangan hitam itu cepat bukan main. Sampai-

sampai tercekat hati gadis ini melihatnya. 

Kecurigaannya pun mendadak timbul. Sosok 

bayangan hitam ini ternyata datang dari arah tempat 

tinggal Ular Hitam. Bukan tidak mungkin kalau justru 

sosok bayangan hitam itu adalah orang yang dicari-

carinya. 

Berpikiran demikian, Melati bergegas menghadang 

jalan sosok bayangan hitam itu. 

"Kisanak yang di depan, pelahan dulu!" seru Melati 

keras dan tegas. Berbareng dengan itu kedua 

tangannya didorongkan ke depan, mengirimkan 

sebuah serangan jarak jauh. Melati yang berjuluk 

Dewi Penyebar Maut memang berwatak telengas.


Langsung saja mengerahkan seluruh tenaga dalam 

serangannya itu. 

Wuuuttt...! 

Angin menderu keras keluar dari sepasang tangan 

yang mendorong itu. 

Seketika terdengar seruan kaget dari sosok 

bayangan hitam di depan. Sama sekali tidak diduga, 

kalau di depannya disambut sebuah pukulan jarak 

jauh yang amat dahsyat. 

Tahu betapa berbahayanya serangan itu, sosok 

bayangan hitam itu menghentikan larinya. Berbareng 

dengan itu, kedua tangannya didorongkan pula ke 

depan disertai pengerahan seluruh tenaga dalam 

yang dimilikinya. 

Wuuuttt...! 

Blarrr...! 

Dua pukulan jarak jauh yang sama-sama dahsyat 

itu beradu di tengah jalan. Udara sampai bergetar 

hebat akibat pertemuan dua buah tenaga dahsyat itu. 

Akibatnya bagi kedua orang itu hebat sekali! Baik 

Melati maupun sosok bayangan hitam itu sama-sama 

terjengkang keras ke belakang, kemudian berguling-

guling di tanah. 

Tapi dengan sigap keduanya bergegas bangkit 

berdiri. Sikap mereka sama-sama waspada. Baik 

Melati maupun sosok bayangan hitam, sama-sama 

menyadari kalau mereka satu sama lain adalah lawan 

yang amat tangguh. 

Dewi Penyebar Maut merasa penasaran bukan 

main melihat sosok bayangan hitam itu mampu 

membuatnya bergulingan. Dengan rasa penasaran 

yang meluap-luap, diperhatikan sosok tubuh di 

hadapannya yang berjarak sekitar sepuluh tombak. 

Gadis berpakaian serba putih ini mengerutkan


alisnya. Di depannya berdiri seorang kakek bertubuh 

tinggi kurus, berkulit hitam legam, dan sorot mata 

mencorong kehijauan. 

"Ular Hitam!" jerit Melati keras. "Kau..., kau Ular 

Hitam, bukan?!" 

Kakek yang ternyata memang Ular Hitam itu hanya 

tersenyum. 

"Siapa kau, Nisanak? Dan mengapa tiba-tiba 

menyerangku tanpa sebab? Dari mana kau tahu 

julukanku?" berondong kakek itu. 

"Kau tidak perlu tahu siapa aku! Kedatanganku 

untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah kau, Ular 

Hitam!" 

"Eit...! Tunggu dulu, Nisanak! Katakan, mengapa 

kau ingin membunuhku?" Ular Hitam menggoyang-

goyangkan kedua tangannya di depan dada 

mencegah gadis itu yang sudah bersiap menyerang-

nya. 

"Karena kau telah membunuh ayahku!" jerit Melati 

penuh kemarahan. 

"Fitnah!" teriak Ular Hitam tak kalah keras. "Siapa 

nama ayahmu?!" 

"Raja Racun Pencabut Nyawa!" 

Wajah Ular Hitam berubah. Rasa keterkejutan yang 

amat sangat terpancar di wajahnya.Jadi, gadis ini 

putri orang yang sangat memusuhinya itu? 

"Bagaimana, ular kepala dua? Masih ingin 

menyangkal lagi?!" ejek Melati tajam. 

Ular Hitam menghela napas panjang. 

"Tak bisa kupungkiri hal itu. Ayahmu memang mati 

di tanganku." 

"Heh?! Mengaku juga? Kau ini memang jantan, 

atau ingin dianggap jantan, manusia pengecut!" 

Merah wajah Ular Hitam.


"Jaga mulutmu, 'Nisanak! Aku bukan orang 

semacam itu!" 

"Bukan orang semacam itu?! Hm..,! Lalu bukan 

pengecutkah namanya kalau bertarung dengan orang 

lain secara keroyokan?" 

Ular Hitam terdiam. Kembali tidak bisa disangkal 

perkataan gadis itu. 

"Kini terimalah kematianmu, ular pengecut!" 

Setelah berkata demikian, Melati melompat 

menerjang Datuk Barat itu. Kedua tangannya 

berputar di samping kiri tubuhnya, kemudian 

berbareng terayun ke arah kepala kakek itu. 

Wuuuttt...! 

Angin menderu keras mengawali tibanya serangan 

Melati. 

Ular Hitam merendahkan tubuh sehingga serangan 

itu lewat beberapa rambut di atas kepalanya. Tapi tak 

urung rambutnya berkibaran keras juga. Suatu tanda 

kalau serangan kedua cakar itu mengandung tenaga 

dalam tinggi. 

Ular Hitam mulanya merasa tak sampai hati 

menurunkan tangan besi pada gadis yang masih 

muda belia ini. Tapi, melihat betapa telengasnya 

gadis berpakaian serba putih ini, membuat kakek ini 

memutuskan untuk tidak bertindak sungkan-sungkan. 

Bersikap lunak hanya akan mencelakakan diri 

sendiri. Itulah sebabnya, sambil merendahkan tubuh, 

kedua tangan Ular Hitam dengan telapak terbuka, 

melakukan sodokan bertubi-tubi pada dada dan perut 

lawannya yang telengas ini. 

Hebat dan berbahaya sekali serangan Ular Hitam 

ini. Apalagi serangan itu dilakukan dengan kecepatan 

gerak luar biasa, yang menjadi ciri khas ilmu 'Ular 

Terbang'. Akibatnya, serangan sodokan bertubi-tubi


itu menjadi amat berbahaya! 

Tapi apa yang dilakukan Dewi Penyebar Maut, 

tidak kalah hebatnya! Dengan sebuah gerakan yang 

tidak masuk akal, karena posisi kakinya begitu sulit 

untuk mengenjotkan tubuh. Digerakkan tubuhnya 

secara aneh. Akibatnya seluruh tubuhnya dari mulai 

dada ke bawah terangkat ke atas. Dan dengan posisi 

seperti itu, kedua tangannya menyampok bagian 

belakang kepala Ular Hitam dari atas ke bawah. 

Wuuuttt. ! 

Ular Hitam terkejut bukan main melihat hal ini. 

Dikenali betul gerakan yang dilakukan gadis 

berpakaian serba putih ini. Itu adalah jurus 'Naga 

Merah Mengangkat Ekor', salah satu jurus dari ilmu 

'Cakar Naga Merah'! Siapa lagi pemilik ilmu itu kalau 

bukan kakak kandungnya, Ki Gering Langit. 

Tetapi datuk ini tidak dapat berpikir lebih lama lagi. 

Serangan maut yang mengancam belakang 

kepalanya telah menyambar tiba. Maka cepat-cepat 

dielakkan serangan itu kalau tidak ingin mati konyol. 

Karena, untuk menangkis sudah tidak memungkin-

kan lagi. Cepat-cepat Ular Hitam melompat ke depan, 

dari langsung bergulingan di tanah. Dan selamatlah 

dia dari serangan maut itu. 

Tetapi Dewi Penyebar Maut yang hatinya tengah 

dilanda dendam membara, tentu saja tidak berhenti 

sampai di situ. Setelah kelihatan lawannya berhasil 

lolos, segera disusulinya dengan serangan-serangan 

dahsyat! 

Tentu saja Ular Hitam pun tak tinggal diam, dan 

segera menyambutnya. Di lain saat kedua tokoh yang 

sama-sama sakti itu sudah terlibat dalam pert-

arungan sengit. 

Dua puluh jurus telah berlalu, namun belum ada


tanda-tanda yang terdesak. Sementara itu Ular Hitam 

kini semakin yakin kalau ilmu yang digunakan 

lawannya adalah 'Cakar Naga Merah'! Maka pada 

suatu kesempatan, kakek itu cepat melentingkan 

tubuhnya ke belakang, dan bersalto beberapa kali di 

udara. Manis sekali kakinya hinggap beberapa 

tombak dari tempat semula. 

"Tahan...!" teriak Ular Hitam keras mencegah Dewi 

Penyebar Maut yang sudah bergerak mengejarnya. 

Gadis berpakaian serba putih ini memang seorang 

yang tidak suka menyerang lawan yang belum siap. 

Maka begitu mendengar teriakan itu, gerakannya 

seketika terhenti. Dengan napas agak memburu, 

ditatapnya wajah orang yang dibencinya ini tajam-

tajam. 

"Apa hubunganmu dengan Ki Gering Langit?" tanya 

Ular Hitam cepat sebelum Melati sempat membuka 

mulut. 

Berkilat sepasang mata putri Raja Racun Pencabut 

Nyawa ini mendengar pertanyaan itu. Gadis ini marah 

bukan main. Sudah tiga orang bertanya serupa, dan 

hal ini membuatnya terasa muak. Karena memang, ia 

sama sekali tidak mengenal tokoh itu. 

"Aku sama sekali tidak mengenalnya!" jawab gadis 

itu ketus. "Jangan coba-coba mengalihkan persoalan, 

Ular Hitam!" 

Merah wajah Ular Hitam. Kata-kata yang keluar 

dari mulut gadis itu memang pedas bukan main. 

"Aneh...! Lalu dari mana kau mendapatkan ilmu 

'Cakar Naga Merah' itu?" tanya Ular Hitam lagi dengan 

perasaan bingung. 

"Aku datang ke sini bukan untuk berbincang-

bincang denganmu, Ular Hitam. Bersiaplah! Aku tidak 

segan-segan lagi membunuhmu sekarang, sekalipun


kau belum siap!" 

Setelah berkata demikian, Melati kembali 

menyerang Ular Hitam. Tidak ada pilihan lain lagi bagi 

kakek ini kecuali meladeni serangan gadis yang telah 

kalap oleh pengaruh dendam itu. Sebentar saja 

mereka sudah kembali bertarung sengit. Keduanya 

sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan yang 

dimiliki. 

Hebat sekali akibat pertarungan dua orang sakti 

itu. Suara menderu hebat diseling suara bercicitan 

dari udara yang terobek akibat gerakan 'Cakar Naga 

Merah' milik Melati, mewarnai pertarungan itu. Pohon-

pohon bertumbangan terlanda angin pukulan yang 

tidak mengenai sasaran. Batu-batu besar dan kecil 

berpentalan tak tentu arah seperti dilanda angin 

topan. 

Tak terasa delapan puluh jurus telah berlalu. Tapi, 

masih belum nampak tanda-tanda siapa, yang akan 

terdesak. Pertarungan masih berjalan berimbang. 

Sebenarnya bila dibandingkan, Melati masih 

sedikit lebih unggul dalam hal tenaga dalam dan 

mutu ilmu silat. Dalam hal kecepatan gerak, 

keduanya berimbang. Hanya saja, Ular Hitam menang 

pengalaman. Itulah sebabnya sampai sekian 

lamanya, pertarungan masih berlangsung seimbang. 

Hal ini membuat Melati yang mempunyai watak 

pemberang, jadi tidak sabar. Dengan serangan 

bertubi-tubi berusaha dipojokkannya Ular Hitam. 

Gadis ini memang berniat mengadu keras lawan 

keras. 

Dan begitu kelihatan lawannya telah tersudut, 

gadis berpakaian serba putih ini segera meluruk 

menerjang, sambil mendorongkan kedua tangannya 

ke depan.


Ular Hitam terperanjat kaget. Posisinya sudah tidak 

memungkinkan lagi untuk mengelakkan serangan itu. 

Sungguh tidak diduga kalau gadis itu memaksanya 

untuk mengadu tenaga dalam secara langsung. 

Berarti dia mengajak mengadu nyawa! 

Sebagai seorang yang telah kenyang pengalaman, 

Datuk Barat ini tahu betul kalau adu tenaga dalam 

semacam ini amat berbahaya. Bagi lawan yang kalah 

kuat, kemungkinan besar akan tewas. Tapi walaupun 

demikian, bukan berarti kalau yang lebih kuat 

tenaganya tidak menderita apa-apa. Apalagi jika 

tenaga dalam antara keduanya tidak berbeda jauh. 

Paling tidak, dia akan teriuka parah! 

Karena tidak ada pilihan lain lagi, Ular Hitam 

mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kemudian 

sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring, 

kakek itu melompat dengan kedua tangan 

didorongkan ke depan. Rupanya Ular Hitam benar-

benar nekad menyambut serangan Melati.


DELAPAN


"Tahan...!" 

Terdengar suatu teriakan nyaring bernada 

mencegah. Dan belum habis gema suara itu, sesosok 

bayangan ungu berkelebat ke arena pertarungan. 

"Hiyaaa...!" 

"Hup!" 

Dengan kecepatan gerak menakjubkan, sosok 

bayangan itu telah memotong lompatan Ular Hitam. 

Dan sebelum Datuk Barat ini sadar, sosok bayangan 

ungu itu mendorongkan tangan ke bahu sehingga 

tubuhnya terlempar ke samping. 

Pada saat tangan orang itu mendorong tubuh Ular 

Hitam, sosok bayangan ungu itu membarengi dengan 

egosan tubuhnya, untuk mengelakkan serangan 

Melati. Tapi terlambat! Kedua tangan gadis itu lebih 

dulu tiba. 

Bukkk...! 

Kedua tangan Melati begitu telak menghantam 

tubuh sosok bayangan ungu itu. Untungnya, karena si 

bayangan ungu itu sempat mengegoskan tubuh, 

serangan itu menyimpang dari sasaran semula. Tidak 

mengenai dada, tapi mengenai bahunya. Meskipun 

demikian, akibat yang diderita si bayangan ungu itu 

cukup dahsyat juga. 

Tubuhnya terlempar beberapa tombak, kemudian 

jatuh berdebuk di tanah, lalu terguling-guling. 

Gulingan itu baru berhenti ketika tubuh itu akhirnya 

membentur sebatang pohon. 

"Arya...!" jerit Ular Hitam keras. Wajah kakek ini


pucat pasi ketika mengenali sosok bayangan ungu 

yang terguling-guling di tanah itu. Pakaian, rambut, 

dan terutama sekali guci arak yang terlempar dari 

punggungnya, membuat Ular Hitam segera mengenali 

pemuda itu. 

"Arya...!" teriak kakek itu lagi. Dengan lari laksana 

terbang, dihampirinya sosok bayangan ungu yang tak 

lain adalah Arya Buana. Pemuda itu kini tergolek 

seperti tidak bergerak lagi. Cairan kental berwarna 

merah mengucur keluar dari mulut dan hidungnya. 

"Arya...?!" sentak Melati. Gadis itu terpaku kaku di 

tempatnya. Bibirnya yang telah menggumamkan 

nama pemuda itu nampak menggigil keras. 

Ditatapnya tubuh pemuda itu yang diam tidak 

bergerak lagi. Kemudian dengan pandangan mata jijik 

ditatap kedua tangannya yang tadi menghantam 

tubuh pemuda itu. 

Beberapa saat lamanya Melati terpaku. Kemudian 

sambil mengeluarkan isak tertahan dari kerong-

kongannya dia berlari meninggalkan tempat itu. Tidak 

dihiraukan air bening yang menggulir membasahi 

pipinya. 

Seorang wanita selengah baya berpakaian serba 

kuning, yang tiba di situ hampir berbarengan dengan 

kedatangan Arya Buana, sempat melihat air mata 

yang bercucuran dari sepasang mata gadis itu. Tapi, 

segera hal itu terlupakan ketika melihat sosok tubuh 

Dewa Arak yang terkapar tidak bergerak. 

Wanita itu adalah Nyi Sani. Arya Buana memang 

sengaja mengajak ibunya ke tempat tinggal Kakek 

Ular Hitam, untuk diperkenalkan. Dia juga meminta 

agar ibunya bisa tinggal di situ Tapi siapa sangka di 

tengah perjalanan, pemuda itu melihat Ular Hitam 

tengah bertarung melawan gadis yang telah mencuri


sekeping hatinya. Pada saat pertarungan itu dalam 

keadaan kritis, ia pun segera melesat mendahului 

ibunya untuk mencegah terjadinya korban nyawa. 

Usaha pemuda ini memang berhasil, tapi membawa 

akibat yang tidak ringan. Dia kini tergolek tanpa. 

mampu berbuat apa-apa lagi. 

Nyi Sani ikut jongkok di sebelah Ular Hitam yang 

telah jongkok lebih dulu. Kakek itu tengah memeriksa 

detak jantung dan denyut nadi Arya. 

"Bagaimana, Kek?" tanya Nyi Sani. Tanpa 

dijelaskan pun ia sudah bisa menduga, siapa kakek 

ini. Arya telah bercerita banyak mengenai pem-

bimbingnya. 

"Bersyukurlah kepada Gusti Allah, Nyi!" hanya itu 

yang diucapkan Ular Hitam. 

"Jadi...?" sebuah senyuman tersungging di wajah 

wanita tua yang sejak tadi cemas itu. 

"Arya masih hidup..." lanjut kakek berkulit hitam 

itu. 

"Ahhh...!" Nyi Sani mendesah lega 

*** 

Sepekan lebih Arya Buana alias si Dewa Arak 

terkapar di pembaringan. Untungnya di saat-saat 

terakhir, masih sempat diegoskan tubuhnya, sehingga 

pukulan Melati hanya bersarang di bahu. 

Tapi walaupun demikian, karena dashyatnya 

tenaga yang terkandung dalam serangan itu, tak 

urung luka dalamnya cukup parah. Padahal Arya telah 

mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi 

tubuhnya. 

Pada hari ke delapan, Arya baru dijinkan Kakek 

Ular Hitam meninggalkan pembaringan. Pemuda


berambut putih keperakan ini merasa sekujur 

tubuhnya terasa lemas sekali. Pemuda yang berjuluk 

Dewa Arak ini segera mengambil tempat untuk duduk 

bersila, sesaat kemudian sudah tenggelam dalam 

semadinya. 

Selama tiga hari setelah diijinkan meninggalkan 

pembaringan, Arya berusaha memulihkan tenaga 

dalam dengan semadi, dan melatih ilmu andalan. 

Baru pada hari yang keempat, pemuda itu meminta 

ijin Ular Hitam dan ibunya untuk melanjutkan 

perjalanan, karena masih banyak tugas yang belum 

diselesaikan. Terutama tugas dari gurunya, Ki Gering 

Langit. 

"Arya...," ujar Ular Hitam sebelum Arya berangkat 

meninggalkan dirinya dan ibunya. Nyi Sani memang 

telah memutuskan untuk tinggal di kediaman Ular 

Hitam. 

"Ya, Kek...." 

"Sebelum kau pergi, aku akan memberitahukan 

sesuatu hal kepadamu. Hm, mengenai gadis yang 

berpakaian serba putih itu." 

"Maksud, Kakek?" tanya Arya tidak mengerti. 

"Selama di sini, aku dan ibumu terus memikirkan 

gadis itu. Dan, syukurlah! Akhirnya kami berhasil 

mengetahui keberadaan gadis itu. Ibumu mengetahui 

asal-usulnya, sedangkan aku mengetahui siapa 

gurunya." 

Pemuda berambut putih keperakan ini merasa 

jantung dalam dadanya berdetak kencang. Entah 

kenapa, ia sendiri tidak mengerti. Setiap kali ada 

pembicaraan mengenai gadis berpakaian serba putih 

itu, jantungnya selalu berdetak lebih cepat dari biasa. 

"Benar, Arya," sambung Nyi Sani. "Berhari-hari di 

sini Ibu memeras ingatan tentang semua perkataan


yang diucapkan almarhum pamanmu. Beruntung 

sebelum gadis itu pergi, Ibu sempat melihatnya. Dan 

hal itu yang sangat membantu, sehingga Ibu berhasil 

mengingatnya." 

"Jadi..., benarkah gadis itu putri dari Paman, Bu?" 

tanya Arya dengan suara gemetar. 

Nyi Sani tersenyum. Bisa dimaklumi ketegangan 

yang melanda hari putranya itu. 

"Sebenarnya bukan." 

"Jadi...?" 

"Ia adalah seorang anak yang diselamatkan 

pamanmu ketika masih bayi. Orang tuanya telah 

tewas dalam keadaan menyedihkan. Mungkin 

dibunuh orang jahat. Sejak masih bayi pamanmu 

merawatnya penuh kasih sayang, sampai ia berumur 

lima tahun. Anak itu diberi nama Melati. Karena 

kesukaannya pada pakaian serba putih yang terdapat 

sulaman bunga melati pada dada kiri. Pada suatu 

hari, ketika pamanmu pergi entah untuk urusan apa, 

anak itu ditinggalkan. Dan ketika ia kembali, anak itu 

telah lenyap. Tak ada yang tahu, ke mana perginya 

anak itu. Pamanmu mencari-cari, bahkan sampai 

meminta bantuan Ibu. Tapi, tetap saja Melati tidak 

berhasil ditemukan. Ia lenyap begitu saja seperti 

ditelan bumi," urai Nyi Sani menutup ceritanya. 

"Kenapa Paman tidak menitipkannya pada Ibu?" 

tanya Arya heran. 

Nyi Sani menghela napas panjang. Sejenak ditatap 

anaknya dalam-dalam. 

"Aku sendiri juga tidak mengerti, Arya. Pamanmu 

tidak pernah menjawab setiap kali Ibu menanya-

kannya." 

Pemuda berbaju ungu ini terdiam beberapa saat. 

Pandangan matanya tertuju pada satu titik. Jelas ada


sesuatu yang tengah dipikirkannya. 

"Kakek menemukan suatu hal yang mengejutkan, 

Arya," selak Ular Hitam memenggal lamunan pemuda 

berambut putih keperakan itu. 

"Apa, Kek?" tanya pemuda itu ingin tahu. 

"Kau sudah pernah bertarung melawan gadis itu 

kan?" Ular Hitam malah balik bertanya. 

"Sudah, Kek," Arya menganggukkan kepalanya. 

"Apa kau menjumpai sesuatu yang mengejut-

kanmu?" desak kakek itu lagi. 

"Ada, Kek," sahut Arya membenarkan. "Jurus 

'Cakar Naga Merah'!" 

"Tepat!" 

"Apa tidak mungkin kalau Melati adalah murid 

Guru, Kek?" tebak Dewa Arak. 

"Bukan, Arya. Gadis itu sama sekali tidak 

mengenal Kakang Gering Langit!" 

"Jadi...?" desak Arya. 

"Heh?!" Sepasang alis Ular Hitam berkerut. "Kau 

tidak dapat menduganya, Arya?" 

Pemuda berambut putih keperakan ini 

mengerutkan alisnya sejenak. Dicobanya untuk 

berpikir, tapi tetap saja tidak dapat menduga apa-

apa. Pikirannya benar-benar seperti buntu! 

"Hhh...!" Ular Hitam menghela napas. "Rupanya 

ada sesuatu yang memberati pikiranmu, Arya. 

Sehingga otakmu yang biasanya cerdas, kini tidak 

mampu menduga hal yang sebenarnya sangat 

mudah!" 

Wajah Arya memerah. Memang secara jujur diakui, 

kalau benaknya diganggu bayangan Melati. Sikap 

gadis itu yang selalu memusuhi, membuatnya hampir 

gila. Otaknya buntu, tidak bisa diajak berpikir. 

Melihat keadaan Arya, Ular Hitam tidak tega untuk


mendesak lebih lama. 

"Gadis yang bernama Melati itu adalah murid 

orang yang hendak kau cari atas perintah gurumu!" 

jelas Ular Hitam. 

"Ahhh...!" Dewa Arak tersentak. 

Arya jadi merasa begitu bodoh. Dalam Kitab 

Belalang Sakti, Ki Gering Langit telah memberi tugas 

untuk mencari dua orang yang sebenarnya pelayan di 

rumah kakek itu. Mereka telah kabur membawa lari 

kitab-kitab milik Ki Gering Langit. Waktu itu puluhan 

tahun yang lalu, rumah Ki Gering Langit adalah rumah 

yang selama ini ditempati Pendekar Ruyung Maut. 

"Jadi...?" 

"Ya!" selak Ular Hitam. "Melati adalah satu-satunya 

kunci yang dapat menunjukkan kepadamu di mana 

dua orang pengkhianat itu!" 

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Satu yang perlu kau perhatikan, Arya," sambung 

kakek itu lagi. "Kau harus berhati-hati! Aku tidak bisa 

membayangkan sampai di mana kepandaian 

pengkhianat-pengkhianat itu. Bayangkan! Muridnya 

saja sampai selihai itu! Hhh...! Kau harus sering-

sering bersemadi untuk lebih memantapkan tenaga 

dalammu, Arya. Aku khawatir, pengkhianat-peng-

khianat itu kini telah memiliki tingkat tenaga dalam 

yang sukar diukur tingginya!" 

"Akan kuingat baik-baik nasihat Kakek. O ya, Kek. 

Aku ada suatu masalah yang ingin kutanyakan pada 

Kakek." Kemudian Arya menceritakan tentang 

Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan tubuh 

yang luar biasa. 

Setelah mendengar penuturan pemuda berambut 

putih keperakan ini Ular Hitam mengangguk-angguk 

kan kepalanya.


"Setiap ilmu memiliki kelemahan, Arya. Apalagi 

ilmu yang didapat dengan cara tidak wajar. Mengenai 

ilmu kekebalan tubuh yang kau ceritakan itu, banyak 

sekali yang kuketahui penangkalnya. Mungkin salah 

satunya ada yang benar." 

Lalu Ular Hitam memberitahu macam-macam cara 

menaklukkan ilmu kekebalan tubuh. Arya mendengar-

kan dan mencatat di otaknya semua petunjuk yang 

diberikan Ular Hitam. 

Setelah semua petunjuk kakek bertubuh tinggi 

kurus itu dihapalnya, Arya pun pamit pada ibu dan 

kakeknya. Mereka melepas kepergian pemuda 

berambut putih keperakan itu dengan pandang mata 

berkaca-kaca. 

*** 

Arya kini melakukan perjalanan mencari berita 

tentang Melati yang berjuluk Dewi Penyebar Maut. 

Karena ciri-ciri gadis itu yang memang menyolok, 

pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali 

tidak mengalami kesulitan untuk melakukan 

pengejaran. Hampir di setiap tempat berita mengenai 

Melati selalu didapat. Dan berita yang didapatnya 

membuat Arya mengerutkan dahinya. 

Betapa tidak? Hampir di setiap desa dan tempat 

yang dikunjunginya, Melati selalu menyebar maut! 

Tidak ada orang yang masih hidup apabila telah 

berurusan dengannya. Satu hal yang melegakan Arya, 

Melati menimbulkan korban karena ia diusik. Tak 

pernah gadis itu yang memulai lebih dulu. 

Arya mempercepat langkahnya. Dari desa yang 

baru saja ditanyainya, didapat keterangan bahwa 

orang yang tengah dicarinya belum lama melalui desa


itu. Dan sudah pasti telah menimbulkan korban 

nyawa! Perkara biasa. Bergajul-bergajul itu pasti 

hendak berbuat kurang ajar padanya. 

Setelah melewati perbatasan desa, dan mendekati 

mulut sebuah hutan, pendengaran Arya yang tajam 

menangkap adanya suara-suara pertarungan di 

depan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh 

pemuda ini berkelebat cepat ke arah asal suara 

pertempuran. 

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah 

mencapai taraf kesempurnaan, dalam waktu 

sebentar saja Arya sudah melihat orang yang 

bertarung. Dan mendadak pemuda berambut putih 

keperakan ini tersentak begitu mengenali kedua 

orang yang sedang bertarung itu. 

Tidak jauh darinya, sekitar sepuluh tombak di 

depan, nampak seorang gadis cantik berpakaian 

serba putih dan bersenjatakan pedang, tengah 

bertarung melawan seseorang bertubuh tinggi besar, 

dan berwajah kasar. Di lehernya tergantung kaking 

yang bermatakan tengkorak kepala bayi. Siapa lagi 

kalau bukan Melati yang tengah bertarung melawan 

Raksasa Kulit Baja. 

Pandangan mata Dewa Arak yang tajam segera 

saja dapat mengetahui kalau Melati terlihat 

kelelahan. Peluhnya yang membanjiri tubuh dan 

gerakannya yang sudah tidak gesit lagi, menjadi bukti 

dugaan pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Ha ha ha...!" terdengar tawa terbahak-bahak dari 

mulut Raksasa Kulit Baja itu. 

Pemuda ini tahu kalau Melati, seperti dirinya juga 

dulu, kebingungan dan habis daya melawan 

kehebatan ilmu lawannya. Dan Dewa Arak yang telah 

mendapat petunjuk cara menghadapi Raksasa Kulit


Baja, segera melompat ke arena pertempuran. 

"Mundur, Melati!" perintah Dewa Arak. 

Terdengar seruan kaget dari mulut gadis itu. Dan 

memang sebenarnya Melati mengalami kekagetan 

yang bertumpuk-tumpuk. Dari mana Arya Buana 

mengetahui namanya? Tapi dalam kekagetan yang 

melanda hatinya itu, menyeruak rasa gembira yang 

tak terperikan. Arya Buana ternyata masih hidup! 

Pemuda yang telah membuat gejolak perasaannya 

tak menentu itu ternyata tidak mati akibat 

pukulannya! Oh, mengapa dia tidak pernah merasa 

segembira seperti sekarang? Inikah yang dinamakan 

cinta? Mengapa pemuda itu ada di sini? Apakah Arya 

juga memperhatikan dirinya? 

Tanpa sadar gadis itu melompat mundur. Arya 

yang melihat hal ini menjadi tersentak sekaligus 

gembira. Berarti benarlah dugaan ibunya. Gadis ini 

adalah Melati kecil yang dulu ditemukan pamannya 

sewaktu masih bayi! 

"Grrroah...!" Raksasa Kulit Baja meraung murka 

begitu melihat siapa yang masuk ke arena pert-

empuran, dan kini berdiri di hadapannya sambil 

menuangkan arak ke dalam mulut. 

Gluk... gluk... gluk...! 

"Sungguh besar nyalimu, Dewa Arak! Kali ini 

jangan harap dapat lolos dari tanganku!" 

Setelah berkata demikian, manusia raksasa itu 

melolos rantai berujung arit yang melilit pinggangnya. 

Sambil menggeram marah, diputar-putar, dan 

dilemparkannya ke arah Arya. 

Singgg...! 

Suara mendesing nyaring terdengar ketika rantai 

berujung arit itu meluncur cepat ke arah kepala Dewa 

Arak. Sedangkan pemuda itu seperti biasa tengah


sempoyongan sehabis menenggak araknya, seolah-

olah tidak menyadari adanya bahaya mengancam. 

Tapi begitu serangan rantai itu menyambar dekat, 

Dewa Arak cepat menggerakkan tangan memapak, 

setelah lebih dulu menyimpan kembali gucinya di 

punggung. 

Pralll...! 

Rantai yang terbuat dari baja itu putus berantakan 

ketika mengenai tangan kanan Dewa Arak. Berbareng 

dengan itu, tangan kiri pemuda itu menangkap ujung 

rantai yang tersisa. 

Kreppp! 

"Hup!" 

Hanya sekali sentak, tubuh Raksasa Kulit Baja 

terbetot dan melayang ke arah Dewa Arak. Hal ini 

memang disengaja. Pemuda itu ingin mencoba salah 

satu cara yang diberikan Ular Hitam. Menurut Ular 

Hitam, kalau Raksasa Kulit Baja memperoleh 

kekebalan dengan cara melumuri ramuan-ramuan ke 

tubuhnya, pasti ada bagian tubuh yang tidak terkena 

ramuan itu. Karena tidak mungkin seluruh tubuhnya 

terlumuri ramuan. Dan bagian yarig tidak terkena 

ramuan itu adalah kelemahan dari Raksasa Kulit 

Baja. Arya tahu, di antara seluruh tubuh tinggi besar 

ini hanya satu anggota tubuh yang belum pernah 

diserangnya. Telapak kaki! Kini pemuda berambut 

putih keperakan itu akan mencobanya. 

Wuuuttt...! 

Begitu tubuh Raksasa Kulit Baja itu telah 

menyambar dekat, Dewa Arak mencuatkan kakinya. 

Maka dengan ujung kaki, disodoknya telapak kaki 

manuka bertubuh raksasa itu. 

Tukkk...! 

Tubuh Raksasa Kulit Baja terpental ke atas.


Pegangannya pada rantai langsung terlepas. Sesaat 

lamanya tubuh itu melayang-layang di udara, 

kemudian jatuh ke tanah sehingga menimbulkan 

suara berdebuk keras. 

Dengan hati berdebar tegang, Arya menunggu hasil 

percobaannya itu. Tapi betapa kecewa hatinya ketika 

lawannya bangkit kembali tanpa kurang suatu apa. 

Berarti manusia raksasa ini tidak mempergunakan 

ramu-ramuan untuk mendapatkan kekebalan. 

Srattt...! 

Arya mencabut sesuatu dari balik punggungnya 

Cara kedua yang diajarkan Ular Hitam untuk 

menaklukkan kekebalan tubuh Raksasa Kulit Baja. 

"Ha ha ha...!" manusia raksasa itu tertawa bergelak 

ketika melihat senjata yang tergenggam di tangan 

Dewa Arak. Bambu kuning! Panjangnya sama dengan 

panjang sebatang pedang. 

"Rupanya kau ini sudah jadi gila karena bingung, 

Dewa Arak! Jangankan bambu, baja pun tidak akan 

membuat kulitku lecet!" 

Tapi Arya tidak mempedulikan ejekan itu. Sambil 

mengeluarkan pekik melengking, Dewa Arak 

melompat menyerang lawannya. 

Raksasa Kulit Baja yang mempunyai gerakan 

lambat, tidak mungkin menghindari serangan Dewa 

Arak yang sangat cepat itu? Bertubi-tubi bambu 

kuning di tangan Arya mengenai sasarannya. Ditusuk, 

disabet, disontek, sampai akhirnya bambu itu hancur! 

"Ha ha ha...!" kembali Raksasa Kulit Baja tertawa 

bergelak. 

"Masih ada lagi senjatamu, Dewa Arak? Keluarkan! 

Puaskan hatimu, sebelum kau tewas di tanganku!" 

Arya membuang sisa bambu yang masih 

digengamnya. Sesaat kemudian matanya liar


mengawasi sekelilingnya. Dan seketika matanya 

berseri ketika melihat sebuah pohon yang memang 

dicarinya. Pohon kelor! 

Cepat laksana kilat, tubuh Arya melesat ke atas. 

Dan di lain saat tubuhnya sudah melayang turun. Kini 

di tangannya tergenggam sebatang ranting pohon itu 

yang berdaun lebat. 

Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat 

itu pula tubuh Dewa Arak melayang ke arah Raksasa 

Kulit Baja. Daun kelor yang tergenggam di tangannya 

disabetkan ke tubuh manusia raksasa itu. 

Prattt! 

"Akh...!" 

Dengan telak sabetan itu mengenai badan 

Raksasa Kulit Baja. Mendadak saja terdengar jerit 

kesakitan dari mulut manusia raksasa yang kebal ini. 

Jerit yang lebih menyerupai raungan binatang buas 

terluka. 

Dewi Penyebar Maut tersentak kaget melihat hal 

ini. Hampir tidak dipercaya akan apa yang dilihatnya 

barusan. Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan 

luar biasa itu meraung-raung hanya dengan sabetan 

daun kelor! 

Dan sebaliknya, begitu Arya melihat usahanya 

berhasil, ia pun cepat menghujani sekujur tubuh 

lawan dengan sabetan-sabetan daun kelor yang 

digenggamnya. 

Prattt! Prattt! 

"Akh...! Aduh! Ahhh...!" 

Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul. Tubuh 

Raksasa Kulit Baja ini menggeliat-geliat, bahkan 

terguling-guling. Tapi, Dewa Arak tidak memberi 

kesempatan. Tubuh yang bergulingan di tanah itu 

terus dihujaninya dengan daun kelor.


Baru setelah ranting yang digenggamnya hancur, 

Arya menghentikan sabetan. Dibuangnya ranting itu, 

lalu ditatapnya sejenak tubuh tinggi besar yang masih 

berguling-guling. Kemudian sambil mengumpulkan 

seluruh tenaga, didorongkan kedua tangannya 

dengan jari-jari terbuka ke depan. Dewa Arak 

menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' dalam 

lambaran 'Tenaga Dalam Inti Matahari'! 

Wuuuttt...! 

Angin yang berhawa panas menderu keras ke arah 

tubuh Raksasa Kulit Baja yang masih berguling 

kesakitan. 

Bresss...! 

Tubuh Raksasa Kulit Baja terpental keras ke 

belakang ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak telak 

menghantam tubuhnya. 

Suara jerit menyayat keluar dari mulut si tinggi 

besar ini. Tubuhnya bergulingan jauh. Dari mulut, 

hidung, mata, dan telinga mengalir darah segar. Dan 

begitu gulingan itu terhenti, berhenti pulalah riwayat 

tokoh menggiriskan ini. Sekujur tubuhnya nampak 

menghitam hangus! 

Sambil mengumpulkan seluruh tenaganya, Dewa 

Arak mendorongkan kedua tangannya ke arah 

Raksasa Kulit Baja yang masih berguling kesakitan! 

Arya Buana tercenung memandang sosok tubuh 

yang kini tergolek di hadapannya. Dalam hati, 

dikagumi juga kehebatan ilmu yang dimiliki orang 

bertubuh seperti raksasa itu. 

Cukup lama juga pemuda itu tercenung, dan baru 

sadar ketika mendengar suara gerakan halus di 

belakangnya. Dalam sekelebatan, benaknya teringat 

pada Melati. Buru-buru ditolehkan kepalanya ke 

belakang.


Dapat dibayangkan betapa terperanjatnya hati 

pemuda berambut putih keperakan ini ketika tidak 

melihat siapa-siapa di situ. Dengan perasaan cemas, 

diedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tetap saja 

tidak dijumpai sosok tubuh yang dirindukan dan yang 

selalu mengganggu ingatannya. 

"Melati...!" teriak Arya kalap. Teriakannya yang 

disertai pengerahan tenaga dalam itu bergaung, 

menggema ke sekitarnya. 

Sesaat pemuda berbaju ungu ini menunggu 

sambutan. Tapi sampai lelah menunggu, tak juga ada 

tanda-tanda akan adanya sahutan. Hanya gema 

suaranya sendiri yang menyambut panggilannya. 

"Melati...!" teriak Dewa Arak lagi. Dan memang, 

suaranya terdengar bernada putus asa. Dia seperti, 

kehilangan sesuatu yang amat dicintainya. Tanpa 

pikir lagi, Dewa Arak bergerak mengejar ke dalam 

hutan. Tujuannya jelas, mencari Melati! Selain untuk 

ketenangan hatinya, juga untuk memenuhi tugas 

gurunya. Seperti diketahui, gadis ini adalah satu-

satunya kunci untuk mencari pencuri kitab-kitab milik 

Ki Gering Langit. 

Tanpa sepengetahuan Arya, dari balik pohon, se-

raut wajah cantik berpakaian serba putih menatap 

kepergiannya dengan mata merembang berkaca-

kaca. Gadis itu merasa malu menemui Arya, karena 

sejak pertama kali selalu bentrok dengannya. Tapi 

gadis itu juga merasa sedih tidak bisa bersama-sama 

dengan Arya, pemuda yang diam-diam dicintainya. Dia 

hanya bisa menatap tubuh Arya Buana hingga lenyap 

di kejauhan.... 

Nah, apakah kelak Melati mau menjumpai Dewa 

Arak lagi? Berhasilkah Arya mencari Melati? Dan 

memenuhi tugas dari gurunya untuk mengambil kitab


kitab yang dicuri oleh pelayan Ki Gering Langit? Bagi 

para pembaca yang ingin mengetahui kisah 

selanjutnya, silakan ikuti serial Dewa Arak dalam 

episode "Cinta Sang Pendekar". 



                         SELESAI 

 


Share:

0 comments:

Posting Komentar