..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 12 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PENDEKAR KEMBAR

matjenuh

 

PENDEKAR KEMBAR

Oleh Teguh Suprianto

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Gambar sampul oleh Tony G.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku Ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Teguh Supnanto

Serial Pendekar Pulau Neraka

dalam episode:

Pendekar Kembar

128 hal. ; 12 x 18 cm


1

Pagi itu langit kelihatan cerah. Matahari bersinar

penuh, tanpa sedikit pun awan yang menghalangi.

Burung-burung berkicau riang sambil berlompatan

dari dahan ke dahan. Sementara anak-anak pun

tampak ceria bermain air di sungai yang mengalir

jernih, membawa berkah kehidupan dan

kemakmuran. Gadis-gadis desa juga bergembira

merendam tubuhnya sambil mencuci. Di sepanjang

sungai Desa Galuhung tak seorang pun yang

berwajah murung.

Tidak jauh dari sungai itu, tampak seorang

pemuda gagah dan berbaju kulit harimau tengah

berdiri tegak sambil memandang ke arah sungai.

Tatapan matanya terus tertuju pada seorang gadis

yang tengah bercanda ria bersama gadis-gadis lain.

Kain basah yang membelit tubuhnya, hampir melorot

turun, sehingga menampakkan kulit dadanya yang

putih halus. Dua gundukan di dadanya menyembul

hampir ke luar. Tak lama kemudian, gadis itu pun

membetulkan kainnya, dan mengangkat keranjang

cuciannya.

"Aku duluan, ya...!" seru gadis itu dengan nada

ceria.

Sedang gadis-gadis lainnya menyahuti dengan

mengangkat tangannya. Ada beberapa orang yang

menggodanya, membuat wajah gadis itu sedikit

bersemu merah. Dia kemudian melangkah keluar dari

dalam sungai. Tampak seorang anak kecil segera


membantunya dengan mengambil keranjang yang

sedang dibawa gadis itu. Dan sambil berlari lari kecil,

bocah itu memanggul keranjang meninggalkan

sungai. Gadis itu hanya tersenyum dan melangkah

pelan-pelan di jalan setapak, meninggalkan sungai

itu Sementara canda tawa ceria masih terdengar,

membuat pagi yang indah itu jadi semakin semarak.

Dengan langkah pelan dan ceria, gadis itu terus

berjalan semakin jauh meninggalkan sungai.

Sementara anak kecil yang membawa keranjangnya

sudah cukup jauh meninggalkannya. Sejenak

tangannya yang halus lentik, memetik bunga-bunga

yang tumbuh di sepanjang jalan setapak itu. Dari

bibirnya terdengar suara menggumam menyanyikan

lagu yang iramanya terdengar merdu. Dan saat dia

mencapai tikungan jalan, langkahnya mendadak

terhenti. Tampak seorang pemuda tampan dan gagah

sudah berdiri di tengah-tengah jalan

menghadangnya.

"Maaf," gadis itu menganggukkan kepalanya

seraya berjalan menyamping melanjutkan

langkahnya.

Namun pemuda itu segera menyambar tangannya

dan mencekalnya dengan kuat. Gadis itu pun

langsung tersentak kaget.

"Heh! Apa-apaan ini?!" sentak gadis itu

memberengut

"Kau cantik, aku suka padamu," kata pemuda itu

sambil tersenyum menyeringai.


"Lepaskan!" gadis itu menyentakkan tangannya,

tapi cekalan pemuda itu lebih kuat.

"Kau bertambah cantik kalau marah begitu,

Manis”

Melihat keadaan demikian, naluri gadis itu segera

mengatakan kalau dirinya sedang menghadapi

bahaya. Maka dengan sekuat tenaga, dia kembali

menyentakkan cekalan pemuda itu. Begitu terlepas,

dia langsung lari. Namun baru saja dia berlari

beberapa depa, tahu-tahu pemuda itu sudah berdiri

menghadangnya. gadis itu buru-buru berbalik dan

kembali berlari. Tapi pemuda itu kembali

menghadangnya. Kini pucat pasi-lah wajah gadis itu.

Napasnya mulai memburu. Rasa takut pun langsung

menghinggapi dirinya.

"Kau tidak akan bisa lepas dariku, Manis...,"

lembut suara pemuda berbaju kulit harimau itu.

Namun di balik kelembutannya, mengandung nada

ancaman.

Tiba-tiba saja pemuda itu melompat, dam

langsung menerkam gadis itu. Jeritan tertahan segera

terdengar. Dan tanpa dapat ditahan lagi, mereka

jatuh bergulingan di atas rerumputan kering. Gadis

itu memberontak sambil menjerit-jerit, berusaha

melepaskan diri dari dekapan pemuda itu. Namun

dengan ganas dan liar, pemuda itu merenggut kain

basah yang melilit tubuh gadis itu.

"Akh...!" gadis itu menjerit kaget

Tangannya jadi sibuk menutupi bagian-bagian

tubuhnya yanq terbuka. Dalam keadaan demikian,

mata pemuda itu semakin liar merayapi tubuh indah


di dalam dekapannya. Namun dia agak kewalahan

juga, karena gadis itu terus memberontak sambil

menjerit jerit

"Lepaskan! Au...! Tolooong...!" jerit gadis itu

melengking.

"Diam!" bentak pemuda itu kasar

Plak!

"Ah...!"

Satu tamparan keras membuat gadis itu kembali

menjerit. Pipinya jadi merah bergambar lima jari

tangan. Air mata mulai menitik dari sudut matanya

yang indah. Perlawanan gadis itu langsung berhenti.

Dia merintih, memohon belas kasihan. Namun

pemuda itu tidak mempedulikan lagi. Dan pada saat

dia hampir terlaksana maksudnya, mendadak

terdengar sebuah bentakan keras yang mengejutkan.

"Hey...!"

Pemuda itu langsung tersentak dan menoleh.

Tampak seorang laki-laki muda bertubuh tegap

tengah berlari menghampiri. Dan di saat pemuda itu

lengah, gadis itu segera memanfaatkannya untuk

memberontak. Kemudian dia langsung berdiri dan

berlari sambil membetulkan kainnya.

"Setan!" dengus pemuda berbaju kulit harimau

itu.

'Tolong aku, Kang. Dia mau memperkosaku...!"

rintih gadis itu seraya berlindung di balik tubuh

pemuda yang baru datang.



"Phuih!" pemuda itu menyemburkan ludahnya

Matanya tajam menatap pada laki-laki tampan dan

gagah, berbaju kulit harimau di depannya.

Dua laki-laki muda dan tampan itu saling

bertatapan dengan tajam. Sementara si gadis

beringsut mundur menjauh. Tangannya tetap

memegangi kain di depan dada. Keadaannya kini

sudah benar-benar tidak karuan. Tampak kainnya

sudah sobek-sobek di beberapa bagian. Rambutnya

juga kusut tidak teratur. Namun dia tidak peduli lagi

dengan keadaan dirinya. Matanya menatap penuh

kekhawatiran pada pemuda yang baru datang

menolongnya.

***

"Siapa kau, orang asing?" tanya pemuda itu ketus.

"Aku, Pendekar Pulau Neraka!" sahut laki-laki

tampan berbaju kulit harimau. Suaranya dingin

menggetarkan.

Pemuda itu tampak terkejut mendengar nama

Pendekar Pulau Neraka disebut. Matanya merayapi

dengan tajam pada laki-laki muda tampan di

depannya. Dia memang pernah mendengar nama

Pendekar Pulau Neraka, seorang pendekar digdaya

yang sukar untuk dicari tandingannya. Pemuda itu

kemudian melangkah mundur dua tindak. Ada

sedikit rasa gentar yang tiba tiba menghinggapi.

"Murti, cepat lari. Selamatkan dirimu!" kata

pemuda itu sambil menoleh pada gadis yang masih

berdiri memandanginya.


"Kakang...," gadis itu terasa berat untuk pergi.

"Cepat pergi!" bentak pemuda Itu.

Dan masih dengan hati ragu-ragu, gadis itu pun

berbalik dan langsung berlari cepat. Namun baru saja

dia berlari, laki-laki berbaju kulit harimau yang

mengaku Pendekar Pulau Neraka itu, langsung

melompat mengejar. Pemuda gagah dengan dada

telanjang, segera melompat memapaknya.

"Hiya...!"

Teriak pemuda itu seraya melancarkan dua kali

pukulan yang beruntun, namun dengan manis sekali

laki-laki berbaju kulit harimau bisa mengelakkannya.

Dan tanpa diduga sama sekali, kakinya mendadak

bergerak cepat menyepak. Tentu saja pemuda itu

terperangah, buru-buru dia berkelit, namun sepakan

kaki laki-laki berbaju kulit harimau berhasil

bersarang di pundaknya.

"Akh!" pemuda itu langsung memekik tertahan.

Tubuhnya terjungkal ke tanah.

"Kakang Saka...!" jerit Murti terkejut melihat

pemuda yang menolongnya bergulingan di tanah.

"Cepat pergi, Murti!" bentak pemuda bernama

Saka itu. Dia segera melompat bangkit. Bibirnya

tampak menyeringai merasakan sakit pada

pundaknya.

Namun Murti malah berlari menghampiri Saka

Dipta. Dan hal itu segera dimanfaatkan oleh laki laki

yang mengaku bernama Pendekar Pulau Neraka.

Kemudian dengan cepat dia melompat, dan

menerkam gadis itu.


"Akh!"

"Murti...!"

Laki-laki yang mengaku bernama Pendekar Pulau

Neraka berhasil meringkus Murti dengan kuat.

Sedang gadis itu langsung menjerit sambil meronta

berusaha melepaskan diri. Melihat itu Saka Dipta jadi

geram. lalu tanpa menghiraukan lagi siapa orang

yang sedang dihadapi itu, dia segera melompat sambil

mengirimkan dua kali pukulan beruntun.

Pendekar Pulau Neraka berhasil mengelakkan

serangan Saka Dipta, namun dia jadi geram, karena

Murti menggigit tangannya. Sambil menahan marah,

dia segera mendorong dengan keras tubuh gadis itu,

hingga terjungkal ke tanah. Seketika Murti memekik

kesakitan. Buru-buru Saka Dipta melompat

menghampiri gadis itu, dan membantunya bangun.

"Cepat pergi! Minta bantuan pada orang-orang

desa!" kata Saka Dipta sedikit membentak.

"Kakang...."

"Jangan hiraukan aku, cepat pergi!" bentak Saka

Dipta.

Murti segera beringsut mundur menjauh, dan

langsung berlari cepat ke desanya. Tentu saja laki-

laki tampan berbaju kulit harimau, menggeram

melihat gadis itu berlari semakin jauh. Maka dengan

nyalang matanya menatap Saka Dipta, yang sudah

kembali bersiap-siap menghadapi laki-laki yang

berpakaian mirip dengan Pendekar Pulau Neraka.

Saka Dipta yang sudah banyak mendengar

tentang sepak terjang Pendekar Pulau Neraka dari

gurunya, kini semakin berhati-hati. Dia sadar kalau


tidak mungkin bisa menandingi pendekar itu. Dan

Saka Dipta semakin yakin, kalau laki-laki di

depannya itu adalah benar-benar Pendekar Pulau

Neraka yang sering didengar ceritanya, dan selalu

menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum

rimba persilatan, karena tindakannya yang tegas dan

kejam pada setiap lawannya.

***

Sementara itu Murti terus berlari dengan sekuat

tenaga. Dia terus berteriak-teriak minta tolong.

Tampak beberapa orang yang tengah bekerja di

ladang, terkejut mendengar teriakan itu. Bahkan para

penduduk Desa Galuhung sampai berlarian

menghampiri gadis itu. Murti kemudian berhenti

terengah-engah dengan keringat membanjiri seluruh

tubuhnya. Sebentar saja di sekelilingnya sudah

berkumpul orang-orang desa, laki-laki, perempuan,

tua dan muda. Mereka semuanya membawa senjata

bermacam-macam.

"Murti, ada apa?" tanya seorang laki-laki tua

berjubah putih.

"Ki Sandak..., tolong, Ki. Kakang Saka sedang

bertarung dengan Pendekar Pulau Neraka," sahut

Murti masih tersengal.

"Pendekar Pulau Neraka...?! Di mana?" laki-laki

tua berjubah putih yang bernama Ki Sandak itu

terkejut.


"Di sana, Ki. Di jalan setapak yang menuju

sungai," sahut Murti sambil menunjuk ke arah

sungai.

Ki Sandak tidak bertanya lagi, dengan cepat dia

melompat dan berlari bagai angin. Para penduduk

desa segera mengikuti. Sedang Murti masih berdiri

bengong, tampak seorang perempuan tua berjalan

menghampiri. Dan Murti langsung memeluk

perempuan tua itu, yang di belakangnya berdiri

seorang laki-laki berusia lanjut.

"Ibu..," Murti langsung menangis di pelukannya.

"Sudahlah, Murti. Kau tidak apa-apa, kan?"

lembut suara wanita tua itu. Murti hanya

menggeleng.

"Sebaiknya kalian segera pulang, aku akan

menyusul yang lain," kata laki-laki lanjut usia yang

sejak tadi diam saja.

Perempuan tua itu pun membimbing anaknya

pulang sedangkan laki-laki berbaju putih bersih itu

segera melangkah menyusul yang lainnya. Benaknya

terus berputar dengan segudang tanda tanya. Dia

sering mendengar sepak terjang Pendekar Pulau

Neraka, tapi rasanya tidak mungkin, kalau pendekar

itu sampai berbuat tidak senonoh, dan

mementingkan nafsu setannya.

Pendekar Pulau Neraka memang sudah terkenal

dengan kekejamannya. Tapi perbuatannya yang tidak

mengenal belas kasihan itu hanya pada lawan-

lawannya. Baru kali ini laki-laki tua itu mendengar

perbuatan Pendekar Pulau Neraka di luar kontrol.

Dan itu terjadi pada anak gadisnya. Namun dia


masih bersyukur, karena Murti belum sempat

ternodai.

***

Sementara itu di jalan setapak menuju sungai,

Saka Dipta tengah bertarung melawan Pendekar

Pulau Neraka. Pertarungan mereka berjalan tidak

seimbang, dan Saka Dipta terus menjadi bulan-

bulanan Pendekar Pulau Neraka. Sudah beberapa

kali pukulan dan tendangan keras mendarat di tubuh

pemuda itu, namun Saka Dipta pantang menyerah.

Dia tetap melakukan perlawanan sengit.

Perlawanan Saka Dipta yang alot tentu saja

membuat Pendekar Pulau Neraka itu jadi sengit. Dia

pun meningkatkan serangannya lebih hebat lagi.

Hingga satu saat, pukulan mautnya berhasil

mendarat di dada Saka Dipta.

"Akh!" seketika Saka Dipta memekik tertahan.

Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terlontar

keras menghantam pohon. Pemuda itu menggelosor

ambruk ke tanah. Buru-buru dia berusaha untuk

bangkit kembali, namun dadanya mendadak terasa

sesak dan panas bagai terbakar. Dia memuntahkan

darah kental kehitaman. Sedangkan Pendekar Pulau

Neraka segera menghampiri dengan tatapan mata

tajam dan bengis.

"Kau telah berani mencampuri urusanku, itu

berarti bahwa kau harus mati di tangan Pendekar

Pulau Neraka!" dingin suara Pendekar Pulau Neraka.


"Phuih! Kau pikir aku takut mati, manusia iblis!"

dengus Saka Dipta geram.

Pendekar Pulau Neraka melangkah semakin dekat,

dan tangannya sudah terkepal erat. Saka Dipta

tampak pasrah, namun matanya bersorot tajam

penuh kebencian. Tiba-tiba dengan satu teriakan

melengking tinggi, Pendekar Pulau Neraka melompat

deras, dan menghajar kepala Saka Dipta dengan satu

pukulan keras bertenaga dalam sempurna.

Prak!

"Aaa...!" seketika Saka Dipta menjerit melengking

tinggi.

Sebentar tubuhnya menggelepar, lalu diam

dengan kepala retak. Pendekar Pulau Neraka masih

memandangi mayat lawannya. Bibirnya segera

menyunggingkan senyum sinis dan dingin. Tapi

mendadak kepalanya terangkat ke atas. Dia

mendengar suara langkah-langkah kaki menghampiri.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berbaju

kulit harimau itu melesat cepat dan tangannya

sempat melontarkan sebuah benda berwarna

keperakan. Benda itu pun langsung tertanam di dada

Saka Dipta yang sudah mati!

Tidak lama setelah pemuda itu pergi, tampak Ki

Sandak berlari-lari diikuti oleh beberapa orang di

belakangnya. Mereka semua memegang senjata

bermacam-macam. Malah ada di antaranya yang

memegang cangkul. Mereka memang rata-rata

penduduk desa yang sehari-harinya bertani.


"Saka Dipta...!" seru Ki Sandak tersentak kaget

begitu melihat Saka Dipta menggeletak dengan kepala

pecah.

Mereka yang berlari mengikuti Ki Sandak,

langsung berhenti begitu melihat laki-laki tua itu

menubruk dan memeluk Saka Dipta. Sebagian ada

yang meringis ngeri melihat mayat pemuda itu. Ki

Sandak kemudian mencabut benda berbentuk

bintang dan berwarna perak, dari dada Saka Dipta

yang berwarna hitam membiru bagai terbakar.

Tiga orang pemuda bertubuh tegap dengan

pedang tergantung di pinggang, segera mendekat di

saat Ki Sandak beranjak bangkit. Ketiga pemuda itu

segera mengangkat tubuh Saka Dipta, dan

membawanya meninggalkan tempat itu. Sedang Ki

Sandak mengikutinya dengan kepala tertunduk.

Sesekali dia melihat benda berbentuk bintang

keperakan di dalam genggaman tangannya. Para

penduduk juga mengikuti dari belakang. Tidak ada

seorang pun yang bicara.

"Pendekar Pulau Neraka...," desis Ki Sandak

selalu mengamati benda di tangannya.

“Kakang,” panggil seorang laki-laki berusia lanjut

dan berbaju putih sambil menghampiri.

“Adi Lebong, bagaimana keadaan putrimu?" Tanya

Ki Sandak.

Laki-laki berusia lanjut dan ternyata ayah Murti,

tak segera menjawab. Dia malah memandang mayat

Saka Dipta yang tengah digotong oleh tiga orang

pemuda bertubuh tegap. Matanya lalu beralih ke


tangan Ki Sandak. Dan dia segera mengambil benda

berbentuk bintang keperakan itu.

"Apakah benda ini tadi ada di tubuh Saka Dipta?"

tanya Ki Lebong tanpa menjawab pertanyaan Ki

Sandak lebih dulu.

"Ya," sahut Ki Sandak pelan.

"Pendekar Pulau Neraka selalu meninggalkan

senjata bintang sebagai tanda kemunculannya,"

gumam Ki Lebong pelan.

Ki Sandak tidak menyahuti. Dia diam saja dengan

kepala tertunduk. Sedang Ki Lebong juga tidak lagi

membuka mulutnya. Mereka terus berjalan pelan-

pelan mengikuti yang lain. Ki Lebong bisa merasakan,

betapa pedihnya perasaan yang diderita oleh kakak

kandungnya saat ini. Memang berat kehilangan

seorang murid utama kesayangan. Apalagi

kematiannya karena dibunuh oleh seorang pendekar

yang sudah ternama, dan selalu menggemparkan

pada setiap kali kemunculannya.

Kini pagi yang semula ceria, dan penuh dengan

canda tawa riang, berubah jadi mendung berseling

duka. Kematian seorang murid utama Padepokan

Galuhung membuat semua orang bersedih.

***

2

Peristiwa yang terjadi di Desa Galuhung itu, cepat

menyebar sampai ke desa-desa tetangganya. Bahkan

sampai ke desa yang jauh sekalipun. Nama Pendekar

Pulau Neraka kini semakin dikenal dan ditakuti.

Pendekar itu juga selalu muncul dengan tiba-tiba,

dan membuat keonaran di seluruh desa sekitar Kaki

Gunung Panjalukan. Beberapa padepokan sudah

mulai gelisah dan membicarakan sepak terjang

Pendekar Pulau Neraka, yang dianggap sudah

melewati batas-batas kemanusiaan.

Daiam waktu beberapa pekan saja, sudah tidak

terhitung lagi gadis-gadis yang menjadi korban

kepuasannya. Mereka yang berusaha menentang,

selalu tewas dengan mengerikan. Dan pada setiap

mayat yang tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka,

selalu tertancap senjata bintang keperakan. Seluruh

desa di sekitar Kaki Gunung Panjalukan diliputi

kegelisahan dan kecemasan. Bahkan kini gadis-gadis

tidak ada yang berani ke luar rumah sendirian.

Hari itu seluruh ketua padepokan di seluruh

wilayah tersebut berkumpul di Padepokan Galuhung.

Dan maksud dari mereka berkumpul sudah jelas,

mereka akan membicarakan tentang sepak terjang

Pendekar Pulau Neraka. Karena semakin hari

tindakan pendekar itu semakin brutal. Bukan saja

gadis-gadis yang menjadi sasarannya, bahkan harta

benda penduduk pun menjadi sasaran.


"Saudara-saudara sekalian, mungkin saudara-

saudara sudah mengetahui maksud dari undanganku

ini," Kata Ki Sandak membuka pertemuan ini

Semua yang hadir di ruangan besar Padepokan

Galuhung tersebut mengangguk-anggukkan

kepalanya. Mereka semua rata-rata sudah tua.

Dilihat dari pakaian dan sikap mereka, orang-orang

itu adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang selalu

menentang keangkaramurkaan.

"Aku sengaja mengumpulkan saudara-saudara di

sini, khusus untuk membicarakan tentang tindakan

Pendekar Pulau Neraka...," lanjut Ki Sandak dengan

suara penuh kewibawaan.

"Benar!" celetuk salah seorang yang duduk paling

depan. Orang itu mengenakan jubah panjang

berwarna hijau tua. Dia dikenal sebagai ketua

padepokan di Kaki Gunung Panjalukan sebelah Utara

Namanya Ki Jarak. "Tindakan Pendekar Pulau Neraka

memang tidak bisa didiamkan begitu saja. Kita

semua sudah tahu, bagaimana sepak terjangnya

sebelum sampai ke sini."

'Tunggu dulu!" celetuk salah seorang lagi. Tampak

seorang laki-laki setengah baya berusia sekitar empat

puluh tahun, segera berdiri. Wajahnya tampan, dan

tubuhnya tegap. Dia menyandang sebilah pedang di

punggung bergagang kuning keemasan. Pemuda itu

juga mengenakan baju ketat berwarna kuning emas.

Sebenarnya dia bukan utusan dari suatu padepokan,

tapi seorang pendekar kelana yang selalu memerangi

kezaliman.


Semua mata memandang pada Pendekar Pedang

Emas. Mereka semua tahu, siapa dia sebenarnya.

Seorang pendekar yang arif dan bijaksana.

Tindakannya selalu dipikirkan dulu masak-masak,

tidak main hantam kromo tanpa perhitungan.

Bahkan tidak jarang dia mengampuni lawannya yang

tidak berdaya.

"Aku sering mendengar sepak terjang Pendekar

Pulau Neraka. Meskipun aku belum pernah berjumpa

dengannya, tapi aku yakin kalau dia bukan seorang

pendekar beraliran sesat. Memang tindakannya bisa

dikatakan kejam, tapi tidak brutal. Terus terang, aku

masih belum yakin kalau pengacau itu adalah

Pendekar Pulau Neraka!" kata Pendekar Pedang Emas

lantang.

Sebentar saja suara bergumam terdengar

memenuhi ruangan besar itu. Kata-kata Pendekar

Pedan-Emas tidak pernah mereka duga sebelumnya.

Mereka semua yang ada di ruangan itu tadinya

sepakat, untuk menghadapi Pendekar Pulau Neraka

sampai titik darah penghabisan. Tapi ternyata masih

ada juga orang yang belum percaya akan hal itu.

"Saudaraku, Pendekar Pedang Emas. Aku juga

belum pernah bentrok dengan Pendekar Pulau

Neraka, tapi aku punya bukti kuat, kalau semua

kekacauan yang terjadi akibat ulahnya. Lihat ini !"

kata Ki Sandak sambil mengeluarkan bintang

keperakan dari balik lipatan jubahnya.

Kembali terdengar suara menggumam bagai lebah

diusik sarangnya. Mereka semua sudah mengenali

benda itu.


"Bukan hanya benda ini saja sebagai bukti, tapi

juga keterangan orang-orang yang selamat dari

cengkeraman mautnya. Mereka semua mengatakan,

bahwa orang itu Pendekar Pulau Neraka. Seorang

pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau.

Bukankah itu ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka?"

sambut Ki Sandak mantap.

“Saudara Pendekar Pedang Emas, kami semua

juga punya bukti kuat, kalau tindakan Pendekar

Pulau Neraka sudah melampaui batas kemanusiaan.

Sejak kemunculannya di Pesisir Pantai Selatan, dia

sudah meminta banyak korban!" celetuk seorang laki-

laki tua yang memegang sebatang tongkat berbentuk

ular.

Pendekar Pedang Emas kembali duduk. Dia tidak

bisa berkala apa-apa lagi. Semua bukti memang

menyatakan, kalau semua perbuatan dan kejadian

yang meresahkan itu, adalah perbuatan Pendekar

Pulau Neraka. Namun dalam hatinya masih belum

yakin benar, jauh-jauh dia datang memenuhi

undangan Ki Sandak, memang bukan untuk

langsung mendukung menghadapi Pendekar Pulau

Neraka, tapi mencoba untuk mengajak mereka semua

menimbang kembali. Tapi rupanya mereka sudah

begitu yakin akan keputusannya itu.

Semakin lama, pembicaraan tokoh-tokoh

persilatan itu semakin menghangat. Dan mereka

kemudian mengambil satu kesepakatan, untuk

menghadapi Pendekar Pulau Neraka bersama-sama.

Mereka yakin, dengan kekuatan yang bersatu penuh,

cita-cita mereka akan berhasil. Sementara Pendekar



Pedang Emas hanya diam dengan benak bekerja

keras.

Pada saat mereka sedang berunding, tiba-tiba

terdengar suara tawa terbahak-bahak. Suara tawa itu

bergema seolah-olah datang dari segala penjuru mata

angin. Tentu saja yang berada di ruangan itu

serempak bangkit, dan langsung berlompatan ke

luar. Suara tawa itu terus terdengar semakin

melengking tinggi.

***

Seorang laki-laki tua berbaju kumal dan penuh

tambalan, tampak duduk di sebuah dahan pohon

dekat pagar tembok, yang mengelilingi Padepokan

Galuhung. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat

berwarna hitam pekat. Laki-laki tua itu tertawa

terbahak-bahak, seperti sedang menonton suatu

pertunjukan badut. Hal itu membuat tokoh-tokoh

persilatan yang sedang berkumpul di padepokan itu

jadi geram.

"Pengemis Tongkat Hitam, silakan turun. Maaf

aku telah lupa untuk mengundangmu," kata Ki

Sandak yang mengenali siapa laki-laki tua itu.

"He he he...," laki-laki tua yang ternyata Pengemis

tongkat hitam itu kembali terkekeh lalu dengan

gerakan ringan, dia meluruk turun dari dahan pohon

itu.

“Selamat datang di padepokanku yang buruk ini,

Pengemis Tongkat Hitam," sambut Ki Sandak ramah.


“He…he…he...," untuk kesekian kalinya Pengemis

Tongkat Hitam terkekeh. Matanya tampak merayapi

orang-orang yang berdiri di belakang Ki Sandak.

"Rupanya kalian semua sedang berkumpul di sini.

Apa ada pesta?"

"Kami berkumpul bukan sedang berpesta,

Pengemis Tongkat Hitam," celetuk salah seorang

berbaju biru tua, senjatanya yang berupa rantai baja

membelit pinggangnya.

"Lalu?"

"Kami sedang membicarakan tentang Pendekar

Pulau Neraka."

"O...!" Pengemis Tongkat Hitam agak terkejut

mendengarnya. Dia kemudian menatap tajam pada Ki

Sandak, seolah meminta penjelasan.

"Beberapa pekan belakangan ini, kami semua

disibukkan dengan perbuatan Pendekar Pulau

Neraka yang brutal dan kejam. Sudah tidak terhitung

lagi nyawa yang melayang, dan gadis-gadis pun jadi

korban nafsu kebinatangannya," Ki Sandak

menjelaskan dengan singkat.

"Pendekar Pulau Neraka memang selalu bertindak

tegas, bahkan cenderung kejam. Tapi aku tidak

yakin, kalau dia yang telah melakukan perbuatan

itu," kata Pengemis Tongkat Hitam seperti bergumam.

Serempak semua yang hadir di situ saling

berpandangan.

"Aku pernah bersama-sama dengannya

menumpas perbuatan Pendeta Pasanta di Desa

Gampil. Aku sudah kenal betul, siapa Pendekar Pulau



Neraka. Kalau tidak ada dia, mungkin aku pun tidak

akan bisa sampai ke sini. Dia memang kejam dan

sadis segala tindakannya, namun semua itu

dilakukan hanya pada lawan-lawannya saja. Ah...,

mungkin kalian salah menduga," sambung Pengemis

Tongkat Hitam.

"Kau kenal benda Ini, Pengemis Tongkat Hitam?"

Ki Sandak mengeluarkan benda berbentuk bintang

berwarna keperakan, dari lipatan jubahnya.

"Dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya

Pengemis Tongkat Hitam.

"Dari mayat muridku. Dia kalah bertarung

melawan Pendekar Pulau Neraka yang hampir

memperkosa Murti, seorang gadis anak adik

kandungku," sahut Ki Sandak.

"Kau yakin kalau muridmu benar-benar bertarung

dengan Pendekar Pulau Neraka?"

"Murti telah menyebutkan ciri-cirinya, dan sama

persis dengan Pendekar Pulau Neraka. Seorang laki-

laki muda yang memakai baju dari kulit harimau.

Kalau kau pernah bersamanya, tentu mengenali ciri-

ciri Itu, Pengemis Tongkat Hitam," agak sengit nada

suara Ki Sandak

Pengemis Tongkat Hitam langsung diam. Ciri-ciri

yang telah disebutkan Ki Sandak itu memang benar,

apalagi ditambah senjata bintang keperakan, yang

merupakan tanda dari kemunculan Pendekar Pulau

Neraka Tapi dalam hatinya masih belum percaya

begitu saja. Beberapa hari yang lalu dia bersama

Pendekar Pulau Neraka di Desa Gampil, dan dia tahu

betul siapa Pendekar Pulau Neraka!


"Pendekar Pedang Emas, apakah kau juga ingin

membunuh Pendekar Pulau Neraka?" tanya Pengemis

Tongkat Hitam, seraya menatap Pendekar Pedang

Emas. Dia tahu kalau pendekar itu memiliki hati

yang arif dan bijaksana.

"Aku belum bisa memutuskan, Pengemis Tongkat

Hitam," sahut Pendekar Pedang Emas.

"Kalau begitu, kita harus segera pergi dari sini!"

Tentu saja semua orang terkejut mendengar kata-

kata tegas dari Pengemis Tongkat Hitam. Tak

terkecuali Pendekar Pedang Emas, dia juga langsung

menatap tidak berkedip. Dia memang masih belum

yakin, kalau Pendekar Pulau Neraka melakukan

perbuatan brutal tanpa alasan, tapi tidak sedikit pun

terbetik di hatinya, untuk langsung menentang

keputusan mereka.

"Dengar baik-baik, kalian akan menyesal telah

bertindak ceroboh, menuruti rasa amarah yang tidak

beralasan!" kata Pengemis Tongkat Hitam. "Ayo,

Pendekar Pedang Emas. Kita buktikan bahwa bukan

Pendekar Pulau Neraka yang telah berbuat itu!"

Pendekar Pedang Emas jadi bimbang hatinya. Dia

masih berdiri diam dengan bingung. Sementara

Pengemis Tongkat Hitam sudah melesat pergi,

melompati pagar tembok yang tinggi dan tebal itu.

Kata-kata Pengemis Tongkat Hitam barusan

membuat semua orang yang ada di Padepokan

Galuhung jadi terdiam dengan pikiran masing-

masing.

"Ki Sandak, maaf. Bukannya aku tidak

mendukung keputusan itu. Tapi kupikir kata-kata


Pengemis Tongkat Hitam harus dipertimbangkan.

Dan aku akan bersama kalian semua, jika memang

terbukti bahwa Pendekar Pulau Neraka-lah yang

melakukan perbuatan keji itu," kata Pendekar Pedang

Emas.

Setelah berkata demikian, Pendekar Pedang Emas

segera menjura memberi hormat, lalu dengan satu

Iesatan saja, tubuhnya sudah lenyap di balik tembok

yang mengelilingi padepokan itu. Suasana kini jadi

hening, masing-masing jadi sibuk dengan pikirannya

***

Kegagalan dalam menghimpun tokoh-tokoh

golongan putih untuk menghadapi Pendekar Pulau

Neraka, membuat Ki Sandak kelihatan putus asa.

Mereka tidak semua mengikuti jejak Pengemis

Tongkat Hitam dan Pendekar Pedang Emas. Tapi

keadaan itu malah membuat Ki Sandak jadi gundah.

Sejak siang tadi hingga malam ini, Ki Sandak duduk

saja merenung di dalam kamar pribadinya. Tidak

seorang pun diijinkan masuk.

Slap!

Tiba-tiba seberkas cahaya keperakan menyusup

masuk melalui jendela kamar pribadi Ki Sandak.

Buru-buru laki-laki tua itu melompat sedikit, dan

cahaya keperakan itu lewat di samping kepalanya.

"Bintang perak...!" desis Ki Sandak tersentak.

Laki-laki tua berjubah putih itu segera melompat

keluar melalui jendela. Pada saat itu, mendadak

sebuah bayangan melesat turun dari atas dahan

pohon. Ki Sandak terperangah, begitu di depannya


berdiri seorang pemuda tampan dan gagah,

mengenakan baju dari kulit harimau.

"Pendekar Pulau Neraka...," desis Ki sandak di

sela rasa terkejutnya.

"Kau terkejut, Ki Sandak?" sinis suara laki-laki

muda itu. Matanya tajam dan bengis menatap tajam

pada Ki Sandak.

"Mau apa kau datang ke sini?" bentak Ki Sandak.

"Mau apa...? Ha ha ha...!" pemuda tampan yang

dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka itu tertawa

terbahak-bahak.

Ki Sandak melangkah mundur dua tindak. Tiba-

tiba saja dia bersiul nyaring melengking. Dan belum

lagi siulannya berhenti, dari segala arah sudah

bermunculan orang-orang bersenjata macam-macam.

Tampak Pendekar Pulau Neraka memandanginya

dengan bibir menyunggingkan senyum sinis.

Sikapnya jelas memandang remeh pada murid-murid

Padepokan Galuhung itu. Dia juga tidak memandang

dengan sebelah mata pun pada Ki Sandak yang

sangat dihormati di Desa Galuhung.

"Ayah...."

Seorang gadis tiba tiba muncul dari dalam rumah

yang paling besar, di antara rumah-rumah lainnya di

sekitar padepokan itu. Pendenar Pulau Neraka

langsung memandang pada gadis yang baru muncul,

dengan mata liar penuh nafsu. Sejenak gadis itu

menatap pada Pendekar Pulau Neraka. Seketika

tubuhnya bergidik saat pandangannya bertemu

dengan mata pendekar itu.


"Ranti, kenapa kau ke sini? Masuk sana!" Ki

Sandak mencemaskan putrinya. Dia sempat melihat

pandangan Pendekar Pulau Neraka.

"Siapa dia, Ayah?" tanya Ranti tidak menghirau

kan perintah ayahnya.

"Dia manusia iblis," sahut Ki Sandak sengit.

"Iblis yang tampan, bukan?" celetuk Pendekar

Pulau Neraka seraya melemparkan senyum pada

Ranti

Gadis itu langsung membuang mukanya ke arah

lain. Hatinya memang mengakui kalau pemuda itu

sangat tampan dan gagah. Tapi begitu melihat

bajunya, tahulah dia kalau pemuda itu adalah

Pendekar Pulau Neraka, yang telah membuat onar di

seluruh Kaki Gunung Panjalukan.

"Manusia iblis! Cepat tinggalkan rumahku,

sebelum kau mendapat celaka di sini'" bentak Ki

Sandak keras.

"Kl Sandak, bukankah kau ingin bertemu

denganku. Aku tahu, kalau kau telah

mengumpulkan ketua-ketua padepokan di Kaki

Gunung Panjalukan. Bahkan tokoh-tokoh rimba

persilatan juga kau undang. Aku tahu maksud

undanganmu itu, Kl Sandak. Justru kedatanganku

ingin mempercepat kematianmu," pelan dan lembut

kata-kata Pendekar Pulau Neraka, namun suaranya

bernada kejam penuh ancaman

"Bunuh dia...!" seru Ki Sandak keras. Seketika

semua murd-murid Padepokan Galuhung yang

berjumlah tiga puluh orang itu, berlompatan

menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pemuda itu pun


bergerak lincah menghindari setiap serangan yang

datang, bahkan setiap kali tangannya berkelebat,

satu dua orang langsung terjungkal roboh dan tidak

bangun lagi

Ki Sandak tentu saja terkejut melihat sepuluh

orang muridnya tewas dalam waktu singkat.

Gerakan-gerakan Pendekar Pulau Neraka begitu

cepat, sukar diikuti oleh pandangan mata biasa. Dan

setiap kali pukulan atau tendangannya terlontar,

berarti nyawa melayang. Ki Sandak kemudian

memeriksa salah seorang muridnya yang tewas.

Seketika dia tersentak karena pada dada muridnya

itu tergambar telapak tangan hitam.

"'Pukulan Tapak Beracun'...," desis Ki Sandak.

Laki-laki tua berjubah putih itu sudah tahu, kalau

jurus 'Pukulan Tapak Beracun' sangat dahsyat, dan

sulit dicari tandingannya. Kebesaran nama Pendekar

Pulau Neraka memang dari jurus 'Pukulan Tapak

Beracunnya, di samping senjatanya yang berbentuk

cakra bersegi enam keperakan. Keterkejutan Ki

Sandak semakin bertambah, dengan tewasnya ketiga

puluh orang muridnya, dalam waktu tidak berapa

lama.

"Setan! Kau benar benar binatang, Pendekar

Pulau Neraka!" geram Ki Sandak.

"Majulah, Ki Sandak. Aku ingin memberi

peringatan pada yang lainnya," kata Pendekar Pulau

Neraka dingin.

"Mampus kau, iblis keparat! Hiyaaa...!" Ki Sandak

tidak bisa lagi meredam amarahnya.



Sambil berteriak keras melengking, Ki Sandak

melompat seraya mengirimkan pukulan mautnya.

Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya

sedikit, Pendekar Pulau Neraka berhasil mengelakkan

serangan Ketua Padepokan Galuhung itu. Bahkan

tanpa diduga sama sekali, tangan kanannya

melayang cepat ke arah dada Ki Sandak.

Buk!

"Hughk!" Ki Sandak langsung mengeluh pondok.

Tubuhnya dengan cepat terjajar ke belakang

"Ayah...!" jerit Dewi Ranti.

Dengan penuh emosi gadis cantik itu pun melompat

menerjang pada Pendekar Pulau Neraka.

Serangannya sangat dahsyat, dan bertenaga dalam

cukup tinggi. Sedang Pendekar Pulau Neraka hanya

berkelit ke kiri dan ke kanan menghindari setiap

serangan gadis itu. Dewi Ranti jadi geram, karena

serangannya selalu luput membawa hasil.

"Kau terlalu cantik untuk mati, Gadis Ayu," kata

Pendekar Pulau Neraka seraya berkelit menghindari

pukulan Dewi Ranti.

Pada saat itu, tangan kiri Pendekar Pulau Neraka

segera meluncur ke arah dada. Seketika Dewi Ranti

memekik tertahan, buru-buru dia melompat mundur!

Namun jari tangan Pendekar Pulau Neiaka sempat

menyentuh dadanya. Merah padamlah wajah gadis

itu.

"Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak Dewi Ranti

menahan malu dan marah luar biasa.

"Ah, kau semakin cantik bila marah begitu, Gadis

Ayu," goda Pendekar Pulau Neraka.


Sementara Ki Sandak yang sudah bisa bangkit

kembali, langsung melompat menerjang ke arah

pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Dewi

Ranti tidak mau ketinggalan. Rasa benci dan marah

yang meluap di dalam dada membuatnya tidak peduli

lagi, kalau lawannya berada jauh di atas tingkat

kepandaiannya.

Namun Pendekar Pulau Neraka tetap tangguh

meskipun dikeroyok dua orang berkepandaian cukup

tinggi. Serangan-serangan Ki Sandak dan Dewi Ranti

dengan mudah dapat dipatahkan. Bahkan beberapa

kali pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat di

tubuh Ki Sandak. Tampaknya Pendekar Pulau Neraka

tidak mau menjatuhkan tangan pada Dewi Ranti.

"Rasanya sudah cukup aku memberi pelajaran

pada kalian," kata Pendekar Pulau Neraka, tetap

lembut suaranya.

Setelah berkata begitu, dengan cepat dia

menggerakkan tangannya di depan dada, lalu

bagaikan seekor elang menyambar mangsa, pemuda

berbaju kulit harimau itu melompat dan meluruk

deras ke arah Ki Sandak.

"Ikh!" Ki Sandak terperangah.

Buru-buru dia memutar tubuhnya sambil menarik

kakinya ke belakang Namun serangan Pendekar

Pulau Neraka begitu cepat. Tiga kali pukulan maut

pendekar itu mendarat di dada Ki Sandak. Seketika

laki-laki tua itu memekik keras, dan tubuhnya

terjungkal ke tanah! Tampak pada bagian dadanya

melesak dalam, hangus bagai terbakar.

"Ayah...!" jerit Dewi Ranti pilu.


Gadis itu langsung melompat menghampiri

ayahnya, namun lompatannya terhalangi Pendekar

Pulau Neraka dengan cepat menendang tubuh gadis

itu hingga terpental beberapa tombak. Dan belum lagi

Dewi Ranti bisa bangkit, tahu-tahu tubuh Pendekar

Puhku Neraka sudah berada di atasnya. Cepat sekali

jari-jari tangan pemuda berbaju kulit harimau itu

bergerak di beberapa bagian tubuh Dewi Ranti.

Sehingga gadis itu lemas tak berdaya. Tubuhnya kini

sulit untuk digerakkan lagi.

“He…he…he,,,,” Pendekar Pulau Neaka terkekeh.

Pemuda berbaju kulit harimau kemudian bangkit

seraya mengangkat tubuh Dewi Ranti ke dalam

pondongannya. Gadis itu sudah terkulai lemas

dengan beberapa darah tertotok. Sebentar pemuda

itu memandang ke arah Ki Sandak yang tergeletak

dengan dada melesak ke dalam.

“Ha…ha…ha...!" Pendekar Pulau Neraka itu

tertawa keras, lalu dengan cepat dia melompat

meninggalkan Padepokan Galuhung.

Suara tawanya yang keras masih sempat

terdengar, walaupun tubuhnya sudah lenyap. Kini

suasana di Padepokan Galuhung kembali sunyi,

tampak mayat-mayat bergelimpangan dengan darah

mengucur membasahi tanah. Malam itu Padepokan

Galuhung benar-benar hancur di tangan Pendekar

Pulau Neraka.

Tak seorang pun dari murid-murid Padepokan

Galuhung yang tersisa hidup. Semuanya tewas

dengan keadaan tubuh mengerikan! Di antara mayat-

mayat yang bergelimpangan, tampak Ki Sandak



menggerak-gerakkan tubuhnya. Terdengar suara

rintihan lirih. Kemudian laki-laki tua itu berusaha

bangkit, namun tubuhnya masih terasa kaku, sulit

digerakkan!

"Akh...!" Ki Sandak memekik keras saat dia

memaksakan diri untuk bangkit.

Laki-laki tua pemimpin Padepokan Galuhung itu

kembali jatuh. Sebentar dia mengerang lirih, lalu

diam dan tak bergerak-gerak lagi. Namun dari

dadanya yang hitam melesak ke dalam, dapat

diketahui kalau laki-laki itu masih hidup. Dadanya

bergerak lemah hampir tidak terlihat. Pada saat itu,

tiba-tiba sebuah bayangan melesat cepat, dan

menyambar tubuh Ki Sandak. Begitu cepatnya,

sehingga dalam sekejap mata saja tubuh Ki Sandak

sudah lenyap bersama bayangan itu.

***

3

Kabar tentang hancurnya Padepokan Galuhung,

membuat padepokan-padepokan lain di sekitar Kaki

Ciunung Panjalukan gempar! Bahkan tokoh-tokoh

rimba persilatan pun, dibuat tidak mengerti dengan

tindakan Pendekar Pulau Neraka kali ini tidak sedikit

dari mereka yang kemudian mencari Pendekar Pulau

Neraka. Tapi banyak pula yang masih meragukan,

bahwa orang itu benar-benar Pendekar Pulau Neraka.

Benarkah yang membuat keonaran ilu Pendekar

Pulau Neraka? Pertanyaan itulah yang selalu

menghantui sebagian dari tokoh-tokoh rimba

persilatan, yang sudah mengenal pendekar Pulau

Neraka. Pertanyaan itu juga selalu menghantui

Pengemis Tongkat Hitam, yang selama beberapa hari

pernah bersama Pendekar Pulau Neraka.

Kini laki-laki tua berpakaian compang-camping

itu tampak tengah duduk merenung di beranda

depan sebuah pondok kecil beratap daun rumbia. Dia

masih belum yakin, kalau semua keonaran dan

kegemparan itu ulah dari Pendekar Pulau Neraka,

namun untuk membuktikannya masih terlalu sulit.

Bahkan semakin hari tindakan orang itu semakin

bertambah brutal. Dan hancurnya Padepokan

Galuhung merupakan awal dari malapetaka yang

lebih besar lagi.

"Ehm-ehm!"

"Oh!" Pengemis Tongkat Hitam tersentak dari

lamunannya.


Laki-laki tua bertongkat hitam itu segera menoleh.

Tampak seorang laki laki berusia sekitar empat puluh

tahunan sudah berdiri di ambang pintu pondok. Di

punggungnya tersampir sebilah pedang bergagang

keemasan.

"Bagaimana keadaannya, Pendekar Pedang

Emas?" tanya Pengemis Tongkat Hitam seraya

bangkit.

"Ki Salaka masih berusaha mengobatinya," sahut

Pendekar Pedang Emas. Dia kemudian

menghenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu

dekat pintu.

"Hhh..., rasanya sulit untuk dipercaya kalau

Pendekar Pulau Neraka sampai bertindak sebrutal

itu," desah Pengemis Tongkat Hitam, juga duduk di

sam ping Pendekar Pedang Emas.

'Tapi luka-luka di tubuh Ki Sandak akibat dari

'Pukulan Tapak Beracun'. Dan jurus itu hanya

dimiliki deh Pendekar Pulau Neraka," sahut Pendekar

Padang Emas.

"Hal itulah yang membuatku tidak habis mengerti,

Pendekar Pedang Emas. Aku tidak mau percaya

begitu saja, tapi bukti-bukti yang kudapatkan

semakin menunjukkan, kalau semua itu adalah

perbuatan Pendekar Pulau Neraka," keluh Pengemis

Tongkat Hitam.

"Kau ada sesuatu dengan pendekar itu?”

pertanyaan Pendekar Pedang Emas bernada curiga.

"Ya," sahut Pengemis Tongkat Hitam mendesah.

Pendekar Pedang Emas mengerutkan keningnya.


“Aku berhutang nyawa pada Pendekar Pulau

Neraka. Dia pernah menyelamatkan nyawaku akibat

terkena ‘Pukulan Tapak Beracun’," pelan suara

Pengemis Tongkat Hitam.

"Heh! Kau juga pernah bentrok dengannya?!"

Pendekar Pedang Emas terkejut.

"Tidak, aku belum pernah bentrok. Aku terkena

'Pukulan Tapak Beracun' dari orang lain, dan

Pendekar Pulau Neraka-lah yang menolongku,"

Pengemis Tongkat Hitam menjelaskan.

"Mustahil! Semua orang juga sudah tahu, kalau

jurus 'Pukulan Tapak Beracun' hanya dimiliki oleh

Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada seorang pun yang

bisa menguasai jurus itu," bantah Pendekar Pendekar

Emas.

"Kau memang tidak akan percaya, Pendekar

Pedang Emas. Tapi aku sudah mengalaminya sendiri.

Jurus itu dimiliki juga oleh seorang pendekar yang

berjuluk si Iblis Hitam, dan Pendeta Pasanta. Tapi

mereka sudah tewas di tangan Pendekar Pulau

Neraka...." Pengemis Tongkat Hitam kembali

menjelaskan (Baca; Serial Pendekar Pulau Neraka

dalam kisah "Pengantin Dewa Rimba").

Pendekar Pedang Emas menggeleng-gelengkan

kepalanya masih belum percaya. Sedangkan

Pengemis Tongkat Hitam tampaknya juga tidak mau

mendesak agar pendekar itu mempercayai ceritanya.

Memang tidak ada orang lain yang tahu selain dia

sendiri, kecuali si Kembar Iblis Biru yang kini sudah

menetap di Istana Dewa Rimba.


Saat mereka terdiam, tampak seorang laki-laki tua

bertubuh bungkuk keluar dari dalam pondok.

Langkahnya tertatih-tatih dengan bantuan tongkat

rotan. Pengemis Tongkat Hitam dan Pendekar Pedang

Emas bergegas bangkit, dan membantu laki-laki tua

itu untuk duduk di balai-balai bambu. Kedua tokoh

rimba persilatan itu pun juga mengambil tempat di

balai-balai bambu itu.

"Bagaimana keadaannya, Ki Salaka?" tanya

Pengemis Tongkat Hitam.

"Racun yang mengendap di tubuhnya sudah

sampai ke aliran darah. Maaf, aku tidak bisa berbuat

banyak lagi. Paling-paling aku hanya bisa

memperlambat penjalarannya," sahut Ki Salaka

dengan suaranya yang agak bergetar karena tua.

Mungkin laki-laki itu sudah berusia lebih dari seratus

tahun.

"Apakah ada cara lain untuk menyembuhkannya,

Ki?" tanya Pendekar Pedang Emas.

"Entahlah, aku kenal betul dengan jenis racun itu.

Sebuah racun yang disebarkan melalui jurus

'Pukulan Tapak Beracun'," sahut Ki Salaka pelan.

"Benar, Ki!" seru Pengemis Tongkat Hitam

"Kau juga tahu itu, Pengemis Tongkat Hitam?”

"Ya, aku tahu persis!" sahut Pengemis Tongkat

Hitam pasti.

"Berarti kau tahu, siapa orang yang mempunyai

jurus itu?"

"Ya."

"Rasanya hanya dia yang mampu

menyembuhkannya," wajah Ki Salaka berubah


seketika. Kepalanya tertunduk "Berpuluh-puluh

tahun yang lalu, aku kenal dengan seseorang yang

mempunyai juus 'Pukulan Tapak Beracun'. Tapi dia

sudah tewas dikeroyok oleh tokoh tokoh rimba

persilatan yang dendam padanya. Dan aku tidak tahu

lagi, apakah di zaman ini masih ada orang yang bisa

menguasai dangan baik jurus itu?” nada suara Ki

Salaka seperti bicara pada dirinya sendiri.

Pengemis Tongkat Hitam menundukkan

kepalanya. Rasanya dia ingin mengatakan, bahwa dia

juga sudah tahu tentang itu semua. Tapi sulit untuk

diucapkannya.

Semalam dia sempat menyelamatkan Ki Sandak,

Ketua Padepokan Galuhung yang hampir tewas di

tangan Pendekar Pulau Neraka. Kedatangannya

memang terlambat, tapi masih bersyukur bahwa

nyawa Ki Sandak tertolong.

* * *

Pengemis Tongkat Hitam tampak berdiri

mematung, sambil memandangi tubuh Ki Sandak

yang terbujur dengan napas pelan satu-satu. Di

sampingnya berdiri Pendekar Pedang Emas.

Sedangkan tabib tua Ki Salaka, duduk di tepi balai-

balai bambu. Sampai saat ini Ki Sandak belum juga

sadarkan diri. Kondisi tubuhnya semakin lemah, dan

noda hitam juga semakin melebar dari dadanya.

"Ohhh...," Ki Sandak merintih lirih. Kepalanya

bergerak-gerak. Sebentar kemudian dia mulai

sadarkan diri.


Tabib tua Ki Salaka segera menggerakkan jari-jari

tangannya di sekitar leher Ki Sandak. Dan sedikit

demi sedikit kelopak mata Ki Sandak terbuka. Sinar

matanya begitu lemah dan sayu.

"Oh, di mana aku? Apakah aku sudah mati...?"

pelan dan lirih suara Ki Sandak.

"Kau masih hidup, Ki," kata Pengemis Tongkat

Hitam cepat-cepat.

"Kaukah Pengemis Tongkat Hitam?"

"Ya, aku Pengemis Tongkat Hitam. Ini Pendekat

Pedang Emas, dan ini Tabib Salaka," sahut Pengemis

Tongkat Hitam.

"Pengemis Tongkat Hitam yang telah

menyelamatkanmu, Ki Sandak," sambung Tabib

Salaka.

'Terima kasih...," ucap Ki Sandak lemah "Ah,

anakku...."

'Tenang, Ki. Kau masih lemah." Tabib Salaka

mencegah Ki Sandak yang mau bangkit

Akibat dari gerakannya itu, Ki Sandak terbatuk-

batuk . Tampak darah kental kehitaman keluar dari

mulutnya. Buru-buru Ki Salaka membersihkan

dengan sehelai kain.

“Oh…, tolong selamatkan anakku. Dia diculik

Pendekar Pulau Neraka," kata Ki Sandak pelan.

"Tenang, Ki. Kau masih lemah, aku pasti akan

mencari anakmu," kata Pengemis Tongkat Hitam

menenangkan.

'Tolong selamatkan Dewi Ranti…,” kembali Ki

Sandak terbatuk.


Darah kental keluar lagi dari mulut laki-laki tua

itu. Dia kembali jatuh pingsan. Tabib Salaka segera

membersihkan darah yang keluar dari mulut Ki

Sandak, kemudian tampak jari-jari tangannya juga

bergerak di sekitar leher Ki Sandak. Tampak

Pengemis Tongkat Hitam mendesah panjang, dan

melangkah ke luar. Sementara Pendekar Pedang

Emas mengikutinya.

"Kau harus segera menghentikan kebiadabannya,"

kata Pendekar Pedang Emas.

"Aku tidak tahu lagi, apa yang mesti kulakukan,"

Pengemis Tongkat Hitam mengeluh.

"Kau sudah berjanji untuk menyelamatkan putri

KI Sandak. Tepatilah janjimu."

Pengemis Tongkat Hitam kembali menarik napas

panjang-panjang.

"Aku bisa memahami perasaanmu, Pengemis

Tongkat Hitam. Tapi sebagai seorang pendekar sejati,

kita harus mampu menyingkirkan perasaan pribadi.

Kau bisa membayar hutangmu dengan tidak

membunuhnya. Kau cukup menyelamatkan Dewi

Ranti dari tangannya, biar aku yang menghadapi

pendekar berhati iblis itu," kata Pendekar Pedang

Emas lagi.

"Yaaah..., memang tidak ada jalan lain.

Bagaimanapun juga aku berkewajiban memberantas

keangkaramurkaan," pelan suara Pengemis Tongkat

Hitam.

"Sebaiknya kita segera berangkat mencari

Pendekar Pulau Neraka, sebelum terjadi sesuatu pada


Dewi Ranti," kata Pendekar Pedang Emas

mengusulkan.

"Benar, sebaiknya kalian cepat pergi. Biar aku

yang mengurus Ki Sandak," sergah Tabib Salaka,

yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu.

"Ah, terima kasih atas bantuanmu, Ki," ucap

Pendekar Pedang Emas sambil menjura hormat

"Sudahlah, hal ini memang menjadi kewajibanku

untuk menolong sesama. Tapi jangan lupa, kalau

bisa minta racun pemunahnya," kata Tabib Salaka

berpesan.

"Racun pemunah...?!"

"Ya. 'Pukulan Tapak Beracun' hanya bisa di

sembuhkan oleh yang memiliki pukulan itu juga. Tapi

bisa juga disembuhkan dengan racun pemunah.

Memang aneh, racun dilawan dengan racun. Tapi itu

sudah menjadi ketentuannya."

"Baik, Ki. Akan kuusahakan," kata Pengemis

Tongkat Hitam.

"Berangkatlah restuku bersama kalian."

Kedua tokoh itu pun menjura memberi hormat,

lalu segera pergi meninggalkan pondok kecil, di

tengah lereng Gunung Panjalukan itu. Sedangkan

Tabib Salaka masuk kembali ke pondok, setelah

bayangan kedua tokoh itu lenyap dari pandangannya.

***

Saat itu, di sebuah sungai yang membelah Lereng

Gunung Panjalukan, tampak seorang pemuda gagah

tengah asyik memancing. Dia duduk di alas batu


pipih yang menjorok ke sungai berair bersih itu.

Dengan sabar dia menanti ikan yang memakan

umpannya. Di sampingnya tergolek tiga ekor ikan

yang cukup besar.

Pemuda itu tidak menyadari kalau sejak tadi

diperhatikan oleh sepasang mata yang bersembunyi

dari balik gerumbul semak. Dia baru menoleh ketika

telinganya mendengar suara ranting patah terinjak.

Tampak dari gerumbul semak itu, melesai sebuah

bayangan. Pemuda itu hanya memperhatikan saja.

Bibirnya segera tersenyum melihat seseorang berlari

cepat seperti melihat setan. Pemuda tampan itu

kembali memusatkan perhatiannya pada pancingnya.

Baru beberapa saat pemuda itu kembali menekuni

pekerjaannya, kembali telinganya mendengar suara

langkah kaki menghampirinya. Dia menoleh ke arah

suara itu. Tampak dua orang laki-laki tengah berjalan

cepat ke arahnya. Yang satu seorang laki-laki tua

berbaju kumuh compang-camping, sedangkan

satunya lagi adalah laki-laki bertubuh tegap dan

memakai baju indah berwarna kuning keemasan.

"Ah...! Kakek Pengemis Tongkat Hitam...!" seru

pemuda itu gembira melihat Pengemis Tongkat Hitam

datang menghampiri bersama Pendekar Pedang

Emas.

Namun Pengemis Tongkat Hitam tidak

menyambut dengan gembira. Dia hanya berdiri tegak

sekitar tiga batang tombak jaraknya. Wajahnya kaku,

dan sinar matanya menampakkan keraguan.

Sedangkan Pendekar Pedang Emas sudah bersiaga

penuh. Pemuda itu tampak mengerutkan keningnya



melihat sikap dua orang yang mendatanginya. Dia

kemudian membuang pancingnya, dan melompat

turun dari atas batu.

"Tidak kusangka kita akan bertemu lagi, Kakek

Pengemis Tongkat Hitam," kata pemuda itu masih

ramah.

"Jangan mendekat, Pendekar Pulau Neraka!"

sentak Pengemis Tongkat Hitam saat pemuda berbaju

kulit harimau itu hendak melangkah mendekatinya

Tentu saja pemuda berbaju kulit harimau yang

ternyata adalah Bayu Hanggara, atau Pendekar Pulau

Neraka itu jadi terkejut, melihat sikap Pengemis

Tongkat Hitam. Dia tidak mengerti, apa sebenarnya

yang diinginkan laki-laki tua itu.

"Ada apa ini? Kenapa kau menyambutku begitu

dingin, Kek?" tanya Bayu bernada heran

"Di mana kau sembunyikan Dewi Ranti?" dingin

pertanyaan Pengemis Tongkat Hitam.

"He...! Ada apa ini? Siapa itu Dewi Ranti?" tampak

sekali kalau Bayu benar-benar tidak mengerti

"Jangan pura-pura bodoh, Pendekar Pulau

Neraka!" bentak Pendekar Pedang Emas geram. "Kau

memang tangguh dan digdaya, tapi jangan kira aku

takut menghadapimu!"

"Kakek, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kau

bersikap begitu?"

"Huh! Rupanya kau pintar juga bersandiwara,

heh!" dengus Pendekar Pedang Emas tak sabar.

Sret!

Pendekar Pedang Emas langsung mencabut

pedangnya yang memancarkan cahaya keemasan.


Kembali Bayu terkejut setengah mati. Sejenak masih

mengharapkan penjelasan, dengan tatapan matanya

pada Pengemis Tongkat Hitam. Namun hal itu tidak

tersampaikan, karena Pendekar Pedang Emas telah

menerjangnya dengan jurus-jurus mautnya.

"Hey, tunggu dulu...!" seru Bayu seraya berkelit

menghindari serangan itu.

"Mampus kau, manusia iblis!" geram Pendekat

Pedang Emas kembali menerjangnya.

"Uts!"

Pendekar Pulau Neraka langsung melompat ke

samping menghindari sabetan pedang Pendekar

Pedang Emas. Dan ketika kakinya baru saja menjejak

tanah, satu tendangan kilat segera dilancarkan

Pendekar Pedang Emas. Bayu yang masih diliputi

ketidakmengertian, jadi lengah. Tendangan itu

kontan bersarang di perutnya.

"Hugh!"

Seketika Pendekar Pulau Neraka itu terjajar ke

belakang beberapa langkah. Bibirnya tampak

meringis merasakan mual pada perutnya. Tapi

Pendekar Pedang Emas tidak memberinya

kesempatan lagi. Dia langsung menyerang kembali

dengan ganas. Sedang Bayu pun kembali

berlompatan ke sana kemari menghindarinya.

"Pendekar iblis! Ayo lawan aku, jangan bisanya

hanya berkelit!" bentak Pendekar Pedang Emas

sengit.

"Jelaskan dulu, kenapa kau menyerangku?"

"Tidak ada penjelasan bagimu, manusia keparat!"


Tiba-tiba Bayu melompat tinggi ke udara! Pada saat

itu juga, Pendekar Pedang Emas segera melentingkan

tubuhnya ke udara. Pedangnya berkelebat cepat

menimbulkan suara angin menderu. Bayu memutar

tubuhnya dua kali dan dengan cepat kakinya

menghentak ke depan.

Buk!

"Hegk...!"

Tubuh Pendekar Pedang Emas meluruk deras ke

bawah setelah kaki Bayu menghantam punggungnya.

Pendekar Pedang Emas bergulingan beberapa kali di

tanah, namun dengan cepat dia bisa bangkit kembali.

Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pulau Neraka

sudah mendarat dengan manis di tanah. Jarak

mereka cukup jauh sekarang. Sementara Pengemis

Tongkat Hitam hanya memperhatikan saja dengan

sikap ragu-ragu.

* * *

"Kakek Pengemis, kenapa kau diam saja.

Jelaskan, kenapa dia ingin membunuhku?" Bayu

meminta penjelasan.

"Maaf, Bayu. Aku memang berhutang nyawa

padamu, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa," sahut

Pengemis Tongkat Hitam.

'Tunggu dulu!" sentak Bayu ketika Pendekar

Pedang Emas bergerak hendak menyerang lagi. "Aku

tidak kenal siapa kau, kenapa kau ingin

membunuhku?"


"Kau memang harus mati, Pendekar Pulau

Neraka!" dingin kata-kata Pendekar Pedang Emas.

"Aku tidak bisa diam melihat kau membantai orang-

orang tidak berdosa!"

Bayu lalu menatap Pengemis Tongkat Hitam laki-

Iaki tua itu hanya membalas dengan pandangan

sayu.

"Katakan, di mana kau sembunyikan Dewi Panti,

sebelum kurobek dadamu!" bentak Pendekar Pedang

Emas.

"Sejak tadi kau menyebut-nyebut nama Dewi

Ranti, sudah kukatakan, aku tidak kenal siapa dia!”

jengkel juga Bayu menjawabnya

"Baiklah. kalau kau tidak mau mengaku. Tahan

seranganku, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaa...!"

"He…!"

Pendekar Pulau Neraka tidak punya kesempatan

lagi untuk bicara. Kini Pendekar Pedang Emas sudah

menyerangnya kembali dengan dahsyat. Pedangnya

yang berwarna kuning keemasan, berkelebat cepat

mengurung tubuh Pendekar Pulau Neraka.

Pertarungan segera berlangsung dengan cepat dan

dahsyat. Namun Bayu belum mau menyerang balik

Dia masih saja berkelit dan menghindar!

Sikap Bayu yang demikian itu, membuat Pendekar

Pedang Emas semakin gusar. Namun sebaliknya bagi

Pengemis Tongkat Hitam. Dia jadi ragu-ragu, apakah

benar yang melakukan semua keonaran selama ini

adalah Pendekar Pulau Neraka? Mendadak, Pengemis

Tongkat Hitam tersentak. Dia jadi ingat akan

sesuatu.


"Tahan...!" serunya keras.

Bayu langsung melompat mundur, begitu

Pendekar Pedang Emas menghentikan serangannya.

Pengemis Tongkat Hitam melesat bagai kilat, dan

tahu-tahu dia sudah berdiri di tengah-tengah kedua

pendekar itu.

"Pengemis Tongkat Hitam, mundurlah! Jangan

menghalangiku!" bentak Pendekar Pedang Emas.

'Tenang dulu, Pendekar Pedang Emas," Pengemis

Tongkat Hitam menyabarkan.

"Huh!" Pendekar Pedang Emas mendengus kesal.

"Bayu, sejak kapan kau berada di Lereng Gunung

Panjalukan ini?" tanya Pengemis Tongkat Hitam.

"Baru saja," sahut Bayu tanpa curiga.

"Boleh aku minta satu bintang perakmu?"

"Untuk apa?" Bayu jadi keheranan.

"Berikan, Bayu. Ini menyangkut nama baikmu ju-

ga," desak Pengemis Tongkat Hitam

Sejenak Bayu ragu-ragu, tapi akhirnya dia

mengeluarkan juga sebuah benda berbentuk bintang

bersegi enam, dan berwarna keperakan. Dia

kemudian menghampiri Pengemis Tongkat Hitam dan

menyerahkan benda tersebut. Sedangkan laki-laki

tua itu berbalik memandang Pendekar Pedang Emas.

"Kau masih menyimpan bintang perak itu,

Pendekar Pedang Emas?"

Setelah berpikir sebentar, Pendekar Pedang Emas

merogoh ke balik lipatan bajunya. Kemudian dia

menjulurkan tangannya, yang sudah menggenggam

sebuah benda berwarna perak berbentuk bintang.

Pengemis Tongkat Hitam pun menerima benda itu. Di


kedua telapak tangannya kini terdapat dua benda

berbentuk bintang keperakan. Keningnya sedikit

berkerut melihat dua benda yang sama dari orang

berbeda. Benda itu sama persis!

"Mustahil...!" desis Pengemis Tongkat Hitam

sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ada apa, Pengemis Tongkat Hitam?" tanya

Pendekar Pedang Emas seraya menghampiri.

Pengemis Tongkat Hitam tidak menjawab. Dia

kembali memandangi dua benda di telapak

tangannya, tatapannya lalu beralih pada Bayu

Tampak jelas kilau Pendekar pulau Neraka itu tidak

mengerti dengan sikap Pengemis Tongkat Hitam

“Bayu, sebenarnya aku tidak mau percaya begitu

saja. Tapi semua bukti menunjukkan, kalau kaulah

yang telah melakukan pembantaian dan keonaran di

sini," pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.

"Kakek Pengemis, aku tidak mengerti

maksudmu?"

"Bayu, kau masih menganggapku sebagai

sahabat?"

Bayu segera mengangguk walau bertambah

bingung.

"Tolong, berikan racun pemunah 'Pukulan Tapak

Beracun'," kata Pengemis Tongkat Hitam.

"He...!" Bayu langsung terlonjak kaget.

"Demi membalas hutangku padamu, aku tidak

akan ikut campur dalam persoalan ini. Tapi jika kau

masih menganggapku sahabat, berikan racun

pemunah dari 'Pukulan Tapak Beracun' yang kau



miliki. Aku juga minta, agar kau menunjukkan di

mana kau sembunyikan Dewi Ranti," agak terpaksa

nada suara Pengemis Tongkat Hitam.

"Kakek Pengemis, kau ini bicara apa? Aku benar-

benar tidak kenal siapa Dewi Ranti. Kau jangan

membuatku pusing, Kakek Pengemis."

"Sudah kubilang, tidak ada gunanya lagi bicara

dengan bocah setan ini!" dengus Pendekar Pedang

Emas menyelak.

"He! Jaga mulutmu, Kisanak!" bentak Bayu mulai

sengit juga. "Aku tidak bisa menahan sabar terlalu

lama!"

"Kau pikir aku juga akan sabar mendengar segala

macam ketololanmu?" balas Pendekar Pedang Emas

tidak kalah sengitnya

"Aku tidak kenal kau, Kisanak. Dan aku juga

tidak pernah punya urusan denganmu! Tapi kalau

kau mencari urusan denganku, aku tidak akan

menolak!" dingin kata-kata Bayu. Kata-kata Pendekar

Pedang Emas benar-benar membuat darahnya

mendidih.

"Persoalannya ada pada dirimu sendiri, manusia

keparat!"

"Kadal buduk! Rupanya kau belum kenal, siapa

Pendekar Pulau Neraka, heh?!" kini Bayu benar-benar

tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.

"Dan kau juga harus tahu, dengan siapa kau

berhadapan!"

"Sudah..., sudah, tenang!" Pengemis Tongkat

Hitam berusaha melerai.


Pertengkaran mulut itu pun segera berhenti

Namun mereka masih saling tatap dengan amarah

memuncak hampir meledak!

"Bayu, berikan racun pemunah 'Pukulan Tapak

Beracun'," kata Pengemis Tongkat Hitam

'Aku tidak punya!" ketus jawaban Bayu.

Amarahnya dan rasa tersinggungnya membuat dia

tidak bisa mengendalikan diri lagi.

"Bayu. jika kau mau menyelamatkan nyawa

orang tua yang tengah sekarat, aku jamin, kau bisa

meninggalkan Lereng Gunung Panjalukan ini dengan

dengan damai.

"Kakek Pengemis, aku menghoimatimu sebagai

sahabat. Tapi aku bukan orang lemah yang

memerlukan jaminan keselamatanmu! Aku tidak

punya pemunah 'Pukulan Tapak Beracun', dan aku

tidak pernah melukai seorang pun di Lereng Gunung

Panjalukan ini! Cukup jelas, Kakek Pengemis Tongkat

Hitam!" tegas kata-kata Bayu.

"Bayu...."

"Maaf, aku tidak mau lagi mendengar persoalan

yang aku tidak tahu!" potong Bayu cepat

Setelah berkata begitu, Bayu langsung melesat

cepat bagai kilat! Dalam sekejap mata saja, tubuhnya

sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.

Sedangkan Pendekar Pedang Emas buru-buru mau

mengejar, tapi segera ditahan oleh Pengemis Tongkat

Hitam.

"Pendekar Pedang Emas, kalau kau masih

penasaran, aku bersedia bertarung melawanmu!"

terdengar suara menggema.


"Monyet!" geram Pendekar Pedang Emas.

Suara itu jelas datang dari mulut Bayu. Teriakan

itu terdengar menggema, seolah-olah datang dari

segala penjuru mata angin. Hal itu menandakan

kalau Pendekar Pulau Neraka adalah seorang tokoh

yang sukar diukur tingkat kepandaiannya.

"Aku tidak mengerti, kenapa kau membiarkan dia

kabur?" dengus Pendekar Pedang Emas kesal.

"Aku merasakan kejujuran pada nada suaranya,"

sahut Pengemis Tongkat Hitam tenang.

"Hhh! Seharusnya kita bisa memaksa dia."

"Pendekar Pedang Emas..., aku jadi tidak

mengerti. Kau yang dikenal sebagai pendekar arif

bijaksana, kini jadi mudah terbakar amarah."

"Aku juga manusia, Pendekar Tongkat Hitam. Aku

sudah tidak tahan lagi melihat tingkah lakunya.

Semakin hari, semakin brutal saja!"

"Aku mengerti, tapi cobalah untuk berkepala

dingin. Sekarang ini kita tengah menghadapi

persoalan yang bukan hanya menyangkut nama baik

seseorang, tapi juga seluruh kalangan rimba

persilatan. Apa kau tidak bisa melihat, akibat dari

kemelut ini bisa membuat seluruh tokoh rimba

persilatan terpecah belah, karena tidak bisa saling

mengendalikan emosi."

Pendekar Pedang Emas hanya bisa diam. Dalam

hati, dia mengakui kebenaran kata-kata Pengemis

Tongkat Hitam. Kemudian dia memasukkan kembali

pedangnya, dan berjalan tanpa berkata-kata lagi.

Sementara Pengemis Tongkat Hitam mengikuti di

belakangnya.


4

Siang itu, Bayu sampai di sebuah desa yang tidak

jauh dari sungai di Lereng Gunung Panjalukan. Dia

tidak tahu nama desa itu, tapi semua orang yang

melihatnya langsung berlarian. Rumah-rumah pun

langsung ditutup rapat-rapat Tak ketinggalan kedai-

kedai juga segera menutup pintu. Bahkan para

pedagang di pasar desa. Itu meninggalkan

dagangannya Pokoknya mereka seperti tengah

melihat datangnya satu makhluk yang mengerikan!

Bayu benar-benar tidak mengerti dengan sikap

para penduduk desa itu. Sudah dua desa dia masuki,

dan semua penduduknya bersikap sama. Tentu saja

hal itu membuat Bayu jadi bertanya-tanya sendiri.

Desa yang semula ramai, langsung berubah sepi

sekali. Namun Pendekar Pulau Neraka itu tahu, kalau

dari celah-celah jendela, para penduduk desa

mengintip memperhatikannya.

"Aneh, kenapa mereka semua ketakutan...?"

gumam Bayu dalam hati.

Pendekar Pulau Neraka itu terus melangkahkan

kakinya menyusuri jalan desa yang sudah sepi

senyap. Tak seorang pun yang terlihat. Bahkan

rumah-rumah penduduk juga tertutup rapat. Benar-

benar suatu pemandangan yang tidak mengenakkan.

"Aku jadi penasaran. Apa sebenarnya yang tengah

terjadi? Sudah dua desa kumasuki, dan keadaannya

sama. Semua orang ketakutan melihatku. Bahkan

sudah tiga tokoh persilatan yang mencoba


membunuhku. Hhh...! Aku jadi tidak mengerti...,"

kembali Bayu bergumam sendiri.

Langkah Pendekar Pulau Neraka itu langsung

berhenti, ketika di depannya tiba-tiba muncul

seorang laki-laki setengah baya, didampingi oleh

sekitar dua puluh orang bersenjata golok! Mereka

berdiri dengan sikap tidak bersahabat, dan

pandangan mata mereka penuh kebencian. Sejenak

Bayu tertegun melihat sikap orang-orang tersebut.

"Aku adalah Kepala Desa Gantang, dan atas nama

seluruh warga, aku meminta agar kau segera

meninggalkan desa ini," kata seorang laki-laki yang

berdiri paling depan.

"Boleh aku tahu, kenapa semua orang tampaknya

memusuhiku?" tanya Bayu masih diliputi

ketidakmengertian.

"Kau Pendekar Pulau Neraka, kan?" "Benar."

"Tidak ada lagi gadis yang bisa kau ambil, juga

seluruh harta kami sudah habis!" lantang suara

kepala desa itu.

'Tunggu! Kalian pasti salah duga, aku bukan

perampok gadis atau harta. Aku...."

"Jangan bersilat lidah, Pendekar Pulau Neraka!"

bentak Kepala Desa Gantang memotong. "Cepat

tinggalkan desa ini, atau kami akan menyabung

nyawa denganmu'"

Kini Bayu benar-benar terkejut mendengar kata-

kata tegas bernada kasar itu. Tapi dia berusaha

sekuatnya untuk tetap menahan diri. Kala kata

Kepala Desa Gantang itu membuatnya jadi berpikir.

Dia merasa yakin, kalau ada seseorang yang telah


menjual namanya untuk kepentingan pribadi, dan

orang itu melakukan tindakan yang merugikan desa-

desa di sekitar Kaki Lereng Gunung Panjalukan ini.

"Baiklah, aku akan pergi," kata Bayu mengalah,

tapi kalian harus tahu, aku tidak pernah melakukan

perbuatan yang kalian tuduhkan padaku "

Setelah berkata begitu, Bayu segera berbalik dan

melangkah pergi meninggalkan desa itu. Dia berjalan

cepat dengan kepala semakin dipenuhi berbagai

macam pertanyaan. Pendekar Pulau Neraka itu pun

segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.

Sehingga sebentar saja dia sudah melewati batas

Desa Gantang.

"Berhenti...!"

Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras yang

disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

Seketika Bayu langsung menghentikan langkahnya.

Tampak matanya agak menyipit, ketika dari

gerumbul semak dan balik pohon, bermunculan

orang-orang yang langsung mengepungnya. Mereka

semua sudah memegang senjata yang beraneka

ragam. Sikap mereka jelas tidak menunjukkan

persahabatan.

"Hhh..., ada apa lagi ini...?" keluh Bayu dalam

hati.

Pendekar Pulau Neraka itu memperhatikan orang-

orang yang mengepungnya. Mereka berjumlah tidak

kurang dari tiga puluh orang. Dan semuanya jelas

tokoh-tokoh dari rimba persilatan.


"Apa maksud kalian menghadang perjalananku?"

tanya Bayu agak lantang suaranya.

"Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Pulau

Neraka!" bentak salah seorang yang memegang golok

besar bagai penjagal. "Apa yang baru saja kau

lakukan di Desa Gantang?"

"Aku...?! Aku tidak melakukan apa-apa...?!" sahut

Bayu Hanggara keheranan.

"Kau sudah terkepung, manusia keparat! Ajalmu

sudah dekat, masih juga berlagak tolol!" bentak salah

seorang lagi.

"Heh! Apa maksud kalian sebenarnya?" Bayu jadi

sengit.

"Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan

semua perbuatanmu, Pendekar Pulau Neraka!"

"Berapa banyak kau sudah memperkosa dan

membunuh gadis-gadis, merampok harta rakyat, dan

membantai orang-orang tidak berdosa! Kami semua

muak denganmu, manusia keparat!"

"Kau harus mati, iblis!" teriak yang lain.

Bermacam-macam makian dan umpatan segera

terlontar bagai tanggul terhempas badai. Kini merah

padamlah seluruh wajah Bayu! Caci maki itu

membuat darahnya ketika mendidih. Gerahamnya

bergemeletuk menahan geram. Tapi dengan sekuat

tenaga dia menahan perasaan amarahnya. Dia sadar,

kalau mereka semua hanya salah paham. Namun

rasanya tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya.

Ketiga puluh orang itu langsung berlompatan

menerjang, dengan teriakan-teriakan menggelegar

membelah angkasa!


"Hiya...!" Bayu berteriak keras.

Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan ke sana

kemari menghindari serangan yang dalang dengan

cepat silih berganti. Keadaan Pendekar Pulau Neraka

kini benar-benar tidak menguntungkan. Dia diserang

dari segala jurusan. Ketiga puluh orang itu makin

mengepungnya dengan rapat. Tidak sedikit pun

memberi kesempatan pada Bayu untuk menarik

napas.

* * *

Bayu benar-benar kewalahan menghadapi tiga

puluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian

cukup tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu hanya

mampu berkelit, berlompatan dan menghindar tanpa

mampu membalas. Mereka semua tidak memberi

kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk

membalas. Setiap kali pendekar itu hendak

melakukan pembalasan, selalu terhalang oleh

serangan yang datang dengan cepat.

Buk!

Mendadak satu tendangan keras berhasil

mendarat di punggung Pendekar Pulau Neraka.

Seketika pemuda berbaju kulit harimau itu terjungkal

keras! Pada saat yang bersamaan, sebuah senjata

rantai tiba-tiba meluncur ke tubuhnya. Buru-buru

Bayu menggulirkan tubuhnya ke samping, dan rantai

itu pun mendarat di samping tubuhnya.

Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu sempat

bangkit, sebilah pedang sudah berkelebat cepat ke


arahnya, dan Bayu berusaha berkelit, namun ujung

pedang itu berhasil juga menggores perutnya.

Tampak darah segera merembes ke luar dari

perutnya yang sobek

"Uh! Mereka benar-benar ingin membunuhku!"

dengus Bayu daiam hati.

Pendekar Pulau Neraka itu menggelimpangkan

tubuhnya ke samping, tepat pada saat sebatang

tombak meluruk ke arahnya. Lalu dengan kecepatan

yang sukar diikuti oleh mata biasa, kaki Bayu

melayang menghantam tombak itu.

Trak!

Seketika tombak itu patah jadi dua. Secepat kilat

Bayu melenting bangkit. Tangan kanannya berkelebat

mengibas ke depan. Mendadak secercah cahaya

keperakan melesat cepat dari pergelangan tangannya.

Langsung saja satu jeritan melengking terdengar,

disusul ambruknya satu orang dengan dada terbelah!

“Sejenak Bayu menarik tangannya ke depan dada,

dan kembali mengebutkan dengan kuat. Senjata

cakra bersegi enam keperakan itu pun melesat cepat

bagai memiliki saja. Dalam waktu singkat, lima orang

sudah terjungkal dengan bersimbah darah.

Sementara , jeritan melengking terus mengiringi

pertarungan itu. Pada satu saat, Bayu melompat

bagai kijang ke arah seorang yang terdekat, dan

melepaskan pukulan keras dari jurus 'Pukulan Tapak

Beracun'

"Aaakh...!" seketika orang itu menjerit melengking.

Musuh itu mendekap dadanya yang terluka

dalam, dengan gambar telapak tangan berwarna


hitam. Dan belum lagi jeritan itu hilang dari

pendengaran, kembali terdengar satu jeritan

melengking. Kini Bayu benar-benar tidak mau lagi

mengalah. Dia terus mengamuk dengan ganas, bagai

singa terluka! Tubuh-tubuh tak henti-hentinya

bergelimpangan mengucurkan darah segar. Sebentar

saja serangan tokoh-tokoh rimba persilatan itu jadi

kacau.

"Kalian sungguh-sungguh manusia-manusia

picik! Mencari mati berurusan dengan Pendekar

Pulau Neraka!" seru Bayu keras menggelegar.

Para pengeroyok yang kini sudah berkurang

hampir separuhnya itu, segera berlompatan mundur.

Bayu sejenak mengangkat tangan kanannya ke atas,

seketika senjata mautnya kembali melayang ke arah

pergelangan tangan kanannya, dan menempel.

"Dengar! Aku tidak pernah melakukan perbuatan

yang kalian tuduhkan, Jika kalian masih juga ingin

membunuhku, majulah. Biar kukirim kalian semua

ke neraka!" keras suara Bayu. Emosinya masih belum

reda.

Musuh-musuhnya yang kini berjumlah delapan

belas itu, terdiam dengan sikap tetap bersiaga penuh.

Hati mereka mulai dilanda kegentaran.

Suasana hening segera melanda tempat itu. Bayu

masih menatap tajam pada mereka yang masih

mengelilinginya. Pelahan-lahan kakinya bergerak

melangkah maju. Mereka yang berada di depannya,

bergegas menyingkir.

Pendekar Pulau Neraka itu terus melangkah

pelan-pelan. Matanya tetap tajam merayapi


sekitarnya. Tak seorang pun yang berani lagi

mendekat. Hari mereka benar-benar sudah gentar

menghadapi kedahsyatan pendekar itu!

Merasa ada kesempatan untuk lolos, Bayu segera

melesat pergi meninggalkan tempat itu. Gerakannya

ringan, dan cepat bagai kilat! Dalam sekejap mata

saja. tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

Sementara tokoh-tokoh rimba persilatan itu langsung

bubar tanpa berkata-kata sedikitpun. Kini tinggal

mereka yang tewas menggeletak, tanpa ada yang

mempedulikan

***

Bayu segera menjatuhkan dirinya di rerumputan,

begitu mencapai tepi sungai dekat Desa Galuhung.

Darah masih mengucur dari perutnya yang sobek.

Sebentar dia memejamkan matanya, lalu bangkit

duduk bersila. Jari tangannya bergerak lembut dan

lincah menotok di sekitar luka pada perutnya.

Seketika darah berhenti mengalir. Pandangan

matanya beredar berkeliling. Sepi, tidak terlihat

seorang pun di tempat itu.

"Hhh...! Untung senjata itu tidak beracun," desah

Bayu pelan.

Pendekar Pulau Neraka itu kemudian bangkit dan

melangkah ke sungai. Dia jongkok di tepi sungai, lalu

membersihkan luka di perutnya dengan air. Terakhir

Bayu membalut lukanya dengan kain berwarna

merah yang selalu membeliti pinggangnya.

Baru saja dia berdiri, mendadak telinganya

mendengar suara langkah kaki dari arah belakang.


Bayu segera berbalik, tampak seorang gadis sudah

berdiri tertegun sambil memandangnya. Gadis itu

tampak terkejut melihat Pendekar Pulau Neraka

berada dekat sungai. Sampai-sampai keranjang yang

dibawanya terlepas! Seketika dia berbalik, dan

langsung berlari cepat.

"Hey! Tunggu...!" teriak Bayu seraya melompat

mengejar.

Hanya dua kali lompatan saja, Bayu sudah

berhasil menyusul gadis itu. Tangannya langsung

mencekal lengan gadis itu.

"Lepaskan!" sentak gadis itu ketakutan.

"Diamlah, aku tidak akan menyakitimu," kata

Bayu datar.

Gadis itu pun diam tidak memberontak. Namun

wajahnya masih kelihatan pucat, dan tubuhnya

gemetaran. Bayu melepaskan cekalannya pada

tangan gadis itu.

"Kenapa kau lari melihatku?" tanya Bayu lembut.

"Tolong, lepaskan aku. Jangan hancurkan

hidupku, jangan bunuh aku Lepaskan aku, Tuan...,"

rintih gadis itu memelas.

Bayu mengerutkan keningnya.

"Siapa namamu ?" tanya Bayu lembut.

"Murti...," sahut gadis itu pelan. Hampir tidak

terdengar suaranya

"Dengar, Murti Aku bukan hantu, aku bukan

tukang begal, atau pembunuh. Aku manusia biasa,

kau tidak perlu takut," kata Bayu berusaha

meyakinkan


Gadis cantik yang bernama Murti itu, segera

mengamati pemuda tampan dan gagah, berbaju kulit

harimau di depannya. Dia memandangi dari ujung

kepala hingga ujung kaki. Seolah-olah gadis itu

sedang menilai laki-laki di depannya.

"Kau..., Pendekar Pulau Neraka...?" bergetar suara

Murti.

"Ya," sahut Bayu mengangguk.

"Oh...," Murti langsung jatuh tertunduk lemas.

"Hey, ada apa?" Bayu tersentak, dia segera

berlutut dengan mata menatap heran pada gadis itu.

"Dewata Yang Agung.... Jika kau menghendaki

nyawaku. Ambillah tapi jangan kau biarkan dia

memperkosaku”, rintih Murti lirih. Setitik air bening

tampak menggalir dari sudut matanya.

Seketika Bayu terduduk lemas mendengar

rintihan Murti. Dia menjambaki rambutnya sendiri.

Sungguh, dia tidak bisa memahami semua yang

terjadi di Kaki Lereng Gunung Panjalukan ini. Segala

peristiwa yang ditemui, membuat kepalanya serasa

mau pecah! Dia tidak mengerti, kenapa semua orang

jadi membenci dirinya? Mungkinkah ada orang yang

telah mengaku dirinya, dan membuat kebodohan?

Melakukan keonaran, menculik gadis-gadis,

memperkosanya lalu membunuhnya? Kalau memang

benar, apa maksudnya?

Keheningan menyelimuti sekitar tepian sungai itu.

Pelahan-lahan Murti mengangkat kepalanya. Sejenak

dia tertegun melihat laki-laki yang menjadi momok

menakutkan selama ini, terduduk lemas sambil

menjambaki rambutnya sendiri. Gadis itu tampak


keheranan melihat paras Pendekar Pulau Neraka

tidak garang. Bahkan tampak kusut bagai sedang

menyimpan ribuan persoalan yang sukar dipecahkan.

Tanpa disadari, Bayu juga menatap ke arah gadis itu.

Sesaat mereka saling berpandangan.

"Apa sebenarnya yang telah kulakukan? Kenapa

semua orang membenciku, dan mau membunuhku?"

desah Bayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Murti diam membisu.

"Kau pernah bertemu denganku sebelumnya?"

tanya Bayu.

Murti mengangguk tanpa disadari.

"Kapan? Apa yang aku lakukan padamu?" tanya

Bayu lagi setengah mendesak.

Murti tidak menjawab. Mendadak ada perasaan

lain hinggap di hatinya, begitu mendengar pertanyaan

pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Matanya yang

bulat indah tampak berputar-putar, seakan-akan dia

tengah meneliti pemuda tampan di depannya.

"Pandanglah aku, benarkah aku orang yang

pernah bertemu denganmu?"

Murti masih belum menjawab. Pelahan-lahan

kepalanya menggeleng, saat dia melihat ke

pergelangan tangan Bayu Hanggara. Kemudian

matanya kembali menatap wajah tampan di

depannya.

"Tidak...," desis Murti seperti tak sadar.

"Murti, baru kemarin aku datang ke sini. Dan aku

jadi bingung, kenapa semua orang membenciku, dan

mau membunuhku? Apa sebenarnya yang telah


terjadi di sini, Murti? Katakanlah, apa yang telah

terjadi?,” desak Bayu penuh harap.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Murti berbalik

tanpa menjawab pertanyaan Bayu.

"Namaku Bayu Hanggara, aku memang lebih di

kenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka," sahut

Bayu jujur.

"Kau benar-benar tidak melakukan perbuatan-

perbuatan itu, atau kau hanya pura-pura saja?”

selidik Murti. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu

dia punya keberanian

“Kenapa kau tanyakan itu? Apakah aku

kelihatan berpura-pura?"

"Dia juga bernama Pendekar Pulau Neraka.

Semuanya mirip denganmu. Wajahnya, pakaiannya,

pokoknya mirip. Tapi...."

"Tapi, apa?" desak Bayu.

"Dia tidak membawa itu," sahut Murti sambil

melirik ke pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau

Neraka.

"Ah, terima kasih...! Terima kasih, Murti !" seru

Bayu. Begitu gembiranya dia, sampai tidak sadar

memeluk gadis itu.

Tentu saja Murti tersentak kaget, buru-buru dia

menolakkan tubuh pemuda itu.

"Maaf, aku tidak sengaja," ucap Bayu buru-buru.

Paras wajah Murti bersemu merah. Kepalanya

tertunduk. Entah kenapa, harinya tiba-tiba berdebar

aneh. Bayu kemudian mengambil tangan gadis itu,

dan menggenggamnya erat-erat. Pelahan lahan Murti


pun mengangkat kepalanya. Tatapan matanya

langsung bertemu dengan sorot mata Bayu. Sesaat

keheningan kembali menyelimuti mereka berdua.

"Kau telah membuka selimut kabut yang

menyelimuti seluruh daerah Gunung Panjalukan ini,

Murti. Aku tahu sekarang, ada seseorang yang telah

menyamar jadi diriku, dan pasti dia punya maksud

untuk menghancurkan aku dengan perbuatannya itu.

Terima kasih Murti. Kau telah membantu banyak

padaku kata Bayu semakin erat menggenggam

tangan Murti.

"Jadi, kau bukan Pendekar Pulau Neraka?" tanya

Murti seolah ingin kepastian.

"Akulah Pendekar Pulau Neraka, dan orang itu

memakai namaku untuk menghancurkanku," sahut

Bayu tegas.

Tampaknya Murti masih belum mengerti, namun

dia tidak bertanya lagi. Bayu melepaskan genggaman

tangannya, kemudian beranjak bangkit Pendekar

Pulau Neraka itu berjalan menghampiri keranjang

yang menggeletak tidak jauh darinya. Dia lalu

memungut keranjang itu, dan memasukkan baju-

baju dan kain ke dalamnya. Setelah itu dibawanya

kembali pada gadis cantik yang masih duduk di

rerumputan.

"Kau ke sini untuk mencuci?" tanya Bayu.

"Ya," sahut Murti seraya bangkit dari duduknya

"Mencucilah, aku akan menjagamu," kata Bayu

sambil melangkah ke sungai. Dia masih menjinjing ki

ranjang gadis itu.


Sementara Murti melangkah di samping pemuda

itu. Benaknya masih belum bisa mengerti, dengan

laki-laki yang bernama Pendekar Pulau Neraka.

Meskipun rasa khawatir terus bersemayam di hatinya

namun gadis itu mulai menaruh kepercayaan, kalau

pemuda yang bersamanya kini tidak sejahat dan

sekejam pemuda yang hampir memperkosanya dulu.

***

Selesai mencuci, Murti masih duduk di atas batu.

Sementara Bayu berada tidak jauh darinya Gadis itu

merasakan adanya sesuatu yang berbeda pada

Pendekar Pulau Neraka dengan pemuda yang dulu.

Tapi melihat bentuk tubuh, wajah dan yang dikena-

kan oleh Bayu, dia benar-benar bingung.

"Kenapa kau tidak segera pulang?" tanya Bayu

seraya memandang gadis itu.

Murti tidak menyahut. Dia kemudian bangkit

sambil mengepit keranjangnya di ketiak lalu kakinya

mulai melangkah meninggalkan sungai itu. Sebentar

dia berhenti, dan menoleh pada Pendekat Pulau

Neraka. Kemudian dia kembali melangkah agak

cepat. Sementara Bayu tetap duduk di atas batu

sambil memandangi.

Begitu jarak Murti sudah jauh, Pendekar Pulau

Neraka itu baru bangkit dan melangkah mengikuti

gadis itu. Bayu mengikuti dengan menjaga jarak.

Sedangkan Murti terus melangkah. Sesekali dia

menoleh ke belakang. Hatinya jadi agak tenang

karena tidak melihat pemuda berbaju kulit harimau


itu lagi. Gadis itu sama sekali tidak tahu kalau

dirinya terus diikuti.

Murti langsung berlari cepat begitu sampai di

desanya. Desa Galuhung yang semakin sunyi saja.

Hampir seluruh penduduk desa itu lebih senang

tinggal di rumah, lebih-lebih para gadisnya, tidak ada

yang berani ke luar rumah kalau tidak ada keperluan

yang mendesak. Sementara Bayu hanya

memperhatikan saja dari arah yang cukup jauh. Dia

tersenyum melihat Murti sudah masuk ke rumahnya.

"Bayu.. "

"Eh!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba nama

nya disebut dari belakang

Belum lagi pemuda itu menoleh, Pengemis

Tongkat Hitam sudah berada di sampingnya. Bayu

segera menghenyakkan tubuhnya di bawah pohon

yang rindang. Sementara Pengemis Tongkat Hitam

mengambil tempat di depan pemuda berbaju kulit

harimau itu.

"Sejak semula aku memang tidak percaya, kalau

kau yang telah melakukan perbuatan tercela dan

brutal itu," kata Pengemis Tongkat Hitam.

Bayu diam saja. Pandangannya tetap ke arah Desa

Galuhung yang sepi. Hanya ada satu dua orang saja

yang kelihatan ke luar rumah, itu pun hanya laki-laki

tua.

"Aku sengaja meminta Murti untuk ke sungai.

Semula niatku untuk memancing Pendekar Pulau

Neraka palsu, tapi yang muncul malah kau, Bayu,"

kata Pengemis Tongkat Hitam lagi.

Bayu langsung memandang laki-laki tua di depan


nya.

"Aku pun mendengar semua percakapanmu

dengan Murti. Sekarang aku yakin, kaulah Pendekar

Pulau Neraka yang kukenal. Aku memang belum

pernah bertemu dengan orang yang menyamar dan

memakai namamu, sehingga aku sulit

membedakannya." lanjut Pengemis Tongkat Hitam

lagi.

“Apa yang ingin kau katakan lagi padaku?

Meminta racun pemunah 'Pukulan Tapak Betacun'?"

agak ketus nada suara Bayu.

"Tidak, Ki Sandak sudah tewas," sahut Pengemis

Tongkat Hitam.

"Kalau saja temanmu itu tidak bermata gelap,

mungkin aku masih bisa menolong," kata Bayu datar.

"Ya, aku juga menyesali tindakannya " Bayu diam

membisu. Pandangannya kembali terarah ke Desa

Galuhung. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat

ini. Sementara Pengemis Tongkat Hitam juga diam.

***


5

Malam belum lagi beranjak larut. Namun udara di

sekitar Gunung Panjalukan sudah semakin dingin.

Kabut tebal menyelimuti seluruh Puncak Gunung

Panjalukan itu. Dinginnya udara malam ini terusik

oleh pijaran api dari ranting-ranting kering yang

terbakar di dalam sebuah goa yang cukup besar dan

lapang.

Tidak jauh dan api unggun itu tergolek sesosok

tubuh ramping dengan pakaian koyak tidak teratur

letaknya. Wajahnya yang cantik, tampak lesu tanpa

gairah hidup. Matanya kosong menerawang jauh ke

dalam api. Gadis itu berusaha menggeliat, namun

seluruh tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa

digerakkan Sinar matanya langsung berubah tajam

penuh kebencian dan dendam saat menatap seorang

laki-laki yang duduk dekat api unggun.

Laki-laki muda, tampan, bertubuh tegap itu

tersenyum melihat gadis itu menatapnya tajam. Dia

menggeser duduknya mendekat. Tangannya

diletakkan ke atas paha putih yang terbuka lebar.

Jari-jari tangannya bermain-main, menari-nari di

atas kulit yang putih mulus tanpa cacat itu.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu

merebahkan tubuhnya di samping gadis itu. Bibirnya

masih menyunggingkan senyum. Perlahan dia

mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Saat

wajahnya sudah demikian dekat, gadis itu

memalingkan mukanya. Namun pemuda itu malah

memeluk dan menciuminya dengan liar.


"Akh...! Binatang! Kubunuh kau'" pekik gadis itu

mencoba menggeliat, namun sedikit pun tubuhnya

tidak dapat digerakkan. Hanya kepalanya saja

menggeleng-geleng ke kanan dan ke kiri, berusaha

menghindari sergapan ciuman-ciuman pemuda itu

yang bertubi-tubi.

"Ah, aku senang Kau masih juga galak dan

menggairahkan...," desah pemuda itu seraya

melepaskan bajunya yang terbuat dari kulit harimau

Bret!

"Ah...!" gadis itu memekik tertahan ketika baju

yang menutup bagian dadanya dirobek paksa.

Mata pemuda itu semakin liar merayapi dua buah

gunung kembar yang putih indah menantang. Gadis

itu memejamkan matanya rapat-rapat saat

merasakan dengus napas memburu pada dadanya

Dia menggigit-gigit bibirnya sendiri. Setitik air

menggulir dari sudut matanya. Napasnya tertahan

merasakan berat pada tubuhnya.

Sia-sia saja gadis itu berusaha meronta, karena

seluruh tubuhnya tidak dapat digerakkan lagi.

Menjerit pun tidak ada gunanya lagi. Tidak ada

seorang pun yang ada di Puncak Gunung Panjalukan

itu. Gadis itu hanya bisa pasrah dan menangis

dengan hati hancur berkeping-keping. Ia

memejamkan matanya rapat-rapat, tidak sanggup

melihat wajah pemuda yang begitu dekat di atasnya.

"Akh!" tiba-tiba gadis itu memekik tertahan.

Sebentar matanya terbuka membeliak, lalu

merapat kembali dengan kepala terkulai lemah ke

samping. Air matanya semakin deras mengalir.


Rintihannya terdengar lirih menahan sesuatu

yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Beberapa saat gadis itu merasakan amat tersiksa.

Saat itu dia merasakan dirinya sudah mati. Namun

beban yang berada di atas tubuhnya

menyadarkannya kalau dia belum mati, dan masih

berada di dalam cengkeraman seorang laki-laki

berhati iblis yang mengaku bernama Pendekar Pulau

Neraka.

Gadis itu kembali memekik tertahan, bersamaan

dengan terdengarnya suara mendesis lirih. Tak lama

kemudian, tubuh pemuda itu menggulir ke samping.

Sebentar dia merebahkan tubuhnya di samping gadis

itu, kemudian tangannya meraih pakaian yang

teronggok di sampingnya. Matanya merayapi

sebentuk tubuh indah terbungkus kulit putih yang

mulus tanpa catat di sampingnya. Bibirnya

tersenyum penuh kemenangan dan kepuasan.

Pemuda itu kembali mengenakan pakaiannya.

"Seharusnya aku tidak lagi memerlukanmu,

Manis," kata pemuda itu, lembut suaranya

Gadis itu hanya diam dengan mata, terpejam

rapat. Dia benar-benar tidak ingin melihat laki-laki

yang telah menghancurkan hidupnya, mengoyak

seluruh hatinya. Saat Itu yang ingin dia lakukan

hanya satu, mati!

"Ah, aku memang tidak memerlukanmu lagi.

Masih banyak gadis yang lebih cantik dan lebih

menggairahkan darimu," kembali pemuda berbaju

kulit harimau itu berkata pelan.



Pemuda itu beranjak bangkit sambil mengangkat

tubuh gadis itu. Kemudian dia melangkah keluar goa.

Langkah kakinya tegap dan mantap. Dia baru

berhenti melangkah setelah sampai di Lereng Gunung

Panjalukan yang cukup terjal dan berbatu. Pemuda

berbaju kulit harimau itu meletakkan gadis yang

hanya tertutup kain koyak itu di atas sebuah batu

besar dan agak pipih permukaannya.

"Kenanglah aku di neraka, Manis," kata pemuda

itu lembut.

Dia membungkukkan badannya sedikit, dan

mengecup pipi gadis itu. Lalu mendorong tubuh

ramping itu dengan kuat. Suara jeritan melengking

terdengar menyayat, bersamaan dengan

menggulingnya tubuh gadis itu ke bawah. Tubuhnya

meluncur deras menghantam batu-batuan, dan baru

berhenti meluncur setelah menghantam sebongkah

batu yang cukup besar. Darah mengucur deras dari

kepalanya yang pecah. Gadis itu tergolek tak

bernyawa lagi.

"Ha ha ha...!" pemuda berbaju kulit harimau itu

tertawa terbahak-bahak

Tak ada yang menyaksikan semua kejadian itu.

Hanya bulan yang mengintip di balik awan dan kabul

tebal menyaksikan semua kekejaman pemuda itu.

Kesunyian kembali menyelimuti seluruh Puncak

Gunung Panjalukan Kemudian pemuda berbaju kulit

harimau itu berbalik dan berlompatan meninggalkan

tepi lereng yang curam. Kembali tawanya terdengar

berderai.


***

Malam terus merayap semakin larut. Udara pun

semakin bertambah dingin. Gunung Panjalukan

tampak angker, hitam pekat berselimut kabut tebal.

Namun suasana malam yang seperti itu tidak

menghalangi sesosok tubuh yang tengah berlari cepat

menuruni Lereng Gunung Panjalukan. Gerakannya

sangat cepat dan ringan, sehingga yang terlihat

hanya bayangan berkelebatan saja.

Sosok tubuh itu berhenti berlari setelah sampai di

batas Desa Galuhung. Tampak wajahnya tampan,

dengan sinar mata bersorot tajam. Orang itu

mengenakan baju dari kulit harimau. Dia berdiri

tegak bertohk pinggang, sambil menatap lurus ke

arah Desa Galuhung di depannya. Desa itu tampak

sepi, tak terlihat seorang pun yang berada di luar

rumah.

Kakinya kembali terayun melangkah tegap dan

mantap memasuki Desa Galuhung. Sepanjang

perjalanan, hanya kesunyian yang dilaluinya.

Bahkan, beberapa rumah yang tadinya masih terang,

langsung gelap. Pemuda tampan berbaju kulit

harimau itu tersenyun lebar, melihat rumah-rumah

langsung memadam lampunya. Bahkan terdengar

suara pintu dan jendela terkunci.

Langkah kaki pemuda berbaju kulit harimau itu

kemudian berhenti, tepat di depan pintu sebuah

rumah yang cukup besar. Rumah berdinding papan

itu tampak sepi, hanya ada lampu pelita kecill yang

menerangi beranda. Sejenak pemuda itu


menghentakkan kakinya ke tanah, dan tubuhnya

melesat ke udara. Manis sekali dia hinggap di atas

atap rumah itu.

Dan dengan hati-hati dia membongkar atap

rumah itu, dan meluruk turun ke dalam. Ringan, tak

terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak

lantai. Gelap menyelimuti seluruh ruangan dalam

rumah itu. Pemuda berbaju kulit harimau itu

melangkah ringan mendekati sebuah pintu. Tampak

seberkas cahaya kecil membias di bawah pintu.

Senyum di bibirnya kembali terkembang. Pemuda

berbaju kulit harimau itu kemudian melangkah

mendekati pintu. Pelahan-lahan tangannya

mendorong pintu kamar itu. Bola matanya segera

berbinar melihat seorang gadis tengah lelap di

pembaringan. Sehelai kain menutupi tubuh gadis itu.

Tampak beberapa bagian tubuhnya tersingkap,

menampakkan kulit yang putih bersih.

"Ah..., cantik sekali," desisnya pelan.

Lalu dengan mengendap-endap, pemuda berbaju

kuljt karimau itu mendekati pembaringan. Sebentar

dipandanginya bentuk tubuh yang masih tergolek

lelap dalam buaian mimpi. Dadanya mendadak

berdebar saat matanya menangkap sebentuk buah

dada indah hampir tak tertutup kain. Maka dengan

gerakan lembut tangannya terulur, dan dengan cepat

jari-jari tangan nya menotok beberapa bagian jalan

darah gadis itu.

"Akh!" gadis itu sempat memekik, namun sedetik

kemudian lemas tak berdaya.


Tampak mulutnya terbuka lebar, sedang matanya

membeliak memancarkan rasa takut yang amat

sangat. Namun tak sedikit pun suara keluar dari

mulutnya yang terbuka. Pemuda berbaju kulit

harimau itu kembali tersenyum menyeringai. Lalu dia

beranjak naik ke pembaringan itu.

"Murti...!" tiba liba terdengar suara dari kamar

lain.

"Uh!" pemuda berbaju kulit harimau itu

mendengus kesal.

Saat kepalanya menoleh ke arah pintu, tampak

seorang laki-laki lanjut usia sudah berdiri terpaku di

ambang pintu. Dia seperti terkesima melihat ada

seorang laki-laki berbaju kulit harimau, berada di

atas tubuh anak gadisnya.

"Pendekar Pulau Neraka...," desis laki-laki tua itu.

Pemuda berbaju kulit harimau itu menggeram

kesal. Lalu bagaikan kilat, dia mengibaskan tangan

kirinya. Seketika secercah cahaya keperakan

meluncur deras ke arah laki-laki tua itu. Namun

tanpa diduga sama sekali, laki-laki tua itu segera

mengegoskan tubuhnya ke samping, dan cahaya

keperakan itu lewat di samping tubuhnya, dan

menancap pada dinding.

"Kurang ajar'" rungut pemuda berihtju kulit

harimau itu.

Dan tanpa mempedulikan gadis yang sudah

lemas tertotok, pemuda berbaju kulit harimau itu

melompat ke arah pintu. Pada saat yang sama, laki-

laki tua berjubah putih itu pun langsung

melentingkan tubuhnya ke atas. Namun gerakannya


kalah cepat! Pemuda berbaju kulit harimau itu sudah

mengibaskan tangannya lagi.

"Aaakh!" laki-laki tua itu kontan menjerit

melengking.

Sebuah benda berbentuk bintang parak tampak

menancap dalam di punggungnya. Tanpa ampun lagi,

tubuh tua renta itu meluruk kembali ke bawah. Dan

sebuah tendangan keras segera menyusul dan

menghantam tubuhnya. Seketika suara berderak

terdengar, bersamaan dengan hancurnya dinding itu

tertimpa tubuh tua renta.

Laki-laki tua itu tampak berusaha bangkit,

namun pemuda berbaju kulit harimau lebih cepat

melompat, sambil melayangkan satu pukulan keras

ke wajahnya. Kembali laki-laki tua itu memekik

keras, dan tubuhnya terjungkal menghantam lantai!

Tak pelak lagi, darah langsung muncrat ke luar dari

mulutnya. Dan dengan ganas, tiba-tiba pemuda

berbaju kulit harimau itu melompat, dan menjejak

tubuh laki-laki tua itu.

"Hegh!"

Sebentar laki-laki tua itu menggelepar, lalu diam

tak bergerak-gerak lagi. Dari mulut serta hidungnya

segera mengucurkan darah segar. Pemuda itu pun

lalu berbalik, dan pada saat yang sama, dari dalam

kamar lain keluar seorang wanita tua. Wanita itu

seketika terkejut, begitu melihat seorang laki-laki

berbaju kulit harimau menginjak tubuh suaminya.

"Ah! Tolooong...!" jerit wanita itu sekuat-kuatnya.

“Keparat!" laki-laki berbaju kulit harimau itu

menggeram.


Dan bagaikan kilat, tangannya mengibas cepat ke

depan. Seketika itu juga, sinar keperakan melesat ke

arah perempuan tua itu. Tak pelak lagi, sinar dari

senjata bintang perak itu menembus dadanya.

"Aaa...!" perempuan tua itu menjerit melengking

tinggi.

Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak

membuang-buang waktu lagi. Dia segera melompat

ke dalam kamar gadis yang lemas tertotok jalan

darahnya. Bergegas dia mengangkat tubuh gadis itu,

dan melesat ke atas sambil membopong gadis cantik

yang bernama Murti.

Begitu kakinya hinggap di atap, mendadak

puluhan anak panah dan tombak bertebaran ke

arahnya. Pemuda berbaju kulit harimau itu

mengumpat geram. Dia segera berlompatan sambil

mengibaskan tangan kirinya, menghalau serbuan

anak panah dan tombak. Tampak di sekeliling rumah

itu sudah dipenuhi oleh puluhan orang dengan

berbagai senjata.

"Setan!" geram pemuda itu. Dia lalu

memindahkan tubuh Murti ke atas pundaknya

Dan hanya dengan sekali lompatan saja, pemuda

berbaju kulit harimau itu meluruk ke bawah. Dan

langsung disambut oleh mereka yang sudah

mengepungnya. Pertempuran pun tak terhindarkan

lagi. Sebentar, saja jerit kesakitan dan pekik

kemarahan berbaur menjadi satu. Malam yang

semula dingin, berubah hangat. Para penduduk Desa

Galuhung rupanya sudah tidak lagi menghiraukan


nyawanya. Mereka terus menyerang pemuda berbaju

kulit harimau itu dengan brutal.

Tubuh-tubuh bersimbah darah kini mulai

bergelimpangan. Jeritan kematian semakin sering

terdengar. Pemuda berbaju kulit harimau yang

memanggul Murti, berkelebatan cepat membantai

para penduduk yang rata-rata tidak memiliki ilmu

olah kanuragan itu. Mereka hanya dibekali dengan

kemarahan yang memuncak, meledak tak

terkendalikan lagi. Mereka tidak lagi peduli dengan

nyawa. Mereka tidak menghiraukan, siapa yang

sedang dihadapi.

Rasa dendam, benci dan kemarahan yang meng-

gumpal menjadi satu, membuat penduduk yang

sehari-harinya bekerja di ladang itu jadi nekad. Kini

sudah tidak terhitung lagi, berapa orang yang

menggeletak jadi mayat. Namun mereka tetap

menggempur pemuda berbaju kulit harimau itu.

***

Meskipun hanya menghadapi orang-orang yang

tidak mengerti ilmu olah kanuragan, pemuda berbaju

kulit harimau itu kerepotan juga menghadapinya.

"Gila! Kalau begini terus, aku bisa kehabisan

tenaga!" dengus pemuda itu dalam hari.

Pemuda berbaju kulit harimau itu mencoba untuk

menerobos kepungan para penduduk Desa

Galuhung. Tapi kepungan itu semakin bertambah

rapat saja. Mereka seperti kesetanan, tidak

mempedulikan lagi keselamatan jiwanya.


"Mundur...!"

Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras meng-

gelegar. Para penduduk desa itu pun segera mundur.

Tampak di antara mereka sudah berdiri tokoh-tokoh

rimba persilatan yang tidak sedikit jumlahnya.

Seluruh penduduk Desa Galuhung sedikit bergembira

melihat kedatangan tokoh-tokoh rimba persilatan dan

murid-murid padepokan.

Sementara itu pemuda berbaju kulit harimau

tampak terkejut bukan main. Dia sadar, kalau malam

ini adalah hari sialnya. Tapi dia tidak mau menyerah

begitu saja. Pemuda itu lalu menurunkan tubuh

gadis yang berada di pundaknya, dan membuka

totokan jalan darah di tubuhnya.

"Ah, tolooong...!" jerit Murti begitu terbebas dari

totokan. Buru-buru pemuda berbaju kulit harimau

Itu menjepit leher Murti, dan memegangi tangannya

ke belakang. Gadis itu sama sekali tidak berdaya lagi

lebih-lebih setelah pemuda itu mengancam akan

membunuhnya jika bergerak.

"Kalian berani maju selangkah, kupatahkan leher

gadis ini'" ancam pemuda itu.

Semua tokoh rimba persilatan itu tidak ada yang

bergerak di antara mereka, tampak Pendekar Pedang

Emas, Pendekar Tongkat Ular, Malaikat Bayangan

Hijau. Mereka adalah tokoh-tokoh rimba persilatan

yang sudah tidak asing lagi namanya. Namun

semuanya tidak ada yang bergerak mengingat

keselamatan Murti terancam.

"Bagus! Kalian yang di sana, minggir!" bentak

pemuda berbaju kulit harimau.


Mereka yang ditunjuk segera menyingkir

membuka jalan. Pemuda berbaju kulit harinnu itu

melangkah pelan-pelan sembari menyeret Murti.

Gadis itu berusaha memberontak, namun jepitan

pada lehernya begitu kuat, dan terasa sakit.

"Diam! Kubunuh kau, kalau coba coba

memberontak!" ancam pemuda itu bengis.

"Serang dia! Jangan hiraukan aku. !" teriak Murti

putus asa.

Tapi gadis itu jadi terpekik karena tangan yang

menjepit lehernya menekan kuat. Beberapa tokoh

persilatan yang ingin bergerak, langsung berhenti.

Sedikit demi sedikit pemuda berbaju kulit harimau

itu terus melangkah sambil menyeret gadis

tawanannya. Dan pada saat dia sudah berada di luar

kepungan, mendadak tubuhnya melesat cepat ke

arah Gunung Panjalukan.

"Tolooong...!" jerit Murti melengking.

"Kejar! Jangan sampai lolos...!" seru Pendekar

Padang Emas.

Seluruh tokoh-tokoh rimba persilatan itu

langsung berhamburan mengejar. Namun bayangan

tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu sudah

lenyap ditelan oleh gelapnya malam, ditambah

pepohonan di sekitar Kaki Gunung Panjalukan yang

memang sangat lebat. Namun tokoh-tokoh rimba

persilatan itu terus saja mengejar, meskipun mereka

tidak tahu lagi, ke arah mana pembuat kerusuhan itu

melarikan diri.

***


Pada saat itu, di tengah-tengah hutan Lereng

Gunung Panjalukan, tampak Bayu tengah

berbincang-bincang dengan Pengemis Tongkat Hitam.

Mereka duduk dekat api unggun kecil dan seekor

rusa, terpanggang di atasnya.

"Sejak tadi kau murung terus. Ada apa, Bayu?"

tegur Pengemis Tongkat Hitam.

"Tidak apa-apa," sahut Bayu pelan.

"Aku tahu, kau pasti kecewa karena aku telah

gagal untuk meyakinkan mereka," pelan suara

Pengemis Tongkat Hitam.

"Hhh...." Bayu hanya menarik napas saja.

"Perbuatan orang itu sudah melampaui batas,

Bayu. Dan dia selalu menggunakan nama Pendekar

Pulau Neraka. Lagipula jurus-jurus yang digunakan,

sama persis dengan yang kau miliki. Akupun tidak

bisa menyalahkan mereka yang tetap menuduhmu

sebagai pelaku semua kebrutalan dan pembantaian

itu. Sudah lebih satu purnama hal itu berlangsung

dan sampai saat ini belum ada yang mampu

menghentikan perbuatannya.” Kata Pengemis

Tongkat Hitam lagi.

"Aku tidak peduli mereka tetap menuduhku, Kek.

Yang aku tidak mengerti, untuk apa orang itu

menggunakan namaku? Kalau memang dia

mempunyai dendam, kenapa tidak menantangku

saja! Toh dia juga punya jurus-jurus yang sama

denganku," nada suara Bayu terdengar kesal.


"Kita akan tahu kalau sudah menemukannya,

Bayu."

Belum lagi Bayu membuka mulutnya, mendadak

mereka dikejutkan oleh munculnya orang orang dari

kalangan rimba persilatan. Di antara mereka, tampak

Pendekar Pedang Emas, Pendekar Tongkat Ular dan

para ketua padepokan di sekitar Gunung Panjalukan

ini.

Btyu langsung bangkit diikuti oleh Pengemis

Tongkat Hitam. Orang-orang dari kalangan rimba

persilatan itu langsung bergerak mengepung.

Pendekar Pedang Emas langsung berdiri tegak di

depan Bayu dengan jarak sekitar tiga batang tombak

"Pendekar Pulau Neraka, sebaiknya kau

menyerah dan jangan mengadakan perlawanan. Lihat

tempat ini sudah terkepung rapat," kata Pendekar

Pedang Emas dingin.

Pengemis Tongkat Hitam ingin bicara, tapi keburu

dicegah oleh Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu

kemudian melangkah maju tiga tindak. Sejenak

matanya beredar berkeliling. Tampak tempat itu

sudah dipenuhi oleh tokoh-tokoh rimba persilatan

dengan senjata terhunus. Sikap mereka jelas-jelas

menunjukkan permusuhan.

"Kalau kalian ingin menangkapku, tangkaplah!"

tantang Bayu tegar

Pendekar Pulau Neraka itu menjulurkan kedua

tangannya ke depan Pendekar Pedang Emas makin

memandanginya dengan tajam. Sesaat keheningan

menyelimuti sekitar hutan di Lereng Gunung

Panjalukan ini.


"Bayu...," Pengemis Tongkat Hitam menghampiri.

"Biarkan, Kek. Biarkan mereka puas dengan

kebodohannya!"

Pengemis Tongkat Hitam kembali terdiam. Dia lalu

memandangi orang orang yang berada di

sekelilingnya. Tatapan matanya tajam menusuk

langsung ke bola mata Pendekar Pedang Emas.

"Kau keterlaluan, Pendekar Pedang Emas! Kau

akan menyesal menuduh orang yang tidak bersalah!"

kata Pengemis Tongkat Hitam agak geram.

"Pengemis Tongkat Hitam, manusia iblis ini baru

saja membantai penduduk Desa Galuhung, dan

melarikan seorang gadis!" kata Pendekar Pedang

Emas.

"Dasar manusia-manusia bodoh! Apa kalian se-

mua tidak melihat? Sejak tadi aku bersama Pendekar

Pulau Neraka di sini. Mana mungkin satu orang bisa

berada di dua tempat dalam waktu bersamaan? Ayo,

jawab!" Lintang suara Pengemis Tongkai Hitam.

Nadanya emosi berat.

Tak ada seorang pun yang membuka suara. Saat

itu juga wajah mereka berubah, menyiratkan

keraguan. Kata-kata Pengemis Tongkat Hitam tidak

bisa dibantah. Mereka memang mendapatkan

Pendekar Pulau Neraka bersama laki-laki tua itu,

duduk di dekat api unggun. Dan lagi, tidak tampak

seorang gadis pun di tempat itu.

"Sejak siang tadi aku bersama Pendekar Pulau

Neraka. Dan kami belum menginjak Desa Galuhung.

Apa kalian sudah buta, sehingga tidak bisa

membedakan seseorang? Coba lihat! Apa orang ini


yang kalian kejar? Yang kalian tuduh sebagai

pembuat keonaran, pembantai manusia, pemerkosa

dan pembunuh gadis-gadis? Lihat baik-baik! Buka

mata kalian lebar-lebar!" sangat kasar kata-kata yang

keluar dari mulut Pengemis Tongkat Hitam.

Tetap tidak ada seorang pun yang membuka

suara.

"Pendekar Pedang Emas, aku benar-benar tidak

mengerti dengan sikapmu kali ini. Hatimu seperti

buta, tidak bisa menilai dari setiap kejadian. Kau

begitu terkenal sebagai pendekar yang arif dan

bijaksana.Tapi kenapa sekarang kau jadi buta?

Terpengaruh oleh tuduhan-tuduhan yang tidak

beralasan," agak melemah suara Pengemis Tongkat

Hitam.

Pendekar Pedang Emas diam saja. Kata-kata yang

meluncur deras dari mulut Pengemis Tongkat Hitam

membuatnya ragu-ragu. Dia memang dikenal sebagai

tokoh yang selalu mementingkan kebijaksanaan, dan

selalu berpikir matang sebelum mengambil tindakan.

Pendekat Pedang Emas seakan-akan baru saja

tergugah dari sebuah mimpi buruk, yang hampir saja

menghancurkan nama besarnya.

"Ayo, Bayu. Kita tinggalkan tempat ini," ajak

Pengemis Tongkat Hitam.

"Tunggu...!"'

Seorang laki-laki mendadak melompat ke depan

disertai suara bentakan keras mengejutkan. Sejenak

Pengemis Tongkat Hitam mengurungkan niatnya.

Dipandanginya laki-laki yang hampir sebaya

dengannya itu. Seorang laki-laki tua yang


mengenakan baju berwarna biru, dengan dada

tersulam gambar bunga melati dari benang perak.

Dia adalah Ketua Padepokan Melati Putih yang

letaknya di sebelah Utara Kaki Gunung Panjalukan.

"Ki Suratala, ada apa lagi?" nada suara Pengemis

Tongkat Hitam terdengar kesal.

Laki-laki tua yang bernama Ki Suratala itu

kemudian mendekati Pendekar Pulau Neraka.

Tatapan matanya tajam, menusuk langsung ke bola

mata pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan

Bayu masih tampak tenang. Kesunyian kembali

menyelimuti sekitarnya. Semua orang menunggu, apa

yang akan dilakukan oleh Ki Suratala.

* **

6

“Kata-katamu memang cukup beralasan,

Pengemis Tongkat Hitam. Tapi aku tidak mudah

percaya begitu saja,” dingin kata-kata Ki Suratala

seraya melirik pada Pengemis Tongkat Hitam.

Pengemis Tongkat Hitam balas menatap dengan

tajam.

"Tidak sedikit murid-muridku yang tewas

terbunuh oleh Pendekar Pulau Neraka. Dan aku

harus membunuhnya dengan tanganku sendiri!"

Setelah berkata begitu, Ki Suratala tiba-tiba

mengibaskan tangannya menyodok ke dada Bayu.

Gerakan yang begitu cepat dan mendadak itu tentu

saja membuat Bayu terperangah. Namun dengan

cepat dia menarik kakinya ke belakang seraya

memiringkan tubuhnya ke kiri. Sodokan Ki Suratala

pun luput dari sasaran

Tunggu!" seru Pengemis Tongkat Hitam ikut

terkejut.

Namun peringatan Pengemis Tongkat Hitam tidak

digubris, Ki Suratala kembali menyerang dengan

jurus-jurus mautnya. Sedangkan Bayu terpaksa

berkelit dan menghindari setiap serangan yang

datang dengan gencar dan dahsyat itu. Pertarungan

pun segera berlangsung dengan sengit!

Sepuluh jurus telah dilalui dengari cepat, namun

belum satu pukulan pun yang berhasil disarangkan

oleh Ketua Padepokan Melati Putih itu. Dan sampai

saat itu Bayu masih dapat menahan diri. Dia hanya


berkelit menghindar tanpa membalas satu serangan

pun. Hal itu tentu saja membuat Ki Suralala jadi

bertambah berang. Mundur pun rasanya tidak

mungkin lagi, bisa-bisa malah nama besarnya hancur

malam ini juga. Sementara puluhan tokoh-tokoh

rimba persilatan yang ada di tempat itu, dan tiga

puluh orang murid pilihannya, terus menonton.

Tampak Ki Suratala jadi tambah beringas, karena

serangan-serangannya selalu kandas. Maka tanpa

peduli akan ada yang tewas, Ketua Padepokan Melati

Putih itu pun segera mencabut senjata dari balik

jubahnya yang panjang.

Sret!

"Ki Suratala! Hentikan seranganmu!" bentak

Pengemis Tongkat Hitam terkejut. Namun Ki Suratala

sudah tidak bisa lagi diperingati. Pedang pendek

berwarna putih dengan gagang berukir bunga melati,

berkelebat cepat bagai kilat mengurung seluruh gerak

tubuh Pendekar Pulau Neraka. Serangan-serangan Ki

Suratala begitu cepat dan sukar diikuti oleh

pandangan mata biasa. Pertarungan itu kini sudah

mencapai tingkat tinggi. Gerakan-gerakan tubuh

mereka sangat sulit ditebak arahnya, hanya dua

bayangan saja yang terlihat berkelebatan saling

sambar.

Bayu menghadapi serangan-serangan Ki Suratala

dengan sungguh-sungguh. Gempuran laki-laki tua

itu benar-benar dahsyat. Kelengahan sedikit saja bisa

berakibat fatal. Dua kali dia mendengar peringatan

dari Pengemis Tongkat Hitam, tapi peringatan itu

tidak digubris sama sekali oleh Ki Suraiala. Bayu



menggeretakkan rahangnya, karena tampaknya Ki

Suratala bernafsu benar ingin membunuhnya.

"Cukup, Ki Suratala! Jangan memaksaku

bertindak!" seru Bayu setelah merasa dirinya tak

sabar.

"Jangan banyak omong, setan! Malam ini juga,

kau atau aku yang mati!" bentak Ki Suratala keras.

Bayu pun kini tidak lagi banyak bicara, dia segera

mengerahkan jurus 'Pukulan Racun Hitam'.

Sedangkah Ki Suratala langsung terkejut tatkala

merasakan angin pukulan Pendekar Pulau Neraka itu

mengandung hawa dingin dan panas bercampur

menjadi satu.

"Awas kaki!" bentak Bayu tiba-tiba.

"Hup!"

Ki Suratala segera melompat begitu kaki Bayu

berputar melayang ke arah kakinya. Tapi pada saat

itu juga, Bayu menggedor tangannya ke arah dada

Ketua Padepokan Melati Putih itu.

Tak pelak lagi, tubuh Ki Suratala langsung

terjungkal keras menghantam tanah. Dari mulutnya

tampak mengucur darah kental kehitaman

"Hiyaaa..!" pekik Bayu keras.

Tepat ketika Ki Suratala baru bangkit dan hendak

menyerang kembali, tangan Pendekar Pulau Neraka

sudah mengibas ke depan di saat kakinya baru

menjejak tanah. Langsung saja cakra di tangannya

melesat melesat cepat ke arah Ki Suratala. Begitu

cepatnya, sehingga Ki Suratala tidak sempat lagi

menghindar.


"Aaa....!" Ki Suratala kontan menjerit keras.

Tampak cakra perak bersegi enam itu menembus

dadanya hingga ke punggung. Dan pada saat tubuh

laki-laki tua itu limbung, Bayu segera melompat

bagai kilat, dan tangan kanannya mengibas ke arah

leher. Tak pelak lagi, leher Ki Suratala tergores oleh

sabetan tangan Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya

kemudian ambruk dan darah muncrat dari lehernya.

"Hup!"

Kembali Bayu menjejak tanah, dan mengangkat

tangan kanannya ke atas. Cakra yang tertanam di

tubuh Ki Suratala pun langsung melesat, kembali

menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar

Pulau Neraka itu. Sebentar Bayu menatap pada

tubuh lawannya yang sudah jadi mayat, kemudian

tangannya melipat di depan dada. tatapan matanya

tajam merayapi orang-orang yang masih berada di

sekitarnya.

"Bayu, ayo kira pergi dari sini!" ajak Pengemis

Tongkat Hitam seraya menghampiri.

"Tunggu!"

Dengan serempak, tiga puluh orang murid-murid

Padepokan Melati Putih berlompatan maju.

Sementara Pengemis Tongkat Hitam menggerutu

dalam hati. Dia sudah menduga kalau urusannya

tidak akan selesai begitu saja. Kejadian malam itu

merupakan awal dari permasalahan baru lagi. Sudah

pasti, mereka yang ada di sini tidak akan tinggal

diam melihat kematian Ki Suratala. Keadaan semakin

bertambah runcing dengan berlompatannya tiga

puluh orang murid Ki Suratala.


“Kau tidak bisa pergi begitu saja, Pendekar Pulau

Neraka. Kau harus membayar mahal nyawa guru

kami" kata salah seorang dari tiga puluh murid

Padepokan Melati Putih itu.

Sret! Cring!

Mereka langsung mencabut pedang masing-

masing. Pedang berwarna keperakan itu berkilat

tertimpa cahaya bulan. Semua gagangnya terdapat

ukiran bunga melati. Tampak Pengemis Tongkat

Hitam menatap Bayu yang berada di sampingnya.

"Menyingkirlah, Kek," kata Bayu pelan.

"Jangan layani mereka, Bayu. Keadaan bisa

bertambah parah." Pengemis Tongkat Hitam mencoba

meredakan hati Pendekar Pulau Neraka Itu.

"Sudah kepalang basah. Sekarang, besok atau

lusa sama saja. Tanganku pasti akan bergelimang

darah mereka," datar nada suara Bayu.

Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa menarik

napas panjang dan berat. Semua ini gara-gara Ki

Suratala yang tidak bisa menahan emosi. Suasana

panas tidak mungkin bisa diredakan lagi. Tiga puluh

orang murid Ki Suratala sudah berlompatan

mengepung dari segala penjuru. Sementara Bayu

masih berdiri tegak dengan tangan melipat di depan

dada. Matanya tajam merayapi mereka yang sudah

mengepungnya.

"Seraaang...!" seru salah seorang.

"Hiya...! Yeaaah...!"

Teriakan-teriakan pemberi semangat langsung

bergema membelah malam di Lereng Gunung


Panjalukan itu. Tiga puluh orang yang berpakaian

putih itu berlompatan menyerang Pendekar Pulau

Neraka. Pedang mereka berkelebatan cepat

mengurung dari segala jurusan. Namun Pendekar

Pulau Neraka hanya berkelit memiringkan tubuhnya

ke kanan dan ke kiri, menghindari setiap sabetan dan

tusukan pedang lawan-lawannya.

Murid-murid Padepokan Melati Putih bukanlah

tandingan Pendekar Pulau Neraka. Dua kali lipat

banyaknya dari jumlah itu pun, masih belum tentu

bisa menandinginya. Tidak heran kalau dalam waktu

singkat saja, hampir separuh dari jumlah mereka

langsung menggeletak bersimbah darah. Teriakan-

teriakan pertempuran, berbaur menjadi satu dengan

pekik dan jerit kematian.

Sementara Pengemis Tongkat Hitam tampak

semakin gelisah saja. Dia mengkhawatirkan

keselamatan Pendekar Pulau Neraka, tapi tokoh

tokoh rimba persilatan yang ada di sekitar tempat itu,

pasti tidak akan tinggal diam begitu saja melihat

Bayu membantai murid-murid Padepokan Melati

Putih.

Kegelisahan Pengemis Tongkat Hitam semakin

bertambah saat tokoh-tokoh rimba persilatan mulai

meloloskan senjatanya masing-masing. Wajah mereka

kelihatan tegang dan kaku, menahan geram melihat

tindakan Pendekar Pulau Neraka yang tidak kenal

ampun.

"Bayu! Cepat pergi...! Hiyaaa...!"

Mendadak Pengemis Tongkat Hitam melenting

cepat bagai kilat. Tangannya langsung menyambar


pergelangan tangan kiri Bayu, dan membawanya

pergi dan tempat itu. Begitu cepatnya, tahu-tahu

mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam dan

kerimbunan pepohonan. Tentu saja semua tokoh

rimba persilatan tersebut segera berlompatan

mengejar. Murid-murid Padepokan Melati Putih yang

tinggal delapan orang, tidak ikut mengejar. Sisa-sisa

murid tersebut segera mengurusi mayat-mayat

saudara seperguruannya, dan mayat gurunya.

***

Bayu menyentakkan tangannya, sehingga cekalan

Pengemis Tongkat Hitam terlepas. Namun mereka

terus berlari cepat dengan mengerahkan ilmu

meringankan tubuh. Kedua tokoh digdaya itu seperti

tengah berlomba lari. Mereka baru berhenti setelah

sampai di tepi sungai yang mengalir deras dari

puncak gunung.

"Uh! Aku tidak suka jadi buronan!" dengus Bayu

sedikit terengah.

"Kau tidak bisa menghadapi mereka semua. Bayu.

Lagi pula tidak ada gunanya kau membunuhi

mereka!" sahut Pengemis Tongkat Hitam seraya

mengatur napasnya.

"Mereka yang memulai, dan aku tidak bisa

berdiam diri dicaci maki begitu!" rungut Bayu kesal.

"Hhh..., persoalannya jadi bertambah runyam!"

keluh Pengemis Tongkat Hitam.

"Kau tahu, Kakek Pengemis. Aku tidak peduli,

apakah mereka dari golongan putih atau golongan



hitam. Siapa saja yang menantangku, harus

kuhadapi!" kata Bayu tegas.

"Jangan membabi buta, Bayu. Kau tidak akan

dapat menaklukkan dunia hanya dengan

mengandalkan jurus-jurus ilmu silat. Masih banyak

orang yang lebih tinggi tingkatannya darimu," kata

Pengemis Tongkat Hitam, mencoba meredakan

amarah Pendekar Pulau Neraka itu.

"Jangan mengguruiku, Kakek Pengemis. Di

mataku, semua orang sama! Tidak ada golongan

putih maupun hitam. Semua bisa jadi teman maupun

lawan. Aku tidak peduli siapa mereka. Siapa saja

yang mengoyak harga diriku, harus berhadapan

denganku!" tegas kata-kata Bayu

"Bayu, tenangkan dirimu. Kendalikan emosimu,

masih banyak persoalan yang lebih penting daripada

menuruti hawa nafsu. Ingat, Bayu. Saat ini kau

harus membersihkan namamu. Kau harus mencari

orang yang telah merusak namamu. Itu persoalan

yang paling penting, yang harus kau selesaikan

sekarang!" kata Pengemis Tongkat Hitam

mengingatkan.

"Percuma!" dengus Bayu kesal.

"Tidak ada yang percuma. Mereka hanya...."

"Ah,…sudahlah!" sentak Bayu memotong. "Aku

memang harus membunuh setan keparat itu, tapi

aku tidak peduli dengan anggapan semua orang

tentang diriku!"

Pengemis Tongkat Hitam hanya mengangkat

bahunya. Sia-sia saja dia menasehati pemuda

berbaju kulit harimau itu. Watak dan kepribadian


Pendekar Pulau Neraka tidak bisa dirubah lagi.

Namun hatinya merasa iba juga dengan keadaan

yang tengah dihadapinya. Fitnah memang sangat keji.

Bukan hanya merusak nama baik seseorang, tapi

juga suatu perkumpulan.

Memperbaiki benda yang rusak memang

pekerjaan mudah, tapi memperbaiki nama yang

sudah cacat..!? Bukan suatu hal yang mudah untuk

dilakukan.

"Sebaiknya kira mencari tempat yang lebih aman,

Bayu. Di sini sudah diketahui orang," kata Pengemis

Tongkat Hitam mengusulkan.

"Sebenarnya aku tidak ingin kau berada di

pihakku. Kakek Pengemis. Mereka akan menuduhmu

berkomplot denganku. Nama baikmu juga bisa

rusak," kata Bayu pelan.

Pengemis Tongkat Hitam hanya tersenyum saja.

Kemudian dia melangkah pelan-pelan menyusuri

tepian sungai. Namun arahnya berlawanan dengan

aliran air sungai itu. Sebentar kemudian Bayu ikut

juga berjalan di samping laki-laki tua itu. Mereka

terus melangkah tanpa bicara lagi. Sementara malam

terus merambat semakin larut, kabut pun semakin

tebal menyelimuti seluruh Gunung Panjalukan ini.

***

Sementara itu tokoh tokoh rimba persilatan yang

mengejar Pendekar Pulau Neraka, kehilangan jejak.

Mereka memang sempat tiba di tepi sungai, di mana

Pendekar Pulau Neraka dan Pengemis Tongkat Hitam


tadi berhenti. Kini mereka tidak tahu lagi, ke mana

harus mengejar. Sedangkan kabut yang menyelimuti

seluruh Lereng Gunung Panjalukan itu demikian

tebal, sehingga menghalangi pandangan mereka.

Sepanjang mata memandang, hanya kegelapan

dan kabut yang terlihat. Di antara mereka, tampak

Pendekar Pedang Emas duduk di atas batu pipih

yang hitam pekat dan dingin. Sementara yang lainnya

terus sibuk menentukan arah. Tak lama kemudian,

mereka mengambil kesepakatan untuk berpencar.

Namun Pendekar Pedang Emas duduk diam sambil

memandangi arus sungai yang mengalir menuruni

lereng gunung ini.

"Oh!" Pendekar Pedang Emas tersentak kaget

ketika sebuah tangan menepuk pundaknya. "Malaikat

Bayangan Hijau…"

Tampak seorang laki-laki berbaju serba hijau

tersenyum. Lalu dia menempatkan dirinya duduk di

samping Pendekat Pedang Emas. tanpa disadari, di

tepi sungai itu kini tinggal mereka berdua saja.

Semua orang mengejar Pendekar Pulau Neraka sudah

berpencar ke arah tujuan masing-masing. Yang pasti,

mereka masih tetap mencari di sekitar lereng Gunung

Panjalukan ini

"Apa yang sedang kau lamunkan, Pendekar

Pedang Emas?" tanya Malaikat Bayangan Hijau.

Pendekar Pedang Emas hanya menarik napas

panjang.

"Ada yang menyusahkan hatimu?" tanya Malaikat

Bayangan Hijau lagi.


"Entahlah...," desah Pendekar Pedang Emas

pelan. "Sepertinya kata-kata Pengemis Tongkat Hitam

terngiang terus di telingaku."

"Terus terang, aku sendiri juga memikirkannya,"

kata Malaikat Bayangan Hijau. Pelan juga suaranya.

Pendekar Pedang Emas segera menatap setengah

tidak percaya pada Malaikat Bayangan Hijau.

"Kita terlalu bangga dengan nama besar dan ilmu

olah kanuragan yang tinggi. Aku seperti baru

terbangun dari mimpi keindahan dan kemasyhuran.

Aku merasakan seperti orang yang paling bodoh di

dunia ini," nada suara Malaikat Bayangan Hijau

sedikit mengeluh.

"Bukannya bodoh, Malaikat Bayangan Hijau. Tapi

hati kita seperti tertutup, tidak bisa mengambil sari

dari semua peristiwa yang terjadi di sini," Pendekar

Pedang Emas meluruskan.

"Ya, memang tidak mungkin. Satu orang berada

pada dua tempat dalam waktu bersamaan. Kita

mengejar Pendekar Pulau Neraka dari Desa

Galuhung. dan menemukannya bersama Pengemis

Tongkat Hitam. Aku rasa menangkap seekor rusa dan

memanggangnya memerlukan waktu lama. Dan aku

melihat api unggun sudah dinyalakan. Aku jadi

berpikir lain, Pendekar Pedang Emas," kata Malaikat

Bayangan Hijau, seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Kau menduga ada orang lain yang menyamar jadi

Pendekar Pulau Neraka?" Pendekar Pedang Emas

ingin meyakinkan.

"Aku rasa memang begitu. Kau ingat ketika

Pengemis Tongkat Hitam mengatakan, kalau


Pendekar Pulau Neraka sedang difitnah? Bahkan

gadis yang bernama Murti memberi kesaksian, kalau

dia bertemu dengan Pendekar Pulau Neraka yang asli.

Gadis itu bahkan berani bersumpah, ada perbedaan

pada kedua Pendekar Pulau Neraka," Malaikat

Bayangan Hijau mengingatkan.

Pendekar Pedang Emas pun mengangguk-

anggukkan kepalanya. Dia ingat betul dengan kata-

kata Pengemis Tongkat Hitam, yang berbicara lantang

di depan sekian banyak tokoh rimba persilatan. Juga

gadis yang bernama Murti itu memberikan kesaksian,

kalau yang melakukan semua perbuatan keji bukan

Pendekar Pulau Neraka, tapi orang lain yang

menyamar sebagai Pendekar Pulau Neraka.

Saat itu memang tak seorang pun yang mau

percaya. Mereka semua bahkan menganggap, bahwa

Pengemis Tongkat Hitam memperalat Murti untuk

melindungi Pendekar Pulau Neraka. Karena

Pengemis Tongkat Hitam berhutang nyawa pada

pendekar itu.

***


7

Kegelapan masih menyelimuti sekitar Gunung

Panjalukan. Namun dinginnya udara malam itu,

tidak terasa di dalam sebuah goa yang cukup besar di

Puncak Gunung Panjalukan. Nyala api dari ranting-

ranting kering yang terbakar, membuat suasana di

dalam goa itu terasa hangat.

Tidak jauh dari api unggun itu, tampak seorang

pemuda tampan yang memakai baju dari kulit

harimau, tengah duduk meringkuk. Matanya

menatap tajam tidak berkedip pada seorang gadis,

yang tergolek tak berdaya dihamparan daun-daun

kering. Kain yang membelit tubuhnya sudah

tersingkap, sehingga menampakkan sebentuk paha

indah, dan berkulit pulih halus.

"He he he...," pemuda berbaju kulit harimau itu

terkekeh.

Kemudian dia beranjak dan mendekati gadis itu

Pemuda itu lalu duduk dekat pinggang gadis yang

masih lemas. Hanya kepalanya saja yang masih bisa

digerak-gerakkan. Gadis itu berusaha menggeliat,

ketika jari-jari tangan pemuda itu mulai meraba

pahanya. Namun sedikit pun dia tidak bisa

menggerakkan tubuhnya.

“Kau cantik sekali, Murti," desah pemuda itu

penuh nafsu.

Binatang! Lepaskan aku!" bentak gadis yang

bernama Murti itu.


Aku memang akan membiarkanmu pergi, tapi

setelah menikmati malam yang indah ini," sahut

pemuda itu lembut.

Seketika pucat pasilah seluruh wajah Murti

mendengar kata-kata itu. Kembali dia berusaha

menggeliat, namun tubuhnya benar-benar terasa

lemas.

Napas pemuda berbaju kulit harimau itu mulai

mendengus, sedangkan jari-jari tangannya semakin

liar saja menjelajahi bagian-bagian tubuh gadis itu.

Bola matanya terus berputar liar merayapi tubuh

merangsang itu. Mendadak tangan pemuda itu

mencengkeram kain di dada Murti, lalu dengan kasar

dia menariknya.

"Au...!" Murti langsung memekik tertahan.

"Ahhh...," pemuda berbaju kulit harimau itu

mendesah saat melihat sebentuk tubuh indah yang

menggiurkan, terbuka polos tanpa penutup lagi.

Dan pada saat pemuda berbaju kulit harimau itu

mau berbuat lebih jauh....

"Setan!" maki pemuda itu seraya melompat.

Telinganya yang tajam tiba-tiba mendengar suara

langkah kaki yang cepat dan ringan. Sementara Murti

segera beringsut. Tangannya bergegas menutupi

tubuhnya yang sudah terbuka.

"Cari mampus! Berani mengganggu

kesenanganku!" umpat pemuda itu lagi.

Kemudian laki-laki berbaju kulit harimau itu

menghampiri Murti. Dan dengan cepat dia menotok

jalan darahnya. Gadis itu pun langsung menggeletak

lemas.



"Kau di sini dulu, aku segera kembali setelah

membereskan tikus itu!" kata pemuda itu seraya

melompat ke luar.

***

Pada waktu yang sama, tampak dua orang tengah

berlari-lari mendaki Gunung Panjalukan itu. Mereka

adalah Pendekar Pulau Neraka dan Pengemis Tongkat

Hitam. Gerakan mereka sangat ringan, berlari dan

berlompatan menuju puncak gunung. Namun saat

mereka melompat ke atas batu yang menjorok ke

luar, gerakan mereka terhenti.

"Dewi Ranti ," desis Pengemis Tongkat Hitam

tersedak suaranya.

Mata laki-laki tua Itu tidak berkedip, memandang

pada sesosok tubuh wanita yang tergolek di atas

bebatuan. Kepalanya berlumur darah yang sudah

membeku. Tubuhnya hanya tertutup secarik kain

yang sudah koyak di beberapa bagian. Pengemis

Tongkat Hitam segera melompat mendekati mayat itu.

"Biadab...!" geram Pengemis Tongkat Hitam sambil

menggemeletukkan giginya.

Laki-laki tua itu kemudian bangkit ketika

pundaknya disentuh. Dia lalu menoleh pada pemuda

tampan yang mengenakan baju dari kulit harimau.

Sejenak mereka hanya saling pandang tanpa berkata-

kata. Kini sudah lima mayat gadis yang mereka temui

di Gunung Panjalukan itu. Mereka tewas dengan

keadaan yang benar-benar mengenaskan.


"Dia pasti ada di sekitar tempat ini," kata

Pendekar Pulau Neraka yakin.

"Aku tidak akan memberinya ampun Keparat itu

harus kubunuh!" geram Pengemis Tongkit Hitam.

Amarah laki-laki tua itu benar-benar sudah tidak

dapat ditahan lagi. Sering dia berhadapan dengan

tokoh-tokoh rimba persilatan golongan hitam, tapi

baru kali ini menemukan kebiadaban di luar batas.

Pengemis Tongkat Hitam segera melompat kembali

menuju Puncak Gunung Panjalukan itu. Sedangkan

Pendekar Pulau Neraka pun lansung mengikuti.

Mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh

yang sudah mencapai tahap sempurna. Di malam

yang penuh kabut tersebut, dua tubuh berkelebatan.

Mereka kemudian kembali berhenti begitu sampai di

puncak gunung. Sesaat mereka mengedarkan

pandangan berkeliling. Namun kabut tebal yang

menyelimuti seluruh Puncak Gunung Panjalukan,

membuat daya pandangan mereka berkurang.

"Kita berpencar Kek," kata Bayu. Setelah agak

lama terdiam.

"Baiklah, kau ke arah sana," sahut Pengemis

Tongkat Hitam menunjuk ke satu arah.

Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak tahu lagi

arah Utara dan Selatan. Sepanjang mata

memandang, hanya kegelapan dan kabut tebal yang

terlihat. Bayu mulai melangkah pelahan-lahan

menuju arah yang telah ditunjuk oleh Pengemis

Tongkat Hitam. Matanya terbuka lebar dan tajam,

berusaha menembus pekatnya kabut. Langkah

kakinya ringan, tak menimbulkan suara sedikit pun.


Bayu terus melangkah dengan pelahan-lahan dan

hati-hati. Di tempat Itu sepi tetap menyelimuti, hanya

tiupan angin saja yang terdengar menderu-deru.

Mendadak mata Pendekar Pulau Neraka itu agak

menyipit, ketika menangkap cahaya berkelip di

antara kabut dan pepohonan. Sebentar cahaya itu

terlihat, dan sebentar kemudian hilang, lalu terlihat

lagi, dan hilang lagi

Bayu terus melangkah dengan hati-hati ke arah

cahaya yang dilihatnya. Semakin dekat dia ke arah

cahaya itu, semakin yakinlah kalau cahaya itu

datang dari api unggun. Kembali matanya menyipit.

Cahaya api itu ternyata berasal dari dalam sebuah

goa yang cukup besar.

Trak!

Bayu mendadak terkejut ketika kakinya tidak

sengaja menginjak franting kering. Pendekar Pulau

Neraka itu langsung melesat naik ke pohon di

sampingnya. Suara ranting yang patah di dalam

kesunyian malam itu, terdengar cukup keras.

Sejenak Bayu terhenyak ketika melihat seseorang

keluar dari dalam goa itu. Hampir dia tidak bisa

mempercayai penglihatannya. Orang yang keluar dari

dalam goa itu sama persis dengan dirinya. Bentuk

tubuh, wajah, rambut, dan pakaiannya. Kini Bayu

seperti tengah memandang dirinya sendiri.

***

Orang yang baru keluar dari dalam goa itu, segera

mengedarkan pandangannya berkeliling. Kepalanya

agak mendongak ke atas, lalu mendadak saja tangan

kanannya mengibas cepat. Dan sebuah benda

berbentuk bintang keperakan meluncur deras ke

arah pohon yang dinaiki Bayu.

"Hup!"

Dengan cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke

bawah. Manis sekali kakinya menjejak tanah, sekitar

dua tombak jaraknya dari laki-laki tampan, tegap dan

berbaju kulit harimau. Sejenak kedua pemuda

tampan yang sama persis itu saling berpandangan.

Benar-benar sukar dipercaya. Tak sedikit pun ada

perbedaan di antara mereka berdua. Bak pinang

terbelah.

Bayu terkejut juga ketika melihat pergelangan

tangan kembarannya juga menempel cakra perak

bersegi enam. Rasanya dia tidak mempercayai

penglihatannya sendiri. Dia pandangi orang di

depannya itu dari ujung kepala sampai ke ujung

kaki.

"Siapa kau? Kenapa kau menyamar jadi diriku,”

tanya Bayu.

"Seharusnya akulah yang bertanya demikian'"

dingin suara orang itu

"Buka topengmu, keparat!"

"Bukankah kau sendiri yang memakai topeng?"

"Jawab pertanyaanku! Siapa kau sebenarnya?"

"Aku Pendekar Pulau Neraka!"

"Edan!"

"Kau yang gila' Siapa kau sebenarnya?"

"Aku Pendekar Pulau Neraka!"


Tragis! Dua orang laki-laki kembar itu sama-sama

mengaku Pendekar Pulau Neraka. Sulit dibedakan,

mana yang asli, dan mana yang palsu. Mereka begitu

sama persis. Suaranya juga sama, tidak ada

perbedaan sedikit pun. Pada saat itu datanglah

Pengemis Tongkat Hitam. Laki-laki tua berpakaian

compang-camping itu langsung terkejut

Pengemis Tongkat Hitam segera memandangi dua

orang kembar itu secara bergantian. Kepalanya jadi

berputar tujuh keliling. Sementara kedua Pendekar

Pulau Neraka tersebut juga memandang ke arah

Pengemis Tongkat Hitam yang tengah kebingungan.

"Kakek Pengemis..."

"Kakek Pengemis...."

Secara bersamaan kedua Pendekar Pulau Neraka

itu memanggil Pengemis Tongkat Hitam. Tentu saja

hal itu membuat Pengemis Tongkat Hitam semakin

bertambah kebingungan, karena suara kedua

pendekar itu tidak berbeda sama sekali.

"Kakek Pengemis, tunjukkan siapa di antara kami

Pendekar Pulau Neraka yang asli," kata salah seorang

pendekar itu.

"Benar, kau harus tunjukkan siapa yang asli,"

sambung satunya lagi.

Pengemis Tongkat Hitam tidak bisa langsung

menentukan. Meskipun dia sudah memandangi

dengan teliti, namun sukar untuk menentukan siapa

yang asli dan yang palsu. Pengemis Tongkat Hitam

kemudian menoleh ke arah goa, ketika telinganya

mendengar suara rintihan lirih.


"Murti...," desis Pengemis Tongkat Hitam dengan

kening berkerut dalam.

Lalu tanpa menghiraukan tatapan kedua

pendekar itu, Pengemis Tongkat Hitam melesat

masuk ke dalam goa. Tidak seorang pun dari kedua

Pendekar Pulau Neraka itu yang berusaha mencegah.

Sedangkan Pengemis Tongkat Hitam langsung

tersentak begitu melihat Murti menggeletak tak

berdaya, dengan tubuh hanya tertutup oleh selembar

kain.

Pengemis Tongkat Hitam segera menghampiri, dan

memeriksa tubuh gadis itu. Kemudian jari-jari

tangannya bergerak lincah membuka totokan jalan

darah di tubuh gadis itu. Murti bergegas bangkit dan

membenahi kainnya. Dia langsung menangis di

pelukan laki-laki tua itu. Sementara Pengemis

Tongkat Hitam tidak mampu untuk berbuat apa-apa.

Dia membiarkan saja gadis itu menumpahkan air

matanya di dalam pelukannya

Setelah beberapa saat Murti menguras air mata

nya, pelahan-laha dia melepaskan pelukannya, dan

beranjak berdiri. Wajahnya langsung berubah tegang,

dan berlari keluar goa.

"Kubunuh kau, keparat...!" teriak Murti

melengking.

***

"Murti...!"

Pengemis Tongkat Hitam bergegas melompat dan

menghadang Murti yang sudah mencapai luar goa.


Seketika Murti terperangah, begitu melihat ada dua

Pendekar Pulau Neraka. Wajah tegangnya berubah

jadi keraguan dan keheranan. Sedangkan Pengemis

Tongkat Hitam berdiri di samping gadis itu.

Sementara dua Pendekar Pulau Neraka menatap

Murti tidak ber kedip.

"Murti, siapa yang membawamu ke sini?" tanya

Pengemis tongkat Hitam.

Murti tidak bisa langsung menjawab. Dia terus

memandangi dua orang yang sama persis secara

bergantian. Hatinya jadi diliputi oleh keraguan dan

keheranan. Tidak mungkin dia asal tunjuk saja.

Tampak Murti hanya menggeleng-gelengkan

kepalanya.

"Tidak..," desis Murti pelan.

Gadis itu lalu memandang Pengemis Tongkat

Hitam dan dengan cepat dia merampas pisau yang

selalu terselip di pinggang laki-laki tua itu. Sambil

menjerit histeris, mendadak Murti menghunjamkan

pisau itu ke dadanya sendiri.

"Murti..."' Pengemis Tongkat Hiiam terperanjat.

Kedua Pendekar Pulau Neraka itu pun terkejut.

Namun mereka tetap diam tidak bergerak. Sementara

Pengemis Tongkat Hitam langsung menubruk tubuh

gadis itu. Kemudian dia segera mencabut pisau yang

terbenam dalam di dada Murti. Darah langsung

muncrat begitu pisau tercabut. Dengan cepat

Pengemis Tongkat Hitam menotok jalan darah di

sekitar luka pada tubuh gadis itu. Darah pun

langsung berhenti mengalir.


"Murti, kenapa kau lakukan hal ini?" pelan suara

Pengemis Tongkat Hitam.

"Dia telah membunuh orang tuaku, dan hampir

memperkosaku. Tidak ada gunanya lagi aku

hidup...," pelan dan lirih suara Murti.

"Siapa?" desak Pengemis Tongkat Hitam.

"Pendekar Pulau Neraka...."

Belum lagi Pengemis Tongkat Hitam bertanya

lebih lanjut, Murti sudah keburu pingsan. Laki-laki

tua itu kemudian meletakkan tubuh gadis itu, dan

bangkit berdiri. Matanya kembali memandangi kedua

Pendekar Pulau Neraka itu.

"Biadab! Kau harus bertanggung jawab, keparat!"

geram salah seorang Pendekar Pulau Neraka.

"Kau yang harus bertanggung jawab!" balas yang

satunya lagi.

"Untuk apa kau lakukan semua itu? Kenapa kau

memfitnahku? Jawab !"

"Kau seharusnya yang menjawab, bukan aku!"

"Setan! Kau benar benar binatang!"

"Mampus kau! Hiyaaa...!"

Salah seorang Pendekar Pulau Neraka langsung

melompat menerjang Sedangkan Pendekar Pulau

Neraka lainnya segera mengegoskan tubuhnya ke

samping menyambar ke arah iga. Namun berhasil

dielakkan oleh yang satunya.

Sementara Pengemis Tongkat Hitam kini benar-

benar sudah kebingungan. Kedua pendekar itu

bertarung dengan mempergunakan jurus-jurus yang

sama persis. Mereka tampaknya juga sama-sama


tangguh, dan sudah menguasai betul akan jurus-

jurusnya.

Pertarungan terus berjalan cepat. Masing-masing

mengerahkan serangan yang dahsyat dan

mematikan. Namun sampai sejauh ini, belum ada

yang berhasil menyarangkan pukulan atau

tendangan mautnya. Kini pertarungan itu sudah

mencapai lebih dari dua puluh jurus. Sementara itu

tempat di sekitar pertarungan tersebut, sudah porak-

poranda bagai dilanda gempa. Kabut pun mulai

menyingkir, karena setiap pukulan yang mereka

lepaskan menimbulkan sapuan angin yang keras dan

dahsyat, di samping mengeluarkan haea panas yang

luar biasa.

Dari tadi Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa

menyaksikan dengan kepala pening. Dalam keadaan

seperti itu, ia semakin sulit untuk membedakan satu

sama lainnya. Setiap pergantian jurus, selalu

bersamaan waktunya. Mereka seperti memiliki

kontak batin yang sangat kuat.

"Hhh..., kalau begini terus, dua-duanya bisa ma-

ti," desah Pengemis Tongkat Hitam.

Ada niat di hatinya untuk memisahkan kedua

orang yang sedang bertarung itu. Namun dia benar-

benar bingung, karena pertarungan dua Pendekar

Pulau Neraka itu berjalan semakin sengit dan

dahsyat.

Pada saat itu, mendadak muncul Pendekar

Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau. Mereka

langsung mendekati Pengemis Tongkat Hitam.

Sementara pertarungan terus berjalan cepat,


sehingga yang terlihat hanya dua bayangan

berkelebatan saling sambar.

"Siapa yang bertarung?" tanya Pendekar Pedang

Emas.

'Pendekar Pulau Neraka," sahut Pengemis Tongkat

Hitam tanpa mengalihkan perhatiannya.

"Dengan siapa?" tanya Pendekar Pedang Emas

lagi.

"Pendekar Pulau Neraka." Seketika Pendekar

Pedang Emas tersentak kaget. Jawaban laki-laki tua

itu dirasakan sangat aneh, dan seperti bermain-main.

Namun belum juga Pendekat Pedang Emas membuka

suara lagi, mendadak pertarungan berhenti. Tampak

Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau

terperangah!

Hampir mereka tidak bisa mempercayai

penglihatannya. Dua orang Pendekar Pulau Neraka

berdiri berhadapan dengan mata saling tatap tajam.

Secara bersamaan, mereka membuat gerakan tubuh

yang serupa. Lalu dengan berteriak lantang, mereka

kembali melompat ke depan dengan kedua tangan

terbuka menjulur ke depan.

"Hiyaaa...!"

"Hiyaaa...!"

***

8

Satu ledakan keras terdengar memekakkan

telinga, ketika dua pasang telapak tangan

berbenturan, di udara. Kedua Pendekar Pulau Neraka

itu langsung terpental ke belakang, dan jatuh

bergulingan di tanah. Namun mereka segera bangkit

kembali tampak dari lubang hidung dan sudut bibir

mereka mengeluarkan darah.

Kedua Pendekar Puiau Neraka itu kembali saling

mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Sungguh

sulit dipercaya, seperti ada yang memberi komando

saja, mereka melakukan gerakan yang sama persis,

lalu kembali melenting sambil berteriak nyaring.

Kembali terdengar suara ledakan keras

menggelegar, bersamaan dengan berbenturannya

tangan mereka. Dan untuk kedua kalinya, mereka

terlontar ke belakang dengan keras! Namun kali ini

ada sedikit perbedaan. Satu dari Pendekar Pulau

Neraka itu tidak sampai jatuh terguling, dan berhasil

menjejakkan kakinya di tanah. Sedangkan satunya

lagi bergulingan beberapa kali di tanah sebelum bisa

bangkit

"Ugh!"

Pendekar yang bergulingan di tanah itu,

memuntahkan darah kental kehitaman. Tangan

kanannya tampak menekap dada, namun sorot

matanya tetap tajam pada lawannya. Mendadak saja

paras wajahnya berubah, ketika melihat lawannya

melepaskan senjata Cakra Maut keperakan, dari

pergelangan tangan kanannya


"Cabut cakra palsumu itu, bajingan!" kata

Pendekar Pulau Neraka yang sudah melepaskan

senjatanya.

Dan tanpa menghiraukan sentakan itu, Pendekar

Pulau Neraka satunya lagi segera mengibaskan

tangan kanannya dengan cepat. Seketika benda-

benda kecil berbentuk bintang perak, bertebaran

meluruk ke arah lawannya.

"Yaaaat..!"

Pendekar Pulau Neraka itu langsung berlompatan

menangkis serangan, dengan senjata cakra di dalam

genggaman salah satu ujungnya.

Tring! Trang!

Bintang-bintang perak itu tidak satu pun yang

mengenai sasaran. Dan begitu kakinya turun ke

tanah, dia menempelkan kembali senjatanya ke

pergelangan tangan kanannya. Tepat pada saat itu,

Pendekar Pulau Neraka satunya kembali melontarkan

bintang-bintang peraknya.

Tring!

Cepat sekali tangan kanan Pendekar Pulau Neraka

itu bergerak menangkis serbuan senjata bintang

perak, dan kakinya bergerak cepat menghindari

bintang-bintang perak yang tidak tertangkis. Sesaat,

ketika serbuan bintang perak itu berhenti, secepat

kilat tangan kanannya mengibas ke depan dengan

tubuh agak membungkuk ke samping.

Slap!

Seketika Cakra Maut bersegi enam keperakan di

pergelangan tangan kanan, melesat cepat bagai kilat

Suaranya mendesing. Pendekar Pulau Neraka yang


tadi melontarkan bintang-bintang perak Itu langsung

terperangah, namun dengan cepat dia berkelit

menghindarinya. Sayang bahu kirinya sempat

tergores juga.

"Akh!"

Senjata cakra itu berbalik dengan cepat, dan

segera menyerang kembali. Pendekar Pulau Neraka

itu langsung berjumpalitan! Sedangkan pemiliknya

mengendalikan dari jarak tidak begitu jauh. Tangan

kanannya terus bergerak-gerak mengatur jalannya

Cakra Maut itu.

"Akh!"

Kembali terdengar pekikan tertahan. Tampak

tubuh Pendekar Pulau Neraka itu limbung, ketika

senjata itu berhasil menembus perutnya. Pada saat

itu, Cakra Maut kembali melesat, dan menempel ke

pergelangan tangan pemiliknya. Dan tanpa

membuang waktu sedikit pun, dia segera melompat

sambil mengibaskan tangan kanannya.

Cras!

"Aaa...!"

Seketika terdengar jeritan melengking tinggi.

Belum lagi hilang suara jeritan itu, mendadak tubuh

Pendekar Pulau Neraka yang tertancap cakra pada

dadanya, melambung tinggi ke udara, lalu jatuh

dengan keras ke tanah! Sedangkan Pendekar Pulau

Neraka satunya lagi langsung memburu, dan

menekan lututnya ke dada lawannya yang terluka itu.

Sejenak dia mencabut cakra dari dada, dan

menempelkannya kembali ke pergelangan tangannya.


"Siapa kau sebenarnya?"

"Heh! Tak ada gunanya kau tahu, aku puas

meskipun harus mati di tanganmu," dengusnya

mengejek.

"Monyet...!"

Plak!

"Bayu...."

Pendekar Pulau Neraka yang sedang menekan

lawannya, langsung menoleh. Tampak Pengemis Tong

kat Hitam menghampiri dengan langkah cepat dan

lebar. Sementara Pendekar Pedang Emas dan

Malaikat Bayangan Hijau mengikuti dari belakang.

"Aku tahu siapa dia," kata Pengemis Tongkat

Hitam.

Pendekar Pulau Neraka segera bangkit. Sedangkan

Pendekar Pulau Neraka satunya lagi semakin lemah

tak berdaya. Pengemis Tongkat Hitam kemudian

berlutut, dan tangannya menjulur ke wajah Pendekar

Pulau Neraka yang menggeletak tak berdaya. Lalu

dengan hati-hati sekali dia menarik kulit wajah itu

Tampaklah di balik wajah Pendekar Pulau Neraka Itu,

tersembunyi wajah lain. Seorang laki-laki dengan

wajah buruk bagai kodok buduk.

***

Pendekar Pulau Neraka segera mengamati laki-

laki yang sudah terbuka kedoknya itu. Sementara

Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau

hanya memperhatikan saja, dengan kepala dipenuhi

oleh berbagai macam pertanyaan. Pengemis Tongkat


Hitam lalu berdiri. Sebentar dia menatap wajah yang

sudah pucat, dengan napas kembang kempis tak

teratur, kemudian dia menatap pada Bayu, atau Pen-

dekar Pulau Neraka yang asli.

"Dia bernama Bagaspati, putra tunggal Pendeta

Pasanta," kata Pengemis Tongkat Hitam

Bayu kembali memandangi wajah laki-laki yang

ternyata bernama Bagaspati. Dia sudah bisa

menduga, kenapa laki-laki ini menyamar jadi

Pendekar Pulau Neraka. Putra tunggal Pendeta

Pasanta itu pasti dendam, karena ayahnya tewas di

tangannya. Bayu juga tidak heran lagi, kenapa

Bagaspati bisa menguasai jurus-jurusnya dengan

baik. Hal itu disebabkan Pendeta Pasanta sempat

mencuri kitab peninggalan Eyang Gardika, guru

Pendekar Pulau Neraka, dari tangan Branta Ireng,

atau si Iblis Hitam (Bacalah Serial Pendekar Pulau

Neraka dalam kisah, "Pengantin Dewa Rimba").

"Sebenarnya, maksudku datang ke Desa Gampit

memang untuk memburu Bagaspati, yang telah

membuat banyak kekacauan di daerahku. Juga

Pendeta Pasanta, yang selalu melindunginya. Mereka

memang ahli dalam hal menyamar, merubah wajah,

menirukan suara orang, dan mencuri ilmu. Dan aku

tahu, saat dia mempergunakan senjata bintang perak

dia sebenarnya mempergunakan jurus 'Seribu

Mutiara Hitam'. Senjata aslinya adalah berupa bola

hitam yang beracun sangat mematikan," Pengemis

Tongkat Hitam menjelaskan.

"Licik!" desis Bayu geram.


Tiba-tiba dengan kemarahan yang memuncak,

Bayu langsung mengangkat tubuh Bagaspati. Dan

dengan cepat tangan kanannya melayang ke arah

leher! Seketika Bagaspati memekik keras, lalu

menggelepar. Bayu pun segera mencampakkan tubuh

Bagaspati dengan kasar.

Bagaspati masih menggelepar sesaat, lalu diam

dan tidak bergerak-gerak lagi. Sementara itu

Pengemis Tongkat Hitam, Pendekar Pedang Emas dan

Malaikat Bayangan Hijau hanya menarik napas

panjang menyaksikan kesadisan Pendekar Pulau

Neraka itu

Saat itu matahari mulai menampakkan cahayanya

di ufuk Timur. Kabut yang menyelimuti Puncak

Gunung Panjalukan itu, sedikit demi sedikit tersibak.

Dan kehangatan sang mentari pagi pun mulai terasa.

Bayu kemudian melangkah menghampiri tubuh

Murti, yang masih tidak sadarkan diri. Dia lalu

mengangkat tubuh gadis itu dan menggendongnya.

Kembali langkah kakinya terayun meninggalkan

tempal itu.

Tapi baru saja dia berjalan sejauh dua tombak,

langsung terjatuh. Dan gadis yang dipondongnya itu

pun tergulir lepas dari tangannya. Tampak Bayu

memuntahkan darah kental kehitaman.

"Bayu...!" Pengemis Tongkat Hitam terkejut.

Laki-laki tua itu bergegas menghampiri. Matanya

langsung membeliak begitu melihat pundak Bayu

terluka memar merah sebesar kepalan tangan. Buru-

buru dia menotok di sekitar luka memar itu.


"Kau terkena 'Pukulan Tapak Berbisa'," kata

Pengemis Tongkat Hitam.

"Pengemis Tongkat Hitam, sebaiknya kau segera

bawa dia ke Tabib Salaka, hanya dialah yang mampu

menyembuhkan 'Pukulan Tapak Berbisa'," kata

Pendekar Pedang Emas.

"Ugh!" Bayu kembali terbatuk dan memuntahkan

darah kental kehitaman.

Maka tanpa menunggu waktu lagi, Pengemis

Tongkat Hitam segera memondong tubuh Pendekar

Pulau Neraka, dan membawanya pergi dengan cepat.

Dalam waktu singkat saja. Bayangan tubuhnya

sudah lenyap ditelan kelebatan hutan.

Sementara Pendekar Pedang Emas segera

mengangkat tubuh Murti, dan membawanya

meninggalkan Puncak Gunung Panjalukan.

Sedangkan Malaikat Bayangan Hijau mengikuti di

sampingnya. Mereka kemudian meninggalkan tempat

itu bersamaan dengan semakin naiknya matahari.

"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" tanya

Malaikat Bayangan Hijau.

"Ke Desa Galuhung," sahut Pendekar Pedang

Emas. "Biar para penduduk desa yang merawatnya.

Untung dia belum sempat jadi korban."

"Sebaiknya kita bawa juga mayat Dewi Ranti,"

usul Malaikat Bayangan Hijau.

"Ya, cepatlah kau ambil mayatnya." Malaikat

Bayangan Hijau segera melompat menuju lereng

berbatu.

***


Saat itu di pondok Tabib Salaka, Pendekar Pulau

Neraka tampak terbaring di atas dipan kayu

beralaskan tikar daun pandan. Sementara Tabib

Salaka tengah berusaha mengeluarkan racun yang

mengendap di dalam tubuh Bayu. Sedangkan

Pengemis Tongkat Hitam menungguinya tidak jauh

dari tempat tidur itu.

"Hhh...!" Tabib Salaka menarik napas panjang

seraya bangkit

"Bagaimana, Ki?" tanya Pengemis Tongkat Hitam

cemas.

"Tidak parah, untung belum menyebar. Sebentar

lagi juga akan pulih," sahut Ki Salaka.

Pengemis Tongkat Hitam segera menarik napas

lega

"Apakah dia bertarung dengan Pendeta Pasanta?"

tanya tabib Salaka.

"Anaknya."

"Hhh! Rupanya Ayah dan anak sama saja."

"Tapi semuanya sudah tewas, Ki."

"Syukurlah. Kalau manusia-manusia seperti

mereka dibiarkan hidup, bisa hancur dunia in "

Tabib Salaka memandang Bayu sejenak, lalu dia

menarik tangan Pengemis Tongkat Hitam, dan

membawanya ke luar pondok. Sedangkan Pengemis

Tongkat Hitam hanya menurut saja. Mereka

kemudian berhenti di bawah pohon rindang di depan

pondok kecil itu.


"Bukankah dia Pendekar Pulau Neraka, yang telah

membuat keonaran di sekitar Kaki Gunung

Panjalukan ini?" agak berbisik suara Ki Salaka.

"Benar," sahut Pengemis Tongkat Hitam.

"Kenapa kau bawa dia ke sini?'

"Ceritanya panjang, Ki. Yang jelas, dia Pendekar

Pulau Neraka yang asli."

"Maksudmu?"

"Akan kuceritakan semuanya kalau dia sudah

sehat."

"Baiklah, kau janji. Aku tidak mau menolong

orang jahat seperti Pendekar Pulau Neraka "

"Pendekar Pulau Neraka tidak jahat, Ki.

Tindakannya memang tegas, bahkan cenderung

kejam. Tapi dia tidak sembarangan bertindak, Ki "

"Yang namanya penjahat, tetap saja jahat."

Pengemis Tongkat Hitam hanya tersenyum saja.

Kemudian dia melangkah kembali ke dalam pondok.

Tampak Bayu masih terbaring tidak sadarkan diri.

Noda merah pada pundaknya sudah hilang. Kini Pen-

dekar Pulau Neraka itu tinggal menunggu kesehatan-

nya pulih.

"Sayang sekali, kau sudah terlanjur dicap sebagai

pendekar kejam, Bayu," desah Pengemis Tongkat

Hitam pelan.

Entah kenapa, Pengemis Tongkat Hitam

tersenyum. Mungkin dia teringat dengan kata-kata

Bayu, bahwa dia tidak peduli dengan aliran dalam

rimba persilatan. Siapa saja yang menantangnya


akan dihadapi! Mungkin hal itu dikarenakan oleh

latar belakang kehidupannya.

"Kenapa kau tersenyum, Kakek Pengemis?"

"Oh!" Pengemis Tongkat Hitam terperanjat. Dia

terkejut sekali begitu melihat Bayu tahu-tahu sudah

duduk.

"Kau belum pulih benar, Bayu. Sebaiknya segera

berbaring lagi," kata Ki Salaka, yang sejak tadi

memperhatikan.

"Terima kasih, aku harus segera melanjutkan

perjalanan," sahut Bayu.

"Bayu...." Pengemis Tongkat Hitam mau

mencegah.

"Maaf, aku tidak bisa lama-lama berada di sini."

Kemudian Bayu segera mengayunkan langkahnya

keluar dari pondok itu. Pendekar Pulau Neraka it

uterus berjalan, tanpa menoleh sedikit pun.

Sementara Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa

memandangi saja. Dia sudah bisa memahami

wataknya yang keras. Sedangkan Ki Salaka tampak

menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia heran, tapi

juga kagum dengan daya tahan tubuh Bayu yang luar

biasa.

Tak lama kemudian Pengemis Tongkat Hitam juga

minta diri. Tapi Ki Salaka mencegahnya Dia segera

mengingatkan janji Pengemis Tongkat Hitam untuk

menceritakan tentang Pendekar Pulau Neraka. Laki-

laki tua berbaju compang-camping itu pun tak bisa

menolak. Dia sudah terlalu banyak menyusahkan

tabib itu, dan tidak keberatan untuk menceritakan

tentang semuanya. Sementara itu Pendekar Pulau


Neraka sudah semakin jauh meninggalkan pondok

Tabib Salaka. Dia berjalan ke arah Timur. Sebuah

perjalanan panjang yang berliku, dan penuh

tantangan!


                            SELESAI

 


Share:

0 comments:

Posting Komentar