BUNGA DALAM LUMPUR
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia,Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh TonyG.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarangmengcopyatau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Bunga Dalam Lumpur
128 hal. ;12 x18 cm
1
Sorak sorai yang diselingi tepuk tangan dan
mulut-mulut usil terdengar riuh dari orang yang
memadati halaman besar sebuah bangunan batu
menyerupai puri. Di tengah-tengah lingkaran
bergaris putih, terlihat dua orang bertubuh tinggi
kekar dengan otot-otot bersembulan sedang
berlaga. Tubuh mereka yang hanya mengenakan
cawat dari kulit binatang, telah kotor oleh tanah
berlumpur.
Tampak pada bagian atas undakan bangunan
puri itu, duduk seorang laki-laki berusia sekitar
enam puluh tahun di atas kursi berukir. Dia
dikawal empat orang bersenjata tombak dan
pedang. Di sampingnya duduk seorang wanita
muda yang wajahnya terlindung cadar tipis dari
sutra. Dalambayang-bayang cadar tipis itu, masih
terlihat seraut wajah cantik yang memiliki mata
bening bercahaya. Namun nampak jelas kalau
wanita itu tidak menyenangi acara adu kekuatan.
Dari sikapnya yang selalu gelisah, mencerminkan
ketidaktahannya berlama-lama di situ.
Sementara itu dua orang yang berlaga sudah
mencapai puncaknya. Suara sorak sorai
bergemuruh ketika salah seorang terjerembab
tewas dengan dada tertembus golok besar dan
panjang. Orang yang memperoleh kemenangan
itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas,
kemudian membungkuk memberi hormat pada
laki-lakiyang dikawal empat orang bersenjata itu.
Seorang laki-laki tua berjubah kuning gading
dan berkepala gundul mendekatkan wajahnya
pada laki-laki di depannya yang berbaju indah
dihiasi manik-manik dan sulaman benang emas.
Dia membisikkan sesuatu.
"Silakan, umumkan saja," kata orang yang
duduk di kursiberukir itu.
Orang tua berjubah kuning gading itu
kemudian mendekati seorang laki-laki bertubuh
tinggi tegap dan berkumis tebal melintang. Juga
dibisikkan sesuatu, dan laki-laki tegap berkumis
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian laki-laki berkumis melintang itu
melangkah maju tiga tindak, lalu menjura
memberihormat.
"Ada pengumuman dari Yang Mulia Sura
Antaka. Siapa saja boleh maju menantang Singo
Barong. Yang menang akan mendapat hadiah
seratus keping emas!" lantang suara laki-laki
berkumis itu.
Pengumuman itu disambut gegap gempita,
namun tidak ada seorang pun yang melompat
maju ke arena. Sedangkan laki-laki bertubuh
tinggi tegap dan berwajah beringas, berdiri tegak
dengan angkuhnya. Sikapnya menantang siapa
saja yang mau mencoba bertanding dengannya.
"Ayah, boleh aku pergi sebentar?" wanita yang
duduk di samping Sura Antaka memohon lembut.
"Sebentar lagi, anakku. Pertunjukkan belum
selesai," kata Sura Antaka.
Wanita bercadar tipis itu langsung diam. Dari
sinar matanya dapat ditebak kalau dia semakin
tidak senang dengan semua pertunjukkan ini, tapi
tidak berani untuk meninggalkannya. Dia tahu
kalau ayahnya sangat disegani dan ditakuti di
daerah Utara ini. Seorang yang memiliki
kekuasaan besar, meskipun bukan raja.
Pengikutnya cukup banyak, dan rata-rata
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Sementara itu, dari kerumunan penonton yang
tidak bisa diam mulutnya, melompat seorang
pemuda ke tengah-tengah arena. Wajahnya cukup
tampan. Namun luka codet di pipi kirinya sangat
mengganggu, dan seperti mengurangi
ketampanannya. Dia menjura memberi hormat
pada Sura Antaka.
“ Yang Mulia, aku minta hadiahnya ditambah.
Aku menginginkan Putri Dewi Mustikaweni
menjadihadiahnya,” kata pemuda itu lantang
"Bocah lancang! Berani benar menghina Putri
Dewi Mustikaweni!" bentak laki-laki tua berjubah
dan berkepala gundul itu
“Pendeta Ajisaka, bagiku seratus keping emas
tidak ada artinya. Hanya Putri Dewi Mustikaweni
yang menjadi keinginanku," tegas pemuda itu
semakin berani.
Sementara Singo Barong menggeram marah
mendengar kelancangan mulut calon lawannya,
tapi tidak bisa berbuat apa-apa sebelum
mendapat perintah dari junjungannya. Singo
Barong hanya bisa menatap dengan mata merah
membara penuh kemarahan. Saat itu Sura
Antaka bangkit dari kursinya. Suasana yang
semula riuh, mendadak sunyi. Semua orang yang
berada di tempat itu menjadi berdebar mendengar
kelancangan mulut pemuda codet di pipi kirinya
itu.
"Anak muda, siapa namamu? Dari mana kau
berasal?" tanya Sura Antaka kalem nada
suaranya.
"Aku Gagak Codet, dan berasal dari Gunung
Pitu. Sengaja datang ke sini untuk mengikuti
pertandingan ini. Tapi tujuanku hanya untuk
memboyong putrimu!" lantang jawaban pemuda
yang mengaku bernama Gagak Codet
"Kau sudah kenal putriku?" tanya Sura
Antaka lagi. Nada suaranya masih terdengar
tenang.
"Belum."
Suara tawa langsung pecah seketika. Tapi
suara tawa itu seketika berhenti ketika Gagak
Codet membentak dengan keras. Sedangkan Sura
Antaka hanya tersenyum saja.
"Baiklah, Gagak Codet. Aku terima
tawaranmu. Tapi kalahkan dulu Singo Barong.
Setelah itu hadapi Macan Gadak, kemudian
Pendeta Ajisaka. Dan yang terakhir aku sendiri.
Bagaimana?"
'Tidak perlu satu-satu. Lebih baik maju
semua!" tantang Gagak Codet.
"Sombong!" dengus Singo Barong semakin
muak.
"Aku bukan orang yang senang main
keroyokan, Gagak Codet Nah! Lawanlah Singo
Barong lebih dahulu," masih terdengar tenang
nada suara Sura Antaka.
Belum lagi kata-kata Sura Antaka hilang dari
pendengaran, Singo Barong sudah menggeram
keras, lalu secepat kilat melompat menerjang
Gagak Codet. Namun terjangan itu dengan manis
sekali dapat dihindarkan. Bahkan Gagak Codet
masih mampu memberikan pukulan keras ke
arah kepala manusia bertubuh tinggi tegap dan
kotor berlumpur itu. Sekitar arena pertandingan
itu memang becek dan berlumpur.
Sorak dan tepuk tangan serta celetukan-
celetukan memanasi kembali terdengar. Sura
Antaka kembali duduk di kursinya. Bibirnya tetap
tersenyum menyaksikan pertarungan yang sudah
berlangsung sengit itu. Nampak sekali kalau
Gagak Codet memiliki kemampuan yang cukup
tinggi. Gerakan-gerakannya lincah, dan setiap
pukulannya mengandung pengerahan tenaga
dalam yang tinggi. Beberapa kali Singo Barong
terkena pukulan pemuda berwajah codet pada
pipi kirinya itu. Tapi tubuh Singo Barong memang
kebal, bagai terbuat dari baja. Dia hanya
menggerung setiap terkena pukulan atau
tendangan pada tubuhnya.
***
Hari sudah menjelang senja, tapi pertarungan
antara Singo Barong melawan Gagak Codet
masih terus berlangsung sengit. Kini Gagak Codet
sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa
pedang tipis dan panjang, hampir melebihi
panjang tangannya sendiri. Dan Singo Barong
pun sudah menggenggam goloknya yang besar
dan nampak berat itu.
"Modar! Hiyaaat...!" tiba-tiba Gagak Codet
berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya
cepat, mengarah ke dada Singo Barong. Namun
laki-laki bertubuh tinggi besar penuh lumpur itu
malah menurunkan tangannya, lalu membuka
dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, tebasan
pedang Gagak Codet kontan menghantam dada
Singo Barong. Namun yang terjadi sungguh
mengejutkan!
"Akh...!" Gagak Codet malah terpekik, dan
langsung melompat mundur.
"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa ter-
bahak-bahak.
"Setan...!"geramGagak Codet sambil meringis.
Semua jari-jari tangannya jadi terasa kaku
berdenyut. Sungguh luar biasa sekali tubuh Singo
Barong. Padahal tepat sekali pedang Gagak Codet
membelah dadanya. Dan pemuda codet itu malah
merasakan seperti menghantam sebongkah baja
yang kuat sekali. Bahkan pedangnya sampai
terpental balik, dan seluruh persendian
tangannya bergetar nyeri.
Semua orang yang memadati sekitar arena
pertarungan itu bersorak mengelu-elukan Singo
Barong. Beberapa mulut usil mengejek Gagak
Codet, dan memanas-manasinya. Wajah Gagak
Codet jadi merah padam. Bergegas digerak-
gerakkan pedangnya membuat satu gerak
pembuka jurus.
"Keluarkan semua kemampuanmu, Gagak
jelek! Aku beri kesempatan lima jurus!" kata
Singo Barong jumawa.
"Phuih!" Gagak Codet menyemburkan
ludahnya.
Bagaikan seekor macan lapar, Gagak Codet
melompat cepat sambil membabatkan pedangnya
tiga kali ke arah bagian-bagian tubuh yang
mematikan. Tapi hebatnya Singo Barong tidak
bergeming sedikit pun. Bahkan dibiarkan saja
pedang itu menghantam tubuhnya, sambil dia
tertawa terbahak-bahak. Gagak Codet mendengus
kesal bercampur geram. Namun dalam hatinya
jadi gentar juga menghadapi kenyataan ini.
Kemampuannya sudah semua dikeluarkan, tapi
sedikit pun tidak dapat melukai kulit manusia
tambun ini.
"Cukup, Gagak jelek! Sekarang giliranku!"
seru Singo Barong keras.
Setelah berkata demikian, Singo Barong
menge-butkan tangan. Ditangkapnya pedang
Gagak Codet yang terayun cepat mengarah ke
leher. Singo Barong menghentakkan pedang itu,
sehingga Gagak Codet terangkat naik, dan
terpental ke udara. Dengan keras, Gagak Codet
jatuh bergelimpangan di tanah berlumpur hitam.
Bajunya yang semula bersih, seketika dipenuhi
kotoran lumpur.
Tapi Gagak Codet tidak sempat menghiraukan
lumpur yang mengotori tubuh dan bajunya,
karena dia sudah sibuk menghindari serangan
golok besar Singo Barong. Gagak Codet hanya
mampu berkelit. Pedangnya sudah patah-patah
dirampas manusia tinggi besar berwajah garang
itu.
"Phuih! Aku tidak mau mati konyol di sini!"
dengus Gagak Codet
Tepat ketika golok Singo Barong mengarah ke
kakinya, Gagak Codet melompat. Dan dengan
ujung jari kakinya dia menotok permukaan golok
itu. Dengan meminjam tenaga Singo Barong,
tubuhnya melenting, melewati beberapa kepala,
dan hinggap di atas dahan pohon. Sebelum ada
yang menyadari, Gagak Codet cepat melesat
kabur dari tempat itu.
"Jangan biarkan dia lolos! Kejar...!" seru
Pendeta Ajisaka keras.
Beberapa orang berseragam membawa pedang
dan tombak, langsung bergerak mengejar.
Bahkan tiga puluh orang berkuda segera
menggebah kudanya ikut mengejar Gagak Codet.
Sura Antaka sendiri sampai terlonjak berdiri dari
kursinya melihat Gagak Codet kabur. Belum
pernah dalam acara pertandingan yang diadakan
setiap tiga bulan ini ada orang yang kabur dalam
kekalahannya. Biasanya yang kalah langsung
mati di tempat.
"Paman Ajisaka, cari monyet keparat itu
sampai dapat. Bawa dia padaku!" kata Sura
Antaka geram.
"Baik, Yang Mulia," sahut Pendeta Ajisaka
seraya menjura hormat
Sura Antaka melangkah menuruni undakan
bangunan puri itu. Sedangkan Putri Dewi
Mustikaweni mengikuti di sampingnya. Sebuah
kereta ditarik delapan ekor kuda putih, telah siap
di depan undakan batu itu. Seorang berseragam
merah membawa tombak panjang, membuka
pintu kereta.
Sura Antaka memberikan kesempatan pada
putrinya untuk masuk lebih dahulu, kemudian
baru dia sendiri melangkah masuk. Kereta indah
yang ditarik delapan ekor kuda putih itu bergerak
meninggalkan halaman puri ini. Sekitar lima
puluh orang berpakaian seragam merah dan
bersenjata tombak, mengikuti dari belakang
dengan kuda-kuda mereka. Sedangkan lima
puluh orang lagi berkuda di depan. Di samping
kanan kereta, tampak seorang laki-laki tegap
berkumis tebal berkuda dengan tenangnya.
Dialah yang bernama Macan Gadak, salah
seorang andalan Sura Antaka di samping Singo
Barong dan Pendeta Ajisaka.
Semua orang yang memadati halaman puri itu
segera bubar begitu kereta kuda yang membawa
Sura Antaka dan putrinya meninggalkan
halaman puri. Tinggallah di situ Pendekta
Ajisaka, Singo Barong, dan lima puluh orang
berseragam dengan senjata tombak dan pedang.
Beberapa ekor kuda pun masih tertambat di
bawah pohon. Mereka juga langsung bergerak
pergi, tapi arahnya berbeda. Sepertinya menuju
ke arah Gagak Codet kabur.
***
Suara gamelan mengalun, mengiringi lenggak-
lenggok para penari yang memamerkan
keindahan tubuhnya di depan puluhan pasang
mata yang tidak berkedip memandanginya.
Malam itu, di tempat kediaman Sura Antaka
tengah dilangsungkan pesta yang sangat meriah.
Pesta yang selalu diadakan setelah siang harinya
berlangsung acara adu ketangkasan dan
kekuatan dihalaman puri.
Bangunan besar dan indah bagai istana itu
tampak ramai dipenuhi orang, baik di halaman
maupun di sekitar luar pagar tembok yang tinggi
membentengi bangunan itu. Lampu-lampu
berhias terpancang di setiap tempat Umbul-umbul
dan hiasan-hiasan lain menambah semaraknya
malam ini. Tampak di bagian lain terlihat
beberapa kelompok orang berjudi, minum tuak
sambil bermabuk-mabukkan ditemani wanita-
wanita pengobral senyum. Semua orang kelihatan
bergembira. Tapi tidak demikian halnya dengan
seorang gadis cantik yang mengurung diri dalam
sebuah kamar yang sangat besar dan indah. Dua
orang wanita gemuk berusia sekitar lima puluhan
menemaninya.
"Semua orang bergembira di luar. Tapi Gusti
Ayu Dewi Mustikaweni malah mengurung diri di
kamar," terdengar gumaman salah seorang
wanita gemuk itu.
"Hus! Ngomong jangan sembarangan!" dengus
seorang lagi.
"Lha..., memangnya aku ngomong apa?
Memang benar kok kenyataannya. Rugi lho tidak
ikut menikmati pesta."
"Kalau kalian ingin pesta, silakan. Biarkan
aku sendirian di sini," sergah Putri Dewi
Mustikaweni seraya menoleh menatap kedua
embannya.
"Ah! Tidak kok, Den Ayu."
"Aku tidak apa-apa. Memang sebaiknya kalian
ikutbersenang-senang. Pergilah kalian."
'Tidak ah, Den Ayu. Wong tadi hanya becanda
saja kok," kata wanita gemuk itu.
Putri Dewi Mustikaweni hanya tersenyum
saja. Sungguh manis dan memikat sekali
senyumnya itu. Kakinya melangkah gemulai
mendekati pembaringan besar beralaskan kain
sutra halus berwarna merah muda. Lembut sekali
dia membaringkan tubuhnya. Bola matanya
menerawang jauh ke langit-langit kamarnya.
Sedangkan dua embannya hanya bersimpuh saja
di lantai. Mereka tidak berbicara lagi.
Sementara di luar sana, keramaian masih
terus berlangsung. Semakin larut, suasana pesta
itu semakin meriah. Para nayaga terus menabuh
gamelan dengan irama yang semakin hangat,
menambah kesemarakan suasana pesta. Tampak
di dalam ruangan lain yang sangat besar dan
indah, Sura Antaka setengah berbaring dikelilingi
wanita cantik berkemben, sehingga
menampakkan kulit bahu dan sebagian dadanya
yang membusung.
Pendekar Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo
Barong di kursi menghadapi meja bundar
beralaskan batu pualam putih berkilat. Beberapa
guci arak menggeletak kosong. Masing-masing
ditemani seorang wanita bertubuh sintal yang
senyumnya selalu mengembang.
"Paman Ajisaka, aku belum mendengar
laporan tentang Gagak Codet. Bagaimana usaha
pencarianmu?" tanya Sura Antaka.
"Sukar dicari, Yang Mulia Sura Antaka. Tapi
sudah kuperintahkan untuk terus mencari sampai
dapat. Mereka orang-orang pilihan yang
berkemampuan cukup tinggi. Aku yakin, dalam
waktu yang tidak lama si keparat itu bisa
ditemukan," sahut Pendeta Ajisaka sambil
mencolek dahu wanita yang menemaninya.
Wanita itu manja sekali menggelayutkan
tubuhnya, memeluk leher laki-laki tua berkepala
gundul itu.
"Bagus! Aku ingin bocah itu segera ditangkap.
Dia sudah berani menghinaku, dan harus mati!"
tegasSura Antaka.
"Hanya Yang Mulia yang boleh
membunuhnya," sambut Pendeta Ajisaka.
"Ha ha ha ha...!" Sura Antaka tertawa
terbahak-bahak.
Laki-laki setengah baya itu menatap pada
Macan Gadak yang asyik bersama teman
wanitanya. Suara cekikikan manja terdengar
mengusik telinga.
"Macan Gadak...!"
"Oh, hamba.... Yang Mulia," Macan Gadak
agak tergagap.
"Sudah ada berita dari kerajaan?" tanya Sura
Antaka
"Dua hari lagi akan datang kiriman dari
Kadipaten Galungan. Pihak kerajaan
mengirimkan prajurit-prajuritnya untuk
mengawal. Aku tidak tahu pasti, apa yang mereka
bawa. Mungkin juga upeti," sahut Macan Gadak.
"Bagus! Persiapkanlah orang-orang kita, dan
aku sendiri yang akan memimpin. Lewat jalan
mana mereka?"
"Seperti biasa. Melalui Bukit Rangkat," sahut
Macan Gadak.
"Ha ha ha ha...! Kita rampas upeti mereka.
Bunuh semua prajurit kerajaan!" Sura Antaka
tertawa terbahak-bahak.
"Benar, Yang Mulia. Kalau mereka sudah
kekurangan prajurit, maka dengan mudah kita
dapat menguasai Kerajaan Gelang Wesi!" sambut
Pendeta Ajisaka.
"Itu sudah menjadi cita-citaku, Paman Ajisaka.
Prabu Nayadarma harus turun tahta. Biar dia
tahu, bagaimana rasanya jadi orang terbuang!
Biar dia tahu rasa! Ha ha ha ha...!" kembali Sura
Antaka tertawa terbahak-bahak.
Mereka semua tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan yang wanita hanya cekikikan saja,
tidak mempedulikan pembicaraan itu. Bagi
mereka, semakin banyak harta rampasan yang
diperoleh, semakin banyak pula penghasilan. Dan
tentu saja mereka bisa hidup tanpa kekurangan
lagi. Yang penting bagi mereka adalah tidak
mengecewakan orang-orang berkuasa di daerah
Utara ini.
Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau
pembicaraan itu didengar seseorang yang
berlindung di balik tembok dekat jendela besar
yang terbuka lebar. Seorang yang memakai
kerudung kain berwarna gelap. Orang itu
langsung menyelinap pergi tanpa menimbulkan
suara sedikit pun.
Sementara suasana pesta semakin tidak
menentu. Para Nayaga tidak lagi menabuh
gamelannya. Mereka sudah mabuk
bergelimpangan kebanyakan minum arak. Tubuh-
tubuh lain sudah bergelimpangan tidak menentu
di mana-mana. Suara tawa lepas dan cekikikan
manja wanita-wanita pengobral senyum masih
mewarnai dari tempat tertentu. Sedangkan di
salah satu kamar, Dewi Mustikaweni tetap
berbaring, dan matanya menerawang jauh ke
langit-langit kamarnya. Namun dua embannya
sudah rebah mendengkur di lantai beralaskan
permadanibulu yang tebaldan hangat.
"Hhh...!" Dewi Mustikaweni menghembuskan
napas panjang. Pelahan-lahan matanya terpejam.
Malam terus merayap semakin larut. Suara-
suara di luar masih saja terdengar timbul
tenggelam. Angin berhembus kencang
menaburkan hawa dingin menusuk tulang
Namun semua itu tidak dipedulikan lagi. Di
mana-mana tercium bau arak yang keras. Semua
yang terjadi di tempat bagai istana itu tidak luput
dari perhatian seseorang yang berkelebat
menyelinap dari satu tempat ke tempat bin.
Kemudian sosok tubuh itu lenyap setelah
melewati bagian belakang tembok benteng yang
mengelilingi bangunan besar dan indah bagai
sebuah istana itu.
***
2
Serombongan orang berpakaian seragam
prajurit yang membawa umbul-umbul bergambar
lambang sebuah kerajaan, bergerak melingkari
Kaki Bukit Rangkat. Empat orang bertubuh
tegap, menggotong sebuah peti besar dengan
tandu. Mereka berjalan tidak tergesa-gesa.
Seorang laki-laki yang berkuda paling depan,
selalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya
tegap, berseragam pakaian punggawa. Sebilah
pedang tergantung di pinggangnya.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan keras.
Seketika itu juga dari arah samping kanan, kiri,
belakang, dan depan berhamburan orang-orang
berseragam merah yang pada dadanya bergambar
seekor naga. Mereka semua membawa senjata
pedang, tombak, dan golok. Para prajurit yang
berjumlah tidak lebih dari seratus orang itu
langsung berhenti.
"Bertahan...!" seru punggawa yang
menunggang kuda putih dengan keras.
Suara gemuruh derap kaki kuda dan teriakan-
teriakan gegap gempita memecah udara di Kaki
Bukit Rangkat itu. Tidak berapa lama, terdengar
denting senjata beradu dan jeritan melengking
kematian. Pertempuran pecah seketika itu juga.
Orang-orang berbaju merah bergambar naga pada
bagian dada, bertempur dengan sengit. Sebentar
saja prajurit dari Kerajaan Gelang Wesi dan
prajurit Kadipaten Kranggan sudah banyak yang
tewas. Bau anyir darah langsung menyebar
menyengat hidung.
Belum lagi pertarungan itu berlangsung lama,
tiba-tiba dari arah Selatan muncul prajurit-
prajurit Kerajaan Gelang Wesi. Mereka semua
mengendarai kuda yang dipacu cepat. Tampak
dari lereng bukit, Sura Antaka begitu geram
melihat kemunculan prajurit Kerajaan Gelang
Wesi yang jumlahnya menjadi tiga kali lipat dari
jumlah orang-orangnya.
"Macan Gadak! Perintahkan semuanya
mundur!" perintah Sura Antaka.
"BaikYang Mulia," sahut Macan Gadak
Sura Antaka melompat naik ke punggung
kuda, lalu menggebahnya kencang menuju Utara,
diikuti Pendeta Ajisaka dan Singo Barong.
Sedangkan Macan Gadak bergegas menuruni
bukit mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
"Mundur...!" seru Macan Gadak keras. Suara
teriakannya disertai pengerahan tenaga dalam
yang tinggi.
Seketika itu juga orang-orang berbaju merah
bergambar seekor naga pada dadanya,
berlompatan mundur. Sementara yang terlambat,
langsung tewas terkena sambaran senjata para
prajurit. Cepat sekali mereka bergerak, sebentar
saja sudah lenyap ke dalam hutan. Seorang yang
berpangkat panglima, memerintahkan prajurit-
prajuritnya untuk tidak mengejar.
Macan Gadak mengumpulkan anak buahnya
yang tersebar di lerang bukit sebelah Utara,
kemudian sama-sama bergerak kembali ke
daerah Utara, tempat mereka menetap.
Sementara itu rombongan prajurit itu
melanjutkan perjalanannya. Mereka meninggal
kan mayat-mayat yang tumpang tindih
memenuhi jalan melingkar di Kaki Bukit Rangkat
ini.
***
"Setan..!"
Brak!
Sura Antaka menggeram dahsyat. Meja yang
terkena pukulannya langsung hancur berantakan.
Wajahnya merah padam, dan matanya liar
menyala bagai sepasang bola api yang siap
membakar apa saja. Sedangkan Pendeta Ajisaka,
Singo Barong, dan Macan Gadak hanya
menundukkan kepalanya saja.
Peristiwa pahit yang pertama kali ini dialami
mereka. Gagal merampas barang upeti bawaan
dari Kadipaten Kranggan. Bahkan hampir saja
terjebak, dan terkurung prajurit-prajurit Gelang
Wesi. Sura Antaka memandangi satu persatu
orang-orang kepercayaannya yang duduk
bersimpuh di lantai sambil tertunduk dalam.
"Mereka seperti sudah tahu rencana ini.
Phuih! Aku mencium ada mata-mata di antara
kita!"dengus Sura Antaka menggeram.
"Akan kucari pengkhianat itu, Yang Mulia,"
kata Macan Gadak.
"Bukan hanya dicari, tapi temukan dan
bunuh!" bentak Sura Antaka.
Macan Gadak kembali diam.
"Aku tidak peduli. Siapa pun orangnya yang
mencoba mengkhianatiku, harus mampus! Kalian
dengar itu...!"
Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan
Gadak serentak mengangguk dan menyahut Sura
Antaka mendengus, lalu berbalik dan melangkah
dengan kaki menghentak kesal. Laki-laki
setengah baya itu membanting dirinya ke kursi
berukir yang hampir menenggelamkan tubuhnya.
Sepasang bola matanya masih merah menyala.
"Kalian geledah seluruh daerah ini. Siapa saja
yang mencurigakan, tangkap! Kalau
membangkang, bunuh!" perintah Sura Antaka
tegas.
Ketiga orang kepercayaannya itu segera
bangkit berdiri dan menjura memberi hormat
Bergegas mereka meninggalkan ruangan besar
itu. Sura Antaka masih duduk di kursinya dengan
wajah memerah. Diambilnya guci arak dan
langsung ditenggaknya sampai tandas, tak tersisa
sedikit pun. Dengan kesal, dilemparkan guci arak
itu, tepat menghantam pilar. Guci itu hancur
berkeping-keping.
"Ayah...," tiba-tiba terdengar suara lembut dari
arah kanan.
Sura Antaka menoleh.
"Kau ada perlu denganku, Mustikaweni?" nada
suara Sura Antaka dibuat lembut, meskipun raut
wajahnya tak dapat menyembunyikan
kegeramannya.
"Ada yang ingin kukatakan, Ayah," kata Dewi
Mustikaweni seraya melangkah mendekati.
Gadis itu duduk di samping ayahnya. Dengan
lembut diletakkan tangannya yang halus berkulit
putih di pergelangan tangan Sura Antaka.
"Katakanlah. Apa yang hendak kau katakan,"
terdengar lembut suara Sura Antaka.
Di depan anaknya, Sura Antaka tidak pernah
berkata kasar. Apa lagi memasang wajah berang.
Laki-laki setengah baya itu terlalu mencintai
gadis ini, dan selalu mengabulkan
permintaannya. Pelahan-lahan, wajah berangnya
berangsur sirna melihat senyuman lembut
tersungging di bibir yang selalu merah merekah
itu.
"Boleh aku pergi ke danau?" ada nada
berharap pada suara Dewi Mustikaweni.
"Kenapa tidak? Pergilah selagi masih siang."
"Terima kasih, Ayah."
Sura Antaka tersenyum. Dewi Mustikaweni
bangkit dan melangkah riang meninggalkan
ruangan itu.
"Dengan siapa kau ke sana?" tanya Sura
Antaka sebelumputrinya itu lenyap di balik pintu.
"Dengan emban," sahut Dewi Mustikaweni.
Sura Antaka memandangi putrinya sampai
lenyap di balik pintu pemisah ruangan depan ini
dengan ruangan tengah. Mendadak saja wajahnya
berubah mendung, dan pandangan matanya sayu.
Ditariknya napas panjang, lalu bangkit berdiri.
Kakinya melangkah pelahan menuju jendela. Dia
berdiri di depan jendela dengan tangan bertumpu
pada balok kayu.
"Kau mirip sekali dengan ibumu,
Mustikaweni," desah Sura Antaka lirih.
Pandangan laki-laki setengah baya itu tidak
lepas dari putrinya yang berjalan riang
didampingi dua orang emban pengasuhnya. Yang
seorang, perempuan gemuk dan seorang lagi
kurus bagai tidak memiliki daging. Kedua emban
itu sudah merawat Dewi Mustikaweni sejak
masih bayi. Terlebih lagi setelah ibunya
meninggal. Kedua emban itu seperti pengganti
ibunya saja. Ke mana Mustikaweni pergi, kedua
emban itu tidak pernah ketinggalan.
"Hhh.... Kau terlalu agung hidup di sini,
Mustikaweni. Tidak pantas kau hidup di tengah-
tengah manusia berlumpur seperti ini. Kau bagai
setangkai bunga tumbuh di tengah danau
berlumpur. Hhh...!Semua ini gara-gara...."
Gumaman Antaka terhenti ketika telinganya
mendengar suara langkah kaki dari arah
belakang. Dia berbalik, dan tampaklah Pendeta
Ajisaka datang bersama seorang pemuda
bertubuh kecil memakai baju lusuh dan bagian
dada terbuka. Pemuda itu langsung jatuh berlutut
di depan Sura Antaka.
“Paman Ajisaka, ada apa ini?" tanya Sura
Antaka.
"Dia bernama Belung. Seorang perambah
hutan yang hidup di sekitar sini, Yang Mulia.
Katanya, semalam dia melihat seseorang
menyelinap dengan tingkah mencurigakan," lapor
Pendeta Ajisaka.
"Hm..., benar begitu?" tanya Sura Antaka
menatap tajam pemuda yang bernama Belung itu.
"Benar, Gusti. Hamba melihat sendiri. Orang
itu berdiri dekat jendela itu. Kemudian berpindah-
pindah tempat, lalu pergi melalui jalan belakang,"
kata Belung dengan sikap hormat
"Kau kenali wajahnya?" tanya Sura Antaka
lagi.
'Tidak, Gusti. Tapi...."
'Tapi, kenapa?"
"Hamba sempat melihat waktu dia berbalik.
Ada luka di pipi kirinya."
"Gagak Codet...!" desis Sura Antaka.
"Kau berkata benar, Belung?!" agak
membentak suara Pendeta Ajisaka.
"Hamba berkata yang sebenarnya, Gusti
Pendeta. Hamba melihat dengan jelas meskipun
waktu itu keadaan gelap. Hamba ada dekat
sekali."
"Di mana kau waktu itu?" tanya Pendeta
Ajisaka lagi.
"Di balik pohon kenanga itu, Gusti," Belung
menunjuk sebatang pohon kenanga yang tidak
begitu jauh dari jendela ruangan ini "Hamba
waktu itu bersama dengan...."
"Ya, sudah. Kau cukup jelas memberi
keterangan," potong Sura Antaka.
"Terima kasih, Gusti," ucap Belung seraya
memberihormat
“Paman, beri dia hadiah. Keterangannya
sangatberharga sekali," kata Sura Antaka.
"Baik, Yang Mulia."
"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Gusti."
"Ya, sudah. Pergi sana!"
Pemuda kurus kerempeng itu berdiri, lalu
membungkuk beberapa kali sebelum melangkah
pergi. Pendeta Ajisaka memberinya sekantung
uang sebelum pemuda perambah hutan itu pergi.
Tentu saja Belung jadi berbinar matanya, dan
langsung membungkuk beberapa kali memberi
hormat sambil mengucapkan puluhan terima
kasih. Pendeta Ajisaka mengantarkannya sampai
ke pintu
***
Sementara itu di tepi sebuah danau yang
berair biru bening, Dewi Mustikaweni merendam
tubuhnya. Sedangkan kedua emban pengasuhnya
menunggu tidak jauh dari tepi danau itu. Dewi
Mustikaweni bermain-main di dalam danau, dan
baru naik ke tepi setelah puas. Hanya selembar
kain tipis menutupi tubuhnya yang ramping dan
indah. Sungguh cantik wajahnya dalam keadaan
basah.
Dewi Mustikaweni melangkah menghampiri
kedua embannya yang duduk bersandar pada
pohon rindang. Tapi mendadak, gadis itu tertegun
melihat kedua embannya seperti tertidur sambil
duduk bersandar. Gadis itu kembali menghampiri
dan membangunkan kedua wanita pengasuhnya
itu. Tapi kedua wanita itu tidak bergerak sedikit
pua Dewi Mustikaweni jadi kebingungan. Buru-
buru diambil pakaiannya, dan dikenakannya
dengan tergesa-gesa. Tapi belum juga sempurna
mengenakan pakaian, mendadak muncul seorang
laki-laki dengan wajah yang luka pada pipi
kirinya.
"Oh...!" gadis itu terkejut. Buru-buru ditutupi
bagian dadanya yang masih terbuka.
"Kau masih ingat aku, Mustikaweni?" lembut
suara laki-lakiberwajah codet itu.
"Kau.... Kau Gagak Codet?" bergetar suara
Dewi Mustikaweni.
"Benar. Aku Gagak Codet," pemuda itu
tersenyum lebar.
"Mau apa kau ke sini?"
"Membawamu pergi."
"Oh! Tidak...!" Dewi Mustikaweni terkejut
bukan main, dan langsung melangkah mundur
dengan wajah pucat pasi. Matanya melirik kedua
emban pengasuhnya yang tampak seperti terlelap
tidur.
"Mereka hanya pingsan. Sebentar lagi juga
siuman," kata Gagak Codet seperti mengetahui
lirikan gadis itu.
"Jangan dekat!" sentak Dewi Mustikaweni
begitu melihat Gagak Codet melangkah
mendekati. "Berani mendekat, aku akan
berteriak!"
"Berteriaklah. Tidak ada seorang pun di sini,
kecuali kau dan aku," tantang Gagak Codet
Putri Dewi Mustikaweni jadi gelagapan. Dia
tahu kalau sekitar danau ini tidak ada seorang
pun. Tidak ada seorang pun yang berani ke danau
ini kalau dia ada di sini. Ayahnya bisa memenggal
kepala siapa saja yang berani melihat gadis itu
mandi di danau ini. Dewi Musrikaweni beringsut
mundur. Tapi sebuah akar yang menyembul ke
tanah membuat tubuhnya limbung.
"Oh...!"
"Hup!"
Gagak Codet cepat melompat, dan menangkap
tubuh ramping itu. Tentu saja hal ini membuat
gadis itu terkejut setengah mati. Dia
memberontak berusaha melepaskan diri, tapi
pelukan Gagak Codet demikian kuat Gadis itu
terus berontak sambil menjerit-jerit minta tolong.
Gagak Codet jadi kewalahan, dan...
"Ah...!" Dewi Musrikaweni memekik kecil.
Mereka sama-sama jatuh bergulingan di tanah.
Namun pelukan Gagak Codet tidak juga terlepas,
dan malah menindihnya kuat-kuat Dewi
Mustikaweni mencoba memberontak, memukuli
pemuda itu.
"Diam...!" bentak Gagak Codet Pemuda dengan
luka menggores pipi kiri itu mencekal kedua
tangan Dewi Musrikaweni, dan menekannya
merentang ke samping. Dengan kedua pahanya
dia menjepit pinggang gadis itu Dewi
Musrikaweni benar-benar tidak berdaya lagi. Air
mata mulai menitik keluar dari sudut matanya
yang bulat bening dan indah itu.
"Aku mohon, lepaskan.... Jangan sakiti aku,"
rintih Dewi Musrikaweni meratap.
"Huh!" dengus Gagak Codet
Sambil bangkit, dengan kasar pemuda itu
menyentakkan tangan Dewi Musrikaweni.
Akibatnya gadis itu ikut terangkat bangun.
Musrikaweni memekik tertahan. Pergelangan
tangannya terasa sakit karena dicengkeram kuat
sekali.
"Jangan banyak tingkah! Ayo, jalan!" bentak
Gagak Codet mendorong kasar.
"Mau dibawa ke mana aku?" rintih Dewi
Musrikaweni.
"Cerewet! Dasaranak manja! Jalan!"
Dewi Musrikaweni tidak ada pilihan lain. Dia
melangkah dengan tangan tertekuk ke belakang
dipegangi kuat-kuat. Air mata semakin banyak
berlinang membasahi pipinya yang putih halus
bagai sutra. Gagak Codet terus mendorong agar
lebih cepat. Beberapa kali gadis itu memekik
kesakitan.
"Ck ck ck ck... Kasihan sekali, cantik-cantik
tersiksa...," tiba-tiba terdengar suara pelahan.
"Eh!" Gagak Codet tersentak kaget langsung
menoleh.
Tampak seorang pemuda berwajah cukup
tampan memakai baju dari kulit harimau tengah
duduk di atas pohon tumbang. Sesaat Gagak
Codet terpaku, sehingga dia lalai akan Dewi
Mustikaweni. Kesempatan yang sedikit ini,
dimanfaatkan gadis itu untuk melepaskan diri.
Dewi Musrikaweni langsung berlari.
"He...!, sentak Gagak Codet terkejut.
"Tolong...! Dia akan menculikku!" teriak Dewi
Musrikaweni terus berlari.
Tapi Gagak Codet sudah melompat cepat, dari
menghadang gadis itu. Mustikaweni tersentak,
langsung berbalik. Tapi Gagak Codet lebih cepat
menangkap tangan gadis itu. Namun baru saja
bisa mencekal, mendadak....
"Akh!" Gagak Codet terpekik tertahan.
Cekalannya terlepas, dan mulutnya meringis
kesakitan memegangi pergelangan tangannya.
Matanya langsung menatap pada pemuda berbaju
kulit harimau yang memain-mainkan kerikil di
tangannya. Sementara itu, Dewi Mustikaweni
kembali berlari menghampiri pemuda itu, lalu
berlindung di balik punggung yang kokoh itu.
"Tolong, dia akan menculikku. Dia jahat...,"
rintih Dewi Mustikaweni.
"Kisanak, kuharap jangan ikut campur
urusanku. Dia istriku!"bentak Gagak Codet
"O...," pemuda berbaju kulit harimau itu
mengangkat alisnya.
"Bohong! Dia jahat! Dia mau menculikku...!"
sergah Dewi Mustikaweni.
"Mana yang benar ini? Kalian suami istri, atau
bukan...?" pemuda itu nampak kebingungan.
"Percaya padaku, Kisanak. Dia istriku yang
ingin kabur!" kata Gagak Codet
Pemuda itu menoleh menatap wanita cantik
yang berlindung padanya. Dan belum lagi
membuka mulut akan bertanya, dari jauh
terdengar teriakan dua orang wanita. Yang satu
gemuk, dan satunya lagi kurus kerempeng.
Mereka berlari-lari sambil memanggil-manggil
Dewi Mustikaweni.
"Gusti..., Gusti Ayu...!"
"Oh! Itu kedua emban pengasuhku. Kau bisa
tanyakan pada mereka, Kisanak." Ada
pengharapan pada nada suara Dewi Mustikaweni
melihat kedua emban pengasuhnya berlari-lari
menghampiri.
"Monyet buntung!" geram Gagak Codet kesal
melihat dua orang emban itu sudah sadar dari
pingsannya.
Dan sebelum emban itu dekat, Gagak Codet
sudah melompat hendak menerjang pemuda
berbaju kulit harimau itu. Namun hanya sedikit
saja mengegoskan tubuhnya, terjangan Gagak
Codet luput dari sasaran. Pemuda berbaju kulit
harimau itu melompat ke samping sambil
mendorong tubuh Dewi Mustikaweni, sehingga
gadis itu terdorong jatuh. Untung kedua emban
pengasuhnya sudah cepat menghampiri, sehingga
cepat-cepat menolongnya berdiri.
Sementara itu Gagak Codet kembali
menyerang dahsyat Dan pemuda berbaju kulit
harimau itu seperti malas-malasan melayaninya.
Namun setiap serangan balasannya, sudah dapat
membuat Gagak Codet pontang-panting
menghindarinya. Beberapa jurus berganti cepat
Gagak Codet sadar kalau dirinya tidak akan
mampu menundukkan pemuda berbaju kulit
harimau itu lagi.
Saat mempunyai kesempatan, dengan cepat
tubuhnya melompat kabur. Begitu cepatnya,
sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh
berlari. Gagak Codet kini telah menghilang dalam
hutan di pinggir danau ini. Pemuda berbaju kulit
harimau itu memutar tubuhnya menghadap pada
Dewi Mustikaweni.
"Kau tidak apa-apa, Nisanak?" lembut nada
pemuda berbaju harimau itu.
'Tidak," sahut Dewi Mustikaweni. "Terima
ataspertolonganmu."
"Sebaiknya cepat pulang. Aku khawatir dia
akan datang lagi ke sini," kata pemuda itu.
"Benar, Gusti Ayu. Sebaiknya cepat-cepat
pulang," sergah wanita gemuk itu.
"Sebentar, Bi Emban," ucap Dewi
Mustikaweni.
"Sudah sore, Gusti Ayu."
Mustikaweni tidak menghiraukan peringatan
embannya, dan malah melangkah menghampiri
pemuda berbaju kulit harimau itu. Kedua emban
itu nampak cemas. Mereka melirik ke kanan dan
ke kiri. Mereka tahu kalau di sekitar danau ini
tidak ada yang boleh datang kalau ada Dewi
Mustikaweni. Terlebih lagi laki-laki. Kalau
ketahuan, bisa celaka nanti.
"Boleh aku tahu namamu, Kisanak?" pinta
Dewi Mustikaweni lembut.
"Untukapa?"
"Kau telah menyelamatkan nyawaku. Sudah
sepantasnya kuberi hadiah yang pantas. Aku
akan mengatakan hal ini pada Ayah, dan pasti
kau akan memperoleh hadiah yang besar," ujar
Dewi Mustikaweni.
"Terima kasih, tapi aku harus segera pergi,"
ucap pemuda itu
Pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik
dan melangkah pergi. Kelihatan kakinya
melangkah biasa saja, tapi sebentar saja sudah
jauh.
"Kisanak, siapa namamu? teriak Dewi
Mustikaweni.
"Bayu!"
***
3
Sejak bertemu pemuda berbaju kulit harimau,
Dewi Mustikaweni jadi sering pergi ke danau. Di
tempat itu dia hanya berdiri saja memandangi
danau, menghabiskan waktu hingga senja jatuh
dalam pelukan Mayapada. Dewi Mustikaweni
yang memang pendiam, semakin sukar diajak
bicara. Gadis itu jadi lebih senang menyendiri,
merenung seorang diri. Kedua emban
pengasuhnya bisa menebak apa yang ada dalam
hati junjungannya itu.
"Sudah sore, Gusti Ayu. Sebentar lagi malam
datang," ujar seorang emban bertubuh gemuk.
Dewi Mustikaweni menarik napas panjang.
Dua bola matanya yang indah menatap matahari
yang hampir tenggelam di balik permukaan
danau. Sinarnya yang kemerahan tampak lembut
dan sedap dipandang. Permukaan danau bagai
ditaburi ribuan butir mutiara berkilauan,
menambah keindahan pemandangan di tempat
itu. Tidak salah kalau danau ini dinamakan
Danau Mutiara.
"Gusti Sura Antaka pasti sudah menunggu,
Gusti Ayu," sambung emban yang bertubuh
kurus.
"Sebentar lagi, Bi Emban," pinta Dewi
Mustikaweni.
Kedua emban itu saling berpandangan.
Tampak wanita yang bertubuh kurus, tersenyum
memandang ke satu arah. Emban pengasuh
bertubuh gemuk jadi berkerut keningnya. Dia
menoleh, lalu juga memandang ke arah yang
sama. Bibirnya pun tersenyum begitu melihat
seorang pemuda berbaju kulit harimau
melangkah ringan menghampiri mereka. Pemuda
itu berhenti tepat di samping agak ke belakang
dari Dewi Mustikaweni.
"Ehm ehm...!" pemuda berbaju kulit harimau
itu mendehem.
"Oh...!" Dewi Mustikaweni terkejut, langsung
berbalik. "Bayu...," desisnya begitu melihat
pemuda yang selalu dinantikannya selama tiga
hari ini.
"Selamat sore, Gadis Ayu," ucap pemuda itu
yang memang bernama Bayu Hanggara atau
yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau
Neraka. "Aku mengganggu?"
"Oh, tid..., tidak," Dewi Mustikaweni jadi
tergagap.
"Bagaimana suamimu? Sudah tidak kasar
lagi?" tanya Bayu.
"Suami...? Suami yang mana?" Dewi
Mustikaweni terbeliak.
"Yang memaksamu pulang."
"Enak saja! Itu bukan suamiku. Dia akan
menculikku, tahu!"
"Oh, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu
marah,"ucap Bayu.
"Aku tidak marah, hanya tidak suka saja,"
Dewi Mustikaweni memberengut.
Gadis itu memang manja. Tidak boleh
tersinggung sedikit. Tapi itu hanya sebentar saja.
Dan kini wajahnya sudah kembali manis dan
semakin cantik dipandang. Dewi Mustikaweni
tertunduk mendapat tatapan yang begitu
menusuk dari pemuda itu. Sementara kedua
emban pengasuhnya semakin gelisah. Sebentar-
sebentar menatap ke arah jalan, takut kalau-
kalau ada yang melihat dan mengadukan pada
Sura Antaka.
"Gusti Ayu...!" tiba-tiba emban yang kurus
tersentak.
"Ada apa?" tanya Dewi Mustikaweni.
"Ada yang datang...."
"Oh...!"
Terlambat Empat orang laki-laki berseragam
baju merah dengan gambar seekor naga pada
bagian dada sudah melihat. Dan mereka bergegas
menghampiri, langsung menatap tajam Pendekar
Pulau Neraka. Sedangkan Dewi Mustikaweni
tampak pucat dan kebingungan sekali. Demikian
juga dengan kedua emban pengasuhnya. Mereka
sampai bergetar seluruh tubuhnya.
"Gusti Ayu, siapa laki-laki ini?" tanya salah
seorang menunjukpada Bayu.
"Dia..., eh, dia...," Dewi Mustikaweni tergagap.
"Hei, bangsat! Ke sini!" bentak orang yang
bertanya tadi.
Sedangkan Bayu hanya diam saja, meskipun
jari telunjuk itu mengarah padanya. Pendekar
Pulau Neraka itu diam sambil menatap tajam
menusuk. Gerahamnya bergerut menahan marah
mandapat bentakan penghinaan itu.
"O.... Kau tuli atau menantang, heh?!"
"Kisanak, kenapa datang-datang langsung
marah? Apakah wanita ini milikmu?" agak
ditekan nada suara Bayu.
"Keparat! Kau berani kurang ajar pada Gusti
Ayu Mustikaweni!" geram orang itu seraya
mencabutgoloknya.
Tiga orang yang berada di belakangnya juga
langsung mencabut golok. Mereka menggeser ke
samping dengan golok melintang di depan dada.
Sedangkan Bayu hanya memandangi tanpa
berkedip.
"Heran..., kenapa orang-orang di sini begitu
galak? Apakah biasa makan daging mentah?"
Bayu bergumam seperti bicara dengan dirinya
sendiri.
Sementara itu kedua emban pengasuh sudah
membawa Dewi Mustikaweni menyingkir.
Mereka sudah merasakan adanya gelagat tidak
baik. Sementara gadis itu hanya bisa memandang
Pendekar Pulau Neraka, dengan sinar mata sukar
untuk diartikan. Empat orang berbaju merah
yang bergambar naga pada dadanya, sudah
bergerak mengurung dari empat jurusan.
Sedangkan Bayu hanya melirik saja
memperhatikan sambil melipat tangannya di
depan dada.
“Tidak ada seorang pun yang diijinkan
mendekati Gusti Dewi Mustikaweni. Kau pasti
akan dijatuhi hukuman mati, oleh Yang Mulia
Sura Antaka, keparat!" geram orang yang berada
di depan Bayu.
"O.... Apakah gadis itu terbuat dari emas?
Lucu sekali, hanya bicara saja harus mati," sinis
nada suara Bayu.
"Lancang bicaramu!"
"Aku punya mulut dan bicara sendiri. Kenapa
kau yang marah?"
'Tutup mulutmu!Hiyaat..!"
Satu terjangan golok yang menusuk ke arah
dada terjadi demikian cepat. Dewi Mustikaweni
memekik tertahan dan memejamkan matanya.
Rasanya tidak sanggup melihat serangan yang
cepat itu. Tapi hatinya terkejut, karena
mendengar satu benturan keras, diikuti pekikkan
tertahan.
Tampak laki-laki yang menyerang, terbanting
keras ke tanah. Dan entah bagaimana, goloknya
sudah berpindah ke tangan Pendekar Pulau
Neraka yang tidak bergeser sedikit pun dari
tempatnya berdiri. Dewi Mustikaweni yang
langsung membuka matanya, jadi terbeliak tidak
percaya.
"Keparat...!"
Tiga orang lainnya langsung berlompatan
menyerang secara bersamaan. Pendekar Pulau
Neraka berlompatan menghindari serangan yang
datang dengan cepat dan sangat mematikan itu.
Namun hanya sekali gebrak, tiga orang itu
terpekik dan mental ke belakang. Bayu sendiri
tegak sambil menggenggam golok di tangan.
Empat orang itu jadi kelabakan, karena golok
mereka sudah berpindah tangan tanpa diketahui
bagaimana kejadiannya. Mereka beringsut
bangun, lalu saling berpandangan.
Trek!
Empat orang berbaju merah bergambar naga
itu terbeliak begitu melihat Bayu yang betapa
mudahnya mematahkan golok-golok di
tangannya, lalu melemparkan begitu saja ke
tanah. Kembali mereka saling berpandangan,
seketika itu wajah mereka pucat pasi. Tanpa
berkata apa-apa lagi, keempat orang itu segera
melarikan diri.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian
menghampiri Dewi Mustikaweni yang berdiri
agak jauh didampingi kedua emban pengasuhnya.
Bayu berhenti sekitar dua langkah lagi jaraknya
di depan gadis itu.
"Sebaiknya cepat pergi dari sini. Kau akan
dihukum mati nanti," kata Dewi Mustikaweni
agak bergetarnada suaranya.
"Siapa mereka itu?" tanya Bayu tidak
mempedulikan peringatan gadis itu.
"Mereka para prajurit ayahku," sahut Dewi
Mustikaweni.
"Prajurit...?"
"Sebenarnya memang tidak pantas disebut
prajurit. Tapi Ayah selalu berkata, begitu. Ayah
menganggap dirinya seorang raja yang menguasai
seluruh daerah Utara ini. Cepatlah pergi, sebelum
mereka kembali menangkapmu," ujar Dewi
Mustikawenigelisah.
"Kau akan datang lagi ke sini?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Dewi Mustikaweni tidak
yakin.
"Kalau begitu, aku yang akan
mengunjungimu."
"Eh...!" Dewi Mustikaweni terperanjat.
Tapi belum sempat gadis itu mengatakan
sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat
pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata sudah
lenyap dari pandangan. Kedua emban pengasuh
itu bergegas meminta Dewi Mustikaweni
meninggalkan danau ini.
***
Dewi Mustikaweni hanya tertunduk saja,
duduk bersimpuh di lantai kamarnya. Sedangkan
dua emban pengasuhnya lebih dalam lagi
tertunduk, tidak berani mengangkat wajah
memandang Sura Antaka yang duduk angkuh di
kursi. Tatapan mata laki-laki setengah baya yang
masih kelihatan gagah itu, demikian tajam
menusuk. Wajahnya memerah dan urat-uratnya
menegang
"Katakan padaku, siapa laki-laki yang kau
kunjungi di danau, Mustikaweni?" dingin dan
datarnada suara Sura Antaka.
"Namanya Bayu, Ayah. Aku tidak
mengunjunginya. Dia datang sendiri dan
menolongku dari tangan Gagak Codet," sahut
Dewi Mustikaweni sambil mengangkat kepalanya
pelahan-lahan.
"Itu tiga hariyang lalu, Weni!"
"Sungguh, Ayah. Aku tidak bermaksud
menemuinya. Dia datang sendiri," Dewi
Mustikaweni mencoba meyakinkan ayahnya.
"Dan kedatangannya benar-benar kau
harapkan, bukan?" desak Sura Antaka. Dewi
Mustikaweni kembali diam tertunduk. Wajahnya
sebentar memerah, dan sebentar kemudian
memucat. Tebakan ayahnya memang tidak dapat
disangkal lagi. Sejak Pendekar Pulau Neraka
menolongnya dari cengkeraman tangan Gagak
Codet, dia memang selalu berharap dapat
bertemu lagi. Entah kenapa, bayang-bayang
pendekar tampan itu selalu menghantuinya setiap
saat.
"Dengar, Weni. Aku sangat menyayangimu.
Aku tidak mau kau bergaul dengan sembarang
laki-laki. Yang kuinginkan, agar kau mendapat
seorang laki-laki yang gagah dan berkemampuan
sangat tinggi, dan dapat melindungimu setiap
waktu. Aku tidak melarangmu memilih calon
pendampingmu. Tapi aku harus tahu, apakah
pemuda itu memiliki kemampuan tinggi dan
dapat dipercaya untuk melindungimu. Hanya itu,
Weni," terdengar lembutnada suara Sura Antaka.
"Ayah...," kembali Dewi Mustikaweni
mengangkat kepalanya. Sudah bisa dimengerti
maksud kata-kata ayahnya barusan.
"Undang dia ke sini, dan aku akan menguji
pantas tidaknya dia menjadi pendampingmu,"
tegasSura Antaka.
'Tapi...," suara Dewi Mustikaweni tersekat di
tenggorokan.
"Jika kau tidak mengundangnya, itu berarti
tidak akan bisa bertemu lagi dengannya. Kau
mengerti, Weni?!"
"Mengerti, Ayah."
"Kapan kau akan menemuinya lagi?" tanya
Sura Antaka.
"Aku tidak tahu. Dia muncul tiba-tiba."
"Hm..., kalau begitu pergilah besok ke danau.
Paman Ajisaka akan mendampingimu."
Dewi Mustikaweni tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Keputusan ayahnya sukar untuk dicabut
kembali. Gadis itu hanya bisa diam sambil
menundukkan kepalanya. Sementara Sura
Antaka bangkit berdiri dan melangkah keluar
dari kamar putrinya ini. Seorang emban yang
bertubuh gemuk, bergegas mendahului dan
membukakan pintu. Tanpa melirik sedikit pun,
Sura Antaka melangkah keluar. Emban bertubuh
gemuk itu bergegas menutup kembali pintunya,
dan menghampiri Dewi Mustikaweni yang sudah
terisak sesunggukkan.
"Sudahlah, Gusti Ayu. Mudah-mudahan saja
Den Bayu tidak muncul besok," ujar emban
gemuk itu mencoba menghibur.
"Tapi dia sendiri yang akan ke sini, Bi Emban,"
ucap Dewi Mustikaweni di sela isaknya yang
tertahan.
"Mudah-mudahan saja dia tidak berani," desah
emban gemuk itu pelan.
Dewi Mustikaweni beranjak bangkit berdiri.
Tapi baru saja mengangkat kepalanya, mendadak
dia tersentak kaget setengah mati Di depan
jendela kamarnya yang terbuka, kini sudah
berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan
berbaju dari kulit harimau. Dua orang emban
pengasuh itu juga bergegas berdiri terkejut
Mereka langsung melangkah ke jendela, dan
menyeret pemuda itu masuk. Buru-buru emban
gemuk menutup jendela.
"Bayu...," desis Dewi Mustikaweni.
"Aku menepati janji, Gadis Ayu," ucap Bayu
lembut.
"Bagaimana bisa masuk ke sini?" tanya Dewi
Mustikaweni
"Mudah saja. Aku menunggu ayahmu pergi
dulu," tenang jawaban Pendekar Pulau Neraka
itu.
"Apa...?" bukan main terkejutnya Dewi
Mustikaweni mendengar jawaban yang begitu
ringan tanpa ada beban sedikit pun.
Bayu hanya tersenyum saja. Diliriknya dua
perempuan pengasuh yang berdiri saja
membelakangi jendela. Kedua emban pengasuh
itu bisa mengerti, lalu mereka melangkah keluar.
Pintu kamar itu kembali tertutup setelah kedua
wanita pengasuh itu sampai di luar kamar.
Tinggal Pendekar Pulau Neraka dan Dewi
Mustikaweni yang hanya diam beberapa saat
dengan mata saling menatap.
"Kau dengar semuanya, Ka...," terputus
ucapan gadis itu.
"Aku senang kalau kau memanggilku Kakang,
Weni," lembut suara Bayu.
Dewi Mustikaweni tersenyum tersipu.
Wajahnya menyemburat merah dadu seketika.
Dibalikkan tubuhnya, dan dilangkahkan kakinya
mendekati sebuah kursi. Gadis itu duduk dengan
anggunnya. Sebentar ditatap pemuda tampan
yang berdiri saja di tempatnya, kemudian
kepalanya bergerak menunduk kembali. Rasanya
tidak sanggup menatap bola mata yang
mengandung daya tarik sangat kuat sekali.
"Aku dengar semua, Weni. Dan akan
kutunggu di tepi danau, tempat pertama kali kita
bertemu," kata Bayu kalem.
"Sebaiknya jangan, Kakang. Mereka akan
membunuhmu. Aku tidak ingin kau celaka di
tangan mereka," cegah Dewi Mustikaweni.
"Jangan khawatir, Weni. Aku bisa menjaga
diriku sendiri. Tidak ada yang akan celaka.
Percayalah," Bayu meyakinkan.
"Tapi...," terputus suara Dewi Mustikaweni.
"Ssst...!" Bayu menggoyang-goyangkan jari
telunjuknya di depan bibirnya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah
menghampiri, dan berlutut di depan gadis itu.
Dengan lembut diambilnya tangan berjari lentik
dengan kuku terawat rapi. Bergetar seluruh
tubuh Dewi Mustikaweni ketika Bayu begitu
lembutnya mengecup jari-jari tangannya. Gadis
itu sampai terpejam beberapa saat, menikmati
kecupan lembut yang baru pertama kali
dirasakannya.
"Oh...," Dewi Mustikaweni mendesah lirih.
"Besok, saat matahari tepat di atas kepala, aku
akan datang ke tepi danau," ujar Bayu lembut,
namun bernada tegas.
"Kakang..., aku tidak tahu lagi harus berkata
apa. Aku sama sekali tidak mengharapkan kau
mendapat kesulitan," lirih sekali suara Dewi
Mustikaweni.
"Kau cantik sekali, Weni. Hatimu lembut
Rasanya kau tidak pantas berada di tengah-
tengah manusia kasar bergelimang lumpur. Aku
akan mengangkatmu dari lumpur, dan
membawamu ke tempat yang lebih cocok
untukmu," ujar Bayu.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
Bayu tidak menjawab, tapi malah bangkit
berdiri setengah membungkuk. Begitu dekat
wajahnya dengan wajah gadis itu, sehingga
hembusan napasnya terasa hangat di pipi yang
halus memerah saga. Kembali bola mata Dewi
Mustikaweni terpejam, dan bibirnya setengah
terbuka agak bergetar. Mendadak seluruh aliran
darahnya serasa berhenti mengalir, saat
dirasakan satu kecupan lembut mendarat di
bibirnya.
Dewi Mustikaweni mendesah lirih, dan dia
masih terpejam merasakan kecupan lembut yang
pertama kali dari seorang pemuda tampan yang
telah mencuri sekeping hatinya. Agak lama juga
gadis itu terpejam dengan tubuh menegang kaku.
Pelahan-lahan dia membuka matanya karena
tidak terasa lagi sentuhan lembut dari Pendekar
Pulau Neraka.
"Eh...!" Dewi Mustikaweni terperanjat, karena
pemuda itu sudah tidak ada lagi di kamar ini.
Bergegas gadis itu bangkit berdiri, lalu berlari
ke jendela yang sudah terbuka lagi. Matanya
berkeliling mencari-cari di luar sana, tapi
bayangan pemuda itu sudah lenyap tanpa terlihat
lagi bekasnya.
"Ahhh..., Bayu...," desah Dewi Mustikaweni
liriW seraya membalikkan tubuhnya.
Gadis itu berlari menghambur ke
pembaringan! Dijatuhkan dirinya ke atas
pembaringan yang empuk beralaskan kain sutra
halus berwarna merah muda. Tubuh yang
ramping padat berisi itu bergulir. Pelahan
bibirnya menyunggingkan senyuman, dan jari-jari
tangannya meraba bibirnya. Dihayati kembali
kecupan lembut yang hangat dan menggetarkan.
Kecupan pertama yang dirasakan dari seorang
pemuda. Beberapa kali gadis itu menarik napas
panjang, dan meng-hembuskannya pelahan-
lahan. Matanya menerawang jauh, menatap
langit-langit kamarnya. Sampai-sampai tidak
disadari kalau kedua emban pengasuhnya sudah
masuk, dan menghampirinya. Kedua emban
pengasuh itu hanya tersenyum saja menyaksikan
putri junjungannya tengah tersenyum-senyum
sendirian.
"Gusti Ayu...," tegur emban gemuk pelan.
"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget.
Gadis itu langsung menggerinjang bangkit.
Wajahnya seketika terasa panas, bersemu merah
bagai kepiting rebus. Buru-buru dibalikkan
tubuhnya, menyembunyikan rona merah yang
menjalar hangat di seluruh wajahnya. Seolah-olah
malu, dan tidak ingin kedua emban pengasuhnya
itu tahu, apa yang baru dirasakannya tadi.
***
4
Matahari sudah berada di atas kepala.
Sinarnya yang terik membakar kulit seorang
pemuda yang berdiri tegak di tepi danau.
Pandangannya tidak terlepas ke arah jalan tanah
berbatu kerikil tidak jauh di depannya. Pemuda
itu memakai baju kulit harimau dengan sebuah
benda melingkar bersegi enam di pergelangan
tangannya yang terlipat di depan dada.
"Hm..., kau datang juga akhirnya," gumam
pemuda yang tidak lain dari Bayu Hanggara si
Pendekar Pulau Neraka.
Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum
melihat kedatangan Dewi Mustikaweni
didampingi dua orang emban pengasuh dan
seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan
berkepala gundul. Laki-laki tua itu memegang
sebuah untaian kalung dari batu hitam yang
berkilat. Mereka dikawal tidak kurang dari tiga
puluh orang berseragam merah dengan gambar
seekornaga pada bagian dadanya.
"Hm...," Bayu bergumam ketika laki-laki tua
gundul itu memberi isyarat. Seketika tiga puluh
orang bersenjata tombak dengan pedang
menggantung di pinggang, bergerak cepat
membentuk lingkaran mengelilingi Pendekar
Pulau Neraka.
"Namaku Pendeta Ajisaka, utusan dari Yang
Mulia Sura Antaka. Apakah kau yang bernama
Bayu Hanggara?" tanya laki-laki tua berjubah
kuning gading itu.
'Tepat sekali," sahut Bayu seraya melirik Dewi
Mustikaweni.
Yang dilirik hanya tertunduk saja, seperti
tidak sanggup menatap pemuda tampan yang
telah merenggut sekeping hatinya itu. Bahkan
juga tidak sanggup untuk membayangkan apa
yang akan terjadi nanti seandainya Pendekar
Pulau Neraka itu dibawa menghadap ayahnya.
“Yang Mulia memintamu untuk datang ke
istana sekarang juga," kata Pendeta Ajisaka
kembali.
"O..., untuk apa?" Bayu pura-pura tidak tahu.
"Kau sudah melanggar peraturan yang
ditetapkan Yang Mulia Sura Antaka. Kau harus
menerima hukumannya, Kisanak. Yang Mulia
sendiri akan menentukan hukumannya, dan
sebaiknya jangan bertingkah. Menurut lebih baik
daripada mencari penyakit!" tegas kata-kata
Pendeta Ajisaka.
"Hm.... Bicaramu bernada mengancam,
Pendeta,"gumam Bayu kurang senang.
'Tergantung dari tingkahmu, Anak Muda,"
dingin nada suara Pendeta Ajisaka.
"Kalau begitu, aku tidak akan memenuhi
undangan junjunganmu!" tolak Bayu tegas
bernada menantang.
"Kakang,..," desis Dewi Mustikaweni tersentak
kaget.
"Bagus! Itu berarti kau memilih jalan
kematianmu sendiri, Anak Muda!"
Trik!
Pendeta Ajisaka menjentikkan ujung jarinya,
maka empat orang berseragam merah bergambar
seekor naga pada dadanya langsung melompat
maju. Tanpa menunggu perintah dua kali, empat
orang itu segera menyerang dengan tombak
terhunus.
"Hup!"
Bayu melompat mundur dua tindak, lalu cepat
menarik tubuhnya ke belakang sedikit. Dua ujung
tombak lewat di depan dadanya. Cepat sekali
Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan
tangannya, dan....
Trek!
Dua batang tombak itu patah jadi dua
terhantam tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan
belum lagi dua orang itu bisa menyadari, secepat
kilat Bayu melompat sambil menghentakkan
kakinya menendang sekaligus dua orang
penyerangnya. Pekikkan tertahan terdengar
bersamaan terjungkalnya dua lawannya itu. Dan
belum lagi semua orang bisa menyadari, Bayu
sudah memutar tubuhnya. Dua pukulan
dilayangkan tepat, menghantam dua orang lagi.
Raungan keras terdengar saling sambut, disusul
ambruknya dua orang sambil menutupi
wajahnya.
"Bagaimana, Pendeta Ajisaka? Jika kau
berlaku sopan, aku akan lebih sopan darimu,"
kata Bayu kalem seraya melipat tangannya di
depan dada.
"Kau terlalu keras kepala, Anak Muda!" geram
Pendeta Ajisaka.
"Kepalaku memang lebih kerasdari batu."
“Phuih!” Pendeta Ajisaka menyemburkan
ludahnya.
Kembali laki-laki tua gundul berjubah kuning
gading itu memberi isyarat dengan jarinya.
Seketika sepuluh orang berseragam merah
bergambar seekor naga di dada langsung
melompat menyerang. Kembali Pendekar Pulau
Neraka melompat berkelit, menghadapi sepuluh
orang penyerangnya. Pertarungan kembali
berlangsung. Tapi baru beberapa gebrak saja, tiga
orang sudah terjungkal roboh memuntahkan
darah kental. Dan belum lagi orang itu mampu
bangkit, kembali dua orang terpental ke atas, lalu
jatuh keras ke tanah. Jerit dan pekik
pertempuran disertai pekikkan menyayat
terdengar saling sambut. Pendeta Ajisaka
semakin geram, melihat orang-orangnya jungkir
balik kewalahan menghadapi Pendekar Pulau
Neraka itu. Kembali diberi isyarat. Maka semua
orang berseragam merah bergambar naga di dada
berlompatan maju menyerang.
***
Semula Bayu hanya bermaksud membuat
orang-orang itu jera. Tapi melihat kesungguhan
dan kenekadan orang-orang berseragam merah
ini, Pendekar Pulau Neraka itu jadi gusar juga.
Meskipun sudah jatuh bangun kena pukulan dan
tendangan cukup keras, mereka tidak juga jera.
Bahkan semakin ganas saja. Memang pukulan
Bayu tidak disertai tenaga dalam. Lain halnya
dengan Pendeta Ajisaka. Dia tahu betul kalau
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertarung
sungguh-sungguh. Tapi tiga puluh orang
pengikutnya tidak ada yang mampu
meringkusnya. Bahkan tombak serta pedang
mereka berpatahan dan berpentalan ke udara.
Mereka jatuh bangun, tidak mampu lagi
menandingi pemuda itu. Sikap Bayu yang hanya
main-main, membuat Pendeta Ajisaka berang
Pemuda itu dianggap menghinanya.
"Mundur...!" teriak Pendeta Ajisaka keras
menggelegar.
Bentakan yang disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi itu membuat orang-orang
berseragam baju merah, serentak berlompatan
mundur. Mereka sudah tidak lagi memiliki
senjata, karena telah terampas dan patah-patah
oleh Bayu. Sebagian malah tergeletak di tanah
berpasir. Pendeta Ajisaka melangkah maju
beberapa tindak.
"Kau terlalu pongah, bocah!" geram Pendeta
Ajisaka.
"Aku ingin tahu, apakah kepala gundulmu
juga sekeras batu?" ejek Bayu sinis.
"Phuih! Keparat...!"
Pendeta Ajisaka menggerakkan tangannya,
membuka jurus penyerangan. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka hanya berdiri tegak
dengan tangan melipat di depan dada. Matanya
sempat mengerling pada Dewi Mustikaweni yang
berdiri agak jauh didampingi kedua orang emban
pengasuhnya yang setia. Entah kenapa, gadis itu
tersenyum, seakan merasa yakin kalau Bayu
dapat menundukkan Pendeta Ajisaka.
"Awas serangan! Hiyaaa...!" seru Pendeta
Ajisaka lantang.
"Hait...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ketika Pendeta
Ajisaka melompat datar dan kakinya menyampok
berputar mengarah ke bagian kaki. Pada saat
Bayu berada di udara, tiba-tiba saja laki-laki tua
gundul itu mengebutkan tasbih hitamnya. Kalau
saja Pendekar Pulau Neraka itu tidak memutar
tubuhnya, tasbih itu bisa merobek perutnya.
"Hap!"
Ringan sekali Bayu mendarat di belakang laki-
laki tua gundul berjubah kuning gading itu. Dan
secepat kilat dilayangkan satu tendangan
berputar. Pendeta Ajisaka tersentak kaget, buru
buru ditarik kakinya ke samping sambil
didoyongkan tubuhnya ke depan. Tendangan
Bayu luput dari sasaran. Pendeta Ajisaka
langsung memutar tubuhnya sambil
mengirimkan satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi.
"Hih!"
Bayu sengaja tidak menghindar. Bahkan
dipapaknya pukulan itu dengan tangan kiri,
disertai kemposan tenaga dalam yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan Tak dapat
dihindarkan lagi, dua tangan beradu dengan
keras.
Trak!
"Akh...!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan.
Buru-buru laki-laki tua gundul itu melompat
ke belakang. Mulutnya meringis merasakan nyeri
pada pergelangan tangannya. Namun belum juga
Pendeta gundul itu sempurna menjejak tanah,
Bayu sudah lebih cepat melompat sambil
melontarkan satu tendangan keras disertai
pengerahan tenaga dalam setengahnya.
Tendangan keras dan cepat itu tidak bisa
dihindari lagi, dan mendarat telak di dada kurus
kerempeng tertutup jubah kuning gading.
"Aaakh...!" kembali Pendeta Ajisaka memekik
keras.
Tubuh tua kurus itu terpental cukup jauh, dan
menabrak sebatang pohon cemara hingga
tumbang. Tapi Pendeta Ajisaka langsung bisa
bangkit berdiri. Tampak dari sudut bibirnya
mengucurkan darah kental. Digeleng-gelengkan
kepalanya. Sementara Bayu berdiri tegak sambil
tersenyum. Pendeta Ajisaka mencoba
menggerakkan tangan kanannya, tapi dia jadi
terkejut. Ternyata tulang pergelangan tangannya
patah terbentur tangan Pendekar Pulau Neraka
itu.
"Setan keparat...!" geram Pendeta Ajisaka.
Laki-laki tua itu langsung menyadari kalau
tenaga dalamnya masih berada di bawah pemuda
berbaju kulit harimau itu. Dia menggeram marah,
dan menggeser kakinya mendekati Dewi
Mustikaweni.
"Paman..., Paman terluka...?" Dewi
Mustikaweni panik juga melihat darah menetes
dari sudut bibir Pendeta Ajisaka.
"Huh!" Pendeta Ajisaka hanya mendengus
saja.
Dewi Mustikaweni menyentuh pergelangan
laki-laki tua gundul itu. Betapa terkejutnya dia,
karena Pendeta Ajisaka malah terpekik keras.
Mulutnya meringis merasakan nyeri yang amat
sangat pada pergelangan tangan kanannya.
"Oh, maaf..... Maaf, Paman," ucap Dewi
Mustikaweni tergagap ketakutan.
"Ayo kita pulang!" dengus Pendeta Ajisaka.
"Pulang...? Tapi...," Dewi Mustikaweni
tergagap. Matanya melirik Pendekar Pulau
Neraka yang hanya memperhatikan saja dengan
senyum tersungging di bibir.
"Bawa kambing tua itu pulang, Weni. Katakan
pada ayahmu, agar mengirim utusan yang lebih
sopan," ejek Bayu.
"Bocah keparat! Kau akan menanggung
sendiriakibatnya!" geram Pendeta Ajisaka.
"Ha ha ha....'" Bayu malah tertawa terbahak-
bahak.
"Ayo, Weni. Pulang...!" dengus Pendeta Ajisaka
memberengut gusar.
Dewi Mustikaweni ragu-ragu sejenak.
Sebentar diliriknya Bayu. Namun begitu
Pendekar Pulau Neraka itu menganggukkan
kepalanya, gadis itu segera melangkah pergi
diiringi kedua emban pengasuhnya. Tiga puluh
orang berbaju seragam merah yang sudah babak
belur, bergegas melangkah pergi tertatih-tatih.
Bahkan tidak sedikit yang terpaksa dipapah
temannya.
"Ha ha ha...!" Bayu Hanggara tertawa
terbahak-bahak.
Pendekar Pulau Neraka itu masih tetap
berdiri tegak memandang kepergian orang-orang
itu. Sampai mereka tidak kelihatan lagi, Bayu
masih tetap berdiri sambil melipat tangan di
depan dada. Kepalanya menoleh saat telinganya
mendengar suara langkah kaki menghampiri dari
arah samping kanan. Pendekar Pulau Neraka itu
memutar tubuhnya, lalu menghampiri seorang
laki-laki muda berwajah tampan dan berpakaian
indah berwarna biru. Pemuda itu didampingi
empat orang laki-laki setengah baya dengan
pedang menggantung di pinggang.
"Kau hebat, Kakang. Tidak percuma
Ayahanda Prabu meminta bantuanmu," ucap
pemuda tampan yang pedangnya tersampir di
punggung.
"Aku rasa mereka baru kroco, Raden Arga
Yuda. Masih perlu banyak waktu untuk
melumpuhkannya dari dalam," kata Bayu kalem.
"Aku percaya padamu, Kakang. Aku memang
diperintahkan Ayahanda Prabu untuk selalu
mengikuti semua kata-katamu," ujar pemuda
yang dipanggil Raden Arga Yuda itu.
"Ayahmu terlalu berlebihan, Raden," Bayu
merendah.
"Tidak. Kau memang patut mendapat
penghargaan. Aku kagum akan kepandaianmu,"
puji Raden Arga Yuda.
"Ah, sudahlah. Sebaiknya kita cepat
tinggalkan tempat ini sebelumada yang datang ke
sini," sergah Bayu yang tidak ingin
memperpanjang segala macam pujian yang
terlontar dari bibir putra mahkota Kerajaan
Gelang Wesi ini.
Mereka segera melangkah pergi masuk ke
dalam hutan kembali. Suasana di sekitar tepian
danau, kembali lengang. Tidak ada seorang pun
yang terlihat. Di tempat bekas pertempuran tadi,
hanya ada tombak dan pedang yang patah
berserakan. Tak ada yang menyadari kalau
semua peristiwa itu disaksikan seseorang dari
dalam semak belukar. Dan orang itu juga
bergegas pergi ke arah lain setelah tidak ada lagi
yang dapat dilihatnya. Namun tiba-tiba dia
berbalik dan melompat cepat ke arah Pendekar
Pulau Neraka, Raden Arga Yuda, dan empat
orang pengiringnya pergi!
***
Serombongan orang berkuda bergerak cepat
menuju Danau Mutiara. Terlihat paling depan
adalah Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan
Gadak. Pergelangan tangan Pendeta Ajisaka
terbalut kain putih bersih. Di belakang mereka
berpacu sekitar seratus orang berseragam baju
merah bergambarnaga pada dadanya.
Tiba-tiba saja di depan mereka melesat sebuah
bayangan, dan tahu-tahu seseorang berdiri
menghadang. Ternyata dia seorang laki-laki
memakai baju tanpa lengan. Bagian dada dan
perut dibiarkan terbuka. Warnanya sudah pudar,
dan celana yang dikenakan hanya sebatas lutut.
Sebuah caping bambu berukuran besar
bertengger di kepala, menutupi hampir seluruh
wajahnya. Rombongan berkuda itu langsung
berhenti.
"He! Siapa kau? Minggir...!" bentak Pendeta
Aji saka.
"Kalian menuju arah yang salah. Orang yang
kalian buru tidak ada lagi di sini," berat terdengar
suara orang itu sambil tetap berdiri tegak tanpa
bergeming sedikit pun.
"Aku peringatkan sekali lagi padamu, keparat
Minggir...!" bentak Pendeta Ajisaka menggeram.
"Hmmm….Pakaianmu seperti seorang
pendeta, tapi bicaramu tidak lebih dari bajingan!"
gumam orang itu dingin.
"Setan alas!Hiyaaat...!"
Pendeta Ajisaka tidak dapat lagi menahan
amarahnya. Secepat kilat dia melompat dari
punggung kudanya, langsung menerjang orang
bercaping besar itu. Namun hanya sedikit
mengegoskan tubuhnya, terjangan Pendeta
Ajisaka luput dari sasaran. Bahkan tanpa diduga
sama sekali, orang bercaping itu mengibaskan
tangannya. Akibatnya, kibasan itu telak
menghantam punggung laki-laki tua gundul itu.
"Ughk..!" Pendeta Ajisaka mengeluh tertahan.
Seketika itu juga Pendeta Ajisaka tersuruk
jatuh mencium tanah. Namun secepat kilat
mampu bangkit berdiri, dan kembali menyerang
diikuti kibasan untaian tasbih dari batu hitam
yang keras. Laki-laki bercaping itu melompat
mundur menghindari kibasan tasbih Pendeta
Ajisaka. Namun laki-laki tua gundul itu tidak
berhenti sampai di situ saja. Kembali dirangsek
orang bercaping itu dengan jurus-jurus maut yang
cepat dan dahsyat luar biasa.
Sebentar saja pertarungan sudah berjalan
lebih dari lima jurus. Dan memasuki jurus ke
enam, tampak kalau Pendeta Ajisaka semakin
terdesak hebat. Dua pukulan keras tidak dapat
dibendung lagi. Laki-laki gundul itu memekik
keras agak tertahan. Tubuhnya terlontar cukup
jauh, hingga menghantam sebongkah batu besar
berlumut. Batu itu hancurberkeping-keping.
Pendeta Ajisaka menggerung kesakitan
bercampur marah yang meluap. Dia berusaha
bangkit berdiri, tapi laki-laki bercaping itu sudah
melompat cepat. Bahkan kaki kirinya kini telah
menginjak tenggorokan Pendeta Ajisaka. Pada
saat itu, Singo Barong dan Macan Badak
melompat turun dari punggung kudanya.
"Berani mendekat, tua bangka gundul ini
mampus!" ancam orang bercaping itu.
Singo Barong dan Macan Gadak tidak jadi
melangkah mendekati. Sementara Pendeta
Ajisaka tampak tersengal, karena tenggorokannya
tertangsal kaki orang bercaping bambu yang
menutupihampir seluruh wajahnya.
"Bawa tikus-tikusmu pulang dan tua bangka
botak ini tetap bersamaku!" kata orang bercaping
itu lagi. Nadanya tetap tajam dan terdengarberat.
"Ghrrr...!" Singo Barong menggeram marah.
Wajahnya sudah memerah bagai terbakar.
Sepasang bola matanya berkilat membara.
Macan Gadak yang kelihatannya lebih sabar,
menarik tangan Singo Barong, lalu mengajaknya
mundur. Dengan terpaksa, Singo Barong bergerak
mundur mendekati kudanya kembali.
"Dengar! Jika kalian menginginkan dia hidup,
maka harus ditukar dengan Dewi Mustikaweni!"
kata orang bercaping itu lagi. Lantang sekali nada
suaranya.
"Keparat...!" geram Pendeta Ajisaka.
"Diam, monyet!" bentak orang bercaping itu
sambil menekan kakinya yang menginjak
tenggorokan Pendeta Ajisaka.
"Akh!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan.
Batang tenggorokannya terasa sakit, seperti akan
patah semua tulang-tulang lehernya. Injakan kaki
orang bercaping itu demikian kuat sehingga
Pendeta Ajisaka benar-benar tidak berdaya lagi.
Hanya bola matanya saja bersinar penuh
kemarahan.
"Kakang Singo...," ujar Macan Gadak seraya
menepuk pundak Singo Barong.
“Huh! Phuih...!" Singo Barong menyemburkan
ludahnya.
Tidak ada pilihan lain bagi mereka mengingat
keselamatan Pendeta Ajisaka. Sekali tekan saja,
leher laki4aki tua berkepala gundul itu bisa
remuk. Macan Gadak dan Singo Barong
melompat naik ke punggung kudanya masing-
masing, kemudian memerintahkan orang-
orangnya untuk kembali.
Rombongan berkuda itu bergerak pergi. Orang
bercaping itu memandangi sampai rombongan
berkuda itu tidak terlihat lagi. Hanya debu yang
masih berkepul membumbung tinggi ke udara.
Dilepaskan injakan kakinya pada leher Pendeta
Ajisaka, lalu dengan cepat ditotok jalan darahnya.
Pendeta Ajisaka mengeluh pendek. Seketika itu
juga tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa
digerakkan lagi. Laki-laki tua itu hanya bisa
mengumpat, memaki, dan menyumpah dalam
hati.
Orang bercaping itu mengambil sulur pohon
yang cukup kuat dan panjang, lalu mengikat
kedua kaki Pendeta Ajisaka. Kemudian
dilemparkan ujung satunya ke atas dahan yang
melintang cukup tinggi. Ringan sekali tubuhnya
melenting tinggi ke angkasa, lalu hinggap di
cabang pohon itu.
"He...! Apa yang kau lakukan...?" seru Pendeta
Ajisaka tersentak kaget.
Tapi belum juga ada jawaban, tubuh laki-laki
tua berjubah kuning gading itu terangkat naik.
Kini tubuhnya tergantung dengan kepala di
bawah. Pendeta Ajisaka menyumpah dan
memaki-maki dengan berang. Orang bercaping
besar itu meluruk turun. Indah sekali
gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, dia mendarat di bawah tubuh
tergantung terbalik.
"Keparat! Kubunuh kau!" geram Pendeta
Ajisaka berang.
"Bagaimana kau akan membunuhku, Pendeta
murtad? Sebentar lagi kau akan terbang ke
neraka," ejek orang bercaping itu seraya
melepaskan tudung anyaman bambu dari
kepalanya.
Tampak seraut wajah tampan berkulit kurung
langsat terlihat begitu caping besar terlepas.
Caping itu bertengger di punggungnya. Dengan
gerakan yang lembut dan cepat, dibukanya
totokan di tubuh Pendeta Ajisaka. Laki-laki tua
gundul berjubah kuning gading itu kini bisa
bergerak lagi. Tapi seluruh tubuhnya jadi
kesemutan, bergetarnyeri.
"Aku yakin, mereka tidak akan mempedulikan
dirimu. Nah! Berdoalah agar kau lancar menuju
ke neraka, Pendeta murtad," ujar pemuda itu
tersenyum lebar.
Sambil tertawa berderai, pemuda itu berbalik
dan melangkah. Pendeta Ajisaka mengumpat dan
memaki habis-habisan. Sambil berusaha
melepaskan diri dari ikatan di kedua kakinya.
Tapi seluruh tubuhnya terasa sakit, seperti
dikerubuti jutaan semut yang menggigiti seluruh
tubuhnya. Sedangkan pemuda berwajah tampan
itu menghenyakkan dirinya duduk di atas batang
pohon tumbang.
Pemuda itu melepaskan capingnya. Dari
dalani caping itu dikeluarkan selembar baju, lalu
dikenakannya tanpa membuka baju yang telah
dikenakan sebelumnya. Kemudian dipermak
wajahnya, sehingga kelihatan buruk, dan....
"Gagak Codet...!" desis Pendeta Ajisaka begitu!
pemuda itu memasang sebentuk kulit kering pada
pipi kirinya, sehingga menyerupai luka
memanjang.
"Kau terkejut, Pendeta Ajisaka?" pemuda yang
kini sudah berubah wajahnya itu tersenyum
menyeringai.
"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pendeta
Ajisaka.
"Kau kenali ini, Pendeta murtad?" pemuda
yang sudah berganti wajah yang dikenal bernama
Gagak Codet, mengeluarkan seuntai kalung dari
balik sabukyang melilit pinggangnya.
Kedua mata Pendeta Ajisaka membeliak lebar
begitu melihat seuntai kalung berbentuk kepala
naga dengan mata dari batu merah bercahaya.
Kalung itu dibuat dari emas mumi berhiaskan
butiran intan berlian. Sambil tersenyum
menyeringai, Gagak Codet menyimpan kembali
kalung itu ke dalam sabuknya.
"Ha ha ha ha....'" pemuda itu tertawa
terbahak-bahak, lalu melangkah pergi dengan
tenangnya.
Sedangkan Pendeta Ajisaka jadi terbengong
memandangi punggung pemuda itu. Sebentar
wajahnya berubah memerah dan pucat pasi.
Tentu saja dia kenal betul dengan untaian kalung
berbentuk kepala naga mata merah itu. Bahkan
tidak akan dilupakan seumur hidupnya. Dan
kalung itu kini berada di tangan seorang pemuda
tampan yang menyamar menjadi seorang laki-laki
berwajah buruk yang memiliki luka codet
memanjang di pipi kirinya. Pemuda yang lebih
dikenal bernama Gagak Codet.
"Ohhh....," Pendeta Ajisaka mengeluh panjang.
"Dewata Yang Agung..., tidakkah aku bermimpi...?
Apakah dia masih hidup?"
Sebentar Pendeta Ajisaka memejamkan
matanya, kemudian kelopak matanya terbuka
kembali. Pemuda yang dikenal bernama Gagak
Codet itu sudah tidak terlihat lagi bayangan
tubuhnya. Pendeta Ajisaka kemudian
mengerahkan hawa murni yang terpusat pada
tubuhnya. Pedahan-lahan hawa panas mulai
menjalar ke dalam aliran darahnya, dengan cepat
dikebutkan untaian tasbihnya ke arah sulur kayu
yang mengikat kakinya.
Tas...! Bruk!
"Heghk!" Pendeta Ajisaka mengeluh pendek
begitu tubuhnya terbanting keras ke tanah.
Buru-buru laki-laki tua itu membuka ikatan
pada kakinya, kemudian bangkit berdiri. Dan
belum juga berdiri tegak, seekor kuda berpacu
cepat ke arahnya. Tampak Singo Barong memacu
cepat kudanya menghampiri. Tampak jauh di
belakang serombongan orang berkuda menyusul.
Sedangkan Singo Barong langsung melompat
turun dari punggung kudanya dan menghampiri
Pendeta Ajisaka.
"Paman tidak apa-apa?"ujarSingo Barong.
"Gundulmu!" rungut Pendeta Ajisaka.
"Mana kudaku?”
"Ada di belakang!"
"Huh!"
***
5
Suara seruling mengalun lembut terbawa
angin senja yang berhembus perlahan. Suara
merdu itu terus menyusup melewati pepohonan,
terpantul dinding tebing dan bebatuan. Alunan
irama yang begitu lembut dan nyaman didengar,
membangkitkan Dewi Mustikaweni dari
pembaringannya. Gadis itu melangkah mendekati
jendela, dan membukanya lebar-lebar.
Alunan irama suara seruling itu semakin
terdengar jelas dan merdu mengusik gendang
telinga gadis itu. Dewi Mustikaweni mengedarkan
pandangannya ke sekeliling, seakan hendak
mencari sumber suara seruling itu. Tatapannya
langsung terpaku pada sebatang pohon tinggi di
luar batas tembok yang cukup tinggi mengelilingi
bangunan besar dan megah bagai istana ini.
Pada salah satu dahan pohon itu, terlihatlah
seseorang tengah duduk mencangkuk meniup
seruling bambu. Wajahnya tidak begitu jelas
karena tertutup sebuah caping anyaman bambu
yang cukup lebar. Dia hanya mengenakan baju
tanpa lengan. Bagian dada dan perutnya
dibiarkan terbuka lebar. Warnanya juga sudah
kumal, dan celananya hanya sebatas lutut saja.
Dewi Mustikaweni memandanginya tidak
berkedip. Orang itu menoleh dan menghentikan
tiupan serulingnya.
"Oh...!" Dewi Musrikaweni terperanjat begitu
orang itu membuka capingnya.
Tampak seraut wajah tampan berkulit putih
langsat tersenyum mempesona. Pemuda itu
menatapnya lekat-lekat. Sesaat Dewi
Mustikaweni jadi gelagapan, buru-buru
dipalingkan mukanya ke arah lain. Tapi tanpa
diduga sama sekali pemuda itu melesat dan tahu-
tahu sudah berdiri di depan jendela kamar itu.
"Oh...!" Dewi Musrikaweni terperanjat kaget
Dewi Musrikaweni melangkah mundur. Dan
ingin menutup jendela kamarnya. Pemuda itu
sudah keburu menahan. Bahkan malah melompat
masuk ke dalam. Buru-buru ditutupnya jendela
setelah berada di dalam kamar itu. Dewi
Mustikaweni semakin terperanjat sambil
melangkah mundur sampai kakinya menyentuh
pembaringan. Wajahnya seketika pucat pasi, dan
bola matanya berputar.
"Jangan takut Weni. Aku tidak akan berbuat
buruk padamu. Aku hanya ingin memastikan
kalau kau baik-baik saja," ujar pemuda itu
lembut.
"Siapa kau?" tanya Dewi Musrikaweni agak
bergetar suaranya.
"Arga Yuda," sahut pemuda itu lembut.
"Aku tidak kenal denganmu. Mengapa kau ke
sini?"
"Karena ingin membawamu keluar dari
lumpur neraka ini," kata pemuda yang ternyata
Arga Yuda seorang putra mahkota dari Kerajaan
Gelang Wesi.
"Oh..., tidak...," desisDewi Musrikaweni.
"Jangan khawatir, Weni. Bukan sekarang
waktunya. Tapi nanti. Percayalah, aku tidak
bermaksud buruk padamu. Aku akan
membawamu pada ayahmu," jelas Arga Yuda
tetap lembut nada suaranya.
"Ayahku...?"
'Ya. Ayahmu."
"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu?"
"Sayang, tidak ada waktu untuk menjelaskan.
Oh, ada orang datang ke sini. Maaf, aku harus
pergi."
"He, tunggu...!"
Tapi Raden Arga Yuda sudah lebih cepat
membuka jendela dan melompat keluar. Begitu
cepatnya melesat, sehingga meskipun Dewi
Mustikaweni memburu, pemuda itu sudah lenyap
dari pandangan. Dewi Musrikaweni mengarahkan
pandangannya ke pohon, tapi tidak ada apa-apa
lagi di sana. Gadis itu menoleh ketika mendengar
suara ketukan di pintu kamarnya.
“Ya, siapa...?" bergegas Dewi Musrikaweni
melangkah ke pintu.
Sura Antaka menerobos masuk begitu pintu
terbuka. Dewi Mustikaweni tertegun
memandanginya. Laki-laki setengah baya itu
langsung melongok keluar jendela, lalu
memandangi setiap sudut kamar ini
"Siapa yang masuk sini tadi?" tanya Sura
Antaka.
"Tid.... Tidak ada siapa-siapa, Ayah," sahut
Dewi Musrikaweni tergagap. Hatinya sungguh
terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Aku mendengar kau tengah bicara dengan
seseorang. Siapa dia, Weni?" desak ayahnya.
"Aku.... Aku bicara sendiri, Ayah," masih
tergagap suara Dewi Mustikaweni.
"Hm..., wajahmu pucat. Kau tidak
mendustaiku, Weni?" selidik Sura Antaka tidak
percaya.
"Tidak, Ayah. Sungguh, aku tadi bicara
sendiri," Dewi Musrikaweni berusaha
menyakinkan ayahnya.
"Hm...," Sura Antaka menggumam tidak jelas.
Tatapan matanya menusuk langsung
mengandung kecurigaan yang dalam. Dewi
Mustikaweni hanya tertunduk saja. Kegelisahan
menyelimuti hatinya. Kepalanya masih tertunduk
saat ayahnya melangkah menghampiri pintu.
Laki-laki setengah baya itu menoleh sebelum
melangkah keluar.
"Tutup jendelanya, Weni. Aku tidak suka kau
menyembunyikan orang di kamarmu," kata Sura
Antaka.
"Baik, Ayah."
Sura Antaka melangkah keluar. Dewi
Mustikaweni bergegas menutup pintunya, lalu
menarik napas panjang seraya memejamkan
matanya. Kemudian kakinya melangkah menuju
jendela, lalu menutupnya. Gadis itu berbalik,
melangkah menghampiri pembaringan. Sambil
mendesah panjang, dibanting tubuhnya ke
pembaringan. Sejak peristiwa di tepi danau, Sura
Antaka melarang gadis itu keluar dari kamarnya
kalau tidak disertai pengawalan ketat. Terlebih
lagi kalau keluar dari bangunan bagai istana ini.
Tidak kurang dari lima puluh orang ketat
mengawalnya.
Dewi Mustikaweni semakin merasakan
dirinya bagai hidup dalam sangkar emas
berlumpur. Ke mana pun pergi, selalu ada
pengawal membuntuti. Bahkan emban
pengasuhnya saja tidak lagi bisa bebas bepergian.
Dewi Mustikaweni menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat. Hidupnya
semakin terasa sunyi
***
Hari-hari buruk rupanya membayangi Sura
Antaka bersama semua orang-orangnya. Setiap
kali membegal, selalu gagal. Bahkan tidak sedikit
orangnya tewas atau tertangkap prajurit
Kerajaan Gelang Wesi. Sura Antaka jadi tidak
habis mengerti, setiap rencananya selalu saja
bocor dan dapat diketahui.
Kalau hanya prajurit kerajaan saja, tidak
menjadi persoalan baginya. Tapi yang membuat
berang adalah munculnya seorang pemuda
berkulit harimau dan seorang laki-laki bercaping.
Mereka kerap menggagalkan aksinya, bahkan
menewaskan banyak anakbuahnya.
Nama Pendekar Pulau Neraka dan Pendekar
Caping Bambu menjadi momok bagi Sura Antaka
dan semua pengikutnya. Bahkan Pendeta Ajisaka
jadi lebih banyak diam dan meyendiri sejak
digantung dengan kepala di bawah oleh orang
bercaping yang menabah dirinya menjadi Gagak
Codet. Bahkan sebenarnya wajahnya cukup
tampan bagai putra mahkota.
"Mungkinkah dia Arga Yuda...," desah Pendeta
Ajisaka siang itu saat duduk sendiri di pinggir
kolam taman belakang kediaman Sura Antaka
yang bagaikan istana itu.
"Dia sudah mati, Paman," tiba-tiba terdengar
suara dari belakang.
"Oh!" Pendeta Ajisaka terkejut, langsung
membalikkan tubuhnya.
Sura Antaka menghampiri dan duduk di
samping laki-laki tua berkepala gundul yang
selalu memakai jubah kuning gading itu. Pendeta
Ajisaka menggeser duduknya merenggang.
"Kenapa kau ingat-ingat bocah setan itu lagi,
Paman?" tegur Sura Antaka. Nada suaranya
terdengar kurang senang.
"Maaf, Adi Sura Antaka. Aku hanya
bergumam saja tadi," ujar Pendeta Ajisaka yang
selalu memanggil adik pada Sura Antaka jika
hanya berdua saja. Tapi di depan orang lain, dia
akan selalu menyebut Yang Mulia pada Sura
Antaka.
"Kau jauh berubah beberapa hari ini, Paman.
Sering menyendiri. Bahkan beberapa ku dengar
kau menyebut-nyebut nama Arga Yuda," kata
Sura Antaka.
"Hhh....!" Pendeta Ajisaka menarik napas
panjang.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Paman?"
"Sedikit," desah Pendeta Ajisaka.
"Katakanlah. Mungkin aku bisa membantu."
"Kau sudah terlalu banyak menanggung
beban, Adi Sura Antaka. Rasanya tidak pantas
kalau aku juga ikut membebani pikiranmu.
Biarlah semua persoalan ini aku sendiri yang
menyeselaikan," tolak Pendeta Ajisaka halus.
"Persoalanmu adalah juga persoalanku,
Paman. Aku tahu, belakangan ini aksi kita selalu
gagal. Aku merasa di antara orang-orang kita ada
yang berkhianat, dan selalu membocorkan setiap
rencana penyergapan. Aku memang berang, tapi
juga harus mencari jalan keluar yang terbaik. Aku
tidak ingin Partai Naga Merah hancur begitu saja,
karena ada pengkhianat yang menyusup," kata
Sura Antaka. Pendeta Ajisaka diam saja.
"Paman, kau selalu menyebut-nyebut nama
Arga Yuda. Apakah...."
"Anak itu masih hidup, Adi Sura Antaka,"
potong Pendeta Ajisaka cepat.
"Mustahil!" desisSura Antaka tidak percaya.
"Kau ingat ketika aku digantung, Adi Sura?
Waktu itu aku bersama Macan Gagak dan Singo
Barong serta beberapa orang berusaha mengejar
Pendekar Pulau Neraka yang menghina dan
membangkang undanganmu. Belum sampai ke
danau, seorang bercaping mencegat.
Kepandaiannya sangat tinggi. Aku berhasil di-
kalahkannya, lalu aku digantung, Adi Sura," kata
Pendeta Ajisaka mulai terbuka.
"Hm, ya. Aku sudah mendengar itu."
"Tidak ada yang tahu, Adi Sura. Aku yakin
orang bercaping itu pasti Arga Yuda.
"Kau tidakbergurau, Paman Ajisaka...?!"
"Sungguh, Adi Sura. Itulah yang menjadi
beban pikiranku saat ini. Arga Yuda begitu pandai
menyamar. Aku yakin kalau dia mudah
menyusup ke sini, dan mengetahui semua
rencana kita. Jadi bukan ada pengkhianatan, tapi
memang ada penyusup yang masuk tanpa kita
ketahui."
"Hm.... Kenapa baru sekarang kau katakan
ini, Paman?"Sura Antaka sedikit menyesali
"Aku masih mencari bukti kuat, Adi Sura."
"Keyakinanmu sudah menjadi bukti kuat,
Paman. Hmmm..., aneh! Bagaimana mungkin
bocah itu bisa hidup?"
"Bukan hanya bisa hidup, Adi Sura. Bahkan
telah mempunyai kalung lambang kebesaran
Partai Naga Merah."
"Apa...?!" Sura Antaka terkejut setengah mati
mendengarnya, bahkan sampai terlonjak bangkit
berdiri.
"Dia menunjukkan kalung itu padaku,"
sambung Pendeta Ajisaka.
"Mustahil! Tapi..."
Sura Antaka bergegas melangkah menuju
suatu bangunan kecil yang terbuat dari dinding
batu hitam. Pendeta Ajisaka mengikutinya dari
belakang. Dua orang penjaga bersenjata tombak
membungkuk memberi hormat dan salah seorang
bergegas membuka pintu dari besi baja yang
kokoh. Sura Antaka melangkah masuk, diikuti
Pendeta Ajisaka.
Udara lembab dan pengap langsung
menyeruak, tapi kedua laki-laki itu terus
melangkah menuruni undakan batu menuju ke
bagian bawah. Mereka berhenti setelah tiba di
depan sebuah pintu dari lempengan baja putih.
Sura Antaka membuka pintu itu. Suara bergerit
terdengar nyaring saat pintu itu terkuak.
Seberkas cahaya menerobos menerangi ruangan
kecil berdinding dan beratap batu hitam.
"Keparat..!" geram Sura Antaka seraya
menengadah menatap lubang yang menganga
lebar pada bagian atas ruangan kecil ini.
"Sudah kuduga, Adi Sura. Bocah itu pasti bisa
lolos," tegas Pendeta Ajisaka.
'Tidak mungkin! Pasti ada yang menolongnya.
Lima belas tahun terkurung di sini, mustahil
kalau dia masih hidup!" dengus Sura Antaka
menggeram.
Laki-laki setengah baya itu menatap Pendeta
Ajisaka dalam-dalam, sedangkan yang ditatap
malah membalas dengan tajam pula. Kemudian
mereka mendongak ke atas, lalu hampir
bersamaan melesat naik ke atas lubang itu.
Sebentar saja mereka sudah berada di luar, tepat
di luar pagar tembok yang membentengi
bangunan besar bagai istana itu.
"Emban Bulem...!" desis Sura Antaka. "Hanya
dia yang kuijinkan masuk ke sini."
"Di mana dia?" tanya Pendeta Ajisaka.
"Di... Mustikaweni..!"
Sura Antaka langsung melompat melewati
pagar tembok. Pendeta Ajisaka mengikuti dengan
gerakan tangkas dan ringan. Sekejap saja kedua
laki-laki itu sudah lenyap di balik dinding tembok
yang mengelilingi rumah besar bagai istana itu.
***
"Weni....' Mustjkaweni...!" teriak Sura Antaka
sambil menggedor pintu kamar yang tertutup
rapat.
Gedoran yang keras itu tidak juga membuka
pintu kamar tersebut. Pendeta Ajisaka menahan
tangan Sura Antaka. Sebentar ditatapnya laki-
laki setengah baya itu. Sura Antaka melangkah
mundur, dan Pendeta Ajisaka menghentakkan
tangannya ke depan disertai pengerahan tenaga
dalam penuh.
Brak!
Pintu tebal dari kayu jati itu hancur seketika.
Pendeta Ajisaka dan Sura Antaka langsung
menerobos masuk, dan langsung tercengang.
Ternyata di dalam kamar ini tidak ada seorang
pun. Sura Antaka bergegas ke jendela yang
terbuka. Matanya membeliak begitu melihat tiga
orang berpakaian merah bergambar naga di dada
telah tergeletak berlumuran darah di bawah
jendela.
"Paman, perintahkan semua yang ada. Cari
dan kejar anakku!" seru Sura Antaka berang.
"Baik," sahut Pendeta Ajisaka.
Laki-laki tua itu bergegas melangkah keluar.
Sedangkan Sura Antaka menyandarkan
tubuhnya ke dinding di samping jendela. Sebentar
matanya terpejam, kemudian terbuka lagi.
Tangannya terkepal erat. Dengan kemarahan
yang meluap, dihantamnya dinding kamar ini
hingga jebolberantakan.
Sura Antaka bergegas keluar dari kamar itu.
Langkahnya cepat dan lebar-lebar. Wajahnya
memerah, pertanda hatinya sedang terselimut
amarah yang luar biasa. Laki-laki setengah baya
itu langsung menuju ruangan depan. Di sana
Pendeta Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo Barong
sudah menunggu. Dari pintu ruangan depan ini
terlihat hampir seratus orang berbaris menunggu
perintah. Mereka semua berseragam merah
dengan sulaman gambar naga pada dadanya.
"Semua sudah siap, Yang Mulia," ujar Pendeta
Ajisaka seraya menjura memberi hormat
"Pecah bagi empat dan menyebar ke empat
jurusan!" perintah Sura Antaka.
Ketiga orang itu menjura memberi hormat,
lalu bergegas melangkah keluar. Tidak berapa
lama, terdengar beberapa suara bernada perintah.
Dan barisan berseragam merah itu segera
memisahkan diri menjadi empat kelompok.
Pendeta Ajisaka berdiri di depan kelompok paling
kanan, disusul Macan Gadak, dan Singo Barong.
Sedangkan sekelompok lagi akan ikut bersama
Sura Antaka.
"Dengar kalian semua...!" kata Sura Antaka
lantang begitu sudah berada di luar. "Ku ijinkan
kalian membunuh siapa saja yang ada bersama
Putri Dewi Mustikaweni!"
Semua orang menjura memberihormat.
"Berangkat sekarang!" perintah Sura Antaka
tegas.
Tiga kelompok yang masing-masing dipimpin
tiga orang kepercayaan Sura Antaka, segera
bergerak. Sedangkan Sura Antaka sendiri
menghenyakkan tubuhnya di kursi di beranda
depan ini. Sekitar dua puluh lima orang masih
berbaris rapi menunggu perintah. Mereka semua
memegang tombak panjang dan sebilah pedang
tergantung di pinggang. Sura Antaka merayapi
dua puluh lima orang anak buahnya yang setia
tengah menanti perintah.
"Kalian semua tetap di sini. Jangan terlalu
jauh dari rumah ini. Mengerti...?!" kata Sura
Antaka tegas.
"Mengerti, Yang Mulia....'" sahut mereka
serempak seraya membungkukkan badan.
Sura Antaka mengibaskan tangannya. Maka
sekitar dua puluh lima orang berseragam merah
itu serentak bergerak mencari tempat untuk
menjaga junjungannya. Sementara Sura Antaka
masih tetap duduk di kursinya. Pandangannya
kosong lurus ke depan.
"Hhhh...! Mungkinkah semua ini awal
kehancuranku? Tidak! Aku tidak boleh putus asa.
Partai Naga Merah tidak boleh hancur dan harus
tetap kuat!" desis Sura Antaka pelahan, namun
terdengar agak tertekan nada suaranya.
***
6
Sementara itu, di sebuah hutan yang cukup
jauh dari tempat tinggal Sura Antaka atau yang
lebih dikenal sebagai sarang Partai Naga Merah,
tampak Dewi Mustikaweni melangkah terseret
bersama seorang perempuan gemuk. Jelas dia
adalah Emban Bulem, pengasuh gadis cantik itu.
Beberapa kali kaki Dewi Mustikaweni terantuk
akar, dan terjatuh. Tapi Emban Bulem segera
menarik, dan menyeretnya agar terus berjalan.
"Aku letih, Bi. Istirahat dulu...," rintih Dewi
Mustikaweni kepayahan. Keringat membanjiri
wajah dan lehernya yang jenjang berkulit halus.
Sepasang pipinya merona merah karena
kelelahan.
Emban Bulem berhenti melangkah.
Ditatapnya dalam-dalam bola mata bulat yang
dihiasi bulu mata lentik itu. Dewi Mustikaweni
menyeka keringat dengan sapu tangan berwarna
merah muda. Napasnya terengah mendengus-
dengus.
"Kau terlalu manja, Mustikaweni. Inilah
akibatnya malas berlatih ilmu olah kanuragan!"
dengus Emban Bulem.
"Bi...!" sentak Dewi Mustikaweni terkejut
mendengar nada suara agak kasar dari emban
pengasuhnya ini.
"Ayo cepat jalan, sebelum mereka tahu!"
sentak Emban Bulem.
"Aku letih, Bi...," rengek Dewi Mustikaweni.
"Kebebasanmu sudah dekat, Weni. Jangan sia-
siakan kesempatan ini. Ibu dan kakakmu sudah
cemas menunggu. Ayo jalan lagi," bujuk Emban
Bulem.
"Bi..., aku tidak mengerti maksudmu. Akan
dibawa ke mana aku...?" tanya Dewi Mustikaweni
seraya mengayunkan kakinya kembali.
Kali ini Emban Bulem tidak lagi menyeretnya.
Mereka berjalan berdampingan menerobos
lebarnya hutan. Semakin jauh berjalan, semakin
sukar untuk ditempuh. Hutan ini bertambah
rapat, dan berudara lembab. Begitu rapatnya,
sehingga sinar matahari tidak sanggup
menembusnya. Dewi Mustikaweni agak getir juga
hatinya. Belum pernah dimasuki hutan sampai
sejauh ini. Dia takut kalau-kalau bertemu
binatang buas.
"Bi, tolong jelaskan. Kenapa kau lakukan
semua ini padaku...?" rengek Dewi Mustikaweni
masih belum mengerti sikap emban pengasuhnya
ini.
"Dengar, Weni. Sebenarnya aku ini adalah
adik kandung ibumu. Waktu Padepokan Naga
Merah yang kini menjadi Partai Naga Merah
hancur, aku menyamar jadi seorang pembantu.
Untungnya Sura Antaka tidak kenal jati diriku,
sehingga mengijinkan aku untuk mengasuhmu.
Waktu itu usiamu baru satu tahun, Weni. Dan
kau punya kakak yang berusia lima tahun pada
waktu itu. Laki-laki.... Ibumu dan kakakmu
berhasil meloloskan diri, sedangkan ayahmu yang
sebenarnya telah tewas di tangan Sura Antaka...,"
Emban Bulem mencoba menjelaskan.
"Sungguhkah itu, Bi?" tanya Dewi
Mustikaweni kurang percaya.
"Kau akan tahu nanti, Weni. Aku hanya bisa
menceritakan sedikit. Kau tahu, daerah ini masih
termasuk wilayah Kerajaan Gelang Wesi. Gusti
Prabu Nayadarma adalah pamanmu, kakak
ayahmu. Mereka masing-masing punya pilihan
sendiri. Gusti Nayadarma lebih senang pada hal-
hal pemerintahan. Sedangkan ayahmu lebih suka
menjadi pertapa, dan memimpin sebuah
padepokan yang didirikan atas usahanya sendiri.
Padepokan Naga Merah cepat berkembang pesat
Tapi seorang kepala gerombolan perampok telah
mengacaukannya. Direbutnya wilayah Padepokan
Naga Merah, lalu dijadikannya sarang
gerombolannya yang dinamakan Partai Naga
Merah. Kepala gerombolan perampok itu adalah
Sura Antaka."
"Ayah...?!"
"Dia bukan ayahmu, Weni. Sura Antaka masih
terhitung saudara ayahmu. Tapi hanya saudara
jauh. Dia iri dan dengki terhadap ayahmu yang
berhasil menjadi seorang pertapa dan guru besar
sebuah padepokan. Sura Antaka kemudian lari
dari istana dan berkelana menjadi kepala begal.
Kebenciannya semakin menjadi begitu
mendengar gadis yang sudah lama diinginkannya
dipersunting ayahmu. Gadis itu adalah ibumu,
Weni. Sura Antaka kemudian menghancurkan
Padepokan Naga Merah, dan membunuh
ayahmu. Ibumu hendak direbutnya juga, tapi
gagal. Dia hanya berhasil menawan kakakmu dan
dirimu, Weni."
"Kenapa dia tidak membunuhku saja, Bi?"
tanya Dewi Mustikaweni.
'Tidak. Karena aku telah memohon dan
berjanji untuk selalu setia serta merawatmu
dengan baik. Aku janji untuk tidak membocorkan
semua rahasia ini. Tapi aku jadi merasa tertekan
dan berdosa. Terlebih lagi setelah kau dewasa,
Weni. Dan sekarang kakakmu sedang berusaha
mengeluarkanmu darineraka lumpur ini."
"Kakakku...? Kau katakan tadi kakakku juga
tertawan, Bi," Dewi Mustikaweni meminta
penjelasan.
"Benar. Kakakmu tertawan dan dijebloskan
dalam penjara bawah tanah. Penjara yang
sebenarnya tempat bersamadi ayahmu dulu.
Berkat upayaku pula, Sura Antaka
mengijinkanku untuk memberinya makan dan
minum setiap hari. Dalam pekan-pekan pertama,
memang selalu ada pengawal yang menjaga
tempat itu sampai ke dalam. Tapi setelah lewat
tiga purnama, aku bisa masuk sendirian tanpa
dikawal seorang penjaga pua Di situ aku pun
berusaha membebaskan kakakmu dengan jalan
menjebol dinding atas yang kuketahui langsung
berhubungan dengan lingkungan luar. Tapi
sebelum itu, diam-diam aku juga telah memberi-
tahu pihak Kerajaan Gelang Wesi. Maka
pamanmu pun segera mengirimkan dua orang
panglimanya untuk menunggu. Kakakmu
selamat sampai di Kerajaan Gelang Wesi dan
telah berkumpul bersama ibunya. Ibumu juga,
Weni."
Dewi Mustikaweni terdiam, tidak tahu lagi
harus berkata apa lagi. Semua cerita perempuan
gemuk itu sungguh meresap, langsung masuk ke
dalam relung hatinya. Diam-diam Dewi
Mustikaweni menghubung-hubungkannya
dengan semua yang dilihat dan dialaminya
selama berada dalam sangkar emas berlumpur
itu, hingga peristiwa yang terjadi belakangan ini.
"Aku tidak mendesakmu agar percaya
sekarang juga, Weni. Kau akan tahu sendiri
nanti," kata Emban Bulem lagi.
"Entahlah, Bi. Aku tidak tahu," desah Dewi
Mustikaweni.
Mereka terus berjalan tanpa ada yang bicara
lagi.
***
Senja sudah mulai turun dalam pelukan bumi.
Sinar matahari tidak lagi terik menyengat. Dua
orang wanita masih terus berjalan tanpa
beristirahat. Mereka sudah mulai memasuki
tempat terbuka. Pohon-pohon tidak lagi rapat, dan
sinar matahari senja menghangati kulit mereka.
Tapi mendadak....
"Berhenti...!"
"Bi...," tergetar suara Dewi Mustikaweni begitu
tiba-tiba di depan mereka muncul Singo Barong
bersama dua puluh lima orang berseragam merah
bersulaman gambarnaga pada bagian dadanya.
"Emban Bulem..., pengkhianat busuk!" geram
Singo Barong.
"Aku bukan pengkhianat, setan!" bentak
Emban Bulem ketus.
"Heh!" Singo Barong berjingkrak kaget
mendengarbentakan keras wanita gemuk itu.
"Berani benar kau membentakku, perempuan
keparat!"
"Kau pikir aku takut? Majulah!" tantang
Emban Bulem.
Singo Barong semakin terperanjat begitu tiba-
tiba saja Emban Bulem melepaskan selendang
kuning yang membelit pinggangnya. Cepat sekali
perempuan gemuk itu mengebutkannya ke arah
laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berwajah
kasar penuh berewok itu.
"Hup!"
Singo Barong melompat cepat menghindari
terjangan ujung selendang kuning itu. Tapi
ternyata seorang yang berada tepat di
belakangnya tidak bisa berkelit lagi Orang itu
menjerit keras melengking, lalu menggelepar
jatuh dengan dada terbelah tersambar ujung
selendang kuning itu.
"Setan keparat...! Rupanya kau punya
simpanan juga, heh?!" geram Singo Barong.
"Simpanan untuk mencabut nyawamu, Singo
Barong!"
"Edan! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Singo Barong memuncak amarahnya.
Langsung dilentingkan tubuhnya, dan meluruk
deras ke arah Emban Bulem. Namun perempuan
gemuk itu lincah sekali mengebut-ngebutkan
selendangnya, menghalau serangan Singo Barong
Tentu saja hal ini membuat laki-laki tinggi kekar
itu menjadi kelabakan menghindari kebutan
selendang yang meliuk-liuk bagai memiliki mata
itu.
"Ghrrr...!" Singo Barong menggerung keras
bagai seekor binatang buas kelaparan.
Sementara itu, orang-orang yang mengenakan
seragam merah telah berlompatan membuat
lingkaran mengepung. Sedangkan Dewi
Mustikaweni tidak berani jauh-jauh dari
perempuan gemuk yang sibuk memainkan
selendangnya, mencecar Singo Barong.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Singo Barong
berteriak keras.
Dan pada. saat yang bersamaan, Emban bulem
mengebutkan selendangnya ke arah kaki. Tubuh
laki-laki tinggi kekar itu melenting ke atas, lalu
mendarat lunak di atas selendang kuning itu
Cepat sekali goloknya yang besar dan kelihatan
berat itu ditarik keluar.
"Hup! Hyaaa...!"
Wut!
Bret..!
Emban Bulem tersentak kaget begitu tiba-tiba
saja golok Singo Barong merobek selendangnya
tepat pada bagian tengah hingga terpotong jadi
dua bagian. Dan belum lagi hilang keterkejutan
perempuan gemuk itu, Singo Barong sudah
melompat bagaikan kilat. Goloknya dikibaskan
cepat mengarah ke leher.
"Uts! Haiiit...!"
Emban Bulem melompat mundur menghindari
tebasan golok itu. Tapi belum juga kakinya
menjejak tanah, riba-riba dari arah belakang,
meluncur sebatang j tombak panjang berwarna
merah darah. Dan tombak» itu langsung
menembus punggung wanita gemuk itu hingga
tembus ke dada.
"Aaaaa...!" Emban Bulem menjerit melengking
tinggi.
"Mampus kau!Hiyaaat...!"
Seketika itu juga Singo Barong mengebutkan
goloknya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi,
langsung menebas leher Bibi Emban Bulem
hingga buntung.
"Bibi...!" jeritDewi Mustikaweni.
Tubuh gemuk itu jatuh berdebum ke tanah.
Darah mengucur deras dari leher yang buntung,
sedangkan kepala perempuan gemuk itu
menggelinding terpisah. Singo Barong tertawa
terbahak-bahak melihat lawannya tewas seketika.
Sedangkan Dewi Mustikaweni yang tidak
sanggup melihat kejadian itu, langsung jatuh
pingsan saat itu juga.
"Bawa perempuan itu!" perintah Singo Barong.
Dua orang melangkah maju. Tapi belum juga
tubuh ramping itu sempat disentuh, mendadak
sebuah bayangan berkelebat menyambar tubuh
Dewi Mustikaweni yang tergeletak pingsan di
tanah. Tahu-tahu di tempat gadis itu tergeletak,
sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan
mengenakan baju kulit harimau. Badannya yang
kekar memondong tubuh ramping yang tidak
sadarkan diri.
"Aku muak melihat tikus-tikus busuk
bertingkah!” dingin nada suara pemuda berbaju
kulitharimau itu.
"Bocah edan! Siapa kau?" bentak Singo Barong
geram.
'Kau tidak perlu tahu siapa aku. Katakan saja
pada Sura Antaka kalau kehancurannya sudah
tiba!"
"Heh...!"
Tiba-tiba saja pemuda berbaju kulit harimau
itu melesat cepat bagaikan kilat. Sekejap saja
bayangan tubuhnya sudah lenyap. Singo Barong
dan yang lainnya jadi terperangah. Mereka seperti
melihat hantu yang muncul dan menghilang tiba-
tiba. Laki-laki kekar berwajah menyeramkan itu
cepat tersadar, lalu memerintahkan semua anak
buahnya untuk segera mengejar. Singo Barong
melompat cepat ke arah hilangnya pemuda
berbaju kulit harimau tadi, diikuti orang-orang
berseragam merah bergambar naga pada bagian
dadanya.
***
"Oh...," Mustikaweni merintih lirih.
Kepala gadis itu menggeleng pelahan, dan
kelopak matanya terbuka. Sebentar matanya
mengerjap, lalu tubuhnya menggelinjang bangkit
begitu menyadari dirinya berada di tempat yang
sangat asing dan belum dikenalnya. Gadis itu
semakin terkejut begitu melihat seorang pemuda
duduk bersila tidak jauh darinya.
"Kakang Bayu...," desis Dewi Mustikaweni
mengenali pemuda yang mengenakan baju dari
kulitharimau itu.
"Kau sudah bangun, Weni?" lembut suara
Baya
"Di mana aku?" tanya Dewi Mustikaweni
seraya memandang berkeliling.
Tempat ini tidak begitu besar, dan semua
dindingnya terbuat dari kulit kayu. Atapnya dari
daun-daun kering yang dirangkai oleh kulit kayu.
Gadis itu sendiri berada pada tumpukan rumput
kering di atas tanah lembab yang banyak
berserakan daun-daun kering.
"Cukup aman dari kejaran mereka," ujar Bayu
seperti bisa membaca jalan pikiran gadis itu.
Dewi Mustikaweni menatap pemuda itu
sesaat, lalu kepalanya tertunduk Kembali
terbayang semua peristiwa yang dialaminya, lalu
tiba-tiba saja dia menangis sesunggukkan.
Namun cepat-cepat dihapus air matanya dengan
ujung lengan bajunya. Dewi Mustikaweni
menarik napas panjang, mencoba mencari
kekuatan. Meskipun hatinya sedih karena
kematian emban pengasuh yang begitu setia dan
rela berkorban nyawa untuknya, tapi gadis itu
tidak ingin kelihatan cengeng lagi. Dia harus
tabah. Dia sudah tahu siapa dirinya, dan masalah
apa yang sedang dihadapinya sekarang ini.
"Kakang, bagaimana aku bisa sampai di sini?"
tanya dewi Mustikaweni.
"Hanya kebetulan aku lebih cepat dari
mereka,” sahut Bayu seenaknya.
"Oh, Bibi...," rintih Dewi Mustikaweni kembali
teringat kematian emban pengasuhnya yang
begitu tragis. Tidak kuasa lagi air matanya
dibendung.
"Sudahlah, Weni. Tidak ada gunanya
menangis. Yang penting sekarang kau harus
tabah menghadapi semua kenyataan ini. Sampai
saat ini kau belum bisa merasa aman. Masih
banyak yang harus kau hadapi," kata Bayu
lembut, namun cukup tegas nada suaranya.
"Aku tidak tahu lagi, apa yang harus
kulakukan. Sepertinya aku sedang bermimpi
buruk saja," lirih suara Dewi Mustikaweni.
"Anggaplah ini mimpi burukmu, Weni. Dan
jangan terjaga sebelum semuanya berakhir."
"Ah, Kakang. Kau hanya menggodaku saja."
"Nah..., begitu. Tersenyumlah. Kau semakin
cantik jika tersenyum," goda Bayu agar gadis itu
hilang dari kesedihannya.
Terpaksa Dewi Mustikaweni tersenyum,
meskipun terasa pahit dan bergetar. Dan Bayu
sudah senang melihatnya. Pemuda itu beringsut
lebih mendekat. Ditatapnya dalam-dalam wajah
cantik penuh air mata. Lembut sekali Bayu
menghapus air mata itu dengan ujung jarinya.
Dewi Mustikaweni memejamkan matanya,
kembali teringat kecupan pertama pada bibirnya.
Dan pemuda inilah yang pertama kali
menciumnya.
"Weni...," bisik Bayu lembut.
Dewi Mustikaweni membuka matanya.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu, dan ini
mungkin saatyang tepat," kata Bayu pelahan.
"Ada apa, Kakang?" tanya Dewi Mustikaweni.
"Weni, apa yang ada dalam pikiranmu atas
keberadaanku yang tiba-tiba di sini?" Bayu balik
bertanya.
"Aku tidak tahu," sahut Dewi Mustikaweni
keheranan.
"Ketahuilah, keberadaanku di daerah Utara
ini bukan karena tidak sengaja. Kedatanganku ke
sini karena diutus seseorang. Seseorang yang
membutuhkan pertolongan, dan aku tidak bisa
menolaknya," jelas Bayu. Terdengar hati-hati
sekali nada suaranya.
Dewi Mustikaweni diam saja. Dicobanya
untuk bisa memahami setiap kata yang
terucapkan dari bibir pemuda itu. Berbagai
macam dugaan langsung hadir di benaknya. Dan
semua dugaan itu membuat jantungnya berdebar
kencang.
"Aku yakin, emban pengasuhmu sudah
bercerita banyak kepadamu," kata Bayu lagi.
"Dan semua itu ada hubungannya dengan
kedatanganku ke sini."
"Bibi Bulem ..?" dada Dewi Mustikaweni
semakin keras berdebar.
Gadis itu teringat akan semua cerita
perempuan gemuk yang selama ini dikenalnya
hanya sebagai emban pengasuh saja. Dan
ternyata Bibi Bulem memang adalah bibinya
sendiri, adik kandung ibunya. Sedangkan ibunya
sendiri katanya sekarang berada di istana
Kerajaan Gelang Wesi. Dewi Mustikaweni masih
belum percaya sepenuhnya. Tapi saat Bayu
berkata tadi..., entah kenapa tiba-tiba saja
dadanya jadi bergemuruh, dan jantungnya serasa
lebih cepat berdetak. Dewi Mustikaweni menatap
bola mata pemuda itu dalam-dalam, seolah-olah
ada yang dicarinya di sana.
"Jika Bibi Bulem sudah mengatakan
semuanya padamu, rasanya tidak perlu lagi
kukatakan padamu, Weni. Semua yang
dikatakannya adalah benar. Dan aku berada di
sini untuk membantunya mengeluarkanmu, agar
kau bisa berkumpul lagi bersama ibu dan
kakakmu. Oh, ya. Kakakmu juga ada di sini, tapi
sudah dua hari ini terpisah dariku. Entah berada
di mana sekarang. Yang jelas dia bersama empat
orang panglima," lanjut Bayu.
Dewi Mustikaweni semakin tidak bisa
membuka mulutnya. Tidak dapat dilukiskan lagi,
bagaimana perasaan hatinya sekarang. Keragu-
raguan, kebimbangan, dan ketidakpercayaan
serta rasa ingin mempercayai bergalut jadi satu
dalam dadanya. Dia hanya bisa memandang
dengan bibir bergetar tanpa mengeluarkan suara
sedikit pun. Tidak mudah baginya untuk bisa
menerima semua ini. Sejak kecil yang dikenal
hanya Sura Antaka sebagai ayahnya. Dan laki-
laki setengah baya itu selalu mengatakan ibunya
sudah meninggal ketika melahirkannya. Hanya
itu saja yang diketahuinya. Tidak lebih. Tapi
sekarang.... Dewi Mustikaweni tidak tahu lagi,
apa yang harus dikatakan dan diperbuatnya.
***
Sudah dua hari Dewi Mustikaweni tinggal di
pondok kecil yang reyot dan nampak kumuh itu.
Selama itu Bayu selalu menceritakan bagaimana
caranya dia berhubungan dengan Emban Bulem.
Juga tentang kakaknya yang kini entah berada di
mana setelah terpisah dengannya. Hanya
sebentar saja Bayu berada di pondok ini Pendekar
Pulau Neraka itu selalu keluar mencari Raden
Arga Yuda. Mereka akan kembali ke Istana
Gelang Wesi bersama-sama nanti.
Namun sudah dua hari ini Bayu belum juga
bertemu Raden Arga Yuda. Dan hal ini membuat
Dewi Mustikaweni jadi murung. Dia sudah yakin
kalau dirinya bukan anak Sura Antaka, dan
masih mempunyai ibu dan seorang kakak.
Bertahun-tahun terpisah, sejak kecil sehingga
tidak bisa mengenali satu dengan lainnya.
Saat itu hari sudah menjelang senja. Tapi
Bayu belum juga kembali. Dewi Mustikaweni
menunggu di beranda pondok kecil ini. Gadis itu
tidak juga beranjak dari kursinya yang hanya
terbuat dari bambu yang disatukan dengan kulit
kayu. Setiap kali digerakkan tubuhnya, selalu
terdengar suara bergerit.
"He he he....r" tiba-tiba terdengar suara tawa
terkekeh.
"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget
Seketika wajah gadis itu memucat begitu tiba-tiba
di depannya muncul seorang laki-laki tua
berjubah kuning dengan kepala gundul. Di
belakangnya berdiri dua orang bertubuh kekar.
Belum hilang rasa terkejut Dewi Mustikaweni,
dari balik pepohonan dan semak bermunculan
orang-orang berseragam merah yang bergambar
naga pada dadanya. Gadis itu tahu siapa mereka,
terlebih lagi terhadap tiga orang itu.
"Akhirnya kutemukan juga kau di sini, Weni,"
ujar Pendeta Ajisaka.
"Oh, mau apa kalian ke sini?" bentak Dewi
Mustikaweni semakin memucat wajahnya.
"Ayahmu menunggu, Weni. Sudah dua hari
kau tidak pulang," kata Macan Gadak.
Dewi Mustikaweni menelan ludahnya.
"Kau tersasar di sini, Cah Ayu? Atau ingin
melarikan diri?" sinisnada suara Pendeta Ajisaka.
"Aku..., aku," tergagap suara Dewi
Mustikaweni.
"Ayo kita pulang," ajak Pendeta Ajisaka.
"Tidak!" sentak Dewi Mustikaweni ketika laki-
laki berjubah kuning gading itu menjulurkan
tangannya.
"O..., rupanya kau ingin membangkang ya?"
"Aku tidak akan kembali! Aku mau pulang!"
keras nada suara Dewi Mustikaweni.
"Pulang...? Pulang ke mana, Weni? Ini bukan
rumahmu!"bentak Pendeta Ajisaka jadigusar.
"Aku mau pulang ke Ibu!"
Pendeta Ajisaka tersentak kaget Sedangkan
Singo Barong dan Macan Gadak saling
berpandangan. Tapi cepat sekali mereka
melompat dan tahu-tahu kedua tangan Dewi
Mustikaweni sudah teringkus.
"Akh! Lepaskan...!" jerit Dewi Mustikaweni
berusaha memberontak.
"Hih!" Macan Gadak menotok jalan darah
gadis itu.
"Ahhh...!"
Seketika itu juga tubuh Dewi Mustikaweni
lunglai lemas tak berdaya. Singo Barong
memondongnya. Mereka saling berpandangan
sesaat.
"Dia tidak ke sini sendirian, Paman Pendeta,"
kata Singo Barong.
"Kau boleh menunggunya di sini, Singo
Barong. Aku akan membawa bocah nakal ini
pulang," ujar Pendeta Ajisaka.
"Aku bersamamu, Singo Barong," selak Macan
Gadak
"Tidak! Kau ikut Paman Pendeta saja," tolak
Singo Barong.
Macan Gadak mengangkat bahunya. Dia tahu
kalau Singo Barong sangat keras wataknya.
Sekalibilang hitam, selamanya akan hitam. Tidak
mungkin bisa di-rubah lagi. Macan Gadak
menggantikan Singo Barong memondong Dewi
Mustikaweniyang terkulai tidak sadarkan diri.
"Hati-hati, Singo Barong," ucap Pendeta
Ajisaka.
"Akan kubawa kepalanya untuk kalian
semua," kata Singo Barong mantap.
Pendeta Ajisaka menepuk pundak laki-laki
tinggi kekar itu, kemudian melangkah
menghampiri kudanya yang dituntun seorang
berbaju merah. Laki-laki tua gundul berjubah
kuning gading itu melompat naik ke kudanya,
kemudian menerima tubuh Dewi Mustikaweni
dari Macan Gadak. Gadis itu tidak bergerak-gerak
lagi, lemas karena tertotok jalan darahnya.
Sebentar saja Pendeta Ajisaka dan Macan
Gadak sudah pergi. Tinggal Singo Barong di
tempat itu ditemani sekitar lima belas orang
berseragam merah dan bergambar naga di bagian
dadanya. Laki-laki berwajah kasar penuh
berewok itu memandang ke sekeliling. Tangannya
menjambret obor yang terpancang di tiang
beranda pondok itu, lalu melemparkannya ke atap
pondok. Api langsung berkobar besar, melahap
atap yang terbuat dari daun-daun kering dan
rerumputan yang teranyam.
"Ha ha ha...!"
***
7
Bayu tersentak kaget saat mendapati
pondoknya sudah hangus menjadi abu. Dan
belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba di
sekelilingnya bermunculan sekitar lima belas
orang berseragam merah bergambar naga pada
bagian dadanya. Tampak Singo Barong berdiri
tegak. Matanya merah membara, bagai api yang
menghanguskan pondok kecil itu.
Bayu memutar tubuhnya, memandangi orang-
orang yang sudah mengepungnya sambil
membawa tombak terhunus. Tatapan matanya
langsung terpaku pada Singo Barong. Laki-laki
inilah yang memenggal kepala Emban Bulem, dan
yang juga berusaha membawa paksa Dewi
Mustikaweni kembali ke dalam sangkar emasnya
yang penuh bergelimang noda lumpur.
"Ha ha ha ha...! Tidak semudah itu kau bisa
membawa Dewi Mustikaweni!" Singo Barong
tertawa terbahak-bahak.
"Di mana Mustikaweni?" dengus Bayu.
"Bersama ayahnya," sahut Singo Barong
dingin.
Singo Barong menjentikkan ujung jarinya. Dan
seketika itu juga lima belas orang berseragam
dengan tombak terhunus, langsung berlompatan
menyerang. Bayu yang sudah kesal karena Dewi
Mustikaweni hilang, semakin menjadi geram
mendapat keroyokan yang membabi buta seperti
ini.
"Hiya...! Hyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka itu berkelebat cepat
menghindari setiap serangan yang datang, sambil
balas menyerang. Pukulan-pukulannya cepat luar
biasa, dan mengandung tenaga dalam sangat
sempurna. Pekik pertempuran, kini berubah jadi
jerit lengking kematian. Satu persatu tubuh orang
berbaju merah bergelimpangan dengan keadaan
remuk.
Singo Barong menggeram dahsyat karena
melihat dalam keadaan sebentar saja, lebih dari
separuh anak buahnya tewas. Laki-laki tinggi
kekar itu langsung melompat menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Tidak tanggung-
tanggung lagi, segera dihunus goloknya yang
besar dan panjang.
Wut!
"Uts!"
Bayu merundukkan kepalanya ketika
merasakan desiran angin kencang mengarah ke
kepalanya. Agak terkesiap juga hatinya begitu
sebuah golok besar melesat di atas kepalanya.
Dan Bayu jadi membeliak. Ternyata belum lagi
diangkat kepalanya, sebatang tombak menyodok
dari arah samping.
"Hih!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu
mengibaskan tangan kirinya memapak tombak
yang menyodok ke arah iga.
Trak!
Tombak itu patah. Dan belum lagi pemiliknya
bisa menarik diri, Bayu sudah melompat cepat
sambil mengayunkan satu pukulan bertenaga
dalam luar biasa. Terdengar suara berderak dari
kepala yang pecah. Orang itu menjerit melengking
tinggi sambil memegangi kepalanya, dan
langsung ambruk menggelepar di tanah. Dari
kepala yang hancur mengucur darah segar.
Bayu membalikkan tubuhnya. Dipandanginya
Singo Barong dan sisa anak buahnya yang tinggal
tiga orang lagi. Tampak sekali kalau Singo Barong
seperti ragu-ragu. Hatinya gentar juga melihat
anak buahnya tinggal tiga orang lagi. Dua belas
orang tewas dalam waktu sebentar saja.
"Kenapa diam? Kalian takut...?" ejek Bayu
tersenyum sinis.
"Phuih!" Singo Barong menyemburkan
ludahnya, berusaha mengusir kegentaran yang
melanda hatinya saat ini.
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu
melintangkan goloknya di depan dada. Tatapan
matanya tajam menusuk ke bola mata Pendekar
Pulau Neraka. Pelahan-lahan kakinya bergerak
menggeser ke samping. Digerak-gerakkan
goloknya di depan dada. Sedangkan Pendekar
Pulau Neraka hanya diam sambil melipat tangan
di depan dada. Terasa sinis senyum yang
mengembang di bibirnya.
Beberapa kali Singo Barong menyemburkan
ludahnya. Setiap kali kakinya bergerak
menggeser, Bayu memperhatikan dengan ujung
ekor mata. Pendekar Pulau Neraka itu juga terus
mengawasi tiga orang yang kini memegang
pedang terhunus. Tiga orang berse-ragam merah
itu juga bergerak ke arah yang berlawanan dari
Singo Barong.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba salah seorang dari tiga orang yang
mengenakan seragam merah, melompat sambil
menusukkan pedangnya dari arah samping
kanan. Bayu menarik tubuhnya ke belakang,
maka tusukan pedang itu hanya lewat di depan
dadanya. Cepat sekali tangan Pendekar Pulau
Neraka itu bergerak, langsung menghantam perut
penyerangnya.
Buk!
"Heghk...!"
Saat tubuh orang itu terbungkuk, Bayu
menghantamkan satu pukulan keras bertenaga
dalam hampir mencapai kesempurnaan.
Pukulannya telak menghantam punggung, hingga
orang itu terjerembab mencium tanah. Satu
tendangan keras membuat orang itu terpental dan
tewas seketika. Baru saja Bayu berdiri tegak dua
orang lainnya langsung berlompatan menyerang.
Pedang mereka berkelebat cepat mengarah ke
bagian-bagian tubuh yang mematikan.
"Hup! Hyaaa...!"
***
Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan
dengan cepat dikibaskan tangan kanannya.
Seketika itu juga secercah cahaya keperakan
melesat bagai kilat dari pergelangan tangan
kanannya. Cakra Maut pun langsung meluncur
membabat leher kedua orang yang terbengong
sesaat.
Jeritan melengking terdengar menyayat
mengiringi kematian dua orang berbaju merah
itu. Leher mereka hampir putus terbabat ujung
Cakra Maut yang berjumlah enam buah. Bayu
mengangkat tangannya ke atasi begitu kakinya
mendarat di tanah. Maka Cakra Maut senjata
andalan Pendekar Pulau Neraka itu kembali
melekat di pergelangan tangannya.
"Giliranmu sudah tiba, Singo Barong!" desis
Bayu dingin dan datar. Tatapan matanya tajam
menusuk.
"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa
terbahak-bahak. "Kau pikir mudah menjatuhkan
aku, bocah setan! Jangan bangga dulu bisa
membasmi tikus-tikus tidak berguna itu,
keparat!"
Wut!
Singo Barong mengebutkan goloknya yang
begitu besar ke arah perut Pendekar Pulau
Neraka. Tapi hanya dengan menarik sedikit
tubuhnya ke belakang, golok itu hanya membabat
angin di depan perut Pendekar Pulau Neraka.
Begitu besar tenaga yang dimiliki Singo
Barong, sehingga angin kibasan goloknya saja
sudah bisa membuat Bayu terdorong sedikit ke
belakang. Dan belum lagi Pendekar Pulau Neraka
itu bisa menguasai diri, Singo Barong sudah
melompat sambil berteriak keras menggelegar.
Satu tendangan dahsyat dilepaskan mengarah ke
dada.
"Uts!"
Buru-buru Bayu melentingkan tubuhnya
berputar ke belakang. Dan tendangan keras itu
luput dari sasaran. Namun rupanya Singo Barong
tidak memberi kesempatan kepada Pendekar
Pulau Neraka itu untuk balas menyerang. Bayu
terus dicecar dengan jurus-jurus yang dahsyat dan
selalu mengandung tenaga luar biasa. Pendekar
Pulau Neraka terpaksa berpelantingan
menghindari serangan yang tidak ada henti-
hentinya itu. Sekalipun tidak ada kesempatan
untuk balas menyerang.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tidak terasa
mereka sudah menghabiskan lebih dari dua puluh
jurus, tapi belum ada tanda-tanda bakal ada yang
terdesak. Bayu sempat memungut sebuah pedang
yang tergeletak di tanah, dan langsung
dibabatkan ke tubuh Singo Barong. Bukan main
tercengangnya Bayu, karena pedang itu patah
saat menghantam tubuh laki-laki tinggi tegap
dengan wajah kasar penuh berewok.
"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa
terbahak-bahak.
Dia bertolak pinggang dengan pongahnya. Se-
mentara Pendekar Pulau Neraka hanya
memandangi tanpa berkedip. Di tangan kanannya
masih tergenggam sebatang pedang yang
buntung. Bayu melempar pedang itu, lalu
dipungutnya pedang lain yang tergeletak dekat
ujung kakinya. Sambil berteriak keras, Pendekar
Pulau Neraka itu mengibaskan pedangnya, tepat
mengarah ke leher.
"Hiyaaat..!" Trak!
"Ha ha ha ha...!"
Buru-buru Bayu melompat mundur begitu
mata pedang yang dipungutnya dari tanah telah
patah jadi dua. Sedangkan kulit leher Singo
Barong tidak tergores sedikit pun juga. Malah
orang berewokan itu tertawa terbahak-bahak
berkacak pinggang.
Gila! Ilmu apa yang digunakan?" dengus Bayu
keheranan.
"Keluarkan semua kepandaianmu, bocah!"
tantang Singo Barong pongah.
"Hmmm...," Bayu menggumam pelan.
Dengan ujung jari kakinya, dijentik sebilah
pedang, dan langsung ditangkapnya. Sebentar
dipandangi pedang yang berkilat keperakan. Lalu
dijentikkannya ujung pedang itu dengan ujung
jari tangan kiri.
Tring!
Suara tawa Singo Barong langsung lenyap
begitu melihat pedang di tangan Pendekar Pulau
Neraka terpotong tepat pada bagian tengahnya.
Padahal tadi ujungnya hanya disentil sedikit saja.
Singo Barong terkesiap. Dia sadar kalau ilmu
tenaga dalam yang dimiliki pemuda berbaju kulit
harimau itu sukaruntuk diukur ketinggiannya.
"Cuma pedang mainan. Tidak heran kalau
tubuhmu kebal," dengus Bayu setengah
bergumam.
"Phuih! Keluarkan senjatamu, bocah!" geram
Singo Barong
"Hmmm.... Aku jadi ingin tahu, sampai di
mana kekebalan tubuhmu," gumam Bayu ringan
seraya tersenyum sinis.
Pendekar Pulau Neraka itu merentangkan
kakinya ke samping. Lalu dengan satu kaki kiri
ditekuk ke depan, dimiringkan tubuhnya ke kiri.
Tangan kanannya disilangkan di depan dada.
Sebentar diliriknya Singo Barong yang masih
berdiri tegak bertolak pinggang. Laki-laki tinggi
kekar itu tertawa terbahak-bahak dengan sikap
meremehkan.
"Hih!Hyaaa...!"
Bayu mengibaskan cepat tangan kanannya ke
depan. Seketika itu juga Cakra Maut melesat
bagai kilat. Hanya secercah cahaya keperakan
yang terlihat berkelebat cepat, langsung
mengarah ke dada Singo Barong yang terbuka.
Laki-laki tinggi tegap dengan wajah penuh
berewok itu tidak bergeming sedikit pun.
Sikapnya sungguh meremehkan. Tidak pelak lagi,
Cakra Maut menghantamdadanya dengan keras.
"Aaakh...!" Singo Barong menjerit melengking
tinggi.
Tampak Cakra Maut menancap dalam pada
dada berbulu lebat itu. Darah langsung merembes
keluar begitu tangan Bayu terhentak ke atas.
Cakra Maut itu pun kembali melesat keluar
setelah merobek dada Singo Barong. Tubuh tinggi
besar itu terhuyung-huyung ke belakang. Singo
Barong menekap dadanya yang mengucurkan
darah segar. Wajahnya pucat seketika itu juga.
Sementara Cakra Maut sudah menempel kembali
di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Bruk!
Singo Barong ambruk ke tanah, dan
menggelepar sambil menggerung keras.
Sedangkan Bayu hanya memandangi saja sambil
melipat tangannya di depan dada. Cukup lama
juga Singo Barong menggelepar. Pendekar Pulau
Neraka yakin kalau sebentar lagi orang itu pasati
akan tewas. Tapi mendadak saja....
"Hiyaaa...!" Singo Barong berteriak keras, dan
tubuhnya melesat bangkit berdiri.
"Heh?" Bayu tersentak kaget setengah mati,
sampai terlonjak mundur tiga langkah.
Darah masih mengucur deras dari dada yang
berlubang sangat dalam. Singo Barong meraung
keras menggelegar sambil memutar goloknya di
atas kepala. Laki-laki berwajah seram itu berlari
cepat sambil mengerahkan seluruh kekuatannya.
Golok besar itu menderu keras mengibas ke arah
tubuh Pendekar Pulau Neraka.
"Uts!"
Bayu melompat ke samping, menghindari
tebasan golok besar itu. Tanpa diduga kakinya
melayang cepat memberikan satu tendangan
bertenaga dalam sangat sempurna. Tendangan
menggeledek itu telak mendarat di bagian kepala
sebelah kiri Singo Barong.
"Argh...!" Singo Barong meraung keras.
Dengan cepat Singo Barong berbalik, sambil me-
ngebutkan goloknya. Tidak dipedulikannya lagi
darah yang menyemburat keluar dari kepalanya
yang pecah.
Bayu melompat cepat melewati kepala
manusia kuat itu. Dan sekali lagi didaratkan
tendangan keras ke kepala, lalu disusul dua
pukulan beruntun begitu kakinya mendarat di
belakang Singo Barong Kemudian Pendekar
Pulau Neraka itu melepaskan Cakra Mautnya,
langsung mengoyak leher laki-laki tinggi kekar
itu.
"Aaarghk...!" Singo Barong meraung keras
menggelegar.
Sebentar tubuhnya masih bisa berdiri tegak,
beberapa saat mulai limbung, dan ambruk
menggelepar di tanah. Sungguh mengerikan
keadaan tubuhnya. Kepalanya pecah berlumuran
darah. Lehernya koyak hampir putus terbabat
senjata Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka.
Bagian punggungnya melesak masuk ke dalam,
dan dadanya bolong bersimbah darah.
Hanya sebentar Singo Barong menggelepar,
sesaat kemudian tubuhnya diam tidak bergerak-
gerak lagi. Laki-laki berwajah kasar penuh
berewok itu tewas seketika setelah beberapa kali
mendapat pukulan dan tendangan keras disertai
hunjaman Cakra Maut. Bayu menarik napas
panjang, melonggarkan rongga dadanya yang
terasa sesak seketika.
***
Suasana di sekitar bangunan besar yang
dikelilingi tembok tinggi kokoh, tampak sunyi
sepi. Bayu mengamati sekitar bangunan besar
bagai istana itu dari atas benteng bagian belakang
Tatapan matanya lurus tertuju langsung ke
jendela kamar yang terbuka. Pendekar Pulau
Neraka itu tahu kalau itu kamar Dewi
Mustikaweni.
"Hm...." Bayu menggumam pelan ketika tiba-
tiba matanya menangkap satu sosok bayangan
berkelebat cepat ke atasatap.
Malam ini cukup gelap, sehingga tidak dapat
terlihat jelas bayangan hitam itu. Juga setelah
berada di atap, Pendekar Pulau Neraka itu tidak
bisa melihat sosok tubuh yang merapat pada atap
bangunan bagai istana itu.
Belum sempat Bayu bisa mengenali sosok
tubuh di atap itu, mendadak dikejutkan oleh
denting senjata beradu, disusul pekik
pertempuran dan jerit melengking tinggi. Pada
bagian samping bangunan besar ini, terlihat
empat orang tengah bertarung melawan sekitar
tiga puluh orang berseragam merah.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu
kembali tertuju pada sosok tubuh di atas atap.
Tapi dia terkejut, karena tiba-tiba saja sosok
tubuh itu lenyap. Tubuhnya telah meluruk ke
bawah, terhalang sebuah tembok batu yang
tinggi. Namun beberapa saat kemudian,
terdengar lagi suara pertarungan dari balik
tembok itu. Tampaklah kini dua sosok tubuh
melesat ke atas atap. Dua orang itu tengah
bertarung sengit di atas atap bangunan besar
bagai istana itu.
"Gagak Codet...," desis Bayu begitu mengenali
salah seorang yang bertarung diatas atap.
Sedangkan yang seorang lagi adalah si Macan
Gadak. Bayu bisa mengenali mereka karena
sudah bertemu beberapa kali. Pendekar Pulau
Neraka itu langsung bisa mengerti, kenapa Macan
Gadak dan Gagak Codet bertarung. Bayu tahu
kalau Macan Gadak adalah salah seorang
kepercayaan Sura Antaka. Sedangkan Gagak
Codet selalu berusaha menculik Dewi
Mustikaweni, dengan cara apa pun juga. Tapi....
Bayu langsung mengalihkan pandangannya
pada pertempuran di tempat lain. Dia bisa
mengenali empat orang yang bertarung melawan
keroyokan orang berseragam merah bergambar
naga pada dadanya. Empat orang itu adalah para
panglima dari Kerajaan Gelang Wesi. Tapi di
mana Raden Arga Yuda...? Pertanyaan ini
menyentakkan kesadaran Pendekar Pulau
Neraka itu. bergegas tubuhnya melompat turun,
masuk ke dalam lingkungan markas Partai Naga
Merah ini.
"Hup...!"
Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Pulau
Neraka itu sudah berada di pinggir jendela kamar
Dewi Mustikaweni. Pemuda berbaju dari kulit
harimau itu menjulurkan kepalanya ke dalam.
Kedua matanya sedikit menyipit, karena keadaan
di dalam kamar itu berentakan sekali. Persis baru
saja terjadi pertempuran di sini. Terlihat dua
sosok mayat berbaju merah menggeletak
terhimpit balok kayu.
"He he he he.... Akhirnya kau datang juga,
Pendekar Pulau Neraka!"
"Heh!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba
saja terdengar suara dari arah belakangnya.
Dan baru saja dia menoleh, mendadak
secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai
kilat meluncur ke arahnya. Bayu bergegas
memiringkan tubuhnya ke samping, maka cahaya
keperakan itu menghantam dinding kamar.
Sejenak Pendekar Pulau Neraka itu melirik
Tampak sebilah pisau kecil tipis tertanam dalam
pada dinding tembok.
"Oh! Huppp...!"
Begitu kepala Pendekar Pulau Neraka itu
berpaling, mendadak sebuah bayangan kuning
berkelebat menyambar. Secepat kilat Pendekar
Pulau Neraka melesat ke samping. Langsung
dijatuhkan tubuhnya, bergulingan beberapa kali
di tanah. Secepat itu pula dia melompat, bangkit.
Namun bayangan itu kembali melesat dan cepat
menyerangnya.
"Hup! Hyaaa...!"
***
8
Bagai seekor burung, Bayu melentingkan
tubuhnya ke atas begitu mendapat serangan dari
bayangan kuning Dan secepat itu pula tubuhnya
menukik deras, langsung memberikan satu
pukulan keras pada sosokbayangan kuning itu.
Bug!
"Heghk!" terdengar satu keluhan pendek
begitu satu pukulan keras didaratkan Pendekar
Pulau Neraka.
Tampak satu sosok tubuh bergulingan di
tanah. Bayu mendarat ringan tidak jauh dari
orang yang sedang berusaha bangkit berdiri.
Seorang tua kurus berbaju jubah panjang
berwarna kuning gading. Kepalanya gundul, dan
di tangan kanannya tergenggam seuntai
rangkaian batu hitam sebesar ibu jari.
"Pendeta Ajisaka...," Bayu mengenali laki-laki
tua berjubah kuning itu.
Pendeta Ajisaka menggeram sambil menyeka
darah yang menetes dari sudut bibirnya. Pukulan
Pendekar Pulau Neraka tadi tepat menghantam
punggungnya. Sungguh keras. Meskipun tidak
disertai pengerahan tenaga dalam, namun cukup
membuat Pendeta Ajisaka meringis menahan
sakityang amat sangat.
"Di mana kau sembunyikan Dewi
Mustikaweni?" tanya Bayu dingin.
"Phuih! Untuk apa kau tanyakan anak setan
itu?!" dengus Pendeta Ajisaka.
"Dia bukan anak setan, tapi kau pendeta iblis!"
tiba-tiba terdengar suara keras.
Belum lagi hilang dari pendengaran, tahu-tahu
di samping Pendekar Pulau Neraka berdiri
seorang laki-laki berbaju kumal dan berwajah
buruk. Sebuah luka menggores di pipi kiri,
menambah seram raut wajahnya. Sebuah caping
dari anyaman bambu bertengger di punggung.
Bayu sempat melirik laki-laki yang pernah
bertemu dengannya di tepi danau. Saat itu, dia
yang dikenal bernama Gagak Codet hendak
membawa paksa Dewi Mustikaweni. Pendekar
Pulau Neraka itu menggeser kakinya agak
menjauhi Gagak Codet
"Berikan iblis keparat ini padaku, Bayu. Cari
saja Dewi Mustikaweni. Dia pasti bersama Sura
Antaka," kata Gagak Codet seraya melirik
Pendekar Pulau Neraka.
Agak heran juga Bayu mendengar kata-kata
itu. Yang lebih mengherankan lagi, suara itu
seperti pernah dikenalnya. Bahkan Gagak Codet
juga menyebutnama asli Pendekar Pulau Neraka.
Padahal mereka baru sekali bertemu, dan belum
saling menyebutkan nama masing-masing.
Belum juga Bayu sempat bertanya sesuatu,
Gagak Codet sudah melompat menerjang Pendeta
Ajisaka. Bayu jadi kebingungan sendiri jadinya.
Tapi baru saja akan melangkah, sesuatu menetes
di pundaknya. Pendekar Pulau Neraka itu
mendongak ke atas, dan kontari menggelinjang
terkejut
Di atas atap, tampak sesosok tubuh membujur
dengan leher terpenggal hampir buntung.
Darahnya menetes ke bawah. Pendekar Pulau
Neraka itu melentingkan tubuhnya ke atas, dan
hinggap di samping tubuh yang sudah jadi mayat
itu. Dibalikkan kepala mayat itu. Kedua bola
matanya kontan membeliak lebar begitu
mengenali mayat itu.
"Macan Gadak...," desis Bayu menahan
keterkejutannya.
Belum lama, Bayu melihat Macan Gadak
bertempur melawan Gagak Codet Tapi sekarang
pengikut Sura Antaka itu sudah jadi mayat, tepat
saat Gagak Codet muncul. Pendekar Pulau
Neraka itu mengedarkan pandangannya
berkeliling. Matanya mencari-cari kalau-kalau
melihat Raden Arga Yuda. Tapi yang dapat
terlihat hanya pertarungan empat panglima
Kerajaan Gelang Wesi melawan orang-orang
berseragam merah. Tidak jauh di bawahnya,
Gagak Codet tengah bertarung sengit melawan
Pendeta Ajisaka.
"Ke mana Raden Arga Yuda...?" desis Bayu
bertanya pada dirinya sendiri.
Belum juga terjawab pertanyaan itu, tiba-tiba
saja beberapa batang tombak meluruk ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Mau tidak mau Bayu
harus melompat menghindari serbuan tombak
yang berjumlah puluhan itu. Dan baru saja
kalanya mendarat di tanah, sekitar tiga puluh
orang berbaju merah dengan gambar naga pada
dadanya sudah berlompatan menyerang
Pendekar Pulau Neraka itu jadi sibuk sesaat
namun cepat menguasai keadaan. Dengan jurus-
jurus maut, dihalaunya serangan yang datang
dari segala penjuru. Setiap pukulan dan
tendangannya disertai pengerahan tenaga dalam
yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
Pekik lengking kematian terdengar saling
sambut Satu persatu tubuh bergelimpangan jadi
mayat. Darah bersimbah membasahi tanah. Bayu
tidak tanggung-tanggung lagi. Kini dikerahkan
jurus andalannya, sehingga amukannya sukar
dibendung lagi. Pendekar Pulau Neraka saat ini
benar-benar mencemaskan keselamatan Raden
Arga Yuda dan Dewi Mustikaweni. Prabu
Nayadarma sudah memberikan titah untuk
menjaga keselamatan dua orang itu. Menyadari
sampai saat ini belum bisa mengetahui keadaan
Raden Arga Yuda dan Dewi Mustikaweni,
Pendekar Pulau Neraka itu langsung
memperhebat serangan-serangannya. Gerakan
nya sungguh cepat luar biasa, sehingga sukar
untuk diikuti oleh pandangan mata biasa.
Sebentar saja tiga puluh orang pengeroyoknya
sudah bergelimpangan tanpa nyawa lagi.
Pendekar Pulau Neraka langsung melompat
menuju ke arah pertarungan empat orang
panglima dengan orang-orang dari Partai Naga
Merah itu. Namun pada saat itu, terlihat dua
orang panglima terjungkal roboh, dan tubuhnya
berlumuran darah.
"Mundur kalian....'" seru Bayu keras.
"Bayu...!" seru salah seorang panglima itu
langsung saja melompat mundur, diikuti seorang
lagi. Tapi orang-orang berseragam merah dengan
gambar naga di bagian dada, tidak membiarkan
lawannya mundur begitu saja. Mereka terus
merangsek, sehingga membuat Bayu geram
bukan main. Pendekar Pulau Neraka itu langsung
meluruk sambil melepaskan Cakra Maut.
***
Sementara itu di lain tempat, Gagak Codet
semakin mendesak Pendeta Ajisaka. Serangan-
serangannya yang dahsyat sukar dibendung lagi.
Laki-laki tua berjubah kuning gading dan
berkepala gundul itu sudah jatuh bangun
menghadang setiap serangan yang datang. Darah
sudah membasahi jubahnya. Dua kali pedang
Gagak Codet merobek tubuhnya yang kurus.
"Mampus! Hiyaaa...!" seru Gagak Codet tiba-
tiba.
Seketika itu juga pedang di tangan Gagak
Codet berkelebat cepat mengarah ke dada.
Namun Pendeta Ajisaka masih mampu mengelak
dengan menarik tubuhnya ke belakang. Tapi
tanpa diduga sama sekali, Gagak Codet memutar
pedangnya ke atas, langsung menusuk ke arah
leher.
Crab!
"Aaakh...!" Pendeta Ajisaka menjerit keras
agak tertahan.
Pedang Gagak Codet menghunjam leher
pendeta gundul itu hingga tembus ke belakang.
Dengan sekali hentak saja, leher laki-laki tua itu
sudah robek lebar. Darah muncrat keluar dengan
derasnya. Dan belum sempat Pendeta Ajisaka
mengeluarkan suara, Gagak Codet sudah
melompat. Langsung saja dikirimkan satu
tendangan menggeledek disertai pengerahan
tenaga dalam penuh. Tendangan itu tepat
mendarat di dada Pendeta Ajisaka.
"Aaaa...!" Pendeta Ajisaka menjerit keras
melengking tinggi.
Tubuh kurus berjubah kuning gading penuh
darah itu terpental deras menghantam dinding
batu hingga jebol berantakan. Hanya sebentar
laki-laki tua kurus berkepala gundul itu mampu
bergerak, tapi sesaat kemudian sudah diam tak
berkutik lagi. Pendeta Ajisaka tewas seketika itu
juga.
"Hhh...!" Gagak Codet menarik napas panjang
dan dalam.
Sebentar matanya merayap ke sekeliling.
Terlihat Pendekar Pulau Neraka tengah
mengamuk membantai orang-orang berseragam
merah. Sedangkan dua orang panglima dari
Kerajaan Gelang Wesi hanya memperhatikan
saja, tapi sesekali juga mengibaskan pedangnya
jika ada yang mencoba menyerang.
"Hhh...! Aku harus cepat mencari Dinda
Mustikaweni," desah Gagak Codet
Laki-laki berwajah buruk dengan luka
memanjang membelah pipi itu langsung
melompat masuk ke dalam kamar yang
berantakan. Dia berlari cepat menerobos pintu
yang rusak, hancur berkeping-keping. Gagak
Codet terus berlari menyusuri lorong. Setiap pintu
yang ditemui langsung didobrak, dan diperiksa
setiap kamar. Gagak Codet tiba di ruangan luas
yang lantainya dari batu pualam putih berkilat.
Sebentar dipandangi ruangan pertemuan itu.
Tidak ada siapa-siapa di sini.
Pelahan-lahan Gagak Codet melangkah
menyeberangi ruangan itu. Matanya tajam
memandang ke sekeliling Ayunan kakinya
kembali terhenti setelah sampai pada bagian
ruangan depan. Satu ruangan yang biasa
digunakan untuk menerima tamu. Di sini juga
sepi, malah keadaannya berantakan sekali. Gagak
Codet melompat cepat keluar begitu matanya
menangkap sebuah bayangan berkelebat
melintasi pintu depan bangunan besar ini.
"Tolooong...!" tiba-tiba saja terdengar suara
jeritan melengking.
"Dinda Weni...," desis Gagak Codet.
Cepat sekali Gagak Codet melentingkan
tubuhnya menuju ke sumber arah suara jeritan
tadi. Jelas sekali kalau suara itu adalah jeritan
seorang perempuan. Gagak Codet terhenyak
kaget begitu sampai di sebuah tempat yang tidak
begitu besar, namun terdapat banyak senjata
terpajang. Tempat yang terbuka, hanya terdiri
dari pilar-pilar yang dinaungi atap. Lantainya
sangat keras, terbuat daribatu hitam berkilat
Wus!
Gagak Codet berpaling ketika telinganya
mendengar suara desiran angin yang mengarah
ke dirinya. Dan tubuhnya langsung melesat cepat
ke atas, begitu terlihat secercah cahaya
kemerahan meluncur deras ke arahnya. Suara
ledakan keras terjadi saat sinar kemerahan itu
menghantam pilar.
"Hup!"
Gagak Codet melompat cepat keluar dari
bangsal latihan itu, begitu dua sinar kemerahan
kembali meluncur ke arahnya, dan kembali
menghantam pilar. Akibatnya atap bangsal itu
roboh, membuat suara gaduh menggetarkan
bumi. Manis sekali Gagak Codet mendarat di
tanah. Namun belum juga berdiri sempurna,
matanya membeliak lebar....
***
"Weni...," desis Gagak Codet
Dewi Mustikaweni tampak tidak berdaya
terikat pada sebatang tonggak kayu. Pandangan
gadis itu redup, seakan tidak memiliki gairah
hidup lagi. Pelahan-lahan Gagak Codet
menghampiri. Namun baru saja berjalan tiga
tindak, mendadak sebuah bayangan berkelebat
cepat di depannya. Tahu-tahu seorang laki-laki
setengah baya sudah berdiri tegak sekitar satu
batang tombak di depan Gagak Codet
"Sura Antaka...!" desis Gagak Codet tertahan
suaranya.
"Tidak perlu menyamar, Arga Yuda! Aku
sudah tahu, siapa kau sebenarnya!" dingin nada
suara Sura Antaka.
"Iblis keparat..! Lepaskan adikku!" bentak
Gagak Codet yang ternyata memang Raden Arga
Yuda.
"Ha ha ha ha...!" Sura Antaka tertawa
terbahak-bahak.
Pada saat itu, Pendekar Pulau Neraka telah
muncul. Pemuda berbaju kulit harimau itu datang
karena juga mendengar jeritan minta tolong yang
melengking Tidak berapa lama, dua orang
panglima dari Kerajaan Gelang Wesi juga tiba.
Mereka berdiri di belakang Raden Arga Yuda,
atau si Gagak Codet Bayu menghampiri laki-laki
yang memakai baju kumal itu.
Gagak Codet melepaskan capingnya yang me-
nyampir di punggung. Dengan caping itu, dirinya
juga dikenal sebagai Pendekar Caping Bambu.
Pemuda itu memang pandai menyamarkan diri.
Dan setiap kali menyamar, tidak ada yang dapat
mengenali lagi. Sungguh sempurna samarannya.
Pemuda itu melepaskan rambut palsu, dan juga
tempelan-tempelan yang membuat wajahnya jadi
buruk. Kini yang terlihat adalah seraut wajah
tampan. Bayu sendiri sempat berdecak kagum,
mebhat penyamaran yang begitu sempurna. Kini
baru dimengerti kalau tiga nama yang menjadi
bahan pemikirannya selama ini hanya satu orang
yang memilikinya.
"Bagus! Kalian sudah kumpul di sini. Dan itu
berarti akan terbang ke neraka bersama-sama!"
dingin nada suara Sura Antaka.
"Hanya kau yang ke neraka. Sura Antaka!"
dengus Raden Arga Yuda datar.
"Ha ha ha ha...! Kalian lihat ini!"
Sura Antaka melompat. Langsung
disambarnya sebuah obor yang terpancang tidak
jauh darinya. Kemudian digeser kakinya
mendekati Dewi Mustikaweni.
Bayu dan Raden Arga Yuda melirik ke bawah
kaki gadis itu. Tampak setumpuk kayu bakar
melingkar. Kedua anak muda itu saling
berpandangan. Sekali saja Sura Antaka
melemparkan obor itu, api kontan akan melahap
tubuh Dewi Mustikaweni. Dan ini yang tidak
diinginkan sama sekali.
"Bagaimana, Bayu?" bisik Raden Arga Yuda.
"Mundurlah," sahut Bayu.
"Gila! Susah payah aku berusaha
mengeluarkan Dewi Mustikaweni dari sini,
sekarang kau suruh aku mundur!" rungut Raden
Arga Yuda.
"Kalau tidak ingin kehilangan adikmu,
mundurlah. Biar aku yang menyelesaikan," kata
Bayu tegas, namun terdengar tenang nada
suaranya.
"Apa yang akan kau lakukan, Bayu?" tanya
Raden Arga Yuda.
"Entahlah," tenang sekali Bayu menjawab.
"Jangan main-main, Bayu. Nyawa adikku
harus selamat!"
"Kalau kau percaya padaku, mundurlah!"
tegas kata-kata Bayu
"Kau sudah bertindak sendiri, dan telah
merusak semua rencanaku. Kalau adikmu sampai
tewas, itu karena kesalahanmu, Raden!"
Raden Arga Yuda terdiam. Memang selama ini
semua kata-kata Pendekar Pulau Neraka ini tidak
diturutinya. Padahal Bayu telah diberi kekuasaan
oleh Prabu Nayadarma untuk membebaskan
Dewi Mustikaweni dari tangan Sura Antaka.
Raden Arga Yuda menganggap tindakan Bayu
terlalu lambat sehingga dia tidak sabaran
menunggu. Terpaksa digunakan keahliannya
menyamar, mengacaukan semua rencana
Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan juga
menyusup ke sarang Partai Naga Merah ini, lalu
membocorkan setiap gerakan dan rencana
penyergapan.
Suatu saat, Raden Arga Yuda juga pernah
mencoba membawa Dewi Mustikaweni secara
paksa, seperti seorang penculik. Tapi semuanya
gagal. Maksudnya adalah membebaskan adiknya
tanpa melibatkan orang lain. Lebih-lebih
melibatkan pihak Kerajaan Gelang Wesi. Tapi
sekarang nyawa adiknya yang sudah sekian
tahun berpisah, menjadi terancam
keselamatannya. Dan semua itu akibat ulahnya,
kecerobohannya, dan ketidaksabarannya.
Pelahan-lahan Arga Yuda melangkah mundur
sambil memberi isyarat pada kedua panglimanya
untuk mundur juga. Sedangkan Pendekar pulau
Neraka tetap berdiri tegap pada tempatnya.
Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapan
matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola
mata Sura Antaka. Sementara Sura Antaka
sudah semakin mendekati Dewi Mustikaweni
yang terikat tak berdaya pada tonggak.
"Apa lagi yang kau tunggu, Sura Antaka? Aku
tidak peduli seandainya kau lemparkan obor itu!"
kata Bayu dingin menantang.
Kata-kata Bayu yang tegas dan lantang itu
mengejutkan Raden Arga Yuda. Namun pemuda
itu hanya diam saja, dan kembali melangkah
mundur semakin menjauh. Pemuda yang masih
didampingi dua orang panglima itu, berhenti
setelah jaraknya cukup jauh juga.
"He he he...! Kau memang tidak akan peduli
atas nasibnya, Pendekar Pulau Neraka. Tapi Arga
Yuda tidak mungkin bisa menerima kematian
adiknya. Dan sudah tentu kau tidak luput dari
sasarannya, bahkan pihak kerajaan juga akan
mengejarmu!" kata Sura Antaka disertai tawa
terkekehnya.
"Aku seorang pengembara, Sura Antaka. Aku
tak akan peduli semua itu. Di mana pun berpijak,
di situ aku harus menghadapi iblis macam kau!"
sahut Bayu dingin.
"Keparat! Kau menantangku, bocah?!" geram
Sura Antaka.
Kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang
terdengar tenang itu, membuat wajah Sura
Antaka memerah padam. Kata-kata itu sungguh
menyakitkan gendang telinganya. Jelas nadanya
menantang dan meremehkan.
"Aku ingin tahu, sampai di mana kau sanggup
melihat gadis ini mati terbakar!" geram Sura
Antaka mengancam.
"Silakan," tantang Bayu.
"Phuih!" Sura Antaka menyemburkan
ludahnya.
Seketika itu juga dilemparkan obor di
tangannya. Arga Yuda menjerit keras, begitu juga
Dewi Mustikaweni. Gadis itu memekik
melengking dan bola matanya membeliak lebar.
Namun pada saat yang kritis itu, secepat kilat
Bayu mengibaskan tangan kanannya ke depan.
Maka secercah cahaya keperakan langsung
melesat bagai kilat.
Bersamaan meluncurnya Cakra Maut, secepat
itu pula Pendekar Pulau Neraka melompat ke
arah Sura Antaka. Semua itu dilakukan begitu
cepat dan tiba-tiba sekali, sehingga sukar untuk
bisa disadari lebih lanjut.
***
Sura Antaka sendiri jadi terkejut bukan main.
Sebelum obor yang dilemparkannya jatuh, Cakra
Maut sudah menghantam nyala api obor itu
hingga padam. Dan belum lagi hilang
keterkejutannya, laki-laki setengah baya itu harus
melompat ke samping menghindari terjangan
Pendekar Pulau Neraka. Namun gerakannya
terlambat sedikit. Akibatnya, sepakan kaki Bayu
Hanggara masih sempat menyambar bahunya.
"Akh!" Sura Antaka memekik tertahan.
Tubuh laki-laki setengah baya itu sedikit
limbung. Dan belum lagi bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, Bayu sudah kembali
menyerang setelah menarik tangannya ke atas.
Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan,
bersamaan dengan melekatnya kembali Cakra
Maut ke arah pergelangan tangan kanannya.
"Uts!"
Sura Antaka memiringkan tubuhnya ke kiri,
menghindari tendangan keras menggeledek itu.
Dan buru-buru dia melompat ke belakang.
Seketika itu juga dicabut pedangnya yang
tergantung di pinggang. Lalu....
"Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu mengibaskan tangan kanannya ketika
Sura Antaka membabatkan pedangnya
menyamping ke arah dada. Tak dapat
dihindarkan lagi. Mata pedang Sura Antaka
menghantam pergelangan tangan kanan lawan.
Tring!
Sura Antaka tersentak kaget ketika pedangnya
membentur pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu. Dia langsung melompat mundur, dan
memeriksa mata pedangnya. Kedua matanya
kontan membeliak lebar melihat mata pedangnya
gompal. Sedangkan pergelangan tangan Bayu
tidak mengalami luka sedikit pun. Ternyata
pedang itu tepat menghantam Cakra Maut yang
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu.
"Keparat...!" geram Sura Antaka. Laki-laki
setengah baya itu melemparkan pedangnya,
kemudian mencabut sepasang tongkat pendek
yang kedua ujungnya runcing. Tongkat itu
berwarna merah menyala bagai terbakar. Sambil
berteriak keras, Sura Antaka melompat
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan
sengit pun tidak dapat dihindari lagi.
Sementara di tempat lain yang agak jauh,
Raden Arga Yuda dan dua panglima dari
Kerajaan Gelang Wesi memperhatikan tanpa
berkedip. Mereka begitu terpesona, sehingga lupa
terhadap Dewi Mustikaweni yang masih terikat
pada tonggak kayu.
Jurus demi jurus berlalu cepat tanpa terasa.
Namun pada saat memasuki jurus kesebelas, satu
pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Sura Antaka
berusaha membendung dengan mengibaskan satu
tangkannya. Dugaannya, Bayu akan menarik
pulang pukulannya. Namun yang terjadi justru
sangat mengejutkan.
"Hyaaa...!"
Trak!
Bayu tidak menarik pulang pukulannya,
bahkan dikempos tenaga dalamnya agar lebih
tinggi lagi. Satu pukulan bertenaga dalam hampir
mencapai taraf kesempurnaan itu langsung
menghantam tongkat merah pendek hingga patah
jadi dua bagian. Sura Antaka tersentak kaget
Tapi belum juga bisa menarik mundur dirinya,
Bayu sudah melepaskan lagi satu pukulan
telaknya.
"Hup!"
Buru-buru Sura Antaka membanting
tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali
menjauh. Dan pada saat melompat bangkit, Bayu
telah mengibaskan tangan kanannya sambil agak
membungkuk miring ke kiri. Seketika itu juga
Cakra Maut yang selalu menempel pada
pergelangan tangan kanannya melesat bagai
kilat.
Sesaat Sura Antaka terkesiap. Dan belum lagi
bisa melakukan sesuatu, mendadak saja Cakra
Maut itu sudah menghunjam dalam di perutnya.
Sura Antaka menjerit keras sambil memegangi
perutnya yang sobek Darah mengalir keluar
demikian deras.
"Saatmu sudah tiba, Sura Antaka!" bentak
Bayu menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka itu melompat cepat
lalu berputar dua kali di udara. Begitu kakinya
mendarat tepat di depan laki-laki setengah baya
itu, kedua tangannya bergerak cepat
menghantam kepala Sura Antaka dari dua sisi.
"Prak!"
"Aaa...!" Sura Antaka menjerit melengking
tinggi. Kedua tangan Pendekar Pulau Neraka
mengepruk kepala Sura Antaka hingga hancur.
Dan sebelum tubuh laki-laki setengah baya itu
ambruk, satu pukulan keras kembali
menghantam dada. Tak ayal lagi, tubuh setengah
baya itu terpental jauh dan menghantam
sebatang pohon hingga tumbang. Sedikit pun tak
ada gerakan. Sura Antaka tewas seketika itu juga.
Bayu melompat cepat menghampiri Dewi
Mustikaweni, lalu melepaskan ikatan pada
tangan gadis itu. Dewi Mustikaweni langsung
memeluk pemuda berbaju kulit harimau itu, dan
seketika tangisnya pecah dalam pelukan Bayu
Hanggara. Tampak Arga Yuda dan dua orang
panglimanya menghampiri. Pelahan Bayu
melepaskan pelukan Dewi Mustikaweni.
"Kakakmu, Weni," bisik Bayu seraya melirik
Raden Arga Yuda yang sudah berada dekat.
Dewi Mustikaweni menatap Bayu sejenak, lalu
beralih pada pemuda berwajah tampan yang
pernah masuk ke dalam kamarnya beberapa hari
yang lalu. Pemuda yang juga pernah akan
menculiknya dalam penyamaran bernama Gagak
Codet. Dewi Mustikaweni kembali menatap Bayu
Hanggara, dan Pendekar Pulau Neraka itu
mengangguk seraya memberikan senyuman
manis.
"Kakang...," desah Dewi Mustikaweni.
"Adikku..., Weni."
Dua manusia yang sudah terpisah sekian
tahun lamanya itu saling berpelukan, melepaskan
kerinduan yang selama ini terpendam dalam
dada. Dewi Mustikaweni tidak bisa lagi menahan
air matanya. Sebuah tangisan bahagia, haru, dan
entah apa lagi yang ada dalam dadanya. Yang
jelas, perasaannya seperti meledak-ledak. Betapa
tidak? Ternyata, setelah hampir sekian tahun,
baru sekaranglah dia bertemu saudara
sekandungnya.
Sementara Pendekar Pulau Neraka menarik
napas panjang. Sebentar ditatapnya kakak
beradik yang sedang berpelukan itu, kemudian
melesat cepat. Begitu sempurnanya ilmu yang
dimiliki Bayu. Sehingga, sebelum ada yang
menyadari, bayangan tubuhnya sudah lenyap
ditelan kegelapan malam.
"Mari kita pulang, Dinda Weni. Ibu sudah
menunggu," ajak Raden Arga Yuda lembut seraya
melepaskan pelukannya.
"Kakang Bayu...," desis Dewi Mustikaweni
teringat akan pemuda yang telah merenggut
sekeping hatinya.
Tapi di situ tidak ada lagi Pendekar Pulau
Neraka. Dewi Mustikaweni berteriak keras
memanggil Bayu Hanggara, namun yang
dipanggil tidak juga muncul. Beberapa kali Dewi
Mustikaweni berteriak memanggil. Sampai
suaranya serak, Bayu tidak juga muncul.
"Sudahlah, Dinda. Mungkin dia masih
mempunyai tugas lain yang harus diselesaikan,"
ujar Raden Arga Yuda seraya merengkuh pundak
gadis itu.
"Apakah dia akan kembali lagi, Kakang?"
tanya Dewi Mustikaweni.
Raden Arga Yuda hanya menarik napas, lalu
menghembuskannya kuat-kuat. Dia sendiri tidak
tahu, apakah Pendekar Pulau Neraka akan
kembali atau tidak sama sekali. Disadari betul
kalau Bayu seorang pendekar kelana yang tidak
pemah menetap pada satu tempat saja.
Bayu bisa mendapat tugas dari Prabu
Nayadarma, itu karena dia telah menolong raja
Gelang Wesi itu dari gerombolan perampok Partai
Naga Merah yang dipimpin Sura Antaka. Melihat
kemampuan Pendekar Pulau Neraka itu, maka
Prabu Nayadarma minta bantuannya untuk
membebaskan keponakannya. Siapa lagi kalau
bukan Dewi Mustikaweni yang sudah berada di
tangan Sura Antaka sejak masih berusia satu
tahun.
"Kakang...."
"Ayo kita pulang, Dinda Weni," ajak Raden
Arga Yuda mendesah panjang.
Mereka kemudian melangkah pergi
meninggalkan puing-puing kejayaan Partai Naga
Meran. Dua orang panglima dari Gelang Wesi
mengikuti dari belakang. Mereka berjalan tanpa
berkata-kata lagi. Namun terlihat jelas pada raut
wajah kalau Dewi Mustikaweni merasa ada yang
tertinggal di sini. Entah apa yang hilang pada
dirinya? Tapi yang jelas, tak akan terlupakan
kenangan manisnya bersama Pendekar Pulau
Neraka. Pemuda yang pertama kali mencium
bibirnya, sekaligus menggetarkan jantungnya.
Dewi Mustikaweni hanya bisa berharap untuk
bertemu kembali dengan pendekar muda yang
bernama Bayu Hanggara itu.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar