GEGER RIMBA PERSILATAN
Oleh Teguh S.
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia,
Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
Teguh S.
Serial Pendekar Pulau Neraka dalam
episode:
Geger Rimba Persilatan 128 hal. : 12 x 18
cm
1
"Oaaa...!"
Lengking tangis bayi memecahkan keheningan
malam sepi. Suara tangisan itu datang dari
sebuah rumah besar berpagar tembok batu yang
kokoh menyerupai benteng. Saat itu juga lampu-
lampu dan obor dinyalakan oleh beberapa orang
untuk menerangi seluruh sudut benteng itu.
Malam yang semula sepi, kini berubah sama
sekali bagai terjadi pesta mendadak.
Di salah satu ruangan besar rumah itu,
tampak beberapa orang berdiri mengelilingi
sebuah ranjang besar yang beralaskan kain
sutra halus berwarna merah muda. Seorang
wanita muda dan cantik tergolek di atasnya
bersama seorang bayi yang masih merah
terbungkus kain sutra. Di samping wanita itu
duduk seorang lelaki berusia sekitar empat
puluh tahun. Raut wajahnya tampan namun
memancarkan kekerasan.
Laki-laki itu menjentikkan jarinya. Semua
orang yang mengelilingi ranjang bergerak ke
luar. Sebentar kemudian, laki-laki yang
seperti bapak dari bayi itu mengecup lembut
kening wanita muda yang tersenyum bahagia.
"Anak kita laki-laki," bisiknya pelan.
"Ya, tampan sepertimu, Kakang," sahut
wanita itu lembut.
Keceriaan dan kegembiraan tampak
menyelimuti wajah mereka. Sedangkan bayi di
sampingnya tampak pulas terselimut kain
hangat. Tampan sekali, kulitnya juga putih
bersih. Mereka sepertinya tak puas-puasnya
memandangi bayi itu.
"Sudah kau siapkan nama untuk anak kita,
Kakang?" tanya wanita itu lembut seraya
menatap wajah laki-laki di dekatnya.
"Bagaimana denganmu?" laki-laki itu balik
bertanya.
"Belum. Tapi kalau perempuan sudah
kusiapkan sejak dulu." sahutnya manis.
"Akan kupikirkan dulu. Mungkin besok baru
kuberi nama."
"Lebih cepat, lebih baik, Kakang."
"Pasti! Besok anak kita tentu sudah
mempunyai nama yang bagus."
Kembali mereka tersenyum dan memandangi
wajah mungil di sampingnya. Sesaat lamanya
mereka terdiam dengan mata tidak puas-puasnya
memandang wajah bayi tampan itu. Kemudian
laki-laki berbaju kuning gading dengan pedang
menggantung di pinggang itu bangkit dari
pembaringan. Langkahnya tegap menuju pintu
kamar.
"Akan ke mana?"
"Menemui dukun bayi," jawabnya, lantas
membuka pintu dan melangkah ke luar.
Dua orang yang berdiri di samping pintu
langsung membungkukkan badan memberi hormat.
Laki-laki itu hanya mengangguk sedikit.
Langkahnya terus terayun menyusuri gang yang
berhubungan langsung dengan sebuah ruangan
besar. Sebuah lampu kristal besar tergantung
di langit-langit bagian tengah. Di ruangan itu
sudah berkumpul orang-orang. Mereka serempak
mrmbungkukkan badan memberi hormat.
"Terima kasih," kata laki-laki itu seraya
duduk di kursi kayu jati yang berukir indah.
Sebelah tangannya terangkat ke depan, dan
dengan serentak semua orang yang ada di
ruangan itu segera duduk bersila di lantai.
Mata laki-laki itu merayapi wajah-wajah mereka
yang kelihatan cerah, tertunduk penuh rasa
hormat.
"Bertahun-tahun aku selalu berharap akan
kehadiran seorang putra dalam hidupku, yang
akan jadi ahli waris seluruh Padepokan Teratai
Putih ini. Nyata nya malam ini doa dan
harapanku terkabul. Untuk itu aku ingin
menyelenggarakan pesta besar atas rasa
syukurku akan kehadiran pewaris Padepokan
Teratai Putih," kata laki-laki itu yang
sepertinya adalah pemimpin Padepokan Teratai
Putih. Suaranya dalam dan berwibawa. Semua
orang yang ada di ruangan itu menyambut dengan
gembira. Salah seorang yang duduk paling
depan, berdiri. Dia segera menjura hormat,
tangannya terkepal merapat di depan dada.
"Ampun, Guru Dewa Pedang."
"Ada apa, Badar?" tanya laki laki itu yang
ternyata bernama Dewa Pedang.
"Aku, muridmu yang bodoh ini memohon usul,
Guru," kata Badar hormat.
"Apa usulmu?"
"Bagaimana kalau kita undang para ketua
padepokan sahabat? Satu lagi, sebaiknya kita
juga menyelenggarakan lomba ketangkasan," usul
Badar
"Bagaimana yang lain?" Dewa Pedang belum
bisa memutuskan. Dia seperti ingin membagi
rasa bahagianya dulu kepada murid-murid
utamanya.
"Setujuuu...!" seru semua orang di ruangan
itu serempak.
"Baiklah! Mulai sekarang kalian kupercaya
untuk mempersiapkan segalanya. Aku ingin
semuanya dilaksanakan dalam waktu satu pekan.
Saat itu pula akan kuumumkan nama putra
pertamaku itu!" kata Dewa Pedang dengan wajah
cerah dan senyum terkembang lebar.
Semua orang yang ada di situ segera
berdiri dan menjura hormat. Tanpa diperintah
lagi mereka segera berlalu meninggalkan
ruangan itu. Meskipun tidak diperintah secara
lisan, mereka sudah mengerti tugas masing-
masing. Dewa Pedang segera bangkit berdiri,
tapi tidak jadi melangkah
"Badar...!" panggil Dewa Pedang.
Badar tergopoh-gopoh menghampiri. Dia
langsung menjura setelah tiba di depan
gurunya.
"Tolong panggil dukun bayi yang membantu
istri ku melahirkan. Aku ingin memberinya
hadiah khusus," kata Dewa Pedang.
"Guru, Nyai Palet sudah meninggalkan
padepokan. Dia diantar enam orang murid
tingkat tiga," lapor Badar.
"Cepat susul, dan ajak kembali ke sini.
Katakan padanya, aku belum sempat mengucapkan
terima kasih," perintah Dewa Pedang.
"Baik, Guru."
Badar segera menjura hormat dan langsung
berlari meninggalkan ruangan itu. Dewa Pedang
bergegas melangkah kembali menuju kamar
peraduannya. Rasanya, dalam masa-masa seperti
ini dia ingin selalu dekat dengan putra
pertamanya. Bertahun-tahun ia mengidam-idamkan
mempunyai keturunan untuk menjadi ahli
warisnya, dan baru malam inilah keinginannya
terkabul
***
Pada salah satu ruangan lain di rumah
besar Padepokan Teratai Putih, tampak duduk
gelisah seorang wanita muda dan cantik. Di
depannya duduk tiga orang laki-laki yang juga
masih muda. Ketiga laki-laki itu menyandang
senjata yang berlainan bentuknya.
"Apa kalian tadi tidak salah dengar?"
tanya wanita muda itu sambil memandang tajam
pada wajah ketiga laki laki di depannya.
"Tidak, Nyai. Dewa Pedang bermaksud
mengadakan pesta besar selama satu pekan untuk
menyambut kelahiran putra pertamanya," jawab
laki-laki yang duduk paling kanan.
Wanita muda yang sinar matanya memancarkan
segudang misteri itu berdiri. Kakinya terayun
pelan-pelan memutari tiga laki-laki yang tetap
duduk di kursinya. Keheningan menyelimuti
ruangan yang berada paling belakang dari rumah
besar Padepokan Tetatai Putih itu.
"Ganis," kata wanita itu seraya
menghentikan langkahnya tepat di depan laki-
laki yang duduk paling kanan. Di tangannya
tergenggam sebuah kipas dari logam keras.
"Ya, Nyai," sahut lelaki yang dipanggil
Ganis itu.
"Kau tahu, seharusnya bayi itu tidak boleh
lahir! Hmm... Tak kusangka kalau Nyai Palet
tidak mengindahkan peringatanku."
"Nyai Rengganis ingin dukun bayi itu
mati?" tanya Ganis menebak.
"Hhh!" wanita yang bernama Rengganis itu
hanya tersenyum sinis.
"Akan kukerjakan malam ini juga. Nyai,"
kata Ganis seraya berdiri.
"Bagus!" sambut Rengganis.
"Tunggu dulu, Kakang Ganis!" selak laki-
laki yang duduk paling kiri. Di punggungnya
tersandang sebilah pedang.
"Ada apa lagi, Adik Garang?" tanya Ganis.
"Dukun bayi itu sudah pulang diantar oleh
enam orang murid tingkat tiga. Kau tidak
mungkin bisa membunuhnya dengan mudah! Apalagi
Dewa Pedang menyuruh Badar untuk menjemput
kembali dukun itu," kata Ganang.
"Kalau begitu, sebaiknya aku ikut,
Ganang," kata Nyai Rengganis.
"Kami bertiga, Nyai!" selak orang yang
duduk di tengah seraya berdiri. Senjatanya,
sepasang kapak yang terselip di pinggang.
"Tidak, Gamar. Kau tetap di sini. Masih
ada tugas yang lebih penting untukmu," tolak
Rengganis.
"Tugas apa?" tanya Gamar.
"Kau harus tetap menguping semua
pembicaraan Dewa Pedang. Pada saat seperti
ini, satu patah kata yang diucapkannya
merupakan perintah yang tidak bisa ditawar
lagi. Dan itu sangat penting bagi kita," kata
Rengganis.
"Benar, Adik Gamar. Sebaiknya kau tetap
berada di Padepokan Teratai Putih. Biar aku
dan Adik Ganang yang akan membereskan dukun
bayi itu," sambung Ganis.
"Baiklah. Tapi berhati-hatilah Kakang. Aku
dengar, Nyai Palet bukan orang sembarangan!
Tingkat kepandaiannya cukup tinggi," kata
Gamar.
"Kami pergi dulu, Nyai," kata Ganis
pamitan.
"Ya," sahut Rengganis membalas salam
hormat kedua laki-laki itu.
Rengganis kembali duduk di kursinya
setelah Ganis dan Ganang ke luar dari ruangan
ini. Sedangkan Gamar masih tetap berdiri
dengan mulut terkatup rapat. Beberapa saat
mereka membisu.
"Sebaiknya aku juga segera pergi, Nyai,"
kata Gamar.
"Untuk apa?" tanya Rengganis.
"Tidak apa-apa. Hanya...," Gamar tidak
melanjutkan ucapannya.
"Kau takut ada yang melihatmu di kamarku
ini? Jangan khawatir, Gamar. Semua penjaga di
sekitar kamarku sudah berpihak padaku. Mereka
tidak akan melapor pada Dewa Pedang. Apalagi
sekarang ini dia tentu sedang menumpahkan
perhatiannya pada Larasati," kata Rengganis
sambil tersenyum manis.
"Apakah Nyai sudah mempengaruhi murid-
murid Dewa Pedang?" tanya Gamar.
"Terlalu berbahaya, Gamar. Mereka yang
berpihak padaku, sebenarnya adalah anak buahku
sendiri yang menyusup masuk ke padepokan ini
dan menjadi murid Dewa Pedang. Kau paham
maksudku, Gamar?
"Paham, Nyai," sahut Gamar mengangguk.
"Nah! Ambilkan arak. Mereka semua sedang
bersenang-senang dan bergembira. Kita di sini
pun juga harus bergembira menyambut kehancuran
Padepokan Teratai Putih," kata Rengganis.
"Tapi, Nyai...," Gamar mau menolak.
"Lupakan saja tugasmu sementara, Gamar!
Kau tidak ingin bersenang-senang denganku?"
Gamar menelan ludahnya. Dia tidak bisa
lagi menolak saat Rengganis bangkit dan
menghampirinya. Tangan wanita itu langsung
melingkar di leher Gamar. Wajah mereka begitu
dekat, sehingga desah napas Rengganis begitu
hangat menyapu kulit wajah Gamar. Mereka tidak
peduli dengan keadaan dan lupa akan semua
pembicaraan yang tadi berlangsung beberapa
saat. Yang jelas, kini mereka telah berada
dalam kamar, saling-menyatukan kenikmatan.
Hanya desahan napas yang terdengar.
***
Dari hari ke hari kesibukan di Padepokan
Teratai Putih terus berlangsung. Seluruh sudut
dihias dengan umbul-umbul yang beraneka ragam,
serta hiasan lain yang berwarna-warni.
Semuanya membuat suasana Padepokan Teratai
Putih itu semakin semarak. Murid-murid
padepokan itu tidak kenal lelah. Semua kerja
keras menyiapkan pesta berkenaan dengan
kelahiran pewaris tunggal Padepokan Teratai
Putih.
Namun dari semua keceriaan dan kesibukan
persiapan pesta itu seperti tidak ternikmati
oleh Rengganis dan tiga bersaudara yang
menjadi pengawal pribadinya. Di depan Dewa
Pedang maupun Larasati, Rengganis selalu
menampakkan wajah penuh ceria, seakan-akan dia
juga turut gembira dengan hadirnya seorang
putra pewaris padepokan ini.
"Gamar, bagaimana persiapanmu?" tanya
Rengganis saat mereka berada di kamar pribadi
wanita itu.
"Semua tokoh-tokoh rimba persilatan yang
memihak kita tinggal menunggu perintah saja,
Nyai," kata Gamar.
"Hm..., bagus! Dan kau, Ganis?"
"Tidak ada masalah, Nyai. Tepat pada hari
yang telah ditentukan, seluruh anak buahku
siap bergerak," sahut Ganis.
"Nyai tidak perlu khawatir! Semuanya sudah
kami siapkan dengan matang," selak Ganang saat
Nyai Rengganis memandang ke arahnya.
"Bagus! Aku senang mendengarnya. Nah,
sebaiknya kalian ikut membantu mempersiapkan
pesta. Aku tidak ingin ada yang usil dan
menaruh curiga pada gerakan kita," kata
Rengganis.
"Kami permisi, Nyai," pamit tiga
bersaudara itu.
Nyai Rengganis hanya tersenyum dan
menganggukkan kepalanya. Bergegas ditutup
pintu kamarnya setelah ketiga bersaudara itu
ke luar. Bibirnya masih menyunggingkan
senyuman manis. Dari wajahnya memancar
kecerahan dan keceriaan. Tapi bukan karena
kelahiran putra idaman seluruh orang di
Padepokan teratai Putih ini, melainkan sebuah
rencana yang siap dimuntahkan.
"Siapa...?" Nyai Rengganis menoleh ketika
mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya.
Tidak ada jawaban. Tapi ketika pintu itu
terbuka, muncul seorang laki-laki berwajah
tampan dan keras. Pedangnya berwarna perak
menggantung di pinggang. Dialah Dewa Pedang,
ketua Padepokan Teratai Putih ini. Dewa Pedang
melangkah masuk, sambil menutup pintu kembali.
Rengganis menyambut disertai senyum
tersungging di bibir.
Rengganis segera memeluk dan mengecup
bibir Dewa Pedang. Sedangkan Ketua Padepokan
Teratai Putih itu membelai-belai pipi yang
halus bagai kapas itu. Rengganis
menggelayutkan tubuhnya dengan manja di tubuh
kekar Dewa Pedang.
"Kenapa mengurung diri di kamar?
Keluarlah! Mereka sedang bergembira saat ini.
Aku memberi kebebasan pada mereka untuk
bergembira," kata Dewa Pedang lembut.
"Aku dari sana, Kakang. Aku lelah sekali,
tapi cukup senang," kata Rengganis manja.
"Betul, kau tidak iri karena Larasati yang
memberiku putra?"
"Jangan begitu, Kakang. Aku atau Kak
larasati sama saja. Sekarang mungkin dia. Lain
waktu mungkin aku. Sama saja, kan?"
Dewa Pedang tertawa mendengar kemanjaan
wanita itu. Dia melepaskan pelukannya dan
melangkah menghampiri pembaringan. Sebentar
dicopot pedangnya dan diletakkan dengan hati-
hati di atas meja. Sebentar kemudian tubuhnya
telah terbaring di ranjang itu. Rengganis
hanya memperhatikan tanpa berkata sedikit pun.
"Aku terlalu gembira, Rengganis. Maaf
kalau aku seperti melupakanmu. Tapi aku sudah
ada di sini," kata Dewa Pedang seraya
memiringkan tubuhnya.
Rengganis bisa mengerti maksud kata-kata
ketua Padepokan Teratai Putih itu. Wanita itu
bukannya menghampiri, tapi malah melangkah ke
jendela kamar dan membuka pintunya lebar-
lebar. Tampak beberapa orang penjaga terlihat.
Mereka segera memberi hormat begitu melihat
Rengganis di balik jendela.
"Kenapa kau buka jendela?" tanya Dewa
Pedang. Nada suaranya agak kecewa.
"Panas," sahut Rengganis sekenanya. Dia
berbalik dan bersandar pada dinding.
Dewa Pedang mendesah panjang, kemudian
bangkit dan duduk di tepi pembaringan, itu.
Tangannya menjulur mengambil pedang, lalu
mengenakannya kembali. Rengganis hanya
tersenyum saja melihat rona merah mengandung
kekecewaan pada wajah Dewa Pedang.
"Mau ke mana?" tanya Rengganis melihat
Dewa Pedang akan pergi.
"Lihat persiapan mereka." sahut Dewa
Pedang pelan.
Rengganis tidak mencegah sedikit pun.
Dibiarkan saja Dewa Pedang melangkah ke luar
tanpa menutup pintu kembali. Wanita itu
tertawa kecil melihat raut wajah ketua
padepokan itu yang menyiratkan rasa kecewa.
Rengganis memang sengaja berlaku demikian.
Sudah beberapa kali dia menolak dan selalu
memberi alasan macam-macam. Hal ini memang
disengaja agar Dewa Pedang kecewa dan kesal.
Tapi rupanya, Ketua Padepokan Teratai Putih
itu jenis manusia yang sabar, sedikit pun ia
tidak berkata apa-apa, meskipun dari sinar
matanya menyemburat rasa kecewa.
"Nikmati kebahagiaanmu yang sebentar, Dewa
Pedang," desis Rengganis dingin.
***
2
Keramaian menyemarak di Padepokan Teratai
Pulih. Wajah-wajah cerah terlihat dari semua
orang yang datang memenuhi undangan Ketua
Padepokan Teratai Putih. Kelahiran putra
pewaris tunggal padepokan disambut dengan
penuh kegembiraan.
Dewa Pedang tersenyum lebar. Dengan bangga
diperkenalkan putranya pada semua undangan
yang hadir. Istrinya, Larasari tampak berdiri
anggun menggendong anak tunggalnya di samping
suaminya. Bibirnya selalu menyunggingkan
senyum manis memikat. Ruangan pendopo yang
luas itu tampak sesak dipenuhi undangan yang
datang dari segala penjuru.
Dari pakaian dan senjata yang dibawa,
jelas kalau para undangan dan tamu lainnya
adalah orang-orang rimba persilatan yang
datang dari padepokan-padepokan lain. Namun
semua kegembiraan itu sama sekali tidak
dinikmati Rengganis. Meskipun bibirnya selalu
tersenyum ramah pada setiap tamu, namun
matanya sesekali melihat ke luar pendopo ini.
Rengganis bergegas ke luar begitu melihat
Gamar berjalan bersama dua orang bersenjata
tombak panjang. Mereka menuju tangga masuk
pendopo Padepokan Teratai Putih ini. Wanita
itu melangkah setengah berlari menuruni anak-
anak tangga pendopo. Gamar segera membungkuk
memberi hormat diikuti dua orang lainnya.
"Bagaimana?" tanya Rengganis langsung.
"Semua sudah siap. Sebagian besar undangan
yang hadir adalah orang-orang kita. Mereka
tinggal menunggu tanda darimu, Nyai," kata
Gamar.
"Bagus! Di mana dua saudaramu?"
"Kakang Ganis memimpin dari sebelah Utara,
dan adik Garang dari sebelah Timur. Sedangkan
dari arah Selatan, gabungan dari beberapa
partai. Dan dari dalam sendiri tinggal
menunggu perintah saja," lapor Gamar
"Katakan pada saudaramu. Waktu yang tepat
adalah saat gong dipukul tanda adu ketangkasan
dimulai. Tunggu sampai gong yang ketiga," kata
Rengganis.
"Rencana yang bagus, Nyai," sambut Gamar.
"Nah, sebaiknya kau segera pergi. Aku
tidak ingin ada yang mencurigai. Semua sudah
di ambang pintu, Gamar. Kita tidak boleh
gagal," kata Rengganis.
Gamar segera memberi hormat dan berlalu.
Rengganis pun juga berbalik masuk kembali ke
dalam pendopo. Tapi baru saja kakinya menaiki
satu undakan, di depannya sudah berdiri Ketua
Padepokan Teratai Putih. Rengganis agak
terkejut juga. Untunglah dia dapat cepat
menyembunyikan rasa kaget dengan memberikan
senyuman manis.
"Apakah acara adu ketangkasan akan
dimulai, Kakang?" tanya Rengganis lebih dulu
"Benar. Aku malah sengaja mencarimu.
Tempat acara itu telah kupindahkan, dan
diadakan di tengah-tengah pendopo saja agar
tidak terlalu menyolok," sahut Dewa Pedang.
"Kenapa begitu, Kakang? Bukankah di alun-
alun lebih leluasa?" Rengganis agak
terperanjat mendengar nya.
"Aku tidak suka jika dicap sebagai ketua
padepokan yang sombong, Rengganis. Adu
ketangkasan juga hanya dari murid-muridku
sendiri. Sifatnya hanya sekedar hiburan saja,
bukan adu kepandaian," Dewa Pedang berusaha
menjelaskan.
Rengganis hanya diam saja. Kakinya terayun
melangkah menaiki undakan menuju ke dalam
pendopo. Matanya beredar ke sekeliling. Tidak
ada sebuah gong pun di ruangan luas ini.
Rengganis jadi sedikit bingung juga. Otaknya
segera berputar keras mencari jalan keluar.
Masalahnya sekarang, dia belum paham benar
mana orang-orang yang berpihak padanya dan
mana yang bukan. Semua sudah bercampur-baur
menjadi satu. Sulit untuk dikenali lagi.
Rengganis sendiri tidak mengenal mereka satu
persatu. Memang semuanya hanya dia yang
merencanakan. Tapi yang melaksanakan adalah
tiga saudara yang selalu setia padanya.
"Apa tandanya untuk memulai adu
ketangkasan itu, Kakang?" tanya Rengganis.
"Hanya dari pembawa acara saja," jawab
Dewa Pedang.
"Tidak pakai gong?"
"Kurasa itu tidak perlu, Rengganis."
Rengganis tiba-tiba memegangi kepalanya
dengan mata terpejam. Dewa Pedang agak kaget
juga. Buru-buru dipeluknya pundak wanita itu
saat mulai limbung.
"Rengganis, kau kenapa?" tanya Dewa
Pedang.
"Kepalaku, Kakang. Rasanya tiba-tiba saja
pening," kata Rengganis lirih.
"Sebaiknya kau istirahat saja di kamar,"
kata Dewa Pedang.
Laki-laki Ketua Padepokan Teratai Putih
itu menggapaikan tangannya. Dua orang emban
setengah baya segera mendekat tergopoh-gopoh.
Mereka langsung memapah Rengganis yang
kelihatan lunglai sambil memijat-mijat
kepalanya.
"Bawa segera ke kamar," perintah Dewa
Pedang. Kedua emban itu segera membawa
Rengganis meninggalkan ruangan besar pendopo
ini. Mereka masuk ke dalam lorong yang menuju
tempat peristirahatan keluarga Dewa Pedang.
Tampak Rengganis tersenyum besar. langkahnya
sudah jauh meninggalkan ruangan pendopo itu.
Masih terdengar suara-suara riuh dan tepuk
tangan para undangan dari luar sana.
Dengan satu gerakan cepat tak terduga,
kedua tangan Rengganis berkelebat ke dada
kedua emban yang memapahnya. Sedikit pun tak
ada suara. Kedua emban itu langsung jatuh
dengan dua bulatan kecil berwarna hitam
tertera di dada mereka.
Dari sudut bibirnya mengalir darah kental
kehitaman. Sebentar Rengganis mengawasi
sepanjang lorong, lalu diseretnya dua tubuh
ernban itu ke dalam sebuah kamar yang tidak
jauh dari lorong itu.
Rengganis bergegas ke luar dari kamar itu
dan menutupnya. Gerakannya begitu ringan dan
cepat melintasi lorong bagai kancil menyusuri
semak belukar. Tubuh yang terbungkus baju
hijau dari kain sutra halus itu pun lenyap
setelah sampai di ujung lorong. Sementara
suara-suara dari ruang pendopo masih Juga
terdengar riuh. Tapi lorong itu tampak sepi
tanpa seorang pun terlihat.
***
"Gamar...!"
Gamar tersentak kaget ketika mendengar
suara panggilan dari arah samping. Dia segera
menoleh dan terkejut melihat Rengganis
berlari-lari menghampirinya. Gamar langsung
berlari menghampiri. Rengganis menghentikan
larinya. Napasnya agak tersengal sedikit.
Wajahnya memerah dengan keringat menitik di
kening dan leher.
"Kenapa Nyai ke sini?" tanya Gamar seraya
melayangkan pandangannya ke belakang wanita
itu.
"Ada perubahan, Gamar!" sahut Rengganis.
"Perubahan? Maksud, Nyai?"
"Adu ketangkasan tidak jadi dilaksanakan
di alun-alun! Juga, tidak ada gong pembuka!"
"Jadi...!?"
"Itulah yang aku bingungkan, Gamar! Tidak
mungkin menunggu tanda dari dalam lagi."
Gamar diam merenung. Keningnya berkerut
dalam, pertanda tengah berpikir keras. Tidak
mungkin membatalkan rencana yang sudah disusun
rapi dan dimatangkan selama berbulan-bulan.
Semua sudah siap siaga, tinggal menunggu tanda
untuk bergerak saja!
"Kau punya saran, Gamar?" tanya Rengganis
sedikit putus asa.
"Sebaiknya kau kembali saja ke padepokan!
Biar aku yang menghubungi teman-teman di
luar," sahut Gamar.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya
Rengganis ingin tahu.
"Terpaksa. Kita harus memulai secara
mendadak tanpa tanda apa pun!" kata Gamar.
"Jangan, Gamar! Semua harus dilakukan
serentak, tanpa ada yang saling mendahului!
Kekompakan harus tetap dijaga," Rengganis
tidak setuju.
"Rasanya tidak ada jalan lain, Nyai."
"Aku punya cara!" seru Rengganis tiba-
tiba.
Gamar menatap wanita cantik itu dalam-
dalam. Memang sejak semula sudah diduga kalau
Rengganis pasti banyak akalnya. Wanita itu
sangat cerdik, penuh dengan tipu muslihat.
Mungkin Rengganis tadi hanya gugup saja,
sehingga seperti buntu akalnya. Tapi kini
otaknya berhasil mencari jalan keluar yang
terbaik.
"Aku akan kembali lagi ke dalam, dan kau
hubungi yang lain secepat mungkin," kata
Rengganis serius.
"Lalu?"
"Kalau kau dan yang lainnya melihat ada
merpati terbang, itu adalah tanda dariku
sebagai awal dari rencana kita. Kau mengerti
maksudku, Gamar?"
"Mengerti, Nyai."
"Cepatlah kau hubungi yang lain! Ingat,
Gamar! Jangan sampai gerakanmu dicurigai oleh
penjaga." "Jangan khawatir, Nyai."
Rengganis tersenyum, lalu segera berbalik
dan berlari cepat menuju ke benteng padepokan
sebelah Barat. Gerakannya begitu ringan dan
cepat bagaikan angin. Jelas kalau wanita itu
memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa
dianggap enteng. Gamar pun segera bergerak
setelah memberi beberapa pesan kepada anak
buahnya.
Sementara itu Rengganis sudah melompati
benteng sebelah Barat Padepokan Teratai Putih.
Matanya yang bulat menatap tajam ke
sekitarnya. Dia menarik napas lega setelah
semua penjaga tampaknya terpusat pikirannya
oleh suasana gembira, sehingga sepertinya
lengah dengan tugasnya. Rengganis bergegas
menuju ke pintu lorong rumah besar. Sebentar
saja tubuhnya sudah lenyap di balik pintu.
Dengan langkah tenang, dia berjalan
menyusuri lorong yang di kanan dan kirinya
terdapat kamar-kamar yang tertutup pintunya.
Rengganis langsung menuju ke ruang pendopo.
Langkahnya tenang, dan bibirnya terus
menyunggingkan senyum. Beberapa kali harus
dibalasnya anggukan kepala para tamu yang
memadati ruangan itu.
Rengganis langsung menghampiri Dewa Pedang
yang duduk di kursi didampingi istrinya. Dewa
Pedang hanya memberi senyum saat Rengganis
duduk di sampingnya. Sebentar diliriknya
Larasati yang menggendong putranya. Sementara
beberapa hiburan mulai ditampilkan.
"Kakang...," kata Rengganis berbisik.
"Ada apa?" tanya Dewa Pedang menyorongkan
kepalanya mendekati Rengganis.
"Aku ada usul, Kakang. Bagaimana kalau
pada adu ketangkasan nanti dimulai dengan
pelepasan seekor merpati," kata Rengganis
mengusulkan.
"Maksudmu?"
"Sebagai pelambang kalau putra pewaris
Padepokan Teratai Putih akan melanglang buana
menaklukkan seluruh rimba persilatan," sahut
Rengganis beralasan.
"Usul yang bagus!" sambut Dewa Pedang
tersenyum lebar. "Bagaimana, Laras?"
"Kalau Kakang setuju, kenapa aku tidak?"
jawab Larasati sambil tersenyum.
"Sebaiknya merpati kesayanganku saja, Kak
Laras," kata Rengganis.
"Jangan, Adik Rengganis. Merpati itu kan
kesayanganmu."
"Sebagai tanda kalau aku juga mencintai
anakmu."
"Terima kasih, Adik Rengganis. Kau baik
sekali," sahut Larasati terharu
Rengganis hanya tersenyum saja. Namun
gerakan senyum di bibirnya terasa getir.
Sementara Dewa Pedang sudah kembali
mengalihkan perhatiannya pada acara hiburan
yang ditampilkan murid-muridnya. Tampak para
undangan begitu terhibur. Banyak pula komentar
dilontarkan. Semuanya selalu memuji dan
mengagumi gerakan-gerakan jurus silat yang
diperlihatkan murid-murid Padepokan Teratai
Putih ini. Dewa Pedang tidak begitu bangga
hati. Dia tahu kalau semua pujian itu hanya
sekedar untuk menyenangkan hatinya saja.
Rengganis menjentikkan jarinya. Seorang
emban yang berada di dekatnya segera mendekat
Rengganis berbisik pada emban bertubuh gemuk
itu. Sesaat kemudian emban itu berlalu
meninggalkan ruangan pendopo ini, dan tidak
lama kemudian sudah kembali dengan membawa
sangkar berisi burung merpati putih. Rengganis
menerima dan meletakkannya di depan kaki Dewa
Pedang.
***
Gamar tampak gelisah. Dia berjalan mondar-
mandir dengan matanya tak lepas menatap ke
arah Padepokan Teratai Putih. Sementara
matahari sudah semakin tinggi. Sinarnya yang
terik membuat tubuh Gamar basah oleh keringat
yang mengucur deras. Bukan itu saja. Bahkan
orang-orang yang sudah sejak pagi tadi
menunggu dengan senjata terhunus, juga
kelihatan tidak sabar lagi.
Saat matahari tepat di atas kepala,
terlihat seekor merpati putih terbang tinggi
dari dalam pendopo Pa depokan Teratai Putih.
Gamar langsung melompat ke depan, dan...
"Serang..!" teriaknya lantang.
Bersamaan dengan itu, secara serempak
terdengar suara-suara lantang dari arah Utara,
Timur dan Selatan. Tidak lama kemudian
menyusul suara-suara pekikan yang membahana
disertai derap ratusan manusia yang berlari
menuju Padepokan Teratai Putih dari em pat
penjuru.
Para penjaga di sekitar tembok benteng
padepokan itu terkejut bukan main, karena
tiba-tiba saja dari empat penjuru mata angin
berlompatan orang-orang bersenjata. Mereka
melompati tembok benteng yang tinggi dan
langsung menyerang dengan ganas. Para penjaga
yang tidak menduga adanya serangan mendadak
itu menjadi kalang-kabut. Jerit kematian mulai
terdengar saling susul bercampur dengan
teriakan-teriakan gegap-gempita. Denting
senjata dan desir angin tenaga dalam
menyemarakkan tempat yang lelah berubah
menjadi arena pertempuran.
Dalam waktu yang sama, di dalam Pendopo
Utama Padepokan Teratai Putih juga terjadi
kegemparan.
Tiba-tiba saja sebagian undangan
mengeluarkan senjata. Mereka membuat keributan
dengan membabat habis undangan lainnya.
Dewa Pedang yang cepat peka pada keadaan,
segera memerintahkan murid-muridnya untuk
menghalau para pengacau itu. Dia tidak
menyadari akan bahaya yang mengancam istrinya.
Dan betapa terperanjat Dewa Pedang ketika
melihat Rengganis mencabut sebilah pisau dari
balik sabuk ikat pinggangnya. Gerakan tangan
Rengganis begitu cepat mengarah tepat kedada
Larasati.
"Laras, awas...!" teriak Dewa Pedang cepat
melompat berusaha mencegah serangan Rengganis.
Tring!
Secepat Rengganis mengibaskan pisaunya,
secepat itu pula Dewa Pedang mencabut senjata
andalannya yang berupa pedang dari emas murni
bercampur logam keras. Begitu cepat gerakan
kibasan pedangnya, sehingga membuat Rengganis
terkejut. Padahal ujung pisau Rengganis
tinggal serambut lagi membelah dada Larasati.
"Ih!"
Rengganis segera melompat mundur
menghindari sabetan pedang Dewa Pedang yang
mengarah perutnya. Dewa Pedang memandang
Rengganis setengah tidak percaya. Tapi yang
dipandang malah membalasnya dengan tajam.
Dibuang pisaunya, lalu dikeluarkan dua buah
kipas dari baja putih bagaikan perak. Dewa
Pedang melangkah mundur melindungi istrinya.
"Badar!" teriak Dewa Pedang
Badar yang sedang bertarung melawan para
undangan yang berkomplot dengan Renqganis,
segera melompat menghampiri gurunya.
"Cepat bawa keluar istri dan anakku.
Selamatkan mereka!" perintah Dewa Pedang.
"Baik Guru," sahut Badar.
"Kakang...," suara Larasati tersekat di
tenggorokan.
"Cepatlah! Tidak ada waktu lagi! Kau harus
selamatkan anak kita," kata Dewa Pedang.
Larasati tidak membantah lagi. Segera dia
berlari ke arah lorong diikuti beberapa emban,
dan dijaga sekitar dua puluh murid utama
Padepokan Teratai Putih yang dipimpin Badar.
Pada saat itu Rengganis sudah melompat
menyerang Dewa Pedang dengan sepasang kipas
bajanya.
Wut, wut!
Dewa Pedang menarik tubuhnya ke belakang
sambil meliuk-liuk bagai ular, menghindari
kibasan senjata Rengganis yang cepat dan
berbahaya. Dengan cepat kaki Dewa Pedang
terangkat naik, lalu menyepak ke depan.
Rengganis buru-buru mengibaskan kipasnya
memapak kaki yang bergerak cepat ke arah
perutnya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewa
Pedang malah menarik kakinya cepat dan
memutarnya ke atas. Rengganis memekik tertahan
saat tapak kaki Dewa Pedang menghantam telak
dadanya. Wanita itu terhuyung ke belakang
menabrak kursi.
Saat itu juga Dewa Pedang melompat seraya
memutar pedangnya ke depan. Tapi sebelum ujung
pedangnya menyentuh tubuh Rengganis, sebuah
bayangan merah berkelebat bagai kilat memapak
serangannya.
Dug!
"Ukh!"
Dewa Pedang terjajar ke belakang sambil
menekap dadanya. Kedua bola matanya memerah
menatap seorang laki-laki tua berjubah merah
yang sudah berdiri di depannya melindungi
Rengganis. Laki-laki tua itu menggenggam
sebatang tongkat pendek yang ujungnya terdapat
lempengan logam berbentuk bulan sabit
"Jantara...," desis Dewa Pedang yang
bernada tidak percaya dengan penglihatannya.
Laki-laki tua yang dipanggil Jantara itu
hanya tersenyum sinis. Dia memang Jantara,
atau yang lebih dikenal dengan julukan si
Tongkat Samber Nyawa. Dewa Pedang benar-benar
tidak percaya kalau Jantara ikut dalam aksi
huru-hara di padepokannya.
"Sudah lama kutunggu kesempatan ini, Dewa
Pedang!" kata Jantara dingin.
"Di antara kita tidak pernah punya
persoalan. Mengapa kau ingin menghancurkan
padepokanku, Jantara?" tanya Dewa Pedang.
"Memang benar! Kita memang tidak pernah
punya persoalan secara pribadi. Tapi murid-
muridmu selalu malang-melintang menghalangi
sepak-terjangku. Bahkan gerakan anak buahku
juga kau hambat!"
"Aku tidak pernah mengajarkan untuk
berlaku lunak pada orang-orang jahat, Jantara.
Kalau kau merasa terhalang, mengapa masih juga
menyengsarakan orang lain?",
"Itu urusanku, Dewa Pedang!" bentak
Jantara keras.
"Begitu pula dengan tindakanku beserta
muridmuridku! Semuanya bukan urusanmu!" balas
Dewa Pedang tidak kalah dinginnya.
"Huh! Umurmu sudah tinggal seujung pedang,
masih juga berlagak!"
Setelah berkata demikian, Jantara atau si
Tongkat Samber Nyawa lantas melompat menerjang
diikuti Rengganis. Si Tongkat Samber Nyawa
memang tidak bisa dianggap enteng. Ilmunya
cukup tinggi. Dewa Pedang harus berhati-hati
menghadapinya. Apalagi ditambah dengan
Rengganis yang juga memiliki kepandaian hampir
setara dengan si Tongkat Samber Nyawa. Tentu
saja Dewa Pedang jadi kelabakan.
Tapi sebagai ketua padepokan silat, Dewa
Pedang cukup cerdik. Dia bertarung sambil
bertahan mundur, mendekati tokoh-tokoh rimba
persilatan yang juga bertarung melawan murid-
murid Padepokan Teratai Putih. Rengganis yang
berotak cerdas, tanggap akan kecerdikan Dewa
Pedang. Tapi semuanya terlambat. Murid-murid
setia Padepokan Teratai Putih sudah merangsek
menyerangnya. Mau tidak mau Rengganis
mengalihkan perhatiannya pada lawan-lawan
barunya.
Sementara pertarungan masih terus
berlangsung sengit. Cukup sulit untuk
membedakan antara lawan dan kawan. Korban
sudah tak terhitung lagi. Mayat-mayat
bergelimpangan bersimbah darah. Tampak dari
arah bangunan belakang, api mulai berkobar
melahap barak-barak murid Padepokan Teratai
Putih. Angin bertiup cukup kencang, sehingga
api semakin leluasa melahap semua yang di
dekatnya. Tak seorang pun yang sempat
memadamkannya, masing-masing sibuk dengan
lawannya. Kelengahan sedikit saja akan
berakibat nyawa melayang.
Sedangkan pertarungan antara Dewa Pedang
dengan si Tongkat Samber Nyawa menjadi tak
seimbang setelah murid-murid utama Padepokan
Teratai Putih membantu gurunya. Kelihatan
kalau si Tongkat Samber Nyawa terdesak hebat.
Dia jatuh bangun menghindari setiap serangan
yang datang beruntun bagai air bah.
"Sebaiknya Guru cepat meninggalkan tempat
ini! Biar kami saja yang menghadapi para
pengacau keparat ini," kata salah seorang
murid Dewa Pedang.
"Jangan hiraukan aku! Kalian saja yang
cepat pergi!" sahut Dewa Pedang seraya
mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri.
"Tidak! Lebih baik kami mati bersama-sama,
Guru!"
Dewa Pedang terharu sekali mendengarnya.
Betapa besar pengabdian murid-muridnya. Kini
Dewa Pedang berhadapan dengan sekitar enam
tokoh rimba persilatan yang begitu cepat
menyerangnya. Sementara itu si Tongkat Samber
Nyawa kini leluasa membantai murid-murid di
Padepokan Teratai Putih yang sebenarnya bukan
tandingannya.
Keadaan Dewa Pedang semakin
mengkhawatirkan. Tubuhnya terombang-ambing
bagaikan bola. Darah telah mengucur dari
lukanya akibat tersambar senjata lawan-
lawannya. Keadaan yang sama juga dialami
murid-muridnya. Mereka tidak mampu menghadapi
tokoh-tokoh rimba persilatan yang
kepandaiannya jauh di atas mereka. Apalagi
ditambah dengan murid-murid Padepokan Teratai
Putih yang berkhianat.
"Mampus kau, Dewa Pedang! Hiyaaat..!"
teriak Rengganis melengking tinggi.
Bagaikan seekor burung elang, Rengganis
melompat tinggi dan menukik tajam dengan
sepasang kipas yang berkelebat cepat. Dewa
Pedang yang sedang sibuk menghadang serangan
para pengeroyoknya, tidak sempat lagi
berkelit. Sepasang kipas baja maut Rengganis
tanpa ampun lagi merobek kulitnya.
Dewa Pedang melangkah mundur. Tubuhnya
limbung. Darah semakin banyak keluar dari
tubuhnya. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk
mengusir rasa pening. Tapi matanya masih
berkunang-kunang. Rengganis berdiri tegak
dengan sepasang kipas terbuka lebar di depan
dada.
"Rengganis, kenapa kau ingin membunuhku?"
tanya Dewa Pedang lemah.
"Karena kau telah membantai seluruh
keluargaku!" sahut Rengganis dingin.
"Aku.., aku tidak mengerti maksudmu...,"
Dewa Pedang semakin lemah.
"Kau tentu masih ingat peristiwa di Bukit
Halimun. Di sanalah kau bantai habis satu
keluarta tanpa kenal beka kasihan. Kau dan
prajurit-prajuritmu tidak lebih dari binatang
yang harus dimusnahkan!"
Dewa Pedang terdiam. Ingatannya kembali
saat menjadi panglima perang kerajaan. Waktu
itu dia memang ditugaskan untuk mengejar satu
keluarga pengkhianat kerajaan. Pengejarannya
sampai ke Bukit Halimun Tapi sama sekait dia
tidak memerintahkan untuk membantai habis
keluarga pengkhianat itu. Dia dan satu pasukan
prajurit pilihannya datang terlambat. Keluarga
itu sudah habis terbantai, kecuali seorang
anak perempuan kecil.
"Kau putri Patih Kuraya...?" Dewa Pedang
hanya ingin memastikan.
"Benar! Aku berhasil lolos dengan pura-
pura tewas waktu itu. Kau memang tidak ada di
sana, Dewa Pedang. Tapi prajurit-prajuritmu
melakukan itu pasti atas perintahmu. Padahal
aku yakin, Gusti Prabu tidak mungkin
memerintahkan untuk membunuh habis keluargaku.
Dan akibat kesalahanmu yang fatal, kau
diturunkan pangkatnya. Tapi kau memang tak mau
kehilangan muka, Dewa Pedang. Kau mengundurkan
diri dari jabatan panglima perang dan
mengucilkan diri di sini, mendirikan
padepokan. Jelas maksudnya untuk mengharumkan
namamu kembali! Tidak, Dewa Pedang... Namamu
tetap kotor!"
"Ketahuilah, Rengganis. Waktu itu aku
datang teriambat. Dan lagi mereka bukanlah
para prajuritku! Mereka adalah prajurit Patih
Gumarang, Pamanmu sendiri. Karena dia memang
sudah lama menginginkan jabatan yang dipegang
ayahmu dan sengaja ingin menyingkirkan aku,"
kata Dewa Pedang berusaha menjelaskan.
"Huh! Jangan membela diri!" dengus
Rengganis. "Memang tidak ada gunanya aku
membela diri, Rengganis. Tapi asal kau tahu
saja Pamanmulah yang membantai keluargamu di
Bukit Halimun."
"Setan! Kau memfitnah Pamanku!" geram
Rengganis gusar. "Kau harus mampus. Dewa
pedang, hiyaaa...!"
Rengganis melipat sepasang kipasnya. Saat
dikibaskan tangannya, dari ujung kipas itu
keluar mata pisau yang tajam berkilat. Dengan
satu gerakan cepat, wanita itu melompat sambil
berteriak nyaring.
Dewa Pedang yang sudah tidak berdaya lagi,
hanya mampu menangkis satu senjata Rengganis,
sedangkan satu lagi amblas di dadanya. Jeritan
melengking terdengar menyayat. Rengganis belum
merasa puas juga, ditusukkan senjatanya
berulang-ulang ke tubuh Dewa Pedang. Wanita
itu baru berhenti setelah Dewa Pedang
menggeletak tak bernyawa lagi.
Saat itu juga murid-murid Padepokan
Teratai Putih yang mengetahui gurunya tewas,
berlarian kalang-kabut menyelamatkan diri.
Tapi tokoh-tokoh rimba persilatan dan murid
murid padepokan yang berkhianat serta gabungan
dari partai-partai persilatan tidak
membiarkannya. Mereka mengejar dan membunuh
orang-orang yang ada hubungannya dengan Dewa
Pedang.
"Habiskan semua! Jangan ada yang tersisa!"
perintah Rengganis keras.
Rengganis mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Dia mencari istri pertama Dewa
Pedang dan putranya. Hatinya menggeram karena
orang yang paling dibencinya berhasil
menyelamatkan diri. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, dipanggilnya tiga saudara pengikut
setianya dan beberapa anak buah pilihan untuk
mengejar istri Dewa Pedang dan putranya.
Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh rimba
persilatan yang ikut mengejar. Sedangkan
sisanya membumihanguskan seluruh Padepokan
Teratai Putih.
***
3
"Kita istirahat dulu di sini, Nyai Guru,"
kata Badar setelah mereka cukup jauh
meninggalkan Padepokan Teratai Putih.
Rombongan yang berjumlah tidak kurang dari
dua puluh orang itu mengambil tempat untuk
istirahat. Sedangkan murid murid pilihan
Padepokan Teratai Putih tetap berjaga-jaga.
Larasati duduk di bawah pohon dikelilingi para
emban. Sedangkan putranya tetap berada dalam
pelukannya. Wajah ibu yang baru beberapa hari
yang lalu habis melahirkan tampak kelelahan.
Matanya tidak lepas memandang puncak Gunung
Tangkup. Tampak asap hitam membumbung tinggi,
mengotori angkasa yang semula cerah "Badar,"
panggil Larasati lemah. "Ya, Nyai Guru," sahut
Badar seraya mendekat. "Bagaimana nasib
suamiku?" tanya Larasati. Hatinya waswas.
"Entahlah. Mudah-mudahan saja Guru Dewa
Pedang selamat," sahut Badar, yang sebenarnya
tak yakin gurunya selamat.
"Tidak kusangka kalau Rengganis akan
berkhianat," lirih suara Larasati.
"Mungkin memang sudah direncanakan, Nyai.
Sebagian murid-murid berpihak padanya juga,
tidak sedikit tokoh rimba persilatan yang
berpihak pada wanita keparat itu." sahut Badar
lagi.
Larasati diam merenung. Dia masih belum
bisa mengerti, mengapa Rengganis punya niat
buruk seperti itu. Benar-benar tidak disangga
sama sekali. Rengganis yang selalu bersikap
manis, ternyata di balik semua itu tersimpan
hati busuk untuk menghancurkan Padepokan
Teratai Putih! Larasati memang tidak tahu
persis latar belakang istri kedua Dewa Pedang
itu. Yang dia tahu, ketika suaminya membawa
seorang wanita muda dan cantik yang diakuinya
sebagai istri.
Saat itu Larasati sebenarnya ingin
berontak. Hatinya tidak suka dimadu. Namun dia
sadar akan kodratnya sebagai seorang wanita
yang hanya bisa menerima nasib saja. Akhirnya
semua diterimanya dengan hati lapang. Dia
memang tidak pernah tanya asal-usul Rengganis
kepada suaminya. Larasati hanya bisa pasrah.
"Mari, Nyai. Sebaiknya kita lanjutkan
perjalanan," ajak Badar.
"Badar, apa tidak sebaiknya kau kirim
beberapa orang untuk melihat keadaan suamiku,"
Larasati menyarankan.
"Baiklah. Nyai," sahut Badar seraya
beranjak bangun.
Badar menghampiri murid-murid Padepokan
Teratai Putih yang ikut dalam rombongan ini.
Tidak lama kemudian, diutuslah tiga orang
untuk kembali ke padepokan. Badar segera
menghampiri Larasati setelah tiga orang yang
ditunjuknya telah berangkat. Saat itu Larasati
sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan
kembali diikuti enam orang emban. "Mari,
Nyai," kata Badar.
Larasati mengangguk, lalu melangkah. Enam
orang emban setianya mengiringinya dari
belakang. Sedangkan murid-murid setia Dewa
Pedang tinggal sembilan orang lagi yang
berjaga-jaga melindungi Larasati dan putranya.
Seakan-akan membentuk benteng kokoh.
"Lampik...!" panggil Badar sambil
menggapaikan tangannya pada salah seorang adik
seperguruannya yang berjalan di belakangnya.
"Ada apa, Kakang?" Lampik segera
menghampiri. "Kau jalan lebih dulu, cari desa
terdekat. Beli beberapa ekor kuda," perintah
Badar, orang yang paling bertanggung jawab
atas keselamatan istri gurunya ini.
"Baik, Kakang," sahut Lampik segera
berlari cepat mendahului rombongan itu.
"Untuk apa kau beli kuda, Badar?" tanya
Larasati. "Agar perjalanan lebih cepat, Nyai,"
sahut Badar. Larasati tidak bertanya lagi.
Sementara rombongan itu terus bergerak semakin
jauh meninggalkan Gunung Tangkup, tempat
Padepokan Teratai Putih yang kini telah
hancur.
Sementara itu Rengganis yang diikuti oleh
anak buahnya serta beberapa puluh tokoh rimba
persilatan terus mengejar rombongan yang
berhasil melarikan diri. Mereka adalah tokoh-
tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi,
sehingga dalam waktu singkat rombongan itu
telah terlihat.
"Itu mereka! Kejar! Bunuh mereka
semua...!" seru Rengganis seraya berlari cepat
menggunakan ilmu peringan tubuh.
"Celaka!" desah Badar terkejut.
Larasati pun ikut terkejut begitu melihat
ke belakang. Tampak puluhan orang berlarian ke
arah mereka dengan senjata terhunus.
"Hadang mereka semampu kalian!" perintah
Badar.
"Baik, Kakang!" delapan orang murid setia
Padepokan Teratai Putih langsung berbalik dan
mencabut senjata masing-masing.
Sedangkan Badar segera membawa Larasati
dan enam orang emban menjauh dari tempat itu.
Mereka terpaksa berlari sekuat tenaga agar
terhindar dari kejaran tokoh-tokoh sakti itu.
Sementara delapan orang murid setia Padepokan
Teratai Putih serentak menghadang para
pengejarnya. Mereka langsung bertempur tanpa
mengenal rasa takut. Tingkat kepandaian mereka
memang cukup lumayan, karena mereka adalah
murid utama Dewa Pedang. Hal ini menjadikan
pengejaran Rengganis dan tokoh-tokoh lainnya
jadi agak terhambat. Mereka terpaksa bertarung
untuk menembus benteng yang terdiri dari
delapan orang itu.
Ternyata delapan orang murid utama
Padepokan Teratai Putih memang cukup tangguh.
Tapi untuk menghadapi puluhan tokoh rimba
persilatan yang memiliki kepandaian tinggi,
mereka kewalahan juga.
"Cari kesempatan keluar! Biar aku hadang
mereka!" seru salah seorang dari delapan murid
Padepokan Teratai Putih itu.
Dua orang langsung melompat dan berlari
cepat menyusul istri ketua Padepokan Teratai
Putih yang sudah tidak terlihat lagi. Beberapa
tokoh rimba persilatan ingin mengejar, tapi
enam orang yang masih bertahan cepat
menghalangi.
Pertarungan tidak seimbang itu kian
berlangsung sengit. Namun telah dapat
dipastikan kalau enam orang itu benar-benar
kewalahan. Bahkan tidak berapa lama berselang,
satu orang terjungkal roboh mandi darah.
Kemudian disusul dengan tewasnya satu orang
lagi dengan dada robek.
"Bunuh mereka semua! Yang lain ikut aku!"
seru Rengganis sambil melompat keluar dari
kancah pertempuran begitu ada kesempatan.
Salah seorang segera melompat hendak
menghadang Rengganis. Tapi wanita berbaju
hijau dengan senjata sepasang kipas baja itu
dengan cepat mengebutkan kipasnya. Tanpa ampun
lagi. orang yang menghalanginya itu tersambar
dadanya hingga sobek. Rengganis tidak lagi
mempedulikan. Dia segera berlari dan melompat
cepat diikuti oleh yang lainnya.
Sudah dapat dipastikan kalau sisa murid-
murid utama Padepokan Teratai Putih itu tidak
akan mampu menandingi tokoh-tokoh rimba
persilatan yang memiliki kepandaian di atas
mereka. Satu persatu mereka roboh dan langsung
tewas. Sementara Rengganis dan sebagian
pengikutnya sudah lenyap ditelan kerimbunan
pepohonan mengejar Larasati dan orang-orang
setianya. Sedangkan tokoh tokoh lainnya segera
mengejar murid-murid setia Padepokan Teratai
Putih, karena yang menghalangi sudah tidak
tersisa lagi. Tapi pihak mereka juga tidak
sedikit yang tewas. Kebanyakan dari mereka
adalah yang memiliki kemampuan di bawah murid-
murid Padepokan Teratai Putih.
***
Pada saat yang sama, Badar yang selalu
mendampingi istri gurunya itu semakin cemas.
Kecemasan itu sangat beralasan, karena tidak
jauh di belakang mereka, Rengganis bersama
tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya mengejar
cepat, dengan mempergunakan ilmu peringan
tubuh. Badar tidak mungkin untuk memaksakan
tenaga istri gurunya itu agar berlari lebih
cepat lagi. Larasati hanya seorang wanita
lemah yang sama sekali tidak mengerti ilmu
olah kanuragan! "Aaakh...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara jeritan
menyayat dari salah seorang emban. Sebatang
tombak panjang menembus punggungnya hingga ke
jantung. Suara jeritan itu belum lagi hilang,
ketika kembali terdengar jeritan melengking
dari seorang emban yang lain. Sebatang anak
panah menembus punggungnya. Emban itu
terjungkal jatuh dan tewas seketika.
"Cepat lari terus. Nyai," kata Badar
melihat Larasati berhenti.
"Tapi...." Larasati tidak bisa melanjutkan
kata-katanya, karena mendadak saja dua batang
anak panah meluncur cepat ke arahnya.
"Hup!"
Badar langsung mencabut pedang di
pinggangnya. Secepat kilat, dikibaskan senjata
itu untuk menghalau dua batang anak panah yang
meluncur tadi. Tangan kirinya segera mendorong
Larasati agar terus berlari. Mau tidak mau
Larasati berlari sambil memeluk erat bayinya.
Dua orang murid utama Padepokan Teratai Putih
yang sudah bergabung kembali, segera
menghentikan larinya. Mereka mencoba
menghadang pengejar yang berjumlah puluhan
orang itu.
Namun dua orang dengan tenaga sudah
terkuras, tentu bukanlah tandingan tokoh-tokoh
rimba persilatan yang sudah dirasuki nafsu
membunuh itu. Tanpa dapat berbuat banyak,
kedua orang itu tewas tercincang.
Sementara Badar terus membawa lari
Larasati untuk menyelamatkan diri. Emban yang
tinggal empat orang, tanpa mampu berbuat apa-
apa masih menyertai mereka. Tapi.... Mereka
memang tidak mengerti ilmu olah kanuragan
sedikit pun.
"Badar. Aku tidak kuat lagi..." keluh
Larasati dengan napas tersengal.
"Bertahanlah, Nyai," Badar coba mendorong
semangat wanita itu.
Larasati hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya saja. Sinar matanya sudah
menyiratkan kepasrahan. Sementara para
pengejar sudah semakin deket saja.
"Selamatkan anakku, Badar. Biarkan aku di
sini," kata Larasati sambil menyerahkan
putranya pada Badar.
"Nyai...," Badar ragu-ragu menerima bayi
yang baru berusia beberapa hari itu.
"Jangan hiraukan aku, Badar. Aku mempunyai
firasat bahwa suamiku sudah tiada. Selamatkan
saja bayi ini," Larasati mencoba tabah.
Walaupun masih ragu-ragu, Badar menerima
juga bayi itu. Sebentar ditatapnya wajah
mungil di dalam dekapannya. Tampak bayi itu
tersenyum manis, seolah-olah mengungkapkan
agar Badar tetap tabah dan bersemangat. Badar
mengalihkan perhatian pada para pengejarnya
yang sudah semakin dekat saja.
"Mari, Nyai. Mereka sudah semakin dekat,"
desak Badar.
"Jangan hiraukan aku, Badar. Cepatlah kau
pergi," sahut Larasati pasrah. "Nyai...."
Pada saat itu, tiba-tiba sebatang anak
panah melesat cepat ke arah Larasati. Dengan
sigap Badar mengibaskan pedangnya menghalau
anak panah itu. Tapi belum lagi pedangnya
ditarik, sebuah tombak panjang melesat cepat
tanpa dicegah lagi. Satu jeritan melengking
terdengar dari salah seorang emban. Badar
menggeram melihat satu persatu orang yang
harus dilindungi kini tewas.
"Cepat Bad.... Akh!"
"Nyai...!" Badar tersentak kaget begitu
melihat wanita yang sangat dihormatinya sudah
tertembus anak panah di punggung. Sedangkan
saat itu dia tengah menghalau serbuan tombak
yang datang bagai hujan.
Badar segera melompat mendekati tubuh
Larasati yang menggeletak dengan punggung
tertembus anak panah. Sementara jeritan-
jeritan melengking saling menyusul bersamaan
dengan ambruknya para emban. Tubuh mereka
tertembus tombak dan anak panah.
"Nyai...," Badar tidak sanggup lagi
mengeluarkan kata-kata.
"Selamatkan anakku. Badar. Besarkan dan
didiklah agar menjadi seorang pendekar. Aku
akan tersenyum jika dia berhasil membalas
kematian orang tuanya," kata Larasati lemah.
"Nyai. "
"Bayu.... jangan nakal ya, Nak. .
Turutilah katakata Pamanmu," semakin lemah
suara Larasati.
Tanpa mampu dicegah lagi, setitik air
bening menetes di pipi Badar. Dengan tangan
gemetar, Larasati mengusap kepala bayinya.
Lalu menghembuskan napas yang terakhir
"Nyai...," desis Badar tersendat.
Sebentar Badar mengusap wajah Larasati
dengan tangannya. Tidak lama kemudian
terdengar suara gemuruh dari puluhan orang
yang sedang berlari cepat menuju ke arah
Badar. Dia menoleh. Di antara mereka, terlihat
Rengganis dengan kipas baja yang terkembang di
tangan. Badar segera bangkit berdiri, den
berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh.
"Kejar dia! Bunuh...!" terdengar suara
seruan keras.
***
Sementara itu matahari telah condong ke
Barat. Sinarnya yang kemerahan tidak lagi
menyengat. Burung-burung telah mulai kembali
ke sarangnya masing-masing. Saat itu Badar
yang berlari ke arah Selatan telah mencapai
tepian pantai. Angin laut bertiup kencang di
senja hari. Debur ombak menggemuruh menghantam
batu-batu karang.
Badar berhenti berlari ketika matanya
menatap kedepan, ke arah laut. Tampak sebuah
pulau berwarna merah menyembul ke permukaan
laut. Kelihatannya pulau itu sangat dekat
dengan tempatnya berdiri sekarang. Badar tidak
menyadari kalau sekaranq ia berada di Pesisir
Pantai Selatan. Dan pulau yang terlihat itu
adalah Pulau Neraka! Pulau yang sangat
ditakuti oleh semua orang. Pulau yang aneh dan
menyeramkan. Seluruh tanah, batu-batuan, dan
pepohonan berwarna merah bagai terbakar. Saat
Badar menoleh ke belakang, tampak para
pengejarnya juga seperti ragu-ragu. Mereka
tetap bergerak, namun tidak lagi berlari
cepat. Hanya bergerak pelahan-lahan. Nama
Pulau Neraka bukanlah nama asing bagi kaum
rimba persilatan. Bahkan para nelayan di
sekitar Pesisir Pantai Selatan tidak ada yang
berani mendekati pulau itu.
"Badar! Menyerahlah kau! Serahkan bayi itu
padaku!" seru Rengganis seraya mendekat pelan-
pelan "Jangan harap kau bisa menyentuh bayi
ini, Rengganis!" sahut Badar seraya melangkah
mundur dengan cepat.
Badar menoleh ke belakang. Tampak beberapa
perahu nelayan tertambat di garis pantai.
Tidak jauh dari sini, terlihat sebuah
perkampungan nelayan. Beberapa orang nelayan
tampak bergerombol, namun tidak ada yang
berani mendekat. Mereka tahu kalau orang-orang
yang berada di pantai sore-sore begini adalah
para tokoh rimba persilatan. Bagi penduduk
yang tidak peduli dengan dunia persilatan,
hanya menyaksikan saja tanpa mau ikut
terlibat.
Sementara Rengganis dan puluhan tokoh
rimba persilatan terus melangkah pelahan-lahan
mendekati Badar. Menghadapi begitu banyak
tokoh yang memiliki kemampuan rata-rata di
atasnya, bagi Badar tidaklah mungkin.
Sedangkan kini tidak ada jalan lain untuk bisa
lolos kecuali ke Pulau Neraka itu.
Dan ini sangat disadari Badar. Masuk ke
Pulau Neraka, sama saja lolos dari mulut buaya
lalu masuk ke kandang macan. Sebentar
dilihatnya perahu itu, lalu pandangannya
beralih pada orang-orang yang semakin dekat
saja.
"Badar...! Aku akan membebaskanmu asalkan
kau serahkan bayi itu," seru Rengganis.
"Jangan coba-coba membujukku, Perempuan
Liar! Mulutmu sangat manis, tapi mengandung
bisa!" ejek Badar sinis.
Merah padam wajah Rengganis mendengar
ejekan menyakitkan telinga itu. Tanpa
menghiraukan kalau daerah itu sangat terlarang
untuk pertempuran, Rengganis segera melompat
tinggi ke udara. Bagaikan seekor burung camar,
dia berputar di udara beberapa kali sebelum
mendarat di depan Badar. Sepasang kipas
mautnya sudah terkembang di depan dada.
"Tahan!" seru seseorang dari tokoh-tokoh
rimba persilatan ketika Rengganis hampir
mengibaskan senjatanya.
Rengganis menghentikan gerakan tangannya
di udara. Seorang laki-laki tua dengan rambut
seluruhnya putih, melompat menghampiri. Laki-
laki Itu mengenakan jubah putih dengan tangan
kanan menggenggam tongkat. Hanya dengan sekali
lompatan saja, sudah berada di sisi Rengganis.
"Gagak Putih, kenapa kau hentikan
maksudku?" tanya Rengganis mendengus tanpa
menoleh sedikit pun.
"Kau akan terkena kutukan seumur hidup
jika membunuh di sini, Rengganis," kata laki-
laki tua itu yang ternyata berjuluk Gagak
Putih.
"Aku tidak peduli! Mereka harus mati!
Semua ke turunan dan orang-orang Dewa Pedang
harus musnah dari muka bumi! Kau tahu Gagak
Putih! Dewa Pedang telah membantai habis
seluruh keluargaku! Sudah banyak
pengorbananku, Gagak Putih. Dan aku tidak
ingin arwah-arwah mereka tertawa hanya karena
takut kena kutukan penghuni Pulau Neraka itu!"
Rengganis sudah tidak mampu lagi berpikir
jernih.
"Rengganis! Kau sadar dengan ucapanmu?"
Gagak Putih kaget juga mendengarnya.
"Aku sadar, Gagak Putih. Dan aku rela mati
asal seluruh dendamku terbalas," sahut
Rengganis mantap.
Setelah berkata demikian, dengan cepat
Rengganis menggeser kakinya ke depan sambil
mengibaskan tangan kanannya. Pada saat itu
juga Badar mengangkat pedangnya menangkis
serangan kipas yang terbuka dengan cepat.
Tangan kanannya memainkan pedang, sedangkan
tangan kirinya tetap menggendong bayi.
Rengganis tidak peduli lagi dengan
peringatan Gagak Putih. Diserangnya Badar
dengan jurus-jurus andalan yang sangat
berbahaya dan dahsyat. Pada saat itu Badar
dalam keadaan terjepit. Kakinya tidak bisa
melangkah mundur. Punggungnya sudah menyentuh
dinding perahu. Hingga pada satu serangan yang
cepat, Badar tidak sempat berkelit lagi.
Bret!
"Akh!" Badar memekik tertahan. Darah
mengucur keluar dari pundak sebelah kiri.
Untung saja Badar masih sempat menggeser
kakinya sedikit, sehingga sabetan ujung kipas
Rengganis tidak melebar ke dada yang mungkin
dapat mengakibatkan bayi di dalam pelukan
Badar terluka.
"Serahkan bayi itu, Badar! Atau kau akan
mati di sini," ancam Rengganis dingin.
Badar melangkah mundur. Sementara di
sekitarnya telah banyak orang dengan senjata
siap merejam tubuhnya. Punggungnya semakin
merapat ke dinding perahu. Diam-diam Badar
mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong
perahu dengan punggungnya. Sedikit demi
sedikit perahu itu mulai bergerak. Seorang pun
tak ada yang memperhatikannya. Mungkin mereka
tengah diliputi perasaan tegang.
"Hup!"
Tiba-tiba saja Badar melompat naik ke atas
perahu, tapi sebatang anak panah telah lebih
cepat mendesing. Tak ayal lagi, anak panah itu
menancap tepat di punggung Badar.
"Bunuh dia!" perintah Rengganis berteriak.
Badar meletakkan bayi yang ada dalam
pelukannya ke dasar perahu, kemudian
diambilnya kayu. Dengan sisa-sisa tenaganya.
Badar mengayuh perahu itu di tengah-tengah
hujan anak panah dan tombak yang berdesingan
di sekitarnya. Badar terus mengayuh tanpa
peduli lagi dengan ancaman dan keadaan
tubuhnya.
"Akh!" lagi-lagi Badar memekik tertahan
ketika sebatang anak panah kembali menancap di
lambung belakangnya.
Belum juga dapat menegakkan tubuhnya, satu
batang anak panah kembali menembus tubuh Badar
bagian perut. Badar terus mengayuh dan tidak
peduli lagi dengan darah yang mengucur semakin
deras. Tekadnya adalah menyelamatkan bayi
dalam gendongannya walaupun bibirnya meringis
menahan sakit yang tiada tara pada sekujur
tubuhnya. Sementara perahu terus membawanya
semakin jauh meninggalkan pesisir. Hujan anak
panah dan tombak telah mulai reda, bahkan kini
telah berhenti sama sekali. Badar menoleh ke
belakang. Tampak orang-orang berhati kejam
masih berdiri berjajar di sepanjang partai.
"Kalian akan menerima perinbalasannya
kelak...!" teriak Badar sambil mengerahkan
tenaga dalam terakhirnya!
Suara Badar menggema keras tersapu angin
laut. Semua orang yang masih berjajar di tepi
pantai mendengar jelas ancaman itu, tapi tak
seorang pun yang mempedulikannya. Perahu terus
membawa Badar dan bayi itu ke arah Pulau
Neraka. Mereka semua tahu, kecil kemungkinan
untuk selamat jika memasuki kawasan pulau itu.
Kalaupun kembali, pasti hanya mayatnya saja
yang hanyut terbawa ombak.
Badar menyadari betul hal itu. Dia
berusaha mengayuh perahu untuk menghindari
pulau itu. Tapi seperti ada gelombang yang
amat kuat, perahu itu malah seperti tersedot
dan bergerak sendiri ke pulau itu. Badar
berhenti mengayuh. Tubuhnya semakin melemah.
Pandangan mata Badar mulai berkurang-kunang.
Namun murid utama Padepokan Teratai Putih itu
masih sempat merasakan kalau perahu yang
ditumpanginya terombang-ambing menuju Pulau
Neraka.
Badar segera mengambil bayi yang
tergeletak didasar perahu. Dengan sisa-sisa
tenaganya, dia langsung melompat ke luar
sebelum perahu hancur menabrak batu karang
yang berwarna merah bagai terbakar. Badar
jatuh bergulingan di atas pasir merah dan
keras, namun bayi dalam pelukannya tidak
terlepas.
"Oh, Tuhan.... Jika memang harus mati di
sini, aku pasrah. Tapi janganlah kau cabut
nyawa bayi ini," lirih suara Badar.
Susah payah Badar berusaha berdiri.
Bibirnya selalu meringis menahan sakit jika
bergerak sedikit saja. Tiga anak panah yang
menghunjam tubuhnya, terasa seperti menyayat-
nyayat. Badar berusaha melangkah menjauhi
pantai Pulau Neraka. Baru saja kakinya
berjalan beberapa tindak, tubuhnya kembali
tersungkur. Akibatnya, bayi dalam pelukannya
terlepas jatuh. Aneh! Bayi itu tidak menangis!
Dia malah tersenyum lebar menggerak-gerakkan
tangannya. Badar merayap mendekati bayi itu
sambil menahan sakit yang tiada tara di
tubuhnya.
"Bayu..., rasanya aku sudah tidak kuat
lagi. Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu
sendirian di sini," ujar Badar sendu.
Bayi itu seperti mengerti kata-kata Badar.
Dia hanya diam, sedangkan matanya yang bening
indah berputar-putar merayapi wajah Badar.
Senyumnya tidak lagi mengembang.
"Kau harus hidup, Bayu! Harus...! Akh!"
Badar meringis menahan sakit. "Tidak ada lagi
yang bisa membalas kematian orang tuamu,
kecuali engkau kelak! Kau harus hidup, Bayu.
Balaslah semua kekejaman ini...," suara Badar
semakin lemah.
Badar tidak kuat lagi menahan tubuhnya.
Dia hanya mampu tergolek di samping bayi yang
terbungkus kain sutra halus merah muda.
Jangankan mengangkat tubuh, untuk mengangkat
tangan saja Badar sudah tidak mampu lagi.
Sementara batuk-batuk yang lemah mulai
mengiringi ajalnya. Matanya semakin berkunang-
kunang. Pasir pantai yang direbahinya ierasa
semakin panas. Padahal, matahari hampir
tenggelam di balik cakrawala.
"Bayu! Kau harus hidup, Nak! Kau harus
jadi seorang pendekar! Carilah nama-nama yang
kutulis ini! Merekalah yang membunuh ayah dan
ibumu! Mereka semua kejam! Mereka juga
menghancurkan Padepokan Teratai Putih milik
ayahmu. Kau pewaris tunggal Padepokan Teratai
Putih, Bayu...," suara Badar semakin lemah dan
sulit didengar.
Badar merobek bajunya. Dengan darahnya
sendiri, dituiislah beberapa nama. Tapi belum
juga selesai, tubuhnya telah mengejang kaku.
Badar sempat meletakkan kain bertuliskan
beberapa nama di atas tubuh bayi itu sebelum
maut menjemputnya. Ketika dia menghembuskan
napas yang terakhir, pecahlah tangis bayi
dengan suara yang melengking. Bayi itu seperti
mengerti kalau orang yang berjuang
menyelamatkan nyawanya telah pergi
meninggalkan dunia yang fana ini.
Tangis bayi itu begitu keras dan
melengking. Angin pun seperti tersentak dan
berhenti bertiup. Tangisan itu membuat suasana
Pulau Neraka begitu menyayat. Sementara
matahari semakin tenggelam di ufuk Barat.
Sinarnya yang membias merah menambah angkernya
Pulau Neraka. Dan suara tangisan bayi itu
masih terdengar diselingi dengan ombak yang
menjilat pantai. Sementara jauh dari pulau
berwarna merah itu, tampak tokoh-tokoh rimba
persilatan mulai meninggalkan pesisir pantai.
Sedangkan Rengganis masih berdiri menatap ke
arah pulau itu. Dari pesisir pantai ini,
begitu jelas terlihat kalau perahu yang
membawa Badar dan bayi putra tunggal Dewa
Pedang hancur berkeping-keping. Rengganis
tersenyum lebar. Dia yakin betul kalau dua
manusia yang berada dalam perahu telah tewas
di Pulau Neraka yang angker dan penuh misteri
itu.
Rengganis masih berdiri menatap ke arah
pulau ditemani tiga saudara pengikut setianya.
Sementara tokoh-tokoh rimba persilatan yang
lainnya telah sejak tadi meninggalkan tepian
pantai itu. Rengganis baru menoleh dan
berbalik setelah semua orang tidak terlihat
lagi.
"Ayo kita pulang," ajak Rengganis seraya
melangkah.
"Kemana, Nyai?" tanya Ganis. "Ke tempat
tanah kelahiranku!"
***
4
Senja telah merambat menjadi malam. Angin
berhembus kencang membawa hawa dingin ke
sekitar pantai Pulau Neraka. Dua jasad manusia
masih tergolek di pasir merah di bawah siraman
cahaya bulan. Yang seorang telah tewas.
Tubuhnya berlumuran darah tertembus tiga anak
panah. Sedangkan yang seorang lagi adalah bayi
laki-laki terbungkus kain sutra halus berwarna
merah muda. Agaknya bayi itu masih hidup.
Di atas batu karang tinggi yang tidak jauh
dari pantai itu, berdiri sosok manusia
bertubuh bulat bagai bola. Kakinya yang
buntung sampai sebatas paha, nampaknya-cukup
kokoh menopang berat badannya. Dalam
keremangan cahaya bulan, terlihatlah kalau
kedua matanya tertutup rapat. Buta. Rambutnya
yang merah panjang, melampai-lambai
dipermainkan angin. Dengan perasaannya yang
tajam, jelas sekali kalau dia tengah mengamati
dua sosok manusia yang terbaring di pasir
pantai.
Bagai bola karet yang ditendang, tubuh
orang buntung itu melentur turun dari batu
karang yang berdiri angkuh itu. Hanya dengan
dua lentingan saja, dia telah sampai di tepi
pantai dekat dengan tubuh yang tewas.
"Aku terpaksa menyeret perahumu ke sini,
Kisanak! Semua keluhanmu telah kudengar,"
suaranya berat tanpa nada sedikit pun.
Laki-laki cacat itu meraba-raba tubuh
Badar yang sudah tidak bernyawa lagi.
Kepalanya menggeleng-geleng. Dilompatinya
tubuh yang sudah kaku itu. Kini dia menghadapi
sosok bayi merah yang diam tenang. Kembali
tangannya meraba-raba. Kening laki-laki
buntung itu agak berkerut ketika tangannya
menyentuh kulit halus bayi yang kelihatan
tidur pulas. Mungkin bayi itu terlalu lelah
setelah menangis seharian.
"Bayi...?! Jadi, inikah keluhannya...?"
gumam laki-laki buntung dan buta itu pelan.
Kemudian diangkatnya bayi itu. Tangannya
mendekap erat tubuh bayi yang kelihatannya
kedinginan. Jari-jari tangan laki-laki itu
mulai merayapi tubuh bayi dalam dekapannya.
Keningnya kembali berkerut begitu menyentuh
kain yang penuh noda darah yang membentuk
tulisan. Sejenak dimiringkan kepalanya, lalu
dimasukkan kain itu ke balik sabuknya.
Tangannya kembali merayap ke seluruh tubuh
bayi itu.
"Masih hidup, dan.... Ah! Laki-laki!"
serunya gembira.
Laki-laki aneh itu mendongakkan kepalanya,
seperti hendak memandang bulan. Sebentar
kemudian wajahnya tertunduk seperti ingin
melihat rupa bayi dalam dekapannya. Entah
mengapa, tiba-tiba saja raut wajahnya yang
buruk kelihatan murung.
"Dari keluhan orang yang bersamamu, kau
bernama Bayu, Bocah! Ah..., seandainya.... Uh!
Tidak! Aku tidak boleh mengingatnya kembali.
Semuanya telah terkubur di Pulau Neraka ini!"
Laki-laki itu seperti teringat sesuatu,
tapi cepat-cepat ditelannya kembali. Jari-jari
tangannya yang kasar kini membelai-belai pipi
halus bayi yang bagai sutra itu.
"Aku akan merawatmu, Anak Manis. Susunan
tulang-tulangmu sangat bagus. Mari, Anak
Manis. Kita pulang ke pondok. Kau akan senang
tinggal di sini," katanya setengah berbisik.
Kaki orang itu melangkah pelan
meninggalkan jasad Badar yang sebentar-
sebentar dijilat ombak.
"Bayu... Ah! Kau tampan mirip dengan
anakku, Hanggara. Hm.... Bayu Hanggara.... Ya!
Namamu Bayu Hanggara!" bisik orang itu lagi.
Sehabis berkata demikian laki-laki cacat
itu melentingkan tubuhnya. Meskipun kakinya
buntung hingga sebatas paha, namun gerakannya
begitu gesit dan sukar untuk diikuti oleh mata
biasa. Dalam sekejap saja ia telah hilang di
balik batu-batu karang yang tersebar di
sekitar pantai Pulau Neraka ini.
***
Bulan telah berlalu, dan tahun demi tahun
telah teriewati. Kari terus berpacu cepat
Tanpa terasa dua puluh tahun telah dilalui
oleh bayi mungil yang bernama Bayu. Dia kini
telah menjelma menjadi seorang pemuda berwajah
tampan. Kulitnya kuning bersih. Namun di balik
wajah dan tubuhnya yang tegap itu, tersirat
sorot mata yang keras dan tajam. Rambutnya
yang panjang dibiarkan meriap dengan ikat
kepala dari kulit harimau. Tubuhnya yang tegap
dihiasi oleh otot-otot yang bersembulan.
Bajunya yang terbuat dari kulit harimau,
menutupi badannya. Lengannya yang kokoh
dibiarkan telanjang, seolah-olah ingin
memperlihatkan kejantanannya.
Sementara kini senja telah merayap turun.
Matahari dengan sinarnya yang merah Jingga
mulai bergerak meluncur ke peraduannya. Pemuda
tegap berbaju harimau itu berdiri tegak
memandang ke laut lepas di atas sebongkah batu
karang berwarna merah bagai terbakar. Tidak
jauh dari situ, juga berdiri seorang laki-laki
tua bertubuh gemuk pendek bagai bola. Tubuhnya
tertopang oleh kakinya yang buntung sampai ke
paha. Wajahnya juga menghadap ke laut lepas,
tapi tanpa melihat apa-apa karena sepasang
matanya memang buta. Hanya perasaannya yang
tajam mampu melihat keadaan sekelilingnya.
"Rasanya telah hampir malam. Kau tidak
ingin pulang, Bayu?" kata laki-laki yang cacat
itu.
"Hhh...!" pemuda yang bernama Bayu itu
hanya menarik napas panjang seraya menoleh
kepada laki-laki tua di dekatnya.
"Seharian kau berdiri di sini, Bayu
Hanggara! Boleh aku tahu, apa yang sedang kau
pikirkan?"
"Tidak ada, Eyang Gardika," sahut Bayu
mendesah pelan.
"Aku dapat merasakan ada sesuatu pada nada
suaramu, Bayu. Katakanlah terus terang, apa
yang menjadi beban pikiranmu?" desak laki-laki
tua yang dipanggil Eyang Gardika.
Lagi-lagi Bayu menarik napas panjang. Dia
memang sedang memikirkan sesuatu, tapi sulit
untuk mengungkapkannya. Sejak masih bayi merah
dia dirawat dan dididik oleh laki-laki tua
penuh misteri ini, di Pulau Neraka Memang
terlalu banyak yang di pikirkan Bayu, tapi
hanya satu masalah yang selalu mengganjal
hatinya. Sampai saat ini dia tidak tahu siapa,
dari mana, dan bagaimana orang tuanya. Juga,
dia tidak tahu asal-usul laki-laki tua cacat
ini. Dua puluhh tahun tinggal bersama-sama,
tapi Bayu sedikit pun tidak tahu seluk-beluk
diri Eyang Gardika.
"Eyang tidak marah jika aku ingin
mengatakan suatu?" nada suara Bayu terdengar
ragu-ragu.
"Kau satu-satunya cucuku, Bayu. Katakan
saja semua yang ada di dalam hatimu," jawab
Eyang Gardika. Nada suaranya lembut, namun
terdengar berat.
"Eyang selalu mengatakan bahwa aku ini
adalah cucu mu, itu berarti aku mempunyai
orang tua, ayah dan ibu. Eyang tahu, di mana
ayah dan ibuku sekarang berada?"
Eyang Gardika tidak segera menjawab.
Ingatannya kembali pada kejadian dua puluh
tahun yang silam. Saat itu dia sedang
berjalan-jalan mengelilingi Pulau Neraka ini.
Tiba-tiba saja perasaannya yang tajam
mengatakan ada sebuah perahu menuju ke pulau
ini. Dengan kekuatan tenaga dalam, ditariknya
perahu yang berisi dua tubuh itu. Seorang
dengan luka di badan dan telah mati, seorang
lagi adalah bayi merah.
Biasanya kalau ada perahu yang mendekati
Pulau Neraka, Eyang Gardika akan menghancurkan
dan membunuh penumpangnya. Tapi karena
telinganya yang tajam mendengar suara rintihan
dan keluhan disertai tangisan bayi, hatinya
merasa tersentuh. Pada saat itu dia memang
teringat pada putranya sendiri yang kini entah
bagaimana nasibnya.
Eyang Gardika membalikkan tubuhnya, lalu
berjalan tertatih-tatih dengan sepasang
kakinya yang buntung. Raut wajahnya langsung
berubah. Wajah angker tanpa senyum sedikit
pun, terlihat semakin seram. Kening Bayu
menjadi berkernyit, lalu buru-buru terbalik
dan mensejajarkan langkahnya pelan-pelan di
samping laki-laki tua cacat itu.
"Maaf, Eyang. Aku tidak bermaksud
membuatmu sedih," ujar Bayu menyesal.
"Aku tidak sedih. Kau memang sudah
selayaknya mengetahui tentang hal itu. Hm...,
berapa usiamu sekarang?"
"Aku..., aku tidak tahu, Eyang," jawab
Bayu kebingungan.
"Ya. Kau memang tidak pernah tahu usiamu,
Bayu...," ujar Eyang Gardika lirih.
"Kalau Eyang bersedia, tolong ceritakan
tentang diriku sendiri, Eyang," pinta Bayu
penuh harap.
"Aku tidak tahu persis, Bayu. Engkau
kutemukan bersama seseorang yang telah mati,
tergeletak di pantai Pulau Neraka ini. Tapi
mudah-mudahan saja kisahku nanti ada
hubungannya dengan asal-usul dirimu. Dan
sebaiknya kita kembali dulu ke pondok," jawab
Eyang Gardika.
Bayu tidak bisa membantah. Kakinya terus
melangkah pelan-pelan mengimbangi ayunan
langkah Eyang Gardika di sebelahnya. Saat itu
matahari telah menenggelamkan dirinya di
belahan bumi bagian Harat. Sinarnya yang
memerah kini digantikan oleh kepekatan malam.
Bulan pun muncul bersama kelap-kelip bintang
menambah indahnya malam. Namun di Pulau Neraka
itu tetap saja sunyi sepi. Sedikit pun tak
terdengar nyanyian binatang-binatang malam.
Pulau itu bagaikan tidak berpenghuni saja.
Entah sudah berapa lama Bayu duduk
membisu. Matanya tidak lepas pada secarik kain
penuh tulisan oleh darah yang mengering.
Tulisan itu berisi beberapa nama. Kalau saja
Eyang Gardika tidak menceritakan artinya,
tentu dia tidak akan tahu maksudnya. Nama-nama
yang tertulis di kain itu adalah orang-orang
yan lelah membunuh kedua orang tua Bayu!
Bayu baru mengangkat kepalanya ketika
pundaknya ditepuk. Pandangan matanya langsung
tertuju pada Eyang Gardika yang duduk tepat di
hadapannya. Bayu menyimpan kain bertuliskan
beberapa nama itu ke balik ikat pinggangnya.
Wajahnya yang kaku keras, semakin terlihat
menegang. Garis-garis kekerasannya semakin
nampak nyata.
"Bayu, Aku dulu juga seorang tokoh hitam
dalam rimba persilatan. Sudah tak terhitung
lagi, berapa nyawa yang telah kucabut. Bahkan
banyak gadis yang telah menjadi korban
kebuasanku. Kau tahu, Bayu. Semua yang
kulakukan tidak punya arti dan maksud yang
pasti. Aku sendiri tak tahu, untuk apa
kulakukan semua itu," ungkap Eyang Gardika,
pelan dan berat suaranya.
"Lantas, mengapa Eyang bisa sampai di
sini?" tanya Bayu. Matanya menatap kedua kaki
dan mata Eyang Gardika secara bergantian.
"Dalam pengembaraanku di sebuah desa yang
tidak begitu ramai, aku terpikat pada seorang
gadis yang lugu dan sedernana. Aku sendiri tak
mengerti mengapa aku begitu lemah di
hadapannya. Biasanya jika aku melihat seorang
gadis dan menginginkannya, maka segala cara
akari kutempuh. Tapi yang ini lain. Sungguh
lain sekali! Aku begitu mencintainya. Kau
tahu, Bayu. Ternyata dia juga mencintaiku!
Memang tidak ada persoalan yang berarti dalam
hubunganku dengan gadis itu. Kami menikah di
desa itu juga, dan menetap di sana. Sejak
itulah kutinggalkan dunia persilatan, dan
hidup damai bersama istriku," Eyang Gardika
terdiam sebentar sebelum melanjutkan
ceritanya.
Bayu juga diam, menunggu dengan sabar.
"Tapi, meskipun aku telah bertobat dan
melupakan semua masa laluku, ternyata dosa-
dosaku tak terampuni. Sebuah malapetaka telah
menimpa keluargaku. Saat itu anak pertamaku
baru saja lahir, sedangkan aku sedang berada
di ladang. Sebuah kepulan asap hitam terlihat
olehku yang nampaknya berasal dari rumahku.
Perasaanku tidak enak. Cepat-cepat aku berlari
pulang. Lalu, apa yang terjadi Bayu...?
Rumahku habis terbakar, dan istriku telah
terbunuh. Di sekitar rumahku telah menunggu
tidak kurang dari tiga puluh tokoh sakti rimba
persilatan. Tanpa senjata kebanggaanku, aku
memang tidak berarti apa-apa buat mereka.
Namun demikian aku berhasil menewaskan mereka
lebih dari separuhnya. Akhirnya aku berhasil
ditaklukkan, dan mereka membuntungi kedua
kakiku serta membutakan kedua mata ku. Saat
itu yang kuinginkan hanya satu. Kematian! Tapi
rupanya Yang Maha Kuasa belum mengijinkan. Aku
tetap diberi hidup. Kemudian, kutinggalkan
desa itu setelah kutemukan senjata andalanku."
Eyang Gardika menunjukkan sebuah senjata
berbentuk cakra segi enam yang menempel pada
pergelangan tangan kanannya.
"Mengapa mereka mengeroyokmu. Eyang?"
tanya Bayu.
"Sudah menjadi kehidupan orang-orang rimba
persilatan, Cucuku. Mereka sadar bahwa
kehadiranku merupakan ancaman yang harus
dimusnahkan...," jawab Eyang Gardika pelan.
"Lagi pula mungkin mereka memang dendam
kepadaku. Mungkin ada keluarga, anak, istri,
atau teman mereka yang tewas di tanganku."
"Lalu, di mana sekarang anakmu, Eyang?"
tanya Bayu
"Entahlah. Sampai saat ini aku tidak
pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin masih
hidup, mungkin juga telah mati terbakar
bersama rumahku," lirih suara Eyang Gardika.
Bayu kembali merenung. Penderitaan yang
dialami kekek angkat sekaligus gurunya ini,
ternyata lebih tragis daripada yang
dialaminya. Bayu benar-benar merasakan hal
itu. Mereka memang sama-sama kehilangan orang
orang yang dicintai. Hanya bedanya, Bayu tidak
menyaksikan pembantaian orang tuanya.
"Eyang, bagaimana kau bisa sampai ke Pulau
Neraka ini?" tanya Bayu.
"Desa tempat tinggalku memang tidak jauh
dari Pesisir Pantai Selatan. Saat itu aku
memang tidak mempunyai tujuan yang pasti,
setelah aku berhasil meloloskan diri. Kedua
kakiku buntung, dan kedua mataku buta. Kau
bisa bayangkan, bagaimana penderitaanku saat
itu. Aku bisa sampai ke Pulau Neraka ini
secara kebetulan saja. Perahu yang kunaiki
entah bagaimana membawaku ke sini. Di pulau
ini aku rasanya seperti sudah mati saja.
Dengan keadaan tubuh yang tidak lengkap lagi,
rasanya sulit untuk mempertahankan hidup di
pulau yang tidak berpenghuni dan ganas ini.
Tapi aku berusaha untuk tetap hidup. Setelah
tubuhku pulih, aku berusaha melatih jurus-
jurusku. Entah bagaimana, di hatiku malah
tumbuh rasa dendam. Dan itu memang berakibat
fatal. Setiap orang yang mencoba memasuki
daerah Pulau Neraka, kubunuh tanpa ampun!
Tidak peduli siapa yang datang. Bertahun-tahun
kujalani hidup seperti itu. Sejak saat itu,
nama Pulau Neraka semakin ditakuti semua
orang. Bukan saja penduduk desa, tapi juga
orang-orang rimba persilatan. Tidak seorang
pun yang berani datang ke pulau ini lagi."
"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Bayu
yang belum pernah melihat gurunya membunuh
orang selama dia tinggal di sini. Pada
kenyataannya, memang tidak seorang pun yang
berani datang ke pulau angker ini!
"Dengan ketajaman telinga dan senjata
andalanku ini," jawab Eyang Gardika
menunjukkan kembali senjata aneh di tangan
kanannya. Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawaban gurunya memang bisa dipercaya, karena
memang telah terbukti kedahsyatan senjata itu.
Dan lagi, ketajaman pendengaran Eyang Gardika
memang luar biasa Dari pondok di tengah-tengah
pulau ini, dia bisa mendengar apa saja yang
terjadi di sekeliling pulau. Bahkan perahu
kecil yang coba-coba mendekat pun bisa
diketahuinya dengan jelas. Entah ilmu apa yang
digunakan. Yang jelas, Bayu belum mampu
mempelajarinya.
"Bayu, kau ingin mencari pembunuh orang
tua mu?" tanya Eyang Gardika setelah terdiam
beberapa saat.
"Benar, Eyang," jawab Bayu mantap.
"Kau tahu siapa mereka?"
Bayu hanya menggelengkan kepalanya. "Yang
tertulis pada secarik kain hanya sebagian
saja. Aku yakin masih banyak yang terlibat.
Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk memburu mereka. Bahkan tidak mustahil di
antara mereka telah ada yang tewas. Saat itu
kau masih bayi, dan kukira usiamu baru
beberapa hari. Sekarang usiamu telah dua puluh
tahun! Tidak semua orang bisa berumur panjang,
Bayu. Kurasa dendammu sudah tidak ada gunanya
lagi," ujar Eyang Gardika pelan.
"Aku akan berusaha mencari mereka, Eyang,
tekad Bayu "Bahkan kalau bisa dendam dan sakit
hatimu akan kubalaskan."
"Kau belum cukup mampu untuk terjun dalam
rimba persilatan, Bayu. Kuasailah dulu seluruh
ilmu-ilmuku. Mungkin dua atau tiga tahun lagi,
kau baru mampu," kata Eyang Gardika.
Bayu terdiam.
"Semua ilmu yang kuwariskan padamu,
beraliran hitam. Tapi sebaiknya kau gunakan
untuk membela kebenaran. Hanya saja sifat
buruk ilmuku tidak mungkin luntur meskipun kau
berhati emas. Tindakanmu tidak akan jauh
berbeda dengan orang-orang beraliran sesat!
Untuk itu, pandai-pandailah membawa diri agar
tidak menarik perhatian gotongan putih yang
pasti akan memburu dan melenyapkanmu." ungkap
Eyang Gardika memberi penjelasan.
"Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu.
"Bagus! Kalau niat hatimu telah mantap,
persiapkanlah dirimu. Setelah itu, baru kau
boleh meninggalkan Pulau Neraka ini. Rimba
persilatan sangat ganas
dan berlumur darah. Kau akan kuberi bekal
yang harus dikuasai penuh."
"Terima kasih, Eyang."
***
Eyang Gardika tersenyum-senyum
memperhatikan Bayu berlatih jurus-jurus dengan
penuh semangat. Semua ilmu yang dimilikinya
sudah diturunkan pada pemuda itu. Hebatnya, di
tangan Bayu ilmu-ilmu Eyang Gardika kelihatan
lebih mantap dan sempurna. Hal ini bisa
terjadi karena usia Bayu yang masih muda lagi
cerdas. Dia cepat menyerap semua yang
diajarkan kakek angkat, sekaligus guru
tunggalnya.
Sampai saat ini, Eyang Gardika telah cukup
puas dengan keperkasaan Bayu. Walaupun dia
tidak bisa melihat, namun hati dan
pendengarannya lebih peka daripada orang
biasa. Sementara hari telah senja. Bayu baru
saja selesai menyempurnakan jurus terakhir
yang diberikan Eyang Gardika. Keringat masih
menetes membasahi tubuhnya. Dia berlari-lari
menghampiri laki-laki tua cacat yang duduk di
atas batu karang merah.
"Awas..!" tiba-tiba Eyang Gardika
berteriak keras sambil menghentakkan tangan
kanannya.
Bayu tersentak kaget. Cakra kuning bersegi
enam di pergelangan tangan kanan Eyang Gardika
meluncur deras ke arahnya. Cakra itu berputar
melayang dengan suara mendesing menggetarkan
hati. Dengan cepat Bayu menjatuhkan tubuhnya
ke samping menghindari terjangan senjata
dahsyat gurunya itu.
"Hup!"
Dengan sigap Bayu bangkit berdiri. Namun
tanpa diduga sama sekali, cakra itu berbalik.
Seperti bermata saja, cakra Eyang Gardika
meluncur deras ke arah pemuda itu. Bayu
memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari
terjangan senjata itu. Beberapa helai rambut
lagi, ujung-ujung runcing cakra itu akan
menyobek dadanya.
"Hih!"
Bayu mendesis terpana merasakan desiran
angin senjata cakra itu. Tubuhnya bergidik
kedinginan. Desiran angin senjata itu tidak
saja menimbulkan hawa yang sangat dingin, tapi
juga dapat menyengat bagai mengeluarkan cahaya
panas membakar kulit! Benar-benar aneh senjata
laki-laki cacat itu.
Eyang Gardika mengangkat tangan kanannya
keatas. Maka senjata berupa lingkaran yang
mempunyai ujung runcing bengkok berjumlah enam
itu pun melesat kembali ke arahnya. Seperti
bernyawa saja, senjata cakra itu menempel di
pergelangan tangan Eyang Gardika yang memakai
gelang berwarna keperakan.
"Eyang...," suara Bayu tersekat di
tenggorokan.
"Bagus! Kau mampu menghindarinya, Bayu!
Sekarang, tahanlah serangan berikut!"
"Eyang...!" .
Bayu tidak sempat lagi mencegah. Dia tidak
mengerti, kenapa Eyang Gardika seperti ingin
membunuhnya. Laki-laki buntung dan buta itu
sudah menghentakkan tangan kanannya kembali.
Maka, senjata cakra itu pun kembali meluncur
deras ke arah Bayu. Buru-buru pemuda itu
memiringkan tubuhnya ke kiri, dan senjata itu
hanya menemui tempat kosong di depan dadanya.
Belum sempat berpikir, senjata itu telah
berbalik berputar menyerang kembali dengan
cepat. "Uts!"
Bayu menjatuhkan tubuhnya ke samping dan
bergulingan di atas tanah berpasir. Kembali
senjata itu hanya menembus ruang kosong.
Seperti bermata saja, senjata itu berbalik,
dan dengan cepat mengejar kembali. Bayu
menjumput sebongkah batu karang di dekatnya,
lalu melemparkannya ke arah senjata itu.
Matanya membeliak terkejut karena senjata itu
tidak terpengaruh sedikit pun. Batu karang
yang dilemparkan hancur berkeping-keping tanpa
menghambat laju senjata itu.
"Hiyaaa...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan
senjata itu lewat di bawah kakinya. Namun
belum juga kakinya bisa menjejak tanah,
senjata itu sudah kembali menyerang. Sementara
udara di sekitarnya menjadi terasa dingin.
Tapi pada kenyataannya kulit Bayu malah terasa
terbakar. Benar-benar aneh dan dahsyat senjata
Eyang Gardika ini!
Bayu yang berada dalam posisi tidak
menguntungkan, tidak punya pilihan lain lagi.
Dengan cepat diangkat kedua tangannya ke depan
dada. Pada saat itu, senjata cakra milik Eyang
Gardika telah meluncur dan siap menghujam
dadanya. Dan...
Bayu menangkap senjata itu dengan kedua
tela pak tangannya. Aneh! Senjata cakra yang
dahsyat itu langsung berhenti bergerak. Bayu
memandangi senjata itu sejenak, lalu berbalik
menghadap Eyang Gardika yang tetap berdiri di
atas kedua kakinya yang buntung. Tampak lelaki
tua itu hanya tersenyum saja
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Eyang
Gardika tertawa terbahak-bahak tanpa sebab.
"Eyang...." Bayu menghampiri. "Tidak
seorang pun yang berhasil menangkap cakra.
Rupanya sudah waktunya cakra berpindah
tangan," kata Eyang Gardika setelah reda
tawanya.
Bayu memandangi senjata di tangannya dan
Eyang Gardika secara bergantian. Dia masih
belum mengerti kata-kata kakek angkatnya.
Senjata yang bernama 'Cakra' itu sungguh luar
biasa. Memang, biasanya tidak ada satu makhluk
pun yang dapat lolos dari ancaman senjata itu
jika telah meluncur dari tangan pemiliknya.
"Kemarilah, Bayu," panggil Eyang Gardika.
Bayu melangkah menghampiri laki-laki tua cacat
itu, lalu segera duduk bersila di hadapan
gurunya. Tangan kanannya masih menggenggam
senjata cakra.
"Pakailah ini," kata Eyang Gardika seraya
mencopot gelang berwarna perak dari tangan
kanannya, lalu menyerahkannya kepada pemuda
itu. Sejenak Bayu ragu-ragu, tapi akhirnya
diterimanya juga. Gelang itu dikenakannya di
pergelangan tangan kanan. Matanya agak
menyipit Ketika gelang sudah dikenakannya,
senjata cakra itu langsung bergerak dan
menempel pada gelang itu.
"Eyang, kenapa kau berikan senjatamu
kepadaku?" tanya Bayu kurang mengerti.
"Kau sudah berhasil melumpuhkan senjataku,
Bayu. Artinya, Cakra telah menjadi milikmu.
Hanya orang yang bisa menangkap yang berhak
menggunakannya! Dan orang itu adalah kau,
Bayu!" jelas Eyang Gardika.
"Eyang...," Bayu segera bangkit ketika
mendengar suara batuk beruntun dari laki-laki
cacat itu.
Eyang Gardika mengangkat tangannya,
mencegah Bayu yang ingin mendekat. Terpaksa
anak muda itu duduk kembali. Wajah Eyang
Gardika kelihatan berubah merah. Dia segera
duduk. Dadanya terlihat bergerak turun-naik.
dengan cepat Dari kening dan lehernya merembes
keringat sebesar butir-butir jagung. Bayu
kelihatan cemas melihat keadaan kakek
angkatnya irii. Dia tidak mengerti, kenapa
tiba-tiba saja Eyang Gardika seperti terserang
demam.
"Eyang.... Eyang sakit?" tanya Bayu agak
bergetar suaranya.
"Tenanglah, Bayu. Jangan cemas. Aku tidak
apa-apa," kata Eyang Gardika lemah suaranya.
"Eyang..., sebaiknya segera kembali ke
pondok," kata Bayu tidak bisa tenang.
Eyang Gardika hanya tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Terdengar
batuknya beberapa kali. Bayu tidak bisa
berbuat apa-apa. Setiap kali Bayu akan bangkit
menolong, tapi sudah keburu dicegah. Eyang
Gardika merasakan adanya gerakan halus.
Gerakan yang seperti mengajaknya pergi.
Pendengarannya begitu tajam. Dia dapat
membedakan gerak sehalus apa pun.
"Dengarkan baik-baik, Bayu. Rasanya saatku
sudah tiba...," Eyang Gardika terbatuk lagi.
"Besok, di saat fajar menyingsing, kau harus
meninggalkan Pulau Neraka ini. Saat itu kau
tidak akan menemukan aku lagi."
"Eyang...!" sentak Bayu terkejut.
"Tidak perlu terkejut, Bayu. Sudah saatnya
aku meninggalkan dunia ini." Eyang Gardika
paham kalau Bayu belum siap mendengar kata-
katanya yang mengejutkan itu.
"Eyang..., kenapa begitu mendadak sekali?"
tanya Bayu seperti orang tolol.
"Jangan bodoh, Bayu! Setiap makhluk yang
bernyawa pasti akan kembali pada pencipta-Nya.
Mereka semua juga akan mati dan hancur kembali
ke asalnya. Aku tidak ingin kau kehilangan
semangat hanya karena kepergianku!" bentak
Eyang Gardika.
"Tapi...," suara Bayu tersekat di
tenggorokan.
"Bayu! Seluruh hidup dan nyawaku ada pada
gelang cakra itu. Aku bisa tetap hidup karena
gelang itu tidak terlepas dari tanganku. Dan
sekarang gelang itu sudah kau miliki, sudah
sepatutnya kau pergi. Ingat, Baya Jangan
sekali-sekali kau lepaskan gelang itu. Sekali
saja kau lepas, berarti ajalmu sudah tiba.
Seluruh hidup dan nyawamu sudah menyatu di
dalam gelang itu. Dan pelindungnya hanyalah
'Cakra'," kata Eyang Gardika menjelaskan.
Bayu tidak bisa berkata-kata lagi. Dia
kini mengerti, kenapa Eyang Gardika tiba-tiba
jadi berubah. Rupanya gelang berwarna perak
dan senjata Cakra ini merupakan satu kesatuan
dari nyawanya. Dan sekarang gelang keramat ini
sudah berada di tangannya. Bayu sadar, kalau
nyawanya sekarang tergantung pada gelang
keramat ini. Rasanya sulit untuk mempercayai,
tapi bukti dan kenyataannya sudah terjawab di
depan mata. Eyang Gardika segera merasa
ajalnya sudah tiba begitu gelang keramat
dicopotnya.
"Bayu...," panggil Eyang Gardika pelan.
"Ya, Eyang!" sahut Bayu.
"Bawa aku ke dalam goa dibelakang pondok.
Biarkan kusempurnakan atmaku di sana. Ingat!
Kau harus menutup mulut goa, dan jangan
kembali lagi ke pulau ini," pesan Eyang
Gardika. "Baik, Eyang."
5
Suasana sebuah desa di Pesisir Pantai
Selatan tidak seperti biasanya. Dermaga
dipenuhi kapal besar. Para kuli angkut sibuk
menurunkan barang-barang dari kapal. Anak-anak
kecil berlarian bersuka ria di sepanjang
pantai. Burung-burung camar pun seakan-akan
ikut merasakan suasana ceria itu dengan
melayang-layang di atas permukaan laut sambil
memperdengarkan suaranya yang nyaring.
Kesibukan dan keceriaan itu tampaknya
terpusat pada sebuah kapal besar dan mewah
yang bersandar pada dermaga. Di sekitar
dermaga juga berjajar kereta yang ditarik
kuda-kuda gagah dan tegap. Sepertinya pemilik
kereta-kereta mewah itu adalah para saudagar
kaya. Atau paling tidak pembesar kerajaan. Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya prajurit
berpakaian seragam kerajaan yang mondar-mandir
di sekitar situ.
Di atas kapal besar dan mewah itu
sepertinya sedang berlangsung pesta. Suara
gamelan terdengar mengalun merdu, ditimpali
gelak, tawa beberapa laki-laki dan cekikikan
beberapa wanita. Di atas geladak, tampak
berdiri seorang wanita cantik didampingi tiga
orang laki-laki bertubuh tegap dan kekar.
Wanita itu sudah berusia sekitar empat puluh
tahun. Tapi, wajah dan tubuhnya masih mampu
membuat mata lelaki tidak berkedip
memandangnya.
"Tampaknya mereka menikmati pesta ini,
Nyai," kata salah seorang laki-laki tegap yang
menyandang pedang di pinggang.
"Ya. Aku memang sengaja mengadakan pesta
di kapal ini untuk memperingati dua puluh lima
tahun hancurnya Padepokan Teratai Putih,"
sahut wanita itu.
"Terus terang, Nyai. Aku heran, kenapa
Nyai masih juga mengingat padepokan itu. Dan
lagi, kenapa harus mengadakan pesta setiap
tahun kalau hanya untuk mengenang saja?" kata
seorang lagi yang membawa kapak.
"Bagaimanapun juga, Padepokan Teratai
Putih milik mendiang suamiku. Entahlah! Aku
sendiri tidak tahu, kenapa rasanya sulit untuk
melupakannya. Dewa Pedang begitu baik...,"
ungkap wanita itu yang ternyata adalah
Rengganis. Sedangkan para lelaki di dekatnya
adalah tiga saudara pengikut setianya.
"Nyai merasa bersalah?" tebak Gamar yang
membawa kapak.
"Mungkin...," desah Rengganis. "Kenapa
harus merasa bersalah, Nyai? Bukankah Nyai
telah membalaskan kematian seluruh keluarga
Nyai? Ingat, Nyai Dewa Pedang yang membantai
seluruh keluargamu!" kata Gamar lagi.
"Kalian ingat kata-kata Dewa Pedang yang
terakhir?" Rengganis seperti bertanya pada
dirinya sendiri. "Ya, ingat," jawab tiga
saudara itu serempak. "Tapi itu kan hanya akal
liciknya saja untuk mencuci tangan. Nyai,"
sambung Ganis.
"Tidak, Ganis. Dewa Pedang benar. Dia
memang ditugaskan untuk menangkap keluargaku
yang telah berkhianat pada kerajaan. Tapi
tidak untuk menbunuh! Dia benar!" ungkap
Rengganis.
Ganis, Gamar, dan Ganang saling
berpandangan. Mereka tidak mengerti, kenapa
Rengganis jadi berubah pikiran setelah
Padepokan Teratai Putih hancur. Bukankah hal
itu memang telah direncanakan? Apalagi gerakan
mereka juga didukung oleh tokoh-tokoh rimba
persilatan yang merasa terganggu dengan adanya
Padepokan Teratai Putih.
Sementara itu, sebagian dari tokoh-tokoh
rimba persilatan yang ikut mengobrak-abrik
Padepokan Teratai Putih waktu itu, kini sedang
berpesta-pora. Beberapa di antaranya malah
sudah ada yang mabuk karena terlalu banyak
minum tuak. Mereka kebanyakan telah menduduki
jabatan penting dalam pemerintahan.
"Aku sudah menanyakan hal ini pada Gusti
Prabu. Pada kenyataannya, beliau membenarkan
kalau Dewa Pedang mendapat tugas begitu. Gusti
Prabu juga tahu kalau keluargaku bukan
dibantai oleh Dewa Pedang. Pamanku sendirilah
yang membantai seluruh keluargaku! Dia memang
selalu menginginkan kedudukan Panglima Perang
Kerajaan dengan memfitnah Dewa Pedang sebagai
pembunuh keluargaku! Itulah yang kusesalkan
sampai sekarang. Sayang, pamanku yang licik
itu telah tewas di tiang gantungan."
"Semuanya telah terjadi, Nyai. Tidak perlu
disesalkan," kata Gamar mendesah.
"Ya. Pesta ini kuadakan sebagai penebus
rasa sesal dan dosaku Aku tidak punya cara
lain lagi. Hanya ini yang dapat kulakukan,"
Rengganis juga mendesah pelan.
Sementara pesta di atas kapal terus
berlangsung. Tidak ada yang mengerti, kenapa
Rengganis memilih
Pantai Selatan sebagai tempat pesta.
Padahal, peristiwa yang dilakukannya terjadi
di Gunung Tangkup, tempat Padepokan Teratai
Putih dulu berdiri. Semua itu hanya tersimpan
di dalam hati wanita berusia empat puluh tahun
ini. Hanya dialah yang tahu.
"Heh!" tiba-tiba Rengganis terkejut.
Matanya menatap lurus ke tengah laut.
Pandangannya tak berkedip pada sebuah pulau
berwarna merah menyala bagai terbakar.
"Ada apa, Nyai?" tanya tiga saudara itu
serempak. Mereka langsung memandang ke arah
yang sama.
Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya
beberapa kali, seakan-akan tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri. Di tengah laut
itu dia melihat sesuatu yang meluncur cepat
bagai kilat dari Pulau Neraka. Begitu
cepatnya, sehingga sulit untuk diikuti oleh
mata biasa.
"Ada apa, Nyai?" tanya Gamar yang tidak
melihat apa pun di tengah laut itu.
"Ah, tidak..., tidak apa-apa," jawab
Rengganis segera mengalihkan pandangannya.
Namun raut wajahnya kelihatan berubah.
Sementara ketiga bersaudara itu tetap
memandang ke arah laut Pulau Neraka memang
terlihat jelas dari situ. Mereka memang tidak
akan dapat menemukan apa-apa, karena yang
dilihat Rengganis begitu cepat dan menghilang
sebelum sempat disadari.
"Aneh...," desis Rengganis tanpa sadar.
"Apakah.... Ah! Tidak! Mustahil...!" Rengganis
bergumam sendiri.
"Apa yang Nyai lihat?" tanya Ganis.
"Tidak! Mungkin hanya burung camar!" jawab
Rengganis berusaha menenangkan diri. Namun
demikian, hati Rengganis tetap tak menentu.
Rengganis terus menebak-nebak yang
dilihatnya sekilas tadi. Dia begitu yakin ada
sesuatu yang meluncur cepat bagai kilat dari
Pulau Neraka. Tapi sulit untuk memastikan apa
yang dilihatnya tadi. Sementara siang terus
merayap. Matahari bergulir semakin tinggi.
Namun pesta di kapal itu akan tetap
berlangsung hingga keesokan harinya.
***
Suasana desa di pesisir pantai itu tetap
ramai meskipun hari telah malam. Lampu-lampu
menyala terang di setiap rumah. Obor-obor
tetap menyala di sepanjang jalan. Kedai-kedai
minum masih tetap buka dan tidak sepi
pengunjung. Hari itu memang banyak kapal yang
berlabuh membongkar muatan, sehingga menambah
semaraknya pesta yang diadakan Rengganis.
Namun lain halnya dengan sebuah kedai yang
tidak jauh dari dermaga. Suasana di situ tidak
begitu ramai, karena tidak banyak orang yang
berkunjung disitu. Kedai itu begitu kecil dan
terpencil sehingga tidak menarik perhatian
orang banyak. Di sudut dekat jendela kedai
itu, duduk seorang pemuda mengenakan baju
kulit harimau. Rambutnya dibiarkan terurai,
dengan ikat kepala juga dari kulit harimau.
Dia sepertinya sengaja menyendiri dengan mata
memandang ke arah dermaga.
"Tambah lagi minumnya, Tuan?"
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya
menoleh sedikit. Seorang,wanita muda dengan
rias wajah tebal, tahu-tahu telah berdiri di
dekatnya. Wangi tubuhnya begitu menusuk.
Sedangkan baju yang dikenakannya terlalu
rendah pada bagian dada, sehingga dua bukit
kembarnya mengintip malu-malu. Kainnya juga
terbelah sampai ke pangkal paha. Sikapnya
begitu menggoda. Sungguh menarik perhatian
kaum lelaki.
"Terima kasih," jawab pemuda berbaju kulit
harimau itu tanpa senyum sedikit pun.
Dialihkan pandangannya kembali ke arah dermaga
yang masih tetap ramai.
"Boleh aku duduk di sini?" mohon wanita
itu. Suaranya dibuat-buat dan terdengar manja.
"Silakan," sahut pemuda itu datar.
"Namaku Karti. Tuan, siapa?" kata wanita
itu seraya matanya merayapi wajah pemuda di
sampingnya. Tangannya kemudian menuangkan arak
dari pundi kecangkir perak.
"Hm..." pemuda itu hanya menggumam tidak
jelas.
"Kuperhatikan sejak tadi, kau selalu
memandang ke arah dermaga. Ada yang menarik di
sana?"
"Mungkin," jawab pemuda itu malas.
"Memang menarik. Setiap tahun memang
selalu begitu. Kau lihat kapal besar dan indah
di ujung kanan dermaga? Kapal itu milik
seorang saudagar wanita yang kaya raya.
Dermaga itu memang selalu dijadikan tempat
bersandar jika saudagar itu akan mengadakan
pesta di atas kapalnya setiap tahun," jelas
wanita yang mengaku bernama Karti tanpa
diminta.
"Hm..." lagi-lagi pemuda berbaju kulit
harimau bergumam tidak jelas.
"Dia sangat kaya dan berpengaruh.
Kenalannya juga orang-orang penting dan para
pembesar kerajaan. Hanya sayangnya, dia tidak
punya suami. Tapi kata orang, dia punya
pengawal yang selalu setia mengikuti ke mana
saja," sambung Karti lagi.
"Siapa dia?" tanya pemuda itu bernada
iseng. "Kalau tidak salah, namanya Rengganis.
Ya... Nyai Rengganis," jawab Karti yakin.
Pemuda itu langsung berpaling dan menatap
tajam pada wanita di dekatnya itu. Wajahnya
berubah tegang dan memerah. Cuping hidungnya
kembang-kempis. Napasnya memburu bagai habis
berlari jauh. Pemuda itu langsung bangkit
berdiri dan meletakkan lima keping uang perak
ke mejanya. Tanpa berkata apa-apa lagi dia
melangkah ke luar dari kedai itu.
"Tuan..., kembalinya!" seru wanita itu
yang juga bergegas bangkit
"Untukmu!" sahut pemuda itu terus
melangkah cepat tanpa menoleh lagi.
"Untukku...!?" wanita yang bernama Karti
seperti tidak percaya. Dipandanginya lima
keping uang perak di tangannya.
Wanita itu merasa seperti mimpi saja.
Hanya seguci arak murah dibayar dengan lima
keping uang perak. Satu keping saja bisa dapat
sepuluh guci arak manis yang lezat. Apalagi
lima keping uang perak...? Malam ini dia
seperti kejatuhan bulan saja. Bergegas
dihampirinya pemilik kedai untuk membayar
minuman pemuda itu.
"Karti! Mau ke mana?" seru pemilik kedai
ketika melihat Karti bergegas pergi.
"Pulang!" jawab Karti.
"Pulang...?! Tapi...."
"Ya! Malam ini aku sudah cukup memperoleh
penghasilan!"
"He...!"
Pemilik kedai itu memang tidak tahu apa
yang telah didapat wanita pelayan dan
penghibur di kedainya ini. Lima keping uang
perak sangat berarti dan besar nilainya bagi
penduduk desa di Pesisir Pantai Selatan ini.
Harga arak memang mahal. Tapi, untuk kebutuhan
sehari-hari lima keping uang perak sudah lebih
dari cukup. Karti bergegas berlari pulang
dengan wajah berseri-seri. Sementara pemilik
kedai itu hanya melongo saja, tanpa mampu
berbuat apa-apa lagi. Memang liukan Karti saja
yang menjadi pelayan dan penghibur di kedai
itu. Masih ada wanita lain. Pemilik kedai itu
pun tidak peduli lagi.
***
Pesta di atas kapal masih terus
berlangsung seperti tidak akan pernah
berhenti. Bau arak dan asap tembakau berbaur
menjadi satu, membuat napas sesak dan mata
perih. Namun hal itu tidak mengurangi suasana
gembira. Tidak sedikit yang sudah kelihatan
mabuk. Semakin larut malam, suasana pesta
semakin bertambah hangat.
Tidak kurang dari lima puluh orang
bersenjata berjaga-jaga di sekitar kapal.
Ditambah lagi, para prajurit kerajaan yang
juga masih setia menunggu para pembesar
kerajaan yang diundang ke pesta itu. Mereka
semua tetap menjalankan tugas agar pesta
berlangsung tanpa gangguan. Tapi suasana
seperti itu kadang-kadang juga bisa membuat
mereka lengah.
Seorang pun tidak menyadari kalau mereka
tengah diawasi oleh seseorang yang memakai
baju kulit harimau. Dia berdiri tidak jauh
dari situ. Tubuhnya agak tersembunyi di balik
keremangan cahaya bulan dan obor. Matanya
tidak berkedip menatap ke arah kapal itu.
Wajahnya kaku dan bibirnya terkatup rapat.
Pelahan-lahan tangan pemuda berbaju kulit
harimau itu bergerak merogoh saku bajunya,
lalu dengan cepat dihentakkan tangannya ke
depan. Secercah sinar keperakan pun meluncur
ke arah tiang utama kapal itu.
Krak!
Suasana pesta yang penuh kegembiraan itu
mendadak berubah kacau. Jerit dan teriakan
kengerian berbaur menjadi satu bersamaan
dengan ambruknya tiang utama utama, kapal itu.
Para penjaga secara serentak berlarian dan
berdiri berjajar di tepian geladak kapal
dengan senjata terhunus. Seluruh hadirin
menjadi panik kalang-kabut. Beberapa tubuh
menggeletak tertimpa tiang utama yang besar
dan kuat.
Di tengah kepanikan itu, kembali terlihat
cahaya keperakan meluncur deras dan menancap
pada salah satu tiang kapal. Seorang wanita
berbaju hijau langsung melompat ke arah tiang
kapal itu. Sejenak dia tertegun pada sebuah
bintang bersegi enam berwarna keperakan yang
menancap di situ. Benda itu besarnya tidak
lebih dari telapak tangan orang dewasa.
Wanita berbaju hijau yang ternyata adalah
Rengganis, mencabut bintang perak bersegi enam
yang menancap dalam di tiang tadi. Sebentar
benda itu di pandanginya. Sementara tiga
pengiring setianya, Ganis, Ganang, dan Gamar
sudah menghampiri. Mereka juga ikut
memperhatikan bintang perak itu. Beberapa
orang yang di antaranya seorang laki-laki tua
berjubah merah, juga menghampiri. Laki-laki
tua itu segera merebut bintang perak dari
tangan Rengganis. "Mustahil...!" gumamnya
mendesah. "Kau kenal dengan benda itu, Paman
Jantara?" tanya Rengganis.
"Ya! Aku tahu betul pemiliknya. Tapi....
Ah! Rasanya tidak mungkin...," ujar laki-laki
berjubah merah yang bernama Jantara dan
berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu.
Kepalanya menggeleng-geleng menyatakan
keheranannya.
"Adik Branta! Lihatlah benda ini!" kata si
Tongkat Samber Nyawa lagi.
Seorang laki-laki tua lainnya yang
mengenakan baju indah segera mendekat. Dia
selalu dikawal dua orang berpakaian prajurit
kerajaan. Sepertinya laki-laki tua berpakaian
indah itu adalah pembesar kerajaan Setelah
mengambil bintang bersegi enam dari tangan si
Tongkat Samber Nyawa, benda itu pun
diperhatikannya sebentar. Kepalanya juga
menggeleng-geleng keheranan.
"Rasanya tidak mungkin dia masih hidup,"
gumam laki-laki yang dipanggil Branta itu.
"Apa mungkin dia punya nyawa rangkap?"
celetuk salah seorang yang juga sudah tua.
"Tidak! Tidak mungkin ada orang bisa hidup
dengan kedua kaki buntung dan mata buta!"
bantah Jantara.
"Kalau bukan dia, lalu siapa?" Branta
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Jantara tidak langsung menjawab, tapi
hanya memandangi semua orang yang berada di
sekelilingnya. Mereka adalah tokoh rimba
persilatan dan para pembesar kerajaan yang
memiliki kepandaian cukup tinggi. Rata-rata
mereka semua kenal akan benda berbentuk
bintang segi enam yang terbuat dari perak itu!
Hanya mereka yang masih muda-muda saja yang
kurang paham terhadap benda itu. Rengganis
sendiri masih bingung dengan pembicaraan
orang-orang tua di sekitarnya.
Teka-teki itu masih belum terjawab, tapi
telah disusul deh suara siulan nyaring yang
disertai dengan pengerahan tenaga dalam
berkekuatan tinggi. Beberapa orang yang hanya
memiliki kepandaian pas-pasan mulai
terpengaruh deh suara siulan itu. Gendang
telinga mereka terasa sakit meskipun telah
menutup telinga rapat-rapat dengan kedua
tangan. Sedangkan mereka yang memiliki
kepandaian cukup tinggi segera mengerahkan
tenaga dalam untuk menghalau suara siulan itu.
"Awas...!" tiba-tiba Jantara berteriak
nyaring. Pada saat itu meluncur seberkas
cahaya keperak-perakan ke arah mereka. Dengan
cepat Jantara mematahkan tiang kapal dan
menyampok sinar itu. Saat cahaya keperakan itu
membentur tiang sebesar tangan yang
dipegangnya, Jantara tersentak dan mundur
selangkah. Tangannya terasa bergetar.
Jantara bergegas melihat tiang yang
digunakan untuk menyampok serangan gelap tadi.
Tampak secarik kain merah muda menempel di
situ bersama tancapan bintang perak bersegi
enam. Jantara segera mencabut bintang perak,
dan mengambil kain merah muda itu. Kain itu
segera diserahkannya pada Rengganis.
"Edan! Apa maksudnya ini?!" dengus
Rengganis. Wajahnya sedikit menegang.
"Jelas dia mencarimu, Rengganis. Kain itu
bertuliskan namamu," kata Jantara pelan.
"Tapi, apa maksudnya? Kalian kenal dengan
benda ini. Sedangkan aku..., sama sekali tidak
tahu!" nada suara Rengganis terdengar
kebingungan.
Semua yang ada di situ tak ada yang
menjawab sedikit pun. Sementara suara siulan
telah berhenti sejak tadi. Beberapa penjaga
dan prajurit tergeletak pingsan akibat siulan
bertenaga dalam yang cukup tinggi tadi. Dari
lubang hidung dan telinga mereka mengalir
darah segar. Sedangkan yang bertahan dengan
siulan tadi segera menolong mereka. Rengganis,
Jantara, Branta, dan yang lainnya hanya
terdiam. Kepala mereka berputar mencari-cari
ke sekeliling. Siapakah orang yang mengirimkan
kain berwarna merah muda bersama senjata
bintang perak bersegi enam itu? Pertanyaan
inilah yang membebani benak mereka semua.
***
6
Malam terus merayap semakin pekat. Pesta
tidak dilanjutkan lagi sehingga suasana di
atas kapal mewah itu menjadi sunyi seketika.
Yang terlihat di situ hanyalah orang-orang
yang berjaga-jaga. Mereka adalah para penjaga
dan prajurit kerajaan yang merasa bertanggung
jawab atas junjungan mereka di atas kapal.
Selain itu, ada juga para pembesar kerajaan
dan tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut
berjaga-jaga.
Saat itu Rengganis terus didampingi oleh
Jantara dan tiga bersaudara pengawal setianya.
Wanita itu masih belum mengerti dengan
kejadian yang sungguh menggemparkan itu.
Walaupun hanya sesaat, tapi cukup membuat hati
jadi bertanya-tanya. Di atas kap ini, hampir
seluruh tokoh rimba persilatan hadir di situ.
Mereka datang dari segala penjuru. Walaupun
setiap harinya bergelimang darah dan
tantangan, namun kejadian yang hanya sesaat
itu mampu menggetarkan hati mereka juga.
"Aku tidak yakin kalau orang itu adalah
Gardika, Paman Jantara," kata Rengganis
setengah berguma
"Hanya dia satu-satunya yang memiliki
senjata semacam itu, Rengganis," sahut
Jantara. Dia memang telah menceritakan tentang
pertarungannya bersama tokoh-tokoh rimba
persilatan yang mengeroyok Gardika.
"Tapi sebelumnya kau katakan bahwa dia
telah tewas. Rasanya mustahil kalau orang yang
sudah dibuntungi kedua kakinya dan dibutakan
kedua matanya, ternyata masih hidup," sergah
Rengganis. "Lagi pula, apa urusannya denganku?
Aku tidak kenal dia! Bahkan mungkin pada saat
itu aku belum lahir. Bisa juga waktu itu aku
masih kecil."
Jantara tidak mampu menjawab. Memang sulit
diterka, siapa orangnya yang melakukan
serangan gelap itu. Tapi dari senjata yang
berbentuk bintang bersegi enam, jelas kalau
orang itu adalah Gardika. Jantara jadi
berkerenyut juga keningnya. Sepengetahuannya,
Gardika telah tak berdaya di Pulau Neraka.
"Pasti ada orang lain yang menggunakan
senjata yang sama!" sentak Jantara.
"Maksud, Paman...?" tanya Rengganis tidak
mengerti.
"Rengganis! Dalam dunia ini, kita memang
selalu dikelilingi musuh. Bahkan kawan yang
sekarang, tidak mustahil nantinya akan jadi
musuh juga. Ingat-ingatlah. Siapa di antara
kawan dan lawanmu yang mengunakan senjata
berbentuk bintang," kata Jantara.
"Rasanya tidak ada, Paman," jawab
Rengganis setelah berpikir sejenak.
"Ingat-ingat dulu, Rengganis," desak
Jantara.
Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia berusaha mengingat-ingat Tapi selama
berkecimpung dalam dunia persilatan dan hingga
memutuskan untuk jadi saudagar, rasanya tidak
pernah punya lawan ataupun kawan yang
menggunakan senjata berbentuk bintang perak
bersegi enam.
Dan tiba-tiba saja Rengganis teringat
dengan yang dilihatnya siang tadi. Sesuatu
yang dilihatnya sendiri saja. Sangat jelas
terlihat, tapi begitu cepat sehingga sulit
untuk menentukan, apakah itu manusia atau
hanya berupa kilatan cahaya saja. Bisa juga
itu hanya fatamorgana. Sulit untuk
menghubungkan, antara yang dilihatnya siang
tadi dengan kejadian di kapal barusan. Tulisan
pada secarik kain, jelas ditujukan untuknya.
Tulisan itu hanya berupa sebuah nama. Namanya
sendiri tanpa ada tulisan atau nama lain.
Jelas, maksudnya adalah peringatan atau bisa
juga ancaman.
"Apakah mungkin kalau orang itu adalah
putra Dewa Pedang...?" gumam Rengganis seperti
bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau bicara apa, Rengganis?" tanya Jantara
tidak percaya.
"Paman! Siang tadi aku melihat sesuatu
meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka.
Aku tak tahu pasti, benda apa yang bergerak
itu. Apakah itu hanya sebuah benda, ataukah
manusia? Aku tak tahu. Tapi aku yakin, itu
pasti ada hubungannya dengan kejadian di kapal
ini, Paman," ungkap Rengganis pelan.
"Hm..., selama ini tak ada seorang pun
yang bisa selamat jika telah masuk ke Pulau
Neraka. Gardika juga pergi ke pulau itu, dan
sampai kini tak terdengar kabar beritanya
lagi. Rasanya tidak mungkin kalau Badar dan
putra Dewa Pedang masih hidup...," bantah
Jantara. Tapi dari nada suaranya terdengar
ragu-ragu.
Hening. Tak ada lagi yang bersuara.
Kejadian yang menggemparkan tadi membuat semua
orang yang ada di atas kapal ini terdiam.
Mereka sibuk dengan pikiran yang terus
berkecamuk. Sementara para pembesar yang
bernyali kecil telah mulai meninggalkan kapal.
Bahkan beberapa tokoh yang merasa tidak ada
hubungannya dengan kejadian itu juga telah
pergi. Mereka seperti tidak ingin ikut campur.
Semakin larut malam, keadaan kapal semakin
sunyi. Kesunyian itu menambah suasana menjadi
semakin mencekam.
"Rengganis, sebaiknya kau beristirahat
saja. Biar aku dan anak buahku yang berjaga-
jaga," kata Jantara setelah cukup lama berdiam
diri.
"Terima kasih, Paman. Dalam keadaan
seperti ini, aku tidak mungkin dapat tidur,"
tolak Rengganis halus.
"Kalau begitu, aku pergi dulu untuk
melihat keadaan," pamit Jantara.
"Silakan, Paman."
Laki-laki tua berjubah merah itu segera
berlalu. Sementara Rengganis masih duduk di
kursi, di atas geladak didampingi tiga
bersaudara pengikut setianya. Ketiga
bersaudara itu pun hanya bisa membisu. Mereka
juga telah mendengar apa yang dibicarakan
junjungannya dengan Jantara, atau yang
berjuluk si Tongkat Samber Nyawa tadi.
Jantara berjalan pelan-pelan menyusuri
geladak kapal besar dan mewah itu. Hanya
tinggal beberapa tokoh saja yang masih ada di
kapal ini. Seluruh pembesar kerajaan telah
meninggalkan kapal. Kini, tidak terlihat lagi
para prajurit yang berjaga-jaga di situ.
Jantara terus melangkah menuruni tangga kapal
menuju dermaga. Beberapa anak buahnya terlihat
berjaga-jaga di sekitar dermaga itu.
Dengan dikawal enam orang anak buahnya,
Jantara memeriksa keadaan dermaga. Tak lama
kemudian dia meninggalkan tempat itu, dan
menuju desa yang tidak jauh dari situ. Suasana
desa masih tetap ramai meskipun hari telah
jauh malam. Namun keramaiannya telah sedikit
berkurang jika dibandingkan dengan siang tadi.
Sepanjang jalan, yang ditemukan hanya orang-
orang mabuk dari wanita-wanita penjaja cinta.
Jantara terus melangkah diikuti oleh enam
orang anak buahnya.
"Sebaiknya kita kembali saja, Tuan. Sudah
terlalu malam. Barangkali orang itu sudah
pergi dari sini," kata salah seorang yang ikut
dengan Jantara.
"Baiklah. Besok kita teruskan," jawab
Jantara.
Mereka kemudian kembali menuju dermaga di
Pesisir Pantai Selatan. Mereka berjalan tanpa
banyak bicara. Memang sulit mencari satu di
antara sekian banyak orang yang tidak dikenal.
Apalagi sekarang ini banyak pendatang yang
singgah di desa di sekitar Pesisir Pantai
Selatan itu.
Baru saja beberapa tindak mereka berjalan,
tiba-tiba sebuah bayangan melintas di depan
mereka. Jantara terperanjat, dan langsung
memerintahkan anak buahnya berhenti.
Seorang pemuda gagah dan tegap tahu-tahu
telah berdiri di depan Jantara dan enam orang
anak buahnya. Rambutnya yang panjang
dipermainkan angin malam. Tubuhnya berotot dan
tertutup baju dari kulit harimau. Hanya bagian
dada yang terbuka, memamerkan dadanya yang
bidang dan kekar. Wajahnya cukup tampan, namun
memiliki sorot mata yang tajam. Rahangnya yang
menonjol kekar, terkatup rapat. Dia berdiri
tegak dengan tangan melipat di depan dada.
"Kau laki-laki tua, berjubah merah dan
bersenjata tongkat kembar pendek. Apakah kau
bernama Jantara, si Tongkat Samber Nyawa?"
tanya pemuda itu. Dari perawakan dan pakaian
yang dikenakan, jelas kalau dia adalah Bayu
Hanggara.
Selama Bayu meninggalkan Pulau Neraka,
keterangan tentang pembunuh orang tuanya dan
pengeroyok Eyang Gardika terus dicarinya.
Sampai dia akhirnya tahu kalau Rengganis
adalah ibu tirinya sendiri. Tapi dia tidak mau
peduli. Yang ada di benaknya adalah membalas
dendam atas kematian orang tuanya dan atas
kesengsaraan Eyang Gardika di Pulau Neraka.
"Benar! Dan kau siapa? Kenapa kau hadang
langkahku?" sahut Jantara seraya memasang
wajah angker.
"Mungkin kau mengenal benda ini," sahut
pemuda itu sambil mengangkat tangan kanannya
ke depan.
Jantara melangkah mundur dua tindak
melihat cakra bersegi enam yang bergigi-gigi
bengkok menempel pada pergelangan tangan
pemuda itu. Bola matanya berputar, seolah-olah
tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Jagalah kepalamu, Jantara!" bentak pemuda
itu tiba-tiba seraya mengebutkan tangan
kanannya.
Laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber
Nyawa itu terperangah sesaat, namun dengan
cepat merundukkan kepalanya. Cakra berwarna
keperakan yang menempel di tangan pemuda itu
meluncur deras kearahnya. Begitu cepat cakra
itu, sehingga dua orang yang berada di
belakang Jantara tidak sempat lagi menghindar.
Kedua orang itu menjerit keras. Tubuh
mereka berputar sebentar sebelum ambruk dengan
kepala terpisah. Pemuda itu mengangkat tangan
kanannya. Dengan putaran manis, senjata cakra
itu berbalik dan langsung menempel kembali di
pergelangan tangannya.
"Anak muda! Apa hubunganmu dengan Gardika
si Cakra Maut?!" tanya Jantara membentak.
"Kau tidak perlu tahu, Jantara. Berdoalah
agar dosamu diampuni," sahut pemuda itu
dingin.
"Kurang ajar! Apa yang kau andalkan hingga
berani umbar bacot di hadapanku, heh?!" geram
Jantara sengit.
"Bersiaplah untuk mati, Jantara!"
Rupanya pemuda itu tak kenal kompromi
lagi. Langsung dibukanya jurus-jurus maut.
Jantara mengerutkan keningnya melihat
kembangan jurus-jurus yang diperagakan pemuda
itu. Dia kenal betul dengan jurus itu. Jurus
'Kelelawar Maut'. Jantara langsung bersiap-
siap dengan jurus andalannya juga. Tapi,
sebenarnya Jantara sendiri belum yakin apakah
bisa menandingi jurus 'Kelelawar Maut',
meskipun dikerahkan oleh orang lain.
"Tahan seranganku, Jantara!" seru Bayu
keras.
Secepat kilat pemuda itu melompat sambil
mengembangkan kedua tangannya. Gerakannya
begitu cepat bagai kilat. Jantara bergegas
membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan
beberapa kali, sebelum melompat bangkit. Namun
baru saja dapat berdiri, satu kibasan tangan
yang cepat dan tak terduga menyampok ke arah
kepalanya.
"Uts!"
Jantara menarik kepalanya sedikit sambil
menyodokkan tangan kanannya ke arah dada. Tapi
kembali Jantara terperangah karena lawan mampu
berkelit dengan cepat sambil melancarkan
serangan susulan. Satu tendangan keras
melayang menghantam perut laki-laki tua itu.
Jantara terbungkuk mengeluh tertahan. Perutnya
seketika terasa mual. Belum sempat menyadari
apa yang terjadi, satu pukulan telak kembali
bersarang di wajahnya.
"Akh!" Jantara memekik tertahan. Timpa
ampun lagi tubuh laki-laki tua berjuluk si
Tongkat Samber Nyawa itu terjengkang ke
belakang. Sedangkan pemuda berbaju kulit
harimau itu tetap berdiri tegak dengan tangan
melipat di bagian dada. Matanya yang tajam
menatap langsung ke wajah Jantara. Sedangkan
bibirnya agak melebar, menyunggingkan senyuman
bernada sinis dan kejam. Jantara melangkah
mundur dua tindak. Disemburkan ludahnya yang
bercampur darah.
"Setan belang! Siapa kau sebenarnya,
Bocah?!" bentak Jantara menggeram hebat.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Jantara.
Karena kau berperan juga dalam membunuh Dewa
Pedang, maka berlutut dan mohon ampunlah pada
Dewa Pedang!" sahut Pemuda itu.
"Kau.... Kau tahu Dewa Pedang...?!"
Jantara jadi kebingungan.
"Mampus kau, Jantara! Hiyaaa...!" "Hup!"
***
Jantara cepat melentingkan tubuhnya ke
udara sambil mencabut senjata andalannya
berupa sepasang tongkat kecil dengan ujung-
ujungnya berbentuk bulan sabit. Dua kali dia
bersalto di udara seraya tangannya bergerak
cepat mengibas. Bersamaan dengan itu, pemuda
gagah berbaju kulit harimau juga telah berada
di udara.
Satu ledakan keras terdengar ketika
senjata Jantara membentur pergelangan tangan
pemuda berbaju kulit harimau itu. Tampak tubuh
mereka terpental kebelakang, lalu jatuh ke
tanah secara bersamaan. Jantara segera limbung
begitu kakinya menjejak tanah. Sedangkan
lawannya mendarat dengan manis. Tangannya
kembali melipat di depan dada! Sepertinya
tidak merasakan apa-apa!
"Phuih!"
Jantara membuang satu tongkatnya yang
patah! menjadi dua bagian. Matanya merah
menahan geram yang amat sangat. Selama
berkecimpung dalam dunia persilatan, baru kali
ini dia mendapat lawan tangguh dan sanggup
memperdayai di depan anak buahnya. Harus
diakui kalau hatinya sedikit gentar melihat
ketangguhan lawannya. Memang sulit diukur
tingkat kepandaian pemuda berbaju kulit
harimau itu.
Jantara mundur dua tindak. Kembali
disemburkan ludahnya yang telah bercampur
dengan darah kental kehitaman. Dengan punggung
tangan, diseka mulutnya yang berlumuran darah.
Matanya agak membeliak melihat darahnya yang
berwarna kehitaman.
"Kau.... Kau memakai ilmu 'Pukulan Racun
Hitam'! Siapa kau sebenarnya?" keras suara
Jantara, namun agak tersendat. Dia juga
memeriksa bagian
dadanya yang terkena pukulan ketika
bentrok di udara tadi. Tampak di dadanya
terdapat gambar berbentuk telapak tangan
berwarna hitam.
"Rupanya kau masih penasaran juga,
Jantara. Baiklah. Agar kau tidak mati
penasaran, dengarkanlah baik-baik. Namaku,
Bayu! Putra tunggal Dewa Pedang. Aku datang
dari Pulau Neraka!" tegas kata-kata Bayu,
pemuda gagah berbaju kulit harimau itu.
Jantara tidak dapat berkata-kata lagi.
Sama sekali tidak disangka kalau pemuda yang
berdiri di depannya adalah putra tunggal Dewa
Pedang, ketua Padepokan Teratai Putih yang
dihancurkan oleh dirinya bersama tokoh-tokoh
rimba persilatan lainnya.
"Dan semua ilmu yang kumiliki berasal dari
Eyang Gardika, yang telah kau buntungi kedua
kakinya dan kau butakan kedua matanya. Nah,
Jantara. Apakah kau sudah puas?"
"Jadi..., Gardika masih hidup?" Jantara
hampir tidak percaya mendengarnya.
"Sekarang dia telah mati setelah,
menurunkan semua ilmunya kepadaku. Dan
sekarang aku muncul untuk membalas sakit
hatinya mencari orang-orang sepertimu! Juga,
orang-orang yang menghancurkan keluargaku!"
dingin suara Bayu.
Setelah berkata demikian, pemuda berbaju
kulit harimau itu langsung menyerang Jantara.
Pertarungan sengit tak dapat dihindarkan lagi.
Bayu benar-benar menurunkan tangan besi kepada
orang tua yang bernama Jantara itu. Serangan-
serangan yang dilancarkannya sangat berbahaya
dan luar biasa dahsyatnya. Jantara dibuat
jatuh bangun tanpa mampu memberi serangan
balasan.
Dalam beberapa jurus saja, kelihatan
sekali Jantara telah terdesak. Melihat
pemimpinnya kewalahan, empat orang anak
buahnya yang masih tersisa langsung
berlompatan menyerang Bayu. Mereka memang
sudah biasa dengan pertarungan licik dan main
keroyok. Hal ini tentu saja membuat Bayu
geram.
"Bagus! Kalian memang anak buahku yang
mengerti," gumam Jantara dalam hati. "Inilah
kesempatan buatku...."
DI saat Bayu sibuk menghadapi keroyokan
itu, tanpa menunggu waktu lagi Jantara segera
melesat kabur. Namun perhatian Bayu tidak
seluruhnya terpecah. Tindakan pengecut laki-
laki tua itu langsung dapat dilihatnya.
"Jantara! Jangan lari kau, pengecut!"
geram Bayu.
Secepat kilat pemuda itu mengibaskan
tangan kanannya sambil merunduk menghindari
tebasan pedang lawan. Benda yang bernama cakra
itu melesat bagai kilat menuju ke arah larinya
Jantara. Begitu cepatnya sehingga yang
terlihat hanyalah secercah sinar keperakan
bagai bintang jatuh dari langit.
"Sial! Hup!"
Jantara segera menjatuhkan tubuhnya ke
tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun tak
urung dia juga memekik sedikit. Punggungnya
sempat tergores senjata cakra yang dilepaskan
Bayu. Jantara masih bergulingan ketika senjata
berbentuk lingkaran pipih dan bergigi bengkok
berjumlah enam itu berputar kembali ke arah
pemiliknya
Tap!
Dengan manis Bayu melompat dan menangkap
senjata maut andalannya itu. Sambil berputar
dengan
kedua tangan merentang, empat orang
pengeroyoknya segera dibabatnya habis. Gerakan
Bayu memang sulit untuk diikuti dengan mata.
Akibatnya, empat orang pengeroyoknya jungkir-
balik tak tertahan lagi. Jerit melengking
saling susul terdengar, bersamaan dengan
ambruknya empat tubuh dengan dada sobek
mengucurkan darah.
Kesempatan yang sedikit itu, dimanfaatkan
Jantara untuk melarikan diri. Dengan cepat dia
bangkit dan berlari mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Bayu yang melihat lawannya
kabur dengan cara licik, jadi berhenti.
Jantara berlari menuju dermaga tempat kapal
besar dan mewah itu bersandar. Kapal itu kini
sudah tidak memiliki tiang utama lagi. Bayu
berdiri tegak. Matanya memandang tajam ke arah
Jantara yang terus berlari cepat menuju kapal
itu.
"Huh! Pengecut..!" dengus Bayu, tidak
melanjutkan pengejarannya.
Jantara langsung ambruk ketika sampai di
atas geladak kapal. Tokoh-tokoh sakti yang
masih berada di atas kapal itu terkejut dan
segera menghampiri. Demikian pula dengan
Rengganis dan tiga orang pengawal setianya
yang memang masih berada di geladak. Mereka
semua terperanjat melihat keadaan Jantara yang
babak-belur bersimbah darah.
"Paman Jantara! Apa yang terjadi?!" tanya
Rengganis yang diliputi rasa kaget.
"Dia.... Dia dari Pulau Neraka...," sahut
Jantara terputus-putus.
"Pulau Neraka...?!"
Semua bergumam keheranan setengah tidak
per caya. Mereka semua tahu kalau Pulau Neraka
tidak berpenghuni, dan tidak ada seorang pun
yang pernah keluar dari sana!
"Siapa dia, Jantara?" tanya salah seorang
yang bertubuh gemuk pendek dan berperut
gendut.
"Bayu.... Dia bernama Bayu, putra Dewa
Pedang," sahut Jantara terengah dan terputus-
putus suaranya.
Tidak ada lagi yang bersuara. Mereka semua
tidak percaya begitu saja. Rasanya tidak
mungkin seorang bayi yang baru berumur
beberapa hari, bisa hidup di pulau angker itu.
Bahkan sekarang muncul dan bisa membuat
Jantara, seorang tokoh sakti, babak-belur!
Mereka memang tidak akan percaya kalau Jantara
tidak melanjutkan....
"Di pulau itu Gardika masih hidup. Setelah
ilmu-ilmunya diturunkan pada Bayu, baru dia
mati. Hhh... sungguh dahsyat dan sadis! Enam
orang anak buahku tewas...."
Kata-kata Jantara terputus ketika
terdengar suara siulan nyaring bernada aneh.
Siulan itu seolah-olah datang dari segala
penjuru, dan mengandung kekuatan tenaga dalam
yang amat luar biasa. Mereka yang memiliki
tingkat kepandaian rendah, langsung menutup
telinga. Sedangkan tokoh-tokoh sakti yang
berjumlah tidak kurang dari lima belas orang,
segera mengimbangi dengan mengerahkan tenaga
dalam.
"Siapa pun kau adanya, keluar!" bentak
Rengganis keras disertai pengerahan tenaga
dalam yang tinggi pula.
Suara bentakan Rengganis langsung
menghentikan siulan itu. Sesaat suasana jadi
sunyi menegangkan. Semua kepala menoleh ke
kanan dan ke kiri mencari sumber siulan tadi.
Sementara Jantara sudah bisa bangkit dibantu
beberapa orang. Tidak ada seorang pun yang
berbicara. Semua diliputi suasana penuh
ketegangan.
Rengganis melangkah keluar dari kerumunan
tokoh rimba persilatan lainnya. Dia berdiri
tegak di tengah-tengah geladak kapal. Matanya
tajam memandang ke sekelilingnya. Sementara
Ganis, Ganang dan Gamar sudah bersiap-siap
dengan senjata masing-masing, tidak jauh di
belakang wanita itu.
"Bayu! Kalau kau ingin balas dendam,
hadapilah aku! Aku yang bertanggung jawab.
Keluarlah Bayu!" seru Rengganis keras bergema.
Tidak ada sahutan sedikit pun. Kata-kata
Rengganis hanya terbawa angin malam, dan
hilang begitu saja bersama deburan ombak.
Wanita itu tetap melayangkan pandangannya ke
seluruh arah dengan tajam. Namun yang dilihat
hanyalah kepekatan malam.
"Rengganis! Awas...!" tiba-tiba terdengar
sebuah seruan keras mengejutkan.
Tanpa berpikir panjang, Rengganis mencabut
senjatanya berupa kipas baja putih yang
terselip di pinggang begitu matanya melihat
secercah cahaya keperakan meluncur deras ke
arahnya. Tring!
Rengganis tersentak ke belakang dua
tindak. Wajahnya iangsung memerah. Tangan
kirinya memegangi pergelangan tangan kanannya
yang seperti tersentuh ribuan lebah berbisa
Kipasnya terpental
beberapa depa. Semua orang yang berada di
atas geladak kapal terperangah melihat kipas
baja putih kebanggaan Rengganis tergeletak di
lantai geladak, tertancap sebuah bintang
keperakan.
"Nyai! Ada suratnya!" kata Gamar yang
telah mengambil kipas dari lantai geladak.
Rengganis buru-buru menerima senjatanya
dari tangan Gamar, dan langsung diselipkannya
ke balik pinggang. Dia juga merebut secarik
kain berwarna merah darah dengan tulisan dari
tinta emas. Wajahnya langsung menegang dan
merah sampai ke telinga setelah membaca
tulisan di kain merah itu.
"Apa isinya, Rengganis?" tanya Jantara
yang sudah menghampiri.
Rengganis tidak menjawab. Diserahkannya
kain dengan tulisan dari tinta emas itu pada
Jantara.
"Kutunggu kau di Pantai Selatan! Aku dari
Pulau Neraka," Jantara membacakan tulisan yang
tertera pada secarik kain merah itu.
Jantara mengangkat kepalanya memandang
Rengganis. Sinar matanya penuh dengan sejuta
kata-kata, namun sulit untuk diucapkan. Jelas
kalau tantangan itu ditujukan buat Rengganis.
Tapi bukannya tidak mustahil. Mereka semua
juga akan mendapatkan hal yang sama. Kini
hanya tinggal waktu saja yang menentukan.
Sementara Jantara yang sudah berhadapan
dengan pemuda bernama Bayu itu jadi
mencemaskan Rengganis. Memang diakui kalau
ilmu silat Rengganis lebih tinggi setingkat
darinya. Tapi itu belum menjamin dapat
menandingi orang yang mengaku dari Pulau
Neraka itu. Jurus-jurus Gardika jadi lebih
mantap dan sempurna di tangan Bayu. Hal ini
sudah dapat dirasakan Jantara saat bertarung
dengan pemuda itu.
"Aku akan menemuinya! Sebaiknya kalian
semua meninggalkan kapal ini secepat mungkin,"
kata Rengganis mantap.
"Rengganis...," Jantara berusaha mencegah,
namun tidak melanjutkan ucapannya.
"Paman. Dia mungkin hanya menginginkan aku
saja. Aku memang harus bertanggung jawab.
Semua ini memang kesalahan dan kecerobohanku,"
kata Rengganis memotong.
"Hati-hatilah," hanya itu yang bisa
diucapkan Jantara.
Rengganis hanya tersenyum, dan melangkah
meninggalkan kapal besar dan mewah itu. Tiga
orang pengikut setianya menyertai dari
belakang. Tidak ada seorang pun yang bisa
mencegah. Mereka hanya memandangi saja dengan
perasaan yang sulit diungkapkan.
"Aku yakin, ini akan berbuntut panjang,"
gumam Jantara.
***
7
Rengganis semakin jauh meninggalkan
dermaga Pesisir Pantai Selatan. Dia terus
berjalan diiringi tiga orang pengawalnya
menuju tempat yang telah ditentukan dalam
surat tantangan itu. Sementara orang orang
yang masih berada di kapal, mulai meninggalkan
tempat itu satu persatu. Dalam sekilas saja
mereka sudah bisa mengerti, persoalan yang
kini tengah dihadapi.
Sementara Jantara masih berada di atas
kapal. Matanya tidak lepas memandangi
kepergian Rengganis. Bagaimanapun juga hatinya
cemas, karena orang yang akan dihadapi wanita
itu menyimpan dendam dan memiliki tingkat
kepandaian yang sukar diukur! "Kau Kelihatan
gelisah sekali, Jantara."
"Oh!" Jantara tersentak kaget Buru-buru
dia menoleh.
Seketika jantungnya seperti berhenti
berdetak Di tengah-tengah geladak kapal ini
tiba-tiba sudah berdiri seorang pemuda gagah
mengenakan baju dari kulit harimau. Rambutnya
yang panjang meriap melambai-lambai
dipermainkan angin. Jantara mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Sungguh tidak
disangka kalau semua orang sudah meninggalkan
kapal ini tanpa disadurinya.
Jantara membeliak kaget begitu matanya
melihat mayat-mayat bergelimpangan Mayat-mayat
itu adalah anak buahnya yang ditugaskan untuk
menjaga kapal ini. Benar-benar sulit
dipercaya, bagaimana pemuda itu melakukan
tanpa diketahuinya? Kenyataan ini membuat
Jantara gentar hatinya. Jelas, itu menandakan
kalau pemuda berbaju kulit harimau itu
memiliki tingkat kepandaian yang sungguh sulit
dinilai.
"Dia memang cantik, Jantara. Tapi sayang,
hatinya tidak secantik wajahnya," kata pemuda
berbaju kulit harimau itu. Suaranya terdengar
lirih tanpa nada.
Jantara tidak membuka suara sedikit pun.
Dia melangkah mundur dengan bola mata berputar
mencari celah untuk bisa lari dari maut. Di
depan matanya, pemuda berbaju harimau itu
bagaikan malaikat maut yang siap mencabut
nyawanya
Jantara langsung berbalik begitu kakinya
menyentuh tangga. Dengan sisa-sisa
keberaniannya, dia segera berlari cepat
menuruni tangga menuju dermaga. Tapi begitu
kakinya menginjak lantai dermaga, tahu-tahu
pemuda berbaju kulit harimau itu sudah berada
di depannya. Pemuda itu berdiri tegak dengan
tangan melipat di depan dada.
"Kesempatanmu hanya sekali, Jantara."
Setelah berkata demikian, pemuda berbaju
kulit harimau tersebut mengebutkan kedua
tangannya ke depan. Secercah sinar merah
melesat cepat bagai kilat memburu ke arah
Jantara. Laki-laki tua itu buru buru menarik
tubuhnya ke samping sambil menggeser kakinya
sedikit. Cahaya merah itu meluncur di depan
dadanya, dan langsung menghantam kapal besar
mewah di belakangnya.
Ledakan dahsyat terdengar menggelegar
bersama an dengan hancurnya kapal itu.
Sehingga terjadi getaran bagai ada gempa.
Akibatnya Jantara terpental jatuh bergulingan.
Namun dia buru-buru bangkit berdiri. Harinya
terkesiap melihat kapal besar dan mewah milik
Rengganis hancur berkeping-keping bersama
beberapa mayat di dalamnya. "Uhg...!"
Mendadak saja Jantara terbatuk dan
memuntahkan darah kehitaman. Dia langsung
jatuh berlutut. Tangan kanannya menekan dada
yang terasa sesak dan nyeri bagaikan tertusuk
ribuan jarum. Jantara baru sadar kalau telah
terkena pukulan beracun dalam pertarungannya
tadi melawan pemuda itu. Kini racun di dalam
tubuhnya mulai bekerja.
"Apa yang kau inginkan dariku, Bayu?"
tanya Jantara bernada pasrah.
"Nyawamu," sahut pemuda berbaju kulit
harimau yang tak lain adalah Bayu Hanggara.
Jantara bangkit pelahan-lahan. Kepalanya
mulai pening, dan pandangannya berkunang-
kunang. Tapi sebagai tokoh rimba persilatan
yang sudah punya nama, dia tidak akan menyerah
begitu saja, meskipun keadaannya sudah tidak
memungkinkan lagi untuk bertarung. Racun dari
jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang merasuk di
tubuhnya sudah bekerja.
"Lakukanlah kalau kau mampu, Bayu!" dengus
Jantara menantang.
Memang tidak ada pilihan lain lagi
baginya. Cepat atau lambat dia akan mati.
Tidak ada seorang pun yang selamat kalau sudah
terkena racun dari 'Pukulan Racun Hitam'.
"Bagus! Rupanya kau seorang yang ksatria
juga, Jantara," Bayu tersenyum sinis.
"Hih!" Jantara langsung mencabut
senjatanya yang tinggal sebelah.
"Bersiaplah untuk mati, Jantara!
Hiyaaa...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
***
Pertarungan antara Jantara dan Bayu, si
Pendekar dari Pulau Neraka tidak dapat
dielakkan lagi. Meskipun Jantara dalam keadaan
terluka. Namun masih mampu melayani sampai
sepuluh jurus. Dan setelah lewat sepuluh
jurus, baru kelihatan kalau Jantara tidak
dapat lagi menandingi pemuda berbaju kulit
harimau itu. Racun yang mengendap di dalam
tubuhnya akibat 'Pukulan Racun Hitam', semakin
meluas dan membuat tenaganya berkurang jauh.
Pada suatu serangan yang cepat, Jantara
tidak lagi mampu menghindar. Dia terjungkal
sangat keras begitu tendangan geledek Bayu
menghantam dadanya. Belum lagi Jantara mampu
berdiri, kaki Bayu sudah menekan dadanya.
"Kau yang membuntungi kaki guruku, bukan?
Kau tahu, bagaimana penderitaannya
mempertahankan hidup dengan kedua kaki
buntung?" dingin dan datar suara Bayu.
"Bunuh aku, Bayu!" sentak Jantara putus
asa. "Terlalu nikmat kalau kau mati cepat,
Jantara," sambut Bayu tersenyum sinis.
Bayu memungut tongkat lawan yang
tergeletak tidak jauh dari kakinya. Ditimang-
timangnya tongkat pendek dengan ujung ujungnya
berbentuk bulan sabit. "Kau akan menyesali
perbuatanmu, Jantara.
Telah kau hilangkan kedua kaki guruku.
Sekarang, rasakanlah bagaimana kehilangan
kedua kaki!" kata Bayu tetap dingin suaranya.
Jiwa dan sifatnya jadi terbentuk sangat
sadis. Ini akibat didikan dari gurunya, dan
dendam kesumat yang selalu membakar
semangatnya selama mempelajari ilmu-ilmu
kesaktian dari Eyang Gardika!
"Tidak...!" sentak Jantara bergetar.
Tanpa banyak bicara lagi, Bayu
menggerakkan tangannya yang memegang tongkat
lawannya, dan....
Cras! Cras!
"Aaakh...!" Jantara menjerit keras.
Darah langsung muncrat begitu kedua kaki
laki-laki tua berjubah merah itu terpotong
buntung sampai ke paha. Jantara meringis
menggelepar-gelepar merasakan sakit yang amat
sangat pada kedua kakinya.
'Bunuh-aku, Bayu! Bunuh aku...! Jangan kau
siksa aku seperti ini..," keluh Jantara.
"Kau merasa tersiksa, Jantara? Apa kau
tidak berpikir ketika membuntungi kaki Eyang
Gardika? Apa kau tidak merasa malu mengeroyok
orang tanpa senjata?"
"Bayu! Aku memang ikut mengeroyok Gardika!
Tapi bukan aku yang membuntungi kakinya!"
"Sama saja! Kau atau siapa saja yang
berbuat, dimataku sama saja!"
"Ohhh..." Jantara mengeluh lirih. Bibirnya
meringis merasakan perih dan sakit pada kedua
kakinya yang buntung.
"Camkan baik-baik, Jantara. Aku tahu siapa
teman-temanmu yang berbuat keji pada guruku.
Aku juga tahu siapa orang-orangnya yang telah
berlaku licik dan kejam pada keluargaku. Ingat
kata-kataku, Jantara! Sampai ke ujung dunia
sekalipun, mereka tidak akan aman selama aku
masih hidup!"
"Jangan kau lakukan itu. Bayu. Cukup aku
saja yang menanggung. Bunuh saja aku, Bayu.
Bunuh aku...," keluh Jantara putus asa.
"Sayang sekali, kata-kataku tidak dapat
dirubah. Dan kau terlalu enak kalau langsung
mati, Jantara." Jantara hanya bisa mengeluh
lirih. "Nah! Sekarang giliran matamu!" dengus
Bayu dingin.
"Oh, tidak...!" sentak Jantara berusaha
menggeliat
Namun dalam keadaan tubuh yang lemah dan
kekurangan banyak darah, Jantara benar-benar
tidak punya daya sama sekali. Tanpa berkedip
sedikit pun. Bayu menusuk kedua mata Jantara
dengan tongkat ditangannya.
"Aaakh...!" kembali Jantara memekik keras.
Ditutupi mukanya dengan tangan.
Darah merembes keluar dari sela-sela
jarinya. Bayu melangkah mundur dan membuang
tongkat yang sudah berlumuran darah pemiliknya
sendiri. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis
melihat laki-laki tua berjubah merah itu
menggelepar-gelepar sambil meraung kesakitan.
Bayu benar-benar terbentuk menjadi seorang
pendekar yang sadis! Dia sungguh ingin
melampiaskan dendam kesumat atas hancurnya
keluarganya dan sakit hati guru tunggalnya!
Terlebih lagi ilmu yang dimilikinya sangat
sadis dan mengerikan. Lengkap sudah
penderitaan Jantara. Racun dan jurus 'Pukulan
Racun Hitam' yang bersarang di tubuhnya sudah
bekerja, dan lambat laun akan merenggut
nyawanya.
Penderitaan itu semakin bertambah dengan
kehilangan kedua kaki dan sepasang matanya.
Dalam ingatannya, kembali terbayang saat
mengeroyok Gardika yang dianggap sebagai tokoh
jahat yang sangat kejam dan tidak kenal ampun.
Padahal dia sendiri bukanlah orang yang
berjalan lurus. Saat itu dia hanya mencari
muka agar dapat nama di rimba persilatan
dengan ikut serta dalam rencana melenyapkan
Gardika
Dunia memang aneh. Dalam tokoh aliran
hitam, orang-orang yang berjalan di jalan
lurus dianggap sebagai ancaman jahat yang
harus dimusnahkan. Begitu pula sebaliknya.
Sampai pada hari ini, seluruh orang rimba
persilatan belum mengetahui, Gardika berdiri
di dalam golongan yang mana. Tindakannya
sangat membingungkan. Kadang membantu yang
lemah dan menumpas kejahatan, kadang pula di
lain waktu malah memusuhi tokoh-tokoh rimba
persilatan beraliran putih. Dalam keadaan
begitu, kedudukan seorang tokoh yang berada di
tengah-tengah memang memiliki musuh berlipat
ganda. Semua orang bisa menjadi kawan, juga
bisa menjadi lawan.
"Kau punya waktu tiga hari untuk hidup,
Jantara Katakan pada semua teman-temanmu kalau
aku akan datang membuat perhitungan pada
mereka," kata Bayu tetap dingin suaranya.
Jantara tidak dapat berkata-kata lagi.
Suara Bayu juga seperti antara terdengar dan
tidak. Rasa sakit yang begitu kuat membuatnya
jatuh pingsan. Jantara tidak ingat apa-apa
lagi. Bahkan ketika Bayu pergi
meninggalkannya, dia juga tidak tahu lagi.
Saat itu yang dirasakan dan diinginkan
hanyalah satu, mati...!
***
Lama juga Jantara tidak sadarkan diri.
Sebelum matahari terbit, laki-laki tua
berjubah merah yang kedua kakinya sudah
buntung itu mulai bergerak-gerak. Suara
erangan terdengar lirih dari mulutnya. Darah
mulai membeku. Tangannya menggapai-gapai
sambil menyeret tubuhnya yang lemah.
"Oh, Tuhan... kenapa kau tidak cabut saja
nyawaku? Kenapa kau beri aku siksaan begitu
berat...?" rintih Jantara lirih.
Sambil menahan sakit dan perih, Jantara
terus merayap menggapai-gapai. Dia berhenti
merayap ketika tangannya menyentuh sebatang
tongkat pendek berujung bulan sabit. Jantara
meraih senjata tongkatnya itu. Digenggamnya
erat-erat tongkat itu dengan tangan gemetaran.
"Hidupku memang penuh berlumur dosa. Tapi,
aku tidak ingin hidup menderita dan terhina.
Tuhan..., akhirilah hidupku...," kembali
Jantara merintih lirih.
Pelahan-lahan tangannya terangkat tinggi.
Ujung tongkat berbentuk bulan sabit diarahkan
ke dadanya. Sambil mengatupkan rahang rapat-
rapat, Jantata menikam dadanya sendiri dengan
senjatanya. Keluhan kecil terdengar, lalu
tubuhnya terkulai lemah dengan dada tertembus
tongkat pendek senjata andalannya sendiri.
Darah kembali mengucur dengan deras dari dada
yang tertembus tongkat pendek.
Pada saat itu tampak empat orang berlari-
lari kecil menuju ke arah tubuh Jantara yang
sudah tidak bernyawa lagi. Mereka adalah
Rengganis dan tiga orang pengawal setianya.
Wanita berbaju hijau yang masih kelihatan
cantik itu langsung memburu dan menubruk tubuh
jantara.
"Paman...! Apa yang terjadi...?" sentak
Rengganis seraya mengangkat tubuh Jantara ke
atas pangkuannya.
Rengganis hampir tidak percaya melihat
keadaan tubuh laki-laki tua berjubah merah
itu. Keadaannya sungguh mengenaskan! Tanpa
disadari, setitik air bening menggulir di pipi
yang putih kemerahan. Ya... Rengganis, wanita
yang tegar dan berilmu tinggi itu menangisi
kepergian laki-laki tua yang dipanggil paman
itu.
"Siapa yang melakukan ini padamu, Paman?
Katakan! Siapa...?" tanya Rengganis dengan
suara tersendat.
Rengganis mengangkat kepalanya.
Pandangannya langsung menembus tiga orang
laki-laki bersaudara yang berdiri saja di
depannya dengan wajah tertunduk. Mata wanita
itu beralih menatap kapal besar dan mewah yang
sudah hancur berkeping-keping. Api masih
terlihat dari puing-puing yang berserakan
dipermainkan ombak. Tidak tahu lagi, perasaan
apa yang berkecamuk di dalam dadanya. Pelahan-
lahan ia berdiri mengangkat tubuh Jantara yang
sudah kaku itu.
Sebentar Rengganis berdiri tegak membopong
tubuh yang sudah tidak utuh lagi itu.
Pandangannya lurus menatap ke tengah laut
lepas Air bening masih menitik turun di
pipinya yang kemerahan. Pelahanlahan dia
berbalik dan melangkah meninggalkan dermaga
itu.
"Nyai, pasti ini perbuatan Pendekar Pulau
Neraka itu," kata Gamar.
Rengganis hanya diam saja. Kakinya terus
melangkah pelan-pelan dengan pandangan ke
depan. Dia seperti tidak mendengar kata-kata
Gamar.
"Benar-benar licik! Dia sengaja memancing
kita menjauhi dermaga!" kata Ganang agak
menggeram.
"Nyai, akan kau bawa ke mana mayat Itu!"
tanya Ganis.
Rengganis berhenti melangkah. Dia berbalik
dan menatap tajam pada Ganis. Kata-kata lelaki
itu seperti menyentakkan hatinya. Yang ditatap
hanya menundukkan kepala saja.
"Kalian siapkan kereta. Aku akan membawa
jenazahnya ke makam keluarga!" perintah
Rengganis tegas.
"Nyai...," Ganis ingin membantah.
"Kalian tahu, Paman Jantara adalah adik
sepupu ibuku. Dia harus dimakamkan dekat
keluarganya," kata Rengganis datar.
Ganis, Gamar dan Ganang hanya bisa diam.
Mereka baru tahu kalau Jantara atau si Tongkat
Samber Nyawa adalah benar-benar paman sedarah
junjungannya ini. Pantas saja laki-laki
berjubah merah itu selalu mengkhawatirkan
Rengganis. Dan tampaknya Rengganis juga begitu
menghormatinya. Padahal mereka semua tahu
kalau tingkat kepandaian Rengganis satu
tingkat di atas si Tongkat Samber Nyawa.
Rupanya mereka masih ada kaitan darah
keturunan.
Ganis tidak membantah lagi. Segera dijak
kedua adiknya mempersiapkan kereta kuda yang
terpancang di samping sebuah kedai tidak jauh
dari dermaga. Sedangkan Rengganis kembali
melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Sedikit
pun ia tidak mengetahui kalau dari tempat
tersembunyi sepasang mata tajam mengawasi
gerak-geriknya sejak tadi.
***
Hampir satu harian Rengganis berdiri
mematung di depan makam Jantara. Pandangan
matanya kosong menatap lurus kepada gundukan
tanah merah di ujung kakinya. Sementara tiga
saudara yang mengawalnya, berdiri agak jauh
memperhatikan. Rengganis mendesah panjang
sambil mengangkat kepalanya. Dia menoleh dan
menatap pada tiga orang laki-laki yang menanti
dengan setia di bawah pohon rindang.
"Apa yang harus kami kerjakan, Nyai?"
tanya Ganis seraya mendekat diikuti kedua
adiknya.
Rengganis tidak menyahut, tetapi hanya
berbalik dan mengayunkan langkahnya
meninggalkan pusara Jantara. Dirinya sendiri
tidak tahu lagi, apa yang harus dikerjakan.
Mereka semua belum pernah bertemu dengan
pemuda yang bernama Bayu, putra tunggal Dewa
Pedang yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
Yang membuat Rengganis sulit menentukan
langkah selanjutnya adalah ketidaktahuannya
tentang pemuda yang muncul ingin membalas
dendam itu. Kemunculannya yang pertama sudah
membawa korban tidak sedikit. Dia dapat
mengalahkan Jantara dengan mudah. Jelas
tingkat kepandaiannya tinggi sekali!
"Apa tidak sebaiknya kita mendahului
daripada didahului, Nyai," kata Ganis
mengusulkan.
"Maksudmu?" tanya Rengganis tetap
melangkah tanpa menoleh sedikit pun.
"Kita harus mencari dan menemuinya lebih
dahulu," Ganis menjelaskan. "Aku rasa kita
berempat mampu menandinginya."
"Tidak semudah itu, Ganis. Sampai saat ini
belum ada seorang pun yang tahu, siapa dan
bagaimana rupanya," sahut Rengganis pelan.
"Rasanya tidak begitu sulit, Nyai,"
celetuk Gamar.
Rengganis berhenti melangkah dan memandang
Gamar.
"Bukankah Paman Jantara pernah mengatakan
kalau pemuda itu membawa senjata aneh
berbentuk cakra? Dan dia juga mengenakan baju
dari kulit harimau. Tidak sulit mencari orang
dengan cin-ciri seperti itu, Nyai," lanjut
Gamar.
"Dunia ini luas, Kakang Gamar," selak
Ganang. "Ciri-cirinya memang menyolok dan
mudah dikenali. Tapi di mana kita harus
mencarinya?"
Tidak ada yang menjawab. Semua terdiam
dengan pikiran masing-masing. Posisi mereka
saat ini tidak lebih dari binatang buruan.
Maut setiap saat datang menjemput. Sekeliling
mereka sudah terselimut hawa maut. Setiap saat
Pendekar Pulau Neraka yang menyeramkan itu
bisa muncul mencabut nyawa mereka. Satu posisi
yang benar-benar tidak menguntungkan sama
sekali.
"Sudahlah! Tidak perlu kalian ikut sibuk
memikirkan orang itu. Kita tunggu saja. Kalau
dia muncul, kita sambut. Kalau dia
menginginkan main kucing-kucingan, usahakan
jangan jadi tikus," kata Rengganis.
"Kalian memang sudah jadi tikus!"
Rengganis dan tiga orang pengikut setianya
terkejut mendengar suara yang menggema. Kata-
kata itu demikian jelas terdengar, seolah-olah
datang dari segala penjuru.
Belum lagi hilang gema suara itu, muncul
lagi suara siulan panjang bernada tinggi
melengking. Siulan yang mengandung tenaga
dalam, dan mampu membuat gendang telinga
pecah! Rengganis buru-buru mengerahkan hawa
murni dan menutup telinganya dengan
menyalurkan tenaga dalam. Sementara ketiga
bersaudara itu sudah kelihatan sibuk menutup
telinga dengan tangan. Suara siulan itu
semakin terdengar menyakitkan.
"Salurkan hawa mumi kalian. Tutup dengan
tenaga dalam," perintah Rengganis.
Ketiga bersaudara itu segera mengikuti
kata-kata junjungannya. Namun ilmu tenaga
dalam mereka memang masih kalah jauh, sehingga
usaha mereka sia-sia saja. Bahkan kini keadaan
jadi bertambah buruk lagi. Ganang yang lebih
muda sudah menggelepar di tanah. Dari mulut,
hidung, dan telinganya mengucur darah. Keadaan
kedua kakaknya tidak kalah parahnya. Mereka
seperti kehabisan napas karena memaksakan diri
mengerahkan tenaga dalam dengan menutup
gendang telinga.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rengganis berteriak nyaring
seraya mencabut kipas kembarnya. Dengan cepat
dikebut-kebutkan kipas itu ke depan dan ke
atas. Saat itu juga di sekitar mereka bertiup
angin keras menderu-deru.
Dan bersamaan dengan menghilangnya suara
siulan melengking tinggi, meluncur sebuah
benda berwarna keperakan ke arah wanita cantik
berbaju hijau itu. Benda pipih bagai piring
itu mendesing ke arah Rengganis. "Hait...!"
Rengganis melentingkan tubuhnya ke udara
sambil mengipaskan kipas baja putihnya
menyampok benda pipih seperti piring itu.
Namun tanpa diduga sama sekali, benda itu bisa
berputar menghindar dan berbalik arah. Buru-
buru Rengganis meluruk jatuh ke tanah dan
bergulingan beberapa kaH sebelum bangkit
berdiri.
"Hehhh...!" hembusan napas panjang
terdengar.
Rengganis berdiri tegak dengan sepasang
kipas baja menyilang terbuka di depan dada.
Matanya tajam menatap seorang laki-laki muda
dan gagah berbaju kulit harimau. Di tangan
kanannya menggenggam sebuah benda bulat pipih
dengan sekelilingnya bergerigi bengkok
berjumlah enam buah.
Sementara tiga saudara yang tergeletak di
tanah sudah mulai bangkit berdiri. Mereka
langsung bergerak seperti melindungi
junjungannya. Sepertinya mereka tidak peduli
dengan kondisi tubuh yang sudah tidak prima
lagi. Siulan panjang melengking tadi benar-
benar menguras tenaga dalam dan kekuatan.
Darah masih tampak mengucur dari hidung,
mulut, dan telinga.
"Kau yang bernama Bayu, Pendekar Pulau
Neraka itu?" tanya Rengganis ketus.
"Benar! Aku datang untuk menagih hutang
padamu," sahut pemuda berbaju kulit harimau
itu.
"Hm... rasanya kita belum pernah bertemu
sebelumnya. Hutang apa yang harus kubayar?"
"Nyawa!"
Rengganis mengerutkan keningnya. Dia
memang sudah mendengarnya dari Paman Jantara.
Tapi dia belum yakin kalau bayi yang baru
berumur beberapa hari bisa hidup di pulau
angker yang tidak pernah terjamah manusia itu!
Rengganis ingat. Ketika bayi itu diberi nama,
di dada sebelah kiri digambar sekuntum bunga
teratai sebagai keturunan Dewa Pedang, ahli
waris Padepokan Teratai Putih.
Kening wanita itu kembali berkerut melihat
gambar bunga teratai tertera pada dada sebelah
kiri pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
Tidak dapat disangka! lagi, pemuda itu memang
benar putra Dewa Pedang yang berhasil dibawa
lari ke Pulau Neraka oleh salah seorang murid
setia Padepokan Teratai Putih. Kini pemuda itu
sudah menjelma menjadi seorang pemuda gagah
dan tampan dengan membawa sejuta dendam di
hatinya. Tatapannya saja sangat sadis dan
kejam!
"Baiklah, kalau kau ingin membalas
kematian Ayah dan Ibumu, aku tidak akan lari
menghindar. Semua memang tanggung jawabku.
Tapi perlu kau ketahui, Bayu. Sejak peristiwa
itu aku selalu dihantui perasaan bersalah.
Oleh sebab itu aku setiap tahun selalu
memperingatinya. Sudah banyak orang yang aku
perintahkan mencarimu ke Pulau Neraka dengan
hadiah tinggi. Tapi tidak ada seorang pun yang
menyanggupi. Aku khilaf waktu itu, Bayu. Aku
terlalu dipengaruhi hawa nafsu dan dendam.
Nah, sekarang kalau kau ingin menagih hutang,
aku akan membayarnya," kata Rengganis.
"Sungguh manis kata-katamu, Rengganis.
Sayang sekali, ucapanku tidak mungkin dicabut
kembali. Hutang nyawa harus dibayar nyawa,"
sahut Bayu dingin. "Aku tidak akan melawan,
Bayu. Aku memang harus menebusnya dengan
nyawa," kata Rengganis yang memang menyesali
tindakannya setelah tahu kalau yang membantai
keluarganya bukan Dewa Pedang, tapi malah
pamannya sendiri.
"Bedebah! Kau pikir aku akan mengampunimu,
Perempuan Setan! Jangan harap! Kau harus
bertarung sampai di antara kita ada yang
tewas!" geram Bayu.
"Kau yang meminta, Bayu. Dan aku tidak
bisa menolak "
"Jangan banyak omong! Ayo, kita bertarung
sampai mati!"
"Aku terima tantanganmu."
***
8
Bayu mencabut senjatanya yang berbentuk
cakra bersegi enam dari pergelangan tangan
kanan. Digenggamnya senjata itu dengan tangan
kiri pada salah satu ujungnya. Sepasang
matanya menatap tajam, lurus kebola mata
wanita cantik berbaju hijau di depannya.
Sedikit pun tidak dipedulikannya tiga laki-
laki yang sudah menghunus senjata masing-
masing.
"Kenapa diam? Hayo serang aku, Putra Dewa
Pedang!" seru Rengganis memanaskan.
Bayu masih tetap diam, berdiri tegak.
Sepertinya dia ragu-ragu untuk menyerang lebih
dulu. Matanya tetap menatap tajam, namun
sinarnya tidak lagi menyala seperti semula.
Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya diliputi
kebimbangan. Dari keterangan yang telah
diperolehnya, pembunuh kedua orang tuanya
bukan Rengganis. Tidak ada yang tahu siapa
orangnya, namun otaknya jelas wanita itu.
Wanita yang seharusnya dihormati. Karena
bagaimanapun juga Rengganis adalah istri
ayahnya. Itu berarti ibu titinya juga.
Pelahan-lahan Bayu menempelkan kembali
senjatanya ke pergelangan tangannya yang
terbalut kulit harimau dan sebentuk gelang
berwarna perak. Dia sendiri tidak mengerti,
kenapa rasa dendam dan ke benciannya mendadak
saja pudar. Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju
kulit harimau itu berbalik dan melangkah
pergi.
Sementara tiga orang bersaudara saling
pandang. Dan tanpa menunggu perintah lagi,
mereka berlompatan sambil mengebutkan senjata
masing-masing. Desiran angin yang halus
membuat Bayu kembali berbalik, lalu secepat
kilat tangan kanannya mengibas ke depan.
Wut!
Senjata cakra di pergelangan tangan
langsung melesat bagai kilat. Hal ini membuat
Ganis yang berada paling dekat jadi
terpengaruh. Buru-buru dikibaskan senjatanya,
tapi gerakannya kalah cepat. Senjata cakra
yang telah meluncur itu lebih cepat lagi
menghujam dadanya.
"Aaakh...!" Ganis memekik nyaring.
Bersamaan dengan terjengkangnya tubuh
Ganis, senjata cakra itu kembali melesat pada
pemiliknya. Dan dengan cepat pula Bayu
mengibaskan tangan kanannya.
"Hiya,..!"
Secepat senjata cakra itu melesat kembali,
secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka
melenting sambil menghantamkan tangannya ke
dada Ganang dan Gamar. Serangan pemuda berbaju
kulit harimau itu demikian cepat dan sulit
diikuti oleh mata biasa. Mereka tidak sempat
berkelit lagi. Dua jeritan panjang terdengar
saling susul. Tidak lama kemudian, Ganang dan
Gamar terjembab tak bernyawa lagi.
Bayu berdiri tegak di antara tiga tubuh
yang tergeletak tak bernyawa. Tatapan matanya
tajam menusuk ke bola mata Rengganis yang
tetap berdiri menyaksikan. Namun dari sinar
mata wanita itu tersirat suatu perasaan kaget
bercampur kagum. Betapa tidak?
Hanya dua kali gerakan saja, tiga orang
pengawal setianya roboh tanpa mampu memberi
perlawanan sedikit pun. Mereka memang dalam
keadaan terluka dalam akibat tidak mampu
menahan serangan suara tenaga dalam melalui
siulan yang dikeluarkan Bayu tadi. Tapi,
rasanya sulit dipercaya kalau mereka dapat
ditewaskan dalam waktu yang begitu cepat.
"Kau benar-benar licik, Rengganis!" ketus
suara Bayu.
"Mereka pengikut setiaku. Perbuatan mereka
hanya untuk melindungiku," kata Rengganis
kalem.
"Dengan cara membokong? Ck..., ck...,
ck...," Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Rengganis diam saja. Memang diakui,
perbuatan ketiga pengawal setianya adalah
licik dan tidak ksatria. Tapi dia tidak
mungkin menyalahkan tiga bersaudara itu. Dia
tahu, perbuatan itu dilakukan karena rasa
tanggung jawab dan pengabdian mereka. Kejadian
itu membuat mata Rengganis terbuka. Dia
seperti baru menyadari arti kesetiaan dan
pengabdian.
Dan yang dilakukan Dewa Pedang memburu
keluarganya ketika menjadi panglima perang,
adalah semata-mata karena tugas dan
pengabdiannya. Namun semua itu telah dikotori
oleh hati busuk yang hanya mementingkan
pribadi. Kedudukan, kemuliaan, dan harta dunia
memang bisa membuat mata hari tertutup. Begitu
pula dengan dendam yang juga dapat membutakan
mata hati.
Rengganis merasa dirinya baru saja
terbangun dari mimpi panjang. Dia seorang
wanita yang memiliki kepandaian tinggi, namun
tidak pernah digunakan untuk kebaikan selama
puluhan tahun. Semua yang dimilikinya hanya
digunakan untuk membunuh dan memberantas
orang-orang tidak bersalah. Kini semua
perbuatannya harus ditanggungnya sendiri.
Bahkan mereka yang hanya ikut-ikutan saja,
juga harus menanggung akibatnya. Kemunculan
Pendekar Pulau Neraka merupakan awal dari
kesadaran pribadinya.
"Cabut senjatamu, Rengganis!" bentak Bayu.
Rengganis kembali mencabut senjata andalannya
berupa sepasang kipas baja putih yang telah
diselipkan di balik ikat pinggangnya. Dia
memang tidak punya pilihan lain, dan mau tidak
mau harus bertarung melawan anak tirinya
sendiri.
"Tadinya aku akan melupakanmu, Rengganis.
Kau adalah istri ayahku juga. Tapi...," Bayu
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melihat
tiga mayat yang terbujur tak tentu arah di
dekatnya.
"Aku akan lebih merasa berdosa jika kau
ampuni, Bayu," sahut Rengganis kalem dan
tegas.
"O..., tidak kusangka! Wanita sepertimu
kenal dosa juga," suara Bayu terdengar sinis.
"Cukup, Bayu! Aku tidak perlu ejekanmu.
Ayo, kita bertarung sampai mati!" sentak
Rengganis. Rupanya dia tidak tahan juga
mendengar ejekan bayu.
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
bibir menyunggingkan senyuman sinis. Terlihat
adanya kepasrahan dan sikap mengalah dari
sinar mata wanita itu, meskipun ditutupi
dengan kata-kata ketus dan tegas.
"Ayo, Bayu! Kenapa diam?!" Rengganis jadi
kesal juga melihat sikap Bayu.
"Kau akan mati, Rengganis. Tapi aku ingin
melihat penderitaanmu dulu," jawab Bayu
dingin.
"Mati pun tidak akan kusesali. Bayu."
"Ya, karena kau sudah pasrah."
"Tidak! Hiyaaa...!"
***
Kata-kata Bayu yang membuat panas telinga
membuat Rengganis semakin tersinggung dan
marah, semua perbuatannya memang telah
disesali dan diakui. Tapi dia pantang dihina
dan direndahkan begitu saja. Telinganya terasa
panas mendengar kata-kata penuh sindiran dan
ejekan pemuda berbaju kulit harimau itu.
Pertarungan tidak bisa dielakkan lagi.
Tapi Bayu malah tersenyum sinis. Dalam
beberapa jurus saja, sudah dapat ditebak kalau
Rengganis sengaja membuka pertahanannya.
Rengganis memang menyerang dengan ganas dan
dahsyat, tapi tidak menghiraukan pertahanan.
Bahkan sengaja membuka pertahanannya lebar-
lebar.
"Kau hanya bunuh diri saja, Rengganis,"
kata Bayu sambi! berkelit menghindari serangan
wanita itu.
"Jangan banyak omong! Serang aku!" dengus
Rengganis kesal melihat lawannya hanya
menghindar saja tanpa ada keinginan untuk
balas menyerang.
"Tidak! Sebelum kau sungguh sungguh
bertarung, Rengganis."
Merah padam muka Rengganis. Dia sungguh
malu luar biasa. Ternyata lawan telah
mengetahui kalau dia bertarung tidak sungguh-
sungguh. Bahkan sengaja memberi peluang besar
dengan membuka pertahanan nya. Tidak ada yang
dapat dilakukan Rengganis saat ini. Dia harus
bertarung secara sungguh-sungguh. Dalam hari
dikaguminya sikap satria Bayu yang ingin
bertarung dengan lawan yang benar-benar siap.
"Hup!"
Bayu menggeser kakinya ke kanan ketika
satu kibasan kipas di tangan kanan Rengganis
hampir membelah dadanya. Bayu mencoba menyodok
iga wanita itu dengan tangan kirinya. Namun
tanpa diduga sama sekali kipas baja putih di
tangan kiri Rengganis bergerak cepat
menyampok,
"Uts!"
Buru-buru Bayu menarik kembali tangannya,
lalu melentingkan tubuh sambil berputar ke
belakang begitu sebuah kipas lainnya mengibas
ke arah leher. Bayu belum sempat mengambil
posisi, datang lagi serangan beruntun dari dua
penjuru. Buru-buru ditarik mundur kepalanya
sambil mengangkat tangan kanannya memapak
serangan dahsyat kipas baja putih itu.
Tring!
Rengganis buru-buru menarik tangannya saat
ujung senjata kipasnya membentur pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Seluruh
tangannya bergetar bagai tersengat ribuan
lebah. Sedangkan Bayu sedikit pun tidak
merasakan apa-apa, bahkan langsung memberikan
serangan balasan dengan cepat
"Bagus! Hup, hiyaaa...!!!"
Rengganis gembira melihat lawannya sudah
mulai memberikan serangan balasan. Kini
pertarungan berjalan sungguh-sungguh dan
dahsyat. Masing-masing memberikan serangan
yang mematikan. Tidak terasa mereka sudah
menghabiskan puluhan jurus, namun belum ada
tanda-tanda yang terdesak.
Rengganis sadar kalau tenaga dalamnya
masih berada di bawah lawannya. Hal ini
terbukti ketika senjatanya beradu dengan
senjata Pendekar Pulau Neraka yang menempel di
pergelangan tangan kanan. Namun dia tidak jera
juga, bahkan terus membenturkan senjatanya ke
pergelangan tangan kanan lawannya. Akibatnya,
dia selalu membuka pertahanan, dan itu sangat
membahayakan jiwanya sendiri.
Meskipun demikian, nampaknya Bayu tidak
mau memanfaatkan kelengahan lawan. Hal ini
membuat Rengganis semakin berang. Dia merasa
seolah-olah Bayu sengaja mempermainkannya.
Selama hidupnya, belum pernah dia dipermainkan
seseorang sedemikian rupa. Keberangan harinya
membuat Rengganis semakin memperhebat
serangan. Tidak disadarinya kalau hal ini
justru yang diharapkan Bayu.
***
Keadaan sekitar pertarungan telah porak-
poranda. Batu-batu hancur berkeping-keping
Pepohonan tumbang tak tentu arah. Sementara
pertarungan berjalan semakin sengit. Berpuluh-
puluh jurus sudah dilalui, belum ada tanda-
tanda akan berakhir. Matahari pun semakin
tinggi. Sinarnya yang terik tidak dihiraukan
lagi.
"Huh! Anak ini benar-benar alot!" dengus
Rengganis dalam hati.
"Tidak kusangka! Wanita ini tangguh juga,"
gumam Bayu dalam hati.
Mereka memang sama-sama tangguh. Bayu
melompat keluar dari arena pertarungan.
Keringat mengucur deras dari seluruh tubuhnya.
Sebentar ditariknya nafas panjang, lalu dengan
cepat tangan kanannya menghentak ke depan.
Saat itu juga senjata cakra yang ada di
pergelangan tangan kanannya melesat cepat
bagai kilat.
Rengganis mengangkat tangan dan membuka
kipas sambil memiringkan tubuh ke kiri. Dengan
senjata kipas baja putihnya ditangkis senjata
cakra itu.
Tring!
Rengganis terkejut dan langsung melompat
mundur. Kipas di tangannya terpental saat
membentur cakra yang melesat cepat itu. Belum
lagi hilang rasa kagetnya, cakra itu berbalik
berputar dan kembali menyerangnya dengan
cepat. Mau tidak mau, wanita itu membanting
tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa
kali sebelum melesat bangun.
Pada saat yang tepat, Bayu melompat cepat
dan menangkap senjatanya di udara. Sebelum
Rengganis benar-benar siap, Pendekar Pulau
Neraka itu sudah meluruk ke arahnya sambil
mengibaskan tangannya.
"Ah...!" Rengganis memekik terkejut.
Buru-buru diegoskan tubuhnya ke samping
menghindari terjangan bagai kilat itu. Namun
yang terjadi adalah ....
"Akh!" pekikan tertahan terlontar dari
mulut wanita itu.
Rengganis menekan bahu kirinya yang
tergores ujung cakra di tangan Bayu. Dan di
saat tubuhnya limbung, satu pukulan keras
menghantam dadanya. Tak pelak lagi, tubuh
ramping berbalut baju hijau itu terlontar ke
belakang beberapa depa.
"Saatmu sudah tiba, Rengganis!" seru Bayu
keras.
Seketika itu juga Bayu menghentakkan
tangannya, dan senjata di tangan kembali
terlontar cepat dengan suaranya yang mendesing
membelah udara. Rengganis terperangah sesaat,
lalu cepat-cepat dilentingkannya tubuhnya ke
atas.
Namun tanpa diduga sama sekali, Pendekar
Pulau Neraka itu melesat, sambil mendorong
tangan kanannya dengan mengerahkan jurus
'Pukulan Racun Hitam' Rengganis yang sedang
menghindari serangan cakra, tidak dapat lagi
berkelit. Dengan telak dadanya kembali
terhantam pukulan telapak tangan lawannya.
Akibatnya deras sekali tubuh Rengganis
meluncur menghunjam ke tanah.
Bayu meluruk turun setelah senjatanya
menempel kembali dipergelangan tangan kanan.
Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di
depan dada. Sementar Rengganis berusaha
bangun. Dari mulut dan hidungnya mengucur
darah kental kehitaman. Pada bagian dadanya
tergambar telapak tangan berwarna hitam
menghanguskan bajunya. Dua kali dia terbatuk
dan memuntahkan darah kental kehitaman. Dengan
terhuyung-huyung, wanita cantik berbaju hijau
itu berdiri.
"Kau hebat. Bayu. Ayahmu pasti bangga
kepadamu," kata Rengganis memaksakan untuk
berdiri tegap. "Terima kasih atas pujianmu,
Rengganis. Tapi sayang, ajalmu sudah dekat,"
sahut Bayu sinis.
"Aku akan mati tersenyum. Bayu."
Bayu hanya tersenyum sinis. Dan tanpa
memicingkan mata sedikit pun, dihentakkan
tangan kanannya. Rengganis tetap berdiri tegak
tak bergeming. Dia hanya menatap saja senjata
bulat pipih yang mendesing cepat ke arahnya.
Tentu saja hal ini membuat Bayu terperangah.
Tidak disangka kalau wanita itu menjadi
pasrah, dan tidak melakukan perlawanan lagi.
Kelihatannya nekat sekali!
Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar Pulau
Neraka itu mengempos tubuhnya. Dia melesat
cepat mengejar senjatanya yang sudah melayang
bagaikan kilat kearah Rengganis. Tapi
tindakannya terlambat.....
"Aaakh!" Rengganis menjerit menyayat.
Sebentar tubuhnya masih berdiri tegak,
lalu limbung, tak lama kemudian tubuhnya
ambruk ke tanah dengan cakra tertanam dalam di
dadanya. Bayu langsung menubruk dan mencabut
senjatanya dari dada wanita itu. Diangkatnya
tubuh Rengganis dan diletakkan di pangkuannya.
"Oh..., Bayu.. ," lemah dan lirih suara
Rengganis.
"Tidak...! Aku..., aku tidak bermaksud
membunuhmu. Kau... Kau ibuku...," suara Bayu
tersendat.
"Aku bukan ibumu. Bayu. Aku pembunuh ibu
dan ayahmu. Aku memang pantas mati di
tanganmu."
Bayu meletakkan tubuh Rengganis di atas
rerumputan, kemudian berdiri dan melangkah
mundur beberapa tindak. Kepalanya menggeleng-
geleng. Pandangannya seperti orang yang tidak
percaya dengan perbuatannya sendiri.
"Kau..., kau.... Tidak! Katakan padaku!
Kau bukan pembunuh orang tuaku! Katakan! Siapa
yang membunuh orang tuaku?!" sentak Bayu
seolah olah kehilangan akal.
"Aku yang membunuh mereka, Bayu. Aku yang
merencanakan semuanya. Aku tidak tahu. Aku
khilaf. Mata hatiku tertutup mendengar cerita
mereka yang..., ah!"
"Katakan! Siapa mereka?!" desak Bayu
"Mereka.... Ugh, ugh!"
Bayu kembali mendekat, dan berlutut di
samping wanita yang tengah sekarat itu. Dia
memang telah memiliki banyak keterangan
tentang wanita ini. Bayu memang tidak yakin
kalau perbuatan Rengganis dalam keadaan sadar.
Pasti akibat hasutan dari orang lain. Hati
pemuda itu jadi berperang sendiri.
Bagaimanapun juga, Rengganis adalah istri
ayahnya, yang berarti juga ibu tirinya.
"Katakan padaku, Bibi. Siapa mereka?"
desak Bayu.
"Kau..., kau memanggilku Bibi, Bayu?"
wajah Rengganis langsung berubah cerah. Namun
pandangan matanya seperti tidak percaya dengan
pendengarannya.
"Katakan padaku, Bibi. Siapa yang
menghasutmu? Katakan, Bibi!" desak Bayu.
"Bayu...," desah Rengganis bahagia
mendengar dirinya dipanggil bibi oleh pemuda
ini.
Bayu membiarkan saja tangannya digenggam.
Juga dibiarkan saja tangannya diciumi wanita
itu. Mereka memang bennusuhan. Tapi, mereka
juga tidak bisa memungkiri tali ikatan yang
ada pada diri mereka. Rasa dendam, sakit hati,
dan kebencian, seketika luntur diterjang
perasaan haru yang begitu kuat mendesak.
"Bibi..!" sentak Bayu saat wanita itu
mengejang.
"Bayu, maafkan aku...," lirih dan
tersendat suara Rengganis.
Bayu menggigit-gigit bibirnya sendiri
menahan sesuatu yang hampir meledak dari dalam
dadanya. Kedua bola matanya berkaca-kaca
memandangi wajah Rengganis yang semakin pucat
membiru.
"Bayu..., setelah kuketahui ayahmu tidak
bersalah, aku selalu dihantui perasaan berdosa
yang tidak terampuni. Mereka memang jahat
dengan memanfaatkan aku untuk membalas sakit
hati dan dendam pribadi mereka, jumlah mereka
banyak, Bayu. Aku memang bodoh, aku tidak tahu
kalau aku hanya dijadikan alat dan boneka
pancingan. Aku menyesal Bayu. Maafkan aku...,"
semakin lemah dan lirih suara Rengganis.
"Bibi..," ujar Bayu tersentak.
"Mereka semua sangat tangguh. Aku tidak
berdaya. Aku tidak mampu menandinginya. Bayu.
Maukah kau membalaskan sakit hatiku? Maukah
kau menghancurkan mereka?"
Bayu mengangguk. "Terima kasih, Bayu...."
"Bibi...!"
Rengganis tersenyum dan pelahan-lahan
matanya terpejam.
"Bibi..., katakan! Siapa mereka?! Aku
nanti pasti akan membalas sakit hatimu.
Katakan, siapa mereka. .?"
Bayu menggoyang-goyang tubuh Rengganis.
Tapi wanita itu sudah tidak bergerak lagi.
Rengganis telah menghembuskan nafasnya yang
terakhir dengan bibir tersenyum. Bayu tidak
mampu lagi menguasai diri dan perasaannya.
Dipeluknya tubuh wanita itu. Dan tanpa dapat
dibendung lagi, air matanya menitik pelahan.
Kebencian dan kesadisannya hilang sejenak.
Tatapan nya pun lesu.
***
Seharian penuh Bayu duduk mencangkung di
atas batu hitam. Tidak jauh di depannya tampak
gundukan tanah merah yang masih bani. Hanya
sebuah batu sebesar kepala yang menandakan
kalau gundukan tanah merah itu adalah sebuah
makam yang masih baru. Kesanalah pandangan
mata pemuda berbaju kulit harimau itu menatap.
Desahan napas panjang terdengar Dari balik
saku ikat pinggangnya dikeluarkannya secarik
kain merah muda penuh dengan tulisan darah
yang telah kering. Tatapannya beralih pada
secarik kain itu!
"Aku harus mencari mereka. Ya..., harus!"
desahnya bergumam.
Pelahan-lahan pemuda berbaju kulit harimau
itu bangkit berdiri. Sebentar matanya menatap
ke arah makam baru di depannya, kemudian
dimasukkan kain merah muda ke dalam ikat
pinggangnya. Kembali dia mendesah panjang dan
terdengar berat. Pelahan-lahan kakinya terayun
ke arah matahari terbenam.
"Sayang, Bibi Rengganis tidak memberi
banyak keterangan. Biarpun jumlah mereka
banyak, aku harus mencari mereka dan membuat
perhitungan yang setimpal. Mereka pasti orang-
orang yang kejam. Hmmm..., aku juga tidak akan
bermurah hati. Siapapun orang yang berbuat
kejam didepanku, harus mati! Ya..., mati!"
gumam Bayu mendesis.
Pada saat itu di atas kepalanya melintas
seekor
burung. Sejenak Bayu menatap burung itu,
lalu tangan kanannya menghentak ke atas.
Cakra, di pergelangan tangannya langsung
melesat cepat bagai kilat. Tak ampun lagi,
burung yang tengah terbang bebas itu meluruk
jatuh begitu lehernya terpenggal. Bayu
mengangkat tangan kanannya, maka cakra itu
kembali menempel di pergelangan tangannya.
Dia membungkuk dan memungut bangkai burung
yang masih mengeluarkan darah segar dan
hangat. Dipandanginya leher binatang malang
itu. Leher yang sudah tidak memiliki kepala
lagi.
"Tunggulah kalian! Akan kubuat kalian
seperti ini!" seru Bayu sambil mengangkat
bangkai burung tinggi-tinggi. Tatapannya
sangat sadis dan penuh dendam!
Bangkai burung itu kembali melayang tinggi
keudara, dilemparkan dengan mengerahkan tenaga
dalam penuh. Bayu memandanginya sampai bangkai
burung malang itu lenyap di balik lebatnya
pepohonan. Sesaat kemudian kakinya kembali
terayun menuju kearah matahari terbenam.
Pada saat itu sang surya memang sedang
meluncur untuk bersembunyi di balik belahan
bumi Barat. Sinarnya yang merah jingga seperti
menyongsong kehadiran seorang pendekar muda
yang penuh bara dendam. Pendekar Pulau Neraka
yang akan menggegerkan rimba persilatan!
Silakan Anda tunggu kisah petualangan
berikutnya. dari Pendekar Pulau Neraka yang
sadis ini!
SELESAI
.
0 comments:
Posting Komentar