..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 12 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA LEMBAH JAGO DARI SEBERANG

matjenuh

 

MALAM begitu larut. Sebuah bayangan berkelebat cepat 

dari satu atap ke atap rumah lainnya. Udara terasa dingin 

meng-igit sampai ke tulang. Rintik air hujan merinai, mem-

buat kebanyakan orang lebih betah berada di dalam 

rumah. Masih terlihat para prajurit Kerajaan Gantar Angin 

berkeliaran di setiap sudut kota. Bayangan itu terus ber-

kelebat cepat, dan baru berhenti setelah sampai pada 

dahan pohon dekat benteng bangunan istana. 

Sepasang bola matanya tajam mengamati keadaan 

dalam sekitar benteng tinggi dan kokoh itu. Dan per-

hatiannya langsung tertuju pada sebuah jendela besar 

yang terbuka lebar. Cahaya lampu pelita menerangi hampir 

seluruh ruangan di balik jendela itu. Tampak seorang 

pemuda tampan berbaju sutra halus putih bersih, berdiri di 

depan jendela. Begitu tampannya sehingga wajahnya 

seperti seorang wanita. 

Pemuda tampan itu berbalik, dan pada saat itu pula 

bayangan di atas pohon berkelebat menembus jendela. 

Pemuda itu terkejut, hampir berteriak. Tapi pemuda itu 

keburu diringkusnya. 

“Jangan berteriak!” dingin suaranya. 

Pemuda tampan berbaju putih dengan sulaman benang 

emas itu diam. Dia tidak lagi berontak. Orang yang mering-

kusnya pun melepaskan dengan mendorongnya ke depan. 

Pemuda itu berbalik. Matanya berkilat merayapi seorang 

laki-laki muda tampan mengenakan baju kulit harimau. 

“Kau pasti Pendekar Pulau Neraka…” tebak pemuda itu. 

“Benar! Aku Bayu Hanggara, Pendekar Pulau Neraka. 

Kuharap kau tidak membuat kesulitan, Raden.” 

Pemuda tampan itu ternyata Raden Sangga Alam ter-

senyum mengangguk. Sebentar dia menarik napas 

panjang, kemudian melangkah mendekati jendela. Raden 

Sangga Alam menutup jendela kamar itu, kemudian duduk



di tepi pembaringan. 

“Silahkan duduk,” katanya mempersilahkan Bayu untuk 

mengambil tempat. 

Bayu melirik sebuah kursi, dan menariknya dekat 

jendela. Segera dihenyakkan bokongnya, duduk di bawah 

jendela besar itu. Kepalanya sedikit dimiringkan, mencoba 

mendengarkan suara-suara mencurigakan yang mungkin 

bisa membahayakan. Pendekar Pulau Neraka itu sadar 

kalau telah memasuki kandang macan. Sedikit saja 

melakukan kesalahan, bisa berakibat fatal. 

“Aku sering mendengar namamu, Kisanak,” kata Raden 

Sangga Alam. Lembut suaranya. 

“Hm…” Bayu hanya menggumam kecil. 

“Terlalu berbahaya jika kau berada di sini. Ayahanda 

Prabu telah memerintahkan untuk memperketat penjagaan 

di sekitar istana, baik siang maupun malam. Lebih-lebih 

Kanda Bantar Gading. Dia benar-benar menghendaki 

kepalamu,” kata Raden Sangga Alam tidak bermaksud 

untuk menggertak. 

“Hebat…!” desis Bayu tersenyum sinis. 

“Apa yang kau inginkan sehingga datang menemuiku, 

Kisanak?!” tanya Raden Sangga Alam. Suaranya masih ter-

dengar lembut. 

“Aku datang untuk menemui Panglima Nampi.” 

Raden Sangga Alam tersedak sesaat. Wajahnya berubah 

mendung. Bayu memperhatikan perubahan wajah itu. 

Keningnya sedikit berkerut. Sudah bisa diduga kalau telah 

terjadi sesuatu pada Panglima Nampi. Bayu tahu betul 

kalau Raden Sangga Alam sangat dekat dengan orang tua 

berjubah putih itu. Makanya dia datang ke sini untuk 

menemui Panglima Nampi, melalui Raden Sangga Alam. 

“Boleh aku tahu, ada urusan apa kau berkeinginan 

menemui beliau?” tanya Raden Sangga Alam. 

“Urusan pribadi,” sahut Bayu tegas. 

“Kau ingin membunuhnya?” 

“Tergantung dia sendiri.” 

“Ketahuilah, Kisanak. Keadaan Kerajaan Gantar Angin


tengah dilanda kekacauan. Ayahanda Prabu menginginkan 

pekerjaan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa 

Larangan agar cepat selesai. Tapi selalu saja ada yang 

merintangi, terutama para pemberontak yang tidak 

menyukai tempat suci itu dirubah kegunaannya. Bahkan 

mereka juga hendak menggulingkan tahta kerajaan…” kata 

Raden Sangga Alam. 

“Maaf! Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan 

suasana di sini,” selak Bayu cepat. 

“Senang atau tidak, kau telah tersangkut. Ayahanda 

Prabu dan Kakang Bantar Gading sudah mencapmu 

sebagai ancaman besar melebihi kaum pemberontak. Dan 

sekarang kau datang hendak mencari Panglima Nampi…. 

Tanpa disadari, kau telah melibatkan dirimu sendiri dalam 

arus yang terjadi di sini, Kisanak,” lembut namun tegas 

kata-kata Raden Sangga Alam. 

Bayu jadi tertegun mendengar kata-kata itu. Sungguh 

tidak disadari akan sejauh itu jadinya. Pendekar Pulau 

Neraka itu tersentak ketika mendengar suara pintu 

diketuk. Tanpa berpikir banyak lagi, bergegas dia 

melompat ke palang atap. Raden Sangga Alam tersenyum 

dan beranjak turun dari pembaringan, lalu melangkah 

menghampiri pintu dan membukanya. 

Ternyata Raden Bantar Gading telah berdiri di ambang 

pintu dan membukanya bersama dua orang berpakaian 

aneh dan memegang senjata aneh pula yang berdiri di 

belakangnya. 

“Ada apa, Kanda?” tanya Raden Sangga Alam. 

“Dua orang pengawal pribadiku melihat seseorang 

masuk ke dalam kamarmu,” kata Raden Bantar Gading. 

“Tidak ada siapa-siapa di sini,” sahut Raden Sangga 

Alam. 

Raden Bantar Gading menjulurkan kepalanya. Diamati-

nya keadaan sekeliling kamar itu. Dua orang jago 

undangan yang kini menjadi pengawal pribadi Raden 

Bantar Gading, ikut mengedarkan pandangannya ke 

seluruh sudut ruangan itu. Sejenak mereka saling ber


pandangan, kemudian sama-sama mengangkat bahunya. 

“Dinda Sangga Alam, benar tidak ada yang masuk ke 

sini?” Raden Bantar Gading ingin meyakinkan. 

“Sejak tadi aku ada di sini. Seperti kau lihat, tidak ada 

seorang pun masuk ke kamar ini, Kanda,” sahut Raden 

Sangga Alam tenang. 

Raden Bantar Gading memandang dua orang pengawal 

pribadinya sebentar, kemudian mengegoskan kepalanya. 

Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka meninggalkan kamar 

itu. Raden Sangga Alam segera menutup pintu dan 

menguncinya. Sedangkan Bayu langsung meluruk turun 

begitu pintu kamar tertutup lagi. Sebentar mereka saling 

berpandangan. 

Bayu mendekati jendela, dan mengintip ke luar. Tampak 

beberapa prajurit berjaga-jaga di sekitar jendela kamar itu. 

Bergegas dia menghampiri pintu, dan mengintip dari 

lubang di atasnya. Empat orang prajurit juga berjaga-jaga di 

sana. Bayu menyadari kalau kamar itu sudah dijaga ketat. 

Itu berarti kehadirannya sudah diketahui. 

“Sudah kukatakan, kehadiranmu di sini akan memper-

buruk keadaan,” kata Raden Sangga Alam. 

“Raden, di mana kamar Panglima Nampi?” tanya Bayu 

tidak perduli dengan keadaan dirinya yang sulit untuk 

keluar dari kamar itu. 

“Semua panglima tidak tinggal di istana. Mereka punya 

rumah tersendiri di luar lingkungan istana,” jawab Raden 

Sangga Alam tenang. 

“Kalau begitu, di mana rumahnya?” 

“Percuma saja kau ke sana, Kisanak. Panglima Nampi 

tidak ada lagi di rumahnya.” 

Bayu mengerutkan dahinya. Tatapan matanya tajam 

menusuk langsung ke bola mata Raden Sangga Alam. 

“Paman Nampi tertangkap ketika berada di rumah salah 

seorang pemimpin pemberontak. Tuduhannya sangat 

berat, dan mungkin akan dihukum mati. Atau mungkin 

juga, hukuman itu sudah dilaksanakan. Aku sendiri tidak 

tahu, bagaimana nasibnya sekarang,” agak lirih suara


Raden Sangga Alam. 

Lemas seluruh tubuh Bayu mendengar penjelasan itu. 

Satu-satunya orang yang diharapkan, tidak jelas nasibnya. 

Jalan yang dilalui kini semakin gelap saja. Pendekar Pulau 

Neraka itu melangkah mendekati jendela. Tampak 

beberapa prajurit masih berdiri berjaga-jaga tidak jauh dari 

jendela kamar ini. Bayu meminta Raden Sangga Alam 

untuk membuka jendela itu. 

Semua prajurit yang berada di luar jendela serentak 

membungkuk memberi hormat. Raden Sangga Alam hanya 

menganggukkan kepala sedikit. Para prajurit itu berbalik 

membelakangi. Pada kesempatan yang sedikit itu, Bayu 

segera melesat cepat bagai kilat menembus jendela. 

Dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh Pendekar 

Pulau Neraka itu lenyap ditelan kegelapan malam. Tak ada 

seorang prajurit pun yang mengetauhi. Raden Sangga Alam 

kembali menutup jendela seraya menarik napas panjang. 

*** 

Bayu Hanggara duduk merenung di atas sebongkah 

batu sebesar kerbau. Pikirannya kusut tidak menentu. Dia 

tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Menembus 

benteng Istana Gantar Angin? Terlalu besar resikonya. 

Sedangkan dia tidak tahu, di mana Panglima Nampi 

sekarang berada. Dan lagi, apakah dia sudah mati atau 

belum? Sedangkan satu-satunya harapan untuk 

mengetahui asal-usul Mayang, hanya Panglima Nampi. 

Begitu asyiknya melamun, sampai-sampai tidak 

mengetahui ada seseorang mendekatinya. Bayu baru tahu 

setelah pundaknya disentuh lembut. Pendekar Pulau 

Neraka itu menoleh. Seraut wajah cantik tersenyum manis 

padanya. Bayu menggeser duduknya memberi tempat. 

Wanita cantik berbaju merah muda itu duduk di samping-

nya. 

“Maaf, Mayang. Aku belum bisa mencari keterangan 

tentang dirimu lebih banyak lagi,” kata Bayu. Pelan



suaranya. 

“Tidak apa, Kakang. Aku tahu kau telah berbuat banyak 

padaku. Seharusnya aku yang minta maaf, karena telah 

menyusahkanmu,” sahut Mayang yang juga pelan suara-

nya. 

“Aku telah mencoba menembus benteng istana.” 

“Kau bertemu dengan Panglima Nampi?” 

“Tidak. Aku hanya bertemu Raden Sangga Alam. Dari 

dialah aku tahu kalau Panglima Nampi ditangkap. Bahkan 

sampai saat ini tidak jelas nasibnya.” 

“Kakang, apa yang harus kita lakukan sekarang?” 

“Aku tidak tahu, Mayang. Orang satu-satunya yang kita 

harapkan, entah bagaimana nasibnya sekarang. Rasanya 

kita menghadapi jalan buntu,” keluh Bayu. 

“Hanya ada satu cara, Kakang…!” sentak Mayang tiba-

tiba. 

Bayu menatap wanita di sebelahnya. 

“Ratu Kunti Boga.” 

“Mustahil…! Tidak ada seorangpun yang tahu, di mana 

Ratu Kunti Boga disekap. Lagi pula, kita tidak tahu apakah 

masih hidup atau sudah mati!” ujar Bayu seraya meng-

geleng-gelengkan kepalanya. Nada suaranya menyiratkan 

kepasrahan. 

“Tapi banyak orang yang bilang, kalau Ratu Kunti Boga 

masih hidup, Kakang. Dari para pemberontak yang sering 

datang ke sini, aku tahu kalau Ratu Kunti Boga masih 

hidup. Dia kini berada di dalam tahanan bawah tanah. 

Sedangkan yang lainnya sudah tidak ada lagi. Semuanya 

tewas di tangan algojo.” 

“Mayang, kau jangan terpengaruh oleh omongan 

mereka. Bisa saja mereka bicara hanya untuk menyenang-

kanmu. Atau, mungkin saja mereka sengaja berkata begitu 

untuk memanfaatkanmu, karena mereka tahu siapa kau 

sebenarnya!” 

“Mereka bukan orang-orang jahat, Kakang. Mereka 

berontak karena menuntut hak dan keadilan. Tujuan 

mereka hanya untuk menggulingkan tahta, dan


mengembalikannya pada Ratu Kunti Boga!” bantah 

Mayang sengit. “Kau terlalu curiga, Kakang. Aku yakin 

maksud mereka itu suci.” 

“Hm…. Jadi kau akan bergabung dengan mereka?” 

tebak Bayu langsung. 

“Terus terang, aku memang berpikir begitu, Kakang.” 

Mayang mengakui. 

“Aku tidak bisa memaksa, apalagi menghalangimu. Kau 

bebas menentukan jalan hidupmu sendiri,” pelan suara 

Bayu. 

“Kakang. Bukan maksudku untuk menjauhi dirimu. 

Justru aku berharap kau bersedia membantu mereka. 

Perjuangan mereka suci, Kakang. Cobalah kau lihat 

kenyataan yang terjadi di depan kita,” kata Mayang 

setengah membujuk. 

“Aku seorang pendekar, Mayang. Aku bersedia mem-

bantu siapa saja, tapi tidak untuk terlibat dalam urusan 

kerajaan. Kau harus mengerti, Mayang.” 

“Aku tahu, Kakang.” 

“Mayang, persoalanmu saja belum selesai. Sabarlah 

sampai asal-usulmu bisa terungkap. Kau juga jangan 

terlalu dalam melibatkan diri dengan mereka. Carilah 

keterangan siapa dirimu sebenarnya. Masalahnya, mereka 

pasti menganggap dirimu putri Ratu Kunti Boga. Hal itu 

akan membahayakan dirimu sendiri. Itu kalau memang 

benar kau putri Ratu Kunti Boga! Kalau ternyata bukan…! 

Apa kau sudah siap menghadapi semuanya?” 

“Aku tidak perduli siapa diriku, Kakang. Aku hanya ingin 

melakukan sesuatu yang berguna dalam hidupku!” tegas 

kata-kata Mayang. 

Bayu menarik napas panjang, dan menghembuskannya 

kuat-kuat. Sulit untuk memaksa wanita itu lagi. Tekadnya 

sudah bulat. Bayu merasa semua yang dilakukan hanya 

sia-sia belaka. Yang jelas dia tidak ingin mengeluh. Baginya 

itu sudah suatu resiko seorang pendekar kelana hanya 

saja, di dalam hatinya masih terbetik rasa penasaran. Bayu 

belum puas kalau belum dapat menuntaskan semua



persoalan yang dihadapinya. Meskipun Mayang sendiri 

sudah tidak ambil perduli lagi terhadap dirinya sendiri. 

Yang jelas Bayu bertekad untuk tetap meneruskan 

usahanya. 

*** 

Hari itu Bayu menemui Ki Marutadi di Hutan Danaraja 

sebelah timur. Hampir seluruh Hutan Danaraja telah 

dikuasai para pemberontak. Semakin hari jumlah mereka 

semakin bertambah banyak. Kedatangan Bayu tentu saja 

disambut gembira oleh para pemimpin pemberontak, yang 

rata-rata bekas pembesar setia Ratu Kunti Boga. 

Mereka semua sudah mendengar tentang Pendekar 

Pulau Neraka dari cerita Ki Maruta. Dan memang nama 

pendekar itu sudah kondang. Bahkan seluruh rakyat 

Gantar Angin sudah mendengarnya. Ini bisa saja terjadi, 

karena Raden Bantar Gading yang dibantu jago-jago dari 

tanah seberang telah mengumumkan agar seluruh rakyat 

melaporkan jika melihat Pendekar Pulau Neraka. 

“Sudah kuduga kedatanganmu, Kisanak. Aku yakin kau 

pasti akan datang menemuiku,” ucap Ki Maruta gembira 

menyambut kedatangan Bayu. 

“Aku datang memang untuk menemuimu, Ki Maruta,” 

sahut Bayu. 

“Kau ingin bergabung dengan kami?” tebak Ki Maruta 

berharap. 

Bayu menggeleng-gelengkan kepala, namun bibirnya ter-

senyum penuh rasa persahabatan. Ki Maruta mendesah 

panjang. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatinya. 

“Maaf, bukannya aku ingin membuatmu kecewa,” kata 

Bayu, seperti mengetahui perasaan lelaki tua itu. 

“Tidak apa. Memang seharusnya aku tidak terlalu ber-

harap banyak padamu,” sahut Ki Maruta pelan. 

Bayu merasakan nada kekecewaan pada suara Ki 

Maruta. 

“Lalu, apa maksudmu datang ke sini?” tanya Ki Maruta.


“Aku hanya mengharap kejujuranmu, Ki,” sahut Bayu 

tegas. 

“Kejujuranku?” 

“Ya! Tentang diri Mayang yang sebenarnya. Aku yakin 

kau menyembunyikan sesuatu tentang Mayang. Maukah 

kau berterus terang padaku, Ki?” desak Bayu berharap. 

“Apalagi yang kau ketahui tentang Mayang? Aku sendiri 

merasa kalau Mayang benar-benar putri Gusti Ratu Kunti 

Boga. Wajahnya memang tidak mirip. Tapi sinar matanya 

begitu mirip dengan Gusti Ratu Kunti Boga,” jelas Ki 

Maruta, coba meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu. 

Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetap tidak bisa 

dipercaya begitu saja kata-kata Ki Maruta. Yang diinginkan 

adalah kepastian, bukan hanya sekedar perasaan hati. 

“Hanya ada satu cara untuk mengetahui siapa Mayang 

sebenarnya, Kisanak. Bebaskan Paman Nampi atau Gusti 

Ratu Kunti Boga! Hanya mereka yang tahu persis jati diri 

Mayang,” sambung Ki Maruta. 

“Hal itu memang sudah kupikirkan. Hanya masalahnya, 

aku tidak tahu di mana mereka berada sekarang. Hidup 

dan matinya pun aku tidak tahu,” sahut Bayu bernada 

mengeluh. 

Ki Maruta menatap dalam-dalam pada pemuda itu. 

Dirasakan ada nada lain pada suara Pendekar Pulau 

Neraka. Dia sering mendengar sepak terjang Pendekar 

Pulau Neraka. Dan kini, setelah berhadapan langsung, laki-

laki tua itu merasakan adanya perbedaan yang sangat 

mencolok. 

“Kisanak, boleh aku tahu. Mengapa kau sangat ber-

keinginan mengetahui diri Mayang sesungguhnya?” tanya 

Ki Maruta bernada curiga. 

Bayu Hanggara tersentak mendengar pertanyaan itu. 

ditatapnya dalam-dalam wajah laki-laki tua di depannya. 

Sangat sulit untuk menjawabnya. Dia sendiri tidak tahu, 

mengapa begitu ingin mengetahui asal-usul Mayang. 

Belum pernah dialami suatu perasaan penasaran yang 

amat sangat menghantui dirinya. Bayu sendiri tidak tahu,


apa yang menarik pada diri wanita cantik itu. 

Pertanyaan Ki Maruta seolah-olah menggugahnya dari 

alam mimpi yang sangat panjang dan melelahkan. Apa 

yang dilakukannya selama ini tidak ada sangkut pautnya 

dengan dirinya. Mungkin karena nasib wanita itu yang 

hampir sama dengannya, sehingga Bayu selalu ingin 

mengungkap tabir yang menyelimuti diri Mayang. Dan kini 

Bayu merasa adanya nada kecurigaan pada suara Ki 

Maruta. 

Tanpa berkata apa-apa lagi, Bayu bangkit berdiri. Tak 

lama, dia melangkah meninggalkan Ki Marutayang hanya 

bisa terpaku. Ada sedikti rasa penyesalan terselip di hati 

laki-laki tua itu. Dia menyesal karena telah memberi 

pertanyaan yang mungkin menyinggung perasaan 

Pendekar Pulau Neraka itu. 

“Ah! mudah-mudahan saja dia tidak tersinggung,” desah 

Ki Maruta dalam hati. 

***


Bayu menghentikan langkahnya. Matanya sedikit menyipit 

melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, dan 

berwajah kasar, berdiri tegak menghadang jalannya. Di 

pinggangnya melilit cembuk hitam yang tangkainya 

berbentuk kepala ular. 

“Kau yang bernama Pendekar Pulau Neraka?” besar dan 

keras suara orang itu bertanya. 

“Benar. Dan kau siapa?” Bayu balas bertanya. 

“Aku Braga, bekas orang bayaran Raden Bantar 

Gading,” orang bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar 

itu memperkenalkan diri. 

“Hm….Lantas, apa maksudmu menghadang 

perjalananku?” tanya Bayu setengah bergumam. 

“Aku sering dengar namamu disebut-sebut hampir 

setiap orang di Gantar Angin ini. Bahkan para prajurit dan 

jago-jago undangan dari tanah seberang sedang 

mencarimu,” ungkap Braga. 

“Aku tahu itu,” sahut Bayu kalem. 

“Karena itu aku sengaja menunggumu di sini.” 

“Untuk apa? Menangkapku?” mulai sinis kata-kata 

Bayu. 

“Aku tahu, kau seorang pendekar yang sangat tangguh 

dan mampu mengatasi segala persoalan seorang diri. Tapi 

aku datang justru ingin membantumu,” kata Braga serius. 

“Hm….” Bayu mengerutkan keningnya. 

“Aku memang bukan orang baik-baik. Aku dilahirkan dari 

keluarga begal, rampok dan pembunuh. Dan pekerjaanku 

pun adalah pembunuh bayaran. Tapi biar bagaimanapun 

juga, aku masih punya hati dan perasaan. Aku bersedia 

melakukan apa saja demi uang…!” kata Braga. 

“Maaf, aku tidak punya uang untuk membayarmu,” kata 

Bayu. 

“Bukan uang yang kucari saat ini!”


“O….! Lantas?” 

“Sulit kukatakan! Jauh-jauh aku datang ke Gantar Angin 

ini karena satu pekerjaan mudah dengan bayaran tinggi. 

Tapi seluruh anak buahku tewas. Bahkan adikku satu-

satunya juga tewas di Desa Muara Pening dekat 

Pesanggrahan Goa Larangan,” pelan suara Braga. 

“Rasanya aku tidak kenal denganmu dan adikmu. Dan 

lagi aku belum pernah ke Desa Muara Pening. Maaf…. 

Mungkin kau salah alamat, jika hal itu kau adukan 

padaku,” uajr Bayu sopan. 

“Kau ingin bertemu dengan Panglima Nampi, kan?” 

Bayu menatap tajam laki-laki berwajah kasar di 

depannya. Sama sekali tidak dimengerti apa yang 

diinginkan Braga terhadapnya. 

“Mungkin kau akan menganggapku berlebihan. Tapi, 

aku tahu di mana Panglima Nampi berada sekarang,” 

lanjut Braga. 

“Berapa kau dibayar untuk menjebakku?” tanya Bayu 

sinis. 

“Jangan salah sangka, Kisanak. Aku ingin bergabung 

denganmu karena aku juga punya tujuan. Tujuanku adalah 

membunuh Raden Bantar Gading yang telah menewaskan 

adikku satu-satunya. Di ajuga yang menyebabkan semua 

anak buahku tewas! Sekarang ini bukan bayaran yang 

kuinginkan!” tegas kata-kata Braga. 

“Kau dendam?” 

“Benar!” 

“Mengapa Raden Bantar Gading tidak kau bunuh saja 

sendiri?” 

“Jangan mengolok-olok, Kisanak. Saat ini Raden Bantar 

Gading selalu dikawal jago-jago dari seberang. Ilmu mereka 

sangat tinggi. Tidak mungkin kuhadapi seorang diri.” 

“Lalu, apa yang dapat kulakukan untukmu?” 

“Bukan hanya aku, tapi kita!” 

“Rasanya persoalan yang kita hadapi berbeda. Dan lagi, 

tak ada niatan dalam hatiku untuk membunuh siapapun. 

Aku sebenarnya hendak meninggalkan Gantar Angin ini.


Persoalanku di sini telah selesai. Sekarang aku tidak 

perduli lagi dengan Panglima Nampi, atau siapa saja. Maaf, 

aku harus pergi sekarang,” kata Bayu tegas. 

“Tunggu dulu,” cegah Braga. 

Bayu mengurungkan langkahnya. 

“Kau tidak mungkin dapat meninggalkan Gantar Angin 

begitu saja. Seluruh pelosok sudah dijaga prajurit. Tidak 

ada seorangpun boleh meninggalkan negeri ini!” jelas 

suara Braga memberitahu. 

Bayu hanya tersenyum saja, kemudian melanjutkan 

langkahnya. Braga berlari kecil mengejar. Pendekar Pulau 

Neraka membiarkan saja laki-laki berwajah kasar itu 

mengikutinya, dan tetap melangkah tanpa menoleh 

sedikitpun. 

“Kenapa kau mengikutiku?” tanya Bayu tanpa menoleh. 

“Aku akan ikut bersamamu keluar dari neraka ini,” 

jawab Braga. 

“Bukankah kau ingin membalas kematian adikmu?” 

“Percuma! Tidak ada seorang pun yang percaya 

kepadaku. Lebih baik aku pergi dari pada mati konyol. 

Nanti setelah berada di luar Gantar Angin, mungkin aku 

bisa melakukan apa saja. Aku berniat akan mengumpulkan 

kekuatan, baru menggempur kerajaan ini!” 

Bayu hanya tersenyu seraya menggeleng-gelengkan 

kepalanya. Dendam di hati Braga cukup membara. Tapi 

nyalinya kecil. Hanya kepentingan dirinya sendiri yang lebih 

menonjol. Mungkin itu memang sudah wataknya. Bahkan 

rasa sakit hati dan dendam bisa pupus bila keselamatan 

dirinya terancam. Tidak ada sedikit pun watak ksatria di 

dalam hatinya. 

Bayu terus saja melangkah, meskipun Braga 

mengiktuinya. Dia tidak lagi perduli terhadap laki-laki 

berwajah kasar itu. kakinya tetap terayun mantap. Bahkan 

dikerahkan ilmu meringankan tubuh. Merskipun seperti 

berjalan biasa, tapi kecepatannya melebihi orang berlari. 

Braga yang mengikuti juga segera mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh.


Tapi mendadak Pendekar Pulau Neraka menghentikan 

langkahnya. Pendengarannya yang setajam elang, 

menangkap suara desiran halus dari arah samping kanan. 

Begitu menoleh, sebatang anak panah meluncur deras ke 

arahnya. Bahkan sebatang lagi mengarah pada Braga. 

“Awas…!” seru Bayu keras. 

*** 

Bayu hanya menggerakkan tangannya untuk 

menangkap anak panah itu. sementara Braga memiringkan 

tubuh sedikit ke belakang, sehingga anak panah yang 

mengancam nyawanya lewat di depan dada. Laki-laki 

bertubuh tinggi tegap dengan wajah kasar itu langsung 

melompat menghampiri Pendekar Pulau Neraka. 

Pada saat itu, dari gerumbul semak belukar dan balik 

pepohonan, muncul sekitar tiga puluh orang berseragam 

prajurit. Mereka berlompatan dengan senjata terhunus. 

Bayu mengendarkan pandangannya ke sekeliling. Para 

prajurit Kerajaan Gantar Angin kini telah mengepung rapat 

dari segala penjuru. 

“Sudah kukatakan, tidak mudah keluar dari sini,” kata 

Braga setengah berbisik. 

“Kau takut?” nada suara Bayu terdengar mengejek. 

“Huh! Tak seberapa. Dua kali lipatpun aku masih 

mampu mengahadapinya!” dengus Braga pongah. 

“Mereka pasti sudah sangat terlatih.” 

“Hampir tiga purnama aku di sini, jadi tahu betul kalau 

prajurit Gantar Angin tidak ada yang memiliki kepandaian 

tinggi. Para panglimanya saja bisa dihitung dengan jari 

yang memiliki kepandiaan tinggi.” 

“Tapi jangan menganggap remeh mereka. Setiap lawan 

harus dihadapi hati-hati. Sikap memandang rendah lawan 

akan membuat kelengahan, dan berakibat fatal,” kata 

Bayu mengingatkan. 

Braga diam saja. Dan percakapan itupun terhenti ketika 

seorang pemuda tampan muncul. Bibirnya selalu


menyunggingkan senyum sinis. Pemuda itu menunggang 

kuda putih dan dikawal dua orang berpakaian aneh dan 

bersenjata aneh pula. Mereka juga menunggang kuda yang 

tinggi kekar. 

“Itu Raden Bantar Gading,” kata Braga memberitahu. 

“Ya, aku tahu,” jawab Bayu tak berpaling sedikitpun. 

Pandangannya tajam pada pemuda tampan di atas 

punggung kuda putih. 

“Percuma saja kalian melawan. Tempat ini sudah 

terkepung,” ujar Raden Bantar Gading, yang tetap berada 

di atas kuda putihnya. 

“Untuk apa menyerah, kalau masih bisa melawan!” 

lantang suara Bayu. 

“Hhh! Memang tidak ada gunanya bicara denganmu, 

monyet keparat!” geram Raden Bantar Gading. “Serang! 

Bunuh mereka…!” 

Tiga puluh orang prajurit serentak berlompatan sambil 

menghunus senjata masing-masing. Mereka berteriak 

disertai semangat bertarung yang berkobar-kobar. Braga 

segera melepaskan cambuk yang membelit pinggangnya. 

“Hiya…!” 

Ctar! 

Suara cambuk hitam itu menggelegar memecah 

angkasa. Dua orang prajurit langsung ambruk tersambar 

ujung cambuk itu. Braga berlompatan sambil mengebutkan 

cambuknya. Sungguh dahsyat, sekali kebutan saja, pasti 

ada prajurit yang terjungkal. Sementara Bayu pun sibuk 

melayani para prajurit yang bertarung bagai kesetanan itu. 

Banjir darah tak terhindarkan lagi. 

Teriakan, jeritan dan pekik kematian saling susul ber-

campur dengan gemuruhnya pertempuran. Satu persatu 

para prajurit Gantar Angin bergelimpangan berlumuran 

darah. Mereka memang bukanlah tandingan dua orang 

yang sudah banyak malang melintang di dalam rimba per-

silatan. Dalam waktu tidak berapa lama saja, separuh dari 

mereka telah banyak yang tewas. 

“Ayo, maju semua! Biar kupercepat kematian kalian!”


seru Braga keras. 

Ctar! Tar! 

Braga memainkan cambuknya dengan lincah, diimbangi 

gerakan kaki dan tubuh yangmelentur ringan. Para prajurit 

yang mengeroyoknya mulai gentar. Mereka jadi ragu-ragu. 

Akibatnya, malah membuat kemtian semakin cepat datang-

nya. Tanpa ampun lagi Braga membantai para pengeroyok-

nya. 

“Ha ha ha…!” Braga tertawa terbahak-bahak. Sepertinya 

begitu suka akan pertempuran ini. 

“Yeaaa…!” 

Satu orang yang mengawal Raden Bantar Gading 

melompat turun dari punggung kudanya. Lesatannya begitu 

ringan dan cepat, langsung meluruk ke arah Braga. 

Senjatanya yang berupa golok raksasa mengibas bagai 

kilat, menimbulkan suara angin menderu. Braga yang 

tengah melayani para prajurit yang tersisa, terkejut men-

dengar deru angin mengarah kepadanya. 

“Uts!” 

Buru-buru dirundukkan kepalanya. Sambaran golok 

raksasa itu hanya menyambar angin kosong. Braga segera 

melesat mundur tiga langkah. Agak gentar juga hatinya 

begitu melihat seorang laki-laki bertubuh besar bagai 

raksasa, berdiri tegak di depannya. Tangannya meng-

genggam sebilah golok besar dan panjang. 

“He he he…” orang itu terkekeh. 

“Ayo maju, monyet jelek!” tantang Braga. 

Para prajurit yang tadi mengeroyok Braga, segera ber-

lompatan menyingkir. Mereka langsung membantu teman-

temannya yang tengah mengeroyok Bayu. Sementara 

Braga bersiap-siap menghadapi manusia raksasa itu. 

Dikebut-kebutkan cambuknya di udara. 

“Ha ha ha…!” manusia raksasa itu tertawa terbahak-

bahak. Mungkin merasa lucu melihat cambuk kecil se-

panjang lengan yang berusaha menakut-nakutinya. 

“Jangan gembira dulu, monyet jelek! Rasakan 

cambukku! Hiyaaa…!”


*** 

Ctar! 

Ujung cambuk Braga meluruk deras ke arah dada 

manusia raksasa itu. Hebat! Dia hanya diam saja tanpa 

bergeming sedikitpun. Tak ampun lagi, ujung cambuk 

Braga menyengat dadanya, disertai suara ledakan keras. 

“Heh…!” 

Braga tercengang menyaksikan lawannya hanya ter-

senyum saja. Tak ada luka sedikitpun yang menggores 

dadanya. Padahal, jelas sekali kalau ujung camuk itu 

menyengat dada manusia raksasa itu. Padahal ujung 

cambuk itu penuh duri yang sangat tajam, dan dikebutkan 

dengan tenaga dalam penuh. 

“Gila! Manusia apa dia…?!” dengus Braga. 

“He he he…” orang itu hanya terkekeh saja. 

Ctar! Tar…! 

Dua kali Braga mengayunkan cambuknya disertai 

pengerahan tenaga dalam penuh. Tapi manusia raksasa itu 

hanya terkekeh saja. Bahkan kakinya kini terayun me-

langkah maju. Sama sekali cambukan itu tidak berarti. 

Sementara Braga mulai pucat wajahnya. Cambuk 

kebanggaannya hanya seperti belaian halus bagi manusia 

raksasa itu. Braga melangkah mundur sambil mengebut-

kan cambuknya beberapa kali. 

“Grrr…!” manusia raksasa itu menggeram bagai 

binatang buas dan liar. 

Wut! 

Cepat sekali manusia raksasa itu mengebutkan golok 

besarnya ke arah leher Braga. 

“Ikh” 

Braga terperangah sesaat. Buru-buru dia merunduk, 

maka sambaran golok itu lesat di atas kepalanya. Tapi 

belum sempat diangkat kepalanya, satu tendangan keras 

telah membuat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Braga 

mengeluh pendek. Punggungnya menghantam sebatang


pohon besar hingga hancur. Laki-laki bekas pembunuh 

bayaran itu bergegas bangkit. 

Sementara itu, si Manusia Raksasa sudah melompat 

menerjang sambil mengayunkan goloknya. Braga mem-

banting tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa 

kali. Golok raksasa itu menghantam tanah kosong dengan 

kerasnya. 

Braga langsung melesat bangkit. Segera dia melompat 

sambil mengirimkan dua pukulan geledek disertai satu 

tendangan bertenaga dalam tinggi. Manusia raksasa itu 

hanya terdorong satu langkah. Dia menggeram dahsyat, 

dan berbalik. Braga benar-benar terkesiap karena pukulan 

dan tendangan beruntunnya tidak berarti bagi manusia 

raksasa itu. 

“Edan! Ilmu apa yang dimilikinya…?!” dengus Braga 

keheranan. 

Manusia raksasa itu kembali menggeram dahsyat. 

Dikibaskan goloknya dengan cepat ke arah tubuh Braga. 

Pembunuh bayaran itu melompat ke belakang, sehingga 

sambaran golok itu tidak menemui sasaran. Dan belum 

sempat Braga berbuat sesuatu, kembali manusia raksasa 

menyerang bagai topan. Braga hanya bisa berkelit ber-

lompatan tanpa mampu membalas. 

Baik cambuk, pukulan dan tendangannya tidak berarti 

sama sekali terhadap manusia raksasa itu. Braga benar-

benar serba salah menghadapinya. Semua jurus-jurus 

andalannya sudah dikerahkan, tapi hasilnya sia-sia. 

Bahkan kini manusia raksasa itu malah semakin ganas 

saja. Serangan-serangannya pun semakin gencar dan ber-

bahaya. Braga sudah merasakan betapa dahsyat pukulan 

manusia raksasa itu. Dan dia tidak ingin lagi coba-coba 

memapak. Tenaga dalamnya kalah jauh. Bahkan tidak 

satupun pukulan mautnya yang berarti. 

“Graaakh…!” manusia raksasa itu menggeram dahsyat. 

Dan pada satu kesempatan, dikibaskan goloknya 

dengan kecepatan penuh. Braga terperangah sesaat. Buru-

buru dia berkelit mengegoskan tubuhnya ke samping.


Sambaran golok besar itu berhasil dielakan. Tapi angin 

sambaran golok membuatnya limbung. Dalam keadaan 

seperti itu, Braga tidak mungkin menghindari pukulan 

tangan kiri lawannya. 

Pukulan itu telak menghantam dadanya. Braga 

mengeluh pendek. Dari mulutnya mengucur darah segar. 

Saat tubuhnya terjajar ke belakang, satu hantaman golok 

besar membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Braga 

tidak mampu lagi bersuara. Tubuhnya langsung ambruk 

terbelah dua. Mati. 

“Ha... ha... ha…!” manusia raksasa itu tertawa terbahak-

bahak. 

Pada saat yang bersamaan, Bayu sudah menyelesaikan 

pertarungannya melawan prajurit-prajurit Gantar Angin. 

Betapa terkejutnya Bayu mendapatkan Braga telah tewas 

dengan tubuh terbelah dua. Gerahamnya bergemeletuk 

menyaksikan manusia raksasa itu malah tertawa terbahak-

bahak dekat mayat Braga. 

“Iblis…!” geram Bayu mendesis. 

*** 

“Pendekar Pulau Neraka! Kau tinggal pilih. Menyerah, 

atau mengalami nasib yang sama dengan Braga!” ancam 

Raden Bantar Gading. 

“Phuih!” Bayu menyemburkan ludahnya. 

Raden Bantar Gading menggerakkan ujung jari telunjuk-

nya. Manusia raksasa itu melompat ke hadapan Pendekar 

Pulau Neraka. Golok besarnya tersandang di pundak. Bibir-

nya menyeringai liar mengejek. Bayu menggeser kakinya 

sedikit ke samping. 

“Kau tidak punya waktu untuk berpikir, Pendekar Pulau 

Neraka!” lantang suara Raden Bantar Gading. 

“Majulah, manusia liar! Jauh-jauh kau datang hanya 

untuk mengantarkan nyawa!” dengus Bayu dingin. 

Manusia raksasa itu menoleh ke arah Raden Bantar 

Gading. Pemuda tampan di atas kuda putih itu meng


gerakan tangannya di depan leher. Jelas sekali kalau arti-

nya adalah penggal kepala! Manusia raksasa itu ter-

senyum, lalu melangkah mendekati Pendekar Pulau 

Neraka. Suara menggeram kecil terdengar menggetarkan. 

Cepat sekali dia melompat sambil menghantamkan 

goloknya ke tubuh Bayu. Tapi hanya dengan memiringkan 

tubuhnya sedikit, Bayu berhasil mengelakkan tebasan 

golok itu. Dan tanpa diduga sama sekali, tangan Pendekar 

Pulau Neraka itu menyodok ke perut. 

“Ups…!” 

Bayu terkejut, karena merasakan seperti menyodok 

segumpal karet dalam karung. Tangannya kembali ter-

pental. Buru-buru di amelompat mundur dua tindak. 

Secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melenting tinggi 

ke udara, lalu meluruk deras sambil melontarkan dua 

pukulan beruntun. 

Des! Des! 

Kembali Bayu terkejut, karena manusia raksasa itu tidak 

bergeming sedikitpun. Padahal pukulan bertenaga itu 

dalam sangat tinggi. Bahkan Bayu sendiri terpental 

beberapa depa jauhnya. Pukulannya seperti berbalik dan 

menghantam dirinya sendiri. Bayu kembali berdiri tegak. 

Matanya memandang setengah tidak percaya. Sementara 

si Manusia Raksasa itu menggeram pelan sambil 

melangkah berat mendekati. Goloknya yang sangat besar 

diputar-putarnya. Suara angin menderu-deru, membuat 

jantung serasa akan copot. 

“Graghk…!” 

Manusia raksasa itu menggeram keras, dan dengan 

cepat dibabatkan senjatanya ke arah kaki Pendekar Pulau 

Neraka. Namun dengan cepat Bayu telah melenting ke 

udara sambil mengayunkan kakinya, disertai pengerahan 

tenaga dalam yang hampir mencapai taraf kesempurana-

an. Tendangan itu telak mendarat di wajah si Manusia 

Raksasa. 

“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras. 

Dia mundur dua langkah ke belakang. Dan begitu men


jejakkan kaki di tanah, Bayu langsung melepaskan satu 

pukulan dahsyat ke arah dada. Pukulannya tidak ter-

bendung lagi. Tubuh tinggi besar itu terjungkal keras meng-

hantam tanah. Suara berdebum terdengar saat tubuh 

raksasa itu ambruk. Getarannya bagaikan gempa bumi 

saja. 

Sambil menggeram marah, manusia raksasa itu bangkit 

berdiri. Diangkat goloknya ke atas kepala. Segera dia ber-

lari cepat seraya mengayunkan senjatanya dengan deras. 

Bayu melompat ke samping sambil melayangkan pukulan 

keras menghantam punggung. Kembali manusia raksasa 

itu meraung dan tersungkur ke tanah, namun dengan 

cepat bisa bangkit kembali. 

Bayu geleng-geleng kepala melihat daya tahan lawannya 

yang begitu luar biasa. Manusia raksasa itu kembali 

menerjang seraya mengayunkan goloknya yang sangat 

besar. Kali ini dia memang mendapat lawan sangat 

tangguh. Gerakan Bayu ketika berkelit, memang sangat 

cepat. Bahkan dibarengi dengan satu serangan mengan-

dung tenaga dalam hampir sempurna. Setiap pukulan dan 

tendangan Pendekar Pulau Neraka, membuat manusia 

raksasa itu menggereng keras. 

“Hup! Hiyaaa…!” 

Sambil berteriak keras, Bayu memiringkan tubuhnya dan 

sedikit membungkuk. Lalu dengan cepat dikibaskan tangan 

kanannya. Seleret cahaya keperakan melesat dari per-

gelangan tangan yang dikibaskan. Rupanya Bayu melepas-

kan senjata andalannya, berupa cakra pipih bergerigi 

enam, berwarna keperakan. Cakra Mautitu melesat cepat 

bagai kilat, dan langsung membabat dada si Manusia 

Raksasa itu. 

“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras. 

Bayu mengangkat tangannya ke atas. Cakra Maut itu 

pun kembali melesat dan menempel di pergelangan 

tangannya. Darah mulai membasahi dada manusia raksasa 

itu. Dia menggeram dahsyat, lalu kembali menerjang 

sambil mengayunkan goloknya dari atas ke bawah.


“Hiyaaaa…!” 

Bayu melompat mundur sambil mengebutkan tangan 

kanannya. Kembali Cakra Maut melesat bagai kilat dari 

pergelangan tangannya. Senjata cakra bergerigi enam itu 

menghentikan terjangan si Manusia Raksasa, karena leher-

nya telah tertembus senjata Pendekar Pulau Neraka. Darah 

muncrat keluar dari leher yang berlubang besar itu. 

Begitu senjatanya menempel kembali di pergelangan 

tangan, Bayu melompat cepat sambil berteriak nyaring. 

Satu tendangan keras menggeledek membuat tubuh 

raksasa itu jatuh berdebum ke tanah. Bayu menjejak dada 

lawan dengan lutut, lalu menghajar kepalanya dengan 

kekuatan penuh. 

Prak! 

“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras. 

Darah segar kembali mengalir keluar dari kepala yang 

hancur. Bayu langsung melompat bangkit berdiri. 

Pandangannya tajam pada tubuh besar yang menggelepar-

gelepar di tanah. Pendekar Pulau Neraka itu menarik 

napas panjang, lalu pandangannya beralih pada Raden 

Bantar Gading. Sementara manusia raksasa itu sudah 

tidak bergerak-gerak lagi. 

***


Orang yang berada di samping Raden Bantar Gading 

langsung melompat turun dari punggung kudanya. Manis 

sekali jejakannya di tanah, yang berjarak sekitar satu 

batang tombak di depan Pendekar Pulau Neraka. 

Senjatanya yang berbentuk tongkat berujung lima, 

menyilang di depan dada. Tatapan matanya tajam 

menusuk langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit 

harimau di depannya. 

Orang itu bertubuh sedang mengenakan baju ketat 

merah menyala. Kulit wajahnya putih, cenderung pucat. 

Sinar matanya menyiratkan kekejaman. Bayu menggeser 

kakinya du alangkah ke samping. Bisa diukur kalau 

lawannya kali ini tentu lebih tangguh dari yang pertama. 

“Sebaiknya kau pulang saja ke negerimu,” kata Bayu 

dingin. 

“Hm…” orang bersenjata tongkat berujung lima itu 

hanya menggumam tidak jelas. 

Kepalanya menoleh ke belakang, ke arah Raden Bantar 

Gading yang hanya diam menatap Pendekar Pulau Neraka. 

Kemudian kepala Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu 

terangguk sedikit. Orang berwajah dingin pucat pun 

kembali memalingkan mukanya menghadap pada Bayu. 

Bibirnya yang tipis pucat tersenyum sedikit. 

“Hop!” 

Begitu tangannya mengebutkan senjata ke depan, 

langsung terasa suatu aliran hawa panas menyengat kulit. 

Bayu kembali menggeser kakinya selangkah ke samping. 

Sikapnya tampak lebih berhati-hati menghadapi lawan kali 

ini. hawa panas yang menyebar dari senjata tongkat ber-

ujung lima itu sangat terasa menyengat. Jelas kalau dia 

memiliki kepandaian tinggi. 

“Wufh! Yaaa…!” 

Orang berwajah pucat itu cepat menyerang tanpa


banyak bicara lagi. Bayu mengegoskan tubuhnya ke 

samping menghindari tusukan senjata tongkat berujung 

lima itu. Dengan cepat tangannya terayun ke samping, 

begitu senjata lawan berada di samping perutnya. Namun 

tanpa diduga sama sekali, orang itu memutar senjata ke 

atas. 

“Uts!” 

Bayu cepat merunduk, sehingga tebasan senjata itu 

lewat di atas kepalanya. Belum lagi Pendekar Pulau Neraka 

itu bisa berbuat sesuatu, kaki lawan telah melayang deras 

menghantam pinggangnya. 

“Ugh!” Bayu mengeluh pendek. 

Saat tubuhnya doyong ke samping, satu pukulan keras 

lawan mendarat di dadanya. Pendekar Pulau Neraka itu 

terjajar ke belakang. Dadanya terasa sesak seketika. Buru-

buru digerakkan tangannya untuk mengusir rasa sesak 

yang melanda dadanya. Bayu menggelengkan kepalanya 

beberapa kali, mencoba mengusir kunang-kunang yang 

memenuhi pelupuk matanya. 

“Phuih!” dengan perasaan geram, Pendekar Pulau 

Neraka menyemburkan ludahnya. 

Orang berwajah pucat kaku itu berteriak keras sambli 

melompat menerjang. Bayu tetap berdiri tegak menanti. 

Dan pada saat ujung tombak lawannya sudah sedemikian 

dekat di depan dada, dengan cepat ditangkapnya. Sambil 

mengerahkan tenaga dalam, tombak yang tertangkap itu 

diangkat dan dibantingnya ke belakang. 

“Akh!” orang berwajah pucat itu memekik tertahan. 

Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Sebelum 

orang berwajah pucat itu sempat bangun, Bayu sudah 

mengibaskan tangan kanannya. Seleret cahaya keperakan 

meluncur deras bagai kilat. Orang itu menggulingkan 

tubuhnya beberapa kali. Senjata cakra keperakan itu pun 

meng-hantam tanah. Bayu menarik tangan kanannya ke 

atas, maka senjatanya kembali melesat ke arahnya. Begitu 

menempel di pergelangan tangan, kembali dikibaskannya 

dengan cepat.


“Hiya…!” 

Orang berwajah pucat itu buru-buru melesat ke udara 

sambil mengibaskan senjatanya ke bawah. Sunggu di luar 

dugaan. Ketika Bayu menjentikkan ujung jarinya, Cakra 

Maut itu bergerak menyamping, sehingga tidak terjadi 

benturan antara dua senjata. Dan Cakra Maut itu terus 

melesat ke udara, langsung menyambar ke arah dada 

orang berwajah pucat itu. 

Masih dalam keadaan tubuh di udara, orang itu 

memiringkan tubuhnya ke samping. Tapi ujung Cakra Maut 

sempat menggores bahu kanannya. Bayu mengangkat 

tangan kananya ke atas, maka senjata cakra kembali 

menempel di pergelangan tangan kanannya. Orang 

berwajah pucat itu kembali turun ke bumi. Darah mengucur 

dari pundak yang tergores cukup dalam oleh Cakra Maut. 

“Yeaaah…!” Bayu berteriak lantang. 

Baru saja orang berwajah pucat itu menjejakkan kakinya 

di tanah, Pendekar Pulau Neraka sudah melompat sambil 

mengirimkan dua pukulan dahsyat beruntun. Orang itu 

berusaha menghindar, tapi satu pukulan lain tidak mampu 

dihindari. Dadanya terasa remuk akibat pukulan keras 

bertenaga dalam hampir sempurna. Tubuhnya terdorong ke 

belakang sejauh dua batang tombak. 

“Mampus kau! Hiyaaa…!” pekik Bayu melengking. 

Secepat tangannya bergerak ke depan, secepat itu pula 

secercah cahaya keperakan melesat ke arah jago dari 

tanah seberang berwajah pucat itu. Dia tidak mungkin lagi 

menghindar karena keadaan tubuhnya terluka dan 

sempoyongan. Cakra Mautpun langsung menembus 

dadanya hingga ke punggung. 

“Aaaakh…!” 

Di saat tubuh orang itu limbung, Bayu melompat cepat 

sambil melontarkan satu pukulan keras ke arah dada. Tak 

pelak lagi, tubuh jago dari seberang itu terjungkal keras 

menghantam batu sebesar kerbau. Dengan ujung jari kaki, 

Bayu menyambar senjata lawan dan langsung menangkap-

nya. Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan senjata


yang berhasil dirampas seraya mengerahkan tenaga 

dalam, sebelum jago dari seberang itu bergerak. 

Wut! 

Senjata tombak berujung lima itu meluncur cepat, dan 

menembus dada pemiliknya sendiri. Kembali jeritan 

menyayat terdengar mengantar kematian jago dari 

seberang itu. sementara Cakra Mautmasih melayang di 

udara, Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas. Cakra 

Mautpun kembali menempel di pergelangan tangan 

Pendekar Pulau Neraka. 

“Hm…” Bayu bergumam pelan. 

Bola matanya tajam memandang ke sekeliling. 

Gerahamnya bergemeletuk menahan geram mendapati 

Raden Bantar Gading sudah tidak ada di tempatnya lagi. 

Rupanya putra Raja Abiyasa itu melarikan diri saat 

mengetahui jagonya sudah tidak mampu menandingi 

Pendekar Pulau Neraka. 

“Pengecut!” dengus Bayu geram. 

*** 

Raden Bantar Gading memacu kudanya bagai dikejar 

setan. Debu mengepul di udara diterjang kaki kuda putih 

itu. sedikitpun Raden Bantar Gading tidak memperlambat 

lari kudanya. Bahkan digebah semakin cepat begitu 

memasuki perbatasan kota. Beberapa orang yang melihat, 

hanya membungkuk dengan kepala mengeleng-geleng. 

Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana, buru-

buru membuka pintu ketika melihat Raden Bantar Gading 

memacu cepat kudanya ke arah istana. Kuda putih itu 

tidak mengendur larinya meskipun melewati pintu gerbang. 

Dua prajurit pengawal hanya mengelus-elus dada saja. 

“Hooop…!” 

Raden Bantar Gading langsung melompat turun setelah 

kudanya berhenti di depan tangga istana. Kakinya 

bergegas melangkah meniti anak tangga dari batu pualam. 

Para prajurit yang berada di sekitar situ, hanya bisa


memandang penuh tanda tanya di dalam hati. Raden 

Bantar Gading langsung masuk ke dalam Israna Gantar 

Angin. 

“Patih Luminta, di mana Ayahanda Prabu?” tanya Raden 

Bantar Gading, saat berpapasan dengan seorang laki-laki 

setengah baya. 

“Gusti Prabu sedang beristirahat, Raden,” jawab Patih 

Luminta. 

Raden Bantar Gading kembali melangkah cepat. 

“Raden…” Patih Luminta bergegas mengejar. 

“Aku harus bertemu Ayahanda sekarang juga!” bentak 

Raden Bantar Gading. 

“Tapi, Raden. Gusti Prabu sudah berpesan agar jangan 

diganggu,” kata Patih Luminta. 

Raden Bantar Gading tidak perduli, tan terus saja 

melangkah menuju sebuah kamar yang tertutup pintunya. 

Kamar itu memang tempat beritirahat pribadi ayahnya. 

Tidak ada seoerang pun boleh masuk tanpa seijinnya. Patih 

Luminta menghalangi langkah Raden Bantar Gading 

dengan membelakangi pintu. 

“Maaf, Raden. Ini perintah Gusti Prabu,” kata Patih 

Luminta. 

“Jangan menghalangiku, Patih. Minggir!” bentak Raden 

Bantar Gading. 

“Raden….” 

Raden Bantar Gading mencekal baju Patih Luminta dan 

mencampakkannya ke samping. Patih Luminta ter-

jerembab ke lantai. Sebentar Raden Bantar Gading 

menatap tajam laki-laki setengah baya itu, kemudian 

mendorong pintu yang tertutup. 

“Raden, jangan…!” seru Patih Luminta. 

Tapi Raden Bantar Gading telah lebih cepat membuka 

pintu kamar itu dan langsung menerobos masuk. Seketika 

matanya membeliak dan mulutnya menganga lebar. 

Jantungnya serasa berhenti berdetak saat mendapati 

ayahnya tengah bergumul di atas ranjang bersama seorang 

wanita.


Prabu Abiyasa teerkejut. Buru-buru disambar selimut 

untuk menutupi tubuhnya. Demikian juga dengan wanita 

itu, disambarnya kain seadanya untuk menutupi seluruh 

aurat yang terbuka lebar. 

“Lancang! Keluar kau!” bentak Prabu Abiyasa. 

Raden Bantar Gading tidak berkata apa-apa, tapi 

langsung berbalik dan melangkah keluar dari kamar itu. 

Patih Luminta bergegas menutup pintu kembali. Wajahnya 

nampak kebingungan melihat Raden Bantar Gading yang 

berlari cepat meninggalkan kamar pribadi Prabu Abiyasa. 

Patih Luminta bergegas mengejar putra mahkota itu. 

Sementara Raden Bantar Gading terus berlari menuju 

kaputren. Patih Luminta yang masih berusaha mengejra, 

menghentikan langkahnya. Tidak mungkin dia boleh masuk 

ke dalam kaputren. Tempat itu terlarang bagi seorang laki-

laki yang bukan keluarga Prabu Abiyasa. Seorang dayang 

yang akan keluar dari kaputren, hampir jatuh tertabrak 

Raden Bantar Gading. Dayang itu tertegun sejenak, lalu 

kembali melangkah keluar. Dia berpapasan dengan Patih 

Luminta. 

“Kenapa Raden Bantar Gading, Paman?” tanya dayang 

itu. 

“Tidak tahulah…” desah Patih Luminta menyahut. “Apa 

Gusti Permaisuri ada di dalam?” 

“Ada.” 

“Ya, Tuhan…” keluh Patih Luminta. 

“Ada apa, Paman?” 

Patih Luminta tidak menjawab. Bergegas dia berbalik, 

lalu melangkah pergi. Sementara dayang itu hanya 

memandang dengan kening berkerut. Sebentar Patih 

Luminta menoleh ke beblakang, lalu mengangkat bahunya 

dan kembali melangkah pergi dari lorong pintu kaputren. 

*** 

Raden Bantar Gading tertegun meihat ibunya tengah 

duduk dikelilingi tujuh orang dayang di taman kaputren.


Pemuda itu ingin berbalik, tapi ibunya sudah keburu 

melihat dan memanggil. Raden Bantar Gading melangkah 

menghampiri. Kemurungan di wajahnya sulit untuk 

disembunyikan. 

Permaisuri Pramita Wardani memandangi wajah 

anaknya yang kelihatan murung. Tangannya menggapai 

lembut dan menggamit jari-jari tangan pemuda itu, lalu 

membawanya duduk di sampingnya. Raden Bantar Gading 

tidak tahu harus berkata apa lagi. Semula dia ingin 

mengatakan adegan yang disaksikan di kamar per-

istirahatan pribadi ayahnya. Tapi, saat melihat keanggunan 

dan senyum ibunya, hatinya langsung luluh. Rasanya tidak 

sanggup untuk menghancurkan hati wanita yang lembut 

dan anggun ini. 

“Ada apa, Anakku? Kau kelihatan murung sekali,” 

lembut suara Permaisuri Pramita Wardani. 

“Tidak apa-apa, Bunda. Nanda hanya ingin bertemu 

saja,” jawab Raden Bantar Gading pelan. Disembunyi-

kannya suara hatinya dalam-dalam. 

Hatinya mendadak menjerit, mendengar kelembutan 

suara ibunya. Permaisuri Pramita Wardani tersenyum 

manis. Tangannya mengusap-usap rambut anaknya. Dia 

mengerti kalau Raden Bantar Gading ingin mengatakan 

sesuatu, tapi sangat berat untuk diucapkan. Sudah bisa 

ditebak penyebab kemurungan putranya itu. 

“Kau datang tergesa-gesa, dengan wajah murung. 

Bunda tahu, ada yang ingin kau katakan…” kata Permaisuri 

Pramita Wardani, tetap lembut suaranya. 

“Tidak, Bunda,” jawab Raden Bantar Gading tertahan 

suaranya. 

“Katakanlah,” desak ibunya. 

“Bunda…” suara Raden Bantar Gading tercekat di teng-

gorokan. Sungguh mati, dia tidak sangup menghancurkan 

perasaan wanita yang dikasihinya. Apalagi seorang wanita 

yang telah mengandung dan melahirkan-nya. 

Permaisuri Pramita Wardani begitu lembut, dan suci 

hatinya. Bagaimanapun kasar dan keras hati seseorang,


pasti tidak akan tega untuk menyakitinya. Raden Bantar 

Gading menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian 

bangkit berdiri dan melangkah cepat meninggalkan 

kaputren. Permaisuri Pramita Wardani bergegas bangkit, 

tapi tidak mengejar. Hanya matanya saja yang memandang 

kepergian puteranya. 

Tarikan napasnya berat ketika punggung Raden Bantar 

Gading tidak terlihat lagi. Pada saat yang sama. Raden 

Sangga Alam berlari-lari dengan tangan membawa seekor 

burung kenari. Dia tertegun mendapatkan Permaisuri 

Pramita Wardani tengah berdiri termenung memandang 

pintu luar kaputren. 

“Bunda…” pelan suara Raden Sangga Alam. 

“Oh…!” Permaisuri Pramita Wardani terkejut. 

“Maaf. Nanda mengagetkan Bunda,” kata Raden 

Sangga Alam. 

“Oh, tidak. Mana? Kau dapat burung itu?” 

“Ini, Bunda. Nanda dapatkan di tembok batas kaputren,” 

Raden Sangga Alam menyerahkan burung kenari itu. 

“Dayang! Masukkan burung ini ke dalam sangkar,” 

perintah Permaisuri Pramita Wardani begitu menerima 

burung yang kecil namun bersuara merdu itu. 

Seorang dayang muda menerima burung itu, dan 

membawanya ke dalam sangkar burung kosong berukuran 

besar. Burung kenari itu langsung berkicau setelah berada 

di dalam sangkar. Tampaknya memang senang berada di 

dalam sangkar. Dia berlompatan dari ranting yang satu ke 

ranting yang lainnya sambil memperdengarkan kicauan 

merdu. 

Permaisuri Pramita Wardani tersenyum melihat 

keceriaan burung kecil itu. Sedangkan Raden Sangga Alam 

mengerutkan keningnya sedikit. Bisa dirasakan kalau 

senyum wanita cantik dan anggun itu amat dipaksakan. 

Jelas sekali, bibir yang tersenyum itu sedikit bergetar. 

“Bunda…” pelan suara Raden Sangga Alam. 

Permaisuri Pramita Wardani menoleh. 

“Tadi Nanda lihat, Kakang Bantar Gading ada di sini…”


kata Raden Sangga Alam terputus. 

“Dia hanya ingin melihat Bunda, Anakku,” sahut 

Permaisuri Pramita Wardani. 

“Tapi, tampaknya tergesa-gesa…?” 

“Hhh…!” Permaisuri Pramita Wardani menarik napas 

panjang dan kembali duduk di kursi taman kaputren. 

Raden Sangga Alam duduk di depan wanita cantik nan 

anggun itu. Dia tidak yakin kalau Raden Bantar Gading 

hanya ingin bertemu saja. Sikapnya yang tergesa-gesa 

membuatnya bertanya-tanya. Dipandanginya wajah 

Permaisuri Pramita Wardani dalam-dalam. 

“Mengapa memandangku seperti itu, Anakku?” tegur 

Permaisuri Pramita Wardani. 

“Bunda begitu anggun di mata Nanda. Tak ada seorang 

pun yang boleh menyakiti Bunda,” ujar Raden Sangga 

Alam, agak tertekan suaranya. 

Permaisuri Pramita Wardani memandangi dayang-

dayang yang duduk bersimpuh di sekitarnya. Tanpa 

diperintah, mereka segera memberi hormat, lalu bangkit 

dan pergi meninggalkan tempat itu. 

“Kandamu tidak mengatakan apa-apa terhadap Bunda, 

Anakku. Tapi Bunda yakin ada sesuatu yang ingin 

dikatakannya,” kata Permaisuri Pramita Wardani pelan. 

“Tentang Ayahanda?” tebak Raden Sangga Alam 

langsung. 

“Ah, sudahlah! Dia sudah dewasa dan bisa mengurusi 

dirinya sendiri.” 

Raden Sangga Alam mengangkat bahunya. Dia memang 

tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang. Walapun dia 

tahu Raden Bantar Gading suka main perempuan, 

ditambah lagi Ayahnya juga punya kegemaran yang sama, 

tapi jika melihat Permaisuri Pramita Wardani, hatinya jadi 

terenyuh. 

“Bunda seharusnya bertindak. Ayahanda itu sudah 

banyak mempunyai selir. Kalau hal ini tetap berlanjut, 

wibawanya bisa jatuh. Bukannya mustahil para pembesar 

kerajaan akan membelot jika Ayahanda Prabu tidak


memberikan contoh yang baik,” jelas Raden Sangga Alam. 

“Apa yang bisa Bunda lakukan, Anakku?” suara 

Permaisuri Pramita Wardani terdengar pasrah. 

“Bicara.” 

“Tidak ada gunanya. Kanda Prabu sangat berkuasa. 

Tidak ada seorangpun yang bisa menentang segala kata 

dan perbuatannya. Kau ingin Bunda bernasib sama dengan 

mendiang ibumu? Tidak, Anakku. Bunda tidak ingin 

meninggalkanmu bersama serigala-serigala itu. Selama 

aku masih hidup, tidak ada yang bisa mencelakakanmu,” 

halus, tapi terdengar tegas kata-katanya. 

“Maafkan Nanda, Bunda. Bukan maksud Nanda ingin 

menggurui. Tapi Nanda tidak bisa terus menerus melihat 

Bunda begini. Nanda hanya ingin melihat Bunda tersenyum 

bahagia,” kata Raden Sangga Alam. 

“Bunda sudah bahagia, Anakku. Bunda selalu tersenyum 

bila bersamamu. Hanya kau yang bisa membuat Bunda 

bahagia, Anakku.” 

“Hhh….kalau saja Gusti Ratu Kunti Boga tidak 

tergulingkan…” desah Raden Sangga Alam bergumam lirih. 

 “Untuk apa kau berkata demikian?” tegur Permaisuri 

Pramita Wardani. 

“Bunda! Apakah keadaan ini bisa berubah jika Gusti 

Ratu Kunti Boga keluar dari kamar tahanan bawah tanah?” 

tanya Raden Sangga Alam. 

“Entahlah…” desah Permaisuri Pramita Wardani. 

“Kerajaan Gantar Angin bakal runtuh kalau keadaannya 

seperti ini terus.” 

“Sudahlah, Anakku. Kau tidak perlu memikirkan 

kerajaan. Aku tak mau kehilanganmu. Penderitaanku 

sudah cukup, dan tidak ingin menambahnya lagi. Kau 

mengerti maksud Bunda, Anakku?” 

Raden Sangga Alam mengangguk pelan. 

“Pergilah istirahat. Kau pasti lelah.” 

Raden Sangga Alam membungkuk memberi hormat, lalu 

melangkah pergi meninggalkan kaputren. Sementara 

Permaisuri Pramita Wardani tetap duduk sendiri di taman


kaputren. Dayang-dayang kembali menghampirinya setelah 

Raden Sangga Alam lenyap di balik dinding taman 

kaputren. 

*** 

Raden Bantar Gading melampiaskan kemarahannya 

pada para pekerja di Bukit Batu. Tidak kurang dari sepuluh 

orang pekerja, tewas terbabat pedangnya. Bahkan para 

prajurit yang mencoba untuk meredakan amarahnya, tidak 

luput dari amukan. Tiga orang prajurit luka parah. Raden 

Bantar Gading benar-benar marah, kecewa dan sakit hati 

melihat ayahnya bergumul dengan perempuan lain. 

Dia tidak akan ambil peduli jika Ayahandanya bergumul 

bersama selir. Tapi yang dilihatnya bukan selir, melainkan 

seorang perempuan yang juga pernah tidur bersamanya. 

Kemarahannya semakin memuncak ketika mendengar 

semua percakapan ibunya dengan Raden Sangga Alam. 

Dia memang sengaja menyelinap kembali ke kaputren 

begitu melihat Raden Sangga Alam datang ke taman itu. 

Hatinya benar-benar terluka melihat kepasrahan ibunya 

terhadap tindakan suaminya yang sering bermain cinta 

dengan wanita lain. Meskipun dia sendiri juga gemar 

dengan wanita-wanita cantik, tapi sulit rasanya untuk 

menyakiti wanita agung dan suci seperti ibunya. 

“Raden…!” 

Raden Bantar Gading menoleh. Pedangnya yang sudah 

terangkat tinggi dan siap untuk dibabatkan ke leher salah 

seorang pekerja, berhenti di atas kepalanya. Kedua bola 

matanya berbinar merah melihat Patih Luminta sudah 

berada tidak jauh dari situ. 

“Hentikan, Raden. Tidak ada gunanya membantai 

mereka. Hentikan, Raden,” pinta Patih Luminta seraya 

melangkah pelan-pelan mendekati. 

Raden Bantar Gading membalikkan tubuhnya. 

Pedangnya menyilang di depan dada. Kedua bola matanya 

tetap merah menyala menatap tajam Patih Luminta.


“Jangan coba-coba membujukku, Paman Patih!” dengus 

Raden Bantar Gading. 

“Percayalah, Raden. Semua akan beres tanpa harus 

mengumbar nafsu amarah. Kita bisa bicarakan hal ini baik-

baik,” kata Patih Luminta tetap membujuk. 

“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Paman Patih!” 

“Raden…” 

“Pergi! Atau pedangku yang akan mengusirmu!” bentak 

Raden Bantar Gading. 

Patih Luminta berusaha membujuk, dan semakin dekat 

dengan pemuda itu. Raden Bantar Gading menunjuk dada 

laki-laki setengah baya dengan ujung pedangnya. 

“”Selangkah lagi kau mendekat, pedang ini akan 

mengoyak jantungmu!” ancam Raden Bantar Gading. 

Patih Luminta berhenti melangkah. Dipandanginya 

orang-orang yang berada di sekitarnya. Juga para prajurit 

yang mulai berjaga-jaga. Laki-laki setengah baya itu 

mengegoskan kepalanya sedikit. Dan prajurit-prajurit itu 

segera memerintahkan para pekerja untuk menyingkir. 

Tidak lama, terdengar derap langkah kaki-kaki kuda 

mendekati Puncak Bukit Batu. Raden Bantar Gading 

menoleh. Patih Luminta juga mengarahkan pandangannya 

ke lereng bukit. Tampak serombongan prajurit berkuda 

mengawal Prabu Abiyasa. Delapan orang jago bayaran dari 

tanah seberang juga ikut bersama rombongan itu. 

Prabu Abiyasa mengangkat tangannya ke atas. Para 

prajurit pengawal dan delapan orang jago dari seberang 

menghentikan lari kudanya. Prabu Abiyasa segera 

melompat dari punggung kuda hitam itu. Dua orang jago 

bayaran mengikutinya. Mereka berdiri di samping kanan 

dan kiri Prabu Abiyasa. 

“Bantar Gading! Apa yang kau lakukan di sini, heh?” 

bentak Prabu Abiyasa. 

Prabu Abiyasa merayapi beberapa orang yang tergeletak 

tak bernyawa lagi. Bahkan tiga orang prajurit tengah 

mengerang dengan tubuh bersimbah darah. Tatapan 

matanya tajam menusuk ke bola mata Raden Bantar


Gading. Dia melangkah mendekat, tapi Raden Bantar 

Gading mengarahkan ujung pedangnya pada Raja Abiyasa 

itu. 

“Jangan mendekat! Kau bukan ayahku!” bentak Raden 

Bantar Gading. 

“Patih…!” Prabu Abiyasa membentak keras, tanpa 

menghiraukan ucapan Raden Bantar Gading. 

“Hamba, Gusti Prabu…” Patih Luminta mendekat seraya 

membungkukkan badannya. 

“Apa yang kau lakukan terhadap anakku?” tanya Prabu 

Abiyasa berang. 

“Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak melakukan apa-apa. 

Hamba juga tidak tahu, mengapa Raden Bantar Gading 

mengamuk dan membantai para pekerja,” sahut Patih 

Luminta bergetar suaranya. 

Prabu Abiyasa mengalihkan pandangannya ke arah 

Raden Bantar Gading. Sedangkan pemuda itu hanya 

membalas dengan tatapan dingin, penuh rasa kebencian. 

Agak bergetar juga hati Prabu Abiyasa melihat tatapan itu. 

“Ijinkan hamba untuk meredakan amarahnya, Gusti 

Prabu.” Kata Patih Luminta. 

Prabu Abiyasa tidak menjawab. Dia berbalik, lalu 

melompat ke punggung kudanya. Sebentar dia menatap 

Patih Luminta, kemudian beralih pada Raden Bantar 

Gading. 

“Kalian berdua jaga di sini!” perintah Prabu Abiyasa 

menunjuk dua orang jago dari seberang. 

Tatapannya kembali mengarahkan pada Patih Luminta. 

“Bawa dia ke istana. Aku tidak perduli dengan caramu!” 

“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Patih Luminta. 

Prabu Abiyasa memutar kudanya, lalu menggebahnya 

meninggalkan Bukit Batu. Patih Luminta berbalik 

memandang Raden Bantar Gading. Pemuda itu masih 

menghunus pedangnya di depan dada. Tatapan matanya 

tetap tajam menusuk. Sementara dua jago dari sebrang 

melangkah mendekati Patih Luminta. 

“Sarungkan kembali peedangmu, Raden. Hamba


bersedia mendengar semua keluhan Raden,” bujuk Patih 

Luminta lagi. 

Trek! 

Raden Bantar Gading menyarungkan pedangnya. Raut 

wajahnya masih merah meyimpan amarah. Dia berbalik 

dan melangkah tanpa bicara sedikitpun. Patih Luminta 

bergegas mengikuti dari belakang. Sempat diperintahkan 

pada para prajurit untuk kembali menyuruh orang-orang 

bekerja. 

“Raden…!” panggil Patih Luminta terus melangkah cepat 

membuntuti. 

Raden Bantar Gading tidak menyahut. Dia terus saja 

melangkah menghampiri kudanya, kemudian melompat 

naik ke atasnya. Seklai gebah saja, kuda putih itu berlari 

cepat membelah angin. Patih Luminta langsung melompat 

ke punggung kudanya, dan menggebah mengikuti Raden 

Bantar Gading. Sementara para pekerja kembali bekerja 

memecah batu. Para prajurit juga kembali mengawasi. 

Beberapa orang mengurus mayat yang bergelimpangan 

terkena amukan Raden Bantar Gading. Tidak ada 

seorangpun yang menyadari kalau semua kejadian di situ 

disaksikan beberapa pasang mata dari tempat yang cukup 

tersembunyi. 

***


Empat orang yang mengintai dari tempat cukup 

tersembunyi itu adalah Ki Maruta, Mayang, dan dua orang 

pemuda yang menyandang pedang di pinggangnya. Mereka 

mendengar semua pembicaraan dan mengetahui kejadian 

yang berlangsung di Bukit Batu. Ki Marutamemandang 

Mayang yang sejak tadi tidak berkata sedikitpun. 

“Bagaimana kau bisa mempengaruhi Raden Bantar 

Gading, Mayang?” tanya Ki Maruta. 

Mayang menarik nafas panjang, dan hanya menoleh 

pada laki-laki tua di sampingnya. Tanpa menjawab 

pertanyaan itu, Mayang bangkit dan melangkah pergi. Ki 

Marutaberpesan pada dua pemuda tadi agat tetap 

mengawasi Bukit Batu. Bergegas diikutinya wanita cantik 

berbaju merah itu. 

Mayang menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon 

cemara yang cukup besar. Ki Maruta berdiri di depannya. 

Matanya merayapi wajah wanita yang berniat bergabung 

bersamanya. 

“Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaanmu,” 

kata Ki Maruta. 

“Tidak apa,” sahut Mayang mendesah. 

“Seharusnya aku memang tidak berkata begitu,” 

Mayang melemparkan senyumnya. 

“Tidak kusangka kalau Raden Bantar Gading ter-

pengaruh oleh kata-kataku. Tapi entah kenapa, aku tidak 

bisa melakukannya. Hhh…!” Mayang menarik nafas 

panjang. Dia teringat saat-saat manis bersama Raden 

Bantar Gading. 

Masa-masa yang tidak pernah terlupakan. Saat itu 

hatinya selalu berperang antara cinta dan tugas yang 

diberikan seorang laki-laki misterius yang selalu dipanggil-

nya Eyang. Sampai saat ini pun dia tidak tahu maksud laki


laki berjubah hitam itu. Dia mencintai Raden Bantar 

Gading, tapi perintah laki-laki berjubah hitam itu selalu ter-

ngiang di telinganya. 

Sejak kecil dia dijejali dengan cerita tentang keluarga 

Ratu Kunti Boga. Dan laki-laki berjubah hitam itu selalu 

mengatakan kalau dirinya adalah puteri Ratu Kunti Boga. 

Ayahnya terbunuh. Bahkan banyak saudaranya ikut 

terbunuh atau ditawan di dalam kamar tahanan bawah 

tanah. Semua itu dilakukan Prabu Abiyasa. Yang paling 

meyedihkan, kakak laki-lakinya tewas di tangan Raden 

Bantar Gading di dalam penjara. Semua cerita itu diperoleh 

Mayang dari laki-laki misterius berjubah hitam. Mayang 

memang sempat terpengaruh, lalu membenci Raden 

Bantar Gading. Tapi semuanya jadi pupus ketika seorang 

pendekar muda datang membeberkan apa adanya. 

Tentang laki-laki misterius berjubah hitam yang sebenar-

nya, sampai saat ini Mayang masih belum mengerti. Untuk 

apa Panglima Nampi menyamar sebagai seorang 

misterius? Mengapa dia mengajarkan ilmu olah kanuragan 

dan menjejalinya dengan cerita-cerita yang membuatnya 

seperti orang lain, bukan dirinya sendiri? 

“Mayang…” 

“Oh!” Mayang tersentak dari lamunannya. 

“Kau melamun?” tegur Ki Maruta. 

“Oh….ehm….” Mayang jadi tergagap. 

“Aku berterima kasih karena kau telah berhasil 

memecah-belah keluarga Prabu Abiyasa. Siapapun adanya 

kau, aku berterima kasih sekali. Keadaan ini bisa 

melemahkan pertahanan mereka. Sekarang, tugasku 

adalah menghasut para prajurit yang masih setia kepada 

Gusti Ratu Kunti Boga atau para pembesar yang kini masih 

berada di lingkungan istana,” ujar Ki Maruta. 

Mayang hanya diam saja. Dia tidak tahu, apakah saat ini 

harus gembira, atau harus sedih melihat Raden Bantar 

Gading terguncang jiwanya. Padahal semua yang dikata-

kannya hanya rekaan saja. Tidak ada kebenarannya sama 

sekali. Tapi dia sendiri tidak tahu, kejadiannya yang se


sungguhnya, sehingga Raden Bantar Gading bisa demikian 

murkanya. Bahkan tidak mau mengakui ayahnya lagi! 

“Tidak lama lagi, tahta Prabu Abiyasa akan runtuh. 

Dengan demikian kau bisa mengetahui dirimu yang 

sebenarnya setelah kami dapat menyelamatkan Gusti Ratu 

Kunti Boga dan Panglima Nampi,” jelas Ki Maruta lagi. 

“Terima kasih, Ki,” hanya itu yang bisa diucapkan 

Mayang. 

Saat ini dia tidak lagi peduli tentang dirinya yang 

sebenarnya. Putri Ratu Kunti Boga atau bukan, masa 

bodoh! Yang jelas, tekadnya adalah meninggalkan Gantar 

Angin setelah semua kemelut ini berakhir. Dia ingin 

menjadi dirinya sendiri. Tidak akan terpengaruh pada 

omongan orang lain lagi. 

“Ayo, kita kembali ke Hutan Danaraja. Tidak mungkin 

kita membebaskan rakyat yang dipaksa bekerja di sana 

sekarang ini. Kita cari kesempatan lain lagi,” kata Ki 

Maruta. 

Mayang hanya mengangguk saja, kemudian kakinya 

terayun meninggalkan tempat itu. Ki Maruta bergegas 

kembali menemui dua orang pemuda yang bertugas meng-

amati keadaan di sekitar Bukit Batu. Dia ingin mengajak 

dua orang pemuda itu untuk kembali ke Hutan Danaraja, 

tempat mereka berkumpul menyusun kekuatan untuk 

menggulingkan tahta Prabu Abiyasa. 

Saat itu, matahari sudah condong ke barat. Dan rakyat 

yang bekerja paksa memecah batu di Bukit Batu mulai ber-

benah diri untuk kembali ke barak. Sementara sebagian 

prajurit juga sudah kembali ke tenda masing-masing. Tak 

terlihat wajah ceria di antara sekian banyak orang itu. 

Bahkan para prajurit pun tidak menampakkan wajah yang 

menyenangkan. Mungkin mereka jenuh, karena seharian 

hanya berdiam diri tanpa melakukan sesuatu di atas bukit 

yang gersang dan panas ini. 

***

Susah payah Patih Luminta membujuk, dan pada akhir-

nya Raden Bantar Gading bersedira kembali ke istana. Tapi 

Raden Bantar Gading tetap tidak ingin bertemu ayahnya, 

meskpun ibunya sendiri ikut membujuk. Masih terngiang 

kata-kata Mayang padanya. Semula hal itu hanya dianggap 

sebuah lelucon yang tidak lucu. Tapi setelah melihat 

dengan mata kepala sendiri, hatinya kontan berontak. 

“Aku mengatakan yang sebenarnya, Raden. Aku ter-

paksa melakukan karena Prabu Abiyasa mengancam. Dia 

tidak mengijinkan hubungan kita kalau aku tidak bersedia 

melayaninya,” cerita Mayang waktu itu. 

“Tidak mungkin, Mayang. Aku tahu betul, tidak mungkin 

Ayahanda akan melakukan seperti yang kau ceritakan. 

Selirnya banyak dan cantik-cantik.” Bantah Raden Bantar 

Gading. 

“Itu hakmu untuk tidak percaya, Raden. Tapi aku paham 

benar dengan watak ayahmu. Bahkan aku tahu siapa kau 

sebenarnya. Kau bukan putra Prabu Abiyasa! Putra yang 

sebenarnya adalah Raden Sangga Alam. Kau hanya anak 

angkat, Raden.” 

“Hhh! Hebat sekali olok-olokmu, Mayang.” 

“Kau boleh percaya atau tidak. Terserah. Kalau bukan 

ayahmu sendiri yang cerita padaku, mana aku percaya? 

Katanya kau bukan anaknya, oleh sebab itu aku tidak 

pantas untukmu! Kau bukan pewaris tahta Kerajaan 

Gantar Angin.” 

“Ah, sudahlah, Mayang. Tidak lama lagi kau akan 

meduduki tahta, dan kau akan menjadi permaisuriku. 

Sudahlah! Hentikan olok-olokmu,” Raden Bantar Gading 

tidak percaya. 

“Kalau ternyata benar…?” 

Raden Bantar Gading hanya tertawa saja. Hal itu hanya 

dianggap sebuah lelucon yang tidk lucu. Tapi kini kata-kata 

itu kembali terngiang. Padahal dia telah melupakannya. 

Raden Bantar Gading menutup muka dengan kedua 

tangannya. 

“Mayang….” Rintihnya lirih. “Maafkan aku, Mayang. Aku


terlalu kasar dan terlalu menganggapmu rendah. Kau 

benar, Mayang. Aku, Ayahku, lebih kotor dari padamu. 

Oh….” Rintih Raden Bantar Gading. 

Raden Bantar Gading menengadahkan kepalanya. 

Tampak kedua matanya berkaca-kaca. Disesali segala 

tindak-tanduknya terhadap wanita yang selama ini telah 

mengisi hidupnya. Wanita yang selalu memperhatikan 

dengan curahan kasih dan cinta yang murni. Raden Bantar 

Gading mengutuki dirinya sendiri. 

Penyesalan memang datangnya selalu belakangan. 

Selama ini Raden Bantar Gading selalu menganggap 

dirinya mulia dan paling tinggi derajatnya, sehingga bisa 

melakukan apa saja sekehendak hati. Setiap kata yang 

terucap merupakan perintah yang harus ditaati. Segala 

keinginannya harus dituruti. Siapa saja yang berani mem-

bangkang, pedangnya selalu bicara. Tidak terhitung lagi, 

berapa nyawa melayang di tangannya. Berapa gadis yang 

menjadi korban nafsunya. Tapi dari sekian banyak wanita 

yang pernah dekat dengannya, hanya Mayang yang men-

jadi perhatiannya. Dan Raden Bantar Gading pun menaruh 

simpati pada wanita itu. Hanya karena keangkuhannya 

sehingga dia tidak mengakui secara jujur. 

“O, Tuhan…..ampunlah segala dosaku,” kembali Raden 

Bantar Gading mengaluh lirih. 

Raden Bantar Gading menoleh ketika telinganya men-

dengar langkah kaki menghampiri. Kembali dipalingkan 

mukanya begitu melihat Raden Sangga Alam menghampiri. 

Sebentar ditarik napas panjang dan dalam. Dengan 

punggung tangan, dihapus air bening yang mengalir dari 

sudut matanya. Tak terasa dia telah menangis menyesali 

segala perbuatannya. 

“Boleh aku bicara padamu, Kakang?” lembut suara 

Raden Sangga Alam. 

Raden Bantar Gading tidak menjawab dan hanya 

menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-

kuat. Jarang sekali mereka berdua saling bicara. Raden 

Bantar Gading tidak berpaling sedikitpun. Hatinya merasa



malu berhadapan dengan pemuda yang selalu disisihkan 

dan direndahkannya selama ini. 

“Sudah tiga hari ini Kakang tidak mau keluar. Bahkan 

tidak bersedia bertemu dengan seorangpun. Apa sebenar-

nya yang terjadi padamu, Kakang?” tanya Raden Sangga 

Alam tetap lembut suaranya. 

“Pergilah….” Desah Raden Bantar Gading. 

“Kakang juga tidak bersedia bicara denganku?” 

Lagi-lagi Raden Bantar Gading menarik napas panjang. 

“Aku datang bukan untuk membujukmu, Kakang. Sama 

sekali tidak ada niatan di hatiku. Rasanya sudah lama kita 

tidak saling bicara. Bagaimanapun juga, kita bersaudara 

satu Ayah. Saat ini kau sedang mengalami kesusahan, aku 

juga turut merasakan kesusahanmu, Kakang,” tetap 

lembut suara Raden Sangga Alam. 

“Ah…” desah Raden Bantar Gading. 

Kata-kata adik tirinya membuatnya semakin terenyuh. 

Tanpa berkata apa-apa lagi, Raden Bantar Gading bangkit 

berdiri dan melangkah meninggalkan taman itu. Raden 

Sangga Alam hanya dapat memandang kosong. Hatinya 

penuh berbagai macam perasaan yang sulit diungkapkan. 

*** 

Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Raden Bantar 

Gading telah memacu kudanya keluar dari Istana Gantar 

Angin. Keputusannya mantap untuk meninggalkan segala 

yang dimiliki dan dinikmati. Tekadnya bulat. Dia harus 

menemukan kembali wanita yang selama ini telah mengisi 

hari-harinya. Wanita yang begitu memperhatikannya. 

“Raden….tunggu!” 

Raden Bantar Gading terkejut ketika mendengar suara 

panggilan dari belakang. Padahal dia baru saja melewati 

pintu gerbang istana. 

Terpaksa dihentikannya laju kudanya, dan menoleh. 

Tempak Patih Luminta memacu cepat kudanya. 

“Raden…. Raden akan ke mana?” tanya Patih Luminta.


“Pergi,” sahut Raden Bantar Gading singkat. Kembali 

dipacu kudanya dengan cepat. 

Patih Luminta mengikuti memacu kudanya di samping 

pemuda itu. Sebentar dia menoleh ke belakang. Tampak 

dua perajurit yang berdiri di samping pintu gerbang tengah 

memandanginya. Sementara Raden Bantar Gading terus 

memacu kudanya dengan kecepatan sedang tanpa 

menoleh sedikitpun. 

“Ke mana tujuan Raden?” tanya Patih Luminta. 

“Ke mana saja aku suka,” dingin jawaban Raden Bantar 

Gading. “Kenapa kau mengikutiku?” 

“Hamba akan menyertai perjalanan Raden,” sahut Patih 

Luminta.”Kembali saja ke istana, Paman. Tidak ada 

gunanya kau mengikutiku.” 

“Ke mana pun Raden pergi, hamba tetap akan 

mengikuti. Hamba tidak peduli seandainya Gusti Prabu 

murka. Hamba siap menyabung nyawa demi Raden,” tegas 

kata-kata Patih Luminta. 

Raden Bantar Gading menghentikan laju kudanya. 

Tatapan matanya tajam, menembus langsung ke bola mata 

laki-laki setengah baya itu. 

“Sebaiknya Paman kembali saja. Prabu Abiyasa tidak 

akan tinggal diam. Aku tidak ingin Paman berkorban 

untukku,” kata Raden Bantar Gading pelan. Hatinya 

terharu dengan kesetiaan patih ini. 

“Hamba tidak peduli, meskipun Gusti Prabu mengerah-

kan jago-jago dari tanah seberang. Hamba tetap akan setia 

pada Raden,” tegas jawaban Patih Luminta. 

“Selama ini banyak orang yang mengepalkan tangan di 

belakangku. Sukar rasanya menerima kesetiaanmu, 

Paman. Aku bukan orang yang pantas diberi kemuliaan 

setinggi itu,” lirih suara Raden Bantar Gading. 

“Raden terlalu berperasangka terhadap orang lain. 

Masih banyak orang yang setia dan menyukai Raden. 

Hanya mereka yang tidak tahu saja yang membenci 

Raden.” Kata-kata Patih Luminta bernada menghibur. 

Raden Bantar Gading hanya tersenyum saja, dan


kembali melajukan kudanya. Patih Luminta juga mengikuti 

dan mensejajarkan langkah kudanya di samping Raden 

Bantar Gading. Sementara matahari mulai mengintip dari 

balik Bukit Cemara. Cahayanya yang merah jingga begitu 

lembut menyapa datangnya fajar. Burung-burung telah 

sejak tadi meninggalkan sarangnya. 

Raden Bantar Gading terus menjalankan kudanya tanpa 

arah tujuan pasti. Diikuti ke mana langkah kaki kuda 

menapak. Sementara jalan yang dilalui mulai menyempit. 

Rumah-rumah mulai jarang terlihat. Sepanjang jalan yang 

dilalui hanya pohon dan lebatnya semak belukar. 

“Raden, bukankah ini Hutan Danaraja…?” pelan suara 

Patih Luminta. 

Raden Bantar Gading kembali menghentikan kudanya. 

Baru disadarinya kalau sudah mencapai Hutan Danaraja, 

tempat bersarang pada pemberontak. Belum sempat 

menyadari lebih lanjut, mendadak sebuah anak panah 

melesat cepat bagai kilat ke arah Raden Bantar Gading. 

“Raden, awas….!” Seru Patih Luminta. 

“Hup, hiyaaa…!” 

Raden Bantar Gading melentingdari punggung kuda 

putihnya. Anak panah itu terus melesat lewat di bawah 

kakinya. Dan begitu kakinya menjejakkan ke tanah, 

sebatang tombak panjang menyambutnya. Raden Bantar 

Gading menarik tubuhnya ke samping. Dengan tangkas 

sekali tangannya menyambut tongkat itu. 

Tap! 

Tombak sepanjang dua kali tinggi manusia dewasa itu 

berhasil ditangkap dengan manis. Raden Bantar Gading 

memutar tombak itu dan melemparkannya ke arah 

datangnya tombak. Lemparan dengan pengerahan tenaga 

dalam mengakibatkan tombak meluncur deras. 

Srak! 

“Aaa…!” 

Terdengar satu jeritan melengking menyayat. Sesosok 

tubuh tersungkur keluar dari semak belukar. Tubuhnya ter-

hunjam tombak yang hampir mengenai Raden Bantar


Gading. Tidak berapa lama, dari balik gerumbul semak dan 

pepohonan bermunculan orang-orang bersenjata tombak, 

golok dan pedang. Daun-daun pepohonan tersibak, dan di 

atas dahan pohon sudah siap beberapa orang dan anak 

panah terpasang di busur. 

Raden Bantar Gading dan Patih Luminta baru menyadari 

kalau mereka sudah terkepung. Rasanya tidak mudah 

untuk dapat keluar dari kepungan yang amat rapat ini. 

Raden Bantar Gading memandang berkeliling. Tidak 

kurang dari lima puluh orang mengepung dengan senjata 

terhunus. Itu pun masih ditambah dua puluh lima orang 

yang telah siap dengan panah di tangan. 

“Tidak ada jalan lain untuk lolos, Raden.” Desah Patih 

Luminta berbisik. Dia sudah berada di samping Raden 

Bantar Gading. 

Belum sempat Raden Bantar Gading menjawab, dari 

arah depan muncul lima orang laki-laki dan seorang wanita 

berbaju merah muda. 

Raden Bantar Gading terbeliak melihat wanita cantik 

baju merah mdua itu. 

*** 

“Mayang….” Desis Raden Bantar Gading. 

“Kau sudah terkepung, Raden. Sekali bergerak, 

nyawamu bisa melayang!” terdengar suara dingin dan 

datar. 

Raden Bantar Gading memandang laki-laki tua yang 

berbicara tadi. Dia ingat betul, siapa laki-laki tua itu. dia 

adalah seorang pekerja yang hampir mati di tangannya, 

kalau saja Raden Sangga Alam tidak menolong. Siapa lagi 

kalau bukan Ki Maruta. 

“Masih ingat dalam ingatanku semua yang kau lakukan 

terhadap diriku dan seluruh keluargaku,” kata Ki Maruta, 

agak bergetar suaranya. 

“Masih ingat denganku, Raden?” seorang laki-laki yang 

tangannya buntung ikut bicara. 

Raden Bantar Gading mengalihkan pandangannya pada


laki-laki yang tangannya buntung sampai ke bahu. Usianya 

hampir sebaya dengannya. Dia ingat, laki-laki itu bernama 

Jalak Sewu. Tangannya buntung karena terbabat 

pedangnya, ketika Jalak Sewu menolak untuk bekerja di 

Bukit Batu. Jalak Sewu sebenarnya putra seorang 

pembesar istana yang setia kepada Ratu Kunti Boga. 

Seluruh keluarganya habis terbantai. Hanya dia yang masih 

selamat. 

Raden Bantar Gading juga kenal dengan tiga orang 

lainnya. Mereka dalah bekas panglima setia Ratu Kunti 

Boga. Dan Ki Maruta sendiri sebenarnya adalah bekas 

penasehat pribadi Ratu Kunti Boga yang sempat melarikan 

diri saat Prabu Abiyasa menyerbu dan menggulingkan tahta 

Kerajaan Gantar Angin. 

Pandangan mata Raden Bantar Gading beralih pada 

satu-satunya wanita yang berdiri di antara lima orang laki-

laki pemimpin pemberontak itu. Wanita yang amat 

dikenalnya, sekaligus mengisi hari-harinya selama ini. 

Wanita yang selalu dirindukan dalam beberapa hari 

belakangan ini. Mayang membalas tatapan mata pemuda 

itu dengan berbagai perasaan bergejolak di hatinya. 

“Aku tahu, kalian benci dan dendam padaku. Kalian 

selalu menginginkan kematianku. Nah! kesempatan sudah 

ada, ayo! Bunuh aku!” lantang suara Raden Bantar Gading. 

Semua orang yang ada di situ terperanjat ketika Raden 

Bantar Gading meloloskan pedang dan melemparkannya 

ke depan. Juga, melepaskan baju luarnya dan dicampak-

kan begitu saja. Tampak pada pinggangnya berbaris pisau 

kecil dan sebuah kantung dari perunggu. Semua senjata 

yang melekat di tubuh Raden Bantar Gading dilepaskannya 

sendiri. 

“Raden….!” Patih Luminta terkejut melihat Raden Bantar 

Gading tampak pasrah. 

“Paman! Kembalilah ke istana dan katakan pada Prabu 

Abiyasa agar menyerahkan tahta pada Ratu Kunti Boga,” 

ujar Raden Bantar Gading. 

“Raden…” suara Patih Luminta tercekat di tenggorokan.


“Dosa-dosaku sudah terlalu banyak, Paman. Mungkin 

dengan cara ini sebagian dosaku bisa tertebus,” kata 

Raden Bantar Gading. 

“Kau akan mati dicincang mereka, Raden.” 

Raden Bantar Gading tersenyum dan mendorong tubuh 

Patih Luminta ke samping. Dengan langkah tegap, dia 

berjalan ke depan. Raden Bantar Gading berdiri tegak 

dengan dada telanjang. Kedua tangannya merentang ke 

samping. Sikapnya begitu pasrah. 

“Tunggu…!” sentak Mayang ketika Ki Maruta memberi 

aba-aba pada pasukan panah. 

Mayang langsung melompat ke depan, dan berdiri tegak 

di depan Raden Bantar Gading. Ki Maruta menghentakkan 

tangannya, maka pasukan panah mengurungkan niatnya 

untuk membidik. Mayang menghampiri pemuda tampan 

yang sudah pasrah menjemput maut itu. 

“Raden, mengapa ini kau lakukan?” tanya Mayang. 

Suaranya bergetar agak tertahan. 

“Minggirlah, Mayang. Mereka menginginkan nyawaku. 

Kau pun juga ingin melihat kematianku, bukan? Minggirlah, 

tidak ada gunanya kau menyelamatkan diriku,” kata Raden 

Bantar Gading tegas. 

“Tidak! Ku tidak boleh mati!” sentak Mayang histeris. 

“Mayang…!” seru Ki Maruta. 

Mayang membalikkan tubuhnya. 

“Jika kalian ingin membunuhnya, bunuh aku sekalian!” 

lantang suara Mayang. 

“Kau gila, Mayang!” desis Ki Maruta. 

“Sudah kukatakan pada kalian, Raden Bantar Gading 

tidak jahat! Semua yang dilakukannya hanya karena 

tekanan dari Prabu Abiyasa!” kata Mayang lantang. 

“Omong kosong! Kau jangan coba-coba membelanya, 

Mayang! Minggirlah!” desis Ki Maruta. 

“Mereka benar, Mayang. Pergilah! Tidak ada gunanya 

kau melindungiku,” pinta Raden Bantar Gading pelan. 

“Tidak! Kau tidak boleh mati! Katakan pada mereka 

kalau kau melakukan semua itu karena terpaksa! Kau



takut kehilangan tahta. Katakan pada mereka, Raden. 

Katakan…!” seru Mayang keras. 

“Tidak ada gunanya lagi, Mayang. Semuanya sudah 

berakhir.” 

“Raden….kau….” Mayang menatap wajah ebg lekat-

lekat. 

Belum penah Mayang melihat Raden Bantar Gading 

seperti ini. Pasrah dan lemah tanpa daya. Seolah-olah dia 

tidak lagi melihat sosok Raden Bantar Gading yang keras, 

garang, tegas dan tidak mengenal rasa takut. Sosok yang 

tidak penah menyerah dengan segala yang terjadi. Tapi 

sekarang….. rasanya Mayang tidak melihat Raden Bantar 

Gading seperti yang penah dikenal, dicintai dan dirindukan-

nya, meskipun ada sedikit kebencian di dalam hatinya. 

Saat itu Ki Maruta sudah mengangkat tangannya tinggi-

tinggi. Dan dua puluh lima orang yang berada di atas 

pohon, segera siap dengan anak panah terbidik ke arah 

Raden Bantar Gading. Mereka tinggal menunggu perintah. 

Sementara Patih Luminta tidak bisa berbuat banyak. 

Matanya berkaca-kaca. Bibirnya pun juga bergetar, seolah-

olah ingin mengatakan sesuatu. 

***


“Raden….” Suara Mayang tersedak. 

“Mundurlah, Mayang. Jangan menangis! Aku mencintai-

mu,” ucap Raden Bantar Gading lembut. 

Jalak Sewu menghampiri Mayang dan mencekal tangan-

nya. Dibawanya Mayang menjauh dari tempat itu. Mayang 

ingin memberontak, tapi tak kuasa melakukannya. Mata-

nya mulai menitikkan air bening. Sedangkan Raden Bantar 

Gading hanya tersenyum tenang memandang wanita yang 

dicintainya itu. 

“Tidak…” desis Mayang lirih. 

Ki Maruta menghentakkan tangannya ke bawah. Pada 

saat itu pula dua puluh lima orang langsung melepaskan 

anak panahnya, dan meluncur keras ke arah tubuh Raden 

Bantar Gading yang sudah pasrah menerima hukuman itu. 

Raden Bantar Gading memejamkan matanya rapat-

rapat. Tepat pada saat ujung-ujung anak panah hampir 

menyentuh tubuhnya, sebuah bayangan berkelebat cepat 

menyambar tubuh Raden Bantar Gading. Dua puluh lima 

anak panah menghujam tanah tempat Raden Bantar 

Gading berdiri. 

“Pendekar Pulau Neraka…!” semua orang yang berada 

di Hutan Danaraja itu terkejut. 

Raden Bantar Gading membuka matanya. Dipandangi-

nya pemuda tampan berbaju kulit harimau di sampingnya. 

Dia seperti tidak percaya kalau dirinya masih hidup. 

Sementara pemuda tampan berbaju kulit harimau berdiri 

tegak, dan melangkah tegak ke depan. Matanya tajam 

merayapi sektiarnya. Dua puluh lima orang di atas pohon 

sudah kembali menyiapkan panah. 

Pemuda tampan berbaju kulit harimau yang memang 

adalah Bayu Hanggara itu menatap tajam pada Ki Maruta. 

Laki-laki tua itu sedikit bergidik menerima sorot mata tajam 

Pendekar Pulau Neraka.


“Aku melihat semua yang terjadi, dan aku mendengar 

semua percakapan kalian. Sungguh sangat disayangkan 

niat yang suci ternyata ternoda oleh perasaan sakit hati 

dan dendam,” dingin dan lugas kata-kata Bayu. 

“Kisanak! Kau sudah mengatakan tidak akan ikut 

campur. Sekarang mengapa kau mencampuri urusan 

kami?” lantang suara Ki Maruta. 

“Aku memang tidak akan mencampuri urusan kalian di 

Gantar Angin ini. Tapi aku tidak bisa diam melihat 

kekejaman di depan mataku,” sahut Bayu tegas. 

“Bukan kami yang kejam, tapi dia!” serobot Jalak Sewu 

geram. “Kau lihat tanganku buntung akibat perbuatannya!” 

“Sudah sepantasnya dia mati, Kisanak! Dia bukan lagi 

manusia, tapi binatang! Iblis…!” sambung Ki Maruta. 

“Kau terlalu berlebihan, Ki Maruta. Raden Bantar Gading 

masih punya perasaan. Dia berbuat kejam bukan karena 

dorongan hati atau kemauannya sendiri. Apa kalian semua 

tidak memperhatikan kata-kata Mayang? Apa kalian semua 

tidak bisa membedakan antara perbuatan kejam yang 

dilandasi kemauan hati dengan paksaan?” kata Bayu 

lantang. 

“Kisanak! Meskipun aku bukan orang rimba persilatan, 

tapi aku sering mendengar sepak terjangmu. Kau bicara 

seolah-olah sebagai dewa keadilan yang bijaksana. Apa 

kau tidak merasa tindakanmu melebihi manusia iblis?” 

kata Ki Maruta dingin. 

Merah padam wajah Bayu mendengar kata-kata yang 

dingin dan menyakitkan hati itu. Tapi dia berusaha untuk 

tidak cepat terpancing amarahnya. Kalau saja yang berkata 

tadi musuhnya, mungkin sudah sejak tadi dipecahkan 

kepalanya. 

“Kata-katamu sungguh menyakitkan, Ki Maruta,” Bayu 

menggeram menahan amarah. 

“Lebih menyakitkan lagi jika kau tidak segera menyingkir 

dari sini!” ancam Ki Maruta. 

“Aku memang kejam, Ki Maruta. Tapi aku masih punya 

hati dan perasaan. Tidak buta seperti kau!”


“Setan! Berani kau menghina Penasehat Pribadi Gusti 

Ratu Kunti Boga!” geram Ki Maruta. 

“Kau bukan lagi Penasehat Ratu, tapi orang sakit yang 

haus kekuasaan!” sinis kata-kata Bayu. 

“Beludak! Monyet buntung…! Kubunuh kau, keparat!” Ki 

Maruta tidak bisa lagi menahan marah. “Serang dia!” 

Dua puluh lima anak panah langsung muntah dengan 

cepat. Bayu Hanggara mendorong tubuh Raden Bantar 

Gading, dan dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. 

Cakra Maut berwarna keperakan meluncur dan berputar 

cepat menghancurkan anak-anak panah itu. Lesatan 

senjata aneh itu demikian cepat, sehingga dalam waktu 

sekejap dua puluh lima batang anak panah rontok sebelum 

mencapai sasaran. Bayu melipat tangannya di depan dada 

begitu senjatanya menempel di pergelangan tangan. 

“Mayang, bawa Raden Bantar Gading pergi dari sini,” 

kata Bayu tegas. 

“Kakang…” suara Mayang tercekat. 

“Aku akan menyusul. Cepat!” 

Mayang memunguti senjata dan baju Raden Bantar 

Gading yang berserakan di tanah. Kemudian dia meng-

gamit tangan Raden Bantar Gading. Patih Luminta segera 

menyiapkan kuda dan membawanya pada Raden Bantar 

Gading. 

“Serang! Jangan biarkan keparat itu lolos!” seru Ki 

Maruta lantang. 

Raden Bantar Gading yang sudah berada di atas 

punggung kudanya, lengsung menarik tangan Mayang. 

Begitu Mayang telah berada di punggung kuda bersama 

Raden Bantar Gading, dengan cepat kuda putih itu melesat 

pergi. Patih Luminta masih belum menggebah kuda 

meskipun sudah duduk di atas punggung kudanya. 

Lima puluh orang dengan senjata bermacam-macam, 

berlompatan mengejar Raden Bantar Gading. Sedangkan 

pasukan panah menghujaninya dengan anak panah. Bayu 

langsung melenting merontokkan semua anak panah itu. 

sementara sekitar delapan orang sudah menyerang Patih


Luminta. 

Pendekar Pulau Neraka berlompatan dari satu pohon ke 

pohon lain. Akibatnya tubuh-tubuh itupun melayang dan 

jatuh ke bawah. Mereka yang berada di atas pohon men-

jadi sasaran pertama Pendekar Pulau Neraka. 

Setelah tidak ada lagi orang di atas, pemuda berbaju 

kulit harimau itu cepat meluruk ke tanah ke arah Patih 

Luminta yang kini tengah sibuk melayani delapan orang 

pengeroyoknya. 

“Cepat pergi!” seru Bayu keras seraya menghantamkan 

pukulannya ke salah seorang yang hampir membabat leher 

Patih Luminta. 

“Hiya…! Hiya…!” 

Patih Luminta menggebah kudanya dengan cepat. Kuda 

berwarna coklat tua belang putih itu langsung melesat 

cepat. Tapi salah seorang sempat melemparkan tombak. 

Tak pelak lagi, tombak itu menembus punggung Patih 

Luminta. 

“Aaa…!” Patih Luminta menjerit kesakitan. 

Hampir saja tubuhnya ambruk ke tanah kalau saja Bayu 

tidak cepat melompat dan menyambarnya. Pendekar Pulau 

Neraka itu langsung duduk di atas punggung kuda, dan 

menggebahnya dengan cepat. 

Kuda itu terus berlari cepat. Para pemberontak yang 

dipimpin Ki Maruta berusaha mengejar sambil melempar-

kan tombak dan menghujani anak panah. Tapi kuda 

tunggangan Patih Luminta berlari bagaikan lesatan kilat. 

Semua senjata yang dilemparkan tidak mencapai 

sasaran. Ki Maruta memaki-maki dan mengumpat geram. 

Kesempatan emas untuk membunuh Raden Bantar Gading 

menjadi kacau dengan munculnya Pendekar Pulau Neraka. 

Tidak mudah mendapat kesempatan seperti itu sekali lagi. 

Bayu Hanggara menghentikan lari kuda setelah yakin 

betul tidak ada lagi yang mengejarnya. Bergegas dia 

melompat turun sambil memondong tubuh Patih Luminta. 

Tombak yang menancap di punggung laki-laki setengah 

baya itu masih menembus dadanya. Wajah Patih Luminta


sudah pucat pasi, dan napasnya tersendat-sendat. 

“Kisanak. Tindakan ini sangat membahayakan dirimu,” 

kata Patih Luminta tersendat. 

“Tenanglah, jangan banyak bicara. Aku akan mencabut 

tombak ini,” kata Bayu seraya membaringkan tubuh Patih 

Luminta. 

“Percuma Kisanak. Tidak ada gunanya…. Ugh, ugh!” 

Patih Luminta mulai terbatuk, dan wajahnya semakin pucat 

pasi. 

Bayu membaringkan miring laki-laki setengah baya itu. 

Melihat tombak yang tembus dari punggung ke dada, 

memang tidak ada harapan lagi bagi Patih Luminta untuk 

bertahan lama. Sudah pasti tombak telah menyayat 

jantungnya. Bayu diam tidak bertindak apa-apa. Kalau 

dicabutnya tombak itu, pasti akan mempercepat kematian 

Patih Luminta. 

“Dengar, Kisanak. Ada sesuatu yang hendak ku 

sampaikan padamu,” kata Patih Luminta sambil meringis 

menahan sakit di dada dan punggungnya. 

“Katakanlah,” sahut Bayu. 

“Semua yang terjadi di Gantar Angin ini hanya kepalsuan 

belaka. Semua orang hanya berpura-pura. Mereka lupa 

akan diri masing-masing. Mereka telah menjadi orang 

lain….” Sambung Patih Luminta. 

Bayu mengerutkan keningnya. Agak terkejut juga men-

dengar kata-kata Patih Luminta. 

“Kau tidak akan bisa mencari kebenaran di sini. Tidak 

ada kebenaran dan keadilan di sini. Semuanya palsu dan 

hanya kepura-puraan yang kau dapatkan,” sambung Patih 

Luminta. 

“Aku tidak mengerti maksudmu, Paman?” 

“Aku tahu, sebenarnya kau tengah berusaha menge-

tahui siapa Mayang sesungguhnya. Kau telah dapatkan 

orang yang tepat untuk memperoleh keterangan tengang 

Mayang. Hanya saja orang itu tidak berkata jujur padamu. 

Bahkan berusaha memperalatmu untuk maksud dan 

tujuan pribadinya.”


Bayu terdiam menunggu. 

“Mayang sebenarnya bukan putri Gusti Ratu Kunti Boga. 

Dia anak tunggal Ki Maruta….” Lanjut Patih Luminta. 

“Benarkah itu, Paman?” Bayu hampir tidak percaya 

mendengarnya. 

“Aku berkata yang sebenarnya, Anak Muda.” 

“Lalu, bagaimana sampai bisa terjadi demikian?” 

“Ketika Prabu Abiyasa memberontak dan mengg-

ulingkan tahta Gusti Ratu Kunti Boga, banyak pembesar 

dan panglima yang ikut memberontak. Gusti Ratu Kunti 

Boga berhasil ditawan. Sedangkan suaminya tewas di tiang 

gantungan. Di samping itu putri satu-satunya yang masih 

berusia tujuh tahun, lenyap entah ke mana. Hanya satu 

yang selamat. Dia seorang putra yang baru berusia tiga 

bulan….” 

“Teruskan,” desak Bayu. 

“Prabu Abiyasa sama sekali tidak mempunyai seorang 

putra. Waktu itu aku dan dia mengikat janji. Jika Kerajaan 

Gantar Angin berhasil direbut, maka anak tunggalku kelak 

harus menduduki tahta putra mahkota. Prabu Abiyasa 

setuju. Oleh sebab itulah dia mengangkat anakku menjadi 

anaknya. Dan aku sendiri diangkat menjadi patih.” 

“Siapa nama anakmu?” 

“Bantar Gading.” 

“Ohhh…” 

Patih Luminta terbatuk tiga kali. Keadaannya semakin 

lemah. Darah terus mengucur deras tak terbentung. Tapi 

dia masih berusaha bertahan. Dengan suara lemah dan 

tersendat, kembali diteruskan ceritanya. 

“Ahli waris Kerajaan Gantar Angin yang syah, sebenar-

nya Raden Sangga Alam. Dialah putra Gusti Ratu Kunti 

Boga yang saat itu baru berusia sekitar tiga bulan. Gusti 

Permaisuri Pramita Wardani menghendaki anak itu, dan 

Prabu Abiyasa tidak keberatan. Itu pun setelah aku 

menyetujuinya, mengingat Raden Sangga Alam tidak tahu 

menahu tentang semua yang terjadi….” Kembali Patih 

Luminta terbatuk.


“Apakah Ratu Kunti Boga masih hidup?” tanya Bayu. 

“Tidak! Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu di 

dalam kamar tahanan bawah tanah.” 

“Lalu, Panglima Nampi?” 

“Tidak seorangpun dibiarkan hidup jika dianggap 

pengkhianat dan bermaksud memberontak. mungkin 

Panglima Nampi sudah dihukum mati malam itu juga saat 

dipergoki berada di rumah Ki Maruta, yang sudah lama 

dicurigai sebagai pemimpin pemberontak.” 

“Apakah Ki Maruta tahu kalau Ratu Kunti Boga sudah 

tiada?” tanya Bayu lagi. 

“Sebenarnya dia tahu.” 

“Aneh…. Kenapa dia masih menganggap Ratu Kunti 

Boga masih hidup. Lagi pula, untuk apa dia tidak mengakui 

Mayang anaknya?” tanya Bayu. 

“Dengar, Bayu. Semua itu hanya siasat saja. Ki Maruta 

menginginkan anaknya menguasai Gantar Angin. Dan dia 

memperalat…..Akh…!” 

“Paman…..! Paman…..!” 

Bayu terduduk lemas. Patih Luminta telah menghembus-

kan napasnya yang terakhir sebelum sempat menjawab 

pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Sebagian tabir yang 

melingkupi Kerajaan Gantar Angin mulai terungkap. Tapi 

benak Bayu masih juga diliputi berbagai macam per-

tanyaan. Dia tidak mengerti akan sikap kebanyakan orang 

yang selalu berpura-pura. Bahkan tidak mau tahu satu 

dengan yang lainnya. Bahkan cenderung saling menutupi. 

Bayu menolehkan kepalanya ketika mendengar suara 

dari arah belakang. Tampak Raden Bantar Gading dan 

Mayang melangkah menghampiri. Mereka berjalan pelan 

seperti tak ada gairah hidup sama sekali. Pandangan 

Raden Bantar Gading nanar ke arah mayat Patih Luminta. 

“Ayah…” 

***


Raden Bantar Gading berdiri tegak memendangi 

gundukan tanah yang masih baru. Di sampingnya, berdiri 

Mayang. Sedangkan Bayu memperhatikan dari jarak yang 

tidak begitu jauh di bawah pohon. Raden Bantar Gading 

mengangkat kepalanya, lalu berbalik. Sebentar ditatapnya 

Pendekar Pulau Neraka, lalu kakinya terayun menghampiri. 

Mayang mengikuti di sampingnya. Wajah mereka tampak 

tersaput awan hitam. 

“Telah kudengar semua pembicaraanmu dengan Ayah,” 

ujar Raden Bantar Gading pelan. 

“Dari mana kau dengar semua pembicaraanku?” 

“Aku memang menunggumu di sini. Tadinya aku akan 

menemuimu langsung, tapi Mayang mencegah,” sahut 

Raden Bantar Gading. 

“Aku menyesal tidak bisa melindunginya,” desah Bayu. 

“Kau sudah berbuat banyak, Kakang,” sergah Mayang. 

Bayu tersenyum tipis. 

“Aku sama sekali tidak tahu kalau selama ini hanya 

dijadikan boneka mainan,” pelan suara Raden Bantar 

Gading. 

“Sudahlah! Yang penting, sekarang kalian sudah tahu 

diri masing-masing,” kata Bayu bijaksana. 

“Kisanak…” 

“Panggil saja aku Bayu,” potong Bayu. 

“Terima kasih.” 

“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Bayu. 

“Entahlah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan 

sekarang. Aku….” Suara Raden Bantar Gading terputus. 

“Kau ingin membalas kematian ayahmu?” tanya Bayu. 

Raden Bantar Gading tidak menjawab, tapi hanya 

menoleh memandang Mayang. 

“Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya 

dendam bukan satu-satunya penyelesaian yang baik,” ujar 

Raden Bantar Gading pelan. 

Bayu tersenyum mendengar penuturan itu. namun hati-

nya tersentuh juga. Dendam memang bukan satu-satunya 

penyelesaian yang baik. Bahkan selama ini, dia sendiri


masih menyimpan dendam. Masih mencari orang-orang 

yang telah menghancurkan padepokan ayahnya, mem-

bunuh ayahnya berikut murid-muridnya. Hingga sekarang 

dia tidak tahu, apakah ibunya masih hidup atau sudah 

mati. 

“Apa rencana kalian selanjutnya?” tanya Bayu. 

“Memulai hidup baru, dan pergi sejauh-jauhnya 

meninggalkan Gantar Angin,” jawab Raden Bantar Gading 

mantap. 

“Ya. Aku juga akan melupakan semua yang terjadi di 

sini,” sambung Mayang. 

“Kalian akan hidup berdua?” 

Raden Bantar Gading dan Mayang saling berpandangan, 

kemudian sama-sama mengangguk sambil senyum tersipu. 

Bayu menarik napas panjang. Dia tidak tahu, bagaimana 

perasaannya sekarang. Memang diakui, ada sedikit rasa 

sesal di hatinya. Masalahnya, dia mulai tertarik terhadap 

Mayang dan sekarang wanita itu ingin hidup bersama 

Raden Bantar Gading. Bayu hanya bisa mendesah, dan 

menarik napas panjang kembali. Dia tidak bisa berkata 

apa-apa lagi. 

Bayu berbalik dan melangkah pergi. Raden Bantar 

Gading ingin mencegah kepergian Pendekar Pulau Neraka 

itu, tapi Mayang telah lebih dulu menutup bibir pemuda itu 

dengan jari tangannya. Raden Bantar Gading mengecup 

bibir Mayang lembu. Kemudian mereka berpelukan rapat 

dan mesra. Bayu sempat menoleh, dan hanya tersenyum 

tanpa berhenti melangkah. 

“Hup!” hanya satu kali lesatan saja, Bayu sudah lenyap 

dari tempat itu. 

Saat itu Raden Bantar Gading juga sudah mengajak 

Mayang meninggalkan tempat ini. Meninggalkan semua 

yang telah terjadi di Gantar Angin. Mereka melangkah 

sambil bergandengan tangan. Langkah yang pasti dan 

mantap untuk memulai hidup baru. Hidup sebagai 

pasangan yang saling mencintai. Tentu saja dengan 

menyiramu bunga cinta di hati mereka masing-masing.


Namun baru saja mereka melangkah beberapa depa, 

mendadak sabatang anak panah melesat cepat dari arah 

depan. Tepat ketika anak panah berwarna kuning gading 

itu hampir menyentuh dada Mayang, tangan Raden Bantar 

Gading menarik tangan Mayang ke belakang. Wanita itu 

menggeser kakinya berlindung di belakang punggung 

pemuda itu. 

“Hati-hati, Mayang. Aku yakin, tempat ini sudah 

dikepung para prajurit Gantar Angin,” kata Raden Bantar 

Gading setengah berbisik. 

Raden Bantar Gading mengenali anak panah di tangan-

nya. Anak panah berwarna kuning gading dengan lambang 

kerajaan pada tangkainya. Pemuda itu mengedarkan 

pandangannya ke sekeliling. Kepalanya dimiringkan sedikit 

ke kanan. Tidak ada seorangpun terlihat di sekitar tempat 

ini. Bahkan tidak ada suara yang mencurigakan terdengar 

di telinganya. Hanya desiran angin dan gemerisik 

dedaunan yang terdengar. 

Pandangan Raden Bantar Gading tertuju pada sebuah 

pohon yang sangat besar. Tampak seorang laki-laki berusia 

sektiar lima puluh tahun berdiri pada salah satu cabang 

yang cukup besar. Laki-laki itu mengenakan baju hijau 

ketat dengan pinggang dipenuhi pisau kecil yang berjajar 

rapi. Raden Bantar Gading kenal betul dengan laki-laki ber-

tampang angker itu. dia adalah salah seorang Panglima 

Gantar Angin. 

“Paman Panglima Jambak! Apa yang kau lakukan di 

sini?” tanya Raden Bantar Gading. 

“Hamba ditugaskan Gusti Prabu untuk membawa Raden 

kembali ke istana,” jawab Panglima Jambak tegas. Tangan-

nya menjentik ke depan dada. 

Raden Bantar Gading terkejut. Tiba-tiba saja, hampir 

lima puluh orang prajurit dan sepuluh punggawa, ber-

munculan dari balik bukit dengan menunggang kuda. Di 

tangan mereka masing-masing terdapat busur yang siap 

dilesatkan. Bahkan empat orang jago bayaran dari tanah 

seberang ada di antara mereka. Raden Bantar Gading


langsung menyadari kalau situasi seperti ini bukan sikap 

bersahabat dan penghormatan lagi. Prabu Abiyasa sudah 

menganggapnya sebagai orang yang berbahaya dan harus 

dilenyapkan seperti para pengkhianat dan pembangkang 

lainnya. 

“Katakan pada Ayahanda Prabu, aku akan menikah dan 

pergi dari Gantar Angin!” lantang kata-kata Raden Bantar 

Gading. “Dan kau tidak perlu bersusah-payah membuang-

buang nyawa prajurit untuk memaksaku!” 

Panglima Jambak meluruk dari atas dahan pohon. 

Manis sekali kakinya mendarat di depan Raden Bantar 

Gading. Jarak antara mereka hanya sekitar satu batang 

tombak saja. Raden Bantar Gading sudah bersiaga penuh. 

Dia tahu kalau pisau yang berjajar di pinggang panglima itu 

sangat berbahaya. Panglima Jambak sangat ahli meng-

gunakannya. 

“Raden, siapa wanita itu?” tanya Panglima Jambak. 

“Dia Mayang, calon istriku!” sahut Raden Bantar Gading 

mantap. 

“Raden, Gusti Prabu tidak akan melarang Raden 

memiliki calon istri. Gusti Prabu hanya menghendaki Raden 

kembali ke istana. Hal itu bisa dibicarakan nanti, Raden,” 

bujuk Panglima Jambak. 

“Apa kata-kataku kurang jelas, Paman? Berapa kali aku 

harus mengatakan? Aku tidak akan pernah kembali lagi ke 

istana!” 

“Maaf, Raden. Gusti Prabu memerintahkan padaku 

untuk membawamu dengan cara apapun.” 

“Kau yang memulainya, bukan?” sinis nada suara Raden 

Bantar Gading. 

“Maaf, Raden. Salah seorang prajuritku tidak bisa 

menahan diri. Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi, juga 

tidak akan terulang jika Raden bersedia kembali ke 

istana,” kata Panglima Jambak. 

“Sekali aku katakan tidak, tetap tidak selamanya! Jelas, 

Paman Panglima?!” tegas jawaban Raden Bantar Gading. 

Panglima Jambak menarik napas panjang dan berat, lalu


melangkah mundur tiga tindak. 

“Sebenarnya aku enggan menerima tugas ini, Raden. 

Tapi semua ini harus kulakukan. Jika aku tidak bisa mem-

bujukmu, maka mereka yang akan memaksamu, Raden,” 

pelan kata-kata Panglima Jambak. 

Raden Bantar Gading memandang empat orang jago 

bayaran dari tanah seberang. Empat orang itu bergerak 

maju mendekat. Raden Bantar Gading menyadari, dirinya 

tidak mungkin dapat menandingi mereka. Satu orangpun 

rasanya sulit. Apalagi kalau empat orang maju sekaligus…? 

Pandangannya kembali tertuju pada Panglima Jambak. 

“Maaf, Raden. Ini perintah Gusti Prabu,” kata Panglima 

Jambak pelan. 

“Majulah, tangkap aku!” sahut Raden Bantar Gading 

mantap. 

“Raden, sebaiknya….” 

“Jangan coba-coba membujukku, Paman!” potong 

Raden Bantar Gading cepat. “Aku tahu, apa yang Ayahanda 

Prabu titahkan pada kalian. Ayo lakukan! Dan jangan ber-

harap aku akan menyerah begitu saja!” 

Panglima Jambak kembali melangkah mundur. Empat 

orang jago dari tanah seberangpun langsung melompat 

sambil berteriak keras. Raden Bantar Gading menggeser 

kakinya ke samping. Sambil menorong tubuh Mayang agar 

menjauh, dicabut pedangnya. 

Sret! 

***

Raden Bantar Gading mengebutkan pedangnya ke depan 

ketika salah seroang jago seberang itu menusukkan 

senjatanya ke arah dada. Raden Bantar Gading terkejut, 

karena tangannya langsung bergetar hebat ketika pedang-

nya berbenturan dengan senjata lawannya. Belum lagi 

sempat menarik pulang pedangnya, sebuah tendangan 

keras dari samping menghantam pergelangan tangan 

kanannya. 

“Akh!” Raden Bantar Gading memekik tertahan. Pedang-

nya mencelat lepas dari pegangan. 

“Kakang…!” seru Mayang terkejut. 

Raden Bantar Gading menoleh ke arah wanita itu. 

Akibatnya dia jadi lengah. Kelengahan ini sangat fatal bagi 

dirinya. Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga 

luar biasa menghantam dadanya. Raden Bantar Gading 

kembali memekik keras. Tubuhnya terlempar jauh ke 

belakang. 

Dari mulutnya mengucur darah kental. Punggungnya 

menghantam sebuah pohon hingga tumbang. Raden 

Bantar Gading segera bangkit berdiri. Digeleng-gelengkan 

kepalanya sebentar, lalu digerak-gerakkan tangannya. Dia 

mencoba mengusir rasa sesak yang melanda dadanya. 

Pukulan bertenaga dalam itu hampir membuat tulang-

tulang dadanya hancur. 

Raden Bantar Gading merasa sesak bernapas. Dia 

meringis menahan nyeri pada dadanya. Dia tahu kalau 

salah satu tulang dadanya patah kena pukulan keras ber-

tenaga dalam tadi. Dengan mata merah membara, Raden 

Bantar Gading mencopot baju luarnya. 

“Hiya! Yeaaah…!” 

Sambil berteriak keras, Raden Bantar Gading 

mengibaskan kedua tangannya dari arah perut ke depan.


Jarum-jarum beracun pun beterbangan bagai hujan ke arah 

empat orang jago dari tanah seberang itu. Mereka 

berlompatan sambil memutar senjata masing-masing, 

menghalau jarum-jarum beracun yang meluncur deras. 

Jarum-jarum beracun itu berpentalan ke segala arah. 

Tidak dinyana sama sekali, jarum-jarum berwarna hitam 

pekat itu menghantam para prajurit yang berada di sekitar 

pertarungan. Mereka yang cepat menghindar dan 

bersembunyi di balik pohon, masih bisa selamat. Tapi 

terlambat, lengsung ambruk dengan tubuh membiru. Jerit 

dan pekik kematian terdengar membahana. Raden Bantar 

Gading tersentak kaget. Langsung dihentikan serangan 

jarum-jarum beracunnya. Tidak kurang dari sepuluh orang 

prajurit tewas akibat kebodohannya. 

“Setan! Kau harus bertanggung jawab atas kematian 

mereka, Paman Panglima!” bentak Raden Bantar Gading 

marah. 

Panglima Jambak tersentak kaget. Dia juga tidak 

menyangka kalau sepuluh orang prajuritnya terkapar ter-

kena jarum-jarum beracun nyasar. Raden Bantar Gading 

tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Dia cepat me-

lompat sambil melontarkan beberapa pisau yang melilit di 

pinggangnya. 

Pisau-pisau itu menghujani empat orang jago dari 

seberang. Dan pada saat mereka sibuk menghalau 

serangan pisau itu, Raden Bantar Gading melepaskan 

beberapa pukulan ke arah Panglima Jambak. Pukulan yang 

disertai pengerahan tenaga dalam penuh itu menimbulkan 

desiran angin yang sangat kuat dan berhawa panas. 

“Hup! Hiyaaa…!” 

Panglima Jambak bergegas melompat ke samping 

menghindari serangan Raden Bantar Gading. Disadari 

kalau putra mahkota itu mengeluarkan ‘Pukulan 

Gelombang Maut’. Satu jurus yang sangat dahsyat. Angin 

pukulannya saja mampu menghancurkan sebuah pohon 

beringin besar. Beberapa batang pohon, kontan hancur ter-

kena sambaran pukulan dahsyat itu.


Raden Bantar Gading benar-benar mengamuk, menhajar 

siapa saja yang berani mendekat. Panglima Jambak ber-

teriak keras agar para prajuritnya tidak ikut menyerang, 

sambil sibuk menghindari setiap serangan yang dilancar-

kan Raden Bantar Gading. 

Saat itu empat orang jago dari seberang mengalihkan 

perhatiannya kepada Mayang. Mereka segera melompat 

mengurung wanita itu. Tentu saja, hal ini membuat Raden 

Bantar Gading kian berang. Dia hendak membantu Mayang 

yang kerepotan menghadapi empat lawannya itu. tapi 

Panglima Jambak tidak memberi kesempatan kepadanya 

untuk mendekati Mayang. 

“Akh!” tiba-tiba Mayang memekik tertahan. 

Tubuhnya terjajar ke belakang dengan tangan kiri 

menekap bahu kanannya. Darah merembes keluar dari 

sela-sela jarinya. Rupanya salah seorang jago itu berhasil 

melukai bahu kanan Mayang. Dan sebelum wanita itu 

sempat berbuat banyak, satu tendangan keras mendarat di 

punggungnya. Kembali Mayang memekik, dan tubuhnya 

terjungkal ke tanah. 

“Haaat…!” 

Salah seorang jago dari seberang mengayunkan senjata-

nya ke arah tubuh Mayang yang tak berdaya di tanah. 

Hanya sedikit saja Mayang mampu bergerak, tapi senjata 

orang itu telah membedah perutnya. 

“Aaa…!” Mayang menjerit melengking. 

“Mayang…!” seru Raden Bantar Gading terperanjat. 

Baru saja Raden Bantar Gading melompat hendak mem-

buru Mayang, satu tendangan keras Panglima Jambak 

membuatnya terjajar mencium tanah. Belum lagi Raden 

Bantar Gading mampu berdiri tegak, satu pukulan keras 

telah mendarat di dadanya. Tak sampai di situ, karena 

lawan telah mengirimkan pukulan dua kali ke punggung. 

Raden Bantar Gading ambruk ke tanah dengan mulut 

mengucurkan darah segar. 

Panglima Jambak langsung menubruk tubuh Raden 

Bantar Gading, dan mengikatnya dengan tambang yang


dilemparkan salah seroang prajurit. Raden Bantar Gading 

tidak bisa berkutik lagi. Tangan dan tubuhnya terikat 

tambang yang cukup besar dan kuat. Dia dipaksa berdiri. 

Dua orang prajurit mengangkat tubuh pemuda itu dan 

menghempaskannya di punggung kuda. 

“Mayang…!” teriak Raden Bantar Gading mencoba 

meronta. 

Tambang yang mengikat tubuhnya demikian kuat. Sia-

sia saja Raden Bantar Gading meronta. Sementara 

Panglima Jambak, para prajurit, serta empat orang jago 

dari seberang, sudah berada di atas punggung kuda 

masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera 

menggebah kuda meninggalkan tempat itu. Sementara 

Mayang tetap tergeletak pingsan. Dada dan perutnya terus 

mengucurkan darah. 

*** 

“Ohhh…” suara rintihan lirih terdengar. “Jangan bergerak 

dulu! Lukamu belum pulih benar.” 

“Oh…! Kakang Bayu…” 

“Ya. Aku Bayu, Mayang.” 

Mayang kembali memejamkan matanya seraya merintih 

lirih. Pemuda tampan berbaju kulit harimau duduk bersila 

di sampingnya. Tumpukan rumput kering dan dedaunan 

membuat tubuh Mayang terasa hangat. Sementara cahaya 

api kecil di dekatnya membuat tempat yang menyerupai 

lorong goa ini jadi semakin hangat. Perlahan-lahan Mayang 

membuka kelopak matanya. 

“Di mana aku?” tanya Mayang. 

“Kau lupa tempat ini, Mayang?” Bayu balik bertanya 

dengan lembut. 

Mayang tersenyum tipis. Tentu saja dia tidak lupa 

karena beberapa hari pernah tinggal di sini bersama 

seorang gadis yang dibawa Bayu dari Gantar Angin. Tempat 

yang ditinggali sebelum bergabung dengan para pem-

berontak.


“Kakang, bagaimana kau bisa membawaku ke sini?” 

tanya Mayang lagi. 

“Aku tidak jadi pergi karena kulihat Ki Maruta bersama 

orang-orangnya tengah bergerak menuju Gantar Angin. 

Semula aku ingin memberitahu hal ini pada Raden Bantar 

Gading. Tapi terlambat! Aku hanya menemukan dirimu ter-

geletak di antara beberapa mayat prajurit Gantar Angin. 

Semula kuduga kau sudah tewas. Ternyata setelah ku 

amati, kau masih bernapas. Tidak ada pikiran lain terlintas 

di kepalaku, selain membawamu ke sini,” Bayu mencerita-

kan kejadiannya. 

“Oh… mereka menangkap Kakang Bantar Gading,” lirih 

suara Mayang. 

“Siapa mereka?” 

“Panglima Jambak dan para pengikutnya. Mereka 

dibantu empat orang asing dan berpakaian aneh. Empat 

orang itulah yang melukaiku, Kakang,” sahut Mayang. 

Bayu menarik napas panjang. 

“Kakang! Mereka tidak mengijinkan kami meninggalkan 

Gantar Angin. Bahkan Prabu Abiyasa menganggap Kakang 

Bantar Gading pengkhianat. Aku tidak tahu, bagaimana 

nasib Kakang Bantar Gading. Prabu Abiyasa sangat kejam, 

Kakang.” Pelan suara Mayang. 

Bayu Hanggara menoleh ketika mendengar suara 

langkah kaki memasuki goa ini. Ternyata gadis berusia 

sekitar lima belas tahun muncul mendekati. Gadis itu 

melemparkan senyum kepada Mayang. Mayang pun mem-

balasnya dengan senyuman tipis. 

“Aku memintanya kemari untuk merawatmu, Mayang,” 

kata Bayu pandangan Mayang terarah padanya. 

“Ya! Aku juga terkejut mendengar kau terluka, Kak 

Mayang,” sambung gadis itu. 

“Ki Maruta pasti mencarimu,” kata Mayang pelan. 

“Tidak ada siapa-siapa lagi di Hutan Danaraja. Mereka 

semua sudah gila, tidak mempedulikan kamu wanita lagi. 

Mereka meninggalkannya begitu saja di dalam hutan. 

Mereka sudah gila kekuasaan” tegas gadis itu mantap.



Mayang kembali terdiam. Dipandanginya wajah Bayu 

yang diam membisu. 

“Aku tahu semuanya! Aku pernah mendengar diam-diam 

pembicaraan mereka,” sambung gadis itu lagi. 

“O…!” Pendekar Pulau Neraka terkejut. 

“Ki Maruta adalah penasehat pribadi Gusti Ratu Kunti 

Boga. Dia sebenarnya adik Prabu Abiyasa. Hm…. Maksudku 

adik tirinya. Dia sangat berambisi merebut tahta Gantar 

Angin dan mengangkat dirinya menjadi raja. Mereka semua 

tahu kalau Ratu Kunti Boga sudah lama meninggal. Dan 

memang itu yang mereka tunggu,” sambung gadis itu 

menceritakan. 

“Hhh…! Tidak kusangka persoalannya bagitu pelik jadi-

nya. Aku benar-benar muak menghadapi orang yang haus 

kekuasaan!” desah Bayu setengah bergumam. 

“Sebenarnya yang berhak atas Kerajaan Gantar Angin 

adalah Raden Sangga Alam, karena dialah anak kandung 

Ratu Kunti Boga. Tapi dia tidak tahu karena….” 

“Ya, kami tahu itu,” selak Bayu cepat. 

“Kalian sudah tahu?” 

Bayu dan Mayang mengangguk. 

“Lantas, kenapa diam saja? Kenapa tidak dicegah? 

Padahal mereka memperebutkan tahta yang bukan hak-

nya!” 

“Itu bukan urusanku. Aku….” 

“Kau seorang pendekar! Kau pasti bisa mencegah per-

tumpahan darah!” potong gadis itu. 

“Untuk apa? Persoalan yang kuhadapi saja masih 

banyak.” 

“Kakang…” Mayang menengahi. 

“Baiklah…” desah Bayu. “Apa yang harus kulakukan?” 

“Selamatkan Raden Sangga Alam! Mereka bisa saja me-

nempuh jalan damai dan membagi daerah kekuasaan 

masing-masing. Kerajaan Gantar Angin tidak mustahil akan 

runtuh kalau hal itu terjadi. Lebih parah lagi kalau sampai 

masing-masing ingin berkuasa. Mereka adalah orang-orang 

kejam dan selalu mementingkan diri sendiri. Rakyat akan


selalu sengsara bila salah satu dari mereka menjadi raja. 

Hanya Raden Sangga Alam yang berhak menduduki tahta!” 

ujar gadis itu mantap. 

Bayu menatap gads itu dengan sinar mata penuh tanda 

tanya. Ketika ditemukannya di rumah penginapan, gadis itu 

hendak membunuhnya. Bahkan mengaku sebagai putri 

pemilik penginapan yang tewas terbunuh Raden Bantar 

Gading. Dan ketika pertama dibawa ke tempat ini, terlihat 

masih lugu. 

Tapi sekarang, kata-katanya begitu tegas dan teratur 

rapi. Kata-kata itu meluncur begitu saja, dan bernada 

penuh wibawa. Rasanya sulit dipercaya bila seorang gadis 

berusia lima belas tahun mampu begitu lancar bertutur 

kata. Apalagi hanya seorang gadis pemilik rumah 

penginapan dan kedai. Gadis itu memang bertubuh kecil 

wajahnya pun masih terlihat kekanak-kanakan. Tapi dari 

kata-katanya….. Bayu jadi menaruh curiga, siapa gadis ini 

sebenarnya? Benarkah dia hanya putri seorang pemilik 

kedan dan rumah penginapan? Dia mengaku bernama 

Rintan. Tapi Bayu tidak percaya begitu saja kalau namanya, 

Rintan. 

Bayu jadi teringat ketika gadis itu hampir saja 

memenggal lehernya dengan golok. Sebuah golok yang 

cukup besar dan biasa digunakan untuk memotong daging. 

Golok itu sangat berat. Anehnya, Rintan mampu 

mengayunkannya dengan cepat dan nampak ringan. Juga 

ketika meringkusnya, tenaganya luar biasa. Bayu sendiri 

merasa adanya pengerahan tenaga dalam yang ditahan. 

Semua itu baru disadarinya sekarang. 

“Rintan, berapa usiamu sebenarnya?” tanya Bayu 

bernada penuh selidik. 

“Lima belas,” sahut Rintan. 

“Sungguh?” 

“Kenapa aku mesti berdusta? Ayah selalu memberiku 

hadiah tepat pada saat kelahiranku. Katanya untuk meng-

ingatkan usia dan ibuku.” 

Bayu menarik napas panjang, kemudian bangkit berdiri.


Langkahnya pelan menuju ke mulut goa yang hampir ter-

tutup semak belukar dan rerumputan yang cukup tinggi. 

“Kau jaga Mayang. Aku akan ke Gantar Angin,” kata 

Bayu tanpa menoleh. 

“Percayalah! Aku pasti merawatnya dengan baik,” sahut 

Rintan. 

Bayu terus saja melangkah keluar dari goa itu. dia 

segera melesat begitu tiba di luar goa. Dalam sekejap saja, 

bayangan tubuhnya tidak terlihat lagi. 

*** 

Saat itu senja mulai beranjak turun. Matahari hampir 

bersembunyi di balik belahan bumi barat. Istana Kerajaan 

Gantar Angin masih selalu dijaga ketat oleh prajurit ber-

senjata lengkap. Sementara di dalam sebuah ruangan ber-

dinding batu, Raden Bantar Gading terbelenggu berdiri 

dengan posisi merapat ke dinding. Rantai baja mengekang 

tangan dan kakinya. Ruangan itu sangat sempit, dan tidak 

tertembus cahaya matahari. Lembab sekali. Hanya sebuah 

obor yang berada di luar ruangan itu yang menerangi 

samar-samar dari balik jeruji besi. 

Raden Bantar Gading memandang seorang lai-laki yang 

terbaring di lantai batu berdebu dan lembab. Jubah putih-

nya koyak. Bercak-bercak darah kering masih melekat, 

mengotori jubah dan tubuhnya. Raden Bantar Gading kenal 

betul, siapa laki-laki itu. dia tidak lain adalah Paman 

Nampi, salah seorang panglima perang Gantar Angin yang 

selalu dekat dengan Raden Sangga Alam. Padahal Raden 

Bantar Gading sendiri yang menjebloskan orang tua itu ke 

dalam penjara ini. Ternyata, dia memang belum mati. 

Nasib baik masih berpihak padanya. 

Paman Nampi beringsut bangun dan duduk bersandar 

pada dinding batu berlumut. Pandangannya sayu dan 

langsung ke arah Raden Bantar Gading. Bibirnya 

menyunggingkan senyum tipis. Entah apa makna 

senyumannya itu. Punggung tangannya menyeka darah


yang hampir mengering di sudur bibirnya. 

“Semua orang di sini rupanya sudah tidak waras…” 

gumam Paman Nampi pelan, hampir tidak terdengar suara-

nya. 

“Paman, apa yang mereka lakukan padamu?” tanya 

Raden Bantar Gading. 

“Seharusnya kau bisa jawab sendiri, Anak Muda,” jawab 

Paman Nampi yang enggan menyebut nama Raden pada 

Raden Bantar Gading. 

Raden Bantar Gading tidak tersinggung. Disadari kalau 

dirinya bukan seorang raden, pewaris tahta Kerajaan 

Gantar Angin. Dia hanya tersenyu kecut mendengar kata-

kata sindiran itu. 

“Maafkan aku, Paman. Aku memang bodoh, kerdil, dan 

selalu mementingkan diri sendiri,” kata Raden Bantar 

Gading polos. 

“Tidak perlu menyesali diri. Di dunia ini tidak ada yang 

sempurna,” masih pelan suara Paman Nampi. 

“Ya. Dan aku paling tidak sempurna di antara yang tidak 

sempurna,” juga pelan suara Raden Bantar Gading. 

“Mengapa kau sampai masuk ke dalam neraka ini?” 

tanya Paman Nampi. 

“Aku menentang Ayahanda Prabu, dan mencoba 

meninggalkan Gantar Angin. aku sadar kalau tindakanku 

selama ini hanya merugikan orang banyak. Yang tertinggal 

sekarang hanya rasa sesal. Kini aku bermaksud menebus 

dosa atas perbuatanku,” lirih sekali nada suara Raden 

Bantar Gading. 

“Penyesalan memang selalu terlambat datangnya.” 

“Ya….dan memang tidak ada gunanya untuk disesali.” 

“Kenapa kau menentang Prabu Abiyasa?” tanya Paman 

Nampi lagi. 

“Aku tahu siapa diriku. Aku memang tidak berhak atas 

tahta Gantar Angin. Ada orang yang lebih berhak dari itu 

semua,” sahut Raden Bantar Gading. 

“Kau tahu siapa?” 

“Raden Sangga Alam. Dialah yang berhak atas tahta



Gantar Angin.” 

Paman Nampi terdiam dengan kepala tertunduk. 

“Maafkan aku, Paman. Tidak seharusnya aku men-

jebloskanmu dalam penjara ini,” ucap Raden Bantar 

Gading penuh penyesalan. “Aku malu! Segala tekad dan 

tindakan sucimu kunodai oleh kepicikanku sendiri.” 

“Kau tidak picik, Anak Muda. Juga, tidak bodoh. Kau 

tidak bersalah dalam hal ini. Kau hanya salah satu korban 

dari permainan manusia-manusia berhati culas, haus 

kekuasaan, harta benda dan kesenangan duniawi. Hhh… 

aku sendiri juga kotor, penuh dengan noda.” 

Raden Bantar Gading menatap laki-laki tua itu dalam-

dalam. 

“Aku memang ingin mengembalikan tahta kepada yang 

lebih berhak. Tapi jalan yang kutempuh sangat kotor. 

Entah, setan mana yang telah menutupi hati dan mataku. 

Aku mengambil seroang anak perempuan yang belum 

genap berusia tujuh tahun, lalu berkerja sama dengan 

Durati si Selendang Sakti untuk mendidik dan merawat 

anak itu. Dia kujejali dengan cerita-cerita kosong dan 

palsu! Aku telah menjerumuskannya ke dalam lembah 

yang sangat nista….” Pelan sekali suara Paman Nampi. 

“Siapa anak itu, Paman?” tanya Raden Bantar Gading 

dengan dada berdebar. 

“Kau tentu telah mengenalnya. Aku benar-benar malu 

pada diriku sendiri, karena telah melibatkan seorang anak 

yang tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa! Bahkan 

aku telah membuatnya tidak tahu siapa dirinya yang 

sebenarnya, asal-usulnya yang sebenarnya. Sungguh 

terkutuk!” 

“Paman apa yan gkau maksudkan itu…” 

“Ya dia Mayang,” pelan suara Paman Nampi. 

“Ahhh…” Raden Bantar Gading mendesah panjang. 

“Dia sebenarnya bukan puteri Gusti Ratu Kunti Boga. 

Namanya pun bukan Mayang. Aku tidak tahu, siapa nama 

yang sebenarnya. Dia kupungut ketika terjadi pertempuran 

perebutan kekuasaan oleh Prabu Abiyasa. Dia kuambil


ketika berada dalam pelukan seorang wanita yang tewas 

tertembus panah. Aku kenal wanita itu. Semula, dalam 

hatiku tidak ada niatan untuk menjadikannya sebagai 

Mayang. Pikiran itu mendadak timbul saat kudengar putri 

Ratu Kunti Boga lenyap dalam pertempuran di dalam 

istana. Sampai kini aku tidak tahu di mana dia berada, dan 

bagaimana kabarnya.” 

“Jadi, Mayang yang sebenarnya belum tewas?” 

“Ya! Dia hanya hilang.” 

“Dan Raden Sangga Alam?” 

“Dia waktu itu masih berusia sekitar tiga bulan, lalu 

dipungut oleh Permaisuri Pramita Wardani sebagai anak. 

Dan kau sendiri baru berusia tiga tahun. Aku tidak 

menyalahkanmu jika kau sampai tidak tahu apa-apa 

tentang dirimu sebenarnya selama ini.” 

“Sekarang aku tahu, Paman.” 

“Dari mana kau tahu?” 

“Ayahku.” 

“Prabu Abiyasa?” 

“Bukan! Patih Luminta.” 

“Dewata Yang Agung….ternyata dia juga masih setia 

kepada Gusti Ratu Kunti Boga. Benar-benar buta mataku, 

tidak bisa membesakan mana kawan dan mana lawan! 

Kukira dia juga haus akan kekuasaan, sehingga berkhianat 

dan mempuyai perjanjian dengan Prabu Abiyasa!” 

Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya. Dan pada 

saat itu matanya sempat melihat bayangan berkelebat di 

depan jeruji besi yang membatasi ruangan tahanan ini 

dengan sebuah lorong batu bawah tanah. Raden Bantar 

Gading menggigit bibirnya. Sungguh tidak disadari kalau 

ada seseorang yang mendengar semua percakapan ini. 

Siapa orang itu…? 

*** 

Raden Bantar Gading tidak tahu, sudah berapa lama 

berada di kamar tahanan bawah tanah ini. Di dalam


ruangan tertutup tanpa cahaya matahari, sangat sulit 

untuk menghitung waktu. Ebg mengangkat kepalanya 

ketika mendengar suara pintu besi kamar tahanan ini 

dibuka. 

Dua orang prajurit melangkah masuk. Beberapa prajurit 

lain menunggu di luar. Dua orang prajurit itu mengangkat 

Paman Nampi agar berdiri. Laki-laki tua itu sudah tidak 

punya daya lagi. Apalagi untuk berdiri. Sebentar 

dipandanginya Raden Bantar Gading. 

“Akan dibawa ke mana dia?” tanya Raden Bantar 

Gading. 

“Menjalani hukuman,” sahut salah seorang prajurit. 

“Hukuman apa?” 

“Raden….” Pelan suara Paman Nampi. 

Raden Bantar Gading menatap Paman Nampi dalam-

dalam. 

“Prabu Abiyasa telah memutuskan bahwa hari ini aku 

harus menjalani hukuman sebagai pengkhianat,” kata 

Paman Nampi. 

“Tidak…!” desis Raden Bantar Gading. “Tidak! Kau tidak 

boleh mati…!” 

Raden Bantar Gading berusaha memberontak, tapi 

rantai yang membelenggu tangan dan kakinya begitu kuat. 

Raden Bantar Gading terus meronta sambil berteriak-

teriak. Seorang prajurit bertubuh tegap dan berotot, meng-

hampiri. Tanpa bicara lagi, dilayangkan satu pukulan keras 

ke perut. 

“Hughk!” keluh Raden Bantar Gading. 

Rontaan dan teriakannya langsung berhenti. Tubuhnya 

sedikit membungkuk. Perutnya kini terasa mual, dan mata-

nya berkunang-kunang. Pukulan prajurit itu sungguh keras, 

meskipun hanya sedikit menggunakan tenaga dalam. 

Namun akibatnya cukup luar biasa. Seluruh isi perut Raden 

Bantar Gading serasa akan keluar. 

“Jalan!” 

Paman Nampi melangkah lesu didorong seroarng 

prajurit. Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya per


lahan-lahan. Kedua bola matanya merembang. Pintu 

kamar tahanan bawah tanah itu kembali tertutup. 

“Tidak…” rintihnya lirih. “Maafkan aku, Paman. Seandai-

nya waktu itu aku tidak menangkapmu, tetnu kau tidak 

akan bernasib malang seperti ini….” 

Raden Bantar Gading benar-benar menyesali diri. 

Dimaki-maki dan dirutuki dirinya yang tidak sadar kalau 

tengah diperalat oleh mereka yang haus kekuasaan dan 

harta benda duniawi. Benar kata Paman Nampi. Dia hanya 

dijadikan alat tanpa disadari lebih dahulu. 

“Raden….” 

Raden Bantar Gading tersentak ketika telinganya men-

dengar suara bisikan halus. Kembali diangkat kepalanya 

yang semula tertunduk lesu. Bola matanya langsung mem-

beliak lebar begitu melihat seorang pemuda bertubuh 

tegap dan berbaju kulit harimau telah berdiri di depan 

pintu jeruji besi. 

“Pendekar Pulau Neraka….” Desis Raden Bantar Gading 

setengah tidak percaya. 

Pemuda tampan bernama Bayu Hanggara itu tersenyum. 

Dia melangkah mendekati pintu. Tangannya menggenggam 

dua jeruji besi. Sebentar ditarik napas dalam-dalam lalu 

mulai ditarik jeruji besi itu. 

“Hup!” 

Pendekar Pulau Neraka mengerahkan seluruh tenaga 

dalamnya untuk membongkar pintu berjeruji besi itu. 

wajahnya nampak memerah saga, dan otot-ototnya ber-

sembulan ke luar. Jelas sekali kalau dia tengah mengerah-

kan tenaga dalam sepernuhnya. Raden Bantar Gading ter-

longong begitu pintu jeruji besi terangkat dan terbuka 

lebar. Pendekar Pulau Neraka bergegas masuk, lalu 

memutuskan rantai yang membelenggu tangan dan kaki 

Raden Bantar Gading dengan Cakra Mautnya. 

“Cepat keluar sebelum mereka memergoki kita,” kata 

Pendekar Pulau Neraka. 

“Terima kasih,” ucap Raden Bantar Gading seraya cepat 

melangkah ke luar. “Bagaimana kau bisa sampai ke sini?”


“Dua hari aku menyelidiki tempat ini,” sahut Bayu. 

“Dua hari…?!” Raden Bantar Gading terperanjat. 

“Nanti kujelaskan. Yang penting sekarang kau harus 

cepat meninggalkan tempat ini. Aku akan membebaskan 

Paman Nampi,” potong Bayu cepat. 

“Tunggu dulu, aku ikut bersamamu!” 

“Kau sanggup?” 

“Aku masih bisa melawan sepuluh prajurit sekaligus!” 

“Ayolah! Waktu kita tidak banyak!” 

***


Paman Nampi digiring ke atas panggung. Di situ, tiang 

gantungan siap menunggu dengan tambang melingkar. 

Seorang prajurit melingkarkan tambang ke lehernya. Tidak 

kurang lima puluh prajurit berjaga-jaga di sektiar tempat 

itu. Paman Nampi mengedarkan pandangannya ke 

sekeliling. Tidak ada Prabu Abiyasa, dan Raden Sangga 

Alam. Yang ada hanya para prajurit dan algojo yang siap 

menggantungnya. 

“Tidak perlu! Aku tidak perlu penutup mata!” kata 

Paman Nampi tegas. 

Seroang algojo yang memegang kain hitam penutup 

mata melangkah mundur,mengurungkan niatnya menutup 

mata Paman Nampi. Empat orang prajurit menjaga di 

panggung gantungan, sedangkan dua orang algojo berada 

di depan Paman Nampi. Mereka tinggal menunggu 

perintah dari seorang punggawa yang sudah berdiri di 

depan panggung gantungan itu. 

“Laksanakan!” seru punggawa itu lantang. 

Seorang algojo menarik tambang di bawah kaki Paman 

Nampi, maka papan yan gdipijak laki-laki tua itu terbuka ke 

bawah. Paman Nampi tersentak! Lehernya langsung terasa 

nyeri. Napasnya mulai terasa terhambat. Tubuhnya 

menggelepar, sedangkan matanya membeliak lebar. 

Mulutnya pun tak urung terbuka lebar. Dia berusaha untuk 

tetap bernapas, tapi semakin sesak dan terasa sulit. 

Pada saat yang kritis itu, dua buah bayangan berkelebat 

cepat. Salah satu bayangan menyambar tubuh Paman 

Nampi, dan langsung memutuskan tambang yang menjerat 

leher. Kejadian yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, 

membuat semua prajurit dan algojo hanya terkesiap. 

Empat orang prajurit yang berada di atas panggung, tiba-

tiba terjungkal roboh dengan leher koyak mengucurkan 

darah.


Dua bayangan itu sangat cepat bergerak dan tahu-tahu 

sudah lenyap sebelum semua orang yang ada di situ 

menyadari apa yang terjadi. Mereka seperti terpaku 

memandang tali gantungan yang putus, tanpa terdapat 

tubuh Paman Nampi di sana. 

“Kejar! Tangkap mereka…!” punggawa yang memimpin 

hukuman gantung itu berteriak keras. 

Semua prajurit yang berada di sekitar tempat itu 

serempak berlarian ke arah dua bayangan yang membawa 

Paman Nampi menghilang. Sementara dua roang algojo 

melompat turun dari panggung gantungan. Mereka meng-

hampiri punggawa itu. 

“Bagaimana?” tanya salah seorang algojo. 

“Kalian jangan ke mana-mana! Aku akan laporkan hal ini 

pada Gusti Prabu,” sahut punggawa itu langsung 

melangkah pergi. 

Dua orang algojo itu saling berpandangan dan meng-

angkat bahunya. Tidak ada lagi prajurit yang terlihat. Hanya 

empat orang saja tergeletak tak bernyawa di atas 

panggung gantungan. 

*** 

“Bodoh!” umpat Prabu Abiyasa sambil menggebrak 

mejda dengan keras. 

Meja berukir dari kayu jati yang tebal itu sampai retak, 

hampir terbelah dua. Punggawa yang melaporkan tentang 

kejadian di tiang gantungan mengkeret menggigil. Para 

panglima dan patih yang berada di situ, tidak berani 

mengangkat wajahnya. Prabu Abiyasa benar-benar marah 

mendengar kegagalan pelaksanaan hukuman mati bai 

Panglima Nampi. Apalagi sampai bisa lolos, diselamatkan 

dua orang yang tidak jelas siapa orangnya. 

“Aku perintahkan pada kalian semua. Cari dan bunuh 

mereka!” lantang suara Prabu Abiyasa. 

“Gusti…” Panglima Jambak mengangkat kepalanya. 

“Hamba yakin mereka belum keluar dari benteng istana.


Sekitar benteng sudah dikepung para pemberontak.” 

“Heh…?!” Prabu Abiyasa terperanjat. 

“Ampunkan hamba, Gusti. Semula hamba memang 

hendak melaporkan hal ini, tapi punggawa lebih dulu 

datang dan melaporkan kegagalan pelaksanaan hukuman 

mati itu,” kata Panglima Jambak lagi. 

“Panglima! Aku tidak peduli bagaimana caranya! Aku 

tidak ingin melihat para pemberontak menjarah istana ini. 

juga, cari pengkhianat itu sampai dapat!” perintah Prabu 

Abiyasa. 

“Hamba laksanakan, Gusti.” 

Panglima Jambak bergegas keluar diikuti para penglima 

lainnya. Punggawa itu juga bergegas ke luar. Di situ tinggal 

Prabu Abiyasa bersama beberapa patih dan delapan orang 

jago bayaran dari tanah seberang. Prabu Abiyasa menatap 

delapan orang berpakaian aneh itu. 

“Kalian kuperintahkan mencari pengkhianat itu. 

siapapun dia, bunuh!” 

Delapan jago dari tanah seberang membungkuk hormat, 

lalu melangkah meninggalkan ruangan itu. Prabu Abiyasa 

juga bergegas pergi. Tinggal sekitar lima orang patih yang 

masih berada di sana. Mereka hanya saling pandang. 

“Mungkin ini akhir dari Gantar Angin….” gumam salah 

seorang patih pelan. 

“Bagaimana tindakan kita?” tanya salah seorang 

lainnya. 

“Tidak perlu ikut campur. Kita semua, hanya jabatannya 

saja yang patih. Tapi tugas dan pekerjaan sudah ditangani 

orang-orang Prabu Abiyasa. Kita lihat saja. Siapapun yang 

duduk di atas tahta, dialah junjungan kita.” 

“Setuju!” 

“Kalian tidak bisa bersikap demikian.” 

Lima orang patih itu terkejut, dan hampir bersamaan 

menoleh. Wajah mereka langsung pucat pasi begitu 

melihat Raden Sangga Alam tahu-tahu sudah berada di 

ruangan ini. Pemuda tampan bagai wanita itu melangkah 

pelan menghampiri. Sikapnya lembut dan bibirnya tidak

pernah lepas dari senyuman. 

“Kalian adalah orang-orang yang dulu berjanji setia pada 

Prabu Abiyasa. Sebelumnya, kalian juga mengaku setia 

pada Ratu Kunti Boga. Dan kini, kalian pasti akan 

mengatakan setia pada orang yang mungkin akan 

meruntuhkan tahta Kerajaan Gantar Angin. Sungguh tidak 

kusangka! Patih-patih Kerajaan Gantar Angin, ternyata 

bermental penjilat!” lembut suara Raden Sangga Alam, tapi 

terdengar tegas dan langsung mengena di hati. 

“Raden, kami…” 

“Tidak perlu berdalih! Sebenarnya kalian lebih ber-

bahaya dari para pemberontak!” potong Raden Sangga 

Alam. 

Lima orang patih itu terdiam menunduk. 

“Jika kalian masih menganggap diri kalian manusia, 

punya hati, dan perasaan, tentu punya rasa malu berada di 

istana ini,” lanjut Raden Sangga Alam. 

Lima orang patih itu saling pandang. Kata-kata Raden 

Sangga Alam yang lembut dan tegas iu, sangat mengena di 

hati mereka. Seperti ada yang memberi komando, mereka 

langsung menjatuhkan diri dan berlutut di depan pemuda 

tampan berkulit putih bersih itu. 

“Ampunkan kami, Raden. Kami tidak tahu harus 

bersikap bagaimana. Kami tidak punya daya…” kata salah 

seorang patih. 

“Kalian pasti masih punya otak untuk berpikir, dan 

masih punya hati untuk merasakan. Tentukanlah sendiri 

langkah yang harus ditempuh. Kalian harus punya sikap 

tegas dan mampu menilai pantas atau tidaknya junjungan 

yang harus dihormati dan dipatuhi. Seharusnya kalian 

sadar bahwa kalian bukan boneka kayu yang dapat 

dikendalikan tanpa mampu melakukan sesuatu dengan 

sendirinya.” 

“Raden. Hukumlah kami yang bodoh ini.” 

“Hukuman bukan jalan satu-satunya.” 

“Raden. Kami semua tahu siapa Raden sesungguhnya. 

Dan kami berjanji setia pada peritnah Raden.”



“Kesetiaan bukan hanya di mulut, tapi perbuatan dan 

niat hati yang murni.” 

“Tunjukkan, apa yang harus kami lakukan.” 

“Halangi orang-orang asing itu mengejar Paman Nampi!” 

Lima orang patih itu terkejut, sampai mendongakkan 

kepalanya. Perintah Raden Sangga Alam membuat jantung 

mereka seperti copot. Dan belum lagi sempat bicara, 

Raden Sangga Alam sudah berbalik melangkah meninggal-

kan ruangan itu. 

*** 

Raden Sangga Alam tersenyum-senyum masuk ke 

kamar perisitirahatan pribadinya. Bergegas dikuncinya 

pintu. Pandangannya langsung tertuju ke pembaringan, 

tempat seorang laki-laki tua terbujur di sana. Di 

sampingnya berdiri seorang pemuda mengenakan baju 

kulit harimau dan seorang pemuda tampan gagah dengan 

pakaian koyak. 

“Aku tidak mau ambil resiko dengan membawa orang 

lain ke sini,” kata Raden Sangga Alam. “Berikan pil ini pada 

Paman Nampi.” 

Pemuda berbaju koyak dengan wajah babak belur 

menerima pil berwarna merah dari tangan Raden Sangga 

Alam, kemudian memasukannya ke mulut Paman Nampi 

yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajah laki-laki tua itu 

berubah merah, setelah pil tertelan. Sebentar dia 

menggeliat, lalu diam dengan napas mulai teratur. 

“Sebentar lagi kesehatanmu akan pulih,” kata Raden 

Sangga Alam seraya melangkah mendekati jendela. 

Pandangannya terarah ke luar. 

“Raden…” 

“Jangan panggil aku Raden, Kanda Bantar Gading. 

Meskipun kita sama-sama sudah mengetahui diri masing-

masing, aku tetap menganggapmu sebagai kakak,” potong 

Raden Sangga Alam seraya membalikkan tubuhnya. 

Bantar Gading tertunduk. Hatinya merasa malu akan


kemuliaan hati Raden Sangga Alam. Benar-benar disesali 

semua perbuatan yang telah dilakukannya. 

“Aku tahu semua tentang diriku, kau dan semua yang 

telah terjadi di sini. Itu semua berkat jasa besar Pendekar 

Pulau Neraka,” ambung Raden Sangga Alam seraya 

memandang Bayu Hanggara. 

“Jangan terlalu membesarkan, Raden.” Kata Bayu 

merendah. 

Bantar Gading melirik Bayu. Meskipun belum ada yang 

memberitahu, tapi sudah dapat diduga kalau semua yang 

dilakukan Pendekar Pulau Neraka di sini, tentu berkat 

bantuan Raden Sangga Alam. Tidak ada seorang pun yang 

tahu tentang ruangan bawah tanah selain para keluarga 

kerajaan, dan para prajurit pilihan. Dan lagi tidak mudah 

masuk ke sana kalau bukan karena bantuan Raden 

Sangga Alam. 

Perhatian mereka langsung tertumpah pada Paman 

Nampi yang mulai siuman. Laki-laki tua itu segera beranjak 

duduk begitu menyadari berada dalam kamar Raden 

Sangga Alam. Paman Nampi cepat beringsut turun dari 

pembaringan dan bersimpuh di lantai. 

“Bangunlah, Paman. Tidak pantas kau berbuat demikian 

padaku,” kata Raden Sangga Alam. 

“Ampunkan hamba, Raden,” kata Paman Nampi tetap 

duduk bersila. 

“Tidak ada yang harus dimaafkan. Aku tahu kenapa kau 

selalu merahasiakan semua ini. Aku sungguh berterima 

kasih karena kau selalu setia pada ibundaku. Bahkan tetap 

mengabdi padaku dengan memberiku bekal yang cukup,” 

kata Raden Sangga Alam. 

“Raden sudah mengetahui?” Paman Nampi agak 

terkejut juga. 

“Ya,” sahut Raden Sangga Alam kembali melirik Bayu 

Hanggara. 

“Maaf, aku terpaksa menceritakan semuanya. Ini 

kulakukan demi kalian semua,” ucap Bayu. 

“Aku memang sudah memperkirakan. Cepat atau


lambat, semuanya pasti terbongkar,” desah Paman Nampi. 

“Saat ini benteng istana sudah dikepung para 

pemberontak. Kalian tidak mungkin dapat meninggalkan 

kamar ini,” kata Raden Sangga Alam memberi tahu. 

Paman Nampi dan Bantar Gading terkejut. Hanya Bayu 

yang kelihatannya tenang-tenang saja. 

“Tidak perlu dicemaskan. Mereka berjuang untukku, 

untuk keadilan di Gantar Angin ini,” sambung Raden 

Sangga Alam. 

“Tapi…” Bantar Gading teringat Ki Maruta. 

“Mereka adalah para penglima dan prajurit setia Ibunda 

Ratu Kunti Boga yang sempat melarikan diri ketika itu. Aku 

berhasil menghimpun mereka dalam waktu dua hari ini 

bersama Pendekar Pulau Neraka, dan sama sekali tidak 

melibatkan rakyat. Tapi, aku tidak bisa menolak kehadiran 

pada pemuda yang rela berkorban demi keadilan.” 

“Bagaimana dengan kaum pemberontak di Hutan 

Danaraja?” jawab Bantar Gading. 

“Sampai saat ini aku tidak mendengar kabar beritanya,” 

jawab Raden Sangga Alam. 

“Paman! Betulkah kau pernah cerita sewaktu di dalam 

penjara bahwa para pemberontak yang menghimpun 

kekuatan di Hutan Danaraja atas prakarsamu? Mengapa 

mereka tidak membantu?” Bantar Gading menatap Paman 

Nampi yang sudah duduk di kursi. 

“Itulah kesalahanku yang paling fatal! Aku menghimpun 

kekuatan di Hutan Danaraja dengan mempercayakan 

kepemimpinan pada Ki Maruta, adik tiri Prabu Abiyasa…!” 

kata Paman Nampi. Suaranya menyiratkan penyesalan. 

“Ki Maruta memanfaatkannya untuk kepentingan 

pribadi,” sambung Bayu. “Dia tengah mencari kesempatan, 

dengan membiarkan bekas-bekas prajurit dan panglima 

merebut tahta lebih dahulu.” 

“Dan semua itu sudah kupikirkan masak-masak,” 

sambung Raden Sangga Alam. “Sehingga perjuangan ini 

tidak menjadi sia-sia.” 

“Ah! aku bangga sekali padamu, Raden,” desah Paman


Nampi terharu. 

“Sudahlah, Paman. Semua ini berkat bimbinganmu 

juga,” Raden Sangga Alam merendah. 

“Apa rencana selanjutnya?” tanya Bantar Gading. 

Raden Sangga Alam tidak langsung menjawab, tapi 

malah tersenyum seraya memandang Pendekar Pulau 

Neraka. Kembali dipandang keadaan di luar jendela. 

Tempak beberapa prajurit masih tampak sibuk di luar 

sana. Para panglima pun sibuk mengatur penjagaan. 

Bahkan ratusan prajurit sudah siap dengan senjata, dan 

berbaris di alun-alun istana. Mereka benar-benar telah siap 

menghadapi perang pemberontakan. 

*** 

Waktu terus berjalan dengan pasti. Malampun berganti 

siang. Matahari baru saja menampakkan dirinya di ufuk 

timur. Dan pada saat itu, Bayu baru saja melompat keluar 

dari jendela kamar Raden Sangga Alam. Gerakannya 

sangat ringan. Tubuhnya melenting ke udara lalu hinggap 

di atas atap. Sambil merapatkan tubuhnya ke atap, 

matanya yang tajam mengamati sekitarnya. 

Pendekar Pulau Neraka itu kembali melentingkan 

tubuhnya dan meluruk ke bawah. Begitu kakinya menjejak 

tanah, kembali melesat dan langsung menuju ke arah 

tembok benteng. Sungguh cepat dan ringan sekali 

lesatannya. Sekejap saja sudah melewati tembok benteng 

yang tinggi dan kokoh. Tubuhnya membungkuk, dan 

kakinya tertekuk ketika mendarat di luar tembok benteng. 

Seorang laki-laki berusia sektiar tujuh puluh lima tahun 

berlari-lari menghampiri. Bayu berdiri tegak menanti. Laki-

laki tua mengenakan baju putih dan ikat kepala putih itu 

berhenti di depan Pendekar Pulau Neraka. Di pinggangnya 

tergantung sebilah pedang. 

“Bagaimana, Tuan Pendekar? Kami sudah menunggu 

perintah,” kata laki-laki tua itu seperti tidak sabar. 

“Raden Sangga Alam meminta untuk membatalkan


penyerangan,” sahut Bayu. 

Laki-laki tua itu terkejut mendengarnya. Harapannya 

semula, pagi ini juga akan dilakukan penyerangan. Semua 

prajurit setia Ratu Kunti Boga, ditambah ratusan pemuda 

sudah tidak sabar menunggu penyerangan. 

“Ki Raban! Raden Sangga Alam tetap memerintahkan 

untuk mengepung sekitar istana ini. rasanya itu memang 

harus dilakukan, mengingat Prabu Abiyasa masih dibantu 

delapan orang jago dari tanah seberang. Mereka bukan 

orang sembarangan! Dan lagi, para prajurit bukanlah 

tandingan mereka. Maaf, bukannya aku mengecilkan arti 

para panglimamu,” jelas Bayu. 

“Kenapa bisa begitu?” laki-laki tua yang bernama Ki 

Raban minta penjelasan. 

“Masih ada kelompok lain yang menghendaki tahta 

Kerajaan Gantar Angin. Mereka kini berada di luar 

lingkungan istana. Raden Sangga Alam mengkhawatirkan 

kelompok yang satu ini, karena dinilai lebih berbahaya. 

Sementara keadaan di dalam istana mungkin masih bisa 

dikuasai. Yang jelas, tidak semua prajurit akan setia pada 

Prabu Abiyasa. Bahkan sebagian besar adalah para prajurit 

Panglima Nampi. Sebagian kecil saja yang memang prajurit 

bawaan Prabu Abiyasa.” Jelas Bayu. 

“Lalu, apa yang harus kulakukan?” 

“Tetap berada di tempat, dan tingkatkan kewaspadaan. 

Jangan sampai ada di antara mereka menyusup ke dalam 

pasukanmu.” 

Ki Raban menggeleng-gelengkan kepalanya. Rasanya 

masih belum bisa mengerti jalan pikiran Raden Sangga 

Alam. Ki Raban adalah seroang panglima besar yang 

membawahi para panglima besar pada saat Kerajaan 

Gantar Angin masih diperintah Ratu Kunti Boga. Tidak 

terhitung lagi, berapa peperangan telah dijalakannya. Tapi, 

baru kali ini dia tidak bisa memahami maksud pewaris 

syah Kerajaan Gantar Angin. Bertahun-tahun saat seperti 

ini ditunggu-tunggu. Dan begitu tiba masanya, semuanya 

jadi terhalang. Dia tidak tahu persis, apa yang jadi


penghalang utamanya. 

Bayu bisa menangkap adanya sedikit kekecewaan 

dalam sinar mata Ki Raban. Bisa dimengerti kalau saat 

seperti ini memang sudah lama dinantikannya. Dan 

sekarang, saat-saat yang seharusnya membangkitkan 

semangat pepreangan, harus tertunda kembali. Dan ini 

disebabkan keadaan di dalam benteng istana belum dapt 

dikuasai sepenuhnya. Pertahanan mereka masih terlalu 

kuat. Lebih-lebih dengan adanya delapan orang jago dari 

tanah seberang. Hal itu menjadi bahan pemikiran Raden 

Sangga Alam. Dia tidak ingin mengorbankan nyawa terlalu 

banyak, meskipun hal itu tidak mungkin dapat terelakkan. 

Tapi paling tidak memperkecil jumlahnya. 

“Rasanya tidak ada lagi yang harus kusampaikan,” kata 

Bayu. 

“Tunggu dulu, Tuan Pendekar,” cegah Ki Raban ketika 

Bayu akan berbalik. 

Bayu mengurungkan niatnya untuk kembali ke dalam 

benteng istana. 

“Apa yang tengah dilakukan Raden Sangga Alam di 

dalam?” tanya Ki Raban ingin tahu. 

“Menarik kembali roang-orang yang masih setia 

padanya,” sahut Bayu. 

Setelah berkata demikian, Bayu langsung berbalik dan 

melesat ke atas tembok benteng. Setelah melewati 

tembok, langsun gmeluruk ke bawah. Dengan manis 

kakinya kembali menjejak tanah di dalam tembok Istana 

Gantar Angin. Namun baru saja hendak melesat lai, sebuah 

tombak meluruk ke arahnya. 

“Eit!” 

***


Bayu Hanggara menarik tubuhnya ke samping, maka 

tombak itu hanya lewat, menyambut tempat kosong. Belum 

juga Pendekar Pulau Neraka itu menarik tubuhnya kembali, 

sebuah bayangan meluruk ke arahnya. Buru-buru Bayu 

menjatuhkan diri dan bergulingan beberapa kali di tanah, 

lalu bergegas melompat bangkit. Kelopak matanya agak 

menyipit begitu melihat empat orang berpakaian aneh 

sudah berdiri mengepungnya. 

Empat orang itu adalah jago undangan dari tanah 

seberang. Mereka langsung menyerang tanpa bicara apa-

apa. Bayu berlompatan dengan tubuh meliuk-liuk meng-

hindari serangan yang datang secara beruntun dari empat 

arah. Agak kerepotan juga dia, karena jurus-jurus yang 

digunakan empat orang itu sangat asing baginya. 

“Ugh!” 

Bayu tidak bisa mengelakkan satu pukulan keras yang 

mendarat di perutnya. Seketika itu juga dirasakan perutnya 

mual. Namun dengan cepat dikerahkan hawa murni 

sehingga rasa mual pada perutnya cepat terusir. Pendekar 

Pulau Neraka itu mengegoskan kepalanya ke kiri ketika 

sebuah senjata mendesing ke arah kepalanya. Dengan 

satu gerakan manis, tangannya bergerak cepat ke 

samping. 

Des! 

Orang yang berada di samping, terjengkang ke belakang. 

Dan pada saat yang sama, kaki Bayu menyepak ke 

belakang. Satu orang lagi yang berada di belakangnya 

terjungkal terhantam bagian dadanya. Bayu langsung 

melesat ke belakang melewati kepala orang yang tengah 

terhuyung tersepak kakinya. 

“Hiyaa…!” 

Sambil berteriak nyaring, Pendekar Pulau Neraka itu 

mengirimkan satu pukulan keras ke kapala prang itu. Tak


dapat dihindari lagi. Pukulan bertenaga dalam hampir 

sempurna itu mendarat telak di kepala orang itu. 

“Aaa…!” orang itu menjerit keras sambil memegangi 

kepalanya yang pecah. 

Begitu kakinya mendarat di tanah, Bayu langsung 

mengirimkan dua pukulan geledek beruntun ke punggung 

dan pinggang orang itu. Satu jeritan panjang menyayat 

kembali terdengar disertai bunyi tulang-tulang patah. Orang 

itu menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari 

kepala yang pecah. 

“Giliran kalian bertiga!” dengus Bayu geram. 

Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuhnya ke kiri 

setengah membungkuk. Kakinya terpentang agak lebar 

dan lututnya tertekuk hampir menyentuh tanah. Kemudian 

tangan kanannya mengibas cepat ke depan. Secercah 

cahaya keperakan dari senjata Cakra Maut kini melesa 

bagai kilat. 

Cakra Maut itu meluncur deras tidak terbendung lagi ke 

arah salah seorang jago dari tanah seberang. Orang itu ter-

perangah sesaat, lalu menjerit melengking tinggi. Lehernya 

koyak hampir putus terpenggal senjata milik Pendekar 

Pulau Neraka. 

“Hiyaaa…!” 

Seketika itu juga tubuhnya melesat cepat dan meng-

ayunkan kakinya ke arah dada orang itu. Akibatnya, orang 

itu terjungkal ambruk ke tanah. Hanya sedikit Bayu meng-

angkat tangan kanannya. Dan saat senjata cakranya 

kembali menempel pada pergelangan tangan kanan, 

kembali dikibaskannya dengan cepat. Cakra Maut itu 

kembali melesat ke arah salah seorang lagi. Sementara 

Bayu meluruk deras menyambar satu jago dari seberang 

yang lain. 

Dua orang jago dari seberang itu masih terpaku 

menyaksikan kematian dua orang temannya yang belum 

sempat mengeluarkan jurus-jurus andalan mereka. Dan 

belum juga mereka sempat menyadari, serangan kembali 

datang dengan cepat. Tentu saja hal ini membuat mereka


jadi sibuk menghindari serangan-serangan dahsyat 

Pendekar Pulau Neraka. Satu orang menghadapi langsung 

Pendekar Pulau Neraka, sedangkan seorang lagi 

berlompatan menghindari terjangan dahsyat Cakra Maut. 

Sungguh suatu pertarungan yang sanga tunik, namun 

mengandung hawa maut! 

“Modar…!” bentak Bayu tiba-tiba. 

Seketika itu juga dia menggedor tangan kanannya ke 

depan. Jago dari seberang itu terperangah sesaat, buru-

buru dimiringkan tubuhnya ke kanan. Namun gedoran 

tangan Pendekar Pulau Neraka masih sempat mengenai 

bahu kirinya. Orang itu memekik tertahan. Tubuhnya pun 

terhuyung ke belakang beberapa langkah. 

Bayu tak menyia-nyiakan kesempatan yang sedikit itu. 

dia segera melompat sambil mengayunkan kaki kanannya. 

Tendangan yang cepat dan keras, disertai pengerahan 

tenaga dalam hampir sempurna itu, tidak bisa dielakkan 

lagi. Tapak kaki Bayu mendarat telak di dada yang terbuka. 

“Hugh!” jago dari tanah seberang itu mengeluh pendek. 

Belum lagi sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, 

satu pukulan keras menghantam kepalanya. Jerit meleng-

king terdengar menyayat. Orang itu memegangi kepalanya 

yang retak. Darah pun mengucur deras dari sela-sela jari 

tangannya. Pada saat itu, Bayu kembali mendaratkan 

pukulan mautnya ke arah leher. Lawannya langsung diam 

tak bergerak-gerak lagi. Sesaat kemudian, tubuhnya 

ambruk dengan kepala terpisah. Tebasan jari tangan 

Pendekar Pulau Neraka sungguh luar biasa, karena dapat 

lebih tajam dari pada sebilah pedang. Serangan Pendekar 

Pulau Neraka itu tidak tanggung-tanggung lagi. Dikeluar-

kannya jurus andalan simpanannya yang tidak pernah 

digunakan sebelumnya. Jurus ‘Pukulan Mata Pedang 

Dewa’. 

“Hhh…!” Bayu mendengus berat seraya memalingkan 

kepalanya. 

Tampak beberapa puluh prajurit Gantar Angin berlarian 

ke arah pertarungan itu. Rupanya mereka mendengar


suara pertarungan, sehingga menguncang mereka untuk 

ke sana. Kembali Bayu mendengus berat. Segera diangkat 

tangan kanannya ke atas kepala. Senjata Cakra Maut yang 

tengah melayang-layang, menyerang seorang jago dari 

tanah seberang, melesat balik dan langsung menempel di 

pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. 

“Nyawamu masih terampuni kali ini, orang asing!” kata 

Bayu dingin. 

Setelah berkata demikian, Bayu langsung melompat 

cepat ke arah atap bangunan istana. Dan begitu jari kaki-

nya menjejak atap, tubuhnya kembali meluruk turun ke 

balik tembok istana itu. Beberapa prajurit yang mengejar, 

kini kehilangan jejak. Sedangkan jago dari seberang yang 

tersisa, hanya berdiri mematung dengan napas kembang-

kempis. 

*** 

Bayu langsung menutup jendela kamar pribadi Raden 

Sangga Alam begitu berada di dalam. Tarikan napasnya 

masih agak tersenggal. Tubuhnya berbalik, dan langsung 

menatap Raden Sangga Alam, Bantar Gading dan Paman 

Nampi. Ketiga orang itu berdiri memandanginya dengan 

paras wajah menyiratkan suatu kecemasan yang amat 

sangat. 

“Apa yang terjadi, Bayu?” tanya Paman Nampi tidak bisa 

membendung rasa ingin tahunya. 

“Huh…!” Bayu mendengus menghembuskan napas 

kencang. 

“Kau bentrok dengan para prajurit?” tebak Bantar 

Gading. 

“Empat roang asing,” jawab Bayu seraya meng-

henyakkan tubuhnya di kursi dekat jendela. 

“Lalu?” desak Bantar Gading lagi. 

“Aku berhasil menewaskan tiga di antaranya. Satu lagi 

berhasil selamat karena keburu datang prajurit-prajurit 

sialan itu.”


Bantar Gading dan Paman Nampi saling berpandangan. 

Sementara Raden Sangga Alam berjalan mondar-mandir 

dengan tangan terlipat di depan dada. Tampaknya tengah 

berpikir keras dengan peristiwa yang baru saja dialami 

Pendekar Pulau Neraka ini. selama masih ada jago-jago 

undangan dari tanah seberang, memang merupakan satu 

ganjalan yang sukar dilewati. Jago-jago dari seberang itu 

rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. 

Para panglima kerajaan pun belum tentu sanggup 

menandinginya. Hanya Pendekar Pulau Neraka saja yang 

dapat diandalkan. Tapi untuk menghadapi semuanya 

sekaligus….. Satu hal yang sangat riskan dan terlalu ber-

bahaya. 

Raden Sangga Alam menatap Bayu dalam-dalam. 

Sedangkan Bayu juga balas menatap pemuda tampan 

bagai wanita itu. Entah apa arti pandangan mereka, seolah-

olah tengah berbicara menggunakan kekuatan batin. 

Sementara Bantar Gading dan Paman Nampi hanya mem-

perhatikan saja dengan pandangan tidak mengerti. 

“Tampaknya tidak ada jalan lain. Korban nyawa tidak 

mungkin lagi dihidnari. Para panglima dan patih yang setia 

pada Prabu Abiyasa mencium adanya pemberontakan di 

dalam. Mereka menangkap dan menjebloskan panglima, 

patih dan para prajurit yang dicurigai akan memberontak,” 

pelan suara Raden Sangga Alam. 

“Perjuangan membutuhkan pengorbanan, Raden,” kata 

Paman Nampi mulai bisa menangkap kegundahan hati 

pemuda itu. 

“Ya. Perngorbanan yang tidak kecil,” desah Raden 

Sangga Alam pelan. 

Raden Sangga Alam mengalihkan pandangannya ke 

jendela. Terdengar suara-suara para prajurit yang masih 

mencari Pendekar Pulau Neraka. Suara-suara itu demikian 

dekat, dan pasti berada tidak jauh dari jendela kamar itu. 

“Hanya satu yang kupikirkan saat ini,” kata Raden 

Sangga Alam lagi setelah suara-suara itu mulai senyap. 

“Apa?” tanya Paman Nampi.


“Jago-jago dari seberang yang diundang Prabu Abiyasa.” 

“Serahkan padaku!” sergah Bayu tegas. 

“Bayu…” Paman Nampi langsung menatap Pendekar 

Pulau Neraka itu. “Mereka sangat tangguh. Jurus-jurusnya 

pun sangat berbeda dengan yang ada di negeri ini. Maaf, 

bukannya aku mengecilkan arti dirimu, aku hanya 

mengkhawatirkan kalau-kalau…” 

“Terima kasih, Paman.” Cetus Bayu cepat memotong. 

“Kalian tidak perlu mencemaskan diriku. Memang sudah 

jadi kewajibanku untuk menghadapi orang-orang asing 

yang ikut campur dalam urusan kerajaan di sini. Dan aku 

juga tidak akan ikut bertempur melaran prajurit. Aku hanya 

mencegah orang-orang asing itu ikut campur!” tegas kata-

kata Bayu Hanggara. 

“Tuan Pendekar! Aku tidak akan melupakan jasamu ang 

sangat besar ini,” ucap Raden Sangga Alam terharu. 

“Lupakan saja. Yang penting sekarang, Raden harus 

memberikan tanda untuk memulai peperangan. Mereka 

yang berada di luar tidak sabar lagi menunggu perintah 

Raden. Meskipun Ki Raban bisa mengerti, tapi aku 

khawatir yang lainnya tidak bisa mengendalikan diri,” jelas 

Bayu lagi. 

“Baiklah! Untuk sementara kita kesampingkan dulu 

kelompok ketiga yang dipimpin Ki Maruta. Hal ini bisa di-

tanggulangi nanti setelah istana ini dapat kita kuasai,” 

sahut Raden Sangga Alam. 

Setelah berkata begitu, Raden Sangga Alam melangkah 

keluar dari kamar. Bayu membuka jendela kamar itu dan 

melompat keluar. Bantar Gading dan Paman Nampi 

mengikuti keluar dri jendela juga. Untung saja tidak 

seorang prajurit pun yang berada di sektiar kamar itu, 

sehingga ketiga orang itu dapat leluasa bergerak. 

*** 

Peperangan tak terhindarkan lagi. Begitu Raden Sangga 

Alam memberi tanda dengan melepas seasang burung


merpati, para prajurit dan pemuda yang setia pada Ratu 

Kunti Boga langsung menyerbu benteng Istana Kerajaan 

Gantar Angin. Pekik peperangan dan jerit kematian berbaur 

jadi datu memecah udara di Kerajaan Gantar Angin. 

Para prajurit yang berada di dalam benteng, jumlahnya 

memang sangat sedikit. Sehingga, dalam waktu tidak 

berapa lama saja pintu gerbang benteng isatana jebol. 

Tampak Ki Raban memimpin di depan menerobos pintu 

benteng yang hancur berantakan. Denting senjata bergema 

mengiringi jerit kematian dan pekik peperangan. Tubuh-

tubuh mulai bergelimpangan. Darah bersimbah mem-

basahi tanah Gantar Angin. 

Di antara para prajurit dan pemuda rakyat yang tengah 

bertempur menyabung nyawa, tampak Bayu sedang meng-

hadapi dua orang jago dari seberang. Tidak jauh dari 

tempat pertarungan itu, terlihat tiga orang jago dari 

seberang tergeletak dengan tubuh bersimbah darah. 

Rupanya Pendekar Pulau Neraka telah berhasil mem-

binasakan tiga dari lima jago dari seberang yang tersisa. 

Jumlah yang banyak dengan ditambah semangat ber-

kobar-kobar, membuat mereka yang setia pada Ratu Kunti 

Boga berada di atas angin. semangat mereka semakin 

berkobar begitu para panglima, patih, dan prajurit yang 

ditawan telah dibebaskan Bantar Gading. Mereka langsung 

menerjunkan diri dalam kancah pertempuran. Suasana jadi 

semakin tidak menentu. Tidak terhitung lagi, berapa para 

prajurit setia Prabu Abiyasa yang tewas berlumuran darah. 

“Mampuslah kalian!” terdengar bentakan keras 

Pendekar Pulau Neraka. 

“Aaa…!” satu jeritan melengking mengantarkan 

kematian salah seorang jago dari seberang dengan leher 

terpenggal. 

Bayu berdiri tegak memandang salah seorang jago dari 

seberang yang tersisa. Seorang laki-laki bertubuh tinggi 

tegap, dan berkulit kuning langsat. Wajahnya cukup 

tampan, namun sorot matanya mencerminkan kebengisan. 

Senjata berupa pedang yang kecil dan tipis berwarna


keperakan. 

Perlahan-lahan diangkat pedangnya ke atas kepala. 

Kedua tangannya memegang gagang pedang erat-erat, lalu 

tangan kiri mengembang ke samping. Pedang tipis kecil 

panjang itu terpisah jadi dua bagian. Kini di tangan kanan 

dan kiri, masing-masing menggenggam satu pedang 

dengan bentuk dan ukuran yang sama. 

“Hiyaaa…!” 

Orang itu berteriak nyaring. Seketika itu juga tubuhnya 

melesat cepat menerjang. Bayu yang sudah siap sejak tadi, 

memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri menghindari sodokan 

pedang di tangan kanan lawannya. Kemudian kaki kanan-

nya terangkat menekuk menghindari tebadan pedang di 

tangan kiri. Dua serangan serentak luput tanpa mengenai 

sasaran. 

“Yaaah…!” Bayu berteriak keras. 

Buk! 

“Hugh!” 

Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu Pendekar Pulau 

Neraka sudah mendorong kedua tangannya ke depan. Dan 

orang dari seberang itu terdorong beberapa langkah ke 

belakang. Tangan kirinya menekan dada, sedangkan dari 

mulutnya menyebur darah kental kehitaman. Tampak di 

dadanya yang terbuka terdapat gambar telapak tangan ber-

warna hitam kebiru-biruan. Ternyata Bayu melepaskan 

jurus ‘Pukulan Tapak Beracun’. Satu jurus andalan yang 

sangat dahsyat, dan dapat berakibat fatal bagi lawan yang 

terkena pukulan beracun itu. 

“Huh! Yeaaah…!” 

Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri setengah 

membungkuk, sedangkan kakinya tertekuk dengan lutu 

hampir menyentuh tanah. Orang yang pernah bentrok 

dengan Pendekar Pulau Neraka, pasti dapat menebak 

kalau dirinya akan melontarkan senjata mautnya yang 

aneh. Tapi Bayu jadi tertegun, karena lawannya hanya 

berdiri diam tidak bergerak-gerak. 

Belum sempat disadari, tahu-tahu orang asing itu


ambruk ke tanah dengan punggung tertembus tombak. 

Tampak Paman Nampi berdiri tidak jauh dari orang asing 

itu. Bayu kembali berdiri tegak, mengurungkan niat 

melontarkan senjata mautnya. Sementara pertempuran 

masih terus berlangsung. Kelihatan sekali kalau para 

prajurit Prabu Abiyasa sudah demikian terdesak. Bahkan 

beberapa prajurit mencoba melarikan diri. Tapi, para 

prajurit yang dipimpin langsung Ki Raban tidak 

membiarkan mereka melarikan diri. 

“Paman, di mana Raden Sangga Alam?” tanya Bayu 

yang sejak terjadinya pertempuran tidak melihat kehadiran 

Raden Sangga Alam. 

“Di dalam, bersama beberapa panglima. Mereka tengah 

mengamankan keluarga kerajaan. Prabu Abiyasa sudah 

ditawan,” sahut Paman Nampi. 

“Kalau begitu, hentikan pertempuran ini!” seru Bayu. 

“Tidak mungkin, Bayu! Mereka bukan prajurit terdidik. 

Lebih banyak rakyat dari pada prajurit sesungguhnya. 

Biarkan saja mereka melampiaskan dendam dan sakit hati 

mereka.” 

Bayu sempat terhenyak mendengar jawaban Paman 

Nampi, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sudah berjanji 

tidak mencampuri urusan dalam Kerajaan Gantar Angin. 

Bayu merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di 

lingkungan istana ini. Sementara Paman Nampi sudah 

kembali terjun dalam kancah pertempuran. Laki-laki tua itu 

seperti sedang melampiaskan amarah dan rasa sakit 

hatinya. Mereka yang berani mendekat, habis dibantai 

tanpa ampun lagi. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera 

melompat tinggi ke udara. Tubuhnya melesat cepat 

bagaikan kilat melewati pagar benteng istana itu. Sekejab 

saja bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka lenyap di 

balik tembok benteng. Sementara pertempuran terus 

berlangsung. Bahkan di bagian lain, rakyat dan para 

prajurit setia Ratu Kunti Boga bersorak-sorai akan 

kemenangan yang diraihnya. Gantar Angin benar-benar



banjir darah. Perang saudara berkecamuk akibat rasa 

dendam dan sakit hati yang tak terobati. Rasa dendam itu 

dilampiaskan dengan membantai para prajurit Prabu 

Abiyasa yang nyata-nyata sudah tidak mampu lagi mem-

pertahankan diri. 

Bayu berdiri tegak di atas sebuah bukit. Tatapan mata-

nya tertuju langsung ke arah Kerajaan Gantar Angin. Dari 

ketinggian di atas bukit itu bisa dilihat jelas, bagaimana 

pertempuran berlangsung di dalam benteng istana. Per-

tempuran yang sudah berubah jadi arena pembantaian dan 

pelampiasan hati yang tertekan selama ini. 

“Hhh! Mereka sudah seperti binatang! Tidak lagi meng-

gunakan otak…!” dengus Bayu berat. 

“Kau tidak ikut bertempur, Kakang?” 

Bayu tersentak kaget, dan langsung menoleh. Sama 

sekali Pendekar Pulau Neraka itu tidak menyadari kalau 

Mayang mengayunkan kakinya mendekati dan berdiri di 

sampingnya. 

“Bagaimana keadaan di sana, Kakang?” tanya Mayang. 

“Kau lihat sendiri. Mereka tidak seperti manusia lagi, 

tapi cenderung bagaikan binatang yang sedang mem-

perebutkan daerah kekuasaan,” sahut Bayu agak tertahan 

suaranya. 

“Seharusnya kau menghentikan pembantaian itu, 

Kakang,” kata Mayang. 

“Percuma! Mereka tidak memerlukan aku lagi. Mereka 

sudah dikendalikan hawa nafsu dan rasa dendam yang 

mendalam di dalam hati. Raden Sangga Alam sendiri tidak 

mampu mengendalikannya.” 

“Lalu, bagaimana dengan Kakang Bantar Gading?” 

tanya Mayang teringat kekasihnya. 

“Aku tidak melihat sejak terjadi pertempuran.” 

“Oh…..” Mayang mendesah lirih. 

Bayu memalingkan kepalanya. Jelas, ada rasa cemas 

terpancar pada wajah wanita itu. Sangat jelas terlihat, 

meskipun wajahnya masih pucat. Kondisi tubuh Mayang 

memang belum pulih benar dari luka-lukanya. Bayu mem


balikkan tubuhnya saat telinganya mendengar ranting ter-

injak. Dari dalam semak belukar muncul Rintan. Gadis 

muda berwajah kekanak-kanakan. 

“Rintan, kenapa kau ke sini?” tanya Mayang. 

“Aku mencarimu, Kak. Aku cemas, kau belum sembuh 

benar,” jawab Rintan. 

“Sebaiknya kalian kembali saja. Kau masih perlu banyak 

istirahat, Mayang,” usul Bayu. 

“Aku akan menunggu Kakang Bantar Gading di sini,” 

sahut Mayang tegas. 

“Dia pasti datang. Percayalah,” bujuk Bayu. 

“Tidak, Kakang Bayu. Perasaanku mengatakan lain. 

Selama ini seluruh rakyat menganggap Kakang Bantar 

Gading putra sulung Prabu Abiyasa. Dan kau tahu, 

tindakannya sangat kejam. Tidak terhitung lagi rakyat yang 

tewas di ujung pedangnya. Aku yakin mereka akan meng-

adili Kakang Bantar Gading, dan menghukum mati,” agak 

tersendat Mayang. 

“Jangan berprasangka buruk dulu, Mayang. Dia pasti…” 

Bayu belum sempat mengakhiri kata-katanya, tiba-tiba 

sebuah bayangan berkelebat cepat. Ternyata Bantar 

Gading tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka. Mayang 

segera berlari memburu dan memeluknya. Bayu menarik 

napas panjang. Dadanya terasa lega melihat Bantar Gading 

muncul. 

“Mayang! Kita harus segera menginggalkan Gantar 

Angin! Seluruh rakyat tidak mau perduli, dan tetap 

menuntut agar aku dihukum gantung,” kata Bantar Gading 

agak tersenggal napasnya. 

“Oh, Kakang…” desah Mayang kembali memeluk erat. 

“Ayo, cepatlah! Sudah kusiapkan kuda untuk kita,” kata 

Bantar Gading. 

“Kakang…” Mayang melepaskan pelukannya, lalu 

menoleh pada Pendekar Pulau Neraka dan Rintan. 

“Tuan Pendekar, maaf. Bukannya aku tidak memper-

dulikanmu, tapi keadaan memaksa kita berpisah di sini,” 

ujar Bantar Gading.


“Pergilah kalau itu sudah menjadi keputusanmu,” kata 

Bayu tersenyum maklum. 

“Ayo, Mayang.” 

“Tunggu dulu, Kakang. Bagaimana dengan ayahku?” 

“Aku tidak bisa mencegah perintah Raden Sangga Alam. 

Dia sudah memerintahkan para panglimanya untuk meng-

habisi para pemberontak. Saat ini pasti tengah terjadi per-

tempuran di Hutan Danaraja. Maafkan aku, Mayang. Aku 

bukan lagi orang yang punya hak di Gantar Angin. Bahkan 

keselamatanku pasti terancam jika masih berada di sini. 

Kita harus pergi sejauh mungkin dan melupakan semua 

yang telah terjadi,” jelas Bantar Gading. 

Mayang menatap Bayu sebentar, kemudian melangkah 

pergi setelah Bayu tersenyum dan mengangguk. Sepasang 

kekasih itu bergegas meninggalkan tempat itu. Tinggal 

Bayu dan Rintan masih berada di atas puncak bukit ini. 

Untuk beberapa saat mereka berdiam diri, tidak berkata 

satu patah kata pun. 

“Sudah saatnya kita juga harus berpisah,” kata Rintan 

pelan setengah mendesah. 

“Eh, tunggu!” cegah Bayu menangkap tangan gadis itu. 

Rintan berbalik dan menatap langsung bola mata 

pemuda berbaju kulit harimau itu. Bayu melepaskan 

pegangannya pada pergelangan tangan gadis itu. 

“Aku tahu siapa kau sebenarnya, Rintan. Kau adalah 

Mayang, putri Ratu Kunti Boga yang hilang! Dan usiamu 

tidak lagi lima belas tahun. Hanya wajahmu saja yang ter-

lihat lebih muda dari usia yang sebenarnya,” tebak Bayu. 

“Dari mana kau tahu itu?” tanya Rintan terkejut. 

“Kau mengaku putri pemilik kedai dan rumah 

penginapan. Itu yang membuatku merasa penasaran, 

karena mereka yang mengenal pemilik kedai itu tidak 

mengatakan, bahwa dia mempunyai anak seorangpun. 

Bahkan istri saja tidak punya. Aku menyelidiki siapa kau 

sebenarnya. Kemudian aku bertemu seroang perempuan 

yang mengaku bernama Nyai Tampik. Dari dialah kuketahui 

siapa kau sebenarnya,” jelas Bayu.


“Di mana kau bertemu dengan guruku?” Rintan yang 

ternyata adalah putri Ratu Kunti Boga segera mengakui 

meskipun tidak menyatakannya secara langsung. 

“Di perbatasan sebelah utara. Dia menunggumu dan 

ingin mengajakmu pulang. Katanya, kau belum sempurna 

mempelajari ilmu-ilmu yang diturunkannya.” 

Rintan langsung diam. 

“Rintan….. kenapa kau memasuki Kerajaan Gantar 

Angin? Dan lagi mengapa kau diam saja di saat saudaramu 

sedang berjuang mengembalikan tahta yang sesungguh-

nya,” tanya Bayu ingin tahu. 

“Aku hanya ingin melihat keadaan tanah kelahiranku. 

Dan aku cukup senang karena adikku ternyata mampu 

menguasai kembali tahta kerajaan. Dalam hatiku, tidak 

ada minat sama sekali terhadap kedudukan dan kejayaan. 

Terus terang, aku sudah bertekad untuk mengubur siapa 

diriku sebenarnya. Di samping itu, aku tahu kalau kau 

seorang pendekar yang dapat diandalkan untuk membantu 

adikku. Maaf, kalau tanpa sepengetahuanmu aku terus 

menggiringmu masuk ke dalam kemelut itu,” Rintan 

mengakui terus terang. 

Bayu jadi bengong. Sama sekali tidak disadarinya kalau 

gadis yang kelihatan masih terlalu muda itu ternyata 

memiliki otak yang cerdas. Dia sampai-sampai tidak 

menyadari kalau sesungguhnya sengaja digiring untuk ter-

libat. Satu perbuatan yang terencana rapi, hingga tidak ter-

bongkar sedikitpun. 

“Rintan, tunggu….!” Bayu tersentak dari rasa ter-

kesimanya. 

Tapi terlambat, Rintan sudah melesat cepat meninggal-

kan bukit itu. gerakannya sangat ringan, cepat luar biasa. 

Pertanda kalau gadis itu sudah menguasai ilmu meringan-

kan tubuh dengan baik sekali. Bayu menarik napas 

panjang. Kepalanya menggeleng-geleng begitu memahami 

semua yang telah terjadi dan dialaminya selama ini. namun 

bibirnya tersenyum juga. 

“Aku boleh bangga dengan kedigdayaanku. Tapi, ter


nyata ada orang lain yang lebih digdaya dengan otak dan 

pikirannya. Aku mengaku kalah padamu Rintan…” gumam 

Bayu tulus. 


                      TAMAT 






Share:

0 comments:

Posting Komentar