1
MALAM begitu larut. Sebuah bayangan berkelebat cepat
dari satu atap ke atap rumah lainnya. Udara terasa dingin
meng-igit sampai ke tulang. Rintik air hujan merinai, mem-
buat kebanyakan orang lebih betah berada di dalam
rumah. Masih terlihat para prajurit Kerajaan Gantar Angin
berkeliaran di setiap sudut kota. Bayangan itu terus ber-
kelebat cepat, dan baru berhenti setelah sampai pada
dahan pohon dekat benteng bangunan istana.
Sepasang bola matanya tajam mengamati keadaan
dalam sekitar benteng tinggi dan kokoh itu. Dan per-
hatiannya langsung tertuju pada sebuah jendela besar
yang terbuka lebar. Cahaya lampu pelita menerangi hampir
seluruh ruangan di balik jendela itu. Tampak seorang
pemuda tampan berbaju sutra halus putih bersih, berdiri di
depan jendela. Begitu tampannya sehingga wajahnya
seperti seorang wanita.
Pemuda tampan itu berbalik, dan pada saat itu pula
bayangan di atas pohon berkelebat menembus jendela.
Pemuda itu terkejut, hampir berteriak. Tapi pemuda itu
keburu diringkusnya.
“Jangan berteriak!” dingin suaranya.
Pemuda tampan berbaju putih dengan sulaman benang
emas itu diam. Dia tidak lagi berontak. Orang yang mering-
kusnya pun melepaskan dengan mendorongnya ke depan.
Pemuda itu berbalik. Matanya berkilat merayapi seorang
laki-laki muda tampan mengenakan baju kulit harimau.
“Kau pasti Pendekar Pulau Neraka…” tebak pemuda itu.
“Benar! Aku Bayu Hanggara, Pendekar Pulau Neraka.
Kuharap kau tidak membuat kesulitan, Raden.”
Pemuda tampan itu ternyata Raden Sangga Alam ter-
senyum mengangguk. Sebentar dia menarik napas
panjang, kemudian melangkah mendekati jendela. Raden
Sangga Alam menutup jendela kamar itu, kemudian duduk
di tepi pembaringan.
“Silahkan duduk,” katanya mempersilahkan Bayu untuk
mengambil tempat.
Bayu melirik sebuah kursi, dan menariknya dekat
jendela. Segera dihenyakkan bokongnya, duduk di bawah
jendela besar itu. Kepalanya sedikit dimiringkan, mencoba
mendengarkan suara-suara mencurigakan yang mungkin
bisa membahayakan. Pendekar Pulau Neraka itu sadar
kalau telah memasuki kandang macan. Sedikit saja
melakukan kesalahan, bisa berakibat fatal.
“Aku sering mendengar namamu, Kisanak,” kata Raden
Sangga Alam. Lembut suaranya.
“Hm…” Bayu hanya menggumam kecil.
“Terlalu berbahaya jika kau berada di sini. Ayahanda
Prabu telah memerintahkan untuk memperketat penjagaan
di sekitar istana, baik siang maupun malam. Lebih-lebih
Kanda Bantar Gading. Dia benar-benar menghendaki
kepalamu,” kata Raden Sangga Alam tidak bermaksud
untuk menggertak.
“Hebat…!” desis Bayu tersenyum sinis.
“Apa yang kau inginkan sehingga datang menemuiku,
Kisanak?!” tanya Raden Sangga Alam. Suaranya masih ter-
dengar lembut.
“Aku datang untuk menemui Panglima Nampi.”
Raden Sangga Alam tersedak sesaat. Wajahnya berubah
mendung. Bayu memperhatikan perubahan wajah itu.
Keningnya sedikit berkerut. Sudah bisa diduga kalau telah
terjadi sesuatu pada Panglima Nampi. Bayu tahu betul
kalau Raden Sangga Alam sangat dekat dengan orang tua
berjubah putih itu. Makanya dia datang ke sini untuk
menemui Panglima Nampi, melalui Raden Sangga Alam.
“Boleh aku tahu, ada urusan apa kau berkeinginan
menemui beliau?” tanya Raden Sangga Alam.
“Urusan pribadi,” sahut Bayu tegas.
“Kau ingin membunuhnya?”
“Tergantung dia sendiri.”
“Ketahuilah, Kisanak. Keadaan Kerajaan Gantar Angin
tengah dilanda kekacauan. Ayahanda Prabu menginginkan
pekerjaan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa
Larangan agar cepat selesai. Tapi selalu saja ada yang
merintangi, terutama para pemberontak yang tidak
menyukai tempat suci itu dirubah kegunaannya. Bahkan
mereka juga hendak menggulingkan tahta kerajaan…” kata
Raden Sangga Alam.
“Maaf! Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan
suasana di sini,” selak Bayu cepat.
“Senang atau tidak, kau telah tersangkut. Ayahanda
Prabu dan Kakang Bantar Gading sudah mencapmu
sebagai ancaman besar melebihi kaum pemberontak. Dan
sekarang kau datang hendak mencari Panglima Nampi….
Tanpa disadari, kau telah melibatkan dirimu sendiri dalam
arus yang terjadi di sini, Kisanak,” lembut namun tegas
kata-kata Raden Sangga Alam.
Bayu jadi tertegun mendengar kata-kata itu. Sungguh
tidak disadari akan sejauh itu jadinya. Pendekar Pulau
Neraka itu tersentak ketika mendengar suara pintu
diketuk. Tanpa berpikir banyak lagi, bergegas dia
melompat ke palang atap. Raden Sangga Alam tersenyum
dan beranjak turun dari pembaringan, lalu melangkah
menghampiri pintu dan membukanya.
Ternyata Raden Bantar Gading telah berdiri di ambang
pintu dan membukanya bersama dua orang berpakaian
aneh dan memegang senjata aneh pula yang berdiri di
belakangnya.
“Ada apa, Kanda?” tanya Raden Sangga Alam.
“Dua orang pengawal pribadiku melihat seseorang
masuk ke dalam kamarmu,” kata Raden Bantar Gading.
“Tidak ada siapa-siapa di sini,” sahut Raden Sangga
Alam.
Raden Bantar Gading menjulurkan kepalanya. Diamati-
nya keadaan sekeliling kamar itu. Dua orang jago
undangan yang kini menjadi pengawal pribadi Raden
Bantar Gading, ikut mengedarkan pandangannya ke
seluruh sudut ruangan itu. Sejenak mereka saling ber
pandangan, kemudian sama-sama mengangkat bahunya.
“Dinda Sangga Alam, benar tidak ada yang masuk ke
sini?” Raden Bantar Gading ingin meyakinkan.
“Sejak tadi aku ada di sini. Seperti kau lihat, tidak ada
seorang pun masuk ke kamar ini, Kanda,” sahut Raden
Sangga Alam tenang.
Raden Bantar Gading memandang dua orang pengawal
pribadinya sebentar, kemudian mengegoskan kepalanya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka meninggalkan kamar
itu. Raden Sangga Alam segera menutup pintu dan
menguncinya. Sedangkan Bayu langsung meluruk turun
begitu pintu kamar tertutup lagi. Sebentar mereka saling
berpandangan.
Bayu mendekati jendela, dan mengintip ke luar. Tampak
beberapa prajurit berjaga-jaga di sekitar jendela kamar itu.
Bergegas dia menghampiri pintu, dan mengintip dari
lubang di atasnya. Empat orang prajurit juga berjaga-jaga di
sana. Bayu menyadari kalau kamar itu sudah dijaga ketat.
Itu berarti kehadirannya sudah diketahui.
“Sudah kukatakan, kehadiranmu di sini akan memper-
buruk keadaan,” kata Raden Sangga Alam.
“Raden, di mana kamar Panglima Nampi?” tanya Bayu
tidak perduli dengan keadaan dirinya yang sulit untuk
keluar dari kamar itu.
“Semua panglima tidak tinggal di istana. Mereka punya
rumah tersendiri di luar lingkungan istana,” jawab Raden
Sangga Alam tenang.
“Kalau begitu, di mana rumahnya?”
“Percuma saja kau ke sana, Kisanak. Panglima Nampi
tidak ada lagi di rumahnya.”
Bayu mengerutkan dahinya. Tatapan matanya tajam
menusuk langsung ke bola mata Raden Sangga Alam.
“Paman Nampi tertangkap ketika berada di rumah salah
seorang pemimpin pemberontak. Tuduhannya sangat
berat, dan mungkin akan dihukum mati. Atau mungkin
juga, hukuman itu sudah dilaksanakan. Aku sendiri tidak
tahu, bagaimana nasibnya sekarang,” agak lirih suara
Raden Sangga Alam.
Lemas seluruh tubuh Bayu mendengar penjelasan itu.
Satu-satunya orang yang diharapkan, tidak jelas nasibnya.
Jalan yang dilalui kini semakin gelap saja. Pendekar Pulau
Neraka itu melangkah mendekati jendela. Tampak
beberapa prajurit masih berdiri berjaga-jaga tidak jauh dari
jendela kamar ini. Bayu meminta Raden Sangga Alam
untuk membuka jendela itu.
Semua prajurit yang berada di luar jendela serentak
membungkuk memberi hormat. Raden Sangga Alam hanya
menganggukkan kepala sedikit. Para prajurit itu berbalik
membelakangi. Pada kesempatan yang sedikit itu, Bayu
segera melesat cepat bagai kilat menembus jendela.
Dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh Pendekar
Pulau Neraka itu lenyap ditelan kegelapan malam. Tak ada
seorang prajurit pun yang mengetauhi. Raden Sangga Alam
kembali menutup jendela seraya menarik napas panjang.
***
Bayu Hanggara duduk merenung di atas sebongkah
batu sebesar kerbau. Pikirannya kusut tidak menentu. Dia
tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Menembus
benteng Istana Gantar Angin? Terlalu besar resikonya.
Sedangkan dia tidak tahu, di mana Panglima Nampi
sekarang berada. Dan lagi, apakah dia sudah mati atau
belum? Sedangkan satu-satunya harapan untuk
mengetahui asal-usul Mayang, hanya Panglima Nampi.
Begitu asyiknya melamun, sampai-sampai tidak
mengetahui ada seseorang mendekatinya. Bayu baru tahu
setelah pundaknya disentuh lembut. Pendekar Pulau
Neraka itu menoleh. Seraut wajah cantik tersenyum manis
padanya. Bayu menggeser duduknya memberi tempat.
Wanita cantik berbaju merah muda itu duduk di samping-
nya.
“Maaf, Mayang. Aku belum bisa mencari keterangan
tentang dirimu lebih banyak lagi,” kata Bayu. Pelan
suaranya.
“Tidak apa, Kakang. Aku tahu kau telah berbuat banyak
padaku. Seharusnya aku yang minta maaf, karena telah
menyusahkanmu,” sahut Mayang yang juga pelan suara-
nya.
“Aku telah mencoba menembus benteng istana.”
“Kau bertemu dengan Panglima Nampi?”
“Tidak. Aku hanya bertemu Raden Sangga Alam. Dari
dialah aku tahu kalau Panglima Nampi ditangkap. Bahkan
sampai saat ini tidak jelas nasibnya.”
“Kakang, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Aku tidak tahu, Mayang. Orang satu-satunya yang kita
harapkan, entah bagaimana nasibnya sekarang. Rasanya
kita menghadapi jalan buntu,” keluh Bayu.
“Hanya ada satu cara, Kakang…!” sentak Mayang tiba-
tiba.
Bayu menatap wanita di sebelahnya.
“Ratu Kunti Boga.”
“Mustahil…! Tidak ada seorangpun yang tahu, di mana
Ratu Kunti Boga disekap. Lagi pula, kita tidak tahu apakah
masih hidup atau sudah mati!” ujar Bayu seraya meng-
geleng-gelengkan kepalanya. Nada suaranya menyiratkan
kepasrahan.
“Tapi banyak orang yang bilang, kalau Ratu Kunti Boga
masih hidup, Kakang. Dari para pemberontak yang sering
datang ke sini, aku tahu kalau Ratu Kunti Boga masih
hidup. Dia kini berada di dalam tahanan bawah tanah.
Sedangkan yang lainnya sudah tidak ada lagi. Semuanya
tewas di tangan algojo.”
“Mayang, kau jangan terpengaruh oleh omongan
mereka. Bisa saja mereka bicara hanya untuk menyenang-
kanmu. Atau, mungkin saja mereka sengaja berkata begitu
untuk memanfaatkanmu, karena mereka tahu siapa kau
sebenarnya!”
“Mereka bukan orang-orang jahat, Kakang. Mereka
berontak karena menuntut hak dan keadilan. Tujuan
mereka hanya untuk menggulingkan tahta, dan
mengembalikannya pada Ratu Kunti Boga!” bantah
Mayang sengit. “Kau terlalu curiga, Kakang. Aku yakin
maksud mereka itu suci.”
“Hm…. Jadi kau akan bergabung dengan mereka?”
tebak Bayu langsung.
“Terus terang, aku memang berpikir begitu, Kakang.”
Mayang mengakui.
“Aku tidak bisa memaksa, apalagi menghalangimu. Kau
bebas menentukan jalan hidupmu sendiri,” pelan suara
Bayu.
“Kakang. Bukan maksudku untuk menjauhi dirimu.
Justru aku berharap kau bersedia membantu mereka.
Perjuangan mereka suci, Kakang. Cobalah kau lihat
kenyataan yang terjadi di depan kita,” kata Mayang
setengah membujuk.
“Aku seorang pendekar, Mayang. Aku bersedia mem-
bantu siapa saja, tapi tidak untuk terlibat dalam urusan
kerajaan. Kau harus mengerti, Mayang.”
“Aku tahu, Kakang.”
“Mayang, persoalanmu saja belum selesai. Sabarlah
sampai asal-usulmu bisa terungkap. Kau juga jangan
terlalu dalam melibatkan diri dengan mereka. Carilah
keterangan siapa dirimu sebenarnya. Masalahnya, mereka
pasti menganggap dirimu putri Ratu Kunti Boga. Hal itu
akan membahayakan dirimu sendiri. Itu kalau memang
benar kau putri Ratu Kunti Boga! Kalau ternyata bukan…!
Apa kau sudah siap menghadapi semuanya?”
“Aku tidak perduli siapa diriku, Kakang. Aku hanya ingin
melakukan sesuatu yang berguna dalam hidupku!” tegas
kata-kata Mayang.
Bayu menarik napas panjang, dan menghembuskannya
kuat-kuat. Sulit untuk memaksa wanita itu lagi. Tekadnya
sudah bulat. Bayu merasa semua yang dilakukan hanya
sia-sia belaka. Yang jelas dia tidak ingin mengeluh. Baginya
itu sudah suatu resiko seorang pendekar kelana hanya
saja, di dalam hatinya masih terbetik rasa penasaran. Bayu
belum puas kalau belum dapat menuntaskan semua
persoalan yang dihadapinya. Meskipun Mayang sendiri
sudah tidak ambil perduli lagi terhadap dirinya sendiri.
Yang jelas Bayu bertekad untuk tetap meneruskan
usahanya.
***
Hari itu Bayu menemui Ki Marutadi di Hutan Danaraja
sebelah timur. Hampir seluruh Hutan Danaraja telah
dikuasai para pemberontak. Semakin hari jumlah mereka
semakin bertambah banyak. Kedatangan Bayu tentu saja
disambut gembira oleh para pemimpin pemberontak, yang
rata-rata bekas pembesar setia Ratu Kunti Boga.
Mereka semua sudah mendengar tentang Pendekar
Pulau Neraka dari cerita Ki Maruta. Dan memang nama
pendekar itu sudah kondang. Bahkan seluruh rakyat
Gantar Angin sudah mendengarnya. Ini bisa saja terjadi,
karena Raden Bantar Gading yang dibantu jago-jago dari
tanah seberang telah mengumumkan agar seluruh rakyat
melaporkan jika melihat Pendekar Pulau Neraka.
“Sudah kuduga kedatanganmu, Kisanak. Aku yakin kau
pasti akan datang menemuiku,” ucap Ki Maruta gembira
menyambut kedatangan Bayu.
“Aku datang memang untuk menemuimu, Ki Maruta,”
sahut Bayu.
“Kau ingin bergabung dengan kami?” tebak Ki Maruta
berharap.
Bayu menggeleng-gelengkan kepala, namun bibirnya ter-
senyum penuh rasa persahabatan. Ki Maruta mendesah
panjang. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatinya.
“Maaf, bukannya aku ingin membuatmu kecewa,” kata
Bayu, seperti mengetahui perasaan lelaki tua itu.
“Tidak apa. Memang seharusnya aku tidak terlalu ber-
harap banyak padamu,” sahut Ki Maruta pelan.
Bayu merasakan nada kekecewaan pada suara Ki
Maruta.
“Lalu, apa maksudmu datang ke sini?” tanya Ki Maruta.
“Aku hanya mengharap kejujuranmu, Ki,” sahut Bayu
tegas.
“Kejujuranku?”
“Ya! Tentang diri Mayang yang sebenarnya. Aku yakin
kau menyembunyikan sesuatu tentang Mayang. Maukah
kau berterus terang padaku, Ki?” desak Bayu berharap.
“Apalagi yang kau ketahui tentang Mayang? Aku sendiri
merasa kalau Mayang benar-benar putri Gusti Ratu Kunti
Boga. Wajahnya memang tidak mirip. Tapi sinar matanya
begitu mirip dengan Gusti Ratu Kunti Boga,” jelas Ki
Maruta, coba meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetap tidak bisa
dipercaya begitu saja kata-kata Ki Maruta. Yang diinginkan
adalah kepastian, bukan hanya sekedar perasaan hati.
“Hanya ada satu cara untuk mengetahui siapa Mayang
sebenarnya, Kisanak. Bebaskan Paman Nampi atau Gusti
Ratu Kunti Boga! Hanya mereka yang tahu persis jati diri
Mayang,” sambung Ki Maruta.
“Hal itu memang sudah kupikirkan. Hanya masalahnya,
aku tidak tahu di mana mereka berada sekarang. Hidup
dan matinya pun aku tidak tahu,” sahut Bayu bernada
mengeluh.
Ki Maruta menatap dalam-dalam pada pemuda itu.
Dirasakan ada nada lain pada suara Pendekar Pulau
Neraka. Dia sering mendengar sepak terjang Pendekar
Pulau Neraka. Dan kini, setelah berhadapan langsung, laki-
laki tua itu merasakan adanya perbedaan yang sangat
mencolok.
“Kisanak, boleh aku tahu. Mengapa kau sangat ber-
keinginan mengetahui diri Mayang sesungguhnya?” tanya
Ki Maruta bernada curiga.
Bayu Hanggara tersentak mendengar pertanyaan itu.
ditatapnya dalam-dalam wajah laki-laki tua di depannya.
Sangat sulit untuk menjawabnya. Dia sendiri tidak tahu,
mengapa begitu ingin mengetahui asal-usul Mayang.
Belum pernah dialami suatu perasaan penasaran yang
amat sangat menghantui dirinya. Bayu sendiri tidak tahu,
apa yang menarik pada diri wanita cantik itu.
Pertanyaan Ki Maruta seolah-olah menggugahnya dari
alam mimpi yang sangat panjang dan melelahkan. Apa
yang dilakukannya selama ini tidak ada sangkut pautnya
dengan dirinya. Mungkin karena nasib wanita itu yang
hampir sama dengannya, sehingga Bayu selalu ingin
mengungkap tabir yang menyelimuti diri Mayang. Dan kini
Bayu merasa adanya nada kecurigaan pada suara Ki
Maruta.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bayu bangkit berdiri. Tak
lama, dia melangkah meninggalkan Ki Marutayang hanya
bisa terpaku. Ada sedikti rasa penyesalan terselip di hati
laki-laki tua itu. Dia menyesal karena telah memberi
pertanyaan yang mungkin menyinggung perasaan
Pendekar Pulau Neraka itu.
“Ah! mudah-mudahan saja dia tidak tersinggung,” desah
Ki Maruta dalam hati.
***
2
Bayu menghentikan langkahnya. Matanya sedikit menyipit
melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, dan
berwajah kasar, berdiri tegak menghadang jalannya. Di
pinggangnya melilit cembuk hitam yang tangkainya
berbentuk kepala ular.
“Kau yang bernama Pendekar Pulau Neraka?” besar dan
keras suara orang itu bertanya.
“Benar. Dan kau siapa?” Bayu balas bertanya.
“Aku Braga, bekas orang bayaran Raden Bantar
Gading,” orang bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar
itu memperkenalkan diri.
“Hm….Lantas, apa maksudmu menghadang
perjalananku?” tanya Bayu setengah bergumam.
“Aku sering dengar namamu disebut-sebut hampir
setiap orang di Gantar Angin ini. Bahkan para prajurit dan
jago-jago undangan dari tanah seberang sedang
mencarimu,” ungkap Braga.
“Aku tahu itu,” sahut Bayu kalem.
“Karena itu aku sengaja menunggumu di sini.”
“Untuk apa? Menangkapku?” mulai sinis kata-kata
Bayu.
“Aku tahu, kau seorang pendekar yang sangat tangguh
dan mampu mengatasi segala persoalan seorang diri. Tapi
aku datang justru ingin membantumu,” kata Braga serius.
“Hm….” Bayu mengerutkan keningnya.
“Aku memang bukan orang baik-baik. Aku dilahirkan dari
keluarga begal, rampok dan pembunuh. Dan pekerjaanku
pun adalah pembunuh bayaran. Tapi biar bagaimanapun
juga, aku masih punya hati dan perasaan. Aku bersedia
melakukan apa saja demi uang…!” kata Braga.
“Maaf, aku tidak punya uang untuk membayarmu,” kata
Bayu.
“Bukan uang yang kucari saat ini!”
“O….! Lantas?”
“Sulit kukatakan! Jauh-jauh aku datang ke Gantar Angin
ini karena satu pekerjaan mudah dengan bayaran tinggi.
Tapi seluruh anak buahku tewas. Bahkan adikku satu-
satunya juga tewas di Desa Muara Pening dekat
Pesanggrahan Goa Larangan,” pelan suara Braga.
“Rasanya aku tidak kenal denganmu dan adikmu. Dan
lagi aku belum pernah ke Desa Muara Pening. Maaf….
Mungkin kau salah alamat, jika hal itu kau adukan
padaku,” uajr Bayu sopan.
“Kau ingin bertemu dengan Panglima Nampi, kan?”
Bayu menatap tajam laki-laki berwajah kasar di
depannya. Sama sekali tidak dimengerti apa yang
diinginkan Braga terhadapnya.
“Mungkin kau akan menganggapku berlebihan. Tapi,
aku tahu di mana Panglima Nampi berada sekarang,”
lanjut Braga.
“Berapa kau dibayar untuk menjebakku?” tanya Bayu
sinis.
“Jangan salah sangka, Kisanak. Aku ingin bergabung
denganmu karena aku juga punya tujuan. Tujuanku adalah
membunuh Raden Bantar Gading yang telah menewaskan
adikku satu-satunya. Di ajuga yang menyebabkan semua
anak buahku tewas! Sekarang ini bukan bayaran yang
kuinginkan!” tegas kata-kata Braga.
“Kau dendam?”
“Benar!”
“Mengapa Raden Bantar Gading tidak kau bunuh saja
sendiri?”
“Jangan mengolok-olok, Kisanak. Saat ini Raden Bantar
Gading selalu dikawal jago-jago dari seberang. Ilmu mereka
sangat tinggi. Tidak mungkin kuhadapi seorang diri.”
“Lalu, apa yang dapat kulakukan untukmu?”
“Bukan hanya aku, tapi kita!”
“Rasanya persoalan yang kita hadapi berbeda. Dan lagi,
tak ada niatan dalam hatiku untuk membunuh siapapun.
Aku sebenarnya hendak meninggalkan Gantar Angin ini.
Persoalanku di sini telah selesai. Sekarang aku tidak
perduli lagi dengan Panglima Nampi, atau siapa saja. Maaf,
aku harus pergi sekarang,” kata Bayu tegas.
“Tunggu dulu,” cegah Braga.
Bayu mengurungkan langkahnya.
“Kau tidak mungkin dapat meninggalkan Gantar Angin
begitu saja. Seluruh pelosok sudah dijaga prajurit. Tidak
ada seorangpun boleh meninggalkan negeri ini!” jelas
suara Braga memberitahu.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian melanjutkan
langkahnya. Braga berlari kecil mengejar. Pendekar Pulau
Neraka membiarkan saja laki-laki berwajah kasar itu
mengikutinya, dan tetap melangkah tanpa menoleh
sedikitpun.
“Kenapa kau mengikutiku?” tanya Bayu tanpa menoleh.
“Aku akan ikut bersamamu keluar dari neraka ini,”
jawab Braga.
“Bukankah kau ingin membalas kematian adikmu?”
“Percuma! Tidak ada seorang pun yang percaya
kepadaku. Lebih baik aku pergi dari pada mati konyol.
Nanti setelah berada di luar Gantar Angin, mungkin aku
bisa melakukan apa saja. Aku berniat akan mengumpulkan
kekuatan, baru menggempur kerajaan ini!”
Bayu hanya tersenyu seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dendam di hati Braga cukup membara. Tapi
nyalinya kecil. Hanya kepentingan dirinya sendiri yang lebih
menonjol. Mungkin itu memang sudah wataknya. Bahkan
rasa sakit hati dan dendam bisa pupus bila keselamatan
dirinya terancam. Tidak ada sedikit pun watak ksatria di
dalam hatinya.
Bayu terus saja melangkah, meskipun Braga
mengiktuinya. Dia tidak lagi perduli terhadap laki-laki
berwajah kasar itu. kakinya tetap terayun mantap. Bahkan
dikerahkan ilmu meringankan tubuh. Merskipun seperti
berjalan biasa, tapi kecepatannya melebihi orang berlari.
Braga yang mengikuti juga segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh.
Tapi mendadak Pendekar Pulau Neraka menghentikan
langkahnya. Pendengarannya yang setajam elang,
menangkap suara desiran halus dari arah samping kanan.
Begitu menoleh, sebatang anak panah meluncur deras ke
arahnya. Bahkan sebatang lagi mengarah pada Braga.
“Awas…!” seru Bayu keras.
***
Bayu hanya menggerakkan tangannya untuk
menangkap anak panah itu. sementara Braga memiringkan
tubuh sedikit ke belakang, sehingga anak panah yang
mengancam nyawanya lewat di depan dada. Laki-laki
bertubuh tinggi tegap dengan wajah kasar itu langsung
melompat menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
Pada saat itu, dari gerumbul semak belukar dan balik
pepohonan, muncul sekitar tiga puluh orang berseragam
prajurit. Mereka berlompatan dengan senjata terhunus.
Bayu mengendarkan pandangannya ke sekeliling. Para
prajurit Kerajaan Gantar Angin kini telah mengepung rapat
dari segala penjuru.
“Sudah kukatakan, tidak mudah keluar dari sini,” kata
Braga setengah berbisik.
“Kau takut?” nada suara Bayu terdengar mengejek.
“Huh! Tak seberapa. Dua kali lipatpun aku masih
mampu mengahadapinya!” dengus Braga pongah.
“Mereka pasti sudah sangat terlatih.”
“Hampir tiga purnama aku di sini, jadi tahu betul kalau
prajurit Gantar Angin tidak ada yang memiliki kepandaian
tinggi. Para panglimanya saja bisa dihitung dengan jari
yang memiliki kepandiaan tinggi.”
“Tapi jangan menganggap remeh mereka. Setiap lawan
harus dihadapi hati-hati. Sikap memandang rendah lawan
akan membuat kelengahan, dan berakibat fatal,” kata
Bayu mengingatkan.
Braga diam saja. Dan percakapan itupun terhenti ketika
seorang pemuda tampan muncul. Bibirnya selalu
menyunggingkan senyum sinis. Pemuda itu menunggang
kuda putih dan dikawal dua orang berpakaian aneh dan
bersenjata aneh pula. Mereka juga menunggang kuda yang
tinggi kekar.
“Itu Raden Bantar Gading,” kata Braga memberitahu.
“Ya, aku tahu,” jawab Bayu tak berpaling sedikitpun.
Pandangannya tajam pada pemuda tampan di atas
punggung kuda putih.
“Percuma saja kalian melawan. Tempat ini sudah
terkepung,” ujar Raden Bantar Gading, yang tetap berada
di atas kuda putihnya.
“Untuk apa menyerah, kalau masih bisa melawan!”
lantang suara Bayu.
“Hhh! Memang tidak ada gunanya bicara denganmu,
monyet keparat!” geram Raden Bantar Gading. “Serang!
Bunuh mereka…!”
Tiga puluh orang prajurit serentak berlompatan sambil
menghunus senjata masing-masing. Mereka berteriak
disertai semangat bertarung yang berkobar-kobar. Braga
segera melepaskan cambuk yang membelit pinggangnya.
“Hiya…!”
Ctar!
Suara cambuk hitam itu menggelegar memecah
angkasa. Dua orang prajurit langsung ambruk tersambar
ujung cambuk itu. Braga berlompatan sambil mengebutkan
cambuknya. Sungguh dahsyat, sekali kebutan saja, pasti
ada prajurit yang terjungkal. Sementara Bayu pun sibuk
melayani para prajurit yang bertarung bagai kesetanan itu.
Banjir darah tak terhindarkan lagi.
Teriakan, jeritan dan pekik kematian saling susul ber-
campur dengan gemuruhnya pertempuran. Satu persatu
para prajurit Gantar Angin bergelimpangan berlumuran
darah. Mereka memang bukanlah tandingan dua orang
yang sudah banyak malang melintang di dalam rimba per-
silatan. Dalam waktu tidak berapa lama saja, separuh dari
mereka telah banyak yang tewas.
“Ayo, maju semua! Biar kupercepat kematian kalian!”
seru Braga keras.
Ctar! Tar!
Braga memainkan cambuknya dengan lincah, diimbangi
gerakan kaki dan tubuh yangmelentur ringan. Para prajurit
yang mengeroyoknya mulai gentar. Mereka jadi ragu-ragu.
Akibatnya, malah membuat kemtian semakin cepat datang-
nya. Tanpa ampun lagi Braga membantai para pengeroyok-
nya.
“Ha ha ha…!” Braga tertawa terbahak-bahak. Sepertinya
begitu suka akan pertempuran ini.
“Yeaaa…!”
Satu orang yang mengawal Raden Bantar Gading
melompat turun dari punggung kudanya. Lesatannya begitu
ringan dan cepat, langsung meluruk ke arah Braga.
Senjatanya yang berupa golok raksasa mengibas bagai
kilat, menimbulkan suara angin menderu. Braga yang
tengah melayani para prajurit yang tersisa, terkejut men-
dengar deru angin mengarah kepadanya.
“Uts!”
Buru-buru dirundukkan kepalanya. Sambaran golok
raksasa itu hanya menyambar angin kosong. Braga segera
melesat mundur tiga langkah. Agak gentar juga hatinya
begitu melihat seorang laki-laki bertubuh besar bagai
raksasa, berdiri tegak di depannya. Tangannya meng-
genggam sebilah golok besar dan panjang.
“He he he…” orang itu terkekeh.
“Ayo maju, monyet jelek!” tantang Braga.
Para prajurit yang tadi mengeroyok Braga, segera ber-
lompatan menyingkir. Mereka langsung membantu teman-
temannya yang tengah mengeroyok Bayu. Sementara
Braga bersiap-siap menghadapi manusia raksasa itu.
Dikebut-kebutkan cambuknya di udara.
“Ha ha ha…!” manusia raksasa itu tertawa terbahak-
bahak. Mungkin merasa lucu melihat cambuk kecil se-
panjang lengan yang berusaha menakut-nakutinya.
“Jangan gembira dulu, monyet jelek! Rasakan
cambukku! Hiyaaa…!”
***
Ctar!
Ujung cambuk Braga meluruk deras ke arah dada
manusia raksasa itu. Hebat! Dia hanya diam saja tanpa
bergeming sedikitpun. Tak ampun lagi, ujung cambuk
Braga menyengat dadanya, disertai suara ledakan keras.
“Heh…!”
Braga tercengang menyaksikan lawannya hanya ter-
senyum saja. Tak ada luka sedikitpun yang menggores
dadanya. Padahal, jelas sekali kalau ujung camuk itu
menyengat dada manusia raksasa itu. Padahal ujung
cambuk itu penuh duri yang sangat tajam, dan dikebutkan
dengan tenaga dalam penuh.
“Gila! Manusia apa dia…?!” dengus Braga.
“He he he…” orang itu hanya terkekeh saja.
Ctar! Tar…!
Dua kali Braga mengayunkan cambuknya disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Tapi manusia raksasa itu
hanya terkekeh saja. Bahkan kakinya kini terayun me-
langkah maju. Sama sekali cambukan itu tidak berarti.
Sementara Braga mulai pucat wajahnya. Cambuk
kebanggaannya hanya seperti belaian halus bagi manusia
raksasa itu. Braga melangkah mundur sambil mengebut-
kan cambuknya beberapa kali.
“Grrr…!” manusia raksasa itu menggeram bagai
binatang buas dan liar.
Wut!
Cepat sekali manusia raksasa itu mengebutkan golok
besarnya ke arah leher Braga.
“Ikh”
Braga terperangah sesaat. Buru-buru dia merunduk,
maka sambaran golok itu lesat di atas kepalanya. Tapi
belum sempat diangkat kepalanya, satu tendangan keras
telah membuat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Braga
mengeluh pendek. Punggungnya menghantam sebatang
pohon besar hingga hancur. Laki-laki bekas pembunuh
bayaran itu bergegas bangkit.
Sementara itu, si Manusia Raksasa sudah melompat
menerjang sambil mengayunkan goloknya. Braga mem-
banting tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa
kali. Golok raksasa itu menghantam tanah kosong dengan
kerasnya.
Braga langsung melesat bangkit. Segera dia melompat
sambil mengirimkan dua pukulan geledek disertai satu
tendangan bertenaga dalam tinggi. Manusia raksasa itu
hanya terdorong satu langkah. Dia menggeram dahsyat,
dan berbalik. Braga benar-benar terkesiap karena pukulan
dan tendangan beruntunnya tidak berarti bagi manusia
raksasa itu.
“Edan! Ilmu apa yang dimilikinya…?!” dengus Braga
keheranan.
Manusia raksasa itu kembali menggeram dahsyat.
Dikibaskan goloknya dengan cepat ke arah tubuh Braga.
Pembunuh bayaran itu melompat ke belakang, sehingga
sambaran golok itu tidak menemui sasaran. Dan belum
sempat Braga berbuat sesuatu, kembali manusia raksasa
menyerang bagai topan. Braga hanya bisa berkelit ber-
lompatan tanpa mampu membalas.
Baik cambuk, pukulan dan tendangannya tidak berarti
sama sekali terhadap manusia raksasa itu. Braga benar-
benar serba salah menghadapinya. Semua jurus-jurus
andalannya sudah dikerahkan, tapi hasilnya sia-sia.
Bahkan kini manusia raksasa itu malah semakin ganas
saja. Serangan-serangannya pun semakin gencar dan ber-
bahaya. Braga sudah merasakan betapa dahsyat pukulan
manusia raksasa itu. Dan dia tidak ingin lagi coba-coba
memapak. Tenaga dalamnya kalah jauh. Bahkan tidak
satupun pukulan mautnya yang berarti.
“Graaakh…!” manusia raksasa itu menggeram dahsyat.
Dan pada satu kesempatan, dikibaskan goloknya
dengan kecepatan penuh. Braga terperangah sesaat. Buru-
buru dia berkelit mengegoskan tubuhnya ke samping.
Sambaran golok besar itu berhasil dielakan. Tapi angin
sambaran golok membuatnya limbung. Dalam keadaan
seperti itu, Braga tidak mungkin menghindari pukulan
tangan kiri lawannya.
Pukulan itu telak menghantam dadanya. Braga
mengeluh pendek. Dari mulutnya mengucur darah segar.
Saat tubuhnya terjajar ke belakang, satu hantaman golok
besar membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Braga
tidak mampu lagi bersuara. Tubuhnya langsung ambruk
terbelah dua. Mati.
“Ha... ha... ha…!” manusia raksasa itu tertawa terbahak-
bahak.
Pada saat yang bersamaan, Bayu sudah menyelesaikan
pertarungannya melawan prajurit-prajurit Gantar Angin.
Betapa terkejutnya Bayu mendapatkan Braga telah tewas
dengan tubuh terbelah dua. Gerahamnya bergemeletuk
menyaksikan manusia raksasa itu malah tertawa terbahak-
bahak dekat mayat Braga.
“Iblis…!” geram Bayu mendesis.
***
“Pendekar Pulau Neraka! Kau tinggal pilih. Menyerah,
atau mengalami nasib yang sama dengan Braga!” ancam
Raden Bantar Gading.
“Phuih!” Bayu menyemburkan ludahnya.
Raden Bantar Gading menggerakkan ujung jari telunjuk-
nya. Manusia raksasa itu melompat ke hadapan Pendekar
Pulau Neraka. Golok besarnya tersandang di pundak. Bibir-
nya menyeringai liar mengejek. Bayu menggeser kakinya
sedikit ke samping.
“Kau tidak punya waktu untuk berpikir, Pendekar Pulau
Neraka!” lantang suara Raden Bantar Gading.
“Majulah, manusia liar! Jauh-jauh kau datang hanya
untuk mengantarkan nyawa!” dengus Bayu dingin.
Manusia raksasa itu menoleh ke arah Raden Bantar
Gading. Pemuda tampan di atas kuda putih itu meng
gerakan tangannya di depan leher. Jelas sekali kalau arti-
nya adalah penggal kepala! Manusia raksasa itu ter-
senyum, lalu melangkah mendekati Pendekar Pulau
Neraka. Suara menggeram kecil terdengar menggetarkan.
Cepat sekali dia melompat sambil menghantamkan
goloknya ke tubuh Bayu. Tapi hanya dengan memiringkan
tubuhnya sedikit, Bayu berhasil mengelakkan tebasan
golok itu. Dan tanpa diduga sama sekali, tangan Pendekar
Pulau Neraka itu menyodok ke perut.
“Ups…!”
Bayu terkejut, karena merasakan seperti menyodok
segumpal karet dalam karung. Tangannya kembali ter-
pental. Buru-buru di amelompat mundur dua tindak.
Secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melenting tinggi
ke udara, lalu meluruk deras sambil melontarkan dua
pukulan beruntun.
Des! Des!
Kembali Bayu terkejut, karena manusia raksasa itu tidak
bergeming sedikitpun. Padahal pukulan bertenaga itu
dalam sangat tinggi. Bahkan Bayu sendiri terpental
beberapa depa jauhnya. Pukulannya seperti berbalik dan
menghantam dirinya sendiri. Bayu kembali berdiri tegak.
Matanya memandang setengah tidak percaya. Sementara
si Manusia Raksasa itu menggeram pelan sambil
melangkah berat mendekati. Goloknya yang sangat besar
diputar-putarnya. Suara angin menderu-deru, membuat
jantung serasa akan copot.
“Graghk…!”
Manusia raksasa itu menggeram keras, dan dengan
cepat dibabatkan senjatanya ke arah kaki Pendekar Pulau
Neraka. Namun dengan cepat Bayu telah melenting ke
udara sambil mengayunkan kakinya, disertai pengerahan
tenaga dalam yang hampir mencapai taraf kesempurana-
an. Tendangan itu telak mendarat di wajah si Manusia
Raksasa.
“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras.
Dia mundur dua langkah ke belakang. Dan begitu men
jejakkan kaki di tanah, Bayu langsung melepaskan satu
pukulan dahsyat ke arah dada. Pukulannya tidak ter-
bendung lagi. Tubuh tinggi besar itu terjungkal keras meng-
hantam tanah. Suara berdebum terdengar saat tubuh
raksasa itu ambruk. Getarannya bagaikan gempa bumi
saja.
Sambil menggeram marah, manusia raksasa itu bangkit
berdiri. Diangkat goloknya ke atas kepala. Segera dia ber-
lari cepat seraya mengayunkan senjatanya dengan deras.
Bayu melompat ke samping sambil melayangkan pukulan
keras menghantam punggung. Kembali manusia raksasa
itu meraung dan tersungkur ke tanah, namun dengan
cepat bisa bangkit kembali.
Bayu geleng-geleng kepala melihat daya tahan lawannya
yang begitu luar biasa. Manusia raksasa itu kembali
menerjang seraya mengayunkan goloknya yang sangat
besar. Kali ini dia memang mendapat lawan sangat
tangguh. Gerakan Bayu ketika berkelit, memang sangat
cepat. Bahkan dibarengi dengan satu serangan mengan-
dung tenaga dalam hampir sempurna. Setiap pukulan dan
tendangan Pendekar Pulau Neraka, membuat manusia
raksasa itu menggereng keras.
“Hup! Hiyaaa…!”
Sambil berteriak keras, Bayu memiringkan tubuhnya dan
sedikit membungkuk. Lalu dengan cepat dikibaskan tangan
kanannya. Seleret cahaya keperakan melesat dari per-
gelangan tangan yang dikibaskan. Rupanya Bayu melepas-
kan senjata andalannya, berupa cakra pipih bergerigi
enam, berwarna keperakan. Cakra Mautitu melesat cepat
bagai kilat, dan langsung membabat dada si Manusia
Raksasa itu.
“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras.
Bayu mengangkat tangannya ke atas. Cakra Maut itu
pun kembali melesat dan menempel di pergelangan
tangannya. Darah mulai membasahi dada manusia raksasa
itu. Dia menggeram dahsyat, lalu kembali menerjang
sambil mengayunkan goloknya dari atas ke bawah.
“Hiyaaaa…!”
Bayu melompat mundur sambil mengebutkan tangan
kanannya. Kembali Cakra Maut melesat bagai kilat dari
pergelangan tangannya. Senjata cakra bergerigi enam itu
menghentikan terjangan si Manusia Raksasa, karena leher-
nya telah tertembus senjata Pendekar Pulau Neraka. Darah
muncrat keluar dari leher yang berlubang besar itu.
Begitu senjatanya menempel kembali di pergelangan
tangan, Bayu melompat cepat sambil berteriak nyaring.
Satu tendangan keras menggeledek membuat tubuh
raksasa itu jatuh berdebum ke tanah. Bayu menjejak dada
lawan dengan lutut, lalu menghajar kepalanya dengan
kekuatan penuh.
Prak!
“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras.
Darah segar kembali mengalir keluar dari kepala yang
hancur. Bayu langsung melompat bangkit berdiri.
Pandangannya tajam pada tubuh besar yang menggelepar-
gelepar di tanah. Pendekar Pulau Neraka itu menarik
napas panjang, lalu pandangannya beralih pada Raden
Bantar Gading. Sementara manusia raksasa itu sudah
tidak bergerak-gerak lagi.
***
3
Orang yang berada di samping Raden Bantar Gading
langsung melompat turun dari punggung kudanya. Manis
sekali jejakannya di tanah, yang berjarak sekitar satu
batang tombak di depan Pendekar Pulau Neraka.
Senjatanya yang berbentuk tongkat berujung lima,
menyilang di depan dada. Tatapan matanya tajam
menusuk langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit
harimau di depannya.
Orang itu bertubuh sedang mengenakan baju ketat
merah menyala. Kulit wajahnya putih, cenderung pucat.
Sinar matanya menyiratkan kekejaman. Bayu menggeser
kakinya du alangkah ke samping. Bisa diukur kalau
lawannya kali ini tentu lebih tangguh dari yang pertama.
“Sebaiknya kau pulang saja ke negerimu,” kata Bayu
dingin.
“Hm…” orang bersenjata tongkat berujung lima itu
hanya menggumam tidak jelas.
Kepalanya menoleh ke belakang, ke arah Raden Bantar
Gading yang hanya diam menatap Pendekar Pulau Neraka.
Kemudian kepala Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu
terangguk sedikit. Orang berwajah dingin pucat pun
kembali memalingkan mukanya menghadap pada Bayu.
Bibirnya yang tipis pucat tersenyum sedikit.
“Hop!”
Begitu tangannya mengebutkan senjata ke depan,
langsung terasa suatu aliran hawa panas menyengat kulit.
Bayu kembali menggeser kakinya selangkah ke samping.
Sikapnya tampak lebih berhati-hati menghadapi lawan kali
ini. hawa panas yang menyebar dari senjata tongkat ber-
ujung lima itu sangat terasa menyengat. Jelas kalau dia
memiliki kepandaian tinggi.
“Wufh! Yaaa…!”
Orang berwajah pucat itu cepat menyerang tanpa
banyak bicara lagi. Bayu mengegoskan tubuhnya ke
samping menghindari tusukan senjata tongkat berujung
lima itu. Dengan cepat tangannya terayun ke samping,
begitu senjata lawan berada di samping perutnya. Namun
tanpa diduga sama sekali, orang itu memutar senjata ke
atas.
“Uts!”
Bayu cepat merunduk, sehingga tebasan senjata itu
lewat di atas kepalanya. Belum lagi Pendekar Pulau Neraka
itu bisa berbuat sesuatu, kaki lawan telah melayang deras
menghantam pinggangnya.
“Ugh!” Bayu mengeluh pendek.
Saat tubuhnya doyong ke samping, satu pukulan keras
lawan mendarat di dadanya. Pendekar Pulau Neraka itu
terjajar ke belakang. Dadanya terasa sesak seketika. Buru-
buru digerakkan tangannya untuk mengusir rasa sesak
yang melanda dadanya. Bayu menggelengkan kepalanya
beberapa kali, mencoba mengusir kunang-kunang yang
memenuhi pelupuk matanya.
“Phuih!” dengan perasaan geram, Pendekar Pulau
Neraka menyemburkan ludahnya.
Orang berwajah pucat kaku itu berteriak keras sambli
melompat menerjang. Bayu tetap berdiri tegak menanti.
Dan pada saat ujung tombak lawannya sudah sedemikian
dekat di depan dada, dengan cepat ditangkapnya. Sambil
mengerahkan tenaga dalam, tombak yang tertangkap itu
diangkat dan dibantingnya ke belakang.
“Akh!” orang berwajah pucat itu memekik tertahan.
Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Sebelum
orang berwajah pucat itu sempat bangun, Bayu sudah
mengibaskan tangan kanannya. Seleret cahaya keperakan
meluncur deras bagai kilat. Orang itu menggulingkan
tubuhnya beberapa kali. Senjata cakra keperakan itu pun
meng-hantam tanah. Bayu menarik tangan kanannya ke
atas, maka senjatanya kembali melesat ke arahnya. Begitu
menempel di pergelangan tangan, kembali dikibaskannya
dengan cepat.
“Hiya…!”
Orang berwajah pucat itu buru-buru melesat ke udara
sambil mengibaskan senjatanya ke bawah. Sunggu di luar
dugaan. Ketika Bayu menjentikkan ujung jarinya, Cakra
Maut itu bergerak menyamping, sehingga tidak terjadi
benturan antara dua senjata. Dan Cakra Maut itu terus
melesat ke udara, langsung menyambar ke arah dada
orang berwajah pucat itu.
Masih dalam keadaan tubuh di udara, orang itu
memiringkan tubuhnya ke samping. Tapi ujung Cakra Maut
sempat menggores bahu kanannya. Bayu mengangkat
tangan kananya ke atas, maka senjata cakra kembali
menempel di pergelangan tangan kanannya. Orang
berwajah pucat itu kembali turun ke bumi. Darah mengucur
dari pundak yang tergores cukup dalam oleh Cakra Maut.
“Yeaaah…!” Bayu berteriak lantang.
Baru saja orang berwajah pucat itu menjejakkan kakinya
di tanah, Pendekar Pulau Neraka sudah melompat sambil
mengirimkan dua pukulan dahsyat beruntun. Orang itu
berusaha menghindar, tapi satu pukulan lain tidak mampu
dihindari. Dadanya terasa remuk akibat pukulan keras
bertenaga dalam hampir sempurna. Tubuhnya terdorong ke
belakang sejauh dua batang tombak.
“Mampus kau! Hiyaaa…!” pekik Bayu melengking.
Secepat tangannya bergerak ke depan, secepat itu pula
secercah cahaya keperakan melesat ke arah jago dari
tanah seberang berwajah pucat itu. Dia tidak mungkin lagi
menghindar karena keadaan tubuhnya terluka dan
sempoyongan. Cakra Mautpun langsung menembus
dadanya hingga ke punggung.
“Aaaakh…!”
Di saat tubuh orang itu limbung, Bayu melompat cepat
sambil melontarkan satu pukulan keras ke arah dada. Tak
pelak lagi, tubuh jago dari seberang itu terjungkal keras
menghantam batu sebesar kerbau. Dengan ujung jari kaki,
Bayu menyambar senjata lawan dan langsung menangkap-
nya. Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan senjata
yang berhasil dirampas seraya mengerahkan tenaga
dalam, sebelum jago dari seberang itu bergerak.
Wut!
Senjata tombak berujung lima itu meluncur cepat, dan
menembus dada pemiliknya sendiri. Kembali jeritan
menyayat terdengar mengantar kematian jago dari
seberang itu. sementara Cakra Mautmasih melayang di
udara, Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas. Cakra
Mautpun kembali menempel di pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka.
“Hm…” Bayu bergumam pelan.
Bola matanya tajam memandang ke sekeliling.
Gerahamnya bergemeletuk menahan geram mendapati
Raden Bantar Gading sudah tidak ada di tempatnya lagi.
Rupanya putra Raja Abiyasa itu melarikan diri saat
mengetahui jagonya sudah tidak mampu menandingi
Pendekar Pulau Neraka.
“Pengecut!” dengus Bayu geram.
***
Raden Bantar Gading memacu kudanya bagai dikejar
setan. Debu mengepul di udara diterjang kaki kuda putih
itu. sedikitpun Raden Bantar Gading tidak memperlambat
lari kudanya. Bahkan digebah semakin cepat begitu
memasuki perbatasan kota. Beberapa orang yang melihat,
hanya membungkuk dengan kepala mengeleng-geleng.
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana, buru-
buru membuka pintu ketika melihat Raden Bantar Gading
memacu cepat kudanya ke arah istana. Kuda putih itu
tidak mengendur larinya meskipun melewati pintu gerbang.
Dua prajurit pengawal hanya mengelus-elus dada saja.
“Hooop…!”
Raden Bantar Gading langsung melompat turun setelah
kudanya berhenti di depan tangga istana. Kakinya
bergegas melangkah meniti anak tangga dari batu pualam.
Para prajurit yang berada di sekitar situ, hanya bisa
memandang penuh tanda tanya di dalam hati. Raden
Bantar Gading langsung masuk ke dalam Israna Gantar
Angin.
“Patih Luminta, di mana Ayahanda Prabu?” tanya Raden
Bantar Gading, saat berpapasan dengan seorang laki-laki
setengah baya.
“Gusti Prabu sedang beristirahat, Raden,” jawab Patih
Luminta.
Raden Bantar Gading kembali melangkah cepat.
“Raden…” Patih Luminta bergegas mengejar.
“Aku harus bertemu Ayahanda sekarang juga!” bentak
Raden Bantar Gading.
“Tapi, Raden. Gusti Prabu sudah berpesan agar jangan
diganggu,” kata Patih Luminta.
Raden Bantar Gading tidak perduli, tan terus saja
melangkah menuju sebuah kamar yang tertutup pintunya.
Kamar itu memang tempat beritirahat pribadi ayahnya.
Tidak ada seoerang pun boleh masuk tanpa seijinnya. Patih
Luminta menghalangi langkah Raden Bantar Gading
dengan membelakangi pintu.
“Maaf, Raden. Ini perintah Gusti Prabu,” kata Patih
Luminta.
“Jangan menghalangiku, Patih. Minggir!” bentak Raden
Bantar Gading.
“Raden….”
Raden Bantar Gading mencekal baju Patih Luminta dan
mencampakkannya ke samping. Patih Luminta ter-
jerembab ke lantai. Sebentar Raden Bantar Gading
menatap tajam laki-laki setengah baya itu, kemudian
mendorong pintu yang tertutup.
“Raden, jangan…!” seru Patih Luminta.
Tapi Raden Bantar Gading telah lebih cepat membuka
pintu kamar itu dan langsung menerobos masuk. Seketika
matanya membeliak dan mulutnya menganga lebar.
Jantungnya serasa berhenti berdetak saat mendapati
ayahnya tengah bergumul di atas ranjang bersama seorang
wanita.
Prabu Abiyasa teerkejut. Buru-buru disambar selimut
untuk menutupi tubuhnya. Demikian juga dengan wanita
itu, disambarnya kain seadanya untuk menutupi seluruh
aurat yang terbuka lebar.
“Lancang! Keluar kau!” bentak Prabu Abiyasa.
Raden Bantar Gading tidak berkata apa-apa, tapi
langsung berbalik dan melangkah keluar dari kamar itu.
Patih Luminta bergegas menutup pintu kembali. Wajahnya
nampak kebingungan melihat Raden Bantar Gading yang
berlari cepat meninggalkan kamar pribadi Prabu Abiyasa.
Patih Luminta bergegas mengejar putra mahkota itu.
Sementara Raden Bantar Gading terus berlari menuju
kaputren. Patih Luminta yang masih berusaha mengejra,
menghentikan langkahnya. Tidak mungkin dia boleh masuk
ke dalam kaputren. Tempat itu terlarang bagi seorang laki-
laki yang bukan keluarga Prabu Abiyasa. Seorang dayang
yang akan keluar dari kaputren, hampir jatuh tertabrak
Raden Bantar Gading. Dayang itu tertegun sejenak, lalu
kembali melangkah keluar. Dia berpapasan dengan Patih
Luminta.
“Kenapa Raden Bantar Gading, Paman?” tanya dayang
itu.
“Tidak tahulah…” desah Patih Luminta menyahut. “Apa
Gusti Permaisuri ada di dalam?”
“Ada.”
“Ya, Tuhan…” keluh Patih Luminta.
“Ada apa, Paman?”
Patih Luminta tidak menjawab. Bergegas dia berbalik,
lalu melangkah pergi. Sementara dayang itu hanya
memandang dengan kening berkerut. Sebentar Patih
Luminta menoleh ke beblakang, lalu mengangkat bahunya
dan kembali melangkah pergi dari lorong pintu kaputren.
***
Raden Bantar Gading tertegun meihat ibunya tengah
duduk dikelilingi tujuh orang dayang di taman kaputren.
Pemuda itu ingin berbalik, tapi ibunya sudah keburu
melihat dan memanggil. Raden Bantar Gading melangkah
menghampiri. Kemurungan di wajahnya sulit untuk
disembunyikan.
Permaisuri Pramita Wardani memandangi wajah
anaknya yang kelihatan murung. Tangannya menggapai
lembut dan menggamit jari-jari tangan pemuda itu, lalu
membawanya duduk di sampingnya. Raden Bantar Gading
tidak tahu harus berkata apa lagi. Semula dia ingin
mengatakan adegan yang disaksikan di kamar per-
istirahatan pribadi ayahnya. Tapi, saat melihat keanggunan
dan senyum ibunya, hatinya langsung luluh. Rasanya tidak
sanggup untuk menghancurkan hati wanita yang lembut
dan anggun ini.
“Ada apa, Anakku? Kau kelihatan murung sekali,”
lembut suara Permaisuri Pramita Wardani.
“Tidak apa-apa, Bunda. Nanda hanya ingin bertemu
saja,” jawab Raden Bantar Gading pelan. Disembunyi-
kannya suara hatinya dalam-dalam.
Hatinya mendadak menjerit, mendengar kelembutan
suara ibunya. Permaisuri Pramita Wardani tersenyum
manis. Tangannya mengusap-usap rambut anaknya. Dia
mengerti kalau Raden Bantar Gading ingin mengatakan
sesuatu, tapi sangat berat untuk diucapkan. Sudah bisa
ditebak penyebab kemurungan putranya itu.
“Kau datang tergesa-gesa, dengan wajah murung.
Bunda tahu, ada yang ingin kau katakan…” kata Permaisuri
Pramita Wardani, tetap lembut suaranya.
“Tidak, Bunda,” jawab Raden Bantar Gading tertahan
suaranya.
“Katakanlah,” desak ibunya.
“Bunda…” suara Raden Bantar Gading tercekat di teng-
gorokan. Sungguh mati, dia tidak sangup menghancurkan
perasaan wanita yang dikasihinya. Apalagi seorang wanita
yang telah mengandung dan melahirkan-nya.
Permaisuri Pramita Wardani begitu lembut, dan suci
hatinya. Bagaimanapun kasar dan keras hati seseorang,
pasti tidak akan tega untuk menyakitinya. Raden Bantar
Gading menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian
bangkit berdiri dan melangkah cepat meninggalkan
kaputren. Permaisuri Pramita Wardani bergegas bangkit,
tapi tidak mengejar. Hanya matanya saja yang memandang
kepergian puteranya.
Tarikan napasnya berat ketika punggung Raden Bantar
Gading tidak terlihat lagi. Pada saat yang sama. Raden
Sangga Alam berlari-lari dengan tangan membawa seekor
burung kenari. Dia tertegun mendapatkan Permaisuri
Pramita Wardani tengah berdiri termenung memandang
pintu luar kaputren.
“Bunda…” pelan suara Raden Sangga Alam.
“Oh…!” Permaisuri Pramita Wardani terkejut.
“Maaf. Nanda mengagetkan Bunda,” kata Raden
Sangga Alam.
“Oh, tidak. Mana? Kau dapat burung itu?”
“Ini, Bunda. Nanda dapatkan di tembok batas kaputren,”
Raden Sangga Alam menyerahkan burung kenari itu.
“Dayang! Masukkan burung ini ke dalam sangkar,”
perintah Permaisuri Pramita Wardani begitu menerima
burung yang kecil namun bersuara merdu itu.
Seorang dayang muda menerima burung itu, dan
membawanya ke dalam sangkar burung kosong berukuran
besar. Burung kenari itu langsung berkicau setelah berada
di dalam sangkar. Tampaknya memang senang berada di
dalam sangkar. Dia berlompatan dari ranting yang satu ke
ranting yang lainnya sambil memperdengarkan kicauan
merdu.
Permaisuri Pramita Wardani tersenyum melihat
keceriaan burung kecil itu. Sedangkan Raden Sangga Alam
mengerutkan keningnya sedikit. Bisa dirasakan kalau
senyum wanita cantik dan anggun itu amat dipaksakan.
Jelas sekali, bibir yang tersenyum itu sedikit bergetar.
“Bunda…” pelan suara Raden Sangga Alam.
Permaisuri Pramita Wardani menoleh.
“Tadi Nanda lihat, Kakang Bantar Gading ada di sini…”
kata Raden Sangga Alam terputus.
“Dia hanya ingin melihat Bunda, Anakku,” sahut
Permaisuri Pramita Wardani.
“Tapi, tampaknya tergesa-gesa…?”
“Hhh…!” Permaisuri Pramita Wardani menarik napas
panjang dan kembali duduk di kursi taman kaputren.
Raden Sangga Alam duduk di depan wanita cantik nan
anggun itu. Dia tidak yakin kalau Raden Bantar Gading
hanya ingin bertemu saja. Sikapnya yang tergesa-gesa
membuatnya bertanya-tanya. Dipandanginya wajah
Permaisuri Pramita Wardani dalam-dalam.
“Mengapa memandangku seperti itu, Anakku?” tegur
Permaisuri Pramita Wardani.
“Bunda begitu anggun di mata Nanda. Tak ada seorang
pun yang boleh menyakiti Bunda,” ujar Raden Sangga
Alam, agak tertekan suaranya.
Permaisuri Pramita Wardani memandangi dayang-
dayang yang duduk bersimpuh di sekitarnya. Tanpa
diperintah, mereka segera memberi hormat, lalu bangkit
dan pergi meninggalkan tempat itu.
“Kandamu tidak mengatakan apa-apa terhadap Bunda,
Anakku. Tapi Bunda yakin ada sesuatu yang ingin
dikatakannya,” kata Permaisuri Pramita Wardani pelan.
“Tentang Ayahanda?” tebak Raden Sangga Alam
langsung.
“Ah, sudahlah! Dia sudah dewasa dan bisa mengurusi
dirinya sendiri.”
Raden Sangga Alam mengangkat bahunya. Dia memang
tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang. Walapun dia
tahu Raden Bantar Gading suka main perempuan,
ditambah lagi Ayahnya juga punya kegemaran yang sama,
tapi jika melihat Permaisuri Pramita Wardani, hatinya jadi
terenyuh.
“Bunda seharusnya bertindak. Ayahanda itu sudah
banyak mempunyai selir. Kalau hal ini tetap berlanjut,
wibawanya bisa jatuh. Bukannya mustahil para pembesar
kerajaan akan membelot jika Ayahanda Prabu tidak
memberikan contoh yang baik,” jelas Raden Sangga Alam.
“Apa yang bisa Bunda lakukan, Anakku?” suara
Permaisuri Pramita Wardani terdengar pasrah.
“Bicara.”
“Tidak ada gunanya. Kanda Prabu sangat berkuasa.
Tidak ada seorangpun yang bisa menentang segala kata
dan perbuatannya. Kau ingin Bunda bernasib sama dengan
mendiang ibumu? Tidak, Anakku. Bunda tidak ingin
meninggalkanmu bersama serigala-serigala itu. Selama
aku masih hidup, tidak ada yang bisa mencelakakanmu,”
halus, tapi terdengar tegas kata-katanya.
“Maafkan Nanda, Bunda. Bukan maksud Nanda ingin
menggurui. Tapi Nanda tidak bisa terus menerus melihat
Bunda begini. Nanda hanya ingin melihat Bunda tersenyum
bahagia,” kata Raden Sangga Alam.
“Bunda sudah bahagia, Anakku. Bunda selalu tersenyum
bila bersamamu. Hanya kau yang bisa membuat Bunda
bahagia, Anakku.”
“Hhh….kalau saja Gusti Ratu Kunti Boga tidak
tergulingkan…” desah Raden Sangga Alam bergumam lirih.
“Untuk apa kau berkata demikian?” tegur Permaisuri
Pramita Wardani.
“Bunda! Apakah keadaan ini bisa berubah jika Gusti
Ratu Kunti Boga keluar dari kamar tahanan bawah tanah?”
tanya Raden Sangga Alam.
“Entahlah…” desah Permaisuri Pramita Wardani.
“Kerajaan Gantar Angin bakal runtuh kalau keadaannya
seperti ini terus.”
“Sudahlah, Anakku. Kau tidak perlu memikirkan
kerajaan. Aku tak mau kehilanganmu. Penderitaanku
sudah cukup, dan tidak ingin menambahnya lagi. Kau
mengerti maksud Bunda, Anakku?”
Raden Sangga Alam mengangguk pelan.
“Pergilah istirahat. Kau pasti lelah.”
Raden Sangga Alam membungkuk memberi hormat, lalu
melangkah pergi meninggalkan kaputren. Sementara
Permaisuri Pramita Wardani tetap duduk sendiri di taman
kaputren. Dayang-dayang kembali menghampirinya setelah
Raden Sangga Alam lenyap di balik dinding taman
kaputren.
***
Raden Bantar Gading melampiaskan kemarahannya
pada para pekerja di Bukit Batu. Tidak kurang dari sepuluh
orang pekerja, tewas terbabat pedangnya. Bahkan para
prajurit yang mencoba untuk meredakan amarahnya, tidak
luput dari amukan. Tiga orang prajurit luka parah. Raden
Bantar Gading benar-benar marah, kecewa dan sakit hati
melihat ayahnya bergumul dengan perempuan lain.
Dia tidak akan ambil peduli jika Ayahandanya bergumul
bersama selir. Tapi yang dilihatnya bukan selir, melainkan
seorang perempuan yang juga pernah tidur bersamanya.
Kemarahannya semakin memuncak ketika mendengar
semua percakapan ibunya dengan Raden Sangga Alam.
Dia memang sengaja menyelinap kembali ke kaputren
begitu melihat Raden Sangga Alam datang ke taman itu.
Hatinya benar-benar terluka melihat kepasrahan ibunya
terhadap tindakan suaminya yang sering bermain cinta
dengan wanita lain. Meskipun dia sendiri juga gemar
dengan wanita-wanita cantik, tapi sulit rasanya untuk
menyakiti wanita agung dan suci seperti ibunya.
“Raden…!”
Raden Bantar Gading menoleh. Pedangnya yang sudah
terangkat tinggi dan siap untuk dibabatkan ke leher salah
seorang pekerja, berhenti di atas kepalanya. Kedua bola
matanya berbinar merah melihat Patih Luminta sudah
berada tidak jauh dari situ.
“Hentikan, Raden. Tidak ada gunanya membantai
mereka. Hentikan, Raden,” pinta Patih Luminta seraya
melangkah pelan-pelan mendekati.
Raden Bantar Gading membalikkan tubuhnya.
Pedangnya menyilang di depan dada. Kedua bola matanya
tetap merah menyala menatap tajam Patih Luminta.
“Jangan coba-coba membujukku, Paman Patih!” dengus
Raden Bantar Gading.
“Percayalah, Raden. Semua akan beres tanpa harus
mengumbar nafsu amarah. Kita bisa bicarakan hal ini baik-
baik,” kata Patih Luminta tetap membujuk.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Paman Patih!”
“Raden…”
“Pergi! Atau pedangku yang akan mengusirmu!” bentak
Raden Bantar Gading.
Patih Luminta berusaha membujuk, dan semakin dekat
dengan pemuda itu. Raden Bantar Gading menunjuk dada
laki-laki setengah baya dengan ujung pedangnya.
“”Selangkah lagi kau mendekat, pedang ini akan
mengoyak jantungmu!” ancam Raden Bantar Gading.
Patih Luminta berhenti melangkah. Dipandanginya
orang-orang yang berada di sekitarnya. Juga para prajurit
yang mulai berjaga-jaga. Laki-laki setengah baya itu
mengegoskan kepalanya sedikit. Dan prajurit-prajurit itu
segera memerintahkan para pekerja untuk menyingkir.
Tidak lama, terdengar derap langkah kaki-kaki kuda
mendekati Puncak Bukit Batu. Raden Bantar Gading
menoleh. Patih Luminta juga mengarahkan pandangannya
ke lereng bukit. Tampak serombongan prajurit berkuda
mengawal Prabu Abiyasa. Delapan orang jago bayaran dari
tanah seberang juga ikut bersama rombongan itu.
Prabu Abiyasa mengangkat tangannya ke atas. Para
prajurit pengawal dan delapan orang jago dari seberang
menghentikan lari kudanya. Prabu Abiyasa segera
melompat dari punggung kuda hitam itu. Dua orang jago
bayaran mengikutinya. Mereka berdiri di samping kanan
dan kiri Prabu Abiyasa.
“Bantar Gading! Apa yang kau lakukan di sini, heh?”
bentak Prabu Abiyasa.
Prabu Abiyasa merayapi beberapa orang yang tergeletak
tak bernyawa lagi. Bahkan tiga orang prajurit tengah
mengerang dengan tubuh bersimbah darah. Tatapan
matanya tajam menusuk ke bola mata Raden Bantar
Gading. Dia melangkah mendekat, tapi Raden Bantar
Gading mengarahkan ujung pedangnya pada Raja Abiyasa
itu.
“Jangan mendekat! Kau bukan ayahku!” bentak Raden
Bantar Gading.
“Patih…!” Prabu Abiyasa membentak keras, tanpa
menghiraukan ucapan Raden Bantar Gading.
“Hamba, Gusti Prabu…” Patih Luminta mendekat seraya
membungkukkan badannya.
“Apa yang kau lakukan terhadap anakku?” tanya Prabu
Abiyasa berang.
“Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak melakukan apa-apa.
Hamba juga tidak tahu, mengapa Raden Bantar Gading
mengamuk dan membantai para pekerja,” sahut Patih
Luminta bergetar suaranya.
Prabu Abiyasa mengalihkan pandangannya ke arah
Raden Bantar Gading. Sedangkan pemuda itu hanya
membalas dengan tatapan dingin, penuh rasa kebencian.
Agak bergetar juga hati Prabu Abiyasa melihat tatapan itu.
“Ijinkan hamba untuk meredakan amarahnya, Gusti
Prabu.” Kata Patih Luminta.
Prabu Abiyasa tidak menjawab. Dia berbalik, lalu
melompat ke punggung kudanya. Sebentar dia menatap
Patih Luminta, kemudian beralih pada Raden Bantar
Gading.
“Kalian berdua jaga di sini!” perintah Prabu Abiyasa
menunjuk dua orang jago dari seberang.
Tatapannya kembali mengarahkan pada Patih Luminta.
“Bawa dia ke istana. Aku tidak perduli dengan caramu!”
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Patih Luminta.
Prabu Abiyasa memutar kudanya, lalu menggebahnya
meninggalkan Bukit Batu. Patih Luminta berbalik
memandang Raden Bantar Gading. Pemuda itu masih
menghunus pedangnya di depan dada. Tatapan matanya
tetap tajam menusuk. Sementara dua jago dari sebrang
melangkah mendekati Patih Luminta.
“Sarungkan kembali peedangmu, Raden. Hamba
bersedia mendengar semua keluhan Raden,” bujuk Patih
Luminta lagi.
Trek!
Raden Bantar Gading menyarungkan pedangnya. Raut
wajahnya masih merah meyimpan amarah. Dia berbalik
dan melangkah tanpa bicara sedikitpun. Patih Luminta
bergegas mengikuti dari belakang. Sempat diperintahkan
pada para prajurit untuk kembali menyuruh orang-orang
bekerja.
“Raden…!” panggil Patih Luminta terus melangkah cepat
membuntuti.
Raden Bantar Gading tidak menyahut. Dia terus saja
melangkah menghampiri kudanya, kemudian melompat
naik ke atasnya. Seklai gebah saja, kuda putih itu berlari
cepat membelah angin. Patih Luminta langsung melompat
ke punggung kudanya, dan menggebah mengikuti Raden
Bantar Gading. Sementara para pekerja kembali bekerja
memecah batu. Para prajurit juga kembali mengawasi.
Beberapa orang mengurus mayat yang bergelimpangan
terkena amukan Raden Bantar Gading. Tidak ada
seorangpun yang menyadari kalau semua kejadian di situ
disaksikan beberapa pasang mata dari tempat yang cukup
tersembunyi.
***
4
Empat orang yang mengintai dari tempat cukup
tersembunyi itu adalah Ki Maruta, Mayang, dan dua orang
pemuda yang menyandang pedang di pinggangnya. Mereka
mendengar semua pembicaraan dan mengetahui kejadian
yang berlangsung di Bukit Batu. Ki Marutamemandang
Mayang yang sejak tadi tidak berkata sedikitpun.
“Bagaimana kau bisa mempengaruhi Raden Bantar
Gading, Mayang?” tanya Ki Maruta.
Mayang menarik nafas panjang, dan hanya menoleh
pada laki-laki tua di sampingnya. Tanpa menjawab
pertanyaan itu, Mayang bangkit dan melangkah pergi. Ki
Marutaberpesan pada dua pemuda tadi agat tetap
mengawasi Bukit Batu. Bergegas diikutinya wanita cantik
berbaju merah itu.
Mayang menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon
cemara yang cukup besar. Ki Maruta berdiri di depannya.
Matanya merayapi wajah wanita yang berniat bergabung
bersamanya.
“Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaanmu,”
kata Ki Maruta.
“Tidak apa,” sahut Mayang mendesah.
“Seharusnya aku memang tidak berkata begitu,”
Mayang melemparkan senyumnya.
“Tidak kusangka kalau Raden Bantar Gading ter-
pengaruh oleh kata-kataku. Tapi entah kenapa, aku tidak
bisa melakukannya. Hhh…!” Mayang menarik nafas
panjang. Dia teringat saat-saat manis bersama Raden
Bantar Gading.
Masa-masa yang tidak pernah terlupakan. Saat itu
hatinya selalu berperang antara cinta dan tugas yang
diberikan seorang laki-laki misterius yang selalu dipanggil-
nya Eyang. Sampai saat ini pun dia tidak tahu maksud laki
laki berjubah hitam itu. Dia mencintai Raden Bantar
Gading, tapi perintah laki-laki berjubah hitam itu selalu ter-
ngiang di telinganya.
Sejak kecil dia dijejali dengan cerita tentang keluarga
Ratu Kunti Boga. Dan laki-laki berjubah hitam itu selalu
mengatakan kalau dirinya adalah puteri Ratu Kunti Boga.
Ayahnya terbunuh. Bahkan banyak saudaranya ikut
terbunuh atau ditawan di dalam kamar tahanan bawah
tanah. Semua itu dilakukan Prabu Abiyasa. Yang paling
meyedihkan, kakak laki-lakinya tewas di tangan Raden
Bantar Gading di dalam penjara. Semua cerita itu diperoleh
Mayang dari laki-laki misterius berjubah hitam. Mayang
memang sempat terpengaruh, lalu membenci Raden
Bantar Gading. Tapi semuanya jadi pupus ketika seorang
pendekar muda datang membeberkan apa adanya.
Tentang laki-laki misterius berjubah hitam yang sebenar-
nya, sampai saat ini Mayang masih belum mengerti. Untuk
apa Panglima Nampi menyamar sebagai seorang
misterius? Mengapa dia mengajarkan ilmu olah kanuragan
dan menjejalinya dengan cerita-cerita yang membuatnya
seperti orang lain, bukan dirinya sendiri?
“Mayang…”
“Oh!” Mayang tersentak dari lamunannya.
“Kau melamun?” tegur Ki Maruta.
“Oh….ehm….” Mayang jadi tergagap.
“Aku berterima kasih karena kau telah berhasil
memecah-belah keluarga Prabu Abiyasa. Siapapun adanya
kau, aku berterima kasih sekali. Keadaan ini bisa
melemahkan pertahanan mereka. Sekarang, tugasku
adalah menghasut para prajurit yang masih setia kepada
Gusti Ratu Kunti Boga atau para pembesar yang kini masih
berada di lingkungan istana,” ujar Ki Maruta.
Mayang hanya diam saja. Dia tidak tahu, apakah saat ini
harus gembira, atau harus sedih melihat Raden Bantar
Gading terguncang jiwanya. Padahal semua yang dikata-
kannya hanya rekaan saja. Tidak ada kebenarannya sama
sekali. Tapi dia sendiri tidak tahu, kejadiannya yang se
sungguhnya, sehingga Raden Bantar Gading bisa demikian
murkanya. Bahkan tidak mau mengakui ayahnya lagi!
“Tidak lama lagi, tahta Prabu Abiyasa akan runtuh.
Dengan demikian kau bisa mengetahui dirimu yang
sebenarnya setelah kami dapat menyelamatkan Gusti Ratu
Kunti Boga dan Panglima Nampi,” jelas Ki Maruta lagi.
“Terima kasih, Ki,” hanya itu yang bisa diucapkan
Mayang.
Saat ini dia tidak lagi peduli tentang dirinya yang
sebenarnya. Putri Ratu Kunti Boga atau bukan, masa
bodoh! Yang jelas, tekadnya adalah meninggalkan Gantar
Angin setelah semua kemelut ini berakhir. Dia ingin
menjadi dirinya sendiri. Tidak akan terpengaruh pada
omongan orang lain lagi.
“Ayo, kita kembali ke Hutan Danaraja. Tidak mungkin
kita membebaskan rakyat yang dipaksa bekerja di sana
sekarang ini. Kita cari kesempatan lain lagi,” kata Ki
Maruta.
Mayang hanya mengangguk saja, kemudian kakinya
terayun meninggalkan tempat itu. Ki Maruta bergegas
kembali menemui dua orang pemuda yang bertugas meng-
amati keadaan di sekitar Bukit Batu. Dia ingin mengajak
dua orang pemuda itu untuk kembali ke Hutan Danaraja,
tempat mereka berkumpul menyusun kekuatan untuk
menggulingkan tahta Prabu Abiyasa.
Saat itu, matahari sudah condong ke barat. Dan rakyat
yang bekerja paksa memecah batu di Bukit Batu mulai ber-
benah diri untuk kembali ke barak. Sementara sebagian
prajurit juga sudah kembali ke tenda masing-masing. Tak
terlihat wajah ceria di antara sekian banyak orang itu.
Bahkan para prajurit pun tidak menampakkan wajah yang
menyenangkan. Mungkin mereka jenuh, karena seharian
hanya berdiam diri tanpa melakukan sesuatu di atas bukit
yang gersang dan panas ini.
***
Susah payah Patih Luminta membujuk, dan pada akhir-
nya Raden Bantar Gading bersedira kembali ke istana. Tapi
Raden Bantar Gading tetap tidak ingin bertemu ayahnya,
meskpun ibunya sendiri ikut membujuk. Masih terngiang
kata-kata Mayang padanya. Semula hal itu hanya dianggap
sebuah lelucon yang tidak lucu. Tapi setelah melihat
dengan mata kepala sendiri, hatinya kontan berontak.
“Aku mengatakan yang sebenarnya, Raden. Aku ter-
paksa melakukan karena Prabu Abiyasa mengancam. Dia
tidak mengijinkan hubungan kita kalau aku tidak bersedia
melayaninya,” cerita Mayang waktu itu.
“Tidak mungkin, Mayang. Aku tahu betul, tidak mungkin
Ayahanda akan melakukan seperti yang kau ceritakan.
Selirnya banyak dan cantik-cantik.” Bantah Raden Bantar
Gading.
“Itu hakmu untuk tidak percaya, Raden. Tapi aku paham
benar dengan watak ayahmu. Bahkan aku tahu siapa kau
sebenarnya. Kau bukan putra Prabu Abiyasa! Putra yang
sebenarnya adalah Raden Sangga Alam. Kau hanya anak
angkat, Raden.”
“Hhh! Hebat sekali olok-olokmu, Mayang.”
“Kau boleh percaya atau tidak. Terserah. Kalau bukan
ayahmu sendiri yang cerita padaku, mana aku percaya?
Katanya kau bukan anaknya, oleh sebab itu aku tidak
pantas untukmu! Kau bukan pewaris tahta Kerajaan
Gantar Angin.”
“Ah, sudahlah, Mayang. Tidak lama lagi kau akan
meduduki tahta, dan kau akan menjadi permaisuriku.
Sudahlah! Hentikan olok-olokmu,” Raden Bantar Gading
tidak percaya.
“Kalau ternyata benar…?”
Raden Bantar Gading hanya tertawa saja. Hal itu hanya
dianggap sebuah lelucon yang tidk lucu. Tapi kini kata-kata
itu kembali terngiang. Padahal dia telah melupakannya.
Raden Bantar Gading menutup muka dengan kedua
tangannya.
“Mayang….” Rintihnya lirih. “Maafkan aku, Mayang. Aku
terlalu kasar dan terlalu menganggapmu rendah. Kau
benar, Mayang. Aku, Ayahku, lebih kotor dari padamu.
Oh….” Rintih Raden Bantar Gading.
Raden Bantar Gading menengadahkan kepalanya.
Tampak kedua matanya berkaca-kaca. Disesali segala
tindak-tanduknya terhadap wanita yang selama ini telah
mengisi hidupnya. Wanita yang selalu memperhatikan
dengan curahan kasih dan cinta yang murni. Raden Bantar
Gading mengutuki dirinya sendiri.
Penyesalan memang datangnya selalu belakangan.
Selama ini Raden Bantar Gading selalu menganggap
dirinya mulia dan paling tinggi derajatnya, sehingga bisa
melakukan apa saja sekehendak hati. Setiap kata yang
terucap merupakan perintah yang harus ditaati. Segala
keinginannya harus dituruti. Siapa saja yang berani mem-
bangkang, pedangnya selalu bicara. Tidak terhitung lagi,
berapa nyawa melayang di tangannya. Berapa gadis yang
menjadi korban nafsunya. Tapi dari sekian banyak wanita
yang pernah dekat dengannya, hanya Mayang yang men-
jadi perhatiannya. Dan Raden Bantar Gading pun menaruh
simpati pada wanita itu. Hanya karena keangkuhannya
sehingga dia tidak mengakui secara jujur.
“O, Tuhan…..ampunlah segala dosaku,” kembali Raden
Bantar Gading mengaluh lirih.
Raden Bantar Gading menoleh ketika telinganya men-
dengar langkah kaki menghampiri. Kembali dipalingkan
mukanya begitu melihat Raden Sangga Alam menghampiri.
Sebentar ditarik napas panjang dan dalam. Dengan
punggung tangan, dihapus air bening yang mengalir dari
sudut matanya. Tak terasa dia telah menangis menyesali
segala perbuatannya.
“Boleh aku bicara padamu, Kakang?” lembut suara
Raden Sangga Alam.
Raden Bantar Gading tidak menjawab dan hanya
menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-
kuat. Jarang sekali mereka berdua saling bicara. Raden
Bantar Gading tidak berpaling sedikitpun. Hatinya merasa
malu berhadapan dengan pemuda yang selalu disisihkan
dan direndahkannya selama ini.
“Sudah tiga hari ini Kakang tidak mau keluar. Bahkan
tidak bersedia bertemu dengan seorangpun. Apa sebenar-
nya yang terjadi padamu, Kakang?” tanya Raden Sangga
Alam tetap lembut suaranya.
“Pergilah….” Desah Raden Bantar Gading.
“Kakang juga tidak bersedia bicara denganku?”
Lagi-lagi Raden Bantar Gading menarik napas panjang.
“Aku datang bukan untuk membujukmu, Kakang. Sama
sekali tidak ada niatan di hatiku. Rasanya sudah lama kita
tidak saling bicara. Bagaimanapun juga, kita bersaudara
satu Ayah. Saat ini kau sedang mengalami kesusahan, aku
juga turut merasakan kesusahanmu, Kakang,” tetap
lembut suara Raden Sangga Alam.
“Ah…” desah Raden Bantar Gading.
Kata-kata adik tirinya membuatnya semakin terenyuh.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Raden Bantar Gading bangkit
berdiri dan melangkah meninggalkan taman itu. Raden
Sangga Alam hanya dapat memandang kosong. Hatinya
penuh berbagai macam perasaan yang sulit diungkapkan.
***
Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Raden Bantar
Gading telah memacu kudanya keluar dari Istana Gantar
Angin. Keputusannya mantap untuk meninggalkan segala
yang dimiliki dan dinikmati. Tekadnya bulat. Dia harus
menemukan kembali wanita yang selama ini telah mengisi
hari-harinya. Wanita yang begitu memperhatikannya.
“Raden….tunggu!”
Raden Bantar Gading terkejut ketika mendengar suara
panggilan dari belakang. Padahal dia baru saja melewati
pintu gerbang istana.
Terpaksa dihentikannya laju kudanya, dan menoleh.
Tempak Patih Luminta memacu cepat kudanya.
“Raden…. Raden akan ke mana?” tanya Patih Luminta.
“Pergi,” sahut Raden Bantar Gading singkat. Kembali
dipacu kudanya dengan cepat.
Patih Luminta mengikuti memacu kudanya di samping
pemuda itu. Sebentar dia menoleh ke belakang. Tampak
dua perajurit yang berdiri di samping pintu gerbang tengah
memandanginya. Sementara Raden Bantar Gading terus
memacu kudanya dengan kecepatan sedang tanpa
menoleh sedikitpun.
“Ke mana tujuan Raden?” tanya Patih Luminta.
“Ke mana saja aku suka,” dingin jawaban Raden Bantar
Gading. “Kenapa kau mengikutiku?”
“Hamba akan menyertai perjalanan Raden,” sahut Patih
Luminta.”Kembali saja ke istana, Paman. Tidak ada
gunanya kau mengikutiku.”
“Ke mana pun Raden pergi, hamba tetap akan
mengikuti. Hamba tidak peduli seandainya Gusti Prabu
murka. Hamba siap menyabung nyawa demi Raden,” tegas
kata-kata Patih Luminta.
Raden Bantar Gading menghentikan laju kudanya.
Tatapan matanya tajam, menembus langsung ke bola mata
laki-laki setengah baya itu.
“Sebaiknya Paman kembali saja. Prabu Abiyasa tidak
akan tinggal diam. Aku tidak ingin Paman berkorban
untukku,” kata Raden Bantar Gading pelan. Hatinya
terharu dengan kesetiaan patih ini.
“Hamba tidak peduli, meskipun Gusti Prabu mengerah-
kan jago-jago dari tanah seberang. Hamba tetap akan setia
pada Raden,” tegas jawaban Patih Luminta.
“Selama ini banyak orang yang mengepalkan tangan di
belakangku. Sukar rasanya menerima kesetiaanmu,
Paman. Aku bukan orang yang pantas diberi kemuliaan
setinggi itu,” lirih suara Raden Bantar Gading.
“Raden terlalu berperasangka terhadap orang lain.
Masih banyak orang yang setia dan menyukai Raden.
Hanya mereka yang tidak tahu saja yang membenci
Raden.” Kata-kata Patih Luminta bernada menghibur.
Raden Bantar Gading hanya tersenyum saja, dan
kembali melajukan kudanya. Patih Luminta juga mengikuti
dan mensejajarkan langkah kudanya di samping Raden
Bantar Gading. Sementara matahari mulai mengintip dari
balik Bukit Cemara. Cahayanya yang merah jingga begitu
lembut menyapa datangnya fajar. Burung-burung telah
sejak tadi meninggalkan sarangnya.
Raden Bantar Gading terus menjalankan kudanya tanpa
arah tujuan pasti. Diikuti ke mana langkah kaki kuda
menapak. Sementara jalan yang dilalui mulai menyempit.
Rumah-rumah mulai jarang terlihat. Sepanjang jalan yang
dilalui hanya pohon dan lebatnya semak belukar.
“Raden, bukankah ini Hutan Danaraja…?” pelan suara
Patih Luminta.
Raden Bantar Gading kembali menghentikan kudanya.
Baru disadarinya kalau sudah mencapai Hutan Danaraja,
tempat bersarang pada pemberontak. Belum sempat
menyadari lebih lanjut, mendadak sebuah anak panah
melesat cepat bagai kilat ke arah Raden Bantar Gading.
“Raden, awas….!” Seru Patih Luminta.
“Hup, hiyaaa…!”
Raden Bantar Gading melentingdari punggung kuda
putihnya. Anak panah itu terus melesat lewat di bawah
kakinya. Dan begitu kakinya menjejakkan ke tanah,
sebatang tombak panjang menyambutnya. Raden Bantar
Gading menarik tubuhnya ke samping. Dengan tangkas
sekali tangannya menyambut tongkat itu.
Tap!
Tombak sepanjang dua kali tinggi manusia dewasa itu
berhasil ditangkap dengan manis. Raden Bantar Gading
memutar tombak itu dan melemparkannya ke arah
datangnya tombak. Lemparan dengan pengerahan tenaga
dalam mengakibatkan tombak meluncur deras.
Srak!
“Aaa…!”
Terdengar satu jeritan melengking menyayat. Sesosok
tubuh tersungkur keluar dari semak belukar. Tubuhnya ter-
hunjam tombak yang hampir mengenai Raden Bantar
Gading. Tidak berapa lama, dari balik gerumbul semak dan
pepohonan bermunculan orang-orang bersenjata tombak,
golok dan pedang. Daun-daun pepohonan tersibak, dan di
atas dahan pohon sudah siap beberapa orang dan anak
panah terpasang di busur.
Raden Bantar Gading dan Patih Luminta baru menyadari
kalau mereka sudah terkepung. Rasanya tidak mudah
untuk dapat keluar dari kepungan yang amat rapat ini.
Raden Bantar Gading memandang berkeliling. Tidak
kurang dari lima puluh orang mengepung dengan senjata
terhunus. Itu pun masih ditambah dua puluh lima orang
yang telah siap dengan panah di tangan.
“Tidak ada jalan lain untuk lolos, Raden.” Desah Patih
Luminta berbisik. Dia sudah berada di samping Raden
Bantar Gading.
Belum sempat Raden Bantar Gading menjawab, dari
arah depan muncul lima orang laki-laki dan seorang wanita
berbaju merah muda.
Raden Bantar Gading terbeliak melihat wanita cantik
baju merah mdua itu.
***
“Mayang….” Desis Raden Bantar Gading.
“Kau sudah terkepung, Raden. Sekali bergerak,
nyawamu bisa melayang!” terdengar suara dingin dan
datar.
Raden Bantar Gading memandang laki-laki tua yang
berbicara tadi. Dia ingat betul, siapa laki-laki tua itu. dia
adalah seorang pekerja yang hampir mati di tangannya,
kalau saja Raden Sangga Alam tidak menolong. Siapa lagi
kalau bukan Ki Maruta.
“Masih ingat dalam ingatanku semua yang kau lakukan
terhadap diriku dan seluruh keluargaku,” kata Ki Maruta,
agak bergetar suaranya.
“Masih ingat denganku, Raden?” seorang laki-laki yang
tangannya buntung ikut bicara.
Raden Bantar Gading mengalihkan pandangannya pada
laki-laki yang tangannya buntung sampai ke bahu. Usianya
hampir sebaya dengannya. Dia ingat, laki-laki itu bernama
Jalak Sewu. Tangannya buntung karena terbabat
pedangnya, ketika Jalak Sewu menolak untuk bekerja di
Bukit Batu. Jalak Sewu sebenarnya putra seorang
pembesar istana yang setia kepada Ratu Kunti Boga.
Seluruh keluarganya habis terbantai. Hanya dia yang masih
selamat.
Raden Bantar Gading juga kenal dengan tiga orang
lainnya. Mereka dalah bekas panglima setia Ratu Kunti
Boga. Dan Ki Maruta sendiri sebenarnya adalah bekas
penasehat pribadi Ratu Kunti Boga yang sempat melarikan
diri saat Prabu Abiyasa menyerbu dan menggulingkan tahta
Kerajaan Gantar Angin.
Pandangan mata Raden Bantar Gading beralih pada
satu-satunya wanita yang berdiri di antara lima orang laki-
laki pemimpin pemberontak itu. Wanita yang amat
dikenalnya, sekaligus mengisi hari-harinya selama ini.
Wanita yang selalu dirindukan dalam beberapa hari
belakangan ini. Mayang membalas tatapan mata pemuda
itu dengan berbagai perasaan bergejolak di hatinya.
“Aku tahu, kalian benci dan dendam padaku. Kalian
selalu menginginkan kematianku. Nah! kesempatan sudah
ada, ayo! Bunuh aku!” lantang suara Raden Bantar Gading.
Semua orang yang ada di situ terperanjat ketika Raden
Bantar Gading meloloskan pedang dan melemparkannya
ke depan. Juga, melepaskan baju luarnya dan dicampak-
kan begitu saja. Tampak pada pinggangnya berbaris pisau
kecil dan sebuah kantung dari perunggu. Semua senjata
yang melekat di tubuh Raden Bantar Gading dilepaskannya
sendiri.
“Raden….!” Patih Luminta terkejut melihat Raden Bantar
Gading tampak pasrah.
“Paman! Kembalilah ke istana dan katakan pada Prabu
Abiyasa agar menyerahkan tahta pada Ratu Kunti Boga,”
ujar Raden Bantar Gading.
“Raden…” suara Patih Luminta tercekat di tenggorokan.
“Dosa-dosaku sudah terlalu banyak, Paman. Mungkin
dengan cara ini sebagian dosaku bisa tertebus,” kata
Raden Bantar Gading.
“Kau akan mati dicincang mereka, Raden.”
Raden Bantar Gading tersenyum dan mendorong tubuh
Patih Luminta ke samping. Dengan langkah tegap, dia
berjalan ke depan. Raden Bantar Gading berdiri tegak
dengan dada telanjang. Kedua tangannya merentang ke
samping. Sikapnya begitu pasrah.
“Tunggu…!” sentak Mayang ketika Ki Maruta memberi
aba-aba pada pasukan panah.
Mayang langsung melompat ke depan, dan berdiri tegak
di depan Raden Bantar Gading. Ki Maruta menghentakkan
tangannya, maka pasukan panah mengurungkan niatnya
untuk membidik. Mayang menghampiri pemuda tampan
yang sudah pasrah menjemput maut itu.
“Raden, mengapa ini kau lakukan?” tanya Mayang.
Suaranya bergetar agak tertahan.
“Minggirlah, Mayang. Mereka menginginkan nyawaku.
Kau pun juga ingin melihat kematianku, bukan? Minggirlah,
tidak ada gunanya kau menyelamatkan diriku,” kata Raden
Bantar Gading tegas.
“Tidak! Ku tidak boleh mati!” sentak Mayang histeris.
“Mayang…!” seru Ki Maruta.
Mayang membalikkan tubuhnya.
“Jika kalian ingin membunuhnya, bunuh aku sekalian!”
lantang suara Mayang.
“Kau gila, Mayang!” desis Ki Maruta.
“Sudah kukatakan pada kalian, Raden Bantar Gading
tidak jahat! Semua yang dilakukannya hanya karena
tekanan dari Prabu Abiyasa!” kata Mayang lantang.
“Omong kosong! Kau jangan coba-coba membelanya,
Mayang! Minggirlah!” desis Ki Maruta.
“Mereka benar, Mayang. Pergilah! Tidak ada gunanya
kau melindungiku,” pinta Raden Bantar Gading pelan.
“Tidak! Kau tidak boleh mati! Katakan pada mereka
kalau kau melakukan semua itu karena terpaksa! Kau
takut kehilangan tahta. Katakan pada mereka, Raden.
Katakan…!” seru Mayang keras.
“Tidak ada gunanya lagi, Mayang. Semuanya sudah
berakhir.”
“Raden….kau….” Mayang menatap wajah ebg lekat-
lekat.
Belum penah Mayang melihat Raden Bantar Gading
seperti ini. Pasrah dan lemah tanpa daya. Seolah-olah dia
tidak lagi melihat sosok Raden Bantar Gading yang keras,
garang, tegas dan tidak mengenal rasa takut. Sosok yang
tidak penah menyerah dengan segala yang terjadi. Tapi
sekarang….. rasanya Mayang tidak melihat Raden Bantar
Gading seperti yang penah dikenal, dicintai dan dirindukan-
nya, meskipun ada sedikit kebencian di dalam hatinya.
Saat itu Ki Maruta sudah mengangkat tangannya tinggi-
tinggi. Dan dua puluh lima orang yang berada di atas
pohon, segera siap dengan anak panah terbidik ke arah
Raden Bantar Gading. Mereka tinggal menunggu perintah.
Sementara Patih Luminta tidak bisa berbuat banyak.
Matanya berkaca-kaca. Bibirnya pun juga bergetar, seolah-
olah ingin mengatakan sesuatu.
***
5
“Raden….” Suara Mayang tersedak.
“Mundurlah, Mayang. Jangan menangis! Aku mencintai-
mu,” ucap Raden Bantar Gading lembut.
Jalak Sewu menghampiri Mayang dan mencekal tangan-
nya. Dibawanya Mayang menjauh dari tempat itu. Mayang
ingin memberontak, tapi tak kuasa melakukannya. Mata-
nya mulai menitikkan air bening. Sedangkan Raden Bantar
Gading hanya tersenyum tenang memandang wanita yang
dicintainya itu.
“Tidak…” desis Mayang lirih.
Ki Maruta menghentakkan tangannya ke bawah. Pada
saat itu pula dua puluh lima orang langsung melepaskan
anak panahnya, dan meluncur keras ke arah tubuh Raden
Bantar Gading yang sudah pasrah menerima hukuman itu.
Raden Bantar Gading memejamkan matanya rapat-
rapat. Tepat pada saat ujung-ujung anak panah hampir
menyentuh tubuhnya, sebuah bayangan berkelebat cepat
menyambar tubuh Raden Bantar Gading. Dua puluh lima
anak panah menghujam tanah tempat Raden Bantar
Gading berdiri.
“Pendekar Pulau Neraka…!” semua orang yang berada
di Hutan Danaraja itu terkejut.
Raden Bantar Gading membuka matanya. Dipandangi-
nya pemuda tampan berbaju kulit harimau di sampingnya.
Dia seperti tidak percaya kalau dirinya masih hidup.
Sementara pemuda tampan berbaju kulit harimau berdiri
tegak, dan melangkah tegak ke depan. Matanya tajam
merayapi sektiarnya. Dua puluh lima orang di atas pohon
sudah kembali menyiapkan panah.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau yang memang
adalah Bayu Hanggara itu menatap tajam pada Ki Maruta.
Laki-laki tua itu sedikit bergidik menerima sorot mata tajam
Pendekar Pulau Neraka.
“Aku melihat semua yang terjadi, dan aku mendengar
semua percakapan kalian. Sungguh sangat disayangkan
niat yang suci ternyata ternoda oleh perasaan sakit hati
dan dendam,” dingin dan lugas kata-kata Bayu.
“Kisanak! Kau sudah mengatakan tidak akan ikut
campur. Sekarang mengapa kau mencampuri urusan
kami?” lantang suara Ki Maruta.
“Aku memang tidak akan mencampuri urusan kalian di
Gantar Angin ini. Tapi aku tidak bisa diam melihat
kekejaman di depan mataku,” sahut Bayu tegas.
“Bukan kami yang kejam, tapi dia!” serobot Jalak Sewu
geram. “Kau lihat tanganku buntung akibat perbuatannya!”
“Sudah sepantasnya dia mati, Kisanak! Dia bukan lagi
manusia, tapi binatang! Iblis…!” sambung Ki Maruta.
“Kau terlalu berlebihan, Ki Maruta. Raden Bantar Gading
masih punya perasaan. Dia berbuat kejam bukan karena
dorongan hati atau kemauannya sendiri. Apa kalian semua
tidak memperhatikan kata-kata Mayang? Apa kalian semua
tidak bisa membedakan antara perbuatan kejam yang
dilandasi kemauan hati dengan paksaan?” kata Bayu
lantang.
“Kisanak! Meskipun aku bukan orang rimba persilatan,
tapi aku sering mendengar sepak terjangmu. Kau bicara
seolah-olah sebagai dewa keadilan yang bijaksana. Apa
kau tidak merasa tindakanmu melebihi manusia iblis?”
kata Ki Maruta dingin.
Merah padam wajah Bayu mendengar kata-kata yang
dingin dan menyakitkan hati itu. Tapi dia berusaha untuk
tidak cepat terpancing amarahnya. Kalau saja yang berkata
tadi musuhnya, mungkin sudah sejak tadi dipecahkan
kepalanya.
“Kata-katamu sungguh menyakitkan, Ki Maruta,” Bayu
menggeram menahan amarah.
“Lebih menyakitkan lagi jika kau tidak segera menyingkir
dari sini!” ancam Ki Maruta.
“Aku memang kejam, Ki Maruta. Tapi aku masih punya
hati dan perasaan. Tidak buta seperti kau!”
“Setan! Berani kau menghina Penasehat Pribadi Gusti
Ratu Kunti Boga!” geram Ki Maruta.
“Kau bukan lagi Penasehat Ratu, tapi orang sakit yang
haus kekuasaan!” sinis kata-kata Bayu.
“Beludak! Monyet buntung…! Kubunuh kau, keparat!” Ki
Maruta tidak bisa lagi menahan marah. “Serang dia!”
Dua puluh lima anak panah langsung muntah dengan
cepat. Bayu Hanggara mendorong tubuh Raden Bantar
Gading, dan dengan cepat dikibaskan tangan kanannya.
Cakra Maut berwarna keperakan meluncur dan berputar
cepat menghancurkan anak-anak panah itu. Lesatan
senjata aneh itu demikian cepat, sehingga dalam waktu
sekejap dua puluh lima batang anak panah rontok sebelum
mencapai sasaran. Bayu melipat tangannya di depan dada
begitu senjatanya menempel di pergelangan tangan.
“Mayang, bawa Raden Bantar Gading pergi dari sini,”
kata Bayu tegas.
“Kakang…” suara Mayang tercekat.
“Aku akan menyusul. Cepat!”
Mayang memunguti senjata dan baju Raden Bantar
Gading yang berserakan di tanah. Kemudian dia meng-
gamit tangan Raden Bantar Gading. Patih Luminta segera
menyiapkan kuda dan membawanya pada Raden Bantar
Gading.
“Serang! Jangan biarkan keparat itu lolos!” seru Ki
Maruta lantang.
Raden Bantar Gading yang sudah berada di atas
punggung kudanya, lengsung menarik tangan Mayang.
Begitu Mayang telah berada di punggung kuda bersama
Raden Bantar Gading, dengan cepat kuda putih itu melesat
pergi. Patih Luminta masih belum menggebah kuda
meskipun sudah duduk di atas punggung kudanya.
Lima puluh orang dengan senjata bermacam-macam,
berlompatan mengejar Raden Bantar Gading. Sedangkan
pasukan panah menghujaninya dengan anak panah. Bayu
langsung melenting merontokkan semua anak panah itu.
sementara sekitar delapan orang sudah menyerang Patih
Luminta.
Pendekar Pulau Neraka berlompatan dari satu pohon ke
pohon lain. Akibatnya tubuh-tubuh itupun melayang dan
jatuh ke bawah. Mereka yang berada di atas pohon men-
jadi sasaran pertama Pendekar Pulau Neraka.
Setelah tidak ada lagi orang di atas, pemuda berbaju
kulit harimau itu cepat meluruk ke tanah ke arah Patih
Luminta yang kini tengah sibuk melayani delapan orang
pengeroyoknya.
“Cepat pergi!” seru Bayu keras seraya menghantamkan
pukulannya ke salah seorang yang hampir membabat leher
Patih Luminta.
“Hiya…! Hiya…!”
Patih Luminta menggebah kudanya dengan cepat. Kuda
berwarna coklat tua belang putih itu langsung melesat
cepat. Tapi salah seorang sempat melemparkan tombak.
Tak pelak lagi, tombak itu menembus punggung Patih
Luminta.
“Aaa…!” Patih Luminta menjerit kesakitan.
Hampir saja tubuhnya ambruk ke tanah kalau saja Bayu
tidak cepat melompat dan menyambarnya. Pendekar Pulau
Neraka itu langsung duduk di atas punggung kuda, dan
menggebahnya dengan cepat.
Kuda itu terus berlari cepat. Para pemberontak yang
dipimpin Ki Maruta berusaha mengejar sambil melempar-
kan tombak dan menghujani anak panah. Tapi kuda
tunggangan Patih Luminta berlari bagaikan lesatan kilat.
Semua senjata yang dilemparkan tidak mencapai
sasaran. Ki Maruta memaki-maki dan mengumpat geram.
Kesempatan emas untuk membunuh Raden Bantar Gading
menjadi kacau dengan munculnya Pendekar Pulau Neraka.
Tidak mudah mendapat kesempatan seperti itu sekali lagi.
Bayu Hanggara menghentikan lari kuda setelah yakin
betul tidak ada lagi yang mengejarnya. Bergegas dia
melompat turun sambil memondong tubuh Patih Luminta.
Tombak yang menancap di punggung laki-laki setengah
baya itu masih menembus dadanya. Wajah Patih Luminta
sudah pucat pasi, dan napasnya tersendat-sendat.
“Kisanak. Tindakan ini sangat membahayakan dirimu,”
kata Patih Luminta tersendat.
“Tenanglah, jangan banyak bicara. Aku akan mencabut
tombak ini,” kata Bayu seraya membaringkan tubuh Patih
Luminta.
“Percuma Kisanak. Tidak ada gunanya…. Ugh, ugh!”
Patih Luminta mulai terbatuk, dan wajahnya semakin pucat
pasi.
Bayu membaringkan miring laki-laki setengah baya itu.
Melihat tombak yang tembus dari punggung ke dada,
memang tidak ada harapan lagi bagi Patih Luminta untuk
bertahan lama. Sudah pasti tombak telah menyayat
jantungnya. Bayu diam tidak bertindak apa-apa. Kalau
dicabutnya tombak itu, pasti akan mempercepat kematian
Patih Luminta.
“Dengar, Kisanak. Ada sesuatu yang hendak ku
sampaikan padamu,” kata Patih Luminta sambil meringis
menahan sakit di dada dan punggungnya.
“Katakanlah,” sahut Bayu.
“Semua yang terjadi di Gantar Angin ini hanya kepalsuan
belaka. Semua orang hanya berpura-pura. Mereka lupa
akan diri masing-masing. Mereka telah menjadi orang
lain….” Sambung Patih Luminta.
Bayu mengerutkan keningnya. Agak terkejut juga men-
dengar kata-kata Patih Luminta.
“Kau tidak akan bisa mencari kebenaran di sini. Tidak
ada kebenaran dan keadilan di sini. Semuanya palsu dan
hanya kepura-puraan yang kau dapatkan,” sambung Patih
Luminta.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Paman?”
“Aku tahu, sebenarnya kau tengah berusaha menge-
tahui siapa Mayang sesungguhnya. Kau telah dapatkan
orang yang tepat untuk memperoleh keterangan tengang
Mayang. Hanya saja orang itu tidak berkata jujur padamu.
Bahkan berusaha memperalatmu untuk maksud dan
tujuan pribadinya.”
Bayu terdiam menunggu.
“Mayang sebenarnya bukan putri Gusti Ratu Kunti Boga.
Dia anak tunggal Ki Maruta….” Lanjut Patih Luminta.
“Benarkah itu, Paman?” Bayu hampir tidak percaya
mendengarnya.
“Aku berkata yang sebenarnya, Anak Muda.”
“Lalu, bagaimana sampai bisa terjadi demikian?”
“Ketika Prabu Abiyasa memberontak dan mengg-
ulingkan tahta Gusti Ratu Kunti Boga, banyak pembesar
dan panglima yang ikut memberontak. Gusti Ratu Kunti
Boga berhasil ditawan. Sedangkan suaminya tewas di tiang
gantungan. Di samping itu putri satu-satunya yang masih
berusia tujuh tahun, lenyap entah ke mana. Hanya satu
yang selamat. Dia seorang putra yang baru berusia tiga
bulan….”
“Teruskan,” desak Bayu.
“Prabu Abiyasa sama sekali tidak mempunyai seorang
putra. Waktu itu aku dan dia mengikat janji. Jika Kerajaan
Gantar Angin berhasil direbut, maka anak tunggalku kelak
harus menduduki tahta putra mahkota. Prabu Abiyasa
setuju. Oleh sebab itulah dia mengangkat anakku menjadi
anaknya. Dan aku sendiri diangkat menjadi patih.”
“Siapa nama anakmu?”
“Bantar Gading.”
“Ohhh…”
Patih Luminta terbatuk tiga kali. Keadaannya semakin
lemah. Darah terus mengucur deras tak terbentung. Tapi
dia masih berusaha bertahan. Dengan suara lemah dan
tersendat, kembali diteruskan ceritanya.
“Ahli waris Kerajaan Gantar Angin yang syah, sebenar-
nya Raden Sangga Alam. Dialah putra Gusti Ratu Kunti
Boga yang saat itu baru berusia sekitar tiga bulan. Gusti
Permaisuri Pramita Wardani menghendaki anak itu, dan
Prabu Abiyasa tidak keberatan. Itu pun setelah aku
menyetujuinya, mengingat Raden Sangga Alam tidak tahu
menahu tentang semua yang terjadi….” Kembali Patih
Luminta terbatuk.
“Apakah Ratu Kunti Boga masih hidup?” tanya Bayu.
“Tidak! Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu di
dalam kamar tahanan bawah tanah.”
“Lalu, Panglima Nampi?”
“Tidak seorangpun dibiarkan hidup jika dianggap
pengkhianat dan bermaksud memberontak. mungkin
Panglima Nampi sudah dihukum mati malam itu juga saat
dipergoki berada di rumah Ki Maruta, yang sudah lama
dicurigai sebagai pemimpin pemberontak.”
“Apakah Ki Maruta tahu kalau Ratu Kunti Boga sudah
tiada?” tanya Bayu lagi.
“Sebenarnya dia tahu.”
“Aneh…. Kenapa dia masih menganggap Ratu Kunti
Boga masih hidup. Lagi pula, untuk apa dia tidak mengakui
Mayang anaknya?” tanya Bayu.
“Dengar, Bayu. Semua itu hanya siasat saja. Ki Maruta
menginginkan anaknya menguasai Gantar Angin. Dan dia
memperalat…..Akh…!”
“Paman…..! Paman…..!”
Bayu terduduk lemas. Patih Luminta telah menghembus-
kan napasnya yang terakhir sebelum sempat menjawab
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Sebagian tabir yang
melingkupi Kerajaan Gantar Angin mulai terungkap. Tapi
benak Bayu masih juga diliputi berbagai macam per-
tanyaan. Dia tidak mengerti akan sikap kebanyakan orang
yang selalu berpura-pura. Bahkan tidak mau tahu satu
dengan yang lainnya. Bahkan cenderung saling menutupi.
Bayu menolehkan kepalanya ketika mendengar suara
dari arah belakang. Tampak Raden Bantar Gading dan
Mayang melangkah menghampiri. Mereka berjalan pelan
seperti tak ada gairah hidup sama sekali. Pandangan
Raden Bantar Gading nanar ke arah mayat Patih Luminta.
“Ayah…”
***
Raden Bantar Gading berdiri tegak memendangi
gundukan tanah yang masih baru. Di sampingnya, berdiri
Mayang. Sedangkan Bayu memperhatikan dari jarak yang
tidak begitu jauh di bawah pohon. Raden Bantar Gading
mengangkat kepalanya, lalu berbalik. Sebentar ditatapnya
Pendekar Pulau Neraka, lalu kakinya terayun menghampiri.
Mayang mengikuti di sampingnya. Wajah mereka tampak
tersaput awan hitam.
“Telah kudengar semua pembicaraanmu dengan Ayah,”
ujar Raden Bantar Gading pelan.
“Dari mana kau dengar semua pembicaraanku?”
“Aku memang menunggumu di sini. Tadinya aku akan
menemuimu langsung, tapi Mayang mencegah,” sahut
Raden Bantar Gading.
“Aku menyesal tidak bisa melindunginya,” desah Bayu.
“Kau sudah berbuat banyak, Kakang,” sergah Mayang.
Bayu tersenyum tipis.
“Aku sama sekali tidak tahu kalau selama ini hanya
dijadikan boneka mainan,” pelan suara Raden Bantar
Gading.
“Sudahlah! Yang penting, sekarang kalian sudah tahu
diri masing-masing,” kata Bayu bijaksana.
“Kisanak…”
“Panggil saja aku Bayu,” potong Bayu.
“Terima kasih.”
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Bayu.
“Entahlah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan
sekarang. Aku….” Suara Raden Bantar Gading terputus.
“Kau ingin membalas kematian ayahmu?” tanya Bayu.
Raden Bantar Gading tidak menjawab, tapi hanya
menoleh memandang Mayang.
“Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya
dendam bukan satu-satunya penyelesaian yang baik,” ujar
Raden Bantar Gading pelan.
Bayu tersenyum mendengar penuturan itu. namun hati-
nya tersentuh juga. Dendam memang bukan satu-satunya
penyelesaian yang baik. Bahkan selama ini, dia sendiri
masih menyimpan dendam. Masih mencari orang-orang
yang telah menghancurkan padepokan ayahnya, mem-
bunuh ayahnya berikut murid-muridnya. Hingga sekarang
dia tidak tahu, apakah ibunya masih hidup atau sudah
mati.
“Apa rencana kalian selanjutnya?” tanya Bayu.
“Memulai hidup baru, dan pergi sejauh-jauhnya
meninggalkan Gantar Angin,” jawab Raden Bantar Gading
mantap.
“Ya. Aku juga akan melupakan semua yang terjadi di
sini,” sambung Mayang.
“Kalian akan hidup berdua?”
Raden Bantar Gading dan Mayang saling berpandangan,
kemudian sama-sama mengangguk sambil senyum tersipu.
Bayu menarik napas panjang. Dia tidak tahu, bagaimana
perasaannya sekarang. Memang diakui, ada sedikit rasa
sesal di hatinya. Masalahnya, dia mulai tertarik terhadap
Mayang dan sekarang wanita itu ingin hidup bersama
Raden Bantar Gading. Bayu hanya bisa mendesah, dan
menarik napas panjang kembali. Dia tidak bisa berkata
apa-apa lagi.
Bayu berbalik dan melangkah pergi. Raden Bantar
Gading ingin mencegah kepergian Pendekar Pulau Neraka
itu, tapi Mayang telah lebih dulu menutup bibir pemuda itu
dengan jari tangannya. Raden Bantar Gading mengecup
bibir Mayang lembu. Kemudian mereka berpelukan rapat
dan mesra. Bayu sempat menoleh, dan hanya tersenyum
tanpa berhenti melangkah.
“Hup!” hanya satu kali lesatan saja, Bayu sudah lenyap
dari tempat itu.
Saat itu Raden Bantar Gading juga sudah mengajak
Mayang meninggalkan tempat ini. Meninggalkan semua
yang telah terjadi di Gantar Angin. Mereka melangkah
sambil bergandengan tangan. Langkah yang pasti dan
mantap untuk memulai hidup baru. Hidup sebagai
pasangan yang saling mencintai. Tentu saja dengan
menyiramu bunga cinta di hati mereka masing-masing.
Namun baru saja mereka melangkah beberapa depa,
mendadak sabatang anak panah melesat cepat dari arah
depan. Tepat ketika anak panah berwarna kuning gading
itu hampir menyentuh dada Mayang, tangan Raden Bantar
Gading menarik tangan Mayang ke belakang. Wanita itu
menggeser kakinya berlindung di belakang punggung
pemuda itu.
“Hati-hati, Mayang. Aku yakin, tempat ini sudah
dikepung para prajurit Gantar Angin,” kata Raden Bantar
Gading setengah berbisik.
Raden Bantar Gading mengenali anak panah di tangan-
nya. Anak panah berwarna kuning gading dengan lambang
kerajaan pada tangkainya. Pemuda itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Kepalanya dimiringkan sedikit
ke kanan. Tidak ada seorangpun terlihat di sekitar tempat
ini. Bahkan tidak ada suara yang mencurigakan terdengar
di telinganya. Hanya desiran angin dan gemerisik
dedaunan yang terdengar.
Pandangan Raden Bantar Gading tertuju pada sebuah
pohon yang sangat besar. Tampak seorang laki-laki berusia
sektiar lima puluh tahun berdiri pada salah satu cabang
yang cukup besar. Laki-laki itu mengenakan baju hijau
ketat dengan pinggang dipenuhi pisau kecil yang berjajar
rapi. Raden Bantar Gading kenal betul dengan laki-laki ber-
tampang angker itu. dia adalah salah seorang Panglima
Gantar Angin.
“Paman Panglima Jambak! Apa yang kau lakukan di
sini?” tanya Raden Bantar Gading.
“Hamba ditugaskan Gusti Prabu untuk membawa Raden
kembali ke istana,” jawab Panglima Jambak tegas. Tangan-
nya menjentik ke depan dada.
Raden Bantar Gading terkejut. Tiba-tiba saja, hampir
lima puluh orang prajurit dan sepuluh punggawa, ber-
munculan dari balik bukit dengan menunggang kuda. Di
tangan mereka masing-masing terdapat busur yang siap
dilesatkan. Bahkan empat orang jago bayaran dari tanah
seberang ada di antara mereka. Raden Bantar Gading
langsung menyadari kalau situasi seperti ini bukan sikap
bersahabat dan penghormatan lagi. Prabu Abiyasa sudah
menganggapnya sebagai orang yang berbahaya dan harus
dilenyapkan seperti para pengkhianat dan pembangkang
lainnya.
“Katakan pada Ayahanda Prabu, aku akan menikah dan
pergi dari Gantar Angin!” lantang kata-kata Raden Bantar
Gading. “Dan kau tidak perlu bersusah-payah membuang-
buang nyawa prajurit untuk memaksaku!”
Panglima Jambak meluruk dari atas dahan pohon.
Manis sekali kakinya mendarat di depan Raden Bantar
Gading. Jarak antara mereka hanya sekitar satu batang
tombak saja. Raden Bantar Gading sudah bersiaga penuh.
Dia tahu kalau pisau yang berjajar di pinggang panglima itu
sangat berbahaya. Panglima Jambak sangat ahli meng-
gunakannya.
“Raden, siapa wanita itu?” tanya Panglima Jambak.
“Dia Mayang, calon istriku!” sahut Raden Bantar Gading
mantap.
“Raden, Gusti Prabu tidak akan melarang Raden
memiliki calon istri. Gusti Prabu hanya menghendaki Raden
kembali ke istana. Hal itu bisa dibicarakan nanti, Raden,”
bujuk Panglima Jambak.
“Apa kata-kataku kurang jelas, Paman? Berapa kali aku
harus mengatakan? Aku tidak akan pernah kembali lagi ke
istana!”
“Maaf, Raden. Gusti Prabu memerintahkan padaku
untuk membawamu dengan cara apapun.”
“Kau yang memulainya, bukan?” sinis nada suara Raden
Bantar Gading.
“Maaf, Raden. Salah seorang prajuritku tidak bisa
menahan diri. Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi, juga
tidak akan terulang jika Raden bersedia kembali ke
istana,” kata Panglima Jambak.
“Sekali aku katakan tidak, tetap tidak selamanya! Jelas,
Paman Panglima?!” tegas jawaban Raden Bantar Gading.
Panglima Jambak menarik napas panjang dan berat, lalu
melangkah mundur tiga tindak.
“Sebenarnya aku enggan menerima tugas ini, Raden.
Tapi semua ini harus kulakukan. Jika aku tidak bisa mem-
bujukmu, maka mereka yang akan memaksamu, Raden,”
pelan kata-kata Panglima Jambak.
Raden Bantar Gading memandang empat orang jago
bayaran dari tanah seberang. Empat orang itu bergerak
maju mendekat. Raden Bantar Gading menyadari, dirinya
tidak mungkin dapat menandingi mereka. Satu orangpun
rasanya sulit. Apalagi kalau empat orang maju sekaligus…?
Pandangannya kembali tertuju pada Panglima Jambak.
“Maaf, Raden. Ini perintah Gusti Prabu,” kata Panglima
Jambak pelan.
“Majulah, tangkap aku!” sahut Raden Bantar Gading
mantap.
“Raden, sebaiknya….”
“Jangan coba-coba membujukku, Paman!” potong
Raden Bantar Gading cepat. “Aku tahu, apa yang Ayahanda
Prabu titahkan pada kalian. Ayo lakukan! Dan jangan ber-
harap aku akan menyerah begitu saja!”
Panglima Jambak kembali melangkah mundur. Empat
orang jago dari tanah seberangpun langsung melompat
sambil berteriak keras. Raden Bantar Gading menggeser
kakinya ke samping. Sambil menorong tubuh Mayang agar
menjauh, dicabut pedangnya.
Sret!
***
6
Raden Bantar Gading mengebutkan pedangnya ke depan
ketika salah seroang jago seberang itu menusukkan
senjatanya ke arah dada. Raden Bantar Gading terkejut,
karena tangannya langsung bergetar hebat ketika pedang-
nya berbenturan dengan senjata lawannya. Belum lagi
sempat menarik pulang pedangnya, sebuah tendangan
keras dari samping menghantam pergelangan tangan
kanannya.
“Akh!” Raden Bantar Gading memekik tertahan. Pedang-
nya mencelat lepas dari pegangan.
“Kakang…!” seru Mayang terkejut.
Raden Bantar Gading menoleh ke arah wanita itu.
Akibatnya dia jadi lengah. Kelengahan ini sangat fatal bagi
dirinya. Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga
luar biasa menghantam dadanya. Raden Bantar Gading
kembali memekik keras. Tubuhnya terlempar jauh ke
belakang.
Dari mulutnya mengucur darah kental. Punggungnya
menghantam sebuah pohon hingga tumbang. Raden
Bantar Gading segera bangkit berdiri. Digeleng-gelengkan
kepalanya sebentar, lalu digerak-gerakkan tangannya. Dia
mencoba mengusir rasa sesak yang melanda dadanya.
Pukulan bertenaga dalam itu hampir membuat tulang-
tulang dadanya hancur.
Raden Bantar Gading merasa sesak bernapas. Dia
meringis menahan nyeri pada dadanya. Dia tahu kalau
salah satu tulang dadanya patah kena pukulan keras ber-
tenaga dalam tadi. Dengan mata merah membara, Raden
Bantar Gading mencopot baju luarnya.
“Hiya! Yeaaah…!”
Sambil berteriak keras, Raden Bantar Gading
mengibaskan kedua tangannya dari arah perut ke depan.
Jarum-jarum beracun pun beterbangan bagai hujan ke arah
empat orang jago dari tanah seberang itu. Mereka
berlompatan sambil memutar senjata masing-masing,
menghalau jarum-jarum beracun yang meluncur deras.
Jarum-jarum beracun itu berpentalan ke segala arah.
Tidak dinyana sama sekali, jarum-jarum berwarna hitam
pekat itu menghantam para prajurit yang berada di sekitar
pertarungan. Mereka yang cepat menghindar dan
bersembunyi di balik pohon, masih bisa selamat. Tapi
terlambat, lengsung ambruk dengan tubuh membiru. Jerit
dan pekik kematian terdengar membahana. Raden Bantar
Gading tersentak kaget. Langsung dihentikan serangan
jarum-jarum beracunnya. Tidak kurang dari sepuluh orang
prajurit tewas akibat kebodohannya.
“Setan! Kau harus bertanggung jawab atas kematian
mereka, Paman Panglima!” bentak Raden Bantar Gading
marah.
Panglima Jambak tersentak kaget. Dia juga tidak
menyangka kalau sepuluh orang prajuritnya terkapar ter-
kena jarum-jarum beracun nyasar. Raden Bantar Gading
tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Dia cepat me-
lompat sambil melontarkan beberapa pisau yang melilit di
pinggangnya.
Pisau-pisau itu menghujani empat orang jago dari
seberang. Dan pada saat mereka sibuk menghalau
serangan pisau itu, Raden Bantar Gading melepaskan
beberapa pukulan ke arah Panglima Jambak. Pukulan yang
disertai pengerahan tenaga dalam penuh itu menimbulkan
desiran angin yang sangat kuat dan berhawa panas.
“Hup! Hiyaaa…!”
Panglima Jambak bergegas melompat ke samping
menghindari serangan Raden Bantar Gading. Disadari
kalau putra mahkota itu mengeluarkan ‘Pukulan
Gelombang Maut’. Satu jurus yang sangat dahsyat. Angin
pukulannya saja mampu menghancurkan sebuah pohon
beringin besar. Beberapa batang pohon, kontan hancur ter-
kena sambaran pukulan dahsyat itu.
Raden Bantar Gading benar-benar mengamuk, menhajar
siapa saja yang berani mendekat. Panglima Jambak ber-
teriak keras agar para prajuritnya tidak ikut menyerang,
sambil sibuk menghindari setiap serangan yang dilancar-
kan Raden Bantar Gading.
Saat itu empat orang jago dari seberang mengalihkan
perhatiannya kepada Mayang. Mereka segera melompat
mengurung wanita itu. Tentu saja, hal ini membuat Raden
Bantar Gading kian berang. Dia hendak membantu Mayang
yang kerepotan menghadapi empat lawannya itu. tapi
Panglima Jambak tidak memberi kesempatan kepadanya
untuk mendekati Mayang.
“Akh!” tiba-tiba Mayang memekik tertahan.
Tubuhnya terjajar ke belakang dengan tangan kiri
menekap bahu kanannya. Darah merembes keluar dari
sela-sela jarinya. Rupanya salah seorang jago itu berhasil
melukai bahu kanan Mayang. Dan sebelum wanita itu
sempat berbuat banyak, satu tendangan keras mendarat di
punggungnya. Kembali Mayang memekik, dan tubuhnya
terjungkal ke tanah.
“Haaat…!”
Salah seorang jago dari seberang mengayunkan senjata-
nya ke arah tubuh Mayang yang tak berdaya di tanah.
Hanya sedikit saja Mayang mampu bergerak, tapi senjata
orang itu telah membedah perutnya.
“Aaa…!” Mayang menjerit melengking.
“Mayang…!” seru Raden Bantar Gading terperanjat.
Baru saja Raden Bantar Gading melompat hendak mem-
buru Mayang, satu tendangan keras Panglima Jambak
membuatnya terjajar mencium tanah. Belum lagi Raden
Bantar Gading mampu berdiri tegak, satu pukulan keras
telah mendarat di dadanya. Tak sampai di situ, karena
lawan telah mengirimkan pukulan dua kali ke punggung.
Raden Bantar Gading ambruk ke tanah dengan mulut
mengucurkan darah segar.
Panglima Jambak langsung menubruk tubuh Raden
Bantar Gading, dan mengikatnya dengan tambang yang
dilemparkan salah seroang prajurit. Raden Bantar Gading
tidak bisa berkutik lagi. Tangan dan tubuhnya terikat
tambang yang cukup besar dan kuat. Dia dipaksa berdiri.
Dua orang prajurit mengangkat tubuh pemuda itu dan
menghempaskannya di punggung kuda.
“Mayang…!” teriak Raden Bantar Gading mencoba
meronta.
Tambang yang mengikat tubuhnya demikian kuat. Sia-
sia saja Raden Bantar Gading meronta. Sementara
Panglima Jambak, para prajurit, serta empat orang jago
dari seberang, sudah berada di atas punggung kuda
masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera
menggebah kuda meninggalkan tempat itu. Sementara
Mayang tetap tergeletak pingsan. Dada dan perutnya terus
mengucurkan darah.
***
“Ohhh…” suara rintihan lirih terdengar. “Jangan bergerak
dulu! Lukamu belum pulih benar.”
“Oh…! Kakang Bayu…”
“Ya. Aku Bayu, Mayang.”
Mayang kembali memejamkan matanya seraya merintih
lirih. Pemuda tampan berbaju kulit harimau duduk bersila
di sampingnya. Tumpukan rumput kering dan dedaunan
membuat tubuh Mayang terasa hangat. Sementara cahaya
api kecil di dekatnya membuat tempat yang menyerupai
lorong goa ini jadi semakin hangat. Perlahan-lahan Mayang
membuka kelopak matanya.
“Di mana aku?” tanya Mayang.
“Kau lupa tempat ini, Mayang?” Bayu balik bertanya
dengan lembut.
Mayang tersenyum tipis. Tentu saja dia tidak lupa
karena beberapa hari pernah tinggal di sini bersama
seorang gadis yang dibawa Bayu dari Gantar Angin. Tempat
yang ditinggali sebelum bergabung dengan para pem-
berontak.
“Kakang, bagaimana kau bisa membawaku ke sini?”
tanya Mayang lagi.
“Aku tidak jadi pergi karena kulihat Ki Maruta bersama
orang-orangnya tengah bergerak menuju Gantar Angin.
Semula aku ingin memberitahu hal ini pada Raden Bantar
Gading. Tapi terlambat! Aku hanya menemukan dirimu ter-
geletak di antara beberapa mayat prajurit Gantar Angin.
Semula kuduga kau sudah tewas. Ternyata setelah ku
amati, kau masih bernapas. Tidak ada pikiran lain terlintas
di kepalaku, selain membawamu ke sini,” Bayu mencerita-
kan kejadiannya.
“Oh… mereka menangkap Kakang Bantar Gading,” lirih
suara Mayang.
“Siapa mereka?”
“Panglima Jambak dan para pengikutnya. Mereka
dibantu empat orang asing dan berpakaian aneh. Empat
orang itulah yang melukaiku, Kakang,” sahut Mayang.
Bayu menarik napas panjang.
“Kakang! Mereka tidak mengijinkan kami meninggalkan
Gantar Angin. Bahkan Prabu Abiyasa menganggap Kakang
Bantar Gading pengkhianat. Aku tidak tahu, bagaimana
nasib Kakang Bantar Gading. Prabu Abiyasa sangat kejam,
Kakang.” Pelan suara Mayang.
Bayu Hanggara menoleh ketika mendengar suara
langkah kaki memasuki goa ini. Ternyata gadis berusia
sekitar lima belas tahun muncul mendekati. Gadis itu
melemparkan senyum kepada Mayang. Mayang pun mem-
balasnya dengan senyuman tipis.
“Aku memintanya kemari untuk merawatmu, Mayang,”
kata Bayu pandangan Mayang terarah padanya.
“Ya! Aku juga terkejut mendengar kau terluka, Kak
Mayang,” sambung gadis itu.
“Ki Maruta pasti mencarimu,” kata Mayang pelan.
“Tidak ada siapa-siapa lagi di Hutan Danaraja. Mereka
semua sudah gila, tidak mempedulikan kamu wanita lagi.
Mereka meninggalkannya begitu saja di dalam hutan.
Mereka sudah gila kekuasaan” tegas gadis itu mantap.
Mayang kembali terdiam. Dipandanginya wajah Bayu
yang diam membisu.
“Aku tahu semuanya! Aku pernah mendengar diam-diam
pembicaraan mereka,” sambung gadis itu lagi.
“O…!” Pendekar Pulau Neraka terkejut.
“Ki Maruta adalah penasehat pribadi Gusti Ratu Kunti
Boga. Dia sebenarnya adik Prabu Abiyasa. Hm…. Maksudku
adik tirinya. Dia sangat berambisi merebut tahta Gantar
Angin dan mengangkat dirinya menjadi raja. Mereka semua
tahu kalau Ratu Kunti Boga sudah lama meninggal. Dan
memang itu yang mereka tunggu,” sambung gadis itu
menceritakan.
“Hhh…! Tidak kusangka persoalannya bagitu pelik jadi-
nya. Aku benar-benar muak menghadapi orang yang haus
kekuasaan!” desah Bayu setengah bergumam.
“Sebenarnya yang berhak atas Kerajaan Gantar Angin
adalah Raden Sangga Alam, karena dialah anak kandung
Ratu Kunti Boga. Tapi dia tidak tahu karena….”
“Ya, kami tahu itu,” selak Bayu cepat.
“Kalian sudah tahu?”
Bayu dan Mayang mengangguk.
“Lantas, kenapa diam saja? Kenapa tidak dicegah?
Padahal mereka memperebutkan tahta yang bukan hak-
nya!”
“Itu bukan urusanku. Aku….”
“Kau seorang pendekar! Kau pasti bisa mencegah per-
tumpahan darah!” potong gadis itu.
“Untuk apa? Persoalan yang kuhadapi saja masih
banyak.”
“Kakang…” Mayang menengahi.
“Baiklah…” desah Bayu. “Apa yang harus kulakukan?”
“Selamatkan Raden Sangga Alam! Mereka bisa saja me-
nempuh jalan damai dan membagi daerah kekuasaan
masing-masing. Kerajaan Gantar Angin tidak mustahil akan
runtuh kalau hal itu terjadi. Lebih parah lagi kalau sampai
masing-masing ingin berkuasa. Mereka adalah orang-orang
kejam dan selalu mementingkan diri sendiri. Rakyat akan
selalu sengsara bila salah satu dari mereka menjadi raja.
Hanya Raden Sangga Alam yang berhak menduduki tahta!”
ujar gadis itu mantap.
Bayu menatap gads itu dengan sinar mata penuh tanda
tanya. Ketika ditemukannya di rumah penginapan, gadis itu
hendak membunuhnya. Bahkan mengaku sebagai putri
pemilik penginapan yang tewas terbunuh Raden Bantar
Gading. Dan ketika pertama dibawa ke tempat ini, terlihat
masih lugu.
Tapi sekarang, kata-katanya begitu tegas dan teratur
rapi. Kata-kata itu meluncur begitu saja, dan bernada
penuh wibawa. Rasanya sulit dipercaya bila seorang gadis
berusia lima belas tahun mampu begitu lancar bertutur
kata. Apalagi hanya seorang gadis pemilik rumah
penginapan dan kedai. Gadis itu memang bertubuh kecil
wajahnya pun masih terlihat kekanak-kanakan. Tapi dari
kata-katanya….. Bayu jadi menaruh curiga, siapa gadis ini
sebenarnya? Benarkah dia hanya putri seorang pemilik
kedan dan rumah penginapan? Dia mengaku bernama
Rintan. Tapi Bayu tidak percaya begitu saja kalau namanya,
Rintan.
Bayu jadi teringat ketika gadis itu hampir saja
memenggal lehernya dengan golok. Sebuah golok yang
cukup besar dan biasa digunakan untuk memotong daging.
Golok itu sangat berat. Anehnya, Rintan mampu
mengayunkannya dengan cepat dan nampak ringan. Juga
ketika meringkusnya, tenaganya luar biasa. Bayu sendiri
merasa adanya pengerahan tenaga dalam yang ditahan.
Semua itu baru disadarinya sekarang.
“Rintan, berapa usiamu sebenarnya?” tanya Bayu
bernada penuh selidik.
“Lima belas,” sahut Rintan.
“Sungguh?”
“Kenapa aku mesti berdusta? Ayah selalu memberiku
hadiah tepat pada saat kelahiranku. Katanya untuk meng-
ingatkan usia dan ibuku.”
Bayu menarik napas panjang, kemudian bangkit berdiri.
Langkahnya pelan menuju ke mulut goa yang hampir ter-
tutup semak belukar dan rerumputan yang cukup tinggi.
“Kau jaga Mayang. Aku akan ke Gantar Angin,” kata
Bayu tanpa menoleh.
“Percayalah! Aku pasti merawatnya dengan baik,” sahut
Rintan.
Bayu terus saja melangkah keluar dari goa itu. dia
segera melesat begitu tiba di luar goa. Dalam sekejap saja,
bayangan tubuhnya tidak terlihat lagi.
***
Saat itu senja mulai beranjak turun. Matahari hampir
bersembunyi di balik belahan bumi barat. Istana Kerajaan
Gantar Angin masih selalu dijaga ketat oleh prajurit ber-
senjata lengkap. Sementara di dalam sebuah ruangan ber-
dinding batu, Raden Bantar Gading terbelenggu berdiri
dengan posisi merapat ke dinding. Rantai baja mengekang
tangan dan kakinya. Ruangan itu sangat sempit, dan tidak
tertembus cahaya matahari. Lembab sekali. Hanya sebuah
obor yang berada di luar ruangan itu yang menerangi
samar-samar dari balik jeruji besi.
Raden Bantar Gading memandang seorang lai-laki yang
terbaring di lantai batu berdebu dan lembab. Jubah putih-
nya koyak. Bercak-bercak darah kering masih melekat,
mengotori jubah dan tubuhnya. Raden Bantar Gading kenal
betul, siapa laki-laki itu. dia tidak lain adalah Paman
Nampi, salah seorang panglima perang Gantar Angin yang
selalu dekat dengan Raden Sangga Alam. Padahal Raden
Bantar Gading sendiri yang menjebloskan orang tua itu ke
dalam penjara ini. Ternyata, dia memang belum mati.
Nasib baik masih berpihak padanya.
Paman Nampi beringsut bangun dan duduk bersandar
pada dinding batu berlumut. Pandangannya sayu dan
langsung ke arah Raden Bantar Gading. Bibirnya
menyunggingkan senyum tipis. Entah apa makna
senyumannya itu. Punggung tangannya menyeka darah
yang hampir mengering di sudur bibirnya.
“Semua orang di sini rupanya sudah tidak waras…”
gumam Paman Nampi pelan, hampir tidak terdengar suara-
nya.
“Paman, apa yang mereka lakukan padamu?” tanya
Raden Bantar Gading.
“Seharusnya kau bisa jawab sendiri, Anak Muda,” jawab
Paman Nampi yang enggan menyebut nama Raden pada
Raden Bantar Gading.
Raden Bantar Gading tidak tersinggung. Disadari kalau
dirinya bukan seorang raden, pewaris tahta Kerajaan
Gantar Angin. Dia hanya tersenyu kecut mendengar kata-
kata sindiran itu.
“Maafkan aku, Paman. Aku memang bodoh, kerdil, dan
selalu mementingkan diri sendiri,” kata Raden Bantar
Gading polos.
“Tidak perlu menyesali diri. Di dunia ini tidak ada yang
sempurna,” masih pelan suara Paman Nampi.
“Ya. Dan aku paling tidak sempurna di antara yang tidak
sempurna,” juga pelan suara Raden Bantar Gading.
“Mengapa kau sampai masuk ke dalam neraka ini?”
tanya Paman Nampi.
“Aku menentang Ayahanda Prabu, dan mencoba
meninggalkan Gantar Angin. aku sadar kalau tindakanku
selama ini hanya merugikan orang banyak. Yang tertinggal
sekarang hanya rasa sesal. Kini aku bermaksud menebus
dosa atas perbuatanku,” lirih sekali nada suara Raden
Bantar Gading.
“Penyesalan memang selalu terlambat datangnya.”
“Ya….dan memang tidak ada gunanya untuk disesali.”
“Kenapa kau menentang Prabu Abiyasa?” tanya Paman
Nampi lagi.
“Aku tahu siapa diriku. Aku memang tidak berhak atas
tahta Gantar Angin. Ada orang yang lebih berhak dari itu
semua,” sahut Raden Bantar Gading.
“Kau tahu siapa?”
“Raden Sangga Alam. Dialah yang berhak atas tahta
Gantar Angin.”
Paman Nampi terdiam dengan kepala tertunduk.
“Maafkan aku, Paman. Tidak seharusnya aku men-
jebloskanmu dalam penjara ini,” ucap Raden Bantar
Gading penuh penyesalan. “Aku malu! Segala tekad dan
tindakan sucimu kunodai oleh kepicikanku sendiri.”
“Kau tidak picik, Anak Muda. Juga, tidak bodoh. Kau
tidak bersalah dalam hal ini. Kau hanya salah satu korban
dari permainan manusia-manusia berhati culas, haus
kekuasaan, harta benda dan kesenangan duniawi. Hhh…
aku sendiri juga kotor, penuh dengan noda.”
Raden Bantar Gading menatap laki-laki tua itu dalam-
dalam.
“Aku memang ingin mengembalikan tahta kepada yang
lebih berhak. Tapi jalan yang kutempuh sangat kotor.
Entah, setan mana yang telah menutupi hati dan mataku.
Aku mengambil seroang anak perempuan yang belum
genap berusia tujuh tahun, lalu berkerja sama dengan
Durati si Selendang Sakti untuk mendidik dan merawat
anak itu. Dia kujejali dengan cerita-cerita kosong dan
palsu! Aku telah menjerumuskannya ke dalam lembah
yang sangat nista….” Pelan sekali suara Paman Nampi.
“Siapa anak itu, Paman?” tanya Raden Bantar Gading
dengan dada berdebar.
“Kau tentu telah mengenalnya. Aku benar-benar malu
pada diriku sendiri, karena telah melibatkan seorang anak
yang tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa! Bahkan
aku telah membuatnya tidak tahu siapa dirinya yang
sebenarnya, asal-usulnya yang sebenarnya. Sungguh
terkutuk!”
“Paman apa yan gkau maksudkan itu…”
“Ya dia Mayang,” pelan suara Paman Nampi.
“Ahhh…” Raden Bantar Gading mendesah panjang.
“Dia sebenarnya bukan puteri Gusti Ratu Kunti Boga.
Namanya pun bukan Mayang. Aku tidak tahu, siapa nama
yang sebenarnya. Dia kupungut ketika terjadi pertempuran
perebutan kekuasaan oleh Prabu Abiyasa. Dia kuambil
ketika berada dalam pelukan seorang wanita yang tewas
tertembus panah. Aku kenal wanita itu. Semula, dalam
hatiku tidak ada niatan untuk menjadikannya sebagai
Mayang. Pikiran itu mendadak timbul saat kudengar putri
Ratu Kunti Boga lenyap dalam pertempuran di dalam
istana. Sampai kini aku tidak tahu di mana dia berada, dan
bagaimana kabarnya.”
“Jadi, Mayang yang sebenarnya belum tewas?”
“Ya! Dia hanya hilang.”
“Dan Raden Sangga Alam?”
“Dia waktu itu masih berusia sekitar tiga bulan, lalu
dipungut oleh Permaisuri Pramita Wardani sebagai anak.
Dan kau sendiri baru berusia tiga tahun. Aku tidak
menyalahkanmu jika kau sampai tidak tahu apa-apa
tentang dirimu sebenarnya selama ini.”
“Sekarang aku tahu, Paman.”
“Dari mana kau tahu?”
“Ayahku.”
“Prabu Abiyasa?”
“Bukan! Patih Luminta.”
“Dewata Yang Agung….ternyata dia juga masih setia
kepada Gusti Ratu Kunti Boga. Benar-benar buta mataku,
tidak bisa membesakan mana kawan dan mana lawan!
Kukira dia juga haus akan kekuasaan, sehingga berkhianat
dan mempuyai perjanjian dengan Prabu Abiyasa!”
Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya. Dan pada
saat itu matanya sempat melihat bayangan berkelebat di
depan jeruji besi yang membatasi ruangan tahanan ini
dengan sebuah lorong batu bawah tanah. Raden Bantar
Gading menggigit bibirnya. Sungguh tidak disadari kalau
ada seseorang yang mendengar semua percakapan ini.
Siapa orang itu…?
***
Raden Bantar Gading tidak tahu, sudah berapa lama
berada di kamar tahanan bawah tanah ini. Di dalam
ruangan tertutup tanpa cahaya matahari, sangat sulit
untuk menghitung waktu. Ebg mengangkat kepalanya
ketika mendengar suara pintu besi kamar tahanan ini
dibuka.
Dua orang prajurit melangkah masuk. Beberapa prajurit
lain menunggu di luar. Dua orang prajurit itu mengangkat
Paman Nampi agar berdiri. Laki-laki tua itu sudah tidak
punya daya lagi. Apalagi untuk berdiri. Sebentar
dipandanginya Raden Bantar Gading.
“Akan dibawa ke mana dia?” tanya Raden Bantar
Gading.
“Menjalani hukuman,” sahut salah seorang prajurit.
“Hukuman apa?”
“Raden….” Pelan suara Paman Nampi.
Raden Bantar Gading menatap Paman Nampi dalam-
dalam.
“Prabu Abiyasa telah memutuskan bahwa hari ini aku
harus menjalani hukuman sebagai pengkhianat,” kata
Paman Nampi.
“Tidak…!” desis Raden Bantar Gading. “Tidak! Kau tidak
boleh mati…!”
Raden Bantar Gading berusaha memberontak, tapi
rantai yang membelenggu tangan dan kakinya begitu kuat.
Raden Bantar Gading terus meronta sambil berteriak-
teriak. Seorang prajurit bertubuh tegap dan berotot, meng-
hampiri. Tanpa bicara lagi, dilayangkan satu pukulan keras
ke perut.
“Hughk!” keluh Raden Bantar Gading.
Rontaan dan teriakannya langsung berhenti. Tubuhnya
sedikit membungkuk. Perutnya kini terasa mual, dan mata-
nya berkunang-kunang. Pukulan prajurit itu sungguh keras,
meskipun hanya sedikit menggunakan tenaga dalam.
Namun akibatnya cukup luar biasa. Seluruh isi perut Raden
Bantar Gading serasa akan keluar.
“Jalan!”
Paman Nampi melangkah lesu didorong seroarng
prajurit. Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya per
lahan-lahan. Kedua bola matanya merembang. Pintu
kamar tahanan bawah tanah itu kembali tertutup.
“Tidak…” rintihnya lirih. “Maafkan aku, Paman. Seandai-
nya waktu itu aku tidak menangkapmu, tetnu kau tidak
akan bernasib malang seperti ini….”
Raden Bantar Gading benar-benar menyesali diri.
Dimaki-maki dan dirutuki dirinya yang tidak sadar kalau
tengah diperalat oleh mereka yang haus kekuasaan dan
harta benda duniawi. Benar kata Paman Nampi. Dia hanya
dijadikan alat tanpa disadari lebih dahulu.
“Raden….”
Raden Bantar Gading tersentak ketika telinganya men-
dengar suara bisikan halus. Kembali diangkat kepalanya
yang semula tertunduk lesu. Bola matanya langsung mem-
beliak lebar begitu melihat seorang pemuda bertubuh
tegap dan berbaju kulit harimau telah berdiri di depan
pintu jeruji besi.
“Pendekar Pulau Neraka….” Desis Raden Bantar Gading
setengah tidak percaya.
Pemuda tampan bernama Bayu Hanggara itu tersenyum.
Dia melangkah mendekati pintu. Tangannya menggenggam
dua jeruji besi. Sebentar ditarik napas dalam-dalam lalu
mulai ditarik jeruji besi itu.
“Hup!”
Pendekar Pulau Neraka mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk membongkar pintu berjeruji besi itu.
wajahnya nampak memerah saga, dan otot-ototnya ber-
sembulan ke luar. Jelas sekali kalau dia tengah mengerah-
kan tenaga dalam sepernuhnya. Raden Bantar Gading ter-
longong begitu pintu jeruji besi terangkat dan terbuka
lebar. Pendekar Pulau Neraka bergegas masuk, lalu
memutuskan rantai yang membelenggu tangan dan kaki
Raden Bantar Gading dengan Cakra Mautnya.
“Cepat keluar sebelum mereka memergoki kita,” kata
Pendekar Pulau Neraka.
“Terima kasih,” ucap Raden Bantar Gading seraya cepat
melangkah ke luar. “Bagaimana kau bisa sampai ke sini?”
“Dua hari aku menyelidiki tempat ini,” sahut Bayu.
“Dua hari…?!” Raden Bantar Gading terperanjat.
“Nanti kujelaskan. Yang penting sekarang kau harus
cepat meninggalkan tempat ini. Aku akan membebaskan
Paman Nampi,” potong Bayu cepat.
“Tunggu dulu, aku ikut bersamamu!”
“Kau sanggup?”
“Aku masih bisa melawan sepuluh prajurit sekaligus!”
“Ayolah! Waktu kita tidak banyak!”
***
7
Paman Nampi digiring ke atas panggung. Di situ, tiang
gantungan siap menunggu dengan tambang melingkar.
Seorang prajurit melingkarkan tambang ke lehernya. Tidak
kurang lima puluh prajurit berjaga-jaga di sektiar tempat
itu. Paman Nampi mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Tidak ada Prabu Abiyasa, dan Raden Sangga
Alam. Yang ada hanya para prajurit dan algojo yang siap
menggantungnya.
“Tidak perlu! Aku tidak perlu penutup mata!” kata
Paman Nampi tegas.
Seroang algojo yang memegang kain hitam penutup
mata melangkah mundur,mengurungkan niatnya menutup
mata Paman Nampi. Empat orang prajurit menjaga di
panggung gantungan, sedangkan dua orang algojo berada
di depan Paman Nampi. Mereka tinggal menunggu
perintah dari seorang punggawa yang sudah berdiri di
depan panggung gantungan itu.
“Laksanakan!” seru punggawa itu lantang.
Seorang algojo menarik tambang di bawah kaki Paman
Nampi, maka papan yan gdipijak laki-laki tua itu terbuka ke
bawah. Paman Nampi tersentak! Lehernya langsung terasa
nyeri. Napasnya mulai terasa terhambat. Tubuhnya
menggelepar, sedangkan matanya membeliak lebar.
Mulutnya pun tak urung terbuka lebar. Dia berusaha untuk
tetap bernapas, tapi semakin sesak dan terasa sulit.
Pada saat yang kritis itu, dua buah bayangan berkelebat
cepat. Salah satu bayangan menyambar tubuh Paman
Nampi, dan langsung memutuskan tambang yang menjerat
leher. Kejadian yang begitu cepat dan tiba-tiba itu,
membuat semua prajurit dan algojo hanya terkesiap.
Empat orang prajurit yang berada di atas panggung, tiba-
tiba terjungkal roboh dengan leher koyak mengucurkan
darah.
Dua bayangan itu sangat cepat bergerak dan tahu-tahu
sudah lenyap sebelum semua orang yang ada di situ
menyadari apa yang terjadi. Mereka seperti terpaku
memandang tali gantungan yang putus, tanpa terdapat
tubuh Paman Nampi di sana.
“Kejar! Tangkap mereka…!” punggawa yang memimpin
hukuman gantung itu berteriak keras.
Semua prajurit yang berada di sekitar tempat itu
serempak berlarian ke arah dua bayangan yang membawa
Paman Nampi menghilang. Sementara dua roang algojo
melompat turun dari panggung gantungan. Mereka meng-
hampiri punggawa itu.
“Bagaimana?” tanya salah seorang algojo.
“Kalian jangan ke mana-mana! Aku akan laporkan hal ini
pada Gusti Prabu,” sahut punggawa itu langsung
melangkah pergi.
Dua orang algojo itu saling berpandangan dan meng-
angkat bahunya. Tidak ada lagi prajurit yang terlihat. Hanya
empat orang saja tergeletak tak bernyawa di atas
panggung gantungan.
***
“Bodoh!” umpat Prabu Abiyasa sambil menggebrak
mejda dengan keras.
Meja berukir dari kayu jati yang tebal itu sampai retak,
hampir terbelah dua. Punggawa yang melaporkan tentang
kejadian di tiang gantungan mengkeret menggigil. Para
panglima dan patih yang berada di situ, tidak berani
mengangkat wajahnya. Prabu Abiyasa benar-benar marah
mendengar kegagalan pelaksanaan hukuman mati bai
Panglima Nampi. Apalagi sampai bisa lolos, diselamatkan
dua orang yang tidak jelas siapa orangnya.
“Aku perintahkan pada kalian semua. Cari dan bunuh
mereka!” lantang suara Prabu Abiyasa.
“Gusti…” Panglima Jambak mengangkat kepalanya.
“Hamba yakin mereka belum keluar dari benteng istana.
Sekitar benteng sudah dikepung para pemberontak.”
“Heh…?!” Prabu Abiyasa terperanjat.
“Ampunkan hamba, Gusti. Semula hamba memang
hendak melaporkan hal ini, tapi punggawa lebih dulu
datang dan melaporkan kegagalan pelaksanaan hukuman
mati itu,” kata Panglima Jambak lagi.
“Panglima! Aku tidak peduli bagaimana caranya! Aku
tidak ingin melihat para pemberontak menjarah istana ini.
juga, cari pengkhianat itu sampai dapat!” perintah Prabu
Abiyasa.
“Hamba laksanakan, Gusti.”
Panglima Jambak bergegas keluar diikuti para penglima
lainnya. Punggawa itu juga bergegas ke luar. Di situ tinggal
Prabu Abiyasa bersama beberapa patih dan delapan orang
jago bayaran dari tanah seberang. Prabu Abiyasa menatap
delapan orang berpakaian aneh itu.
“Kalian kuperintahkan mencari pengkhianat itu.
siapapun dia, bunuh!”
Delapan jago dari tanah seberang membungkuk hormat,
lalu melangkah meninggalkan ruangan itu. Prabu Abiyasa
juga bergegas pergi. Tinggal sekitar lima orang patih yang
masih berada di sana. Mereka hanya saling pandang.
“Mungkin ini akhir dari Gantar Angin….” gumam salah
seorang patih pelan.
“Bagaimana tindakan kita?” tanya salah seorang
lainnya.
“Tidak perlu ikut campur. Kita semua, hanya jabatannya
saja yang patih. Tapi tugas dan pekerjaan sudah ditangani
orang-orang Prabu Abiyasa. Kita lihat saja. Siapapun yang
duduk di atas tahta, dialah junjungan kita.”
“Setuju!”
“Kalian tidak bisa bersikap demikian.”
Lima orang patih itu terkejut, dan hampir bersamaan
menoleh. Wajah mereka langsung pucat pasi begitu
melihat Raden Sangga Alam tahu-tahu sudah berada di
ruangan ini. Pemuda tampan bagai wanita itu melangkah
pelan menghampiri. Sikapnya lembut dan bibirnya tidak
pernah lepas dari senyuman.
“Kalian adalah orang-orang yang dulu berjanji setia pada
Prabu Abiyasa. Sebelumnya, kalian juga mengaku setia
pada Ratu Kunti Boga. Dan kini, kalian pasti akan
mengatakan setia pada orang yang mungkin akan
meruntuhkan tahta Kerajaan Gantar Angin. Sungguh tidak
kusangka! Patih-patih Kerajaan Gantar Angin, ternyata
bermental penjilat!” lembut suara Raden Sangga Alam, tapi
terdengar tegas dan langsung mengena di hati.
“Raden, kami…”
“Tidak perlu berdalih! Sebenarnya kalian lebih ber-
bahaya dari para pemberontak!” potong Raden Sangga
Alam.
Lima orang patih itu terdiam menunduk.
“Jika kalian masih menganggap diri kalian manusia,
punya hati, dan perasaan, tentu punya rasa malu berada di
istana ini,” lanjut Raden Sangga Alam.
Lima orang patih itu saling pandang. Kata-kata Raden
Sangga Alam yang lembut dan tegas iu, sangat mengena di
hati mereka. Seperti ada yang memberi komando, mereka
langsung menjatuhkan diri dan berlutut di depan pemuda
tampan berkulit putih bersih itu.
“Ampunkan kami, Raden. Kami tidak tahu harus
bersikap bagaimana. Kami tidak punya daya…” kata salah
seorang patih.
“Kalian pasti masih punya otak untuk berpikir, dan
masih punya hati untuk merasakan. Tentukanlah sendiri
langkah yang harus ditempuh. Kalian harus punya sikap
tegas dan mampu menilai pantas atau tidaknya junjungan
yang harus dihormati dan dipatuhi. Seharusnya kalian
sadar bahwa kalian bukan boneka kayu yang dapat
dikendalikan tanpa mampu melakukan sesuatu dengan
sendirinya.”
“Raden. Hukumlah kami yang bodoh ini.”
“Hukuman bukan jalan satu-satunya.”
“Raden. Kami semua tahu siapa Raden sesungguhnya.
Dan kami berjanji setia pada peritnah Raden.”
“Kesetiaan bukan hanya di mulut, tapi perbuatan dan
niat hati yang murni.”
“Tunjukkan, apa yang harus kami lakukan.”
“Halangi orang-orang asing itu mengejar Paman Nampi!”
Lima orang patih itu terkejut, sampai mendongakkan
kepalanya. Perintah Raden Sangga Alam membuat jantung
mereka seperti copot. Dan belum lagi sempat bicara,
Raden Sangga Alam sudah berbalik melangkah meninggal-
kan ruangan itu.
***
Raden Sangga Alam tersenyum-senyum masuk ke
kamar perisitirahatan pribadinya. Bergegas dikuncinya
pintu. Pandangannya langsung tertuju ke pembaringan,
tempat seorang laki-laki tua terbujur di sana. Di
sampingnya berdiri seorang pemuda mengenakan baju
kulit harimau dan seorang pemuda tampan gagah dengan
pakaian koyak.
“Aku tidak mau ambil resiko dengan membawa orang
lain ke sini,” kata Raden Sangga Alam. “Berikan pil ini pada
Paman Nampi.”
Pemuda berbaju koyak dengan wajah babak belur
menerima pil berwarna merah dari tangan Raden Sangga
Alam, kemudian memasukannya ke mulut Paman Nampi
yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajah laki-laki tua itu
berubah merah, setelah pil tertelan. Sebentar dia
menggeliat, lalu diam dengan napas mulai teratur.
“Sebentar lagi kesehatanmu akan pulih,” kata Raden
Sangga Alam seraya melangkah mendekati jendela.
Pandangannya terarah ke luar.
“Raden…”
“Jangan panggil aku Raden, Kanda Bantar Gading.
Meskipun kita sama-sama sudah mengetahui diri masing-
masing, aku tetap menganggapmu sebagai kakak,” potong
Raden Sangga Alam seraya membalikkan tubuhnya.
Bantar Gading tertunduk. Hatinya merasa malu akan
kemuliaan hati Raden Sangga Alam. Benar-benar disesali
semua perbuatan yang telah dilakukannya.
“Aku tahu semua tentang diriku, kau dan semua yang
telah terjadi di sini. Itu semua berkat jasa besar Pendekar
Pulau Neraka,” ambung Raden Sangga Alam seraya
memandang Bayu Hanggara.
“Jangan terlalu membesarkan, Raden.” Kata Bayu
merendah.
Bantar Gading melirik Bayu. Meskipun belum ada yang
memberitahu, tapi sudah dapat diduga kalau semua yang
dilakukan Pendekar Pulau Neraka di sini, tentu berkat
bantuan Raden Sangga Alam. Tidak ada seorang pun yang
tahu tentang ruangan bawah tanah selain para keluarga
kerajaan, dan para prajurit pilihan. Dan lagi tidak mudah
masuk ke sana kalau bukan karena bantuan Raden
Sangga Alam.
Perhatian mereka langsung tertumpah pada Paman
Nampi yang mulai siuman. Laki-laki tua itu segera beranjak
duduk begitu menyadari berada dalam kamar Raden
Sangga Alam. Paman Nampi cepat beringsut turun dari
pembaringan dan bersimpuh di lantai.
“Bangunlah, Paman. Tidak pantas kau berbuat demikian
padaku,” kata Raden Sangga Alam.
“Ampunkan hamba, Raden,” kata Paman Nampi tetap
duduk bersila.
“Tidak ada yang harus dimaafkan. Aku tahu kenapa kau
selalu merahasiakan semua ini. Aku sungguh berterima
kasih karena kau selalu setia pada ibundaku. Bahkan tetap
mengabdi padaku dengan memberiku bekal yang cukup,”
kata Raden Sangga Alam.
“Raden sudah mengetahui?” Paman Nampi agak
terkejut juga.
“Ya,” sahut Raden Sangga Alam kembali melirik Bayu
Hanggara.
“Maaf, aku terpaksa menceritakan semuanya. Ini
kulakukan demi kalian semua,” ucap Bayu.
“Aku memang sudah memperkirakan. Cepat atau
lambat, semuanya pasti terbongkar,” desah Paman Nampi.
“Saat ini benteng istana sudah dikepung para
pemberontak. Kalian tidak mungkin dapat meninggalkan
kamar ini,” kata Raden Sangga Alam memberi tahu.
Paman Nampi dan Bantar Gading terkejut. Hanya Bayu
yang kelihatannya tenang-tenang saja.
“Tidak perlu dicemaskan. Mereka berjuang untukku,
untuk keadilan di Gantar Angin ini,” sambung Raden
Sangga Alam.
“Tapi…” Bantar Gading teringat Ki Maruta.
“Mereka adalah para penglima dan prajurit setia Ibunda
Ratu Kunti Boga yang sempat melarikan diri ketika itu. Aku
berhasil menghimpun mereka dalam waktu dua hari ini
bersama Pendekar Pulau Neraka, dan sama sekali tidak
melibatkan rakyat. Tapi, aku tidak bisa menolak kehadiran
pada pemuda yang rela berkorban demi keadilan.”
“Bagaimana dengan kaum pemberontak di Hutan
Danaraja?” jawab Bantar Gading.
“Sampai saat ini aku tidak mendengar kabar beritanya,”
jawab Raden Sangga Alam.
“Paman! Betulkah kau pernah cerita sewaktu di dalam
penjara bahwa para pemberontak yang menghimpun
kekuatan di Hutan Danaraja atas prakarsamu? Mengapa
mereka tidak membantu?” Bantar Gading menatap Paman
Nampi yang sudah duduk di kursi.
“Itulah kesalahanku yang paling fatal! Aku menghimpun
kekuatan di Hutan Danaraja dengan mempercayakan
kepemimpinan pada Ki Maruta, adik tiri Prabu Abiyasa…!”
kata Paman Nampi. Suaranya menyiratkan penyesalan.
“Ki Maruta memanfaatkannya untuk kepentingan
pribadi,” sambung Bayu. “Dia tengah mencari kesempatan,
dengan membiarkan bekas-bekas prajurit dan panglima
merebut tahta lebih dahulu.”
“Dan semua itu sudah kupikirkan masak-masak,”
sambung Raden Sangga Alam. “Sehingga perjuangan ini
tidak menjadi sia-sia.”
“Ah! aku bangga sekali padamu, Raden,” desah Paman
Nampi terharu.
“Sudahlah, Paman. Semua ini berkat bimbinganmu
juga,” Raden Sangga Alam merendah.
“Apa rencana selanjutnya?” tanya Bantar Gading.
Raden Sangga Alam tidak langsung menjawab, tapi
malah tersenyum seraya memandang Pendekar Pulau
Neraka. Kembali dipandang keadaan di luar jendela.
Tempak beberapa prajurit masih tampak sibuk di luar
sana. Para panglima pun sibuk mengatur penjagaan.
Bahkan ratusan prajurit sudah siap dengan senjata, dan
berbaris di alun-alun istana. Mereka benar-benar telah siap
menghadapi perang pemberontakan.
***
Waktu terus berjalan dengan pasti. Malampun berganti
siang. Matahari baru saja menampakkan dirinya di ufuk
timur. Dan pada saat itu, Bayu baru saja melompat keluar
dari jendela kamar Raden Sangga Alam. Gerakannya
sangat ringan. Tubuhnya melenting ke udara lalu hinggap
di atas atap. Sambil merapatkan tubuhnya ke atap,
matanya yang tajam mengamati sekitarnya.
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melentingkan
tubuhnya dan meluruk ke bawah. Begitu kakinya menjejak
tanah, kembali melesat dan langsung menuju ke arah
tembok benteng. Sungguh cepat dan ringan sekali
lesatannya. Sekejap saja sudah melewati tembok benteng
yang tinggi dan kokoh. Tubuhnya membungkuk, dan
kakinya tertekuk ketika mendarat di luar tembok benteng.
Seorang laki-laki berusia sektiar tujuh puluh lima tahun
berlari-lari menghampiri. Bayu berdiri tegak menanti. Laki-
laki tua mengenakan baju putih dan ikat kepala putih itu
berhenti di depan Pendekar Pulau Neraka. Di pinggangnya
tergantung sebilah pedang.
“Bagaimana, Tuan Pendekar? Kami sudah menunggu
perintah,” kata laki-laki tua itu seperti tidak sabar.
“Raden Sangga Alam meminta untuk membatalkan
penyerangan,” sahut Bayu.
Laki-laki tua itu terkejut mendengarnya. Harapannya
semula, pagi ini juga akan dilakukan penyerangan. Semua
prajurit setia Ratu Kunti Boga, ditambah ratusan pemuda
sudah tidak sabar menunggu penyerangan.
“Ki Raban! Raden Sangga Alam tetap memerintahkan
untuk mengepung sekitar istana ini. rasanya itu memang
harus dilakukan, mengingat Prabu Abiyasa masih dibantu
delapan orang jago dari tanah seberang. Mereka bukan
orang sembarangan! Dan lagi, para prajurit bukanlah
tandingan mereka. Maaf, bukannya aku mengecilkan arti
para panglimamu,” jelas Bayu.
“Kenapa bisa begitu?” laki-laki tua yang bernama Ki
Raban minta penjelasan.
“Masih ada kelompok lain yang menghendaki tahta
Kerajaan Gantar Angin. Mereka kini berada di luar
lingkungan istana. Raden Sangga Alam mengkhawatirkan
kelompok yang satu ini, karena dinilai lebih berbahaya.
Sementara keadaan di dalam istana mungkin masih bisa
dikuasai. Yang jelas, tidak semua prajurit akan setia pada
Prabu Abiyasa. Bahkan sebagian besar adalah para prajurit
Panglima Nampi. Sebagian kecil saja yang memang prajurit
bawaan Prabu Abiyasa.” Jelas Bayu.
“Lalu, apa yang harus kulakukan?”
“Tetap berada di tempat, dan tingkatkan kewaspadaan.
Jangan sampai ada di antara mereka menyusup ke dalam
pasukanmu.”
Ki Raban menggeleng-gelengkan kepalanya. Rasanya
masih belum bisa mengerti jalan pikiran Raden Sangga
Alam. Ki Raban adalah seroang panglima besar yang
membawahi para panglima besar pada saat Kerajaan
Gantar Angin masih diperintah Ratu Kunti Boga. Tidak
terhitung lagi, berapa peperangan telah dijalakannya. Tapi,
baru kali ini dia tidak bisa memahami maksud pewaris
syah Kerajaan Gantar Angin. Bertahun-tahun saat seperti
ini ditunggu-tunggu. Dan begitu tiba masanya, semuanya
jadi terhalang. Dia tidak tahu persis, apa yang jadi
penghalang utamanya.
Bayu bisa menangkap adanya sedikit kekecewaan
dalam sinar mata Ki Raban. Bisa dimengerti kalau saat
seperti ini memang sudah lama dinantikannya. Dan
sekarang, saat-saat yang seharusnya membangkitkan
semangat pepreangan, harus tertunda kembali. Dan ini
disebabkan keadaan di dalam benteng istana belum dapt
dikuasai sepenuhnya. Pertahanan mereka masih terlalu
kuat. Lebih-lebih dengan adanya delapan orang jago dari
tanah seberang. Hal itu menjadi bahan pemikiran Raden
Sangga Alam. Dia tidak ingin mengorbankan nyawa terlalu
banyak, meskipun hal itu tidak mungkin dapat terelakkan.
Tapi paling tidak memperkecil jumlahnya.
“Rasanya tidak ada lagi yang harus kusampaikan,” kata
Bayu.
“Tunggu dulu, Tuan Pendekar,” cegah Ki Raban ketika
Bayu akan berbalik.
Bayu mengurungkan niatnya untuk kembali ke dalam
benteng istana.
“Apa yang tengah dilakukan Raden Sangga Alam di
dalam?” tanya Ki Raban ingin tahu.
“Menarik kembali roang-orang yang masih setia
padanya,” sahut Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu langsung berbalik dan
melesat ke atas tembok benteng. Setelah melewati
tembok, langsun gmeluruk ke bawah. Dengan manis
kakinya kembali menjejak tanah di dalam tembok Istana
Gantar Angin. Namun baru saja hendak melesat lai, sebuah
tombak meluruk ke arahnya.
“Eit!”
***
8
Bayu Hanggara menarik tubuhnya ke samping, maka
tombak itu hanya lewat, menyambut tempat kosong. Belum
juga Pendekar Pulau Neraka itu menarik tubuhnya kembali,
sebuah bayangan meluruk ke arahnya. Buru-buru Bayu
menjatuhkan diri dan bergulingan beberapa kali di tanah,
lalu bergegas melompat bangkit. Kelopak matanya agak
menyipit begitu melihat empat orang berpakaian aneh
sudah berdiri mengepungnya.
Empat orang itu adalah jago undangan dari tanah
seberang. Mereka langsung menyerang tanpa bicara apa-
apa. Bayu berlompatan dengan tubuh meliuk-liuk meng-
hindari serangan yang datang secara beruntun dari empat
arah. Agak kerepotan juga dia, karena jurus-jurus yang
digunakan empat orang itu sangat asing baginya.
“Ugh!”
Bayu tidak bisa mengelakkan satu pukulan keras yang
mendarat di perutnya. Seketika itu juga dirasakan perutnya
mual. Namun dengan cepat dikerahkan hawa murni
sehingga rasa mual pada perutnya cepat terusir. Pendekar
Pulau Neraka itu mengegoskan kepalanya ke kiri ketika
sebuah senjata mendesing ke arah kepalanya. Dengan
satu gerakan manis, tangannya bergerak cepat ke
samping.
Des!
Orang yang berada di samping, terjengkang ke belakang.
Dan pada saat yang sama, kaki Bayu menyepak ke
belakang. Satu orang lagi yang berada di belakangnya
terjungkal terhantam bagian dadanya. Bayu langsung
melesat ke belakang melewati kepala orang yang tengah
terhuyung tersepak kakinya.
“Hiyaa…!”
Sambil berteriak nyaring, Pendekar Pulau Neraka itu
mengirimkan satu pukulan keras ke kapala prang itu. Tak
dapat dihindari lagi. Pukulan bertenaga dalam hampir
sempurna itu mendarat telak di kepala orang itu.
“Aaa…!” orang itu menjerit keras sambil memegangi
kepalanya yang pecah.
Begitu kakinya mendarat di tanah, Bayu langsung
mengirimkan dua pukulan geledek beruntun ke punggung
dan pinggang orang itu. Satu jeritan panjang menyayat
kembali terdengar disertai bunyi tulang-tulang patah. Orang
itu menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari
kepala yang pecah.
“Giliran kalian bertiga!” dengus Bayu geram.
Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuhnya ke kiri
setengah membungkuk. Kakinya terpentang agak lebar
dan lututnya tertekuk hampir menyentuh tanah. Kemudian
tangan kanannya mengibas cepat ke depan. Secercah
cahaya keperakan dari senjata Cakra Maut kini melesa
bagai kilat.
Cakra Maut itu meluncur deras tidak terbendung lagi ke
arah salah seorang jago dari tanah seberang. Orang itu ter-
perangah sesaat, lalu menjerit melengking tinggi. Lehernya
koyak hampir putus terpenggal senjata milik Pendekar
Pulau Neraka.
“Hiyaaa…!”
Seketika itu juga tubuhnya melesat cepat dan meng-
ayunkan kakinya ke arah dada orang itu. Akibatnya, orang
itu terjungkal ambruk ke tanah. Hanya sedikit Bayu meng-
angkat tangan kanannya. Dan saat senjata cakranya
kembali menempel pada pergelangan tangan kanan,
kembali dikibaskannya dengan cepat. Cakra Maut itu
kembali melesat ke arah salah seorang lagi. Sementara
Bayu meluruk deras menyambar satu jago dari seberang
yang lain.
Dua orang jago dari seberang itu masih terpaku
menyaksikan kematian dua orang temannya yang belum
sempat mengeluarkan jurus-jurus andalan mereka. Dan
belum juga mereka sempat menyadari, serangan kembali
datang dengan cepat. Tentu saja hal ini membuat mereka
jadi sibuk menghindari serangan-serangan dahsyat
Pendekar Pulau Neraka. Satu orang menghadapi langsung
Pendekar Pulau Neraka, sedangkan seorang lagi
berlompatan menghindari terjangan dahsyat Cakra Maut.
Sungguh suatu pertarungan yang sanga tunik, namun
mengandung hawa maut!
“Modar…!” bentak Bayu tiba-tiba.
Seketika itu juga dia menggedor tangan kanannya ke
depan. Jago dari seberang itu terperangah sesaat, buru-
buru dimiringkan tubuhnya ke kanan. Namun gedoran
tangan Pendekar Pulau Neraka masih sempat mengenai
bahu kirinya. Orang itu memekik tertahan. Tubuhnya pun
terhuyung ke belakang beberapa langkah.
Bayu tak menyia-nyiakan kesempatan yang sedikit itu.
dia segera melompat sambil mengayunkan kaki kanannya.
Tendangan yang cepat dan keras, disertai pengerahan
tenaga dalam hampir sempurna itu, tidak bisa dielakkan
lagi. Tapak kaki Bayu mendarat telak di dada yang terbuka.
“Hugh!” jago dari tanah seberang itu mengeluh pendek.
Belum lagi sempat menguasai keseimbangan tubuhnya,
satu pukulan keras menghantam kepalanya. Jerit meleng-
king terdengar menyayat. Orang itu memegangi kepalanya
yang retak. Darah pun mengucur deras dari sela-sela jari
tangannya. Pada saat itu, Bayu kembali mendaratkan
pukulan mautnya ke arah leher. Lawannya langsung diam
tak bergerak-gerak lagi. Sesaat kemudian, tubuhnya
ambruk dengan kepala terpisah. Tebasan jari tangan
Pendekar Pulau Neraka sungguh luar biasa, karena dapat
lebih tajam dari pada sebilah pedang. Serangan Pendekar
Pulau Neraka itu tidak tanggung-tanggung lagi. Dikeluar-
kannya jurus andalan simpanannya yang tidak pernah
digunakan sebelumnya. Jurus ‘Pukulan Mata Pedang
Dewa’.
“Hhh…!” Bayu mendengus berat seraya memalingkan
kepalanya.
Tampak beberapa puluh prajurit Gantar Angin berlarian
ke arah pertarungan itu. Rupanya mereka mendengar
suara pertarungan, sehingga menguncang mereka untuk
ke sana. Kembali Bayu mendengus berat. Segera diangkat
tangan kanannya ke atas kepala. Senjata Cakra Maut yang
tengah melayang-layang, menyerang seorang jago dari
tanah seberang, melesat balik dan langsung menempel di
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
“Nyawamu masih terampuni kali ini, orang asing!” kata
Bayu dingin.
Setelah berkata demikian, Bayu langsung melompat
cepat ke arah atap bangunan istana. Dan begitu jari kaki-
nya menjejak atap, tubuhnya kembali meluruk turun ke
balik tembok istana itu. Beberapa prajurit yang mengejar,
kini kehilangan jejak. Sedangkan jago dari seberang yang
tersisa, hanya berdiri mematung dengan napas kembang-
kempis.
***
Bayu langsung menutup jendela kamar pribadi Raden
Sangga Alam begitu berada di dalam. Tarikan napasnya
masih agak tersenggal. Tubuhnya berbalik, dan langsung
menatap Raden Sangga Alam, Bantar Gading dan Paman
Nampi. Ketiga orang itu berdiri memandanginya dengan
paras wajah menyiratkan suatu kecemasan yang amat
sangat.
“Apa yang terjadi, Bayu?” tanya Paman Nampi tidak bisa
membendung rasa ingin tahunya.
“Huh…!” Bayu mendengus menghembuskan napas
kencang.
“Kau bentrok dengan para prajurit?” tebak Bantar
Gading.
“Empat roang asing,” jawab Bayu seraya meng-
henyakkan tubuhnya di kursi dekat jendela.
“Lalu?” desak Bantar Gading lagi.
“Aku berhasil menewaskan tiga di antaranya. Satu lagi
berhasil selamat karena keburu datang prajurit-prajurit
sialan itu.”
Bantar Gading dan Paman Nampi saling berpandangan.
Sementara Raden Sangga Alam berjalan mondar-mandir
dengan tangan terlipat di depan dada. Tampaknya tengah
berpikir keras dengan peristiwa yang baru saja dialami
Pendekar Pulau Neraka ini. selama masih ada jago-jago
undangan dari tanah seberang, memang merupakan satu
ganjalan yang sukar dilewati. Jago-jago dari seberang itu
rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Para panglima kerajaan pun belum tentu sanggup
menandinginya. Hanya Pendekar Pulau Neraka saja yang
dapat diandalkan. Tapi untuk menghadapi semuanya
sekaligus….. Satu hal yang sangat riskan dan terlalu ber-
bahaya.
Raden Sangga Alam menatap Bayu dalam-dalam.
Sedangkan Bayu juga balas menatap pemuda tampan
bagai wanita itu. Entah apa arti pandangan mereka, seolah-
olah tengah berbicara menggunakan kekuatan batin.
Sementara Bantar Gading dan Paman Nampi hanya mem-
perhatikan saja dengan pandangan tidak mengerti.
“Tampaknya tidak ada jalan lain. Korban nyawa tidak
mungkin lagi dihidnari. Para panglima dan patih yang setia
pada Prabu Abiyasa mencium adanya pemberontakan di
dalam. Mereka menangkap dan menjebloskan panglima,
patih dan para prajurit yang dicurigai akan memberontak,”
pelan suara Raden Sangga Alam.
“Perjuangan membutuhkan pengorbanan, Raden,” kata
Paman Nampi mulai bisa menangkap kegundahan hati
pemuda itu.
“Ya. Perngorbanan yang tidak kecil,” desah Raden
Sangga Alam pelan.
Raden Sangga Alam mengalihkan pandangannya ke
jendela. Terdengar suara-suara para prajurit yang masih
mencari Pendekar Pulau Neraka. Suara-suara itu demikian
dekat, dan pasti berada tidak jauh dari jendela kamar itu.
“Hanya satu yang kupikirkan saat ini,” kata Raden
Sangga Alam lagi setelah suara-suara itu mulai senyap.
“Apa?” tanya Paman Nampi.
“Jago-jago dari seberang yang diundang Prabu Abiyasa.”
“Serahkan padaku!” sergah Bayu tegas.
“Bayu…” Paman Nampi langsung menatap Pendekar
Pulau Neraka itu. “Mereka sangat tangguh. Jurus-jurusnya
pun sangat berbeda dengan yang ada di negeri ini. Maaf,
bukannya aku mengecilkan arti dirimu, aku hanya
mengkhawatirkan kalau-kalau…”
“Terima kasih, Paman.” Cetus Bayu cepat memotong.
“Kalian tidak perlu mencemaskan diriku. Memang sudah
jadi kewajibanku untuk menghadapi orang-orang asing
yang ikut campur dalam urusan kerajaan di sini. Dan aku
juga tidak akan ikut bertempur melaran prajurit. Aku hanya
mencegah orang-orang asing itu ikut campur!” tegas kata-
kata Bayu Hanggara.
“Tuan Pendekar! Aku tidak akan melupakan jasamu ang
sangat besar ini,” ucap Raden Sangga Alam terharu.
“Lupakan saja. Yang penting sekarang, Raden harus
memberikan tanda untuk memulai peperangan. Mereka
yang berada di luar tidak sabar lagi menunggu perintah
Raden. Meskipun Ki Raban bisa mengerti, tapi aku
khawatir yang lainnya tidak bisa mengendalikan diri,” jelas
Bayu lagi.
“Baiklah! Untuk sementara kita kesampingkan dulu
kelompok ketiga yang dipimpin Ki Maruta. Hal ini bisa di-
tanggulangi nanti setelah istana ini dapat kita kuasai,”
sahut Raden Sangga Alam.
Setelah berkata begitu, Raden Sangga Alam melangkah
keluar dari kamar. Bayu membuka jendela kamar itu dan
melompat keluar. Bantar Gading dan Paman Nampi
mengikuti keluar dri jendela juga. Untung saja tidak
seorang prajurit pun yang berada di sektiar kamar itu,
sehingga ketiga orang itu dapat leluasa bergerak.
***
Peperangan tak terhindarkan lagi. Begitu Raden Sangga
Alam memberi tanda dengan melepas seasang burung
merpati, para prajurit dan pemuda yang setia pada Ratu
Kunti Boga langsung menyerbu benteng Istana Kerajaan
Gantar Angin. Pekik peperangan dan jerit kematian berbaur
jadi datu memecah udara di Kerajaan Gantar Angin.
Para prajurit yang berada di dalam benteng, jumlahnya
memang sangat sedikit. Sehingga, dalam waktu tidak
berapa lama saja pintu gerbang benteng isatana jebol.
Tampak Ki Raban memimpin di depan menerobos pintu
benteng yang hancur berantakan. Denting senjata bergema
mengiringi jerit kematian dan pekik peperangan. Tubuh-
tubuh mulai bergelimpangan. Darah bersimbah mem-
basahi tanah Gantar Angin.
Di antara para prajurit dan pemuda rakyat yang tengah
bertempur menyabung nyawa, tampak Bayu sedang meng-
hadapi dua orang jago dari seberang. Tidak jauh dari
tempat pertarungan itu, terlihat tiga orang jago dari
seberang tergeletak dengan tubuh bersimbah darah.
Rupanya Pendekar Pulau Neraka telah berhasil mem-
binasakan tiga dari lima jago dari seberang yang tersisa.
Jumlah yang banyak dengan ditambah semangat ber-
kobar-kobar, membuat mereka yang setia pada Ratu Kunti
Boga berada di atas angin. semangat mereka semakin
berkobar begitu para panglima, patih, dan prajurit yang
ditawan telah dibebaskan Bantar Gading. Mereka langsung
menerjunkan diri dalam kancah pertempuran. Suasana jadi
semakin tidak menentu. Tidak terhitung lagi, berapa para
prajurit setia Prabu Abiyasa yang tewas berlumuran darah.
“Mampuslah kalian!” terdengar bentakan keras
Pendekar Pulau Neraka.
“Aaa…!” satu jeritan melengking mengantarkan
kematian salah seorang jago dari seberang dengan leher
terpenggal.
Bayu berdiri tegak memandang salah seorang jago dari
seberang yang tersisa. Seorang laki-laki bertubuh tinggi
tegap, dan berkulit kuning langsat. Wajahnya cukup
tampan, namun sorot matanya mencerminkan kebengisan.
Senjata berupa pedang yang kecil dan tipis berwarna
keperakan.
Perlahan-lahan diangkat pedangnya ke atas kepala.
Kedua tangannya memegang gagang pedang erat-erat, lalu
tangan kiri mengembang ke samping. Pedang tipis kecil
panjang itu terpisah jadi dua bagian. Kini di tangan kanan
dan kiri, masing-masing menggenggam satu pedang
dengan bentuk dan ukuran yang sama.
“Hiyaaa…!”
Orang itu berteriak nyaring. Seketika itu juga tubuhnya
melesat cepat menerjang. Bayu yang sudah siap sejak tadi,
memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri menghindari sodokan
pedang di tangan kanan lawannya. Kemudian kaki kanan-
nya terangkat menekuk menghindari tebadan pedang di
tangan kiri. Dua serangan serentak luput tanpa mengenai
sasaran.
“Yaaah…!” Bayu berteriak keras.
Buk!
“Hugh!”
Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu Pendekar Pulau
Neraka sudah mendorong kedua tangannya ke depan. Dan
orang dari seberang itu terdorong beberapa langkah ke
belakang. Tangan kirinya menekan dada, sedangkan dari
mulutnya menyebur darah kental kehitaman. Tampak di
dadanya yang terbuka terdapat gambar telapak tangan ber-
warna hitam kebiru-biruan. Ternyata Bayu melepaskan
jurus ‘Pukulan Tapak Beracun’. Satu jurus andalan yang
sangat dahsyat, dan dapat berakibat fatal bagi lawan yang
terkena pukulan beracun itu.
“Huh! Yeaaah…!”
Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri setengah
membungkuk, sedangkan kakinya tertekuk dengan lutu
hampir menyentuh tanah. Orang yang pernah bentrok
dengan Pendekar Pulau Neraka, pasti dapat menebak
kalau dirinya akan melontarkan senjata mautnya yang
aneh. Tapi Bayu jadi tertegun, karena lawannya hanya
berdiri diam tidak bergerak-gerak.
Belum sempat disadari, tahu-tahu orang asing itu
ambruk ke tanah dengan punggung tertembus tombak.
Tampak Paman Nampi berdiri tidak jauh dari orang asing
itu. Bayu kembali berdiri tegak, mengurungkan niat
melontarkan senjata mautnya. Sementara pertempuran
masih terus berlangsung. Kelihatan sekali kalau para
prajurit Prabu Abiyasa sudah demikian terdesak. Bahkan
beberapa prajurit mencoba melarikan diri. Tapi, para
prajurit yang dipimpin langsung Ki Raban tidak
membiarkan mereka melarikan diri.
“Paman, di mana Raden Sangga Alam?” tanya Bayu
yang sejak terjadinya pertempuran tidak melihat kehadiran
Raden Sangga Alam.
“Di dalam, bersama beberapa panglima. Mereka tengah
mengamankan keluarga kerajaan. Prabu Abiyasa sudah
ditawan,” sahut Paman Nampi.
“Kalau begitu, hentikan pertempuran ini!” seru Bayu.
“Tidak mungkin, Bayu! Mereka bukan prajurit terdidik.
Lebih banyak rakyat dari pada prajurit sesungguhnya.
Biarkan saja mereka melampiaskan dendam dan sakit hati
mereka.”
Bayu sempat terhenyak mendengar jawaban Paman
Nampi, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sudah berjanji
tidak mencampuri urusan dalam Kerajaan Gantar Angin.
Bayu merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di
lingkungan istana ini. Sementara Paman Nampi sudah
kembali terjun dalam kancah pertempuran. Laki-laki tua itu
seperti sedang melampiaskan amarah dan rasa sakit
hatinya. Mereka yang berani mendekat, habis dibantai
tanpa ampun lagi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera
melompat tinggi ke udara. Tubuhnya melesat cepat
bagaikan kilat melewati pagar benteng istana itu. Sekejab
saja bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka lenyap di
balik tembok benteng. Sementara pertempuran terus
berlangsung. Bahkan di bagian lain, rakyat dan para
prajurit setia Ratu Kunti Boga bersorak-sorai akan
kemenangan yang diraihnya. Gantar Angin benar-benar
banjir darah. Perang saudara berkecamuk akibat rasa
dendam dan sakit hati yang tak terobati. Rasa dendam itu
dilampiaskan dengan membantai para prajurit Prabu
Abiyasa yang nyata-nyata sudah tidak mampu lagi mem-
pertahankan diri.
Bayu berdiri tegak di atas sebuah bukit. Tatapan mata-
nya tertuju langsung ke arah Kerajaan Gantar Angin. Dari
ketinggian di atas bukit itu bisa dilihat jelas, bagaimana
pertempuran berlangsung di dalam benteng istana. Per-
tempuran yang sudah berubah jadi arena pembantaian dan
pelampiasan hati yang tertekan selama ini.
“Hhh! Mereka sudah seperti binatang! Tidak lagi meng-
gunakan otak…!” dengus Bayu berat.
“Kau tidak ikut bertempur, Kakang?”
Bayu tersentak kaget, dan langsung menoleh. Sama
sekali Pendekar Pulau Neraka itu tidak menyadari kalau
Mayang mengayunkan kakinya mendekati dan berdiri di
sampingnya.
“Bagaimana keadaan di sana, Kakang?” tanya Mayang.
“Kau lihat sendiri. Mereka tidak seperti manusia lagi,
tapi cenderung bagaikan binatang yang sedang mem-
perebutkan daerah kekuasaan,” sahut Bayu agak tertahan
suaranya.
“Seharusnya kau menghentikan pembantaian itu,
Kakang,” kata Mayang.
“Percuma! Mereka tidak memerlukan aku lagi. Mereka
sudah dikendalikan hawa nafsu dan rasa dendam yang
mendalam di dalam hati. Raden Sangga Alam sendiri tidak
mampu mengendalikannya.”
“Lalu, bagaimana dengan Kakang Bantar Gading?”
tanya Mayang teringat kekasihnya.
“Aku tidak melihat sejak terjadi pertempuran.”
“Oh…..” Mayang mendesah lirih.
Bayu memalingkan kepalanya. Jelas, ada rasa cemas
terpancar pada wajah wanita itu. Sangat jelas terlihat,
meskipun wajahnya masih pucat. Kondisi tubuh Mayang
memang belum pulih benar dari luka-lukanya. Bayu mem
balikkan tubuhnya saat telinganya mendengar ranting ter-
injak. Dari dalam semak belukar muncul Rintan. Gadis
muda berwajah kekanak-kanakan.
“Rintan, kenapa kau ke sini?” tanya Mayang.
“Aku mencarimu, Kak. Aku cemas, kau belum sembuh
benar,” jawab Rintan.
“Sebaiknya kalian kembali saja. Kau masih perlu banyak
istirahat, Mayang,” usul Bayu.
“Aku akan menunggu Kakang Bantar Gading di sini,”
sahut Mayang tegas.
“Dia pasti datang. Percayalah,” bujuk Bayu.
“Tidak, Kakang Bayu. Perasaanku mengatakan lain.
Selama ini seluruh rakyat menganggap Kakang Bantar
Gading putra sulung Prabu Abiyasa. Dan kau tahu,
tindakannya sangat kejam. Tidak terhitung lagi rakyat yang
tewas di ujung pedangnya. Aku yakin mereka akan meng-
adili Kakang Bantar Gading, dan menghukum mati,” agak
tersendat Mayang.
“Jangan berprasangka buruk dulu, Mayang. Dia pasti…”
Bayu belum sempat mengakhiri kata-katanya, tiba-tiba
sebuah bayangan berkelebat cepat. Ternyata Bantar
Gading tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka. Mayang
segera berlari memburu dan memeluknya. Bayu menarik
napas panjang. Dadanya terasa lega melihat Bantar Gading
muncul.
“Mayang! Kita harus segera menginggalkan Gantar
Angin! Seluruh rakyat tidak mau perduli, dan tetap
menuntut agar aku dihukum gantung,” kata Bantar Gading
agak tersenggal napasnya.
“Oh, Kakang…” desah Mayang kembali memeluk erat.
“Ayo, cepatlah! Sudah kusiapkan kuda untuk kita,” kata
Bantar Gading.
“Kakang…” Mayang melepaskan pelukannya, lalu
menoleh pada Pendekar Pulau Neraka dan Rintan.
“Tuan Pendekar, maaf. Bukannya aku tidak memper-
dulikanmu, tapi keadaan memaksa kita berpisah di sini,”
ujar Bantar Gading.
“Pergilah kalau itu sudah menjadi keputusanmu,” kata
Bayu tersenyum maklum.
“Ayo, Mayang.”
“Tunggu dulu, Kakang. Bagaimana dengan ayahku?”
“Aku tidak bisa mencegah perintah Raden Sangga Alam.
Dia sudah memerintahkan para panglimanya untuk meng-
habisi para pemberontak. Saat ini pasti tengah terjadi per-
tempuran di Hutan Danaraja. Maafkan aku, Mayang. Aku
bukan lagi orang yang punya hak di Gantar Angin. Bahkan
keselamatanku pasti terancam jika masih berada di sini.
Kita harus pergi sejauh mungkin dan melupakan semua
yang telah terjadi,” jelas Bantar Gading.
Mayang menatap Bayu sebentar, kemudian melangkah
pergi setelah Bayu tersenyum dan mengangguk. Sepasang
kekasih itu bergegas meninggalkan tempat itu. Tinggal
Bayu dan Rintan masih berada di atas puncak bukit ini.
Untuk beberapa saat mereka berdiam diri, tidak berkata
satu patah kata pun.
“Sudah saatnya kita juga harus berpisah,” kata Rintan
pelan setengah mendesah.
“Eh, tunggu!” cegah Bayu menangkap tangan gadis itu.
Rintan berbalik dan menatap langsung bola mata
pemuda berbaju kulit harimau itu. Bayu melepaskan
pegangannya pada pergelangan tangan gadis itu.
“Aku tahu siapa kau sebenarnya, Rintan. Kau adalah
Mayang, putri Ratu Kunti Boga yang hilang! Dan usiamu
tidak lagi lima belas tahun. Hanya wajahmu saja yang ter-
lihat lebih muda dari usia yang sebenarnya,” tebak Bayu.
“Dari mana kau tahu itu?” tanya Rintan terkejut.
“Kau mengaku putri pemilik kedai dan rumah
penginapan. Itu yang membuatku merasa penasaran,
karena mereka yang mengenal pemilik kedai itu tidak
mengatakan, bahwa dia mempunyai anak seorangpun.
Bahkan istri saja tidak punya. Aku menyelidiki siapa kau
sebenarnya. Kemudian aku bertemu seroang perempuan
yang mengaku bernama Nyai Tampik. Dari dialah kuketahui
siapa kau sebenarnya,” jelas Bayu.
“Di mana kau bertemu dengan guruku?” Rintan yang
ternyata adalah putri Ratu Kunti Boga segera mengakui
meskipun tidak menyatakannya secara langsung.
“Di perbatasan sebelah utara. Dia menunggumu dan
ingin mengajakmu pulang. Katanya, kau belum sempurna
mempelajari ilmu-ilmu yang diturunkannya.”
Rintan langsung diam.
“Rintan….. kenapa kau memasuki Kerajaan Gantar
Angin? Dan lagi mengapa kau diam saja di saat saudaramu
sedang berjuang mengembalikan tahta yang sesungguh-
nya,” tanya Bayu ingin tahu.
“Aku hanya ingin melihat keadaan tanah kelahiranku.
Dan aku cukup senang karena adikku ternyata mampu
menguasai kembali tahta kerajaan. Dalam hatiku, tidak
ada minat sama sekali terhadap kedudukan dan kejayaan.
Terus terang, aku sudah bertekad untuk mengubur siapa
diriku sebenarnya. Di samping itu, aku tahu kalau kau
seorang pendekar yang dapat diandalkan untuk membantu
adikku. Maaf, kalau tanpa sepengetahuanmu aku terus
menggiringmu masuk ke dalam kemelut itu,” Rintan
mengakui terus terang.
Bayu jadi bengong. Sama sekali tidak disadarinya kalau
gadis yang kelihatan masih terlalu muda itu ternyata
memiliki otak yang cerdas. Dia sampai-sampai tidak
menyadari kalau sesungguhnya sengaja digiring untuk ter-
libat. Satu perbuatan yang terencana rapi, hingga tidak ter-
bongkar sedikitpun.
“Rintan, tunggu….!” Bayu tersentak dari rasa ter-
kesimanya.
Tapi terlambat, Rintan sudah melesat cepat meninggal-
kan bukit itu. gerakannya sangat ringan, cepat luar biasa.
Pertanda kalau gadis itu sudah menguasai ilmu meringan-
kan tubuh dengan baik sekali. Bayu menarik napas
panjang. Kepalanya menggeleng-geleng begitu memahami
semua yang telah terjadi dan dialaminya selama ini. namun
bibirnya tersenyum juga.
“Aku boleh bangga dengan kedigdayaanku. Tapi, ter
nyata ada orang lain yang lebih digdaya dengan otak dan
pikirannya. Aku mengaku kalah padamu Rintan…” gumam
Bayu tulus.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar