PENDEKAR KEMBAR
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku Ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Supnanto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Pendekar Kembar
128 hal. ; 12 x 18 cm
1
Pagi itu langit kelihatan cerah. Matahari bersinar
penuh, tanpa sedikit pun awan yang menghalangi.
Burung-burung berkicau riang sambil berlompatan
dari dahan ke dahan. Sementara anak-anak pun
tampak ceria bermain air di sungai yang mengalir
jernih, membawa berkah kehidupan dan
kemakmuran. Gadis-gadis desa juga bergembira
merendam tubuhnya sambil mencuci. Di sepanjang
sungai Desa Galuhung tak seorang pun yang
berwajah murung.
Tidak jauh dari sungai itu, tampak seorang
pemuda gagah dan berbaju kulit harimau tengah
berdiri tegak sambil memandang ke arah sungai.
Tatapan matanya terus tertuju pada seorang gadis
yang tengah bercanda ria bersama gadis-gadis lain.
Kain basah yang membelit tubuhnya, hampir melorot
turun, sehingga menampakkan kulit dadanya yang
putih halus. Dua gundukan di dadanya menyembul
hampir ke luar. Tak lama kemudian, gadis itu pun
membetulkan kainnya, dan mengangkat keranjang
cuciannya.
"Aku duluan, ya...!" seru gadis itu dengan nada
ceria.
Sedang gadis-gadis lainnya menyahuti dengan
mengangkat tangannya. Ada beberapa orang yang
menggodanya, membuat wajah gadis itu sedikit
bersemu merah. Dia kemudian melangkah keluar dari
dalam sungai. Tampak seorang anak kecil segera
membantunya dengan mengambil keranjang yang
sedang dibawa gadis itu. Dan sambil berlari lari kecil,
bocah itu memanggul keranjang meninggalkan
sungai. Gadis itu hanya tersenyum dan melangkah
pelan-pelan di jalan setapak, meninggalkan sungai
itu Sementara canda tawa ceria masih terdengar,
membuat pagi yang indah itu jadi semakin semarak.
Dengan langkah pelan dan ceria, gadis itu terus
berjalan semakin jauh meninggalkan sungai.
Sementara anak kecil yang membawa keranjangnya
sudah cukup jauh meninggalkannya. Sejenak
tangannya yang halus lentik, memetik bunga-bunga
yang tumbuh di sepanjang jalan setapak itu. Dari
bibirnya terdengar suara menggumam menyanyikan
lagu yang iramanya terdengar merdu. Dan saat dia
mencapai tikungan jalan, langkahnya mendadak
terhenti. Tampak seorang pemuda tampan dan gagah
sudah berdiri di tengah-tengah jalan
menghadangnya.
"Maaf," gadis itu menganggukkan kepalanya
seraya berjalan menyamping melanjutkan
langkahnya.
Namun pemuda itu segera menyambar tangannya
dan mencekalnya dengan kuat. Gadis itu pun
langsung tersentak kaget.
"Heh! Apa-apaan ini?!" sentak gadis itu
memberengut
"Kau cantik, aku suka padamu," kata pemuda itu
sambil tersenyum menyeringai.
"Lepaskan!" gadis itu menyentakkan tangannya,
tapi cekalan pemuda itu lebih kuat.
"Kau bertambah cantik kalau marah begitu,
Manis”
Melihat keadaan demikian, naluri gadis itu segera
mengatakan kalau dirinya sedang menghadapi
bahaya. Maka dengan sekuat tenaga, dia kembali
menyentakkan cekalan pemuda itu. Begitu terlepas,
dia langsung lari. Namun baru saja dia berlari
beberapa depa, tahu-tahu pemuda itu sudah berdiri
menghadangnya. gadis itu buru-buru berbalik dan
kembali berlari. Tapi pemuda itu kembali
menghadangnya. Kini pucat pasi-lah wajah gadis itu.
Napasnya mulai memburu. Rasa takut pun langsung
menghinggapi dirinya.
"Kau tidak akan bisa lepas dariku, Manis...,"
lembut suara pemuda berbaju kulit harimau itu.
Namun di balik kelembutannya, mengandung nada
ancaman.
Tiba-tiba saja pemuda itu melompat, dam
langsung menerkam gadis itu. Jeritan tertahan segera
terdengar. Dan tanpa dapat ditahan lagi, mereka
jatuh bergulingan di atas rerumputan kering. Gadis
itu memberontak sambil menjerit-jerit, berusaha
melepaskan diri dari dekapan pemuda itu. Namun
dengan ganas dan liar, pemuda itu merenggut kain
basah yang melilit tubuh gadis itu.
"Akh...!" gadis itu menjerit kaget
Tangannya jadi sibuk menutupi bagian-bagian
tubuhnya yanq terbuka. Dalam keadaan demikian,
mata pemuda itu semakin liar merayapi tubuh indah
di dalam dekapannya. Namun dia agak kewalahan
juga, karena gadis itu terus memberontak sambil
menjerit jerit
"Lepaskan! Au...! Tolooong...!" jerit gadis itu
melengking.
"Diam!" bentak pemuda itu kasar
Plak!
"Ah...!"
Satu tamparan keras membuat gadis itu kembali
menjerit. Pipinya jadi merah bergambar lima jari
tangan. Air mata mulai menitik dari sudut matanya
yang indah. Perlawanan gadis itu langsung berhenti.
Dia merintih, memohon belas kasihan. Namun
pemuda itu tidak mempedulikan lagi. Dan pada saat
dia hampir terlaksana maksudnya, mendadak
terdengar sebuah bentakan keras yang mengejutkan.
"Hey...!"
Pemuda itu langsung tersentak dan menoleh.
Tampak seorang laki-laki muda bertubuh tegap
tengah berlari menghampiri. Dan di saat pemuda itu
lengah, gadis itu segera memanfaatkannya untuk
memberontak. Kemudian dia langsung berdiri dan
berlari sambil membetulkan kainnya.
"Setan!" dengus pemuda berbaju kulit harimau
itu.
'Tolong aku, Kang. Dia mau memperkosaku...!"
rintih gadis itu seraya berlindung di balik tubuh
pemuda yang baru datang.
"Phuih!" pemuda itu menyemburkan ludahnya
Matanya tajam menatap pada laki-laki tampan dan
gagah, berbaju kulit harimau di depannya.
Dua laki-laki muda dan tampan itu saling
bertatapan dengan tajam. Sementara si gadis
beringsut mundur menjauh. Tangannya tetap
memegangi kain di depan dada. Keadaannya kini
sudah benar-benar tidak karuan. Tampak kainnya
sudah sobek-sobek di beberapa bagian. Rambutnya
juga kusut tidak teratur. Namun dia tidak peduli lagi
dengan keadaan dirinya. Matanya menatap penuh
kekhawatiran pada pemuda yang baru datang
menolongnya.
***
"Siapa kau, orang asing?" tanya pemuda itu ketus.
"Aku, Pendekar Pulau Neraka!" sahut laki-laki
tampan berbaju kulit harimau. Suaranya dingin
menggetarkan.
Pemuda itu tampak terkejut mendengar nama
Pendekar Pulau Neraka disebut. Matanya merayapi
dengan tajam pada laki-laki muda tampan di
depannya. Dia memang pernah mendengar nama
Pendekar Pulau Neraka, seorang pendekar digdaya
yang sukar untuk dicari tandingannya. Pemuda itu
kemudian melangkah mundur dua tindak. Ada
sedikit rasa gentar yang tiba tiba menghinggapi.
"Murti, cepat lari. Selamatkan dirimu!" kata
pemuda itu sambil menoleh pada gadis yang masih
berdiri memandanginya.
"Kakang...," gadis itu terasa berat untuk pergi.
"Cepat pergi!" bentak pemuda Itu.
Dan masih dengan hati ragu-ragu, gadis itu pun
berbalik dan langsung berlari cepat. Namun baru saja
dia berlari, laki-laki berbaju kulit harimau yang
mengaku Pendekar Pulau Neraka itu, langsung
melompat mengejar. Pemuda gagah dengan dada
telanjang, segera melompat memapaknya.
"Hiya...!"
Teriak pemuda itu seraya melancarkan dua kali
pukulan yang beruntun, namun dengan manis sekali
laki-laki berbaju kulit harimau bisa mengelakkannya.
Dan tanpa diduga sama sekali, kakinya mendadak
bergerak cepat menyepak. Tentu saja pemuda itu
terperangah, buru-buru dia berkelit, namun sepakan
kaki laki-laki berbaju kulit harimau berhasil
bersarang di pundaknya.
"Akh!" pemuda itu langsung memekik tertahan.
Tubuhnya terjungkal ke tanah.
"Kakang Saka...!" jerit Murti terkejut melihat
pemuda yang menolongnya bergulingan di tanah.
"Cepat pergi, Murti!" bentak pemuda bernama
Saka itu. Dia segera melompat bangkit. Bibirnya
tampak menyeringai merasakan sakit pada
pundaknya.
Namun Murti malah berlari menghampiri Saka
Dipta. Dan hal itu segera dimanfaatkan oleh laki laki
yang mengaku bernama Pendekar Pulau Neraka.
Kemudian dengan cepat dia melompat, dan
menerkam gadis itu.
"Akh!"
"Murti...!"
Laki-laki yang mengaku bernama Pendekar Pulau
Neraka berhasil meringkus Murti dengan kuat.
Sedang gadis itu langsung menjerit sambil meronta
berusaha melepaskan diri. Melihat itu Saka Dipta jadi
geram. lalu tanpa menghiraukan lagi siapa orang
yang sedang dihadapi itu, dia segera melompat sambil
mengirimkan dua kali pukulan beruntun.
Pendekar Pulau Neraka berhasil mengelakkan
serangan Saka Dipta, namun dia jadi geram, karena
Murti menggigit tangannya. Sambil menahan marah,
dia segera mendorong dengan keras tubuh gadis itu,
hingga terjungkal ke tanah. Seketika Murti memekik
kesakitan. Buru-buru Saka Dipta melompat
menghampiri gadis itu, dan membantunya bangun.
"Cepat pergi! Minta bantuan pada orang-orang
desa!" kata Saka Dipta sedikit membentak.
"Kakang...."
"Jangan hiraukan aku, cepat pergi!" bentak Saka
Dipta.
Murti segera beringsut mundur menjauh, dan
langsung berlari cepat ke desanya. Tentu saja laki-
laki tampan berbaju kulit harimau, menggeram
melihat gadis itu berlari semakin jauh. Maka dengan
nyalang matanya menatap Saka Dipta, yang sudah
kembali bersiap-siap menghadapi laki-laki yang
berpakaian mirip dengan Pendekar Pulau Neraka.
Saka Dipta yang sudah banyak mendengar
tentang sepak terjang Pendekar Pulau Neraka dari
gurunya, kini semakin berhati-hati. Dia sadar kalau
tidak mungkin bisa menandingi pendekar itu. Dan
Saka Dipta semakin yakin, kalau laki-laki di
depannya itu adalah benar-benar Pendekar Pulau
Neraka yang sering didengar ceritanya, dan selalu
menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum
rimba persilatan, karena tindakannya yang tegas dan
kejam pada setiap lawannya.
***
Sementara itu Murti terus berlari dengan sekuat
tenaga. Dia terus berteriak-teriak minta tolong.
Tampak beberapa orang yang tengah bekerja di
ladang, terkejut mendengar teriakan itu. Bahkan para
penduduk Desa Galuhung sampai berlarian
menghampiri gadis itu. Murti kemudian berhenti
terengah-engah dengan keringat membanjiri seluruh
tubuhnya. Sebentar saja di sekelilingnya sudah
berkumpul orang-orang desa, laki-laki, perempuan,
tua dan muda. Mereka semuanya membawa senjata
bermacam-macam.
"Murti, ada apa?" tanya seorang laki-laki tua
berjubah putih.
"Ki Sandak..., tolong, Ki. Kakang Saka sedang
bertarung dengan Pendekar Pulau Neraka," sahut
Murti masih tersengal.
"Pendekar Pulau Neraka...?! Di mana?" laki-laki
tua berjubah putih yang bernama Ki Sandak itu
terkejut.
"Di sana, Ki. Di jalan setapak yang menuju
sungai," sahut Murti sambil menunjuk ke arah
sungai.
Ki Sandak tidak bertanya lagi, dengan cepat dia
melompat dan berlari bagai angin. Para penduduk
desa segera mengikuti. Sedang Murti masih berdiri
bengong, tampak seorang perempuan tua berjalan
menghampiri. Dan Murti langsung memeluk
perempuan tua itu, yang di belakangnya berdiri
seorang laki-laki berusia lanjut.
"Ibu..," Murti langsung menangis di pelukannya.
"Sudahlah, Murti. Kau tidak apa-apa, kan?"
lembut suara wanita tua itu. Murti hanya
menggeleng.
"Sebaiknya kalian segera pulang, aku akan
menyusul yang lain," kata laki-laki lanjut usia yang
sejak tadi diam saja.
Perempuan tua itu pun membimbing anaknya
pulang sedangkan laki-laki berbaju putih bersih itu
segera melangkah menyusul yang lainnya. Benaknya
terus berputar dengan segudang tanda tanya. Dia
sering mendengar sepak terjang Pendekar Pulau
Neraka, tapi rasanya tidak mungkin, kalau pendekar
itu sampai berbuat tidak senonoh, dan
mementingkan nafsu setannya.
Pendekar Pulau Neraka memang sudah terkenal
dengan kekejamannya. Tapi perbuatannya yang tidak
mengenal belas kasihan itu hanya pada lawan-
lawannya. Baru kali ini laki-laki tua itu mendengar
perbuatan Pendekar Pulau Neraka di luar kontrol.
Dan itu terjadi pada anak gadisnya. Namun dia
masih bersyukur, karena Murti belum sempat
ternodai.
***
Sementara itu di jalan setapak menuju sungai,
Saka Dipta tengah bertarung melawan Pendekar
Pulau Neraka. Pertarungan mereka berjalan tidak
seimbang, dan Saka Dipta terus menjadi bulan-
bulanan Pendekar Pulau Neraka. Sudah beberapa
kali pukulan dan tendangan keras mendarat di tubuh
pemuda itu, namun Saka Dipta pantang menyerah.
Dia tetap melakukan perlawanan sengit.
Perlawanan Saka Dipta yang alot tentu saja
membuat Pendekar Pulau Neraka itu jadi sengit. Dia
pun meningkatkan serangannya lebih hebat lagi.
Hingga satu saat, pukulan mautnya berhasil
mendarat di dada Saka Dipta.
"Akh!" seketika Saka Dipta memekik tertahan.
Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terlontar
keras menghantam pohon. Pemuda itu menggelosor
ambruk ke tanah. Buru-buru dia berusaha untuk
bangkit kembali, namun dadanya mendadak terasa
sesak dan panas bagai terbakar. Dia memuntahkan
darah kental kehitaman. Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka segera menghampiri dengan tatapan mata
tajam dan bengis.
"Kau telah berani mencampuri urusanku, itu
berarti bahwa kau harus mati di tangan Pendekar
Pulau Neraka!" dingin suara Pendekar Pulau Neraka.
"Phuih! Kau pikir aku takut mati, manusia iblis!"
dengus Saka Dipta geram.
Pendekar Pulau Neraka melangkah semakin dekat,
dan tangannya sudah terkepal erat. Saka Dipta
tampak pasrah, namun matanya bersorot tajam
penuh kebencian. Tiba-tiba dengan satu teriakan
melengking tinggi, Pendekar Pulau Neraka melompat
deras, dan menghajar kepala Saka Dipta dengan satu
pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
Prak!
"Aaa...!" seketika Saka Dipta menjerit melengking
tinggi.
Sebentar tubuhnya menggelepar, lalu diam
dengan kepala retak. Pendekar Pulau Neraka masih
memandangi mayat lawannya. Bibirnya segera
menyunggingkan senyum sinis dan dingin. Tapi
mendadak kepalanya terangkat ke atas. Dia
mendengar suara langkah-langkah kaki menghampiri.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berbaju
kulit harimau itu melesat cepat dan tangannya
sempat melontarkan sebuah benda berwarna
keperakan. Benda itu pun langsung tertanam di dada
Saka Dipta yang sudah mati!
Tidak lama setelah pemuda itu pergi, tampak Ki
Sandak berlari-lari diikuti oleh beberapa orang di
belakangnya. Mereka semua memegang senjata
bermacam-macam. Malah ada di antaranya yang
memegang cangkul. Mereka memang rata-rata
penduduk desa yang sehari-harinya bertani.
"Saka Dipta...!" seru Ki Sandak tersentak kaget
begitu melihat Saka Dipta menggeletak dengan kepala
pecah.
Mereka yang berlari mengikuti Ki Sandak,
langsung berhenti begitu melihat laki-laki tua itu
menubruk dan memeluk Saka Dipta. Sebagian ada
yang meringis ngeri melihat mayat pemuda itu. Ki
Sandak kemudian mencabut benda berbentuk
bintang dan berwarna perak, dari dada Saka Dipta
yang berwarna hitam membiru bagai terbakar.
Tiga orang pemuda bertubuh tegap dengan
pedang tergantung di pinggang, segera mendekat di
saat Ki Sandak beranjak bangkit. Ketiga pemuda itu
segera mengangkat tubuh Saka Dipta, dan
membawanya meninggalkan tempat itu. Sedang Ki
Sandak mengikutinya dengan kepala tertunduk.
Sesekali dia melihat benda berbentuk bintang
keperakan di dalam genggaman tangannya. Para
penduduk juga mengikuti dari belakang. Tidak ada
seorang pun yang bicara.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Ki Sandak
selalu mengamati benda di tangannya.
“Kakang,” panggil seorang laki-laki berusia lanjut
dan berbaju putih sambil menghampiri.
“Adi Lebong, bagaimana keadaan putrimu?" Tanya
Ki Sandak.
Laki-laki berusia lanjut dan ternyata ayah Murti,
tak segera menjawab. Dia malah memandang mayat
Saka Dipta yang tengah digotong oleh tiga orang
pemuda bertubuh tegap. Matanya lalu beralih ke
tangan Ki Sandak. Dan dia segera mengambil benda
berbentuk bintang keperakan itu.
"Apakah benda ini tadi ada di tubuh Saka Dipta?"
tanya Ki Lebong tanpa menjawab pertanyaan Ki
Sandak lebih dulu.
"Ya," sahut Ki Sandak pelan.
"Pendekar Pulau Neraka selalu meninggalkan
senjata bintang sebagai tanda kemunculannya,"
gumam Ki Lebong pelan.
Ki Sandak tidak menyahuti. Dia diam saja dengan
kepala tertunduk. Sedang Ki Lebong juga tidak lagi
membuka mulutnya. Mereka terus berjalan pelan-
pelan mengikuti yang lain. Ki Lebong bisa merasakan,
betapa pedihnya perasaan yang diderita oleh kakak
kandungnya saat ini. Memang berat kehilangan
seorang murid utama kesayangan. Apalagi
kematiannya karena dibunuh oleh seorang pendekar
yang sudah ternama, dan selalu menggemparkan
pada setiap kali kemunculannya.
Kini pagi yang semula ceria, dan penuh dengan
canda tawa riang, berubah jadi mendung berseling
duka. Kematian seorang murid utama Padepokan
Galuhung membuat semua orang bersedih.
***
2
Peristiwa yang terjadi di Desa Galuhung itu, cepat
menyebar sampai ke desa-desa tetangganya. Bahkan
sampai ke desa yang jauh sekalipun. Nama Pendekar
Pulau Neraka kini semakin dikenal dan ditakuti.
Pendekar itu juga selalu muncul dengan tiba-tiba,
dan membuat keonaran di seluruh desa sekitar Kaki
Gunung Panjalukan. Beberapa padepokan sudah
mulai gelisah dan membicarakan sepak terjang
Pendekar Pulau Neraka, yang dianggap sudah
melewati batas-batas kemanusiaan.
Daiam waktu beberapa pekan saja, sudah tidak
terhitung lagi gadis-gadis yang menjadi korban
kepuasannya. Mereka yang berusaha menentang,
selalu tewas dengan mengerikan. Dan pada setiap
mayat yang tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka,
selalu tertancap senjata bintang keperakan. Seluruh
desa di sekitar Kaki Gunung Panjalukan diliputi
kegelisahan dan kecemasan. Bahkan kini gadis-gadis
tidak ada yang berani ke luar rumah sendirian.
Hari itu seluruh ketua padepokan di seluruh
wilayah tersebut berkumpul di Padepokan Galuhung.
Dan maksud dari mereka berkumpul sudah jelas,
mereka akan membicarakan tentang sepak terjang
Pendekar Pulau Neraka. Karena semakin hari
tindakan pendekar itu semakin brutal. Bukan saja
gadis-gadis yang menjadi sasarannya, bahkan harta
benda penduduk pun menjadi sasaran.
"Saudara-saudara sekalian, mungkin saudara-
saudara sudah mengetahui maksud dari undanganku
ini," Kata Ki Sandak membuka pertemuan ini
Semua yang hadir di ruangan besar Padepokan
Galuhung tersebut mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka semua rata-rata sudah tua.
Dilihat dari pakaian dan sikap mereka, orang-orang
itu adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang selalu
menentang keangkaramurkaan.
"Aku sengaja mengumpulkan saudara-saudara di
sini, khusus untuk membicarakan tentang tindakan
Pendekar Pulau Neraka...," lanjut Ki Sandak dengan
suara penuh kewibawaan.
"Benar!" celetuk salah seorang yang duduk paling
depan. Orang itu mengenakan jubah panjang
berwarna hijau tua. Dia dikenal sebagai ketua
padepokan di Kaki Gunung Panjalukan sebelah Utara
Namanya Ki Jarak. "Tindakan Pendekar Pulau Neraka
memang tidak bisa didiamkan begitu saja. Kita
semua sudah tahu, bagaimana sepak terjangnya
sebelum sampai ke sini."
'Tunggu dulu!" celetuk salah seorang lagi. Tampak
seorang laki-laki setengah baya berusia sekitar empat
puluh tahun, segera berdiri. Wajahnya tampan, dan
tubuhnya tegap. Dia menyandang sebilah pedang di
punggung bergagang kuning keemasan. Pemuda itu
juga mengenakan baju ketat berwarna kuning emas.
Sebenarnya dia bukan utusan dari suatu padepokan,
tapi seorang pendekar kelana yang selalu memerangi
kezaliman.
Semua mata memandang pada Pendekar Pedang
Emas. Mereka semua tahu, siapa dia sebenarnya.
Seorang pendekar yang arif dan bijaksana.
Tindakannya selalu dipikirkan dulu masak-masak,
tidak main hantam kromo tanpa perhitungan.
Bahkan tidak jarang dia mengampuni lawannya yang
tidak berdaya.
"Aku sering mendengar sepak terjang Pendekar
Pulau Neraka. Meskipun aku belum pernah berjumpa
dengannya, tapi aku yakin kalau dia bukan seorang
pendekar beraliran sesat. Memang tindakannya bisa
dikatakan kejam, tapi tidak brutal. Terus terang, aku
masih belum yakin kalau pengacau itu adalah
Pendekar Pulau Neraka!" kata Pendekar Pedang Emas
lantang.
Sebentar saja suara bergumam terdengar
memenuhi ruangan besar itu. Kata-kata Pendekar
Pedan-Emas tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Mereka semua yang ada di ruangan itu tadinya
sepakat, untuk menghadapi Pendekar Pulau Neraka
sampai titik darah penghabisan. Tapi ternyata masih
ada juga orang yang belum percaya akan hal itu.
"Saudaraku, Pendekar Pedang Emas. Aku juga
belum pernah bentrok dengan Pendekar Pulau
Neraka, tapi aku punya bukti kuat, kalau semua
kekacauan yang terjadi akibat ulahnya. Lihat ini !"
kata Ki Sandak sambil mengeluarkan bintang
keperakan dari balik lipatan jubahnya.
Kembali terdengar suara menggumam bagai lebah
diusik sarangnya. Mereka semua sudah mengenali
benda itu.
"Bukan hanya benda ini saja sebagai bukti, tapi
juga keterangan orang-orang yang selamat dari
cengkeraman mautnya. Mereka semua mengatakan,
bahwa orang itu Pendekar Pulau Neraka. Seorang
pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau.
Bukankah itu ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka?"
sambut Ki Sandak mantap.
“Saudara Pendekar Pedang Emas, kami semua
juga punya bukti kuat, kalau tindakan Pendekar
Pulau Neraka sudah melampaui batas kemanusiaan.
Sejak kemunculannya di Pesisir Pantai Selatan, dia
sudah meminta banyak korban!" celetuk seorang laki-
laki tua yang memegang sebatang tongkat berbentuk
ular.
Pendekar Pedang Emas kembali duduk. Dia tidak
bisa berkala apa-apa lagi. Semua bukti memang
menyatakan, kalau semua perbuatan dan kejadian
yang meresahkan itu, adalah perbuatan Pendekar
Pulau Neraka. Namun dalam hatinya masih belum
yakin benar, jauh-jauh dia datang memenuhi
undangan Ki Sandak, memang bukan untuk
langsung mendukung menghadapi Pendekar Pulau
Neraka, tapi mencoba untuk mengajak mereka semua
menimbang kembali. Tapi rupanya mereka sudah
begitu yakin akan keputusannya itu.
Semakin lama, pembicaraan tokoh-tokoh
persilatan itu semakin menghangat. Dan mereka
kemudian mengambil satu kesepakatan, untuk
menghadapi Pendekar Pulau Neraka bersama-sama.
Mereka yakin, dengan kekuatan yang bersatu penuh,
cita-cita mereka akan berhasil. Sementara Pendekar
Pedang Emas hanya diam dengan benak bekerja
keras.
Pada saat mereka sedang berunding, tiba-tiba
terdengar suara tawa terbahak-bahak. Suara tawa itu
bergema seolah-olah datang dari segala penjuru mata
angin. Tentu saja yang berada di ruangan itu
serempak bangkit, dan langsung berlompatan ke
luar. Suara tawa itu terus terdengar semakin
melengking tinggi.
***
Seorang laki-laki tua berbaju kumal dan penuh
tambalan, tampak duduk di sebuah dahan pohon
dekat pagar tembok, yang mengelilingi Padepokan
Galuhung. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat
berwarna hitam pekat. Laki-laki tua itu tertawa
terbahak-bahak, seperti sedang menonton suatu
pertunjukan badut. Hal itu membuat tokoh-tokoh
persilatan yang sedang berkumpul di padepokan itu
jadi geram.
"Pengemis Tongkat Hitam, silakan turun. Maaf
aku telah lupa untuk mengundangmu," kata Ki
Sandak yang mengenali siapa laki-laki tua itu.
"He he he...," laki-laki tua yang ternyata Pengemis
tongkat hitam itu kembali terkekeh lalu dengan
gerakan ringan, dia meluruk turun dari dahan pohon
itu.
“Selamat datang di padepokanku yang buruk ini,
Pengemis Tongkat Hitam," sambut Ki Sandak ramah.
“He…he…he...," untuk kesekian kalinya Pengemis
Tongkat Hitam terkekeh. Matanya tampak merayapi
orang-orang yang berdiri di belakang Ki Sandak.
"Rupanya kalian semua sedang berkumpul di sini.
Apa ada pesta?"
"Kami berkumpul bukan sedang berpesta,
Pengemis Tongkat Hitam," celetuk salah seorang
berbaju biru tua, senjatanya yang berupa rantai baja
membelit pinggangnya.
"Lalu?"
"Kami sedang membicarakan tentang Pendekar
Pulau Neraka."
"O...!" Pengemis Tongkat Hitam agak terkejut
mendengarnya. Dia kemudian menatap tajam pada Ki
Sandak, seolah meminta penjelasan.
"Beberapa pekan belakangan ini, kami semua
disibukkan dengan perbuatan Pendekar Pulau
Neraka yang brutal dan kejam. Sudah tidak terhitung
lagi nyawa yang melayang, dan gadis-gadis pun jadi
korban nafsu kebinatangannya," Ki Sandak
menjelaskan dengan singkat.
"Pendekar Pulau Neraka memang selalu bertindak
tegas, bahkan cenderung kejam. Tapi aku tidak
yakin, kalau dia yang telah melakukan perbuatan
itu," kata Pengemis Tongkat Hitam seperti bergumam.
Serempak semua yang hadir di situ saling
berpandangan.
"Aku pernah bersama-sama dengannya
menumpas perbuatan Pendeta Pasanta di Desa
Gampil. Aku sudah kenal betul, siapa Pendekar Pulau
Neraka. Kalau tidak ada dia, mungkin aku pun tidak
akan bisa sampai ke sini. Dia memang kejam dan
sadis segala tindakannya, namun semua itu
dilakukan hanya pada lawan-lawannya saja. Ah...,
mungkin kalian salah menduga," sambung Pengemis
Tongkat Hitam.
"Kau kenal benda Ini, Pengemis Tongkat Hitam?"
Ki Sandak mengeluarkan benda berbentuk bintang
berwarna keperakan, dari lipatan jubahnya.
"Dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya
Pengemis Tongkat Hitam.
"Dari mayat muridku. Dia kalah bertarung
melawan Pendekar Pulau Neraka yang hampir
memperkosa Murti, seorang gadis anak adik
kandungku," sahut Ki Sandak.
"Kau yakin kalau muridmu benar-benar bertarung
dengan Pendekar Pulau Neraka?"
"Murti telah menyebutkan ciri-cirinya, dan sama
persis dengan Pendekar Pulau Neraka. Seorang laki-
laki muda yang memakai baju dari kulit harimau.
Kalau kau pernah bersamanya, tentu mengenali ciri-
ciri Itu, Pengemis Tongkat Hitam," agak sengit nada
suara Ki Sandak
Pengemis Tongkat Hitam langsung diam. Ciri-ciri
yang telah disebutkan Ki Sandak itu memang benar,
apalagi ditambah senjata bintang keperakan, yang
merupakan tanda dari kemunculan Pendekar Pulau
Neraka Tapi dalam hatinya masih belum percaya
begitu saja. Beberapa hari yang lalu dia bersama
Pendekar Pulau Neraka di Desa Gampil, dan dia tahu
betul siapa Pendekar Pulau Neraka!
"Pendekar Pedang Emas, apakah kau juga ingin
membunuh Pendekar Pulau Neraka?" tanya Pengemis
Tongkat Hitam, seraya menatap Pendekar Pedang
Emas. Dia tahu kalau pendekar itu memiliki hati
yang arif dan bijaksana.
"Aku belum bisa memutuskan, Pengemis Tongkat
Hitam," sahut Pendekar Pedang Emas.
"Kalau begitu, kita harus segera pergi dari sini!"
Tentu saja semua orang terkejut mendengar kata-
kata tegas dari Pengemis Tongkat Hitam. Tak
terkecuali Pendekar Pedang Emas, dia juga langsung
menatap tidak berkedip. Dia memang masih belum
yakin, kalau Pendekar Pulau Neraka melakukan
perbuatan brutal tanpa alasan, tapi tidak sedikit pun
terbetik di hatinya, untuk langsung menentang
keputusan mereka.
"Dengar baik-baik, kalian akan menyesal telah
bertindak ceroboh, menuruti rasa amarah yang tidak
beralasan!" kata Pengemis Tongkat Hitam. "Ayo,
Pendekar Pedang Emas. Kita buktikan bahwa bukan
Pendekar Pulau Neraka yang telah berbuat itu!"
Pendekar Pedang Emas jadi bimbang hatinya. Dia
masih berdiri diam dengan bingung. Sementara
Pengemis Tongkat Hitam sudah melesat pergi,
melompati pagar tembok yang tinggi dan tebal itu.
Kata-kata Pengemis Tongkat Hitam barusan
membuat semua orang yang ada di Padepokan
Galuhung jadi terdiam dengan pikiran masing-
masing.
"Ki Sandak, maaf. Bukannya aku tidak
mendukung keputusan itu. Tapi kupikir kata-kata
Pengemis Tongkat Hitam harus dipertimbangkan.
Dan aku akan bersama kalian semua, jika memang
terbukti bahwa Pendekar Pulau Neraka-lah yang
melakukan perbuatan keji itu," kata Pendekar Pedang
Emas.
Setelah berkata demikian, Pendekar Pedang Emas
segera menjura memberi hormat, lalu dengan satu
Iesatan saja, tubuhnya sudah lenyap di balik tembok
yang mengelilingi padepokan itu. Suasana kini jadi
hening, masing-masing jadi sibuk dengan pikirannya
***
Kegagalan dalam menghimpun tokoh-tokoh
golongan putih untuk menghadapi Pendekar Pulau
Neraka, membuat Ki Sandak kelihatan putus asa.
Mereka tidak semua mengikuti jejak Pengemis
Tongkat Hitam dan Pendekar Pedang Emas. Tapi
keadaan itu malah membuat Ki Sandak jadi gundah.
Sejak siang tadi hingga malam ini, Ki Sandak duduk
saja merenung di dalam kamar pribadinya. Tidak
seorang pun diijinkan masuk.
Slap!
Tiba-tiba seberkas cahaya keperakan menyusup
masuk melalui jendela kamar pribadi Ki Sandak.
Buru-buru laki-laki tua itu melompat sedikit, dan
cahaya keperakan itu lewat di samping kepalanya.
"Bintang perak...!" desis Ki Sandak tersentak.
Laki-laki tua berjubah putih itu segera melompat
keluar melalui jendela. Pada saat itu, mendadak
sebuah bayangan melesat turun dari atas dahan
pohon. Ki Sandak terperangah, begitu di depannya
berdiri seorang pemuda tampan dan gagah,
mengenakan baju dari kulit harimau.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Ki sandak di
sela rasa terkejutnya.
"Kau terkejut, Ki Sandak?" sinis suara laki-laki
muda itu. Matanya tajam dan bengis menatap tajam
pada Ki Sandak.
"Mau apa kau datang ke sini?" bentak Ki Sandak.
"Mau apa...? Ha ha ha...!" pemuda tampan yang
dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka itu tertawa
terbahak-bahak.
Ki Sandak melangkah mundur dua tindak. Tiba-
tiba saja dia bersiul nyaring melengking. Dan belum
lagi siulannya berhenti, dari segala arah sudah
bermunculan orang-orang bersenjata macam-macam.
Tampak Pendekar Pulau Neraka memandanginya
dengan bibir menyunggingkan senyum sinis.
Sikapnya jelas memandang remeh pada murid-murid
Padepokan Galuhung itu. Dia juga tidak memandang
dengan sebelah mata pun pada Ki Sandak yang
sangat dihormati di Desa Galuhung.
"Ayah...."
Seorang gadis tiba tiba muncul dari dalam rumah
yang paling besar, di antara rumah-rumah lainnya di
sekitar padepokan itu. Pendenar Pulau Neraka
langsung memandang pada gadis yang baru muncul,
dengan mata liar penuh nafsu. Sejenak gadis itu
menatap pada Pendekar Pulau Neraka. Seketika
tubuhnya bergidik saat pandangannya bertemu
dengan mata pendekar itu.
"Ranti, kenapa kau ke sini? Masuk sana!" Ki
Sandak mencemaskan putrinya. Dia sempat melihat
pandangan Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa dia, Ayah?" tanya Ranti tidak menghirau
kan perintah ayahnya.
"Dia manusia iblis," sahut Ki Sandak sengit.
"Iblis yang tampan, bukan?" celetuk Pendekar
Pulau Neraka seraya melemparkan senyum pada
Ranti
Gadis itu langsung membuang mukanya ke arah
lain. Hatinya memang mengakui kalau pemuda itu
sangat tampan dan gagah. Tapi begitu melihat
bajunya, tahulah dia kalau pemuda itu adalah
Pendekar Pulau Neraka, yang telah membuat onar di
seluruh Kaki Gunung Panjalukan.
"Manusia iblis! Cepat tinggalkan rumahku,
sebelum kau mendapat celaka di sini'" bentak Ki
Sandak keras.
"Kl Sandak, bukankah kau ingin bertemu
denganku. Aku tahu, kalau kau telah
mengumpulkan ketua-ketua padepokan di Kaki
Gunung Panjalukan. Bahkan tokoh-tokoh rimba
persilatan juga kau undang. Aku tahu maksud
undanganmu itu, Kl Sandak. Justru kedatanganku
ingin mempercepat kematianmu," pelan dan lembut
kata-kata Pendekar Pulau Neraka, namun suaranya
bernada kejam penuh ancaman
"Bunuh dia...!" seru Ki Sandak keras. Seketika
semua murd-murid Padepokan Galuhung yang
berjumlah tiga puluh orang itu, berlompatan
menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pemuda itu pun
bergerak lincah menghindari setiap serangan yang
datang, bahkan setiap kali tangannya berkelebat,
satu dua orang langsung terjungkal roboh dan tidak
bangun lagi
Ki Sandak tentu saja terkejut melihat sepuluh
orang muridnya tewas dalam waktu singkat.
Gerakan-gerakan Pendekar Pulau Neraka begitu
cepat, sukar diikuti oleh pandangan mata biasa. Dan
setiap kali pukulan atau tendangannya terlontar,
berarti nyawa melayang. Ki Sandak kemudian
memeriksa salah seorang muridnya yang tewas.
Seketika dia tersentak karena pada dada muridnya
itu tergambar telapak tangan hitam.
"'Pukulan Tapak Beracun'...," desis Ki Sandak.
Laki-laki tua berjubah putih itu sudah tahu, kalau
jurus 'Pukulan Tapak Beracun' sangat dahsyat, dan
sulit dicari tandingannya. Kebesaran nama Pendekar
Pulau Neraka memang dari jurus 'Pukulan Tapak
Beracunnya, di samping senjatanya yang berbentuk
cakra bersegi enam keperakan. Keterkejutan Ki
Sandak semakin bertambah, dengan tewasnya ketiga
puluh orang muridnya, dalam waktu tidak berapa
lama.
"Setan! Kau benar benar binatang, Pendekar
Pulau Neraka!" geram Ki Sandak.
"Majulah, Ki Sandak. Aku ingin memberi
peringatan pada yang lainnya," kata Pendekar Pulau
Neraka dingin.
"Mampus kau, iblis keparat! Hiyaaa...!" Ki Sandak
tidak bisa lagi meredam amarahnya.
Sambil berteriak keras melengking, Ki Sandak
melompat seraya mengirimkan pukulan mautnya.
Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya
sedikit, Pendekar Pulau Neraka berhasil mengelakkan
serangan Ketua Padepokan Galuhung itu. Bahkan
tanpa diduga sama sekali, tangan kanannya
melayang cepat ke arah dada Ki Sandak.
Buk!
"Hughk!" Ki Sandak langsung mengeluh pondok.
Tubuhnya dengan cepat terjajar ke belakang
"Ayah...!" jerit Dewi Ranti.
Dengan penuh emosi gadis cantik itu pun melompat
menerjang pada Pendekar Pulau Neraka.
Serangannya sangat dahsyat, dan bertenaga dalam
cukup tinggi. Sedang Pendekar Pulau Neraka hanya
berkelit ke kiri dan ke kanan menghindari setiap
serangan gadis itu. Dewi Ranti jadi geram, karena
serangannya selalu luput membawa hasil.
"Kau terlalu cantik untuk mati, Gadis Ayu," kata
Pendekar Pulau Neraka seraya berkelit menghindari
pukulan Dewi Ranti.
Pada saat itu, tangan kiri Pendekar Pulau Neraka
segera meluncur ke arah dada. Seketika Dewi Ranti
memekik tertahan, buru-buru dia melompat mundur!
Namun jari tangan Pendekar Pulau Neiaka sempat
menyentuh dadanya. Merah padamlah wajah gadis
itu.
"Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak Dewi Ranti
menahan malu dan marah luar biasa.
"Ah, kau semakin cantik bila marah begitu, Gadis
Ayu," goda Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Ki Sandak yang sudah bisa bangkit
kembali, langsung melompat menerjang ke arah
pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Dewi
Ranti tidak mau ketinggalan. Rasa benci dan marah
yang meluap di dalam dada membuatnya tidak peduli
lagi, kalau lawannya berada jauh di atas tingkat
kepandaiannya.
Namun Pendekar Pulau Neraka tetap tangguh
meskipun dikeroyok dua orang berkepandaian cukup
tinggi. Serangan-serangan Ki Sandak dan Dewi Ranti
dengan mudah dapat dipatahkan. Bahkan beberapa
kali pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat di
tubuh Ki Sandak. Tampaknya Pendekar Pulau Neraka
tidak mau menjatuhkan tangan pada Dewi Ranti.
"Rasanya sudah cukup aku memberi pelajaran
pada kalian," kata Pendekar Pulau Neraka, tetap
lembut suaranya.
Setelah berkata begitu, dengan cepat dia
menggerakkan tangannya di depan dada, lalu
bagaikan seekor elang menyambar mangsa, pemuda
berbaju kulit harimau itu melompat dan meluruk
deras ke arah Ki Sandak.
"Ikh!" Ki Sandak terperangah.
Buru-buru dia memutar tubuhnya sambil menarik
kakinya ke belakang Namun serangan Pendekar
Pulau Neraka begitu cepat. Tiga kali pukulan maut
pendekar itu mendarat di dada Ki Sandak. Seketika
laki-laki tua itu memekik keras, dan tubuhnya
terjungkal ke tanah! Tampak pada bagian dadanya
melesak dalam, hangus bagai terbakar.
"Ayah...!" jerit Dewi Ranti pilu.
Gadis itu langsung melompat menghampiri
ayahnya, namun lompatannya terhalangi Pendekar
Pulau Neraka dengan cepat menendang tubuh gadis
itu hingga terpental beberapa tombak. Dan belum lagi
Dewi Ranti bisa bangkit, tahu-tahu tubuh Pendekar
Puhku Neraka sudah berada di atasnya. Cepat sekali
jari-jari tangan pemuda berbaju kulit harimau itu
bergerak di beberapa bagian tubuh Dewi Ranti.
Sehingga gadis itu lemas tak berdaya. Tubuhnya kini
sulit untuk digerakkan lagi.
“He…he…he,,,,” Pendekar Pulau Neaka terkekeh.
Pemuda berbaju kulit harimau kemudian bangkit
seraya mengangkat tubuh Dewi Ranti ke dalam
pondongannya. Gadis itu sudah terkulai lemas
dengan beberapa darah tertotok. Sebentar pemuda
itu memandang ke arah Ki Sandak yang tergeletak
dengan dada melesak ke dalam.
“Ha…ha…ha...!" Pendekar Pulau Neraka itu
tertawa keras, lalu dengan cepat dia melompat
meninggalkan Padepokan Galuhung.
Suara tawanya yang keras masih sempat
terdengar, walaupun tubuhnya sudah lenyap. Kini
suasana di Padepokan Galuhung kembali sunyi,
tampak mayat-mayat bergelimpangan dengan darah
mengucur membasahi tanah. Malam itu Padepokan
Galuhung benar-benar hancur di tangan Pendekar
Pulau Neraka.
Tak seorang pun dari murid-murid Padepokan
Galuhung yang tersisa hidup. Semuanya tewas
dengan keadaan tubuh mengerikan! Di antara mayat-
mayat yang bergelimpangan, tampak Ki Sandak
menggerak-gerakkan tubuhnya. Terdengar suara
rintihan lirih. Kemudian laki-laki tua itu berusaha
bangkit, namun tubuhnya masih terasa kaku, sulit
digerakkan!
"Akh...!" Ki Sandak memekik keras saat dia
memaksakan diri untuk bangkit.
Laki-laki tua pemimpin Padepokan Galuhung itu
kembali jatuh. Sebentar dia mengerang lirih, lalu
diam dan tak bergerak-gerak lagi. Namun dari
dadanya yang hitam melesak ke dalam, dapat
diketahui kalau laki-laki itu masih hidup. Dadanya
bergerak lemah hampir tidak terlihat. Pada saat itu,
tiba-tiba sebuah bayangan melesat cepat, dan
menyambar tubuh Ki Sandak. Begitu cepatnya,
sehingga dalam sekejap mata saja tubuh Ki Sandak
sudah lenyap bersama bayangan itu.
***
3
Kabar tentang hancurnya Padepokan Galuhung,
membuat padepokan-padepokan lain di sekitar Kaki
Ciunung Panjalukan gempar! Bahkan tokoh-tokoh
rimba persilatan pun, dibuat tidak mengerti dengan
tindakan Pendekar Pulau Neraka kali ini tidak sedikit
dari mereka yang kemudian mencari Pendekar Pulau
Neraka. Tapi banyak pula yang masih meragukan,
bahwa orang itu benar-benar Pendekar Pulau Neraka.
Benarkah yang membuat keonaran ilu Pendekar
Pulau Neraka? Pertanyaan itulah yang selalu
menghantui sebagian dari tokoh-tokoh rimba
persilatan, yang sudah mengenal pendekar Pulau
Neraka. Pertanyaan itu juga selalu menghantui
Pengemis Tongkat Hitam, yang selama beberapa hari
pernah bersama Pendekar Pulau Neraka.
Kini laki-laki tua berpakaian compang-camping
itu tampak tengah duduk merenung di beranda
depan sebuah pondok kecil beratap daun rumbia. Dia
masih belum yakin, kalau semua keonaran dan
kegemparan itu ulah dari Pendekar Pulau Neraka,
namun untuk membuktikannya masih terlalu sulit.
Bahkan semakin hari tindakan orang itu semakin
bertambah brutal. Dan hancurnya Padepokan
Galuhung merupakan awal dari malapetaka yang
lebih besar lagi.
"Ehm-ehm!"
"Oh!" Pengemis Tongkat Hitam tersentak dari
lamunannya.
Laki-laki tua bertongkat hitam itu segera menoleh.
Tampak seorang laki laki berusia sekitar empat puluh
tahunan sudah berdiri di ambang pintu pondok. Di
punggungnya tersampir sebilah pedang bergagang
keemasan.
"Bagaimana keadaannya, Pendekar Pedang
Emas?" tanya Pengemis Tongkat Hitam seraya
bangkit.
"Ki Salaka masih berusaha mengobatinya," sahut
Pendekar Pedang Emas. Dia kemudian
menghenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu
dekat pintu.
"Hhh..., rasanya sulit untuk dipercaya kalau
Pendekar Pulau Neraka sampai bertindak sebrutal
itu," desah Pengemis Tongkat Hitam, juga duduk di
sam ping Pendekar Pedang Emas.
'Tapi luka-luka di tubuh Ki Sandak akibat dari
'Pukulan Tapak Beracun'. Dan jurus itu hanya
dimiliki deh Pendekar Pulau Neraka," sahut Pendekar
Padang Emas.
"Hal itulah yang membuatku tidak habis mengerti,
Pendekar Pedang Emas. Aku tidak mau percaya
begitu saja, tapi bukti-bukti yang kudapatkan
semakin menunjukkan, kalau semua itu adalah
perbuatan Pendekar Pulau Neraka," keluh Pengemis
Tongkat Hitam.
"Kau ada sesuatu dengan pendekar itu?”
pertanyaan Pendekar Pedang Emas bernada curiga.
"Ya," sahut Pengemis Tongkat Hitam mendesah.
Pendekar Pedang Emas mengerutkan keningnya.
“Aku berhutang nyawa pada Pendekar Pulau
Neraka. Dia pernah menyelamatkan nyawaku akibat
terkena ‘Pukulan Tapak Beracun’," pelan suara
Pengemis Tongkat Hitam.
"Heh! Kau juga pernah bentrok dengannya?!"
Pendekar Pedang Emas terkejut.
"Tidak, aku belum pernah bentrok. Aku terkena
'Pukulan Tapak Beracun' dari orang lain, dan
Pendekar Pulau Neraka-lah yang menolongku,"
Pengemis Tongkat Hitam menjelaskan.
"Mustahil! Semua orang juga sudah tahu, kalau
jurus 'Pukulan Tapak Beracun' hanya dimiliki oleh
Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada seorang pun yang
bisa menguasai jurus itu," bantah Pendekar Pendekar
Emas.
"Kau memang tidak akan percaya, Pendekar
Pedang Emas. Tapi aku sudah mengalaminya sendiri.
Jurus itu dimiliki juga oleh seorang pendekar yang
berjuluk si Iblis Hitam, dan Pendeta Pasanta. Tapi
mereka sudah tewas di tangan Pendekar Pulau
Neraka...." Pengemis Tongkat Hitam kembali
menjelaskan (Baca; Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam kisah "Pengantin Dewa Rimba").
Pendekar Pedang Emas menggeleng-gelengkan
kepalanya masih belum percaya. Sedangkan
Pengemis Tongkat Hitam tampaknya juga tidak mau
mendesak agar pendekar itu mempercayai ceritanya.
Memang tidak ada orang lain yang tahu selain dia
sendiri, kecuali si Kembar Iblis Biru yang kini sudah
menetap di Istana Dewa Rimba.
Saat mereka terdiam, tampak seorang laki-laki tua
bertubuh bungkuk keluar dari dalam pondok.
Langkahnya tertatih-tatih dengan bantuan tongkat
rotan. Pengemis Tongkat Hitam dan Pendekar Pedang
Emas bergegas bangkit, dan membantu laki-laki tua
itu untuk duduk di balai-balai bambu. Kedua tokoh
rimba persilatan itu pun juga mengambil tempat di
balai-balai bambu itu.
"Bagaimana keadaannya, Ki Salaka?" tanya
Pengemis Tongkat Hitam.
"Racun yang mengendap di tubuhnya sudah
sampai ke aliran darah. Maaf, aku tidak bisa berbuat
banyak lagi. Paling-paling aku hanya bisa
memperlambat penjalarannya," sahut Ki Salaka
dengan suaranya yang agak bergetar karena tua.
Mungkin laki-laki itu sudah berusia lebih dari seratus
tahun.
"Apakah ada cara lain untuk menyembuhkannya,
Ki?" tanya Pendekar Pedang Emas.
"Entahlah, aku kenal betul dengan jenis racun itu.
Sebuah racun yang disebarkan melalui jurus
'Pukulan Tapak Beracun'," sahut Ki Salaka pelan.
"Benar, Ki!" seru Pengemis Tongkat Hitam
"Kau juga tahu itu, Pengemis Tongkat Hitam?”
"Ya, aku tahu persis!" sahut Pengemis Tongkat
Hitam pasti.
"Berarti kau tahu, siapa orang yang mempunyai
jurus itu?"
"Ya."
"Rasanya hanya dia yang mampu
menyembuhkannya," wajah Ki Salaka berubah
seketika. Kepalanya tertunduk "Berpuluh-puluh
tahun yang lalu, aku kenal dengan seseorang yang
mempunyai juus 'Pukulan Tapak Beracun'. Tapi dia
sudah tewas dikeroyok oleh tokoh tokoh rimba
persilatan yang dendam padanya. Dan aku tidak tahu
lagi, apakah di zaman ini masih ada orang yang bisa
menguasai dangan baik jurus itu?” nada suara Ki
Salaka seperti bicara pada dirinya sendiri.
Pengemis Tongkat Hitam menundukkan
kepalanya. Rasanya dia ingin mengatakan, bahwa dia
juga sudah tahu tentang itu semua. Tapi sulit untuk
diucapkannya.
Semalam dia sempat menyelamatkan Ki Sandak,
Ketua Padepokan Galuhung yang hampir tewas di
tangan Pendekar Pulau Neraka. Kedatangannya
memang terlambat, tapi masih bersyukur bahwa
nyawa Ki Sandak tertolong.
* * *
Pengemis Tongkat Hitam tampak berdiri
mematung, sambil memandangi tubuh Ki Sandak
yang terbujur dengan napas pelan satu-satu. Di
sampingnya berdiri Pendekar Pedang Emas.
Sedangkan tabib tua Ki Salaka, duduk di tepi balai-
balai bambu. Sampai saat ini Ki Sandak belum juga
sadarkan diri. Kondisi tubuhnya semakin lemah, dan
noda hitam juga semakin melebar dari dadanya.
"Ohhh...," Ki Sandak merintih lirih. Kepalanya
bergerak-gerak. Sebentar kemudian dia mulai
sadarkan diri.
Tabib tua Ki Salaka segera menggerakkan jari-jari
tangannya di sekitar leher Ki Sandak. Dan sedikit
demi sedikit kelopak mata Ki Sandak terbuka. Sinar
matanya begitu lemah dan sayu.
"Oh, di mana aku? Apakah aku sudah mati...?"
pelan dan lirih suara Ki Sandak.
"Kau masih hidup, Ki," kata Pengemis Tongkat
Hitam cepat-cepat.
"Kaukah Pengemis Tongkat Hitam?"
"Ya, aku Pengemis Tongkat Hitam. Ini Pendekat
Pedang Emas, dan ini Tabib Salaka," sahut Pengemis
Tongkat Hitam.
"Pengemis Tongkat Hitam yang telah
menyelamatkanmu, Ki Sandak," sambung Tabib
Salaka.
'Terima kasih...," ucap Ki Sandak lemah "Ah,
anakku...."
'Tenang, Ki. Kau masih lemah." Tabib Salaka
mencegah Ki Sandak yang mau bangkit
Akibat dari gerakannya itu, Ki Sandak terbatuk-
batuk . Tampak darah kental kehitaman keluar dari
mulutnya. Buru-buru Ki Salaka membersihkan
dengan sehelai kain.
“Oh…, tolong selamatkan anakku. Dia diculik
Pendekar Pulau Neraka," kata Ki Sandak pelan.
"Tenang, Ki. Kau masih lemah, aku pasti akan
mencari anakmu," kata Pengemis Tongkat Hitam
menenangkan.
'Tolong selamatkan Dewi Ranti…,” kembali Ki
Sandak terbatuk.
Darah kental keluar lagi dari mulut laki-laki tua
itu. Dia kembali jatuh pingsan. Tabib Salaka segera
membersihkan darah yang keluar dari mulut Ki
Sandak, kemudian tampak jari-jari tangannya juga
bergerak di sekitar leher Ki Sandak. Tampak
Pengemis Tongkat Hitam mendesah panjang, dan
melangkah ke luar. Sementara Pendekar Pedang
Emas mengikutinya.
"Kau harus segera menghentikan kebiadabannya,"
kata Pendekar Pedang Emas.
"Aku tidak tahu lagi, apa yang mesti kulakukan,"
Pengemis Tongkat Hitam mengeluh.
"Kau sudah berjanji untuk menyelamatkan putri
KI Sandak. Tepatilah janjimu."
Pengemis Tongkat Hitam kembali menarik napas
panjang-panjang.
"Aku bisa memahami perasaanmu, Pengemis
Tongkat Hitam. Tapi sebagai seorang pendekar sejati,
kita harus mampu menyingkirkan perasaan pribadi.
Kau bisa membayar hutangmu dengan tidak
membunuhnya. Kau cukup menyelamatkan Dewi
Ranti dari tangannya, biar aku yang menghadapi
pendekar berhati iblis itu," kata Pendekar Pedang
Emas lagi.
"Yaaah..., memang tidak ada jalan lain.
Bagaimanapun juga aku berkewajiban memberantas
keangkaramurkaan," pelan suara Pengemis Tongkat
Hitam.
"Sebaiknya kita segera berangkat mencari
Pendekar Pulau Neraka, sebelum terjadi sesuatu pada
Dewi Ranti," kata Pendekar Pedang Emas
mengusulkan.
"Benar, sebaiknya kalian cepat pergi. Biar aku
yang mengurus Ki Sandak," sergah Tabib Salaka,
yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu.
"Ah, terima kasih atas bantuanmu, Ki," ucap
Pendekar Pedang Emas sambil menjura hormat
"Sudahlah, hal ini memang menjadi kewajibanku
untuk menolong sesama. Tapi jangan lupa, kalau
bisa minta racun pemunahnya," kata Tabib Salaka
berpesan.
"Racun pemunah...?!"
"Ya. 'Pukulan Tapak Beracun' hanya bisa di
sembuhkan oleh yang memiliki pukulan itu juga. Tapi
bisa juga disembuhkan dengan racun pemunah.
Memang aneh, racun dilawan dengan racun. Tapi itu
sudah menjadi ketentuannya."
"Baik, Ki. Akan kuusahakan," kata Pengemis
Tongkat Hitam.
"Berangkatlah restuku bersama kalian."
Kedua tokoh itu pun menjura memberi hormat,
lalu segera pergi meninggalkan pondok kecil, di
tengah lereng Gunung Panjalukan itu. Sedangkan
Tabib Salaka masuk kembali ke pondok, setelah
bayangan kedua tokoh itu lenyap dari pandangannya.
***
Saat itu, di sebuah sungai yang membelah Lereng
Gunung Panjalukan, tampak seorang pemuda gagah
tengah asyik memancing. Dia duduk di alas batu
pipih yang menjorok ke sungai berair bersih itu.
Dengan sabar dia menanti ikan yang memakan
umpannya. Di sampingnya tergolek tiga ekor ikan
yang cukup besar.
Pemuda itu tidak menyadari kalau sejak tadi
diperhatikan oleh sepasang mata yang bersembunyi
dari balik gerumbul semak. Dia baru menoleh ketika
telinganya mendengar suara ranting patah terinjak.
Tampak dari gerumbul semak itu, melesai sebuah
bayangan. Pemuda itu hanya memperhatikan saja.
Bibirnya segera tersenyum melihat seseorang berlari
cepat seperti melihat setan. Pemuda tampan itu
kembali memusatkan perhatiannya pada pancingnya.
Baru beberapa saat pemuda itu kembali menekuni
pekerjaannya, kembali telinganya mendengar suara
langkah kaki menghampirinya. Dia menoleh ke arah
suara itu. Tampak dua orang laki-laki tengah berjalan
cepat ke arahnya. Yang satu seorang laki-laki tua
berbaju kumuh compang-camping, sedangkan
satunya lagi adalah laki-laki bertubuh tegap dan
memakai baju indah berwarna kuning keemasan.
"Ah...! Kakek Pengemis Tongkat Hitam...!" seru
pemuda itu gembira melihat Pengemis Tongkat Hitam
datang menghampiri bersama Pendekar Pedang
Emas.
Namun Pengemis Tongkat Hitam tidak
menyambut dengan gembira. Dia hanya berdiri tegak
sekitar tiga batang tombak jaraknya. Wajahnya kaku,
dan sinar matanya menampakkan keraguan.
Sedangkan Pendekar Pedang Emas sudah bersiaga
penuh. Pemuda itu tampak mengerutkan keningnya
melihat sikap dua orang yang mendatanginya. Dia
kemudian membuang pancingnya, dan melompat
turun dari atas batu.
"Tidak kusangka kita akan bertemu lagi, Kakek
Pengemis Tongkat Hitam," kata pemuda itu masih
ramah.
"Jangan mendekat, Pendekar Pulau Neraka!"
sentak Pengemis Tongkat Hitam saat pemuda berbaju
kulit harimau itu hendak melangkah mendekatinya
Tentu saja pemuda berbaju kulit harimau yang
ternyata adalah Bayu Hanggara, atau Pendekar Pulau
Neraka itu jadi terkejut, melihat sikap Pengemis
Tongkat Hitam. Dia tidak mengerti, apa sebenarnya
yang diinginkan laki-laki tua itu.
"Ada apa ini? Kenapa kau menyambutku begitu
dingin, Kek?" tanya Bayu bernada heran
"Di mana kau sembunyikan Dewi Ranti?" dingin
pertanyaan Pengemis Tongkat Hitam.
"He...! Ada apa ini? Siapa itu Dewi Ranti?" tampak
sekali kalau Bayu benar-benar tidak mengerti
"Jangan pura-pura bodoh, Pendekar Pulau
Neraka!" bentak Pendekar Pedang Emas geram. "Kau
memang tangguh dan digdaya, tapi jangan kira aku
takut menghadapimu!"
"Kakek, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kau
bersikap begitu?"
"Huh! Rupanya kau pintar juga bersandiwara,
heh!" dengus Pendekar Pedang Emas tak sabar.
Sret!
Pendekar Pedang Emas langsung mencabut
pedangnya yang memancarkan cahaya keemasan.
Kembali Bayu terkejut setengah mati. Sejenak masih
mengharapkan penjelasan, dengan tatapan matanya
pada Pengemis Tongkat Hitam. Namun hal itu tidak
tersampaikan, karena Pendekar Pedang Emas telah
menerjangnya dengan jurus-jurus mautnya.
"Hey, tunggu dulu...!" seru Bayu seraya berkelit
menghindari serangan itu.
"Mampus kau, manusia iblis!" geram Pendekat
Pedang Emas kembali menerjangnya.
"Uts!"
Pendekar Pulau Neraka langsung melompat ke
samping menghindari sabetan pedang Pendekar
Pedang Emas. Dan ketika kakinya baru saja menjejak
tanah, satu tendangan kilat segera dilancarkan
Pendekar Pedang Emas. Bayu yang masih diliputi
ketidakmengertian, jadi lengah. Tendangan itu
kontan bersarang di perutnya.
"Hugh!"
Seketika Pendekar Pulau Neraka itu terjajar ke
belakang beberapa langkah. Bibirnya tampak
meringis merasakan mual pada perutnya. Tapi
Pendekar Pedang Emas tidak memberinya
kesempatan lagi. Dia langsung menyerang kembali
dengan ganas. Sedang Bayu pun kembali
berlompatan ke sana kemari menghindarinya.
"Pendekar iblis! Ayo lawan aku, jangan bisanya
hanya berkelit!" bentak Pendekar Pedang Emas
sengit.
"Jelaskan dulu, kenapa kau menyerangku?"
"Tidak ada penjelasan bagimu, manusia keparat!"
Tiba-tiba Bayu melompat tinggi ke udara! Pada saat
itu juga, Pendekar Pedang Emas segera melentingkan
tubuhnya ke udara. Pedangnya berkelebat cepat
menimbulkan suara angin menderu. Bayu memutar
tubuhnya dua kali dan dengan cepat kakinya
menghentak ke depan.
Buk!
"Hegk...!"
Tubuh Pendekar Pedang Emas meluruk deras ke
bawah setelah kaki Bayu menghantam punggungnya.
Pendekar Pedang Emas bergulingan beberapa kali di
tanah, namun dengan cepat dia bisa bangkit kembali.
Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pulau Neraka
sudah mendarat dengan manis di tanah. Jarak
mereka cukup jauh sekarang. Sementara Pengemis
Tongkat Hitam hanya memperhatikan saja dengan
sikap ragu-ragu.
* * *
"Kakek Pengemis, kenapa kau diam saja.
Jelaskan, kenapa dia ingin membunuhku?" Bayu
meminta penjelasan.
"Maaf, Bayu. Aku memang berhutang nyawa
padamu, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa," sahut
Pengemis Tongkat Hitam.
'Tunggu dulu!" sentak Bayu ketika Pendekar
Pedang Emas bergerak hendak menyerang lagi. "Aku
tidak kenal siapa kau, kenapa kau ingin
membunuhku?"
"Kau memang harus mati, Pendekar Pulau
Neraka!" dingin kata-kata Pendekar Pedang Emas.
"Aku tidak bisa diam melihat kau membantai orang-
orang tidak berdosa!"
Bayu lalu menatap Pengemis Tongkat Hitam laki-
Iaki tua itu hanya membalas dengan pandangan
sayu.
"Katakan, di mana kau sembunyikan Dewi Panti,
sebelum kurobek dadamu!" bentak Pendekar Pedang
Emas.
"Sejak tadi kau menyebut-nyebut nama Dewi
Ranti, sudah kukatakan, aku tidak kenal siapa dia!”
jengkel juga Bayu menjawabnya
"Baiklah. kalau kau tidak mau mengaku. Tahan
seranganku, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaa...!"
"He…!"
Pendekar Pulau Neraka tidak punya kesempatan
lagi untuk bicara. Kini Pendekar Pedang Emas sudah
menyerangnya kembali dengan dahsyat. Pedangnya
yang berwarna kuning keemasan, berkelebat cepat
mengurung tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan segera berlangsung dengan cepat dan
dahsyat. Namun Bayu belum mau menyerang balik
Dia masih saja berkelit dan menghindar!
Sikap Bayu yang demikian itu, membuat Pendekar
Pedang Emas semakin gusar. Namun sebaliknya bagi
Pengemis Tongkat Hitam. Dia jadi ragu-ragu, apakah
benar yang melakukan semua keonaran selama ini
adalah Pendekar Pulau Neraka? Mendadak, Pengemis
Tongkat Hitam tersentak. Dia jadi ingat akan
sesuatu.
"Tahan...!" serunya keras.
Bayu langsung melompat mundur, begitu
Pendekar Pedang Emas menghentikan serangannya.
Pengemis Tongkat Hitam melesat bagai kilat, dan
tahu-tahu dia sudah berdiri di tengah-tengah kedua
pendekar itu.
"Pengemis Tongkat Hitam, mundurlah! Jangan
menghalangiku!" bentak Pendekar Pedang Emas.
'Tenang dulu, Pendekar Pedang Emas," Pengemis
Tongkat Hitam menyabarkan.
"Huh!" Pendekar Pedang Emas mendengus kesal.
"Bayu, sejak kapan kau berada di Lereng Gunung
Panjalukan ini?" tanya Pengemis Tongkat Hitam.
"Baru saja," sahut Bayu tanpa curiga.
"Boleh aku minta satu bintang perakmu?"
"Untuk apa?" Bayu jadi keheranan.
"Berikan, Bayu. Ini menyangkut nama baikmu ju-
ga," desak Pengemis Tongkat Hitam
Sejenak Bayu ragu-ragu, tapi akhirnya dia
mengeluarkan juga sebuah benda berbentuk bintang
bersegi enam, dan berwarna keperakan. Dia
kemudian menghampiri Pengemis Tongkat Hitam dan
menyerahkan benda tersebut. Sedangkan laki-laki
tua itu berbalik memandang Pendekar Pedang Emas.
"Kau masih menyimpan bintang perak itu,
Pendekar Pedang Emas?"
Setelah berpikir sebentar, Pendekar Pedang Emas
merogoh ke balik lipatan bajunya. Kemudian dia
menjulurkan tangannya, yang sudah menggenggam
sebuah benda berwarna perak berbentuk bintang.
Pengemis Tongkat Hitam pun menerima benda itu. Di
kedua telapak tangannya kini terdapat dua benda
berbentuk bintang keperakan. Keningnya sedikit
berkerut melihat dua benda yang sama dari orang
berbeda. Benda itu sama persis!
"Mustahil...!" desis Pengemis Tongkat Hitam
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ada apa, Pengemis Tongkat Hitam?" tanya
Pendekar Pedang Emas seraya menghampiri.
Pengemis Tongkat Hitam tidak menjawab. Dia
kembali memandangi dua benda di telapak
tangannya, tatapannya lalu beralih pada Bayu
Tampak jelas kilau Pendekar pulau Neraka itu tidak
mengerti dengan sikap Pengemis Tongkat Hitam
“Bayu, sebenarnya aku tidak mau percaya begitu
saja. Tapi semua bukti menunjukkan, kalau kaulah
yang telah melakukan pembantaian dan keonaran di
sini," pelan suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Kakek Pengemis, aku tidak mengerti
maksudmu?"
"Bayu, kau masih menganggapku sebagai
sahabat?"
Bayu segera mengangguk walau bertambah
bingung.
"Tolong, berikan racun pemunah 'Pukulan Tapak
Beracun'," kata Pengemis Tongkat Hitam.
"He...!" Bayu langsung terlonjak kaget.
"Demi membalas hutangku padamu, aku tidak
akan ikut campur dalam persoalan ini. Tapi jika kau
masih menganggapku sahabat, berikan racun
pemunah dari 'Pukulan Tapak Beracun' yang kau
miliki. Aku juga minta, agar kau menunjukkan di
mana kau sembunyikan Dewi Ranti," agak terpaksa
nada suara Pengemis Tongkat Hitam.
"Kakek Pengemis, kau ini bicara apa? Aku benar-
benar tidak kenal siapa Dewi Ranti. Kau jangan
membuatku pusing, Kakek Pengemis."
"Sudah kubilang, tidak ada gunanya lagi bicara
dengan bocah setan ini!" dengus Pendekar Pedang
Emas menyelak.
"He! Jaga mulutmu, Kisanak!" bentak Bayu mulai
sengit juga. "Aku tidak bisa menahan sabar terlalu
lama!"
"Kau pikir aku juga akan sabar mendengar segala
macam ketololanmu?" balas Pendekar Pedang Emas
tidak kalah sengitnya
"Aku tidak kenal kau, Kisanak. Dan aku juga
tidak pernah punya urusan denganmu! Tapi kalau
kau mencari urusan denganku, aku tidak akan
menolak!" dingin kata-kata Bayu. Kata-kata Pendekar
Pedang Emas benar-benar membuat darahnya
mendidih.
"Persoalannya ada pada dirimu sendiri, manusia
keparat!"
"Kadal buduk! Rupanya kau belum kenal, siapa
Pendekar Pulau Neraka, heh?!" kini Bayu benar-benar
tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.
"Dan kau juga harus tahu, dengan siapa kau
berhadapan!"
"Sudah..., sudah, tenang!" Pengemis Tongkat
Hitam berusaha melerai.
Pertengkaran mulut itu pun segera berhenti
Namun mereka masih saling tatap dengan amarah
memuncak hampir meledak!
"Bayu, berikan racun pemunah 'Pukulan Tapak
Beracun'," kata Pengemis Tongkat Hitam
'Aku tidak punya!" ketus jawaban Bayu.
Amarahnya dan rasa tersinggungnya membuat dia
tidak bisa mengendalikan diri lagi.
"Bayu. jika kau mau menyelamatkan nyawa
orang tua yang tengah sekarat, aku jamin, kau bisa
meninggalkan Lereng Gunung Panjalukan ini dengan
dengan damai.
"Kakek Pengemis, aku menghoimatimu sebagai
sahabat. Tapi aku bukan orang lemah yang
memerlukan jaminan keselamatanmu! Aku tidak
punya pemunah 'Pukulan Tapak Beracun', dan aku
tidak pernah melukai seorang pun di Lereng Gunung
Panjalukan ini! Cukup jelas, Kakek Pengemis Tongkat
Hitam!" tegas kata-kata Bayu.
"Bayu...."
"Maaf, aku tidak mau lagi mendengar persoalan
yang aku tidak tahu!" potong Bayu cepat
Setelah berkata begitu, Bayu langsung melesat
cepat bagai kilat! Dalam sekejap mata saja, tubuhnya
sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
Sedangkan Pendekar Pedang Emas buru-buru mau
mengejar, tapi segera ditahan oleh Pengemis Tongkat
Hitam.
"Pendekar Pedang Emas, kalau kau masih
penasaran, aku bersedia bertarung melawanmu!"
terdengar suara menggema.
"Monyet!" geram Pendekar Pedang Emas.
Suara itu jelas datang dari mulut Bayu. Teriakan
itu terdengar menggema, seolah-olah datang dari
segala penjuru mata angin. Hal itu menandakan
kalau Pendekar Pulau Neraka adalah seorang tokoh
yang sukar diukur tingkat kepandaiannya.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau membiarkan dia
kabur?" dengus Pendekar Pedang Emas kesal.
"Aku merasakan kejujuran pada nada suaranya,"
sahut Pengemis Tongkat Hitam tenang.
"Hhh! Seharusnya kita bisa memaksa dia."
"Pendekar Pedang Emas..., aku jadi tidak
mengerti. Kau yang dikenal sebagai pendekar arif
bijaksana, kini jadi mudah terbakar amarah."
"Aku juga manusia, Pendekar Tongkat Hitam. Aku
sudah tidak tahan lagi melihat tingkah lakunya.
Semakin hari, semakin brutal saja!"
"Aku mengerti, tapi cobalah untuk berkepala
dingin. Sekarang ini kita tengah menghadapi
persoalan yang bukan hanya menyangkut nama baik
seseorang, tapi juga seluruh kalangan rimba
persilatan. Apa kau tidak bisa melihat, akibat dari
kemelut ini bisa membuat seluruh tokoh rimba
persilatan terpecah belah, karena tidak bisa saling
mengendalikan emosi."
Pendekar Pedang Emas hanya bisa diam. Dalam
hati, dia mengakui kebenaran kata-kata Pengemis
Tongkat Hitam. Kemudian dia memasukkan kembali
pedangnya, dan berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Sementara Pengemis Tongkat Hitam mengikuti di
belakangnya.
4
Siang itu, Bayu sampai di sebuah desa yang tidak
jauh dari sungai di Lereng Gunung Panjalukan. Dia
tidak tahu nama desa itu, tapi semua orang yang
melihatnya langsung berlarian. Rumah-rumah pun
langsung ditutup rapat-rapat Tak ketinggalan kedai-
kedai juga segera menutup pintu. Bahkan para
pedagang di pasar desa. Itu meninggalkan
dagangannya Pokoknya mereka seperti tengah
melihat datangnya satu makhluk yang mengerikan!
Bayu benar-benar tidak mengerti dengan sikap
para penduduk desa itu. Sudah dua desa dia masuki,
dan semua penduduknya bersikap sama. Tentu saja
hal itu membuat Bayu jadi bertanya-tanya sendiri.
Desa yang semula ramai, langsung berubah sepi
sekali. Namun Pendekar Pulau Neraka itu tahu, kalau
dari celah-celah jendela, para penduduk desa
mengintip memperhatikannya.
"Aneh, kenapa mereka semua ketakutan...?"
gumam Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu terus melangkahkan
kakinya menyusuri jalan desa yang sudah sepi
senyap. Tak seorang pun yang terlihat. Bahkan
rumah-rumah penduduk juga tertutup rapat. Benar-
benar suatu pemandangan yang tidak mengenakkan.
"Aku jadi penasaran. Apa sebenarnya yang tengah
terjadi? Sudah dua desa kumasuki, dan keadaannya
sama. Semua orang ketakutan melihatku. Bahkan
sudah tiga tokoh persilatan yang mencoba
membunuhku. Hhh...! Aku jadi tidak mengerti...,"
kembali Bayu bergumam sendiri.
Langkah Pendekar Pulau Neraka itu langsung
berhenti, ketika di depannya tiba-tiba muncul
seorang laki-laki setengah baya, didampingi oleh
sekitar dua puluh orang bersenjata golok! Mereka
berdiri dengan sikap tidak bersahabat, dan
pandangan mata mereka penuh kebencian. Sejenak
Bayu tertegun melihat sikap orang-orang tersebut.
"Aku adalah Kepala Desa Gantang, dan atas nama
seluruh warga, aku meminta agar kau segera
meninggalkan desa ini," kata seorang laki-laki yang
berdiri paling depan.
"Boleh aku tahu, kenapa semua orang tampaknya
memusuhiku?" tanya Bayu masih diliputi
ketidakmengertian.
"Kau Pendekar Pulau Neraka, kan?" "Benar."
"Tidak ada lagi gadis yang bisa kau ambil, juga
seluruh harta kami sudah habis!" lantang suara
kepala desa itu.
'Tunggu! Kalian pasti salah duga, aku bukan
perampok gadis atau harta. Aku...."
"Jangan bersilat lidah, Pendekar Pulau Neraka!"
bentak Kepala Desa Gantang memotong. "Cepat
tinggalkan desa ini, atau kami akan menyabung
nyawa denganmu'"
Kini Bayu benar-benar terkejut mendengar kata-
kata tegas bernada kasar itu. Tapi dia berusaha
sekuatnya untuk tetap menahan diri. Kala kata
Kepala Desa Gantang itu membuatnya jadi berpikir.
Dia merasa yakin, kalau ada seseorang yang telah
menjual namanya untuk kepentingan pribadi, dan
orang itu melakukan tindakan yang merugikan desa-
desa di sekitar Kaki Lereng Gunung Panjalukan ini.
"Baiklah, aku akan pergi," kata Bayu mengalah,
tapi kalian harus tahu, aku tidak pernah melakukan
perbuatan yang kalian tuduhkan padaku "
Setelah berkata begitu, Bayu segera berbalik dan
melangkah pergi meninggalkan desa itu. Dia berjalan
cepat dengan kepala semakin dipenuhi berbagai
macam pertanyaan. Pendekar Pulau Neraka itu pun
segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Sehingga sebentar saja dia sudah melewati batas
Desa Gantang.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras yang
disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Seketika Bayu langsung menghentikan langkahnya.
Tampak matanya agak menyipit, ketika dari
gerumbul semak dan balik pohon, bermunculan
orang-orang yang langsung mengepungnya. Mereka
semua sudah memegang senjata yang beraneka
ragam. Sikap mereka jelas tidak menunjukkan
persahabatan.
"Hhh..., ada apa lagi ini...?" keluh Bayu dalam
hati.
Pendekar Pulau Neraka itu memperhatikan orang-
orang yang mengepungnya. Mereka berjumlah tidak
kurang dari tiga puluh orang. Dan semuanya jelas
tokoh-tokoh dari rimba persilatan.
"Apa maksud kalian menghadang perjalananku?"
tanya Bayu agak lantang suaranya.
"Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Pulau
Neraka!" bentak salah seorang yang memegang golok
besar bagai penjagal. "Apa yang baru saja kau
lakukan di Desa Gantang?"
"Aku...?! Aku tidak melakukan apa-apa...?!" sahut
Bayu Hanggara keheranan.
"Kau sudah terkepung, manusia keparat! Ajalmu
sudah dekat, masih juga berlagak tolol!" bentak salah
seorang lagi.
"Heh! Apa maksud kalian sebenarnya?" Bayu jadi
sengit.
"Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan
semua perbuatanmu, Pendekar Pulau Neraka!"
"Berapa banyak kau sudah memperkosa dan
membunuh gadis-gadis, merampok harta rakyat, dan
membantai orang-orang tidak berdosa! Kami semua
muak denganmu, manusia keparat!"
"Kau harus mati, iblis!" teriak yang lain.
Bermacam-macam makian dan umpatan segera
terlontar bagai tanggul terhempas badai. Kini merah
padamlah seluruh wajah Bayu! Caci maki itu
membuat darahnya ketika mendidih. Gerahamnya
bergemeletuk menahan geram. Tapi dengan sekuat
tenaga dia menahan perasaan amarahnya. Dia sadar,
kalau mereka semua hanya salah paham. Namun
rasanya tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya.
Ketiga puluh orang itu langsung berlompatan
menerjang, dengan teriakan-teriakan menggelegar
membelah angkasa!
"Hiya...!" Bayu berteriak keras.
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan ke sana
kemari menghindari serangan yang dalang dengan
cepat silih berganti. Keadaan Pendekar Pulau Neraka
kini benar-benar tidak menguntungkan. Dia diserang
dari segala jurusan. Ketiga puluh orang itu makin
mengepungnya dengan rapat. Tidak sedikit pun
memberi kesempatan pada Bayu untuk menarik
napas.
* * *
Bayu benar-benar kewalahan menghadapi tiga
puluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian
cukup tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu hanya
mampu berkelit, berlompatan dan menghindar tanpa
mampu membalas. Mereka semua tidak memberi
kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk
membalas. Setiap kali pendekar itu hendak
melakukan pembalasan, selalu terhalang oleh
serangan yang datang dengan cepat.
Buk!
Mendadak satu tendangan keras berhasil
mendarat di punggung Pendekar Pulau Neraka.
Seketika pemuda berbaju kulit harimau itu terjungkal
keras! Pada saat yang bersamaan, sebuah senjata
rantai tiba-tiba meluncur ke tubuhnya. Buru-buru
Bayu menggulirkan tubuhnya ke samping, dan rantai
itu pun mendarat di samping tubuhnya.
Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu sempat
bangkit, sebilah pedang sudah berkelebat cepat ke
arahnya, dan Bayu berusaha berkelit, namun ujung
pedang itu berhasil juga menggores perutnya.
Tampak darah segera merembes ke luar dari
perutnya yang sobek
"Uh! Mereka benar-benar ingin membunuhku!"
dengus Bayu daiam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu menggelimpangkan
tubuhnya ke samping, tepat pada saat sebatang
tombak meluruk ke arahnya. Lalu dengan kecepatan
yang sukar diikuti oleh mata biasa, kaki Bayu
melayang menghantam tombak itu.
Trak!
Seketika tombak itu patah jadi dua. Secepat kilat
Bayu melenting bangkit. Tangan kanannya berkelebat
mengibas ke depan. Mendadak secercah cahaya
keperakan melesat cepat dari pergelangan tangannya.
Langsung saja satu jeritan melengking terdengar,
disusul ambruknya satu orang dengan dada terbelah!
“Sejenak Bayu menarik tangannya ke depan dada,
dan kembali mengebutkan dengan kuat. Senjata
cakra bersegi enam keperakan itu pun melesat cepat
bagai memiliki saja. Dalam waktu singkat, lima orang
sudah terjungkal dengan bersimbah darah.
Sementara , jeritan melengking terus mengiringi
pertarungan itu. Pada satu saat, Bayu melompat
bagai kijang ke arah seorang yang terdekat, dan
melepaskan pukulan keras dari jurus 'Pukulan Tapak
Beracun'
"Aaakh...!" seketika orang itu menjerit melengking.
Musuh itu mendekap dadanya yang terluka
dalam, dengan gambar telapak tangan berwarna
hitam. Dan belum lagi jeritan itu hilang dari
pendengaran, kembali terdengar satu jeritan
melengking. Kini Bayu benar-benar tidak mau lagi
mengalah. Dia terus mengamuk dengan ganas, bagai
singa terluka! Tubuh-tubuh tak henti-hentinya
bergelimpangan mengucurkan darah segar. Sebentar
saja serangan tokoh-tokoh rimba persilatan itu jadi
kacau.
"Kalian sungguh-sungguh manusia-manusia
picik! Mencari mati berurusan dengan Pendekar
Pulau Neraka!" seru Bayu keras menggelegar.
Para pengeroyok yang kini sudah berkurang
hampir separuhnya itu, segera berlompatan mundur.
Bayu sejenak mengangkat tangan kanannya ke atas,
seketika senjata mautnya kembali melayang ke arah
pergelangan tangan kanannya, dan menempel.
"Dengar! Aku tidak pernah melakukan perbuatan
yang kalian tuduhkan, Jika kalian masih juga ingin
membunuhku, majulah. Biar kukirim kalian semua
ke neraka!" keras suara Bayu. Emosinya masih belum
reda.
Musuh-musuhnya yang kini berjumlah delapan
belas itu, terdiam dengan sikap tetap bersiaga penuh.
Hati mereka mulai dilanda kegentaran.
Suasana hening segera melanda tempat itu. Bayu
masih menatap tajam pada mereka yang masih
mengelilinginya. Pelahan-lahan kakinya bergerak
melangkah maju. Mereka yang berada di depannya,
bergegas menyingkir.
Pendekar Pulau Neraka itu terus melangkah
pelan-pelan. Matanya tetap tajam merayapi
sekitarnya. Tak seorang pun yang berani lagi
mendekat. Hari mereka benar-benar sudah gentar
menghadapi kedahsyatan pendekar itu!
Merasa ada kesempatan untuk lolos, Bayu segera
melesat pergi meninggalkan tempat itu. Gerakannya
ringan, dan cepat bagai kilat! Dalam sekejap mata
saja. tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Sementara tokoh-tokoh rimba persilatan itu langsung
bubar tanpa berkata-kata sedikitpun. Kini tinggal
mereka yang tewas menggeletak, tanpa ada yang
mempedulikan
***
Bayu segera menjatuhkan dirinya di rerumputan,
begitu mencapai tepi sungai dekat Desa Galuhung.
Darah masih mengucur dari perutnya yang sobek.
Sebentar dia memejamkan matanya, lalu bangkit
duduk bersila. Jari tangannya bergerak lembut dan
lincah menotok di sekitar luka pada perutnya.
Seketika darah berhenti mengalir. Pandangan
matanya beredar berkeliling. Sepi, tidak terlihat
seorang pun di tempat itu.
"Hhh...! Untung senjata itu tidak beracun," desah
Bayu pelan.
Pendekar Pulau Neraka itu kemudian bangkit dan
melangkah ke sungai. Dia jongkok di tepi sungai, lalu
membersihkan luka di perutnya dengan air. Terakhir
Bayu membalut lukanya dengan kain berwarna
merah yang selalu membeliti pinggangnya.
Baru saja dia berdiri, mendadak telinganya
mendengar suara langkah kaki dari arah belakang.
Bayu segera berbalik, tampak seorang gadis sudah
berdiri tertegun sambil memandangnya. Gadis itu
tampak terkejut melihat Pendekar Pulau Neraka
berada dekat sungai. Sampai-sampai keranjang yang
dibawanya terlepas! Seketika dia berbalik, dan
langsung berlari cepat.
"Hey! Tunggu...!" teriak Bayu seraya melompat
mengejar.
Hanya dua kali lompatan saja, Bayu sudah
berhasil menyusul gadis itu. Tangannya langsung
mencekal lengan gadis itu.
"Lepaskan!" sentak gadis itu ketakutan.
"Diamlah, aku tidak akan menyakitimu," kata
Bayu datar.
Gadis itu pun diam tidak memberontak. Namun
wajahnya masih kelihatan pucat, dan tubuhnya
gemetaran. Bayu melepaskan cekalannya pada
tangan gadis itu.
"Kenapa kau lari melihatku?" tanya Bayu lembut.
"Tolong, lepaskan aku. Jangan hancurkan
hidupku, jangan bunuh aku Lepaskan aku, Tuan...,"
rintih gadis itu memelas.
Bayu mengerutkan keningnya.
"Siapa namamu ?" tanya Bayu lembut.
"Murti...," sahut gadis itu pelan. Hampir tidak
terdengar suaranya
"Dengar, Murti Aku bukan hantu, aku bukan
tukang begal, atau pembunuh. Aku manusia biasa,
kau tidak perlu takut," kata Bayu berusaha
meyakinkan
Gadis cantik yang bernama Murti itu, segera
mengamati pemuda tampan dan gagah, berbaju kulit
harimau di depannya. Dia memandangi dari ujung
kepala hingga ujung kaki. Seolah-olah gadis itu
sedang menilai laki-laki di depannya.
"Kau..., Pendekar Pulau Neraka...?" bergetar suara
Murti.
"Ya," sahut Bayu mengangguk.
"Oh...," Murti langsung jatuh tertunduk lemas.
"Hey, ada apa?" Bayu tersentak, dia segera
berlutut dengan mata menatap heran pada gadis itu.
"Dewata Yang Agung.... Jika kau menghendaki
nyawaku. Ambillah tapi jangan kau biarkan dia
memperkosaku”, rintih Murti lirih. Setitik air bening
tampak menggalir dari sudut matanya.
Seketika Bayu terduduk lemas mendengar
rintihan Murti. Dia menjambaki rambutnya sendiri.
Sungguh, dia tidak bisa memahami semua yang
terjadi di Kaki Lereng Gunung Panjalukan ini. Segala
peristiwa yang ditemui, membuat kepalanya serasa
mau pecah! Dia tidak mengerti, kenapa semua orang
jadi membenci dirinya? Mungkinkah ada orang yang
telah mengaku dirinya, dan membuat kebodohan?
Melakukan keonaran, menculik gadis-gadis,
memperkosanya lalu membunuhnya? Kalau memang
benar, apa maksudnya?
Keheningan menyelimuti sekitar tepian sungai itu.
Pelahan-lahan Murti mengangkat kepalanya. Sejenak
dia tertegun melihat laki-laki yang menjadi momok
menakutkan selama ini, terduduk lemas sambil
menjambaki rambutnya sendiri. Gadis itu tampak
keheranan melihat paras Pendekar Pulau Neraka
tidak garang. Bahkan tampak kusut bagai sedang
menyimpan ribuan persoalan yang sukar dipecahkan.
Tanpa disadari, Bayu juga menatap ke arah gadis itu.
Sesaat mereka saling berpandangan.
"Apa sebenarnya yang telah kulakukan? Kenapa
semua orang membenciku, dan mau membunuhku?"
desah Bayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Murti diam membisu.
"Kau pernah bertemu denganku sebelumnya?"
tanya Bayu.
Murti mengangguk tanpa disadari.
"Kapan? Apa yang aku lakukan padamu?" tanya
Bayu lagi setengah mendesak.
Murti tidak menjawab. Mendadak ada perasaan
lain hinggap di hatinya, begitu mendengar pertanyaan
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Matanya yang
bulat indah tampak berputar-putar, seakan-akan dia
tengah meneliti pemuda tampan di depannya.
"Pandanglah aku, benarkah aku orang yang
pernah bertemu denganmu?"
Murti masih belum menjawab. Pelahan-lahan
kepalanya menggeleng, saat dia melihat ke
pergelangan tangan Bayu Hanggara. Kemudian
matanya kembali menatap wajah tampan di
depannya.
"Tidak...," desis Murti seperti tak sadar.
"Murti, baru kemarin aku datang ke sini. Dan aku
jadi bingung, kenapa semua orang membenciku, dan
mau membunuhku? Apa sebenarnya yang telah
terjadi di sini, Murti? Katakanlah, apa yang telah
terjadi?,” desak Bayu penuh harap.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Murti berbalik
tanpa menjawab pertanyaan Bayu.
"Namaku Bayu Hanggara, aku memang lebih di
kenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka," sahut
Bayu jujur.
"Kau benar-benar tidak melakukan perbuatan-
perbuatan itu, atau kau hanya pura-pura saja?”
selidik Murti. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu
dia punya keberanian
“Kenapa kau tanyakan itu? Apakah aku
kelihatan berpura-pura?"
"Dia juga bernama Pendekar Pulau Neraka.
Semuanya mirip denganmu. Wajahnya, pakaiannya,
pokoknya mirip. Tapi...."
"Tapi, apa?" desak Bayu.
"Dia tidak membawa itu," sahut Murti sambil
melirik ke pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka.
"Ah, terima kasih...! Terima kasih, Murti !" seru
Bayu. Begitu gembiranya dia, sampai tidak sadar
memeluk gadis itu.
Tentu saja Murti tersentak kaget, buru-buru dia
menolakkan tubuh pemuda itu.
"Maaf, aku tidak sengaja," ucap Bayu buru-buru.
Paras wajah Murti bersemu merah. Kepalanya
tertunduk. Entah kenapa, harinya tiba-tiba berdebar
aneh. Bayu kemudian mengambil tangan gadis itu,
dan menggenggamnya erat-erat. Pelahan lahan Murti
pun mengangkat kepalanya. Tatapan matanya
langsung bertemu dengan sorot mata Bayu. Sesaat
keheningan kembali menyelimuti mereka berdua.
"Kau telah membuka selimut kabut yang
menyelimuti seluruh daerah Gunung Panjalukan ini,
Murti. Aku tahu sekarang, ada seseorang yang telah
menyamar jadi diriku, dan pasti dia punya maksud
untuk menghancurkan aku dengan perbuatannya itu.
Terima kasih Murti. Kau telah membantu banyak
padaku kata Bayu semakin erat menggenggam
tangan Murti.
"Jadi, kau bukan Pendekar Pulau Neraka?" tanya
Murti seolah ingin kepastian.
"Akulah Pendekar Pulau Neraka, dan orang itu
memakai namaku untuk menghancurkanku," sahut
Bayu tegas.
Tampaknya Murti masih belum mengerti, namun
dia tidak bertanya lagi. Bayu melepaskan genggaman
tangannya, kemudian beranjak bangkit Pendekar
Pulau Neraka itu berjalan menghampiri keranjang
yang menggeletak tidak jauh darinya. Dia lalu
memungut keranjang itu, dan memasukkan baju-
baju dan kain ke dalamnya. Setelah itu dibawanya
kembali pada gadis cantik yang masih duduk di
rerumputan.
"Kau ke sini untuk mencuci?" tanya Bayu.
"Ya," sahut Murti seraya bangkit dari duduknya
"Mencucilah, aku akan menjagamu," kata Bayu
sambil melangkah ke sungai. Dia masih menjinjing ki
ranjang gadis itu.
Sementara Murti melangkah di samping pemuda
itu. Benaknya masih belum bisa mengerti, dengan
laki-laki yang bernama Pendekar Pulau Neraka.
Meskipun rasa khawatir terus bersemayam di hatinya
namun gadis itu mulai menaruh kepercayaan, kalau
pemuda yang bersamanya kini tidak sejahat dan
sekejam pemuda yang hampir memperkosanya dulu.
***
Selesai mencuci, Murti masih duduk di atas batu.
Sementara Bayu berada tidak jauh darinya Gadis itu
merasakan adanya sesuatu yang berbeda pada
Pendekar Pulau Neraka dengan pemuda yang dulu.
Tapi melihat bentuk tubuh, wajah dan yang dikena-
kan oleh Bayu, dia benar-benar bingung.
"Kenapa kau tidak segera pulang?" tanya Bayu
seraya memandang gadis itu.
Murti tidak menyahut. Dia kemudian bangkit
sambil mengepit keranjangnya di ketiak lalu kakinya
mulai melangkah meninggalkan sungai itu. Sebentar
dia berhenti, dan menoleh pada Pendekat Pulau
Neraka. Kemudian dia kembali melangkah agak
cepat. Sementara Bayu tetap duduk di atas batu
sambil memandangi.
Begitu jarak Murti sudah jauh, Pendekar Pulau
Neraka itu baru bangkit dan melangkah mengikuti
gadis itu. Bayu mengikuti dengan menjaga jarak.
Sedangkan Murti terus melangkah. Sesekali dia
menoleh ke belakang. Hatinya jadi agak tenang
karena tidak melihat pemuda berbaju kulit harimau
itu lagi. Gadis itu sama sekali tidak tahu kalau
dirinya terus diikuti.
Murti langsung berlari cepat begitu sampai di
desanya. Desa Galuhung yang semakin sunyi saja.
Hampir seluruh penduduk desa itu lebih senang
tinggal di rumah, lebih-lebih para gadisnya, tidak ada
yang berani ke luar rumah kalau tidak ada keperluan
yang mendesak. Sementara Bayu hanya
memperhatikan saja dari arah yang cukup jauh. Dia
tersenyum melihat Murti sudah masuk ke rumahnya.
"Bayu.. "
"Eh!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba nama
nya disebut dari belakang
Belum lagi pemuda itu menoleh, Pengemis
Tongkat Hitam sudah berada di sampingnya. Bayu
segera menghenyakkan tubuhnya di bawah pohon
yang rindang. Sementara Pengemis Tongkat Hitam
mengambil tempat di depan pemuda berbaju kulit
harimau itu.
"Sejak semula aku memang tidak percaya, kalau
kau yang telah melakukan perbuatan tercela dan
brutal itu," kata Pengemis Tongkat Hitam.
Bayu diam saja. Pandangannya tetap ke arah Desa
Galuhung yang sepi. Hanya ada satu dua orang saja
yang kelihatan ke luar rumah, itu pun hanya laki-laki
tua.
"Aku sengaja meminta Murti untuk ke sungai.
Semula niatku untuk memancing Pendekar Pulau
Neraka palsu, tapi yang muncul malah kau, Bayu,"
kata Pengemis Tongkat Hitam lagi.
Bayu langsung memandang laki-laki tua di depan
nya.
"Aku pun mendengar semua percakapanmu
dengan Murti. Sekarang aku yakin, kaulah Pendekar
Pulau Neraka yang kukenal. Aku memang belum
pernah bertemu dengan orang yang menyamar dan
memakai namamu, sehingga aku sulit
membedakannya." lanjut Pengemis Tongkat Hitam
lagi.
“Apa yang ingin kau katakan lagi padaku?
Meminta racun pemunah 'Pukulan Tapak Betacun'?"
agak ketus nada suara Bayu.
"Tidak, Ki Sandak sudah tewas," sahut Pengemis
Tongkat Hitam.
"Kalau saja temanmu itu tidak bermata gelap,
mungkin aku masih bisa menolong," kata Bayu datar.
"Ya, aku juga menyesali tindakannya " Bayu diam
membisu. Pandangannya kembali terarah ke Desa
Galuhung. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat
ini. Sementara Pengemis Tongkat Hitam juga diam.
***
5
Malam belum lagi beranjak larut. Namun udara di
sekitar Gunung Panjalukan sudah semakin dingin.
Kabut tebal menyelimuti seluruh Puncak Gunung
Panjalukan itu. Dinginnya udara malam ini terusik
oleh pijaran api dari ranting-ranting kering yang
terbakar di dalam sebuah goa yang cukup besar dan
lapang.
Tidak jauh dan api unggun itu tergolek sesosok
tubuh ramping dengan pakaian koyak tidak teratur
letaknya. Wajahnya yang cantik, tampak lesu tanpa
gairah hidup. Matanya kosong menerawang jauh ke
dalam api. Gadis itu berusaha menggeliat, namun
seluruh tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa
digerakkan Sinar matanya langsung berubah tajam
penuh kebencian dan dendam saat menatap seorang
laki-laki yang duduk dekat api unggun.
Laki-laki muda, tampan, bertubuh tegap itu
tersenyum melihat gadis itu menatapnya tajam. Dia
menggeser duduknya mendekat. Tangannya
diletakkan ke atas paha putih yang terbuka lebar.
Jari-jari tangannya bermain-main, menari-nari di
atas kulit yang putih mulus tanpa cacat itu.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
merebahkan tubuhnya di samping gadis itu. Bibirnya
masih menyunggingkan senyum. Perlahan dia
mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Saat
wajahnya sudah demikian dekat, gadis itu
memalingkan mukanya. Namun pemuda itu malah
memeluk dan menciuminya dengan liar.
"Akh...! Binatang! Kubunuh kau'" pekik gadis itu
mencoba menggeliat, namun sedikit pun tubuhnya
tidak dapat digerakkan. Hanya kepalanya saja
menggeleng-geleng ke kanan dan ke kiri, berusaha
menghindari sergapan ciuman-ciuman pemuda itu
yang bertubi-tubi.
"Ah, aku senang Kau masih juga galak dan
menggairahkan...," desah pemuda itu seraya
melepaskan bajunya yang terbuat dari kulit harimau
Bret!
"Ah...!" gadis itu memekik tertahan ketika baju
yang menutup bagian dadanya dirobek paksa.
Mata pemuda itu semakin liar merayapi dua buah
gunung kembar yang putih indah menantang. Gadis
itu memejamkan matanya rapat-rapat saat
merasakan dengus napas memburu pada dadanya
Dia menggigit-gigit bibirnya sendiri. Setitik air
menggulir dari sudut matanya. Napasnya tertahan
merasakan berat pada tubuhnya.
Sia-sia saja gadis itu berusaha meronta, karena
seluruh tubuhnya tidak dapat digerakkan lagi.
Menjerit pun tidak ada gunanya lagi. Tidak ada
seorang pun yang ada di Puncak Gunung Panjalukan
itu. Gadis itu hanya bisa pasrah dan menangis
dengan hati hancur berkeping-keping. Ia
memejamkan matanya rapat-rapat, tidak sanggup
melihat wajah pemuda yang begitu dekat di atasnya.
"Akh!" tiba-tiba gadis itu memekik tertahan.
Sebentar matanya terbuka membeliak, lalu
merapat kembali dengan kepala terkulai lemah ke
samping. Air matanya semakin deras mengalir.
Rintihannya terdengar lirih menahan sesuatu
yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Beberapa saat gadis itu merasakan amat tersiksa.
Saat itu dia merasakan dirinya sudah mati. Namun
beban yang berada di atas tubuhnya
menyadarkannya kalau dia belum mati, dan masih
berada di dalam cengkeraman seorang laki-laki
berhati iblis yang mengaku bernama Pendekar Pulau
Neraka.
Gadis itu kembali memekik tertahan, bersamaan
dengan terdengarnya suara mendesis lirih. Tak lama
kemudian, tubuh pemuda itu menggulir ke samping.
Sebentar dia merebahkan tubuhnya di samping gadis
itu, kemudian tangannya meraih pakaian yang
teronggok di sampingnya. Matanya merayapi
sebentuk tubuh indah terbungkus kulit putih yang
mulus tanpa catat di sampingnya. Bibirnya
tersenyum penuh kemenangan dan kepuasan.
Pemuda itu kembali mengenakan pakaiannya.
"Seharusnya aku tidak lagi memerlukanmu,
Manis," kata pemuda itu, lembut suaranya
Gadis itu hanya diam dengan mata, terpejam
rapat. Dia benar-benar tidak ingin melihat laki-laki
yang telah menghancurkan hidupnya, mengoyak
seluruh hatinya. Saat Itu yang ingin dia lakukan
hanya satu, mati!
"Ah, aku memang tidak memerlukanmu lagi.
Masih banyak gadis yang lebih cantik dan lebih
menggairahkan darimu," kembali pemuda berbaju
kulit harimau itu berkata pelan.
Pemuda itu beranjak bangkit sambil mengangkat
tubuh gadis itu. Kemudian dia melangkah keluar goa.
Langkah kakinya tegap dan mantap. Dia baru
berhenti melangkah setelah sampai di Lereng Gunung
Panjalukan yang cukup terjal dan berbatu. Pemuda
berbaju kulit harimau itu meletakkan gadis yang
hanya tertutup kain koyak itu di atas sebuah batu
besar dan agak pipih permukaannya.
"Kenanglah aku di neraka, Manis," kata pemuda
itu lembut.
Dia membungkukkan badannya sedikit, dan
mengecup pipi gadis itu. Lalu mendorong tubuh
ramping itu dengan kuat. Suara jeritan melengking
terdengar menyayat, bersamaan dengan
menggulingnya tubuh gadis itu ke bawah. Tubuhnya
meluncur deras menghantam batu-batuan, dan baru
berhenti meluncur setelah menghantam sebongkah
batu yang cukup besar. Darah mengucur deras dari
kepalanya yang pecah. Gadis itu tergolek tak
bernyawa lagi.
"Ha ha ha...!" pemuda berbaju kulit harimau itu
tertawa terbahak-bahak
Tak ada yang menyaksikan semua kejadian itu.
Hanya bulan yang mengintip di balik awan dan kabul
tebal menyaksikan semua kekejaman pemuda itu.
Kesunyian kembali menyelimuti seluruh Puncak
Gunung Panjalukan Kemudian pemuda berbaju kulit
harimau itu berbalik dan berlompatan meninggalkan
tepi lereng yang curam. Kembali tawanya terdengar
berderai.
***
Malam terus merayap semakin larut. Udara pun
semakin bertambah dingin. Gunung Panjalukan
tampak angker, hitam pekat berselimut kabut tebal.
Namun suasana malam yang seperti itu tidak
menghalangi sesosok tubuh yang tengah berlari cepat
menuruni Lereng Gunung Panjalukan. Gerakannya
sangat cepat dan ringan, sehingga yang terlihat
hanya bayangan berkelebatan saja.
Sosok tubuh itu berhenti berlari setelah sampai di
batas Desa Galuhung. Tampak wajahnya tampan,
dengan sinar mata bersorot tajam. Orang itu
mengenakan baju dari kulit harimau. Dia berdiri
tegak bertohk pinggang, sambil menatap lurus ke
arah Desa Galuhung di depannya. Desa itu tampak
sepi, tak terlihat seorang pun yang berada di luar
rumah.
Kakinya kembali terayun melangkah tegap dan
mantap memasuki Desa Galuhung. Sepanjang
perjalanan, hanya kesunyian yang dilaluinya.
Bahkan, beberapa rumah yang tadinya masih terang,
langsung gelap. Pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu tersenyun lebar, melihat rumah-rumah
langsung memadam lampunya. Bahkan terdengar
suara pintu dan jendela terkunci.
Langkah kaki pemuda berbaju kulit harimau itu
kemudian berhenti, tepat di depan pintu sebuah
rumah yang cukup besar. Rumah berdinding papan
itu tampak sepi, hanya ada lampu pelita kecill yang
menerangi beranda. Sejenak pemuda itu
menghentakkan kakinya ke tanah, dan tubuhnya
melesat ke udara. Manis sekali dia hinggap di atas
atap rumah itu.
Dan dengan hati-hati dia membongkar atap
rumah itu, dan meluruk turun ke dalam. Ringan, tak
terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak
lantai. Gelap menyelimuti seluruh ruangan dalam
rumah itu. Pemuda berbaju kulit harimau itu
melangkah ringan mendekati sebuah pintu. Tampak
seberkas cahaya kecil membias di bawah pintu.
Senyum di bibirnya kembali terkembang. Pemuda
berbaju kulit harimau itu kemudian melangkah
mendekati pintu. Pelahan-lahan tangannya
mendorong pintu kamar itu. Bola matanya segera
berbinar melihat seorang gadis tengah lelap di
pembaringan. Sehelai kain menutupi tubuh gadis itu.
Tampak beberapa bagian tubuhnya tersingkap,
menampakkan kulit yang putih bersih.
"Ah..., cantik sekali," desisnya pelan.
Lalu dengan mengendap-endap, pemuda berbaju
kuljt karimau itu mendekati pembaringan. Sebentar
dipandanginya bentuk tubuh yang masih tergolek
lelap dalam buaian mimpi. Dadanya mendadak
berdebar saat matanya menangkap sebentuk buah
dada indah hampir tak tertutup kain. Maka dengan
gerakan lembut tangannya terulur, dan dengan cepat
jari-jari tangan nya menotok beberapa bagian jalan
darah gadis itu.
"Akh!" gadis itu sempat memekik, namun sedetik
kemudian lemas tak berdaya.
Tampak mulutnya terbuka lebar, sedang matanya
membeliak memancarkan rasa takut yang amat
sangat. Namun tak sedikit pun suara keluar dari
mulutnya yang terbuka. Pemuda berbaju kulit
harimau itu kembali tersenyum menyeringai. Lalu dia
beranjak naik ke pembaringan itu.
"Murti...!" tiba liba terdengar suara dari kamar
lain.
"Uh!" pemuda berbaju kulit harimau itu
mendengus kesal.
Saat kepalanya menoleh ke arah pintu, tampak
seorang laki-laki lanjut usia sudah berdiri terpaku di
ambang pintu. Dia seperti terkesima melihat ada
seorang laki-laki berbaju kulit harimau, berada di
atas tubuh anak gadisnya.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis laki-laki tua itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menggeram
kesal. Lalu bagaikan kilat, dia mengibaskan tangan
kirinya. Seketika secercah cahaya keperakan
meluncur deras ke arah laki-laki tua itu. Namun
tanpa diduga sama sekali, laki-laki tua itu segera
mengegoskan tubuhnya ke samping, dan cahaya
keperakan itu lewat di samping tubuhnya, dan
menancap pada dinding.
"Kurang ajar'" rungut pemuda berihtju kulit
harimau itu.
Dan tanpa mempedulikan gadis yang sudah
lemas tertotok, pemuda berbaju kulit harimau itu
melompat ke arah pintu. Pada saat yang sama, laki-
laki tua berjubah putih itu pun langsung
melentingkan tubuhnya ke atas. Namun gerakannya
kalah cepat! Pemuda berbaju kulit harimau itu sudah
mengibaskan tangannya lagi.
"Aaakh!" laki-laki tua itu kontan menjerit
melengking.
Sebuah benda berbentuk bintang parak tampak
menancap dalam di punggungnya. Tanpa ampun lagi,
tubuh tua renta itu meluruk kembali ke bawah. Dan
sebuah tendangan keras segera menyusul dan
menghantam tubuhnya. Seketika suara berderak
terdengar, bersamaan dengan hancurnya dinding itu
tertimpa tubuh tua renta.
Laki-laki tua itu tampak berusaha bangkit,
namun pemuda berbaju kulit harimau lebih cepat
melompat, sambil melayangkan satu pukulan keras
ke wajahnya. Kembali laki-laki tua itu memekik
keras, dan tubuhnya terjungkal menghantam lantai!
Tak pelak lagi, darah langsung muncrat ke luar dari
mulutnya. Dan dengan ganas, tiba-tiba pemuda
berbaju kulit harimau itu melompat, dan menjejak
tubuh laki-laki tua itu.
"Hegh!"
Sebentar laki-laki tua itu menggelepar, lalu diam
tak bergerak-gerak lagi. Dari mulut serta hidungnya
segera mengucurkan darah segar. Pemuda itu pun
lalu berbalik, dan pada saat yang sama, dari dalam
kamar lain keluar seorang wanita tua. Wanita itu
seketika terkejut, begitu melihat seorang laki-laki
berbaju kulit harimau menginjak tubuh suaminya.
"Ah! Tolooong...!" jerit wanita itu sekuat-kuatnya.
“Keparat!" laki-laki berbaju kulit harimau itu
menggeram.
Dan bagaikan kilat, tangannya mengibas cepat ke
depan. Seketika itu juga, sinar keperakan melesat ke
arah perempuan tua itu. Tak pelak lagi, sinar dari
senjata bintang perak itu menembus dadanya.
"Aaa...!" perempuan tua itu menjerit melengking
tinggi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
membuang-buang waktu lagi. Dia segera melompat
ke dalam kamar gadis yang lemas tertotok jalan
darahnya. Bergegas dia mengangkat tubuh gadis itu,
dan melesat ke atas sambil membopong gadis cantik
yang bernama Murti.
Begitu kakinya hinggap di atap, mendadak
puluhan anak panah dan tombak bertebaran ke
arahnya. Pemuda berbaju kulit harimau itu
mengumpat geram. Dia segera berlompatan sambil
mengibaskan tangan kirinya, menghalau serbuan
anak panah dan tombak. Tampak di sekeliling rumah
itu sudah dipenuhi oleh puluhan orang dengan
berbagai senjata.
"Setan!" geram pemuda itu. Dia lalu
memindahkan tubuh Murti ke atas pundaknya
Dan hanya dengan sekali lompatan saja, pemuda
berbaju kulit harimau itu meluruk ke bawah. Dan
langsung disambut oleh mereka yang sudah
mengepungnya. Pertempuran pun tak terhindarkan
lagi. Sebentar, saja jerit kesakitan dan pekik
kemarahan berbaur menjadi satu. Malam yang
semula dingin, berubah hangat. Para penduduk Desa
Galuhung rupanya sudah tidak lagi menghiraukan
nyawanya. Mereka terus menyerang pemuda berbaju
kulit harimau itu dengan brutal.
Tubuh-tubuh bersimbah darah kini mulai
bergelimpangan. Jeritan kematian semakin sering
terdengar. Pemuda berbaju kulit harimau yang
memanggul Murti, berkelebatan cepat membantai
para penduduk yang rata-rata tidak memiliki ilmu
olah kanuragan itu. Mereka hanya dibekali dengan
kemarahan yang memuncak, meledak tak
terkendalikan lagi. Mereka tidak lagi peduli dengan
nyawa. Mereka tidak menghiraukan, siapa yang
sedang dihadapi.
Rasa dendam, benci dan kemarahan yang meng-
gumpal menjadi satu, membuat penduduk yang
sehari-harinya bekerja di ladang itu jadi nekad. Kini
sudah tidak terhitung lagi, berapa orang yang
menggeletak jadi mayat. Namun mereka tetap
menggempur pemuda berbaju kulit harimau itu.
***
Meskipun hanya menghadapi orang-orang yang
tidak mengerti ilmu olah kanuragan, pemuda berbaju
kulit harimau itu kerepotan juga menghadapinya.
"Gila! Kalau begini terus, aku bisa kehabisan
tenaga!" dengus pemuda itu dalam hari.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mencoba untuk
menerobos kepungan para penduduk Desa
Galuhung. Tapi kepungan itu semakin bertambah
rapat saja. Mereka seperti kesetanan, tidak
mempedulikan lagi keselamatan jiwanya.
"Mundur...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras meng-
gelegar. Para penduduk desa itu pun segera mundur.
Tampak di antara mereka sudah berdiri tokoh-tokoh
rimba persilatan yang tidak sedikit jumlahnya.
Seluruh penduduk Desa Galuhung sedikit bergembira
melihat kedatangan tokoh-tokoh rimba persilatan dan
murid-murid padepokan.
Sementara itu pemuda berbaju kulit harimau
tampak terkejut bukan main. Dia sadar, kalau malam
ini adalah hari sialnya. Tapi dia tidak mau menyerah
begitu saja. Pemuda itu lalu menurunkan tubuh
gadis yang berada di pundaknya, dan membuka
totokan jalan darah di tubuhnya.
"Ah, tolooong...!" jerit Murti begitu terbebas dari
totokan. Buru-buru pemuda berbaju kulit harimau
Itu menjepit leher Murti, dan memegangi tangannya
ke belakang. Gadis itu sama sekali tidak berdaya lagi
lebih-lebih setelah pemuda itu mengancam akan
membunuhnya jika bergerak.
"Kalian berani maju selangkah, kupatahkan leher
gadis ini'" ancam pemuda itu.
Semua tokoh rimba persilatan itu tidak ada yang
bergerak di antara mereka, tampak Pendekar Pedang
Emas, Pendekar Tongkat Ular, Malaikat Bayangan
Hijau. Mereka adalah tokoh-tokoh rimba persilatan
yang sudah tidak asing lagi namanya. Namun
semuanya tidak ada yang bergerak mengingat
keselamatan Murti terancam.
"Bagus! Kalian yang di sana, minggir!" bentak
pemuda berbaju kulit harimau.
Mereka yang ditunjuk segera menyingkir
membuka jalan. Pemuda berbaju kulit harinnu itu
melangkah pelan-pelan sembari menyeret Murti.
Gadis itu berusaha memberontak, namun jepitan
pada lehernya begitu kuat, dan terasa sakit.
"Diam! Kubunuh kau, kalau coba coba
memberontak!" ancam pemuda itu bengis.
"Serang dia! Jangan hiraukan aku. !" teriak Murti
putus asa.
Tapi gadis itu jadi terpekik karena tangan yang
menjepit lehernya menekan kuat. Beberapa tokoh
persilatan yang ingin bergerak, langsung berhenti.
Sedikit demi sedikit pemuda berbaju kulit harimau
itu terus melangkah sambil menyeret gadis
tawanannya. Dan pada saat dia sudah berada di luar
kepungan, mendadak tubuhnya melesat cepat ke
arah Gunung Panjalukan.
"Tolooong...!" jerit Murti melengking.
"Kejar! Jangan sampai lolos...!" seru Pendekar
Padang Emas.
Seluruh tokoh-tokoh rimba persilatan itu
langsung berhamburan mengejar. Namun bayangan
tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu sudah
lenyap ditelan oleh gelapnya malam, ditambah
pepohonan di sekitar Kaki Gunung Panjalukan yang
memang sangat lebat. Namun tokoh-tokoh rimba
persilatan itu terus saja mengejar, meskipun mereka
tidak tahu lagi, ke arah mana pembuat kerusuhan itu
melarikan diri.
***
Pada saat itu, di tengah-tengah hutan Lereng
Gunung Panjalukan, tampak Bayu tengah
berbincang-bincang dengan Pengemis Tongkat Hitam.
Mereka duduk dekat api unggun kecil dan seekor
rusa, terpanggang di atasnya.
"Sejak tadi kau murung terus. Ada apa, Bayu?"
tegur Pengemis Tongkat Hitam.
"Tidak apa-apa," sahut Bayu pelan.
"Aku tahu, kau pasti kecewa karena aku telah
gagal untuk meyakinkan mereka," pelan suara
Pengemis Tongkat Hitam.
"Hhh...." Bayu hanya menarik napas saja.
"Perbuatan orang itu sudah melampaui batas,
Bayu. Dan dia selalu menggunakan nama Pendekar
Pulau Neraka. Lagipula jurus-jurus yang digunakan,
sama persis dengan yang kau miliki. Akupun tidak
bisa menyalahkan mereka yang tetap menuduhmu
sebagai pelaku semua kebrutalan dan pembantaian
itu. Sudah lebih satu purnama hal itu berlangsung
dan sampai saat ini belum ada yang mampu
menghentikan perbuatannya.” Kata Pengemis
Tongkat Hitam lagi.
"Aku tidak peduli mereka tetap menuduhku, Kek.
Yang aku tidak mengerti, untuk apa orang itu
menggunakan namaku? Kalau memang dia
mempunyai dendam, kenapa tidak menantangku
saja! Toh dia juga punya jurus-jurus yang sama
denganku," nada suara Bayu terdengar kesal.
"Kita akan tahu kalau sudah menemukannya,
Bayu."
Belum lagi Bayu membuka mulutnya, mendadak
mereka dikejutkan oleh munculnya orang orang dari
kalangan rimba persilatan. Di antara mereka, tampak
Pendekar Pedang Emas, Pendekar Tongkat Ular dan
para ketua padepokan di sekitar Gunung Panjalukan
ini.
Btyu langsung bangkit diikuti oleh Pengemis
Tongkat Hitam. Orang-orang dari kalangan rimba
persilatan itu langsung bergerak mengepung.
Pendekar Pedang Emas langsung berdiri tegak di
depan Bayu dengan jarak sekitar tiga batang tombak
"Pendekar Pulau Neraka, sebaiknya kau
menyerah dan jangan mengadakan perlawanan. Lihat
tempat ini sudah terkepung rapat," kata Pendekar
Pedang Emas dingin.
Pengemis Tongkat Hitam ingin bicara, tapi keburu
dicegah oleh Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu
kemudian melangkah maju tiga tindak. Sejenak
matanya beredar berkeliling. Tampak tempat itu
sudah dipenuhi oleh tokoh-tokoh rimba persilatan
dengan senjata terhunus. Sikap mereka jelas-jelas
menunjukkan permusuhan.
"Kalau kalian ingin menangkapku, tangkaplah!"
tantang Bayu tegar
Pendekar Pulau Neraka itu menjulurkan kedua
tangannya ke depan Pendekar Pedang Emas makin
memandanginya dengan tajam. Sesaat keheningan
menyelimuti sekitar hutan di Lereng Gunung
Panjalukan ini.
"Bayu...," Pengemis Tongkat Hitam menghampiri.
"Biarkan, Kek. Biarkan mereka puas dengan
kebodohannya!"
Pengemis Tongkat Hitam kembali terdiam. Dia lalu
memandangi orang orang yang berada di
sekelilingnya. Tatapan matanya tajam menusuk
langsung ke bola mata Pendekar Pedang Emas.
"Kau keterlaluan, Pendekar Pedang Emas! Kau
akan menyesal menuduh orang yang tidak bersalah!"
kata Pengemis Tongkat Hitam agak geram.
"Pengemis Tongkat Hitam, manusia iblis ini baru
saja membantai penduduk Desa Galuhung, dan
melarikan seorang gadis!" kata Pendekar Pedang
Emas.
"Dasar manusia-manusia bodoh! Apa kalian se-
mua tidak melihat? Sejak tadi aku bersama Pendekar
Pulau Neraka di sini. Mana mungkin satu orang bisa
berada di dua tempat dalam waktu bersamaan? Ayo,
jawab!" Lintang suara Pengemis Tongkai Hitam.
Nadanya emosi berat.
Tak ada seorang pun yang membuka suara. Saat
itu juga wajah mereka berubah, menyiratkan
keraguan. Kata-kata Pengemis Tongkat Hitam tidak
bisa dibantah. Mereka memang mendapatkan
Pendekar Pulau Neraka bersama laki-laki tua itu,
duduk di dekat api unggun. Dan lagi, tidak tampak
seorang gadis pun di tempat itu.
"Sejak siang tadi aku bersama Pendekar Pulau
Neraka. Dan kami belum menginjak Desa Galuhung.
Apa kalian sudah buta, sehingga tidak bisa
membedakan seseorang? Coba lihat! Apa orang ini
yang kalian kejar? Yang kalian tuduh sebagai
pembuat keonaran, pembantai manusia, pemerkosa
dan pembunuh gadis-gadis? Lihat baik-baik! Buka
mata kalian lebar-lebar!" sangat kasar kata-kata yang
keluar dari mulut Pengemis Tongkat Hitam.
Tetap tidak ada seorang pun yang membuka
suara.
"Pendekar Pedang Emas, aku benar-benar tidak
mengerti dengan sikapmu kali ini. Hatimu seperti
buta, tidak bisa menilai dari setiap kejadian. Kau
begitu terkenal sebagai pendekar yang arif dan
bijaksana.Tapi kenapa sekarang kau jadi buta?
Terpengaruh oleh tuduhan-tuduhan yang tidak
beralasan," agak melemah suara Pengemis Tongkat
Hitam.
Pendekar Pedang Emas diam saja. Kata-kata yang
meluncur deras dari mulut Pengemis Tongkat Hitam
membuatnya ragu-ragu. Dia memang dikenal sebagai
tokoh yang selalu mementingkan kebijaksanaan, dan
selalu berpikir matang sebelum mengambil tindakan.
Pendekat Pedang Emas seakan-akan baru saja
tergugah dari sebuah mimpi buruk, yang hampir saja
menghancurkan nama besarnya.
"Ayo, Bayu. Kita tinggalkan tempat ini," ajak
Pengemis Tongkat Hitam.
"Tunggu...!"'
Seorang laki-laki mendadak melompat ke depan
disertai suara bentakan keras mengejutkan. Sejenak
Pengemis Tongkat Hitam mengurungkan niatnya.
Dipandanginya laki-laki yang hampir sebaya
dengannya itu. Seorang laki-laki tua yang
mengenakan baju berwarna biru, dengan dada
tersulam gambar bunga melati dari benang perak.
Dia adalah Ketua Padepokan Melati Putih yang
letaknya di sebelah Utara Kaki Gunung Panjalukan.
"Ki Suratala, ada apa lagi?" nada suara Pengemis
Tongkat Hitam terdengar kesal.
Laki-laki tua yang bernama Ki Suratala itu
kemudian mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Tatapan matanya tajam, menusuk langsung ke bola
mata pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan
Bayu masih tampak tenang. Kesunyian kembali
menyelimuti sekitarnya. Semua orang menunggu, apa
yang akan dilakukan oleh Ki Suratala.
* **
6
“Kata-katamu memang cukup beralasan,
Pengemis Tongkat Hitam. Tapi aku tidak mudah
percaya begitu saja,” dingin kata-kata Ki Suratala
seraya melirik pada Pengemis Tongkat Hitam.
Pengemis Tongkat Hitam balas menatap dengan
tajam.
"Tidak sedikit murid-muridku yang tewas
terbunuh oleh Pendekar Pulau Neraka. Dan aku
harus membunuhnya dengan tanganku sendiri!"
Setelah berkata begitu, Ki Suratala tiba-tiba
mengibaskan tangannya menyodok ke dada Bayu.
Gerakan yang begitu cepat dan mendadak itu tentu
saja membuat Bayu terperangah. Namun dengan
cepat dia menarik kakinya ke belakang seraya
memiringkan tubuhnya ke kiri. Sodokan Ki Suratala
pun luput dari sasaran
Tunggu!" seru Pengemis Tongkat Hitam ikut
terkejut.
Namun peringatan Pengemis Tongkat Hitam tidak
digubris, Ki Suratala kembali menyerang dengan
jurus-jurus mautnya. Sedangkan Bayu terpaksa
berkelit dan menghindari setiap serangan yang
datang dengan gencar dan dahsyat itu. Pertarungan
pun segera berlangsung dengan sengit!
Sepuluh jurus telah dilalui dengari cepat, namun
belum satu pukulan pun yang berhasil disarangkan
oleh Ketua Padepokan Melati Putih itu. Dan sampai
saat itu Bayu masih dapat menahan diri. Dia hanya
berkelit menghindar tanpa membalas satu serangan
pun. Hal itu tentu saja membuat Ki Suralala jadi
bertambah berang. Mundur pun rasanya tidak
mungkin lagi, bisa-bisa malah nama besarnya hancur
malam ini juga. Sementara puluhan tokoh-tokoh
rimba persilatan yang ada di tempat itu, dan tiga
puluh orang murid pilihannya, terus menonton.
Tampak Ki Suratala jadi tambah beringas, karena
serangan-serangannya selalu kandas. Maka tanpa
peduli akan ada yang tewas, Ketua Padepokan Melati
Putih itu pun segera mencabut senjata dari balik
jubahnya yang panjang.
Sret!
"Ki Suratala! Hentikan seranganmu!" bentak
Pengemis Tongkat Hitam terkejut. Namun Ki Suratala
sudah tidak bisa lagi diperingati. Pedang pendek
berwarna putih dengan gagang berukir bunga melati,
berkelebat cepat bagai kilat mengurung seluruh gerak
tubuh Pendekar Pulau Neraka. Serangan-serangan Ki
Suratala begitu cepat dan sukar diikuti oleh
pandangan mata biasa. Pertarungan itu kini sudah
mencapai tingkat tinggi. Gerakan-gerakan tubuh
mereka sangat sulit ditebak arahnya, hanya dua
bayangan saja yang terlihat berkelebatan saling
sambar.
Bayu menghadapi serangan-serangan Ki Suratala
dengan sungguh-sungguh. Gempuran laki-laki tua
itu benar-benar dahsyat. Kelengahan sedikit saja bisa
berakibat fatal. Dua kali dia mendengar peringatan
dari Pengemis Tongkat Hitam, tapi peringatan itu
tidak digubris sama sekali oleh Ki Suraiala. Bayu
menggeretakkan rahangnya, karena tampaknya Ki
Suratala bernafsu benar ingin membunuhnya.
"Cukup, Ki Suratala! Jangan memaksaku
bertindak!" seru Bayu setelah merasa dirinya tak
sabar.
"Jangan banyak omong, setan! Malam ini juga,
kau atau aku yang mati!" bentak Ki Suratala keras.
Bayu pun kini tidak lagi banyak bicara, dia segera
mengerahkan jurus 'Pukulan Racun Hitam'.
Sedangkah Ki Suratala langsung terkejut tatkala
merasakan angin pukulan Pendekar Pulau Neraka itu
mengandung hawa dingin dan panas bercampur
menjadi satu.
"Awas kaki!" bentak Bayu tiba-tiba.
"Hup!"
Ki Suratala segera melompat begitu kaki Bayu
berputar melayang ke arah kakinya. Tapi pada saat
itu juga, Bayu menggedor tangannya ke arah dada
Ketua Padepokan Melati Putih itu.
Tak pelak lagi, tubuh Ki Suratala langsung
terjungkal keras menghantam tanah. Dari mulutnya
tampak mengucur darah kental kehitaman
"Hiyaaa..!" pekik Bayu keras.
Tepat ketika Ki Suratala baru bangkit dan hendak
menyerang kembali, tangan Pendekar Pulau Neraka
sudah mengibas ke depan di saat kakinya baru
menjejak tanah. Langsung saja cakra di tangannya
melesat melesat cepat ke arah Ki Suratala. Begitu
cepatnya, sehingga Ki Suratala tidak sempat lagi
menghindar.
"Aaa....!" Ki Suratala kontan menjerit keras.
Tampak cakra perak bersegi enam itu menembus
dadanya hingga ke punggung. Dan pada saat tubuh
laki-laki tua itu limbung, Bayu segera melompat
bagai kilat, dan tangan kanannya mengibas ke arah
leher. Tak pelak lagi, leher Ki Suratala tergores oleh
sabetan tangan Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya
kemudian ambruk dan darah muncrat dari lehernya.
"Hup!"
Kembali Bayu menjejak tanah, dan mengangkat
tangan kanannya ke atas. Cakra yang tertanam di
tubuh Ki Suratala pun langsung melesat, kembali
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka itu. Sebentar Bayu menatap pada
tubuh lawannya yang sudah jadi mayat, kemudian
tangannya melipat di depan dada. tatapan matanya
tajam merayapi orang-orang yang masih berada di
sekitarnya.
"Bayu, ayo kira pergi dari sini!" ajak Pengemis
Tongkat Hitam seraya menghampiri.
"Tunggu!"
Dengan serempak, tiga puluh orang murid-murid
Padepokan Melati Putih berlompatan maju.
Sementara Pengemis Tongkat Hitam menggerutu
dalam hati. Dia sudah menduga kalau urusannya
tidak akan selesai begitu saja. Kejadian malam itu
merupakan awal dari permasalahan baru lagi. Sudah
pasti, mereka yang ada di sini tidak akan tinggal
diam melihat kematian Ki Suratala. Keadaan semakin
bertambah runcing dengan berlompatannya tiga
puluh orang murid Ki Suratala.
“Kau tidak bisa pergi begitu saja, Pendekar Pulau
Neraka. Kau harus membayar mahal nyawa guru
kami" kata salah seorang dari tiga puluh murid
Padepokan Melati Putih itu.
Sret! Cring!
Mereka langsung mencabut pedang masing-
masing. Pedang berwarna keperakan itu berkilat
tertimpa cahaya bulan. Semua gagangnya terdapat
ukiran bunga melati. Tampak Pengemis Tongkat
Hitam menatap Bayu yang berada di sampingnya.
"Menyingkirlah, Kek," kata Bayu pelan.
"Jangan layani mereka, Bayu. Keadaan bisa
bertambah parah." Pengemis Tongkat Hitam mencoba
meredakan hati Pendekar Pulau Neraka Itu.
"Sudah kepalang basah. Sekarang, besok atau
lusa sama saja. Tanganku pasti akan bergelimang
darah mereka," datar nada suara Bayu.
Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa menarik
napas panjang dan berat. Semua ini gara-gara Ki
Suratala yang tidak bisa menahan emosi. Suasana
panas tidak mungkin bisa diredakan lagi. Tiga puluh
orang murid Ki Suratala sudah berlompatan
mengepung dari segala penjuru. Sementara Bayu
masih berdiri tegak dengan tangan melipat di depan
dada. Matanya tajam merayapi mereka yang sudah
mengepungnya.
"Seraaang...!" seru salah seorang.
"Hiya...! Yeaaah...!"
Teriakan-teriakan pemberi semangat langsung
bergema membelah malam di Lereng Gunung
Panjalukan itu. Tiga puluh orang yang berpakaian
putih itu berlompatan menyerang Pendekar Pulau
Neraka. Pedang mereka berkelebatan cepat
mengurung dari segala jurusan. Namun Pendekar
Pulau Neraka hanya berkelit memiringkan tubuhnya
ke kanan dan ke kiri, menghindari setiap sabetan dan
tusukan pedang lawan-lawannya.
Murid-murid Padepokan Melati Putih bukanlah
tandingan Pendekar Pulau Neraka. Dua kali lipat
banyaknya dari jumlah itu pun, masih belum tentu
bisa menandinginya. Tidak heran kalau dalam waktu
singkat saja, hampir separuh dari jumlah mereka
langsung menggeletak bersimbah darah. Teriakan-
teriakan pertempuran, berbaur menjadi satu dengan
pekik dan jerit kematian.
Sementara Pengemis Tongkat Hitam tampak
semakin gelisah saja. Dia mengkhawatirkan
keselamatan Pendekar Pulau Neraka, tapi tokoh
tokoh rimba persilatan yang ada di sekitar tempat itu,
pasti tidak akan tinggal diam begitu saja melihat
Bayu membantai murid-murid Padepokan Melati
Putih.
Kegelisahan Pengemis Tongkat Hitam semakin
bertambah saat tokoh-tokoh rimba persilatan mulai
meloloskan senjatanya masing-masing. Wajah mereka
kelihatan tegang dan kaku, menahan geram melihat
tindakan Pendekar Pulau Neraka yang tidak kenal
ampun.
"Bayu! Cepat pergi...! Hiyaaa...!"
Mendadak Pengemis Tongkat Hitam melenting
cepat bagai kilat. Tangannya langsung menyambar
pergelangan tangan kiri Bayu, dan membawanya
pergi dan tempat itu. Begitu cepatnya, tahu-tahu
mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam dan
kerimbunan pepohonan. Tentu saja semua tokoh
rimba persilatan tersebut segera berlompatan
mengejar. Murid-murid Padepokan Melati Putih yang
tinggal delapan orang, tidak ikut mengejar. Sisa-sisa
murid tersebut segera mengurusi mayat-mayat
saudara seperguruannya, dan mayat gurunya.
***
Bayu menyentakkan tangannya, sehingga cekalan
Pengemis Tongkat Hitam terlepas. Namun mereka
terus berlari cepat dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Kedua tokoh digdaya itu seperti
tengah berlomba lari. Mereka baru berhenti setelah
sampai di tepi sungai yang mengalir deras dari
puncak gunung.
"Uh! Aku tidak suka jadi buronan!" dengus Bayu
sedikit terengah.
"Kau tidak bisa menghadapi mereka semua. Bayu.
Lagi pula tidak ada gunanya kau membunuhi
mereka!" sahut Pengemis Tongkat Hitam seraya
mengatur napasnya.
"Mereka yang memulai, dan aku tidak bisa
berdiam diri dicaci maki begitu!" rungut Bayu kesal.
"Hhh..., persoalannya jadi bertambah runyam!"
keluh Pengemis Tongkat Hitam.
"Kau tahu, Kakek Pengemis. Aku tidak peduli,
apakah mereka dari golongan putih atau golongan
hitam. Siapa saja yang menantangku, harus
kuhadapi!" kata Bayu tegas.
"Jangan membabi buta, Bayu. Kau tidak akan
dapat menaklukkan dunia hanya dengan
mengandalkan jurus-jurus ilmu silat. Masih banyak
orang yang lebih tinggi tingkatannya darimu," kata
Pengemis Tongkat Hitam, mencoba meredakan
amarah Pendekar Pulau Neraka itu.
"Jangan mengguruiku, Kakek Pengemis. Di
mataku, semua orang sama! Tidak ada golongan
putih maupun hitam. Semua bisa jadi teman maupun
lawan. Aku tidak peduli siapa mereka. Siapa saja
yang mengoyak harga diriku, harus berhadapan
denganku!" tegas kata-kata Bayu
"Bayu, tenangkan dirimu. Kendalikan emosimu,
masih banyak persoalan yang lebih penting daripada
menuruti hawa nafsu. Ingat, Bayu. Saat ini kau
harus membersihkan namamu. Kau harus mencari
orang yang telah merusak namamu. Itu persoalan
yang paling penting, yang harus kau selesaikan
sekarang!" kata Pengemis Tongkat Hitam
mengingatkan.
"Percuma!" dengus Bayu kesal.
"Tidak ada yang percuma. Mereka hanya...."
"Ah,…sudahlah!" sentak Bayu memotong. "Aku
memang harus membunuh setan keparat itu, tapi
aku tidak peduli dengan anggapan semua orang
tentang diriku!"
Pengemis Tongkat Hitam hanya mengangkat
bahunya. Sia-sia saja dia menasehati pemuda
berbaju kulit harimau itu. Watak dan kepribadian
Pendekar Pulau Neraka tidak bisa dirubah lagi.
Namun hatinya merasa iba juga dengan keadaan
yang tengah dihadapinya. Fitnah memang sangat keji.
Bukan hanya merusak nama baik seseorang, tapi
juga suatu perkumpulan.
Memperbaiki benda yang rusak memang
pekerjaan mudah, tapi memperbaiki nama yang
sudah cacat..!? Bukan suatu hal yang mudah untuk
dilakukan.
"Sebaiknya kira mencari tempat yang lebih aman,
Bayu. Di sini sudah diketahui orang," kata Pengemis
Tongkat Hitam mengusulkan.
"Sebenarnya aku tidak ingin kau berada di
pihakku. Kakek Pengemis. Mereka akan menuduhmu
berkomplot denganku. Nama baikmu juga bisa
rusak," kata Bayu pelan.
Pengemis Tongkat Hitam hanya tersenyum saja.
Kemudian dia melangkah pelan-pelan menyusuri
tepian sungai. Namun arahnya berlawanan dengan
aliran air sungai itu. Sebentar kemudian Bayu ikut
juga berjalan di samping laki-laki tua itu. Mereka
terus melangkah tanpa bicara lagi. Sementara malam
terus merambat semakin larut, kabut pun semakin
tebal menyelimuti seluruh Gunung Panjalukan ini.
***
Sementara itu tokoh tokoh rimba persilatan yang
mengejar Pendekar Pulau Neraka, kehilangan jejak.
Mereka memang sempat tiba di tepi sungai, di mana
Pendekar Pulau Neraka dan Pengemis Tongkat Hitam
tadi berhenti. Kini mereka tidak tahu lagi, ke mana
harus mengejar. Sedangkan kabut yang menyelimuti
seluruh Lereng Gunung Panjalukan itu demikian
tebal, sehingga menghalangi pandangan mereka.
Sepanjang mata memandang, hanya kegelapan
dan kabut yang terlihat. Di antara mereka, tampak
Pendekar Pedang Emas duduk di atas batu pipih
yang hitam pekat dan dingin. Sementara yang lainnya
terus sibuk menentukan arah. Tak lama kemudian,
mereka mengambil kesepakatan untuk berpencar.
Namun Pendekar Pedang Emas duduk diam sambil
memandangi arus sungai yang mengalir menuruni
lereng gunung ini.
"Oh!" Pendekar Pedang Emas tersentak kaget
ketika sebuah tangan menepuk pundaknya. "Malaikat
Bayangan Hijau…"
Tampak seorang laki-laki berbaju serba hijau
tersenyum. Lalu dia menempatkan dirinya duduk di
samping Pendekat Pedang Emas. tanpa disadari, di
tepi sungai itu kini tinggal mereka berdua saja.
Semua orang mengejar Pendekar Pulau Neraka sudah
berpencar ke arah tujuan masing-masing. Yang pasti,
mereka masih tetap mencari di sekitar lereng Gunung
Panjalukan ini
"Apa yang sedang kau lamunkan, Pendekar
Pedang Emas?" tanya Malaikat Bayangan Hijau.
Pendekar Pedang Emas hanya menarik napas
panjang.
"Ada yang menyusahkan hatimu?" tanya Malaikat
Bayangan Hijau lagi.
"Entahlah...," desah Pendekar Pedang Emas
pelan. "Sepertinya kata-kata Pengemis Tongkat Hitam
terngiang terus di telingaku."
"Terus terang, aku sendiri juga memikirkannya,"
kata Malaikat Bayangan Hijau. Pelan juga suaranya.
Pendekar Pedang Emas segera menatap setengah
tidak percaya pada Malaikat Bayangan Hijau.
"Kita terlalu bangga dengan nama besar dan ilmu
olah kanuragan yang tinggi. Aku seperti baru
terbangun dari mimpi keindahan dan kemasyhuran.
Aku merasakan seperti orang yang paling bodoh di
dunia ini," nada suara Malaikat Bayangan Hijau
sedikit mengeluh.
"Bukannya bodoh, Malaikat Bayangan Hijau. Tapi
hati kita seperti tertutup, tidak bisa mengambil sari
dari semua peristiwa yang terjadi di sini," Pendekar
Pedang Emas meluruskan.
"Ya, memang tidak mungkin. Satu orang berada
pada dua tempat dalam waktu bersamaan. Kita
mengejar Pendekar Pulau Neraka dari Desa
Galuhung. dan menemukannya bersama Pengemis
Tongkat Hitam. Aku rasa menangkap seekor rusa dan
memanggangnya memerlukan waktu lama. Dan aku
melihat api unggun sudah dinyalakan. Aku jadi
berpikir lain, Pendekar Pedang Emas," kata Malaikat
Bayangan Hijau, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Kau menduga ada orang lain yang menyamar jadi
Pendekar Pulau Neraka?" Pendekar Pedang Emas
ingin meyakinkan.
"Aku rasa memang begitu. Kau ingat ketika
Pengemis Tongkat Hitam mengatakan, kalau
Pendekar Pulau Neraka sedang difitnah? Bahkan
gadis yang bernama Murti memberi kesaksian, kalau
dia bertemu dengan Pendekar Pulau Neraka yang asli.
Gadis itu bahkan berani bersumpah, ada perbedaan
pada kedua Pendekar Pulau Neraka," Malaikat
Bayangan Hijau mengingatkan.
Pendekar Pedang Emas pun mengangguk-
anggukkan kepalanya. Dia ingat betul dengan kata-
kata Pengemis Tongkat Hitam, yang berbicara lantang
di depan sekian banyak tokoh rimba persilatan. Juga
gadis yang bernama Murti itu memberikan kesaksian,
kalau yang melakukan semua perbuatan keji bukan
Pendekar Pulau Neraka, tapi orang lain yang
menyamar sebagai Pendekar Pulau Neraka.
Saat itu memang tak seorang pun yang mau
percaya. Mereka semua bahkan menganggap, bahwa
Pengemis Tongkat Hitam memperalat Murti untuk
melindungi Pendekar Pulau Neraka. Karena
Pengemis Tongkat Hitam berhutang nyawa pada
pendekar itu.
***
7
Kegelapan masih menyelimuti sekitar Gunung
Panjalukan. Namun dinginnya udara malam itu,
tidak terasa di dalam sebuah goa yang cukup besar di
Puncak Gunung Panjalukan. Nyala api dari ranting-
ranting kering yang terbakar, membuat suasana di
dalam goa itu terasa hangat.
Tidak jauh dari api unggun itu, tampak seorang
pemuda tampan yang memakai baju dari kulit
harimau, tengah duduk meringkuk. Matanya
menatap tajam tidak berkedip pada seorang gadis,
yang tergolek tak berdaya dihamparan daun-daun
kering. Kain yang membelit tubuhnya sudah
tersingkap, sehingga menampakkan sebentuk paha
indah, dan berkulit pulih halus.
"He he he...," pemuda berbaju kulit harimau itu
terkekeh.
Kemudian dia beranjak dan mendekati gadis itu
Pemuda itu lalu duduk dekat pinggang gadis yang
masih lemas. Hanya kepalanya saja yang masih bisa
digerak-gerakkan. Gadis itu berusaha menggeliat,
ketika jari-jari tangan pemuda itu mulai meraba
pahanya. Namun sedikit pun dia tidak bisa
menggerakkan tubuhnya.
“Kau cantik sekali, Murti," desah pemuda itu
penuh nafsu.
Binatang! Lepaskan aku!" bentak gadis yang
bernama Murti itu.
Aku memang akan membiarkanmu pergi, tapi
setelah menikmati malam yang indah ini," sahut
pemuda itu lembut.
Seketika pucat pasilah seluruh wajah Murti
mendengar kata-kata itu. Kembali dia berusaha
menggeliat, namun tubuhnya benar-benar terasa
lemas.
Napas pemuda berbaju kulit harimau itu mulai
mendengus, sedangkan jari-jari tangannya semakin
liar saja menjelajahi bagian-bagian tubuh gadis itu.
Bola matanya terus berputar liar merayapi tubuh
merangsang itu. Mendadak tangan pemuda itu
mencengkeram kain di dada Murti, lalu dengan kasar
dia menariknya.
"Au...!" Murti langsung memekik tertahan.
"Ahhh...," pemuda berbaju kulit harimau itu
mendesah saat melihat sebentuk tubuh indah yang
menggiurkan, terbuka polos tanpa penutup lagi.
Dan pada saat pemuda berbaju kulit harimau itu
mau berbuat lebih jauh....
"Setan!" maki pemuda itu seraya melompat.
Telinganya yang tajam tiba-tiba mendengar suara
langkah kaki yang cepat dan ringan. Sementara Murti
segera beringsut. Tangannya bergegas menutupi
tubuhnya yang sudah terbuka.
"Cari mampus! Berani mengganggu
kesenanganku!" umpat pemuda itu lagi.
Kemudian laki-laki berbaju kulit harimau itu
menghampiri Murti. Dan dengan cepat dia menotok
jalan darahnya. Gadis itu pun langsung menggeletak
lemas.
"Kau di sini dulu, aku segera kembali setelah
membereskan tikus itu!" kata pemuda itu seraya
melompat ke luar.
***
Pada waktu yang sama, tampak dua orang tengah
berlari-lari mendaki Gunung Panjalukan itu. Mereka
adalah Pendekar Pulau Neraka dan Pengemis Tongkat
Hitam. Gerakan mereka sangat ringan, berlari dan
berlompatan menuju puncak gunung. Namun saat
mereka melompat ke atas batu yang menjorok ke
luar, gerakan mereka terhenti.
"Dewi Ranti ," desis Pengemis Tongkat Hitam
tersedak suaranya.
Mata laki-laki tua Itu tidak berkedip, memandang
pada sesosok tubuh wanita yang tergolek di atas
bebatuan. Kepalanya berlumur darah yang sudah
membeku. Tubuhnya hanya tertutup secarik kain
yang sudah koyak di beberapa bagian. Pengemis
Tongkat Hitam segera melompat mendekati mayat itu.
"Biadab...!" geram Pengemis Tongkat Hitam sambil
menggemeletukkan giginya.
Laki-laki tua itu kemudian bangkit ketika
pundaknya disentuh. Dia lalu menoleh pada pemuda
tampan yang mengenakan baju dari kulit harimau.
Sejenak mereka hanya saling pandang tanpa berkata-
kata. Kini sudah lima mayat gadis yang mereka temui
di Gunung Panjalukan itu. Mereka tewas dengan
keadaan yang benar-benar mengenaskan.
"Dia pasti ada di sekitar tempat ini," kata
Pendekar Pulau Neraka yakin.
"Aku tidak akan memberinya ampun Keparat itu
harus kubunuh!" geram Pengemis Tongkit Hitam.
Amarah laki-laki tua itu benar-benar sudah tidak
dapat ditahan lagi. Sering dia berhadapan dengan
tokoh-tokoh rimba persilatan golongan hitam, tapi
baru kali ini menemukan kebiadaban di luar batas.
Pengemis Tongkat Hitam segera melompat kembali
menuju Puncak Gunung Panjalukan itu. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka pun lansung mengikuti.
Mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tahap sempurna. Di malam
yang penuh kabut tersebut, dua tubuh berkelebatan.
Mereka kemudian kembali berhenti begitu sampai di
puncak gunung. Sesaat mereka mengedarkan
pandangan berkeliling. Namun kabut tebal yang
menyelimuti seluruh Puncak Gunung Panjalukan,
membuat daya pandangan mereka berkurang.
"Kita berpencar Kek," kata Bayu. Setelah agak
lama terdiam.
"Baiklah, kau ke arah sana," sahut Pengemis
Tongkat Hitam menunjuk ke satu arah.
Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak tahu lagi
arah Utara dan Selatan. Sepanjang mata
memandang, hanya kegelapan dan kabut tebal yang
terlihat. Bayu mulai melangkah pelahan-lahan
menuju arah yang telah ditunjuk oleh Pengemis
Tongkat Hitam. Matanya terbuka lebar dan tajam,
berusaha menembus pekatnya kabut. Langkah
kakinya ringan, tak menimbulkan suara sedikit pun.
Bayu terus melangkah dengan pelahan-lahan dan
hati-hati. Di tempat Itu sepi tetap menyelimuti, hanya
tiupan angin saja yang terdengar menderu-deru.
Mendadak mata Pendekar Pulau Neraka itu agak
menyipit, ketika menangkap cahaya berkelip di
antara kabut dan pepohonan. Sebentar cahaya itu
terlihat, dan sebentar kemudian hilang, lalu terlihat
lagi, dan hilang lagi
Bayu terus melangkah dengan hati-hati ke arah
cahaya yang dilihatnya. Semakin dekat dia ke arah
cahaya itu, semakin yakinlah kalau cahaya itu
datang dari api unggun. Kembali matanya menyipit.
Cahaya api itu ternyata berasal dari dalam sebuah
goa yang cukup besar.
Trak!
Bayu mendadak terkejut ketika kakinya tidak
sengaja menginjak franting kering. Pendekar Pulau
Neraka itu langsung melesat naik ke pohon di
sampingnya. Suara ranting yang patah di dalam
kesunyian malam itu, terdengar cukup keras.
Sejenak Bayu terhenyak ketika melihat seseorang
keluar dari dalam goa itu. Hampir dia tidak bisa
mempercayai penglihatannya. Orang yang keluar dari
dalam goa itu sama persis dengan dirinya. Bentuk
tubuh, wajah, rambut, dan pakaiannya. Kini Bayu
seperti tengah memandang dirinya sendiri.
***
Orang yang baru keluar dari dalam goa itu, segera
mengedarkan pandangannya berkeliling. Kepalanya
agak mendongak ke atas, lalu mendadak saja tangan
kanannya mengibas cepat. Dan sebuah benda
berbentuk bintang keperakan meluncur deras ke
arah pohon yang dinaiki Bayu.
"Hup!"
Dengan cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke
bawah. Manis sekali kakinya menjejak tanah, sekitar
dua tombak jaraknya dari laki-laki tampan, tegap dan
berbaju kulit harimau. Sejenak kedua pemuda
tampan yang sama persis itu saling berpandangan.
Benar-benar sukar dipercaya. Tak sedikit pun ada
perbedaan di antara mereka berdua. Bak pinang
terbelah.
Bayu terkejut juga ketika melihat pergelangan
tangan kembarannya juga menempel cakra perak
bersegi enam. Rasanya dia tidak mempercayai
penglihatannya sendiri. Dia pandangi orang di
depannya itu dari ujung kepala sampai ke ujung
kaki.
"Siapa kau? Kenapa kau menyamar jadi diriku,”
tanya Bayu.
"Seharusnya akulah yang bertanya demikian'"
dingin suara orang itu
"Buka topengmu, keparat!"
"Bukankah kau sendiri yang memakai topeng?"
"Jawab pertanyaanku! Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Pendekar Pulau Neraka!"
"Edan!"
"Kau yang gila' Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Pendekar Pulau Neraka!"
Tragis! Dua orang laki-laki kembar itu sama-sama
mengaku Pendekar Pulau Neraka. Sulit dibedakan,
mana yang asli, dan mana yang palsu. Mereka begitu
sama persis. Suaranya juga sama, tidak ada
perbedaan sedikit pun. Pada saat itu datanglah
Pengemis Tongkat Hitam. Laki-laki tua berpakaian
compang-camping itu langsung terkejut
Pengemis Tongkat Hitam segera memandangi dua
orang kembar itu secara bergantian. Kepalanya jadi
berputar tujuh keliling. Sementara kedua Pendekar
Pulau Neraka tersebut juga memandang ke arah
Pengemis Tongkat Hitam yang tengah kebingungan.
"Kakek Pengemis..."
"Kakek Pengemis...."
Secara bersamaan kedua Pendekar Pulau Neraka
itu memanggil Pengemis Tongkat Hitam. Tentu saja
hal itu membuat Pengemis Tongkat Hitam semakin
bertambah kebingungan, karena suara kedua
pendekar itu tidak berbeda sama sekali.
"Kakek Pengemis, tunjukkan siapa di antara kami
Pendekar Pulau Neraka yang asli," kata salah seorang
pendekar itu.
"Benar, kau harus tunjukkan siapa yang asli,"
sambung satunya lagi.
Pengemis Tongkat Hitam tidak bisa langsung
menentukan. Meskipun dia sudah memandangi
dengan teliti, namun sukar untuk menentukan siapa
yang asli dan yang palsu. Pengemis Tongkat Hitam
kemudian menoleh ke arah goa, ketika telinganya
mendengar suara rintihan lirih.
"Murti...," desis Pengemis Tongkat Hitam dengan
kening berkerut dalam.
Lalu tanpa menghiraukan tatapan kedua
pendekar itu, Pengemis Tongkat Hitam melesat
masuk ke dalam goa. Tidak seorang pun dari kedua
Pendekar Pulau Neraka itu yang berusaha mencegah.
Sedangkan Pengemis Tongkat Hitam langsung
tersentak begitu melihat Murti menggeletak tak
berdaya, dengan tubuh hanya tertutup oleh selembar
kain.
Pengemis Tongkat Hitam segera menghampiri, dan
memeriksa tubuh gadis itu. Kemudian jari-jari
tangannya bergerak lincah membuka totokan jalan
darah di tubuh gadis itu. Murti bergegas bangkit dan
membenahi kainnya. Dia langsung menangis di
pelukan laki-laki tua itu. Sementara Pengemis
Tongkat Hitam tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
Dia membiarkan saja gadis itu menumpahkan air
matanya di dalam pelukannya
Setelah beberapa saat Murti menguras air mata
nya, pelahan-laha dia melepaskan pelukannya, dan
beranjak berdiri. Wajahnya langsung berubah tegang,
dan berlari keluar goa.
"Kubunuh kau, keparat...!" teriak Murti
melengking.
***
"Murti...!"
Pengemis Tongkat Hitam bergegas melompat dan
menghadang Murti yang sudah mencapai luar goa.
Seketika Murti terperangah, begitu melihat ada dua
Pendekar Pulau Neraka. Wajah tegangnya berubah
jadi keraguan dan keheranan. Sedangkan Pengemis
Tongkat Hitam berdiri di samping gadis itu.
Sementara dua Pendekar Pulau Neraka menatap
Murti tidak ber kedip.
"Murti, siapa yang membawamu ke sini?" tanya
Pengemis tongkat Hitam.
Murti tidak bisa langsung menjawab. Dia terus
memandangi dua orang yang sama persis secara
bergantian. Hatinya jadi diliputi oleh keraguan dan
keheranan. Tidak mungkin dia asal tunjuk saja.
Tampak Murti hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Tidak..," desis Murti pelan.
Gadis itu lalu memandang Pengemis Tongkat
Hitam dan dengan cepat dia merampas pisau yang
selalu terselip di pinggang laki-laki tua itu. Sambil
menjerit histeris, mendadak Murti menghunjamkan
pisau itu ke dadanya sendiri.
"Murti..."' Pengemis Tongkat Hiiam terperanjat.
Kedua Pendekar Pulau Neraka itu pun terkejut.
Namun mereka tetap diam tidak bergerak. Sementara
Pengemis Tongkat Hitam langsung menubruk tubuh
gadis itu. Kemudian dia segera mencabut pisau yang
terbenam dalam di dada Murti. Darah langsung
muncrat begitu pisau tercabut. Dengan cepat
Pengemis Tongkat Hitam menotok jalan darah di
sekitar luka pada tubuh gadis itu. Darah pun
langsung berhenti mengalir.
"Murti, kenapa kau lakukan hal ini?" pelan suara
Pengemis Tongkat Hitam.
"Dia telah membunuh orang tuaku, dan hampir
memperkosaku. Tidak ada gunanya lagi aku
hidup...," pelan dan lirih suara Murti.
"Siapa?" desak Pengemis Tongkat Hitam.
"Pendekar Pulau Neraka...."
Belum lagi Pengemis Tongkat Hitam bertanya
lebih lanjut, Murti sudah keburu pingsan. Laki-laki
tua itu kemudian meletakkan tubuh gadis itu, dan
bangkit berdiri. Matanya kembali memandangi kedua
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Biadab! Kau harus bertanggung jawab, keparat!"
geram salah seorang Pendekar Pulau Neraka.
"Kau yang harus bertanggung jawab!" balas yang
satunya lagi.
"Untuk apa kau lakukan semua itu? Kenapa kau
memfitnahku? Jawab !"
"Kau seharusnya yang menjawab, bukan aku!"
"Setan! Kau benar benar binatang!"
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Salah seorang Pendekar Pulau Neraka langsung
melompat menerjang Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka lainnya segera mengegoskan tubuhnya ke
samping menyambar ke arah iga. Namun berhasil
dielakkan oleh yang satunya.
Sementara Pengemis Tongkat Hitam kini benar-
benar sudah kebingungan. Kedua pendekar itu
bertarung dengan mempergunakan jurus-jurus yang
sama persis. Mereka tampaknya juga sama-sama
tangguh, dan sudah menguasai betul akan jurus-
jurusnya.
Pertarungan terus berjalan cepat. Masing-masing
mengerahkan serangan yang dahsyat dan
mematikan. Namun sampai sejauh ini, belum ada
yang berhasil menyarangkan pukulan atau
tendangan mautnya. Kini pertarungan itu sudah
mencapai lebih dari dua puluh jurus. Sementara itu
tempat di sekitar pertarungan tersebut, sudah porak-
poranda bagai dilanda gempa. Kabut pun mulai
menyingkir, karena setiap pukulan yang mereka
lepaskan menimbulkan sapuan angin yang keras dan
dahsyat, di samping mengeluarkan haea panas yang
luar biasa.
Dari tadi Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa
menyaksikan dengan kepala pening. Dalam keadaan
seperti itu, ia semakin sulit untuk membedakan satu
sama lainnya. Setiap pergantian jurus, selalu
bersamaan waktunya. Mereka seperti memiliki
kontak batin yang sangat kuat.
"Hhh..., kalau begini terus, dua-duanya bisa ma-
ti," desah Pengemis Tongkat Hitam.
Ada niat di hatinya untuk memisahkan kedua
orang yang sedang bertarung itu. Namun dia benar-
benar bingung, karena pertarungan dua Pendekar
Pulau Neraka itu berjalan semakin sengit dan
dahsyat.
Pada saat itu, mendadak muncul Pendekar
Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau. Mereka
langsung mendekati Pengemis Tongkat Hitam.
Sementara pertarungan terus berjalan cepat,
sehingga yang terlihat hanya dua bayangan
berkelebatan saling sambar.
"Siapa yang bertarung?" tanya Pendekar Pedang
Emas.
'Pendekar Pulau Neraka," sahut Pengemis Tongkat
Hitam tanpa mengalihkan perhatiannya.
"Dengan siapa?" tanya Pendekar Pedang Emas
lagi.
"Pendekar Pulau Neraka." Seketika Pendekar
Pedang Emas tersentak kaget. Jawaban laki-laki tua
itu dirasakan sangat aneh, dan seperti bermain-main.
Namun belum juga Pendekat Pedang Emas membuka
suara lagi, mendadak pertarungan berhenti. Tampak
Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau
terperangah!
Hampir mereka tidak bisa mempercayai
penglihatannya. Dua orang Pendekar Pulau Neraka
berdiri berhadapan dengan mata saling tatap tajam.
Secara bersamaan, mereka membuat gerakan tubuh
yang serupa. Lalu dengan berteriak lantang, mereka
kembali melompat ke depan dengan kedua tangan
terbuka menjulur ke depan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
***
8
Satu ledakan keras terdengar memekakkan
telinga, ketika dua pasang telapak tangan
berbenturan, di udara. Kedua Pendekar Pulau Neraka
itu langsung terpental ke belakang, dan jatuh
bergulingan di tanah. Namun mereka segera bangkit
kembali tampak dari lubang hidung dan sudut bibir
mereka mengeluarkan darah.
Kedua Pendekar Puiau Neraka itu kembali saling
mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Sungguh
sulit dipercaya, seperti ada yang memberi komando
saja, mereka melakukan gerakan yang sama persis,
lalu kembali melenting sambil berteriak nyaring.
Kembali terdengar suara ledakan keras
menggelegar, bersamaan dengan berbenturannya
tangan mereka. Dan untuk kedua kalinya, mereka
terlontar ke belakang dengan keras! Namun kali ini
ada sedikit perbedaan. Satu dari Pendekar Pulau
Neraka itu tidak sampai jatuh terguling, dan berhasil
menjejakkan kakinya di tanah. Sedangkan satunya
lagi bergulingan beberapa kali di tanah sebelum bisa
bangkit
"Ugh!"
Pendekar yang bergulingan di tanah itu,
memuntahkan darah kental kehitaman. Tangan
kanannya tampak menekap dada, namun sorot
matanya tetap tajam pada lawannya. Mendadak saja
paras wajahnya berubah, ketika melihat lawannya
melepaskan senjata Cakra Maut keperakan, dari
pergelangan tangan kanannya
"Cabut cakra palsumu itu, bajingan!" kata
Pendekar Pulau Neraka yang sudah melepaskan
senjatanya.
Dan tanpa menghiraukan sentakan itu, Pendekar
Pulau Neraka satunya lagi segera mengibaskan
tangan kanannya dengan cepat. Seketika benda-
benda kecil berbentuk bintang perak, bertebaran
meluruk ke arah lawannya.
"Yaaaat..!"
Pendekar Pulau Neraka itu langsung berlompatan
menangkis serangan, dengan senjata cakra di dalam
genggaman salah satu ujungnya.
Tring! Trang!
Bintang-bintang perak itu tidak satu pun yang
mengenai sasaran. Dan begitu kakinya turun ke
tanah, dia menempelkan kembali senjatanya ke
pergelangan tangan kanannya. Tepat pada saat itu,
Pendekar Pulau Neraka satunya kembali melontarkan
bintang-bintang peraknya.
Tring!
Cepat sekali tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
itu bergerak menangkis serbuan senjata bintang
perak, dan kakinya bergerak cepat menghindari
bintang-bintang perak yang tidak tertangkis. Sesaat,
ketika serbuan bintang perak itu berhenti, secepat
kilat tangan kanannya mengibas ke depan dengan
tubuh agak membungkuk ke samping.
Slap!
Seketika Cakra Maut bersegi enam keperakan di
pergelangan tangan kanan, melesat cepat bagai kilat
Suaranya mendesing. Pendekar Pulau Neraka yang
tadi melontarkan bintang-bintang perak Itu langsung
terperangah, namun dengan cepat dia berkelit
menghindarinya. Sayang bahu kirinya sempat
tergores juga.
"Akh!"
Senjata cakra itu berbalik dengan cepat, dan
segera menyerang kembali. Pendekar Pulau Neraka
itu langsung berjumpalitan! Sedangkan pemiliknya
mengendalikan dari jarak tidak begitu jauh. Tangan
kanannya terus bergerak-gerak mengatur jalannya
Cakra Maut itu.
"Akh!"
Kembali terdengar pekikan tertahan. Tampak
tubuh Pendekar Pulau Neraka itu limbung, ketika
senjata itu berhasil menembus perutnya. Pada saat
itu, Cakra Maut kembali melesat, dan menempel ke
pergelangan tangan pemiliknya. Dan tanpa
membuang waktu sedikit pun, dia segera melompat
sambil mengibaskan tangan kanannya.
Cras!
"Aaa...!"
Seketika terdengar jeritan melengking tinggi.
Belum lagi hilang suara jeritan itu, mendadak tubuh
Pendekar Pulau Neraka yang tertancap cakra pada
dadanya, melambung tinggi ke udara, lalu jatuh
dengan keras ke tanah! Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka satunya lagi langsung memburu, dan
menekan lututnya ke dada lawannya yang terluka itu.
Sejenak dia mencabut cakra dari dada, dan
menempelkannya kembali ke pergelangan tangannya.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Heh! Tak ada gunanya kau tahu, aku puas
meskipun harus mati di tanganmu," dengusnya
mengejek.
"Monyet...!"
Plak!
"Bayu...."
Pendekar Pulau Neraka yang sedang menekan
lawannya, langsung menoleh. Tampak Pengemis Tong
kat Hitam menghampiri dengan langkah cepat dan
lebar. Sementara Pendekar Pedang Emas dan
Malaikat Bayangan Hijau mengikuti dari belakang.
"Aku tahu siapa dia," kata Pengemis Tongkat
Hitam.
Pendekar Pulau Neraka segera bangkit. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka satunya lagi semakin lemah
tak berdaya. Pengemis Tongkat Hitam kemudian
berlutut, dan tangannya menjulur ke wajah Pendekar
Pulau Neraka yang menggeletak tak berdaya. Lalu
dengan hati-hati sekali dia menarik kulit wajah itu
Tampaklah di balik wajah Pendekar Pulau Neraka Itu,
tersembunyi wajah lain. Seorang laki-laki dengan
wajah buruk bagai kodok buduk.
***
Pendekar Pulau Neraka segera mengamati laki-
laki yang sudah terbuka kedoknya itu. Sementara
Pendekar Pedang Emas dan Malaikat Bayangan Hijau
hanya memperhatikan saja, dengan kepala dipenuhi
oleh berbagai macam pertanyaan. Pengemis Tongkat
Hitam lalu berdiri. Sebentar dia menatap wajah yang
sudah pucat, dengan napas kembang kempis tak
teratur, kemudian dia menatap pada Bayu, atau Pen-
dekar Pulau Neraka yang asli.
"Dia bernama Bagaspati, putra tunggal Pendeta
Pasanta," kata Pengemis Tongkat Hitam
Bayu kembali memandangi wajah laki-laki yang
ternyata bernama Bagaspati. Dia sudah bisa
menduga, kenapa laki-laki ini menyamar jadi
Pendekar Pulau Neraka. Putra tunggal Pendeta
Pasanta itu pasti dendam, karena ayahnya tewas di
tangannya. Bayu juga tidak heran lagi, kenapa
Bagaspati bisa menguasai jurus-jurusnya dengan
baik. Hal itu disebabkan Pendeta Pasanta sempat
mencuri kitab peninggalan Eyang Gardika, guru
Pendekar Pulau Neraka, dari tangan Branta Ireng,
atau si Iblis Hitam (Bacalah Serial Pendekar Pulau
Neraka dalam kisah, "Pengantin Dewa Rimba").
"Sebenarnya, maksudku datang ke Desa Gampit
memang untuk memburu Bagaspati, yang telah
membuat banyak kekacauan di daerahku. Juga
Pendeta Pasanta, yang selalu melindunginya. Mereka
memang ahli dalam hal menyamar, merubah wajah,
menirukan suara orang, dan mencuri ilmu. Dan aku
tahu, saat dia mempergunakan senjata bintang perak
dia sebenarnya mempergunakan jurus 'Seribu
Mutiara Hitam'. Senjata aslinya adalah berupa bola
hitam yang beracun sangat mematikan," Pengemis
Tongkat Hitam menjelaskan.
"Licik!" desis Bayu geram.
Tiba-tiba dengan kemarahan yang memuncak,
Bayu langsung mengangkat tubuh Bagaspati. Dan
dengan cepat tangan kanannya melayang ke arah
leher! Seketika Bagaspati memekik keras, lalu
menggelepar. Bayu pun segera mencampakkan tubuh
Bagaspati dengan kasar.
Bagaspati masih menggelepar sesaat, lalu diam
dan tidak bergerak-gerak lagi. Sementara itu
Pengemis Tongkat Hitam, Pendekar Pedang Emas dan
Malaikat Bayangan Hijau hanya menarik napas
panjang menyaksikan kesadisan Pendekar Pulau
Neraka itu
Saat itu matahari mulai menampakkan cahayanya
di ufuk Timur. Kabut yang menyelimuti Puncak
Gunung Panjalukan itu, sedikit demi sedikit tersibak.
Dan kehangatan sang mentari pagi pun mulai terasa.
Bayu kemudian melangkah menghampiri tubuh
Murti, yang masih tidak sadarkan diri. Dia lalu
mengangkat tubuh gadis itu dan menggendongnya.
Kembali langkah kakinya terayun meninggalkan
tempal itu.
Tapi baru saja dia berjalan sejauh dua tombak,
langsung terjatuh. Dan gadis yang dipondongnya itu
pun tergulir lepas dari tangannya. Tampak Bayu
memuntahkan darah kental kehitaman.
"Bayu...!" Pengemis Tongkat Hitam terkejut.
Laki-laki tua itu bergegas menghampiri. Matanya
langsung membeliak begitu melihat pundak Bayu
terluka memar merah sebesar kepalan tangan. Buru-
buru dia menotok di sekitar luka memar itu.
"Kau terkena 'Pukulan Tapak Berbisa'," kata
Pengemis Tongkat Hitam.
"Pengemis Tongkat Hitam, sebaiknya kau segera
bawa dia ke Tabib Salaka, hanya dialah yang mampu
menyembuhkan 'Pukulan Tapak Berbisa'," kata
Pendekar Pedang Emas.
"Ugh!" Bayu kembali terbatuk dan memuntahkan
darah kental kehitaman.
Maka tanpa menunggu waktu lagi, Pengemis
Tongkat Hitam segera memondong tubuh Pendekar
Pulau Neraka, dan membawanya pergi dengan cepat.
Dalam waktu singkat saja. Bayangan tubuhnya
sudah lenyap ditelan kelebatan hutan.
Sementara Pendekar Pedang Emas segera
mengangkat tubuh Murti, dan membawanya
meninggalkan Puncak Gunung Panjalukan.
Sedangkan Malaikat Bayangan Hijau mengikuti di
sampingnya. Mereka kemudian meninggalkan tempat
itu bersamaan dengan semakin naiknya matahari.
"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" tanya
Malaikat Bayangan Hijau.
"Ke Desa Galuhung," sahut Pendekar Pedang
Emas. "Biar para penduduk desa yang merawatnya.
Untung dia belum sempat jadi korban."
"Sebaiknya kita bawa juga mayat Dewi Ranti,"
usul Malaikat Bayangan Hijau.
"Ya, cepatlah kau ambil mayatnya." Malaikat
Bayangan Hijau segera melompat menuju lereng
berbatu.
***
Saat itu di pondok Tabib Salaka, Pendekar Pulau
Neraka tampak terbaring di atas dipan kayu
beralaskan tikar daun pandan. Sementara Tabib
Salaka tengah berusaha mengeluarkan racun yang
mengendap di dalam tubuh Bayu. Sedangkan
Pengemis Tongkat Hitam menungguinya tidak jauh
dari tempat tidur itu.
"Hhh...!" Tabib Salaka menarik napas panjang
seraya bangkit
"Bagaimana, Ki?" tanya Pengemis Tongkat Hitam
cemas.
"Tidak parah, untung belum menyebar. Sebentar
lagi juga akan pulih," sahut Ki Salaka.
Pengemis Tongkat Hitam segera menarik napas
lega
"Apakah dia bertarung dengan Pendeta Pasanta?"
tanya tabib Salaka.
"Anaknya."
"Hhh! Rupanya Ayah dan anak sama saja."
"Tapi semuanya sudah tewas, Ki."
"Syukurlah. Kalau manusia-manusia seperti
mereka dibiarkan hidup, bisa hancur dunia in "
Tabib Salaka memandang Bayu sejenak, lalu dia
menarik tangan Pengemis Tongkat Hitam, dan
membawanya ke luar pondok. Sedangkan Pengemis
Tongkat Hitam hanya menurut saja. Mereka
kemudian berhenti di bawah pohon rindang di depan
pondok kecil itu.
"Bukankah dia Pendekar Pulau Neraka, yang telah
membuat keonaran di sekitar Kaki Gunung
Panjalukan ini?" agak berbisik suara Ki Salaka.
"Benar," sahut Pengemis Tongkat Hitam.
"Kenapa kau bawa dia ke sini?'
"Ceritanya panjang, Ki. Yang jelas, dia Pendekar
Pulau Neraka yang asli."
"Maksudmu?"
"Akan kuceritakan semuanya kalau dia sudah
sehat."
"Baiklah, kau janji. Aku tidak mau menolong
orang jahat seperti Pendekar Pulau Neraka "
"Pendekar Pulau Neraka tidak jahat, Ki.
Tindakannya memang tegas, bahkan cenderung
kejam. Tapi dia tidak sembarangan bertindak, Ki "
"Yang namanya penjahat, tetap saja jahat."
Pengemis Tongkat Hitam hanya tersenyum saja.
Kemudian dia melangkah kembali ke dalam pondok.
Tampak Bayu masih terbaring tidak sadarkan diri.
Noda merah pada pundaknya sudah hilang. Kini Pen-
dekar Pulau Neraka itu tinggal menunggu kesehatan-
nya pulih.
"Sayang sekali, kau sudah terlanjur dicap sebagai
pendekar kejam, Bayu," desah Pengemis Tongkat
Hitam pelan.
Entah kenapa, Pengemis Tongkat Hitam
tersenyum. Mungkin dia teringat dengan kata-kata
Bayu, bahwa dia tidak peduli dengan aliran dalam
rimba persilatan. Siapa saja yang menantangnya
akan dihadapi! Mungkin hal itu dikarenakan oleh
latar belakang kehidupannya.
"Kenapa kau tersenyum, Kakek Pengemis?"
"Oh!" Pengemis Tongkat Hitam terperanjat. Dia
terkejut sekali begitu melihat Bayu tahu-tahu sudah
duduk.
"Kau belum pulih benar, Bayu. Sebaiknya segera
berbaring lagi," kata Ki Salaka, yang sejak tadi
memperhatikan.
"Terima kasih, aku harus segera melanjutkan
perjalanan," sahut Bayu.
"Bayu...." Pengemis Tongkat Hitam mau
mencegah.
"Maaf, aku tidak bisa lama-lama berada di sini."
Kemudian Bayu segera mengayunkan langkahnya
keluar dari pondok itu. Pendekar Pulau Neraka it
uterus berjalan, tanpa menoleh sedikit pun.
Sementara Pengemis Tongkat Hitam hanya bisa
memandangi saja. Dia sudah bisa memahami
wataknya yang keras. Sedangkan Ki Salaka tampak
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia heran, tapi
juga kagum dengan daya tahan tubuh Bayu yang luar
biasa.
Tak lama kemudian Pengemis Tongkat Hitam juga
minta diri. Tapi Ki Salaka mencegahnya Dia segera
mengingatkan janji Pengemis Tongkat Hitam untuk
menceritakan tentang Pendekar Pulau Neraka. Laki-
laki tua berbaju compang-camping itu pun tak bisa
menolak. Dia sudah terlalu banyak menyusahkan
tabib itu, dan tidak keberatan untuk menceritakan
tentang semuanya. Sementara itu Pendekar Pulau
Neraka sudah semakin jauh meninggalkan pondok
Tabib Salaka. Dia berjalan ke arah Timur. Sebuah
perjalanan panjang yang berliku, dan penuh
tantangan!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar