MUSTIKA DEW I PELANGI
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor oleh Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode 010 :
Mustika Dewi Pelangi
128 hal : 12 x 18 cm
1
Gumpalan awan tipis berarak di langit nan biru.
Siang ini angin berhembus agak kencang.
Gumpalan awan yang berarak itu semakin lama
semakin menebal. Dan melayang-layang semakin
rendah menuju sebuah bukit yang menjulang bagai
hendak menggapai langit. Gumpalan awan itu kian
bertambah tebal, lalu berhenti pada saat mencapai
puncak bukit.
Pelahan-lahan gumpalan awan yang kian tebal
itu bergerak turun, dan menyelimuti seluruh
puncak bukit dengan pepohonan lebat yang sedap
dipandang mata. Puncak bukit yang semula
tampak hijau subur, kini tampak putih oleh awan
yang menyelimuti bagai salju. Secercah kilat
menyambar keluar dari gumpalan awan.
Sambaran kilat yang hanya sekejap itu
membuyarkan awan yang menyelimuti puncak
bukit. Pelahan-lahan awan itu menyingkir, tersapu
angin yang berhembus keras sambil
mempermainkan dedaunan. Tampak secercah
cahaya terang kemilau menyemburat saat
gumpalan awan lenyap. Cahaya itu berasal dari
sebuah batu besar berwana bening, dan dihiasi
oleh sapuan warna-warni yang bergerak-gerak
membiaskan cahaya bagai pelangi.
Seorang pencari kayu yang kebetulan berada d
puncak bukit itu, hanya mampu terpaku akan
keajaiban yang terjadi di depan matanya. Matanya
tidak berkedip menatap sebongkah batu yang
berpijar terang bagai pelangi itu. Semakin lama
cahayanya semakin menyilaukan mata. Laki-laki
pencari kayu itu semakin terpana.
Glarrr...!
Satu ledakan keras terdengar, disusul dengan
hancurnya bongkahan batu yang berpijar
menyilaukan mata itu. Kilauan warna-warna masih
menyelimutinya, kemudian pelahan-lahan
memudar. Seorang gadis cantik mengenakan baju
indah bagai bidadari, tiba-tiba saja telah berdiri
tegak di atas pecahan batu berkilau itu.
"Oh...!" laki-laki tua pencari kayu itu tersentak.
Belum sempat disadari apa yang telah
disaksikan barusan, mendadak gadis cantik itu
melompat menerkamnya. Kuku-kuku jari
tangannya yang panjang, langsung mencengkeram
leher laki-lakj tua pencari kayu itu.
"Aaakh...! Toloong...!" jerit laki-laki tua itu
ketakutan.
Wanita cantik yang kelihatan lembut itu,
semakin, kuat mencengkeram lehernya. Darah
mulai merembes ke luar dari kulit leher yang
koyak. Terdengar tulang patah. Tak lama
kemudian, laki-laki tua pencari kayu itu terkulai.
Tubuhnya ambruk ke tanah, tapi kepalanya masih
dicengkeram wanita cantik itu. Kepala laki-laki tua
itu telah terpisah dari leher.
"Hi hi hi...!" wanita itu tertawa mengikik.
Bagaikan seorang musafir yang tersesat dan
kehausan di tengah padang pasir luas, dihirupnya
darah dari leher tanpa kepala itu, sampai pada
tetes-tetes terakhir. Wanita itu bangkit berdiri,
sambil memandangi kepala yang berada dalam
cengkeramannya. Sebentar kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri, lalu kakinya melangkah
mendekati seikat kayu-kayu kering.
Diambilnya sepotong kayu kering, dan ditancap-
kannya ke tanah. Kepala laki-laki tua pencari kayu
itu ditusukkan pada ujung kayu yang menancap di
tanah. Sejenak wanita itu memandangi dengan
bibir tersenyum lebar, bagai memandang sebuah
patung indah mempesonakan.
"Hi hi hi...! Kau menjadi lambang
keperkasaanku, lambang kekuasaanku! Hi hi hi...!
Akan kuhiasai istana ini dengan kepala-kepala
manusia! Kepala-kepala mereka yang telah
menghinaku, mencaciku, dan membuangku dalam
kesengsaraan! Dengar! Dengar hai manusia! Aku
datang untuk menguasai dunia...!"
Tak berapa lama, secercah kilat berkelebat di
angkasa. Wanita cantik itu mendongakkan
kepalanya. Wajahnya langsung berubah kaku,
sedangkan sinar matanya merah membara.
Gerahamnya bergemeletuk.
"Ha ha ha...!" kemudian dia tertawa terbahak
bahak.
Tak ada yang menyaksikan semua kejadian itu.
Satu-satunya orang yang melihat telah tewas
dengan kepala terpancang pada tongkat kayu.
Sedangkan tubuhnya menggeletak di tanah. Ujung
jari wanita cantik itu kemudian menuding tubuh
yang tergolek tanpa kepala. Seberkas cahaya
merah memancar dari jari telunjuknya, dan
melesat ke arah tubuh yang terbujur tanpa kepala.
Tubuh tanpa kepala itu langsung terpental jauh
ke bawah bukit begitu sinar merah menerpanya.
Kembali wanita itu tertawa terbahak-bahak.
Tawanya begitu keras, sehingga menggetarkan
seluruh puncak bukit. Sebentar kemudian
ditatapnya kembali kepala yang terpancang di
tonggak kayu.
"Kau jaga istanaku ini! Hanya kau satu-satunya
prajuritku sekarang. Tapi jangan khawatir,
sebentar lagi kau akan mempunyai teman. Hi hi
hi...!"
Setelah berkata demikian, wanita cantik yang
muncul dari sebongkah batu berpijar, segera
melesat Begitu cepatnya ia melesat sehingga dalam
sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah tidak
terlihat lagi. Puncak bukit itu kembali sunyi seperti
tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya sebuah kepala
terpancang pada tonggak kayu yang menjadi saksi
mati.
***
Desa Malapat tidak berapa jauh dari kaki Bukit
Menjangan. Desa yang tenang dan tenteram.
Letaknya agak terpencil dan jarang didatangi
pendatang atau pengembara. Hampir semua
penduduknya hidup dari hasil berburu di sekitar
hutan Bukit Menjangan. Sedikit yang berladang.
Kalaupun ada, itu hanya dilakukan di sekitar
tepian hutan saja.
Suasana pagi Desa Malapat yang biasanya
tenang dan damai, pecah oleh teriakan melengking
seorang perempuan. Teriakan itu datang dari
sebuah tempat dekat ladang yang ditanami pohon
jagung. Para penduduk desa yang mendengarnya,
berdatangan ke arah teriakan itu. Tampak seorang
perempuan setengah tua menjerit-jerit sambil
menutup mukanya. Tidak jauh di depannya
tergeletak sesosok mayat tanpa kepala. Sebagian
tubuhnya terbenam ke dalam parit.
Ki Pancur, Kepala Desa Malapat, menyeruak di
antara kerumunan warga desanya. Wajahnya
mendadak pucat melihat sosok mayat tanpa kepala
itu. Sebentar dia jongkok memeriksa, kemudian
bangkit lagi. Matanya merayapi penduduk yang
mengerumuninya, kemudian memerintahkan
memindahkan mayat itu. Ki Pancur berdiri dengan
pandangan kosong ke arah Puncak Bukit
Menjangan.
"Ayah...."
Ki Pancur menoleh. Dihirupnya napas dalam-
dalam ketika melihat seorang anak muda berusia
sekitar dua puluh tahun sudah berada di
sampingnya. Sementara para penduduk mulai
meninggalkan tempat itu, dan membawa mayat
tanpa kepala yang baru saja ditemukan
"Mengapa Ayah memandang ke sana?" tanya
pemuda itu.
"Tidak apa-apa, Prawata," sahut Ki Pancur.
"Boleh aku bertanya?" tanya Prawata.
Ki Pancur mengangguk seraya menepuk
pundak anaknya. Kaki mereka mulai melangkah
beriringan mengikuti para penduduk yang kembali
ke desa membawa mayat tanpa kepala itu.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apakah kejadian ini ada hubungannya dengan
cahaya terang di atas bukit itu, Ayah?" tanya
Prawata.
Ki Pancur tidak segera menjawab. Mereka
memang melihat cahaya terang menyilaukan bagai
pelangi, terpancar dari Puncak Bukit Menjangan.
Saat itu dia dan anaknya tengah duduk-duduk di
beranda depan yang menghadap langsung ke Bukit
Menjangan. Ki Pancur tidak tahu, apakah ada
orang lain yang juga melihat sinar itu.
"Semalam seorang pemburu bercerita kalau dia
melihat kepala terpancang di puncak bukit...," kata
Prawata lagi.
"Pemburu?! Siapa namanya?" tanya Ki Pancur
agak terkejut.
"Paman Kabit."
"Jangan percaya omongannya, Prawata.
Manusia seperti dia tidak bisa dipercaya! Suka
membohongi orang dan tukang dongeng!" kata Ki
Pancur.
"Tapi ini lain, Ayah. Paman Kabit kelihatannya
serius. Dia juga melihat sinar itu waktu berburu,
dan bergegas menghampirinya. Tapi yang
ditemukannya di situ hanya sebuah kepala
manusia terpancang di tonggak kayu. Katanya lagi,
dia menemukan butiran-butiran batu bercahaya
bagai permata. Paman Kabit membawanya sebutir
dan diperlihatkan kepada orang-orang. Aku sendiri
melihatnya, Ayah," kata Prawata serius.
"Hhh! Mengapa dia tidak menceritakannya
padaku?"
"Aku sudah menyuruhnya, tapi Paman Kabit
enggan. Katanya Ayah pasti tidak percaya. Kini
Paman Kabit bermaksud ke kota dan akan menjual
batu permata itu. Mungkin sekarang dia sudah
berangkat," kata Prawata lagi.
Ki Pancur langsung menghentikan langkahnya.
Dipandangi anaknya dalam-dalam.
"Siapa lagi yang melihat batu itu?" tanya Ki
Pancur.
"Banyak! Ki Wanara juga ada waktu itu.
Pokoknya, yang semalam ada di kedai Ki Wanara
pasti melihatnya," sahut Prawata.
Ki Pancur tidak berkata lagi. Bergegas dia
melangkah cepat melewati orang-orang di
depannya yang berjalan menuju desa. Prawata
juga bergegas berjalan cepat setengah berlari
mengejar ayahnya. Pemuda itu mengajak beberapa
temannya yang juga masih muda.
"Ada apa sebenarnya, Ayah?" tanya Prawata
setelah langkahnya sejajar dengan langkah Ki
Pancur.
"Cepat kau siapkan kuda! Beritahu pamanmu
agar menyiapkan murid-muridnya!" perintah Ki
Pancur tegas.
"Untuk apa?" tanya Prawata tidak mengerti.
"Laksanakan saja perintahku!" bentak Ki
Pancur.
Prawata tidak bertanya lagi, lalu bergegas
berlari mendahului yang lainnya diikuti empat
orang temannya. Ki Pancur sempat memberi pesan
kepada para penduduk agar cepat-cepat mengurus
mayat itu, dan jangan meninggalkan rumah
sebelum dia kembali. Seluruh penduduk desa itu
bertanya-tanya, tapi Ki Pancur tidak sempat
menjelaskan lagi. Dia segera berlari cepat menuju
rumahnya. Sementara, Prawata sendiri telah lebih
dahulu tiba dan langsung menyiapkan kuda.
***
Ki Pancur memacu cepat kudanya bagai dikejar
setan. Sepanjang jalan yang dilalui, tidak terlihat
satu penduduk pun. Mereka semua sangat patuh
terhadap perintah kepala desanya. Begitu selesai
menguburkan mayat yang ditemukan tanpa kepala
lagi, semuanya langsung masuk ke dalam rumah
masing-masing. Bah kan kedai-kedai pun tutup.
"Hiya! Hiya...!"
Ki Pancur terus memacu kudanya
meninggalkan Desa Malapat Debu mengepul tinggi
ke angkasa, diterjang kaki-kaki kudanya. Jalan
yang dilaluinya semakin menyempit dan penuh
dengan lubang-lubang. Ki Pancur harus berhati-
hati mengendalikan kudanya agar tidak terperosok
ke dalam kubangan. Namun demikian, dia tidak
mengendurkan lari kudanya sedikit pun.
Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu
terus memacu cepat kudanya meskipun telah
memasuki jalan setapak yang sukar dilalui kuda.
Ki Pancur memang tidak melalui jalan utama yang
langsung menuju ke kota, tapi sengaja memotong
jalan agar lebih cepat sampai.
"Hooop...!"
Ki Pancur menghentikan lari kudanya setelah
sampai di jalan besar kembali. Sebentar diamari
keadaan di kiri dan kanan sepanjang jalan itu.
Seorang pun tidak terlihat di jalan ini. Laki-laki tua
berbaju putih ketat dengan ikat kepala warna
kuning gading itu melompat turun dari punggung
kudanya. Dia jongkok di samping kudanya,
memeriksa tanah sekitarnya.
"Hm. Belum ada yang lewat sini," gumam Ki
Pancur pelan.
Ki Pancur kembali naik ke punggung kudanya,
kemudian menggebah kudanya pelahan-lahan
menyusuri jalan yang cukup besar dan berdebu.
Matanya terus memandang keadaan sekeliling
tanpa berkedip. Kuda putih belang coklat itu terus
melangkah pelan-pelan dengan kepala terangguk-
angguk.
Kembali Ki Pancur menghentikan kudanya,
sebab tidak jauh di depan terlihat seorang laki-laki
muda. Rambutnya panjang tergerai, duduk di atas
sebatang pohon tumbang di pinggir jalan. Pemuda
yang memakai baju kulit harimau itu menolehkan
kepalanya. Ki Pancur turun dari punggung
kudanya, lalu melangkah menghampiri sambil
menuntun kudanya.
"Boleh bertanya, Kisanak?" sapa Ki Pancur ra-
mah.
"Oh, silakan," sahut pemuda itu, juga ramah.
"Apa Kisanak melihat ada orang lewat di jalan
ini?" tanya Ki Pancur.
"Rasanya tidak ada yang lewat. Sejak pagi buta
aku duduk di sini," sahut pemuda itu.
"Terima kasih," ucap Ki Pancur.
Kepala Desa Malapat itu kembali naik ke pung-
gung kuda, lalu memacunya cepat. Pemuda
berambut gondrong memakai baju kulit harimau
itu memandangi dengan mata agak menyipit. Lalu,
tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan
kilat menuju arah kepergian Ki Pancur.
Saat itu Ki Pancur terus memacu cepat
kudanya menyusuri jalan yang cukup besar dan
berdebu. Dia tahu betul kalau jalan itu menuju
desanya kembali. Dia berharap pemburu yang
dikatakan oleh Prawata belum melewati jalan ini.
"Hooop...!"
Kembali Ki Pancur menghentikan lari kudanya.
Keningnya agak berkerut melihat kulit kulit
binatang dan sobekan-sobekan kain berserakan di
depannya. Laki-laki tua itu segera melompat turun
dari punggung kudanya. Gerakannya begitu
ringan, pertanda memiliki kepandaian yang cukup
tinggi. Pelahan-lahan kakinya melangkah
menghampiri barang-barang yang berserakan di
tengah jalan itu. Sebentar dia membungkuk
memeriksa, lalu berdiri tegak. Matanya tajam
memandang sekitarnya.
"Tolooong...."
Ki Pancur tersentak mendengar suara rintihan
lirih dari arah samping kanannya. Begitu
kepalanya berpaling, tampak semak belukar di
pinggir jalan bergoyang-goyang. Kepala Desa
Malapat itu langsung melompat ke arah semak-
semak yang bergoyang. Jantungnya serasa akan
copot melihat Kabit terluka parah terbujur di
dalam semak belukar. Bergegas dibantunya laki-
laki berewokan itu berdiri dan dibawanya keluar
dari semak belukar.
"Oh..., Ki...," rintih Kabit lirih.
Ki Pancur membaringkannya di pinggir jalan
yang berumput agak tebal. Kemudian dia
memeriksa luka-luka di tubuh dan wajah laki-laki
pemburu itu. Terdengar tarikan napasnya yang
panjang. Ki Pancur merasa lega karena Kabit
hanya luka-luka luar saja. Hampir seluruh
tubuhnya memar dan banyak goresan yang
mengeluarkan darah.
"Apa yang terjadi, Kabit?" tanya Ki Pancur.
"Mereka..., mereka merampokku, Ki," jawab Ka-
bit agak tersendat.
"Mereka siapa?" tanya Ki Pancur lagi.
"Aku tidak tahu, Ki. Mereka banyak sekali."
"Apa yang dirampok?" tanya Ki Pancur lagi
Kabit tidak segera menjawab. Matanya
merayapi barang-barangnya yang berserakan di
tengah jalan. Dia berusaha bangkit. Ki Pancur
membantunya. Mereka mengumpulkan barang-
barang yang berserakan. Kebanyakan memang
hanya kulit binatang dan perlengkapan berburu,
serta perlengkapan untuk bermalam di alam bebas.
Kabit agak heran juga, karena semua barang-
barangnya tidak ada yang hilang satu pun.
"Ada yang hilang?" tanya Ki Pancur lagi.
'Tidak...," sahut Kabit ragu-ragu.
"Katakan yang benar, Kabit."
"Sungguh, Ki. Mereka menghadang jalanku,
dan langsung menyerangku. Banyak sekali
jumlahnya. Mereka pergi begitu saja dan aku
dilemparkan ke dalam semak-semak itu," kata
Kabit sungguh-sungguh.
Kabit memeriksa kantung yang terikat di
pinggangnya. Wajahnya pucat seketika. Ki Pancur
memperhatikan perubahan wajah laki-laki
berewokan itu.
"Ada apa?"
"Batuitu, Ki. Mereka mengambil batu itu...!"
sahut Kabit
"Batu apa?"
"Batu permata, Ki. Aku menemukannya di
Puncak Bukit Menjangan, kemarin. Batu itu
memancarkan cahaya terang, dan sangat indah.
Aku bermaksud menjualnya ke kota. Aduh!
Celaka...! Mereka pasti mengambil batu
permataku, Ki. Perampok sial! Keparat..!" Kabit
memaki-maki sendiri.
Ki Pancur jadi bingung. Masalahnya, Kabit
hanya kehilangan sebuah batu saja. Tapi begitu
menyesali. Yang membuat Ki Pancur berpikir, batu
itu ditemukan di atas Puncak Bukit Menjangan. Ini
berarti cerita Prawata bisa dipercaya. Ki Pancur
menarik napas panjang, kemudian menghampiri
kudanya.
"Ki...!" Kabit menghampiri.
Ki Pancur menatapnya kosong.
"Bagaimana ini, Ki? Batu itu pasti permata yang
mahal harganya. Akan kusumbangkan hasil batu
itu sebagian untuk desa, kalau bisa kembali lagi,
Ki," rengek Kabit
"Kau akan terus ke kota?" tanya Ki Pancur tidak
menghiraukan rengekan Kabit Kabit tidak
menjawab.
"Kemasi barang-barangmu! Kita kembali saja ke
desa. .Luka-lukamu harus dirawat dulu biar
sembuh," kata Ki Pancur seraya kembali turun dari
punggung kudanya.
Ki Pancur membantu Kabit mengemasi barang-
barangnya, dan menarahnya di punggung
kudanya. Kuda dan kereta yang dibawa Kabit
entah pergi kemana. Mungkin juga dibawa
perampok, atau lari ketakutan.Kedua laki-laki itu
kemudian berjalan menuju kembali ke Desa
Malapat.
Ki Pancur berjalan pelahan-lahan di belakang
Kabit yang menuntun kuda. Laki-laki tua itu terus
berpikir keras tentang peristiwa yang terjadi hari
ini. Peristiwa mengerikan yang berawal dari
munculnya cahaya terang di Puncak Bukit
Menjangan. Mereka terus berjalan tanpa menyadari
sepasang mata tengah, memperhatikan sejak tadi.
***
2
Hampir setiap hari, penduduk Desa Malapat
selalu digegerkan oleh mayat tanpa kepala. Tidak
semua mayat bisa dikenali. Yang jelas, banyak
penduduk yang kehilangan sanak saudaranya.
Kejadian ini membuat Ki Pancur semakin diliputi
kegelisahan. Bahkan hampir setiap malam tidak
bisa tidur tenang. Mimpi-mimpi buruk selalu
menghantuinya.
Siang itu udara di sekitar Desa Malapat terasa
lebih panas dari biasanya. Sebagian besar
penduduk terpaksa bertahan di dalam rumah.
Mereka tidak berani keluar rumah kalau tidak
punya keperluan mendesak. Hanya beberapa orang
laki-laki saja yang masih terlihat berada di luar
rumah. Dan mereka rata-rata membawa senjata
tajam.
Dari arah Selatan terlihat debu mengepul ke
udara, disusul terdengarnya derap kaki kuda
dipacu. Tidak lama kemudian muncul seekor kuda
hitam pekat yang berlari agak kencang memasuki
desa yang tengah dilanda ketakutan itu.
Penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda
yang cantik. Pakaiannya berwarna hijau ketat
dengan ikat kepala juga berwarna hijau.
"Wanita itu memperlambat lari kudanya, dan
berhenti ketika sampai di depan kedai. Kakinya
melompat ringan. Mata yang indah, bulat bening,
dan agak menyipit, mendapati pintu kedai tertutup
rapat. Dia melangkah menghampiri laki-laki tua
yang tengah duduk bersandar di samping kedai itu.
"Maaf, kedai ini tidak buka," kata laki-laki tua
itu.
"Kenapa?" tanya wanita cantik itu sopan.
“Tidak ada yang datang."
"Kalau begitu, aku pengunjung pertamamu."
Laki-laki tua yang ternyata pemilik kedai itu
dan bernama Ki Wanara memandang lekat-lekat
wanita di depannya. Kemudian pandangan
matanya merayapi sekelilingnya. Tampak beberapa
orang memperhatikan dari jarak yang cukup jauh.
Ki Wanara kembali mengalihkan pandangannya
pada wanita itu.
Ki Wanara bangkit berdiri, kemudian
melangkah masuk ke dalam kedainya. Wanita itu
mengikuti dari belakang. Sebentar dirayapi
keadaan kedai yang sepi dan hampir berdebu.
Wanita itu duduk di kursi dekat pintu. Matanya
masih merayapi keadaan kedai.
"Aku tidak punya apa-apa," kata Ki Wanara.
Wanita itu hanya mengangkat bahunya. Ki
Wanara duduk tidak jauh dari wanita itu.
"Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk
makan, Pak Tua," kata wanita itu.
"Lalu?" tanya Ki Wanara agak keheranan.
"Aku mencari seseorang yang mungkin kau ke-
nal."
"Desa ini terkenal aman dan tentram. Bahkan
pencuri ayam saja tidak berani datang ke sini.
Tapi..., yah! Belakangan, di sini memang tengah
dilanda musibah."
"Jangan salah duga, Pak Tua. Aku bukan
mencari pencuri, rampok, atau pelarian. Orang itu
hanya membawa sedikit milikku yang tidak
berharga bagi orang lain. Aku tidak tahu, apakah
disengaja atau tidak Yang jelas, aku merasa
terganggu sekali dengan perbuatannya."
"Boleh aku tahu, siapa yang kau cari?"
"Aku tidak tahu namanya. Tapi pengawalku
mengatakan bahwa dia seorang pemburu."
"Hm..., sebagian besar penduduk desa ini me-
mang pemburu. Tidak mudah mencarinya. Dan lagi
banyak pemburu dari desa lain, bahkan ada juga
yang datang dari kota. Daerah ini memang sangat
baik untuk berburu. Lebih-lebih di...," Ki Wanara
tidak melanjutkan.
"Di Bukit Menjangan, maksud Pak Tua?" tebak
wanita itu.
"Ya. Hutan di Bukit Menjangan memang banyak
hewan buruan. Ng.... Kau datang dari mana? Dan
siapa namamu?"
"Aku datang dari tempat yang sangat jauh, Pak
Tua. Orang-orang biasa memanggilku Nini Ratih,"
wanita cantik itu memperkenalkan diri.
"Lantas, apa yang diambil orang itu darimu?"
"Sulit untuk dikatakan, Pak Tua. Lagi pula,
hanya aku yang mengerti tentang benda itu," sahut
Nini Ratih.
"Aneh...!" gumam Ki Wanara sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Apanya yang aneh, Pak Tua?"
"Kau mencari seseorang yang mengambil benda
milikmu, tapi kau tidak bersedia mengatakan apa
yang diambilnya. Kalau orang itu juga tidak tahu,
mana mungkin mengambilnya?"
"Dia hanya menyangka benda itu berharga.
Padahal tidak sama sekali. Benda itu hanya
berharga untuk diriku sendiri."
"Maksudmu..., benda pusaka?"
"Bukan. Tapi itu menyangkut kelangsungan
hidupku."
Ki Wanara kembali menggeleng-gelengkan
kepala. Sama sekali sulit dimengerti semua kata-
kata yang diucapkan wanita cantik itu. Ki Wanara
berdiri, dan melangkah, menuju meja panjang yang
di belakangnya terdapat lemari besar dengan
beberapa guci dan peralatan kedainya. Ki Wanara
mengambil sebuah guci arak dan dua buah gelas
perunggu. Dia kembali menghampiri wanita itu dan
duduk di depannya. Arak di dalam guci dituangkan
ke dalam dua gelas perunggu.
"Silakan," ucap Ki Wanara.
"Terima kasih," sahut wanita itu.
***
Malam kian menyelimuti Desa Malapat. Bulan
bersinar penuh dan bintang-bintang bertaburan,
menambah indahnya pemandangan di angkasa.
Namun semua keindahan dan sejuknya udara
malam tidak bisa dinikmati penduduk desa itu.
Hanya beberapa orang laki-laki bersenjata saja
yang masih terlihat berada di luar rumah.
Mereka adalah murid-murid sebuah padepokan
yang dipimpin oleh Ki Kampar, adik kandung Ki
Pancur, Kepala Desa Malapat ini. Mereka memang
sengaja ditugaskan untuk menjaga keamanan
desa, terutama sekitar rumah kepala desa.
Malam itu Ki Pancur kedatangan tamu, yang
diterimanya dengan ramah di ruangan depan
rumahnya. Di situ, juga ada Prawata dan Ki
Kampar. Tamu yang datang malam itu tidak lain
dari Ki Wanara, pemilik kedai yang terletak di
ujung jalan.
"Maaf, kalau kedatanganku mengganggu," kata
Ki Wanara setelah duduk di kursi menghadapi
meja bundar.
"Tidak apa," sahut Ki Pancur ramah. "Ada
keperluan apa?"
"Begini, Ki. Siang tadi aku kedatangan tamu se-
orang wanita yang sangat cantik. Dia bicara aneh,"
tutur Ki Wanara langsung pada pokok
persoalannya.
"Aneh...?!" Ki Pancur memandang Ki Wanara
sebentar, lalu beralih pada adiknya yang duduk di
samping kanan laki-laki tua pemilik kedai itu.
"Benar, Ki. Katanya, dia akan mencari orang
yang telah mengambil benda miliknya," kata Ki
Wanara lagi.
"Benda apa?" tanya Ki Kampar menyelak.
"Dia tidak menjelaskannya. Katanya benda itu
tidak berharga untuk orang lain, tapi sangat
berharga bagi kehidupannya," sahut Ki Wanara.
Kembali Ki Pancur dan Ki Kampar saling
berpandangan. Sementara Prawata hanya diam
saja dengan kening sedikit berkerut. Keadaan desa
yang tidak menentu ini membuat Prawata sibuk
bertanya-tanya dalam hati. Dan kedatangan Ki
Wanara kian membuat hatinya diliputi rasa
penasaran.
"Siapa yang dia cari, Ki?" tanya Prawata meme-
cah kebisuan.
"Itulah persoalannya! Dia sendiri tidak tahu
orangnya. Tapi katanya, yang mengambil benda itu
adalah seorang pemburu," sahut Ki Wanara.
Prawata langsung menatap tajam pada ayahnya.
"Siapa nama wanita itu?" tanya Prawata lagi.
"Nini Ratih."
Kembali Prawata menatap ayahnya. Sedangkan
Ki Pancur hanya tertunduk. Wajahnya langsung
berubah pucat begitu mendengar nama yang
disebutkan Ki Wanara tadi. Dan bukan hanya
Prawata yang menatap laki-laki setengah baya
kepala desa itu, Ki Kampar pun menatap tajam
padanya. Sedangkan Ki Wanara jadi tidak mengerti
dengan sikap ketiga orang itu.
"Ada apa? Apakah aku salah?" tanya Ki Wanara
merasa tidak enak hatinya.
"Oh, tidak. Tidak ada yang salah, Ki," kata Ki
Kampar buru-buru.
"Ki Wanara...," agak tercekat suara Ki Pancur.
Melihat raut wajah dan tatapan mata kepala
desa itu, Ki Wanara bergegas beranjak berdiri.
Setelah membungkukkan badan memberi hormat,
laki-laki tua pemilik kedai itu meninggalkan
ruangan depan rumah yang besar itu. Ki Pancur
hanya memandang dengan tatapan mata kosong.
"Aku akan mengantarnya pulang," kata Prawata
seraya beranjak bangkit
"Jangan!" sentak Ki Kampar. "Biar muridku
saja yang mengantarnya."
Prawata kembali duduk, sedangkan Ki Kampar
beranjak bangkit dan melangkah ke luar.
Dihampiri dua orang pemuda yang tengah duduk-
duduk di tangga beranda. Sebelum kedua pemuda
yang di pinggangnya terselip golok itu pergi, Ki
Kampar sudah kembali masuk ke dalam.
Dihenyakkan tubuhnya di kursi dekat pintu.
"Sudah jelas sekarang, siapa yang melakukan
semua pembunuhan keji Ini," kata Ki Kampar
setengah mendesah.
"Aku tidak menduga hal ini akan terjadi begitu
cepat," kata Ki Pancur.
"Prawata."
"Ya, Paman," sahut Prawata seraya menoleh.
"Keluarlah sebentar."
"Paman...!" Prawata akan menolak.
"Keluarlah, Prawata," tegas Ki Pancur pelan.
"Kenapa aku harus keluar!? Apakah ini
rahasia?" Prawata menolak tegas. "Aku bukan anak
ingusan lagi. Aku berhak tahu apa yang terjadi di
sini!"
"Prawata...."
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini?" Prawata
tidak mempedulikan peringatan ayahnya.
Ki Pancur menatap adiknya yang juga tengah
memandang ke arahnya. Kemudian mereka sama-
sama mengalihkan pandangannya ke arah pemuda
itu.
"Nanti kau akan kuberitahu. Sekarang,
keluarlah dulu," bujuk Ki Kampar bernada lembut.
"Baik! Tapi Paman harus janji!" tegas Prawata.
"Baik, aku janji."
Prawata bangkit berdiri, lalu melangkah keluar.
"Kenapa harus kau rahasiakan kepadanya?"
tegur Ki Pancur.
"Sudahlah! Jangan berdebat soal itu, Kakang.
Belum saatnya Prawata tahu," jawab Ki Kampar.
'Tapi dia sudah dewasa! Sudah mampu melihat
semua yang terjadi di sini. Sikapmu membuatnya
semakin penasaran ingin lebih tahu lagi."
"Mengapa kau tidak manahannya tadi? Kau
juga menyuruhnya keluar, kan?" Ki Kampar tidak
suka disalahkan.
"Itu karena kau yang mulai!"
Ki Kampar menggeleng-gelengkan kepala.
Meskipun Ki Pancur seorang kepala desa, sekaligus
kakak kandungnya, tapi tidak pernah bersikap
sebagai seorang kakak. Sejak mereka masih muda
dulu, Ki Pancur selalu mengalah dan tidak ingin
membantah adiknya. Apa saja yang dikatakan
adiknya, selalu dituruti. Meskipun bertentangan
dengan kehendak hatinya.
Sewaktu menjadi kepala desa, sebenarnya juga
bukan keinginannya. Tapi Ki Kamparlah yang
mengajukan dan mendukungnya secara penuh.
Apalagi memang seluruh penduduk Desa Malapat
ini menyukainya, sehingga tidak ada hambatan
baginya untuk menjadi kepala desa, menggantikan
kepala desa yang lama.
"Baiklah, akan kupanggil kembali anakmu,"
kata Ki Kampar mengalah.
"Percuma!" dengus Ki Pancur.
Ki Kampar mengangkat bahunya.
"Apa yang akan kau bicarakan?" tanya Ki
Pancur langsung mengalihkan pada pokok
persoalan.
"Kemunculan Nini Ratih!" jawab Ki Kampar
mantap.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi," pelan
suara Ki Pancur.
"Kau harus menemui dan mengusirnya dari
sini!" tegas kata-kata Ki Kampar.
"Tidak mungkin!" bantah Ki Pancur.
"Kenapa tidak? Kau yang dulu
mengalahkannya, lalu mengasingkannya selama
berpuluh-puluh tahun."
"Jangan bodoh, Kampar! Aku memang yang
mengalahkannya, tapi batu Mustika Dewi Pelangi
tidak ada lagi padaku! Mana mungkin aku bisa
menandinginya?!"
"Lho, ke mana?" Ki Kampar terkejut.
"Itulah kesalahanku, Kampar. Jasadnya
memang telah kubungkus dengan batu Mustika
Dewi Pelangi, dan kulemparkan ke atas awan.
Memang sudah kuduga, suatu saat mustika itu
akan kembali lagi ke bumi. Tapi aku tidak
menyangka akan secepat ini! Apalagi Nini Ratih
masih hidup," suara Ki Pancur bernada mengeluh.
"Aku tidak menyangka kau akan melakukan
itu, Kakang! Seharusnya batu itu kau tanamkan di
kepalanya, lalu buang mayatnya ke laut. Pasti dia
akan mati dan tidak akan pernah kembali lagi. Kau
sudah tahu itu, kenapa tidak kau kerjakan?
Bahkan malah melakukan yang lain!" Ki Kampar
menyesali.
Ki Pancur tidak menjawab. Kepalanya
tertunduk menekun permukaan meja. Dia memang
tahu kalau Nini Ratih baru dapat mati kalau
kepalanya tertanam batu Mustika Dewi Pelangi,
dan tubuhnya dibuang ke dasar laut. Semua ilmu
dan kehidupannya akan musnah. Ki Pancur
menyesali semua tindakan bodohnya, tapi rasanya
sudah terlambat. Kesalahan yang dibuatnya jelas
bisa menimbulkan akibat yang sangat fatal!
"Sekarang dia tengah mencari benda itu. Jelas,
kalau jiwa dan seluruh kehidupannya sudah
menyatu dalam batu mustika itu. Hhh...! Tidak
bisa kubayangkan, apa jadinya dunia ini kalau
Mustika Dewi Pelangi sampai dikuasainya! Tidak
ada seorang pun yang mampu menandinginya.
Dunia akan hancur...!" keluh Ki Kampar.
"Dia masih punya sebagian besar, Kampar,"
pelan suara Ki Pancur.
"Apa maksudmu, Kakang?" Ki Kampar tidak
mengerti.
"Batu itu hancur, dan yang hilang hanya
sebutir dari kekuatannya," sahut Ki Pancur.
"Hancur...?! Sebutir...?! Aku tidak mengerti
maksudmu."
"Mustika Dewi Pelangi tidak lagi sebesar kuku
jari, tapi lebih besar dari kepala orang dewasa.
Batu itu akan hancur bila kembali menyentuh
bumi. Hal itu bisa terjadi karena penyatuan jiwa
yang terjadi puluhan tahun."
"Edan! Itu berarti kekuatan Nini Ratih berlipat
ganda!"
"Lebih dari itu, Kampar. Dia tidak akan mati,
kecuali kembali terbungkus Mustika Dewi Pelangi.
Dan hal itu tidak mudah dilakukan. Aku yakin,
yang dicarinya adalah inti dari Mustika Dewi
Pelangi, sumber dari segala kekuatan dan
kehidupannya yang baru. Dia tidak akan berdaya
tanpa benda itu, tapi kekuata silumannya...." Ki
Pancur tidak meneruskan.
"Kenapa?"
"Semakin banyak mendapatkan darah manusia
semakin besar kekuatan silumannya, yang
akhirnya dia akan menjelma menjadi manusia
siluman seutuhnya," lanjut Ki Pancur.
"Ya, Tuhan... akan jadi apa dunia ini?" keluh Ki
Kampar.
"Dia juga akan membangun istana dari kepala
setiap korban, dan di situlah sumber kekuatan
silumannya. Tidak bisa kubayangkan, bagaimana
jadinya dunia ini jika dia berhasil membangun
istananya dan menguasai inti Mustika Dewi
Pelangi. Saat itu seluruh dunia akan dikuasainya.
Aku yakin, tidak akan ada seorang pun yang
mampu menghalanginya. Tidak ada satu senjata
pusaka pun yang dapat membunuhnya. Dia tidak
akan dapat mati, dan terus hidup sampai dunia
kiamat"
"Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi,
Kakang...," lirih suara Ki Kampar.
Saat itu juga seluruh tubuh Ki Kampar terasa
lemas, bagai tidak memiliki tulang. Saat ini pun dia
tidak mungkin dapat menandingi wanita yang
sebenarnya adalah siluman itu. Apalagi kalau
sampai tercapai semua yang dikatakan Ki Pancur.
Dunia akan selalu dilanda bencana yang tiada
akhir. Ki Kampar masih belum bisa mengerti akan
kebodohan kakaknya. Padahal Ki Pancur sudah
tahu sejak semula, tapi kenapa masih juga
melakukan kesalahan? Bahkan sepertinya memang
disengaja! Ada apa sebenarnya?"
***
Sementara itu, Ki Wanara sudah berada di
depan rumahnya. Dua orang murid Ki Kampar
masih mendampinginya. Ki Wanara berhenti dan
memandangi dua orang yang mengantarkannya.
'Terima kasih, sampai di sini saja," kata Ki Wa-
nara.
"Sebaiknya Ki Wanara masuk dulu," usul salah
seorang.
"Kalian sudah begitu baik padaku. Sampaikan
salamku pada gurumu'" kata Ki Wanara mencoba
tersenyum.
"Akan kami sampaikan, Ki."
Ki Wanara menepuk pundak pemuda itu, kemu-
dian kakinya terayun melangkah. Kedua pemuda
itu baru meninggalkan tempat itu setelah Ki
Wanara masuk ke rumahnya. Cahaya pelita dari
minyak jarak menerangi ruangan depan rumah
laki-laki tua itu.
"Dari mana, Pak Tua?"
"Oh!" Ki Wanara tersentak kaget.
Wajah laki-laki tua itu langsung pucat pasi.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
depannya telah berdiri seorang wanita cantik yang
siang tadi datang ke kedainya. Ki Wanara berusaha
bersikap wajar, tapi tidak bisa menahan deburan
jantungnya.
"Semula aku ingin menganggapmu sebagai se-
orang yang patut dipercaya dan dapat
membantuku. Tapi harapanku sia-sia saja...," kata
wanita itu lembut, namun bernada penuh
ancaman.
"Nini Ratih..., aku..!Aku...," Ki Wanara jadi ter-
gagap.
Wanita yang ternyata memang Nini Ratih itu
hanya tersenyum saja. Begitu manis senyumnya.
Langkahnya pun demikian gemulai mendekati Ki
Wanara. Laki-laki tua itu semakin pucat wajahnya,
sedangkan tubuhnya gemetar hebat.
"Kenapa wajahmu pucat, Pak Tua?" masih tetap
lembut suara Nini Ratih.
"Oh, tid..., tidak apa-apa," jawab Ki Wanara gu-
gup.
"Apa yang kau katakan pada kepala desa itu?"
tanya Nini Ratih. Nada suaranya mulai terdengar
dingin.
"Aku..., aku hanya ngobrol," sahut Ki Wanara.
"Jangan mendustaiku. Pak Tua."
"Sss... sung..., sungguh! Aku tidak bohong! Aku
hanya bertamu dan ngobrol!"
"Apa yang kau katakan pada Ki Pancur?" makin
dingin nada suara Nini Ratih.
Ki Wanara tidak bisa lagi menjawab. Tubuhnya
semakin keras bergetar. Keringat dingin mengucur
deras membasahi wajahnya. Sedangkan Nini Ratih
sudah demikian dekat di depannya. Wajah wanita
itu terlihat kaku, dan matanya memancarkan sinar
kekejaman. Bibirnya yang tipis dan merah terkatup
rapat.
"Sayang sekali, kau harus menjadi salah satu
penghias istanaku, Pak Tua," kata Nini Ratih datar.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Wanara
bergetar suaranya.
"Memenggal kepalamu!"
"Apa...?!"
"Hih!"
"Aaa...!"
Hanya satu kali kibasan tangan saja, kepala Ki
Wanara langsung menggelinding ke lantai. Darah
muncrat dari leher yang buntung. Sesaat tubuh
laki-laki tua itu masih mampu berdiri, kemudian
ambruk dan menggelepar di lantai!
Nini Ratih cepat menubruknya, dan dengan
buas dihirupnya darah yang mengucur deras dari
leher yang terpenggal. Ki Wanara sudah tidak
bergerak lagi: dan terbujur kaku. Sementara Nini
Ratih terus menghirup darah korbannya hingga
tetes yang terakhir. Wanita cantik itu berdiri dan
memandangi tubuh yang sudah tidak bernyawa
lagi. Tangannya mengambil kepala laki-laki tua itu,
dan menentengnya.
“Hi hi hi...!”
Nini Ratih melangkah keluar sambil tertawa
mengikik. Dan begitu kakinya menjejak tanah di
depan kedai, ia langsung melesat cepat bagaikan
kilat. Hanya suara tawanya saja yang masih
tertinggal. Bersamaan dengan lenyapnya tubuh
wanita itu, lenyap pula suara tawanya. Malam yang
hening itu semakin mencekam. Tak ada seorang
pun yang menyaksikan kejadian itu. Tapi, dari
balik sebuah pohon besar, sepasang mata
memperhatikan kejadian itu.
"Kejam...!" terdengar desisan tertahan.
***
3
Desa Malapat kembali gempar dengan kematian
Ki Wanara. Begitu mengenaskan dan mengerikan!
Tubuh Ki Wanara ditemukan di rumahnya tanpa
kepala lagi. Bentuk kematian yang sama dari
mayat-mayat sebelumnya. Seluruh penduduk Desa
Malapat semakin dicekam ketakutan. Tidak ada
lagi yang berani ke luar rumah. Bahkan beberapa
di antaranya mulai meninggalkan desa itu.
Sementara Ki Pancur semakin diliputi
kegelisahan. Sedangkan Ki Kampar tidak tahu lagi
mesti berbuat apa. Mereka tahu, siapa pemburu
yang mengambil batu Mustika Dewi Pelangi yang
juga tengah dicari Nini Ratih. Tapi pemburu itu
sudah tidak ada di Desa Malapat ini lagi.
Sedangkan Ki Pancur sendiri tidak tahu, perampok
mana yang telah mengambil benda itu dari tangan
Kabit, pemburu yang sedang dicari Nini Ratih.
"Paman, apa sebenarnya yang terjadi di desa
ini?" desak Prawata saat ada kesempatan berdua
dengan pamannya.
"Bukankah sudah kuceritakan padamu,
Prawata."
"Tidak! Pasti ada yang Paman sembunyikan
padaku," sentak Prawata.
Ki Kampar tersenyum dan menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Baiklah kalau Paman tidak mau berterus
terang. Aku akan menyelidikinya sendiri!" kata
Prawata tegas.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Kampar
agak kaget juga.
"Apa saja! Yang jelas aku ingin tahu kejadian
yang sebenarnya! Aku tidak percaya kalau
perempuan siluman itu hanya mencari batu
Mustika Dewi Pelangi."
"Kenyataannya memang begitu, Prawata. Dan
yang bisa mengetahui di mana benda itu, hanya
Kabit. Dialah yang menyebabkan semua kejadian
di sini," kata Ki Kampar menutupi yang sebenarnya
"Jangan menimbulkan kesalahan pada orang
lain, Paman. Aku yakin, perempuan siluman itu
punya suatu tujuan sehingga datang ke sini. Dan
Paman maupun Ayah sudah mengetahuinya, tapi
sengaja merahasiakan!" Prawata tetap keras pada
pendiriannya.
"Tidak ada yang perlu kurahasiakan, Prawata.
Semua yang terjadi di sini bukan hanya
persoalanku, atau persoalan ayahmu saja. Tapi
menyangkut seluruh penduduk desa ini. Kau
sudah dewasa, Prawata. Kau harus bisa berpikir
secara dewasa. Jangan turuti nafsu dan darah
mudamu," kata Ki Kampar mencoba menasehati
setengah membujuk.
"Aku memang sudah dewasa, Paman. Dan aku
tidak bisa tinggal diam melihat orang-orang tidak
berdosa mati satu persatu. Sementara Paman dan
Ayah yang mengetahui semua persoalan hanya
diam saja. Aku tidak bisa, Paman. Aku harus
bertindak!" tegas kata-kata Prawata.
"Prawata! Kau pikir, kau ini siapa? Jangan
menganggap dirimu kuat dan perkasa! Cara
berpikirmu saja masih seperti anak kecil!" suara Ki
Kampar agak tinggi.
"Aku memang tidak sehebat Paman atau Ayah!
Tapi tidak pengecut!" nada suara Prawata juga
tinggi.
"Prawata!" Ki Kampar jadi berang.
Tapi Prawata sudah berbalik dan berjalan cepat.
"Prawata! Tunggu...!"
"Aku tidak suka bicara dengan orang pengecut!"
teriak Prawata kalap.
"Anak setan! Kembali kau...!" bentak Ki Kampar.
Prawata bukannya kembali, tapi malah berlari
kencang. Ki Kampar akan mengejar, tapi sebuah
tangan telah mencekal pundaknya. Laki-laki
berusia separuh baya itu menoleh. Langsung dia
menggelinjang sambil melompat begitu melihat
seorang wanita muda dan cantik tahu-tahu sudah
berdiri di belakangnya.
"Nini Ratih...," suara Ki Kampar agak bergetar.
"Kau masih mengenalku, Kakang Kampar?"
lembut suara wanita itu.
Ki Kampar melangkah mundur beberapa tindak
Tangan kanannya segera meraba gagang golok
yang terselip di pinggangnya. Sedangkan wanita
cantik yang ternyata memang Nini Ratih itu hanya
tersenyum saja.
"Anak itu benar. Tidak seharusnya kau
sembunyikan. Katakan saja terus terang padanya,"
kata Nini Ratih tetap lembut nada suaranya.
"Jangan campuri urusanku, perempuan setan!"
dengus Ki Kampar.
"Kau masih tetap seperti dulu saja, Kakang.
Galak, kasar, dan tidak pernah jujur. Tapi aku
menyukai sikapmu itu. Hanya sayang, kau
sekarang kelihatan tua dan tidak menarik lagi."
"Simpan kata-kata kotormu, Nini Ratih!" bentak
Ki Kampar.
"Ah! Jangan berlagak seperti orang suci. Aku
tahu siapa dirimu. Aku tak akan melupakan saat-
saat manis bersamamu, meskipun kau seorang
pengkhianat busuk! Kepalamu pun juga dipenuhi
segumpal nafsu!" agak ketus nada suara Nini
Ratih.
"Pergi kau, perempuan setan!" geram Ki
Kampar.
"Ah, Kakang.... Kenapa kau jadi berang begitu?
Seharusnya kau senang dengan kedatanganku lagi.
Lihatlah! Aku masih tetap seperti dulu, cantik,
muda, dan tentu saja sangat menggairahkan. Apa
kau lupa pada saat..."
"Pergi, kataku!" bentak Ki Kampar memotong
cepat
"Menyesal sekali. Seharusnya aku memang
tidak mengunjungimu dalam suasana seperti ini.
Baiklah, Kakang. Aku akan pergi, dan pasti akan
kembali untuk menjemputmu."
"Perempuan laknat!" geram Ki Kampar seraya
mencabut goloknya.
"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-
bahak.
"Setan...!"
Sebelum Ki Kampar bisa mengibaskan
goloknya, Nini Ratih sudah melesat cepat bagaikan
kilat. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan lenyap
ditelan bumi. Ki Kampar mengumpat habis-
habisan. Sambil menggeram, dimasukkan goloknya
kembali ke dalam sarungnya di pinggang.
"Huh!"
Ki Kampar mengayunkan kakinya cepat-cepat
meninggalkan tempat itu. Dia masih saja
bersungut-sungut. Tapi setiap kali kata-kata Nini
Ratih tadi terngiang-ngiang di telinganya,
tubuhnya langsung bergidik menggigil. Kata-kata
wanita itu tidak dapat dianggap main-main, dan
sewaktu-waktu bisa menjadi kenyataan.
"Uh! Perempuan keparat itu harus mampus!"
dengusnya.
***
Prawata yang tengah dilanda amarah dan rasa
ingin tahu, tidak menyadari kalau telah memasuki
Hutan Bukit Menjangan. Pemuda itu baru
menghentikan langkahnya ketika di depannya
menghadang sebuah sungai yang cukup lebar dan
berarus deras. Prawata menghenyakkan tubuhnya
di bawah pohon rindang. Disandarkan
punggungnya pada pohon itu.
Tatapan matanya lurus ke depan. Beberapa kali
ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-
kuat. Pemuda itu sungguh tidak menyangka kalau
ayah dan pamannya menyimpan suatu rahasia.
Apalagi itu ada hubungannya dengan beberapa
peristiwa yang terjadi di Desa Malapat. Peristiwa
mengerikan dengan korban bergelimpangan dari
orang-orang tidak berdosa.
Prawata mengangkat kepalanya ketika
telinganya mendengar suara siulan berirama tidak
teratur. Saat kepalanya berpaling ke kiri, terlihat
seorang pemuda tampan dengan rambut gondrong
meriap terikat kulit harimau. Pakaiannya pun dari
kulit harimau. Mulutnya sedikit monyong,
mengeluarkan suara siulan yang tidak enak
didengar.
"Oh, maaf. Kukira tidak ada orang di sini," kata
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Siulanmu bagus sekali. Rasanya cukup
membuat hewan di hutan ini berlindung dalam
sarang," kata Prawata agak ketus.
"Terima kasih! Kupikir kau tidak suka," sambut
pemuda itu tersenyum.
"Suka! Hanya saja bukan pada waktu yang
tepat."
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya terse-
nyum saja. Kakinya kembali terayun mendekati,
dan berhenti tepat di depan putra kepala desa itu.
Prawata memandanginya dari ujung rambut
sampai ujung kaki.
Agak heran juga dia, karena pemuda berbaju kulit
harimau itu tidak menyandang sebuah senjata
pun. Orang ini pasti pengembara! Tapi, kenapa
tidak membawa senjata? Prawata bertanya-tanya
dalam hati.
"Boleh aku istirahat di sini?" pinta pemuda itu '
ramah.
"Silakan. Hutan ini milik siapa saja," sahut
Prawata.
'Terima kasih."
Pemuda itu duduk bersila di depan Prawata.
"Kelihatannya kau dalam kesulitan...," kata
pemuda itu seraya merayapi wajah Prawata yang
kelihatan murung.
"Maaf, bukan urusanmu," sahut Prawata ketus.
Dia memang belum bisa menghilangkan
kejengkelannya.
"Oh, ya.... Memang bukan urusanku. Tapi tidak
enak kalau ngobrol dengan wajah murung."
"Apa maumu sebenarnya?" tanya Prawata jeng-
kel.
"Hanya istirahat dan mencari teman ngobrol,"
sahut pemuda itu kalem.
"Aku bukan orang yang menyenangkan untuk
diajak ngobrol. Sebaiknya cari orang lain saja."
"Sama sekali tidak. Aku merasa kau orang yang
tepat untuk diajak berteman."
"Siapa kau ini sebenarnya?" Prawata mulai
memandang curiga.
"Aku memang sedang mencari teman. Kurasa,
tidak pantas kalau tidak memperkenalkan diri."
"Jangan berbelit-belit! Katakan saja, siapa kau,
dan apa maksudmu datang ke sini?"
"Namaku Bayu Hanggara. Aku ke sini
kebetulan lewat. Hampir tiga purnama aku tidak
bertemu dengan seorang pun. Rasanya sunyi, tidak
ada yang bisa diajak bicara," kata pemuda itu
memperkenalkan diri. "Dan kebetulan kau orang
kedua yang kujumpai di daerah ini."
"Sebaiknya kau temui saja orang yang pertama."
"Percuma! Dia juga tidak suka bicara banyak.
Malah seperti orang kebingungan. Dia langsung
pergi setelah bertanya padaku. Pertanyaan yang
tidak masuk akal."
Prawata tidak menanggapi. Dimiringkan
tubuhnya sedikit, dan dijulurkan kakinya.
Tangannya dilipat di dada, lalu matanya
dipejamkan.
"Oh, ya. Siapa namamu?" tanya Bayu tidak
peduli terhadap sikap Prawata yang tidak
bersahabat.
"Prawata," jawab Prawata singkat.
Bayu pindah duduknya di samping pemuda itu.
Juga disandarkan punggungnya ke pohon, dan
dijulurkan kakinya ke depan. Sikapnya meniru
sikap Prawata. Pelahan matanya dipejamkan.
"Hm..., dia masih jengkel rupanya. Tapi harus
ku dekati. Kata hatiku tidak pernah meleset..,"
Bayu bicara sendiri di dalam hatinya.
Bayu masih tetap memejamkan matanya.
Sedangkan Prawata sudah membuka matanya.
Sebentar dipandangnya Bayu yang tampak tidur,
kemudian bermaksud bangkit.
"Nyaman sekali di sini. Mau ke mana kau?"
"Eh!" Prawata terkejut. Dipandanginya wajah
Bayu lekat-lekat.
Mata Pendekar Pulau Neraka itu masih
terpejam rapat. Prawata hampir tidak percaya
dengan pendengarannya barusan. Dia tidak jadi
bangkit, tapi malah kembali menyandarkan
punggungnya ke pohon. Pandangannya masih ke
arah wajah pemuda di sampingnya.
"Jangan memandangiku begitu. Nikmati saja
kesejukan udara di sini. Sangat baik untuk
menenangkan pikiran dan mendinginkan hati yang
panas," kata Bayu lagi tanpa membuka mata
sedikit pun.
"Kau..., kau manusia apa...," Prawata jadi terga-
gap, lalu beringsut menjauh.
Bayu membuka kelopak matanya. Bibirnya
menyunggingkan senyum. Kepalanya sedikit
menoleh ke arah Prawata yang tengah
memandanginya seperti melihat hantu.
"Aku manusia, sama sepertimu juga," kata
Bayu kalem.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Prawata masih
agak bergetar suaranya.
"Bayu."
"Aku tidak percaya."
"Kau memang tidak tahu namaku. Apalagi
mendengarnya. Tapi dengan julukanku, mungkin
kau pernah mendengarnya."
Prawata semakin dalam memperhatikan laki-
laki berbaju kulit harimau itu. Sama sekali dia
belum pernah bertemu. Nama Bayu sangat asing di
telinganya.
"Banyak orang mengenalku dengan nama, Pen-
dekar Pulau Neraka," kata Bayu lagi.
"Pendekar Pulau Neraka...?!" Prawata mendesis
setengah terkejut.
Hampir tidak dipercaya kalau orang yang
berada di sampingnya sekarang ini adalah
Pendekar Pulau Neraka. Seorang pendekar digdaya
yang selalu menggemparkan dalam setiap
pemunculannya. Prawata sering mendengar cerita
tentang pendekar ini dari orang-orang yang
kebetulan singgah di desanya, atau saat pergi ke
kota. Orang-orang dari rimba persilatan sering
membicarakan sepak-terjang Pendekar Pulau
Neraka. Bahkan pamannya sendiri sering juga
menyebut-nyebut nama itu. Dan kini orang itu ada
di sampingnya!
"Maaf, dengan sikapku yang kasar padamu
tadi," kata Prawata buru-buru.
"Lupakan saja," sahut Bayu kalem.
"Sungguh, aku tidak tahu kalau kau seorang
pendekar digdaya yang begitu tersohor. Pantas kau
bisa mengetahui apa yang kuperbuat, padahal kau
tadi tidur"
"Aku tadi menggunakan ilmu 'Mata Dewa'. Aku
memang tidak bisa melihat dengan mata terpejam,
tapi hatiku bisa melihat jelas Gerakan sekecil dan
sehalus apa pun dapat terlihat jelas," ungkap
Bayu.
"Hebat...," puji Prawata.
"Ah, itu hanya ilmu biasa saja," Bayu merendah.
"Tapi aku benar-benar kagum padamu. Aku
sering mendengar cerita tentang dirimu. Ya...,
macam-macamlah."
Bayu hanya tersenyum saja. Dia senang karena
Prawata tidak lagi berkata ketus dan kasar. Ini
berarti rencananya bisa dijalankan. Bayu memang
membutuhkan seseorang yang berasal dari Desa
Malapat. Dan dia memilih pemuda ini setelah
beberapa hari mengamatinya, di samping
mempelajari suasana di desa itu.
***
Beberapa kali Prawata mencuri pandang pada
Pendekar Pulau Neraka. Sering didengarnya sepak-
terjang pendekar itu. Tapi setelah bertemu dengan
orangnya langsung, keraguan akan Pendekar
Pulau Neraka menyelimuti dirinya. Sama sekali
tidak terlihat adanya kekejaman pada wajah itu.
Sorot matanya juga terlihat lembut. Walaupun
mengandung ketegasan, namun tidak tersirat
kekejaman. Wajahnya juga tidak keras, bahkan
bisa dikatakan simpatik. Rasanya sukar
dipercaya kalau pemuda tampan dengan sinar
mata lembut itu mampu berbuat kejam dan sadis
terhadap lawan-lawannya.
Hampir semua cerita yang didengar Prawata
tentang Pendekar Pulau Neraka, menyiratkan
kekejaman dan kesadisan yang brutal. Bahkan
dibumbui dengan cerita-cerita yang menyeramkan.
Prawata memang sempat terpengaruh, dan selalu
membayangkan kalau sosok yang bernama
Pendekar Pulau Neraka itu berwajah kasar, seram,
dengan suara berat menggetarkan. Tapi semua
bayangannya sirna begitu bertemu langsung
dengan orangnya. Sama sekali tidak terduga kalau
orang yang dibayangkan selama ini memiliki wajah
tampan dengan senyum manis simpatik. Bahkan
sorot matanya pun lembut, memancarkan
ketegasan diri.
"Kau melamun...?" tegur Bayu.
"Oh!" Prawata tersentak. Buru-buru dialihkan
pandangannya ke arah lain.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Bayu dengan
suara lembut.
"Aku...? Oh, tidak.... Aku tidak memikirkan
apa-apa," sahut Prawata gugup.
"Kau memikirkan keadaan desamu?" tebak
Bayu langsung.
Prawata kembali menatap Pendekar Pulau
Neraka itu. Tatapannya agak tajam dan
menunjukkan rasa keheranan.
"Aku sempat melihat kau bertengkar dengan
pamanmu, juga pertengkaran dengan ayahmu. Dan
aku juga sempat melihat kematian laki-laki tua
pemilik kedai di desamu, dan kematian-kematian
lain yang terjadi. Itu semua yang jadi
pemikiranmu?" Bayu sedikit mendesak.
"Kau tahu?" Prawata semakin heran.
"Ya! Sejak aku bertemu seorang laki-laki di
tengah jalan yang menuju ke desa ini, aku jadi
penasaran dan ingin mengetahuinya. Sikapnya
begitu aneh dan kelihatan buru-buru sekali. Rasa
ingin tahuku semakin bertambah begitu melihat
laki-laki itu menemui seorang yang terluka parah
seperti habis dirampok. Tapi tidak ada yang hilang,
hanya...."
"Batu Mustika Dewi Pelangi," potong Prawata
cepat Langsung bisa ditangkap semua kata-kata
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Mungkin. Aku tidak tahu," desah Bayu.
"Benda itu yang menjadi awal malapetaka di
desaku," jelas Prawata.
"Hm...," Bayu mengerutkan keningnya.
"Sedikitnya aku bisa mengetahui keadaan yang
sedang terjadi di Desa Malapat. Aku pun tahu
maksud kata-katamu. Kau pasti bertemu dengan
ayahku, kemudian kau juga melihat Paman Kabit.
Belum bisa kupastikan, apakah sumber
malapetaka itu berasal dari Paman Kabit," kata
Prawata lagi.
"Mengherankan! Kau seorang putra kepala
desa, tapi tidak tahu persis kejadian yang tengah
melanda desamu."
"Ini kenyataan! Mereka selalu merahasiakan
dan menutupi. Aku tidak mengerti, kenapa Ayah
dan Paman bersikap begi begitu tertutup padaku
selama ini," suara Prawata bernada mengeluh.
"Mungkin mereka tidak ingin kau terlibat,"
Bayu
menduga-duga.
"Aku sudah melihat dan mendengarnya sendiri!
Untuk apa harus ditutupi?"
"Itu yang harus kau ketahui."
"Mustahil!"
"Jangan picik, Prawata. Masih banyak sumber
lain yang bisa kau peroleh. Jangan terpaku pada
satu sumber saja. Kau akan menemui jalan buntu
kalau hanya mengejar yang satu dan membutakan
lainnya."
"Kau benar!" sentak Prawata. Semangatnya
seketika bangkit "Aku memang harus mencari dari
sumber lain. Dan aku tahu tempatnya!"
"Oh, ya?"
Prawata langsung bangkit berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Bayu juga ikut berdiri.
"Pulang, sudah sore," sahut Prawata.
Setelah menjawab, Prawata segera melangkah
pergi. Tapi baru beberapa langkah berjalan,
pemuda itu berhenti dan berbalik. Bayu masih
berdiri memandanginya.
"Sebaiknya kau ikut. Kau bisa tidur di
kamarku," ajak Prawata.
"Terima kasih! Aku tidak ingin menarik
perhatian orang," tolak Bayu halus.
"Lalu, di mana kau tidur?"
"Di mana saja."
"Kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Prawata.
"Kita bisa bertemu lagi di sini."
"Kapan?"
"Besok."
"Baiklah. Besok aku akan datang ke sini lagi.
Kuharap kau bersedia membantu mengatasi
keadaan di Desa Malapat," pinta Prawata.
"Tentu. Aku pasti membantumu," sahut Bayu
tersenyum.
"Terima kasih, sampai jumpa besok."
Bayu hanya mengangkat tangannya saja.
Prawata segera berbalik dan berlari-lari kecil
meninggalkan tepian sungai itu. Sementara Bayu
masih berdiri memandangi kepergian putra kepala
desa itu. Otaknya segera berputar, mencerna
kembali semua ucapan Prawata kepadanya. Bayu
menggabungkannya dengan kejadian yang
dilihatnya selama berada di sekitar Desa Malapat
ini.
"Kejadiannya sama persis dengan yang tertulis
di dalam buku Eyang Gardika. Aku jadi
penasaran...," gumam Bayu pelan.
Bayu mengingat-ingat kembali baris-baris
kalimat
yang pernah dibaca dari buku-buku gurunya di
Pulau Neraka. Salah satu dari buku yang
dibacanya menceritakan tentang makhluk wanita
siluman yang ingin menguasai dunia. Sayangnya,
Eyang Gardika tidak menjelaskan lebih rinci lagi.
Tapi kejadian yang disaksikan di sini, hampir sama
persis dengan apa yang pernah dibaca dan
dikatakan gurunya.
"Di dalam buku itu ditulis Bukit Menjangan
dan Batu Mustika Dewi Pelangi. Hm.... Prawata
juga mengatakan bahwa batu itu sebagai penyebab
malapetaka. Aku harus mengetahui, apa
sebenarnya yang tengah terjadi di sini. Aku juga
harus membuktikan, apakah cerita Eyang Gardika
benar atau hanya khayalan belaka!" tekad Bayu
dalam hati.
***
4
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum
menampakkan diri, Prawata memacu cepat kuda
hitamnya keluar dari Desa Malapat, menuju ke
Bukit Menjangan. Tapi baru saja akan melewati
batas desa, dua orang pemuda bersenjata golok
menghadangnya.
"Hooop...!" Prawata menghentikan lari kudanya.
"Ada apa kalian menghadangku?" bentak
Prawata kasar.
"Maaf, Den. Guru melarang siapa saja keluar
dari desa ini," sahut salah seorang pemuda itu.
"Larangan itu tidak berlaku bagiku!" bentak
Prawata sengit.
"Justru Guru lebih menekankan Den Prawata
agar tidak keluar dari desa."
"Persetan dengan guru kalian! Minggir!" bentak
Prawata geram.
"Den...!"
Prawata menggebah kudanya dengan keras.
Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat
kedua kaki depannya. Dan belum lagi kuda itu
melompat, dua orang murid Ki Kampar sudah lebih
dulu melesat ke arah Prawata. Tapi pemuda putra
Ki Pancur itu lebih cepat lagi mengibaskan
tangannya.
Buk! Buk!
Dua pemuda murid Padepokan Malapat itu ter-
bingkai kena sodokan tangan Prawata. Namun
mereka berhasil bangun kembali. Seorang berhasil
menjambret tali kekang kuda, dan seorang lagi
kembali menerjang sambil mencabut goloknya.
"Setan!" geram Prawata, langsung melentingkan
tubuhnya.
Dua kali Prawata berputar di udara, kemudian
dengan manis sekali kakinya menjejak tanah.
Cring! Prawata mencabut pedangnya yang
tergantung di pinggang. Pedang berwarna
keperakan itu melintang di depan dada.
"Maaf, Den. Ini perintah Guru dan Ayahanda
Den Prawata sendiri," kata pemuda yang
memegangi tali kekang kuda hitam itu, mencoba
mengingatkan.
"Kami hanya menjalankan perintah," kata
seorang lagi.
Prawata yang akan menyerang, mengurungkan
niatnya. Kemarahannya berangsur reda. Dia sadar
kalau kedua orang itu tidak mungkin
menyerangnya kalau tidak mendapat perintah dari
Ki Kampar. Prawata semakin tidak mengerti
dengan sikap Paman dan Ayahnya. Pemuda itu
kembali menyarungkan pedangnya di pinggang.
"Apa perintahnya?" tanya Prawata mau tahu.
"Guru memerintahkan kami untuk melarang
siapa saja keluar dari desa ini. Khususnya Den
Prawata sendiri. Kami diperbolehkan menggunakan
kekerasan jika ada yang membangkang," jelas
salah seorang.
Maaf, Den. Guru melarang siapa saja keluar
dari desa ini," jelas salah seorang pemuda bergolok
itu.
Persetan dengan guru kalian! Larangan itu
tidak berlaku bagiku. Minggir!" bentak Prawata
geram sambil menggebah kudanya dengan keras.
"Kau tahu, mengapa Paman Kampar
memerintahkan begitu?" selidik Prawata.
"Kami hanya menjalankan perintah, Den."
"Huh! Kalian dungu! Kalian manusia, bukan
kambing congek yang hanya bisa diperintahi"
dengus Prawata.
Dua orang murid dari Padepokan Malapat itu
saling berpandangan.
"Dengar! Aku pergi bukan untuk melarikan diri,
tapi untuk mengembalikan Desa Malapat seperti
semula! Katakan pada Paman Kampar! Dia akan
menanggung akibatnya kalau masih tetap keras
kepala! Seluruh penduduk desa terancam
nyawanya, termasuk kalian juga!" lantang suara
Prawata.
"Tapi, Den...," dua orang itu mulai diliputi
kebimbangan.
"Aku tidak peduli alasan kalian!"
Setelah berkata demikian, Prawata langsung
melompat ke punggung kudanya. Tapi salah
seorang dengan cepat juga melompat menghadang
sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga
dalam cukup kuat. Prawata sempat terkejut. Buru-
buru dilentingkan tubuhnya ke belakang, dan
kembali mendarat di tanah.
"Maaf, Den. Sebaiknya Den Prawata kembali
saja pulang," kata orang itu. "Kami tidak ingin
dipersalahkan karena melanggar perintah. Kami
rela mati demi menjunjung tinggi perintah guru."
"Phuih! Rupanya kalian tidak bisa diajak
damai!" dengus Prawata sengit.
Kedua orang murid Ki Kampar itu memang
diliputi kebimbangan. Tapi mereka memang tidak
bisa melanggar perintah. Meskipun benak masih
diliputi berbagai macam tanda tanya, tetapi mereka
tetap patuh pada perintah gurunya. Tentu saja hal
ini membuat Prawata jadi gusar. Kembali dicabut
pedangnya.
"Jangan salahkan aku kalau terpaksa
menggunakan kekerasan!" ancam Prawata gusar.
Dua orang murid Padepokan Malapat itu juga
segera mencabut goloknya. Mereka menyadari
kalau tingkat kepandaian Prawata berada di
atasnya. Tapi sebagai murid padepokan yang setia
dan patuh pada perintah, mereka tidak lagi
memandang Prawata sebagai seorang putra kepala
desa yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi.
"Maaf, Den. Kami terpaksa mengambil jalan ke-
ras," kata salah seorang, masih tetap dengan sikap
menghormat.
"Aku kagum pada kesetiaan kalian. Tapi kali
ini, terpaksa kita berhadapan sebagai lawan," kata
Prawata Jujur.
"Hup!"
Salah seorang langsung melompat sambil
mengibaskan goloknya. Prawata menarik kakinya
ke belakang selangkah, kemudian dengan cepat
diangkat pedangnya untuk menangkis tebasan
golok itu.
Trang!
Orang itu tersentak. Ternyata goloknya
langsung terlepas dari pegangan ketika beradu
dengan pedang Prawata. Dan belum lagi sempat
berbuat sesuatu, kaki Prawata sudah melayang
dengan cepat ke arah perut.
"Hugh!" pemuda itu mengeluh pendek.
"Yaaah...!" Prawata berteriak keras.
Satu pukulan keras bertenaga dalam cukup
tinggi menghantam telak ke wajah pemuda itu. Tak
pelak lagi, murid Ki Kampar ini terjungkal ke
belakang. Secepat kilat Prawata melompat ke
punggung kudanya. Tapi belum juga sampai,
seorang lagi segera melompat sambil mengibaskan
goloknya.
"Uts!"
Prawata menarik perutnya ke belakang, maka
golok itu lewat sedikit di depan perutnya. Masih
dalam keadaan di udara, kaki putra kepala desa
itu bergerak cepat ke arah punggung setelah
memutar tubuhnya. Sepakan kakinya itu tepat
menghantam punggung lawannya, sehingga
terjerembab mencium tanah.
"Hup! Ya....'"
Prawata cepat menggebah kudanya begitu
berada di atas punggung kuda hitam itu. Bagaikan
sebuah anak panah lepas dari busurnya, kuda
hitam itu langsung melesat cepat membelah angin.
Dua orang murid Padepokan Malapat yang
ditugaskan menjaga perbatasan desa itu merintih
sambil berusaha bangkit. Mereka hanya bisa diam
memandangi bayangan tubuh Prawata yang
semakin jauh. Sesaat mereka saling berpandangan,
kemudian sama-sama mengangkat bahunya. Dari
mulut dan hidung mereka mengucurkan darah.
"Bagaimana ini?" tanya salah seorang.
"Mau bilang apa lagi? Den Prawata memang
lebih tangguh."
"Sebaiknya kita laporkan saja pada guru."
"Ayo, cepat!"
Kedua pemuda itu bergegas berlari kembali
menuju Desa Malapat. Mereka tidak mempedulikan
tubuh yang nyeri dan muka babak belur. Dengan
sekuat tenaga mereka berlari memasuki Desa
Malapat. Sementara matahari belum juga muncul,
namun cahayanya mulai menyemburat di ufuk
Timur. Udara dingin masih terasa menusuk tulang.
Belum ada seorang pun yang terlihat keluar
rumahnya. Penduduk Desa Malapat masih tertidur
lelap.
***
Prawata melompat turun dari kudanya setelah
sampai di Puncak Bukit Menjangan Saat itu
matahari telah muncul menerangi sekitarnya. Hati
pemuda itu agak tercekat juga menyaksikan
pemandangan yang sangat mengerikan. Puluhan
kepala manusia terpancang pada tonggak kayu,
mengelilingi butiran-butiran batu bercahaya terang
bagai pelangi
Pelahan-lahan Prawata mengayunkan kakinya
melangkah lebih dekat. Bau busuk menyebar
menyengat hidung. Beberapa di antara kepala yang
terpancang itu dapat dikenali, dan sebagian besar
telah rusak. Jantungnya semakin cepat berdetak
saat mengenali beberapa kepala manusia yang
malang itu. Rata-rata mereka adalah para
penduduk Desa Malapat.
"Ki Wanara...," desis Prawata saat matanya
terpaku pada kepala seorang laki-laki tua.
Darah pemuda itu seketika mendidih melihat
kepala Ki Wanara terpancang di antara sekian
banyak kepala manusia. Prawata mengalihkan
perhatiannya ke arah lain. Rasanya tidak sanggup
melihat pemandangan yang begitu mengerikan.
Perutnya mulai terasa mual oleh bau busuk yang
sangat menyengat itu. Prawata menyandarkan
punggungnya pada sebatang pohon besar di
sampingnya.
Prawata memejamkan matanya rapat-rapat. Dia
benar-benar tidak sanggup menyaksikan
pemandangan itu. Pelahan-lahan kelopak matanya
kembali terbuka, saat hidungnya tidak lagi
mencium bau busuk yang menyengat. Dia agak
heran juga, karena tiba-tiba bau busuk itu lenyap
dan berganti dengan aroma yang harum
menggelitik cuping hidungnya.
"Ohhh...!" Prawata terkejut dan kagum ketika
matanya benar-benar terbuka.
Pemuda itu bagaikan berada di alam mimpi.
Kini pemandangan yang dilihatnya bukan lagi
pemandangan mengerikan dengan kepala-kepala
manusia terpancang di tonggak kayu. Yang
sekarang dilihatnya adalah suatu taman indah
dengan bunga-bunga warna-warni bermekaran,
menyebarkan bau harum semerbak. Prawata
memandangi dengan perasaan kagum bercampur
heran. Bermacam-macam pertanyaan berada di be-
naknya.
Di tengah-tengah taman indah itu, berdiri
sebuah bangunan kecil namun indah. Seluruh
bangunan itu bagai terbuat dari batu-batu permata
yang memancarkan cahaya indah kemilau. Prawata
merasa seolah-olah berada di taman milik para
dewa. Begitu indah, dan belum pernah dilihat
selama hidupnya.
"Prawata...."
"Oh!" Prawata tersentak ketika tiba-tiba mende-
ngar suara seseorang yang menyebut namanya.
Begitu halus dan lembut.
Ketika menoleh, pemuda itu semakin terkejut
mendapati seorang wanita bertubuh ramping dan
berwajah cantik bak bidadari. Lekuk-lekuk
tubuhnya begitu jelas membayang indah di balik
gaun tipis merah muda. .Sesaat Prawata terpana
menatapnya. Belum pernah dilihat wanita secantik
ini sebelumnya.
"Siapa kau?" tanya Prawata setelah rasa
terkejutnya agak reda.
“Aku Nini Ratih," sahut wanita cantik
menggiurkan itu.
"Nini Ratih...?!" kembah Prawata tersentak.
Pemuda itu sampai menggelinjang, melompat
mundur mendengar nama itu. Pernah didengarnya
nama itu dari Ki Wanara ketika datang ke
rumahnya malam-malam,
"Kenapa? Kau terkejut mendengar namaku, Bo-
cah Bagus?" lembut nada suara Nini Ratih.
Entah kenapa, Prawata jadi terpaku. Sementara
wanita cantik yang mengaku Nini Ratih itu
melangkah mendekatinya. Setiap ayunan kakinya
begitu gemulai, dan menyebarkan aroma harum
yang merangsang syaraf. Prawata masih diam
teipaku dengan mata tidak berkedip. Dia sendiri
tidak mengerti, kenapa jadi sulit dan tidak bisa
berpikir.
Bau harum yang menyebar dan membelai
lubang hidungnya membuatnya jadi sulit berpikir.
Mendadak saja jantungnya berdetak cepat ketika
Nini Ratih sudah begitu dekat di depannya.
Prawata semakin tidak menentu perasaannya
manakala tangan yang halus lembut dengan jari-
jari lentik itu mulai meraba dadanya.
'Ah..., kau tampan dan gagah sekali," desah
Nini Ratih seraya mendekatkan wajahnya ke wajah
pemuda itu.
Prawata ingin menolak ketika tangan Nini Ratih
mulai melingkar di lehernya, tapi tidak kuasa
melakukannya. Seluruh syarafnya menegang, dan
hanya bisa diam dengan perasaan dan pikiran
tidak menentu. Sementara Nini Ratih semakin
mempererat pelukan nya. Tubuhnya demikian
rapat, sehingga di antara mereka tidak ada jarak
lagi Prawata semakin kalut. Wajah Nini Ratih
demikian dekat sehingga desah napasnya terasa
hangat menyapu kulit wajahnya.
"Tidak kusangka, kau akan datang ke sini, Pra-
wata," kata Nini Ratih lembut setengah mendesah.
"Oh, aku...," suara Prawata tercekat.
"Jangan katakan bahwa kau datang tidak
sengaja, Bocah Bagus. Aku suka kedatanganmu.
Tentunya kau akan senang berada di taman
istanaku yang indah ini," potong Nini Ratih cepat.
Prawata ingin mengatakan sesuatu yang tiba-
tiba terlintas di benaknya. Tapi, sebelum bisa
berkata, Nini Ratih sudah menyumpal bibir
pemuda itu dengan bibirnya. Seketika Prawata
gelagapan bagai tenggelam di kolam yang sangat
dalam. Hampir saja napasnya putus kalau saja
Nini Ratih tidak melepaskan pagutannya. Wanta
cantik itu tersenyum dan melepaskan
rangkulannya pada leher pemuda itu.
Dia menggenggam tangan Prawata, dan
menariknya. Prawata jadi lupa akan dirinya setelah
mendapat pagutan wanita itu. Dituruti saja ke
mana wanita itu menyeretnya. Dia tidak bisa
berpikir banyak ketika tiba di taman nan indah. Di
situ telah tersedia sebuah ranjang besar yang
indah beralaskan kain sutra halus berwarna cerah.
Jalan pikiran Prawata tertutup sudah.
Kesadarannya hilang tanpa diketahui dan
dirasakan. Seperti kerbau dicucuk hidungnya,
dituruti saja ketika Nini. Ratih membawanya ke
atas ranjang. Prawata pun tetap diam saat jari-jari
tangan wanita itu melepaskan kancing bajunya,
hingga lepas sudah pakaian yang melekat di
tubuhnya. Dan Prawata tak kuasa menolak begitu
tubuhnya dibaringkan di atas ranjang.
Satu perasaan asing mendadak timbul di dalam
diri Prawata. Sulit untuk menolak perasaan yang
begitu kuat membelenggunya. Dalam
ketidaksadaran akan dirinya yang sebenarnya,
pemuda itu mulai membalas rangsangan yang
diberikan Nini Ratih. Tidak lagi diam dan menurut,
bahkan menjadi liar dan kasar. Tapi wanita cantik
itu malah tertawa mengikik dan merintih
menggelinjang.
Seluruh syaraf-syaraf Prawata sudah tidak
terkendali lagi. Semuanya terbelenggu dalam irama
nafsu dan gairah yang memuncak. Di dalam taman
indah buatan Nini Ratih, kesadarannya telah
tenggelam, dan berganti dengan luapan gairah
yang menggelegak tak terkendalikan. Napasnya
memburu dan keringat bercucuran deras
membasahi tubuhnya. Sementara Nini Ratih
meregang, menggeliat, dan merintih dalam de-
kapan pemuda itu.
"Oh..., akh!" tiba-tiba Nini Ratih merintih
tertahan.
Pada saat yang sama, Prawata menggumam lirih
dan tubuhnya mengejang hebat. Kepalanya
terdongak, sedangkan matanya terpejam rapat.
Sesaat kemudian, tubuhnya terkulai lemas,
bergulir di samping tubuh Nini Ratih. Wanita
cantik itu menggeliatkan tubuhnya sebentar, lalu
meraih selembar kain dan menutup tubuhnya.
Tatapan matanya berbinar cerah penuh kepuasan.
Sementara Prawata terkulai lemas dengan mata
terpejam. Pelahan-lahan napasnya kembali teratur.
Dadanya bergerak turun naik berirama tetap. Nini
Ratih beringsut merapatkan tubuhnya pada tubuh
pemuda itu, dan meletakkan kepalanya di dada
bidang yang basah oleh keringat.
"Kau hebat sekali, Bocah Bagus," pelan suara
Nini Ratih.
"Hhh...!" Prawata hanya mendesah panjang.
***
Prawata benar-benar telah lupa akan dirinya.
Dia tidak tahu lagi siang dan malam. Keadaan di
dalam taman indah di Puncak Bukit Menjangan ini
selalu terlihat siang. Matahari bersinar cerah
sepanjang waktu. Langit pun tampak cerah tanpa
awan menggantung di sana.
Setiap kali Nini Ratih muncul, Prawata selalu
tidak kuasa menolak keinginan wanita cantik itu.
Gairahnya segera bangkit menggebu-gebu tak
terkendalikan. Dan
kali selesai melayani wanita itu, seluruh tubuhnya
seperti lemas, dan kesadarannya kembali pulih.
Tapi dia tetap tidak mampu bangkit dari
pembaringan. Prawata selalu merenung dan
memikirkan setiap kejadian yang dialaminya di
tempat ini. Dan jika Nini Ratih muncul,
kesadarannya langsung hilang. Prawata benar
benar bagai hidup di dalam dua dunia yang mem-
bingungkan.
Prawata tergolek lemah di atas pembaringan
besar dan indah. Dia mencoba menggerakkan
tubuhnya, tapi seluruh persendiannya terasa lemas
tak bertenaga. Hanya kepalanya saja yang masih
mampu digerakkan. Baru beberapa saat yang lalu
Nini Ratih pergi meninggalkannya. Prawata
memandangi keadaan sekitarnya. Kesadarannya
kembali berangsur pulih, dan mulai mengingat-
ingat semua yang telah dialami selama berada di
tempat asing ini.
"Oh .., di mana aku ini? Kenapa tubuhku terasa
lemas sekali?" lirih suara Prawata bertanya-tanya
sendiri.
Prawata mencoba mengingat-ingat kembali
semua yang telah terjadi terhadap dirinya. Dia
ingat betul sewaktu dalang ke Puncak Bukit
Menjangan, dan melihat pemandangan yang
mengerikan. Kepala-kepala manusia terpancang
pada tonggak kayu yang mengelilingi beberapa
pecahan batu berwarna terang menyilaukan. Dan
tiba-tiba semua yang dilihatnya seketika berubah
seperti sediakala.
"Apa yang telah terjadi pada diriku...?" kembali
Prawata bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Pemuda itu menolehkan kepalanya ke kanan.
Kelopak matanya agak menyipit melihat seorang
laki-laki tua bertubuh kurus dan agak bungkuk,
tengah memandanginya. Di punggungnya terdapat
seikat kayu-kayu kering. Prawata langsung
mengenalinya. Dia adalah penduduk Desa Malapat,
dan pekerjaannya memang mencari kayu bakar
untuk dijual kepada penduduk lainnya.
"Ki Kabul...!" teriak Prawata keras.
Laki-laki tua yang dipanggil Ki Kabul itu tetap
berdiri setengah membungkuk. Pandangannya
tidak lepas ke arah Prawata yang berusaha
bergerak sambil berteriak-teriak memanggil. Tapi
suara pemuda itu langsung tenggelam terbawa
angin. Laki-laki tua itu sama sekali tidak
mendengar, bahkan sepertinya tidak melihat.
"Ki...! Tunggu...! Tolong aku, Ki...!" teriak
Prawata sekuat-kuatnya.
Tapi suaranya tetap tidak terdengar. Ki Kabul
pun membalikkan tubuhnya, lalu melangkah pergi
tergesa-gesa. Prawata berusaha bergerak sekuat
tenaga, sambil tidak henti-hentinya berteriak-teriak
memanggil laki-laki tua itu.
"Ki Kabul! Tunggu...!"
Tetap saja Ki Kabul berjalan tergesa-gesa
semakin jauh. Lemas seluruh tubuh Prawata
setelah tubuh tua
setengah bungkuk itu lenyap dari pandangan.
Prawata memalingkan kepalanya kembali. Sinar
matanya sayu, menyiratkan keputusasaan. Dia
sadar kalau tengah berada dalam satu lingkungan
gaib yang sukar ditembus manusia biasa.
"Kenapa aku jadi begini...! Oh, Dewata Yang
Agung...," rintih Prawata lirih.
***
5
Di lereng Bukit Menjangan, atau tepatnya di
tepi sungai yang mengalir deras, Bayu berdiri tegak
memandang jauh ke seberang sungai. Sudah tiga
hari ini dia menunggu kedatangan Prawata, tapi
pemuda itu tidak juga muncul. Bayu mulai gelisah
dan menduga-duga. Ingin dimasukinya Desa
Malapat, tapi niatnya selalu diurungkan.
Bayu menolehkan kepalanya ketika mendengar
suara gemerisik semak belukar. Pemuda berbaju
kulit harimau itu berbalik saat muncul seorang
laki-laki tua kurus bertubuh agak bungkuk dari
dalam semak belukar. Laki-laki tua yang ternyata
Ki Kabul itu terkejut melihat seorang pemuda yang
tidak dikenal berdiri tidak jauh di depannya.
Langsung dihentikan langkahnya.
"Oh..., biarkan aku lewat. Aku hanya membawa
kayu bakar, dan tidak punya apa-apa untuk kau
ambil," kata Ki Kabul bergetar suaranya.
"He...!" Bayu tersentak kaget.
Pendekar Pulau Neraka itu memandangi laki-
laki tua yang tampak ketakutan. Sama sekali tidak
dimengerti akan sikap laki-laki tua itu.
"Pak Tua, aku bukan perampok. Aku tidak
akan menyakitimu," kata Bayu mencoba lembut.
"Kalau begitu, biarkan aku lewat"
"Tunggu dulu, Pak Tua," cegah Bayu seraya
melompat ke hadapan laki-laki tua itu.
Ki Kabul mengurungkan langkahnya. Tubuhnya
masih gemetar dan seluruh wajahnya pucat pasi.
Sebentar dipandangi wajah pemuda di depannya,
sebentar kemudian kepalanya tertunduk.
"Wajahmu pucat sekali. Apa yang kau
takutkan?" tanya Bayu lembut
"Tidak! Aku harus pulang. Maaf...!" kata Ki
Kabul bergegas melangkah.
"Tunggu dulu, Pak Tua."
Bayu kembali menghadang. Ki Kabul kembali
berhenti melangkah. Bayu makin penasaran
dengan sikap laki-laki tua yang kelihatan
ketakutan itu.
"Pak Tua, aku ingin bertanya sesuatu padamu.
Boleh?" tetap lembut suara Bayu.
"Cepatlah! Apa yang ingin kau tanyakan."
"Sudah tiga hari ini aku menunggu teman di
sini. Apa kau melihat temanku itu, Pak Tua?"
tanya Bayu.
"Aku tidak kenal temanmu."
"Dia anak Kepala Desa Malapat. Namanya
Prawata."
Ki Kabul langsung bergetar tubuhnya. Paras
wajahnya semakin pucat pasi. Bola matanya
berputar mengedar berkeliling, seolah-olah takut
ada orang lain di sekitarnya. Bayu
memperhatikannya dengan kening berkerut dalam.
Rasa ingin tahunya semakin memuncak. Dia yakin
kalau laki-laki tua ini mengetahui di mana Prawata
sekarang.
"Kau tahu di mana Prawata, Pak Tua?" tanya
Bayu lagi.
"Aku.... Aku...," Ki Kabul jadi tergagap.
"Kau kelihatannya takut sekali. Ada apa?"
desak Bayu. "Kau tahu di mana Prawata?"
"Maaf, Anak Muda. Aku..., aku tidak tahu."
"Hhh...! Sayang sekali. Padahal dia sudah janji
akan menemuiku di sini tiga hari yang lalu," desah
Bayu pelan.
Ki Kabul memandangi wajah pemuda di
depannya.
"Ada apa kau menanyakan Den Prawata?" tanya
Ki Kabul. Suaranya masih bergetar.
"Penting sekali. Juga untuk kepentingan desa
ini," sahut Bayu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Kabul agak
kaget juga.
"Namaku Bayu," Bayu memperkenalkan diri.
"Sudah tiga hari ini, Den Prawata meninggalkan
Desa Malapat. Sampai sekarang belum kembali.
Tidak ada yang tahu, ke mana perginya. Tapi...," Ki
Kabul tidak melanjutkan. Ditatapnya Bayu dalam-
dalam. Sepertinya ingin memastikan kalau pemuda
itu bukan orang jahat yang ingin mencelakakan
Prawata.
"Kenapa, Pak Tua?" desak Bayu.
"Tidak apa-apa. Prawata tidak ada lagi di Desa
Malapat," sahut Ki Kabul, berusaha
menyembunyikan sesuatu.
Bayu terdiam membisu. Dia merenung
memikirkan kepergian Prawata yang tiba-tiba.
Padahal anak itu sudah berjanji akan menemuinya
lagi di tempat ini. Pendekar Pulau Neraka itu tidak
lagi mencegah Ki Kabul pergi.
Ki Kabul bergegas melangkah cepat dan
terburu-buru meninggalkan Lereng Bukit
Menjangan ini. Sementara Bayu masih berdiri
tegak memandangi punggung laki-laki tua itu yang
sarat dengan kayu bakar.
"Mustahil Prawata pergi begitu saja. Hm..., pasti
ada sesuatu yang terjadi padanya," gumam Bayu
pelan.
Mendapat pikiran demikian, Bayu langsung
melompat cepat menuju Desa Malapat.
Gerakannya begitu ringan dan cepat bagai kilat.
Dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah
lenyap tertelan lebatnya hutan di sekitar Lereng
Bukit Menjangan ini.
***
Bayu memandangi suasana di Desa Malapat.
Keadaannya sangat sepi, seperti ditinggalkan
penghuninya. Di beberapa tempat, terlihat orang-
orang muda dengan golok terselip di pinggang
seperti tengah berjaga-jaga. Bahkan ada pula yang
membawa tombak panjang. Bayu jadi bertanya-
tanya dalam hati. Suasana Desa Malapat sekarang
ini seperti tengah bersiap-siap menghadapi
serbuan dari luar.
Perhatian Pendekar Pulau Neraka itu tertumpah
pada dua pemuda yang menjaga perbatasan Bukit
Menjangan. Wajah dua pemuda itu terlihat agak
memar. Mereka tengah bercakap-cakap. Bayu
melesat mendekati. Gerakannya sangat ringan dan
tidak menimbulkan suara sedikit pun. Pendekar
Pulau Neraka itu tahu-tahu sudah berada di balik
sebatang pohon besar, tidak jauh dari kedua
pemuda yang ternyata murid Ki Kampar.
"Aku yakin, Den Prawata sudah jadi korban
Nini Ratih," kata salah seorang murid Ki Kampar
itu.
"Aku jadi heran, mengapa kepala desa tidak
mencarinya, ya?" tanya yang seorang lagi.
"Tapi Ki Pancur kelihatannya sedih. Sudah tiga
hari ini mengurung diri terus di dalam kamar."
"Sedih sih boleh saja. Tapi Den Prawata kan
anak satu-satunya. Malah sudah disiapkan untuk
menggantikan kedudukannya jadi kepala desa.
Seharusnya kan dicari. Toh kita semua tahu kalau
Den Prawata ke Puncak Bukit Menjangan."
"Huh! Kalau aku sih, berpikir dulu seribu kali!
Datang ke sana sama saja mengantarkan nyawa.
Kudengar, di Puncak Bukit Menjangan dijadikan
tempat persembunyian Nini Ratih. Apalagi di sana
banyak kepala manusia terpancang di tonggak
kayu."
"Kau dengar dari mana?"
"Banyak yang sudah melihatnya. Kebanyakan
pemburu dari desa ini juga. Tapi anehnya, ya...
Orang yang telah melihat, besoknya pasti mati!
Kepalanya pun hilang."
Kedua orang itu terdiam beberapa saat. Mereka
seperti dicekam rasa takut Sementara itu Bayu
yang mendengarkan dari balik pohon, hanya diam
saja. Tapi kini jelas, kalau Prawata pergi ke Puncak
Bukit Menjangan.
"Aku pikir-pikir, kata-kata Den Prawata benar
juga. Kita seperti orang dungu saja. Sebenarnya
apa sih yang kita jaga? Tidak ada seorang pun dari
kita yang jadi korban Nini Ratih. Dia selalu
mencari korban dari para penduduk yang rata-rata
pernah ke Puncak Bukit Menjangan," kata salah
seorang lagi.
"Iya juga, ya.... Berhari-hari di sini, tidak ada
musuh satu pun," sambut satunya lagi.
"Uh! Lama-lama jadi bosan juga."
Saat itu, Bayu sudah melesat cepat
meninggalkan tempat itu. Pikirannya langsung
tertuju pada laki-laki tua yang ditemuinya di tepi
sungai. Dia yakin kalau laki-laki tua itu baru dari
Puncak Bukit Menjangan. Arahnya saja sudah bisa
dipastikan, kalau habis dari puncak bukit itu.
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan cepat
dan ringan. Dikerahkan ilmu meringankan tubuh
yang sudah sampai pada taraf kesempurnaan.
Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya
bayangan berkelebatan. Bayu menyelinap dari satu
rumah ke rumah lainnya. Yang dicarinya adalah
tempat tinggal laki-laki tua yang ditemuinya di tepi
sungai. Pembicaraan dua orang pemuda itu seperti
memberinya peringatan.
"Hm...," Bayu bergumam dalam hati, begitu
sampai pada sebuah rumah bilik yang kecil dan
kumuh.
Dari celah-celah yang terdapat di dinding,
Pendekar Pulau Neraka mengamati bagian dalam
rumah itu. Bibirnya tersenyum begitu melihat laki-
laki tua yang ditemuinya di tepi sungai, tengah
duduk sendirian di dalam rumah ini. Bayu
bergegas melangkah mendekati pintu belakang,
kemudian mengetuk pintu itu hati-hati.
"Siapa...?" terdengar suara tua dari dalam.
"Aku, Pak Tua," sahut Bayu agak berbisik.
Pintu belakang rumah itu terbuka. Ki Kabul
agak terkejut melihat pemuda yang ditemuinya di
tepi sungai telah berdiri di depan pintu belakang
rumahnya.
"Boleh aku masuk?" lembut dan ramah suara
Bayu Hanggara.
Ki Kabul tidak menjawab, tapi dibukanya pintu
lebar-lebar. Bayu melangkah masuk, dan menutup
pintu itu. Ki Kabul memandanginya dengan benak
diliputi segudang tanda tanya. Sejenak Bayu
merayapi keadaan sekitarnya. Tidak ada yang
didapatkan. Semua perabotan rumah ini sangat
sederhana sekali. Sementara Ki Kabul telah duduk
di balai-balai bambu beralaskan tikar daun
pandan. Bayu tetap berdiri dan baru duduk di
kursi kayu setelah Ki Kabul mempersilakannya.
"Aku tidak melihat anak dan istrimu, Pak Tua,'^
kata Bayu.
"Aku memang hidup sendiri di sini. Anak istriku
ada di kota," jawab Ki Kabul.
"O...."
"Apa keperluanmu hingga datang ke sini?"
tanya Ki Kabul.
"Aku tidak tahu, kenapa harus datang ke sini.
Hanya saja aku merasa kau dalam bahaya, Pak
Tua," sahut Bayu.
Ki Kabul menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Kau tadi ke Puncak Bukit Menjangan, Pak
Tua?" tanya Bayu.
"He! Untuk apa kau tanyakan itu?" Ki Kabul
terkejut setengah mati.
"Jujur saja padaku, Pak Tua. Kalau kau
memang tadi ke sana, itu berarti kau dalam
bahaya besar," suara Bayu terdengar serius.
Ki Kabul tidak langsung menyahut, tapi jadi
bertanya-tanya tentang diri pemuda itu. Dia
memang ke Puncak Bukit Menjangan, dan itu tidak
disengaja sama sekali. Hatinya memang sudah
tidak menentu setelah menyadari bahwa kakinya
sudah menginjak daerah terlarang. Mereka yang
tewas dengan kepala hilang, semuanya pernah
menginjakkan kakinya di Puncak Bukit
Menjangan.
"Aku tahu, kau pasti curiga padaku, Pak Tua.
Tapi kedatanganku justru ingin menolongmu.
Nyawamu sekarang ini terancam, dan kau tidak
bisa mengelak dari ancaman itu," jelas Bayu lagi.
"Dari mana kau tahu, aku telah ke Puncak
Bukit Menjangan?" tanya Ki Kabul mencoba
menyelidik.
"Kau datang dari arah sana, Pak Tua," sahut
Bayu.
"Kalaupun aku dari sana, kenapa kau bisa
mengatakan kalau nyawaku terancam?"
"Jangan berpura-pura, Pak Tua. Semua orang
di desa ini tahu, kalau yang datang ke Puncak
Bukit Menjangan pasti mati! Meskipun aku sendiri
belum yakin benar!" Bayu agak kesal juga dengan
sikap laki-laki tua itu.
Ki Kabul kembali diam dengan kepala
tertunduk. Disadari kalau kata-kata pemuda itu
benar. Bayu memang belum yakin benar dengan
cerita-cerita tentang siluman wanita itu. Dan
sampai saat ini dia masih terus mencari
keterangan. Bayu yakin, Ki Kabul bisa memberi
banyak keterangan yang diperlukan. Dia terus
mendesak laki-laki tua itu.
"Aku memang ke sana, tapi aku tidak
sengaja...," kata-Ki Kabul mengakui.
"Apa saja yang kau lihat di sana, Ki?" tanya
Bayu.
"Mengerikan...!" Ki Kabul bergidik.
"Mengerikan...?"
"Banyak kepala manusia terpancang di sana.
Dan...," Ki Kabul tidak melanjutkan.
"Teruskan, Ki," desak Bayu.
"Aku..., aku melihat..."
"Melihat apa?"
"Den Prawata," pelan suara Ki Kabul.
Seketika Bayu tertegun diam. Jadi, yang
didengarnya dari dua orang penjaga perbatasan
memang benar. Prawata datang ke Puncak Bukit
Menjangan. Dan semua keterangan yang telah
diperolehnya juga benar. Puncak Bukit Menjangan
telah dijadikan tempat kekuasaan Nini Ratih,
wanita siluman yang sangat kejam dan selalu
meminta korban. Kepala dari korban-korbannya
dijadikan hiasan istananya!
Hanya satu yang kini menjadi beban pikiran
Pendekar Pulau Neraka. Mengapa Nini Ratih
memilih Desa Malapat, dan Puncak Bukit
Menjangan? Anehnya, kepala desa tidak
melakukan tindakan sama sekali. Bahkan
sepertinya- membiarkan warga desanya menjadi
korban kebuasan wanita siluman itu. Bayu yakin,
ada sesuatu di antara Ki Pancur dengan Nini Ratih,
atau pun dengan Ki Kampar. Sikap kedua orang itu
membuat Bayu jadi curiga. Lebih-lebih dengan
adanya larangan untuk meninggalkan Desa
Malapat ini.
Ki Kabul tidak ragu-ragu lagi, dan percaya
penuh setelah Bayu mengatakan siapa dirinya
sebenarnya. Nama Pendekar Pulau Neraka memang
sudah tidak asing lagi. Semua penduduk Desa
Malapat pun pernah mendengar nama itu. Ki Kabul
sendiri tidak menyangka kalau dapat bertemu dan
didatangi pendekar ternama yang namanya sudah
tersohor itu.
Laki-laki tua itu percaya kalau Pendekar Pulau
Neraka mampu melindunginya dari cengkeraman
Nini Ratih, si Wanita Siluman. Bahkan dia percaya
kalau pendekar itu juga mampu mengalahkan Nini
Ratih. Meskipun baru kali ini bertemu, tapi Ki
Kabul sudah yakin dengan kedigdayaan Pendekar
Pulau Neraka. Cerita-cerita tentang pendekar itu
sering didengarnya walau memang menyiratkan
kekejaman dan kesadisan seorang pendekar yang
tidak pernah memberi ampun setiap lawannya.
Tanpa diminta, Ki Kabul menceritakan tentang
Nini Ratih, wanita siluman yang kini menjadi
momok menakutkan bagi seluruh penduduk Desa
Malapat. Ki Kabul adalah penduduk asli desa itu,
dan tahu persis semua kejadian yang melanda desa
ini. Walaupun usianya telah mencapai lebih dari
delapan puluh tahun, tapi ingatannya masih kuat.
Sementara Bayu mendengarkannya dengan penuh
perhatian.
"Hm..., jadi Nini Ratih pernah muncul
sebelumnya?" Bayu ingin menegaskan.
"Benar! Itu terjadi lebih kurang tiga puluh
tahun yang lalu. Ketika itu Ki Pancur belum
menjabat sebagai kepala desa," sahut Ki Kabul.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dulu Ki Pancur yang berhasil mengalahkan,
dan membuangnya ke angkasa...," lanjut Ki Kabul.
"O...!" Bayu agak kaget juga mendengarnya.
"Ketika telah dibungkus dengan batu Mustika
Dewi Pelangi dan dilemparkan ke angkasa, dia
sempat mengancam akan menghancurkan dan
memusnahkan semua orang, tempat, dan desa Ki
Pancur tinggal. Sekarang dia muncul lagi dan
menepati ancamannya."
"Apakah batu mustika itu seperti ini, Ki?" Bayu
mengeluarkan sebongkah batu yang memancarkan
cahaya kemilau bagai pelangi dari balik sabuknya.
Ki Kabul ternganga melihat batu di tangan
Pendekar Pulau Neraka itu. Sebentar kemudian,
ditatapnya wajah Bayu. Ki Kabul mendorong
tangan Pendekar Pulau Neraka itu dan meminta
agar batu mustika itu segera disimpan.
"Dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Ki
Kabul agak berbisik suaranya.
"Secara kebetulan, aku menemukan sarang
perampok yang membegal pemburu dari desa ini,"
jelas Bayu.
"Maksudmu, si Kabit..?"
"Mungkin. Aku tidak tahu namanya.
Sebelumnya, aku memang sempat melihat Ki
Pancur bersama pemburu itu. Kudengar semua
pembicaraannya. Oleh sebab itu aku jadi tertarik
dan ingin mencari benda ini," kata Bayu menunjuk
batu Mustika Dewi Pelangi yang sudah tersimpan
di balik sabuknya.
"Kau bunuh semua perampok itu?" tanya Ki
Kabul.
“Tidak semua. Mereka menyerahkan batu itu,
asalkan aku tidak membunuh yang lainnya. Ya...,
ada sekitar sepuluh orang yang tewas."
"Nini Ratih memang sedang mencari benda itu.
Dan kudengar, benda itu adalah inti kekuatan dan
kehidupannya," jelas Ki Kabul.
"Aku dengar, di Puncak Bukit Menjangan juga
banyak batu seperti ini."
"Memang benar, tapi hanya pecahannya saja.
Pecahan itu tidak akan berpengaruh pada Nini
Ratih. Kau sangat beruntung, Anak Muda. Dengan
batu itu, kau pasti mampu mengalahkannya."
"Nini Ratih pernah dikalahkan Ki Pancur,
sebaiknya dia saja yang menghadapinya."
"Jangan...!" sentak Ki Kabul cepat.
"Kenapa?" tanya Bayu heran.
"Ki Pancur memang akan menggunakannya
untuk menghadapi wanita siluman itu. Tapi pasti
tidak akan membunuhnya. Yang jelas dia akan
melakukan hal yang sama dengan hanya
mengasingkan Nini Ratih saja. Karena... "
"Karena apa, Ki?" desak Bayu.
"Dulu mereka adalah sepasang kekasih.
Padahal Ki Pancur tahu kalau kekasihnya itu
wanita siluman, tapi tidak ambil peduli."
"O...," kembali Bayu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Waktu itu guru mereka sangat khawatir,
karena Ki Pancur pasti jadi siluman juga. Dengan
demikian akan sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup manusia. Eyang Jarata
melakukan tindakan yang nekad. Dia menerobos
sarang siluman, dan mencuri salah satu sumber
kekuatan bangsa siluman, yang sekaligus juga
sebagai alat kematiannya. Eyang Jarata memang
berhasil, tapi terluka cukup parah oleh siluman-
siluman itu. Dan batu Mustika Dewi Pelangi yang
diambilnya sempat diserahkan pada Ki Kampar,
adik kandung Ki Pancur. Eyang Jarata berpesan
agar Ki Pancurlah yang harus menghadapi wanita
siluman itu, sebelum menghembuskan napas
terakhir," Ki Kabul mengisahkan.
"Lantas?" Bayu jadi semakin tertarik.
"Ki Pancur terpaksa melakukannya demi bakti
pada gurunya. Tapi pesan gurunya tidak semua
dilaksanakan. Batu itu tidak ditanamkan di kepala
Nini Ratih, tapi malah dibungkus dan
dilemparkannya ke angkasa. Padahal sehabis itu
seharusnya dibuang ke dasar laut!"
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ki Pancur sebenarnya tahu, kalau
perbuatannya itu akan berakibat fatal. Nini Ratih
tidak akan mati dan pasti kembali lagi ke dunia. Ki
Pancur tidak peduli, karena tetap menganggap
dirinya pasti sudah mati sebelum Nini Ratih
muncul kembali."
"Sikap yang mementingkan diri sendiri!" dengus
Bayu.
"Itu memang sudah wataknya, Anak Muda."
"Pantas, dia juga tidak peduli terhadap
keselamatan anaknya."
"Sejak masih muda, sampai sekarang ini,
wataknya tidak pernah berubah. Selalu
mementingkan diri sendiri. Sekarang ini pun dia
tahu kalau Desa Malapat terancam musnah, tapi
ya, begitulah wataknya. Bahkan melarang keras
penduduk meninggalkan Desa Malapat ini."
"Aku tidak mengerti, apa maksudnya...?"
gumam Bayu.
"Mungkin dia masih mencintai Nini Ratih, dan
masih mengharapkan agar bisa bersatu. Padahal
itu tidak mungkin! Sebab, Ki Kampar pun sudah
menodai Nini Ratih dengan bujuk rayunya. Hal itu
dilakukan Ki Kampar agar kakaknya tidak bisa
bersatu dengan siluman itu. Dikorbankanlah
dirinya. Akibatnya, dia kena kutuk sehingga tidak
mungkin mempunyai keturunan seumur hidup.
Kalaupun menikah, istrinya pasti langsung mati.
Itulah sebabnya Ki Kampar tidak punya istri
sampai sekarang."
Bayu Hanggara diam membisu. Kini semuanya
jelas dan terang. Jiwa kependekarannya segera
tergugah seketika. Untungnya batu sumber
kekuatan dan kematian wanita siluman itu telah
dipegangnya. Dan sudah tentu, nasib seluruh
penduduk Desa Malapat, dan desa-desa lain di
sekitar Bukit Bukit Menjangan berada di
tangannya. Pendekar Pulau Neraka itu sadar kalau
dirinya kembali harus bertualang menentang maut.
Baru saja Bayu akan membuka mulut,
mendadak telinganya mendengar suara desiran
halus. Belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu
berbuat sesuatu, mendadak....
***
6
Brak!
Pintu rumah Ki Kabul hancur berantakan. Ki
Kabul kontan melompat berdiri dan berlindung di
balik punggung Pendekar Pulau Neraka yang
memang sudah berdiri lebih dulu. Di ambang pintu
yang hancur, berdiri seorang wanita cantik
mengenakan baju hijau muda yang ketat.
"Nini Ratih...," desis Ki Kabul bergetar.
"Jangan melakukan tindakan yang
membahayakan dirimu, Ki," kata Bayu
memperingatkan.
"I..., iya," sahut Ki Kabul gugup.
Wanita muda dan cantik itu melangkah masuk
ke dalam. Tatapan matanya tajam menusuk, dan
bibirnya terkatup rapat. Langkahnya terhenti
setelah berjarak sekitar empat atau lima langkah
lagi di depan Bayu. Wanita yang memang Nini
Ratih itu merayapi wajah pemuda tampan di
depannya. Pelahan kemudian, bibirnya mengulas
senyum.
"Siapa kau, Bocah Bagus?" lembut suara Nini
Ratih.
"Bayu," sahut Bayu singkat.
"Kau tampan sekali, Bocah Bagus."
“Terima kasih."
"Hati-hati, Bayu. Jangan terpikat rayuannya,"
bisik Ki Kabul.
Bayu hanya menoleh sedikit dan tersenyum.
Sedangkan Nini Ratih mendelik kepada laki-laki
tua yang berlindung di belakang Pendekar Pulau
Neraka itu. Bisikan Ki Kabul begitu jelas terdengar.
Dan laki-laki tua itu langsung mengkeret melihat
Nini Ratih mendelik padanya.
"Nini Ratih! Apa maksudmu datang ke sini?"
tanya Bayu tegas.
"Ah..., ternyata kau memang seorang pemuda
tampan yang tegas dan jantan. Aku suka laki-laki
sepertimu," kata Nini Ratih tanpa menjawab
pertanyaan Bayu Hanggara.
"Maaf, Nini Ratih. Aku tidak ada waktu untuk
bercengkerama!" dengus Bayu dingin.
"Luar biasa..., aku akan menunggu waktumu,
Bocah Bagus."
Bayu menggeretak menahan geram. Dia benar-
benar muak melihat tingkah wanita ini. Pendekar
Pulau Neraka itu melangkah mundur satu tindak
ketika cuping hidungnya mengendus aroma yang
sangat wangi menusuk. Harumnya sangat luar
biasa, sehingga membuat kepala Pendekar Pulau
Neraka itu terasa agak pening.
"Hati-hati, Bayu. Dia menyebarkan ilmu
pemikat," bisik Ki Kabul memperingatkan.
Bayu memang sudah menduga sejak semula.
Bahkan sudah mengerahkan hawa murni untuk
menolak ilmu pemikat yang disebarkan Nini Ratih.
Pelahan-lahan rasa pening di kepalanya mulai
sirna begitu hawa panas mulai menjalar di seluruh
tubuhnya. Bayu pun segera menutup jalan
darahnya untuk menolak pengaruh segala macam
ilmu yang tidak bisa diduga sebelumnya.
Nini Ratih tersenyum kecut. Dia tahu kalau
ilmu pemikat yang disebarkannya tidak
berpengaruh sama sekali pada Bayu. Memang ilmu
itu hanya ditujukan kepada Pendekar Pulau
Neraka. Jadi meskipun Ki Kabul mencium bau
harum, tapi tidak terpengaruh dengan ilmu itu.
Nini Ratih mencoba dengan cara lain.
Dipandangi terus bola mata Bayu. Pelahan-lahan,
namun pasti, bola mata wanita itu memancarkan
cahaya terang bagai bintang. Bayu sempat terpana
juga, tapi hawa murni yang sudah menutup
seluruh syarafnya cepat menyentak memberi
peringatan. Pendekar Pulau Neraka itu
memejamkan matanya sebentar, dan begitu
membuka matanya....
"Yaaa...!"
Sambil berteriak keras, Bayu mendorong
tangannya ke depan seraya mengerahkan tenaga
dalam dengan kekuatan penuh. Angin
dorongannya sungguh luar biasa. Nini Ratih
tersentak kaget, dan sebelum sempat disadari,
tubuhnya sudah terpental keluar dari rumah Ki
Kabul itu.
"Keparat...!" geram Nini Ratih.
Wanita siluman itu langsung melesat cepat
menerobos masuk ke dalam. Gerakannya cepat
luar biasa, sehingga Bayu tidak sempat lagi
berkelit. Tangan kirinya langsung menyambar
tangan Ki Kabul, dan melemparkannya ke
samping. Dan dengan cepat tangan kanannya
mendorong ke depan ke arah dada Pendekar Pulau
Neraka. Bayu pun berusaha menahan dengan
kedua tangannya.
Ledakan keras pun menggelegar begitu kedua
tangan mereka bertemu. Ledakan itu sempat
membuat rumah tua itu bergetar hebat. Bahkan
beberapa kayu berjatuhan. Tubuh Pendekar Pulau
Neraka tersentak ke belakang, dan melayang deras
membentur dinding papan hingga jebol. Sedangkan
bagi Nini Ratih tidak kalah hebatnya. Tubuhnya
kembali terlontar ke luar dan bergulingan di tanah
beberapa kali.
"Hup!" Bayu segera bangkit berdiri. Sebentar
digerakkan tangannya di depan dada, kemudian
melesat keluar dengan cepat. Namun dia sempat
memberi bisikan halus ke telinga Ki Kabul dengan
menggunakan ilmu 'Bisikan Jarak Jauh'.
"Cepat tinggalkan tempat ini!"
Secepat tubuh Pendekar Pulau Neraka melesat
keluar, secepat itu pula Ki Kabul berlari
meninggalkan rumahnya. Tapi sempat pula dia
berhenti di ambang pintu, dan berlindung di situ
melihat Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri
berhadapan dengan Nini Ratih. Sebentar Ki Kabul
memandang sekitarnya, kemudian berbalik dan
berlari melalui pintu belakang. Ternyata laki-laki
tua itu bukannya meninggalkan tempat ini, tapi
malah berputar dan kembali berlindung di balik
tumpukan kayu bakar. Dari tempat itu, ia bisa
melihat dengan jelas dua orang yang saling berdiri
tegak berhadapan.
***
"Kau hebat, Bocah Bagus, sehingga mampu
menahan seranganku," kata Nini Ratih memuji.
"Aku pun bisa membunuhmu, Nini Ratih!"
sambut Bayu dingin.
"Hik! Kau terlalu besar kepala, Bocah Bagus."
"Kau hanya punya dua pilihan! Mati, atau
enyah dari sini selamanya!" tegas kata-kata Bayu.
"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-
bahak mendengar ancaman Pendekar Pulau
Neraka itu.
Sementara itu, murid-murid Padepokan
Malapat yang tengah meronda, telah mulai
berdatangan setelah mendengar ribut-ribut di
depan rumah Ki Kabul. Tampak Ki Kampar dan Ki
Pancur berlarian menghampiri. Nini Ratih
mendengus kesal melihat orang-orang berdatangan
membawa obor dan senjata.
"Huh! Nyamuk-nyamuk bodoh! Bisanya hanya
mengganggu saja!" dengus Nini Ratih kesal.
Setelah berkata demikian, Nini Ratih cepat
melesat pergi. Bayu berusaha mengejar, tapi
bayangan wanita itu sangat cepat menghilang.
Pendekar Pulau Neraka itu mengurungkan niatnya.
"Urusan kita belum selesai, Bocah Bagus!"
terdengar suara Nini Ratih.
Bayu hanya mendengus sambil
menghembuskan napasnya dengan kencang.
Sementara itu orang-orang Padepokan Malapat
sudah berdatangan. Ki Kabul juga keluar dari
persembunyiannya. Ki Kampar dan Ki Pancur
menghampiri Bayu yang kini sudah didampingi Ki
Kabul.
"Apa yang terjadi?" tanya Ki Pancur.
"Hanya keributan kecil," sahut Bayu.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Ki Kampar
memandang penuh selidik.
"Namaku Bayu Hanggara, aku seorang
pengembara yang kebetulan lewat di sini," sahut
Bayu.
"Hm, kau sudah membuat kerusuhan di desa
ini, Anak Muda," kata Ki Kampar dingin. "Kau
harus ikut aku."
“Tunggu!" sentak Ki Kabul.
“Tenang, Ki. Ini urusanku," kata Bayu
menenangkan laki-laki tua itu.
“Tidak! Kau datang untuk menyelamatkan
nyawaku. Aku yang bertanggung jawab dengan
kerusuhan ini!" tegas kata-kata Ki Kabul.
"Ki Kabul, bisa kau jelaskan?" pinta Ki Pancur
bijaksana.
"Anak muda ini telah menyelamatkan nyawaku,
Ki. Siang tadi aku tidak sengaja telah memasuki
daerah terlarang di Puncak Bukit Menjangan.
Akibatnya, tadi Nini Ratih datang untuk mencabut
nyawaku. Untung saja pemuda ini telah
menyelamatkanku dari cengkeramannya," Ki Kabul
mencoba menjelaskan singkat.
"Bisa kupercaya kata-katamu, Ki Kabul?" Ki
Kampar tidak percaya begitu saja.
"Aku berani sumpah! Tadi Nini Ratih datang,
dan sempat bertarung dengan pemuda ini!" agak
keras suara Ki Kabul.
"Apa pun alasannya, anak muda ini telah
membuat kerusuhan dan mengganggu
ketentraman. Dia harus menjelaskan dan
mempertanggungjawabkannya," tegas Ki Kampar.
"Ki Kampar! Pemuda ini tidak bersalah! Dan
lagi, keadaan desa ini memang tidak tentram!"
sentak Ki Kabul gusar.
"Ki Kabul!" bentak Ki Kampar mendelik
"Aku memang orang tua yang miskin! Tapi aku
dapat melihat kenyataan yang terjadi di sini, Ki
Kampar. Aku tahu, apa yang sedang terjadi dan
kau tidak bisa menutupi. Aku tahu semuanya, Ki
Kampar!" nada suara Ki Kabul terdengar meninggi.
Wajah Ki Kampar merah seketika. Gerahamnya
bergemeletuk menahan berang. Kalau saja Ki
Pancur tidak menggamit tangannya, mungkin laki-
laki tua ini sudah tersambar pukulannya.
Sementara Bayu yang sejak tadi diam saja, mulai
merasakan suasana yang makin kisruh dan panas.
Pendekar Pulau Neraka itu maju selangkah.
"Hati panas tidak akan dapat menyelesaikan
persoalan. Sebaiknya kita bicarakan dengan kepala
dingin dan menahan emosi," kata Bayu tenang.
"Anak muda, kau seorang pendatang! Kau telah
membuat kerusuhan di sini. Kuminta kau tidak
mengeruhkan suasana!" bentak Ki Kampar.
"Heh! Ternyata desa ini benar-benar sudah jadi
neraka!" dengus Bayu bergumam. Hatinya jadi
gusar dengan sikap Ki Kampar.
"Jaga mulutmu, Anak Muda!" bentak Ki
Kampar berang.
"Kampar...," Ki Pancur mencoba meredakan
amarah adiknya.
"Kau diam saja, Kakang. Bocah setan ini harus
diberi pelajaran, biar tahu adat sopan santun pada
orang tua!" sentak Ki Kampar tidak bisa
mengendalikan amarahnya.
Setelah berkata demikian, Ki Kampar segera
melompat sambil mengirimkan sebuah pukulan
keras ke arah dada. Serangan yang mendadak dan
cepat itu, membuat Bayu sedikit terperangah.
Namun dengan satu gerakan mengegos yang
manis, serangan itu bisa dielakkan. Bahkan tanpa
diduga sama sekali, tangan kirinya menyodok
cepat.
"Hugh!" Ki Kampar mengeluh pendek.
Tubuh laki-laki setengah baya itu agak
terbungkuk ketika sodokan tangan kiri Bayu
mendarat telak di perutnya. Belum lagi bisa
menyadari, tangan Bayu sudah mendorong
pundaknya sehingga Ki Kampar terdorong
beberapa langkah ke belakang. Wajah laki-laki
setengah baya itu kian merah padam. Hatinya
semakin berang dan malu karena berhasil
dicundangi seorang pemuda di depan murid-
muridnya.
"Kampar! Tahan!" seru Ki Pancur berusaha
melerai.
Tapi Ki Kampar sudah tidak bisa lagi menahan
amarahnya. Sambil menggeram dahsyat, kembali
melompat menerjang dengan jurus-jurus
pendeknya yang cepat dan dahsyat. Bayu
berlompatan menghindari serangan-serangan yang
cepat itu. Tubuhnya meliuk liuk bagai seekor belut.
Sama sekali Ki Kampar tidak memberi kesempatan
terhadap Pendekar Pulau Neraka untuk balas
menyerang.
Sementara Ki Pancur tidak bisa lagi mencegah.
Sedangkan Ki Kabul hanya bisa menyaksikan
dengan wajah memerah. Sikap Ki Kampar benar-
benar memuakkan hatinya. Tapi dia tidak bisa
berbuat banyak. Dia tahu siapa Ki Kampar,
seorang ketua padepokan yang memiliki tingkat
kepandaian cukup tinggi.
Pertarungan terus berlangsung sengit. Jurus
demi jurus dilalui dengan cepat. Bahkan Ki
Kampar sudah mencabut senjatanya yang berupa
golok bermata besar. Pada satu sisi terdapat gerigi
yang siap mengancam lawan. Dengan senjata di
tangan, serangan-serangan Ki Kampar semakin
berbahaya. Namun sampai sejauh ini, Bayu masih
bisa menandingi, meskipun sedikit sekali
kesempatan untuk balas menyerang.
"Hiya! Yaaah...!"
"Hup! Hup...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ke udara ketika
golok Ki Kampar menebas ke arah kakinya.
Kesempatan ini dimanfaatkan Bayu untuk
mengambil jarak. Namun begitu kakinya mendarat,
Ki Kampar cepat menyerang dengan menyodokkan
ujung goloknya ke arah perut.
Pada saat itu, Bayu tidak punya kesempatan
lagi untuk menghindar. Tidak ada pilihan lain lagi.
Dengan cepat tangan kanannya menyampok golok
laki-laki setengah baya itu.
Trang!
Bunga api berpijar ketika pergelangan tangan
Bayu membentur golok Ki Kampar. Seketika itu
juga Ki Kampar melompat mundur dengan bibir
meringis. Hampir tidak dipercaya kalau seluruh
persendian lengannya bergetar nyeri. Pada saat
yang sama, Bayu juga merasakan panas pada
pergelangan tangannya. Tingkat tenaga dalam
mereka hampir berimbang. Tapi memang, Bayu
tidak mengerahkan sepenuhnya.
"Setan! Kubunuh kau!" geram Ki Kampar begitu
melihat goloknya gompal.
Kemarahan yang meluap-luap, tidak membuat
Ki Kampar bisa berpikir lebih tenang. Kembali
diserangnya lawan dengan ganas. Goloknya
berkelebatan mengurung tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Pertarungan kembali berlangsung semakin
sengit. Dan kelihatannya Ki Kampar benar-benar
ingin menghabisi nyawa lawannya. Sedangkan
Bayu terlihat hanya menghindar dan sesekali
memberi serangan balasan. Hanya saja setiap arah
pukulan maupun tendangannya tidak terarah pada
bagian yang mematikan. Hal itu tentu saja sangat
disadari Ki Kampar. Akibatnya dia bertambah
berang. Dia menganggap Bayu hanya main-main
dan ingin mempermalukan dirinya di depan murid-
muridnya.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
***
"Uts!"
Bayu merundukkan kepalanya sedikit ketika
golok Ki Kampar menebas ke arah kepalanya.
Tebasannya begitu cepat dan tiba-tiba, disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Bayu merasakan
angin tebasan itu demikian dahsyat, ketika lewat di
atas kepalanya. Dengan cepat, Bayu menarik
kakinya ke belakang. Dengan tubuh setengah
membungkuk miring, dikibaskan tangan kanannya
ke arah golok Ki Kampar yang sudah berada di
udara kembali.
Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari
pergdangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Maka Cakra Maut pun melesat cepat bagai kilat
Begitu cepatnya, sehingga Ki Kampar tidak sempat
menarik kembali goloknya.
Trang!
"Akh!" Ki Kampar memekik tertahan.
Laki-laki tua itu tidak bisa lagi
mempertahankan goloknya yang kini terpental
cukup jauh. Saat itu juga Ki Kampar menarik dan
memegangi tangannya dengan bibir meringis. Jari
jari tangannya terasa kaku, dan tulang-tulangnya
nyeri.
"Hap!" Bayu mengangkat tangannya ke atas
kepala. Cakra Maut pun menempel kembali di
pergelangan tangan. Pendekar Pulau Neraka itu
berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.
Sementara Ki Kampar mengurut-urut tangan
kanannya sendiri. Bibirnya masih meringis
menahan nyeri pada persendian tulang tangan
kanannya. Akibat benturan keras dua senjata tadi,
tangan kanan Ki Kampar seperti lumpuh, dan tidak
bisa digerakkan lagi.
"Bagaimana Ki Kampar, akan dilanjutkan lagi
pertarungan ini?" tantang Bayu.
"Kali ini kau boleh bangga, Anak Muda!" dengus
Ki Kampar.
Setelah selesai kata-katanya, Ki Kampar
langsung berbalik. Dia menerima goloknya yang
diberikan muridnya. Tanpa berucap lagi, laki-laki
setengah baya itu melangkah pergi. Sementara Ki
Pancur tampak kebingungan.
"Maafkan kekasaran adikku, Kisanak," kata Ki
Pancur agak terbata-bata.
"Lupakan saja," sahut Bayu tersenyum. Ki
Pancur bergegas menyusul Ki Kampar yang sudah
lebih dahulu pergi. Sedangkan Bayu mengajak Ki
Kabul kembali masuk ke dalam rumahnya.
Sementara murid-murid Padepokan Malapat segera
kembali menjalankan tugasnya masing-masing.
Ki Pancur setengah berlari mengejar adiknya.
Disejajarkan langkahnya di samping Ki Kampar.
Mereka melangkah cepat tanpa bicara sedikit pun.
Tapi tiba-tiba Ki Kampar berhenti melangkah, dan
langsung berbalik. Matanya lurus menatap rumah
Ki Kabul yang sudah jauh ditinggalkan.
"Kau keterlaluan, Kampar!" dengus Ki Pancur
tidak senang dengan sikap kasar adiknya tadi.
Ki Kampar hanya mendengus dan tersenyum
tipis.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau jadi brutal dan
kasar begitu? Mereka benar. Aku sendiri sempat
melihat Nini Ratih, sebelum melesat pergi. Dan aku
yakin, murid-muridmu juga sempat melihat wanita
itu!" kata Ki Pancur lagi.
"Memang, aku juga sempat melihatnya," sahut
Ki Kampar.
"Lantas, kenapa kau berlaku sekasar itu tadi,"
tanya Ki Pancur terkejut mendengar kata-kata
adiknya.
"Sengaja."
"Sengaja...?!" Ki Pancur jadi tidak mengerti.
"Ya! Aku memang sengaja memancing kemarah-
annya," tenang sekali jawaban Ki Kampar.
"Kau gila, Kampar!"
"Aku tahu siapa anak muda itu. Dia Pendekar
Pulau Neraka yang sangat tersohor! Aku sengaja
memancing kemarahannya agar bisa menguji
kemampuannya dalam ilmu olah kanuragan. Aku
pun tahu kalau dia tadi hanya setengah-setengah
melayaniku."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kampar...?" Ki
Pancur makin kebingungan.
"Kakang! Saat ini kita sedang menghadapi
bahaya besar. Tidak mudah untuk melawan Nini
Ratih. Apalagi sampai saat ini kita belum bisa
menemukan batu Mustika Dewi Pelangi. Aku
sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba terlintas satu
rencana di kepalaku begitu melihat Pendekar Pulau
Neraka," Ki Kampar mencoba menjelaskan.
Ki Pancur diam saja, tapi berusaha untuk bisa
mengerti.
"Aku sering mendengar sepak terjang Pendekar
Pulau Neraka. Pada masa ini, tingkat
kepandaiannya belum ada yang menandingi. Dan
saat itulah, kesempatan baik untuk mengujinya.
Sebab, tidak mungkin bertarung tanpa alasan yang
pasti, makanya kucoba untuk memancing
kemarahannya, agar bisa bertarung sekaligus
menguji kemampuannya."
"Lantas, apa pendapatmu?" tanya Ki Pancur
mulai bisa mengerti.
"Dia memang seorang pendekar digdaya yang
sukar dicari tandingannya," sahut Ki Kampar.
"Hm. Lalu, apa rencanamu?"
"Akan kugiringkan dia untuk melawan Nini
Ratih.,"
"Kau gila, Kampar!" sentak Ki Pancur terkejut.
"Hanya itu jalan satu-satunya untuk bisa
terlepas dari cengkeraman Nini Ratih, Kakang."
“Tapi, resikonya terlalu besar, Kampar. Nini
Ratih tidak akan mati tanpa batu Mustika Dewi
Pelangi! Sedangkan sampai saat ini tidak ada yang
tahu, di mana inti batu mustika itu. Hanya dengan
batu itu dia bisa dikalahkan."
"Aku tahu! Tapi, apa salahnya kalau kita
berusaha? Pendekar Pulau Neraka sangat tangguh.
Aku yakin, dia akan mampu menandingi Nini
Ratih."
"Rencanamu sangat berbahaya, Kampar. Itu
sama saja kau mengorbankan Pendekar Pulau
Neraka."
"Kita lihat saja nanti, Kakang. Sekarang ini,
jangan sampai ada orang tahu tentang rencana
ini."
'Terserah kau sajalah! Yang jelas, aku tidak
suka terlibat dengan rencana gilamu itu!" sahut Ki
Pancur.
"Kau memang selalu tidak mau tahu, Kakang!"
dengus Ki Kampar sengit.
"Selama ini kau yang mengatur Desa Malapat.
Menjadi kepala desa pun juga bukan kemauanku!
Kaulah yang mendesak dan mengaturnya.
Segalanya kuserahkan padamu, Kampar. Aku tidak
mau tahu lagi dengan masa depan desa ini. Yang
jelas, kalau rencanamu gagal, akan segera
kutinggalkan desa ini!" kata Ki Pancur.
"Huh! Kau selalu mementingkan dirimu sendiri,
Kakang "
"Keselamatanku lebih penting, Kampar."
"Kau memang selalu mementingkan
keselamatan dirimu sendiri, tapi kau langgar
semua pesan guru. Kalau saja kau tidak
melakukan kesalahan, kejadian ini tidak akan
pernah terulang lagi!"
"Aku tidak tahu! Aku tidak mampu membunuh
Nini Ratih!"
"Huh!" Ki Kampar hanya mendengus saja.
Sementara Ki Pancur sudah kembali melangkah
cepat. Dia memang paling tidak suka jika berdebat
tentang Nini Ratih. Apalagi mengungkit-ungkit
masa lalu. Bagaimanapun juga, dia masih
mencintai wanita itu. Padahal, sudah jelas Nini
Ratih adalah wanita siluman yang sangat kejam.
Cintanya memang tidak akan pernah luntur
sampai kematian datang menjemputnya nanti.
***
Sementara itu, di Puncak Bukit Menjangan,
Prawata masih tetap terbaring tanpa daya di atas
ranjang besar dan indah. Sudah beberapa hari ini
dia menjadi tawanan Nini Ratih tanpa mampu
berbuat apa-apa. Tubuhnya sudah tidak lagi
terlihat tegap. Wajahnya pun pucat tanpa
semangat hidup.
Prawata hanya melirik saja ketika Nini Ratih
datang menghampiri. Wanita cantik itu langsung
naik ke atas pembaringan. Dipandanginya lekat-
lekat wajah Prawata yang sudah tanpa gairah lagi.
Nini Ratih menggerak-gerakkan ujung jarinya ke
beberapa bagian tubuh pemuda itu. Sebentar saja,
Prawata merasakan tubuhnya dapat digerakkan
lagi. Tapi dia segera beringsut menjauh.
Pemuda itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya
terasa lemah. Dia hanya mampu duduk lesu.
Entah sudah berapa hari ini perutnya tidak terisi
makanan. Sedangkan setiap saat harus melayani
keinginan wanita itu. Seluruh daya yang
dimilikinya benar-benar terkuras habis. Sudah
beberapa kali Prawata terpaksa melayani dalam
kesadaran penuh. Nini Ratih tidak lagi
menggunakan pengaruhnya untuk memenuhi
hasratnya terhadap pemuda itu.
"Aku lemas, Nini...," kata Prawata pelan ketika
Nini Ratih memeluk dan menciuminya.
"He! Apa kau bilang?" sentak Nini Ratih seraya
mencampakkan pemuda itu.
Prawata langsung jatuh terjerembab. Tubuhnya
benar-benar lemas tak bertenaga lagi. Untuk
bangkit saja, sudah tidak punya tenaga, apalagi
harus melayani wanita iblis ini? Prawata sudah
pasrah seandainya harus mati sekarang juga.
"Kau benar-benar mengecewakan, Prawata!
dengus Nini Ratih kesal.
Prawata hanya diam saja.
"Kau harus melayaniku, Prawata. Harus...!"
Nini Ratih tidak peduli dengan keadaan
Prawata. Dia menubruk dan memeluknya. Dengan
liar diciumi pemuda itu. Tapi, Prawata benar-benar
tidak berdaya lagi. Menggeliat saja tidak mampu.
Pemuda itu hanya dapat mengerang lirih.
Sedangkan Nini Ratih bagaikan seekor singa
betina lapar yang baru menemukan daging domba.
Tapi mendadak kebuasannya terhenti.
Dipandanginya wajah Prawata yang pucat lesu.
Lalu matanya juga merayap ke seluruh tubuh
pemuda itu. Nini Ratih menggerinjang bangkit.
Kembali dikenakan pakaiannya yang sudah
terlepas.
"Huh! Kau benar-benar tidak ada gunanya lagi,
Bocah!" dengus Nini Ratih kecewa.
"Kenapa tidak kau bunuh saja aku?" tantang
Prawata putus asa.
"Kau memang harus mati!"
Prawata mengeluh lirih.
"Kau harus mati, Bocah! Sudah ada
penggantimu. Lebih tampan, lebih gagah, dan lebih
perkasa! Tidak loyo sepertimu!"
Prawata diam saja. Hatinya terasa perih. Dia
berharap pemuda itu tidak akan bernasib sama
dengan dirinya. Sungguh tersiksa berada dalam
kungkungan wanita ini.
"Saat ini aku memang belum mendapatkannya,
tapi aku pasti akan memilikinya. Dan kau..., kau
tidak berguna lagi, Bocah!"
Setelah berkata begitu, Nini Ratih mengibaskan
tangannya dengan cepat. Prawata langsung
memejamkan matanya. Pemuda itu tidak bersuara
sedikit pun. Hingga lehernya terpenggal, tetap tidak
terdengar suaranya. Darah mengucur deras dari
leher yang buntung. Nini Ratih mendekati dan
membungkuk. Kemudian dihirupnya darah itu
dengan lahap!
Tidak berapa lama, darah di tubuh Prawata
sudah kering terhisap wanita siluman itu. Nini
Ratih tersenyum puas. Wajahnya kelihatan segar
kembali. Sejenak dipandangi kepala Prawata yang
sudah buntung, lalu tawanya meledak terbahak-
bahak.
"Ha ha ha...!"
***
7
Hampir setiap hari penduduk Desa Malapat
menemukan mayat tanpa kepala lagi. Dan kini
mereka tidak saja gempar, tapi benar-benar bagai
terguncang gempa. Mayat Prawata telah ditemukan
tergeletak di tengah-tengah jalan depan rumahnya.
Dan sudah tentu tanpa kepala lagi! Kalau saja
Prawata bukan putra kepala desa, mereka akan
menganggap hal itu adalah kejadian biasa.
Kematian Prawata membuat Ki Pancur
terguncang hebat. Putra satu-satunya itu sangat
dicintainya. Ketika kabar tentang kepergian
Prawata ke Bukit Menjangan sampai di telinganya,
sama sekali tidak dipercayai. Tapi kematian
Prawata, membuatnya seperti gila. Ki Pancur
merasa hidupnya tidak ada gunanya lagi. Semua
harapannya kini sirna.
Ki Pancur bergegas menyiapkan kuda setelah
upacara penguburan Prawata selesai. Tanpa
disadari, semua yang dilakukannya selalu
diperhatikan adiknya. Ki Kampar menahan pundak
kepala desa itu ketika baru saja akan naik ke
punggung kuda. Ki Pancur menoleh dan berbalik.
"Akan ke mana kau?" tanya Ki Kampar.
"Ke Bukit Menjangan," sahut Ki Pancur datar.
"Mau apa ke sana?" Ki Kampar terkejut.
"Perempuan itu harus membayar nyawa
anakku!"
"Gila! Itu sama saja bunuh diri!" sentak Ki
Kampar.
"Hidup pun tidak ada gunanya."
"Pikirkan dulu, Kakang! Nini Ratih bukan
manusia! Kau sulit untuk menandinginya. Kau
tidak lagi memiliki kekuatan untuk
menghadapinya, dan akan mati sia-sia, Kakang," Ki
Kampar berusaha mencegah.
"Jangan menghalangiku, Kampar."
"Sadar, Kakang. Prawata bukan satu-satunya
korban, karena sudah banyak korban sebelumnya.
Jangan makin mengeruhkan suasana yang sudah
keruh ini, Kakang."
"Dengar, Kampar! Prawata itu anakku satu-
satunya, dan aku sangat mencintainya! Aku tidak
rela dia mati dengan cara seperti itu. Aku akan
membalas kematiannya! Harus...!"
"Jangan bodoh, Kakang. Ingat rencana kita
sudah mulai jalan. Jangan membuat kacau semua
yang sudah kita rencanakan," Ki Kampar
mengingatkan.
"Bukan rencana kita, tapi rencanamu!"
"Kakang...."
"Sudahlah, Kampar. Aku tidak suka lagi
mendengar semua nasehatmu. Selama ini aku
memang selalu bersikap mengalah, karena aku
menyayangimu. Itu pun hanya sekedar
menjalankan amanat terakhir mendiang Ibu.
Rasanya sudah cukup aku menurutimu, Kampar.
Aku sudah lelah jadi bonekamu! Biarkan aku
menentukan jalan hidupku sendiri, Kampar. Jalan
menuju kematianku!"
Ki Kampar terdiam. Selama ini dia memang
selalu mencampuri kehidupan kakaknya. Bahkan
semua yang dilakukan kakaknya dia yang
mengatur. Dia tapi justru sama sekali tidak tahu
kalau sikap mengalah kakaknya itu karena amanat
terakhir mendiang ibu.
Ki Kampar tidak bisa lagi mencegah ketika Ki
Pancur naik ke punggung kudanya. Bahkan dia
masih tetap diam walaupun kakaknya itu sudah
menggebah kudanya dengan cepat. Ki Kampar
masih berdiri terpaku memandangi kepergian
kepala desa itu.
"Maafkan aku, Kakang...," desah Ki Kampar
lirih.
***
Kuda berwarna coklat kehitaman berlari cepat
bagaikan terbang saja. Debu mengepul
membumbung tinggi ke angkasa. Kuda itu
meringkik keras setiap kali digebah agar berlari
lebih cepat lagi. Kecepatan larinya tidak berkurang,
meskipun sudah memasuki hutan di Lereng Bukit
Menjangan.
"Hiya...! Hiya...!"
Tiba-tiba kuda coklat kehitaman itu berhenti,
lalu meringkik keras sambil mengangkat kaki
depannya. Kuda itu terus bertingkah laku
demikian. Ki Pancur jadi kewalahan juga. Dia
melompat turun sebelum kuda itu
melemparkannya. Sulit dimengerti, kenapa tiba-
tiba kuda itu tidak bisa dikendalikan. Merasa
bebannya sudah tidak ada, kuda itu berbalik dan
langsung berlari cepat menuruni lereng bukit itu.
"Hey, kembali...!" teriak Ki Pancur.
Namun kuda coklat kehitaman itu sudah jauh
meninggalkannya. Ki Pancur tidak mengejar. Dia
hanya berdiri memandangi sebentar, lalu
membalikkan tubuhnya memandang ke arah
Puncak Bukit Menjangan. Hatinya agak heran juga,
karena kudanya jadi tak terkendali begitu sampai
di pertengahan lereng bukit ini.
"Hm, naluri kuda lebih kuat dari manusia...,"
gumam Ki Pancur pelan.
Sikap kudanya itu membuat Ki Pancur sadar
kalau ada bahaya sedang mengintainya. Sikapnya
langsung waspada. Dipasang telinganya tajam-
tajam. Matanya beredar ke sekeliling. Keadaan
Lereng Bukit Menjangan ini kelihatan sepi. Bahkan
seekor binatang pun tidak terlihat Suaranya pun
tidak terdengar sama sekali.
"Hm...," lagi-lagi Ki Pancur bergumam pelan.
Keadaan di sekitarnya sungguh mengherankan,
tapi membuatnya lebih waspada. Pelahan-Iahan
kakinya terayun melangkah. Bola matanya tidak
pernah berkedip mengamati sekelilingnya. Laki-laki
setengah baya itu terus melangkah semakin jauh
memasuki hutan di Lereng Bukit Menjangan itu.
"Keadaannya sama seperti tiga puluh tahun
yang lalu...," lagi-lagi Ki Pancur bergumam. "Aku
harus cepat sampai!"
Seketika itu juga dia melesat cepat
menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Gerakannya sangat ringan, berkelebat dari pohon
yang satu ke pohon lainnya. Begitu cepatnya,
sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ki
Pancur memang hebat, sehingga dalam waktu
tidak berapa lama saja telah tiba di Puncak Bukit
Menjangan. Laki-laki setengah baya itu tertegun
sesaat di puncak bukit itu. Hatinya sedikit
terkesiap menyaksikan pemandangan di depannya.
Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan.
Kepala-kepala manusia terpancang berbaris
pada tonggak kayu. Di tengah-tengah barisan
kepala itu terlihat pecahan batu yang
memancarkan cahaya kemilau indah bagai pelangi.
Namun cahayanya kelihatan agak redup. Ki Pancur
memandangi batu-batu itu. Dia tahu kalau batu-
batu itu pecahan dari batu Mustika Dewi Pelangi.
Matanya semakin ditajamkam, mencari inti batu
Mustika Dewi Pelangi.
"Hhh...! Inti batu Mustika Dewi Pelangi benar-
benar hilang. Hm..., batu-batu pecahannya itu
mulai meredup cahayanya. Tapi aku tidak yakin
kalau Nini Ratih berkurang kekuatannya," gumam
Ki Pancur lagi.
Laki-laki setengah baya itu kembali
mengedarkan pandangannya. Hatinya kembali
terkesiap saat melihat kepala Prawata terpancang
di antara kepala-kepala lainnya. Tapi Ki Pancur
bertahan untuk tidak gegabah. Meskipun hatinya
menjerit, dia berusaha tabah dan tegar. Dia tahu
kalau daerah di sekitar kepala-kepala yang
terpancang itu sangat berbahaya. Tidak sembarang
orang bisa memasukinya tanpa seijin Nini Ratih.
Kepala-kepala itu merupakan penjaga yang sangat
berbahaya dan dapat membunuh siapa saja yang
coba-coba melewatinya.
Ki Pancur melangkah mundur tiga tindak ketika
kepala-kepala itu mulai bergerak-gerak. Semakin
lama gerakannya semakin terlihat jelas. Kepala itu
bergoyang-goyang, menggeleng ke kanan dan ke
kiri. Semakin lama, tonggak-tonggak kayu yang
memancangnya ikut bergoyang. Kayu-kayu itu
bagaikan sebuah per baja bergerak ke kiri dan ke
kanan mengikuti gerakan kepala yang terpancang
pada ujungnya itu.
"Hugh!" Ki Pancur mengeluh begitu hidungnya
mencium bau busuk yang memualkan.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa
mengikik.
"Ha...!" Ki Pancur kembali melompat mundur
beberapa langkah.
Laki-laki setengah baya itu terbeliak saat
melihat seorang wanita cantik tahu-tahu sudah
berdiri di atas pecahan batu bercahaya bagai
pelangi itu. Sementara kepala-kepala yang
terpancang itu terus bergoyang-goyang.
"Akhirnya kau datang juga, Kakang Pancur...,"
lembut suara wanita cantik itu.
"Aku datang untuk membunuhmu, Nini Ratih!"
kata Ki Pancur lantang.
"Ha ha ha...!" Nini Ratih tertawa terbahak-
bahak.
Begitu suaranya hilang dari pendengaran,
mendadak saja tubuhnya melesat cepat bagaikan
kilat. Dalam sekejap mata saja, dia sudah berdiri
tidak jauh di depan Ki Pancur. Hal ini membuat Ki
Pancur terperangah. Jantungnya seperti akan
copot.
Sungguh tidak disadari kalau Nini Ratih bisa
melesat begitu cepat dan sulit diikuti pandangan
matanya.
"Lama kita tidak bertemu, Kakang Pancur.
Rasanya aku sudah rindu padamu," kata Nini
Ratih lembut.
"Simpan saja kerinduanmu, Nini Ratih! Bukan
waktunya lagi kita melepas rindu. Aku datang
untuk membunuhmu!" suara Ki Pancur masih
terdengar ketus.
"O...! Rupanya kau ingin mengulangi peristiwa
tiga puluh tahun lalu...?"
"Lebih dari itu!"
"Sungguh menyesal sekali! Kau datang hanya
mengantarkan nyawa saja, Kakang. Tapi itu lebih
bagus. Artinya, kita bisa lebih cepat bersatu dalam
cinta," kata Nini Ratih.
"Jangan berharap terlalu muluk, Nini! Aku
bukan Pancur yang dulu. Pancur yang kau cintai
dan mencintaimu telah mati!"
"Hm...!" Nini Ratih mengerutkan keningnya.
"Sekarang akulah Pancur yang akan
membunuhmu. Pancur yang menjadi lawanmu!"
Setelah berkata demikian, Ki Pancur cepat
mencabut senjatanya, berupa pedang panjang
berwarna putih kemerah-merahan. Melihat senjata
di tangan laki-laki setengah baya itu, Nini Ratih
hanya tersenyum. Dan Ki Pancur memang sadar
betul kalau bukan tandingan Nini Ratih lagi. Tapi
semuanya sudah dipikirkan masak-masak. Dia
harus membalas kematian anaknya, dengan
pengorbanan nyawanya sendiri!
"Hup! Hiyaaa...!"
Ki pancur berteriak keras sambil melompat
menerjang.
"Uts!"
***
Nini Ratih memiringkan tubuhnya sedikit ke
kiri, menghindari sodokan pedang Ki Pancur. Dan
pada saat yang sama, tangan kanannya mendorong
ke depan. Ki Pancur segera menarik kembali
pedangnya pulang sambil menggeser kakinya ke
kiri. Dan dengan cepat diputar pedangnya
membabat tangan wanita cantik itu.
"Ikh!" Nini Ratih memekik tertahan.
Buru-buru tangannya ditarik kembali, sehingga
tebasan pedang Ki Pancur mengenai angin. Wanita
cantik itu cepat melentingkan tubuh ke atas
sebelum Ki Pancur dapat menarik kembali
pedangnya. Pada saat itu, Nini Ratih melontarkan
satu tendangan keras ke arah kepala.
"Hap! Yaaa...!"
Cepat sekali Ki Pancur mendoyongkan
tubuhnya ke belakang sambil membabatkan
pedangnya ke atas. Tentu saja Nini Ratih jadi
terkesiap. Buru-buru diputar tubuhnya. Segera
tubuhnya itu meluruk ke bawah setelah pedang
laki-laki setengah baya itu lewat.
Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat
Nini Ratih melontarkan pukulan keras ke arah
dada lawannya. Ki Pancur yang tubuhnya masih
dalam keadaan doyong ke belakang, tidak mungkin
lagi berkelit. Dengan telak pukulan Nini Ratih
bersarang di dadanya.
"Akh!" Ki Pancur memekik tertahan.
Tubuh laki-laki setengah baya itu terpental ke
belakang, dan dengan keras membentur pohon.
Namun dia segera melompat dan menyerang ganas
kembali. Meskipun dadanya terasa sesak, Ki
Pancur tidak peduli, dan terus menyerang semakin
dahsyat. Sementara Nini Ratih berkelit dan
berlompatan menghindar sambil balas menyerang.
Jurus demi jurus terlampaui dengan cepat.
Tidak terasa, Ki Pancur sudah menghabiskan
hampir semua jurus yang dimilikinya. Namun
sampai sejauh itu, Nini Ratih masih mampu
bertahan, bahkan terlalu alot untuk dikalahkan. Ki
Pancur mulai ciut hatinya. Apalagi setelah
mengerahkan jurus terakhir, tapi tidak
menghasilkan apa-apa. Pada saat itu, Nini Ratih
sudah mendesaknya dengan pukulan dan
tendangan keras yang dahsyat.
Ki Pancur hanya bisa berkelit dan berlompatan
menghindar. Sesekali masih bisa dikibaskan
pedangnya. Tapi itu pun hanya untuk mengambil
napas saja. Tidak terhitung lagi, berapa pukulan
dan tendangan telah bersarang di tubuh kepala
desa itu. Namun kelihatannya dia masih berusaha
bertahan sekuat tenaga.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Nini Ratih berteriak keras.
Seketika itu juga tubuhnya melompat tinggi ke
udara, lalu dengan cepat meluruk ke bawah
dengan jari-jari tangan mengembang kaku. Ki
Pancur terkesiap sesaat Namun sebelum bisa
berbuat sesuatu, jari-jari tangan Nini Ratih sudah
mencengkeram kepalanya.
"Aaa....!" Ki Pancur menjerit keras.
Kepalanya terasa panas luar biasa, disusul oleh
suara tulang-tulang pecah yang bergemeletak. Nini
Ratih berada tepat di atas kepala Ki Pancur.
Tangannya mencengkeram kuat kepala laki-laki
setengah baya itu. Darah mulai merembes
membanjiri tubuh laki-laki malang itu.
"Yahhh...!"
Sambil berteriak keras, Nini Ratih memutar
tubuhnya, sedangkan kakinya terayun mendupak
keras punggung Ki Pancur.
"Aaa....!" kembali Ki Pancur menjerit keras
menyayat.
Jeritannya pun lenyap bersama dengan
lehernya yang putus. Tubuh kepala desa itu
ambruk ke tanah dan menggelepar-gelepar.
Sedangkan kepalanya berada di dalam
cengkeraman tangan Nini Ratih.
Hanya sebentar tubuh Ki Pancur menggelepar,
kemudian diam tidak bergerak lagi. Darah terus
mengucur deras dari lehernya yang buntung.
Sesaat Nini Ratih tertawa terbahak-bahak
memandangi tubuh tanpa kepala itu.
Tak ada yang menyaksikan kejadian itu. Seperti
biasanya, Nini Ratih selalu menghirup darah
korbannya, dan memancangkan kepalanya pada
tonggak kayu. Kemudian dilemparkan tubuh
korbannya ke arah Desa Malapat. Begitu pula yang
dilakukannya terhadap Ki Pancur. Wanita cantik
haus darah itu kembali tertawa terbahak-bahak
setelah darah laki-laki setengah baya itu berpindah
ke dalam tubuhnya.
"Hup!"
Hanya dengan satu tendangan saja, tubuh Ki
Pancur yang sudah tidak berkepala itu melayang
tinggi ke angkasa. Nini Ratih memandanginya
sambil tertawa mengikik. Tangan kirinya masih
mencengkeram kepala Ki Pancur. Kemudian wanita
itu berbalik dan memancangkan kepala laki-laki
setengah baya itu pada sebuah tonggak kayu di
samping kepala Prawata.
"Hm...," Nini Ratih bergumam pelan.
Sebentar dipandangi kepala korbannya yang baru,
kemudian kakinya terayun pelan. Namun baru
beberapa langkah, dia berhenti dan berbalik
memandangi kepala yang terpancang hampir
memenuhi puncak bukit ini. Bibirnya
menyunggingkan senyum, dan kembali melangkah
menuruni Lereng Bukit Menjangan itu.
***
8
Saat itu di Kaki Bukit Menjangan, Pendekar
Pulau Neraka duduk-duduk bersama Ki Kabul
sambil membicarakan keadaan Desa Malapat yang
semakin tidak menentu. Bukan hanya kekejaman
Nini Ratih. Tapi juga, perlakuan Ki Kampar
membuat Pendekar Pulau Neraka jadi tidak
mengerti. Sikapnya seolah-olah berpihak pada Nini
Ratih.
Saat itu matahari belum lagi naik tinggi.
Sinarnya yang lembut hangat menyemburat dari
balik awan. Bayu bangkit dari duduknya. Sebentar
dia menggeliat-geliat, mencoba menghilangkan rasa
pegal dan kejenuhan. Sejak semalam dia duduk di
sini bersama Ki Kabul, laki-laki tua yang telah
diselamatkan nyawanya dari cengkeraman maut
Nini Ratih. Sebentar pandangan Bayu terarah ke
Puncak Bukit Menjangan, kemudian beralih pada
Ki Kabul yang masih duduk bersandar pada pohon
tumbang.
"Ke mana tujuanmu sekarang, Ki?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Ki Kabul pelan. "Sekarang ini
aku tidak mungkin kembali ke rumah. Nini Ratih
pasti mengincarku terus."
"Bukankah anak dan istrimu di kota?"
"Sudah lama aku tidak pernah berkunjung
sana."
"Untuk sementara, sebaiknya kau pergi saja
sana, Ki."
"Justru itu yang kuhindari."
"Kenapa?"
"Nini Ratih pasti tahu, dan ini dapat
mencelakakan keluargaku. Perempuan siluman itu
pasti akan membantai seluruh keluargaku."
Bayu jadi terdiam. Tidak mungkin mengawasi
laki-laki tua ini terus. Sedangkan dia harus ke
Puncak Bukit Menjangan untuk menumpas
perempuan siluman itu. Seluruh penduduk Desa
Malapat jelas akan musnah jika perempuan
siluman itu masih hidup dan bebas berkeliaran.
Bayu menarik napas panjang Kepalanya
berpaling ketika telinganya mendengar derap
langkah kaki kuda dari arah kaki bukit. Tampak
debu mengepul di udara, menyembul ke luar dari
lebatnya pepohonan. Pendekar Pulau Neraka itu
melesat ke atas, dan hinggap pada dahan pohon
yang tinggi. Matanya langsung diarahkan pada
suara kaki kuda itu.
"Hm...," gumam Bayu pelan.
Dalam kepulan debu, terlihat beberapa orang
berkuda mendaki Bukit Menjangan ini. Tampak
paling depan, Ki Kampar memacu cepat kudanya.
Sekitar dua puluh orang mengikutinya dari
belakang. Bayu bergegas melompat turun, dan
mendarat ringan di depan Ki Kabul yang sudah
berdiri memandanginya.
"Ada apa?" tanya Ki Kabul
"Ki Kampar dan orang-orangnya tengah menuju
ke sini," sahut Bayu menjelaskan.
"Celaka! Dia pasti akan menangkapmu, Bayu,"
kata Ki Kabul kontan pucat wajahnya.
“Tenang saja, Ki. Biar kutunggu mereka di sini,"
kata Bayu tenang.
“Tapi...."
Belum sempat Ki Kabul melanjutkan kata-
katanya, dari balik pepohonan muncul Ki Kampar
dan dua puluh orang muridnya. Laki-laki setengah
baya itu segera melompat turun dari punggung
kudanya. Dua puluh orang muridnya pun ikut
melompat turun dari kudanya masing-masing.
Ki Kampar melangkah maju beberapa tindak,
dan berhenti di depan Pendekar Pulau Neraka
dengan jarak sekitar lima langkah. Sedangkan
Bayu menanti dengan sikap tenang. Tangannya
melipat di depan dada. Namun tatapan matanya
tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki
setengah baya itu.
"Kelihatannya kau siap menyabung nyawa, Ki
Kampar," kata Bayu kalem. Matanya tetap menatap
tajam tidak berkedip.
"Benar," sahut Ki Kampar tegas.
"Dengan orang-orangmu?"
"Ya! Mereka sudah siap bertempur sampai tetes
darah yang penghabisan."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?"
Ki Kampar tersenyum dan menggeleng-
gelengkan kepalanya. Nada suara Bayu terdengar
menantang. Tapi begitu melihat Ki Kampar yang
tidak lagi garang dan bahkan tersenyum, Bayu jadi
mengerutkan keningnya juga. Benar-benar sukar
dimengerti sikap laki-laki setengah baya itu. Ki
Kampar melangkah menghampiri Ki Kabul yang
berdiri agak ke belakang sedikit di samping Bayu.
Dengan bibir masih menyunggingkan senyum,
tangan kiri Ki Kampar menepuk pundak laki-laki
tua itu seraya menyodorkan tangan kanannya.
Sikap Ketua Padepokan Malapat itu, membuat Ki
Kabul keheranan. Dengan hati masih diliputi
perasaan heran dan tidak mengerti, Ki Kabul
menerima juga sodoran tangan itu. Mereka
berjabatan tangan. Namun raut wajah Ki Kabul
masih diliputi perasaan tidak mengerti. Sedangkan
Ki Kampar menepuk-nepuk pundaknya beberapa
kali dengan bibir tetap tersungging senyuman.
"Maafkan atas kekasaranku kemarin malam,"
kata Ki Kampar bernada menyesal.
"Ada apa ini?" Ki Kabul keheranan setengah
mati.
Ki Kampar tidak menjawab, tapi malah berbalik
dan langsung melompat ke punggung kudanya.
Dua puluh orang muridnya juga segera naik ke
kudanya masing-masing.
"Sebaiknya kau tinggalkan saja desa ini, Anak
Muda. Jangan membuang nyawa sia-sia di sini,"
saran Ki Kampar kepada Bayu.
Setelah berkata demikian, Ki Kampar
menggebah kudanya dengan cepat. Dua puluh
orang muridnya juga segera menggebah kudanya
mengikuti. Sementara Bayu masih memandangi
dengan kepala dipenuhi berbagai macam
pertanyaan akan sikap aneh Ki Kampar itu.
Keningnya semakin berkerut, karena Ki Kampar
dan murid-muridnya terus mendaki Bukit
Menjangan.
"Cepat kembali ke desa, Ki. Beri tahu semua
orang agar cepat mencari perlindungan. Kalau
perlu segera tinggalkan desa itu!" seru Bayu keras.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat ke
arah perginya Ki Kampar dan murid-muridnya.
Sedangkan Ki Kabul terpaku tidak mengerti. Tapi
begitu menyadari kalau orang-orang itu menuju ke
Puncak Bukit Menjangan, dia langsung berlari
sekuat tenaga menuju Desa Malapat
***
Bayu berlari cepat menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Sengaja dilewati Ki Kampar
dan dua puluh orang muridnya tanpa diketahui
mereka. Pendekar Pulau Neraka itu terus berlari
menuju ke Puncak Bukit Menjangan. Ilmu
meringankan tubuhnya memang telah mencapai
taraf kesempurnaan. Sehingga, dalam waktu tidak
berapa lama, dia sudah tiba di Puncak Bukit
Menjangan.
"Oh..!" Bayu tersentak kaget begitu
menyaksikan pemandangan yang mengiris hati.
Bayu tidak bisa percaya dengan penglihatannya
sendiri. Hampir seluruh Puncak Bukit Menjangan
dipenuhi kepala manusia yang terpancang tonggak
kayu. Bau busuk menyebar memenuhi seluruh
udara di puncak bukit ini. Sebagian besar kepala
itu sudah rusak membusuk, menyebarkan bau
yang tidak sedap dan memualkan perut.
"Benar-benar iblis...!" desis Bayu menggeram.
Pendekar Pulau Neraka itu mengepalkan
tangannya kuat-kuat begitu melihat kepala
Prawata dan ayahnya yang terpancang
berdampingan. Perhatiannya kemudian tertumpah
pada pecahan-pecahan batu yang memancarkan
cahaya bagai pelangi. Tapi cahayanya sudah
kelihatan memudar. Bayu meraba sabuk yang
membelit pinggangnya. Pecahan batu itu hampir
sama dengan batu yang berada di dalam sabuknya.
Hanya saja batu yang ada padanya tidak memudar
cahayanya, bahkan ukurannya juga lebih kecil.
"Eh!" mendadak Pendekar Pulau Neraka
tersentak kaget.
"Ups!"
Secepat kilat Bayu melentingkan tubuhnya ke
udara ketika secercah cahaya melesat cepat ke
arahnya. Cahaya merah Jingga itu meluruk di
bawah tubuhnya. Pendekar Pulau Neraka itu
menjejak manis di tanah. Tapi belum sempat
menarik napas, sebuah bayangan berkelebat cepat
menyambarnya.
"Akh!" Bayu memekik terkejut.
Bayangan itu demikian cepat, sehingga dia
tidak bisa lagi menghindar. Tubuhnya terpental
beberapa tombak ke belakang. Sebatang pohon tua
yang besar hancur berkeping-keping, terhantam
punggungnya. Bayu bergegas melompat bangkit
berdiri. Matanya agak menyipit melihat seorang
wanita cantik sudah berdiri di depannya. Bayu
memang pernah bertemu dengannya di rumah Ki
Kabul. Wanita itu jelas Nini Ratih, yang sering juga
disebut Wanita Siluman.
"Aku tahu, kau memiliki inti batu Mustika Dewi
Pelangi," kata Nini Ratih, dingin nada suaranya.
"Dari mana kau tahu?" tanya Bayu agak heran
juga.
"Aku telah merasakan ketika bentrok pertama
kali denganmu."
Bayu mengerti, kemudian dikeluarkan batu
yang ada di balik sabuknya. Digenggamnya erat-
erat batu itu dengan tangan kanannya. Namun
cahayanya masih terpancar terang dari sela-sela
jari tangan. Nini Ratih terbeliak matanya melihat
batu kehidupan dan kemastiannya berada di
tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Berikan benda itu padaku, Anak Muda. Kau
akan bebas pergi ke mana saja yang kau suka,"
kata Nini Ratih.
"Sayang sekali, aku tidak bisa percaya begitu
saja dengan kata-katamu," dingin suara Bayu.
"Aku berjanji! Kau bebas pergi ke mana saja,
dan aku tidak akan mengganggumu selamanya,"
janji Nini Ratih.
"Ambillah kalau kau bisa."
Merah padam wajah Nini Ratih. Kata-kata yang
tenang dan bernada tantangan itu membuatnya
berang. Tanpa berkata apa-apa lagi, wanita
siluman itu langsung melompat menyerang. Bayu
berkelit melompat ke samping. Namun sungguh di
luar dugaan, tangan Nini Ratih dapat berputar, dan
menyodok iganya.
"Ugh...!" Bayu mengeluh tertahan.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka itu terdorong
beberapa langkah ke belakang. Dan pada saat Nini
Ratih kembali menyerang, Bayu sudah siap
menyambut serangan itu. Dengan cepat diangkat
tangan kirinya ke depan seraya mengerahkan ilmu
'Pukulan Tapak Beracun'. Satu benturan keras
terjadi. Tak ampun lagi, kedua orang itu terpental
ke belakang sambil memekik keras.
Namun Bayu mampu menguasai keseimbangan
tubuhnya. Sementara Nini Ratih terjungkal
bergulingan beberapa kali di tanah. Wanita
siluman itu bergegas bangkit dan kembali
melompat menyerang. Pada saat yang sama, Bayu
memiringkan tubuhnya ke kiri setengah
membungkuk. Kakinya pun ditekuk hampir
menyentuh tanah. Dan begitu tubuh Nini Ratih
berada di udara, secepat kilat Bayu mengibaskan
tangan kanannya.
Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
itu. Cahaya kilat senjata Cakra Maut, langsung
memapak serangan Nini Ratih. Wanita siluman itu
terperangah sesaat. Dia berusaha berkelit, namun
senjata Cakra Maut mengikuti gerakan tubuhnya,
dan langsung menghajar dada wanita itu.
"Akh!" Nini Ratih memekik tertahan. Tubuh
wanita itu kontan terjungkal keras ke tanah. Pada
saat itu, Bayu melompat cepat sambil berteriak
keras. Sebelum Nini Ratih sempat bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka itu menghantamkan
tangannya yang menggenggam inti batu Mustika
Dewi Pelangi, tepat ke ubun-ubun kepala Nini
Ratih.
"Aaa...!" Nini Ratih menjerit melengking tinggi.
Bayu segera melompat mundur. Dari ubun-ubun
wanita itu memancarkan cahaya menyilaukan
bagai pelangi. Nini Ratih menggelepar di tanah
sambil mengerang dan meraung-raung bagai
binatang buas terluka. Bayu kembali melangkah
mundur, dan menyentakkan tangan kanannya.
Cakra Maut yang masih tertanam di dada wanita
itu, melesat keluar dan kembali menempel di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Hampir tidak dapat dipercaya, tubuh Nini Ratih
berangsur-angsur menyusut Kulitnya yang mulus
mulai berkeriput, wajahnya pun jadi mengendor.
Wanita siluman itu merintih menggeliat-geliat di
tanah. Pada saat yang sama, pecahan-pecahan
batu Mustika Dewi Pelangi bergerak-gerak, lalu
merayap mendekati wanita siluman itu.
"Akh? Tidaaak...!" jerit Nini Ratih melengking.
Bayu sempat menolehkan kepalanya ketika
melihat Ki Kampar berlari-lari menghampiri. Di
belakang laki-laki setengah baya itu menyusul dua
puluh orang muridnya. Mereka berlari sekuat
tenaga mendaki Puncak Bukit Menjangan ini.
Keadaan puncak bukit ini memang tidak bisa
dilalui kuda, sehingga mereka terpaksa
meninggalkan tunggangannya itu.
Sementara itu Nini Ratih terus meraung dan
menjerit-jerit meregang nyawa. Pecahan-pecahan
batu Mustika Dewi Pelangi mulai memancarkan
cahaya terang menyilaukan. Batu-batu itu terus
bergerak mendekati tubuh Nini Ratih yang telah
berubah jadi seorang nenek-nenek tua keriput!
Rambutnya pun memutih semuanya!
***
"Hhh...!" Ki Kampar menarik napas panjang.
Bayu menolehkan kepalanya ke arah laki-laki
setengah baya Ketua Padepokan Malapat itu.
Mereka sama-sama menyaksikan tubuh Nini Ratih
terbungkus cahaya kemilau bagai pelangi.
Tubuhnya pun menyusut kecil terbungkus
pecahan-pecahan batu Mustika Dewi Pelangi.
Hingga pada akhirnya, seluruh tubuh wanita
siluman itu terbungkus bongkahan batu yang
memancarkan cahaya menyilaukan.
“Terima kasih, kau telah menyelamatkan
seluruh warga Desa Malapat," ucap Ki Kampar
sambil menyodorkan tangannya.
Bayu hanya tersenyum saja. Disambutnya
uluran tangan itu dengan hangat.
"Maaf, jika waktu itu aku bertindak kasar
padamu.”
"Ah! Lupakan saja."
'Tapi kau harus tahu, hal itu kulakukan bukan
karena membencimu atau untuk melindungi Nini
Ratih. Itu semata-mata untuk memancingmu agar
mau menghadapi wanita siluman itu."
"Aku tahu," desah Bayu sambil tersenyum
meskipun hatinya agak kaget juga.
"Oh, ya. Aku harus segera membawa jasad Nini
Ratih ke laut, dan menceburkannya di sana. Dia
akan mati jika terkena air laut yang merupakan
pantangan besar bagi bangsa siluman darat."
"Silakan," kata Bayu.
Ki Kampar memerintahkan murid-muridnya
untuk membungkus batu bercahaya kemilau itu
yang berisi jasad Nini Ratih. Dua puluh orang
murid Padepokan Malapat itu segera
melaksanakan perintah tanpa banyak tanya lagi.
Batu itu dibungkus dengan selembar kain tebal
yang kuat, dan diikat kuat-kuat. Setelah siap, batu
itu dinaikkan ke atas punggung kuda dan diikat
dengan tambang.
Bayu memperhatikan semua yang dilakukan
dua puluh orang itu dengan seksama.
Pandangannya kemudian beralih pada kepala-
kepala yang terpancang di tonggak kayu. Ki
Kampar juga mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Hatinya merasa trenyuh menyaksikan
begitu banyak korban yang jatuh akibat kekejaman
wanita siluman itu. Ki Kampar menelan ludahnya!
begitu melihat kepala Prawata dan Ki Pancur
terpancang tonggak secara berdampingan.
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Bayu.
Tangannya menunjuk ke arah kepala-kepala yang
terpancang.
"Murid-muridku akan mengurusnya! Oh ya,
aku harus cepat-cepat membawa batu itu ke laut
sebelum matahari terbenam," sahut Ki Kampar.
"Hm...," Bayu hanya menggumam tidak jelas.
Entah bagaimana dan kapan mulainya, tahu-
tahu tubuh Pendekar Pulau Neraka itu sudah
melesat cepat bagai kilat. Ki Kampar sendiri
terkejut begitu menyadari kalau pemuda tampan
berbaju kulit harimau, sudah tidak berada lagi di
sampingnya. Laki-laki setengah baya itu segera
memerintahkan murid-muridnya untuk
menguburkan kepala-kepala yang terpancang itu.
Dia sendiri kemudian membawa pergi batu
Mustika Dewi Pelangi yang sudah mengurung Nini
Ratih. Mereka yang ditugaskan Ki Kampar
mengurusi kepala-kepala yang terpancang, diliputi
perasaan getir. Bagaimana tidak? Mereka harus
mengumpulkan kepala-kepala buntung dan
menguburkannya....
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar