..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 12 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE MUSTIKA DEWI PELANGI

matjenuh

 

MUSTIKA DEW I PELANGI

Oleh Teguh Suprianto

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Editor oleh Puji S.

Gambar sampul oleh Soeryadi

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Teguh Suprianto

Serial Pendekar Pulau Neraka

dalam episode 010 :

Mustika Dewi Pelangi

128 hal : 12 x 18 cm


1

Gumpalan awan tipis berarak di langit nan biru.

Siang ini angin berhembus agak kencang.

Gumpalan awan yang berarak itu semakin lama

semakin menebal. Dan melayang-layang semakin

rendah menuju sebuah bukit yang menjulang bagai

hendak menggapai langit. Gumpalan awan itu kian

bertambah tebal, lalu berhenti pada saat mencapai

puncak bukit.

Pelahan-lahan gumpalan awan yang kian tebal

itu bergerak turun, dan menyelimuti seluruh

puncak bukit dengan pepohonan lebat yang sedap

dipandang mata. Puncak bukit yang semula

tampak hijau subur, kini tampak putih oleh awan

yang menyelimuti bagai salju. Secercah kilat

menyambar keluar dari gumpalan awan.

Sambaran kilat yang hanya sekejap itu

membuyarkan awan yang menyelimuti puncak

bukit. Pelahan-lahan awan itu menyingkir, tersapu

angin yang berhembus keras sambil

mempermainkan dedaunan. Tampak secercah

cahaya terang kemilau menyemburat saat

gumpalan awan lenyap. Cahaya itu berasal dari

sebuah batu besar berwana bening, dan dihiasi

oleh sapuan warna-warni yang bergerak-gerak

membiaskan cahaya bagai pelangi.

Seorang pencari kayu yang kebetulan berada d

puncak bukit itu, hanya mampu terpaku akan

keajaiban yang terjadi di depan matanya. Matanya


tidak berkedip menatap sebongkah batu yang

berpijar terang bagai pelangi itu. Semakin lama

cahayanya semakin menyilaukan mata. Laki-laki

pencari kayu itu semakin terpana.

Glarrr...!

Satu ledakan keras terdengar, disusul dengan

hancurnya bongkahan batu yang berpijar

menyilaukan mata itu. Kilauan warna-warna masih

menyelimutinya, kemudian pelahan-lahan

memudar. Seorang gadis cantik mengenakan baju

indah bagai bidadari, tiba-tiba saja telah berdiri

tegak di atas pecahan batu berkilau itu.

"Oh...!" laki-laki tua pencari kayu itu tersentak.

Belum sempat disadari apa yang telah

disaksikan barusan, mendadak gadis cantik itu

melompat menerkamnya. Kuku-kuku jari

tangannya yang panjang, langsung mencengkeram

leher laki-lakj tua pencari kayu itu.

"Aaakh...! Toloong...!" jerit laki-laki tua itu

ketakutan.

Wanita cantik yang kelihatan lembut itu,

semakin, kuat mencengkeram lehernya. Darah

mulai merembes ke luar dari kulit leher yang

koyak. Terdengar tulang patah. Tak lama

kemudian, laki-laki tua pencari kayu itu terkulai.

Tubuhnya ambruk ke tanah, tapi kepalanya masih

dicengkeram wanita cantik itu. Kepala laki-laki tua

itu telah terpisah dari leher.

"Hi hi hi...!" wanita itu tertawa mengikik.


Bagaikan seorang musafir yang tersesat dan

kehausan di tengah padang pasir luas, dihirupnya

darah dari leher tanpa kepala itu, sampai pada

tetes-tetes terakhir. Wanita itu bangkit berdiri,

sambil memandangi kepala yang berada dalam

cengkeramannya. Sebentar kepalanya menoleh ke

kanan dan ke kiri, lalu kakinya melangkah

mendekati seikat kayu-kayu kering.

Diambilnya sepotong kayu kering, dan ditancap-

kannya ke tanah. Kepala laki-laki tua pencari kayu

itu ditusukkan pada ujung kayu yang menancap di

tanah. Sejenak wanita itu memandangi dengan

bibir tersenyum lebar, bagai memandang sebuah

patung indah mempesonakan.

"Hi hi hi...! Kau menjadi lambang

keperkasaanku, lambang kekuasaanku! Hi hi hi...!

Akan kuhiasai istana ini dengan kepala-kepala

manusia! Kepala-kepala mereka yang telah

menghinaku, mencaciku, dan membuangku dalam

kesengsaraan! Dengar! Dengar hai manusia! Aku

datang untuk menguasai dunia...!"

Tak berapa lama, secercah kilat berkelebat di

angkasa. Wanita cantik itu mendongakkan

kepalanya. Wajahnya langsung berubah kaku,

sedangkan sinar matanya merah membara.

Gerahamnya bergemeletuk.

"Ha ha ha...!" kemudian dia tertawa terbahak

bahak.

Tak ada yang menyaksikan semua kejadian itu.

Satu-satunya orang yang melihat telah tewas

dengan kepala terpancang pada tongkat kayu.


Sedangkan tubuhnya menggeletak di tanah. Ujung

jari wanita cantik itu kemudian menuding tubuh

yang tergolek tanpa kepala. Seberkas cahaya

merah memancar dari jari telunjuknya, dan

melesat ke arah tubuh yang terbujur tanpa kepala.

Tubuh tanpa kepala itu langsung terpental jauh

ke bawah bukit begitu sinar merah menerpanya.

Kembali wanita itu tertawa terbahak-bahak.

Tawanya begitu keras, sehingga menggetarkan

seluruh puncak bukit. Sebentar kemudian

ditatapnya kembali kepala yang terpancang di

tonggak kayu.

"Kau jaga istanaku ini! Hanya kau satu-satunya

prajuritku sekarang. Tapi jangan khawatir,

sebentar lagi kau akan mempunyai teman. Hi hi

hi...!"

Setelah berkata demikian, wanita cantik yang

muncul dari sebongkah batu berpijar, segera

melesat Begitu cepatnya ia melesat sehingga dalam

sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah tidak

terlihat lagi. Puncak bukit itu kembali sunyi seperti

tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya sebuah kepala

terpancang pada tonggak kayu yang menjadi saksi

mati.

***

Desa Malapat tidak berapa jauh dari kaki Bukit

Menjangan. Desa yang tenang dan tenteram.

Letaknya agak terpencil dan jarang didatangi

pendatang atau pengembara. Hampir semua

penduduknya hidup dari hasil berburu di sekitar


hutan Bukit Menjangan. Sedikit yang berladang.

Kalaupun ada, itu hanya dilakukan di sekitar

tepian hutan saja.

Suasana pagi Desa Malapat yang biasanya

tenang dan damai, pecah oleh teriakan melengking

seorang perempuan. Teriakan itu datang dari

sebuah tempat dekat ladang yang ditanami pohon

jagung. Para penduduk desa yang mendengarnya,

berdatangan ke arah teriakan itu. Tampak seorang

perempuan setengah tua menjerit-jerit sambil

menutup mukanya. Tidak jauh di depannya

tergeletak sesosok mayat tanpa kepala. Sebagian

tubuhnya terbenam ke dalam parit.

Ki Pancur, Kepala Desa Malapat, menyeruak di

antara kerumunan warga desanya. Wajahnya

mendadak pucat melihat sosok mayat tanpa kepala

itu. Sebentar dia jongkok memeriksa, kemudian

bangkit lagi. Matanya merayapi penduduk yang

mengerumuninya, kemudian memerintahkan

memindahkan mayat itu. Ki Pancur berdiri dengan

pandangan kosong ke arah Puncak Bukit

Menjangan.

"Ayah...."

Ki Pancur menoleh. Dihirupnya napas dalam-

dalam ketika melihat seorang anak muda berusia

sekitar dua puluh tahun sudah berada di

sampingnya. Sementara para penduduk mulai

meninggalkan tempat itu, dan membawa mayat

tanpa kepala yang baru saja ditemukan

"Mengapa Ayah memandang ke sana?" tanya

pemuda itu.


"Tidak apa-apa, Prawata," sahut Ki Pancur.

"Boleh aku bertanya?" tanya Prawata.

Ki Pancur mengangguk seraya menepuk

pundak anaknya. Kaki mereka mulai melangkah

beriringan mengikuti para penduduk yang kembali

ke desa membawa mayat tanpa kepala itu.

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Apakah kejadian ini ada hubungannya dengan

cahaya terang di atas bukit itu, Ayah?" tanya

Prawata.

Ki Pancur tidak segera menjawab. Mereka

memang melihat cahaya terang menyilaukan bagai

pelangi, terpancar dari Puncak Bukit Menjangan.

Saat itu dia dan anaknya tengah duduk-duduk di

beranda depan yang menghadap langsung ke Bukit

Menjangan. Ki Pancur tidak tahu, apakah ada

orang lain yang juga melihat sinar itu.

"Semalam seorang pemburu bercerita kalau dia

melihat kepala terpancang di puncak bukit...," kata

Prawata lagi.

"Pemburu?! Siapa namanya?" tanya Ki Pancur

agak terkejut.

"Paman Kabit."

"Jangan percaya omongannya, Prawata.

Manusia seperti dia tidak bisa dipercaya! Suka

membohongi orang dan tukang dongeng!" kata Ki

Pancur.

"Tapi ini lain, Ayah. Paman Kabit kelihatannya

serius. Dia juga melihat sinar itu waktu berburu,

dan bergegas menghampirinya. Tapi yang

ditemukannya di situ hanya sebuah kepala


manusia terpancang di tonggak kayu. Katanya lagi,

dia menemukan butiran-butiran batu bercahaya

bagai permata. Paman Kabit membawanya sebutir

dan diperlihatkan kepada orang-orang. Aku sendiri

melihatnya, Ayah," kata Prawata serius.

"Hhh! Mengapa dia tidak menceritakannya

padaku?"

"Aku sudah menyuruhnya, tapi Paman Kabit

enggan. Katanya Ayah pasti tidak percaya. Kini

Paman Kabit bermaksud ke kota dan akan menjual

batu permata itu. Mungkin sekarang dia sudah

berangkat," kata Prawata lagi.

Ki Pancur langsung menghentikan langkahnya.

Dipandangi anaknya dalam-dalam.

"Siapa lagi yang melihat batu itu?" tanya Ki

Pancur.

"Banyak! Ki Wanara juga ada waktu itu.

Pokoknya, yang semalam ada di kedai Ki Wanara

pasti melihatnya," sahut Prawata.

Ki Pancur tidak berkata lagi. Bergegas dia

melangkah cepat melewati orang-orang di

depannya yang berjalan menuju desa. Prawata

juga bergegas berjalan cepat setengah berlari

mengejar ayahnya. Pemuda itu mengajak beberapa

temannya yang juga masih muda.

"Ada apa sebenarnya, Ayah?" tanya Prawata

setelah langkahnya sejajar dengan langkah Ki

Pancur.

"Cepat kau siapkan kuda! Beritahu pamanmu

agar menyiapkan murid-muridnya!" perintah Ki

Pancur tegas.


"Untuk apa?" tanya Prawata tidak mengerti.

"Laksanakan saja perintahku!" bentak Ki

Pancur.

Prawata tidak bertanya lagi, lalu bergegas

berlari mendahului yang lainnya diikuti empat

orang temannya. Ki Pancur sempat memberi pesan

kepada para penduduk agar cepat-cepat mengurus

mayat itu, dan jangan meninggalkan rumah

sebelum dia kembali. Seluruh penduduk desa itu

bertanya-tanya, tapi Ki Pancur tidak sempat

menjelaskan lagi. Dia segera berlari cepat menuju

rumahnya. Sementara, Prawata sendiri telah lebih

dahulu tiba dan langsung menyiapkan kuda.

***

Ki Pancur memacu cepat kudanya bagai dikejar

setan. Sepanjang jalan yang dilalui, tidak terlihat

satu penduduk pun. Mereka semua sangat patuh

terhadap perintah kepala desanya. Begitu selesai

menguburkan mayat yang ditemukan tanpa kepala

lagi, semuanya langsung masuk ke dalam rumah

masing-masing. Bah kan kedai-kedai pun tutup.

"Hiya! Hiya...!"

Ki Pancur terus memacu kudanya

meninggalkan Desa Malapat Debu mengepul tinggi

ke angkasa, diterjang kaki-kaki kudanya. Jalan

yang dilaluinya semakin menyempit dan penuh

dengan lubang-lubang. Ki Pancur harus berhati-

hati mengendalikan kudanya agar tidak terperosok


ke dalam kubangan. Namun demikian, dia tidak

mengendurkan lari kudanya sedikit pun.

Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu

terus memacu cepat kudanya meskipun telah

memasuki jalan setapak yang sukar dilalui kuda.

Ki Pancur memang tidak melalui jalan utama yang

langsung menuju ke kota, tapi sengaja memotong

jalan agar lebih cepat sampai.

"Hooop...!"

Ki Pancur menghentikan lari kudanya setelah

sampai di jalan besar kembali. Sebentar diamari

keadaan di kiri dan kanan sepanjang jalan itu.

Seorang pun tidak terlihat di jalan ini. Laki-laki tua

berbaju putih ketat dengan ikat kepala warna

kuning gading itu melompat turun dari punggung

kudanya. Dia jongkok di samping kudanya,

memeriksa tanah sekitarnya.

"Hm. Belum ada yang lewat sini," gumam Ki

Pancur pelan.

Ki Pancur kembali naik ke punggung kudanya,

kemudian menggebah kudanya pelahan-lahan

menyusuri jalan yang cukup besar dan berdebu.

Matanya terus memandang keadaan sekeliling

tanpa berkedip. Kuda putih belang coklat itu terus

melangkah pelan-pelan dengan kepala terangguk-

angguk.

Kembali Ki Pancur menghentikan kudanya,

sebab tidak jauh di depan terlihat seorang laki-laki

muda. Rambutnya panjang tergerai, duduk di atas

sebatang pohon tumbang di pinggir jalan. Pemuda

yang memakai baju kulit harimau itu menolehkan


kepalanya. Ki Pancur turun dari punggung

kudanya, lalu melangkah menghampiri sambil

menuntun kudanya.

"Boleh bertanya, Kisanak?" sapa Ki Pancur ra-

mah.

"Oh, silakan," sahut pemuda itu, juga ramah.

"Apa Kisanak melihat ada orang lewat di jalan

ini?" tanya Ki Pancur.

"Rasanya tidak ada yang lewat. Sejak pagi buta

aku duduk di sini," sahut pemuda itu.

"Terima kasih," ucap Ki Pancur.

Kepala Desa Malapat itu kembali naik ke pung-

gung kuda, lalu memacunya cepat. Pemuda

berambut gondrong memakai baju kulit harimau

itu memandangi dengan mata agak menyipit. Lalu,

tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan

kilat menuju arah kepergian Ki Pancur.

Saat itu Ki Pancur terus memacu cepat

kudanya menyusuri jalan yang cukup besar dan

berdebu. Dia tahu betul kalau jalan itu menuju

desanya kembali. Dia berharap pemburu yang

dikatakan oleh Prawata belum melewati jalan ini.

"Hooop...!"

Kembali Ki Pancur menghentikan lari kudanya.

Keningnya agak berkerut melihat kulit kulit

binatang dan sobekan-sobekan kain berserakan di

depannya. Laki-laki tua itu segera melompat turun

dari punggung kudanya. Gerakannya begitu

ringan, pertanda memiliki kepandaian yang cukup

tinggi. Pelahan-lahan kakinya melangkah

menghampiri barang-barang yang berserakan di


tengah jalan itu. Sebentar dia membungkuk

memeriksa, lalu berdiri tegak. Matanya tajam

memandang sekitarnya.

"Tolooong...."

Ki Pancur tersentak mendengar suara rintihan

lirih dari arah samping kanannya. Begitu

kepalanya berpaling, tampak semak belukar di

pinggir jalan bergoyang-goyang. Kepala Desa

Malapat itu langsung melompat ke arah semak-

semak yang bergoyang. Jantungnya serasa akan

copot melihat Kabit terluka parah terbujur di

dalam semak belukar. Bergegas dibantunya laki-

laki berewokan itu berdiri dan dibawanya keluar

dari semak belukar.

"Oh..., Ki...," rintih Kabit lirih.

Ki Pancur membaringkannya di pinggir jalan

yang berumput agak tebal. Kemudian dia

memeriksa luka-luka di tubuh dan wajah laki-laki

pemburu itu. Terdengar tarikan napasnya yang

panjang. Ki Pancur merasa lega karena Kabit

hanya luka-luka luar saja. Hampir seluruh

tubuhnya memar dan banyak goresan yang

mengeluarkan darah.

"Apa yang terjadi, Kabit?" tanya Ki Pancur.

"Mereka..., mereka merampokku, Ki," jawab Ka-

bit agak tersendat.

"Mereka siapa?" tanya Ki Pancur lagi.

"Aku tidak tahu, Ki. Mereka banyak sekali."

"Apa yang dirampok?" tanya Ki Pancur lagi

Kabit tidak segera menjawab. Matanya

merayapi barang-barangnya yang berserakan di


tengah jalan. Dia berusaha bangkit. Ki Pancur

membantunya. Mereka mengumpulkan barang-

barang yang berserakan. Kebanyakan memang

hanya kulit binatang dan perlengkapan berburu,

serta perlengkapan untuk bermalam di alam bebas.

Kabit agak heran juga, karena semua barang-

barangnya tidak ada yang hilang satu pun.

"Ada yang hilang?" tanya Ki Pancur lagi.

'Tidak...," sahut Kabit ragu-ragu.

"Katakan yang benar, Kabit."

"Sungguh, Ki. Mereka menghadang jalanku,

dan langsung menyerangku. Banyak sekali

jumlahnya. Mereka pergi begitu saja dan aku

dilemparkan ke dalam semak-semak itu," kata

Kabit sungguh-sungguh.

Kabit memeriksa kantung yang terikat di

pinggangnya. Wajahnya pucat seketika. Ki Pancur

memperhatikan perubahan wajah laki-laki

berewokan itu.

"Ada apa?"

"Batuitu, Ki. Mereka mengambil batu itu...!"

sahut Kabit

"Batu apa?"

"Batu permata, Ki. Aku menemukannya di

Puncak Bukit Menjangan, kemarin. Batu itu

memancarkan cahaya terang, dan sangat indah.

Aku bermaksud menjualnya ke kota. Aduh!

Celaka...! Mereka pasti mengambil batu

permataku, Ki. Perampok sial! Keparat..!" Kabit

memaki-maki sendiri.


Ki Pancur jadi bingung. Masalahnya, Kabit

hanya kehilangan sebuah batu saja. Tapi begitu

menyesali. Yang membuat Ki Pancur berpikir, batu

itu ditemukan di atas Puncak Bukit Menjangan. Ini

berarti cerita Prawata bisa dipercaya. Ki Pancur

menarik napas panjang, kemudian menghampiri

kudanya.

"Ki...!" Kabit menghampiri.

Ki Pancur menatapnya kosong.

"Bagaimana ini, Ki? Batu itu pasti permata yang

mahal harganya. Akan kusumbangkan hasil batu

itu sebagian untuk desa, kalau bisa kembali lagi,

Ki," rengek Kabit

"Kau akan terus ke kota?" tanya Ki Pancur tidak

menghiraukan rengekan Kabit Kabit tidak

menjawab.

"Kemasi barang-barangmu! Kita kembali saja ke

desa. .Luka-lukamu harus dirawat dulu biar

sembuh," kata Ki Pancur seraya kembali turun dari

punggung kudanya.

Ki Pancur membantu Kabit mengemasi barang-

barangnya, dan menarahnya di punggung

kudanya. Kuda dan kereta yang dibawa Kabit

entah pergi kemana. Mungkin juga dibawa

perampok, atau lari ketakutan.Kedua laki-laki itu

kemudian berjalan menuju kembali ke Desa

Malapat.

Ki Pancur berjalan pelahan-lahan di belakang

Kabit yang menuntun kuda. Laki-laki tua itu terus

berpikir keras tentang peristiwa yang terjadi hari

ini. Peristiwa mengerikan yang berawal dari

munculnya cahaya terang di Puncak Bukit

Menjangan. Mereka terus berjalan tanpa menyadari

sepasang mata tengah, memperhatikan sejak tadi.

***


2

Hampir setiap hari, penduduk Desa Malapat

selalu digegerkan oleh mayat tanpa kepala. Tidak

semua mayat bisa dikenali. Yang jelas, banyak

penduduk yang kehilangan sanak saudaranya.

Kejadian ini membuat Ki Pancur semakin diliputi

kegelisahan. Bahkan hampir setiap malam tidak

bisa tidur tenang. Mimpi-mimpi buruk selalu

menghantuinya.

Siang itu udara di sekitar Desa Malapat terasa

lebih panas dari biasanya. Sebagian besar

penduduk terpaksa bertahan di dalam rumah.

Mereka tidak berani keluar rumah kalau tidak

punya keperluan mendesak. Hanya beberapa orang

laki-laki saja yang masih terlihat berada di luar

rumah. Dan mereka rata-rata membawa senjata

tajam.

Dari arah Selatan terlihat debu mengepul ke

udara, disusul terdengarnya derap kaki kuda

dipacu. Tidak lama kemudian muncul seekor kuda

hitam pekat yang berlari agak kencang memasuki

desa yang tengah dilanda ketakutan itu.

Penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda

yang cantik. Pakaiannya berwarna hijau ketat

dengan ikat kepala juga berwarna hijau.

"Wanita itu memperlambat lari kudanya, dan

berhenti ketika sampai di depan kedai. Kakinya

melompat ringan. Mata yang indah, bulat bening,

dan agak menyipit, mendapati pintu kedai tertutup


rapat. Dia melangkah menghampiri laki-laki tua

yang tengah duduk bersandar di samping kedai itu.

"Maaf, kedai ini tidak buka," kata laki-laki tua

itu.

"Kenapa?" tanya wanita cantik itu sopan.

“Tidak ada yang datang."

"Kalau begitu, aku pengunjung pertamamu."

Laki-laki tua yang ternyata pemilik kedai itu

dan bernama Ki Wanara memandang lekat-lekat

wanita di depannya. Kemudian pandangan

matanya merayapi sekelilingnya. Tampak beberapa

orang memperhatikan dari jarak yang cukup jauh.

Ki Wanara kembali mengalihkan pandangannya

pada wanita itu.

Ki Wanara bangkit berdiri, kemudian

melangkah masuk ke dalam kedainya. Wanita itu

mengikuti dari belakang. Sebentar dirayapi

keadaan kedai yang sepi dan hampir berdebu.

Wanita itu duduk di kursi dekat pintu. Matanya

masih merayapi keadaan kedai.

"Aku tidak punya apa-apa," kata Ki Wanara.

Wanita itu hanya mengangkat bahunya. Ki

Wanara duduk tidak jauh dari wanita itu.

"Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk

makan, Pak Tua," kata wanita itu.

"Lalu?" tanya Ki Wanara agak keheranan.

"Aku mencari seseorang yang mungkin kau ke-

nal."

"Desa ini terkenal aman dan tentram. Bahkan

pencuri ayam saja tidak berani datang ke sini.


Tapi..., yah! Belakangan, di sini memang tengah

dilanda musibah."

"Jangan salah duga, Pak Tua. Aku bukan

mencari pencuri, rampok, atau pelarian. Orang itu

hanya membawa sedikit milikku yang tidak

berharga bagi orang lain. Aku tidak tahu, apakah

disengaja atau tidak Yang jelas, aku merasa

terganggu sekali dengan perbuatannya."

"Boleh aku tahu, siapa yang kau cari?"

"Aku tidak tahu namanya. Tapi pengawalku

mengatakan bahwa dia seorang pemburu."

"Hm..., sebagian besar penduduk desa ini me-

mang pemburu. Tidak mudah mencarinya. Dan lagi

banyak pemburu dari desa lain, bahkan ada juga

yang datang dari kota. Daerah ini memang sangat

baik untuk berburu. Lebih-lebih di...," Ki Wanara

tidak melanjutkan.

"Di Bukit Menjangan, maksud Pak Tua?" tebak

wanita itu.

"Ya. Hutan di Bukit Menjangan memang banyak

hewan buruan. Ng.... Kau datang dari mana? Dan

siapa namamu?"

"Aku datang dari tempat yang sangat jauh, Pak

Tua. Orang-orang biasa memanggilku Nini Ratih,"

wanita cantik itu memperkenalkan diri.

"Lantas, apa yang diambil orang itu darimu?"

"Sulit untuk dikatakan, Pak Tua. Lagi pula,

hanya aku yang mengerti tentang benda itu," sahut

Nini Ratih.


"Aneh...!" gumam Ki Wanara sambil

menggeleng-gelengkan kepala.

"Apanya yang aneh, Pak Tua?"

"Kau mencari seseorang yang mengambil benda

milikmu, tapi kau tidak bersedia mengatakan apa

yang diambilnya. Kalau orang itu juga tidak tahu,

mana mungkin mengambilnya?"

"Dia hanya menyangka benda itu berharga.

Padahal tidak sama sekali. Benda itu hanya

berharga untuk diriku sendiri."

"Maksudmu..., benda pusaka?"

"Bukan. Tapi itu menyangkut kelangsungan

hidupku."

Ki Wanara kembali menggeleng-gelengkan

kepala. Sama sekali sulit dimengerti semua kata-

kata yang diucapkan wanita cantik itu. Ki Wanara

berdiri, dan melangkah, menuju meja panjang yang

di belakangnya terdapat lemari besar dengan

beberapa guci dan peralatan kedainya. Ki Wanara

mengambil sebuah guci arak dan dua buah gelas

perunggu. Dia kembali menghampiri wanita itu dan

duduk di depannya. Arak di dalam guci dituangkan

ke dalam dua gelas perunggu.

"Silakan," ucap Ki Wanara.

"Terima kasih," sahut wanita itu.

***

Malam kian menyelimuti Desa Malapat. Bulan

bersinar penuh dan bintang-bintang bertaburan,

menambah indahnya pemandangan di angkasa.

Namun semua keindahan dan sejuknya udara


malam tidak bisa dinikmati penduduk desa itu.

Hanya beberapa orang laki-laki bersenjata saja

yang masih terlihat berada di luar rumah.

Mereka adalah murid-murid sebuah padepokan

yang dipimpin oleh Ki Kampar, adik kandung Ki

Pancur, Kepala Desa Malapat ini. Mereka memang

sengaja ditugaskan untuk menjaga keamanan

desa, terutama sekitar rumah kepala desa.

Malam itu Ki Pancur kedatangan tamu, yang

diterimanya dengan ramah di ruangan depan

rumahnya. Di situ, juga ada Prawata dan Ki

Kampar. Tamu yang datang malam itu tidak lain

dari Ki Wanara, pemilik kedai yang terletak di

ujung jalan.

"Maaf, kalau kedatanganku mengganggu," kata

Ki Wanara setelah duduk di kursi menghadapi

meja bundar.

"Tidak apa," sahut Ki Pancur ramah. "Ada

keperluan apa?"

"Begini, Ki. Siang tadi aku kedatangan tamu se-

orang wanita yang sangat cantik. Dia bicara aneh,"

tutur Ki Wanara langsung pada pokok

persoalannya.

"Aneh...?!" Ki Pancur memandang Ki Wanara

sebentar, lalu beralih pada adiknya yang duduk di

samping kanan laki-laki tua pemilik kedai itu.

"Benar, Ki. Katanya, dia akan mencari orang

yang telah mengambil benda miliknya," kata Ki

Wanara lagi.

"Benda apa?" tanya Ki Kampar menyelak.


"Dia tidak menjelaskannya. Katanya benda itu

tidak berharga untuk orang lain, tapi sangat

berharga bagi kehidupannya," sahut Ki Wanara.

Kembali Ki Pancur dan Ki Kampar saling

berpandangan. Sementara Prawata hanya diam

saja dengan kening sedikit berkerut. Keadaan desa

yang tidak menentu ini membuat Prawata sibuk

bertanya-tanya dalam hati. Dan kedatangan Ki

Wanara kian membuat hatinya diliputi rasa

penasaran.

"Siapa yang dia cari, Ki?" tanya Prawata meme-

cah kebisuan.

"Itulah persoalannya! Dia sendiri tidak tahu

orangnya. Tapi katanya, yang mengambil benda itu

adalah seorang pemburu," sahut Ki Wanara.

Prawata langsung menatap tajam pada ayahnya.

"Siapa nama wanita itu?" tanya Prawata lagi.

"Nini Ratih."

Kembali Prawata menatap ayahnya. Sedangkan

Ki Pancur hanya tertunduk. Wajahnya langsung

berubah pucat begitu mendengar nama yang

disebutkan Ki Wanara tadi. Dan bukan hanya

Prawata yang menatap laki-laki setengah baya

kepala desa itu, Ki Kampar pun menatap tajam

padanya. Sedangkan Ki Wanara jadi tidak mengerti

dengan sikap ketiga orang itu.

"Ada apa? Apakah aku salah?" tanya Ki Wanara

merasa tidak enak hatinya.

"Oh, tidak. Tidak ada yang salah, Ki," kata Ki

Kampar buru-buru.

"Ki Wanara...," agak tercekat suara Ki Pancur.


Melihat raut wajah dan tatapan mata kepala

desa itu, Ki Wanara bergegas beranjak berdiri.

Setelah membungkukkan badan memberi hormat,

laki-laki tua pemilik kedai itu meninggalkan

ruangan depan rumah yang besar itu. Ki Pancur

hanya memandang dengan tatapan mata kosong.

"Aku akan mengantarnya pulang," kata Prawata

seraya beranjak bangkit

"Jangan!" sentak Ki Kampar. "Biar muridku

saja yang mengantarnya."

Prawata kembali duduk, sedangkan Ki Kampar

beranjak bangkit dan melangkah ke luar.

Dihampiri dua orang pemuda yang tengah duduk-

duduk di tangga beranda. Sebelum kedua pemuda

yang di pinggangnya terselip golok itu pergi, Ki

Kampar sudah kembali masuk ke dalam.

Dihenyakkan tubuhnya di kursi dekat pintu.

"Sudah jelas sekarang, siapa yang melakukan

semua pembunuhan keji Ini," kata Ki Kampar

setengah mendesah.

"Aku tidak menduga hal ini akan terjadi begitu

cepat," kata Ki Pancur.

"Prawata."

"Ya, Paman," sahut Prawata seraya menoleh.

"Keluarlah sebentar."

"Paman...!" Prawata akan menolak.

"Keluarlah, Prawata," tegas Ki Pancur pelan.

"Kenapa aku harus keluar!? Apakah ini

rahasia?" Prawata menolak tegas. "Aku bukan anak


ingusan lagi. Aku berhak tahu apa yang terjadi di

sini!"

"Prawata...."

"Apa sebenarnya yang terjadi di sini?" Prawata

tidak mempedulikan peringatan ayahnya.

Ki Pancur menatap adiknya yang juga tengah

memandang ke arahnya. Kemudian mereka sama-

sama mengalihkan pandangannya ke arah pemuda

itu.

"Nanti kau akan kuberitahu. Sekarang,

keluarlah dulu," bujuk Ki Kampar bernada lembut.

"Baik! Tapi Paman harus janji!" tegas Prawata.

"Baik, aku janji."

Prawata bangkit berdiri, lalu melangkah keluar.

"Kenapa harus kau rahasiakan kepadanya?"

tegur Ki Pancur.

"Sudahlah! Jangan berdebat soal itu, Kakang.

Belum saatnya Prawata tahu," jawab Ki Kampar.

'Tapi dia sudah dewasa! Sudah mampu melihat

semua yang terjadi di sini. Sikapmu membuatnya

semakin penasaran ingin lebih tahu lagi."

"Mengapa kau tidak manahannya tadi? Kau

juga menyuruhnya keluar, kan?" Ki Kampar tidak

suka disalahkan.

"Itu karena kau yang mulai!"

Ki Kampar menggeleng-gelengkan kepala.

Meskipun Ki Pancur seorang kepala desa, sekaligus

kakak kandungnya, tapi tidak pernah bersikap

sebagai seorang kakak. Sejak mereka masih muda

dulu, Ki Pancur selalu mengalah dan tidak ingin

membantah adiknya. Apa saja yang dikatakan


adiknya, selalu dituruti. Meskipun bertentangan

dengan kehendak hatinya.

Sewaktu menjadi kepala desa, sebenarnya juga

bukan keinginannya. Tapi Ki Kamparlah yang

mengajukan dan mendukungnya secara penuh.

Apalagi memang seluruh penduduk Desa Malapat

ini menyukainya, sehingga tidak ada hambatan

baginya untuk menjadi kepala desa, menggantikan

kepala desa yang lama.

"Baiklah, akan kupanggil kembali anakmu,"

kata Ki Kampar mengalah.

"Percuma!" dengus Ki Pancur.

Ki Kampar mengangkat bahunya.

"Apa yang akan kau bicarakan?" tanya Ki

Pancur langsung mengalihkan pada pokok

persoalan.

"Kemunculan Nini Ratih!" jawab Ki Kampar

mantap.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi," pelan

suara Ki Pancur.

"Kau harus menemui dan mengusirnya dari

sini!" tegas kata-kata Ki Kampar.

"Tidak mungkin!" bantah Ki Pancur.

"Kenapa tidak? Kau yang dulu

mengalahkannya, lalu mengasingkannya selama

berpuluh-puluh tahun."

"Jangan bodoh, Kampar! Aku memang yang

mengalahkannya, tapi batu Mustika Dewi Pelangi

tidak ada lagi padaku! Mana mungkin aku bisa

menandinginya?!"

"Lho, ke mana?" Ki Kampar terkejut.

"Itulah kesalahanku, Kampar. Jasadnya

memang telah kubungkus dengan batu Mustika

Dewi Pelangi, dan kulemparkan ke atas awan.

Memang sudah kuduga, suatu saat mustika itu

akan kembali lagi ke bumi. Tapi aku tidak

menyangka akan secepat ini! Apalagi Nini Ratih

masih hidup," suara Ki Pancur bernada mengeluh.

"Aku tidak menyangka kau akan melakukan

itu, Kakang! Seharusnya batu itu kau tanamkan di

kepalanya, lalu buang mayatnya ke laut. Pasti dia

akan mati dan tidak akan pernah kembali lagi. Kau

sudah tahu itu, kenapa tidak kau kerjakan?

Bahkan malah melakukan yang lain!" Ki Kampar

menyesali.

Ki Pancur tidak menjawab. Kepalanya

tertunduk menekun permukaan meja. Dia memang

tahu kalau Nini Ratih baru dapat mati kalau

kepalanya tertanam batu Mustika Dewi Pelangi,

dan tubuhnya dibuang ke dasar laut. Semua ilmu

dan kehidupannya akan musnah. Ki Pancur

menyesali semua tindakan bodohnya, tapi rasanya

sudah terlambat. Kesalahan yang dibuatnya jelas

bisa menimbulkan akibat yang sangat fatal!

"Sekarang dia tengah mencari benda itu. Jelas,

kalau jiwa dan seluruh kehidupannya sudah

menyatu dalam batu mustika itu. Hhh...! Tidak

bisa kubayangkan, apa jadinya dunia ini kalau

Mustika Dewi Pelangi sampai dikuasainya! Tidak

ada seorang pun yang mampu menandinginya.

Dunia akan hancur...!" keluh Ki Kampar.



"Dia masih punya sebagian besar, Kampar,"

pelan suara Ki Pancur.

"Apa maksudmu, Kakang?" Ki Kampar tidak

mengerti.

"Batu itu hancur, dan yang hilang hanya

sebutir dari kekuatannya," sahut Ki Pancur.

"Hancur...?! Sebutir...?! Aku tidak mengerti

maksudmu."

"Mustika Dewi Pelangi tidak lagi sebesar kuku

jari, tapi lebih besar dari kepala orang dewasa.

Batu itu akan hancur bila kembali menyentuh

bumi. Hal itu bisa terjadi karena penyatuan jiwa

yang terjadi puluhan tahun."

"Edan! Itu berarti kekuatan Nini Ratih berlipat

ganda!"

"Lebih dari itu, Kampar. Dia tidak akan mati,

kecuali kembali terbungkus Mustika Dewi Pelangi.

Dan hal itu tidak mudah dilakukan. Aku yakin,

yang dicarinya adalah inti dari Mustika Dewi

Pelangi, sumber dari segala kekuatan dan

kehidupannya yang baru. Dia tidak akan berdaya

tanpa benda itu, tapi kekuata silumannya...." Ki

Pancur tidak meneruskan.

"Kenapa?"

"Semakin banyak mendapatkan darah manusia

semakin besar kekuatan silumannya, yang

akhirnya dia akan menjelma menjadi manusia

siluman seutuhnya," lanjut Ki Pancur.

"Ya, Tuhan... akan jadi apa dunia ini?" keluh Ki

Kampar.


"Dia juga akan membangun istana dari kepala

setiap korban, dan di situlah sumber kekuatan

silumannya. Tidak bisa kubayangkan, bagaimana

jadinya dunia ini jika dia berhasil membangun

istananya dan menguasai inti Mustika Dewi

Pelangi. Saat itu seluruh dunia akan dikuasainya.

Aku yakin, tidak akan ada seorang pun yang

mampu menghalanginya. Tidak ada satu senjata

pusaka pun yang dapat membunuhnya. Dia tidak

akan dapat mati, dan terus hidup sampai dunia

kiamat"

"Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi,

Kakang...," lirih suara Ki Kampar.

Saat itu juga seluruh tubuh Ki Kampar terasa

lemas, bagai tidak memiliki tulang. Saat ini pun dia

tidak mungkin dapat menandingi wanita yang

sebenarnya adalah siluman itu. Apalagi kalau

sampai tercapai semua yang dikatakan Ki Pancur.

Dunia akan selalu dilanda bencana yang tiada

akhir. Ki Kampar masih belum bisa mengerti akan

kebodohan kakaknya. Padahal Ki Pancur sudah

tahu sejak semula, tapi kenapa masih juga

melakukan kesalahan? Bahkan sepertinya memang

disengaja! Ada apa sebenarnya?"

***

Sementara itu, Ki Wanara sudah berada di

depan rumahnya. Dua orang murid Ki Kampar

masih mendampinginya. Ki Wanara berhenti dan

memandangi dua orang yang mengantarkannya.


'Terima kasih, sampai di sini saja," kata Ki Wa-

nara.

"Sebaiknya Ki Wanara masuk dulu," usul salah

seorang.

"Kalian sudah begitu baik padaku. Sampaikan

salamku pada gurumu'" kata Ki Wanara mencoba

tersenyum.

"Akan kami sampaikan, Ki."

Ki Wanara menepuk pundak pemuda itu, kemu-

dian kakinya terayun melangkah. Kedua pemuda

itu baru meninggalkan tempat itu setelah Ki

Wanara masuk ke rumahnya. Cahaya pelita dari

minyak jarak menerangi ruangan depan rumah

laki-laki tua itu.

"Dari mana, Pak Tua?"

"Oh!" Ki Wanara tersentak kaget.

Wajah laki-laki tua itu langsung pucat pasi.

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di

depannya telah berdiri seorang wanita cantik yang

siang tadi datang ke kedainya. Ki Wanara berusaha

bersikap wajar, tapi tidak bisa menahan deburan

jantungnya.

"Semula aku ingin menganggapmu sebagai se-

orang yang patut dipercaya dan dapat

membantuku. Tapi harapanku sia-sia saja...," kata

wanita itu lembut, namun bernada penuh

ancaman.

"Nini Ratih..., aku..!Aku...," Ki Wanara jadi ter-

gagap.

Wanita yang ternyata memang Nini Ratih itu

hanya tersenyum saja. Begitu manis senyumnya.


Langkahnya pun demikian gemulai mendekati Ki

Wanara. Laki-laki tua itu semakin pucat wajahnya,

sedangkan tubuhnya gemetar hebat.

"Kenapa wajahmu pucat, Pak Tua?" masih tetap

lembut suara Nini Ratih.

"Oh, tid..., tidak apa-apa," jawab Ki Wanara gu-

gup.

"Apa yang kau katakan pada kepala desa itu?"

tanya Nini Ratih. Nada suaranya mulai terdengar

dingin.

"Aku..., aku hanya ngobrol," sahut Ki Wanara.

"Jangan mendustaiku. Pak Tua."

"Sss... sung..., sungguh! Aku tidak bohong! Aku

hanya bertamu dan ngobrol!"

"Apa yang kau katakan pada Ki Pancur?" makin

dingin nada suara Nini Ratih.

Ki Wanara tidak bisa lagi menjawab. Tubuhnya

semakin keras bergetar. Keringat dingin mengucur

deras membasahi wajahnya. Sedangkan Nini Ratih

sudah demikian dekat di depannya. Wajah wanita

itu terlihat kaku, dan matanya memancarkan sinar

kekejaman. Bibirnya yang tipis dan merah terkatup

rapat.

"Sayang sekali, kau harus menjadi salah satu

penghias istanaku, Pak Tua," kata Nini Ratih datar.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Wanara

bergetar suaranya.

"Memenggal kepalamu!"

"Apa...?!"

"Hih!"


"Aaa...!"

Hanya satu kali kibasan tangan saja, kepala Ki

Wanara langsung menggelinding ke lantai. Darah

muncrat dari leher yang buntung. Sesaat tubuh

laki-laki tua itu masih mampu berdiri, kemudian

ambruk dan menggelepar di lantai!

Nini Ratih cepat menubruknya, dan dengan

buas dihirupnya darah yang mengucur deras dari

leher yang terpenggal. Ki Wanara sudah tidak

bergerak lagi: dan terbujur kaku. Sementara Nini

Ratih terus menghirup darah korbannya hingga

tetes yang terakhir. Wanita cantik itu berdiri dan

memandangi tubuh yang sudah tidak bernyawa

lagi. Tangannya mengambil kepala laki-laki tua itu,

dan menentengnya.

“Hi hi hi...!”

Nini Ratih melangkah keluar sambil tertawa

mengikik. Dan begitu kakinya menjejak tanah di

depan kedai, ia langsung melesat cepat bagaikan

kilat. Hanya suara tawanya saja yang masih

tertinggal. Bersamaan dengan lenyapnya tubuh

wanita itu, lenyap pula suara tawanya. Malam yang

hening itu semakin mencekam. Tak ada seorang

pun yang menyaksikan kejadian itu. Tapi, dari

balik sebuah pohon besar, sepasang mata

memperhatikan kejadian itu.

"Kejam...!" terdengar desisan tertahan.

***


3

Desa Malapat kembali gempar dengan kematian

Ki Wanara. Begitu mengenaskan dan mengerikan!

Tubuh Ki Wanara ditemukan di rumahnya tanpa

kepala lagi. Bentuk kematian yang sama dari

mayat-mayat sebelumnya. Seluruh penduduk Desa

Malapat semakin dicekam ketakutan. Tidak ada

lagi yang berani ke luar rumah. Bahkan beberapa

di antaranya mulai meninggalkan desa itu.

Sementara Ki Pancur semakin diliputi

kegelisahan. Sedangkan Ki Kampar tidak tahu lagi

mesti berbuat apa. Mereka tahu, siapa pemburu

yang mengambil batu Mustika Dewi Pelangi yang

juga tengah dicari Nini Ratih. Tapi pemburu itu

sudah tidak ada di Desa Malapat ini lagi.

Sedangkan Ki Pancur sendiri tidak tahu, perampok

mana yang telah mengambil benda itu dari tangan

Kabit, pemburu yang sedang dicari Nini Ratih.

"Paman, apa sebenarnya yang terjadi di desa

ini?" desak Prawata saat ada kesempatan berdua

dengan pamannya.

"Bukankah sudah kuceritakan padamu,

Prawata."

"Tidak! Pasti ada yang Paman sembunyikan

padaku," sentak Prawata.

Ki Kampar tersenyum dan menggeleng-

gelengkan kepalanya.


"Baiklah kalau Paman tidak mau berterus

terang. Aku akan menyelidikinya sendiri!" kata

Prawata tegas.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Kampar

agak kaget juga.

"Apa saja! Yang jelas aku ingin tahu kejadian

yang sebenarnya! Aku tidak percaya kalau

perempuan siluman itu hanya mencari batu

Mustika Dewi Pelangi."

"Kenyataannya memang begitu, Prawata. Dan

yang bisa mengetahui di mana benda itu, hanya

Kabit. Dialah yang menyebabkan semua kejadian

di sini," kata Ki Kampar menutupi yang sebenarnya

"Jangan menimbulkan kesalahan pada orang

lain, Paman. Aku yakin, perempuan siluman itu

punya suatu tujuan sehingga datang ke sini. Dan

Paman maupun Ayah sudah mengetahuinya, tapi

sengaja merahasiakan!" Prawata tetap keras pada

pendiriannya.

"Tidak ada yang perlu kurahasiakan, Prawata.

Semua yang terjadi di sini bukan hanya

persoalanku, atau persoalan ayahmu saja. Tapi

menyangkut seluruh penduduk desa ini. Kau

sudah dewasa, Prawata. Kau harus bisa berpikir

secara dewasa. Jangan turuti nafsu dan darah

mudamu," kata Ki Kampar mencoba menasehati

setengah membujuk.

"Aku memang sudah dewasa, Paman. Dan aku

tidak bisa tinggal diam melihat orang-orang tidak

berdosa mati satu persatu. Sementara Paman dan

Ayah yang mengetahui semua persoalan hanya



diam saja. Aku tidak bisa, Paman. Aku harus

bertindak!" tegas kata-kata Prawata.

"Prawata! Kau pikir, kau ini siapa? Jangan

menganggap dirimu kuat dan perkasa! Cara

berpikirmu saja masih seperti anak kecil!" suara Ki

Kampar agak tinggi.

"Aku memang tidak sehebat Paman atau Ayah!

Tapi tidak pengecut!" nada suara Prawata juga

tinggi.

"Prawata!" Ki Kampar jadi berang.

Tapi Prawata sudah berbalik dan berjalan cepat.

"Prawata! Tunggu...!"

"Aku tidak suka bicara dengan orang pengecut!"

teriak Prawata kalap.

"Anak setan! Kembali kau...!" bentak Ki Kampar.

Prawata bukannya kembali, tapi malah berlari

kencang. Ki Kampar akan mengejar, tapi sebuah

tangan telah mencekal pundaknya. Laki-laki

berusia separuh baya itu menoleh. Langsung dia

menggelinjang sambil melompat begitu melihat

seorang wanita muda dan cantik tahu-tahu sudah

berdiri di belakangnya.

"Nini Ratih...," suara Ki Kampar agak bergetar.

"Kau masih mengenalku, Kakang Kampar?"

lembut suara wanita itu.

Ki Kampar melangkah mundur beberapa tindak

Tangan kanannya segera meraba gagang golok

yang terselip di pinggangnya. Sedangkan wanita

cantik yang ternyata memang Nini Ratih itu hanya

tersenyum saja.


"Anak itu benar. Tidak seharusnya kau

sembunyikan. Katakan saja terus terang padanya,"

kata Nini Ratih tetap lembut nada suaranya.

"Jangan campuri urusanku, perempuan setan!"

dengus Ki Kampar.

"Kau masih tetap seperti dulu saja, Kakang.

Galak, kasar, dan tidak pernah jujur. Tapi aku

menyukai sikapmu itu. Hanya sayang, kau

sekarang kelihatan tua dan tidak menarik lagi."

"Simpan kata-kata kotormu, Nini Ratih!" bentak

Ki Kampar.

"Ah! Jangan berlagak seperti orang suci. Aku

tahu siapa dirimu. Aku tak akan melupakan saat-

saat manis bersamamu, meskipun kau seorang

pengkhianat busuk! Kepalamu pun juga dipenuhi

segumpal nafsu!" agak ketus nada suara Nini

Ratih.

"Pergi kau, perempuan setan!" geram Ki

Kampar.

"Ah, Kakang.... Kenapa kau jadi berang begitu?

Seharusnya kau senang dengan kedatanganku lagi.

Lihatlah! Aku masih tetap seperti dulu, cantik,

muda, dan tentu saja sangat menggairahkan. Apa

kau lupa pada saat..."

"Pergi, kataku!" bentak Ki Kampar memotong

cepat

"Menyesal sekali. Seharusnya aku memang

tidak mengunjungimu dalam suasana seperti ini.

Baiklah, Kakang. Aku akan pergi, dan pasti akan

kembali untuk menjemputmu."


"Perempuan laknat!" geram Ki Kampar seraya

mencabut goloknya.

"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-

bahak.

"Setan...!"

Sebelum Ki Kampar bisa mengibaskan

goloknya, Nini Ratih sudah melesat cepat bagaikan

kilat. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan lenyap

ditelan bumi. Ki Kampar mengumpat habis-

habisan. Sambil menggeram, dimasukkan goloknya

kembali ke dalam sarungnya di pinggang.

"Huh!"

Ki Kampar mengayunkan kakinya cepat-cepat

meninggalkan tempat itu. Dia masih saja

bersungut-sungut. Tapi setiap kali kata-kata Nini

Ratih tadi terngiang-ngiang di telinganya,

tubuhnya langsung bergidik menggigil. Kata-kata

wanita itu tidak dapat dianggap main-main, dan

sewaktu-waktu bisa menjadi kenyataan.

"Uh! Perempuan keparat itu harus mampus!"

dengusnya.

***

Prawata yang tengah dilanda amarah dan rasa

ingin tahu, tidak menyadari kalau telah memasuki

Hutan Bukit Menjangan. Pemuda itu baru

menghentikan langkahnya ketika di depannya

menghadang sebuah sungai yang cukup lebar dan

berarus deras. Prawata menghenyakkan tubuhnya


di bawah pohon rindang. Disandarkan

punggungnya pada pohon itu.

Tatapan matanya lurus ke depan. Beberapa kali

ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-

kuat. Pemuda itu sungguh tidak menyangka kalau

ayah dan pamannya menyimpan suatu rahasia.

Apalagi itu ada hubungannya dengan beberapa

peristiwa yang terjadi di Desa Malapat. Peristiwa

mengerikan dengan korban bergelimpangan dari

orang-orang tidak berdosa.

Prawata mengangkat kepalanya ketika

telinganya mendengar suara siulan berirama tidak

teratur. Saat kepalanya berpaling ke kiri, terlihat

seorang pemuda tampan dengan rambut gondrong

meriap terikat kulit harimau. Pakaiannya pun dari

kulit harimau. Mulutnya sedikit monyong,

mengeluarkan suara siulan yang tidak enak

didengar.

"Oh, maaf. Kukira tidak ada orang di sini," kata

pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Siulanmu bagus sekali. Rasanya cukup

membuat hewan di hutan ini berlindung dalam

sarang," kata Prawata agak ketus.

"Terima kasih! Kupikir kau tidak suka," sambut

pemuda itu tersenyum.

"Suka! Hanya saja bukan pada waktu yang

tepat."

Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya terse-

nyum saja. Kakinya kembali terayun mendekati,

dan berhenti tepat di depan putra kepala desa itu.


Prawata memandanginya dari ujung rambut

sampai ujung kaki.

Agak heran juga dia, karena pemuda berbaju kulit

harimau itu tidak menyandang sebuah senjata

pun. Orang ini pasti pengembara! Tapi, kenapa

tidak membawa senjata? Prawata bertanya-tanya

dalam hati.

"Boleh aku istirahat di sini?" pinta pemuda itu '

ramah.

"Silakan. Hutan ini milik siapa saja," sahut

Prawata.

'Terima kasih."

Pemuda itu duduk bersila di depan Prawata.

"Kelihatannya kau dalam kesulitan...," kata

pemuda itu seraya merayapi wajah Prawata yang

kelihatan murung.

"Maaf, bukan urusanmu," sahut Prawata ketus.

Dia memang belum bisa menghilangkan

kejengkelannya.

"Oh, ya.... Memang bukan urusanku. Tapi tidak

enak kalau ngobrol dengan wajah murung."

"Apa maumu sebenarnya?" tanya Prawata jeng-

kel.

"Hanya istirahat dan mencari teman ngobrol,"

sahut pemuda itu kalem.

"Aku bukan orang yang menyenangkan untuk

diajak ngobrol. Sebaiknya cari orang lain saja."

"Sama sekali tidak. Aku merasa kau orang yang

tepat untuk diajak berteman."

"Siapa kau ini sebenarnya?" Prawata mulai

memandang curiga.


"Aku memang sedang mencari teman. Kurasa,

tidak pantas kalau tidak memperkenalkan diri."

"Jangan berbelit-belit! Katakan saja, siapa kau,

dan apa maksudmu datang ke sini?"

"Namaku Bayu Hanggara. Aku ke sini

kebetulan lewat. Hampir tiga purnama aku tidak

bertemu dengan seorang pun. Rasanya sunyi, tidak

ada yang bisa diajak bicara," kata pemuda itu

memperkenalkan diri. "Dan kebetulan kau orang

kedua yang kujumpai di daerah ini."

"Sebaiknya kau temui saja orang yang pertama."

"Percuma! Dia juga tidak suka bicara banyak.

Malah seperti orang kebingungan. Dia langsung

pergi setelah bertanya padaku. Pertanyaan yang

tidak masuk akal."

Prawata tidak menanggapi. Dimiringkan

tubuhnya sedikit, dan dijulurkan kakinya.

Tangannya dilipat di dada, lalu matanya

dipejamkan.

"Oh, ya. Siapa namamu?" tanya Bayu tidak

peduli terhadap sikap Prawata yang tidak

bersahabat.

"Prawata," jawab Prawata singkat.

Bayu pindah duduknya di samping pemuda itu.

Juga disandarkan punggungnya ke pohon, dan

dijulurkan kakinya ke depan. Sikapnya meniru

sikap Prawata. Pelahan matanya dipejamkan.

"Hm..., dia masih jengkel rupanya. Tapi harus

ku dekati. Kata hatiku tidak pernah meleset..,"

Bayu bicara sendiri di dalam hatinya.


Bayu masih tetap memejamkan matanya.

Sedangkan Prawata sudah membuka matanya.

Sebentar dipandangnya Bayu yang tampak tidur,

kemudian bermaksud bangkit.

"Nyaman sekali di sini. Mau ke mana kau?"

"Eh!" Prawata terkejut. Dipandanginya wajah

Bayu lekat-lekat.

Mata Pendekar Pulau Neraka itu masih

terpejam rapat. Prawata hampir tidak percaya

dengan pendengarannya barusan. Dia tidak jadi

bangkit, tapi malah kembali menyandarkan

punggungnya ke pohon. Pandangannya masih ke

arah wajah pemuda di sampingnya.

"Jangan memandangiku begitu. Nikmati saja

kesejukan udara di sini. Sangat baik untuk

menenangkan pikiran dan mendinginkan hati yang

panas," kata Bayu lagi tanpa membuka mata

sedikit pun.

"Kau..., kau manusia apa...," Prawata jadi terga-

gap, lalu beringsut menjauh.

Bayu membuka kelopak matanya. Bibirnya

menyunggingkan senyum. Kepalanya sedikit

menoleh ke arah Prawata yang tengah

memandanginya seperti melihat hantu.

"Aku manusia, sama sepertimu juga," kata

Bayu kalem.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Prawata masih

agak bergetar suaranya.

"Bayu."

"Aku tidak percaya."


"Kau memang tidak tahu namaku. Apalagi

mendengarnya. Tapi dengan julukanku, mungkin

kau pernah mendengarnya."

Prawata semakin dalam memperhatikan laki-

laki berbaju kulit harimau itu. Sama sekali dia

belum pernah bertemu. Nama Bayu sangat asing di

telinganya.

"Banyak orang mengenalku dengan nama, Pen-

dekar Pulau Neraka," kata Bayu lagi.

"Pendekar Pulau Neraka...?!" Prawata mendesis

setengah terkejut.

Hampir tidak dipercaya kalau orang yang

berada di sampingnya sekarang ini adalah

Pendekar Pulau Neraka. Seorang pendekar digdaya

yang selalu menggemparkan dalam setiap

pemunculannya. Prawata sering mendengar cerita

tentang pendekar ini dari orang-orang yang

kebetulan singgah di desanya, atau saat pergi ke

kota. Orang-orang dari rimba persilatan sering

membicarakan sepak-terjang Pendekar Pulau

Neraka. Bahkan pamannya sendiri sering juga

menyebut-nyebut nama itu. Dan kini orang itu ada

di sampingnya!

"Maaf, dengan sikapku yang kasar padamu

tadi," kata Prawata buru-buru.

"Lupakan saja," sahut Bayu kalem.

"Sungguh, aku tidak tahu kalau kau seorang

pendekar digdaya yang begitu tersohor. Pantas kau

bisa mengetahui apa yang kuperbuat, padahal kau

tadi tidur"


"Aku tadi menggunakan ilmu 'Mata Dewa'. Aku

memang tidak bisa melihat dengan mata terpejam,

tapi hatiku bisa melihat jelas Gerakan sekecil dan

sehalus apa pun dapat terlihat jelas," ungkap

Bayu.

"Hebat...," puji Prawata.

"Ah, itu hanya ilmu biasa saja," Bayu merendah.

"Tapi aku benar-benar kagum padamu. Aku

sering mendengar cerita tentang dirimu. Ya...,

macam-macamlah."

Bayu hanya tersenyum saja. Dia senang karena

Prawata tidak lagi berkata ketus dan kasar. Ini

berarti rencananya bisa dijalankan. Bayu memang

membutuhkan seseorang yang berasal dari Desa

Malapat. Dan dia memilih pemuda ini setelah

beberapa hari mengamatinya, di samping

mempelajari suasana di desa itu.

***

Beberapa kali Prawata mencuri pandang pada

Pendekar Pulau Neraka. Sering didengarnya sepak-

terjang pendekar itu. Tapi setelah bertemu dengan

orangnya langsung, keraguan akan Pendekar

Pulau Neraka menyelimuti dirinya. Sama sekali

tidak terlihat adanya kekejaman pada wajah itu.

Sorot matanya juga terlihat lembut. Walaupun

mengandung ketegasan, namun tidak tersirat

kekejaman. Wajahnya juga tidak keras, bahkan

bisa dikatakan simpatik. Rasanya sukar


dipercaya kalau pemuda tampan dengan sinar

mata lembut itu mampu berbuat kejam dan sadis

terhadap lawan-lawannya.

Hampir semua cerita yang didengar Prawata

tentang Pendekar Pulau Neraka, menyiratkan

kekejaman dan kesadisan yang brutal. Bahkan

dibumbui dengan cerita-cerita yang menyeramkan.

Prawata memang sempat terpengaruh, dan selalu

membayangkan kalau sosok yang bernama

Pendekar Pulau Neraka itu berwajah kasar, seram,

dengan suara berat menggetarkan. Tapi semua

bayangannya sirna begitu bertemu langsung

dengan orangnya. Sama sekali tidak terduga kalau

orang yang dibayangkan selama ini memiliki wajah

tampan dengan senyum manis simpatik. Bahkan

sorot matanya pun lembut, memancarkan

ketegasan diri.

"Kau melamun...?" tegur Bayu.

"Oh!" Prawata tersentak. Buru-buru dialihkan

pandangannya ke arah lain.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Bayu dengan

suara lembut.

"Aku...? Oh, tidak.... Aku tidak memikirkan

apa-apa," sahut Prawata gugup.

"Kau memikirkan keadaan desamu?" tebak

Bayu langsung.

Prawata kembali menatap Pendekar Pulau

Neraka itu. Tatapannya agak tajam dan

menunjukkan rasa keheranan.

"Aku sempat melihat kau bertengkar dengan

pamanmu, juga pertengkaran dengan ayahmu. Dan


aku juga sempat melihat kematian laki-laki tua

pemilik kedai di desamu, dan kematian-kematian

lain yang terjadi. Itu semua yang jadi

pemikiranmu?" Bayu sedikit mendesak.

"Kau tahu?" Prawata semakin heran.

"Ya! Sejak aku bertemu seorang laki-laki di

tengah jalan yang menuju ke desa ini, aku jadi

penasaran dan ingin mengetahuinya. Sikapnya

begitu aneh dan kelihatan buru-buru sekali. Rasa

ingin tahuku semakin bertambah begitu melihat

laki-laki itu menemui seorang yang terluka parah

seperti habis dirampok. Tapi tidak ada yang hilang,

hanya...."

"Batu Mustika Dewi Pelangi," potong Prawata

cepat Langsung bisa ditangkap semua kata-kata

Pendekar Pulau Neraka itu.

"Mungkin. Aku tidak tahu," desah Bayu.

"Benda itu yang menjadi awal malapetaka di

desaku," jelas Prawata.

"Hm...," Bayu mengerutkan keningnya.

"Sedikitnya aku bisa mengetahui keadaan yang

sedang terjadi di Desa Malapat. Aku pun tahu

maksud kata-katamu. Kau pasti bertemu dengan

ayahku, kemudian kau juga melihat Paman Kabit.

Belum bisa kupastikan, apakah sumber

malapetaka itu berasal dari Paman Kabit," kata

Prawata lagi.

"Mengherankan! Kau seorang putra kepala

desa, tapi tidak tahu persis kejadian yang tengah

melanda desamu."


"Ini kenyataan! Mereka selalu merahasiakan

dan menutupi. Aku tidak mengerti, kenapa Ayah

dan Paman bersikap begi begitu tertutup padaku

selama ini," suara Prawata bernada mengeluh.

"Mungkin mereka tidak ingin kau terlibat,"

Bayu

menduga-duga.

"Aku sudah melihat dan mendengarnya sendiri!

Untuk apa harus ditutupi?"

"Itu yang harus kau ketahui."

"Mustahil!"

"Jangan picik, Prawata. Masih banyak sumber

lain yang bisa kau peroleh. Jangan terpaku pada

satu sumber saja. Kau akan menemui jalan buntu

kalau hanya mengejar yang satu dan membutakan

lainnya."

"Kau benar!" sentak Prawata. Semangatnya

seketika bangkit "Aku memang harus mencari dari

sumber lain. Dan aku tahu tempatnya!"

"Oh, ya?"

Prawata langsung bangkit berdiri.

"Mau ke mana?" tanya Bayu juga ikut berdiri.

"Pulang, sudah sore," sahut Prawata.

Setelah menjawab, Prawata segera melangkah

pergi. Tapi baru beberapa langkah berjalan,

pemuda itu berhenti dan berbalik. Bayu masih

berdiri memandanginya.

"Sebaiknya kau ikut. Kau bisa tidur di

kamarku," ajak Prawata.


"Terima kasih! Aku tidak ingin menarik

perhatian orang," tolak Bayu halus.

"Lalu, di mana kau tidur?"

"Di mana saja."

"Kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Prawata.

"Kita bisa bertemu lagi di sini."

"Kapan?"

"Besok."

"Baiklah. Besok aku akan datang ke sini lagi.

Kuharap kau bersedia membantu mengatasi

keadaan di Desa Malapat," pinta Prawata.

"Tentu. Aku pasti membantumu," sahut Bayu

tersenyum.

"Terima kasih, sampai jumpa besok."

Bayu hanya mengangkat tangannya saja.

Prawata segera berbalik dan berlari-lari kecil

meninggalkan tepian sungai itu. Sementara Bayu

masih berdiri memandangi kepergian putra kepala

desa itu. Otaknya segera berputar, mencerna

kembali semua ucapan Prawata kepadanya. Bayu

menggabungkannya dengan kejadian yang

dilihatnya selama berada di sekitar Desa Malapat

ini.

"Kejadiannya sama persis dengan yang tertulis

di dalam buku Eyang Gardika. Aku jadi

penasaran...," gumam Bayu pelan.

Bayu mengingat-ingat kembali baris-baris

kalimat

yang pernah dibaca dari buku-buku gurunya di

Pulau Neraka. Salah satu dari buku yang

dibacanya menceritakan tentang makhluk wanita


siluman yang ingin menguasai dunia. Sayangnya,

Eyang Gardika tidak menjelaskan lebih rinci lagi.

Tapi kejadian yang disaksikan di sini, hampir sama

persis dengan apa yang pernah dibaca dan

dikatakan gurunya.

"Di dalam buku itu ditulis Bukit Menjangan

dan Batu Mustika Dewi Pelangi. Hm.... Prawata

juga mengatakan bahwa batu itu sebagai penyebab

malapetaka. Aku harus mengetahui, apa

sebenarnya yang tengah terjadi di sini. Aku juga

harus membuktikan, apakah cerita Eyang Gardika

benar atau hanya khayalan belaka!" tekad Bayu

dalam hati.

***


4

Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum

menampakkan diri, Prawata memacu cepat kuda

hitamnya keluar dari Desa Malapat, menuju ke

Bukit Menjangan. Tapi baru saja akan melewati

batas desa, dua orang pemuda bersenjata golok

menghadangnya.

"Hooop...!" Prawata menghentikan lari kudanya.

"Ada apa kalian menghadangku?" bentak

Prawata kasar.

"Maaf, Den. Guru melarang siapa saja keluar

dari desa ini," sahut salah seorang pemuda itu.

"Larangan itu tidak berlaku bagiku!" bentak

Prawata sengit.

"Justru Guru lebih menekankan Den Prawata

agar tidak keluar dari desa."

"Persetan dengan guru kalian! Minggir!" bentak

Prawata geram.

"Den...!"

Prawata menggebah kudanya dengan keras.

Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat

kedua kaki depannya. Dan belum lagi kuda itu

melompat, dua orang murid Ki Kampar sudah lebih

dulu melesat ke arah Prawata. Tapi pemuda putra

Ki Pancur itu lebih cepat lagi mengibaskan

tangannya.

Buk! Buk!


Dua pemuda murid Padepokan Malapat itu ter-

bingkai kena sodokan tangan Prawata. Namun

mereka berhasil bangun kembali. Seorang berhasil

menjambret tali kekang kuda, dan seorang lagi

kembali menerjang sambil mencabut goloknya.

"Setan!" geram Prawata, langsung melentingkan

tubuhnya.

Dua kali Prawata berputar di udara, kemudian

dengan manis sekali kakinya menjejak tanah.

Cring! Prawata mencabut pedangnya yang

tergantung di pinggang. Pedang berwarna

keperakan itu melintang di depan dada.

"Maaf, Den. Ini perintah Guru dan Ayahanda

Den Prawata sendiri," kata pemuda yang

memegangi tali kekang kuda hitam itu, mencoba

mengingatkan.

"Kami hanya menjalankan perintah," kata

seorang lagi.

Prawata yang akan menyerang, mengurungkan

niatnya. Kemarahannya berangsur reda. Dia sadar

kalau kedua orang itu tidak mungkin

menyerangnya kalau tidak mendapat perintah dari

Ki Kampar. Prawata semakin tidak mengerti

dengan sikap Paman dan Ayahnya. Pemuda itu

kembali menyarungkan pedangnya di pinggang.

"Apa perintahnya?" tanya Prawata mau tahu.

"Guru memerintahkan kami untuk melarang

siapa saja keluar dari desa ini. Khususnya Den

Prawata sendiri. Kami diperbolehkan menggunakan

kekerasan jika ada yang membangkang," jelas

salah seorang.


Maaf, Den. Guru melarang siapa saja keluar

dari desa ini," jelas salah seorang pemuda bergolok

itu.

Persetan dengan guru kalian! Larangan itu

tidak berlaku bagiku. Minggir!" bentak Prawata

geram sambil menggebah kudanya dengan keras.


"Kau tahu, mengapa Paman Kampar

memerintahkan begitu?" selidik Prawata.

"Kami hanya menjalankan perintah, Den."

"Huh! Kalian dungu! Kalian manusia, bukan

kambing congek yang hanya bisa diperintahi"

dengus Prawata.

Dua orang murid dari Padepokan Malapat itu

saling berpandangan.

"Dengar! Aku pergi bukan untuk melarikan diri,

tapi untuk mengembalikan Desa Malapat seperti

semula! Katakan pada Paman Kampar! Dia akan

menanggung akibatnya kalau masih tetap keras

kepala! Seluruh penduduk desa terancam

nyawanya, termasuk kalian juga!" lantang suara

Prawata.

"Tapi, Den...," dua orang itu mulai diliputi

kebimbangan.

"Aku tidak peduli alasan kalian!"

Setelah berkata demikian, Prawata langsung

melompat ke punggung kudanya. Tapi salah

seorang dengan cepat juga melompat menghadang

sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga

dalam cukup kuat. Prawata sempat terkejut. Buru-

buru dilentingkan tubuhnya ke belakang, dan

kembali mendarat di tanah.

"Maaf, Den. Sebaiknya Den Prawata kembali

saja pulang," kata orang itu. "Kami tidak ingin

dipersalahkan karena melanggar perintah. Kami

rela mati demi menjunjung tinggi perintah guru."


"Phuih! Rupanya kalian tidak bisa diajak

damai!" dengus Prawata sengit.

Kedua orang murid Ki Kampar itu memang

diliputi kebimbangan. Tapi mereka memang tidak

bisa melanggar perintah. Meskipun benak masih

diliputi berbagai macam tanda tanya, tetapi mereka

tetap patuh pada perintah gurunya. Tentu saja hal

ini membuat Prawata jadi gusar. Kembali dicabut

pedangnya.

"Jangan salahkan aku kalau terpaksa

menggunakan kekerasan!" ancam Prawata gusar.

Dua orang murid Padepokan Malapat itu juga

segera mencabut goloknya. Mereka menyadari

kalau tingkat kepandaian Prawata berada di

atasnya. Tapi sebagai murid padepokan yang setia

dan patuh pada perintah, mereka tidak lagi

memandang Prawata sebagai seorang putra kepala

desa yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi.

"Maaf, Den. Kami terpaksa mengambil jalan ke-

ras," kata salah seorang, masih tetap dengan sikap

menghormat.

"Aku kagum pada kesetiaan kalian. Tapi kali

ini, terpaksa kita berhadapan sebagai lawan," kata

Prawata Jujur.

"Hup!"

Salah seorang langsung melompat sambil

mengibaskan goloknya. Prawata menarik kakinya

ke belakang selangkah, kemudian dengan cepat

diangkat pedangnya untuk menangkis tebasan

golok itu.

Trang!


Orang itu tersentak. Ternyata goloknya

langsung terlepas dari pegangan ketika beradu

dengan pedang Prawata. Dan belum lagi sempat

berbuat sesuatu, kaki Prawata sudah melayang

dengan cepat ke arah perut.

"Hugh!" pemuda itu mengeluh pendek.

"Yaaah...!" Prawata berteriak keras.

Satu pukulan keras bertenaga dalam cukup

tinggi menghantam telak ke wajah pemuda itu. Tak

pelak lagi, murid Ki Kampar ini terjungkal ke

belakang. Secepat kilat Prawata melompat ke

punggung kudanya. Tapi belum juga sampai,

seorang lagi segera melompat sambil mengibaskan

goloknya.

"Uts!"

Prawata menarik perutnya ke belakang, maka

golok itu lewat sedikit di depan perutnya. Masih

dalam keadaan di udara, kaki putra kepala desa

itu bergerak cepat ke arah punggung setelah

memutar tubuhnya. Sepakan kakinya itu tepat

menghantam punggung lawannya, sehingga

terjerembab mencium tanah.

"Hup! Ya....'"

Prawata cepat menggebah kudanya begitu

berada di atas punggung kuda hitam itu. Bagaikan

sebuah anak panah lepas dari busurnya, kuda

hitam itu langsung melesat cepat membelah angin.

Dua orang murid Padepokan Malapat yang

ditugaskan menjaga perbatasan desa itu merintih

sambil berusaha bangkit. Mereka hanya bisa diam

memandangi bayangan tubuh Prawata yang


semakin jauh. Sesaat mereka saling berpandangan,

kemudian sama-sama mengangkat bahunya. Dari

mulut dan hidung mereka mengucurkan darah.

"Bagaimana ini?" tanya salah seorang.

"Mau bilang apa lagi? Den Prawata memang

lebih tangguh."

"Sebaiknya kita laporkan saja pada guru."

"Ayo, cepat!"

Kedua pemuda itu bergegas berlari kembali

menuju Desa Malapat. Mereka tidak mempedulikan

tubuh yang nyeri dan muka babak belur. Dengan

sekuat tenaga mereka berlari memasuki Desa

Malapat. Sementara matahari belum juga muncul,

namun cahayanya mulai menyemburat di ufuk

Timur. Udara dingin masih terasa menusuk tulang.

Belum ada seorang pun yang terlihat keluar

rumahnya. Penduduk Desa Malapat masih tertidur

lelap.

***

Prawata melompat turun dari kudanya setelah

sampai di Puncak Bukit Menjangan Saat itu

matahari telah muncul menerangi sekitarnya. Hati

pemuda itu agak tercekat juga menyaksikan

pemandangan yang sangat mengerikan. Puluhan

kepala manusia terpancang pada tonggak kayu,

mengelilingi butiran-butiran batu bercahaya terang

bagai pelangi

Pelahan-lahan Prawata mengayunkan kakinya

melangkah lebih dekat. Bau busuk menyebar


menyengat hidung. Beberapa di antara kepala yang

terpancang itu dapat dikenali, dan sebagian besar

telah rusak. Jantungnya semakin cepat berdetak

saat mengenali beberapa kepala manusia yang

malang itu. Rata-rata mereka adalah para

penduduk Desa Malapat.

"Ki Wanara...," desis Prawata saat matanya

terpaku pada kepala seorang laki-laki tua.

Darah pemuda itu seketika mendidih melihat

kepala Ki Wanara terpancang di antara sekian

banyak kepala manusia. Prawata mengalihkan

perhatiannya ke arah lain. Rasanya tidak sanggup

melihat pemandangan yang begitu mengerikan.

Perutnya mulai terasa mual oleh bau busuk yang

sangat menyengat itu. Prawata menyandarkan

punggungnya pada sebatang pohon besar di

sampingnya.

Prawata memejamkan matanya rapat-rapat. Dia

benar-benar tidak sanggup menyaksikan

pemandangan itu. Pelahan-lahan kelopak matanya

kembali terbuka, saat hidungnya tidak lagi

mencium bau busuk yang menyengat. Dia agak

heran juga, karena tiba-tiba bau busuk itu lenyap

dan berganti dengan aroma yang harum

menggelitik cuping hidungnya.

"Ohhh...!" Prawata terkejut dan kagum ketika

matanya benar-benar terbuka.

Pemuda itu bagaikan berada di alam mimpi.

Kini pemandangan yang dilihatnya bukan lagi

pemandangan mengerikan dengan kepala-kepala

manusia terpancang di tonggak kayu. Yang


sekarang dilihatnya adalah suatu taman indah

dengan bunga-bunga warna-warni bermekaran,

menyebarkan bau harum semerbak. Prawata

memandangi dengan perasaan kagum bercampur

heran. Bermacam-macam pertanyaan berada di be-

naknya.

Di tengah-tengah taman indah itu, berdiri

sebuah bangunan kecil namun indah. Seluruh

bangunan itu bagai terbuat dari batu-batu permata

yang memancarkan cahaya indah kemilau. Prawata

merasa seolah-olah berada di taman milik para

dewa. Begitu indah, dan belum pernah dilihat

selama hidupnya.

"Prawata...."

"Oh!" Prawata tersentak ketika tiba-tiba mende-

ngar suara seseorang yang menyebut namanya.

Begitu halus dan lembut.

Ketika menoleh, pemuda itu semakin terkejut

mendapati seorang wanita bertubuh ramping dan

berwajah cantik bak bidadari. Lekuk-lekuk

tubuhnya begitu jelas membayang indah di balik

gaun tipis merah muda. .Sesaat Prawata terpana

menatapnya. Belum pernah dilihat wanita secantik

ini sebelumnya.

"Siapa kau?" tanya Prawata setelah rasa

terkejutnya agak reda.

“Aku Nini Ratih," sahut wanita cantik

menggiurkan itu.

"Nini Ratih...?!" kembah Prawata tersentak.

Pemuda itu sampai menggelinjang, melompat

mundur mendengar nama itu. Pernah didengarnya



nama itu dari Ki Wanara ketika datang ke

rumahnya malam-malam,

"Kenapa? Kau terkejut mendengar namaku, Bo-

cah Bagus?" lembut nada suara Nini Ratih.

Entah kenapa, Prawata jadi terpaku. Sementara

wanita cantik yang mengaku Nini Ratih itu

melangkah mendekatinya. Setiap ayunan kakinya

begitu gemulai, dan menyebarkan aroma harum

yang merangsang syaraf. Prawata masih diam

teipaku dengan mata tidak berkedip. Dia sendiri

tidak mengerti, kenapa jadi sulit dan tidak bisa

berpikir.

Bau harum yang menyebar dan membelai

lubang hidungnya membuatnya jadi sulit berpikir.

Mendadak saja jantungnya berdetak cepat ketika

Nini Ratih sudah begitu dekat di depannya.

Prawata semakin tidak menentu perasaannya

manakala tangan yang halus lembut dengan jari-

jari lentik itu mulai meraba dadanya.

'Ah..., kau tampan dan gagah sekali," desah

Nini Ratih seraya mendekatkan wajahnya ke wajah

pemuda itu.

Prawata ingin menolak ketika tangan Nini Ratih

mulai melingkar di lehernya, tapi tidak kuasa

melakukannya. Seluruh syarafnya menegang, dan

hanya bisa diam dengan perasaan dan pikiran

tidak menentu. Sementara Nini Ratih semakin

mempererat pelukan nya. Tubuhnya demikian

rapat, sehingga di antara mereka tidak ada jarak

lagi Prawata semakin kalut. Wajah Nini Ratih


demikian dekat sehingga desah napasnya terasa

hangat menyapu kulit wajahnya.

"Tidak kusangka, kau akan datang ke sini, Pra-

wata," kata Nini Ratih lembut setengah mendesah.

"Oh, aku...," suara Prawata tercekat.

"Jangan katakan bahwa kau datang tidak

sengaja, Bocah Bagus. Aku suka kedatanganmu.

Tentunya kau akan senang berada di taman

istanaku yang indah ini," potong Nini Ratih cepat.

Prawata ingin mengatakan sesuatu yang tiba-

tiba terlintas di benaknya. Tapi, sebelum bisa

berkata, Nini Ratih sudah menyumpal bibir

pemuda itu dengan bibirnya. Seketika Prawata

gelagapan bagai tenggelam di kolam yang sangat

dalam. Hampir saja napasnya putus kalau saja

Nini Ratih tidak melepaskan pagutannya. Wanta

cantik itu tersenyum dan melepaskan

rangkulannya pada leher pemuda itu.

Dia menggenggam tangan Prawata, dan

menariknya. Prawata jadi lupa akan dirinya setelah

mendapat pagutan wanita itu. Dituruti saja ke

mana wanita itu menyeretnya. Dia tidak bisa

berpikir banyak ketika tiba di taman nan indah. Di

situ telah tersedia sebuah ranjang besar yang

indah beralaskan kain sutra halus berwarna cerah.

Jalan pikiran Prawata tertutup sudah.

Kesadarannya hilang tanpa diketahui dan

dirasakan. Seperti kerbau dicucuk hidungnya,

dituruti saja ketika Nini. Ratih membawanya ke

atas ranjang. Prawata pun tetap diam saat jari-jari

tangan wanita itu melepaskan kancing bajunya,


hingga lepas sudah pakaian yang melekat di

tubuhnya. Dan Prawata tak kuasa menolak begitu

tubuhnya dibaringkan di atas ranjang.

Satu perasaan asing mendadak timbul di dalam

diri Prawata. Sulit untuk menolak perasaan yang

begitu kuat membelenggunya. Dalam

ketidaksadaran akan dirinya yang sebenarnya,

pemuda itu mulai membalas rangsangan yang

diberikan Nini Ratih. Tidak lagi diam dan menurut,

bahkan menjadi liar dan kasar. Tapi wanita cantik

itu malah tertawa mengikik dan merintih

menggelinjang.

Seluruh syaraf-syaraf Prawata sudah tidak

terkendali lagi. Semuanya terbelenggu dalam irama

nafsu dan gairah yang memuncak. Di dalam taman

indah buatan Nini Ratih, kesadarannya telah

tenggelam, dan berganti dengan luapan gairah

yang menggelegak tak terkendalikan. Napasnya

memburu dan keringat bercucuran deras

membasahi tubuhnya. Sementara Nini Ratih

meregang, menggeliat, dan merintih dalam de-

kapan pemuda itu.

"Oh..., akh!" tiba-tiba Nini Ratih merintih

tertahan.

Pada saat yang sama, Prawata menggumam lirih

dan tubuhnya mengejang hebat. Kepalanya

terdongak, sedangkan matanya terpejam rapat.

Sesaat kemudian, tubuhnya terkulai lemas,

bergulir di samping tubuh Nini Ratih. Wanita

cantik itu menggeliatkan tubuhnya sebentar, lalu


meraih selembar kain dan menutup tubuhnya.

Tatapan matanya berbinar cerah penuh kepuasan.

Sementara Prawata terkulai lemas dengan mata

terpejam. Pelahan-lahan napasnya kembali teratur.

Dadanya bergerak turun naik berirama tetap. Nini

Ratih beringsut merapatkan tubuhnya pada tubuh

pemuda itu, dan meletakkan kepalanya di dada

bidang yang basah oleh keringat.

"Kau hebat sekali, Bocah Bagus," pelan suara

Nini Ratih.

"Hhh...!" Prawata hanya mendesah panjang.

***

Prawata benar-benar telah lupa akan dirinya.

Dia tidak tahu lagi siang dan malam. Keadaan di

dalam taman indah di Puncak Bukit Menjangan ini

selalu terlihat siang. Matahari bersinar cerah

sepanjang waktu. Langit pun tampak cerah tanpa

awan menggantung di sana.

Setiap kali Nini Ratih muncul, Prawata selalu

tidak kuasa menolak keinginan wanita cantik itu.

Gairahnya segera bangkit menggebu-gebu tak

terkendalikan. Dan

kali selesai melayani wanita itu, seluruh tubuhnya

seperti lemas, dan kesadarannya kembali pulih.

Tapi dia tetap tidak mampu bangkit dari

pembaringan. Prawata selalu merenung dan

memikirkan setiap kejadian yang dialaminya di

tempat ini. Dan jika Nini Ratih muncul,

kesadarannya langsung hilang. Prawata benar


benar bagai hidup di dalam dua dunia yang mem-

bingungkan.

Prawata tergolek lemah di atas pembaringan

besar dan indah. Dia mencoba menggerakkan

tubuhnya, tapi seluruh persendiannya terasa lemas

tak bertenaga. Hanya kepalanya saja yang masih

mampu digerakkan. Baru beberapa saat yang lalu

Nini Ratih pergi meninggalkannya. Prawata

memandangi keadaan sekitarnya. Kesadarannya

kembali berangsur pulih, dan mulai mengingat-

ingat semua yang telah dialami selama berada di

tempat asing ini.

"Oh .., di mana aku ini? Kenapa tubuhku terasa

lemas sekali?" lirih suara Prawata bertanya-tanya

sendiri.

Prawata mencoba mengingat-ingat kembali

semua yang telah terjadi terhadap dirinya. Dia

ingat betul sewaktu dalang ke Puncak Bukit

Menjangan, dan melihat pemandangan yang

mengerikan. Kepala-kepala manusia terpancang

pada tonggak kayu yang mengelilingi beberapa

pecahan batu berwarna terang menyilaukan. Dan

tiba-tiba semua yang dilihatnya seketika berubah

seperti sediakala.

"Apa yang telah terjadi pada diriku...?" kembali

Prawata bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Pemuda itu menolehkan kepalanya ke kanan.

Kelopak matanya agak menyipit melihat seorang

laki-laki tua bertubuh kurus dan agak bungkuk,

tengah memandanginya. Di punggungnya terdapat

seikat kayu-kayu kering. Prawata langsung


mengenalinya. Dia adalah penduduk Desa Malapat,

dan pekerjaannya memang mencari kayu bakar

untuk dijual kepada penduduk lainnya.

"Ki Kabul...!" teriak Prawata keras.

Laki-laki tua yang dipanggil Ki Kabul itu tetap

berdiri setengah membungkuk. Pandangannya

tidak lepas ke arah Prawata yang berusaha

bergerak sambil berteriak-teriak memanggil. Tapi

suara pemuda itu langsung tenggelam terbawa

angin. Laki-laki tua itu sama sekali tidak

mendengar, bahkan sepertinya tidak melihat.

"Ki...! Tunggu...! Tolong aku, Ki...!" teriak

Prawata sekuat-kuatnya.

Tapi suaranya tetap tidak terdengar. Ki Kabul

pun membalikkan tubuhnya, lalu melangkah pergi

tergesa-gesa. Prawata berusaha bergerak sekuat

tenaga, sambil tidak henti-hentinya berteriak-teriak

memanggil laki-laki tua itu.

"Ki Kabul! Tunggu...!"

Tetap saja Ki Kabul berjalan tergesa-gesa

semakin jauh. Lemas seluruh tubuh Prawata

setelah tubuh tua

setengah bungkuk itu lenyap dari pandangan.

Prawata memalingkan kepalanya kembali. Sinar

matanya sayu, menyiratkan keputusasaan. Dia

sadar kalau tengah berada dalam satu lingkungan

gaib yang sukar ditembus manusia biasa.

"Kenapa aku jadi begini...! Oh, Dewata Yang

Agung...," rintih Prawata lirih.

***

5

Di lereng Bukit Menjangan, atau tepatnya di

tepi sungai yang mengalir deras, Bayu berdiri tegak

memandang jauh ke seberang sungai. Sudah tiga

hari ini dia menunggu kedatangan Prawata, tapi

pemuda itu tidak juga muncul. Bayu mulai gelisah

dan menduga-duga. Ingin dimasukinya Desa

Malapat, tapi niatnya selalu diurungkan.

Bayu menolehkan kepalanya ketika mendengar

suara gemerisik semak belukar. Pemuda berbaju

kulit harimau itu berbalik saat muncul seorang

laki-laki tua kurus bertubuh agak bungkuk dari

dalam semak belukar. Laki-laki tua yang ternyata

Ki Kabul itu terkejut melihat seorang pemuda yang

tidak dikenal berdiri tidak jauh di depannya.

Langsung dihentikan langkahnya.

"Oh..., biarkan aku lewat. Aku hanya membawa

kayu bakar, dan tidak punya apa-apa untuk kau

ambil," kata Ki Kabul bergetar suaranya.

"He...!" Bayu tersentak kaget.

Pendekar Pulau Neraka itu memandangi laki-

laki tua yang tampak ketakutan. Sama sekali tidak

dimengerti akan sikap laki-laki tua itu.

"Pak Tua, aku bukan perampok. Aku tidak

akan menyakitimu," kata Bayu mencoba lembut.

"Kalau begitu, biarkan aku lewat"

"Tunggu dulu, Pak Tua," cegah Bayu seraya

melompat ke hadapan laki-laki tua itu.

Ki Kabul mengurungkan langkahnya. Tubuhnya

masih gemetar dan seluruh wajahnya pucat pasi.


Sebentar dipandangi wajah pemuda di depannya,

sebentar kemudian kepalanya tertunduk.

"Wajahmu pucat sekali. Apa yang kau

takutkan?" tanya Bayu lembut

"Tidak! Aku harus pulang. Maaf...!" kata Ki

Kabul bergegas melangkah.

"Tunggu dulu, Pak Tua."

Bayu kembali menghadang. Ki Kabul kembali

berhenti melangkah. Bayu makin penasaran

dengan sikap laki-laki tua yang kelihatan

ketakutan itu.

"Pak Tua, aku ingin bertanya sesuatu padamu.

Boleh?" tetap lembut suara Bayu.

"Cepatlah! Apa yang ingin kau tanyakan."

"Sudah tiga hari ini aku menunggu teman di

sini. Apa kau melihat temanku itu, Pak Tua?"

tanya Bayu.

"Aku tidak kenal temanmu."

"Dia anak Kepala Desa Malapat. Namanya

Prawata."

Ki Kabul langsung bergetar tubuhnya. Paras

wajahnya semakin pucat pasi. Bola matanya

berputar mengedar berkeliling, seolah-olah takut

ada orang lain di sekitarnya. Bayu

memperhatikannya dengan kening berkerut dalam.

Rasa ingin tahunya semakin memuncak. Dia yakin

kalau laki-laki tua ini mengetahui di mana Prawata

sekarang.

"Kau tahu di mana Prawata, Pak Tua?" tanya

Bayu lagi.


"Aku.... Aku...," Ki Kabul jadi tergagap.

"Kau kelihatannya takut sekali. Ada apa?"

desak Bayu. "Kau tahu di mana Prawata?"

"Maaf, Anak Muda. Aku..., aku tidak tahu."

"Hhh...! Sayang sekali. Padahal dia sudah janji

akan menemuiku di sini tiga hari yang lalu," desah

Bayu pelan.

Ki Kabul memandangi wajah pemuda di

depannya.

"Ada apa kau menanyakan Den Prawata?" tanya

Ki Kabul. Suaranya masih bergetar.

"Penting sekali. Juga untuk kepentingan desa

ini," sahut Bayu.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Kabul agak

kaget juga.

"Namaku Bayu," Bayu memperkenalkan diri.

"Sudah tiga hari ini, Den Prawata meninggalkan

Desa Malapat. Sampai sekarang belum kembali.

Tidak ada yang tahu, ke mana perginya. Tapi...," Ki

Kabul tidak melanjutkan. Ditatapnya Bayu dalam-

dalam. Sepertinya ingin memastikan kalau pemuda

itu bukan orang jahat yang ingin mencelakakan

Prawata.

"Kenapa, Pak Tua?" desak Bayu.

"Tidak apa-apa. Prawata tidak ada lagi di Desa

Malapat," sahut Ki Kabul, berusaha

menyembunyikan sesuatu.

Bayu terdiam membisu. Dia merenung

memikirkan kepergian Prawata yang tiba-tiba.

Padahal anak itu sudah berjanji akan menemuinya


lagi di tempat ini. Pendekar Pulau Neraka itu tidak

lagi mencegah Ki Kabul pergi.

Ki Kabul bergegas melangkah cepat dan

terburu-buru meninggalkan Lereng Bukit

Menjangan ini. Sementara Bayu masih berdiri

tegak memandangi punggung laki-laki tua itu yang

sarat dengan kayu bakar.

"Mustahil Prawata pergi begitu saja. Hm..., pasti

ada sesuatu yang terjadi padanya," gumam Bayu

pelan.

Mendapat pikiran demikian, Bayu langsung

melompat cepat menuju Desa Malapat.

Gerakannya begitu ringan dan cepat bagai kilat.

Dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah

lenyap tertelan lebatnya hutan di sekitar Lereng

Bukit Menjangan ini.

***

Bayu memandangi suasana di Desa Malapat.

Keadaannya sangat sepi, seperti ditinggalkan

penghuninya. Di beberapa tempat, terlihat orang-

orang muda dengan golok terselip di pinggang

seperti tengah berjaga-jaga. Bahkan ada pula yang

membawa tombak panjang. Bayu jadi bertanya-

tanya dalam hati. Suasana Desa Malapat sekarang

ini seperti tengah bersiap-siap menghadapi

serbuan dari luar.

Perhatian Pendekar Pulau Neraka itu tertumpah

pada dua pemuda yang menjaga perbatasan Bukit

Menjangan. Wajah dua pemuda itu terlihat agak


memar. Mereka tengah bercakap-cakap. Bayu

melesat mendekati. Gerakannya sangat ringan dan

tidak menimbulkan suara sedikit pun. Pendekar

Pulau Neraka itu tahu-tahu sudah berada di balik

sebatang pohon besar, tidak jauh dari kedua

pemuda yang ternyata murid Ki Kampar.

"Aku yakin, Den Prawata sudah jadi korban

Nini Ratih," kata salah seorang murid Ki Kampar

itu.

"Aku jadi heran, mengapa kepala desa tidak

mencarinya, ya?" tanya yang seorang lagi.

"Tapi Ki Pancur kelihatannya sedih. Sudah tiga

hari ini mengurung diri terus di dalam kamar."

"Sedih sih boleh saja. Tapi Den Prawata kan

anak satu-satunya. Malah sudah disiapkan untuk

menggantikan kedudukannya jadi kepala desa.

Seharusnya kan dicari. Toh kita semua tahu kalau

Den Prawata ke Puncak Bukit Menjangan."

"Huh! Kalau aku sih, berpikir dulu seribu kali!

Datang ke sana sama saja mengantarkan nyawa.

Kudengar, di Puncak Bukit Menjangan dijadikan

tempat persembunyian Nini Ratih. Apalagi di sana

banyak kepala manusia terpancang di tonggak

kayu."

"Kau dengar dari mana?"

"Banyak yang sudah melihatnya. Kebanyakan

pemburu dari desa ini juga. Tapi anehnya, ya...

Orang yang telah melihat, besoknya pasti mati!

Kepalanya pun hilang."

Kedua orang itu terdiam beberapa saat. Mereka

seperti dicekam rasa takut Sementara itu Bayu


yang mendengarkan dari balik pohon, hanya diam

saja. Tapi kini jelas, kalau Prawata pergi ke Puncak

Bukit Menjangan.

"Aku pikir-pikir, kata-kata Den Prawata benar

juga. Kita seperti orang dungu saja. Sebenarnya

apa sih yang kita jaga? Tidak ada seorang pun dari

kita yang jadi korban Nini Ratih. Dia selalu

mencari korban dari para penduduk yang rata-rata

pernah ke Puncak Bukit Menjangan," kata salah

seorang lagi.

"Iya juga, ya.... Berhari-hari di sini, tidak ada

musuh satu pun," sambut satunya lagi.

"Uh! Lama-lama jadi bosan juga."

Saat itu, Bayu sudah melesat cepat

meninggalkan tempat itu. Pikirannya langsung

tertuju pada laki-laki tua yang ditemuinya di tepi

sungai. Dia yakin kalau laki-laki tua itu baru dari

Puncak Bukit Menjangan. Arahnya saja sudah bisa

dipastikan, kalau habis dari puncak bukit itu.

Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan cepat

dan ringan. Dikerahkan ilmu meringankan tubuh

yang sudah sampai pada taraf kesempurnaan.

Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya

bayangan berkelebatan. Bayu menyelinap dari satu

rumah ke rumah lainnya. Yang dicarinya adalah

tempat tinggal laki-laki tua yang ditemuinya di tepi

sungai. Pembicaraan dua orang pemuda itu seperti

memberinya peringatan.

"Hm...," Bayu bergumam dalam hati, begitu

sampai pada sebuah rumah bilik yang kecil dan

kumuh.



Dari celah-celah yang terdapat di dinding,

Pendekar Pulau Neraka mengamati bagian dalam

rumah itu. Bibirnya tersenyum begitu melihat laki-

laki tua yang ditemuinya di tepi sungai, tengah

duduk sendirian di dalam rumah ini. Bayu

bergegas melangkah mendekati pintu belakang,

kemudian mengetuk pintu itu hati-hati.

"Siapa...?" terdengar suara tua dari dalam.

"Aku, Pak Tua," sahut Bayu agak berbisik.

Pintu belakang rumah itu terbuka. Ki Kabul

agak terkejut melihat pemuda yang ditemuinya di

tepi sungai telah berdiri di depan pintu belakang

rumahnya.

"Boleh aku masuk?" lembut dan ramah suara

Bayu Hanggara.

Ki Kabul tidak menjawab, tapi dibukanya pintu

lebar-lebar. Bayu melangkah masuk, dan menutup

pintu itu. Ki Kabul memandanginya dengan benak

diliputi segudang tanda tanya. Sejenak Bayu

merayapi keadaan sekitarnya. Tidak ada yang

didapatkan. Semua perabotan rumah ini sangat

sederhana sekali. Sementara Ki Kabul telah duduk

di balai-balai bambu beralaskan tikar daun

pandan. Bayu tetap berdiri dan baru duduk di

kursi kayu setelah Ki Kabul mempersilakannya.

"Aku tidak melihat anak dan istrimu, Pak Tua,'^

kata Bayu.

"Aku memang hidup sendiri di sini. Anak istriku

ada di kota," jawab Ki Kabul.

"O...."


"Apa keperluanmu hingga datang ke sini?"

tanya Ki Kabul.

"Aku tidak tahu, kenapa harus datang ke sini.

Hanya saja aku merasa kau dalam bahaya, Pak

Tua," sahut Bayu.

Ki Kabul menatap pemuda itu dalam-dalam.

"Kau tadi ke Puncak Bukit Menjangan, Pak

Tua?" tanya Bayu.

"He! Untuk apa kau tanyakan itu?" Ki Kabul

terkejut setengah mati.

"Jujur saja padaku, Pak Tua. Kalau kau

memang tadi ke sana, itu berarti kau dalam

bahaya besar," suara Bayu terdengar serius.

Ki Kabul tidak langsung menyahut, tapi jadi

bertanya-tanya tentang diri pemuda itu. Dia

memang ke Puncak Bukit Menjangan, dan itu tidak

disengaja sama sekali. Hatinya memang sudah

tidak menentu setelah menyadari bahwa kakinya

sudah menginjak daerah terlarang. Mereka yang

tewas dengan kepala hilang, semuanya pernah

menginjakkan kakinya di Puncak Bukit

Menjangan.

"Aku tahu, kau pasti curiga padaku, Pak Tua.

Tapi kedatanganku justru ingin menolongmu.

Nyawamu sekarang ini terancam, dan kau tidak

bisa mengelak dari ancaman itu," jelas Bayu lagi.

"Dari mana kau tahu, aku telah ke Puncak

Bukit Menjangan?" tanya Ki Kabul mencoba

menyelidik.

"Kau datang dari arah sana, Pak Tua," sahut

Bayu.


"Kalaupun aku dari sana, kenapa kau bisa

mengatakan kalau nyawaku terancam?"

"Jangan berpura-pura, Pak Tua. Semua orang

di desa ini tahu, kalau yang datang ke Puncak

Bukit Menjangan pasti mati! Meskipun aku sendiri

belum yakin benar!" Bayu agak kesal juga dengan

sikap laki-laki tua itu.

Ki Kabul kembali diam dengan kepala

tertunduk. Disadari kalau kata-kata pemuda itu

benar. Bayu memang belum yakin benar dengan

cerita-cerita tentang siluman wanita itu. Dan

sampai saat ini dia masih terus mencari

keterangan. Bayu yakin, Ki Kabul bisa memberi

banyak keterangan yang diperlukan. Dia terus

mendesak laki-laki tua itu.

"Aku memang ke sana, tapi aku tidak

sengaja...," kata-Ki Kabul mengakui.

"Apa saja yang kau lihat di sana, Ki?" tanya

Bayu.

"Mengerikan...!" Ki Kabul bergidik.

"Mengerikan...?"

"Banyak kepala manusia terpancang di sana.

Dan...," Ki Kabul tidak melanjutkan.

"Teruskan, Ki," desak Bayu.

"Aku..., aku melihat..."

"Melihat apa?"

"Den Prawata," pelan suara Ki Kabul.


Seketika Bayu tertegun diam. Jadi, yang

didengarnya dari dua orang penjaga perbatasan

memang benar. Prawata datang ke Puncak Bukit

Menjangan. Dan semua keterangan yang telah

diperolehnya juga benar. Puncak Bukit Menjangan

telah dijadikan tempat kekuasaan Nini Ratih,

wanita siluman yang sangat kejam dan selalu

meminta korban. Kepala dari korban-korbannya

dijadikan hiasan istananya!

Hanya satu yang kini menjadi beban pikiran

Pendekar Pulau Neraka. Mengapa Nini Ratih

memilih Desa Malapat, dan Puncak Bukit

Menjangan? Anehnya, kepala desa tidak

melakukan tindakan sama sekali. Bahkan

sepertinya- membiarkan warga desanya menjadi

korban kebuasan wanita siluman itu. Bayu yakin,

ada sesuatu di antara Ki Pancur dengan Nini Ratih,

atau pun dengan Ki Kampar. Sikap kedua orang itu

membuat Bayu jadi curiga. Lebih-lebih dengan

adanya larangan untuk meninggalkan Desa

Malapat ini.

Ki Kabul tidak ragu-ragu lagi, dan percaya

penuh setelah Bayu mengatakan siapa dirinya

sebenarnya. Nama Pendekar Pulau Neraka memang

sudah tidak asing lagi. Semua penduduk Desa

Malapat pun pernah mendengar nama itu. Ki Kabul

sendiri tidak menyangka kalau dapat bertemu dan

didatangi pendekar ternama yang namanya sudah

tersohor itu.

Laki-laki tua itu percaya kalau Pendekar Pulau

Neraka mampu melindunginya dari cengkeraman


Nini Ratih, si Wanita Siluman. Bahkan dia percaya

kalau pendekar itu juga mampu mengalahkan Nini

Ratih. Meskipun baru kali ini bertemu, tapi Ki

Kabul sudah yakin dengan kedigdayaan Pendekar

Pulau Neraka. Cerita-cerita tentang pendekar itu

sering didengarnya walau memang menyiratkan

kekejaman dan kesadisan seorang pendekar yang

tidak pernah memberi ampun setiap lawannya.

Tanpa diminta, Ki Kabul menceritakan tentang

Nini Ratih, wanita siluman yang kini menjadi

momok menakutkan bagi seluruh penduduk Desa

Malapat. Ki Kabul adalah penduduk asli desa itu,

dan tahu persis semua kejadian yang melanda desa

ini. Walaupun usianya telah mencapai lebih dari

delapan puluh tahun, tapi ingatannya masih kuat.

Sementara Bayu mendengarkannya dengan penuh

perhatian.

"Hm..., jadi Nini Ratih pernah muncul

sebelumnya?" Bayu ingin menegaskan.

"Benar! Itu terjadi lebih kurang tiga puluh

tahun yang lalu. Ketika itu Ki Pancur belum

menjabat sebagai kepala desa," sahut Ki Kabul.

Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Dulu Ki Pancur yang berhasil mengalahkan,

dan membuangnya ke angkasa...," lanjut Ki Kabul.

"O...!" Bayu agak kaget juga mendengarnya.

"Ketika telah dibungkus dengan batu Mustika

Dewi Pelangi dan dilemparkan ke angkasa, dia

sempat mengancam akan menghancurkan dan

memusnahkan semua orang, tempat, dan desa Ki


Pancur tinggal. Sekarang dia muncul lagi dan

menepati ancamannya."

"Apakah batu mustika itu seperti ini, Ki?" Bayu

mengeluarkan sebongkah batu yang memancarkan

cahaya kemilau bagai pelangi dari balik sabuknya.

Ki Kabul ternganga melihat batu di tangan

Pendekar Pulau Neraka itu. Sebentar kemudian,

ditatapnya wajah Bayu. Ki Kabul mendorong

tangan Pendekar Pulau Neraka itu dan meminta

agar batu mustika itu segera disimpan.

"Dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Ki

Kabul agak berbisik suaranya.

"Secara kebetulan, aku menemukan sarang

perampok yang membegal pemburu dari desa ini,"

jelas Bayu.

"Maksudmu, si Kabit..?"

"Mungkin. Aku tidak tahu namanya.

Sebelumnya, aku memang sempat melihat Ki

Pancur bersama pemburu itu. Kudengar semua

pembicaraannya. Oleh sebab itu aku jadi tertarik

dan ingin mencari benda ini," kata Bayu menunjuk

batu Mustika Dewi Pelangi yang sudah tersimpan

di balik sabuknya.

"Kau bunuh semua perampok itu?" tanya Ki

Kabul.

“Tidak semua. Mereka menyerahkan batu itu,

asalkan aku tidak membunuh yang lainnya. Ya...,

ada sekitar sepuluh orang yang tewas."

"Nini Ratih memang sedang mencari benda itu.

Dan kudengar, benda itu adalah inti kekuatan dan

kehidupannya," jelas Ki Kabul.


"Aku dengar, di Puncak Bukit Menjangan juga

banyak batu seperti ini."

"Memang benar, tapi hanya pecahannya saja.

Pecahan itu tidak akan berpengaruh pada Nini

Ratih. Kau sangat beruntung, Anak Muda. Dengan

batu itu, kau pasti mampu mengalahkannya."

"Nini Ratih pernah dikalahkan Ki Pancur,

sebaiknya dia saja yang menghadapinya."

"Jangan...!" sentak Ki Kabul cepat.

"Kenapa?" tanya Bayu heran.

"Ki Pancur memang akan menggunakannya

untuk menghadapi wanita siluman itu. Tapi pasti

tidak akan membunuhnya. Yang jelas dia akan

melakukan hal yang sama dengan hanya

mengasingkan Nini Ratih saja. Karena... "

"Karena apa, Ki?" desak Bayu.

"Dulu mereka adalah sepasang kekasih.

Padahal Ki Pancur tahu kalau kekasihnya itu

wanita siluman, tapi tidak ambil peduli."

"O...," kembali Bayu mengangguk-anggukkan

kepalanya.

"Waktu itu guru mereka sangat khawatir,

karena Ki Pancur pasti jadi siluman juga. Dengan

demikian akan sangat berbahaya bagi

kelangsungan hidup manusia. Eyang Jarata

melakukan tindakan yang nekad. Dia menerobos

sarang siluman, dan mencuri salah satu sumber

kekuatan bangsa siluman, yang sekaligus juga

sebagai alat kematiannya. Eyang Jarata memang

berhasil, tapi terluka cukup parah oleh siluman-

siluman itu. Dan batu Mustika Dewi Pelangi yang


diambilnya sempat diserahkan pada Ki Kampar,

adik kandung Ki Pancur. Eyang Jarata berpesan

agar Ki Pancurlah yang harus menghadapi wanita

siluman itu, sebelum menghembuskan napas

terakhir," Ki Kabul mengisahkan.

"Lantas?" Bayu jadi semakin tertarik.

"Ki Pancur terpaksa melakukannya demi bakti

pada gurunya. Tapi pesan gurunya tidak semua

dilaksanakan. Batu itu tidak ditanamkan di kepala

Nini Ratih, tapi malah dibungkus dan

dilemparkannya ke angkasa. Padahal sehabis itu

seharusnya dibuang ke dasar laut!"

Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ki Pancur sebenarnya tahu, kalau

perbuatannya itu akan berakibat fatal. Nini Ratih

tidak akan mati dan pasti kembali lagi ke dunia. Ki

Pancur tidak peduli, karena tetap menganggap

dirinya pasti sudah mati sebelum Nini Ratih

muncul kembali."

"Sikap yang mementingkan diri sendiri!" dengus

Bayu.

"Itu memang sudah wataknya, Anak Muda."

"Pantas, dia juga tidak peduli terhadap

keselamatan anaknya."

"Sejak masih muda, sampai sekarang ini,

wataknya tidak pernah berubah. Selalu

mementingkan diri sendiri. Sekarang ini pun dia

tahu kalau Desa Malapat terancam musnah, tapi

ya, begitulah wataknya. Bahkan melarang keras

penduduk meninggalkan Desa Malapat ini."



"Aku tidak mengerti, apa maksudnya...?"

gumam Bayu.

"Mungkin dia masih mencintai Nini Ratih, dan

masih mengharapkan agar bisa bersatu. Padahal

itu tidak mungkin! Sebab, Ki Kampar pun sudah

menodai Nini Ratih dengan bujuk rayunya. Hal itu

dilakukan Ki Kampar agar kakaknya tidak bisa

bersatu dengan siluman itu. Dikorbankanlah

dirinya. Akibatnya, dia kena kutuk sehingga tidak

mungkin mempunyai keturunan seumur hidup.

Kalaupun menikah, istrinya pasti langsung mati.

Itulah sebabnya Ki Kampar tidak punya istri

sampai sekarang."

Bayu Hanggara diam membisu. Kini semuanya

jelas dan terang. Jiwa kependekarannya segera

tergugah seketika. Untungnya batu sumber

kekuatan dan kematian wanita siluman itu telah

dipegangnya. Dan sudah tentu, nasib seluruh

penduduk Desa Malapat, dan desa-desa lain di

sekitar Bukit Bukit Menjangan berada di

tangannya. Pendekar Pulau Neraka itu sadar kalau

dirinya kembali harus bertualang menentang maut.

Baru saja Bayu akan membuka mulut,

mendadak telinganya mendengar suara desiran

halus. Belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu

berbuat sesuatu, mendadak....

***


6

Brak!

Pintu rumah Ki Kabul hancur berantakan. Ki

Kabul kontan melompat berdiri dan berlindung di

balik punggung Pendekar Pulau Neraka yang

memang sudah berdiri lebih dulu. Di ambang pintu

yang hancur, berdiri seorang wanita cantik

mengenakan baju hijau muda yang ketat.

"Nini Ratih...," desis Ki Kabul bergetar.

"Jangan melakukan tindakan yang

membahayakan dirimu, Ki," kata Bayu

memperingatkan.

"I..., iya," sahut Ki Kabul gugup.

Wanita muda dan cantik itu melangkah masuk

ke dalam. Tatapan matanya tajam menusuk, dan

bibirnya terkatup rapat. Langkahnya terhenti

setelah berjarak sekitar empat atau lima langkah

lagi di depan Bayu. Wanita yang memang Nini

Ratih itu merayapi wajah pemuda tampan di

depannya. Pelahan kemudian, bibirnya mengulas

senyum.

"Siapa kau, Bocah Bagus?" lembut suara Nini

Ratih.

"Bayu," sahut Bayu singkat.

"Kau tampan sekali, Bocah Bagus."

“Terima kasih."

"Hati-hati, Bayu. Jangan terpikat rayuannya,"

bisik Ki Kabul.


Bayu hanya menoleh sedikit dan tersenyum.

Sedangkan Nini Ratih mendelik kepada laki-laki

tua yang berlindung di belakang Pendekar Pulau

Neraka itu. Bisikan Ki Kabul begitu jelas terdengar.

Dan laki-laki tua itu langsung mengkeret melihat

Nini Ratih mendelik padanya.

"Nini Ratih! Apa maksudmu datang ke sini?"

tanya Bayu tegas.

"Ah..., ternyata kau memang seorang pemuda

tampan yang tegas dan jantan. Aku suka laki-laki

sepertimu," kata Nini Ratih tanpa menjawab

pertanyaan Bayu Hanggara.

"Maaf, Nini Ratih. Aku tidak ada waktu untuk

bercengkerama!" dengus Bayu dingin.

"Luar biasa..., aku akan menunggu waktumu,

Bocah Bagus."

Bayu menggeretak menahan geram. Dia benar-

benar muak melihat tingkah wanita ini. Pendekar

Pulau Neraka itu melangkah mundur satu tindak

ketika cuping hidungnya mengendus aroma yang

sangat wangi menusuk. Harumnya sangat luar

biasa, sehingga membuat kepala Pendekar Pulau

Neraka itu terasa agak pening.

"Hati-hati, Bayu. Dia menyebarkan ilmu

pemikat," bisik Ki Kabul memperingatkan.

Bayu memang sudah menduga sejak semula.

Bahkan sudah mengerahkan hawa murni untuk

menolak ilmu pemikat yang disebarkan Nini Ratih.

Pelahan-lahan rasa pening di kepalanya mulai

sirna begitu hawa panas mulai menjalar di seluruh


tubuhnya. Bayu pun segera menutup jalan

darahnya untuk menolak pengaruh segala macam

ilmu yang tidak bisa diduga sebelumnya.

Nini Ratih tersenyum kecut. Dia tahu kalau

ilmu pemikat yang disebarkannya tidak

berpengaruh sama sekali pada Bayu. Memang ilmu

itu hanya ditujukan kepada Pendekar Pulau

Neraka. Jadi meskipun Ki Kabul mencium bau

harum, tapi tidak terpengaruh dengan ilmu itu.

Nini Ratih mencoba dengan cara lain.

Dipandangi terus bola mata Bayu. Pelahan-lahan,

namun pasti, bola mata wanita itu memancarkan

cahaya terang bagai bintang. Bayu sempat terpana

juga, tapi hawa murni yang sudah menutup

seluruh syarafnya cepat menyentak memberi

peringatan. Pendekar Pulau Neraka itu

memejamkan matanya sebentar, dan begitu

membuka matanya....

"Yaaa...!"

Sambil berteriak keras, Bayu mendorong

tangannya ke depan seraya mengerahkan tenaga

dalam dengan kekuatan penuh. Angin

dorongannya sungguh luar biasa. Nini Ratih

tersentak kaget, dan sebelum sempat disadari,

tubuhnya sudah terpental keluar dari rumah Ki

Kabul itu.

"Keparat...!" geram Nini Ratih.

Wanita siluman itu langsung melesat cepat

menerobos masuk ke dalam. Gerakannya cepat

luar biasa, sehingga Bayu tidak sempat lagi

berkelit. Tangan kirinya langsung menyambar


tangan Ki Kabul, dan melemparkannya ke

samping. Dan dengan cepat tangan kanannya

mendorong ke depan ke arah dada Pendekar Pulau

Neraka. Bayu pun berusaha menahan dengan

kedua tangannya.

Ledakan keras pun menggelegar begitu kedua

tangan mereka bertemu. Ledakan itu sempat

membuat rumah tua itu bergetar hebat. Bahkan

beberapa kayu berjatuhan. Tubuh Pendekar Pulau

Neraka tersentak ke belakang, dan melayang deras

membentur dinding papan hingga jebol. Sedangkan

bagi Nini Ratih tidak kalah hebatnya. Tubuhnya

kembali terlontar ke luar dan bergulingan di tanah

beberapa kali.

"Hup!" Bayu segera bangkit berdiri. Sebentar

digerakkan tangannya di depan dada, kemudian

melesat keluar dengan cepat. Namun dia sempat

memberi bisikan halus ke telinga Ki Kabul dengan

menggunakan ilmu 'Bisikan Jarak Jauh'.

"Cepat tinggalkan tempat ini!"

Secepat tubuh Pendekar Pulau Neraka melesat

keluar, secepat itu pula Ki Kabul berlari

meninggalkan rumahnya. Tapi sempat pula dia

berhenti di ambang pintu, dan berlindung di situ

melihat Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri

berhadapan dengan Nini Ratih. Sebentar Ki Kabul

memandang sekitarnya, kemudian berbalik dan

berlari melalui pintu belakang. Ternyata laki-laki

tua itu bukannya meninggalkan tempat ini, tapi

malah berputar dan kembali berlindung di balik

tumpukan kayu bakar. Dari tempat itu, ia bisa


melihat dengan jelas dua orang yang saling berdiri

tegak berhadapan.

***

"Kau hebat, Bocah Bagus, sehingga mampu

menahan seranganku," kata Nini Ratih memuji.

"Aku pun bisa membunuhmu, Nini Ratih!"

sambut Bayu dingin.

"Hik! Kau terlalu besar kepala, Bocah Bagus."

"Kau hanya punya dua pilihan! Mati, atau

enyah dari sini selamanya!" tegas kata-kata Bayu.

"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-

bahak mendengar ancaman Pendekar Pulau

Neraka itu.

Sementara itu, murid-murid Padepokan

Malapat yang tengah meronda, telah mulai

berdatangan setelah mendengar ribut-ribut di

depan rumah Ki Kabul. Tampak Ki Kampar dan Ki

Pancur berlarian menghampiri. Nini Ratih

mendengus kesal melihat orang-orang berdatangan

membawa obor dan senjata.

"Huh! Nyamuk-nyamuk bodoh! Bisanya hanya

mengganggu saja!" dengus Nini Ratih kesal.

Setelah berkata demikian, Nini Ratih cepat

melesat pergi. Bayu berusaha mengejar, tapi

bayangan wanita itu sangat cepat menghilang.

Pendekar Pulau Neraka itu mengurungkan niatnya.

"Urusan kita belum selesai, Bocah Bagus!"

terdengar suara Nini Ratih.

Bayu hanya mendengus sambil

menghembuskan napasnya dengan kencang.



Sementara itu orang-orang Padepokan Malapat

sudah berdatangan. Ki Kabul juga keluar dari

persembunyiannya. Ki Kampar dan Ki Pancur

menghampiri Bayu yang kini sudah didampingi Ki

Kabul.

"Apa yang terjadi?" tanya Ki Pancur.

"Hanya keributan kecil," sahut Bayu.

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Ki Kampar

memandang penuh selidik.

"Namaku Bayu Hanggara, aku seorang

pengembara yang kebetulan lewat di sini," sahut

Bayu.

"Hm, kau sudah membuat kerusuhan di desa

ini, Anak Muda," kata Ki Kampar dingin. "Kau

harus ikut aku."

“Tunggu!" sentak Ki Kabul.

“Tenang, Ki. Ini urusanku," kata Bayu

menenangkan laki-laki tua itu.

“Tidak! Kau datang untuk menyelamatkan

nyawaku. Aku yang bertanggung jawab dengan

kerusuhan ini!" tegas kata-kata Ki Kabul.

"Ki Kabul, bisa kau jelaskan?" pinta Ki Pancur

bijaksana.

"Anak muda ini telah menyelamatkan nyawaku,

Ki. Siang tadi aku tidak sengaja telah memasuki

daerah terlarang di Puncak Bukit Menjangan.

Akibatnya, tadi Nini Ratih datang untuk mencabut

nyawaku. Untung saja pemuda ini telah

menyelamatkanku dari cengkeramannya," Ki Kabul

mencoba menjelaskan singkat.


"Bisa kupercaya kata-katamu, Ki Kabul?" Ki

Kampar tidak percaya begitu saja.

"Aku berani sumpah! Tadi Nini Ratih datang,

dan sempat bertarung dengan pemuda ini!" agak

keras suara Ki Kabul.

"Apa pun alasannya, anak muda ini telah

membuat kerusuhan dan mengganggu

ketentraman. Dia harus menjelaskan dan

mempertanggungjawabkannya," tegas Ki Kampar.

"Ki Kampar! Pemuda ini tidak bersalah! Dan

lagi, keadaan desa ini memang tidak tentram!"

sentak Ki Kabul gusar.

"Ki Kabul!" bentak Ki Kampar mendelik

"Aku memang orang tua yang miskin! Tapi aku

dapat melihat kenyataan yang terjadi di sini, Ki

Kampar. Aku tahu, apa yang sedang terjadi dan

kau tidak bisa menutupi. Aku tahu semuanya, Ki

Kampar!" nada suara Ki Kabul terdengar meninggi.

Wajah Ki Kampar merah seketika. Gerahamnya

bergemeletuk menahan berang. Kalau saja Ki

Pancur tidak menggamit tangannya, mungkin laki-

laki tua ini sudah tersambar pukulannya.

Sementara Bayu yang sejak tadi diam saja, mulai

merasakan suasana yang makin kisruh dan panas.

Pendekar Pulau Neraka itu maju selangkah.

"Hati panas tidak akan dapat menyelesaikan

persoalan. Sebaiknya kita bicarakan dengan kepala

dingin dan menahan emosi," kata Bayu tenang.

"Anak muda, kau seorang pendatang! Kau telah

membuat kerusuhan di sini. Kuminta kau tidak

mengeruhkan suasana!" bentak Ki Kampar.


"Heh! Ternyata desa ini benar-benar sudah jadi

neraka!" dengus Bayu bergumam. Hatinya jadi

gusar dengan sikap Ki Kampar.

"Jaga mulutmu, Anak Muda!" bentak Ki

Kampar berang.

"Kampar...," Ki Pancur mencoba meredakan

amarah adiknya.

"Kau diam saja, Kakang. Bocah setan ini harus

diberi pelajaran, biar tahu adat sopan santun pada

orang tua!" sentak Ki Kampar tidak bisa

mengendalikan amarahnya.

Setelah berkata demikian, Ki Kampar segera

melompat sambil mengirimkan sebuah pukulan

keras ke arah dada. Serangan yang mendadak dan

cepat itu, membuat Bayu sedikit terperangah.

Namun dengan satu gerakan mengegos yang

manis, serangan itu bisa dielakkan. Bahkan tanpa

diduga sama sekali, tangan kirinya menyodok

cepat.

"Hugh!" Ki Kampar mengeluh pendek.

Tubuh laki-laki setengah baya itu agak

terbungkuk ketika sodokan tangan kiri Bayu

mendarat telak di perutnya. Belum lagi bisa

menyadari, tangan Bayu sudah mendorong

pundaknya sehingga Ki Kampar terdorong

beberapa langkah ke belakang. Wajah laki-laki

setengah baya itu kian merah padam. Hatinya

semakin berang dan malu karena berhasil

dicundangi seorang pemuda di depan murid-

muridnya.


"Kampar! Tahan!" seru Ki Pancur berusaha

melerai.

Tapi Ki Kampar sudah tidak bisa lagi menahan

amarahnya. Sambil menggeram dahsyat, kembali

melompat menerjang dengan jurus-jurus

pendeknya yang cepat dan dahsyat. Bayu

berlompatan menghindari serangan-serangan yang

cepat itu. Tubuhnya meliuk liuk bagai seekor belut.

Sama sekali Ki Kampar tidak memberi kesempatan

terhadap Pendekar Pulau Neraka untuk balas

menyerang.

Sementara Ki Pancur tidak bisa lagi mencegah.

Sedangkan Ki Kabul hanya bisa menyaksikan

dengan wajah memerah. Sikap Ki Kampar benar-

benar memuakkan hatinya. Tapi dia tidak bisa

berbuat banyak. Dia tahu siapa Ki Kampar,

seorang ketua padepokan yang memiliki tingkat

kepandaian cukup tinggi.

Pertarungan terus berlangsung sengit. Jurus

demi jurus dilalui dengan cepat. Bahkan Ki

Kampar sudah mencabut senjatanya yang berupa

golok bermata besar. Pada satu sisi terdapat gerigi

yang siap mengancam lawan. Dengan senjata di

tangan, serangan-serangan Ki Kampar semakin

berbahaya. Namun sampai sejauh ini, Bayu masih

bisa menandingi, meskipun sedikit sekali

kesempatan untuk balas menyerang.

"Hiya! Yaaah...!"

"Hup! Hup...!"

Bayu melentingkan tubuhnya ke udara ketika

golok Ki Kampar menebas ke arah kakinya.


Kesempatan ini dimanfaatkan Bayu untuk

mengambil jarak. Namun begitu kakinya mendarat,

Ki Kampar cepat menyerang dengan menyodokkan

ujung goloknya ke arah perut.

Pada saat itu, Bayu tidak punya kesempatan

lagi untuk menghindar. Tidak ada pilihan lain lagi.

Dengan cepat tangan kanannya menyampok golok

laki-laki setengah baya itu.

Trang!

Bunga api berpijar ketika pergelangan tangan

Bayu membentur golok Ki Kampar. Seketika itu

juga Ki Kampar melompat mundur dengan bibir

meringis. Hampir tidak dipercaya kalau seluruh

persendian lengannya bergetar nyeri. Pada saat

yang sama, Bayu juga merasakan panas pada

pergelangan tangannya. Tingkat tenaga dalam

mereka hampir berimbang. Tapi memang, Bayu

tidak mengerahkan sepenuhnya.

"Setan! Kubunuh kau!" geram Ki Kampar begitu

melihat goloknya gompal.

Kemarahan yang meluap-luap, tidak membuat

Ki Kampar bisa berpikir lebih tenang. Kembali

diserangnya lawan dengan ganas. Goloknya

berkelebatan mengurung tubuh Pendekar Pulau

Neraka. Pertarungan kembali berlangsung semakin

sengit. Dan kelihatannya Ki Kampar benar-benar

ingin menghabisi nyawa lawannya. Sedangkan

Bayu terlihat hanya menghindar dan sesekali

memberi serangan balasan. Hanya saja setiap arah

pukulan maupun tendangannya tidak terarah pada

bagian yang mematikan. Hal itu tentu saja sangat


disadari Ki Kampar. Akibatnya dia bertambah

berang. Dia menganggap Bayu hanya main-main

dan ingin mempermalukan dirinya di depan murid-

muridnya.

"Mampus kau! Hiyaaa...!"

***

"Uts!"

Bayu merundukkan kepalanya sedikit ketika

golok Ki Kampar menebas ke arah kepalanya.

Tebasannya begitu cepat dan tiba-tiba, disertai

pengerahan tenaga dalam penuh. Bayu merasakan

angin tebasan itu demikian dahsyat, ketika lewat di

atas kepalanya. Dengan cepat, Bayu menarik

kakinya ke belakang. Dengan tubuh setengah

membungkuk miring, dikibaskan tangan kanannya

ke arah golok Ki Kampar yang sudah berada di

udara kembali.

Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari

pergdangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.

Maka Cakra Maut pun melesat cepat bagai kilat

Begitu cepatnya, sehingga Ki Kampar tidak sempat

menarik kembali goloknya.

Trang!

"Akh!" Ki Kampar memekik tertahan.

Laki-laki tua itu tidak bisa lagi

mempertahankan goloknya yang kini terpental

cukup jauh. Saat itu juga Ki Kampar menarik dan

memegangi tangannya dengan bibir meringis. Jari


jari tangannya terasa kaku, dan tulang-tulangnya

nyeri.

"Hap!" Bayu mengangkat tangannya ke atas

kepala. Cakra Maut pun menempel kembali di

pergelangan tangan. Pendekar Pulau Neraka itu

berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.

Sementara Ki Kampar mengurut-urut tangan

kanannya sendiri. Bibirnya masih meringis

menahan nyeri pada persendian tulang tangan

kanannya. Akibat benturan keras dua senjata tadi,

tangan kanan Ki Kampar seperti lumpuh, dan tidak

bisa digerakkan lagi.

"Bagaimana Ki Kampar, akan dilanjutkan lagi

pertarungan ini?" tantang Bayu.

"Kali ini kau boleh bangga, Anak Muda!" dengus

Ki Kampar.

Setelah selesai kata-katanya, Ki Kampar

langsung berbalik. Dia menerima goloknya yang

diberikan muridnya. Tanpa berucap lagi, laki-laki

setengah baya itu melangkah pergi. Sementara Ki

Pancur tampak kebingungan.

"Maafkan kekasaran adikku, Kisanak," kata Ki

Pancur agak terbata-bata.

"Lupakan saja," sahut Bayu tersenyum. Ki

Pancur bergegas menyusul Ki Kampar yang sudah

lebih dahulu pergi. Sedangkan Bayu mengajak Ki

Kabul kembali masuk ke dalam rumahnya.

Sementara murid-murid Padepokan Malapat segera

kembali menjalankan tugasnya masing-masing.

Ki Pancur setengah berlari mengejar adiknya.

Disejajarkan langkahnya di samping Ki Kampar.


Mereka melangkah cepat tanpa bicara sedikit pun.

Tapi tiba-tiba Ki Kampar berhenti melangkah, dan

langsung berbalik. Matanya lurus menatap rumah

Ki Kabul yang sudah jauh ditinggalkan.

"Kau keterlaluan, Kampar!" dengus Ki Pancur

tidak senang dengan sikap kasar adiknya tadi.

Ki Kampar hanya mendengus dan tersenyum

tipis.

"Aku tidak mengerti, kenapa kau jadi brutal dan

kasar begitu? Mereka benar. Aku sendiri sempat

melihat Nini Ratih, sebelum melesat pergi. Dan aku

yakin, murid-muridmu juga sempat melihat wanita

itu!" kata Ki Pancur lagi.

"Memang, aku juga sempat melihatnya," sahut

Ki Kampar.

"Lantas, kenapa kau berlaku sekasar itu tadi,"

tanya Ki Pancur terkejut mendengar kata-kata

adiknya.

"Sengaja."

"Sengaja...?!" Ki Pancur jadi tidak mengerti.

"Ya! Aku memang sengaja memancing kemarah-

annya," tenang sekali jawaban Ki Kampar.

"Kau gila, Kampar!"

"Aku tahu siapa anak muda itu. Dia Pendekar

Pulau Neraka yang sangat tersohor! Aku sengaja

memancing kemarahannya agar bisa menguji

kemampuannya dalam ilmu olah kanuragan. Aku

pun tahu kalau dia tadi hanya setengah-setengah

melayaniku."

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kampar...?" Ki

Pancur makin kebingungan.


"Kakang! Saat ini kita sedang menghadapi

bahaya besar. Tidak mudah untuk melawan Nini

Ratih. Apalagi sampai saat ini kita belum bisa

menemukan batu Mustika Dewi Pelangi. Aku

sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba terlintas satu

rencana di kepalaku begitu melihat Pendekar Pulau

Neraka," Ki Kampar mencoba menjelaskan.

Ki Pancur diam saja, tapi berusaha untuk bisa

mengerti.

"Aku sering mendengar sepak terjang Pendekar

Pulau Neraka. Pada masa ini, tingkat

kepandaiannya belum ada yang menandingi. Dan

saat itulah, kesempatan baik untuk mengujinya.

Sebab, tidak mungkin bertarung tanpa alasan yang

pasti, makanya kucoba untuk memancing

kemarahannya, agar bisa bertarung sekaligus

menguji kemampuannya."

"Lantas, apa pendapatmu?" tanya Ki Pancur

mulai bisa mengerti.

"Dia memang seorang pendekar digdaya yang

sukar dicari tandingannya," sahut Ki Kampar.

"Hm. Lalu, apa rencanamu?"

"Akan kugiringkan dia untuk melawan Nini

Ratih.,"

"Kau gila, Kampar!" sentak Ki Pancur terkejut.

"Hanya itu jalan satu-satunya untuk bisa

terlepas dari cengkeraman Nini Ratih, Kakang."

“Tapi, resikonya terlalu besar, Kampar. Nini

Ratih tidak akan mati tanpa batu Mustika Dewi



Pelangi! Sedangkan sampai saat ini tidak ada yang

tahu, di mana inti batu mustika itu. Hanya dengan

batu itu dia bisa dikalahkan."

"Aku tahu! Tapi, apa salahnya kalau kita

berusaha? Pendekar Pulau Neraka sangat tangguh.

Aku yakin, dia akan mampu menandingi Nini

Ratih."

"Rencanamu sangat berbahaya, Kampar. Itu

sama saja kau mengorbankan Pendekar Pulau

Neraka."

"Kita lihat saja nanti, Kakang. Sekarang ini,

jangan sampai ada orang tahu tentang rencana

ini."

'Terserah kau sajalah! Yang jelas, aku tidak

suka terlibat dengan rencana gilamu itu!" sahut Ki

Pancur.

"Kau memang selalu tidak mau tahu, Kakang!"

dengus Ki Kampar sengit.

"Selama ini kau yang mengatur Desa Malapat.

Menjadi kepala desa pun juga bukan kemauanku!

Kaulah yang mendesak dan mengaturnya.

Segalanya kuserahkan padamu, Kampar. Aku tidak

mau tahu lagi dengan masa depan desa ini. Yang

jelas, kalau rencanamu gagal, akan segera

kutinggalkan desa ini!" kata Ki Pancur.

"Huh! Kau selalu mementingkan dirimu sendiri,

Kakang "

"Keselamatanku lebih penting, Kampar."

"Kau memang selalu mementingkan

keselamatan dirimu sendiri, tapi kau langgar

semua pesan guru. Kalau saja kau tidak


melakukan kesalahan, kejadian ini tidak akan

pernah terulang lagi!"

"Aku tidak tahu! Aku tidak mampu membunuh

Nini Ratih!"

"Huh!" Ki Kampar hanya mendengus saja.

Sementara Ki Pancur sudah kembali melangkah

cepat. Dia memang paling tidak suka jika berdebat

tentang Nini Ratih. Apalagi mengungkit-ungkit

masa lalu. Bagaimanapun juga, dia masih

mencintai wanita itu. Padahal, sudah jelas Nini

Ratih adalah wanita siluman yang sangat kejam.

Cintanya memang tidak akan pernah luntur

sampai kematian datang menjemputnya nanti.

***

Sementara itu, di Puncak Bukit Menjangan,

Prawata masih tetap terbaring tanpa daya di atas

ranjang besar dan indah. Sudah beberapa hari ini

dia menjadi tawanan Nini Ratih tanpa mampu

berbuat apa-apa. Tubuhnya sudah tidak lagi

terlihat tegap. Wajahnya pun pucat tanpa

semangat hidup.

Prawata hanya melirik saja ketika Nini Ratih

datang menghampiri. Wanita cantik itu langsung

naik ke atas pembaringan. Dipandanginya lekat-

lekat wajah Prawata yang sudah tanpa gairah lagi.

Nini Ratih menggerak-gerakkan ujung jarinya ke

beberapa bagian tubuh pemuda itu. Sebentar saja,

Prawata merasakan tubuhnya dapat digerakkan

lagi. Tapi dia segera beringsut menjauh.


Pemuda itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya

terasa lemah. Dia hanya mampu duduk lesu.

Entah sudah berapa hari ini perutnya tidak terisi

makanan. Sedangkan setiap saat harus melayani

keinginan wanita itu. Seluruh daya yang

dimilikinya benar-benar terkuras habis. Sudah

beberapa kali Prawata terpaksa melayani dalam

kesadaran penuh. Nini Ratih tidak lagi

menggunakan pengaruhnya untuk memenuhi

hasratnya terhadap pemuda itu.

"Aku lemas, Nini...," kata Prawata pelan ketika

Nini Ratih memeluk dan menciuminya.

"He! Apa kau bilang?" sentak Nini Ratih seraya

mencampakkan pemuda itu.

Prawata langsung jatuh terjerembab. Tubuhnya

benar-benar lemas tak bertenaga lagi. Untuk

bangkit saja, sudah tidak punya tenaga, apalagi

harus melayani wanita iblis ini? Prawata sudah

pasrah seandainya harus mati sekarang juga.

"Kau benar-benar mengecewakan, Prawata!

dengus Nini Ratih kesal.

Prawata hanya diam saja.

"Kau harus melayaniku, Prawata. Harus...!"

Nini Ratih tidak peduli dengan keadaan

Prawata. Dia menubruk dan memeluknya. Dengan

liar diciumi pemuda itu. Tapi, Prawata benar-benar

tidak berdaya lagi. Menggeliat saja tidak mampu.

Pemuda itu hanya dapat mengerang lirih.

Sedangkan Nini Ratih bagaikan seekor singa

betina lapar yang baru menemukan daging domba.


Tapi mendadak kebuasannya terhenti.

Dipandanginya wajah Prawata yang pucat lesu.

Lalu matanya juga merayap ke seluruh tubuh

pemuda itu. Nini Ratih menggerinjang bangkit.

Kembali dikenakan pakaiannya yang sudah

terlepas.

"Huh! Kau benar-benar tidak ada gunanya lagi,

Bocah!" dengus Nini Ratih kecewa.

"Kenapa tidak kau bunuh saja aku?" tantang

Prawata putus asa.

"Kau memang harus mati!"

Prawata mengeluh lirih.

"Kau harus mati, Bocah! Sudah ada

penggantimu. Lebih tampan, lebih gagah, dan lebih

perkasa! Tidak loyo sepertimu!"

Prawata diam saja. Hatinya terasa perih. Dia

berharap pemuda itu tidak akan bernasib sama

dengan dirinya. Sungguh tersiksa berada dalam

kungkungan wanita ini.

"Saat ini aku memang belum mendapatkannya,

tapi aku pasti akan memilikinya. Dan kau..., kau

tidak berguna lagi, Bocah!"

Setelah berkata begitu, Nini Ratih mengibaskan

tangannya dengan cepat. Prawata langsung

memejamkan matanya. Pemuda itu tidak bersuara

sedikit pun. Hingga lehernya terpenggal, tetap tidak

terdengar suaranya. Darah mengucur deras dari

leher yang buntung. Nini Ratih mendekati dan

membungkuk. Kemudian dihirupnya darah itu

dengan lahap!


Tidak berapa lama, darah di tubuh Prawata

sudah kering terhisap wanita siluman itu. Nini

Ratih tersenyum puas. Wajahnya kelihatan segar

kembali. Sejenak dipandangi kepala Prawata yang

sudah buntung, lalu tawanya meledak terbahak-

bahak.

"Ha ha ha...!"

***


7

Hampir setiap hari penduduk Desa Malapat

menemukan mayat tanpa kepala lagi. Dan kini

mereka tidak saja gempar, tapi benar-benar bagai

terguncang gempa. Mayat Prawata telah ditemukan

tergeletak di tengah-tengah jalan depan rumahnya.

Dan sudah tentu tanpa kepala lagi! Kalau saja

Prawata bukan putra kepala desa, mereka akan

menganggap hal itu adalah kejadian biasa.

Kematian Prawata membuat Ki Pancur

terguncang hebat. Putra satu-satunya itu sangat

dicintainya. Ketika kabar tentang kepergian

Prawata ke Bukit Menjangan sampai di telinganya,

sama sekali tidak dipercayai. Tapi kematian

Prawata, membuatnya seperti gila. Ki Pancur

merasa hidupnya tidak ada gunanya lagi. Semua

harapannya kini sirna.

Ki Pancur bergegas menyiapkan kuda setelah

upacara penguburan Prawata selesai. Tanpa

disadari, semua yang dilakukannya selalu

diperhatikan adiknya. Ki Kampar menahan pundak

kepala desa itu ketika baru saja akan naik ke

punggung kuda. Ki Pancur menoleh dan berbalik.

"Akan ke mana kau?" tanya Ki Kampar.

"Ke Bukit Menjangan," sahut Ki Pancur datar.

"Mau apa ke sana?" Ki Kampar terkejut.

"Perempuan itu harus membayar nyawa

anakku!"


"Gila! Itu sama saja bunuh diri!" sentak Ki

Kampar.

"Hidup pun tidak ada gunanya."

"Pikirkan dulu, Kakang! Nini Ratih bukan

manusia! Kau sulit untuk menandinginya. Kau

tidak lagi memiliki kekuatan untuk

menghadapinya, dan akan mati sia-sia, Kakang," Ki

Kampar berusaha mencegah.

"Jangan menghalangiku, Kampar."

"Sadar, Kakang. Prawata bukan satu-satunya

korban, karena sudah banyak korban sebelumnya.

Jangan makin mengeruhkan suasana yang sudah

keruh ini, Kakang."

"Dengar, Kampar! Prawata itu anakku satu-

satunya, dan aku sangat mencintainya! Aku tidak

rela dia mati dengan cara seperti itu. Aku akan

membalas kematiannya! Harus...!"

"Jangan bodoh, Kakang. Ingat rencana kita

sudah mulai jalan. Jangan membuat kacau semua

yang sudah kita rencanakan," Ki Kampar

mengingatkan.

"Bukan rencana kita, tapi rencanamu!"

"Kakang...."

"Sudahlah, Kampar. Aku tidak suka lagi

mendengar semua nasehatmu. Selama ini aku

memang selalu bersikap mengalah, karena aku

menyayangimu. Itu pun hanya sekedar

menjalankan amanat terakhir mendiang Ibu.

Rasanya sudah cukup aku menurutimu, Kampar.

Aku sudah lelah jadi bonekamu! Biarkan aku


menentukan jalan hidupku sendiri, Kampar. Jalan

menuju kematianku!"

Ki Kampar terdiam. Selama ini dia memang

selalu mencampuri kehidupan kakaknya. Bahkan

semua yang dilakukan kakaknya dia yang

mengatur. Dia tapi justru sama sekali tidak tahu

kalau sikap mengalah kakaknya itu karena amanat

terakhir mendiang ibu.

Ki Kampar tidak bisa lagi mencegah ketika Ki

Pancur naik ke punggung kudanya. Bahkan dia

masih tetap diam walaupun kakaknya itu sudah

menggebah kudanya dengan cepat. Ki Kampar

masih berdiri terpaku memandangi kepergian

kepala desa itu.

"Maafkan aku, Kakang...," desah Ki Kampar

lirih.

***

Kuda berwarna coklat kehitaman berlari cepat

bagaikan terbang saja. Debu mengepul

membumbung tinggi ke angkasa. Kuda itu

meringkik keras setiap kali digebah agar berlari

lebih cepat lagi. Kecepatan larinya tidak berkurang,

meskipun sudah memasuki hutan di Lereng Bukit

Menjangan.

"Hiya...! Hiya...!"

Tiba-tiba kuda coklat kehitaman itu berhenti,

lalu meringkik keras sambil mengangkat kaki

depannya. Kuda itu terus bertingkah laku

demikian. Ki Pancur jadi kewalahan juga. Dia

melompat turun sebelum kuda itu


melemparkannya. Sulit dimengerti, kenapa tiba-

tiba kuda itu tidak bisa dikendalikan. Merasa

bebannya sudah tidak ada, kuda itu berbalik dan

langsung berlari cepat menuruni lereng bukit itu.

"Hey, kembali...!" teriak Ki Pancur.

Namun kuda coklat kehitaman itu sudah jauh

meninggalkannya. Ki Pancur tidak mengejar. Dia

hanya berdiri memandangi sebentar, lalu

membalikkan tubuhnya memandang ke arah

Puncak Bukit Menjangan. Hatinya agak heran juga,

karena kudanya jadi tak terkendali begitu sampai

di pertengahan lereng bukit ini.

"Hm, naluri kuda lebih kuat dari manusia...,"

gumam Ki Pancur pelan.

Sikap kudanya itu membuat Ki Pancur sadar

kalau ada bahaya sedang mengintainya. Sikapnya

langsung waspada. Dipasang telinganya tajam-

tajam. Matanya beredar ke sekeliling. Keadaan

Lereng Bukit Menjangan ini kelihatan sepi. Bahkan

seekor binatang pun tidak terlihat Suaranya pun

tidak terdengar sama sekali.

"Hm...," lagi-lagi Ki Pancur bergumam pelan.

Keadaan di sekitarnya sungguh mengherankan,

tapi membuatnya lebih waspada. Pelahan-Iahan

kakinya terayun melangkah. Bola matanya tidak

pernah berkedip mengamati sekelilingnya. Laki-laki

setengah baya itu terus melangkah semakin jauh

memasuki hutan di Lereng Bukit Menjangan itu.

"Keadaannya sama seperti tiga puluh tahun

yang lalu...," lagi-lagi Ki Pancur bergumam. "Aku

harus cepat sampai!"


Seketika itu juga dia melesat cepat

menggunakan ilmu meringankan tubuh.

Gerakannya sangat ringan, berkelebat dari pohon

yang satu ke pohon lainnya. Begitu cepatnya,

sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja.

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ki

Pancur memang hebat, sehingga dalam waktu

tidak berapa lama saja telah tiba di Puncak Bukit

Menjangan. Laki-laki setengah baya itu tertegun

sesaat di puncak bukit itu. Hatinya sedikit

terkesiap menyaksikan pemandangan di depannya.

Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan.

Kepala-kepala manusia terpancang berbaris

pada tonggak kayu. Di tengah-tengah barisan

kepala itu terlihat pecahan batu yang

memancarkan cahaya kemilau indah bagai pelangi.

Namun cahayanya kelihatan agak redup. Ki Pancur

memandangi batu-batu itu. Dia tahu kalau batu-

batu itu pecahan dari batu Mustika Dewi Pelangi.

Matanya semakin ditajamkam, mencari inti batu

Mustika Dewi Pelangi.

"Hhh...! Inti batu Mustika Dewi Pelangi benar-

benar hilang. Hm..., batu-batu pecahannya itu

mulai meredup cahayanya. Tapi aku tidak yakin

kalau Nini Ratih berkurang kekuatannya," gumam

Ki Pancur lagi.

Laki-laki setengah baya itu kembali

mengedarkan pandangannya. Hatinya kembali

terkesiap saat melihat kepala Prawata terpancang

di antara kepala-kepala lainnya. Tapi Ki Pancur

bertahan untuk tidak gegabah. Meskipun hatinya


menjerit, dia berusaha tabah dan tegar. Dia tahu

kalau daerah di sekitar kepala-kepala yang

terpancang itu sangat berbahaya. Tidak sembarang

orang bisa memasukinya tanpa seijin Nini Ratih.

Kepala-kepala itu merupakan penjaga yang sangat

berbahaya dan dapat membunuh siapa saja yang

coba-coba melewatinya.

Ki Pancur melangkah mundur tiga tindak ketika

kepala-kepala itu mulai bergerak-gerak. Semakin

lama gerakannya semakin terlihat jelas. Kepala itu

bergoyang-goyang, menggeleng ke kanan dan ke

kiri. Semakin lama, tonggak-tonggak kayu yang

memancangnya ikut bergoyang. Kayu-kayu itu

bagaikan sebuah per baja bergerak ke kiri dan ke

kanan mengikuti gerakan kepala yang terpancang

pada ujungnya itu.

"Hugh!" Ki Pancur mengeluh begitu hidungnya

mencium bau busuk yang memualkan.

"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa

mengikik.

"Ha...!" Ki Pancur kembali melompat mundur

beberapa langkah.

Laki-laki setengah baya itu terbeliak saat

melihat seorang wanita cantik tahu-tahu sudah

berdiri di atas pecahan batu bercahaya bagai

pelangi itu. Sementara kepala-kepala yang

terpancang itu terus bergoyang-goyang.

"Akhirnya kau datang juga, Kakang Pancur...,"

lembut suara wanita cantik itu.

"Aku datang untuk membunuhmu, Nini Ratih!"

kata Ki Pancur lantang.


"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-

bahak.

Begitu suaranya hilang dari pendengaran,

mendadak saja tubuhnya melesat cepat bagaikan

kilat. Dalam sekejap mata saja, dia sudah berdiri

tidak jauh di depan Ki Pancur. Hal ini membuat Ki

Pancur terperangah. Jantungnya seperti akan

copot.

Sungguh tidak disadari kalau Nini Ratih bisa

melesat begitu cepat dan sulit diikuti pandangan

matanya.

"Lama kita tidak bertemu, Kakang Pancur.

Rasanya aku sudah rindu padamu," kata Nini

Ratih lembut.

"Simpan saja kerinduanmu, Nini Ratih! Bukan

waktunya lagi kita melepas rindu. Aku datang

untuk membunuhmu!" suara Ki Pancur masih

terdengar ketus.

"O...! Rupanya kau ingin mengulangi peristiwa

tiga puluh tahun lalu...?"

"Lebih dari itu!"

"Sungguh menyesal sekali! Kau datang hanya

mengantarkan nyawa saja, Kakang. Tapi itu lebih

bagus. Artinya, kita bisa lebih cepat bersatu dalam

cinta," kata Nini Ratih.

"Jangan berharap terlalu muluk, Nini! Aku

bukan Pancur yang dulu. Pancur yang kau cintai

dan mencintaimu telah mati!"

"Hm...!" Nini Ratih mengerutkan keningnya.

"Sekarang akulah Pancur yang akan

membunuhmu. Pancur yang menjadi lawanmu!"


Setelah berkata demikian, Ki Pancur cepat

mencabut senjatanya, berupa pedang panjang

berwarna putih kemerah-merahan. Melihat senjata

di tangan laki-laki setengah baya itu, Nini Ratih

hanya tersenyum. Dan Ki Pancur memang sadar

betul kalau bukan tandingan Nini Ratih lagi. Tapi

semuanya sudah dipikirkan masak-masak. Dia

harus membalas kematian anaknya, dengan

pengorbanan nyawanya sendiri!

"Hup! Hiyaaa...!"

Ki pancur berteriak keras sambil melompat

menerjang.

"Uts!"

***

Nini Ratih memiringkan tubuhnya sedikit ke

kiri, menghindari sodokan pedang Ki Pancur. Dan

pada saat yang sama, tangan kanannya mendorong

ke depan. Ki Pancur segera menarik kembali

pedangnya pulang sambil menggeser kakinya ke

kiri. Dan dengan cepat diputar pedangnya

membabat tangan wanita cantik itu.

"Ikh!" Nini Ratih memekik tertahan.

Buru-buru tangannya ditarik kembali, sehingga

tebasan pedang Ki Pancur mengenai angin. Wanita

cantik itu cepat melentingkan tubuh ke atas

sebelum Ki Pancur dapat menarik kembali

pedangnya. Pada saat itu, Nini Ratih melontarkan

satu tendangan keras ke arah kepala.

"Hap! Yaaa...!"


Cepat sekali Ki Pancur mendoyongkan

tubuhnya ke belakang sambil membabatkan

pedangnya ke atas. Tentu saja Nini Ratih jadi

terkesiap. Buru-buru diputar tubuhnya. Segera

tubuhnya itu meluruk ke bawah setelah pedang

laki-laki setengah baya itu lewat.

Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat

Nini Ratih melontarkan pukulan keras ke arah

dada lawannya. Ki Pancur yang tubuhnya masih

dalam keadaan doyong ke belakang, tidak mungkin

lagi berkelit. Dengan telak pukulan Nini Ratih

bersarang di dadanya.

"Akh!" Ki Pancur memekik tertahan.

Tubuh laki-laki setengah baya itu terpental ke

belakang, dan dengan keras membentur pohon.

Namun dia segera melompat dan menyerang ganas

kembali. Meskipun dadanya terasa sesak, Ki

Pancur tidak peduli, dan terus menyerang semakin

dahsyat. Sementara Nini Ratih berkelit dan

berlompatan menghindar sambil balas menyerang.

Jurus demi jurus terlampaui dengan cepat.

Tidak terasa, Ki Pancur sudah menghabiskan

hampir semua jurus yang dimilikinya. Namun

sampai sejauh itu, Nini Ratih masih mampu

bertahan, bahkan terlalu alot untuk dikalahkan. Ki

Pancur mulai ciut hatinya. Apalagi setelah

mengerahkan jurus terakhir, tapi tidak

menghasilkan apa-apa. Pada saat itu, Nini Ratih

sudah mendesaknya dengan pukulan dan

tendangan keras yang dahsyat.


Ki Pancur hanya bisa berkelit dan berlompatan

menghindar. Sesekali masih bisa dikibaskan

pedangnya. Tapi itu pun hanya untuk mengambil

napas saja. Tidak terhitung lagi, berapa pukulan

dan tendangan telah bersarang di tubuh kepala

desa itu. Namun kelihatannya dia masih berusaha

bertahan sekuat tenaga.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Nini Ratih berteriak keras.

Seketika itu juga tubuhnya melompat tinggi ke

udara, lalu dengan cepat meluruk ke bawah

dengan jari-jari tangan mengembang kaku. Ki

Pancur terkesiap sesaat Namun sebelum bisa

berbuat sesuatu, jari-jari tangan Nini Ratih sudah

mencengkeram kepalanya.

"Aaa....!" Ki Pancur menjerit keras.

Kepalanya terasa panas luar biasa, disusul oleh

suara tulang-tulang pecah yang bergemeletak. Nini

Ratih berada tepat di atas kepala Ki Pancur.

Tangannya mencengkeram kuat kepala laki-laki

setengah baya itu. Darah mulai merembes

membanjiri tubuh laki-laki malang itu.

"Yahhh...!"

Sambil berteriak keras, Nini Ratih memutar

tubuhnya, sedangkan kakinya terayun mendupak

keras punggung Ki Pancur.

"Aaa....!" kembali Ki Pancur menjerit keras

menyayat.

Jeritannya pun lenyap bersama dengan

lehernya yang putus. Tubuh kepala desa itu

ambruk ke tanah dan menggelepar-gelepar.


Sedangkan kepalanya berada di dalam

cengkeraman tangan Nini Ratih.

Hanya sebentar tubuh Ki Pancur menggelepar,

kemudian diam tidak bergerak lagi. Darah terus

mengucur deras dari lehernya yang buntung.

Sesaat Nini Ratih tertawa terbahak-bahak

memandangi tubuh tanpa kepala itu.

Tak ada yang menyaksikan kejadian itu. Seperti

biasanya, Nini Ratih selalu menghirup darah

korbannya, dan memancangkan kepalanya pada

tonggak kayu. Kemudian dilemparkan tubuh

korbannya ke arah Desa Malapat. Begitu pula yang

dilakukannya terhadap Ki Pancur. Wanita cantik

haus darah itu kembali tertawa terbahak-bahak

setelah darah laki-laki setengah baya itu berpindah

ke dalam tubuhnya.

"Hup!"

Hanya dengan satu tendangan saja, tubuh Ki

Pancur yang sudah tidak berkepala itu melayang

tinggi ke angkasa. Nini Ratih memandanginya

sambil tertawa mengikik. Tangan kirinya masih

mencengkeram kepala Ki Pancur. Kemudian wanita

itu berbalik dan memancangkan kepala laki-laki

setengah baya itu pada sebuah tonggak kayu di

samping kepala Prawata.

"Hm...," Nini Ratih bergumam pelan.

Sebentar dipandangi kepala korbannya yang baru,

kemudian kakinya terayun pelan. Namun baru

beberapa langkah, dia berhenti dan berbalik

memandangi kepala yang terpancang hampir

memenuhi puncak bukit ini. Bibirnya


menyunggingkan senyum, dan kembali melangkah

menuruni Lereng Bukit Menjangan itu.

***


8

Saat itu di Kaki Bukit Menjangan, Pendekar

Pulau Neraka duduk-duduk bersama Ki Kabul

sambil membicarakan keadaan Desa Malapat yang

semakin tidak menentu. Bukan hanya kekejaman

Nini Ratih. Tapi juga, perlakuan Ki Kampar

membuat Pendekar Pulau Neraka jadi tidak

mengerti. Sikapnya seolah-olah berpihak pada Nini

Ratih.

Saat itu matahari belum lagi naik tinggi.

Sinarnya yang lembut hangat menyemburat dari

balik awan. Bayu bangkit dari duduknya. Sebentar

dia menggeliat-geliat, mencoba menghilangkan rasa

pegal dan kejenuhan. Sejak semalam dia duduk di

sini bersama Ki Kabul, laki-laki tua yang telah

diselamatkan nyawanya dari cengkeraman maut

Nini Ratih. Sebentar pandangan Bayu terarah ke

Puncak Bukit Menjangan, kemudian beralih pada

Ki Kabul yang masih duduk bersandar pada pohon

tumbang.

"Ke mana tujuanmu sekarang, Ki?" tanya Bayu.

"Entahlah," desah Ki Kabul pelan. "Sekarang ini

aku tidak mungkin kembali ke rumah. Nini Ratih

pasti mengincarku terus."

"Bukankah anak dan istrimu di kota?"

"Sudah lama aku tidak pernah berkunjung

sana."

"Untuk sementara, sebaiknya kau pergi saja

sana, Ki."


"Justru itu yang kuhindari."

"Kenapa?"

"Nini Ratih pasti tahu, dan ini dapat

mencelakakan keluargaku. Perempuan siluman itu

pasti akan membantai seluruh keluargaku."

Bayu jadi terdiam. Tidak mungkin mengawasi

laki-laki tua ini terus. Sedangkan dia harus ke

Puncak Bukit Menjangan untuk menumpas

perempuan siluman itu. Seluruh penduduk Desa

Malapat jelas akan musnah jika perempuan

siluman itu masih hidup dan bebas berkeliaran.

Bayu menarik napas panjang Kepalanya

berpaling ketika telinganya mendengar derap

langkah kaki kuda dari arah kaki bukit. Tampak

debu mengepul di udara, menyembul ke luar dari

lebatnya pepohonan. Pendekar Pulau Neraka itu

melesat ke atas, dan hinggap pada dahan pohon

yang tinggi. Matanya langsung diarahkan pada

suara kaki kuda itu.

"Hm...," gumam Bayu pelan.

Dalam kepulan debu, terlihat beberapa orang

berkuda mendaki Bukit Menjangan ini. Tampak

paling depan, Ki Kampar memacu cepat kudanya.

Sekitar dua puluh orang mengikutinya dari

belakang. Bayu bergegas melompat turun, dan

mendarat ringan di depan Ki Kabul yang sudah

berdiri memandanginya.

"Ada apa?" tanya Ki Kabul

"Ki Kampar dan orang-orangnya tengah menuju

ke sini," sahut Bayu menjelaskan.


"Celaka! Dia pasti akan menangkapmu, Bayu,"

kata Ki Kabul kontan pucat wajahnya.

“Tenang saja, Ki. Biar kutunggu mereka di sini,"

kata Bayu tenang.

“Tapi...."

Belum sempat Ki Kabul melanjutkan kata-

katanya, dari balik pepohonan muncul Ki Kampar

dan dua puluh orang muridnya. Laki-laki setengah

baya itu segera melompat turun dari punggung

kudanya. Dua puluh orang muridnya pun ikut

melompat turun dari kudanya masing-masing.

Ki Kampar melangkah maju beberapa tindak,

dan berhenti di depan Pendekar Pulau Neraka

dengan jarak sekitar lima langkah. Sedangkan

Bayu menanti dengan sikap tenang. Tangannya

melipat di depan dada. Namun tatapan matanya

tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki

setengah baya itu.

"Kelihatannya kau siap menyabung nyawa, Ki

Kampar," kata Bayu kalem. Matanya tetap menatap

tajam tidak berkedip.

"Benar," sahut Ki Kampar tegas.

"Dengan orang-orangmu?"

"Ya! Mereka sudah siap bertempur sampai tetes

darah yang penghabisan."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?"

Ki Kampar tersenyum dan menggeleng-

gelengkan kepalanya. Nada suara Bayu terdengar

menantang. Tapi begitu melihat Ki Kampar yang

tidak lagi garang dan bahkan tersenyum, Bayu jadi

mengerutkan keningnya juga. Benar-benar sukar


dimengerti sikap laki-laki setengah baya itu. Ki

Kampar melangkah menghampiri Ki Kabul yang

berdiri agak ke belakang sedikit di samping Bayu.

Dengan bibir masih menyunggingkan senyum,

tangan kiri Ki Kampar menepuk pundak laki-laki

tua itu seraya menyodorkan tangan kanannya.

Sikap Ketua Padepokan Malapat itu, membuat Ki

Kabul keheranan. Dengan hati masih diliputi

perasaan heran dan tidak mengerti, Ki Kabul

menerima juga sodoran tangan itu. Mereka

berjabatan tangan. Namun raut wajah Ki Kabul

masih diliputi perasaan tidak mengerti. Sedangkan

Ki Kampar menepuk-nepuk pundaknya beberapa

kali dengan bibir tetap tersungging senyuman.

"Maafkan atas kekasaranku kemarin malam,"

kata Ki Kampar bernada menyesal.

"Ada apa ini?" Ki Kabul keheranan setengah

mati.

Ki Kampar tidak menjawab, tapi malah berbalik

dan langsung melompat ke punggung kudanya.

Dua puluh orang muridnya juga segera naik ke

kudanya masing-masing.

"Sebaiknya kau tinggalkan saja desa ini, Anak

Muda. Jangan membuang nyawa sia-sia di sini,"

saran Ki Kampar kepada Bayu.

Setelah berkata demikian, Ki Kampar

menggebah kudanya dengan cepat. Dua puluh

orang muridnya juga segera menggebah kudanya

mengikuti. Sementara Bayu masih memandangi

dengan kepala dipenuhi berbagai macam

pertanyaan akan sikap aneh Ki Kampar itu.


Keningnya semakin berkerut, karena Ki Kampar

dan murid-muridnya terus mendaki Bukit

Menjangan.

"Cepat kembali ke desa, Ki. Beri tahu semua

orang agar cepat mencari perlindungan. Kalau

perlu segera tinggalkan desa itu!" seru Bayu keras.

Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat ke

arah perginya Ki Kampar dan murid-muridnya.

Sedangkan Ki Kabul terpaku tidak mengerti. Tapi

begitu menyadari kalau orang-orang itu menuju ke

Puncak Bukit Menjangan, dia langsung berlari

sekuat tenaga menuju Desa Malapat

***

Bayu berlari cepat menggunakan ilmu

meringankan tubuh. Sengaja dilewati Ki Kampar

dan dua puluh orang muridnya tanpa diketahui

mereka. Pendekar Pulau Neraka itu terus berlari

menuju ke Puncak Bukit Menjangan. Ilmu

meringankan tubuhnya memang telah mencapai

taraf kesempurnaan. Sehingga, dalam waktu tidak

berapa lama, dia sudah tiba di Puncak Bukit

Menjangan.

"Oh..!" Bayu tersentak kaget begitu

menyaksikan pemandangan yang mengiris hati.

Bayu tidak bisa percaya dengan penglihatannya

sendiri. Hampir seluruh Puncak Bukit Menjangan

dipenuhi kepala manusia yang terpancang tonggak

kayu. Bau busuk menyebar memenuhi seluruh

udara di puncak bukit ini. Sebagian besar kepala

itu sudah rusak membusuk, menyebarkan bau

yang tidak sedap dan memualkan perut.

"Benar-benar iblis...!" desis Bayu menggeram.

Pendekar Pulau Neraka itu mengepalkan

tangannya kuat-kuat begitu melihat kepala

Prawata dan ayahnya yang terpancang

berdampingan. Perhatiannya kemudian tertumpah

pada pecahan-pecahan batu yang memancarkan

cahaya bagai pelangi. Tapi cahayanya sudah

kelihatan memudar. Bayu meraba sabuk yang

membelit pinggangnya. Pecahan batu itu hampir

sama dengan batu yang berada di dalam sabuknya.

Hanya saja batu yang ada padanya tidak memudar

cahayanya, bahkan ukurannya juga lebih kecil.

"Eh!" mendadak Pendekar Pulau Neraka

tersentak kaget.

"Ups!"

Secepat kilat Bayu melentingkan tubuhnya ke

udara ketika secercah cahaya melesat cepat ke

arahnya. Cahaya merah Jingga itu meluruk di

bawah tubuhnya. Pendekar Pulau Neraka itu

menjejak manis di tanah. Tapi belum sempat

menarik napas, sebuah bayangan berkelebat cepat

menyambarnya.

"Akh!" Bayu memekik terkejut.

Bayangan itu demikian cepat, sehingga dia

tidak bisa lagi menghindar. Tubuhnya terpental

beberapa tombak ke belakang. Sebatang pohon tua

yang besar hancur berkeping-keping, terhantam

punggungnya. Bayu bergegas melompat bangkit

berdiri. Matanya agak menyipit melihat seorang


wanita cantik sudah berdiri di depannya. Bayu

memang pernah bertemu dengannya di rumah Ki

Kabul. Wanita itu jelas Nini Ratih, yang sering juga

disebut Wanita Siluman.

"Aku tahu, kau memiliki inti batu Mustika Dewi

Pelangi," kata Nini Ratih, dingin nada suaranya.

"Dari mana kau tahu?" tanya Bayu agak heran

juga.

"Aku telah merasakan ketika bentrok pertama

kali denganmu."

Bayu mengerti, kemudian dikeluarkan batu

yang ada di balik sabuknya. Digenggamnya erat-

erat batu itu dengan tangan kanannya. Namun

cahayanya masih terpancar terang dari sela-sela

jari tangan. Nini Ratih terbeliak matanya melihat

batu kehidupan dan kemastiannya berada di

tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Berikan benda itu padaku, Anak Muda. Kau

akan bebas pergi ke mana saja yang kau suka,"

kata Nini Ratih.

"Sayang sekali, aku tidak bisa percaya begitu

saja dengan kata-katamu," dingin suara Bayu.

"Aku berjanji! Kau bebas pergi ke mana saja,

dan aku tidak akan mengganggumu selamanya,"

janji Nini Ratih.

"Ambillah kalau kau bisa."

Merah padam wajah Nini Ratih. Kata-kata yang

tenang dan bernada tantangan itu membuatnya

berang. Tanpa berkata apa-apa lagi, wanita

siluman itu langsung melompat menyerang. Bayu

berkelit melompat ke samping. Namun sungguh di


luar dugaan, tangan Nini Ratih dapat berputar, dan

menyodok iganya.

"Ugh...!" Bayu mengeluh tertahan.

Tubuh Pendekar Pulau Neraka itu terdorong

beberapa langkah ke belakang. Dan pada saat Nini

Ratih kembali menyerang, Bayu sudah siap

menyambut serangan itu. Dengan cepat diangkat

tangan kirinya ke depan seraya mengerahkan ilmu

'Pukulan Tapak Beracun'. Satu benturan keras

terjadi. Tak ampun lagi, kedua orang itu terpental

ke belakang sambil memekik keras.

Namun Bayu mampu menguasai keseimbangan

tubuhnya. Sementara Nini Ratih terjungkal

bergulingan beberapa kali di tanah. Wanita

siluman itu bergegas bangkit dan kembali

melompat menyerang. Pada saat yang sama, Bayu

memiringkan tubuhnya ke kiri setengah

membungkuk. Kakinya pun ditekuk hampir

menyentuh tanah. Dan begitu tubuh Nini Ratih

berada di udara, secepat kilat Bayu mengibaskan

tangan kanannya.

Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari

pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka

itu. Cahaya kilat senjata Cakra Maut, langsung

memapak serangan Nini Ratih. Wanita siluman itu

terperangah sesaat. Dia berusaha berkelit, namun

senjata Cakra Maut mengikuti gerakan tubuhnya,

dan langsung menghajar dada wanita itu.

"Akh!" Nini Ratih memekik tertahan. Tubuh

wanita itu kontan terjungkal keras ke tanah. Pada

saat itu, Bayu melompat cepat sambil berteriak


keras. Sebelum Nini Ratih sempat bangkit berdiri.

Pendekar Pulau Neraka itu menghantamkan

tangannya yang menggenggam inti batu Mustika

Dewi Pelangi, tepat ke ubun-ubun kepala Nini

Ratih.

"Aaa...!" Nini Ratih menjerit melengking tinggi.

Bayu segera melompat mundur. Dari ubun-ubun

wanita itu memancarkan cahaya menyilaukan

bagai pelangi. Nini Ratih menggelepar di tanah

sambil mengerang dan meraung-raung bagai

binatang buas terluka. Bayu kembali melangkah

mundur, dan menyentakkan tangan kanannya.

Cakra Maut yang masih tertanam di dada wanita

itu, melesat keluar dan kembali menempel di

pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.

Hampir tidak dapat dipercaya, tubuh Nini Ratih

berangsur-angsur menyusut Kulitnya yang mulus

mulai berkeriput, wajahnya pun jadi mengendor.

Wanita siluman itu merintih menggeliat-geliat di

tanah. Pada saat yang sama, pecahan-pecahan

batu Mustika Dewi Pelangi bergerak-gerak, lalu

merayap mendekati wanita siluman itu.

"Akh? Tidaaak...!" jerit Nini Ratih melengking.

Bayu sempat menolehkan kepalanya ketika

melihat Ki Kampar berlari-lari menghampiri. Di

belakang laki-laki setengah baya itu menyusul dua

puluh orang muridnya. Mereka berlari sekuat

tenaga mendaki Puncak Bukit Menjangan ini.

Keadaan puncak bukit ini memang tidak bisa

dilalui kuda, sehingga mereka terpaksa

meninggalkan tunggangannya itu.


Sementara itu Nini Ratih terus meraung dan

menjerit-jerit meregang nyawa. Pecahan-pecahan

batu Mustika Dewi Pelangi mulai memancarkan

cahaya terang menyilaukan. Batu-batu itu terus

bergerak mendekati tubuh Nini Ratih yang telah

berubah jadi seorang nenek-nenek tua keriput!

Rambutnya pun memutih semuanya!

***

"Hhh...!" Ki Kampar menarik napas panjang.

Bayu menolehkan kepalanya ke arah laki-laki

setengah baya Ketua Padepokan Malapat itu.

Mereka sama-sama menyaksikan tubuh Nini Ratih

terbungkus cahaya kemilau bagai pelangi.

Tubuhnya pun menyusut kecil terbungkus

pecahan-pecahan batu Mustika Dewi Pelangi.

Hingga pada akhirnya, seluruh tubuh wanita

siluman itu terbungkus bongkahan batu yang

memancarkan cahaya menyilaukan.

“Terima kasih, kau telah menyelamatkan

seluruh warga Desa Malapat," ucap Ki Kampar

sambil menyodorkan tangannya.

Bayu hanya tersenyum saja. Disambutnya

uluran tangan itu dengan hangat.

"Maaf, jika waktu itu aku bertindak kasar

padamu.”

"Ah! Lupakan saja."

'Tapi kau harus tahu, hal itu kulakukan bukan

karena membencimu atau untuk melindungi Nini

Ratih. Itu semata-mata untuk memancingmu agar

mau menghadapi wanita siluman itu."


"Aku tahu," desah Bayu sambil tersenyum

meskipun hatinya agak kaget juga.

"Oh, ya. Aku harus segera membawa jasad Nini

Ratih ke laut, dan menceburkannya di sana. Dia

akan mati jika terkena air laut yang merupakan

pantangan besar bagi bangsa siluman darat."

"Silakan," kata Bayu.

Ki Kampar memerintahkan murid-muridnya

untuk membungkus batu bercahaya kemilau itu

yang berisi jasad Nini Ratih. Dua puluh orang

murid Padepokan Malapat itu segera

melaksanakan perintah tanpa banyak tanya lagi.

Batu itu dibungkus dengan selembar kain tebal

yang kuat, dan diikat kuat-kuat. Setelah siap, batu

itu dinaikkan ke atas punggung kuda dan diikat

dengan tambang.

Bayu memperhatikan semua yang dilakukan

dua puluh orang itu dengan seksama.

Pandangannya kemudian beralih pada kepala-

kepala yang terpancang di tonggak kayu. Ki

Kampar juga mengedarkan pandangan ke

sekeliling. Hatinya merasa trenyuh menyaksikan

begitu banyak korban yang jatuh akibat kekejaman

wanita siluman itu. Ki Kampar menelan ludahnya!

begitu melihat kepala Prawata dan Ki Pancur

terpancang tonggak secara berdampingan.

"Bagaimana dengan mereka?" tanya Bayu.

Tangannya menunjuk ke arah kepala-kepala yang

terpancang.


"Murid-muridku akan mengurusnya! Oh ya,

aku harus cepat-cepat membawa batu itu ke laut

sebelum matahari terbenam," sahut Ki Kampar.

"Hm...," Bayu hanya menggumam tidak jelas.

Entah bagaimana dan kapan mulainya, tahu-

tahu tubuh Pendekar Pulau Neraka itu sudah

melesat cepat bagai kilat. Ki Kampar sendiri

terkejut begitu menyadari kalau pemuda tampan

berbaju kulit harimau, sudah tidak berada lagi di

sampingnya. Laki-laki setengah baya itu segera

memerintahkan murid-muridnya untuk

menguburkan kepala-kepala yang terpancang itu.

Dia sendiri kemudian membawa pergi batu

Mustika Dewi Pelangi yang sudah mengurung Nini

Ratih. Mereka yang ditugaskan Ki Kampar

mengurusi kepala-kepala yang terpancang, diliputi

perasaan getir. Bagaimana tidak? Mereka harus

mengumpulkan kepala-kepala buntung dan

menguburkannya....


                              SELESAI

 



Share:

0 comments:

Posting Komentar