..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 11 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE GEGER RIMBA PERSILATAN

matjenuh

 

GEGER RIMBA PERSILATAN 

Oleh Teguh S. 

Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, 

Jakarta 

Gambar sampul oleh Tony G. 

Hak cipta pada Penerbit 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin 

tertulis dari penerbit 

Teguh S. 

Serial Pendekar Pulau Neraka dalam 

episode: 

Geger Rimba Persilatan 128 hal. : 12 x 18 

cm 

"Oaaa...!" 

Lengking tangis bayi memecahkan keheningan 

malam sepi. Suara tangisan itu datang dari 

sebuah rumah besar berpagar tembok batu yang 

kokoh menyerupai benteng. Saat itu juga lampu-

lampu dan obor dinyalakan oleh beberapa orang 

untuk menerangi seluruh sudut benteng itu. 

Malam yang semula sepi, kini berubah sama 

sekali bagai terjadi pesta mendadak. 

Di salah satu ruangan besar rumah itu, 

tampak beberapa orang berdiri mengelilingi 

sebuah ranjang besar yang beralaskan kain 

sutra halus berwarna merah muda. Seorang 

wanita muda dan cantik tergolek di atasnya 

bersama seorang bayi yang masih merah 

terbungkus kain sutra. Di samping wanita itu 

duduk seorang lelaki berusia sekitar empat


puluh tahun. Raut wajahnya tampan namun 

memancarkan kekerasan. 

Laki-laki itu menjentikkan jarinya. Semua 

orang yang mengelilingi ranjang bergerak ke 

luar. Sebentar kemudian, laki-laki yang 

seperti bapak dari bayi itu mengecup lembut 

kening wanita muda yang tersenyum bahagia. 

"Anak kita laki-laki," bisiknya pelan. 

"Ya, tampan sepertimu, Kakang," sahut 

wanita itu lembut. 

Keceriaan dan kegembiraan tampak 

menyelimuti wajah mereka. Sedangkan bayi di 

sampingnya tampak pulas terselimut kain 

hangat. Tampan sekali, kulitnya juga putih 

bersih. Mereka sepertinya tak puas-puasnya 

memandangi bayi itu. 

"Sudah kau siapkan nama untuk anak kita, 

Kakang?" tanya wanita itu lembut seraya 

menatap wajah laki-laki di dekatnya. 

"Bagaimana denganmu?" laki-laki itu balik 

bertanya. 

"Belum. Tapi kalau perempuan sudah 

kusiapkan sejak dulu." sahutnya manis. 

"Akan kupikirkan dulu. Mungkin besok baru 

kuberi nama." 

"Lebih cepat, lebih baik, Kakang." 

"Pasti! Besok anak kita tentu sudah 

mempunyai nama yang bagus." 

Kembali mereka tersenyum dan memandangi 

wajah mungil di sampingnya. Sesaat lamanya 

mereka terdiam dengan mata tidak puas-puasnya 

memandang wajah bayi tampan itu. Kemudian 

laki-laki berbaju kuning gading dengan pedang 

menggantung di pinggang itu bangkit dari 

pembaringan. Langkahnya tegap menuju pintu 

kamar. 

"Akan ke mana?"



"Menemui dukun bayi," jawabnya, lantas 

membuka pintu dan melangkah ke luar. 

Dua orang yang berdiri di samping pintu 

langsung membungkukkan badan memberi hormat. 

Laki-laki itu hanya mengangguk sedikit. 

Langkahnya terus terayun menyusuri gang yang 

berhubungan langsung dengan sebuah ruangan 

besar. Sebuah lampu kristal besar tergantung 

di langit-langit bagian tengah. Di ruangan itu 

sudah berkumpul orang-orang. Mereka serempak 

mrmbungkukkan badan memberi hormat. 

"Terima kasih," kata laki-laki itu seraya 

duduk di kursi kayu jati yang berukir indah. 

Sebelah tangannya terangkat ke depan, dan 

dengan serentak semua orang yang ada di 

ruangan itu segera duduk bersila di lantai. 

Mata laki-laki itu merayapi wajah-wajah mereka 

yang kelihatan cerah, tertunduk penuh rasa 

hormat. 

"Bertahun-tahun aku selalu berharap akan 

kehadiran seorang putra dalam hidupku, yang 

akan jadi ahli waris seluruh Padepokan Teratai 

Putih ini. Nyata nya malam ini doa dan 

harapanku terkabul. Untuk itu aku ingin 

menyelenggarakan pesta besar atas rasa 

syukurku akan kehadiran pewaris Padepokan 

Teratai Putih," kata laki-laki itu yang 

sepertinya adalah pemimpin Padepokan Teratai 

Putih. Suaranya dalam dan berwibawa. Semua 

orang yang ada di ruangan itu menyambut dengan 

gembira. Salah seorang yang duduk paling 

depan, berdiri. Dia segera menjura hormat, 

tangannya terkepal merapat di depan dada. 

"Ampun, Guru Dewa Pedang." 

"Ada apa, Badar?" tanya laki laki itu yang 

ternyata bernama Dewa Pedang. 

"Aku, muridmu yang bodoh ini memohon usul, 

Guru," kata Badar hormat.


"Apa usulmu?" 

"Bagaimana kalau kita undang para ketua 

padepokan sahabat? Satu lagi, sebaiknya kita 

juga menyelenggarakan lomba ketangkasan," usul 

Badar 

"Bagaimana yang lain?" Dewa Pedang belum 

bisa memutuskan. Dia seperti ingin membagi 

rasa bahagianya dulu kepada murid-murid 

utamanya. 

"Setujuuu...!" seru semua orang di ruangan 

itu serempak. 

"Baiklah! Mulai sekarang kalian kupercaya 

untuk mempersiapkan segalanya. Aku ingin 

semuanya dilaksanakan dalam waktu satu pekan. 

Saat itu pula akan kuumumkan nama putra 

pertamaku itu!" kata Dewa Pedang dengan wajah 

cerah dan senyum terkembang lebar. 

Semua orang yang ada di situ segera 

berdiri dan menjura hormat. Tanpa diperintah 

lagi mereka segera berlalu meninggalkan 

ruangan itu. Meskipun tidak diperintah secara 

lisan, mereka sudah mengerti tugas masing-

masing. Dewa Pedang segera bangkit berdiri, 

tapi tidak jadi melangkah 

"Badar...!" panggil Dewa Pedang. 

Badar tergopoh-gopoh menghampiri. Dia 

langsung menjura setelah tiba di depan 

gurunya. 

"Tolong panggil dukun bayi yang membantu 

istri ku melahirkan. Aku ingin memberinya 

hadiah khusus," kata Dewa Pedang. 

"Guru, Nyai Palet sudah meninggalkan 

padepokan. Dia diantar enam orang murid 

tingkat tiga," lapor Badar. 

"Cepat susul, dan ajak kembali ke sini. 

Katakan padanya, aku belum sempat mengucapkan 

terima kasih," perintah Dewa Pedang. 

"Baik, Guru."


Badar segera menjura hormat dan langsung 

berlari meninggalkan ruangan itu. Dewa Pedang 

bergegas melangkah kembali menuju kamar 

peraduannya. Rasanya, dalam masa-masa seperti 

ini dia ingin selalu dekat dengan putra 

pertamanya. Bertahun-tahun ia mengidam-idamkan 

mempunyai keturunan untuk menjadi ahli 

warisnya, dan baru malam inilah keinginannya 

terkabul 

*** 

Pada salah satu ruangan lain di rumah 

besar Padepokan Teratai Putih, tampak duduk 

gelisah seorang wanita muda dan cantik. Di 

depannya duduk tiga orang laki-laki yang juga 

masih muda. Ketiga laki-laki itu menyandang 

senjata yang berlainan bentuknya. 

"Apa kalian tadi tidak salah dengar?" 

tanya wanita muda itu sambil memandang tajam 

pada wajah ketiga laki laki di depannya. 

"Tidak, Nyai. Dewa Pedang bermaksud 

mengadakan pesta besar selama satu pekan untuk 

menyambut kelahiran putra pertamanya," jawab 

laki-laki yang duduk paling kanan. 

Wanita muda yang sinar matanya memancarkan 

segudang misteri itu berdiri. Kakinya terayun 

pelan-pelan memutari tiga laki-laki yang tetap 

duduk di kursinya. Keheningan menyelimuti 

ruangan yang berada paling belakang dari rumah 

besar Padepokan Tetatai Putih itu. 

"Ganis," kata wanita itu seraya 

menghentikan langkahnya tepat di depan laki-

laki yang duduk paling kanan. Di tangannya 

tergenggam sebuah kipas dari logam keras. 

"Ya, Nyai," sahut lelaki yang dipanggil 

Ganis itu.


"Kau tahu, seharusnya bayi itu tidak boleh 

lahir! Hmm... Tak kusangka kalau Nyai Palet 

tidak mengindahkan peringatanku." 

"Nyai Rengganis ingin dukun bayi itu 

mati?" tanya Ganis menebak. 

"Hhh!" wanita yang bernama Rengganis itu 

hanya tersenyum sinis. 

"Akan kukerjakan malam ini juga. Nyai," 

kata Ganis seraya berdiri. 

"Bagus!" sambut Rengganis. 

"Tunggu dulu, Kakang Ganis!" selak laki-

laki yang duduk paling kiri. Di punggungnya 

tersandang sebilah pedang. 

"Ada apa lagi, Adik Garang?" tanya Ganis. 

"Dukun bayi itu sudah pulang diantar oleh 

enam orang murid tingkat tiga. Kau tidak 

mungkin bisa membunuhnya dengan mudah! Apalagi 

Dewa Pedang menyuruh Badar untuk menjemput 

kembali dukun itu," kata Ganang. 

"Kalau begitu, sebaiknya aku ikut, 

Ganang," kata Nyai Rengganis. 

"Kami bertiga, Nyai!" selak orang yang 

duduk di tengah seraya berdiri. Senjatanya, 

sepasang kapak yang terselip di pinggang. 

"Tidak, Gamar. Kau tetap di sini. Masih 

ada tugas yang lebih penting untukmu," tolak 

Rengganis. 

"Tugas apa?" tanya Gamar. 

"Kau harus tetap menguping semua 

pembicaraan Dewa Pedang. Pada saat seperti 

ini, satu patah kata yang diucapkannya 

merupakan perintah yang tidak bisa ditawar 

lagi. Dan itu sangat penting bagi kita," kata 

Rengganis. 

"Benar, Adik Gamar. Sebaiknya kau tetap 

berada di Padepokan Teratai Putih. Biar aku 

dan Adik Ganang yang akan membereskan dukun 

bayi itu," sambung Ganis.


"Baiklah. Tapi berhati-hatilah Kakang. Aku 

dengar, Nyai Palet bukan orang sembarangan! 

Tingkat kepandaiannya cukup tinggi," kata 

Gamar. 

"Kami pergi dulu, Nyai," kata Ganis 

pamitan. 

"Ya," sahut Rengganis membalas salam 

hormat kedua laki-laki itu. 

Rengganis kembali duduk di kursinya 

setelah Ganis dan Ganang ke luar dari ruangan 

ini. Sedangkan Gamar masih tetap berdiri 

dengan mulut terkatup rapat. Beberapa saat 

mereka membisu. 

"Sebaiknya aku juga segera pergi, Nyai," 

kata Gamar. 

"Untuk apa?" tanya Rengganis. 

"Tidak apa-apa. Hanya...," Gamar tidak 

melanjutkan ucapannya. 

"Kau takut ada yang melihatmu di kamarku 

ini? Jangan khawatir, Gamar. Semua penjaga di 

sekitar kamarku sudah berpihak padaku. Mereka 

tidak akan melapor pada Dewa Pedang. Apalagi 

sekarang ini dia tentu sedang menumpahkan 

perhatiannya pada Larasati," kata Rengganis 

sambil tersenyum manis. 

"Apakah Nyai sudah mempengaruhi murid-

murid Dewa Pedang?" tanya Gamar. 

"Terlalu berbahaya, Gamar. Mereka yang 

berpihak padaku, sebenarnya adalah anak buahku 

sendiri yang menyusup masuk ke padepokan ini 

dan menjadi murid Dewa Pedang. Kau paham 

maksudku, Gamar? 

"Paham, Nyai," sahut Gamar mengangguk. 

"Nah! Ambilkan arak. Mereka semua sedang 

bersenang-senang dan bergembira. Kita di sini 

pun juga harus bergembira menyambut kehancuran 

Padepokan Teratai Putih," kata Rengganis. 

"Tapi, Nyai...," Gamar mau menolak.


"Lupakan saja tugasmu sementara, Gamar! 

Kau tidak ingin bersenang-senang denganku?" 

Gamar menelan ludahnya. Dia tidak bisa 

lagi menolak saat Rengganis bangkit dan 

menghampirinya. Tangan wanita itu langsung 

melingkar di leher Gamar. Wajah mereka begitu 

dekat, sehingga desah napas Rengganis begitu 

hangat menyapu kulit wajah Gamar. Mereka tidak 

peduli dengan keadaan dan lupa akan semua 

pembicaraan yang tadi berlangsung beberapa 

saat. Yang jelas, kini mereka telah berada 

dalam kamar, saling-menyatukan kenikmatan. 

Hanya desahan napas yang terdengar. 

*** 

Dari hari ke hari kesibukan di Padepokan 

Teratai Putih terus berlangsung. Seluruh sudut 

dihias dengan umbul-umbul yang beraneka ragam, 

serta hiasan lain yang berwarna-warni. 

Semuanya membuat suasana Padepokan Teratai 

Putih itu semakin semarak. Murid-murid 

padepokan itu tidak kenal lelah. Semua kerja 

keras menyiapkan pesta berkenaan dengan 

kelahiran pewaris tunggal Padepokan Teratai 

Putih. 

Namun dari semua keceriaan dan kesibukan 

persiapan pesta itu seperti tidak ternikmati 

oleh Rengganis dan tiga bersaudara yang 

menjadi pengawal pribadinya. Di depan Dewa 

Pedang maupun Larasati, Rengganis selalu 

menampakkan wajah penuh ceria, seakan-akan dia 

juga turut gembira dengan hadirnya seorang 

putra pewaris padepokan ini. 

"Gamar, bagaimana persiapanmu?" tanya 

Rengganis saat mereka berada di kamar pribadi 

wanita itu.


"Semua tokoh-tokoh rimba persilatan yang 

memihak kita tinggal menunggu perintah saja, 

Nyai," kata Gamar. 

"Hm..., bagus! Dan kau, Ganis?" 

"Tidak ada masalah, Nyai. Tepat pada hari 

yang telah ditentukan, seluruh anak buahku 

siap bergerak," sahut Ganis. 

"Nyai tidak perlu khawatir! Semuanya sudah 

kami siapkan dengan matang," selak Ganang saat 

Nyai Rengganis memandang ke arahnya. 

"Bagus! Aku senang mendengarnya. Nah, 

sebaiknya kalian ikut membantu mempersiapkan 

pesta. Aku tidak ingin ada yang usil dan 

menaruh curiga pada gerakan kita," kata 

Rengganis. 

"Kami permisi, Nyai," pamit tiga 

bersaudara itu. 

Nyai Rengganis hanya tersenyum dan 

menganggukkan kepalanya. Bergegas ditutup 

pintu kamarnya setelah ketiga bersaudara itu 

ke luar. Bibirnya masih menyunggingkan 

senyuman manis. Dari wajahnya memancar 

kecerahan dan keceriaan. Tapi bukan karena 

kelahiran putra idaman seluruh orang di 

Padepokan teratai Putih ini, melainkan sebuah 

rencana yang siap dimuntahkan. 

"Siapa...?" Nyai Rengganis menoleh ketika 

mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya. 

Tidak ada jawaban. Tapi ketika pintu itu 

terbuka, muncul seorang laki-laki berwajah 

tampan dan keras. Pedangnya berwarna perak 

menggantung di pinggang. Dialah Dewa Pedang, 

ketua Padepokan Teratai Putih ini. Dewa Pedang 

melangkah masuk, sambil menutup pintu kembali. 

Rengganis menyambut disertai senyum 

tersungging di bibir. 

Rengganis segera memeluk dan mengecup 

bibir Dewa Pedang. Sedangkan Ketua Padepokan



Teratai Putih itu membelai-belai pipi yang 

halus bagai kapas itu. Rengganis 

menggelayutkan tubuhnya dengan manja di tubuh 

kekar Dewa Pedang. 

"Kenapa mengurung diri di kamar? 

Keluarlah! Mereka sedang bergembira saat ini. 

Aku memberi kebebasan pada mereka untuk 

bergembira," kata Dewa Pedang lembut. 

"Aku dari sana, Kakang. Aku lelah sekali, 

tapi cukup senang," kata Rengganis manja. 

"Betul, kau tidak iri karena Larasati yang 

memberiku putra?" 

"Jangan begitu, Kakang. Aku atau Kak 

larasati sama saja. Sekarang mungkin dia. Lain 

waktu mungkin aku. Sama saja, kan?" 

Dewa Pedang tertawa mendengar kemanjaan 

wanita itu. Dia melepaskan pelukannya dan 

melangkah menghampiri pembaringan. Sebentar 

dicopot pedangnya dan diletakkan dengan hati-

hati di atas meja. Sebentar kemudian tubuhnya 

telah terbaring di ranjang itu. Rengganis 

hanya memperhatikan tanpa berkata sedikit pun. 

"Aku terlalu gembira, Rengganis. Maaf 

kalau aku seperti melupakanmu. Tapi aku sudah 

ada di sini," kata Dewa Pedang seraya 

memiringkan tubuhnya. 

Rengganis bisa mengerti maksud kata-kata 

ketua Padepokan Teratai Putih itu. Wanita itu 

bukannya menghampiri, tapi malah melangkah ke 

jendela kamar dan membuka pintunya lebar-

lebar. Tampak beberapa orang penjaga terlihat. 

Mereka segera memberi hormat begitu melihat 

Rengganis di balik jendela. 

"Kenapa kau buka jendela?" tanya Dewa 

Pedang. Nada suaranya agak kecewa. 

"Panas," sahut Rengganis sekenanya. Dia 

berbalik dan bersandar pada dinding.

Dewa Pedang mendesah panjang, kemudian 

bangkit dan duduk di tepi pembaringan, itu. 

Tangannya menjulur mengambil pedang, lalu 

mengenakannya kembali. Rengganis hanya 

tersenyum saja melihat rona merah mengandung 

kekecewaan pada wajah Dewa Pedang. 

"Mau ke mana?" tanya Rengganis melihat 

Dewa Pedang akan pergi. 

"Lihat persiapan mereka." sahut Dewa 

Pedang pelan. 

Rengganis tidak mencegah sedikit pun. 

Dibiarkan saja Dewa Pedang melangkah ke luar 

tanpa menutup pintu kembali. Wanita itu 

tertawa kecil melihat raut wajah ketua 

padepokan itu yang menyiratkan rasa kecewa. 

Rengganis memang sengaja berlaku demikian. 

Sudah beberapa kali dia menolak dan selalu 

memberi alasan macam-macam. Hal ini memang 

disengaja agar Dewa Pedang kecewa dan kesal. 

Tapi rupanya, Ketua Padepokan Teratai Putih 

itu jenis manusia yang sabar, sedikit pun ia 

tidak berkata apa-apa, meskipun dari sinar 

matanya menyemburat rasa kecewa. 

"Nikmati kebahagiaanmu yang sebentar, Dewa 

Pedang," desis Rengganis dingin. 

*** 

Keramaian menyemarak di Padepokan Teratai 

Pulih. Wajah-wajah cerah terlihat dari semua 

orang yang datang memenuhi undangan Ketua 

Padepokan Teratai Putih. Kelahiran putra 

pewaris tunggal padepokan disambut dengan 

penuh kegembiraan. 

Dewa Pedang tersenyum lebar. Dengan bangga 

diperkenalkan putranya pada semua undangan


yang hadir. Istrinya, Larasari tampak berdiri 

anggun menggendong anak tunggalnya di samping 

suaminya. Bibirnya selalu menyunggingkan 

senyum manis memikat. Ruangan pendopo yang 

luas itu tampak sesak dipenuhi undangan yang 

datang dari segala penjuru. 

Dari pakaian dan senjata yang dibawa, 

jelas kalau para undangan dan tamu lainnya 

adalah orang-orang rimba persilatan yang 

datang dari padepokan-padepokan lain. Namun 

semua kegembiraan itu sama sekali tidak 

dinikmati Rengganis. Meskipun bibirnya selalu 

tersenyum ramah pada setiap tamu, namun 

matanya sesekali melihat ke luar pendopo ini. 

Rengganis bergegas ke luar begitu melihat 

Gamar berjalan bersama dua orang bersenjata 

tombak panjang. Mereka menuju tangga masuk 

pendopo Padepokan Teratai Putih ini. Wanita 

itu melangkah setengah berlari menuruni anak-

anak tangga pendopo. Gamar segera membungkuk 

memberi hormat diikuti dua orang lainnya. 

"Bagaimana?" tanya Rengganis langsung. 

"Semua sudah siap. Sebagian besar undangan 

yang hadir adalah orang-orang kita. Mereka 

tinggal menunggu tanda darimu, Nyai," kata 

Gamar. 

"Bagus! Di mana dua saudaramu?" 

"Kakang Ganis memimpin dari sebelah Utara, 

dan adik Garang dari sebelah Timur. Sedangkan 

dari arah Selatan, gabungan dari beberapa 

partai. Dan dari dalam sendiri tinggal 

menunggu perintah saja," lapor Gamar 

"Katakan pada saudaramu. Waktu yang tepat 

adalah saat gong dipukul tanda adu ketangkasan 

dimulai. Tunggu sampai gong yang ketiga," kata 

Rengganis. 

"Rencana yang bagus, Nyai," sambut Gamar.


"Nah, sebaiknya kau segera pergi. Aku 

tidak ingin ada yang mencurigai. Semua sudah 

di ambang pintu, Gamar. Kita tidak boleh 

gagal," kata Rengganis. 

Gamar segera memberi hormat dan berlalu. 

Rengganis pun juga berbalik masuk kembali ke 

dalam pendopo. Tapi baru saja kakinya menaiki 

satu undakan, di depannya sudah berdiri Ketua 

Padepokan Teratai Putih. Rengganis agak 

terkejut juga. Untunglah dia dapat cepat 

menyembunyikan rasa kaget dengan memberikan 

senyuman manis. 

"Apakah acara adu ketangkasan akan 

dimulai, Kakang?" tanya Rengganis lebih dulu 

"Benar. Aku malah sengaja mencarimu. 

Tempat acara itu telah kupindahkan, dan 

diadakan di tengah-tengah pendopo saja agar 

tidak terlalu menyolok," sahut Dewa Pedang. 

"Kenapa begitu, Kakang? Bukankah di alun-

alun lebih leluasa?" Rengganis agak 

terperanjat mendengar nya. 

"Aku tidak suka jika dicap sebagai ketua 

padepokan yang sombong, Rengganis. Adu 

ketangkasan juga hanya dari murid-muridku 

sendiri. Sifatnya hanya sekedar hiburan saja, 

bukan adu kepandaian," Dewa Pedang berusaha 

menjelaskan. 

Rengganis hanya diam saja. Kakinya terayun 

melangkah menaiki undakan menuju ke dalam 

pendopo. Matanya beredar ke sekeliling. Tidak 

ada sebuah gong pun di ruangan luas ini. 

Rengganis jadi sedikit bingung juga. Otaknya 

segera berputar keras mencari jalan keluar. 

Masalahnya sekarang, dia belum paham benar 

mana orang-orang yang berpihak padanya dan 

mana yang bukan. Semua sudah bercampur-baur 

menjadi satu. Sulit untuk dikenali lagi. 

Rengganis sendiri tidak mengenal mereka satu


persatu. Memang semuanya hanya dia yang 

merencanakan. Tapi yang melaksanakan adalah 

tiga saudara yang selalu setia padanya. 

"Apa tandanya untuk memulai adu 

ketangkasan itu, Kakang?" tanya Rengganis. 

"Hanya dari pembawa acara saja," jawab 

Dewa Pedang. 

"Tidak pakai gong?" 

"Kurasa itu tidak perlu, Rengganis." 

Rengganis tiba-tiba memegangi kepalanya 

dengan mata terpejam. Dewa Pedang agak kaget 

juga. Buru-buru dipeluknya pundak wanita itu 

saat mulai limbung. 

"Rengganis, kau kenapa?" tanya Dewa 

Pedang. 

"Kepalaku, Kakang. Rasanya tiba-tiba saja 

pening," kata Rengganis lirih. 

"Sebaiknya kau istirahat saja di kamar," 

kata Dewa Pedang. 

Laki-laki Ketua Padepokan Teratai Putih 

itu menggapaikan tangannya. Dua orang emban 

setengah baya segera mendekat tergopoh-gopoh. 

Mereka langsung memapah Rengganis yang 

kelihatan lunglai sambil memijat-mijat 

kepalanya. 

"Bawa segera ke kamar," perintah Dewa 

Pedang. Kedua emban itu segera membawa 

Rengganis meninggalkan ruangan besar pendopo 

ini. Mereka masuk ke dalam lorong yang menuju 

tempat peristirahatan keluarga Dewa Pedang. 

Tampak Rengganis tersenyum besar. langkahnya 

sudah jauh meninggalkan ruangan pendopo itu. 

Masih terdengar suara-suara riuh dan tepuk 

tangan para undangan dari luar sana. 

Dengan satu gerakan cepat tak terduga, 

kedua tangan Rengganis berkelebat ke dada 

kedua emban yang memapahnya. Sedikit pun tak 

ada suara. Kedua emban itu langsung jatuh


dengan dua bulatan kecil berwarna hitam 

tertera di dada mereka. 

Dari sudut bibirnya mengalir darah kental 

kehitaman. Sebentar Rengganis mengawasi 

sepanjang lorong, lalu diseretnya dua tubuh 

ernban itu ke dalam sebuah kamar yang tidak 

jauh dari lorong itu. 

Rengganis bergegas ke luar dari kamar itu 

dan menutupnya. Gerakannya begitu ringan dan 

cepat melintasi lorong bagai kancil menyusuri 

semak belukar. Tubuh yang terbungkus baju 

hijau dari kain sutra halus itu pun lenyap 

setelah sampai di ujung lorong. Sementara 

suara-suara dari ruang pendopo masih Juga 

terdengar riuh. Tapi lorong itu tampak sepi 

tanpa seorang pun terlihat. 

*** 

"Gamar...!" 

Gamar tersentak kaget ketika mendengar 

suara panggilan dari arah samping. Dia segera 

menoleh dan terkejut melihat Rengganis 

berlari-lari menghampirinya. Gamar langsung 

berlari menghampiri. Rengganis menghentikan 

larinya. Napasnya agak tersengal sedikit. 

Wajahnya memerah dengan keringat menitik di 

kening dan leher. 

"Kenapa Nyai ke sini?" tanya Gamar seraya 

melayangkan pandangannya ke belakang wanita 

itu. 

"Ada perubahan, Gamar!" sahut Rengganis. 

"Perubahan? Maksud, Nyai?" 

"Adu ketangkasan tidak jadi dilaksanakan 

di alun-alun! Juga, tidak ada gong pembuka!" 

"Jadi...!?" 

"Itulah yang aku bingungkan, Gamar! Tidak 

mungkin menunggu tanda dari dalam lagi."


Gamar diam merenung. Keningnya berkerut 

dalam, pertanda tengah berpikir keras. Tidak 

mungkin membatalkan rencana yang sudah disusun 

rapi dan dimatangkan selama berbulan-bulan. 

Semua sudah siap siaga, tinggal menunggu tanda 

untuk bergerak saja! 

"Kau punya saran, Gamar?" tanya Rengganis 

sedikit putus asa. 

"Sebaiknya kau kembali saja ke padepokan! 

Biar aku yang menghubungi teman-teman di 

luar," sahut Gamar. 

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya 

Rengganis ingin tahu. 

"Terpaksa. Kita harus memulai secara 

mendadak tanpa tanda apa pun!" kata Gamar. 

"Jangan, Gamar! Semua harus dilakukan 

serentak, tanpa ada yang saling mendahului! 

Kekompakan harus tetap dijaga," Rengganis 

tidak setuju. 

"Rasanya tidak ada jalan lain, Nyai." 

"Aku punya cara!" seru Rengganis tiba-

tiba. 

Gamar menatap wanita cantik itu dalam-

dalam. Memang sejak semula sudah diduga kalau 

Rengganis pasti banyak akalnya. Wanita itu 

sangat cerdik, penuh dengan tipu muslihat. 

Mungkin Rengganis tadi hanya gugup saja, 

sehingga seperti buntu akalnya. Tapi kini 

otaknya berhasil mencari jalan keluar yang 

terbaik. 

"Aku akan kembali lagi ke dalam, dan kau 

hubungi yang lain secepat mungkin," kata 

Rengganis serius. 

"Lalu?" 

"Kalau kau dan yang lainnya melihat ada 

merpati terbang, itu adalah tanda dariku 

sebagai awal dari rencana kita. Kau mengerti 

maksudku, Gamar?"


"Mengerti, Nyai." 

"Cepatlah kau hubungi yang lain! Ingat, 

Gamar! Jangan sampai gerakanmu dicurigai oleh 

penjaga." "Jangan khawatir, Nyai." 

Rengganis tersenyum, lalu segera berbalik 

dan berlari cepat menuju ke benteng padepokan 

sebelah Barat. Gerakannya begitu ringan dan 

cepat bagaikan angin. Jelas kalau wanita itu 

memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa 

dianggap enteng. Gamar pun segera bergerak 

setelah memberi beberapa pesan kepada anak 

buahnya. 

Sementara itu Rengganis sudah melompati 

benteng sebelah Barat Padepokan Teratai Putih. 

Matanya yang bulat menatap tajam ke 

sekitarnya. Dia menarik napas lega setelah 

semua penjaga tampaknya terpusat pikirannya 

oleh suasana gembira, sehingga sepertinya 

lengah dengan tugasnya. Rengganis bergegas 

menuju ke pintu lorong rumah besar. Sebentar 

saja tubuhnya sudah lenyap di balik pintu. 

Dengan langkah tenang, dia berjalan 

menyusuri lorong yang di kanan dan kirinya 

terdapat kamar-kamar yang tertutup pintunya. 

Rengganis langsung menuju ke ruang pendopo. 

Langkahnya tenang, dan bibirnya terus 

menyunggingkan senyum. Beberapa kali harus 

dibalasnya anggukan kepala para tamu yang 

memadati ruangan itu. 

Rengganis langsung menghampiri Dewa Pedang 

yang duduk di kursi didampingi istrinya. Dewa 

Pedang hanya memberi senyum saat Rengganis 

duduk di sampingnya. Sebentar diliriknya 

Larasati yang menggendong putranya. Sementara 

beberapa hiburan mulai ditampilkan. 

"Kakang...," kata Rengganis berbisik. 

"Ada apa?" tanya Dewa Pedang menyorongkan 

kepalanya mendekati Rengganis.


"Aku ada usul, Kakang. Bagaimana kalau 

pada adu ketangkasan nanti dimulai dengan 

pelepasan seekor merpati," kata Rengganis 

mengusulkan. 

"Maksudmu?" 

"Sebagai pelambang kalau putra pewaris 

Padepokan Teratai Putih akan melanglang buana 

menaklukkan seluruh rimba persilatan," sahut 

Rengganis beralasan. 

"Usul yang bagus!" sambut Dewa Pedang 

tersenyum lebar. "Bagaimana, Laras?" 

"Kalau Kakang setuju, kenapa aku tidak?" 

jawab Larasati sambil tersenyum. 

"Sebaiknya merpati kesayanganku saja, Kak 

Laras," kata Rengganis. 

"Jangan, Adik Rengganis. Merpati itu kan 

kesayanganmu." 

"Sebagai tanda kalau aku juga mencintai 

anakmu." 

"Terima kasih, Adik Rengganis. Kau baik 

sekali," sahut Larasati terharu 

Rengganis hanya tersenyum saja. Namun 

gerakan senyum di bibirnya terasa getir. 

Sementara Dewa Pedang sudah kembali 

mengalihkan perhatiannya pada acara hiburan 

yang ditampilkan murid-muridnya. Tampak para 

undangan begitu terhibur. Banyak pula komentar 

dilontarkan. Semuanya selalu memuji dan 

mengagumi gerakan-gerakan jurus silat yang 

diperlihatkan murid-murid Padepokan Teratai 

Putih ini. Dewa Pedang tidak begitu bangga 

hati. Dia tahu kalau semua pujian itu hanya 

sekedar untuk menyenangkan hatinya saja. 

Rengganis menjentikkan jarinya. Seorang 

emban yang berada di dekatnya segera mendekat 

Rengganis berbisik pada emban bertubuh gemuk 

itu. Sesaat kemudian emban itu berlalu 

meninggalkan ruangan pendopo ini, dan tidak


lama kemudian sudah kembali dengan membawa 

sangkar berisi burung merpati putih. Rengganis 

menerima dan meletakkannya di depan kaki Dewa 

Pedang. 

*** 

Gamar tampak gelisah. Dia berjalan mondar-

mandir dengan matanya tak lepas menatap ke 

arah Padepokan Teratai Putih. Sementara 

matahari sudah semakin tinggi. Sinarnya yang 

terik membuat tubuh Gamar basah oleh keringat 

yang mengucur deras. Bukan itu saja. Bahkan 

orang-orang yang sudah sejak pagi tadi 

menunggu dengan senjata terhunus, juga 

kelihatan tidak sabar lagi. 

Saat matahari tepat di atas kepala, 

terlihat seekor merpati putih terbang tinggi 

dari dalam pendopo Pa depokan Teratai Putih. 

Gamar langsung melompat ke depan, dan... 

"Serang..!" teriaknya lantang. 

Bersamaan dengan itu, secara serempak 

terdengar suara-suara lantang dari arah Utara, 

Timur dan Selatan. Tidak lama kemudian 

menyusul suara-suara pekikan yang membahana 

disertai derap ratusan manusia yang berlari 

menuju Padepokan Teratai Putih dari em pat 

penjuru. 

Para penjaga di sekitar tembok benteng 

padepokan itu terkejut bukan main, karena 

tiba-tiba saja dari empat penjuru mata angin 

berlompatan orang-orang bersenjata. Mereka 

melompati tembok benteng yang tinggi dan 

langsung menyerang dengan ganas. Para penjaga 

yang tidak menduga adanya serangan mendadak 

itu menjadi kalang-kabut. Jerit kematian mulai 

terdengar saling susul bercampur dengan 

teriakan-teriakan gegap-gempita. Denting


senjata dan desir angin tenaga dalam 

menyemarakkan tempat yang lelah berubah 

menjadi arena pertempuran. 

Dalam waktu yang sama, di dalam Pendopo 

Utama Padepokan Teratai Putih juga terjadi 

kegemparan. 

Tiba-tiba saja sebagian undangan 

mengeluarkan senjata. Mereka membuat keributan 

dengan membabat habis undangan lainnya. 

Dewa Pedang yang cepat peka pada keadaan, 

segera memerintahkan murid-muridnya untuk 

menghalau para pengacau itu. Dia tidak 

menyadari akan bahaya yang mengancam istrinya. 

Dan betapa terperanjat Dewa Pedang ketika 

melihat Rengganis mencabut sebilah pisau dari 

balik sabuk ikat pinggangnya. Gerakan tangan 

Rengganis begitu cepat mengarah tepat kedada 

Larasati. 

"Laras, awas...!" teriak Dewa Pedang cepat 

melompat berusaha mencegah serangan Rengganis. 

Tring! 

Secepat Rengganis mengibaskan pisaunya, 

secepat itu pula Dewa Pedang mencabut senjata 

andalannya yang berupa pedang dari emas murni 

bercampur logam keras. Begitu cepat gerakan 

kibasan pedangnya, sehingga membuat Rengganis 

terkejut. Padahal ujung pisau Rengganis 

tinggal serambut lagi membelah dada Larasati. 

"Ih!" 

Rengganis segera melompat mundur 

menghindari sabetan pedang Dewa Pedang yang 

mengarah perutnya. Dewa Pedang memandang 

Rengganis setengah tidak percaya. Tapi yang 

dipandang malah membalasnya dengan tajam. 

Dibuang pisaunya, lalu dikeluarkan dua buah 

kipas dari baja putih bagaikan perak. Dewa 

Pedang melangkah mundur melindungi istrinya. 

"Badar!" teriak Dewa Pedang


Badar yang sedang bertarung melawan para 

undangan yang berkomplot dengan Renqganis, 

segera melompat menghampiri gurunya. 

"Cepat bawa keluar istri dan anakku. 

Selamatkan mereka!" perintah Dewa Pedang. 

"Baik Guru," sahut Badar. 

"Kakang...," suara Larasati tersekat di 

tenggorokan. 

"Cepatlah! Tidak ada waktu lagi! Kau harus 

selamatkan anak kita," kata Dewa Pedang. 

Larasati tidak membantah lagi. Segera dia 

berlari ke arah lorong diikuti beberapa emban, 

dan dijaga sekitar dua puluh murid utama 

Padepokan Teratai Putih yang dipimpin Badar. 

Pada saat itu Rengganis sudah melompat 

menyerang Dewa Pedang dengan sepasang kipas 

bajanya. 

Wut, wut! 

Dewa Pedang menarik tubuhnya ke belakang 

sambil meliuk-liuk bagai ular, menghindari 

kibasan senjata Rengganis yang cepat dan 

berbahaya. Dengan cepat kaki Dewa Pedang 

terangkat naik, lalu menyepak ke depan. 

Rengganis buru-buru mengibaskan kipasnya 

memapak kaki yang bergerak cepat ke arah 

perutnya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewa 

Pedang malah menarik kakinya cepat dan 

memutarnya ke atas. Rengganis memekik tertahan 

saat tapak kaki Dewa Pedang menghantam telak 

dadanya. Wanita itu terhuyung ke belakang 

menabrak kursi. 

Saat itu juga Dewa Pedang melompat seraya 

memutar pedangnya ke depan. Tapi sebelum ujung 

pedangnya menyentuh tubuh Rengganis, sebuah 

bayangan merah berkelebat bagai kilat memapak 

serangannya. 

Dug! 

"Ukh!"


Dewa Pedang terjajar ke belakang sambil 

menekap dadanya. Kedua bola matanya memerah 

menatap seorang laki-laki tua berjubah merah 

yang sudah berdiri di depannya melindungi 

Rengganis. Laki-laki tua itu menggenggam 

sebatang tongkat pendek yang ujungnya terdapat 

lempengan logam berbentuk bulan sabit 

"Jantara...," desis Dewa Pedang yang 

bernada tidak percaya dengan penglihatannya. 

Laki-laki tua yang dipanggil Jantara itu 

hanya tersenyum sinis. Dia memang Jantara, 

atau yang lebih dikenal dengan julukan si 

Tongkat Samber Nyawa. Dewa Pedang benar-benar 

tidak percaya kalau Jantara ikut dalam aksi 

huru-hara di padepokannya. 

"Sudah lama kutunggu kesempatan ini, Dewa 

Pedang!" kata Jantara dingin. 

"Di antara kita tidak pernah punya 

persoalan. Mengapa kau ingin menghancurkan 

padepokanku, Jantara?" tanya Dewa Pedang. 

"Memang benar! Kita memang tidak pernah 

punya persoalan secara pribadi. Tapi murid-

muridmu selalu malang-melintang menghalangi 

sepak-terjangku. Bahkan gerakan anak buahku 

juga kau hambat!" 

"Aku tidak pernah mengajarkan untuk 

berlaku lunak pada orang-orang jahat, Jantara. 

Kalau kau merasa terhalang, mengapa masih juga 

menyengsarakan orang lain?", 

"Itu urusanku, Dewa Pedang!" bentak 

Jantara keras. 

"Begitu pula dengan tindakanku beserta 

muridmuridku! Semuanya bukan urusanmu!" balas 

Dewa Pedang tidak kalah dinginnya. 

"Huh! Umurmu sudah tinggal seujung pedang, 

masih juga berlagak!" 

Setelah berkata demikian, Jantara atau si 

Tongkat Samber Nyawa lantas melompat menerjang


diikuti Rengganis. Si Tongkat Samber Nyawa 

memang tidak bisa dianggap enteng. Ilmunya 

cukup tinggi. Dewa Pedang harus berhati-hati 

menghadapinya. Apalagi ditambah dengan 

Rengganis yang juga memiliki kepandaian hampir 

setara dengan si Tongkat Samber Nyawa. Tentu 

saja Dewa Pedang jadi kelabakan. 

Tapi sebagai ketua padepokan silat, Dewa 

Pedang cukup cerdik. Dia bertarung sambil 

bertahan mundur, mendekati tokoh-tokoh rimba 

persilatan yang juga bertarung melawan murid-

murid Padepokan Teratai Putih. Rengganis yang 

berotak cerdas, tanggap akan kecerdikan Dewa 

Pedang. Tapi semuanya terlambat. Murid-murid 

setia Padepokan Teratai Putih sudah merangsek 

menyerangnya. Mau tidak mau Rengganis 

mengalihkan perhatiannya pada lawan-lawan 

barunya. 

Sementara pertarungan masih terus 

berlangsung sengit. Cukup sulit untuk 

membedakan antara lawan dan kawan. Korban 

sudah tak terhitung lagi. Mayat-mayat 

bergelimpangan bersimbah darah. Tampak dari 

arah bangunan belakang, api mulai berkobar 

melahap barak-barak murid Padepokan Teratai 

Putih. Angin bertiup cukup kencang, sehingga 

api semakin leluasa melahap semua yang di 

dekatnya. Tak seorang pun yang sempat 

memadamkannya, masing-masing sibuk dengan 

lawannya. Kelengahan sedikit saja akan 

berakibat nyawa melayang. 

Sedangkan pertarungan antara Dewa Pedang 

dengan si Tongkat Samber Nyawa menjadi tak 

seimbang setelah murid-murid utama Padepokan 

Teratai Putih membantu gurunya. Kelihatan 

kalau si Tongkat Samber Nyawa terdesak hebat.


Dia jatuh bangun menghindari setiap serangan 

yang datang beruntun bagai air bah. 

"Sebaiknya Guru cepat meninggalkan tempat 

ini! Biar kami saja yang menghadapi para 

pengacau keparat ini," kata salah seorang 

murid Dewa Pedang. 

"Jangan hiraukan aku! Kalian saja yang 

cepat pergi!" sahut Dewa Pedang seraya 

mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri. 

"Tidak! Lebih baik kami mati bersama-sama, 

Guru!" 

Dewa Pedang terharu sekali mendengarnya. 

Betapa besar pengabdian murid-muridnya. Kini 

Dewa Pedang berhadapan dengan sekitar enam 

tokoh rimba persilatan yang begitu cepat 

menyerangnya. Sementara itu si Tongkat Samber 

Nyawa kini leluasa membantai murid-murid di 

Padepokan Teratai Putih yang sebenarnya bukan 

tandingannya. 

Keadaan Dewa Pedang semakin 

mengkhawatirkan. Tubuhnya terombang-ambing 

bagaikan bola. Darah telah mengucur dari 

lukanya akibat tersambar senjata lawan-

lawannya. Keadaan yang sama juga dialami 

murid-muridnya. Mereka tidak mampu menghadapi 

tokoh-tokoh rimba persilatan yang 

kepandaiannya jauh di atas mereka. Apalagi 

ditambah dengan murid-murid Padepokan Teratai 

Putih yang berkhianat. 

"Mampus kau, Dewa Pedang! Hiyaaat..!" 

teriak Rengganis melengking tinggi. 

Bagaikan seekor burung elang, Rengganis 

melompat tinggi dan menukik tajam dengan 

sepasang kipas yang berkelebat cepat. Dewa 

Pedang yang sedang sibuk menghadang serangan 

para pengeroyoknya, tidak sempat lagi 

berkelit. Sepasang kipas baja maut Rengganis 

tanpa ampun lagi merobek kulitnya.


Dewa Pedang melangkah mundur. Tubuhnya 

limbung. Darah semakin banyak keluar dari 

tubuhnya. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk 

mengusir rasa pening. Tapi matanya masih 

berkunang-kunang. Rengganis berdiri tegak 

dengan sepasang kipas terbuka lebar di depan 

dada. 

"Rengganis, kenapa kau ingin membunuhku?" 

tanya Dewa Pedang lemah. 

"Karena kau telah membantai seluruh 

keluargaku!" sahut Rengganis dingin. 

"Aku.., aku tidak mengerti maksudmu...," 

Dewa Pedang semakin lemah. 

"Kau tentu masih ingat peristiwa di Bukit 

Halimun. Di sanalah kau bantai habis satu 

keluarta tanpa kenal beka kasihan. Kau dan 

prajurit-prajuritmu tidak lebih dari binatang 

yang harus dimusnahkan!" 

Dewa Pedang terdiam. Ingatannya kembali 

saat menjadi panglima perang kerajaan. Waktu 

itu dia memang ditugaskan untuk mengejar satu 

keluarga pengkhianat kerajaan. Pengejarannya 

sampai ke Bukit Halimun Tapi sama sekait dia 

tidak memerintahkan untuk membantai habis 

keluarga pengkhianat itu. Dia dan satu pasukan 

prajurit pilihannya datang terlambat. Keluarga 

itu sudah habis terbantai, kecuali seorang 

anak perempuan kecil. 

"Kau putri Patih Kuraya...?" Dewa Pedang 

hanya ingin memastikan. 

"Benar! Aku berhasil lolos dengan pura-

pura tewas waktu itu. Kau memang tidak ada di 

sana, Dewa Pedang. Tapi prajurit-prajuritmu 

melakukan itu pasti atas perintahmu. Padahal 

aku yakin, Gusti Prabu tidak mungkin 

memerintahkan untuk membunuh habis keluargaku. 

Dan akibat kesalahanmu yang fatal, kau 

diturunkan pangkatnya. Tapi kau memang tak mau


kehilangan muka, Dewa Pedang. Kau mengundurkan 

diri dari jabatan panglima perang dan 

mengucilkan diri di sini, mendirikan 

padepokan. Jelas maksudnya untuk mengharumkan 

namamu kembali! Tidak, Dewa Pedang... Namamu 

tetap kotor!" 

"Ketahuilah, Rengganis. Waktu itu aku 

datang teriambat. Dan lagi mereka bukanlah 

para prajuritku! Mereka adalah prajurit Patih 

Gumarang, Pamanmu sendiri. Karena dia memang 

sudah lama menginginkan jabatan yang dipegang 

ayahmu dan sengaja ingin menyingkirkan aku," 

kata Dewa Pedang berusaha menjelaskan. 

"Huh! Jangan membela diri!" dengus 

Rengganis. "Memang tidak ada gunanya aku 

membela diri, Rengganis. Tapi asal kau tahu 

saja Pamanmulah yang membantai keluargamu di 

Bukit Halimun." 

"Setan! Kau memfitnah Pamanku!" geram 

Rengganis gusar. "Kau harus mampus. Dewa 

pedang, hiyaaa...!" 

Rengganis melipat sepasang kipasnya. Saat 

dikibaskan tangannya, dari ujung kipas itu 

keluar mata pisau yang tajam berkilat. Dengan 

satu gerakan cepat, wanita itu melompat sambil 

berteriak nyaring. 

Dewa Pedang yang sudah tidak berdaya lagi, 

hanya mampu menangkis satu senjata Rengganis, 

sedangkan satu lagi amblas di dadanya. Jeritan 

melengking terdengar menyayat. Rengganis belum 

merasa puas juga, ditusukkan senjatanya 

berulang-ulang ke tubuh Dewa Pedang. Wanita 

itu baru berhenti setelah Dewa Pedang 

menggeletak tak bernyawa lagi. 

Saat itu juga murid-murid Padepokan 

Teratai Putih yang mengetahui gurunya tewas, 

berlarian kalang-kabut menyelamatkan diri. 

Tapi tokoh-tokoh rimba persilatan dan murid


murid padepokan yang berkhianat serta gabungan 

dari partai-partai persilatan tidak 

membiarkannya. Mereka mengejar dan membunuh 

orang-orang yang ada hubungannya dengan Dewa 

Pedang. 

"Habiskan semua! Jangan ada yang tersisa!" 

perintah Rengganis keras. 

Rengganis mengedarkan pandangannya ke 

sekeliling. Dia mencari istri pertama Dewa 

Pedang dan putranya. Hatinya menggeram karena 

orang yang paling dibencinya berhasil 

menyelamatkan diri. Tanpa membuang-buang waktu 

lagi, dipanggilnya tiga saudara pengikut 

setianya dan beberapa anak buah pilihan untuk 

mengejar istri Dewa Pedang dan putranya. 

Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh rimba 

persilatan yang ikut mengejar. Sedangkan 

sisanya membumihanguskan seluruh Padepokan 

Teratai Putih. 

*** 

"Kita istirahat dulu di sini, Nyai Guru," 

kata Badar setelah mereka cukup jauh 

meninggalkan Padepokan Teratai Putih. 

Rombongan yang berjumlah tidak kurang dari 

dua puluh orang itu mengambil tempat untuk 

istirahat. Sedangkan murid murid pilihan 

Padepokan Teratai Putih tetap berjaga-jaga. 

Larasati duduk di bawah pohon dikelilingi para 

emban. Sedangkan putranya tetap berada dalam 

pelukannya. Wajah ibu yang baru beberapa hari 

yang lalu habis melahirkan tampak kelelahan. 

Matanya tidak lepas memandang puncak Gunung 

Tangkup. Tampak asap hitam membumbung tinggi, 

mengotori angkasa yang semula cerah "Badar,"


panggil Larasati lemah. "Ya, Nyai Guru," sahut 

Badar seraya mendekat. "Bagaimana nasib 

suamiku?" tanya Larasati. Hatinya waswas. 

"Entahlah. Mudah-mudahan saja Guru Dewa 

Pedang selamat," sahut Badar, yang sebenarnya 

tak yakin gurunya selamat. 

"Tidak kusangka kalau Rengganis akan 

berkhianat," lirih suara Larasati. 

"Mungkin memang sudah direncanakan, Nyai. 

Sebagian murid-murid berpihak padanya juga, 

tidak sedikit tokoh rimba persilatan yang 

berpihak pada wanita keparat itu." sahut Badar 

lagi. 

Larasati diam merenung. Dia masih belum 

bisa mengerti, mengapa Rengganis punya niat 

buruk seperti itu. Benar-benar tidak disangga 

sama sekali. Rengganis yang selalu bersikap 

manis, ternyata di balik semua itu tersimpan 

hati busuk untuk menghancurkan Padepokan 

Teratai Putih! Larasati memang tidak tahu 

persis latar belakang istri kedua Dewa Pedang 

itu. Yang dia tahu, ketika suaminya membawa 

seorang wanita muda dan cantik yang diakuinya 

sebagai istri. 

Saat itu Larasati sebenarnya ingin 

berontak. Hatinya tidak suka dimadu. Namun dia 

sadar akan kodratnya sebagai seorang wanita 

yang hanya bisa menerima nasib saja. Akhirnya 

semua diterimanya dengan hati lapang. Dia 

memang tidak pernah tanya asal-usul Rengganis 

kepada suaminya. Larasati hanya bisa pasrah. 

"Mari, Nyai. Sebaiknya kita lanjutkan 

perjalanan," ajak Badar. 

"Badar, apa tidak sebaiknya kau kirim 

beberapa orang untuk melihat keadaan suamiku," 

Larasati menyarankan. 

"Baiklah. Nyai," sahut Badar seraya 

beranjak bangun.


Badar menghampiri murid-murid Padepokan 

Teratai Putih yang ikut dalam rombongan ini. 

Tidak lama kemudian, diutuslah tiga orang 

untuk kembali ke padepokan. Badar segera 

menghampiri Larasati setelah tiga orang yang 

ditunjuknya telah berangkat. Saat itu Larasati 

sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan 

kembali diikuti enam orang emban. "Mari, 

Nyai," kata Badar. 

Larasati mengangguk, lalu melangkah. Enam 

orang emban setianya mengiringinya dari 

belakang. Sedangkan murid-murid setia Dewa 

Pedang tinggal sembilan orang lagi yang 

berjaga-jaga melindungi Larasati dan putranya. 

Seakan-akan membentuk benteng kokoh. 

"Lampik...!" panggil Badar sambil 

menggapaikan tangannya pada salah seorang adik 

seperguruannya yang berjalan di belakangnya. 

"Ada apa, Kakang?" Lampik segera 

menghampiri. "Kau jalan lebih dulu, cari desa 

terdekat. Beli beberapa ekor kuda," perintah 

Badar, orang yang paling bertanggung jawab 

atas keselamatan istri gurunya ini. 

"Baik, Kakang," sahut Lampik segera 

berlari cepat mendahului rombongan itu. 

"Untuk apa kau beli kuda, Badar?" tanya 

Larasati. "Agar perjalanan lebih cepat, Nyai," 

sahut Badar. Larasati tidak bertanya lagi. 

Sementara rombongan itu terus bergerak semakin 

jauh meninggalkan Gunung Tangkup, tempat 

Padepokan Teratai Putih yang kini telah 

hancur. 

Sementara itu Rengganis yang diikuti oleh 

anak buahnya serta beberapa puluh tokoh rimba 

persilatan terus mengejar rombongan yang 

berhasil melarikan diri. Mereka adalah tokoh-

tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi,


sehingga dalam waktu singkat rombongan itu 

telah terlihat. 

"Itu mereka! Kejar! Bunuh mereka 

semua...!" seru Rengganis seraya berlari cepat 

menggunakan ilmu peringan tubuh. 

"Celaka!" desah Badar terkejut. 

Larasati pun ikut terkejut begitu melihat 

ke belakang. Tampak puluhan orang berlarian ke 

arah mereka dengan senjata terhunus. 

"Hadang mereka semampu kalian!" perintah 

Badar. 

"Baik, Kakang!" delapan orang murid setia 

Padepokan Teratai Putih langsung berbalik dan 

mencabut senjata masing-masing. 

Sedangkan Badar segera membawa Larasati 

dan enam orang emban menjauh dari tempat itu. 

Mereka terpaksa berlari sekuat tenaga agar 

terhindar dari kejaran tokoh-tokoh sakti itu. 

Sementara delapan orang murid setia Padepokan 

Teratai Putih serentak menghadang para 

pengejarnya. Mereka langsung bertempur tanpa 

mengenal rasa takut. Tingkat kepandaian mereka 

memang cukup lumayan, karena mereka adalah 

murid utama Dewa Pedang. Hal ini menjadikan 

pengejaran Rengganis dan tokoh-tokoh lainnya 

jadi agak terhambat. Mereka terpaksa bertarung 

untuk menembus benteng yang terdiri dari 

delapan orang itu. 

Ternyata delapan orang murid utama 

Padepokan Teratai Putih memang cukup tangguh. 

Tapi untuk menghadapi puluhan tokoh rimba 

persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, 

mereka kewalahan juga. 

"Cari kesempatan keluar! Biar aku hadang 

mereka!" seru salah seorang dari delapan murid 

Padepokan Teratai Putih itu. 

Dua orang langsung melompat dan berlari 

cepat menyusul istri ketua Padepokan Teratai


Putih yang sudah tidak terlihat lagi. Beberapa 

tokoh rimba persilatan ingin mengejar, tapi 

enam orang yang masih bertahan cepat 

menghalangi. 

Pertarungan tidak seimbang itu kian 

berlangsung sengit. Namun telah dapat 

dipastikan kalau enam orang itu benar-benar 

kewalahan. Bahkan tidak berapa lama berselang, 

satu orang terjungkal roboh mandi darah. 

Kemudian disusul dengan tewasnya satu orang 

lagi dengan dada robek. 

"Bunuh mereka semua! Yang lain ikut aku!" 

seru Rengganis sambil melompat keluar dari 

kancah pertempuran begitu ada kesempatan. 

Salah seorang segera melompat hendak 

menghadang Rengganis. Tapi wanita berbaju 

hijau dengan senjata sepasang kipas baja itu 

dengan cepat mengebutkan kipasnya. Tanpa ampun 

lagi. orang yang menghalanginya itu tersambar 

dadanya hingga sobek. Rengganis tidak lagi 

mempedulikan. Dia segera berlari dan melompat 

cepat diikuti oleh yang lainnya. 

Sudah dapat dipastikan kalau sisa murid-

murid utama Padepokan Teratai Putih itu tidak 

akan mampu menandingi tokoh-tokoh rimba 

persilatan yang memiliki kepandaian di atas 

mereka. Satu persatu mereka roboh dan langsung 

tewas. Sementara Rengganis dan sebagian 

pengikutnya sudah lenyap ditelan kerimbunan 

pepohonan mengejar Larasati dan orang-orang 

setianya. Sedangkan tokoh tokoh lainnya segera 

mengejar murid-murid setia Padepokan Teratai 

Putih, karena yang menghalangi sudah tidak 

tersisa lagi. Tapi pihak mereka juga tidak 

sedikit yang tewas. Kebanyakan dari mereka 

adalah yang memiliki kemampuan di bawah murid-

murid Padepokan Teratai Putih.


*** 

Pada saat yang sama, Badar yang selalu 

mendampingi istri gurunya itu semakin cemas. 

Kecemasan itu sangat beralasan, karena tidak 

jauh di belakang mereka, Rengganis bersama 

tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya mengejar 

cepat, dengan mempergunakan ilmu peringan 

tubuh. Badar tidak mungkin untuk memaksakan 

tenaga istri gurunya itu agar berlari lebih 

cepat lagi. Larasati hanya seorang wanita 

lemah yang sama sekali tidak mengerti ilmu 

olah kanuragan! "Aaakh...!" 

Tiba-tiba saja terdengar suara jeritan 

menyayat dari salah seorang emban. Sebatang 

tombak panjang menembus punggungnya hingga ke 

jantung. Suara jeritan itu belum lagi hilang, 

ketika kembali terdengar jeritan melengking 

dari seorang emban yang lain. Sebatang anak 

panah menembus punggungnya. Emban itu 

terjungkal jatuh dan tewas seketika. 

"Cepat lari terus. Nyai," kata Badar 

melihat Larasati berhenti. 

"Tapi...." Larasati tidak bisa melanjutkan 

kata-katanya, karena mendadak saja dua batang 

anak panah meluncur cepat ke arahnya. 

"Hup!" 

Badar langsung mencabut pedang di 

pinggangnya. Secepat kilat, dikibaskan senjata 

itu untuk menghalau dua batang anak panah yang 

meluncur tadi. Tangan kirinya segera mendorong 

Larasati agar terus berlari. Mau tidak mau 

Larasati berlari sambil memeluk erat bayinya. 

Dua orang murid utama Padepokan Teratai Putih 

yang sudah bergabung kembali, segera 

menghentikan larinya. Mereka mencoba 

menghadang pengejar yang berjumlah puluhan 

orang itu.


Namun dua orang dengan tenaga sudah 

terkuras, tentu bukanlah tandingan tokoh-tokoh 

rimba persilatan yang sudah dirasuki nafsu 

membunuh itu. Tanpa dapat berbuat banyak, 

kedua orang itu tewas tercincang. 

Sementara Badar terus membawa lari 

Larasati untuk menyelamatkan diri. Emban yang 

tinggal empat orang, tanpa mampu berbuat apa-

apa masih menyertai mereka. Tapi.... Mereka 

memang tidak mengerti ilmu olah kanuragan 

sedikit pun. 

"Badar. Aku tidak kuat lagi..." keluh 

Larasati dengan napas tersengal. 

"Bertahanlah, Nyai," Badar coba mendorong 

semangat wanita itu. 

Larasati hanya menggeleng-gelengkan 

kepalanya saja. Sinar matanya sudah 

menyiratkan kepasrahan. Sementara para 

pengejar sudah semakin deket saja. 

"Selamatkan anakku, Badar. Biarkan aku di 

sini," kata Larasati sambil menyerahkan 

putranya pada Badar. 

"Nyai...," Badar ragu-ragu menerima bayi 

yang baru berusia beberapa hari itu. 

"Jangan hiraukan aku, Badar. Aku mempunyai 

firasat bahwa suamiku sudah tiada. Selamatkan 

saja bayi ini," Larasati mencoba tabah. 

Walaupun masih ragu-ragu, Badar menerima 

juga bayi itu. Sebentar ditatapnya wajah 

mungil di dalam dekapannya. Tampak bayi itu 

tersenyum manis, seolah-olah mengungkapkan 

agar Badar tetap tabah dan bersemangat. Badar 

mengalihkan perhatian pada para pengejarnya 

yang sudah semakin dekat saja. 

"Mari, Nyai. Mereka sudah semakin dekat," 

desak Badar. 

"Jangan hiraukan aku, Badar. Cepatlah kau 

pergi," sahut Larasati pasrah. "Nyai...."


Pada saat itu, tiba-tiba sebatang anak 

panah melesat cepat ke arah Larasati. Dengan 

sigap Badar mengibaskan pedangnya menghalau 

anak panah itu. Tapi belum lagi pedangnya 

ditarik, sebuah tombak panjang melesat cepat 

tanpa dicegah lagi. Satu jeritan melengking 

terdengar dari salah seorang emban. Badar 

menggeram melihat satu persatu orang yang 

harus dilindungi kini tewas. 

"Cepat Bad.... Akh!" 

"Nyai...!" Badar tersentak kaget begitu 

melihat wanita yang sangat dihormatinya sudah 

tertembus anak panah di punggung. Sedangkan 

saat itu dia tengah menghalau serbuan tombak 

yang datang bagai hujan. 

Badar segera melompat mendekati tubuh 

Larasati yang menggeletak dengan punggung 

tertembus anak panah. Sementara jeritan-

jeritan melengking saling menyusul bersamaan 

dengan ambruknya para emban. Tubuh mereka 

tertembus tombak dan anak panah. 

"Nyai...," Badar tidak sanggup lagi 

mengeluarkan kata-kata. 

"Selamatkan anakku. Badar. Besarkan dan 

didiklah agar menjadi seorang pendekar. Aku 

akan tersenyum jika dia berhasil membalas 

kematian orang tuanya," kata Larasati lemah. 

"Nyai. " 

"Bayu.... jangan nakal ya, Nak. . 

Turutilah katakata Pamanmu," semakin lemah 

suara Larasati. 

Tanpa mampu dicegah lagi, setitik air 

bening menetes di pipi Badar. Dengan tangan 

gemetar, Larasati mengusap kepala bayinya. 

Lalu menghembuskan napas yang terakhir 

"Nyai...," desis Badar tersendat. 

Sebentar Badar mengusap wajah Larasati 

dengan tangannya. Tidak lama kemudian


terdengar suara gemuruh dari puluhan orang 

yang sedang berlari cepat menuju ke arah 

Badar. Dia menoleh. Di antara mereka, terlihat 

Rengganis dengan kipas baja yang terkembang di 

tangan. Badar segera bangkit berdiri, den 

berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan 

tubuh. 

"Kejar dia! Bunuh...!" terdengar suara 

seruan keras. 

*** 

Sementara itu matahari telah condong ke 

Barat. Sinarnya yang kemerahan tidak lagi 

menyengat. Burung-burung telah mulai kembali 

ke sarangnya masing-masing. Saat itu Badar 

yang berlari ke arah Selatan telah mencapai 

tepian pantai. Angin laut bertiup kencang di 

senja hari. Debur ombak menggemuruh menghantam 

batu-batu karang. 

Badar berhenti berlari ketika matanya 

menatap kedepan, ke arah laut. Tampak sebuah 

pulau berwarna merah menyembul ke permukaan 

laut. Kelihatannya pulau itu sangat dekat 

dengan tempatnya berdiri sekarang. Badar tidak 

menyadari kalau sekaranq ia berada di Pesisir 

Pantai Selatan. Dan pulau yang terlihat itu 

adalah Pulau Neraka! Pulau yang sangat 

ditakuti oleh semua orang. Pulau yang aneh dan 

menyeramkan. Seluruh tanah, batu-batuan, dan 

pepohonan berwarna merah bagai terbakar. Saat 

Badar menoleh ke belakang, tampak para 

pengejarnya juga seperti ragu-ragu. Mereka 

tetap bergerak, namun tidak lagi berlari 

cepat. Hanya bergerak pelahan-lahan. Nama 

Pulau Neraka bukanlah nama asing bagi kaum 

rimba persilatan. Bahkan para nelayan di


sekitar Pesisir Pantai Selatan tidak ada yang 

berani mendekati pulau itu. 

"Badar! Menyerahlah kau! Serahkan bayi itu 

padaku!" seru Rengganis seraya mendekat pelan-

pelan "Jangan harap kau bisa menyentuh bayi 

ini, Rengganis!" sahut Badar seraya melangkah 

mundur dengan cepat. 

Badar menoleh ke belakang. Tampak beberapa 

perahu nelayan tertambat di garis pantai. 

Tidak jauh dari sini, terlihat sebuah 

perkampungan nelayan. Beberapa orang nelayan 

tampak bergerombol, namun tidak ada yang 

berani mendekat. Mereka tahu kalau orang-orang 

yang berada di pantai sore-sore begini adalah 

para tokoh rimba persilatan. Bagi penduduk 

yang tidak peduli dengan dunia persilatan, 

hanya menyaksikan saja tanpa mau ikut 

terlibat. 

Sementara Rengganis dan puluhan tokoh 

rimba persilatan terus melangkah pelahan-lahan 

mendekati Badar. Menghadapi begitu banyak 

tokoh yang memiliki kemampuan rata-rata di 

atasnya, bagi Badar tidaklah mungkin. 

Sedangkan kini tidak ada jalan lain untuk bisa 

lolos kecuali ke Pulau Neraka itu. 

Dan ini sangat disadari Badar. Masuk ke 

Pulau Neraka, sama saja lolos dari mulut buaya 

lalu masuk ke kandang macan. Sebentar 

dilihatnya perahu itu, lalu pandangannya 

beralih pada orang-orang yang semakin dekat 

saja. 

"Badar...! Aku akan membebaskanmu asalkan 

kau serahkan bayi itu," seru Rengganis. 

"Jangan coba-coba membujukku, Perempuan 

Liar! Mulutmu sangat manis, tapi mengandung 

bisa!" ejek Badar sinis. 

Merah padam wajah Rengganis mendengar 

ejekan menyakitkan telinga itu. Tanpa


menghiraukan kalau daerah itu sangat terlarang 

untuk pertempuran, Rengganis segera melompat 

tinggi ke udara. Bagaikan seekor burung camar, 

dia berputar di udara beberapa kali sebelum 

mendarat di depan Badar. Sepasang kipas 

mautnya sudah terkembang di depan dada. 

"Tahan!" seru seseorang dari tokoh-tokoh 

rimba persilatan ketika Rengganis hampir 

mengibaskan senjatanya. 

Rengganis menghentikan gerakan tangannya 

di udara. Seorang laki-laki tua dengan rambut 

seluruhnya putih, melompat menghampiri. Laki-

laki Itu mengenakan jubah putih dengan tangan 

kanan menggenggam tongkat. Hanya dengan sekali 

lompatan saja, sudah berada di sisi Rengganis. 

"Gagak Putih, kenapa kau hentikan 

maksudku?" tanya Rengganis mendengus tanpa 

menoleh sedikit pun. 

"Kau akan terkena kutukan seumur hidup 

jika membunuh di sini, Rengganis," kata laki-

laki tua itu yang ternyata berjuluk Gagak 

Putih. 

"Aku tidak peduli! Mereka harus mati! 

Semua ke turunan dan orang-orang Dewa Pedang 

harus musnah dari muka bumi! Kau tahu Gagak 

Putih! Dewa Pedang telah membantai habis 

seluruh keluargaku! Sudah banyak 

pengorbananku, Gagak Putih. Dan aku tidak 

ingin arwah-arwah mereka tertawa hanya karena 

takut kena kutukan penghuni Pulau Neraka itu!" 

Rengganis sudah tidak mampu lagi berpikir 

jernih. 

"Rengganis! Kau sadar dengan ucapanmu?" 

Gagak Putih kaget juga mendengarnya. 

"Aku sadar, Gagak Putih. Dan aku rela mati 

asal seluruh dendamku terbalas," sahut 

Rengganis mantap.


Setelah berkata demikian, dengan cepat 

Rengganis menggeser kakinya ke depan sambil 

mengibaskan tangan kanannya. Pada saat itu 

juga Badar mengangkat pedangnya menangkis 

serangan kipas yang terbuka dengan cepat. 

Tangan kanannya memainkan pedang, sedangkan 

tangan kirinya tetap menggendong bayi. 

Rengganis tidak peduli lagi dengan 

peringatan Gagak Putih. Diserangnya Badar 

dengan jurus-jurus andalan yang sangat 

berbahaya dan dahsyat. Pada saat itu Badar 

dalam keadaan terjepit. Kakinya tidak bisa 

melangkah mundur. Punggungnya sudah menyentuh 

dinding perahu. Hingga pada satu serangan yang 

cepat, Badar tidak sempat berkelit lagi. 

Bret! 

"Akh!" Badar memekik tertahan. Darah 

mengucur keluar dari pundak sebelah kiri. 

Untung saja Badar masih sempat menggeser 

kakinya sedikit, sehingga sabetan ujung kipas 

Rengganis tidak melebar ke dada yang mungkin 

dapat mengakibatkan bayi di dalam pelukan 

Badar terluka. 

"Serahkan bayi itu, Badar! Atau kau akan 

mati di sini," ancam Rengganis dingin. 

Badar melangkah mundur. Sementara di 

sekitarnya telah banyak orang dengan senjata 

siap merejam tubuhnya. Punggungnya semakin 

merapat ke dinding perahu. Diam-diam Badar 

mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong 

perahu dengan punggungnya. Sedikit demi 

sedikit perahu itu mulai bergerak. Seorang pun 

tak ada yang memperhatikannya. Mungkin mereka 

tengah diliputi perasaan tegang. 

"Hup!" 

Tiba-tiba saja Badar melompat naik ke atas 

perahu, tapi sebatang anak panah telah lebih


cepat mendesing. Tak ayal lagi, anak panah itu 

menancap tepat di punggung Badar. 

"Bunuh dia!" perintah Rengganis berteriak. 

Badar meletakkan bayi yang ada dalam 

pelukannya ke dasar perahu, kemudian 

diambilnya kayu. Dengan sisa-sisa tenaganya. 

Badar mengayuh perahu itu di tengah-tengah 

hujan anak panah dan tombak yang berdesingan 

di sekitarnya. Badar terus mengayuh tanpa 

peduli lagi dengan ancaman dan keadaan 

tubuhnya. 

"Akh!" lagi-lagi Badar memekik tertahan 

ketika sebatang anak panah kembali menancap di 

lambung belakangnya. 

Belum juga dapat menegakkan tubuhnya, satu 

batang anak panah kembali menembus tubuh Badar 

bagian perut. Badar terus mengayuh dan tidak 

peduli lagi dengan darah yang mengucur semakin 

deras. Tekadnya adalah menyelamatkan bayi 

dalam gendongannya walaupun bibirnya meringis 

menahan sakit yang tiada tara pada sekujur 

tubuhnya. Sementara perahu terus membawanya 

semakin jauh meninggalkan pesisir. Hujan anak 

panah dan tombak telah mulai reda, bahkan kini 

telah berhenti sama sekali. Badar menoleh ke 

belakang. Tampak orang-orang berhati kejam 

masih berdiri berjajar di sepanjang partai. 

"Kalian akan menerima perinbalasannya 

kelak...!" teriak Badar sambil mengerahkan 

tenaga dalam terakhirnya! 

Suara Badar menggema keras tersapu angin 

laut. Semua orang yang masih berjajar di tepi 

pantai mendengar jelas ancaman itu, tapi tak 

seorang pun yang mempedulikannya. Perahu terus 

membawa Badar dan bayi itu ke arah Pulau 

Neraka. Mereka semua tahu, kecil kemungkinan 

untuk selamat jika memasuki kawasan pulau itu.


Kalaupun kembali, pasti hanya mayatnya saja 

yang hanyut terbawa ombak. 

Badar menyadari betul hal itu. Dia 

berusaha mengayuh perahu untuk menghindari 

pulau itu. Tapi seperti ada gelombang yang 

amat kuat, perahu itu malah seperti tersedot 

dan bergerak sendiri ke pulau itu. Badar 

berhenti mengayuh. Tubuhnya semakin melemah. 

Pandangan mata Badar mulai berkurang-kunang. 

Namun murid utama Padepokan Teratai Putih itu 

masih sempat merasakan kalau perahu yang 

ditumpanginya terombang-ambing menuju Pulau 

Neraka. 

Badar segera mengambil bayi yang 

tergeletak didasar perahu. Dengan sisa-sisa 

tenaganya, dia langsung melompat ke luar 

sebelum perahu hancur menabrak batu karang 

yang berwarna merah bagai terbakar. Badar 

jatuh bergulingan di atas pasir merah dan 

keras, namun bayi dalam pelukannya tidak 

terlepas. 

"Oh, Tuhan.... Jika memang harus mati di 

sini, aku pasrah. Tapi janganlah kau cabut 

nyawa bayi ini," lirih suara Badar. 

Susah payah Badar berusaha berdiri. 

Bibirnya selalu meringis menahan sakit jika 

bergerak sedikit saja. Tiga anak panah yang 

menghunjam tubuhnya, terasa seperti menyayat-

nyayat. Badar berusaha melangkah menjauhi 

pantai Pulau Neraka. Baru saja kakinya 

berjalan beberapa tindak, tubuhnya kembali 

tersungkur. Akibatnya, bayi dalam pelukannya 

terlepas jatuh. Aneh! Bayi itu tidak menangis! 

Dia malah tersenyum lebar menggerak-gerakkan 

tangannya. Badar merayap mendekati bayi itu 

sambil menahan sakit yang tiada tara di 

tubuhnya.


"Bayu..., rasanya aku sudah tidak kuat 

lagi. Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu 

sendirian di sini," ujar Badar sendu. 

Bayi itu seperti mengerti kata-kata Badar. 

Dia hanya diam, sedangkan matanya yang bening 

indah berputar-putar merayapi wajah Badar. 

Senyumnya tidak lagi mengembang. 

"Kau harus hidup, Bayu! Harus...! Akh!" 

Badar meringis menahan sakit. "Tidak ada lagi 

yang bisa membalas kematian orang tuamu, 

kecuali engkau kelak! Kau harus hidup, Bayu. 

Balaslah semua kekejaman ini...," suara Badar 

semakin lemah. 

Badar tidak kuat lagi menahan tubuhnya. 

Dia hanya mampu tergolek di samping bayi yang 

terbungkus kain sutra halus merah muda. 

Jangankan mengangkat tubuh, untuk mengangkat 

tangan saja Badar sudah tidak mampu lagi. 

Sementara batuk-batuk yang lemah mulai 

mengiringi ajalnya. Matanya semakin berkunang-

kunang. Pasir pantai yang direbahinya ierasa 

semakin panas. Padahal, matahari hampir 

tenggelam di balik cakrawala. 

"Bayu! Kau harus hidup, Nak! Kau harus 

jadi seorang pendekar! Carilah nama-nama yang 

kutulis ini! Merekalah yang membunuh ayah dan 

ibumu! Mereka semua kejam! Mereka juga 

menghancurkan Padepokan Teratai Putih milik 

ayahmu. Kau pewaris tunggal Padepokan Teratai 

Putih, Bayu...," suara Badar semakin lemah dan 

sulit didengar. 

Badar merobek bajunya. Dengan darahnya 

sendiri, dituiislah beberapa nama. Tapi belum 

juga selesai, tubuhnya telah mengejang kaku. 

Badar sempat meletakkan kain bertuliskan 

beberapa nama di atas tubuh bayi itu sebelum 

maut menjemputnya. Ketika dia menghembuskan 

napas yang terakhir, pecahlah tangis bayi


dengan suara yang melengking. Bayi itu seperti 

mengerti kalau orang yang berjuang 

menyelamatkan nyawanya telah pergi 

meninggalkan dunia yang fana ini. 

Tangis bayi itu begitu keras dan 

melengking. Angin pun seperti tersentak dan 

berhenti bertiup. Tangisan itu membuat suasana 

Pulau Neraka begitu menyayat. Sementara 

matahari semakin tenggelam di ufuk Barat. 

Sinarnya yang membias merah menambah angkernya 

Pulau Neraka. Dan suara tangisan bayi itu 

masih terdengar diselingi dengan ombak yang 

menjilat pantai. Sementara jauh dari pulau 

berwarna merah itu, tampak tokoh-tokoh rimba 

persilatan mulai meninggalkan pesisir pantai. 

Sedangkan Rengganis masih berdiri menatap ke 

arah pulau itu. Dari pesisir pantai ini, 

begitu jelas terlihat kalau perahu yang 

membawa Badar dan bayi putra tunggal Dewa 

Pedang hancur berkeping-keping. Rengganis 

tersenyum lebar. Dia yakin betul kalau dua 

manusia yang berada dalam perahu telah tewas 

di Pulau Neraka yang angker dan penuh misteri 

itu. 

Rengganis masih berdiri menatap ke arah 

pulau ditemani tiga saudara pengikut setianya. 

Sementara tokoh-tokoh rimba persilatan yang 

lainnya telah sejak tadi meninggalkan tepian 

pantai itu. Rengganis baru menoleh dan 

berbalik setelah semua orang tidak terlihat 

lagi. 

"Ayo kita pulang," ajak Rengganis seraya 

melangkah. 

"Kemana, Nyai?" tanya Ganis. "Ke tempat 

tanah kelahiranku!" 

***


Senja telah merambat menjadi malam. Angin 

berhembus kencang membawa hawa dingin ke 

sekitar pantai Pulau Neraka. Dua jasad manusia 

masih tergolek di pasir merah di bawah siraman 

cahaya bulan. Yang seorang telah tewas. 

Tubuhnya berlumuran darah tertembus tiga anak 

panah. Sedangkan yang seorang lagi adalah bayi 

laki-laki terbungkus kain sutra halus berwarna 

merah muda. Agaknya bayi itu masih hidup. 

Di atas batu karang tinggi yang tidak jauh 

dari pantai itu, berdiri sosok manusia 

bertubuh bulat bagai bola. Kakinya yang 

buntung sampai sebatas paha, nampaknya-cukup 

kokoh menopang berat badannya. Dalam 

keremangan cahaya bulan, terlihatlah kalau 

kedua matanya tertutup rapat. Buta. Rambutnya 

yang merah panjang, melampai-lambai 

dipermainkan angin. Dengan perasaannya yang 

tajam, jelas sekali kalau dia tengah mengamati 

dua sosok manusia yang terbaring di pasir 

pantai. 

Bagai bola karet yang ditendang, tubuh 

orang buntung itu melentur turun dari batu 

karang yang berdiri angkuh itu. Hanya dengan 

dua lentingan saja, dia telah sampai di tepi 

pantai dekat dengan tubuh yang tewas. 

"Aku terpaksa menyeret perahumu ke sini, 

Kisanak! Semua keluhanmu telah kudengar," 

suaranya berat tanpa nada sedikit pun. 

Laki-laki cacat itu meraba-raba tubuh 

Badar yang sudah tidak bernyawa lagi. 

Kepalanya menggeleng-geleng. Dilompatinya 

tubuh yang sudah kaku itu. Kini dia menghadapi 

sosok bayi merah yang diam tenang. Kembali 

tangannya meraba-raba. Kening laki-laki 

buntung itu agak berkerut ketika tangannya



menyentuh kulit halus bayi yang kelihatan 

tidur pulas. Mungkin bayi itu terlalu lelah 

setelah menangis seharian. 

"Bayi...?! Jadi, inikah keluhannya...?" 

gumam laki-laki buntung dan buta itu pelan. 

Kemudian diangkatnya bayi itu. Tangannya 

mendekap erat tubuh bayi yang kelihatannya 

kedinginan. Jari-jari tangan laki-laki itu 

mulai merayapi tubuh bayi dalam dekapannya. 

Keningnya kembali berkerut begitu menyentuh 

kain yang penuh noda darah yang membentuk 

tulisan. Sejenak dimiringkan kepalanya, lalu 

dimasukkan kain itu ke balik sabuknya. 

Tangannya kembali merayap ke seluruh tubuh 

bayi itu. 

"Masih hidup, dan.... Ah! Laki-laki!" 

serunya gembira. 

Laki-laki aneh itu mendongakkan kepalanya, 

seperti hendak memandang bulan. Sebentar 

kemudian wajahnya tertunduk seperti ingin 

melihat rupa bayi dalam dekapannya. Entah 

mengapa, tiba-tiba saja raut wajahnya yang 

buruk kelihatan murung. 

"Dari keluhan orang yang bersamamu, kau 

bernama Bayu, Bocah! Ah..., seandainya.... Uh! 

Tidak! Aku tidak boleh mengingatnya kembali. 

Semuanya telah terkubur di Pulau Neraka ini!" 

Laki-laki itu seperti teringat sesuatu, 

tapi cepat-cepat ditelannya kembali. Jari-jari 

tangannya yang kasar kini membelai-belai pipi 

halus bayi yang bagai sutra itu. 

"Aku akan merawatmu, Anak Manis. Susunan 

tulang-tulangmu sangat bagus. Mari, Anak 

Manis. Kita pulang ke pondok. Kau akan senang 

tinggal di sini," katanya setengah berbisik. 

Kaki orang itu melangkah pelan 

meninggalkan jasad Badar yang sebentar-

sebentar dijilat ombak.


"Bayu... Ah! Kau tampan mirip dengan 

anakku, Hanggara. Hm.... Bayu Hanggara.... Ya! 

Namamu Bayu Hanggara!" bisik orang itu lagi. 

Sehabis berkata demikian laki-laki cacat 

itu melentingkan tubuhnya. Meskipun kakinya 

buntung hingga sebatas paha, namun gerakannya 

begitu gesit dan sukar untuk diikuti oleh mata 

biasa. Dalam sekejap saja ia telah hilang di 

balik batu-batu karang yang tersebar di 

sekitar pantai Pulau Neraka ini. 

*** 

Bulan telah berlalu, dan tahun demi tahun 

telah teriewati. Kari terus berpacu cepat 

Tanpa terasa dua puluh tahun telah dilalui 

oleh bayi mungil yang bernama Bayu. Dia kini 

telah menjelma menjadi seorang pemuda berwajah 

tampan. Kulitnya kuning bersih. Namun di balik 

wajah dan tubuhnya yang tegap itu, tersirat 

sorot mata yang keras dan tajam. Rambutnya 

yang panjang dibiarkan meriap dengan ikat 

kepala dari kulit harimau. Tubuhnya yang tegap 

dihiasi oleh otot-otot yang bersembulan. 

Bajunya yang terbuat dari kulit harimau, 

menutupi badannya. Lengannya yang kokoh 

dibiarkan telanjang, seolah-olah ingin 

memperlihatkan kejantanannya. 

Sementara kini senja telah merayap turun. 

Matahari dengan sinarnya yang merah Jingga 

mulai bergerak meluncur ke peraduannya. Pemuda 

tegap berbaju harimau itu berdiri tegak 

memandang ke laut lepas di atas sebongkah batu 

karang berwarna merah bagai terbakar. Tidak 

jauh dari situ, juga berdiri seorang laki-laki 

tua bertubuh gemuk pendek bagai bola. Tubuhnya 

tertopang oleh kakinya yang buntung sampai ke 

paha. Wajahnya juga menghadap ke laut lepas,


tapi tanpa melihat apa-apa karena sepasang 

matanya memang buta. Hanya perasaannya yang 

tajam mampu melihat keadaan sekelilingnya. 

"Rasanya telah hampir malam. Kau tidak 

ingin pulang, Bayu?" kata laki-laki yang cacat 

itu. 

"Hhh...!" pemuda yang bernama Bayu itu 

hanya menarik napas panjang seraya menoleh 

kepada laki-laki tua di dekatnya. 

"Seharian kau berdiri di sini, Bayu 

Hanggara! Boleh aku tahu, apa yang sedang kau 

pikirkan?" 

"Tidak ada, Eyang Gardika," sahut Bayu 

mendesah pelan. 

"Aku dapat merasakan ada sesuatu pada nada 

suaramu, Bayu. Katakanlah terus terang, apa 

yang menjadi beban pikiranmu?" desak laki-laki 

tua yang dipanggil Eyang Gardika. 

Lagi-lagi Bayu menarik napas panjang. Dia 

memang sedang memikirkan sesuatu, tapi sulit 

untuk mengungkapkannya. Sejak masih bayi merah 

dia dirawat dan dididik oleh laki-laki tua 

penuh misteri ini, di Pulau Neraka Memang 

terlalu banyak yang di pikirkan Bayu, tapi 

hanya satu masalah yang selalu mengganjal 

hatinya. Sampai saat ini dia tidak tahu siapa, 

dari mana, dan bagaimana orang tuanya. Juga, 

dia tidak tahu asal-usul laki-laki tua cacat 

ini. Dua puluhh tahun tinggal bersama-sama, 

tapi Bayu sedikit pun tidak tahu seluk-beluk 

diri Eyang Gardika. 

"Eyang tidak marah jika aku ingin 

mengatakan suatu?" nada suara Bayu terdengar 

ragu-ragu. 

"Kau satu-satunya cucuku, Bayu. Katakan 

saja semua yang ada di dalam hatimu," jawab 

Eyang Gardika. Nada suaranya lembut, namun 

terdengar berat.


"Eyang selalu mengatakan bahwa aku ini 

adalah cucu mu, itu berarti aku mempunyai 

orang tua, ayah dan ibu. Eyang tahu, di mana 

ayah dan ibuku sekarang berada?" 

Eyang Gardika tidak segera menjawab. 

Ingatannya kembali pada kejadian dua puluh 

tahun yang silam. Saat itu dia sedang 

berjalan-jalan mengelilingi Pulau Neraka ini. 

Tiba-tiba saja perasaannya yang tajam 

mengatakan ada sebuah perahu menuju ke pulau 

ini. Dengan kekuatan tenaga dalam, ditariknya 

perahu yang berisi dua tubuh itu. Seorang 

dengan luka di badan dan telah mati, seorang 

lagi adalah bayi merah. 

Biasanya kalau ada perahu yang mendekati 

Pulau Neraka, Eyang Gardika akan menghancurkan 

dan membunuh penumpangnya. Tapi karena 

telinganya yang tajam mendengar suara rintihan 

dan keluhan disertai tangisan bayi, hatinya 

merasa tersentuh. Pada saat itu dia memang 

teringat pada putranya sendiri yang kini entah 

bagaimana nasibnya. 

Eyang Gardika membalikkan tubuhnya, lalu 

berjalan tertatih-tatih dengan sepasang 

kakinya yang buntung. Raut wajahnya langsung 

berubah. Wajah angker tanpa senyum sedikit 

pun, terlihat semakin seram. Kening Bayu 

menjadi berkernyit, lalu buru-buru terbalik 

dan mensejajarkan langkahnya pelan-pelan di 

samping laki-laki tua cacat itu. 

"Maaf, Eyang. Aku tidak bermaksud 

membuatmu sedih," ujar Bayu menyesal. 

"Aku tidak sedih. Kau memang sudah 

selayaknya mengetahui tentang hal itu. Hm..., 

berapa usiamu sekarang?" 

"Aku..., aku tidak tahu, Eyang," jawab 

Bayu kebingungan.


"Ya. Kau memang tidak pernah tahu usiamu, 

Bayu...," ujar Eyang Gardika lirih. 

"Kalau Eyang bersedia, tolong ceritakan 

tentang diriku sendiri, Eyang," pinta Bayu 

penuh harap. 

"Aku tidak tahu persis, Bayu. Engkau 

kutemukan bersama seseorang yang telah mati, 

tergeletak di pantai Pulau Neraka ini. Tapi 

mudah-mudahan saja kisahku nanti ada 

hubungannya dengan asal-usul dirimu. Dan 

sebaiknya kita kembali dulu ke pondok," jawab 

Eyang Gardika. 

Bayu tidak bisa membantah. Kakinya terus 

melangkah pelan-pelan mengimbangi ayunan 

langkah Eyang Gardika di sebelahnya. Saat itu 

matahari telah menenggelamkan dirinya di 

belahan bumi bagian Harat. Sinarnya yang 

memerah kini digantikan oleh kepekatan malam. 

Bulan pun muncul bersama kelap-kelip bintang 

menambah indahnya malam. Namun di Pulau Neraka 

itu tetap saja sunyi sepi. Sedikit pun tak 

terdengar nyanyian binatang-binatang malam. 

Pulau itu bagaikan tidak berpenghuni saja. 

Entah sudah berapa lama Bayu duduk 

membisu. Matanya tidak lepas pada secarik kain 

penuh tulisan oleh darah yang mengering. 

Tulisan itu berisi beberapa nama. Kalau saja 

Eyang Gardika tidak menceritakan artinya, 

tentu dia tidak akan tahu maksudnya. Nama-nama 

yang tertulis di kain itu adalah orang-orang 

yan lelah membunuh kedua orang tua Bayu! 

Bayu baru mengangkat kepalanya ketika 

pundaknya ditepuk. Pandangan matanya langsung 

tertuju pada Eyang Gardika yang duduk tepat di 

hadapannya. Bayu menyimpan kain bertuliskan 

beberapa nama itu ke balik ikat pinggangnya. 

Wajahnya yang kaku keras, semakin terlihat


menegang. Garis-garis kekerasannya semakin 

nampak nyata. 

"Bayu, Aku dulu juga seorang tokoh hitam 

dalam rimba persilatan. Sudah tak terhitung 

lagi, berapa nyawa yang telah kucabut. Bahkan 

banyak gadis yang telah menjadi korban 

kebuasanku. Kau tahu, Bayu. Semua yang 

kulakukan tidak punya arti dan maksud yang 

pasti. Aku sendiri tak tahu, untuk apa 

kulakukan semua itu," ungkap Eyang Gardika, 

pelan dan berat suaranya. 

"Lantas, mengapa Eyang bisa sampai di 

sini?" tanya Bayu. Matanya menatap kedua kaki 

dan mata Eyang Gardika secara bergantian. 

"Dalam pengembaraanku di sebuah desa yang 

tidak begitu ramai, aku terpikat pada seorang 

gadis yang lugu dan sedernana. Aku sendiri tak 

mengerti mengapa aku begitu lemah di 

hadapannya. Biasanya jika aku melihat seorang 

gadis dan menginginkannya, maka segala cara 

akari kutempuh. Tapi yang ini lain. Sungguh 

lain sekali! Aku begitu mencintainya. Kau 

tahu, Bayu. Ternyata dia juga mencintaiku! 

Memang tidak ada persoalan yang berarti dalam 

hubunganku dengan gadis itu. Kami menikah di 

desa itu juga, dan menetap di sana. Sejak 

itulah kutinggalkan dunia persilatan, dan 

hidup damai bersama istriku," Eyang Gardika 

terdiam sebentar sebelum melanjutkan 

ceritanya. 

Bayu juga diam, menunggu dengan sabar. 

"Tapi, meskipun aku telah bertobat dan 

melupakan semua masa laluku, ternyata dosa-

dosaku tak terampuni. Sebuah malapetaka telah 

menimpa keluargaku. Saat itu anak pertamaku 

baru saja lahir, sedangkan aku sedang berada 

di ladang. Sebuah kepulan asap hitam terlihat 

olehku yang nampaknya berasal dari rumahku.


Perasaanku tidak enak. Cepat-cepat aku berlari 

pulang. Lalu, apa yang terjadi Bayu...? 

Rumahku habis terbakar, dan istriku telah 

terbunuh. Di sekitar rumahku telah menunggu 

tidak kurang dari tiga puluh tokoh sakti rimba 

persilatan. Tanpa senjata kebanggaanku, aku 

memang tidak berarti apa-apa buat mereka. 

Namun demikian aku berhasil menewaskan mereka 

lebih dari separuhnya. Akhirnya aku berhasil 

ditaklukkan, dan mereka membuntungi kedua 

kakiku serta membutakan kedua mata ku. Saat 

itu yang kuinginkan hanya satu. Kematian! Tapi 

rupanya Yang Maha Kuasa belum mengijinkan. Aku 

tetap diberi hidup. Kemudian, kutinggalkan 

desa itu setelah kutemukan senjata andalanku." 

Eyang Gardika menunjukkan sebuah senjata 

berbentuk cakra segi enam yang menempel pada 

pergelangan tangan kanannya. 

"Mengapa mereka mengeroyokmu. Eyang?" 

tanya Bayu. 

"Sudah menjadi kehidupan orang-orang rimba 

persilatan, Cucuku. Mereka sadar bahwa 

kehadiranku merupakan ancaman yang harus 

dimusnahkan...," jawab Eyang Gardika pelan. 

"Lagi pula mungkin mereka memang dendam 

kepadaku. Mungkin ada keluarga, anak, istri, 

atau teman mereka yang tewas di tanganku." 

"Lalu, di mana sekarang anakmu, Eyang?" 

tanya Bayu 

"Entahlah. Sampai saat ini aku tidak 

pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin masih 

hidup, mungkin juga telah mati terbakar 

bersama rumahku," lirih suara Eyang Gardika. 

Bayu kembali merenung. Penderitaan yang 

dialami kekek angkat sekaligus gurunya ini, 

ternyata lebih tragis daripada yang 

dialaminya. Bayu benar-benar merasakan hal 

itu. Mereka memang sama-sama kehilangan orang



orang yang dicintai. Hanya bedanya, Bayu tidak 

menyaksikan pembantaian orang tuanya. 

"Eyang, bagaimana kau bisa sampai ke Pulau 

Neraka ini?" tanya Bayu. 

"Desa tempat tinggalku memang tidak jauh 

dari Pesisir Pantai Selatan. Saat itu aku 

memang tidak mempunyai tujuan yang pasti, 

setelah aku berhasil meloloskan diri. Kedua 

kakiku buntung, dan kedua mataku buta. Kau 

bisa bayangkan, bagaimana penderitaanku saat 

itu. Aku bisa sampai ke Pulau Neraka ini 

secara kebetulan saja. Perahu yang kunaiki 

entah bagaimana membawaku ke sini. Di pulau 

ini aku rasanya seperti sudah mati saja. 

Dengan keadaan tubuh yang tidak lengkap lagi, 

rasanya sulit untuk mempertahankan hidup di 

pulau yang tidak berpenghuni dan ganas ini. 

Tapi aku berusaha untuk tetap hidup. Setelah 

tubuhku pulih, aku berusaha melatih jurus-

jurusku. Entah bagaimana, di hatiku malah 

tumbuh rasa dendam. Dan itu memang berakibat 

fatal. Setiap orang yang mencoba memasuki 

daerah Pulau Neraka, kubunuh tanpa ampun! 

Tidak peduli siapa yang datang. Bertahun-tahun 

kujalani hidup seperti itu. Sejak saat itu, 

nama Pulau Neraka semakin ditakuti semua 

orang. Bukan saja penduduk desa, tapi juga 

orang-orang rimba persilatan. Tidak seorang 

pun yang berani datang ke pulau ini lagi." 

"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Bayu 

yang belum pernah melihat gurunya membunuh 

orang selama dia tinggal di sini. Pada 

kenyataannya, memang tidak seorang pun yang 

berani datang ke pulau angker ini! 

"Dengan ketajaman telinga dan senjata 

andalanku ini," jawab Eyang Gardika 

menunjukkan kembali senjata aneh di tangan 

kanannya. Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.


Jawaban gurunya memang bisa dipercaya, karena 

memang telah terbukti kedahsyatan senjata itu. 

Dan lagi, ketajaman pendengaran Eyang Gardika 

memang luar biasa Dari pondok di tengah-tengah 

pulau ini, dia bisa mendengar apa saja yang 

terjadi di sekeliling pulau. Bahkan perahu 

kecil yang coba-coba mendekat pun bisa 

diketahuinya dengan jelas. Entah ilmu apa yang 

digunakan. Yang jelas, Bayu belum mampu 

mempelajarinya. 

"Bayu, kau ingin mencari pembunuh orang 

tua mu?" tanya Eyang Gardika setelah terdiam 

beberapa saat. 

"Benar, Eyang," jawab Bayu mantap. 

"Kau tahu siapa mereka?" 

Bayu hanya menggelengkan kepalanya. "Yang 

tertulis pada secarik kain hanya sebagian 

saja. Aku yakin masih banyak yang terlibat. 

Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama 

untuk memburu mereka. Bahkan tidak mustahil di 

antara mereka telah ada yang tewas. Saat itu 

kau masih bayi, dan kukira usiamu baru 

beberapa hari. Sekarang usiamu telah dua puluh 

tahun! Tidak semua orang bisa berumur panjang, 

Bayu. Kurasa dendammu sudah tidak ada gunanya 

lagi," ujar Eyang Gardika pelan. 

"Aku akan berusaha mencari mereka, Eyang, 

tekad Bayu "Bahkan kalau bisa dendam dan sakit 

hatimu akan kubalaskan." 

"Kau belum cukup mampu untuk terjun dalam 

rimba persilatan, Bayu. Kuasailah dulu seluruh 

ilmu-ilmuku. Mungkin dua atau tiga tahun lagi, 

kau baru mampu," kata Eyang Gardika. 

Bayu terdiam. 

"Semua ilmu yang kuwariskan padamu, 

beraliran hitam. Tapi sebaiknya kau gunakan 

untuk membela kebenaran. Hanya saja sifat 

buruk ilmuku tidak mungkin luntur meskipun kau


berhati emas. Tindakanmu tidak akan jauh 

berbeda dengan orang-orang beraliran sesat! 

Untuk itu, pandai-pandailah membawa diri agar 

tidak menarik perhatian gotongan putih yang 

pasti akan memburu dan melenyapkanmu." ungkap 

Eyang Gardika memberi penjelasan. 

"Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu. 

"Bagus! Kalau niat hatimu telah mantap, 

persiapkanlah dirimu. Setelah itu, baru kau 

boleh meninggalkan Pulau Neraka ini. Rimba 

persilatan sangat ganas 

dan berlumur darah. Kau akan kuberi bekal 

yang harus dikuasai penuh." 

"Terima kasih, Eyang." 

*** 

Eyang Gardika tersenyum-senyum 

memperhatikan Bayu berlatih jurus-jurus dengan 

penuh semangat. Semua ilmu yang dimilikinya 

sudah diturunkan pada pemuda itu. Hebatnya, di 

tangan Bayu ilmu-ilmu Eyang Gardika kelihatan 

lebih mantap dan sempurna. Hal ini bisa 

terjadi karena usia Bayu yang masih muda lagi 

cerdas. Dia cepat menyerap semua yang 

diajarkan kakek angkat, sekaligus guru 

tunggalnya. 

Sampai saat ini, Eyang Gardika telah cukup 

puas dengan keperkasaan Bayu. Walaupun dia 

tidak bisa melihat, namun hati dan 

pendengarannya lebih peka daripada orang 

biasa. Sementara hari telah senja. Bayu baru 

saja selesai menyempurnakan jurus terakhir 

yang diberikan Eyang Gardika. Keringat masih 

menetes membasahi tubuhnya. Dia berlari-lari 

menghampiri laki-laki tua cacat yang duduk di 

atas batu karang merah.


"Awas..!" tiba-tiba Eyang Gardika 

berteriak keras sambil menghentakkan tangan 

kanannya. 

Bayu tersentak kaget. Cakra kuning bersegi 

enam di pergelangan tangan kanan Eyang Gardika 

meluncur deras ke arahnya. Cakra itu berputar 

melayang dengan suara mendesing menggetarkan 

hati. Dengan cepat Bayu menjatuhkan tubuhnya 

ke samping menghindari terjangan senjata 

dahsyat gurunya itu. 

"Hup!" 

Dengan sigap Bayu bangkit berdiri. Namun 

tanpa diduga sama sekali, cakra itu berbalik. 

Seperti bermata saja, cakra Eyang Gardika 

meluncur deras ke arah pemuda itu. Bayu 

memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari 

terjangan senjata itu. Beberapa helai rambut 

lagi, ujung-ujung runcing cakra itu akan 

menyobek dadanya. 

"Hih!" 

Bayu mendesis terpana merasakan desiran 

angin senjata cakra itu. Tubuhnya bergidik 

kedinginan. Desiran angin senjata itu tidak 

saja menimbulkan hawa yang sangat dingin, tapi 

juga dapat menyengat bagai mengeluarkan cahaya 

panas membakar kulit! Benar-benar aneh senjata 

laki-laki cacat itu. 

Eyang Gardika mengangkat tangan kanannya 

keatas. Maka senjata berupa lingkaran yang 

mempunyai ujung runcing bengkok berjumlah enam 

itu pun melesat kembali ke arahnya. Seperti 

bernyawa saja, senjata cakra itu menempel di 

pergelangan tangan Eyang Gardika yang memakai 

gelang berwarna keperakan. 

"Eyang...," suara Bayu tersekat di 

tenggorokan. 

"Bagus! Kau mampu menghindarinya, Bayu! 

Sekarang, tahanlah serangan berikut!"


"Eyang...!" . 

Bayu tidak sempat lagi mencegah. Dia tidak 

mengerti, kenapa Eyang Gardika seperti ingin 

membunuhnya. Laki-laki buntung dan buta itu 

sudah menghentakkan tangan kanannya kembali. 

Maka, senjata cakra itu pun kembali meluncur 

deras ke arah Bayu. Buru-buru pemuda itu 

memiringkan tubuhnya ke kiri, dan senjata itu 

hanya menemui tempat kosong di depan dadanya. 

Belum sempat berpikir, senjata itu telah 

berbalik berputar menyerang kembali dengan 

cepat. "Uts!" 

Bayu menjatuhkan tubuhnya ke samping dan 

bergulingan di atas tanah berpasir. Kembali 

senjata itu hanya menembus ruang kosong. 

Seperti bermata saja, senjata itu berbalik, 

dan dengan cepat mengejar kembali. Bayu 

menjumput sebongkah batu karang di dekatnya, 

lalu melemparkannya ke arah senjata itu. 

Matanya membeliak terkejut karena senjata itu 

tidak terpengaruh sedikit pun. Batu karang 

yang dilemparkan hancur berkeping-keping tanpa 

menghambat laju senjata itu. 

"Hiyaaa...!" 

Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan 

senjata itu lewat di bawah kakinya. Namun 

belum juga kakinya bisa menjejak tanah, 

senjata itu sudah kembali menyerang. Sementara 

udara di sekitarnya menjadi terasa dingin. 

Tapi pada kenyataannya kulit Bayu malah terasa 

terbakar. Benar-benar aneh dan dahsyat senjata 

Eyang Gardika ini! 

Bayu yang berada dalam posisi tidak 

menguntungkan, tidak punya pilihan lain lagi. 

Dengan cepat diangkat kedua tangannya ke depan 

dada. Pada saat itu, senjata cakra milik Eyang 

Gardika telah meluncur dan siap menghujam 

dadanya. Dan...


Bayu menangkap senjata itu dengan kedua 

tela pak tangannya. Aneh! Senjata cakra yang 

dahsyat itu langsung berhenti bergerak. Bayu 

memandangi senjata itu sejenak, lalu berbalik 

menghadap Eyang Gardika yang tetap berdiri di 

atas kedua kakinya yang buntung. Tampak lelaki 

tua itu hanya tersenyum saja 

"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Eyang 

Gardika tertawa terbahak-bahak tanpa sebab. 

"Eyang...." Bayu menghampiri. "Tidak 

seorang pun yang berhasil menangkap cakra. 

Rupanya sudah waktunya cakra berpindah 

tangan," kata Eyang Gardika setelah reda 

tawanya. 

Bayu memandangi senjata di tangannya dan 

Eyang Gardika secara bergantian. Dia masih 

belum mengerti kata-kata kakek angkatnya. 

Senjata yang bernama 'Cakra' itu sungguh luar 

biasa. Memang, biasanya tidak ada satu makhluk 

pun yang dapat lolos dari ancaman senjata itu 

jika telah meluncur dari tangan pemiliknya. 

"Kemarilah, Bayu," panggil Eyang Gardika. 

Bayu melangkah menghampiri laki-laki tua cacat 

itu, lalu segera duduk bersila di hadapan 

gurunya. Tangan kanannya masih menggenggam 

senjata cakra. 

"Pakailah ini," kata Eyang Gardika seraya 

mencopot gelang berwarna perak dari tangan 

kanannya, lalu menyerahkannya kepada pemuda 

itu. Sejenak Bayu ragu-ragu, tapi akhirnya 

diterimanya juga. Gelang itu dikenakannya di 

pergelangan tangan kanan. Matanya agak 

menyipit Ketika gelang sudah dikenakannya, 

senjata cakra itu langsung bergerak dan 

menempel pada gelang itu. 

"Eyang, kenapa kau berikan senjatamu 

kepadaku?" tanya Bayu kurang mengerti.


"Kau sudah berhasil melumpuhkan senjataku, 

Bayu. Artinya, Cakra telah menjadi milikmu. 

Hanya orang yang bisa menangkap yang berhak 

menggunakannya! Dan orang itu adalah kau, 

Bayu!" jelas Eyang Gardika. 

"Eyang...," Bayu segera bangkit ketika 

mendengar suara batuk beruntun dari laki-laki 

cacat itu. 

Eyang Gardika mengangkat tangannya, 

mencegah Bayu yang ingin mendekat. Terpaksa 

anak muda itu duduk kembali. Wajah Eyang 

Gardika kelihatan berubah merah. Dia segera 

duduk. Dadanya terlihat bergerak turun-naik. 

dengan cepat Dari kening dan lehernya merembes 

keringat sebesar butir-butir jagung. Bayu 

kelihatan cemas melihat keadaan kakek 

angkatnya irii. Dia tidak mengerti, kenapa 

tiba-tiba saja Eyang Gardika seperti terserang 

demam. 

"Eyang.... Eyang sakit?" tanya Bayu agak 

bergetar suaranya. 

"Tenanglah, Bayu. Jangan cemas. Aku tidak 

apa-apa," kata Eyang Gardika lemah suaranya. 

"Eyang..., sebaiknya segera kembali ke 

pondok," kata Bayu tidak bisa tenang. 

Eyang Gardika hanya tersenyum dan 

menggeleng-gelengkan kepalanya. Terdengar 

batuknya beberapa kali. Bayu tidak bisa 

berbuat apa-apa. Setiap kali Bayu akan bangkit 

menolong, tapi sudah keburu dicegah. Eyang 

Gardika merasakan adanya gerakan halus. 

Gerakan yang seperti mengajaknya pergi. 

Pendengarannya begitu tajam. Dia dapat 

membedakan gerak sehalus apa pun. 

"Dengarkan baik-baik, Bayu. Rasanya saatku 

sudah tiba...," Eyang Gardika terbatuk lagi. 

"Besok, di saat fajar menyingsing, kau harus



meninggalkan Pulau Neraka ini. Saat itu kau 

tidak akan menemukan aku lagi." 

"Eyang...!" sentak Bayu terkejut. 

"Tidak perlu terkejut, Bayu. Sudah saatnya 

aku meninggalkan dunia ini." Eyang Gardika 

paham kalau Bayu belum siap mendengar kata-

katanya yang mengejutkan itu. 

"Eyang..., kenapa begitu mendadak sekali?" 

tanya Bayu seperti orang tolol. 

"Jangan bodoh, Bayu! Setiap makhluk yang 

bernyawa pasti akan kembali pada pencipta-Nya. 

Mereka semua juga akan mati dan hancur kembali 

ke asalnya. Aku tidak ingin kau kehilangan 

semangat hanya karena kepergianku!" bentak 

Eyang Gardika. 

"Tapi...," suara Bayu tersekat di 

tenggorokan. 

"Bayu! Seluruh hidup dan nyawaku ada pada 

gelang cakra itu. Aku bisa tetap hidup karena 

gelang itu tidak terlepas dari tanganku. Dan 

sekarang gelang itu sudah kau miliki, sudah 

sepatutnya kau pergi. Ingat, Baya Jangan 

sekali-sekali kau lepaskan gelang itu. Sekali 

saja kau lepas, berarti ajalmu sudah tiba. 

Seluruh hidup dan nyawamu sudah menyatu di 

dalam gelang itu. Dan pelindungnya hanyalah 

'Cakra'," kata Eyang Gardika menjelaskan. 

Bayu tidak bisa berkata-kata lagi. Dia 

kini mengerti, kenapa Eyang Gardika tiba-tiba 

jadi berubah. Rupanya gelang berwarna perak 

dan senjata Cakra ini merupakan satu kesatuan 

dari nyawanya. Dan sekarang gelang keramat ini 

sudah berada di tangannya. Bayu sadar, kalau 

nyawanya sekarang tergantung pada gelang 

keramat ini. Rasanya sulit untuk mempercayai, 

tapi bukti dan kenyataannya sudah terjawab di 

depan mata. Eyang Gardika segera merasa


ajalnya sudah tiba begitu gelang keramat 

dicopotnya. 

"Bayu...," panggil Eyang Gardika pelan. 

"Ya, Eyang!" sahut Bayu. 

"Bawa aku ke dalam goa dibelakang pondok. 

Biarkan kusempurnakan atmaku di sana. Ingat! 

Kau harus menutup mulut goa, dan jangan 

kembali lagi ke pulau ini," pesan Eyang 

Gardika. "Baik, Eyang." 

Suasana sebuah desa di Pesisir Pantai 

Selatan tidak seperti biasanya. Dermaga 

dipenuhi kapal besar. Para kuli angkut sibuk 

menurunkan barang-barang dari kapal. Anak-anak 

kecil berlarian bersuka ria di sepanjang 

pantai. Burung-burung camar pun seakan-akan 

ikut merasakan suasana ceria itu dengan 

melayang-layang di atas permukaan laut sambil 

memperdengarkan suaranya yang nyaring. 

Kesibukan dan keceriaan itu tampaknya 

terpusat pada sebuah kapal besar dan mewah 

yang bersandar pada dermaga. Di sekitar 

dermaga juga berjajar kereta yang ditarik 

kuda-kuda gagah dan tegap. Sepertinya pemilik 

kereta-kereta mewah itu adalah para saudagar 

kaya. Atau paling tidak pembesar kerajaan. Hal 

ini dapat dilihat dari banyaknya prajurit 

berpakaian seragam kerajaan yang mondar-mandir 

di sekitar situ. 

Di atas kapal besar dan mewah itu 

sepertinya sedang berlangsung pesta. Suara 

gamelan terdengar mengalun merdu, ditimpali 

gelak, tawa beberapa laki-laki dan cekikikan 

beberapa wanita. Di atas geladak, tampak 

berdiri seorang wanita cantik didampingi tiga 

orang laki-laki bertubuh tegap dan kekar.


Wanita itu sudah berusia sekitar empat puluh 

tahun. Tapi, wajah dan tubuhnya masih mampu 

membuat mata lelaki tidak berkedip 

memandangnya. 

"Tampaknya mereka menikmati pesta ini, 

Nyai," kata salah seorang laki-laki tegap yang 

menyandang pedang di pinggang. 

"Ya. Aku memang sengaja mengadakan pesta 

di kapal ini untuk memperingati dua puluh lima 

tahun hancurnya Padepokan Teratai Putih," 

sahut wanita itu. 

"Terus terang, Nyai. Aku heran, kenapa 

Nyai masih juga mengingat padepokan itu. Dan 

lagi, kenapa harus mengadakan pesta setiap 

tahun kalau hanya untuk mengenang saja?" kata 

seorang lagi yang membawa kapak. 

"Bagaimanapun juga, Padepokan Teratai 

Putih milik mendiang suamiku. Entahlah! Aku 

sendiri tidak tahu, kenapa rasanya sulit untuk 

melupakannya. Dewa Pedang begitu baik...," 

ungkap wanita itu yang ternyata adalah 

Rengganis. Sedangkan para lelaki di dekatnya 

adalah tiga saudara pengikut setianya. 

"Nyai merasa bersalah?" tebak Gamar yang 

membawa kapak. 

"Mungkin...," desah Rengganis. "Kenapa 

harus merasa bersalah, Nyai? Bukankah Nyai 

telah membalaskan kematian seluruh keluarga 

Nyai? Ingat, Nyai Dewa Pedang yang membantai 

seluruh keluargamu!" kata Gamar lagi. 

"Kalian ingat kata-kata Dewa Pedang yang 

terakhir?" Rengganis seperti bertanya pada 

dirinya sendiri. "Ya, ingat," jawab tiga 

saudara itu serempak. "Tapi itu kan hanya akal 

liciknya saja untuk mencuci tangan. Nyai," 

sambung Ganis. 

"Tidak, Ganis. Dewa Pedang benar. Dia 

memang ditugaskan untuk menangkap keluargaku


yang telah berkhianat pada kerajaan. Tapi 

tidak untuk menbunuh! Dia benar!" ungkap 

Rengganis. 

Ganis, Gamar, dan Ganang saling 

berpandangan. Mereka tidak mengerti, kenapa 

Rengganis jadi berubah pikiran setelah 

Padepokan Teratai Putih hancur. Bukankah hal 

itu memang telah direncanakan? Apalagi gerakan 

mereka juga didukung oleh tokoh-tokoh rimba 

persilatan yang merasa terganggu dengan adanya 

Padepokan Teratai Putih. 

Sementara itu, sebagian dari tokoh-tokoh 

rimba persilatan yang ikut mengobrak-abrik 

Padepokan Teratai Putih waktu itu, kini sedang 

berpesta-pora. Beberapa di antaranya malah 

sudah ada yang mabuk karena terlalu banyak 

minum tuak. Mereka kebanyakan telah menduduki 

jabatan penting dalam pemerintahan. 

"Aku sudah menanyakan hal ini pada Gusti 

Prabu. Pada kenyataannya, beliau membenarkan 

kalau Dewa Pedang mendapat tugas begitu. Gusti 

Prabu juga tahu kalau keluargaku bukan 

dibantai oleh Dewa Pedang. Pamanku sendirilah 

yang membantai seluruh keluargaku! Dia memang 

selalu menginginkan kedudukan Panglima Perang 

Kerajaan dengan memfitnah Dewa Pedang sebagai 

pembunuh keluargaku! Itulah yang kusesalkan 

sampai sekarang. Sayang, pamanku yang licik 

itu telah tewas di tiang gantungan." 

"Semuanya telah terjadi, Nyai. Tidak perlu 

disesalkan," kata Gamar mendesah. 

"Ya. Pesta ini kuadakan sebagai penebus 

rasa sesal dan dosaku Aku tidak punya cara 

lain lagi. Hanya ini yang dapat kulakukan," 

Rengganis juga mendesah pelan. 

Sementara pesta di atas kapal terus 

berlangsung. Tidak ada yang mengerti, kenapa 

Rengganis memilih


Pantai Selatan sebagai tempat pesta. 

Padahal, peristiwa yang dilakukannya terjadi 

di Gunung Tangkup, tempat Padepokan Teratai 

Putih dulu berdiri. Semua itu hanya tersimpan 

di dalam hati wanita berusia empat puluh tahun 

ini. Hanya dialah yang tahu. 

"Heh!" tiba-tiba Rengganis terkejut. 

Matanya menatap lurus ke tengah laut. 

Pandangannya tak berkedip pada sebuah pulau 

berwarna merah menyala bagai terbakar. 

"Ada apa, Nyai?" tanya tiga saudara itu 

serempak. Mereka langsung memandang ke arah 

yang sama. 

Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya 

beberapa kali, seakan-akan tidak percaya 

dengan penglihatannya sendiri. Di tengah laut 

itu dia melihat sesuatu yang meluncur cepat 

bagai kilat dari Pulau Neraka. Begitu 

cepatnya, sehingga sulit untuk diikuti oleh 

mata biasa. 

"Ada apa, Nyai?" tanya Gamar yang tidak 

melihat apa pun di tengah laut itu. 

"Ah, tidak..., tidak apa-apa," jawab 

Rengganis segera mengalihkan pandangannya. 

Namun raut wajahnya kelihatan berubah. 

Sementara ketiga bersaudara itu tetap 

memandang ke arah laut Pulau Neraka memang 

terlihat jelas dari situ. Mereka memang tidak 

akan dapat menemukan apa-apa, karena yang 

dilihat Rengganis begitu cepat dan menghilang 

sebelum sempat disadari. 

"Aneh...," desis Rengganis tanpa sadar. 

"Apakah.... Ah! Tidak! Mustahil...!" Rengganis 

bergumam sendiri. 

"Apa yang Nyai lihat?" tanya Ganis. 

"Tidak! Mungkin hanya burung camar!" jawab 

Rengganis berusaha menenangkan diri. Namun 

demikian, hati Rengganis tetap tak menentu.


Rengganis terus menebak-nebak yang 

dilihatnya sekilas tadi. Dia begitu yakin ada 

sesuatu yang meluncur cepat bagai kilat dari 

Pulau Neraka. Tapi sulit untuk memastikan apa 

yang dilihatnya tadi. Sementara siang terus 

merayap. Matahari bergulir semakin tinggi. 

Namun pesta di kapal itu akan tetap 

berlangsung hingga keesokan harinya. 

*** 

Suasana desa di pesisir pantai itu tetap 

ramai meskipun hari telah malam. Lampu-lampu 

menyala terang di setiap rumah. Obor-obor 

tetap menyala di sepanjang jalan. Kedai-kedai 

minum masih tetap buka dan tidak sepi 

pengunjung. Hari itu memang banyak kapal yang 

berlabuh membongkar muatan, sehingga menambah 

semaraknya pesta yang diadakan Rengganis. 

Namun lain halnya dengan sebuah kedai yang 

tidak jauh dari dermaga. Suasana di situ tidak 

begitu ramai, karena tidak banyak orang yang 

berkunjung disitu. Kedai itu begitu kecil dan 

terpencil sehingga tidak menarik perhatian 

orang banyak. Di sudut dekat jendela kedai 

itu, duduk seorang pemuda mengenakan baju 

kulit harimau. Rambutnya dibiarkan terurai, 

dengan ikat kepala juga dari kulit harimau. 

Dia sepertinya sengaja menyendiri dengan mata 

memandang ke arah dermaga. 

"Tambah lagi minumnya, Tuan?" 

Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya 

menoleh sedikit. Seorang,wanita muda dengan 

rias wajah tebal, tahu-tahu telah berdiri di 

dekatnya. Wangi tubuhnya begitu menusuk. 

Sedangkan baju yang dikenakannya terlalu 

rendah pada bagian dada, sehingga dua bukit 

kembarnya mengintip malu-malu. Kainnya juga


terbelah sampai ke pangkal paha. Sikapnya 

begitu menggoda. Sungguh menarik perhatian 

kaum lelaki. 

"Terima kasih," jawab pemuda berbaju kulit 

harimau itu tanpa senyum sedikit pun. 

Dialihkan pandangannya kembali ke arah dermaga 

yang masih tetap ramai. 

"Boleh aku duduk di sini?" mohon wanita 

itu. Suaranya dibuat-buat dan terdengar manja. 

"Silakan," sahut pemuda itu datar. 

"Namaku Karti. Tuan, siapa?" kata wanita 

itu seraya matanya merayapi wajah pemuda di 

sampingnya. Tangannya kemudian menuangkan arak 

dari pundi kecangkir perak. 

"Hm..." pemuda itu hanya menggumam tidak 

jelas. 

"Kuperhatikan sejak tadi, kau selalu 

memandang ke arah dermaga. Ada yang menarik di 

sana?" 

"Mungkin," jawab pemuda itu malas. 

"Memang menarik. Setiap tahun memang 

selalu begitu. Kau lihat kapal besar dan indah 

di ujung kanan dermaga? Kapal itu milik 

seorang saudagar wanita yang kaya raya. 

Dermaga itu memang selalu dijadikan tempat 

bersandar jika saudagar itu akan mengadakan 

pesta di atas kapalnya setiap tahun," jelas 

wanita yang mengaku bernama Karti tanpa 

diminta. 

"Hm..." lagi-lagi pemuda berbaju kulit 

harimau bergumam tidak jelas. 

"Dia sangat kaya dan berpengaruh. 

Kenalannya juga orang-orang penting dan para 

pembesar kerajaan. Hanya sayangnya, dia tidak 

punya suami. Tapi kata orang, dia punya 

pengawal yang selalu setia mengikuti ke mana 

saja," sambung Karti lagi.


"Siapa dia?" tanya pemuda itu bernada 

iseng. "Kalau tidak salah, namanya Rengganis. 

Ya... Nyai Rengganis," jawab Karti yakin. 

Pemuda itu langsung berpaling dan menatap 

tajam pada wanita di dekatnya itu. Wajahnya 

berubah tegang dan memerah. Cuping hidungnya 

kembang-kempis. Napasnya memburu bagai habis 

berlari jauh. Pemuda itu langsung bangkit 

berdiri dan meletakkan lima keping uang perak 

ke mejanya. Tanpa berkata apa-apa lagi dia 

melangkah ke luar dari kedai itu. 

"Tuan..., kembalinya!" seru wanita itu 

yang juga bergegas bangkit 

"Untukmu!" sahut pemuda itu terus 

melangkah cepat tanpa menoleh lagi. 

"Untukku...!?" wanita yang bernama Karti 

seperti tidak percaya. Dipandanginya lima 

keping uang perak di tangannya. 

Wanita itu merasa seperti mimpi saja. 

Hanya seguci arak murah dibayar dengan lima 

keping uang perak. Satu keping saja bisa dapat 

sepuluh guci arak manis yang lezat. Apalagi 

lima keping uang perak...? Malam ini dia 

seperti kejatuhan bulan saja. Bergegas 

dihampirinya pemilik kedai untuk membayar 

minuman pemuda itu. 

"Karti! Mau ke mana?" seru pemilik kedai 

ketika melihat Karti bergegas pergi. 

"Pulang!" jawab Karti. 

"Pulang...?! Tapi...." 

"Ya! Malam ini aku sudah cukup memperoleh 

penghasilan!" 

"He...!" 

Pemilik kedai itu memang tidak tahu apa 

yang telah didapat wanita pelayan dan 

penghibur di kedainya ini. Lima keping uang 

perak sangat berarti dan besar nilainya bagi 

penduduk desa di Pesisir Pantai Selatan ini.


Harga arak memang mahal. Tapi, untuk kebutuhan 

sehari-hari lima keping uang perak sudah lebih 

dari cukup. Karti bergegas berlari pulang 

dengan wajah berseri-seri. Sementara pemilik 

kedai itu hanya melongo saja, tanpa mampu 

berbuat apa-apa lagi. Memang liukan Karti saja 

yang menjadi pelayan dan penghibur di kedai 

itu. Masih ada wanita lain. Pemilik kedai itu 

pun tidak peduli lagi. 

*** 

Pesta di atas kapal masih terus 

berlangsung seperti tidak akan pernah 

berhenti. Bau arak dan asap tembakau berbaur 

menjadi satu, membuat napas sesak dan mata 

perih. Namun hal itu tidak mengurangi suasana 

gembira. Tidak sedikit yang sudah kelihatan 

mabuk. Semakin larut malam, suasana pesta 

semakin bertambah hangat. 

Tidak kurang dari lima puluh orang 

bersenjata berjaga-jaga di sekitar kapal. 

Ditambah lagi, para prajurit kerajaan yang 

juga masih setia menunggu para pembesar 

kerajaan yang diundang ke pesta itu. Mereka 

semua tetap menjalankan tugas agar pesta 

berlangsung tanpa gangguan. Tapi suasana 

seperti itu kadang-kadang juga bisa membuat 

mereka lengah. 

Seorang pun tidak menyadari kalau mereka 

tengah diawasi oleh seseorang yang memakai 

baju kulit harimau. Dia berdiri tidak jauh 

dari situ. Tubuhnya agak tersembunyi di balik 

keremangan cahaya bulan dan obor. Matanya 

tidak berkedip menatap ke arah kapal itu. 

Wajahnya kaku dan bibirnya terkatup rapat. 

Pelahan-lahan tangan pemuda berbaju kulit 

harimau itu bergerak merogoh saku bajunya,


lalu dengan cepat dihentakkan tangannya ke 

depan. Secercah sinar keperakan pun meluncur 

ke arah tiang utama kapal itu. 

Krak! 

Suasana pesta yang penuh kegembiraan itu 

mendadak berubah kacau. Jerit dan teriakan 

kengerian berbaur menjadi satu bersamaan 

dengan ambruknya tiang utama utama, kapal itu. 

Para penjaga secara serentak berlarian dan 

berdiri berjajar di tepian geladak kapal 

dengan senjata terhunus. Seluruh hadirin 

menjadi panik kalang-kabut. Beberapa tubuh 

menggeletak tertimpa tiang utama yang besar 

dan kuat. 

Di tengah kepanikan itu, kembali terlihat 

cahaya keperakan meluncur deras dan menancap 

pada salah satu tiang kapal. Seorang wanita 

berbaju hijau langsung melompat ke arah tiang 

kapal itu. Sejenak dia tertegun pada sebuah 

bintang bersegi enam berwarna keperakan yang 

menancap di situ. Benda itu besarnya tidak 

lebih dari telapak tangan orang dewasa. 

Wanita berbaju hijau yang ternyata adalah 

Rengganis, mencabut bintang perak bersegi enam 

yang menancap dalam di tiang tadi. Sebentar 

benda itu di pandanginya. Sementara tiga 

pengiring setianya, Ganis, Ganang, dan Gamar 

sudah menghampiri. Mereka juga ikut 

memperhatikan bintang perak itu. Beberapa 

orang yang di antaranya seorang laki-laki tua 

berjubah merah, juga menghampiri. Laki-laki 

tua itu segera merebut bintang perak dari 

tangan Rengganis. "Mustahil...!" gumamnya 

mendesah. "Kau kenal dengan benda itu, Paman 

Jantara?" tanya Rengganis. 

"Ya! Aku tahu betul pemiliknya. Tapi.... 

Ah! Rasanya tidak mungkin...," ujar laki-laki 

berjubah merah yang bernama Jantara dan


berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu. 

Kepalanya menggeleng-geleng menyatakan 

keheranannya. 

"Adik Branta! Lihatlah benda ini!" kata si 

Tongkat Samber Nyawa lagi. 

Seorang laki-laki tua lainnya yang 

mengenakan baju indah segera mendekat. Dia 

selalu dikawal dua orang berpakaian prajurit 

kerajaan. Sepertinya laki-laki tua berpakaian 

indah itu adalah pembesar kerajaan Setelah 

mengambil bintang bersegi enam dari tangan si 

Tongkat Samber Nyawa, benda itu pun 

diperhatikannya sebentar. Kepalanya juga 

menggeleng-geleng keheranan. 

"Rasanya tidak mungkin dia masih hidup," 

gumam laki-laki yang dipanggil Branta itu. 

"Apa mungkin dia punya nyawa rangkap?" 

celetuk salah seorang yang juga sudah tua. 

"Tidak! Tidak mungkin ada orang bisa hidup 

dengan kedua kaki buntung dan mata buta!" 

bantah Jantara. 

"Kalau bukan dia, lalu siapa?" Branta 

seperti bertanya pada dirinya sendiri. 

Jantara tidak langsung menjawab, tapi 

hanya memandangi semua orang yang berada di 

sekelilingnya. Mereka adalah tokoh rimba 

persilatan dan para pembesar kerajaan yang 

memiliki kepandaian cukup tinggi. Rata-rata 

mereka semua kenal akan benda berbentuk 

bintang segi enam yang terbuat dari perak itu! 

Hanya mereka yang masih muda-muda saja yang 

kurang paham terhadap benda itu. Rengganis 

sendiri masih bingung dengan pembicaraan 

orang-orang tua di sekitarnya. 

Teka-teki itu masih belum terjawab, tapi 

telah disusul deh suara siulan nyaring yang 

disertai dengan pengerahan tenaga dalam 

berkekuatan tinggi. Beberapa orang yang hanya


memiliki kepandaian pas-pasan mulai 

terpengaruh deh suara siulan itu. Gendang 

telinga mereka terasa sakit meskipun telah 

menutup telinga rapat-rapat dengan kedua 

tangan. Sedangkan mereka yang memiliki 

kepandaian cukup tinggi segera mengerahkan 

tenaga dalam untuk menghalau suara siulan itu. 

"Awas...!" tiba-tiba Jantara berteriak 

nyaring. Pada saat itu meluncur seberkas 

cahaya keperak-perakan ke arah mereka. Dengan 

cepat Jantara mematahkan tiang kapal dan 

menyampok sinar itu. Saat cahaya keperakan itu 

membentur tiang sebesar tangan yang 

dipegangnya, Jantara tersentak dan mundur 

selangkah. Tangannya terasa bergetar. 

Jantara bergegas melihat tiang yang 

digunakan untuk menyampok serangan gelap tadi. 

Tampak secarik kain merah muda menempel di 

situ bersama tancapan bintang perak bersegi 

enam. Jantara segera mencabut bintang perak, 

dan mengambil kain merah muda itu. Kain itu 

segera diserahkannya pada Rengganis. 

"Edan! Apa maksudnya ini?!" dengus 

Rengganis. Wajahnya sedikit menegang. 

"Jelas dia mencarimu, Rengganis. Kain itu 

bertuliskan namamu," kata Jantara pelan. 

"Tapi, apa maksudnya? Kalian kenal dengan 

benda ini. Sedangkan aku..., sama sekali tidak 

tahu!" nada suara Rengganis terdengar 

kebingungan. 

Semua yang ada di situ tak ada yang 

menjawab sedikit pun. Sementara suara siulan 

telah berhenti sejak tadi. Beberapa penjaga 

dan prajurit tergeletak pingsan akibat siulan 

bertenaga dalam yang cukup tinggi tadi. Dari 

lubang hidung dan telinga mereka mengalir 

darah segar. Sedangkan yang bertahan dengan 

siulan tadi segera menolong mereka. Rengganis,


Jantara, Branta, dan yang lainnya hanya 

terdiam. Kepala mereka berputar mencari-cari 

ke sekeliling. Siapakah orang yang mengirimkan 

kain berwarna merah muda bersama senjata 

bintang perak bersegi enam itu? Pertanyaan 

inilah yang membebani benak mereka semua. 

*** 

Malam terus merayap semakin pekat. Pesta 

tidak dilanjutkan lagi sehingga suasana di 

atas kapal mewah itu menjadi sunyi seketika. 

Yang terlihat di situ hanyalah orang-orang 

yang berjaga-jaga. Mereka adalah para penjaga 

dan prajurit kerajaan yang merasa bertanggung 

jawab atas junjungan mereka di atas kapal. 

Selain itu, ada juga para pembesar kerajaan 

dan tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut 

berjaga-jaga. 

Saat itu Rengganis terus didampingi oleh 

Jantara dan tiga bersaudara pengawal setianya. 

Wanita itu masih belum mengerti dengan 

kejadian yang sungguh menggemparkan itu. 

Walaupun hanya sesaat, tapi cukup membuat hati 

jadi bertanya-tanya. Di atas kap ini, hampir 

seluruh tokoh rimba persilatan hadir di situ. 

Mereka datang dari segala penjuru. Walaupun 

setiap harinya bergelimang darah dan 

tantangan, namun kejadian yang hanya sesaat 

itu mampu menggetarkan hati mereka juga. 

"Aku tidak yakin kalau orang itu adalah 

Gardika, Paman Jantara," kata Rengganis 

setengah berguma 

"Hanya dia satu-satunya yang memiliki 

senjata semacam itu, Rengganis," sahut 

Jantara. Dia memang telah menceritakan tentang


pertarungannya bersama tokoh-tokoh rimba 

persilatan yang mengeroyok Gardika. 

"Tapi sebelumnya kau katakan bahwa dia 

telah tewas. Rasanya mustahil kalau orang yang 

sudah dibuntungi kedua kakinya dan dibutakan 

kedua matanya, ternyata masih hidup," sergah 

Rengganis. "Lagi pula, apa urusannya denganku? 

Aku tidak kenal dia! Bahkan mungkin pada saat 

itu aku belum lahir. Bisa juga waktu itu aku 

masih kecil." 

Jantara tidak mampu menjawab. Memang sulit 

diterka, siapa orangnya yang melakukan 

serangan gelap itu. Tapi dari senjata yang 

berbentuk bintang bersegi enam, jelas kalau 

orang itu adalah Gardika. Jantara jadi 

berkerenyut juga keningnya. Sepengetahuannya, 

Gardika telah tak berdaya di Pulau Neraka. 

"Pasti ada orang lain yang menggunakan 

senjata yang sama!" sentak Jantara. 

"Maksud, Paman...?" tanya Rengganis tidak 

mengerti. 

"Rengganis! Dalam dunia ini, kita memang 

selalu dikelilingi musuh. Bahkan kawan yang 

sekarang, tidak mustahil nantinya akan jadi 

musuh juga. Ingat-ingatlah. Siapa di antara 

kawan dan lawanmu yang mengunakan senjata 

berbentuk bintang," kata Jantara. 

"Rasanya tidak ada, Paman," jawab 

Rengganis setelah berpikir sejenak. 

"Ingat-ingat dulu, Rengganis," desak 

Jantara. 

Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Dia berusaha mengingat-ingat Tapi selama 

berkecimpung dalam dunia persilatan dan hingga 

memutuskan untuk jadi saudagar, rasanya tidak 

pernah punya lawan ataupun kawan yang 

menggunakan senjata berbentuk bintang perak 

bersegi enam.


Dan tiba-tiba saja Rengganis teringat 

dengan yang dilihatnya siang tadi. Sesuatu 

yang dilihatnya sendiri saja. Sangat jelas 

terlihat, tapi begitu cepat sehingga sulit 

untuk menentukan, apakah itu manusia atau 

hanya berupa kilatan cahaya saja. Bisa juga 

itu hanya fatamorgana. Sulit untuk 

menghubungkan, antara yang dilihatnya siang 

tadi dengan kejadian di kapal barusan. Tulisan 

pada secarik kain, jelas ditujukan untuknya. 

Tulisan itu hanya berupa sebuah nama. Namanya 

sendiri tanpa ada tulisan atau nama lain. 

Jelas, maksudnya adalah peringatan atau bisa 

juga ancaman. 

"Apakah mungkin kalau orang itu adalah 

putra Dewa Pedang...?" gumam Rengganis seperti 

bertanya pada dirinya sendiri. 

"Kau bicara apa, Rengganis?" tanya Jantara 

tidak percaya. 

"Paman! Siang tadi aku melihat sesuatu 

meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. 

Aku tak tahu pasti, benda apa yang bergerak 

itu. Apakah itu hanya sebuah benda, ataukah 

manusia? Aku tak tahu. Tapi aku yakin, itu 

pasti ada hubungannya dengan kejadian di kapal 

ini, Paman," ungkap Rengganis pelan. 

"Hm..., selama ini tak ada seorang pun 

yang bisa selamat jika telah masuk ke Pulau 

Neraka. Gardika juga pergi ke pulau itu, dan 

sampai kini tak terdengar kabar beritanya 

lagi. Rasanya tidak mungkin kalau Badar dan 

putra Dewa Pedang masih hidup...," bantah 

Jantara. Tapi dari nada suaranya terdengar 

ragu-ragu. 

Hening. Tak ada lagi yang bersuara. 

Kejadian yang menggemparkan tadi membuat semua 

orang yang ada di atas kapal ini terdiam. 

Mereka sibuk dengan pikiran yang terus


berkecamuk. Sementara para pembesar yang 

bernyali kecil telah mulai meninggalkan kapal. 

Bahkan beberapa tokoh yang merasa tidak ada 

hubungannya dengan kejadian itu juga telah 

pergi. Mereka seperti tidak ingin ikut campur. 

Semakin larut malam, keadaan kapal semakin 

sunyi. Kesunyian itu menambah suasana menjadi 

semakin mencekam. 

"Rengganis, sebaiknya kau beristirahat 

saja. Biar aku dan anak buahku yang berjaga-

jaga," kata Jantara setelah cukup lama berdiam 

diri. 

"Terima kasih, Paman. Dalam keadaan 

seperti ini, aku tidak mungkin dapat tidur," 

tolak Rengganis halus. 

"Kalau begitu, aku pergi dulu untuk 

melihat keadaan," pamit Jantara. 

"Silakan, Paman." 

Laki-laki tua berjubah merah itu segera 

berlalu. Sementara Rengganis masih duduk di 

kursi, di atas geladak didampingi tiga 

bersaudara pengikut setianya. Ketiga 

bersaudara itu pun hanya bisa membisu. Mereka 

juga telah mendengar apa yang dibicarakan 

junjungannya dengan Jantara, atau yang 

berjuluk si Tongkat Samber Nyawa tadi. 

Jantara berjalan pelan-pelan menyusuri 

geladak kapal besar dan mewah itu. Hanya 

tinggal beberapa tokoh saja yang masih ada di 

kapal ini. Seluruh pembesar kerajaan telah 

meninggalkan kapal. Kini, tidak terlihat lagi 

para prajurit yang berjaga-jaga di situ. 

Jantara terus melangkah menuruni tangga kapal 

menuju dermaga. Beberapa anak buahnya terlihat 

berjaga-jaga di sekitar dermaga itu. 

Dengan dikawal enam orang anak buahnya, 

Jantara memeriksa keadaan dermaga. Tak lama 

kemudian dia meninggalkan tempat itu, dan


menuju desa yang tidak jauh dari situ. Suasana 

desa masih tetap ramai meskipun hari telah 

jauh malam. Namun keramaiannya telah sedikit 

berkurang jika dibandingkan dengan siang tadi. 

Sepanjang jalan, yang ditemukan hanya orang-

orang mabuk dari wanita-wanita penjaja cinta. 

Jantara terus melangkah diikuti oleh enam 

orang anak buahnya. 

"Sebaiknya kita kembali saja, Tuan. Sudah 

terlalu malam. Barangkali orang itu sudah 

pergi dari sini," kata salah seorang yang ikut 

dengan Jantara. 

"Baiklah. Besok kita teruskan," jawab 

Jantara. 

Mereka kemudian kembali menuju dermaga di 

Pesisir Pantai Selatan. Mereka berjalan tanpa 

banyak bicara. Memang sulit mencari satu di 

antara sekian banyak orang yang tidak dikenal. 

Apalagi sekarang ini banyak pendatang yang 

singgah di desa di sekitar Pesisir Pantai 

Selatan itu. 

Baru saja beberapa tindak mereka berjalan, 

tiba-tiba sebuah bayangan melintas di depan 

mereka. Jantara terperanjat, dan langsung 

memerintahkan anak buahnya berhenti. 

Seorang pemuda gagah dan tegap tahu-tahu 

telah berdiri di depan Jantara dan enam orang 

anak buahnya. Rambutnya yang panjang 

dipermainkan angin malam. Tubuhnya berotot dan 

tertutup baju dari kulit harimau. Hanya bagian 

dada yang terbuka, memamerkan dadanya yang 

bidang dan kekar. Wajahnya cukup tampan, namun 

memiliki sorot mata yang tajam. Rahangnya yang 

menonjol kekar, terkatup rapat. Dia berdiri 

tegak dengan tangan melipat di depan dada. 

"Kau laki-laki tua, berjubah merah dan 

bersenjata tongkat kembar pendek. Apakah kau 

bernama Jantara, si Tongkat Samber Nyawa?"


tanya pemuda itu. Dari perawakan dan pakaian 

yang dikenakan, jelas kalau dia adalah Bayu 

Hanggara. 

Selama Bayu meninggalkan Pulau Neraka, 

keterangan tentang pembunuh orang tuanya dan 

pengeroyok Eyang Gardika terus dicarinya. 

Sampai dia akhirnya tahu kalau Rengganis 

adalah ibu tirinya sendiri. Tapi dia tidak mau 

peduli. Yang ada di benaknya adalah membalas 

dendam atas kematian orang tuanya dan atas 

kesengsaraan Eyang Gardika di Pulau Neraka. 

"Benar! Dan kau siapa? Kenapa kau hadang 

langkahku?" sahut Jantara seraya memasang 

wajah angker. 

"Mungkin kau mengenal benda ini," sahut 

pemuda itu sambil mengangkat tangan kanannya 

ke depan. 

Jantara melangkah mundur dua tindak 

melihat cakra bersegi enam yang bergigi-gigi 

bengkok menempel pada pergelangan tangan 

pemuda itu. Bola matanya berputar, seolah-olah 

tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. 

"Jagalah kepalamu, Jantara!" bentak pemuda 

itu tiba-tiba seraya mengebutkan tangan 

kanannya. 

Laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber 

Nyawa itu terperangah sesaat, namun dengan 

cepat merundukkan kepalanya. Cakra berwarna 

keperakan yang menempel di tangan pemuda itu 

meluncur deras kearahnya. Begitu cepat cakra 

itu, sehingga dua orang yang berada di 

belakang Jantara tidak sempat lagi menghindar. 

Kedua orang itu menjerit keras. Tubuh 

mereka berputar sebentar sebelum ambruk dengan 

kepala terpisah. Pemuda itu mengangkat tangan 

kanannya. Dengan putaran manis, senjata cakra 

itu berbalik dan langsung menempel kembali di 

pergelangan tangannya.


"Anak muda! Apa hubunganmu dengan Gardika 

si Cakra Maut?!" tanya Jantara membentak. 

"Kau tidak perlu tahu, Jantara. Berdoalah 

agar dosamu diampuni," sahut pemuda itu 

dingin. 

"Kurang ajar! Apa yang kau andalkan hingga 

berani umbar bacot di hadapanku, heh?!" geram 

Jantara sengit. 

"Bersiaplah untuk mati, Jantara!" 

Rupanya pemuda itu tak kenal kompromi 

lagi. Langsung dibukanya jurus-jurus maut. 

Jantara mengerutkan keningnya melihat 

kembangan jurus-jurus yang diperagakan pemuda 

itu. Dia kenal betul dengan jurus itu. Jurus 

'Kelelawar Maut'. Jantara langsung bersiap-

siap dengan jurus andalannya juga. Tapi, 

sebenarnya Jantara sendiri belum yakin apakah 

bisa menandingi jurus 'Kelelawar Maut', 

meskipun dikerahkan oleh orang lain. 

"Tahan seranganku, Jantara!" seru Bayu 

keras. 

Secepat kilat pemuda itu melompat sambil 

mengembangkan kedua tangannya. Gerakannya 

begitu cepat bagai kilat. Jantara bergegas 

membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan 

beberapa kali, sebelum melompat bangkit. Namun 

baru saja dapat berdiri, satu kibasan tangan 

yang cepat dan tak terduga menyampok ke arah 

kepalanya. 

"Uts!" 

Jantara menarik kepalanya sedikit sambil 

menyodokkan tangan kanannya ke arah dada. Tapi 

kembali Jantara terperangah karena lawan mampu 

berkelit dengan cepat sambil melancarkan 

serangan susulan. Satu tendangan keras 

melayang menghantam perut laki-laki tua itu. 

Jantara terbungkuk mengeluh tertahan. Perutnya 

seketika terasa mual. Belum sempat menyadari


apa yang terjadi, satu pukulan telak kembali 

bersarang di wajahnya. 

"Akh!" Jantara memekik tertahan. Timpa 

ampun lagi tubuh laki-laki tua berjuluk si 

Tongkat Samber Nyawa itu terjengkang ke 

belakang. Sedangkan pemuda berbaju kulit 

harimau itu tetap berdiri tegak dengan tangan 

melipat di bagian dada. Matanya yang tajam 

menatap langsung ke wajah Jantara. Sedangkan 

bibirnya agak melebar, menyunggingkan senyuman 

bernada sinis dan kejam. Jantara melangkah 

mundur dua tindak. Disemburkan ludahnya yang 

bercampur darah. 

"Setan belang! Siapa kau sebenarnya, 

Bocah?!" bentak Jantara menggeram hebat. 

"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Jantara. 

Karena kau berperan juga dalam membunuh Dewa 

Pedang, maka berlutut dan mohon ampunlah pada 

Dewa Pedang!" sahut Pemuda itu. 

"Kau.... Kau tahu Dewa Pedang...?!" 

Jantara jadi kebingungan. 

"Mampus kau, Jantara! Hiyaaa...!" "Hup!" 

*** 

Jantara cepat melentingkan tubuhnya ke 

udara sambil mencabut senjata andalannya 

berupa sepasang tongkat kecil dengan ujung-

ujungnya berbentuk bulan sabit. Dua kali dia 

bersalto di udara seraya tangannya bergerak 

cepat mengibas. Bersamaan dengan itu, pemuda 

gagah berbaju kulit harimau juga telah berada 

di udara. 

Satu ledakan keras terdengar ketika 

senjata Jantara membentur pergelangan tangan 

pemuda berbaju kulit harimau itu. Tampak tubuh 

mereka terpental kebelakang, lalu jatuh ke 

tanah secara bersamaan. Jantara segera limbung


begitu kakinya menjejak tanah. Sedangkan 

lawannya mendarat dengan manis. Tangannya 

kembali melipat di depan dada! Sepertinya 

tidak merasakan apa-apa! 

"Phuih!" 

Jantara membuang satu tongkatnya yang 

patah! menjadi dua bagian. Matanya merah 

menahan geram yang amat sangat. Selama 

berkecimpung dalam dunia persilatan, baru kali 

ini dia mendapat lawan tangguh dan sanggup 

memperdayai di depan anak buahnya. Harus 

diakui kalau hatinya sedikit gentar melihat 

ketangguhan lawannya. Memang sulit diukur 

tingkat kepandaian pemuda berbaju kulit 

harimau itu. 

Jantara mundur dua tindak. Kembali 

disemburkan ludahnya yang telah bercampur 

dengan darah kental kehitaman. Dengan punggung 

tangan, diseka mulutnya yang berlumuran darah. 

Matanya agak membeliak melihat darahnya yang 

berwarna kehitaman. 

"Kau.... Kau memakai ilmu 'Pukulan Racun 

Hitam'! Siapa kau sebenarnya?" keras suara 

Jantara, namun agak tersendat. Dia juga 

memeriksa bagian 

dadanya yang terkena pukulan ketika 

bentrok di udara tadi. Tampak di dadanya 

terdapat gambar berbentuk telapak tangan 

berwarna hitam. 

"Rupanya kau masih penasaran juga, 

Jantara. Baiklah. Agar kau tidak mati 

penasaran, dengarkanlah baik-baik. Namaku, 

Bayu! Putra tunggal Dewa Pedang. Aku datang 

dari Pulau Neraka!" tegas kata-kata Bayu, 

pemuda gagah berbaju kulit harimau itu. 

Jantara tidak dapat berkata-kata lagi. 

Sama sekali tidak disangka kalau pemuda yang 

berdiri di depannya adalah putra tunggal Dewa


Pedang, ketua Padepokan Teratai Putih yang 

dihancurkan oleh dirinya bersama tokoh-tokoh 

rimba persilatan lainnya. 

"Dan semua ilmu yang kumiliki berasal dari 

Eyang Gardika, yang telah kau buntungi kedua 

kakinya dan kau butakan kedua matanya. Nah, 

Jantara. Apakah kau sudah puas?" 

"Jadi..., Gardika masih hidup?" Jantara 

hampir tidak percaya mendengarnya. 

"Sekarang dia telah mati setelah, 

menurunkan semua ilmunya kepadaku. Dan 

sekarang aku muncul untuk membalas sakit 

hatinya mencari orang-orang sepertimu! Juga, 

orang-orang yang menghancurkan keluargaku!" 

dingin suara Bayu. 

Setelah berkata demikian, pemuda berbaju 

kulit harimau itu langsung menyerang Jantara. 

Pertarungan sengit tak dapat dihindarkan lagi. 

Bayu benar-benar menurunkan tangan besi kepada 

orang tua yang bernama Jantara itu. Serangan-

serangan yang dilancarkannya sangat berbahaya 

dan luar biasa dahsyatnya. Jantara dibuat 

jatuh bangun tanpa mampu memberi serangan 

balasan. 

Dalam beberapa jurus saja, kelihatan 

sekali Jantara telah terdesak. Melihat 

pemimpinnya kewalahan, empat orang anak 

buahnya yang masih tersisa langsung 

berlompatan menyerang Bayu. Mereka memang 

sudah biasa dengan pertarungan licik dan main 

keroyok. Hal ini tentu saja membuat Bayu 

geram. 

"Bagus! Kalian memang anak buahku yang 

mengerti," gumam Jantara dalam hati. "Inilah 

kesempatan buatku...." 

DI saat Bayu sibuk menghadapi keroyokan 

itu, tanpa menunggu waktu lagi Jantara segera 

melesat kabur. Namun perhatian Bayu tidak


seluruhnya terpecah. Tindakan pengecut laki-

laki tua itu langsung dapat dilihatnya. 

"Jantara! Jangan lari kau, pengecut!" 

geram Bayu. 

Secepat kilat pemuda itu mengibaskan 

tangan kanannya sambil merunduk menghindari 

tebasan pedang lawan. Benda yang bernama cakra 

itu melesat bagai kilat menuju ke arah larinya 

Jantara. Begitu cepatnya sehingga yang 

terlihat hanyalah secercah sinar keperakan 

bagai bintang jatuh dari langit. 

"Sial! Hup!" 

Jantara segera menjatuhkan tubuhnya ke 

tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun tak 

urung dia juga memekik sedikit. Punggungnya 

sempat tergores senjata cakra yang dilepaskan 

Bayu. Jantara masih bergulingan ketika senjata 

berbentuk lingkaran pipih dan bergigi bengkok 

berjumlah enam itu berputar kembali ke arah 

pemiliknya 

Tap! 

Dengan manis Bayu melompat dan menangkap 

senjata maut andalannya itu. Sambil berputar 

dengan 

kedua tangan merentang, empat orang 

pengeroyoknya segera dibabatnya habis. Gerakan 

Bayu memang sulit untuk diikuti dengan mata. 

Akibatnya, empat orang pengeroyoknya jungkir-

balik tak tertahan lagi. Jerit melengking 

saling susul terdengar, bersamaan dengan 

ambruknya empat tubuh dengan dada sobek 

mengucurkan darah. 

Kesempatan yang sedikit itu, dimanfaatkan 

Jantara untuk melarikan diri. Dengan cepat dia 

bangkit dan berlari mempergunakan ilmu 

meringankan tubuh. Bayu yang melihat lawannya 

kabur dengan cara licik, jadi berhenti. 

Jantara berlari menuju dermaga tempat kapal



besar dan mewah itu bersandar. Kapal itu kini 

sudah tidak memiliki tiang utama lagi. Bayu 

berdiri tegak. Matanya memandang tajam ke arah 

Jantara yang terus berlari cepat menuju kapal 

itu. 

"Huh! Pengecut..!" dengus Bayu, tidak 

melanjutkan pengejarannya. 

Jantara langsung ambruk ketika sampai di 

atas geladak kapal. Tokoh-tokoh sakti yang 

masih berada di atas kapal itu terkejut dan 

segera menghampiri. Demikian pula dengan 

Rengganis dan tiga orang pengawal setianya 

yang memang masih berada di geladak. Mereka 

semua terperanjat melihat keadaan Jantara yang 

babak-belur bersimbah darah. 

"Paman Jantara! Apa yang terjadi?!" tanya 

Rengganis yang diliputi rasa kaget. 

"Dia.... Dia dari Pulau Neraka...," sahut 

Jantara terputus-putus. 

"Pulau Neraka...?!" 

Semua bergumam keheranan setengah tidak 

per caya. Mereka semua tahu kalau Pulau Neraka 

tidak berpenghuni, dan tidak ada seorang pun 

yang pernah keluar dari sana! 

"Siapa dia, Jantara?" tanya salah seorang 

yang bertubuh gemuk pendek dan berperut 

gendut. 

"Bayu.... Dia bernama Bayu, putra Dewa 

Pedang," sahut Jantara terengah dan terputus-

putus suaranya. 

Tidak ada lagi yang bersuara. Mereka semua 

tidak percaya begitu saja. Rasanya tidak 

mungkin seorang bayi yang baru berumur 

beberapa hari, bisa hidup di pulau angker itu. 

Bahkan sekarang muncul dan bisa membuat 

Jantara, seorang tokoh sakti, babak-belur! 

Mereka memang tidak akan percaya kalau Jantara 

tidak melanjutkan....


"Di pulau itu Gardika masih hidup. Setelah 

ilmu-ilmunya diturunkan pada Bayu, baru dia 

mati. Hhh... sungguh dahsyat dan sadis! Enam 

orang anak buahku tewas...." 

Kata-kata Jantara terputus ketika 

terdengar suara siulan nyaring bernada aneh. 

Siulan itu seolah-olah datang dari segala 

penjuru, dan mengandung kekuatan tenaga dalam 

yang amat luar biasa. Mereka yang memiliki 

tingkat kepandaian rendah, langsung menutup 

telinga. Sedangkan tokoh-tokoh sakti yang 

berjumlah tidak kurang dari lima belas orang, 

segera mengimbangi dengan mengerahkan tenaga 

dalam. 

"Siapa pun kau adanya, keluar!" bentak 

Rengganis keras disertai pengerahan tenaga 

dalam yang tinggi pula. 

Suara bentakan Rengganis langsung 

menghentikan siulan itu. Sesaat suasana jadi 

sunyi menegangkan. Semua kepala menoleh ke 

kanan dan ke kiri mencari sumber siulan tadi. 

Sementara Jantara sudah bisa bangkit dibantu 

beberapa orang. Tidak ada seorang pun yang 

berbicara. Semua diliputi suasana penuh 

ketegangan. 

Rengganis melangkah keluar dari kerumunan 

tokoh rimba persilatan lainnya. Dia berdiri 

tegak di tengah-tengah geladak kapal. Matanya 

tajam memandang ke sekelilingnya. Sementara 

Ganis, Ganang dan Gamar sudah bersiap-siap 

dengan senjata masing-masing, tidak jauh di 

belakang wanita itu. 

"Bayu! Kalau kau ingin balas dendam, 

hadapilah aku! Aku yang bertanggung jawab. 

Keluarlah Bayu!" seru Rengganis keras bergema. 

Tidak ada sahutan sedikit pun. Kata-kata 

Rengganis hanya terbawa angin malam, dan 

hilang begitu saja bersama deburan ombak.


Wanita itu tetap melayangkan pandangannya ke 

seluruh arah dengan tajam. Namun yang dilihat 

hanyalah kepekatan malam. 

"Rengganis! Awas...!" tiba-tiba terdengar 

sebuah seruan keras mengejutkan. 

Tanpa berpikir panjang, Rengganis mencabut 

senjatanya berupa kipas baja putih yang 

terselip di pinggang begitu matanya melihat 

secercah cahaya keperakan meluncur deras ke 

arahnya. Tring! 

Rengganis tersentak ke belakang dua 

tindak. Wajahnya iangsung memerah. Tangan 

kirinya memegangi pergelangan tangan kanannya 

yang seperti tersentuh ribuan lebah berbisa 

Kipasnya terpental 

beberapa depa. Semua orang yang berada di 

atas geladak kapal terperangah melihat kipas 

baja putih kebanggaan Rengganis tergeletak di 

lantai geladak, tertancap sebuah bintang 

keperakan. 

"Nyai! Ada suratnya!" kata Gamar yang 

telah mengambil kipas dari lantai geladak. 

Rengganis buru-buru menerima senjatanya 

dari tangan Gamar, dan langsung diselipkannya 

ke balik pinggang. Dia juga merebut secarik 

kain berwarna merah darah dengan tulisan dari 

tinta emas. Wajahnya langsung menegang dan 

merah sampai ke telinga setelah membaca 

tulisan di kain merah itu. 

"Apa isinya, Rengganis?" tanya Jantara 

yang sudah menghampiri. 

Rengganis tidak menjawab. Diserahkannya 

kain dengan tulisan dari tinta emas itu pada 

Jantara. 

"Kutunggu kau di Pantai Selatan! Aku dari 

Pulau Neraka," Jantara membacakan tulisan yang 

tertera pada secarik kain merah itu.


Jantara mengangkat kepalanya memandang 

Rengganis. Sinar matanya penuh dengan sejuta 

kata-kata, namun sulit untuk diucapkan. Jelas 

kalau tantangan itu ditujukan buat Rengganis. 

Tapi bukannya tidak mustahil. Mereka semua 

juga akan mendapatkan hal yang sama. Kini 

hanya tinggal waktu saja yang menentukan. 

Sementara Jantara yang sudah berhadapan 

dengan pemuda bernama Bayu itu jadi 

mencemaskan Rengganis. Memang diakui kalau 

ilmu silat Rengganis lebih tinggi setingkat 

darinya. Tapi itu belum menjamin dapat 

menandingi orang yang mengaku dari Pulau 

Neraka itu. Jurus-jurus Gardika jadi lebih 

mantap dan sempurna di tangan Bayu. Hal ini 

sudah dapat dirasakan Jantara saat bertarung 

dengan pemuda itu. 

"Aku akan menemuinya! Sebaiknya kalian 

semua meninggalkan kapal ini secepat mungkin," 

kata Rengganis mantap. 

"Rengganis...," Jantara berusaha mencegah, 

namun tidak melanjutkan ucapannya. 

"Paman. Dia mungkin hanya menginginkan aku 

saja. Aku memang harus bertanggung jawab. 

Semua ini memang kesalahan dan kecerobohanku," 

kata Rengganis memotong. 

"Hati-hatilah," hanya itu yang bisa 

diucapkan Jantara. 

Rengganis hanya tersenyum, dan melangkah 

meninggalkan kapal besar dan mewah itu. Tiga 

orang pengikut setianya menyertai dari 

belakang. Tidak ada seorang pun yang bisa 

mencegah. Mereka hanya memandangi saja dengan 

perasaan yang sulit diungkapkan. 

"Aku yakin, ini akan berbuntut panjang," 

gumam Jantara. 

***


Rengganis semakin jauh meninggalkan 

dermaga Pesisir Pantai Selatan. Dia terus 

berjalan diiringi tiga orang pengawalnya 

menuju tempat yang telah ditentukan dalam 

surat tantangan itu. Sementara orang orang 

yang masih berada di kapal, mulai meninggalkan 

tempat itu satu persatu. Dalam sekilas saja 

mereka sudah bisa mengerti, persoalan yang 

kini tengah dihadapi. 

Sementara Jantara masih berada di atas 

kapal. Matanya tidak lepas memandangi 

kepergian Rengganis. Bagaimanapun juga hatinya 

cemas, karena orang yang akan dihadapi wanita 

itu menyimpan dendam dan memiliki tingkat 

kepandaian yang sukar diukur! "Kau Kelihatan 

gelisah sekali, Jantara." 

"Oh!" Jantara tersentak kaget Buru-buru 

dia menoleh. 

Seketika jantungnya seperti berhenti 

berdetak Di tengah-tengah geladak kapal ini 

tiba-tiba sudah berdiri seorang pemuda gagah 

mengenakan baju dari kulit harimau. Rambutnya 

yang panjang meriap melambai-lambai 

dipermainkan angin. Jantara mengedarkan 

pandangannya ke sekeliling. Sungguh tidak 

disangka kalau semua orang sudah meninggalkan 

kapal ini tanpa disadurinya. 

Jantara membeliak kaget begitu matanya 

melihat mayat-mayat bergelimpangan Mayat-mayat 

itu adalah anak buahnya yang ditugaskan untuk 

menjaga kapal ini. Benar-benar sulit 

dipercaya, bagaimana pemuda itu melakukan 

tanpa diketahuinya? Kenyataan ini membuat 

Jantara gentar hatinya. Jelas, itu menandakan 

kalau pemuda berbaju kulit harimau itu


memiliki tingkat kepandaian yang sungguh sulit 

dinilai. 

"Dia memang cantik, Jantara. Tapi sayang, 

hatinya tidak secantik wajahnya," kata pemuda 

berbaju kulit harimau itu. Suaranya terdengar 

lirih tanpa nada. 

Jantara tidak membuka suara sedikit pun. 

Dia melangkah mundur dengan bola mata berputar 

mencari celah untuk bisa lari dari maut. Di 

depan matanya, pemuda berbaju harimau itu 

bagaikan malaikat maut yang siap mencabut 

nyawanya 

Jantara langsung berbalik begitu kakinya 

menyentuh tangga. Dengan sisa-sisa 

keberaniannya, dia segera berlari cepat 

menuruni tangga menuju dermaga. Tapi begitu 

kakinya menginjak lantai dermaga, tahu-tahu 

pemuda berbaju kulit harimau itu sudah berada 

di depannya. Pemuda itu berdiri tegak dengan 

tangan melipat di depan dada. 

"Kesempatanmu hanya sekali, Jantara." 

Setelah berkata demikian, pemuda berbaju 

kulit harimau tersebut mengebutkan kedua 

tangannya ke depan. Secercah sinar merah 

melesat cepat bagai kilat memburu ke arah 

Jantara. Laki-laki tua itu buru buru menarik 

tubuhnya ke samping sambil menggeser kakinya 

sedikit. Cahaya merah itu meluncur di depan 

dadanya, dan langsung menghantam kapal besar 

mewah di belakangnya. 

Ledakan dahsyat terdengar menggelegar 

bersama an dengan hancurnya kapal itu. 

Sehingga terjadi getaran bagai ada gempa. 

Akibatnya Jantara terpental jatuh bergulingan. 

Namun dia buru-buru bangkit berdiri. Harinya 

terkesiap melihat kapal besar dan mewah milik 

Rengganis hancur berkeping-keping bersama 

beberapa mayat di dalamnya. "Uhg...!"


Mendadak saja Jantara terbatuk dan 

memuntahkan darah kehitaman. Dia langsung 

jatuh berlutut. Tangan kanannya menekan dada 

yang terasa sesak dan nyeri bagaikan tertusuk 

ribuan jarum. Jantara baru sadar kalau telah 

terkena pukulan beracun dalam pertarungannya 

tadi melawan pemuda itu. Kini racun di dalam 

tubuhnya mulai bekerja. 

"Apa yang kau inginkan dariku, Bayu?" 

tanya Jantara bernada pasrah. 

"Nyawamu," sahut pemuda berbaju kulit 

harimau yang tak lain adalah Bayu Hanggara. 

Jantara bangkit pelahan-lahan. Kepalanya 

mulai pening, dan pandangannya berkunang-

kunang. Tapi sebagai tokoh rimba persilatan 

yang sudah punya nama, dia tidak akan menyerah 

begitu saja, meskipun keadaannya sudah tidak 

memungkinkan lagi untuk bertarung. Racun dari 

jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang merasuk di 

tubuhnya sudah bekerja. 

"Lakukanlah kalau kau mampu, Bayu!" dengus 

Jantara menantang. 

Memang tidak ada pilihan lain lagi 

baginya. Cepat atau lambat dia akan mati. 

Tidak ada seorang pun yang selamat kalau sudah 

terkena racun dari 'Pukulan Racun Hitam'. 

"Bagus! Rupanya kau seorang yang ksatria 

juga, Jantara," Bayu tersenyum sinis. 

"Hih!" Jantara langsung mencabut 

senjatanya yang tinggal sebelah. 

"Bersiaplah untuk mati, Jantara! 

Hiyaaa...!" 

"Hup! Hiyaaa...!" 

*** 

Pertarungan antara Jantara dan Bayu, si 

Pendekar dari Pulau Neraka tidak dapat


dielakkan lagi. Meskipun Jantara dalam keadaan 

terluka. Namun masih mampu melayani sampai 

sepuluh jurus. Dan setelah lewat sepuluh 

jurus, baru kelihatan kalau Jantara tidak 

dapat lagi menandingi pemuda berbaju kulit 

harimau itu. Racun yang mengendap di dalam 

tubuhnya akibat 'Pukulan Racun Hitam', semakin 

meluas dan membuat tenaganya berkurang jauh. 

Pada suatu serangan yang cepat, Jantara 

tidak lagi mampu menghindar. Dia terjungkal 

sangat keras begitu tendangan geledek Bayu 

menghantam dadanya. Belum lagi Jantara mampu 

berdiri, kaki Bayu sudah menekan dadanya. 

"Kau yang membuntungi kaki guruku, bukan? 

Kau tahu, bagaimana penderitaannya 

mempertahankan hidup dengan kedua kaki 

buntung?" dingin dan datar suara Bayu. 

"Bunuh aku, Bayu!" sentak Jantara putus 

asa. "Terlalu nikmat kalau kau mati cepat, 

Jantara," sambut Bayu tersenyum sinis. 

Bayu memungut tongkat lawan yang 

tergeletak tidak jauh dari kakinya. Ditimang-

timangnya tongkat pendek dengan ujung ujungnya 

berbentuk bulan sabit. "Kau akan menyesali 

perbuatanmu, Jantara. 

Telah kau hilangkan kedua kaki guruku. 

Sekarang, rasakanlah bagaimana kehilangan 

kedua kaki!" kata Bayu tetap dingin suaranya. 

Jiwa dan sifatnya jadi terbentuk sangat 

sadis. Ini akibat didikan dari gurunya, dan 

dendam kesumat yang selalu membakar 

semangatnya selama mempelajari ilmu-ilmu 

kesaktian dari Eyang Gardika! 

"Tidak...!" sentak Jantara bergetar. 

Tanpa banyak bicara lagi, Bayu 

menggerakkan tangannya yang memegang tongkat 

lawannya, dan.... 

Cras! Cras!


"Aaakh...!" Jantara menjerit keras. 

Darah langsung muncrat begitu kedua kaki 

laki-laki tua berjubah merah itu terpotong 

buntung sampai ke paha. Jantara meringis 

menggelepar-gelepar merasakan sakit yang amat 

sangat pada kedua kakinya. 

'Bunuh-aku, Bayu! Bunuh aku...! Jangan kau 

siksa aku seperti ini..," keluh Jantara. 

"Kau merasa tersiksa, Jantara? Apa kau 

tidak berpikir ketika membuntungi kaki Eyang 

Gardika? Apa kau tidak merasa malu mengeroyok 

orang tanpa senjata?" 

"Bayu! Aku memang ikut mengeroyok Gardika! 

Tapi bukan aku yang membuntungi kakinya!" 

"Sama saja! Kau atau siapa saja yang 

berbuat, dimataku sama saja!" 

"Ohhh..." Jantara mengeluh lirih. Bibirnya 

meringis merasakan perih dan sakit pada kedua 

kakinya yang buntung. 

"Camkan baik-baik, Jantara. Aku tahu siapa 

teman-temanmu yang berbuat keji pada guruku. 

Aku juga tahu siapa orang-orangnya yang telah 

berlaku licik dan kejam pada keluargaku. Ingat 

kata-kataku, Jantara! Sampai ke ujung dunia 

sekalipun, mereka tidak akan aman selama aku 

masih hidup!" 

"Jangan kau lakukan itu. Bayu. Cukup aku 

saja yang menanggung. Bunuh saja aku, Bayu. 

Bunuh aku...," keluh Jantara putus asa. 

"Sayang sekali, kata-kataku tidak dapat 

dirubah. Dan kau terlalu enak kalau langsung 

mati, Jantara." Jantara hanya bisa mengeluh 

lirih. "Nah! Sekarang giliran matamu!" dengus 

Bayu dingin. 

"Oh, tidak...!" sentak Jantara berusaha 

menggeliat 

Namun dalam keadaan tubuh yang lemah dan 

kekurangan banyak darah, Jantara benar-benar


tidak punya daya sama sekali. Tanpa berkedip 

sedikit pun. Bayu menusuk kedua mata Jantara 

dengan tongkat ditangannya. 

"Aaakh...!" kembali Jantara memekik keras. 

Ditutupi mukanya dengan tangan. 

Darah merembes keluar dari sela-sela 

jarinya. Bayu melangkah mundur dan membuang 

tongkat yang sudah berlumuran darah pemiliknya 

sendiri. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis 

melihat laki-laki tua berjubah merah itu 

menggelepar-gelepar sambil meraung kesakitan. 

Bayu benar-benar terbentuk menjadi seorang 

pendekar yang sadis! Dia sungguh ingin 

melampiaskan dendam kesumat atas hancurnya 

keluarganya dan sakit hati guru tunggalnya! 

Terlebih lagi ilmu yang dimilikinya sangat 

sadis dan mengerikan. Lengkap sudah 

penderitaan Jantara. Racun dan jurus 'Pukulan 

Racun Hitam' yang bersarang di tubuhnya sudah 

bekerja, dan lambat laun akan merenggut 

nyawanya. 

Penderitaan itu semakin bertambah dengan 

kehilangan kedua kaki dan sepasang matanya. 

Dalam ingatannya, kembali terbayang saat 

mengeroyok Gardika yang dianggap sebagai tokoh 

jahat yang sangat kejam dan tidak kenal ampun. 

Padahal dia sendiri bukanlah orang yang 

berjalan lurus. Saat itu dia hanya mencari 

muka agar dapat nama di rimba persilatan 

dengan ikut serta dalam rencana melenyapkan 

Gardika 

Dunia memang aneh. Dalam tokoh aliran 

hitam, orang-orang yang berjalan di jalan 

lurus dianggap sebagai ancaman jahat yang 

harus dimusnahkan. Begitu pula sebaliknya. 

Sampai pada hari ini, seluruh orang rimba 

persilatan belum mengetahui, Gardika berdiri 

di dalam golongan yang mana. Tindakannya


sangat membingungkan. Kadang membantu yang 

lemah dan menumpas kejahatan, kadang pula di 

lain waktu malah memusuhi tokoh-tokoh rimba 

persilatan beraliran putih. Dalam keadaan 

begitu, kedudukan seorang tokoh yang berada di 

tengah-tengah memang memiliki musuh berlipat 

ganda. Semua orang bisa menjadi kawan, juga 

bisa menjadi lawan. 

"Kau punya waktu tiga hari untuk hidup, 

Jantara Katakan pada semua teman-temanmu kalau 

aku akan datang membuat perhitungan pada 

mereka," kata Bayu tetap dingin suaranya. 

Jantara tidak dapat berkata-kata lagi. 

Suara Bayu juga seperti antara terdengar dan 

tidak. Rasa sakit yang begitu kuat membuatnya 

jatuh pingsan. Jantara tidak ingat apa-apa 

lagi. Bahkan ketika Bayu pergi 

meninggalkannya, dia juga tidak tahu lagi. 

Saat itu yang dirasakan dan diinginkan 

hanyalah satu, mati...! 

*** 

Lama juga Jantara tidak sadarkan diri. 

Sebelum matahari terbit, laki-laki tua 

berjubah merah yang kedua kakinya sudah 

buntung itu mulai bergerak-gerak. Suara 

erangan terdengar lirih dari mulutnya. Darah 

mulai membeku. Tangannya menggapai-gapai 

sambil menyeret tubuhnya yang lemah. 

"Oh, Tuhan... kenapa kau tidak cabut saja 

nyawaku? Kenapa kau beri aku siksaan begitu 

berat...?" rintih Jantara lirih. 

Sambil menahan sakit dan perih, Jantara 

terus merayap menggapai-gapai. Dia berhenti 

merayap ketika tangannya menyentuh sebatang 

tongkat pendek berujung bulan sabit. Jantara 

meraih senjata tongkatnya itu. Digenggamnya 

erat-erat tongkat itu dengan tangan gemetaran.


"Hidupku memang penuh berlumur dosa. Tapi, 

aku tidak ingin hidup menderita dan terhina. 

Tuhan..., akhirilah hidupku...," kembali 

Jantara merintih lirih. 

Pelahan-lahan tangannya terangkat tinggi. 

Ujung tongkat berbentuk bulan sabit diarahkan 

ke dadanya. Sambil mengatupkan rahang rapat-

rapat, Jantata menikam dadanya sendiri dengan 

senjatanya. Keluhan kecil terdengar, lalu 

tubuhnya terkulai lemah dengan dada tertembus 

tongkat pendek senjata andalannya sendiri. 

Darah kembali mengucur dengan deras dari dada 

yang tertembus tongkat pendek. 

Pada saat itu tampak empat orang berlari-

lari kecil menuju ke arah tubuh Jantara yang 

sudah tidak bernyawa lagi. Mereka adalah 

Rengganis dan tiga orang pengawal setianya. 

Wanita berbaju hijau yang masih kelihatan 

cantik itu langsung memburu dan menubruk tubuh 

jantara. 

"Paman...! Apa yang terjadi...?" sentak 

Rengganis seraya mengangkat tubuh Jantara ke 

atas pangkuannya. 

Rengganis hampir tidak percaya melihat 

keadaan tubuh laki-laki tua berjubah merah 

itu. Keadaannya sungguh mengenaskan! Tanpa 

disadari, setitik air bening menggulir di pipi 

yang putih kemerahan. Ya... Rengganis, wanita 

yang tegar dan berilmu tinggi itu menangisi 

kepergian laki-laki tua yang dipanggil paman 

itu. 

"Siapa yang melakukan ini padamu, Paman? 

Katakan! Siapa...?" tanya Rengganis dengan 

suara tersendat. 

Rengganis mengangkat kepalanya. 

Pandangannya langsung menembus tiga orang 

laki-laki bersaudara yang berdiri saja di 

depannya dengan wajah tertunduk. Mata wanita


itu beralih menatap kapal besar dan mewah yang 

sudah hancur berkeping-keping. Api masih 

terlihat dari puing-puing yang berserakan 

dipermainkan ombak. Tidak tahu lagi, perasaan 

apa yang berkecamuk di dalam dadanya. Pelahan-

lahan ia berdiri mengangkat tubuh Jantara yang 

sudah kaku itu. 

Sebentar Rengganis berdiri tegak membopong 

tubuh yang sudah tidak utuh lagi itu. 

Pandangannya lurus menatap ke tengah laut 

lepas Air bening masih menitik turun di 

pipinya yang kemerahan. Pelahanlahan dia 

berbalik dan melangkah meninggalkan dermaga 

itu. 

"Nyai, pasti ini perbuatan Pendekar Pulau 

Neraka itu," kata Gamar. 

Rengganis hanya diam saja. Kakinya terus 

melangkah pelan-pelan dengan pandangan ke 

depan. Dia seperti tidak mendengar kata-kata 

Gamar. 

"Benar-benar licik! Dia sengaja memancing 

kita menjauhi dermaga!" kata Ganang agak 

menggeram. 

"Nyai, akan kau bawa ke mana mayat Itu!" 

tanya Ganis. 

Rengganis berhenti melangkah. Dia berbalik 

dan menatap tajam pada Ganis. Kata-kata lelaki 

itu seperti menyentakkan hatinya. Yang ditatap 

hanya menundukkan kepala saja. 

"Kalian siapkan kereta. Aku akan membawa 

jenazahnya ke makam keluarga!" perintah 

Rengganis tegas. 

"Nyai...," Ganis ingin membantah. 

"Kalian tahu, Paman Jantara adalah adik 

sepupu ibuku. Dia harus dimakamkan dekat 

keluarganya," kata Rengganis datar. 

Ganis, Gamar dan Ganang hanya bisa diam. 

Mereka baru tahu kalau Jantara atau si Tongkat


Samber Nyawa adalah benar-benar paman sedarah 

junjungannya ini. Pantas saja laki-laki 

berjubah merah itu selalu mengkhawatirkan 

Rengganis. Dan tampaknya Rengganis juga begitu 

menghormatinya. Padahal mereka semua tahu 

kalau tingkat kepandaian Rengganis satu 

tingkat di atas si Tongkat Samber Nyawa. 

Rupanya mereka masih ada kaitan darah 

keturunan. 

Ganis tidak membantah lagi. Segera dijak 

kedua adiknya mempersiapkan kereta kuda yang 

terpancang di samping sebuah kedai tidak jauh 

dari dermaga. Sedangkan Rengganis kembali 

melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Sedikit 

pun ia tidak mengetahui kalau dari tempat 

tersembunyi sepasang mata tajam mengawasi 

gerak-geriknya sejak tadi. 

*** 

Hampir satu harian Rengganis berdiri 

mematung di depan makam Jantara. Pandangan 

matanya kosong menatap lurus kepada gundukan 

tanah merah di ujung kakinya. Sementara tiga 

saudara yang mengawalnya, berdiri agak jauh 

memperhatikan. Rengganis mendesah panjang 

sambil mengangkat kepalanya. Dia menoleh dan 

menatap pada tiga orang laki-laki yang menanti 

dengan setia di bawah pohon rindang. 

"Apa yang harus kami kerjakan, Nyai?" 

tanya Ganis seraya mendekat diikuti kedua 

adiknya. 

Rengganis tidak menyahut, tetapi hanya 

berbalik dan mengayunkan langkahnya 

meninggalkan pusara Jantara. Dirinya sendiri 

tidak tahu lagi, apa yang harus dikerjakan. 

Mereka semua belum pernah bertemu dengan


pemuda yang bernama Bayu, putra tunggal Dewa 

Pedang yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka. 

Yang membuat Rengganis sulit menentukan 

langkah selanjutnya adalah ketidaktahuannya 

tentang pemuda yang muncul ingin membalas 

dendam itu. Kemunculannya yang pertama sudah 

membawa korban tidak sedikit. Dia dapat 

mengalahkan Jantara dengan mudah. Jelas 

tingkat kepandaiannya tinggi sekali! 

"Apa tidak sebaiknya kita mendahului 

daripada didahului, Nyai," kata Ganis 

mengusulkan. 

"Maksudmu?" tanya Rengganis tetap 

melangkah tanpa menoleh sedikit pun. 

"Kita harus mencari dan menemuinya lebih 

dahulu," Ganis menjelaskan. "Aku rasa kita 

berempat mampu menandinginya." 

"Tidak semudah itu, Ganis. Sampai saat ini 

belum ada seorang pun yang tahu, siapa dan 

bagaimana rupanya," sahut Rengganis pelan. 

"Rasanya tidak begitu sulit, Nyai," 

celetuk Gamar. 

Rengganis berhenti melangkah dan memandang 

Gamar. 

"Bukankah Paman Jantara pernah mengatakan 

kalau pemuda itu membawa senjata aneh 

berbentuk cakra? Dan dia juga mengenakan baju 

dari kulit harimau. Tidak sulit mencari orang 

dengan cin-ciri seperti itu, Nyai," lanjut 

Gamar. 

"Dunia ini luas, Kakang Gamar," selak 

Ganang. "Ciri-cirinya memang menyolok dan 

mudah dikenali. Tapi di mana kita harus 

mencarinya?" 

Tidak ada yang menjawab. Semua terdiam 

dengan pikiran masing-masing. Posisi mereka 

saat ini tidak lebih dari binatang buruan. 

Maut setiap saat datang menjemput. Sekeliling


mereka sudah terselimut hawa maut. Setiap saat 

Pendekar Pulau Neraka yang menyeramkan itu 

bisa muncul mencabut nyawa mereka. Satu posisi 

yang benar-benar tidak menguntungkan sama 

sekali. 

"Sudahlah! Tidak perlu kalian ikut sibuk 

memikirkan orang itu. Kita tunggu saja. Kalau 

dia muncul, kita sambut. Kalau dia 

menginginkan main kucing-kucingan, usahakan 

jangan jadi tikus," kata Rengganis. 

"Kalian memang sudah jadi tikus!" 

Rengganis dan tiga orang pengikut setianya 

terkejut mendengar suara yang menggema. Kata-

kata itu demikian jelas terdengar, seolah-olah 

datang dari segala penjuru. 

Belum lagi hilang gema suara itu, muncul 

lagi suara siulan panjang bernada tinggi 

melengking. Siulan yang mengandung tenaga 

dalam, dan mampu membuat gendang telinga 

pecah! Rengganis buru-buru mengerahkan hawa 

murni dan menutup telinganya dengan 

menyalurkan tenaga dalam. Sementara ketiga 

bersaudara itu sudah kelihatan sibuk menutup 

telinga dengan tangan. Suara siulan itu 

semakin terdengar menyakitkan. 

"Salurkan hawa mumi kalian. Tutup dengan 

tenaga dalam," perintah Rengganis. 

Ketiga bersaudara itu segera mengikuti 

kata-kata junjungannya. Namun ilmu tenaga 

dalam mereka memang masih kalah jauh, sehingga 

usaha mereka sia-sia saja. Bahkan kini keadaan 

jadi bertambah buruk lagi. Ganang yang lebih 

muda sudah menggelepar di tanah. Dari mulut, 

hidung, dan telinganya mengucur darah. Keadaan 

kedua kakaknya tidak kalah parahnya. Mereka 

seperti kehabisan napas karena memaksakan diri 

mengerahkan tenaga dalam dengan menutup 

gendang telinga.


"Hiyaaa...!" 

Tiba-tiba saja Rengganis berteriak nyaring 

seraya mencabut kipas kembarnya. Dengan cepat 

dikebut-kebutkan kipas itu ke depan dan ke 

atas. Saat itu juga di sekitar mereka bertiup 

angin keras menderu-deru. 

Dan bersamaan dengan menghilangnya suara 

siulan melengking tinggi, meluncur sebuah 

benda berwarna keperakan ke arah wanita cantik 

berbaju hijau itu. Benda pipih bagai piring 

itu mendesing ke arah Rengganis. "Hait...!" 

Rengganis melentingkan tubuhnya ke udara 

sambil mengipaskan kipas baja putihnya 

menyampok benda pipih seperti piring itu. 

Namun tanpa diduga sama sekali, benda itu bisa 

berputar menghindar dan berbalik arah. Buru-

buru Rengganis meluruk jatuh ke tanah dan 

bergulingan beberapa kaH sebelum bangkit 

berdiri. 

"Hehhh...!" hembusan napas panjang 

terdengar. 

Rengganis berdiri tegak dengan sepasang 

kipas baja menyilang terbuka di depan dada. 

Matanya tajam menatap seorang laki-laki muda 

dan gagah berbaju kulit harimau. Di tangan 

kanannya menggenggam sebuah benda bulat pipih 

dengan sekelilingnya bergerigi bengkok 

berjumlah enam buah. 

Sementara tiga saudara yang tergeletak di 

tanah sudah mulai bangkit berdiri. Mereka 

langsung bergerak seperti melindungi 

junjungannya. Sepertinya mereka tidak peduli 

dengan kondisi tubuh yang sudah tidak prima 

lagi. Siulan panjang melengking tadi benar-

benar menguras tenaga dalam dan kekuatan. 

Darah masih tampak mengucur dari hidung, 

mulut, dan telinga.


"Kau yang bernama Bayu, Pendekar Pulau 

Neraka itu?" tanya Rengganis ketus. 

"Benar! Aku datang untuk menagih hutang 

padamu," sahut pemuda berbaju kulit harimau 

itu. 

"Hm... rasanya kita belum pernah bertemu 

sebelumnya. Hutang apa yang harus kubayar?" 

"Nyawa!" 

Rengganis mengerutkan keningnya. Dia 

memang sudah mendengarnya dari Paman Jantara. 

Tapi dia belum yakin kalau bayi yang baru 

berumur beberapa hari bisa hidup di pulau 

angker yang tidak pernah terjamah manusia itu! 

Rengganis ingat. Ketika bayi itu diberi nama, 

di dada sebelah kiri digambar sekuntum bunga 

teratai sebagai keturunan Dewa Pedang, ahli 

waris Padepokan Teratai Putih. 

Kening wanita itu kembali berkerut melihat 

gambar bunga teratai tertera pada dada sebelah 

kiri pemuda berbaju kulit harimau di depannya. 

Tidak dapat disangka! lagi, pemuda itu memang 

benar putra Dewa Pedang yang berhasil dibawa 

lari ke Pulau Neraka oleh salah seorang murid 

setia Padepokan Teratai Putih. Kini pemuda itu 

sudah menjelma menjadi seorang pemuda gagah 

dan tampan dengan membawa sejuta dendam di 

hatinya. Tatapannya saja sangat sadis dan 

kejam! 

"Baiklah, kalau kau ingin membalas 

kematian Ayah dan Ibumu, aku tidak akan lari 

menghindar. Semua memang tanggung jawabku. 

Tapi perlu kau ketahui, Bayu. Sejak peristiwa 

itu aku selalu dihantui perasaan bersalah. 

Oleh sebab itu aku setiap tahun selalu 

memperingatinya. Sudah banyak orang yang aku 

perintahkan mencarimu ke Pulau Neraka dengan 

hadiah tinggi. Tapi tidak ada seorang pun yang


menyanggupi. Aku khilaf waktu itu, Bayu. Aku 

terlalu dipengaruhi hawa nafsu dan dendam. 

Nah, sekarang kalau kau ingin menagih hutang, 

aku akan membayarnya," kata Rengganis. 

"Sungguh manis kata-katamu, Rengganis. 

Sayang sekali, ucapanku tidak mungkin dicabut 

kembali. Hutang nyawa harus dibayar nyawa," 

sahut Bayu dingin. "Aku tidak akan melawan, 

Bayu. Aku memang harus menebusnya dengan 

nyawa," kata Rengganis yang memang menyesali 

tindakannya setelah tahu kalau yang membantai 

keluarganya bukan Dewa Pedang, tapi malah 

pamannya sendiri. 

"Bedebah! Kau pikir aku akan mengampunimu, 

Perempuan Setan! Jangan harap! Kau harus 

bertarung sampai di antara kita ada yang 

tewas!" geram Bayu. 

"Kau yang meminta, Bayu. Dan aku tidak 

bisa menolak " 

"Jangan banyak omong! Ayo, kita bertarung 

sampai mati!" 

"Aku terima tantanganmu." 

*** 

Bayu mencabut senjatanya yang berbentuk 

cakra bersegi enam dari pergelangan tangan 

kanan. Digenggamnya senjata itu dengan tangan 

kiri pada salah satu ujungnya. Sepasang 

matanya menatap tajam, lurus kebola mata 

wanita cantik berbaju hijau di depannya. 

Sedikit pun tidak dipedulikannya tiga laki-

laki yang sudah menghunus senjata masing-

masing. 

"Kenapa diam? Hayo serang aku, Putra Dewa 

Pedang!" seru Rengganis memanaskan.


Bayu masih tetap diam, berdiri tegak. 

Sepertinya dia ragu-ragu untuk menyerang lebih 

dulu. Matanya tetap menatap tajam, namun 

sinarnya tidak lagi menyala seperti semula. 

Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya diliputi 

kebimbangan. Dari keterangan yang telah 

diperolehnya, pembunuh kedua orang tuanya 

bukan Rengganis. Tidak ada yang tahu siapa 

orangnya, namun otaknya jelas wanita itu. 

Wanita yang seharusnya dihormati. Karena 

bagaimanapun juga Rengganis adalah istri 

ayahnya. Itu berarti ibu titinya juga. 

Pelahan-lahan Bayu menempelkan kembali 

senjatanya ke pergelangan tangannya yang 

terbalut kulit harimau dan sebentuk gelang 

berwarna perak. Dia sendiri tidak mengerti, 

kenapa rasa dendam dan ke benciannya mendadak 

saja pudar. Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju 

kulit harimau itu berbalik dan melangkah 

pergi. 

Sementara tiga orang bersaudara saling 

pandang. Dan tanpa menunggu perintah lagi, 

mereka berlompatan sambil mengebutkan senjata 

masing-masing. Desiran angin yang halus 

membuat Bayu kembali berbalik, lalu secepat 

kilat tangan kanannya mengibas ke depan. 

Wut! 

Senjata cakra di pergelangan tangan 

langsung melesat bagai kilat. Hal ini membuat 

Ganis yang berada paling dekat jadi 

terpengaruh. Buru-buru dikibaskan senjatanya, 

tapi gerakannya kalah cepat. Senjata cakra 

yang telah meluncur itu lebih cepat lagi 

menghujam dadanya. 

"Aaakh...!" Ganis memekik nyaring. 

Bersamaan dengan terjengkangnya tubuh 

Ganis, senjata cakra itu kembali melesat pada


pemiliknya. Dan dengan cepat pula Bayu 

mengibaskan tangan kanannya. 

"Hiya,..!" 

Secepat senjata cakra itu melesat kembali, 

secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka 

melenting sambil menghantamkan tangannya ke 

dada Ganang dan Gamar. Serangan pemuda berbaju 

kulit harimau itu demikian cepat dan sulit 

diikuti oleh mata biasa. Mereka tidak sempat 

berkelit lagi. Dua jeritan panjang terdengar 

saling susul. Tidak lama kemudian, Ganang dan 

Gamar terjembab tak bernyawa lagi. 

Bayu berdiri tegak di antara tiga tubuh 

yang tergeletak tak bernyawa. Tatapan matanya 

tajam menusuk ke bola mata Rengganis yang 

tetap berdiri menyaksikan. Namun dari sinar 

mata wanita itu tersirat suatu perasaan kaget 

bercampur kagum. Betapa tidak? 

Hanya dua kali gerakan saja, tiga orang 

pengawal setianya roboh tanpa mampu memberi 

perlawanan sedikit pun. Mereka memang dalam 

keadaan terluka dalam akibat tidak mampu 

menahan serangan suara tenaga dalam melalui 

siulan yang dikeluarkan Bayu tadi. Tapi, 

rasanya sulit dipercaya kalau mereka dapat 

ditewaskan dalam waktu yang begitu cepat. 

"Kau benar-benar licik, Rengganis!" ketus 

suara Bayu. 

"Mereka pengikut setiaku. Perbuatan mereka 

hanya untuk melindungiku," kata Rengganis 

kalem. 

"Dengan cara membokong? Ck..., ck..., 

ck...," Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Rengganis diam saja. Memang diakui, 

perbuatan ketiga pengawal setianya adalah 

licik dan tidak ksatria. Tapi dia tidak 

mungkin menyalahkan tiga bersaudara itu. Dia 

tahu, perbuatan itu dilakukan karena rasa


tanggung jawab dan pengabdian mereka. Kejadian 

itu membuat mata Rengganis terbuka. Dia 

seperti baru menyadari arti kesetiaan dan 

pengabdian. 

Dan yang dilakukan Dewa Pedang memburu 

keluarganya ketika menjadi panglima perang, 

adalah semata-mata karena tugas dan 

pengabdiannya. Namun semua itu telah dikotori 

oleh hati busuk yang hanya mementingkan 

pribadi. Kedudukan, kemuliaan, dan harta dunia 

memang bisa membuat mata hari tertutup. Begitu 

pula dengan dendam yang juga dapat membutakan 

mata hati. 

Rengganis merasa dirinya baru saja 

terbangun dari mimpi panjang. Dia seorang 

wanita yang memiliki kepandaian tinggi, namun 

tidak pernah digunakan untuk kebaikan selama 

puluhan tahun. Semua yang dimilikinya hanya 

digunakan untuk membunuh dan memberantas 

orang-orang tidak bersalah. Kini semua 

perbuatannya harus ditanggungnya sendiri. 

Bahkan mereka yang hanya ikut-ikutan saja, 

juga harus menanggung akibatnya. Kemunculan 

Pendekar Pulau Neraka merupakan awal dari 

kesadaran pribadinya. 

"Cabut senjatamu, Rengganis!" bentak Bayu. 

Rengganis kembali mencabut senjata andalannya 

berupa sepasang kipas baja putih yang telah 

diselipkan di balik ikat pinggangnya. Dia 

memang tidak punya pilihan lain, dan mau tidak 

mau harus bertarung melawan anak tirinya 

sendiri. 

"Tadinya aku akan melupakanmu, Rengganis. 

Kau adalah istri ayahku juga. Tapi...," Bayu 

menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melihat 

tiga mayat yang terbujur tak tentu arah di 

dekatnya.


"Aku akan lebih merasa berdosa jika kau 

ampuni, Bayu," sahut Rengganis kalem dan 

tegas. 

"O..., tidak kusangka! Wanita sepertimu 

kenal dosa juga," suara Bayu terdengar sinis. 

"Cukup, Bayu! Aku tidak perlu ejekanmu. 

Ayo, kita bertarung sampai mati!" sentak 

Rengganis. Rupanya dia tidak tahan juga 

mendengar ejekan bayu. 

Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan 

bibir menyunggingkan senyuman sinis. Terlihat 

adanya kepasrahan dan sikap mengalah dari 

sinar mata wanita itu, meskipun ditutupi 

dengan kata-kata ketus dan tegas. 

"Ayo, Bayu! Kenapa diam?!" Rengganis jadi 

kesal juga melihat sikap Bayu. 

"Kau akan mati, Rengganis. Tapi aku ingin 

melihat penderitaanmu dulu," jawab Bayu 

dingin. 

"Mati pun tidak akan kusesali. Bayu." 

"Ya, karena kau sudah pasrah." 

"Tidak! Hiyaaa...!" 

*** 

Kata-kata Bayu yang membuat panas telinga 

membuat Rengganis semakin tersinggung dan 

marah, semua perbuatannya memang telah 

disesali dan diakui. Tapi dia pantang dihina 

dan direndahkan begitu saja. Telinganya terasa 

panas mendengar kata-kata penuh sindiran dan 

ejekan pemuda berbaju kulit harimau itu. 

Pertarungan tidak bisa dielakkan lagi. 

Tapi Bayu malah tersenyum sinis. Dalam 

beberapa jurus saja, sudah dapat ditebak kalau 

Rengganis sengaja membuka pertahanannya. 

Rengganis memang menyerang dengan ganas dan 

dahsyat, tapi tidak menghiraukan pertahanan.


Bahkan sengaja membuka pertahanannya lebar-

lebar. 

"Kau hanya bunuh diri saja, Rengganis," 

kata Bayu sambi! berkelit menghindari serangan 

wanita itu. 

"Jangan banyak omong! Serang aku!" dengus 

Rengganis kesal melihat lawannya hanya 

menghindar saja tanpa ada keinginan untuk 

balas menyerang. 

"Tidak! Sebelum kau sungguh sungguh 

bertarung, Rengganis." 

Merah padam muka Rengganis. Dia sungguh 

malu luar biasa. Ternyata lawan telah 

mengetahui kalau dia bertarung tidak sungguh-

sungguh. Bahkan sengaja memberi peluang besar 

dengan membuka pertahanan nya. Tidak ada yang 

dapat dilakukan Rengganis saat ini. Dia harus 

bertarung secara sungguh-sungguh. Dalam hari 

dikaguminya sikap satria Bayu yang ingin 

bertarung dengan lawan yang benar-benar siap. 

"Hup!" 

Bayu menggeser kakinya ke kanan ketika 

satu kibasan kipas di tangan kanan Rengganis 

hampir membelah dadanya. Bayu mencoba menyodok 

iga wanita itu dengan tangan kirinya. Namun 

tanpa diduga sama sekali kipas baja putih di 

tangan kiri Rengganis bergerak cepat 

menyampok, 

"Uts!" 

Buru-buru Bayu menarik kembali tangannya, 

lalu melentingkan tubuh sambil berputar ke 

belakang begitu sebuah kipas lainnya mengibas 

ke arah leher. Bayu belum sempat mengambil 

posisi, datang lagi serangan beruntun dari dua 

penjuru. Buru-buru ditarik mundur kepalanya 

sambil mengangkat tangan kanannya memapak 

serangan dahsyat kipas baja putih itu. 

Tring!


Rengganis buru-buru menarik tangannya saat 

ujung senjata kipasnya membentur pergelangan 

tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Seluruh 

tangannya bergetar bagai tersengat ribuan 

lebah. Sedangkan Bayu sedikit pun tidak 

merasakan apa-apa, bahkan langsung memberikan 

serangan balasan dengan cepat 

"Bagus! Hup, hiyaaa...!!!" 

Rengganis gembira melihat lawannya sudah 

mulai memberikan serangan balasan. Kini 

pertarungan berjalan sungguh-sungguh dan 

dahsyat. Masing-masing memberikan serangan 

yang mematikan. Tidak terasa mereka sudah 

menghabiskan puluhan jurus, namun belum ada 

tanda-tanda yang terdesak. 

Rengganis sadar kalau tenaga dalamnya 

masih berada di bawah lawannya. Hal ini 

terbukti ketika senjatanya beradu dengan 

senjata Pendekar Pulau Neraka yang menempel di 

pergelangan tangan kanan. Namun dia tidak jera 

juga, bahkan terus membenturkan senjatanya ke 

pergelangan tangan kanan lawannya. Akibatnya, 

dia selalu membuka pertahanan, dan itu sangat 

membahayakan jiwanya sendiri. 

Meskipun demikian, nampaknya Bayu tidak 

mau memanfaatkan kelengahan lawan. Hal ini 

membuat Rengganis semakin berang. Dia merasa 

seolah-olah Bayu sengaja mempermainkannya. 

Selama hidupnya, belum pernah dia dipermainkan 

seseorang sedemikian rupa. Keberangan harinya 

membuat Rengganis semakin memperhebat 

serangan. Tidak disadarinya kalau hal ini 

justru yang diharapkan Bayu. 

*** 

Keadaan sekitar pertarungan telah porak-

poranda. Batu-batu hancur berkeping-keping



Pepohonan tumbang tak tentu arah. Sementara 

pertarungan berjalan semakin sengit. Berpuluh-

puluh jurus sudah dilalui, belum ada tanda-

tanda akan berakhir. Matahari pun semakin 

tinggi. Sinarnya yang terik tidak dihiraukan 

lagi. 

"Huh! Anak ini benar-benar alot!" dengus 

Rengganis dalam hati. 

"Tidak kusangka! Wanita ini tangguh juga," 

gumam Bayu dalam hati. 

Mereka memang sama-sama tangguh. Bayu 

melompat keluar dari arena pertarungan. 

Keringat mengucur deras dari seluruh tubuhnya. 

Sebentar ditariknya nafas panjang, lalu dengan 

cepat tangan kanannya menghentak ke depan. 

Saat itu juga senjata cakra yang ada di 

pergelangan tangan kanannya melesat cepat 

bagai kilat. 

Rengganis mengangkat tangan dan membuka 

kipas sambil memiringkan tubuh ke kiri. Dengan 

senjata kipas baja putihnya ditangkis senjata 

cakra itu. 

Tring! 

Rengganis terkejut dan langsung melompat 

mundur. Kipas di tangannya terpental saat 

membentur cakra yang melesat cepat itu. Belum 

lagi hilang rasa kagetnya, cakra itu berbalik 

berputar dan kembali menyerangnya dengan 

cepat. Mau tidak mau, wanita itu membanting 

tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa 

kali sebelum melesat bangun. 

Pada saat yang tepat, Bayu melompat cepat 

dan menangkap senjatanya di udara. Sebelum 

Rengganis benar-benar siap, Pendekar Pulau 

Neraka itu sudah meluruk ke arahnya sambil 

mengibaskan tangannya. 

"Ah...!" Rengganis memekik terkejut.


Buru-buru diegoskan tubuhnya ke samping 

menghindari terjangan bagai kilat itu. Namun 

yang terjadi adalah .... 

"Akh!" pekikan tertahan terlontar dari 

mulut wanita itu. 

Rengganis menekan bahu kirinya yang 

tergores ujung cakra di tangan Bayu. Dan di 

saat tubuhnya limbung, satu pukulan keras 

menghantam dadanya. Tak pelak lagi, tubuh 

ramping berbalut baju hijau itu terlontar ke 

belakang beberapa depa. 

"Saatmu sudah tiba, Rengganis!" seru Bayu 

keras. 

Seketika itu juga Bayu menghentakkan 

tangannya, dan senjata di tangan kembali 

terlontar cepat dengan suaranya yang mendesing 

membelah udara. Rengganis terperangah sesaat, 

lalu cepat-cepat dilentingkannya tubuhnya ke 

atas. 

Namun tanpa diduga sama sekali, Pendekar 

Pulau Neraka itu melesat, sambil mendorong 

tangan kanannya dengan mengerahkan jurus 

'Pukulan Racun Hitam' Rengganis yang sedang 

menghindari serangan cakra, tidak dapat lagi 

berkelit. Dengan telak dadanya kembali 

terhantam pukulan telapak tangan lawannya. 

Akibatnya deras sekali tubuh Rengganis 

meluncur menghunjam ke tanah. 

Bayu meluruk turun setelah senjatanya 

menempel kembali dipergelangan tangan kanan. 

Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di 

depan dada. Sementar Rengganis berusaha 

bangun. Dari mulut dan hidungnya mengucur 

darah kental kehitaman. Pada bagian dadanya 

tergambar telapak tangan berwarna hitam 

menghanguskan bajunya. Dua kali dia terbatuk 

dan memuntahkan darah kental kehitaman. Dengan


terhuyung-huyung, wanita cantik berbaju hijau 

itu berdiri. 

"Kau hebat. Bayu. Ayahmu pasti bangga 

kepadamu," kata Rengganis memaksakan untuk 

berdiri tegap. "Terima kasih atas pujianmu, 

Rengganis. Tapi sayang, ajalmu sudah dekat," 

sahut Bayu sinis. 

"Aku akan mati tersenyum. Bayu." 

Bayu hanya tersenyum sinis. Dan tanpa 

memicingkan mata sedikit pun, dihentakkan 

tangan kanannya. Rengganis tetap berdiri tegak 

tak bergeming. Dia hanya menatap saja senjata 

bulat pipih yang mendesing cepat ke arahnya. 

Tentu saja hal ini membuat Bayu terperangah. 

Tidak disangka kalau wanita itu menjadi 

pasrah, dan tidak melakukan perlawanan lagi. 

Kelihatannya nekat sekali! 

Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar Pulau 

Neraka itu mengempos tubuhnya. Dia melesat 

cepat mengejar senjatanya yang sudah melayang 

bagaikan kilat kearah Rengganis. Tapi 

tindakannya terlambat..... 

"Aaakh!" Rengganis menjerit menyayat. 

Sebentar tubuhnya masih berdiri tegak, 

lalu limbung, tak lama kemudian tubuhnya 

ambruk ke tanah dengan cakra tertanam dalam di 

dadanya. Bayu langsung menubruk dan mencabut 

senjatanya dari dada wanita itu. Diangkatnya 

tubuh Rengganis dan diletakkan di pangkuannya. 

"Oh..., Bayu.. ," lemah dan lirih suara 

Rengganis. 

"Tidak...! Aku..., aku tidak bermaksud 

membunuhmu. Kau... Kau ibuku...," suara Bayu 

tersendat. 

"Aku bukan ibumu. Bayu. Aku pembunuh ibu 

dan ayahmu. Aku memang pantas mati di 

tanganmu."


Bayu meletakkan tubuh Rengganis di atas 

rerumputan, kemudian berdiri dan melangkah 

mundur beberapa tindak. Kepalanya menggeleng-

geleng. Pandangannya seperti orang yang tidak 

percaya dengan perbuatannya sendiri. 

"Kau..., kau.... Tidak! Katakan padaku! 

Kau bukan pembunuh orang tuaku! Katakan! Siapa 

yang membunuh orang tuaku?!" sentak Bayu 

seolah olah kehilangan akal. 

"Aku yang membunuh mereka, Bayu. Aku yang 

merencanakan semuanya. Aku tidak tahu. Aku 

khilaf. Mata hatiku tertutup mendengar cerita 

mereka yang..., ah!" 

"Katakan! Siapa mereka?!" desak Bayu 

"Mereka.... Ugh, ugh!" 

Bayu kembali mendekat, dan berlutut di 

samping wanita yang tengah sekarat itu. Dia 

memang telah memiliki banyak keterangan 

tentang wanita ini. Bayu memang tidak yakin 

kalau perbuatan Rengganis dalam keadaan sadar. 

Pasti akibat hasutan dari orang lain. Hati 

pemuda itu jadi berperang sendiri. 

Bagaimanapun juga, Rengganis adalah istri 

ayahnya, yang berarti juga ibu tirinya. 

"Katakan padaku, Bibi. Siapa mereka?" 

desak Bayu. 

"Kau..., kau memanggilku Bibi, Bayu?" 

wajah Rengganis langsung berubah cerah. Namun 

pandangan matanya seperti tidak percaya dengan 

pendengarannya. 

"Katakan padaku, Bibi. Siapa yang 

menghasutmu? Katakan, Bibi!" desak Bayu. 

"Bayu...," desah Rengganis bahagia 

mendengar dirinya dipanggil bibi oleh pemuda 

ini. 

Bayu membiarkan saja tangannya digenggam. 

Juga dibiarkan saja tangannya diciumi wanita 

itu. Mereka memang bennusuhan. Tapi, mereka


juga tidak bisa memungkiri tali ikatan yang 

ada pada diri mereka. Rasa dendam, sakit hati, 

dan kebencian, seketika luntur diterjang 

perasaan haru yang begitu kuat mendesak. 

"Bibi..!" sentak Bayu saat wanita itu 

mengejang. 

"Bayu, maafkan aku...," lirih dan 

tersendat suara Rengganis. 

Bayu menggigit-gigit bibirnya sendiri 

menahan sesuatu yang hampir meledak dari dalam 

dadanya. Kedua bola matanya berkaca-kaca 

memandangi wajah Rengganis yang semakin pucat 

membiru. 

"Bayu..., setelah kuketahui ayahmu tidak 

bersalah, aku selalu dihantui perasaan berdosa 

yang tidak terampuni. Mereka memang jahat 

dengan memanfaatkan aku untuk membalas sakit 

hati dan dendam pribadi mereka, jumlah mereka 

banyak, Bayu. Aku memang bodoh, aku tidak tahu 

kalau aku hanya dijadikan alat dan boneka 

pancingan. Aku menyesal Bayu. Maafkan aku...," 

semakin lemah dan lirih suara Rengganis. 

"Bibi..," ujar Bayu tersentak. 

"Mereka semua sangat tangguh. Aku tidak 

berdaya. Aku tidak mampu menandinginya. Bayu. 

Maukah kau membalaskan sakit hatiku? Maukah 

kau menghancurkan mereka?" 

Bayu mengangguk. "Terima kasih, Bayu...." 

"Bibi...!" 

Rengganis tersenyum dan pelahan-lahan 

matanya terpejam. 

"Bibi..., katakan! Siapa mereka?! Aku 

nanti pasti akan membalas sakit hatimu. 

Katakan, siapa mereka. .?" 

Bayu menggoyang-goyang tubuh Rengganis. 

Tapi wanita itu sudah tidak bergerak lagi. 

Rengganis telah menghembuskan nafasnya yang 

terakhir dengan bibir tersenyum. Bayu tidak


mampu lagi menguasai diri dan perasaannya. 

Dipeluknya tubuh wanita itu. Dan tanpa dapat 

dibendung lagi, air matanya menitik pelahan. 

Kebencian dan kesadisannya hilang sejenak. 

Tatapan nya pun lesu. 

*** 

Seharian penuh Bayu duduk mencangkung di 

atas batu hitam. Tidak jauh di depannya tampak 

gundukan tanah merah yang masih bani. Hanya 

sebuah batu sebesar kepala yang menandakan 

kalau gundukan tanah merah itu adalah sebuah 

makam yang masih baru. Kesanalah pandangan 

mata pemuda berbaju kulit harimau itu menatap. 

Desahan napas panjang terdengar Dari balik 

saku ikat pinggangnya dikeluarkannya secarik 

kain merah muda penuh dengan tulisan darah 

yang telah kering. Tatapannya beralih pada 

secarik kain itu! 

"Aku harus mencari mereka. Ya..., harus!" 

desahnya bergumam. 

Pelahan-lahan pemuda berbaju kulit harimau 

itu bangkit berdiri. Sebentar matanya menatap 

ke arah makam baru di depannya, kemudian 

dimasukkan kain merah muda ke dalam ikat 

pinggangnya. Kembali dia mendesah panjang dan 

terdengar berat. Pelahan-lahan kakinya terayun 

ke arah matahari terbenam. 

"Sayang, Bibi Rengganis tidak memberi 

banyak keterangan. Biarpun jumlah mereka 

banyak, aku harus mencari mereka dan membuat 

perhitungan yang setimpal. Mereka pasti orang-

orang yang kejam. Hmmm..., aku juga tidak akan 

bermurah hati. Siapapun orang yang berbuat 

kejam didepanku, harus mati! Ya..., mati!" 

gumam Bayu mendesis.


Pada saat itu di atas kepalanya melintas 

seekor 

burung. Sejenak Bayu menatap burung itu, 

lalu tangan kanannya menghentak ke atas. 

Cakra, di pergelangan tangannya langsung 

melesat cepat bagai kilat. Tak ampun lagi, 

burung yang tengah terbang bebas itu meluruk 

jatuh begitu lehernya terpenggal. Bayu 

mengangkat tangan kanannya, maka cakra itu 

kembali menempel di pergelangan tangannya. 

Dia membungkuk dan memungut bangkai burung 

yang masih mengeluarkan darah segar dan 

hangat. Dipandanginya leher binatang malang 

itu. Leher yang sudah tidak memiliki kepala 

lagi. 

"Tunggulah kalian! Akan kubuat kalian 

seperti ini!" seru Bayu sambil mengangkat 

bangkai burung tinggi-tinggi. Tatapannya 

sangat sadis dan penuh dendam! 

Bangkai burung itu kembali melayang tinggi 

keudara, dilemparkan dengan mengerahkan tenaga 

dalam penuh. Bayu memandanginya sampai bangkai 

burung malang itu lenyap di balik lebatnya 

pepohonan. Sesaat kemudian kakinya kembali 

terayun menuju kearah matahari terbenam. 

Pada saat itu sang surya memang sedang 

meluncur untuk bersembunyi di balik belahan 

bumi Barat. Sinarnya yang merah jingga seperti 

menyongsong kehadiran seorang pendekar muda 

yang penuh bara dendam. Pendekar Pulau Neraka 

yang akan menggegerkan rimba persilatan! 

Silakan Anda tunggu kisah petualangan 

berikutnya. dari Pendekar Pulau Neraka yang 

sadis ini!


                                    SELESAI




.


Share:

0 comments:

Posting Komentar