1
SI BAYANGAN IBLIS
Asmaraman S Kho Ping Hoo
Derap kaki kuda yang berlari congklang
memecah kesunyian pagi itu di luar kota
Lok-yang. Hari masih terlalu pagi dan
hawa udara dinginnya bukan main,
membuat para petani yang biasa bangun
pagi, merasa malas untuk meninggalkan
rumahnya, terutama sekali meninggalkan api unggun atau
perapian di dalam rumah yang dapat menghangatkan dan
menyamankan badan. Musim semi menjelang tiba dan hawa
dingin musim lalu masih tertinggal.
Demikian dinginnya hawa udara pagi itu sehingga para ibu rumah
tangga yang hendak memasak sesuatu dengan minyak, harus
lebih dahulu mendekatkan tempat minyak ke api karena
minyaknya telah membeku. Hawa dingin menyusup tulang, maka
banyak orang dusun di dalam rumah mereka merasa heran dan
kagum mendengar derap kaki kuda tunggal itu. Begini dingin
menunggang, kuda, pikir mereka. Alangkah akan di¬nginnya bagi
si penunggang.
Memang penunggang kuda itu patut dikagumi. Dia seorang pria
berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Orangnya sungguh patut
menunggang kuda yang tinggi besar dan gagah itu. Pria itu
berperawakan agak tinggi, tubuhnya tegap dengan dada yang
bidang. Dia menunggang kuda dengan tubuh tegak lurus,
pinggangnya bergerak lemas sesuai dengan larinya kuda yang
2
congklang. Dari cara dia duduk itu saja mudah diketahui bahwa
dia seorang ahli menunggang kuda.
Pakaiannya seperti pakaian orang kota, tidak pesolek, namun
pakaian itu terbuat dari kain yang kuat dan nampak bersih,
bajunya berwarna biru muda dan celananya kehijauan. Ikat
pinggangnya kuning cerah seperti kain pengikat rambut
kepalanya. Wajah pria ini sungguh mengesankan sebagai
seorang pria yang jantan dan gagah perkasa.
Wajah itu bentuknya hampir persegi karena dagunya yang siku
dengan lekuk yang dalam dan membuat dagu itu nampak keras
dan kuat, ditumbuhi jenggot yang terpelihara, hanya sedikit saja
di ujung dagu sedangkan lainnya dicukur licin. Mulutnya selalu
membayangkan senyum penuh pengertian, dan kadang giginya
nampak berkilat putih dan berjajar rapi.
Di antara hidung dan mulutnya tumbuh kumis, juga lebat akan
tetapi terawat rapi, dicukur sebagian dan yang dibiarkan tumbuh
hanya sepanjang bibir atas, dengan kedua ujungnya meruncing
agak ke atas. Hidungnya besar dengan bukit hidung yang tinggi
dan ujungnya mancung.
Sepasang matanya lebar dan hampir bulat dengan sinar yang
tajam dan cerdik. Sepasang mata ini dilindungi sepasang alis
yang menarik perhatian karena amat tebal dan hitam sekali.
Rambutnya juga hitam dan lebat, digelung ke atas dan diikat
dengan kain berwarna kuning. Wajah pria ini lebih tepat disebut
jantan dan gagah dari pada tampan. Wajah yang membuat hati
3
setiap orang wanita yang mengagumi kegagahan dan kejantanan
akan menjadi terguncang dan tertarik.
Kini dia dan kudanya sudah meninggalkan dusun dan kota Lok-
yang yang berada di balik bukit kecil di depan yang nampak
dipenuhi pohon itu. Agaknya bukit itu subur dan berhutan. Dia lalu
menyentuh perut kudanya dengan tumit, menyuruh kuda itu uutuk
berlari cepat mendaki bukit. Ketika dimasuki hutan yang lebat itu,
kembali dia membiarkan kudanya berjalan seenaknya. Masih
terlalu pagi, pikirnya, tidak perlu tergesa-gesa.
Tiba-tiba, di bagian yang agak terbuka dari hutan itu, dia melihat
dua orang berloncatan keluar dari balik batang pohon. Dua orang
laki-laki yang memegang golok dan dari sikap mereka, dia dapat
menduga bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik. Benar saja
dugaannya. Dua orang yang kelihatan kasar dan berwajah bengis
itu, berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sudah
menghadangnya dan seorang di antara mereka membentak
nyaring.
“Berhenti!!”
Pria itu menahan kudanya dan memandang kepada kedua orang
yang menghadangnya dengan senyum mengejek akan tetapi
sinar matanya penuh teguran.
“Hemm, siapakah kalian dan mengapa pula menahan
perjalananku?”
4
“Tak perlu banyak cakap!” bentak orang kedua yang matanya
sipit sekali. “Turun dari kudamu dan berikan kuda itu kepada
kami, barulah kau boleh melanjutkan perjalananmu!”
“Ehh? Kuda ini adalah kudaku sendiri, kenapa harus diberikan
kepada kalian?”
“Cerewet benar kau! Turun, atau kami harus memaksamu?
Engkau lebih suka mampus di bawah golok kami dari pada
menyerahkan kuda?” bentak orang pertama yang bermuka hitam.
Kini sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar keras dan
sepasang alis yang hitam tebal itu berkerut. “Hemm, kiranya
kalian ini adalah dua orang perampok, ya? Tidak tahukah kalian
bahwa sejahat-jahatnya pencuri, mencuri kuda merupakan dosa
yang paling berat, dan sejahat-jahatnya perampok, merampok
kuda juga dapat dihukum berat, dihukum mati?”
Dua orang perampok itu menjadi marah. Mereka saling pandang
dan mengangguk, sebagai isyarat bahwa mereka tidak akan
bicara lagi, melainkan turun tangan saja terhadap calon korban
yang banyak cakap itu. Dengan golok terangkat tinggi, kedua
orang perampok itu menyerbu ke depan. Akan tetapi pria yang
gagah itu nampak tenang saja, lalu berseru sambil menepuk leher
kudanya.
“Hek-ma (Kuda Hitam), hajar dua ekor anjing ini!”
Kuda tinggi hesar yang disebut Hek-ma itu tiba-tiba
mengeluarkan suara meringkik nyaring dan mengangkat kedua
kaki depan ke atas, dan dengan garangnya ia menubruk ke arah
5
dua orang itu! Tentu saja dua orang perampok itu terkejut bukan
main.
Mereka berlompatan ke sisi untuk menghindar, akan tetapi
sebelum mereka sempat menyerang lagi, laki-laki perkasa itu
sudah memajukan kudanya dan kakinya menyambar dua kali
berturut-turut dengan kedua kakinya, dan dua orang perampok itu
terlempar dan golok mereka terpental. Mereka terlempar dan
terbanting keras, lalu bangkit kembali dan lari pontang panting
sambil terpincang-pincang!
Pria itu tertawa bergelak, suara ketawanya bebas lepas dan
nyaring. Anehnya, kuda hitam itupun mengeluarkan suara
meringkik seperti ikut tertawa bersama penunggangya. Jelas
bahwa kuda itu merupakan seekor binatang tunggangan yang
terdidik baik dan agaknya sudah biasa menghadapi pertempuran.
Memang demikianlah, pria itu adalah seorang panglima yang
amat terkenal di kota raja Dia bernama Cian Hui, akan tetapi lebih
dikenal dengan sebutan Cian Ciang-kun (Perwira Cian). Baru
setahun lebih lamanya dia bertugas sebagai seorang panglima
muda dari pasukan keamanan di kota raja yang bertugas
menjaga keamanan kota raja dan sekitarnya, memberantas
kejahatan yang terjadi di daerah kota raja. Bahkan dia sering
dikirim oleh pemerintah pusat untuk melakukan penyelidikan ke
daerah-daerah, membikin terang perkara yang gelap dan dia
lebih banyak dikenal sebagai seorang penyelidik yang ulung dari
pada seorang panglima muda pasukan keamanan di kota raja.
6
Sebelum menduduki jabatannya yang sekarang, Cian Ciang-kun
adalah seorang perwira dalam pasukan perang yang terkenal
gagah perkasa dan berani. Akan tetapi, setahun lebih yang lalu,
ketika dia sedang melaksanakan tugasnya sebagai perwira,
bersama pasukannya membasmi pemberontakan di daerah utara,
terjadilah malapetaka menimpa keluarganya.
Isteri dan anak tunggalnya yang baru berusia duabelas tahun,
ketika melakukan perjalanan ke dusun untuk menengok keluarga,
dihadang perampok dan biarpun duabelas orang pengawal
melakukan perlawanan sengit, akhirnya mereka semua tewas.
Isteri dan anak Cian Ciang-kun juga tewas!
Setelah mendengar akan malapetaka ini, Cian Hui segera
menghadap atasannya dan dia mohon agar diperbolehkan
bekerja sebagai pemberantas para penjahat dan tidak lagi
menjadi perwira pasukan perang. Kalau tidak diperkenankan, dia
akan keluar dari pekerjaannya untuk memberantas kejahatan
seorang diri saja. Permintaannya dikabulkan dan mulailah Cian
Ciang-kun dikenal sebagai seorang penyelidik dan pembasmi
kejahatan yang gigih.
Setahun setelah dia menjadi seorang panglima pasukan
keamanan, dia telah melakukan pembersihan terhadap para
penjahat dengan tegas dan keras sehingga kota raja dan
sekitarnya menjadi aman. Tidak ada lagi penjahat berani beraksi
karena setiap kali terjadi kejahatan, Cian Ciang-kun tidak akan
berhenti menyelidik dan berusaha untuk menangkap penjahatnya
dan menghukum berat, kalau perlu dibunuhnya seketika! Tanpa
ampun darinya bagi para penjahat!
7
Demikianlah keadaan Cian Hui atau Cian Ciang-kun. Sampai
sekarang, setahun lebih setelah dia kehilangan isteri dan anak
tunggalnya, dia tidak mau menikah lagi, tinggal menduda. Bahkan
dia tidak mau mengambil selir. Dan kawannya yang paling setia
dalam menunai tugasnya adalah Si Hitam itu, kuda hitam yang
tinggi besar dan kuat.
Para penjahat mengenal nama besar Cian Ciang-kun dan mereka
semua tahu bahwa selain gigih menentang kejahatan, memiliki
pasukan keamanan yang besar jumlahnya dan yang mentaatinya,
juga panglima ini memiliki kecerdikan dan memiliki ilmu silat yang
tinggi. Kalau sedang berpakaian seragam atau sedang dinas, dia
selalu membawa pedang sebagai tanda pangkat dan juga
sebagai senjata. Akan tetapi, kalau dia berpakaian preman, dia
tidak pernah membawa pedang dan sebagai gantinya, untuk
menjadi bekal senjatanya adalah sebatang suling baja yang
terselip di pinggang dan tersembunyi dibalik bajunya.
Cian Ciang-kun mentertawakan dua orang perampok yang lari
tunggang langgang itu. Dua orang penjahat kecil yang tidak
memiliki kemampuan apapun seperti mereka itu sudah berani
mencoba untuk merampok kuda orang! Sungguh tak tahu diri,
pikirnya.
Ketika dia hendak menjalankan lagi kudanya, tiba-tiba dia melihat
serombongan orang berlari ke arahnya dari depan. Belasan orang
yang kesemuanya memegang golok. Orang-orang yang berwajah
bengis dan jahat! Dan dia melihat pula dua orang yang tadi telah
dibuatnya lari tunggang langgang.
8
Mengertilah dia kini mengapa dua orang itu tadi berani
merampok, kiranya mereka itu mempunyai banyak kawan!
Melihat ada tigabelas orang yang tentu akan mengeroyoknya,
Cian Ciang-kun khawatir kalau-kalau kudanya terluka. Maka dia
pun dengan sikap tenang namun cepat meloncat turun dari
kudanya dan membiarkan kudanya di tempat itu, sedangkan dia
sudah berlari ke depan menyambut mereka yang mengacung-
acungkan golok dengan sikap beringas itu.
Melihat betapa orang tinggi tegap itu kini meloncat turun dari kuda
dan menyambut mereka dengan sikap tenang dan di tangannya
tidak nampak adanya senjata, para perampok itu menjadi lebih
berani. Sambil berteriak-teriak, mereka datang menyerbu.
“Tahan......!” Bentakan menggeledek dari Cian Ciang-kun
mengejutkan mereka dan tigabelas orang itu, biarpun dengan
sikap masih beringas dan bengis mengancam, berhenti di
depannya dan memandang kepadanya. Bentakan tadi memang
berwibawa sekali dan mempengaruhi mereka.
“Aku adalah seorang yang kebetulan lewat di sini dan sedang
menuju ke Lok-yang, siapakah kalian ini dan mengapa kalian
mengganggu aku?”
Seorang yang bermuka berewok dan bertubuh tinggi besar,
agaknya pemimpin mereka, berkata dengan suara parau.
“Engkau telah berani memukul dua orang kawan kami!”
“Ah, begitukah? Akan tetapi, mereka itu hendak merampas
kudaku!” Cian Ciang-kun, pura-pura tidak tahu bahwa dia
berhadapan dengan segerombolan perampok.
9
“Sekarang, bukan hanya kudamu yang harus diserahkan kepada
kami, akan tetapi juga nyawamu!” bentak si berewok, lalu dia
memberi komando kepada teman-temannya, “Keroyok dan bunuh
dia!!”
Hujan senjata golok dan pedang menyambar dari segala jurusan.
Akan tetapi, begitu tangan kanan Cian Ciang-kun bergerak, dia
telah mencabut suling bajanya dan begitu dia menggerakkan
senjata aneh ini, terdengar bunyi melengking seolah-olah suling
itu ditiup dan terdengar suara nyaring, Tiga batang golok terpental
dan tiga orang pengeroyok terhuyung.
Cian Ciang-kun tidak mau dikepung di tengah. Dia membobol ke
kiri dan menangkis tiga batang golok dengan sulingnya, membuat
golok-golok itu terpental dan tiga orang pemegang golok
terhuyung, saking kerasnya tangkisannya tadi. Sebelum mereka
sempat mengepung lagi, Cian Ciang-kun sudah menerjang
bagaikan seekor garuda, dan yang diserangnya adalah si muka
berewok! Kepalanya harus ditundukkan dulu, pikirnya.
Si berewok memegang sebatang golok besar yang kelihatan
berat. Melihat betapa Cian Ciang-kun menyerangnya dengan
totokan suling, si berewok sudah menggerakkan goloknya
menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Trangg.....!” Golok itu terpental dan hampir terlepas dari
pegangan tangan perampok berewok itu. Dia terkejut setengah
mati, tubuhnya terdorong ke belakang. Akan tetapi pada saat itu,
empat orang pengeroyok telah mengayun senjata mereka
menyerang Cian Ciang-kun.
10
Terpaksa perwira yang gagah perkasa ini memutar sulingnya
menangkis dan kembali empat batang golok dan pedang
terpental. Kakinya menendang beruntun dan robohlah tiga orang
lagi. Pada saat itu, golok besar di tangan si berewok sudah
menyambarnya dari belakang. Cian Hui miringkan tubuhnya dan
golok besar lewat di sampingnya. Tangan kirinya menampar
dengan kerasnya.
“Bukkk!!” Punggung si berewok terkena tamparan tangan kiri Cian
Hui dan diapun roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Pingsan!
Melihat kehebatan calon korban itu, para perampok menjadi
gentar sekali dan mereka lalu menyelamatkan si berewok,
menepang mereka yang tadi terpelanting, dan merekapun lari
cerai berai ke hutan lebat.
Cian Hui tidak mengejar, hanya berdiri tegak sambil tertawa. Dia
menyimpan kembali sulingnya, lalu duduk di atas batu, di dekat
kudanya yang sejak tadi nampak tenang- tenang saja. Memang
Kuda Hitam atau Si Hitam itu sudah biasa menghadapi
pertempuran, bahkan sering dibawa berperang ketika Cian Ciang-
kun masih memegang kedudukannya yang dahulu, maka
menghadapi perkelahian tadi, dia sama sekali tidak menjadi
panik. Kuda itu tenang-tenang saja, akan tetapi jangan coba
mendekatinya. Kalau dalam keadaan seperti itu ada orang asing
mendekatinya, tentu dia akan menggigit atau mempergunakan
kakinya untuk menyepak.
Cian Ciang-kun menarik napas panjang. Di mana-mana terdapat
orang-orang jahat, pikirnya. Dia tadi sengaja bersikap lunak, tidak
membunuh karena merasa bahwa dia berada di luar daerah
11
pertanggungan jawabnya. Kalau peristiwa perampokan tadi
terjadi di daerah kota raja, tentu dia akan bersikap lebih keras,
mungkin dibunuhnya mereka atau setidaknya akan dilumpuhkan,
ditangkap dan dijebloskan penjara. Dia merasa heran sekali.
Bagaimana di luar kota Lok-yang terdapat gerombolan perampok
seperti itu? Bagaimana kewibawaan para pejabat Lok-yang? Dia
mencatat hal ini, dan dia akan menegur para pejabat keamanan
di Lok-yang. Biarpun dia tidak bertanggung jawab, namun dia
berhak menegur mereka, karena dia adalah seorang petugas
keamanan dari kota raja yang mengenal dan dikenal semua
pejabat pusat.
“Hemm, salahkah pendengaranku tentang Hek-liong-li?” katanya
kepada dirinya sendiri.
Dia mendengar bahwa Hek-liong-li adalah seorang pendekar
wanita, atau setidaknya seorang wanita yang menentang
kejahatan dan yang tinggal di Lok-yang. Kabarnya, wanita itu
ditakuti seluruh penjahat bahkan namanya terkenal luas di dunia
kang-ouw. Akan tetapi mengapa gerombolan yang hanya
merupakan penjahat-penjahat kecil tadi, yang tidak memiliki
kemampuan untuk menjadi penjahat besar, masih berani beraksi
di luar kota Lok-yang? Andaikata mereka itu berani menghadapi
para petugas keamanan, apakah mereka tidak takut kepada Hek-
liong-li yang kabarnya amat keras dan tidak mengenal ampun
terhadap penjahat?
“Jangan-jangan Hek-liong-li hanya namanya saja yang besar,
akan tetapi sesungguhnya hanya seorang pendekar wanita biasa
12
saja. Kalau begitu sungguh sia-sia aku membuang waktu dan
tenaga datang ke sini.......” berbagai dugaan timbul di dalam hati
Cian Ciang-kun yang sudah bangkit lagi untuk melanjutkan
perjalanan.
Akan tetapi, kembali dia tertegun karena mendengar suara ribut-
ribut di sebelah depan dan seperti tadi, kembali dia melihat
belasan orang berlarian menuju ke tempat itu. Dia mengenal
beberapa orang di antara belasan orang penyerangnya yang tadi.
Timbul kemarahan di hatinya. Orang-orang keparat itu tidak tahu
diri, pikirnya. Sekali ini dia tidak akan bersikap lunak lagi. Dia
akan memberi hajaran keras, kalau perlu membunuh pemimpin
mereka! Maka, diapun sudah siap berdiri dengan suling di tangan!
Yang datang memang orang-orang tadi, akan tetapi di antara
mereka nampak dua orang yang berpakaian serba hitam dan
memakai kedok hitam pula! Kedok itu hanya merupakan kain
hitam yang menutupi kepala dan hanya ada dua buah lubang
untuk melihat, dan lubang hidung untuk bernapas. Tubuh dua
orang ini tinggi besar dan keduanya memegang sebatang pedang
yang berkilauan saking tajamnya.
Begitu tiba di depan Cian Ciang-kun, para perampok itu
mengepungnya, akan tetapi tidak menyerang seperti tadi hanya
mengepung dalam lingkaran lebar sehingga kudanya juga ikut
dikepung. Yang meloncat maju adalah seorang di antara dua
orang berpakaian serba hitam berkedok hitam itu, yang tubuhnya
lebih kurus. Begitu meloncat ke depan, orang sudah
menggerakkan pedangnya.
13
“Singgg......!” Nampak sinar berkelebat dan bunyi berdesing
nyaring. Cian Ciang-kun maklum bahwa orang ini lihai, terbukti
dari gerakan pedangnya yang demikian cepat dan kuat. Diapun
menggerakkan suling bajanya dan menangkis sambil
mengerahkan tenaganya untuk membuat pedang itu terpental.
“Trangggg......!!!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan sekali
ini Cian Hui terkejut bukan main. Ketika sulingnya bertemu
dengan pedang dia merasa betapa tangan kanannya tergetar
hebat dan sulingnya terpental walaupun orang berkedok itupun
berseru kaget dan pedangnya terpental pula.
Kiranya mereka memiliki tenaga yang seimbang! Cian Hui
memeriksa sulingnya. Tidak rusak dan dia mengangkat muka
memandang.
Orang itu sudah melintangkan pedang di depan dada. Sebatang
pedang yang bentuknya agak melengkung dan hanya tajam
sebelah, gagangnya panjang, tiba-tiba orang itu mengeluarkan
teriakan melengking panjang dan dia sudah menerjang secepat
kilat dengan cara penyerangan pedang yang aneh karena dia
memegang gagang pedang itu dengan kedua tangannya! Bukan
main cepatnya pedang itu menyambar dan amat kuat karena
menggunakan kedua tangan. Ketika Cian Hui cepat meloncat ke
samping untuk mengelak, pedang itu membuat gerakan
melengkung dan sudah datang lagi menyambar dari arah yang
berlawanan dibarengi teriakan lain yang mengguntur!
“Hemmm......!” Cian Ciang-kun kembali mengelak sambil
menggerakkan sulingnya menangkis dari samping. Kembali
14
terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar. Karena tidak
ingin diserang terus menerus, ketika orang itu untuk ketiga
kalinya membuat gerakan melengkung dengan pedangnya
sehingga pedang itu kembali menyambar, Cian Hui melompat ke
kanan dan tiba-tiba membalikkan, tubuhnya, membalas dengan
serangan sulingnya yang menusuk ke arah mata orang itu.
Sepasang mata yang tajam mengintai dari balik ke dua lubang.
Akan tetapi ternyata orang itupun dapat bergerak lincah sekali.
Dia sudah merendahkan tubuhnya. Namun, suling di tangan Cian
Hui sudah melanjutkan serangan dengan memukul ke bawah, ke
arah ubun-ubun kepala! Orang itu meloncat ke belakang, lalu
membalas dengan serangan pedangnya yang kadang-kadang
dipegang dengan satu tangan, kadang-kadang dengan dua
tangan itu.
Terjadilah perkelahian yang bukan main seru dan dahsyatnya.
Orang itu memiliki ilmu silat yang aneh, namun harus diakui oleh
Cian Hui bahwa lawannya itu pandai sekali. Diapun segera
mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu silatnya,
juga silat pedang yang dimainkan dengan suling.
Ilmu silat yang dimainkan Cian Hui adalah ilmu silat keluarga Cian
yang turun temurun, dari aliran utara bercampur dengan aliran
pantai timur karena nenek moyangnya berasal dari Shan-tung.
Ilmu silat keluarga Cian ini mengandalkan kekuatan dan keuletan,
memiliki daya pertahanan yang amat kuat walaupun kurang
lincah dalam daya penyerangan.
15
Pertandingan itu sungguh amat seru dan setelah lewat limapuluh
jurus, tahulah Cian Hui bahwa dirinya berada dalam bahaya. Baru
menandingi seorang lawan saja, dia hanya mampu
mengimbanginya. Pada hal, lawannya ini masih mempunyai
seorang kawan yang juga berkedok, dan anak buah mereka ada
belasan orang! Akan tetapi, Cian Hui adalah seorang laki-laki
sejati yang gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar
menghadapi bahaya maut.
Hanya satu yang ditakuti di dunia ini, yalah melakukan perbuatan
sesat! Selama dia berada di pihak yang benar, dia akan membela
diri sampai titik darah terakhir! Maka, diapun tidak mau
memikirkan apa-apa lagi kecuali mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk mengalahkan lawannya yang amat lihai itu.
Agaknya, lawannya juga penasaran sekali dan dari gerakannya
yang amat ganas, mudah diduga bahwa orang berkedok itu
marah bukan main. Serangannya semakin ganas dan semua
ditujukan untuk membunuhnya.
Tiba-tiba orang berkedok ke dua berkata, “Jangan bunuh dia! Kita
membutuhkan dia hidup-hidup!”
Setelah berkata demikian, orang berkedok ke dua yang lebih
besar tubuhnya itu sudah terjun ke dalam pertempuran dan diam-
diam Cian Hui mengeluh. Orang itu memiliki gerakan yang lebih
gesit daripada lawan pertama! Menghadapi desakan kedua
pedang yang digerakkan secara aneh itu, Cian Hui hanya mampu
melindungi dirinya dengan ilmu silatnya yang amat kuat di segi
pertahanan. Sulingnya diputar seperti perisai yang melindungi
seluruh tubuhnya.
16
“Tempel sulingnya!” tiba-tiba orang ke dua itu berseru.
Orang pertama menggerakkan pedangnya dengan kuat, ditangkis
oleh suling Cian Hui. Perwira ini terkejut karena tiba-tiba, ketika
sulingnya bertemu pedang, kedua senjata itu saling melekat! Dia
mengerahkan tenaga untuk melepaskan suling dari pedang
lawan, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri orang ke dua sudah
menyambar tengkuknya.
“Plakk!” Cian Hui roboh pingsan!
◄Y►
Cian Hui merasa bahwa dia menunggang kuda, akan tetapi tidak
duduk seperti biasa, melainkan rebah menelungkup dan
melintang di atas seekor kuda! Bukan Si Hitam! Kuda biasa. Dia
mencoba menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi tidak
berhasil dan tahulah dia bahwa kaki tangannya terbelenggu dan
bahwa tubuhnya menelungkup dan melintang di atas kuda, diikat
dengan perut kuda!
Dia membuka matanya perlahan, melirik ke kanan kiri dan diapun
teringat. Dia telah menjadi seorang tawanan! Mereka itu kini
menunggang kuda semua, melalui hutan dan dia berada di
tengah-tengah.
Nampak pula olehnya dua orang berpakaian hitam dan berkedok,
juga menunggang kuda berada di depan. Seorang di antara
mereka menuntun Si Hitam. Diam-diam Cian Hui merasa lega.
Tentu tidak ada yang dapat menunggangi Si Hitam dan mungkin
sudah ada tadi yang terbanting jatuh ketika mencoba untuk
17
menunggang Si Hitam. Dan Si hitam kini mau dituntun karena
melihat dia berada pula di situ. Dan dia merasa semakin lega. Dia
tidak, dibunuh! Berarti ada harapan. Selagi masih hidup, dia tidak
akan pernah putus asa.
Kalau mereka menawannya, berarti mereka menghendaki dia
hidup dan teringatlah dia tadi akan ucapan mereka. Kata-kata
mereka terdengar asing walaupun mereka mempergunakan
bahasa daerah Lok-yang. Seorang di antara mereka, yang lebih
besar tubuhnya, melarang kawannya membunuhnya karena
mereka membutuhkan dia hidup-hidup! Untuk apa? Sukar
menduganya karena dia tidak mengenal siapa mereka.
Bersabarlah engkau, katanya kepada dirinya sendiri. Nanti
engkau tentu akan tahu. Dia mencoba tali-tali yang membelenggu
kaki tangannya. Amat kuat! Tidak ada harapan untuk meloloskan
diri sekarang. Lebih baik mengaso, menghimpun tenaga baru
karena dia merasa lelah sekali. Dia lalu membiarkan dirinya
lemas dan memejamkan kembali matanya.
Dia teringat akan tugasnya menuju ke Lok-yang. Mencari Hek-
liong-li! Dia belum pernah mengenal pendekar wanita itu, akan
tetapi dia sudah mencatat tentang Hek-liong-li. Menurut
keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li seorang wanita yang
cantik dan masih muda. Usianya sekitar duapuluh lima tahun.
Menurut keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li bersama
seorang rekannya yang juga amat terkenal bernama atau berjuluk
Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), sudah membuat nama
besar dengan membasmi banyak sekali penjahat terkenal. Di
18
antara para penjahat itu terdapat datuk-datuk sesat yang sakti,
yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam) dan Siauw-bin Ciu-
kwi (Setan Arak Muka Tertawa), dua orang di antara Kiu Lo-mo
(Sembilan Iblis Tua)! Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang
wanita muda berusia duapuluh lima tahun seperti Hek-liong-li
(Nona Naga Hitam) bersama Pek-liong-eng yang usianya hanya
beberapa tahun lebih tua, telah berhasil membasmi dan
membunuh dua orang di antara Kiu Lo-mo yang kabarnya
memiliki kesaktian yang luar biasa!
Untuk menenangkan hati dan melewatkan waktu, Cian Hui
melanjutkan lamunannya mengingat-ingat tentang Hek-liong-li
seperti yang didengarnya dari keterangan mereka yang pernah
mendengar tentang wanita perkasa itu. Keterangan itu tidak
menggambarkan wajah Hek-liong-li secara terperinci, hanya
mengatakan bahwa wanita itu cantik. Tinggalnya di dalam kota
Lok-yang di sebelah barat. Rumahnya besar dan indah, dan
pekarangannya luas. Ada kolam ikan di depan rumah itu, dengan
teratai dan di tengah kolam terdapat sebuah arca seorang puteri
cantik menunggang seekor angsa.
Hanya itulah yang dia ketahui tentang Hek-liong-li yang kabarnya
bernama Lie Kim Cu. Ada lagi berita yang dia dapat mengenai
wanita perkasa itu. Bahwa Hek-liong-li Lie Kim Cu dahulunya
adalah puteri seorang bangsawan tinggi di Lok-yang, seorang
bangsawan yang kabarnya melakukan korupsi karena gila judi
sehingga masuk penjara dan tewas di dalam penjara.
Betapa Lie Kim Cu, ketika itu masih seorang gadis berusia
enambelas tahun, menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong, seorang
19
pangeran keluarga kaisar yang berkedudukan di Lok-yang.
Kemudian, tidak jelas bagaimana beritanya karena tidak ada yang
tahu, tiba-tiba saja gadis itu sudah tidak menjadi selir Pangeran
Coan Siu Ong lagi dan tahu-tahu telah muncul sebagai seorang
wanita sakti pembasmi kejahatan!
Cian Ciang-kun, menghentikan lamunannya karena mereka telah
berhenti. Ketika dia membuka mata, dia melihat bahwa
rombongan itu berhenti di depan sebuah bangunan kuno, bekas
kuil yang sudah tidak dipergunakan lagi, yang berada di dalam
hutan.
“Turunkan dia dan bawa ke kamar ruangan belakang!” kata si
kedok hitam yang kurus.
Dua orang anggauta perampok segera menyeret tubuh Cian Hui
turun dari atas punggung kuda. Begitu dia diturunkan dan berdiri
dengan kaki tangan terbelenggu, terdengar ringkik kuda dan Si
Hitam sudah melepaskan diri dan lari menghampiri Cian Hui,
mencium-cium majikannya itu sambil meringkik-ringkik.
Dua orang anggauta perampok cepat menghampiri dan mereka
mencoba untuk memegang kendali kuda, akan tetapi sambil
meringkik marah, Si Hitam membalik dan menyepak mereka
sampai tubuh kedua orang itu terlempar beberapa meter jauhnya,
terbanting ke atas tanah dan mengaduh-aduh karena tulang iga
mereka ada yang patah! Cian Hui tersenyum senang, akan tetapi
lebih banyak perampok datang dan mereka mencabut senjata.
“Tenangkan kuda itu, kalau tidak akan kami bunuh!” tiba-tiba si
kedok hitam yang besar berkata kepada Cian Hui.
20
Cian Ciang-kun khawatir kalau sampai kudanya dibunuh, maka
diapun mengeluarkan suara bersiul panjang yang tadinya tinggi
lalu menurun. Itulah isyarat bagi Si Hitam untuk menjadi tenang,
dan kuda itupun tidak meringkik lagi, mengibas-ngibaskan
ekornya dan tidak membantah atau meronta ketika seorang
anggauta perampok memegang kendali dan menuntunnya.
Pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu
di situ telah berdiri dua orang wanita yang usianya sekitar
tigapuluh tahun, yang seorang berpakaian serba hijau dan orang
kedua berpakaian warna kuning. Mereka itu cantik manis dan
keduanya membawa keranjang kecil yang berisi beberapa
macam daun obat. Di punggung mereka tergantung sebatang
pedang.
“Heii, apa yang telah terjadi di sini?” tanya si baju hijau yang
mempunyai tahi lalat kecil di dahinya.
“Kenapa orang ini dibelenggu? Kalian ini siapa?” tanya yang
berpakaian kuning, yang hidungnya mancung.
Melihat munculnya dua orang wanita yang cantik itu, para
anggauta perampok saling pandang dan mereka menyeringai.
“Ha-ha, dua ekor kelinci datang menyerahkan diri kepada kita
yang memang sedang kelaparan!”
“Tangkap mereka dan malam ini kita berpesta!”
“Aduh manisnya! Siapa yang lebih dulu menangkapnya, dia yang
berhak mendapat bagian pertama!”
21
Bermacam-macam ucapan mereka yang nadanya menggoda,
kurang ajar dan bahkan cabul. Adapun dua orang berkedok hitam
itu hanya diam saja, memandang dari samping.
Dua orang wanita itu mengerutkan alisnya, dan mata mereka
yang jeli mengeluarkan sinar marah.
“Enci, mereka ini tentu penjahat-penjahat yang pantas dibasmi.
Mari kita hajar mereka!” bentak si baju kuning.
Akan tetapi, belasan perampok kasar itu, yang sudah terbiasa
melakukan perbuatan maksiat dan jahat, memandang kepada
kepala mereka, yaitu perampok yang berewok. Ketika kepala
perampok inipun hanya menyeringai saja, mereka menjadi berani
dan beramai-ramai belasan orang itu mengepung dua orang
wanita itu, seperti segerombolan srigala mengepung dua ekor
domba muda yang lunak dagingnya.
Akan tetapi, dua orang wanita itu sama sekali bukan dua ekor
domba muda yang lunak dagingnya, melainkan dua ekor harimau
muda yang ganas. Begitu keduanya bergerak, nampak bayangan
hijau dan kuning berkelebatan dan pada saat itu, belasan pasang
tangan dengan rakus hendak menerkam. Begitu dua orang
wanita itu menampar dan menendang, para perampok itu
mengaduh-aduh dan tubuh mereka berpelantingan!
Terkejutlah si berewok melihat betapa belasan orang anak
buahnya jatuh bangun dijadikan bulan-bulan tamparan dan
tendangan kedua orang wanita itu. Dia menggereng dan dengan
golok besarnya diapun maju menerjang. Akan tetapi, dia
disambut oleh wanita baju hijau yang sudah mencabut pedang
22
dari punggungnya, Terjadilah perkelahian yang seru antara si
berewok dan si baju hijau, sedangkan si baju kuning masih
mengamuk dikeroyok oleh para perampok.
Diam-diam Cian Hui menjadi kagum. Dua orang wanita yang
manis-manis dan kelihatan halus itu, yang tadinya membawa
keranjang memetik daun obat, ternyata dapat bergerak tangkas
dan ilmu silat mereka lihai juga!
“Nona-nona, hati-hati, si kedok hitam itu lihai sekali!” teriaknya
ketika melihat betapa dua orang berkedok itu melangkah maju.
“Kalian mundur semua!” bentak si Kedok Hitam yang bertubuh
kurus.
Para perampok, juga kepala perampok berewok, berloncatan
mundur dan kini dua orang bertopeng hitam itu menerjang maju
dengan tangan kosong.
Si baju kuning menangkis pukulan si kedok hitam dan ia
mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Dengan marah ia
mencabut pedangnya pula dan kini dua orang wanita itu dengan
pedang mereka menyerang dua orang berkedok hitam itu dengan
ganas.
Dua orang berkedok itupun sudah mengeluarkan senjata mereka,
pedang yang agak melengkung dan bergagang panjang dan
lewat belasan jurus saja, tahulah Chin Ciang-kun bahwa dua
orang gadis itu akan kalah. Mereka sudah repot dan main
mundur, hanya mampu mengelak dan menangkis saja.
23
Melihat ini, Cian Hui merasa khawatir bukan main. Dua orang
wanita itu jelas hendak menolong dirinya, maka kalau sampai
mereka itu roboh tewas atau terluka, apa lagi kalau sampai
terjatuh ke tangan srigala-srigala buas itu yang akan menerkam
dan merobek-robek daging mereka yang lunak, dia akan selalu
merasa menyesal karena dialah yang menjadi penyebabnya.
“Heii, dua orang sobat berkedok!” teriaknya lantang. “Tidak
malukah kalian menyerang dua orang gadis yang sama sekali
tidak bersalah? Mereka tidak ada hubungan sedikitpun dengan
aku. Kalau memang kalian gagah, jangan serang mereka dan
hayo lepaskan aku, biar kita bertanding sampai seribu jurus lagi!”
Biarpun kedua tangan dan kakinya dibelenggu, namun Cian
Ciang-kun masih dapat menggenjotkan tubuhnya ke atas dan
tubuh itupun melompat tinggi ke arah dua orang berkedok dan
dari atas, tubuhnya menubruk ke arah mereka dengan kedua kaki
yang terbelenggu lebih dahulu. Diapun berseru. “Nona-nona,
larilah kalian!”
Dua orang berkedok itu terkejut bukan main. Tak disangkanya
bahwa Cian Hui yang sudah terbelenggu itu masih mampu
melakukan penyerangan kepada mereka. Namun, tentu saja
serangan itu tidak ada artinya dan mereka cepat melompat ke
samping dan begitu tubuh Cian Ciang-kun turun, mereka
menendang dan Cian Hui roboh terjungkal, lalu ditangkap oleh
beberapa orang anak buah perampok yang menyeretnya ke
dalam bangunan bekas kuil itu. Akan tetapi, kesempatan itu
dipergunakan oleh dua wanita tadi untuk berloncatan dun
melarikan dini.
24
Dua orang berkedok hitam mencoba untuk melakukan
pengejaran, akan tetapi mereka merasa heran sekali melihat
betapa lincahnya dua orang gadis itu bergerak di dalam hutan itu,
seolah-olah mereka sudah hafal benar akan keadaan pohon-
pohon dan semak-semak di situ. Sebentar saja kedua nona itu
sudah lenyap.
Dua orang berkedok hitam, tidak berani mengejar terus. Mereka
kurang begitu hafal akan keadaan di hutan itu dan mereka
maklum bahwa menncari musuh di tempat yang demikian penuh
semak belukar, amat berbahaya. Maka, merekapun kembali ke
kuil tua dan membiarkan dua orang gadis itu lolos.
◄Y►
Rumah di sudut barat kota Lok-yang itu masih baru. Mungil dan
indah bentuknya, memiliki pekarangan yang luas di bagian depan
dan juga taman indah di sebelah kiri dan belakang. Kolam ikan
penuh bunga teratai di pekarangan depan itupun indah sekali.
Arca puteri cantik menunggang angsa amat halus pahatannya,
dengan sikap manja puteri itu merangkul leher angsa yang
panjang seperti membelai seorang kekasih.
Di sekeliling kolam tumbuh bunga-bunga mawar beraneka warna,
sehingga keharuman semerbak, menyegarkan hawa di
pekarangan itu. Beberapa buah bangku bercat merah hijau dan
biru yang mungil berada di bawah pohon-pohon yang rindang.
Sungguh pekarangan itu membuat orang akan merasa betah
berada di tempat itu. Rumah itu agaknya baru dipugar dan
diperbaiki, catnya masih baru. Temboknya berwarna putih bersih.
25
Jendela dan pintunya dicat berwarna hijau muda dengan garis-
garis merah. Manis sekali, akan tetapi juga menimbulkan kesan
anggun.
Dan melihat bentuk atapnya yang nampak dari luar, rumah itu
tentu amat luas di sebelah dalamnya. Batas pekarangan rumah
itu dengan para tetangga dikelilingi pagar tembok yang tingginya
tidak kurang dari dua meter dan di atas temboknya dipasangi
ujung tombak-tombak meruncing yang dicat merah.
Semua penghuni kota Lok-yang, tua muda, laki perampuan, tahu
belaka bahwa rumah yang indah ini adalah tempat tinggal Liong-li
(Nona Naga) atau yang mereka semua sebut dengan Li-hiap
(Pendekar Wanita) saja. Semua orang menghormatinya dan
mengaguminya, juga para pejahat karena wanita perkasa itu
dikenal sebagai seorang pembasmi kejahatan yang gigih.
Pengaruh Liong-li terhadap para penjahat lebih besar dari pada
pengaruh pasukan keamanan. Tidak ada penjahat yang berani
mencoba-coba untuk mendatangkan kekacauan di Lok-yang
hanya takut kalau sampai bentrok dengan Liong-li! Dan wanita itu
tinggal di situ bersama sembilan orang wanita lain yang menjadi
anak buahnya, pelayannya, juga pembantunya.
Sembilan orang wanita itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lihai
karena mereka digembleng sendiri oleh Liong-li. Merekapun
semuanya manis-manis, berusia antara tigapuluh tahunan dan
mereka ini mudah dikenal karena mereka selalu mengenakan
baju cerah berkembang dengan warna-warna menyolok. Ada
yang merah, hijau, kuning, biru dan sebagainya, tidak ada yang
26
sama sehingga kalau gadis-gadis itu berada di pekarangan depan
rumah melaksanakan pekerjaan membersihkan arca, kolam atau
menyapu pekarangan, mereka itu seperti kembang-kembang
besar beraneka warna menambah semarak pekarangan itu.
Akan tetapi pada siang hari itu, setelah dari luar nampak masuk
dua orang di antara. mereka yang berpakaian hijau dan kuning,
terdengar bunyi kelinting nyaring dari dalam dan semua
pembantu yang sedang bekerja, baik yang sibuk di dapur, di
taman belakang atau di pekarangan, segera memasuki rumah.
Suara keleningan nyaring merdu itu adalah tanda bahwa mereka
dipanggil menghadap nona mereka karena ada urusan yang amat
penting.
Mereka berada di sebelah dalam rumah, di ruangan belakang
yang luas. Ruangan ini luas sekali dan tidak terdapat banyak
perabot rumah, kecuali belasan buah bangku kecil di sudut di
mana mereka kini berkumpul. Dan di dekat bangku-bangku itu
terdapat pula sebuah rak berisi segala macam senjata.
Lantainya bersih, temboknya bersih dan hawanya cukup karena
ruangan ini mempunyai banyak jendela yang dibiarkan terbuka,
jendela yang menembus pada taman di belakang rumah. Bahkan
bau semerbak harum bunga memasuki ruangan.
Sebuah lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang amat baik. Bukan
hanya merupakan ruangan latihan silat, juga tempat ini
dipergunakan oleh nona majikan mereka untuk mengadakan
rapat dengan mereka apa bila terjadi perkara penting. Sebelum
mereka berkumpul di situ, tidak lupa mereka tadi menutup semua
27
pintu luar dan samping dan belakang sehingga tidak akan ada
orang luar yang dapat masuk mencuri dengar apa yang mereka
percakapkan di dalam ruangan berlatih silat itu.
Pada hal, mereka tidak pernah merasa khawatir akan ada orang
luar berani masuk tanpa ijin karena rumah itu dipasangi banyak
perangkap dan tanda-tanda yang akan memberitahu kepada
mereka apa bila ada orang asing masuk. Banyak alat rahasia
dipasang nona mereka. Salah injak lantai saja akan menimbulkan
bunyi kelenengan. Menyangkut sehelai benang halus dengan kaki
saja akan menimbulkan bunyi bel dan sebagainya. Belum lagi
perangkap yang akan membuat orang asing terjeblos ke dalam
lubang di bawah tanah dan banyak macam lagi.
Hek-liong-li Lie Kim Cu memang baru saja memugar dan
memperbaiki rumah tempat tinggalnya. Ia kini menjadi seorang
kaya raya. Setahun yang lalu, bersama Pek-liong-eng Tan Cin
Hay, rekannya, ia telah berhasil mendapatkan harta karun yang
tak dapat dinilai berapa besarnya, dan setelah membagi harta
karun itu dengan Pek-liong-eng, ia menjadi seorang yang kaya
raya.
Mungkin kekayaannya tidak kalah dibandingkan dengan hartawan
atau bangsawan terkaya di Lok-yang! Ia lalu memperbaiki
rumahnya, dan kini di dalam rumah itu bagaikan istana saja,
dengan perabot rumah yang serba indah dan mahal.
Ketika para gadis pembantunya yang oleh penduduk Lok-yang
disebut sebagai Hwa I Kiu-nio (Sembilan Nona Baju kembang)
berlarian datang memasuki ruangan latihan silat itu, Hek-liong-li
28
Lie Kim Cu atau disingkat Liong-li (Nona Naga) sudah berada di
situ, duduk di atas sebuah kursi gading yang indah sedangkan
dua orang di antara para pembantunya, yaitu yang berpakaian
kuning dan hijau sudah duduk di atas bangku, di depannya.
Wajah mereka nampak serius, membuat mereka yang
berdatangan merasa tegang.
Setelah sembilan orang pembantunya berkumpul dan duduk di
depannya dengan jajaran rapi, tenang dan penuh perhatian,
Liong-li berkata dengan lirih namun jelas.
“Aku memanggil kalian untuk mendengarkan pengalaman enci
Kuning dan enci Hijau.” Ia menoleh kepada dua orang pembantu
itu, “Kalian ceritakan kembali apa yang telah kaualami tadi.”
Liong-li selalu menyebut enci (kakak perempuan) kepada
sembilan orang pembantunya, dengan menyebutkan warna
pakaian mereka, dan sebaliknya, para pembantu itu menyebutnya
Li-hiap (Pendekar Wanita).
Dua orang pembantu itu lalu menceritakan pengalaman mereka
ketika mereka bertugas mencari daun-daun obat yang dibutuhkan
nona mereka ke Bukit Kuil. Bukit itu disebut Bukit Kuil karena ada
kuilnya yang kuno dan sudah tidak dipergunakan lagi itu. Di bukit
itu memang terdapat banyak tumbuh-tumbuhan obat dan kedua
orang wanita ini sudah hafal akan keadaan di dalam hutan di
bukit itu karena seringnya mereka ditugaskan mencari daun dan
akar obat.
Semua pembantu mendengarkan dengan asyik, dan Liong-li
sendiri, walaupun tadi telah menerima laporan, kini
29
mendengarkan lagi penuh perhatian dan ia duduk di atas kursi
gading itu sambil termenung. Bukan main cantiknya ketika ia
duduk seperti itu. Pakaiannya, yang terbuat dari sutera hitam itu
membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak putih dan
halus mulus, lebih putih dari pada warna gading kursi yang
didudukinya. Wajahnya yang bulat telur dengan dagu meruncing
itu nampak cerah.
Mulut yang kecil dangan bibir merah yang selalu basah itu tak
pernah ditinggalkan bayangan senyum. Lesung pipinya mudah
muncul, dan tahi lalat kecil di bawah mata kiri menjadi pemanis.
Seorang wanita berusia duapuluh lima tahun yang mungil, cantik
jelita dan manis.
Apa lagi melihat tubuh yang padat berisi itu, dengan lekuk
lengkung yang sempurna, menggairahkan dan penuh kewanitaan
yang hangat. Sukar membayangkan betapa di bawah kulit halus,
di dalam tubuh yang menggairahkan itu tersembunyi kekuatan
dahsyat dan ilmu silat yang maut! Rambutnya digelung tinggi,
dihias tusuk konde perak berbentuk seekor naga kecil di atas
bunga teratai.
Walaupun ia kaya raya, namun Liong-li tidak suka mengenakan
perhiasan emas permata yang serba mahal. Bahkan hiasan
rambutnya itu dari perak dan satu-satunya perhiasan yang
terhitung mahal hanya sebuah gelang batu kemala hijau yang
dipakai di lengan kirinya.
Setelah si baju hijau dan baju kuning selesai menceritakan
pengalaman mereka, tujuh orang pembantu lain mengerutkan
30
alis. Mereka kelihatan penasaran mendengar betapa dua orang
kawan mereka dikalahkan orang. Wanita baju ungu yang
merupakan pembantu tertua, segera berkata kepada Liong-li
dengan penuh semangat.
“Li-hiap, biarkan kami beramai pergi ke Bukit Kuil dan menghajar
kawanan perampok itu!”
Kawan-kawannya mengangguk membenarkan. Ingin mereka
menebus kekalahan dua orang kawan mereka!
Akan tetapi Liong-li menggeleng kepalanya. “Aku memanggil
kalian agar kalian tahu duduknya perkara. Akan tetapi, bukan
kewajiban kalian untuk menghadapi perkara ini, melainkan akan
kuhadapi sendiri. Ada dua hal amat menarik hatiku, yaitu adanya
dua orang berkedok hitam itu, dan pria yang menjadi tawanan itu.
“Kalau dua orang itu berkedok hitam, itu berarti bahwa mereka
hendak menyembunyikan keadaan diri mereka, dan jelas bahwa
mereka bukanlah perampok-perampok biasa. Tentu ada hal lain
tersembunyi, ada rahasia di balik semua.
“Apa lagi kalau diingat betapa mereka itu dalam belasan jurus
sudah mampu mendesak Huang-ci (Enci Kuning) dan Ching-ci
(enci Hijau ). Ingin aku membuka kedok mereka dan mengetahui
siapa mereka dan apa maksudnya mereka bersikap penuh
rahasia itu. Dan kedua adalah tawanan itu. Agaknya dia seorang
pendekar yang baik budi dan gagah perkasa!”
“Bagaimana Li-hiap dapat menduga demikian?” tanya si baju
ungu, juga yang lain ingin tahu karena mereka semua sudah
31
mengenal nona mereka yang selain lihai sekali ilmu silatnya, juga
amat cerdik.
“Hemm, mudah saja. Dia sudah menjadi tawanan dan dibelenggu
kaki tangannya, namun dia masih berani melawan, itu tandanya
dia gagah perkasa. Dia mencoba untuk menyelamatkan enci
Hijau dan enci Kuning dan menganjurkan mereka cepat melarikan
diri, ini menunjukkan bahwa dia seorang pendekar yang baik hati.
Tentu dia merasa bahwa kalau sampai kedua enci tertawan
musuh atau tewas, maka hal itu disebabkan karena kedua enci
berusaha menolongnya. Tentu hal itu akan mendatangkan
perasaan tidak enak di hati seorang pendekar.
Karena itu, selain ingin tahu, siapa adanya dua orang berkedok
hitam itu, akupun ingin tahu siapa adanya pria gagah perkasa itu.
Nah, kalian jagalah rumah baik-baik. Kalau ada tamu mencariku,
katakan bahwa sore nanti atau malam nanti aku tentu sudah
pulang. Nah, persiapkan air untuk mandi, beri wangi-wangian.
Aku ingin badanku sejuk dan segar dalam menghadapi
kemungkinan bahaya!”
Kurang lebih satu jam kemudian, Liong-li sudah keluar dari
rumahnya, mengenakan pakaian serba hitam dari sutera halus.
Kulit muka, leher dan tangannya nampak segar kemerahan
karena baru saja digosok dengan kuat ketika ia mandi.
Wanita ini hampir tidak pernah mempergunakan bedak atau
pemerah pipi dan bibir. Memang tidak perlu, kecuali kalau dalam
suatu peristiwa penting, misalnya kalau ia diundang ke dalam
pesta keluarga bangsawan di Lok-yang dan sebagainya.
32
Dalam keadaan biasa, ia tidak pernah menggunakan bedak dan
gincu. Kulit mukanya sudah cukup putih mulus dan segar
kemerahan. Kedua pipinya yang baru digosoknya ketika mandi
tadi nampak kemerahan seperti buah delima masak, sepasang
bibirnya juga sudah merah basah tanpa gincu.
Ia mengenakan baju yang agak longgar dan panjang sehingga
pedang Hek-liong-kiam yang tergantung tinggi di pinggangnya itu
tidak terlalu menyolok. Sepatunya juga berwarna hitam karena
pakaian yang serba hitam ditambah rambutnya yang juga amat
hitam itu, maka perhiasan rambut terbuat dari perak itu kelihatan
amat menyolok, juga kulitnya nampak putih mulus.
Begitu keluar dari rumahnya, tiada hentinya Liong-li harus
mengangguk dan tersenyum untuk membalas tegur sapa dan
penghormatan orang kepadanya yang mereka lakukan dengan
pandang mata hormat dan kagum. Ia lalu mengambil jalan kecil
yang sunyi agar jangan banyak terganggu, dan setelah berada di
luar kota Lok-yang, ia lalu cepat menuju ke Bukit Kuil yang
nampak dari situ.
Tak lama kemudian ia sudah mendaki bukit itu dan ketika tiba di
tepi hutan, ia meraih ranting pohon dan mengambil sebatang
ranting sebesar lengannya dan panjangnya kurang lebih satu
meter, lalu mempergunakan ranting kayu basah ini sebagai
tongkat.
Ia sudah mengenal baik bukit ini dan tahu di mana adanya kuil
tua itu. Bahkan ia melalui jalan setapak yang hanya dikenal oleh
33
orang yang sudah biasa melaluinya, jalan yang sukar akan tetapi
jauh lebih dekat dari pada kalau melalui jalan biasa yang lebar.
Sementara itu, Cian Hui atau Cian Ciang-kun dimasukkan ke
dalam sebuah ruangan di belakang kuil tua. Ruangan itu kotor
penuh debu dan sarang laba-laba. Dia duduk di atas lantai.
Kedua lengannya dibelenggu ke belakang pinggulnya, dan kedua
kakinya dibelenggu pula dengan rantai sehingga kedua kaki itu
hanya dapat direnggangkan selebar satu meter saja. Dia dapat
berjalan, akan tetapi gerakannya amat terbatas karena kedua
tangan diikat ke belakang.
Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya. Ketika dia melihat
bahwa dua orang wanita manis ini dapat lolos dari ancaman
bahaya, Cian Hui merasa girang bukan main. Dia hanya dibiarkan
duduk di dalam ruangan itu, tidak diganggu dan para perampok
itu hanya berjaga di luar ruangan, siap dengan senjata mereka.
Dua orang berkedok itu setelah melihat dia berada di ruangan itu,
lalu berkata kepada para perampok agar dia dijaga baik-baik
jangan sampai lari.
“Kalau dia mengamuk lagi, kalian bunuh saja dia!” kata si kedok
hitam yang kurus, kemudian keduanya pergi dan sampai tiga jam
lamanya tidak pernah muncul. Pernah dia bertanya kepada para
perampok yang berjaga di luar dan pertanyaan itu dia tujukan
kepada si kepala perampok yang bermuka berewok.
“Hai, Berewok! Kalian sudah mengambil kudaku, kenapa aku
masih ditahan di sini? Apa yang hendak kalian lakukan dengan
aku?”
34
Dengan wajah geram Si berewok itu menjawab. “Jangan banyak
mulut kau! Atau kau ingin kami menggebukimu seperti anjing
sehingga engkau tidak mampu mengeluarkan suara lagi?”
Cian Hui tertawa bergelak, suara ketawanya menembus keluar
dari kuil itu. “Ha-ha- ha-ha! Kalian ini perampok-perampok busuk,
penjahat-penjahat kecil yang berlagak besar. Aku tahu bahwa
kalian ini adalah antek-antek saja dari dua orang berkedok hitam
tadi. Engkau tidak akan berani menggangguku tanpa si kedok
hitam, Berewok! Karena itu katakan saja, siapa mereka dan apa
yang mereka kehendaki dariku. Kalau engkau mengaku, kelak
kalau aku dapat menundukkan mereka, tentu akan
kupertimbangkan dosamu!”
“Manusia sombong! Engkau sudah seperti anjing dirantai, tinggal
kita angkat tangan bunuh saja, dan engkau masih banyak lagak?
Hayo kalau memang engkau berani, berontaklah. Cobalah
engkau mengamuk, hemm...... aku akan senang sekali mencabik-
cabik perutmu agar ususmu berantakan!” Si Berewok marah
sekali. Akan tetapi yang ditantangnya hanya tertawa bergelak.
Pada saat itu terdengar derap kaki kuda di luar. “Toa-ko, kenapa
harus melayani orang sombong ini? Lebih baik lagi kalau toa-ko
mencoba lagi menunggangi kuda setan hitam itu sampai berhasil.
Lihat, ia sudah mulai kelaparan dan lari memutari pohon dengan
tidak sabar.”
Cian Hui diam-diam merasa sedih. Kudanya akan dipaksa untuk
menjadi kuda tunggangan si berewok ini, dan untuk menjinakkan
kuda itu, mereka menggunakan cara membuat kuda itu
35
kelaparan. Hem, aku harus membuat perhitungan untuk itu,
pikirnya.
Si berewok lalu keluar dari tempat penjagaan di depan ruangan
itu. Dan Cian Hui bersiul. Siulnya seperti siul iseng saja, akan
tetapi diam-diam dia memberi isyarat kepada kudanya yang
berada di luar kuil. Kuda itu peka sekali terhadap suara siulnya
dan kalau mendengar siulnya itu, kuda itu tentu akan menjadi
tenang.
Dan memang perhitungannya itu tepat. Kuda hitam itu tadinya
dicancang pada sebatang pohon dan ia selalu gelisah. Bahkan
karena merasa lapar, kuda itu berlarian mengelilingi pohon dan
mencoba untuk membikin putus kendali yang mengikatnya. Akan
tetapi, begitu Si Berewok muncul dan ia mendengar suara siulan
itu. Kuda Hitam berhenti berlari dan ia menjadi tenang dan jinak.
Bahkan ketika kepala perampok itu mendekatinya dan mengelus
lehernya, ia diam saja.
“Nah, kuda yang baik, engkau jinaklah dan menjadi kuda
tungganganku. Nanti kuberi rumput yang paling enak!” kata si
berewok, perlahan-lahan melepaskan ikatan kuda itu dari pohon.
Melihat betapa kuda itu tetap jinak, Si Berewok mengira bahwa
kuda itu memang betul sudah dapat ditundukkan dan dijinakkan
dengan membiarkan ia kelaparan. Maka dengan girang diapun
melompat ke atas punggung kuda. Disuruhnya kuda itu berjalan,
dan semua ini diturut dengan taat oleh kuda hitam. Si Berewok
menjadi semakin girang dan bangga.
36
“Ha-ha-ha, aku sudah berhasil menjinakkannya! Ha-ha-ha!” Dia
tertawa-tawa dan berteriak-teriak, lalu dia menarik kendali
kudanya dan Si kuda Hitam pun lari ke depan.
Akan tetapi tiba-tiba saja, telinga kuda itu bergerak-gerak dan
pendengarannya yang peka telah menerima isyarat melalui siulan
majikannya! Dia lalu tiba-tiba membalik sehingga mengejutkan Si
Berewok.
“Eh? Kenapa kembali?” Dia mencoba untuk menarik kendali akan
tetapi tetap saja kuda itu tidak menurut dan berlari seperti
kemasukan setan menuju ke kuil. Akhirnya Si berewok
membiarkan saja, hanya memegang kendali dengan kuat dan
menjepit perut kuda dengan kedua pahanya agar jangan sampai
dia terpental jatuh.
Kuda Hitam itu berlari terus dan setelah tiba di depan kuil, kepala
perampok mencoba untuk menarik kendali agar kuda itu berhenti
berlari. Akan tetapi, kuda itu tidak berhenti, bahkan memasuki
pekarangan kuil, terus melompat dan masuk ke dalam pintu kuil
yang lebar dan tidak berdaun pintu lagi itu.
Tentu saja Si Berewok menjadi heran dan juga mulai takut, akan
tetapi kuda itu berlari terus menuju ke arah suara siulan yang
memanggilnya! Dia berlari melalui lorong, menerjang sebuah
meja tua, melompati segala penghalang dan memasuki ruangan
belakang!
Setelah tiba di depan kamar di mana Cian Hui ditawan, barulah
dia berhenti, mendengus-dengus. Cian Hui terus bersiul dan kuda
37
itu tiba-tiba meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan,
menggoyang-goyang tubuhnya.
Tentu saja Si Berewok yang berada di punggungnya terguncang-
guncang, akan tetapi kepala perampok ini juga seorang ahli
menunggang kuda. Dia masih dapat duduk terus di punggung
kuda, mencengkeram bulu tengkuk kuda itu dan menempel terus
seperti seekor lintah!
Anak buahnya yang melihat kuda itu mengamuk, pergi menjauh
akan tetapi mereka memberi semangat kepada kepala rampok itu
untuk terus bertahan dan agar jangan sampai terlempar dan
terbanting!
Kuda itu terus meloncat-loncat seperti kemasukan setan,
punggungnya dilengkungkan dan akhirnya diapun merebahkan
diri ke samping! Melihat ini, Si Berewok terkejut sekali. Kalau
kuda itu bergulingan, tentu dia akan terhimpit dan mampus!
Maka, ketika kuda itu merebahkan diri, diapun meloncat turun.
Begitu meloncat turun, kuda hitam itu menyepak dengan kaki
belakangnya.
“Bukkkk!!” Pinggul dan paha Si berewok kena disepak. Tubuhnya
terlempar dan terbanting pada dinding dan diapun roboh dan
mengaduh-aduh, kepalanya pening, pinggulnya seperti remuk
rasanya, seluruh tubuh, seperti memar dan semua tulang seperti
patah-patah.
“Kuda setan! Kuda terkutuk......!” Dia memaki-maki dan Cian Hui
tertawa bergelak. Setelah Cian Hui berhenti bersiul, kuda itupun
menjadi tenang dan jinak kembali!
38
Pada saat itu, di luar terdengar bunyi roda kereta. Si Berewok
yang agaknya baru tahu bahwa dia dipermainkan oleh
tawanannya dan hendak marah, menunda kemarahannya dan
diapun bangkit menyambut. Munculah dua orang berkedok hitam
itu.
“Keretanya sudah siap. Bawalah dia dan lakukan seperti yang
telah kami perintahkan!” kata yang bertubuh besar kepada kepala
perampok yang mengangguk.
“Bagaimana dengan kuda iblis itu?” tanya si berewok kepada dua
orang berkedok hitam.
“Tinggalkan di sini, biar kami yang urus. Nah, berangkatlah dan
hati-hati jangan sampai dia lolos!”
Si Berewok lalu masuk ke dalam kamar, memegang lengan Cian
Hui dan menariknya bangkit berdiri. Cian Hui bersikap tenang,
akan tetapi dia memandang kepada dua orang berkedok hitam
itu.
“Sobat, sungguh aku tidak mengerti apa yang kaukehendaki ini!
Mengapa kalian bersikap pengecut, tidak memperkenalkan diri?
Dan kalau memang aku ini musuhmu, mengapa tidak kaubunuh
saja aku? Bukalah kedok kalian dan perkenalkan dirimu
kepadaku!”
Akan tetapi, dua orang berkedok hitam itu hanya memberi isyarat
kepada kepala perampok itu.
39
“Hayo berangkat, jangan banyak cerewet kau!” bentak kepala
perampok dan bersama belasan orang anak buahnya, dia
menyeret Cian Hui yang tidak berdaya itu keluar dari dalam kuil.
Ketika tiba di luar kuil, Cian Hui melihat sebuah kereta dengan
dua ekor kuda siap di situ, sebuah kereta yang tidak besar dan
yang tertutup. Matahari telah naik tinggi dan udara cerah sekali.
Cian Hui bersikap tenang. Kalau dia dibawa pergi dari tempat ini,
dengan kereta, berarti masih banyak kesempatan baginya untuk
mencoba meloloskan diri dari cengkeraman mereka.
Kalau berada di tempat sepi seperti ini, tentu saja tidak mungkin
dia lolos, walaupun dia dapat memerintahkan kuda hitam untuk
membantunya. Terdapat bahaya kuda yang disayanginya itu akan
terbunuh dan diapun tidak akan mampu meloloskan diri dengan
kaki dan tangan terbelenggu seperti itu. Akan tetapi kalau kereta
ini melewati tempat ramai, dan kemungkinan ini besar sekali, dia
tentu akan dapat melompat keluar dan memberontak. Tentu hal
ini akan menarik perhatian orang-orang dan dia mendapat
kesempatan untuk diselamatkan.
Si berewok melangkah lebar ke arah kereta sambil menarik
lengan Cian Hui, kemudian membentak. “Nah, masuklah, atau
engkau lebih suka diseret masuk seperti seekor babi?”
Dia menyingkap tirai kereta dan membuka pintunya dan...... tiba-
tiba dia terbelalak, karena di dalam kereta itu nampak duduk
seorang wanita yang cantik sekali, seorang wanita yang
berpakaian serba hitam dan yang tersenyum.
40
“...... eh, dewi...... eh, babi...... ah, cantiknya, manisnya........ ah,
siapakah engkau dan bagaimana.......?” Kepala rampok berewok
itu menjadi gagap dan salah tingkah karena dia sudah terpesona
melihat wanita berpakaian serba hitam itu.
Memang seorang yang mempesonakan! Bukan hanya cantik jelita
dan manis sekali, wajahnya nampak putih kemerahan dan mulus
karena pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, akan tetapi
juga wajah itu demikian segar dan cerah, senyumnya memikat
dan seluruh ruangan kereta berbau harum seolah wanita itu
setangkai bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya.
Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang manis
sekali, dan sebatang ranting yang dipegangnya, ditodongkannya
ke arah hidung si berewok,
“Engkaulah babinya! Babi berewok!”
“Apa......, apa kaubilang.....?” Si berewok tergagap karena dia
masih terpesona, juga terkejut karena tidak menduga akan
melihat seorang wanita secantik bidadari di dalam kereta itu.
Suara wanita itu demikian merdunya, akan tetapi kata-katanya
sungguh tidak enak didengar!
“Aku bilang engkau babi berewok yang sekarat!” Wanita itu
berkata dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, ranting di tangannya itu
meluncur ke arah leher si berewok. Kepala rampok itu makin
terbelalak, mengeluarkan pekik kesakitan dan diapun roboh
terjengkang dan tubuhnya berkelonjotan dalam sekarat!
41
Melihat pimpinan mereka roboh dan berkelonjotan, belasan orang
anak buah perampok. itu menjadi terkejut dan marah. Mereka
semua mencabut senjata dan mengepung kereta itu. Kusir kereta,
seorang laki-laki tinggi kurus juga sudah meloncat turun dan
mengayun cambuknya sambil membentak,
“Haiiii! Bagaimana engkau bisa berada di dalam keretaku?”
Akan tetapi wanita itu berseru dengan suaranya yang merdu,
“Kalian ini tikus-tikus kecil minggir, biar aku bertemu dengan dua
ekor tikus besar berkedok itu!”
Tubuhnya meloncat dari kereta dan bagaikan seekor burung
garuda saja, tubuh itu sudah meluncur keluar dan melayang ke
arah dua orang berkedok yang tadi memandang dengan mata
terbelalak kaget. Dua pasang mata yang tajam dan yang
mengintai dari lubang kain penutup muka itu.
Begitu melihat wanita cantik berpakaian serba hitam itu meloncat
bagaikan terbang ke arah mereka, dua orang berkedok itu sudah
menyambut dengan pedang mereka. Seorang menusukkan
pedangnya ke arah perut dan seorang lagi membacokkan pedang
ke arah leher wanita cantik itu! Betapa cepat, kuat dan juga
kejamnya serangan mereka itu. Agaknya mereka tidak ingin
banyak bicara lagi dan langsung menyambut wanita itu dengan
serangan mereka.
Cian Hui memandang dengan muka agak pucat dan mata penuh
kekhawatiran. Dia tahu akan kelihaian dua orang berkedok itu
dan mengkhawatirkan keselamatan wanita cantik, sedangkan dia
sendiri dalam keadaan tidak berdaya sama sekali!
42
Diapun merasa terheran-heran mengapa wanita-wanita belaka
yang datang bermunculan dan mencoba untuk menolongnya.
Yang pertama adalah dua orang gadis cantik berbaju hijau dan
kuning.
Dan sekarang muncul seorang gadis lain berpakaian serba hitam
yang jauh lebih cantik lagi dari pada dua gadis cantik pertama itu!
Dia sendiri dalam keadaan terbelenggu berhasil membantu dua
orang gadis pertama dan mereka berhasil meloloskan diri dari
pedang dua orang berkedok itu, akan tetapi bagaimana dia akan
dapat menyelamatkan gadis berpakaian serba hitam ini?
“Wuuuuttt!” Pedang pertama menyambut dengan tusukan kilat ke
arah perut.
“Singgg......!” Pedang kedua berdesing membacok ke arah leher.
Dan Cian Ciang-kun terbelalak! Tubuh nona berpakaian hitam itu
sedang melayang dan disambut dua serangan maut itu, akan
tetapi dengan gerakan yang lemas dan indah, tubuh itu dapat
berjungkir balik, membuat pok-sai (salto) sampai empat kali ke
atas dan dua serangan itupun luput!
Ketika tubuh meluncur ke bawah, tubuh itu didahului gulungan
sinar kehijauan, yaitu sinar yang ditimbulkan oleh ranting di
tangannya yang diputar cepat. Wanita cantik itu kini meluncur
turun dengan kepala di bawah, dan didahului ranting yang
diputar, menyerang ke arah dua orang berkedok bagaikan seekor
naga menyambar turun dari angkasa!
43
Dua orang berkedok itupun terkejut bukan main. Tak mereka
sangka bahwa gadis. berpakaian hitam itu memiliki kecepatan
gerakan yang demikian luar biasa, tanda bahwa ia telah memiliki
gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Mereka cepat memutar pedang mereka untuk menangkis.
“Takk! Takk!” Ranting itu bertemu dengan dua batang pedang,
namun ranting itu tidak patah, sebaliknya, dua orang berkedok itu
berloncatan ke belakang karena ranting yang membentur pedang
mereka itu terpental menyerong dan menotok ke arah
pergelangan tangan mereka. Nyaris totokan itu mengenai
sasaran. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan maklum
bahwa gadis berpakaian hitam itu memang lihai bukan main.
“Hek.... Liong... Li...?” Seru seorang di antara mereka yang
bertubuh lebih besar.
Wanita cantik itu memang Lie Kim Cu yang berjuluk Hek-liong-li
(Wanita Naga Hitam). Namanya bukan saja terkenal di daerah
Lok-yang di mana ia tinggal, akan tetapi juga terkenal di dunia
kang-ouw sebagai seorang wanita sakti yang pernah merobohkan
dua orang di antara Kiu Lo-mo!
Liong-li tersenyum manis dan menudingkan rantingnya kepada
dua orang berkedok hitam itu. “Kalian dua ekor anjing pengecut!
Hayo buka kedok kalian dan perkenalkan diri kepadaku, ataukah
aku yang harus membuka kedok kalian itu dengan ranting di
tanganku ini?”
Dua orang berkedok itu kini yakin bahwa mereka berhadapan
dengan Hek-liong-li dan biarpun mereka berkedok, namun jelas
44
mereka itu nampak jerih, nampak dari gerakan tangan mereka
yang gelisah.
“Kepung dan keroyok!” tiba-tiba mereka berteriak kepada belasan
orang perampok itu.
Mendengar perintah ini, belasan orang itu lalu menggerakkan
senjata mereka menyerang Liong-li. Akan tetapi, wanita cantik ini
menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw, menghindarkan diri
dan menyusup di antara hujan senjata, mengejar dua orang
berkedok itu. Dua orang berkedok itu segera menyambutnya
dengan serangan pedang, dibantu oleh para perampok.
Melihat betapa wanita cantik jelita itu ternyata adalah Hek-liong-li
seperti yang tadi juga sudah diduganya, Cian Hui kagum dan
gembira bukan main. Akan tetapi juga dia merasa khawatir. Dua
orang berkedok itu lihai sekali dan mereka berdua
mempergunakan senjata pedang, sedangkan Liong-li hanya
bersenjata sebatang ranting! Di samping itu masih ada lagi
belasan orang perampok yang mengeroyok wanita itu.
Timbul kekhawatiran di dalam hati Cian Hui. Bagaimanapun juga,
kehebatan ilmu kepandaian wanita yang dijuluki Hek-liong-li itu
baru didengarnya saja dan biarpun tadi dia kagum melihat betapa
wanita itu membuat dua orang berkedok nampak gentar, namun
ia masih meragukan apakah dengan hanya senjata ranting di
tangan itu Hek-liong-li akan mampu mengalahkan dua orang
berkedok yang dibantu belasan orang anak buah perampok.
“Suiiiittt......suiitt...... suiiiitttt!” Tiba-tiba Cian Ciang-kun
mengeluarkan suara siulan nyaring melengking.
45
Itu merupakan siulan perintah dari kuda hitamnya. Kuda hitam itu
masih dicancang di belakang kuil, akan tetapi begitu mendengar
suara siulan ini, dia meronta dan tali pengikatnya putus, lalu dia
lari congklang mengitari kuil menuju ke depan di mana terjadi
perkelahian.
Cian Hui sendiri telah meloncat ke depan, kedua lengannya
dibelenggu di belakang tubuh sehingga dia tidak dapat
mempergunakan kedua tangan. Akan tetapi, kedua kakinya diikat
dengan rantai yang panjangnya sekira satu meter antara kedua
kakinya. Biarpun hal ini tidak memungkinkan dia untuk melakukan
tendangan dengan sebelah kaki, namun dia dapat bergerak
leluasa dengan kedua kakinya dan diapun kini meloncat dan
kedua kakinya mendarat di dada seorang anggauta perampok.
“Desss......!” Anggauta perampok itu terjengkang dan tak mampu
bangkit kembali karena selain dadanya dihantam dua buah kaki
itu, juga ketika dia terjengkang, tubuh Cian Hui yang tegap tinggi
itupun menimpa perutnya! Cian Hui bangkit lagi dan dengan cara
yang sama, yaitu menendang dengan kedua kaki sambil
meloncat ke depan, dia mengamuk!
Di dekatnya, Hek-ma (Kuda Hitam) juga meringkik-ringkik,
mengangkat kedua kaki depan ke atas dan menyerang perampok
terdekat! Atau kalau kedua kaki depannya turun, kedua kaki
belakang menyepak ke belakang dengan kekuatan yang dapat
membuat orang yang disepak terlempar sampai beberapa meter
jauhnya!
46
Sejenak Liong-li melirik ke arah pria tinggi tegap yang mengamuk
bersama kudanya itu dan sinar kagum memancar dari sepasang
mata yang indah dan jeli itu. Akan tetapi segera Liong-li
mencurahkan perhatiannya kepada dua orang lawannya. Ia harus
dapat membuka kedok mereka dan membuka rahasia mereka.
Siapa mereka itu dan apa maksudnya menangkap dan menawan
pria yang gagah itu, dan iapun ingin tahu siapa pria gagah
perkasa itu.
Melihat betapa Hek-liong-li hanya memegang sebatang ranting,
tidak mempergunakan pedangnya yang amat terkenal sebagai
pusaka ampuh, yaitu yang disebut Hek-liong-kiam. (Pedang Naga
Hitam), hati kedua orang berkedok itu menjadi besar. Mereka
baru dapat merobohkan Liong-li selagi wanita itu
mempergunakan rantingnya, dan belum sempat mempergunakan
pedang pusakanya. Oleh karena itu, mereka berdua segera
menubruk ke depan dan menyerang dengan pedang mereka
secara dahsyat sekali.
Akan tetapi, dengan menggunakan ilmu langkah ajaib Liu-seng-
pouw, Liong-li seperti menari-nari saja dan selalu lolos dari
sambaran sinar pedang. Bahkan beberapa kali ujung rantingnya
yang menghadang, nyaris berhasil menotok pergelangan atau
siku lengan lawan sehingga dua orang berkedok itu menjadi
terkejut bukan main dan semakin lama mereka menjadi semakin
jerih.
Liong-li mempergunakan kesempatan selagi dua orang menjadi
gentar itu untuk mendesak. Ranting di tangannya berubah
47
menjadi gulungan sinar kehijauan dan dari gulungan itu kadang-
kadang menyambar sinar ujung ranting.
“Lepaskan kedok itu!” Tiba-tiba Liong-li membentak dan ujung
rantingnya menusuk ke arah muka orang itu dengan getaran yang
membuat ujung ranting seperti berubah menjadi dua dan
menyambar ke arah sepasang mata orang yang lebih besar
tubuhnya.
Orang itu terkejut sekali. Matanya terancam dan kalau sampai
terkena tusukan ujung ranting, tentu kedua mata atau satu
diantaranya akan menjadi buta! Dia menarik kepala ke belakang
untuk mengelak, akan tetapi ujung ranting itu menusuk dan
mengait kedok hitam sehingga terlepas dan nampak wajah orang
itu. Saat itu, tangan kiri Liong-li bergerak menyambar ke depan
dan robohlah orang itu dengan tubuh terkulai lemas!
Melihat ini, orang kedua yang tubuhnya juga tinggi besar, akan
tetapi tidak sebesar orang pertama, menjadi terkejut dan
ketakutan. Dia lalu melompat hendak melarikan diri.
“Hemm, hendak lari ke mana engkau?” I.iong-li membentak
dengan suara halus, tangan kanannya bergerak dan ranting
itupun meluncur bagaikan anak panah.
“Cappp!” punggung belakang pundak kanan si tinggi besar
berkedok itu tertusuk ranting dan diapun roboh.
Melihat dua orang lawannya sudah roboh., Liong-li lalu
memperhatikan pria gagah yang dalam keadaan terbelenggu kaki
48
tangannya masih mampu mengamuk itu. Dan iapun disuguh
pemandangan yang amat menarik, mengagumkan hatinya.
Pria itu mengamuk, meloncat dan menendang dengan kedua
kakinya, tentu saja setiap kali menendang, kena atau tidak,
tubuhnya terbanting ke atas tanah. Juga kuda hitam itu
mengamuk membantu majikannya, menyepak, menubruk,
menggigit! Belasan orang perampok itu benar-benar menghadapi
kuda dan pemilik kuda yang nekat. Namun, pria itu juga
menderita luka dan tubuhnya berdarah bekas bacokan golok.
Melihat hal itu, Liong-li lalu meloncat dan dua kali tangannya
menampar, dua orang perampok terpelanting roboh. Beberapa
kali kakinya terayun dan beberapa orang roboh pula dan
akhirnya, semua perampok yang berjumlah belasan orang itupun
roboh semua!
Cian Hui sudah bersiul panjang menenangkan kuda hitamnya
yang kini mendekatinya dan mendengus-dengus, dan setelah
perampok terakhir roboh oleh Liong-li. Kini dia dan wanita itu
berhadapan dan, saling pandang. Sejenak keduanya seperti
terpesona, saling pandang penuh kagum, kemudian Cian Hui
berkata dengan senyum cerah.
“Hek-liong-li, alangkah senangnya mendapat kesempatan
menjadi saksi akan kehebatanmu! Aku memang sedang
mencarimu menuju ke Lok-yang, dan siapa sangka, engkau pula
malah yang telah menyelamatkan aku dari ancaman maut!”
“Siapakah engkau dan ada kepentingan apakah mencariku?”
tanya Hek-liong-li dan segala penyelidikan pandang matanya
49
terhadap diri pria itu mendatangkan kepuasan. Seorang pria yang
jantan dan perkasa, bisiknya dalam hati.
“Namaku Cian Hui dan aku datang dari kota raja. Ada urusan
penting sekali yang mendorongku ke Lok-yang untuk mencarimu,
li-hiap (pendekar wanita). Akan tetapi sampai di sini, aku
dihadang dan ditawan oleh dua orang berkedok itu.”
“Siapakan mereka itu?”
“Aku sendiripun ingin sekali mengetahui..... heiiii...! Tahan
dia......!” Tiba-tiba Cian Hui berseru sambil memandang ke depan
karena kaki tangannya masih terbelenggu.
Mendengar ini, Liong-li cepat membalikkan tubuhnya dan ia
melihat bayangan berkelebat meninggalkan tempat di mana dua
orang berkedok tadi roboh. Liong-li adalah seorang wanita yang
teramat cerdas. Sekilas saja ia sudah menduga bahwa tentu Cian
Hui tadi terkejut melihat bayangan itu melakukan sesuatu, entah
apa. Akan tetapi hal itu cukup membuat ia meloncat seperti
terbang cepatnya melakukan pengejaran.
Akan tetapi, bayangan itu sudah lenyap di balik pohon-pohon dan
biarpun Liong-li mengerahkan gin-kang sehingga tubuhnya berlari
bagaikan terbang, tetap saja ia tidak dapat menemukan lagi
bayangan itu yang menghilang seperti iblis saja! Terpaksa ia
kembali ke tempat tadi dan ketika ia membungkuk untuk
memeriksa tubuh dua orang berkedok itu, ternyata mereka telah
tewas dan muka mereka hancur dan tidak dapat dikenal lagi!
50
“Keparat!” Liong-li memaki sambil mengepal tinju dan menoleh ke
arah lenyapnya bayangan tadi.
Cian Hui meloncat-loncat seperti katak menghampiri dan melihat
keadaan pria jantan itu, Liong-li lalu memungut sebatang golok
milik perampok dan membabat putus belenggu kaki tangan Cian
Hui. Cian Hui tidak memperdulikan luka yang dideritanya di
pinggul dan pundak, dan dia cepat berlutut memeriksa mayat dua
orang berkedok itu.
“Aih, sayang.” Dia menarik napas panjang. “Sungguh iblis itu lihai
sekali. Tentu ada rahasia yang amat gawat sehingga dia datang
dan selain membunuh dua orang berkedok ini, juga merusak
mukanya sehingga tidak akan dapat dikenal lagi! Ini saja
menunjukkan bahwa tentu ada hubungannya dengan rahasia
yang meliputi pembunuhan di kota raja!”
“Pembunuhan di kota raja? Apa maksudmu?” Liong-li bertanya
dan menatap wajah pria itu dengan tajam penuh selidik.
Cian Hui mengangguk dan kembali menghela napas panjang.
“Untuk itulah sebenarnya aku pergi ke Lok-yang untuk
mencarimu, Li-hiap. Kami amat mengharapkan bantuanmu untuk
membongkar rahasia banyak pembunuhan yang terjadi secara
aneh di kota raja. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perwira
pasukan keamanan yang bertugas membasmi kejahatan yang
terjadi di kota raja.”
“Cian Ciang-kun, tidakkah lebih baik kalau kita bicara di rumahku
saja? Sekarang, yang terpenting adalah menyelidiki siapa
sesungguhnya dua orang berkedok ini.”
51
“8ayang mereka sudah tewas dan muka mereka tak dapat
dikenal......”
“Kita bisa bertanya kepada anggauta penjahat yang masih hidup,”
kata Liong-li dan iapun bangkit dan meneliti para penjahat yang
rebah malang melintang itu. Ada beberapa orang di antara
mereka yang belum tewas dan seorang yang perutya gendut
hanya terluka pada kakinya sehingga tidak membahayakan
keselamatan nyawanya. Akan tetapi, si gendut itu mengaduh-
aduh dan terbelalak ketakutan ketika Liong-li dan Cian Hui
menghampirinya.
“AMPUN...... ampun..... jangan........!” dia meratap.
“Hemm, dia inilah yang agaknya amat berguna bagi kita, Li-hiap,”
kata Cian Hui dan Liong-li mengangguk. Dengan cekatan Cian
Ciang-kun mencengkeram rambut kepala si gendut itu dan
menariknya bangun. Penjahat itu terduduk dan semakin
ketakutan.
“Apa engkau tidak ingin mampus?”
“Ampunkan saya...... ampun.....”
“Kami takkan membunuhmu, akan tetapi katakan siapa adanya
dua orang berkedok itu!” bentak Cian Hui dan kini jari-jari
tangannya mencengkeram ke arah pelipis kepala orang itu.
Orang itu merasakan kenyerian luar biasa, lebih nyeri dari pada
luka di kakinya. Dia menjerit-jerit seperti babi disembelih.
52
“Ampun...... aduh, ampun...... saya tidak tahu... mereka itu......
mereka muncul dan menaklukkan pemimpin kami, dan mereka
menjanjikan hadiah besar. Kami belum pernah melihat mereka
tanpa kedok......”
Cian Hui agaknya mempercaya keterangan ini, “Hayo katakan, ke
mana kalian tadi diperintahkan membawaku dalam kereta itu!
Awas sekali kau berbohong, kepalamu ini akan kubikin remuk!”
Kembali dia mencengkeram agak kuat sehingga si gendut itu
kembali menjerit kesakitan.
“Aduh, ampun...., kami.... kami diharuskan membawa....... Ciang-
kun ke kota raja dan......’
Tiba-tiba terdengar bunyi desing yang kuat. Cian Hui dan Liong-li
meloncat ke samping dan dua batang benda kecil panjang
meluncur lewat. Dan terdengarlah teriakan, teriakan mengerikan.
Liong-li dan Cian Hui terkejut bukan main melihat si gendut yang
tadi diperiksa dan juga para penjahat yang tadi masih belum
tewas, setelah mengeluarkan teriakan mengerikan lalu diam tak
bergerak dan tewas. Tubuh mereka tertembus anak-anak panah,
seperti yang tadi meluncur dan menyerang mereka.
“Keparat!” Liong-li membentak dan iapun meloncat ke arah dari
mana datangnya anak¬anak panah tadi. Akan tetapi ia hanya
melihat semak-semak bergoyang, orangnya yang tadi
bersembunyi di situ tidak nampak lagi bayangannya. Terpaksa ia
kembali ke tempat tadi di mana ia melihat Cian Hui termenung.
53
“Sungguh penuh rahasia,” kata perwira itu. “Aku hendak dibawa
ke kota raja? Dan mereka semua tewas! Orang atau orang-orang
yang berdiri di belakang semua ini sungguh amat berbahaya, dan
juga lihai sekali!”
Liong-li tidak menjawab mrelainkan diam-diam ia menghampiri
mereka yang tadi terluka lalu terbunuh oleh anak panah. Melihat
macam anak panah, ia berkesimpulan, bahwa setidaknya tentu
ada dua orang yang tadi menjadi penyerang gelap. Ada enam
orang anak buah penjahat yang tadinya terluka, kini tewas.
Jelas bahwa mereka yang berada di belakang layar hendak
menyimpan rahasia, maka dibunuhnya dua orang yang berkedok
yang ternyata juga hanya anak buah, dan dibunuhnya pula
semua anak buah perampok agar mereka tidak dapat memberi
keterangan apapun. Juga mereka tadi berusaha menyerang
Liong-li dan dia!
“Mari kita ke Lok-yang, Li-hiap. Akan kulaporkan kepada mereka
yang berwajib di sana, kemudian kita bicara di rumahmu,” kata
Cian Hui.
Liong-li yang mulai tertarik sekali dengan peristiwa itu,
mengangguk dan mereka mempergunakan kereta yang tadi
didatangkan oleh dua orang berkedok, meninggalkan tempat itu
menuju ke Lok- yang.
◄Y►
Cian Hui memandang kagum ketika dia tiba di depan rumah yang
mungil itu. Liong-li dan dia baru saja pergi ke markas pasukan
54
keamanan di Lok-yang menemui komandannya. Dan tentu saja
komandan ini terkejut sekali mengenal Cian Ciang-kun dari kota
raja yang amat terkenal itu datang berkunjung bersama Hek-
liong-li. Apa lagi ketika dia mendengar betapa Cian Ciang-kun
hampir saja celaka di tangan segerombolan penjahat di Bukit Kuil.
Mendengar bahwa di sana ada belasan orang penjahat yang
telah menjadi mayat, komandan itu segera mengirim pasukan
untuk mengurus mayat-mayat itu dan memerintahkan
pasukannya untuk mengadakan pembersihan kalau-kalau masih
ada sisa anak buah perampok di sekitar tempat itu. Cian Ciang-
kun menitipkan kuda hitam yang tadi mengikuti kereta dari hutan
kepada komandan itu, memesan agar kuda itu diberi makan dan
dirawat baik-baik. Kemudian, dengan naik kereta yang tadinya
dibawa para penjahat itu mereka berdua pergi ke rumah Hek-
liong-li.
Rumah itu mungil, tidak terlalu besar namun indah sekali.
Pekarangannya luas, penuh dengan tanaman bunga beraneka
warna. Di tengah pekarangan yang penuh bunga itu terdapat
sebuah kolam ikan, penuh dengan ikan-ikan emas dan di tengah
kolam yang juga dihias bunga teratai merah putih itu terdapat
sebuah arca yang ukirannya amat halus. Arca serang puteri yang
cantik, menunggang seekor angsa.
Baru melihat keadaan rumah mungil itu saja mudah diduga
bahwa Hek-liong-li, wanita perkasa yang amat terkenal itu, tentu
kaya raya! Dan dugaannya itu memang benar. Hek-liong-li
menjadi kaya raya tanpa diketahui orang ketika setahun yang lalu
55
ia bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay mendapatkan harta karun
yang tak dapat dinilai harganya saking banyaknya.
Ketika Cian Hui masih mengagumi keadaan rumah dan
pekarangannya itu, dari dalam bermunculan sembilan orang
wanita yang memakai pakaian beraneka warna dan cerah,
dengan wajah mereka manis itu tersenyum gembira dan mereka
menyongsong Hek-liong-li dengan gembira dan juga penuh
hormat.
“Li-hiap sudah pulang......!” terdengar mereka berseru gembira
dan Cian Hui terbelalak ketika dia mengenal dua orang di antara
mereka, yaitu nona baju hijau dan nona baju kuning yang pernah
mencoba untuk menolongnya ketika dia menjadi tawanan dua
orang berkedok.
Kini mengertilah dia mengapa Hek-liong-li dapat muncul secara
tiba-tiba dan membebaskannya dari tangan para penjahat itu.
Tentu nona baju hijau dan nona baju kuning itu yang melapor
kepadanya dan wanita perkasa itu lalu turun tangan sendiri
menolongnya!
“Aih, kiranya dua orang nona yang gagah perkasa berada pula di
sini......” katanya sambil memberi hormat kepada dua orang gadis
berpakaian hijau dan kuning itu. Dua orang wanita itu dengan
tergopoh membalas penghormatan Cian Hui dan si baju hijau
menjawab dengan tersipu.
“Harap jangan membikin malu kepada kami. Kami telah gagal
membantumu dan masih baik bahwa nona kami tidak marah
kepada kami!”
56
Liong-li tersenyum memandang kepada tamunya. “Cian Ciang-
kun, maafkan para pembantuku yang tidak mampu
membebaskanmu. Marilah kita bicara di dalam. Kalian kenalilah
baik-baik. Tamu kita ini adalah Cian Ciang-kun, seorang perwira
tinggi komandan pasukan keamanan dari kotaraja yang
berkedudukan tinggi!”
“Cian Ciang-kun.......!” sembilan orang wanita cantik itu memberi
hormat dan suara mereka seperti sekumpulan burung yang
berkicau merdu.
“Ah, nona-nona yang cantik dan gagah, harap jangan sungkan,”
Perwira itu membalas penghormatan mereka.
Ketika dibawa memasuki rumah itu, diam-diam Cian Hui menjadi
semakin kagum dan juga semakin yakin bahwa nona rumah tentu
kaya raya. Perabot rumah yang terdapat di situ semuanya indah
dan mahal. Dindingnya dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan
indah yang dibuat oleh para seniman yang terkenal, tentu amat
mahal. Lantainya ditilami permadani yang tebal. Sutera-sutera
halus beraneka warna bergantungan menambah cerah dan
indahnya keadaan dalam ruangan-ruangan di situ.
Liong-li mempersilakan tamunya memasuki ruangan yang luas,
yang letaknya di bagian belakang. Ruangan ini luas dan kosong
dan di sudut ruangan terdapat sebuah rak senjata yang penuh
dengan segala macam senjata yang kelihatan bermutu tinggi,
beberapa buah kursi dan sebuah meja panjang berada di sudut
pula sehingga ruangan itu nampak luas dan mudah diketahui
bahwa ruangan ini tentulah semacam lian-bu-thia (ruangan
57
berlatih silat) yang indah. Banyak terdapat jendela di situ
sehingga hawanya sejuk dan nyaman karena jendela-jendela itu
menembus ke sebuah taman bunga di belakang.
Ternyata bahwa rumah mungil itu dikelilingi taman bunga!
Pekarangan di depan sudah merupakan taman, di belakang,
kanan dan kiri juga merupakan taman yang penuh bunga
beraneka warna! Bahkan di taman belakang yang luas itu
terdapat pula pondok-pondok kecil mungil tempat peristirahatan.
Tempat yang indah ini dikelilingi dinding yang tinggi dan di atas
dinding dipasangi tombak-tombak runcing sehingga sukar bagi
orang luar untuk masuk melalui dinding pagar itu.
“Silakan duduk, Cian Ciang-kun. Di sini kita dapat bicara dengan
leluasa dan tidak akan terdengar orang lain,” kata Liong-li setelah
memerintahkan anak buahnya untuk melakukan tugas mereka.
Tanpa dijelaskan, sembilan orang gadis cantik itu sudah tahu apa
yang harus mereka lakukan. Ada yang berjaga di sekitar luar
ruangan itu, ada yang sibuk di dapur untuk mempersiapkan
hidangan untuk nona majikan mereka dan tamunya.
Cian Hui menarik napas panjang. “Sudah lama aku mendengar
nama besar Hek-liong-li, dan sekarang aku merasa kagum bukan
main. Keadaan Li-hiap sungguh jauh melebihi apa yang pernah
kudengar.”
“Hemm, jangan terlalu memuji, ciang-kun. Melebihi dalam hal
apa?”
“Segala-galanya. Kelihaian, kecantikan, kekayaan Li-hiap!”
58
Liong-li tersenyum dan kedua pipinya menjadi kemerahan, tanda
bahwa pujian itu mengena di hatinya. Diam-diam ia juga kagum
dan girang sekali mendapat pujian seorang pria seperti yang
duduk di depannya itu. Ia tahu benar bahwa pujian itu bukan
sekedar rayuan, melainkan keluar dari hati yang jujur dan tulus.
“Sudahlah, Ciang-kun. Yang terpenting sekarang sebelum kita
bicara, aku harus mengobati luka-lukamu lebih dulu.”
“Ah, luka-luka ini tidak seberapa, Li-hiap. Aku dahulu pernah
menjadi seorang perwira perang sehingga luka-luka bagiku sudah
biasa......”
“Akan tetapi luka-lukamu itu harus cepat diobati, kalau tidak,
berbahaya dan dapat menjadi semakin parah. Apa lagi diingat
bahwa yang melukaimu adalah penjahat-penjahat yang mungkin
mempergunakan senjata kotor atau beracun. Mari, kau rebahlah
di atas lantai, akan kuperiksa, ciangkun!” kata Liong-li dan di
dalam suaranya terkandung perintah yang berwibawa.
Diam-diam Cian Hui merasa heran sekali mengapa dia merasa
seperti mendengar perintah atasannya yang tidak mungkin dapat
dibantah lagi! Dia lalu bangkit dan melangkah ke sudut ruangan,
merebahkan diri di atas lantai seperti yang diperintahkan Liong-li.
Liong-li bertepuk tangan dua kali. Seorang gadis berpakaian
merah muncul.
“Ang-cici (enci Merah), cepat ambilkan perabot dan obat untuk
mengobati luka di tubuh Cian Ciang-kun!”
59
Gadis berpakaian merah itu mengangguk dan pergi. Liong-li lalu
berlutut dekat Cian Hui dan dengan jari-jari tangan yang cekatan
dan tidak ragu-ragu, ia merobek baju di bagian pundak,
memeriksa luka di pundak perwira itu. Kemudian iapun merobek
celana di bagian pinggul dan memeriksa luka di situ. Sementara
itu, Enci Merah datang membawa sebuah panci terisi air panas
dan perabot yang berupa gunting, pisau kecil, juga kain putih
bersih dan obat bubuk beberapa macam dalam bungkusan.
“Sekarang pergi dan suruh enci Biru mengambilkan satu stel
pakaian luar dalam yang cocok untuk Cian Ciangkun!” kata Liong-
li dan kembali gadis berpakaian merah itu mengangguk lalu
keluar dari situ tanpa bicara. Nampaknya ia amat patuh dan
menghormati Liong-li.
Kini Liong-li bekerja. Kedua tangannya amat cekatan, lembut
namun juga tidak ragu- ragu, mencuci luka-luka itu dengan air
panas, kemudian menaruhkan obat bubuk putih lalu menutupi
luka itu dengan semacam obat tempel yang sudah dipanaskan.
Selama pengobatan ini, Cian Hui tidak pernah mengeluarkan
keluhan sedikitpun, padahal ketika dicuci terasa panas dan ketika
dibersihkan terasa perih. Setelah diberi obat dan ditutup koyo,
baru terasa nyaman.
Ketika merawat luka-luka itu, sepasang mata Liong-li hanya
ditujukan dan dipusatkan kepada luka itu. Akan tetapi setelah ia
selesai memberi pengobatan, barulah nampak olehnya betapa
pundak dan dada perwira itu bidang dan kokoh kuat, sedangkan
pinggulnya juga penuh otot melingkar dan menunjukkan
kejantanan yang mengagumkan hatinya.
60
“Nah, bahayanya sudah lewat, Ciang-kun. Untung engkau
memiliki tubuh yang sehat kuat dan darah yang bersih sehingga
luka-luka itu akan cepat sembuh dan kering.”
Pada saat itu, seorang gadis berpakaian serba biru memasuki
ruangan dan menyerahkan setumpuk pakaian kepada Liong-li,
kemudian ia keluar lagi.
“Ini pakaian bersih, harap engkau suka berganti pakaian dulu,
baru kita bicara, ciang-kun,” kata pula Liong-li dan wanita ini lalu
bangkit dan berjalan menuju ke sebuah jendela yang terbuka, lalu
berdiri di situ dan memandang keluar.
Cian Hui memandang kagum. Bukan main wanita ini, pikirnya dan
di dalam hatinya timbul suatu kemesraan yang belum pernah
dialaminya selama hidupnya. Rasa kagum dan haru
menyelubungi hatinya. Seorang wanita yang matang, memiliki
kecantikan yang hampir sempurna, ilmu kepandaian tinggi, sikap
yang anggun dan berwibawa, kaya raya, cerdik jujur terbuka,
tidak berpura-pura atau bersembunyi di balik kesopanan seperti
para wanita pada umumnya.
Wanita hebat! Diapun mengusir semua perasaan sungkan,
membuka pakaiannya dan berganti pakaian dalam dan luar.
Pakaiannya yang kotor dan robek-robek itu dia gulung dan
letakkan di sudut ruangan.
Pakaian yang dipakainya itu bersih dan baru, terbuat dari sutera
berwarna biru, cocok sekali dengan bentuk tubuhnya sehingga
dia merasa heran. Bahkan dia menjadi semakin heran ketika
merasakan betapa ada sesuatu yang tidak nyaman terasa di
61
hatinya ketika dia membayangkan bahwa mungkin ada seorang
pria kawan dekat wanita hebat ini, pemilik pakaian yang kini
dipakainya itu.
Tanpa menengokpun Liong-li maklum bahwa Cian Ciang-kun
telah selesai berpakaian. Ia memiliki pendengaran yang amat
tajam sehingga ia dapat menangkap gerakan pria itu ketika
berpakaian dan selesai. Maka iapun membalikkan tubuhnya
memandang dan ada pancaran kagum dalam sinar matanya
memandang kepada Cian Hui yang memang nampak ganteng
dan gagah dalam pakaian barunya itu.
“Engkau pantas sekali memakai pakaian itu, Ciang-kun!” ia
memuji jujur sambil tersenyum.
Cian Hui mengangkat kedua tangan depan dada, memberi
hormat, “Li-hiap, terima kasih atas segala kebaikanmu. Sungguh
membuat aku merasa sungkan, telah mengganggumu,
menganggu pemilik pakaian ini. Aku harus menghaturkan terima
kasih kepada pemilik pakaian yang kupinjam ini.”
“Itu pakaianku!”
“Tapi, ini pakaian pria dan ukurannya besar.”
Liong-li tersenyum manis sekali. “Ciang-kun, di sini aku memiliki
segala macam pakaian. Memang kusediakan kalau-kalau aku
membutuhkannya. Ada pakaian kanak-kanak segala umur, laki
dan perempuan, ada pakaian pria dan wanita segala umur dan
segala ukuran. Enci biru yang mengurus tentang pakaian itu.
Maka, jangan khawatir, dan pakaian itu bukan kupinjamkan, biar
62
kaupakai saja, Ciang-kun. Nah, mari kita bicara. Aku ingin
mendengar tentang keributan dan pembunuhan di kota raja itu.”
Cian Hui menghela napas dan semakin kagum. Wanita yang
hebat! Diapun mulai bercerita tentang peristiwa yang terjadi di
kota raja, khususnya di antara para pejabat tinggi dan di istana.
“Aku menerima tugas istimewa dari Sri baginda Kaisar sendiri
untuk menyelidiki dan membongkar rahasia pembunuhan ini, Li-
hiap. Akan tetapi aku menemui jalan buntu dan tidak berhasil,
maka aku teringat kepadamu yang sudah kudengar sebagai
seorang pendekar wanita yang sakti. Aku mohon bantuanmu,
karena kiranya hanya engkaulah yang akan mampu menandingi
mereka yang berdiri di belakang layar dan yang mengatur
pembunuhan-pembunuhan itu.”
Cian Hui lalu menceritakan betapa selama dua bulan ini, di kota
raja terjadi geger karena terjadinya pembunuhan-pembunuhan
yang penuh rahasia. Yang menjadi korban pembunuhan adalah
para pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan tinggi dan
penting dalam pemerintahan. Juga beberapa orang pangeran
yang dekat dengan kaisar telah menjadi korban pembunuhan
pula.
Cara pembunuhan itu dilakukan penuh rahasia, para korban
adalah pejabat tinggi yang selalu dikawal pasukan pengawal.
Rumah mereka siang malam dijaga pasukan pengawal. Akan
tetapi tetap saja pada suatu pagi mereka ditemukan sudah tewas
dengan leher putus dalam kamar mereka, bersama siapa saja
yang kebetulan sekamar dengan mereka malam itu.
63
“Yang paling hebat terjadi dua minggu yang lalu, li-hiap. Seorang
panglima telah terbunuh dalam kamarnya, pada hal kamar itu
berada di dalam benteng! Bayangkan saja, pembunuh itu dapat
memasuki benteng dan dapat membunuh Panglima Cu di
kamarnya, pada hal panglima itu adalah seorang yang memiliki
ilmu silat tinggi! Dan dua orang selirnya yang tidur bersamanya
juga wanita-wanita yang lihai, akan tetapi mereka bertiga tewas
dengan leher putus dalam kamar itu!” Perwira itu kembali menarik
napas panjang. “Sungguh merupakan tugas berat bagiku, maka
aku berusaha untuk mohon bantuanmu.”
Liong-li mendengarkan dengan tekun dan sabar, tak pernah
mengganggu dan setelah perwira itu berhenti bercerita, baru ia
membuat gerakan, tangan kirinya diangkat ke arah kepalanya
dan iapun memegangi dahinya dengan alis berkerut. Ini
menandakan bahwa wanita cantik itu sedang memutar otaknya!
Kedua matanya terpejam dan Cian Hui hanya memandang, tidak
berani mengganggu dan dia hanya memandang dengan hati
tertarik. Dia seolah-olah dapat melihat betapa isi dari kepala yang
bagus bentuknya, yang dihias rambut hitam lebat itu, sedang
bekerja dengan ajaib.
Tiba-tiba sepasang mata itu terbuka dan menatap kepadanya,
membuat Cian Hui seperti silau karena sepasang mata itu kini
mencorong!
“Cian Ciang-kun, apa yang kauperoleh dari hasil penyelidikanmu?
Apakah semua pembunuhan itu terjadi tanpa adanya seorang
pun saksi yang melihat sesuatu yang mencurigakan?”
64
“Setiap terjadi pembunuhan, aku segera menyelidiki sendiri dan
sudah kucari keterangan. Akan tetapi tidak pernah ada orang lain
melihat pembunuh itu, hanya ada dua orang, di tempat yang
berlainan melihat bayangan iblis......,” perwira itu berhenti dan
kelihatan ragu-ragu.
“Bayangan Iblis? Apa maksudmu, Ciang-kun?”
“Ketika Pangeran Cun dibunuh sebulan yang lalu, dan seorang
pejabat tinggi, Menteri Pajak dibunuh seminggu kemudian, ada
orang yang melihat bayangan iblis. Bayangan itu bentuknya
seperti tubuh orang yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya.
Akan tetapi hanya bayangannya saja yang nampak di atas
dinding putih, itupun hanya sebentar karena bayangan itu segera
lenyap. Mungkin hanya khayal orang yang ketakutan dan tahyul,
Li-hiap. Betapapun juga, berita itu membuat orang ramai
menyebut pembunuh itu Si Bayangan Iblis! Akan tetapi, belum
pernah ada yang melihatnya, dan semua penyelidikanku
menemui kegagalan dan jalan buntu. Aku tidak pernah dapat
menemukan jejak, bahkan aku tidak tahu apa yang menjadi
sebab dari semua pembunuhan itu.”
“Dan engkau lalu mencariku dari kota raja ke sini, dan di tengah
perjalanan engkau di- hadang perampok? Coba ceritakan tentang
peristiwa perampokan terhadap dirimu, ciang-kun. Mungkin kita
dapat menemukan jejak dari situ.”
“Aku juga merasa yakin bahwa ada hubungan yang erat antara
semua peristiwa di kota raja itu dengan usaha penculikan yang
65
dilakukan terhadap diriku. Namun sayang, jejak itu terhapus
dengan kematian semua penjahat itu.”
Cian Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya, betapa
tadinya belasan orang penjahat itu hendak merampok kudanya,
kemudian muncul dua orang berkedok yang lihai itu sehingga dia
tertawan. Betapa kemudian muncul nona baju hijau dan nona
baju kuning yang berusaha menolongnya, namun mereka
berduapun kewalahan menandingi dua orang berkedok hitam
sehingga mereka melarikan diri.
“Kemudian, ketika aku hendak diculik dan dibawa pergi dengan
kereta, engkau muncul, Li-hiap.”
“Itulah yang kusayangkan!” seru Liong-li. “Kalau saja aku tahu
bahwa engkau seorang penyelidik, bahwa semua itu ada
hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan di kota raja,
tentu aku tidak tergesa-gesa turun tangan dan membiarkan
engkau mereka bawa pergi. Dengan demikian, setidaknya ada
harapan untuk dapat menemukan jejak mereka.”
Cian Hui mengangguk-angguk. “Engkau benar. Akupun berpikiran
demikian, akan tetapi bukan berarti bahwa aku tidak berterima
kasih telah kautolong dan kaubebaskan.”
“Semua sudah terlanjur. Kita harus mulai dari pertama, yaitu
tanpa adanya jejak.”
“Kita? Apakah ini berarti bahwa engkau sudi untuk membantuku
dan hendak menyelidiki peristiwa ini? Ah, kalau begitu terima
kasih banyak Li-hiap, sungguh aku merasa gembira sekali dan
66
bersyukur!” Perwira itu lalu memberi hormat untuk menyatakan
terima kasihnya.
“Tidak perlu berterima kasih, ciang-kun. Aku sudah terlibat di
dalamnya, tanpa kauminta sekalipun aku harus membongkar
rahasia ini. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah ada persamaan
antara mereka yang telah menjadi korban pembunuhan-
pembunuhan di kota raja itu?”
“Persamaan bagaimana maksudmu, Li-hiap?”
“Persamaan di antara para kurban itu, ciri khas atau sikap yang
sama atau mungkin ada pertalian atau hubungan di antara
mereka.......”
“Ah, benar juga......! Kenapa aku tidak ingat akan hal itu
sebelumnya? Para korban itu kesemuanya dekat dengan
Sribaginda Kaisar! Pangeran-pangeran yang terbunuh adalah
kesayangan kaisar, dan para menteri yang menjadi kurban juga
merupakan menteri-menteri yang setia. Itulah persamaan antara
mereka.”
“Hemm, itu yang kucari, Ciang-kun. Kalau begitu, tentu ada
komplotan yang diam-diam memusuhi kaisar, atau setidaknya
ingin melihat kaisar menjadi lemah, maka mereka yang dekat
dengan kaisar dan dianggap penghalang, disingkirkan satu demi
satu. Dan jelas ada hubungannya antara semua pembunuhan itu
dengan usaha penculikan terhadap dirimu. Karena engkau
merupakan petugas dari kaisar untuk menyelidiki rahasia ini,
maka engkau akan diculik.”
67
“Akan tetapi mengapa tidak mereka bunuh saja? Mengapa
mereka harus menculikku? Dan dibawa ke kota raja pula?”
Liong-li menatap wajah perwira itu dengan tajam dan mulutnya
tersenyum manis. “Ciang-kun, harap engkau jangan berlagak
bodoh. Aku yakin bahwa engkau yang sudah dipercaya oleh
Sribaginda untuk melakukan penyelidikan dan membongkar
rahasia ini, tentu memiliki kecerdikan tinggi. Mustahil engkau tidak
dapat menduga apa sebabnya mereka tidak membunuhmu.”
Cian Ciang-kun juga tersenyum. Memang dia tadi berpura-pura,
untuk menguji kecerdikan wanita cantik jelita itu, akan tetapi,
ternyata permainan sandiwaranya ketahuan!
“Baiklah, memang aku sudah mempunyai dugaan. Akan tetapi
aku ingin sekali mendengar pendapatmu, li-hiap. Bagaimana
menurut pendapatmu?”
“Alasannya mudah diduga, hanya yang sukar adalah menemukan
siapa sesungguhnya yang berdiri di belakang semua ini. Mereka
tidak membunuhmu, melainkan hendak menculikmu, tentu
mereka itu, pemimpin mereka, ingin lebih dahulu mengorek
pengakuanmu sampai sejauh mana hasil penyelidikanmu, Ciang-
kun. Mereka khawatir kalau-kalau penyelidikanmu sudah
sedemikian jauhnya sehingga rahasia mereka terancam. Dan
mereka hendak membawamu kota raja seperti pengakuan
anggauta perampok itu. Hal ini menunjukkan bahwa pimpinan
komplotan itu tentu berada di kota raja!”
68
Cian Ciang-kun mengangguk-angguk kagum. “Engkau hebat, Li-
hiap! Memang tepat sekali, demikianlah pula pendapatku. Dan
tentu di kota raja itu telah menanti Si Bayangan Iblis!”
Liong-li mengangguk. “Besar kemungkinannya demikian. Yang
disebut Si Bayangan Iblis itu tak mungkin seorang di antara dua
orang berkedok itu. Tentu lebih lihai. Akan tetapi, aku mempunyai
perhitungan bahwa Si Bayangan Iblis itupun hanya alat saja,
masih ada yang berdiri di belakang layar, yang mengemudikan
semua ini.”
Perwira itu nampak termangu-mangu, dan dia meraba-raba
dagunya yang halus karena dia mencukur rambut pada dagu dan
mukanya, tidak berkumis atau berjenggot.
“Hal itulah yang aneh, Li-hiap. Aku memiliki jaringan penyelidik
yang banyak, kuat dan terampil. Aku mengenal dan mengetahui
benar keadaan di kota raja, mengenal hampir semua pejabat dan
mengetahui keadaan mereka, bahkan rahasia dan keadaan
rumah tangga mereka. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan di
antara mereka, tentu aku mengetahuinya! Agaknya mustahil
kalau yang mengemudikan semua komplotan itu tinggal di kota
raja dan lolos dari pengamatan orang-orangku.”
“Bagaimana kalau mereka bersembunyi di dalam istana? Apakah
pengamatanmu juga sampai menembus dinding istana, Cian
Ciang-kun?”
Pertanyaan ini membuat perwira itu terbelalak, terkejut dan heran.
Dia menggeleng kepala.
69
“Memang tidak sampai ke sana, akan tetapi...... ah, bagaimana
mungkin..... musuh berbahaya itu bersembunyi di dalam istana?
Wah, kalau begitu, keselamatan Sribaginda dalam bahaya!”
Liong-li menggeleng kepala. “Belum tentu demikian, Ciang-kun.
Menurut pendapatku, komplotan itu mempunyai sasaran yang
lebih luas dari pada sekedar membunuh Sribaginda Kaisar. Kalau
memang itu sasarannya, tentu telah terjadi serangan atas diri
beliau. Melihat betapa yang dibunuh adalah pejabat-pejabat dan
bangsawan-bangsawan yang dekat dengan Sribaginda, aku lebih
condong menduga bahwa pelakunya atau pimpinannya
menghendaki kelemahan kedudukan Sribaginda Kaisar dan
melenyapkan mereka yang memiliki kekuasaan. Ini membuat aku
menduga bahwa tentu dia bermaksud menonjolkan diri atau
memperbesar kekuasaannya sendiri.”
Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya dan dia mengangguk-
angguk. Dia dapat melihat kemungkinan-kemungkinan terjadinya
semua yang dikemukakan wanita itu dan hatinya merasa gelisah
sekali.
“Ah, kalau benar demikian, Li-hiap, maka itu adalah permainan
tingkat tinggi dan aku sama sekali tidak berdaya dan tidak
memiliki kekuasaan untuk dapat mencampuri urusan yang
menyangkut pribadi atau kekuasaan Sribaginda Kaisar.”
“Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau tidak mungkin
dapat melakukan penyelidikan ke dalam istana?”
“Benar, Li-hiap. Aku adalah seorang panglima pasukan
keamanan yang bertugas menumpas para penjahat di luar istana,
70
mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi kekuasaanku
terbatas dan aku tidak mungkin dapat memasuki istana tanpa ijin
dari Sribaginda Kaisar.
“Di istana terdapat pasukan pengawal yang terbagi pula sebagai
pasukan luar istana, pasukan pengawal Sribaginda, dan pasukan
pengawal Thai-kam yang bertugas menjaga keamanan di bagian
paling dalam di istana, sampai ke bagian puteri. Aku hanya
bertugas memimpin pasukan keamanan yang bertugas
mengamankan kota raja dan sekitarnya. Tugasku yang kuterima
dari Sribaginda adalah mencegah terjadinya pembunuhan-
pembunuhan terhadap para pejabat tinggi itu, yang terjadi di luar
istana.
“Dan selama ini memang tidak pernah terjadi pembunuhan
terhadap seorang penghuni istana maka tidak ada alasan bagiku
untuk minta ijin Sribaginda memasuki istana! Tentu saja ada
kecualinya, yaitu kalau memang sudah terdapat bukti bahwa
komplotan pembunuh itu berada, di dalam istana.”
Liong-li masih mengerutkan alisnya dan sampai lama mereka
berdua berdiam diri. Wanita itu memejamkan mata dan melihat
keadaannya, Cian Ciang-kun tidak berani mengganggu. Dia
sendiri memikirkan kemungkinan terjadinya hal seperti yang
dikemukakan wanita perkasa ini dan diapun merasa ngeri. Kalau
benar ada komplotan yang bersembunyi di dalam istana, sungguh
berbahaya sekali!
Tentu saja dia dapat bicara dengan para panglima pasukan yang
bertugas di luar dan dalam istana, namun paling banyak dia
71
hanya minta agar mereka itu berhati-hati dan melakukan
penyelidikan akan kemungkinan itu. Kepala pengawal Thai-kam
tak mungkin dapat bicara karena kepala pengawal Thai-kam itu
menganggap kedudukannya terlalu tinggi untuk dapat dihubungi
oleh seorang panglima pasukan keamanan seperti dia!
Tiba-tiba Liong-li menepuk pahanya sendiri dan terkejutlah Cian
Ciang-kun yang sedang melamun. Dia mengangkat muka
memandang dan melihat betapa wajah yang cantik itu kemerahan
dan matanya bersinar-sinar.
“Dapat, Ciang-kun!” seru wanita itu dan ia tersenyum lebar
sehingga deretan gigi yang putih seperti mutiara nampak berkilau.
“Eh, apa maksudmu, Li-hiap?”
“Kita harus bekerja sama. Engkau dari luar dan aku dari dalam!”
“Maksudmu, engkau akan menyelundup ke dalam istana?” tanya
panglima yang cerdik itu.
Liong-li mengangguk. “Hanya itulah jalannya. Engkau menyelidiki
dari luar, mengamati gerak-gerik semua pejabat tinggi termasuk
mereka yang memimpin keamanan di lingkungan istana. Aku
sendiri harus dapat menyusup ke dalam istana, dan hal ini tentu
saja baru mungkin terjadi kalau engkau membantuku. Dapat saja
aku diselundupkan ke istana, atau akan lebih mudah bagiku untuk
menyelidik kalau aku dapat menjadi penghuni istana sebagai
dayang atau pelayan......”
72
“Ah, tidak mungkin seorang seperti engkau ini menjadi pelayan di
sana, Li-hiap!” kata Cian Ciang-kun.
Kedua pipi itu menjadi semakin merah. “Kauanggap aku......
terlalu tua dan buruk rupa......?”
“Siapa berkata begitu, Li-hiap? Sama sekali sebaliknya malah!
Engkau terlalu cantik jelita dan......”
“Kalau terlalu baik untuk menjadi pelayan, dapat dimasukkan
sebagai dayang...... tentu saja kalau aku tidak dianggap terlalu
tua untuk itu.”
“Terlalu tua sih tidak, terlalu dewasa mungkin karena para dayang
itu memang biasanya masih remaja, akan tetapi yang jelas
terlalu...... cantik jelita......”
“Ihh, kita bicara serius, jangan engkau merayu, Ciang-kun!” kata
Liong-li dan wajah perwira itu menjadi merah.
“Maaf, bukan maksudku untuk memuji kosong, Li-hiap, melainkan
akupun bicara sesungguhnya. Kalau engkau berada di dalam
istana bagian puteri, engkau sepantasnya menjadi puteri atau
selir Sribaginda. Maaf, bukan maksudku menghina......”
“Sudahlah, terserah kepadamu, asal aku dapat diselundupkan ke
dalam istana, untuk beberapa hari saja sehingga aku
mendapatkan peluang untuk melakukan penyelidikan dan
pengamatan, apa lagi di waktu malam. Kalau memang komplotan
itu bergerak dari dalam istana, tentu aku akan dapat memergoki
mereka. Kalau engkau tidak merayu dan berkata sebenarnya, aku
73
dapat melakukan sedikit penyamaran agar pantas menjadi
seorang dayang. Coba kautunggu sebentar, Ciang-kun!”
Ia bertepuk tangan dan muncullah seorang gadis berpakaian
coklat. Ia muncul cepat dan berdiri di depan Liong-li dengan sikap
hormat dan siap melakukan segala perintah.
“Ambil perlengkapan penyamaran ke sini. Cepat!”
Tak lama kemudian, gadis baju coklat itu kembali membawa peti
hitam yang terukir indah. Baru petinya itu saja sudah merupakan
sebuah benda antik yang mahal harganya, pikir Cian Ciang-kun
yang sudah duduk sambil mengamati dengan hati tertarik.
Liong-li, tanpa bicara membuka tutup peti setelah si baju coklat
meninggalkan ruangan itu dan iapun mengambil botol-botol dan
alat-alat seperti alat kecantikan. Hanya sebentar ia bercermin
sambil menata wajahnya dan sepuluh menit kemudian, Cian
Ciang-kun sudah berhadapan dengan seorang wanita yang sama
sekali berbeda dengan wajah Liong-li! Memang masih manis,
akan tetapi tidak secantik dan seanggun tadi! Wajah seorang
gadis dusun yang manis dan tidak terlalu menyolok.
“Bagaimana, Ciang-kun? Bukankah sudah pantas kalau aku
mengaku sebagai seorang gadis dusun dan cocok untuk menjadi
seorang pelayan atau seorang dayang di istana?”
Cian Ciang-kun bengong. Bahkan suara wanita ini berubah sama
sekali! Tidak halus merdu lembut seperti tadi, melainkan suara
sederhana yang hanya pantas menjadi suara seorang gadis
74
pedusunan yang kurang pendidikan dan biasa hidup sederhana.
Akhirnya dia tertawa bergelak saking kagum dan girangnya.
“Ha-ha-ha, engkau seorang wanita hebat, Li-hiap! Tadi aku masih
ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau engkau akan dikenal sebagai
Hek-liong-li setelah berada di dalam istana dan keselamatanmu
terancam. Akan tetapi dengan penyamaran yang sempurna,
kuyakin takkan ada seorangpun yang tahu bahwa engkau adalah
Hek-liong-li.
“Baiklah, mari kita ke kota raja dan di sana aku akan
menghubungi rekan-rekanku dan mendengar kalau-kalau istana
membutuhkan pembantu puteri baru sehingga engkau dapat
diselundupkan ke dalam. Engkau tahu, biasanya, kalau istana
membutuhkan dayang atau pembantu baru, kesempatan itu
dipergunakan oleh para Thai-kam untuk menerima uang sogokan.
Siapa yang paling berani mengeluarkan uang sogokan, maka
dialah yang akan diterima.”
“Bagus! Tentang uang sogokan, jangan khawatir. Berapa saja
mereka minta akan kubayar!” kata Liong-li gembira.
Merekapun berangkat pada hari itu juga, tentu saja tidak
mengendarai kereta rampasan tadi karena hal itu tentu akan
diketahui pihak lawan. Mereka menggunakan kereta lain dan
dengan menyamar, tak seorangpun menyangka bahwa wanita
nenek tua yang bersama Cian Ciang-kun memasuki kota raja itu
adalah Hek-liong-li yang amat terkenal!
◄Y►
75
Sebelum kita mengikuti perjalanan Liong-li dan cara bagaimana ia
akan menyelundup masuk ke dalam istana, sebaiknya kita
mengenali lebih dahulu keadaan Kaisar Kao Cung dengan
istananya yang megah.
Pada waktu itu (sekitar tahun 669), Kaisar Kao Cung adalah
seorang pria berusia kurang lebih empatpuluh sembilan tahun.
Seorang pria yang sebetulnya bertubuh tinggi tegap dan kuat.
Akan tetapi sungguh sayang, karena dia terlalu mengumbar nafsu
berahinya, terlalu membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan
dan rayuan para wanita cantik yang memenuhi haremnya, maka
dalam usia empatpuluh sembilan tahun saja dia sudah nampak
tua dan loyo. Kaisar Kao Cung sesungguhnya baik budi dan
ramah, memiliki kebijaksanaan.
Namun sayang, karena terlalu membiarkan diri tenggelam dalam
kesenangan, dia menjadi lemah dan malas. Dia tidak
bersemangat lagi untuk mengurus tugas-tugasnya sebagai
seorang pemimpin negara. Siang malam dia hanya bersenang-
senang bersama para selirnya dan para dayang, dan dia dapat
dibilang menyerahkan segala kekuasaannya dan membiarkan
permaisurinya yang mengurus semua tugasnya! Dan memang
harus diakui bahwa permaisurinya adalah seorang wanita yang
bukan main cerdasnya, seorang wanita yang selain memiliki
kecantikan luar biasa, juga memiliki otak yang tajam dan hati
yang keras, ambisius dan penuh semangat!
Bahkan dapat dibilang permaisuri inilah yang pada delapan tahun
yang lalu, membakar semangat suaminya yang menjadi kaisar itu
76
untuk mengerahkan bala tentara sekuatnya dan menyerang
Korea.
Sejak puluhan tahun yang lain, ketika Kerajaan Tang belum
berdiri, yaitu Kerajaan Sui masih berkuasa di China, kaisar-kaisar
telah berusaha menundukkan Korea. Bahkan ayah dari Kaisar
Kao Cung sendiri, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal
sebagai pendekar bangsa dan pendiri Kerajaan Tang, selalu
gagal dalam usahanya menalukkan Korea.
Akan tetapi, berkat siasat dan semangat permaisuri Kao Cung,
maka Kaisar Kao Cung akhirnya berhasil menundukkan dan
menalukkan Korea yang telah dibantu oleh Bangsa Jepang.
Semenjak itulah, Kaisar Kao Cung yakin akan kemampuan
permaisurinya dan dia pun menyerahkan hampir segala urusan
pemerintahan ke tangan permaisurinya itu.
Permaisuri yang sekarang telah berusia empatpuluh tahun lebih
itu makin lama semakin berkuasa dan berpengaruh sehingga
hampir semua pejabat tinggi tunduk di bawah kekuasaannya.
Baik mereka yang setuju atau yang tidak setuju harus mengakui
bahwa banyak kemajuan dicapai setelah permaisuri ini
memegang kendali pemerintahan. Tentu saja sebagai pelaku di
belakang layar karena segala hal masih harus disetujui dan
ditandatangani oleh Kaisar Kao Cung. Semua orang di istana
tahu belaka bahwa kaisar itu menandatangani apa saja yang
disodorkan permaisurinya kepadanya!
Memang, permaisuri dari Kaisar Kao Cung ini adalah seorang
wanita yang hebat luar biasa. Sepak terjangnya amat menonjol
77
dan tidak mengherankan kalau kemudian namanya diabadikan
dalam sejarah, walaupun di dalam sejarah, keburukannya lebih
banyak ditonjolkan dari pada kebaikannya. Hal inipun mudah
dimaklumi kalau diingat bahwa penyusun sejarah adalah mereka
yang tidak suka kepadanya!
Seorang penyusun sejarah haruslah seorang seniman sejati!
Seorang seniman sejati takkan sudi diperalat oleh golongan
manapun, karena seorang seniman sejati adalah seorang
manusia utuh lahir batin yang hanya mengabdi kepada
kebenaran, kepada kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi penilaian
karena menganggap bahwa apa yang ada selalu indah, tidak baik
ataupun buruk, tidak ada perhitungan rugi untung bagi dirinya
yang bebas!
Riwayat permaisuri ini memang menarik sekali sejak
pemunculannya yang pertama di istana kaisar. Agar mengenal
latar belakangnya, sebaiknya kalau kita mengikuti
pengalamannya.
Ketika masih seorang gadis remaja, permaisuri itu bernama Bu
Houw yang kemudian disebut juga Bu Cek Thian. Panggilan
akrabnya adalah Bi Houw (Houw yang cantik). Ketika usianya
masih remaja, kurang lebih tigabelas tahun, ia diangkut dari
dusun dan dipilih menjadi seorang dayang di istana. Ketika itu,
yang menjadi kaisar adalah ayah dari Kaisar Kao Cung yang
sekarang, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal, yang dulu
bernama Li Si Bin!
78
Karena hidup di dalam istana yang megah, serba bersih, dan
setiap hari tubuhnya terpelihara baik-baik, juga karena ia
diharuskan mempelajari segala seni yang patut dimiliki semua
wanita cantik dalam istana, Bi Houw tumbuh menjadi seorang
gadis remaja yang cantik jelita dan pandai membawa diri. Ketika
usianya mencapai, enambelas tahun, tidak ada seorang pun
dayang di istana yang mampu menyaingi kecantikannya.
Bagaikan setangkai bunga, ia mulai mekar dengan indahnya,
semerbak mengharum dan membuat setiap yang disentuhnya
menjadi cerah dan hidup. Bahkan para puteri dan selir kaisar
merasa kagum dan iri melihat kesegaran gadis remaja dari dusun
yang kini pandai membawa diri ini.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bi Houw sudah melakukan
tugasnya, membersihkan sebuah kamar mandi yang biasa
dipergunakan oleh permaisuri. Tentu saja sepagi itu ia bekerja
membersihkan kamar mandi pribadi permaisuri bukanlah suatu
hal yang kebetulan saja. Ia telah memperhitungkan dan
memperhatikan kebiasaan Kaisar Thai Cung. Setiap kaisar ini
tidur di kamar permaisuri, sudah pasti pada pagi hari seperti itu,
Sang Kaisar akan masuk kamar mandi.
Kebiasaan ini sudah diperhatikan benar-benar oleh Bi Houw, dan
pada pagi hari itu, ketika seperti tidak ditengaja ia telah berada di
kamar mandi, ia nampak bersih, segar dan cerah, cantik jelita dan
putih kemerahan bagaikan setangkai kuncup mawar yang sedang
mekar! Gadis berusia enambelas tahun!
79
Ketika kaisar memasuki kamar mandi, Bi Houw cepat berlutut dan
tidak berani mengangkat muka. Setelah kaisar selesai dengan
keperluannya di kamar mandi untuk membuang air kecil dan
hendak keluar, dengan terampil sekali Bi Houw berlutut di
depannya, dengan muka menunduk sehingga tidak nampak,
memegangi dengan kedua tangannya yang mungil sebuah
tempayan air yang terisi air hangat yang harum karena dicampur
air mawar, menjulurkan kedua tangannya agar Sang Kaisar
dengan mudah dapat mencuci tangannya.
Kaisar menunduk dan mencuci tangan. Ketika dia melihat
sepasang tangan yang berkulit putih kemerahan, jari-jari tangan
yang meruncing dengan kuku yang bersih mengkilap terawat
baik, kemudian menunduk pula melihat rambut yang panjang
hitam dan halus, yang mengeluarkan keharuman semerbak,
melihat kulit leher yang nampak semakin putih mulus kemerahan
di antara juntaian rambut, kaisar tertarik dan berkata lembut.
“Dayang, coba kau angkat mukamu, kami hendak melihatnya.”
Bi Houw yang sudah memperhitungkan ini, dan sudah berulang
kali ia bergaya di depan cermin, dengan tenang dan lembut
mengangkat mukanya, muka yang amat cantik manis bagaikan
setangkai bunga baru mekar, dahinya yang halus bagaikan lilin
diraut itu dihiasi anak rambut yang lembut sekali melingkar-
lingkar, sepasang mata yang redup itu setengah terpejam penuh
rasa takut dan malu, dihias bulu mata yang panjang lentik,
dilindungi sepasang alis yang hitam kecil panjang seperti dilukis.
80
Hidung itu mancung kecil dan lucu, dan mulut amat
menggairahkan, dengan sepasang bibir tipis merah membasah
tanpa gincu, dihias lekuk pipi di kanan kiri yang timbul tenggelam,
dagu kecil runcing berlekuk, dan lekuk lengkung dada yang
sedang meranum itu membayang di balik baju tipis.
Semua ini merupakan bintik-bintik api yang menggetarkan
kehangatan dan di pagi hari yang dingin itu, gairah berahi mulai
membara di dalam hati Kaisar Thai Cung. Gairah berahi yang
datang tiba-tiba, mendatangkan kekuatan besar yang
mendorongnya untuk segera menjulurkan kedua lengannya,
memondong gadis remaja itu, mendekap menciuminya, membelai
dan membawanya ke atas bangku marmer di dalam kamar mandi
itu.
Tanpa banyak cakap lagi, tidak seperti biasanya kalau sang
kaisar memerawani seorang dayang yang beruntung menerima
anugerah dipilih oleh kaisar, Bi Houw digauli oleh Kaisar Thai
Cung di dalam kamar mandi, tanpa upacara lagi!
Bi Houw menyambut pria tua itu dengan menggunakan sepenuh
kecerdikan dan kepandaiannya yang sudah dipelajarinya terlebih
dahulu. Demikian pandainya gadis ini sehingga semua usahanya
itu tidak nampak, dan Kaisar Thai Cung pada pagi hari itu
memetik kesenangan dan kenikmatan yang jarang dia temukan.
Setelah kaisar meninggalkannya, Bi Houw melamun dengan hati
penuh bahagia. Semua rencananya berjalan dengan baik! Kaisar
telah menjatuhkan pilihannya kepadanya bahkan telah
menganugerahinya dengan hubungan badan itu!
81
Pada waktu atau jaman itu, kedudukan seorang kaisar amatlah
tingginya. Kaisar dianggap sebagai dewa atau bahkan Putera
Tuhan yang dijelmakan di dunia untuk memimpin manusia. Oleh
karena itu, seorang gadis yang dipilih kaisar seolah-olah
mendapatkan keyakinan bahwa bintangnya akan menjadi terang.
Bi Houw membayangkan betapa ia tentu akan diangkat menjadi
seorang di antara selir-selir utama yang jumlahnya tujuhpuluh dua
orang, menggantikan seorang selir yang sudah dianggap
membosankan dan akan diturunkan pangkatnya oleh kaisar.
Dari selir, ia akan berusaha agar ia dapat terus menanjak naik
sehingga akhirnya akan dapat menduduki pangkat permaisuri
Pertama atau Kedua. Ada dua orang permaisuri, yaitu permaisusi
Istana Timur dan permaisuri Istana Barat. Ia harus berusaha
mengangkat dirinya sampai menjadi seorang di antara yang dua
ini!
Akan tetapi malang bagi gadis remaja itu, harapannya hampa dan
penantiannya sia-sia belaka. Kaisar Thai Cung, pendiri Kerajaan
Tang itu, terlalu sibuk dengan urusan pemerintahan, sibuk
dengan perkembangan dan kemajuan kerajaannya.
Peristiwa yang terjadi di kamar mandi pada pagi hari itu baginya
lewat begitu saja dan segera hal itu terlupa olehnya setelah
terjadi. Lewat bagaikan angin lalu, karena bagi kaisar yaag
mempunyai banyak urusan, yang dianggapnya lebih besar dan
lebih penting, maka peristiwa dengan Bi Houw itu kecil dan tidak
ada artinya sama sekali. Apakah artinya seorang gadis remaja
kecil, seorang dayang bagi seorang kaisar?
82
Kekecewaan adalah bagian orang yang mengharapkan. Harapan
mempunyai buah ganda, yaitu kepuasan dan kekecewaan. Kalau
terpenuhi apa yang diharapkan, datanglah kepuasan. Sebaliknya,
kalau tidak terpenuhi, datanglah kekecewaan.
Bi Houw yang ambisius dan penuh harapan muluk itu, tentu saja
tenggelam ke dalam lautan kekecewaan karena ia sama sekali
tidak diperdulikan oleh Kaisar Thai Cung. Bahkan kaisar itu
agaknya sudah lupa akan peristiwa yang terjadi di pagi hari dalam
kamar mandi permaisuri itu.
Betapapun ia memancing dengan kerling dan senyum kalau
kebetulan ia bertemu dengan kaisar, Kaisar Thai Cung sama
sekali tidak nampak bahwa dia teringat atau mengenalnya!
Di dalam kamarnya, Bi Houw hanya dapat menangis karena sesal
dan kecewa. Apa lagi ia sudah terlanjur pamer kepada para
dayang lain bahwa ia telah mendapat “anugerah” dari kaisar di
pagi hari itu! Ia telah membisikkan kepada para dayang lainnya
bahwa sebentar lagi ia akan naik derajatnya dan menjadi seorang
di antara Selir Terhormat! Dan kenyataannya sungguh amat
pahit, tidak semanis yang dibayangkan dan diharapkannya.
Akan tetapi, gadis remaja ini tidak menjadi putus asa. Maklum
bahwa ia tidak dapat mengharapkan kenaikan derajat dari kaisar,
iapun segera membuang harapan hampa itu dan matanya mulai
mengerling ke arah yang lain lagi.
Pangeran Mahkota! Pangeran itu masih seorang pemuda,
tampan, gagah dan tentu saja jauh lebih menarik sebagai pria
dibandingkan ayahnya, Sang Kaisar. Pangeran Mahkota itulah
83
merupakan orang kedua sesudah kaisar yang paling tinggi
kedudukannya di seluruh negeri.
Mulailah Bi Houw mengatur diri, mengatur lagak dan melaburi diri
dengan daya pikat yang menarik, dan iapun menggunakan segala
daya kecerdikannya untuk menyelidiki dan mempelajari
kebiasaan Pangeran Mahkota.
Pangeran Mahkota yang kemudian menjadi Kaisar Kao Cung itu
adalah seorang pemuda yang tampan dan suka pelesir. Sejak
kecil dia memang dimanja dan berkecimpung di dalam
kesenangan dan kemewahan. Apa saja yang dikehendakinya
tentu terpenuhi!
Sungguh amat merugikan perkembangan jiwa seseorang kalau di
waktu kecil dia dimanjakan oleh keadaan. Justeru kepahitan
keadaan hidup, seperti jamu merupakan gemblengan yang
mematangkan batin. Sebaliknya, kesenangan yang berlimpahan
bahkan membius batin dan menumpulkan akal karena jarang
dipergunakan untuk mengatasi kesulitan hidup.
Tempat tinggal Pangeran Mahkota merupakan bagian kompleks
istana keluarga Kaisar di bagian kiri, bersambung dengan istana
induk melalui sebuah jembatan dan taman indah. Di jembatan
inipun, seperti juga di jalan masuk ke istana induk dari manapun
juga, siang malam dijaga oleh pengawal thai-kam (laki-laki kebiri)
demi keselamatan kaisar.
Dengan mempergunakan suapan berupa barang-barang
berharga, Bi Houw berhasil menarik kepercayaan seorang
pengawal Thai-kam sehingga ia dapat dengan leluasa
84
menggunakan jembatan itu dan diperbolehkan keluar masuk
taman yang merupakan perbatasan antara istana induk dan
istana Pangeran Mahkota. Pada hal, sebagai dayang atau
pelayan keluarga kaisar yang bertugas di istana induk, ia tidak
dibenarkan untuk melewati jembatan ini dan masuk ke daerah
tempat tinggal Pangeran Mahkota.
Bi Houw juga menyelidiki kebiasaan Pangeran Mahkota dan
mendengar bahwa satu di antara kebiasaan Pangeran Mahkota
adalah duduk termenung di dalam taman mawar yang berdekatan
dengan jembatan dan taman penghubung itu. Pangeran Mahkota
itu, setelah bosan dan lelah bersenang-senang dengan gadis-
gadis cantik bahkan bermain-main dengan wanita-wanita pelacur
di luar istana, kadang-kadang suka menyendiri di dalam taman
mawar, termenung dan menikmati hawa segar sejuk dan suasana
hening.
Dalam keadaan seperti itu, dia selalu menyendiri, tidak mau
ditemani pengawal atau dayang. Setelah dayang membawakan
minuman dan makanan, biasanya anggur manis dan makanan
kecil, dayang lalu diperintahkannya untuk pergi meninggalkannya
seorang diri. Dalam keadaan menyendiri itu, Pangeran Mahkota
merasa aman tenteram dan kadang-kadang keadaan menyendiri
itu dia pergunakan untuk membaca kitab, baik kitab
kesusasteraan, catatan sejarah maupun kitab tentang
ketatanegaraan yang amat penting baginya.
Pada suatu senja yang indah. Angin semilir lembut
mendatangkan hawa yang sejuk segar. Matahari menjelang
terbenam, cahayanya sudah lembut lunak dan di langit bagian
85
timur nampak awan terbakar dengan sinar merah dengan latar
belakang kebiruan dan di sana-sini nampak awan berpita perak
berkilauan.
Pangeran Mahkota memasuki taman mawar sambil membawa
kitab yang sudah dibukanya dan dibacanya sambil melangkah
perlahan-lahan, menuju ke tengah taman di mana terdapat kolam
ikan emas dan bangku yang menjadi tempat yang amat
disukainya untuk duduk menyendiri. Memang nyaman sekali
duduk di bangku yang halus itu, di dekat kolam di mana ikan-ikan
emas merah, kuning dan putih berenang, dengan gaya indah,
dikelilingi bunga-bunga mawar yang sedang mekar semerbak
mengharum, dengan kupu-kupu yang beterbangan di sekitarnya,
pohon-pohon di sana-sini yang mulai disibuki oleh suara burung
yang pulang sarang.
Putera Mahkota yang berusia tigapuluhan tahun itu memang
tampan dan pada senja itu dia mengenakan pakaian sutera
kuning yang longgar dan indah. Ketika dia melangkah lambat
menuju ke tengah taman, tiba-tiba dia menurunkan kitabnya dan
berhenti melangkah. Dia mendengar suara yang lain dari pada
biasanya.
Biasanya, suara yang terdengar di taman itu kalau dia
memasukinya hanyalah suara teriakan burung-burung yang
beterbangan pulang sarang, sesampainya di pohon mereka ini
membuat gaduh dengan suara cecowetan sibuk sekali. Akan
tetapi sekali ini, di antara suara burung-burung, dia mendengar
suara manusia. Suara wanita yang sedang membaca sajak
dengan nyanyian sederhana namun merdu bukan main, agaknya
86
terdengar aneh dan merdu sekali di taman yang sunyi itu.
“......amboi burung murai nan malang,
warna bulumu memang indah cemerlang,
suaramu memang merdu gemilang,
namun sayang......
percuma engkau merindukan burung Hong,
Raja di antara segala burung,
bagimu dia terlampau agung.......”
Di taman yang indah itu, dalam suasana yang sunyi dari senja
yang mengambang, suara itu terdengar aneh dan merdu sekali.
Hati Pangeran Mahkota itu sudah tertarik sekali, dan jantungnya
berdebar penuh keinginan tahu siapa gerangan wanita yang
dapat bernyanyi semerdu itu di dalam taman mawar pribadinya.
Suara itu datang dari arah kiri, maka diapun tidak jadi menuju ke
kolam ikan, melainkan ke pondok ungu yang berada di sebelah
kiri taman.
Pondok ungu ini adalah pondok kecil di mana dia suka menghibur
diri di waktu musim panas, ditemani beberapa orang dayang atau
selirnya. Biarpun dia belum memiliki isteri, namun Pangeran
Mahkota ini sudah memiliki beberapa orang selir.
Akhirnya Pangeran Mahkota menemukan wanita yang tadi
membaca sajak dengan suara nyanyian sederhana namun merdu
itu. Ia seorang gadis berpakaian dayang. Seorang di antara para
dayang ayahnya! Akan tetapi, sungguh seorang gadis remaja
87
yang bukan main! Hati pangeran itu memang sudah tertarik oleh
suara tadi. Kini melihat orangnya, dia terpesona!
Dan memang Bi Houw sudah memperhitungkannya dengan
masak-masak, berdasarkan penyelidikannya. Ia mendengar
betapa sang pangeran itu seringkali menyatakan rasa muak
terhadap para wanita yang mengelilinginya, yang berlomba untuk
menarik perhatiannya dengan dandanan yang mewah, dengan
riasan muka yang seperti boneka digambar!
Karena itu, dalam kesempatan yang sudah termasuk rencana
siasatnya ini, Bi Houw mengenakan pakaian yang sederhana,
pakaian dayang yang tidak mewah namun bersih dan rapi.
Nampak jelas betapa ia segar dan cerah, karena baru saja ia
mandi air dingin yang dicampur air mawar dan seluruh tubuhnya
digosoknya keras-keras sehingga baik muka dan tangannya
nampak masih kemerahan seperti kulit seorang bayi yang montok
dan mungil.
Ketika pangeran menghampiri tempat itu, ia pura-pura tidak tahu
dan sedang mengejar kupu-kupu dengan gerakan yang lincah,
jenaka dan penuh kelembutan wanita, berjalan berjingkat dengan
lenggang lenggok lemah gemulai ia menghampiri seekor kupu-
kupu yang hinggap di setangkai bunga.
Melihat ini, Pangeran Mahkota berhenti melangkah, memandang
sambil menggagumi gerak pinggul gadis remaja itu ketika
berindap menghampiri kupu-kupu itu. Ditangkapnya kupu-kupu itu
dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu gadis itu duduk di atas
88
bangku, membelakangi Pangeran Mahkota dan terdengar
suaranya lirih manja, namun terdengar jelas oleh sang Pangeran.
“Kupu-kupu yang tampan, engkau memang seksi sekali,
bersenang-senang dari bunga ke bunga lain, tanpa
memperdulikan aku bunga yang kesepian menanggung rindu,
haus akan jamahan dan belaianmu. Aih, kupu-kupu, sakit hatiku,
ingin rasanya aku merobek sayapmu agar engkau tidak mampu
terbang lagi hinggap di bunga-bunga yang lain. Akan tetapi aku
tidak tega, kupu-kupu, aku tidak tega, karena aku terlalu
mencintaimu! Aih, kupu-kupu, engkau pangeran yang agung
sedangkan aku...... aku hanya dayang......”
Gadis itu bangkit, melepaskan kupu-kupu itu terbang kegirangan,
lalu ia membalik dan...... pada saat itu ia melihat Pangeran
Mahkota berdiri di depannya.
“Oohhhhh.......!” Ia mengeluh ketakutan dan cepat ia menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki sang pangeran, memberi hormat
sampai dahinya menyentuh tanah.
“Ampun, pangeran...... ampunkan hamba, karena hamba tidak
tahu bahwa paduka berada di sini........” kata Bi Houw dengan
suara gemetar namun terdengar amat merdu.
“Murai yang mungil. jangan takut, aku tidak marah kepadamu.
Bangkitlah!”
“Hamba...... hamba tidak berani......” Bi Houw berkata dengan
gemetar.
89
Pangeran Mahkota tersenyum, lalu menjulurkan tangan
kanannya, memegang lengan Bi Houw dan menariknya bangkit
berdiri. Gadis itu berdiri, tinggi badannya hanya sampai ke
pundak pangeran itu dan ia menundukkan mukanya sampai
dagunya menekan leher.
Dengan lembut sang pangeran menggunakan ibu jari dan telunjuk
kanannya, memegang ujung dagu gadis itu dan menarik dagu itu
ke atas agar dia dapat menatap wajah itu. Dan jantungnya
berdenyut keras saking girangnya. Sebuah wajah yang amat
cantik manis, jelita dan segar! Sejenak dia mengamati wajah yang
amat menggairahkan itu biarpun Bi Houw memejamkan kedua
matanya.
“Manis, bukalah matamu, aku ingin melihatnya,” bisik sang
pangeran dan ketika Bi Houw membuka kedua matanya,
pangeran itu seperti melihat sepasang bintang yang
mempesonakan! Dari sepasang mata itu memancar cahaya yang
demikian lembut, demikian dalam dan demikian menantang,
mengandung janji sejuta kemesraan dan kehangatan dan
Pangeran Mahkota itupun jatuhlah!
“Engkau cantik jelita...... siapakah namamu?”
“Hamba...... hamba Bi Houw......”
“Bagaimana engkau bisa berada di sini, pada hal engkau seorang
dayang dari induk istana, bukan?”
“Ampunkan hamba, hamba...... amat terpesona oleh keindahan
mawar di sini, ketika penjaga lengah, hamba menyelinap
90
masuk...... Hamba lupa diri ketika berada di sini, Mohon ampun,
Pangeran......”
“Bi Houw, engkau tadi mengumpamakan kupu-kupu, pangeran.
Siapakah yang kau maksudkan? Dan engkau mengumpamakan
dirimu murai kecil, dan siapa pula burung Hong itu? Hayo jawab
sejujurnya, baru aku mau mempertimbangkan apakah
kelancanganmu ini patut diampuni atau tidak,” kata Pangeran
Mahkota sambil tersenyum menggoda.
Bi Houw pura-pura ketakutan. “Ampunkan hamba...... ampunkan
kelancangan hamba...... burung Hong itu...... dia adalah
pangeran...... dan pangeran itu...... ah, pangeran itu......”
“Hayo katakan, siapa pangeran itu?! Kalau tidak berterus terang,
akan kupanggil pengawal agar engkau dihukum cambuk!”
Pangeran Mahkota mengancam sambil tersenyum.
Bi Houw tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan mencium kaki
pangeran itu. “Ampunkan hamba, pangeran. Pangeran......
pangeran itu...... ah, beliau adalah...... paduka......! Ampunkan
hamba......”
Pangeran Mahkota tertawa bergelak, senang sekali hatinya.
“Aku? Jadi akukah yang membuat engkau rindu? Ha-ha-ha, nah,
aku sudah berada di sini, hendak kulihat sampai di mana
kebenaran pengakuanmu bahwa engkau rindu dan cinta
kepadaku!” Dia membungkuk, mengangkat tubuh yang mungil itu,
memondongnya dan membawa Bi Houw memasuki pondok ungu!
91
Bi Houw dengan amat cerdiknya dapat berlagak seperti seorang
gadis remaja yang masih hijau, canggung, namun penuh dengan
cinta kasih, penuh kemesraan, kehangatan dan kepasrahan.
Namun, di balik itu, biarpun secara halus, ia menyambut
pernyataan cinta pangeran itu dengan gairah yang panas
menggebu, yang membuat Pangeran Mahkota itu merasa bahwa
selama hidupnya baru sekali itulah dia bertemu dengan seorang
gadis perawan yang membuat dia merasa seorang jantan sejati!
Dan pada senja hari itupun hati Pangeran Mahkota telah jatuh
cinta! Dia bukan sekedar iseng, melainkan benar-benar terpikat
dan melekat, jatuh cinta secara mendalam kepada Bi Houw atau
Bu Houw. Dan semenjak pertemuan yang pertama kali itu,
mereka berdua dengan hati-hati seringkali mengadakan
pertemuan di taman itu dan menumpahkan perasaan cinta kasih
masing-masing dengan penuh kemesraan!
Demikian pandainya Bi Houw membawa diri sehingga Sang
Pangeran Mahkota merasa yakin bahwa gadis remaja jelita itu
benar-benar mencintanya dengan segenap jiwa raganya, bukan
seperti wanita lain yang hanya mengharapkan agar terangkat
derajatnya kalau dapat berhubungan dengan dia. Dianggapnya
bahwa Bi Houw sebagai seorang wanita, mencinta dia sebagai
seorang pria!
Dan diapun jatuh benar-benar, dan mengambil keputusan untuk
menjadikan Bi Houw sebagai isterinya, bahkan permaisurinya
kelak!
92
Ketika Kaisar Tang Thai Cung meninggal dunia dalam tahun 649,
maka diangkatlah Pangeran Mahkota sebagai kaisar baru, dan
berjuluk Kaisar Tang Kao Cung.
Dan kini terjadilah hal yang amat berbahaya bagi Bi Houw atau
Bu Houw. Memang benar bahwa Kaisar Tang Kao Cung yang
baru memenuhi janjinya, yaitu dia hendak mengangkat Bu Houw
menjadi Permaisuri. Akan tetapi, para pejabat tinggi di istana
memperingatkan Kaisar Tang Kao Cung bahwa menurut catatan
dalam istana, Bu Houw adalah seorang dayang yang pernah
digauli oleh mendiang Kaisar Tang Thai Cung! Tentu saja catatan
istana ini ada karena kesalahan Bu Houw sendiri yang
memamerkan “kehormatan” atau anugerah yang diterimanya dari
Kaisar Tang Thai Cung dahulu ketika ia digauli di dalam kamar
mandi Permaisuri di suatu pagi.
Menurut peraturan istana, dayang yang sudah digauli kaisar itu,
setelah kaisar meninggal dunia, haruslah melanjutkan
kehidupannya sebagai seorang nikouw (pendeta wanita) dalam
wihara Buddha selama hidupnya! Pada waktu itu, Agama Buddha
sedang berkembang dengan pesat dan diakui oleh pemerintah
sehingga memiliki pengaruh yang besar. Sebagai seorang isteri,
walaupun hanya berkedudukan dayang namun sudah digauli
kaisar, maka Bu Houw harus pula berkabung dengan cara hidup
dalam biara itu sebagai seorang pendeta yang setiap hari hanya
berdoa dan tidak boleh berhubungan dengan orang lain apa lagi
dengan pria!
Akan tetapi, Kaisar Tang Kao Cung sudah terlalu mencinta Bu
Houw sehingga diam-diam kaisar ini memerintahkan agar Bu
93
Houw dilindungi dan diperlakukan dengan hormat dan baik.
Bahkan ia dibebaskan dari keharusan menggunduli kepalanya.
Setelah tiga tahun lewat, yaitu waktu yang dianggap sebagai
masa berkabung telah habis, secara diam-diam Bu Houw
dipindahkan dari dalam wihara ke dalam istana induk dan
bertentangan dengan nasihat para menteri, Kaisar Tang Kao
Cung memaksakan kehendaknyan untuk menikah dengan Bu
Houw dan mengangkatnya sebagai Permaisuri!
Nafsu yang menguasai diri manusia ibarat api. Makin diberi
umpan, makin diberi jalan, bukan menjadi kenyang dan puas
bahkan menjadi semakin murka! Makin diberi semakin kelaparan
dan kehausan!
Ketika masih menjadi seorang dayang, Bu Houw bercita-cita
untuk diangkat menjadi selir, kemudian cita-citanya meningkat
untuk menjadi permaisuri. Biarpun harapannya terhadap
mendiang Kaisar Tang Thai Cung gagal, namun ia berhasil baik
dalam memikat Pangeran Mahkota sehingga ia berhasil
menundukkan pangeran itu dan setelah pangeran itu menjadi
Kaisar Tang Kao Cung, iapun terpenuhi cita-citanya dan diangkat
menjadi Permaisuri. Apakah ini merupakan tujuan terakhir dari
ambisinya? Sudah puaskah nafsu keinginannya?
Jauh dari pada puas! Nafsu takkan pernah mengenal puas, tak
pernah mengenal titik tujuan terakhir selama si manusianya
masih hidup! Bagaikan api, takkan padam selama bahan yang
dibakarnya masih ada.
94
Setelah diangkat menjadi Permaisuri, Bu Houw hanya merasa
puas sementara saja, untuk kemudian nafsunya kembali berkobar
untuk mencapai kekuasaan yang tertinggi! Dan agaknya
ambisinya inipun mendatangkan harapan karena Kaisar Tang
Kao Cung agaknya benar-benar tak berdaya menghadapi
permaisurinya ini.
Kaisar Tang Kao Cung menjadi jinak dan lunak, tunduk dan taat
kepada permaisurinya! Kaisar ini tanpa merasa dijadikan
semacam boneka hidup oleh permaisurinya.
Mulailah Bu Houw mencampuri urusan kenegaraan, bahkan ia
kini dikenal sebagai Bu Cek Thian, Permaisuri Agung yang
berkuasa penuh sesudah Kaisar! Para menteri merasa khawatir
sekali, namun tak seorangpun mampu mengingatkan kaisar, dan
kekuasaan Bu Cek Thian menjadi semakin besar.
Setelah memperoleh kekuasaan besar dan Kaisar selalu menuruti
semua kehendaknya, bahkan mulai mematuhi nasihat-nasihatnya
mengenai bidang pemerintahan, Bu Cek Thian tetap saja tidak
merasa puas. Ada satu hal yang membuat ia merasa hidupnya
tidak lengkap, bahkan merana! Suaminya, Sang Kaisar yang
terlampau memanjakan nafsu berahi ketika masih muda, kini
menjadi seorang suami yang lemah dan sama sekali tidak dapat
menandingi dan memuaskan gairah berahinya yang menggebu
dan berkobar.
Hal ini membuat Bu Cek Thian yang sudah tercapai apa yang
diharapkannya itu merasa sengsara! Mulailah ia membentuk
pasukan pengawal yang terdiri dari para pria kebiri dan juga
95
wanita-wanita perkasa dari orang-orang yang dapat
dipercayanya, dan yang sudah bersumpah setia kepadanya.
Dengan demikian, maka selain keamanannya selalu terjamin
karena selalu ada sekelompok pengawal yang menjaganya, juga
melalui para pengawal yang dipercaya ini, ia dapat apa saja
secara rahasia karena kelompok pengawal ini menjaga agar
rahasianya tidak sampai diketahui orang lain.
Setelah ia melihat kesetiaan dan kecerdikan seorang di antara
para dayangnya yang bernama Siangkoan Wang-ji, ia menarik
wanita ini sebagai dayang pribadi. Kepada Siangkoan Wang-ji
inilah ia menumpahkan semua perasaan dan kekecewaannya,
dan atas nasehat dayang setia ini pula Bu Cek Thian mulai
melakukan penyelewengan untuk memuaskan gairah berahinya
yang bernyala-nyala. yang tak terpuaskan oleh Kaisar Tang Kao
Cung, suaminya yang dianggapnya kurang jantan dan loyo.
Melalui Siangkoan Wang-ji sebagai perantara, secara bergiliran,
dengan perlindungan kelompok pengawal pribadi, mulailah
diselundupkan dua orang perwira istana, kakak beradik yang
bernama Thio Jiang Tiong dan Thio I Ci. Mereka adalah dua
orang perwira muda yang tampan dan gagah.
Tentu saja dua orang kakak beradik ini merasa seperti kejatuhan
rembulan. Mereka tidak berani membuka rahasia dan diam-diam
menikmati “anugerah” dari Sang permaisuri itu. Mereka
mendapatkan seorang wanita yang matang dan cantik jelita, yang
menyambut mereka secara bergiliran dengan gairah yang panas,
mereka mendapatkan pula hadiah-hadiah yang berharga dan
tentu saja mereka merasa terhormat.
96
Di samping itu, mereka juga tentu takut sekali kalau sampai
rahasia itu ketahuan oleh Kaisar. Maka, tanpa diperintah lagi,
untuk mempertahankan kenikmatan dan keuntungsan itu, juga
untuk menyelamatkan diri, mereka itu menutup mulut dan tidak
pernah membocorkan rahasia itu.
Demikianlah riwayat singkat dari Permaisuri Bu Cek Thian yang
pada waktu, biarpun tidak secara terbuka dan sah, merupakan
orang yang sesungguhnya memegang kendali pemerintahan.
Bukan hanya untuk urusan pemerintahan, juga di dalam istana,
ialah yang memegang kuasa penuh. Hanya kadang-kadang saja
Kaisar Tang Kao Cung memperlihatkan sikap yang
sesungguhnya, sikap seorang kaisar dan seorang suami, namun
pada akhirnya, dialah yang kalah pengaruh dan tunduk kepada
kemauan Sang Permaisuri.
Diri permaisuri itu diliputi penuh rahasia. Para pejabat tinggi yang
setia kepada kaisar, mencemaskan keadaan itu, apa lagi setelah
akhir-akhir ini timbul pembunuhan-pembunuhan rahasia terhadap
beberapa orang pejabat tinggi dan pengeran, para menteri yang
setia menjadi semakin gelisah. Akan tetapi, para pejabat tinggi
yang “terpakai” oleh Bu Cek Thian, yang dipilih menjadi orang-
orang yang dipercaya oleh Sang Permaisuri, tentu saja tidak
merasa cemas, bahkan diam-diam mereka merasa girang sekali
karena kepercayaan Sang Permaisuri kepada mereka membuat
derajat dan kekuasaan mereka terangkat naik.
Demikian besar kekuasaan Bu Cek Thian atas diri kaisar
sehingga namanya terkenal di dalam sejarah. Apa lagi setelah ia
97
melahirkan seorang putera, kekuasaannya menjadi semakin
besar dan Kaisar semakin tunduk kepadanya.
Hanya Bu Cek Thian atau Bu Houw atau dahulu disebut Bi Houw
yang tahu, siapakah sebenarnya ayah kandung Pangeran Tiong
Cung itu! Tentu saja bagi kaisar sendiri dan umum, menganggap
hahwa pangeran itu adalah putera kandung Kaisar Tang Kao
Cung! Akan tetapi, sebelum melahirkan pangeran itu, diam-diam
Bu Cek Thian yang sudah merasa tidak puas dengan suaminya,
telah mengadakan hubungan dengan beberapa orang pria yang
diselundupkan secara rahasia dari luar istana bagian puteri.
Bahkan seorang di antara mereka itu, termasuk seorang tukang
taman muda she Ma yang kemudian tewas secara aneh karena
suatu penyakit perut yang mendadak.
Dan melihat betapa hidung pangeran Tiong Cung yang besar itu
serupa benar dengan bentuk hidung mendiang penjaga taman
Ma, diam-diam Bu Cek Thian sendiri menduga bahwa mungkin
tukang taman itulah ayah kandung puteranya yang sebenarnya.
Kalau tadinya masih ada menteri yang suka memperingatkan
kaisar terhadap Bu Cek Thian, setelah wanita itu melahirkan
putera yang menjadi pangeran mahkota, tentu saja tidak ada lagi
yang berani mencela wanita itu di depan kaisar atau siapapun
juga. Kekuasaan Bu Cek Thian sebagai lbu Suri amatlah
besarnya, dan sekali Ibu Suri ini menudingkan telunjuknya, siapa
saja, tidak perduli betapapun besar kedudukannya, akan
ditangkap, dihukum buang ataupun dihukum mati!
98
Ketika terjadi pembunuhan-pembunuban rahasia yang
menggelisahkan Kaisar, Bu Cek Thian juga menjadi gelisah dan
permaisuri ini yang mengusulkan kepada kaisar untuk mengutus
Cian Ciang-kun, yaitu Cian Hui yang terkenal sebagai seorang
detektip ulung dan pandai itu, untuk malakukan penyelidikan dan
membongkar rahasia pembunuhan yang menggelisahkan itu.
Semua pejabat pemerintah, terutama sekali yang berkedudukan
tinggi, menduga-duga siapakah pembunuh misterius itu, dan
siapa pula yang berdiri di belakangnya. Memang sukar untuk
menduga dan keadaannya membingungkan sekali.
Kalau yang terbunuh itu hanya orang-orang yang dekat dengan
kaisar misalnya, tentu akan timbul dugaan bahwa pembunuh
misterius dan pengaturnya tentulah orang yang tidak suka kepada
kaisar dan orang yang ingin memereteli kekuasaan kaisar dengan
menyingkirkan mereka yang membantu kaisar dan yang setia
kepada kaisar. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak pula
pejabat tinggi yang terkenal anti dengan kebijaksanaan kaisar,
yang bahkan condong membela dan mendukung kebijaksanaan
Ibu Suri atau Permaisuri, juga terbunuh!
◄Y►
“Ih, kenapa rumahmu sesunyi ini, Cian Ciang-kun? Engkau
seorang pejabat yang penting dan berpengaruh di kota raja, akan
tetapi rumahmu yang besar ini amat sunyi. Aku hanya melihat
beberapa orang pelayan saja di luar tadi dan di dalamnya begini
sunyi dan lengang!” kata “nenek” tua itu yang bukan lain adalah
Liong-li yang menyamar sebagai seorang nenek tua ketika
99
memasuki kota raja bersama Cian Hui. Ucapan itu keluar dari
mulutnya ketika ia bersama tuan rumah itu sudah memasuki
rumah gedung milik Cian Hui, dan mereka tiba di ruangan dalam,
duduk berdua saja menghadapi sebuah meja marmer bundar.
Cian Ciang-kun menarik napas panjang, pria berusia empatpuluh
tahun itu merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan
itu. Ucapan yang amat tepat karena betapa seringnya dia
merasakan kesunyian yang mencekam itu apa bila dia berada di
dalam rumahnya. Begitu terasa kehilangan besar itu, kehilangan
isteri dan anaknya, membuat dia merasa kesepian dan tidak
berarti. Hanya kalau dia berada di luar rumahnya, sedang
melakukan tugas, dia bebas dari rasa kesepian itu.
Memang hati dan akal pikiran ini selalu membutuhkan sesuatu
untuk ditempel atau diikat. Kalau ada sesuatu yang dimiliki,
barulah diri merasa ada artinya! Makin penting yang dimilikinya
itu, makin berharga, akan semakin besar pula arti diri. Baik yang
dimiliki itu berupa kedudukan, nama besar, harta benda,
kepercayaan, atau orang-orang yang dicinta, apa saja yang
mendatangkan kesenangan, maka hidup seakan-akan baru ada
artinya karena membutuhkan dan dibutuhkan!
Inilah sebabnya, ikatan inilah yang mendatangkan rasa kecewa,
sakit dan duka kalau kita ditinggalkan sesuatu yang kita miliki dan
kita senangi itu, entah itu nama besar, kepopuleran, harta benda,
orang yang disenangi, atau apa saja. Si-aku baru berarti dan
“hidup” apa bila ada yang ditempeli atau diikatnya. Makin banyak
ikatan, akan semakin hidup dan berarti rasanya! Kita lupa bahwa
semua yang kita anggap, sebagai milik itu hanyalah aku-akuan
100
saja, hanya sementara saja seolah-olah hanya dipinjamkan dan
sekali waktu pasti akan berpisah dari kita.”
“Aihh, habis mau bagaimana lagi, Li-hiap? Aku adalah seorang
duda, kehilangan anak isteri. Dan untuk keperluanku seorang diri
saja, cukup dengan bantuan dua orang pelayan pria dan seorang
pelayan wanita yang kau lihat tadi,” kata Cian Hui.
Liong-li tersenyum dan karena ia tersenyum wajar, bukan senyum
buatan sebagai pelengkap penyamaran, maka “nenek” itu kini
nampak manis sekali!
“Cian Ciang-kun, engkau seorang yang pandai dan cerdik,
mengapa bicaramu seperti seorang kakek-kakek yang lemah dan
putus asa saja? Engkau masih muda, engkau jantan dan gagah
menarik, memiliki kedudukan yang baik, tidak kekurangan harta
benda, juga berilmu, pandai ilmu silat dan juga menjadi seorang
penyelidik yang terkenal. Kalau engkau kehendaki. banyaklah
gadis cantik jelita yang ingin dan suka sekali menjadi isterimu.
Engkau tinggal pilih saja dan kalau engkau mempunyai seorang
isteri lagi, besar harapan engkau mempunyai keturunan dan
membangun sebuah keluarga baru di dalam rumahmu ini.”
“Ah, cukuplah, Li-hiap. Apa yang kau ucapkan itu sudah
diucapkan pula oleh banyak sahabatku. Dan akupun pernah
mencoba untuk memilih-milih seorang wanita sebagai pengganti
isteriku. Namun sampai sekarang belum juga berhasil! Kalau
bukan ada sesuatu pada dirinya yang tidak kusenangi, atau ada
suatu sikapnya yang tidak cocok denganku, tentu ia seorang yang
101
kuanggap terlalu muda bagiku. Ahhh, semua usahaku sia-sia dan
aku menjadi putus asa. Biarlah, aku tinggal menduda saja.
“Dan bagaimana dengan dirimu, Li-hiap? Jangan engkau hanya
menasihati aku saja. Lihat dirimu! Engkau seorang yang cantik
jelita, berilmu tinggi, kaya raya. Namun engkau tinggal
membujang, tidak berumah tangga, tidak bersuami. Pada hal
mencari seorang wanita seperti engkau ini di dunia hanya dapat
dihitung dengan jari tangan saja! Kalau ada seorang wanita yang
sepersepuluhmu saja baiknya, tentu aku sudah menikah lagi!”
“Ih, ngawur! Engkau terlalu memujiku dan merendahkan dirimu
sendiri, Ciang-kun. Terus terang saja, akupun amat kagum dan
suka padamu. Seperti engkau inilah seorang di antara para pria
yang kuanggap hebat untuk dijadikan suami.”
SEPASANG mata perwira itu terbelalak.
“Be.... benarkah itu, li-hiap? Benarkah kata-katamu itu? Aduh,
kalau saja engkau suka dan mau, ah, kalau saja engkau dapat
hidup di rumahku ini sebagai teman hidupku selamanya, sebagai
isteriku, akan sempurnalah hidup ini!”
“Huh, melantur kau, Ciang-kun! Aku tidak mau terikat menjadi
isteri siapapun, kalau menjadi teman baik sekali mungkin......
akan tetapi sudahlah, kelak saja kita bicara tentang urusan
pribadi. Kita menghadapi tugas penting yang harus kita
selesaikan. Nah, sekarang engkau harus mencarikan jalan bagiku
agar aku dapat menyelundup ke dalam istana sebagai seorang
gadis dusun yang menjadi seorang dayang, pelayan atau apa
saja, Ciang-kun.”
102
Cian Hui menarik napas panjang. Hatinya dipenuhi harapan
muluk! Kalau saja wanita ini dapat menjadi isterinya! Liong-li
telah, berterus terang mengatakan bahwa ia kagum dan suka
kepadanya, dan suka pula menjadi teman baiknya. Seorang
wanita yang bukan main! Hebat!
“Baiklah, li-hiap. Aku akan menghubungi sahabatku yang boleh
dipercaya dan yang bertugas di dalam istana agar engkau dapat
diselundupkan di sana. Hal itu mungkin akan makan waktu dua-
tiga hari dan sementara itu, harap engkau suka tinggal dulu di
sini. Selama aku pergi, anggaplah ini rumahmu sendiri, li-hiap.
Tiga orang pelayanku akan kupesan agar mereka mentaati
semua perintahmu.”
“Tidak perlu sungkan, Ciang-kun. Asal aku mendapatkan sebuah
kamar di sini sudahlah cukup dan tiga orang pelayanmu bahkan
jangan mendatangi kamarku kalau tidak kupanggil. Kalau aku
membutuhkan sesuatu, aku akan memanggil seorang di antara
mereka. Akupun tidak bisa tinggal diam saja. Selagi engkau
mencari hubungan dengan orang dalam istana itu, akupun akan
menggunakan waktu dua-tiga hari ini untuk melakukan
penyelidikan, terutama di waktu malam, dengan jalan meronda.
Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengan Kwi-eng-cu (Si
Bayangan Iblis)!”
Cian Hui mengangguk-angguk. “Baiklah, Li-hiap, akan tetapi
harap engkau berhati-hati karena menurut berita yang kuperoleh,
Si Bayangan Iblis itu lihai bukan main dan dapat bergerak seperti
iblis saking cepatnya.”
103
Malam hari itu, setelah cuaca gelap sesosok bayangan hitam
berkelebat di atas wuwungan rumah gedung tempat tinggal Cian
Ciang-kun. Tiga orang pelayan perwira itu sama sekali tidak
melihat bayangan itu, tidak tahu bahwa bayangan itu adalah
bayangan “nenek” yang menjadi tamu tuan mereka.
Memang Liong-li tidak ingin ada orang melihatnya ketika ia mulai
melakukan penyelidikan di kota raja. Ia mengenakan pakaian
serba hitam dan sengaja menutup mukanya dengan saputangan
hitam, hanya nampak sepasang matanya saja yang jeli
mencorong tajam. Rambutnya juga ditutup kain hitam, bahkan
pedang pusaka Hek-liong-kiam yang biasanya tidak pernah
berpisah darinya, pada saat itupun tidak dibawanya dan
disembunyikan di suatu tempat yang aman.
Hal ini menunjukkan bahwa Liong-li tidak ingin ada orang
mengetahui bahwa si topeng hitam itu adalah Hek-liong-li! Hal ini
penting sekali. Ia akan menyelundup ke dalam istana dan biarpun
ia menyelundup sambil menyamar, akan tetapi siapa tahu pihak
lawan bermata tajam dan lihai. Pendeknya, jangan sampai lawan
mengetahui bahwa yang kini sedang bergerak di kota raja
membantu Cian Ciang-kun adalah Hek-liong-li. Bergerak secara
rahasia begini ia akan dapat merasa lebih leluasa.
Setelah berhasil keluar dari rumah besar itu, tubuhnya berkelebat
dengan cepatnya menembus kegelapan malam dan kalau tidak
kebetulan ada orang lain yang berada di dekatnya, tentu tidak
akan nampak jelas bayangan hitam yang berkelebatan itu. Dan
mungkin saja ia yang akan dikira tokoh yang biasa diberi sebutan
Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) karena memang gerakannya itu
104
seperti beterbangan saja saking cepatnya. Dan iapun tidak
melalui jalan yang ramai, melainkan menyelinap dan menyusup di
balik pohon dan rumah, kadang-kadang kalau terpaksa melalui
bagian yang ramai ia melompat ke atas wuwungan rumah dan
berloncatan dari genteng rumah yang satu ke rumah yang lain.
Demikianlah, semalam itu Liong-li melakukan perondaan. Ia
melihat betapa banyaknya orang yang berkeliaran secara
rahasia, maka iapun kagum melihat cara Cian Ciang-kun bekerja.
Tidak salah lagi, orang-orang yang berkeliaran dan berjaga-jaga
di segala tempat itu, tentulah anak buah yang disebar oleh Cian
Ciang-kun!
Ia telah mendekati pula tembok pagar istana yang dijaga ketat.
Alangkah kuatnya penjagaan di sana dan seekor burungpun
kalau terbang lewat akan ketahuan penjaga, apa lagi seorang
manusia. Agaknya, tidak akan mungkin kalau ia harus memasuki
kompleks istana di balik pagar itu tanpa diketahui penjaga. Ia
hanya mengelilingi kompleks istana itu dari luar pagar tembok.
Hal inipun harus ia lakukan dengan hati-hati sekali karena di luar
pagar tembokpun penjagaan amat ketatnya.
Tidak ada terjadi sesuatu yang menarik malam itu. Kecuali
memergoki beberapa orang yang mencurigakan dan ketika ia
bayangi ternyata mereka itu hanyalah maling-maling biasa yang
mencari korban di malam itu, dan yang ia biarkan saja karena
tidak ada hubungannya dengan tugasnya, ia tidak melihat
sesuatu yang dapat dihubungkan dengan Kwi-eng-cu. Dengan
hati agak kecewa dan penasaran, menjelang pagi Liong-li kembali
ke rumah Cian Ciang-kun dan memasuki kamarnya tanpa
105
diketahui tiga orang pelayan. Iapun tidak tahu apakah Cian Hui
sudah berada di dalam kamarnya.
Pada siang harinya Liong-li keluar dari dalam kamarnya. Ia telah
mandi dan makan sarapan pagi yang ia minta dari seorang
pelayan wanita. Mendengar suaranya, Cian Ciang-kun segera
datang menemuinya. Perwira itupun kelihatan lelah seperti orang
yang kurang tidur. Begitu bertemu, Cian Hui mempersilakan
Liong-li duduk dan mereka bercakap-cakap di ruangan dalam
setelah pelayan menghidangkan minuman dan mengundurkan
diri tanpa diperintah.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu semalam, li-hiap?”
Liong-li mengangkat muka, sepasang mata yang tajam di balik
penyamaran wajah nenek keriput itu menatap wajah Cian Hui
penuh selidik. “Engkau tahu bahwa aku semalam meninggalkan
kamarku, Ciang-kun?”
Cian Hui tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Sebelum
engkau pergi, aku telah lebih dahulu meninggalkan rumah, dan
tiga orang pelayanku sama sekali tidak melihat engkau pergi.
Akan tetapi, ada seorang di antara orang-orangku yang bertugas
jaga dan meronda malam tadi, melihat berkelebatnya bayangan
hitam. Dia melapor kepadaku dan akupun menduga bahwa
bayangan itu tentu engkau.”
“Kenapa aku? Bukankah mungkin bayangan itu adalah Si
Bayangan Iblis?”
106
“Sudah kuceritakan kepadamu, li-hiap, bahwa Si Bayangan Iblis
itu merupakan bayangan yang menakutkan tinggi besar dan juga
di kepalanya ada dua tanduk! Akan tetapi, pembantuku yang
melapor tadi mengatakan hahwa bayangan hitam itu hanya
berkelebat cepat, akan tetapi jelas kepalanya tidak bertanduk dan
juga tubuhnya ramping. Karena engkau kemarin sudah
memberitahu kepadaku bahwa malam ini engkau hendak
melakukan penyelidikan, maka tentu saja mudah bagiku untuk
mengambil kesimpulan bahwa engkaulah bayangan itu. Tidak
benarkah dugaanku, li-hiap?”
Liong-li mengangguk. “Aku melihat orang-orangmu itu, Cian
Ciang-kun. Suatu usaha penjagaan yang cukup ketat dan baik.
Akan tetapi aku melihat betapa di sekeliling tembok istana tidak
terdapat orangmu yang berjaga melakukan pengamatan, Ciang-
kun.”
Cian Hui menarik napas panjang dengan wajah kesal. “Tadinya
memang ada kutaruh orang-orang di sekeliling istana, li-hiap.
Akan tetapi hanya satu malam saja karena pada kesokan harinya
aku ditegur oleh panglima pasukan keamanan yang bertugas
untuk menjaga bagian luar istana. Pengamatan orang-orangku itu
membuatnya tersinggung, seolah-olah aku tidak percaya kepada
pasukan yang dipimpinnya. Terpaksa aku menghentikan
penjagaan di sekeliling istana, li-hiap.”
“Hemm, sungguh sulit sekali kalau keadaannya seperti itu.
Biarpun tidak mungkin orang keluar masuk melompati pagar
tembok istana tanpa diketahui penjaga, namun sangat besar
kemungkinannya di beberapa tempat terdapat pintu rahasia dari
107
mana orang dapat keluar masuk. Dan kalau benar terdapat pintu
rahasia, maka seorang yang memiliki gerakan cepat dapat keluar
masuk tanpa diketahui penjaga yang berjaga di atas tembok
pagar itu.
“Semalam aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Akan tetapi malam ini aku akan melakukan penyelidikan lagi. Dan
bagaimana dengan hasil yang kaudapatkan, Ciang-kun?”
“Sudah kuhubungi dan sahabatku itu sedang mengusahakan agar
engkau dapat diselundupkan masuk sebagai seorang dayang
baru, li-hiap. Dia harus lebih dulu menghubungi kepala Thai-kam
dan beberapa orang pejabat yang berwenang mengurus hal itu.
Paling cepat lusa baru engkau akan dapat memasuki istana.”
“Bagus, kalau begitu masih ada dua malam lagi untuk melakukan
perondaan. Siapa tahu akan menemukan sesuatu. Sekarang aku
minta agar engkau suka memperkenalkan nama dan keadaan
orang-orang penting di dalam istana, juga aku ingin mengetahui
orang-orang di luar istana yang sekiranya terancam bahaya
pembunuhan Kwi-eng-cu, yaitu orang-orang yang dekat dengan
kaisar. Siapa tahu, sewaktu aku meronda, orang-orang ini
didatangi pembunuh.”
Dengan senang hati Cian Ciang-kun memperkenalkan nama para
pejabat tinggi di dalam istana, dari Kaisar, Permaisuri, Putera
Mahkota yang masih kecil, kepala Thai-kam yang ada beberapa
orang komandan-komandan pasukan pengawal luar dan dalam
istana, dan sebagainya lagi.
108
Juga Cian Ciang-kun memceritakan kepada Liong-li tentang
kekuasaan Permaisuri atas diri Kaisar, betapa Permaisuri itu yang
sekarang memegang kendali pemerintahan, walaupun yang
menandatangi semua keputusan masih kaisar. Juga perwira ini
dengan hati-hati menceritakan desas-desus yang didengarnya
tentang penyelewengan-penyelewengan gelap yang dilakukan
permaisuri.
Liong-li mendengarkan semua itu dengan tenang dan tidak
merasa heran. Sudah lama ia mengetahui akan kehidupan para
wanita di dalam istana seorang kaisar yang memiliki puluhan,
bahkan sampai ratusan orang wanita yang melayaninya. Tidak
mengherankan kalau seorang permaisuri sampai melakukan
penyelewengan gelap. Suaminya, sang kaisar melakukan
penyelewengan secara berterang, bukan dengan hanya seorang
dua orang wanita, bahkan dengan puluhan atau ratusan orang!
Betapapun juga, desas-desus itu dapat pula dicatat sebagai
sesuatu yang penting karena siapa tahu, hal itu ada pula
hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan misterius itu.
Ia mencatat pula para pangeran dan puteri kaisar yang tinggal di
dalam istana, wajah mereka, usia mereka, nama mereka. Ia harus
menghafal semua itu karena ternyata jumlah nama yang harus
dikenal dan dihafalnya, terdapat puluhan orang! Sudah dapat ia
bayangkan, betapa akan sukarnya menyelidiki orang sebanyak itu
di dalam kompleks istana yang terjaga ketat. Akan tetapi ia tidak
merasa khawatir. Ia tidak akan mencari, melainkan akan
memaksa dan memancing Si Bayangan Iblis untuk keluar dari
tempat persembunyiannya dan memperkenalkan diri kepadanya!
109
Seperti malam pertama, pada malam kedua Liong-li melakukan
perondaan, dan sekali ini tempat-tempat yang ia kunjungi sudah
tertentu, yaitu tempat tinggal para pejabat tinggi yang oleh Cian
Ciang-kun dianggap mungkin sekali didatangi Si Bayangan Iblis.
Akan tetapi, malam itupun sunyi saja, dan agaknya Si Bayangan
Iblis menghentikan pembunuhan-pembunuhan misterius itu untuk
sementara. Apakah si Bayangan Iblis sudah tahu bahwa ada
seorang wanita sakti sedang berkeliaran melacak jejaknya?
Namun, Hek-liong-li bukan seorang yang mudah putus asa. Pada
malam ketiga, kembali ia melakukan perondaan. Tengah malam
telah tiba ketika bayangannya berkelebat di dekat rumah gedung
tempat tinggal Ciok Tai-jin, seorang pembantu Menteri bagian
Pemungutan Pajak, seorang pejabat tinggi yang menurut
keterangan Cian Ciang-kun, amatlah setia dan jujur, dan karena
adanya Ciok Tai-jin inilah maka rakyat tidak dikenakan pajak
semena-mena, juga yang berpenghasilan besar tidak mampu
mengelak dari kewajiban membayar pajak. Mereka yang bekerja
di bawah Ciok Tai-jin, tidak ada yang berani menyelewengkan
uang pajak, atau menerima suapan dari pedagang besar agar
pajaknya diperkecil, atau menekan rakyat yang tak berdaya
dengan gertakan-gertakan mengandalkan kedudukan dan
kekuasaan mereka.
Penyelewengan para pejabat dapat dilaksanakan dengan lancar
dan baik, segala bentuk penyelewengan atau korupsi dapat
dibasmi kalau dimulai dari atas! Kalau Sang Kaisar jujur dan
bersih, tidak korupsi, sudah pasti Kaisar mampu dan berani untuk
bertindak tegas dan keras terhadap para Menteri yang berani
melakukan korupsi. Kalau Menterinya sudah tidak korupsi, tentu
110
dia akan berani melakukan tindakan tegas terhadap para pejabat
tinggi kepala daerah yang membantunya. Dan demikian
seterusnya, kalau atasannya bersih, dia berani bertindak
terhadap bawahannya sehinggga sampai di kalangan yang paling
bawah tidak akan berani melakukan penyelewengan karena
atasannya yang bersih selalu bersikap tegas.
Sebaliknya, biar ditindak dengan keras bagaimanapun juga
terhadap seorang pejabat, kalau dia melihat atasannya juga
menyeleweng, tentu akan sukar membuat dia jera atau sadar.
Juga atasan yang menyeleweng tidak akan berani menegur
bawahannya yang menyeleweng. Bagaikan seorang bapak dalam
sebuah keluarga, dialah yang harus lebih dulu membersihkan diri
baru dia akan dapat menegur anak-anaknya kalau mereka itu
menyeleweng dan tegurannya itu akan ditaati.
Kalau si ayah penjudi, betapa mungkin dia melarang anak-
anaknya agar tidak berjudi? Dia baru dapat melarang, menegur,
bahkan menghukum anak-anaknya yang berjudi kalau dia sendiri
tidak berjudi. Bukankah demikian kenyataannya? Sekali lagi,
pemberantasan korupsi baru akan berhasil dengan gemilang
kalau pembersihan dilakukan dari atas, terus menekan ke bawah!
Demikian pula halnya dengan Ciok Tai-jin, Pembantu Menteri
Pajak itu. Dia seorang pejabat tinggi yang bersih dan jujur lagi
setia. Bahkan saking jujurnya, namanya terkenal sebagai seorang
di antara pejabat teladan atasannya sendiri, Sang Menteri Pajak
akhirnya juga terseret ke arah yang baik karena atasan ini
merasa malu hati terhadap pembantu atau wakilnya!
111
Dan Ciok Tai-jin ini merupakan seorang di antara mereka yang
disebut oleh Cian Hui, yaitu mereka yang mungkin sekali menjadi
incaran Kwi-eng-cu atau Si Bayangan Iblis karena dia adalah
seorang yang setia kepada Kaisar dan penentang segala bentuk
penyelewengan sehingga dia amat dihormat dan dipercaya oleh
kaisar.
Liong-li sudah merasa kesal karena malam ini adalah malam
terakhir kalau besok pagi ia dapat diselundupkan ke istana, dan ia
belum pernah melihat sesuatu yang mencurigakan. Akan sia-
sialah ia membuang waktu, tenaga dan berkorban tidak tidur
selama tiga malam selama ini?
Ia bersembunyi di balik sebatang pohon yang tumbuh di kebun
belakang rumah besar itu setelah tadi ia melakukan pemeriksaan
di seluruh permukaan atap rumah itu tanpa berjumpa dengan
sesuatu yang mencurigakan. Ia juga melihat beberapa orang
petugas jaga di gardu jaga pekarangan depan, dan melihat pula
beberapa bayangan orang kadang-kadang lewat di jalan depan
rumah. Ia menduga bahwa tentu bayangan-bayangan itu adalah
anak buah Cian Ciang-kun. Akan tetapi apa artinya semua
penjaga dan juga anak buah Cian Ciang-kun itu kalau benar ada
seorang pembunuh yang berilmu tinggi datang? Takkan ada yang
dapat melihatnya kalau pembunuh itu mempergunakan ilmunya.
Buktinya, ia sendiri dapat memasuki kebun, bahkan melakukan
penyelidikan ke atas atap tanpa ada yang mengetahuinya.
Andaikata ia si pembunuh misterius itu, alangkah akan mudahnya
menyelinap masuk dan mencari Ciok Tai-jin untuk dibunuhnya!
112
Tubuhnya juga mulai merasa lelah, karena terbawa kesalnya hati
tidak mendapatkan hasil apapun dalam penyelidikannya. Selagi ia
ragu-ragu apakah tidak akan ditinggalkannya saja dan
dihentikannya penyelidikannya malam itu, tiba-tiba ia terbelalak
dan seluruh syaraf di tubuhnya menegang, jantung berdebar
tegang dan iapun siap siaga.
Ada bayangan berkelebat dan bayangan ini jelas bukan
bayangan anak buah Cian Ciang-kun, karena bayangan itu
berkelebat melompati pagar tembok dan kini bayangan itu
menyelinap di sebelah dalam kebun, bersembunyi di balik batang
pohon! Agaknya setelah meloncati pagar tembok, bayangan itu
cepat bersembunyi untuk melihat apakah keadaan di dalam pagar
tembok itu aman.
Liong-li tidak berani bergerak sedikitpun agar orang itu tidak
curiga. Tadi bayangan itu berkelebat cepat sekali seperti seekor
burung saja ketika melayang dan melewati pagar tembok.
Demikian cepatnya sehingga yang dilihatnya hanya bayangan
saja dan ia tidak tahu bagaimana bentuknya, tidak tahu apakah
bayangan itu memiliki tanduk ataukah tidak!
Tak lama kemudian, ia melihat lagi bayangan itu berkelebat, kini
sudah dekat sekali dengan rumah gedung Ciok Tai-jin. Liong-li
terkejut bukan main. Bayangan itu memang pantas disebut
Bayangan Iblis karena tanpa diketahuinya, tahu-tahu bayangan
itu telah menyusup dan telah dekat dengan rumah, dan kini
bayangan itu berdiri dekat sinar lampu gantung di sudut rumah
sehingga nampak bayangannya yang tinggi besar dan jantungnya
113
berdebar tegang ketika ia melihat dua benda hitam mencuat dari
kepala bayangan itu. Bayangan itu bertanduk!
“Kwi-eng-cu (Bayangan iblis)......!” serunya dalam hati dan Liong-li
cepat menyusup dan mendekat. Pada saat bayangan itu
melayang naik ke atas wuwungan rumah, tubuh Liong-li juga
melayang dan menyusul dengan cepat sekali karena iapun
mengerahkan seluruh tenaga gin-kang sehingga tubuhnya seperti
seekor naga hitam menerjang awan.
Kini si Bayangan Iblis yang terkejut nampaknya ketika tiba-tiba
ada bayangan lain berkelebat dan seorang berpakaian serba
hitam berkedok hitam yang bertubuh ramping telah berdiri di
depannya! Liong-li juga memperhatikan orang itu. Memang tinggi
akan tetapi tidak begitu besar, dan “tanduk” itu sesungguhnya
bukan tanduk, melainkan kedok yang bagian atas kepalanya
meruncing ke atas kanan kiri sehingga kalau dilihat dari jauh atau
hanya sekelebatan saja memang mirip tanduk.
Akan tetapi, Liong-li tidak sempat mengamati dengan jelas,
bahkan tidak sempat bertanya karena tiba-tiba saja, tanpa
mengeluarkan suara, si Bayangan Iblis itu telah menerjangnya
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya!
“Hemmm......!” Liong-li melempar tubuh ke samping sambil
berjungkir balik. Tentu jarang ada yang mampu menghindarkan
diri dari hantaman tangan kiri disusul totokan tangan kanan tadi,
pikirnya.
Si Bayangan Iblis sendiri agaknya juga terkejut dan heran.
Memang jarang sekali dia bertemu orang yang mampu
114
menyelamatkan diri dari serangannya tadi. Biasanya dia tidak
mau bekerja setengah-setengah, sekali serang tentu lawan roboh
dan tewas, maka dia selalu mempergunakan jurus pilihan dan
mengerahkan seluruh tenaganya.
Namun, sekali ini dia kecelik karena orang berkedok hitam ini
mampu menghindarkan diri, bahkan kini dari samping, lawannya
membalas dengan serangan kaki. Kaki itu mencuat dalam bentuk
tendangan yang mengarah lambungnya!
“Wuuuuttt......!” Tendangan Liong-li luput! Hal inipun
memperingatkan Liong-li bahwa ia berhadapan dengan lawan
yang tangguh sekali. Tendangannya tadi merupakan serangan
yang dahsyat dan amat diandalkan, namun lawannya mampu
mengelak dengan mudah!
“Huhh!” Suara ini keluar dari balik kedok lawannya, suara yang
seperti mengejek atau mendengus, keluar dari hidung, kemudian
orang itupun menyerang kalang kabut dan Liong-li semakin
kagum. Bukan main hebatnya serangan lawannya, setiap
gerakan tangannya mengandung tenaga yang amat dahsyat dan
kuat, dan kecepatannya pun mengagumkan.
Di samping itu, gerakan silatnya juga aneh sehingga ia tidak
mampu mengenalnya. Untuk mengukur tenaga lawan, ketika
lengan kanan lawan itu menyambar dengan cengkeraman ke
arah kepalanya, Liong-li menyambut dengan lengan kanan pula
sambil miringkan tubuh dan mengerahkan seluruh tenaganya.
“Dessss......!!” Hebat bukan main akibat pertemuan dua buah
lengan yang dipenuhi sin-kang (tenaga sakti) yang sudah
115
mencapai tingkat tinggi itu. Tubuh Liong-li terpental dan ia harus
mempergunakan kelincahannya, melakukan pok-sai (salto)
sampai lima kali baru kakinya turun ke atas genteng dengan
ringan. Adapun lawannya terdorong mundur dan kakinya terjeblos
ke dalam genteng yang jebol!
Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih kuat, akan
tetapi kini Liong-li sudah siap lagi karena orang itu sudah
meloncat dan menyerangnya lagi, dan terjadilah perkelahian yang
amat hebat di atas wuwungan rumah itu.
Melihat betapa lawan sangat marah dan bersemangat melakukan
penyerangan, Liong-li bersikap tenang, lalu ia mainkan langkah-
langkah ajaib Liu-seng-pouw. Tubuhnya bergerak-gerak, kedua
kakinya membuat langkah-langkah aneh, namun tubuhnya dapat
menyelinap di antara kedua tangan dan kaki lawan yang
menyambar-nyambar dengan ganasnya!
Keributan di atas genteng ini, apa lagi ketika kaki Kwi-eng-cu (si
Bayangan Iblis) tadi terjeblos ke dalam genteng, tentu saja
terdengar oleh para penjaga yang segera berlarian dan mereka
itu memasang obor. Bahkan ada beberapa orang anak buah Cian
Ciang-kun yang kebetulan meronda lewat, segera berdatangan
dan tiga orang sudah meloncat naik ke atas genteng dengan
senjata di tangan.
Sejak melihat sinar-sinar obor, Kwi-eng-cu nampak gugup dan
tiba-tiba dia mengeluarkan seruan marah ketika melihat tiga
orang berloncatan naik ke atas genteng. Tiba-tiba tangan kanan
kirinya bergerak dan Liong-li cepat mengelak sambil
116
mengebutkan ujung lengan bajunya ketika melihat sinar-sinar
hitam kecil menyambar.
Ia terhindar dari sambaran benda-benda yang merupakan senjata
rahasia itu, akan tetapi tiga orang yang berlompatan naik
berteriak kesakitan dan merekapun roboh di atas genting. Liong-li
meloncat dan melakukan pengejaran ketika Kwi-eng-cu melompat
jauh dari atas wuwungan itu.
Terjadi kejar-mengejar di atas wuwungan, akan tetapi si
Bayangan Iblis itu sudah melompat turun dan lenyap di antara
pohon-pohon di dalam kebun. Liong-li juga melompat turun. Ia
masih sempat melihat orang yang dikejarnya itu melompati pagar
tembok, maka diapun cepat lari mengejar dan melompati pagar
tembok, tidak perduli kepada para penjaga keamanan yang
melihat mereka dan berteriak-teriak mengejar dengan obor di
tangan kiri dan golok di tangan kanan.
Sayang malam itu gelap sehingga ketika dia tiba di luar pagar
tembok rumah Ciok Tai-jin, ia kehilangan jejak. Akan tetapi, ia
melihat sesosok bayangan lari di depan.
“Hemm, hendak lari ke mana kau?”' teriaknya dan iapun mengejar
sambil mengerahkan tenaga. Dan sekali ini ia berhasil menyusul
bayangan itu dan tiba-tiba, Bayangan itupun membalik dan
menusukkan pedangnya ke arah dada Liong-li!
“Hemm......!” Liong-li mengelak dengan mudah saja dan iapun
membalas dengan tendangan kakinya. Lawannya menarik
pedang dan miringkan tubuh, lalu pedang di tangannya itu
menyambar turun untuk memapaki kaki Long-li yang menendang.
117
Liong-li tersenyum mengejek, menarik kakinya dan kini tangan
kirinya menyambar ke arah pelipis lawan, sedangkan tangan
kanannya menotok ke arah siku kanan yang menonjol ke
samping! Gerakannya cepat sekali dan lawannya mengeluarkan
seruan kaget lalu melompat be belakang.
“Hemmmm......!” Liong-li berseru juga dengan heran lalu kakinya
menyambar dahsyat. Orang itu mengelak lagi, akan tetapi
pinggangnya masih kena dicium pinggir sepatu Liong-li sehingga
dia terhuyung, lalu dia membalikkan, tubuhnya dan lari!
“Ehhh?” Liong-li merasa semakin heran.
Orang berkedok dan berpakaian hitam ini serupa benar dengan
yang ditempurnya di wuwungan rumah tadi, akan tetapi ia
merasakan dengan jelas bahwa tingkat kepandaian orang
pertama tadi jauh lebih tinggi dari pada kepandaian orang
berpedang ini, walaupun yang kedua inipun merupakan lawan
tangguh! Ia merasa curiga sekali dan menduga bahwa agaknya
ada dua orang Kwi-eng-cu!
“Hemm, hendak lari ke mana kau?” teriaknya dan iapun
melakukan pengejaran.
Kota raja sudah sunyi sekali karena malam sudah amat larut,
sudah jauh lewat tengah malam. Hanya orang mabok saja yang
masih berkeliaran di jalan raya, akan tetapi karena mereka itu
mabok, tentu saja melihat dua orang lari berkejaran mereka tidak
mengambil pusing.
118
Aku harus tahu di mana sarangnya, pikir Liong-li. Akan tetapi,
orang itu tidak lari ke arah istana seperti yang disangkanya,
bahkan yang diharapkannya, melainkan lari ke arah selatan
menjauhi istana! Pintu gerbang selatan memang tidak jauh dari
situ.
Biar dia lari dari pintu gerbang, pikir Liong-li. Menurut Cian Ciang-
kun, pada waktu itu, pintu-pintu gerbang kotaraja di jaga ketat,
maka kalau si bayangan hitam itu lari ke situ, tentu akan ketahuan
dan tidak mungkin dia dapat melarikan diri keluar pintu gerbang.
Akan tetapi, ia menahan seruan kagetnya ketika melihat orang
yang dikejarnya itu terus saja berlari menghampiri pintu gerbang,
dan setelah tiba di pintu yang tertutup itu, tubuhnya meloncat ke
atas dan tidak ada seorang pun penjaga yang mencegah
perbuatannya atau yang kelihatan menghadang atau berteriak
menegur!
Tentu saja Liong-li tidak memperdulikan keadaan itu dan terus
mengejar dengan melompat ke atas pintu gerbang pula, melalui
bangunan gardu seperti yang dilakukan orang yang dikejarnya.
Setelah tiba di luar pintu gerbang, ia terus mengejar karena
melihat si Bayangan Iblis itu lari ke arah kiri. Akan tetapi, yang
dikejarnya itu lenyap di balik sebatang pohon besar. Untung
banyak bintang kini bermunculan di langit yang telah ditanggalkan
awan sehingga biarpun remang-remang cuaca tidaklah terlalu
gelap.
Ketika ia tiba di dekat pohon, tiba-tiba ada angin menyambar dari
kanan. Ia mengelak dan membalas serangan orang itu. Kiranya si
119
Bayangan Iblis telah menyerangnya dengan pedangnya.
Tendangannya membuat lawannya menarik pedang yang kini
diangkat tinggi dan dibacokkan ke arahnya. Akan tetapi tanpa
menggerakkan kakinya, dengan tendangan berantai, Liong-li
“memasuki” dada yang terbuka itu.
“Desss!” Perut orang itu bertemu dengan tumitnya dan orang
itupun terjengkang. Dia bergulingan dan menggerakkan tangan
kiri. Liong-li yang mengejar, terpaksa mengelak untuk
menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia sehingga
orang itu memperoleh kesempatan untuk lari lagi.
“Jangan lari kau!” bentak Liong-li akan tetapi lawan telah
menghilang di balik batang pohon di depan.
Ketika ia mengejar, tiba-tiba ada lagi serangan dari kiri. Ini tidak
mungkin orang yang lari tadi, pikirnya heran, apa lagi ketika
serangan itu jauh lebih dahsyat dari pada orang tadi, walaupun
bayangan itu masih sama gesitnya, dan juga berpedang.
Demikian cepat dan dahsyatnya serangan ini sehingga Liong-li
terkejut, nyaris pundaknya terbabat pedang. Untung ia masih
sempat menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw sehingga
biarpun terhuyung, ia mampu menghindarkan diri dari serangan
bertubi-tubi itu.
Kemudian, di dalam keremangan cuaca, ia melihat sebatang
ranting pohon di bawah pohon di mana mereka berkelahi. Ketika
pedang membabat dan berputaran untuk menutup semua jalan
keluar, Liong-li menggunakan tubuhnya dan menyambar ranting
120
itu. Sambil meloncat, ujung rantingnya menotok ke arah
pergelangan tangan yang memegang pedang.
“Auhh!” Orang itu tidak menyangka sama sekali akan kelihaian
Liong-li dalam menggunakan senjata yang hanya berupa
sebatang ranting itu! Tentu saja Liong-li lihai bukan main
memainkan ranting karena selain ilmu pedang, juga ia telah
mewarisi ilmu silat tongkat dari suhunya, yaitu Huang-ho Kui-bo
yang merupakan tokoh sakti yang terkenal dengan ilmu
tongkatnya! Bahkan ilmu pedangnya juga bersumber dari ilmu
memainkan tongkat ini!
Namun orang itu ternyata lihai juga. Biar pun pergelangan tangan
kanannya tertotok ujung ranting, sehingga pedangnya terlepas,
namun pedang itu dapat disambar oleh tangan kirinya dan iapun
memutar pedangnya dengan marah. Liong-li terpaksa melangkah
mundur menghindarkan sambaran pedang. Akan tetapi pada saat
itu, lawannya melompat jauh ke belakang lalu melarikan diri
memasuki sebuah hutan kecil.
Liong-li adalah seorang wanita yang selain sakti, juga cerdik
bukan main. Melihat lawannya melompat ke dalam hutan yang
gelap, ia tidak mau mengejar. Apa lagi ia tadi merasa dilawan
oleh tiga orang yang berlainan, walaupun mereka semua
mengenakan pakaian dan kedok yang sama, dan ketiganya lihai
dan memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat.
Ia tidak mau masuk perangkap lawan. Selain itu, iapun tidak mau
menanti sampai hari menjadi terang karena ia sendiripun
melakukan penyamaran dan tidak ingin dikenal orang. Maka,
121
iapun cepat memutar tubuhdan lari secepatnya menuju ke pintu
gerbang.
Ia harus menyelidiki para penjaga pintu gerbang, kenapa mereka
itu sama sekali tidak menegur dan tidak menghalangi ketika ia
berkejaran dengan Si Bayangan Iblis keluar dari Kota raja melalui
pintu gerbang tadi. Apakah para penjaga itu termasuk sekutu Si
Bayangan Iblis?
Setelah Liong-li memasuki gardu penjagaan dan melihat belasan
orang perajurit penjaga pintu gerbang itu, barulah ia tahu
mengapa Si Bayangan Iblis mampu keluar dari pintu gerbang
tanpa terganggu para penjaga. Kiranya para penjaga itu semua
dalam keadaan pingsan tertotok!
Makin yakinlah hatinya bahwa Si Bayangan Iblis itu bukan hanya
satu orang saja! Yang bertempur dengannya tadi saja ia taksir
tiga orang yang berlainan, dan mungkin lebih banyak lagi melihat
bahwa ada pula yang menotok para penjaga sampai pingsan. Ia
tidak menyadarkan para penjaga. Biarlah, ini bagian Cian Ciang-
kun untuk menyelidiki dan menanyai mereka. Iapun terus saja
memasuki kota dan menuju ke rumah Cian Ciang-kun.
Akan tetapi ketika ia melewati rumah itu, perasaannya yang peka
itu memberi isyarat kepadanya dan kecerdikannya pun bekerja.
Tidak, pikirnya, ia tidak boleh memasuki rumah Cian Ciang-kun!
Siapa tahu kalau ada pihak lawan yang membayanginya. Kalau ia
tadi mampu membayangi lawan, kini berbalik mungkin sekali
lawan membayanginya sejak di luar kota tadi!
122
Kalau benar demikian, tentu mereka akan mengetahui bahwa ia
tinggal di rumah Cian Ciang-kun sehingga akan terbongkarlah
rahasianya! Dan hal ini berbahaya sekali! Tidak, ia harus dapat
menghilangkan jejaknya sebagai si kedok hitam yang jelas
menentang pembunuh misterius yang berjuluk Kwi-eng-cu itu.
Tanpa ragu dan tanpa menengok sedikitpun ke arah rumah Cian
Ciang-kun maupun ke belakang, Liong-li terus saja bergerak
menuju ke sebuah kuil! Tidak ada tempat yang lebih baik untuk
menghilangkan jejaknya kecuali di kuil besar itu.
Pada masa itu, agama Buddha sedang berkembang dengan
baiknya dan diterima oleh keluarga kaisar, maka kuil yang berada
di kota raja amat besar. Banyak dikunjungi tamu, bahkan ada
pula tamu-tamu yang sengaja bermalam di kuil itu. Juga di situ
penuh dengan hwesio yang beribadat dan saleh.
Selama tiga hari ini, Liong-li sudah berkeliling kota dalam
penyelidikannya, dan iapun tidak melewatkan kuil ini. Sudah
dikunjunginya beberapa kali sebagai seorang nenek, namun tidak
ada yang mencurigakan di kuil itu.
Penyelidikannya membuat ia tahu akan keadaan kuil itu, maka
tanpa ragu lagi ia menyelinap masuk ke dalam ruangan depan
kuil yang sunyi karena baik para tamu maupun para pendeta
sudah beristirahat. Hanya meja sembahyang masih nampak ada
lilin bernyala dan asap sisa hio masih memenuhi ruangan.
Ketika memasuki ruangan itu, Liong-li diam-diam melepas
pakaian hitamnya, kemudian menyelinap ke tempat yang gelap
dan cepat sekali ia merobah penyamarannya. Lima menit
123
kemudian, ketika ia keluar dari tempat gelap, ia telah menjadi
seorang nenek keriputan yang membawa buntalan dan berjalan
agak bongkok, yang masuk ke ruangan di mana para tamu yang
ingin memohon sesuatu di kuil itu bermalam.
Iapun mencampurkan diri dengan para tamu perempuan yang
masih tidur dalam ruangan kosong yang luas itu, tidur malang
melintang dan iapun merebahkan diri memeluk buntalannya yang
sesungguhnya berisi pakaian dan kedok hitamnya tadi. Ia
menanti sambil berpura-pura tidur.
Tak lama kemudian ia mendengar gerakan kaki di luar ruangan,
lalu sebuah kepala muncul di balik jendela. Sepasang mata yang
tajam menyapu ruangan itu. Kepala seorang laki-laki yang
usianya kurang lebih empatpuluh tahun, bermuka persegi dan
bermata tajam sekali. Ia melihat orang itu memiringkan kepala
dan iapun tahu bahwa orang itu sedang melakukan penyelidikan
dengan pendengarannya yang tajam terlatih. Maka iapun
mengatur pernapasannya, seperti orang tidur nyenyak.
Tak lama kemudian, kepala itupun menghilang. Akan tetapi ia
masih belum mau bergerak. Ia harus berhati-hati. Mungkin lawan
yang membayanginya sedang mencari-cari di seluruh kuil karena
ia memang tadi menghilang ke dalam kuil.
Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian, kembali kepala itu
muncul dan mengamati seluruh ruangan, seluruh perempuan
yang tidur, seperti hendak memilih siapa di antara mereka itu
orang yang dicarinya. Dan Liong-li tetap saja tidak bergerak,
bahkan ia mengeluarkan suara mendengkur lirih! Hatinya
124
tersenyum geli, akan tetapi juga memuji diri sendiri akan
ketelitiannya.
Terdengar kepala di jendela itu menghela napas, agaknya
kecewa karena kehilangan orang yang dibayanginya. Setelah
mengamati semua orang selama hampir seperempat jam
lamanya, akhirnya kepala itupun menghilang dan Liong-li
mendengar langkah kaki meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa
orang itu tidak ada nafsu lagi untuk menyelidiki, buktinya
langkahnya berat dan acuh.
Setelah terdengar ayam berkokok dan beberapa orang di antara
para tamu wanita itu, ada yang terbangun. Liong-li juga bangun
dan berlagak seperti orang yang baru bangun tidur,
membereskan rambutnya yang awut-awutan lalu bangkit
meninggalkan ruangan itu. Sikap dan penampilannya demikian
wajar sehingga tidak mencurigakan siapapun.
Siapa yang akan mencurigai seorang nenek tua yang mungkin
mintakan ramalan untuk dirinya, atau mungkin juga memintakan
obat untuk cucunya yang sakit, di kuil itu? Dengan terbongkok-
bongkok Liong-li yang kini sudah berubah menjadi seorang nenek
keriputan itu meninggalkan kuil, terseok-seok dengan muka
tunduk berputar-putar dulu untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak
dibayangi orang, baru ia melewati gedung Cian Ciang-kun dan
memasuki pekarangan.
Tiga orang pelayan itu memandang heran. Mereka tahu bahwa
majikan mereka mempunyai seorang tamu, akan tetapi setahu
mereka, nenek tua yang menjadi tamu itu tidak pernah
125
meninggalkan kamarnya. Bagaimana sekarang tahu-tahu telah
datang dari luar? Untung bahwa Cian Ciang-kun yang sejak pagi
menanti dengan gelisah, segera menyambutnya.
“Aih, bibi, sepagi ini engkau sudah berjalan-jalan?” tegurnya dan
diapun segera membimbing “bibinya” yang dari dusun itu dan
diajaknya masuk.
Tiga orang pelayan itu menggeleng-geleng kepala setelah
majikan mereka menggandeng nenek itu masuk. Mereka tahu
bahwa majikan mereka adalah seorang yang baik budi, akan
tetapi belum pernah mereka melihat majikan mereka mempunyai
seorang bibi dari dusun yang sudah tua dan yang agaknya amat
dihormati dan disayang oleh majikan mereka. Akan tetapi, tentu
saja urusan keluarga itu tidak menarik perhatian mereka.
“Wah, engkau sungguh membuat aku menjadi gelisah bukan
main, Li-hiap. Apa saja yang kaudapatkan semalam sehingga
engkau sampai pulang terlambat dan sudah menyamar lagi
sebagai seorang nenek?” Cian Ciang-kun yang cerdik segera
dapat menduga bahwa tentu pendekar wanita itu telah
menemukan sesuatu.
Liong-li lalu menceritakan apa yang telah dialaminya semalam,
didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cian Ciang-kun.
Ketika Liong-li bercerita tentang para penjaga pintu gerbang
selatan yang pingsan tertotok semua, dia cepat bertepuk tangan
dan seorang pelayan pria muncul di ambang pintu.
“Cepat kau pergi keluar dan undang Teng Ciang-kun ke sini.
Cepat!”
126
Pelayan itu berlari keluar dan tak lama kemudian dia sudah
kembali bersama seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun
yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dia adalah Teng
Ciang-kun, seorang perwira yang setia membantu Cian Ciang-
kun dan tinggalnya pun di bangunan kecil sebelah depan rumah
Cian Ciang-kun yang menjadi atasannya.
Teng Ciang-kun memberi hormat tanpa memperdulikan nenek tua
yang duduk di situ. Dia adalah seorang petugas yang setia dan
amat baik, melaksanakan segala tugas yang diperintahkan
atasannya dengan taat dan tidak pernah ingin tahu akan urusan
pribadi atasannya. Maka diapun acuh saja melihat hadirnya
seorang nenek di situ, hal yang sebenarnya tidak wajar dan tidak
seperti biasa.
“Teng Gun, cepat engkau pergi ke pintu, gerbang selatan dan
selidiki kepada semua perajurit yang bertugas jaga semalam, apa
yang terjadi dengan mereka. Atau lebih baik lagi engkau bawa
saja komandan jaganya ke sini, katakan bahwa aku mempunyai
kepentingan dengan dia. Sekarang juga!”
Teng Gun atau Teng Ciang-kun memberi hormat lalu pergi.
Terdengar suara derap kaki kuda, tanda bahwa dia berkuda agar
dapat melaksanakan tugas itu dengan cepat.
Sambil menanti kembalinya Teng Ciang-kun, Cian Hui
melanjutkan percakapannya dengan Liong-li.
“Jelaslah sekarang bahwa Si Bayangan Iblis bukan hanya satu
orang saja, Ciang-kun. Yang berkelahi dengan aku sedikitnya ada
tiga orang Kwi-eng-cu yang berlainan. Hal ini dapat kukenal dari
127
tingkat kepandaian mereka. Sungguh berbahaya sekali, mereka
itu semua amat lihai, terutama orang pertama yang kuhadang di
atas genteng rumah Ciok Tai-jin. Terlambat sedikit saja, Si
Bayangan Iblis itu tentu sudah masuk dan berhasil membunuh
Ciok Tai-jin.”
“Hemm, belum tentu, Li-hiap. Ketahuilah bahwa di dalam rumah
wakil Menteri Pajak itu terdapat seorang jagoan yang amat lihai,
seorang murid dari orang sakti di Kun-lun-san. Kabarnya jagoan
itu murid Kun-lun-pai yang amat tangguh. Karena adanya jagoan
itulah maka akupun tidak melakukan penjagaan ketat di dekat
rumah Ciok Tai-jin, seperti di rumah para pejabat tinggi lain yang
kuanggap mungkin akan diserang oleh Kwi-eng-cu.”
“Hemm, bagus kalau begitu. Dia seorang pengawal pribadi
pembesar itu?” tanya Liong-li tertarik.
“Bukan pengawal, melainkan masih anggauta keluarga. Ia adalah
keponakan wanita isteri pembesar itu.”
“Hemm, seorang wanita?”
“Ia, seorang wanita yang masih muda dan cantik, sebaya dengan
engkau, li-hiap. Kalau orang melihatnya, tentu tidak akan
menyangka bahwa ia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang
gemblengan dan lihai sekali. Namanya Sui In dan ia terkenal
sekali. Aku sendiri belum pernah melihat kehebatan ilmu silatnya,
namun dari kawan-kawan, aku dapat mengukur bahwa tingkat
kepandaiannya tentu jauh melebihi tingkatku.”
128
“Wahh.......!” Liong-li berseru kagum. “Tentu hebat sekali wanita
itu, dan kalau usianya sebaya denganku, tentu ia telah
bersuami.......”
“Memang pernah bersuami, akan tetapi kini ia menjadi janda
tanpa anak, karena suaminya menjadi seorang di antara korban-
korban pertama pembunuhan Si Bayangan Iblis. “
“Ahhh......!” Liong-li termenung.
“Memang kasihan sekali wanita muda itu. Akan tetapi sudahlah,
memang sudah nasibnya dan bukan hanya suaminya saja yang
menjadi korban.”
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki dua ekor kuda dan tak
lama kemudian muncullah Teng Ciang-kun dan seorang
komandan jaga yang nampaknya berwajah kusut dan agak pucat,
sinar matanya memandang ketakutan. Ketika bertemu dengan
Cian Hui, dia segera memberi hormat sambil menekuk lutut
kanannya dan suaranya terdengar penuh permohonan,
“Mohon kebijaksanaan Ciang-kun agar peristiwa itu tidak
dilaporkan kepada panglima. Sungguh mati kami tujuhbelas
orang sama sekali tidak berdaya menghadapi bayangan yang
bergerak demikian cepatnya, dan tahu-tahu kami sudah
kehilangan kesadaran dan tidak tahu apa yang telah terjadi. Baru
pagi tadi kami sadar dan seperti baru bangun dari tidur saja.
Semua peristiwa itu bagaikan mimpi saja, akan tetapi ketika kami
saling bercakap-cakap, tahulah kami bahwa peristiwa itu bukan
mimpi dan kami ketakutan, tidak berani melapor ke atasan karena
kami takut dituduln lengah.”
129
“Hemm, coba ceritakan dengan sejelasnya, apa yang telah
terjadi, baru akan kupertimbangkan apakah kalian patut
dilaporkan ataukah tidak,” kata Cian Hui dengan suara tegas.
Komandan jaga itu menceritakan betapa semalam, ketika
sebagian anak buahnya berjaga dan meronda dan sebagian lagi
mengaso di gardu, tiba-tiba mereka yang berada di luar gardu
berjatuhan tanpa mengeluarkan suara. Ketika para penjaga
lainnya keluar, mereka disambut oleh bayangan yang
berkelebatan dan merekapun roboh satu demi satu.
“Saya sendiri ketika itu sedang berada di belakang, Mendengar
suara berisik di depan, saya segera berlari keluar dan sempat
melihat anak buah saya terakhir roboh dan berkelebatnya
bayangan.......”
“Seperti apa bayangan itu?” tanya Cian Hui.
Wajah komandan jaga itu semakin pucat dan dengan gelisah dia
mengerling ke arah Liong-li, Hatinya diliputi keraguan melihat
adanya seorang nenek yang tidak dikenalnya di situ, ikut
mendengarkan percakapan yang memalukan itu.
“Hayo katakan. Ini bibiku sendiri, tidak perlu kau sungkan!” kata
pula Cian Hui. “Seperti apa bayangan itu?”
“Dia...... dia tinggi besar, bertanduk..... Si Bayangan Iblis.....”
suaranya gemetar.
“Lalu apa yang kaulakukan?”
130
“Saya mencabut pedang dan menyerang keluar, mengejar Si
Bayangan Iblis dengan nekat. Akan tetapi, tiba-tiba saja pedang
saya terlepas dan mata saya menjadi gelap. Tahu-tahu pagi tadi
saya siuman seperti yang lain, seperti baru bangun tidur saja.”
Liong-li yang ikut mendengarkan dapat memaklumi peristiwa itu.
Si Bayangan Iblis memang lihai bukan main dan memiliki
keringanan tubuh dan kegesitan yang luar biasa.
Para penjaga itu adalah perajurit-perajurit biasa, bukan pasukan
khusus, maka tentu saja dengan mudah dapat dirobohkan Si
Bayangan Iblis tanpa mereka mampu mengenalnya. Kalau
pasukan khusus yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan tentu
akan lain lagi halnya, setidaknya para perajurit pasukan khusus
tentu akan dapat melakukan perlawanan dan lebih banyak
kemungkinan mereka akan dapat mengenal bayangan itu.
Agaknya Cian Hui juga berpendapat demikian, maka setelah dia
melirik ke arah Liong-li yang nampak tidak tertarik, dia lalu
berkata, “Sudahlah, engkau boleh pergi. Aku tidak akan
melaporkan ke atasan, akan tetapi mulai sekarang, kalau terjadi
hal-hal mencurigakan di pintu gerbang, engkau harus cepat
melaporkannya kepadaku atau menyampaikan kepada
pembantuku Teng Gun.”
Komandan jaga itu nampak girang mendengar ini. Bagaikan
seekor ayam makan padi, kepalanya mengangguk-angguk dan
diapun berpamit lalu pergi dari situ dengan hati lega.
“Bagaimana pendapatmu, Li-hiap?” setelah mereka hanya berdua
saja, Cian Hui bertanya.
131
Liong-li mengerutkan alisnya. “Jelas bahwa Si Bayangan Iblis
bukan hanya satu orang saja dan pembunuhan-pembunuhan
misterius itu tentulah didalangi orang pandai yang mempunyai
banyak anak buah! Dan mengingat bahwa mereka itu mampu
bergerak leluasa dam menghilang penuh rahasia, aku semakin
condong menduga bahwa mereka tentu bersembunyi di dalam
istana, atau setidaknya, pemimpinnya berada di dalam istana.
Bagaimana Ciang-kun, tentang rencana kita agar aku dapat
diseludupkan ke istana?”
“Beres, Li-hiap! Sore hari ini juga engkau dapat dibawa ke istana.
Sudah kuhubungi para pejabat di istana yang kukenal baik. Aku
menceritakan bahwa engkau keponakanku dari dusun yang ingin
sekali menjadi dayang, dan akhirnya kepala Thai-kam (laki-laki
kebiri) yang mengepalai para dayang, yaitu Bong Thai-kam, dapat
menerimamu. Ketika dia menanyakan namamu, aku mengatakan
bahwa engkan she Kim bernama Siauw Hwa, akan tetapi sejak
kecil biasa disebut Akim.”
“Bagus sekali nama itu, Ciang-kun!” Liong-li memuji.
“Ah, aku hanya ingat bahwa namamu memakai huruf Kim (emas),
maka kupergunakan nama itu yang juga bisa dipakai sebagai
nama keturunan. Sudah kupersiapkan perlengkapan yang harus
kaubawa sebagai seorang gadis dusun, dan sebaiknya kalau
engkau menyamar sebagai gadis dusun yang tidak terlalu cantik
akan tetapi juga jangan terlalu buruk.”
132
“Kenapa begitu, ciang-kun?” Liong-li menatap wajah perwira itu
sambil tersenyum. “Bagaimana kalau aku membiarkan wajahku
yang aseli?”
“Wah, jangan! Berbahaya kalau begitu. Baru sehari saja di sana
tentu para pangeran akan saling memperebutkanmu, engkau
pantas menjadi seorang puteri!”
“Ih, engkau memuji atau merayu, ciang-kun?”
“Boleh kauanggap kedua-duanya. Akan tetapi aku bicara serius.
Di istana penuh dengan pangeran-pangeran mata keranjang, dan
aku mendengar di sana penuh dengan hubungan-hubungan
gelap dan kotor karena para pangeran itu tidak malu atau segan
untuk mengganggu selir dan dayang ayah mereka.”
“Hemmm......” Liong-li mengangguk-ngangguk. Hal inipun tidak
aneh baginya karena sudah banyak mendengar akan kehidupan
kotor di balik gemerlapnya kedudukan tinggi dan penuh
kehormatan itu.
“Oleh karena itulah maka amat berbahaya kalau engkau kelihatan
terlalu cantik di istana, Li-hiap. Bukan saja niatmu melakukan
penyelidikan akan menemui banyak rintangan, juga dirimu sendiri
menjadi pusat perhatian dan akan datang gangguan yang akan
menyulitkan keadaan dirimu. Sebaliknya, kalau penyamaranmu
itu kelihatan terlalu jelek, juga akan mencurigakan, karena
bagaimana mungkin seorang gadis yang buruk rupa dapat
diterima sebagai dayang?”
133
“Tidak terlalu cantik akan tetapi tidak terlalu buruk, hemmm,
memang sukar sekali, akan tetapi aku tahu apa yang
kaumaksudkan, Ciang-kun. Jangan khawatir, aku tidak akan
nampak terlalu buruk, akan tetapi setiap orang pria di istana kalau
bertemu dengan aku, sudah pasti tidak akan tertarik.”
“Harap engkau jangan khawatir, Li-hiap. Aku yang telah
menerima bantuanmu, tentu tidak akan membiarkan engkau
begitu saja. Syukur kalau penyelidikanmu berhasil dan rahasia
pembunuhan itu dapat dipecahkan. Andaikata engkau menemui
kesulitan di istana dan tidak ada jalan keluar lagi, akulah yang
akan menghadap kaisar sendiri, dan aku yang akan bertanggung
jawab, akan kuceritakan semua kepada kaisar sebab
kehadiranmu di istana dan aku yakin, mengingat akan jasa-
jasaku, kaisar akan suka memenuhi permohonanku untuk
mengampuni dan membebaskanmu.”
Terharu juga hati Liong-li mendengar janji ini. Ia tahu bahwa
ucapan itu bukan sekedar janji kosong. Orang segagah Cian Hui
ini tentu tidak akan mundur dari tanggung jawab. Akan tetapi ia
tidak menghendaki tugas ini gagal seperti itu.
“Kalau aku menemui kesulitan, tidak perlu engkau menghadap
kaisar, Cian Ciang-kun, akan tetapi sampaikan saja suratku ini
kepada rekanku.”
“Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih)?” Cian Ciang-kun segera
menduga.
Liong-li tidak merasa heran. Memang dunia kang-ouw sudah
mengetahui belaka bahwa Hek-liong-li dan Pek-liong-eng adalah
134
dua sekawan yang tak terpisahkan, apa lagi kalau menghadapi
lawan tangguh dan bahaya besar.
“Benar, apakah engkau sudah tahu di mana harus mencari dan
menemuinya, Ciang-kun?”
Cian Ciang-kun mengangguk. Sebagai seorang penyelidik
terkenal di kota raja, tentu saja dia sudah menyelidiki di mana
alamat pendekar luar biasa yang menjadi rekan dari Hek-liong-li
itu.
“Dusun Pat-kwa-bun dekat Telaga See-Ouw di Hang-kouw?”
Liong-li mengangguk kagum. Orang ini memang pantas menjadi
seorang penyelidik besar yang terkenal di kota raja. Ia
menyerahkan sesampul surat yang sudah ia persiapkan kepada
perwira itu.
“Hanya kalau engkau mendengar bahwa aku menghadapi
kesulitan dan terancam bahaya saja kau serahkan surat ini
kepadanya. Kalau tidak, harap jangan engkau mengganggu
ketenteramannya, Cian Ciang-kun!”
Siang hari itu, Liong-li beristirahat dan tidur untuk memulihkan
kembali tenaganya dan menghilangkan lelahnya. Ia menghadapi
pekerjaan besar dan berbahaya dan ia harus memiliki tubuh yang
sehat dan pikiran yang jernih kalau masuk ke dalam istana sore
nanti.
◄Y►
135
Dusun Kim-tang merupakan dusun terakhir di sepanjang jalan
panjang menuju ke Telaga See-ouw dan karena semua
pelancong yang menuju ke Telaga See-ouw yang indah itu harus
melewati dusun ini, maka dusun menjadi ramai dan penghuninya
semakin banyak. Mereka membuka kedai-kedai minuman dan
makanan, bahkan ada pula yang membuka rumah penginapan
sederhana. Kalau ada pelancong kemalaman di tengah
perjalanan, tentu mereka akan merasa senang sekali
mendapatkan rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah
makan di dalam dusun ini.
Karena dusun itu seringkali dikunjungi pelancong-pelancong dari
kota yang hendak pesiar ke Telaga See-ouw, maka para
penghuni dusun itu sudah biasa melihat orang-orang kota yang
berpakaian mewah, melihat pria-pria tampan, dan wanita-wanita
cantik.
Itulah sebabnya, ketika seorang wanita yang amat menarik
memasuki sebuah rumah makan di dusun itu pada suatu sore,
tidak ada yang merasa heran, walaupun hampir setiap orang pria
yang melihat wanita ini, otomatis mengangkat muka dan
sepasang mata mereka mengeluarkan sinar penuh kagum.
Seorang wanita yang cantik manis dengan tubuh yang penuh
lekuk lengkung yang matang menggairahkan! Seorang wanita
yang membuat setiap orang pria yang berpapasan dengannya tak
dapat menahan diri untuk tidak menoleh dan memandang sekali
lagi penuh kagum.
Wanita itu memasuki rumah makan dengan langkah perlahan dan
lenggang yang gontai, tanda bahwa ia lelah. Namun lenggang
136
yang seenaknya itu bahkan membuat pinggulnya menari-nari
dengan indahnya, tidak dibuat-buat, dan pinggang yang ramping
itu seperti batang pohon yang-liu tertiup angin ribut sehingga
meliuk-liuk ke kanan kiri dengan lenturnya!
Usianya sekitar duapuluh enam tahun. Wajahnya manis dan
jelita, terutama sekali yang indah dan penuh daya tarik adalah
mata dan mulutnya.
Mata itu demikian jeli dan kocak, dengan kerling-kerling yang
amat tajam. Mata yang sipit namun lebar itu agaknya dapat
melihat ke semua arah tanpa menggerakkan leher. Bulu matanya
yang lebat melindungi mata itu sehingga ke mana arah lirikannya
tidak begitu menyidik.
Dan mulutnya! Melihat mulut itu saja, bagi seorang pria yang
panas, sudah merupakan suatu penglihatan yang menantang dan
mendebarkan, seolah-olah mulut itu menantang untuk dicinta dan
dicium. Sepasang bibir yang penuh dan lembut, dengan garis
bibir melengkung seperti gendewa dipentang, kulit bibir tipis dan
kemerahan selalu nampak kebasah-basahan, segar seperti buah
masak dan lekuk-lekuk tipis membayang di kanan kiri mulut.
Deretan gigi putih kadang-kadang mengintai dari balik belahan
bibir kalau ia bicara. Bukan main!
Akan tetapi, ada sesuatu pada wanita itu yang membuat para pria
yang memandang kagum, tidak berani sembarangan
memperlihatkan kekaguman mereka secara kurang ajar atau
tidak sopan. Wanita itu mengenakan pakaian serba hijau yang
137
ketat, yang membuat keindahan bentuk tubuhnya nampak nyata,
dengan lekuk lengkung sempurna di tempat-tempat tertentu.
Dan di punggungnya, selain tergendong sebuah buntalan pakaian
dari kain kuning, juga nampak gagang sepasang pedang yang
disatukan! Dan sikap tenang itu, di samping sepasang
pedangnya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang
bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga tidak boleh dibuat
sembarangan. Seorang wanita kang-ouw!
Dugaan itu tidak keliru. Wanita ini bukan lain adalah wanita yang
pernah dibicarakan oleh Cian Hui kepada Hek-liong-li. Ia adalah
Cu Sui In, keponakan dari isteri CiokTai-jin di kota raja. Cu Sui In
memang benar murid Kun-lun-pai, yang boleh dibilang sudah
menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dari Kun-lun-pai.
Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa wanita ini sejak
berusia lima tahun, telah digembleng oleh seorang di antara
pimpinan Kun-lun-pai. Sampai berusia duapuluh tahun, selama
limabelas tahun ia belajar ilmu-ilmu yang tinggi dan ditambah pula
dengan bakatnya, maka setelah dewasa iapun menjadi seorang
pendekar wanita Kun-lun-pai.
Selain lihai ilmu silat tangan kosongnya, dan pandai memainkan
delapanbelas macam senjata, Sui In memiliki keistimewaan
dalam ilmu pedang pasangan dan iapun menerima hadiah
sepasang pedang yang amat baik dari para pimpinan Kun-lun-pai
ketika ia meninggalkan perguruan Kun-lun-pai yang terkenal itu.
Setelah meninggalkan perguruan, iapun diajak oleh bibinya ke
kota raja. Bibinya menjadi isteri Pembantu Menteri Pajak, Ciok
138
Tai-jin, dan tentu saja sebagai seorang gadis yang amat cantik,
sebentar saja pinangan datang bagaikan hujan. Akhirnya,
mengingat usianya yang sudah duapuluh tahun, dan dalam
keadaan yatim piatu, dia tidak menolak ketika bibinya dan
pamannya memilihkan jodoh untuknya.
Jodohnya itu seorang terpelajar yang sudah lulus ujian negara
dan telah diangkat menjadi seorang pejabat yang memiliki masa
depan yang amat baik. Dia seorang pemuda she Cia dan tentu
saja pilihan seorang pejabat tinggi yang jujur seperti Ciok Tai-jin,
pemuda Cia inipun seorang pejabat yang jujur dan aetia. Dan
memang benar pilihan Ciok Tai-jin, dalam waktu lima tahun saja,
kedudukan, suami Sui In meningkat tinggi karena dia dipercaya
oleh kaisar dan merupakan seorang pejabat yang amat baik.
Karena suaminya seorang yang lembut dan baik, maka setelah
menjadi isteri Cia, Sui In mencintai suaminya dengan sepenuh
hatinya. Hanya sayang, setelah menikah selama lima tahun,
mereka tidak dikurniai putera. Dan hal inilah agaknya yang
menciptakan kerenggangan, dalam hubungan suami isteri itu.
Cia Tai-jin, yang masih muda itu, baru berusia tigapuluhan tahun,
mula-mula mengambil seorang selir dengan alasan agar
mendapatkan keturunan. Akan tetapi dari seorang, lalu
bertambah sampai belasan orang!
Sui In merasa terpukul dan tersiksa batinnya mulailah terdapat
kerenggangan dalam hubungan di antara mereka. Sui In kecewa.
Kecewa karena tidak mempunyai anak, kemudian kecewa karena
ia kehilangan suaminya pula, kehilangan cintanya yang membuat
139
hatinya merasa hambar dan akhirnya iapun tidak lagi mempunyai
gairah cinta kepada suaminya kecuali hanya sebagai seorang
wanita yang harus bersikap manis kepada seorang pria yang
telah menjadi suaminya. Hubungan di antara mereka hanya
tinggal hubungan kewajiban belaka, tanpa kasih sayang lagi.
Kemudian, terjadilah malapetaka itu! Suaminya terbunuh, menjadi
korban dari Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis yang sedang
mengamuk dan melakukan serangkaian pembunuhan di kota
raja! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi Sui In yang
mendapatkan dirinya menjadi seorang janda tanpa anak!
Kalau saja suaminya tidak mempunyai banyak selir, kalau
hubungan di antara mereka masih seperti dahulu, belum tentu
suaminya akan terbunuh penjahat! Ia tentu akan mampu
melindungi suaminya. Akan tetapi suaminya mati terbunuh ketika
tidur bersama seorang di antara selir-selirnya, terbunuh bersama
selirnya pula. Dan iapun tidak dapat berbuat sesuatu!
Memang ada juga perasaan marah dan ia sudah berusaha untuk
mencari pembunuh suaminya. Namun, seperti juga usaha semua
orang yang bertugas mencari pembunuh itu, usahanya gagal dan
ia tidak pernah mampu menemukan Si Bayangan Iblis walaupun
pernah ia menggagalkan usaha Si Bayangan Iblis untuk
membunuh pamannya, yaitu Ciok Tai-jin!
Ketika itu, iapun hanya melihat berkelebatnya bayangan yang
menyeramkan itu. Ia mengejar, namun tidak berhasil
menemukannya. Dan sejak itu, setelah tahu bahwa pamannya
140
juga terancam, Sui In selalu berjaga-jaga dan ia mendapatkan
sebuah kamar berdampingan dengan kamar paman dan bibinya.
Rasa kecewa, duka dan marah membuat Sui In tidak enak makan
tidak nyenyak tidur. Kalau saja ia mempunyai anak, maka
ditinggal mati suaminya ini tentu tidak begitu hebat. Kini ia hidup
menjanda, baru berusia duapuluh enam tahun, namun tidak
mungkin menikah lagi!
Pada jaman itu, bagi seorang janda, apa lagi janda seorang
pejabat tinggi, tentu saja merupakan hal yang memalukan dan
merendahkan kalau ia menikah lagi! Setiap orang janda dipaksa
oleh lingkungan dan keadaan dan kesusilaan untuk tinggal
menjanda selama hidup!
Dan ia baru berusia duapuluh enam tahun, cantik manis dan
bagaikan setangkai bunga sedang semerbak harum, sedang
mekar-mekarnya membuat para kumbang mabok kepayang. Ia
merasa seperti seekor burung dalam sangkar emas yang sempit.
Ia ingin terbang, ingin bebas di udara. Akan tetapi, pamannya
perlu dijaga dan dilindungi keselamatannya! Pamannya orang
yang amat baik hati dan ia telah berhutang banyak budi kepada
pamannya.
Dan memang Ciok Tai-jin seorang yang bijaksana. Pembesar ini
cukup waspada dan dia tahu benar betapa keponakan isterinya
yang kini menjadi janda setiap hari termenung dan tenggelam
dalam duka, maka pada suatu malam, dia dan isterinya mengajak
janda muda ini bicara dari hati ke hati.
141
“Sui In,” kata Ciok Tai-jin. “Sudah beberapa bulan sejak suamimu
meninggal dunia, engkau pindah ke rumah kami dan engkau
menjaga keselamatanku, terutama di waktu malam. Akan tetapi
kami melihat engkau tenggelam dalam duka dan engkau jelas
kelihatan tidak betah tinggal di sini. Engkau jarang makan dan
setiap malam menjaga keamanan, hanya tidur sebentar di waktu
siang.
“Sui In, katakanlah, apa yang kaukehendaki! Jangan sampai kami
orang-orang tua yang menjadi penghalang kebahagiaanmu, kami
tahu betapa nasibmu gelap dipenuhi duka, dan kami tidak ingin
menambah beban penderitaan batin yang kaupikul dengan
memaksamu bertugas seperti ini.”
Ditanya demikian, Sui In menangis. Bibinya merangkulnya dan
setelah dapat mengatur pernapasannya yang penuh duka, Sui In
lalu memberi homat kepada paman dan bibinya.
“Sebetulnya, sudah lama saya ingin bicara, akan tetapi saya takut
kalau dianggap sebagai orang yang kejam dan tidak mengenal
budi. Paman terancam penjahat, bagaimana mungkin saya
meninggalkan paman? Ah, saya tidak tahu lagi apa yang harus
saya katakan atau saya perbuat. Kalau saja saya dapat
mengetahui siapa si laknat Kwi-eng-cu itu! Tentu akan saya
tantang untuk mengadu nyawa!”
“Sui In, katakan saja apa sebenarnya yang kaukehendaki.
Mengenai diriku dan keselamatanku, tidak perlu kaupikirkan
benar. Kalau perlu, aku dapat minta bantuan panglima untuk
142
mengirim beberapa orang jagoan agar menjadi pengawal
pribadiku. Katakanlah, apa sebenarnya yang kauinginkan?”
“Paman, saya ingin mencari pembunuh suamiku itu sampai
dapat, agar saya dapat membalas kematian suamiku!” kata Sui In
penuh semangat.
“Bukankah selama ini engkau sudah berusaha mencarinya?
Bahkan bukan hanya engkau yang mencarinya. Pemerintah juga
mencari dan aku mendengar bahwa Cian Ciang-kun sendiri yang
turun tangan untuk mencari dan membongkar rahasia Si
Bayangan Iblis.”
“Akan tetapi sampai kini tidak ada hasilnya, paman. Si Bayangan
Ib1is itu terlalu lihai dan agaknya saya harus mencari bantuan.”
“Bantuan siapa, Sui In?”
“Saya mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai,
paman, dan dia kini kabarnya bertapa di bukit sunyi dekat Telaga
See-ouw. Saya ingin mencari dia dan minta bantuannya. Dengan
bantuannya, tentu saya akan dapat menemukan Si Bayangan
Iblis yang mengacau di kota raja itu.”
Ciok Tai-jin mengangguk-angguk dan meraba-raba jenggotnya.
“Hemm, pikiran yang bagus, Sui In. Kenapa engkau tidak
mencarinya?”
“Itulah paman, yang menjadi pemikiranku. Aku tahu bahwa
paman juga terancam Si Bayangan Iblis, maka saya tidak berani
143
meninggalkan paman. Saya harus selalu melindungi paman dari
serangannya.”
“Engkau benar sekali, Sui In keponakanku yang baik, kalau bukan
engkau yang melindungi keselamatan pamanmu, habis siapa lagi
yang dapat kami percaya?” kata bibinya yang merasa khawatir
sekali akan keselamatan suaminya.
“Ah, engkau ini hanya mementingkan diri sendiri saja!” tegur Ciok
Tai-jin kepada isterinya, lalu memandang keponakannya.
“Sui In, mengenai diriku, jangan khawatir. Aku akan mengundang
beberapa orang jagoan untuk melindungiku. Kalau kaupikir,
dengau bantuan susiokmu itu engkau akan dapat menangkap Si
Bayangan Iblis, pergilah mencarinya. Apakah engkau
memerlukan pasukan untuk menemanimu?”
Bukan main girang dan lega rasa hati Sui In. “Tidak perlu, paman.
Saya dapat pergi sendiri saja. Kalau sudah bertemu susiok, saya
akan mengajaknya ke sini, paman. Dia memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi, lebih tinggi dari saya, maka dengan bantuannya,
tentu kami akan dapat meringkus Si Bayangan Iblis dan kematian
suami saya dapat terbalas.”
Demikianlah, dengan bekal pakaian, uang dan membawa
sepasang pedangnya Sui In meninggalkan rumah gedung
pamannya dan melakukan perjalanan ke See-ouw. Ia tidak tahu
bahwa beberapa hari setelah ia pergi, rumah gedung Pamannya
diserbu Si Bayangan Iblis dan seperti telah kita ketahui, serbuan
itu gagal berkat kehadiran Liong-li. Andakata tidak ada Liong-li,
walaupun di situ terdapat beberapa orang jagoan pengawal yang
144
diundang Ciok Tai-jin sebagai pengganti Sui In, tentu
keselamatan Wakil Menteri Pajak itu terancam bahaya maut.
Sui In yang melakukan perjalanan, pada suatu sore tiba di dusun
Kim-tang dan karena sehari itu ia melakukan perjalanan cukup
jauh tanpa berhenti, bahkan tidak makan siang, perutnya terasa
lapar dan iapun memasuki sebuah rumah makan di dusun yang
ramai itu. Biarpun ia tahu betapa banyak pasang mata pria
melemparkan pandangan kagum kepadanya, Sui In yang sudah
terbiasa akan hal itu, tidak perduli lalu menghampiri meja kosong
yang ditunjukkan seorang pelayan yang menyambutnya.
“Toanio hendak memesan apakah? Makanan? Minuman?” tanya
pelayan muda itu dan pandang matanya yang menatap wajah
tamu itupun penuh dengan kekaguman.
“Aku lapar dan ingin makan. Beri nasi putih dan masakan apakah
yang paling lezat dan terkenal di rumah makan ini?” Sui In sehari
tidak makan dan ia ingin makan enak.
Pelayan itu segara menjawab tanpa dipikir lagi karena pertanyaan
seperti itu seringkali dia dengar dari para pelancong yang datang
dari kota.
“Masakan kami yang paling lezat dan terkenal adalah Ikan Lee
dimasak jahe, nona. Ikan Lee dari Telaga See-ouw aseli, gemuk
dan semua tulangnya dibersihkan. Juga masakan kami Udang
Saus tomat amat sedap. Sup ayam jamur kami juga enak.”
“Cukup sudah. Beri aku masakan tiga macam itu, nasi putih dan
air teh.”
145
“Arak, toanio (nyonya)?”
“Tidak, atau...... kalau ada anggur merah yang tidak begitu keras
boleh juga beri sebotol kecil saja.”
Pelayan itu mundur dan Sui In termenung. Ketika ia menjadi
pengantin baru, pernah suaminya mengajaknya pesiar ke Telaga
See-ouw. Rumah makan ini belum ada, akan tetapi suaminya
juga menyuruh beli masakan-masakan yang lezat dan mereka
makan di perahu.
Pedih rasa hati Sui In. Betapa lamanya sudah peristiwa yang
mesra itu lewat, hanya tinggal kenangan. Jauh sebelum suaminya
meninggal dunia, kemesraan itu sudah lenyap tak berbekas lagi.
Tidak, ia tidak menyalahkan suaminya, hanya menyalahkan nasib
dirinya. Andaikata ia dikurniai putera, tentu suaminya tidak mau
menengok wanita lain dan kemesraan itu dapat dipertahankan.
Sudah, ia tidak mau lagi mengenangkan semua itu. Dan baru
setelah suaminya tewas, ia menemukan dirinya sendiri. Ketika
menikah dengan suaminya itu, tidak ada rasa cinta dalam
batinnya. Itu masalahnya cintanya adalah cinta yang ia paksakan,
untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri.
Dan suaminya memang seorang yang bijaksana. Banyak sudah
budi diterimanya dari suaminya, bahkan kini sebagian besar harta
peninggalan suaminya diberikan kepadanya. Ia menjadi seorang
janda yang muda dan kaya.
Hartanya itu ia titipkan kepada pamannya, Pembantu Menteri
Pajak. Dan pihak mertuanya juga mau membebaskannya, tidak
146
mengikatnya, karena memang ia tidak mempunyai anak dari
keluarga Cia. Mereka itu amat baik kepadanya. Ia berhutang budi
kepada keluarga Cia. Karena itu, ia baru mencari pembunuh
suaminya dan membalas dendam itu!
Tak lama kemudian, lamunannya membuyar ketika pelayan
datang membawakan masakan yang dipesannya. Masih
mengepul panas tiga macam masakan itu dihidangkan di
depannya, berikut nasi putih, air teh dan sebotol anggur merah.
Hidungnya kembang kempis. Masakan itu mengepulkan uap yang
sedap, juga anggur merah itu ketika dibuka tutupnya,
menghamburkan bau yang harum dan lezat. Perutnya segera
berkeruyuk menghadapi tantangan itu.
Sui In makan seorang diri. Pelayan tadi tidak membual. Masakan
ikan Lee dengan jahe itu sedap bukan main. Daging ikannya
lunak dan sama sekali tidak ada tulangnya. Gurih bukan main,
dan cocok dimakan dengan bumbu penyedap kecap manis. Nasi
putihnya juga hangat dan harum.
Ketika ia mencoba masakan lain, ia girang dan kagum. Udang
saus tomat itupun enak. Udangnya sebesar jari kaki, dagingnya
putih kemerahan dan terasa manis, dan tidak berbau amis. Juga
ikan Lee itu tidak berbau amis. Pandai memang tukang
masaknya. Dan sup ayam dengan jamur itupun sedap dan segar.
Kuahnya enak sekali.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, biarpun sedang
tenggelam dalam kenikmatan dan kelezatan makan, tetap saja
Sui In tidak pernah lengah dan baik telinganya, maupun kerling
147
matanya, tidak pernah melepaskan perhatian terhadap keadaan
di sekelilingnya. Oleh karena itu, iapun tahu ketika ada tiga orang
tamu baru saja masuk dan duduk di meja sudut kiri dalam, hanya
terpisah lima meja saja dari tempat duduknya.
Dengan kerling mata ke kiri, ia melihat bahwa tiga orang itu
adalah laki-laki yang berusia antara empatpuluh sampai
limapuluh tahun, ketiganya berpakaian mewah namun masih jelas
dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia
persilatan. Yang seorang, paling tua berusia limapuluhan tahun,
bertubuh jangkung dan rambutnya sudah putih semua walaupun
mukanya masih nampak muda. Senyumnya anggun dan sikapnya
berwibawa, sinar matanya tajam dan memerintah. Di
punggungnya nampak gagang sebatang pedang.
Dua orang kawannya bersikap sebagai orang bawahan, usia
mereka kurang lebih empatpuluh sampai empatpuluh lima tahun.
Seorang di antara mereka bertubuh gendut dan mukanya
dipenuhi tawa, cerah dan lucu, akan tetapi matanya menyinarkan
kekejaman. Orang kedua pendek kurus condong ke arah cebol,
akan tetapi mukanya bengis. Dua orang inipun membawa pedang
yang tergantung di punggung.
“Heii, pelayan! Bawa arak seguci besar! Cepaaatt!!” terdengar si
gendut berteriak. Pe- layan berlari-lari mendatangi dan pria
jangkung itu dengan suara lembut namun tegas dan galak,
memesan masakan.
Sui In tidak mau memperhatikan lagi karena si gendut itu terang-
terangan memandangnya dengan sikap kurang ajar. Apalagi
148
pada saat itu, perhatiannya tertarik oleh seorang tamu baru yang
memasuki ruangan itu. Seorang pria yang bukan main! Pria itu
usianya kurang lebih duapuluh tujuh tahun.
Tubuhnya sedang saja, namun tegak dan gagah. Wajahnya
tampan dan jantan, wajah yang agaknya sudah digembleng
kekerasan hidup. Namun pakaiannya yang terbuat dari sutera
putih-putih itu berpotongan pakaian seorang pelajar atau
sasterawan. Pakaian itulah yang membayangkan kelembutan
seorang siu-cai (sarjana), namun lekuk di dagunya
membayangkan kejantanan yang kuat.
Biarpun hanya memandang sepintas lalu, diam-diam Sui In
kagum. Rasa kewanitaannya tersentuh. Seorang pria yang jantan
dan penuh daya tarik, pikirnya. Akan tetapi perasaan itupun
hanya lewat saja, karena ia bukanlah seorang wanita yang
mudah terguncang ketampanan seorang pria. Akan tetapi ia
masih sempat melihat betapa pria itupun ketika duduk di
mejanya, hanya terpisah dua meja dari tempatnya, menatap
kepadanya dan diam-diam ia terkejut. Tatapan mata itu sungguh
luar biasa.
Sepasang mata yang mencorong penuh wibawa, akan tetapi
karena mulutnya tersenyum, maka wajah itu nampak lembut.
Orang muda itu tentu seorang sarjana yang lembut dan pintar,
pikir Sui In, akan tetapi tentu saja lemah. Seperti mendiang
suaminya. Akan tetapi suaminya memang lemah sekali, bahkan
lembut seperti wanita.
149
Pria di depannya ini jantan, walaupun hanya seorang sasterawan
atau seorang terpelajar. Tidak membawa senjata, juga tidak
nampak bayangan kekerasan. Bahkan pakaiannya yang serba
putih, itu nampak bersih sekali. Sungguh jauh bedanya dengan
tiga orang pria yang pertama itu, penuh kekerasan.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa dari meja di sudut kanan.
Di sana sejak tadi memang ada empat orang laki-laki muda
sedang makan minum dan kini agaknya mereka sudah mabok-
mabokan.
Sui In tadipun sudah melihat mereka. Empat orang pemuda dari
kota, mungkin putera-putera orang kaya atau orang berpangkat.
Usia mereka antara duapuluh sampai duapuluh empat tahun dan
lagak mereka menjemukan. Jelas bahwa mereka adalah orang-
orang muda yang royal, tidak pandai cari uang akan tetapi pandai
menghamburkannya.
Tadi pun mereka memandang ke arah Sui In dengan sinar mata
mengandung kekurangajaran, akan tetapi Sui In tidak
memperdulikan mereka, bahkan selanjutnya tidak pernah melirik
ke arah meja mereka karena ia tahu bahwa pemuda-pemuda
hidung belang seperti itu, sekali dilirik tentu akan menjadi
semakin berani dan semakin kurang ajar. Ia tentu saja tidak takut
kepada mereka, akan tetapi iapun tidak ingin memancing
keributan.
“Ha-ha-ha, setiap orang dapat saja membawa pedang, untuk
perhiasan!”
150
“Ha-ha, atau mungkin juga untuk lagak saja, untuk menakut-
nakuti!”
Empat orang pemuda itu tertawa-tawa lagi. Seorang di antara
mereka, yang kepalanya besar, terang-terangan kini memandang
kepada Sui In dan bicaranya kini lebih berani. “Ia makan minum
seorang diri saja, sayang seorang secantik itu. Biar kuajaknya ia
makan minum bersama kita.”
“Huh, kau takkan berani! Ia tentu sudah bersuami,” kata seorang
temannya yang kurus.
“Apa? Aku tidak berani mengajak seorang wanita? Hemm, biar ia
gadis atau isteri orang, kalau Ji-kongcu (tuan muda Ji) yang
mengajaknya, pasti ia mau! Ha-ha-ha, kalian lihat saja!”
Si kepala besar ini bangkit berdiri ditertawai oleh si kurus yang
berpakaian mewah. Dua orang kawan lain yang berpakaian
seperti orang-orang ahli silat hanya tersenyum-senyum saja.
Agaknya mereka ini hanya pengikut dan memang mereka adalah
tukang- tukang pukul pemuda she Ji itu.
Pada saat itu, Sui In sudah selesai makan dan ia merasa lega
bahwa gangguan itu datang setelah ia selesai makan, karena
kalau tidak tentu akan mengganggu selera makannya. Ia merasa
kenyang dan puas. Ikan Lee itu memang lezat sekali, dan jahe itu
membuat perutnya terasa hangat, apa lagi ditambah anggur
merah.
Ia tahu bahwa gangguan datang karena percakapan yang terang-
terangan dan tidak lirih itu jelas ditujukan kepadanya. Di rumah
151
makan itu, hanya ia seoranglah wanita yang makan sendirian.
Ada pula beberapa orang wanita akan tetapi mereka makan
dengan keluarga mereka dan kebetulan wanita yang masih muda
hanya ia seorang. Siapa lagi kalau bukan ia yang mereka
maksudkan?
Iapun tidak merasa heran ketika pemuda berpakaian mewah
yang kepalanya besar itu dengan jalan terhuyung karena
setengah mabok, menghampiri mejanya. Ia pura-pura tidak tahu,
bersikap tenang saja sambil menghirup teh panas yang harum
dari mangkok teh yang kecil. Akan tetapi karena kebetulan
duduknya menghadap ke arah meja di mana duduk pemuda
berpakaian putih, untuk pertama kalinya sejak ia melihat pemuda
ini masuk, ia memandang dan pada saat itu, si pemuda
berpakaian putih juga sedang memandang ke arah mejanya.
Alis yang tebal hitam dari pemuda berpakaian putih itu sedikit
berkerut ketika dia melihat si kepala besar mendekati meja Sui In
sambil cengar cengir. Akan tetapi, hanya sebentar saja pandang
mata mereka saling bertemu karena keduanya segera
mengalihkan pandang mata.
Sui In harus memperhatikan pemuda mewah yang kini sudah
bediri dekat mejanya, bahkan kedua tangannya diletakkan di tepi
mejanya, dengan jari-jari direntangkan seolah-olah hendak
memamerkan cincin yang. memenuhi semua jari kedua
tangannya, kecuali, ibu jarinya!
“APA engkau hendak menjual cincin? Tidak, aku tidak butuh
cincin!”
152
Karena kata-kata ini diucapkan dengan cukup lantang dan Sui In
memandang ke arah kedua tangan yang berada di tepi mejanya,
si kepala besar itu terkejut dan mukanya ber¬ubah merah sekali,
apa lagi karena terdengar suara ketawa temannya yang kurus,
bahkan ada pula suara ketawa dari meja lain, entah siapa.
“Heh-heh, Ji-toako, engkau disangka penjual cincin di pasar, ha-
ha!”
Pemuda she Ji itu merasa malu, akan tetapi dia mengira bahwa
wanita cantik di depannya itu tidak sengaja menghinanya, apa
lagi kini dia sudah berada dekat sekali dengan wanita itu, dan
ternyata wanita itu jauh lebih cantik dari pada ketika dilihatnya
dari jauh tadi. Juga ketika bicara, bibir yang menggairahkan itu
bergerak¬-gerak manis sekali. Maka, biarpun merasa malu,
pemuda berkepala besar itu tidak dapat marah kepada seorang
wanita secantik itu.
“Toanio, aku bukan penjual cincin. Semua ini bukan barang
dagangan, melainkan milikku pribadi. Ketahuilah, aku pemuda
keluarga Ji, merupakan seorang pemuda yang paling kaya raya,
paling royal dan tidak ada duanya di kota Tung-cu.
“Aku tidak mengenalmu. Pergilah dan biarkan aku sendiri,” Sui In
berkata.
Pemuda itu masih menyeringai. “Heh-heh, moi-moi (adik) yang
manis, harap jangan menjual mahal seperti itu. Marilah, aku
sendiri yang mengundangmu untuk duduk makan minum dengan
kami semeja. Ataukah aku yang menemanimu di sini? Hei,
153
pelayan, cepat hidangkan arak baru dan semua masakan lezat
yang ada di rumah makanmu ini!”
Dia lalu duduk begitu saja dan berkata kepada Sui In. “Moi-moi,
kalau perlu, rumah makan ini bisa kubeli untukmu, heh-heh!”
Sui In mengerutkan alisnya. Orang ini semakin kurang ajar,
pikirnya, tidak lagi menghargainya dengan sebutan Toanio
(nyonya), melainkan berani menyebut moi-moi yang manis,
seolah-olah ia telah menjadi kekasihnya saja! Akan tetapi, karena
tidak ingin ribut-ribut, ia masih menahan kesabarannya.
“Hemm, sekali lagi kukatakan. Aku tidak mempunyai urusan
denganmu, aku tidak suka nenerima undanganmu, tidak suka
makan minum bersamamu dan tidak suka engkau makan minum
di mejaku ini. Pergilah dan jangan aku kehilangan kesabaranku!”
Kalimat terakhir sudah bernada keras, dan tanpa disengaja Sui In
melihat pula pemuda yang berpakaian serba putih itu tersenyum
sedikit. Juga tiga orang setengah tua yang duduk di sudut
belakang kini memandang ke arah mejanya dengan penuh
perhatian.
Gemaslah rasa hati Sui In. Ulah pemuda kepala besar ini tentu
saja telah menarik perhatian orang, dan ia menduga bahwa tentu
mereka semua yang berada di rumah makan itu telah
memperhatikan dirinya. Sudah kepalang tanggung sekarang,
tidak perlu lagi ia menjaga jangan sampai ada keributan. Akan
tetapi ia tetap menuangkan lagi semangkok kecil air teh harum
yang masih panas mengepul itu dan meniupinya perlahan untuk
mendinginkannya sebelum diminumnya sedikit demi sedikit.
154
Si kepala besar itu sungguh tak tahu diri. Dia adalah seorang
pemuda kaya raya, dan putera pejabat yang sejak kecilnya telah
di manja orang tuanya dan para hamba sahayanya, sejak kecil
apapun yang dikehendakinya terlaksana.
Oleh karena itu, setelah dewasa, diapun menjadi berandalan dan
ingin dimanjakan siapapun juga. Dia tidak mengenal takut karena
selalu bergelimang kekayaan dan kekuasaan yang membuat
semua orang takut kepadanya. Mendengar ucapan Sui In, dia
mengerutkan alisnya.
“Apa? Engkau berani menolak ajakanku? Nona manis, jangan
sombong engkau! Kalau perlu, aku mampu membeli dirimu, aku
mampu membeli seratus orang perempuan seperti engkau......”
Sui In marah sekali mendengar ucapan itu dan sebelum kalimat
terakhir itu habis diucapkan, ia sudah membentak, “Pergilah!”
Tangan yang memegang mangkok kecil berisi air teh panas itu
bergerak dan air dari dalam mangkok menyiram ke arah muka
pemuda kepala besar.
“Ouhhhhh......!”
Bagi orang yang pernah disiram mukanya dengan air panas baru
akan tahu betapa nyerinya ketika air teh yang masih panas itu
mengenai mata, hidung dan mulut pemuda kepala besar itu.
Selagi dia bangkit dan mengeluarkan teriakan kesakitan, tiba-tiba
kaki Sui In di bawah kolong meja bergerak, menendang.
“Desss......!” Perut itu tertendang dan si pemuda berkepala besar
terlempar jauh! Bahkan, tubuhnya melewati meja kosong dan
155
meluncur ke arah meja di mana duduk pemuda berpakaian serba
putih yang makan minum seorang diri pula.
Melihat betapa hidangan di atas mejanya terancam hancur
berantakan, tiba-tiba tubuh pemuda berpakaian putih itu sudah
meloncat bangun dan dengan sigapnya dia menjulurkan kedua
tangan, menyambar tubuh yang melayang itu dan sekali dia
melontarkan, tubuh pemuda kepala besar itu berbelok arah
melayang ke arah mejanya sendiri.
“Brakkkkk......!” Meja itupun runtuh dan semua masakan tumpah
dan berantakan ketika meja itu tertimpa tubuh si kepala besar.
“Aduhh...... auhhh, aduhhhh.......!” Si kepala besar mengaduh-
aduh, juga si kurus yang menjadi temannya mengaduh dan
menyumpah-nyumpah karena muka dan pakaiannya juga
berlepotan kuah masakan. Akan tetapi dua orang teman mereka
yang lain sudah dapat berloncatan menghindar dengan gerakan
cepat sehingga tidak sampai ikut tertimpa atau tersiram kuah
masakan!
Tiga orang setengah tua yang sejak tadi melihat, kini saling
pandang. Akan tetapi Sui In sudah duduk kembali menuangkan
air teh dalam mangkoknya, minum air teh panas seperti tidak
terjadi sesuatu. Juga pemuda berpakaian putih tadi nampak
masih duduk sambil makan minum, seolah-olah tidak pernah
terjadi sesuatu! Pada hal, menyambar tubuh yang melayang lalu
melontarkan kembali ke arah yang lain membutuhkan kecekatan
tangan dan juga tenaga besar.
156
Apa yang diperlihatkan oleh pemuda berpakaian putih itu
sesungguhnya bukan apa-apa baginya. Seperti permainan kanak-
kanak saja karena dia tentu saja dapat melakukan hal-hal yang
jauh lebih sukar dari pada sekedar melemparkan tubuh si kepala
besar tadi. Pemuda itu, walau nampaknya lemah seperti seorang
terpelajar, seorang kongcu (tuan muda), atau seorang siu-cai
(sarjana), sebetulnya adalah seorang yang memiliki nama besar
dan kalaupun wajahnya jarang muncul di dunia persilatan dan
orang tidak mengenalnya, namun namanya sudah terkenal di
empat penjuru.
Hampir semua orang di dunia persilatan pernah mendengar
namanya yang besar, yaitu nama julukannya. Dia dijuluki orang
Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) atau disingkat Pek-liong (Si
Naga Putih) saja karena ke manapun dia pergi, dia selalu
berpakaian putih, dan sepak terjangnya seperti seekor naga sakti!
Si Naga Putih atau Pendekar Naga Putih ini bernama Tan Cin
Hay, berusia duapuluh tujuh tahun. Wajahnya yang tampan sama
sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang pria yang
gemblengan, lebih pantas kalau dia menjadi seorang terpelajar.
Sikap dan gerak geriknya jnga lembut, tubuhnya sedang saja dan
otot-otot yang kuat itu tersembunyi di balik pakaian sehingga tidak
nampak dari luar. Pakaiannya yang serba putih amat bersih.
Satu-satunya yang membayangkan bahwa dia seorang pria
jantan yang kadang berwatak keras adalah dagunya yang
berlekuk, dan matanya yang kadang mencorong. Biarpun
namanya terkenal sekali di dunia persilatan, namun kalau tidak
perlu, jarang dia keluar ke dunia kang-ouw. Dia hidup menyendiri
157
di dusun Pat-kwa-bun tak jauh dari Telaga See-ouw, di dalam
sebuah rumah gedung yang megah dan indah. Dari rumahnya ini
saja dapat diketahui bahwa pendekar yang hidup menyendiri itu
adalah seorang yang kaya raya.
Dan memang benar demikian. Bersama Hek-liong-li Lie Kim Cu,
Pek-liong-eng Tan Cin Hay pernah mendapatkan harta karun
yang amat besar, tak ternilai besarnya. Mereka membagi dua dan
dengan bagian harta karun itu, Pendekar Naga Putih menjadi
orang yang kaya raya.
Dia seorang duda. Isterinya yang tercinta tewas di tangan
penjahat, dan sejak itu, dia tidak pernah mau menikah lagi
walaupun kalau dia mau banyak gadis yang akan merasa bangga
dan berbahagia menjadi isterinya. Dia tampan, gagah,
berkepandaian tinggi, kaya raya!
Jangankan wanita yang belum dikenalnya, bahkan wanita yang
pernah bergaul dekat dengannya, yang pernah berenang di
lautan asmara bersamanya, tak pernah ada yang berhasil
mengikatnya sebagai suami. Tidak, dia tidak mau terikat dalam
pernikahan dengan seorang wanita, walaupun dia tidak menolak
untuk bercinta dengan seorang wanita yang menarik hatinya,
yang bebas, dan yang tahu bahwa dia tidak akan mau
menikahinya.
Dia pantang mempergunakan kekayaan dan ketampanannya
untuk menjatuhkan hati wanita, pantang untuk menjanjikan
pernikahan lalu menipunya. Dia hanya mau mendekati wanita
yang sudah tahu bahwa dia tidak mau terikat, dan kalaupun
158
mereka berdua bercinta, hal itu dilakukan karena mereka saling
merasa suka.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay maklum bahwa di dunia persilatan,
banyak tokoh pendekar yang mencela sikapnya terhadap wanita
itu. Banyak pendekar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang
menganggapnya sebagai seorang yang mata keranjang, seorang
perayu wanita dan tukang merusak wanita, seorang petualang
cinta yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita!
Namun, dia tidak memperdulikan anggapan orang. Dia sudah
meneliti diri sendiri dan tidak menemukan watak seperti yang
dikatakan orang terhadap dirinya. Tidak, dia tidak akan pernah
memaksa seorang wanita untuk bercinta dengannya, baik
memaksa dengan kekerasan atau memikatnya dengan
kekayaannya, kepandaiannya atau ketampanannya.
Dia tidak pernah jatuh cinta dalam arti seperti cintanya terhadap
mendiang isterinya dahulu. Dia tidak pernah ingin memperisteri
seorang wanita. Dan hubungannya dengan seorang wanita terjadi
karena mereka saling mengagumi, saling tertarik, dengan penuh
kesadaran bahwa hubungan itu tidak akan berlanjut ke jenjang
pernikahan. Dia tidak pernah menipu! Bahkan tidak jarang dia
menjauhkan diri sebelum terjadi hubungan cinta kalau seorang
gadis atau seorang janda benar jatuh cinta dan menginginkan
menjadi isterinya.
Kini empat orang muda itu menjadi marah bukan main. Pemuda
berkepala besar dan pemuda kurus yang berpakaian mewah itu
adalah dua orang yang merasa diri mereka sebagai kongcu
159
kongcu (tuan muda) yang harus ditaati semua perintah mereka.
Mereka itu putera-putera orang kaya raya yang sejak kecil
dimanja dan dituruti semua permintaan mereka.
Dua orang kawan mereka adalah tukang pukul mereka yang
hidup bagaikan lintah, menempel kepada dua orang muda kaya
itu. Ke manapun mereka berdua yang sakunya penuh uang itu
pergi, tentu ada saja pemuda-pemuda tukang pukul yang
mengikuti mereka sebagai pengawal dan juga sebagai
pembonceng berbelanja apa saja.
“Hajar perempuan itu!” bentak si kepala besar yang masih
mengaduh-aduh karena mukanya kini seperti udang direbus,
kemerahan terkena kuah dan air teh panas. Dia menuding ke
arah Cu Sui In dengan mata melotot lebar.
“Ia harus mencium kaki kami untuk minta ampun!” kata pula si
kurus yang juga terkena percikan kuah dan kini dia sibuk
membersihkan pakaiannya yang kotor dan basah.
Dua orang tukang pukul itu menghampiri Cu Sui In dengan sikap
mengancam. Sui In sudah selesai makan atau memang ia sudah
kehilangan seleranya, maka ia bangkit dari duduknya dan
menggapai pelayan karena ia ingin membayar harga makanan
dan minumannya lalu pergi dari situ secepatnya.
Seorang pelayan bergegas datang menghampirinya, akan tetapi
dua orang tukang pukul itu mendorongnya sehingga terpelanting.
“Pergi kau!” bentak seorang di antara dua tukang pukul itu, yang
berjenggot kambing
160
Orang kedua, yang matanya juling, berkata kepada Sui In dengan
nada memerintah.
“Bocah sombong, hayo cepat berlutut mohon ampun kepada
kedua orang kongcu kami, atau engkau ingin aku memaksamu
berlutut?” Dia menghampiri dengan sikap mengancam.
“Berlutut dan cium kaki kedua kongcu kami!” bentak pula si
jenggot kambing.
Wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan sinar mata yang
jeli itu kini mencorong, tanda bahwa Sui In marah bukan main
mendengar ucapan yang nadanya menghina itu.
“Aku tidak ingin mencari perkara, akan tetapi kalau kalian tidak
cepat pergi dari sini dan menutup mulut kalian yang kotor,
terpaksa kalian akan kuhajar!” katanya, lembut namun
mengandung ancaman.
“Heiiiittt!” Si mata juling segera memasang kuda-kuda, kedua kaki
terpentang, kedua lutut ditekuk dan pinggulnya menonjol ke
belakang, kedua lengan menyilang di depan dada, dengan
tangan membentuk cakar. Lagaknya yang digagah-gagahkan itu
lucu sekali.
“Hyatttt......!” Si jenggot kambing juga memasang kuda-kuda,
lebih gagah lagi, dengan kaki kiri diangkat dan lutut ditekuk
sehingga kaki kiri menempel di samping lutut kanan sedangkan
kaki kanan berjungkit, tangan kiri di depan pusar dan tangan
kanan diangkat tinggi menuding langit! Seolah-olah dia hendak
memainkan ilmu silat yang amat luar biasa tingginya, setinggi
161
langit. Akan tetapi karena dia tidak dapat bertahan lama dengan
sebelah kaki berjungkit, maka kaki kanan diturunkan dan kini dia
membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, kaki kiri di
belakang, kedua tangan terkepal di pinggang, siap untuk
menerjang!
Melihat lagak mereka, Sui In tersenyum mengejek dan
menepiskan tangannya seperti orang mengusir lalat. “Sudahlah,
kalian badut-badut menjemukan, aku mau pergi!” Ia lalu
melangkah dan sama sekali tidak memperdulikan kedua orang
yang memasang kuda-kuda dan siap menyerangnya itu.
Melihat betapa gadis itu tidak takut menghadapi kuda-kuda
mereka yang gagah, dua orang tukang pukul itu marah dan ketika
gadis itu lewat di antara mereka, keduanya seperti berlomba lalu
menubruk maju, berlumba untuk merangkul gadis itu. Si jenggot
kambing merangkul leher, dan temannya si mata juling merangkul
pinggang Sui In membiarkan sampai serangan mereka itu datang
dekat, lalu tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat cepat ke depan.
Dua orang yang sudah yakin akan berhasil menubruk dan
merangkul itu, girang sekali.
“Bressss......!” Mereka mengaduh karena mereka ternyata saling
tubruk dan saling rangkul, bahkan kepala mereka saling bertemu
dengan kerasnya. Terdengar suara tertawa bergelak dan yang
tertawa ini adalah Pek-liong yang tak dapat menahan kegelian
hatinya melihat lagak dua orang itu, dan diapun girang dan
kagum melihat kecekatan gadis manis itu.
162
“Keparat kau!” bentak si jenggot kambing sambil mencabut
goloknya.
“Perempuan hina!” bentak pula si mata juling dan diapun
mencabut goloknya. Akan tetapi, Sui In tetap tenang, tidak
mengeluarkan senjatanya karena dara ini sudah dapat mengukur
bahwa dua orang lawannya itu lebih mengandalkan kenekatan
dari pada kepandaian. Mereka itu seperti dua buah tong kosong
yang berbunyi nyaring.
Dengan teriakan-teriakan menyeramkan, ke dua orang itu kini
menggerakkan golok mereka dan menerjang ke arah Sui In,
bukan hanya untuk menakut-nakuti, melainkan benar-benar
menyerang! Namun, Sui In dengan mudahnya berloncatan
mengelak.
Dua orang itu mengamuk terus, mengejar ke manapun Sui In
meloncat sehingga golok mereka menyambar-nyambar dan
merobohkan beberapa buah kursi yang menjadi patah-patah.
Melihat ini, pemilik rumah makan itu menjadi panik. Bisa hancur
semua perabotnya!
“Sudah! Sudah......, harap jangan berkelahi di sini........!”
Berulang-ulang dia berteriak.
Melihat ini, Sui In merasa kasihan, maka ketika dua batang golok
itu menyambar, tubuhnya merendah dan kedua lengannya
berkembang, tangannya sudah menotok ke arah siku dua orang
penyerangnya. Golok itu terlepas dan pada detik berikutnya, kaki
kanan gadis itu terangkat dan dua kali bergerak menendang ke
arah perut dua orang lawannya.
163
Kaki itu menendang dengan gerakan cepat dan indah, dua kali
bergerak tanpa turun dulu. Nampaknya tendangan itu tanpa
tenaga, akan tetapi, begitu mengenai perut si jenggot kambing
dan si mata juling, keduanya berteriak kesakitan, dan terjengkang
lalu mengaduh-aduh sambil mengelus perut mereka yang
mendadak terasa mulas dan nyeri sekali!
Kini Sui In melangkah ke arah meja dua orang pemuda kaya itu,
tanpa memperdulikan, lagi dua orang bekas lawan yang
mengaduh-aduh. Matanya yang jeli itu menatap wajah kedua
orang pemuda hartawan itu dengan sinar mencorong.
Dua orang pemuda itu berdiri menggigil ketakutan melihat betapa
dua orang tukang pukul mereka roboh tak berdaya. Apa lagi
melihat sinar mata gadis itu, mereka ketakutan dan kedua kaki
mereka menggigil, dan ketika Sui In tiba di depan mereka, tak
dapat ditahan lagi celana mereka menjadi basah! Melihat ini, Sui
In merasa jijik. Tangan kirinya bergerak, dua kali ke arah muka
mereka.
“Plok! Plok!” Tubuh dua orang pemuda hartawan itu terpelanting
dan ketika mereka bangkit duduk sambil memegangi pipi yang
membengkak dan mulut berdarah karena beberapa buah gigi
mereka rontok, gadis itu sudah membayar harga makanan tanpa
bicara lagi, dan melangkah pergi.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay kagum bukan main. Gadis hebat,
pikirnya dan dia merasa puas. Kalau lebih banyak wanita seperti
gadis berpakaian hijau itu, tentu berkuranglah laki-laki iseng yang
suka mengganggu wanita dengan cara yang kurang sopan.
164
Diapun mengenal gerakan wanita itu ketika tadi menghadapi
serangan dua batang golok, cara mengelak, kemudian tendangan
beruntun itu.
Gerakan gadis itu mempunyai ciri khas yang datang dari sumber
partai persilatan Kun-lun-pai. Gadis itu tentu seorang murid Kun-
lun-pai, pikirnya. Murid yang sudah jadi, sudah matang menurut
dugaannya. Tentu saja ini hanya dugaan karena untuk
menentukan tingkat gadis itu, dia harus melihat gadis itu bersilat
berkelahi sungguh- sungguh, terutama menggunakan ilmu silat
tangan kosong dan ilmu pedangnya.
Sambil tersenyum dia melihat betapa empat orang pemuda itu
merangkak-rangkak, membayar harga makanan, bahkan
membayar pula kerugian yang timbul karena kerusakan meja
kursi dan pecahnya mangkok piring akibat perkelahian tadi.
Kemudian mereka pergi dari situ, si kepala besar tidak malu-malu
menangis dan mengaduh-aduh karena pipinya bengkak dan
banyak giginya sebelah kanan rontok!
Akan tetapi, Cin Hay yang sudah hampir melupakan lagi gadis
berpakaian hijau yang lihai dan menarik itu, dan hendak
melanjutkan makan minumnya, tiba-tiba tertarik melihat sikap tiga
orang pria-pria setengah tua yang tadi dia lihat makan pula di
meja lain. Dari sikap mereka, diapun tahu bahwa mereka adalah
orang-orang yang biasa bertualang di dunia persilatan. Akan
tetapi tadi dia tidak memperhatikan mereka.
Baru sekarang dia menaruh perhatian ketika melihat betapa tiga
orang itu bicara bisik- bisik dan kadang menoleh ke luar setelah
165
gadis berpakaian hijau tadi meninggalkan rumah makan itu.
Alisnya berkerut. Jelas bahwa mereka itu bukan orang-orang
lemah, terutama sekali orang yang berusia limapuluh tahun dan
rambutnya sudah berwarna putih semua itu.
Pernah dia mendengar akan seorang tokoh sesat yang
rambutnya sudah putih semua dan terkenal ahli bermain pedang,
julukannya Pek-mau-kwi (Setan Rambut Putih). Inikah orangnya?
Diapun memperhatikan dua orang yang lain. Yang seorang
berperut gendut, mukanya ramah akan tetapi matanya bersinar
kejam. Orang kedua kurus pendek dengan wajah bengis.
Tak lama kemudian, tiga orang ini bangkit dari meja dan
membayar harga makanan, lalu bergegas mereka keluar. Cin Hay
melirik ke arah meja mereka. Mereka itu belum selesai makan,
akan tetapi mengapa tergesa-gesa pergi? Dan mereka tadi jelas
membicarakan si nona baju hijau!
Timbul kecurigaannya dan diapun segera membayar harga
makanan lalu melangkah keluar. Di luar masih terdapat beberapa
orang yang tadi tertarik melihat keributan yang terjadi dalam
rumah makan dan mereka itu kini sedang membicarakan gadis
baju hijau dengan kagum.
Cin Hay masih sempat melihat mengepulnya debu bekas kaki tiga
ekor kuda itu menuju ke utara, maka diapun berjalan dengan
langkah lebar menuju ke utara. Setelah keluar dari dusun Kim-
tang, sebagai seorang yang tinggal di daerah Telaga See-ouw,
tentu saja dia mengenal baik daerah ini dan melihat betapa masih
nampak debu bekas kaki kuda mengepul di depan, tahulah dia
166
bahwa tiga orang penunggang kuda itu menuju ke bukit hutan
cemara.
Dia tahu bahwa hutan itu sunyi dan jarang dikunjungi orang
karena selain di sana tidak terdapat binatang buruan, juga banyak
bagian yang berbatu-batu dan tidak mendatangkan hasil apapun
kecuali kayu pohon cemara. Diapun segera mengerahkan tenaga
berlari cepat setelah tiba di jalan yang sunyi, membayangi tiga
orang penunggang kuda itu.
Kini dia sudah kehilangan tiga orang penunggang kuda karena
mereka sudah memasuki hutan di kaki bukit. Cin Hay yang
merasa curiga, terus membayangi, bahkan mempercepat larinya
untuk menyusul karena kalau sudah tiba di hutan, dia dapat
membayangi dari jarak yang lebih dekat tanpa mereka ketahui.
Sementara itu, Sui In setelah meninggalkan rumah makan,
segera melanjutkan perjalanannya. Ia ingin mengunjungi
susioknya (paman gurunya) yang bertapa di Bukit Cemara itu.
Susioknya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai, dan ia percaya
bahwa kalau susioknya membantu, akan lebih mudah baginya
untuk mencari Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) sampai dapat dan
membalas dendam atas kematian suaminya, juga menghentikan
pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja selama ini.
Ketika Sui In tiba di luar dusun, iapun menggunakan ilmu berlari
cepat menuju ke bukit Cemara. Setelah hampir tiba di kaki bukit,
ia merasakan sesuatu yang tidak wajar, yang membuatnya
menengok dan iapun melihat tiga orang penunggang kuda
membalapkan kuda mereka.
167
Ia tidak tahu siapa mereka, akan tetapi menduga bahwa tentu
mereka itu orang-orang yang hendak membalaskan kekalahan
empat orang pemuda kurang ajar yang dihajarnya di rumah
makan tadi. Maka iapun mempercepat larinya dan tibalah ia di
hutan cemara yang mulai dari kaki bukit. Akan tetapi, tiga orang
penunggang kuda itu terus mengejar memasuki hutan.
Ia menjadi penasaran sekali. Tentu saja ia tidak takut
menghadapi mereka, dan kalau mereka itu hendak membela
empat orang pemuda kurang ajar tadi, ia akan menghajar mereka
pula! Maka, setelah tiba di tempat terbuka, ia berhenti untuk
mengaso dan melihat siapa mereka yang melakukan pengejaran
itu.
Tiga orang penunggang kuda itu berlompatan turun dari atas
kuda mereka ketika melihat bahwa gadis yang mereka kejar
sudah berdiri menanti di atas lapangan terbuka, dengan sikap
yang gagah dan menantang! Tiga orang penunggang kuda itu
sesungguhnya bukanlah tukang-tukang pukul biasa yang hendak
membela empat orang pemuda tadi seperti yang disangka oleh
Sui In. Sama sekali bukan!
Mereka adalah tiga orang setengah tua yang tadi makan pula di
rumah makan dan mereka melihat pula ketika Sui In menghajar
para pemuda kurang ajar itu. Justeru gerakan gadis itulah yang
menarik perhatian mereka dan yang membuat mereka melakukan
pengejaran.
Gerakan ilmu silat Sui In ketika menghadapi para pemuda jahat
tadi mereka kenal sebagal ilmu silat Kun-lun-pai. Gadis itu murid
168
Kun-lun-pai dan karenanya harus mati di tangan mereka! Atau
lebih tepat lagi harus mati di tangan laki-laki berambut putih itu,
karena yang dua orang lainnya hanyalah merupakan para
pembantunya.
Siapakah mereka bertiga itu? Dugaan Pek-liong tadi memang
tidak keliru. Pria berusia limapuluhan tahun yang rambutnya
sudah putih semua itu adalah Ciong Hu, berjuluk Pek-mau-kwi
(Setan Rambut Putih), seorang tokoh sesat kenamaan. Pek-mau-
kwi Ciong Hu ini terkenal lihai dengan ilmu pedangnya, dan
diapun terkenal jahat dan kejam. Dia tidak pantang melakukan
kejahatan apapun asal perbuatan itu menghasilkan keuntungan
baginya.
Adapun dua orang temannya juga bukan orang sembarangan,
melainkan tokoh-tokoh sesat yang namanya ditakuti orang karena
selain kejam, merekapun lihai sekali. Terutama mereka yang suka
mengarungi Sungai Huang-ho dengan perahu, tentu akan
mengenal nama mereka.
Mereka adalah dua orang kakak beradik yang suka membajak di
sepanjang Sungai Kuning, maka nama julukan merekapun
Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning). Yang
berperut gendut dengan wajah cerah akan tetapi sinar matanya
kejam berusia empatpuluh lima tahun dan bernama Can Kai,
sedangkan yang kurus pendek berwajah bengis adalah adiknya
bernama Can Kui berusia empatpuluh tiga tahun.
Melihat cara tiga orang itu berlompatan dari atas punggung kuda,
Sui In terkejut juga. Ia tahu bahwa tiga orang ini tidak boleh
169
dipandang ringan, tidak seperti dua orang tukang pukul muda
yang dihajarnya di rumah makan tadi, maka iapun bersikap
waspada.
Ia mulai meragukan sangkaannya setelah mengetahui mereka
sebagai tiga orang yang tadi ia lihat makan di restoran itu pula.
Kalau mereka ini membela empat orang pemuda yang dihajarnya
tadi, tentu mereka sudah bergerak tadi di sana, pikir Sui In.
Tidak, mereka mengejarnya tentu karena alasan lain. Akan tetapi
ia bersikap tenang saja ketika berdiri berhadapan dengan mereka
bertiga. Melihat mereka bertiga itu hanya memandang kepadanya
dengan penuh perhatian, sedangkan si perut gendut menyeringai
dengan sikap ceriwis. Sui In lalu menegur.
“Mau apa kalian bertiga mengejarku?”
Pek-mau-kwi Ciong Hu menggerakkan tangannya. “Nona,
benarkah dugaan kami bahwa engkau seorang murid Kun-lun-
pai?”
Sui In mengerutkan alisnya. “Kalau benar, mengapa?”
Akan tetapi pria berambut putih itu tidak memperdulikan Sui In
melontarkan balas tanya penuh tantangan itu. “Dan engkau
hendak berkunjung ke pondok Giam Sun?”
Sui In merasa tidak perlu merahasiakan kunjungannya lagi
karena agaknya mereka sudah mengenal susioknya. “Memang
aku akan berkunjung ke tempat pertapaan Giam Susiok. Kalian
siapakah?”
170
Akan tetapi tiga orang itu sudah tertawa bergelak. “Hemm,
engkau murid keponakan Giam Sun?” kini Can Kai si gendut
tertawa. “Bagus sekali, kalau begitu engkau harus turut dengan
aku!”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi Can Kai
sudah menubruk ke depan. Biarpun perutnya gendut ternyata dia
dapat bergerak dengan cepat sekali.
Sui In cepat mengelak dan ketika lengan kanan si gendut itu
masih berusaha meraihnya, ia menangkis sambil mengerahkan
tenaga.
“Plakk!” Can Kai mengeluarkan seruan kaget karena lengannya
yang tertangkis itu terpental keras, tanda bahwa gadis itu memiliki
sin-kang yang cukup kuat.
“A Kai, jangan main-main. Cepat selesaikan ia, kita tidak
mempunyai banyak waktu!” tiba-tiba Pek-mau-kwi Ciong Hu
berseru dan mendengar ini, si gendut sudah mencabut
pedangnya, lalu tanpa banyak cakap lagi diapun sudah langsung
menerjang dengan ganas. Akan tetapi, melihat lawan
menggunakan senjata, Sui In juga, sudah cepat menghunus
pedang dan kini ia menangkis dengan gerakan kilat.
“Tranggg......!” Begitu kedua pedang bertemu dan tangkisan itu
membuat pedang Can Kai terpental, pedang di tangan Sui In
sudah meluncur dengan gerakan lingkaran yang amat cepat,
menyambar dari samping membabat ke arah leher Can Kai!
171
Si gendut ini terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, lalu
berjungkir balik sambil memutar pedang melindungi tubuhnya.
Wajahnya berubah agak pucat karena nyaris lehernya putus! Dia
menjadi marah dan sudah menerjang lagi dengan dahsyat, sama
sekali tidak berani memandang rendah lagi.
Sui In juga segera memainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang
amat indah dan kuat. Pedang di tangannya itu berubah menjadi
sinar bergulung-gulung dan dari gulungan sinar itu, yang selalu
menahan setiap serangan lawan, seringkali mencuat sinar yang
merupakan serangan balasan yang cepat dan berbahaya bagi
lawan.
Dalam waktu duapuluh jurus saja, Can Kai sudah terdesak hebat
dan setiap lima kali serangan lawan dia hanya mampu membalas
satu kali saja! Tentu saja dia mundur terus dan berputar-putar
dan jelas bahwa kalau dilanjutkan, tak lama lagi dia pasti akan
roboh menjadi makanan pedang di tangan gadis Kun-lun-pai yang
lihai itu!
Melihat kakaknya terdesak, Can Kui sudah mencabut pedangnya
dan tanpa banyak cakap lagi diapun sudah terjun membantu
kakaknya. Ilmu pedang Can Kui tidak banyak berbeda dengan
kakaknya, maka kini Sui In dikeroyok dua dan kalau tadi Sui In
dapat mendesak lawan, kini ia harus berhati-hati karena setelah
dikeroyok, tentu saja keadaan menjadi berubah! Wanita perkasa
ini memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi kini serangan
dua orang itu lebih cepat dan lebih sering dibandingkan serangan
balasan yang dapat ia lakukan.
172
Pek-mau-kwi Ciong Hu menjadi tidak sabar. Tak disangkanya
bahwa wanita ini demikian lihainya sehingga dikeroyok oleh dua
orang pembantunya pun agaknya mereka tidak akan mudah
memperoleh kemenangan,
“Hemm, perempuan yang sombong, terimalah kematianmu!”
bentaknya dan diapun sudah mencabut pedangnya. Begitu
pedangnya dicabut, nampak sinar berkilauan, tanda bahwa
pedangnya itu adalah sebuah senjata yang baik dan juga tajam
sekali.
Pedang itu meluncur dan merupakan segulung sinar terang
menyerang ke arah Sui In yang sudah dikeroyok oleh dua orang,
Sepasang Harimau Sungai Kuning itu. Cepat dan kuat sekali
serangan itu sehingga Sui In menjadi terkejut bukan main karena
pada saat itu ia sedang didesak oleh dua orang pengeroyoknya.
Pada saat yang amat berbahaya bagi Sui In, tiba-tiba nampak
sinar putih meluncur dari samping.
“Cringggg......! Ahhhh......!!” Pek-mau-kwi Ciong Hu mengeluarkan
seruan kaget dan cepat memeriksa pedangnya yang hampir saja
terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh sinar putih
itu.
Dia merasa lega bahwa pedangnya tidak rusak, akan tetapi
alisnya berkerut ketika dia mengangkat muka memandang
kepada seorang pria muda yang berdiri di situ sambil tersenyum.
Seorang pria muda berpakaian serba putih, pakaian sederhana
saja dan tentu dia tidak akan menduga bahwa pemuda itu
seorang ahli silat yang lihai kalau saja dia tidak melihat pedang
173
yang bersinar putih dan yang telah membuat pedangnya terpental
tadi.
“Pek-liong-eng........!” serunya dengan mata terbelalak.
Tan C'in Hay tersenyum, “Dan engkau tentu Pek-mau-kwi Ciong
Hu!”
“Pek-liong-eng, selama ini di antara kita tidak pernah ada
permusuhan dan jalan kita selalu bersimpang. Harap engkau
tidak mencampuri urusan pribadiku!” kata Pek-mau kwi Ciong Hu,
sementara itu, dua orang kakak beradik Can itu masih berkelahi
mengeroyok Sui In.
“Pek-mau-kwi, memang jalan kita tidak pernah bertabrakan, akan
tetapi sekali ini, secara pengecut sekali kau mengeroyok seorang
wanita murid Kun-lun-pai dengan dua orang kawanmu. Hal ini
tentu saja tidak dapat kubiarkan saja. Aku paling benci melihat
laki-laki yang curang dan pengecut!”
“Pek-liong-eng, orang lain boleh takut kepada nama besarmu,
akan tetapi aku tidak! Mampuslah!” Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah
menyerang dengan pedangnya. Serangannya memang hebat dan
dia adalah seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya.
Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan Si Naga Putih!
Sebelum dia menjadi rekan setia dari Hek-liong-li, dia sudah
merupakan seorang pendekar yang berilmu tinggi, mewarisi ilmu-
ilmu kesaktian dari mendiang Pek I Lojin. Apa lagi setelah dia
memiliki pedang pusaka Pek-liong Po-kiam (Pedang Pusaka
Naga Putih), dan bersama Hek-liong-li dia menciptakan ilmu
174
pedang Sin-liong Kiam-sut, maka ilmu pedangnya dahsyat bukan
main. Begitu dia menggerakkan pedang pusakanya, lenyaplah
bentuk pedang itu dan yang nampak hanya sinar putih bergulung-
gulung yang menimbulkan bunyi berdesing-desing dan angin
menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor naga bermain-
main di angkasa.
Pek-mau-kwi merasa terkejut bukan main. Dia mengerahkan
seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya,
memainkan jurus-jurus pilihan, namun tetap saja sinar pedangnya
terkurung dan terhimpit oleh sinar pedang lawannya. Masih
untung baginya bahwa diam-diam Pek-liong mengkhawatirkan
keselamatan gadis Kun-lun-pai itu sehingga perhatian Pek-liong
terpecah, sebagian untuk menjaga kalau-kalau wanita perkasa itu
terancam babaya. Hal ini memberi kesempatan kepada Pek-mau-
kwi untuk meloncat jauh ke belakang.
“Kita pergi......!” teriaknya kepada dua orang pembantunya.
Sebetulnya, Can Kai dan Can Kui sudah mulai menghimpit
lawannya. Wanita perkasa itu hanya mampu menangkis dan
melindungi tubuhnya saja dan kalau dilanjutkan, ia pasti akan
roboh. Akan tetapi, mendengar seruan Pek-mau-kwi, mereka
terkejut.
Tadipun mereka sudah cemas mendengar pemimpin mereka
menyebut nama Pek-liong-eng. Maka, tanpa banyak pikir lagi,
keduanya sudah berloncatan meninggalkan Sui In dan di lain
saat, mereka bertiga sudah membalapkan kuda meninggalkan
tempat itu.
175
Pek-liong tidak mengejar, juga Sui In tidak mencoba untuk
mengejar. Mereka berdiri saling pandang sejenak, pandang mata
yang mengandung kekaguman. Kemudian, Sui In yang teringat
bahwa baru saja ia dibebaskan dari ancaman maut, segera
mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat
sambil berkata, “Terima kasih atas pertolongan yang diberikan
sehingga aku lolos dari ancaman maut di tangan mereka.”
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tersenyum dan membalas
penghormatan itu dengan mengangkat kedua tangan depan
dada, “Tidak perlu berterima kasih, nona. Sudah sepatutnya kalau
kita saling membantu apa bila menghadapi ganguan orang-orang
jahat.”
“Aku...... aku bukan seorang nona......” Sui In tersipu mendengar
ia dipanggil “siocia” (nona). Usianya sudah duapuluh enam tahun
dan ia seorang janda!
Pek-liong masih tersenyum dan kembali mengangkat kedua
tangan di depan dada memberi hormat, “Ah, maafkan aku,
nyonya......”
Sui In masih tersipu akan tetapi iapun tersenyum, dan
menggeleng kepalanya. “Akupun bukan seorang nyonya......”
“Ehhh......?” Kini Pek-liong terbelalak bingung. Bukan nona dan
bukan nyonya, apakah ia banci......?
“Aku seorang janda,” Sui In cepat menjelaskan.
“Ah, begitu......?”
176
Keduanya terdiam. Agaknya pengakuan dirinya sebagai seorang
janda itu membuat suasana menjadi canggung. Akan tetapi
akhirnya Sui In dapat menguasai hatinya. Ia tahu bahwa pria di
depannya itu menjadi rikuh maka tidak berani sembarangan
bicara dan harus ia yang lebih dahulu bicara.
Ia mengangkat muka. Kebetulan Pek-liong juga sedang
memandang kepadanya sehingga dua pasang mata bertemu,
bertaut sebentar lalu Sui In yang membuang pandang mata ke
samping sambil memerah muka di luar kesadarannya.
“Jadi...... engkau ini yang dijuluki Pek-liong-eng itu? Namamu
sudah terkenal sampai ke kota raja.”
“Ah, hanya nama kosong saja, tidak pantas untuk disohorkan,”
kata Pek-liong merendah.
“Bukan nama kosong. Baru saja aku menyaksikan sendiri betapa
hebatnya ilmu pedangmu, tai-hiap (pendekar besar). Aku sudah
mendengar pula nama Pek-mau-kwi yang kabarnya amat lihai
dan ilmu pedangnya amat berbahaya, namun dalam beberapa
gebrakan saja, melawanmu, dia telah melarikan diri. Sungguh
engkau memiliki kesaktian hebat, tai-hiap.”
“Wah, engkau membikin aku dua kali malu dan bingung. Engkau
tidak mau disebut nona, juga tidak mau disebut nyonya, akan
tetapi sebaliknya engkau menyebut aku tai-hiap! Ini tidak adil
namanya. Karena malu dan canggung, aku rasanya ingin lari
saja. Kalau kita ingin melanjutkan perkenalan ini sebaiknya
engkau menyebut aku toako saja. Usiaku sudah duapuluh tujuh
177
tahun, tentu jauh lebih tua darimu, maka sudah sepatutnya kalau
engkau menyebut toako (kakak) kepadaku.”
Sui In tersenyum. Hatinya girang bukan main. Dahulu ia sudah
mengagumi nama besar Pek-liong-eng. Tadi ketika bertemu di
restoran, iapun diam-diam kagum melihat pria ini karena tampan
dan jantan, kemudian ia semakin kagum melihat ilmu kepandaian
dan sepak terjangnya.
Dan kini, bukan saja ia berhadapan dan berkenalan dengan
pendekar itu, bahkan ia diperbolehkan menyebut toako! Ia
semakin kagum. Pria ini selain tampan dan gagah, jantan,
berkepandaian tinggi, juga ternyata sopan dan amat ramah dan
jujur!
“Baiklah, toako, akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku
nona atau nyonya, melainkan siauw-moi (adik perernpuan).
Usiaku sudah duapuluh enam tahun, setahun lebih muda darimu.”
“Ah, tidak mungkin!”
“Apanya, yang tidak mungkin, toako?”
“Mana mungkin usiamu sudah duapuluh enam tahun? Engkau
kelihatan tidak lebih dari duapuluh tahun!” kata Pek-liong dengan
sikap sungguh-sungguh sehingga wanita itu tersenyum bangga,
maklum bahwa pendekar itu tidak sekedar merayu.
“Sungguh, toako. Eh, kita ini sudah saling menyebut toako dan
siauw-moi, akan tetapi belum mengetahui nama masing-masing!
178
Aku hanya pernah mendengar julukanmu, belum mengetahui
namamu. Aku bernama Cu Sui In, toako.”
“Cu Sui In nama yang bagus. Namaku sendiri Tan Cin Hay, In-
moi (adik In). Nah, kita telah berkenalan dan menjadi sahabat.
Maukah engkau menceritakan kepadaku mengapa tiga orang itu
tadi berusaha mati-matian untuk membunuhmu?”
Sui In menggeleng kepala. “Aku sendiri pun tidak tahu mengapa
mereka memusuhi aku, toako. Mereka tadi mengejarku, setelah
tiba di sini mereka hanya bertanya apakah aku murid Kun-lun-pai.
Setelah aku membenarkan, mereka segera menyerangku dan
berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhku. Merekapun
agaknya mengenal susiokku Giam Sun yang bertapa di puncak
bukit ini.”
“Susiokmu? Seorang tokoh Kun-lun-pai bertapa di bukit ini?
Heran sekali, mengapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?
Pada hal, aku tinggal tidak jauh sekali dari sini.”
“Giam Susiok (Paman Guru Giam) memang bertapa
mengasingkan diri dari dunia ramai, maka dia seperti orang
bersembunyi dan tidak ada yang tahu. Aneh sekali bagaimana
tiga orang itu mengetahuinya dan..... ah, jangan-jangan telah
terjadi sesuatu dengan susiok....!” Wajah manis itu nampak
khawatir sekali. “Aku harus cepat melihat keadaannya!”
Setelah berkata demikian, Sui In yang mengkhawatirkan paman
gurunya segera berlari mendaki bukit. Pek-liong juga tertarik
sekali mendengar bahwa paman guru gadis itu bertapa di situ,
maka diapun mengikuti di belakang gadis itu tanpa bicara lagi.
179
Pondok itu sederhana saja, tersembunyi di bawah pohon cemara
dan semak belukar tumbuh di sekelilingnya sehingga pondok itu
tidak nampak dari bawah puncak.
“Giam susiok.......!” Sui In memanggil beberapa kali di luar
pondok.
Tidak ada jawaban. Sunyi sekeliling dan perasaan hati wanita itu
semakin gelisah. Ia saling pandang dengan Pek-liong dan
pendekar ini memberi isyarat dengan pandang matanya ke arah
pintu pondok, Sui In mengangguk dan mereka lalu menghampiri
pintu pondok, mendorongnya terbuka.
“Susiok......!” Sui In terkejut bukan main melihat paman gurunya
sudah rebah miring di atas lantai tanah pondok itu. Ia meloncat
masuk diikuti Pek-liong dan keduanya berlutut dekat tubuh yang
menggeletak miring.
“Dia sudah tewas,” kata Pek-liong dan Sui In mengangguk,
wajahnya pucat dan matanya terbelalak.
“Lihat ini......,” kata Pek-liong menunjuk ke arah lantai dan ketika
Sui In memandang sambil mendekatkan mukanya, iapun melihat
betapa dekat tangan yang terkulai itu, di atas lantai tanah,
terdapat tulisan. Huruf-hurufnya cukup jelas dan ia membacanya.
“Pek-mau-kwi...... Kwi-eng-cu......!”
“Aih, Kwi-eng-cu......??” Gadis itu nampak terkejut sekali sehingga
Pek-liong cepat bertanya.
180
“Siapa itu Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)?”
Sui In memandang dengan kedua mata basah.
“Aku...... aku mencari paman justeru...... justeru..... karena urusan
Kwi-eng-cu dan ternyata paman guruku telah menjadi korban
Kwi-eng-cu pula!”
Gadis itu menangis, teringat akan kematian suaminya dan kini
kematian susioknya (paman gurunya), pada hal tadinya ia
mengharapkan bantuan paman gurunya untuk dapat membalas
dendam kepada Kwi-eng-cu.
Pek-liong membiarkan wanita itu menangis sejenak, setelah Sui
In dapat menguasai dirinya, dia lalu berkata, “Sudahlah, In-moi.
Susiokmu sudah tewas dan ditangisi bagaimanapun juga, tidak
ada gunanya. Jauh lebih baik kalau kita segera mengubur
jenazahnya.”
Sui In mengangguk dan Pek-liong lalu mencari sebuah cangkul di
bagian belakang pondok itu, memilih tempat yang baik dan
diapun segera bekerja, menggali lubang kuburan. Dan tak lama
kemudian, jenazah Giam Sun, kakek berusia enampuluh tahun
tokoh Kun-lun-pai itu telah dikubur secara sederhana. Kemudian
disembayangi secara sederhana pula, tanpa alat sembahyang,
hanya dengan berlutut di depan makam dan berdoa di dalam hati,
namun dua orang muda itu bersembahyang dengan khidmat.
Setelah penguburan selesai, barulah Pek-liong berkata, “Nah,
sekarang coba kauceritakan kepadaku siapa itu Kwi-eng-cu dan
181
apa hubungannya dengan kedatanganmu ke sini dan dengan
semua peristiwa ini, In-moi!”
Sui In menarik napas panjang, terkenang akan semua peristiwa
buruk yang menimpa dirinya.
“Aku tinggal di ibu kota, toako. Selama beberapa bulan ini, di kota
raja timbul peristiwa yang menggegerkan, yaitu dengan terjadinya
pembunuhan-pembunuhan gelap terhadap beberapa orang
pejabat penting. Tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh itu,
hanya ada yang melihat bayangan yang bertanduk, seperti iblis.
Karena itu maka pembunuh itu hanya dinamakan Kwi-eng-cu (Si
Bayangan Iblis) tanpa ada yang menduga siapa dia dan di mana
sarangnya. Di antara banyak pejabat yang terbunuh itu, termasuk
juga suamiku ......”
“Ah......! Suamimu seorang pejabat dan dia pun tewas oleh Kwi-
eng-cu?”
Tentu saja Pek-liong terkejut dan kini dia memandang wajah
wanita itu dengan perasaan iba. Sui In melihat pandang mata
penuh iba itu, maka iapun berterima kasih dengan senyum kecil!
“Aku sudah dapat mengatasi peristiwa itu, toako. Bukan hanya
suamiku yang dibunuh, akan tetapi banyak pejabat, bahkan ada
pangeran yang dibunuh, pembantu menteri bahkan menteri! Kota
raja menjadi geger, dan aku sendiri setelah itu menjaga
keselamatan pamanku, yaitu Pembantu Menteri Pajak, karena
setiap orang pejabat tinggi, apa lagi yang dekat dengan kaisar,
merasa terancam dan tidak aman.
182
“Karena aku ingin sekali menangkap penjahat tukang bunuh itu,
maka setelah paman mendatangkan rombongan pengawal yang
cukup tangguh, aku lalu pergi ke sini untuk menghadap paman
guru Giam Sun, untuk minta bantuannya bersamaku menangkap
dan menghukum Kwi-eng-cu di kota raja.
“Selanjutnya, engkau tahu apa yang terjadi di sini, toako. Ahh,
sungguh malang sekali nasibku. Bagaimana pula susiok yang
akan kumintai bantuan, tahu-tahu telah dibunuh orang? Dan apa
artinya tulisan yang agaknya sengaja dia tinggalkan di tanah itu?”
Pek-liong tertarik sekali dan diapun mengerutkan alis,
mengerjakan otaknya yang sehat, yang membuat dia cerdik
sekali dan waspada. Baru sekarang dia mendengar tentang
pembunuhan-pembunuhan aneh di kota raja itu dan biarpun dia
tidak suka mencampuri urusan pemerintah, namun peristiwa itu
sungguh menarik hatinya. Terjadi kejahatan yang luar biasa
beraninya di kota raja.
“In-moi, kalau boleh aku bertanya, bagaimana keadaan dan
pendirian mendiang suamimu terhadap Sribaginda Kaisar?“
Ditanya tentang suaminya itu, Sui In terkejut sekali, karena hal ini
tidak pernah disangkanya. Ia memandang dengan mata
terbelalak.
“Apa...... apa maksudmu, toako?”
“Begini, In-moi. Aku ingin mengetahui bagaimana sikap para
pejabat tinggi yang terbunuh itu. Karena engkau tentu tidak
mengetahui keadaan mereka, maka aku bertanya tentang
183
suamimu. Diapun ikut pula terbunuh, berarti dia memiliki
persamaan atau kepentingan yang sama dengan para pejabat
lain yang terbunuh. Nah, aku ingin tahu apakah suamimu itu
seorang pejabat yang...... maafkan pertanyaanku kalau kasar,
apakah dia seorang pejabat yang korup?”
Secara kontan Sui In menggeleng kepala keras-keras.
“Sama sekali tidak! Baik pamanku, Ciok Tai-jin Pembantu Menteri
Pajak, dan juga mendiang suamiku, mereka adalah pejabat-
pejabat yang jujur dan setia, disiplin dan tidak sudi melakukan
penyelewengan demi keuntungan diri pribadi!”
Pek-liong mengangguk-angguk. “Dan bagaimana sikapnya
terhadap Sribaginda Kaisar? Setia sepenuhnyakah? Ataukah ada
sesuatu yang membuat suamimu merasa tidak suka akan
kebijaksanaan Kaisar? Secara terang-terangan atau secara
sembunyi menentang Kaisar?”
Sui In menggelengkan kepalanya dan kini ia mengerti ke arah
mana tujuan pertanyaan Pek-liong, maka iapun menerangkan.
“Akupun pernah melakukan penyelidikan tentang pembunuhan-
pembunuhan itu, toako, dan akupun sudah menyelidiki tentang
sikap mereka yang terbunuh. Suamiku sendiri adalah seorang
yang setia dan taat kepada kaisar. Akan tetapi, yang
membingungkan adalah bahwa di antara mereka yang terbunuh
terdapat pula mereka yang memperlihatkan sikap tidak cocok
dengan kebijaksanaan Kaisar. Jadi, pembunuhan ini jelas bukan
berdasarkan pro atau anti kaisar.”
184
Pek-liong memandang wanita itu dengan kagum. Seorang wanita
yang cerdik pula, pikirnya.
“Apakah di kota raja sudah ada usaha untuk menyelidiki
pembunuhan-pembunuhan itu? Bagaimana dengan Kaisar
sendiri?”
“Kaisar sudah memerintahkan semua petugas keamanan untuk
melakukan penyelidikan. Namun tanpa hasil. Akan tetapi,
sungguh aku tidak mengerti apa hubungan semua pembunuhan
di kota raja itu dengan pembunuhan terhadap susiok?”
“Tentu ada kaitannya, In-moi. Setidaknya, mereka itu jelas
memusuhi Kun-lun-pai. Buktinya, setelah mereka tahu bahwa
engkau murid Kun-lun-pai engkaupun akan mereka bunuh.
Tulisan itu menyebutkan dua nama.
“Nama Pek-mau-kwi sudah jelas. Dia adalah orang berambut
putih yang memimpin pengeroyokan terhadap dirimu. Ini berarti
bahwa ketika paman gurumu terbunuh, dia mengenal Pek-mau-
kwi sebagai seorang di antara pembunuhnya. Melihat tingkat
kepandaiannya, kiranya kalau hanya seorang diri saja Pek-mau-
kwi tidak akan mungkin dapat membunuh susiokmu yang tentu
lihai sekali.”
“Dalam hal kelihaian ilmu silat, susiok hanya lebih menang sedikit
dibandingkan aku, akan tetapi dia berpengalaman dan cerdik,
maka aku ingin minta bantuannya untuk menangkap pembunuh di
kota raja.”
185
“Lebih lihai dan engkau berarti tidak kalah malawan Pek-mau-kwi.
Mungkin dia dikeroyok oleh Pak-mau-kwi bersama dua orang
pembantunya itu. Akan tetapi, diapun menulis nama Kwi-eng-cu!
Apakah pembunuh misterius di kota raja itu datang pula ke sini,
bersama Pek-mau-kwi membunuhnya?”
“Mungkin juga begitu! Sayang aku datang terlambat!” kata Sui In
penuh penyesalan.
Pek-liong menggeleng kepala. Otaknya sudah bekerja karena dia
tertarik sekali oleh semua peristiwa yang terjadi, baik di bukit itu
maupun di kota raja seperti yang dia dengar dari Sui In.
“Engkau terlambat satu hari, In-moi. Pamanmu itu sudah tewas
sedikitnya lima jam yang lalu, akan tetapi melihat luka pedang di
tengkuknya, tentu dia sudah diserang orang pada hari kemarin.
Dia tentu disangka mati dan ditinggalkan para pembunuhnya,
maka dia masih mampu menuliskan nama-nama itu. Dan melihat
betapa kita bertemu dengan Pek-mau-kwi pada hari ini, bersama
dua orang pembantunya yang lihai pula itu, maka kurasa yang
membunuh pamanmu adalah tiga orang tadi. Kalau dikeroyok
tiga, sukar baginya untuk menang.”
“Akan tetapi, mengapa paman guruku menuliskan nama Kwi-eng-
cu pula?”
“Itulah yang menjadi rahasianya. Apapun rahasianya itu, jelas
bahwa antara Kwi-eng-cu dan Pek-mau-kwi ada hubungan! Jadi,
kalau kita hendak menyelidiki tentang Kwi-eng-cu, kita dapat
menyelidikinya melalui Pek-mau-kwi!”
186
“Kita......?” Sui In mengangkat muka, memandang dengan sinar
mata penuh harap.
Pek-liong mengangguk. “Ya, aku akan pergi denganmu, In-moi.
Perkara ini amat menarik hatiku. Secara kebetulan saja kita saling
melihat di rumah makan itu. Kalau saja tiga orang itu tidak
menimbulkan kecurigaanku dengan sikap mereka, tentu aku tidak
akan membayangi mereka dan kita mungkin tidak akan saling
bertemu kembali.”
Bukan main girangnya rasa hati Sui In. Ia mencari susioknya
untuk membantunya menyelidiki pembunuh suaminya. Susioknya
tewas terbunuh orang dan sebagai gantinya, ia mendapat
bantuan dari orang yang lebih hebat dan lebih dapat dipercaya
dari pada susioknya, yaitu Pek-liong-eng Tan Cin Hay!
“Terima kasih, toako! Kalau engkau yang melakukan
penyelidikan, aku yakin rahasia pembunuh itu akan terbongkar
dan kita akan dapat menangkapnya! Biarpun aku berduka karena
kematian susiok, sebaliknya aku gembira sekali telah
mendapatkan engkau sebagai penggantinya untuk membantu
aku membalas dendam kematian suamiku!”
“Maaf, In-moi. Kalau aku ingin menyelidiki Kwi-eng-cu, hal itu
sama sekali tidak ada hubungannya dengan balas dendam
kematian suamimu, juga bukan sebagai seorang pendekar yang
menentang kejahatan lalu membela para pejabat. Aku bukan
pendekar, aku seorang manusia biasa yang bebas menentukan
jalan hidupku sendiri. Kalau aku sekarang ikut denganmu ke kota
187
raja, hal itu adalah karena aku tertarik oleh semua ceritamu tadi,
In-moi.”
“Apapun alasanmu, aku girang bahwa engkau suka pergi
bersamaku ke kota raja, toako. Mari kita berangkat!” ajak wanita
itu dengan wajah berseri.
“Kita singgah dulu di rumahku, In-moi. Tidak jauh dari sini. Aku
harus membuat persiapan dan memberitahu orang di rumah.”
“Aih, maafkan. Aku lupa. Tentu saja engkau harus berpamit
kepada keluargamu!” kata Sui In dan teringat akan hal ini, seri di
wajahnya menghilang.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tertawa. “Ha-ha-ha, aku hidup
seorang diri di dunia ini, In-moi, sebatang kara, tanpa keluarga.
Hanya dengan para pembantu rumah tangga. Kalau aku pergi,
aku harus memberitahu mereka agar mereka tidak gelisah. Pula,
aku harus membawa bekal dan persiapan.”
“Tapi, toako. Seorang pria seperti engkau ini, usiamu sudah
cukup dewasa, engkau pandai, engkau gagah perkasa dan
wajahmu menarik, bagaimana mungkin sampai kini masih hidup
membujang? Maafkan, bukan maksudku mencampuri urusan
pribadimu, akan tetapi seorang pria seperti engkau sudah
sepatutnya kalau mempunyai seorang isteri yang cantik jelita dan
bijaksana, dan mempunyai beberapa orang anak yang mungil
dan sehat.”
Ada bayangan gelap menyelimuti wajah Pek-liong, namun hanya
sebentar saja, seperti bayangan awan yang lewat. Wajahnya
188
sudah berseri kembali, matanya bercahaya dan mulutnya ramai
oleh senyum.
“Isteriku telah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu tanpa
anak dan sejak itu, aku belum pernah menikah lagi.”
“Ah, engkau... seorang...... duda? Siapa sangka!”
Wajah Sui In berubah merah sekali karena ucapan itu tadi keluar
begitu saja di luar kesadarannya dan baru sekarang ia merasa
betapa ucapan itu amat tidak pantas keluar dari mulutnya. Untuk
menutupi perasaan rikuh dan salah tingkah, ia cepat
menyambung, “Isterimu tentu meninggal dunia karena sakit.”
Pek-liong menggeleng kepala. “Seperti juga suamimu, isteriku
tewas dibunuh orang! Sudahlah, perlu apa kita bicara tentang hal
lalu. Mari engkau singgah dulu di rumahku. Tidak begitu jauh dari
sini.”
Menjelang sore, tibalah mereka di dusun Pat-kwa-bun. Begitu
memasuki pekarangan rumah Pek-liong, Sui In merasa, kagum
bukan main.
Tempat itu amat bersih dan terpelihara rapi. Dari pagar
temboknya yang tidak begitu tinggi dan dicat merah, sampai
pekarangan yang juga merupakan taman terpelihara indah,
dengan air mancur di depan di tengah kolam ikan emas, dan ada
sebuah arca naga putih di belakang kolam. Beberapa batang
pohon membuat tempat itu sejuk dan nyaman, dan hamparan
rumput juga terpelihara sehingga merupakan permadani hijau
yang menyegarkan mata.
189
Rumah itu sendiri dari luar nampak kokoh. Tidak begitu besar
namun indah walaupun tidak nampak mewah dari luar.
Dindingnya putih bahkan jendela dari pintunya juga putih, dengan
garis-garis tipis merah muda dan kuning. Gentengnya
kemerahan.
“Selamat datang, Tai-hiap, Selamat datang, nona!” Dua orang
pria yang berpakaian pelayan namun bersih dan dengan sikap
yang gagah, dengan tubuh tegak dan tegap, menyambut mereka
dengan salam hormat.
“Nona ini adalah Cu Li-hiap, menjadi tamu kehormatanku malam
ini. Suruh A- liok menyiapkan hidangan yang lezat untuk tamu
kita!” kata Pek-liong kepada mereka.
“Maafkan kami, Li-hiap,” kata seorang di antara mereka sambil
memberi hormat kepada Sui In yang tentu saja merasa rikuh
menerima penghormatan sebagai seorang pendekar wanita.
Akan tetapi ia hanya mengangguk dan Pek-liong mempersilakan
ia ikut memasuki rumahnya.
Setelah masuk ke dalam rumah itu, Sui In menjadi semakin
kagum. Kiranya isi rumah itu berbeda sekali dengan keadaan
luarnya. Semua perabot rumah di situ nampak megah dan
mewah, juga terpelihara rapi. Sampai lantainya saja mengkilap
seperti cermin!
Lukisan-lukisan indah, juga tulisan-tulisan indah menghias
dinding. Pot-pot bunga terukir naga dan burung Hong, berdiri di
sudut-sudut terisi tanaman yang segar. Sutera-sutera beraneka
warna menutupi lubang-lubang dan bergantungan seperti pelangi.
190
Ruangan-ruangan yang dilaluinya ditata secara nyeni sekali, tidak
kalah indahnya dibandingkan istana raja sekalipun!
Yang membuat Sui In semakin kagum adalah ketika mereka
memasuki setiap ruangan Pek-liong selalu memeriksa apakah
tombol rahasia menunjukkan bahwa ruangan itu bebas
perangkap, jelas bahwa rumah yang indah itu penuh jebakan dan
perangkap. Karena ingin tahu ia tanyakan hal ini kepada tuan
rumah.
Pek-liong mengangguk, tersenyum. “Hidup seperti aku ini selalu
diancam bahaya, banyak orang yang pernah kujatuhkan menaruh
dendam dan setiap waktu mereka dapat datang menyerbu ke
rumahku. Karena aku tidak suka menggunakan pasukan
pengawal, maka aku harus mampu menjaga segala kemungkinan
terhadap gangguan dari luar yang datang selagi aku tidur.”
“Ah, menarik sekali, Toako, aku tidak ingin mengetahui alat-alat
rahasia di rumahmu ini yang tentu saja harus dirahasiakan, akan
tetapi kalau boleh aku ingin melihat bekerjanya satu saja
perangkap yang dipasang di ruangan depan itu.” Ia menuding ke
depan, ke sebuah ruangan yang dihias sutera-sutera merah
muda.
Pek-liong tersenyum, mengangguk dan berkata dengan suara
sungguh-sungguh.
“Engkau boleh buktikan sendiri, In-moi. Coba kau masuki ruangan
itu dengan sikap hati-hati. Engkau seorang penyerbu yang sudah
menduga bahwa kamar itu dipasangi jebakan, sehingga engkau
boleh berhati-hati sekali, akan tetapi engkau harus memasukkan
191
ruangan itu, katakanlah untuk mengambil atau melakukan
sesuatu.”
Sui In mengerutkan alisnya. “Akan tetapi...... aku tidak mau
terancam bahaya maut, toako!”
Pek-liong menggeleng kepala. “Aku belum gila, In-moi. Masa aku
akan mencelakaimu? Jangan khawatir, perangkap yang
kupasang di rumah ini bukan untuk membunuh, melainkan untuk
membuat orang yang berniat buruk tidak berdaya dan tertawan
tanpa melukai atau menyakitinya. Engkau boleh mencabut
pedangmu untuk berjaga-jaga, seperti seorang musuh tulen!”
Sui In menjadi tertarik sekali dan iapun mengangguk, mencabut
pedangnya dan dengan hati-hati menghampiri kamar itu. Bahkan
ia, merasa gembira karena ia seperti berada dalam suatu
permainan yang menarik untuk menguji diri sendiri dan menguji
keampuhan alat yang dipasang oleh Pendekar Naga Putih di
dalam rumahnya.
Dengan penuh kewaspadaan, Sui In menghampiri ruangan itu.
Sebuah ruangan duduk yang indah, dengan pintunya terbuka dan
lantainya mengkilap, meja kursinya terukir indah ditilami bantalan.
Jendela-jendela yang berada di tiga penjuru tertutup, tentu dibuka
kalau ada tamu sehingga ruangan yang menembus di sebelah kiri
pada sebuah taman itu tentu akan sejuk dan nyaman sekali.
Dindingnya yang bersih dihiasi lukisan dan tulisan indah
berbentuk syair-syair berpasangan.
Dengan pandang matanya yang tajam Sui In mengamati seluruh
bagian ruangan itu, mencari-cari tanda adanya pesawat rahasia.
192
Namun semua nampak bersih dan wajar, tidak ada yang
mencurigakan. Apakah lantainya yang mampu bergerak dan
terdapat lubang sehingga ia akan terperosok ke bawah kalau
menginjaknya. Ataukah dari jendela-jendela itu akan keluar
senjata rahasia atau asap pembius yang akan membuatnya
pingsan? Apakah daun pintu akan menutup sendiri begitu ia
memasuki ruangan?
Berbagai kemungkinan ini ia perhitungkan ketika akhirnya
berindap-indap ia melangkah memasuki ruangan itu dengan
pedang di tangan. Selangkah demi selangkah ia memasuki
ruangan itu, setiap bagian tubuhnya menegang penuh kesiap
siagaan.
Pada langkah kelima, tiba-tiba terdengar suara berderit di
belakangnya. Ia cepat menoleh dan daun pintu yang tadi terbuka
lebar itu kini tertutup! Ia melangkah maju lagi dan setelah tiba di
tengah ruangan, tiba-tiba saja dari empat sudut ruangan itu
menyambar anak-anak panah yang ujungnya berbentuk bola,
juga dari atas turun anak panah bagaikan hujan.
Sui In cepat menggerakkan pedangnya, diputar melindungi
tubuhnya dan semua anak panah runtuh. Setelah runtuh baru
nampak olehnya bahwa anakpanah-anakpanah itu tumpul dan
tidak akan melukai orang yang menjadi sasaran.
Tiba-tiba saja dari lantai yang mengkilap itu bermunculan tongkat-
tongkat panjang yang menyambar-nyambar ke arah kakinya. Sui
In meloncat ke atas, dan pada saat itu, kain-kain sutera merah
muda yang bergantungan di langit-langit itu bergerak,
193
menyambar-nyambar sehingga mengaburkan pandangan
matanya dan tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya sudah terlibat-libat
oleh kain sutera yang panjang dan banyak sekali, seperti tidak
ada habisnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di udara
dalam libatan banyak kain sutera, seperti seekor lalat tertangkap
di sarang laba-laba.
Akan tetapi, Sui In bukanlah wanita lemah. Ketika tadi kain sutera
yang tadinya bergantungan sebagai hiasan itu tiba-tiba hidup dan
menyambar-nyambar ke arahnya, tubuhnya terlibat-libat, ia sudah
cepat membebaskan tangan kanan yang memegang pedang.
Kini, biarpun tubuhnya sudah terlibat-libat kain, lengan kanan dan
pedangnya masih bebas. Ia menggerakkan pedangnya dan
putuslah semua libatan kain sutera dari tubuhnya.
Ia terlepas dan jatuh ke bawah. Dengan ilmu meringankan tubuh
yang hebat, ia sudah berjungkir balik tiga kali dan turun ke atas
lantai dengan selamat dan dalam keadaan berdiri. Akan tetapi,
putusnya kain-kain sutera itu menimbulkan bunyi kelenengan
nyaring bertubi-tubi dan terdengar dari seluruh penjuru rumah itu.
Daun-daun jendela tiba-tiba terbuka dan enam orang pelayan pria
pembantu rumah tangga itu sudah berdiri di luar jendela dengan
pedang di tangan! Daun pintu yang tadi tertutup sendiripun
terbuka dan Pek-liong sudah berdiri di ambang pintu dengan
tersenyum! Sui In mendapatkan dirinya sudah terkepung di dalam
ruangan itu!
194
Pek-liong bertepuk tangan memuji. “Hebat, engkau hebat sekali,
nona. Engkau sudah dapat menghindarkan anak panah, toya dan
bahkan jala kain sutera!”
Sui In menyarungkan pedangnya dan menarik napas panjang.
“Aihhh, sungguh ruangan ini berbahaya sekali! Biarpun sudah
dapat membebaskan diri dari semua itu, akhirnya aku terkepung
di ruangan ini! Ruangan yang satu ini saja sudah begini hebat,
apa lagi yang lainnya! Toako, aku mengaku kalah dan
menyatakan kagum sekali. Maafkan kalau aku merusak kain-kain
sutera merah muda itu.”
“Ah, tidak mengapa, In-moi.” Lalu kepada para pembantunya dia
berkata, “Ganti kain¬kain sutera itu dengan yang baru dengan
warna biru laut!”
Kemudian dia mengajak Sui In keluar dari ruangan itu dan
mempersilakan janda muda itu ke sebuah kamar. Dia sendiri
berhenti di luar pintu kamar.
“In-moi, inilah kamar tamu untukmu bermalam semalam ini.
Besok pagi baru kita akan melakukan perjalanan ke kota raja.
Malam ini aku akan membuat persiapan untuk perjalanan besok
pagi. Makan malam nanti setelah siap dan engkau akan
diberitahu oleh pembantu. Nah, beristirahatlah, In-moi.”
Setelah berkata demikian, Pek-liong meninggalkan wanita itu.
Sampai beberapa lamanya Sui In berdiri di pintu kamar itu,
mengikuti bayangan Pek-liong sampai lenyap di tikungan.
Seorang pria yang bukan main, pikirnya. Gagah perkasa,
berkepandaian tinggi, tampan dan ganteng, duda dan bebas,
195
ditambah lagi kaya-raya dan juga amat sopan. Masuk ke kamar
itupun dia tidak mau!
Hatinya semakin tertarik dan dengan muka merah ia
mendapatkan kenyataan betapa ia telah jatuh cinta kepada pria
muda yang ganteng itu! Betapa ia mengharapkan terjadi suatu
mujijat, suatu anugerah dari Tuhan. Ia seorang janda, dan Pek-
liong-eng Tan Cin Hay seorang duda. Sudah tepat, bukan? Dan
jantungnya berdebar-debar ketika ia memasuki kamar itu. Begitu
masuk, hidungnya bertemu keharuman semerbak.
Sebuah kamar yang mewah sekali. Ada dupa harum masih
mengepul di atas meja, tanda bahwa dupa itu baru saja dibakar
oleh pelayan. Kamar itu tidak berapa besar, namun lengkap dan
enak sekali. Udaranya nyaman, masuk dari jendela yang
menembus taman, dan dari lubang-lubang hawa di atas jendela.
Sebuah kamar kecil menyambung kamar itu. Betapa mewahnya!
Ketika ia menjenguk ke dalam kamar mandi, tersedia sudah air
jernih yang cukup banyak. Setelah menutup pintu kamar, Sui In
lalu menyiram tubuhnya dengan air, mandi sekenyangnya
sehingga tubuhnya terasa segar kembali, kulit tubuhnya dari
muka sampai kaki tangan, menjadi kemerahan karena
digosoknya dengan keras sehingga bersih dari debu.
Ia telah mengenakan pakaian bersih ketika pinta kamar diketuk
dari luar, dan seorang pelayan dengan sikap hormat memberitahu
bahwa makan malam telah siap, dan tamu yang dihormati itu
dipersilakan datang ke ruangan makan di mana “tai-hiap” telah
menanti.
196
Ketika Sui In memasuki ruangan makan, Pek-liong bangkit berdiri
dan dia memandang kepada wanita itu dengan sinar mata
kagum. Harus diakuinya bahwa janda muda ini memang cantik
manis dan segar bagaikan setangkai bunga mawar di pagi hari,
tersiram embun pagi dan bersinar cahaya keemasan matahari.
Dengan ramah dia lalu mempersilakan tamunya duduk
berhadapan dengannya, menghadapi sebuah meja.
Melihat pandang mata kagum itu, Sui In merasa betapa
jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. Untuk
menenangkan hatinya, iapun segera bertanya setelah duduk.
“Sudahkah engkau membuat persiapan, toako? Dan kapan kita
berangkat?”
Pek-liong mengangguk. “Sudah beres semua, In-moi. Besok pagi-
pagi setelah terdengar bunyi ayam berkeruyuk, kita berangkat.”
Sementara itu, dua orang pelayan datang membawa hidangan
yang masih mengepul panas. Sui In mencium bau masakan yang
lezat dan perutnya memberontak karena memang ia telah merasa
lapar. Tidak kurang dari sepuluh macam masakan dihidangkan,
kesemuanya terdiri dari masakan yang mewah dan mahal.
Mereka berdua lalu makan minum dengan gembira, sambil
bercakap-cakap. Sui In sama sekali tidak merasa canggung
biarpun pengalaman seperti ini merupakan pengalaman pertama
sejak suaminya terbunuh.
Makan malam berdua saja dengan seorang pria yang tampan dan
gagah! Di dalam rumah pria itu pula! Akan tetapi, sedikitpun ia
197
tidak merasa canggung dan kaku. Hal ini karena sikap Pek-liong
yang sopan dan ramah. Memang, kadang-kadang sinar mata
yang tajam mencorong itu membayangkan kekaguman, namun
kekaguman yang wajar, tidak mengandung kecabulan atau
kekurangajaran yang biasa ia lihat dalam pandang mata kaum
pria kalau memandang kepadanya.
Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di dalam taman
bunga di belakang rumah itu. Juga taman bunga ini, walaupun
tidak sangat luas, diatur indah sekali.
Di tengah taman, di antara beraneka macam bunga, terdapat
sebuah tempat berteduh berbentuk payung, bangunan tanpa
dinding, hanya atap yang berbentuk payung dan di bawahnya
terdapat enam buah bangku dan sebuah meja.
Tempat itu enak sekali. Empat lampu gantung menerangi tempat
itu, dan di sana-sini, di ujung taman terdapat pula lampu gantung
dengan berbagai warna. Suasana amat hening dan indah,
semerbak harum bunga memenuhi taman itu.
“Aduh, bagus sekali taman ini!” kata Sui In memuji.
“Mari kita duduk di sana. Engkau belum mengantuk, bukan?” kata
Pek-liong dan wanita itu tertawa.
“Aih, toako. Baru saja makan kenyang, masa mengantuk dan
tidur? Pula, malam baru saja tiba, belum larut.”
Mereka lalu duduk berhadapan terhalang meja kecil. Suasana
sungguh indah dan romantis sekali. Apa lagi ketika di langit
198
muncul bulan muda yang memandikan taman itu dengan
cahayanya yang lembut. Anginpun lembut sepoi-sepoi bercanda
di antara bunga-bunga, membuat udara yang penuh keharuman
bunga itu menjadi nyaman dan sejuk.
Suasana yang romantis seperti ini, cahaya bulan yang lembut
mengandung daya yang mengairahkan, yang amat kuat
mengusik hati muda, menggelitik dan membangkitkan berahi. Hal
ini terasa sekali oleh Sui In ketika ia duduk dan menikmati
keindahan itu, dan setiap kali pandang matanya berhenti di wajah
Pek-liong, ia terpesona.
Wajah itu nampak demikian ganteng, demikian tampan sehingga
hatinya luluh, rindu dendam dan gairahnya bangkit. Kalau saja
pada saat itu Pek-liong maju selangkah saja, mengulurkan
tangan, pasti ia tidak akan mampu menolak atau mengelak, dan
akan terlena dalam pelukan pria itu dengan hati penuh kerinduan!
Akan tetapi, Pek-liong sama sekali tidak melakukan uluran
tangan! Sama sekali tidak, bahkan pria mengajaknya bercakap-
cakap kembali tentang semua peristiwa yang terjadi di kota raja,
sehubungan dengan kemunculan Si Bayangan Iblis.
Bimbingan ke arah percakapan itu tentu saja membuyarkan
keindahan khayal yang muncul dari gairah berahi tadi, apa lagi
karena percakapan itu mengingatkan Sui In akan semua peristiwa
dan malapetaka yang menimpa dirinya. Iapun tertarik dan setelah
mereka barcakap-cakap, iapun menerangkan dan menceritakan
segala hal yang diketahuinya dan yang bertalian dengan
pembunuhan-pembunuhan misterius yang dilakukan oleh
199
bayangan yang kemudian dinamakan Si Bayangan Iblis. Waktu
berjalan cepat dan tahu-tahu bulan sudah naik tinggi ketika Pek-
liong mempersilakan tamunya untuk tidur.
“Besok pagi-pagi kita berangkat, maka sebaiknya kalau engkau
mengaso dan tidur di kamar, In-moi. Selamat malam dan selamat
tidur!”
Sui In tidak menjawab dan ada perasaan kecewa dan menyesal
di dalam hatinya bahwa malam itu ia harus berpisah dari Pek-
liong. Muncul kembali kerinduannya akan suatu kemesraan yang
sudah lama lepas darinya, lama sebelum suaminya tewas
dibunuh orang.
Dan ia ingin mendapatkan kemesraan ittu dari Pek-liong! Akan
tetapi, agaknya sedikitpun Pek-liong tidak menanggapi
perasaannya. Berulang tali ia menarik napas panjang penuh
kekecewaan dan penyesalan ketika ia melangkah perlahan
menuju ke kamarnya, setelah tadi Pek-liong meninggalkannya di
taman.
Baru setelah ia merebahkan diri di atas pembaringannya, ketika
suasana romantis taman bunga bermandikan cahaya bulan itu
tidak mempengaruhinya, ia tersenyum! Diam-diam ia berterima
kasih kepada Pek-liong yang tidak mempergunakan kesempatan
itu untuk merayunya dari menjatuhkannya!
Kalau sampai hal itu terjadi, tentu ia akan merasa menyesal
sekali kemudian, karena ia sedang bertugas! Tugas mencari Si
Bayangan Iblis dan menumpas kejahatan itu sama sekali belum
terlaksana! Suaminya tewas di tangan penjahat, juga paman
200
gurunya tewas di tangan penjahat dan penjahat itu agaknya Kwi-
eng-cu (Si Bayangan Iblis).
Sungguh tidak pantas kalau kini ia bersenang-senang
mengumbar nafsu berahi. Selain tidak pantas karena baru saja
kematian suaminya, juga tidak patut karena dalam melaksanakan
tugas ia hanya mementingkan kesenangan sendiri, membiarkan
diri menjadi budak nafsu! Kalau musuh itu telah terhukum, kalau
ia sudah bebas dari tugas, hal itu akan lain lagi.
“Pek-liong, terima kasih......” bisiknya tersenyum dan janda muda
inipun terlena dalam kepulasan.
◄Y►
Gadis itu cukup manis walaupun tidak dapat dibilang terlalu
cantik, Bahkan wajah yang nampak membayangkan kebodohan
itu tidak akan menarik perhatian pria, walaupun harus diakui
bahwa bentuk tubuhnya amat indah. Rambutnya juga nampak
kasar dan gerak geriknya kaku. Juga ia kelihatan takut-takut dan
gelisah.
Memasuki ruangan-ruangan yang amat indah dari istana itu, ia
bagaikan seekor ikan sungai yang kecil dilempar masuk ke dalam
samudera. Ia kebingungan, merasa dirinya kecil menghadapi
segala kemegahan dan kemewahan itu.
Melihat kegelisahan membayang di wajah yang manis dan polos
itu, pria berpakaian perwira yang berjalan di sampingnya
tersenyum.
201
“Akim, jangan takut. Tenanglah. Asalkan engkau pandai
membawa diri dan rajin bekerja juga jujur dan taat, tentu engkau
akan hidup senang di istana. Sekarang, Hong- houw (Parmaisuri)
ingin melihatmu sebagai seorang dayang baru, engkau harus
menghadap dan memberi hormat kepada beliau seperti yang
sudah kuajarkan tadi.”
Gadis itu mengangguk-angguk akan tetapi jelas nampak betapa
ia gelisah dan ketakutan. Gadis yang jelas sekali kelihatan
sebagai seorang gadis dusun yang disebut Akim oleh perwira itu
bukan lain adalah Hek-liong-li Lie Kim Cu!
Dengan kepandaiannya menyamar yang hebat, ia sudah dapat
menyulap dirinya yang merupakan seorang wanita berusia
duapuluh lima yang amat cantik jelita, manis dan menarik hati,
berubah menjadi seorang gadis dusun berusia kurang lebih
duapuluh tahun, kasar kaku, tidak menarik walaupun cukup
manis, dan wajahnya membayangkan kebodohan. Cian Ciang-
kun sendiri sampai terbalalak dan tertegun ketika pertama kali
melihat penyamaran ini, dan merasa yakin bahwa tak seorangpun
akan dapat mencurigai seorang gadis dusun bodoh seperti itu.
Perwira yang berjalan di sampingnya dalam ruangan-ruangan
istana itu adalah Kok Ciang-kun (Perwira Kok) yang menjabat
kepala pasukan pengawal thai-kam (orang- orang kebiri), yaitu
kenalan Cian Ciang-kun dan yang suka “menolong” Cian Hui
untuk memasukkan seorang “sanak jauh” dari dusun menjadi
seorang dayang baru di istana.
202
Di istana bagian puteri ini, tak seorangpun dari luar diperbolehkan
masuk. Hanya keluarga Kaisar yang boleh masuk, dan tentu saja
para perajurit pengawal thai-kam. Untuk mencegah terjadinya,
penyelewengan dari para wanita dalam istana itu, maka sejak
dahulu kala sampai saat itu, para petugas pria di istana bagian-
puteri haruslah dikebiri lebih dahulu!
Pada saat itu, bukan hanya karena kepandaian saja Liong-li yang
kini menyamar menjadi Kim Siauw Hwa atau biasa disebut Akim
kelihatan gugup dan gelisah. Akan tetapi memang benar-benar
ada kegelisahan di hatinya.
Ia telah memasuki istana dengan menyamar, dan ia tahu bahwa
bahaya bukan hanya datang dari penjahat yang dinamakan Kwi-
eng-cu akan tetapi dari satu kekuatan yang mempunyai banyak
orang pandai! Dan ia merasa yakin bahwa sarang penjahat itu,
atau pimpinannya, pasti berada di istana. Kalau gerombolan
penjahat itu berada di luar istana tentu sudah lama diketahui
tempatnya oleh Cian Hui yang cerdik dan memiliki banyak mata-
mata.
Selain merasa berada di tengah-tengah pihak musuh yang belum
diketahuinya siapa, dan betapa bahayanya bagi dirinya kalau
pihak musuh sampai mengetahui bahwa ia Hek-liong-li yang
menyamar, juga ia harus berhadapan dengan Hong-houw
(Permaisuri) Bu Cek Thian! Menurut keterangan dari Cian Hui,
wanita itu cerdik bagaikan iblis! Ia teringat akan kata-kata
pesanan Cian Hui kepadanya ketika hendak berangkat tadi.
203
“BERHATI-HATILAH terhadap Hong-houw, Li-hiap. Ia seorang
wanita yang teramat cerdik seperti Iblis! Bahkan saat ini boleh
dibilang ia yang paling berkuasa di seluruh istana! Hong-siang
(Kaisar) sendiri seperti menjadi boneka di tangannya. Ia cerdik
dan amat berbahaya, oleh karena itu, berhati-hatilah engkau
terhadap wanita ini.”
Tentu saja Liong-li tidak merasa takut. Baginya, makin lihai dan
makin cerdik orang¬orang yang berada di pihak lawan, akan
semakin gembira menghadapinya. Yang membuat ia gelisah
adalah mengingat betapa dirinya sama sekali tidak berdaya di
dalam istana yang besar dan megah itu.
Ia merasa seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba! Dan
begitu memasuki istana, diterima oleh Kok Ciang-kun, perwira
thai-kam yang gendut dan agak genit seperti wanita ini
membawanya menghadap Hong-houw, wanita yang agaknya
bahkan ditakuti oleh Cian Hui itu!
Kini mereka tiba di luar sebuah pintu dan Kok Ciang-kun memberi
isyarat kepada Akim untuk berhenti. Kok Ciang-kun lalu
menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Akim yang sudah diberitahu
sebelumnya untuk mengikuti apa yang dilakukan perwira Thai-
kam itu.
“Hamba Kok Tay Gu mohon diperkenankan menghadap Hong-
houw!” Dia berkata dengan suara nyaring.
Pintu dibuka dari dalam. Sebuah pintu berukir yang indah dan
ketika pintu dibuka, Akim mengangkat muka dan iapun terpesona.
204
Bukan main indahnya ruangan di balik pintu itu! Dan bau
semerbak harum menyergap keluar begitu pintu dibuka oleh
seorang dayang muda yang cantik. Seluruh isi ruangan itu
gemerlapan dengan kemegahan dan kemewahan.
“Terima kasih, terima kasih atas kemurahan hati Hong-houw!”
kata pula Kok Ciang-kun.
Sungguh suatu sikap yang berlebihan sehingga baginya seperti
adegan dalam panggung wayang atau pelawak saja. Akan tetapi,
Akim tidak berani mengangkat muka lagi ketika tadi pandang
matanya bertemu dengan sepasang mata yang indah akan tetapi
juga mencorong tajam seperti mata kucing di tempat gelap!
“Kok Ciang-kun, yang mulia Hong-houw memerintahkan engkau
dan calon dayang ini masuk!” terdengar perintah yang keluar dari
mulut seorang dayang lain.
Kok Ciang-kun bangkit dengan sikap hormat, diikuti oleh Akim,
kemudian melangkah memasuki kamar. Akim hanya mengikuti
saja dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
“Ban-swe, ban-ban-swe (hidup dan panjang usia)!” Kok Ciang-
kun menjatuhkan diri berlutut lagi dan membentur-benturkan
dahinya di lantai yang bertilamkan permadani merah. Akim juga
berlutut dan membentur-benturkan dahinya.
“Kok Tay Gu, inikah gadis dusun yang ingin menjadi dayang itu?”
terdengar suara yang halus namun tajam penuh wibawa.
205
Kok Ciang-kun memberi hormat lagi sebelum menjawab, “Benar
sekali, Yang Mulia. Ia seorang gadis dusun bernama Kim Siauw
Hwa, biasa disebut Akim, dan ia telah siap melakukan segala
macam pekerjaan yang diperintahkan untuknya, siap melayani
paduka dengan taruhan nyawa.”
Hemm, taruhan nyawa hidungmu! Demikian Liong-li memaki
dalam hatinya. Sungguh segala hal terlalu dilebih-lebihkan di
dalam istana ini. Penjilatan agaknya terjadi setiap saat, oleh
orang-orang yang amat rendah terhadap orang-orang yang gila
hormat.
“Hemmm, namanya Akim? Lucu juga. Akim, angkat mukamu
untuk kami lihat!” kata pula suara yang lembut tajam itu. Akim
mengangkat mukanya dan ia melihat kepada seorang wanita
yang amat cantik dan anggun. Wanita itu usianya empatpuluh
tahun lebih, namun pakaiannya mewah bukan main, dan seluruh
tubuhnya terawat dengan rapi. Agaknya setiap helai rambutnya
pun tidak terluput dari perawatan sehingga ia nampak seperti
hasil sebuah lukisan seorang ahli.
Sepasang matanya tajam mencorong, dan bibir yang penuh
gairah dan manis menantang itu dihias dagu yang
membayangkan kekerasan hatinya. Hidung kecil mancung itu
kembang kempis, pertanda bahwa ia seorang wanita yang
memiliki gairah nafsu yang berkobar! Seorang wanita yang amat
berbahaya, cerdik seperti iblis, demikian keterangan Cian Hui,
kepadanya.
206
Cepat ketika ia mengangkat mukanya, Akim memasang wajah
bodoh dan ketakutan membayang pada pandang matanya yang
biasanya tidak kalah tajam dan mencorong dibandingkan
sepasang mata permaisuri itu. Wajah wanita itu masih cantik
menarik, ditambah lagi dengan riasan yang agak berlebihan
sehingga alisnya dibuat melengkung seperti bulan tanggal muda,
bibirnya merah semringah, pipinya kemerahan dan kulit mukanya
lebih putih dari pada aselinya.
Sepasang alis melengkung yang terlalu hitam itu agak berkerut
ketika ia melihat wajah dayang baru itu.
“Hemm, engkau terlalu buruk untuk menjadi dayang!” serunya.
“Heh, Kok Tay Gu, kenapa engkau membawa seorang gadis
berwajah bodoh dan buruk ini untuk menjadi dayang baru? Apa
engkau ingin merusak keindahan sebuah taman bunga dengan
ratusan aneka bunga jelita dengan menyertakan setangkai bunga
yang jelek di dalam taman?”
Kok Ciang-kun sambil berlutut menjawab. “Mohon kemurahan
hati paduka untuk mengampuni hamba, Yang Mulia. Biarpun
wajahnya tidak berapa cantik namun ia pandai masak, rajin dan
besar tenaganya. Iapun bersedia untuk bekerja di dapur atau di
mana saja untuk menghambakan diri kepada paduka yang mulia!”
“Hemm, benarkah ia pandai masak dan rajin? Dan ia bertenaga
besar dan kuat? Ingin aku melihatnya!”
Akim yang sudah menunduk kembali, juga Kok Ciang-kun, tidak
melihat betapa permaisuri itu memberi isyarat dengan mata
kepada seorang dayang pengawalnya. Gadis yang bertubuh
207
tegap itu mengambil sebatang cambuk pendek, menghampiri
Akim dari belakang.
Biarpun Akim berlutut dan menunduk, pendengarannya yang
terlatih dan amat tajam sudah sejak tadi menangkap gerakan
orang di belakangnya. Bahkan ia seperti dapat melihat saja ketika
gadis dayang itu mengayun cambuknya ke arah punggungnya
yang sedang membungkuk. Tentu saja amat mudah baginya
untuk mengelak atau menangkis kalau ia kehendaki. Akan tetapi,
Akim atau Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan
main, waspada dan dapat mengetahui keadaan seketika dengan
perhitungan yang tepat.
Ia sudah dapat menduga bahwa tentu permaisuri yang cerdik dan
berbahaya seperti iblis itu menaruh curiga kepadanya dan kini
mengutus seorang pembantunya untuk mengujinya. Kalau dalam
keadaan seperti itu ia mampu menghindarkan diri dari serangan
cambuk itu, berarti ia membuka rahasianya bahwa ia seorang
yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, karena hanya orang
yang memiliki ilmu silat yang sudah tinggi tingkatannya saja
mampu menghindarkan diri dari ancaman bahaya tanpa
dilihatnya. Sungguh ujian yang keluar dari otak yang cerdik luar
biasa, pikirnya dan iapun tidak mengerahkan tenaga sedikitpun
ketika cambuk itu menghantam punggung.
“Tarr! Tarrr!” Dua kali cambuk itu menghantam punggungnya,
demikian kerasnya sehingga baju di bagian punggung robek-
robek, berikut kulit punggungnya yang tidak ia lindungi dengan
tenaga sakti. Darah keluar dari kulit punggung yang pecah-pecah
dan Akim mengeluarkan jerit kesakitan yang ia lakukan bukan
208
seperti permainan sandiwara, melainkan sungguh-sungguh
karena ia tidak menahan diri dan membiarkan naluri perasaannya
membuatnya menjerit kesakitan.
Kok Ciang-kun terkejut sekali, akan tetapi tidak berani berkutik
ketika permaisuri itu turun dari atas kursi emasnya dan
melangkah perlahan untuk memeriksa keadaan punggung gadis
dusun yang masih berlutut dan menangis lirih itu. Ia melihat
punggung itu terluka oleh cambuk, berdarah dan iapun
mengangguk puas.
Benar seorang gadis dusun yang tak begitu cantik, bodoh dan
sama sekali tidak memiliki kepandaian yang membahayakan, dan
mungkin tenaganya lebih besar dari wanita lain. Hal ini tentu saja
wajar kalau mengingat bahwa ia seorang gadis dusun yang sejak
kecil biasa bekerja kasar dan keras.
“Kok Tay Gu, Akim ini kami terima sebagai pelayan. Mundurlah,
dan kami senang dengan jasamu ini.”
Bukan main girangnya hati Kok Ciang-kun yang tadinya sudah
gemetar ketakutan karena dia mengira bahwa kehadiran Akim
mendatangkan perasaan tidak senang di hati permaisuri itu. Dia
membentur-benturkan dahinya di lantai, menghaturkan terima
kasih berulang kali, kemudian merangkak mundur meninggalkan
ruangan itu.
Permaisuri Bu Cek Thian berkata kepada seorang dayang
pengawal, “Bawa ia ke belakang, beri pakaian dan obati
punggungnya. Lalu serahkan ia kepada kepala dapur untuk
menerimanya sebagai pembantu di dapur.”
209
Akim yang sudah mempelajari bagaimana ia harus bersikap di
depan sang permaisuri, segera meniru apa yang dilakukan Kok
Ciang-kun tadi. Ia membentur-benturkan dahinya di lantai sambil
mengucap terima kasih berulang kali, walaupun hatinya
mendongkol bukan main dan hatinya ingin sekali menghajar
wanita pesolek yang sewenang-wenang dan kejam itu.
Tentu saja ia tidak berani melakukan hal semacam itu, karena
betapapun pandainya, kalau ia berani melakukan hal itu, tentu
nyawanya takkan dapat tertolong lagi! Wanita di depannya ini
adalah permaisuri kaisar, bahkan menurut Cian Hui, wanita ini
merupakan orang paling berkuasa di seluruh kerajaan, bahkan
kaisar sendiri menjadi seperti boneka dalam genggaman wanita
ini.
Ia lalu ditarik berdiri dan didorong secara kasar oleh dayang
pengawal yang menerima perintah, diajak keluar dari ruangan itu
dan setelah menerima beberapa helai pakaian baru, diobati
punggungnya dengan obat bubuk. Ia lalu diajak ke dapur dan
diserahkan kepada kepala dapur, seorang laki-laki thai-kam
gendut seperti bola yang dari gerak geriknya saja sudah dapat
diduga bahwa dia adalah seorang koki yang pandai!
Mulailah Akim atau Hek-liong-li Lie Kim Cu bekerja di dapur istana
permaisuri yang menjadi satu dengan dapur istana kaisar. Hanya
saja para pekerja thai-kam sajalah yang diperbolehkan masuk ke
bagian puteri sedangkan para pekerja pria biasa sama sekali
dilarang dan mereka ini yang membawa masakan dan segala
keperluan lain ke istana bagian putera.
210
Karena pandai membawa diri, dalam waktu sehari saja Akim yang
rajin disuka oleh mereka yang bekerja di dapur, apa lagi
mendengar bahwa Akim diterima dan ditunjuk sendiri oleh
permaisuri bekerja di bagian dapur. Karena ia ditunjuk sendiri
oleh Permaisuri, maka ia dianggap “istimewa” dan tidak ada yang
berani mengganggu. Pula, Akim pandai sekali memperlihatkan
sikap yang tidak menarik bagi pria, dan ia kelihatan sebagai
seorang gadis yang bodoh dan kaku walaupun rajin dan memiliki
bentuk tubuh yang elok.
Malamnya, Akim mendapatkan sebuah kamar di antara deretan
kamar para pelayan di bagian paling belakang, dekat dapur.
Karena ia dianggap istimewa pula, pekerja yang ditunjuk
permaisuri, maka ia mendapatkan sebuah kamar untuk dirinya
sendiri. Pelayan lain merasa enggan untuk tinggal sekamar
dengannya, karena seorang yang ditunjuk oleh permaisuri
dianggap berbahaya. Siapa tahu ia mata-mata permaisuri yang
mencatat semua kegiatan mereka?
Permaisuri amat galak dan siapa yang bersalah mendapatkan
hukuman yang mengerikan. Pernah ada seorang pelayan wanita
di dapur yang wajahnya manis, tertangkap basah ketika ia
melakukan hubungan mesra dengan seorang pelayan pria dari
bagian putera. Permaisuri yang menganggap pelayan itu menodai
“kesucian” istana bagian puteri, dipaksa mati secara mengerikan.
Ia dipaksa duduk di atas sebuah kursi, dengan kaki dan tangan
terikat kepada kursi sehingga tak mampu bergerak. Kemudian,
sebuah kantung kain diselubungkan ke kepalanya dan diikat
tertutup rapat-rapat. Tentu saja setelah udara di dalam kantung
211
itu habis, wanita malang itu tidak dapat bernapas. Akan tetapi ia
tidak mampu meronta, hanya kepalanya saja yang meronta-ronta
minta lepas, akan tetapi sebentar saja kepala itu terkulai dan ia
tewas. Mayatnya dikubur diam-diam dan semua hukuman ini
berlangsung secara rahasia tanpa diketahui orang luar, kecuali
para pekerja di istana.
Tentu saja Akim yang “diasingkan” oleh para pekerja lain, merasa
girang bukan main. Justeru inilah yang ia kehendaki. Karena ia
memiliki kamar tersendiri, dengan leluasa ia mampu mengadakan
penyelidikan.
Pada malam harinya, setelah semua orang tidur, Akim mengganti
pakaiannya dengan pakaian serba hitam yang sudah ia
persiapkan, menutupi mukanya dengan topeng kain, dan iapun
menyelinap keluar dari dalam kamarnya tanpa diketahui
siapapun. Ia lalu mulai dengan penyelidikannya.
Malam pertama itu ia tidak bertemu dengan Bayangan Iblis
seorangpun, hanya melihat seorang kebiri berjalan mengiringkan
seorang dayang pengawal menuju ke kamar Sang Permaisuri.
Laki-laki kebiri itu usianya kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya
ganteng dengan kulit putih bersih dan perawakannya jantan,
tinggi besar dan kokoh kuat.
Hal ini membuat Akim tertegun dan terheran-heran. Memang
hanya para thai-kam (laki-laki kebiri) saja yang diperbolehkan
berkeliaran melakukan tugas masing-masing di istana bagian
puteri. Laki-laki kebiri dianggap “aman” karena tidak mungkin
dapat melakukan hubungan gelap dengan para wanita istana.
212
Kalau ia melihat thai-kam itu memasuki kamar Sang Permaisuri
pada siang hari, ia tidak akan merasa heran. Akan tetapi malam
hari? Dan ketika semua orang sudah tidur dan mengunci pintu
kamar mereka? Sungguh janggal! Apa lagi ketika ia melihat thai-
kam itu memasuki kamar sang permaisuri seorang diri saja,
sedangkan dayang pengawal yang tadi bersamanya tinggal di
luar dan melakukan penjagaan dengan para dayang pengawal
lainnya, enam orang jumlahnya.
Apa saja yang dikerjakan thai-kam itu di dalam kamar sang
permaisuri? Ah, mungkin dia seorang ahli pijat, pikir Akim. Ya,
tentu saja. Thai-kam itu seorang ahli pijat dan kini bertugas
memijati tubuh sang permaisuri, untuk mengusir semua kelelahan
dari tubuh yang amat dimanja itu.
Tentu saja Akim tidak mau menghabiskan waktu untuk
menyelidiki persoalan pribadi Sang Permaisuri yang agaknya
tidak ada sangkut pautnya dengan Kwi-eng-cu, dan ia melakukan
penyelidikan ke bagian lain. Namun malam itu ia tidak
menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Keesokan harinya, sambil bekerja, iapun memasang mata dan
telinga untuk mengamati setiap orang bahkan ia berhasil
memancing seorang pelayan kebiri yang setengah tua dan yang
gemar mengobrol untuk bicara tentang Kwi-eng-cu. Mereka
berdua sedang mencabuti bulu ayam.
Istana memang merupakan tempat keroyalan dan kemewahan.
Setiap hari tidak kurang dari seratus ekor ayam gemuk dipotong,
belum daging babi atau kambing atau sapi, juga ikan dan banyak
213
macam sayuran. Maka, mencabuti bulu ayam memakan waktu
yang cukup lama sehingga Akim dan thai-kam itu mempunyai
waktu untuk mengobrol.
“Ketika aku datang dari dusun ke kota raja, aku mendengar kabar
angin tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja.
Aku menjadi ngeri. Siapakah yang dibunuh dan siapa pula yang
membunuh, paman?” Akim mulai memancing, dengan suara
biasa dan sikap acuh, sambil lalu saja.
Akan tetapi mendengar pertanyaan itu, Akong, si thai-kam,
nampak terkejut dan ketakutan. Dia menoleh ke kanan kiri. Akan
tetapi memang di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
Tempat pencucian daging itu memang tidak sebersih bagian lain
dan orang enggan ke situ kalau tidak untuk bekerja. Akim tentu
saja sudah yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan
percakapan mereka.
“Kenapa, paman?”
“Hushhh, jangan keras-keras. Kalau terdengar dia, salah-salah
malam nanti lehermu atau leherku putus!”
Akim menjadi ketakutan dan ia menggeser duduknya mendekati
thai-kam itu, suaranya gemetar dan tubuhnya menggigil. “Aih,
paman, aku....... aku takut.....!” katanya lirih setengah berbisik.
“Akan tetapi...... kenapa tidak boleh keras-keras......? Dan......
siapa yang melarang kita bicara?” Ia sengaja memperlihatkan
wajah ketakutan. “Paman, kalau bersamamu, aku tentu akan
selamat. Jangan takut-takuti aku, paman.
214
Akong menyeringai bangga. “Boleh, bicara, akan tetapi jangan
keras-keras. Kabarnya, Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) memiliki
seribu telinga dan kita tidak boleh bicara buruk tentang dia. Bisa
berbahaya!” katanya lirih pula.
“Ah, agaknya paman tahu banyak. Aku ingin sekali mendengar,
paman. Siapa sih Kwi-eng-cu itu?”
“Ssttt, berbisik saja,” kata thai-kam itu sambil mendekat dan
bicara kasak-kusuk berbisik. “Dia seorang yang entah manusia
entah dewa, akan tetapi semenjak terjadi pembunuhan, sudah
puluhan orang pejabat tinggi terbunuh, ada yang melihat
munculnya Si Bayangan Iblis itu. Tak seorangpun melihat dia
yang melakukan pembunuhan, hanya timbul dugaan karena dia
muncul ketika terjadi pembunuhan-pembunuhan.......”
“Ih, betapa mengerikan! Apakah tidak kelihatan orangnya,
paman?”
Akong menggeleng. “Dia bergerak cepat dan hanya nampak
bayangannya saja. Bayangan tinggi besar dan kepalanya
bertanduk, karena itu dinamakan Si Bayangan Iblis.......”
“Hiiii, menakutkan sekali !” Akim kembali menggigil. “Akan tetapi
kita aman, paman, Sehebat-hebatnya dia, tidak mungkin dia
berani muncul di lingkungan istana ini!”
“Siapa bilang? Sstttt.......!” Dia memperingatkan diri sendiri yang
bicara terlampau keras. “Dia dapat muncul di mana-mana. Di sini
juga.”
215
“Tidak mungkin, paman. Jangan paman membohongi aku dan
hendak menakut-nakuti aku!”
“Eh, anak buruk! Siapa berbohong?”
“Aku tanggung itu hanya kabar angin saja. Siapa yang pernah
melihat dia di sini?”
“Bukan kabar angin. Aku pernah melihatnya sendiri.”
Akim merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Tak disangkanya bahwa ia akan memperoleh keterangan yang
amat penting dari thai-kam ini.
“Aih, paman Akong, engkau hanya main-main saja dan mencoba
untuk menakut-nakuti aku!” Akim berkata mengejek.
“Akim, jangan kurang ajar engkau! Kau anggap aku berbohong?
Engkau tidak percaya kepadaku?”
Akim mengangguk-angguk. “Maaf, maaf, paman Akong yang
baik. Sejak datang di sini bertemu denganmu, aku sudah merasa
seolah engkau ini pamanku sendiri. Engkau begini baik, paman.
Aku tentu saja percaya kepadamu, akan tetapi ceritamu terlalu
aneh. Bagaimana mungkin pembunuh itu dapat berkeliaran di
dalam istana?”
“Sssttt, tutup mulutmu yang lancang dan jangan keras-keras
bicara. Dengar, aku tidak berbohong. Ketika aku bertugas di
bagian putera, pada suatu malam aku melihat bayangan
berkelebat dan bayangan itu berhenti sejenak di sudut dinding
216
gudang di belakang. Jelas sekali bayangan itu, dan
menyeramkan. Bayangan tinggi besar dan kepalanya mempunyai
dua buah tanduk. Huuhhh, masih meremang bulu tengkukku
kalau mengenangnya.”
“Dan paman tidak menceritakan kepada siapapun sampai
sekarang ini?“
“Mana aku berani? Baru sekarang aku bercerita kepadamu untuk
meyakinkan hatimu.”
“Hanya satu kali itu saja paman melihatnya? Dan tidak pernah
nampak di bagian puteri sini?”
“Baru satu kali itu, dan tidak pernah ada yang melihat bayangan
itu muncul di sini. Dan selain aku sendiri, sebelum itu juga pernah
ada ada seorang perajurit pengawal melihat, bahkan mengejar
bayangan itu di dalam istana bagian putera, akan tetapi bayangan
itu menghilang.
“Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Kelima terbunuh di luar
istana, maka pernah gegerlah istana. Akan tetapi setelah
diperiksa di seluruh pelosok, tidak ditemukan Si Bayangan Iblis di
istana.”
Tiba-tiba thai-kam itu memberi isyarat agar Akim diam dan
mereka melanjutkan pekerjaan mereka dengan tekun, seolah-
olah mereka tidak pernah bercakap-cakap tentang Si Bayangan
Iblis. Seorang pelayan lain masuk ke dapur bagian pencucian
daging itu.
217
Diam-diam Akim mengenang kembali semua percakapan tadi.
Dugaannya kini semakin kuat bahwa sarang gerombolan
pembunuh itu, atau setidaknya pemimpin mereka, besar sekali
kemungkinannya bersembunyi di dalam istana ini, atau juga
pemimpin itu merupakan seorang anggauta keluarga kaisar
sendiri, atan pejabat yang bertugas di dalam lingkungan istana.
Jelas bukan Permaisuri atau seorang di antara para selir atau
puteri kaisar, karena bayangan itu tidak pernah nampak di sini,
melainkan di istana bagian putera. Akan tetapi, ia tidak sama
sekali melepaskan kemungkinan bahwa pemimpinnya seorang
penghuni bagian puteri, walaupun pemimpin itu bekerja “di
belakang layar”. Siapa tahu?
Ia harus menyelidikinya di bagian putera. Malam nanti! Tugas
yang berbahaya memang, namun tanpa menempuh bahaya itu,
bagaimana mungkin ia akan mampu memecahkan rahasia Kwi-
eng-cu?
Setelah mandi sore dan makan malam, karena tidak ada lagi
tugas untuknya, Akim duduk bersila di dalam kamarnya, di atas
pembaringan, mengatur pernapasan dan menghimpun tenaga.
Siapa tahu malam ini ia membutuhkan banyak tenaga. Ia sudah
mengambil keputusan untuk mengalihkan medan penyelidikannya
di waktu malam. Tidak lagi di bagian puteri, melainkan di istana
induk, tempat tinggal Kaisar dan para pangeran yang masih
tinggal di istana.
Ia sudah mendengar keterangan Cian Ciang-kun bahwa istana
induk itu berbahaya, dijaga ketat oleh pasukan pengawal thai
218
kam, dan ada tiga orang jagoan thai-kam yang amat lihai. Maka,
ia harus berhati-hati karena ia menyelidiki seorang yang rahasia
sehingga ia tidak tahu siapa kawan siapa lawan di dalam istana
itu.
Segala kemungkinan ada. Pemimpin para pembunuh itu mungkin
saja seorang pangeran, mungkin seorang thai-kam, mungkin pula
permaisuri, bahkan mungkin kaisar sendiri! Mungkin pula pejabat
penting yang tinggal di istana karena pekerjaan dan tugasnya.
Ia menanti sampai keadaan di istana menjadi sunyi. Kamarnya
berada di antara kamar-kamar para pelayan, pekerja yang paling
rendah tingkatnya di istana itu, dan kebetulan sekali setiap jam
tentu peronda keamanan lewat di kebun belakang perumahan itu.
Maka, ia dapat menghitung waktu dan menjelang tengah malam
ia sudah mengenakan pakaian serba hitam dan memasang kedok
kain hitam pula.
Sebetulnya bukan kedok, hanya kain saputangan hitam yang
lebar, diikatkan menutupi hidung dan mulutnya. Juga kepalanya
dibungkus kain hitam, bahkan menutupi dahinya sehingga yang
nampak hanya sepasang matanya saja. Bukan mata Akim lagi,
melainkan mata Hek-liong-li Lie Kim Cu, sepasang mata yang jeli,
indah dan mencorong amat tajamnya!
Karena maklum bahwa tugasnya amat berbahaya, iapun
mengeluarkan pedang pusakanya, Hek-liong-kiam (Pedang Naga
Hitam) yang diselundupkan oleh Cian Ciang-kun dan kemudian
disimpan di tempat rahasia, yaitu di bawah atap kamarnya.
219
Pedang itu ia selipkan di ikat pinggang, tertutup oleh jubah
hitamnya yang lebar.
Setelah ia mengintai dari jendela kamarnya keluar, dan melihat
bahwa malam telah larut dan suasana sudah amat sunyi, dan
juga rombongan peronda, yaitu para pengawal thai-kam baru saja
lewat. Ia lalu membuka daun jendela kamarnya dan seperti
seekor kucing saja, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun,
tubuhnya sudah meloncat ke luar jendela. Dari luar, daun jendela
ditutupnya kembali dengan hati-hati, lalu cepat tubuhnya sudah
menyelinap ke dalam kebun di belakang perumahan para pelayan
itu. Di kebun ini terdapat banyak pohon, dan iapun menyusup di
antara pohon-pohon.
Ia sejak sore tadi sudah memperhitungkan dan merencanakan
bagaimana ia akan memasuki istana induk. Tentu saja yang
paling mudah dan aman melalui kebun itu. Kebun itu bersambung
dengan kebun di belakang istana induk, hanya dibatasi oleh
pagar tembok yang tinggi dan tidak terjaga ketat. Memang tidak
perlu dijaga ketat karena orang-orang biasa saja tidak akan dapat
melewati tembok itu.
Setelah menanti beberapa menit dan melihat bahwa keadaan
sekeliling tetap sunyi, tidak nampak bayangan orang dan tidak
terdengar suara apapun, hatinya lega. Tangan kirinya memegang
kedua ujung jubah yang diselimutkan di tubuhnya, lalu ia
menyelinap di antara pohon-pohon di kebun itu, menuju ke
tembok pemisah antara kebun istana puteri dan kebun istana
induk.
220
Ia memang sudah memperhitungkan bahwa malam itu bulan
bercahaya cukup terang karena bulan sudah berusia sepuluh
hari. Langit bersih dan cerah sehingga dengan mudah ia dapat
menyelinap di antara pohon-pohon yang tidak begitu gelap
dengan adanya sinar bulan.
Ketika ia tiba di bagian terbuka, dan tembok pemisah kebun itu
sudah nampak putih cerah tertimpa sinar bulan, tiba-tiba ia
terkejut bukan main karena bermunculan delapan bayangan yang
agaknya tadi bersembunyi di balik batang pohon yang tumbuh di
sekitar tempat itu!
Melihat gerakan mereka, Akim memperhitungkan bahwa tidak
mungkin mereka itu dapat membayanginya sejak tadi tanpa ia
dapat melihatnya. Kalau mereka membayanginya sejak tadi,
sudah pasti ia dapat melihat, atau setidaknya mendengar gerakan
mereka.
Jelaslah bahwa mereka memang sudah menanti di balik batang-
batang pohon itu sehingga tentu saja ia tidak tahu bahwa ada
delapan orang yang agaknya sudah menghadangnya dan
menanti kemunculannya! Hal ini hanya berarti bahwa gerakannya
sudah diketahui sejak ia meninggalkan kamar, bahkan sudah
diketahui bahwa ia akan lewat di tempat itu! Luar biasa sekali.
Akan tetapi hatinya merasa lega, juga sekaligus terheran-heran
ketika melihat bahwa pengepungnya itu sama sekali bukan
orang-orang berkedok seperti Si Bayangan Iblis! Sama sekali
bukan! Mereka itu adalah pengawal-pengawal thai-kam!
221
“Bayangan Iblis! Menyerahlah, engkau sudah terkepung!” bentak
seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan
tangannya memegang sebatang golok besar. Teman-temannya
ada yang memegang golok, ada yang bersenjata pedang dan
mereka itu telah mengepungnya dengan sikap mengancam.
Mendengar bentakan ini, Akim merasa semakin heran. Ia malah
disangka Si Bayangan Iblis!
Hampir saja ia menyangkal. Akan tetapi kalau ia menyangkal ia
harus membuka saputangan hitam penutup mukanya, dan ia
tentu akan dicurigai dan ditangkap pula karena ia kini telah
menanggalkan penyamarannya sebagai Akim, dan wajahnya kini
adalah wajah Liong-li! Andaikata ia berada dalam
penyamaranpun, tentu ia tetap akan ditangkap sebagai Akim!
Serba salah memang! Maka, begitu si tinggi besar itu
membentak, ia sudah membalik dan menerjang orang yang
berdiri mengepung di belakangnya.
Melihat gerakan ini, orang yang memegang golok di belakang itu
menyerang dengan bacokan golok. Akan tetapi, dengan mudah
Akim atau Liong-li mengelak dengan loncatan ke samping,
kemudian ia mengerahkan gin-kangnya dan ia sudah berlari
oepat sekali meninggalkan tempat itu!
“Berhenti! Hendak lari ke mana kau?” bentak delapan orang
perajurit pengawal itu dan mereka melakukan pengejaran. Akan
tetapi, bayangan orang berpakaian serba hitam itu sudah lenyap
ditelan bayangan pohon-pohon!
222
Dan pada saat delapan orang itu mencari-cari, Liong-li sudah
menyamar lagi sebagai Akim dan rebah di atas pembaringannya.
Pakaian serba hitam, juga pedang Hek-liong-kiam, sudah
tersimpan aman di bawah atap sehingga andaikata para perajurit
pengawal menggeledah kamarnya, mereka takkan dapat
menemukan tanda-tanda bahwa ialah yang tadi mereka kejar-
kejar. Dan iapun merasa lega dan dapat tidur pulas setelah tidak
ada gangguan datang, walaupun ia masih menduga-duga dengan
heran bagaimana delapan orang pengawal itu tahu-tahu sudah
menghadang di sana!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Akim sudah bangun dan
bekerja seperti biasa, membersihkan dapur dan ia pura-pura acuh
saja seperti tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya.
Semalam Akim tidur nyenyak di kamarnya dan tidak melihat atau
mendengar sesuatu sampai bangun pagi hari ini, demikian ia
meyakinkan penyamarannya. Akan tetapi, diam-diam ia menaruh
perhatian akan keadaan sekelilingnya.
Ia melihat betapa para pelayan lainnya bekerja seperti biasa pula,
menyalaminya seperti biasa. Hanya ada satu hal yang dirasa
aneh, atau hanya kebetulan saja, yaitu tidak adanya Akong. Ia
pura-pura acuh dan tidak berani bertanya, karena kalau ia
bertanya, berarti ia menaruh perhatian khusus untuk Akong dan
hal itu akan dapat saja menimbulkan kecurigaan. Ia menyapu
lantai dapur dengan tenang dan tekun.
Tiba-tiba para pelayan yang sedang sibuk bekerja itu berdiri
dengan sikap hormat dan menunda pekerjaan mereka. Akim
menoleh dan iapun terheran melihat munculnya seorang perwira
223
thai-kam yang gendut dan yang dikenalnya sebagai Kok Ciang-
kun, perwira yang memasukkannya ke dalam istana! Tentu saja
ia segera memberi hormat, akan tetapi dengan sikap dingin Kok
Ciang-kun memandang kepadanya dan berkata singkat.
“Bergantilah pakaian bersih dan ikut dengan aku!”
“Ke..... ke mana, Ciang-kun?” tanyanya dengan jantung berdebar
tegang.
“Engkau dipanggil menghadap oleh Hong-houw!”
Liong-li menekan perasaan hatinya yang terguncang sehingga
wajahnya hanya membayangkan keheranan, bukan kegelisahan.
Ia lalu pergi ke kamarnya dan berganti pakaian sambil mengingat-
ingat.
Adakah hubungannya panggilan Permaisuri ini dengan peristiwa
semalam? Ah, tidak mungkin ada hubungannya, kalau ia
dicurigai, andaikata ada sesuatu yang membocorkan rahasianya,
tentu ia akan ditangkap oleh pasukan pengawal, bukan dipanggil
melalui Kok Ciang-kun, orang yang membawanya masuk ke
istana. Tidak, ia tidak perlu gelisah, harus bersikap tenang.
Sebentar saja ia sudah berjalan bersama Kok Ciang-kun
meninggalkan ruangan dapur menuju ke istana permaisuri. Di
dalam perjalanan ini, ia mencoba memancing dan bertanya
kepada Kok Ciang-kun mengapa ia dipanggil oleh Hong-houw.
Akan tetapi, Kok Ciang-kun menggeleng kepalanya.
224
“Aku tidak tahu. Akupun baru pagi ini, pagi-pagi sekali dipanggil
menghadap, dan setelah menghadap, aku diutus untuk
menjemputmu dan bersama-sama menghadap.”
“Aku........ aku bekerja dengan rajin dan sebaik mungkin, aku tidak
pernah melakukan kesalahan,” kata Akim dengan suara gelisah.
“Apakah beliau kelihatan marah-marah?”
Perwira pengawal thai-kam itu menggeleng kepala. “Menurut
pengamatanku, beliau tidak marah, hanya nampak kesal.”
Lega rasa hati Akim. Kalau memang menyangkut urusan besar,
tentu permaisuri sudah marah dan ia sudah disuruh tangkap. Ia
harus bersikap tenang saja.
Mereka berlutut di depan pintu ruangan yang terbuka, agaknya
memang sejak tadi dibuka menanti kedatangannya. Seorang
dayang pengawal memerintahkan mereka masuk dengan suara
lantang, menyampaikan perintah Hong-houw. Mereka lalu bangkit
dan melangkah masuk dengan kepala menunduk, kemudian di
depan kursi emas Sang Permaisuri Bu Cek Thian, Kok Ciang-kun
dan Akim menjatuhkan diri berlutut.
“Ban-swe, ban-ban-swe......!” Mereka berkata dengan khidmat
sambil menempelkan dahi ke lantai.
“Bangkitlah kalian!” kata Hong-houw. Keduanya mengangkat
kepala dan tubuh mereka tegak, akan tetapi kaki mereka masih
berlutut.
225
“Kok Tay Gu, kepadamu kami mengajukan sebuah saja
pertanyaan yang harus kau jawab dengan sebenarnya. Kalau
jawabanmu bohong, sekarang juga kami akan perintahkan agar
lehermu dipenggal!”
Bukan main keras dan tegasnya ucapan itu dan ketika ia melirik,
Akim melihat betapa perwira pengawal itu gemetar seluruh
tubuhnya, dan suaranya tergagap ketika dia berkata.
“Hamba...... hamba akan menjawab dengan sebenarnya...... dan
bersedia menerima hukuman kalau berbohong.”
“Kenalkah engkau siapa gadis ini dan dari siapa engkau
menerimanya?”
Diam-diam Akim terkejut bukan main. Kiranya, di luar dugaannya,
memang ada sangkut pautnya dengan dirinya! Ia telah dicurigai
dan tentu permaisuri itu tidak bertanya tentang dirinya seperti itu.
Kini, kepala pengawal thai-kam itu mati kutu dan dia sudah
lemas.
“Hamba...... hanya tahu... ia bernama Kim Siauw Hwa dan biasa
disebut Akim, dan hamba.... hamba dimintai tolong oleh bekas
Panglima Cian Hui untuk menerimanya sebagai..... dayang atau
pelayan di sini...... mohon beribu ampun kalau hamba
bersalah......”
Hening sejenak. Keheningan yang mencekik rasanya, karena
seolah Akim menanti datangnya putusan mati atau hidup!
Kemudian terdengar suara itu, suara yang lembut namun
226
mengandung kekerasan seperti baja, akan tetapi suara itu
terdengar lega.
“Engkau berkata sebenarnya. Memang ia bernama Kim Siauw
Hwa alias Akim dan engkau menerimanya dari Cian Hui. Nah,
keluarlah kamu dari sini, laksanakan tugasmu dengan baik.
Perintahkan pasukan pengawal untuk lebih ketat lagi menjaga
istanaku.”
Akim seolah mendengar betapa kepala pengawal itu bersorak
dalam hatinya, dan ia sendiripun merasa lega, seolah baru saja
lepas dari himpitan batu besar yang berat. Kok Ciang-kun
menghaturkan terima kasih berulang kali, lalu memberi hormat
dan benturan dahinya pada lantai sampai menimbulkan
kekhawatiran di hati Akim kalau-kalau kepala pengawal menderita
gegar otak karenanya.
Kok Ciang-kun mundur dan kini tinggal Akim seorang diri masih
berlutut. Karena yang diperintah mundur hanya Kok Ciang-kun,
maka ia tidak berani bergerak dan diam saja, walaupun hatinya
ingin sekali ia segera terbang dari situ.
Baru pertama kali ini selama ia menjadi seorang wanita perkasa,
Hek-liong-li Lie Kim Cu merasa gentar! Ia merasa seperti
menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai dan lebih lihai
darinya, yang membuat ia merasa hampir tidak berdaya!
Kalau ia disuruh memilih, ia memilih menghadapi dua orang datuk
sesat yang lihai dari pada harus mengadapi permaisuri ini
sebagai musuh! Ia merasa seperti menghadapi seekor ular
berbisa yang amat berbahaya dan ia tidak tahu dari mana dan
227
kapan ular berbisa itu akan mematuk. Membuat ia ingin
menghindar jauh-jauh dari tempat itu, sejauh mungkin!
Akim masih berlutut dan menundukkan mukanya ketika ia
mendengar suara Hong-houw, kini suaranya meninggi dan penuh
ejekan. “Engkau bernama Kim Siauw Hwa, ya? Akim? Hemmm,
orang lain boleh saja kaukelabui, akan tetapi jangan mengharap
akan dapat mengelabui kami.” Lalu terdengar perintahnya kepada
para pengawal, “Ambil air dan sikat, cuci bersih mukanya dan
tarik rambut palsunya!”
Bukan main kagetnya rasa hati Liong-li mendengar ini. Kalau ia
meloncat, tentu para pengawal itu mengepungnya dan sekali
terdengar tanda bahaya, ratusan bahkan ribuan perajurit
pengawal akan datang dan ia tidak mungkin dapat lolos. Kalau ia
menangkap dan menyandara permaisuri itupun tidak mudah,
karena para dayang pengawal nampaknya sudah siap melindungi
junjungan mereka.
“Ampun, Yang Mulia. Perkenankan hamba menanggalkan
penyamaran hamba sekarang juga!” katanya dan cepat ia
menggosok mukanya, melepaskan kedok tipis yang menutupi
muka aselinya, dan mencopot pula sedikit rambut palsu yang
merubah bentuk sanggulnya.
Sanggulnya terlepas, rambut aselinya yang hitam dan halus
panjang itu terurai, mukanya yang asli nampak, muka seorang
yang cantik jelita dan manis. Bahkan sinar matanyapun kini
berubah, tidak lagi bodoh, melainkan mencorong dan tajam
penuh kecerdikan!”
228
Kini permaisuri itu tersenyum. “Hemm, sudah kuduga, engkau
tentu seorang wanita yang cantik. Nah, sekarang mengakulah,
siapa engkau dan mengapa pula, engkau diseludupkan ke sini
oleh Cian Hui?”
Bagaimana pun juga hati Liong-li merasa lega karena tidak
terkandung kemarahan atau permusuhan di dalam suara yang
lembut dan berwibawa itu.
“Ampunkan hamba, Yang Mulia. Akan tetapi sebelum hamba
memberi penjelasan, hamba ingin sekali mengetahui bagaimana
paduka dapat mengetahui rahasia penyamaran hamba......”
Permaisuri itu tidak marah, sungguh mengherankan hati para
dayang pengawal yang menganggap pertanyaan Liong-li itu
kurang ajar. Sebaliknya malah permaisuri itu tertawa geli dan
senang. Memang hati permaisuri itu merasa senang dan bangga
karena pertanyaan Liong-li itu membuktikan bahwa wanita muda
yang cerdik sekali dan pandai menyamar sehingga mengelabui
mata semua penghuni istana, kini kagum kepadanya dan
terheran akan kecerdikannya!”
“Engkau memang seorang perempuan muda yang amat cerdik,
akan tetapi bagi kami, kecerdikanmu itu belum seberapa dan
tidak ada artinya. Ketika kami mengujimu untuk melihat apakah
engkau benar seorang gadis dusun dan bukan seorang mata-
mata berbahaya yang menyelundup ke istana, engkau dengan
cerdik berlagak bodoh dan bahkan membiarkan punggungmu
pecah kulitnya oleh cambuk. Akan tetapi ketika aku mendekat,
229
aku melihat dibalik kain baju yang robek dan kulit punggung yang
terluka, dekat luka itu kulitnya putih halus.
“Aku sudah menduga bahwa tentu kulit tubuhmu yang aseli putih
mulus, tidak kecoklatan dan kasar. Tentu engkau telah memolesi
seluruh kulit tubuhmu dengan semacam obat cairan. Aku sudah
mulai curiga dan engkau lihat siapa yang berdiri di sana itu!”
Karena sejak tadi Liong-li tidak berani mengangkat muka, kini
setelah diperintah, ia mengangkat muka dan memandang ke arah
yang ditunjuk permaisuri itu. Di sudut sana, berdiri dengan
sebatang tombak di tangan, adalah...... Akong! Pelayan thai-kam
itu ternyata adalah seorang perajurit pengawal yang menjadi
kepercayaan sang permaisuri!
Kini mengertilah ia! Tentu karena merasa curiga, permaisuri yang
luar biasa cerdiknya itu telah diam-diam menyelundupkan Akong
ke bagian dapur, bekerja sebagai pelayan dapur sehingga
mendapat kesempatan bercakap-cakap dengannya!
Pada hal, ia merasa cerdik sudah berhasil mengorek rahasia dan
memancing keterangan dari Akong. Tidak tahunya, ialah yang
terkorek rahasianya. Karena sikapnya yang ingin tahu dan
bertanya-tanya tentang Kwi-eng-cu itu tentu saja dicatat oleh
Akong dan pada malam harinya diteruskan kepada Hong-houw.
Dan permaisuri yang seperti dikatakan Cian Hui cerdik seperti
iblis itu sudah memperhitungkan bahwa malam itu ia tentu akan
melakukan penyelidikan ke istana induk, maka sengaja menyuruh
delapan orang perajurit itu untuk menghadangnya dan
mengepungnya. Dan biarpun delapan orang itu tidak berhasil
230
menangkapnya, namun kini ia yakin bahwa ketika ia kembali ke
dalam kamarnya, seperti ia keluar dari kamarnya, tentu sudah
ada beberapa pasang mata yang mengintainya. Agaknya
permaisuri itu hanya ingin merasa yakin bahwa “Akim” benar
seorang mata-mata yang diselundupkan ke dalam istana.
Melihat Akong, Liong-li segera memberi hormat kembali.
“Sungguh benar sekali apa yang diterangkan oleh Cian Ciang-kun
kepada hamba tentang paduka yang mulia......”
“Heh? Apa kata Cian Hui? Tentu dia memperingatkan bahwa
engkau harus berhati- hati menghadapi aku, bukan? Heh-heh-hi-
hik!”
Kembali Liong-li tertegun, bukan pura-pura melainkan sungguh ia
merasa heran dan kagum. Wanita ini seolah-olah tahu segalanya!
“Aku mengenal siapa Cian Hui! Dia seorang yang cerdik, kalau
tidak begitu, tentu dia tidak diangkat menjadi penyelidik. Kalau dia
yang menyelundupkan kamu ke istana, tentu dia
memperingatkanmu untuk berhati-hati terhadap kami. Dia sudah
tahu siapa aku!” Suara ini mengandung kebanggaan hati yang
besar terhadap diri sendiri.
“Sesungguhnya demikian, Yang Mulia. Karena paduka sudah
tahu segalanya, hamba kira hamba tidak perlu menerangkannya
lagi.”
“Hemm, Cian Hui memilih engkau, itu berarti bahwa engkau tentu
memiliki kelihaian dan kecerdikan. Akan tetapi di sini, engkau
231
kurang berhati-hati. Bayangkan saja seandainya aku ini Kwi-eng-
cu! Apa kau kira masih hidup saat ini?”
“Hamba beruntung sekali bahwa Kwi-eng-cu bukan paduka. Akan
tetapi hamba yang terkagum-kagum akan kecerdikan dan
kebijaksanaan paduka, hamba ingin sekali tahu apakah paduka
sudah pula mengetahui siapa hamba sebenarnya?”
Kembali para dayang mengerutkan alisnya. Perempuan itu
sungguh kurang ajar, seolah menantang sang permaisuri, atau
seperti mempermainkan saja. Bicaranya seolah permaisuri itu
sahabatnya, bukan junjungannya! Akan tetapi aneh, permaisuri
tidak marah melainkan tersenyum manis! Dan memang hati
permaisuri itu senang sekali, merasa ditantang kecerdikannya.
“Kami memang belum mengetahui siapa kamu, akan tetapi kami
dapat menduganya,” kata permaisuri itu dengan suara yang
tenang sekali.
Liong-li tertarik dan semakin kagum, ia mengangkat muka
memandang dan sejenak dua pasang mata yang sama indahnya,
sama jeli dan sama tajamnya bertemu dan bertaut. Selamanya
belum pernah Liong-li beradu pandang dengan seorang wanita
yang memiliki pandang mata seperti itu dan diam-diam ia
bergidik. Juga agaknya Permaisuri Bu Cek Thian mempunyai
pendapat yang sama. Ia mengerutkan alisnya dan seperti
mewakili suara hati Liong-li ia berkata.
“Aihhh, matamu seperti mata kucing atau harimau betina!
Mengerikan sekali!”
232
Tepat sekali, pikir Liong-li. Memang matamu seperti mata harimau
betina kelaparan!
“Bolehkah hamba mengetahui, paduka menduga hamba ini
siapakah?” ia masih ingin mengetahui sampai di mana kecerdikan
permaisuri itu.
“Hek-liong-li Lie Kim Cu, dibandingkan dengan kami, engkau
seperti anak masih ingusan!”
Kini Liong-li menatap wajah permaisuri itu dengan mata
terbelalak. Ia benar takluk dan kagum bukan main, permaisuri itu
tentu tidak berbohong ketika mengatakan bahwa belum
mengetahui dirinya dan hanya menduga saja. Akan tetapi betapa
tepatnya dugaan itu! Matanya penuh pertanyaan, mewakili suara
hatinya yang ingin sekali tahu bagaimana permaisuri itu mampu
menduganya demikian tepat!
Dan agaknya pertanyaan pada sinar matanya itupun terbaca oleh
Permaisuri Bu Cek Thian. Wanita ini kembali tertawa dan
menutupi mulut yang terbuka dengan sapu tangan sutera.
“Mudah saja menduga bahwa engkau Hek-liong-li Lie Kim Cu.
Biarpun kami belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi
berita tentang dirimu sudah pernah kami dengar. Kami
mendengar bahwa di Lok-yang terdapat seorang wanita muda
cantik jelita yang kabarnya memiliki ilmu silat yang tinggi dan
kecerdikan yang mengagumkan, namanya Lie Kim Cu dan
berjuluk Hek-liong-li. Bukan seorang penjahat, bahkan kadang-
kadang menentang kejahatan, kaya raya dan ditakuti dunia kang-
ouw.
233
“Ketika Kaisar, atas dorongan kami, memerintahkan Cian Hui
untuk menyelidiki tentang pembunuhan-pembunuhan di kota raja
dan tentang Kwi-eng-cu, kami mendengar dari penyelidik kami
bahwa Cian Hui pergi seorang diri menuju Lok-yang. Tadinya
kami kira bahwa mungkin dia pergi ke sana ada hubungannya
dengan penyelidikannya, atau untuk mengikuti jejak. Nah,
peristiwa itu saja sudah menunjuk kepadamu.
“Kemudian Kok Tay Gu memasukkan seorang dayang yang
mukanya buruk seperti penyamaranmu tadi. Kami mulai curiga
dan ternyata kecurigaan kami benar ketika kami melihat kulit
punggungmu ada yang putih mulus dekat luka. Dan ketika malam
tadi engkau keluar dari kamar sebagai seorang wanita bertopeng
hitam dan berpakaian serba hitam, kemudian melihat betapa
engkau sedemikian lihainya sehingga mampu menghindarkan diri
dari kepungan delapan orang perajurit pengawal pilihan.
“Lalu sekarang melihat bahwa engkau seorang wanita muda yang
cantik jelita dan juga cerdik, bahkan mampu menguji
kecerdikanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang amat cerdik,
lalu siapa lagi engkau, kalau bukan Hek-liong-li Lie Kim Cu? Dan
kami yakin bahwa pedang yang semalam katanya terselip di
pinggangmu tentulah pedang pusakamu Hek-liong-kiam yang
terkenal itu. Entah di mana sekarang pusaka itu
kausembunyikan!”
Saking kagumnya, Long-li memberi hormat dan menempelkan
dahinya di lantai. “Ban-swe, ban-ban-swe......! Sungguh hebat,
sungguh luar biasa sekali! Paduka adalah seorang yang amat
cerdik, bijaksana dan hamba mengaku kalah!”
234
“Hek-liong-li, bangkitlah. Aku sudah muak dengan penghormatan
berlebihan seperti itu. Nah bangkit dan duduklah, aku ingin bicara
denganmu!” Lalu ia memberi isyarat kepada para dayang
pengawal agar mereka meninggalkan ruang itu!
Semua pengawal, kecuali dua orang wanita muda yang wajahnya
sama, masih berdiri di belakang kursi permaisuri itu. Mereka
adalah sepasang saudara kembar yang merupakan pengawal
pribadi yang tidak pernah meninggalkan Permaisuri Bu Cek Thian
sejenak pun! Juga Akong sudah keluar tanpa menoleh kepada
Liong-li.
Pintu ruangan itu ditutup dan di dalam ruangan yang luas dan
amat indah itu, Permaisuri Bu Cek Thian duduk di atas kursi
emasnya yang agak tinggi. Kedua kakinya menginjak punggung
sebuah batu berukir yang berbentuk kura-kura, lambang panjang
usia, seolah-olah Permaisuri itu selalu menunggangi lambang
yang membuat usianya menjadi panjang.
Dua orang saudara kembar yang menjadi pengawal pribadi itu,
keduanya mahir ilmu silat dan tangan kanan mereka tak pernah
meninggalkan gagang pedang yang tergantung di pinggang,
berdiri di belakang kursi emas itu.
Liong-li diperintahkan duduk di atas sebuah bangku yang agak
rendah. Hanya mereka berempat yang berada di situ dan Liong-li
yakin bahwa tidak ada seorangpun lainnya yang berani mengintai
atau ikut mendengarkan karena hal itu dapat mengakibatkan
hukuman mati! Dan iapun kini merasa lega karena jelas bahwa
permaisuri yang amat cerdik ini, yang dapat menjadi lawan yang
235
amat berbahaya, kini nampaknya sudah percaya benar
kepadanya.
“Lebih dulu katakan, di mana engkau menyembunyikan pedang
pusakamu itu? Satu-satunya tempat persembunyian adalah di
bawah atap kamarmu!”
Liong-li tersipu. Akan sia-sia sajalah membohongi wanita seperti
ini!
“Memang benar di sana, Yang Mulia.”
“Hemm, kalau begitu, engkau pergilah dulu, ambil pedangmu itu
lalu kembalilah kesini. Cepat! Berbahaya kalau sampai didahului
orang lain!”
Mendengar ini, Liong-li terkejut, cepat memberi hormat dan keluar
dari ruangan itu. Ternyata di dekat ambang pintu, tentu ada alat
rahasianya, karena sebelum ia tiba di pintu, daun pintu itu telah
terbuka dari luar. Agaknya para penjaga di luar tahu bahwa ada
orang hendak keluar!
Ia keluar dan cepat pergi ke kamarnya setelah ia memasang
kembali kedok tipisnya dan rambut palsunya sebagai Akim!
Setibanya di dalam kamar, ia menutupkan daun pintu dan
meloncat ke atas, mendorong langit-langit di sudut.
Cepat ia mengambil pedang dan pakaian hitam, lalu melompat
turun kembali. Pada saat itu, ia mendengar langkah kaki dekat
jendelanya. Cepat ia menyembunyikan pedang dan pakaian di
236
bawah kasur, lalu ia sendiri merebahkan diri di atas pembaringan.
Daun jendela terbuka dan sesosok bayangan melompat masuk.
“Heii, siapa itu? Maliiingg......!” Ia berteriak.
Tentu saja ia harus bersandiwara karena bukankah semua orang
di situ mengira ia seorang gadis dusun? Sudah sewajarnya kalau
ia berteriak ada orang laki-laki memasuki kamarnya lewat jendela.
Orang itu jangkung kurus, mukanya tertutup lengan baju, terkejut
dan meloncat keluar lagi. Liong-li tidak mengejar dan kembali ia
mengagumi sang permaisuri. Kalau tidak permaisuri itu cepat
memerintahkan ia mengambil pedang pusakanya, besar sekali
kemungkinan Hek-liong-kiam sudah diambil orang.
Ketika ia menghadapi kembali permaisuri yang cantik berwibawa
itu, Liong-li terus terang menceritakan apa yang baru saja ia alami
di kamarnya ketika ia mengambil pedang. Agaknya, terhadap
wanita yang satu ini, ia tidak boleh menyimpan rahasia karena
segala peristiwa agaknya dapat diketahuinya atau diduganya.
Mendengar cerita Liong-li, permaisuri Bu Cek Thian mengangguk-
angguk.
“Bagaimana wajah bayangan itu?” tanyanya singkat.
“Tidak nampak jelas, Yang mulia. Hanya nampak bayangan yang
bentuk badannya jangkung kurus, akan tetapi dia memiliki
gerakan yang gesit dan cepat sekali sehingga ketika hamba
mengejar keluar, dia telah lenyap.”
237
Permaisuri itu mengerutkan alisnya. “Hemm, kehadiranmu
sebagai penyelidik agaknya sudah dicurigai orang. Biarlah untuk
sementara engkau menjadi dayangku yang baru di sini.
Bagaimana, maukah engkau, Hek-liong-li?”
Liong-li menyambut tawaran ini dengan gembira sekali. “Tentu
saja hamba suka dan banyak terima kasih atas bantuan paduka.
Yang penting bagi hamba adalah dapat melakukan penyelidikan
sampai hamba berhasil menangkap, atau setidaknya
membongkar rahasia Kwi-eng-cu itu, seperti yang diminta oleh
Cian Ciang-kun.”
“Bagus, aku senang sekali engkau mau menjadi dayangku, Hek-
liong-li. Dan mulai sekarang nama panggilanmu di sini Siauw Cu
(Mestika Kecil). Aku akan merasa lebih aman kalau engkau
menjadi dayangku dan engkau boleh menemaniku setiap saat
membantu tugas Bi Cu dan Bi Hwa ini,” katanya menunjuk
kepada dua orang gadis kembar yang kelihatan gagah perkasa
dan yang berdiri di belakang kursinya.
“Hamba merasa terhormat sekali, Yang Mulia, dan mudah-
mudahan, berkat petunjuk paduka, hamba akan berhasil
membongkar rahasia si Bayangan Iblis.”
Permaisuri itu mengerutkan alisnya dan senyumnya manis, akan
tetapi juga mengandung ejekan. “Hemm, sekali ini kepandaianmu
akan diuji berat sekali, Hek-liong-li...... eh, Siauw Cu. Yang kau
hadapi adalah seorang yang amat lihai, amat berbahaya sekali.”
“Ah, ampunkan hamba, Yang Mulia. Jadi kalau begitu paduka
sudah mengetahui siapa adanya si Bayangan Iblis? Lebih mudah
238
bagi hamba untuk menghadapinya dan melaporkan kepada Cian
Ciang-kun!”
Permaisuri itu menatap tajam wajah Liong-li, lalu menggeleng
kepala dan menarik napas panjang.
“Siauw Cu, kalau aku sudah mengetahui dengan jelas siapa dia,
apa kau kira dia akan mampu bernapas lagi saat ini? Kami baru
menduga-duga saja tanpa bukti. Yang jelas, dia tidak pernah
berani mencoba untuk mengganggu kami. Bagaimanapun juga,
dia tetap merupakan ancaman dan duri dalam daging yang harus
dihancurkan. Aku sendiri akan memberi hadiah besar kepadamu
kalau engkau mampu menangkapnya, Siauw Cu.”
Diam-diam Liong-li merasa girang dan lega. Akan lebih
berbahaya dan lebih sukar rasanya kalau si Bayangan Iblis
menjadi kaki tangan wanita di depannya ini.
Berhadapan dengan permaisuri ini, ia merasa dirinya kecil dan
lemah, seperti menghadapi seekor naga betina yang amat
berbahaya, penuh rahasia dan sukar ditebak dari arah mana akan
menyerang. Kalau si Bayangan Iblis bukan anak buah permaisuri,
berarti ia akan menjadi sekutu permaisuri ini dan ia merasa yakin,
dengan bantuan permaisuri yang amat cerdik ini, ia pasti akan
berhasil.
“Hamba tidak mengharapkan imbalan jasa dan hadiah, Yang
Mulia, melainkan hamba menganggapnya sebagai suatu
kewajiban untuk menghalau pengacau yang membahayakan
ketenteraman kota raja. Hamba akan berusaha sekuat tenaga
untuk menangkap si Bayangan Iblis!”
239
“Bagus! Akan tetapi agar hatiku lebih yakin akan kemampuanmu
karena pihak lawan benar-benar tangguh, kami harus menguji
kemampuanmu dulu, Siauw Cu. Bersiaplah engkau untuk
menghadapi dua orang pengawalku ini. Beranikah engkau?”
Tidak ada tantangan yang pernah ditolak oleh Liong-li, dari
siapapun juga datangnya. Dan Bu Cek Thian memang cerdik
bukan main. Kalau ia mengatakan, “Maukah engkau?”, mungkin
Liong-li akan mencari alasan dan menolak. Akan tetapi dengan
pertanyaan “beranikah engkau?” tidak ada pilihan lain bagi Liong-
li kecuali menerimanya!
“Hamba bersedia!” katanya sambil menatap tajam kedua orang
wanita yang selalu berdiri di belakang permaisuri itu.
Mereka adalah dua orang wanita yang serupa benar, baik bentuk
mukanya, bentuk sanggul dan pakaiannya. Sukar sekali
membedakan antara dua orang gadis kembar ini. Usia mereka
sekitar duapuluh lima tahun, dengan bentuk tubuh yang tinggi
langsing dan wajah yang manis, dingin dan angkuh. Di punggung
mereka terdapat pedang dengan ronce berwarna biru. Pakaian
mereka ringkas berwarna kuning sehingga rambut mereka
nampak semakin hitam.
“Bi Cu! Bi Hwa! Kalian boleh uji kepandaian Siauw Cu dengan
tangan kosong dan semua tidak boleh menggunakan senjata.
Kami ingin melihat sampai di mana kemampuan Siauw Cu!
Mulailah!”
240
Gerakan dua orang wanita kembar itu ringan sekali ketika mereka
tiba-tiba saja meloncat ke depan Liong-li setelah dengan suara
halus menyanggupi perintah sang permaisuri.
Liong-li melangkah mundur, agak menjauhi permaisuri itu karena
tidak baik untuk bertanding silat terlalu dekat wanita bangsawan
tinggi itu. Pula, ia mencari tempat yang lebih luas agar jangan
sampai merusak perabot dan hiasan di ruangan yang luas dan
amat mewah itu.
Ketika mereka berdiri saling berhadapan, Liong-li melihat bahwa
tinggi badannya hanya sampai setinggi bawah telinga kedua
orang wanita kembar itu. Padahal, menurut ukuran wanita pada
umumnya, ia bukan termasuk pendek. Jadi, mereka itulah yang
tergolong tinggi, seperti para wanita dari daerah propinsi Shan-
tung. Tinggi dan biarpun pinggang mereka ramping, namun kaki
tangan mereka kokoh kuat.
“Ketika kedua orang wanita itu memasang kuda-kuda, ia melihat
dasar kuda-kuda dari ilmu silat Bu-tong-pai. Ia menduga bahwa
mereka itu selain lihai dalam ilmu silat tangan kosong, tentu mahir
pula memainkan pedang kalau benar mereka itu murid Bu-tong-
pai. Maka iapun tidak berani memandang rendah dan berhati-hati.
Dua orang wanita kembar yang sudah terpilih menjadi pengawal
pribadi permaisuri sudah pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi
dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
“Enci berdua, majulah, aku sudah bersiap!” kata Liong-li, sikapnya
tenang saja bahkan ia tidak memasang kuda-kuda seperti
mereka, namun biar ia berdiri santai, sesungguhnya di bawah
241
kulit tubuhnya, seluruh urat syarafnya sudah menegang dan siap
siaga menghadapi serangan dari mana pun datangnya.
Bi Cu dan Bi Hwa memang dua orang gadis kembar yang pernah
menjadi murid Bu-tong-pai, dan selain mahir ilmu silat Bu-tong-
pai, setelah dipilih menjadi pengawal pribadi Bu Cek Thian,
merekapun oleh permaisuri itu diperintahkan untuk memperdalam
ilmu silat mereka dengan mempelajarinya dari jagoan-jagoan
istana. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau mereka
menjadi sepasang gadis kembar yang amat lihai.
Kelihaian mereka terutama sekali terletak dalam kerja sama
mereka yang amat kokoh dan erat. Mereka memiliki kepekaan
satu sama lain yang tidak dimiliki orang lain. Ada semacam
hubungan batin di antara mereka sehingga mereka itu seolah-
olah dapat saling mengerti kehendak dan dapat mengimbangi
gerakan masing-masing seperti dua badan yang dikendalikan
oleh satu pikiran saja.
“Li-hiap, sambutlah serangan kami!” seru Bi Hwa dan merekapun
sudah bergerak maju.
“Tahan!” tiba-tiba terdengar seruan Bu Cek Thian dan sungguh
luar biasa sekali, begitu mendengar seruan ini, dua orang gadis
yang sudah mulai melakukan serangan itu tiba-tiba mencelat ke
belakang seperti dipagut ular berbisa. Demikian kuat dan penuh
wibawa perintah dari permaisuri itu sehingga Liong-li yang
tadipun sudah siap siaga memandang heran dan kagum.
242
“Bi Cu dan Bi Hwa, kalian ingat. Sekali-kali tidak boleh menyebut
li-hiap kepadanya, apalagi di depan orang lain. Sebut saja
namanya. Namanya Siauw Cu, mengerti?”
Dua orang wanita kembar itu memberi hormat dengan menekuk
sebelah lutut di depan permaisuri itu dan dengan suara berbareng
mereka berkata. “Baik, Yang Mulia. Hamba mentaati perintah.”
“Nah, sekarang seranglah, akan tetapi yang sungguh-sungguh.
Kalau kalian mampu mengalahkan Siauw Cu, kalian akan kuberi
hadiah!” kata sang permaisuri. yang duduk bersandar di kursinya
dengan sikap santai dan sinar matanya berseri tanda bahwa
hatinya gembira.
Kembali dua orang wanita kembar itu sudah menghadapi Liong-li
dengan kuda-kuda mereka yang gagah. Mula-mula kedua kaki
mereka dipentang miring dan kedua tangan di pinggang, lalu
perlahan-lahan kaki kanan diangkat ke lutut kiri dan tubuh mereka
tegak, lengan kanan tetap ditekuk di pinggang dan tangan kiri
diangkat ke atas kepala dengan telunjuk menuding ke arah atas
lurus, kepala miring menghadapi lawan.
“Majulah, enci berdua!” kata Liong-li dengan wajah berseri dan
mulut tersenyum. Ia sama sekali tidak berani memandang
rendah, akan tetapi juga sikapnya amat tenang seolah-olah ia
merasa yakin bahwa dua orang pengeroyok itu tidak akan mampu
mengalahkannya.
“Haiiittt......!” Bi Cu menyerang dengan luncuran tubuhnya yang
menerjang ke depan dari kiri, tangan kanannya dengan jari
terbuka menusuk ke arah dada kanan Liong-li.
243
“Hyaaattt......!” Bi Hwa juga berteriak dan sudah menerjang dari
depan kanan dengan tendangan kakinya ke arah pinggang.
Menghadapi serangan dua orang yang dilakukan dengan
berbareng ini, Liong-li bersikap tenang, memutar kedua lengan
dari atas ke bawah untuk menangkis dua serangan itu.
“Plak! Plakk!” Kedua lengannya dapat menangkis tangan dan kaki
dua orang lawannya, akan tetapi dua orang wanita kembar itu
sudah memutar tubuh dan kembali menyerang dengan lebih
cepat dan lebih kuat lagi. Kini Bi Cu mencengkeram ke arah
pundak dan Bi Hwa menendang untuk membabat kaki lawan.
Liong-li meloncat menghindarkan sabetan kaki dan terus menarik
tubuh ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman, dan
ketika tubuhnya meloncat ke atas itu, kedua kakinya terpentang
dan menyambar dengan kakinya ke arah dua orang lawannya
yang berada di depan kanan kiri. Sungguh merupakan serangan
yang aneh dan tidak terduga. Tidak mudah meloncat sambil
melakukan tendangan kedua kaki pada saat yang sama ke arah
dua jurusan ini. Namun tendangan itu cepat dan kuat sekali.
Hal ini dapat diketahui oleh dua orang wanita kembar itu yang
tidak berani sembarangan menangkis, melainkan cepat
melangkah mundur ke belakang untuk menghindarkan diri dari
sambaran sepatu yang di bawahnya dipasangi baja itu.
Karena tendangannya tidak mengenai sasaran, tubuh Liong-li
membuat pok-say (salto) sampai tiga kali di udara dan begitu
turun, tubuhnya sudah menerjang ke arah kedua orang lawannya
seperti seekor burung garuda menyambar!
244
“Bagus......!” seru Bu Cek Thian yang merasa kagum bukan main.
Permaisuri ini tidak bisa ilmu silat, akan tetapi ia mengagumi
keindahan gerakan Liong-li tadi, dari melayang ke udara,
berjungkir balik tiga kali di udara kemudian turun menyambar
seperti seekor burung garuda.
Dua orang wanita kembar juga cukup waspada, dan mereka
sudah mengelak lagi dengan gesitnya. Begitu tubuh Liong-li
turun, mereka sudah menyerang lagi dari kanan kiri dengan
tenaga yang kuat sehingga pukulan atau tamparan tangan
mendatangkan angin bersiutan.
Liong-li menghindarkan diri dengan mengelak atau menangkis,
dan segera membalas dengan serangan yang tak kalah
dahsyatnya. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan
menarik.
Demikian cepat gerakan tiga orang wanita ini sehingga bagi
pandang mata permaisuri Bu Cek Thian, sukarlah mengikuti
bayangan tiga orang yang berkelebatan itu. Yang dapat ia
bedakan hanyalah dua bayangan kuning berkelebatan di antara
bayangan hijau karena Liong-li mengenakan pakaian berwarna
kehijauan. Ia tidak tahu siapa yang mendesak, siapa pula yang
terdesak.
Diam-diam dua orang gadis kembar itu terkejut setengah mati.
Mereka berdua sudah memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan kalau
hanya para pengawal istana saja, jangan harap akan mampu
menandingi mereka kalau mereka maju bersama. Bahkan selama
245
ini, keamanan permaisuri terjamin karena mereka berdua tidak
pernah meninggalkannya.
Akan tetapi sekarang, menghadapi Hek-liong-li, mereka sungguh
menjadi bingung. Wanita itu dapat bergerak dengan kecepatan
yang tak pernah mereka duga, bahkan juga tenaga Dewi Naga
Hitam itu demikian kuatnya sehingga setiap kali mengadu tangan,
mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang!
Di lain pihak, Hek-liong-li sendiri juga kagum. Dua orang wanita
kembar ini memang pantas menjadi pengawal kepercayaan
permaisuri, karena mereka berdua merupakan lawan yang cukup
tangguh baginya. Kalau saja ia tidak memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang ditunjang ilmu langkah ajaib Liu-seng-
pouw, sukar baginya untuk dapat mengatasi pengeroyokan dua
orang kembar yang memiliki kerja sama demikian baiknya.
Langkah-langkah ajaibnya membuat ia tidak pernah dapat
tersentuh serangan mereka. Ia tidak berani menggunakan
ilmunya yang ampuh dan mematikan seperti Hiat-tok-ciang
karena ia tidak mau melukai atau membunuh mereka, maka kini
ia merobah ilmu silatnya dan mulai memainkan ilmu silat Bi-jin-
kun (Silat wanita cantik). Begitu ia mainkan ilmu silat ini, dengan
gerakan diperlambat, sang permaisuri bertepuk tangan dan
memuji.
“Bagus! Indah sekali......! Hei, Siauw Cu, engkau ini sedang
berkelahi atau sedang menari?”
Memang Bi-jin-kun merupakan ilmu silat tangan kosong yang
gerakannya seperti orang menari, indah dan lembut. Namun di
246
balik kelembutan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat
sehingga ketika pada suatu saat ia mendorongkan kedua
lengannya dengan gerakan lemah gemulai, dua orang lawannya
itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, hampir saja
terjengkang!
Melihat ini, Bu Cek Thian segera bertepuk tangan dan berseru,
“Sekarang kalian coba bermain pedang!”
“Singgg! Singgggg!” Nampak sinar putih berkilat ketika sepasang
saudara kembar itu mencabut pedang mereka dari punggung dan
mereka memasang kuda-kuda dengan menyilangkan pedangnya
di depan dada.
Melihat ini, Liong-li tersenyum. Ia harus memperlihatkan
kemampuannya, bukan saja untuk membuat sang permaisuri
percaya kepadanya, akan tetapi juga untuk menundukkan
keangkuhan dua orang saudara kembar ini agar kelak tidak lagi
berlagak di depannya.
“Singgg!” Sinar hitam yang menyilaukan mata nampak ketika ia
mencabut pedangnya.
“Aihhh! Itukah Hek-liong-kiam?” seru sang permaisuri kagum.
“Benar, Yang Mulia. Inilah Pedang Naga Hitam!” jawab Liong-li
sambil memberi hormat, lalu dengan pedang di depan dada,
menuding lurus ke atas ia menghadapi dua orang wanita kembar
itu.
247
“Siauw Cu, sambutlah pedang kami!” Bi Cu membentak dan
bersama saudara kembarnya ia telah menggerakkan pedangnya.
Dua gulungan sinar putih menyambar-nyambar dengan ganasnya
dan terdengar suara kedua pedang itu mendesing-desing ketika
meluncur dengan ganasnya.
Namun sekali ini Liong-li tidak mau main-main lagi. Ia dapat
menduga bahwa pedang-pedang di tangan kedua orang
lawannya itu bukan pedang biasa. Sebagai pelindung atau
pengawal pribadi permaisuri, tentu saja mereka memiliki pedang
pusaka yang ampuh dan kuat, maka ia tidak khawatir bahwa Hek-
liong-kiam akan merusak kedua pedang itu, asal ia tidak
mempergunakan tenaga sin-kang terlampau kuat.
Melihat gerakan pedang mereka, ia semakin yakin bahwa mereka
adalah ahli-ahli pedang dari Bu-tong-pai yang hebat. Dilihat dari
gerakan mereka dan ketika bertanding dengan tangan kosong
melawan tadi, ia tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang
kembar ini sudah cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan
tingkat ilmu silat Cian Ciang-kun agaknya.
“Trang-tranggg......!” Bunga api berpijar ketika ketiga pedang itu
saling bertemu.
Dua orang wanita kembar merasa betapa lengan kanan mereka
tergetar hebat dan mereka terkejut sekali, meloncat ke belakang
dan memeriksa pedang mereka. Sepasang pedang itu adalah
pemberian Hong-houw, merupakan pusaka istana, maka tentu
saja merupakan pusaka yang ampuh. Untung pedang mereka
tidak rusak bertemu dengan pedang hitam di tangan Liong-li.
248
Mereka maju lagi dan menyerang dengan gerakan yang lebih
dahsyat.
Akan tetapi, mereka segera menjadi terkejut sekali menghadapi
gulungan sinar pedang yang hitam dan amat kuatnya, seolah-
olah sinar pedang itu menggulung sinar putih dari kedua pedang
mereka dan membuat mereka sama sekali tidak ada kesempatan
untuk menyerang. Liong-li kini tidak main-main lagi dan ia sudah
memainkan Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu
ilmu pedang yang diciptakannya bersama Pek-liong-eng Tan Cin
Hay.
Sebetulnya ilmu pedang ini merupakan ilmu simpanan dari Liong-
li dan tidak ia keluarkan kalau tidak perlu sekali. Akan tetapi sekali
ini, walaupun dengan ilmu yang lain ia masih sanggup untuk
menandingi dua orang gadis kembar, ia ingin memperlihatkan
kepandaiannya kepada sang permaisuri agar percaya penuh
kepadanya. Maka, ia mengeluarkan Sin-liong Kiam-sut itu dan
begitu ia mainkan jurus-jurus ilmu ini, pedang hitamnya seperti
berobah menjadi seekor naga hitam yang menyambar-nyambar
dengan ganas dan dahsyatnya, seperti seekor naga hitam
bermain-main di angkasa.
Dua gulungan sinar pedang putih itu semakin menyempit dan
akhirnya tergulung sama sekali.
“Trangg! Trangggg......!” Dua orang gadis kembar itu terhuyung ke
belakang dengan muka pucat karena ronce-ronce pedang
mereka telah terbabat putus, dan mereka mengerti bahwa kalau
tadi terjadi perkelahian yang sungguh, tentu mereka berdua
249
sudah termakan pedang hitam di tangan lawan yang jauh lebih
pandai dari mereka itu.
“Kami mengaku kalah!” mereka berdua menjura kepada Liong-li,
lalu berlutut menghadap Bu Cek Thian. “Hamba berdua telah
kalah, siap menerima hukuman.”
Akan tetapi Bu Cek Thian tidak marah, bahkan tersenyum lebar
dengan wajah gembira.
“Kalian tidak perlu penasaran dikalahkan oleh Hek-liong-li yang
namanya sudah terkenal di seluruh dunia persilatan. Kembalilah
ke tempat kalian!”
Dua orang itu menghaturkan terima kasih lalu pergi kembali
berdiri di belakang sang permaisuri itu, pandang mata mereka kini
tidak angkuh lagi dan bahkan mereka kini memandang kagum
kepada Liong-li.
“Siauw Cu, simpan pedangmu baik-baik, agar jangan sampai
diketahui orang lain. Berikan kepadaku, biar aku yang
menyembunyikannya dan engkau boleh menggunakan jika perlu
saja.”
Liong-li tidak berani membantah, lalu memberikan Hek-liong-kiam
bersama sarungnya kepada permaisuri itu. Bu Cek Thian
menyimpan pedang itu di dalam lubang yang berada di bagian
bawah kursinya sehingga tidak nampak dari luar karena ada
tutupnya.
250
Liong-li memandang kagum. Kiranya kursi berukir yang indah itu
mengandung alat-alat rahasia pula untuk melindungi keselamatan
sang permaisuri yang amat cerdik itu.
Baru saja Permaisuri Bu Cek Thian menyimpan Hek-liong-kiam,
dua orang dayang memasuki ruangan itu sambil berlarian dan
cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Cek Thian.
Permaisuri itu seketika menjadi merah wajahnya dan matanya
mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada dua
orang dayang yang berlutut dengan tubuh gemetar dan muka
pucat itu.
“Apakah kalian sudah bosan hidup? Berani masuk tanpa kami
perintahkan?”
“Ampun, Yang Mulia, ampunkan hamba...... di luar ada pangeran
Souw Cun yang memaksa masuk. Para penjaga dan dayang
telah berusaha untuk menghalanginya, namun hamba semua
mendapat pukulan dan tendangan......”
Belum habis dayang itu melapor, terdengar seruan marah di luar
ruangan itu. “Kalian berani menghalangi aku? Mau mati??”
Dan muncullah seorang pria berpakaian mewah memasuki
ruangan itu dengan sikap marah, akan tetapi begitu dia melihat
Permaisuri Bu Cek Thian, dia cepat merubah sikapnya. Dengan
sikap sopan dan lembut dia lalu menghampiri dan memberi
hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di
depan dada. Dia membungkuk sampai dalam di depan wanita
yang anggun dan berwibawa itu.
BERSAMBUNG BAGIAN 2
0 comments:
Posting Komentar