..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 17 Januari 2025

DEWA LINGLUNG EPISODE GEGER PEDANG INTI ES

matjenuh

 

SATU


Panas matahari seperti membakar 

bumi. Pulau itu tampak lengang seperti 

tiada penghuni. Akan tetapi sebenarnya 

tidak demikian. Karena tampak diatas 

bukit tertinggi di pulau itu dua orang 

laki-laki. Yang seorang adalah seorang 

kakek berjubah sisik yang gemerlapan.

Bertubuh besar berkepala botak. 

Kumisnya yang putih berjuntai bagai 

misai naga. Siapa lagi kakek itu kalau 

bukan si Raja Siluman Naga.

Sedangkan yang seorang lagi 

adalah seorang laki-laki yang masih 

muda. Bertampang gagah. Rambutnya 

gondrong terjuntai kebawah. Sementara 

tubuhnya dalam keadaan terbalik dengan 

posisi kaki diatas dan kepala dibawah. 

Sedangkan sikakek bermisai panjang itu 

enak-enakan duduk bersila sambil meram 

melek ditempat teduh, membiarkan 

pemuda itu dalam keadaan demikian 

berjemur dipanas matahari yang 

menyengat kulit. 

Pemuda itu tak lain dari 

Ginanjar adanya yang kini mempunyai 

panggilan Nanjar. Apakah yang 

sebenarnya terjadi dengan pemuda itu? 

Tak lain dia tengah menerima 

gemblengan ilmu-ilmu kedigjayaan dari 

si Raja Siluman Naga, yaitu tengah



melakukan latihan pernapasan tenaga 

dalam terbalik. Hal seperti itu telah 

dilakukan selama enam hari berturut-

turut. Hari ini adalah hari ketujuh 

atau hari terakhir dia melakukan 

latihan. Tentu saja dia hampir tak 

kuat menjalaninya, karena selama 

berturut-turut tujuh hari dia 

melakukan demikian dari matahari 

terbit hingga terbenam.

Keringat yang mengucur dari 

sekujur lubang pori-pori dari tubuhnya 

membuat batu tempat dia berjungkir itu 

basah. Sementara hawa panas yang 

menyengat kulit harus dirasakan selama 

melakukan latihan itu. Sungguh suatu 

pekerjaan yang amat berat. Namun hal 

itu dilakukan Nanjar dengan tiada 

mengeluh. Bahkan secara diam- diam 

Nanjar pancarkan hawa murni dari 

pusarnya kesekujur tubuh.

Untuk menahan hawa panas yang 

luar biasa itu. Hawa yang dikeluarkan 

itu adalah hawa tenaga dalam yang 

bernama hawa inti Es. Hingga dia tak 

merasakan panasnya matahari yang 

menyengat kulit.

Kalau saja Nanjar tahu apa yang 

berada dalam benak si Raja Siluman 

Naga, tentu dia siang-siang sudah 

meninggalkan pulau itu atau mungkin 

membunuh mati kakek itu. Karena ....

"Hehehe .... bocah ingusan yang 

tolol! selesai kau menguasai ilmu


tenaga dalam sungsang (terbalik) ini, 

bila kau telah kena kukibuli dan 

seluruh tenaga dalammu berpindah masuk 

kedalam tubuhku, maka aku sudah tidak 

memerlukan kau lagi!" berkata Raja 

Siluman Naga dalam hati. Sementara 

matanya meram-melek seperti tengah 

merasakan kenikmatan. Mulutnya 

sebentar-sebentar menggayam panggang 

daging kelinci yang baru saja matang.

Daging kelinci itu hasil buruan 

Nanjar, yang selama ini telah 

menyediakan puluhan kelinci yang 

ditangkapnya untuk santapan si kakek 

itu.

Raja Siluman Naga ternyata 

mengalami kelumpuhan pada kedua 

kakinya, akibat pertarungan dan 

benturan tenaga dalam dengan si Raja 

Siluman Bangau. Itulah sebabnya dia 

menahan Nanjar agar tetap tinggal di 

pulau itu, dengan menjanjikan akan 

menurunkan ilmu-ilmu kedigjayaannya 

pada pemuda itu.

Nanjar meneguk air liurnya 

mengendus wanginya bau panggang daging 

kelinci, perutnyapun mendadak berbunyi 

keruyukan. Dengan sudut matanya dia 

melirik si kakek yang asik menggayam 

santapannya dengan lahap. Tentu saja 

diam-diam pemuda ini menggerutu dalam 

hati.

"Kakek sialan! mengapa dia makan 

di depanku seenaknya saja? Tunggulah,


kalau aku telah menyerap ilmu-ilmu 

kepandaianmu akan kubalas 

perlakuanmu!" mengancam dia dalam 

hati. Sementara dia segera kembali 

konsentrasikan lagi latihannya. Diam-

diam Nanjar kerahkan kekuatan tenaga 

dalam inti Esnya dengan menambah 

sepertiga lagi. Maka segera saja hawa 

dingin menebar kesekitarnya. Begitu 

hebatnya tenaga dalam inti Es yang 

dikeluarkan Nanjar, hingga sampai-

sampai si kakek terkejut dan terlonjak 

kaget karena dia merasakan hawa dingin 

merembes kesekujur tubuhnya.

"Bocah! apa yang telah kau 

lakukan?" teriak Raja Siluman Naga.

Matanya melotot menatap pada 

pemuda yang tengah berjungkir balik 

itu. Akan tetapi mulutnya jadi 

ternganga karena tubuh pemuda itu 

sendiri seperti terlapis oleh es, yang 

menimbulkan hawa dingin luar biasa.

"Hei! bocah gendeng! kau gunakan 

ilmu tenaga dalam Inti Es secara 

berlebihan! celaka....! kau bisa 

mampus!" teriak si kakek terkejut. 

Serta,merta dia gerakkan lengannya 

menghantam ketubuh pemuda itu.

Buk!

Akan tetapi menjerit si kakek 

ini. Tubuhnya terlempar kebelakang 

beberapa torhbak dan terkapar tak 

berkutik. Apakah yang terjadi? 

Ternyata tubuh si Raja Siluman Naga



seketika menjadi beku dan tampak 

sekujur tubuhnya dilapisi oleh es.

Adapun Nanjar yang telah 

menggunakan ilmu tenaga dalam Inti Es 

hampir tigaperempat bagian itu juga 

terkesiap, karena seketika dia merasa 

tubuhnya menjadi beku. Dalam keadaan 

kaget itu tahu-tahu dia rasakan 

hantaman pukulan si kakek yang menjadi 

gurunya itu. Namun yang didengarnya 

adalah suara jeritan si kakek Raja 

Siluman Naga itu. Kemudian dia tak 

mendengar apa-apa lagi.

Karena ketika dia melakukan 

penambahan tenaga dalam adalah dengan 

memejamkan mata, hingga Nanjar tak 

mengetahui kalau si kakek telah 

terjengkang ketika tenaga pukulannya 

beradu dengan tubuhnya. Tanpa dia 

sadari kalau itu adalah akibat ilmu 

Tenaga Dalam Sungsang yang telah 

dimilikinya dan dalam keadaan 

dipergunakan. Akibatnya adalah fatal 

bagi si Raja Siluman Naga, karena dia 

harus menerima resiko terhadap dirinya 

sendiri.

Nanjar sendiri dalam keadaan 

megap-megap tak bisa bernapas, karena 

lapisan es yang berada disekujur 

tubuhnya. Untunglah dalam saat 

demikian otaknya yang encer masih bisa 

bekerja. Seketika dia cepat merobah 

tenaga dalam Inti Es menjadi Tenaga 

dalam Inti Api. Sekejap saja lapisan


es itu mencair lagi. Dan dalam keadaan 

bisa bernapas lagi itu, segera Nanjar 

cepat melompat untuk jejakkan kedua 

kakinya ke tanah.

"Huaaah! hampir aku celaka!" 

pekik Nanjar terengah-engah.

Akan tetapi baru saja dia 

memulihkan kekuatan dan mengendurkan 

urat-urat tubuhnya, matanya membelalak 

menjadi besar ketika melihat sosok 

tubuh si Raja Siluman Naga dalam 

keadaan terkapar tak berkutik.

"Guru....!? kenapa kau?" 

teriaknya terkejut. Dan serta-merta 

dia melompat menghampiri.

Tersentak kaget pemuda ini 

ketika melihat sekujur tubuh si Raja 

Siluman Naga dalam keadaan beku dan 

dilapisi es. Sekali lengannya bergerak 

maka hancurlah lapisan es itu meleleh 

menjadi cair.

"Guru! guru....!" teriak Nanjar 

seraya mengguncang-guncangkan tubuh 

kakek itu. Sesaat antaranya terdengar 

suara keluhan si Raja Siluman Naga. 

Tubuhnya tampak bergerak. Dan dia 

melompat duduk. Sepasang matanya 

melotot menatap Nanjar yang berjongkok 

dihadapannya.

"Bocah sinting! apa yang kau 

perbuat hampir saja merenggut jiwamu 

dan jivvaku sendiri!" bentak kakek itu 

seraya melompat duduk dengan bersila.


Kakek ini memang tak dapat berdiri 

karena kelumpuhan yang dideritanya.

"Haha..... hehe.... maafkan aku, 

guru. Aku iseng-iseng menambah tenaga 

dalam Inti Es yang aku pelajari dari 

almarhum guruku Ki Dharma Tungga. Aku 

memang mempergunakannya untuk 

melenyapkan hawa panas sengatan 

matahari. Tak kusangka kalau aku 

hampir mati terbungkus lapisan es!" 

berkata Nanjar dengan cengar-cengir.

"Dan hampir saja kau 

membunuhku!" bentak si Raja Siluman 

Naga.

"Hahaha.. salah sendiri, mengapa 

kau menghantamkan pukulanmu?" tertawa 

Nanjar.

"Setan! aku bermaksud 

menolongmu!" berkata si kakek dengan 

mendongkol. Sementara diam-diam dia 

bersukur karena dirinya telah 

terhindar dari kematian. Kalau saja 

pemuda itu tak menolongnya, mungkin 

siang-siang dia sudah berangkat ke 

Akhirat. Akan tetapi di samping 

terkejut Raja Siluman Naga juga 

terheran. Bagaimana pemuda itu bisa 

memiliki ilmu tenaga dalam Inti Es 

yang sedemikian hebat? Seumur hidupnya 

baru dia melihat ilmu yang begitu 

tingginya, hingga sampai-sampai tubuh 

pemuda itupun terbungkus lapisan es 

yang nyaris merenggut nyawanya.


"Hm, bocah muridku, apakah kau 

memang memiliki ilmu sehebat itu 

didalam kesadaranmu sendiri?" bertanya 

si kakek.

"Oooo, tentu! tentu,guru! Sudah 

sejak lama aku memilikinya!" sahut 

Nanjar berdusta. Sementara mulutnya 

masih tetap cengar-cengir. Kakek itu 

kerutkan keningnya seperti kurang 

yakin akan kata-kata Nanjar.

DUA

"Mengapa kau termenung, guru? 

Apakah kau tak percaya pada 

keteranganku?" bertanya Nanjar. 

"Ya....! aku percaya. Siapapun 

akan percaya, karena kau pernah 

menjadi murid Ki Dharma Tungga si 

Ketua Rimba Persilatan itu!" sahut 

Raja Siluman Naga ketus. Akan tetapi 

dengan hati mendongkol.

"Dengan ilmu apa kau mencairkan 

gumpalan es pada tubuhmu, dan 

tubuhku?" tanya si kakek.

"Tentu saja dengan lawannya, 

yaitu ilmu tenaga dalam Inti Api!" 

sahut Nanjar dengan jumawa. Lalu 

bangkit berdiri. Tiba-tiba dia 

berpaling kearah sebuah pohon besar 

disebelah kirinya.


"Lihatlah! pohon ini akan kubuat 

beku terlapisi es!" berkata Nanjar. 

Segera dia kerahkan ilmu tenaga dalam 

inti Esnya. Hawa dingin menebar.

Plak!

Nanjar menepuk batang pohon itu. 

Sesaat dia menunggu reaksinya. Daun 

pohon itu berhamburan jatuh terkena 

goncangan. Akan tetapi tak ada 

perubahan apa-apa. Batang pohon itu 

masih tetap utuh tanpa terlapisi es. 

Nanjar tersentak kaget. Seketika 

wajahnya berubah merah. Pada saat 

itulah terdengar suara tertawa 

terbahak- bahak si Raja Siluman Naga.

"Hahaha..... hehe..... 

hahaha.... mana buktinya? Hahah.... 

kau ngibul! sudah kuduga kau bisa 

lakukan pukulan itu di luar 

kesadaranmu! Tentu ada hubungannya 

dengan ilmu Tenaga Dalam Sungsang yang 

kau pelajari dariku!" berkata Raja 

Siluman Naga. Sementara diam-diam 

kakek itu amat bergirang, karena telah 

menemukan ilmu langka hasil perpaduan 

Ilmu Tenaga Dalam Sungsang dengan ilmu 

Tenaga Dalam Inti Es, walaupun baru 

sebagian dugaan saja.

"Tunggu dulu, guru! kau 

lihatlah!" teriak Nanjar. Kali ini 

Nanjar kerahkan tenaga dalam Inti Es 

sampai tigaperempat bagian. Hawa di-

ngin membuat tubuh si Raja Siluman 

Naga menggigil. Dan....


BRRAAAKK!

Batang pohon itu patah berderak, 

dan terlempar dengan suara berdebum 

berkerosakan. Akan tetapi tetap tak 

ada lapisan es. Cuma butir-butir air 

saja yang mengembun melekat di batang 

pohon.

Melihat demikian Nanjar jadi 

garuk-garuk kepala tidak gatal dan 

tersipu-sipu malu. Sementara si Raja 

Siluman Naga kembali tertawa terbahak-

bahak karena merasa mendapat 

kemenangan.

"Hahaha.... apa kataku? kau cuma 

pintar ngibul! Apakah kau masih mau 

bilang kalau kau menguasai ilmu 

pukulan tenaga dalam Inti Es yang 

dapat membuat korban pukulan ter-

bungkus es secara mutlak dan kau 

ketahui?" 

Kali ini Nanjar tak dapat 

menjawab. Wajahnya semakin memerah.

"Nah, coba kau gunakan Tenaga 

Dalam Sungsang, seperti yang selama 

ini kau pelajari. Dan gunakan pukulan 

Inti Esmu untuk memukul batu besar 

itu!" ujar Raja Siluman Naga seraya 

menunjuk pada batu besar tak jauh dari 

tempat itu.

Tak ayal, Nanjar segera jalankan 

perintah gurunya. Dengan beberapa kali 

bersalto dia tiba didekat batu besar 

itu. Kejap selanjutnya dia telah 

jungkir balik dengan kepala dibawah


dan kaki diatas. Kepalanya digunakan 

untuk pengganti kedua kakinya menempel 

di tanah.

Segera dia gunakan ilmu Tenaga 

Dalam Sungsang. Dan menghantam batu 

besar di hadapannya dengan pukulan 

Inti Esnya.

PLAK!

Hantaman jarak jauh itu mengenai 

sasaran. Tampak uap mengepul di

sekeliling batu itu.

Dan.... dalam sekejap saja batu 

besar itu telah terlapisi oleh es. 

Tertolonglah Nanjar dengan hasil yang 

demikian itu.

Sepasang matanya membelalak. 

Nyatalah kalau kata-kata si Raja 

Siluman Naga itu benar. Ilmu pukulan 

Tenaga dalam Inti Es yang dapat 

membuat sasaran menjadi beku terlapisi 

es memang ada hubungannya dengan ilmu 

Tenaga Dalam Sungsang ciptaan Si Raja 

Siluman Naga!

"Nah! apakah kau masih tak 

percaya dengan kata-kataku?" teriak si 

kakek seraya melompat mendekati pemuda 

itu.

"Aku percaya, guru! Hehehe.... 

aku memang mengibuli kau! harap kau 

memaafkan aku yang bodoh!" berkata 

Nanjar seraya melompat berdiri.

Tiga bulan berada di pulau itu 

telah membuat bertambahnya ilmu 

kedigjayaan Nanjar yang berhasil


menyerap ilmu-ilmu si Raja Siluman 

Naga.

Akan tetapi tetap saja Nanjar 

tak mengetahui rencana busuk si Raja 

Siluman Naga. Hingga pada suatu 

hari...,

"Muridku! kukira cukuplah sudah 

kau mewarisi ilmu-ilmu kedigjayaanku. 

Selama ini kau telah bertambah 

pengetahuan dengan beberapa macam 

ilmu. Akan tetapi janganlah kau 

mengira kalau kau sudah tak dapat 

terkalahkan. Karena sesungguhnya 

tenaga dalammu masih teramat rendah!" 

berkata sang guru.

Nanjar cuma manggut-manggut. 

Dalam hati memang dia mengakui akan 

kata-kata gurunya dengan berpedoman 

dari guru-guru lainnya yang dia pernah 

berguru padanya. Karena di atas langit 

masih ada lagi langit!

"Seperti kau telah ketahui, 

sepasang kakiku telah mengalami 

kelumpuhan akibat pertarungan dengan 

si Raja Siluman Bangau. Rasanya aku 

sudah bosan untuk berpetualang di 

Rimba Persilatan. Biarlah, aku menetap 

dipulau ini..." ujar si Raja Siluman 

Naga.

"Jadi aku sudah boleh angkat 

kaki dari pulau ini, guru?" tanya 

Nanjar dengan wajah berubah girang.

"Nanti dulu, bocah! jangan kau 

potong penuturanku!" bentak si kakek.


Nanjar yang semula sudah mau 

berjingkrak jadi menyurut lagi duduk 

dengan menundukkan kepala.

"Bukankah kau menginginkan anak 

burung Rajawali itu?" bertanya Raja 

Siluman Naga.

"Benar, guru....! Akan tetapi 

tak mungkin aku membawanya. Dia belum 

berapa pandai terbang. Aku khawatir 

akan menyusahkan saja, bila aku 

membawanya!" sahut Nanjar. Raja 

Siluman Naga manggut-manggut.

"Kau memang kuperbolehkan 

meninggalkan pulau ini. Akan tetapi 

tidak sekarang! Dan anak burung 

Rajawali itu biarlah aku yang 

merawatnya!"

"Bagaimana kau akan merawatnya, 

guru? sedangkan kau sendiri..." tukas 

Nanjar. Akan tetapi si kakek tertawa 

terkekeh.

"Hehehe.... apakah kau kira aku 

tak mampu berbuat apa-apa dengan 

kelumpuhan kedua kakiku ini?" berkata 

Raja Siluman Naga.

"Apakah kau mengira tanpa kau 

merawatku aku akan mati? Hahaha... 

tidak sama sekali bocah! Aku memang 

sengaja menahanmu karena sudah 

kukatakaan yaitu aku akan mewariskan 

ilmu-ilmu kedigjayaanku padamu! Kau 

amat berkenan di hatiku, karena selama 

hidupku baru aku menemui seorang bocah 

yang semacam kau!"


Nanjar cuma membisu tak berkata-

kata. Sementara wajahnya semakin 

memerah karena malu. Dia pernah 

bergurau pada si Raja Siluman Naga dan 

menduga kakek itu menahannya di pulau 

itu karena berharap dapat 

memperpanjang umurnya dengan adanya 

Nanjar ditempat itu. 

"Atas kebaikan hati guru, tentu 

saja aku amat berterima kasih" berkata 

Nanjar.

"Lalu apakah yang selanjutnya 

harus kulakukan, guru?" tanya Nanjar, 

setelah sekian lama si Raja Siluman 

Naga termangu-mangu sambil mengelus 

kumisnya yang panjang menjuntai. Kakek 

itu menghela napas, lalu ujarnya.

"Mendekatlah kemari, bocah!" 

berkata dia.

Nanjar turutkan perintah itu 

dengan menggeser duduknya mendekati si 

kakek. Sementara hatinya bertanya-

tanya, apakah yang akan dilakukannya 

terhadapku?" pikir Nanjar dalam hati.

"Nanjar, muridku! aku merasa 

terlalu banyak kelebihan tenaga 

dalamku. Dan kukira bagiku kini tak 

begitu memerlukannya lagi. Oleh sebab 

itu aku akan memberikan separuh tenaga 

dalamku padamu!" berkata si Raja 

Siluman Naga.

Nanjar terhenyak menatap kakek 

tua itu dengan mata mendelong.


"Kau akan mewariskannya padaku?" 

tanya Nanjar seperti tak percaya.

"Ya, kukira kau tak usah 

menolaknya. Aku ingin kau membawa 

bekal didunia persilatan agak cukupan. 

Karena musuh-musuhmu bukanlah sedikit

yang berilmu tinggi!" sahut si kakek.

Nanjar termangu sejenak. Tapi 

lalu berkata.

"Yah, terserahlah. Kalau kau 

memaksa mana aku bisa menolak?" 

ujarnya sambil manggut-manggut. Akan 

tetapi diam-diam Nanjar bergirang hati 

atas kebaikan si kakek gurunya ini.

Nanjar turutkan perintah gurunya 

untuk duduk bersila dengan menghimpun 

tenaga dalamnya dipusar. Sementara 

telapak tangannya beradu menempel 

dengan telapak tangan si Raja Siluman 

Naga.

"Nah! kendurkan pernapasanmu, 

dan bersikaplah biasa saja, sementara 

aku akan menyalurkan tenaga dalamku 

kesekujur tubuhmu. Bila kau merasakan 

hawa hangat mengalir melalui telapak 

tanganmu, itu tandanya tenaga dalamku 

tengah menyalur ke tubuhmu. Kau harus 

sebarkan tenaga dalammu yang berada di

pusar untuk menyambutnya agar tenaga 

dalamku segera menyatu dengan tenaga 

dalammu. Tapi ingatlah! Kau harus 

pergunakan ilmu Tenaga Dalam 

Sungsang!" ujar Raja Siluman Naga


memberi penjelasan yang juga termasuk 

perintah.

Nanjar kerutkan alisnya. 

"Mengapa aku harus pergunakan ilmu 

Tenaga Dalam Sungsang, guru?" tanya 

Nanjar terheran. "Bukankah kalau aku 

akan mempergunakan tenaga dalam itu 

harus dalam keadaan jungkir balik?"

"Hehehe....kau turuti sajalah 

perintahku!" berkata si kakek.

Walaupun dalam keadaan terheran 

dan tidak mengerti, namun Nanjar tak 

berani melanggar perintah. Diapun 

turutkan apa yang diperintahkan 

gurunya. Ketika dia rasakan hawa 

hangat memasuki telapak tangannya dan 

mengalir kesekujur urat-urat darahnya, 

Nanjar segera keluarkan tenaga dalam 

dari pusar untuk menyambut. Tentu saja 

dia gunakan ilmu Tenaga Dalam Sungsang 

seperti yang diperintahkan si Raja 

Siluman Naga itu.

Akan tetapi mendadak dia 

merasakan darahnya tersedot tenaga 

aliran hangat itu. Dalam keadaan 

demikian di tersentak kaget. Dalam 

keadaan beberapa detik itu otak 

warasnya bekerja. "He? jangan-jangan 

dia bermaksud mencelakakanku!" 

Akan tetapi terlambat. Disaat 

dia berusaha menghentikan aliran 

tenaga dalam dari pusat, mendadak 

tubuhnya seperti terkena aliran

listrik. Pemuda ini menjerit parau.


Dan tubuhnya terkulai, lalu jatuh 

terjengkang tak berkutik lagi.

Nanjar rasakan tubuhnya seperti 

dilolosi tulang-belulangnya. Pandangan 

matanya menjadi gelap dengan mendadak. 

Dan dia terkapar tak sadarkan diri. 

Disaat sebelum dia pingsan lapat-lapat 

dia mendengar suara tertawa si Raja 

Siluman Naga.

"Hahaha.... hehehe.... 

hahaha.... bocah tolol! habislah sudah 

tenaga dalammu. Sia-sialah semua ilmu 

kepandaian yang kau miliki! Hahaha... 

kini tenaga dalamku telah bertambah 

berlipat ganda. Kelumpuhanku akan 

segera sembuh tak berapa lama lagi. 

Hahaha.... kau memang bocah sial yang 

membawa keberuntungan padaku!"

Nanjar terkesiap mendengar kata-

kata itu. Akan tetapi dia sudah tak 

berdaya. Karena detik selanjutnya dia 

sudah tak tahu apa-apa lagi....

Tampak si Raja Siluman Naga 

setelah puas tertawa dengan 

kemenangannya yang telah berhasil 

mengelabui pemuda itu, segera gerakkan 

kedua lengannya seperti membentuk 

lingkaran diudara. Gerakan itu telah 

menimbulkan munculnya uap putih dan 

merah yang semakin lama semakin 

banyak. Setelah melakukan tiga kali 

putaran itu, sepasang tangan si kakek 

bergerak mencekal kedua betis kakinya. 

Apakah yang terjadi? Uap-uap itu kini


berpindah dan keluar dari pembuluh-

pembuluh darah dikedua kaki Raja 

Siluman Naga.

Selang tak lama kira-kira 

sepeminum teh si Raja Siluman Naga 

melepaskan cekalan pada kedua betis 

kakinya.

Sementara uap putih merah itu 

pelan-pelan mulai kembali lenyap.

Tiba-tiba orang tua itu 

perdengarkan suara melengking keras 

disertai melambungnya tubuhnya 

keudara. Saat berikutnya.... jleg! Si 

Raja Siluman Naga telah jejakkan 

sepasang kakinya di tanah. Begitu 

kekarnya kedua kaki itu hingga 

tanahnya yang dipijak amblas sebatas 

mata kaki. Hebat, dan aneh! Dalam 

waktu sekejapan saja kedua kaki si 

kakek itu telah sembuh dari 

kelumpuhannya!

"Hahaha....hehehe... kini Raja 

Siluman Naga telah kembali menjadi 

seekor Naga yang utuh. Bahkan 

bertambah tenaga dalamnya!" tertawa 

berkakakan kakek itu, hingga kumisnya 

yang panjang menjuntai itu bergerak-

gerak bagai misai Naga! Akan tetapi 

pada saat itu terdengar suara 

bentakan.

"Naga pengkor! pengecut busuk! 

kedua kakimu akan tetap 

pengkor!" Dua sinar berkelebat. 

Dan...


Krraaak! Krraakk!

Raja Siluman Naga menjerit parau 

seperti suaranya mau menembus langit. 

Tubuh tinggi besar itu tiba-tiba 

ambruk ketanah. Dan tampak dua potong 

kaki yang hancur berserpihan membaur 

dengan menyemburatnya darah ke setiap 

penjuru.

Berguling-guling dan meraung-

raung si Naga Siluman Naga memegangi 

kedua kakinya yang putus dan dalam 

keadaan hancur bersimbah darah.

Ketika dia menatap kehadapannya 

yang tampak hanya punggung seorang 

kakek kurus tua renta yang memondong 

tubuh Nanjar dan berkelebat dari 

tempat itu....

TIGA

Mendelik lebar mata si Raja 

Siluman Naga. Serta merta dia 

menggembor keras. Lengannya bergerak 

menghantam punggung kakek kurus itu.

"Raja kunyuk! mampuslah kau!" 

Berbareng dengan bentakan keras itu 

serangkum angin dahsyat menyambar dari 

lengan kakek Raja Siluman Naga. 

Bllarrrr!

Pohon besar itu tumbang dengan 

batang hancur. Nyaris saja dua korban 

melayang jiwanya kalau pada detik itu


si kakek kurus tidak bertindak cepat 

mengelak dengan melompat. Hebat 

gerakan melompat sikakek kurus itu. 

Walaupun dengan membawa beban di 

pundak, namun masih bisa lakukan salto 

yang baik sekali. Lengannya yang 

panjangnya melebihi panjang lengan 

manusia biasa menjangkau ujung ranting 

pohon, lalu berayun melesat kepohon 

lainnya. Dalam beberapa kejap saja 

bayangan si kakek kurus itu sudah 

lenyap di balik kerimbunan hutan

Menggeram gusar si Raja Siluman 

Naga. Rasa sakit yang luar biasa pada 

kedua kakinya yang hancur tak 

dirasakan lagi. Dalam sekilas saja dia 

telah mengetahui kalau orang itu 

adalah si Raja Siluman Kera. Mana mau 

dia melepaskan manusia yang telah 

membuat hancur kedua kakinya begitu 

saja? Detik itu juga dia gerakkan 

lengannya menotok kedua lututnya untuk 

menghentikan darah. Kejap berikut 

tubuhnya telah mencelat ke udara 

mengejar ke arah berkelebatnya tubuh 

Raja Siluman Kera.

Sementara itu Nanjar yang dalam 

keadaan tak sadarkan diri tak 

mengetahui lagi apa yang terjadi pada 

dirinya.

Kakek penolongnya itu memang tak 

lain dari Si Raja Siluman Kera. Kakek 

kurus ini membawa tubuh Nanjar 

berkelebat turun dari puncak pohon,


tepat di sisi tebing. Ternyata dia tak 

meneruskan langkahnya.

"Aku harus memeriksanya dulu. 

Tubuh bocah ini dingin sekali. Aku 

khawatir jiwanya tak dapat 

tertolong...." menggumam kakek ini. 

Dia tampak amat khawatir sekali dengan 

keselamatan si pemuda. Akan tetapi 

baru saja dia mau memeriksa tubuh 

pemuda itu yang digeletakkan dirumput, 

pada saat itu juga terdengar suara 

berkerosokan disusul berkelebatnya 

sosok tubuh tubuh yang hinggap ditanah 

dengan kedua lengannya terlebih dulu. 

Siapa adanya sosok tubuh itu tak lain 

dari si Raja Siluman Naga! 

"Kunyukitu sial dangkalan! 

jangan harap kau bisa lolos dari 

tanganku!" menggembor si Raja Siluman 

Naga dengan bentakan menggeledek. 

Pucat seketika wajah kakek kurus ini. 

Akan tetapi dia tampak tenang dalam 

situasi yang demikian itu. Diam-diam 

dia telah pasang kuda-kuda dan 

bersikap waspada untuk segera 

menghadapi pertarungan.

"Kunyuk tua licik! pengecut 

curang! mengapa kau membokongku? 

Menyerang orang yang dalam keadaan 

lengah itu adalah suatu perbuatan 

pengecut!" bentak pula si Raja Siluman 

Naga yang telah duduk bersila diatas 

rumput.


"Hehehe....nguk! nguk! nguk! 

Perbuatan licik memang harus dibalas 

licik! perbuatan curang pun harus 

dibalas curang! Bukankah itu namanya 

adil? Kau telah mengelabui bocah ini 

yang sudah jelas kau tipu mentah-

mentah! Apakah perbuatanmu itu tidak 

keterlaluan?" menjawab si Raja Siluman 

Kera dengan mulut cengar-cengir. Akan 

tetapi sepasang matanya memancarkan 

cahaya kebencian pada si Raja Siluman 

Naga.

"Tutup bacotmu! mengapa kau ikut 

campur urusan orang? Hm, bersiaplah 

kau untuk mampus siang-siang Raja 

Kunyuk! Akan tetapi sebelum kau pulang 

ke Akhirat aku mau bertanya, apakah 

kau datang bersama ketiga orang

kawanmu?"

"Heh, aku cuma seorang diri! 

Hm....aku tahu tentunya kau takut 

untuk berhadapan dengan Empat Raja 

Gila sekaligus!" ejek si kakek ini.

"Grrrrh.... jangan kata empat, 

seratus orang macam kau aku masih 

sanggup mengirim nyawanya ke Akhirat!" 

teriak Raja Siluman Naga. Dan 

bersamaan dengan itu dia telah 

menerjang dahsyat dengan cengkeraman 

ganas. Hawa dingin yang luar biasa 

menerpa kearah si Raja Siluman Kera.

Raja Siluman Kera yang memang 

sudah waspada tak berayal lagi untuk 

segera berkelit. Akan tetapi karena


khawatir si Raja Siluman Naga lakukan 

serangan yang bisa mencelakai pemuda 

bernama Nanjar itu, Dia telah 

memapakinya dengan hantaman pula.

Menderu angin dahsyat dari 

sepasang lengan Raja Siluman Kera. 

Namun ternyata Raja Siluman Naga tak 

mau mengadakan benturan. Justru dia 

miringkan tubuh untuk segera berguling 

ke sisi. Dilain kejap dia sudah dalam 

keadaan jungkir balik berdiri dengan 

kepala menempel di tanah. Dan dengan 

gerak cepat yang telah disiapkan itu, 

Raja Siluman Naga telah gunakan 

pukulan Tenaga Dalam Sungsang!

Terkesiap Raja Siluman Kera. 

Sungguh dia tak menduga akan tipuan 

yang digunakan lawan dalam waktu cuma 

satu jurus saja. "Celaka....!?" dia 

membathin dalam hati.

Sungguh sukar diduga kalau Raja 

Siluman Naga tiba-tiba mencabut lagi 

serangannya. Sepertinya dia sudah 

menduga kalau si Raja Siluman Kera 

akan melompat ke arah kiri. Benar 

saja. Gerakan melompat si Raja Siluman 

Kera itu memang amat luar biasa 

gesitnya. Dengan gerakan melompat yang 

begitu cepat kakek kurus itu melompat 

ke sisi. Akan tetapi justru Raja 

Siluman Naga telah mendahuluinya 

berada disana. Belum lagi Raja Siluman 

Kera jejakkan kaki di tanah, tiba-tiba


pukulan Tenaga Dalam Sungsang telah 

menghantam kearah dadanya....

Menjeritlah si Kakek Raja 

Siluman Kera dengan suara parau. 

Pukulan dahsyat itu telak mengenai 

dadanya. Itulah pukulan tenaga dalam 

Inti Es yang telah dipergunakan dengan 

digabungkan dengan ilmu Tenaga Dalam 

Sungsang! Tak ampun lagi tubuh kakek 

kurus itu terlempar beberapa tombak 

dan terkapar tak berkutik lagi. 

Sementara hawa dingin seperti membuat 

beku sekitar tempat itu. Apa yang 

terlihat adalah di antara uap yang 

menyelimuti sekitar pertarungan itu 

tampak terkapar tubuh si Raja Siluman 

Kera dalan keadaan terbungkus oleh 

lapisan es!

Kejadian barusan itu ternyata 

telah dilihat oleh Nanjar yang pada 

saat itu baru saja siuman dari 

pingsannya. Akan tetapi dia tak dapat 

gerakkan tubuh bahkan kaki dan 

tangannya. Semua persendian tulangnya 

serasa lemah lungiai tak bertenaga. 

Tenaganya serasa punah semua. Dia cuma 

bisa menatap keadaan sesosok tubuh 

yang terbungkus oleh lapisan es. Tubuh 

siapakah gerangan dia tak mengetahui 

sama sekali. Sementara yang membuat 

heran adalah dia melihat si Raja 

Siluman Naga yang dalam keadaan 

jungkir balik memperlihatkan sepasang 

kakinya yang telah hancur putus!


Tahu-tahu kakek tinggi besar itu 

sudah berkelebat ke arahnya. Kakek ini 

melototkan matanya menatap Nanjar. 

Nanjar cepat-cepat berbuat seolah-olah 

masih tak sadarkan diri.

"Huh! kau masih hidup, bocah! 

Ternyata kesialanmu telah merembet 

padaku!" berkata Raja Siluman Naga 

dengan hati mendongkol pada Nanjar.

Bret! bret!

Kakek ini tiba-tiba merobek 

jubahnya. Dan dengan duduk di rumput 

itu dia membalut kedua kakinya yang 

putus itu. Sementara Nanjar yang dalam 

keadaan baru tersadar itu sipitkan 

matanya mengintip apa yang dilakukan 

kakek itu. Sementara dia mulai 

mengingat-ingat kejadian yang dialami.

Dia mulai teringat akan kata-

kata si Raja Siluman Naga yang tertawa 

terbahak-bahak disaat sebelum dia 

pingsan. "Hahaha.... haha.... bocah 

tolol! Habislah sudah tenaga dalammu! 

Sia-sialah semua ilmu kepandaianmu 

yang kau miliki ! Hahaha....kau memang 

bocah sial yang membawa keberuntungan 

padaku! Kelumpuhan kakiku akan segera 

sembuh tak berapa lama lagi ! Kau 

memang bocah sial yang membawa 

keberuntungan padaku!"

Ya! kata-kata itu masih 

terngiang ditelinganya! 

"Siluman tua ini telah menipuku! 

Tapi mengapa justru kedua kakinya


hancur sedemikian rupa? dan siapa 

orang yang terkena pukulan Inti Es 

itu?" pikir Nanjar dalam benak. Namun 

Nanjar dapat menduga kalau orang yang 

terkapar itulah yang telah 

mengakibatkan kehancuran kedua kaki si 

Raja Siluman Naga.

Diam-diam Nanjar mengeluh dalam 

hati. "Celaka....! Ternyata manusia 

ini tak lain dari manusia telengas. 

Aku terjebak dalam perangkap karena 

kurang waspada. Haiiih! betapa 

dungunya aku. Entah apa lagi yang akan 

diperbuatnya padaku. Aku sudah tak 

berdaya...."

Walaupun pemuda ini mengeluh 

dalam keputus asaan namun tidaklah dia 

mandah saja menerima nasib. Diam-diam 

dia kerahkan sisa tenaganya. Lengannya 

digerakkan untuk menggapai sebongkah 

batu sebesar kepalan tangan didekatnya 

ketika si Raja Siluman Naga tengah 

sibuk membalut kakinya dengan 

menyeringai menahan sakit. Usahanya 

berhasil. Kini batu sebesar kepalan 

tangan itu telah berada dalam

genggaman tangannya. Nanjar berusaha 

menghimpun sisa-sisa tenaga dalam 

untuk disalurkan kelengan. Hati pemuda 

ini membathin. "Manusia ini ternyata 

selain jahat juga licik. Kalau dia 

berani mendekat untuk menganiayaku 

atau membunuhku, batu ini bisa 

kupergunakan! Kalau toh akhirnya aku


harus mati, tapi aku puas karena 

setidak-tidaknya aku telah membuat 

cacat pada mukanya!"

Tekad Nanjar ternyata membawa 

hasil. Sisa-sisa tenaga dalamnya 

ternyata berhasil dikumpulkan pada 

lengan kanannya yang mencekal batu. 

Nanjar masih berusaha berbuat agar 

tangan kirinya bisa di gerakkan. Akan 

tetapi ternyata dia tak mampu untuk 

memindahkan tenaganya ke lengan kiri. 

Kekuatan terakhir yang diandalkan 

Nanjar hanyalah pada tangan kanannya 

yang mencekal batu itu saja.

Hati Nanjar kebat-kebit menanti 

saat-saat yang menentukan, menunggu 

selesainya si Raja Siluman naga 

membaiut kakinya.

Dan saat-saat tegang itupun 

akhirnya tiba....

Kakek berkumis bagai misai Naga 

ini telah selesai membalut kakinya. 

Dia menoleh menatap Nanjar yang masih 

terkapar tak berkutik menyender di 

dinding batu gunung.

Raja Siluman Naga tertawa 

menyeringai.

"Heheheh...dalam keadaan seperti 

sekarang ini rupuanya aku masih 

memerlukan kau bocah! Terpaksa aku 

mengulur waktu kematianmu. Akan tetapi 

kau harus menjadi seorang yang lupa 

akan asal-usulmu, juga lupa pada apa 

yang pernah kau alami! Heheheh...."


berkata si Raja Siluman naga dengan 

suara mendesis. Dia mengira kalau 

Nanjar masih dalam keadaan tak 

sadarkan diri.

Kakek ini beringsut mendekati 

Nanjar. Semakin dekat semakin kebat-

kebit hati pemuda ini.

Tiba-tiba Raja Siluman Naga 

ulurkan tangannya kearah kepala 

Nanjar. "Hehehe........ totokan pada 

urat syarafnya ini akan membuat dia 

menjadi orang yang linglung. Dia 

takkan mengetahui kalau aku telah 

memperdayainya!" berkata Raja Siluman 

Naga dalam hati. Akan tetapi beberapa 

inci lagi sebelum jari tangan si kakek 

menyentuh kulit kepala Nanjar, tiba-

tiba Nanjar gerakkan tangannya 

menghantam ke arah mukanya. Kejadian 

yang di luar dugaan itu terlalu cepat. 

Si kakek tak dapat mengelakkan diri 

lagi. Dia menjerit parau ketika benda 

keras menghantam mukanya. Terdengar 

suara tulang yang hancur beradu dengan 

batu. Darah memuncrat seketika.

Namun jeritan kesakitan si Raja 

Siluman naga berbareng pula dengan 

keluhan Nanjar,karena toh jari-jari 

tangan si Raja Siluman Naga masih 

sempat menotok urat syarafnya. 

Seketika Nanjar rasakan kepalanya 

seperti digigiti ratusan semut. 

Pandangannya menjadi nanar. Dan.... 

dia kembali roboh tak sadarkan diri.



Adapun si Raja Siluman Naga 

meraung panjang mengerikan. Tubuhnya 

berguling-guling dan berkelojotan 

bagai ayam disembelih. Namun tak 

berlangsung lama karena sesaat 

kemudian tubuh si Raja siluman naga 

diam tak berkutik. Darah merah masih 

menggelogok keluar dari mukanya. 

Keadaan muka kakek itu amat 

mengerikan, karena tulangnya telah 

hancur melesak ke dalam hingga sudah 

tak berbentuk lagi. Denyut nadinya 

ternyata telah berhenti. Nyawanya 

telah melayang....!

Tempat itu kini sunyi mencekam. 

Senja kian merayap jua. Pelahan-lahan 

Mataharipun tenggelam di balik bukit. 

Sementara puluhan kelelawar terlihat 

bermunculan mengitari puncak bukit....

EMPAT

EMPAT MUSIM telah lewat 

berturut-turut. Waktu berlalu seperti 

melesatnya anak panah. Di pertengahan 

musim dingin itu tampak lima buah 

perahu bergerak mendatangi palau 

terpencil itu. Kelima perahu itu 

masing-masing pada bagian depan tegak 

berdiri salah seorang dari belasan 

orang yang berada pada tiap-tiap 

perahu. Siapakah adanya mereka ini?


Dan ada maksud apakah mendatangi pulau 

terpencil itu? Marilah kita ikuti....

Perahu yang berada dibagian 

tengah mempunyai ukuran lebih besar 

dan tampak lebih bagus dari yang 

lainnya berada paling depan di antara 

semua perahu. Hingga kelihatannya 

barisan perahu itu membentuk ujung 

tombak. Dilihat dari sikap orang yang 

berdiri didepan perahu itu, dapatlah 

diduga kalau laki-laki berpakaian 

serba ungu itu adalah sipemimpin dari 

rombongan itu.

"Kita segera mendarat!" berkata 

laki-laki itu. Usia laki-laki ini 

dapat ditaksir yaitu berusia sekitar 

tiga puluhan tahun lebih. Sikapnya 

gagah dan berwibawa. Memanglah dia tak 

lain dari ketua rombongan ini.

"Apakah ketua yakin pulau ini 

yang dimaksud dalam peta?" bertanya 

salah seorang yang duduk di belakang 

laki-laki ini tanpa memegang dayung. 

Dia seorang laki-laki berjubah kuning. 

Usianya sekitar 40 tahun, berwajah 

lancip dengan sejumput jenggot 

didagunya.

"Aku yakin pulau inilah yang 

dimaksud, paman KULIPALA! Apakan kau 

berpendapat ada pulau lagi ditempat 

ini?" balik bertanya laki- laki itu. 

Yang ditanya putarkan kepala memandang 

ke sekitar tempat di perairan itu de-

ngan bangkit berdiri.


Lalu kembali menatap kedepan. 

"Kukira tak ada lagi selain pulau ini, 

ketua!"ujarnya pelahan. "Akan tetapi 

entah kalau di belakang pulau ini ada 

lagi sebuah pulau....!"

"Hm, nanti kita periksa. Nah, 

kalian kayuhlah lebih cepat. Aku sudah 

tak sabar untuk memeriksa pulau ini!" 

berkata sang ketua. Perahu dibagian 

tengah itu tampak melaju lebih cepat, 

yang segera diikuti oleh empat perahu 

yang mengiringnya.

Hingga dalam waktu tak seberapa 

lama kelima perahu itupun mendarat di 

pulau tersebut. Dan serentak para awak 

perahu itupun berlompatan ke pasir. 

Sementara laki-laki ketua ini telah 

melompat lebih dulu. Dari saku bajunya 

dikeluarkan secarik kertas kulit. Lalu 

tampak dia mengamati kertas kulit itu 

yang tak lain dari sebuah peta.

Lima orang pemimpin dari masing-

masing regu yang mengetuai belasan 

anak buah, segera berkumpul 

mengelilingi sang ketua itu.

"Kalian berlima segera 

berpencar. Bawalah masing-masing anak 

buah kalian untuk melacak situasi 

pulau ini. Kita perlu mengetahui ada 

tidaknya penghuni di pulau ini 

dan...." ujar sang ketua seraya 

menunjuk setelah sejak tadi menatapkan 

pandangannya pada puncak bukit yang 

tertinggi itu. Nah, aku beri


kesempatan beristirahat beberapa saat. 

Bubarlah! Nanti setelah ada tanda 

isyarat dariku, kalian mulai jalankan 

tugas!" berkata laki-laki ini. Kelima 

orang itu menyahut serempak.

"Baik, Ketua....!"

Lalu mereka bubar. Masing-masing 

kembali ke kelompoknya. Kecuali laki-

laki tua berjubah kuning itu yang 

masih berada didekat sang ketua. 

Akan tetapi baru saja kelima 

orang itu bubar, tiba-tiba terdengar 

suara para anak buah mereka menjadi 

riuh. Masing-masing kepala menengadah 

keatas. Apakah yang dilihat mereka? 

Kiranya seekor burung Rajawali yang 

cukup besar terbang mengitari di atas 

kepala mereka disertai suara berkiak-

kiak.

"Rajawali raksasa....? Ah, baru 

sekali ini aku melihat burung sebesar 

itu!" berkata laki-laki ketua itu 

dengan mendongak ke atas memandang 

kagum.

"Santapan lezat! Dagingnya tentu 

enak!" berkata si laki-laki tua jubah 

kuning. Tiba-tiba lengannya bergerak 

kebalik jubah. Seutas rantai yang 

berbandulan sebuah trisula hitam telah 

berada dalam genggaman tangannya. 

Ketika putaran burung rajawali itu 

berada di atas kepalanya, laki-laki 

bernama Kulipala ini mendadak 

lemparkan trisula itu ke udara....


Suara mendesing yang disertai 

menyamba-nya senjata itu kearah leher, 

membuat burung Rajawali itu terkejut.

"Keaaaaakk!"

Rajawali itu mengiyak panjang.

Sayapnya digunakan untuk menghempas 

benda pembawa maut itu. Hempasan sayap 

burung itu menimbulkan angin keras 

hingga trisula maut itu miring ke

kiri. Dan dia berhasil menghindarkan 

diri. Tentu saja dia jadi marah karena 

ada yang mengganggunya. Tiba-tiba 

sekali memutar, dia telah menukik 

menyambar si jubah kuning. Cakarnya 

terentang memperlihatkan kuku-kukunya 

yang runcing. Paruhnya terbuka 

mengeluarkan suara yang mengiyak 

nyaring.

Terkesiap seketika si jubah 

kuning karena tak menduga serangannya 

akan menemui kegagalan, dan diluar 

dugaan justru si burung Rajawali itu 

justru telah menyerangnya dengan 

ganas.

Akan tetapi pada saat itu 

terdengar suara suitan nyaring yang 

diiringi kata-kata. "JABUR! jangan kau 

kurang ajar! Tetamu yang datang 

biarlah aku yang menyambut!"

Mendengar suara suitan itu si

burung rajawali seketika batalkan 

serangannya. Dia terbang kembali ke

udara dan berputar-putar, lalu 

meluncur terbang untuk hinggap di



puncak pohon. Namun tiada hentinya dia 

mengeluarkan bunyi keras mengiyak.

Saat itu sesosok bayangan tubuh 

manusia berkelebat. Dan membelalak 

mata si jubah kuning karena 

dihadapannya telah berdiri tegak 

seorang laki-laki muda berambut 

gondrong. Memakai ikat kepala dan ikat 

pinggang kulit ular. Bajunya compang-

camping tapi bertampang gagah.

"Hahaha.... daging burung itu 

tidak enak sobat! Harap kau tidak 

menginginkannya!" berkata pemuda ini. 

Siapakah adanya laki-laki ini? Dialah 

Ginanjar alias Nanjar, yang selama ini 

menetap di pulau itu.

"Apakah anda pemilik burung 

Rajawali itu?" bertanya Kulipala 

dengan memandang tajam.

"Hm, benar! Aku juga penghuni 

tunggal di pulau ini!" Sahut Nanjar. 

"Ada apakah kalian datang beramai-

ramai ke pulauku?" tanya Nanjar 

dengan krenyitkan dahi memandang

puluhan orang di tempat itu. Cepat-

cepat si laki-laki ketua dari 

rombongan itu menjura dihadapan Nanjar 

seraya berkata.

"Kami adalah orang-orang dari 

perguruan Tapak Nenggala, Aku sendiri 

sebagai ketuanya. Namaku JAKA NINGRAT. 

Dalam Rimba Persilatan orang 

menggelari diriku si Jalak Emas! 

Kedatangan kami kemari adalah mencari


tahu kebenaran tentang adanya sebuah 

benda pusaka di pulau ini yang kami 

ketahui dengan petunjuk sebuah peta! 

Bolehkan aku tahu siapa anda?"

"Benda pustaka?" tersentak 

Nanjar. "Benda pustaka apakah yang 

mereka maksudkan?" berkata Nanjar 

dalam hati. Karena selama dua tahun 

lebih dia menetap di pulau itu dia tak 

mengetahui adanya benda pusaka itu 

ditempat itu.

Melihat sikap Nanjar yang 

terpaku heran itu, kedua orang itu 

saling pandang. Sementara nanjar jadi 

garuk-garuk kerjala seraya berkata.

"Namaku Nanjar! Aku tak 

mengerti, benda apakah yang kalian 

maksudkan? Dan darimana peta itu 

kalian dapatkan?" tanya Nanjar.

"Hm… sobat! Kami mengira pulau 

ini adalah pulau kosong. Tak tahunya 

berpenghuni. Benda yang kami cari itu 

adalah sebuah Pedang Pusaka yang 

bernama Pedang Pusaka INTI ES! Peta 

ini kami dapatkan dari seseorang yang 

tak mau menyebutkan namanya!" sahut 

Jaka Ningrat dengan memperhatikan 

wajah pemuda itu seperti menyelidik, 

apakah pemuda gondrong itu sebenarnya 

sudah mengetahui ataukah pura-pura 

tidak tahu?

"PEDANG INTI ES?" Nanjar 

terheran-heran "Aku baru mendengar 

nama pedang Pusaka demikian. Aneh! Aku


tak tahu adanya benda Pusaka itu di 

pulau ini. Hm, jangan-jangan kau kena 

dikibuli orang itu. Di pulau ini tak 

ada sepotongpun benda pusaka!" berkata 

Nanjar.

Mendengar jawaban Nanjar kembali 

Jaka Ningrat saling pandang dengan 

Kulipala. Orang tua jubah kuning itu 

mendengus.

"Heh! Apakah kami bisa percaya 

begitu saja pada kata-katamu? Kau 

tentu tidak seorang diri tinggal di 

pulau ini. Kalau kau punya guru, tentu 

gurumu mengetahui! Ketahuilah! kami 

tidak akan pulang kembali tanpa Pedang 

Pusaka INTI ES itu di tangan kami!" 

berkata ketus Kulipala.

Mendengar kata-kata Kulipala, 

Nanjar jadi tertawa tergelak-gelak 

hingga tubuhnya terguncang-guncang. 

Adapun para anak buah perguruan Tapak 

Nenggala segera saja telah membuat 

pagar betis mengelilingi Nanjar. 

Masing-masing siap menerima perintah 

untuk meringkus pemuda berbaju 

compang-camping itu. Akan tetapi 

belasan orang tetap berjaga dengan 

senjata terhunus untuk menghadapi 

segala kemungkinan dari serangan si 

burung Rajawali yang masih bertengger 

di puncak pohon.

Setelah reda dari tertawa 

gelinya, Nanjar berkata.


"Di pulau ini takkan kalian 

jumpai siapa-siapa kecuali aku 

sendiri. Aku memang mempunyai enam 

orang guru. Tetapi kesemuanya sudah 

berdiam di dalam tanah. Kalau kalian 

tidak percaya, silahkan periksa 

seluruh tempat. Di atas puncak bukit 

tertinggi itu kalian akan dapati 

sebuah goa, dan enam buah kuburan yang 

berjajar. Selain enam buah kuburan itu 

kalian takkan dapat menemukan siapa-

siapa. Haha... kalau toh keenam guruku 

mengetahui semasa hidup, tentu benda 

Pusaka itu sudah ada di tanganku!" 

ujar Nanjar dengan suara agak keras. 

Lengannya menunjuk ke arah bukit 

tertinggi di tengah pulau.

Hampir semua mata menatap 

kesana. Suasana sejenak menjadi 

hening.

"Kami akan memeriksa!" tiba-tiba 

suara Jaka Ningrat memecah keheningan.

"Silahkan! silahkan! aku tak 

keberatan. Kalau kalian dapatkan benda 

apa saja di atas bukit itu ambil saja 

kalau kalian mau!" ujar Nanjar.

"Hm, Paman Kulipala dan kalian 

Bendowo, Jalantra dan Kebojalu serta 

dua regu berada disini. Yang lain ya 

ikut aku!" perintah Jaka Ningrat pada 

anak buahnya. Segera saja anak buah 

itu memecah menjadi dua rombongan.

Rombongan yang sebagian segera 

mengikuti di belakang Jaka Ningrat.


Dan yang lainnya tetap berjaga di 

tempat itu.

LIMA

Nanjar memperhatikan semua itu 

dengan tersenyum. Dilihatnya semua 

anak buah Jaka Ningrat seperti 

mengawasi dirinya. Akan tetapi tampak 

pula ada yang mengawasi si Jabur 

dengan sikap waspada.

Diam-diam di hati Kulipala 

timbul niatnya untuk mengetahui sampai 

di mana ilmu kedigjayaan Nanjar. Akan 

tetapi dia tak secara langsung 

melaksanakan niatnya. Dia melangkah 

mendekati seraya berkata.

"Sobat muda. Bolehkah aku tahu 

siapa adanya kelima orang gurumu yang 

sudah kau katakan mati itu?"

"Hm,aku tak pernah merahasiakan 

tentang diriku. Mereka adalah si EMPAT 

RAJA GILA, Raja Siluman Naga, dan yang 

seorang lagi adalah si Raja Siluman 

Bangau. Tepatnya mereka adalah para 

RAJA-RAJA GILA!"

Tentu saja mendengar jawaban 

Nanjar seketika wajah Kulipala jadi 

berubah pucat pias.

"Empat Raja gila? Raja Siluman 

Naga? Dan Raja Siluman Bangau?" 

Kulipala terperanjat.


"Hahaha... benar! apakah engkau 

pernah mendengar nama-nama itu?" tanya 

Nanjar dengan cengar-cengir.

"Apakah mereka yang pernah 

mendapat julukan si ENAM IBLIS PULAU 

KAMBANGAN pada puluhan tahun yang 

silam?" bertanya Kulipala.

"Hehehe... betul! tidak salah! 

Ketiga guruku si Raja Siluman Ular, 

Raja Siluman Harimau, dan Raja Siluman 

Biawak pernah bercerita padaku!" ujar 

Nanjar serentak.

"Oh, maafkan kebodohanku sobat 

muda. Aku tak mengetahui kalau kau 

adalah murid mereka. Guruku bersahabat 

baik dengan keenam orang gurumu itu!"

"Hm, begitukah? siapa nama 

gurumu?" tanya Nanjar dengan memandang 

tajam.

"Beliau adalah Ki BROJOL IRENG, 

yang bergelar si Iblis Tengkorak 

Bolong!" Sahut Kulipala dengan wajah 

berkeringat.

"Hahaha... kalau begitu kita 

adalah sahabat!" berkata Nanjar.

"Ya! Kita adalah sahabat!" 

berkata Kebojalu dan kedua kawannya. 

Serentak ketiga orang itu menjura 

dihadapan Nanjar. Nanjar balas 

menjura. Akan tetapi tiba-tiba 

melompat mundur, seraya berkata.

"Eh, nanti dulu! Keempat guruku 

memang berasal dari golongan sesat, 

akan tetapi telah lama cuci tangan dan


tak memunculkan diri di dunia 

persilatan hingga akhir khayatnya. 

Adapun si Raja Siluman Naga dan Raja 

Siluman Bangau aku tak mengetahui 

perbuatan apa yang dilakukan di luar. 

Gurumu si Iblis Tengkorak Bolong 

adalah seorang manusia keji dan sadis! 

seperti yang pernah diceritakan ketiga 

guruku yaitu Raja Siluman Ular, 

Harimau dan Biawak! Aku tak bisa 

mengaku kalian sebagai sahabat, karena 

aku belum tahu tindak tanduk apa yang 

kalian lakukan diluar!" berkata Nan-

jar.

"Hm, kau sok alim, sobat! Di

dunia ini susah menjadi orang baik-

baik! Gurumu pernah menjadi seorang 

sesat, bahkan dua orang gurumu kau tak 

mengetahui tindakannya yang dilakukan 

di luar. Apakah tak mungkin kalau 

guru-gurumu mewariskan kejahatan 

kepadamu?" sambar berkata Kulipala, 

yang segera ditimpali dengan anggukan 

kepala ketiga orang kawan 

seperguruannya.

"Yah, kalau begitu terserah 

kalian sajalah! yang penting aku bisa 

mengakui kalian sahabatku bilamana 

tindakan kalian dijalan yang benar!" 

berkata Nanjar dengan garuk-garuk 

kepala. Dia tak dapat berdebat lebih 

jauh.

"Baik! baik! hal itu bisa 

kuterima! Kita bicara yang lain saja!"


ujar Kutipala. Kali ini dia sudah 

unjukkan sikap seperti biasa lagi.

"Kau selalu menyebut 

keempat orang gurumu si empat Raja 

Gila dengan hanya menyebut tiga orang 

saja tanpa mengikut sertakan si Raja 

Siluman Kera. Apakah yang terjadi 

dengan gurumu yang satu itu? Apakah 

pula yang menyebabkan kematian keenam 

orang gurumu?" bertanya Kulipala.

Nanjar tertekun sejenak 

mendengar pertanyaan itu, lalu dia 

menghela napas. "Kisahnya cukup 

panjang sobat. Tapi baiklah, aku akan 

ceritakan secara singkat mengenai 

kematian mereka..." ujar Nanjar lirih.

"Akan kuceritakan yang seingatku 

saja!" sambung Nanjar dengan tersenyum 

pedih.Tampak wajah pemuda itu agak 

berubah trenyuh mengingat nasib 

gurunya si EMPAT RAJA GILA.

Demikianlah, secara singkat 

Nanjar ceritakan kejadian kematian 

keempat gurunya si Empat Raja Gila. 

Seperti telah diceritakan di bagian 

depan, Nanjar dalam keadaan tak 

sadarkan diri telah terkena totokan 

pada urat syaraf di bagian kepalanya 

oleh si Raja Siluman Naga.

Akan tetapi dengan sebongkah 

batu sebesar kepalan tangan, Nanjar 

berhasil membuat Raja Siluman Naga 

menemui kematian. Sementara Raja 

Siluman Kera masih tetap terkapar ter


bungkus lapisan es tanpa diketahui 

nasibnya.

Mungkin saja Nanjar akan tinggal 

namanya saja di dunia ini kalau 

menjelang pagi tidak muncul tiga orang 

ke pulau yang terpencil itu. Mereka 

adalah Raja Siluman Ular, Raja Siluman 

Harimau dan Raja Siluman Biawak. 

Nanjar mendapat pertolongan ketiga 

orang kakek itu. Akan tetapi mereka 

tak dapat menyelamatkan nyawa Raja 

Siluman Kera yang telah tewas!

Dengan usaha ketiga orang 

gurunya yang amat menyayanginya itu, 

Nanjar bisa memiliki lagi kekuatan 

tenaga dalamnya. Hampir empat bulan 

Dia mendapat rawatan ketiga "Raja" 

itu, hingga kesehatanmya berangsur 

pulih.

Dalam kesempatan itu mereka 

banyak bercerita mengenai riwayat 

mereka pada Nanjar. Begitu terharu 

Nanjar ketika ketiga kakek itu 

menyatakan bersedia memberikan masing-

masing tenaga dalam mereka padanya, 

setelah bersusah-payah memulihkan 

ingatan Nanjar yang nyaris jadi 

linglung!

Pada kesempatan itulah setelah 

ingatan Nanjar kembali pulih, dalam 

suatu gurauan ketiga orang gurunya 

mengolok-olok dengan panggilan si 

bocah linglung. Dan Nanjar seketika


ingat akan kisah dirinya yang pernah 

mempunyai julukan si Dewa linglung.

Mendengar olok-olok gurunya itu 

Nanjar tertawa dan menceritakan kisah 

lucu tentang dirinya itu. Tentu saja 

seketika ketiga kakek itu tertawa 

terbahak-bahak. Dan selanjutnya ketiga 

gurunya menjuluki Nanjar si DEWA

LINGLUNG.

Akan tetapi gelak-tawa dan 

kegembiraan mereka ternyata adalah 

awal dari perpisahan. Karena ketiga 

kakek yang amat menyayanginya itu 

didapati Nanjar telah tewas setelah 

memberikan tenaga dalam mereka secara 

serempak pada Nanjar. Demikianlah! 

Nanjar dengan hati sedih menguburkan 

jenazah ketiga gurunya itu di atas 

bukit tertinggi di pulau itu 

berdekatan dengan kuburan si Raja 

Siluman Bangau, Raja Siluman Naga,dan 

Raja Siluman Kera yang telah lebih 

dulu tewas.

Ketiga "Raja" itu walaupun 

mengetahui si Raja Siluman Naga 

berhati busuk, akan tetapi tidak 

mengubur jasad si kakek yang pernah 

menjadi kawannya itu dengan kuburan 

yang terpisah.

Namun sengaja membuat kuburan 

para Raja-raja Gila itu bersatu. 

Ternyata disaat mereka semua tewas, 

Enam Iblis Pulau Kahyangan itu tetap 

terkubur berdampingan. Walaupun sejak


beberapa belasan tahun mereka hidup 

sendiri-sendiri. Kecuali Empat Raja 

Gila yang masih tetap bersatu!

Nanjar mengakhiri penuturannya 

dengan helaan napas panjang.

"Itulah sekedar riwayat singkat 

mengenai kematian mereka!" ujar 

Nanjar. Semua anak buah perguruan 

Tapak Nenggala sama mendengarkan 

penuturan Nanjar dengan seksama.

"Apakah kesemua gurumu tak ada 

yang menceritakan perihal Pedang 

Pusaka INTI ES itu padamu?" tanya 

Kulipala dengan kening dikerutkan. 

Nanjar gelengkan kepala, sambil ter-

tawa.

"Hahaha... kau masih saja 

mencoba mengorek keterangan dariku 

mengenai segala pedang pusaka tai 

kucing! Apakah kau kira aku membual? 

Aku tak menyembunyikan senjata apapun 

kecuali potongan pedang ini!" berkata 

Nanjar seraya loloskan sepotong kayu 

yang terselip di punggungnya.

Justru mata Kulipala sejak tadi 

memperhatikan terus potongan kayu itu. 

Tentu saja semakin tercekat hati 

Kulipala mendengar Nanjar mempunyai 

sepotong pedang.

Tak banyak bicara Nanjar segera 

keluarkan dari belahan kayu itu sebuah 

benda. Itulah potongan pedang yang 

selalu dibawanya.


Lalu diperlihatkan dihadapan 

Kulipala yang memandang dengan mata 

dibesarkan. Begitu pula Kebojalu, 

Bendowo dan Jalantra rurut 

memperhatikan.

"Apakah itu bukannya potongan 

pedang INTI ES?" berkata Kulipala 

dengan nada curiga.

"Hm, aku tak tahu! benda ini 

punya sejarah yang amat penting bagiku 

yang tak perlu kalian mengetahui!" 

berkata Nanjar seraya kembali 

menyimpan benda itu dalam belahan kayu 

itu.

"Berikan padaku, aku akan 

memeriksa lebih jelas!" berkata 

Kulipala dengan nada berubah kasar.

"He? kalian tak berhak memaksa 

orang! Kukira sudah saatnya aku pergi 

dari pulau ini! Aku tak mau tahu 

dengan segala macam urusan kalian!"

berkata Nanjar seraya menyimpan benda 

itu.

"Huh! kau kira semudah itu kau 

angkat kaki dari sini?" membentak 

Kulipala. Detik itu juga dia memberi 

isyarat pada kawan-kawannya untuk 

mengurung. Serentak ketiga laki-laki 

itu telah cabut senjata masing-masing. 

Sementara Kulipala sendiri telah 

loloskan senjata rantai Trisula 

hitamnya. Akan tetapi Nanjar cuma 

tersenyum. Tiba-tiba dia bersuit 

keras. Segera saja terdengar sahutan


suara burung Rajawali yang segera 

terbang menghampiri. Kulipala 

tersentak. Tapi senjatanya telah 

menyambar deras kearah Nanjar.

"Hahaha... aku tak ada selera 

untuk bertarung, sobat!" Ucapan Nanjar 

dibarengi dengan melompatnya tubuh 

pemuda itu ke udara. Terbelalak mata 

keempat orang itu dan puluhan orang-

orang perguruan Tapak Nenggala, karena 

melihat pemuda itu melesat seperti 

"burung" menyongsong kedatangan si 

Rajawali.

Dan sungguh mengagumkan. Karena 

kejap berikutnya sipemuda berambut 

gondrong itu telah hinggap di punggung 

burung Rajawali raksasa itu.

"Hahaha... lain kali kita 

berjumpa lagi, sobat-sobat! Sudah 

kurencanakan hari ini aku harus 

meninggalkan pulau ini!" teriak Nanjar 

dengan tertawa terbahak.

Dan belum lagi, mereka berbuat 

sesuatu, terdengar pemuda itu 

berteriak keras. "Jabur! Mari kita 

pergi!"

Selanjutnya mereka cuma bisa 

melihat dengan mulut ternganga 

memandang ke arah burung Rajawali yang 

terbang pesat membumbung ke udara 

meninggalkan pulau itu. Kulipala 

membanting kakinya dengan kesal, serta 

memaki-maki panjang pendek.


"Setan alas! Dedemit! dia 

berhasil meloloskan diri!" Akan tetapi 

dalam hati diam-diam dia mengagumi 

kehebatan ilmu "terbang" pemuda itu. 

Seandainya terjadi pertarungan pun dia 

merasa belum tentu mereka dapat 

meringkus pemuda itu untuk merampas 

potongan pedang. Apalagi dengan adanya 

burung Rajawali raksasa itu...

ENAM

Sesosok tubuh tegak berdiri di

ujung tebing curam. Dibawahnya 

berdeburan ombak laut menghantam 

karang. Angin keras bersiutan menerpa 

tubuh semampai itu hingga rambutnya 

yang tergerai panjang berkibaran.

Dia ternyata seorang wanita dan 

tampaknya masih seorang gadis. Apa 

yang dilakukan gadis ini tak lain dia 

menatapkan pandangannya ke arah laut 

lepas. Ke arah batas cakrawala yang 

seolah tempat pertemuan langit dengan 

lautan. Dia berdiri tak bergeming 

dengan sesekali terdengar helaan napas 

panjang. Gadis ini kenakan pakaian 

singsat seperti layaknya pakaian kaum 

persilatan. Di pinggangnya terselip 

sebuah pedang pendek dengan sarungnya 

yang terbuat dari gading.


Setitik air bening tampak 

tersembul dari sudut kelopak matanya, 

dan tampak sepasang mata dara itu 

telah berkaca-kaca. Tampaknya dara ini 

tengah mengalami kesedihan yang

berkecamuk dalam dadanya. Akan tetapi 

wajah yang seperti mau menangis itu 

mendadak berubah menjadi kaku lagi. 

Titik air bening yang siap turun 

kepipinya cepat dihapuskan oleh 

tangannya. Dan dia menggigit bibir, 

seperti menahan gejolak kesedihan yang 

mengamuk dalam dada!

Dia berhasil! Kekerasan hatinya 

telah membuat gadis itu batal 

menangis. Dia balikkan tubuh dan 

alihkan pandangannya dari laut lepas. 

Gadis itu ternyata seorang yang 

berparas cantik. Bibirnya melengkung 

bak busur panah. Matanya jeli dengan 

bulu mata yang lentik. Hidungnya 

mancung dengan raut muka bulat sirih. 

Dari usianya gadis ini dapat 

diperkirakan berusia diantara sembilan 

belas atau dua puluh tahun. Cukup 

dewasa bagi usia seorang dara remaja!

Pada saat itu juga tiba-tiba 

terdengar suara tertawa menyibak 

kelengangan. Dara ini menoleh kearah 

datangnya suara itu.

Sesosok tubuh berkelebat muncul 

dari balik batu cadas. "Hahaha... 

apakah yang tengah kau lamunkan kakak 

manis? Dari tadi kau kulihat termangu


mangu memandang kearah laut! Apakah 

kau terkenang pada seorang laki-laki 

yang menjadi kekasihmu?"

"Huh! Kau Hang Gada! Ada apa kau 

menyusulku kemari?" terkejut gadis ini 

mengetahui siapa yang datang.

"Aha, tidak bolehkan aku kemari 

menyusulmu? Aku ingin bercakap-cakap 

agak leluasa denganmu! Selama ini kita 

selalu mendalami latihan tanpa sempat 

bercakap-cakap. Waktu yang baik ini 

kukira sangat berharga untuk kita 

membicarakan masalah lain, selain 

masalah ilmu-ilmu kedigjayaan!" 

berkata laki-laki itu. Ternyata Hang 

Gada ini adalah seorang pemuda gagah 

berkumis tipis dengan pakaian serba 

putih yang terbuat dari kain kasar.

Siapakah adanya gadis itu? Dia 

tak lain dari RANGGAWEN1. Seperti 

telah diceritakan pada judul perdana 

Serial Dewa Linglung, Ranggaweni pergi 

meninggalkan pulau terpencil itu 

dengan dendam tersemat dalam dada. 

Kematian si Raja Pengemis gurunya oleh 

si Raja Siluman Naga, telah membuat 

Ranggaweni menyimpan dendam kesumat 

dalam dadanya. Dia bertekad menuntut 

ilmu kedigjayaan untuk suatu saat

kelak membalaskan kematian sang guru.

Hang Gada adalah saudara 

seperguruannya yang belum lama 

dikenalnya beberapa bulan yang lalu, 

sejak dia menjadi murid seorang kakek


bernama Ki Bonang Luhur dipesanggrahan 

Gunung Putri.

Ki Bonang Luhur mempunyai tiga 

orang murid. Murid pertama adalah 

Badar Sora, seorang lelaki berusia 

tiga puluhan tahun bermata buta. 

Sedangkan Ranggaweni secara

kebetulan bertemu dengan Ki Bonang 

Luhur, yang kemudian mengajaknya untuk 

tinggal di Pesanggrahan Gunung Putri. 

Selama setahun dia berguru, muncullah 

Hang Gada ke pesanggrahan Gunung Putri 

yang memohon untuk menjadi murid Ki 

Bonang Luhur. Kakek itu dengan senang 

hati menerima Hang Gada menjadi

muridnya, karena sopan santun serta 

tutur kata Hang Gada yang lemah lembut 

menarik hati kakek itu.

Demikianlah. Selama tiga tahun 

lebih Ranggaweni berdiam di 

Pesanggrahan Gunung Putri memperdalam 

ilmu-ilmu kedigjayaan pada Ki Bonang 

Luhur. Hingga sampai saat ini.

Mendengar kata-kata Hang Gada, 

Ranggaweni tersenyum. Dalam hati dia 

memang menyukai pemuda yang berwajah 

ganteng ini, akan tetapi dia belum 

mengenai benar wataknya. Apalagi sejak 

dia selalu bersama si Raja Pengemis 

dimasa gurunya itu masih hidup, si 

kakek sering menasihati agar selalu 

berhati-hati dengan seorang laki-laki. 

Karena ketampanan wajah bukanlah 

ukuran dari pribadi seseorang. Rupanya


bagus belum tentu sama dengan hatinya. 

Oleh sebab itulah Ranggaweni tak 

begitu mengakrabi Hang Gada. Bahkan 

dia lebih dekat dengan Badar Sora sang 

kakak seperguruan yang buta mata. Dia 

sering mengajak bercakap-cakap. Akan 

tetapi yang dibicarakannya tak 

berkisar dari ilmu-ilmu kedigjayaan.

"Apakah yang kau mau percakapkan 

denganku, Hang Gada? Aku cuma senang 

melihat laut hingga aku sering datang 

ketempat ini!" berkata Ranggaweni.

"Aku juga senang melihat laut! 

Akan tetapi lebih senang bila sambil 

duduk bercakap-cakap di samping 

seorang perempuan secantikmu, kakak 

yang manis...!" Timpal Hang Gada de-

ngan tertawa memperlihatkan sederetan 

giginya yang putih rata.

"Ah, kau mulai bicara macam-

macam. Sayang sekali aku justru mau 

pulang. Aku khawatir guru sudah 

kembali, dan kau tinggalkan kakang 

Badar Sora seorang diri 

dipesanggrahan? Kasihan...! Dia tak 

ada yang menemani dan tak ada yang 

mengajaknya bercakap-cakap!" berkata 

Ranggaweni seraya beranjak melangkah 

untuk menuruni tebing.

"Tunggu, kakak Ranggaweni! 

Tidakkah kau mau memberi kesempatan 

padaku untuk membicarakan sesuatu 

padamu?" berkata Hang Gada seraya


melompat tepat dihadapannya. Rang-

gaweni merandek. 

"Apakah yang mau kau bicarakan?"

"Duduklah dulu. Nah itu ada batu 

besar. Kita duduk disana!" ujar pemuda 

ini seraya menunjuk ke sebelah 

kirinya.

"Mengapa tidak disini saja? Toh 

sama saja! Apa sih yang akan kau 

bicarakan itu?" Lagi-lagi Ranggaweni 

ulangi pertanyaan. Akan tetapi cepat 

sekali Hang Gada menangkap pergelangan 

tangan gadis itu. Karena cepatnya dan 

secara tak diduga Ranggaweni tak dapat 

mengelakkan diri.

Dengan tertawa Hang Gada menarik 

lengan Ranggaweni seraya berkata.

"Ayolah, hari masih siang 

begini. Kukira besok pun belum tentu 

guru kembali dari menyelesaikan 

urusannya!" 

Wajah Ranggaweni memerah. Akan 

tetapi dia tak dapat menolak untuk 

menuruti keinginan Hang Gada. Sesaat 

kemudian mereka telah sama-sama duduk 

diatas batu besar itu.

"Nah, katakanlah apa yang kau 

mau katakan!" berkata Ranggaweni 

ketus.

"Ah, kakakku yang manis, kalau 

kau cemberut seperti ini sungguh kau 

tampak lebih cantik!" merayu Hang 

Gada. Lengannya masih mencekal 

pergelangan tangan Ranggaweni. Dan


diam-diam terasa jemari tangan si 

pemuda itu bergerak-gerak meremasnya. 

Berdesir darah Ranggaweni. Tak ayal 

dia segera tepiskan tangannya. Gadis 

ini mulai berprasangka tidak baik 

dengan adik seperguruannya itu. 

Dinilai dengan usia memang tampaknya 

masih lebih tua Hang Gada. Akan tetapi 

karena Ranggaweni berguru pada Ki 

Bonang Luhur setahun lebih dulu, maka 

Hang Gada termasuk adik seperguruan.

"Kakak Ranggaweni, mengapa kau 

tampaknya selalu menjauhi aku? Kau 

lebih suka berlama-lama dalam 

bercakap-cakap dengan kakang Badar 

Sora!" Hang Gada mulai membuka

percakapan.

"Hm, itukah yang kau mau 

katakan? Kakang Badar Sora adalah 

seorang tuna-netra. Dia banyak 

pengalaman dalam hal ilmu-ilmu 

kedigjayaan. Apakah salahku kalau 

lebih banyak mendekatinya? Kukira bisa 

menambah pengalamanku dalam ilmu yang 

aku pelajari!" sahut Ranggaweni polos.

"Heh! Bagaimana mungkin 

kepandaian ilmu silat orang buta dapat 

kau samakan dengan ilmu orang melek? 

Selama ini aku belum pernah melihat 

dia berlatih atau mempertunjukkan ilmu 

yang telah dimilikinya!" berkata Hang 

Gada dengan wajah kaku. Tampak dari 

sikap dan sinar matanya pemuda ini 

seperti cemburu pada Badar Sora.


Bahkan dari kata-kata itu jelas dia 

mengejek sang kakak seperguruan. Sikap 

dan kata-kata adik seperguruannya itu 

membuat Ranggaweni mendongkol, dan 

berkata ketus.

"Hm, kau tampaknya meremehkan 

dia? Boleh coba kalau kau mau 

mengujinya!"

"Tidak perlu! Aku bukan seorang 

murid yang kurang ajar untuk 

menantangnya bertarung! Akan tetapi 

apakah kau mengira aku akan dapat dia 

jatuhkan dengan begitu mudah? Hahaha 

... Hang Gada bukanlah Hang Gada kalau 

cuma berkata tanpa ada buktinya!" Pe-

muda itu tertawa gelak-gelak. Tentu 

saja melihat kesombongan pemuda adik 

seperguruannya itu hati Ranggaweni 

semakin mendongkol.

"Hm, selama ini kita cuma 

berlatih tanpa bertarung sungguh-

sungguh. Aku lihat kau masih banyak 

kelemahan. Tapi kata-katamu terlalu 

sombong! Ilmu apakah yang kau punyai 

hingga kau menjadi sombong sekali?" 

berkata Ranggaweni dengan membentak.

"Lho? mengapa kau yang marah? 

Hm, aku tahu kini. Kau tentu diam-diam 

telah jatuh cinta pada si buta itu! 

Pantas kau selalu menjauhi dariku! 

Nyatanya kau telah menganggap remeh 

diriku. Hahaha... Ranggaweni! Aku akan 

buktikan dengan menjatuhkan kau dalam


tiga jurus!" Tentu saja sesumbar Hang 

Gada membuat gadis ini naik pitam.

"Bagus! bersiaplah untuk 

bertarung! Ingin kulihat bukti kata-

katamu manusia sombong!" membentak 

Ranggaweni. Dan dia telah melompat 

berdiri. Hang Gada yang sejak tadi 

telah berdiri menatap sang kakak 

seperguruan dengan tersenyum sinis.

"Aku sudah siap! Silahkah kau 

menyerang terlebih dulu!" 

Tentu saja Ranggaweni semakin 

mendongkol atas sikap pemuda itu. 

Tanpa menunggu waktu lama lagi, dia 

telah lancarkan serangan dengan 

pukulan beruntun kearah Hang Gada. 

Itulah jurus Kilat Menyambar Gunung! 

Hebat serangan itu. Ayal sedikit saja 

kepala dan dada Hang Gada akan remuk 

kena hantaman dahsyat bertenaga dalam 

luar biasa dari serangan Ranggaweni.

Akan tetapi aneh. Dengan ringan 

melejit kesana-kemari serangan itu 

lolos. Bahkan Hang Gada balas 

menyerang kearah pangkal paha.

Serangan itu membuat Ranggaweni 

terkejut karena menimbulkan hawa 

panas. Dan yang membuat lebih terkejut 

lagi adalah sebelah lengan Hang Gada 

mengarah ke dada.

Percuma dia mempelajari bermacam 

ilmu tata kelahi selama tiga tahun. 

Serangan balasan Hang Gada berhasil 

dihindarkan dengan gerakan gesit


miringkan tubuhnya ke kiri. Lalu 

lakukan salto untuk menghindari 

serangan tendangan ke arah pangkal 

paha.

"Bagus! Jaga serangan 

selanjutnya!" teriak Hang Gada. 

Kembali dia melompat... Yang dituju 

adalah kaki. Gerakan seperti mau 

menangkap kaki itu membuat Ranggaweni 

melompat ke udara. Akan tetapi sekejap 

tubuhnya telah menukik. Sepasang 

lengannya terarah ke bawah menghantam 

dengan pukulan tenaga dalam. Inilah 

jurus Haramau Sakti Menerkam Mega.

"Gila!?" membathin Ranggaweni 

dengan terkejut. Karena sosok tubuh 

Hang Gada sudah menggelinding kearah 

belakang tubuh melewati di bawah 

tubuhnya yang siap menghantam. Se-

rangan barusan ternyata telah terbaca 

oleh Hang Gada. Tahu-tahu disaat 

kakinya menyentuh tanah dan dia 

batalkan serangan, berdesir angin 

pukulan ke arah punggungnya.

"Haiiiit!" Ranggaweni berteriak, 

seraya kembali mengegos ke samping. 

Dia lakukan beberapa kali salto 

menghindari serangan. Dalam dua jurus 

ini dia berhasil menyelamatkan diri. 

Akan tetapi pada jurus ketiga, dia 

dibuat terperangah karena tak berhasil 

mengejar kelebatan tubuh Hang Gada 

yang berkelebat cepat sekali 

mengelilinginya. Disaat itulah, tahu


tahu dia rasakan angin bersyiur ke

arah belakang leher. Dan tahu-tahu dia 

mengeluh dan berteriak tertahan. 

Tubuhnya mendadak roboh terhuyung. Dan 

saat berikutnya dia telah berada dalam 

pondongan Hang Gada yang cepat 

menyangga tubuhnya sebelum menyentuh 

tanah.

"Hati-hati, kakakku yang 

manis...! Haiih! hampir kau jatuh!" 

Ranggaweni tak berdaya, karena 

totokan Hang Gada tepat mengenai 

sasaran. Gadis itu rasakan sekujur 

anggota tubuhnya lumpuh tak dapat 

digerakkan.

"Hahaha... aku telah buktikan 

kata-kataku, Ranggaweni! Kini apa yang 

mau kau katakan?" berkata Hang Gada 

dengan menyeringai.

"Lepaskan aku!" teriak gadis itu 

dengah wajah pucat.

TUJUH

Hahaha... alangkah bodohnya aku 

kalau melepaskan makanan yang sudah 

berada di tangan!" berkata pemuda itu 

dengan menyeringai. Percuma gadis itu 

berteriak-teriak, toh Hang Gada 

bukannya melepaskan totokannya bahkan 

membawanya dan memondongnya ke tempat 

yang rimbun di balik semak belukar.


Di atas rumput tebal tubuh 

Ranggaweni dibaringkan. Dan.... 

Breeet!

Baju bagian dada gadis itu telah 

disentakkan dengan kuat hingga robek. 

Seketika dua buah benda bulat menonjol 

yang putih lunak itu tersembul. 

Teriakan Ranggaweni terputus ketika, 

sekali lagi lengan Hang Gada bergerak 

menotok. Lenyaplah suara gadis itu 

karena Hang Gada telah menotok urat 

suaranya.

"Hahaha... Ranggaweni! Sudah 

lama aku mengagumi kecantikanmu. 

Hingga aku berniat suatu saat aku akan 

mengecap kenikmatan dan kehangatan 

tubuhmu yang mulus. Dan... hari ini 

terkabul sudah apa yang aku idam-

idamkan sejak lama!" berkata Hang Gada 

seraya lengannya menjulur untuk 

membelai dua buah bukit kembar itu.

Ranggaweni menjerit akan tetapi 

suaranya hanya mendesis. Matanya 

membeliak dengan wajah pucat-pias 

melihat apa yang dilakukan Hang Gada. 

Sementara Hang Gada seperti sudah tak 

sabar untuk menunaikan hasrat nafsu 

kebinatangannya. Saat berikutnya dia 

telah membukai pakaiannya.... Napasnya 

berdesahan akibat hawa nafsu yang 

telah bergejolak di dalam dada.

Akan tetapi pada saat itu juga 

tiba-tiba terdengar suara bentakan 

keras parau menggeledek.


"Bajingan tengik! Manusia kotor! 

Apakah yang akan kau lakukan 

terhadapku kakak seperguruanmu 

sendiri?!"

Bentakan itu diiringi dengan 

suara bersyiuranya angin keras ke

punggung Hang Gada. Terkejut pemuda 

ini karena itulah sambaran tongkat 

yang meluncur deras untuk menggebuk 

punggungnya.

Tentu saja membuat Hang Gada 

tersentak kaget. Namun dengan gerakan 

sebat dia miringkan tubuh, untuk 

jatuhkan diri bergulingan. Loloslah 

serangan itu.

Ketika dia melihat ke arah si 

pembokong terkejut bukan main dia 

karena seorang laki-laki bertubuh 

jangkung bermata buta yang telah 

dikenalnya berdiri di tempat itu. 

Siapa lagi orang itu kalau bukan BADAR 

SORA sang kakak seperguruan yang 

bermata buta.

"Hahaha.... kiranya ada orang 

buta tersasar kemari! Kasihan! Apakah 

kau tersesat mencari jalan? Kalau 

begitu akan kutunjukkan padamu arah 

jalan yang betul, yaitu jalan menuju 

ke Akhirat!" berkata Hang Gada dengan 

tertawa terbahak-bahak. Sementara 

dalam hati diam-diam dia membathin. 

"Aneh!? Bagaimana mungkin dia dapat 

mengetahui aku berada di tempat ini?"


Namun begitu Hang Gada tak 

menunjukkan sikap terkejut. Bahkan 

dengan mengumbar tertawa dia sengaja 

mengejek Badar Sora.

"He! kiranya kau musang berbulu 

ayam! Sungguh tak kuduga kalau kau 

punya niat jahat. Selama ini kami 

telah tertipu. Sungguh amat kusesalkan 

guru telah menerimamu menjadi 

muridnya! Katakan padaku manusia 

jahanam, siapakah kau sebenarnya?" 

membentak Badar Sora dengan suara 

menggeledek parau. Tubuhnya berguncang 

karena gusarnya.

"Hm, baiklah! Kukira kini sudah 

saatnya aku membuka rahasia siapa 

adanya diriku!" berkata Hang Gada. 

"Aku adalah murid Nini BLORONG dari 

Goa Larangan! Namaku sebenarnya adalah 

NOGO PRAKOSO! Guruku punya dendam yang 

amat mendalam pada Ki Bonang Luhur. 

Tahukah kau apa sebabnya aku berguru 

pada Ki Bonang Luhur? Hahaha... 

kesatu, aku tertarik pada murid 

perempuannya yang cantik yaitu 

Ranggaweni. Kedua aku memang tengah 

menjalankan tugas guruku mencari 

kesempatan baik mencuri sebuah peta 

yang berada di tangan Ki Bonang Luhur. 

Yaitu peta rahasia tempat tersimpannya 

sebuah pedang Pusaka yang bernama 

Pedang Pusaka INTI ES!"


Sampai disini Badar Sora tak 

dapat menahan kemarahannya. Tiba-tiba 

wajahnya berubah merah padam.

"Bajingan keparat! Jadi kaulah 

yang bernama Nogo Prakoso? Bagus! Aku 

tak perlu jauh-jauh mencari manusia 

dajal yang telah memperkosa adikku! 

Bersiaplah kau untuk mampus!"

Bentakan Badar Sora disusul 

dengan gerungan hebat. Lengannya 

bergerak menghantam ke depan.

Whuuuk!

Blharrr!

Hantaman pukulan jarak jauh 

mengandung kekuatan tenaga dalam yang 

luar biasa hebatnya itu membuat tanah 

menyemburat berlubang, dan hawa panas 

merambah ke sekitar tempat itu. Akan 

tetapi dengan gerakan gesit Hang Gada 

alias Nogo Prakoso telah melesat ke

udara setinggi hampir sepuluh tombak.

Tubuhnya menukik bagai elang 

alap-alap. Sepasang lengannya bergerak 

menghantam melontarkan pukulan ganas. 

Uap hitam seketika menggulung ke arah 

batok kepala Badar Sora. Itulah 

pukulan ganas yang mengandung racun.

Akan tetapi laki-laki bermata 

buta itu cukup peka dengan serangan 

itu. Tongkatnya digerakkan berputar 

bagai baling-baling. Seketika 

menderulah angin keras bagai taufan 

yang bergulung-gulung menghantam buyar 

serangan itu. Bahkan ujung-ujung


tongkat itu bagaikan bermata mengejar 

ke arah mana tubuh Nogo Prakoso 

berkelebat.

Nogo Prakoso tak menyangka kalau 

gerakan Badar Sora yang bermata buta 

itu begitu hebat. Bahkan serangan-

serangan amat berbahaya mengandung 

maut! Keringat dingin mulai membasahi 

tengkuknya. Dia bergerak agak ayal 

karena mencari jalan untuk menerobos 

kepungan Badar Sora yang mengejar 

terus dengan tongkat mautnya.

Hingga ketika dia menghindari 

serangan beruntun dari ceceran tongkat 

orang buta itu, satu pukulan telah 

mengenai sasarannya, tepat di

punggung. Untunglah pukulan itu tak 

begitu keras. Dia terjungkal dengan 

berteriak tertahan. Saat itu tongkat 

si buta telah meluncur deras ke arah 

batok kepalanya. Berguling-guling 

tubuh Nogo Prakoso menghindari 

sambaran tongkat Badar Sora. Akan 

tetapi saat itu juga di lengan Nogo 

Prakoso telah tergenggam sejumput paku 

beracun. Di saat yang tepat ketika dia 

berhasil menghindar kesisi dengan 

cepat dia cepat melontarkan paku-paku 

beracun itu ke arah Badar Sora.

Nogo Prakoso mengira serangan 

senjata rahasianya tak akan luput dari 

sasaran. Akan tetapi sungguh tak 

diduga kalau pendengaran laki-laki 

buta itu amat peka. Detik itu juga dia


telah berkelebat melompat seraya 

putarkan tongkatnya yang menimbulkan 

angin keras. Berhamburanlah paku-paku 

beracun itu buyar kebeberapa penjuru.

Akan tetapi pada kesempatan itu 

Nogo Prakoso telah berkelebat tanpa 

menimbulkan suara, lalu mendekam 

dibalik batu. Keadaan menjadi sunyi 

hening. Badar Sora putarkan tubuh dan 

miringkan kepala untuk mencari dimana 

jejak musuhnya.

"Manusia bejat! jangan kira kau 

mampu meloloskan diri dari tanganku! 

Sakit hati adik perempuanku Sukowati 

hari ini akan kubalaskan! Tahukah kau, 

akibat perbuatan terkutukmu dia telah 

nekat membunuh diri? Kini kau mau 

memperkosa pula adik seperguruanku! 

Sungguh kau manusia bejat yang pantas 

untuk dilenyapkan dari muka bumi ini! 

Unjukkan dirimu keparat! Apakah kau 

bernyali tikus? Bukankah kau murid si 

Nini Blorong? Tunjukkan ilmu-ilmu 

kedigjayaanmu!" berteriak-teriak Badar 

Sora dengan suara parau.

Akan tetapi tiada sahutan. 

Tempat itu hening mencekam. Nogo 

Prakoso masih tak beranjak dari tempat 

persembunyiannya. Bahkan mengeluaran 

suara napaspun dengan hati-hati 

khawatir terdengar oleh si buta. Akan 

tetapi wajah pemuda ini tampak 

menyeringai. Diam-diam dia telah 

merencanakan satu cara yang akan


menghabisi nyawa Bandar Sora 

sekaligus! Tampak dia salurkan tenaga 

dalamnya dengan diam-diam ke arah 

kedua lengan. Uap hitam terlihat 

mengepul tipis dari kedua lengan 

pemuda itu. Nyatalah memang Nogo 

Prakoso mempunyai ilmu pukulan beracun 

yang ganas.

Pelahan-lahan dia bangkit 

berdiri. Sepasang matanya berkilat 

menatap Badar Sora yang masih tegak 

berdiri dengan kepala dimiringkan ke

setiap arah. Tampaknya dia masih sabar 

menunggu reaksi selanjutnya. Karena 

yakin Nogo Prakoso masih berada 

ditempat itu!

Sementara itu di udara pada 

jarak lima puluh kaki tampak seekor 

burung elang besar berputar-putar 

diatas tebing terjal itu. Bayangan 

hitam yang lewat sekilas di tanah 

membuat Nogo Perkoso menengadah 

memandang ke atas. Agak terkejut Nogo 

Prakoso kerena baru sekali ini melihat 

seekor burung Elang sebesar itu. 

"Apakah itu bukannya seekor burung 

Rajawali? Ah? begitu besarnya...?" 

berkata dia dalam hati.

Akan tetapi pemuda ini tak 

sempat berlama-lama untuk berdiam 

diri. Lengannya bergerak pelahan untuk 

menjumput sebongkah batu. Benda itu 

dilemparkan ke sebelah kiri Badar 

Sora. Suara batu berderak itu membuat


Badar Sora tersentak, Dan serta-merta 

dia telah membentak keras disertai 

gerakan tubuhnya untuk melompat. 

Tongkatnya menyambar ke arah suara itu 

yang dibarengi dengan sambaran pukulan 

bertenaga dalam.

Whuuut! Whuuuuk...!

Bhlarrrr!

Batu-batu berhamburan hancur 

terkena hantaman tongkat dan hantaman 

pukulan Badar Sora yang menimbulkan 

hawa panas! Disaat itulah Nogo Prakoso 

melesat ke belakang Badar Sora.

"Mampuslah kau, si buta tolol!" 

membentak Nogo Prakoso berbareng 

dengan hantamkan pukulan mautnya ke

punggung dan ke arah batok kepala 

Badar Sora. Kali ini serangan bokongan 

Nogo Prakoso pasti tak akan luput 

lagi.

Akan tetapi didetik yang 

menentukan hidup matinya Badar Sora,

segelombang angin dahsat telah 

menolakkan tubuh Nogo Prakoso dari 

arah kanan. Terhuyung seketika tubuh 

pemuda itu, hingga angin pukulannya 

melesat tak mengenai sasaran. Bahkan 

tubuh pemuda itu terbanting ketanah. 

Pada detik itulah tiba-tiba Nogo 

Prakoso menjerit ngeri. Karena tongkat 

Badar Sora telah membenam di dadanya.

Badar Sora yang terkesiap kaget 

ketika mendengar suara bentakan di


belakangnya dan deru angin yang

membuat dia bergidik.

Akan tetapi terkejut dia 

mendengar suara teriakan dan jatuhnya

benda berat di dekatnya.

Itulah suara Nogo Prakoso. Tak 

ayal lagi dia telah gerakkan 

tongkatnya mengirim tusukan maut! Tak 

dapat dielakkan lagi serangan mendadak 

itu oleh Nogo Prakoso. Seketika dia 

menjerit parau ketika tongkat Badar 

Sora menembus dadanya.

Darah segar memuncrat ketika 

Badar Sora mencabut tongkat, dan 

mengelepar-gelepar tubuh Nogo Prakoso 

bagai ayam disembelih. Lalu terkulai 

tak berkutik. Napas pemuda itu telah 

putus seketika dengan wajahnya yang 

berubah menyeramkan. Sepasang matanya 

mendelik. Mulutnya terbuka dengan 

wajah yang berubah menjadi kehijauan.

Entah sejak kapan ditempat itu 

telah berdiri sesosok tubuh laki-laki 

muda berbaju compang-camping. Berambut 

gondrong dengan ikat kepala dan ikat 

pinggangnya dari kulit ular. Siapakah 

adanya pemuda ini? Dia tak lain dari 

Najar alias di Dewa Linglung.

"Sukurlah kau selamat, sobat! 

Dan musuhmu berhasil kau binasakan! 

Manusia bejat semacam dia memang 

pantas mampus!" berkata Nanjar. 

"Siapakah anda? Oh, pasti anda 

yang telah menyelamatkan jiwaku!"


tersentak Badar Sora mendengar suara 

laki-laki di belakangnya.

"Namaku ... oh, tunggu dulu! Aku 

akan menolong istrimu!" Kata-kata 

Nanjar dibarengi dengan berkelebat 

tubuhnya ke arah Ranggaweni yang 

terlentang di rerumputan. Sekilas 

Nanjar dapat mengetahui kalau wanita 

itu terkena totokan. Terkejut 

Ranggaweni melihat seorang laki-laki 

telah berada di hadapannya. Sesaat 

Nanjar terpaku menatap. Dia seperti 

mengenai wanita itu. Akan tetapi tak 

ayal dia telah membungkuk dan gerakkan

tangannya membuka totokan.

Begitu merasa totokan ditubuhnya 

terbuka, Ranggaweni melompat bangun 

untuk segera menutupi bagian tubuhnya 

yang terlarang. Sepasang matanya 

menatap pada laki-laki muda berambut 

gondrong dan berbaju compang-camping 

di hadapannya.

"Kau... kau siapakah? Aku 

seperti pernah melihatmu.... Ah, 

apakah kau... kau kak NANJAR?" 

setengah berteriak Ranggaweni ketika 

mengenali siapa adanya laki-laki itu.

"Hahaha... benar! Dan bukankah 

kau RANGGAWENI?" berkata Nanjar ketika 

segera mengenali pula siapa adanya 

gadis itu. Entah dorongan apa yang 

membuat tiba-tiba Ranggaweni melompat

dan serta merta memeluk erat pemuda 

itu.


Selanjutnya gadis itu telah 

menangis terisak-isak.

"Ah, kak Nanjar... kalau kau... 

kau tak datang menolong, entah apa 

yang terjadi dengan kakang Badar Sora. 

Dan.... aku tak tahu lagi bagaimana 

nasibku di tangan manusia bejat itu!" 

terisak-isak Ranggaweni berkata.

"Haiiih, sudahlah jangan nangis! 

Kalau melihat orang menangis justru 

aku jadi bingung!" berkata Nanjar 

dengan mata dibesarkan karena dua buah 

benda kenyal itu menekan didadanya, 

membuat darahnya tersirap. Agaknya 

kata-kata Nanjar menyadarkan dirinya 

bahwa tidak pantas dia berlaku 

demikian. Seketika wajahnya berubah 

merah. Dan dia telah melompat untuk 

melepaskan pelukan. Selanjutnya 

tersipu-sipu malu dia tundukkan wajah 

dengan lengannya kembali menutupi 

bagian dadanya yang terbuka. Akan 

tetapi diam-diam dia tersenyum karena 

Nanjar menyangka Badar Sora suaminya.

Badar Sora melalui 

pendengarannya segera mengetahui siapa 

nama si penolongnya itu. Dia beranjak 

menghampiri, seraya menjura.

"Terima kasih atas pertolongan 

itu sobat Nanjar...! Sungguh tak 

kuduga kalau kalian telah saling 

mengenal!" ujarnya dengan tersenyum.

"Ah, aku hanya kebetulan berada 

di atas tebing ini. Apakah kau yang


bernama Badar Sora?" berkata Nanjar 

yang dilanjutkan dengan pertanyaan.

"Benar, sobat! Ranggaweni adalah 

adik seperguruanku. Nyaris saja 

perbuatan cemar dilakukan pemuda 

keparat yang sudah mampus itu. 

Beruntung aku datang kemari. Akan 

tetapi mautpun nyaris merenggut jiwaku 

kalau kau tak datang menolong. Budi 

baikmu entah dengan apa aku 

membalasnya!" ujar Badar Sora. Dan 

sekali lagi dia menjura dalam-dalam 

pada Nanjar.

"Haiiih! Hidup adalah untuk 

saling tolong-menolong. Sudahlah sobat 

Badar Sora, mengenai pertolonganku itu 

baiknya kita bersukur pada Tuhan, 

karena semua nasib manusia adalah 

Tuhan yang menghendaki. Kalau umurmu 

masih panjang ada saja jalannya untuk 

kau bisa selamat!" berkata Nanjar 

dengan tersenyum. Dia agak rikuh 

karena berkali-kali Badar Sora menjura 

padanya.

"Oh, ya... apakah Ranggaweni itu 

bukannya istrimu?" tanyanya kemudian. 

Sementara kepalanya berpaling menatap 

pada Ranggaweni.

"Hihihi... siapa yang telah 

menikah? Kami adalah kakak dan adik 

seperguruan seperti yang telah 

dikatakan Badar Sora tadi!" tukas 

gadis itu dengan tertawa geli.


DELAPAN

Nanjar jadi garuk-garuk kepala. 

Akan tetapi dia bergirang karena 

Ranggaweni masih tetap seorang gadis. 

Pada saat itu di udara terdengar suara 

mengiyak santar. Badar Sora pasang 

telinganya dengan sikap waspada. 

Adapun Nanjar segera menengadah

berbareng dengan Ranggaweni. Tampaklah 

burung elang besar yang tak lain dari 

si Rajawali peliharaan Nanjar terbang 

berkeliling agak merendah. Mulut gadis 

itu seketika jadi ternganga. 

"Ah? Bukankah itu burung 

Rajawali yang pernah membawa terbang 

kau, kak Nanjar?" bertanya dia 

memandang dengan mata membelalak.

"Ah? dugaanmu salah! Burung yang 

dahulu itu telah mati tenggelam di

laut akibat pukulan si Raja Siluman 

Naga. Burung yang ini adalah anaknya, 

dan sudah menjadi peliharaanku!" Bu-

rung yang dahulu itu bernama JABUR. 

Akan tetapi burung anaknya inipun 

kuberi nama JABUR seperti nama 

induknya!" berkata Nanjar seraya 

gerakkan tangannya kearah mulut. Dan 

terdengarlah suara suitan nyaris dari 

mulut pemuda itu. 

"Jabur! kau turunlah...!" teriak 

Nanjar.


Mendengar suara suitan 

majikannya saat itu juga Jabur telah 

menukik dan terbang lebih rendah 

mengelilingi Nanjar. Kemudian hinggap 

diatas batu tak jauh dari pemuda itu.

Burung raksasa itu keluarkan 

suara mengiyak melihat kedua orang 

yang berada disitu.

"Hahaha.... Jabur! mereka kawan 

kita. Yang ini adalah nona Ranggaweni 

dan yang ini adalah sobat Badar Sora."

Akan tetapi si Rajawali masih 

sibuk menjerit-jerit. Ternyata yang 

dilihatnya adalah mayat Nogo Prakoso.

Nanjar maklum, karena baru 

pertama kali Jabur melihat bangkai 

manusia. Nanjar menoleh pada Badar 

Sora dan Ranggaweni.

"Bagaimana pendapat kalian? 

Apakah mayat laki-laki itu mau kalian 

kuburkan?" bertanya Nanjar.

Ranggaweni mendengus. "Tak layak 

rasanya mayat manusia bejat itu bila 

dikuburkan. Biarkan saja dia mati tak 

berkubur!" berkata Ranggaweni dengan 

wajah kesal. Masih nampak dendamnya 

pada Hang Gada alias Nogo Prakoso 

walau manusia itu sudah menjadi mayat. 

Sedangkan Badar Sora cuma diam tanpa 

memberi jawaban.

"Baiklah! Kalau begitu....." 

Nanjar tak teruskan kata-katanya. 

Karena dia telah menoleh pada sang 

burung Rajawali.


"Jabur! lemparkan mayat itu ke

laut!" berkata Nanjar pada si Jabur. 

Burung Rajawali raksasa itu 

mengeluarkan suara memekik beberapa 

kali. Tiba-tiba dia melesat terbang 

untuk kemudian menyambar tubuh Nogo 

Prakoso. Kejap selanjutnya tubuh 

pemuda yang tewas itu telah dibawa 

terbang dalam cengkeraman kakinya, 

menuju ke tengah laut. Dan dari tempat 

ketinggian dua puluh kaki, mayat Nogo 

Prakoso dilepaskan si Rajawali 

kepermukaan laut. Tak lama burung 

Rajawali itu telah kembali lagi. 

Setelah berputar-putar lalu terbang 

merendah, dan hinggap diatas tempat 

dia bertengger tadi.

"Aih, burung Rajawali yang 

hebat! Ah, betapa senangnya kalau aku 

memilikinya!" berkata Ranggaweni 

diluar sadar. Dia tampak amat kagum 

pada kecerdikan si Jabur yang mengerti 

kata-kata manusia. Begitu patuhnya si 

Jabur pada sang tuan majikannya.

"Hahaha... kalau kau mau aku 

akan memberikannya padamu!" berkata 

Nanjar dengan tersenyum menatap 

Ranggaweni.

"Betulkah?" tersentak girang 

Ranggaweni. Menatap Nanjar seperti tak 

percaya.

"Mengapa tidak?" sahut Nanjar 

bersungguh-sungguh.



"Ah, dengan apa aku membalas 

kebaikan hatimu, kak Nanjar? Kau 

begitu baik sekali terhadapku...!" 

Girangnya sukar dilukiskan hati gadis 

itu. Hingga dia menatap Nanjar dengan 

mata membelalak berbinar-binar.

"Cukup dengan kau mengakui aku 

sebagai kakak kandungmu sendiri, dan 

kau harus patuh pada perintah dan 

nasihatku!" ujar Nanjar dengan kata-

kata tegas. Hal itu memang diucapkan 

dengan sungguh-sungguh. Tentu saja 

membuat Ranggaweni tertegun.

Akan tetapi cuma sesaat. Karena 

selanjutnya gadis itu sudah jatuhkan 

dirinya untuk berlutut dihadapan 

Nanjar. Mulutnya keluarkan kata-kata 

yang menggeletar.

"Kakak Nanjar! aku bersedia 

dengan syaratmu itu. Dan aku akan 

memegang teguh janjiku. Aku akan 

mengakui kau kakak kandungku sendiri 

dan aku berjanji akan mematuhi setiap 

nasihatmu!" Diucapkan kata-kata itu 

oleh Ranggaweni dengan rasa girang 

yang amat luar biasa, bercampur rasa 

haru. Dia memang telah menganggap 

kakak sendiri pada Nanjar sejak pemuda 

itu berdiam di rumah keluarganya pada 

beberapa tahun yang silam.

Ayahnya Ki Ronggo Alit semasa 

hidupnya pun amat menyayangi pemuda 

itu. Tentu saja dia tak menolak kalau 

hanya untuk memiliki si Jabur dengan


menganggap Nanjar sebagai kakak 

kandungnya sendiri. Sedangkan apa yang 

diucapkan Nanjar adalah memang 

bersungguh-sungguh, karena berdasarkan 

janjinya pada si Raja Pengemis (guru 

Ranggaweni) yang tewas oleh si Raja 

Siluman Naga. Disaat menjelang 

kematiannya si Raja Pengemis memang 

telah memohon pada Nanjar agar Rang-

gaweni yang telah dianggap cucunya 

sendiri, agar Nanjar mau menjaganya. 

(Baca : Serial Dewa Linglung nomor 

perdana RAJA-RAJA GILA).

***

Udara cerah. Langit tak berawan. 

Matahari semakin menggelincir ke arah 

barat. Puncak tebing itu kembali sunyi 

ketika ketiga orang di atas tebing 

tersebut beranjak meninggalkan tempat 

itu. Nanjar tak menolak ketika 

Ranggaweni dan Badar Sora mengajaknya 

untuk singgah kepesanggrahan Gunung 

Putri. Sementara di udara terbang 

mengikuti si Rajawali raksasa kearah 

tiga sosok tubuh manusia di

bawahnya....

TIGA HARI berada di pesanggrahan 

Gunung Putri, Nanjar mengakrabkan 

Jabur pada Ranggaweni yang nampak 

sangat gembira sekali. Sejak dia masih 

bersama si Raja Pengemis memang gadis 

itu hampir sering bermimpi memiliki


burung Rajawali raksasa yang pernah 

dilihatnya di atas bukit. Kiranya 

impian itu menjadi kenyataan! 

Berdiamnya Nanjar dipesanggrahan itu 

karena dia ingin bertemu dengan Ki 

Bonang Luhur, yang masih belum kembali 

dari turun gunung.

Tentu saja selama itu mereka 

masing-masing tuturkan pengalamannya. 

Tak lupa Nanjar menceritakan kejadian 

di pulau terpencil serta menceritakan 

tentang kematian si Raja Siluman Naga. 

Gadis itu agak kecewa mendengar 

penuturan Nanjar. Karena dia memang 

berambisi untuk membalaskan kematian 

gurunya pada si Raja Siluman Naga! 

Akan tetapi dia juga menyadari kalau 

ilmu kepandaiannya belum apa-apa. 

Buktinya menghadapi Hang Gada alias 

Nogo Prakoso dia dapat dijatuhkan cuma 

dalam tiga jurus.

Melihat begitu lemahnya ilmu 

beladiri yang dimilikinya, Ranggaweni 

memohon pada Nanjar untuk mengajarinya 

beberapa jurus ilmu kepandaian silat, 

sambil menunggu kedatangan Ki Bonang 

Luhur. Nanjar tak keberatan, bahkan 

dia amat menyetujui usul itu, karena 

Nanjar memang telah menganggap 

Ranggaweni adik kandungnya sendiri. 

Juga dia merasa berhutang budi pada Ki 

Ranggo Alit ayah Ranggaweni.

Demikianlah! Hingga lebih dari 

tiga pekan Nanjar berada di



pesanggrahan Gunung Putri. Selama itu 

Ranggaweni telah berhasil menghafalkan 

jurus-jurus silat dari Nanjar. Yaitu 

beberapa jurus silat Raja Siluman 

Harimau dan jurus-jurus ilmu silat 

Raja Siluman Bangau.

Cuma ilmu "terbang" si Raja 

Siluman Bangau sajalah yang Ranggaweni 

belum mampu menguasai. Ilmu itu harus 

dilengkapi dengan latihan tenaga dalam 

yang amat tinggi. Akan tetapi dengan 

sedikit tambahan ilmu silat dari 

Nanjar itu telah membuat Ranggaweni 

amat bergirang hati. Sementara 

keakrabannya dengan si Jabur sang 

Rajawali raksasa itu semakin akrab. 

Kini burung itu telah mulai jinak dan 

menyukai pada Ranggaweni. Bahkan mau 

mematuhi perintahnya.

Akan tetapi Badar Sora, laki-

laki itu lebih banyak menyendiri. Dia 

amat senang dengan adanya Nanjar 

dipesanggrahan itu. Dan melihat 

kemajuan-kemajuan Ranggaweni yang 

mendapat tambahan ilmu kedigjayaan 

dari si pemuda itu. Akan tetapi 

hatinya tak dapat tenteram. Karena dia 

selalu memikirkan keadaan gurunya 

yaitu Ki Bonang Luhur yang hingga 

sampai saat ini belum kembali.

Dihari keempat puluh, Badar Sora 

mendatangi ke tempat mereka biasa 

berlatih. Melihat kedatangan Badar 

Sora, Ranggaweni segera


menyongsongnya. Adanya Nanjar di

pesanggrahan itu memang membuat gadis 

ini hampir melupakan laki-laki buta 

itu. Karena dia selalu sibuk menekuni 

ilmu-ilmu silat yang dipelajari dari 

Nanjar. Juga sibuk mengurus si Jabur 

yang telah semakin akrab dengannya. 

Bahkan telah beberapa kali gadis itu 

mencoba menaiki punggung si Rajawali 

raksasa untuk berputar-putar ditempat 

itu. Rasa ngeri telah berangsur-angsur 

lenyap ketika berada di udara. Rang-

gaweni benar-benar amat girang luar 

biasa dapat mengendarai si Jabur.

Hari itu mereka hanya berlatih 

sebentar. Bahkan Nanjar lebih banyak 

mengajaknya bercakap-cakap mengenai 

masalah yang dihadapi Ki Bonang Luhur 

yang sampai saat ini masih belum 

kembali. Pada saat itulah Badar Sora 

muncul menghampiri.

"Ada apakah kakang Badar Sora? 

Tak biasanya kau kemari? Apakah ada 

suatu hal yang penting?" bertanya 

Ranggaweni seraya menyongsong 

kedatangan sang kakak seperguruan.

"Benar, adikku!" menyahut Badar 

Sora.

"Oh, ya! Mari kita duduk di

bangku kayu itu...!" berkata 

Rangaweni, seraya membimbing lengan 

laki-laki buta itu dan menuntunnya 

mendekati bangku kayu bulat disisi



padang rumput. Sementara Nanjar sudah 

beranjak mendekati.

"Apa khabar sobat Badar Sora? 

Ah, kau selalu menyekap diri dalam 

kamar. Sukurlah hari ini kau mau 

keluar!" ujar Nanjar tersenyum.

"Aku sehat-sahat saja! Bagaimana 

keadaan kalian?" balik bertanya Badar 

Sora.

"Kamipun baik-baik saja!" 

menyahut Nanjar dan Ranggaweni hampir 

berbareng. Keduanya sama menatap dan 

masing-masing sama tersenyum.

Tak lama kemudian ketiganya 

telah terlibat dalam pembicaraan 

serius.

"Kamipun tengah memperbincangkan 

kepergian guru, kakang Badar Sora. 

Menurutmu pergi kemanakah beliau?" 

bertanya Ranggaweni.

"Aku sendiri tak mengetahui..." 

sahut Badar Sora.

"Apakah guru tak ada berkata-

kata padamu mengenai maksudnya turun 

gunung?" tanya lagi Ranggaweni.

Badar Sora gelengkan kepala, 

seraya uja-nya, "Beliau tak mengatakan 

apa-apa, kecuali berpesan menjaga 

pesanggrahan baik-baik sepeninggalnya! 

Yang membuat aku penasaran adalah 

sampai lebih satu bulan beliau tak 

kembali. Dan lagi aku teringat akan 

kata-kata si Hang Gada yang sebenarnya 

dengan berguru di Gunung Putri ini


adalah punya maksud mencuri Peta 

Rahasia mengenai pedang Pusaka INTI 

ES! Di samping dia memang berniat 

jahat terhadapmu!" tutur Badar Sora. 

"Manusia itu sebenarnya bernama Nogo 

Prakoso, murid Nini BLORONG dari Goa 

Larangan. Menurutnya guru pemuda itu 

ada permusuhan dan menyimpan dendam 

kesumat pada guru kita!" sambung laki-

laki buta itu dengan serius.

"Heh! Lagi-lagi Pedang INTI ES!"

berkata Nanjar dalam hati. "Apakah Ki 

Bonang Luhur guru kalian benar 

menyimpan peta rahasia mengenai Pedang 

INTI ES itu?" tanya Nanjar menatap 

Ranggaweni dan Badar Sora berganti-

ganti.

"Entahlah, aku tak mengetahui! 

Apakah kau mengetahui hal itu, kakang 

Badar Sora?" tanya Ranggaweni pada 

laki-laki kakak seperguruannya. Badar 

Sora menggelengkan kepala. 

"Aku juga tak tahu-menahu 

tentang hal itu! Cuma aku pernah 

mendengar guru berkata sendiri ketika 

beliau berada dalam bilik kamarnya!"

"Apakah yang dikatakannya?" 

desak Ranggaweni ingin tahu.

"Beliau mengatakan demikian. 

"Ah, dimana gerangan aku menyimpannya? 

Aku benar-benar lupa....!" Badar Sora 

menirukan apa yang diucapkan oleh Ki 

Bonang Luhur.


"Apakah kakang tak menanyakannya 

pada waktu itu?"

"Tidak! Karena guru tak bertanya 

apa-apa padaku. Aku mengira guru 

mencari tasbihnya yang dia lupa 

meletakkannya. Karena guru tak pernah 

bertanya apa-apa aku mengira benda 

yang dicarinya itu telah diketemukan!" 

sahut Badar Sora.

"Apakah waktu kejadian itu si 

Hang Gada telah berada dipesanggrahan 

ini?" tanya Ranggaweni lagi.

"Ya! dia sudah berada di tempat 

ini kurang lebih sekitar lima-enam 

bulan!"

"Hah! kalau begitu benda yang 

hilang itu bisa diduga adalah peta 

rahasia mengenai Pedang Pusaka INTI ES 

itu! Jangan-jangan si Hang Gada edan 

itulah yang telah mencurinya!"

"Akupun beranggapan demikian. 

Sayang waktu itu dia keburu tewas 

sebelum sempat aku menanyainya!" 

berkata laki-laki buta ini dengan 

menghela napas.

"Tunggu dulu! ada suatu hal yang 

akan kuceritakan pada kalian!" Tiba-

tiba Nanjar memotong pembicaraan. 

Nanjar yang mendengarkan sedari tadi 

segera teringat akan orang-orang 

Perguruan Tapak Nenggala yang diketuai 

oleh JAKA NINGRAT yang mendatangi 

pulau tempat dia berdiam. Tujuan 

mereka adalah mencari pedang Pusaka


INTI ES itu, melalui petunjuk sebuah 

peta. Segera Nanjar ceritakan kejadian 

itu pada mereka.

"Apakah peta di tangan orang-

orang Perguruan Tapak Nenggala itu 

adalah peta rahasia yang dimiliki Ki 

Bonang Luhur? tanya Nanjar.

"Entahlah!" menyahut Badar Sora 

setelah termenung sejurus.

"Kau tak menanyakannya dari mana 

mereka mendapatkan peta itu?" bertanya 

Ranggaweni seraya memandang tajam pada 

Nanjar.

"Aku telah menanyakannya! Akan 

tetapi Jaka Ningrat si ketua perguruan 

Tapak Nenggala itu cuma mengatakan 

peta rahasia itu didapatkan dari 

seseorang yang tak mau menyebutkan 

namanya!" jawab Nanjar.

"Kau tak mendesaknya?"

"Hm, aku malas untuk mendesaknya 

dan tak berniat mencampuri urusan

mereka. Bahkan aku segera pergi 

meninggalkan pulau terpencil itu!"

"Ah, sayang sekali...! gumam 

Ranggaweni.


SEMBILAN

Hasil dari pembicaraan akhirnya 

mereka mempunyai dugaan kuat kalau 

peta rahasia di tangan Jaka Ningrat 

adalah peta rahasia milik Ki Bonang 

Luhur yang dicuri oleh Hang Gada alias 

Nogo Prakoso. Mungkin saja kalau 

pemuda itu telah memberikan pada 

gurunya si Nini Blorong. Nanjar 

berpendapat adalah lebih baik men-

datangi tempat kediaman Nini Blorong 

untuk membuktikan dugaan mereka.

"Ah, usul yang sangat baik 

sekali! Aku setuju! kukira itulah 

jalan yang terbaik. Bukankah si Hang 

Gada itu mengatakan kalau dia murid si 

Nini Blorong? Dan dia mengatakan kalau 

gurunya mempunyai dendam kesumat yang 

amat dalam dengan guruku? Siapa tahu 

tujuan guru adalah ke tempat nenek itu 

dan telah terjadi apa-apa disana!" 

ujar Ranggaweni. Nanjar dan Badar Sora 

manggut-manggut.

"Apakah kalian mengetahui dimana 

letak Goa Larangan tempat tinggal si

Nini Blorong?" bertanya Nanjar. 

Ternyata Badar dan Ranggaweni sama-

sama tak mengetahui.

"Aku ada saran, bagaimana kalau 

kita berdua mencarinya?" tiba-tiba 

Ranggaweni berkata seraya mencolek 

lengan Nanjar. Nanjar jadi garuk-garuk


kepala tidak gatal. Dia memang sudah 

merasa bosan tinggal di Gunung Putri. 

Niatnya mencari Ki Bonang Luhur yang 

belum ketahuan dimana rimbanya tentu 

akan banyak kesulitan diperjalanan. 

Adanya Ranggaweni menyertai dia dalam 

perjalanan itu akan membuat dia kurang 

leluasa bergerak. Disamping itu Nanjar 

amat kasihan pada Badar Sora, yang 

tentunya sepeninggal mereka akan 

merasa kesunyian seorang diri.

Diam-diam dihati Nanjar timbul 

satu keinginan, yaitu menjodohkan 

Badar Sora dengan Ranggaweni.

Dari sikap Ranggaweni terhadap 

Badar Sora, dia melihat gadis itu amat 

menyayangi laki-laki buta itu. Apakah 

mustahil kalau Ranggaweni menolak bila 

dia menjodohkannya? Bukankah dengan 

demikian dia sudah termasuk menunaikan 

janjinya pada si Raja Pengemis? Oleh 

sebab itulah Nanjar tak segan-segan

mengajari Ranggaweni beberapa jurus-

jurus silat padanya. Juga 

menghadiahkan si Jabur padanya, 

walaupun dia amat menyayangi burung 

Rajawali itu.

"Adik Ranggaweni! Bukannya aku 

tak mau pergi mencari gurumu bersama-

sama. Akan tetapi kukira lebih baik 

aku pergi seorang diri. Aku 

berpendapat sebaiknya kau tetap berada 

disini. Apakah kau tak kasihan pada 

kakang Badar Sora? Dia tinggal sendiri


tak mempunyai teman bercakap-cakap. 

Percayakanlah hal gurumu itu padaku. 

Dan aku akan berusaha sekuat tenaga 

untuk mencarinya...!" berkata Nanjar 

dengan suara lembut.

Mendengar kata-kata Nanjar, 

sejenak Ranggaweni tercenung. Lalu 

terdengar dia menghela napas. Akan 

tetapi mendengar kata-kata Nanjar, 

tiba-tiba Badar Sora bangkit berdiri.

"Sobat Nanjar, aku tak keberatan 

bila adik Ranggaweni akan turut serta. 

Mengenai diriku tak usah kalian 

pikirkan!" Akan tetapi Nanjar segara 

berkata.

"Tidak, sobatku! Adik Ranggaweni 

harus tetap berada disini menemanimu. 

Bukankah begitu Ranggaweni?" ujar 

Nanjar seraya menatap pada gadis itu.

"Kalau kakak Nanjar menginginkan 

demikian, aku hanya menurut saja!" 

Sahut Ranggaweni dengan suara datar 

dan tundukkan kepala.

"Bagus! itu baru seorang adik 

yang baik! Nah! Tunjukkan padaku 

bagaimana ciri-ciri gurumu Ki Bonang 

Luhur agar aku mudah mengenalinya 

dalam pencarian jejaknya!" 

Tanpa diperintah dua kali 

Ranggaweni segera beritahukan pada 

Nanjar ciri-ciri Ki Bonang Luhur. Dari 

perawakan sampai wajah dan pakaian 

yang biasa dikenakan.


"Baiklah! aku akan berangkat 

sekarang juga!" ujar Nanjar seusai 

Ranggaweni menuturkan perihal ciri-

ciri gurunya.

"Apakah kakak Nanjar akan 

membawa Jabur turut serta?" tanya 

gadis itu tiba-tiba.

"Tidak! Bukankah si Jabur sudah 

kuhadiahkan padamu? Nah, rawatlah dia 

sebaik-baiknya agar kalian lebih akrab 

lagi. Ajarkan kalimat-kalimat lain 

padanya agar dia mengerti apa yang kau 

perintahkan! Nah, adik Ranggaweni, 

sobat Badar Sora aku berangkat!" 

Selesai ucapkan kata-kata tubuh Nanjar 

berkelebat melesat ... 

Dan dalam beberapa kejap saja

sudah tak kelihatan lagi menuruni 

lereng puncak Gunung Putri.

Gadis ini tertegun memandang 

dimana bayangan tubuh Nanjar 

menghilang. Setitik air bening 

menyembul di pelupuk mata. Ah, betapa 

inginnya dia selalu berdekatan dengan 

pemuda itu. Pemuda yang amat baik hati 

yang diam-diam telah pula merebut 

hatinya. Akan tetapi dia segera 

menghela napas dalam-dalam. Baginya 

tak mungkin untuk memikirkan hal-hal 

yang terlalu jauh. Bukankah Nanjar 

telah mengangkat dia sebagai adik 

kandungnya sendiri?

Ketika teringat adanya Badar 

Sora ditempat itu, cepat-cepat dia


menghapus air matanya. Dan berkata 

pada Badar Sora dengan suara yang 

dibuat seperti tak terjadi apa-apa. 

Kalau saja Badar Sora bisa melihat, 

tentu dia akan melihat wajah gadis itu 

masih jelas membayangkan kesedihan.

"Oh, ya! Kakang Badar Sora. Hari 

sudah siang begini. Apakah kau telah 

lapar? Segera kuambilkan makanan 

untukmu...!"

"Terima kasih, adik Ranggaweni. 

Nanti sajalah. Aku belum merasa lapar. 

Oh, ya... Aku amat kagum padamu, kau 

seorang gadis yang amat patuh pada 

kakak angkatnya! Apakah kau tak kecewa 

karena tak dapat turut serta?"

"Mengapa aku harus kecewa? Aku 

sadar bahwa apa yang diinginkan kak 

Nanjar adalah jalan yang terbaik. Dan 

aku tak kecewa tak dibolehkan ikut. 

Aku senang menemanimu di sini!" ujar 

Ranggaweni dengan suara lembut.

"Apakah kata-katamu keluar 

dengan setulus hati?" Pertanyaan Badar 

Sora seperti menembus kedalam sanubari 

Ranggaweni. Seperti ingin mengetahui 

lebih jelas dan lebih dalam lagi.

"Ya, aku berkata setulus 

hati..." Tempat itu kembali sunyi 

lengang. Keduanya sama-sama terdiam. 

Entah perasaan apa yang berada 

direlung hati masing-masing.

Suara mengiyak diudara memecah 

keheningan. Membuat Ranggaweni


menengadah menatap ke atas. Dilihatnya 

si Jabur terbang merendah. Entah dari 

mana dia. Dikakinya tampak 

tercengkeram seekor anak Rusa. Dengan 

menimbulkan angin keras burung raksasa 

itu menukik turun dan hinggap ditanah 

dihadapan Ranggaweni.

"Hai? Jabur...! kau habis 

menangkap rusa rupanya! Kebetulan! 

Apakah kau akan memberikan anak rusa

itu pada kami?" berkata Ranggaweni 

seraya melompat mendekati. Burung 

raksasa itu menggerak-gerakkan 

kepalanya seolah mengangguk-angguk.

"Oh, Jabur! kau baik sekali. 

Terima kasih Jabur! kau amat pandai 

mencari makanan. Tentunya kau sudah 

kenyang makan, bukan?" Ranggaweni amat 

girang. Serta-merta dia memeluk leher 

burung Rajawali itu, mengelus-elusnya 

dan menciuminya dengan kasih sayang.

"Wah! hari ini kita akan makan 

besar!" berkata Badar Sora dengan 

perlihatkan wajah berseri.

"Benar, kakang Badar Sora! 

Segera aku akan mengulitinya. Sebentar 

sore kau bisa menikmati panggang 

daging anak rusa!" berkata Ranggaweni. 

Dan... gadis itu telah bergegas 

mengangkat rusa muda itu untuk segera 

dibawa berlari kearah pesanggrahan. 

Sementara si Jabur terbang mengikuti. 

Laki-laki buta itu tersenyum. Tak lama


diapun beranjak meninggalkan padang 

rumput itu...

SEPULUH

Nanjar seperti seekor kancil 

yang lepas dari kurungan, berkelebatan 

cepat menuruni lereng gunung tanpa 

menoleh lagi. Hati pemuda ini amat 

girang karena dia seperti terbebas 

dari kejemuannya tinggal dipuncak 

gunung putri. Dia tak tahu arah kemana 

yang harus dituju. Akan tetapi hatinya 

mantap untuk menuju kearah utara. 

Entah beberapa saat dia berlari-lari, 

bahkan melompat dan "terbang" melewati 

jurang dan ngarai dalam, seolah Nanjar 

mau mempertunjukkan kehebatan ilmu 

kepandaiannya. Namun sebenarnya 

tidaklah demikian. Karena Nanjar ingin 

lekas tiba di tempat permukiman yang 

banyak manusia. Selama ini dia 

mengurung diri di pulau terpencil dan 

menetap beberapa bulan di gunung 

Putri, serasa dia sudah jemu dengan 

kesunyian.

Nanjar ingin menikmati keramaian 

lagi seperti pada masa pengembaraannya 

dulu. Di samping itu dia perlu 

petunjuk dalam mencari jejak Ki Bonang 

Luhur yang tak diketahui dimana 

rimbanya. Perjalanan ke utara itu


ternyata harus menembus sebuah hutan 

rimba. Akan tetapi bagi Nanjar hal itu 

tiada menjadi halangan! Dengan ilmu 

melompatnya yang diwarisi si Raja 

Siluman Kera, dengan mudah dia 

berkelebat kepuncak pohon.

Tak lama kemudian Nanjar sudah 

melompat dari pohon ke pohon dengan 

gerakan gesit seperti seekor kera saja 

layaknya. Ternyata sambil melompat 

pemuda itu masih sempat menyambar 

buah-buahan masak yang bergelantungan 

di dahan pohon. Persis seekor kera 

saja layaknya, karena sambil melompat-

lompat mulutnya tak berhenti 

menggayam.

Di ujung hutan itu ternyata ada 

sebuah desa yang terlihat beberapa 

wuwungan rumahnya. Dari atas dahan 

Nanjar memperhatikan.

"Bagus! hari sudah sore. Aku 

bisa numpang menginap di desa ini!" 

berkata Nanjar dalam hati. Dan 

berkelebat dari batang pohon diujung 

hutan itu....

***

Sepekan sepeninggal Nanjar yang 

turun dari puncak gunung Putri, tampat 

belasan orang mendaki lereng puncak 

gunung itu. Gerakan mereka nampak 

gesit. Nyata sekali kalau para 

pendatang ini adalah tokoh-tokoh


persilatan yang berkepandaian tinggi! 

Dalam waktu yang tidak lama belasan 

sosok tubuh itu telah berada di atas 

puncak gunung Putri.

Tampaknya mereka adalah 

sekelompok orang-orang yang akan 

menyerbu pesanggrahan tempat kediaman 

Ki Bonang Luhur. Terbukti masing-

masing mereka telah menyiapkan senjata 

di tangannya. Akan tetapi mereka tidak 

sembrono untuk segera bertindak 

meyerbu. Mereka seperti mengatur 

rencana. Lalu dengan serentak menebar 

kelapan penjuru mengurung pesanggrahan 

Ki Bonang Luhur. Siapakah gerangan 

mereka? Mudah diterka dengan melihat 

beberapa orang yang pernah kita kenal 

muncul di pulau terpencil tempat 

berdiam Nanjar. Diantara belasan orang 

itu ternyata adalaii si laki-laki 

jubah kuning bernama KULIPALA, si 

ketua perguruan Tapak Nenggala JAKA 

NINGRAT, dan tiga orang murid kepala 

dari perguruan Tapak Nenggala, yaitu 

JALANTRA, KEBOJALU dan BENDOWO. 

Selanjutnya adalah orang-orang yang 

belum dikenal.

Jaka Ningrat mendahului melompat 

ke halaman pesanggrahan. Lengannya 

memberi tanda isyarat pada Jalantra, 

Kebojalu dan Bendowo untuk memasuki 

pintu pesanggrahan. Tak menunggu dua 

kali, ketiga laki-laki berperawakan 

kekar ini berkelebatan melompat me


masuki pintu depan yang terbuka. 

Gerakan mereka tak menimbulkah suara.

Sementara beberapa orang yang 

menyelinap dari kanan-kiri dan 

belakang pesanggrahan telah pula 

berlompatan melalui jendela. Terdengar 

suara pintu didobrak di bagian 

belakang pesanggrahan. Bahkan satu 

sosok tubuh telah melompat keatas 

wuwungan pesanggrahan itu.

Jaka Ningrat menunggu hasil yang 

sudah direncanakan akan memuaskan. 

Akan tetapi tak terdengar apa-apa. 

Bahkan yang keluar adalah ketiga 

muridnya diiringi Kulipala dan sosok-

sosok tubuh kawannya.

"Pesanggrahan ini kosong, guru! 

Tak kami jumpai sepotong manusiapun!" 

berkata Bendowo.

Sosok tubuh yang berada diatas 

genting tiba-tiba melompat turun. 

Gerakannya ringan sekali bagai tak 

bersuara jejakkan kaki ditanah. 

Ternyata dia seorang kakek tua yang 

menyeramkan. Berwajah pucat. Hidungnya 

melengkung bagai paruh burung betet. 

Rambutnya panjang sebatas bahu. 

Kumisnya mirip kumis tikus dan bermata 

merah.

Siapa adanya kakek berjubah 

hitam ini yang di pinggangnya 

melingkar seutas rantai berbandulan 

kepala tengkorak terbuat dari baja 

hitam. Dialah seorang tokoh hitam yang


sangat telengas, yang berjulukan si 

IBLIS TENGKORAK BOLONG, Kakek ini 

adalah guru dari laki-laki jubah 

kuning yang bernama KULIPALA itu.

Kakek ini menatap pada Jaka 

Ningrat. Dan berkata dengan mendengus.

"Hm, jelas mereka sudah minggat 

dari tempat ini! He! Jaka Ningrat! 

boleh kubertanya? Apakah kau 

mengetahui jelas kalau si Nogo Prakoso 

telah memberikan peta rahasia Pedang 

INTI ES yang asli milik Ki Bonang 

Luhur itu?"

"Aku kurang percaya! Buktinya 

kau tak dapat menemukan pedang pusaka 

itu di pulau terpencil itu! Jangan-

jangan kau telah ditipunya! Aku memang 

akan membayar mahal bila kalian dapat 

menemukan pedang INTI ES itu. Karena 

benda itu berasal dari negeri TIBET! 

Atas pesanan seorang bangsawan Tibet 

itulah maka aku sangat mengharapkan 

sekali benda itu. Karena bukan saja 

imbalan harta benda, tapi juga 

penghargaan yang amat tinggi akan 

diberikan padaku dengan diketemukannya

benda itu!"

Yang maju menjura adalah 

Kulipala.

"Guru! sejak aku terikat menjadi 

anggota perguruan Tapak Nenggala dan 

menganggap Jaka Ningrat adalah 

saudaraku sendiri, aku merasa Jaka 

Ningrat tidak dapat dipersalahkan


dalam hal ini. Karena akupun telah 

melihat tanda-tanda kebenaran peta 

rahasia itu. Benar tidaknya peta itu 

aku tak mengetahui. Juga apakah sobat 

Jaka Ningrat telah ditipu kami tak 

mengetahui. Yang jelas kami telah 

berusaha mencarinya. Dan sobat Jaka

Ningrat tidak sedikit mengorbankan 

harta bendanya untuk memberi imbalan 

pada Nogo Prakoso yang berhasil 

mencuri peta itu dari tangan Ki Bonang 

Luhur!" ujar Kulipala.

"Di samping itu penemuan mayat 

Nogo Prakoso di tengah laut itulah 

yang membuat kami menyatroni tempat 

kediaman Ki Bonang Luhur di Gunung 

Putri ini. Karena kami yakin 

kematiannya ada sangkut pautnya 

dengan pemuda bernama Nanjar yang 

mendiami pulau terpencil itu! Pemuda 

yang mempunyai peliharaan burung 

Rajawali raksasa itu mempunyai 

potongan pedang yang kami curigai 

adalah potongan pedang Pusaka INTI ES! 

Aku menduga si pembunuh Nogo Prakoso 

adalah pemuda bernama Nanjar itu! 

Karena berdasarkan penyelidikan 

orang-orang perguruan Tapak Nenggala 

juga banyak penduduk desa, mereka 

melihat adanya seekor burung elang 

besar yang berada dipuncak Gunung 

Putri! Jadi jelasnya kami mengajak 

guru kemari adalah demi membantu kami 

menghadapi si pemuda itu yang telah


bergabung dengan Ki Bonang Luhur dan 

para muridnya!"

Kulipala berhenti sejenak 

berkata untuk menoleh pada Jaka 

Ninggrat yang manggut-manggut 

membenarkan. Lalu lanjutkan kata-

katanya lagi.

"Bocah muda bernama Nanjar itu 

adalah murid si EMPAT RAJA GILA, akan 

tetapi tepatnya guru pemuda itu adalah 

si ENAM IBLIS PULAU KAMBANGAN. Karena 

adanya enam buah kuburan yang berada 

di atas bukti di tengah pulau 

terpencil itu! Juga menurut pengakuan 

pemuda itu!" demikian tuturkan 

Kulipala.

Hal itu diungkapkan pada gurunya 

karena mereka menjumpai si Iblis 

Tengkorak Bolong, guru dari Kulipala 

ini di tengah perjalanan, ketika 

mereka akan berangkat ke Gunung Putri. 

Di samping itu Kulipala khawatir kalau 

sang guru murka. Dia mengenal watak 

kakek itu yang amat telengas, dan 

mengkhawatirkan Jaka Ningrat jadi 

pelampiasan kemarahannya karena tak 

menjumpai Ki Bonang Luhur di

pesanggrahannya.

Mendengar penuturan muridnya, si 

Iblis Tengkorak Bolong jadi 

terlongong. Iblis Tengkorak Bolong 

sudah sejak lama malas keluar dari 

tempat persembunyiannya karena dia 

merasa perlu melatih diri untuk


menambah kekuatan berkenaan dengan 

usianya yang sudah menua. Hingga untuk 

urusan itu dia mempercayakan pada 

muridnya.

Karena ditunggu-tunggu Kulipala 

tak munculkan diri, dia bermaksud 

mengunjungi tempat perguruan Tapak 

Nenggala. Memang dia telah 

mengetahuikalau Kulipala bersahabat 

baik dengan Jaka Ningrat. Jaka Ningrat 

adalah adik seorang Adipati yang 

mempunyai pengaruh cukup besar 

dibeberapa wilayah. Ternyata dalam 

perjalanan dia berjumpa dengan 

rombongan orang-orang perguruan Tapak 

Nenggala yang berangkat menuju ke 

Gunung Putri. Tanpa bertanya lagi dia 

mengikuti. Dia memang telah mendengar 

kabar tentang berhasilnya Kulipala dan 

Jaka Ningrat mendapatkan peta rahasia 

pedang Pusaka INTI ES itu, dari ber-

tanya pada salah seorang murid Jaka 

Ningrat.

Sang murid perguruan Tapak 

Nenggala yaitu Bendowo, cuma 

mengatakan mau menangkap seseorang 

yang berdiam di pesanggrahan Ki Bonang 

Luhur, di puncak Gunung Putri. Orang 

yang ditangkapnya itu ada hubungannya 

dengan pedang Pusaka INTI ES. 

Demikianlah hingga dia berada diantara 

rombongan muridnya itu. Adapun 

Kulipala mengetahui gurunya mengikut 

di antara rombongan sengaja tak


menjumpainya dan merasa kebetulan 

dengan adanya kakek kosen gurunya itu 

berada diantara mereka. Berarti akan 

lebih mudah menangkap Nanjar serta 

membekuk Ki Bonang.

Mendengar disebutkanya nama si 

Enam Iblis Pulau Kambangan seketika 

wajah-wajah si Iblis Tengkorak Bolong 

yang semula terlongong, tiba-tiba 

berubah cerah.

"Hehehe.... bagus! kalau bocah 

itu murid si Enam Iblis Pulau 

Kambangan sangat kebetulan sekali. Aku 

bersahabat baik pada mereka pada dua 

puluh tahun yang silam. Biarkanlah 

kucari dia. Bukankah kau mengatakan 

bocah itu mempunyai peliharaan seekor 

burung Rajawah raksasa? Tentu akan 

mudah untuk menemukannya!" berkata si 

Iblis Tenggkorak Bolong dengan tertawa 

terkekeh.

SEBELAS

KULIPALA yang mendengar maksud 

gurunya mengusulkan untuk membakar 

pesanggrahan itu. Adanya asap mengepul 

dari puncak gunung Putri tentu akan 

menarik perhatian. Hingga Nanjar 

munculkan diri. Laki-laki itu 

berpendapat walaupun nanti Nanjar tak 

bisa diajak berdamai dengan gurunya,


untuk meringkus pemuda itu akan tidak 

begitu sukar!

Usul itupun disetujui. Hingga 

tak lama kemudian pesanggrahan itupun 

segera dibakar. Api berkobar, dan asap 

mengepul tebal mengalun keudara. Benar 

saja! Tak seberapa lama segera 

terlihat sebuah titik putih diudara. 

Semakin lama semakin dekat! Itulah 

seekor burung besar, yang tak lain 

dari burung Rajawali raksasa.

Burung Rajawali itu memang benar 

si Jabur adanya. Karena terlihat si 

penunggang burung adalah seorang gadis 

cantik yang tak lain dari Ranggaweni.

Burung Rajawali itu terbang 

merendah mengitari pesanggrahan yang 

terbakar hebat dengan perdengarkan 

suara mengiyak tiada henti. Adapun 

Ranggaweni yang berada di punggung 

burung itu terkejut melihat 

terbakarnya pesanggrahan tempat 

tinggalnya.

"Hah? apakah yang telah terjadi? 

Mengapa pesanggrahan bisa terbakar?" 

tersentak kaget gadis ini. Matanya 

memandang kebawah memperhatikan 

sekitar tempat di sekeliling pesang-

grahan yang penuh dengan kobaran api. 

Tentu saja yang dicarinya adalah laki-

laki buta bernama Badar Sora itu. Dia 

amat mengkhawatirkan keselamatannya. 

Gadis ini memang sering pergi dengan 

menunggangi si Jabur ke pesisir pantai


di atas tebing karang itu. Tempat 

dimana dia sering termangu memandang 

laut.

Semua itu adalah untuk mengisi 

kekosongan hatinya. Karena sejak 

sepeninggal Nanjar, Badar Sora jarang 

keluar. Bahkan dalam beberapa hari ini 

selalu menyekap diri dalam kamar. 

Karena itulah Ranggaweni sering pergi 

dengan menunggangi burung Rajawalinya. 

Terkadang dia melatih diri dengan 

ilmu-ilmu silatnya yang baru 

dipelajari dari Nanjar. Terkadang cuma 

duduk termangu memandang laut. Serasa 

tak sabar dia menanti kedatangan 

Nanjar. Juga tak sabar dia menanti 

khabar berita gurunya yang tak 

ketahuan kemana rimbanya.

Pagi itu seperti biasa, 

Ranggaweni pergi dengan menunggang si 

Jabur. Jabur baru saja selesai berburu 

ikan di laut. Bahkan dia baru saja 

selesai memanggang ikan dan tengah 

menyantapnya. Disisakan beberapa ekor 

panggang ikan untuk Badar Sora. 

Sementara si Jabur bertengger dibatu 

cadas mengeringkan bulunya yang basah, 

dengan membentangkan sayapnya.

Tiba-tiba dia melihat ada asap 

mengepul dari arah puncak gunung 

Putri. Terkejut gadis ini. Wajahnya 

seketika berubah pucat! Dan serta-

merta dia melompat menghampiri si Ja-

bur. Melompat ke atas punggungnya da



memerintahkan burung Rajawali itu 

untuk terbang pulang... Demikianlah! 

hingga ketika melihat keadaan 

pesanggrahan yang terbakar membuat 

Ranggaweni terkesiap.

Diperhatikan disekitar 

pesanggrahan tak dijumpai adanya 

sesosok tubuh manusiapun. "Ah, jangan-

jangan kakang Badar Sora..." Dia tak 

teruskan gumamnya karena si Jabur 

telah menukik merendah, dan hinggap di

tanah. Tak berayal lagi dia segera 

melompat dari punggung binatang itu.

Matanya jelalatan mencari Badar 

Sora. Akan tetapi baru saja dia mau 

berteriak memanggil, tiba-tiba 

berkelebatlah beberapa sosok tubuh 

keluar dari balik semak belukar. 

Bahkan saat itu juga sebuah bayangan 

hitam telah berkelebat ke arahnya. 

Terkejut dia melihat seorang kakek 

berjubah hitam berwajah menyeramkan 

tengah julurkan lengannya untuk 

menotok. Akan tetapi detik itu juga 

dia telah membentak keras.

"Hah!? siapa kalian?" Tubuhnya 

mendadak melejit ke atas. Loloslah 

serangan barusan. Itulah salah satu 

jurus melompat dari gerakan si Raja 

Siluman Bangau, yang baru dipelajari 

dari Nanjar.

"Hebat!" puji si Iblis Tengkorak 

Bolong yang terkejut karena gerakan 

menotoknya gagal. Di samping dia


heran, karena orang yang dinantikan 

kedatangannya dan yang pernah menjadi 

murid si Enam Iblis Pulau Kambangan 

itu bukannya seorang pemuda, melainkan 

seorang gadis.

Ranggaweni jejakkan kakinya ke

tanah. Segera dia melihat belasan 

orang telah mengurungnya dengan 

senjata-senjata di tangan. Kecuali si 

kakek seram berjubah hitam yang 

barusan menyerangnya tak mencekal 

senjata. Namun di pinggang kakek itu 

terbelit seutas rantai berbandulan 

kepala tengkorak!

"Siapakah kalian? Heh! pastilah 

kalian yang telah membakar 

pesanggrahan ini!" bentak Ranggaweni.

"Benar! Kami sengaja membakar 

pesanggrahan ini adalah untuk 

memancing keluarnya bocah laki-laki 

bernama Nanjar sipemilik burung 

Rajawali itu! Akan tetapi ternyata kau

bocah perempuan yang muncul! Kemanakah 

gerangan si bocah laki-laki dan 

siapakah kau?" berkata Iblis Tengkorak 

Bolong dengan ajukan pertanyaan, 

karena herannya.

"Tak perlu kalian mengetahui 

siapa aku! Apa hubungannya kalian 

dengan pemuda itu?., Dan segera kalian 

katakan, apakah yang telah kalian 

lakukan pada seorang laki-laki buta 

yang berada di kamar dalam 

pesanggrahan ini!" berkata Ranggaweni


dengan suara keras menandingi 

gemuruhnya api yang melalap tiang-

tiang kayu pesanggrahan itu.

"Hehehe... disini tak kujumpai 

seorang manusia. Apalagi seorang laki-

laki bermata buta! Segera akan 

kuberitahukan siapa kami setelah 

meringkusmu, bocah cantik!" terutama 

menyeringai si Iblis Tengkorak Bolong. 

Dan serentak dia beri isyarat pada 

belasan orang yang mengurung si gadis 

untuk segera meringkusnya.

"Tangkap dia hidup-hidup. Awas 

jangan sampai kalian melukai kulitnya! 

Burung Rajawali itu adalah bagianku!" 

berkata si kakek. Kepalanya menengadah 

keatas, karena dia segera melihat si 

Jabur terbang ke arahnya dengan 

memekik-mekik keras. Benar saja burung 

Rajawali itu telah menyerangnya dengan 

sambaran dahsyat.

Akan tetapi dengan melompat 

gesit dia telah menghindarkan diri. 

Bahkan lengannya bergerak menghantam 

kearah burung itu.

Angin keras bertenaga dalam itu 

menerjang Jabur. Namun Jabur dengan 

gesit menghindari, walau agak 

menyerempet angin pukulan itu 

merontokkan beberapa helai bulunya.

Gusar bukan main si Jabur. Dia 

terbang memutar dan kembali menyambar 

dahsyat. Kakinya siap mencengkeram. 

paruhnya siap mematuk.



"Hehehe... akan kuajak main-main 

burung Rajawali...!" mendesis mulut 

sikakek ini. Kembali dia melompat 

menghindar. Gerakan melompat kakek ini 

sengaja menjahui tempat itu. Dan si 

Jabur terpancing untuk mengejar.

Sementara itu beberapa orang 

yang mengurung Ranggaweni telah 

menerjang untuk meringkus gadis itu. 

Tentu saja gadis ini tak mau rnandah 

saja membiarkan dirinya diringkus. 

Dengan kertak gigi dia gerakkan le-

ngannya menghantam kesana-kemari. 

Bendowo yang tak menyangka akan 

serangan si gadis demikian hebat, kena 

hantam punggungnya. Menggelinding 

tubuh laki-laki yang sembrono ini 

dengan mengaduh kesakitan.

Melihat demikian, Jalantra dan 

Kebojalu menerjang serentak. 

Ranggaweni lakukan salto dengan gesit 

menghindar. Namun dia tak luput dari 

sambaran tangan Kulipala yang men-

cengkeram kearahnya. Kulipala memang 

telah menyimpan kembali senjata rantai 

Trisula, karena mau menangkap gadis 

ini hidup-hidup.

"Menyerahlah kau, gadis cantik! 

Percuma kau melakukan perlawanan!" 

berkata Kulipala dengan menyeringai. 

Tentu saja Ranggaweni tak mau biarkan 

tubuhnya kena tercengkeram laki-laki 

bertampang ceriwis itu. Jurus Harimau 

Lapar Menerkam Mangsa segera


dipergunakan setelah dia berhasil 

menghantam sepasang lengan Kulipala.

"Haiiii?" terkejut Kulipala, 

sebaik dia akan lakukan serangan lagi 

ke arah kaki, justru lengah dara itu 

telah sampai didepan mukanya. Dan....

Breeet!

Mengaduh laki-laki ini seraya 

menyampok. Namun toh kuku-kuku tangan 

Ranggaweni telah menggores mukanya. 

Beruntung dia telah membuang tubuhnya 

untuk menghindar. Kalau tidak, tentu 

lehernya kena dicengkeram.

"Hati-hati paman Kulipala! Aku 

datang membantu!" teriak Jaka Ningrat.

Laki-laki berkumis tipis 

berwajah tampan ini melompat kehadapan 

Ranggaweni. Lengannya terulur untuk 

menangkap pinggang. "Wahai, rampingnya 

pinggangmu, nona! Baiknya kau menyerah 

saja untuk jadi istriku!"

Membentak Ranggaweni seraya 

secepat kilat mencabut pedangnya di

pinggang. Itulah pedang buntung yang 

selalu dibawanya. Yaitu pedang pusaka 

milik si Raja Pengemis yang patahan 

ujungnya berada pada Nanjar.

"Laki-laki ceriwis! Ini 

bagianmu!" teriak gemas Ranggaweni. 

Terkejut Jaka Ningrat melihat 

kilatan pedang menyambar lengannya. 

Kejap itu juga dia telah batalkan 

serangan seraya membuang tubuh ke

samping. Sambaran lengan itu berubah


menjadi tangkisan untuk menepiskan 

pedang dengan mendorong kuat 

pergelangan tangan Ranggaweni. 

Terhindarlah dia dari sambaran pedang 

yang ganas itu.

"Serahkan dia pada kami!" Lima 

sosok tubuh berkelebat kebelakang 

Ranggaweni. Masing-masing lengan 

kelima orang itu mencekal sebuah jala 

sutera. Sementara senjata-senjata 

mereka terselip dipunggung. Kelima 

orang ini adalah tak lain dari si Lima 

Harimau Gunung Setan! Ternyata kelima 

tokoh golongan sesat itu ikut serta 

dalam rombongan Jaka Ningrat. Tentu 

saja dia cuma mengharap upah besar. 

Memang mereka kerjanya sebagai tukang-

tukang bunuh bayaran yang di sewa oleh 

Jaka Ningrat untuk urusannya.

Ranggaweni balikkan tubuhnya dan 

menatap gusar pada kelima manusia itu. 

"He? Pedangmu buntung? Apakah 

kau tak punya senjata yang baik, nona? 

Bagaimana kalau kami pinjamkan senjata 

untukmu?" berkata salah seorang yang 

bernama Brengos Suto. Sementara dia 

sudah putar-putar jalanya untuk 

meringkus sang gadis.

Akan tetapi pada saat teriakan

dari belakang si Lima Harimau.

"Tahan! aku mau bicara dulu pada 

gadis ini!" 

Dan sesosok tubuh berkelebat. 

Ternyata tak lain dari Kulipala. Lak



laki ini baret-baret mukanya dan masih 

mencucurkan darah, bekas kena goresan 

kuku tangan Ranggaweni.

"Eh, nona...! boleh aku tahu, 

apakah pedang buntungmu ada 

hubungannya dengan potongan pedang 

ditangan si pemuda bernama Nanjar 

itu?"

"Huh! Apa perlumu menanyakan hal 

itu?" bentak Ranggaweni melotot gusar.

"Hm, hal ini ada sangkut-pautnya 

dengan urusan kami. Karena kami 

menyatroni kemari adalah untuk 

merampas potongan pedang di tangan 

pemuda bernama Nanjar itu!" berkata 

Jaka Ningrat. "Untuk hal itu kami 

telah membayar mahal. Bukan saja 

harta-benda, akan tetapi tenaga dan 

bahkan jiwa menjadi taruhan kami untuk 

mendapatkan pedang Pusaka INTI ES!"

"Jadi kau mengira pedang buntung 

ini dan potongan pedang di tangan 

kawanku itu adalah pedang Pusaka INTI 

ES?" tanya Ranggaweni lantang 

bercampur kaget. Kulipala menjawabnya 

dengan ketus.

"Benar! kuharap kau serahkan 

saja pedangmu, dan kau takkan mendapat 

resiko lagi menghadapi kami!" Diam-

diam laki-laki ini terkejut melihat 

pedang buntung itu mempunyai sinar 

kehijauan, mirip dengan potongan ujung 

pedang ditangan Nanjar yang pernah


ditunjukan padanya di pulau terpencil 

beberapa bulan yang lalu.

"Hm, potongan pedang yang berada 

ditangan pemuda itu memang masih satu 

badan dengan pedang ini! Akan tetapi 

pedang ini bukanlah pedang Inti Es 

yang kalian maksudkan!" berkata 

Ranggaweni. Kini jelaslah duduk 

persoalannya mereka membakar 

pesanggrahan dan menyatroni ke Gunung 

Putri.

Pada saat itulah Jaka Ningrat 

telah memberi isyarat pada si Lima 

Harimau Gunung Setan untuk meringkus 

si gadis. Dan serentak kelima orang 

itupun merangsak maju seraya tebarkan 

jala! dengan dibarengi peringatan pada 

Kulipala.

"Menyingkirlah sobat Kulipala! 

Biar kami ringkus dulu gadis ini! Akan 

tetapi pada saat itu tiba-tiba 

terdengar jeritan saling susul. Kelima 

penyerang ini telah terjungkal roboh. 

Bahkan sebelah lengan Kulipala pun 

telah terpapas putus, ketika kilatan-

kilatan cahaya berkelebatan di hadapan 

Ranggaweni yang timbulkan hawa dingin 

luar biasa.

Sesaat saja tubuh kelima Harimau 

Gunung Setan itu tejah berkelojotan 

meregang nyawa. Masing-masing lehernya 

terpapas hampir putus. Dan jala-jala 

mereka bertebaran disana-sini.


DUA BELAS

Semakin terperangah Ranggaweni 

karena seketika tubuh-tubuh si Lima 

Iblis Gunung Setan telah menjadi kaku 

dengan kepulkan uap dingin. Bahkan 

darah yang mengalir dari luka di leher 

merekapun membeku. Dan di situ telah 

berdiri sesosok tubuh yang membuat 

matanya membelalak.

"Kakang Badar Sora...!? 

berteriak kaget Ranggaweni melihat 

siapa adanya sosok tubuh itu, yang 

memang tak lain dari Badar Sora.

Akan tetapi Badar Sora yang 

dihadapanya bukanlah Badar Sora yang 

bermata buta. Melainkan Badar Sora 

yang bermata melek, menatapnya dengan 

pandangan mata tajam bersinar bening. 

Di tangannya tercekal sebuah pedang 

bersinar perak.

"Hahaha...adik Ranggaweni! 

Jangan terkejut melihat aku! Nanti 

segera kau akan mengetahui siapa aku 

sebenarnya!" selesai berkata laki-laki 

aneh itu berkelebat. Dan dia telah 

melompat di hadapan Jaka Ningrat dan 

Kulipala, serta beberapa orang yang 

telah mencabut senjata dengan 

memandang tercengang pada laki-laki 

itu. 

"Hm, apakah kalian menginginkan 

pedang pusaka Inti Es? Inilah pedang


itu! Silakan kalian merebutnya!" 

berkata Badar Sora, seraya putarkan 

pedangnya. Segera saja hawa dingin 

mengembara ke sekitar tempat itu 

membuat tubuh orang dihadapannya 

menggigil. Dan tanpa terasa mereka 

menyurut mundur beberapa langkah.

Kulipala menggertak gigi, 

menahan sakit pada lengannya yang

darahnya beku. Hawa dingin itu membuat 

dia tambah menggigil.

Akan tetapi dia telah loloskan 

senjatanya, seraya membentak.

"Hayo, bunuh dia! Rampas pedang 

pusaka Inti Es itu!"

Serentak saja mereka menerjang 

dengan senjata masing-masing. Akan 

tetapi seperti menerjang putaran angin 

salju yang membuat aliran darah 

membeku, mereka terpacak ditanah 

dengan mata membelalak kaget.

Akan tetapi cuma sesaat, karena 

segera terdengar jeritan mereka saling 

susul! Dibarengi bergelimpangannya 

tubuh-tubuh mereka bagai batang pisang 

yang roboh ditebang, ketika kilatan-

kilatan cahaya kembali berkelebatan 

menyilaukan mata. Ternyata dalam 

sekelebatan cahaya kembali 

berkelebatan menyilaukan mata. 

Ternyata dalam sekelebatan saja Badar 

Sora telah menghabisi jiwa-jiwa 

mereka.



Mayat-mayatpun bergelimpangan 

ditempat itu dengan keadaan tubuh yang 

membeku!

Sementara kejadian itu 

berlangsung, Ranggaweni tak sempat 

memperhatikan lagi. Karena dia telah 

berkelebat melesat ke arah lereng gu-

nung. Di sana tengah terjadi 

pertarungan seru antara si Jabur dan 

seorang kakek kurus berjubah hitam 

yang bersenjatakan seutas rantai 

berbandul tengkorak!

Siapa lagi kalau bukan si Iblis 

Tengkorak Bolong. Apa yang membuat 

kakek itu tampak terdesak adalah di

punggung burung Rajawali itu 

menunggang sesosok tubuh manusia yang 

mencecarnya dengan pukulan-pukulan 

ganas!

Sukar diduga kalau sipenunggang 

burung Rajawali raksasa itu adalah 

Ginanjar alias Nanjar adanya. Bahkan 

balas menyerang dengan senjata 

mautnya.

"Hahaha.... kakek Iblis 

Tengkorak Bolong! Lebih baik kau ganti 

gelarmu menjadi si kakek Iblis Liang 

Kubur! Karena sudah pantas kalau kau 

segera masuk kubur!" ejek Nanjar.

Rajawali terbang memutar, lalu 

menukik deras. Iblis Tengkorak Bolong 

menggerung keras. Bandulan tengkorak 

baja hitamnya meluncur menghantam ke

arah Nanjar.


"Mampus kau keparat!" teriak si

kakek.

Akan tetapi tiba-tiba Nanjar 

telah melompat untuk menangkapnya. 

Dan.... 

Wrrrrrr! 

Tubuh Nanjar meluncur terbawa 

sentakan kuat rantai tengkorak itu 

yang di betot keras oleh si

pemiliknya. Tentu saja terperangah 

kakek ini karena bandulan kepala 

tengkorak itu justru mengarah ke batok 

kepalanya!

"Edan!?" teriak si kakek 

terkejut. Kalau dia tak lompat 

menghindar, tentu batok kepalanya 

hancur lumat. Sementara Nanjar sudah 

melompat dengan bersalto beberapa kali 

setelah menghantamkan bandulan itu ke

arah lawan.

Sekejap kemudian sepasang 

kakinya telah hinggap di tanah. Namun 

kembali tubuh pemuda itu melejit 

dengan gerakan jurus melompat Bangau 

Sakti Bentangkan Sayap. Sekejap dia 

telah tiba di hadapan si Iblis 

Tengkorak Bolong.

"Hayo, kakek! kita main-main 

lagi!" teriak Nanjar.

Mendelik mata si Iblis Tengkorak 

Bolong. Sungguh memalukan kalau dia 

harus jadi bulan-bulanan dipermainkan 

seorang bocah muda yang baru berhenti


ingusan. Lengannya menyelinap ke balik 

saku jubah. Dan........

Bhussss!

Benda yang dilempar kearah 

Nanjar meletup, menimbulkan asap hitam 

yang menyengat hidung. Sekejap tubuh 

Nanjar telah terbungkus oleh kepulan 

asap hitam itu. Pemuda ini berguling 

beberapa tombak.

"Kakek sialan! kau main 

curang...! licik!" teriak Nanjar 

terbatuk-batuk. Dia melompat lagi 

untuk berdiri. Akan tetapi tubuhnya 

terhuyung roboh.

"Hehehe… yang penting siapa 

cepat dia yang menang! Kau masih 

kurang pengalaman, bocah! Dalam 

pertarungan pakai cara apapun boleh! 

Hehehe... kini terpaksa aku 

menotokmu!" berkata sikakek. Tubuhnya 

berkelebat. Lengannya terjulur....

Akan tetapi tiba-tiba terdengar 

jeritan parau merobek udara. Dan 

berbareng dengan teriakan itu tubuh si 

Iblis Tengkorak Bolong telah roboh 

terjungkal. Darah memuncrat ke

beberapa penjuru. Selanjutnya tubuh 

kakek itu sudah menggoser-goser 

meregang nyawa. Akan tetapi sesaat 

kemudian uap tampak mengepul di 

sekujur tubuh Iblis Tengkorak Bolong. 

Dan kejap berikutnya tubuh kakek itu 

tela berubah beku terlapisi es. Hawa


dingin menebar merambah sekitar tempat 

itu.

Sesosok bayangan tubuh yang 

melesat cepat telah menghabisi nyawa 

si Iblis Tengkorak Bolong. Itulah 

sosok tubuh BADAR SORA yang telah 

berada di tempat itu dengan 

menggenggam pedang INTI ES di

tangannya. Bersamaan dengan itu 

terdengar suara teriakan Ranggaweni 

yang memburu ke tempat itu. 

"Kakak NANJAR......!" Teriakan 

gadis itu mengusik keheningan. Sejenak 

dia menatap pada sosok tubuh si Iblis 

Tengkorak Bolong yang terkapar beku.

Lalu menatap pada laki-laki yang tegak 

berdiri dihadapannya, yang mencekal 

pedang INTI ES. Bibir gadis ini 

menggetar berucap kata.

"Ka..kakang Badar Sora....! 

kau..." Dia tak sempat teruskan kata-

katanya karena segara berpaling 

menatap Nanjar yang masih terlentang 

tak berkutik.

"Oh!? kakak Nanjar....!" 

teriakan bercampur isak terdengar dari 

mulut dara ini. Dia melompat untuk 

memburu ke arah sosok tubuh yang amat 

dirinduinya itu. Betapa dia amat 

mengkhawatirkan keselamatannya. Akan 

tetapi, tiba-tiba satu hal yang amat 

ganjil dan diluar dugaan terjadi 

didepan mata.


Mendadak Nanjar telah melompat 

berdiri diiringi suara gelak tertawa 

pemuda itu.

"Hahaha... belum mati sudah 

ditangisi! Haiiih! Ranggaweni jangan 

khawatir, kakakmu masih hidup dan 

segar bugar!" 

Tentu saja membuat mata dara ini 

jadi membelalak. Akan tetapi hatinya 

amat girang sekali karena Nanjar tak 

mengalami kejadian apa-apa.

Kini dia menatap pada Nanjar dan 

Badar Sora berganti-ganti. Sungguh tak 

mengerti dia melihat kedua orang itu 

justru sama-sama tersenyum, 

menatapnya. "Kakang Badar Sora, aku 

tak mengerti. Mengapa kedua matamu 

bisa melihat lagi? Dan dari mana kau 

peroleh pedang pusaka INTI ES itu? Dan 

kau kakak Nanjar! Apakah kau telah 

berhasil menemukan guruku Ki Bonang 

Luhyr? Mengapa kedatanganmu bertepatan 

dengan kedatanganmu bertepatan dengan 

kedatangan Badar sora?" Ranggaweni 

ajukan pertanyaan.

"Hahaha... nantilah kami 

ceritakan. Mari kita tinggalkan tempat 

ini! Puncak Gunung Putri sudah tak 

sesuai lagi untuk tempat tinggal 

kita!"berkata Badar Sora.

Nanjar mengangguk seraya menepuk 

pundak gadis itu. "Ya, marilah kita 

tinggalkan tempat ini. Kita menuju ke



GOA LARANGAN !" berkata Nanjar dengan 

tersenyum menggamit lengan dara itu.

"Ke Goa Larangan..?" tanyanya 

tersentak. "Ketempat tinggal NINI 

BLORONG?" bertanya Ranggaweni.

"Benar! Sambil perjalanan, nanti 

kakang Badar Sora akan bercerita!"

Dengan masih terheran-heran, 

tepaksa Ranggaweni tak dapat tidak 

menuruti mereka meninggalkan puncak 

gunung Putri. Sementara si Jabur telah 

terbang keudara mengikuti ketiga orang 

dibawahnya. Sebentar-sebentar terbang

merendah, terkadang berhenti 

bertengger dipuncak pohon. Lalu 

terbang lagi mengikuti. Matanya tajam, 

selalu tak lepas mengawasi kemana arah 

langkah ketiga orang yang telah

menjadi tuannya.

Dalam perjalanan itulah Badar 

Sora bercerita pada Ranggaweni. 

"Sebenarnya mataku tidaklah buta, adik 

Ranggaweni..." Badar Sora memulai 

ceritanya. Lalu dengan panjang lebar 

laki-laki itu mengisahkan kejadian 

sebenarnya dan siapa gerangan dirinya.

Ternyata "kebutaan" mata Badar 

Sora adalah untuk mengelabui Hang Gada 

alias Nogo Prakoso. Jauh-jauh sebelum 

Nogo Prakoso menjadi murid Ki Bonang 

Luhur, sudah bakal diketahui 

kedatangannya. Nogo Prakoso yang di 

utus oleh Nini Blorong dari Goa Larang 

untuk berguru pada Ki Bonang Luhur.



Akan tetapi bukanlah untuk mencuri 

peta rahasia pedang INTI ES. Melainkan 

untuk mengelabui kaum golongan hitam 

yang menjadi musuh Nini Blorong, yaitu 

si Iblis Tengkorak Bolong.

Sebenarnya tak ada permusuhan 

atau dendam antara Nini Blorong dengan 

Ki Bonang Sepuh. Nogo Prakoso 

sebenarnya adalah anak angkat Adipati 

KALA BRAJA, yang menjadi kakak kandung 

Jaka Ningrat. Adipati Kala Brama 

mengetahui perihal sebuah benda pusaka 

yang bernama pedang INTI ES. Tapi hal 

itu bocor di telinga Nogo Prakoso. 

Ternyata Nogo Prakoso yang menjadi 

anak angkat adipati Kala Brama 

mempunyai akhlak buruk. Didalam Kota 

Raja dia berbuat alim. Akan tetapi

diluaran dia melakukan berbagai

kejahatan. Bahkan berkomplot dengan 

orang-orang golongan hitam.

Oleh sebab itu Adipati Kala 

Braja mengirim anak angkatnya berguru 

pada Nini Blorong, di goa larangan. 

Nini Blorong memang pernah ada tali 

persaudaraan dengan guru Adipati yang 

sudah wafat belasan tahun. Dan dari 

gurunya itulah diketahuinya tempat 

penyimpanan Pedang Pusaka INTI ES, 

setelah secara tak sengaja membongkar 

kitab-kitab peninggalan sang guru. Dan 

diketemukannya sebuah petunjuk 

mengenai adanya Pedang pusaka INTI ES 

di suatu tempat.


Ternyata kebocoran itu telah 

sampai ke telinga si Iblis Tengkorak 

Bolong dan muridnya. Juga telah sampai 

ke telinga JAKA NINGRAT. Adipati Kala 

Braja yang khawatir benda itu jatuh 

ketangan orang-orang golongan hitam, 

telah menitipkan peta pedang INTI ES 

pada Nini Blorong, akan tetapi tanpa 

setahu Nogo Prakoso.

Karena kejahatan watak Nogo 

Prakoso telah menyeba rkemana-maha. 

Adipati diam-diam telah menitahkan 

Nini Blorong untuk membunuh saja 

pemuda bejat itu. Apalagi setelah 

diketahui asal usul pemuda itu, dia 

adalah anak keturunan seorang 

pengkhianat Kerajaan!

Diam-diam Nini Blorong telah 

mengorek keterangan dari Nogo Prakoso, 

yang menceritakan siapa dirinya. Dia 

memang ada berniat membalas dendam 

pada Raja karena ayah-ya mati di tiang 

gantungan! Nini Blorong yang 

bersahabat baik dengan Ki Bonang Luhur 

segera diam-diam mengadakan hubungan 

dengan kakek penghuni pesanggrahan di 

Gunung Putri itu. Ki bonang Luhur 

adalah seorang bekas Patih 

Kerajaan.yang sudah lepaskan 

jabatannya.

Demikianlah, mereka berdua 

berembuk mengatur rencana. Hingga 

kemudian muncul Nogo Prakoso di gunung 

Putri yang mengaku bernama Hang Gada


Saat itu Ranggaweni telah berguru pada 

kakek itu, Dan dia tak mengetahui 

kalau "kebutaan" mata Badar Sora 

adalah tipu muslihat saja. Bandar Sora 

adalah bekas seorang kepala prajurit 

Kerajaan. Dia tahu jelas siapa adanya 

JAKA TIRTA, yang tak lebih dari 

anggota komplotan para begal yang 

pernah membobol uang kas Kerajaan.

Peta rahasia palsu yang memang 

sengaja, telah dibuat oleh Ki Bonang 

Luhur kemudian dicuri oleh Hang Gada 

alias Nogo Prakoso. Lalu diberikan 

pada Jaka Tirta dengan imbalan yang 

cukup memuaskan. Semua itu tak luput 

dari sepengetahuan Badar Sora dan Ki 

Bonang Luhur. Sedangkan Ki Bonang 

Luhur sebenarnya sengaja menghilang 

dari gunung Putri untuk tindakan 

pengamanan. Sedangkan tugas membunuh 

Nogo Prakoso telah diserahkan oleh 

Badar Sora.

Demikianlah, hingga tewasnya 

Nogo Prakoso di tangan Badar Sora, 

yang secara kebetulan saat itu muncul 

Nanjar yang membantu serta 

menolongnya. Badar Sora memang mau 

menjalankan tugas itu kalau dengan 

bukti yang sudah jelas di depan 

matanya.

Kemudian diceritakan pula pada 

Ranggaweni bahwa dia dan Nanjar diam-

diam sering bertemu. Dan Badar Sora 

telah menceritakan semua prihal


rencana mereka melenyapkan manusia-

manusia perongrong Kerajaan itu.

Jadi pantaslah kalau Ranggaweni 

tak mengetahui. Bahkan Nanjar 

sendiripun tahu akan hal itu, kalau 

Badar Sora tak menceritakannya.

"Nah! jelaskah kau, adik 

Ranggaweni?! Badar Sora mengakhiri 

ceritanya. Ranggaweni tercenung 

mendengarkan kisah itu.

"Lalu bagaimana sampai kalian 

bisa muncul dengan berbareng di puncak 

gunung Putri? Bukankah sepekan yang 

lalu kak Nanjar pergi turun gunung. 

Sedang kau tak mengetahui kemana dia 

perginya?" bertanya Ranggaweni.

"Hahaha... itukan cuma siasatku 

saja! Padahal aku cuma berjaga-jaga di

sekitar gunung Putri, karena kami 

telah menduga kedatangan orang-orang 

perguruan Tapak Nenggala yang bakal 

menyatroni kepesanggrahan Gunung 

Putri. Tentu saja mencari peta yang

asli. Tapi ternyata dia menyangka 

pedang buntung kita adalah pedang 

pusaka INTI ES!" berkata Nanjar.

Ranggaweni manggut-manggut 

tersenyum. "Lalu dari mana kakang 

Badar Sora punya ilmu demikian hebat? 

Dan pula telah memiliki pedang pusaka 

Inti Es?" pertanyaan terakhir itu 

dijawab gelak-gelak oleh Badar Sora.

"Hahahaha... haha... aku adalah 

murid tunggal Nini BLORONG! Tentu saja


pedang pusaka itu bisa berada di

tanganku, karena telah lama guruku 

mendapatkannya."

Ternganga Ranggaweni. "Ah, 

betapa hebatnya gurumu! Muridnya saja 

begini hebat. Apalagi gurunya?" Gadis 

itu geleng-gelengkan kepalanya menatap 

kagum pada laki-laki gagah itu.

"Sudah, sudah! Jangan lama-lama 

menatap, nanti kau bisa jatuh cinta!" 

gurau Nanjar sambil cengar-cengir.

"Akan tetapi jatuh cintapun 

boleh!" sambung Nanjar, seraya 

melompat. Lengannya menyambar buah 

mangga di ujung dahan pohon di tepi 

jalan itu. Lalu menggrogotinya dengan

rakus.

Sementara keduanya jadi sama-

sama tersenyum menatap Nanjar yang 

persis kera memakan buas. Apa lagi 

buah mangga itu asam dan masih muda. 

Mulut pemuda itu jadi menyeringai 

persis kera!

Akan tetapi kemudian mereka 

sama-sama menatap. Dan sorot dua

pasang mata itu saling bertemu.

"Oooooh, cintaaaa...! Nguk! 

nguk! nguk!" Nanjar berteriak-teriak 

seraya berjingkrakan menyindir kedua 

muda-mudi itu dengan berjumpalitan 

mirip kera, bahkan keluarkan suara 

yang amat mirip dengan kera.

Ranggaweni jadi tersipu dan 

menundukkan wajahnya.


"Hihihi.... kak Nanjar, kau 

persis monyet yang kesurupan!" teriak 

Ranggawuni, yang tak kuat menahan 

gelinya hingga dia tertawa terpingkal-

pingkal. Badarpun tertawa terbahak-

bahak. Nanjar ulangi kata-katanya.

"Oooooh, cintaaaaaa! nguk! nguk! 

nguk! nguk!" 



                                TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive