SATU
Panas matahari seperti membakar
bumi. Pulau itu tampak lengang seperti
tiada penghuni. Akan tetapi sebenarnya
tidak demikian. Karena tampak diatas
bukit tertinggi di pulau itu dua orang
laki-laki. Yang seorang adalah seorang
kakek berjubah sisik yang gemerlapan.
Bertubuh besar berkepala botak.
Kumisnya yang putih berjuntai bagai
misai naga. Siapa lagi kakek itu kalau
bukan si Raja Siluman Naga.
Sedangkan yang seorang lagi
adalah seorang laki-laki yang masih
muda. Bertampang gagah. Rambutnya
gondrong terjuntai kebawah. Sementara
tubuhnya dalam keadaan terbalik dengan
posisi kaki diatas dan kepala dibawah.
Sedangkan sikakek bermisai panjang itu
enak-enakan duduk bersila sambil meram
melek ditempat teduh, membiarkan
pemuda itu dalam keadaan demikian
berjemur dipanas matahari yang
menyengat kulit.
Pemuda itu tak lain dari
Ginanjar adanya yang kini mempunyai
panggilan Nanjar. Apakah yang
sebenarnya terjadi dengan pemuda itu?
Tak lain dia tengah menerima
gemblengan ilmu-ilmu kedigjayaan dari
si Raja Siluman Naga, yaitu tengah
melakukan latihan pernapasan tenaga
dalam terbalik. Hal seperti itu telah
dilakukan selama enam hari berturut-
turut. Hari ini adalah hari ketujuh
atau hari terakhir dia melakukan
latihan. Tentu saja dia hampir tak
kuat menjalaninya, karena selama
berturut-turut tujuh hari dia
melakukan demikian dari matahari
terbit hingga terbenam.
Keringat yang mengucur dari
sekujur lubang pori-pori dari tubuhnya
membuat batu tempat dia berjungkir itu
basah. Sementara hawa panas yang
menyengat kulit harus dirasakan selama
melakukan latihan itu. Sungguh suatu
pekerjaan yang amat berat. Namun hal
itu dilakukan Nanjar dengan tiada
mengeluh. Bahkan secara diam- diam
Nanjar pancarkan hawa murni dari
pusarnya kesekujur tubuh.
Untuk menahan hawa panas yang
luar biasa itu. Hawa yang dikeluarkan
itu adalah hawa tenaga dalam yang
bernama hawa inti Es. Hingga dia tak
merasakan panasnya matahari yang
menyengat kulit.
Kalau saja Nanjar tahu apa yang
berada dalam benak si Raja Siluman
Naga, tentu dia siang-siang sudah
meninggalkan pulau itu atau mungkin
membunuh mati kakek itu. Karena ....
"Hehehe .... bocah ingusan yang
tolol! selesai kau menguasai ilmu
tenaga dalam sungsang (terbalik) ini,
bila kau telah kena kukibuli dan
seluruh tenaga dalammu berpindah masuk
kedalam tubuhku, maka aku sudah tidak
memerlukan kau lagi!" berkata Raja
Siluman Naga dalam hati. Sementara
matanya meram-melek seperti tengah
merasakan kenikmatan. Mulutnya
sebentar-sebentar menggayam panggang
daging kelinci yang baru saja matang.
Daging kelinci itu hasil buruan
Nanjar, yang selama ini telah
menyediakan puluhan kelinci yang
ditangkapnya untuk santapan si kakek
itu.
Raja Siluman Naga ternyata
mengalami kelumpuhan pada kedua
kakinya, akibat pertarungan dan
benturan tenaga dalam dengan si Raja
Siluman Bangau. Itulah sebabnya dia
menahan Nanjar agar tetap tinggal di
pulau itu, dengan menjanjikan akan
menurunkan ilmu-ilmu kedigjayaannya
pada pemuda itu.
Nanjar meneguk air liurnya
mengendus wanginya bau panggang daging
kelinci, perutnyapun mendadak berbunyi
keruyukan. Dengan sudut matanya dia
melirik si kakek yang asik menggayam
santapannya dengan lahap. Tentu saja
diam-diam pemuda ini menggerutu dalam
hati.
"Kakek sialan! mengapa dia makan
di depanku seenaknya saja? Tunggulah,
kalau aku telah menyerap ilmu-ilmu
kepandaianmu akan kubalas
perlakuanmu!" mengancam dia dalam
hati. Sementara dia segera kembali
konsentrasikan lagi latihannya. Diam-
diam Nanjar kerahkan kekuatan tenaga
dalam inti Esnya dengan menambah
sepertiga lagi. Maka segera saja hawa
dingin menebar kesekitarnya. Begitu
hebatnya tenaga dalam inti Es yang
dikeluarkan Nanjar, hingga sampai-
sampai si kakek terkejut dan terlonjak
kaget karena dia merasakan hawa dingin
merembes kesekujur tubuhnya.
"Bocah! apa yang telah kau
lakukan?" teriak Raja Siluman Naga.
Matanya melotot menatap pada
pemuda yang tengah berjungkir balik
itu. Akan tetapi mulutnya jadi
ternganga karena tubuh pemuda itu
sendiri seperti terlapis oleh es, yang
menimbulkan hawa dingin luar biasa.
"Hei! bocah gendeng! kau gunakan
ilmu tenaga dalam Inti Es secara
berlebihan! celaka....! kau bisa
mampus!" teriak si kakek terkejut.
Serta,merta dia gerakkan lengannya
menghantam ketubuh pemuda itu.
Buk!
Akan tetapi menjerit si kakek
ini. Tubuhnya terlempar kebelakang
beberapa torhbak dan terkapar tak
berkutik. Apakah yang terjadi?
Ternyata tubuh si Raja Siluman Naga
seketika menjadi beku dan tampak
sekujur tubuhnya dilapisi oleh es.
Adapun Nanjar yang telah
menggunakan ilmu tenaga dalam Inti Es
hampir tigaperempat bagian itu juga
terkesiap, karena seketika dia merasa
tubuhnya menjadi beku. Dalam keadaan
kaget itu tahu-tahu dia rasakan
hantaman pukulan si kakek yang menjadi
gurunya itu. Namun yang didengarnya
adalah suara jeritan si kakek Raja
Siluman Naga itu. Kemudian dia tak
mendengar apa-apa lagi.
Karena ketika dia melakukan
penambahan tenaga dalam adalah dengan
memejamkan mata, hingga Nanjar tak
mengetahui kalau si kakek telah
terjengkang ketika tenaga pukulannya
beradu dengan tubuhnya. Tanpa dia
sadari kalau itu adalah akibat ilmu
Tenaga Dalam Sungsang yang telah
dimilikinya dan dalam keadaan
dipergunakan. Akibatnya adalah fatal
bagi si Raja Siluman Naga, karena dia
harus menerima resiko terhadap dirinya
sendiri.
Nanjar sendiri dalam keadaan
megap-megap tak bisa bernapas, karena
lapisan es yang berada disekujur
tubuhnya. Untunglah dalam saat
demikian otaknya yang encer masih bisa
bekerja. Seketika dia cepat merobah
tenaga dalam Inti Es menjadi Tenaga
dalam Inti Api. Sekejap saja lapisan
es itu mencair lagi. Dan dalam keadaan
bisa bernapas lagi itu, segera Nanjar
cepat melompat untuk jejakkan kedua
kakinya ke tanah.
"Huaaah! hampir aku celaka!"
pekik Nanjar terengah-engah.
Akan tetapi baru saja dia
memulihkan kekuatan dan mengendurkan
urat-urat tubuhnya, matanya membelalak
menjadi besar ketika melihat sosok
tubuh si Raja Siluman Naga dalam
keadaan terkapar tak berkutik.
"Guru....!? kenapa kau?"
teriaknya terkejut. Dan serta-merta
dia melompat menghampiri.
Tersentak kaget pemuda ini
ketika melihat sekujur tubuh si Raja
Siluman Naga dalam keadaan beku dan
dilapisi es. Sekali lengannya bergerak
maka hancurlah lapisan es itu meleleh
menjadi cair.
"Guru! guru....!" teriak Nanjar
seraya mengguncang-guncangkan tubuh
kakek itu. Sesaat antaranya terdengar
suara keluhan si Raja Siluman Naga.
Tubuhnya tampak bergerak. Dan dia
melompat duduk. Sepasang matanya
melotot menatap Nanjar yang berjongkok
dihadapannya.
"Bocah sinting! apa yang kau
perbuat hampir saja merenggut jiwamu
dan jivvaku sendiri!" bentak kakek itu
seraya melompat duduk dengan bersila.
Kakek ini memang tak dapat berdiri
karena kelumpuhan yang dideritanya.
"Haha..... hehe.... maafkan aku,
guru. Aku iseng-iseng menambah tenaga
dalam Inti Es yang aku pelajari dari
almarhum guruku Ki Dharma Tungga. Aku
memang mempergunakannya untuk
melenyapkan hawa panas sengatan
matahari. Tak kusangka kalau aku
hampir mati terbungkus lapisan es!"
berkata Nanjar dengan cengar-cengir.
"Dan hampir saja kau
membunuhku!" bentak si Raja Siluman
Naga.
"Hahaha.. salah sendiri, mengapa
kau menghantamkan pukulanmu?" tertawa
Nanjar.
"Setan! aku bermaksud
menolongmu!" berkata si kakek dengan
mendongkol. Sementara diam-diam dia
bersukur karena dirinya telah
terhindar dari kematian. Kalau saja
pemuda itu tak menolongnya, mungkin
siang-siang dia sudah berangkat ke
Akhirat. Akan tetapi di samping
terkejut Raja Siluman Naga juga
terheran. Bagaimana pemuda itu bisa
memiliki ilmu tenaga dalam Inti Es
yang sedemikian hebat? Seumur hidupnya
baru dia melihat ilmu yang begitu
tingginya, hingga sampai-sampai tubuh
pemuda itupun terbungkus lapisan es
yang nyaris merenggut nyawanya.
"Hm, bocah muridku, apakah kau
memang memiliki ilmu sehebat itu
didalam kesadaranmu sendiri?" bertanya
si kakek.
"Oooo, tentu! tentu,guru! Sudah
sejak lama aku memilikinya!" sahut
Nanjar berdusta. Sementara mulutnya
masih tetap cengar-cengir. Kakek itu
kerutkan keningnya seperti kurang
yakin akan kata-kata Nanjar.
DUA
"Mengapa kau termenung, guru?
Apakah kau tak percaya pada
keteranganku?" bertanya Nanjar.
"Ya....! aku percaya. Siapapun
akan percaya, karena kau pernah
menjadi murid Ki Dharma Tungga si
Ketua Rimba Persilatan itu!" sahut
Raja Siluman Naga ketus. Akan tetapi
dengan hati mendongkol.
"Dengan ilmu apa kau mencairkan
gumpalan es pada tubuhmu, dan
tubuhku?" tanya si kakek.
"Tentu saja dengan lawannya,
yaitu ilmu tenaga dalam Inti Api!"
sahut Nanjar dengan jumawa. Lalu
bangkit berdiri. Tiba-tiba dia
berpaling kearah sebuah pohon besar
disebelah kirinya.
"Lihatlah! pohon ini akan kubuat
beku terlapisi es!" berkata Nanjar.
Segera dia kerahkan ilmu tenaga dalam
inti Esnya. Hawa dingin menebar.
Plak!
Nanjar menepuk batang pohon itu.
Sesaat dia menunggu reaksinya. Daun
pohon itu berhamburan jatuh terkena
goncangan. Akan tetapi tak ada
perubahan apa-apa. Batang pohon itu
masih tetap utuh tanpa terlapisi es.
Nanjar tersentak kaget. Seketika
wajahnya berubah merah. Pada saat
itulah terdengar suara tertawa
terbahak- bahak si Raja Siluman Naga.
"Hahaha..... hehe.....
hahaha.... mana buktinya? Hahah....
kau ngibul! sudah kuduga kau bisa
lakukan pukulan itu di luar
kesadaranmu! Tentu ada hubungannya
dengan ilmu Tenaga Dalam Sungsang yang
kau pelajari dariku!" berkata Raja
Siluman Naga. Sementara diam-diam
kakek itu amat bergirang, karena telah
menemukan ilmu langka hasil perpaduan
Ilmu Tenaga Dalam Sungsang dengan ilmu
Tenaga Dalam Inti Es, walaupun baru
sebagian dugaan saja.
"Tunggu dulu, guru! kau
lihatlah!" teriak Nanjar. Kali ini
Nanjar kerahkan tenaga dalam Inti Es
sampai tigaperempat bagian. Hawa di-
ngin membuat tubuh si Raja Siluman
Naga menggigil. Dan....
BRRAAAKK!
Batang pohon itu patah berderak,
dan terlempar dengan suara berdebum
berkerosakan. Akan tetapi tetap tak
ada lapisan es. Cuma butir-butir air
saja yang mengembun melekat di batang
pohon.
Melihat demikian Nanjar jadi
garuk-garuk kepala tidak gatal dan
tersipu-sipu malu. Sementara si Raja
Siluman Naga kembali tertawa terbahak-
bahak karena merasa mendapat
kemenangan.
"Hahaha.... apa kataku? kau cuma
pintar ngibul! Apakah kau masih mau
bilang kalau kau menguasai ilmu
pukulan tenaga dalam Inti Es yang
dapat membuat korban pukulan ter-
bungkus es secara mutlak dan kau
ketahui?"
Kali ini Nanjar tak dapat
menjawab. Wajahnya semakin memerah.
"Nah, coba kau gunakan Tenaga
Dalam Sungsang, seperti yang selama
ini kau pelajari. Dan gunakan pukulan
Inti Esmu untuk memukul batu besar
itu!" ujar Raja Siluman Naga seraya
menunjuk pada batu besar tak jauh dari
tempat itu.
Tak ayal, Nanjar segera jalankan
perintah gurunya. Dengan beberapa kali
bersalto dia tiba didekat batu besar
itu. Kejap selanjutnya dia telah
jungkir balik dengan kepala dibawah
dan kaki diatas. Kepalanya digunakan
untuk pengganti kedua kakinya menempel
di tanah.
Segera dia gunakan ilmu Tenaga
Dalam Sungsang. Dan menghantam batu
besar di hadapannya dengan pukulan
Inti Esnya.
PLAK!
Hantaman jarak jauh itu mengenai
sasaran. Tampak uap mengepul di
sekeliling batu itu.
Dan.... dalam sekejap saja batu
besar itu telah terlapisi oleh es.
Tertolonglah Nanjar dengan hasil yang
demikian itu.
Sepasang matanya membelalak.
Nyatalah kalau kata-kata si Raja
Siluman Naga itu benar. Ilmu pukulan
Tenaga dalam Inti Es yang dapat
membuat sasaran menjadi beku terlapisi
es memang ada hubungannya dengan ilmu
Tenaga Dalam Sungsang ciptaan Si Raja
Siluman Naga!
"Nah! apakah kau masih tak
percaya dengan kata-kataku?" teriak si
kakek seraya melompat mendekati pemuda
itu.
"Aku percaya, guru! Hehehe....
aku memang mengibuli kau! harap kau
memaafkan aku yang bodoh!" berkata
Nanjar seraya melompat berdiri.
Tiga bulan berada di pulau itu
telah membuat bertambahnya ilmu
kedigjayaan Nanjar yang berhasil
menyerap ilmu-ilmu si Raja Siluman
Naga.
Akan tetapi tetap saja Nanjar
tak mengetahui rencana busuk si Raja
Siluman Naga. Hingga pada suatu
hari...,
"Muridku! kukira cukuplah sudah
kau mewarisi ilmu-ilmu kedigjayaanku.
Selama ini kau telah bertambah
pengetahuan dengan beberapa macam
ilmu. Akan tetapi janganlah kau
mengira kalau kau sudah tak dapat
terkalahkan. Karena sesungguhnya
tenaga dalammu masih teramat rendah!"
berkata sang guru.
Nanjar cuma manggut-manggut.
Dalam hati memang dia mengakui akan
kata-kata gurunya dengan berpedoman
dari guru-guru lainnya yang dia pernah
berguru padanya. Karena di atas langit
masih ada lagi langit!
"Seperti kau telah ketahui,
sepasang kakiku telah mengalami
kelumpuhan akibat pertarungan dengan
si Raja Siluman Bangau. Rasanya aku
sudah bosan untuk berpetualang di
Rimba Persilatan. Biarlah, aku menetap
dipulau ini..." ujar si Raja Siluman
Naga.
"Jadi aku sudah boleh angkat
kaki dari pulau ini, guru?" tanya
Nanjar dengan wajah berubah girang.
"Nanti dulu, bocah! jangan kau
potong penuturanku!" bentak si kakek.
Nanjar yang semula sudah mau
berjingkrak jadi menyurut lagi duduk
dengan menundukkan kepala.
"Bukankah kau menginginkan anak
burung Rajawali itu?" bertanya Raja
Siluman Naga.
"Benar, guru....! Akan tetapi
tak mungkin aku membawanya. Dia belum
berapa pandai terbang. Aku khawatir
akan menyusahkan saja, bila aku
membawanya!" sahut Nanjar. Raja
Siluman Naga manggut-manggut.
"Kau memang kuperbolehkan
meninggalkan pulau ini. Akan tetapi
tidak sekarang! Dan anak burung
Rajawali itu biarlah aku yang
merawatnya!"
"Bagaimana kau akan merawatnya,
guru? sedangkan kau sendiri..." tukas
Nanjar. Akan tetapi si kakek tertawa
terkekeh.
"Hehehe.... apakah kau kira aku
tak mampu berbuat apa-apa dengan
kelumpuhan kedua kakiku ini?" berkata
Raja Siluman Naga.
"Apakah kau mengira tanpa kau
merawatku aku akan mati? Hahaha...
tidak sama sekali bocah! Aku memang
sengaja menahanmu karena sudah
kukatakaan yaitu aku akan mewariskan
ilmu-ilmu kedigjayaanku padamu! Kau
amat berkenan di hatiku, karena selama
hidupku baru aku menemui seorang bocah
yang semacam kau!"
Nanjar cuma membisu tak berkata-
kata. Sementara wajahnya semakin
memerah karena malu. Dia pernah
bergurau pada si Raja Siluman Naga dan
menduga kakek itu menahannya di pulau
itu karena berharap dapat
memperpanjang umurnya dengan adanya
Nanjar ditempat itu.
"Atas kebaikan hati guru, tentu
saja aku amat berterima kasih" berkata
Nanjar.
"Lalu apakah yang selanjutnya
harus kulakukan, guru?" tanya Nanjar,
setelah sekian lama si Raja Siluman
Naga termangu-mangu sambil mengelus
kumisnya yang panjang menjuntai. Kakek
itu menghela napas, lalu ujarnya.
"Mendekatlah kemari, bocah!"
berkata dia.
Nanjar turutkan perintah itu
dengan menggeser duduknya mendekati si
kakek. Sementara hatinya bertanya-
tanya, apakah yang akan dilakukannya
terhadapku?" pikir Nanjar dalam hati.
"Nanjar, muridku! aku merasa
terlalu banyak kelebihan tenaga
dalamku. Dan kukira bagiku kini tak
begitu memerlukannya lagi. Oleh sebab
itu aku akan memberikan separuh tenaga
dalamku padamu!" berkata si Raja
Siluman Naga.
Nanjar terhenyak menatap kakek
tua itu dengan mata mendelong.
"Kau akan mewariskannya padaku?"
tanya Nanjar seperti tak percaya.
"Ya, kukira kau tak usah
menolaknya. Aku ingin kau membawa
bekal didunia persilatan agak cukupan.
Karena musuh-musuhmu bukanlah sedikit
yang berilmu tinggi!" sahut si kakek.
Nanjar termangu sejenak. Tapi
lalu berkata.
"Yah, terserahlah. Kalau kau
memaksa mana aku bisa menolak?"
ujarnya sambil manggut-manggut. Akan
tetapi diam-diam Nanjar bergirang hati
atas kebaikan si kakek gurunya ini.
Nanjar turutkan perintah gurunya
untuk duduk bersila dengan menghimpun
tenaga dalamnya dipusar. Sementara
telapak tangannya beradu menempel
dengan telapak tangan si Raja Siluman
Naga.
"Nah! kendurkan pernapasanmu,
dan bersikaplah biasa saja, sementara
aku akan menyalurkan tenaga dalamku
kesekujur tubuhmu. Bila kau merasakan
hawa hangat mengalir melalui telapak
tanganmu, itu tandanya tenaga dalamku
tengah menyalur ke tubuhmu. Kau harus
sebarkan tenaga dalammu yang berada di
pusar untuk menyambutnya agar tenaga
dalamku segera menyatu dengan tenaga
dalammu. Tapi ingatlah! Kau harus
pergunakan ilmu Tenaga Dalam
Sungsang!" ujar Raja Siluman Naga
memberi penjelasan yang juga termasuk
perintah.
Nanjar kerutkan alisnya.
"Mengapa aku harus pergunakan ilmu
Tenaga Dalam Sungsang, guru?" tanya
Nanjar terheran. "Bukankah kalau aku
akan mempergunakan tenaga dalam itu
harus dalam keadaan jungkir balik?"
"Hehehe....kau turuti sajalah
perintahku!" berkata si kakek.
Walaupun dalam keadaan terheran
dan tidak mengerti, namun Nanjar tak
berani melanggar perintah. Diapun
turutkan apa yang diperintahkan
gurunya. Ketika dia rasakan hawa
hangat memasuki telapak tangannya dan
mengalir kesekujur urat-urat darahnya,
Nanjar segera keluarkan tenaga dalam
dari pusar untuk menyambut. Tentu saja
dia gunakan ilmu Tenaga Dalam Sungsang
seperti yang diperintahkan si Raja
Siluman Naga itu.
Akan tetapi mendadak dia
merasakan darahnya tersedot tenaga
aliran hangat itu. Dalam keadaan
demikian di tersentak kaget. Dalam
keadaan beberapa detik itu otak
warasnya bekerja. "He? jangan-jangan
dia bermaksud mencelakakanku!"
Akan tetapi terlambat. Disaat
dia berusaha menghentikan aliran
tenaga dalam dari pusat, mendadak
tubuhnya seperti terkena aliran
listrik. Pemuda ini menjerit parau.
Dan tubuhnya terkulai, lalu jatuh
terjengkang tak berkutik lagi.
Nanjar rasakan tubuhnya seperti
dilolosi tulang-belulangnya. Pandangan
matanya menjadi gelap dengan mendadak.
Dan dia terkapar tak sadarkan diri.
Disaat sebelum dia pingsan lapat-lapat
dia mendengar suara tertawa si Raja
Siluman Naga.
"Hahaha.... hehehe....
hahaha.... bocah tolol! habislah sudah
tenaga dalammu. Sia-sialah semua ilmu
kepandaian yang kau miliki! Hahaha...
kini tenaga dalamku telah bertambah
berlipat ganda. Kelumpuhanku akan
segera sembuh tak berapa lama lagi.
Hahaha.... kau memang bocah sial yang
membawa keberuntungan padaku!"
Nanjar terkesiap mendengar kata-
kata itu. Akan tetapi dia sudah tak
berdaya. Karena detik selanjutnya dia
sudah tak tahu apa-apa lagi....
Tampak si Raja Siluman Naga
setelah puas tertawa dengan
kemenangannya yang telah berhasil
mengelabui pemuda itu, segera gerakkan
kedua lengannya seperti membentuk
lingkaran diudara. Gerakan itu telah
menimbulkan munculnya uap putih dan
merah yang semakin lama semakin
banyak. Setelah melakukan tiga kali
putaran itu, sepasang tangan si kakek
bergerak mencekal kedua betis kakinya.
Apakah yang terjadi? Uap-uap itu kini
berpindah dan keluar dari pembuluh-
pembuluh darah dikedua kaki Raja
Siluman Naga.
Selang tak lama kira-kira
sepeminum teh si Raja Siluman Naga
melepaskan cekalan pada kedua betis
kakinya.
Sementara uap putih merah itu
pelan-pelan mulai kembali lenyap.
Tiba-tiba orang tua itu
perdengarkan suara melengking keras
disertai melambungnya tubuhnya
keudara. Saat berikutnya.... jleg! Si
Raja Siluman Naga telah jejakkan
sepasang kakinya di tanah. Begitu
kekarnya kedua kaki itu hingga
tanahnya yang dipijak amblas sebatas
mata kaki. Hebat, dan aneh! Dalam
waktu sekejapan saja kedua kaki si
kakek itu telah sembuh dari
kelumpuhannya!
"Hahaha....hehehe... kini Raja
Siluman Naga telah kembali menjadi
seekor Naga yang utuh. Bahkan
bertambah tenaga dalamnya!" tertawa
berkakakan kakek itu, hingga kumisnya
yang panjang menjuntai itu bergerak-
gerak bagai misai Naga! Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara
bentakan.
"Naga pengkor! pengecut busuk!
kedua kakimu akan tetap
pengkor!" Dua sinar berkelebat.
Dan...
Krraaak! Krraakk!
Raja Siluman Naga menjerit parau
seperti suaranya mau menembus langit.
Tubuh tinggi besar itu tiba-tiba
ambruk ketanah. Dan tampak dua potong
kaki yang hancur berserpihan membaur
dengan menyemburatnya darah ke setiap
penjuru.
Berguling-guling dan meraung-
raung si Naga Siluman Naga memegangi
kedua kakinya yang putus dan dalam
keadaan hancur bersimbah darah.
Ketika dia menatap kehadapannya
yang tampak hanya punggung seorang
kakek kurus tua renta yang memondong
tubuh Nanjar dan berkelebat dari
tempat itu....
TIGA
Mendelik lebar mata si Raja
Siluman Naga. Serta merta dia
menggembor keras. Lengannya bergerak
menghantam punggung kakek kurus itu.
"Raja kunyuk! mampuslah kau!"
Berbareng dengan bentakan keras itu
serangkum angin dahsyat menyambar dari
lengan kakek Raja Siluman Naga.
Bllarrrr!
Pohon besar itu tumbang dengan
batang hancur. Nyaris saja dua korban
melayang jiwanya kalau pada detik itu
si kakek kurus tidak bertindak cepat
mengelak dengan melompat. Hebat
gerakan melompat sikakek kurus itu.
Walaupun dengan membawa beban di
pundak, namun masih bisa lakukan salto
yang baik sekali. Lengannya yang
panjangnya melebihi panjang lengan
manusia biasa menjangkau ujung ranting
pohon, lalu berayun melesat kepohon
lainnya. Dalam beberapa kejap saja
bayangan si kakek kurus itu sudah
lenyap di balik kerimbunan hutan
Menggeram gusar si Raja Siluman
Naga. Rasa sakit yang luar biasa pada
kedua kakinya yang hancur tak
dirasakan lagi. Dalam sekilas saja dia
telah mengetahui kalau orang itu
adalah si Raja Siluman Kera. Mana mau
dia melepaskan manusia yang telah
membuat hancur kedua kakinya begitu
saja? Detik itu juga dia gerakkan
lengannya menotok kedua lututnya untuk
menghentikan darah. Kejap berikut
tubuhnya telah mencelat ke udara
mengejar ke arah berkelebatnya tubuh
Raja Siluman Kera.
Sementara itu Nanjar yang dalam
keadaan tak sadarkan diri tak
mengetahui lagi apa yang terjadi pada
dirinya.
Kakek penolongnya itu memang tak
lain dari Si Raja Siluman Kera. Kakek
kurus ini membawa tubuh Nanjar
berkelebat turun dari puncak pohon,
tepat di sisi tebing. Ternyata dia tak
meneruskan langkahnya.
"Aku harus memeriksanya dulu.
Tubuh bocah ini dingin sekali. Aku
khawatir jiwanya tak dapat
tertolong...." menggumam kakek ini.
Dia tampak amat khawatir sekali dengan
keselamatan si pemuda. Akan tetapi
baru saja dia mau memeriksa tubuh
pemuda itu yang digeletakkan dirumput,
pada saat itu juga terdengar suara
berkerosokan disusul berkelebatnya
sosok tubuh tubuh yang hinggap ditanah
dengan kedua lengannya terlebih dulu.
Siapa adanya sosok tubuh itu tak lain
dari si Raja Siluman Naga!
"Kunyukitu sial dangkalan!
jangan harap kau bisa lolos dari
tanganku!" menggembor si Raja Siluman
Naga dengan bentakan menggeledek.
Pucat seketika wajah kakek kurus ini.
Akan tetapi dia tampak tenang dalam
situasi yang demikian itu. Diam-diam
dia telah pasang kuda-kuda dan
bersikap waspada untuk segera
menghadapi pertarungan.
"Kunyuk tua licik! pengecut
curang! mengapa kau membokongku?
Menyerang orang yang dalam keadaan
lengah itu adalah suatu perbuatan
pengecut!" bentak pula si Raja Siluman
Naga yang telah duduk bersila diatas
rumput.
"Hehehe....nguk! nguk! nguk!
Perbuatan licik memang harus dibalas
licik! perbuatan curang pun harus
dibalas curang! Bukankah itu namanya
adil? Kau telah mengelabui bocah ini
yang sudah jelas kau tipu mentah-
mentah! Apakah perbuatanmu itu tidak
keterlaluan?" menjawab si Raja Siluman
Kera dengan mulut cengar-cengir. Akan
tetapi sepasang matanya memancarkan
cahaya kebencian pada si Raja Siluman
Naga.
"Tutup bacotmu! mengapa kau ikut
campur urusan orang? Hm, bersiaplah
kau untuk mampus siang-siang Raja
Kunyuk! Akan tetapi sebelum kau pulang
ke Akhirat aku mau bertanya, apakah
kau datang bersama ketiga orang
kawanmu?"
"Heh, aku cuma seorang diri!
Hm....aku tahu tentunya kau takut
untuk berhadapan dengan Empat Raja
Gila sekaligus!" ejek si kakek ini.
"Grrrrh.... jangan kata empat,
seratus orang macam kau aku masih
sanggup mengirim nyawanya ke Akhirat!"
teriak Raja Siluman Naga. Dan
bersamaan dengan itu dia telah
menerjang dahsyat dengan cengkeraman
ganas. Hawa dingin yang luar biasa
menerpa kearah si Raja Siluman Kera.
Raja Siluman Kera yang memang
sudah waspada tak berayal lagi untuk
segera berkelit. Akan tetapi karena
khawatir si Raja Siluman Naga lakukan
serangan yang bisa mencelakai pemuda
bernama Nanjar itu, Dia telah
memapakinya dengan hantaman pula.
Menderu angin dahsyat dari
sepasang lengan Raja Siluman Kera.
Namun ternyata Raja Siluman Naga tak
mau mengadakan benturan. Justru dia
miringkan tubuh untuk segera berguling
ke sisi. Dilain kejap dia sudah dalam
keadaan jungkir balik berdiri dengan
kepala menempel di tanah. Dan dengan
gerak cepat yang telah disiapkan itu,
Raja Siluman Naga telah gunakan
pukulan Tenaga Dalam Sungsang!
Terkesiap Raja Siluman Kera.
Sungguh dia tak menduga akan tipuan
yang digunakan lawan dalam waktu cuma
satu jurus saja. "Celaka....!?" dia
membathin dalam hati.
Sungguh sukar diduga kalau Raja
Siluman Naga tiba-tiba mencabut lagi
serangannya. Sepertinya dia sudah
menduga kalau si Raja Siluman Kera
akan melompat ke arah kiri. Benar
saja. Gerakan melompat si Raja Siluman
Kera itu memang amat luar biasa
gesitnya. Dengan gerakan melompat yang
begitu cepat kakek kurus itu melompat
ke sisi. Akan tetapi justru Raja
Siluman Naga telah mendahuluinya
berada disana. Belum lagi Raja Siluman
Kera jejakkan kaki di tanah, tiba-tiba
pukulan Tenaga Dalam Sungsang telah
menghantam kearah dadanya....
Menjeritlah si Kakek Raja
Siluman Kera dengan suara parau.
Pukulan dahsyat itu telak mengenai
dadanya. Itulah pukulan tenaga dalam
Inti Es yang telah dipergunakan dengan
digabungkan dengan ilmu Tenaga Dalam
Sungsang! Tak ampun lagi tubuh kakek
kurus itu terlempar beberapa tombak
dan terkapar tak berkutik lagi.
Sementara hawa dingin seperti membuat
beku sekitar tempat itu. Apa yang
terlihat adalah di antara uap yang
menyelimuti sekitar pertarungan itu
tampak terkapar tubuh si Raja Siluman
Kera dalan keadaan terbungkus oleh
lapisan es!
Kejadian barusan itu ternyata
telah dilihat oleh Nanjar yang pada
saat itu baru saja siuman dari
pingsannya. Akan tetapi dia tak dapat
gerakkan tubuh bahkan kaki dan
tangannya. Semua persendian tulangnya
serasa lemah lungiai tak bertenaga.
Tenaganya serasa punah semua. Dia cuma
bisa menatap keadaan sesosok tubuh
yang terbungkus oleh lapisan es. Tubuh
siapakah gerangan dia tak mengetahui
sama sekali. Sementara yang membuat
heran adalah dia melihat si Raja
Siluman Naga yang dalam keadaan
jungkir balik memperlihatkan sepasang
kakinya yang telah hancur putus!
Tahu-tahu kakek tinggi besar itu
sudah berkelebat ke arahnya. Kakek ini
melototkan matanya menatap Nanjar.
Nanjar cepat-cepat berbuat seolah-olah
masih tak sadarkan diri.
"Huh! kau masih hidup, bocah!
Ternyata kesialanmu telah merembet
padaku!" berkata Raja Siluman Naga
dengan hati mendongkol pada Nanjar.
Bret! bret!
Kakek ini tiba-tiba merobek
jubahnya. Dan dengan duduk di rumput
itu dia membalut kedua kakinya yang
putus itu. Sementara Nanjar yang dalam
keadaan baru tersadar itu sipitkan
matanya mengintip apa yang dilakukan
kakek itu. Sementara dia mulai
mengingat-ingat kejadian yang dialami.
Dia mulai teringat akan kata-
kata si Raja Siluman Naga yang tertawa
terbahak-bahak disaat sebelum dia
pingsan. "Hahaha.... haha.... bocah
tolol! Habislah sudah tenaga dalammu!
Sia-sialah semua ilmu kepandaianmu
yang kau miliki ! Hahaha....kau memang
bocah sial yang membawa keberuntungan
padaku! Kelumpuhan kakiku akan segera
sembuh tak berapa lama lagi ! Kau
memang bocah sial yang membawa
keberuntungan padaku!"
Ya! kata-kata itu masih
terngiang ditelinganya!
"Siluman tua ini telah menipuku!
Tapi mengapa justru kedua kakinya
hancur sedemikian rupa? dan siapa
orang yang terkena pukulan Inti Es
itu?" pikir Nanjar dalam benak. Namun
Nanjar dapat menduga kalau orang yang
terkapar itulah yang telah
mengakibatkan kehancuran kedua kaki si
Raja Siluman Naga.
Diam-diam Nanjar mengeluh dalam
hati. "Celaka....! Ternyata manusia
ini tak lain dari manusia telengas.
Aku terjebak dalam perangkap karena
kurang waspada. Haiiih! betapa
dungunya aku. Entah apa lagi yang akan
diperbuatnya padaku. Aku sudah tak
berdaya...."
Walaupun pemuda ini mengeluh
dalam keputus asaan namun tidaklah dia
mandah saja menerima nasib. Diam-diam
dia kerahkan sisa tenaganya. Lengannya
digerakkan untuk menggapai sebongkah
batu sebesar kepalan tangan didekatnya
ketika si Raja Siluman Naga tengah
sibuk membalut kakinya dengan
menyeringai menahan sakit. Usahanya
berhasil. Kini batu sebesar kepalan
tangan itu telah berada dalam
genggaman tangannya. Nanjar berusaha
menghimpun sisa-sisa tenaga dalam
untuk disalurkan kelengan. Hati pemuda
ini membathin. "Manusia ini ternyata
selain jahat juga licik. Kalau dia
berani mendekat untuk menganiayaku
atau membunuhku, batu ini bisa
kupergunakan! Kalau toh akhirnya aku
harus mati, tapi aku puas karena
setidak-tidaknya aku telah membuat
cacat pada mukanya!"
Tekad Nanjar ternyata membawa
hasil. Sisa-sisa tenaga dalamnya
ternyata berhasil dikumpulkan pada
lengan kanannya yang mencekal batu.
Nanjar masih berusaha berbuat agar
tangan kirinya bisa di gerakkan. Akan
tetapi ternyata dia tak mampu untuk
memindahkan tenaganya ke lengan kiri.
Kekuatan terakhir yang diandalkan
Nanjar hanyalah pada tangan kanannya
yang mencekal batu itu saja.
Hati Nanjar kebat-kebit menanti
saat-saat yang menentukan, menunggu
selesainya si Raja Siluman naga
membaiut kakinya.
Dan saat-saat tegang itupun
akhirnya tiba....
Kakek berkumis bagai misai Naga
ini telah selesai membalut kakinya.
Dia menoleh menatap Nanjar yang masih
terkapar tak berkutik menyender di
dinding batu gunung.
Raja Siluman Naga tertawa
menyeringai.
"Heheheh...dalam keadaan seperti
sekarang ini rupuanya aku masih
memerlukan kau bocah! Terpaksa aku
mengulur waktu kematianmu. Akan tetapi
kau harus menjadi seorang yang lupa
akan asal-usulmu, juga lupa pada apa
yang pernah kau alami! Heheheh...."
berkata si Raja Siluman naga dengan
suara mendesis. Dia mengira kalau
Nanjar masih dalam keadaan tak
sadarkan diri.
Kakek ini beringsut mendekati
Nanjar. Semakin dekat semakin kebat-
kebit hati pemuda ini.
Tiba-tiba Raja Siluman Naga
ulurkan tangannya kearah kepala
Nanjar. "Hehehe........ totokan pada
urat syarafnya ini akan membuat dia
menjadi orang yang linglung. Dia
takkan mengetahui kalau aku telah
memperdayainya!" berkata Raja Siluman
Naga dalam hati. Akan tetapi beberapa
inci lagi sebelum jari tangan si kakek
menyentuh kulit kepala Nanjar, tiba-
tiba Nanjar gerakkan tangannya
menghantam ke arah mukanya. Kejadian
yang di luar dugaan itu terlalu cepat.
Si kakek tak dapat mengelakkan diri
lagi. Dia menjerit parau ketika benda
keras menghantam mukanya. Terdengar
suara tulang yang hancur beradu dengan
batu. Darah memuncrat seketika.
Namun jeritan kesakitan si Raja
Siluman naga berbareng pula dengan
keluhan Nanjar,karena toh jari-jari
tangan si Raja Siluman Naga masih
sempat menotok urat syarafnya.
Seketika Nanjar rasakan kepalanya
seperti digigiti ratusan semut.
Pandangannya menjadi nanar. Dan....
dia kembali roboh tak sadarkan diri.
Adapun si Raja Siluman Naga
meraung panjang mengerikan. Tubuhnya
berguling-guling dan berkelojotan
bagai ayam disembelih. Namun tak
berlangsung lama karena sesaat
kemudian tubuh si Raja siluman naga
diam tak berkutik. Darah merah masih
menggelogok keluar dari mukanya.
Keadaan muka kakek itu amat
mengerikan, karena tulangnya telah
hancur melesak ke dalam hingga sudah
tak berbentuk lagi. Denyut nadinya
ternyata telah berhenti. Nyawanya
telah melayang....!
Tempat itu kini sunyi mencekam.
Senja kian merayap jua. Pelahan-lahan
Mataharipun tenggelam di balik bukit.
Sementara puluhan kelelawar terlihat
bermunculan mengitari puncak bukit....
EMPAT
EMPAT MUSIM telah lewat
berturut-turut. Waktu berlalu seperti
melesatnya anak panah. Di pertengahan
musim dingin itu tampak lima buah
perahu bergerak mendatangi palau
terpencil itu. Kelima perahu itu
masing-masing pada bagian depan tegak
berdiri salah seorang dari belasan
orang yang berada pada tiap-tiap
perahu. Siapakah adanya mereka ini?
Dan ada maksud apakah mendatangi pulau
terpencil itu? Marilah kita ikuti....
Perahu yang berada dibagian
tengah mempunyai ukuran lebih besar
dan tampak lebih bagus dari yang
lainnya berada paling depan di antara
semua perahu. Hingga kelihatannya
barisan perahu itu membentuk ujung
tombak. Dilihat dari sikap orang yang
berdiri didepan perahu itu, dapatlah
diduga kalau laki-laki berpakaian
serba ungu itu adalah sipemimpin dari
rombongan itu.
"Kita segera mendarat!" berkata
laki-laki itu. Usia laki-laki ini
dapat ditaksir yaitu berusia sekitar
tiga puluhan tahun lebih. Sikapnya
gagah dan berwibawa. Memanglah dia tak
lain dari ketua rombongan ini.
"Apakah ketua yakin pulau ini
yang dimaksud dalam peta?" bertanya
salah seorang yang duduk di belakang
laki-laki ini tanpa memegang dayung.
Dia seorang laki-laki berjubah kuning.
Usianya sekitar 40 tahun, berwajah
lancip dengan sejumput jenggot
didagunya.
"Aku yakin pulau inilah yang
dimaksud, paman KULIPALA! Apakan kau
berpendapat ada pulau lagi ditempat
ini?" balik bertanya laki- laki itu.
Yang ditanya putarkan kepala memandang
ke sekitar tempat di perairan itu de-
ngan bangkit berdiri.
Lalu kembali menatap kedepan.
"Kukira tak ada lagi selain pulau ini,
ketua!"ujarnya pelahan. "Akan tetapi
entah kalau di belakang pulau ini ada
lagi sebuah pulau....!"
"Hm, nanti kita periksa. Nah,
kalian kayuhlah lebih cepat. Aku sudah
tak sabar untuk memeriksa pulau ini!"
berkata sang ketua. Perahu dibagian
tengah itu tampak melaju lebih cepat,
yang segera diikuti oleh empat perahu
yang mengiringnya.
Hingga dalam waktu tak seberapa
lama kelima perahu itupun mendarat di
pulau tersebut. Dan serentak para awak
perahu itupun berlompatan ke pasir.
Sementara laki-laki ketua ini telah
melompat lebih dulu. Dari saku bajunya
dikeluarkan secarik kertas kulit. Lalu
tampak dia mengamati kertas kulit itu
yang tak lain dari sebuah peta.
Lima orang pemimpin dari masing-
masing regu yang mengetuai belasan
anak buah, segera berkumpul
mengelilingi sang ketua itu.
"Kalian berlima segera
berpencar. Bawalah masing-masing anak
buah kalian untuk melacak situasi
pulau ini. Kita perlu mengetahui ada
tidaknya penghuni di pulau ini
dan...." ujar sang ketua seraya
menunjuk setelah sejak tadi menatapkan
pandangannya pada puncak bukit yang
tertinggi itu. Nah, aku beri
kesempatan beristirahat beberapa saat.
Bubarlah! Nanti setelah ada tanda
isyarat dariku, kalian mulai jalankan
tugas!" berkata laki-laki ini. Kelima
orang itu menyahut serempak.
"Baik, Ketua....!"
Lalu mereka bubar. Masing-masing
kembali ke kelompoknya. Kecuali laki-
laki tua berjubah kuning itu yang
masih berada didekat sang ketua.
Akan tetapi baru saja kelima
orang itu bubar, tiba-tiba terdengar
suara para anak buah mereka menjadi
riuh. Masing-masing kepala menengadah
keatas. Apakah yang dilihat mereka?
Kiranya seekor burung Rajawali yang
cukup besar terbang mengitari di atas
kepala mereka disertai suara berkiak-
kiak.
"Rajawali raksasa....? Ah, baru
sekali ini aku melihat burung sebesar
itu!" berkata laki-laki ketua itu
dengan mendongak ke atas memandang
kagum.
"Santapan lezat! Dagingnya tentu
enak!" berkata si laki-laki tua jubah
kuning. Tiba-tiba lengannya bergerak
kebalik jubah. Seutas rantai yang
berbandulan sebuah trisula hitam telah
berada dalam genggaman tangannya.
Ketika putaran burung rajawali itu
berada di atas kepalanya, laki-laki
bernama Kulipala ini mendadak
lemparkan trisula itu ke udara....
Suara mendesing yang disertai
menyamba-nya senjata itu kearah leher,
membuat burung Rajawali itu terkejut.
"Keaaaaakk!"
Rajawali itu mengiyak panjang.
Sayapnya digunakan untuk menghempas
benda pembawa maut itu. Hempasan sayap
burung itu menimbulkan angin keras
hingga trisula maut itu miring ke
kiri. Dan dia berhasil menghindarkan
diri. Tentu saja dia jadi marah karena
ada yang mengganggunya. Tiba-tiba
sekali memutar, dia telah menukik
menyambar si jubah kuning. Cakarnya
terentang memperlihatkan kuku-kukunya
yang runcing. Paruhnya terbuka
mengeluarkan suara yang mengiyak
nyaring.
Terkesiap seketika si jubah
kuning karena tak menduga serangannya
akan menemui kegagalan, dan diluar
dugaan justru si burung Rajawali itu
justru telah menyerangnya dengan
ganas.
Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara suitan nyaring yang
diiringi kata-kata. "JABUR! jangan kau
kurang ajar! Tetamu yang datang
biarlah aku yang menyambut!"
Mendengar suara suitan itu si
burung rajawali seketika batalkan
serangannya. Dia terbang kembali ke
udara dan berputar-putar, lalu
meluncur terbang untuk hinggap di
puncak pohon. Namun tiada hentinya dia
mengeluarkan bunyi keras mengiyak.
Saat itu sesosok bayangan tubuh
manusia berkelebat. Dan membelalak
mata si jubah kuning karena
dihadapannya telah berdiri tegak
seorang laki-laki muda berambut
gondrong. Memakai ikat kepala dan ikat
pinggang kulit ular. Bajunya compang-
camping tapi bertampang gagah.
"Hahaha.... daging burung itu
tidak enak sobat! Harap kau tidak
menginginkannya!" berkata pemuda ini.
Siapakah adanya laki-laki ini? Dialah
Ginanjar alias Nanjar, yang selama ini
menetap di pulau itu.
"Apakah anda pemilik burung
Rajawali itu?" bertanya Kulipala
dengan memandang tajam.
"Hm, benar! Aku juga penghuni
tunggal di pulau ini!" Sahut Nanjar.
"Ada apakah kalian datang beramai-
ramai ke pulauku?" tanya Nanjar
dengan krenyitkan dahi memandang
puluhan orang di tempat itu. Cepat-
cepat si laki-laki ketua dari
rombongan itu menjura dihadapan Nanjar
seraya berkata.
"Kami adalah orang-orang dari
perguruan Tapak Nenggala, Aku sendiri
sebagai ketuanya. Namaku JAKA NINGRAT.
Dalam Rimba Persilatan orang
menggelari diriku si Jalak Emas!
Kedatangan kami kemari adalah mencari
tahu kebenaran tentang adanya sebuah
benda pusaka di pulau ini yang kami
ketahui dengan petunjuk sebuah peta!
Bolehkan aku tahu siapa anda?"
"Benda pustaka?" tersentak
Nanjar. "Benda pustaka apakah yang
mereka maksudkan?" berkata Nanjar
dalam hati. Karena selama dua tahun
lebih dia menetap di pulau itu dia tak
mengetahui adanya benda pusaka itu
ditempat itu.
Melihat sikap Nanjar yang
terpaku heran itu, kedua orang itu
saling pandang. Sementara nanjar jadi
garuk-garuk kerjala seraya berkata.
"Namaku Nanjar! Aku tak
mengerti, benda apakah yang kalian
maksudkan? Dan darimana peta itu
kalian dapatkan?" tanya Nanjar.
"Hm… sobat! Kami mengira pulau
ini adalah pulau kosong. Tak tahunya
berpenghuni. Benda yang kami cari itu
adalah sebuah Pedang Pusaka yang
bernama Pedang Pusaka INTI ES! Peta
ini kami dapatkan dari seseorang yang
tak mau menyebutkan namanya!" sahut
Jaka Ningrat dengan memperhatikan
wajah pemuda itu seperti menyelidik,
apakah pemuda gondrong itu sebenarnya
sudah mengetahui ataukah pura-pura
tidak tahu?
"PEDANG INTI ES?" Nanjar
terheran-heran "Aku baru mendengar
nama pedang Pusaka demikian. Aneh! Aku
tak tahu adanya benda Pusaka itu di
pulau ini. Hm, jangan-jangan kau kena
dikibuli orang itu. Di pulau ini tak
ada sepotongpun benda pusaka!" berkata
Nanjar.
Mendengar jawaban Nanjar kembali
Jaka Ningrat saling pandang dengan
Kulipala. Orang tua jubah kuning itu
mendengus.
"Heh! Apakah kami bisa percaya
begitu saja pada kata-katamu? Kau
tentu tidak seorang diri tinggal di
pulau ini. Kalau kau punya guru, tentu
gurumu mengetahui! Ketahuilah! kami
tidak akan pulang kembali tanpa Pedang
Pusaka INTI ES itu di tangan kami!"
berkata ketus Kulipala.
Mendengar kata-kata Kulipala,
Nanjar jadi tertawa tergelak-gelak
hingga tubuhnya terguncang-guncang.
Adapun para anak buah perguruan Tapak
Nenggala segera saja telah membuat
pagar betis mengelilingi Nanjar.
Masing-masing siap menerima perintah
untuk meringkus pemuda berbaju
compang-camping itu. Akan tetapi
belasan orang tetap berjaga dengan
senjata terhunus untuk menghadapi
segala kemungkinan dari serangan si
burung Rajawali yang masih bertengger
di puncak pohon.
Setelah reda dari tertawa
gelinya, Nanjar berkata.
"Di pulau ini takkan kalian
jumpai siapa-siapa kecuali aku
sendiri. Aku memang mempunyai enam
orang guru. Tetapi kesemuanya sudah
berdiam di dalam tanah. Kalau kalian
tidak percaya, silahkan periksa
seluruh tempat. Di atas puncak bukit
tertinggi itu kalian akan dapati
sebuah goa, dan enam buah kuburan yang
berjajar. Selain enam buah kuburan itu
kalian takkan dapat menemukan siapa-
siapa. Haha... kalau toh keenam guruku
mengetahui semasa hidup, tentu benda
Pusaka itu sudah ada di tanganku!"
ujar Nanjar dengan suara agak keras.
Lengannya menunjuk ke arah bukit
tertinggi di tengah pulau.
Hampir semua mata menatap
kesana. Suasana sejenak menjadi
hening.
"Kami akan memeriksa!" tiba-tiba
suara Jaka Ningrat memecah keheningan.
"Silahkan! silahkan! aku tak
keberatan. Kalau kalian dapatkan benda
apa saja di atas bukit itu ambil saja
kalau kalian mau!" ujar Nanjar.
"Hm, Paman Kulipala dan kalian
Bendowo, Jalantra dan Kebojalu serta
dua regu berada disini. Yang lain ya
ikut aku!" perintah Jaka Ningrat pada
anak buahnya. Segera saja anak buah
itu memecah menjadi dua rombongan.
Rombongan yang sebagian segera
mengikuti di belakang Jaka Ningrat.
Dan yang lainnya tetap berjaga di
tempat itu.
LIMA
Nanjar memperhatikan semua itu
dengan tersenyum. Dilihatnya semua
anak buah Jaka Ningrat seperti
mengawasi dirinya. Akan tetapi tampak
pula ada yang mengawasi si Jabur
dengan sikap waspada.
Diam-diam di hati Kulipala
timbul niatnya untuk mengetahui sampai
di mana ilmu kedigjayaan Nanjar. Akan
tetapi dia tak secara langsung
melaksanakan niatnya. Dia melangkah
mendekati seraya berkata.
"Sobat muda. Bolehkah aku tahu
siapa adanya kelima orang gurumu yang
sudah kau katakan mati itu?"
"Hm,aku tak pernah merahasiakan
tentang diriku. Mereka adalah si EMPAT
RAJA GILA, Raja Siluman Naga, dan yang
seorang lagi adalah si Raja Siluman
Bangau. Tepatnya mereka adalah para
RAJA-RAJA GILA!"
Tentu saja mendengar jawaban
Nanjar seketika wajah Kulipala jadi
berubah pucat pias.
"Empat Raja gila? Raja Siluman
Naga? Dan Raja Siluman Bangau?"
Kulipala terperanjat.
"Hahaha... benar! apakah engkau
pernah mendengar nama-nama itu?" tanya
Nanjar dengan cengar-cengir.
"Apakah mereka yang pernah
mendapat julukan si ENAM IBLIS PULAU
KAMBANGAN pada puluhan tahun yang
silam?" bertanya Kulipala.
"Hehehe... betul! tidak salah!
Ketiga guruku si Raja Siluman Ular,
Raja Siluman Harimau, dan Raja Siluman
Biawak pernah bercerita padaku!" ujar
Nanjar serentak.
"Oh, maafkan kebodohanku sobat
muda. Aku tak mengetahui kalau kau
adalah murid mereka. Guruku bersahabat
baik dengan keenam orang gurumu itu!"
"Hm, begitukah? siapa nama
gurumu?" tanya Nanjar dengan memandang
tajam.
"Beliau adalah Ki BROJOL IRENG,
yang bergelar si Iblis Tengkorak
Bolong!" Sahut Kulipala dengan wajah
berkeringat.
"Hahaha... kalau begitu kita
adalah sahabat!" berkata Nanjar.
"Ya! Kita adalah sahabat!"
berkata Kebojalu dan kedua kawannya.
Serentak ketiga orang itu menjura
dihadapan Nanjar. Nanjar balas
menjura. Akan tetapi tiba-tiba
melompat mundur, seraya berkata.
"Eh, nanti dulu! Keempat guruku
memang berasal dari golongan sesat,
akan tetapi telah lama cuci tangan dan
tak memunculkan diri di dunia
persilatan hingga akhir khayatnya.
Adapun si Raja Siluman Naga dan Raja
Siluman Bangau aku tak mengetahui
perbuatan apa yang dilakukan di luar.
Gurumu si Iblis Tengkorak Bolong
adalah seorang manusia keji dan sadis!
seperti yang pernah diceritakan ketiga
guruku yaitu Raja Siluman Ular,
Harimau dan Biawak! Aku tak bisa
mengaku kalian sebagai sahabat, karena
aku belum tahu tindak tanduk apa yang
kalian lakukan diluar!" berkata Nan-
jar.
"Hm, kau sok alim, sobat! Di
dunia ini susah menjadi orang baik-
baik! Gurumu pernah menjadi seorang
sesat, bahkan dua orang gurumu kau tak
mengetahui tindakannya yang dilakukan
di luar. Apakah tak mungkin kalau
guru-gurumu mewariskan kejahatan
kepadamu?" sambar berkata Kulipala,
yang segera ditimpali dengan anggukan
kepala ketiga orang kawan
seperguruannya.
"Yah, kalau begitu terserah
kalian sajalah! yang penting aku bisa
mengakui kalian sahabatku bilamana
tindakan kalian dijalan yang benar!"
berkata Nanjar dengan garuk-garuk
kepala. Dia tak dapat berdebat lebih
jauh.
"Baik! baik! hal itu bisa
kuterima! Kita bicara yang lain saja!"
ujar Kutipala. Kali ini dia sudah
unjukkan sikap seperti biasa lagi.
"Kau selalu menyebut
keempat orang gurumu si empat Raja
Gila dengan hanya menyebut tiga orang
saja tanpa mengikut sertakan si Raja
Siluman Kera. Apakah yang terjadi
dengan gurumu yang satu itu? Apakah
pula yang menyebabkan kematian keenam
orang gurumu?" bertanya Kulipala.
Nanjar tertekun sejenak
mendengar pertanyaan itu, lalu dia
menghela napas. "Kisahnya cukup
panjang sobat. Tapi baiklah, aku akan
ceritakan secara singkat mengenai
kematian mereka..." ujar Nanjar lirih.
"Akan kuceritakan yang seingatku
saja!" sambung Nanjar dengan tersenyum
pedih.Tampak wajah pemuda itu agak
berubah trenyuh mengingat nasib
gurunya si EMPAT RAJA GILA.
Demikianlah, secara singkat
Nanjar ceritakan kejadian kematian
keempat gurunya si Empat Raja Gila.
Seperti telah diceritakan di bagian
depan, Nanjar dalam keadaan tak
sadarkan diri telah terkena totokan
pada urat syaraf di bagian kepalanya
oleh si Raja Siluman Naga.
Akan tetapi dengan sebongkah
batu sebesar kepalan tangan, Nanjar
berhasil membuat Raja Siluman Naga
menemui kematian. Sementara Raja
Siluman Kera masih tetap terkapar ter
bungkus lapisan es tanpa diketahui
nasibnya.
Mungkin saja Nanjar akan tinggal
namanya saja di dunia ini kalau
menjelang pagi tidak muncul tiga orang
ke pulau yang terpencil itu. Mereka
adalah Raja Siluman Ular, Raja Siluman
Harimau dan Raja Siluman Biawak.
Nanjar mendapat pertolongan ketiga
orang kakek itu. Akan tetapi mereka
tak dapat menyelamatkan nyawa Raja
Siluman Kera yang telah tewas!
Dengan usaha ketiga orang
gurunya yang amat menyayanginya itu,
Nanjar bisa memiliki lagi kekuatan
tenaga dalamnya. Hampir empat bulan
Dia mendapat rawatan ketiga "Raja"
itu, hingga kesehatanmya berangsur
pulih.
Dalam kesempatan itu mereka
banyak bercerita mengenai riwayat
mereka pada Nanjar. Begitu terharu
Nanjar ketika ketiga kakek itu
menyatakan bersedia memberikan masing-
masing tenaga dalam mereka padanya,
setelah bersusah-payah memulihkan
ingatan Nanjar yang nyaris jadi
linglung!
Pada kesempatan itulah setelah
ingatan Nanjar kembali pulih, dalam
suatu gurauan ketiga orang gurunya
mengolok-olok dengan panggilan si
bocah linglung. Dan Nanjar seketika
ingat akan kisah dirinya yang pernah
mempunyai julukan si Dewa linglung.
Mendengar olok-olok gurunya itu
Nanjar tertawa dan menceritakan kisah
lucu tentang dirinya itu. Tentu saja
seketika ketiga kakek itu tertawa
terbahak-bahak. Dan selanjutnya ketiga
gurunya menjuluki Nanjar si DEWA
LINGLUNG.
Akan tetapi gelak-tawa dan
kegembiraan mereka ternyata adalah
awal dari perpisahan. Karena ketiga
kakek yang amat menyayanginya itu
didapati Nanjar telah tewas setelah
memberikan tenaga dalam mereka secara
serempak pada Nanjar. Demikianlah!
Nanjar dengan hati sedih menguburkan
jenazah ketiga gurunya itu di atas
bukit tertinggi di pulau itu
berdekatan dengan kuburan si Raja
Siluman Bangau, Raja Siluman Naga,dan
Raja Siluman Kera yang telah lebih
dulu tewas.
Ketiga "Raja" itu walaupun
mengetahui si Raja Siluman Naga
berhati busuk, akan tetapi tidak
mengubur jasad si kakek yang pernah
menjadi kawannya itu dengan kuburan
yang terpisah.
Namun sengaja membuat kuburan
para Raja-raja Gila itu bersatu.
Ternyata disaat mereka semua tewas,
Enam Iblis Pulau Kahyangan itu tetap
terkubur berdampingan. Walaupun sejak
beberapa belasan tahun mereka hidup
sendiri-sendiri. Kecuali Empat Raja
Gila yang masih tetap bersatu!
Nanjar mengakhiri penuturannya
dengan helaan napas panjang.
"Itulah sekedar riwayat singkat
mengenai kematian mereka!" ujar
Nanjar. Semua anak buah perguruan
Tapak Nenggala sama mendengarkan
penuturan Nanjar dengan seksama.
"Apakah kesemua gurumu tak ada
yang menceritakan perihal Pedang
Pusaka INTI ES itu padamu?" tanya
Kulipala dengan kening dikerutkan.
Nanjar gelengkan kepala, sambil ter-
tawa.
"Hahaha... kau masih saja
mencoba mengorek keterangan dariku
mengenai segala pedang pusaka tai
kucing! Apakah kau kira aku membual?
Aku tak menyembunyikan senjata apapun
kecuali potongan pedang ini!" berkata
Nanjar seraya loloskan sepotong kayu
yang terselip di punggungnya.
Justru mata Kulipala sejak tadi
memperhatikan terus potongan kayu itu.
Tentu saja semakin tercekat hati
Kulipala mendengar Nanjar mempunyai
sepotong pedang.
Tak banyak bicara Nanjar segera
keluarkan dari belahan kayu itu sebuah
benda. Itulah potongan pedang yang
selalu dibawanya.
Lalu diperlihatkan dihadapan
Kulipala yang memandang dengan mata
dibesarkan. Begitu pula Kebojalu,
Bendowo dan Jalantra rurut
memperhatikan.
"Apakah itu bukannya potongan
pedang INTI ES?" berkata Kulipala
dengan nada curiga.
"Hm, aku tak tahu! benda ini
punya sejarah yang amat penting bagiku
yang tak perlu kalian mengetahui!"
berkata Nanjar seraya kembali
menyimpan benda itu dalam belahan kayu
itu.
"Berikan padaku, aku akan
memeriksa lebih jelas!" berkata
Kulipala dengan nada berubah kasar.
"He? kalian tak berhak memaksa
orang! Kukira sudah saatnya aku pergi
dari pulau ini! Aku tak mau tahu
dengan segala macam urusan kalian!"
berkata Nanjar seraya menyimpan benda
itu.
"Huh! kau kira semudah itu kau
angkat kaki dari sini?" membentak
Kulipala. Detik itu juga dia memberi
isyarat pada kawan-kawannya untuk
mengurung. Serentak ketiga laki-laki
itu telah cabut senjata masing-masing.
Sementara Kulipala sendiri telah
loloskan senjata rantai Trisula
hitamnya. Akan tetapi Nanjar cuma
tersenyum. Tiba-tiba dia bersuit
keras. Segera saja terdengar sahutan
suara burung Rajawali yang segera
terbang menghampiri. Kulipala
tersentak. Tapi senjatanya telah
menyambar deras kearah Nanjar.
"Hahaha... aku tak ada selera
untuk bertarung, sobat!" Ucapan Nanjar
dibarengi dengan melompatnya tubuh
pemuda itu ke udara. Terbelalak mata
keempat orang itu dan puluhan orang-
orang perguruan Tapak Nenggala, karena
melihat pemuda itu melesat seperti
"burung" menyongsong kedatangan si
Rajawali.
Dan sungguh mengagumkan. Karena
kejap berikutnya sipemuda berambut
gondrong itu telah hinggap di punggung
burung Rajawali raksasa itu.
"Hahaha... lain kali kita
berjumpa lagi, sobat-sobat! Sudah
kurencanakan hari ini aku harus
meninggalkan pulau ini!" teriak Nanjar
dengan tertawa terbahak.
Dan belum lagi, mereka berbuat
sesuatu, terdengar pemuda itu
berteriak keras. "Jabur! Mari kita
pergi!"
Selanjutnya mereka cuma bisa
melihat dengan mulut ternganga
memandang ke arah burung Rajawali yang
terbang pesat membumbung ke udara
meninggalkan pulau itu. Kulipala
membanting kakinya dengan kesal, serta
memaki-maki panjang pendek.
"Setan alas! Dedemit! dia
berhasil meloloskan diri!" Akan tetapi
dalam hati diam-diam dia mengagumi
kehebatan ilmu "terbang" pemuda itu.
Seandainya terjadi pertarungan pun dia
merasa belum tentu mereka dapat
meringkus pemuda itu untuk merampas
potongan pedang. Apalagi dengan adanya
burung Rajawali raksasa itu...
ENAM
Sesosok tubuh tegak berdiri di
ujung tebing curam. Dibawahnya
berdeburan ombak laut menghantam
karang. Angin keras bersiutan menerpa
tubuh semampai itu hingga rambutnya
yang tergerai panjang berkibaran.
Dia ternyata seorang wanita dan
tampaknya masih seorang gadis. Apa
yang dilakukan gadis ini tak lain dia
menatapkan pandangannya ke arah laut
lepas. Ke arah batas cakrawala yang
seolah tempat pertemuan langit dengan
lautan. Dia berdiri tak bergeming
dengan sesekali terdengar helaan napas
panjang. Gadis ini kenakan pakaian
singsat seperti layaknya pakaian kaum
persilatan. Di pinggangnya terselip
sebuah pedang pendek dengan sarungnya
yang terbuat dari gading.
Setitik air bening tampak
tersembul dari sudut kelopak matanya,
dan tampak sepasang mata dara itu
telah berkaca-kaca. Tampaknya dara ini
tengah mengalami kesedihan yang
berkecamuk dalam dadanya. Akan tetapi
wajah yang seperti mau menangis itu
mendadak berubah menjadi kaku lagi.
Titik air bening yang siap turun
kepipinya cepat dihapuskan oleh
tangannya. Dan dia menggigit bibir,
seperti menahan gejolak kesedihan yang
mengamuk dalam dada!
Dia berhasil! Kekerasan hatinya
telah membuat gadis itu batal
menangis. Dia balikkan tubuh dan
alihkan pandangannya dari laut lepas.
Gadis itu ternyata seorang yang
berparas cantik. Bibirnya melengkung
bak busur panah. Matanya jeli dengan
bulu mata yang lentik. Hidungnya
mancung dengan raut muka bulat sirih.
Dari usianya gadis ini dapat
diperkirakan berusia diantara sembilan
belas atau dua puluh tahun. Cukup
dewasa bagi usia seorang dara remaja!
Pada saat itu juga tiba-tiba
terdengar suara tertawa menyibak
kelengangan. Dara ini menoleh kearah
datangnya suara itu.
Sesosok tubuh berkelebat muncul
dari balik batu cadas. "Hahaha...
apakah yang tengah kau lamunkan kakak
manis? Dari tadi kau kulihat termangu
mangu memandang kearah laut! Apakah
kau terkenang pada seorang laki-laki
yang menjadi kekasihmu?"
"Huh! Kau Hang Gada! Ada apa kau
menyusulku kemari?" terkejut gadis ini
mengetahui siapa yang datang.
"Aha, tidak bolehkan aku kemari
menyusulmu? Aku ingin bercakap-cakap
agak leluasa denganmu! Selama ini kita
selalu mendalami latihan tanpa sempat
bercakap-cakap. Waktu yang baik ini
kukira sangat berharga untuk kita
membicarakan masalah lain, selain
masalah ilmu-ilmu kedigjayaan!"
berkata laki-laki itu. Ternyata Hang
Gada ini adalah seorang pemuda gagah
berkumis tipis dengan pakaian serba
putih yang terbuat dari kain kasar.
Siapakah adanya gadis itu? Dia
tak lain dari RANGGAWEN1. Seperti
telah diceritakan pada judul perdana
Serial Dewa Linglung, Ranggaweni pergi
meninggalkan pulau terpencil itu
dengan dendam tersemat dalam dada.
Kematian si Raja Pengemis gurunya oleh
si Raja Siluman Naga, telah membuat
Ranggaweni menyimpan dendam kesumat
dalam dadanya. Dia bertekad menuntut
ilmu kedigjayaan untuk suatu saat
kelak membalaskan kematian sang guru.
Hang Gada adalah saudara
seperguruannya yang belum lama
dikenalnya beberapa bulan yang lalu,
sejak dia menjadi murid seorang kakek
bernama Ki Bonang Luhur dipesanggrahan
Gunung Putri.
Ki Bonang Luhur mempunyai tiga
orang murid. Murid pertama adalah
Badar Sora, seorang lelaki berusia
tiga puluhan tahun bermata buta.
Sedangkan Ranggaweni secara
kebetulan bertemu dengan Ki Bonang
Luhur, yang kemudian mengajaknya untuk
tinggal di Pesanggrahan Gunung Putri.
Selama setahun dia berguru, muncullah
Hang Gada ke pesanggrahan Gunung Putri
yang memohon untuk menjadi murid Ki
Bonang Luhur. Kakek itu dengan senang
hati menerima Hang Gada menjadi
muridnya, karena sopan santun serta
tutur kata Hang Gada yang lemah lembut
menarik hati kakek itu.
Demikianlah. Selama tiga tahun
lebih Ranggaweni berdiam di
Pesanggrahan Gunung Putri memperdalam
ilmu-ilmu kedigjayaan pada Ki Bonang
Luhur. Hingga sampai saat ini.
Mendengar kata-kata Hang Gada,
Ranggaweni tersenyum. Dalam hati dia
memang menyukai pemuda yang berwajah
ganteng ini, akan tetapi dia belum
mengenai benar wataknya. Apalagi sejak
dia selalu bersama si Raja Pengemis
dimasa gurunya itu masih hidup, si
kakek sering menasihati agar selalu
berhati-hati dengan seorang laki-laki.
Karena ketampanan wajah bukanlah
ukuran dari pribadi seseorang. Rupanya
bagus belum tentu sama dengan hatinya.
Oleh sebab itulah Ranggaweni tak
begitu mengakrabi Hang Gada. Bahkan
dia lebih dekat dengan Badar Sora sang
kakak seperguruan yang buta mata. Dia
sering mengajak bercakap-cakap. Akan
tetapi yang dibicarakannya tak
berkisar dari ilmu-ilmu kedigjayaan.
"Apakah yang kau mau percakapkan
denganku, Hang Gada? Aku cuma senang
melihat laut hingga aku sering datang
ketempat ini!" berkata Ranggaweni.
"Aku juga senang melihat laut!
Akan tetapi lebih senang bila sambil
duduk bercakap-cakap di samping
seorang perempuan secantikmu, kakak
yang manis...!" Timpal Hang Gada de-
ngan tertawa memperlihatkan sederetan
giginya yang putih rata.
"Ah, kau mulai bicara macam-
macam. Sayang sekali aku justru mau
pulang. Aku khawatir guru sudah
kembali, dan kau tinggalkan kakang
Badar Sora seorang diri
dipesanggrahan? Kasihan...! Dia tak
ada yang menemani dan tak ada yang
mengajaknya bercakap-cakap!" berkata
Ranggaweni seraya beranjak melangkah
untuk menuruni tebing.
"Tunggu, kakak Ranggaweni!
Tidakkah kau mau memberi kesempatan
padaku untuk membicarakan sesuatu
padamu?" berkata Hang Gada seraya
melompat tepat dihadapannya. Rang-
gaweni merandek.
"Apakah yang mau kau bicarakan?"
"Duduklah dulu. Nah itu ada batu
besar. Kita duduk disana!" ujar pemuda
ini seraya menunjuk ke sebelah
kirinya.
"Mengapa tidak disini saja? Toh
sama saja! Apa sih yang akan kau
bicarakan itu?" Lagi-lagi Ranggaweni
ulangi pertanyaan. Akan tetapi cepat
sekali Hang Gada menangkap pergelangan
tangan gadis itu. Karena cepatnya dan
secara tak diduga Ranggaweni tak dapat
mengelakkan diri.
Dengan tertawa Hang Gada menarik
lengan Ranggaweni seraya berkata.
"Ayolah, hari masih siang
begini. Kukira besok pun belum tentu
guru kembali dari menyelesaikan
urusannya!"
Wajah Ranggaweni memerah. Akan
tetapi dia tak dapat menolak untuk
menuruti keinginan Hang Gada. Sesaat
kemudian mereka telah sama-sama duduk
diatas batu besar itu.
"Nah, katakanlah apa yang kau
mau katakan!" berkata Ranggaweni
ketus.
"Ah, kakakku yang manis, kalau
kau cemberut seperti ini sungguh kau
tampak lebih cantik!" merayu Hang
Gada. Lengannya masih mencekal
pergelangan tangan Ranggaweni. Dan
diam-diam terasa jemari tangan si
pemuda itu bergerak-gerak meremasnya.
Berdesir darah Ranggaweni. Tak ayal
dia segera tepiskan tangannya. Gadis
ini mulai berprasangka tidak baik
dengan adik seperguruannya itu.
Dinilai dengan usia memang tampaknya
masih lebih tua Hang Gada. Akan tetapi
karena Ranggaweni berguru pada Ki
Bonang Luhur setahun lebih dulu, maka
Hang Gada termasuk adik seperguruan.
"Kakak Ranggaweni, mengapa kau
tampaknya selalu menjauhi aku? Kau
lebih suka berlama-lama dalam
bercakap-cakap dengan kakang Badar
Sora!" Hang Gada mulai membuka
percakapan.
"Hm, itukah yang kau mau
katakan? Kakang Badar Sora adalah
seorang tuna-netra. Dia banyak
pengalaman dalam hal ilmu-ilmu
kedigjayaan. Apakah salahku kalau
lebih banyak mendekatinya? Kukira bisa
menambah pengalamanku dalam ilmu yang
aku pelajari!" sahut Ranggaweni polos.
"Heh! Bagaimana mungkin
kepandaian ilmu silat orang buta dapat
kau samakan dengan ilmu orang melek?
Selama ini aku belum pernah melihat
dia berlatih atau mempertunjukkan ilmu
yang telah dimilikinya!" berkata Hang
Gada dengan wajah kaku. Tampak dari
sikap dan sinar matanya pemuda ini
seperti cemburu pada Badar Sora.
Bahkan dari kata-kata itu jelas dia
mengejek sang kakak seperguruan. Sikap
dan kata-kata adik seperguruannya itu
membuat Ranggaweni mendongkol, dan
berkata ketus.
"Hm, kau tampaknya meremehkan
dia? Boleh coba kalau kau mau
mengujinya!"
"Tidak perlu! Aku bukan seorang
murid yang kurang ajar untuk
menantangnya bertarung! Akan tetapi
apakah kau mengira aku akan dapat dia
jatuhkan dengan begitu mudah? Hahaha
... Hang Gada bukanlah Hang Gada kalau
cuma berkata tanpa ada buktinya!" Pe-
muda itu tertawa gelak-gelak. Tentu
saja melihat kesombongan pemuda adik
seperguruannya itu hati Ranggaweni
semakin mendongkol.
"Hm, selama ini kita cuma
berlatih tanpa bertarung sungguh-
sungguh. Aku lihat kau masih banyak
kelemahan. Tapi kata-katamu terlalu
sombong! Ilmu apakah yang kau punyai
hingga kau menjadi sombong sekali?"
berkata Ranggaweni dengan membentak.
"Lho? mengapa kau yang marah?
Hm, aku tahu kini. Kau tentu diam-diam
telah jatuh cinta pada si buta itu!
Pantas kau selalu menjauhi dariku!
Nyatanya kau telah menganggap remeh
diriku. Hahaha... Ranggaweni! Aku akan
buktikan dengan menjatuhkan kau dalam
tiga jurus!" Tentu saja sesumbar Hang
Gada membuat gadis ini naik pitam.
"Bagus! bersiaplah untuk
bertarung! Ingin kulihat bukti kata-
katamu manusia sombong!" membentak
Ranggaweni. Dan dia telah melompat
berdiri. Hang Gada yang sejak tadi
telah berdiri menatap sang kakak
seperguruan dengan tersenyum sinis.
"Aku sudah siap! Silahkah kau
menyerang terlebih dulu!"
Tentu saja Ranggaweni semakin
mendongkol atas sikap pemuda itu.
Tanpa menunggu waktu lama lagi, dia
telah lancarkan serangan dengan
pukulan beruntun kearah Hang Gada.
Itulah jurus Kilat Menyambar Gunung!
Hebat serangan itu. Ayal sedikit saja
kepala dan dada Hang Gada akan remuk
kena hantaman dahsyat bertenaga dalam
luar biasa dari serangan Ranggaweni.
Akan tetapi aneh. Dengan ringan
melejit kesana-kemari serangan itu
lolos. Bahkan Hang Gada balas
menyerang kearah pangkal paha.
Serangan itu membuat Ranggaweni
terkejut karena menimbulkan hawa
panas. Dan yang membuat lebih terkejut
lagi adalah sebelah lengan Hang Gada
mengarah ke dada.
Percuma dia mempelajari bermacam
ilmu tata kelahi selama tiga tahun.
Serangan balasan Hang Gada berhasil
dihindarkan dengan gerakan gesit
miringkan tubuhnya ke kiri. Lalu
lakukan salto untuk menghindari
serangan tendangan ke arah pangkal
paha.
"Bagus! Jaga serangan
selanjutnya!" teriak Hang Gada.
Kembali dia melompat... Yang dituju
adalah kaki. Gerakan seperti mau
menangkap kaki itu membuat Ranggaweni
melompat ke udara. Akan tetapi sekejap
tubuhnya telah menukik. Sepasang
lengannya terarah ke bawah menghantam
dengan pukulan tenaga dalam. Inilah
jurus Haramau Sakti Menerkam Mega.
"Gila!?" membathin Ranggaweni
dengan terkejut. Karena sosok tubuh
Hang Gada sudah menggelinding kearah
belakang tubuh melewati di bawah
tubuhnya yang siap menghantam. Se-
rangan barusan ternyata telah terbaca
oleh Hang Gada. Tahu-tahu disaat
kakinya menyentuh tanah dan dia
batalkan serangan, berdesir angin
pukulan ke arah punggungnya.
"Haiiiit!" Ranggaweni berteriak,
seraya kembali mengegos ke samping.
Dia lakukan beberapa kali salto
menghindari serangan. Dalam dua jurus
ini dia berhasil menyelamatkan diri.
Akan tetapi pada jurus ketiga, dia
dibuat terperangah karena tak berhasil
mengejar kelebatan tubuh Hang Gada
yang berkelebat cepat sekali
mengelilinginya. Disaat itulah, tahu
tahu dia rasakan angin bersyiur ke
arah belakang leher. Dan tahu-tahu dia
mengeluh dan berteriak tertahan.
Tubuhnya mendadak roboh terhuyung. Dan
saat berikutnya dia telah berada dalam
pondongan Hang Gada yang cepat
menyangga tubuhnya sebelum menyentuh
tanah.
"Hati-hati, kakakku yang
manis...! Haiih! hampir kau jatuh!"
Ranggaweni tak berdaya, karena
totokan Hang Gada tepat mengenai
sasaran. Gadis itu rasakan sekujur
anggota tubuhnya lumpuh tak dapat
digerakkan.
"Hahaha... aku telah buktikan
kata-kataku, Ranggaweni! Kini apa yang
mau kau katakan?" berkata Hang Gada
dengan menyeringai.
"Lepaskan aku!" teriak gadis itu
dengah wajah pucat.
TUJUH
Hahaha... alangkah bodohnya aku
kalau melepaskan makanan yang sudah
berada di tangan!" berkata pemuda itu
dengan menyeringai. Percuma gadis itu
berteriak-teriak, toh Hang Gada
bukannya melepaskan totokannya bahkan
membawanya dan memondongnya ke tempat
yang rimbun di balik semak belukar.
Di atas rumput tebal tubuh
Ranggaweni dibaringkan. Dan....
Breeet!
Baju bagian dada gadis itu telah
disentakkan dengan kuat hingga robek.
Seketika dua buah benda bulat menonjol
yang putih lunak itu tersembul.
Teriakan Ranggaweni terputus ketika,
sekali lagi lengan Hang Gada bergerak
menotok. Lenyaplah suara gadis itu
karena Hang Gada telah menotok urat
suaranya.
"Hahaha... Ranggaweni! Sudah
lama aku mengagumi kecantikanmu.
Hingga aku berniat suatu saat aku akan
mengecap kenikmatan dan kehangatan
tubuhmu yang mulus. Dan... hari ini
terkabul sudah apa yang aku idam-
idamkan sejak lama!" berkata Hang Gada
seraya lengannya menjulur untuk
membelai dua buah bukit kembar itu.
Ranggaweni menjerit akan tetapi
suaranya hanya mendesis. Matanya
membeliak dengan wajah pucat-pias
melihat apa yang dilakukan Hang Gada.
Sementara Hang Gada seperti sudah tak
sabar untuk menunaikan hasrat nafsu
kebinatangannya. Saat berikutnya dia
telah membukai pakaiannya.... Napasnya
berdesahan akibat hawa nafsu yang
telah bergejolak di dalam dada.
Akan tetapi pada saat itu juga
tiba-tiba terdengar suara bentakan
keras parau menggeledek.
"Bajingan tengik! Manusia kotor!
Apakah yang akan kau lakukan
terhadapku kakak seperguruanmu
sendiri?!"
Bentakan itu diiringi dengan
suara bersyiuranya angin keras ke
punggung Hang Gada. Terkejut pemuda
ini karena itulah sambaran tongkat
yang meluncur deras untuk menggebuk
punggungnya.
Tentu saja membuat Hang Gada
tersentak kaget. Namun dengan gerakan
sebat dia miringkan tubuh, untuk
jatuhkan diri bergulingan. Loloslah
serangan itu.
Ketika dia melihat ke arah si
pembokong terkejut bukan main dia
karena seorang laki-laki bertubuh
jangkung bermata buta yang telah
dikenalnya berdiri di tempat itu.
Siapa lagi orang itu kalau bukan BADAR
SORA sang kakak seperguruan yang
bermata buta.
"Hahaha.... kiranya ada orang
buta tersasar kemari! Kasihan! Apakah
kau tersesat mencari jalan? Kalau
begitu akan kutunjukkan padamu arah
jalan yang betul, yaitu jalan menuju
ke Akhirat!" berkata Hang Gada dengan
tertawa terbahak-bahak. Sementara
dalam hati diam-diam dia membathin.
"Aneh!? Bagaimana mungkin dia dapat
mengetahui aku berada di tempat ini?"
Namun begitu Hang Gada tak
menunjukkan sikap terkejut. Bahkan
dengan mengumbar tertawa dia sengaja
mengejek Badar Sora.
"He! kiranya kau musang berbulu
ayam! Sungguh tak kuduga kalau kau
punya niat jahat. Selama ini kami
telah tertipu. Sungguh amat kusesalkan
guru telah menerimamu menjadi
muridnya! Katakan padaku manusia
jahanam, siapakah kau sebenarnya?"
membentak Badar Sora dengan suara
menggeledek parau. Tubuhnya berguncang
karena gusarnya.
"Hm, baiklah! Kukira kini sudah
saatnya aku membuka rahasia siapa
adanya diriku!" berkata Hang Gada.
"Aku adalah murid Nini BLORONG dari
Goa Larangan! Namaku sebenarnya adalah
NOGO PRAKOSO! Guruku punya dendam yang
amat mendalam pada Ki Bonang Luhur.
Tahukah kau apa sebabnya aku berguru
pada Ki Bonang Luhur? Hahaha...
kesatu, aku tertarik pada murid
perempuannya yang cantik yaitu
Ranggaweni. Kedua aku memang tengah
menjalankan tugas guruku mencari
kesempatan baik mencuri sebuah peta
yang berada di tangan Ki Bonang Luhur.
Yaitu peta rahasia tempat tersimpannya
sebuah pedang Pusaka yang bernama
Pedang Pusaka INTI ES!"
Sampai disini Badar Sora tak
dapat menahan kemarahannya. Tiba-tiba
wajahnya berubah merah padam.
"Bajingan keparat! Jadi kaulah
yang bernama Nogo Prakoso? Bagus! Aku
tak perlu jauh-jauh mencari manusia
dajal yang telah memperkosa adikku!
Bersiaplah kau untuk mampus!"
Bentakan Badar Sora disusul
dengan gerungan hebat. Lengannya
bergerak menghantam ke depan.
Whuuuk!
Blharrr!
Hantaman pukulan jarak jauh
mengandung kekuatan tenaga dalam yang
luar biasa hebatnya itu membuat tanah
menyemburat berlubang, dan hawa panas
merambah ke sekitar tempat itu. Akan
tetapi dengan gerakan gesit Hang Gada
alias Nogo Prakoso telah melesat ke
udara setinggi hampir sepuluh tombak.
Tubuhnya menukik bagai elang
alap-alap. Sepasang lengannya bergerak
menghantam melontarkan pukulan ganas.
Uap hitam seketika menggulung ke arah
batok kepala Badar Sora. Itulah
pukulan ganas yang mengandung racun.
Akan tetapi laki-laki bermata
buta itu cukup peka dengan serangan
itu. Tongkatnya digerakkan berputar
bagai baling-baling. Seketika
menderulah angin keras bagai taufan
yang bergulung-gulung menghantam buyar
serangan itu. Bahkan ujung-ujung
tongkat itu bagaikan bermata mengejar
ke arah mana tubuh Nogo Prakoso
berkelebat.
Nogo Prakoso tak menyangka kalau
gerakan Badar Sora yang bermata buta
itu begitu hebat. Bahkan serangan-
serangan amat berbahaya mengandung
maut! Keringat dingin mulai membasahi
tengkuknya. Dia bergerak agak ayal
karena mencari jalan untuk menerobos
kepungan Badar Sora yang mengejar
terus dengan tongkat mautnya.
Hingga ketika dia menghindari
serangan beruntun dari ceceran tongkat
orang buta itu, satu pukulan telah
mengenai sasarannya, tepat di
punggung. Untunglah pukulan itu tak
begitu keras. Dia terjungkal dengan
berteriak tertahan. Saat itu tongkat
si buta telah meluncur deras ke arah
batok kepalanya. Berguling-guling
tubuh Nogo Prakoso menghindari
sambaran tongkat Badar Sora. Akan
tetapi saat itu juga di lengan Nogo
Prakoso telah tergenggam sejumput paku
beracun. Di saat yang tepat ketika dia
berhasil menghindar kesisi dengan
cepat dia cepat melontarkan paku-paku
beracun itu ke arah Badar Sora.
Nogo Prakoso mengira serangan
senjata rahasianya tak akan luput dari
sasaran. Akan tetapi sungguh tak
diduga kalau pendengaran laki-laki
buta itu amat peka. Detik itu juga dia
telah berkelebat melompat seraya
putarkan tongkatnya yang menimbulkan
angin keras. Berhamburanlah paku-paku
beracun itu buyar kebeberapa penjuru.
Akan tetapi pada kesempatan itu
Nogo Prakoso telah berkelebat tanpa
menimbulkan suara, lalu mendekam
dibalik batu. Keadaan menjadi sunyi
hening. Badar Sora putarkan tubuh dan
miringkan kepala untuk mencari dimana
jejak musuhnya.
"Manusia bejat! jangan kira kau
mampu meloloskan diri dari tanganku!
Sakit hati adik perempuanku Sukowati
hari ini akan kubalaskan! Tahukah kau,
akibat perbuatan terkutukmu dia telah
nekat membunuh diri? Kini kau mau
memperkosa pula adik seperguruanku!
Sungguh kau manusia bejat yang pantas
untuk dilenyapkan dari muka bumi ini!
Unjukkan dirimu keparat! Apakah kau
bernyali tikus? Bukankah kau murid si
Nini Blorong? Tunjukkan ilmu-ilmu
kedigjayaanmu!" berteriak-teriak Badar
Sora dengan suara parau.
Akan tetapi tiada sahutan.
Tempat itu hening mencekam. Nogo
Prakoso masih tak beranjak dari tempat
persembunyiannya. Bahkan mengeluaran
suara napaspun dengan hati-hati
khawatir terdengar oleh si buta. Akan
tetapi wajah pemuda ini tampak
menyeringai. Diam-diam dia telah
merencanakan satu cara yang akan
menghabisi nyawa Bandar Sora
sekaligus! Tampak dia salurkan tenaga
dalamnya dengan diam-diam ke arah
kedua lengan. Uap hitam terlihat
mengepul tipis dari kedua lengan
pemuda itu. Nyatalah memang Nogo
Prakoso mempunyai ilmu pukulan beracun
yang ganas.
Pelahan-lahan dia bangkit
berdiri. Sepasang matanya berkilat
menatap Badar Sora yang masih tegak
berdiri dengan kepala dimiringkan ke
setiap arah. Tampaknya dia masih sabar
menunggu reaksi selanjutnya. Karena
yakin Nogo Prakoso masih berada
ditempat itu!
Sementara itu di udara pada
jarak lima puluh kaki tampak seekor
burung elang besar berputar-putar
diatas tebing terjal itu. Bayangan
hitam yang lewat sekilas di tanah
membuat Nogo Perkoso menengadah
memandang ke atas. Agak terkejut Nogo
Prakoso kerena baru sekali ini melihat
seekor burung Elang sebesar itu.
"Apakah itu bukannya seekor burung
Rajawali? Ah? begitu besarnya...?"
berkata dia dalam hati.
Akan tetapi pemuda ini tak
sempat berlama-lama untuk berdiam
diri. Lengannya bergerak pelahan untuk
menjumput sebongkah batu. Benda itu
dilemparkan ke sebelah kiri Badar
Sora. Suara batu berderak itu membuat
Badar Sora tersentak, Dan serta-merta
dia telah membentak keras disertai
gerakan tubuhnya untuk melompat.
Tongkatnya menyambar ke arah suara itu
yang dibarengi dengan sambaran pukulan
bertenaga dalam.
Whuuut! Whuuuuk...!
Bhlarrrr!
Batu-batu berhamburan hancur
terkena hantaman tongkat dan hantaman
pukulan Badar Sora yang menimbulkan
hawa panas! Disaat itulah Nogo Prakoso
melesat ke belakang Badar Sora.
"Mampuslah kau, si buta tolol!"
membentak Nogo Prakoso berbareng
dengan hantamkan pukulan mautnya ke
punggung dan ke arah batok kepala
Badar Sora. Kali ini serangan bokongan
Nogo Prakoso pasti tak akan luput
lagi.
Akan tetapi didetik yang
menentukan hidup matinya Badar Sora,
segelombang angin dahsat telah
menolakkan tubuh Nogo Prakoso dari
arah kanan. Terhuyung seketika tubuh
pemuda itu, hingga angin pukulannya
melesat tak mengenai sasaran. Bahkan
tubuh pemuda itu terbanting ketanah.
Pada detik itulah tiba-tiba Nogo
Prakoso menjerit ngeri. Karena tongkat
Badar Sora telah membenam di dadanya.
Badar Sora yang terkesiap kaget
ketika mendengar suara bentakan di
belakangnya dan deru angin yang
membuat dia bergidik.
Akan tetapi terkejut dia
mendengar suara teriakan dan jatuhnya
benda berat di dekatnya.
Itulah suara Nogo Prakoso. Tak
ayal lagi dia telah gerakkan
tongkatnya mengirim tusukan maut! Tak
dapat dielakkan lagi serangan mendadak
itu oleh Nogo Prakoso. Seketika dia
menjerit parau ketika tongkat Badar
Sora menembus dadanya.
Darah segar memuncrat ketika
Badar Sora mencabut tongkat, dan
mengelepar-gelepar tubuh Nogo Prakoso
bagai ayam disembelih. Lalu terkulai
tak berkutik. Napas pemuda itu telah
putus seketika dengan wajahnya yang
berubah menyeramkan. Sepasang matanya
mendelik. Mulutnya terbuka dengan
wajah yang berubah menjadi kehijauan.
Entah sejak kapan ditempat itu
telah berdiri sesosok tubuh laki-laki
muda berbaju compang-camping. Berambut
gondrong dengan ikat kepala dan ikat
pinggangnya dari kulit ular. Siapakah
adanya pemuda ini? Dia tak lain dari
Najar alias di Dewa Linglung.
"Sukurlah kau selamat, sobat!
Dan musuhmu berhasil kau binasakan!
Manusia bejat semacam dia memang
pantas mampus!" berkata Nanjar.
"Siapakah anda? Oh, pasti anda
yang telah menyelamatkan jiwaku!"
tersentak Badar Sora mendengar suara
laki-laki di belakangnya.
"Namaku ... oh, tunggu dulu! Aku
akan menolong istrimu!" Kata-kata
Nanjar dibarengi dengan berkelebat
tubuhnya ke arah Ranggaweni yang
terlentang di rerumputan. Sekilas
Nanjar dapat mengetahui kalau wanita
itu terkena totokan. Terkejut
Ranggaweni melihat seorang laki-laki
telah berada di hadapannya. Sesaat
Nanjar terpaku menatap. Dia seperti
mengenai wanita itu. Akan tetapi tak
ayal dia telah membungkuk dan gerakkan
tangannya membuka totokan.
Begitu merasa totokan ditubuhnya
terbuka, Ranggaweni melompat bangun
untuk segera menutupi bagian tubuhnya
yang terlarang. Sepasang matanya
menatap pada laki-laki muda berambut
gondrong dan berbaju compang-camping
di hadapannya.
"Kau... kau siapakah? Aku
seperti pernah melihatmu.... Ah,
apakah kau... kau kak NANJAR?"
setengah berteriak Ranggaweni ketika
mengenali siapa adanya laki-laki itu.
"Hahaha... benar! Dan bukankah
kau RANGGAWENI?" berkata Nanjar ketika
segera mengenali pula siapa adanya
gadis itu. Entah dorongan apa yang
membuat tiba-tiba Ranggaweni melompat
dan serta merta memeluk erat pemuda
itu.
Selanjutnya gadis itu telah
menangis terisak-isak.
"Ah, kak Nanjar... kalau kau...
kau tak datang menolong, entah apa
yang terjadi dengan kakang Badar Sora.
Dan.... aku tak tahu lagi bagaimana
nasibku di tangan manusia bejat itu!"
terisak-isak Ranggaweni berkata.
"Haiiih, sudahlah jangan nangis!
Kalau melihat orang menangis justru
aku jadi bingung!" berkata Nanjar
dengan mata dibesarkan karena dua buah
benda kenyal itu menekan didadanya,
membuat darahnya tersirap. Agaknya
kata-kata Nanjar menyadarkan dirinya
bahwa tidak pantas dia berlaku
demikian. Seketika wajahnya berubah
merah. Dan dia telah melompat untuk
melepaskan pelukan. Selanjutnya
tersipu-sipu malu dia tundukkan wajah
dengan lengannya kembali menutupi
bagian dadanya yang terbuka. Akan
tetapi diam-diam dia tersenyum karena
Nanjar menyangka Badar Sora suaminya.
Badar Sora melalui
pendengarannya segera mengetahui siapa
nama si penolongnya itu. Dia beranjak
menghampiri, seraya menjura.
"Terima kasih atas pertolongan
itu sobat Nanjar...! Sungguh tak
kuduga kalau kalian telah saling
mengenal!" ujarnya dengan tersenyum.
"Ah, aku hanya kebetulan berada
di atas tebing ini. Apakah kau yang
bernama Badar Sora?" berkata Nanjar
yang dilanjutkan dengan pertanyaan.
"Benar, sobat! Ranggaweni adalah
adik seperguruanku. Nyaris saja
perbuatan cemar dilakukan pemuda
keparat yang sudah mampus itu.
Beruntung aku datang kemari. Akan
tetapi mautpun nyaris merenggut jiwaku
kalau kau tak datang menolong. Budi
baikmu entah dengan apa aku
membalasnya!" ujar Badar Sora. Dan
sekali lagi dia menjura dalam-dalam
pada Nanjar.
"Haiiih! Hidup adalah untuk
saling tolong-menolong. Sudahlah sobat
Badar Sora, mengenai pertolonganku itu
baiknya kita bersukur pada Tuhan,
karena semua nasib manusia adalah
Tuhan yang menghendaki. Kalau umurmu
masih panjang ada saja jalannya untuk
kau bisa selamat!" berkata Nanjar
dengan tersenyum. Dia agak rikuh
karena berkali-kali Badar Sora menjura
padanya.
"Oh, ya... apakah Ranggaweni itu
bukannya istrimu?" tanyanya kemudian.
Sementara kepalanya berpaling menatap
pada Ranggaweni.
"Hihihi... siapa yang telah
menikah? Kami adalah kakak dan adik
seperguruan seperti yang telah
dikatakan Badar Sora tadi!" tukas
gadis itu dengan tertawa geli.
DELAPAN
Nanjar jadi garuk-garuk kepala.
Akan tetapi dia bergirang karena
Ranggaweni masih tetap seorang gadis.
Pada saat itu di udara terdengar suara
mengiyak santar. Badar Sora pasang
telinganya dengan sikap waspada.
Adapun Nanjar segera menengadah
berbareng dengan Ranggaweni. Tampaklah
burung elang besar yang tak lain dari
si Rajawali peliharaan Nanjar terbang
berkeliling agak merendah. Mulut gadis
itu seketika jadi ternganga.
"Ah? Bukankah itu burung
Rajawali yang pernah membawa terbang
kau, kak Nanjar?" bertanya dia
memandang dengan mata membelalak.
"Ah? dugaanmu salah! Burung yang
dahulu itu telah mati tenggelam di
laut akibat pukulan si Raja Siluman
Naga. Burung yang ini adalah anaknya,
dan sudah menjadi peliharaanku!" Bu-
rung yang dahulu itu bernama JABUR.
Akan tetapi burung anaknya inipun
kuberi nama JABUR seperti nama
induknya!" berkata Nanjar seraya
gerakkan tangannya kearah mulut. Dan
terdengarlah suara suitan nyaris dari
mulut pemuda itu.
"Jabur! kau turunlah...!" teriak
Nanjar.
Mendengar suara suitan
majikannya saat itu juga Jabur telah
menukik dan terbang lebih rendah
mengelilingi Nanjar. Kemudian hinggap
diatas batu tak jauh dari pemuda itu.
Burung raksasa itu keluarkan
suara mengiyak melihat kedua orang
yang berada disitu.
"Hahaha.... Jabur! mereka kawan
kita. Yang ini adalah nona Ranggaweni
dan yang ini adalah sobat Badar Sora."
Akan tetapi si Rajawali masih
sibuk menjerit-jerit. Ternyata yang
dilihatnya adalah mayat Nogo Prakoso.
Nanjar maklum, karena baru
pertama kali Jabur melihat bangkai
manusia. Nanjar menoleh pada Badar
Sora dan Ranggaweni.
"Bagaimana pendapat kalian?
Apakah mayat laki-laki itu mau kalian
kuburkan?" bertanya Nanjar.
Ranggaweni mendengus. "Tak layak
rasanya mayat manusia bejat itu bila
dikuburkan. Biarkan saja dia mati tak
berkubur!" berkata Ranggaweni dengan
wajah kesal. Masih nampak dendamnya
pada Hang Gada alias Nogo Prakoso
walau manusia itu sudah menjadi mayat.
Sedangkan Badar Sora cuma diam tanpa
memberi jawaban.
"Baiklah! Kalau begitu....."
Nanjar tak teruskan kata-katanya.
Karena dia telah menoleh pada sang
burung Rajawali.
"Jabur! lemparkan mayat itu ke
laut!" berkata Nanjar pada si Jabur.
Burung Rajawali raksasa itu
mengeluarkan suara memekik beberapa
kali. Tiba-tiba dia melesat terbang
untuk kemudian menyambar tubuh Nogo
Prakoso. Kejap selanjutnya tubuh
pemuda yang tewas itu telah dibawa
terbang dalam cengkeraman kakinya,
menuju ke tengah laut. Dan dari tempat
ketinggian dua puluh kaki, mayat Nogo
Prakoso dilepaskan si Rajawali
kepermukaan laut. Tak lama burung
Rajawali itu telah kembali lagi.
Setelah berputar-putar lalu terbang
merendah, dan hinggap diatas tempat
dia bertengger tadi.
"Aih, burung Rajawali yang
hebat! Ah, betapa senangnya kalau aku
memilikinya!" berkata Ranggaweni
diluar sadar. Dia tampak amat kagum
pada kecerdikan si Jabur yang mengerti
kata-kata manusia. Begitu patuhnya si
Jabur pada sang tuan majikannya.
"Hahaha... kalau kau mau aku
akan memberikannya padamu!" berkata
Nanjar dengan tersenyum menatap
Ranggaweni.
"Betulkah?" tersentak girang
Ranggaweni. Menatap Nanjar seperti tak
percaya.
"Mengapa tidak?" sahut Nanjar
bersungguh-sungguh.
"Ah, dengan apa aku membalas
kebaikan hatimu, kak Nanjar? Kau
begitu baik sekali terhadapku...!"
Girangnya sukar dilukiskan hati gadis
itu. Hingga dia menatap Nanjar dengan
mata membelalak berbinar-binar.
"Cukup dengan kau mengakui aku
sebagai kakak kandungmu sendiri, dan
kau harus patuh pada perintah dan
nasihatku!" ujar Nanjar dengan kata-
kata tegas. Hal itu memang diucapkan
dengan sungguh-sungguh. Tentu saja
membuat Ranggaweni tertegun.
Akan tetapi cuma sesaat. Karena
selanjutnya gadis itu sudah jatuhkan
dirinya untuk berlutut dihadapan
Nanjar. Mulutnya keluarkan kata-kata
yang menggeletar.
"Kakak Nanjar! aku bersedia
dengan syaratmu itu. Dan aku akan
memegang teguh janjiku. Aku akan
mengakui kau kakak kandungku sendiri
dan aku berjanji akan mematuhi setiap
nasihatmu!" Diucapkan kata-kata itu
oleh Ranggaweni dengan rasa girang
yang amat luar biasa, bercampur rasa
haru. Dia memang telah menganggap
kakak sendiri pada Nanjar sejak pemuda
itu berdiam di rumah keluarganya pada
beberapa tahun yang silam.
Ayahnya Ki Ronggo Alit semasa
hidupnya pun amat menyayangi pemuda
itu. Tentu saja dia tak menolak kalau
hanya untuk memiliki si Jabur dengan
menganggap Nanjar sebagai kakak
kandungnya sendiri. Sedangkan apa yang
diucapkan Nanjar adalah memang
bersungguh-sungguh, karena berdasarkan
janjinya pada si Raja Pengemis (guru
Ranggaweni) yang tewas oleh si Raja
Siluman Naga. Disaat menjelang
kematiannya si Raja Pengemis memang
telah memohon pada Nanjar agar Rang-
gaweni yang telah dianggap cucunya
sendiri, agar Nanjar mau menjaganya.
(Baca : Serial Dewa Linglung nomor
perdana RAJA-RAJA GILA).
***
Udara cerah. Langit tak berawan.
Matahari semakin menggelincir ke arah
barat. Puncak tebing itu kembali sunyi
ketika ketiga orang di atas tebing
tersebut beranjak meninggalkan tempat
itu. Nanjar tak menolak ketika
Ranggaweni dan Badar Sora mengajaknya
untuk singgah kepesanggrahan Gunung
Putri. Sementara di udara terbang
mengikuti si Rajawali raksasa kearah
tiga sosok tubuh manusia di
bawahnya....
TIGA HARI berada di pesanggrahan
Gunung Putri, Nanjar mengakrabkan
Jabur pada Ranggaweni yang nampak
sangat gembira sekali. Sejak dia masih
bersama si Raja Pengemis memang gadis
itu hampir sering bermimpi memiliki
burung Rajawali raksasa yang pernah
dilihatnya di atas bukit. Kiranya
impian itu menjadi kenyataan!
Berdiamnya Nanjar dipesanggrahan itu
karena dia ingin bertemu dengan Ki
Bonang Luhur, yang masih belum kembali
dari turun gunung.
Tentu saja selama itu mereka
masing-masing tuturkan pengalamannya.
Tak lupa Nanjar menceritakan kejadian
di pulau terpencil serta menceritakan
tentang kematian si Raja Siluman Naga.
Gadis itu agak kecewa mendengar
penuturan Nanjar. Karena dia memang
berambisi untuk membalaskan kematian
gurunya pada si Raja Siluman Naga!
Akan tetapi dia juga menyadari kalau
ilmu kepandaiannya belum apa-apa.
Buktinya menghadapi Hang Gada alias
Nogo Prakoso dia dapat dijatuhkan cuma
dalam tiga jurus.
Melihat begitu lemahnya ilmu
beladiri yang dimilikinya, Ranggaweni
memohon pada Nanjar untuk mengajarinya
beberapa jurus ilmu kepandaian silat,
sambil menunggu kedatangan Ki Bonang
Luhur. Nanjar tak keberatan, bahkan
dia amat menyetujui usul itu, karena
Nanjar memang telah menganggap
Ranggaweni adik kandungnya sendiri.
Juga dia merasa berhutang budi pada Ki
Ranggo Alit ayah Ranggaweni.
Demikianlah! Hingga lebih dari
tiga pekan Nanjar berada di
pesanggrahan Gunung Putri. Selama itu
Ranggaweni telah berhasil menghafalkan
jurus-jurus silat dari Nanjar. Yaitu
beberapa jurus silat Raja Siluman
Harimau dan jurus-jurus ilmu silat
Raja Siluman Bangau.
Cuma ilmu "terbang" si Raja
Siluman Bangau sajalah yang Ranggaweni
belum mampu menguasai. Ilmu itu harus
dilengkapi dengan latihan tenaga dalam
yang amat tinggi. Akan tetapi dengan
sedikit tambahan ilmu silat dari
Nanjar itu telah membuat Ranggaweni
amat bergirang hati. Sementara
keakrabannya dengan si Jabur sang
Rajawali raksasa itu semakin akrab.
Kini burung itu telah mulai jinak dan
menyukai pada Ranggaweni. Bahkan mau
mematuhi perintahnya.
Akan tetapi Badar Sora, laki-
laki itu lebih banyak menyendiri. Dia
amat senang dengan adanya Nanjar
dipesanggrahan itu. Dan melihat
kemajuan-kemajuan Ranggaweni yang
mendapat tambahan ilmu kedigjayaan
dari si pemuda itu. Akan tetapi
hatinya tak dapat tenteram. Karena dia
selalu memikirkan keadaan gurunya
yaitu Ki Bonang Luhur yang hingga
sampai saat ini belum kembali.
Dihari keempat puluh, Badar Sora
mendatangi ke tempat mereka biasa
berlatih. Melihat kedatangan Badar
Sora, Ranggaweni segera
menyongsongnya. Adanya Nanjar di
pesanggrahan itu memang membuat gadis
ini hampir melupakan laki-laki buta
itu. Karena dia selalu sibuk menekuni
ilmu-ilmu silat yang dipelajari dari
Nanjar. Juga sibuk mengurus si Jabur
yang telah semakin akrab dengannya.
Bahkan telah beberapa kali gadis itu
mencoba menaiki punggung si Rajawali
raksasa untuk berputar-putar ditempat
itu. Rasa ngeri telah berangsur-angsur
lenyap ketika berada di udara. Rang-
gaweni benar-benar amat girang luar
biasa dapat mengendarai si Jabur.
Hari itu mereka hanya berlatih
sebentar. Bahkan Nanjar lebih banyak
mengajaknya bercakap-cakap mengenai
masalah yang dihadapi Ki Bonang Luhur
yang sampai saat ini masih belum
kembali. Pada saat itulah Badar Sora
muncul menghampiri.
"Ada apakah kakang Badar Sora?
Tak biasanya kau kemari? Apakah ada
suatu hal yang penting?" bertanya
Ranggaweni seraya menyongsong
kedatangan sang kakak seperguruan.
"Benar, adikku!" menyahut Badar
Sora.
"Oh, ya! Mari kita duduk di
bangku kayu itu...!" berkata
Rangaweni, seraya membimbing lengan
laki-laki buta itu dan menuntunnya
mendekati bangku kayu bulat disisi
padang rumput. Sementara Nanjar sudah
beranjak mendekati.
"Apa khabar sobat Badar Sora?
Ah, kau selalu menyekap diri dalam
kamar. Sukurlah hari ini kau mau
keluar!" ujar Nanjar tersenyum.
"Aku sehat-sahat saja! Bagaimana
keadaan kalian?" balik bertanya Badar
Sora.
"Kamipun baik-baik saja!"
menyahut Nanjar dan Ranggaweni hampir
berbareng. Keduanya sama menatap dan
masing-masing sama tersenyum.
Tak lama kemudian ketiganya
telah terlibat dalam pembicaraan
serius.
"Kamipun tengah memperbincangkan
kepergian guru, kakang Badar Sora.
Menurutmu pergi kemanakah beliau?"
bertanya Ranggaweni.
"Aku sendiri tak mengetahui..."
sahut Badar Sora.
"Apakah guru tak ada berkata-
kata padamu mengenai maksudnya turun
gunung?" tanya lagi Ranggaweni.
Badar Sora gelengkan kepala,
seraya uja-nya, "Beliau tak mengatakan
apa-apa, kecuali berpesan menjaga
pesanggrahan baik-baik sepeninggalnya!
Yang membuat aku penasaran adalah
sampai lebih satu bulan beliau tak
kembali. Dan lagi aku teringat akan
kata-kata si Hang Gada yang sebenarnya
dengan berguru di Gunung Putri ini
adalah punya maksud mencuri Peta
Rahasia mengenai pedang Pusaka INTI
ES! Di samping dia memang berniat
jahat terhadapmu!" tutur Badar Sora.
"Manusia itu sebenarnya bernama Nogo
Prakoso, murid Nini BLORONG dari Goa
Larangan. Menurutnya guru pemuda itu
ada permusuhan dan menyimpan dendam
kesumat pada guru kita!" sambung laki-
laki buta itu dengan serius.
"Heh! Lagi-lagi Pedang INTI ES!"
berkata Nanjar dalam hati. "Apakah Ki
Bonang Luhur guru kalian benar
menyimpan peta rahasia mengenai Pedang
INTI ES itu?" tanya Nanjar menatap
Ranggaweni dan Badar Sora berganti-
ganti.
"Entahlah, aku tak mengetahui!
Apakah kau mengetahui hal itu, kakang
Badar Sora?" tanya Ranggaweni pada
laki-laki kakak seperguruannya. Badar
Sora menggelengkan kepala.
"Aku juga tak tahu-menahu
tentang hal itu! Cuma aku pernah
mendengar guru berkata sendiri ketika
beliau berada dalam bilik kamarnya!"
"Apakah yang dikatakannya?"
desak Ranggaweni ingin tahu.
"Beliau mengatakan demikian.
"Ah, dimana gerangan aku menyimpannya?
Aku benar-benar lupa....!" Badar Sora
menirukan apa yang diucapkan oleh Ki
Bonang Luhur.
"Apakah kakang tak menanyakannya
pada waktu itu?"
"Tidak! Karena guru tak bertanya
apa-apa padaku. Aku mengira guru
mencari tasbihnya yang dia lupa
meletakkannya. Karena guru tak pernah
bertanya apa-apa aku mengira benda
yang dicarinya itu telah diketemukan!"
sahut Badar Sora.
"Apakah waktu kejadian itu si
Hang Gada telah berada dipesanggrahan
ini?" tanya Ranggaweni lagi.
"Ya! dia sudah berada di tempat
ini kurang lebih sekitar lima-enam
bulan!"
"Hah! kalau begitu benda yang
hilang itu bisa diduga adalah peta
rahasia mengenai Pedang Pusaka INTI ES
itu! Jangan-jangan si Hang Gada edan
itulah yang telah mencurinya!"
"Akupun beranggapan demikian.
Sayang waktu itu dia keburu tewas
sebelum sempat aku menanyainya!"
berkata laki-laki buta ini dengan
menghela napas.
"Tunggu dulu! ada suatu hal yang
akan kuceritakan pada kalian!" Tiba-
tiba Nanjar memotong pembicaraan.
Nanjar yang mendengarkan sedari tadi
segera teringat akan orang-orang
Perguruan Tapak Nenggala yang diketuai
oleh JAKA NINGRAT yang mendatangi
pulau tempat dia berdiam. Tujuan
mereka adalah mencari pedang Pusaka
INTI ES itu, melalui petunjuk sebuah
peta. Segera Nanjar ceritakan kejadian
itu pada mereka.
"Apakah peta di tangan orang-
orang Perguruan Tapak Nenggala itu
adalah peta rahasia yang dimiliki Ki
Bonang Luhur? tanya Nanjar.
"Entahlah!" menyahut Badar Sora
setelah termenung sejurus.
"Kau tak menanyakannya dari mana
mereka mendapatkan peta itu?" bertanya
Ranggaweni seraya memandang tajam pada
Nanjar.
"Aku telah menanyakannya! Akan
tetapi Jaka Ningrat si ketua perguruan
Tapak Nenggala itu cuma mengatakan
peta rahasia itu didapatkan dari
seseorang yang tak mau menyebutkan
namanya!" jawab Nanjar.
"Kau tak mendesaknya?"
"Hm, aku malas untuk mendesaknya
dan tak berniat mencampuri urusan
mereka. Bahkan aku segera pergi
meninggalkan pulau terpencil itu!"
"Ah, sayang sekali...! gumam
Ranggaweni.
SEMBILAN
Hasil dari pembicaraan akhirnya
mereka mempunyai dugaan kuat kalau
peta rahasia di tangan Jaka Ningrat
adalah peta rahasia milik Ki Bonang
Luhur yang dicuri oleh Hang Gada alias
Nogo Prakoso. Mungkin saja kalau
pemuda itu telah memberikan pada
gurunya si Nini Blorong. Nanjar
berpendapat adalah lebih baik men-
datangi tempat kediaman Nini Blorong
untuk membuktikan dugaan mereka.
"Ah, usul yang sangat baik
sekali! Aku setuju! kukira itulah
jalan yang terbaik. Bukankah si Hang
Gada itu mengatakan kalau dia murid si
Nini Blorong? Dan dia mengatakan kalau
gurunya mempunyai dendam kesumat yang
amat dalam dengan guruku? Siapa tahu
tujuan guru adalah ke tempat nenek itu
dan telah terjadi apa-apa disana!"
ujar Ranggaweni. Nanjar dan Badar Sora
manggut-manggut.
"Apakah kalian mengetahui dimana
letak Goa Larangan tempat tinggal si
Nini Blorong?" bertanya Nanjar.
Ternyata Badar dan Ranggaweni sama-
sama tak mengetahui.
"Aku ada saran, bagaimana kalau
kita berdua mencarinya?" tiba-tiba
Ranggaweni berkata seraya mencolek
lengan Nanjar. Nanjar jadi garuk-garuk
kepala tidak gatal. Dia memang sudah
merasa bosan tinggal di Gunung Putri.
Niatnya mencari Ki Bonang Luhur yang
belum ketahuan dimana rimbanya tentu
akan banyak kesulitan diperjalanan.
Adanya Ranggaweni menyertai dia dalam
perjalanan itu akan membuat dia kurang
leluasa bergerak. Disamping itu Nanjar
amat kasihan pada Badar Sora, yang
tentunya sepeninggal mereka akan
merasa kesunyian seorang diri.
Diam-diam dihati Nanjar timbul
satu keinginan, yaitu menjodohkan
Badar Sora dengan Ranggaweni.
Dari sikap Ranggaweni terhadap
Badar Sora, dia melihat gadis itu amat
menyayangi laki-laki buta itu. Apakah
mustahil kalau Ranggaweni menolak bila
dia menjodohkannya? Bukankah dengan
demikian dia sudah termasuk menunaikan
janjinya pada si Raja Pengemis? Oleh
sebab itulah Nanjar tak segan-segan
mengajari Ranggaweni beberapa jurus-
jurus silat padanya. Juga
menghadiahkan si Jabur padanya,
walaupun dia amat menyayangi burung
Rajawali itu.
"Adik Ranggaweni! Bukannya aku
tak mau pergi mencari gurumu bersama-
sama. Akan tetapi kukira lebih baik
aku pergi seorang diri. Aku
berpendapat sebaiknya kau tetap berada
disini. Apakah kau tak kasihan pada
kakang Badar Sora? Dia tinggal sendiri
tak mempunyai teman bercakap-cakap.
Percayakanlah hal gurumu itu padaku.
Dan aku akan berusaha sekuat tenaga
untuk mencarinya...!" berkata Nanjar
dengan suara lembut.
Mendengar kata-kata Nanjar,
sejenak Ranggaweni tercenung. Lalu
terdengar dia menghela napas. Akan
tetapi mendengar kata-kata Nanjar,
tiba-tiba Badar Sora bangkit berdiri.
"Sobat Nanjar, aku tak keberatan
bila adik Ranggaweni akan turut serta.
Mengenai diriku tak usah kalian
pikirkan!" Akan tetapi Nanjar segara
berkata.
"Tidak, sobatku! Adik Ranggaweni
harus tetap berada disini menemanimu.
Bukankah begitu Ranggaweni?" ujar
Nanjar seraya menatap pada gadis itu.
"Kalau kakak Nanjar menginginkan
demikian, aku hanya menurut saja!"
Sahut Ranggaweni dengan suara datar
dan tundukkan kepala.
"Bagus! itu baru seorang adik
yang baik! Nah! Tunjukkan padaku
bagaimana ciri-ciri gurumu Ki Bonang
Luhur agar aku mudah mengenalinya
dalam pencarian jejaknya!"
Tanpa diperintah dua kali
Ranggaweni segera beritahukan pada
Nanjar ciri-ciri Ki Bonang Luhur. Dari
perawakan sampai wajah dan pakaian
yang biasa dikenakan.
"Baiklah! aku akan berangkat
sekarang juga!" ujar Nanjar seusai
Ranggaweni menuturkan perihal ciri-
ciri gurunya.
"Apakah kakak Nanjar akan
membawa Jabur turut serta?" tanya
gadis itu tiba-tiba.
"Tidak! Bukankah si Jabur sudah
kuhadiahkan padamu? Nah, rawatlah dia
sebaik-baiknya agar kalian lebih akrab
lagi. Ajarkan kalimat-kalimat lain
padanya agar dia mengerti apa yang kau
perintahkan! Nah, adik Ranggaweni,
sobat Badar Sora aku berangkat!"
Selesai ucapkan kata-kata tubuh Nanjar
berkelebat melesat ...
Dan dalam beberapa kejap saja
sudah tak kelihatan lagi menuruni
lereng puncak Gunung Putri.
Gadis ini tertegun memandang
dimana bayangan tubuh Nanjar
menghilang. Setitik air bening
menyembul di pelupuk mata. Ah, betapa
inginnya dia selalu berdekatan dengan
pemuda itu. Pemuda yang amat baik hati
yang diam-diam telah pula merebut
hatinya. Akan tetapi dia segera
menghela napas dalam-dalam. Baginya
tak mungkin untuk memikirkan hal-hal
yang terlalu jauh. Bukankah Nanjar
telah mengangkat dia sebagai adik
kandungnya sendiri?
Ketika teringat adanya Badar
Sora ditempat itu, cepat-cepat dia
menghapus air matanya. Dan berkata
pada Badar Sora dengan suara yang
dibuat seperti tak terjadi apa-apa.
Kalau saja Badar Sora bisa melihat,
tentu dia akan melihat wajah gadis itu
masih jelas membayangkan kesedihan.
"Oh, ya! Kakang Badar Sora. Hari
sudah siang begini. Apakah kau telah
lapar? Segera kuambilkan makanan
untukmu...!"
"Terima kasih, adik Ranggaweni.
Nanti sajalah. Aku belum merasa lapar.
Oh, ya... Aku amat kagum padamu, kau
seorang gadis yang amat patuh pada
kakak angkatnya! Apakah kau tak kecewa
karena tak dapat turut serta?"
"Mengapa aku harus kecewa? Aku
sadar bahwa apa yang diinginkan kak
Nanjar adalah jalan yang terbaik. Dan
aku tak kecewa tak dibolehkan ikut.
Aku senang menemanimu di sini!" ujar
Ranggaweni dengan suara lembut.
"Apakah kata-katamu keluar
dengan setulus hati?" Pertanyaan Badar
Sora seperti menembus kedalam sanubari
Ranggaweni. Seperti ingin mengetahui
lebih jelas dan lebih dalam lagi.
"Ya, aku berkata setulus
hati..." Tempat itu kembali sunyi
lengang. Keduanya sama-sama terdiam.
Entah perasaan apa yang berada
direlung hati masing-masing.
Suara mengiyak diudara memecah
keheningan. Membuat Ranggaweni
menengadah menatap ke atas. Dilihatnya
si Jabur terbang merendah. Entah dari
mana dia. Dikakinya tampak
tercengkeram seekor anak Rusa. Dengan
menimbulkan angin keras burung raksasa
itu menukik turun dan hinggap ditanah
dihadapan Ranggaweni.
"Hai? Jabur...! kau habis
menangkap rusa rupanya! Kebetulan!
Apakah kau akan memberikan anak rusa
itu pada kami?" berkata Ranggaweni
seraya melompat mendekati. Burung
raksasa itu menggerak-gerakkan
kepalanya seolah mengangguk-angguk.
"Oh, Jabur! kau baik sekali.
Terima kasih Jabur! kau amat pandai
mencari makanan. Tentunya kau sudah
kenyang makan, bukan?" Ranggaweni amat
girang. Serta-merta dia memeluk leher
burung Rajawali itu, mengelus-elusnya
dan menciuminya dengan kasih sayang.
"Wah! hari ini kita akan makan
besar!" berkata Badar Sora dengan
perlihatkan wajah berseri.
"Benar, kakang Badar Sora!
Segera aku akan mengulitinya. Sebentar
sore kau bisa menikmati panggang
daging anak rusa!" berkata Ranggaweni.
Dan... gadis itu telah bergegas
mengangkat rusa muda itu untuk segera
dibawa berlari kearah pesanggrahan.
Sementara si Jabur terbang mengikuti.
Laki-laki buta itu tersenyum. Tak lama
diapun beranjak meninggalkan padang
rumput itu...
SEPULUH
Nanjar seperti seekor kancil
yang lepas dari kurungan, berkelebatan
cepat menuruni lereng gunung tanpa
menoleh lagi. Hati pemuda ini amat
girang karena dia seperti terbebas
dari kejemuannya tinggal dipuncak
gunung putri. Dia tak tahu arah kemana
yang harus dituju. Akan tetapi hatinya
mantap untuk menuju kearah utara.
Entah beberapa saat dia berlari-lari,
bahkan melompat dan "terbang" melewati
jurang dan ngarai dalam, seolah Nanjar
mau mempertunjukkan kehebatan ilmu
kepandaiannya. Namun sebenarnya
tidaklah demikian. Karena Nanjar ingin
lekas tiba di tempat permukiman yang
banyak manusia. Selama ini dia
mengurung diri di pulau terpencil dan
menetap beberapa bulan di gunung
Putri, serasa dia sudah jemu dengan
kesunyian.
Nanjar ingin menikmati keramaian
lagi seperti pada masa pengembaraannya
dulu. Di samping itu dia perlu
petunjuk dalam mencari jejak Ki Bonang
Luhur yang tak diketahui dimana
rimbanya. Perjalanan ke utara itu
ternyata harus menembus sebuah hutan
rimba. Akan tetapi bagi Nanjar hal itu
tiada menjadi halangan! Dengan ilmu
melompatnya yang diwarisi si Raja
Siluman Kera, dengan mudah dia
berkelebat kepuncak pohon.
Tak lama kemudian Nanjar sudah
melompat dari pohon ke pohon dengan
gerakan gesit seperti seekor kera saja
layaknya. Ternyata sambil melompat
pemuda itu masih sempat menyambar
buah-buahan masak yang bergelantungan
di dahan pohon. Persis seekor kera
saja layaknya, karena sambil melompat-
lompat mulutnya tak berhenti
menggayam.
Di ujung hutan itu ternyata ada
sebuah desa yang terlihat beberapa
wuwungan rumahnya. Dari atas dahan
Nanjar memperhatikan.
"Bagus! hari sudah sore. Aku
bisa numpang menginap di desa ini!"
berkata Nanjar dalam hati. Dan
berkelebat dari batang pohon diujung
hutan itu....
***
Sepekan sepeninggal Nanjar yang
turun dari puncak gunung Putri, tampat
belasan orang mendaki lereng puncak
gunung itu. Gerakan mereka nampak
gesit. Nyata sekali kalau para
pendatang ini adalah tokoh-tokoh
persilatan yang berkepandaian tinggi!
Dalam waktu yang tidak lama belasan
sosok tubuh itu telah berada di atas
puncak gunung Putri.
Tampaknya mereka adalah
sekelompok orang-orang yang akan
menyerbu pesanggrahan tempat kediaman
Ki Bonang Luhur. Terbukti masing-
masing mereka telah menyiapkan senjata
di tangannya. Akan tetapi mereka tidak
sembrono untuk segera bertindak
meyerbu. Mereka seperti mengatur
rencana. Lalu dengan serentak menebar
kelapan penjuru mengurung pesanggrahan
Ki Bonang Luhur. Siapakah gerangan
mereka? Mudah diterka dengan melihat
beberapa orang yang pernah kita kenal
muncul di pulau terpencil tempat
berdiam Nanjar. Diantara belasan orang
itu ternyata adalaii si laki-laki
jubah kuning bernama KULIPALA, si
ketua perguruan Tapak Nenggala JAKA
NINGRAT, dan tiga orang murid kepala
dari perguruan Tapak Nenggala, yaitu
JALANTRA, KEBOJALU dan BENDOWO.
Selanjutnya adalah orang-orang yang
belum dikenal.
Jaka Ningrat mendahului melompat
ke halaman pesanggrahan. Lengannya
memberi tanda isyarat pada Jalantra,
Kebojalu dan Bendowo untuk memasuki
pintu pesanggrahan. Tak menunggu dua
kali, ketiga laki-laki berperawakan
kekar ini berkelebatan melompat me
masuki pintu depan yang terbuka.
Gerakan mereka tak menimbulkah suara.
Sementara beberapa orang yang
menyelinap dari kanan-kiri dan
belakang pesanggrahan telah pula
berlompatan melalui jendela. Terdengar
suara pintu didobrak di bagian
belakang pesanggrahan. Bahkan satu
sosok tubuh telah melompat keatas
wuwungan pesanggrahan itu.
Jaka Ningrat menunggu hasil yang
sudah direncanakan akan memuaskan.
Akan tetapi tak terdengar apa-apa.
Bahkan yang keluar adalah ketiga
muridnya diiringi Kulipala dan sosok-
sosok tubuh kawannya.
"Pesanggrahan ini kosong, guru!
Tak kami jumpai sepotong manusiapun!"
berkata Bendowo.
Sosok tubuh yang berada diatas
genting tiba-tiba melompat turun.
Gerakannya ringan sekali bagai tak
bersuara jejakkan kaki ditanah.
Ternyata dia seorang kakek tua yang
menyeramkan. Berwajah pucat. Hidungnya
melengkung bagai paruh burung betet.
Rambutnya panjang sebatas bahu.
Kumisnya mirip kumis tikus dan bermata
merah.
Siapa adanya kakek berjubah
hitam ini yang di pinggangnya
melingkar seutas rantai berbandulan
kepala tengkorak terbuat dari baja
hitam. Dialah seorang tokoh hitam yang
sangat telengas, yang berjulukan si
IBLIS TENGKORAK BOLONG, Kakek ini
adalah guru dari laki-laki jubah
kuning yang bernama KULIPALA itu.
Kakek ini menatap pada Jaka
Ningrat. Dan berkata dengan mendengus.
"Hm, jelas mereka sudah minggat
dari tempat ini! He! Jaka Ningrat!
boleh kubertanya? Apakah kau
mengetahui jelas kalau si Nogo Prakoso
telah memberikan peta rahasia Pedang
INTI ES yang asli milik Ki Bonang
Luhur itu?"
"Aku kurang percaya! Buktinya
kau tak dapat menemukan pedang pusaka
itu di pulau terpencil itu! Jangan-
jangan kau telah ditipunya! Aku memang
akan membayar mahal bila kalian dapat
menemukan pedang INTI ES itu. Karena
benda itu berasal dari negeri TIBET!
Atas pesanan seorang bangsawan Tibet
itulah maka aku sangat mengharapkan
sekali benda itu. Karena bukan saja
imbalan harta benda, tapi juga
penghargaan yang amat tinggi akan
diberikan padaku dengan diketemukannya
benda itu!"
Yang maju menjura adalah
Kulipala.
"Guru! sejak aku terikat menjadi
anggota perguruan Tapak Nenggala dan
menganggap Jaka Ningrat adalah
saudaraku sendiri, aku merasa Jaka
Ningrat tidak dapat dipersalahkan
dalam hal ini. Karena akupun telah
melihat tanda-tanda kebenaran peta
rahasia itu. Benar tidaknya peta itu
aku tak mengetahui. Juga apakah sobat
Jaka Ningrat telah ditipu kami tak
mengetahui. Yang jelas kami telah
berusaha mencarinya. Dan sobat Jaka
Ningrat tidak sedikit mengorbankan
harta bendanya untuk memberi imbalan
pada Nogo Prakoso yang berhasil
mencuri peta itu dari tangan Ki Bonang
Luhur!" ujar Kulipala.
"Di samping itu penemuan mayat
Nogo Prakoso di tengah laut itulah
yang membuat kami menyatroni tempat
kediaman Ki Bonang Luhur di Gunung
Putri ini. Karena kami yakin
kematiannya ada sangkut pautnya
dengan pemuda bernama Nanjar yang
mendiami pulau terpencil itu! Pemuda
yang mempunyai peliharaan burung
Rajawali raksasa itu mempunyai
potongan pedang yang kami curigai
adalah potongan pedang Pusaka INTI ES!
Aku menduga si pembunuh Nogo Prakoso
adalah pemuda bernama Nanjar itu!
Karena berdasarkan penyelidikan
orang-orang perguruan Tapak Nenggala
juga banyak penduduk desa, mereka
melihat adanya seekor burung elang
besar yang berada dipuncak Gunung
Putri! Jadi jelasnya kami mengajak
guru kemari adalah demi membantu kami
menghadapi si pemuda itu yang telah
bergabung dengan Ki Bonang Luhur dan
para muridnya!"
Kulipala berhenti sejenak
berkata untuk menoleh pada Jaka
Ninggrat yang manggut-manggut
membenarkan. Lalu lanjutkan kata-
katanya lagi.
"Bocah muda bernama Nanjar itu
adalah murid si EMPAT RAJA GILA, akan
tetapi tepatnya guru pemuda itu adalah
si ENAM IBLIS PULAU KAMBANGAN. Karena
adanya enam buah kuburan yang berada
di atas bukti di tengah pulau
terpencil itu! Juga menurut pengakuan
pemuda itu!" demikian tuturkan
Kulipala.
Hal itu diungkapkan pada gurunya
karena mereka menjumpai si Iblis
Tengkorak Bolong, guru dari Kulipala
ini di tengah perjalanan, ketika
mereka akan berangkat ke Gunung Putri.
Di samping itu Kulipala khawatir kalau
sang guru murka. Dia mengenal watak
kakek itu yang amat telengas, dan
mengkhawatirkan Jaka Ningrat jadi
pelampiasan kemarahannya karena tak
menjumpai Ki Bonang Luhur di
pesanggrahannya.
Mendengar penuturan muridnya, si
Iblis Tengkorak Bolong jadi
terlongong. Iblis Tengkorak Bolong
sudah sejak lama malas keluar dari
tempat persembunyiannya karena dia
merasa perlu melatih diri untuk
menambah kekuatan berkenaan dengan
usianya yang sudah menua. Hingga untuk
urusan itu dia mempercayakan pada
muridnya.
Karena ditunggu-tunggu Kulipala
tak munculkan diri, dia bermaksud
mengunjungi tempat perguruan Tapak
Nenggala. Memang dia telah
mengetahuikalau Kulipala bersahabat
baik dengan Jaka Ningrat. Jaka Ningrat
adalah adik seorang Adipati yang
mempunyai pengaruh cukup besar
dibeberapa wilayah. Ternyata dalam
perjalanan dia berjumpa dengan
rombongan orang-orang perguruan Tapak
Nenggala yang berangkat menuju ke
Gunung Putri. Tanpa bertanya lagi dia
mengikuti. Dia memang telah mendengar
kabar tentang berhasilnya Kulipala dan
Jaka Ningrat mendapatkan peta rahasia
pedang Pusaka INTI ES itu, dari ber-
tanya pada salah seorang murid Jaka
Ningrat.
Sang murid perguruan Tapak
Nenggala yaitu Bendowo, cuma
mengatakan mau menangkap seseorang
yang berdiam di pesanggrahan Ki Bonang
Luhur, di puncak Gunung Putri. Orang
yang ditangkapnya itu ada hubungannya
dengan pedang Pusaka INTI ES.
Demikianlah hingga dia berada diantara
rombongan muridnya itu. Adapun
Kulipala mengetahui gurunya mengikut
di antara rombongan sengaja tak
menjumpainya dan merasa kebetulan
dengan adanya kakek kosen gurunya itu
berada diantara mereka. Berarti akan
lebih mudah menangkap Nanjar serta
membekuk Ki Bonang.
Mendengar disebutkanya nama si
Enam Iblis Pulau Kambangan seketika
wajah-wajah si Iblis Tengkorak Bolong
yang semula terlongong, tiba-tiba
berubah cerah.
"Hehehe.... bagus! kalau bocah
itu murid si Enam Iblis Pulau
Kambangan sangat kebetulan sekali. Aku
bersahabat baik pada mereka pada dua
puluh tahun yang silam. Biarkanlah
kucari dia. Bukankah kau mengatakan
bocah itu mempunyai peliharaan seekor
burung Rajawah raksasa? Tentu akan
mudah untuk menemukannya!" berkata si
Iblis Tenggkorak Bolong dengan tertawa
terkekeh.
SEBELAS
KULIPALA yang mendengar maksud
gurunya mengusulkan untuk membakar
pesanggrahan itu. Adanya asap mengepul
dari puncak gunung Putri tentu akan
menarik perhatian. Hingga Nanjar
munculkan diri. Laki-laki itu
berpendapat walaupun nanti Nanjar tak
bisa diajak berdamai dengan gurunya,
untuk meringkus pemuda itu akan tidak
begitu sukar!
Usul itupun disetujui. Hingga
tak lama kemudian pesanggrahan itupun
segera dibakar. Api berkobar, dan asap
mengepul tebal mengalun keudara. Benar
saja! Tak seberapa lama segera
terlihat sebuah titik putih diudara.
Semakin lama semakin dekat! Itulah
seekor burung besar, yang tak lain
dari burung Rajawali raksasa.
Burung Rajawali itu memang benar
si Jabur adanya. Karena terlihat si
penunggang burung adalah seorang gadis
cantik yang tak lain dari Ranggaweni.
Burung Rajawali itu terbang
merendah mengitari pesanggrahan yang
terbakar hebat dengan perdengarkan
suara mengiyak tiada henti. Adapun
Ranggaweni yang berada di punggung
burung itu terkejut melihat
terbakarnya pesanggrahan tempat
tinggalnya.
"Hah? apakah yang telah terjadi?
Mengapa pesanggrahan bisa terbakar?"
tersentak kaget gadis ini. Matanya
memandang kebawah memperhatikan
sekitar tempat di sekeliling pesang-
grahan yang penuh dengan kobaran api.
Tentu saja yang dicarinya adalah laki-
laki buta bernama Badar Sora itu. Dia
amat mengkhawatirkan keselamatannya.
Gadis ini memang sering pergi dengan
menunggangi si Jabur ke pesisir pantai
di atas tebing karang itu. Tempat
dimana dia sering termangu memandang
laut.
Semua itu adalah untuk mengisi
kekosongan hatinya. Karena sejak
sepeninggal Nanjar, Badar Sora jarang
keluar. Bahkan dalam beberapa hari ini
selalu menyekap diri dalam kamar.
Karena itulah Ranggaweni sering pergi
dengan menunggangi burung Rajawalinya.
Terkadang dia melatih diri dengan
ilmu-ilmu silatnya yang baru
dipelajari dari Nanjar. Terkadang cuma
duduk termangu memandang laut. Serasa
tak sabar dia menanti kedatangan
Nanjar. Juga tak sabar dia menanti
khabar berita gurunya yang tak
ketahuan kemana rimbanya.
Pagi itu seperti biasa,
Ranggaweni pergi dengan menunggang si
Jabur. Jabur baru saja selesai berburu
ikan di laut. Bahkan dia baru saja
selesai memanggang ikan dan tengah
menyantapnya. Disisakan beberapa ekor
panggang ikan untuk Badar Sora.
Sementara si Jabur bertengger dibatu
cadas mengeringkan bulunya yang basah,
dengan membentangkan sayapnya.
Tiba-tiba dia melihat ada asap
mengepul dari arah puncak gunung
Putri. Terkejut gadis ini. Wajahnya
seketika berubah pucat! Dan serta-
merta dia melompat menghampiri si Ja-
bur. Melompat ke atas punggungnya da
memerintahkan burung Rajawali itu
untuk terbang pulang... Demikianlah!
hingga ketika melihat keadaan
pesanggrahan yang terbakar membuat
Ranggaweni terkesiap.
Diperhatikan disekitar
pesanggrahan tak dijumpai adanya
sesosok tubuh manusiapun. "Ah, jangan-
jangan kakang Badar Sora..." Dia tak
teruskan gumamnya karena si Jabur
telah menukik merendah, dan hinggap di
tanah. Tak berayal lagi dia segera
melompat dari punggung binatang itu.
Matanya jelalatan mencari Badar
Sora. Akan tetapi baru saja dia mau
berteriak memanggil, tiba-tiba
berkelebatlah beberapa sosok tubuh
keluar dari balik semak belukar.
Bahkan saat itu juga sebuah bayangan
hitam telah berkelebat ke arahnya.
Terkejut dia melihat seorang kakek
berjubah hitam berwajah menyeramkan
tengah julurkan lengannya untuk
menotok. Akan tetapi detik itu juga
dia telah membentak keras.
"Hah!? siapa kalian?" Tubuhnya
mendadak melejit ke atas. Loloslah
serangan barusan. Itulah salah satu
jurus melompat dari gerakan si Raja
Siluman Bangau, yang baru dipelajari
dari Nanjar.
"Hebat!" puji si Iblis Tengkorak
Bolong yang terkejut karena gerakan
menotoknya gagal. Di samping dia
heran, karena orang yang dinantikan
kedatangannya dan yang pernah menjadi
murid si Enam Iblis Pulau Kambangan
itu bukannya seorang pemuda, melainkan
seorang gadis.
Ranggaweni jejakkan kakinya ke
tanah. Segera dia melihat belasan
orang telah mengurungnya dengan
senjata-senjata di tangan. Kecuali si
kakek seram berjubah hitam yang
barusan menyerangnya tak mencekal
senjata. Namun di pinggang kakek itu
terbelit seutas rantai berbandulan
kepala tengkorak!
"Siapakah kalian? Heh! pastilah
kalian yang telah membakar
pesanggrahan ini!" bentak Ranggaweni.
"Benar! Kami sengaja membakar
pesanggrahan ini adalah untuk
memancing keluarnya bocah laki-laki
bernama Nanjar sipemilik burung
Rajawali itu! Akan tetapi ternyata kau
bocah perempuan yang muncul! Kemanakah
gerangan si bocah laki-laki dan
siapakah kau?" berkata Iblis Tengkorak
Bolong dengan ajukan pertanyaan,
karena herannya.
"Tak perlu kalian mengetahui
siapa aku! Apa hubungannya kalian
dengan pemuda itu?., Dan segera kalian
katakan, apakah yang telah kalian
lakukan pada seorang laki-laki buta
yang berada di kamar dalam
pesanggrahan ini!" berkata Ranggaweni
dengan suara keras menandingi
gemuruhnya api yang melalap tiang-
tiang kayu pesanggrahan itu.
"Hehehe... disini tak kujumpai
seorang manusia. Apalagi seorang laki-
laki bermata buta! Segera akan
kuberitahukan siapa kami setelah
meringkusmu, bocah cantik!" terutama
menyeringai si Iblis Tengkorak Bolong.
Dan serentak dia beri isyarat pada
belasan orang yang mengurung si gadis
untuk segera meringkusnya.
"Tangkap dia hidup-hidup. Awas
jangan sampai kalian melukai kulitnya!
Burung Rajawali itu adalah bagianku!"
berkata si kakek. Kepalanya menengadah
keatas, karena dia segera melihat si
Jabur terbang ke arahnya dengan
memekik-mekik keras. Benar saja burung
Rajawali itu telah menyerangnya dengan
sambaran dahsyat.
Akan tetapi dengan melompat
gesit dia telah menghindarkan diri.
Bahkan lengannya bergerak menghantam
kearah burung itu.
Angin keras bertenaga dalam itu
menerjang Jabur. Namun Jabur dengan
gesit menghindari, walau agak
menyerempet angin pukulan itu
merontokkan beberapa helai bulunya.
Gusar bukan main si Jabur. Dia
terbang memutar dan kembali menyambar
dahsyat. Kakinya siap mencengkeram.
paruhnya siap mematuk.
"Hehehe... akan kuajak main-main
burung Rajawali...!" mendesis mulut
sikakek ini. Kembali dia melompat
menghindar. Gerakan melompat kakek ini
sengaja menjahui tempat itu. Dan si
Jabur terpancing untuk mengejar.
Sementara itu beberapa orang
yang mengurung Ranggaweni telah
menerjang untuk meringkus gadis itu.
Tentu saja gadis ini tak mau rnandah
saja membiarkan dirinya diringkus.
Dengan kertak gigi dia gerakkan le-
ngannya menghantam kesana-kemari.
Bendowo yang tak menyangka akan
serangan si gadis demikian hebat, kena
hantam punggungnya. Menggelinding
tubuh laki-laki yang sembrono ini
dengan mengaduh kesakitan.
Melihat demikian, Jalantra dan
Kebojalu menerjang serentak.
Ranggaweni lakukan salto dengan gesit
menghindar. Namun dia tak luput dari
sambaran tangan Kulipala yang men-
cengkeram kearahnya. Kulipala memang
telah menyimpan kembali senjata rantai
Trisula, karena mau menangkap gadis
ini hidup-hidup.
"Menyerahlah kau, gadis cantik!
Percuma kau melakukan perlawanan!"
berkata Kulipala dengan menyeringai.
Tentu saja Ranggaweni tak mau biarkan
tubuhnya kena tercengkeram laki-laki
bertampang ceriwis itu. Jurus Harimau
Lapar Menerkam Mangsa segera
dipergunakan setelah dia berhasil
menghantam sepasang lengan Kulipala.
"Haiiii?" terkejut Kulipala,
sebaik dia akan lakukan serangan lagi
ke arah kaki, justru lengah dara itu
telah sampai didepan mukanya. Dan....
Breeet!
Mengaduh laki-laki ini seraya
menyampok. Namun toh kuku-kuku tangan
Ranggaweni telah menggores mukanya.
Beruntung dia telah membuang tubuhnya
untuk menghindar. Kalau tidak, tentu
lehernya kena dicengkeram.
"Hati-hati paman Kulipala! Aku
datang membantu!" teriak Jaka Ningrat.
Laki-laki berkumis tipis
berwajah tampan ini melompat kehadapan
Ranggaweni. Lengannya terulur untuk
menangkap pinggang. "Wahai, rampingnya
pinggangmu, nona! Baiknya kau menyerah
saja untuk jadi istriku!"
Membentak Ranggaweni seraya
secepat kilat mencabut pedangnya di
pinggang. Itulah pedang buntung yang
selalu dibawanya. Yaitu pedang pusaka
milik si Raja Pengemis yang patahan
ujungnya berada pada Nanjar.
"Laki-laki ceriwis! Ini
bagianmu!" teriak gemas Ranggaweni.
Terkejut Jaka Ningrat melihat
kilatan pedang menyambar lengannya.
Kejap itu juga dia telah batalkan
serangan seraya membuang tubuh ke
samping. Sambaran lengan itu berubah
menjadi tangkisan untuk menepiskan
pedang dengan mendorong kuat
pergelangan tangan Ranggaweni.
Terhindarlah dia dari sambaran pedang
yang ganas itu.
"Serahkan dia pada kami!" Lima
sosok tubuh berkelebat kebelakang
Ranggaweni. Masing-masing lengan
kelima orang itu mencekal sebuah jala
sutera. Sementara senjata-senjata
mereka terselip dipunggung. Kelima
orang ini adalah tak lain dari si Lima
Harimau Gunung Setan! Ternyata kelima
tokoh golongan sesat itu ikut serta
dalam rombongan Jaka Ningrat. Tentu
saja dia cuma mengharap upah besar.
Memang mereka kerjanya sebagai tukang-
tukang bunuh bayaran yang di sewa oleh
Jaka Ningrat untuk urusannya.
Ranggaweni balikkan tubuhnya dan
menatap gusar pada kelima manusia itu.
"He? Pedangmu buntung? Apakah
kau tak punya senjata yang baik, nona?
Bagaimana kalau kami pinjamkan senjata
untukmu?" berkata salah seorang yang
bernama Brengos Suto. Sementara dia
sudah putar-putar jalanya untuk
meringkus sang gadis.
Akan tetapi pada saat teriakan
dari belakang si Lima Harimau.
"Tahan! aku mau bicara dulu pada
gadis ini!"
Dan sesosok tubuh berkelebat.
Ternyata tak lain dari Kulipala. Lak
laki ini baret-baret mukanya dan masih
mencucurkan darah, bekas kena goresan
kuku tangan Ranggaweni.
"Eh, nona...! boleh aku tahu,
apakah pedang buntungmu ada
hubungannya dengan potongan pedang
ditangan si pemuda bernama Nanjar
itu?"
"Huh! Apa perlumu menanyakan hal
itu?" bentak Ranggaweni melotot gusar.
"Hm, hal ini ada sangkut-pautnya
dengan urusan kami. Karena kami
menyatroni kemari adalah untuk
merampas potongan pedang di tangan
pemuda bernama Nanjar itu!" berkata
Jaka Ningrat. "Untuk hal itu kami
telah membayar mahal. Bukan saja
harta-benda, akan tetapi tenaga dan
bahkan jiwa menjadi taruhan kami untuk
mendapatkan pedang Pusaka INTI ES!"
"Jadi kau mengira pedang buntung
ini dan potongan pedang di tangan
kawanku itu adalah pedang Pusaka INTI
ES?" tanya Ranggaweni lantang
bercampur kaget. Kulipala menjawabnya
dengan ketus.
"Benar! kuharap kau serahkan
saja pedangmu, dan kau takkan mendapat
resiko lagi menghadapi kami!" Diam-
diam laki-laki ini terkejut melihat
pedang buntung itu mempunyai sinar
kehijauan, mirip dengan potongan ujung
pedang ditangan Nanjar yang pernah
ditunjukan padanya di pulau terpencil
beberapa bulan yang lalu.
"Hm, potongan pedang yang berada
ditangan pemuda itu memang masih satu
badan dengan pedang ini! Akan tetapi
pedang ini bukanlah pedang Inti Es
yang kalian maksudkan!" berkata
Ranggaweni. Kini jelaslah duduk
persoalannya mereka membakar
pesanggrahan dan menyatroni ke Gunung
Putri.
Pada saat itulah Jaka Ningrat
telah memberi isyarat pada si Lima
Harimau Gunung Setan untuk meringkus
si gadis. Dan serentak kelima orang
itupun merangsak maju seraya tebarkan
jala! dengan dibarengi peringatan pada
Kulipala.
"Menyingkirlah sobat Kulipala!
Biar kami ringkus dulu gadis ini! Akan
tetapi pada saat itu tiba-tiba
terdengar jeritan saling susul. Kelima
penyerang ini telah terjungkal roboh.
Bahkan sebelah lengan Kulipala pun
telah terpapas putus, ketika kilatan-
kilatan cahaya berkelebatan di hadapan
Ranggaweni yang timbulkan hawa dingin
luar biasa.
Sesaat saja tubuh kelima Harimau
Gunung Setan itu tejah berkelojotan
meregang nyawa. Masing-masing lehernya
terpapas hampir putus. Dan jala-jala
mereka bertebaran disana-sini.
DUA BELAS
Semakin terperangah Ranggaweni
karena seketika tubuh-tubuh si Lima
Iblis Gunung Setan telah menjadi kaku
dengan kepulkan uap dingin. Bahkan
darah yang mengalir dari luka di leher
merekapun membeku. Dan di situ telah
berdiri sesosok tubuh yang membuat
matanya membelalak.
"Kakang Badar Sora...!?
berteriak kaget Ranggaweni melihat
siapa adanya sosok tubuh itu, yang
memang tak lain dari Badar Sora.
Akan tetapi Badar Sora yang
dihadapanya bukanlah Badar Sora yang
bermata buta. Melainkan Badar Sora
yang bermata melek, menatapnya dengan
pandangan mata tajam bersinar bening.
Di tangannya tercekal sebuah pedang
bersinar perak.
"Hahaha...adik Ranggaweni!
Jangan terkejut melihat aku! Nanti
segera kau akan mengetahui siapa aku
sebenarnya!" selesai berkata laki-laki
aneh itu berkelebat. Dan dia telah
melompat di hadapan Jaka Ningrat dan
Kulipala, serta beberapa orang yang
telah mencabut senjata dengan
memandang tercengang pada laki-laki
itu.
"Hm, apakah kalian menginginkan
pedang pusaka Inti Es? Inilah pedang
itu! Silakan kalian merebutnya!"
berkata Badar Sora, seraya putarkan
pedangnya. Segera saja hawa dingin
mengembara ke sekitar tempat itu
membuat tubuh orang dihadapannya
menggigil. Dan tanpa terasa mereka
menyurut mundur beberapa langkah.
Kulipala menggertak gigi,
menahan sakit pada lengannya yang
darahnya beku. Hawa dingin itu membuat
dia tambah menggigil.
Akan tetapi dia telah loloskan
senjatanya, seraya membentak.
"Hayo, bunuh dia! Rampas pedang
pusaka Inti Es itu!"
Serentak saja mereka menerjang
dengan senjata masing-masing. Akan
tetapi seperti menerjang putaran angin
salju yang membuat aliran darah
membeku, mereka terpacak ditanah
dengan mata membelalak kaget.
Akan tetapi cuma sesaat, karena
segera terdengar jeritan mereka saling
susul! Dibarengi bergelimpangannya
tubuh-tubuh mereka bagai batang pisang
yang roboh ditebang, ketika kilatan-
kilatan cahaya kembali berkelebatan
menyilaukan mata. Ternyata dalam
sekelebatan cahaya kembali
berkelebatan menyilaukan mata.
Ternyata dalam sekelebatan saja Badar
Sora telah menghabisi jiwa-jiwa
mereka.
Mayat-mayatpun bergelimpangan
ditempat itu dengan keadaan tubuh yang
membeku!
Sementara kejadian itu
berlangsung, Ranggaweni tak sempat
memperhatikan lagi. Karena dia telah
berkelebat melesat ke arah lereng gu-
nung. Di sana tengah terjadi
pertarungan seru antara si Jabur dan
seorang kakek kurus berjubah hitam
yang bersenjatakan seutas rantai
berbandul tengkorak!
Siapa lagi kalau bukan si Iblis
Tengkorak Bolong. Apa yang membuat
kakek itu tampak terdesak adalah di
punggung burung Rajawali itu
menunggang sesosok tubuh manusia yang
mencecarnya dengan pukulan-pukulan
ganas!
Sukar diduga kalau sipenunggang
burung Rajawali raksasa itu adalah
Ginanjar alias Nanjar adanya. Bahkan
balas menyerang dengan senjata
mautnya.
"Hahaha.... kakek Iblis
Tengkorak Bolong! Lebih baik kau ganti
gelarmu menjadi si kakek Iblis Liang
Kubur! Karena sudah pantas kalau kau
segera masuk kubur!" ejek Nanjar.
Rajawali terbang memutar, lalu
menukik deras. Iblis Tengkorak Bolong
menggerung keras. Bandulan tengkorak
baja hitamnya meluncur menghantam ke
arah Nanjar.
"Mampus kau keparat!" teriak si
kakek.
Akan tetapi tiba-tiba Nanjar
telah melompat untuk menangkapnya.
Dan....
Wrrrrrr!
Tubuh Nanjar meluncur terbawa
sentakan kuat rantai tengkorak itu
yang di betot keras oleh si
pemiliknya. Tentu saja terperangah
kakek ini karena bandulan kepala
tengkorak itu justru mengarah ke batok
kepalanya!
"Edan!?" teriak si kakek
terkejut. Kalau dia tak lompat
menghindar, tentu batok kepalanya
hancur lumat. Sementara Nanjar sudah
melompat dengan bersalto beberapa kali
setelah menghantamkan bandulan itu ke
arah lawan.
Sekejap kemudian sepasang
kakinya telah hinggap di tanah. Namun
kembali tubuh pemuda itu melejit
dengan gerakan jurus melompat Bangau
Sakti Bentangkan Sayap. Sekejap dia
telah tiba di hadapan si Iblis
Tengkorak Bolong.
"Hayo, kakek! kita main-main
lagi!" teriak Nanjar.
Mendelik mata si Iblis Tengkorak
Bolong. Sungguh memalukan kalau dia
harus jadi bulan-bulanan dipermainkan
seorang bocah muda yang baru berhenti
ingusan. Lengannya menyelinap ke balik
saku jubah. Dan........
Bhussss!
Benda yang dilempar kearah
Nanjar meletup, menimbulkan asap hitam
yang menyengat hidung. Sekejap tubuh
Nanjar telah terbungkus oleh kepulan
asap hitam itu. Pemuda ini berguling
beberapa tombak.
"Kakek sialan! kau main
curang...! licik!" teriak Nanjar
terbatuk-batuk. Dia melompat lagi
untuk berdiri. Akan tetapi tubuhnya
terhuyung roboh.
"Hehehe… yang penting siapa
cepat dia yang menang! Kau masih
kurang pengalaman, bocah! Dalam
pertarungan pakai cara apapun boleh!
Hehehe... kini terpaksa aku
menotokmu!" berkata sikakek. Tubuhnya
berkelebat. Lengannya terjulur....
Akan tetapi tiba-tiba terdengar
jeritan parau merobek udara. Dan
berbareng dengan teriakan itu tubuh si
Iblis Tengkorak Bolong telah roboh
terjungkal. Darah memuncrat ke
beberapa penjuru. Selanjutnya tubuh
kakek itu sudah menggoser-goser
meregang nyawa. Akan tetapi sesaat
kemudian uap tampak mengepul di
sekujur tubuh Iblis Tengkorak Bolong.
Dan kejap berikutnya tubuh kakek itu
tela berubah beku terlapisi es. Hawa
dingin menebar merambah sekitar tempat
itu.
Sesosok bayangan tubuh yang
melesat cepat telah menghabisi nyawa
si Iblis Tengkorak Bolong. Itulah
sosok tubuh BADAR SORA yang telah
berada di tempat itu dengan
menggenggam pedang INTI ES di
tangannya. Bersamaan dengan itu
terdengar suara teriakan Ranggaweni
yang memburu ke tempat itu.
"Kakak NANJAR......!" Teriakan
gadis itu mengusik keheningan. Sejenak
dia menatap pada sosok tubuh si Iblis
Tengkorak Bolong yang terkapar beku.
Lalu menatap pada laki-laki yang tegak
berdiri dihadapannya, yang mencekal
pedang INTI ES. Bibir gadis ini
menggetar berucap kata.
"Ka..kakang Badar Sora....!
kau..." Dia tak sempat teruskan kata-
katanya karena segara berpaling
menatap Nanjar yang masih terlentang
tak berkutik.
"Oh!? kakak Nanjar....!"
teriakan bercampur isak terdengar dari
mulut dara ini. Dia melompat untuk
memburu ke arah sosok tubuh yang amat
dirinduinya itu. Betapa dia amat
mengkhawatirkan keselamatannya. Akan
tetapi, tiba-tiba satu hal yang amat
ganjil dan diluar dugaan terjadi
didepan mata.
Mendadak Nanjar telah melompat
berdiri diiringi suara gelak tertawa
pemuda itu.
"Hahaha... belum mati sudah
ditangisi! Haiiih! Ranggaweni jangan
khawatir, kakakmu masih hidup dan
segar bugar!"
Tentu saja membuat mata dara ini
jadi membelalak. Akan tetapi hatinya
amat girang sekali karena Nanjar tak
mengalami kejadian apa-apa.
Kini dia menatap pada Nanjar dan
Badar Sora berganti-ganti. Sungguh tak
mengerti dia melihat kedua orang itu
justru sama-sama tersenyum,
menatapnya. "Kakang Badar Sora, aku
tak mengerti. Mengapa kedua matamu
bisa melihat lagi? Dan dari mana kau
peroleh pedang pusaka INTI ES itu? Dan
kau kakak Nanjar! Apakah kau telah
berhasil menemukan guruku Ki Bonang
Luhyr? Mengapa kedatanganmu bertepatan
dengan kedatanganmu bertepatan dengan
kedatangan Badar sora?" Ranggaweni
ajukan pertanyaan.
"Hahaha... nantilah kami
ceritakan. Mari kita tinggalkan tempat
ini! Puncak Gunung Putri sudah tak
sesuai lagi untuk tempat tinggal
kita!"berkata Badar Sora.
Nanjar mengangguk seraya menepuk
pundak gadis itu. "Ya, marilah kita
tinggalkan tempat ini. Kita menuju ke
GOA LARANGAN !" berkata Nanjar dengan
tersenyum menggamit lengan dara itu.
"Ke Goa Larangan..?" tanyanya
tersentak. "Ketempat tinggal NINI
BLORONG?" bertanya Ranggaweni.
"Benar! Sambil perjalanan, nanti
kakang Badar Sora akan bercerita!"
Dengan masih terheran-heran,
tepaksa Ranggaweni tak dapat tidak
menuruti mereka meninggalkan puncak
gunung Putri. Sementara si Jabur telah
terbang keudara mengikuti ketiga orang
dibawahnya. Sebentar-sebentar terbang
merendah, terkadang berhenti
bertengger dipuncak pohon. Lalu
terbang lagi mengikuti. Matanya tajam,
selalu tak lepas mengawasi kemana arah
langkah ketiga orang yang telah
menjadi tuannya.
Dalam perjalanan itulah Badar
Sora bercerita pada Ranggaweni.
"Sebenarnya mataku tidaklah buta, adik
Ranggaweni..." Badar Sora memulai
ceritanya. Lalu dengan panjang lebar
laki-laki itu mengisahkan kejadian
sebenarnya dan siapa gerangan dirinya.
Ternyata "kebutaan" mata Badar
Sora adalah untuk mengelabui Hang Gada
alias Nogo Prakoso. Jauh-jauh sebelum
Nogo Prakoso menjadi murid Ki Bonang
Luhur, sudah bakal diketahui
kedatangannya. Nogo Prakoso yang di
utus oleh Nini Blorong dari Goa Larang
untuk berguru pada Ki Bonang Luhur.
Akan tetapi bukanlah untuk mencuri
peta rahasia pedang INTI ES. Melainkan
untuk mengelabui kaum golongan hitam
yang menjadi musuh Nini Blorong, yaitu
si Iblis Tengkorak Bolong.
Sebenarnya tak ada permusuhan
atau dendam antara Nini Blorong dengan
Ki Bonang Sepuh. Nogo Prakoso
sebenarnya adalah anak angkat Adipati
KALA BRAJA, yang menjadi kakak kandung
Jaka Ningrat. Adipati Kala Brama
mengetahui perihal sebuah benda pusaka
yang bernama pedang INTI ES. Tapi hal
itu bocor di telinga Nogo Prakoso.
Ternyata Nogo Prakoso yang menjadi
anak angkat adipati Kala Brama
mempunyai akhlak buruk. Didalam Kota
Raja dia berbuat alim. Akan tetapi
diluaran dia melakukan berbagai
kejahatan. Bahkan berkomplot dengan
orang-orang golongan hitam.
Oleh sebab itu Adipati Kala
Braja mengirim anak angkatnya berguru
pada Nini Blorong, di goa larangan.
Nini Blorong memang pernah ada tali
persaudaraan dengan guru Adipati yang
sudah wafat belasan tahun. Dan dari
gurunya itulah diketahuinya tempat
penyimpanan Pedang Pusaka INTI ES,
setelah secara tak sengaja membongkar
kitab-kitab peninggalan sang guru. Dan
diketemukannya sebuah petunjuk
mengenai adanya Pedang pusaka INTI ES
di suatu tempat.
Ternyata kebocoran itu telah
sampai ke telinga si Iblis Tengkorak
Bolong dan muridnya. Juga telah sampai
ke telinga JAKA NINGRAT. Adipati Kala
Braja yang khawatir benda itu jatuh
ketangan orang-orang golongan hitam,
telah menitipkan peta pedang INTI ES
pada Nini Blorong, akan tetapi tanpa
setahu Nogo Prakoso.
Karena kejahatan watak Nogo
Prakoso telah menyeba rkemana-maha.
Adipati diam-diam telah menitahkan
Nini Blorong untuk membunuh saja
pemuda bejat itu. Apalagi setelah
diketahui asal usul pemuda itu, dia
adalah anak keturunan seorang
pengkhianat Kerajaan!
Diam-diam Nini Blorong telah
mengorek keterangan dari Nogo Prakoso,
yang menceritakan siapa dirinya. Dia
memang ada berniat membalas dendam
pada Raja karena ayah-ya mati di tiang
gantungan! Nini Blorong yang
bersahabat baik dengan Ki Bonang Luhur
segera diam-diam mengadakan hubungan
dengan kakek penghuni pesanggrahan di
Gunung Putri itu. Ki bonang Luhur
adalah seorang bekas Patih
Kerajaan.yang sudah lepaskan
jabatannya.
Demikianlah, mereka berdua
berembuk mengatur rencana. Hingga
kemudian muncul Nogo Prakoso di gunung
Putri yang mengaku bernama Hang Gada
Saat itu Ranggaweni telah berguru pada
kakek itu, Dan dia tak mengetahui
kalau "kebutaan" mata Badar Sora
adalah tipu muslihat saja. Bandar Sora
adalah bekas seorang kepala prajurit
Kerajaan. Dia tahu jelas siapa adanya
JAKA TIRTA, yang tak lebih dari
anggota komplotan para begal yang
pernah membobol uang kas Kerajaan.
Peta rahasia palsu yang memang
sengaja, telah dibuat oleh Ki Bonang
Luhur kemudian dicuri oleh Hang Gada
alias Nogo Prakoso. Lalu diberikan
pada Jaka Tirta dengan imbalan yang
cukup memuaskan. Semua itu tak luput
dari sepengetahuan Badar Sora dan Ki
Bonang Luhur. Sedangkan Ki Bonang
Luhur sebenarnya sengaja menghilang
dari gunung Putri untuk tindakan
pengamanan. Sedangkan tugas membunuh
Nogo Prakoso telah diserahkan oleh
Badar Sora.
Demikianlah, hingga tewasnya
Nogo Prakoso di tangan Badar Sora,
yang secara kebetulan saat itu muncul
Nanjar yang membantu serta
menolongnya. Badar Sora memang mau
menjalankan tugas itu kalau dengan
bukti yang sudah jelas di depan
matanya.
Kemudian diceritakan pula pada
Ranggaweni bahwa dia dan Nanjar diam-
diam sering bertemu. Dan Badar Sora
telah menceritakan semua prihal
rencana mereka melenyapkan manusia-
manusia perongrong Kerajaan itu.
Jadi pantaslah kalau Ranggaweni
tak mengetahui. Bahkan Nanjar
sendiripun tahu akan hal itu, kalau
Badar Sora tak menceritakannya.
"Nah! jelaskah kau, adik
Ranggaweni?! Badar Sora mengakhiri
ceritanya. Ranggaweni tercenung
mendengarkan kisah itu.
"Lalu bagaimana sampai kalian
bisa muncul dengan berbareng di puncak
gunung Putri? Bukankah sepekan yang
lalu kak Nanjar pergi turun gunung.
Sedang kau tak mengetahui kemana dia
perginya?" bertanya Ranggaweni.
"Hahaha... itukan cuma siasatku
saja! Padahal aku cuma berjaga-jaga di
sekitar gunung Putri, karena kami
telah menduga kedatangan orang-orang
perguruan Tapak Nenggala yang bakal
menyatroni kepesanggrahan Gunung
Putri. Tentu saja mencari peta yang
asli. Tapi ternyata dia menyangka
pedang buntung kita adalah pedang
pusaka INTI ES!" berkata Nanjar.
Ranggaweni manggut-manggut
tersenyum. "Lalu dari mana kakang
Badar Sora punya ilmu demikian hebat?
Dan pula telah memiliki pedang pusaka
Inti Es?" pertanyaan terakhir itu
dijawab gelak-gelak oleh Badar Sora.
"Hahahaha... haha... aku adalah
murid tunggal Nini BLORONG! Tentu saja
pedang pusaka itu bisa berada di
tanganku, karena telah lama guruku
mendapatkannya."
Ternganga Ranggaweni. "Ah,
betapa hebatnya gurumu! Muridnya saja
begini hebat. Apalagi gurunya?" Gadis
itu geleng-gelengkan kepalanya menatap
kagum pada laki-laki gagah itu.
"Sudah, sudah! Jangan lama-lama
menatap, nanti kau bisa jatuh cinta!"
gurau Nanjar sambil cengar-cengir.
"Akan tetapi jatuh cintapun
boleh!" sambung Nanjar, seraya
melompat. Lengannya menyambar buah
mangga di ujung dahan pohon di tepi
jalan itu. Lalu menggrogotinya dengan
rakus.
Sementara keduanya jadi sama-
sama tersenyum menatap Nanjar yang
persis kera memakan buas. Apa lagi
buah mangga itu asam dan masih muda.
Mulut pemuda itu jadi menyeringai
persis kera!
Akan tetapi kemudian mereka
sama-sama menatap. Dan sorot dua
pasang mata itu saling bertemu.
"Oooooh, cintaaaa...! Nguk!
nguk! nguk!" Nanjar berteriak-teriak
seraya berjingkrakan menyindir kedua
muda-mudi itu dengan berjumpalitan
mirip kera, bahkan keluarkan suara
yang amat mirip dengan kera.
Ranggaweni jadi tersipu dan
menundukkan wajahnya.
"Hihihi.... kak Nanjar, kau
persis monyet yang kesurupan!" teriak
Ranggawuni, yang tak kuat menahan
gelinya hingga dia tertawa terpingkal-
pingkal. Badarpun tertawa terbahak-
bahak. Nanjar ulangi kata-katanya.
"Oooooh, cintaaaaaa! nguk! nguk!
nguk! nguk!"
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar