..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 13 Januari 2025

SI BAYANGAN IBLIS BAGIAN 1

matjenuh

 

1

SI BAYANGAN IBLIS

Asmaraman S Kho Ping Hoo

Derap kaki kuda yang berlari congklang 

memecah kesunyian pagi itu di luar kota 

Lok-yang. Hari masih terlalu pagi dan 

hawa udara dinginnya bukan main, 

membuat para petani yang biasa bangun 

pagi, merasa malas untuk meninggalkan 

rumahnya, terutama sekali meninggalkan api unggun atau 

perapian di dalam rumah yang dapat menghangatkan dan 

menyamankan badan. Musim semi menjelang tiba dan hawa 

dingin musim lalu masih tertinggal. 

Demikian dinginnya hawa udara pagi itu sehingga para ibu rumah 

tangga yang hendak memasak sesuatu dengan minyak, harus 

lebih dahulu mendekatkan tempat minyak ke api karena 

minyaknya telah membeku. Hawa dingin menyusup tulang, maka 

banyak orang dusun di dalam rumah mereka merasa heran dan 

kagum mendengar derap kaki kuda tunggal itu. Begini dingin 

menunggang, kuda, pikir mereka. Alangkah akan di¬nginnya bagi 

si penunggang.

Memang penunggang kuda itu patut dikagumi. Dia seorang pria 

berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Orangnya sungguh patut 

menunggang kuda yang tinggi besar dan gagah itu. Pria itu 

berperawakan agak tinggi, tubuhnya tegap dengan dada yang 

bidang. Dia menunggang kuda dengan tubuh tegak lurus, 

pinggangnya bergerak lemas sesuai dengan larinya kuda yang

2

congklang. Dari cara dia duduk itu saja mudah diketahui bahwa 

dia seorang ahli menunggang kuda. 

Pakaiannya seperti pakaian orang kota, tidak pesolek, namun 

pakaian itu terbuat dari kain yang kuat dan nampak bersih, 

bajunya berwarna biru muda dan celananya kehijauan. Ikat 

pinggangnya kuning cerah seperti kain pengikat rambut 

kepalanya. Wajah pria ini sungguh mengesankan sebagai 

seorang pria yang jantan dan gagah perkasa.

Wajah itu bentuknya hampir persegi karena dagunya yang siku 

dengan lekuk yang dalam dan membuat dagu itu nampak keras 

dan kuat, ditumbuhi jenggot yang terpelihara, hanya sedikit saja 

di ujung dagu sedangkan lainnya dicukur licin. Mulutnya selalu 

membayangkan senyum penuh pengertian, dan kadang giginya 

nampak berkilat putih dan berjajar rapi.

Di antara hidung dan mulutnya tumbuh kumis, juga lebat akan 

tetapi terawat rapi, dicukur sebagian dan yang dibiarkan tumbuh 

hanya sepanjang bibir atas, dengan kedua ujungnya meruncing 

agak ke atas. Hidungnya besar dengan bukit hidung yang tinggi 

dan ujungnya mancung. 

Sepasang matanya lebar dan hampir bulat dengan sinar yang 

tajam dan cerdik. Sepasang mata ini dilindungi sepasang alis 

yang menarik perhatian karena amat tebal dan hitam sekali. 

Rambutnya juga hitam dan lebat, digelung ke atas dan diikat 

dengan kain berwarna kuning. Wajah pria ini lebih tepat disebut 

jantan dan gagah dari pada tampan. Wajah yang membuat hati

3

setiap orang wanita yang mengagumi kegagahan dan kejantanan 

akan menjadi terguncang dan tertarik.

Kini dia dan kudanya sudah meninggalkan dusun dan kota Lok-

yang yang berada di balik bukit kecil di depan yang nampak 

dipenuhi pohon itu. Agaknya bukit itu subur dan berhutan. Dia lalu 

menyentuh perut kudanya dengan tumit, menyuruh kuda itu uutuk 

berlari cepat mendaki bukit. Ketika dimasuki hutan yang lebat itu, 

kembali dia membiarkan kudanya berjalan seenaknya. Masih 

terlalu pagi, pikirnya, tidak perlu tergesa-gesa.

Tiba-tiba, di bagian yang agak terbuka dari hutan itu, dia melihat 

dua orang berloncatan keluar dari balik batang pohon. Dua orang 

laki-laki yang memegang golok dan dari sikap mereka, dia dapat 

menduga bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik. Benar saja 

dugaannya. Dua orang yang kelihatan kasar dan berwajah bengis 

itu, berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sudah 

menghadangnya dan seorang di antara mereka membentak 

nyaring.

“Berhenti!!”

Pria itu menahan kudanya dan memandang kepada kedua orang 

yang menghadangnya dengan senyum mengejek akan tetapi 

sinar matanya penuh teguran.

“Hemm, siapakah kalian dan mengapa pula menahan 

perjalananku?”


4

“Tak perlu banyak cakap!” bentak orang kedua yang matanya 

sipit sekali. “Turun dari kudamu dan berikan kuda itu kepada 

kami, barulah kau boleh melanjutkan perjalananmu!”

“Ehh? Kuda ini adalah kudaku sendiri, kenapa harus diberikan 

kepada kalian?”

“Cerewet benar kau! Turun, atau kami harus memaksamu? 

Engkau lebih suka mampus di bawah golok kami dari pada 

menyerahkan kuda?” bentak orang pertama yang bermuka hitam.

Kini sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar keras dan 

sepasang alis yang hitam tebal itu berkerut. “Hemm, kiranya 

kalian ini adalah dua orang perampok, ya? Tidak tahukah kalian 

bahwa sejahat-jahatnya pencuri, mencuri kuda merupakan dosa 

yang paling berat, dan sejahat-jahatnya perampok, merampok 

kuda juga dapat dihukum berat, dihukum mati?”

Dua orang perampok itu menjadi marah. Mereka saling pandang 

dan mengangguk, sebagai isyarat bahwa mereka tidak akan 

bicara lagi, melainkan turun tangan saja terhadap calon korban 

yang banyak cakap itu. Dengan golok terangkat tinggi, kedua 

orang perampok itu menyerbu ke depan. Akan tetapi pria yang 

gagah itu nampak tenang saja, lalu berseru sambil menepuk leher 

kudanya.

“Hek-ma (Kuda Hitam), hajar dua ekor anjing ini!”

Kuda tinggi hesar yang disebut Hek-ma itu tiba-tiba 

mengeluarkan suara meringkik nyaring dan mengangkat kedua

kaki depan ke atas, dan dengan garangnya ia menubruk ke arah



5

dua orang itu! Tentu saja dua orang perampok itu terkejut bukan 

main. 

Mereka berlompatan ke sisi untuk menghindar, akan tetapi 

sebelum mereka sempat menyerang lagi, laki-laki perkasa itu 

sudah memajukan kudanya dan kakinya menyambar dua kali 

berturut-turut dengan kedua kakinya, dan dua orang perampok itu 

terlempar dan golok mereka terpental. Mereka terlempar dan 

terbanting keras, lalu bangkit kembali dan lari pontang panting 

sambil terpincang-pincang! 

Pria itu tertawa bergelak, suara ketawanya bebas lepas dan 

nyaring. Anehnya, kuda hitam itupun mengeluarkan suara 

meringkik seperti ikut tertawa bersama penunggangya. Jelas 

bahwa kuda itu merupakan seekor binatang tunggangan yang 

terdidik baik dan agaknya sudah biasa menghadapi pertempuran.

Memang demikianlah, pria itu adalah seorang panglima yang 

amat terkenal di kota raja Dia bernama Cian Hui, akan tetapi lebih 

dikenal dengan sebutan Cian Ciang-kun (Perwira Cian). Baru 

setahun lebih lamanya dia bertugas sebagai seorang panglima 

muda dari pasukan keamanan di kota raja yang bertugas 

menjaga keamanan kota raja dan sekitarnya, memberantas 

kejahatan yang terjadi di daerah kota raja. Bahkan dia sering 

dikirim oleh pemerintah pusat untuk melakukan penyelidikan ke 

daerah-daerah, membikin terang perkara yang gelap dan dia 

lebih banyak dikenal sebagai seorang penyelidik yang ulung dari 

pada seorang panglima muda pasukan keamanan di kota raja.


6

Sebelum menduduki jabatannya yang sekarang, Cian Ciang-kun 

adalah seorang perwira dalam pasukan perang yang terkenal 

gagah perkasa dan berani. Akan tetapi, setahun lebih yang lalu, 

ketika dia sedang melaksanakan tugasnya sebagai perwira, 

bersama pasukannya membasmi pemberontakan di daerah utara, 

terjadilah malapetaka menimpa keluarganya. 

Isteri dan anak tunggalnya yang baru berusia duabelas tahun, 

ketika melakukan perjalanan ke dusun untuk menengok keluarga, 

dihadang perampok dan biarpun duabelas orang pengawal 

melakukan perlawanan sengit, akhirnya mereka semua tewas. 

Isteri dan anak Cian Ciang-kun juga tewas! 

Setelah mendengar akan malapetaka ini, Cian Hui segera 

menghadap atasannya dan dia mohon agar diperbolehkan 

bekerja sebagai pemberantas para penjahat dan tidak lagi 

menjadi perwira pasukan perang. Kalau tidak diperkenankan, dia 

akan keluar dari pekerjaannya untuk memberantas kejahatan 

seorang diri saja. Permintaannya dikabulkan dan mulailah Cian 

Ciang-kun dikenal sebagai seorang penyelidik dan pembasmi 

kejahatan yang gigih. 

Setahun setelah dia menjadi seorang panglima pasukan 

keamanan, dia telah melakukan pembersihan terhadap para 

penjahat dengan tegas dan keras sehingga kota raja dan 

sekitarnya menjadi aman. Tidak ada lagi penjahat berani beraksi 

karena setiap kali terjadi kejahatan, Cian Ciang-kun tidak akan 

berhenti menyelidik dan berusaha untuk menangkap penjahatnya 

dan menghukum berat, kalau perlu dibunuhnya seketika! Tanpa 

ampun darinya bagi para penjahat!


7

Demikianlah keadaan Cian Hui atau Cian Ciang-kun. Sampai 

sekarang, setahun lebih setelah dia kehilangan isteri dan anak 

tunggalnya, dia tidak mau menikah lagi, tinggal menduda. Bahkan 

dia tidak mau mengambil selir. Dan kawannya yang paling setia 

dalam menunai tugasnya adalah Si Hitam itu, kuda hitam yang 

tinggi besar dan kuat. 

Para penjahat mengenal nama besar Cian Ciang-kun dan mereka 

semua tahu bahwa selain gigih menentang kejahatan, memiliki 

pasukan keamanan yang besar jumlahnya dan yang mentaatinya, 

juga panglima ini memiliki kecerdikan dan memiliki ilmu silat yang 

tinggi. Kalau sedang berpakaian seragam atau sedang dinas, dia 

selalu membawa pedang sebagai tanda pangkat dan juga 

sebagai senjata. Akan tetapi, kalau dia berpakaian preman, dia 

tidak pernah membawa pedang dan sebagai gantinya, untuk 

menjadi bekal senjatanya adalah sebatang suling baja yang 

terselip di pinggang dan tersembunyi dibalik bajunya. 

Cian Ciang-kun mentertawakan dua orang perampok yang lari 

tunggang langgang itu. Dua orang penjahat kecil yang tidak 

memiliki kemampuan apapun seperti mereka itu sudah berani 

mencoba untuk merampok kuda orang! Sungguh tak tahu diri, 

pikirnya. 

Ketika dia hendak menjalankan lagi kudanya, tiba-tiba dia melihat 

serombongan orang berlari ke arahnya dari depan. Belasan orang 

yang kesemuanya memegang golok. Orang-orang yang berwajah 

bengis dan jahat! Dan dia melihat pula dua orang yang tadi telah 

dibuatnya lari tunggang langgang.


8

Mengertilah dia kini mengapa dua orang itu tadi berani 

merampok, kiranya mereka itu mempunyai banyak kawan! 

Melihat ada tigabelas orang yang tentu akan mengeroyoknya, 

Cian Ciang-kun khawatir kalau-kalau kudanya terluka. Maka dia 

pun dengan sikap tenang namun cepat meloncat turun dari 

kudanya dan membiarkan kudanya di tempat itu, sedangkan dia 

sudah berlari ke depan menyambut mereka yang mengacung-

acungkan golok dengan sikap beringas itu.

Melihat betapa orang tinggi tegap itu kini meloncat turun dari kuda 

dan menyambut mereka dengan sikap tenang dan di tangannya 

tidak nampak adanya senjata, para perampok itu menjadi lebih 

berani. Sambil berteriak-teriak, mereka datang menyerbu.

“Tahan......!” Bentakan menggeledek dari Cian Ciang-kun 

mengejutkan mereka dan tigabelas orang itu, biarpun dengan 

sikap masih beringas dan bengis mengancam, berhenti di 

depannya dan memandang kepadanya. Bentakan tadi memang 

berwibawa sekali dan mempengaruhi mereka.

“Aku adalah seorang yang kebetulan lewat di sini dan sedang 

menuju ke Lok-yang, siapakah kalian ini dan mengapa kalian 

mengganggu aku?”

Seorang yang bermuka berewok dan bertubuh tinggi besar, 

agaknya pemimpin mereka, berkata dengan suara parau. 

“Engkau telah berani memukul dua orang kawan kami!”

“Ah, begitukah? Akan tetapi, mereka itu hendak merampas 

kudaku!” Cian Ciang-kun, pura-pura tidak tahu bahwa dia 

berhadapan dengan segerombolan perampok.


9

“Sekarang, bukan hanya kudamu yang harus diserahkan kepada 

kami, akan tetapi juga nyawamu!” bentak si berewok, lalu dia 

memberi komando kepada teman-temannya, “Keroyok dan bunuh 

dia!!”

Hujan senjata golok dan pedang menyambar dari segala jurusan. 

Akan tetapi, begitu tangan kanan Cian Ciang-kun bergerak, dia 

telah mencabut suling bajanya dan begitu dia menggerakkan 

senjata aneh ini, terdengar bunyi melengking seolah-olah suling 

itu ditiup dan terdengar suara nyaring, Tiga batang golok terpental 

dan tiga orang pengeroyok terhuyung. 

Cian Ciang-kun tidak mau dikepung di tengah. Dia membobol ke 

kiri dan menangkis tiga batang golok dengan sulingnya, membuat 

golok-golok itu terpental dan tiga orang pemegang golok 

terhuyung, saking kerasnya tangkisannya tadi. Sebelum mereka 

sempat mengepung lagi, Cian Ciang-kun sudah menerjang

bagaikan seekor garuda, dan yang diserangnya adalah si muka 

berewok! Kepalanya harus ditundukkan dulu, pikirnya.

Si berewok memegang sebatang golok besar yang kelihatan 

berat. Melihat betapa Cian Ciang-kun menyerangnya dengan 

totokan suling, si berewok sudah menggerakkan goloknya 

menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Trangg.....!” Golok itu terpental dan hampir terlepas dari 

pegangan tangan perampok berewok itu. Dia terkejut setengah 

mati, tubuhnya terdorong ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, 

empat orang pengeroyok telah mengayun senjata mereka 

menyerang Cian Ciang-kun.


10

Terpaksa perwira yang gagah perkasa ini memutar sulingnya 

menangkis dan kembali empat batang golok dan pedang 

terpental. Kakinya menendang beruntun dan robohlah tiga orang 

lagi. Pada saat itu, golok besar di tangan si berewok sudah 

menyambarnya dari belakang. Cian Hui miringkan tubuhnya dan 

golok besar lewat di sampingnya. Tangan kirinya menampar 

dengan kerasnya.

“Bukkk!!” Punggung si berewok terkena tamparan tangan kiri Cian 

Hui dan diapun roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Pingsan! 

Melihat kehebatan calon korban itu, para perampok menjadi 

gentar sekali dan mereka lalu menyelamatkan si berewok, 

menepang mereka yang tadi terpelanting, dan merekapun lari 

cerai berai ke hutan lebat.

Cian Hui tidak mengejar, hanya berdiri tegak sambil tertawa. Dia 

menyimpan kembali sulingnya, lalu duduk di atas batu, di dekat 

kudanya yang sejak tadi nampak tenang- tenang saja. Memang 

Kuda Hitam atau Si Hitam itu sudah biasa menghadapi 

pertempuran, bahkan sering dibawa berperang ketika Cian Ciang-

kun masih memegang kedudukannya yang dahulu, maka 

menghadapi perkelahian tadi, dia sama sekali tidak menjadi 

panik. Kuda itu tenang-tenang saja, akan tetapi jangan coba 

mendekatinya. Kalau dalam keadaan seperti itu ada orang asing 

mendekatinya, tentu dia akan menggigit atau mempergunakan 

kakinya untuk menyepak.

Cian Ciang-kun menarik napas panjang. Di mana-mana terdapat 

orang-orang jahat, pikirnya. Dia tadi sengaja bersikap lunak, tidak 

membunuh karena merasa bahwa dia berada di luar daerah


11

pertanggungan jawabnya. Kalau peristiwa perampokan tadi 

terjadi di daerah kota raja, tentu dia akan bersikap lebih keras, 

mungkin dibunuhnya mereka atau setidaknya akan dilumpuhkan, 

ditangkap dan dijebloskan penjara. Dia merasa heran sekali. 

Bagaimana di luar kota Lok-yang terdapat gerombolan perampok 

seperti itu? Bagaimana kewibawaan para pejabat Lok-yang? Dia 

mencatat hal ini, dan dia akan menegur para pejabat keamanan 

di Lok-yang. Biarpun dia tidak bertanggung jawab, namun dia 

berhak menegur mereka, karena dia adalah seorang petugas 

keamanan dari kota raja yang mengenal dan dikenal semua 

pejabat pusat.

“Hemm, salahkah pendengaranku tentang Hek-liong-li?” katanya 

kepada dirinya sendiri. 

Dia mendengar bahwa Hek-liong-li adalah seorang pendekar 

wanita, atau setidaknya seorang wanita yang menentang 

kejahatan dan yang tinggal di Lok-yang. Kabarnya, wanita itu 

ditakuti seluruh penjahat bahkan namanya terkenal luas di dunia 

kang-ouw. Akan tetapi mengapa gerombolan yang hanya 

merupakan penjahat-penjahat kecil tadi, yang tidak memiliki 

kemampuan untuk menjadi penjahat besar, masih berani beraksi 

di luar kota Lok-yang? Andaikata mereka itu berani menghadapi 

para petugas keamanan, apakah mereka tidak takut kepada Hek-

liong-li yang kabarnya amat keras dan tidak mengenal ampun 

terhadap penjahat?

“Jangan-jangan Hek-liong-li hanya namanya saja yang besar, 

akan tetapi sesungguhnya hanya seorang pendekar wanita biasa


12

saja. Kalau begitu sungguh sia-sia aku membuang waktu dan 

tenaga datang ke sini.......” berbagai dugaan timbul di dalam hati 

Cian Ciang-kun yang sudah bangkit lagi untuk melanjutkan 

perjalanan. 

Akan tetapi, kembali dia tertegun karena mendengar suara ribut-

ribut di sebelah depan dan seperti tadi, kembali dia melihat 

belasan orang berlarian menuju ke tempat itu. Dia mengenal 

beberapa orang di antara belasan orang penyerangnya yang tadi. 

Timbul kemarahan di hatinya. Orang-orang keparat itu tidak tahu 

diri, pikirnya. Sekali ini dia tidak akan bersikap lunak lagi. Dia 

akan memberi hajaran keras, kalau perlu membunuh pemimpin 

mereka! Maka, diapun sudah siap berdiri dengan suling di tangan!

Yang datang memang orang-orang tadi, akan tetapi di antara 

mereka nampak dua orang yang berpakaian serba hitam dan 

memakai kedok hitam pula! Kedok itu hanya merupakan kain 

hitam yang menutupi kepala dan hanya ada dua buah lubang 

untuk melihat, dan lubang hidung untuk bernapas. Tubuh dua 

orang ini tinggi besar dan keduanya memegang sebatang pedang 

yang berkilauan saking tajamnya.

Begitu tiba di depan Cian Ciang-kun, para perampok itu 

mengepungnya, akan tetapi tidak menyerang seperti tadi hanya 

mengepung dalam lingkaran lebar sehingga kudanya juga ikut 

dikepung. Yang meloncat maju adalah seorang di antara dua 

orang berpakaian serba hitam berkedok hitam itu, yang tubuhnya 

lebih kurus. Begitu meloncat ke depan, orang sudah 

menggerakkan pedangnya.


13

“Singgg......!” Nampak sinar berkelebat dan bunyi berdesing 

nyaring. Cian Ciang-kun maklum bahwa orang ini lihai, terbukti 

dari gerakan pedangnya yang demikian cepat dan kuat. Diapun 

menggerakkan suling bajanya dan menangkis sambil 

mengerahkan tenaganya untuk membuat pedang itu terpental.

“Trangggg......!!!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan sekali 

ini Cian Hui terkejut bukan main. Ketika sulingnya bertemu 

dengan pedang dia merasa betapa tangan kanannya tergetar 

hebat dan sulingnya terpental walaupun orang berkedok itupun 

berseru kaget dan pedangnya terpental pula. 

Kiranya mereka memiliki tenaga yang seimbang! Cian Hui 

memeriksa sulingnya. Tidak rusak dan dia mengangkat muka 

memandang. 

Orang itu sudah melintangkan pedang di depan dada. Sebatang 

pedang yang bentuknya agak melengkung dan hanya tajam 

sebelah, gagangnya panjang, tiba-tiba orang itu mengeluarkan 

teriakan melengking panjang dan dia sudah menerjang secepat 

kilat dengan cara penyerangan pedang yang aneh karena dia 

memegang gagang pedang itu dengan kedua tangannya! Bukan 

main cepatnya pedang itu menyambar dan amat kuat karena 

menggunakan kedua tangan. Ketika Cian Hui cepat meloncat ke 

samping untuk mengelak, pedang itu membuat gerakan 

melengkung dan sudah datang lagi menyambar dari arah yang 

berlawanan dibarengi teriakan lain yang mengguntur!

“Hemmm......!” Cian Ciang-kun kembali mengelak sambil 

menggerakkan sulingnya menangkis dari samping. Kembali


14

terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar. Karena tidak 

ingin diserang terus menerus, ketika orang itu untuk ketiga 

kalinya membuat gerakan melengkung dengan pedangnya 

sehingga pedang itu kembali menyambar, Cian Hui melompat ke 

kanan dan tiba-tiba membalikkan, tubuhnya, membalas dengan 

serangan sulingnya yang menusuk ke arah mata orang itu. 

Sepasang mata yang tajam mengintai dari balik ke dua lubang. 

Akan tetapi ternyata orang itupun dapat bergerak lincah sekali. 

Dia sudah merendahkan tubuhnya. Namun, suling di tangan Cian 

Hui sudah melanjutkan serangan dengan memukul ke bawah, ke 

arah ubun-ubun kepala! Orang itu meloncat ke belakang, lalu 

membalas dengan serangan pedangnya yang kadang-kadang 

dipegang dengan satu tangan, kadang-kadang dengan dua 

tangan itu.

Terjadilah perkelahian yang bukan main seru dan dahsyatnya. 

Orang itu memiliki ilmu silat yang aneh, namun harus diakui oleh 

Cian Hui bahwa lawannya itu pandai sekali. Diapun segera 

mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu silatnya, 

juga silat pedang yang dimainkan dengan suling. 

Ilmu silat yang dimainkan Cian Hui adalah ilmu silat keluarga Cian 

yang turun temurun, dari aliran utara bercampur dengan aliran 

pantai timur karena nenek moyangnya berasal dari Shan-tung. 

Ilmu silat keluarga Cian ini mengandalkan kekuatan dan keuletan, 

memiliki daya pertahanan yang amat kuat walaupun kurang 

lincah dalam daya penyerangan.


15

Pertandingan itu sungguh amat seru dan setelah lewat limapuluh 

jurus, tahulah Cian Hui bahwa dirinya berada dalam bahaya. Baru 

menandingi seorang lawan saja, dia hanya mampu 

mengimbanginya. Pada hal, lawannya ini masih mempunyai 

seorang kawan yang juga berkedok, dan anak buah mereka ada 

belasan orang! Akan tetapi, Cian Hui adalah seorang laki-laki 

sejati yang gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar 

menghadapi bahaya maut. 

Hanya satu yang ditakuti di dunia ini, yalah melakukan perbuatan 

sesat! Selama dia berada di pihak yang benar, dia akan membela 

diri sampai titik darah terakhir! Maka, diapun tidak mau 

memikirkan apa-apa lagi kecuali mencurahkan seluruh 

perhatiannya untuk mengalahkan lawannya yang amat lihai itu. 

Agaknya, lawannya juga penasaran sekali dan dari gerakannya 

yang amat ganas, mudah diduga bahwa orang berkedok itu 

marah bukan main. Serangannya semakin ganas dan semua 

ditujukan untuk membunuhnya.

Tiba-tiba orang berkedok ke dua berkata, “Jangan bunuh dia! Kita 

membutuhkan dia hidup-hidup!” 

Setelah berkata demikian, orang berkedok ke dua yang lebih 

besar tubuhnya itu sudah terjun ke dalam pertempuran dan diam-

diam Cian Hui mengeluh. Orang itu memiliki gerakan yang lebih 

gesit daripada lawan pertama! Menghadapi desakan kedua 

pedang yang digerakkan secara aneh itu, Cian Hui hanya mampu 

melindungi dirinya dengan ilmu silatnya yang amat kuat di segi 

pertahanan. Sulingnya diputar seperti perisai yang melindungi 

seluruh tubuhnya.


16

“Tempel sulingnya!” tiba-tiba orang ke dua itu berseru. 

Orang pertama menggerakkan pedangnya dengan kuat, ditangkis 

oleh suling Cian Hui. Perwira ini terkejut karena tiba-tiba, ketika 

sulingnya bertemu pedang, kedua senjata itu saling melekat! Dia 

mengerahkan tenaga untuk melepaskan suling dari pedang 

lawan, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri orang ke dua sudah 

menyambar tengkuknya.

“Plakk!” Cian Hui roboh pingsan!

◄Y►

Cian Hui merasa bahwa dia menunggang kuda, akan tetapi tidak 

duduk seperti biasa, melainkan rebah menelungkup dan 

melintang di atas seekor kuda! Bukan Si Hitam! Kuda biasa. Dia 

mencoba menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi tidak 

berhasil dan tahulah dia bahwa kaki tangannya terbelenggu dan 

bahwa tubuhnya menelungkup dan melintang di atas kuda, diikat 

dengan perut kuda! 

Dia membuka matanya perlahan, melirik ke kanan kiri dan diapun 

teringat. Dia telah menjadi seorang tawanan! Mereka itu kini 

menunggang kuda semua, melalui hutan dan dia berada di 

tengah-tengah. 

Nampak pula olehnya dua orang berpakaian hitam dan berkedok, 

juga menunggang kuda berada di depan. Seorang di antara 

mereka menuntun Si Hitam. Diam-diam Cian Hui merasa lega. 

Tentu tidak ada yang dapat menunggangi Si Hitam dan mungkin 

sudah ada tadi yang terbanting jatuh ketika mencoba untuk


17

menunggang Si Hitam. Dan Si hitam kini mau dituntun karena 

melihat dia berada pula di situ. Dan dia merasa semakin lega. Dia 

tidak, dibunuh! Berarti ada harapan. Selagi masih hidup, dia tidak 

akan pernah putus asa.

Kalau mereka menawannya, berarti mereka menghendaki dia 

hidup dan teringatlah dia tadi akan ucapan mereka. Kata-kata 

mereka terdengar asing walaupun mereka mempergunakan 

bahasa daerah Lok-yang. Seorang di antara mereka, yang lebih 

besar tubuhnya, melarang kawannya membunuhnya karena 

mereka membutuhkan dia hidup-hidup! Untuk apa? Sukar 

menduganya karena dia tidak mengenal siapa mereka. 

Bersabarlah engkau, katanya kepada dirinya sendiri. Nanti 

engkau tentu akan tahu. Dia mencoba tali-tali yang membelenggu 

kaki tangannya. Amat kuat! Tidak ada harapan untuk meloloskan 

diri sekarang. Lebih baik mengaso, menghimpun tenaga baru 

karena dia merasa lelah sekali. Dia lalu membiarkan dirinya 

lemas dan memejamkan kembali matanya. 

Dia teringat akan tugasnya menuju ke Lok-yang. Mencari Hek-

liong-li! Dia belum pernah mengenal pendekar wanita itu, akan 

tetapi dia sudah mencatat tentang Hek-liong-li. Menurut 

keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li seorang wanita yang 

cantik dan masih muda. Usianya sekitar duapuluh lima tahun. 

Menurut keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li bersama 

seorang rekannya yang juga amat terkenal bernama atau berjuluk 

Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), sudah membuat nama 

besar dengan membasmi banyak sekali penjahat terkenal. Di


18

antara para penjahat itu terdapat datuk-datuk sesat yang sakti, 

yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam) dan Siauw-bin Ciu-

kwi (Setan Arak Muka Tertawa), dua orang di antara Kiu Lo-mo 

(Sembilan Iblis Tua)! Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang 

wanita muda berusia duapuluh lima tahun seperti Hek-liong-li 

(Nona Naga Hitam) bersama Pek-liong-eng yang usianya hanya 

beberapa tahun lebih tua, telah berhasil membasmi dan 

membunuh dua orang di antara Kiu Lo-mo yang kabarnya 

memiliki kesaktian yang luar biasa!

Untuk menenangkan hati dan melewatkan waktu, Cian Hui 

melanjutkan lamunannya mengingat-ingat tentang Hek-liong-li 

seperti yang didengarnya dari keterangan mereka yang pernah 

mendengar tentang wanita perkasa itu. Keterangan itu tidak 

menggambarkan wajah Hek-liong-li secara terperinci, hanya 

mengatakan bahwa wanita itu cantik. Tinggalnya di dalam kota 

Lok-yang di sebelah barat. Rumahnya besar dan indah, dan 

pekarangannya luas. Ada kolam ikan di depan rumah itu, dengan 

teratai dan di tengah kolam terdapat sebuah arca seorang puteri 

cantik menunggang seekor angsa. 

Hanya itulah yang dia ketahui tentang Hek-liong-li yang kabarnya 

bernama Lie Kim Cu. Ada lagi berita yang dia dapat mengenai 

wanita perkasa itu. Bahwa Hek-liong-li Lie Kim Cu dahulunya 

adalah puteri seorang bangsawan tinggi di Lok-yang, seorang 

bangsawan yang kabarnya melakukan korupsi karena gila judi 

sehingga masuk penjara dan tewas di dalam penjara. 

Betapa Lie Kim Cu, ketika itu masih seorang gadis berusia 

enambelas tahun, menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong, seorang


19

pangeran keluarga kaisar yang berkedudukan di Lok-yang. 

Kemudian, tidak jelas bagaimana beritanya karena tidak ada yang 

tahu, tiba-tiba saja gadis itu sudah tidak menjadi selir Pangeran 

Coan Siu Ong lagi dan tahu-tahu telah muncul sebagai seorang 

wanita sakti pembasmi kejahatan!

Cian Ciang-kun, menghentikan lamunannya karena mereka telah 

berhenti. Ketika dia membuka mata, dia melihat bahwa 

rombongan itu berhenti di depan sebuah bangunan kuno, bekas 

kuil yang sudah tidak dipergunakan lagi, yang berada di dalam 

hutan.

“Turunkan dia dan bawa ke kamar ruangan belakang!” kata si 

kedok hitam yang kurus. 

Dua orang anggauta perampok segera menyeret tubuh Cian Hui 

turun dari atas punggung kuda. Begitu dia diturunkan dan berdiri 

dengan kaki tangan terbelenggu, terdengar ringkik kuda dan Si 

Hitam sudah melepaskan diri dan lari menghampiri Cian Hui, 

mencium-cium majikannya itu sambil meringkik-ringkik. 

Dua orang anggauta perampok cepat menghampiri dan mereka 

mencoba untuk memegang kendali kuda, akan tetapi sambil 

meringkik marah, Si Hitam membalik dan menyepak mereka 

sampai tubuh kedua orang itu terlempar beberapa meter jauhnya, 

terbanting ke atas tanah dan mengaduh-aduh karena tulang iga 

mereka ada yang patah! Cian Hui tersenyum senang, akan tetapi 

lebih banyak perampok datang dan mereka mencabut senjata.

“Tenangkan kuda itu, kalau tidak akan kami bunuh!” tiba-tiba si 

kedok hitam yang besar berkata kepada Cian Hui.


20

Cian Ciang-kun khawatir kalau sampai kudanya dibunuh, maka 

diapun mengeluarkan suara bersiul panjang yang tadinya tinggi 

lalu menurun. Itulah isyarat bagi Si Hitam untuk menjadi tenang, 

dan kuda itupun tidak meringkik lagi, mengibas-ngibaskan 

ekornya dan tidak membantah atau meronta ketika seorang 

anggauta perampok memegang kendali dan menuntunnya.

Pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu 

di situ telah berdiri dua orang wanita yang usianya sekitar 

tigapuluh tahun, yang seorang berpakaian serba hijau dan orang 

kedua berpakaian warna kuning. Mereka itu cantik manis dan 

keduanya membawa keranjang kecil yang berisi beberapa 

macam daun obat. Di punggung mereka tergantung sebatang 

pedang.

“Heii, apa yang telah terjadi di sini?” tanya si baju hijau yang 

mempunyai tahi lalat kecil di dahinya.

“Kenapa orang ini dibelenggu? Kalian ini siapa?” tanya yang 

berpakaian kuning, yang hidungnya mancung.

Melihat munculnya dua orang wanita yang cantik itu, para 

anggauta perampok saling pandang dan mereka menyeringai. 

“Ha-ha, dua ekor kelinci datang menyerahkan diri kepada kita 

yang memang sedang kelaparan!”

“Tangkap mereka dan malam ini kita berpesta!”

“Aduh manisnya! Siapa yang lebih dulu menangkapnya, dia yang 

berhak mendapat bagian pertama!”


21

Bermacam-macam ucapan mereka yang nadanya menggoda, 

kurang ajar dan bahkan cabul. Adapun dua orang berkedok hitam 

itu hanya diam saja, memandang dari samping.

Dua orang wanita itu mengerutkan alisnya, dan mata mereka 

yang jeli mengeluarkan sinar marah.

“Enci, mereka ini tentu penjahat-penjahat yang pantas dibasmi. 

Mari kita hajar mereka!” bentak si baju kuning.

Akan tetapi, belasan perampok kasar itu, yang sudah terbiasa 

melakukan perbuatan maksiat dan jahat, memandang kepada 

kepala mereka, yaitu perampok yang berewok. Ketika kepala 

perampok inipun hanya menyeringai saja, mereka menjadi berani 

dan beramai-ramai belasan orang itu mengepung dua orang 

wanita itu, seperti segerombolan srigala mengepung dua ekor 

domba muda yang lunak dagingnya.

Akan tetapi, dua orang wanita itu sama sekali bukan dua ekor 

domba muda yang lunak dagingnya, melainkan dua ekor harimau 

muda yang ganas. Begitu keduanya bergerak, nampak bayangan 

hijau dan kuning berkelebatan dan pada saat itu, belasan pasang 

tangan dengan rakus hendak menerkam. Begitu dua orang 

wanita itu menampar dan menendang, para perampok itu 

mengaduh-aduh dan tubuh mereka berpelantingan! 

Terkejutlah si berewok melihat betapa belasan orang anak 

buahnya jatuh bangun dijadikan bulan-bulan tamparan dan 

tendangan kedua orang wanita itu. Dia menggereng dan dengan 

golok besarnya diapun maju menerjang. Akan tetapi, dia 

disambut oleh wanita baju hijau yang sudah mencabut pedang


22

dari punggungnya, Terjadilah perkelahian yang seru antara si 

berewok dan si baju hijau, sedangkan si baju kuning masih 

mengamuk dikeroyok oleh para perampok.

Diam-diam Cian Hui menjadi kagum. Dua orang wanita yang 

manis-manis dan kelihatan halus itu, yang tadinya membawa 

keranjang memetik daun obat, ternyata dapat bergerak tangkas 

dan ilmu silat mereka lihai juga!

“Nona-nona, hati-hati, si kedok hitam itu lihai sekali!” teriaknya 

ketika melihat betapa dua orang berkedok itu melangkah maju.

“Kalian mundur semua!” bentak si Kedok Hitam yang bertubuh 

kurus. 

Para perampok, juga kepala perampok berewok, berloncatan 

mundur dan kini dua orang bertopeng hitam itu menerjang maju 

dengan tangan kosong. 

Si baju kuning menangkis pukulan si kedok hitam dan ia 

mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Dengan marah ia 

mencabut pedangnya pula dan kini dua orang wanita itu dengan 

pedang mereka menyerang dua orang berkedok hitam itu dengan 

ganas. 

Dua orang berkedok itupun sudah mengeluarkan senjata mereka, 

pedang yang agak melengkung dan bergagang panjang dan 

lewat belasan jurus saja, tahulah Chin Ciang-kun bahwa dua 

orang gadis itu akan kalah. Mereka sudah repot dan main 

mundur, hanya mampu mengelak dan menangkis saja.


23

Melihat ini, Cian Hui merasa khawatir bukan main. Dua orang 

wanita itu jelas hendak menolong dirinya, maka kalau sampai 

mereka itu roboh tewas atau terluka, apa lagi kalau sampai 

terjatuh ke tangan srigala-srigala buas itu yang akan menerkam 

dan merobek-robek daging mereka yang lunak, dia akan selalu 

merasa menyesal karena dialah yang menjadi penyebabnya.

“Heii, dua orang sobat berkedok!” teriaknya lantang. “Tidak 

malukah kalian menyerang dua orang gadis yang sama sekali 

tidak bersalah? Mereka tidak ada hubungan sedikitpun dengan 

aku. Kalau memang kalian gagah, jangan serang mereka dan 

hayo lepaskan aku, biar kita bertanding sampai seribu jurus lagi!”

Biarpun kedua tangan dan kakinya dibelenggu, namun Cian 

Ciang-kun masih dapat menggenjotkan tubuhnya ke atas dan 

tubuh itupun melompat tinggi ke arah dua orang berkedok dan 

dari atas, tubuhnya menubruk ke arah mereka dengan kedua kaki 

yang terbelenggu lebih dahulu. Diapun berseru. “Nona-nona, 

larilah kalian!”

Dua orang berkedok itu terkejut bukan main. Tak disangkanya 

bahwa Cian Hui yang sudah terbelenggu itu masih mampu 

melakukan penyerangan kepada mereka. Namun, tentu saja 

serangan itu tidak ada artinya dan mereka cepat melompat ke 

samping dan begitu tubuh Cian Ciang-kun turun, mereka 

menendang dan Cian Hui roboh terjungkal, lalu ditangkap oleh 

beberapa orang anak buah perampok yang menyeretnya ke 

dalam bangunan bekas kuil itu. Akan tetapi, kesempatan itu 

dipergunakan oleh dua wanita tadi untuk berloncatan dun 

melarikan dini.


24

Dua orang berkedok hitam mencoba untuk melakukan 

pengejaran, akan tetapi mereka merasa heran sekali melihat 

betapa lincahnya dua orang gadis itu bergerak di dalam hutan itu, 

seolah-olah mereka sudah hafal benar akan keadaan pohon-

pohon dan semak-semak di situ. Sebentar saja kedua nona itu 

sudah lenyap. 

Dua orang berkedok hitam, tidak berani mengejar terus. Mereka 

kurang begitu hafal akan keadaan di hutan itu dan mereka 

maklum bahwa menncari musuh di tempat yang demikian penuh 

semak belukar, amat berbahaya. Maka, merekapun kembali ke 

kuil tua dan membiarkan dua orang gadis itu lolos.

◄Y►

Rumah di sudut barat kota Lok-yang itu masih baru. Mungil dan 

indah bentuknya, memiliki pekarangan yang luas di bagian depan 

dan juga taman indah di sebelah kiri dan belakang. Kolam ikan 

penuh bunga teratai di pekarangan depan itupun indah sekali. 

Arca puteri cantik menunggang angsa amat halus pahatannya, 

dengan sikap manja puteri itu merangkul leher angsa yang 

panjang seperti membelai seorang kekasih. 

Di sekeliling kolam tumbuh bunga-bunga mawar beraneka warna, 

sehingga keharuman semerbak, menyegarkan hawa di 

pekarangan itu. Beberapa buah bangku bercat merah hijau dan 

biru yang mungil berada di bawah pohon-pohon yang rindang. 

Sungguh pekarangan itu membuat orang akan merasa betah 

berada di tempat itu. Rumah itu agaknya baru dipugar dan 

diperbaiki, catnya masih baru. Temboknya berwarna putih bersih.


25

Jendela dan pintunya dicat berwarna hijau muda dengan garis-

garis merah. Manis sekali, akan tetapi juga menimbulkan kesan 

anggun. 

Dan melihat bentuk atapnya yang nampak dari luar, rumah itu 

tentu amat luas di sebelah dalamnya. Batas pekarangan rumah 

itu dengan para tetangga dikelilingi pagar tembok yang tingginya 

tidak kurang dari dua meter dan di atas temboknya dipasangi 

ujung tombak-tombak meruncing yang dicat merah.

Semua penghuni kota Lok-yang, tua muda, laki perampuan, tahu 

belaka bahwa rumah yang indah ini adalah tempat tinggal Liong-li 

(Nona Naga) atau yang mereka semua sebut dengan Li-hiap 

(Pendekar Wanita) saja. Semua orang menghormatinya dan 

mengaguminya, juga para pejahat karena wanita perkasa itu 

dikenal sebagai seorang pembasmi kejahatan yang gigih. 

Pengaruh Liong-li terhadap para penjahat lebih besar dari pada 

pengaruh pasukan keamanan. Tidak ada penjahat yang berani 

mencoba-coba untuk mendatangkan kekacauan di Lok-yang 

hanya takut kalau sampai bentrok dengan Liong-li! Dan wanita itu 

tinggal di situ bersama sembilan orang wanita lain yang menjadi 

anak buahnya, pelayannya, juga pembantunya. 

Sembilan orang wanita itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lihai 

karena mereka digembleng sendiri oleh Liong-li. Merekapun 

semuanya manis-manis, berusia antara tigapuluh tahunan dan 

mereka ini mudah dikenal karena mereka selalu mengenakan 

baju cerah berkembang dengan warna-warna menyolok. Ada 

yang merah, hijau, kuning, biru dan sebagainya, tidak ada yang


26

sama sehingga kalau gadis-gadis itu berada di pekarangan depan 

rumah melaksanakan pekerjaan membersihkan arca, kolam atau 

menyapu pekarangan, mereka itu seperti kembang-kembang 

besar beraneka warna menambah semarak pekarangan itu.

Akan tetapi pada siang hari itu, setelah dari luar nampak masuk 

dua orang di antara. mereka yang berpakaian hijau dan kuning, 

terdengar bunyi kelinting nyaring dari dalam dan semua 

pembantu yang sedang bekerja, baik yang sibuk di dapur, di 

taman belakang atau di pekarangan, segera memasuki rumah. 

Suara keleningan nyaring merdu itu adalah tanda bahwa mereka 

dipanggil menghadap nona mereka karena ada urusan yang amat 

penting.

Mereka berada di sebelah dalam rumah, di ruangan belakang 

yang luas. Ruangan ini luas sekali dan tidak terdapat banyak 

perabot rumah, kecuali belasan buah bangku kecil di sudut di 

mana mereka kini berkumpul. Dan di dekat bangku-bangku itu 

terdapat pula sebuah rak berisi segala macam senjata. 

Lantainya bersih, temboknya bersih dan hawanya cukup karena 

ruangan ini mempunyai banyak jendela yang dibiarkan terbuka, 

jendela yang menembus pada taman di belakang rumah. Bahkan 

bau semerbak harum bunga memasuki ruangan.

Sebuah lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang amat baik. Bukan 

hanya merupakan ruangan latihan silat, juga tempat ini 

dipergunakan oleh nona majikan mereka untuk mengadakan 

rapat dengan mereka apa bila terjadi perkara penting. Sebelum 

mereka berkumpul di situ, tidak lupa mereka tadi menutup semua


27

pintu luar dan samping dan belakang sehingga tidak akan ada 

orang luar yang dapat masuk mencuri dengar apa yang mereka 

percakapkan di dalam ruangan berlatih silat itu.

Pada hal, mereka tidak pernah merasa khawatir akan ada orang 

luar berani masuk tanpa ijin karena rumah itu dipasangi banyak 

perangkap dan tanda-tanda yang akan memberitahu kepada 

mereka apa bila ada orang asing masuk. Banyak alat rahasia 

dipasang nona mereka. Salah injak lantai saja akan menimbulkan 

bunyi kelenengan. Menyangkut sehelai benang halus dengan kaki 

saja akan menimbulkan bunyi bel dan sebagainya. Belum lagi 

perangkap yang akan membuat orang asing terjeblos ke dalam 

lubang di bawah tanah dan banyak macam lagi.

Hek-liong-li Lie Kim Cu memang baru saja memugar dan 

memperbaiki rumah tempat tinggalnya. Ia kini menjadi seorang 

kaya raya. Setahun yang lalu, bersama Pek-liong-eng Tan Cin 

Hay, rekannya, ia telah berhasil mendapatkan harta karun yang 

tak dapat dinilai berapa besarnya, dan setelah membagi harta 

karun itu dengan Pek-liong-eng, ia menjadi seorang yang kaya 

raya. 

Mungkin kekayaannya tidak kalah dibandingkan dengan hartawan 

atau bangsawan terkaya di Lok-yang! Ia lalu memperbaiki 

rumahnya, dan kini di dalam rumah itu bagaikan istana saja, 

dengan perabot rumah yang serba indah dan mahal.

Ketika para gadis pembantunya yang oleh penduduk Lok-yang 

disebut sebagai Hwa I Kiu-nio (Sembilan Nona Baju kembang) 

berlarian datang memasuki ruangan latihan silat itu, Hek-liong-li


28

Lie Kim Cu atau disingkat Liong-li (Nona Naga) sudah berada di 

situ, duduk di atas sebuah kursi gading yang indah sedangkan 

dua orang di antara para pembantunya, yaitu yang berpakaian 

kuning dan hijau sudah duduk di atas bangku, di depannya. 

Wajah mereka nampak serius, membuat mereka yang 

berdatangan merasa tegang.

Setelah sembilan orang pembantunya berkumpul dan duduk di 

depannya dengan jajaran rapi, tenang dan penuh perhatian, 

Liong-li berkata dengan lirih namun jelas. 

“Aku memanggil kalian untuk mendengarkan pengalaman enci 

Kuning dan enci Hijau.” Ia menoleh kepada dua orang pembantu 

itu, “Kalian ceritakan kembali apa yang telah kaualami tadi.” 

Liong-li selalu menyebut enci (kakak perempuan) kepada 

sembilan orang pembantunya, dengan menyebutkan warna 

pakaian mereka, dan sebaliknya, para pembantu itu menyebutnya 

Li-hiap (Pendekar Wanita).

Dua orang pembantu itu lalu menceritakan pengalaman mereka 

ketika mereka bertugas mencari daun-daun obat yang dibutuhkan 

nona mereka ke Bukit Kuil. Bukit itu disebut Bukit Kuil karena ada 

kuilnya yang kuno dan sudah tidak dipergunakan lagi itu. Di bukit 

itu memang terdapat banyak tumbuh-tumbuhan obat dan kedua 

orang wanita ini sudah hafal akan keadaan di dalam hutan di 

bukit itu karena seringnya mereka ditugaskan mencari daun dan 

akar obat. 

Semua pembantu mendengarkan dengan asyik, dan Liong-li 

sendiri, walaupun tadi telah menerima laporan, kini


29

mendengarkan lagi penuh perhatian dan ia duduk di atas kursi 

gading itu sambil termenung. Bukan main cantiknya ketika ia 

duduk seperti itu. Pakaiannya, yang terbuat dari sutera hitam itu 

membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak putih dan 

halus mulus, lebih putih dari pada warna gading kursi yang 

didudukinya. Wajahnya yang bulat telur dengan dagu meruncing 

itu nampak cerah. 

Mulut yang kecil dangan bibir merah yang selalu basah itu tak 

pernah ditinggalkan bayangan senyum. Lesung pipinya mudah 

muncul, dan tahi lalat kecil di bawah mata kiri menjadi pemanis. 

Seorang wanita berusia duapuluh lima tahun yang mungil, cantik 

jelita dan manis. 

Apa lagi melihat tubuh yang padat berisi itu, dengan lekuk 

lengkung yang sempurna, menggairahkan dan penuh kewanitaan 

yang hangat. Sukar membayangkan betapa di bawah kulit halus, 

di dalam tubuh yang menggairahkan itu tersembunyi kekuatan 

dahsyat dan ilmu silat yang maut! Rambutnya digelung tinggi, 

dihias tusuk konde perak berbentuk seekor naga kecil di atas 

bunga teratai. 

Walaupun ia kaya raya, namun Liong-li tidak suka mengenakan 

perhiasan emas permata yang serba mahal. Bahkan hiasan 

rambutnya itu dari perak dan satu-satunya perhiasan yang 

terhitung mahal hanya sebuah gelang batu kemala hijau yang 

dipakai di lengan kirinya.

Setelah si baju hijau dan baju kuning selesai menceritakan 

pengalaman mereka, tujuh orang pembantu lain mengerutkan


30

alis. Mereka kelihatan penasaran mendengar betapa dua orang 

kawan mereka dikalahkan orang. Wanita baju ungu yang 

merupakan pembantu tertua, segera berkata kepada Liong-li 

dengan penuh semangat.

“Li-hiap, biarkan kami beramai pergi ke Bukit Kuil dan menghajar 

kawanan perampok itu!” 

Kawan-kawannya mengangguk membenarkan. Ingin mereka 

menebus kekalahan dua orang kawan mereka!

Akan tetapi Liong-li menggeleng kepalanya. “Aku memanggil 

kalian agar kalian tahu duduknya perkara. Akan tetapi, bukan 

kewajiban kalian untuk menghadapi perkara ini, melainkan akan 

kuhadapi sendiri. Ada dua hal amat menarik hatiku, yaitu adanya 

dua orang berkedok hitam itu, dan pria yang menjadi tawanan itu. 

“Kalau dua orang itu berkedok hitam, itu berarti bahwa mereka 

hendak menyembunyikan keadaan diri mereka, dan jelas bahwa 

mereka bukanlah perampok-perampok biasa. Tentu ada hal lain 

tersembunyi, ada rahasia di balik semua. 

“Apa lagi kalau diingat betapa mereka itu dalam belasan jurus 

sudah mampu mendesak Huang-ci (Enci Kuning) dan Ching-ci 

(enci Hijau ). Ingin aku membuka kedok mereka dan mengetahui 

siapa mereka dan apa maksudnya mereka bersikap penuh 

rahasia itu. Dan kedua adalah tawanan itu. Agaknya dia seorang 

pendekar yang baik budi dan gagah perkasa!”

“Bagaimana Li-hiap dapat menduga demikian?” tanya si baju 

ungu, juga yang lain ingin tahu karena mereka semua sudah


31

mengenal nona mereka yang selain lihai sekali ilmu silatnya, juga 

amat cerdik.

“Hemm, mudah saja. Dia sudah menjadi tawanan dan dibelenggu 

kaki tangannya, namun dia masih berani melawan, itu tandanya 

dia gagah perkasa. Dia mencoba untuk menyelamatkan enci 

Hijau dan enci Kuning dan menganjurkan mereka cepat melarikan 

diri, ini menunjukkan bahwa dia seorang pendekar yang baik hati. 

Tentu dia merasa bahwa kalau sampai kedua enci tertawan 

musuh atau tewas, maka hal itu disebabkan karena kedua enci 

berusaha menolongnya. Tentu hal itu akan mendatangkan 

perasaan tidak enak di hati seorang pendekar. 

Karena itu, selain ingin tahu, siapa adanya dua orang berkedok 

hitam itu, akupun ingin tahu siapa adanya pria gagah perkasa itu. 

Nah, kalian jagalah rumah baik-baik. Kalau ada tamu mencariku, 

katakan bahwa sore nanti atau malam nanti aku tentu sudah 

pulang. Nah, persiapkan air untuk mandi, beri wangi-wangian. 

Aku ingin badanku sejuk dan segar dalam menghadapi 

kemungkinan bahaya!”

Kurang lebih satu jam kemudian, Liong-li sudah keluar dari 

rumahnya, mengenakan pakaian serba hitam dari sutera halus. 

Kulit muka, leher dan tangannya nampak segar kemerahan 

karena baru saja digosok dengan kuat ketika ia mandi. 

Wanita ini hampir tidak pernah mempergunakan bedak atau 

pemerah pipi dan bibir. Memang tidak perlu, kecuali kalau dalam 

suatu peristiwa penting, misalnya kalau ia diundang ke dalam 

pesta keluarga bangsawan di Lok-yang dan sebagainya.


32

Dalam keadaan biasa, ia tidak pernah menggunakan bedak dan 

gincu. Kulit mukanya sudah cukup putih mulus dan segar 

kemerahan. Kedua pipinya yang baru digosoknya ketika mandi 

tadi nampak kemerahan seperti buah delima masak, sepasang 

bibirnya juga sudah merah basah tanpa gincu. 

Ia mengenakan baju yang agak longgar dan panjang sehingga 

pedang Hek-liong-kiam yang tergantung tinggi di pinggangnya itu 

tidak terlalu menyolok. Sepatunya juga berwarna hitam karena 

pakaian yang serba hitam ditambah rambutnya yang juga amat 

hitam itu, maka perhiasan rambut terbuat dari perak itu kelihatan 

amat menyolok, juga kulitnya nampak putih mulus.

Begitu keluar dari rumahnya, tiada hentinya Liong-li harus 

mengangguk dan tersenyum untuk membalas tegur sapa dan 

penghormatan orang kepadanya yang mereka lakukan dengan 

pandang mata hormat dan kagum. Ia lalu mengambil jalan kecil 

yang sunyi agar jangan banyak terganggu, dan setelah berada di 

luar kota Lok-yang, ia lalu cepat menuju ke Bukit Kuil yang 

nampak dari situ.

Tak lama kemudian ia sudah mendaki bukit itu dan ketika tiba di 

tepi hutan, ia meraih ranting pohon dan mengambil sebatang 

ranting sebesar lengannya dan panjangnya kurang lebih satu 

meter, lalu mempergunakan ranting kayu basah ini sebagai 

tongkat. 

Ia sudah mengenal baik bukit ini dan tahu di mana adanya kuil 

tua itu. Bahkan ia melalui jalan setapak yang hanya dikenal oleh


33

orang yang sudah biasa melaluinya, jalan yang sukar akan tetapi 

jauh lebih dekat dari pada kalau melalui jalan biasa yang lebar.

Sementara itu, Cian Hui atau Cian Ciang-kun dimasukkan ke 

dalam sebuah ruangan di belakang kuil tua. Ruangan itu kotor 

penuh debu dan sarang laba-laba. Dia duduk di atas lantai. 

Kedua lengannya dibelenggu ke belakang pinggulnya, dan kedua 

kakinya dibelenggu pula dengan rantai sehingga kedua kaki itu 

hanya dapat direnggangkan selebar satu meter saja. Dia dapat 

berjalan, akan tetapi gerakannya amat terbatas karena kedua 

tangan diikat ke belakang. 

Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya. Ketika dia melihat 

bahwa dua orang wanita manis ini dapat lolos dari ancaman 

bahaya, Cian Hui merasa girang bukan main. Dia hanya dibiarkan 

duduk di dalam ruangan itu, tidak diganggu dan para perampok 

itu hanya berjaga di luar ruangan, siap dengan senjata mereka. 

Dua orang berkedok itu setelah melihat dia berada di ruangan itu, 

lalu berkata kepada para perampok agar dia dijaga baik-baik 

jangan sampai lari.

“Kalau dia mengamuk lagi, kalian bunuh saja dia!” kata si kedok 

hitam yang kurus, kemudian keduanya pergi dan sampai tiga jam 

lamanya tidak pernah muncul. Pernah dia bertanya kepada para 

perampok yang berjaga di luar dan pertanyaan itu dia tujukan 

kepada si kepala perampok yang bermuka berewok.

“Hai, Berewok! Kalian sudah mengambil kudaku, kenapa aku 

masih ditahan di sini? Apa yang hendak kalian lakukan dengan 

aku?”


34

Dengan wajah geram Si berewok itu menjawab. “Jangan banyak 

mulut kau! Atau kau ingin kami menggebukimu seperti anjing 

sehingga engkau tidak mampu mengeluarkan suara lagi?”

Cian Hui tertawa bergelak, suara ketawanya menembus keluar 

dari kuil itu. “Ha-ha- ha-ha! Kalian ini perampok-perampok busuk, 

penjahat-penjahat kecil yang berlagak besar. Aku tahu bahwa 

kalian ini adalah antek-antek saja dari dua orang berkedok hitam 

tadi. Engkau tidak akan berani menggangguku tanpa si kedok 

hitam, Berewok! Karena itu katakan saja, siapa mereka dan apa 

yang mereka kehendaki dariku. Kalau engkau mengaku, kelak 

kalau aku dapat menundukkan mereka, tentu akan 

kupertimbangkan dosamu!”

“Manusia sombong! Engkau sudah seperti anjing dirantai, tinggal 

kita angkat tangan bunuh saja, dan engkau masih banyak lagak? 

Hayo kalau memang engkau berani, berontaklah. Cobalah 

engkau mengamuk, hemm...... aku akan senang sekali mencabik-

cabik perutmu agar ususmu berantakan!” Si Berewok marah 

sekali. Akan tetapi yang ditantangnya hanya tertawa bergelak.

Pada saat itu terdengar derap kaki kuda di luar. “Toa-ko, kenapa 

harus melayani orang sombong ini? Lebih baik lagi kalau toa-ko 

mencoba lagi menunggangi kuda setan hitam itu sampai berhasil. 

Lihat, ia sudah mulai kelaparan dan lari memutari pohon dengan 

tidak sabar.” 

Cian Hui diam-diam merasa sedih. Kudanya akan dipaksa untuk 

menjadi kuda tunggangan si berewok ini, dan untuk menjinakkan 

kuda itu, mereka menggunakan cara membuat kuda itu


35

kelaparan. Hem, aku harus membuat perhitungan untuk itu, 

pikirnya.

Si berewok lalu keluar dari tempat penjagaan di depan ruangan 

itu. Dan Cian Hui bersiul. Siulnya seperti siul iseng saja, akan 

tetapi diam-diam dia memberi isyarat kepada kudanya yang 

berada di luar kuil. Kuda itu peka sekali terhadap suara siulnya 

dan kalau mendengar siulnya itu, kuda itu tentu akan menjadi 

tenang. 

Dan memang perhitungannya itu tepat. Kuda hitam itu tadinya 

dicancang pada sebatang pohon dan ia selalu gelisah. Bahkan 

karena merasa lapar, kuda itu berlarian mengelilingi pohon dan 

mencoba untuk membikin putus kendali yang mengikatnya. Akan 

tetapi, begitu Si Berewok muncul dan ia mendengar suara siulan 

itu. Kuda Hitam berhenti berlari dan ia menjadi tenang dan jinak. 

Bahkan ketika kepala perampok itu mendekatinya dan mengelus 

lehernya, ia diam saja.

“Nah, kuda yang baik, engkau jinaklah dan menjadi kuda 

tungganganku. Nanti kuberi rumput yang paling enak!” kata si 

berewok, perlahan-lahan melepaskan ikatan kuda itu dari pohon. 

Melihat betapa kuda itu tetap jinak, Si Berewok mengira bahwa 

kuda itu memang betul sudah dapat ditundukkan dan dijinakkan 

dengan membiarkan ia kelaparan. Maka dengan girang diapun 

melompat ke atas punggung kuda. Disuruhnya kuda itu berjalan, 

dan semua ini diturut dengan taat oleh kuda hitam. Si Berewok 

menjadi semakin girang dan bangga.


36

“Ha-ha-ha, aku sudah berhasil menjinakkannya! Ha-ha-ha!” Dia 

tertawa-tawa dan berteriak-teriak, lalu dia menarik kendali 

kudanya dan Si kuda Hitam pun lari ke depan.

Akan tetapi tiba-tiba saja, telinga kuda itu bergerak-gerak dan 

pendengarannya yang peka telah menerima isyarat melalui siulan 

majikannya! Dia lalu tiba-tiba membalik sehingga mengejutkan Si 

Berewok.

“Eh? Kenapa kembali?” Dia mencoba untuk menarik kendali akan 

tetapi tetap saja kuda itu tidak menurut dan berlari seperti 

kemasukan setan menuju ke kuil. Akhirnya Si berewok 

membiarkan saja, hanya memegang kendali dengan kuat dan 

menjepit perut kuda dengan kedua pahanya agar jangan sampai 

dia terpental jatuh.

Kuda Hitam itu berlari terus dan setelah tiba di depan kuil, kepala 

perampok mencoba untuk menarik kendali agar kuda itu berhenti 

berlari. Akan tetapi, kuda itu tidak berhenti, bahkan memasuki

pekarangan kuil, terus melompat dan masuk ke dalam pintu kuil 

yang lebar dan tidak berdaun pintu lagi itu. 

Tentu saja Si Berewok menjadi heran dan juga mulai takut, akan 

tetapi kuda itu berlari terus menuju ke arah suara siulan yang 

memanggilnya! Dia berlari melalui lorong, menerjang sebuah 

meja tua, melompati segala penghalang dan memasuki ruangan 

belakang! 

Setelah tiba di depan kamar di mana Cian Hui ditawan, barulah 

dia berhenti, mendengus-dengus. Cian Hui terus bersiul dan kuda


37

itu tiba-tiba meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan, 

menggoyang-goyang tubuhnya. 

Tentu saja Si Berewok yang berada di punggungnya terguncang-

guncang, akan tetapi kepala perampok ini juga seorang ahli 

menunggang kuda. Dia masih dapat duduk terus di punggung 

kuda, mencengkeram bulu tengkuk kuda itu dan menempel terus 

seperti seekor lintah! 

Anak buahnya yang melihat kuda itu mengamuk, pergi menjauh 

akan tetapi mereka memberi semangat kepada kepala rampok itu 

untuk terus bertahan dan agar jangan sampai terlempar dan 

terbanting!

Kuda itu terus meloncat-loncat seperti kemasukan setan, 

punggungnya dilengkungkan dan akhirnya diapun merebahkan 

diri ke samping! Melihat ini, Si Berewok terkejut sekali. Kalau 

kuda itu bergulingan, tentu dia akan terhimpit dan mampus! 

Maka, ketika kuda itu merebahkan diri, diapun meloncat turun. 

Begitu meloncat turun, kuda hitam itu menyepak dengan kaki 

belakangnya.

“Bukkkk!!” Pinggul dan paha Si berewok kena disepak. Tubuhnya 

terlempar dan terbanting pada dinding dan diapun roboh dan 

mengaduh-aduh, kepalanya pening, pinggulnya seperti remuk 

rasanya, seluruh tubuh, seperti memar dan semua tulang seperti 

patah-patah.

“Kuda setan! Kuda terkutuk......!” Dia memaki-maki dan Cian Hui 

tertawa bergelak. Setelah Cian Hui berhenti bersiul, kuda itupun 

menjadi tenang dan jinak kembali!


38

Pada saat itu, di luar terdengar bunyi roda kereta. Si Berewok 

yang agaknya baru tahu bahwa dia dipermainkan oleh 

tawanannya dan hendak marah, menunda kemarahannya dan 

diapun bangkit menyambut. Munculah dua orang berkedok hitam 

itu.

“Keretanya sudah siap. Bawalah dia dan lakukan seperti yang 

telah kami perintahkan!” kata yang bertubuh besar kepada kepala 

perampok yang mengangguk.

“Bagaimana dengan kuda iblis itu?” tanya si berewok kepada dua 

orang berkedok hitam.

“Tinggalkan di sini, biar kami yang urus. Nah, berangkatlah dan 

hati-hati jangan sampai dia lolos!”

Si Berewok lalu masuk ke dalam kamar, memegang lengan Cian 

Hui dan menariknya bangkit berdiri. Cian Hui bersikap tenang, 

akan tetapi dia memandang kepada dua orang berkedok hitam 

itu. 

“Sobat, sungguh aku tidak mengerti apa yang kaukehendaki ini! 

Mengapa kalian bersikap pengecut, tidak memperkenalkan diri? 

Dan kalau memang aku ini musuhmu, mengapa tidak kaubunuh 

saja aku? Bukalah kedok kalian dan perkenalkan dirimu 

kepadaku!”

Akan tetapi, dua orang berkedok hitam itu hanya memberi isyarat 

kepada kepala perampok itu.


39

“Hayo berangkat, jangan banyak cerewet kau!” bentak kepala 

perampok dan bersama belasan orang anak buahnya, dia 

menyeret Cian Hui yang tidak berdaya itu keluar dari dalam kuil.

Ketika tiba di luar kuil, Cian Hui melihat sebuah kereta dengan 

dua ekor kuda siap di situ, sebuah kereta yang tidak besar dan 

yang tertutup. Matahari telah naik tinggi dan udara cerah sekali. 

Cian Hui bersikap tenang. Kalau dia dibawa pergi dari tempat ini, 

dengan kereta, berarti masih banyak kesempatan baginya untuk 

mencoba meloloskan diri dari cengkeraman mereka. 

Kalau berada di tempat sepi seperti ini, tentu saja tidak mungkin 

dia lolos, walaupun dia dapat memerintahkan kuda hitam untuk 

membantunya. Terdapat bahaya kuda yang disayanginya itu akan 

terbunuh dan diapun tidak akan mampu meloloskan diri dengan 

kaki dan tangan terbelenggu seperti itu. Akan tetapi kalau kereta 

ini melewati tempat ramai, dan kemungkinan ini besar sekali, dia 

tentu akan dapat melompat keluar dan memberontak. Tentu hal 

ini akan menarik perhatian orang-orang dan dia mendapat 

kesempatan untuk diselamatkan.

Si berewok melangkah lebar ke arah kereta sambil menarik 

lengan Cian Hui, kemudian membentak. “Nah, masuklah, atau

engkau lebih suka diseret masuk seperti seekor babi?” 

Dia menyingkap tirai kereta dan membuka pintunya dan...... tiba-

tiba dia terbelalak, karena di dalam kereta itu nampak duduk 

seorang wanita yang cantik sekali, seorang wanita yang 

berpakaian serba hitam dan yang tersenyum.


40

“...... eh, dewi...... eh, babi...... ah, cantiknya, manisnya........ ah, 

siapakah engkau dan bagaimana.......?” Kepala rampok berewok 

itu menjadi gagap dan salah tingkah karena dia sudah terpesona 

melihat wanita berpakaian serba hitam itu. 

Memang seorang yang mempesonakan! Bukan hanya cantik jelita 

dan manis sekali, wajahnya nampak putih kemerahan dan mulus 

karena pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, akan tetapi 

juga wajah itu demikian segar dan cerah, senyumnya memikat 

dan seluruh ruangan kereta berbau harum seolah wanita itu 

setangkai bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya.

Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang manis 

sekali, dan sebatang ranting yang dipegangnya, ditodongkannya 

ke arah hidung si berewok,

“Engkaulah babinya! Babi berewok!”

“Apa......, apa kaubilang.....?” Si berewok tergagap karena dia 

masih terpesona, juga terkejut karena tidak menduga akan 

melihat seorang wanita secantik bidadari di dalam kereta itu. 

Suara wanita itu demikian merdunya, akan tetapi kata-katanya 

sungguh tidak enak didengar!

“Aku bilang engkau babi berewok yang sekarat!” Wanita itu 

berkata dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, ranting di tangannya itu 

meluncur ke arah leher si berewok. Kepala rampok itu makin 

terbelalak, mengeluarkan pekik kesakitan dan diapun roboh 

terjengkang dan tubuhnya berkelonjotan dalam sekarat!


41

Melihat pimpinan mereka roboh dan berkelonjotan, belasan orang 

anak buah perampok. itu menjadi terkejut dan marah. Mereka 

semua mencabut senjata dan mengepung kereta itu. Kusir kereta, 

seorang laki-laki tinggi kurus juga sudah meloncat turun dan 

mengayun cambuknya sambil membentak, 

“Haiiii! Bagaimana engkau bisa berada di dalam keretaku?”

Akan tetapi wanita itu berseru dengan suaranya yang merdu, 

“Kalian ini tikus-tikus kecil minggir, biar aku bertemu dengan dua 

ekor tikus besar berkedok itu!” 

Tubuhnya meloncat dari kereta dan bagaikan seekor burung 

garuda saja, tubuh itu sudah meluncur keluar dan melayang ke 

arah dua orang berkedok yang tadi memandang dengan mata 

terbelalak kaget. Dua pasang mata yang tajam dan yang 

mengintai dari lubang kain penutup muka itu. 

Begitu melihat wanita cantik berpakaian serba hitam itu meloncat 

bagaikan terbang ke arah mereka, dua orang berkedok itu sudah 

menyambut dengan pedang mereka. Seorang menusukkan 

pedangnya ke arah perut dan seorang lagi membacokkan pedang 

ke arah leher wanita cantik itu! Betapa cepat, kuat dan juga 

kejamnya serangan mereka itu. Agaknya mereka tidak ingin 

banyak bicara lagi dan langsung menyambut wanita itu dengan 

serangan mereka.

Cian Hui memandang dengan muka agak pucat dan mata penuh 

kekhawatiran. Dia tahu akan kelihaian dua orang berkedok itu 

dan mengkhawatirkan keselamatan wanita cantik, sedangkan dia 

sendiri dalam keadaan tidak berdaya sama sekali!


42

Diapun merasa terheran-heran mengapa wanita-wanita belaka 

yang datang bermunculan dan mencoba untuk menolongnya. 

Yang pertama adalah dua orang gadis cantik berbaju hijau dan 

kuning. 

Dan sekarang muncul seorang gadis lain berpakaian serba hitam 

yang jauh lebih cantik lagi dari pada dua gadis cantik pertama itu! 

Dia sendiri dalam keadaan terbelenggu berhasil membantu dua 

orang gadis pertama dan mereka berhasil meloloskan diri dari 

pedang dua orang berkedok itu, akan tetapi bagaimana dia akan 

dapat menyelamatkan gadis berpakaian serba hitam ini?

“Wuuuuttt!” Pedang pertama menyambut dengan tusukan kilat ke 

arah perut.

“Singgg......!” Pedang kedua berdesing membacok ke arah leher.

Dan Cian Ciang-kun terbelalak! Tubuh nona berpakaian hitam itu 

sedang melayang dan disambut dua serangan maut itu, akan 

tetapi dengan gerakan yang lemas dan indah, tubuh itu dapat 

berjungkir balik, membuat pok-sai (salto) sampai empat kali ke 

atas dan dua serangan itupun luput! 

Ketika tubuh meluncur ke bawah, tubuh itu didahului gulungan 

sinar kehijauan, yaitu sinar yang ditimbulkan oleh ranting di 

tangannya yang diputar cepat. Wanita cantik itu kini meluncur 

turun dengan kepala di bawah, dan didahului ranting yang 

diputar, menyerang ke arah dua orang berkedok bagaikan seekor 

naga menyambar turun dari angkasa!


43

Dua orang berkedok itupun terkejut bukan main. Tak mereka 

sangka bahwa gadis. berpakaian hitam itu memiliki kecepatan 

gerakan yang demikian luar biasa, tanda bahwa ia telah memiliki 

gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat 

tinggi. Mereka cepat memutar pedang mereka untuk menangkis.

“Takk! Takk!” Ranting itu bertemu dengan dua batang pedang, 

namun ranting itu tidak patah, sebaliknya, dua orang berkedok itu 

berloncatan ke belakang karena ranting yang membentur pedang

mereka itu terpental menyerong dan menotok ke arah 

pergelangan tangan mereka. Nyaris totokan itu mengenai 

sasaran. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan maklum 

bahwa gadis berpakaian hitam itu memang lihai bukan main.

“Hek.... Liong... Li...?” Seru seorang di antara mereka yang 

bertubuh lebih besar.

Wanita cantik itu memang Lie Kim Cu yang berjuluk Hek-liong-li 

(Wanita Naga Hitam). Namanya bukan saja terkenal di daerah 

Lok-yang di mana ia tinggal, akan tetapi juga terkenal di dunia 

kang-ouw sebagai seorang wanita sakti yang pernah merobohkan 

dua orang di antara Kiu Lo-mo!

Liong-li tersenyum manis dan menudingkan rantingnya kepada 

dua orang berkedok hitam itu. “Kalian dua ekor anjing pengecut! 

Hayo buka kedok kalian dan perkenalkan diri kepadaku, ataukah

aku yang harus membuka kedok kalian itu dengan ranting di 

tanganku ini?”

Dua orang berkedok itu kini yakin bahwa mereka berhadapan 

dengan Hek-liong-li dan biarpun mereka berkedok, namun jelas


44

mereka itu nampak jerih, nampak dari gerakan tangan mereka 

yang gelisah.

“Kepung dan keroyok!” tiba-tiba mereka berteriak kepada belasan 

orang perampok itu.

Mendengar perintah ini, belasan orang itu lalu menggerakkan 

senjata mereka menyerang Liong-li. Akan tetapi, wanita cantik ini 

menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw, menghindarkan diri 

dan menyusup di antara hujan senjata, mengejar dua orang 

berkedok itu. Dua orang berkedok itu segera menyambutnya 

dengan serangan pedang, dibantu oleh para perampok.

Melihat betapa wanita cantik jelita itu ternyata adalah Hek-liong-li 

seperti yang tadi juga sudah diduganya, Cian Hui kagum dan 

gembira bukan main. Akan tetapi juga dia merasa khawatir. Dua 

orang berkedok itu lihai sekali dan mereka berdua 

mempergunakan senjata pedang, sedangkan Liong-li hanya 

bersenjata sebatang ranting! Di samping itu masih ada lagi 

belasan orang perampok yang mengeroyok wanita itu.

Timbul kekhawatiran di dalam hati Cian Hui. Bagaimanapun juga, 

kehebatan ilmu kepandaian wanita yang dijuluki Hek-liong-li itu 

baru didengarnya saja dan biarpun tadi dia kagum melihat betapa 

wanita itu membuat dua orang berkedok nampak gentar, namun 

ia masih meragukan apakah dengan hanya senjata ranting di 

tangan itu Hek-liong-li akan mampu mengalahkan dua orang 

berkedok yang dibantu belasan orang anak buah perampok.

“Suiiiittt......suiitt...... suiiiitttt!” Tiba-tiba Cian Ciang-kun 

mengeluarkan suara siulan nyaring melengking.


45

Itu merupakan siulan perintah dari kuda hitamnya. Kuda hitam itu 

masih dicancang di belakang kuil, akan tetapi begitu mendengar 

suara siulan ini, dia meronta dan tali pengikatnya putus, lalu dia 

lari congklang mengitari kuil menuju ke depan di mana terjadi 

perkelahian.

Cian Hui sendiri telah meloncat ke depan, kedua lengannya 

dibelenggu di belakang tubuh sehingga dia tidak dapat 

mempergunakan kedua tangan. Akan tetapi, kedua kakinya diikat 

dengan rantai yang panjangnya sekira satu meter antara kedua 

kakinya. Biarpun hal ini tidak memungkinkan dia untuk melakukan 

tendangan dengan sebelah kaki, namun dia dapat bergerak 

leluasa dengan kedua kakinya dan diapun kini meloncat dan 

kedua kakinya mendarat di dada seorang anggauta perampok.

“Desss......!” Anggauta perampok itu terjengkang dan tak mampu 

bangkit kembali karena selain dadanya dihantam dua buah kaki 

itu, juga ketika dia terjengkang, tubuh Cian Hui yang tegap tinggi 

itupun menimpa perutnya! Cian Hui bangkit lagi dan dengan cara 

yang sama, yaitu menendang dengan kedua kaki sambil 

meloncat ke depan, dia mengamuk! 

Di dekatnya, Hek-ma (Kuda Hitam) juga meringkik-ringkik, 

mengangkat kedua kaki depan ke atas dan menyerang perampok 

terdekat! Atau kalau kedua kaki depannya turun, kedua kaki 

belakang menyepak ke belakang dengan kekuatan yang dapat 

membuat orang yang disepak terlempar sampai beberapa meter 

jauhnya!


46

Sejenak Liong-li melirik ke arah pria tinggi tegap yang mengamuk 

bersama kudanya itu dan sinar kagum memancar dari sepasang 

mata yang indah dan jeli itu. Akan tetapi segera Liong-li 

mencurahkan perhatiannya kepada dua orang lawannya. Ia harus 

dapat membuka kedok mereka dan membuka rahasia mereka. 

Siapa mereka itu dan apa maksudnya menangkap dan menawan 

pria yang gagah itu, dan iapun ingin tahu siapa pria gagah 

perkasa itu.

Melihat betapa Hek-liong-li hanya memegang sebatang ranting, 

tidak mempergunakan pedangnya yang amat terkenal sebagai 

pusaka ampuh, yaitu yang disebut Hek-liong-kiam. (Pedang Naga 

Hitam), hati kedua orang berkedok itu menjadi besar. Mereka 

baru dapat merobohkan Liong-li selagi wanita itu 

mempergunakan rantingnya, dan belum sempat mempergunakan 

pedang pusakanya. Oleh karena itu, mereka berdua segera 

menubruk ke depan dan menyerang dengan pedang mereka 

secara dahsyat sekali.

Akan tetapi, dengan menggunakan ilmu langkah ajaib Liu-seng-

pouw, Liong-li seperti menari-nari saja dan selalu lolos dari 

sambaran sinar pedang. Bahkan beberapa kali ujung rantingnya 

yang menghadang, nyaris berhasil menotok pergelangan atau 

siku lengan lawan sehingga dua orang berkedok itu menjadi 

terkejut bukan main dan semakin lama mereka menjadi semakin 

jerih.

Liong-li mempergunakan kesempatan selagi dua orang menjadi

gentar itu untuk mendesak. Ranting di tangannya berubah


47

menjadi gulungan sinar kehijauan dan dari gulungan itu kadang-

kadang menyambar sinar ujung ranting.

“Lepaskan kedok itu!” Tiba-tiba Liong-li membentak dan ujung 

rantingnya menusuk ke arah muka orang itu dengan getaran yang 

membuat ujung ranting seperti berubah menjadi dua dan 

menyambar ke arah sepasang mata orang yang lebih besar 

tubuhnya. 

Orang itu terkejut sekali. Matanya terancam dan kalau sampai 

terkena tusukan ujung ranting, tentu kedua mata atau satu 

diantaranya akan menjadi buta! Dia menarik kepala ke belakang 

untuk mengelak, akan tetapi ujung ranting itu menusuk dan 

mengait kedok hitam sehingga terlepas dan nampak wajah orang 

itu. Saat itu, tangan kiri Liong-li bergerak menyambar ke depan 

dan robohlah orang itu dengan tubuh terkulai lemas!

Melihat ini, orang kedua yang tubuhnya juga tinggi besar, akan 

tetapi tidak sebesar orang pertama, menjadi terkejut dan 

ketakutan. Dia lalu melompat hendak melarikan diri.

“Hemm, hendak lari ke mana engkau?” I.iong-li membentak 

dengan suara halus, tangan kanannya bergerak dan ranting 

itupun meluncur bagaikan anak panah.

“Cappp!” punggung belakang pundak kanan si tinggi besar 

berkedok itu tertusuk ranting dan diapun roboh.

Melihat dua orang lawannya sudah roboh., Liong-li lalu 

memperhatikan pria gagah yang dalam keadaan terbelenggu kaki


48

tangannya masih mampu mengamuk itu. Dan iapun disuguh 

pemandangan yang amat menarik, mengagumkan hatinya. 

Pria itu mengamuk, meloncat dan menendang dengan kedua 

kakinya, tentu saja setiap kali menendang, kena atau tidak, 

tubuhnya terbanting ke atas tanah. Juga kuda hitam itu 

mengamuk membantu majikannya, menyepak, menubruk, 

menggigit! Belasan orang perampok itu benar-benar menghadapi 

kuda dan pemilik kuda yang nekat. Namun, pria itu juga 

menderita luka dan tubuhnya berdarah bekas bacokan golok. 

Melihat hal itu, Liong-li lalu meloncat dan dua kali tangannya 

menampar, dua orang perampok terpelanting roboh. Beberapa 

kali kakinya terayun dan beberapa orang roboh pula dan 

akhirnya, semua perampok yang berjumlah belasan orang itupun 

roboh semua!

Cian Hui sudah bersiul panjang menenangkan kuda hitamnya 

yang kini mendekatinya dan mendengus-dengus, dan setelah 

perampok terakhir roboh oleh Liong-li. Kini dia dan wanita itu 

berhadapan dan, saling pandang. Sejenak keduanya seperti 

terpesona, saling pandang penuh kagum, kemudian Cian Hui 

berkata dengan senyum cerah.

“Hek-liong-li, alangkah senangnya mendapat kesempatan 

menjadi saksi akan kehebatanmu! Aku memang sedang 

mencarimu menuju ke Lok-yang, dan siapa sangka, engkau pula 

malah yang telah menyelamatkan aku dari ancaman maut!”

“Siapakah engkau dan ada kepentingan apakah mencariku?” 

tanya Hek-liong-li dan segala penyelidikan pandang matanya


49

terhadap diri pria itu mendatangkan kepuasan. Seorang pria yang 

jantan dan perkasa, bisiknya dalam hati.

“Namaku Cian Hui dan aku datang dari kota raja. Ada urusan 

penting sekali yang mendorongku ke Lok-yang untuk mencarimu, 

li-hiap (pendekar wanita). Akan tetapi sampai di sini, aku 

dihadang dan ditawan oleh dua orang berkedok itu.”

“Siapakan mereka itu?”

“Aku sendiripun ingin sekali mengetahui..... heiiii...! Tahan 

dia......!” Tiba-tiba Cian Hui berseru sambil memandang ke depan 

karena kaki tangannya masih terbelenggu. 

Mendengar ini, Liong-li cepat membalikkan tubuhnya dan ia 

melihat bayangan berkelebat meninggalkan tempat di mana dua 

orang berkedok tadi roboh. Liong-li adalah seorang wanita yang 

teramat cerdas. Sekilas saja ia sudah menduga bahwa tentu Cian 

Hui tadi terkejut melihat bayangan itu melakukan sesuatu, entah 

apa. Akan tetapi hal itu cukup membuat ia meloncat seperti 

terbang cepatnya melakukan pengejaran. 

Akan tetapi, bayangan itu sudah lenyap di balik pohon-pohon dan 

biarpun Liong-li mengerahkan gin-kang sehingga tubuhnya berlari 

bagaikan terbang, tetap saja ia tidak dapat menemukan lagi 

bayangan itu yang menghilang seperti iblis saja! Terpaksa ia 

kembali ke tempat tadi dan ketika ia membungkuk untuk 

memeriksa tubuh dua orang berkedok itu, ternyata mereka telah 

tewas dan muka mereka hancur dan tidak dapat dikenal lagi!


50

“Keparat!” Liong-li memaki sambil mengepal tinju dan menoleh ke 

arah lenyapnya bayangan tadi. 

Cian Hui meloncat-loncat seperti katak menghampiri dan melihat 

keadaan pria jantan itu, Liong-li lalu memungut sebatang golok 

milik perampok dan membabat putus belenggu kaki tangan Cian 

Hui. Cian Hui tidak memperdulikan luka yang dideritanya di 

pinggul dan pundak, dan dia cepat berlutut memeriksa mayat dua 

orang berkedok itu.

“Aih, sayang.” Dia menarik napas panjang. “Sungguh iblis itu lihai 

sekali. Tentu ada rahasia yang amat gawat sehingga dia datang 

dan selain membunuh dua orang berkedok ini, juga merusak 

mukanya sehingga tidak akan dapat dikenal lagi! Ini saja 

menunjukkan bahwa tentu ada hubungannya dengan rahasia 

yang meliputi pembunuhan di kota raja!”

“Pembunuhan di kota raja? Apa maksudmu?” Liong-li bertanya 

dan menatap wajah pria itu dengan tajam penuh selidik.

Cian Hui mengangguk dan kembali menghela napas panjang. 

“Untuk itulah sebenarnya aku pergi ke Lok-yang untuk 

mencarimu, Li-hiap. Kami amat mengharapkan bantuanmu untuk 

membongkar rahasia banyak pembunuhan yang terjadi secara 

aneh di kota raja. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perwira 

pasukan keamanan yang bertugas membasmi kejahatan yang 

terjadi di kota raja.”

“Cian Ciang-kun, tidakkah lebih baik kalau kita bicara di rumahku 

saja? Sekarang, yang terpenting adalah menyelidiki siapa 

sesungguhnya dua orang berkedok ini.”


51

“8ayang mereka sudah tewas dan muka mereka tak dapat 

dikenal......” 

“Kita bisa bertanya kepada anggauta penjahat yang masih hidup,” 

kata Liong-li dan iapun bangkit dan meneliti para penjahat yang 

rebah malang melintang itu. Ada beberapa orang di antara 

mereka yang belum tewas dan seorang yang perutya gendut 

hanya terluka pada kakinya sehingga tidak membahayakan 

keselamatan nyawanya. Akan tetapi, si gendut itu mengaduh-

aduh dan terbelalak ketakutan ketika Liong-li dan Cian Hui 

menghampirinya.

“AMPUN...... ampun..... jangan........!” dia meratap.

“Hemm, dia inilah yang agaknya amat berguna bagi kita, Li-hiap,” 

kata Cian Hui dan Liong-li mengangguk. Dengan cekatan Cian 

Ciang-kun mencengkeram rambut kepala si gendut itu dan 

menariknya bangun. Penjahat itu terduduk dan semakin 

ketakutan.

“Apa engkau tidak ingin mampus?” 

“Ampunkan saya...... ampun.....”

“Kami takkan membunuhmu, akan tetapi katakan siapa adanya 

dua orang berkedok itu!” bentak Cian Hui dan kini jari-jari 

tangannya mencengkeram ke arah pelipis kepala orang itu.

Orang itu merasakan kenyerian luar biasa, lebih nyeri dari pada 

luka di kakinya. Dia menjerit-jerit seperti babi disembelih.


52

“Ampun...... aduh, ampun...... saya tidak tahu... mereka itu...... 

mereka muncul dan menaklukkan pemimpin kami, dan mereka 

menjanjikan hadiah besar. Kami belum pernah melihat mereka 

tanpa kedok......” 

Cian Hui agaknya mempercaya keterangan ini, “Hayo katakan, ke 

mana kalian tadi diperintahkan membawaku dalam kereta itu! 

Awas sekali kau berbohong, kepalamu ini akan kubikin remuk!” 

Kembali dia mencengkeram agak kuat sehingga si gendut itu 

kembali menjerit kesakitan.

“Aduh, ampun...., kami.... kami diharuskan membawa....... Ciang-

kun ke kota raja dan......’

Tiba-tiba terdengar bunyi desing yang kuat. Cian Hui dan Liong-li 

meloncat ke samping dan dua batang benda kecil panjang 

meluncur lewat. Dan terdengarlah teriakan, teriakan mengerikan. 

Liong-li dan Cian Hui terkejut bukan main melihat si gendut yang 

tadi diperiksa dan juga para penjahat yang tadi masih belum 

tewas, setelah mengeluarkan teriakan mengerikan lalu diam tak 

bergerak dan tewas. Tubuh mereka tertembus anak-anak panah, 

seperti yang tadi meluncur dan menyerang mereka.

“Keparat!” Liong-li membentak dan iapun meloncat ke arah dari 

mana datangnya anak¬anak panah tadi. Akan tetapi ia hanya 

melihat semak-semak bergoyang, orangnya yang tadi 

bersembunyi di situ tidak nampak lagi bayangannya. Terpaksa ia 

kembali ke tempat tadi di mana ia melihat Cian Hui termenung.


53

“Sungguh penuh rahasia,” kata perwira itu. “Aku hendak dibawa 

ke kota raja? Dan mereka semua tewas! Orang atau orang-orang 

yang berdiri di belakang semua ini sungguh amat berbahaya, dan 

juga lihai sekali!”

Liong-li tidak menjawab mrelainkan diam-diam ia menghampiri 

mereka yang tadi terluka lalu terbunuh oleh anak panah. Melihat 

macam anak panah, ia berkesimpulan, bahwa setidaknya tentu 

ada dua orang yang tadi menjadi penyerang gelap. Ada enam 

orang anak buah penjahat yang tadinya terluka, kini tewas. 

Jelas bahwa mereka yang berada di belakang layar hendak 

menyimpan rahasia, maka dibunuhnya dua orang yang berkedok 

yang ternyata juga hanya anak buah, dan dibunuhnya pula 

semua anak buah perampok agar mereka tidak dapat memberi 

keterangan apapun. Juga mereka tadi berusaha menyerang 

Liong-li dan dia!

“Mari kita ke Lok-yang, Li-hiap. Akan kulaporkan kepada mereka 

yang berwajib di sana, kemudian kita bicara di rumahmu,” kata 

Cian Hui. 

Liong-li yang mulai tertarik sekali dengan peristiwa itu, 

mengangguk dan mereka mempergunakan kereta yang tadi 

didatangkan oleh dua orang berkedok, meninggalkan tempat itu 

menuju ke Lok- yang.

◄Y►

Cian Hui memandang kagum ketika dia tiba di depan rumah yang 

mungil itu. Liong-li dan dia baru saja pergi ke markas pasukan


54

keamanan di Lok-yang menemui komandannya. Dan tentu saja 

komandan ini terkejut sekali mengenal Cian Ciang-kun dari kota 

raja yang amat terkenal itu datang berkunjung bersama Hek-

liong-li. Apa lagi ketika dia mendengar betapa Cian Ciang-kun 

hampir saja celaka di tangan segerombolan penjahat di Bukit Kuil. 

Mendengar bahwa di sana ada belasan orang penjahat yang 

telah menjadi mayat, komandan itu segera mengirim pasukan 

untuk mengurus mayat-mayat itu dan memerintahkan 

pasukannya untuk mengadakan pembersihan kalau-kalau masih 

ada sisa anak buah perampok di sekitar tempat itu. Cian Ciang-

kun menitipkan kuda hitam yang tadi mengikuti kereta dari hutan 

kepada komandan itu, memesan agar kuda itu diberi makan dan 

dirawat baik-baik. Kemudian, dengan naik kereta yang tadinya 

dibawa para penjahat itu mereka berdua pergi ke rumah Hek-

liong-li.

Rumah itu mungil, tidak terlalu besar namun indah sekali. 

Pekarangannya luas, penuh dengan tanaman bunga beraneka 

warna. Di tengah pekarangan yang penuh bunga itu terdapat 

sebuah kolam ikan, penuh dengan ikan-ikan emas dan di tengah 

kolam yang juga dihias bunga teratai merah putih itu terdapat 

sebuah arca yang ukirannya amat halus. Arca serang puteri yang 

cantik, menunggang seekor angsa. 

Baru melihat keadaan rumah mungil itu saja mudah diduga 

bahwa Hek-liong-li, wanita perkasa yang amat terkenal itu, tentu 

kaya raya! Dan dugaannya itu memang benar. Hek-liong-li 

menjadi kaya raya tanpa diketahui orang ketika setahun yang lalu


55

ia bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay mendapatkan harta karun 

yang tak dapat dinilai harganya saking banyaknya.

Ketika Cian Hui masih mengagumi keadaan rumah dan 

pekarangannya itu, dari dalam bermunculan sembilan orang 

wanita yang memakai pakaian beraneka warna dan cerah, 

dengan wajah mereka manis itu tersenyum gembira dan mereka 

menyongsong Hek-liong-li dengan gembira dan juga penuh 

hormat.

“Li-hiap sudah pulang......!” terdengar mereka berseru gembira 

dan Cian Hui terbelalak ketika dia mengenal dua orang di antara 

mereka, yaitu nona baju hijau dan nona baju kuning yang pernah 

mencoba untuk menolongnya ketika dia menjadi tawanan dua 

orang berkedok. 

Kini mengertilah dia mengapa Hek-liong-li dapat muncul secara 

tiba-tiba dan membebaskannya dari tangan para penjahat itu. 

Tentu nona baju hijau dan nona baju kuning itu yang melapor 

kepadanya dan wanita perkasa itu lalu turun tangan sendiri 

menolongnya! 

“Aih, kiranya dua orang nona yang gagah perkasa berada pula di 

sini......” katanya sambil memberi hormat kepada dua orang gadis 

berpakaian hijau dan kuning itu. Dua orang wanita itu dengan 

tergopoh membalas penghormatan Cian Hui dan si baju hijau 

menjawab dengan tersipu.

“Harap jangan membikin malu kepada kami. Kami telah gagal 

membantumu dan masih baik bahwa nona kami tidak marah 

kepada kami!”


56

Liong-li tersenyum memandang kepada tamunya. “Cian Ciang-

kun, maafkan para pembantuku yang tidak mampu 

membebaskanmu. Marilah kita bicara di dalam. Kalian kenalilah 

baik-baik. Tamu kita ini adalah Cian Ciang-kun, seorang perwira 

tinggi komandan pasukan keamanan dari kotaraja yang 

berkedudukan tinggi!”

“Cian Ciang-kun.......!” sembilan orang wanita cantik itu memberi 

hormat dan suara mereka seperti sekumpulan burung yang 

berkicau merdu.

“Ah, nona-nona yang cantik dan gagah, harap jangan sungkan,” 

Perwira itu membalas penghormatan mereka.

Ketika dibawa memasuki rumah itu, diam-diam Cian Hui menjadi 

semakin kagum dan juga semakin yakin bahwa nona rumah tentu 

kaya raya. Perabot rumah yang terdapat di situ semuanya indah 

dan mahal. Dindingnya dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan 

indah yang dibuat oleh para seniman yang terkenal, tentu amat 

mahal. Lantainya ditilami permadani yang tebal. Sutera-sutera 

halus beraneka warna bergantungan menambah cerah dan 

indahnya keadaan dalam ruangan-ruangan di situ.

Liong-li mempersilakan tamunya memasuki ruangan yang luas, 

yang letaknya di bagian belakang. Ruangan ini luas dan kosong 

dan di sudut ruangan terdapat sebuah rak senjata yang penuh 

dengan segala macam senjata yang kelihatan bermutu tinggi, 

beberapa buah kursi dan sebuah meja panjang berada di sudut 

pula sehingga ruangan itu nampak luas dan mudah diketahui 

bahwa ruangan ini tentulah semacam lian-bu-thia (ruangan


57

berlatih silat) yang indah. Banyak terdapat jendela di situ 

sehingga hawanya sejuk dan nyaman karena jendela-jendela itu 

menembus ke sebuah taman bunga di belakang.

Ternyata bahwa rumah mungil itu dikelilingi taman bunga! 

Pekarangan di depan sudah merupakan taman, di belakang, 

kanan dan kiri juga merupakan taman yang penuh bunga 

beraneka warna! Bahkan di taman belakang yang luas itu 

terdapat pula pondok-pondok kecil mungil tempat peristirahatan. 

Tempat yang indah ini dikelilingi dinding yang tinggi dan di atas 

dinding dipasangi tombak-tombak runcing sehingga sukar bagi 

orang luar untuk masuk melalui dinding pagar itu.

“Silakan duduk, Cian Ciang-kun. Di sini kita dapat bicara dengan 

leluasa dan tidak akan terdengar orang lain,” kata Liong-li setelah 

memerintahkan anak buahnya untuk melakukan tugas mereka. 

Tanpa dijelaskan, sembilan orang gadis cantik itu sudah tahu apa 

yang harus mereka lakukan. Ada yang berjaga di sekitar luar 

ruangan itu, ada yang sibuk di dapur untuk mempersiapkan 

hidangan untuk nona majikan mereka dan tamunya.

Cian Hui menarik napas panjang. “Sudah lama aku mendengar 

nama besar Hek-liong-li, dan sekarang aku merasa kagum bukan 

main. Keadaan Li-hiap sungguh jauh melebihi apa yang pernah 

kudengar.”

“Hemm, jangan terlalu memuji, ciang-kun. Melebihi dalam hal 

apa?”

“Segala-galanya. Kelihaian, kecantikan, kekayaan Li-hiap!”


58

Liong-li tersenyum dan kedua pipinya menjadi kemerahan, tanda 

bahwa pujian itu mengena di hatinya. Diam-diam ia juga kagum 

dan girang sekali mendapat pujian seorang pria seperti yang 

duduk di depannya itu. Ia tahu benar bahwa pujian itu bukan 

sekedar rayuan, melainkan keluar dari hati yang jujur dan tulus.

“Sudahlah, Ciang-kun. Yang terpenting sekarang sebelum kita 

bicara, aku harus mengobati luka-lukamu lebih dulu.” 

“Ah, luka-luka ini tidak seberapa, Li-hiap. Aku dahulu pernah 

menjadi seorang perwira perang sehingga luka-luka bagiku sudah 

biasa......”

“Akan tetapi luka-lukamu itu harus cepat diobati, kalau tidak, 

berbahaya dan dapat menjadi semakin parah. Apa lagi diingat 

bahwa yang melukaimu adalah penjahat-penjahat yang mungkin 

mempergunakan senjata kotor atau beracun. Mari, kau rebahlah 

di atas lantai, akan kuperiksa, ciangkun!” kata Liong-li dan di 

dalam suaranya terkandung perintah yang berwibawa. 

Diam-diam Cian Hui merasa heran sekali mengapa dia merasa 

seperti mendengar perintah atasannya yang tidak mungkin dapat 

dibantah lagi! Dia lalu bangkit dan melangkah ke sudut ruangan, 

merebahkan diri di atas lantai seperti yang diperintahkan Liong-li.

Liong-li bertepuk tangan dua kali. Seorang gadis berpakaian 

merah muncul.

“Ang-cici (enci Merah), cepat ambilkan perabot dan obat untuk 

mengobati luka di tubuh Cian Ciang-kun!”


59

Gadis berpakaian merah itu mengangguk dan pergi. Liong-li lalu 

berlutut dekat Cian Hui dan dengan jari-jari tangan yang cekatan 

dan tidak ragu-ragu, ia merobek baju di bagian pundak, 

memeriksa luka di pundak perwira itu. Kemudian iapun merobek 

celana di bagian pinggul dan memeriksa luka di situ. Sementara 

itu, Enci Merah datang membawa sebuah panci terisi air panas

dan perabot yang berupa gunting, pisau kecil, juga kain putih 

bersih dan obat bubuk beberapa macam dalam bungkusan.

“Sekarang pergi dan suruh enci Biru mengambilkan satu stel 

pakaian luar dalam yang cocok untuk Cian Ciangkun!” kata Liong-

li dan kembali gadis berpakaian merah itu mengangguk lalu 

keluar dari situ tanpa bicara. Nampaknya ia amat patuh dan 

menghormati Liong-li.

Kini Liong-li bekerja. Kedua tangannya amat cekatan, lembut 

namun juga tidak ragu- ragu, mencuci luka-luka itu dengan air 

panas, kemudian menaruhkan obat bubuk putih lalu menutupi 

luka itu dengan semacam obat tempel yang sudah dipanaskan. 

Selama pengobatan ini, Cian Hui tidak pernah mengeluarkan 

keluhan sedikitpun, padahal ketika dicuci terasa panas dan ketika 

dibersihkan terasa perih. Setelah diberi obat dan ditutup koyo, 

baru terasa nyaman.

Ketika merawat luka-luka itu, sepasang mata Liong-li hanya 

ditujukan dan dipusatkan kepada luka itu. Akan tetapi setelah ia 

selesai memberi pengobatan, barulah nampak olehnya betapa 

pundak dan dada perwira itu bidang dan kokoh kuat, sedangkan 

pinggulnya juga penuh otot melingkar dan menunjukkan 

kejantanan yang mengagumkan hatinya.


60

“Nah, bahayanya sudah lewat, Ciang-kun. Untung engkau 

memiliki tubuh yang sehat kuat dan darah yang bersih sehingga 

luka-luka itu akan cepat sembuh dan kering.”

Pada saat itu, seorang gadis berpakaian serba biru memasuki 

ruangan dan menyerahkan setumpuk pakaian kepada Liong-li, 

kemudian ia keluar lagi.

“Ini pakaian bersih, harap engkau suka berganti pakaian dulu, 

baru kita bicara, ciang-kun,” kata pula Liong-li dan wanita ini lalu 

bangkit dan berjalan menuju ke sebuah jendela yang terbuka, lalu 

berdiri di situ dan memandang keluar.

Cian Hui memandang kagum. Bukan main wanita ini, pikirnya dan 

di dalam hatinya timbul suatu kemesraan yang belum pernah 

dialaminya selama hidupnya. Rasa kagum dan haru 

menyelubungi hatinya. Seorang wanita yang matang, memiliki 

kecantikan yang hampir sempurna, ilmu kepandaian tinggi, sikap 

yang anggun dan berwibawa, kaya raya, cerdik jujur terbuka, 

tidak berpura-pura atau bersembunyi di balik kesopanan seperti 

para wanita pada umumnya. 

Wanita hebat! Diapun mengusir semua perasaan sungkan, 

membuka pakaiannya dan berganti pakaian dalam dan luar. 

Pakaiannya yang kotor dan robek-robek itu dia gulung dan 

letakkan di sudut ruangan. 

Pakaian yang dipakainya itu bersih dan baru, terbuat dari sutera 

berwarna biru, cocok sekali dengan bentuk tubuhnya sehingga 

dia merasa heran. Bahkan dia menjadi semakin heran ketika 

merasakan betapa ada sesuatu yang tidak nyaman terasa di

61

hatinya ketika dia membayangkan bahwa mungkin ada seorang 

pria kawan dekat wanita hebat ini, pemilik pakaian yang kini 

dipakainya itu.

Tanpa menengokpun Liong-li maklum bahwa Cian Ciang-kun 

telah selesai berpakaian. Ia memiliki pendengaran yang amat 

tajam sehingga ia dapat menangkap gerakan pria itu ketika 

berpakaian dan selesai. Maka iapun membalikkan tubuhnya 

memandang dan ada pancaran kagum dalam sinar matanya 

memandang kepada Cian Hui yang memang nampak ganteng 

dan gagah dalam pakaian barunya itu.

“Engkau pantas sekali memakai pakaian itu, Ciang-kun!” ia 

memuji jujur sambil tersenyum.

Cian Hui mengangkat kedua tangan depan dada, memberi 

hormat, “Li-hiap, terima kasih atas segala kebaikanmu. Sungguh 

membuat aku merasa sungkan, telah mengganggumu, 

menganggu pemilik pakaian ini. Aku harus menghaturkan terima 

kasih kepada pemilik pakaian yang kupinjam ini.”

“Itu pakaianku!”

“Tapi, ini pakaian pria dan ukurannya besar.”

Liong-li tersenyum manis sekali. “Ciang-kun, di sini aku memiliki 

segala macam pakaian. Memang kusediakan kalau-kalau aku 

membutuhkannya. Ada pakaian kanak-kanak segala umur, laki 

dan perempuan, ada pakaian pria dan wanita segala umur dan 

segala ukuran. Enci biru yang mengurus tentang pakaian itu. 

Maka, jangan khawatir, dan pakaian itu bukan kupinjamkan, biar


62

kaupakai saja, Ciang-kun. Nah, mari kita bicara. Aku ingin 

mendengar tentang keributan dan pembunuhan di kota raja itu.”

Cian Hui menghela napas dan semakin kagum. Wanita yang 

hebat! Diapun mulai bercerita tentang peristiwa yang terjadi di 

kota raja, khususnya di antara para pejabat tinggi dan di istana.

“Aku menerima tugas istimewa dari Sri baginda Kaisar sendiri 

untuk menyelidiki dan membongkar rahasia pembunuhan ini, Li-

hiap. Akan tetapi aku menemui jalan buntu dan tidak berhasil, 

maka aku teringat kepadamu yang sudah kudengar sebagai 

seorang pendekar wanita yang sakti. Aku mohon bantuanmu, 

karena kiranya hanya engkaulah yang akan mampu menandingi 

mereka yang berdiri di belakang layar dan yang mengatur 

pembunuhan-pembunuhan itu.”

Cian Hui lalu menceritakan betapa selama dua bulan ini, di kota 

raja terjadi geger karena terjadinya pembunuhan-pembunuhan 

yang penuh rahasia. Yang menjadi korban pembunuhan adalah 

para pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan tinggi dan 

penting dalam pemerintahan. Juga beberapa orang pangeran 

yang dekat dengan kaisar telah menjadi korban pembunuhan 

pula. 

Cara pembunuhan itu dilakukan penuh rahasia, para korban 

adalah pejabat tinggi yang selalu dikawal pasukan pengawal. 

Rumah mereka siang malam dijaga pasukan pengawal. Akan 

tetapi tetap saja pada suatu pagi mereka ditemukan sudah tewas 

dengan leher putus dalam kamar mereka, bersama siapa saja 

yang kebetulan sekamar dengan mereka malam itu.


63

“Yang paling hebat terjadi dua minggu yang lalu, li-hiap. Seorang 

panglima telah terbunuh dalam kamarnya, pada hal kamar itu 

berada di dalam benteng! Bayangkan saja, pembunuh itu dapat 

memasuki benteng dan dapat membunuh Panglima Cu di 

kamarnya, pada hal panglima itu adalah seorang yang memiliki 

ilmu silat tinggi! Dan dua orang selirnya yang tidur bersamanya 

juga wanita-wanita yang lihai, akan tetapi mereka bertiga tewas 

dengan leher putus dalam kamar itu!” Perwira itu kembali menarik 

napas panjang. “Sungguh merupakan tugas berat bagiku, maka 

aku berusaha untuk mohon bantuanmu.”

Liong-li mendengarkan dengan tekun dan sabar, tak pernah 

mengganggu dan setelah perwira itu berhenti bercerita, baru ia 

membuat gerakan, tangan kirinya diangkat ke arah kepalanya 

dan iapun memegangi dahinya dengan alis berkerut. Ini 

menandakan bahwa wanita cantik itu sedang memutar otaknya! 

Kedua matanya terpejam dan Cian Hui hanya memandang, tidak 

berani mengganggu dan dia hanya memandang dengan hati 

tertarik. Dia seolah-olah dapat melihat betapa isi dari kepala yang 

bagus bentuknya, yang dihias rambut hitam lebat itu, sedang 

bekerja dengan ajaib.

Tiba-tiba sepasang mata itu terbuka dan menatap kepadanya, 

membuat Cian Hui seperti silau karena sepasang mata itu kini 

mencorong! 

“Cian Ciang-kun, apa yang kauperoleh dari hasil penyelidikanmu? 

Apakah semua pembunuhan itu terjadi tanpa adanya seorang 

pun saksi yang melihat sesuatu yang mencurigakan?”



64

“Setiap terjadi pembunuhan, aku segera menyelidiki sendiri dan 

sudah kucari keterangan. Akan tetapi tidak pernah ada orang lain 

melihat pembunuh itu, hanya ada dua orang, di tempat yang 

berlainan melihat bayangan iblis......,” perwira itu berhenti dan 

kelihatan ragu-ragu.

“Bayangan Iblis? Apa maksudmu, Ciang-kun?”

“Ketika Pangeran Cun dibunuh sebulan yang lalu, dan seorang 

pejabat tinggi, Menteri Pajak dibunuh seminggu kemudian, ada 

orang yang melihat bayangan iblis. Bayangan itu bentuknya 

seperti tubuh orang yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya. 

Akan tetapi hanya bayangannya saja yang nampak di atas 

dinding putih, itupun hanya sebentar karena bayangan itu segera 

lenyap. Mungkin hanya khayal orang yang ketakutan dan tahyul, 

Li-hiap. Betapapun juga, berita itu membuat orang ramai 

menyebut pembunuh itu Si Bayangan Iblis! Akan tetapi, belum 

pernah ada yang melihatnya, dan semua penyelidikanku 

menemui kegagalan dan jalan buntu. Aku tidak pernah dapat 

menemukan jejak, bahkan aku tidak tahu apa yang menjadi 

sebab dari semua pembunuhan itu.”

“Dan engkau lalu mencariku dari kota raja ke sini, dan di tengah 

perjalanan engkau di- hadang perampok? Coba ceritakan tentang

peristiwa perampokan terhadap dirimu, ciang-kun. Mungkin kita 

dapat menemukan jejak dari situ.”

“Aku juga merasa yakin bahwa ada hubungan yang erat antara 

semua peristiwa di kota raja itu dengan usaha penculikan yang


65

dilakukan terhadap diriku. Namun sayang, jejak itu terhapus 

dengan kematian semua penjahat itu.” 

Cian Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya, betapa 

tadinya belasan orang penjahat itu hendak merampok kudanya, 

kemudian muncul dua orang berkedok yang lihai itu sehingga dia 

tertawan. Betapa kemudian muncul nona baju hijau dan nona 

baju kuning yang berusaha menolongnya, namun mereka 

berduapun kewalahan menandingi dua orang berkedok hitam 

sehingga mereka melarikan diri.

“Kemudian, ketika aku hendak diculik dan dibawa pergi dengan 

kereta, engkau muncul, Li-hiap.”

“Itulah yang kusayangkan!” seru Liong-li. “Kalau saja aku tahu 

bahwa engkau seorang penyelidik, bahwa semua itu ada 

hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan di kota raja, 

tentu aku tidak tergesa-gesa turun tangan dan membiarkan 

engkau mereka bawa pergi. Dengan demikian, setidaknya ada 

harapan untuk dapat menemukan jejak mereka.”

Cian Hui mengangguk-angguk. “Engkau benar. Akupun berpikiran 

demikian, akan tetapi bukan berarti bahwa aku tidak berterima 

kasih telah kautolong dan kaubebaskan.”

“Semua sudah terlanjur. Kita harus mulai dari pertama, yaitu 

tanpa adanya jejak.”

“Kita? Apakah ini berarti bahwa engkau sudi untuk membantuku 

dan hendak menyelidiki peristiwa ini? Ah, kalau begitu terima 

kasih banyak Li-hiap, sungguh aku merasa gembira sekali dan


66

bersyukur!” Perwira itu lalu memberi hormat untuk menyatakan 

terima kasihnya.

“Tidak perlu berterima kasih, ciang-kun. Aku sudah terlibat di 

dalamnya, tanpa kauminta sekalipun aku harus membongkar 

rahasia ini. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah ada persamaan 

antara mereka yang telah menjadi korban pembunuhan-

pembunuhan di kota raja itu?”

“Persamaan bagaimana maksudmu, Li-hiap?”

“Persamaan di antara para kurban itu, ciri khas atau sikap yang 

sama atau mungkin ada pertalian atau hubungan di antara 

mereka.......”

“Ah, benar juga......! Kenapa aku tidak ingat akan hal itu 

sebelumnya? Para korban itu kesemuanya dekat dengan 

Sribaginda Kaisar! Pangeran-pangeran yang terbunuh adalah 

kesayangan kaisar, dan para menteri yang menjadi kurban juga 

merupakan menteri-menteri yang setia. Itulah persamaan antara 

mereka.”

“Hemm, itu yang kucari, Ciang-kun. Kalau begitu, tentu ada 

komplotan yang diam-diam memusuhi kaisar, atau setidaknya 

ingin melihat kaisar menjadi lemah, maka mereka yang dekat 

dengan kaisar dan dianggap penghalang, disingkirkan satu demi 

satu. Dan jelas ada hubungannya antara semua pembunuhan itu 

dengan usaha penculikan terhadap dirimu. Karena engkau 

merupakan petugas dari kaisar untuk menyelidiki rahasia ini, 

maka engkau akan diculik.”


67

“Akan tetapi mengapa tidak mereka bunuh saja? Mengapa 

mereka harus menculikku? Dan dibawa ke kota raja pula?”

Liong-li menatap wajah perwira itu dengan tajam dan mulutnya 

tersenyum manis. “Ciang-kun, harap engkau jangan berlagak 

bodoh. Aku yakin bahwa engkau yang sudah dipercaya oleh 

Sribaginda untuk melakukan penyelidikan dan membongkar 

rahasia ini, tentu memiliki kecerdikan tinggi. Mustahil engkau tidak 

dapat menduga apa sebabnya mereka tidak membunuhmu.”

Cian Ciang-kun juga tersenyum. Memang dia tadi berpura-pura, 

untuk menguji kecerdikan wanita cantik jelita itu, akan tetapi, 

ternyata permainan sandiwaranya ketahuan!

“Baiklah, memang aku sudah mempunyai dugaan. Akan tetapi 

aku ingin sekali mendengar pendapatmu, li-hiap. Bagaimana 

menurut pendapatmu?”

“Alasannya mudah diduga, hanya yang sukar adalah menemukan 

siapa sesungguhnya yang berdiri di belakang semua ini. Mereka 

tidak membunuhmu, melainkan hendak menculikmu, tentu 

mereka itu, pemimpin mereka, ingin lebih dahulu mengorek 

pengakuanmu sampai sejauh mana hasil penyelidikanmu, Ciang-

kun. Mereka khawatir kalau-kalau penyelidikanmu sudah 

sedemikian jauhnya sehingga rahasia mereka terancam. Dan 

mereka hendak membawamu kota raja seperti pengakuan 

anggauta perampok itu. Hal ini menunjukkan bahwa pimpinan 

komplotan itu tentu berada di kota raja!”


68

Cian Ciang-kun mengangguk-angguk kagum. “Engkau hebat, Li-

hiap! Memang tepat sekali, demikianlah pula pendapatku. Dan 

tentu di kota raja itu telah menanti Si Bayangan Iblis!” 

Liong-li mengangguk. “Besar kemungkinannya demikian. Yang 

disebut Si Bayangan Iblis itu tak mungkin seorang di antara dua 

orang berkedok itu. Tentu lebih lihai. Akan tetapi, aku mempunyai 

perhitungan bahwa Si Bayangan Iblis itupun hanya alat saja, 

masih ada yang berdiri di belakang layar, yang mengemudikan 

semua ini.”

Perwira itu nampak termangu-mangu, dan dia meraba-raba 

dagunya yang halus karena dia mencukur rambut pada dagu dan 

mukanya, tidak berkumis atau berjenggot.

“Hal itulah yang aneh, Li-hiap. Aku memiliki jaringan penyelidik 

yang banyak, kuat dan terampil. Aku mengenal dan mengetahui 

benar keadaan di kota raja, mengenal hampir semua pejabat dan 

mengetahui keadaan mereka, bahkan rahasia dan keadaan 

rumah tangga mereka. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan di 

antara mereka, tentu aku mengetahuinya! Agaknya mustahil 

kalau yang mengemudikan semua komplotan itu tinggal di kota 

raja dan lolos dari pengamatan orang-orangku.”

“Bagaimana kalau mereka bersembunyi di dalam istana? Apakah 

pengamatanmu juga sampai menembus dinding istana, Cian 

Ciang-kun?”

Pertanyaan ini membuat perwira itu terbelalak, terkejut dan heran. 

Dia menggeleng kepala.


69

“Memang tidak sampai ke sana, akan tetapi...... ah, bagaimana 

mungkin..... musuh berbahaya itu bersembunyi di dalam istana? 

Wah, kalau begitu, keselamatan Sribaginda dalam bahaya!”

Liong-li menggeleng kepala. “Belum tentu demikian, Ciang-kun. 

Menurut pendapatku, komplotan itu mempunyai sasaran yang 

lebih luas dari pada sekedar membunuh Sribaginda Kaisar. Kalau 

memang itu sasarannya, tentu telah terjadi serangan atas diri 

beliau. Melihat betapa yang dibunuh adalah pejabat-pejabat dan 

bangsawan-bangsawan yang dekat dengan Sribaginda, aku lebih 

condong menduga bahwa pelakunya atau pimpinannya 

menghendaki kelemahan kedudukan Sribaginda Kaisar dan 

melenyapkan mereka yang memiliki kekuasaan. Ini membuat aku 

menduga bahwa tentu dia bermaksud menonjolkan diri atau 

memperbesar kekuasaannya sendiri.”

Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya dan dia mengangguk-

angguk. Dia dapat melihat kemungkinan-kemungkinan terjadinya 

semua yang dikemukakan wanita itu dan hatinya merasa gelisah 

sekali.

“Ah, kalau benar demikian, Li-hiap, maka itu adalah permainan 

tingkat tinggi dan aku sama sekali tidak berdaya dan tidak 

memiliki kekuasaan untuk dapat mencampuri urusan yang 

menyangkut pribadi atau kekuasaan Sribaginda Kaisar.”

“Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau tidak mungkin 

dapat melakukan penyelidikan ke dalam istana?”

“Benar, Li-hiap. Aku adalah seorang panglima pasukan 

keamanan yang bertugas menumpas para penjahat di luar istana,


70

mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi kekuasaanku 

terbatas dan aku tidak mungkin dapat memasuki istana tanpa ijin 

dari Sribaginda Kaisar. 

“Di istana terdapat pasukan pengawal yang terbagi pula sebagai 

pasukan luar istana, pasukan pengawal Sribaginda, dan pasukan 

pengawal Thai-kam yang bertugas menjaga keamanan di bagian 

paling dalam di istana, sampai ke bagian puteri. Aku hanya 

bertugas memimpin pasukan keamanan yang bertugas 

mengamankan kota raja dan sekitarnya. Tugasku yang kuterima 

dari Sribaginda adalah mencegah terjadinya pembunuhan-

pembunuhan terhadap para pejabat tinggi itu, yang terjadi di luar 

istana.

“Dan selama ini memang tidak pernah terjadi pembunuhan 

terhadap seorang penghuni istana maka tidak ada alasan bagiku 

untuk minta ijin Sribaginda memasuki istana! Tentu saja ada 

kecualinya, yaitu kalau memang sudah terdapat bukti bahwa 

komplotan pembunuh itu berada, di dalam istana.”

Liong-li masih mengerutkan alisnya dan sampai lama mereka 

berdua berdiam diri. Wanita itu memejamkan mata dan melihat 

keadaannya, Cian Ciang-kun tidak berani mengganggu. Dia 

sendiri memikirkan kemungkinan terjadinya hal seperti yang 

dikemukakan wanita perkasa ini dan diapun merasa ngeri. Kalau 

benar ada komplotan yang bersembunyi di dalam istana, sungguh 

berbahaya sekali! 

Tentu saja dia dapat bicara dengan para panglima pasukan yang 

bertugas di luar dan dalam istana, namun paling banyak dia


71

hanya minta agar mereka itu berhati-hati dan melakukan 

penyelidikan akan kemungkinan itu. Kepala pengawal Thai-kam 

tak mungkin dapat bicara karena kepala pengawal Thai-kam itu 

menganggap kedudukannya terlalu tinggi untuk dapat dihubungi 

oleh seorang panglima pasukan keamanan seperti dia!

Tiba-tiba Liong-li menepuk pahanya sendiri dan terkejutlah Cian 

Ciang-kun yang sedang melamun. Dia mengangkat muka 

memandang dan melihat betapa wajah yang cantik itu kemerahan 

dan matanya bersinar-sinar. 

“Dapat, Ciang-kun!” seru wanita itu dan ia tersenyum lebar 

sehingga deretan gigi yang putih seperti mutiara nampak berkilau.

“Eh, apa maksudmu, Li-hiap?”

“Kita harus bekerja sama. Engkau dari luar dan aku dari dalam!”

“Maksudmu, engkau akan menyelundup ke dalam istana?” tanya 

panglima yang cerdik itu.

Liong-li mengangguk. “Hanya itulah jalannya. Engkau menyelidiki 

dari luar, mengamati gerak-gerik semua pejabat tinggi termasuk 

mereka yang memimpin keamanan di lingkungan istana. Aku 

sendiri harus dapat menyusup ke dalam istana, dan hal ini tentu 

saja baru mungkin terjadi kalau engkau membantuku. Dapat saja 

aku diselundupkan ke istana, atau akan lebih mudah bagiku untuk 

menyelidik kalau aku dapat menjadi penghuni istana sebagai 

dayang atau pelayan......”


72

“Ah, tidak mungkin seorang seperti engkau ini menjadi pelayan di 

sana, Li-hiap!” kata Cian Ciang-kun.

Kedua pipi itu menjadi semakin merah. “Kauanggap aku...... 

terlalu tua dan buruk rupa......?”

“Siapa berkata begitu, Li-hiap? Sama sekali sebaliknya malah! 

Engkau terlalu cantik jelita dan......” 

“Kalau terlalu baik untuk menjadi pelayan, dapat dimasukkan 

sebagai dayang...... tentu saja kalau aku tidak dianggap terlalu 

tua untuk itu.”

“Terlalu tua sih tidak, terlalu dewasa mungkin karena para dayang 

itu memang biasanya masih remaja, akan tetapi yang jelas 

terlalu...... cantik jelita......” 

“Ihh, kita bicara serius, jangan engkau merayu, Ciang-kun!” kata 

Liong-li dan wajah perwira itu menjadi merah.

“Maaf, bukan maksudku untuk memuji kosong, Li-hiap, melainkan 

akupun bicara sesungguhnya. Kalau engkau berada di dalam 

istana bagian puteri, engkau sepantasnya menjadi puteri atau 

selir Sribaginda. Maaf, bukan maksudku menghina......”

“Sudahlah, terserah kepadamu, asal aku dapat diselundupkan ke 

dalam istana, untuk beberapa hari saja sehingga aku 

mendapatkan peluang untuk melakukan penyelidikan dan 

pengamatan, apa lagi di waktu malam. Kalau memang komplotan 

itu bergerak dari dalam istana, tentu aku akan dapat memergoki 

mereka. Kalau engkau tidak merayu dan berkata sebenarnya, aku


73

dapat melakukan sedikit penyamaran agar pantas menjadi 

seorang dayang. Coba kautunggu sebentar, Ciang-kun!” 

Ia bertepuk tangan dan muncullah seorang gadis berpakaian 

coklat. Ia muncul cepat dan berdiri di depan Liong-li dengan sikap 

hormat dan siap melakukan segala perintah.

“Ambil perlengkapan penyamaran ke sini. Cepat!”

Tak lama kemudian, gadis baju coklat itu kembali membawa peti 

hitam yang terukir indah. Baru petinya itu saja sudah merupakan 

sebuah benda antik yang mahal harganya, pikir Cian Ciang-kun 

yang sudah duduk sambil mengamati dengan hati tertarik. 

Liong-li, tanpa bicara membuka tutup peti setelah si baju coklat 

meninggalkan ruangan itu dan iapun mengambil botol-botol dan 

alat-alat seperti alat kecantikan. Hanya sebentar ia bercermin 

sambil menata wajahnya dan sepuluh menit kemudian, Cian 

Ciang-kun sudah berhadapan dengan seorang wanita yang sama 

sekali berbeda dengan wajah Liong-li! Memang masih manis, 

akan tetapi tidak secantik dan seanggun tadi! Wajah seorang 

gadis dusun yang manis dan tidak terlalu menyolok.

“Bagaimana, Ciang-kun? Bukankah sudah pantas kalau aku 

mengaku sebagai seorang gadis dusun dan cocok untuk menjadi 

seorang pelayan atau seorang dayang di istana?”

Cian Ciang-kun bengong. Bahkan suara wanita ini berubah sama 

sekali! Tidak halus merdu lembut seperti tadi, melainkan suara 

sederhana yang hanya pantas menjadi suara seorang gadis


74

pedusunan yang kurang pendidikan dan biasa hidup sederhana. 

Akhirnya dia tertawa bergelak saking kagum dan girangnya.

“Ha-ha-ha, engkau seorang wanita hebat, Li-hiap! Tadi aku masih 

ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau engkau akan dikenal sebagai 

Hek-liong-li setelah berada di dalam istana dan keselamatanmu 

terancam. Akan tetapi dengan penyamaran yang sempurna, 

kuyakin takkan ada seorangpun yang tahu bahwa engkau adalah 

Hek-liong-li. 

“Baiklah, mari kita ke kota raja dan di sana aku akan 

menghubungi rekan-rekanku dan mendengar kalau-kalau istana 

membutuhkan pembantu puteri baru sehingga engkau dapat 

diselundupkan ke dalam. Engkau tahu, biasanya, kalau istana 

membutuhkan dayang atau pembantu baru, kesempatan itu 

dipergunakan oleh para Thai-kam untuk menerima uang sogokan. 

Siapa yang paling berani mengeluarkan uang sogokan, maka 

dialah yang akan diterima.”

“Bagus! Tentang uang sogokan, jangan khawatir. Berapa saja 

mereka minta akan kubayar!” kata Liong-li gembira.

Merekapun berangkat pada hari itu juga, tentu saja tidak 

mengendarai kereta rampasan tadi karena hal itu tentu akan 

diketahui pihak lawan. Mereka menggunakan kereta lain dan 

dengan menyamar, tak seorangpun menyangka bahwa wanita 

nenek tua yang bersama Cian Ciang-kun memasuki kota raja itu 

adalah Hek-liong-li yang amat terkenal!

◄Y►


75

Sebelum kita mengikuti perjalanan Liong-li dan cara bagaimana ia 

akan menyelundup masuk ke dalam istana, sebaiknya kita 

mengenali lebih dahulu keadaan Kaisar Kao Cung dengan 

istananya yang megah.

Pada waktu itu (sekitar tahun 669), Kaisar Kao Cung adalah 

seorang pria berusia kurang lebih empatpuluh sembilan tahun. 

Seorang pria yang sebetulnya bertubuh tinggi tegap dan kuat. 

Akan tetapi sungguh sayang, karena dia terlalu mengumbar nafsu 

berahinya, terlalu membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan 

dan rayuan para wanita cantik yang memenuhi haremnya, maka 

dalam usia empatpuluh sembilan tahun saja dia sudah nampak 

tua dan loyo. Kaisar Kao Cung sesungguhnya baik budi dan 

ramah, memiliki kebijaksanaan. 

Namun sayang, karena terlalu membiarkan diri tenggelam dalam 

kesenangan, dia menjadi lemah dan malas. Dia tidak 

bersemangat lagi untuk mengurus tugas-tugasnya sebagai 

seorang pemimpin negara. Siang malam dia hanya bersenang-

senang bersama para selirnya dan para dayang, dan dia dapat 

dibilang menyerahkan segala kekuasaannya dan membiarkan 

permaisurinya yang mengurus semua tugasnya! Dan memang 

harus diakui bahwa permaisurinya adalah seorang wanita yang 

bukan main cerdasnya, seorang wanita yang selain memiliki 

kecantikan luar biasa, juga memiliki otak yang tajam dan hati 

yang keras, ambisius dan penuh semangat! 

Bahkan dapat dibilang permaisuri inilah yang pada delapan tahun 

yang lalu, membakar semangat suaminya yang menjadi kaisar itu


76

untuk mengerahkan bala tentara sekuatnya dan menyerang 

Korea. 

Sejak puluhan tahun yang lain, ketika Kerajaan Tang belum 

berdiri, yaitu Kerajaan Sui masih berkuasa di China, kaisar-kaisar 

telah berusaha menundukkan Korea. Bahkan ayah dari Kaisar 

Kao Cung sendiri, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal 

sebagai pendekar bangsa dan pendiri Kerajaan Tang, selalu 

gagal dalam usahanya menalukkan Korea.

Akan tetapi, berkat siasat dan semangat permaisuri Kao Cung, 

maka Kaisar Kao Cung akhirnya berhasil menundukkan dan 

menalukkan Korea yang telah dibantu oleh Bangsa Jepang. 

Semenjak itulah, Kaisar Kao Cung yakin akan kemampuan 

permaisurinya dan dia pun menyerahkan hampir segala urusan 

pemerintahan ke tangan permaisurinya itu. 

Permaisuri yang sekarang telah berusia empatpuluh tahun lebih 

itu makin lama semakin berkuasa dan berpengaruh sehingga 

hampir semua pejabat tinggi tunduk di bawah kekuasaannya. 

Baik mereka yang setuju atau yang tidak setuju harus mengakui 

bahwa banyak kemajuan dicapai setelah permaisuri ini 

memegang kendali pemerintahan. Tentu saja sebagai pelaku di 

belakang layar karena segala hal masih harus disetujui dan 

ditandatangani oleh Kaisar Kao Cung. Semua orang di istana 

tahu belaka bahwa kaisar itu menandatangani apa saja yang 

disodorkan permaisurinya kepadanya!

Memang, permaisuri dari Kaisar Kao Cung ini adalah seorang 

wanita yang hebat luar biasa. Sepak terjangnya amat menonjol


77

dan tidak mengherankan kalau kemudian namanya diabadikan 

dalam sejarah, walaupun di dalam sejarah, keburukannya lebih 

banyak ditonjolkan dari pada kebaikannya. Hal inipun mudah 

dimaklumi kalau diingat bahwa penyusun sejarah adalah mereka 

yang tidak suka kepadanya!

Seorang penyusun sejarah haruslah seorang seniman sejati! 

Seorang seniman sejati takkan sudi diperalat oleh golongan 

manapun, karena seorang seniman sejati adalah seorang 

manusia utuh lahir batin yang hanya mengabdi kepada 

kebenaran, kepada kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi penilaian 

karena menganggap bahwa apa yang ada selalu indah, tidak baik 

ataupun buruk, tidak ada perhitungan rugi untung bagi dirinya 

yang bebas!

Riwayat permaisuri ini memang menarik sekali sejak 

pemunculannya yang pertama di istana kaisar. Agar mengenal 

latar belakangnya, sebaiknya kalau kita mengikuti 

pengalamannya.

Ketika masih seorang gadis remaja, permaisuri itu bernama Bu 

Houw yang kemudian disebut juga Bu Cek Thian. Panggilan 

akrabnya adalah Bi Houw (Houw yang cantik). Ketika usianya 

masih remaja, kurang lebih tigabelas tahun, ia diangkut dari 

dusun dan dipilih menjadi seorang dayang di istana. Ketika itu, 

yang menjadi kaisar adalah ayah dari Kaisar Kao Cung yang 

sekarang, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal, yang dulu 

bernama Li Si Bin!


78

Karena hidup di dalam istana yang megah, serba bersih, dan 

setiap hari tubuhnya terpelihara baik-baik, juga karena ia 

diharuskan mempelajari segala seni yang patut dimiliki semua

wanita cantik dalam istana, Bi Houw tumbuh menjadi seorang 

gadis remaja yang cantik jelita dan pandai membawa diri. Ketika 

usianya mencapai, enambelas tahun, tidak ada seorang pun 

dayang di istana yang mampu menyaingi kecantikannya. 

Bagaikan setangkai bunga, ia mulai mekar dengan indahnya, 

semerbak mengharum dan membuat setiap yang disentuhnya 

menjadi cerah dan hidup. Bahkan para puteri dan selir kaisar 

merasa kagum dan iri melihat kesegaran gadis remaja dari dusun 

yang kini pandai membawa diri ini.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bi Houw sudah melakukan 

tugasnya, membersihkan sebuah kamar mandi yang biasa 

dipergunakan oleh permaisuri. Tentu saja sepagi itu ia bekerja 

membersihkan kamar mandi pribadi permaisuri bukanlah suatu 

hal yang kebetulan saja. Ia telah memperhitungkan dan 

memperhatikan kebiasaan Kaisar Thai Cung. Setiap kaisar ini 

tidur di kamar permaisuri, sudah pasti pada pagi hari seperti itu, 

Sang Kaisar akan masuk kamar mandi. 

Kebiasaan ini sudah diperhatikan benar-benar oleh Bi Houw, dan 

pada pagi hari itu, ketika seperti tidak ditengaja ia telah berada di 

kamar mandi, ia nampak bersih, segar dan cerah, cantik jelita dan 

putih kemerahan bagaikan setangkai kuncup mawar yang sedang 

mekar! Gadis berusia enambelas tahun!


79

Ketika kaisar memasuki kamar mandi, Bi Houw cepat berlutut dan 

tidak berani mengangkat muka. Setelah kaisar selesai dengan 

keperluannya di kamar mandi untuk membuang air kecil dan 

hendak keluar, dengan terampil sekali Bi Houw berlutut di 

depannya, dengan muka menunduk sehingga tidak nampak, 

memegangi dengan kedua tangannya yang mungil sebuah 

tempayan air yang terisi air hangat yang harum karena dicampur 

air mawar, menjulurkan kedua tangannya agar Sang Kaisar 

dengan mudah dapat mencuci tangannya.

Kaisar menunduk dan mencuci tangan. Ketika dia melihat 

sepasang tangan yang berkulit putih kemerahan, jari-jari tangan 

yang meruncing dengan kuku yang bersih mengkilap terawat 

baik, kemudian menunduk pula melihat rambut yang panjang 

hitam dan halus, yang mengeluarkan keharuman semerbak, 

melihat kulit leher yang nampak semakin putih mulus kemerahan 

di antara juntaian rambut, kaisar tertarik dan berkata lembut.

“Dayang, coba kau angkat mukamu, kami hendak melihatnya.”

Bi Houw yang sudah memperhitungkan ini, dan sudah berulang 

kali ia bergaya di depan cermin, dengan tenang dan lembut 

mengangkat mukanya, muka yang amat cantik manis bagaikan 

setangkai bunga baru mekar, dahinya yang halus bagaikan lilin 

diraut itu dihiasi anak rambut yang lembut sekali melingkar-

lingkar, sepasang mata yang redup itu setengah terpejam penuh 

rasa takut dan malu, dihias bulu mata yang panjang lentik, 

dilindungi sepasang alis yang hitam kecil panjang seperti dilukis.


80

Hidung itu mancung kecil dan lucu, dan mulut amat 

menggairahkan, dengan sepasang bibir tipis merah membasah 

tanpa gincu, dihias lekuk pipi di kanan kiri yang timbul tenggelam, 

dagu kecil runcing berlekuk, dan lekuk lengkung dada yang 

sedang meranum itu membayang di balik baju tipis.

Semua ini merupakan bintik-bintik api yang menggetarkan 

kehangatan dan di pagi hari yang dingin itu, gairah berahi mulai 

membara di dalam hati Kaisar Thai Cung. Gairah berahi yang 

datang tiba-tiba, mendatangkan kekuatan besar yang 

mendorongnya untuk segera menjulurkan kedua lengannya, 

memondong gadis remaja itu, mendekap menciuminya, membelai 

dan membawanya ke atas bangku marmer di dalam kamar mandi 

itu. 

Tanpa banyak cakap lagi, tidak seperti biasanya kalau sang 

kaisar memerawani seorang dayang yang beruntung menerima 

anugerah dipilih oleh kaisar, Bi Houw digauli oleh Kaisar Thai 

Cung di dalam kamar mandi, tanpa upacara lagi!

Bi Houw menyambut pria tua itu dengan menggunakan sepenuh 

kecerdikan dan kepandaiannya yang sudah dipelajarinya terlebih 

dahulu. Demikian pandainya gadis ini sehingga semua usahanya 

itu tidak nampak, dan Kaisar Thai Cung pada pagi hari itu 

memetik kesenangan dan kenikmatan yang jarang dia temukan.

Setelah kaisar meninggalkannya, Bi Houw melamun dengan hati 

penuh bahagia. Semua rencananya berjalan dengan baik! Kaisar 

telah menjatuhkan pilihannya kepadanya bahkan telah 

menganugerahinya dengan hubungan badan itu!


81

Pada waktu atau jaman itu, kedudukan seorang kaisar amatlah 

tingginya. Kaisar dianggap sebagai dewa atau bahkan Putera 

Tuhan yang dijelmakan di dunia untuk memimpin manusia. Oleh 

karena itu, seorang gadis yang dipilih kaisar seolah-olah 

mendapatkan keyakinan bahwa bintangnya akan menjadi terang. 

Bi Houw membayangkan betapa ia tentu akan diangkat menjadi 

seorang di antara selir-selir utama yang jumlahnya tujuhpuluh dua 

orang, menggantikan seorang selir yang sudah dianggap 

membosankan dan akan diturunkan pangkatnya oleh kaisar. 

Dari selir, ia akan berusaha agar ia dapat terus menanjak naik 

sehingga akhirnya akan dapat menduduki pangkat permaisuri 

Pertama atau Kedua. Ada dua orang permaisuri, yaitu permaisusi

Istana Timur dan permaisuri Istana Barat. Ia harus berusaha 

mengangkat dirinya sampai menjadi seorang di antara yang dua 

ini!

Akan tetapi malang bagi gadis remaja itu, harapannya hampa dan 

penantiannya sia-sia belaka. Kaisar Thai Cung, pendiri Kerajaan 

Tang itu, terlalu sibuk dengan urusan pemerintahan, sibuk 

dengan perkembangan dan kemajuan kerajaannya. 

Peristiwa yang terjadi di kamar mandi pada pagi hari itu baginya 

lewat begitu saja dan segera hal itu terlupa olehnya setelah 

terjadi. Lewat bagaikan angin lalu, karena bagi kaisar yaag 

mempunyai banyak urusan, yang dianggapnya lebih besar dan 

lebih penting, maka peristiwa dengan Bi Houw itu kecil dan tidak 

ada artinya sama sekali. Apakah artinya seorang gadis remaja 

kecil, seorang dayang bagi seorang kaisar?


82

Kekecewaan adalah bagian orang yang mengharapkan. Harapan 

mempunyai buah ganda, yaitu kepuasan dan kekecewaan. Kalau 

terpenuhi apa yang diharapkan, datanglah kepuasan. Sebaliknya, 

kalau tidak terpenuhi, datanglah kekecewaan. 

Bi Houw yang ambisius dan penuh harapan muluk itu, tentu saja 

tenggelam ke dalam lautan kekecewaan karena ia sama sekali 

tidak diperdulikan oleh Kaisar Thai Cung. Bahkan kaisar itu 

agaknya sudah lupa akan peristiwa yang terjadi di pagi hari dalam 

kamar mandi permaisuri itu. 

Betapapun ia memancing dengan kerling dan senyum kalau 

kebetulan ia bertemu dengan kaisar, Kaisar Thai Cung sama 

sekali tidak nampak bahwa dia teringat atau mengenalnya! 

Di dalam kamarnya, Bi Houw hanya dapat menangis karena sesal 

dan kecewa. Apa lagi ia sudah terlanjur pamer kepada para 

dayang lain bahwa ia telah mendapat “anugerah” dari kaisar di 

pagi hari itu! Ia telah membisikkan kepada para dayang lainnya 

bahwa sebentar lagi ia akan naik derajatnya dan menjadi seorang 

di antara Selir Terhormat! Dan kenyataannya sungguh amat 

pahit, tidak semanis yang dibayangkan dan diharapkannya.

Akan tetapi, gadis remaja ini tidak menjadi putus asa. Maklum 

bahwa ia tidak dapat mengharapkan kenaikan derajat dari kaisar, 

iapun segera membuang harapan hampa itu dan matanya mulai 

mengerling ke arah yang lain lagi. 

Pangeran Mahkota! Pangeran itu masih seorang pemuda, 

tampan, gagah dan tentu saja jauh lebih menarik sebagai pria 

dibandingkan ayahnya, Sang Kaisar. Pangeran Mahkota itulah


83

merupakan orang kedua sesudah kaisar yang paling tinggi 

kedudukannya di seluruh negeri.

Mulailah Bi Houw mengatur diri, mengatur lagak dan melaburi diri 

dengan daya pikat yang menarik, dan iapun menggunakan segala 

daya kecerdikannya untuk menyelidiki dan mempelajari 

kebiasaan Pangeran Mahkota.

Pangeran Mahkota yang kemudian menjadi Kaisar Kao Cung itu 

adalah seorang pemuda yang tampan dan suka pelesir. Sejak 

kecil dia memang dimanja dan berkecimpung di dalam 

kesenangan dan kemewahan. Apa saja yang dikehendakinya 

tentu terpenuhi! 

Sungguh amat merugikan perkembangan jiwa seseorang kalau di 

waktu kecil dia dimanjakan oleh keadaan. Justeru kepahitan 

keadaan hidup, seperti jamu merupakan gemblengan yang 

mematangkan batin. Sebaliknya, kesenangan yang berlimpahan 

bahkan membius batin dan menumpulkan akal karena jarang 

dipergunakan untuk mengatasi kesulitan hidup.

Tempat tinggal Pangeran Mahkota merupakan bagian kompleks 

istana keluarga Kaisar di bagian kiri, bersambung dengan istana 

induk melalui sebuah jembatan dan taman indah. Di jembatan 

inipun, seperti juga di jalan masuk ke istana induk dari manapun 

juga, siang malam dijaga oleh pengawal thai-kam (laki-laki kebiri) 

demi keselamatan kaisar.

Dengan mempergunakan suapan berupa barang-barang 

berharga, Bi Houw berhasil menarik kepercayaan seorang 

pengawal Thai-kam sehingga ia dapat dengan leluasa


84

menggunakan jembatan itu dan diperbolehkan keluar masuk 

taman yang merupakan perbatasan antara istana induk dan 

istana Pangeran Mahkota. Pada hal, sebagai dayang atau 

pelayan keluarga kaisar yang bertugas di istana induk, ia tidak 

dibenarkan untuk melewati jembatan ini dan masuk ke daerah 

tempat tinggal Pangeran Mahkota. 

Bi Houw juga menyelidiki kebiasaan Pangeran Mahkota dan 

mendengar bahwa satu di antara kebiasaan Pangeran Mahkota 

adalah duduk termenung di dalam taman mawar yang berdekatan 

dengan jembatan dan taman penghubung itu. Pangeran Mahkota 

itu, setelah bosan dan lelah bersenang-senang dengan gadis-

gadis cantik bahkan bermain-main dengan wanita-wanita pelacur 

di luar istana, kadang-kadang suka menyendiri di dalam taman 

mawar, termenung dan menikmati hawa segar sejuk dan suasana 

hening. 

Dalam keadaan seperti itu, dia selalu menyendiri, tidak mau 

ditemani pengawal atau dayang. Setelah dayang membawakan 

minuman dan makanan, biasanya anggur manis dan makanan 

kecil, dayang lalu diperintahkannya untuk pergi meninggalkannya 

seorang diri. Dalam keadaan menyendiri itu, Pangeran Mahkota 

merasa aman tenteram dan kadang-kadang keadaan menyendiri 

itu dia pergunakan untuk membaca kitab, baik kitab 

kesusasteraan, catatan sejarah maupun kitab tentang 

ketatanegaraan yang amat penting baginya.

Pada suatu senja yang indah. Angin semilir lembut 

mendatangkan hawa yang sejuk segar. Matahari menjelang 

terbenam, cahayanya sudah lembut lunak dan di langit bagian


85

timur nampak awan terbakar dengan sinar merah dengan latar 

belakang kebiruan dan di sana-sini nampak awan berpita perak 

berkilauan.

Pangeran Mahkota memasuki taman mawar sambil membawa 

kitab yang sudah dibukanya dan dibacanya sambil melangkah 

perlahan-lahan, menuju ke tengah taman di mana terdapat kolam 

ikan emas dan bangku yang menjadi tempat yang amat 

disukainya untuk duduk menyendiri. Memang nyaman sekali 

duduk di bangku yang halus itu, di dekat kolam di mana ikan-ikan 

emas merah, kuning dan putih berenang, dengan gaya indah, 

dikelilingi bunga-bunga mawar yang sedang mekar semerbak 

mengharum, dengan kupu-kupu yang beterbangan di sekitarnya, 

pohon-pohon di sana-sini yang mulai disibuki oleh suara burung 

yang pulang sarang.

Putera Mahkota yang berusia tigapuluhan tahun itu memang

tampan dan pada senja itu dia mengenakan pakaian sutera 

kuning yang longgar dan indah. Ketika dia melangkah lambat 

menuju ke tengah taman, tiba-tiba dia menurunkan kitabnya dan 

berhenti melangkah. Dia mendengar suara yang lain dari pada 

biasanya. 

Biasanya, suara yang terdengar di taman itu kalau dia 

memasukinya hanyalah suara teriakan burung-burung yang 

beterbangan pulang sarang, sesampainya di pohon mereka ini 

membuat gaduh dengan suara cecowetan sibuk sekali. Akan 

tetapi sekali ini, di antara suara burung-burung, dia mendengar 

suara manusia. Suara wanita yang sedang membaca sajak 

dengan nyanyian sederhana namun merdu bukan main, agaknya



86

terdengar aneh dan merdu sekali di taman yang sunyi itu.

“......amboi burung murai nan malang,

warna bulumu memang indah cemerlang,

suaramu memang merdu gemilang, 

namun sayang......

percuma engkau merindukan burung Hong,

Raja di antara segala burung,

bagimu dia terlampau agung.......”

Di taman yang indah itu, dalam suasana yang sunyi dari senja 

yang mengambang, suara itu terdengar aneh dan merdu sekali. 

Hati Pangeran Mahkota itu sudah tertarik sekali, dan jantungnya 

berdebar penuh keinginan tahu siapa gerangan wanita yang 

dapat bernyanyi semerdu itu di dalam taman mawar pribadinya. 

Suara itu datang dari arah kiri, maka diapun tidak jadi menuju ke 

kolam ikan, melainkan ke pondok ungu yang berada di sebelah 

kiri taman. 

Pondok ungu ini adalah pondok kecil di mana dia suka menghibur 

diri di waktu musim panas, ditemani beberapa orang dayang atau 

selirnya. Biarpun dia belum memiliki isteri, namun Pangeran 

Mahkota ini sudah memiliki beberapa orang selir.

Akhirnya Pangeran Mahkota menemukan wanita yang tadi 

membaca sajak dengan suara nyanyian sederhana namun merdu 

itu. Ia seorang gadis berpakaian dayang. Seorang di antara para 

dayang ayahnya! Akan tetapi, sungguh seorang gadis remaja


87

yang bukan main! Hati pangeran itu memang sudah tertarik oleh 

suara tadi. Kini melihat orangnya, dia terpesona! 

Dan memang Bi Houw sudah memperhitungkannya dengan 

masak-masak, berdasarkan penyelidikannya. Ia mendengar 

betapa sang pangeran itu seringkali menyatakan rasa muak 

terhadap para wanita yang mengelilinginya, yang berlomba untuk 

menarik perhatiannya dengan dandanan yang mewah, dengan 

riasan muka yang seperti boneka digambar! 

Karena itu, dalam kesempatan yang sudah termasuk rencana 

siasatnya ini, Bi Houw mengenakan pakaian yang sederhana, 

pakaian dayang yang tidak mewah namun bersih dan rapi. 

Nampak jelas betapa ia segar dan cerah, karena baru saja ia 

mandi air dingin yang dicampur air mawar dan seluruh tubuhnya 

digosoknya keras-keras sehingga baik muka dan tangannya 

nampak masih kemerahan seperti kulit seorang bayi yang montok 

dan mungil.

Ketika pangeran menghampiri tempat itu, ia pura-pura tidak tahu 

dan sedang mengejar kupu-kupu dengan gerakan yang lincah, 

jenaka dan penuh kelembutan wanita, berjalan berjingkat dengan 

lenggang lenggok lemah gemulai ia menghampiri seekor kupu-

kupu yang hinggap di setangkai bunga.

Melihat ini, Pangeran Mahkota berhenti melangkah, memandang 

sambil menggagumi gerak pinggul gadis remaja itu ketika 

berindap menghampiri kupu-kupu itu. Ditangkapnya kupu-kupu itu 

dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu gadis itu duduk di atas


88

bangku, membelakangi Pangeran Mahkota dan terdengar 

suaranya lirih manja, namun terdengar jelas oleh sang Pangeran.

“Kupu-kupu yang tampan, engkau memang seksi sekali, 

bersenang-senang dari bunga ke bunga lain, tanpa 

memperdulikan aku bunga yang kesepian menanggung rindu, 

haus akan jamahan dan belaianmu. Aih, kupu-kupu, sakit hatiku, 

ingin rasanya aku merobek sayapmu agar engkau tidak mampu 

terbang lagi hinggap di bunga-bunga yang lain. Akan tetapi aku 

tidak tega, kupu-kupu, aku tidak tega, karena aku terlalu 

mencintaimu! Aih, kupu-kupu, engkau pangeran yang agung 

sedangkan aku...... aku hanya dayang......”

Gadis itu bangkit, melepaskan kupu-kupu itu terbang kegirangan, 

lalu ia membalik dan...... pada saat itu ia melihat Pangeran 

Mahkota berdiri di depannya.

“Oohhhhh.......!” Ia mengeluh ketakutan dan cepat ia menjatuhkan 

diri berlutut di depan kaki sang pangeran, memberi hormat 

sampai dahinya menyentuh tanah.

“Ampun, pangeran...... ampunkan hamba, karena hamba tidak 

tahu bahwa paduka berada di sini........” kata Bi Houw dengan 

suara gemetar namun terdengar amat merdu.

“Murai yang mungil. jangan takut, aku tidak marah kepadamu. 

Bangkitlah!”

“Hamba...... hamba tidak berani......” Bi Houw berkata dengan 

gemetar.


89

Pangeran Mahkota tersenyum, lalu menjulurkan tangan 

kanannya, memegang lengan Bi Houw dan menariknya bangkit 

berdiri. Gadis itu berdiri, tinggi badannya hanya sampai ke 

pundak pangeran itu dan ia menundukkan mukanya sampai 

dagunya menekan leher.

Dengan lembut sang pangeran menggunakan ibu jari dan telunjuk 

kanannya, memegang ujung dagu gadis itu dan menarik dagu itu 

ke atas agar dia dapat menatap wajah itu. Dan jantungnya 

berdenyut keras saking girangnya. Sebuah wajah yang amat 

cantik manis, jelita dan segar! Sejenak dia mengamati wajah yang 

amat menggairahkan itu biarpun Bi Houw memejamkan kedua 

matanya.

“Manis, bukalah matamu, aku ingin melihatnya,” bisik sang 

pangeran dan ketika Bi Houw membuka kedua matanya, 

pangeran itu seperti melihat sepasang bintang yang 

mempesonakan! Dari sepasang mata itu memancar cahaya yang 

demikian lembut, demikian dalam dan demikian menantang, 

mengandung janji sejuta kemesraan dan kehangatan dan 

Pangeran Mahkota itupun jatuhlah!

“Engkau cantik jelita...... siapakah namamu?”

“Hamba...... hamba Bi Houw......”

“Bagaimana engkau bisa berada di sini, pada hal engkau seorang 

dayang dari induk istana, bukan?”

“Ampunkan hamba, hamba...... amat terpesona oleh keindahan 

mawar di sini, ketika penjaga lengah, hamba menyelinap


90

masuk...... Hamba lupa diri ketika berada di sini, Mohon ampun, 

Pangeran......”

“Bi Houw, engkau tadi mengumpamakan kupu-kupu, pangeran. 

Siapakah yang kau maksudkan? Dan engkau mengumpamakan 

dirimu murai kecil, dan siapa pula burung Hong itu? Hayo jawab 

sejujurnya, baru aku mau mempertimbangkan apakah 

kelancanganmu ini patut diampuni atau tidak,” kata Pangeran 

Mahkota sambil tersenyum menggoda.

Bi Houw pura-pura ketakutan. “Ampunkan hamba...... ampunkan 

kelancangan hamba...... burung Hong itu...... dia adalah 

pangeran...... dan pangeran itu...... ah, pangeran itu......”

“Hayo katakan, siapa pangeran itu?! Kalau tidak berterus terang, 

akan kupanggil pengawal agar engkau dihukum cambuk!” 

Pangeran Mahkota mengancam sambil tersenyum.

Bi Houw tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan mencium kaki 

pangeran itu. “Ampunkan hamba, pangeran. Pangeran...... 

pangeran itu...... ah, beliau adalah...... paduka......! Ampunkan 

hamba......”

Pangeran Mahkota tertawa bergelak, senang sekali hatinya. 

“Aku? Jadi akukah yang membuat engkau rindu? Ha-ha-ha, nah, 

aku sudah berada di sini, hendak kulihat sampai di mana 

kebenaran pengakuanmu bahwa engkau rindu dan cinta 

kepadaku!” Dia membungkuk, mengangkat tubuh yang mungil itu, 

memondongnya dan membawa Bi Houw memasuki pondok ungu!


91

Bi Houw dengan amat cerdiknya dapat berlagak seperti seorang 

gadis remaja yang masih hijau, canggung, namun penuh dengan 

cinta kasih, penuh kemesraan, kehangatan dan kepasrahan. 

Namun, di balik itu, biarpun secara halus, ia menyambut 

pernyataan cinta pangeran itu dengan gairah yang panas 

menggebu, yang membuat Pangeran Mahkota itu merasa bahwa 

selama hidupnya baru sekali itulah dia bertemu dengan seorang 

gadis perawan yang membuat dia merasa seorang jantan sejati!

Dan pada senja hari itupun hati Pangeran Mahkota telah jatuh 

cinta! Dia bukan sekedar iseng, melainkan benar-benar terpikat 

dan melekat, jatuh cinta secara mendalam kepada Bi Houw atau 

Bu Houw. Dan semenjak pertemuan yang pertama kali itu, 

mereka berdua dengan hati-hati seringkali mengadakan 

pertemuan di taman itu dan menumpahkan perasaan cinta kasih 

masing-masing dengan penuh kemesraan!

Demikian pandainya Bi Houw membawa diri sehingga Sang 

Pangeran Mahkota merasa yakin bahwa gadis remaja jelita itu 

benar-benar mencintanya dengan segenap jiwa raganya, bukan 

seperti wanita lain yang hanya mengharapkan agar terangkat 

derajatnya kalau dapat berhubungan dengan dia. Dianggapnya 

bahwa Bi Houw sebagai seorang wanita, mencinta dia sebagai 

seorang pria! 

Dan diapun jatuh benar-benar, dan mengambil keputusan untuk 

menjadikan Bi Houw sebagai isterinya, bahkan permaisurinya 

kelak!


92

Ketika Kaisar Tang Thai Cung meninggal dunia dalam tahun 649, 

maka diangkatlah Pangeran Mahkota sebagai kaisar baru, dan 

berjuluk Kaisar Tang Kao Cung.

Dan kini terjadilah hal yang amat berbahaya bagi Bi Houw atau 

Bu Houw. Memang benar bahwa Kaisar Tang Kao Cung yang 

baru memenuhi janjinya, yaitu dia hendak mengangkat Bu Houw 

menjadi Permaisuri. Akan tetapi, para pejabat tinggi di istana 

memperingatkan Kaisar Tang Kao Cung bahwa menurut catatan 

dalam istana, Bu Houw adalah seorang dayang yang pernah 

digauli oleh mendiang Kaisar Tang Thai Cung! Tentu saja catatan 

istana ini ada karena kesalahan Bu Houw sendiri yang 

memamerkan “kehormatan” atau anugerah yang diterimanya dari 

Kaisar Tang Thai Cung dahulu ketika ia digauli di dalam kamar 

mandi Permaisuri di suatu pagi.

Menurut peraturan istana, dayang yang sudah digauli kaisar itu, 

setelah kaisar meninggal dunia, haruslah melanjutkan 

kehidupannya sebagai seorang nikouw (pendeta wanita) dalam 

wihara Buddha selama hidupnya! Pada waktu itu, Agama Buddha 

sedang berkembang dengan pesat dan diakui oleh pemerintah 

sehingga memiliki pengaruh yang besar. Sebagai seorang isteri, 

walaupun hanya berkedudukan dayang namun sudah digauli 

kaisar, maka Bu Houw harus pula berkabung dengan cara hidup 

dalam biara itu sebagai seorang pendeta yang setiap hari hanya 

berdoa dan tidak boleh berhubungan dengan orang lain apa lagi 

dengan pria!

Akan tetapi, Kaisar Tang Kao Cung sudah terlalu mencinta Bu 

Houw sehingga diam-diam kaisar ini memerintahkan agar Bu


93

Houw dilindungi dan diperlakukan dengan hormat dan baik. 

Bahkan ia dibebaskan dari keharusan menggunduli kepalanya.

Setelah tiga tahun lewat, yaitu waktu yang dianggap sebagai 

masa berkabung telah habis, secara diam-diam Bu Houw 

dipindahkan dari dalam wihara ke dalam istana induk dan 

bertentangan dengan nasihat para menteri, Kaisar Tang Kao 

Cung memaksakan kehendaknyan untuk menikah dengan Bu 

Houw dan mengangkatnya sebagai Permaisuri!

Nafsu yang menguasai diri manusia ibarat api. Makin diberi 

umpan, makin diberi jalan, bukan menjadi kenyang dan puas 

bahkan menjadi semakin murka! Makin diberi semakin kelaparan 

dan kehausan! 

Ketika masih menjadi seorang dayang, Bu Houw bercita-cita 

untuk diangkat menjadi selir, kemudian cita-citanya meningkat 

untuk menjadi permaisuri. Biarpun harapannya terhadap 

mendiang Kaisar Tang Thai Cung gagal, namun ia berhasil baik 

dalam memikat Pangeran Mahkota sehingga ia berhasil 

menundukkan pangeran itu dan setelah pangeran itu menjadi 

Kaisar Tang Kao Cung, iapun terpenuhi cita-citanya dan diangkat 

menjadi Permaisuri. Apakah ini merupakan tujuan terakhir dari 

ambisinya? Sudah puaskah nafsu keinginannya?

Jauh dari pada puas! Nafsu takkan pernah mengenal puas, tak 

pernah mengenal titik tujuan terakhir selama si manusianya 

masih hidup! Bagaikan api, takkan padam selama bahan yang 

dibakarnya masih ada.


94

Setelah diangkat menjadi Permaisuri, Bu Houw hanya merasa 

puas sementara saja, untuk kemudian nafsunya kembali berkobar 

untuk mencapai kekuasaan yang tertinggi! Dan agaknya 

ambisinya inipun mendatangkan harapan karena Kaisar Tang 

Kao Cung agaknya benar-benar tak berdaya menghadapi 

permaisurinya ini. 

Kaisar Tang Kao Cung menjadi jinak dan lunak, tunduk dan taat 

kepada permaisurinya! Kaisar ini tanpa merasa dijadikan 

semacam boneka hidup oleh permaisurinya. 

Mulailah Bu Houw mencampuri urusan kenegaraan, bahkan ia 

kini dikenal sebagai Bu Cek Thian, Permaisuri Agung yang 

berkuasa penuh sesudah Kaisar! Para menteri merasa khawatir 

sekali, namun tak seorangpun mampu mengingatkan kaisar, dan 

kekuasaan Bu Cek Thian menjadi semakin besar.

Setelah memperoleh kekuasaan besar dan Kaisar selalu menuruti 

semua kehendaknya, bahkan mulai mematuhi nasihat-nasihatnya 

mengenai bidang pemerintahan, Bu Cek Thian tetap saja tidak 

merasa puas. Ada satu hal yang membuat ia merasa hidupnya 

tidak lengkap, bahkan merana! Suaminya, Sang Kaisar yang 

terlampau memanjakan nafsu berahi ketika masih muda, kini 

menjadi seorang suami yang lemah dan sama sekali tidak dapat 

menandingi dan memuaskan gairah berahinya yang menggebu 

dan berkobar. 

Hal ini membuat Bu Cek Thian yang sudah tercapai apa yang 

diharapkannya itu merasa sengsara! Mulailah ia membentuk 

pasukan pengawal yang terdiri dari para pria kebiri dan juga


95

wanita-wanita perkasa dari orang-orang yang dapat 

dipercayanya, dan yang sudah bersumpah setia kepadanya. 

Dengan demikian, maka selain keamanannya selalu terjamin 

karena selalu ada sekelompok pengawal yang menjaganya, juga 

melalui para pengawal yang dipercaya ini, ia dapat apa saja 

secara rahasia karena kelompok pengawal ini menjaga agar 

rahasianya tidak sampai diketahui orang lain.

Setelah ia melihat kesetiaan dan kecerdikan seorang di antara 

para dayangnya yang bernama Siangkoan Wang-ji, ia menarik 

wanita ini sebagai dayang pribadi. Kepada Siangkoan Wang-ji 

inilah ia menumpahkan semua perasaan dan kekecewaannya, 

dan atas nasehat dayang setia ini pula Bu Cek Thian mulai 

melakukan penyelewengan untuk memuaskan gairah berahinya 

yang bernyala-nyala. yang tak terpuaskan oleh Kaisar Tang Kao 

Cung, suaminya yang dianggapnya kurang jantan dan loyo. 

Melalui Siangkoan Wang-ji sebagai perantara, secara bergiliran, 

dengan perlindungan kelompok pengawal pribadi, mulailah 

diselundupkan dua orang perwira istana, kakak beradik yang 

bernama Thio Jiang Tiong dan Thio I Ci. Mereka adalah dua 

orang perwira muda yang tampan dan gagah.

Tentu saja dua orang kakak beradik ini merasa seperti kejatuhan 

rembulan. Mereka tidak berani membuka rahasia dan diam-diam 

menikmati “anugerah” dari Sang permaisuri itu. Mereka 

mendapatkan seorang wanita yang matang dan cantik jelita, yang 

menyambut mereka secara bergiliran dengan gairah yang panas, 

mereka mendapatkan pula hadiah-hadiah yang berharga dan 

tentu saja mereka merasa terhormat.


96

Di samping itu, mereka juga tentu takut sekali kalau sampai 

rahasia itu ketahuan oleh Kaisar. Maka, tanpa diperintah lagi, 

untuk mempertahankan kenikmatan dan keuntungsan itu, juga 

untuk menyelamatkan diri, mereka itu menutup mulut dan tidak 

pernah membocorkan rahasia itu.

Demikianlah riwayat singkat dari Permaisuri Bu Cek Thian yang 

pada waktu, biarpun tidak secara terbuka dan sah, merupakan 

orang yang sesungguhnya memegang kendali pemerintahan. 

Bukan hanya untuk urusan pemerintahan, juga di dalam istana, 

ialah yang memegang kuasa penuh. Hanya kadang-kadang saja 

Kaisar Tang Kao Cung memperlihatkan sikap yang 

sesungguhnya, sikap seorang kaisar dan seorang suami, namun 

pada akhirnya, dialah yang kalah pengaruh dan tunduk kepada 

kemauan Sang Permaisuri.

Diri permaisuri itu diliputi penuh rahasia. Para pejabat tinggi yang 

setia kepada kaisar, mencemaskan keadaan itu, apa lagi setelah 

akhir-akhir ini timbul pembunuhan-pembunuhan rahasia terhadap 

beberapa orang pejabat tinggi dan pengeran, para menteri yang 

setia menjadi semakin gelisah. Akan tetapi, para pejabat tinggi 

yang “terpakai” oleh Bu Cek Thian, yang dipilih menjadi orang-

orang yang dipercaya oleh Sang Permaisuri, tentu saja tidak 

merasa cemas, bahkan diam-diam mereka merasa girang sekali 

karena kepercayaan Sang Permaisuri kepada mereka membuat 

derajat dan kekuasaan mereka terangkat naik.

Demikian besar kekuasaan Bu Cek Thian atas diri kaisar 

sehingga namanya terkenal di dalam sejarah. Apa lagi setelah ia


97

melahirkan seorang putera, kekuasaannya menjadi semakin 

besar dan Kaisar semakin tunduk kepadanya. 

Hanya Bu Cek Thian atau Bu Houw atau dahulu disebut Bi Houw 

yang tahu, siapakah sebenarnya ayah kandung Pangeran Tiong 

Cung itu! Tentu saja bagi kaisar sendiri dan umum, menganggap 

hahwa pangeran itu adalah putera kandung Kaisar Tang Kao 

Cung! Akan tetapi, sebelum melahirkan pangeran itu, diam-diam 

Bu Cek Thian yang sudah merasa tidak puas dengan suaminya, 

telah mengadakan hubungan dengan beberapa orang pria yang 

diselundupkan secara rahasia dari luar istana bagian puteri. 

Bahkan seorang di antara mereka itu, termasuk seorang tukang 

taman muda she Ma yang kemudian tewas secara aneh karena 

suatu penyakit perut yang mendadak. 

Dan melihat betapa hidung pangeran Tiong Cung yang besar itu 

serupa benar dengan bentuk hidung mendiang penjaga taman 

Ma, diam-diam Bu Cek Thian sendiri menduga bahwa mungkin 

tukang taman itulah ayah kandung puteranya yang sebenarnya.

Kalau tadinya masih ada menteri yang suka memperingatkan 

kaisar terhadap Bu Cek Thian, setelah wanita itu melahirkan 

putera yang menjadi pangeran mahkota, tentu saja tidak ada lagi 

yang berani mencela wanita itu di depan kaisar atau siapapun 

juga. Kekuasaan Bu Cek Thian sebagai lbu Suri amatlah 

besarnya, dan sekali Ibu Suri ini menudingkan telunjuknya, siapa 

saja, tidak perduli betapapun besar kedudukannya, akan 

ditangkap, dihukum buang ataupun dihukum mati!


98

Ketika terjadi pembunuhan-pembunuban rahasia yang 

menggelisahkan Kaisar, Bu Cek Thian juga menjadi gelisah dan 

permaisuri ini yang mengusulkan kepada kaisar untuk mengutus 

Cian Ciang-kun, yaitu Cian Hui yang terkenal sebagai seorang 

detektip ulung dan pandai itu, untuk malakukan penyelidikan dan 

membongkar rahasia pembunuhan yang menggelisahkan itu. 

Semua pejabat pemerintah, terutama sekali yang berkedudukan 

tinggi, menduga-duga siapakah pembunuh misterius itu, dan 

siapa pula yang berdiri di belakangnya. Memang sukar untuk 

menduga dan keadaannya membingungkan sekali. 

Kalau yang terbunuh itu hanya orang-orang yang dekat dengan 

kaisar misalnya, tentu akan timbul dugaan bahwa pembunuh 

misterius dan pengaturnya tentulah orang yang tidak suka kepada 

kaisar dan orang yang ingin memereteli kekuasaan kaisar dengan 

menyingkirkan mereka yang membantu kaisar dan yang setia 

kepada kaisar. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak pula 

pejabat tinggi yang terkenal anti dengan kebijaksanaan kaisar, 

yang bahkan condong membela dan mendukung kebijaksanaan 

Ibu Suri atau Permaisuri, juga terbunuh!

◄Y►

“Ih, kenapa rumahmu sesunyi ini, Cian Ciang-kun? Engkau 

seorang pejabat yang penting dan berpengaruh di kota raja, akan 

tetapi rumahmu yang besar ini amat sunyi. Aku hanya melihat 

beberapa orang pelayan saja di luar tadi dan di dalamnya begini 

sunyi dan lengang!” kata “nenek” tua itu yang bukan lain adalah 

Liong-li yang menyamar sebagai seorang nenek tua ketika


99

memasuki kota raja bersama Cian Hui. Ucapan itu keluar dari 

mulutnya ketika ia bersama tuan rumah itu sudah memasuki 

rumah gedung milik Cian Hui, dan mereka tiba di ruangan dalam, 

duduk berdua saja menghadapi sebuah meja marmer bundar.

Cian Ciang-kun menarik napas panjang, pria berusia empatpuluh 

tahun itu merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan 

itu. Ucapan yang amat tepat karena betapa seringnya dia 

merasakan kesunyian yang mencekam itu apa bila dia berada di 

dalam rumahnya. Begitu terasa kehilangan besar itu, kehilangan 

isteri dan anaknya, membuat dia merasa kesepian dan tidak 

berarti. Hanya kalau dia berada di luar rumahnya, sedang 

melakukan tugas, dia bebas dari rasa kesepian itu. 

Memang hati dan akal pikiran ini selalu membutuhkan sesuatu 

untuk ditempel atau diikat. Kalau ada sesuatu yang dimiliki, 

barulah diri merasa ada artinya! Makin penting yang dimilikinya 

itu, makin berharga, akan semakin besar pula arti diri. Baik yang 

dimiliki itu berupa kedudukan, nama besar, harta benda, 

kepercayaan, atau orang-orang yang dicinta, apa saja yang 

mendatangkan kesenangan, maka hidup seakan-akan baru ada 

artinya karena membutuhkan dan dibutuhkan! 

Inilah sebabnya, ikatan inilah yang mendatangkan rasa kecewa, 

sakit dan duka kalau kita ditinggalkan sesuatu yang kita miliki dan 

kita senangi itu, entah itu nama besar, kepopuleran, harta benda, 

orang yang disenangi, atau apa saja. Si-aku baru berarti dan 

“hidup” apa bila ada yang ditempeli atau diikatnya. Makin banyak 

ikatan, akan semakin hidup dan berarti rasanya! Kita lupa bahwa 

semua yang kita anggap, sebagai milik itu hanyalah aku-akuan


100

saja, hanya sementara saja seolah-olah hanya dipinjamkan dan 

sekali waktu pasti akan berpisah dari kita.”

“Aihh, habis mau bagaimana lagi, Li-hiap? Aku adalah seorang 

duda, kehilangan anak isteri. Dan untuk keperluanku seorang diri 

saja, cukup dengan bantuan dua orang pelayan pria dan seorang 

pelayan wanita yang kau lihat tadi,” kata Cian Hui.

Liong-li tersenyum dan karena ia tersenyum wajar, bukan senyum 

buatan sebagai pelengkap penyamaran, maka “nenek” itu kini 

nampak manis sekali!

“Cian Ciang-kun, engkau seorang yang pandai dan cerdik, 

mengapa bicaramu seperti seorang kakek-kakek yang lemah dan 

putus asa saja? Engkau masih muda, engkau jantan dan gagah 

menarik, memiliki kedudukan yang baik, tidak kekurangan harta 

benda, juga berilmu, pandai ilmu silat dan juga menjadi seorang 

penyelidik yang terkenal. Kalau engkau kehendaki. banyaklah 

gadis cantik jelita yang ingin dan suka sekali menjadi isterimu. 

Engkau tinggal pilih saja dan kalau engkau mempunyai seorang 

isteri lagi, besar harapan engkau mempunyai keturunan dan 

membangun sebuah keluarga baru di dalam rumahmu ini.”

“Ah, cukuplah, Li-hiap. Apa yang kau ucapkan itu sudah 

diucapkan pula oleh banyak sahabatku. Dan akupun pernah 

mencoba untuk memilih-milih seorang wanita sebagai pengganti 

isteriku. Namun sampai sekarang belum juga berhasil! Kalau 

bukan ada sesuatu pada dirinya yang tidak kusenangi, atau ada 

suatu sikapnya yang tidak cocok denganku, tentu ia seorang yang


101

kuanggap terlalu muda bagiku. Ahhh, semua usahaku sia-sia dan 

aku menjadi putus asa. Biarlah, aku tinggal menduda saja. 

“Dan bagaimana dengan dirimu, Li-hiap? Jangan engkau hanya 

menasihati aku saja. Lihat dirimu! Engkau seorang yang cantik 

jelita, berilmu tinggi, kaya raya. Namun engkau tinggal 

membujang, tidak berumah tangga, tidak bersuami. Pada hal 

mencari seorang wanita seperti engkau ini di dunia hanya dapat 

dihitung dengan jari tangan saja! Kalau ada seorang wanita yang 

sepersepuluhmu saja baiknya, tentu aku sudah menikah lagi!”

“Ih, ngawur! Engkau terlalu memujiku dan merendahkan dirimu 

sendiri, Ciang-kun. Terus terang saja, akupun amat kagum dan 

suka padamu. Seperti engkau inilah seorang di antara para pria 

yang kuanggap hebat untuk dijadikan suami.”

SEPASANG mata perwira itu terbelalak.

“Be.... benarkah itu, li-hiap? Benarkah kata-katamu itu? Aduh, 

kalau saja engkau suka dan mau, ah, kalau saja engkau dapat 

hidup di rumahku ini sebagai teman hidupku selamanya, sebagai 

isteriku, akan sempurnalah hidup ini!”

“Huh, melantur kau, Ciang-kun! Aku tidak mau terikat menjadi 

isteri siapapun, kalau menjadi teman baik sekali mungkin...... 

akan tetapi sudahlah, kelak saja kita bicara tentang urusan 

pribadi. Kita menghadapi tugas penting yang harus kita 

selesaikan. Nah, sekarang engkau harus mencarikan jalan bagiku 

agar aku dapat menyelundup ke dalam istana sebagai seorang 

gadis dusun yang menjadi seorang dayang, pelayan atau apa 

saja, Ciang-kun.”


102

Cian Hui menarik napas panjang. Hatinya dipenuhi harapan 

muluk! Kalau saja wanita ini dapat menjadi isterinya! Liong-li 

telah, berterus terang mengatakan bahwa ia kagum dan suka 

kepadanya, dan suka pula menjadi teman baiknya. Seorang 

wanita yang bukan main! Hebat!

“Baiklah, li-hiap. Aku akan menghubungi sahabatku yang boleh 

dipercaya dan yang bertugas di dalam istana agar engkau dapat 

diselundupkan di sana. Hal itu mungkin akan makan waktu dua-

tiga hari dan sementara itu, harap engkau suka tinggal dulu di 

sini. Selama aku pergi, anggaplah ini rumahmu sendiri, li-hiap. 

Tiga orang pelayanku akan kupesan agar mereka mentaati 

semua perintahmu.”

“Tidak perlu sungkan, Ciang-kun. Asal aku mendapatkan sebuah 

kamar di sini sudahlah cukup dan tiga orang pelayanmu bahkan 

jangan mendatangi kamarku kalau tidak kupanggil. Kalau aku 

membutuhkan sesuatu, aku akan memanggil seorang di antara 

mereka. Akupun tidak bisa tinggal diam saja. Selagi engkau 

mencari hubungan dengan orang dalam istana itu, akupun akan 

menggunakan waktu dua-tiga hari ini untuk melakukan 

penyelidikan, terutama di waktu malam, dengan jalan meronda. 

Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengan Kwi-eng-cu (Si 

Bayangan Iblis)!”

Cian Hui mengangguk-angguk. “Baiklah, Li-hiap, akan tetapi 

harap engkau berhati-hati karena menurut berita yang kuperoleh, 

Si Bayangan Iblis itu lihai bukan main dan dapat bergerak seperti 

iblis saking cepatnya.”


103

Malam hari itu, setelah cuaca gelap sesosok bayangan hitam 

berkelebat di atas wuwungan rumah gedung tempat tinggal Cian

Ciang-kun. Tiga orang pelayan perwira itu sama sekali tidak 

melihat bayangan itu, tidak tahu bahwa bayangan itu adalah 

bayangan “nenek” yang menjadi tamu tuan mereka. 

Memang Liong-li tidak ingin ada orang melihatnya ketika ia mulai 

melakukan penyelidikan di kota raja. Ia mengenakan pakaian 

serba hitam dan sengaja menutup mukanya dengan saputangan 

hitam, hanya nampak sepasang matanya saja yang jeli 

mencorong tajam. Rambutnya juga ditutup kain hitam, bahkan 

pedang pusaka Hek-liong-kiam yang biasanya tidak pernah 

berpisah darinya, pada saat itupun tidak dibawanya dan 

disembunyikan di suatu tempat yang aman. 

Hal ini menunjukkan bahwa Liong-li tidak ingin ada orang 

mengetahui bahwa si topeng hitam itu adalah Hek-liong-li! Hal ini 

penting sekali. Ia akan menyelundup ke dalam istana dan biarpun 

ia menyelundup sambil menyamar, akan tetapi siapa tahu pihak 

lawan bermata tajam dan lihai. Pendeknya, jangan sampai lawan 

mengetahui bahwa yang kini sedang bergerak di kota raja 

membantu Cian Ciang-kun adalah Hek-liong-li. Bergerak secara 

rahasia begini ia akan dapat merasa lebih leluasa.

Setelah berhasil keluar dari rumah besar itu, tubuhnya berkelebat 

dengan cepatnya menembus kegelapan malam dan kalau tidak 

kebetulan ada orang lain yang berada di dekatnya, tentu tidak 

akan nampak jelas bayangan hitam yang berkelebatan itu. Dan 

mungkin saja ia yang akan dikira tokoh yang biasa diberi sebutan 

Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) karena memang gerakannya itu


104

seperti beterbangan saja saking cepatnya. Dan iapun tidak 

melalui jalan yang ramai, melainkan menyelinap dan menyusup di 

balik pohon dan rumah, kadang-kadang kalau terpaksa melalui 

bagian yang ramai ia melompat ke atas wuwungan rumah dan 

berloncatan dari genteng rumah yang satu ke rumah yang lain.

Demikianlah, semalam itu Liong-li melakukan perondaan. Ia 

melihat betapa banyaknya orang yang berkeliaran secara 

rahasia, maka iapun kagum melihat cara Cian Ciang-kun bekerja. 

Tidak salah lagi, orang-orang yang berkeliaran dan berjaga-jaga 

di segala tempat itu, tentulah anak buah yang disebar oleh Cian 

Ciang-kun! 

Ia telah mendekati pula tembok pagar istana yang dijaga ketat. 

Alangkah kuatnya penjagaan di sana dan seekor burungpun 

kalau terbang lewat akan ketahuan penjaga, apa lagi seorang 

manusia. Agaknya, tidak akan mungkin kalau ia harus memasuki 

kompleks istana di balik pagar itu tanpa diketahui penjaga. Ia 

hanya mengelilingi kompleks istana itu dari luar pagar tembok. 

Hal inipun harus ia lakukan dengan hati-hati sekali karena di luar 

pagar tembokpun penjagaan amat ketatnya.

Tidak ada terjadi sesuatu yang menarik malam itu. Kecuali 

memergoki beberapa orang yang mencurigakan dan ketika ia 

bayangi ternyata mereka itu hanyalah maling-maling biasa yang 

mencari korban di malam itu, dan yang ia biarkan saja karena 

tidak ada hubungannya dengan tugasnya, ia tidak melihat 

sesuatu yang dapat dihubungkan dengan Kwi-eng-cu. Dengan 

hati agak kecewa dan penasaran, menjelang pagi Liong-li kembali 

ke rumah Cian Ciang-kun dan memasuki kamarnya tanpa


105

diketahui tiga orang pelayan. Iapun tidak tahu apakah Cian Hui 

sudah berada di dalam kamarnya.

Pada siang harinya Liong-li keluar dari dalam kamarnya. Ia telah 

mandi dan makan sarapan pagi yang ia minta dari seorang 

pelayan wanita. Mendengar suaranya, Cian Ciang-kun segera 

datang menemuinya. Perwira itupun kelihatan lelah seperti orang 

yang kurang tidur. Begitu bertemu, Cian Hui mempersilakan 

Liong-li duduk dan mereka bercakap-cakap di ruangan dalam 

setelah pelayan menghidangkan minuman dan mengundurkan 

diri tanpa diperintah.

“Bagaimana hasil penyelidikanmu semalam, li-hiap?”

Liong-li mengangkat muka, sepasang mata yang tajam di balik 

penyamaran wajah nenek keriput itu menatap wajah Cian Hui 

penuh selidik. “Engkau tahu bahwa aku semalam meninggalkan 

kamarku, Ciang-kun?”

Cian Hui tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Sebelum 

engkau pergi, aku telah lebih dahulu meninggalkan rumah, dan 

tiga orang pelayanku sama sekali tidak melihat engkau pergi. 

Akan tetapi, ada seorang di antara orang-orangku yang bertugas 

jaga dan meronda malam tadi, melihat berkelebatnya bayangan 

hitam. Dia melapor kepadaku dan akupun menduga bahwa 

bayangan itu tentu engkau.”

“Kenapa aku? Bukankah mungkin bayangan itu adalah Si 

Bayangan Iblis?”


106

“Sudah kuceritakan kepadamu, li-hiap, bahwa Si Bayangan Iblis 

itu merupakan bayangan yang menakutkan tinggi besar dan juga 

di kepalanya ada dua tanduk! Akan tetapi, pembantuku yang 

melapor tadi mengatakan hahwa bayangan hitam itu hanya 

berkelebat cepat, akan tetapi jelas kepalanya tidak bertanduk dan 

juga tubuhnya ramping. Karena engkau kemarin sudah 

memberitahu kepadaku bahwa malam ini engkau hendak 

melakukan penyelidikan, maka tentu saja mudah bagiku untuk 

mengambil kesimpulan bahwa engkaulah bayangan itu. Tidak 

benarkah dugaanku, li-hiap?”

Liong-li mengangguk. “Aku melihat orang-orangmu itu, Cian 

Ciang-kun. Suatu usaha penjagaan yang cukup ketat dan baik. 

Akan tetapi aku melihat betapa di sekeliling tembok istana tidak 

terdapat orangmu yang berjaga melakukan pengamatan, Ciang-

kun.”

Cian Hui menarik napas panjang dengan wajah kesal. “Tadinya 

memang ada kutaruh orang-orang di sekeliling istana, li-hiap. 

Akan tetapi hanya satu malam saja karena pada kesokan harinya 

aku ditegur oleh panglima pasukan keamanan yang bertugas 

untuk menjaga bagian luar istana. Pengamatan orang-orangku itu 

membuatnya tersinggung, seolah-olah aku tidak percaya kepada 

pasukan yang dipimpinnya. Terpaksa aku menghentikan 

penjagaan di sekeliling istana, li-hiap.”

“Hemm, sungguh sulit sekali kalau keadaannya seperti itu. 

Biarpun tidak mungkin orang keluar masuk melompati pagar 

tembok istana tanpa diketahui penjaga, namun sangat besar 

kemungkinannya di beberapa tempat terdapat pintu rahasia dari


107

mana orang dapat keluar masuk. Dan kalau benar terdapat pintu 

rahasia, maka seorang yang memiliki gerakan cepat dapat keluar 

masuk tanpa diketahui penjaga yang berjaga di atas tembok 

pagar itu. 

“Semalam aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. 

Akan tetapi malam ini aku akan melakukan penyelidikan lagi. Dan 

bagaimana dengan hasil yang kaudapatkan, Ciang-kun?”

“Sudah kuhubungi dan sahabatku itu sedang mengusahakan agar 

engkau dapat diselundupkan masuk sebagai seorang dayang 

baru, li-hiap. Dia harus lebih dulu menghubungi kepala Thai-kam 

dan beberapa orang pejabat yang berwenang mengurus hal itu. 

Paling cepat lusa baru engkau akan dapat memasuki istana.”

“Bagus, kalau begitu masih ada dua malam lagi untuk melakukan 

perondaan. Siapa tahu akan menemukan sesuatu. Sekarang aku 

minta agar engkau suka memperkenalkan nama dan keadaan 

orang-orang penting di dalam istana, juga aku ingin mengetahui 

orang-orang di luar istana yang sekiranya terancam bahaya 

pembunuhan Kwi-eng-cu, yaitu orang-orang yang dekat dengan 

kaisar. Siapa tahu, sewaktu aku meronda, orang-orang ini 

didatangi pembunuh.”

Dengan senang hati Cian Ciang-kun memperkenalkan nama para 

pejabat tinggi di dalam istana, dari Kaisar, Permaisuri, Putera 

Mahkota yang masih kecil, kepala Thai-kam yang ada beberapa 

orang komandan-komandan pasukan pengawal luar dan dalam 

istana, dan sebagainya lagi.


108

Juga Cian Ciang-kun memceritakan kepada Liong-li tentang 

kekuasaan Permaisuri atas diri Kaisar, betapa Permaisuri itu yang 

sekarang memegang kendali pemerintahan, walaupun yang 

menandatangi semua keputusan masih kaisar. Juga perwira ini 

dengan hati-hati menceritakan desas-desus yang didengarnya 

tentang penyelewengan-penyelewengan gelap yang dilakukan 

permaisuri.

Liong-li mendengarkan semua itu dengan tenang dan tidak 

merasa heran. Sudah lama ia mengetahui akan kehidupan para 

wanita di dalam istana seorang kaisar yang memiliki puluhan, 

bahkan sampai ratusan orang wanita yang melayaninya. Tidak 

mengherankan kalau seorang permaisuri sampai melakukan 

penyelewengan gelap. Suaminya, sang kaisar melakukan 

penyelewengan secara berterang, bukan dengan hanya seorang 

dua orang wanita, bahkan dengan puluhan atau ratusan orang!

Betapapun juga, desas-desus itu dapat pula dicatat sebagai 

sesuatu yang penting karena siapa tahu, hal itu ada pula 

hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan misterius itu.

Ia mencatat pula para pangeran dan puteri kaisar yang tinggal di 

dalam istana, wajah mereka, usia mereka, nama mereka. Ia harus 

menghafal semua itu karena ternyata jumlah nama yang harus 

dikenal dan dihafalnya, terdapat puluhan orang! Sudah dapat ia 

bayangkan, betapa akan sukarnya menyelidiki orang sebanyak itu 

di dalam kompleks istana yang terjaga ketat. Akan tetapi ia tidak 

merasa khawatir. Ia tidak akan mencari, melainkan akan 

memaksa dan memancing Si Bayangan Iblis untuk keluar dari 

tempat persembunyiannya dan memperkenalkan diri kepadanya!


109

Seperti malam pertama, pada malam kedua Liong-li melakukan 

perondaan, dan sekali ini tempat-tempat yang ia kunjungi sudah 

tertentu, yaitu tempat tinggal para pejabat tinggi yang oleh Cian 

Ciang-kun dianggap mungkin sekali didatangi Si Bayangan Iblis. 

Akan tetapi, malam itupun sunyi saja, dan agaknya Si Bayangan 

Iblis menghentikan pembunuhan-pembunuhan misterius itu untuk 

sementara. Apakah si Bayangan Iblis sudah tahu bahwa ada 

seorang wanita sakti sedang berkeliaran melacak jejaknya?

Namun, Hek-liong-li bukan seorang yang mudah putus asa. Pada 

malam ketiga, kembali ia melakukan perondaan. Tengah malam 

telah tiba ketika bayangannya berkelebat di dekat rumah gedung 

tempat tinggal Ciok Tai-jin, seorang pembantu Menteri bagian 

Pemungutan Pajak, seorang pejabat tinggi yang menurut 

keterangan Cian Ciang-kun, amatlah setia dan jujur, dan karena 

adanya Ciok Tai-jin inilah maka rakyat tidak dikenakan pajak 

semena-mena, juga yang berpenghasilan besar tidak mampu 

mengelak dari kewajiban membayar pajak. Mereka yang bekerja 

di bawah Ciok Tai-jin, tidak ada yang berani menyelewengkan 

uang pajak, atau menerima suapan dari pedagang besar agar 

pajaknya diperkecil, atau menekan rakyat yang tak berdaya 

dengan gertakan-gertakan mengandalkan kedudukan dan 

kekuasaan mereka.

Penyelewengan para pejabat dapat dilaksanakan dengan lancar 

dan baik, segala bentuk penyelewengan atau korupsi dapat 

dibasmi kalau dimulai dari atas! Kalau Sang Kaisar jujur dan 

bersih, tidak korupsi, sudah pasti Kaisar mampu dan berani untuk 

bertindak tegas dan keras terhadap para Menteri yang berani 

melakukan korupsi. Kalau Menterinya sudah tidak korupsi, tentu



110

dia akan berani melakukan tindakan tegas terhadap para pejabat 

tinggi kepala daerah yang membantunya. Dan demikian 

seterusnya, kalau atasannya bersih, dia berani bertindak 

terhadap bawahannya sehinggga sampai di kalangan yang paling 

bawah tidak akan berani melakukan penyelewengan karena 

atasannya yang bersih selalu bersikap tegas.

Sebaliknya, biar ditindak dengan keras bagaimanapun juga 

terhadap seorang pejabat, kalau dia melihat atasannya juga 

menyeleweng, tentu akan sukar membuat dia jera atau sadar. 

Juga atasan yang menyeleweng tidak akan berani menegur 

bawahannya yang menyeleweng. Bagaikan seorang bapak dalam 

sebuah keluarga, dialah yang harus lebih dulu membersihkan diri 

baru dia akan dapat menegur anak-anaknya kalau mereka itu 

menyeleweng dan tegurannya itu akan ditaati. 

Kalau si ayah penjudi, betapa mungkin dia melarang anak-

anaknya agar tidak berjudi? Dia baru dapat melarang, menegur, 

bahkan menghukum anak-anaknya yang berjudi kalau dia sendiri 

tidak berjudi. Bukankah demikian kenyataannya? Sekali lagi, 

pemberantasan korupsi baru akan berhasil dengan gemilang 

kalau pembersihan dilakukan dari atas, terus menekan ke bawah!

Demikian pula halnya dengan Ciok Tai-jin, Pembantu Menteri 

Pajak itu. Dia seorang pejabat tinggi yang bersih dan jujur lagi 

setia. Bahkan saking jujurnya, namanya terkenal sebagai seorang 

di antara pejabat teladan atasannya sendiri, Sang Menteri Pajak 

akhirnya juga terseret ke arah yang baik karena atasan ini 

merasa malu hati terhadap pembantu atau wakilnya!


111

Dan Ciok Tai-jin ini merupakan seorang di antara mereka yang 

disebut oleh Cian Hui, yaitu mereka yang mungkin sekali menjadi 

incaran Kwi-eng-cu atau Si Bayangan Iblis karena dia adalah 

seorang yang setia kepada Kaisar dan penentang segala bentuk 

penyelewengan sehingga dia amat dihormat dan dipercaya oleh 

kaisar.

Liong-li sudah merasa kesal karena malam ini adalah malam 

terakhir kalau besok pagi ia dapat diselundupkan ke istana, dan ia 

belum pernah melihat sesuatu yang mencurigakan. Akan sia-

sialah ia membuang waktu, tenaga dan berkorban tidak tidur 

selama tiga malam selama ini? 

Ia bersembunyi di balik sebatang pohon yang tumbuh di kebun 

belakang rumah besar itu setelah tadi ia melakukan pemeriksaan 

di seluruh permukaan atap rumah itu tanpa berjumpa dengan 

sesuatu yang mencurigakan. Ia juga melihat beberapa orang 

petugas jaga di gardu jaga pekarangan depan, dan melihat pula 

beberapa bayangan orang kadang-kadang lewat di jalan depan 

rumah. Ia menduga bahwa tentu bayangan-bayangan itu adalah 

anak buah Cian Ciang-kun. Akan tetapi apa artinya semua 

penjaga dan juga anak buah Cian Ciang-kun itu kalau benar ada 

seorang pembunuh yang berilmu tinggi datang? Takkan ada yang 

dapat melihatnya kalau pembunuh itu mempergunakan ilmunya. 

Buktinya, ia sendiri dapat memasuki kebun, bahkan melakukan 

penyelidikan ke atas atap tanpa ada yang mengetahuinya. 

Andaikata ia si pembunuh misterius itu, alangkah akan mudahnya 

menyelinap masuk dan mencari Ciok Tai-jin untuk dibunuhnya!


112

Tubuhnya juga mulai merasa lelah, karena terbawa kesalnya hati 

tidak mendapatkan hasil apapun dalam penyelidikannya. Selagi ia 

ragu-ragu apakah tidak akan ditinggalkannya saja dan 

dihentikannya penyelidikannya malam itu, tiba-tiba ia terbelalak 

dan seluruh syaraf di tubuhnya menegang, jantung berdebar 

tegang dan iapun siap siaga. 

Ada bayangan berkelebat dan bayangan ini jelas bukan 

bayangan anak buah Cian Ciang-kun, karena bayangan itu 

berkelebat melompati pagar tembok dan kini bayangan itu 

menyelinap di sebelah dalam kebun, bersembunyi di balik batang 

pohon! Agaknya setelah meloncati pagar tembok, bayangan itu 

cepat bersembunyi untuk melihat apakah keadaan di dalam pagar 

tembok itu aman. 

Liong-li tidak berani bergerak sedikitpun agar orang itu tidak 

curiga. Tadi bayangan itu berkelebat cepat sekali seperti seekor 

burung saja ketika melayang dan melewati pagar tembok. 

Demikian cepatnya sehingga yang dilihatnya hanya bayangan 

saja dan ia tidak tahu bagaimana bentuknya, tidak tahu apakah 

bayangan itu memiliki tanduk ataukah tidak! 

Tak lama kemudian, ia melihat lagi bayangan itu berkelebat, kini 

sudah dekat sekali dengan rumah gedung Ciok Tai-jin. Liong-li 

terkejut bukan main. Bayangan itu memang pantas disebut 

Bayangan Iblis karena tanpa diketahuinya, tahu-tahu bayangan 

itu telah menyusup dan telah dekat dengan rumah, dan kini 

bayangan itu berdiri dekat sinar lampu gantung di sudut rumah 

sehingga nampak bayangannya yang tinggi besar dan jantungnya


113

berdebar tegang ketika ia melihat dua benda hitam mencuat dari 

kepala bayangan itu. Bayangan itu bertanduk!

“Kwi-eng-cu (Bayangan iblis)......!” serunya dalam hati dan Liong-li 

cepat menyusup dan mendekat. Pada saat bayangan itu 

melayang naik ke atas wuwungan rumah, tubuh Liong-li juga 

melayang dan menyusul dengan cepat sekali karena iapun 

mengerahkan seluruh tenaga gin-kang sehingga tubuhnya seperti 

seekor naga hitam menerjang awan.

Kini si Bayangan Iblis yang terkejut nampaknya ketika tiba-tiba 

ada bayangan lain berkelebat dan seorang berpakaian serba 

hitam berkedok hitam yang bertubuh ramping telah berdiri di 

depannya! Liong-li juga memperhatikan orang itu. Memang tinggi 

akan tetapi tidak begitu besar, dan “tanduk” itu sesungguhnya 

bukan tanduk, melainkan kedok yang bagian atas kepalanya 

meruncing ke atas kanan kiri sehingga kalau dilihat dari jauh atau 

hanya sekelebatan saja memang mirip tanduk.

Akan tetapi, Liong-li tidak sempat mengamati dengan jelas, 

bahkan tidak sempat bertanya karena tiba-tiba saja, tanpa 

mengeluarkan suara, si Bayangan Iblis itu telah menerjangnya 

dengan gerakan yang luar biasa cepatnya!

“Hemmm......!” Liong-li melempar tubuh ke samping sambil 

berjungkir balik. Tentu jarang ada yang mampu menghindarkan 

diri dari hantaman tangan kiri disusul totokan tangan kanan tadi, 

pikirnya.

Si Bayangan Iblis sendiri agaknya juga terkejut dan heran. 

Memang jarang sekali dia bertemu orang yang mampu


114

menyelamatkan diri dari serangannya tadi. Biasanya dia tidak 

mau bekerja setengah-setengah, sekali serang tentu lawan roboh 

dan tewas, maka dia selalu mempergunakan jurus pilihan dan 

mengerahkan seluruh tenaganya. 

Namun, sekali ini dia kecelik karena orang berkedok hitam ini 

mampu menghindarkan diri, bahkan kini dari samping, lawannya 

membalas dengan serangan kaki. Kaki itu mencuat dalam bentuk 

tendangan yang mengarah lambungnya!

“Wuuuuttt......!” Tendangan Liong-li luput! Hal inipun 

memperingatkan Liong-li bahwa ia berhadapan dengan lawan 

yang tangguh sekali. Tendangannya tadi merupakan serangan 

yang dahsyat dan amat diandalkan, namun lawannya mampu 

mengelak dengan mudah!

“Huhh!” Suara ini keluar dari balik kedok lawannya, suara yang 

seperti mengejek atau mendengus, keluar dari hidung, kemudian 

orang itupun menyerang kalang kabut dan Liong-li semakin 

kagum. Bukan main hebatnya serangan lawannya, setiap 

gerakan tangannya mengandung tenaga yang amat dahsyat dan 

kuat, dan kecepatannya pun mengagumkan. 

Di samping itu, gerakan silatnya juga aneh sehingga ia tidak 

mampu mengenalnya. Untuk mengukur tenaga lawan, ketika 

lengan kanan lawan itu menyambar dengan cengkeraman ke 

arah kepalanya, Liong-li menyambut dengan lengan kanan pula 

sambil miringkan tubuh dan mengerahkan seluruh tenaganya.

“Dessss......!!” Hebat bukan main akibat pertemuan dua buah 

lengan yang dipenuhi sin-kang (tenaga sakti) yang sudah


115

mencapai tingkat tinggi itu. Tubuh Liong-li terpental dan ia harus 

mempergunakan kelincahannya, melakukan pok-sai (salto) 

sampai lima kali baru kakinya turun ke atas genteng dengan 

ringan. Adapun lawannya terdorong mundur dan kakinya terjeblos 

ke dalam genteng yang jebol! 

Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih kuat, akan 

tetapi kini Liong-li sudah siap lagi karena orang itu sudah 

meloncat dan menyerangnya lagi, dan terjadilah perkelahian yang 

amat hebat di atas wuwungan rumah itu. 

Melihat betapa lawan sangat marah dan bersemangat melakukan 

penyerangan, Liong-li bersikap tenang, lalu ia mainkan langkah-

langkah ajaib Liu-seng-pouw. Tubuhnya bergerak-gerak, kedua 

kakinya membuat langkah-langkah aneh, namun tubuhnya dapat 

menyelinap di antara kedua tangan dan kaki lawan yang 

menyambar-nyambar dengan ganasnya!

Keributan di atas genteng ini, apa lagi ketika kaki Kwi-eng-cu (si 

Bayangan Iblis) tadi terjeblos ke dalam genteng, tentu saja 

terdengar oleh para penjaga yang segera berlarian dan mereka 

itu memasang obor. Bahkan ada beberapa orang anak buah Cian 

Ciang-kun yang kebetulan meronda lewat, segera berdatangan 

dan tiga orang sudah meloncat naik ke atas genteng dengan 

senjata di tangan.

Sejak melihat sinar-sinar obor, Kwi-eng-cu nampak gugup dan 

tiba-tiba dia mengeluarkan seruan marah ketika melihat tiga 

orang berloncatan naik ke atas genteng. Tiba-tiba tangan kanan 

kirinya bergerak dan Liong-li cepat mengelak sambil


116

mengebutkan ujung lengan bajunya ketika melihat sinar-sinar 

hitam kecil menyambar. 

Ia terhindar dari sambaran benda-benda yang merupakan senjata 

rahasia itu, akan tetapi tiga orang yang berlompatan naik 

berteriak kesakitan dan merekapun roboh di atas genting. Liong-li 

meloncat dan melakukan pengejaran ketika Kwi-eng-cu melompat 

jauh dari atas wuwungan itu.

Terjadi kejar-mengejar di atas wuwungan, akan tetapi si 

Bayangan Iblis itu sudah melompat turun dan lenyap di antara 

pohon-pohon di dalam kebun. Liong-li juga melompat turun. Ia 

masih sempat melihat orang yang dikejarnya itu melompati pagar 

tembok, maka diapun cepat lari mengejar dan melompati pagar 

tembok, tidak perduli kepada para penjaga keamanan yang 

melihat mereka dan berteriak-teriak mengejar dengan obor di 

tangan kiri dan golok di tangan kanan.

Sayang malam itu gelap sehingga ketika dia tiba di luar pagar 

tembok rumah Ciok Tai-jin, ia kehilangan jejak. Akan tetapi, ia 

melihat sesosok bayangan lari di depan.

“Hemm, hendak lari ke mana kau?”' teriaknya dan iapun mengejar 

sambil mengerahkan tenaga. Dan sekali ini ia berhasil menyusul 

bayangan itu dan tiba-tiba, Bayangan itupun membalik dan 

menusukkan pedangnya ke arah dada Liong-li!

“Hemm......!” Liong-li mengelak dengan mudah saja dan iapun 

membalas dengan tendangan kakinya. Lawannya menarik 

pedang dan miringkan tubuh, lalu pedang di tangannya itu 

menyambar turun untuk memapaki kaki Long-li yang menendang.


117

Liong-li tersenyum mengejek, menarik kakinya dan kini tangan 

kirinya menyambar ke arah pelipis lawan, sedangkan tangan 

kanannya menotok ke arah siku kanan yang menonjol ke 

samping! Gerakannya cepat sekali dan lawannya mengeluarkan 

seruan kaget lalu melompat be belakang.

“Hemmmm......!” Liong-li berseru juga dengan heran lalu kakinya 

menyambar dahsyat. Orang itu mengelak lagi, akan tetapi 

pinggangnya masih kena dicium pinggir sepatu Liong-li sehingga 

dia terhuyung, lalu dia membalikkan, tubuhnya dan lari!

“Ehhh?” Liong-li merasa semakin heran. 

Orang berkedok dan berpakaian hitam ini serupa benar dengan 

yang ditempurnya di wuwungan rumah tadi, akan tetapi ia 

merasakan dengan jelas bahwa tingkat kepandaian orang 

pertama tadi jauh lebih tinggi dari pada kepandaian orang 

berpedang ini, walaupun yang kedua inipun merupakan lawan 

tangguh! Ia merasa curiga sekali dan menduga bahwa agaknya 

ada dua orang Kwi-eng-cu!

“Hemm, hendak lari ke mana kau?” teriaknya dan iapun 

melakukan pengejaran. 

Kota raja sudah sunyi sekali karena malam sudah amat larut, 

sudah jauh lewat tengah malam. Hanya orang mabok saja yang 

masih berkeliaran di jalan raya, akan tetapi karena mereka itu 

mabok, tentu saja melihat dua orang lari berkejaran mereka tidak 

mengambil pusing.


118

Aku harus tahu di mana sarangnya, pikir Liong-li. Akan tetapi, 

orang itu tidak lari ke arah istana seperti yang disangkanya, 

bahkan yang diharapkannya, melainkan lari ke arah selatan 

menjauhi istana! Pintu gerbang selatan memang tidak jauh dari 

situ. 

Biar dia lari dari pintu gerbang, pikir Liong-li. Menurut Cian Ciang-

kun, pada waktu itu, pintu-pintu gerbang kotaraja di jaga ketat, 

maka kalau si bayangan hitam itu lari ke situ, tentu akan ketahuan 

dan tidak mungkin dia dapat melarikan diri keluar pintu gerbang.

Akan tetapi, ia menahan seruan kagetnya ketika melihat orang 

yang dikejarnya itu terus saja berlari menghampiri pintu gerbang, 

dan setelah tiba di pintu yang tertutup itu, tubuhnya meloncat ke 

atas dan tidak ada seorang pun penjaga yang mencegah 

perbuatannya atau yang kelihatan menghadang atau berteriak 

menegur!

Tentu saja Liong-li tidak memperdulikan keadaan itu dan terus 

mengejar dengan melompat ke atas pintu gerbang pula, melalui 

bangunan gardu seperti yang dilakukan orang yang dikejarnya. 

Setelah tiba di luar pintu gerbang, ia terus mengejar karena 

melihat si Bayangan Iblis itu lari ke arah kiri. Akan tetapi, yang 

dikejarnya itu lenyap di balik sebatang pohon besar. Untung 

banyak bintang kini bermunculan di langit yang telah ditanggalkan

awan sehingga biarpun remang-remang cuaca tidaklah terlalu 

gelap.

Ketika ia tiba di dekat pohon, tiba-tiba ada angin menyambar dari 

kanan. Ia mengelak dan membalas serangan orang itu. Kiranya si


119

Bayangan Iblis telah menyerangnya dengan pedangnya. 

Tendangannya membuat lawannya menarik pedang yang kini 

diangkat tinggi dan dibacokkan ke arahnya. Akan tetapi tanpa 

menggerakkan kakinya, dengan tendangan berantai, Liong-li 

“memasuki” dada yang terbuka itu.

“Desss!” Perut orang itu bertemu dengan tumitnya dan orang 

itupun terjengkang. Dia bergulingan dan menggerakkan tangan 

kiri. Liong-li yang mengejar, terpaksa mengelak untuk 

menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia sehingga 

orang itu memperoleh kesempatan untuk lari lagi.

“Jangan lari kau!” bentak Liong-li akan tetapi lawan telah 

menghilang di balik batang pohon di depan. 

Ketika ia mengejar, tiba-tiba ada lagi serangan dari kiri. Ini tidak 

mungkin orang yang lari tadi, pikirnya heran, apa lagi ketika 

serangan itu jauh lebih dahsyat dari pada orang tadi, walaupun 

bayangan itu masih sama gesitnya, dan juga berpedang.

Demikian cepat dan dahsyatnya serangan ini sehingga Liong-li 

terkejut, nyaris pundaknya terbabat pedang. Untung ia masih 

sempat menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw sehingga 

biarpun terhuyung, ia mampu menghindarkan diri dari serangan 

bertubi-tubi itu. 

Kemudian, di dalam keremangan cuaca, ia melihat sebatang 

ranting pohon di bawah pohon di mana mereka berkelahi. Ketika 

pedang membabat dan berputaran untuk menutup semua jalan 

keluar, Liong-li menggunakan tubuhnya dan menyambar ranting


120

itu. Sambil meloncat, ujung rantingnya menotok ke arah 

pergelangan tangan yang memegang pedang.

“Auhh!” Orang itu tidak menyangka sama sekali akan kelihaian 

Liong-li dalam menggunakan senjata yang hanya berupa 

sebatang ranting itu! Tentu saja Liong-li lihai bukan main 

memainkan ranting karena selain ilmu pedang, juga ia telah 

mewarisi ilmu silat tongkat dari suhunya, yaitu Huang-ho Kui-bo 

yang merupakan tokoh sakti yang terkenal dengan ilmu 

tongkatnya! Bahkan ilmu pedangnya juga bersumber dari ilmu 

memainkan tongkat ini!

Namun orang itu ternyata lihai juga. Biar pun pergelangan tangan 

kanannya tertotok ujung ranting, sehingga pedangnya terlepas, 

namun pedang itu dapat disambar oleh tangan kirinya dan iapun 

memutar pedangnya dengan marah. Liong-li terpaksa melangkah 

mundur menghindarkan sambaran pedang. Akan tetapi pada saat 

itu, lawannya melompat jauh ke belakang lalu melarikan diri 

memasuki sebuah hutan kecil.

Liong-li adalah seorang wanita yang selain sakti, juga cerdik 

bukan main. Melihat lawannya melompat ke dalam hutan yang 

gelap, ia tidak mau mengejar. Apa lagi ia tadi merasa dilawan 

oleh tiga orang yang berlainan, walaupun mereka semua 

mengenakan pakaian dan kedok yang sama, dan ketiganya lihai 

dan memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. 

Ia tidak mau masuk perangkap lawan. Selain itu, iapun tidak mau 

menanti sampai hari menjadi terang karena ia sendiripun 

melakukan penyamaran dan tidak ingin dikenal orang. Maka,


121

iapun cepat memutar tubuhdan lari secepatnya menuju ke pintu 

gerbang. 

Ia harus menyelidiki para penjaga pintu gerbang, kenapa mereka 

itu sama sekali tidak menegur dan tidak menghalangi ketika ia 

berkejaran dengan Si Bayangan Iblis keluar dari Kota raja melalui 

pintu gerbang tadi. Apakah para penjaga itu termasuk sekutu Si 

Bayangan Iblis?

Setelah Liong-li memasuki gardu penjagaan dan melihat belasan 

orang perajurit penjaga pintu gerbang itu, barulah ia tahu 

mengapa Si Bayangan Iblis mampu keluar dari pintu gerbang 

tanpa terganggu para penjaga. Kiranya para penjaga itu semua 

dalam keadaan pingsan tertotok! 

Makin yakinlah hatinya bahwa Si Bayangan Iblis itu bukan hanya 

satu orang saja! Yang bertempur dengannya tadi saja ia taksir 

tiga orang yang berlainan, dan mungkin lebih banyak lagi melihat 

bahwa ada pula yang menotok para penjaga sampai pingsan. Ia 

tidak menyadarkan para penjaga. Biarlah, ini bagian Cian Ciang-

kun untuk menyelidiki dan menanyai mereka. Iapun terus saja 

memasuki kota dan menuju ke rumah Cian Ciang-kun.

Akan tetapi ketika ia melewati rumah itu, perasaannya yang peka 

itu memberi isyarat kepadanya dan kecerdikannya pun bekerja. 

Tidak, pikirnya, ia tidak boleh memasuki rumah Cian Ciang-kun! 

Siapa tahu kalau ada pihak lawan yang membayanginya. Kalau ia 

tadi mampu membayangi lawan, kini berbalik mungkin sekali 

lawan membayanginya sejak di luar kota tadi!


122

Kalau benar demikian, tentu mereka akan mengetahui bahwa ia 

tinggal di rumah Cian Ciang-kun sehingga akan terbongkarlah 

rahasianya! Dan hal ini berbahaya sekali! Tidak, ia harus dapat 

menghilangkan jejaknya sebagai si kedok hitam yang jelas 

menentang pembunuh misterius yang berjuluk Kwi-eng-cu itu.

Tanpa ragu dan tanpa menengok sedikitpun ke arah rumah Cian 

Ciang-kun maupun ke belakang, Liong-li terus saja bergerak 

menuju ke sebuah kuil! Tidak ada tempat yang lebih baik untuk 

menghilangkan jejaknya kecuali di kuil besar itu. 

Pada masa itu, agama Buddha sedang berkembang dengan 

baiknya dan diterima oleh keluarga kaisar, maka kuil yang berada 

di kota raja amat besar. Banyak dikunjungi tamu, bahkan ada 

pula tamu-tamu yang sengaja bermalam di kuil itu. Juga di situ 

penuh dengan hwesio yang beribadat dan saleh.

Selama tiga hari ini, Liong-li sudah berkeliling kota dalam 

penyelidikannya, dan iapun tidak melewatkan kuil ini. Sudah 

dikunjunginya beberapa kali sebagai seorang nenek, namun tidak 

ada yang mencurigakan di kuil itu. 

Penyelidikannya membuat ia tahu akan keadaan kuil itu, maka 

tanpa ragu lagi ia menyelinap masuk ke dalam ruangan depan 

kuil yang sunyi karena baik para tamu maupun para pendeta 

sudah beristirahat. Hanya meja sembahyang masih nampak ada 

lilin bernyala dan asap sisa hio masih memenuhi ruangan.

Ketika memasuki ruangan itu, Liong-li diam-diam melepas 

pakaian hitamnya, kemudian menyelinap ke tempat yang gelap 

dan cepat sekali ia merobah penyamarannya. Lima menit


123

kemudian, ketika ia keluar dari tempat gelap, ia telah menjadi 

seorang nenek keriputan yang membawa buntalan dan berjalan 

agak bongkok, yang masuk ke ruangan di mana para tamu yang 

ingin memohon sesuatu di kuil itu bermalam. 

Iapun mencampurkan diri dengan para tamu perempuan yang 

masih tidur dalam ruangan kosong yang luas itu, tidur malang 

melintang dan iapun merebahkan diri memeluk buntalannya yang 

sesungguhnya berisi pakaian dan kedok hitamnya tadi. Ia 

menanti sambil berpura-pura tidur.

Tak lama kemudian ia mendengar gerakan kaki di luar ruangan, 

lalu sebuah kepala muncul di balik jendela. Sepasang mata yang 

tajam menyapu ruangan itu. Kepala seorang laki-laki yang 

usianya kurang lebih empatpuluh tahun, bermuka persegi dan 

bermata tajam sekali. Ia melihat orang itu memiringkan kepala 

dan iapun tahu bahwa orang itu sedang melakukan penyelidikan 

dengan pendengarannya yang tajam terlatih. Maka iapun 

mengatur pernapasannya, seperti orang tidur nyenyak.

Tak lama kemudian, kepala itupun menghilang. Akan tetapi ia 

masih belum mau bergerak. Ia harus berhati-hati. Mungkin lawan 

yang membayanginya sedang mencari-cari di seluruh kuil karena 

ia memang tadi menghilang ke dalam kuil. 

Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian, kembali kepala itu 

muncul dan mengamati seluruh ruangan, seluruh perempuan 

yang tidur, seperti hendak memilih siapa di antara mereka itu 

orang yang dicarinya. Dan Liong-li tetap saja tidak bergerak, 

bahkan ia mengeluarkan suara mendengkur lirih! Hatinya


124

tersenyum geli, akan tetapi juga memuji diri sendiri akan 

ketelitiannya.

Terdengar kepala di jendela itu menghela napas, agaknya 

kecewa karena kehilangan orang yang dibayanginya. Setelah 

mengamati semua orang selama hampir seperempat jam 

lamanya, akhirnya kepala itupun menghilang dan Liong-li 

mendengar langkah kaki meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa 

orang itu tidak ada nafsu lagi untuk menyelidiki, buktinya 

langkahnya berat dan acuh.

Setelah terdengar ayam berkokok dan beberapa orang di antara 

para tamu wanita itu, ada yang terbangun. Liong-li juga bangun 

dan berlagak seperti orang yang baru bangun tidur, 

membereskan rambutnya yang awut-awutan lalu bangkit 

meninggalkan ruangan itu. Sikap dan penampilannya demikian 

wajar sehingga tidak mencurigakan siapapun.

Siapa yang akan mencurigai seorang nenek tua yang mungkin 

mintakan ramalan untuk dirinya, atau mungkin juga memintakan 

obat untuk cucunya yang sakit, di kuil itu? Dengan terbongkok-

bongkok Liong-li yang kini sudah berubah menjadi seorang nenek 

keriputan itu meninggalkan kuil, terseok-seok dengan muka 

tunduk berputar-putar dulu untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak 

dibayangi orang, baru ia melewati gedung Cian Ciang-kun dan 

memasuki pekarangan. 

Tiga orang pelayan itu memandang heran. Mereka tahu bahwa 

majikan mereka mempunyai seorang tamu, akan tetapi setahu 

mereka, nenek tua yang menjadi tamu itu tidak pernah


125

meninggalkan kamarnya. Bagaimana sekarang tahu-tahu telah 

datang dari luar? Untung bahwa Cian Ciang-kun yang sejak pagi 

menanti dengan gelisah, segera menyambutnya.

“Aih, bibi, sepagi ini engkau sudah berjalan-jalan?” tegurnya dan 

diapun segera membimbing “bibinya” yang dari dusun itu dan 

diajaknya masuk.

Tiga orang pelayan itu menggeleng-geleng kepala setelah 

majikan mereka menggandeng nenek itu masuk. Mereka tahu 

bahwa majikan mereka adalah seorang yang baik budi, akan 

tetapi belum pernah mereka melihat majikan mereka mempunyai 

seorang bibi dari dusun yang sudah tua dan yang agaknya amat 

dihormati dan disayang oleh majikan mereka. Akan tetapi, tentu 

saja urusan keluarga itu tidak menarik perhatian mereka.

“Wah, engkau sungguh membuat aku menjadi gelisah bukan 

main, Li-hiap. Apa saja yang kaudapatkan semalam sehingga 

engkau sampai pulang terlambat dan sudah menyamar lagi 

sebagai seorang nenek?” Cian Ciang-kun yang cerdik segera 

dapat menduga bahwa tentu pendekar wanita itu telah 

menemukan sesuatu.

Liong-li lalu menceritakan apa yang telah dialaminya semalam, 

didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cian Ciang-kun. 

Ketika Liong-li bercerita tentang para penjaga pintu gerbang 

selatan yang pingsan tertotok semua, dia cepat bertepuk tangan 

dan seorang pelayan pria muncul di ambang pintu.

“Cepat kau pergi keluar dan undang Teng Ciang-kun ke sini. 

Cepat!”


126

Pelayan itu berlari keluar dan tak lama kemudian dia sudah 

kembali bersama seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun 

yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dia adalah Teng 

Ciang-kun, seorang perwira yang setia membantu Cian Ciang-

kun dan tinggalnya pun di bangunan kecil sebelah depan rumah 

Cian Ciang-kun yang menjadi atasannya. 

Teng Ciang-kun memberi hormat tanpa memperdulikan nenek tua 

yang duduk di situ. Dia adalah seorang petugas yang setia dan 

amat baik, melaksanakan segala tugas yang diperintahkan 

atasannya dengan taat dan tidak pernah ingin tahu akan urusan 

pribadi atasannya. Maka diapun acuh saja melihat hadirnya 

seorang nenek di situ, hal yang sebenarnya tidak wajar dan tidak 

seperti biasa.

“Teng Gun, cepat engkau pergi ke pintu, gerbang selatan dan 

selidiki kepada semua perajurit yang bertugas jaga semalam, apa 

yang terjadi dengan mereka. Atau lebih baik lagi engkau bawa 

saja komandan jaganya ke sini, katakan bahwa aku mempunyai 

kepentingan dengan dia. Sekarang juga!”

Teng Gun atau Teng Ciang-kun memberi hormat lalu pergi. 

Terdengar suara derap kaki kuda, tanda bahwa dia berkuda agar 

dapat melaksanakan tugas itu dengan cepat.

Sambil menanti kembalinya Teng Ciang-kun, Cian Hui 

melanjutkan percakapannya dengan Liong-li.

“Jelaslah sekarang bahwa Si Bayangan Iblis bukan hanya satu 

orang saja, Ciang-kun. Yang berkelahi dengan aku sedikitnya ada 

tiga orang Kwi-eng-cu yang berlainan. Hal ini dapat kukenal dari


127

tingkat kepandaian mereka. Sungguh berbahaya sekali, mereka 

itu semua amat lihai, terutama orang pertama yang kuhadang di 

atas genteng rumah Ciok Tai-jin. Terlambat sedikit saja, Si 

Bayangan Iblis itu tentu sudah masuk dan berhasil membunuh 

Ciok Tai-jin.”

“Hemm, belum tentu, Li-hiap. Ketahuilah bahwa di dalam rumah 

wakil Menteri Pajak itu terdapat seorang jagoan yang amat lihai, 

seorang murid dari orang sakti di Kun-lun-san. Kabarnya jagoan 

itu murid Kun-lun-pai yang amat tangguh. Karena adanya jagoan 

itulah maka akupun tidak melakukan penjagaan ketat di dekat 

rumah Ciok Tai-jin, seperti di rumah para pejabat tinggi lain yang 

kuanggap mungkin akan diserang oleh Kwi-eng-cu.”

“Hemm, bagus kalau begitu. Dia seorang pengawal pribadi 

pembesar itu?” tanya Liong-li tertarik.

“Bukan pengawal, melainkan masih anggauta keluarga. Ia adalah 

keponakan wanita isteri pembesar itu.”

“Hemm, seorang wanita?”

“Ia, seorang wanita yang masih muda dan cantik, sebaya dengan 

engkau, li-hiap. Kalau orang melihatnya, tentu tidak akan 

menyangka bahwa ia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang 

gemblengan dan lihai sekali. Namanya Sui In dan ia terkenal 

sekali. Aku sendiri belum pernah melihat kehebatan ilmu silatnya, 

namun dari kawan-kawan, aku dapat mengukur bahwa tingkat 

kepandaiannya tentu jauh melebihi tingkatku.”


128

“Wahh.......!” Liong-li berseru kagum. “Tentu hebat sekali wanita 

itu, dan kalau usianya sebaya denganku, tentu ia telah 

bersuami.......”

“Memang pernah bersuami, akan tetapi kini ia menjadi janda 

tanpa anak, karena suaminya menjadi seorang di antara korban-

korban pertama pembunuhan Si Bayangan Iblis. “

“Ahhh......!” Liong-li termenung.

“Memang kasihan sekali wanita muda itu. Akan tetapi sudahlah, 

memang sudah nasibnya dan bukan hanya suaminya saja yang 

menjadi korban.” 

Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki dua ekor kuda dan tak 

lama kemudian muncullah Teng Ciang-kun dan seorang 

komandan jaga yang nampaknya berwajah kusut dan agak pucat, 

sinar matanya memandang ketakutan. Ketika bertemu dengan 

Cian Hui, dia segera memberi hormat sambil menekuk lutut 

kanannya dan suaranya terdengar penuh permohonan,

“Mohon kebijaksanaan Ciang-kun agar peristiwa itu tidak 

dilaporkan kepada panglima. Sungguh mati kami tujuhbelas 

orang sama sekali tidak berdaya menghadapi bayangan yang 

bergerak demikian cepatnya, dan tahu-tahu kami sudah 

kehilangan kesadaran dan tidak tahu apa yang telah terjadi. Baru 

pagi tadi kami sadar dan seperti baru bangun dari tidur saja. 

Semua peristiwa itu bagaikan mimpi saja, akan tetapi ketika kami 

saling bercakap-cakap, tahulah kami bahwa peristiwa itu bukan 

mimpi dan kami ketakutan, tidak berani melapor ke atasan karena 

kami takut dituduln lengah.”


129

“Hemm, coba ceritakan dengan sejelasnya, apa yang telah 

terjadi, baru akan kupertimbangkan apakah kalian patut 

dilaporkan ataukah tidak,” kata Cian Hui dengan suara tegas.

Komandan jaga itu menceritakan betapa semalam, ketika 

sebagian anak buahnya berjaga dan meronda dan sebagian lagi 

mengaso di gardu, tiba-tiba mereka yang berada di luar gardu 

berjatuhan tanpa mengeluarkan suara. Ketika para penjaga 

lainnya keluar, mereka disambut oleh bayangan yang 

berkelebatan dan merekapun roboh satu demi satu.

“Saya sendiri ketika itu sedang berada di belakang, Mendengar 

suara berisik di depan, saya segera berlari keluar dan sempat 

melihat anak buah saya terakhir roboh dan berkelebatnya 

bayangan.......”

“Seperti apa bayangan itu?” tanya Cian Hui. 

Wajah komandan jaga itu semakin pucat dan dengan gelisah dia 

mengerling ke arah Liong-li, Hatinya diliputi keraguan melihat 

adanya seorang nenek yang tidak dikenalnya di situ, ikut 

mendengarkan percakapan yang memalukan itu.

“Hayo katakan. Ini bibiku sendiri, tidak perlu kau sungkan!” kata 

pula Cian Hui. “Seperti apa bayangan itu?”

“Dia...... dia tinggi besar, bertanduk..... Si Bayangan Iblis.....” 

suaranya gemetar.

“Lalu apa yang kaulakukan?”


130

“Saya mencabut pedang dan menyerang keluar, mengejar Si 

Bayangan Iblis dengan nekat. Akan tetapi, tiba-tiba saja pedang 

saya terlepas dan mata saya menjadi gelap. Tahu-tahu pagi tadi 

saya siuman seperti yang lain, seperti baru bangun tidur saja.”

Liong-li yang ikut mendengarkan dapat memaklumi peristiwa itu. 

Si Bayangan Iblis memang lihai bukan main dan memiliki 

keringanan tubuh dan kegesitan yang luar biasa. 

Para penjaga itu adalah perajurit-perajurit biasa, bukan pasukan 

khusus, maka tentu saja dengan mudah dapat dirobohkan Si 

Bayangan Iblis tanpa mereka mampu mengenalnya. Kalau 

pasukan khusus yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan tentu 

akan lain lagi halnya, setidaknya para perajurit pasukan khusus 

tentu akan dapat melakukan perlawanan dan lebih banyak 

kemungkinan mereka akan dapat mengenal bayangan itu.

Agaknya Cian Hui juga berpendapat demikian, maka setelah dia 

melirik ke arah Liong-li yang nampak tidak tertarik, dia lalu 

berkata, “Sudahlah, engkau boleh pergi. Aku tidak akan 

melaporkan ke atasan, akan tetapi mulai sekarang, kalau terjadi 

hal-hal mencurigakan di pintu gerbang, engkau harus cepat 

melaporkannya kepadaku atau menyampaikan kepada 

pembantuku Teng Gun.”

Komandan jaga itu nampak girang mendengar ini. Bagaikan 

seekor ayam makan padi, kepalanya mengangguk-angguk dan 

diapun berpamit lalu pergi dari situ dengan hati lega.

“Bagaimana pendapatmu, Li-hiap?” setelah mereka hanya berdua 

saja, Cian Hui bertanya.



131

Liong-li mengerutkan alisnya. “Jelas bahwa Si Bayangan Iblis 

bukan hanya satu orang saja dan pembunuhan-pembunuhan 

misterius itu tentulah didalangi orang pandai yang mempunyai 

banyak anak buah! Dan mengingat bahwa mereka itu mampu 

bergerak leluasa dam menghilang penuh rahasia, aku semakin 

condong menduga bahwa mereka tentu bersembunyi di dalam 

istana, atau setidaknya, pemimpinnya berada di dalam istana. 

Bagaimana Ciang-kun, tentang rencana kita agar aku dapat 

diseludupkan ke istana?”

“Beres, Li-hiap! Sore hari ini juga engkau dapat dibawa ke istana. 

Sudah kuhubungi para pejabat di istana yang kukenal baik. Aku 

menceritakan bahwa engkau keponakanku dari dusun yang ingin 

sekali menjadi dayang, dan akhirnya kepala Thai-kam (laki-laki 

kebiri) yang mengepalai para dayang, yaitu Bong Thai-kam, dapat 

menerimamu. Ketika dia menanyakan namamu, aku mengatakan 

bahwa engkan she Kim bernama Siauw Hwa, akan tetapi sejak 

kecil biasa disebut Akim.”

“Bagus sekali nama itu, Ciang-kun!” Liong-li memuji.

“Ah, aku hanya ingat bahwa namamu memakai huruf Kim (emas), 

maka kupergunakan nama itu yang juga bisa dipakai sebagai 

nama keturunan. Sudah kupersiapkan perlengkapan yang harus 

kaubawa sebagai seorang gadis dusun, dan sebaiknya kalau 

engkau menyamar sebagai gadis dusun yang tidak terlalu cantik 

akan tetapi juga jangan terlalu buruk.”


132

“Kenapa begitu, ciang-kun?” Liong-li menatap wajah perwira itu 

sambil tersenyum. “Bagaimana kalau aku membiarkan wajahku 

yang aseli?”

“Wah, jangan! Berbahaya kalau begitu. Baru sehari saja di sana 

tentu para pangeran akan saling memperebutkanmu, engkau 

pantas menjadi seorang puteri!”

“Ih, engkau memuji atau merayu, ciang-kun?” 

“Boleh kauanggap kedua-duanya. Akan tetapi aku bicara serius.

Di istana penuh dengan pangeran-pangeran mata keranjang, dan 

aku mendengar di sana penuh dengan hubungan-hubungan 

gelap dan kotor karena para pangeran itu tidak malu atau segan 

untuk mengganggu selir dan dayang ayah mereka.”

“Hemmm......” Liong-li mengangguk-ngangguk. Hal inipun tidak 

aneh baginya karena sudah banyak mendengar akan kehidupan 

kotor di balik gemerlapnya kedudukan tinggi dan penuh 

kehormatan itu.

“Oleh karena itulah maka amat berbahaya kalau engkau kelihatan 

terlalu cantik di istana, Li-hiap. Bukan saja niatmu melakukan 

penyelidikan akan menemui banyak rintangan, juga dirimu sendiri 

menjadi pusat perhatian dan akan datang gangguan yang akan 

menyulitkan keadaan dirimu. Sebaliknya, kalau penyamaranmu 

itu kelihatan terlalu jelek, juga akan mencurigakan, karena 

bagaimana mungkin seorang gadis yang buruk rupa dapat 

diterima sebagai dayang?”


133

“Tidak terlalu cantik akan tetapi tidak terlalu buruk, hemmm, 

memang sukar sekali, akan tetapi aku tahu apa yang 

kaumaksudkan, Ciang-kun. Jangan khawatir, aku tidak akan 

nampak terlalu buruk, akan tetapi setiap orang pria di istana kalau 

bertemu dengan aku, sudah pasti tidak akan tertarik.”

“Harap engkau jangan khawatir, Li-hiap. Aku yang telah 

menerima bantuanmu, tentu tidak akan membiarkan engkau 

begitu saja. Syukur kalau penyelidikanmu berhasil dan rahasia 

pembunuhan itu dapat dipecahkan. Andaikata engkau menemui 

kesulitan di istana dan tidak ada jalan keluar lagi, akulah yang 

akan menghadap kaisar sendiri, dan aku yang akan bertanggung 

jawab, akan kuceritakan semua kepada kaisar sebab 

kehadiranmu di istana dan aku yakin, mengingat akan jasa-

jasaku, kaisar akan suka memenuhi permohonanku untuk 

mengampuni dan membebaskanmu.”

Terharu juga hati Liong-li mendengar janji ini. Ia tahu bahwa 

ucapan itu bukan sekedar janji kosong. Orang segagah Cian Hui 

ini tentu tidak akan mundur dari tanggung jawab. Akan tetapi ia 

tidak menghendaki tugas ini gagal seperti itu.

“Kalau aku menemui kesulitan, tidak perlu engkau menghadap 

kaisar, Cian Ciang-kun, akan tetapi sampaikan saja suratku ini 

kepada rekanku.”

“Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih)?” Cian Ciang-kun segera 

menduga. 

Liong-li tidak merasa heran. Memang dunia kang-ouw sudah 

mengetahui belaka bahwa Hek-liong-li dan Pek-liong-eng adalah


134

dua sekawan yang tak terpisahkan, apa lagi kalau menghadapi 

lawan tangguh dan bahaya besar.

“Benar, apakah engkau sudah tahu di mana harus mencari dan 

menemuinya, Ciang-kun?”

Cian Ciang-kun mengangguk. Sebagai seorang penyelidik 

terkenal di kota raja, tentu saja dia sudah menyelidiki di mana 

alamat pendekar luar biasa yang menjadi rekan dari Hek-liong-li 

itu.

“Dusun Pat-kwa-bun dekat Telaga See-Ouw di Hang-kouw?”

Liong-li mengangguk kagum. Orang ini memang pantas menjadi 

seorang penyelidik besar yang terkenal di kota raja. Ia 

menyerahkan sesampul surat yang sudah ia persiapkan kepada 

perwira itu.

“Hanya kalau engkau mendengar bahwa aku menghadapi 

kesulitan dan terancam bahaya saja kau serahkan surat ini 

kepadanya. Kalau tidak, harap jangan engkau mengganggu 

ketenteramannya, Cian Ciang-kun!”

Siang hari itu, Liong-li beristirahat dan tidur untuk memulihkan 

kembali tenaganya dan menghilangkan lelahnya. Ia menghadapi 

pekerjaan besar dan berbahaya dan ia harus memiliki tubuh yang 

sehat dan pikiran yang jernih kalau masuk ke dalam istana sore 

nanti.

◄Y►


135

Dusun Kim-tang merupakan dusun terakhir di sepanjang jalan 

panjang menuju ke Telaga See-ouw dan karena semua 

pelancong yang menuju ke Telaga See-ouw yang indah itu harus 

melewati dusun ini, maka dusun menjadi ramai dan penghuninya 

semakin banyak. Mereka membuka kedai-kedai minuman dan 

makanan, bahkan ada pula yang membuka rumah penginapan 

sederhana. Kalau ada pelancong kemalaman di tengah 

perjalanan, tentu mereka akan merasa senang sekali 

mendapatkan rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah 

makan di dalam dusun ini.

Karena dusun itu seringkali dikunjungi pelancong-pelancong dari 

kota yang hendak pesiar ke Telaga See-ouw, maka para 

penghuni dusun itu sudah biasa melihat orang-orang kota yang 

berpakaian mewah, melihat pria-pria tampan, dan wanita-wanita 

cantik.

Itulah sebabnya, ketika seorang wanita yang amat menarik 

memasuki sebuah rumah makan di dusun itu pada suatu sore, 

tidak ada yang merasa heran, walaupun hampir setiap orang pria 

yang melihat wanita ini, otomatis mengangkat muka dan 

sepasang mata mereka mengeluarkan sinar penuh kagum. 

Seorang wanita yang cantik manis dengan tubuh yang penuh 

lekuk lengkung yang matang menggairahkan! Seorang wanita 

yang membuat setiap orang pria yang berpapasan dengannya tak 

dapat menahan diri untuk tidak menoleh dan memandang sekali 

lagi penuh kagum.

Wanita itu memasuki rumah makan dengan langkah perlahan dan 

lenggang yang gontai, tanda bahwa ia lelah. Namun lenggang



136

yang seenaknya itu bahkan membuat pinggulnya menari-nari 

dengan indahnya, tidak dibuat-buat, dan pinggang yang ramping 

itu seperti batang pohon yang-liu tertiup angin ribut sehingga 

meliuk-liuk ke kanan kiri dengan lenturnya!

Usianya sekitar duapuluh enam tahun. Wajahnya manis dan 

jelita, terutama sekali yang indah dan penuh daya tarik adalah 

mata dan mulutnya.

Mata itu demikian jeli dan kocak, dengan kerling-kerling yang 

amat tajam. Mata yang sipit namun lebar itu agaknya dapat 

melihat ke semua arah tanpa menggerakkan leher. Bulu matanya 

yang lebat melindungi mata itu sehingga ke mana arah lirikannya 

tidak begitu menyidik.

Dan mulutnya! Melihat mulut itu saja, bagi seorang pria yang 

panas, sudah merupakan suatu penglihatan yang menantang dan 

mendebarkan, seolah-olah mulut itu menantang untuk dicinta dan 

dicium. Sepasang bibir yang penuh dan lembut, dengan garis 

bibir melengkung seperti gendewa dipentang, kulit bibir tipis dan 

kemerahan selalu nampak kebasah-basahan, segar seperti buah 

masak dan lekuk-lekuk tipis membayang di kanan kiri mulut. 

Deretan gigi putih kadang-kadang mengintai dari balik belahan 

bibir kalau ia bicara. Bukan main!

Akan tetapi, ada sesuatu pada wanita itu yang membuat para pria 

yang memandang kagum, tidak berani sembarangan 

memperlihatkan kekaguman mereka secara kurang ajar atau 

tidak sopan. Wanita itu mengenakan pakaian serba hijau yang


137

ketat, yang membuat keindahan bentuk tubuhnya nampak nyata, 

dengan lekuk lengkung sempurna di tempat-tempat tertentu. 

Dan di punggungnya, selain tergendong sebuah buntalan pakaian 

dari kain kuning, juga nampak gagang sepasang pedang yang 

disatukan! Dan sikap tenang itu, di samping sepasang 

pedangnya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang 

bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga tidak boleh dibuat 

sembarangan. Seorang wanita kang-ouw!

Dugaan itu tidak keliru. Wanita ini bukan lain adalah wanita yang 

pernah dibicarakan oleh Cian Hui kepada Hek-liong-li. Ia adalah 

Cu Sui In, keponakan dari isteri CiokTai-jin di kota raja. Cu Sui In 

memang benar murid Kun-lun-pai, yang boleh dibilang sudah 

menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dari Kun-lun-pai. 

Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa wanita ini sejak 

berusia lima tahun, telah digembleng oleh seorang di antara 

pimpinan Kun-lun-pai. Sampai berusia duapuluh tahun, selama 

limabelas tahun ia belajar ilmu-ilmu yang tinggi dan ditambah pula 

dengan bakatnya, maka setelah dewasa iapun menjadi seorang 

pendekar wanita Kun-lun-pai. 

Selain lihai ilmu silat tangan kosongnya, dan pandai memainkan 

delapanbelas macam senjata, Sui In memiliki keistimewaan 

dalam ilmu pedang pasangan dan iapun menerima hadiah 

sepasang pedang yang amat baik dari para pimpinan Kun-lun-pai 

ketika ia meninggalkan perguruan Kun-lun-pai yang terkenal itu.

Setelah meninggalkan perguruan, iapun diajak oleh bibinya ke 

kota raja. Bibinya menjadi isteri Pembantu Menteri Pajak, Ciok


138

Tai-jin, dan tentu saja sebagai seorang gadis yang amat cantik, 

sebentar saja pinangan datang bagaikan hujan. Akhirnya, 

mengingat usianya yang sudah duapuluh tahun, dan dalam 

keadaan yatim piatu, dia tidak menolak ketika bibinya dan 

pamannya memilihkan jodoh untuknya. 

Jodohnya itu seorang terpelajar yang sudah lulus ujian negara 

dan telah diangkat menjadi seorang pejabat yang memiliki masa 

depan yang amat baik. Dia seorang pemuda she Cia dan tentu 

saja pilihan seorang pejabat tinggi yang jujur seperti Ciok Tai-jin, 

pemuda Cia inipun seorang pejabat yang jujur dan aetia. Dan 

memang benar pilihan Ciok Tai-jin, dalam waktu lima tahun saja, 

kedudukan, suami Sui In meningkat tinggi karena dia dipercaya 

oleh kaisar dan merupakan seorang pejabat yang amat baik.

Karena suaminya seorang yang lembut dan baik, maka setelah 

menjadi isteri Cia, Sui In mencintai suaminya dengan sepenuh 

hatinya. Hanya sayang, setelah menikah selama lima tahun, 

mereka tidak dikurniai putera. Dan hal inilah agaknya yang 

menciptakan kerenggangan, dalam hubungan suami isteri itu. 

Cia Tai-jin, yang masih muda itu, baru berusia tigapuluhan tahun, 

mula-mula mengambil seorang selir dengan alasan agar 

mendapatkan keturunan. Akan tetapi dari seorang, lalu 

bertambah sampai belasan orang! 

Sui In merasa terpukul dan tersiksa batinnya mulailah terdapat 

kerenggangan dalam hubungan di antara mereka. Sui In kecewa. 

Kecewa karena tidak mempunyai anak, kemudian kecewa karena 

ia kehilangan suaminya pula, kehilangan cintanya yang membuat


139

hatinya merasa hambar dan akhirnya iapun tidak lagi mempunyai 

gairah cinta kepada suaminya kecuali hanya sebagai seorang 

wanita yang harus bersikap manis kepada seorang pria yang 

telah menjadi suaminya. Hubungan di antara mereka hanya 

tinggal hubungan kewajiban belaka, tanpa kasih sayang lagi.

Kemudian, terjadilah malapetaka itu! Suaminya terbunuh, menjadi 

korban dari Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis yang sedang 

mengamuk dan melakukan serangkaian pembunuhan di kota 

raja! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi Sui In yang 

mendapatkan dirinya menjadi seorang janda tanpa anak! 

Kalau saja suaminya tidak mempunyai banyak selir, kalau 

hubungan di antara mereka masih seperti dahulu, belum tentu 

suaminya akan terbunuh penjahat! Ia tentu akan mampu 

melindungi suaminya. Akan tetapi suaminya mati terbunuh ketika 

tidur bersama seorang di antara selir-selirnya, terbunuh bersama 

selirnya pula. Dan iapun tidak dapat berbuat sesuatu!

Memang ada juga perasaan marah dan ia sudah berusaha untuk 

mencari pembunuh suaminya. Namun, seperti juga usaha semua 

orang yang bertugas mencari pembunuh itu, usahanya gagal dan 

ia tidak pernah mampu menemukan Si Bayangan Iblis walaupun 

pernah ia menggagalkan usaha Si Bayangan Iblis untuk 

membunuh pamannya, yaitu Ciok Tai-jin! 

Ketika itu, iapun hanya melihat berkelebatnya bayangan yang 

menyeramkan itu. Ia mengejar, namun tidak berhasil 

menemukannya. Dan sejak itu, setelah tahu bahwa pamannya


140

juga terancam, Sui In selalu berjaga-jaga dan ia mendapatkan 

sebuah kamar berdampingan dengan kamar paman dan bibinya.

Rasa kecewa, duka dan marah membuat Sui In tidak enak makan 

tidak nyenyak tidur. Kalau saja ia mempunyai anak, maka 

ditinggal mati suaminya ini tentu tidak begitu hebat. Kini ia hidup 

menjanda, baru berusia duapuluh enam tahun, namun tidak 

mungkin menikah lagi! 

Pada jaman itu, bagi seorang janda, apa lagi janda seorang 

pejabat tinggi, tentu saja merupakan hal yang memalukan dan 

merendahkan kalau ia menikah lagi! Setiap orang janda dipaksa 

oleh lingkungan dan keadaan dan kesusilaan untuk tinggal 

menjanda selama hidup! 

Dan ia baru berusia duapuluh enam tahun, cantik manis dan 

bagaikan setangkai bunga sedang semerbak harum, sedang 

mekar-mekarnya membuat para kumbang mabok kepayang. Ia 

merasa seperti seekor burung dalam sangkar emas yang sempit. 

Ia ingin terbang, ingin bebas di udara. Akan tetapi, pamannya 

perlu dijaga dan dilindungi keselamatannya! Pamannya orang 

yang amat baik hati dan ia telah berhutang banyak budi kepada 

pamannya.

Dan memang Ciok Tai-jin seorang yang bijaksana. Pembesar ini 

cukup waspada dan dia tahu benar betapa keponakan isterinya 

yang kini menjadi janda setiap hari termenung dan tenggelam 

dalam duka, maka pada suatu malam, dia dan isterinya mengajak 

janda muda ini bicara dari hati ke hati.


141

“Sui In,” kata Ciok Tai-jin. “Sudah beberapa bulan sejak suamimu 

meninggal dunia, engkau pindah ke rumah kami dan engkau 

menjaga keselamatanku, terutama di waktu malam. Akan tetapi 

kami melihat engkau tenggelam dalam duka dan engkau jelas 

kelihatan tidak betah tinggal di sini. Engkau jarang makan dan 

setiap malam menjaga keamanan, hanya tidur sebentar di waktu 

siang. 

“Sui In, katakanlah, apa yang kaukehendaki! Jangan sampai kami 

orang-orang tua yang menjadi penghalang kebahagiaanmu, kami 

tahu betapa nasibmu gelap dipenuhi duka, dan kami tidak ingin 

menambah beban penderitaan batin yang kaupikul dengan 

memaksamu bertugas seperti ini.”

Ditanya demikian, Sui In menangis. Bibinya merangkulnya dan 

setelah dapat mengatur pernapasannya yang penuh duka, Sui In 

lalu memberi homat kepada paman dan bibinya.

“Sebetulnya, sudah lama saya ingin bicara, akan tetapi saya takut 

kalau dianggap sebagai orang yang kejam dan tidak mengenal 

budi. Paman terancam penjahat, bagaimana mungkin saya 

meninggalkan paman? Ah, saya tidak tahu lagi apa yang harus 

saya katakan atau saya perbuat. Kalau saja saya dapat 

mengetahui siapa si laknat Kwi-eng-cu itu! Tentu akan saya 

tantang untuk mengadu nyawa!”

“Sui In, katakan saja apa sebenarnya yang kaukehendaki. 

Mengenai diriku dan keselamatanku, tidak perlu kaupikirkan 

benar. Kalau perlu, aku dapat minta bantuan panglima untuk


142

mengirim beberapa orang jagoan agar menjadi pengawal 

pribadiku. Katakanlah, apa sebenarnya yang kauinginkan?”

“Paman, saya ingin mencari pembunuh suamiku itu sampai 

dapat, agar saya dapat membalas kematian suamiku!” kata Sui In 

penuh semangat.

“Bukankah selama ini engkau sudah berusaha mencarinya? 

Bahkan bukan hanya engkau yang mencarinya. Pemerintah juga 

mencari dan aku mendengar bahwa Cian Ciang-kun sendiri yang 

turun tangan untuk mencari dan membongkar rahasia Si 

Bayangan Iblis.”

“Akan tetapi sampai kini tidak ada hasilnya, paman. Si Bayangan 

Ib1is itu terlalu lihai dan agaknya saya harus mencari bantuan.”

“Bantuan siapa, Sui In?”

“Saya mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai, 

paman, dan dia kini kabarnya bertapa di bukit sunyi dekat Telaga 

See-ouw. Saya ingin mencari dia dan minta bantuannya. Dengan 

bantuannya, tentu saya akan dapat menemukan Si Bayangan 

Iblis yang mengacau di kota raja itu.”

Ciok Tai-jin mengangguk-angguk dan meraba-raba jenggotnya. 

“Hemm, pikiran yang bagus, Sui In. Kenapa engkau tidak 

mencarinya?”

“Itulah paman, yang menjadi pemikiranku. Aku tahu bahwa 

paman juga terancam Si Bayangan Iblis, maka saya tidak berani


143

meninggalkan paman. Saya harus selalu melindungi paman dari 

serangannya.”

“Engkau benar sekali, Sui In keponakanku yang baik, kalau bukan 

engkau yang melindungi keselamatan pamanmu, habis siapa lagi 

yang dapat kami percaya?” kata bibinya yang merasa khawatir 

sekali akan keselamatan suaminya.

“Ah, engkau ini hanya mementingkan diri sendiri saja!” tegur Ciok 

Tai-jin kepada isterinya, lalu memandang keponakannya. 

“Sui In, mengenai diriku, jangan khawatir. Aku akan mengundang 

beberapa orang jagoan untuk melindungiku. Kalau kaupikir, 

dengau bantuan susiokmu itu engkau akan dapat menangkap Si 

Bayangan Iblis, pergilah mencarinya. Apakah engkau 

memerlukan pasukan untuk menemanimu?”

Bukan main girang dan lega rasa hati Sui In. “Tidak perlu, paman. 

Saya dapat pergi sendiri saja. Kalau sudah bertemu susiok, saya 

akan mengajaknya ke sini, paman. Dia memiliki ilmu kepandaian 

yang tinggi, lebih tinggi dari saya, maka dengan bantuannya, 

tentu kami akan dapat meringkus Si Bayangan Iblis dan kematian 

suami saya dapat terbalas.”

Demikianlah, dengan bekal pakaian, uang dan membawa 

sepasang pedangnya Sui In meninggalkan rumah gedung 

pamannya dan melakukan perjalanan ke See-ouw. Ia tidak tahu 

bahwa beberapa hari setelah ia pergi, rumah gedung Pamannya 

diserbu Si Bayangan Iblis dan seperti telah kita ketahui, serbuan 

itu gagal berkat kehadiran Liong-li. Andakata tidak ada Liong-li,

walaupun di situ terdapat beberapa orang jagoan pengawal yang


144

diundang Ciok Tai-jin sebagai pengganti Sui In, tentu 

keselamatan Wakil Menteri Pajak itu terancam bahaya maut.

Sui In yang melakukan perjalanan, pada suatu sore tiba di dusun 

Kim-tang dan karena sehari itu ia melakukan perjalanan cukup 

jauh tanpa berhenti, bahkan tidak makan siang, perutnya terasa 

lapar dan iapun memasuki sebuah rumah makan di dusun yang 

ramai itu. Biarpun ia tahu betapa banyak pasang mata pria 

melemparkan pandangan kagum kepadanya, Sui In yang sudah 

terbiasa akan hal itu, tidak perduli lalu menghampiri meja kosong 

yang ditunjukkan seorang pelayan yang menyambutnya.

“Toanio hendak memesan apakah? Makanan? Minuman?” tanya 

pelayan muda itu dan pandang matanya yang menatap wajah 

tamu itupun penuh dengan kekaguman.

“Aku lapar dan ingin makan. Beri nasi putih dan masakan apakah 

yang paling lezat dan terkenal di rumah makan ini?” Sui In sehari 

tidak makan dan ia ingin makan enak.

Pelayan itu segara menjawab tanpa dipikir lagi karena pertanyaan 

seperti itu seringkali dia dengar dari para pelancong yang datang 

dari kota. 

“Masakan kami yang paling lezat dan terkenal adalah Ikan Lee 

dimasak jahe, nona. Ikan Lee dari Telaga See-ouw aseli, gemuk 

dan semua tulangnya dibersihkan. Juga masakan kami Udang 

Saus tomat amat sedap. Sup ayam jamur kami juga enak.”

“Cukup sudah. Beri aku masakan tiga macam itu, nasi putih dan 

air teh.”


145

“Arak, toanio (nyonya)?”

“Tidak, atau...... kalau ada anggur merah yang tidak begitu keras 

boleh juga beri sebotol kecil saja.”

Pelayan itu mundur dan Sui In termenung. Ketika ia menjadi 

pengantin baru, pernah suaminya mengajaknya pesiar ke Telaga 

See-ouw. Rumah makan ini belum ada, akan tetapi suaminya 

juga menyuruh beli masakan-masakan yang lezat dan mereka 

makan di perahu.

Pedih rasa hati Sui In. Betapa lamanya sudah peristiwa yang 

mesra itu lewat, hanya tinggal kenangan. Jauh sebelum suaminya 

meninggal dunia, kemesraan itu sudah lenyap tak berbekas lagi. 

Tidak, ia tidak menyalahkan suaminya, hanya menyalahkan nasib 

dirinya. Andaikata ia dikurniai putera, tentu suaminya tidak mau 

menengok wanita lain dan kemesraan itu dapat dipertahankan. 

Sudah, ia tidak mau lagi mengenangkan semua itu. Dan baru 

setelah suaminya tewas, ia menemukan dirinya sendiri. Ketika 

menikah dengan suaminya itu, tidak ada rasa cinta dalam 

batinnya. Itu masalahnya cintanya adalah cinta yang ia paksakan, 

untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri. 

Dan suaminya memang seorang yang bijaksana. Banyak sudah 

budi diterimanya dari suaminya, bahkan kini sebagian besar harta 

peninggalan suaminya diberikan kepadanya. Ia menjadi seorang 

janda yang muda dan kaya. 

Hartanya itu ia titipkan kepada pamannya, Pembantu Menteri 

Pajak. Dan pihak mertuanya juga mau membebaskannya, tidak


146

mengikatnya, karena memang ia tidak mempunyai anak dari 

keluarga Cia. Mereka itu amat baik kepadanya. Ia berhutang budi 

kepada keluarga Cia. Karena itu, ia baru mencari pembunuh 

suaminya dan membalas dendam itu!

Tak lama kemudian, lamunannya membuyar ketika pelayan 

datang membawakan masakan yang dipesannya. Masih 

mengepul panas tiga macam masakan itu dihidangkan di 

depannya, berikut nasi putih, air teh dan sebotol anggur merah. 

Hidungnya kembang kempis. Masakan itu mengepulkan uap yang 

sedap, juga anggur merah itu ketika dibuka tutupnya, 

menghamburkan bau yang harum dan lezat. Perutnya segera 

berkeruyuk menghadapi tantangan itu.

Sui In makan seorang diri. Pelayan tadi tidak membual. Masakan 

ikan Lee dengan jahe itu sedap bukan main. Daging ikannya 

lunak dan sama sekali tidak ada tulangnya. Gurih bukan main, 

dan cocok dimakan dengan bumbu penyedap kecap manis. Nasi 

putihnya juga hangat dan harum. 

Ketika ia mencoba masakan lain, ia girang dan kagum. Udang 

saus tomat itupun enak. Udangnya sebesar jari kaki, dagingnya 

putih kemerahan dan terasa manis, dan tidak berbau amis. Juga 

ikan Lee itu tidak berbau amis. Pandai memang tukang 

masaknya. Dan sup ayam dengan jamur itupun sedap dan segar. 

Kuahnya enak sekali.

Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, biarpun sedang 

tenggelam dalam kenikmatan dan kelezatan makan, tetap saja 

Sui In tidak pernah lengah dan baik telinganya, maupun kerling


147

matanya, tidak pernah melepaskan perhatian terhadap keadaan 

di sekelilingnya. Oleh karena itu, iapun tahu ketika ada tiga orang 

tamu baru saja masuk dan duduk di meja sudut kiri dalam, hanya 

terpisah lima meja saja dari tempat duduknya. 

Dengan kerling mata ke kiri, ia melihat bahwa tiga orang itu 

adalah laki-laki yang berusia antara empatpuluh sampai 

limapuluh tahun, ketiganya berpakaian mewah namun masih jelas 

dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia 

persilatan. Yang seorang, paling tua berusia limapuluhan tahun, 

bertubuh jangkung dan rambutnya sudah putih semua walaupun 

mukanya masih nampak muda. Senyumnya anggun dan sikapnya 

berwibawa, sinar matanya tajam dan memerintah. Di 

punggungnya nampak gagang sebatang pedang. 

Dua orang kawannya bersikap sebagai orang bawahan, usia 

mereka kurang lebih empatpuluh sampai empatpuluh lima tahun. 

Seorang di antara mereka bertubuh gendut dan mukanya 

dipenuhi tawa, cerah dan lucu, akan tetapi matanya menyinarkan 

kekejaman. Orang kedua pendek kurus condong ke arah cebol, 

akan tetapi mukanya bengis. Dua orang inipun membawa pedang 

yang tergantung di punggung.

“Heii, pelayan! Bawa arak seguci besar! Cepaaatt!!” terdengar si 

gendut berteriak. Pe- layan berlari-lari mendatangi dan pria 

jangkung itu dengan suara lembut namun tegas dan galak, 

memesan masakan.

Sui In tidak mau memperhatikan lagi karena si gendut itu terang-

terangan memandangnya dengan sikap kurang ajar. Apalagi


148

pada saat itu, perhatiannya tertarik oleh seorang tamu baru yang 

memasuki ruangan itu. Seorang pria yang bukan main! Pria itu 

usianya kurang lebih duapuluh tujuh tahun. 

Tubuhnya sedang saja, namun tegak dan gagah. Wajahnya 

tampan dan jantan, wajah yang agaknya sudah digembleng 

kekerasan hidup. Namun pakaiannya yang terbuat dari sutera 

putih-putih itu berpotongan pakaian seorang pelajar atau 

sasterawan. Pakaian itulah yang membayangkan kelembutan 

seorang siu-cai (sarjana), namun lekuk di dagunya 

membayangkan kejantanan yang kuat. 

Biarpun hanya memandang sepintas lalu, diam-diam Sui In 

kagum. Rasa kewanitaannya tersentuh. Seorang pria yang jantan 

dan penuh daya tarik, pikirnya. Akan tetapi perasaan itupun 

hanya lewat saja, karena ia bukanlah seorang wanita yang 

mudah terguncang ketampanan seorang pria. Akan tetapi ia 

masih sempat melihat betapa pria itupun ketika duduk di 

mejanya, hanya terpisah dua meja dari tempatnya, menatap 

kepadanya dan diam-diam ia terkejut. Tatapan mata itu sungguh 

luar biasa. 

Sepasang mata yang mencorong penuh wibawa, akan tetapi 

karena mulutnya tersenyum, maka wajah itu nampak lembut. 

Orang muda itu tentu seorang sarjana yang lembut dan pintar, 

pikir Sui In, akan tetapi tentu saja lemah. Seperti mendiang 

suaminya. Akan tetapi suaminya memang lemah sekali, bahkan 

lembut seperti wanita.


149

Pria di depannya ini jantan, walaupun hanya seorang sasterawan 

atau seorang terpelajar. Tidak membawa senjata, juga tidak 

nampak bayangan kekerasan. Bahkan pakaiannya yang serba 

putih, itu nampak bersih sekali. Sungguh jauh bedanya dengan 

tiga orang pria yang pertama itu, penuh kekerasan.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa dari meja di sudut kanan. 

Di sana sejak tadi memang ada empat orang laki-laki muda 

sedang makan minum dan kini agaknya mereka sudah mabok-

mabokan. 

Sui In tadipun sudah melihat mereka. Empat orang pemuda dari 

kota, mungkin putera-putera orang kaya atau orang berpangkat. 

Usia mereka antara duapuluh sampai duapuluh empat tahun dan 

lagak mereka menjemukan. Jelas bahwa mereka adalah orang-

orang muda yang royal, tidak pandai cari uang akan tetapi pandai 

menghamburkannya. 

Tadi pun mereka memandang ke arah Sui In dengan sinar mata 

mengandung kekurangajaran, akan tetapi Sui In tidak 

memperdulikan mereka, bahkan selanjutnya tidak pernah melirik 

ke arah meja mereka karena ia tahu bahwa pemuda-pemuda 

hidung belang seperti itu, sekali dilirik tentu akan menjadi 

semakin berani dan semakin kurang ajar. Ia tentu saja tidak takut 

kepada mereka, akan tetapi iapun tidak ingin memancing 

keributan.

“Ha-ha-ha, setiap orang dapat saja membawa pedang, untuk 

perhiasan!”


150

“Ha-ha, atau mungkin juga untuk lagak saja, untuk menakut-

nakuti!”

Empat orang pemuda itu tertawa-tawa lagi. Seorang di antara 

mereka, yang kepalanya besar, terang-terangan kini memandang 

kepada Sui In dan bicaranya kini lebih berani. “Ia makan minum 

seorang diri saja, sayang seorang secantik itu. Biar kuajaknya ia 

makan minum bersama kita.”

“Huh, kau takkan berani! Ia tentu sudah bersuami,” kata seorang 

temannya yang kurus.

“Apa? Aku tidak berani mengajak seorang wanita? Hemm, biar ia 

gadis atau isteri orang, kalau Ji-kongcu (tuan muda Ji) yang 

mengajaknya, pasti ia mau! Ha-ha-ha, kalian lihat saja!” 

Si kepala besar ini bangkit berdiri ditertawai oleh si kurus yang 

berpakaian mewah. Dua orang kawan lain yang berpakaian 

seperti orang-orang ahli silat hanya tersenyum-senyum saja. 

Agaknya mereka ini hanya pengikut dan memang mereka adalah 

tukang- tukang pukul pemuda she Ji itu.

Pada saat itu, Sui In sudah selesai makan dan ia merasa lega 

bahwa gangguan itu datang setelah ia selesai makan, karena 

kalau tidak tentu akan mengganggu selera makannya. Ia merasa 

kenyang dan puas. Ikan Lee itu memang lezat sekali, dan jahe itu 

membuat perutnya terasa hangat, apa lagi ditambah anggur 

merah. 

Ia tahu bahwa gangguan datang karena percakapan yang terang-

terangan dan tidak lirih itu jelas ditujukan kepadanya. Di rumah



151

makan itu, hanya ia seoranglah wanita yang makan sendirian. 

Ada pula beberapa orang wanita akan tetapi mereka makan 

dengan keluarga mereka dan kebetulan wanita yang masih muda 

hanya ia seorang. Siapa lagi kalau bukan ia yang mereka 

maksudkan?

Iapun tidak merasa heran ketika pemuda berpakaian mewah 

yang kepalanya besar itu dengan jalan terhuyung karena 

setengah mabok, menghampiri mejanya. Ia pura-pura tidak tahu, 

bersikap tenang saja sambil menghirup teh panas yang harum 

dari mangkok teh yang kecil. Akan tetapi karena kebetulan 

duduknya menghadap ke arah meja di mana duduk pemuda 

berpakaian putih, untuk pertama kalinya sejak ia melihat pemuda 

ini masuk, ia memandang dan pada saat itu, si pemuda 

berpakaian putih juga sedang memandang ke arah mejanya. 

Alis yang tebal hitam dari pemuda berpakaian putih itu sedikit 

berkerut ketika dia melihat si kepala besar mendekati meja Sui In 

sambil cengar cengir. Akan tetapi, hanya sebentar saja pandang 

mata mereka saling bertemu karena keduanya segera 

mengalihkan pandang mata. 

Sui In harus memperhatikan pemuda mewah yang kini sudah 

bediri dekat mejanya, bahkan kedua tangannya diletakkan di tepi 

mejanya, dengan jari-jari direntangkan seolah-olah hendak 

memamerkan cincin yang. memenuhi semua jari kedua 

tangannya, kecuali, ibu jarinya!

“APA engkau hendak menjual cincin? Tidak, aku tidak butuh 

cincin!”


152

Karena kata-kata ini diucapkan dengan cukup lantang dan Sui In 

memandang ke arah kedua tangan yang berada di tepi mejanya, 

si kepala besar itu terkejut dan mukanya ber¬ubah merah sekali, 

apa lagi karena terdengar suara ketawa temannya yang kurus, 

bahkan ada pula suara ketawa dari meja lain, entah siapa.

“Heh-heh, Ji-toako, engkau disangka penjual cincin di pasar, ha-

ha!” 

Pemuda she Ji itu merasa malu, akan tetapi dia mengira bahwa 

wanita cantik di depannya itu tidak sengaja menghinanya, apa 

lagi kini dia sudah berada dekat sekali dengan wanita itu, dan 

ternyata wanita itu jauh lebih cantik dari pada ketika dilihatnya 

dari jauh tadi. Juga ketika bicara, bibir yang menggairahkan itu 

bergerak¬-gerak manis sekali. Maka, biarpun merasa malu, 

pemuda berkepala besar itu tidak dapat marah kepada seorang 

wanita secantik itu.

“Toanio, aku bukan penjual cincin. Semua ini bukan barang 

dagangan, melainkan milikku pribadi. Ketahuilah, aku pemuda 

keluarga Ji, merupakan seorang pemuda yang paling kaya raya, 

paling royal dan tidak ada duanya di kota Tung-cu.

“Aku tidak mengenalmu. Pergilah dan biarkan aku sendiri,” Sui In 

berkata.

Pemuda itu masih menyeringai. “Heh-heh, moi-moi (adik) yang 

manis, harap jangan menjual mahal seperti itu. Marilah, aku 

sendiri yang mengundangmu untuk duduk makan minum dengan 

kami semeja. Ataukah aku yang menemanimu di sini? Hei,



153

pelayan, cepat hidangkan arak baru dan semua masakan lezat 

yang ada di rumah makanmu ini!”

Dia lalu duduk begitu saja dan berkata kepada Sui In. “Moi-moi, 

kalau perlu, rumah makan ini bisa kubeli untukmu, heh-heh!”

Sui In mengerutkan alisnya. Orang ini semakin kurang ajar, 

pikirnya, tidak lagi menghargainya dengan sebutan Toanio 

(nyonya), melainkan berani menyebut moi-moi yang manis, 

seolah-olah ia telah menjadi kekasihnya saja! Akan tetapi, karena 

tidak ingin ribut-ribut, ia masih menahan kesabarannya.

“Hemm, sekali lagi kukatakan. Aku tidak mempunyai urusan 

denganmu, aku tidak suka nenerima undanganmu, tidak suka 

makan minum bersamamu dan tidak suka engkau makan minum 

di mejaku ini. Pergilah dan jangan aku kehilangan kesabaranku!”

Kalimat terakhir sudah bernada keras, dan tanpa disengaja Sui In 

melihat pula pemuda yang berpakaian serba putih itu tersenyum 

sedikit. Juga tiga orang setengah tua yang duduk di sudut 

belakang kini memandang ke arah mejanya dengan penuh 

perhatian.

Gemaslah rasa hati Sui In. Ulah pemuda kepala besar ini tentu 

saja telah menarik perhatian orang, dan ia menduga bahwa tentu 

mereka semua yang berada di rumah makan itu telah 

memperhatikan dirinya. Sudah kepalang tanggung sekarang, 

tidak perlu lagi ia menjaga jangan sampai ada keributan. Akan 

tetapi ia tetap menuangkan lagi semangkok kecil air teh harum 

yang masih panas mengepul itu dan meniupinya perlahan untuk 

mendinginkannya sebelum diminumnya sedikit demi sedikit.



154

Si kepala besar itu sungguh tak tahu diri. Dia adalah seorang 

pemuda kaya raya, dan putera pejabat yang sejak kecilnya telah 

di manja orang tuanya dan para hamba sahayanya, sejak kecil 

apapun yang dikehendakinya terlaksana. 

Oleh karena itu, setelah dewasa, diapun menjadi berandalan dan 

ingin dimanjakan siapapun juga. Dia tidak mengenal takut karena 

selalu bergelimang kekayaan dan kekuasaan yang membuat 

semua orang takut kepadanya. Mendengar ucapan Sui In, dia 

mengerutkan alisnya.

“Apa? Engkau berani menolak ajakanku? Nona manis, jangan 

sombong engkau! Kalau perlu, aku mampu membeli dirimu, aku 

mampu membeli seratus orang perempuan seperti engkau......”

Sui In marah sekali mendengar ucapan itu dan sebelum kalimat 

terakhir itu habis diucapkan, ia sudah membentak, “Pergilah!” 

Tangan yang memegang mangkok kecil berisi air teh panas itu 

bergerak dan air dari dalam mangkok menyiram ke arah muka 

pemuda kepala besar.

“Ouhhhhh......!” 

Bagi orang yang pernah disiram mukanya dengan air panas baru 

akan tahu betapa nyerinya ketika air teh yang masih panas itu 

mengenai mata, hidung dan mulut pemuda kepala besar itu. 

Selagi dia bangkit dan mengeluarkan teriakan kesakitan, tiba-tiba 

kaki Sui In di bawah kolong meja bergerak, menendang.

“Desss......!” Perut itu tertendang dan si pemuda berkepala besar 

terlempar jauh! Bahkan, tubuhnya melewati meja kosong dan

155

meluncur ke arah meja di mana duduk pemuda berpakaian serba 

putih yang makan minum seorang diri pula. 

Melihat betapa hidangan di atas mejanya terancam hancur 

berantakan, tiba-tiba tubuh pemuda berpakaian putih itu sudah 

meloncat bangun dan dengan sigapnya dia menjulurkan kedua 

tangan, menyambar tubuh yang melayang itu dan sekali dia 

melontarkan, tubuh pemuda kepala besar itu berbelok arah 

melayang ke arah mejanya sendiri.

“Brakkkkk......!” Meja itupun runtuh dan semua masakan tumpah 

dan berantakan ketika meja itu tertimpa tubuh si kepala besar.

“Aduhh...... auhhh, aduhhhh.......!” Si kepala besar mengaduh-

aduh, juga si kurus yang menjadi temannya mengaduh dan 

menyumpah-nyumpah karena muka dan pakaiannya juga 

berlepotan kuah masakan. Akan tetapi dua orang teman mereka 

yang lain sudah dapat berloncatan menghindar dengan gerakan 

cepat sehingga tidak sampai ikut tertimpa atau tersiram kuah 

masakan!

Tiga orang setengah tua yang sejak tadi melihat, kini saling 

pandang. Akan tetapi Sui In sudah duduk kembali menuangkan 

air teh dalam mangkoknya, minum air teh panas seperti tidak 

terjadi sesuatu. Juga pemuda berpakaian putih tadi nampak 

masih duduk sambil makan minum, seolah-olah tidak pernah 

terjadi sesuatu! Pada hal, menyambar tubuh yang melayang lalu 

melontarkan kembali ke arah yang lain membutuhkan kecekatan 

tangan dan juga tenaga besar.


156

Apa yang diperlihatkan oleh pemuda berpakaian putih itu 

sesungguhnya bukan apa-apa baginya. Seperti permainan kanak-

kanak saja karena dia tentu saja dapat melakukan hal-hal yang 

jauh lebih sukar dari pada sekedar melemparkan tubuh si kepala 

besar tadi. Pemuda itu, walau nampaknya lemah seperti seorang 

terpelajar, seorang kongcu (tuan muda), atau seorang siu-cai 

(sarjana), sebetulnya adalah seorang yang memiliki nama besar 

dan kalaupun wajahnya jarang muncul di dunia persilatan dan 

orang tidak mengenalnya, namun namanya sudah terkenal di 

empat penjuru. 

Hampir semua orang di dunia persilatan pernah mendengar 

namanya yang besar, yaitu nama julukannya. Dia dijuluki orang 

Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) atau disingkat Pek-liong (Si 

Naga Putih) saja karena ke manapun dia pergi, dia selalu 

berpakaian putih, dan sepak terjangnya seperti seekor naga sakti!

Si Naga Putih atau Pendekar Naga Putih ini bernama Tan Cin 

Hay, berusia duapuluh tujuh tahun. Wajahnya yang tampan sama 

sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang pria yang 

gemblengan, lebih pantas kalau dia menjadi seorang terpelajar. 

Sikap dan gerak geriknya jnga lembut, tubuhnya sedang saja dan 

otot-otot yang kuat itu tersembunyi di balik pakaian sehingga tidak 

nampak dari luar. Pakaiannya yang serba putih amat bersih. 

Satu-satunya yang membayangkan bahwa dia seorang pria 

jantan yang kadang berwatak keras adalah dagunya yang 

berlekuk, dan matanya yang kadang mencorong. Biarpun 

namanya terkenal sekali di dunia persilatan, namun kalau tidak 

perlu, jarang dia keluar ke dunia kang-ouw. Dia hidup menyendiri


157

di dusun Pat-kwa-bun tak jauh dari Telaga See-ouw, di dalam 

sebuah rumah gedung yang megah dan indah. Dari rumahnya ini 

saja dapat diketahui bahwa pendekar yang hidup menyendiri itu 

adalah seorang yang kaya raya. 

Dan memang benar demikian. Bersama Hek-liong-li Lie Kim Cu, 

Pek-liong-eng Tan Cin Hay pernah mendapatkan harta karun 

yang amat besar, tak ternilai besarnya. Mereka membagi dua dan 

dengan bagian harta karun itu, Pendekar Naga Putih menjadi 

orang yang kaya raya.

Dia seorang duda. Isterinya yang tercinta tewas di tangan 

penjahat, dan sejak itu, dia tidak pernah mau menikah lagi 

walaupun kalau dia mau banyak gadis yang akan merasa bangga 

dan berbahagia menjadi isterinya. Dia tampan, gagah, 

berkepandaian tinggi, kaya raya!

Jangankan wanita yang belum dikenalnya, bahkan wanita yang 

pernah bergaul dekat dengannya, yang pernah berenang di 

lautan asmara bersamanya, tak pernah ada yang berhasil 

mengikatnya sebagai suami. Tidak, dia tidak mau terikat dalam 

pernikahan dengan seorang wanita, walaupun dia tidak menolak 

untuk bercinta dengan seorang wanita yang menarik hatinya, 

yang bebas, dan yang tahu bahwa dia tidak akan mau 

menikahinya. 

Dia pantang mempergunakan kekayaan dan ketampanannya 

untuk menjatuhkan hati wanita, pantang untuk menjanjikan 

pernikahan lalu menipunya. Dia hanya mau mendekati wanita 

yang sudah tahu bahwa dia tidak mau terikat, dan kalaupun


158

mereka berdua bercinta, hal itu dilakukan karena mereka saling 

merasa suka.

Pek-liong-eng Tan Cin Hay maklum bahwa di dunia persilatan, 

banyak tokoh pendekar yang mencela sikapnya terhadap wanita 

itu. Banyak pendekar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang 

menganggapnya sebagai seorang yang mata keranjang, seorang 

perayu wanita dan tukang merusak wanita, seorang petualang 

cinta yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita! 

Namun, dia tidak memperdulikan anggapan orang. Dia sudah 

meneliti diri sendiri dan tidak menemukan watak seperti yang 

dikatakan orang terhadap dirinya. Tidak, dia tidak akan pernah 

memaksa seorang wanita untuk bercinta dengannya, baik 

memaksa dengan kekerasan atau memikatnya dengan 

kekayaannya, kepandaiannya atau ketampanannya. 

Dia tidak pernah jatuh cinta dalam arti seperti cintanya terhadap 

mendiang isterinya dahulu. Dia tidak pernah ingin memperisteri 

seorang wanita. Dan hubungannya dengan seorang wanita terjadi 

karena mereka saling mengagumi, saling tertarik, dengan penuh 

kesadaran bahwa hubungan itu tidak akan berlanjut ke jenjang 

pernikahan. Dia tidak pernah menipu! Bahkan tidak jarang dia 

menjauhkan diri sebelum terjadi hubungan cinta kalau seorang 

gadis atau seorang janda benar jatuh cinta dan menginginkan 

menjadi isterinya.

Kini empat orang muda itu menjadi marah bukan main. Pemuda 

berkepala besar dan pemuda kurus yang berpakaian mewah itu 

adalah dua orang yang merasa diri mereka sebagai kongcu


159

kongcu (tuan muda) yang harus ditaati semua perintah mereka. 

Mereka itu putera-putera orang kaya raya yang sejak kecil 

dimanja dan dituruti semua permintaan mereka.

Dua orang kawan mereka adalah tukang pukul mereka yang 

hidup bagaikan lintah, menempel kepada dua orang muda kaya 

itu. Ke manapun mereka berdua yang sakunya penuh uang itu 

pergi, tentu ada saja pemuda-pemuda tukang pukul yang 

mengikuti mereka sebagai pengawal dan juga sebagai 

pembonceng berbelanja apa saja.

“Hajar perempuan itu!” bentak si kepala besar yang masih 

mengaduh-aduh karena mukanya kini seperti udang direbus, 

kemerahan terkena kuah dan air teh panas. Dia menuding ke 

arah Cu Sui In dengan mata melotot lebar.

“Ia harus mencium kaki kami untuk minta ampun!” kata pula si 

kurus yang juga terkena percikan kuah dan kini dia sibuk 

membersihkan pakaiannya yang kotor dan basah.

Dua orang tukang pukul itu menghampiri Cu Sui In dengan sikap 

mengancam. Sui In sudah selesai makan atau memang ia sudah 

kehilangan seleranya, maka ia bangkit dari duduknya dan 

menggapai pelayan karena ia ingin membayar harga makanan 

dan minumannya lalu pergi dari situ secepatnya.

Seorang pelayan bergegas datang menghampirinya, akan tetapi 

dua orang tukang pukul itu mendorongnya sehingga terpelanting. 

“Pergi kau!” bentak seorang di antara dua tukang pukul itu, yang 

berjenggot kambing


160

Orang kedua, yang matanya juling, berkata kepada Sui In dengan 

nada memerintah.

“Bocah sombong, hayo cepat berlutut mohon ampun kepada 

kedua orang kongcu kami, atau engkau ingin aku memaksamu 

berlutut?” Dia menghampiri dengan sikap mengancam.

“Berlutut dan cium kaki kedua kongcu kami!” bentak pula si 

jenggot kambing.

Wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan sinar mata yang 

jeli itu kini mencorong, tanda bahwa Sui In marah bukan main 

mendengar ucapan yang nadanya menghina itu.

“Aku tidak ingin mencari perkara, akan tetapi kalau kalian tidak 

cepat pergi dari sini dan menutup mulut kalian yang kotor, 

terpaksa kalian akan kuhajar!” katanya, lembut namun 

mengandung ancaman.

“Heiiiittt!” Si mata juling segera memasang kuda-kuda, kedua kaki 

terpentang, kedua lutut ditekuk dan pinggulnya menonjol ke 

belakang, kedua lengan menyilang di depan dada, dengan 

tangan membentuk cakar. Lagaknya yang digagah-gagahkan itu 

lucu sekali.

“Hyatttt......!” Si jenggot kambing juga memasang kuda-kuda, 

lebih gagah lagi, dengan kaki kiri diangkat dan lutut ditekuk 

sehingga kaki kiri menempel di samping lutut kanan sedangkan 

kaki kanan berjungkit, tangan kiri di depan pusar dan tangan 

kanan diangkat tinggi menuding langit! Seolah-olah dia hendak 

memainkan ilmu silat yang amat luar biasa tingginya, setinggi


161

langit. Akan tetapi karena dia tidak dapat bertahan lama dengan 

sebelah kaki berjungkit, maka kaki kanan diturunkan dan kini dia 

membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, kaki kiri di 

belakang, kedua tangan terkepal di pinggang, siap untuk 

menerjang!

Melihat lagak mereka, Sui In tersenyum mengejek dan 

menepiskan tangannya seperti orang mengusir lalat. “Sudahlah, 

kalian badut-badut menjemukan, aku mau pergi!” Ia lalu 

melangkah dan sama sekali tidak memperdulikan kedua orang 

yang memasang kuda-kuda dan siap menyerangnya itu. 

Melihat betapa gadis itu tidak takut menghadapi kuda-kuda 

mereka yang gagah, dua orang tukang pukul itu marah dan ketika 

gadis itu lewat di antara mereka, keduanya seperti berlomba lalu 

menubruk maju, berlumba untuk merangkul gadis itu. Si jenggot 

kambing merangkul leher, dan temannya si mata juling merangkul 

pinggang Sui In membiarkan sampai serangan mereka itu datang 

dekat, lalu tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat cepat ke depan. 

Dua orang yang sudah yakin akan berhasil menubruk dan 

merangkul itu, girang sekali.

“Bressss......!” Mereka mengaduh karena mereka ternyata saling 

tubruk dan saling rangkul, bahkan kepala mereka saling bertemu 

dengan kerasnya. Terdengar suara tertawa bergelak dan yang 

tertawa ini adalah Pek-liong yang tak dapat menahan kegelian 

hatinya melihat lagak dua orang itu, dan diapun girang dan 

kagum melihat kecekatan gadis manis itu.


162

“Keparat kau!” bentak si jenggot kambing sambil mencabut 

goloknya.

“Perempuan hina!” bentak pula si mata juling dan diapun 

mencabut goloknya. Akan tetapi, Sui In tetap tenang, tidak 

mengeluarkan senjatanya karena dara ini sudah dapat mengukur 

bahwa dua orang lawannya itu lebih mengandalkan kenekatan 

dari pada kepandaian. Mereka itu seperti dua buah tong kosong 

yang berbunyi nyaring.

Dengan teriakan-teriakan menyeramkan, ke dua orang itu kini 

menggerakkan golok mereka dan menerjang ke arah Sui In, 

bukan hanya untuk menakut-nakuti, melainkan benar-benar 

menyerang! Namun, Sui In dengan mudahnya berloncatan 

mengelak. 

Dua orang itu mengamuk terus, mengejar ke manapun Sui In 

meloncat sehingga golok mereka menyambar-nyambar dan 

merobohkan beberapa buah kursi yang menjadi patah-patah. 

Melihat ini, pemilik rumah makan itu menjadi panik. Bisa hancur 

semua perabotnya!

“Sudah! Sudah......, harap jangan berkelahi di sini........!” 

Berulang-ulang dia berteriak. 

Melihat ini, Sui In merasa kasihan, maka ketika dua batang golok 

itu menyambar, tubuhnya merendah dan kedua lengannya 

berkembang, tangannya sudah menotok ke arah siku dua orang 

penyerangnya. Golok itu terlepas dan pada detik berikutnya, kaki 

kanan gadis itu terangkat dan dua kali bergerak menendang ke 

arah perut dua orang lawannya.



163

Kaki itu menendang dengan gerakan cepat dan indah, dua kali 

bergerak tanpa turun dulu. Nampaknya tendangan itu tanpa 

tenaga, akan tetapi, begitu mengenai perut si jenggot kambing 

dan si mata juling, keduanya berteriak kesakitan, dan terjengkang 

lalu mengaduh-aduh sambil mengelus perut mereka yang 

mendadak terasa mulas dan nyeri sekali!

Kini Sui In melangkah ke arah meja dua orang pemuda kaya itu, 

tanpa memperdulikan, lagi dua orang bekas lawan yang 

mengaduh-aduh. Matanya yang jeli itu menatap wajah kedua 

orang pemuda hartawan itu dengan sinar mencorong. 

Dua orang pemuda itu berdiri menggigil ketakutan melihat betapa 

dua orang tukang pukul mereka roboh tak berdaya. Apa lagi 

melihat sinar mata gadis itu, mereka ketakutan dan kedua kaki 

mereka menggigil, dan ketika Sui In tiba di depan mereka, tak 

dapat ditahan lagi celana mereka menjadi basah! Melihat ini, Sui 

In merasa jijik. Tangan kirinya bergerak, dua kali ke arah muka 

mereka.

“Plok! Plok!” Tubuh dua orang pemuda hartawan itu terpelanting 

dan ketika mereka bangkit duduk sambil memegangi pipi yang 

membengkak dan mulut berdarah karena beberapa buah gigi 

mereka rontok, gadis itu sudah membayar harga makanan tanpa 

bicara lagi, dan melangkah pergi.

Pek-liong-eng Tan Cin Hay kagum bukan main. Gadis hebat, 

pikirnya dan dia merasa puas. Kalau lebih banyak wanita seperti 

gadis berpakaian hijau itu, tentu berkuranglah laki-laki iseng yang 

suka mengganggu wanita dengan cara yang kurang sopan.


164

Diapun mengenal gerakan wanita itu ketika tadi menghadapi 

serangan dua batang golok, cara mengelak, kemudian tendangan 

beruntun itu. 

Gerakan gadis itu mempunyai ciri khas yang datang dari sumber 

partai persilatan Kun-lun-pai. Gadis itu tentu seorang murid Kun-

lun-pai, pikirnya. Murid yang sudah jadi, sudah matang menurut 

dugaannya. Tentu saja ini hanya dugaan karena untuk 

menentukan tingkat gadis itu, dia harus melihat gadis itu bersilat 

berkelahi sungguh- sungguh, terutama menggunakan ilmu silat 

tangan kosong dan ilmu pedangnya. 

Sambil tersenyum dia melihat betapa empat orang pemuda itu 

merangkak-rangkak, membayar harga makanan, bahkan 

membayar pula kerugian yang timbul karena kerusakan meja 

kursi dan pecahnya mangkok piring akibat perkelahian tadi. 

Kemudian mereka pergi dari situ, si kepala besar tidak malu-malu 

menangis dan mengaduh-aduh karena pipinya bengkak dan 

banyak giginya sebelah kanan rontok!

Akan tetapi, Cin Hay yang sudah hampir melupakan lagi gadis 

berpakaian hijau yang lihai dan menarik itu, dan hendak 

melanjutkan makan minumnya, tiba-tiba tertarik melihat sikap tiga 

orang pria-pria setengah tua yang tadi dia lihat makan pula di 

meja lain. Dari sikap mereka, diapun tahu bahwa mereka adalah 

orang-orang yang biasa bertualang di dunia persilatan. Akan 

tetapi tadi dia tidak memperhatikan mereka. 

Baru sekarang dia menaruh perhatian ketika melihat betapa tiga 

orang itu bicara bisik- bisik dan kadang menoleh ke luar setelah


165

gadis berpakaian hijau tadi meninggalkan rumah makan itu. 

Alisnya berkerut. Jelas bahwa mereka itu bukan orang-orang 

lemah, terutama sekali orang yang berusia limapuluh tahun dan 

rambutnya sudah berwarna putih semua itu. 

Pernah dia mendengar akan seorang tokoh sesat yang 

rambutnya sudah putih semua dan terkenal ahli bermain pedang, 

julukannya Pek-mau-kwi (Setan Rambut Putih). Inikah orangnya? 

Diapun memperhatikan dua orang yang lain. Yang seorang 

berperut gendut, mukanya ramah akan tetapi matanya bersinar 

kejam. Orang kedua kurus pendek dengan wajah bengis.

Tak lama kemudian, tiga orang ini bangkit dari meja dan 

membayar harga makanan, lalu bergegas mereka keluar. Cin Hay 

melirik ke arah meja mereka. Mereka itu belum selesai makan, 

akan tetapi mengapa tergesa-gesa pergi? Dan mereka tadi jelas 

membicarakan si nona baju hijau! 

Timbul kecurigaannya dan diapun segera membayar harga 

makanan lalu melangkah keluar. Di luar masih terdapat beberapa 

orang yang tadi tertarik melihat keributan yang terjadi dalam 

rumah makan dan mereka itu kini sedang membicarakan gadis 

baju hijau dengan kagum.

Cin Hay masih sempat melihat mengepulnya debu bekas kaki tiga 

ekor kuda itu menuju ke utara, maka diapun berjalan dengan 

langkah lebar menuju ke utara. Setelah keluar dari dusun Kim-

tang, sebagai seorang yang tinggal di daerah Telaga See-ouw, 

tentu saja dia mengenal baik daerah ini dan melihat betapa masih 

nampak debu bekas kaki kuda mengepul di depan, tahulah dia


166

bahwa tiga orang penunggang kuda itu menuju ke bukit hutan 

cemara. 

Dia tahu bahwa hutan itu sunyi dan jarang dikunjungi orang 

karena selain di sana tidak terdapat binatang buruan, juga banyak 

bagian yang berbatu-batu dan tidak mendatangkan hasil apapun 

kecuali kayu pohon cemara. Diapun segera mengerahkan tenaga 

berlari cepat setelah tiba di jalan yang sunyi, membayangi tiga 

orang penunggang kuda itu.

Kini dia sudah kehilangan tiga orang penunggang kuda karena 

mereka sudah memasuki hutan di kaki bukit. Cin Hay yang 

merasa curiga, terus membayangi, bahkan mempercepat larinya 

untuk menyusul karena kalau sudah tiba di hutan, dia dapat 

membayangi dari jarak yang lebih dekat tanpa mereka ketahui.

Sementara itu, Sui In setelah meninggalkan rumah makan, 

segera melanjutkan perjalanannya. Ia ingin mengunjungi 

susioknya (paman gurunya) yang bertapa di Bukit Cemara itu. 

Susioknya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai, dan ia percaya 

bahwa kalau susioknya membantu, akan lebih mudah baginya 

untuk mencari Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) sampai dapat dan 

membalas dendam atas kematian suaminya, juga menghentikan 

pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja selama ini.

Ketika Sui In tiba di luar dusun, iapun menggunakan ilmu berlari 

cepat menuju ke bukit Cemara. Setelah hampir tiba di kaki bukit, 

ia merasakan sesuatu yang tidak wajar, yang membuatnya 

menengok dan iapun melihat tiga orang penunggang kuda 

membalapkan kuda mereka.


167

Ia tidak tahu siapa mereka, akan tetapi menduga bahwa tentu 

mereka itu orang-orang yang hendak membalaskan kekalahan 

empat orang pemuda kurang ajar yang dihajarnya di rumah 

makan tadi. Maka iapun mempercepat larinya dan tibalah ia di 

hutan cemara yang mulai dari kaki bukit. Akan tetapi, tiga orang 

penunggang kuda itu terus mengejar memasuki hutan. 

Ia menjadi penasaran sekali. Tentu saja ia tidak takut 

menghadapi mereka, dan kalau mereka itu hendak membela 

empat orang pemuda kurang ajar tadi, ia akan menghajar mereka 

pula! Maka, setelah tiba di tempat terbuka, ia berhenti untuk 

mengaso dan melihat siapa mereka yang melakukan pengejaran 

itu.

Tiga orang penunggang kuda itu berlompatan turun dari atas 

kuda mereka ketika melihat bahwa gadis yang mereka kejar 

sudah berdiri menanti di atas lapangan terbuka, dengan sikap 

yang gagah dan menantang! Tiga orang penunggang kuda itu 

sesungguhnya bukanlah tukang-tukang pukul biasa yang hendak 

membela empat orang pemuda tadi seperti yang disangka oleh 

Sui In. Sama sekali bukan!

Mereka adalah tiga orang setengah tua yang tadi makan pula di 

rumah makan dan mereka melihat pula ketika Sui In menghajar 

para pemuda kurang ajar itu. Justeru gerakan gadis itulah yang 

menarik perhatian mereka dan yang membuat mereka melakukan 

pengejaran. 

Gerakan ilmu silat Sui In ketika menghadapi para pemuda jahat 

tadi mereka kenal sebagal ilmu silat Kun-lun-pai. Gadis itu murid


168

Kun-lun-pai dan karenanya harus mati di tangan mereka! Atau 

lebih tepat lagi harus mati di tangan laki-laki berambut putih itu, 

karena yang dua orang lainnya hanyalah merupakan para 

pembantunya.

Siapakah mereka bertiga itu? Dugaan Pek-liong tadi memang 

tidak keliru. Pria berusia limapuluhan tahun yang rambutnya 

sudah putih semua itu adalah Ciong Hu, berjuluk Pek-mau-kwi 

(Setan Rambut Putih), seorang tokoh sesat kenamaan. Pek-mau-

kwi Ciong Hu ini terkenal lihai dengan ilmu pedangnya, dan 

diapun terkenal jahat dan kejam. Dia tidak pantang melakukan 

kejahatan apapun asal perbuatan itu menghasilkan keuntungan 

baginya.

Adapun dua orang temannya juga bukan orang sembarangan, 

melainkan tokoh-tokoh sesat yang namanya ditakuti orang karena 

selain kejam, merekapun lihai sekali. Terutama mereka yang suka 

mengarungi Sungai Huang-ho dengan perahu, tentu akan 

mengenal nama mereka. 

Mereka adalah dua orang kakak beradik yang suka membajak di 

sepanjang Sungai Kuning, maka nama julukan merekapun 

Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning). Yang 

berperut gendut dengan wajah cerah akan tetapi sinar matanya 

kejam berusia empatpuluh lima tahun dan bernama Can Kai, 

sedangkan yang kurus pendek berwajah bengis adalah adiknya 

bernama Can Kui berusia empatpuluh tiga tahun.

Melihat cara tiga orang itu berlompatan dari atas punggung kuda, 

Sui In terkejut juga. Ia tahu bahwa tiga orang ini tidak boleh


169

dipandang ringan, tidak seperti dua orang tukang pukul muda 

yang dihajarnya di rumah makan tadi, maka iapun bersikap 

waspada. 

Ia mulai meragukan sangkaannya setelah mengetahui mereka 

sebagai tiga orang yang tadi ia lihat makan di restoran itu pula. 

Kalau mereka ini membela empat orang pemuda yang dihajarnya 

tadi, tentu mereka sudah bergerak tadi di sana, pikir Sui In. 

Tidak, mereka mengejarnya tentu karena alasan lain. Akan tetapi 

ia bersikap tenang saja ketika berdiri berhadapan dengan mereka 

bertiga. Melihat mereka bertiga itu hanya memandang kepadanya 

dengan penuh perhatian, sedangkan si perut gendut menyeringai 

dengan sikap ceriwis. Sui In lalu menegur.

“Mau apa kalian bertiga mengejarku?”

Pek-mau-kwi Ciong Hu menggerakkan tangannya. “Nona, 

benarkah dugaan kami bahwa engkau seorang murid Kun-lun-

pai?”

Sui In mengerutkan alisnya. “Kalau benar, mengapa?”

Akan tetapi pria berambut putih itu tidak memperdulikan Sui In 

melontarkan balas tanya penuh tantangan itu. “Dan engkau 

hendak berkunjung ke pondok Giam Sun?”

Sui In merasa tidak perlu merahasiakan kunjungannya lagi 

karena agaknya mereka sudah mengenal susioknya. “Memang 

aku akan berkunjung ke tempat pertapaan Giam Susiok. Kalian 

siapakah?”


170

Akan tetapi tiga orang itu sudah tertawa bergelak. “Hemm, 

engkau murid keponakan Giam Sun?” kini Can Kai si gendut 

tertawa. “Bagus sekali, kalau begitu engkau harus turut dengan 

aku!” 

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi Can Kai 

sudah menubruk ke depan. Biarpun perutnya gendut ternyata dia 

dapat bergerak dengan cepat sekali. 

Sui In cepat mengelak dan ketika lengan kanan si gendut itu 

masih berusaha meraihnya, ia menangkis sambil mengerahkan 

tenaga.

“Plakk!” Can Kai mengeluarkan seruan kaget karena lengannya 

yang tertangkis itu terpental keras, tanda bahwa gadis itu memiliki 

sin-kang yang cukup kuat.

“A Kai, jangan main-main. Cepat selesaikan ia, kita tidak 

mempunyai banyak waktu!” tiba-tiba Pek-mau-kwi Ciong Hu 

berseru dan mendengar ini, si gendut sudah mencabut 

pedangnya, lalu tanpa banyak cakap lagi diapun sudah langsung 

menerjang dengan ganas. Akan tetapi, melihat lawan 

menggunakan senjata, Sui In juga, sudah cepat menghunus 

pedang dan kini ia menangkis dengan gerakan kilat.

“Tranggg......!” Begitu kedua pedang bertemu dan tangkisan itu 

membuat pedang Can Kai terpental, pedang di tangan Sui In 

sudah meluncur dengan gerakan lingkaran yang amat cepat, 

menyambar dari samping membabat ke arah leher Can Kai!


171

Si gendut ini terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, lalu 

berjungkir balik sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. 

Wajahnya berubah agak pucat karena nyaris lehernya putus! Dia 

menjadi marah dan sudah menerjang lagi dengan dahsyat, sama 

sekali tidak berani memandang rendah lagi. 

Sui In juga segera memainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang 

amat indah dan kuat. Pedang di tangannya itu berubah menjadi 

sinar bergulung-gulung dan dari gulungan sinar itu, yang selalu 

menahan setiap serangan lawan, seringkali mencuat sinar yang 

merupakan serangan balasan yang cepat dan berbahaya bagi 

lawan. 

Dalam waktu duapuluh jurus saja, Can Kai sudah terdesak hebat 

dan setiap lima kali serangan lawan dia hanya mampu membalas 

satu kali saja! Tentu saja dia mundur terus dan berputar-putar 

dan jelas bahwa kalau dilanjutkan, tak lama lagi dia pasti akan 

roboh menjadi makanan pedang di tangan gadis Kun-lun-pai yang 

lihai itu!

Melihat kakaknya terdesak, Can Kui sudah mencabut pedangnya 

dan tanpa banyak cakap lagi diapun sudah terjun membantu 

kakaknya. Ilmu pedang Can Kui tidak banyak berbeda dengan 

kakaknya, maka kini Sui In dikeroyok dua dan kalau tadi Sui In 

dapat mendesak lawan, kini ia harus berhati-hati karena setelah 

dikeroyok, tentu saja keadaan menjadi berubah! Wanita perkasa 

ini memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi kini serangan 

dua orang itu lebih cepat dan lebih sering dibandingkan serangan 

balasan yang dapat ia lakukan.



172

Pek-mau-kwi Ciong Hu menjadi tidak sabar. Tak disangkanya 

bahwa wanita ini demikian lihainya sehingga dikeroyok oleh dua

orang pembantunya pun agaknya mereka tidak akan mudah 

memperoleh kemenangan,

“Hemm, perempuan yang sombong, terimalah kematianmu!” 

bentaknya dan diapun sudah mencabut pedangnya. Begitu 

pedangnya dicabut, nampak sinar berkilauan, tanda bahwa 

pedangnya itu adalah sebuah senjata yang baik dan juga tajam 

sekali.

Pedang itu meluncur dan merupakan segulung sinar terang 

menyerang ke arah Sui In yang sudah dikeroyok oleh dua orang, 

Sepasang Harimau Sungai Kuning itu. Cepat dan kuat sekali 

serangan itu sehingga Sui In menjadi terkejut bukan main karena 

pada saat itu ia sedang didesak oleh dua orang pengeroyoknya. 

Pada saat yang amat berbahaya bagi Sui In, tiba-tiba nampak 

sinar putih meluncur dari samping.

“Cringggg......! Ahhhh......!!” Pek-mau-kwi Ciong Hu mengeluarkan 

seruan kaget dan cepat memeriksa pedangnya yang hampir saja 

terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh sinar putih 

itu. 

Dia merasa lega bahwa pedangnya tidak rusak, akan tetapi 

alisnya berkerut ketika dia mengangkat muka memandang 

kepada seorang pria muda yang berdiri di situ sambil tersenyum. 

Seorang pria muda berpakaian serba putih, pakaian sederhana 

saja dan tentu dia tidak akan menduga bahwa pemuda itu 

seorang ahli silat yang lihai kalau saja dia tidak melihat pedang


173

yang bersinar putih dan yang telah membuat pedangnya terpental 

tadi.

“Pek-liong-eng........!” serunya dengan mata terbelalak.

Tan C'in Hay tersenyum, “Dan engkau tentu Pek-mau-kwi Ciong 

Hu!”

“Pek-liong-eng, selama ini di antara kita tidak pernah ada 

permusuhan dan jalan kita selalu bersimpang. Harap engkau 

tidak mencampuri urusan pribadiku!” kata Pek-mau kwi Ciong Hu, 

sementara itu, dua orang kakak beradik Can itu masih berkelahi 

mengeroyok Sui In.

“Pek-mau-kwi, memang jalan kita tidak pernah bertabrakan, akan 

tetapi sekali ini, secara pengecut sekali kau mengeroyok seorang 

wanita murid Kun-lun-pai dengan dua orang kawanmu. Hal ini 

tentu saja tidak dapat kubiarkan saja. Aku paling benci melihat 

laki-laki yang curang dan pengecut!”

“Pek-liong-eng, orang lain boleh takut kepada nama besarmu, 

akan tetapi aku tidak! Mampuslah!” Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah 

menyerang dengan pedangnya. Serangannya memang hebat dan 

dia adalah seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya. 

Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan Si Naga Putih! 

Sebelum dia menjadi rekan setia dari Hek-liong-li, dia sudah 

merupakan seorang pendekar yang berilmu tinggi, mewarisi ilmu-

ilmu kesaktian dari mendiang Pek I Lojin. Apa lagi setelah dia 

memiliki pedang pusaka Pek-liong Po-kiam (Pedang Pusaka 

Naga Putih), dan bersama Hek-liong-li dia menciptakan ilmu


174

pedang Sin-liong Kiam-sut, maka ilmu pedangnya dahsyat bukan 

main. Begitu dia menggerakkan pedang pusakanya, lenyaplah 

bentuk pedang itu dan yang nampak hanya sinar putih bergulung-

gulung yang menimbulkan bunyi berdesing-desing dan angin 

menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor naga bermain-

main di angkasa.

Pek-mau-kwi merasa terkejut bukan main. Dia mengerahkan 

seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, 

memainkan jurus-jurus pilihan, namun tetap saja sinar pedangnya 

terkurung dan terhimpit oleh sinar pedang lawannya. Masih 

untung baginya bahwa diam-diam Pek-liong mengkhawatirkan 

keselamatan gadis Kun-lun-pai itu sehingga perhatian Pek-liong 

terpecah, sebagian untuk menjaga kalau-kalau wanita perkasa itu 

terancam babaya. Hal ini memberi kesempatan kepada Pek-mau-

kwi untuk meloncat jauh ke belakang.

“Kita pergi......!” teriaknya kepada dua orang pembantunya. 

Sebetulnya, Can Kai dan Can Kui sudah mulai menghimpit 

lawannya. Wanita perkasa itu hanya mampu menangkis dan 

melindungi tubuhnya saja dan kalau dilanjutkan, ia pasti akan 

roboh. Akan tetapi, mendengar seruan Pek-mau-kwi, mereka 

terkejut. 

Tadipun mereka sudah cemas mendengar pemimpin mereka 

menyebut nama Pek-liong-eng. Maka, tanpa banyak pikir lagi, 

keduanya sudah berloncatan meninggalkan Sui In dan di lain 

saat, mereka bertiga sudah membalapkan kuda meninggalkan 

tempat itu.


175

Pek-liong tidak mengejar, juga Sui In tidak mencoba untuk 

mengejar. Mereka berdiri saling pandang sejenak, pandang mata 

yang mengandung kekaguman. Kemudian, Sui In yang teringat 

bahwa baru saja ia dibebaskan dari ancaman maut, segera 

mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat 

sambil berkata, “Terima kasih atas pertolongan yang diberikan 

sehingga aku lolos dari ancaman maut di tangan mereka.”

Pek-liong-eng Tan Cin Hay tersenyum dan membalas 

penghormatan itu dengan mengangkat kedua tangan depan 

dada, “Tidak perlu berterima kasih, nona. Sudah sepatutnya kalau 

kita saling membantu apa bila menghadapi ganguan orang-orang 

jahat.”

“Aku...... aku bukan seorang nona......” Sui In tersipu mendengar 

ia dipanggil “siocia” (nona). Usianya sudah duapuluh enam tahun 

dan ia seorang janda!

Pek-liong masih tersenyum dan kembali mengangkat kedua 

tangan di depan dada memberi hormat, “Ah, maafkan aku, 

nyonya......” 

Sui In masih tersipu akan tetapi iapun tersenyum, dan 

menggeleng kepalanya. “Akupun bukan seorang nyonya......”

“Ehhh......?” Kini Pek-liong terbelalak bingung. Bukan nona dan 

bukan nyonya, apakah ia banci......?

“Aku seorang janda,” Sui In cepat menjelaskan.

“Ah, begitu......?”


176

Keduanya terdiam. Agaknya pengakuan dirinya sebagai seorang 

janda itu membuat suasana menjadi canggung. Akan tetapi 

akhirnya Sui In dapat menguasai hatinya. Ia tahu bahwa pria di 

depannya itu menjadi rikuh maka tidak berani sembarangan 

bicara dan harus ia yang lebih dahulu bicara. 

Ia mengangkat muka. Kebetulan Pek-liong juga sedang 

memandang kepadanya sehingga dua pasang mata bertemu, 

bertaut sebentar lalu Sui In yang membuang pandang mata ke 

samping sambil memerah muka di luar kesadarannya.

“Jadi...... engkau ini yang dijuluki Pek-liong-eng itu? Namamu 

sudah terkenal sampai ke kota raja.”

“Ah, hanya nama kosong saja, tidak pantas untuk disohorkan,” 

kata Pek-liong merendah.

“Bukan nama kosong. Baru saja aku menyaksikan sendiri betapa 

hebatnya ilmu pedangmu, tai-hiap (pendekar besar). Aku sudah 

mendengar pula nama Pek-mau-kwi yang kabarnya amat lihai 

dan ilmu pedangnya amat berbahaya, namun dalam beberapa 

gebrakan saja, melawanmu, dia telah melarikan diri. Sungguh 

engkau memiliki kesaktian hebat, tai-hiap.”

“Wah, engkau membikin aku dua kali malu dan bingung. Engkau 

tidak mau disebut nona, juga tidak mau disebut nyonya, akan 

tetapi sebaliknya engkau menyebut aku tai-hiap! Ini tidak adil 

namanya. Karena malu dan canggung, aku rasanya ingin lari 

saja. Kalau kita ingin melanjutkan perkenalan ini sebaiknya 

engkau menyebut aku toako saja. Usiaku sudah duapuluh tujuh


177

tahun, tentu jauh lebih tua darimu, maka sudah sepatutnya kalau 

engkau menyebut toako (kakak) kepadaku.”

Sui In tersenyum. Hatinya girang bukan main. Dahulu ia sudah 

mengagumi nama besar Pek-liong-eng. Tadi ketika bertemu di 

restoran, iapun diam-diam kagum melihat pria ini karena tampan 

dan jantan, kemudian ia semakin kagum melihat ilmu kepandaian 

dan sepak terjangnya. 

Dan kini, bukan saja ia berhadapan dan berkenalan dengan 

pendekar itu, bahkan ia diperbolehkan menyebut toako! Ia 

semakin kagum. Pria ini selain tampan dan gagah, jantan, 

berkepandaian tinggi, juga ternyata sopan dan amat ramah dan 

jujur!

“Baiklah, toako, akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku 

nona atau nyonya, melainkan siauw-moi (adik perernpuan). 

Usiaku sudah duapuluh enam tahun, setahun lebih muda darimu.”

“Ah, tidak mungkin!”

“Apanya, yang tidak mungkin, toako?”

“Mana mungkin usiamu sudah duapuluh enam tahun? Engkau 

kelihatan tidak lebih dari duapuluh tahun!” kata Pek-liong dengan 

sikap sungguh-sungguh sehingga wanita itu tersenyum bangga, 

maklum bahwa pendekar itu tidak sekedar merayu.

“Sungguh, toako. Eh, kita ini sudah saling menyebut toako dan 

siauw-moi, akan tetapi belum mengetahui nama masing-masing!


178

Aku hanya pernah mendengar julukanmu, belum mengetahui 

namamu. Aku bernama Cu Sui In, toako.”

“Cu Sui In nama yang bagus. Namaku sendiri Tan Cin Hay, In-

moi (adik In). Nah, kita telah berkenalan dan menjadi sahabat. 

Maukah engkau menceritakan kepadaku mengapa tiga orang itu 

tadi berusaha mati-matian untuk membunuhmu?”

Sui In menggeleng kepala. “Aku sendiri pun tidak tahu mengapa 

mereka memusuhi aku, toako. Mereka tadi mengejarku, setelah 

tiba di sini mereka hanya bertanya apakah aku murid Kun-lun-pai. 

Setelah aku membenarkan, mereka segera menyerangku dan 

berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhku. Merekapun 

agaknya mengenal susiokku Giam Sun yang bertapa di puncak 

bukit ini.”

“Susiokmu? Seorang tokoh Kun-lun-pai bertapa di bukit ini? 

Heran sekali, mengapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu? 

Pada hal, aku tinggal tidak jauh sekali dari sini.”

“Giam Susiok (Paman Guru Giam) memang bertapa 

mengasingkan diri dari dunia ramai, maka dia seperti orang 

bersembunyi dan tidak ada yang tahu. Aneh sekali bagaimana 

tiga orang itu mengetahuinya dan..... ah, jangan-jangan telah 

terjadi sesuatu dengan susiok....!” Wajah manis itu nampak 

khawatir sekali. “Aku harus cepat melihat keadaannya!” 

Setelah berkata demikian, Sui In yang mengkhawatirkan paman 

gurunya segera berlari mendaki bukit. Pek-liong juga tertarik 

sekali mendengar bahwa paman guru gadis itu bertapa di situ, 

maka diapun mengikuti di belakang gadis itu tanpa bicara lagi.


179

Pondok itu sederhana saja, tersembunyi di bawah pohon cemara 

dan semak belukar tumbuh di sekelilingnya sehingga pondok itu 

tidak nampak dari bawah puncak.

“Giam susiok.......!” Sui In memanggil beberapa kali di luar 

pondok.

Tidak ada jawaban. Sunyi sekeliling dan perasaan hati wanita itu 

semakin gelisah. Ia saling pandang dengan Pek-liong dan 

pendekar ini memberi isyarat dengan pandang matanya ke arah 

pintu pondok, Sui In mengangguk dan mereka lalu menghampiri 

pintu pondok, mendorongnya terbuka.

“Susiok......!” Sui In terkejut bukan main melihat paman gurunya 

sudah rebah miring di atas lantai tanah pondok itu. Ia meloncat 

masuk diikuti Pek-liong dan keduanya berlutut dekat tubuh yang 

menggeletak miring.

“Dia sudah tewas,” kata Pek-liong dan Sui In mengangguk, 

wajahnya pucat dan matanya terbelalak.

“Lihat ini......,” kata Pek-liong menunjuk ke arah lantai dan ketika 

Sui In memandang sambil mendekatkan mukanya, iapun melihat 

betapa dekat tangan yang terkulai itu, di atas lantai tanah, 

terdapat tulisan. Huruf-hurufnya cukup jelas dan ia membacanya.

“Pek-mau-kwi...... Kwi-eng-cu......!” 

“Aih, Kwi-eng-cu......??” Gadis itu nampak terkejut sekali sehingga 

Pek-liong cepat bertanya.


180

“Siapa itu Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)?”

Sui In memandang dengan kedua mata basah.

“Aku...... aku mencari paman justeru...... justeru..... karena urusan 

Kwi-eng-cu dan ternyata paman guruku telah menjadi korban 

Kwi-eng-cu pula!” 

Gadis itu menangis, teringat akan kematian suaminya dan kini 

kematian susioknya (paman gurunya), pada hal tadinya ia 

mengharapkan bantuan paman gurunya untuk dapat membalas 

dendam kepada Kwi-eng-cu.

Pek-liong membiarkan wanita itu menangis sejenak, setelah Sui 

In dapat menguasai dirinya, dia lalu berkata, “Sudahlah, In-moi. 

Susiokmu sudah tewas dan ditangisi bagaimanapun juga, tidak 

ada gunanya. Jauh lebih baik kalau kita segera mengubur 

jenazahnya.”

Sui In mengangguk dan Pek-liong lalu mencari sebuah cangkul di 

bagian belakang pondok itu, memilih tempat yang baik dan 

diapun segera bekerja, menggali lubang kuburan. Dan tak lama 

kemudian, jenazah Giam Sun, kakek berusia enampuluh tahun 

tokoh Kun-lun-pai itu telah dikubur secara sederhana. Kemudian 

disembayangi secara sederhana pula, tanpa alat sembahyang, 

hanya dengan berlutut di depan makam dan berdoa di dalam hati, 

namun dua orang muda itu bersembahyang dengan khidmat.

Setelah penguburan selesai, barulah Pek-liong berkata, “Nah, 

sekarang coba kauceritakan kepadaku siapa itu Kwi-eng-cu dan


181

apa hubungannya dengan kedatanganmu ke sini dan dengan 

semua peristiwa ini, In-moi!”

Sui In menarik napas panjang, terkenang akan semua peristiwa 

buruk yang menimpa dirinya. 

“Aku tinggal di ibu kota, toako. Selama beberapa bulan ini, di kota 

raja timbul peristiwa yang menggegerkan, yaitu dengan terjadinya 

pembunuhan-pembunuhan gelap terhadap beberapa orang 

pejabat penting. Tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh itu, 

hanya ada yang melihat bayangan yang bertanduk, seperti iblis. 

Karena itu maka pembunuh itu hanya dinamakan Kwi-eng-cu (Si 

Bayangan Iblis) tanpa ada yang menduga siapa dia dan di mana 

sarangnya. Di antara banyak pejabat yang terbunuh itu, termasuk 

juga suamiku ......”

“Ah......! Suamimu seorang pejabat dan dia pun tewas oleh Kwi-

eng-cu?” 

Tentu saja Pek-liong terkejut dan kini dia memandang wajah 

wanita itu dengan perasaan iba. Sui In melihat pandang mata 

penuh iba itu, maka iapun berterima kasih dengan senyum kecil!

“Aku sudah dapat mengatasi peristiwa itu, toako. Bukan hanya 

suamiku yang dibunuh, akan tetapi banyak pejabat, bahkan ada 

pangeran yang dibunuh, pembantu menteri bahkan menteri! Kota 

raja menjadi geger, dan aku sendiri setelah itu menjaga 

keselamatan pamanku, yaitu Pembantu Menteri Pajak, karena 

setiap orang pejabat tinggi, apa lagi yang dekat dengan kaisar, 

merasa terancam dan tidak aman.



182

“Karena aku ingin sekali menangkap penjahat tukang bunuh itu, 

maka setelah paman mendatangkan rombongan pengawal yang 

cukup tangguh, aku lalu pergi ke sini untuk menghadap paman 

guru Giam Sun, untuk minta bantuannya bersamaku menangkap 

dan menghukum Kwi-eng-cu di kota raja. 

“Selanjutnya, engkau tahu apa yang terjadi di sini, toako. Ahh, 

sungguh malang sekali nasibku. Bagaimana pula susiok yang 

akan kumintai bantuan, tahu-tahu telah dibunuh orang? Dan apa 

artinya tulisan yang agaknya sengaja dia tinggalkan di tanah itu?”

Pek-liong tertarik sekali dan diapun mengerutkan alis, 

mengerjakan otaknya yang sehat, yang membuat dia cerdik 

sekali dan waspada. Baru sekarang dia mendengar tentang 

pembunuhan-pembunuhan aneh di kota raja itu dan biarpun dia 

tidak suka mencampuri urusan pemerintah, namun peristiwa itu 

sungguh menarik hatinya. Terjadi kejahatan yang luar biasa 

beraninya di kota raja.

“In-moi, kalau boleh aku bertanya, bagaimana keadaan dan 

pendirian mendiang suamimu terhadap Sribaginda Kaisar?“

Ditanya tentang suaminya itu, Sui In terkejut sekali, karena hal ini 

tidak pernah disangkanya. Ia memandang dengan mata 

terbelalak. 

“Apa...... apa maksudmu, toako?”

“Begini, In-moi. Aku ingin mengetahui bagaimana sikap para 

pejabat tinggi yang terbunuh itu. Karena engkau tentu tidak 

mengetahui keadaan mereka, maka aku bertanya tentang


183

suamimu. Diapun ikut pula terbunuh, berarti dia memiliki 

persamaan atau kepentingan yang sama dengan para pejabat 

lain yang terbunuh. Nah, aku ingin tahu apakah suamimu itu 

seorang pejabat yang...... maafkan pertanyaanku kalau kasar, 

apakah dia seorang pejabat yang korup?”

Secara kontan Sui In menggeleng kepala keras-keras. 

“Sama sekali tidak! Baik pamanku, Ciok Tai-jin Pembantu Menteri 

Pajak, dan juga mendiang suamiku, mereka adalah pejabat-

pejabat yang jujur dan setia, disiplin dan tidak sudi melakukan 

penyelewengan demi keuntungan diri pribadi!”

Pek-liong mengangguk-angguk. “Dan bagaimana sikapnya 

terhadap Sribaginda Kaisar? Setia sepenuhnyakah? Ataukah ada 

sesuatu yang membuat suamimu merasa tidak suka akan 

kebijaksanaan Kaisar? Secara terang-terangan atau secara 

sembunyi menentang Kaisar?”

Sui In menggelengkan kepalanya dan kini ia mengerti ke arah 

mana tujuan pertanyaan Pek-liong, maka iapun menerangkan. 

“Akupun pernah melakukan penyelidikan tentang pembunuhan-

pembunuhan itu, toako, dan akupun sudah menyelidiki tentang 

sikap mereka yang terbunuh. Suamiku sendiri adalah seorang 

yang setia dan taat kepada kaisar. Akan tetapi, yang 

membingungkan adalah bahwa di antara mereka yang terbunuh 

terdapat pula mereka yang memperlihatkan sikap tidak cocok 

dengan kebijaksanaan Kaisar. Jadi, pembunuhan ini jelas bukan 

berdasarkan pro atau anti kaisar.”



184

Pek-liong memandang wanita itu dengan kagum. Seorang wanita 

yang cerdik pula, pikirnya.

“Apakah di kota raja sudah ada usaha untuk menyelidiki 

pembunuhan-pembunuhan itu? Bagaimana dengan Kaisar 

sendiri?”

“Kaisar sudah memerintahkan semua petugas keamanan untuk 

melakukan penyelidikan. Namun tanpa hasil. Akan tetapi, 

sungguh aku tidak mengerti apa hubungan semua pembunuhan 

di kota raja itu dengan pembunuhan terhadap susiok?”

“Tentu ada kaitannya, In-moi. Setidaknya, mereka itu jelas 

memusuhi Kun-lun-pai. Buktinya, setelah mereka tahu bahwa 

engkau murid Kun-lun-pai engkaupun akan mereka bunuh. 

Tulisan itu menyebutkan dua nama. 

“Nama Pek-mau-kwi sudah jelas. Dia adalah orang berambut 

putih yang memimpin pengeroyokan terhadap dirimu. Ini berarti 

bahwa ketika paman gurumu terbunuh, dia mengenal Pek-mau-

kwi sebagai seorang di antara pembunuhnya. Melihat tingkat 

kepandaiannya, kiranya kalau hanya seorang diri saja Pek-mau-

kwi tidak akan mungkin dapat membunuh susiokmu yang tentu 

lihai sekali.”

“Dalam hal kelihaian ilmu silat, susiok hanya lebih menang sedikit 

dibandingkan aku, akan tetapi dia berpengalaman dan cerdik, 

maka aku ingin minta bantuannya untuk menangkap pembunuh di 

kota raja.”


185

“Lebih lihai dan engkau berarti tidak kalah malawan Pek-mau-kwi. 

Mungkin dia dikeroyok oleh Pak-mau-kwi bersama dua orang 

pembantunya itu. Akan tetapi, diapun menulis nama Kwi-eng-cu! 

Apakah pembunuh misterius di kota raja itu datang pula ke sini, 

bersama Pek-mau-kwi membunuhnya?”

“Mungkin juga begitu! Sayang aku datang terlambat!” kata Sui In 

penuh penyesalan.

Pek-liong menggeleng kepala. Otaknya sudah bekerja karena dia 

tertarik sekali oleh semua peristiwa yang terjadi, baik di bukit itu 

maupun di kota raja seperti yang dia dengar dari Sui In. 

“Engkau terlambat satu hari, In-moi. Pamanmu itu sudah tewas 

sedikitnya lima jam yang lalu, akan tetapi melihat luka pedang di 

tengkuknya, tentu dia sudah diserang orang pada hari kemarin. 

Dia tentu disangka mati dan ditinggalkan para pembunuhnya, 

maka dia masih mampu menuliskan nama-nama itu. Dan melihat 

betapa kita bertemu dengan Pek-mau-kwi pada hari ini, bersama 

dua orang pembantunya yang lihai pula itu, maka kurasa yang 

membunuh pamanmu adalah tiga orang tadi. Kalau dikeroyok 

tiga, sukar baginya untuk menang.”

“Akan tetapi, mengapa paman guruku menuliskan nama Kwi-eng-

cu pula?”

“Itulah yang menjadi rahasianya. Apapun rahasianya itu, jelas 

bahwa antara Kwi-eng-cu dan Pek-mau-kwi ada hubungan! Jadi, 

kalau kita hendak menyelidiki tentang Kwi-eng-cu, kita dapat 

menyelidikinya melalui Pek-mau-kwi!”


186

“Kita......?” Sui In mengangkat muka, memandang dengan sinar 

mata penuh harap.

Pek-liong mengangguk. “Ya, aku akan pergi denganmu, In-moi. 

Perkara ini amat menarik hatiku. Secara kebetulan saja kita saling 

melihat di rumah makan itu. Kalau saja tiga orang itu tidak 

menimbulkan kecurigaanku dengan sikap mereka, tentu aku tidak 

akan membayangi mereka dan kita mungkin tidak akan saling 

bertemu kembali.”

Bukan main girangnya rasa hati Sui In. Ia mencari susioknya 

untuk membantunya menyelidiki pembunuh suaminya. Susioknya 

tewas terbunuh orang dan sebagai gantinya, ia mendapat 

bantuan dari orang yang lebih hebat dan lebih dapat dipercaya 

dari pada susioknya, yaitu Pek-liong-eng Tan Cin Hay!

“Terima kasih, toako! Kalau engkau yang melakukan 

penyelidikan, aku yakin rahasia pembunuh itu akan terbongkar 

dan kita akan dapat menangkapnya! Biarpun aku berduka karena 

kematian susiok, sebaliknya aku gembira sekali telah 

mendapatkan engkau sebagai penggantinya untuk membantu 

aku membalas dendam kematian suamiku!”

“Maaf, In-moi. Kalau aku ingin menyelidiki Kwi-eng-cu, hal itu 

sama sekali tidak ada hubungannya dengan balas dendam 

kematian suamimu, juga bukan sebagai seorang pendekar yang 

menentang kejahatan lalu membela para pejabat. Aku bukan 

pendekar, aku seorang manusia biasa yang bebas menentukan 

jalan hidupku sendiri. Kalau aku sekarang ikut denganmu ke kota


187

raja, hal itu adalah karena aku tertarik oleh semua ceritamu tadi, 

In-moi.”

“Apapun alasanmu, aku girang bahwa engkau suka pergi 

bersamaku ke kota raja, toako. Mari kita berangkat!” ajak wanita 

itu dengan wajah berseri.

“Kita singgah dulu di rumahku, In-moi. Tidak jauh dari sini. Aku 

harus membuat persiapan dan memberitahu orang di rumah.”

“Aih, maafkan. Aku lupa. Tentu saja engkau harus berpamit 

kepada keluargamu!” kata Sui In dan teringat akan hal ini, seri di 

wajahnya menghilang.

Pek-liong-eng Tan Cin Hay tertawa. “Ha-ha-ha, aku hidup 

seorang diri di dunia ini, In-moi, sebatang kara, tanpa keluarga. 

Hanya dengan para pembantu rumah tangga. Kalau aku pergi, 

aku harus memberitahu mereka agar mereka tidak gelisah. Pula, 

aku harus membawa bekal dan persiapan.”

“Tapi, toako. Seorang pria seperti engkau ini, usiamu sudah 

cukup dewasa, engkau pandai, engkau gagah perkasa dan 

wajahmu menarik, bagaimana mungkin sampai kini masih hidup 

membujang? Maafkan, bukan maksudku mencampuri urusan 

pribadimu, akan tetapi seorang pria seperti engkau sudah 

sepatutnya kalau mempunyai seorang isteri yang cantik jelita dan 

bijaksana, dan mempunyai beberapa orang anak yang mungil 

dan sehat.”

Ada bayangan gelap menyelimuti wajah Pek-liong, namun hanya 

sebentar saja, seperti bayangan awan yang lewat. Wajahnya


188

sudah berseri kembali, matanya bercahaya dan mulutnya ramai 

oleh senyum.

“Isteriku telah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu tanpa 

anak dan sejak itu, aku belum pernah menikah lagi.”

“Ah, engkau... seorang...... duda? Siapa sangka!” 

Wajah Sui In berubah merah sekali karena ucapan itu tadi keluar 

begitu saja di luar kesadarannya dan baru sekarang ia merasa 

betapa ucapan itu amat tidak pantas keluar dari mulutnya. Untuk 

menutupi perasaan rikuh dan salah tingkah, ia cepat 

menyambung, “Isterimu tentu meninggal dunia karena sakit.”

Pek-liong menggeleng kepala. “Seperti juga suamimu, isteriku 

tewas dibunuh orang! Sudahlah, perlu apa kita bicara tentang hal 

lalu. Mari engkau singgah dulu di rumahku. Tidak begitu jauh dari 

sini.”

Menjelang sore, tibalah mereka di dusun Pat-kwa-bun. Begitu 

memasuki pekarangan rumah Pek-liong, Sui In merasa, kagum 

bukan main. 

Tempat itu amat bersih dan terpelihara rapi. Dari pagar 

temboknya yang tidak begitu tinggi dan dicat merah, sampai 

pekarangan yang juga merupakan taman terpelihara indah, 

dengan air mancur di depan di tengah kolam ikan emas, dan ada 

sebuah arca naga putih di belakang kolam. Beberapa batang 

pohon membuat tempat itu sejuk dan nyaman, dan hamparan 

rumput juga terpelihara sehingga merupakan permadani hijau 

yang menyegarkan mata.


189

Rumah itu sendiri dari luar nampak kokoh. Tidak begitu besar 

namun indah walaupun tidak nampak mewah dari luar. 

Dindingnya putih bahkan jendela dari pintunya juga putih, dengan 

garis-garis tipis merah muda dan kuning. Gentengnya 

kemerahan.

“Selamat datang, Tai-hiap, Selamat datang, nona!” Dua orang 

pria yang berpakaian pelayan namun bersih dan dengan sikap 

yang gagah, dengan tubuh tegak dan tegap, menyambut mereka 

dengan salam hormat.

“Nona ini adalah Cu Li-hiap, menjadi tamu kehormatanku malam 

ini. Suruh A- liok menyiapkan hidangan yang lezat untuk tamu 

kita!” kata Pek-liong kepada mereka.

“Maafkan kami, Li-hiap,” kata seorang di antara mereka sambil 

memberi hormat kepada Sui In yang tentu saja merasa rikuh 

menerima penghormatan sebagai seorang pendekar wanita. 

Akan tetapi ia hanya mengangguk dan Pek-liong mempersilakan 

ia ikut memasuki rumahnya. 

Setelah masuk ke dalam rumah itu, Sui In menjadi semakin 

kagum. Kiranya isi rumah itu berbeda sekali dengan keadaan 

luarnya. Semua perabot rumah di situ nampak megah dan 

mewah, juga terpelihara rapi. Sampai lantainya saja mengkilap 

seperti cermin! 

Lukisan-lukisan indah, juga tulisan-tulisan indah menghias 

dinding. Pot-pot bunga terukir naga dan burung Hong, berdiri di 

sudut-sudut terisi tanaman yang segar. Sutera-sutera beraneka 

warna menutupi lubang-lubang dan bergantungan seperti pelangi.


190

Ruangan-ruangan yang dilaluinya ditata secara nyeni sekali, tidak 

kalah indahnya dibandingkan istana raja sekalipun!

Yang membuat Sui In semakin kagum adalah ketika mereka

memasuki setiap ruangan Pek-liong selalu memeriksa apakah 

tombol rahasia menunjukkan bahwa ruangan itu bebas 

perangkap, jelas bahwa rumah yang indah itu penuh jebakan dan 

perangkap. Karena ingin tahu ia tanyakan hal ini kepada tuan 

rumah.

Pek-liong mengangguk, tersenyum. “Hidup seperti aku ini selalu 

diancam bahaya, banyak orang yang pernah kujatuhkan menaruh 

dendam dan setiap waktu mereka dapat datang menyerbu ke 

rumahku. Karena aku tidak suka menggunakan pasukan 

pengawal, maka aku harus mampu menjaga segala kemungkinan 

terhadap gangguan dari luar yang datang selagi aku tidur.”

“Ah, menarik sekali, Toako, aku tidak ingin mengetahui alat-alat 

rahasia di rumahmu ini yang tentu saja harus dirahasiakan, akan 

tetapi kalau boleh aku ingin melihat bekerjanya satu saja 

perangkap yang dipasang di ruangan depan itu.” Ia menuding ke 

depan, ke sebuah ruangan yang dihias sutera-sutera merah 

muda. 

Pek-liong tersenyum, mengangguk dan berkata dengan suara 

sungguh-sungguh.

“Engkau boleh buktikan sendiri, In-moi. Coba kau masuki ruangan 

itu dengan sikap hati-hati. Engkau seorang penyerbu yang sudah 

menduga bahwa kamar itu dipasangi jebakan, sehingga engkau 

boleh berhati-hati sekali, akan tetapi engkau harus memasukkan


191

ruangan itu, katakanlah untuk mengambil atau melakukan 

sesuatu.”

Sui In mengerutkan alisnya. “Akan tetapi...... aku tidak mau 

terancam bahaya maut, toako!”

Pek-liong menggeleng kepala. “Aku belum gila, In-moi. Masa aku 

akan mencelakaimu? Jangan khawatir, perangkap yang 

kupasang di rumah ini bukan untuk membunuh, melainkan untuk 

membuat orang yang berniat buruk tidak berdaya dan tertawan 

tanpa melukai atau menyakitinya. Engkau boleh mencabut 

pedangmu untuk berjaga-jaga, seperti seorang musuh tulen!”

Sui In menjadi tertarik sekali dan iapun mengangguk, mencabut 

pedangnya dan dengan hati-hati menghampiri kamar itu. Bahkan 

ia, merasa gembira karena ia seperti berada dalam suatu 

permainan yang menarik untuk menguji diri sendiri dan menguji 

keampuhan alat yang dipasang oleh Pendekar Naga Putih di 

dalam rumahnya. 

Dengan penuh kewaspadaan, Sui In menghampiri ruangan itu. 

Sebuah ruangan duduk yang indah, dengan pintunya terbuka dan 

lantainya mengkilap, meja kursinya terukir indah ditilami bantalan. 

Jendela-jendela yang berada di tiga penjuru tertutup, tentu dibuka 

kalau ada tamu sehingga ruangan yang menembus di sebelah kiri 

pada sebuah taman itu tentu akan sejuk dan nyaman sekali. 

Dindingnya yang bersih dihiasi lukisan dan tulisan indah 

berbentuk syair-syair berpasangan.

Dengan pandang matanya yang tajam Sui In mengamati seluruh 

bagian ruangan itu, mencari-cari tanda adanya pesawat rahasia.


192

Namun semua nampak bersih dan wajar, tidak ada yang 

mencurigakan. Apakah lantainya yang mampu bergerak dan 

terdapat lubang sehingga ia akan terperosok ke bawah kalau 

menginjaknya. Ataukah dari jendela-jendela itu akan keluar 

senjata rahasia atau asap pembius yang akan membuatnya 

pingsan? Apakah daun pintu akan menutup sendiri begitu ia 

memasuki ruangan? 

Berbagai kemungkinan ini ia perhitungkan ketika akhirnya 

berindap-indap ia melangkah memasuki ruangan itu dengan 

pedang di tangan. Selangkah demi selangkah ia memasuki 

ruangan itu, setiap bagian tubuhnya menegang penuh kesiap 

siagaan.

Pada langkah kelima, tiba-tiba terdengar suara berderit di 

belakangnya. Ia cepat menoleh dan daun pintu yang tadi terbuka 

lebar itu kini tertutup! Ia melangkah maju lagi dan setelah tiba di 

tengah ruangan, tiba-tiba saja dari empat sudut ruangan itu 

menyambar anak-anak panah yang ujungnya berbentuk bola, 

juga dari atas turun anak panah bagaikan hujan. 

Sui In cepat menggerakkan pedangnya, diputar melindungi 

tubuhnya dan semua anak panah runtuh. Setelah runtuh baru 

nampak olehnya bahwa anakpanah-anakpanah itu tumpul dan 

tidak akan melukai orang yang menjadi sasaran. 

Tiba-tiba saja dari lantai yang mengkilap itu bermunculan tongkat-

tongkat panjang yang menyambar-nyambar ke arah kakinya. Sui 

In meloncat ke atas, dan pada saat itu, kain-kain sutera merah 

muda yang bergantungan di langit-langit itu bergerak,



193

menyambar-nyambar sehingga mengaburkan pandangan 

matanya dan tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya sudah terlibat-libat 

oleh kain sutera yang panjang dan banyak sekali, seperti tidak 

ada habisnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di udara 

dalam libatan banyak kain sutera, seperti seekor lalat tertangkap 

di sarang laba-laba. 

Akan tetapi, Sui In bukanlah wanita lemah. Ketika tadi kain sutera 

yang tadinya bergantungan sebagai hiasan itu tiba-tiba hidup dan 

menyambar-nyambar ke arahnya, tubuhnya terlibat-libat, ia sudah 

cepat membebaskan tangan kanan yang memegang pedang. 

Kini, biarpun tubuhnya sudah terlibat-libat kain, lengan kanan dan 

pedangnya masih bebas. Ia menggerakkan pedangnya dan 

putuslah semua libatan kain sutera dari tubuhnya. 

Ia terlepas dan jatuh ke bawah. Dengan ilmu meringankan tubuh 

yang hebat, ia sudah berjungkir balik tiga kali dan turun ke atas 

lantai dengan selamat dan dalam keadaan berdiri. Akan tetapi, 

putusnya kain-kain sutera itu menimbulkan bunyi kelenengan 

nyaring bertubi-tubi dan terdengar dari seluruh penjuru rumah itu. 

Daun-daun jendela tiba-tiba terbuka dan enam orang pelayan pria 

pembantu rumah tangga itu sudah berdiri di luar jendela dengan 

pedang di tangan! Daun pintu yang tadi tertutup sendiripun 

terbuka dan Pek-liong sudah berdiri di ambang pintu dengan 

tersenyum! Sui In mendapatkan dirinya sudah terkepung di dalam 

ruangan itu!


194

Pek-liong bertepuk tangan memuji. “Hebat, engkau hebat sekali, 

nona. Engkau sudah dapat menghindarkan anak panah, toya dan 

bahkan jala kain sutera!”

Sui In menyarungkan pedangnya dan menarik napas panjang. 

“Aihhh, sungguh ruangan ini berbahaya sekali! Biarpun sudah 

dapat membebaskan diri dari semua itu, akhirnya aku terkepung 

di ruangan ini! Ruangan yang satu ini saja sudah begini hebat, 

apa lagi yang lainnya! Toako, aku mengaku kalah dan 

menyatakan kagum sekali. Maafkan kalau aku merusak kain-kain 

sutera merah muda itu.”

“Ah, tidak mengapa, In-moi.” Lalu kepada para pembantunya dia 

berkata, “Ganti kain¬kain sutera itu dengan yang baru dengan 

warna biru laut!” 

Kemudian dia mengajak Sui In keluar dari ruangan itu dan 

mempersilakan janda muda itu ke sebuah kamar. Dia sendiri 

berhenti di luar pintu kamar.

“In-moi, inilah kamar tamu untukmu bermalam semalam ini. 

Besok pagi baru kita akan melakukan perjalanan ke kota raja. 

Malam ini aku akan membuat persiapan untuk perjalanan besok 

pagi. Makan malam nanti setelah siap dan engkau akan 

diberitahu oleh pembantu. Nah, beristirahatlah, In-moi.” 

Setelah berkata demikian, Pek-liong meninggalkan wanita itu. 

Sampai beberapa lamanya Sui In berdiri di pintu kamar itu, 

mengikuti bayangan Pek-liong sampai lenyap di tikungan. 

Seorang pria yang bukan main, pikirnya. Gagah perkasa, 

berkepandaian tinggi, tampan dan ganteng, duda dan bebas,


195

ditambah lagi kaya-raya dan juga amat sopan. Masuk ke kamar 

itupun dia tidak mau! 

Hatinya semakin tertarik dan dengan muka merah ia 

mendapatkan kenyataan betapa ia telah jatuh cinta kepada pria 

muda yang ganteng itu! Betapa ia mengharapkan terjadi suatu 

mujijat, suatu anugerah dari Tuhan. Ia seorang janda, dan Pek-

liong-eng Tan Cin Hay seorang duda. Sudah tepat, bukan? Dan 

jantungnya berdebar-debar ketika ia memasuki kamar itu. Begitu 

masuk, hidungnya bertemu keharuman semerbak. 

Sebuah kamar yang mewah sekali. Ada dupa harum masih 

mengepul di atas meja, tanda bahwa dupa itu baru saja dibakar 

oleh pelayan. Kamar itu tidak berapa besar, namun lengkap dan 

enak sekali. Udaranya nyaman, masuk dari jendela yang 

menembus taman, dan dari lubang-lubang hawa di atas jendela. 

Sebuah kamar kecil menyambung kamar itu. Betapa mewahnya! 

Ketika ia menjenguk ke dalam kamar mandi, tersedia sudah air 

jernih yang cukup banyak. Setelah menutup pintu kamar, Sui In 

lalu menyiram tubuhnya dengan air, mandi sekenyangnya 

sehingga tubuhnya terasa segar kembali, kulit tubuhnya dari 

muka sampai kaki tangan, menjadi kemerahan karena 

digosoknya dengan keras sehingga bersih dari debu.

Ia telah mengenakan pakaian bersih ketika pinta kamar diketuk 

dari luar, dan seorang pelayan dengan sikap hormat memberitahu 

bahwa makan malam telah siap, dan tamu yang dihormati itu 

dipersilakan datang ke ruangan makan di mana “tai-hiap” telah 

menanti.


196

Ketika Sui In memasuki ruangan makan, Pek-liong bangkit berdiri 

dan dia memandang kepada wanita itu dengan sinar mata 

kagum. Harus diakuinya bahwa janda muda ini memang cantik 

manis dan segar bagaikan setangkai bunga mawar di pagi hari, 

tersiram embun pagi dan bersinar cahaya keemasan matahari. 

Dengan ramah dia lalu mempersilakan tamunya duduk 

berhadapan dengannya, menghadapi sebuah meja.

Melihat pandang mata kagum itu, Sui In merasa betapa 

jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. Untuk 

menenangkan hatinya, iapun segera bertanya setelah duduk.

“Sudahkah engkau membuat persiapan, toako? Dan kapan kita 

berangkat?”

Pek-liong mengangguk. “Sudah beres semua, In-moi. Besok pagi-

pagi setelah terdengar bunyi ayam berkeruyuk, kita berangkat.”

Sementara itu, dua orang pelayan datang membawa hidangan 

yang masih mengepul panas. Sui In mencium bau masakan yang 

lezat dan perutnya memberontak karena memang ia telah merasa 

lapar. Tidak kurang dari sepuluh macam masakan dihidangkan, 

kesemuanya terdiri dari masakan yang mewah dan mahal. 

Mereka berdua lalu makan minum dengan gembira, sambil 

bercakap-cakap. Sui In sama sekali tidak merasa canggung 

biarpun pengalaman seperti ini merupakan pengalaman pertama 

sejak suaminya terbunuh. 

Makan malam berdua saja dengan seorang pria yang tampan dan 

gagah! Di dalam rumah pria itu pula! Akan tetapi, sedikitpun ia


197

tidak merasa canggung dan kaku. Hal ini karena sikap Pek-liong 

yang sopan dan ramah. Memang, kadang-kadang sinar mata 

yang tajam mencorong itu membayangkan kekaguman, namun 

kekaguman yang wajar, tidak mengandung kecabulan atau 

kekurangajaran yang biasa ia lihat dalam pandang mata kaum 

pria kalau memandang kepadanya.

Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di dalam taman

bunga di belakang rumah itu. Juga taman bunga ini, walaupun 

tidak sangat luas, diatur indah sekali. 

Di tengah taman, di antara beraneka macam bunga, terdapat 

sebuah tempat berteduh berbentuk payung, bangunan tanpa 

dinding, hanya atap yang berbentuk payung dan di bawahnya 

terdapat enam buah bangku dan sebuah meja. 

Tempat itu enak sekali. Empat lampu gantung menerangi tempat 

itu, dan di sana-sini, di ujung taman terdapat pula lampu gantung 

dengan berbagai warna. Suasana amat hening dan indah, 

semerbak harum bunga memenuhi taman itu.

“Aduh, bagus sekali taman ini!” kata Sui In memuji.

“Mari kita duduk di sana. Engkau belum mengantuk, bukan?” kata 

Pek-liong dan wanita itu tertawa.

“Aih, toako. Baru saja makan kenyang, masa mengantuk dan 

tidur? Pula, malam baru saja tiba, belum larut.” 

Mereka lalu duduk berhadapan terhalang meja kecil. Suasana 

sungguh indah dan romantis sekali. Apa lagi ketika di langit


198

muncul bulan muda yang memandikan taman itu dengan 

cahayanya yang lembut. Anginpun lembut sepoi-sepoi bercanda 

di antara bunga-bunga, membuat udara yang penuh keharuman 

bunga itu menjadi nyaman dan sejuk. 

Suasana yang romantis seperti ini, cahaya bulan yang lembut 

mengandung daya yang mengairahkan, yang amat kuat 

mengusik hati muda, menggelitik dan membangkitkan berahi. Hal 

ini terasa sekali oleh Sui In ketika ia duduk dan menikmati 

keindahan itu, dan setiap kali pandang matanya berhenti di wajah 

Pek-liong, ia terpesona. 

Wajah itu nampak demikian ganteng, demikian tampan sehingga 

hatinya luluh, rindu dendam dan gairahnya bangkit. Kalau saja 

pada saat itu Pek-liong maju selangkah saja, mengulurkan 

tangan, pasti ia tidak akan mampu menolak atau mengelak, dan 

akan terlena dalam pelukan pria itu dengan hati penuh kerinduan!

Akan tetapi, Pek-liong sama sekali tidak melakukan uluran 

tangan! Sama sekali tidak, bahkan pria mengajaknya bercakap-

cakap kembali tentang semua peristiwa yang terjadi di kota raja, 

sehubungan dengan kemunculan Si Bayangan Iblis. 

Bimbingan ke arah percakapan itu tentu saja membuyarkan 

keindahan khayal yang muncul dari gairah berahi tadi, apa lagi 

karena percakapan itu mengingatkan Sui In akan semua peristiwa 

dan malapetaka yang menimpa dirinya. Iapun tertarik dan setelah 

mereka barcakap-cakap, iapun menerangkan dan menceritakan 

segala hal yang diketahuinya dan yang bertalian dengan 

pembunuhan-pembunuhan misterius yang dilakukan oleh


199

bayangan yang kemudian dinamakan Si Bayangan Iblis. Waktu 

berjalan cepat dan tahu-tahu bulan sudah naik tinggi ketika Pek-

liong mempersilakan tamunya untuk tidur.

“Besok pagi-pagi kita berangkat, maka sebaiknya kalau engkau 

mengaso dan tidur di kamar, In-moi. Selamat malam dan selamat 

tidur!”

Sui In tidak menjawab dan ada perasaan kecewa dan menyesal 

di dalam hatinya bahwa malam itu ia harus berpisah dari Pek-

liong. Muncul kembali kerinduannya akan suatu kemesraan yang 

sudah lama lepas darinya, lama sebelum suaminya tewas 

dibunuh orang. 

Dan ia ingin mendapatkan kemesraan ittu dari Pek-liong! Akan 

tetapi, agaknya sedikitpun Pek-liong tidak menanggapi 

perasaannya. Berulang tali ia menarik napas panjang penuh 

kekecewaan dan penyesalan ketika ia melangkah perlahan 

menuju ke kamarnya, setelah tadi Pek-liong meninggalkannya di 

taman.

Baru setelah ia merebahkan diri di atas pembaringannya, ketika 

suasana romantis taman bunga bermandikan cahaya bulan itu 

tidak mempengaruhinya, ia tersenyum! Diam-diam ia berterima 

kasih kepada Pek-liong yang tidak mempergunakan kesempatan 

itu untuk merayunya dari menjatuhkannya! 

Kalau sampai hal itu terjadi, tentu ia akan merasa menyesal 

sekali kemudian, karena ia sedang bertugas! Tugas mencari Si 

Bayangan Iblis dan menumpas kejahatan itu sama sekali belum 

terlaksana! Suaminya tewas di tangan penjahat, juga paman


200

gurunya tewas di tangan penjahat dan penjahat itu agaknya Kwi-

eng-cu (Si Bayangan Iblis). 

Sungguh tidak pantas kalau kini ia bersenang-senang 

mengumbar nafsu berahi. Selain tidak pantas karena baru saja 

kematian suaminya, juga tidak patut karena dalam melaksanakan 

tugas ia hanya mementingkan kesenangan sendiri, membiarkan 

diri menjadi budak nafsu! Kalau musuh itu telah terhukum, kalau 

ia sudah bebas dari tugas, hal itu akan lain lagi.

“Pek-liong, terima kasih......” bisiknya tersenyum dan janda muda 

inipun terlena dalam kepulasan.

◄Y►

Gadis itu cukup manis walaupun tidak dapat dibilang terlalu 

cantik, Bahkan wajah yang nampak membayangkan kebodohan 

itu tidak akan menarik perhatian pria, walaupun harus diakui 

bahwa bentuk tubuhnya amat indah. Rambutnya juga nampak 

kasar dan gerak geriknya kaku. Juga ia kelihatan takut-takut dan 

gelisah. 

Memasuki ruangan-ruangan yang amat indah dari istana itu, ia 

bagaikan seekor ikan sungai yang kecil dilempar masuk ke dalam 

samudera. Ia kebingungan, merasa dirinya kecil menghadapi 

segala kemegahan dan kemewahan itu. 

Melihat kegelisahan membayang di wajah yang manis dan polos 

itu, pria berpakaian perwira yang berjalan di sampingnya 

tersenyum.



201

“Akim, jangan takut. Tenanglah. Asalkan engkau pandai 

membawa diri dan rajin bekerja juga jujur dan taat, tentu engkau 

akan hidup senang di istana. Sekarang, Hong- houw (Parmaisuri) 

ingin melihatmu sebagai seorang dayang baru, engkau harus 

menghadap dan memberi hormat kepada beliau seperti yang 

sudah kuajarkan tadi.”

Gadis itu mengangguk-angguk akan tetapi jelas nampak betapa 

ia gelisah dan ketakutan. Gadis yang jelas sekali kelihatan 

sebagai seorang gadis dusun yang disebut Akim oleh perwira itu 

bukan lain adalah Hek-liong-li Lie Kim Cu! 

Dengan kepandaiannya menyamar yang hebat, ia sudah dapat 

menyulap dirinya yang merupakan seorang wanita berusia 

duapuluh lima yang amat cantik jelita, manis dan menarik hati, 

berubah menjadi seorang gadis dusun berusia kurang lebih 

duapuluh tahun, kasar kaku, tidak menarik walaupun cukup 

manis, dan wajahnya membayangkan kebodohan. Cian Ciang-

kun sendiri sampai terbalalak dan tertegun ketika pertama kali 

melihat penyamaran ini, dan merasa yakin bahwa tak seorangpun 

akan dapat mencurigai seorang gadis dusun bodoh seperti itu.

Perwira yang berjalan di sampingnya dalam ruangan-ruangan 

istana itu adalah Kok Ciang-kun (Perwira Kok) yang menjabat 

kepala pasukan pengawal thai-kam (orang- orang kebiri), yaitu 

kenalan Cian Ciang-kun dan yang suka “menolong” Cian Hui 

untuk memasukkan seorang “sanak jauh” dari dusun menjadi 

seorang dayang baru di istana.


202

Di istana bagian puteri ini, tak seorangpun dari luar diperbolehkan 

masuk. Hanya keluarga Kaisar yang boleh masuk, dan tentu saja 

para perajurit pengawal thai-kam. Untuk mencegah terjadinya, 

penyelewengan dari para wanita dalam istana itu, maka sejak 

dahulu kala sampai saat itu, para petugas pria di istana bagian-

puteri haruslah dikebiri lebih dahulu!

Pada saat itu, bukan hanya karena kepandaian saja Liong-li yang 

kini menyamar menjadi Kim Siauw Hwa atau biasa disebut Akim 

kelihatan gugup dan gelisah. Akan tetapi memang benar-benar 

ada kegelisahan di hatinya. 

Ia telah memasuki istana dengan menyamar, dan ia tahu bahwa 

bahaya bukan hanya datang dari penjahat yang dinamakan Kwi-

eng-cu akan tetapi dari satu kekuatan yang mempunyai banyak 

orang pandai! Dan ia merasa yakin bahwa sarang penjahat itu, 

atau pimpinannya, pasti berada di istana. Kalau gerombolan 

penjahat itu berada di luar istana tentu sudah lama diketahui 

tempatnya oleh Cian Hui yang cerdik dan memiliki banyak mata-

mata. 

Selain merasa berada di tengah-tengah pihak musuh yang belum 

diketahuinya siapa, dan betapa bahayanya bagi dirinya kalau 

pihak musuh sampai mengetahui bahwa ia Hek-liong-li yang 

menyamar, juga ia harus berhadapan dengan Hong-houw 

(Permaisuri) Bu Cek Thian! Menurut keterangan dari Cian Hui, 

wanita itu cerdik bagaikan iblis! Ia teringat akan kata-kata 

pesanan Cian Hui kepadanya ketika hendak berangkat tadi.


203

“BERHATI-HATILAH terhadap Hong-houw, Li-hiap. Ia seorang 

wanita yang teramat cerdik seperti Iblis! Bahkan saat ini boleh 

dibilang ia yang paling berkuasa di seluruh istana! Hong-siang 

(Kaisar) sendiri seperti menjadi boneka di tangannya. Ia cerdik 

dan amat berbahaya, oleh karena itu, berhati-hatilah engkau 

terhadap wanita ini.”

Tentu saja Liong-li tidak merasa takut. Baginya, makin lihai dan 

makin cerdik orang¬orang yang berada di pihak lawan, akan 

semakin gembira menghadapinya. Yang membuat ia gelisah 

adalah mengingat betapa dirinya sama sekali tidak berdaya di 

dalam istana yang besar dan megah itu. 

Ia merasa seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba! Dan 

begitu memasuki istana, diterima oleh Kok Ciang-kun, perwira 

thai-kam yang gendut dan agak genit seperti wanita ini 

membawanya menghadap Hong-houw, wanita yang agaknya 

bahkan ditakuti oleh Cian Hui itu!

Kini mereka tiba di luar sebuah pintu dan Kok Ciang-kun memberi 

isyarat kepada Akim untuk berhenti. Kok Ciang-kun lalu 

menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Akim yang sudah diberitahu 

sebelumnya untuk mengikuti apa yang dilakukan perwira Thai-

kam itu.

“Hamba Kok Tay Gu mohon diperkenankan menghadap Hong-

houw!” Dia berkata dengan suara nyaring.

Pintu dibuka dari dalam. Sebuah pintu berukir yang indah dan 

ketika pintu dibuka, Akim mengangkat muka dan iapun terpesona.


204

Bukan main indahnya ruangan di balik pintu itu! Dan bau 

semerbak harum menyergap keluar begitu pintu dibuka oleh 

seorang dayang muda yang cantik. Seluruh isi ruangan itu 

gemerlapan dengan kemegahan dan kemewahan.

“Terima kasih, terima kasih atas kemurahan hati Hong-houw!” 

kata pula Kok Ciang-kun.

Sungguh suatu sikap yang berlebihan sehingga baginya seperti 

adegan dalam panggung wayang atau pelawak saja. Akan tetapi, 

Akim tidak berani mengangkat muka lagi ketika tadi pandang 

matanya bertemu dengan sepasang mata yang indah akan tetapi 

juga mencorong tajam seperti mata kucing di tempat gelap!

“Kok Ciang-kun, yang mulia Hong-houw memerintahkan engkau 

dan calon dayang ini masuk!” terdengar perintah yang keluar dari 

mulut seorang dayang lain.

Kok Ciang-kun bangkit dengan sikap hormat, diikuti oleh Akim, 

kemudian melangkah memasuki kamar. Akim hanya mengikuti 

saja dengan jantung berdebar penuh ketegangan.

“Ban-swe, ban-ban-swe (hidup dan panjang usia)!” Kok Ciang-

kun menjatuhkan diri berlutut lagi dan membentur-benturkan 

dahinya di lantai yang bertilamkan permadani merah. Akim juga 

berlutut dan membentur-benturkan dahinya.

“Kok Tay Gu, inikah gadis dusun yang ingin menjadi dayang itu?” 

terdengar suara yang halus namun tajam penuh wibawa.


205

Kok Ciang-kun memberi hormat lagi sebelum menjawab, “Benar 

sekali, Yang Mulia. Ia seorang gadis dusun bernama Kim Siauw 

Hwa, biasa disebut Akim, dan ia telah siap melakukan segala 

macam pekerjaan yang diperintahkan untuknya, siap melayani 

paduka dengan taruhan nyawa.”

Hemm, taruhan nyawa hidungmu! Demikian Liong-li memaki 

dalam hatinya. Sungguh segala hal terlalu dilebih-lebihkan di 

dalam istana ini. Penjilatan agaknya terjadi setiap saat, oleh 

orang-orang yang amat rendah terhadap orang-orang yang gila 

hormat.

“Hemmm, namanya Akim? Lucu juga. Akim, angkat mukamu 

untuk kami lihat!” kata pula suara yang lembut tajam itu. Akim 

mengangkat mukanya dan ia melihat kepada seorang wanita 

yang amat cantik dan anggun. Wanita itu usianya empatpuluh 

tahun lebih, namun pakaiannya mewah bukan main, dan seluruh 

tubuhnya terawat dengan rapi. Agaknya setiap helai rambutnya 

pun tidak terluput dari perawatan sehingga ia nampak seperti 

hasil sebuah lukisan seorang ahli.

Sepasang matanya tajam mencorong, dan bibir yang penuh 

gairah dan manis menantang itu dihias dagu yang 

membayangkan kekerasan hatinya. Hidung kecil mancung itu 

kembang kempis, pertanda bahwa ia seorang wanita yang 

memiliki gairah nafsu yang berkobar! Seorang wanita yang amat 

berbahaya, cerdik seperti iblis, demikian keterangan Cian Hui, 

kepadanya.


206

Cepat ketika ia mengangkat mukanya, Akim memasang wajah 

bodoh dan ketakutan membayang pada pandang matanya yang 

biasanya tidak kalah tajam dan mencorong dibandingkan 

sepasang mata permaisuri itu. Wajah wanita itu masih cantik 

menarik, ditambah lagi dengan riasan yang agak berlebihan 

sehingga alisnya dibuat melengkung seperti bulan tanggal muda, 

bibirnya merah semringah, pipinya kemerahan dan kulit mukanya 

lebih putih dari pada aselinya.

Sepasang alis melengkung yang terlalu hitam itu agak berkerut 

ketika ia melihat wajah dayang baru itu. 

“Hemm, engkau terlalu buruk untuk menjadi dayang!” serunya. 

“Heh, Kok Tay Gu, kenapa engkau membawa seorang gadis 

berwajah bodoh dan buruk ini untuk menjadi dayang baru? Apa 

engkau ingin merusak keindahan sebuah taman bunga dengan 

ratusan aneka bunga jelita dengan menyertakan setangkai bunga 

yang jelek di dalam taman?”

Kok Ciang-kun sambil berlutut menjawab. “Mohon kemurahan 

hati paduka untuk mengampuni hamba, Yang Mulia. Biarpun 

wajahnya tidak berapa cantik namun ia pandai masak, rajin dan 

besar tenaganya. Iapun bersedia untuk bekerja di dapur atau di 

mana saja untuk menghambakan diri kepada paduka yang mulia!”

“Hemm, benarkah ia pandai masak dan rajin? Dan ia bertenaga 

besar dan kuat? Ingin aku melihatnya!” 

Akim yang sudah menunduk kembali, juga Kok Ciang-kun, tidak 

melihat betapa permaisuri itu memberi isyarat dengan mata 

kepada seorang dayang pengawalnya. Gadis yang bertubuh


207

tegap itu mengambil sebatang cambuk pendek, menghampiri 

Akim dari belakang. 

Biarpun Akim berlutut dan menunduk, pendengarannya yang 

terlatih dan amat tajam sudah sejak tadi menangkap gerakan 

orang di belakangnya. Bahkan ia seperti dapat melihat saja ketika 

gadis dayang itu mengayun cambuknya ke arah punggungnya 

yang sedang membungkuk. Tentu saja amat mudah baginya 

untuk mengelak atau menangkis kalau ia kehendaki. Akan tetapi, 

Akim atau Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan 

main, waspada dan dapat mengetahui keadaan seketika dengan 

perhitungan yang tepat. 

Ia sudah dapat menduga bahwa tentu permaisuri yang cerdik dan 

berbahaya seperti iblis itu menaruh curiga kepadanya dan kini 

mengutus seorang pembantunya untuk mengujinya. Kalau dalam 

keadaan seperti itu ia mampu menghindarkan diri dari serangan 

cambuk itu, berarti ia membuka rahasianya bahwa ia seorang 

yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, karena hanya orang 

yang memiliki ilmu silat yang sudah tinggi tingkatannya saja 

mampu menghindarkan diri dari ancaman bahaya tanpa 

dilihatnya. Sungguh ujian yang keluar dari otak yang cerdik luar 

biasa, pikirnya dan iapun tidak mengerahkan tenaga sedikitpun 

ketika cambuk itu menghantam punggung.

“Tarr! Tarrr!” Dua kali cambuk itu menghantam punggungnya, 

demikian kerasnya sehingga baju di bagian punggung robek-

robek, berikut kulit punggungnya yang tidak ia lindungi dengan 

tenaga sakti. Darah keluar dari kulit punggung yang pecah-pecah 

dan Akim mengeluarkan jerit kesakitan yang ia lakukan bukan


208

seperti permainan sandiwara, melainkan sungguh-sungguh 

karena ia tidak menahan diri dan membiarkan naluri perasaannya 

membuatnya menjerit kesakitan. 

Kok Ciang-kun terkejut sekali, akan tetapi tidak berani berkutik 

ketika permaisuri itu turun dari atas kursi emasnya dan 

melangkah perlahan untuk memeriksa keadaan punggung gadis 

dusun yang masih berlutut dan menangis lirih itu. Ia melihat 

punggung itu terluka oleh cambuk, berdarah dan iapun 

mengangguk puas. 

Benar seorang gadis dusun yang tak begitu cantik, bodoh dan 

sama sekali tidak memiliki kepandaian yang membahayakan, dan 

mungkin tenaganya lebih besar dari wanita lain. Hal ini tentu saja 

wajar kalau mengingat bahwa ia seorang gadis dusun yang sejak 

kecil biasa bekerja kasar dan keras.

“Kok Tay Gu, Akim ini kami terima sebagai pelayan. Mundurlah, 

dan kami senang dengan jasamu ini.”

Bukan main girangnya hati Kok Ciang-kun yang tadinya sudah 

gemetar ketakutan karena dia mengira bahwa kehadiran Akim 

mendatangkan perasaan tidak senang di hati permaisuri itu. Dia 

membentur-benturkan dahinya di lantai, menghaturkan terima 

kasih berulang kali, kemudian merangkak mundur meninggalkan 

ruangan itu.

Permaisuri Bu Cek Thian berkata kepada seorang dayang 

pengawal, “Bawa ia ke belakang, beri pakaian dan obati 

punggungnya. Lalu serahkan ia kepada kepala dapur untuk 

menerimanya sebagai pembantu di dapur.”


209

Akim yang sudah mempelajari bagaimana ia harus bersikap di 

depan sang permaisuri, segera meniru apa yang dilakukan Kok 

Ciang-kun tadi. Ia membentur-benturkan dahinya di lantai sambil 

mengucap terima kasih berulang kali, walaupun hatinya 

mendongkol bukan main dan hatinya ingin sekali menghajar 

wanita pesolek yang sewenang-wenang dan kejam itu. 

Tentu saja ia tidak berani melakukan hal semacam itu, karena 

betapapun pandainya, kalau ia berani melakukan hal itu, tentu 

nyawanya takkan dapat tertolong lagi! Wanita di depannya ini 

adalah permaisuri kaisar, bahkan menurut Cian Hui, wanita ini 

merupakan orang paling berkuasa di seluruh kerajaan, bahkan 

kaisar sendiri menjadi seperti boneka dalam genggaman wanita 

ini.

Ia lalu ditarik berdiri dan didorong secara kasar oleh dayang 

pengawal yang menerima perintah, diajak keluar dari ruangan itu 

dan setelah menerima beberapa helai pakaian baru, diobati

punggungnya dengan obat bubuk. Ia lalu diajak ke dapur dan 

diserahkan kepada kepala dapur, seorang laki-laki thai-kam 

gendut seperti bola yang dari gerak geriknya saja sudah dapat 

diduga bahwa dia adalah seorang koki yang pandai!

Mulailah Akim atau Hek-liong-li Lie Kim Cu bekerja di dapur istana 

permaisuri yang menjadi satu dengan dapur istana kaisar. Hanya 

saja para pekerja thai-kam sajalah yang diperbolehkan masuk ke 

bagian puteri sedangkan para pekerja pria biasa sama sekali 

dilarang dan mereka ini yang membawa masakan dan segala 

keperluan lain ke istana bagian putera.


210

Karena pandai membawa diri, dalam waktu sehari saja Akim yang 

rajin disuka oleh mereka yang bekerja di dapur, apa lagi 

mendengar bahwa Akim diterima dan ditunjuk sendiri oleh 

permaisuri bekerja di bagian dapur. Karena ia ditunjuk sendiri 

oleh Permaisuri, maka ia dianggap “istimewa” dan tidak ada yang 

berani mengganggu. Pula, Akim pandai sekali memperlihatkan 

sikap yang tidak menarik bagi pria, dan ia kelihatan sebagai 

seorang gadis yang bodoh dan kaku walaupun rajin dan memiliki 

bentuk tubuh yang elok.

Malamnya, Akim mendapatkan sebuah kamar di antara deretan 

kamar para pelayan di bagian paling belakang, dekat dapur. 

Karena ia dianggap istimewa pula, pekerja yang ditunjuk 

permaisuri, maka ia mendapatkan sebuah kamar untuk dirinya 

sendiri. Pelayan lain merasa enggan untuk tinggal sekamar 

dengannya, karena seorang yang ditunjuk oleh permaisuri 

dianggap berbahaya. Siapa tahu ia mata-mata permaisuri yang 

mencatat semua kegiatan mereka? 

Permaisuri amat galak dan siapa yang bersalah mendapatkan 

hukuman yang mengerikan. Pernah ada seorang pelayan wanita 

di dapur yang wajahnya manis, tertangkap basah ketika ia 

melakukan hubungan mesra dengan seorang pelayan pria dari 

bagian putera. Permaisuri yang menganggap pelayan itu menodai 

“kesucian” istana bagian puteri, dipaksa mati secara mengerikan. 

Ia dipaksa duduk di atas sebuah kursi, dengan kaki dan tangan 

terikat kepada kursi sehingga tak mampu bergerak. Kemudian, 

sebuah kantung kain diselubungkan ke kepalanya dan diikat 

tertutup rapat-rapat. Tentu saja setelah udara di dalam kantung


211

itu habis, wanita malang itu tidak dapat bernapas. Akan tetapi ia 

tidak mampu meronta, hanya kepalanya saja yang meronta-ronta 

minta lepas, akan tetapi sebentar saja kepala itu terkulai dan ia 

tewas. Mayatnya dikubur diam-diam dan semua hukuman ini 

berlangsung secara rahasia tanpa diketahui orang luar, kecuali 

para pekerja di istana.

Tentu saja Akim yang “diasingkan” oleh para pekerja lain, merasa 

girang bukan main. Justeru inilah yang ia kehendaki. Karena ia 

memiliki kamar tersendiri, dengan leluasa ia mampu mengadakan 

penyelidikan. 

Pada malam harinya, setelah semua orang tidur, Akim mengganti 

pakaiannya dengan pakaian serba hitam yang sudah ia 

persiapkan, menutupi mukanya dengan topeng kain, dan iapun 

menyelinap keluar dari dalam kamarnya tanpa diketahui 

siapapun. Ia lalu mulai dengan penyelidikannya. 

Malam pertama itu ia tidak bertemu dengan Bayangan Iblis 

seorangpun, hanya melihat seorang kebiri berjalan mengiringkan 

seorang dayang pengawal menuju ke kamar Sang Permaisuri. 

Laki-laki kebiri itu usianya kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya 

ganteng dengan kulit putih bersih dan perawakannya jantan, 

tinggi besar dan kokoh kuat. 

Hal ini membuat Akim tertegun dan terheran-heran. Memang 

hanya para thai-kam (laki-laki kebiri) saja yang diperbolehkan 

berkeliaran melakukan tugas masing-masing di istana bagian 

puteri. Laki-laki kebiri dianggap “aman” karena tidak mungkin 

dapat melakukan hubungan gelap dengan para wanita istana.


212

Kalau ia melihat thai-kam itu memasuki kamar Sang Permaisuri 

pada siang hari, ia tidak akan merasa heran. Akan tetapi malam 

hari? Dan ketika semua orang sudah tidur dan mengunci pintu 

kamar mereka? Sungguh janggal! Apa lagi ketika ia melihat thai-

kam itu memasuki kamar sang permaisuri seorang diri saja, 

sedangkan dayang pengawal yang tadi bersamanya tinggal di 

luar dan melakukan penjagaan dengan para dayang pengawal 

lainnya, enam orang jumlahnya. 

Apa saja yang dikerjakan thai-kam itu di dalam kamar sang 

permaisuri? Ah, mungkin dia seorang ahli pijat, pikir Akim. Ya, 

tentu saja. Thai-kam itu seorang ahli pijat dan kini bertugas 

memijati tubuh sang permaisuri, untuk mengusir semua kelelahan 

dari tubuh yang amat dimanja itu.

Tentu saja Akim tidak mau menghabiskan waktu untuk 

menyelidiki persoalan pribadi Sang Permaisuri yang agaknya 

tidak ada sangkut pautnya dengan Kwi-eng-cu, dan ia melakukan 

penyelidikan ke bagian lain. Namun malam itu ia tidak 

menemukan sesuatu yang mencurigakan. 

Keesokan harinya, sambil bekerja, iapun memasang mata dan 

telinga untuk mengamati setiap orang bahkan ia berhasil 

memancing seorang pelayan kebiri yang setengah tua dan yang 

gemar mengobrol untuk bicara tentang Kwi-eng-cu. Mereka 

berdua sedang mencabuti bulu ayam.

Istana memang merupakan tempat keroyalan dan kemewahan. 

Setiap hari tidak kurang dari seratus ekor ayam gemuk dipotong, 

belum daging babi atau kambing atau sapi, juga ikan dan banyak


213

macam sayuran. Maka, mencabuti bulu ayam memakan waktu 

yang cukup lama sehingga Akim dan thai-kam itu mempunyai 

waktu untuk mengobrol.

“Ketika aku datang dari dusun ke kota raja, aku mendengar kabar 

angin tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja. 

Aku menjadi ngeri. Siapakah yang dibunuh dan siapa pula yang 

membunuh, paman?” Akim mulai memancing, dengan suara 

biasa dan sikap acuh, sambil lalu saja.

Akan tetapi mendengar pertanyaan itu, Akong, si thai-kam, 

nampak terkejut dan ketakutan. Dia menoleh ke kanan kiri. Akan 

tetapi memang di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. 

Tempat pencucian daging itu memang tidak sebersih bagian lain 

dan orang enggan ke situ kalau tidak untuk bekerja. Akim tentu 

saja sudah yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan 

percakapan mereka.

“Kenapa, paman?”

“Hushhh, jangan keras-keras. Kalau terdengar dia, salah-salah 

malam nanti lehermu atau leherku putus!”

Akim menjadi ketakutan dan ia menggeser duduknya mendekati 

thai-kam itu, suaranya gemetar dan tubuhnya menggigil. “Aih, 

paman, aku....... aku takut.....!” katanya lirih setengah berbisik. 

“Akan tetapi...... kenapa tidak boleh keras-keras......? Dan...... 

siapa yang melarang kita bicara?” Ia sengaja memperlihatkan 

wajah ketakutan. “Paman, kalau bersamamu, aku tentu akan 

selamat. Jangan takut-takuti aku, paman.



214

Akong menyeringai bangga. “Boleh, bicara, akan tetapi jangan 

keras-keras. Kabarnya, Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) memiliki 

seribu telinga dan kita tidak boleh bicara buruk tentang dia. Bisa 

berbahaya!” katanya lirih pula.

“Ah, agaknya paman tahu banyak. Aku ingin sekali mendengar, 

paman. Siapa sih Kwi-eng-cu itu?”

“Ssttt, berbisik saja,” kata thai-kam itu sambil mendekat dan 

bicara kasak-kusuk berbisik. “Dia seorang yang entah manusia 

entah dewa, akan tetapi semenjak terjadi pembunuhan, sudah 

puluhan orang pejabat tinggi terbunuh, ada yang melihat 

munculnya Si Bayangan Iblis itu. Tak seorangpun melihat dia 

yang melakukan pembunuhan, hanya timbul dugaan karena dia 

muncul ketika terjadi pembunuhan-pembunuhan.......”

“Ih, betapa mengerikan! Apakah tidak kelihatan orangnya, 

paman?”

Akong menggeleng. “Dia bergerak cepat dan hanya nampak 

bayangannya saja. Bayangan tinggi besar dan kepalanya 

bertanduk, karena itu dinamakan Si Bayangan Iblis.......” 

“Hiiii, menakutkan sekali !” Akim kembali menggigil. “Akan tetapi 

kita aman, paman, Sehebat-hebatnya dia, tidak mungkin dia 

berani muncul di lingkungan istana ini!”

“Siapa bilang? Sstttt.......!” Dia memperingatkan diri sendiri yang 

bicara terlampau keras. “Dia dapat muncul di mana-mana. Di sini 

juga.”



215

“Tidak mungkin, paman. Jangan paman membohongi aku dan 

hendak menakut-nakuti aku!”

“Eh, anak buruk! Siapa berbohong?”

“Aku tanggung itu hanya kabar angin saja. Siapa yang pernah 

melihat dia di sini?” 

“Bukan kabar angin. Aku pernah melihatnya sendiri.”

Akim merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan.

Tak disangkanya bahwa ia akan memperoleh keterangan yang 

amat penting dari thai-kam ini.

“Aih, paman Akong, engkau hanya main-main saja dan mencoba 

untuk menakut-nakuti aku!” Akim berkata mengejek.

“Akim, jangan kurang ajar engkau! Kau anggap aku berbohong? 

Engkau tidak percaya kepadaku?”

Akim mengangguk-angguk. “Maaf, maaf, paman Akong yang 

baik. Sejak datang di sini bertemu denganmu, aku sudah merasa 

seolah engkau ini pamanku sendiri. Engkau begini baik, paman. 

Aku tentu saja percaya kepadamu, akan tetapi ceritamu terlalu 

aneh. Bagaimana mungkin pembunuh itu dapat berkeliaran di 

dalam istana?”

“Sssttt, tutup mulutmu yang lancang dan jangan keras-keras 

bicara. Dengar, aku tidak berbohong. Ketika aku bertugas di 

bagian putera, pada suatu malam aku melihat bayangan 

berkelebat dan bayangan itu berhenti sejenak di sudut dinding


216

gudang di belakang. Jelas sekali bayangan itu, dan 

menyeramkan. Bayangan tinggi besar dan kepalanya mempunyai 

dua buah tanduk. Huuhhh, masih meremang bulu tengkukku 

kalau mengenangnya.”

“Dan paman tidak menceritakan kepada siapapun sampai 

sekarang ini?“

“Mana aku berani? Baru sekarang aku bercerita kepadamu untuk 

meyakinkan hatimu.”

“Hanya satu kali itu saja paman melihatnya? Dan tidak pernah 

nampak di bagian puteri sini?”

“Baru satu kali itu, dan tidak pernah ada yang melihat bayangan 

itu muncul di sini. Dan selain aku sendiri, sebelum itu juga pernah 

ada ada seorang perajurit pengawal melihat, bahkan mengejar 

bayangan itu di dalam istana bagian putera, akan tetapi bayangan 

itu menghilang.

“Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Kelima terbunuh di luar 

istana, maka pernah gegerlah istana. Akan tetapi setelah 

diperiksa di seluruh pelosok, tidak ditemukan Si Bayangan Iblis di 

istana.” 

Tiba-tiba thai-kam itu memberi isyarat agar Akim diam dan

mereka melanjutkan pekerjaan mereka dengan tekun, seolah-

olah mereka tidak pernah bercakap-cakap tentang Si Bayangan 

Iblis. Seorang pelayan lain masuk ke dapur bagian pencucian 

daging itu.


217

Diam-diam Akim mengenang kembali semua percakapan tadi. 

Dugaannya kini semakin kuat bahwa sarang gerombolan 

pembunuh itu, atau setidaknya pemimpin mereka, besar sekali 

kemungkinannya bersembunyi di dalam istana ini, atau juga 

pemimpin itu merupakan seorang anggauta keluarga kaisar 

sendiri, atan pejabat yang bertugas di dalam lingkungan istana. 

Jelas bukan Permaisuri atau seorang di antara para selir atau 

puteri kaisar, karena bayangan itu tidak pernah nampak di sini, 

melainkan di istana bagian putera. Akan tetapi, ia tidak sama 

sekali melepaskan kemungkinan bahwa pemimpinnya seorang 

penghuni bagian puteri, walaupun pemimpin itu bekerja “di 

belakang layar”. Siapa tahu? 

Ia harus menyelidikinya di bagian putera. Malam nanti! Tugas 

yang berbahaya memang, namun tanpa menempuh bahaya itu, 

bagaimana mungkin ia akan mampu memecahkan rahasia Kwi-

eng-cu?

Setelah mandi sore dan makan malam, karena tidak ada lagi 

tugas untuknya, Akim duduk bersila di dalam kamarnya, di atas 

pembaringan, mengatur pernapasan dan menghimpun tenaga. 

Siapa tahu malam ini ia membutuhkan banyak tenaga. Ia sudah 

mengambil keputusan untuk mengalihkan medan penyelidikannya 

di waktu malam. Tidak lagi di bagian puteri, melainkan di istana 

induk, tempat tinggal Kaisar dan para pangeran yang masih 

tinggal di istana. 

Ia sudah mendengar keterangan Cian Ciang-kun bahwa istana 

induk itu berbahaya, dijaga ketat oleh pasukan pengawal thai


218

kam, dan ada tiga orang jagoan thai-kam yang amat lihai. Maka, 

ia harus berhati-hati karena ia menyelidiki seorang yang rahasia 

sehingga ia tidak tahu siapa kawan siapa lawan di dalam istana 

itu. 

Segala kemungkinan ada. Pemimpin para pembunuh itu mungkin 

saja seorang pangeran, mungkin seorang thai-kam, mungkin pula 

permaisuri, bahkan mungkin kaisar sendiri! Mungkin pula pejabat 

penting yang tinggal di istana karena pekerjaan dan tugasnya.

Ia menanti sampai keadaan di istana menjadi sunyi. Kamarnya 

berada di antara kamar-kamar para pelayan, pekerja yang paling 

rendah tingkatnya di istana itu, dan kebetulan sekali setiap jam 

tentu peronda keamanan lewat di kebun belakang perumahan itu. 

Maka, ia dapat menghitung waktu dan menjelang tengah malam 

ia sudah mengenakan pakaian serba hitam dan memasang kedok 

kain hitam pula. 

Sebetulnya bukan kedok, hanya kain saputangan hitam yang 

lebar, diikatkan menutupi hidung dan mulutnya. Juga kepalanya 

dibungkus kain hitam, bahkan menutupi dahinya sehingga yang 

nampak hanya sepasang matanya saja. Bukan mata Akim lagi, 

melainkan mata Hek-liong-li Lie Kim Cu, sepasang mata yang jeli, 

indah dan mencorong amat tajamnya! 

Karena maklum bahwa tugasnya amat berbahaya, iapun 

mengeluarkan pedang pusakanya, Hek-liong-kiam (Pedang Naga 

Hitam) yang diselundupkan oleh Cian Ciang-kun dan kemudian 

disimpan di tempat rahasia, yaitu di bawah atap kamarnya.


219

Pedang itu ia selipkan di ikat pinggang, tertutup oleh jubah 

hitamnya yang lebar.

Setelah ia mengintai dari jendela kamarnya keluar, dan melihat 

bahwa malam telah larut dan suasana sudah amat sunyi, dan 

juga rombongan peronda, yaitu para pengawal thai-kam baru saja 

lewat. Ia lalu membuka daun jendela kamarnya dan seperti 

seekor kucing saja, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, 

tubuhnya sudah meloncat ke luar jendela. Dari luar, daun jendela 

ditutupnya kembali dengan hati-hati, lalu cepat tubuhnya sudah 

menyelinap ke dalam kebun di belakang perumahan para pelayan 

itu. Di kebun ini terdapat banyak pohon, dan iapun menyusup di 

antara pohon-pohon. 

Ia sejak sore tadi sudah memperhitungkan dan merencanakan 

bagaimana ia akan memasuki istana induk. Tentu saja yang 

paling mudah dan aman melalui kebun itu. Kebun itu bersambung 

dengan kebun di belakang istana induk, hanya dibatasi oleh 

pagar tembok yang tinggi dan tidak terjaga ketat. Memang tidak 

perlu dijaga ketat karena orang-orang biasa saja tidak akan dapat 

melewati tembok itu.

Setelah menanti beberapa menit dan melihat bahwa keadaan 

sekeliling tetap sunyi, tidak nampak bayangan orang dan tidak 

terdengar suara apapun, hatinya lega. Tangan kirinya memegang 

kedua ujung jubah yang diselimutkan di tubuhnya, lalu ia 

menyelinap di antara pohon-pohon di kebun itu, menuju ke 

tembok pemisah antara kebun istana puteri dan kebun istana 

induk.


220

Ia memang sudah memperhitungkan bahwa malam itu bulan 

bercahaya cukup terang karena bulan sudah berusia sepuluh 

hari. Langit bersih dan cerah sehingga dengan mudah ia dapat 

menyelinap di antara pohon-pohon yang tidak begitu gelap 

dengan adanya sinar bulan.

Ketika ia tiba di bagian terbuka, dan tembok pemisah kebun itu 

sudah nampak putih cerah tertimpa sinar bulan, tiba-tiba ia 

terkejut bukan main karena bermunculan delapan bayangan yang 

agaknya tadi bersembunyi di balik batang pohon yang tumbuh di 

sekitar tempat itu! 

Melihat gerakan mereka, Akim memperhitungkan bahwa tidak 

mungkin mereka itu dapat membayanginya sejak tadi tanpa ia 

dapat melihatnya. Kalau mereka membayanginya sejak tadi, 

sudah pasti ia dapat melihat, atau setidaknya mendengar gerakan 

mereka. 

Jelaslah bahwa mereka memang sudah menanti di balik batang-

batang pohon itu sehingga tentu saja ia tidak tahu bahwa ada 

delapan orang yang agaknya sudah menghadangnya dan 

menanti kemunculannya! Hal ini hanya berarti bahwa gerakannya 

sudah diketahui sejak ia meninggalkan kamar, bahkan sudah 

diketahui bahwa ia akan lewat di tempat itu! Luar biasa sekali.

Akan tetapi hatinya merasa lega, juga sekaligus terheran-heran 

ketika melihat bahwa pengepungnya itu sama sekali bukan 

orang-orang berkedok seperti Si Bayangan Iblis! Sama sekali 

bukan! Mereka itu adalah pengawal-pengawal thai-kam!


221

“Bayangan Iblis! Menyerahlah, engkau sudah terkepung!” bentak 

seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan 

tangannya memegang sebatang golok besar. Teman-temannya 

ada yang memegang golok, ada yang bersenjata pedang dan 

mereka itu telah mengepungnya dengan sikap mengancam. 

Mendengar bentakan ini, Akim merasa semakin heran. Ia malah 

disangka Si Bayangan Iblis!

Hampir saja ia menyangkal. Akan tetapi kalau ia menyangkal ia 

harus membuka saputangan hitam penutup mukanya, dan ia 

tentu akan dicurigai dan ditangkap pula karena ia kini telah 

menanggalkan penyamarannya sebagai Akim, dan wajahnya kini 

adalah wajah Liong-li! Andaikata ia berada dalam 

penyamaranpun, tentu ia tetap akan ditangkap sebagai Akim! 

Serba salah memang! Maka, begitu si tinggi besar itu 

membentak, ia sudah membalik dan menerjang orang yang 

berdiri mengepung di belakangnya. 

Melihat gerakan ini, orang yang memegang golok di belakang itu 

menyerang dengan bacokan golok. Akan tetapi, dengan mudah 

Akim atau Liong-li mengelak dengan loncatan ke samping, 

kemudian ia mengerahkan gin-kangnya dan ia sudah berlari 

oepat sekali meninggalkan tempat itu!

“Berhenti! Hendak lari ke mana kau?” bentak delapan orang 

perajurit pengawal itu dan mereka melakukan pengejaran. Akan 

tetapi, bayangan orang berpakaian serba hitam itu sudah lenyap 

ditelan bayangan pohon-pohon!


222

Dan pada saat delapan orang itu mencari-cari, Liong-li sudah 

menyamar lagi sebagai Akim dan rebah di atas pembaringannya. 

Pakaian serba hitam, juga pedang Hek-liong-kiam, sudah 

tersimpan aman di bawah atap sehingga andaikata para perajurit 

pengawal menggeledah kamarnya, mereka takkan dapat 

menemukan tanda-tanda bahwa ialah yang tadi mereka kejar-

kejar. Dan iapun merasa lega dan dapat tidur pulas setelah tidak 

ada gangguan datang, walaupun ia masih menduga-duga dengan 

heran bagaimana delapan orang pengawal itu tahu-tahu sudah 

menghadang di sana!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Akim sudah bangun dan 

bekerja seperti biasa, membersihkan dapur dan ia pura-pura acuh 

saja seperti tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya. 

Semalam Akim tidur nyenyak di kamarnya dan tidak melihat atau 

mendengar sesuatu sampai bangun pagi hari ini, demikian ia 

meyakinkan penyamarannya. Akan tetapi, diam-diam ia menaruh 

perhatian akan keadaan sekelilingnya. 

Ia melihat betapa para pelayan lainnya bekerja seperti biasa pula, 

menyalaminya seperti biasa. Hanya ada satu hal yang dirasa 

aneh, atau hanya kebetulan saja, yaitu tidak adanya Akong. Ia 

pura-pura acuh dan tidak berani bertanya, karena kalau ia 

bertanya, berarti ia menaruh perhatian khusus untuk Akong dan 

hal itu akan dapat saja menimbulkan kecurigaan. Ia menyapu 

lantai dapur dengan tenang dan tekun.

Tiba-tiba para pelayan yang sedang sibuk bekerja itu berdiri 

dengan sikap hormat dan menunda pekerjaan mereka. Akim 

menoleh dan iapun terheran melihat munculnya seorang perwira


223

thai-kam yang gendut dan yang dikenalnya sebagai Kok Ciang-

kun, perwira yang memasukkannya ke dalam istana! Tentu saja 

ia segera memberi hormat, akan tetapi dengan sikap dingin Kok 

Ciang-kun memandang kepadanya dan berkata singkat.

“Bergantilah pakaian bersih dan ikut dengan aku!”

“Ke..... ke mana, Ciang-kun?” tanyanya dengan jantung berdebar 

tegang.

“Engkau dipanggil menghadap oleh Hong-houw!”

Liong-li menekan perasaan hatinya yang terguncang sehingga 

wajahnya hanya membayangkan keheranan, bukan kegelisahan. 

Ia lalu pergi ke kamarnya dan berganti pakaian sambil mengingat-

ingat. 

Adakah hubungannya panggilan Permaisuri ini dengan peristiwa 

semalam? Ah, tidak mungkin ada hubungannya, kalau ia 

dicurigai, andaikata ada sesuatu yang membocorkan rahasianya, 

tentu ia akan ditangkap oleh pasukan pengawal, bukan dipanggil 

melalui Kok Ciang-kun, orang yang membawanya masuk ke 

istana. Tidak, ia tidak perlu gelisah, harus bersikap tenang.

Sebentar saja ia sudah berjalan bersama Kok Ciang-kun 

meninggalkan ruangan dapur menuju ke istana permaisuri. Di 

dalam perjalanan ini, ia mencoba memancing dan bertanya 

kepada Kok Ciang-kun mengapa ia dipanggil oleh Hong-houw. 

Akan tetapi, Kok Ciang-kun menggeleng kepalanya.

224

“Aku tidak tahu. Akupun baru pagi ini, pagi-pagi sekali dipanggil 

menghadap, dan setelah menghadap, aku diutus untuk 

menjemputmu dan bersama-sama menghadap.”

“Aku........ aku bekerja dengan rajin dan sebaik mungkin, aku tidak 

pernah melakukan kesalahan,” kata Akim dengan suara gelisah. 

“Apakah beliau kelihatan marah-marah?”

Perwira pengawal thai-kam itu menggeleng kepala. “Menurut 

pengamatanku, beliau tidak marah, hanya nampak kesal.”

Lega rasa hati Akim. Kalau memang menyangkut urusan besar, 

tentu permaisuri sudah marah dan ia sudah disuruh tangkap. Ia 

harus bersikap tenang saja.

Mereka berlutut di depan pintu ruangan yang terbuka, agaknya 

memang sejak tadi dibuka menanti kedatangannya. Seorang 

dayang pengawal memerintahkan mereka masuk dengan suara 

lantang, menyampaikan perintah Hong-houw. Mereka lalu bangkit 

dan melangkah masuk dengan kepala menunduk, kemudian di 

depan kursi emas Sang Permaisuri Bu Cek Thian, Kok Ciang-kun 

dan Akim menjatuhkan diri berlutut.

“Ban-swe, ban-ban-swe......!” Mereka berkata dengan khidmat 

sambil menempelkan dahi ke lantai.

“Bangkitlah kalian!” kata Hong-houw. Keduanya mengangkat 

kepala dan tubuh mereka tegak, akan tetapi kaki mereka masih 

berlutut.


225

“Kok Tay Gu, kepadamu kami mengajukan sebuah saja 

pertanyaan yang harus kau jawab dengan sebenarnya. Kalau 

jawabanmu bohong, sekarang juga kami akan perintahkan agar 

lehermu dipenggal!” 

Bukan main keras dan tegasnya ucapan itu dan ketika ia melirik, 

Akim melihat betapa perwira pengawal itu gemetar seluruh 

tubuhnya, dan suaranya tergagap ketika dia berkata.

“Hamba...... hamba akan menjawab dengan sebenarnya...... dan 

bersedia menerima hukuman kalau berbohong.”

“Kenalkah engkau siapa gadis ini dan dari siapa engkau 

menerimanya?”

Diam-diam Akim terkejut bukan main. Kiranya, di luar dugaannya, 

memang ada sangkut pautnya dengan dirinya! Ia telah dicurigai 

dan tentu permaisuri itu tidak bertanya tentang dirinya seperti itu. 

Kini, kepala pengawal thai-kam itu mati kutu dan dia sudah 

lemas.

“Hamba...... hanya tahu... ia bernama Kim Siauw Hwa dan biasa 

disebut Akim, dan hamba.... hamba dimintai tolong oleh bekas 

Panglima Cian Hui untuk menerimanya sebagai..... dayang atau 

pelayan di sini...... mohon beribu ampun kalau hamba 

bersalah......” 

Hening sejenak. Keheningan yang mencekik rasanya, karena 

seolah Akim menanti datangnya putusan mati atau hidup! 

Kemudian terdengar suara itu, suara yang lembut namun


226

mengandung kekerasan seperti baja, akan tetapi suara itu 

terdengar lega.

“Engkau berkata sebenarnya. Memang ia bernama Kim Siauw 

Hwa alias Akim dan engkau menerimanya dari Cian Hui. Nah, 

keluarlah kamu dari sini, laksanakan tugasmu dengan baik. 

Perintahkan pasukan pengawal untuk lebih ketat lagi menjaga 

istanaku.”

Akim seolah mendengar betapa kepala pengawal itu bersorak 

dalam hatinya, dan ia sendiripun merasa lega, seolah baru saja 

lepas dari himpitan batu besar yang berat. Kok Ciang-kun 

menghaturkan terima kasih berulang kali, lalu memberi hormat 

dan benturan dahinya pada lantai sampai menimbulkan 

kekhawatiran di hati Akim kalau-kalau kepala pengawal menderita 

gegar otak karenanya. 

Kok Ciang-kun mundur dan kini tinggal Akim seorang diri masih 

berlutut. Karena yang diperintah mundur hanya Kok Ciang-kun, 

maka ia tidak berani bergerak dan diam saja, walaupun hatinya 

ingin sekali ia segera terbang dari situ. 

Baru pertama kali ini selama ia menjadi seorang wanita perkasa, 

Hek-liong-li Lie Kim Cu merasa gentar! Ia merasa seperti 

menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai dan lebih lihai 

darinya, yang membuat ia merasa hampir tidak berdaya! 

Kalau ia disuruh memilih, ia memilih menghadapi dua orang datuk 

sesat yang lihai dari pada harus mengadapi permaisuri ini 

sebagai musuh! Ia merasa seperti menghadapi seekor ular 

berbisa yang amat berbahaya dan ia tidak tahu dari mana dan


227

kapan ular berbisa itu akan mematuk. Membuat ia ingin 

menghindar jauh-jauh dari tempat itu, sejauh mungkin!

Akim masih berlutut dan menundukkan mukanya ketika ia 

mendengar suara Hong-houw, kini suaranya meninggi dan penuh 

ejekan. “Engkau bernama Kim Siauw Hwa, ya? Akim? Hemmm, 

orang lain boleh saja kaukelabui, akan tetapi jangan mengharap 

akan dapat mengelabui kami.” Lalu terdengar perintahnya kepada 

para pengawal, “Ambil air dan sikat, cuci bersih mukanya dan 

tarik rambut palsunya!”

Bukan main kagetnya rasa hati Liong-li mendengar ini. Kalau ia 

meloncat, tentu para pengawal itu mengepungnya dan sekali 

terdengar tanda bahaya, ratusan bahkan ribuan perajurit 

pengawal akan datang dan ia tidak mungkin dapat lolos. Kalau ia 

menangkap dan menyandara permaisuri itupun tidak mudah, 

karena para dayang pengawal nampaknya sudah siap melindungi 

junjungan mereka.

“Ampun, Yang Mulia. Perkenankan hamba menanggalkan 

penyamaran hamba sekarang juga!” katanya dan cepat ia 

menggosok mukanya, melepaskan kedok tipis yang menutupi 

muka aselinya, dan mencopot pula sedikit rambut palsu yang 

merubah bentuk sanggulnya. 

Sanggulnya terlepas, rambut aselinya yang hitam dan halus 

panjang itu terurai, mukanya yang asli nampak, muka seorang 

yang cantik jelita dan manis. Bahkan sinar matanyapun kini 

berubah, tidak lagi bodoh, melainkan mencorong dan tajam 

penuh kecerdikan!”


228

Kini permaisuri itu tersenyum. “Hemm, sudah kuduga, engkau 

tentu seorang wanita yang cantik. Nah, sekarang mengakulah, 

siapa engkau dan mengapa pula, engkau diseludupkan ke sini 

oleh Cian Hui?”

Bagaimana pun juga hati Liong-li merasa lega karena tidak 

terkandung kemarahan atau permusuhan di dalam suara yang 

lembut dan berwibawa itu.

“Ampunkan hamba, Yang Mulia. Akan tetapi sebelum hamba 

memberi penjelasan, hamba ingin sekali mengetahui bagaimana 

paduka dapat mengetahui rahasia penyamaran hamba......”

Permaisuri itu tidak marah, sungguh mengherankan hati para 

dayang pengawal yang menganggap pertanyaan Liong-li itu 

kurang ajar. Sebaliknya malah permaisuri itu tertawa geli dan 

senang. Memang hati permaisuri itu merasa senang dan bangga 

karena pertanyaan Liong-li itu membuktikan bahwa wanita muda 

yang cerdik sekali dan pandai menyamar sehingga mengelabui 

mata semua penghuni istana, kini kagum kepadanya dan 

terheran akan kecerdikannya!”

“Engkau memang seorang perempuan muda yang amat cerdik, 

akan tetapi bagi kami, kecerdikanmu itu belum seberapa dan 

tidak ada artinya. Ketika kami mengujimu untuk melihat apakah 

engkau benar seorang gadis dusun dan bukan seorang mata-

mata berbahaya yang menyelundup ke istana, engkau dengan 

cerdik berlagak bodoh dan bahkan membiarkan punggungmu 

pecah kulitnya oleh cambuk. Akan tetapi ketika aku mendekat,


229

aku melihat dibalik kain baju yang robek dan kulit punggung yang 

terluka, dekat luka itu kulitnya putih halus.

“Aku sudah menduga bahwa tentu kulit tubuhmu yang aseli putih 

mulus, tidak kecoklatan dan kasar. Tentu engkau telah memolesi 

seluruh kulit tubuhmu dengan semacam obat cairan. Aku sudah 

mulai curiga dan engkau lihat siapa yang berdiri di sana itu!”

Karena sejak tadi Liong-li tidak berani mengangkat muka, kini 

setelah diperintah, ia mengangkat muka dan memandang ke arah 

yang ditunjuk permaisuri itu. Di sudut sana, berdiri dengan 

sebatang tombak di tangan, adalah...... Akong! Pelayan thai-kam 

itu ternyata adalah seorang perajurit pengawal yang menjadi 

kepercayaan sang permaisuri!

Kini mengertilah ia! Tentu karena merasa curiga, permaisuri yang 

luar biasa cerdiknya itu telah diam-diam menyelundupkan Akong 

ke bagian dapur, bekerja sebagai pelayan dapur sehingga 

mendapat kesempatan bercakap-cakap dengannya!

Pada hal, ia merasa cerdik sudah berhasil mengorek rahasia dan 

memancing keterangan dari Akong. Tidak tahunya, ialah yang 

terkorek rahasianya. Karena sikapnya yang ingin tahu dan 

bertanya-tanya tentang Kwi-eng-cu itu tentu saja dicatat oleh 

Akong dan pada malam harinya diteruskan kepada Hong-houw.

Dan permaisuri yang seperti dikatakan Cian Hui cerdik seperti 

iblis itu sudah memperhitungkan bahwa malam itu ia tentu akan 

melakukan penyelidikan ke istana induk, maka sengaja menyuruh 

delapan orang perajurit itu untuk menghadangnya dan 

mengepungnya. Dan biarpun delapan orang itu tidak berhasil


230

menangkapnya, namun kini ia yakin bahwa ketika ia kembali ke 

dalam kamarnya, seperti ia keluar dari kamarnya, tentu sudah 

ada beberapa pasang mata yang mengintainya. Agaknya 

permaisuri itu hanya ingin merasa yakin bahwa “Akim” benar 

seorang mata-mata yang diselundupkan ke dalam istana.

Melihat Akong, Liong-li segera memberi hormat kembali. 

“Sungguh benar sekali apa yang diterangkan oleh Cian Ciang-kun 

kepada hamba tentang paduka yang mulia......”

“Heh? Apa kata Cian Hui? Tentu dia memperingatkan bahwa 

engkau harus berhati- hati menghadapi aku, bukan? Heh-heh-hi-

hik!”

Kembali Liong-li tertegun, bukan pura-pura melainkan sungguh ia 

merasa heran dan kagum. Wanita ini seolah-olah tahu segalanya!

“Aku mengenal siapa Cian Hui! Dia seorang yang cerdik, kalau 

tidak begitu, tentu dia tidak diangkat menjadi penyelidik. Kalau dia 

yang menyelundupkan kamu ke istana, tentu dia 

memperingatkanmu untuk berhati-hati terhadap kami. Dia sudah 

tahu siapa aku!” Suara ini mengandung kebanggaan hati yang 

besar terhadap diri sendiri.

“Sesungguhnya demikian, Yang Mulia. Karena paduka sudah 

tahu segalanya, hamba kira hamba tidak perlu menerangkannya 

lagi.”

“Hemm, Cian Hui memilih engkau, itu berarti bahwa engkau tentu 

memiliki kelihaian dan kecerdikan. Akan tetapi di sini, engkau


231

kurang berhati-hati. Bayangkan saja seandainya aku ini Kwi-eng-

cu! Apa kau kira masih hidup saat ini?”

“Hamba beruntung sekali bahwa Kwi-eng-cu bukan paduka. Akan 

tetapi hamba yang terkagum-kagum akan kecerdikan dan 

kebijaksanaan paduka, hamba ingin sekali tahu apakah paduka 

sudah pula mengetahui siapa hamba sebenarnya?”

Kembali para dayang mengerutkan alisnya. Perempuan itu 

sungguh kurang ajar, seolah menantang sang permaisuri, atau 

seperti mempermainkan saja. Bicaranya seolah permaisuri itu 

sahabatnya, bukan junjungannya! Akan tetapi aneh, permaisuri 

tidak marah melainkan tersenyum manis! Dan memang hati 

permaisuri itu senang sekali, merasa ditantang kecerdikannya.

“Kami memang belum mengetahui siapa kamu, akan tetapi kami 

dapat menduganya,” kata permaisuri itu dengan suara yang 

tenang sekali.

Liong-li tertarik dan semakin kagum, ia mengangkat muka 

memandang dan sejenak dua pasang mata yang sama indahnya, 

sama jeli dan sama tajamnya bertemu dan bertaut. Selamanya 

belum pernah Liong-li beradu pandang dengan seorang wanita

yang memiliki pandang mata seperti itu dan diam-diam ia 

bergidik. Juga agaknya Permaisuri Bu Cek Thian mempunyai 

pendapat yang sama. Ia mengerutkan alisnya dan seperti 

mewakili suara hati Liong-li ia berkata.

“Aihhh, matamu seperti mata kucing atau harimau betina! 

Mengerikan sekali!”


232

Tepat sekali, pikir Liong-li. Memang matamu seperti mata harimau 

betina kelaparan!

“Bolehkah hamba mengetahui, paduka menduga hamba ini 

siapakah?” ia masih ingin mengetahui sampai di mana kecerdikan 

permaisuri itu.

“Hek-liong-li Lie Kim Cu, dibandingkan dengan kami, engkau 

seperti anak masih ingusan!”

Kini Liong-li menatap wajah permaisuri itu dengan mata 

terbelalak. Ia benar takluk dan kagum bukan main, permaisuri itu 

tentu tidak berbohong ketika mengatakan bahwa belum 

mengetahui dirinya dan hanya menduga saja. Akan tetapi betapa 

tepatnya dugaan itu! Matanya penuh pertanyaan, mewakili suara 

hatinya yang ingin sekali tahu bagaimana permaisuri itu mampu 

menduganya demikian tepat!

Dan agaknya pertanyaan pada sinar matanya itupun terbaca oleh 

Permaisuri Bu Cek Thian. Wanita ini kembali tertawa dan 

menutupi mulut yang terbuka dengan sapu tangan sutera.

“Mudah saja menduga bahwa engkau Hek-liong-li Lie Kim Cu. 

Biarpun kami belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi 

berita tentang dirimu sudah pernah kami dengar. Kami 

mendengar bahwa di Lok-yang terdapat seorang wanita muda 

cantik jelita yang kabarnya memiliki ilmu silat yang tinggi dan 

kecerdikan yang mengagumkan, namanya Lie Kim Cu dan 

berjuluk Hek-liong-li. Bukan seorang penjahat, bahkan kadang-

kadang menentang kejahatan, kaya raya dan ditakuti dunia kang-

ouw.


233

“Ketika Kaisar, atas dorongan kami, memerintahkan Cian Hui 

untuk menyelidiki tentang pembunuhan-pembunuhan di kota raja 

dan tentang Kwi-eng-cu, kami mendengar dari penyelidik kami 

bahwa Cian Hui pergi seorang diri menuju Lok-yang. Tadinya 

kami kira bahwa mungkin dia pergi ke sana ada hubungannya 

dengan penyelidikannya, atau untuk mengikuti jejak. Nah, 

peristiwa itu saja sudah menunjuk kepadamu. 

“Kemudian Kok Tay Gu memasukkan seorang dayang yang 

mukanya buruk seperti penyamaranmu tadi. Kami mulai curiga 

dan ternyata kecurigaan kami benar ketika kami melihat kulit 

punggungmu ada yang putih mulus dekat luka. Dan ketika malam 

tadi engkau keluar dari kamar sebagai seorang wanita bertopeng 

hitam dan berpakaian serba hitam, kemudian melihat betapa 

engkau sedemikian lihainya sehingga mampu menghindarkan diri 

dari kepungan delapan orang perajurit pengawal pilihan. 

“Lalu sekarang melihat bahwa engkau seorang wanita muda yang 

cantik jelita dan juga cerdik, bahkan mampu menguji 

kecerdikanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang amat cerdik, 

lalu siapa lagi engkau, kalau bukan Hek-liong-li Lie Kim Cu? Dan 

kami yakin bahwa pedang yang semalam katanya terselip di 

pinggangmu tentulah pedang pusakamu Hek-liong-kiam yang 

terkenal itu. Entah di mana sekarang pusaka itu 

kausembunyikan!”

Saking kagumnya, Long-li memberi hormat dan menempelkan 

dahinya di lantai. “Ban-swe, ban-ban-swe......! Sungguh hebat, 

sungguh luar biasa sekali! Paduka adalah seorang yang amat 

cerdik, bijaksana dan hamba mengaku kalah!”


234

“Hek-liong-li, bangkitlah. Aku sudah muak dengan penghormatan 

berlebihan seperti itu. Nah bangkit dan duduklah, aku ingin bicara 

denganmu!” Lalu ia memberi isyarat kepada para dayang 

pengawal agar mereka meninggalkan ruang itu!

Semua pengawal, kecuali dua orang wanita muda yang wajahnya 

sama, masih berdiri di belakang kursi permaisuri itu. Mereka 

adalah sepasang saudara kembar yang merupakan pengawal 

pribadi yang tidak pernah meninggalkan Permaisuri Bu Cek Thian 

sejenak pun! Juga Akong sudah keluar tanpa menoleh kepada 

Liong-li.

Pintu ruangan itu ditutup dan di dalam ruangan yang luas dan 

amat indah itu, Permaisuri Bu Cek Thian duduk di atas kursi 

emasnya yang agak tinggi. Kedua kakinya menginjak punggung 

sebuah batu berukir yang berbentuk kura-kura, lambang panjang 

usia, seolah-olah Permaisuri itu selalu menunggangi lambang 

yang membuat usianya menjadi panjang.

Dua orang saudara kembar yang menjadi pengawal pribadi itu, 

keduanya mahir ilmu silat dan tangan kanan mereka tak pernah 

meninggalkan gagang pedang yang tergantung di pinggang, 

berdiri di belakang kursi emas itu.

Liong-li diperintahkan duduk di atas sebuah bangku yang agak 

rendah. Hanya mereka berempat yang berada di situ dan Liong-li 

yakin bahwa tidak ada seorangpun lainnya yang berani mengintai 

atau ikut mendengarkan karena hal itu dapat mengakibatkan 

hukuman mati! Dan iapun kini merasa lega karena jelas bahwa 

permaisuri yang amat cerdik ini, yang dapat menjadi lawan yang


235

amat berbahaya, kini nampaknya sudah percaya benar 

kepadanya.

“Lebih dulu katakan, di mana engkau menyembunyikan pedang 

pusakamu itu? Satu-satunya tempat persembunyian adalah di 

bawah atap kamarmu!”

Liong-li tersipu. Akan sia-sia sajalah membohongi wanita seperti 

ini!

“Memang benar di sana, Yang Mulia.”

“Hemm, kalau begitu, engkau pergilah dulu, ambil pedangmu itu 

lalu kembalilah kesini. Cepat! Berbahaya kalau sampai didahului 

orang lain!”

Mendengar ini, Liong-li terkejut, cepat memberi hormat dan keluar 

dari ruangan itu. Ternyata di dekat ambang pintu, tentu ada alat 

rahasianya, karena sebelum ia tiba di pintu, daun pintu itu telah 

terbuka dari luar. Agaknya para penjaga di luar tahu bahwa ada 

orang hendak keluar!

Ia keluar dan cepat pergi ke kamarnya setelah ia memasang 

kembali kedok tipisnya dan rambut palsunya sebagai Akim! 

Setibanya di dalam kamar, ia menutupkan daun pintu dan 

meloncat ke atas, mendorong langit-langit di sudut.

Cepat ia mengambil pedang dan pakaian hitam, lalu melompat 

turun kembali. Pada saat itu, ia mendengar langkah kaki dekat 

jendelanya. Cepat ia menyembunyikan pedang dan pakaian di


236

bawah kasur, lalu ia sendiri merebahkan diri di atas pembaringan. 

Daun jendela terbuka dan sesosok bayangan melompat masuk.

“Heii, siapa itu? Maliiingg......!” Ia berteriak. 

Tentu saja ia harus bersandiwara karena bukankah semua orang 

di situ mengira ia seorang gadis dusun? Sudah sewajarnya kalau 

ia berteriak ada orang laki-laki memasuki kamarnya lewat jendela.

Orang itu jangkung kurus, mukanya tertutup lengan baju, terkejut 

dan meloncat keluar lagi. Liong-li tidak mengejar dan kembali ia 

mengagumi sang permaisuri. Kalau tidak permaisuri itu cepat 

memerintahkan ia mengambil pedang pusakanya, besar sekali 

kemungkinan Hek-liong-kiam sudah diambil orang.

Ketika ia menghadapi kembali permaisuri yang cantik berwibawa 

itu, Liong-li terus terang menceritakan apa yang baru saja ia alami 

di kamarnya ketika ia mengambil pedang. Agaknya, terhadap 

wanita yang satu ini, ia tidak boleh menyimpan rahasia karena 

segala peristiwa agaknya dapat diketahuinya atau diduganya. 

Mendengar cerita Liong-li, permaisuri Bu Cek Thian mengangguk-

angguk.

“Bagaimana wajah bayangan itu?” tanyanya singkat.

“Tidak nampak jelas, Yang mulia. Hanya nampak bayangan yang 

bentuk badannya jangkung kurus, akan tetapi dia memiliki 

gerakan yang gesit dan cepat sekali sehingga ketika hamba 

mengejar keluar, dia telah lenyap.”


237

Permaisuri itu mengerutkan alisnya. “Hemm, kehadiranmu 

sebagai penyelidik agaknya sudah dicurigai orang. Biarlah untuk 

sementara engkau menjadi dayangku yang baru di sini. 

Bagaimana, maukah engkau, Hek-liong-li?”

Liong-li menyambut tawaran ini dengan gembira sekali. “Tentu 

saja hamba suka dan banyak terima kasih atas bantuan paduka. 

Yang penting bagi hamba adalah dapat melakukan penyelidikan 

sampai hamba berhasil menangkap, atau setidaknya 

membongkar rahasia Kwi-eng-cu itu, seperti yang diminta oleh 

Cian Ciang-kun.”

“Bagus, aku senang sekali engkau mau menjadi dayangku, Hek-

liong-li. Dan mulai sekarang nama panggilanmu di sini Siauw Cu 

(Mestika Kecil). Aku akan merasa lebih aman kalau engkau 

menjadi dayangku dan engkau boleh menemaniku setiap saat

membantu tugas Bi Cu dan Bi Hwa ini,” katanya menunjuk 

kepada dua orang gadis kembar yang kelihatan gagah perkasa 

dan yang berdiri di belakang kursinya.

“Hamba merasa terhormat sekali, Yang Mulia, dan mudah-

mudahan, berkat petunjuk paduka, hamba akan berhasil 

membongkar rahasia si Bayangan Iblis.” 

Permaisuri itu mengerutkan alisnya dan senyumnya manis, akan 

tetapi juga mengandung ejekan. “Hemm, sekali ini kepandaianmu 

akan diuji berat sekali, Hek-liong-li...... eh, Siauw Cu. Yang kau 

hadapi adalah seorang yang amat lihai, amat berbahaya sekali.”

“Ah, ampunkan hamba, Yang Mulia. Jadi kalau begitu paduka 

sudah mengetahui siapa adanya si Bayangan Iblis? Lebih mudah


238

bagi hamba untuk menghadapinya dan melaporkan kepada Cian 

Ciang-kun!”

Permaisuri itu menatap tajam wajah Liong-li, lalu menggeleng 

kepala dan menarik napas panjang. 

“Siauw Cu, kalau aku sudah mengetahui dengan jelas siapa dia, 

apa kau kira dia akan mampu bernapas lagi saat ini? Kami baru 

menduga-duga saja tanpa bukti. Yang jelas, dia tidak pernah 

berani mencoba untuk mengganggu kami. Bagaimanapun juga, 

dia tetap merupakan ancaman dan duri dalam daging yang harus 

dihancurkan. Aku sendiri akan memberi hadiah besar kepadamu 

kalau engkau mampu menangkapnya, Siauw Cu.”

Diam-diam Liong-li merasa girang dan lega. Akan lebih 

berbahaya dan lebih sukar rasanya kalau si Bayangan Iblis 

menjadi kaki tangan wanita di depannya ini.

Berhadapan dengan permaisuri ini, ia merasa dirinya kecil dan 

lemah, seperti menghadapi seekor naga betina yang amat 

berbahaya, penuh rahasia dan sukar ditebak dari arah mana akan 

menyerang. Kalau si Bayangan Iblis bukan anak buah permaisuri, 

berarti ia akan menjadi sekutu permaisuri ini dan ia merasa yakin, 

dengan bantuan permaisuri yang amat cerdik ini, ia pasti akan 

berhasil.

“Hamba tidak mengharapkan imbalan jasa dan hadiah, Yang 

Mulia, melainkan hamba menganggapnya sebagai suatu 

kewajiban untuk menghalau pengacau yang membahayakan 

ketenteraman kota raja. Hamba akan berusaha sekuat tenaga 

untuk menangkap si Bayangan Iblis!”


239

“Bagus! Akan tetapi agar hatiku lebih yakin akan kemampuanmu 

karena pihak lawan benar-benar tangguh, kami harus menguji 

kemampuanmu dulu, Siauw Cu. Bersiaplah engkau untuk 

menghadapi dua orang pengawalku ini. Beranikah engkau?” 

Tidak ada tantangan yang pernah ditolak oleh Liong-li, dari 

siapapun juga datangnya. Dan Bu Cek Thian memang cerdik 

bukan main. Kalau ia mengatakan, “Maukah engkau?”, mungkin 

Liong-li akan mencari alasan dan menolak. Akan tetapi dengan 

pertanyaan “beranikah engkau?” tidak ada pilihan lain bagi Liong-

li kecuali menerimanya!

“Hamba bersedia!” katanya sambil menatap tajam kedua orang 

wanita yang selalu berdiri di belakang permaisuri itu.

Mereka adalah dua orang wanita yang serupa benar, baik bentuk 

mukanya, bentuk sanggul dan pakaiannya. Sukar sekali 

membedakan antara dua orang gadis kembar ini. Usia mereka 

sekitar duapuluh lima tahun, dengan bentuk tubuh yang tinggi 

langsing dan wajah yang manis, dingin dan angkuh. Di punggung 

mereka terdapat pedang dengan ronce berwarna biru. Pakaian 

mereka ringkas berwarna kuning sehingga rambut mereka 

nampak semakin hitam.

“Bi Cu! Bi Hwa! Kalian boleh uji kepandaian Siauw Cu dengan 

tangan kosong dan semua tidak boleh menggunakan senjata. 

Kami ingin melihat sampai di mana kemampuan Siauw Cu! 

Mulailah!”


240

Gerakan dua orang wanita kembar itu ringan sekali ketika mereka 

tiba-tiba saja meloncat ke depan Liong-li setelah dengan suara 

halus menyanggupi perintah sang permaisuri.

Liong-li melangkah mundur, agak menjauhi permaisuri itu karena 

tidak baik untuk bertanding silat terlalu dekat wanita bangsawan 

tinggi itu. Pula, ia mencari tempat yang lebih luas agar jangan 

sampai merusak perabot dan hiasan di ruangan yang luas dan 

amat mewah itu.

Ketika mereka berdiri saling berhadapan, Liong-li melihat bahwa 

tinggi badannya hanya sampai setinggi bawah telinga kedua 

orang wanita kembar itu. Padahal, menurut ukuran wanita pada 

umumnya, ia bukan termasuk pendek. Jadi, mereka itulah yang 

tergolong tinggi, seperti para wanita dari daerah propinsi Shan-

tung. Tinggi dan biarpun pinggang mereka ramping, namun kaki 

tangan mereka kokoh kuat.

“Ketika kedua orang wanita itu memasang kuda-kuda, ia melihat 

dasar kuda-kuda dari ilmu silat Bu-tong-pai. Ia menduga bahwa 

mereka itu selain lihai dalam ilmu silat tangan kosong, tentu mahir 

pula memainkan pedang kalau benar mereka itu murid Bu-tong-

pai. Maka iapun tidak berani memandang rendah dan berhati-hati. 

Dua orang wanita kembar yang sudah terpilih menjadi pengawal 

pribadi permaisuri sudah pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi 

dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

“Enci berdua, majulah, aku sudah bersiap!” kata Liong-li, sikapnya 

tenang saja bahkan ia tidak memasang kuda-kuda seperti 

mereka, namun biar ia berdiri santai, sesungguhnya di bawah


241

kulit tubuhnya, seluruh urat syarafnya sudah menegang dan siap 

siaga menghadapi serangan dari mana pun datangnya.

Bi Cu dan Bi Hwa memang dua orang gadis kembar yang pernah 

menjadi murid Bu-tong-pai, dan selain mahir ilmu silat Bu-tong-

pai, setelah dipilih menjadi pengawal pribadi Bu Cek Thian, 

merekapun oleh permaisuri itu diperintahkan untuk memperdalam 

ilmu silat mereka dengan mempelajarinya dari jagoan-jagoan 

istana. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau mereka 

menjadi sepasang gadis kembar yang amat lihai. 

Kelihaian mereka terutama sekali terletak dalam kerja sama 

mereka yang amat kokoh dan erat. Mereka memiliki kepekaan 

satu sama lain yang tidak dimiliki orang lain. Ada semacam 

hubungan batin di antara mereka sehingga mereka itu seolah-

olah dapat saling mengerti kehendak dan dapat mengimbangi 

gerakan masing-masing seperti dua badan yang dikendalikan 

oleh satu pikiran saja.

“Li-hiap, sambutlah serangan kami!” seru Bi Hwa dan merekapun 

sudah bergerak maju. 

“Tahan!” tiba-tiba terdengar seruan Bu Cek Thian dan sungguh 

luar biasa sekali, begitu mendengar seruan ini, dua orang gadis 

yang sudah mulai melakukan serangan itu tiba-tiba mencelat ke 

belakang seperti dipagut ular berbisa. Demikian kuat dan penuh 

wibawa perintah dari permaisuri itu sehingga Liong-li yang 

tadipun sudah siap siaga memandang heran dan kagum.


242

“Bi Cu dan Bi Hwa, kalian ingat. Sekali-kali tidak boleh menyebut 

li-hiap kepadanya, apalagi di depan orang lain. Sebut saja 

namanya. Namanya Siauw Cu, mengerti?”

Dua orang wanita kembar itu memberi hormat dengan menekuk 

sebelah lutut di depan permaisuri itu dan dengan suara berbareng 

mereka berkata. “Baik, Yang Mulia. Hamba mentaati perintah.”

“Nah, sekarang seranglah, akan tetapi yang sungguh-sungguh. 

Kalau kalian mampu mengalahkan Siauw Cu, kalian akan kuberi 

hadiah!” kata sang permaisuri. yang duduk bersandar di kursinya 

dengan sikap santai dan sinar matanya berseri tanda bahwa 

hatinya gembira.

Kembali dua orang wanita kembar itu sudah menghadapi Liong-li 

dengan kuda-kuda mereka yang gagah. Mula-mula kedua kaki 

mereka dipentang miring dan kedua tangan di pinggang, lalu 

perlahan-lahan kaki kanan diangkat ke lutut kiri dan tubuh mereka 

tegak, lengan kanan tetap ditekuk di pinggang dan tangan kiri 

diangkat ke atas kepala dengan telunjuk menuding ke arah atas 

lurus, kepala miring menghadapi lawan.

“Majulah, enci berdua!” kata Liong-li dengan wajah berseri dan 

mulut tersenyum. Ia sama sekali tidak berani memandang 

rendah, akan tetapi juga sikapnya amat tenang seolah-olah ia 

merasa yakin bahwa dua orang pengeroyok itu tidak akan mampu 

mengalahkannya.

“Haiiittt......!” Bi Cu menyerang dengan luncuran tubuhnya yang 

menerjang ke depan dari kiri, tangan kanannya dengan jari 

terbuka menusuk ke arah dada kanan Liong-li.


243

“Hyaaattt......!” Bi Hwa juga berteriak dan sudah menerjang dari 

depan kanan dengan tendangan kakinya ke arah pinggang.

Menghadapi serangan dua orang yang dilakukan dengan 

berbareng ini, Liong-li bersikap tenang, memutar kedua lengan 

dari atas ke bawah untuk menangkis dua serangan itu.

“Plak! Plakk!” Kedua lengannya dapat menangkis tangan dan kaki 

dua orang lawannya, akan tetapi dua orang wanita kembar itu 

sudah memutar tubuh dan kembali menyerang dengan lebih 

cepat dan lebih kuat lagi. Kini Bi Cu mencengkeram ke arah 

pundak dan Bi Hwa menendang untuk membabat kaki lawan.

Liong-li meloncat menghindarkan sabetan kaki dan terus menarik 

tubuh ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman, dan 

ketika tubuhnya meloncat ke atas itu, kedua kakinya terpentang 

dan menyambar dengan kakinya ke arah dua orang lawannya 

yang berada di depan kanan kiri. Sungguh merupakan serangan 

yang aneh dan tidak terduga. Tidak mudah meloncat sambil 

melakukan tendangan kedua kaki pada saat yang sama ke arah 

dua jurusan ini. Namun tendangan itu cepat dan kuat sekali.

Hal ini dapat diketahui oleh dua orang wanita kembar itu yang 

tidak berani sembarangan menangkis, melainkan cepat 

melangkah mundur ke belakang untuk menghindarkan diri dari 

sambaran sepatu yang di bawahnya dipasangi baja itu.

Karena tendangannya tidak mengenai sasaran, tubuh Liong-li 

membuat pok-say (salto) sampai tiga kali di udara dan begitu 

turun, tubuhnya sudah menerjang ke arah kedua orang lawannya 

seperti seekor burung garuda menyambar!


244

“Bagus......!” seru Bu Cek Thian yang merasa kagum bukan main. 

Permaisuri ini tidak bisa ilmu silat, akan tetapi ia mengagumi 

keindahan gerakan Liong-li tadi, dari melayang ke udara, 

berjungkir balik tiga kali di udara kemudian turun menyambar 

seperti seekor burung garuda.

Dua orang wanita kembar juga cukup waspada, dan mereka 

sudah mengelak lagi dengan gesitnya. Begitu tubuh Liong-li 

turun, mereka sudah menyerang lagi dari kanan kiri dengan 

tenaga yang kuat sehingga pukulan atau tamparan tangan 

mendatangkan angin bersiutan.

Liong-li menghindarkan diri dengan mengelak atau menangkis, 

dan segera membalas dengan serangan yang tak kalah 

dahsyatnya. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan 

menarik.

Demikian cepat gerakan tiga orang wanita ini sehingga bagi 

pandang mata permaisuri Bu Cek Thian, sukarlah mengikuti 

bayangan tiga orang yang berkelebatan itu. Yang dapat ia 

bedakan hanyalah dua bayangan kuning berkelebatan di antara 

bayangan hijau karena Liong-li mengenakan pakaian berwarna 

kehijauan. Ia tidak tahu siapa yang mendesak, siapa pula yang 

terdesak.

Diam-diam dua orang gadis kembar itu terkejut setengah mati. 

Mereka berdua sudah memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan kalau 

hanya para pengawal istana saja, jangan harap akan mampu 

menandingi mereka kalau mereka maju bersama. Bahkan selama


245

ini, keamanan permaisuri terjamin karena mereka berdua tidak 

pernah meninggalkannya.

Akan tetapi sekarang, menghadapi Hek-liong-li, mereka sungguh 

menjadi bingung. Wanita itu dapat bergerak dengan kecepatan 

yang tak pernah mereka duga, bahkan juga tenaga Dewi Naga 

Hitam itu demikian kuatnya sehingga setiap kali mengadu tangan, 

mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang!

Di lain pihak, Hek-liong-li sendiri juga kagum. Dua orang wanita 

kembar ini memang pantas menjadi pengawal kepercayaan 

permaisuri, karena mereka berdua merupakan lawan yang cukup 

tangguh baginya. Kalau saja ia tidak memiliki gin-kang (ilmu 

meringankan tubuh) yang ditunjang ilmu langkah ajaib Liu-seng-

pouw, sukar baginya untuk dapat mengatasi pengeroyokan dua 

orang kembar yang memiliki kerja sama demikian baiknya.

Langkah-langkah ajaibnya membuat ia tidak pernah dapat 

tersentuh serangan mereka. Ia tidak berani menggunakan 

ilmunya yang ampuh dan mematikan seperti Hiat-tok-ciang 

karena ia tidak mau melukai atau membunuh mereka, maka kini 

ia merobah ilmu silatnya dan mulai memainkan ilmu silat Bi-jin-

kun (Silat wanita cantik). Begitu ia mainkan ilmu silat ini, dengan 

gerakan diperlambat, sang permaisuri bertepuk tangan dan 

memuji.

“Bagus! Indah sekali......! Hei, Siauw Cu, engkau ini sedang 

berkelahi atau sedang menari?”

Memang Bi-jin-kun merupakan ilmu silat tangan kosong yang 

gerakannya seperti orang menari, indah dan lembut. Namun di


246

balik kelembutan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat 

sehingga ketika pada suatu saat ia mendorongkan kedua 

lengannya dengan gerakan lemah gemulai, dua orang lawannya 

itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, hampir saja 

terjengkang!

Melihat ini, Bu Cek Thian segera bertepuk tangan dan berseru, 

“Sekarang kalian coba bermain pedang!”

“Singgg! Singgggg!” Nampak sinar putih berkilat ketika sepasang 

saudara kembar itu mencabut pedang mereka dari punggung dan 

mereka memasang kuda-kuda dengan menyilangkan pedangnya 

di depan dada.

Melihat ini, Liong-li tersenyum. Ia harus memperlihatkan 

kemampuannya, bukan saja untuk membuat sang permaisuri 

percaya kepadanya, akan tetapi juga untuk menundukkan 

keangkuhan dua orang saudara kembar ini agar kelak tidak lagi 

berlagak di depannya.

“Singgg!” Sinar hitam yang menyilaukan mata nampak ketika ia 

mencabut pedangnya.

“Aihhh! Itukah Hek-liong-kiam?” seru sang permaisuri kagum.

“Benar, Yang Mulia. Inilah Pedang Naga Hitam!” jawab Liong-li 

sambil memberi hormat, lalu dengan pedang di depan dada, 

menuding lurus ke atas ia menghadapi dua orang wanita kembar 

itu.


247

“Siauw Cu, sambutlah pedang kami!” Bi Cu membentak dan 

bersama saudara kembarnya ia telah menggerakkan pedangnya. 

Dua gulungan sinar putih menyambar-nyambar dengan ganasnya 

dan terdengar suara kedua pedang itu mendesing-desing ketika 

meluncur dengan ganasnya.

Namun sekali ini Liong-li tidak mau main-main lagi. Ia dapat 

menduga bahwa pedang-pedang di tangan kedua orang 

lawannya itu bukan pedang biasa. Sebagai pelindung atau 

pengawal pribadi permaisuri, tentu saja mereka memiliki pedang 

pusaka yang ampuh dan kuat, maka ia tidak khawatir bahwa Hek-

liong-kiam akan merusak kedua pedang itu, asal ia tidak 

mempergunakan tenaga sin-kang terlampau kuat.

Melihat gerakan pedang mereka, ia semakin yakin bahwa mereka 

adalah ahli-ahli pedang dari Bu-tong-pai yang hebat. Dilihat dari 

gerakan mereka dan ketika bertanding dengan tangan kosong 

melawan tadi, ia tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang 

kembar ini sudah cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan 

tingkat ilmu silat Cian Ciang-kun agaknya.

“Trang-tranggg......!” Bunga api berpijar ketika ketiga pedang itu 

saling bertemu. 

Dua orang wanita kembar merasa betapa lengan kanan mereka 

tergetar hebat dan mereka terkejut sekali, meloncat ke belakang 

dan memeriksa pedang mereka. Sepasang pedang itu adalah 

pemberian Hong-houw, merupakan pusaka istana, maka tentu 

saja merupakan pusaka yang ampuh. Untung pedang mereka 

tidak rusak bertemu dengan pedang hitam di tangan Liong-li.


248

Mereka maju lagi dan menyerang dengan gerakan yang lebih 

dahsyat.

Akan tetapi, mereka segera menjadi terkejut sekali menghadapi

gulungan sinar pedang yang hitam dan amat kuatnya, seolah-

olah sinar pedang itu menggulung sinar putih dari kedua pedang 

mereka dan membuat mereka sama sekali tidak ada kesempatan 

untuk menyerang. Liong-li kini tidak main-main lagi dan ia sudah 

memainkan Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu 

ilmu pedang yang diciptakannya bersama Pek-liong-eng Tan Cin 

Hay.

Sebetulnya ilmu pedang ini merupakan ilmu simpanan dari Liong-

li dan tidak ia keluarkan kalau tidak perlu sekali. Akan tetapi sekali 

ini, walaupun dengan ilmu yang lain ia masih sanggup untuk 

menandingi dua orang gadis kembar, ia ingin memperlihatkan 

kepandaiannya kepada sang permaisuri agar percaya penuh 

kepadanya. Maka, ia mengeluarkan Sin-liong Kiam-sut itu dan 

begitu ia mainkan jurus-jurus ilmu ini, pedang hitamnya seperti 

berobah menjadi seekor naga hitam yang menyambar-nyambar 

dengan ganas dan dahsyatnya, seperti seekor naga hitam 

bermain-main di angkasa. 

Dua gulungan sinar pedang putih itu semakin menyempit dan 

akhirnya tergulung sama sekali.

“Trangg! Trangggg......!” Dua orang gadis kembar itu terhuyung ke 

belakang dengan muka pucat karena ronce-ronce pedang 

mereka telah terbabat putus, dan mereka mengerti bahwa kalau 

tadi terjadi perkelahian yang sungguh, tentu mereka berdua


249

sudah termakan pedang hitam di tangan lawan yang jauh lebih 

pandai dari mereka itu.

“Kami mengaku kalah!” mereka berdua menjura kepada Liong-li, 

lalu berlutut menghadap Bu Cek Thian. “Hamba berdua telah 

kalah, siap menerima hukuman.”

Akan tetapi Bu Cek Thian tidak marah, bahkan tersenyum lebar 

dengan wajah gembira.

“Kalian tidak perlu penasaran dikalahkan oleh Hek-liong-li yang 

namanya sudah terkenal di seluruh dunia persilatan. Kembalilah 

ke tempat kalian!”

Dua orang itu menghaturkan terima kasih lalu pergi kembali

berdiri di belakang sang permaisuri itu, pandang mata mereka kini 

tidak angkuh lagi dan bahkan mereka kini memandang kagum 

kepada Liong-li.

“Siauw Cu, simpan pedangmu baik-baik, agar jangan sampai 

diketahui orang lain. Berikan kepadaku, biar aku yang 

menyembunyikannya dan engkau boleh menggunakan jika perlu 

saja.”

Liong-li tidak berani membantah, lalu memberikan Hek-liong-kiam 

bersama sarungnya kepada permaisuri itu. Bu Cek Thian 

menyimpan pedang itu di dalam lubang yang berada di bagian 

bawah kursinya sehingga tidak nampak dari luar karena ada 

tutupnya.


250

Liong-li memandang kagum. Kiranya kursi berukir yang indah itu 

mengandung alat-alat rahasia pula untuk melindungi keselamatan 

sang permaisuri yang amat cerdik itu.

Baru saja Permaisuri Bu Cek Thian menyimpan Hek-liong-kiam, 

dua orang dayang memasuki ruangan itu sambil berlarian dan 

cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Cek Thian. 

Permaisuri itu seketika menjadi merah wajahnya dan matanya 

mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada dua 

orang dayang yang berlutut dengan tubuh gemetar dan muka 

pucat itu.

“Apakah kalian sudah bosan hidup? Berani masuk tanpa kami 

perintahkan?”

“Ampun, Yang Mulia, ampunkan hamba...... di luar ada pangeran 

Souw Cun yang memaksa masuk. Para penjaga dan dayang 

telah berusaha untuk menghalanginya, namun hamba semua 

mendapat pukulan dan tendangan......”

Belum habis dayang itu melapor, terdengar seruan marah di luar 

ruangan itu. “Kalian berani menghalangi aku? Mau mati??”

Dan muncullah seorang pria berpakaian mewah memasuki 

ruangan itu dengan sikap marah, akan tetapi begitu dia melihat 

Permaisuri Bu Cek Thian, dia cepat merubah sikapnya. Dengan 

sikap sopan dan lembut dia lalu menghampiri dan memberi 

hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di 

depan dada. Dia membungkuk sampai dalam di depan wanita 

yang anggun dan berwibawa itu.


BERSAMBUNG BAGIAN 2






Share:

0 comments:

Posting Komentar