..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 12 Januari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE BUNGA DALAM LUMPUR

matjenuh

 

BUNGA DALAM LUMPUR

Oleh Teguh Suprianto

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia,Jakarta

Penyunting: Puji S.

Gambar sampul oleh TonyG.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarangmengcopyatau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Teguh Suprianto

Serial Pendekar Pulau Neraka

dalam episode:

Bunga Dalam Lumpur

128 hal. ;12 x18 cm



1

Sorak sorai yang diselingi tepuk tangan dan

mulut-mulut usil terdengar riuh dari orang yang

memadati halaman besar sebuah bangunan batu

menyerupai puri. Di tengah-tengah lingkaran

bergaris putih, terlihat dua orang bertubuh tinggi

kekar dengan otot-otot bersembulan sedang

berlaga. Tubuh mereka yang hanya mengenakan

cawat dari kulit binatang, telah kotor oleh tanah

berlumpur.

Tampak pada bagian atas undakan bangunan

puri itu, duduk seorang laki-laki berusia sekitar

enam puluh tahun di atas kursi berukir. Dia

dikawal empat orang bersenjata tombak dan

pedang. Di sampingnya duduk seorang wanita

muda yang wajahnya terlindung cadar tipis dari

sutra. Dalambayang-bayang cadar tipis itu, masih

terlihat seraut wajah cantik yang memiliki mata

bening bercahaya. Namun nampak jelas kalau

wanita itu tidak menyenangi acara adu kekuatan.

Dari sikapnya yang selalu gelisah, mencerminkan

ketidaktahannya berlama-lama di situ.

Sementara itu dua orang yang berlaga sudah

mencapai puncaknya. Suara sorak sorai

bergemuruh ketika salah seorang terjerembab

tewas dengan dada tertembus golok besar dan

panjang. Orang yang memperoleh kemenangan

itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas,


kemudian membungkuk memberi hormat pada

laki-lakiyang dikawal empat orang bersenjata itu.

Seorang laki-laki tua berjubah kuning gading

dan berkepala gundul mendekatkan wajahnya

pada laki-laki di depannya yang berbaju indah

dihiasi manik-manik dan sulaman benang emas.

Dia membisikkan sesuatu.

"Silakan, umumkan saja," kata orang yang

duduk di kursiberukir itu.

Orang tua berjubah kuning gading itu

kemudian mendekati seorang laki-laki bertubuh

tinggi tegap dan berkumis tebal melintang. Juga

dibisikkan sesuatu, dan laki-laki tegap berkumis

itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kemudian laki-laki berkumis melintang itu

melangkah maju tiga tindak, lalu menjura

memberihormat.

"Ada pengumuman dari Yang Mulia Sura

Antaka. Siapa saja boleh maju menantang Singo

Barong. Yang menang akan mendapat hadiah

seratus keping emas!" lantang suara laki-laki

berkumis itu.

Pengumuman itu disambut gegap gempita,

namun tidak ada seorang pun yang melompat

maju ke arena. Sedangkan laki-laki bertubuh

tinggi tegap dan berwajah beringas, berdiri tegak

dengan angkuhnya. Sikapnya menantang siapa

saja yang mau mencoba bertanding dengannya.

"Ayah, boleh aku pergi sebentar?" wanita yang

duduk di samping Sura Antaka memohon lembut.

"Sebentar lagi, anakku. Pertunjukkan belum

selesai," kata Sura Antaka.

Wanita bercadar tipis itu langsung diam. Dari

sinar matanya dapat ditebak kalau dia semakin

tidak senang dengan semua pertunjukkan ini, tapi

tidak berani untuk meninggalkannya. Dia tahu

kalau ayahnya sangat disegani dan ditakuti di

daerah Utara ini. Seorang yang memiliki

kekuasaan besar, meskipun bukan raja.

Pengikutnya cukup banyak, dan rata-rata

memiliki kepandaian yang tidak rendah.

Sementara itu, dari kerumunan penonton yang

tidak bisa diam mulutnya, melompat seorang

pemuda ke tengah-tengah arena. Wajahnya cukup

tampan. Namun luka codet di pipi kirinya sangat

mengganggu, dan seperti mengurangi

ketampanannya. Dia menjura memberi hormat

pada Sura Antaka.

“ Yang Mulia, aku minta hadiahnya ditambah.

Aku menginginkan Putri Dewi Mustikaweni

menjadihadiahnya,” kata pemuda itu lantang

"Bocah lancang! Berani benar menghina Putri

Dewi Mustikaweni!" bentak laki-laki tua berjubah

dan berkepala gundul itu

“Pendeta Ajisaka, bagiku seratus keping emas

tidak ada artinya. Hanya Putri Dewi Mustikaweni

yang menjadi keinginanku," tegas pemuda itu

semakin berani.


Sementara Singo Barong menggeram marah

mendengar kelancangan mulut calon lawannya,

tapi tidak bisa berbuat apa-apa sebelum

mendapat perintah dari junjungannya. Singo

Barong hanya bisa menatap dengan mata merah

membara penuh kemarahan. Saat itu Sura

Antaka bangkit dari kursinya. Suasana yang

semula riuh, mendadak sunyi. Semua orang yang

berada di tempat itu menjadi berdebar mendengar

kelancangan mulut pemuda codet di pipi kirinya

itu.

"Anak muda, siapa namamu? Dari mana kau

berasal?" tanya Sura Antaka kalem nada

suaranya.

"Aku Gagak Codet, dan berasal dari Gunung

Pitu. Sengaja datang ke sini untuk mengikuti

pertandingan ini. Tapi tujuanku hanya untuk

memboyong putrimu!" lantang jawaban pemuda

yang mengaku bernama Gagak Codet

"Kau sudah kenal putriku?" tanya Sura

Antaka lagi. Nada suaranya masih terdengar

tenang.

"Belum."

Suara tawa langsung pecah seketika. Tapi

suara tawa itu seketika berhenti ketika Gagak

Codet membentak dengan keras. Sedangkan Sura

Antaka hanya tersenyum saja.

"Baiklah, Gagak Codet. Aku terima

tawaranmu. Tapi kalahkan dulu Singo Barong.

Setelah itu hadapi Macan Gadak, kemudian


Pendeta Ajisaka. Dan yang terakhir aku sendiri.

Bagaimana?"

'Tidak perlu satu-satu. Lebih baik maju

semua!" tantang Gagak Codet.

"Sombong!" dengus Singo Barong semakin

muak.

"Aku bukan orang yang senang main

keroyokan, Gagak Codet Nah! Lawanlah Singo

Barong lebih dahulu," masih terdengar tenang

nada suara Sura Antaka.

Belum lagi kata-kata Sura Antaka hilang dari

pendengaran, Singo Barong sudah menggeram

keras, lalu secepat kilat melompat menerjang

Gagak Codet. Namun terjangan itu dengan manis

sekali dapat dihindarkan. Bahkan Gagak Codet

masih mampu memberikan pukulan keras ke

arah kepala manusia bertubuh tinggi tegap dan

kotor berlumpur itu. Sekitar arena pertandingan

itu memang becek dan berlumpur.

Sorak dan tepuk tangan serta celetukan-

celetukan memanasi kembali terdengar. Sura

Antaka kembali duduk di kursinya. Bibirnya tetap

tersenyum menyaksikan pertarungan yang sudah

berlangsung sengit itu. Nampak sekali kalau

Gagak Codet memiliki kemampuan yang cukup

tinggi. Gerakan-gerakannya lincah, dan setiap

pukulannya mengandung pengerahan tenaga

dalam yang tinggi. Beberapa kali Singo Barong

terkena pukulan pemuda berwajah codet pada

pipi kirinya itu. Tapi tubuh Singo Barong memang


kebal, bagai terbuat dari baja. Dia hanya

menggerung setiap terkena pukulan atau

tendangan pada tubuhnya.

***

Hari sudah menjelang senja, tapi pertarungan

antara Singo Barong melawan Gagak Codet

masih terus berlangsung sengit. Kini Gagak Codet

sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa

pedang tipis dan panjang, hampir melebihi

panjang tangannya sendiri. Dan Singo Barong

pun sudah menggenggam goloknya yang besar

dan nampak berat itu.

"Modar! Hiyaaat...!" tiba-tiba Gagak Codet

berteriak keras menggelegar.

Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya

cepat, mengarah ke dada Singo Barong. Namun

laki-laki bertubuh tinggi besar penuh lumpur itu

malah menurunkan tangannya, lalu membuka

dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, tebasan

pedang Gagak Codet kontan menghantam dada

Singo Barong. Namun yang terjadi sungguh

mengejutkan!

"Akh...!" Gagak Codet malah terpekik, dan

langsung melompat mundur.

"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa ter-

bahak-bahak.

"Setan...!"geramGagak Codet sambil meringis.


Semua jari-jari tangannya jadi terasa kaku

berdenyut. Sungguh luar biasa sekali tubuh Singo

Barong. Padahal tepat sekali pedang Gagak Codet

membelah dadanya. Dan pemuda codet itu malah

merasakan seperti menghantam sebongkah baja

yang kuat sekali. Bahkan pedangnya sampai

terpental balik, dan seluruh persendian

tangannya bergetar nyeri.

Semua orang yang memadati sekitar arena

pertarungan itu bersorak mengelu-elukan Singo

Barong. Beberapa mulut usil mengejek Gagak

Codet, dan memanas-manasinya. Wajah Gagak

Codet jadi merah padam. Bergegas digerak-

gerakkan pedangnya membuat satu gerak

pembuka jurus.

"Keluarkan semua kemampuanmu, Gagak

jelek! Aku beri kesempatan lima jurus!" kata

Singo Barong jumawa.

"Phuih!" Gagak Codet menyemburkan

ludahnya.

Bagaikan seekor macan lapar, Gagak Codet

melompat cepat sambil membabatkan pedangnya

tiga kali ke arah bagian-bagian tubuh yang

mematikan. Tapi hebatnya Singo Barong tidak

bergeming sedikit pun. Bahkan dibiarkan saja

pedang itu menghantam tubuhnya, sambil dia

tertawa terbahak-bahak. Gagak Codet mendengus

kesal bercampur geram. Namun dalam hatinya

jadi gentar juga menghadapi kenyataan ini.

Kemampuannya sudah semua dikeluarkan, tapi


sedikit pun tidak dapat melukai kulit manusia

tambun ini.

"Cukup, Gagak jelek! Sekarang giliranku!"

seru Singo Barong keras.

Setelah berkata demikian, Singo Barong

menge-butkan tangan. Ditangkapnya pedang

Gagak Codet yang terayun cepat mengarah ke

leher. Singo Barong menghentakkan pedang itu,

sehingga Gagak Codet terangkat naik, dan

terpental ke udara. Dengan keras, Gagak Codet

jatuh bergelimpangan di tanah berlumpur hitam.

Bajunya yang semula bersih, seketika dipenuhi

kotoran lumpur.

Tapi Gagak Codet tidak sempat menghiraukan

lumpur yang mengotori tubuh dan bajunya,

karena dia sudah sibuk menghindari serangan

golok besar Singo Barong. Gagak Codet hanya

mampu berkelit. Pedangnya sudah patah-patah

dirampas manusia tinggi besar berwajah garang

itu.

"Phuih! Aku tidak mau mati konyol di sini!"

dengus Gagak Codet

Tepat ketika golok Singo Barong mengarah ke

kakinya, Gagak Codet melompat. Dan dengan

ujung jari kakinya dia menotok permukaan golok

itu. Dengan meminjam tenaga Singo Barong,

tubuhnya melenting, melewati beberapa kepala,

dan hinggap di atas dahan pohon. Sebelum ada

yang menyadari, Gagak Codet cepat melesat

kabur dari tempat itu.


"Jangan biarkan dia lolos! Kejar...!" seru

Pendeta Ajisaka keras.

Beberapa orang berseragam membawa pedang

dan tombak, langsung bergerak mengejar.

Bahkan tiga puluh orang berkuda segera

menggebah kudanya ikut mengejar Gagak Codet.

Sura Antaka sendiri sampai terlonjak berdiri dari

kursinya melihat Gagak Codet kabur. Belum

pernah dalam acara pertandingan yang diadakan

setiap tiga bulan ini ada orang yang kabur dalam

kekalahannya. Biasanya yang kalah langsung

mati di tempat.

"Paman Ajisaka, cari monyet keparat itu

sampai dapat. Bawa dia padaku!" kata Sura

Antaka geram.

"Baik, Yang Mulia," sahut Pendeta Ajisaka

seraya menjura hormat

Sura Antaka melangkah menuruni undakan

bangunan puri itu. Sedangkan Putri Dewi

Mustikaweni mengikuti di sampingnya. Sebuah

kereta ditarik delapan ekor kuda putih, telah siap

di depan undakan batu itu. Seorang berseragam

merah membawa tombak panjang, membuka

pintu kereta.

Sura Antaka memberikan kesempatan pada

putrinya untuk masuk lebih dahulu, kemudian

baru dia sendiri melangkah masuk. Kereta indah

yang ditarik delapan ekor kuda putih itu bergerak

meninggalkan halaman puri ini. Sekitar lima


puluh orang berpakaian seragam merah dan

bersenjata tombak, mengikuti dari belakang

dengan kuda-kuda mereka. Sedangkan lima

puluh orang lagi berkuda di depan. Di samping

kanan kereta, tampak seorang laki-laki tegap

berkumis tebal berkuda dengan tenangnya.

Dialah yang bernama Macan Gadak, salah

seorang andalan Sura Antaka di samping Singo

Barong dan Pendeta Ajisaka.

Semua orang yang memadati halaman puri itu

segera bubar begitu kereta kuda yang membawa

Sura Antaka dan putrinya meninggalkan

halaman puri. Tinggallah di situ Pendekta

Ajisaka, Singo Barong, dan lima puluh orang

berseragam dengan senjata tombak dan pedang.

Beberapa ekor kuda pun masih tertambat di

bawah pohon. Mereka juga langsung bergerak

pergi, tapi arahnya berbeda. Sepertinya menuju

ke arah Gagak Codet kabur.

***

Suara gamelan mengalun, mengiringi lenggak-

lenggok para penari yang memamerkan

keindahan tubuhnya di depan puluhan pasang

mata yang tidak berkedip memandanginya.

Malam itu, di tempat kediaman Sura Antaka

tengah dilangsungkan pesta yang sangat meriah.

Pesta yang selalu diadakan setelah siang harinya


berlangsung acara adu ketangkasan dan

kekuatan dihalaman puri.

Bangunan besar dan indah bagai istana itu

tampak ramai dipenuhi orang, baik di halaman

maupun di sekitar luar pagar tembok yang tinggi

membentengi bangunan itu. Lampu-lampu

berhias terpancang di setiap tempat Umbul-umbul

dan hiasan-hiasan lain menambah semaraknya

malam ini. Tampak di bagian lain terlihat

beberapa kelompok orang berjudi, minum tuak

sambil bermabuk-mabukkan ditemani wanita-

wanita pengobral senyum. Semua orang kelihatan

bergembira. Tapi tidak demikian halnya dengan

seorang gadis cantik yang mengurung diri dalam

sebuah kamar yang sangat besar dan indah. Dua

orang wanita gemuk berusia sekitar lima puluhan

menemaninya.

"Semua orang bergembira di luar. Tapi Gusti

Ayu Dewi Mustikaweni malah mengurung diri di

kamar," terdengar gumaman salah seorang

wanita gemuk itu.

"Hus! Ngomong jangan sembarangan!" dengus

seorang lagi.

"Lha..., memangnya aku ngomong apa?

Memang benar kok kenyataannya. Rugi lho tidak

ikut menikmati pesta."

"Kalau kalian ingin pesta, silakan. Biarkan

aku sendirian di sini," sergah Putri Dewi

Mustikaweni seraya menoleh menatap kedua

embannya.


"Ah! Tidak kok, Den Ayu."

"Aku tidak apa-apa. Memang sebaiknya kalian

ikutbersenang-senang. Pergilah kalian."

'Tidak ah, Den Ayu. Wong tadi hanya becanda

saja kok," kata wanita gemuk itu.

Putri Dewi Mustikaweni hanya tersenyum

saja. Sungguh manis dan memikat sekali

senyumnya itu. Kakinya melangkah gemulai

mendekati pembaringan besar beralaskan kain

sutra halus berwarna merah muda. Lembut sekali

dia membaringkan tubuhnya. Bola matanya

menerawang jauh ke langit-langit kamarnya.

Sedangkan dua embannya hanya bersimpuh saja

di lantai. Mereka tidak berbicara lagi.

Sementara di luar sana, keramaian masih

terus berlangsung. Semakin larut, suasana pesta

itu semakin meriah. Para nayaga terus menabuh

gamelan dengan irama yang semakin hangat,

menambah kesemarakan suasana pesta. Tampak

di dalam ruangan lain yang sangat besar dan

indah, Sura Antaka setengah berbaring dikelilingi

wanita cantik berkemben, sehingga

menampakkan kulit bahu dan sebagian dadanya

yang membusung.

Pendekar Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo

Barong di kursi menghadapi meja bundar

beralaskan batu pualam putih berkilat. Beberapa

guci arak menggeletak kosong. Masing-masing

ditemani seorang wanita bertubuh sintal yang

senyumnya selalu mengembang.


"Paman Ajisaka, aku belum mendengar

laporan tentang Gagak Codet. Bagaimana usaha

pencarianmu?" tanya Sura Antaka.

"Sukar dicari, Yang Mulia Sura Antaka. Tapi

sudah kuperintahkan untuk terus mencari sampai

dapat. Mereka orang-orang pilihan yang

berkemampuan cukup tinggi. Aku yakin, dalam

waktu yang tidak lama si keparat itu bisa

ditemukan," sahut Pendeta Ajisaka sambil

mencolek dahu wanita yang menemaninya.

Wanita itu manja sekali menggelayutkan

tubuhnya, memeluk leher laki-laki tua berkepala

gundul itu.

"Bagus! Aku ingin bocah itu segera ditangkap.

Dia sudah berani menghinaku, dan harus mati!"

tegasSura Antaka.

"Hanya Yang Mulia yang boleh

membunuhnya," sambut Pendeta Ajisaka.

"Ha ha ha ha...!" Sura Antaka tertawa

terbahak-bahak.

Laki-laki setengah baya itu menatap pada

Macan Gadak yang asyik bersama teman

wanitanya. Suara cekikikan manja terdengar

mengusik telinga.

"Macan Gadak...!"

"Oh, hamba.... Yang Mulia," Macan Gadak

agak tergagap.

"Sudah ada berita dari kerajaan?" tanya Sura

Antaka


"Dua hari lagi akan datang kiriman dari

Kadipaten Galungan. Pihak kerajaan

mengirimkan prajurit-prajuritnya untuk

mengawal. Aku tidak tahu pasti, apa yang mereka

bawa. Mungkin juga upeti," sahut Macan Gadak.

"Bagus! Persiapkanlah orang-orang kita, dan

aku sendiri yang akan memimpin. Lewat jalan

mana mereka?"

"Seperti biasa. Melalui Bukit Rangkat," sahut

Macan Gadak.

"Ha ha ha ha...! Kita rampas upeti mereka.

Bunuh semua prajurit kerajaan!" Sura Antaka

tertawa terbahak-bahak.

"Benar, Yang Mulia. Kalau mereka sudah

kekurangan prajurit, maka dengan mudah kita

dapat menguasai Kerajaan Gelang Wesi!" sambut

Pendeta Ajisaka.

"Itu sudah menjadi cita-citaku, Paman Ajisaka.

Prabu Nayadarma harus turun tahta. Biar dia

tahu, bagaimana rasanya jadi orang terbuang!

Biar dia tahu rasa! Ha ha ha ha...!" kembali Sura

Antaka tertawa terbahak-bahak.

Mereka semua tertawa terbahak-bahak.

Sedangkan yang wanita hanya cekikikan saja,

tidak mempedulikan pembicaraan itu. Bagi

mereka, semakin banyak harta rampasan yang

diperoleh, semakin banyak pula penghasilan. Dan

tentu saja mereka bisa hidup tanpa kekurangan

lagi. Yang penting bagi mereka adalah tidak


mengecewakan orang-orang berkuasa di daerah

Utara ini.

Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau

pembicaraan itu didengar seseorang yang

berlindung di balik tembok dekat jendela besar

yang terbuka lebar. Seorang yang memakai

kerudung kain berwarna gelap. Orang itu

langsung menyelinap pergi tanpa menimbulkan

suara sedikit pun.

Sementara suasana pesta semakin tidak

menentu. Para Nayaga tidak lagi menabuh

gamelannya. Mereka sudah mabuk

bergelimpangan kebanyakan minum arak. Tubuh-

tubuh lain sudah bergelimpangan tidak menentu

di mana-mana. Suara tawa lepas dan cekikikan

manja wanita-wanita pengobral senyum masih

mewarnai dari tempat tertentu. Sedangkan di

salah satu kamar, Dewi Mustikaweni tetap

berbaring, dan matanya menerawang jauh ke

langit-langit kamarnya. Namun dua embannya

sudah rebah mendengkur di lantai beralaskan

permadanibulu yang tebaldan hangat.

"Hhh...!" Dewi Mustikaweni menghembuskan

napas panjang. Pelahan-lahan matanya terpejam.

Malam terus merayap semakin larut. Suara-

suara di luar masih saja terdengar timbul

tenggelam. Angin berhembus kencang

menaburkan hawa dingin menusuk tulang

Namun semua itu tidak dipedulikan lagi. Di

mana-mana tercium bau arak yang keras. Semua


yang terjadi di tempat bagai istana itu tidak luput

dari perhatian seseorang yang berkelebat

menyelinap dari satu tempat ke tempat bin.

Kemudian sosok tubuh itu lenyap setelah

melewati bagian belakang tembok benteng yang

mengelilingi bangunan besar dan indah bagai

sebuah istana itu.

***


2

Serombongan orang berpakaian seragam

prajurit yang membawa umbul-umbul bergambar

lambang sebuah kerajaan, bergerak melingkari

Kaki Bukit Rangkat. Empat orang bertubuh

tegap, menggotong sebuah peti besar dengan

tandu. Mereka berjalan tidak tergesa-gesa.

Seorang laki-laki yang berkuda paling depan,

selalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya

tegap, berseragam pakaian punggawa. Sebilah

pedang tergantung di pinggangnya.

"Seraaang...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan keras.

Seketika itu juga dari arah samping kanan, kiri,

belakang, dan depan berhamburan orang-orang

berseragam merah yang pada dadanya bergambar

seekor naga. Mereka semua membawa senjata

pedang, tombak, dan golok. Para prajurit yang

berjumlah tidak lebih dari seratus orang itu

langsung berhenti.

"Bertahan...!" seru punggawa yang

menunggang kuda putih dengan keras.

Suara gemuruh derap kaki kuda dan teriakan-

teriakan gegap gempita memecah udara di Kaki

Bukit Rangkat itu. Tidak berapa lama, terdengar

denting senjata beradu dan jeritan melengking

kematian. Pertempuran pecah seketika itu juga.

Orang-orang berbaju merah bergambar naga pada

bagian dada, bertempur dengan sengit. Sebentar


saja prajurit dari Kerajaan Gelang Wesi dan

prajurit Kadipaten Kranggan sudah banyak yang

tewas. Bau anyir darah langsung menyebar

menyengat hidung.

Belum lagi pertarungan itu berlangsung lama,

tiba-tiba dari arah Selatan muncul prajurit-

prajurit Kerajaan Gelang Wesi. Mereka semua

mengendarai kuda yang dipacu cepat. Tampak

dari lereng bukit, Sura Antaka begitu geram

melihat kemunculan prajurit Kerajaan Gelang

Wesi yang jumlahnya menjadi tiga kali lipat dari

jumlah orang-orangnya.

"Macan Gadak! Perintahkan semuanya

mundur!" perintah Sura Antaka.

"BaikYang Mulia," sahut Macan Gadak

Sura Antaka melompat naik ke punggung

kuda, lalu menggebahnya kencang menuju Utara,

diikuti Pendeta Ajisaka dan Singo Barong.

Sedangkan Macan Gadak bergegas menuruni

bukit mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

"Mundur...!" seru Macan Gadak keras. Suara

teriakannya disertai pengerahan tenaga dalam

yang tinggi.

Seketika itu juga orang-orang berbaju merah

bergambar seekor naga pada dadanya,

berlompatan mundur. Sementara yang terlambat,

langsung tewas terkena sambaran senjata para

prajurit. Cepat sekali mereka bergerak, sebentar

saja sudah lenyap ke dalam hutan. Seorang yang


berpangkat panglima, memerintahkan prajurit-

prajuritnya untuk tidak mengejar.

Macan Gadak mengumpulkan anak buahnya

yang tersebar di lerang bukit sebelah Utara,

kemudian sama-sama bergerak kembali ke

daerah Utara, tempat mereka menetap.

Sementara itu rombongan prajurit itu

melanjutkan perjalanannya. Mereka meninggal

kan mayat-mayat yang tumpang tindih

memenuhi jalan melingkar di Kaki Bukit Rangkat

ini.

***

"Setan..!"

Brak!

Sura Antaka menggeram dahsyat. Meja yang

terkena pukulannya langsung hancur berantakan.

Wajahnya merah padam, dan matanya liar

menyala bagai sepasang bola api yang siap

membakar apa saja. Sedangkan Pendeta Ajisaka,

Singo Barong, dan Macan Gadak hanya

menundukkan kepalanya saja.

Peristiwa pahit yang pertama kali ini dialami

mereka. Gagal merampas barang upeti bawaan

dari Kadipaten Kranggan. Bahkan hampir saja

terjebak, dan terkurung prajurit-prajurit Gelang

Wesi. Sura Antaka memandangi satu persatu

orang-orang kepercayaannya yang duduk

bersimpuh di lantai sambil tertunduk dalam.


"Mereka seperti sudah tahu rencana ini.

Phuih! Aku mencium ada mata-mata di antara

kita!"dengus Sura Antaka menggeram.

"Akan kucari pengkhianat itu, Yang Mulia,"

kata Macan Gadak.

"Bukan hanya dicari, tapi temukan dan

bunuh!" bentak Sura Antaka.

Macan Gadak kembali diam.

"Aku tidak peduli. Siapa pun orangnya yang

mencoba mengkhianatiku, harus mampus! Kalian

dengar itu...!"

Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan

Gadak serentak mengangguk dan menyahut Sura

Antaka mendengus, lalu berbalik dan melangkah

dengan kaki menghentak kesal. Laki-laki

setengah baya itu membanting dirinya ke kursi

berukir yang hampir menenggelamkan tubuhnya.

Sepasang bola matanya masih merah menyala.

"Kalian geledah seluruh daerah ini. Siapa saja

yang mencurigakan, tangkap! Kalau

membangkang, bunuh!" perintah Sura Antaka

tegas.

Ketiga orang kepercayaannya itu segera

bangkit berdiri dan menjura memberi hormat

Bergegas mereka meninggalkan ruangan besar

itu. Sura Antaka masih duduk di kursinya dengan

wajah memerah. Diambilnya guci arak dan

langsung ditenggaknya sampai tandas, tak tersisa

sedikit pun. Dengan kesal, dilemparkan guci arak


itu, tepat menghantam pilar. Guci itu hancur

berkeping-keping.

"Ayah...," tiba-tiba terdengar suara lembut dari

arah kanan.

Sura Antaka menoleh.

"Kau ada perlu denganku, Mustikaweni?" nada

suara Sura Antaka dibuat lembut, meskipun raut

wajahnya tak dapat menyembunyikan

kegeramannya.

"Ada yang ingin kukatakan, Ayah," kata Dewi

Mustikaweni seraya melangkah mendekati.

Gadis itu duduk di samping ayahnya. Dengan

lembut diletakkan tangannya yang halus berkulit

putih di pergelangan tangan Sura Antaka.

"Katakanlah. Apa yang hendak kau katakan,"

terdengar lembut suara Sura Antaka.

Di depan anaknya, Sura Antaka tidak pernah

berkata kasar. Apa lagi memasang wajah berang.

Laki-laki setengah baya itu terlalu mencintai

gadis ini, dan selalu mengabulkan

permintaannya. Pelahan-lahan, wajah berangnya

berangsur sirna melihat senyuman lembut

tersungging di bibir yang selalu merah merekah

itu.

"Boleh aku pergi ke danau?" ada nada

berharap pada suara Dewi Mustikaweni.

"Kenapa tidak? Pergilah selagi masih siang."

"Terima kasih, Ayah."


Sura Antaka tersenyum. Dewi Mustikaweni

bangkit dan melangkah riang meninggalkan

ruangan itu.

"Dengan siapa kau ke sana?" tanya Sura

Antaka sebelumputrinya itu lenyap di balik pintu.

"Dengan emban," sahut Dewi Mustikaweni.

Sura Antaka memandangi putrinya sampai

lenyap di balik pintu pemisah ruangan depan ini

dengan ruangan tengah. Mendadak saja wajahnya

berubah mendung, dan pandangan matanya sayu.

Ditariknya napas panjang, lalu bangkit berdiri.

Kakinya melangkah pelahan menuju jendela. Dia

berdiri di depan jendela dengan tangan bertumpu

pada balok kayu.

"Kau mirip sekali dengan ibumu,

Mustikaweni," desah Sura Antaka lirih.

Pandangan laki-laki setengah baya itu tidak

lepas dari putrinya yang berjalan riang

didampingi dua orang emban pengasuhnya. Yang

seorang, perempuan gemuk dan seorang lagi

kurus bagai tidak memiliki daging. Kedua emban

itu sudah merawat Dewi Mustikaweni sejak

masih bayi. Terlebih lagi setelah ibunya

meninggal. Kedua emban itu seperti pengganti

ibunya saja. Ke mana Mustikaweni pergi, kedua

emban itu tidak pernah ketinggalan.

"Hhh.... Kau terlalu agung hidup di sini,

Mustikaweni. Tidak pantas kau hidup di tengah-

tengah manusia berlumpur seperti ini. Kau bagai


setangkai bunga tumbuh di tengah danau

berlumpur. Hhh...!Semua ini gara-gara...."

Gumaman Antaka terhenti ketika telinganya

mendengar suara langkah kaki dari arah

belakang. Dia berbalik, dan tampaklah Pendeta

Ajisaka datang bersama seorang pemuda

bertubuh kecil memakai baju lusuh dan bagian

dada terbuka. Pemuda itu langsung jatuh berlutut

di depan Sura Antaka.

“Paman Ajisaka, ada apa ini?" tanya Sura

Antaka.

"Dia bernama Belung. Seorang perambah

hutan yang hidup di sekitar sini, Yang Mulia.

Katanya, semalam dia melihat seseorang

menyelinap dengan tingkah mencurigakan," lapor

Pendeta Ajisaka.

"Hm..., benar begitu?" tanya Sura Antaka

menatap tajam pemuda yang bernama Belung itu.

"Benar, Gusti. Hamba melihat sendiri. Orang

itu berdiri dekat jendela itu. Kemudian berpindah-

pindah tempat, lalu pergi melalui jalan belakang,"

kata Belung dengan sikap hormat

"Kau kenali wajahnya?" tanya Sura Antaka

lagi.

'Tidak, Gusti. Tapi...."

'Tapi, kenapa?"

"Hamba sempat melihat waktu dia berbalik.

Ada luka di pipi kirinya."

"Gagak Codet...!" desis Sura Antaka.


"Kau berkata benar, Belung?!" agak

membentak suara Pendeta Ajisaka.

"Hamba berkata yang sebenarnya, Gusti

Pendeta. Hamba melihat dengan jelas meskipun

waktu itu keadaan gelap. Hamba ada dekat

sekali."

"Di mana kau waktu itu?" tanya Pendeta

Ajisaka lagi.

"Di balik pohon kenanga itu, Gusti," Belung

menunjuk sebatang pohon kenanga yang tidak

begitu jauh dari jendela ruangan ini "Hamba

waktu itu bersama dengan...."

"Ya, sudah. Kau cukup jelas memberi

keterangan," potong Sura Antaka.

"Terima kasih, Gusti," ucap Belung seraya

memberihormat

“Paman, beri dia hadiah. Keterangannya

sangatberharga sekali," kata Sura Antaka.

"Baik, Yang Mulia."

"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Gusti."

"Ya, sudah. Pergi sana!"

Pemuda kurus kerempeng itu berdiri, lalu

membungkuk beberapa kali sebelum melangkah

pergi. Pendeta Ajisaka memberinya sekantung

uang sebelum pemuda perambah hutan itu pergi.

Tentu saja Belung jadi berbinar matanya, dan

langsung membungkuk beberapa kali memberi

hormat sambil mengucapkan puluhan terima

kasih. Pendeta Ajisaka mengantarkannya sampai

ke pintu


***

Sementara itu di tepi sebuah danau yang

berair biru bening, Dewi Mustikaweni merendam

tubuhnya. Sedangkan kedua emban pengasuhnya

menunggu tidak jauh dari tepi danau itu. Dewi

Mustikaweni bermain-main di dalam danau, dan

baru naik ke tepi setelah puas. Hanya selembar

kain tipis menutupi tubuhnya yang ramping dan

indah. Sungguh cantik wajahnya dalam keadaan

basah.

Dewi Mustikaweni melangkah menghampiri

kedua embannya yang duduk bersandar pada

pohon rindang. Tapi mendadak, gadis itu tertegun

melihat kedua embannya seperti tertidur sambil

duduk bersandar. Gadis itu kembali menghampiri

dan membangunkan kedua wanita pengasuhnya

itu. Tapi kedua wanita itu tidak bergerak sedikit

pua Dewi Mustikaweni jadi kebingungan. Buru-

buru diambil pakaiannya, dan dikenakannya

dengan tergesa-gesa. Tapi belum juga sempurna

mengenakan pakaian, mendadak muncul seorang

laki-laki dengan wajah yang luka pada pipi

kirinya.

"Oh...!" gadis itu terkejut. Buru-buru ditutupi

bagian dadanya yang masih terbuka.

"Kau masih ingat aku, Mustikaweni?" lembut

suara laki-lakiberwajah codet itu.


"Kau.... Kau Gagak Codet?" bergetar suara

Dewi Mustikaweni.

"Benar. Aku Gagak Codet," pemuda itu

tersenyum lebar.

"Mau apa kau ke sini?"

"Membawamu pergi."

"Oh! Tidak...!" Dewi Mustikaweni terkejut

bukan main, dan langsung melangkah mundur

dengan wajah pucat pasi. Matanya melirik kedua

emban pengasuhnya yang tampak seperti terlelap

tidur.

"Mereka hanya pingsan. Sebentar lagi juga

siuman," kata Gagak Codet seperti mengetahui

lirikan gadis itu.

"Jangan dekat!" sentak Dewi Mustikaweni

begitu melihat Gagak Codet melangkah

mendekati. "Berani mendekat, aku akan

berteriak!"

"Berteriaklah. Tidak ada seorang pun di sini,

kecuali kau dan aku," tantang Gagak Codet

Putri Dewi Mustikaweni jadi gelagapan. Dia

tahu kalau sekitar danau ini tidak ada seorang

pun. Tidak ada seorang pun yang berani ke danau

ini kalau dia ada di sini. Ayahnya bisa memenggal

kepala siapa saja yang berani melihat gadis itu

mandi di danau ini. Dewi Musrikaweni beringsut

mundur. Tapi sebuah akar yang menyembul ke

tanah membuat tubuhnya limbung.

"Oh...!"

"Hup!"


Gagak Codet cepat melompat, dan menangkap

tubuh ramping itu. Tentu saja hal ini membuat

gadis itu terkejut setengah mati. Dia

memberontak berusaha melepaskan diri, tapi

pelukan Gagak Codet demikian kuat Gadis itu

terus berontak sambil menjerit-jerit minta tolong.

Gagak Codet jadi kewalahan, dan...

"Ah...!" Dewi Musrikaweni memekik kecil.

Mereka sama-sama jatuh bergulingan di tanah.

Namun pelukan Gagak Codet tidak juga terlepas,

dan malah menindihnya kuat-kuat Dewi

Mustikaweni mencoba memberontak, memukuli

pemuda itu.

"Diam...!" bentak Gagak Codet Pemuda dengan

luka menggores pipi kiri itu mencekal kedua

tangan Dewi Musrikaweni, dan menekannya

merentang ke samping. Dengan kedua pahanya

dia menjepit pinggang gadis itu Dewi

Musrikaweni benar-benar tidak berdaya lagi. Air

mata mulai menitik keluar dari sudut matanya

yang bulat bening dan indah itu.

"Aku mohon, lepaskan.... Jangan sakiti aku,"

rintih Dewi Musrikaweni meratap.

"Huh!" dengus Gagak Codet

Sambil bangkit, dengan kasar pemuda itu

menyentakkan tangan Dewi Musrikaweni.

Akibatnya gadis itu ikut terangkat bangun.

Musrikaweni memekik tertahan. Pergelangan



tangannya terasa sakit karena dicengkeram kuat

sekali.

"Jangan banyak tingkah! Ayo, jalan!" bentak

Gagak Codet mendorong kasar.

"Mau dibawa ke mana aku?" rintih Dewi

Musrikaweni.

"Cerewet! Dasaranak manja! Jalan!"

Dewi Musrikaweni tidak ada pilihan lain. Dia

melangkah dengan tangan tertekuk ke belakang

dipegangi kuat-kuat. Air mata semakin banyak

berlinang membasahi pipinya yang putih halus

bagai sutra. Gagak Codet terus mendorong agar

lebih cepat. Beberapa kali gadis itu memekik

kesakitan.

"Ck ck ck ck... Kasihan sekali, cantik-cantik

tersiksa...," tiba-tiba terdengar suara pelahan.

"Eh!" Gagak Codet tersentak kaget langsung

menoleh.

Tampak seorang pemuda berwajah cukup

tampan memakai baju dari kulit harimau tengah

duduk di atas pohon tumbang. Sesaat Gagak

Codet terpaku, sehingga dia lalai akan Dewi

Mustikaweni. Kesempatan yang sedikit ini,

dimanfaatkan gadis itu untuk melepaskan diri.

Dewi Musrikaweni langsung berlari.

"He...!, sentak Gagak Codet terkejut.

"Tolong...! Dia akan menculikku!" teriak Dewi

Musrikaweni terus berlari.

Tapi Gagak Codet sudah melompat cepat, dari

menghadang gadis itu. Mustikaweni tersentak,


langsung berbalik. Tapi Gagak Codet lebih cepat

menangkap tangan gadis itu. Namun baru saja

bisa mencekal, mendadak....

"Akh!" Gagak Codet terpekik tertahan.

Cekalannya terlepas, dan mulutnya meringis

kesakitan memegangi pergelangan tangannya.

Matanya langsung menatap pada pemuda berbaju

kulit harimau yang memain-mainkan kerikil di

tangannya. Sementara itu, Dewi Mustikaweni

kembali berlari menghampiri pemuda itu, lalu

berlindung di balik punggung yang kokoh itu.

"Tolong, dia akan menculikku. Dia jahat...,"

rintih Dewi Mustikaweni.

"Kisanak, kuharap jangan ikut campur

urusanku. Dia istriku!"bentak Gagak Codet

"O...," pemuda berbaju kulit harimau itu

mengangkat alisnya.

"Bohong! Dia jahat! Dia mau menculikku...!"

sergah Dewi Mustikaweni.

"Mana yang benar ini? Kalian suami istri, atau

bukan...?" pemuda itu nampak kebingungan.

"Percaya padaku, Kisanak. Dia istriku yang

ingin kabur!" kata Gagak Codet

Pemuda itu menoleh menatap wanita cantik

yang berlindung padanya. Dan belum lagi

membuka mulut akan bertanya, dari jauh

terdengar teriakan dua orang wanita. Yang satu

gemuk, dan satunya lagi kurus kerempeng.



Mereka berlari-lari sambil memanggil-manggil

Dewi Mustikaweni.

"Gusti..., Gusti Ayu...!"

"Oh! Itu kedua emban pengasuhku. Kau bisa

tanyakan pada mereka, Kisanak." Ada

pengharapan pada nada suara Dewi Mustikaweni

melihat kedua emban pengasuhnya berlari-lari

menghampiri.

"Monyet buntung!" geram Gagak Codet kesal

melihat dua orang emban itu sudah sadar dari

pingsannya.

Dan sebelum emban itu dekat, Gagak Codet

sudah melompat hendak menerjang pemuda

berbaju kulit harimau itu. Namun hanya sedikit

saja mengegoskan tubuhnya, terjangan Gagak

Codet luput dari sasaran. Pemuda berbaju kulit

harimau itu melompat ke samping sambil

mendorong tubuh Dewi Mustikaweni, sehingga

gadis itu terdorong jatuh. Untung kedua emban

pengasuhnya sudah cepat menghampiri, sehingga

cepat-cepat menolongnya berdiri.

Sementara itu Gagak Codet kembali

menyerang dahsyat Dan pemuda berbaju kulit

harimau itu seperti malas-malasan melayaninya.

Namun setiap serangan balasannya, sudah dapat

membuat Gagak Codet pontang-panting

menghindarinya. Beberapa jurus berganti cepat

Gagak Codet sadar kalau dirinya tidak akan

mampu menundukkan pemuda berbaju kulit

harimau itu lagi.


Saat mempunyai kesempatan, dengan cepat

tubuhnya melompat kabur. Begitu cepatnya,

sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh

berlari. Gagak Codet kini telah menghilang dalam

hutan di pinggir danau ini. Pemuda berbaju kulit

harimau itu memutar tubuhnya menghadap pada

Dewi Mustikaweni.

"Kau tidak apa-apa, Nisanak?" lembut nada

pemuda berbaju harimau itu.

'Tidak," sahut Dewi Mustikaweni. "Terima

ataspertolonganmu."

"Sebaiknya cepat pulang. Aku khawatir dia

akan datang lagi ke sini," kata pemuda itu.

"Benar, Gusti Ayu. Sebaiknya cepat-cepat

pulang," sergah wanita gemuk itu.

"Sebentar, Bi Emban," ucap Dewi

Mustikaweni.

"Sudah sore, Gusti Ayu."

Mustikaweni tidak menghiraukan peringatan

embannya, dan malah melangkah menghampiri

pemuda berbaju kulit harimau itu. Kedua emban

itu nampak cemas. Mereka melirik ke kanan dan

ke kiri. Mereka tahu kalau di sekitar danau ini

tidak ada yang boleh datang kalau ada Dewi

Mustikaweni. Terlebih lagi laki-laki. Kalau

ketahuan, bisa celaka nanti.

"Boleh aku tahu namamu, Kisanak?" pinta

Dewi Mustikaweni lembut.

"Untukapa?"


"Kau telah menyelamatkan nyawaku. Sudah

sepantasnya kuberi hadiah yang pantas. Aku

akan mengatakan hal ini pada Ayah, dan pasti

kau akan memperoleh hadiah yang besar," ujar

Dewi Mustikaweni.

"Terima kasih, tapi aku harus segera pergi,"

ucap pemuda itu

Pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik

dan melangkah pergi. Kelihatan kakinya

melangkah biasa saja, tapi sebentar saja sudah

jauh.

"Kisanak, siapa namamu? teriak Dewi

Mustikaweni.

"Bayu!"

***


3

Sejak bertemu pemuda berbaju kulit harimau,

Dewi Mustikaweni jadi sering pergi ke danau. Di

tempat itu dia hanya berdiri saja memandangi

danau, menghabiskan waktu hingga senja jatuh

dalam pelukan Mayapada. Dewi Mustikaweni

yang memang pendiam, semakin sukar diajak

bicara. Gadis itu jadi lebih senang menyendiri,

merenung seorang diri. Kedua emban

pengasuhnya bisa menebak apa yang ada dalam

hati junjungannya itu.

"Sudah sore, Gusti Ayu. Sebentar lagi malam

datang," ujar seorang emban bertubuh gemuk.

Dewi Mustikaweni menarik napas panjang.

Dua bola matanya yang indah menatap matahari

yang hampir tenggelam di balik permukaan

danau. Sinarnya yang kemerahan tampak lembut

dan sedap dipandang. Permukaan danau bagai

ditaburi ribuan butir mutiara berkilauan,

menambah keindahan pemandangan di tempat

itu. Tidak salah kalau danau ini dinamakan

Danau Mutiara.

"Gusti Sura Antaka pasti sudah menunggu,

Gusti Ayu," sambung emban yang bertubuh

kurus.

"Sebentar lagi, Bi Emban," pinta Dewi

Mustikaweni.


Kedua emban itu saling berpandangan.

Tampak wanita yang bertubuh kurus, tersenyum

memandang ke satu arah. Emban pengasuh

bertubuh gemuk jadi berkerut keningnya. Dia

menoleh, lalu juga memandang ke arah yang

sama. Bibirnya pun tersenyum begitu melihat

seorang pemuda berbaju kulit harimau

melangkah ringan menghampiri mereka. Pemuda

itu berhenti tepat di samping agak ke belakang

dari Dewi Mustikaweni.

"Ehm ehm...!" pemuda berbaju kulit harimau

itu mendehem.

"Oh...!" Dewi Mustikaweni terkejut, langsung

berbalik. "Bayu...," desisnya begitu melihat

pemuda yang selalu dinantikannya selama tiga

hari ini.

"Selamat sore, Gadis Ayu," ucap pemuda itu

yang memang bernama Bayu Hanggara atau

yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau

Neraka. "Aku mengganggu?"

"Oh, tid..., tidak," Dewi Mustikaweni jadi

tergagap.

"Bagaimana suamimu? Sudah tidak kasar

lagi?" tanya Bayu.

"Suami...? Suami yang mana?" Dewi

Mustikaweni terbeliak.

"Yang memaksamu pulang."

"Enak saja! Itu bukan suamiku. Dia akan

menculikku, tahu!"


"Oh, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu

marah,"ucap Bayu.

"Aku tidak marah, hanya tidak suka saja,"

Dewi Mustikaweni memberengut.

Gadis itu memang manja. Tidak boleh

tersinggung sedikit. Tapi itu hanya sebentar saja.

Dan kini wajahnya sudah kembali manis dan

semakin cantik dipandang. Dewi Mustikaweni

tertunduk mendapat tatapan yang begitu

menusuk dari pemuda itu. Sementara kedua

emban pengasuhnya semakin gelisah. Sebentar-

sebentar menatap ke arah jalan, takut kalau-

kalau ada yang melihat dan mengadukan pada

Sura Antaka.

"Gusti Ayu...!" tiba-tiba emban yang kurus

tersentak.

"Ada apa?" tanya Dewi Mustikaweni.

"Ada yang datang...."

"Oh...!"

Terlambat Empat orang laki-laki berseragam

baju merah dengan gambar seekor naga pada

bagian dada sudah melihat. Dan mereka bergegas

menghampiri, langsung menatap tajam Pendekar

Pulau Neraka. Sedangkan Dewi Mustikaweni

tampak pucat dan kebingungan sekali. Demikian

juga dengan kedua emban pengasuhnya. Mereka

sampai bergetar seluruh tubuhnya.

"Gusti Ayu, siapa laki-laki ini?" tanya salah

seorang menunjukpada Bayu.


"Dia..., eh, dia...," Dewi Mustikaweni tergagap.

"Hei, bangsat! Ke sini!" bentak orang yang

bertanya tadi.

Sedangkan Bayu hanya diam saja, meskipun

jari telunjuk itu mengarah padanya. Pendekar

Pulau Neraka itu diam sambil menatap tajam

menusuk. Gerahamnya bergerut menahan marah

mandapat bentakan penghinaan itu.

"O.... Kau tuli atau menantang, heh?!"

"Kisanak, kenapa datang-datang langsung

marah? Apakah wanita ini milikmu?" agak

ditekan nada suara Bayu.

"Keparat! Kau berani kurang ajar pada Gusti

Ayu Mustikaweni!" geram orang itu seraya

mencabutgoloknya.

Tiga orang yang berada di belakangnya juga

langsung mencabut golok. Mereka menggeser ke

samping dengan golok melintang di depan dada.

Sedangkan Bayu hanya memandangi tanpa

berkedip.

"Heran..., kenapa orang-orang di sini begitu

galak? Apakah biasa makan daging mentah?"

Bayu bergumam seperti bicara dengan dirinya

sendiri.

Sementara itu kedua emban pengasuh sudah

membawa Dewi Mustikaweni menyingkir.

Mereka sudah merasakan adanya gelagat tidak

baik. Sementara gadis itu hanya bisa memandang

Pendekar Pulau Neraka, dengan sinar mata sukar

untuk diartikan. Empat orang berbaju merah


yang bergambar naga pada dadanya, sudah

bergerak mengurung dari empat jurusan.

Sedangkan Bayu hanya melirik saja

memperhatikan sambil melipat tangannya di

depan dada.

“Tidak ada seorang pun yang diijinkan

mendekati Gusti Dewi Mustikaweni. Kau pasti

akan dijatuhi hukuman mati, oleh Yang Mulia

Sura Antaka, keparat!" geram orang yang berada

di depan Bayu.

"O.... Apakah gadis itu terbuat dari emas?

Lucu sekali, hanya bicara saja harus mati," sinis

nada suara Bayu.

"Lancang bicaramu!"

"Aku punya mulut dan bicara sendiri. Kenapa

kau yang marah?"

'Tutup mulutmu!Hiyaat..!"

Satu terjangan golok yang menusuk ke arah

dada terjadi demikian cepat. Dewi Mustikaweni

memekik tertahan dan memejamkan matanya.

Rasanya tidak sanggup melihat serangan yang

cepat itu. Tapi hatinya terkejut, karena

mendengar satu benturan keras, diikuti pekikkan

tertahan.

Tampak laki-laki yang menyerang, terbanting

keras ke tanah. Dan entah bagaimana, goloknya

sudah berpindah ke tangan Pendekar Pulau

Neraka yang tidak bergeser sedikit pun dari

tempatnya berdiri. Dewi Mustikaweni yang


langsung membuka matanya, jadi terbeliak tidak

percaya.

"Keparat...!"

Tiga orang lainnya langsung berlompatan

menyerang secara bersamaan. Pendekar Pulau

Neraka berlompatan menghindari serangan yang

datang dengan cepat dan sangat mematikan itu.

Namun hanya sekali gebrak, tiga orang itu

terpekik dan mental ke belakang. Bayu sendiri

tegak sambil menggenggam golok di tangan.

Empat orang itu jadi kelabakan, karena golok

mereka sudah berpindah tangan tanpa diketahui

bagaimana kejadiannya. Mereka beringsut

bangun, lalu saling berpandangan.

Trek!

Empat orang berbaju merah bergambar naga

itu terbeliak begitu melihat Bayu yang betapa

mudahnya mematahkan golok-golok di

tangannya, lalu melemparkan begitu saja ke

tanah. Kembali mereka saling berpandangan,

seketika itu wajah mereka pucat pasi. Tanpa

berkata apa-apa lagi, keempat orang itu segera

melarikan diri.

Bayu hanya tersenyum saja, kemudian

menghampiri Dewi Mustikaweni yang berdiri

agak jauh didampingi kedua emban pengasuhnya.

Bayu berhenti sekitar dua langkah lagi jaraknya

di depan gadis itu.


"Sebaiknya cepat pergi dari sini. Kau akan

dihukum mati nanti," kata Dewi Mustikaweni

agak bergetarnada suaranya.

"Siapa mereka itu?" tanya Bayu tidak

mempedulikan peringatan gadis itu.

"Mereka para prajurit ayahku," sahut Dewi

Mustikaweni.

"Prajurit...?"

"Sebenarnya memang tidak pantas disebut

prajurit. Tapi Ayah selalu berkata, begitu. Ayah

menganggap dirinya seorang raja yang menguasai

seluruh daerah Utara ini. Cepatlah pergi, sebelum

mereka kembali menangkapmu," ujar Dewi

Mustikawenigelisah.

"Kau akan datang lagi ke sini?" tanya Bayu.

"Entahlah," desah Dewi Mustikaweni tidak

yakin.

"Kalau begitu, aku yang akan

mengunjungimu."

"Eh...!" Dewi Mustikaweni terperanjat.

Tapi belum sempat gadis itu mengatakan

sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat

pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan

tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata sudah

lenyap dari pandangan. Kedua emban pengasuh

itu bergegas meminta Dewi Mustikaweni

meninggalkan danau ini.

***


Dewi Mustikaweni hanya tertunduk saja,

duduk bersimpuh di lantai kamarnya. Sedangkan

dua emban pengasuhnya lebih dalam lagi

tertunduk, tidak berani mengangkat wajah

memandang Sura Antaka yang duduk angkuh di

kursi. Tatapan mata laki-laki setengah baya yang

masih kelihatan gagah itu, demikian tajam

menusuk. Wajahnya memerah dan urat-uratnya

menegang

"Katakan padaku, siapa laki-laki yang kau

kunjungi di danau, Mustikaweni?" dingin dan

datarnada suara Sura Antaka.

"Namanya Bayu, Ayah. Aku tidak

mengunjunginya. Dia datang sendiri dan

menolongku dari tangan Gagak Codet," sahut

Dewi Mustikaweni sambil mengangkat kepalanya

pelahan-lahan.

"Itu tiga hariyang lalu, Weni!"

"Sungguh, Ayah. Aku tidak bermaksud

menemuinya. Dia datang sendiri," Dewi

Mustikaweni mencoba meyakinkan ayahnya.

"Dan kedatangannya benar-benar kau

harapkan, bukan?" desak Sura Antaka. Dewi

Mustikaweni kembali diam tertunduk. Wajahnya

sebentar memerah, dan sebentar kemudian

memucat. Tebakan ayahnya memang tidak dapat

disangkal lagi. Sejak Pendekar Pulau Neraka

menolongnya dari cengkeraman tangan Gagak

Codet, dia memang selalu berharap dapat


bertemu lagi. Entah kenapa, bayang-bayang

pendekar tampan itu selalu menghantuinya setiap

saat.

"Dengar, Weni. Aku sangat menyayangimu.

Aku tidak mau kau bergaul dengan sembarang

laki-laki. Yang kuinginkan, agar kau mendapat

seorang laki-laki yang gagah dan berkemampuan

sangat tinggi, dan dapat melindungimu setiap

waktu. Aku tidak melarangmu memilih calon

pendampingmu. Tapi aku harus tahu, apakah

pemuda itu memiliki kemampuan tinggi dan

dapat dipercaya untuk melindungimu. Hanya itu,

Weni," terdengar lembutnada suara Sura Antaka.

"Ayah...," kembali Dewi Mustikaweni

mengangkat kepalanya. Sudah bisa dimengerti

maksud kata-kata ayahnya barusan.

"Undang dia ke sini, dan aku akan menguji

pantas tidaknya dia menjadi pendampingmu,"

tegasSura Antaka.

'Tapi...," suara Dewi Mustikaweni tersekat di

tenggorokan.

"Jika kau tidak mengundangnya, itu berarti

tidak akan bisa bertemu lagi dengannya. Kau

mengerti, Weni?!"

"Mengerti, Ayah."

"Kapan kau akan menemuinya lagi?" tanya

Sura Antaka.

"Aku tidak tahu. Dia muncul tiba-tiba."


"Hm..., kalau begitu pergilah besok ke danau.

Paman Ajisaka akan mendampingimu."

Dewi Mustikaweni tidak bisa berkata apa-apa

lagi. Keputusan ayahnya sukar untuk dicabut

kembali. Gadis itu hanya bisa diam sambil

menundukkan kepalanya. Sementara Sura

Antaka bangkit berdiri dan melangkah keluar

dari kamar putrinya ini. Seorang emban yang

bertubuh gemuk, bergegas mendahului dan

membukakan pintu. Tanpa melirik sedikit pun,

Sura Antaka melangkah keluar. Emban bertubuh

gemuk itu bergegas menutup kembali pintunya,

dan menghampiri Dewi Mustikaweni yang sudah

terisak sesunggukkan.

"Sudahlah, Gusti Ayu. Mudah-mudahan saja

Den Bayu tidak muncul besok," ujar emban

gemuk itu mencoba menghibur.

"Tapi dia sendiri yang akan ke sini, Bi Emban,"

ucap Dewi Mustikaweni di sela isaknya yang

tertahan.

"Mudah-mudahan saja dia tidak berani," desah

emban gemuk itu pelan.

Dewi Mustikaweni beranjak bangkit berdiri.

Tapi baru saja mengangkat kepalanya, mendadak

dia tersentak kaget setengah mati Di depan

jendela kamarnya yang terbuka, kini sudah

berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan

berbaju dari kulit harimau. Dua orang emban

pengasuh itu juga bergegas berdiri terkejut

Mereka langsung melangkah ke jendela, dan


menyeret pemuda itu masuk. Buru-buru emban

gemuk menutup jendela.

"Bayu...," desis Dewi Mustikaweni.

"Aku menepati janji, Gadis Ayu," ucap Bayu

lembut.

"Bagaimana bisa masuk ke sini?" tanya Dewi

Mustikaweni

"Mudah saja. Aku menunggu ayahmu pergi

dulu," tenang jawaban Pendekar Pulau Neraka

itu.

"Apa...?" bukan main terkejutnya Dewi

Mustikaweni mendengar jawaban yang begitu

ringan tanpa ada beban sedikit pun.

Bayu hanya tersenyum saja. Diliriknya dua

perempuan pengasuh yang berdiri saja

membelakangi jendela. Kedua emban pengasuh

itu bisa mengerti, lalu mereka melangkah keluar.

Pintu kamar itu kembali tertutup setelah kedua

wanita pengasuh itu sampai di luar kamar.

Tinggal Pendekar Pulau Neraka dan Dewi

Mustikaweni yang hanya diam beberapa saat

dengan mata saling menatap.

"Kau dengar semuanya, Ka...," terputus

ucapan gadis itu.

"Aku senang kalau kau memanggilku Kakang,

Weni," lembut suara Bayu.

Dewi Mustikaweni tersenyum tersipu.

Wajahnya menyemburat merah dadu seketika.

Dibalikkan tubuhnya, dan dilangkahkan kakinya



mendekati sebuah kursi. Gadis itu duduk dengan

anggunnya. Sebentar ditatap pemuda tampan

yang berdiri saja di tempatnya, kemudian

kepalanya bergerak menunduk kembali. Rasanya

tidak sanggup menatap bola mata yang

mengandung daya tarik sangat kuat sekali.

"Aku dengar semua, Weni. Dan akan

kutunggu di tepi danau, tempat pertama kali kita

bertemu," kata Bayu kalem.

"Sebaiknya jangan, Kakang. Mereka akan

membunuhmu. Aku tidak ingin kau celaka di

tangan mereka," cegah Dewi Mustikaweni.

"Jangan khawatir, Weni. Aku bisa menjaga

diriku sendiri. Tidak ada yang akan celaka.

Percayalah," Bayu meyakinkan.

"Tapi...," terputus suara Dewi Mustikaweni.

"Ssst...!" Bayu menggoyang-goyangkan jari

telunjuknya di depan bibirnya sendiri.

Pendekar Pulau Neraka itu melangkah

menghampiri, dan berlutut di depan gadis itu.

Dengan lembut diambilnya tangan berjari lentik

dengan kuku terawat rapi. Bergetar seluruh

tubuh Dewi Mustikaweni ketika Bayu begitu

lembutnya mengecup jari-jari tangannya. Gadis

itu sampai terpejam beberapa saat, menikmati

kecupan lembut yang baru pertama kali

dirasakannya.

"Oh...," Dewi Mustikaweni mendesah lirih.


"Besok, saat matahari tepat di atas kepala, aku

akan datang ke tepi danau," ujar Bayu lembut,

namun bernada tegas.

"Kakang..., aku tidak tahu lagi harus berkata

apa. Aku sama sekali tidak mengharapkan kau

mendapat kesulitan," lirih sekali suara Dewi

Mustikaweni.

"Kau cantik sekali, Weni. Hatimu lembut

Rasanya kau tidak pantas berada di tengah-

tengah manusia kasar bergelimang lumpur. Aku

akan mengangkatmu dari lumpur, dan

membawamu ke tempat yang lebih cocok

untukmu," ujar Bayu.

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"

Bayu tidak menjawab, tapi malah bangkit

berdiri setengah membungkuk. Begitu dekat

wajahnya dengan wajah gadis itu, sehingga

hembusan napasnya terasa hangat di pipi yang

halus memerah saga. Kembali bola mata Dewi

Mustikaweni terpejam, dan bibirnya setengah

terbuka agak bergetar. Mendadak seluruh aliran

darahnya serasa berhenti mengalir, saat

dirasakan satu kecupan lembut mendarat di

bibirnya.

Dewi Mustikaweni mendesah lirih, dan dia

masih terpejam merasakan kecupan lembut yang

pertama kali dari seorang pemuda tampan yang

telah mencuri sekeping hatinya. Agak lama juga

gadis itu terpejam dengan tubuh menegang kaku.

Pelahan-lahan dia membuka matanya karena


tidak terasa lagi sentuhan lembut dari Pendekar

Pulau Neraka.

"Eh...!" Dewi Mustikaweni terperanjat, karena

pemuda itu sudah tidak ada lagi di kamar ini.

Bergegas gadis itu bangkit berdiri, lalu berlari

ke jendela yang sudah terbuka lagi. Matanya

berkeliling mencari-cari di luar sana, tapi

bayangan pemuda itu sudah lenyap tanpa terlihat

lagi bekasnya.

"Ahhh..., Bayu...," desah Dewi Mustikaweni

liriW seraya membalikkan tubuhnya.

Gadis itu berlari menghambur ke

pembaringan! Dijatuhkan dirinya ke atas

pembaringan yang empuk beralaskan kain sutra

halus berwarna merah muda. Tubuh yang

ramping padat berisi itu bergulir. Pelahan

bibirnya menyunggingkan senyuman, dan jari-jari

tangannya meraba bibirnya. Dihayati kembali

kecupan lembut yang hangat dan menggetarkan.

Kecupan pertama yang dirasakan dari seorang

pemuda. Beberapa kali gadis itu menarik napas

panjang, dan meng-hembuskannya pelahan-

lahan. Matanya menerawang jauh, menatap

langit-langit kamarnya. Sampai-sampai tidak

disadari kalau kedua emban pengasuhnya sudah

masuk, dan menghampirinya. Kedua emban

pengasuh itu hanya tersenyum saja menyaksikan

putri junjungannya tengah tersenyum-senyum

sendirian.

"Gusti Ayu...," tegur emban gemuk pelan.


"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget.

Gadis itu langsung menggerinjang bangkit.

Wajahnya seketika terasa panas, bersemu merah

bagai kepiting rebus. Buru-buru dibalikkan

tubuhnya, menyembunyikan rona merah yang

menjalar hangat di seluruh wajahnya. Seolah-olah

malu, dan tidak ingin kedua emban pengasuhnya

itu tahu, apa yang baru dirasakannya tadi.

***


4

Matahari sudah berada di atas kepala.

Sinarnya yang terik membakar kulit seorang

pemuda yang berdiri tegak di tepi danau.

Pandangannya tidak terlepas ke arah jalan tanah

berbatu kerikil tidak jauh di depannya. Pemuda

itu memakai baju kulit harimau dengan sebuah

benda melingkar bersegi enam di pergelangan

tangannya yang terlipat di depan dada.

"Hm..., kau datang juga akhirnya," gumam

pemuda yang tidak lain dari Bayu Hanggara si

Pendekar Pulau Neraka.

Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum

melihat kedatangan Dewi Mustikaweni

didampingi dua orang emban pengasuh dan

seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan

berkepala gundul. Laki-laki tua itu memegang

sebuah untaian kalung dari batu hitam yang

berkilat. Mereka dikawal tidak kurang dari tiga

puluh orang berseragam merah dengan gambar

seekornaga pada bagian dadanya.

"Hm...," Bayu bergumam ketika laki-laki tua

gundul itu memberi isyarat. Seketika tiga puluh

orang bersenjata tombak dengan pedang

menggantung di pinggang, bergerak cepat

membentuk lingkaran mengelilingi Pendekar

Pulau Neraka.


"Namaku Pendeta Ajisaka, utusan dari Yang

Mulia Sura Antaka. Apakah kau yang bernama

Bayu Hanggara?" tanya laki-laki tua berjubah

kuning gading itu.

'Tepat sekali," sahut Bayu seraya melirik Dewi

Mustikaweni.

Yang dilirik hanya tertunduk saja, seperti

tidak sanggup menatap pemuda tampan yang

telah merenggut sekeping hatinya itu. Bahkan

juga tidak sanggup untuk membayangkan apa

yang akan terjadi nanti seandainya Pendekar

Pulau Neraka itu dibawa menghadap ayahnya.

“Yang Mulia memintamu untuk datang ke

istana sekarang juga," kata Pendeta Ajisaka

kembali.

"O..., untuk apa?" Bayu pura-pura tidak tahu.

"Kau sudah melanggar peraturan yang

ditetapkan Yang Mulia Sura Antaka. Kau harus

menerima hukumannya, Kisanak. Yang Mulia

sendiri akan menentukan hukumannya, dan

sebaiknya jangan bertingkah. Menurut lebih baik

daripada mencari penyakit!" tegas kata-kata

Pendeta Ajisaka.

"Hm.... Bicaramu bernada mengancam,

Pendeta,"gumam Bayu kurang senang.

'Tergantung dari tingkahmu, Anak Muda,"

dingin nada suara Pendeta Ajisaka.

"Kalau begitu, aku tidak akan memenuhi

undangan junjunganmu!" tolak Bayu tegas

bernada menantang.


"Kakang,..," desis Dewi Mustikaweni tersentak

kaget.

"Bagus! Itu berarti kau memilih jalan

kematianmu sendiri, Anak Muda!"

Trik!

Pendeta Ajisaka menjentikkan ujung jarinya,

maka empat orang berseragam merah bergambar

seekor naga pada dadanya langsung melompat

maju. Tanpa menunggu perintah dua kali, empat

orang itu segera menyerang dengan tombak

terhunus.

"Hup!"

Bayu melompat mundur dua tindak, lalu cepat

menarik tubuhnya ke belakang sedikit. Dua ujung

tombak lewat di depan dadanya. Cepat sekali

Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan

tangannya, dan....

Trek!

Dua batang tombak itu patah jadi dua

terhantam tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan

belum lagi dua orang itu bisa menyadari, secepat

kilat Bayu melompat sambil menghentakkan

kakinya menendang sekaligus dua orang

penyerangnya. Pekikkan tertahan terdengar

bersamaan terjungkalnya dua lawannya itu. Dan

belum lagi semua orang bisa menyadari, Bayu

sudah memutar tubuhnya. Dua pukulan

dilayangkan tepat, menghantam dua orang lagi.

Raungan keras terdengar saling sambut, disusul


ambruknya dua orang sambil menutupi

wajahnya.

"Bagaimana, Pendeta Ajisaka? Jika kau

berlaku sopan, aku akan lebih sopan darimu,"

kata Bayu kalem seraya melipat tangannya di

depan dada.

"Kau terlalu keras kepala, Anak Muda!" geram

Pendeta Ajisaka.

"Kepalaku memang lebih kerasdari batu."

“Phuih!” Pendeta Ajisaka menyemburkan

ludahnya.

Kembali laki-laki tua gundul berjubah kuning

gading itu memberi isyarat dengan jarinya.

Seketika sepuluh orang berseragam merah

bergambar seekor naga di dada langsung

melompat menyerang. Kembali Pendekar Pulau

Neraka melompat berkelit, menghadapi sepuluh

orang penyerangnya. Pertarungan kembali

berlangsung. Tapi baru beberapa gebrak saja, tiga

orang sudah terjungkal roboh memuntahkan

darah kental. Dan belum lagi orang itu mampu

bangkit, kembali dua orang terpental ke atas, lalu

jatuh keras ke tanah. Jerit dan pekik

pertempuran disertai pekikkan menyayat

terdengar saling sambut. Pendeta Ajisaka

semakin geram, melihat orang-orangnya jungkir

balik kewalahan menghadapi Pendekar Pulau

Neraka itu. Kembali diberi isyarat. Maka semua

orang berseragam merah bergambar naga di dada

berlompatan maju menyerang.


***

Semula Bayu hanya bermaksud membuat

orang-orang itu jera. Tapi melihat kesungguhan

dan kenekadan orang-orang berseragam merah

ini, Pendekar Pulau Neraka itu jadi gusar juga.

Meskipun sudah jatuh bangun kena pukulan dan

tendangan cukup keras, mereka tidak juga jera.

Bahkan semakin ganas saja. Memang pukulan

Bayu tidak disertai tenaga dalam. Lain halnya

dengan Pendeta Ajisaka. Dia tahu betul kalau

Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertarung

sungguh-sungguh. Tapi tiga puluh orang

pengikutnya tidak ada yang mampu

meringkusnya. Bahkan tombak serta pedang

mereka berpatahan dan berpentalan ke udara.

Mereka jatuh bangun, tidak mampu lagi

menandingi pemuda itu. Sikap Bayu yang hanya

main-main, membuat Pendeta Ajisaka berang

Pemuda itu dianggap menghinanya.

"Mundur...!" teriak Pendeta Ajisaka keras

menggelegar.

Bentakan yang disertai pengerahan tenaga

dalam tinggi itu membuat orang-orang

berseragam baju merah, serentak berlompatan

mundur. Mereka sudah tidak lagi memiliki

senjata, karena telah terampas dan patah-patah

oleh Bayu. Sebagian malah tergeletak di tanah

berpasir. Pendeta Ajisaka melangkah maju

beberapa tindak.


"Kau terlalu pongah, bocah!" geram Pendeta

Ajisaka.

"Aku ingin tahu, apakah kepala gundulmu

juga sekeras batu?" ejek Bayu sinis.

"Phuih! Keparat...!"

Pendeta Ajisaka menggerakkan tangannya,

membuka jurus penyerangan. Sedangkan

Pendekar Pulau Neraka hanya berdiri tegak

dengan tangan melipat di depan dada. Matanya

sempat mengerling pada Dewi Mustikaweni yang

berdiri agak jauh didampingi kedua orang emban

pengasuhnya yang setia. Entah kenapa, gadis itu

tersenyum, seakan merasa yakin kalau Bayu

dapat menundukkan Pendeta Ajisaka.

"Awas serangan! Hiyaaa...!" seru Pendeta

Ajisaka lantang.

"Hait...!"

Bayu melentingkan tubuhnya ketika Pendeta

Ajisaka melompat datar dan kakinya menyampok

berputar mengarah ke bagian kaki. Pada saat

Bayu berada di udara, tiba-tiba saja laki-laki tua

gundul itu mengebutkan tasbih hitamnya. Kalau

saja Pendekar Pulau Neraka itu tidak memutar

tubuhnya, tasbih itu bisa merobek perutnya.

"Hap!"

Ringan sekali Bayu mendarat di belakang laki-

laki tua gundul berjubah kuning gading itu. Dan

secepat kilat dilayangkan satu tendangan

berputar. Pendeta Ajisaka tersentak kaget, buru


buru ditarik kakinya ke samping sambil

didoyongkan tubuhnya ke depan. Tendangan

Bayu luput dari sasaran. Pendeta Ajisaka

langsung memutar tubuhnya sambil

mengirimkan satu pukulan keras bertenaga

dalam tinggi.

"Hih!"

Bayu sengaja tidak menghindar. Bahkan

dipapaknya pukulan itu dengan tangan kiri,

disertai kemposan tenaga dalam yang sudah

mencapai taraf kesempurnaan Tak dapat

dihindarkan lagi, dua tangan beradu dengan

keras.

Trak!

"Akh...!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan.

Buru-buru laki-laki tua gundul itu melompat

ke belakang. Mulutnya meringis merasakan nyeri

pada pergelangan tangannya. Namun belum juga

Pendeta gundul itu sempurna menjejak tanah,

Bayu sudah lebih cepat melompat sambil

melontarkan satu tendangan keras disertai

pengerahan tenaga dalam setengahnya.

Tendangan keras dan cepat itu tidak bisa

dihindari lagi, dan mendarat telak di dada kurus

kerempeng tertutup jubah kuning gading.

"Aaakh...!" kembali Pendeta Ajisaka memekik

keras.

Tubuh tua kurus itu terpental cukup jauh, dan

menabrak sebatang pohon cemara hingga


tumbang. Tapi Pendeta Ajisaka langsung bisa

bangkit berdiri. Tampak dari sudut bibirnya

mengucurkan darah kental. Digeleng-gelengkan

kepalanya. Sementara Bayu berdiri tegak sambil

tersenyum. Pendeta Ajisaka mencoba

menggerakkan tangan kanannya, tapi dia jadi

terkejut. Ternyata tulang pergelangan tangannya

patah terbentur tangan Pendekar Pulau Neraka

itu.

"Setan keparat...!" geram Pendeta Ajisaka.

Laki-laki tua itu langsung menyadari kalau

tenaga dalamnya masih berada di bawah pemuda

berbaju kulit harimau itu. Dia menggeram marah,

dan menggeser kakinya mendekati Dewi

Mustikaweni.

"Paman..., Paman terluka...?" Dewi

Mustikaweni panik juga melihat darah menetes

dari sudut bibir Pendeta Ajisaka.

"Huh!" Pendeta Ajisaka hanya mendengus

saja.

Dewi Mustikaweni menyentuh pergelangan

laki-laki tua gundul itu. Betapa terkejutnya dia,

karena Pendeta Ajisaka malah terpekik keras.

Mulutnya meringis merasakan nyeri yang amat

sangat pada pergelangan tangan kanannya.

"Oh, maaf..... Maaf, Paman," ucap Dewi

Mustikaweni tergagap ketakutan.

"Ayo kita pulang!" dengus Pendeta Ajisaka.

"Pulang...? Tapi...," Dewi Mustikaweni

tergagap. Matanya melirik Pendekar Pulau



Neraka yang hanya memperhatikan saja dengan

senyum tersungging di bibir.

"Bawa kambing tua itu pulang, Weni. Katakan

pada ayahmu, agar mengirim utusan yang lebih

sopan," ejek Bayu.

"Bocah keparat! Kau akan menanggung

sendiriakibatnya!" geram Pendeta Ajisaka.

"Ha ha ha....'" Bayu malah tertawa terbahak-

bahak.

"Ayo, Weni. Pulang...!" dengus Pendeta Ajisaka

memberengut gusar.

Dewi Mustikaweni ragu-ragu sejenak.

Sebentar diliriknya Bayu. Namun begitu

Pendekar Pulau Neraka itu menganggukkan

kepalanya, gadis itu segera melangkah pergi

diiringi kedua emban pengasuhnya. Tiga puluh

orang berbaju seragam merah yang sudah babak

belur, bergegas melangkah pergi tertatih-tatih.

Bahkan tidak sedikit yang terpaksa dipapah

temannya.

"Ha ha ha...!" Bayu Hanggara tertawa

terbahak-bahak.

Pendekar Pulau Neraka itu masih tetap

berdiri tegak memandang kepergian orang-orang

itu. Sampai mereka tidak kelihatan lagi, Bayu

masih tetap berdiri sambil melipat tangan di

depan dada. Kepalanya menoleh saat telinganya

mendengar suara langkah kaki menghampiri dari

arah samping kanan. Pendekar Pulau Neraka itu

memutar tubuhnya, lalu menghampiri seorang


laki-laki muda berwajah tampan dan berpakaian

indah berwarna biru. Pemuda itu didampingi

empat orang laki-laki setengah baya dengan

pedang menggantung di pinggang.

"Kau hebat, Kakang. Tidak percuma

Ayahanda Prabu meminta bantuanmu," ucap

pemuda tampan yang pedangnya tersampir di

punggung.

"Aku rasa mereka baru kroco, Raden Arga

Yuda. Masih perlu banyak waktu untuk

melumpuhkannya dari dalam," kata Bayu kalem.

"Aku percaya padamu, Kakang. Aku memang

diperintahkan Ayahanda Prabu untuk selalu

mengikuti semua kata-katamu," ujar pemuda

yang dipanggil Raden Arga Yuda itu.

"Ayahmu terlalu berlebihan, Raden," Bayu

merendah.

"Tidak. Kau memang patut mendapat

penghargaan. Aku kagum akan kepandaianmu,"

puji Raden Arga Yuda.

"Ah, sudahlah. Sebaiknya kita cepat

tinggalkan tempat ini sebelumada yang datang ke

sini," sergah Bayu yang tidak ingin

memperpanjang segala macam pujian yang

terlontar dari bibir putra mahkota Kerajaan

Gelang Wesi ini.

Mereka segera melangkah pergi masuk ke

dalam hutan kembali. Suasana di sekitar tepian

danau, kembali lengang. Tidak ada seorang pun


yang terlihat. Di tempat bekas pertempuran tadi,

hanya ada tombak dan pedang yang patah

berserakan. Tak ada yang menyadari kalau

semua peristiwa itu disaksikan seseorang dari

dalam semak belukar. Dan orang itu juga

bergegas pergi ke arah lain setelah tidak ada lagi

yang dapat dilihatnya. Namun tiba-tiba dia

berbalik dan melompat cepat ke arah Pendekar

Pulau Neraka, Raden Arga Yuda, dan empat

orang pengiringnya pergi!

***

Serombongan orang berkuda bergerak cepat

menuju Danau Mutiara. Terlihat paling depan

adalah Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan

Gadak. Pergelangan tangan Pendeta Ajisaka

terbalut kain putih bersih. Di belakang mereka

berpacu sekitar seratus orang berseragam baju

merah bergambarnaga pada dadanya.

Tiba-tiba saja di depan mereka melesat sebuah

bayangan, dan tahu-tahu seseorang berdiri

menghadang. Ternyata dia seorang laki-laki

memakai baju tanpa lengan. Bagian dada dan

perut dibiarkan terbuka. Warnanya sudah pudar,

dan celana yang dikenakan hanya sebatas lutut.

Sebuah caping bambu berukuran besar

bertengger di kepala, menutupi hampir seluruh

wajahnya. Rombongan berkuda itu langsung

berhenti.


"He! Siapa kau? Minggir...!" bentak Pendeta

Aji saka.

"Kalian menuju arah yang salah. Orang yang

kalian buru tidak ada lagi di sini," berat terdengar

suara orang itu sambil tetap berdiri tegak tanpa

bergeming sedikit pun.

"Aku peringatkan sekali lagi padamu, keparat

Minggir...!" bentak Pendeta Ajisaka menggeram.

"Hmmm….Pakaianmu seperti seorang

pendeta, tapi bicaramu tidak lebih dari bajingan!"

gumam orang itu dingin.

"Setan alas!Hiyaaat...!"

Pendeta Ajisaka tidak dapat lagi menahan

amarahnya. Secepat kilat dia melompat dari

punggung kudanya, langsung menerjang orang

bercaping besar itu. Namun hanya sedikit

mengegoskan tubuhnya, terjangan Pendeta

Ajisaka luput dari sasaran. Bahkan tanpa diduga

sama sekali, orang bercaping itu mengibaskan

tangannya. Akibatnya, kibasan itu telak

menghantam punggung laki-laki tua gundul itu.

"Ughk..!" Pendeta Ajisaka mengeluh tertahan.

Seketika itu juga Pendeta Ajisaka tersuruk

jatuh mencium tanah. Namun secepat kilat

mampu bangkit berdiri, dan kembali menyerang

diikuti kibasan untaian tasbih dari batu hitam

yang keras. Laki-laki bercaping itu melompat

mundur menghindari kibasan tasbih Pendeta

Ajisaka. Namun laki-laki tua gundul itu tidak


berhenti sampai di situ saja. Kembali dirangsek

orang bercaping itu dengan jurus-jurus maut yang

cepat dan dahsyat luar biasa.

Sebentar saja pertarungan sudah berjalan

lebih dari lima jurus. Dan memasuki jurus ke

enam, tampak kalau Pendeta Ajisaka semakin

terdesak hebat. Dua pukulan keras tidak dapat

dibendung lagi. Laki-laki gundul itu memekik

keras agak tertahan. Tubuhnya terlontar cukup

jauh, hingga menghantam sebongkah batu besar

berlumut. Batu itu hancurberkeping-keping.

Pendeta Ajisaka menggerung kesakitan

bercampur marah yang meluap. Dia berusaha

bangkit berdiri, tapi laki-laki bercaping itu sudah

melompat cepat. Bahkan kaki kirinya kini telah

menginjak tenggorokan Pendeta Ajisaka. Pada

saat itu, Singo Barong dan Macan Badak

melompat turun dari punggung kudanya.

"Berani mendekat, tua bangka gundul ini

mampus!" ancam orang bercaping itu.

Singo Barong dan Macan Gadak tidak jadi

melangkah mendekati. Sementara Pendeta

Ajisaka tampak tersengal, karena tenggorokannya

tertangsal kaki orang bercaping bambu yang

menutupihampir seluruh wajahnya.

"Bawa tikus-tikusmu pulang dan tua bangka

botak ini tetap bersamaku!" kata orang bercaping

itu lagi. Nadanya tetap tajam dan terdengarberat.


"Ghrrr...!" Singo Barong menggeram marah.

Wajahnya sudah memerah bagai terbakar.

Sepasang bola matanya berkilat membara.

Macan Gadak yang kelihatannya lebih sabar,

menarik tangan Singo Barong, lalu mengajaknya

mundur. Dengan terpaksa, Singo Barong bergerak

mundur mendekati kudanya kembali.

"Dengar! Jika kalian menginginkan dia hidup,

maka harus ditukar dengan Dewi Mustikaweni!"

kata orang bercaping itu lagi. Lantang sekali nada

suaranya.

"Keparat...!" geram Pendeta Ajisaka.

"Diam, monyet!" bentak orang bercaping itu

sambil menekan kakinya yang menginjak

tenggorokan Pendeta Ajisaka.

"Akh!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan.

Batang tenggorokannya terasa sakit, seperti akan

patah semua tulang-tulang lehernya. Injakan kaki

orang bercaping itu demikian kuat sehingga

Pendeta Ajisaka benar-benar tidak berdaya lagi.

Hanya bola matanya saja bersinar penuh

kemarahan.

"Kakang Singo...," ujar Macan Gadak seraya

menepuk pundak Singo Barong.

“Huh! Phuih...!" Singo Barong menyemburkan

ludahnya.

Tidak ada pilihan lain bagi mereka mengingat

keselamatan Pendeta Ajisaka. Sekali tekan saja,

leher laki4aki tua berkepala gundul itu bisa



remuk. Macan Gadak dan Singo Barong

melompat naik ke punggung kudanya masing-

masing, kemudian memerintahkan orang-

orangnya untuk kembali.

Rombongan berkuda itu bergerak pergi. Orang

bercaping itu memandangi sampai rombongan

berkuda itu tidak terlihat lagi. Hanya debu yang

masih berkepul membumbung tinggi ke udara.

Dilepaskan injakan kakinya pada leher Pendeta

Ajisaka, lalu dengan cepat ditotok jalan darahnya.

Pendeta Ajisaka mengeluh pendek. Seketika itu

juga tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa

digerakkan lagi. Laki-laki tua itu hanya bisa

mengumpat, memaki, dan menyumpah dalam

hati.

Orang bercaping itu mengambil sulur pohon

yang cukup kuat dan panjang, lalu mengikat

kedua kaki Pendeta Ajisaka. Kemudian

dilemparkan ujung satunya ke atas dahan yang

melintang cukup tinggi. Ringan sekali tubuhnya

melenting tinggi ke angkasa, lalu hinggap di

cabang pohon itu.

"He...! Apa yang kau lakukan...?" seru Pendeta

Ajisaka tersentak kaget.

Tapi belum juga ada jawaban, tubuh laki-laki

tua berjubah kuning gading itu terangkat naik.

Kini tubuhnya tergantung dengan kepala di

bawah. Pendeta Ajisaka menyumpah dan

memaki-maki dengan berang. Orang bercaping

besar itu meluruk turun. Indah sekali


gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara

sedikit pun, dia mendarat di bawah tubuh

tergantung terbalik.

"Keparat! Kubunuh kau!" geram Pendeta

Ajisaka berang.

"Bagaimana kau akan membunuhku, Pendeta

murtad? Sebentar lagi kau akan terbang ke

neraka," ejek orang bercaping itu seraya

melepaskan tudung anyaman bambu dari

kepalanya.

Tampak seraut wajah tampan berkulit kurung

langsat terlihat begitu caping besar terlepas.

Caping itu bertengger di punggungnya. Dengan

gerakan yang lembut dan cepat, dibukanya

totokan di tubuh Pendeta Ajisaka. Laki-laki tua

gundul berjubah kuning gading itu kini bisa

bergerak lagi. Tapi seluruh tubuhnya jadi

kesemutan, bergetarnyeri.

"Aku yakin, mereka tidak akan mempedulikan

dirimu. Nah! Berdoalah agar kau lancar menuju

ke neraka, Pendeta murtad," ujar pemuda itu

tersenyum lebar.

Sambil tertawa berderai, pemuda itu berbalik

dan melangkah. Pendeta Ajisaka mengumpat dan

memaki habis-habisan. Sambil berusaha

melepaskan diri dari ikatan di kedua kakinya.

Tapi seluruh tubuhnya terasa sakit, seperti

dikerubuti jutaan semut yang menggigiti seluruh

tubuhnya. Sedangkan pemuda berwajah tampan


itu menghenyakkan dirinya duduk di atas batang

pohon tumbang.

Pemuda itu melepaskan capingnya. Dari

dalani caping itu dikeluarkan selembar baju, lalu

dikenakannya tanpa membuka baju yang telah

dikenakan sebelumnya. Kemudian dipermak

wajahnya, sehingga kelihatan buruk, dan....

"Gagak Codet...!" desis Pendeta Ajisaka begitu!

pemuda itu memasang sebentuk kulit kering pada

pipi kirinya, sehingga menyerupai luka

memanjang.

"Kau terkejut, Pendeta Ajisaka?" pemuda yang

kini sudah berubah wajahnya itu tersenyum

menyeringai.

"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pendeta

Ajisaka.

"Kau kenali ini, Pendeta murtad?" pemuda

yang sudah berganti wajah yang dikenal bernama

Gagak Codet, mengeluarkan seuntai kalung dari

balik sabukyang melilit pinggangnya.

Kedua mata Pendeta Ajisaka membeliak lebar

begitu melihat seuntai kalung berbentuk kepala

naga dengan mata dari batu merah bercahaya.

Kalung itu dibuat dari emas mumi berhiaskan

butiran intan berlian. Sambil tersenyum

menyeringai, Gagak Codet menyimpan kembali

kalung itu ke dalam sabuknya.

"Ha ha ha ha....'" pemuda itu tertawa

terbahak-bahak, lalu melangkah pergi dengan

tenangnya.

Sedangkan Pendeta Ajisaka jadi terbengong

memandangi punggung pemuda itu. Sebentar

wajahnya berubah memerah dan pucat pasi.

Tentu saja dia kenal betul dengan untaian kalung

berbentuk kepala naga mata merah itu. Bahkan

tidak akan dilupakan seumur hidupnya. Dan

kalung itu kini berada di tangan seorang pemuda

tampan yang menyamar menjadi seorang laki-laki

berwajah buruk yang memiliki luka codet

memanjang di pipi kirinya. Pemuda yang lebih

dikenal bernama Gagak Codet.

"Ohhh....," Pendeta Ajisaka mengeluh panjang.

"Dewata Yang Agung..., tidakkah aku bermimpi...?

Apakah dia masih hidup?"

Sebentar Pendeta Ajisaka memejamkan

matanya, kemudian kelopak matanya terbuka

kembali. Pemuda yang dikenal bernama Gagak

Codet itu sudah tidak terlihat lagi bayangan

tubuhnya. Pendeta Ajisaka kemudian

mengerahkan hawa murni yang terpusat pada

tubuhnya. Pedahan-lahan hawa panas mulai

menjalar ke dalam aliran darahnya, dengan cepat

dikebutkan untaian tasbihnya ke arah sulur kayu

yang mengikat kakinya.

Tas...! Bruk!

"Heghk!" Pendeta Ajisaka mengeluh pendek

begitu tubuhnya terbanting keras ke tanah.


Buru-buru laki-laki tua itu membuka ikatan

pada kakinya, kemudian bangkit berdiri. Dan

belum juga berdiri tegak, seekor kuda berpacu

cepat ke arahnya. Tampak Singo Barong memacu

cepat kudanya menghampiri. Tampak jauh di

belakang serombongan orang berkuda menyusul.

Sedangkan Singo Barong langsung melompat

turun dari punggung kudanya dan menghampiri

Pendeta Ajisaka.

"Paman tidak apa-apa?"ujarSingo Barong.

"Gundulmu!" rungut Pendeta Ajisaka.

"Mana kudaku?”

"Ada di belakang!"

"Huh!"

***


5

Suara seruling mengalun lembut terbawa

angin senja yang berhembus perlahan. Suara

merdu itu terus menyusup melewati pepohonan,

terpantul dinding tebing dan bebatuan. Alunan

irama yang begitu lembut dan nyaman didengar,

membangkitkan Dewi Mustikaweni dari

pembaringannya. Gadis itu melangkah mendekati

jendela, dan membukanya lebar-lebar.

Alunan irama suara seruling itu semakin

terdengar jelas dan merdu mengusik gendang

telinga gadis itu. Dewi Mustikaweni mengedarkan

pandangannya ke sekeliling, seakan hendak

mencari sumber suara seruling itu. Tatapannya

langsung terpaku pada sebatang pohon tinggi di

luar batas tembok yang cukup tinggi mengelilingi

bangunan besar dan megah bagai istana ini.

Pada salah satu dahan pohon itu, terlihatlah

seseorang tengah duduk mencangkuk meniup

seruling bambu. Wajahnya tidak begitu jelas

karena tertutup sebuah caping anyaman bambu

yang cukup lebar. Dia hanya mengenakan baju

tanpa lengan. Bagian dada dan perutnya

dibiarkan terbuka lebar. Warnanya juga sudah

kumal, dan celananya hanya sebatas lutut saja.

Dewi Mustikaweni memandanginya tidak

berkedip. Orang itu menoleh dan menghentikan

tiupan serulingnya.


"Oh...!" Dewi Musrikaweni terperanjat begitu

orang itu membuka capingnya.

Tampak seraut wajah tampan berkulit putih

langsat tersenyum mempesona. Pemuda itu

menatapnya lekat-lekat. Sesaat Dewi

Mustikaweni jadi gelagapan, buru-buru

dipalingkan mukanya ke arah lain. Tapi tanpa

diduga sama sekali pemuda itu melesat dan tahu-

tahu sudah berdiri di depan jendela kamar itu.

"Oh...!" Dewi Musrikaweni terperanjat kaget

Dewi Musrikaweni melangkah mundur. Dan

ingin menutup jendela kamarnya. Pemuda itu

sudah keburu menahan. Bahkan malah melompat

masuk ke dalam. Buru-buru ditutupnya jendela

setelah berada di dalam kamar itu. Dewi

Mustikaweni semakin terperanjat sambil

melangkah mundur sampai kakinya menyentuh

pembaringan. Wajahnya seketika pucat pasi, dan

bola matanya berputar.

"Jangan takut Weni. Aku tidak akan berbuat

buruk padamu. Aku hanya ingin memastikan

kalau kau baik-baik saja," ujar pemuda itu

lembut.

"Siapa kau?" tanya Dewi Musrikaweni agak

bergetar suaranya.

"Arga Yuda," sahut pemuda itu lembut.

"Aku tidak kenal denganmu. Mengapa kau ke

sini?"

"Karena ingin membawamu keluar dari

lumpur neraka ini," kata pemuda yang ternyata


Arga Yuda seorang putra mahkota dari Kerajaan

Gelang Wesi.

"Oh..., tidak...," desisDewi Musrikaweni.

"Jangan khawatir, Weni. Bukan sekarang

waktunya. Tapi nanti. Percayalah, aku tidak

bermaksud buruk padamu. Aku akan

membawamu pada ayahmu," jelas Arga Yuda

tetap lembut nada suaranya.

"Ayahku...?"

'Ya. Ayahmu."

"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu?"

"Sayang, tidak ada waktu untuk menjelaskan.

Oh, ada orang datang ke sini. Maaf, aku harus

pergi."

"He, tunggu...!"

Tapi Raden Arga Yuda sudah lebih cepat

membuka jendela dan melompat keluar. Begitu

cepatnya melesat, sehingga meskipun Dewi

Mustikaweni memburu, pemuda itu sudah lenyap

dari pandangan. Dewi Musrikaweni mengarahkan

pandangannya ke pohon, tapi tidak ada apa-apa

lagi di sana. Gadis itu menoleh ketika mendengar

suara ketukan di pintu kamarnya.

“Ya, siapa...?" bergegas Dewi Musrikaweni

melangkah ke pintu.

Sura Antaka menerobos masuk begitu pintu

terbuka. Dewi Mustikaweni tertegun

memandanginya. Laki-laki setengah baya itu

langsung melongok keluar jendela, lalu

memandangi setiap sudut kamar ini


"Siapa yang masuk sini tadi?" tanya Sura

Antaka.

"Tid.... Tidak ada siapa-siapa, Ayah," sahut

Dewi Musrikaweni tergagap. Hatinya sungguh

terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Aku mendengar kau tengah bicara dengan

seseorang. Siapa dia, Weni?" desak ayahnya.

"Aku.... Aku bicara sendiri, Ayah," masih

tergagap suara Dewi Mustikaweni.

"Hm..., wajahmu pucat. Kau tidak

mendustaiku, Weni?" selidik Sura Antaka tidak

percaya.

"Tidak, Ayah. Sungguh, aku tadi bicara

sendiri," Dewi Musrikaweni berusaha

menyakinkan ayahnya.

"Hm...," Sura Antaka menggumam tidak jelas.

Tatapan matanya menusuk langsung

mengandung kecurigaan yang dalam. Dewi

Mustikaweni hanya tertunduk saja. Kegelisahan

menyelimuti hatinya. Kepalanya masih tertunduk

saat ayahnya melangkah menghampiri pintu.

Laki-laki setengah baya itu menoleh sebelum

melangkah keluar.

"Tutup jendelanya, Weni. Aku tidak suka kau

menyembunyikan orang di kamarmu," kata Sura

Antaka.

"Baik, Ayah."

Sura Antaka melangkah keluar. Dewi

Mustikaweni bergegas menutup pintunya, lalu


menarik napas panjang seraya memejamkan

matanya. Kemudian kakinya melangkah menuju

jendela, lalu menutupnya. Gadis itu berbalik,

melangkah menghampiri pembaringan. Sambil

mendesah panjang, dibanting tubuhnya ke

pembaringan. Sejak peristiwa di tepi danau, Sura

Antaka melarang gadis itu keluar dari kamarnya

kalau tidak disertai pengawalan ketat. Terlebih

lagi kalau keluar dari bangunan bagai istana ini.

Tidak kurang dari lima puluh orang ketat

mengawalnya.

Dewi Mustikaweni semakin merasakan

dirinya bagai hidup dalam sangkar emas

berlumpur. Ke mana pun pergi, selalu ada

pengawal membuntuti. Bahkan emban

pengasuhnya saja tidak lagi bisa bebas bepergian.

Dewi Mustikaweni menarik napas panjang dan

menghembuskannya kuat-kuat. Hidupnya

semakin terasa sunyi

***

Hari-hari buruk rupanya membayangi Sura

Antaka bersama semua orang-orangnya. Setiap

kali membegal, selalu gagal. Bahkan tidak sedikit

orangnya tewas atau tertangkap prajurit

Kerajaan Gelang Wesi. Sura Antaka jadi tidak

habis mengerti, setiap rencananya selalu saja

bocor dan dapat diketahui.


Kalau hanya prajurit kerajaan saja, tidak

menjadi persoalan baginya. Tapi yang membuat

berang adalah munculnya seorang pemuda

berkulit harimau dan seorang laki-laki bercaping.

Mereka kerap menggagalkan aksinya, bahkan

menewaskan banyak anakbuahnya.

Nama Pendekar Pulau Neraka dan Pendekar

Caping Bambu menjadi momok bagi Sura Antaka

dan semua pengikutnya. Bahkan Pendeta Ajisaka

jadi lebih banyak diam dan meyendiri sejak

digantung dengan kepala di bawah oleh orang

bercaping yang menabah dirinya menjadi Gagak

Codet. Bahkan sebenarnya wajahnya cukup

tampan bagai putra mahkota.

"Mungkinkah dia Arga Yuda...," desah Pendeta

Ajisaka siang itu saat duduk sendiri di pinggir

kolam taman belakang kediaman Sura Antaka

yang bagaikan istana itu.

"Dia sudah mati, Paman," tiba-tiba terdengar

suara dari belakang.

"Oh!" Pendeta Ajisaka terkejut, langsung

membalikkan tubuhnya.

Sura Antaka menghampiri dan duduk di

samping laki-laki tua berkepala gundul yang

selalu memakai jubah kuning gading itu. Pendeta

Ajisaka menggeser duduknya merenggang.

"Kenapa kau ingat-ingat bocah setan itu lagi,

Paman?" tegur Sura Antaka. Nada suaranya

terdengar kurang senang.


"Maaf, Adi Sura Antaka. Aku hanya

bergumam saja tadi," ujar Pendeta Ajisaka yang

selalu memanggil adik pada Sura Antaka jika

hanya berdua saja. Tapi di depan orang lain, dia

akan selalu menyebut Yang Mulia pada Sura

Antaka.

"Kau jauh berubah beberapa hari ini, Paman.

Sering menyendiri. Bahkan beberapa ku dengar

kau menyebut-nyebut nama Arga Yuda," kata

Sura Antaka.

"Hhh....!" Pendeta Ajisaka menarik napas

panjang.

"Ada yang mengganggu pikiranmu, Paman?"

"Sedikit," desah Pendeta Ajisaka.

"Katakanlah. Mungkin aku bisa membantu."

"Kau sudah terlalu banyak menanggung

beban, Adi Sura Antaka. Rasanya tidak pantas

kalau aku juga ikut membebani pikiranmu.

Biarlah semua persoalan ini aku sendiri yang

menyeselaikan," tolak Pendeta Ajisaka halus.

"Persoalanmu adalah juga persoalanku,

Paman. Aku tahu, belakangan ini aksi kita selalu

gagal. Aku merasa di antara orang-orang kita ada

yang berkhianat, dan selalu membocorkan setiap

rencana penyergapan. Aku memang berang, tapi

juga harus mencari jalan keluar yang terbaik. Aku

tidak ingin Partai Naga Merah hancur begitu saja,

karena ada pengkhianat yang menyusup," kata

Sura Antaka. Pendeta Ajisaka diam saja.


"Paman, kau selalu menyebut-nyebut nama

Arga Yuda. Apakah...."

"Anak itu masih hidup, Adi Sura Antaka,"

potong Pendeta Ajisaka cepat.

"Mustahil!" desisSura Antaka tidak percaya.

"Kau ingat ketika aku digantung, Adi Sura?

Waktu itu aku bersama Macan Gagak dan Singo

Barong serta beberapa orang berusaha mengejar

Pendekar Pulau Neraka yang menghina dan

membangkang undanganmu. Belum sampai ke

danau, seorang bercaping mencegat.

Kepandaiannya sangat tinggi. Aku berhasil di-

kalahkannya, lalu aku digantung, Adi Sura," kata

Pendeta Ajisaka mulai terbuka.

"Hm, ya. Aku sudah mendengar itu."

"Tidak ada yang tahu, Adi Sura. Aku yakin

orang bercaping itu pasti Arga Yuda.

"Kau tidakbergurau, Paman Ajisaka...?!"

"Sungguh, Adi Sura. Itulah yang menjadi

beban pikiranku saat ini. Arga Yuda begitu pandai

menyamar. Aku yakin kalau dia mudah

menyusup ke sini, dan mengetahui semua

rencana kita. Jadi bukan ada pengkhianatan, tapi

memang ada penyusup yang masuk tanpa kita

ketahui."

"Hm.... Kenapa baru sekarang kau katakan

ini, Paman?"Sura Antaka sedikit menyesali

"Aku masih mencari bukti kuat, Adi Sura."


"Keyakinanmu sudah menjadi bukti kuat,

Paman. Hmmm..., aneh! Bagaimana mungkin

bocah itu bisa hidup?"

"Bukan hanya bisa hidup, Adi Sura. Bahkan

telah mempunyai kalung lambang kebesaran

Partai Naga Merah."

"Apa...?!" Sura Antaka terkejut setengah mati

mendengarnya, bahkan sampai terlonjak bangkit

berdiri.

"Dia menunjukkan kalung itu padaku,"

sambung Pendeta Ajisaka.

"Mustahil! Tapi..."

Sura Antaka bergegas melangkah menuju

suatu bangunan kecil yang terbuat dari dinding

batu hitam. Pendeta Ajisaka mengikutinya dari

belakang. Dua orang penjaga bersenjata tombak

membungkuk memberi hormat dan salah seorang

bergegas membuka pintu dari besi baja yang

kokoh. Sura Antaka melangkah masuk, diikuti

Pendeta Ajisaka.

Udara lembab dan pengap langsung

menyeruak, tapi kedua laki-laki itu terus

melangkah menuruni undakan batu menuju ke

bagian bawah. Mereka berhenti setelah tiba di

depan sebuah pintu dari lempengan baja putih.

Sura Antaka membuka pintu itu. Suara bergerit

terdengar nyaring saat pintu itu terkuak.

Seberkas cahaya menerobos menerangi ruangan

kecil berdinding dan beratap batu hitam.


"Keparat..!" geram Sura Antaka seraya

menengadah menatap lubang yang menganga

lebar pada bagian atas ruangan kecil ini.

"Sudah kuduga, Adi Sura. Bocah itu pasti bisa

lolos," tegas Pendeta Ajisaka.

'Tidak mungkin! Pasti ada yang menolongnya.

Lima belas tahun terkurung di sini, mustahil

kalau dia masih hidup!" dengus Sura Antaka

menggeram.

Laki-laki setengah baya itu menatap Pendeta

Ajisaka dalam-dalam, sedangkan yang ditatap

malah membalas dengan tajam pula. Kemudian

mereka mendongak ke atas, lalu hampir

bersamaan melesat naik ke atas lubang itu.

Sebentar saja mereka sudah berada di luar, tepat

di luar pagar tembok yang membentengi

bangunan besar bagai istana itu.

"Emban Bulem...!" desis Sura Antaka. "Hanya

dia yang kuijinkan masuk ke sini."

"Di mana dia?" tanya Pendeta Ajisaka.

"Di... Mustikaweni..!"

Sura Antaka langsung melompat melewati

pagar tembok. Pendeta Ajisaka mengikuti dengan

gerakan tangkas dan ringan. Sekejap saja kedua

laki-laki itu sudah lenyap di balik dinding tembok

yang mengelilingi rumah besar bagai istana itu.

***


"Weni....' Mustjkaweni...!" teriak Sura Antaka

sambil menggedor pintu kamar yang tertutup

rapat.

Gedoran yang keras itu tidak juga membuka

pintu kamar tersebut. Pendeta Ajisaka menahan

tangan Sura Antaka. Sebentar ditatapnya laki-

laki setengah baya itu. Sura Antaka melangkah

mundur, dan Pendeta Ajisaka menghentakkan

tangannya ke depan disertai pengerahan tenaga

dalam penuh.

Brak!

Pintu tebal dari kayu jati itu hancur seketika.

Pendeta Ajisaka dan Sura Antaka langsung

menerobos masuk, dan langsung tercengang.

Ternyata di dalam kamar ini tidak ada seorang

pun. Sura Antaka bergegas ke jendela yang

terbuka. Matanya membeliak begitu melihat tiga

orang berpakaian merah bergambar naga di dada

telah tergeletak berlumuran darah di bawah

jendela.

"Paman, perintahkan semua yang ada. Cari

dan kejar anakku!" seru Sura Antaka berang.

"Baik," sahut Pendeta Ajisaka.

Laki-laki tua itu bergegas melangkah keluar.

Sedangkan Sura Antaka menyandarkan

tubuhnya ke dinding di samping jendela. Sebentar

matanya terpejam, kemudian terbuka lagi.

Tangannya terkepal erat. Dengan kemarahan



yang meluap, dihantamnya dinding kamar ini

hingga jebolberantakan.

Sura Antaka bergegas keluar dari kamar itu.

Langkahnya cepat dan lebar-lebar. Wajahnya

memerah, pertanda hatinya sedang terselimut

amarah yang luar biasa. Laki-laki setengah baya

itu langsung menuju ruangan depan. Di sana

Pendeta Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo Barong

sudah menunggu. Dari pintu ruangan depan ini

terlihat hampir seratus orang berbaris menunggu

perintah. Mereka semua berseragam merah

dengan sulaman gambar naga pada dadanya.

"Semua sudah siap, Yang Mulia," ujar Pendeta

Ajisaka seraya menjura memberi hormat

"Pecah bagi empat dan menyebar ke empat

jurusan!" perintah Sura Antaka.

Ketiga orang itu menjura memberi hormat,

lalu bergegas melangkah keluar. Tidak berapa

lama, terdengar beberapa suara bernada perintah.

Dan barisan berseragam merah itu segera

memisahkan diri menjadi empat kelompok.

Pendeta Ajisaka berdiri di depan kelompok paling

kanan, disusul Macan Gadak, dan Singo Barong.

Sedangkan sekelompok lagi akan ikut bersama

Sura Antaka.

"Dengar kalian semua...!" kata Sura Antaka

lantang begitu sudah berada di luar. "Ku ijinkan

kalian membunuh siapa saja yang ada bersama

Putri Dewi Mustikaweni!"

Semua orang menjura memberihormat.


"Berangkat sekarang!" perintah Sura Antaka

tegas.

Tiga kelompok yang masing-masing dipimpin

tiga orang kepercayaan Sura Antaka, segera

bergerak. Sedangkan Sura Antaka sendiri

menghenyakkan tubuhnya di kursi di beranda

depan ini. Sekitar dua puluh lima orang masih

berbaris rapi menunggu perintah. Mereka semua

memegang tombak panjang dan sebilah pedang

tergantung di pinggang. Sura Antaka merayapi

dua puluh lima orang anak buahnya yang setia

tengah menanti perintah.

"Kalian semua tetap di sini. Jangan terlalu

jauh dari rumah ini. Mengerti...?!" kata Sura

Antaka tegas.

"Mengerti, Yang Mulia....'" sahut mereka

serempak seraya membungkukkan badan.

Sura Antaka mengibaskan tangannya. Maka

sekitar dua puluh lima orang berseragam merah

itu serentak bergerak mencari tempat untuk

menjaga junjungannya. Sementara Sura Antaka

masih tetap duduk di kursinya. Pandangannya

kosong lurus ke depan.

"Hhhh...! Mungkinkah semua ini awal

kehancuranku? Tidak! Aku tidak boleh putus asa.

Partai Naga Merah tidak boleh hancur dan harus

tetap kuat!" desis Sura Antaka pelahan, namun

terdengar agak tertekan nada suaranya.

***


6

Sementara itu, di sebuah hutan yang cukup

jauh dari tempat tinggal Sura Antaka atau yang

lebih dikenal sebagai sarang Partai Naga Merah,

tampak Dewi Mustikaweni melangkah terseret

bersama seorang perempuan gemuk. Jelas dia

adalah Emban Bulem, pengasuh gadis cantik itu.

Beberapa kali kaki Dewi Mustikaweni terantuk

akar, dan terjatuh. Tapi Emban Bulem segera

menarik, dan menyeretnya agar terus berjalan.

"Aku letih, Bi. Istirahat dulu...," rintih Dewi

Mustikaweni kepayahan. Keringat membanjiri

wajah dan lehernya yang jenjang berkulit halus.

Sepasang pipinya merona merah karena

kelelahan.

Emban Bulem berhenti melangkah.

Ditatapnya dalam-dalam bola mata bulat yang

dihiasi bulu mata lentik itu. Dewi Mustikaweni

menyeka keringat dengan sapu tangan berwarna

merah muda. Napasnya terengah mendengus-

dengus.

"Kau terlalu manja, Mustikaweni. Inilah

akibatnya malas berlatih ilmu olah kanuragan!"

dengus Emban Bulem.

"Bi...!" sentak Dewi Mustikaweni terkejut

mendengar nada suara agak kasar dari emban

pengasuhnya ini.



"Ayo cepat jalan, sebelum mereka tahu!"

sentak Emban Bulem.

"Aku letih, Bi...," rengek Dewi Mustikaweni.

"Kebebasanmu sudah dekat, Weni. Jangan sia-

siakan kesempatan ini. Ibu dan kakakmu sudah

cemas menunggu. Ayo jalan lagi," bujuk Emban

Bulem.

"Bi..., aku tidak mengerti maksudmu. Akan

dibawa ke mana aku...?" tanya Dewi Mustikaweni

seraya mengayunkan kakinya kembali.

Kali ini Emban Bulem tidak lagi menyeretnya.

Mereka berjalan berdampingan menerobos

lebarnya hutan. Semakin jauh berjalan, semakin

sukar untuk ditempuh. Hutan ini bertambah

rapat, dan berudara lembab. Begitu rapatnya,

sehingga sinar matahari tidak sanggup

menembusnya. Dewi Mustikaweni agak getir juga

hatinya. Belum pernah dimasuki hutan sampai

sejauh ini. Dia takut kalau-kalau bertemu

binatang buas.

"Bi, tolong jelaskan. Kenapa kau lakukan

semua ini padaku...?" rengek Dewi Mustikaweni

masih belum mengerti sikap emban pengasuhnya

ini.

"Dengar, Weni. Sebenarnya aku ini adalah

adik kandung ibumu. Waktu Padepokan Naga

Merah yang kini menjadi Partai Naga Merah

hancur, aku menyamar jadi seorang pembantu.

Untungnya Sura Antaka tidak kenal jati diriku,



sehingga mengijinkan aku untuk mengasuhmu.

Waktu itu usiamu baru satu tahun, Weni. Dan

kau punya kakak yang berusia lima tahun pada

waktu itu. Laki-laki.... Ibumu dan kakakmu

berhasil meloloskan diri, sedangkan ayahmu yang

sebenarnya telah tewas di tangan Sura Antaka...,"

Emban Bulem mencoba menjelaskan.

"Sungguhkah itu, Bi?" tanya Dewi

Mustikaweni kurang percaya.

"Kau akan tahu nanti, Weni. Aku hanya bisa

menceritakan sedikit. Kau tahu, daerah ini masih

termasuk wilayah Kerajaan Gelang Wesi. Gusti

Prabu Nayadarma adalah pamanmu, kakak

ayahmu. Mereka masing-masing punya pilihan

sendiri. Gusti Nayadarma lebih senang pada hal-

hal pemerintahan. Sedangkan ayahmu lebih suka

menjadi pertapa, dan memimpin sebuah

padepokan yang didirikan atas usahanya sendiri.

Padepokan Naga Merah cepat berkembang pesat

Tapi seorang kepala gerombolan perampok telah

mengacaukannya. Direbutnya wilayah Padepokan

Naga Merah, lalu dijadikannya sarang

gerombolannya yang dinamakan Partai Naga

Merah. Kepala gerombolan perampok itu adalah

Sura Antaka."

"Ayah...?!"

"Dia bukan ayahmu, Weni. Sura Antaka masih

terhitung saudara ayahmu. Tapi hanya saudara

jauh. Dia iri dan dengki terhadap ayahmu yang

berhasil menjadi seorang pertapa dan guru besar


sebuah padepokan. Sura Antaka kemudian lari

dari istana dan berkelana menjadi kepala begal.

Kebenciannya semakin menjadi begitu

mendengar gadis yang sudah lama diinginkannya

dipersunting ayahmu. Gadis itu adalah ibumu,

Weni. Sura Antaka kemudian menghancurkan

Padepokan Naga Merah, dan membunuh

ayahmu. Ibumu hendak direbutnya juga, tapi

gagal. Dia hanya berhasil menawan kakakmu dan

dirimu, Weni."

"Kenapa dia tidak membunuhku saja, Bi?"

tanya Dewi Mustikaweni.

'Tidak. Karena aku telah memohon dan

berjanji untuk selalu setia serta merawatmu

dengan baik. Aku janji untuk tidak membocorkan

semua rahasia ini. Tapi aku jadi merasa tertekan

dan berdosa. Terlebih lagi setelah kau dewasa,

Weni. Dan sekarang kakakmu sedang berusaha

mengeluarkanmu darineraka lumpur ini."

"Kakakku...? Kau katakan tadi kakakku juga

tertawan, Bi," Dewi Mustikaweni meminta

penjelasan.

"Benar. Kakakmu tertawan dan dijebloskan

dalam penjara bawah tanah. Penjara yang

sebenarnya tempat bersamadi ayahmu dulu.

Berkat upayaku pula, Sura Antaka

mengijinkanku untuk memberinya makan dan

minum setiap hari. Dalam pekan-pekan pertama,

memang selalu ada pengawal yang menjaga

tempat itu sampai ke dalam. Tapi setelah lewat


tiga purnama, aku bisa masuk sendirian tanpa

dikawal seorang penjaga pua Di situ aku pun

berusaha membebaskan kakakmu dengan jalan

menjebol dinding atas yang kuketahui langsung

berhubungan dengan lingkungan luar. Tapi

sebelum itu, diam-diam aku juga telah memberi-

tahu pihak Kerajaan Gelang Wesi. Maka

pamanmu pun segera mengirimkan dua orang

panglimanya untuk menunggu. Kakakmu

selamat sampai di Kerajaan Gelang Wesi dan

telah berkumpul bersama ibunya. Ibumu juga,

Weni."

Dewi Mustikaweni terdiam, tidak tahu lagi

harus berkata apa lagi. Semua cerita perempuan

gemuk itu sungguh meresap, langsung masuk ke

dalam relung hatinya. Diam-diam Dewi

Mustikaweni menghubung-hubungkannya

dengan semua yang dilihat dan dialaminya

selama berada dalam sangkar emas berlumpur

itu, hingga peristiwa yang terjadi belakangan ini.

"Aku tidak mendesakmu agar percaya

sekarang juga, Weni. Kau akan tahu sendiri

nanti," kata Emban Bulem lagi.

"Entahlah, Bi. Aku tidak tahu," desah Dewi

Mustikaweni.

Mereka terus berjalan tanpa ada yang bicara

lagi.

***


Senja sudah mulai turun dalam pelukan bumi.

Sinar matahari tidak lagi terik menyengat. Dua

orang wanita masih terus berjalan tanpa

beristirahat. Mereka sudah mulai memasuki

tempat terbuka. Pohon-pohon tidak lagi rapat, dan

sinar matahari senja menghangati kulit mereka.

Tapi mendadak....

"Berhenti...!"

"Bi...," tergetar suara Dewi Mustikaweni begitu

tiba-tiba di depan mereka muncul Singo Barong

bersama dua puluh lima orang berseragam merah

bersulaman gambarnaga pada bagian dadanya.

"Emban Bulem..., pengkhianat busuk!" geram

Singo Barong.

"Aku bukan pengkhianat, setan!" bentak

Emban Bulem ketus.

"Heh!" Singo Barong berjingkrak kaget

mendengarbentakan keras wanita gemuk itu.

"Berani benar kau membentakku, perempuan

keparat!"

"Kau pikir aku takut? Majulah!" tantang

Emban Bulem.

Singo Barong semakin terperanjat begitu tiba-

tiba saja Emban Bulem melepaskan selendang

kuning yang membelit pinggangnya. Cepat sekali

perempuan gemuk itu mengebutkannya ke arah

laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berwajah

kasar penuh berewok itu.

"Hup!"



Singo Barong melompat cepat menghindari

terjangan ujung selendang kuning itu. Tapi

ternyata seorang yang berada tepat di

belakangnya tidak bisa berkelit lagi Orang itu

menjerit keras melengking, lalu menggelepar

jatuh dengan dada terbelah tersambar ujung

selendang kuning itu.

"Setan keparat...! Rupanya kau punya

simpanan juga, heh?!" geram Singo Barong.

"Simpanan untuk mencabut nyawamu, Singo

Barong!"

"Edan! Mampus kau! Hiyaaat..!"

Singo Barong memuncak amarahnya.

Langsung dilentingkan tubuhnya, dan meluruk

deras ke arah Emban Bulem. Namun perempuan

gemuk itu lincah sekali mengebut-ngebutkan

selendangnya, menghalau serangan Singo Barong

Tentu saja hal ini membuat laki-laki tinggi kekar

itu menjadi kelabakan menghindari kebutan

selendang yang meliuk-liuk bagai memiliki mata

itu.

"Ghrrr...!" Singo Barong menggerung keras

bagai seekor binatang buas kelaparan.

Sementara itu, orang-orang yang mengenakan

seragam merah telah berlompatan membuat

lingkaran mengepung. Sedangkan Dewi

Mustikaweni tidak berani jauh-jauh dari

perempuan gemuk yang sibuk memainkan

selendangnya, mencecar Singo Barong.


"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Singo Barong

berteriak keras.

Dan pada. saat yang bersamaan, Emban bulem

mengebutkan selendangnya ke arah kaki. Tubuh

laki-laki tinggi kekar itu melenting ke atas, lalu

mendarat lunak di atas selendang kuning itu

Cepat sekali goloknya yang besar dan kelihatan

berat itu ditarik keluar.

"Hup! Hyaaa...!"

Wut!

Bret..!

Emban Bulem tersentak kaget begitu tiba-tiba

saja golok Singo Barong merobek selendangnya

tepat pada bagian tengah hingga terpotong jadi

dua bagian. Dan belum lagi hilang keterkejutan

perempuan gemuk itu, Singo Barong sudah

melompat bagaikan kilat. Goloknya dikibaskan

cepat mengarah ke leher.

"Uts! Haiiit...!"

Emban Bulem melompat mundur menghindari

tebasan golok itu. Tapi belum juga kakinya

menjejak tanah, riba-riba dari arah belakang,

meluncur sebatang j tombak panjang berwarna

merah darah. Dan tombak» itu langsung

menembus punggung wanita gemuk itu hingga

tembus ke dada.

"Aaaaa...!" Emban Bulem menjerit melengking

tinggi.

"Mampus kau!Hiyaaat...!"


Seketika itu juga Singo Barong mengebutkan

goloknya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi,

langsung menebas leher Bibi Emban Bulem

hingga buntung.

"Bibi...!" jeritDewi Mustikaweni.

Tubuh gemuk itu jatuh berdebum ke tanah.

Darah mengucur deras dari leher yang buntung,

sedangkan kepala perempuan gemuk itu

menggelinding terpisah. Singo Barong tertawa

terbahak-bahak melihat lawannya tewas seketika.

Sedangkan Dewi Mustikaweni yang tidak

sanggup melihat kejadian itu, langsung jatuh

pingsan saat itu juga.

"Bawa perempuan itu!" perintah Singo Barong.

Dua orang melangkah maju. Tapi belum juga

tubuh ramping itu sempat disentuh, mendadak

sebuah bayangan berkelebat menyambar tubuh

Dewi Mustikaweni yang tergeletak pingsan di

tanah. Tahu-tahu di tempat gadis itu tergeletak,

sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan

mengenakan baju kulit harimau. Badannya yang

kekar memondong tubuh ramping yang tidak

sadarkan diri.

"Aku muak melihat tikus-tikus busuk

bertingkah!” dingin nada suara pemuda berbaju

kulitharimau itu.

"Bocah edan! Siapa kau?" bentak Singo Barong

geram.


'Kau tidak perlu tahu siapa aku. Katakan saja

pada Sura Antaka kalau kehancurannya sudah

tiba!"

"Heh...!"

Tiba-tiba saja pemuda berbaju kulit harimau

itu melesat cepat bagaikan kilat. Sekejap saja

bayangan tubuhnya sudah lenyap. Singo Barong

dan yang lainnya jadi terperangah. Mereka seperti

melihat hantu yang muncul dan menghilang tiba-

tiba. Laki-laki kekar berwajah menyeramkan itu

cepat tersadar, lalu memerintahkan semua anak

buahnya untuk segera mengejar. Singo Barong

melompat cepat ke arah hilangnya pemuda

berbaju kulit harimau tadi, diikuti orang-orang

berseragam merah bergambar naga pada bagian

dadanya.

***

"Oh...," Mustikaweni merintih lirih.

Kepala gadis itu menggeleng pelahan, dan

kelopak matanya terbuka. Sebentar matanya

mengerjap, lalu tubuhnya menggelinjang bangkit

begitu menyadari dirinya berada di tempat yang

sangat asing dan belum dikenalnya. Gadis itu

semakin terkejut begitu melihat seorang pemuda

duduk bersila tidak jauh darinya.

"Kakang Bayu...," desis Dewi Mustikaweni

mengenali pemuda yang mengenakan baju dari

kulitharimau itu.



"Kau sudah bangun, Weni?" lembut suara

Baya

"Di mana aku?" tanya Dewi Mustikaweni

seraya memandang berkeliling.

Tempat ini tidak begitu besar, dan semua

dindingnya terbuat dari kulit kayu. Atapnya dari

daun-daun kering yang dirangkai oleh kulit kayu.

Gadis itu sendiri berada pada tumpukan rumput

kering di atas tanah lembab yang banyak

berserakan daun-daun kering.

"Cukup aman dari kejaran mereka," ujar Bayu

seperti bisa membaca jalan pikiran gadis itu.

Dewi Mustikaweni menatap pemuda itu

sesaat, lalu kepalanya tertunduk Kembali

terbayang semua peristiwa yang dialaminya, lalu

tiba-tiba saja dia menangis sesunggukkan.

Namun cepat-cepat dihapus air matanya dengan

ujung lengan bajunya. Dewi Mustikaweni

menarik napas panjang, mencoba mencari

kekuatan. Meskipun hatinya sedih karena

kematian emban pengasuh yang begitu setia dan

rela berkorban nyawa untuknya, tapi gadis itu

tidak ingin kelihatan cengeng lagi. Dia harus

tabah. Dia sudah tahu siapa dirinya, dan masalah

apa yang sedang dihadapinya sekarang ini.

"Kakang, bagaimana aku bisa sampai di sini?"

tanya dewi Mustikaweni.

"Hanya kebetulan aku lebih cepat dari

mereka,” sahut Bayu seenaknya.


"Oh, Bibi...," rintih Dewi Mustikaweni kembali

teringat kematian emban pengasuhnya yang

begitu tragis. Tidak kuasa lagi air matanya

dibendung.

"Sudahlah, Weni. Tidak ada gunanya

menangis. Yang penting sekarang kau harus

tabah menghadapi semua kenyataan ini. Sampai

saat ini kau belum bisa merasa aman. Masih

banyak yang harus kau hadapi," kata Bayu

lembut, namun cukup tegas nada suaranya.

"Aku tidak tahu lagi, apa yang harus

kulakukan. Sepertinya aku sedang bermimpi

buruk saja," lirih suara Dewi Mustikaweni.

"Anggaplah ini mimpi burukmu, Weni. Dan

jangan terjaga sebelum semuanya berakhir."

"Ah, Kakang. Kau hanya menggodaku saja."

"Nah..., begitu. Tersenyumlah. Kau semakin

cantik jika tersenyum," goda Bayu agar gadis itu

hilang dari kesedihannya.

Terpaksa Dewi Mustikaweni tersenyum,

meskipun terasa pahit dan bergetar. Dan Bayu

sudah senang melihatnya. Pemuda itu beringsut

lebih mendekat. Ditatapnya dalam-dalam wajah

cantik penuh air mata. Lembut sekali Bayu

menghapus air mata itu dengan ujung jarinya.

Dewi Mustikaweni memejamkan matanya,

kembali teringat kecupan pertama pada bibirnya.

Dan pemuda inilah yang pertama kali

menciumnya.

"Weni...," bisik Bayu lembut.



Dewi Mustikaweni membuka matanya.

"Ada yang ingin kubicarakan padamu, dan ini

mungkin saatyang tepat," kata Bayu pelahan.

"Ada apa, Kakang?" tanya Dewi Mustikaweni.

"Weni, apa yang ada dalam pikiranmu atas

keberadaanku yang tiba-tiba di sini?" Bayu balik

bertanya.

"Aku tidak tahu," sahut Dewi Mustikaweni

keheranan.

"Ketahuilah, keberadaanku di daerah Utara

ini bukan karena tidak sengaja. Kedatanganku ke

sini karena diutus seseorang. Seseorang yang

membutuhkan pertolongan, dan aku tidak bisa

menolaknya," jelas Bayu. Terdengar hati-hati

sekali nada suaranya.

Dewi Mustikaweni diam saja. Dicobanya

untuk bisa memahami setiap kata yang

terucapkan dari bibir pemuda itu. Berbagai

macam dugaan langsung hadir di benaknya. Dan

semua dugaan itu membuat jantungnya berdebar

kencang.

"Aku yakin, emban pengasuhmu sudah

bercerita banyak kepadamu," kata Bayu lagi.

"Dan semua itu ada hubungannya dengan

kedatanganku ke sini."

"Bibi Bulem ..?" dada Dewi Mustikaweni

semakin keras berdebar.

Gadis itu teringat akan semua cerita

perempuan gemuk yang selama ini dikenalnya


hanya sebagai emban pengasuh saja. Dan

ternyata Bibi Bulem memang adalah bibinya

sendiri, adik kandung ibunya. Sedangkan ibunya

sendiri katanya sekarang berada di istana

Kerajaan Gelang Wesi. Dewi Mustikaweni masih

belum percaya sepenuhnya. Tapi saat Bayu

berkata tadi..., entah kenapa tiba-tiba saja

dadanya jadi bergemuruh, dan jantungnya serasa

lebih cepat berdetak. Dewi Mustikaweni menatap

bola mata pemuda itu dalam-dalam, seolah-olah

ada yang dicarinya di sana.

"Jika Bibi Bulem sudah mengatakan

semuanya padamu, rasanya tidak perlu lagi

kukatakan padamu, Weni. Semua yang

dikatakannya adalah benar. Dan aku berada di

sini untuk membantunya mengeluarkanmu, agar

kau bisa berkumpul lagi bersama ibu dan

kakakmu. Oh, ya. Kakakmu juga ada di sini, tapi

sudah dua hari ini terpisah dariku. Entah berada

di mana sekarang. Yang jelas dia bersama empat

orang panglima," lanjut Bayu.

Dewi Mustikaweni semakin tidak bisa

membuka mulutnya. Tidak dapat dilukiskan lagi,

bagaimana perasaan hatinya sekarang. Keragu-

raguan, kebimbangan, dan ketidakpercayaan

serta rasa ingin mempercayai bergalut jadi satu

dalam dadanya. Dia hanya bisa memandang

dengan bibir bergetar tanpa mengeluarkan suara

sedikit pun. Tidak mudah baginya untuk bisa

menerima semua ini. Sejak kecil yang dikenal



hanya Sura Antaka sebagai ayahnya. Dan laki-

laki setengah baya itu selalu mengatakan ibunya

sudah meninggal ketika melahirkannya. Hanya

itu saja yang diketahuinya. Tidak lebih. Tapi

sekarang.... Dewi Mustikaweni tidak tahu lagi,

apa yang harus dikatakan dan diperbuatnya.

***

Sudah dua hari Dewi Mustikaweni tinggal di

pondok kecil yang reyot dan nampak kumuh itu.

Selama itu Bayu selalu menceritakan bagaimana

caranya dia berhubungan dengan Emban Bulem.

Juga tentang kakaknya yang kini entah berada di

mana setelah terpisah dengannya. Hanya

sebentar saja Bayu berada di pondok ini Pendekar

Pulau Neraka itu selalu keluar mencari Raden

Arga Yuda. Mereka akan kembali ke Istana

Gelang Wesi bersama-sama nanti.

Namun sudah dua hari ini Bayu belum juga

bertemu Raden Arga Yuda. Dan hal ini membuat

Dewi Mustikaweni jadi murung. Dia sudah yakin

kalau dirinya bukan anak Sura Antaka, dan

masih mempunyai ibu dan seorang kakak.

Bertahun-tahun terpisah, sejak kecil sehingga

tidak bisa mengenali satu dengan lainnya.

Saat itu hari sudah menjelang senja. Tapi

Bayu belum juga kembali. Dewi Mustikaweni

menunggu di beranda pondok kecil ini. Gadis itu

tidak juga beranjak dari kursinya yang hanya


terbuat dari bambu yang disatukan dengan kulit

kayu. Setiap kali digerakkan tubuhnya, selalu

terdengar suara bergerit.

"He he he....r" tiba-tiba terdengar suara tawa

terkekeh.

"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget

Seketika wajah gadis itu memucat begitu tiba-tiba

di depannya muncul seorang laki-laki tua

berjubah kuning dengan kepala gundul. Di

belakangnya berdiri dua orang bertubuh kekar.

Belum hilang rasa terkejut Dewi Mustikaweni,

dari balik pepohonan dan semak bermunculan

orang-orang berseragam merah yang bergambar

naga pada dadanya. Gadis itu tahu siapa mereka,

terlebih lagi terhadap tiga orang itu.

"Akhirnya kutemukan juga kau di sini, Weni,"

ujar Pendeta Ajisaka.

"Oh, mau apa kalian ke sini?" bentak Dewi

Mustikaweni semakin memucat wajahnya.

"Ayahmu menunggu, Weni. Sudah dua hari

kau tidak pulang," kata Macan Gadak.

Dewi Mustikaweni menelan ludahnya.

"Kau tersasar di sini, Cah Ayu? Atau ingin

melarikan diri?" sinisnada suara Pendeta Ajisaka.

"Aku..., aku," tergagap suara Dewi

Mustikaweni.

"Ayo kita pulang," ajak Pendeta Ajisaka.

"Tidak!" sentak Dewi Mustikaweni ketika laki-

laki berjubah kuning gading itu menjulurkan

tangannya.

"O..., rupanya kau ingin membangkang ya?"

"Aku tidak akan kembali! Aku mau pulang!"

keras nada suara Dewi Mustikaweni.

"Pulang...? Pulang ke mana, Weni? Ini bukan

rumahmu!"bentak Pendeta Ajisaka jadigusar.

"Aku mau pulang ke Ibu!"

Pendeta Ajisaka tersentak kaget Sedangkan

Singo Barong dan Macan Gadak saling

berpandangan. Tapi cepat sekali mereka

melompat dan tahu-tahu kedua tangan Dewi

Mustikaweni sudah teringkus.

"Akh! Lepaskan...!" jerit Dewi Mustikaweni

berusaha memberontak.

"Hih!" Macan Gadak menotok jalan darah

gadis itu.

"Ahhh...!"

Seketika itu juga tubuh Dewi Mustikaweni

lunglai lemas tak berdaya. Singo Barong

memondongnya. Mereka saling berpandangan

sesaat.

"Dia tidak ke sini sendirian, Paman Pendeta,"

kata Singo Barong.

"Kau boleh menunggunya di sini, Singo

Barong. Aku akan membawa bocah nakal ini

pulang," ujar Pendeta Ajisaka.

"Aku bersamamu, Singo Barong," selak Macan

Gadak

"Tidak! Kau ikut Paman Pendeta saja," tolak

Singo Barong.


Macan Gadak mengangkat bahunya. Dia tahu

kalau Singo Barong sangat keras wataknya.

Sekalibilang hitam, selamanya akan hitam. Tidak

mungkin bisa di-rubah lagi. Macan Gadak

menggantikan Singo Barong memondong Dewi

Mustikaweniyang terkulai tidak sadarkan diri.

"Hati-hati, Singo Barong," ucap Pendeta

Ajisaka.

"Akan kubawa kepalanya untuk kalian

semua," kata Singo Barong mantap.

Pendeta Ajisaka menepuk pundak laki-laki

tinggi kekar itu, kemudian melangkah

menghampiri kudanya yang dituntun seorang

berbaju merah. Laki-laki tua gundul berjubah

kuning gading itu melompat naik ke kudanya,

kemudian menerima tubuh Dewi Mustikaweni

dari Macan Gadak. Gadis itu tidak bergerak-gerak

lagi, lemas karena tertotok jalan darahnya.

Sebentar saja Pendeta Ajisaka dan Macan

Gadak sudah pergi. Tinggal Singo Barong di

tempat itu ditemani sekitar lima belas orang

berseragam merah dan bergambar naga di bagian

dadanya. Laki-laki berwajah kasar penuh

berewok itu memandang ke sekeliling. Tangannya

menjambret obor yang terpancang di tiang

beranda pondok itu, lalu melemparkannya ke atap

pondok. Api langsung berkobar besar, melahap

atap yang terbuat dari daun-daun kering dan

rerumputan yang teranyam.

"Ha ha ha...!"

***


7

Bayu tersentak kaget saat mendapati

pondoknya sudah hangus menjadi abu. Dan

belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba di

sekelilingnya bermunculan sekitar lima belas

orang berseragam merah bergambar naga pada

bagian dadanya. Tampak Singo Barong berdiri

tegak. Matanya merah membara, bagai api yang

menghanguskan pondok kecil itu.

Bayu memutar tubuhnya, memandangi orang-

orang yang sudah mengepungnya sambil

membawa tombak terhunus. Tatapan matanya

langsung terpaku pada Singo Barong. Laki-laki

inilah yang memenggal kepala Emban Bulem, dan

yang juga berusaha membawa paksa Dewi

Mustikaweni kembali ke dalam sangkar emasnya

yang penuh bergelimang noda lumpur.

"Ha ha ha ha...! Tidak semudah itu kau bisa

membawa Dewi Mustikaweni!" Singo Barong

tertawa terbahak-bahak.

"Di mana Mustikaweni?" dengus Bayu.

"Bersama ayahnya," sahut Singo Barong

dingin.

Singo Barong menjentikkan ujung jarinya. Dan

seketika itu juga lima belas orang berseragam

dengan tombak terhunus, langsung berlompatan

menyerang. Bayu yang sudah kesal karena Dewi

Mustikaweni hilang, semakin menjadi geram


mendapat keroyokan yang membabi buta seperti

ini.

"Hiya...! Hyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka itu berkelebat cepat

menghindari setiap serangan yang datang, sambil

balas menyerang. Pukulan-pukulannya cepat luar

biasa, dan mengandung tenaga dalam sangat

sempurna. Pekik pertempuran, kini berubah jadi

jerit lengking kematian. Satu persatu tubuh orang

berbaju merah bergelimpangan dengan keadaan

remuk.

Singo Barong menggeram dahsyat karena

melihat dalam keadaan sebentar saja, lebih dari

separuh anak buahnya tewas. Laki-laki tinggi

kekar itu langsung melompat menerjang

Pendekar Pulau Neraka. Tidak tanggung-

tanggung lagi, segera dihunus goloknya yang

besar dan panjang.

Wut!

"Uts!"

Bayu merundukkan kepalanya ketika

merasakan desiran angin kencang mengarah ke

kepalanya. Agak terkesiap juga hatinya begitu

sebuah golok besar melesat di atas kepalanya.

Dan Bayu jadi membeliak. Ternyata belum lagi

diangkat kepalanya, sebatang tombak menyodok

dari arah samping.

"Hih!"


Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu

mengibaskan tangan kirinya memapak tombak

yang menyodok ke arah iga.

Trak!

Tombak itu patah. Dan belum lagi pemiliknya

bisa menarik diri, Bayu sudah melompat cepat

sambil mengayunkan satu pukulan bertenaga

dalam luar biasa. Terdengar suara berderak dari

kepala yang pecah. Orang itu menjerit melengking

tinggi sambil memegangi kepalanya, dan

langsung ambruk menggelepar di tanah. Dari

kepala yang hancur mengucur darah segar.

Bayu membalikkan tubuhnya. Dipandanginya

Singo Barong dan sisa anak buahnya yang tinggal

tiga orang lagi. Tampak sekali kalau Singo Barong

seperti ragu-ragu. Hatinya gentar juga melihat

anak buahnya tinggal tiga orang lagi. Dua belas

orang tewas dalam waktu sebentar saja.

"Kenapa diam? Kalian takut...?" ejek Bayu

tersenyum sinis.

"Phuih!" Singo Barong menyemburkan

ludahnya, berusaha mengusir kegentaran yang

melanda hatinya saat ini.

Laki-laki bertubuh tinggi besar itu

melintangkan goloknya di depan dada. Tatapan

matanya tajam menusuk ke bola mata Pendekar

Pulau Neraka. Pelahan-lahan kakinya bergerak

menggeser ke samping. Digerak-gerakkan

goloknya di depan dada. Sedangkan Pendekar


Pulau Neraka hanya diam sambil melipat tangan

di depan dada. Terasa sinis senyum yang

mengembang di bibirnya.

Beberapa kali Singo Barong menyemburkan

ludahnya. Setiap kali kakinya bergerak

menggeser, Bayu memperhatikan dengan ujung

ekor mata. Pendekar Pulau Neraka itu juga terus

mengawasi tiga orang yang kini memegang

pedang terhunus. Tiga orang berse-ragam merah

itu juga bergerak ke arah yang berlawanan dari

Singo Barong.

"Hiyaaat...!"

Tiba-tiba salah seorang dari tiga orang yang

mengenakan seragam merah, melompat sambil

menusukkan pedangnya dari arah samping

kanan. Bayu menarik tubuhnya ke belakang,

maka tusukan pedang itu hanya lewat di depan

dadanya. Cepat sekali tangan Pendekar Pulau

Neraka itu bergerak, langsung menghantam perut

penyerangnya.

Buk!

"Heghk...!"

Saat tubuh orang itu terbungkuk, Bayu

menghantamkan satu pukulan keras bertenaga

dalam hampir mencapai kesempurnaan.

Pukulannya telak menghantam punggung, hingga

orang itu terjerembab mencium tanah. Satu

tendangan keras membuat orang itu terpental dan

tewas seketika. Baru saja Bayu berdiri tegak dua

orang lainnya langsung berlompatan menyerang.


Pedang mereka berkelebat cepat mengarah ke

bagian-bagian tubuh yang mematikan.

"Hup! Hyaaa...!"

***

Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan

dengan cepat dikibaskan tangan kanannya.

Seketika itu juga secercah cahaya keperakan

melesat bagai kilat dari pergelangan tangan

kanannya. Cakra Maut pun langsung meluncur

membabat leher kedua orang yang terbengong

sesaat.

Jeritan melengking terdengar menyayat

mengiringi kematian dua orang berbaju merah

itu. Leher mereka hampir putus terbabat ujung

Cakra Maut yang berjumlah enam buah. Bayu

mengangkat tangannya ke atasi begitu kakinya

mendarat di tanah. Maka Cakra Maut senjata

andalan Pendekar Pulau Neraka itu kembali

melekat di pergelangan tangannya.

"Giliranmu sudah tiba, Singo Barong!" desis

Bayu dingin dan datar. Tatapan matanya tajam

menusuk.

"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa

terbahak-bahak. "Kau pikir mudah menjatuhkan

aku, bocah setan! Jangan bangga dulu bisa

membasmi tikus-tikus tidak berguna itu,

keparat!"

Wut!


Singo Barong mengebutkan goloknya yang

begitu besar ke arah perut Pendekar Pulau

Neraka. Tapi hanya dengan menarik sedikit

tubuhnya ke belakang, golok itu hanya membabat

angin di depan perut Pendekar Pulau Neraka.

Begitu besar tenaga yang dimiliki Singo

Barong, sehingga angin kibasan goloknya saja

sudah bisa membuat Bayu terdorong sedikit ke

belakang. Dan belum lagi Pendekar Pulau Neraka

itu bisa menguasai diri, Singo Barong sudah

melompat sambil berteriak keras menggelegar.

Satu tendangan dahsyat dilepaskan mengarah ke

dada.

"Uts!"

Buru-buru Bayu melentingkan tubuhnya

berputar ke belakang. Dan tendangan keras itu

luput dari sasaran. Namun rupanya Singo Barong

tidak memberi kesempatan kepada Pendekar

Pulau Neraka itu untuk balas menyerang. Bayu

terus dicecar dengan jurus-jurus yang dahsyat dan

selalu mengandung tenaga luar biasa. Pendekar

Pulau Neraka terpaksa berpelantingan

menghindari serangan yang tidak ada henti-

hentinya itu. Sekalipun tidak ada kesempatan

untuk balas menyerang.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Tidak terasa

mereka sudah menghabiskan lebih dari dua puluh

jurus, tapi belum ada tanda-tanda bakal ada yang

terdesak. Bayu sempat memungut sebuah pedang


yang tergeletak di tanah, dan langsung

dibabatkan ke tubuh Singo Barong. Bukan main

tercengangnya Bayu, karena pedang itu patah

saat menghantam tubuh laki-laki tinggi tegap

dengan wajah kasar penuh berewok.

"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa

terbahak-bahak.

Dia bertolak pinggang dengan pongahnya. Se-

mentara Pendekar Pulau Neraka hanya

memandangi tanpa berkedip. Di tangan kanannya

masih tergenggam sebatang pedang yang

buntung. Bayu melempar pedang itu, lalu

dipungutnya pedang lain yang tergeletak dekat

ujung kakinya. Sambil berteriak keras, Pendekar

Pulau Neraka itu mengibaskan pedangnya, tepat

mengarah ke leher.

"Hiyaaat..!" Trak!

"Ha ha ha ha...!"

Buru-buru Bayu melompat mundur begitu

mata pedang yang dipungutnya dari tanah telah

patah jadi dua. Sedangkan kulit leher Singo

Barong tidak tergores sedikit pun juga. Malah

orang berewokan itu tertawa terbahak-bahak

berkacak pinggang.

Gila! Ilmu apa yang digunakan?" dengus Bayu

keheranan.

"Keluarkan semua kepandaianmu, bocah!"

tantang Singo Barong pongah.

"Hmmm...," Bayu menggumam pelan.


Dengan ujung jari kakinya, dijentik sebilah

pedang, dan langsung ditangkapnya. Sebentar

dipandangi pedang yang berkilat keperakan. Lalu

dijentikkannya ujung pedang itu dengan ujung

jari tangan kiri.

Tring!

Suara tawa Singo Barong langsung lenyap

begitu melihat pedang di tangan Pendekar Pulau

Neraka terpotong tepat pada bagian tengahnya.

Padahal tadi ujungnya hanya disentil sedikit saja.

Singo Barong terkesiap. Dia sadar kalau ilmu

tenaga dalam yang dimiliki pemuda berbaju kulit

harimau itu sukaruntuk diukur ketinggiannya.

"Cuma pedang mainan. Tidak heran kalau

tubuhmu kebal," dengus Bayu setengah

bergumam.

"Phuih! Keluarkan senjatamu, bocah!" geram

Singo Barong

"Hmmm.... Aku jadi ingin tahu, sampai di

mana kekebalan tubuhmu," gumam Bayu ringan

seraya tersenyum sinis.

Pendekar Pulau Neraka itu merentangkan

kakinya ke samping. Lalu dengan satu kaki kiri

ditekuk ke depan, dimiringkan tubuhnya ke kiri.

Tangan kanannya disilangkan di depan dada.

Sebentar diliriknya Singo Barong yang masih

berdiri tegak bertolak pinggang. Laki-laki tinggi

kekar itu tertawa terbahak-bahak dengan sikap

meremehkan.


"Hih!Hyaaa...!"

Bayu mengibaskan cepat tangan kanannya ke

depan. Seketika itu juga Cakra Maut melesat

bagai kilat. Hanya secercah cahaya keperakan

yang terlihat berkelebat cepat, langsung

mengarah ke dada Singo Barong yang terbuka.

Laki-laki tinggi tegap dengan wajah penuh

berewok itu tidak bergeming sedikit pun.

Sikapnya sungguh meremehkan. Tidak pelak lagi,

Cakra Maut menghantamdadanya dengan keras.

"Aaakh...!" Singo Barong menjerit melengking

tinggi.

Tampak Cakra Maut menancap dalam pada

dada berbulu lebat itu. Darah langsung merembes

keluar begitu tangan Bayu terhentak ke atas.

Cakra Maut itu pun kembali melesat keluar

setelah merobek dada Singo Barong. Tubuh tinggi

besar itu terhuyung-huyung ke belakang. Singo

Barong menekap dadanya yang mengucurkan

darah segar. Wajahnya pucat seketika itu juga.

Sementara Cakra Maut sudah menempel kembali

di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.

Bruk!

Singo Barong ambruk ke tanah, dan

menggelepar sambil menggerung keras.

Sedangkan Bayu hanya memandangi saja sambil

melipat tangannya di depan dada. Cukup lama

juga Singo Barong menggelepar. Pendekar Pulau



Neraka yakin kalau sebentar lagi orang itu pasati

akan tewas. Tapi mendadak saja....

"Hiyaaa...!" Singo Barong berteriak keras, dan

tubuhnya melesat bangkit berdiri.

"Heh?" Bayu tersentak kaget setengah mati,

sampai terlonjak mundur tiga langkah.

Darah masih mengucur deras dari dada yang

berlubang sangat dalam. Singo Barong meraung

keras menggelegar sambil memutar goloknya di

atas kepala. Laki-laki berwajah seram itu berlari

cepat sambil mengerahkan seluruh kekuatannya.

Golok besar itu menderu keras mengibas ke arah

tubuh Pendekar Pulau Neraka.

"Uts!"

Bayu melompat ke samping, menghindari

tebasan golok besar itu. Tanpa diduga kakinya

melayang cepat memberikan satu tendangan

bertenaga dalam sangat sempurna. Tendangan

menggeledek itu telak mendarat di bagian kepala

sebelah kiri Singo Barong.

"Argh...!" Singo Barong meraung keras.

Dengan cepat Singo Barong berbalik, sambil me-

ngebutkan goloknya. Tidak dipedulikannya lagi

darah yang menyemburat keluar dari kepalanya

yang pecah.

Bayu melompat cepat melewati kepala

manusia kuat itu. Dan sekali lagi didaratkan

tendangan keras ke kepala, lalu disusul dua

pukulan beruntun begitu kakinya mendarat di

belakang Singo Barong Kemudian Pendekar


Pulau Neraka itu melepaskan Cakra Mautnya,

langsung mengoyak leher laki-laki tinggi kekar

itu.

"Aaarghk...!" Singo Barong meraung keras

menggelegar.

Sebentar tubuhnya masih bisa berdiri tegak,

beberapa saat mulai limbung, dan ambruk

menggelepar di tanah. Sungguh mengerikan

keadaan tubuhnya. Kepalanya pecah berlumuran

darah. Lehernya koyak hampir putus terbabat

senjata Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka.

Bagian punggungnya melesak masuk ke dalam,

dan dadanya bolong bersimbah darah.

Hanya sebentar Singo Barong menggelepar,

sesaat kemudian tubuhnya diam tidak bergerak-

gerak lagi. Laki-laki berwajah kasar penuh

berewok itu tewas seketika setelah beberapa kali

mendapat pukulan dan tendangan keras disertai

hunjaman Cakra Maut. Bayu menarik napas

panjang, melonggarkan rongga dadanya yang

terasa sesak seketika.

***

Suasana di sekitar bangunan besar yang

dikelilingi tembok tinggi kokoh, tampak sunyi

sepi. Bayu mengamati sekitar bangunan besar

bagai istana itu dari atas benteng bagian belakang

Tatapan matanya lurus tertuju langsung ke

jendela kamar yang terbuka. Pendekar Pulau


Neraka itu tahu kalau itu kamar Dewi

Mustikaweni.

"Hm...." Bayu menggumam pelan ketika tiba-

tiba matanya menangkap satu sosok bayangan

berkelebat cepat ke atasatap.

Malam ini cukup gelap, sehingga tidak dapat

terlihat jelas bayangan hitam itu. Juga setelah

berada di atap, Pendekar Pulau Neraka itu tidak

bisa melihat sosok tubuh yang merapat pada atap

bangunan bagai istana itu.

Belum sempat Bayu bisa mengenali sosok

tubuh di atap itu, mendadak dikejutkan oleh

denting senjata beradu, disusul pekik

pertempuran dan jerit melengking tinggi. Pada

bagian samping bangunan besar ini, terlihat

empat orang tengah bertarung melawan sekitar

tiga puluh orang berseragam merah.

Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu

kembali tertuju pada sosok tubuh di atas atap.

Tapi dia terkejut, karena tiba-tiba saja sosok

tubuh itu lenyap. Tubuhnya telah meluruk ke

bawah, terhalang sebuah tembok batu yang

tinggi. Namun beberapa saat kemudian,

terdengar lagi suara pertarungan dari balik

tembok itu. Tampaklah kini dua sosok tubuh

melesat ke atas atap. Dua orang itu tengah

bertarung sengit di atas atap bangunan besar

bagai istana itu.

"Gagak Codet...," desis Bayu begitu mengenali

salah seorang yang bertarung diatas atap.


Sedangkan yang seorang lagi adalah si Macan

Gadak. Bayu bisa mengenali mereka karena

sudah bertemu beberapa kali. Pendekar Pulau

Neraka itu langsung bisa mengerti, kenapa Macan

Gadak dan Gagak Codet bertarung. Bayu tahu

kalau Macan Gadak adalah salah seorang

kepercayaan Sura Antaka. Sedangkan Gagak

Codet selalu berusaha menculik Dewi

Mustikaweni, dengan cara apa pun juga. Tapi....

Bayu langsung mengalihkan pandangannya

pada pertempuran di tempat lain. Dia bisa

mengenali empat orang yang bertarung melawan

keroyokan orang berseragam merah bergambar

naga pada dadanya. Empat orang itu adalah para

panglima dari Kerajaan Gelang Wesi. Tapi di

mana Raden Arga Yuda...? Pertanyaan ini

menyentakkan kesadaran Pendekar Pulau

Neraka itu. bergegas tubuhnya melompat turun,

masuk ke dalam lingkungan markas Partai Naga

Merah ini.

"Hup...!"

Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Pulau

Neraka itu sudah berada di pinggir jendela kamar

Dewi Mustikaweni. Pemuda berbaju dari kulit

harimau itu menjulurkan kepalanya ke dalam.

Kedua matanya sedikit menyipit, karena keadaan

di dalam kamar itu berentakan sekali. Persis baru

saja terjadi pertempuran di sini. Terlihat dua

sosok mayat berbaju merah menggeletak

terhimpit balok kayu.


"He he he he.... Akhirnya kau datang juga,

Pendekar Pulau Neraka!"

"Heh!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba

saja terdengar suara dari arah belakangnya.

Dan baru saja dia menoleh, mendadak

secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai

kilat meluncur ke arahnya. Bayu bergegas

memiringkan tubuhnya ke samping, maka cahaya

keperakan itu menghantam dinding kamar.

Sejenak Pendekar Pulau Neraka itu melirik

Tampak sebilah pisau kecil tipis tertanam dalam

pada dinding tembok.

"Oh! Huppp...!"

Begitu kepala Pendekar Pulau Neraka itu

berpaling, mendadak sebuah bayangan kuning

berkelebat menyambar. Secepat kilat Pendekar

Pulau Neraka melesat ke samping. Langsung

dijatuhkan tubuhnya, bergulingan beberapa kali

di tanah. Secepat itu pula dia melompat, bangkit.

Namun bayangan itu kembali melesat dan cepat

menyerangnya.

"Hup! Hyaaa...!"

***



8

Bagai seekor burung, Bayu melentingkan

tubuhnya ke atas begitu mendapat serangan dari

bayangan kuning Dan secepat itu pula tubuhnya

menukik deras, langsung memberikan satu

pukulan keras pada sosokbayangan kuning itu.

Bug!

"Heghk!" terdengar satu keluhan pendek

begitu satu pukulan keras didaratkan Pendekar

Pulau Neraka.

Tampak satu sosok tubuh bergulingan di

tanah. Bayu mendarat ringan tidak jauh dari

orang yang sedang berusaha bangkit berdiri.

Seorang tua kurus berbaju jubah panjang

berwarna kuning gading. Kepalanya gundul, dan

di tangan kanannya tergenggam seuntai

rangkaian batu hitam sebesar ibu jari.

"Pendeta Ajisaka...," Bayu mengenali laki-laki

tua berjubah kuning itu.

Pendeta Ajisaka menggeram sambil menyeka

darah yang menetes dari sudut bibirnya. Pukulan

Pendekar Pulau Neraka tadi tepat menghantam

punggungnya. Sungguh keras. Meskipun tidak

disertai pengerahan tenaga dalam, namun cukup

membuat Pendeta Ajisaka meringis menahan

sakityang amat sangat.

"Di mana kau sembunyikan Dewi

Mustikaweni?" tanya Bayu dingin.


"Phuih! Untuk apa kau tanyakan anak setan

itu?!" dengus Pendeta Ajisaka.

"Dia bukan anak setan, tapi kau pendeta iblis!"

tiba-tiba terdengar suara keras.

Belum lagi hilang dari pendengaran, tahu-tahu

di samping Pendekar Pulau Neraka berdiri

seorang laki-laki berbaju kumal dan berwajah

buruk. Sebuah luka menggores di pipi kiri,

menambah seram raut wajahnya. Sebuah caping

dari anyaman bambu bertengger di punggung.

Bayu sempat melirik laki-laki yang pernah

bertemu dengannya di tepi danau. Saat itu, dia

yang dikenal bernama Gagak Codet hendak

membawa paksa Dewi Mustikaweni. Pendekar

Pulau Neraka itu menggeser kakinya agak

menjauhi Gagak Codet

"Berikan iblis keparat ini padaku, Bayu. Cari

saja Dewi Mustikaweni. Dia pasti bersama Sura

Antaka," kata Gagak Codet seraya melirik

Pendekar Pulau Neraka.

Agak heran juga Bayu mendengar kata-kata

itu. Yang lebih mengherankan lagi, suara itu

seperti pernah dikenalnya. Bahkan Gagak Codet

juga menyebutnama asli Pendekar Pulau Neraka.

Padahal mereka baru sekali bertemu, dan belum

saling menyebutkan nama masing-masing.

Belum juga Bayu sempat bertanya sesuatu,

Gagak Codet sudah melompat menerjang Pendeta

Ajisaka. Bayu jadi kebingungan sendiri jadinya.

Tapi baru saja akan melangkah, sesuatu menetes


di pundaknya. Pendekar Pulau Neraka itu

mendongak ke atas, dan kontari menggelinjang

terkejut

Di atas atap, tampak sesosok tubuh membujur

dengan leher terpenggal hampir buntung.

Darahnya menetes ke bawah. Pendekar Pulau

Neraka itu melentingkan tubuhnya ke atas, dan

hinggap di samping tubuh yang sudah jadi mayat

itu. Dibalikkan kepala mayat itu. Kedua bola

matanya kontan membeliak lebar begitu

mengenali mayat itu.

"Macan Gadak...," desis Bayu menahan

keterkejutannya.

Belum lama, Bayu melihat Macan Gadak

bertempur melawan Gagak Codet Tapi sekarang

pengikut Sura Antaka itu sudah jadi mayat, tepat

saat Gagak Codet muncul. Pendekar Pulau

Neraka itu mengedarkan pandangannya

berkeliling. Matanya mencari-cari kalau-kalau

melihat Raden Arga Yuda. Tapi yang dapat

terlihat hanya pertarungan empat panglima

Kerajaan Gelang Wesi melawan orang-orang

berseragam merah. Tidak jauh di bawahnya,

Gagak Codet tengah bertarung sengit melawan

Pendeta Ajisaka.

"Ke mana Raden Arga Yuda...?" desis Bayu

bertanya pada dirinya sendiri.

Belum juga terjawab pertanyaan itu, tiba-tiba

saja beberapa batang tombak meluruk ke arah


Pendekar Pulau Neraka. Mau tidak mau Bayu

harus melompat menghindari serbuan tombak

yang berjumlah puluhan itu. Dan baru saja

kalanya mendarat di tanah, sekitar tiga puluh

orang berbaju merah dengan gambar naga pada

dadanya sudah berlompatan menyerang

Pendekar Pulau Neraka itu jadi sibuk sesaat

namun cepat menguasai keadaan. Dengan jurus-

jurus maut, dihalaunya serangan yang datang

dari segala penjuru. Setiap pukulan dan

tendangannya disertai pengerahan tenaga dalam

yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

Pekik lengking kematian terdengar saling

sambut Satu persatu tubuh bergelimpangan jadi

mayat. Darah bersimbah membasahi tanah. Bayu

tidak tanggung-tanggung lagi. Kini dikerahkan

jurus andalannya, sehingga amukannya sukar

dibendung lagi. Pendekar Pulau Neraka saat ini

benar-benar mencemaskan keselamatan Raden

Arga Yuda dan Dewi Mustikaweni. Prabu

Nayadarma sudah memberikan titah untuk

menjaga keselamatan dua orang itu. Menyadari

sampai saat ini belum bisa mengetahui keadaan

Raden Arga Yuda dan Dewi Mustikaweni,

Pendekar Pulau Neraka itu langsung

memperhebat serangan-serangannya. Gerakan

nya sungguh cepat luar biasa, sehingga sukar

untuk diikuti oleh pandangan mata biasa.

Sebentar saja tiga puluh orang pengeroyoknya

sudah bergelimpangan tanpa nyawa lagi.


Pendekar Pulau Neraka langsung melompat

menuju ke arah pertarungan empat orang

panglima dengan orang-orang dari Partai Naga

Merah itu. Namun pada saat itu, terlihat dua

orang panglima terjungkal roboh, dan tubuhnya

berlumuran darah.

"Mundur kalian....'" seru Bayu keras.

"Bayu...!" seru salah seorang panglima itu

langsung saja melompat mundur, diikuti seorang

lagi. Tapi orang-orang berseragam merah dengan

gambar naga di bagian dada, tidak membiarkan

lawannya mundur begitu saja. Mereka terus

merangsek, sehingga membuat Bayu geram

bukan main. Pendekar Pulau Neraka itu langsung

meluruk sambil melepaskan Cakra Maut.

***

Sementara itu di lain tempat, Gagak Codet

semakin mendesak Pendeta Ajisaka. Serangan-

serangannya yang dahsyat sukar dibendung lagi.

Laki-laki tua berjubah kuning gading dan

berkepala gundul itu sudah jatuh bangun

menghadang setiap serangan yang datang. Darah

sudah membasahi jubahnya. Dua kali pedang

Gagak Codet merobek tubuhnya yang kurus.

"Mampus! Hiyaaa...!" seru Gagak Codet tiba-

tiba.


Seketika itu juga pedang di tangan Gagak

Codet berkelebat cepat mengarah ke dada.

Namun Pendeta Ajisaka masih mampu mengelak

dengan menarik tubuhnya ke belakang. Tapi

tanpa diduga sama sekali, Gagak Codet memutar

pedangnya ke atas, langsung menusuk ke arah

leher.

Crab!

"Aaakh...!" Pendeta Ajisaka menjerit keras

agak tertahan.

Pedang Gagak Codet menghunjam leher

pendeta gundul itu hingga tembus ke belakang.

Dengan sekali hentak saja, leher laki-laki tua itu

sudah robek lebar. Darah muncrat keluar dengan

derasnya. Dan belum sempat Pendeta Ajisaka

mengeluarkan suara, Gagak Codet sudah

melompat. Langsung saja dikirimkan satu

tendangan menggeledek disertai pengerahan

tenaga dalam penuh. Tendangan itu tepat

mendarat di dada Pendeta Ajisaka.

"Aaaa...!" Pendeta Ajisaka menjerit keras

melengking tinggi.

Tubuh kurus berjubah kuning gading penuh

darah itu terpental deras menghantam dinding

batu hingga jebol berantakan. Hanya sebentar

laki-laki tua kurus berkepala gundul itu mampu

bergerak, tapi sesaat kemudian sudah diam tak

berkutik lagi. Pendeta Ajisaka tewas seketika itu

juga.


"Hhh...!" Gagak Codet menarik napas panjang

dan dalam.

Sebentar matanya merayap ke sekeliling.

Terlihat Pendekar Pulau Neraka tengah

mengamuk membantai orang-orang berseragam

merah. Sedangkan dua orang panglima dari

Kerajaan Gelang Wesi hanya memperhatikan

saja, tapi sesekali juga mengibaskan pedangnya

jika ada yang mencoba menyerang.

"Hhh...! Aku harus cepat mencari Dinda

Mustikaweni," desah Gagak Codet

Laki-laki berwajah buruk dengan luka

memanjang membelah pipi itu langsung

melompat masuk ke dalam kamar yang

berantakan. Dia berlari cepat menerobos pintu

yang rusak, hancur berkeping-keping. Gagak

Codet terus berlari menyusuri lorong. Setiap pintu

yang ditemui langsung didobrak, dan diperiksa

setiap kamar. Gagak Codet tiba di ruangan luas

yang lantainya dari batu pualam putih berkilat.

Sebentar dipandangi ruangan pertemuan itu.

Tidak ada siapa-siapa di sini.

Pelahan-lahan Gagak Codet melangkah

menyeberangi ruangan itu. Matanya tajam

memandang ke sekeliling Ayunan kakinya

kembali terhenti setelah sampai pada bagian

ruangan depan. Satu ruangan yang biasa

digunakan untuk menerima tamu. Di sini juga

sepi, malah keadaannya berantakan sekali. Gagak

Codet melompat cepat keluar begitu matanya


menangkap sebuah bayangan berkelebat

melintasi pintu depan bangunan besar ini.

"Tolooong...!" tiba-tiba saja terdengar suara

jeritan melengking.

"Dinda Weni...," desis Gagak Codet.

Cepat sekali Gagak Codet melentingkan

tubuhnya menuju ke sumber arah suara jeritan

tadi. Jelas sekali kalau suara itu adalah jeritan

seorang perempuan. Gagak Codet terhenyak

kaget begitu sampai di sebuah tempat yang tidak

begitu besar, namun terdapat banyak senjata

terpajang. Tempat yang terbuka, hanya terdiri

dari pilar-pilar yang dinaungi atap. Lantainya

sangat keras, terbuat daribatu hitam berkilat

Wus!

Gagak Codet berpaling ketika telinganya

mendengar suara desiran angin yang mengarah

ke dirinya. Dan tubuhnya langsung melesat cepat

ke atas, begitu terlihat secercah cahaya

kemerahan meluncur deras ke arahnya. Suara

ledakan keras terjadi saat sinar kemerahan itu

menghantam pilar.

"Hup!"

Gagak Codet melompat cepat keluar dari

bangsal latihan itu, begitu dua sinar kemerahan

kembali meluncur ke arahnya, dan kembali

menghantam pilar. Akibatnya atap bangsal itu

roboh, membuat suara gaduh menggetarkan

bumi. Manis sekali Gagak Codet mendarat di


tanah. Namun belum juga berdiri sempurna,

matanya membeliak lebar....

***

"Weni...," desis Gagak Codet

Dewi Mustikaweni tampak tidak berdaya

terikat pada sebatang tonggak kayu. Pandangan

gadis itu redup, seakan tidak memiliki gairah

hidup lagi. Pelahan-lahan Gagak Codet

menghampiri. Namun baru saja berjalan tiga

tindak, mendadak sebuah bayangan berkelebat

cepat di depannya. Tahu-tahu seorang laki-laki

setengah baya sudah berdiri tegak sekitar satu

batang tombak di depan Gagak Codet

"Sura Antaka...!" desis Gagak Codet tertahan

suaranya.

"Tidak perlu menyamar, Arga Yuda! Aku

sudah tahu, siapa kau sebenarnya!" dingin nada

suara Sura Antaka.

"Iblis keparat..! Lepaskan adikku!" bentak

Gagak Codet yang ternyata memang Raden Arga

Yuda.

"Ha ha ha ha...!" Sura Antaka tertawa

terbahak-bahak.

Pada saat itu, Pendekar Pulau Neraka telah

muncul. Pemuda berbaju kulit harimau itu datang

karena juga mendengar jeritan minta tolong yang

melengking Tidak berapa lama, dua orang

panglima dari Kerajaan Gelang Wesi juga tiba.

Mereka berdiri di belakang Raden Arga Yuda,


atau si Gagak Codet Bayu menghampiri laki-laki

yang memakai baju kumal itu.

Gagak Codet melepaskan capingnya yang me-

nyampir di punggung. Dengan caping itu, dirinya

juga dikenal sebagai Pendekar Caping Bambu.

Pemuda itu memang pandai menyamarkan diri.

Dan setiap kali menyamar, tidak ada yang dapat

mengenali lagi. Sungguh sempurna samarannya.

Pemuda itu melepaskan rambut palsu, dan juga

tempelan-tempelan yang membuat wajahnya jadi

buruk. Kini yang terlihat adalah seraut wajah

tampan. Bayu sendiri sempat berdecak kagum,

mebhat penyamaran yang begitu sempurna. Kini

baru dimengerti kalau tiga nama yang menjadi

bahan pemikirannya selama ini hanya satu orang

yang memilikinya.

"Bagus! Kalian sudah kumpul di sini. Dan itu

berarti akan terbang ke neraka bersama-sama!"

dingin nada suara Sura Antaka.

"Hanya kau yang ke neraka. Sura Antaka!"

dengus Raden Arga Yuda datar.

"Ha ha ha ha...! Kalian lihat ini!"

Sura Antaka melompat. Langsung

disambarnya sebuah obor yang terpancang tidak

jauh darinya. Kemudian digeser kakinya

mendekati Dewi Mustikaweni.

Bayu dan Raden Arga Yuda melirik ke bawah

kaki gadis itu. Tampak setumpuk kayu bakar

melingkar. Kedua anak muda itu saling


berpandangan. Sekali saja Sura Antaka

melemparkan obor itu, api kontan akan melahap

tubuh Dewi Mustikaweni. Dan ini yang tidak

diinginkan sama sekali.

"Bagaimana, Bayu?" bisik Raden Arga Yuda.

"Mundurlah," sahut Bayu.

"Gila! Susah payah aku berusaha

mengeluarkan Dewi Mustikaweni dari sini,

sekarang kau suruh aku mundur!" rungut Raden

Arga Yuda.

"Kalau tidak ingin kehilangan adikmu,

mundurlah. Biar aku yang menyelesaikan," kata

Bayu tegas, namun terdengar tenang nada

suaranya.

"Apa yang akan kau lakukan, Bayu?" tanya

Raden Arga Yuda.

"Entahlah," tenang sekali Bayu menjawab.

"Jangan main-main, Bayu. Nyawa adikku

harus selamat!"

"Kalau kau percaya padaku, mundurlah!"

tegas kata-kata Bayu

"Kau sudah bertindak sendiri, dan telah

merusak semua rencanaku. Kalau adikmu sampai

tewas, itu karena kesalahanmu, Raden!"

Raden Arga Yuda terdiam. Memang selama ini

semua kata-kata Pendekar Pulau Neraka ini tidak

diturutinya. Padahal Bayu telah diberi kekuasaan

oleh Prabu Nayadarma untuk membebaskan

Dewi Mustikaweni dari tangan Sura Antaka.

Raden Arga Yuda menganggap tindakan Bayu


terlalu lambat sehingga dia tidak sabaran

menunggu. Terpaksa digunakan keahliannya

menyamar, mengacaukan semua rencana

Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan juga

menyusup ke sarang Partai Naga Merah ini, lalu

membocorkan setiap gerakan dan rencana

penyergapan.

Suatu saat, Raden Arga Yuda juga pernah

mencoba membawa Dewi Mustikaweni secara

paksa, seperti seorang penculik. Tapi semuanya

gagal. Maksudnya adalah membebaskan adiknya

tanpa melibatkan orang lain. Lebih-lebih

melibatkan pihak Kerajaan Gelang Wesi. Tapi

sekarang nyawa adiknya yang sudah sekian

tahun berpisah, menjadi terancam

keselamatannya. Dan semua itu akibat ulahnya,

kecerobohannya, dan ketidaksabarannya.

Pelahan-lahan Arga Yuda melangkah mundur

sambil memberi isyarat pada kedua panglimanya

untuk mundur juga. Sedangkan Pendekar pulau

Neraka tetap berdiri tegap pada tempatnya.

Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapan

matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola

mata Sura Antaka. Sementara Sura Antaka

sudah semakin mendekati Dewi Mustikaweni

yang terikat tak berdaya pada tonggak.

"Apa lagi yang kau tunggu, Sura Antaka? Aku

tidak peduli seandainya kau lemparkan obor itu!"

kata Bayu dingin menantang.


Kata-kata Bayu yang tegas dan lantang itu

mengejutkan Raden Arga Yuda. Namun pemuda

itu hanya diam saja, dan kembali melangkah

mundur semakin menjauh. Pemuda yang masih

didampingi dua orang panglima itu, berhenti

setelah jaraknya cukup jauh juga.

"He he he...! Kau memang tidak akan peduli

atas nasibnya, Pendekar Pulau Neraka. Tapi Arga

Yuda tidak mungkin bisa menerima kematian

adiknya. Dan sudah tentu kau tidak luput dari

sasarannya, bahkan pihak kerajaan juga akan

mengejarmu!" kata Sura Antaka disertai tawa

terkekehnya.

"Aku seorang pengembara, Sura Antaka. Aku

tak akan peduli semua itu. Di mana pun berpijak,

di situ aku harus menghadapi iblis macam kau!"

sahut Bayu dingin.

"Keparat! Kau menantangku, bocah?!" geram

Sura Antaka.

Kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang

terdengar tenang itu, membuat wajah Sura

Antaka memerah padam. Kata-kata itu sungguh

menyakitkan gendang telinganya. Jelas nadanya

menantang dan meremehkan.

"Aku ingin tahu, sampai di mana kau sanggup

melihat gadis ini mati terbakar!" geram Sura

Antaka mengancam.

"Silakan," tantang Bayu.

"Phuih!" Sura Antaka menyemburkan

ludahnya.


Seketika itu juga dilemparkan obor di

tangannya. Arga Yuda menjerit keras, begitu juga

Dewi Mustikaweni. Gadis itu memekik

melengking dan bola matanya membeliak lebar.

Namun pada saat yang kritis itu, secepat kilat

Bayu mengibaskan tangan kanannya ke depan.

Maka secercah cahaya keperakan langsung

melesat bagai kilat.

Bersamaan meluncurnya Cakra Maut, secepat

itu pula Pendekar Pulau Neraka melompat ke

arah Sura Antaka. Semua itu dilakukan begitu

cepat dan tiba-tiba sekali, sehingga sukar untuk

bisa disadari lebih lanjut.

***

Sura Antaka sendiri jadi terkejut bukan main.

Sebelum obor yang dilemparkannya jatuh, Cakra

Maut sudah menghantam nyala api obor itu

hingga padam. Dan belum lagi hilang

keterkejutannya, laki-laki setengah baya itu harus

melompat ke samping menghindari terjangan

Pendekar Pulau Neraka. Namun gerakannya

terlambat sedikit. Akibatnya, sepakan kaki Bayu

Hanggara masih sempat menyambar bahunya.

"Akh!" Sura Antaka memekik tertahan.

Tubuh laki-laki setengah baya itu sedikit

limbung. Dan belum lagi bisa menguasai

keseimbangan tubuhnya, Bayu sudah kembali

menyerang setelah menarik tangannya ke atas.



Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan,

bersamaan dengan melekatnya kembali Cakra

Maut ke arah pergelangan tangan kanannya.

"Uts!"

Sura Antaka memiringkan tubuhnya ke kiri,

menghindari tendangan keras menggeledek itu.

Dan buru-buru dia melompat ke belakang.

Seketika itu juga dicabut pedangnya yang

tergantung di pinggang. Lalu....

"Hiyaaat...!"

"Hap!"

Bayu mengibaskan tangan kanannya ketika

Sura Antaka membabatkan pedangnya

menyamping ke arah dada. Tak dapat

dihindarkan lagi. Mata pedang Sura Antaka

menghantam pergelangan tangan kanan lawan.

Tring!

Sura Antaka tersentak kaget ketika pedangnya

membentur pergelangan tangan Pendekar Pulau

Neraka itu. Dia langsung melompat mundur, dan

memeriksa mata pedangnya. Kedua matanya

kontan membeliak lebar melihat mata pedangnya

gompal. Sedangkan pergelangan tangan Bayu

tidak mengalami luka sedikit pun. Ternyata

pedang itu tepat menghantam Cakra Maut yang

menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau

Neraka itu.

"Keparat...!" geram Sura Antaka. Laki-laki

setengah baya itu melemparkan pedangnya,


kemudian mencabut sepasang tongkat pendek

yang kedua ujungnya runcing. Tongkat itu

berwarna merah menyala bagai terbakar. Sambil

berteriak keras, Sura Antaka melompat

menerjang Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan

sengit pun tidak dapat dihindari lagi.

Sementara di tempat lain yang agak jauh,

Raden Arga Yuda dan dua panglima dari

Kerajaan Gelang Wesi memperhatikan tanpa

berkedip. Mereka begitu terpesona, sehingga lupa

terhadap Dewi Mustikaweni yang masih terikat

pada tonggak kayu.

Jurus demi jurus berlalu cepat tanpa terasa.

Namun pada saat memasuki jurus kesebelas, satu

pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna

dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Sura Antaka

berusaha membendung dengan mengibaskan satu

tangkannya. Dugaannya, Bayu akan menarik

pulang pukulannya. Namun yang terjadi justru

sangat mengejutkan.

"Hyaaa...!"

Trak!

Bayu tidak menarik pulang pukulannya,

bahkan dikempos tenaga dalamnya agar lebih

tinggi lagi. Satu pukulan bertenaga dalam hampir

mencapai taraf kesempurnaan itu langsung

menghantam tongkat merah pendek hingga patah

jadi dua bagian. Sura Antaka tersentak kaget

Tapi belum juga bisa menarik mundur dirinya,



Bayu sudah melepaskan lagi satu pukulan

telaknya.

"Hup!"

Buru-buru Sura Antaka membanting

tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali

menjauh. Dan pada saat melompat bangkit, Bayu

telah mengibaskan tangan kanannya sambil agak

membungkuk miring ke kiri. Seketika itu juga

Cakra Maut yang selalu menempel pada

pergelangan tangan kanannya melesat bagai

kilat.

Sesaat Sura Antaka terkesiap. Dan belum lagi

bisa melakukan sesuatu, mendadak saja Cakra

Maut itu sudah menghunjam dalam di perutnya.

Sura Antaka menjerit keras sambil memegangi

perutnya yang sobek Darah mengalir keluar

demikian deras.

"Saatmu sudah tiba, Sura Antaka!" bentak

Bayu menggelegar.

"Hiyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka itu melompat cepat

lalu berputar dua kali di udara. Begitu kakinya

mendarat tepat di depan laki-laki setengah baya

itu, kedua tangannya bergerak cepat

menghantam kepala Sura Antaka dari dua sisi.

"Prak!"

"Aaa...!" Sura Antaka menjerit melengking

tinggi. Kedua tangan Pendekar Pulau Neraka

mengepruk kepala Sura Antaka hingga hancur.


Dan sebelum tubuh laki-laki setengah baya itu

ambruk, satu pukulan keras kembali

menghantam dada. Tak ayal lagi, tubuh setengah

baya itu terpental jauh dan menghantam

sebatang pohon hingga tumbang. Sedikit pun tak

ada gerakan. Sura Antaka tewas seketika itu juga.

Bayu melompat cepat menghampiri Dewi

Mustikaweni, lalu melepaskan ikatan pada

tangan gadis itu. Dewi Mustikaweni langsung

memeluk pemuda berbaju kulit harimau itu, dan

seketika tangisnya pecah dalam pelukan Bayu

Hanggara. Tampak Arga Yuda dan dua orang

panglimanya menghampiri. Pelahan Bayu

melepaskan pelukan Dewi Mustikaweni.

"Kakakmu, Weni," bisik Bayu seraya melirik

Raden Arga Yuda yang sudah berada dekat.

Dewi Mustikaweni menatap Bayu sejenak, lalu

beralih pada pemuda berwajah tampan yang

pernah masuk ke dalam kamarnya beberapa hari

yang lalu. Pemuda yang juga pernah akan

menculiknya dalam penyamaran bernama Gagak

Codet. Dewi Mustikaweni kembali menatap Bayu

Hanggara, dan Pendekar Pulau Neraka itu

mengangguk seraya memberikan senyuman

manis.

"Kakang...," desah Dewi Mustikaweni.

"Adikku..., Weni."

Dua manusia yang sudah terpisah sekian

tahun lamanya itu saling berpelukan, melepaskan

kerinduan yang selama ini terpendam dalam


dada. Dewi Mustikaweni tidak bisa lagi menahan

air matanya. Sebuah tangisan bahagia, haru, dan

entah apa lagi yang ada dalam dadanya. Yang

jelas, perasaannya seperti meledak-ledak. Betapa

tidak? Ternyata, setelah hampir sekian tahun,

baru sekaranglah dia bertemu saudara

sekandungnya.

Sementara Pendekar Pulau Neraka menarik

napas panjang. Sebentar ditatapnya kakak

beradik yang sedang berpelukan itu, kemudian

melesat cepat. Begitu sempurnanya ilmu yang

dimiliki Bayu. Sehingga, sebelum ada yang

menyadari, bayangan tubuhnya sudah lenyap

ditelan kegelapan malam.

"Mari kita pulang, Dinda Weni. Ibu sudah

menunggu," ajak Raden Arga Yuda lembut seraya

melepaskan pelukannya.

"Kakang Bayu...," desis Dewi Mustikaweni

teringat akan pemuda yang telah merenggut

sekeping hatinya.

Tapi di situ tidak ada lagi Pendekar Pulau

Neraka. Dewi Mustikaweni berteriak keras

memanggil Bayu Hanggara, namun yang

dipanggil tidak juga muncul. Beberapa kali Dewi

Mustikaweni berteriak memanggil. Sampai

suaranya serak, Bayu tidak juga muncul.

"Sudahlah, Dinda. Mungkin dia masih

mempunyai tugas lain yang harus diselesaikan,"

ujar Raden Arga Yuda seraya merengkuh pundak

gadis itu.


"Apakah dia akan kembali lagi, Kakang?"

tanya Dewi Mustikaweni.

Raden Arga Yuda hanya menarik napas, lalu

menghembuskannya kuat-kuat. Dia sendiri tidak

tahu, apakah Pendekar Pulau Neraka akan

kembali atau tidak sama sekali. Disadari betul

kalau Bayu seorang pendekar kelana yang tidak

pemah menetap pada satu tempat saja.

Bayu bisa mendapat tugas dari Prabu

Nayadarma, itu karena dia telah menolong raja

Gelang Wesi itu dari gerombolan perampok Partai

Naga Merah yang dipimpin Sura Antaka. Melihat

kemampuan Pendekar Pulau Neraka itu, maka

Prabu Nayadarma minta bantuannya untuk

membebaskan keponakannya. Siapa lagi kalau

bukan Dewi Mustikaweni yang sudah berada di

tangan Sura Antaka sejak masih berusia satu

tahun.

"Kakang...."

"Ayo kita pulang, Dinda Weni," ajak Raden

Arga Yuda mendesah panjang.

Mereka kemudian melangkah pergi

meninggalkan puing-puing kejayaan Partai Naga

Meran. Dua orang panglima dari Gelang Wesi

mengikuti dari belakang. Mereka berjalan tanpa

berkata-kata lagi. Namun terlihat jelas pada raut

wajah kalau Dewi Mustikaweni merasa ada yang

tertinggal di sini. Entah apa yang hilang pada

dirinya? Tapi yang jelas, tak akan terlupakan

kenangan manisnya bersama Pendekar Pulau


Neraka. Pemuda yang pertama kali mencium

bibirnya, sekaligus menggetarkan jantungnya.

Dewi Mustikaweni hanya bisa berharap untuk

bertemu kembali dengan pendekar muda yang

bernama Bayu Hanggara itu.



                                TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar