..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 17 Januari 2025

DEWA LINGLUNG EPISODE MENGGANASNYA SILUMAN GILA GULING

matjenuh

 

SATU

HANCURNYA KERAJAAN GIRI JAYA tak 

dapat terelakkan lagi. Bukan saja 

orang-orang istana yang mati terbunuh 

dengan keadaan mengerikan, akan tetapi 

istana itu sendin hampir dapat di-

katakan rata dengan tanah. Kejadian 

tersebut membuat terkejut para raja 

kerajaan lainnya. Bahkan juga kekha-

watiran di setiap tempat.trap tempat.

Amukan manusia yang menamakan 

dirinya Siluman Gila Guling telah 

merubah keadaan menjadi bertambah 

kalut. Ratusan rakyat yang berdiam 

disekitar wilayah Kota Raja ber-

bondong-bondong hijrah ke lain 

wilayah. Wajah-wajah ketakutan tampak 

membayang disetiap orang.

Mereka memasuki wilayah-wilayah 

kerajaan lain untuk mengungsi, 

sekaligus meminta perlindungan. Tentu 

saja hal tersebut membuat kerajaan 

yang dimasuki rakyat kerajaan Giri 

Jaya menolak kedatangan mereka. Bahkan 

mengusir mereka keluar dari tapal 

batas.

Apa yang menjadi sebab penguasa 

kerajaan itu tak mau menerima keda-

tangan mereka? Ya! karena kliawatir 

kedatangan mereka hanya akan membawa 

bencana. Rakyat kerajaan Giri Jaya 

benar-benar terpojok. Mereka terpaksa 

mengungsi dihutan-hutan. Sementara


dari kejauhan mereka melihat warna 

langit berubah merah. Pertanda api 

yang membakar dan membumi hanguskan 

Kota Raja belum lagi padam. Bahkan 

makin tampak memerah. Bukan mustahil 

kalau desa-desa tempat tinggal mereka 

yang mereka tinggalkan juga turut 

musnah terbakar.

Disaat rakyat kerajaan Giri Jaya 

dihantui ketakutan yang amat luar 

biasa, diarah barat tampak berkele-

batan tujuh sosok tubuh manusia.

Dari gerakan-gerakan mereka da-

patlah diketahui kalau ketujuh orang 

itu adalah orang-orang yang berke-

pandaian tinggi. 

Mereka baru saja menyaksikan 

keadaan rakyat kerajaan Giri Jaya yang 

dilanda ketakutan dalam pengungsiannya 

kehutan-hutan. Arah yang dituju 

ketujuh orang itu ternyata wilayah 

Kota Raja yang dalam keadaan dibumi 

hanguskan!

Ternyata mereka adalah tujuh 

orang yang masih berusia muda-muda. 

Diantara ketujuh orang itu ternyata 

ada terdapat seorang gadis sedang yang 

enam adalah laki-laki. Rata-rata 

mereka mengenakan pakaian berwarna 

biru dengan masing-masing membawa 

senjata.

Siapakah adanya ketujuh orang 

ini? Mereka adalah tujuh orang murid 

dari perguruan "Langir Biru". Asap


yang membubung tinggi serta merahnya 

warna langit membuat ketujuh orang ini 

turun gunung dari puncak gunung 

SIMEMBUT tempat mereka berguru. 

Ketujuhnya memang diperintah oleh sang 

guru untuk menyelidiki kejadian itu.

Tentu saja mereka terkejut 

mengetahui keadaan rakyat diwilayah 

itu yang berbondong-bondong mengungsi 

dengan wajah ketakutan. Beberapa hari 

perjalanan yang mereka lakukan ter-

nyata mereka cuma mendapatkan sisa-

sisa kekalutan.

Bahkan api masih nampak berkobar 

disekitar wilayah Kota Raja.

Ketujuh orang-orang muda ini 

memandang ke hadapannya dengan mata 

hampir tak berkedip. Istana kerajaan 

Giri Jaya telah musnah dimakan api 

hingga yang nampak hanyalah rerun-

tuhannya saja.

Diperjalanan beberapa desa yang 

dilalui juga telah berkobar dimakan 

api. Namun mereka tak menampak adanya 

manusia yang harus di tolong. 

Tampaknya para penduduk telah sama 

mengungsi sebelum terjadinya kebakaran 

yang memusnahkan pedesaan itu.

"Apa yang harus kita lakukan, 

kakang PRANA?" bertanya gadis cantik 

berambut kepang dua itu. Disamping 

seorang laki-laki muda yang tengah 

terlongong menatap reruntuhan istana.

Laki-laki ini nama sebenarnya


adalah AJI PRANA, murid ketua diantara 

ketujuh orang itu. Bahkan dia pulalah 

yang memimpin perjalanan turun gunung 

meninjau suasana kewilayah kerajaan 

Giri Jaya ini.

Tercenung sejurus laki-laki 

berkumis tipis ini.

Wajahnya yang cukup tampan itu 

diusapnya. Mengusap keringat yang 

mengembun disekujur kulit muka.

"Apakah sebaiknya kita kembali 

saja melaporkan kejadian ini pada 

guru?" bertanya Pamuji yang berada tak 

jauh disebelah kiri Aji Prana, seraya 

menghampiri. Pamuji dan Adi Prana 

adalah kakak beradik. Aji Prana 

menatap adiknya sejenak lalu dialinkan 

pada gadis itu.

Kemudian kembali menatap pada 

reruntuhan puing-puing istana kerajaan 

Giri Jaya.

"Adikku Pamuji dan kau CITRASIH, 

tujuan guru bukanlah sekedar meni-

tahkan kita untuk cuma meninjau saja. 

Akan tetapi juga menyelidiki kejadian 

apakah yang menyebabkan kehancuran 

kerajaan Giri Jaya ini!" ujarnya 

dengan suara tegas. Dan lanjutnya 

lagi;

"Kukira beliau telah mengetahui 

tentang kejadian ini sebelumnya. 

Diperintahkan kita untuk turun gunung 

karena sudah waktunya kita mengamalkan 

pelajaran ilmu-ilmu yang kita dapati


dipuncak gunung Simembut! Saat seperti 

inilah yang merupakan batu ujian buat 

kita. Sebagai pendekar-pendekar muda 

yang telah digembleng selama belasan 

tahun oleh guru kita, tak layak kalau 

kita tak menyelidiki sampai tuntas, 

siapa adanya pelaku-pelaku yang 

mengakibatkan kehancuran kerajaan Giri 

Jaya ini!"

Kedua pemuda dan pemudi itu 

manggut-manggut.

"Lalu apa rencanamu, kakang 

Prana?" bertanya lagi Citrasih.

Aji Prana diam sejenak, lalu 

berpaling pada Pamuji.

"Panggil yang lainnya untuk 

berkumpul, segera kita adakan perem-

bugan!" ujarnya. Pamuji mengangguk.

"Baik kakang..!" sahutnya, lalu 

balikkan tubuh untuk menghampiri 

kawan-kawannya yang berada ditempat 

terpisah. Dengan saling memberi tanda 

isyarat sebentar saja semua telah 

berlompatan untuk segera berkumpul di 

depan Aji Prana, dan Citrasih.

Langit yang memerah perlahan 

mulai agak pudar dari cahaya api. 

Namun asap masih terlihat walau tak 

begitu banyak, dan hawa panas mulai 

berkurang. Satu persatu murid per-

guruan Langir Biru mulai bergerak 

kebeberapa jurusan. Masing-masing mem-

bawa tugas yang telah diperintahkan 

oleh Aji Prana sang ketua.


"Pamuji! kau ke arah mana?" 

bertanya Citrasih seraya menghampiri 

ketika baru saja pemuda itu beranjak 

melangkah tapi merandek lagi. Tampak-

nya seperti ragu atau lupa pada arah 

yang telah ditentukan kakaknya.

Seperti telah diperembugkan, me-

reka diberi waktu sampai senja untuk 

melihat keadaan mencari tahu penyebab 

kejadian. Lalu kembali ke tempat se-

mula. Masing-masing telah diberi tugas 

ke arah mana harus bergerak.

Pamuji diberi tugas ke arah utara 

sedangkan Aji Prana menemani Citrasih 

yang dia sendiri belum menentukan 

arahnya. 

"Oh, ya! aku lupa. Aku harus ke 

arah utara, bukankah begitu?" sahut 

Pamuji tergegas. Wajahnya seketika

berubah merah. Namun dengan cepat dia 

berkata. "Baiklah! sampai ketemu lagi 

Citrasih! Baik-baiklah kau menjaga 

diri..."

Selesai berkata yang diucapkan 

dengan suara lirih, Pamuji berkelebat 

cepat untuk beberapa kejap kemudian 

lenyap dari tempat itu.

Citrasih masih menatap kearah 

lenyapnya tubuh Pamuji, ketika ter-

dengar suara dibelakangnya.

"Citrasih! hayo kita mulai 

bergerak!"

Dia tersentak menoleh, dilihatnya 

Aji Prana telah berada didekatnya.


Laki-laki ini menggamit lengannya 

seraya berkata lagi.

"Cepatlah! saat ini bukan wak-

tunya untuk banyak berdiam diri!"

"Kita bergerak ke arah mana?" 

tanya Citrasih dengan wajah tersipu.

"Ke sana!" sahut Aji Prana seraya 

menarik lengan dara ini. Tentu saja 

tubuh Citrasih terbawa melayang ketika 

pemuda itu berkelebat melompat. Sesaat 

berlihat keduanya telah berlari-lari 

menyusup ke dalam hutan disebelah 

kiri. Tak lama kemudian sosok-sosok 

bayangan tubuh merekapun lenyap dike-

rimbunan pepohonan....

DUA

Dalamnya laut bisa diduga 

dalamnya hati orang tak ada yang tahu! 

Pepatah itu berlaku bagi PAMUJI. 

Karena diluar dugaan, Pamuji diam-diam 

telah menguntit dibelakang Aji Prana 

dan Citrasih tanpa mereka mengetahui.

Apa yang membuat Pamuji tak 

menuruti perintah kakaknya? Tiada lain 

adalah rasa cemburu. Cemburu yang 

sejak lama bersemayam dalam dadanya, 

karena sang kakak amat akrab dengan 

Citrasih.

Dara cantik berusia tujuh belas 

tahun itu ternyata diam-diam dicing-

tainya, walau pada kenyatannya Pamuji

bersikap biasa.

Dalam hati pemuda ini diam-diam 

telah bergejolak cinta berahi yang 

amat dalam. Bahkan di saat latihan-

latihan dipuncak gunung Simembut wajah 

gadis itu selalu membayang diruang 

mata. Tak jarang dia berhenti berlatih 

untuk duduk termenung.

Terkadang dia tinggalkan tempat 

latihannya cuma untuk melihat wajah 

Citrasih yang dilakukan dengan sem-

bunyi-sembunyi. Pamuji dalam hati 

sering merutuk, atau memaki karena 

diberi tugas berat dalam latihan. 

Sedangkan Aji Prana selalu saja 

berdekatan dengan Citrasih. Walaupun 

tak dikeluarkan dengan mulutnya, tapi 

dalam hati diam-diam Pamuji menganggap 

sang guru bertindak berat sebelah. 

Bahkan beranggapan seolah-olah dia 

sengaja disisihkan dari Citrasih.

Anggapan itu sebenarnya keliru. 

Citrasih masih terlalu muda dan 

terlalu hijau untuk menerima ilmu-ilmu 

silat yang berat karena dia agak 

kurang cerdas. Oleh sang guru sengaja 

diperintahkan Aji Prana untuk mem-

bimbingnya. Dengan demikian kecerdasan 

Citrasih dalam menerima pelajaran-

pelajaran akan lebih cepat bertambah.

Pamuji yang digelapkan hatinya 

oleh apa yang bernama Cinta tak 

mengetahui hal itu.

Demikianlah hingga dihati Pamuji


diam-diam bersemayam kecemburuan 

terhadap kakaknya.

Dengan berindap-indap dan langkah 

hati-hati Pamuji terus menguntit 

kemana perginya kedua orang diha-

dapannya itu. Ternyata Aji Prana 

mengambil jalan memutar melewati 

lereng bukit tanpa melintas desa yang 

sudah punah terbakar. Hal tersebut 

menjadi tanda tanya bagi Pamuji. 

Hatinya tercekat dan kecurigaannya 

bertambah. Karena tujuan yang ditempuh 

itu berlawanan dengan arah Kota Raja.

Melewati hutan ilalang yang 

tingginya hampir setinggi manusia, 

kedua manusia berlainan jenis itu 

terus berlari-lari menerobos. Hingga 

tak lama keduanya telah berada disisi 

lereng bukit.

"Akan kemanakah mereka?" berkata 

dalam hati Pamuji. Dia merandek 

sejenak dibalik belukar. Matanya me-

natap tajam kearah Aji Prana dan 

Citrasih yang berhenti tepat disisi 

lamping bukit yang menjorok keluar.

Tampak Aji Prana menunjuk ke arah 

tebing bukit. Entah apa yang diucapkan 

laki-laki kakaknya itu. Tapi yang 

jelas Citrasih mengangguk.

Dan, selanjutnya keduanya dengan 

merunduk dibawah batu telah menyelinap 

ke celah batu-batuan. Selanjutnya 

lenyap dari pandangan mata Pamuji.

"Ha? jangan-jangan mereka akan


melakukan perbuatan tak senonoh..." 

tersentak Pamuji. Cepat dia berkelebat 

ke arah itu.

Dengan gerakan tak menimbulkan 

suara sesaat dia telah tiba disisi 

bukit. Matanya menatap tajam ke 

sekeliling. Merayapi dinding-dinding 

batu dicelah tebing bukit batu itu. 

Tersentak pemuda ini ketika melihat 

sebuah lubang dicelah batu.

Tak ayal dia telah beranjak 

melangkah mendekati. Gerakannya bagai-

kan seekor kucing mengintai tikus. Dia 

memang harus hati-hati, karena tak 

ingin kedua orang itu mengetahui 

kedatangannya. Dugaannya ternyata 

tepat. Celah lubang itu merupakan 

sebuah goa. Celah batu itu makin 

kedalam semakin lebar.

"Aku harus mengetahui apa yang 

akan dilakukan kakakku dan Citrasih. 

Kalau mereka melakukan perbuatan aib, 

tak segan-segan aku melaporkan pada 

guru..." demikian pikir Pamuji. Semen-

tara degup jantungnya semakin 

cepat.

Wajahnya dirasakan panas. Seluruh 

persendian tulangnyapun menggetar.

Dengan berindap-indap dia terus 

melangkah semakin kedalam. Tiba-tiba 

dia merandek ketika melihat mendengar 

suara Citrasih. Cepat dia tempelkan 

tubuhnya kedinding goa. Telinganya 

dipasang. Bahkan napasnyapun dita


hannya.

"Apakah yang akan kau lakukan, 

kakang Prana?" terdengar suara gadis 

adik seperguruannya itu.

"Adik Citrasih, mengapa kau 

bertanya demikian? Apakah kau tak 

merasakan apa yang kurasakan selama 

ini?" jawab Aji Prana.

"Apa maksudmu..?"

"Citrasih...! tak sadarkah kau 

bahwa selama ini aku mencitaimu?" Aji 

Prana menjawab pertanyaan Citrasih 

yang terlongong menatap pemuda itu. 

Sementara Aji Pranapun tengah mena-

tapnya dengan tatapan tak berkedip. 

Tatap mata yang membuat sang dara 

seperti terpukau.

"Kau... kau mencintaiku....?" 

terdengar suara desis Citrasih.

"Benar adik manis! Kubawa kau ke 

tempat ini karena aku ingin membuk-

tikan cinta kasihmu padamu!"jawab Aji 

Prana dengan tertawa kecil. Tersen-

taknya Pamuji bukanlah alang-kepalang 

ketika dia pelahan julurkan kepala 

mengintip dari celah dinding goa.

Apa yang dilihatnya membuat 

sekujur tubuhnya menggetar seperti 

terserang demam panas.

Citrasih berdiri terpaku bagai 

patung. Bibirnya setengah terbuka. 

Sedang matanya menatap Aji Prana tak 

berkedip. Sementara laki-laki kakaknya 

itu merapatkan tubuhnya.



Lengan pemuda itu menjulur 

memeluk pinggang ramping sang dara. 

Sementara sebelah lengannya mulai 

merayap, membukai pakaian gadis itu.

Sungguh suatu pemandangan yang 

amat mendebarkan bagi Pamuji. Bahkan 

hampir-hampir dia tak percaya dengan 

apa yang dilihatnya. Dilihatnya 

Citrasih seperti mandah saja dengan 

apa yang dilakukan kakaknya itu.

Beberapa kejap saja yang tampak 

didepan mata Pamuji adalah sekujur 

tubuh Citrasih telah membugil, tanpa 

selembar benangpun. Gemuruh dada 

Pamuji bagai terkena gempa. Matanya 

membeliak seperti mau melompat dari 

kelopaknya. Napasnya memburu. Keringat 

dingin mengembun disekujur tubuhnya 

yang bergetar.

Tak mungkin bagi Pamuji rasanya 

untuk mendiamkan adegan selanjutnya 

berlangsung didepan matanya. Akan 

tetapi baru saja dia mau membentak, 

mendadak hawa dingin merembes kese-

kujur tubuhnya. Apa yang terjadi pada 

pemuda itu? Dia seperti tercekik 

pernapasannya dan berkelojotan dengan 

sepasang mata mendelik dan lidah 

terualur. Pamuji meronta dari kekuatan 

aneh yang mencekik pernapasannya. Hal 

ini tak berlangsung lama. Karena 

sesaat antaranya dengan keluarkan 

suara tertahan dikerongkongan, Pamuji 

jatuh menggeloso ditanah berbatu untuk


tak bergerak lagi.

Sementara adegan didalam ruang 

goa itu pun terus berlangsung.....

TIGA

Senja terus merayap.... cuaca 

semakin berubah gelap. Matahari telah 

sembunyi dibalik pegunungan. Hawa 

dingin menyelimuti sekitar tempat itu. 

Dalam keadaan yang sunyi mencekam itu 

empat sosok tubuh berdiri gelisah 

seperti menanti orang yang ditunggu.

Siapakah adanya mereka ini? Tiada 

lain dari murid-muirid perguruan 

Langir Biru. Seperti telah direm-

bugkan, mereka kembali berkumpul 

ditempat itu seusai melakukan penye-

lidikan. Empat orang telah berkumpul. 

Namun sisanya tiga orang lagi belum 

munculkan diri

"Kemana gerangan kakang Aji 

Prana, Pamuji dan Citrasih? Jangan-

jangan mereka menemui halangan!" 

berkata salah seorang.

"Entahlah! akupun berpendapat 

begitu. Lalu apakah usul kalian? 

apakah kita akan terus menunggu 

kedatangan mereka atau... kembali ke 

padepokan?" tukas kawannya yang 

seorang. Dia bernama Jaka. Sedang yang 

satunya lagi bernama Bajuri.

Dua orang kawan yang sedari tadi


tak ikut bicara segera membuka mulut.

"Kembali ke padepokan? Wah, itu 

dapat kita lakukan! kukira usulku bisa 

diterima, kita memang tak dapat terus 

menanti dengan berdiam diri saja!" 

ujar salah seorang. Laki-laki ini 

bernama Jaluken. Sedang yang seorang 

lagi bernama Layang seta.

"Apa usulmu itu sobat Jaluken?" 

tanya Jaka seraya beranjak mengham-

piri. Jaka memang sudah tak sabar 

untuk terus menunggu mereka.

"Ya, pikirku kukira sebaiknya 

kita menyusul mereka!" sahut Jaluken. 

Jaka kerutkan kening berpikir lalu 

ujarnya.

"Aku tak keberatan, tapi kearah 

mana kita menyusul?"

Merekapun segera berunding untuk 

menentukan arah. Akan tetapi cuaca 

telah berubah gelap. Hal itu tak 

memungkinkan mereka untuk melakukan 

pelacakan. Akhirnya mereka mengambil 

keputusan untuk tetap menanti. Rencana 

pencarian ketiga saudara seperguruan 

mereka ditentukan esok hari, sambil 

menunggu kalau-kalau ketiga orang yang 

mereka tunggu malam nanti akan muncul.

Malam itu mereka lewati dengan 

hati resah. Mereka bermalam disisi 

hutan itu dengan hampir tak dapat 

memicingkan mata.

Suara anjing-anjing serigala 

ditengah malam itu mengganggu tidur


mereka.

Keesokan harinya dipagi yang 

masih remang, keempat saudara seper-

guruan itu telah tinggalkan tempat 

itu....

****

Kita beralih sejenak melihat 

keadaan dipuncak gunung Simembut. 

Sebuah padepokan tegak berdiri 

diantara lereng batu gunung agak jauh 

dari sisi kawah. Seorang laki-laki tua 

berjubah biru terlihat berdiri 

termangu-mangu di depan padepokan. 

Angin pagi yang agak keras menerpa 

membuat berkibaran jubah kakek ini. 

Juga jenggotnya yang panjang memutih 

melambai-lambai dihembus angin.

Siapa gerangan adanya kakek ini? 

Dialah Ki BANGUN REKSA, ketua 

perguruan Langir Biru. Apa yang 

membuat kakek ini tampak resah adalah 

sepeninggal ketujuh muridnya beberapa 

hari yang lalu dia merasa hatinya tak 

tenteram. Entah mengapa wajah murid 

termudanya yaitu CITRASIH selalu 

terbayang dipelupuk matanya.

Citrasih masih ada hubungan kuat 

dengan dirinya, karena Citrasih adalah 

cucu angkatnya sendiri. Ayahnya tewas 

dalam peperangan membela kerajaan GIRI 

NATA dari tangan kaum penjahat yang 

berusaha merebut kekuasaan kerajaan


itu.

Anak angkat Ki Bangun Reksa 

adalah seorang laki-laki yang menjadi 

hulubalang di kerajaan Giri Nata, 

bernama MARUTO. Adapun Citrasih 

diantarkan kepadepokan oleh seorang 

bekas prajurit yang menjadi sahabat 

baik Maruto. Enam tahun Ki Bangun 

Reksa mendidiknya dengan perbagai ilmu 

kedigjayaan. Dan baru beberapa hari 

yang lalu dia mengutus ketujuh 

muridnya untuk menyelidiki kejadian di 

Kota Raja.

Sebenarnya Ki Bangun Reksa bukan-

nya tak mengetahui tentang kejadian 

itu. Akan tetapi sengaja dia mengutus 

ketujuh muridnya untuk sekalian 

menguji bagaimana sikap serta tindakan 

mereka dengan peristiwa itu.

Demikianlah, pagi itu dia keluar 

dari padepokan, dan berdiri dihalaman 

termangu-mangu. 

"Aneh!? mengapa hatiku tak enak? 

Pikiranku selalu saja tertuju pada 

Citrasih. Ada apakah yang terjadi 

dengan dia?" bergumam Ki Bangun Reksa. 

Dia mulai melangkahkan kakinya mondar-

mandir dengan menggendong tangan. 

Sebentar-sebentar dia berhenti 

menindak untuk berpikir.

"Sebaiknya kususul mereka! Aku 

khawatir terjadi apa-apa dengan bocah 

perempuan itu. Walau aku telah 

mempercayakan Aji Prana untuk


menjaganya!" gumamnya. Agaknya untuk 

menyusul para muridnya telah mantap!

Ki Bangun Reksa beranjak masuk 

kembali kedalam kepadepokan. Tak lama 

dia telah ke luar lagi. Ditangannya 

tercekal sebuah pedang yang terbungkus 

dengan kulit kambing hutan. Itulah 

pedang pusaka miliknya yang selama ini 

tak pernah dipergunakan.

Setelah menutup pintu padepokan 

tanpa berlama-lama lagi Ki Bangun 

Reksa segera berangkat turun gunung. 

Gerakan orang tua ini patut dipuji. 

Karena tubuhnya berkelebatan cepat 

menuruni lereng seolah-olah bagaikan 

terbang. Tidaklah aneh kalau dalam 

waktu tak sampai sepenanak nasi Ki 

Rangun Reksa telah tiba dilereng 

paling bawah.

Dan kejap selanjutnya dia telah 

berkelebat untuk segera lenyap tak 

kelihatan lagi terhalang lebatnya 

hutan rimba.....

EMPAT

Betapa terkejutnya Ki Bangun 

Reksa melihat empat sosok tubuh 

terkapar tak bernyawa di sisi lereng 

bukit yang akan dilaluinya. Semakin 

terkejut dia karena keempat sosok 

tubuh yang berkaparan tak bernyawa itu 

adalah empat orang muridnya.

"Ya. Dewa yang agung..! apakah


yang telah te-jadi?" terperangah kakek 

puncak gunung Simembut ini melihat 

kematian keempat muridnya dalam kea-

daan tak berdarah. Namun sekujur tubuh 

membiru seperti terkena racun.

"Ah!? apakah sipembunuh telah 

gunakan ilmu pukulan yang mengandung

racun?" mendesis Ki Bangun Reksa. 

Sesaat dia telah bangkit berdiri. 

Sepasang matanya liar menatap seki-

tarnya. Tiba-tiba dia telah berkelebat 

ke arah sisi lereng bukit batu. Tanda-

tanda dari bekas pertarungan terlihat 

mengarah ke tempat itu.

"Sebuah lubang goa..!?" mendisisi 

kakek. "Pasti ada korban lagi!" 

pikirnya dengan kekhawatiran memuncak. 

Karena seketika dia ingat akan cucu 

angkatnya, Citrasih.

Tak berawal lagi dia telah 

melompat untuk segera memasuki goa.

Terperanjat Ki Bangun Reksa 

melihat sosok tubuh lagi yang terkapar 

disisi dinding goa. Segera dia 

memeriksa. Terkejutlah dia mengetahui 

laki-laki itu tak lain dari PAMUJI. 

"Oh, Dewa yang agung... sukurlah 

bocah ini masih hidup. Aku harus cepat 

menolongnya" berpikir demikian Ki 

Bangun Reksa cepat tempelkan telapak 

tangannya untuk salurkan tenaga dalam 

berhawa hangat ke sekujur tubuh 

Pamuji.

Beberapa jalan darahnya yang


tersumbat dibuka dengan mengurut 

beberapa kali. Tak lama Pamuji 

terdengar mengeluh.

"Pamuji! katakan apa yang 

terjadi?"

Diguncang-guncangkannya bahu Pa-

muji. "Katakan Pamuji! Ini aku, 

gurumu! Ceritakan apa yang telah 

terjadi? Kemana adik seperguruanmu 

Citrasih dan kakakmu Aji Prana?" tak 

sabar Ki Bangun Reksa tak sabar untuk 

bertanya.

Pamuji masih belum pulih benar 

ingatannya. Tapi melihat orang diha-

dapanya yang berteriak-teriak meng-

guncang-guncangkan bahunya segera dia 

mulai tersadar.

"Guru...!? Oh, maalkan aku..." 

ucapnya seraya bangkit dan menjura.

"Tak usah banyak peradatan! Lekas 

katakan apa yang telah terjadi? Kemana 

kakakmu dan adik seperguruanmu, 

Citrasih?" ujar Ki Bangun Reksa cepat.

"Aku... aku tak tahu apa yang 

telah terjadi, guru...! Karena tahu-

tahu leherku seperti tercekik, disaat 

aku tengah mengintip perbuatan Aji 

Prana dan Citrasih! Mereka...

mereka...." Pamuji tak meneruskan 

kata-katanya, namun telah bangkit 

berdiri dan melompat ke balik dinding 

ruangan goa sebelah dalam. Teriakan 

kaget Pamuji membuat Ki Bangun Reksa 

cepat melompat memburu ke arah ruangan


itu. Betapa terperanjatnya Ki Bangun 

Reksa mendapatkan tubuh Aji Prana 

telah terkapar tak bernyawa dengan 

keadaan tubuh telanjang bulat, dan 

dada tertancap pedang. Pamuji menatap 

dengan mata membelalak.

"Kakakmu telah mati! Tapi kemana 

Citrasih!? Apakah sebenarnya yang 

telah mereka lakukan?" berkata Ki 

Bangun Rekso. Dia balikkan tubuh 

menatap Pamuji setelah memeriksa 

mayat. Wajah laki-laki tua ini tampak 

tegang. Dadanya berombak-ombak.

"Mereka... mereka... te... telah 

melakukan perbuatan hina! Akan tetapi 

aku tak tahu kelanjutannya karena 

tiba-tiba leherku serasa tercekik. Aku 

jatuh pingsan dan tak tahu apa-apa 

lagi!" tutur Pamuji. Selanjutnya 

diapun ceritakan peristiwanya dari 

awal sampai akhir.

Keduanya sama tertegun menatap 

mayat Aji Prana. Pedang biru itu 

setelah diperiksa oleh Ki Bangun Rekso 

ternyata pedang milik Citrasih. Sedang 

pedang Aji Prana sendiri lenyap yang 

tinggal cuma kerangkanya saja.

Pamuji yang diberitahu oleh 

gurunya bahwa keempat saudara seper-

guruannya bergeletakan tewas diluar 

goa tersentak kaget.

"Ah!? apakah mereka telah 

menyusul kemari? Lalu siapa yang telah 

membunuh mereka?" berkata Pamuji


dengan terperangah kaget.

Dia melompat untuk berkelebat 

keluar goa. Benarlah, ditanah berbatu-

batu pada sisi tebing itu tampak empat 

sosok tubuh berpakaian biru berkaparan 

tak bergerak.

Terpaku Pamuji dalam kebingungan. 

Akhirnya dia cuma bisa berdiri terpaku 

bagai patung.

Dia benar-benar tak mengerti 

dengan semua kejadian ini. Apakah 

kematian kakaknya oleh orang lain, 

ataukah Citrasih yang melakukan? Lalu 

siapa yang membunuh keempat saudara 

seperguruannya itu? Bermacam 

pertanyaan bermunculan dalam benak.

"Pamuji, muridku! coba kau 

periksa mayat-mayat saudara sepergu-

ruanmu. Tubuh mereka tak mengeluarkan 

darah. Namun kulit tubuh mereka 

berubah kebiruan!"

Suara sang guru menyadarkan 

Pamuji. Segera dia membungkuk untuk 

memeriksa mayat. Lalu mayat-mayat 

lainnya.

"Benar, guru...! Apakah mereka 

mati keracunan?" berkata Pamuji.

"Dugaanmu tepat! Tapi mereka 

bukan mati karena telah menelan racun, 

melainkan karena terkena pukulan yang 

mengandung racun!" ujar Ki Bangun 

Rekso. Lalu lanjutnya.

"Aku baru teringat! Kalau tak 

salah dugaanku, itulah pukulan Inti



Racun! Pukulan yang amat berbahaya dan 

luar biasa ganasnya. Masih beruntung 

kau tidak mati. Pukulan itu bisa 

dilontarkan dengan tenaga ghaib!"

"Ja.. jadi kesimpulannya yang 

membunuh keempat saudara seperguruanku 

ini adalah orang yang telah mencekik 

leherku?" sentak Pamuji terkejut.

"Karena...aku tak melihat siapa-

siapa" sambung Pamuji serius. Wajahnya 

kembali berubah pucat. Membayangkan 

hal yang menakutkan itu bulu 

tengkuknya seketika meremang berdiri.

****

MATAHARI mulai menggelincir turun 

ke arah barat ketika dua manusia murid 

dan guru itu selesai memakamkan enam 

jenazah ditempat itu.

"Apa yang harus kita lakukan 

guru?" bertanya Pamuji. Kematian 

kakaknya dan kelima saudara sepergu-

ruannya telah membuat pemuda ini 

bersedih hati. Begitupun Ki Bangun 

Reksa. Laki-laki tua ini memandang 

enam gundukan tanah dengan mata sayu. 

Sejurus dia terdiam tak menjawab 

pertanyaan Pamuji. Namun tak lama dia 

menghela napas. Dan ujarnya;

"Pamuji! kaulah seorang sisa 

muridku yang masih hidup, walau aku 

masih sangsi akan nasib yang menimpa 

adik seperguruanmu Citrasih. Kita


menghadapi tantangan berat, yang bukan 

saja menimpa perguruan kita, akan 

tetapi juga melanda seluruh rakyat 

wilayah ini...!"

"Benar, guru! Kerajaan GIRI JAYA 

telah hancur musnah. Akan tetapi hamba 

tak tahu apakah penyebab kehancuran 

itu adalah akibat perang ataukah 

karena musibah! Apakah guru dapat 

mengambil kesimpulan mengenai musibah 

yang melanda kita? Maksudku apakah 

kematian saudara-saudara seperguruan 

adalah oleh orang tertentu yang juga 

ada hubungannya dengan kehancuran 

kerajaan Giri Jaya?" bertanya Pamuji.

"Hal ini bisa juga dihubungkan 

dengan kehancuran kerajaan Giri Jaya. 

Memang kesimpulanku adalah, pelaku 

pembunuhan saudara-saudara sepergu-

ruanmu adalah orang-orang yang 

terlibat dalam penghancuran kerajaan 

Giri Jaya. Pukulan INTI RACUN menurut 

sepengetahuanku cuma dimiliki oleh 

seorang yang bernama Ki ANGGUNO. 

Seorang tokoh yang pernah berpetualang 

pada belasan tahun yang silam.

Dia adalah bekas patih kerajaan 

GIRI NATA yang melarikan diri ketika 

segerombolan perampok bajak laut 

menyerbu kerajaan Giri Nata. Kerajaan 

Giri Nata tumbang, dan pemerintahannya 

direbut mereka. Kemudian mereka 

merubah nama Giri Nata dengan nama 

Giri Jaya. Namun raja kerajaan Giri

Nata tak dibunuh. Bahkan masih tetap 

menjadi raja, namun dibawah kekuasaan 

mereka". tutur Ki Bangun Reksa.

"Akan tetapi kini suatu hal tak 

terduga, kerajaan GIRI JAYA hancur 

musnah tanpa ada yang tahu sebabnya. 

Suatu kejadian aneh! Sama anehnya 

dengan musibah yang melanda orang-

orang perguruan kita. Aku sendiri 

sebenarnya menduga Ki ANGGUNO yang 

diam-diam telah mempersiapkan kekuatan 

untuk merebut kerajaan Giri Nata 

kembali. Namun aneh! Mengapa justru 

istana kerajaan itu sendiri dihan-

curkan?" tutur Ki Bangun Reksa lebih 

lanjut.

"Apakah guru sebelumnya telah 

mengetahui kejadian itu?" bertanya 

Pamuji.

"Benar! Aku turun gunung lebih 

awal dari kalian. Sengaja kuperintah-

kan kalian untuk turun gunung, karena 

kuingin kalian menyelidiki asal 

terjadinya peristiwa itu!" sahut sang 

kakek puncak gunung Simembut ini 

dengan mengelus jenggotnya.

Pamuji tercenung. "Tak salah 

kata-kata kakang Aji Prana! Guru 

memang telah mengetahui, dan sengaja 

memerintahkan turun gunung pada para 

murid adalah untuk menguji kemampuan 

para muridnya melacak peristiwa!" 

berkata Pamuji dalam hati.

Demikianlah, guru dan murid itu


berembug untuk mengambil langkah guna 

menyelidiki apa penyebab kehancuran 

istana Kerajaan Giri Jaya disamping 

melacak jejak CITRASIH, dan melacak 

jejak manusia yang melakukan perbuatan 

keji membunuh empat orang murid 

perguruan LANGIR BIRU dengan pukulan 

INTI RACUN!

Senja terus merangkak tatkala 

keduanya berkelebat pergi meninggalkan 

tempat itu...

LIMA

SEORANG PEMUDA berbaju lusuh 

berjalan sambil menggendong tangan 

dibelakang punggung. Rambutnya gon-

drong tak terurus. Celana yang 

dipakainya seperti kedodoran. Tak 

sebatang pedangpun atau senjata lain 

terselip dipinggangnya. Sambil ber-

jalan menunduk seperti memperhatikan 

ujung-ujung kedua kakinya yang 

bermunculan silih berganti, dia 

menggumam tiada henti.

"Gila! benar-benar gila! Edan! 

Benar-benar edan!"

Kata-kata itu sebentar-sebentar 

keluar dari mulutnya. Terkadang dia 

mendesah atau menggaruk-garuk kepala, 

lalu kembali ucapkan kata-kata itu.

"Gila! Benar-benar gila! Edan! 

Benar-benar edan!"

Rutukan itu entah ditujukan pada


siapa tak jelas tujuannya. Langkah 

kakinyapun seperti tak terarah 

sebentar ke sisi kiri jalan, sebentar 

ke kanan. Sementara rutuknya tak 

pernah berhenti meluncur dari 

mulutnya.

Hari panas terik. Jalanan yang 

dilaluinya panas berdebu. Akan tetapi 

pemuda itu seperti tak menghirau-

kannya!

Di ujung jalan yang berbelok-

belok melintasi bukit yang tak 

seberapa tinggi itu tampak berdiri 

tiga sosok tubuh. Mereka adalah tiga 

orang laki-laki yang bertampang seram. 

Dari sikap mereka dapat diterka kalau 

ketiganya bukan manusia baik-baik. 

Masing-masing menyandang senjata, yang 

gagangnya bersembulan disisi perut. 

Pakaian merekapun tidak sama. Tapi 

dari jenis pakaian yang mereka pakai, 

bukanlah dari bahan yang murah. Bahkan 

salah seorang mengenakan kalung 

mutiara pada lehernya.

Ketika pemuda bertampang lusuh 

itu sesaat lagi melintas dijalan itu, 

salah seorang memberi isyarat. Dan 

ketiganya berkelebat lenyap dikedua 

sisi jalan itu....

Pemuda itu terus melangkah tanpa 

menyadari tiga orang pentang mata liar 

menunggu kedatangannya. Masing-masing 

telah cabut senjatanya yang digenggam 

kuat. Menanti detik-detik maut yang


sebentar lagi akan berlangsung.

"Benar-benar edan! Edan! edan! 

Gilaaaa! benar-benar gila! gila! 

gil..." belum lagi habis kata-katanya 

terkejut pemuda itu ketika tiga sosok 

bayangan berlompatan keluar dari sisi 

bukit dengan pendengarkan bentakan-

bentakan keras, menerjang ke arahnya.

"Mampuslah kau bocah linglung!"

Tiga larik sinar berkelebat dari 

tiga bilah senjata yang meluruk ke 

arah tubuhnya.

Kalau saja pemuda itu tak 

mempunyai naluri yang amat peka, tentu 

siang-siang dia sudah menjadi bangkai 

tak bernyawa ditempat itu.

Akan tetapi naluri pemuda itu 

amat peka. Begitu tiga kilatan benda 

tajam meluncur ke arah tubuhnya, 

mendadak tubuh pemuda ini seperti 

terhuyung-huyung ke sana ke mari.

Ternyata hal itu telah 

menyelamatkan nyawanya.

Tiga serangan maut itu luput. 

Bahkan salah seorang menjerit ngeri 

ketika senjata yang digunakan kawannya 

tanpa sebab telah membacok pundaknya.

Mengaduh kesakitan orang ini 

seraya melepaskan goloknya, dan ber-

gulingan melompat ke sisi. Dua 

kawannya terkejut.

Ketika mereka melihat ke arah si 

pemuda, orang yang mau dibunuh itu 

justru enak-enakan duduk diatas batu


sambil cengar cengir.

"Hahaha.. hehe... kiranya kalian 

tiga kawanan cecunguk yang tempo hari 

melarikan diri? Bagus! pucuk dicinta 

ulampun tiba. Kalian munculkan diri 

tanpa aku harus mencarinya!"

Siapa sebenarnya pemuda bertam-

pang lusuh itu anda tentu sudah 

menduganya. Ya! siapa lagi kalau bukan 

Nanjar alias si DEWA LINGLUNG.

Mendelik mata ketiga orang itu. 

Salah seorang membentak.

"Bocah linglung! Jangan kau 

anggap dirimu seperti dewa. Kau kira 

kami cuma bertiga?". Selesai berkata 

laki-laki itu memberi tanda isyarat 

dengan gerakkan tangannya.

Tiba-tiba belasan sosok tubuh 

berjompatan keluar dari balik batu-

batu dikedua sisi bukit. Dalam 

beberapa kejap saja Nanjar telah 

terkurung rapat dalam kepungan belasan 

manusia bertopeng hitam.

Diam-diam Nanjar terkejut juga 

melihat begitu banyak kawanan orang 

yang bersembunyi dikiri kanan jalan.

Akan tetapi Nanjar tunjukkan 

sikap tenang. Bahkan dia masih tetap 

duduk diatas batu dengan cengar-

cengir.

"Hahaha... aku sudah menduga 

kalian membawa bala bantuan. Eh, 

apakah kalian adalah komplotan yang 

menamakan diri Elang Siluman Hitam?"


"Bagus! Kalau kau telah menge-

tahui mengapa masih berani bertingkah 

didepan mata kami?" menyahut salah 

seorang dari belasan manusia bertopeng 

itu.

"Hm, nama Elang Siluman Hitam 

memang telah lama kudengar. Bukankah 

kalian dari kelompok orang-orang 

kerajaan Giri Nata yang telah punah? 

Tapi mengapa membantu tiga cecunguk 

ini, yang jelas adalah tiga orang 

perampok pengecut. Merampok rumah 

orang disaat yang punya rumah sedang 

tidur mendengkur! Membunuh disaat 

orang tidur adalah perbuatan yang 

paling jelek, baik dilakukan oleh 

golongan hitam atau putih! Kalau saja 

aku tak kebetulan menginap dikandang 

kuda, tentu nyawa tuan rumah sudah 

melayang!" berkata Nanjar.

"Kau bocah angon tahu apa dengan 

urusan kami? Yang akan kurampok harta 

dan kubunuh orangnya adalah orang-

orang dari kerajaan Giri Jaya yang 

menjadi musuh kami. Gara-gara ada 

kaulah hingga kami gagal melakukan 

tugas kami!" teriak salah satu dari 

tiga orang itu. Dia bernama Pulung 

Wesi. Sedangkan yang dua orang lagi 

bernama Pulung Geni dan Pulung Gaman.

"Kalian ini sebenarnya siapakah? 

Mengapa memusuhi orang-orang kerajaan 

Giri Jaya? Aku sendiri tak mengetahui 

bangsawan tua itu orang kerajaan. Yang



kuperbuat adalah menegakkan kebena-

ran!" berkata Nanjar. Kali ini dia 

bicara serius. Nanjar memang boleh di 

bilang tahu terhadap persoalan 

kerajaan.

Mendengar kata-kata Nanjar, salah 

seorang dari belasan orang bertopeng 

itu melompat ke depan Nanjar, seraya 

berkata.

"Sobat! kukira dalam hal ini kau 

tak dapat disalahkan! sebaiknya kau 

ikut kami untuk menghadap ketua!"

"Siapa ketua kalian?" tanya 

Nanjar. 

"Aku tak dapat menyebutkan-

nya sekarang. Nantilah, kau akan 

segera mengetahuinya bila telah 

berhadapan dengan beliau!" jawab laki-

laki bertopeng itu. Nanjar tercenung 

sejurus.

"Baiklah! aku..." belum habis 

Nanjar berkata, tiba-tiba laki-laki 

bertopeng dihadapannya menjerit ngeri. 

Tubuhnya terjungkal roboh. Selanjutnya 

berkelojotan bagai ayam disembelih. 

Tak lama dia telah terkapar tak 

berkutik.

Nanjar tersentak kaget. Pulung 

Wesi dan Pulung Geni melompat untuk 

memeriksa. Sementara belasan orang 

bertopeng yang lainnya terperangah 

kaget. Mereka berkelebatan melompat 

siap siaga dari serangan gelap. Namun 

tak ada tanda-tanda yang mencurigakan.


"Celaka! Pukulan INTI RACUN!" 

teriak Pulang Wesi dengan wajah pucat. 

Nanjarpun tersentak kaget. 

"Pukulan Inti Racun?" desisnya ter-

kejut. Disaat tegang itu tiba-tiba 

angin bertiup keras. Debu tebal 

beterbangan bergulung-gulung. "Apa 

lagi yang akan terjadi?" sentak Nanjar 

terkejut bercampur heran.

Belum lagi dia dapat menduga, 

tiba-tiba terdengar jeritan saling 

susul. Tubuh-tubuh orang bertopeng itu 

roboh bergedebugan. Bahkan Pulung 

Wesipun terjungkal disertai jeritan 

menyayat hati.

Nanjar tak membuang waktu. Dia 

telah berkelebat melompat dengan 

gunakan ilmu lompatan kera. Sekejap 

dia telah berada diatas tempat 

ketinggian. Dengan mata membelalak 

Nanjar pentang mata melihat belasan 

orang-orang bertopeng itu telah 

berkaparan ditanah. Jeritan terakhir 

adalah dari Pulung Geni yang disusul 

dengan tersungkurnya tubuh laki- iaki 

itu. Setelah berkelojotan beberapa 

saat, tubuhnya pun diam tak bergeming.


ENAM

KEPULAN DEBU itu beberapa saat 

antaranyapun menipis dan lenyap. 

Tiupan angin telah sirna. Keadaanpun 

menjadi lengang, sunyi seperti tak 

pernah terjadi apa-apa.

Nanjar melompat turun. Dengan 

waspada dari serangan gelap yang aneh 

itu, Nanjar memperhatikan mayat-mayat 

orang-orang bertopeng itu, termasuk 

mayat Pulung Wesi yang terkapar 

dihadapannya.

Terkejut Nanjar memperhatikan 

mayat-mayat itu yang semua kulit 

tubuhnya berubah kebiruan.

Keringat dingin secara tak di-

sadari telah mengembun ditengkuk 

Nanjar. "Siapakah manusianya yang 

punya ilmu pukulan Inti Racun begini 

ganas? Dalam sekejapan saja belasan 

nyawa melayang, sedangkan makhluk 

penyerangnya tak nampak batang hidung-

nya!" berkata Nanjar dalam hati.

Pada saat itulah terdengar suara 

tertawa terkekeh-kekeh.

Nanjar terperanjat, dengan gera-

kan sebat telah putar tubuh ke arah 

belakang. Bukan main terkejutnya dia 

karena sesosok tubuh berjubah hitam 

tanpa lengan dan kaki dengan posisi 

duduk tampak menggantung diudara, 

tengah tertawa terkekeh-kekeh menye-

ramkan. Rambutnya yang putih serta


wajah seorang yang pernah dikenalnya 

bergoyang-goyang didepan mata.

"Siluman Gila Guling?" tersentak 

kaget Nanjar. Tanpa terasa dia telah 

melangkah mundur dua tindak.

"Heheheh... kau masih 

mengenaliku, bocah?" Berkata kakek 

tanpa Daksa itu.

"Mm, kaukah yang membunuh me-

reka?" berkata Nanjar dengan mata 

menatap tak berkedip.

"Benar! bahkan aku akan membunuh 

lebih banyak lagi manusia untuk 

pengujian ilmu pukulan gaib Inti 

Racunku!" sahut si Siluman Gila Guling 

dengan tertawa mengekeh.

"Gila! gila! benar-benar gila! 

Edan! benar-benar edan!" merutuk 

Nanjar, "Apakah kau mau ludaskan 

seluruh isi dunia ini, setelah kau 

buktikan niatmu menggulingkan kerajaan 

Giri Jaya?"

"Tak perlu! Namun aku belum puas 

kalau orang-orang Rimba Persilatan 

belum tunduk padaku, dan mengakui aku 

sebagai ketua Rimba Per-silatan. Juga 

akan kudirikan kerajaan baru dibawah 

kekuasaanku!" berkata serak si Siluman 

Gila Guling.

"Rencana gila! Ambisimu benar-

benar edan dan keterlaluan, Siluman 

Gila Guling! Cita-citamu tak akan 

kesampaian, karena kebathilan tak akan 

tegak dimuka bumi ini selama masih ada


tegaknya kebenaran!" teriak Nanjar 

dengan mata melotot. Diam-diam dalam 

hati Nanjar terkejut bukan buatan 

mendengar ambisi Siluman Gila Guling 

yang setinggi langit.

"Hehehe... aku akan membuktikan-

nya!" berkata kakek tanpa daksa itu 

dengan tertawa mengekeh. "Kau bocah 

kunyuk kecil belum waktunya aku 

membunuhmu. Masih kuberi kesempatan 

padamu untuk memperdalam ilmu 

kepandaianmu! kelak kita akan bertemu 

lagi!"

Selesai berkata tubuh si manusia 

Siluman Gila Guling lenyap sirna. 

Lagi-lagi Nanjar terperangah membe-

lalak. Keringat dingin mengucur deras 

dari tengkuknya. Dia terpaku tak 

bergeming.

Mendadak Nanjar kembali merutuk.

"Gila! gila! gila! Siluman Gila 

Guling memang telah benar-benar gila! 

Edan! sungguh benar-benar edan!"

Tubuh pemuda itupun berkelebat 

pergi dari tempat yang mengerikan 

itu...

Kejadian aneh hancurnya istana 

kerajaan Giri Jaya dan terbakarnya 

gedung-gedung diwilayah Kota Raja juga 

desa-desa disekeliling wilayah kera-

jaan tak seorangpun yang mengetahui 

asal kejadian. Mayat-mayat bergelimp-

angan disekitar reruntuhan puing-puing 

istana. Puluhan prajurit tewas


terbakar. Tak terkecuali orang-orang 

istana. Sukar untuk dipercaya, karena 

menurut saksi mata terjadinya 

malapetaka itu dimalam hari. Tahu-tahu 

api telah berkobar membakar istana tak 

diketahui dari mana asalnya. Puluhan 

prajurit yang berada didalam istana 

berusaha memadamkan api. Tapi api 

justru semakin besar dan bermunculan 

disana-sini. Mereka terkurung rapat 

oleh api, tanpa bisa keluar menerobos 

kepungan api yang semakin menggila 

melalap istana megah itu.

Malapetaka itu terus merembet ke 

tempat-tempat lain disekitar wilayah 

Kota Raja. Hingga Wilayah Kota Raja 

seketika berubah menjadi lautan api. 

Jerit dan ratap terdengar disana-sini.

Ratusan manusia panik menyela-

matkan diri. Rakyat wilayah lain yang 

agak berjauhan dari Kota Raja 

mengungsi karena mengira terjadi 

peperangan di Kota Raja. Keadaan 

menjadi panik dimana-mana.

Tak sedikit jiwa yang melayang 

dengan adanya peristiwa itu. Bahkan 

orang-orang istana termasuk raja dan 

patih kerajaan dipastikan telah mati 

tertembus api. Ratusan prajurit kocar-

kacir tak tahu apa yang akan diperbuat 

mereka. Dalam keadaan seperti itu 

seorang laki-laki tua bertubuh kurus, 

sebelah lengannya mencekal seuntai 

tasbih berdiri bagai patung diantara


hiruk-pikuknya manusia. Bibirnya 

berkomat-kamit membaca tasbih. Memuji 

nama Tuhan. Hawa panas membara. 

Kepanikan melanda disetiap tempat. 

Kakek kurus memakai jubah putih yang 

cuma dibelitkan ditubuh dengan sisa 

ujungnya disampirkan dibahu itu tetap 

berdiri tak bergeming. Dari mulutnya 

terdengar suara menggumam.

"Haiiih! ramalanku tepat! tak 

dapat ditolak lagi, kerajaan Giri Jaya 

akan menemui kemusnahan. Akan muncul 

seorang manusia iblis yang bakal 

membuat huru-hara besar! Entah siapa 

orang itu...! Ahh... celaka! celaka!"

Seorang pemuda berbaju lusuh 

dengan celana kedodoran berada tak 

jauh didekat kakek kurus itu. Dialah 

Nanjar alias si Dewa Linglung. Dia 

tertarik melihat kakek kurus yang 

mencekal tasbih ini. Nanjar 

menghampiri lebih dekat. Tercekat hati 

Nanjar mendengar gumaman laki-laki tua 

ini.

Nanjar menjura hormat ketika 

kakek kurus itu menoleh padanya.

"Maafkan aku orang tua, bolehkah 

aku mengetahui siapa anda?" bertanya 

Nanjar.

"Apakah manfaatnya kau mengetahui 

siapa diriku, anak muda? toh tidak 

akan bisa menghalangi terjadinya 

musibah ini! Kebhatilan akan muncul 

dimuka bumi mengalahkan kebenaran.


Manusia akan tersesat menjadi hamba-

hamba dan budak-budak iblis! 

Selanjutnya? entah! aku tak tahu lagi 

apa jadinya bila kekuasaan telah 

beralih ditangan seorang manusia yang 

akan mengubah dunia menjadi neraka! 

Oh, betapa mengerikan! betapa akan 

mengerikan jadinya...!" berkata kakek 

itu dengan menatap tajam Nanjar.

Mulut Nanjar ternganga. Jelaslah 

kalau kakek ini seorang yang memiliki 

ilmu bathin teramat tinggi. Seorang 

kakek pertapa yang jiwanya telah 

menyatu dengan alam ghaib. Dia telah 

meramal kejadian yang akan datang dan 

membuktikan ketepatan ramalannya.

"Kakek! namaku Nanjar! bila 

menurut ramalanmu kejadian ini adalah 

akibat perbuatan seorang manusia iblis 

yang telah munculkan diri untuk 

membuat huru-hara besar, aku tahu 

siapa manusianya!"

Tentu saja kata-kata Nanjar 

membuat sikakek kerutkan keningnya. 

Sepasang alisnya yang putih lebat 

terjungkit menyatu.

"Kau mengetahui siapa manu-

sianya?" bertanya sikakek.

"Benar! Dialah seorang laki-laki 

tua tanpa daksa yang tak mempunyai 

lengan dan kaki bergelar si Siluman 

Gila Guling!" jawab Nanjar.

"Dari mana kau anak muda 

mengetahui?" tanya sikakek tertegun.


"Aku pernah berjumpa dengan 

manusia itu satu kali!" ujar Nanjar. 

Tercekat hati orang tua ini. 

"Ceritakan siapa sebenarnya dia, 

apakah kau juga mengetahui asal-usul 

manusia itu?"

Nanjar mengangguk. Lalu tanpa 

ragu-ragu Nanjar segera tuturkan 

perihal Siluman Gila Guling panjang 

lebar, sesuai dengan apa yang 

didengarnya.

Seperti dituturkan dalam judul, 

Siluman Gila Guling sebelum judul 

kisah lanjutannya ini, telah 

dituturkan kalau kakek tanpa daksa itu 

adalah bekas seorang kepala bajak 

laut, bernama Bromo Seto.

Bromo seto memimpin penyerbuan 

untuk merebut kerajaan Giri Nata 

bersama anak buah dan kawan-kawannya. 

Peperangan berkecamuk yang berakhir 

dengan jaluhnya kerajaan Giri Nata ke 

tangan Bromo Seto dan kawan-kawannya.

Kemudian nama kerajaan Giri Nata 

diubah manjadi Giri Jaya.

Perselisihan timbul dikalangan 

mereka, karena Bromo Seto menginginkan 

dirinya memegang tampuk pemerintahan. 

Namun dihalangi oleh kawan-kawanya. 

Hingga akhirnya Bromo Seto ditangkap 

untuk dipenjarakan. Selanjutnya dengan 

kejam mereka membuntungi anggota tubuh 

Bromo Seto, kemudian membuangnya ke 

dalam lembah.


Sengaja mereka membiarkan Bromo 

Seto hidup, karena toh ajalnya sudah 

didepan mata. Namun sungguh tak 

dinyana kalau Bromo Seto masih bisa 

bertahan hidup hingga saat ini, 

setelah selama belasan tahun sembunyi 

didalam lembah dan memperolah ilmu 

kesaktian ghaib yang amat luar biasa.

Kemunculan seorang gadis muridnya 

membuat heboh dengan membunuhi orang-

orang kerajaan atas perintahnya. 

Sebagai pembalasan dendam Bromo Seto.

Setelah kematian muridnya yang 

membunuh diri yang bernama Cantrik 

Sari, Bromo Seto bertekad 

menggulingkan kerajaan Giri Jaya.

Demikianlah, Nanjar bentangkan 

asal-usul Siluman Gila Guling dengan 

panjang lebar seperti apa yang 

didengar sendiri dari kakek tanpa 

daksa itu.

Kakek pertapa peramal itu 

tercenung beberapa saat mendengar 

penuturan Nanjar. Sementara api yang 

membakar istana semakin membesar 

melalap seluruh isi istana itu.

Sang kakek menghela napas. Lalu 

terdengar dia berkata.

"Anak muda! tenagamu masih bisa 

dibutuhkan! pergunakanlah untuk 

menolong orang yang masih bisa kau 

tolong. Kelak bila bencana sudah usai 

dan kau ada waktu setelah kau 

menyelesaikan urusanmu, datanglah ke


puncak gunung manyar merah, tempat aku 

bertapa. Banyak hal yang akan kita 

rundingkan mengenai kemunculan si 

Siluman Gila Guling...!" ujar kakek.

"Dimana adanya gunung Manyar 

Merah itu, kakek..?" bertanya Nanjar.

"Pergilah ke arah timur. Nanti 

akan kau jumpai dua lembah dan dua 

bukit. Melewati bukit terakhir segera 

kau akan melihat gunung Manyar Merah!" 

ujar sang kakek.

"Baiklah, kakek! kelak aku pasti 

datang mengunjungimu!" berkata Nanjar.

"Nah, sampai jumpa lagi!" selesai 

berkata Nanjar balikkan tubuh untuk 

segera beranjak dari tempat itu. Akan 

tetapi tiba-tiba berseru si kakek.

"Tunggu!"

"Ada apakah kau menahanku, kek?"

"Anak muda! kau berjodoh bertemu 

dengan aku orang tua pertapa. 

Terimalah tasbih ini mungkin ada 

gunanya!" berkata si kakek, seraya 

melemparkan tasbih ditangannya. Dengan 

sigap Nanjar menyambutnya. Ketika 

Nanjar menoleh kearah si kakek, bukan 

main terkejut dan herannya Nanjar. 

Karena sekejap saja sosok tubuh kakek 

itu telah lenyap.

"He? kemana perginya dia? Aneh!? 

begitu cepatnya dia berlalu..." 

Memikir kalau-kalau si kakek itu bukan 

manusia, tengkuk Nanjar meremang 

dingin. Namun tak lama si Dewa


Linglung telah berkelebat dari tempat 

itu...

TUJUH

Nanjar duduk termangu-mangu di-

atas batu ditepi sungai berair jernih. 

Dilengannya tercekal seuntai tasbih 

warna hijau yang tengah dipermainkan 

biji-bijinya. Itulah tasbih pemberian 

si kakek pertapa tukang ramal. 

Ingatannya baru saja melayang pada 

peristiwa beberapa hari yang lalu 

ketika dia berjumpa dengan si kakek 

pertapa.

Hatinya tercekat untuk segera 

menemui orang tua itu dipuncak gunung 

Manyar Merah. Sementara itu hatinya 

bertanya-tanya melihat benda ditangan 

pemberian si kakek.

"Kakek pertapa itu memberikan 

tasbih ini padaku dan mengatakan 

barang kali ada gunanya. Untuk apakah 

gunanya tasbih ini?" berkata Nanjar 

dalam hati. Tasbih Warna hijau itu 

terbuat dari batu Giok yang teruntai 

dengan tali serat yang amat kuat. 

Karena tak dapat memikir guna tasbih 

itu, Nanjar masukkan lagi benda itu 

kesaku bajunya.

"He he.. biarlah kusimpan saja. 

Aku toh bisa menanyakan nanti pada si 

kakek itu bila berjumpa dengannya!" 

menggumam Nanjar. Dia segera bangkit


berdiri. "Sebaiknya aku segera pergi 

ke puncak gunung Manyar Merah sekarang 

juga!" memikir Nanjar.

Setelah mengambil keputusan, tak 

berayal lagi segera Nanjar berkelebat 

ke arah timur. Dengan gunakan ilmu 

lari cepat dia menerobos hutan, 

melompati sungai dengan gerakan seolah 

bagaikan terbang.

Kita tinggalkan dulu Nanjar yang 

sedang menuju ke puncak gunung Manyar 

Merah. Mari kita beralih ke satu 

tempat yang jauh dari wilayah Kota 

Raja. Bukit LENGSER menjulang tinggi 

dikelilingi rapatnya hutan rimba.

Dibagian sisi puncak bukit itu 

tampak berdiri sebuah rumah kayu. 

Sepintas rumah kayu itu lak ber-

penghuni. Keadaan yang sunyi lengang, 

sesekali cuma terdengar suara burung-

burung yang kebetulan lewat diatasnya 

telah diselingi oleh suara isak 

tersendat dari dalam pondok kayu itu.

Ternyata disudut ruangan duduk 

seorang gadis berambut kusut. Penutup 

auratnya cuma selembar kain yang sudah 

sobek disana-sini. Gadis ini tengah 

menangis terisak-isak dengan air mata 

bercucuran. Siapa adanya gadis ini? 

Dialah CITRASIH, murid termuda 

perguruan Langir Biru. Cucu angkat Ki 

Bangun Reksa dari puncak gunung 

Simembut.

Sementara itu dikaki bukit se


sosok bayangan tubuh manusia 

berkelebat mendaki lereng bukit dengan 

gerakan laksana seekor kijang.

Sepintas bila orang melihat 

takkan menyangka kalau bayangan itu 

adalah bayangan tubuh seorang pemuda 

berpakaian kumal, berambut gondrong 

dengan celana yang kedodoran. Bahkan 

bisa-bisa dia disangka makhluk halus. 

Karena bagi manusia biasa tak mungkin 

bisa melakukan pendakian dengan begitu 

cepat.

Dalam waktu tak sepcminuman teh 

dia telah tiba dipuncak bukit lengser. 

Kini jelas siapa adanya pemuda itu 

yang tak lain dari Nanjar alias si 

Dewa Linglung. Dalam perjalanan 

menuju ke puncak gunung Manyar Merah, 

Nanjar melintasi bukit itu. Bukit ini 

adalah bukit terakhir yang harus 

dilewati. Setelah melewati bukit ini 

akan tampak gunung Manyar Merah.

Nanjar memandang berkeliling 

melihat keadaan puncak bukit itu. 

Tiba-tiba dia tertegun karena melihat 

sebuah rumah kayu tak seberapa jauh 

dari tempat dia berdiri.

"Eh? kebetulan! ada sebuah rumah. 

Entah siapa penghuninya. Aku bisa 

numpang beristirahat barang seje-

nak..." bergumam Nanjar. Namun dia 

telah kerutkan keningnya ketika 

mendengar suara terisak yang datang 

dari dalam pondok kayu itu.


"He? ada suara orang menangis...! 

Hm, sebaiknya kulihat, siapakah dia 

dan ada apakah yang terjadi?" berkata 

Nanjar dalam hati. Tak ayal segera dia 

melompat untuk segera tiba dimuka 

pondok kayu itu.

Dengan pelahan Nanjar melangkah 

agar tak menimbulkan suara. Dari celah 

dinding kayu dia mengintip ke dalam.

Tentu saja seketika wajah Najar 

berubah merah. Karena melihat sosok 

tubuh seorang gadis yang boleh 

dibilang hampir membugil.

Namun melihat orang menangis mau 

tak mau dia harus masuk ke dalam untuk

bertanya. Siapa tahu gadis itu 

diperkosa orang, atau ada musibah yang 

menimpanya.

Memikir demikian Nanjar segera 

bergerak melompat ke pintu.

Terperanjat Citrasih melihat 

seorang laki-laki telah berdiri 

didepan pintu ruangan. Seorang pemuda 

lusuh berambut gondrong yang 

memandangannya dengan wajah serius.

"Siapakah kau nona? Apakah yang 

telah terjadi denganmu?" bertanya 

Nanjar.

"Ah,... si., siapakah anda?" 

Citrasih justru malah bertanya. Nanjar 

jadi garuk-garuk kepala yang tidak 

gatal. Namun ada baiknya dia

mengatakan yang sebenarnya agar tak 

membuat kecurigaan pada gadis itu


pikir Nanjar.

"Namaku Nanjar. Aku dalam 

perjalanan menuju kegunung Manyar 

Merah karena ada suatu urusan hingga 

kumelewati puncak bukit ini. Harap kau 

tak curiga terhadapku. Aku orang baik-

baik!" berkata Nanjar.

Gadis itu manggut-manggut. 

Wajahnya mendadak menampilkan wajah 

girang.

"Aku... aku tertotok! Bisakah 

anda menolongku?" berkata Citrasih. 

Hati Citrasih tercekat melihat seorang 

pemuda yang bertampang konyol tapi tak 

ada tanda-tanda dia orang jahat. Walau 

pun sepintas mata pemuda itu seperti 

membinar ketika menatapnya. Namun tak 

berlangsung lama. Nanjar memang cepat-

cepat mengalihkan tatapannya dari 

bagian tubuh terlarang yang cuma ter-

tutupi sobekan kain.

Mendengar gadis itu dalam keadaan 

tertotok, tentu saja membuat Nanjar 

terkejut. "Haiiiih!" ucapnya. Dan 

entah bagaimana gerakan Nanjar yang 

dilakukan untuk membuka totokan 

ditubuh si gadis. Begitu cepatnya 

hingga tahu-tahu sigadis merasa 

totokan ditubuhnya telah terbuka.

Akan tetapi sungguh heran 

Citrasih, karena tak melihat si 

penolongnya berada di ruangan itu 

lagi.

Bergegas dia membenarkan kain


yang membelit ditubuhnya untuk lebih 

menyembunyikan aurat tubuhnya. Pada 

saat itu sesosok bayangan muncul 

dipintu pondok. Seorang laki-laki muda 

berpakaian warna biru menyandang 

pedang di pinggang berdiri dipintu 

pondok. Menatap ke arahnya dengan mata 

membelalak dan mulut ternganga.

"CITRASIH!?... kau... kau berada 

disini? Apakah yang terjadi denganmu? 

Si., siapa laki-laki yang barusan 

melompat keluar dari jendela?"

"Ah!? kau... kau PAMUJI!?" sua-

ra Citrasih setengah berteriak karena 

terkejut dan girangnya.

"Benar! aku Pamuji! Katakan siapa 

yang membawamu kesini? Apa yang 

terjadi sebenarnya? Siapakah orang 

yang melompat dari jendela barusan?" 

berkata Pamuji dengan mengulangi 

pertanyaan.

"Dia..." Citrasih tak sempat me-

neruskan kata-katanya karena dibe-

lakang pondok terdengar bentakan 

keras.

"Manusia keparat jangan lari!" 

Diiringi suara bentakan itu terdengar 

suara berderak yang disusul seperti

suara pohon roboh. Selanjutnya yang 

terdengar adalah suara dari dua orang 

yang bertarung seru.

Citrasih membelalakkan matanya 

menatap Pamuji. "Seperti suara guru? 

Apakah kau bersama beliau?" bertanya


gadis ini.

"Benar! aku memang bersama 

beliau. Guru tentu sedang berusaha 

membekuk orang itu. Siapakah dia 

sebenarnya?"

"Dia... dia orang yang telah 

membebaskan aku dari totokan!" jawab 

Citrasih dengan terkejut. "Celaka! 

kalian salah menyangka! Cegahlah 

pertarungan itu!" setengah berteriak 

Citrasih beranjak untuk melompat 

keluar. Akan tetapi Pamuji meng-

halangi.

"Tunggu! biarlah aku yang 

mencegahnya!" berkata Pamuji. Dia 

keluarkan sebuah bungkusan dari balik 

baju dan serahkan pada gadis itu. Lalu 

buka bajunya yang basah oleh keringat, 

kemudian diberikan pula pada Citrasih, 

seraya berkata.

"Kau pakailah untuk menutupi 

tubuhmu..!"

Citrasih telah membuka bungkusan 

itu, yang ternyata berisi celana 

pangsi tipis yang selalu dibawa 

Pamuji untuk sewaktu-waktu berganti 

pakaian.

"Kau... kau baik sekali, 

Pamuji..!" berkata Citrasih dengan 

mata berkaca-kaca.

Pamuji cuma tersenyum. Lalu dia 

balikkan tubuh untuk berkelebat keluar 

pondok.


DELAPAN

HAHAHA...HEHE... dasar nasibku 

yang sial! Nyaris aku disangka orang 

menyekap adik Citrasih ini!" tertawa 

Nanjar gelak-gelak. "Jadi kalian telah 

tiba terlebih dulu sebelum aku?"

"Benar, sobat Nanjar! kami baru 

saja mau memeriksa isi pondok karena 

mendengar suara orang terisak-isak 

menangis. Tiba-tiba anda muncul. Kami 

cepat bersembunyi. Kami mengira kau 

adalah orang yang menyekap seorang 

perempuan dalam pondok itu. Bahkan aku 

sendiri tak mengira kalau dia adalah 

justru cucu angkat dan muridku sendiri 

yang kucari-cari..!" berkata Ki Bangun 

Reksa menjawab pertanyaan Nanjar dan 

memberi penjelasan.

"Maafkan kekeliruanku itu, anak 

muda!" sambung Ki Bangun Reksa. 

"Ah, tak apa. Sungguh gembira aku 

bisa berjumpa dengan kalian! Kini 

biarlah kita mendengarkan cerita adik 

Citrasih ini membeberkan peristawa 

yang dialaminya."

Citrasih tunduk tersipu. Air 

matanya kembali menitik dan meleleh 

membasahi pipinya. "Sudahlah Citrasih, 

cucuku. Jangan bersikap cengeng. Apa 

yang telah terjadi hadapilah dengan 

tabah. Siapakah yang telah menyekapmu 

ditempat ini? Dan siapa pula yang 

telah membunuh Aji Prana? Pedang yang


menancap didada kakak seperguruanmu 

itu jelas pedang milikmu! Apakah kau 

yang telah membunuhnya? mengenai 

kematian empat saudara seperguruanmu 

diluar goa aku sudah mengambil 

kesimpulan seseorang yang telah ku

kenal itulah yang membunuhnya. Hal itu 

bisa diusut belakangan. Dan emang aku 

perlu mencari dia untuk membuktikan 

kebenaran tuduhanku!" berkata lirih Ki 

Bangun Reksa, menghibur Citrasih yang 

semakin sedih mendengar Aji Prana 

tewas, juga keempat saudara 

seperguruannya.

"Eh, tunggu dulu! Siapakah orang 

yang kau maksud yang membunuh keempat 

orang muridmu itu?" potong Nanjar.

"Menurut dugaanku dialah orang 

yang bernama Ki ANGGUNO! Karena aku 

mengenali ilmu pukulannya dari melihat 

mayat murid-murid-ku yang membiru 

terkena racun! Itulah jurus pukulan 

INTI RACUN yang amat luar biasa 

ganasnya!" jawab Ki Bangun Reksa.

"Ah!? pukulan semacam itu juga 

dimiliki si Siluman Gila Guling!" 

berkata Nanjar terperajat. "Apakah kau 

tak salah menduga?"

"Siapakah Siluman Gila Guling?" 

Ki Bangun Rekso balik bertanya.

"Dialah manusia setengah iblis! 

Dia pula sipenghancur Kerajaan Giri 

Jaya, pembawa malapetaka yang bakal 

merubah bumi ini menjadi neraka!"


Terperanjat Ki Bangun Rekso 

maupun Pamuji. Sementara Citrasih jadi 

ternganga mendengar kata-kata Nanjar. 

Sekujur tubuh dara ini menggetar. 

Manusia setengah iblis itulah yang 

telah menodainya dan membawanya ke 

tempat ini.

Secara singkat Nanjar segera 

ceritaan kejadian mengenai Siluman 

Gila Guling yang telah menewaskan 

orang-orang Elang Siluman Hitam dimana 

dia sendiri berhadapan dengan tokoh 

hitam tanpa daksa itu. Juga secara 

singkat Nanjar tuturkan sedikit 

riwayat si Siluman Gila Guling, juga 

pertemuannya dengan seorang kakek 

pertapa yang meramal akan kemunculan 

manusia setengah iblis itu!

"Nama sebenarnya tokoh hitam itu 

adalah BROMO SETO!" ujar Nanjar 

mengakhiri penuturannya.

Tersentak kaget Ki Bangun Reksa.

"Pantas! tidak salah kalau 

begitu! Dia adalah kakak seperguruan 

Angguno. Pantaslah kalau memiliki ilmu 

pukulan yang sama!" berkata Ki Bangun 

Rekso.

"Tapi si Siluman Gila Guling 

mempergunakan ilmu itu dengan tenaga 

kekuatan ghaib! Dia bisa datang dan 

pergi seperti angin. Kekuatan ghaib 

yang dimilikinya amat luar biasa!" 

berkata Nanjar, dengan wajah serius.

"Apapun manusianya, atau iblis


sekalipun aku tidak gentar! Dia harus 

dilenyapkan dari muka bumi ini. Demi 

keselamatan manusia aku rela berkorban 

dengan darah dan nyawaku!" berkata 

gagah kakek ini.

"Benar! tentu saja akupun tak 

tinggal diam. Aku akan membantu 

perjuanganmu dan kaum pendekar 

menumpas manusia setengah iblis itu!" 

berkata Nanjar. Pamuji manggut-

manggut.

"Darah dan nyawanyakupun akan 

kupertaruhkan demi kedamaian dibumi 

ini!" ujar Pamuji dengan mencekal hulu 

pedangnya.

"Ya! kita memang harus bersatu! 

Kalau kita bercerai-berai mana mungkin 

semua itu bisa terlaksana?" tukas Ki 

Bangun Reksa.

Kakek ini kembali menatap pada 

Citrasih.

"Bagaimana cucuku? apakah kau 

sanggup untuk menceritakan pada kami 

mengenai kejadian yang sebenarnya?" 

berkata Ki Bangun Reksa.

Gadis ini menggigit bibirnya 

menahan kepedihan yang menyesakkan 

dada.

"Baik, guru....! aku akan mence-

ritakannya..." ujar Citrasih. Tam-

paknya dia sudah mulai dapat menahan 

perasaannya untuk segera menuturkan 

perihal kejadian itu.

Demikianlah, Citrasih segera


tuturkan apa yang telah terjadi dengan 

sejelas-jelasnya.

Ternyata ketika Aji Prana 

menatapkan pandangan matanya pada 

Citrasih didalam ruang goa itu, gadis 

itu seperti terpana. Dia melihat sinar 

aneh pada mata sang kakak seperguruan. 

Di saat itu telinganya mendengar 

bisikan halus yang menyuruhnya 

membiarkan Aji Prana melucuti pakaian-

nya. Dia tak kuasa untuk menolak. Aji 

Prana menatapnya dengan penuh nafsu. 

Pemuda itupun melucuti pakaiannya 

sendiri. Akan tetapi mendadak bisikan 

halus kembali terdengar yang 

menyuruhnya membunuh Aji Prana. Aneh! 

dia tak kuasa untuk menolak. Secepat 

kilat dia lepaskan diri dari pelukan 

Aji Prana, dan menyambar pedang 

miliknya yang tergeletak tak jauh dari 

sisinya. Lalu, dengan sekali ayun 

pedang itu telah menancap didada sang 

kakak seperguruan.

Melihat Aji Prana roboh, dia 

terpekik kaget. Tapi saat itu mendadak 

kepalanya terasa pening. Pandangan 

matanya berkunang- kunang. Selanjutnya 

dia telah roboh tak ingat apa-apa 

lagi.

Ketika sadar Citrasih merasa 

tubuhnya telah ternoda. Pada pertama 

dia tak mengetahui siapa yang telah 

menodainya. Namun disaat yang kedua 

kalinya dia mendengar suara tertawa


parau menyeramkan. Dia ketakutan 

setengah mati. Namun tak berdaya, 

karena Citrasih dalam keadaan 

tertotok. Ketika tak lama setelah 

suara tertawa itu lenyap, mendadak 

dirasakan tubuhnya ada yang memeluk. 

Aneh! Karena dia tak melihat sesosok 

tubuhpun berada diatas tubuhnya.

Begitu ketakutannya Citrasih, 

hingga kembali dia pingsan tak 

sadarkan diri. Ketika sadar dia 

mendengar suara orang tertawa mengekeh 

disampingnya. Suara itu memberitahukan 

siapa dirinya. Dialah si Siluman Gila 

Guling!

Demikianlah, hingga sampai 

beberapa hari Citrasih disekap dalam 

pondok kayu itu. Tubuhnya semakin 

lemah, dan dia telah putus asa. Hingga 

akhirnya datanglah pertolongan ketika 

mereka muncul dipuncak bukit itu....

Citrasih mengakhiri penuturannya 

dengan tundukkan wajahnya. Dia kembali 

terisak-isak, mencucurkan air mata.

SEMBILAN

PONDOK KAYU diatas bukit lengser 

mendadak dihempas angin yang ber-

gulung-gulung. Terdengarlah suara.

BRRRRAAAAKK! 

Seketika rumah kayu itu porak 

poranda. Serpihan-serpihan kayu



melayang ke udara terbawa pusaran 

angin dahsyat itu. Terdengar suara 

parau memaki. "Keparat! kemana 

perginya bocah ayu itu? Kalau tak ada 

yang menggondolnya mustahil dia bisa 

minggat!" Sesosok tubuh samar-samar 

menjelma ditempat itu. Ternyata 

seorang kakek tanpa daksa yang tak 

berlengan dan tak berkaki. Siapa lagi 

kalau bukan si Siluman Gila Guling.

Mengetahui gadis sekapannya 

lenyap, manusia setengah iblis ini 

gusar bukan buatan hingga dia 

menghancurkan pondok kayu itu dengan 

ilmu ghaibnya.

Sementara itu dibawah bukit, 

empat sosok tubuh berkelebatan mendaki 

bukit itu. Mereka melihat adanya angin 

keras yang menerbangkan puing-puing 

kayu dan atap rumah. Diantara keempat 

sosok tubuh itu, salah seorang adalah 

seorang laki-laki tua berusia antara 

50 tahun. Sedangkan yang tiga orang 

tak lebih dari tiga puluhan tahun. 

Siapakah mereka ini?

Dialah Ki ANGGUNO dan ketiga 

orang muridnya. Ketiga laki-laki yang 

turut mendaki dikiri-kanannya adalah 

murid-murid utama Ki Angguno yang 

mengepalai komplotan Elang Siluman 

Hitam. Seperti telah diceritakan 

orang-orang Elang Siluman Hitam telah 

dibantai habis oleh Siluman Gila 

Guling dengan ilmu ghaib pukulan Inti



Racun.

"Manusia iblis terkutuk Siluman 

Gila Guling! hari ini jangan harap kau 

dapat meloloskan diri!" bentakan 

menggledek Ki Angguno membuat kakek 

tanpa daksa itu berpaling.

"Hm, siapakah kalian?" mendengus 

si kakek ini. Akan tetapi air mukanya 

berubah ketika mengenali Ki Angguno.

"Heh!? kiranya kau Angguno?"

Ki Angguno kerutkan kening. 

Alisnya terjungkit naik. Dia menatap 

pada kakek tanpa lengan dan kaki itu 

yang duduk diatas rumput.

"Kau....bukankah kau BROMO SETO?" 

berkata dia dengan terkejut.

"Hehehe....benar! Lebih dari 

sepuluh tahun kita tak pernah bertemu 

apakah kau sudah menjadi raja dan 

mempunyai banyak selir?" berkata 

sikakek dengan tertawa sinis.

"Bromo Seto! kau menyindirku? 

Sudah jelas kaulah yang telah 

menghancurkan cita-citaku. Penyerbuan-

mu belasan tahun yang silam berhasil 

merebut kekuasaan kerajaan Giri Nata. 

Aku adalah patih kerajaan Giri Nata 

yang berhasil meloloskan diri. 

Begitukah perbuatan seorang kakak 

seperguruan? Menghancurkan kebahagiaan 

orang lain, bahkan orang itu adalah 

adik seperguruanmu sendiri!" berkata 

Ki Angguno. Sementara diam-diam Ki 

Angguno terkejut melihat bekas kakak


seperguraannya telah menjadi orang 

cacad.

"Hehehe....siapa yang tahu kau 

bercokol dikerajaan Giri Nata?" jawab 

Siluman Gila Guling dengan tertawa 

tawar. "Nasibku toh tak lebih buruk-

dari nasibmu! Kau lihatlah! aku telah 

menjadi orang tanpa daksa! Semua ini 

akibat kawan-kawan seperjuanganku 

sendiri! Akibat perbuatan mereka 

itulah aku menyimpan dendam kesumat. 

Hingga akhir tiba saatnya aku 

munculkan diri untuk menghancurkan 

kerajaan Giri Nata yang telah mereka 

kuasai sekian lama!"

"Jadi kaulah yang menimbulkan 

bencana diwilayah kerajaan ini?" 

tersentak kaget Ki Angguno.

"Hehe....benar!"

"Edan!? ilmu apakah yang kau 

punyai?" terperangah Ki Angguno 

seperti tak percaya. Siluman Gila 

Guling tak menjawab. Dia pejamkan 

mata. Bibirnya berkomat-kamit seperti 

membaca mantera. Tiba-tiba dia 

membungkuk seperti bersujud dua kali 

mencium tanah. Mendadak angin keras 

membersit melanda disekitar bukit. Ki 

Angguno dan ketiga muridnya melangkah 

mundur terkejut. Tiba-tiba terdengar 

letupan-letupan kecil disekeliling 

puncak bukit itu. Aneh! karena setelah 

letupan-letupan itu terjadi, seketika 

saja api telah berkobar disekeliling


puncak bukit.

Membelalak mata keempat orang itu 

melihat kejadian aneh yang sukar 

dipercaya dan tak masuk diakal. Tapi 

kenyataannya memanglah demikian! 

Sebentar saja hawa panas mengembara. 

Api berkobaran mengurung mereka 

disegala penjuru.

"Ilmu Sihir!" teriak tiga murid 

Ki Angguno terperanjat.

"Ilmu iblis!" sentak Ki Angguno 

dengan mata membelalak.

Siluman Gila Guling perdengarkan 

suara tertawa terkekeh-kekeh.

"Hahah..heheheh.... itulah ilmu 

ghaib Raja Iblis! Dengan kekuatan ilmu 

yang kumiliki bukan saja aku bisa 

menghancurkan seluruh wilayah kerajaan 

Giri Jaya, akan tetapi aku sanggup 

membakar seluruh isi jagat ini!" 

sumbar Siluman Gila Guling. Suara 

tertawanya masih terdengar parau 

menyakitkan anak telinga, akan tetapi 

manusianya telah lenyap dari tempat 

itu.

"Gila! Ilmu Iblis yang benar-

benar gila!" teriak Ki Angguno.

Bagaimana Ki Angguno bisa muncul 

ditempat ini dan mengetahui adanya 

Siluman Gila Guling? Seperti telah 

diceritakan dibagian depan, sewaktu 

terjadinya pengepungan terhadap Nanjar 

yang melewati celah dua bukit dijalan 

berliku-liku, oleh tiga orang laki


laki, kemudian muncuj komplotan orang-

orang bertopeng hitam.

Mereka adalah anak-anak buah Ki 

Angguno.

Kemudian muncul Siluman Gila 

Guling membantai mereka dengan ilmu 

ghaib beracun yang menewaskan semua 

anak buah Ki Angguno, kecuali Nanjar.

Seorang anak buah Ki Angguno 

ternyata tak turut serta dalam 

pengepungan itu. Dia bersembunyi di 

belakang batu besar. Anak buahnya yang 

luput dari kematian itulah yang 

melapor pada Ki Angguno. Dalam rangka 

melacak jejak Siluman Gila Guling, 

mereka melihat puing-puing kayu 

beterbangan di atas bukit Lengser, 

hingga mereka menjumpai kakek tanpa 

daksa itu....

Kakek pertapa bernama Kyai Bangah 

itu manggut-mangut mendengar penuturan 

Ki Bangun Raksa yang bercerita tentang 

siapa adanya si Siluman Gila Guling, 

juga peristiwa yang di alami cucu 

angkatnya, Citrasih.

"Aku tak keberatan menerima cucu 

angkatmu untuk sementara berdiam 

dipertapaanku di puncak gunung Manyar 

Merah ini!" berkata Kyai Bangah.

"Terima kasih atas kesediaan 

Kyai. Kukira memang inilah tempat yang 

tepat bagi Citrasih, cucu angkatku 

ini. Karena kami sangat khawatir 

dengan perkembangan jiwanya. Dan


khawatir kalau dia mengambil jalan 

pintas membunuh diri...!" buru-buru Ki 

Bangun Reksa menjura mengucap terima 

kasih.

"Adapun tujuan kami untuk selan-

jutnya adalah..." sambung Ki Bangun 

Reksa seraya menatap pada Pamuji dan 

Nanjar si Dewa Linglung.

"Kami bertekad akan mencari upaya 

untuk membinasakan si Siluman Gila 

Guling. Karena dengan membiarkan 

manusia setengah iblis itu hidup lebih 

lama berarti akan memperbanyak malape-

taka!"

Kyai Bangah manggut-manggut. 

Tiba-tiba kulit kening sang Kyai 

tampak berkerut. "Sebaiknya kalian 

jangan berangkat dulu dan tingggal 

disini satu-dua hari lagi. Firasatku 

mengatakan bahwa manusia setengah 

iblis itu tak berada jauh lagi dari 

wilayah ini!"

''Ahh...!?" tersentak Ki Bangun 

Rekso maupun Pamuji juga Nanjar.

Mereka sama menatap pada Kyai 

Bangah. Sejenak keheningan mencekam 

sedangkan Citrasih yang sedari tadi 

diam saja duduk disamping sang Kyai, 

tiba-tiba buka suara.

"Bila dia muncul ditempat ini, 

perkenankanlah aku mengambil tindakan. 

Dan kuharap guru maupun Kyai juga 

lainnya jangan menghalangi tindakan 

apa yang bakal kulakukan!" Sambil



berkata Citrasih bangkit berdiri. 

Wajahnya kaku tegang. Sepasang matanya 

memancarkan cahaya dendam.

"Duduklah cucuku...!" ujar Kyai 

Bangah.

Namun Citrasih seperti tak 

mendengar kata-kata Kyai Bangah. Dia 

tetap berdiri menatap ke mulut goa 

dengan pandangan kosong.

Tampak butir-butir air mata 

meleleh turun dari genangan di kelopak 

mata dara cantik ini.

SEPULUH

Pamuji hangkit berdiri seraya 

beranjak mendekati dara ini. 

"Duduklah, adik Citrasih! apakah 

maksud kata-katamu?" berkata Pamuji. 

Sementara Nanjar cuma bisa garuk-garuk 

kepala ditempat duduknya. Tapi 

mulutnya menggumam lirih. "Wah, gawat 

kalau begini urusannya...!" 

Pamuji berhasil Membujuk Citrasih 

untuk kembali duduk. Ki Bangun Rekso 

menatap tajam pada sang murid. 

Terdengar orang tua ini menghela 

napas, lalu berkata.

"Tindakan apakah yang akan kau 

lakukan, cucuku cah bagus?"

"Aku tak dapat memberitahukannya! 

aku tak akan mengatakannya!"

Selesai menyahut gadis ini


menutup mukanya, dan menangis terisak-

isak. Ki Bangun Rekso menggeleng-

gelengkan kepala, dan mereka saling 

tatap dengan mulut membisu. Kalau saja 

mereka tahu bahwa niat Citrasih adalah 

bila manusia iblis itu muncul, dara 

itu bersedia korbankan dirinya untuk 

ditawan kembali, demi keselamatan 

nyawa mereka. Maka persoalannya 

menjadi terang.

"Kyai...! berilah kami petunjuk 

untuk menghadapi manusia iblis itu! 

Apakah sudah tiba saatnya kebhatilan 

akan menguasai umat manusia? apakah si 

Siluman Gila Guling tak dapat 

dimusnahkan? Kami tahu Kyai orang yang 

arif! Apakah Kyai akan membiarkan umat 

manusia dilanda malapetaka?"

Kata-kata Nanjar membuat semua 

orang menoleh padanya.

Sejurus Kyai Bangah terdiam tak 

menjawab pertanyaan Nanjar. Semua yang 

hadir menunggu kakek pertapa itu buka 

suara. Begitu heningnya suasana hingga 

tarikan napas mereka sama terdengar. 

Kyai Bangah telah pejamkan matanya. 

Jari-jari tangannya bergerak-gerak 

seperti menghitung ruas-ruas tulang 

ditelapak tangan. Melihat apa yang 

dilakukan si kakek pertapa, Nanjar 

teringat pada tasbih batu giok 

pemberian si kakek pertapa itu yang 

masih tersimpan disaku bajunya. 

Biasanya si kakek gunakan tasbih itu


untuk menghitung.

Dia hampir tak sabar menunggu, 

mendadak Kyai Bangah membuka matanya. 

Mulutnya telah berhenti berkemak-

kemik. Kakek pertapa ini menghela 

napas, dan berkata.

"Aku tak dapat memastikan si 

Siluman Gila Guling itu bisa 

dimusnahkan. Tapi akupun tak 

menafsirkan bahwa kebhatilan akan 

berkuasa diatas jagat raya ini! Namun 

aku juga tak akan berpeluk tangan 

berdiam diri menghadapi masalah besar 

ini. Aku cuma manusia biasa yang 

lemah. Hanya Tuhanlah tempat kita 

bernaung dengan segala kebesaranNYA. 

Kita hanya bisa berlindung padaNYA! 

Mengenai petunjuk yang bisa kuberikan, 

untuk memusnahkan manusia setengah 

iblis itu dipe-lukan petunjuk Ghaib! 

Petunjuk Ghaib itu bisa didapatkan 

dengan jalan bertafakur mendekatkan 

diri pada Yang Maha Pencipta!" ujar 

Kyai Bangah. Lalu lanjutnya.

"Untuk mendapatkan petunjuk Ghaib 

itu tidak mudah, tak sembarang orang 

bisa mendapatkannya. Untuk itu aku 

akan berusaha sekuat tenaga untuk 

membantu kalian, demi keselamatan kita 

semua. Juga demi ketentraman diatas 

jagat raya ini. Ilmu dengan kekuatan 

Ghaib hanya bisi dikalahkan dengan 

kekuatan Ghaib juga. Kekuatan ghaib 

ada yang berasal dari iblis, ada yang


berasal dari Yang Maha Pencipta. Walau 

sebenarnya semua kekuatan ghaib itu 

berasal dari Yang Maha Pencipta..." 

demikian ujar Kyai Bangah dengan 

serius.

Semua yang hadir mendengarkan 

dengan penuh perhatian. Setelah 

menghela napas, Kyai Bangah tampak 

kembali kerutkan keningnya.

"Agaknya waktu telah demikian 

mendesak aku cuma bisa memberikan 

petunjuk untuk penjagaan saja terhadap 

kalian. Tapi hal itu jangan kalian 

anggap telah sempurna. Karena semua 

ilmu diatas jagad raya ini tak lepas 

dari kekuasaan Yang Maha Pencipta. 

Semoga apa yang bisa kuberika ini ada 

manfaatnya...!" ujar sang Kyai.

Selanjutnya Kyai Bangah menyuruh 

mereka untuk mendekat. Kecuali 

Citrasih yang masih terdiam menutupi 

mukanya, semuanya beringsut mendekati 

si kakek pertapa.

Berkobarnya api dipuncak bukit 

Lengser telah membuat lima orang yang 

berada didalam goa pertapaan Kyai 

bangah itu berlompatan keluar.

Segera mereka dapat melihat api 

yang berkobar membakar bukit lenggser. 

Pucat seketika wajah Ki bangun Rekso.

"Ah!? Firasatmu benar Kyai! Api 

yang membakar bukit itu tentu 

perbuatan si Siluman Gila Guling!" 

berkata kakek ini dengan mata


memandang tak berkedip.

"Benar!" ujar Kyai Bangah. Orang 

tua pertapa ini menengadah memandang 

kelangit. Saat itu langit memang 

tampak hitam seperti tertutup mendung.

"Akan kulihat kesana!" berkata 

Nanjar, seraya tiba-tiba menyeruak 

dari sisi tubuh Pamuji.

Kyai Bangah menatap padanya. "Hm, 

apakah kau mau menghadapinya seorang 

diri?" bertanya Kyai Bangah.

"Hehe.. dia tak mungkin mau 

membunuhku! Aku telah dua kali 

bertemu, dan dia selalu menangguhkan 

bertarung denganku!" berkata Nanjar. 

"Dia menyuruhku untuk menuntut ilmu 

lebih tinggi lagi baru menantangnya 

untuk bertarung!"

"Aneh!" Gumam Kyai Bangah. Baik 

Ki bangun Rekso maupun Pamuji dan 

Citrasihpun menganggap hal itu satu 

keanehan. Namun bagi Nanjar hal itu 

tidaklah aneh, karena dia menganggap 

hal itu sebagai sesuatu yang wajar.

Nanjar memang penasaran karena 

setiap mau melabrak si Siluman Gila 

Guling, selalu manusia setengah iblis 

itu menghindar pergi. Kali ini dia 

bertekad akan mengejar manusia 

setengah iblis itu untuk bertarung 

mati-matian! Apa lagi Nanjar telah 

mendapat "bekal" dan petunjuk dari 

Kyai Bangah untuk menghadapi si 

Siluman Gila Guling.


Tak berayal lagi dia telah 

kelebat melesat dari muka goa, tanpa 

mereka sempat mencegahnya lagi.

Gerakan Nanjar yang gunakan ilmu 

meringankan tubuh untuk berlari cepat 

menuju bukit Lengser yang tak seberapa 

jauh dari gunung manyar Merah membuat 

mereka yang melihat ternganga kagum.

Karena Nanjar telah gunakan ilmu-

ilmu si Raja Siluman Bangau dan ilmu 

melompat Raja Siluman Harimau. Hingga 

dari kejauhan terlihat tubuh si Dewa 

Lmglung tak ubahnya bagai sekelebatan 

bayangan putih yang berkelebatan 

pesat.

Dalam waktu singkat Nanjar telah 

sampai dipuncak bukit Lengser. Dengan 

gunakan ilmu "terbang" Raja Siluman 

Bangau tubuh Nanjar melayang ke udara. 

Sesaat sebelum dia menukik turun untuk 

jejakkan kaki ditengah kobaran api, 

Nanjar melihat tiga sosok tubuh tengah 

bertarung dengan seorang kakek tanpa 

lengan dan kaki.

Sementara sesosok tubuh telah 

terkapar ditanah.

Mereka tak lain dari Ki Angguno 

yang tengah bertarung mengadu jiwa 

dengan si Siluman Gila Guling.

Pada saat itu telah terdengar 

jeritan seorang lagi murid Ki Angguno 

Tubuhnya terlempar ke dalam api yang 

langsung menembusnya. Terperanjat Ki 

Angguno. Dengan kemarahan meluap dia


membentak keras.

"Bromo Seto, manusia keparat! aku 

akan adu jiwa denganmu!"

Akan tetapi Siluman Gila Guling 

tertawa mengekeh parau.

"Heheheh... heheh... kau manusia 

bodoh, Angguno! Aku berbaik hati untuk 

memberi kedudukan tinggi padamu, asal 

kau tak mencampuri urusanku, tapi kau 

menolak! Rupanya kau lebih memilih 

kematian dari pada hidup enak!"

"Hidup mewah dalam cengkeraman 

manusia iblis sepertimu yang 

menebarkan maut dan malapetaka bagi 

manusia? Heh! lebih baik mati!" teriak 

Ki Angguno dengan berang. Senjata 

ditangannya yang berupa tombak bermata 

dua digerakkan berputar. Dan tubuh Ki 

Angguno berkelebat menerjang si kakek 

tanpa daksa itu yang duduk menggantung 

diudara dengan wajah menyeringai.

"Manusia bodah! kau memang lebih 

baik mampus!" berkata Ki Bromo Seto. 

Tubuhnya mendadak lenyap. Dan tahu-

tahu terdengar jeritan Ki Angguno. 

Tubuh ketua Elang Siluman itu 

terlempar beberapa belas tombak. Tanpa 

ampun segera tertembus api yang 

berkobar menyala melahap jasadnya.

Melihat demikian mengerikan ilmu 

si Siluman Gila Guling, murid yang 

cuma tinggal seorang ini putus asa. 

Sebelum manusia setengah iblis itu 

membunuhnya dia telah membunuh diri


dengan menublaskan pedangnya keperut. 

Robohlah laki-laki itu dengan tubuh 

sekarat meregang nyawa.

Pada saat itulah terdengar 

bentakan keras.

SEBELAS

MANUSIA IBLIS TERKUTUK SILUMAN 

GILA GULiNG! Hari ini aku tak akan 

biarkan kau lepas dari tanganku!" 

Nanjar menukik turun seraya hantamkan 

sebelah lengannya. Dari telapak 

tangannya melesat kilatan cahaya 

perak, yang memancarkan hawa dingin.

WHUUUT!.....BHUSSSS!

Sebelum kilatan cahaya perak itu 

mengenai sasaran, tubuh Siluman Gila 

Guling telah lenyap sirna. Dan akibat 

hantaman pukulan "Lidah Naga Gila 

Menjilat Bumi" warisan si Raja Siluman 

Naga itu membuat tanah menyemburat 

memercikkan debu yang telah berubah 

menjadi butiran salju! Itulah pukulan 

terdahsyat Nanjar yang baru beberapa 

bulan dikuasainya.

Nanjar adalah seorang yang 

wataknya aneh. Sebentar ugal-ugalan, 

sebentar serius. Jurus pukulan yang 

dinamakan Lidah Naga Gila Menjilat 

Bumi itu adalah hasil pemikirannya 

yang digabung dengan jurus ciptaan si 

Raja Siluman Naga. Pengerahan tenaga


dalam kepusat yang berhawa dingin dari 

jurus ilmu pukulan Inti Es yang harus 

dipergunakan dengan keadaan jungkir 

batik (Ilmu pukulan tenaga dalam 

sungsang) tak lagi dipergunakan dengan 

cara yang biasa. Yaitu dikerahkan 

kekuatan tenaga dalam ke lengan, lalu 

dilepas melalui telapak tangan. Akan 

tetapi Nanjar telah menggabungnya 

dengan ilmu warisan si Raja Siluman 

Biawak, hingga menghasilkan kehebatan 

hawa dingin yang berlipat ganda.

Apa lagi seperti telah 

diceritakan Nanjar memiliki warisan 

kekuatan tenaga dalam dari Raja 

Siluman Naga.

Hingga pantaslah kalau dia 

memiliki jurus pukulan yang hebat ini. 

Sebagian api yang berkobar segera 

padam tersiram butiran salju.

Sedangkan ditempat bekas menggan-

tungnya tubuh Siluman Gila Guling, 

tampak sebuah lubang besar akibat 

terkena hantaman pukulan Nanjar.

Lenyapnya tubuh si kakek tanpa 

daksa membuat Nanjar celingukan men-

cari-cari kemana berkelebatnya manusia 

setengah iblis itu. Tentu saja takkan 

nampak tubuh lawannya, karena si kakek 

tanpa daksa mempergunakan ilmu ghaib 

untuk melenyapkan diri.

Agaknya si Dewa Linglung takkan 

mampu untuk membinasakan lawannya 

karena dia tak memiliki ilmu-ilmu


ghaib. Bahkan mungkin nasib naaslah 

yang akan diaiaminya. Untunglah disaat 

demikian Nanjar segera teringat akan 

apa yang diajarkan Kyai Bangah. Tanpa 

sadar dia telah memukul kepalanya 

disertai makian pada dirinya sendiri.

"Aiii! dasar linglung! Mengapa 

tak kugunakan kalimat-kalimat yang 

diajarkan Kyai Bangah itu?"

Tak ayal Nanjar telah tarik 

keluar tasbih batu Giok dari saku 

bajunya, dan cepat dia jatuhkan pantat 

untuk duduk bersila.

Tak lama Nanjar telah gerakkan 

jari-jarinya seperti menghitung biji 

tasbih. Sementara dalam hati Nanjar 

membaca kalimat-kalimat seperti yang 

diajarkan Kyai Bangah.

Saat itu mendadak angin 

bergulung-gulung seperti mengipas 

bukit Lengser. Api yang cuma tinggal 

sebagian menyala diatas bukit itu 

entah mengapa menjadi padam. Itulah 

kekuatan ilmu ghaib yang digunakan 

oleh Siluman Gila Guling.

"Hahaha.. heheheh... bocah kunyuk 

kecil! apakah kau telah mampu untuk 

mengalahkan aku tanpa kau belajar ilmu 

lagi? Sungguh hebat jurus ilmu 

pukulanmu! Ilmu apa lagi yang akan kau 

pergunakan ?"

Suara si Siluman Gila Guling 

terdengar seperti merambah puncak 

bukit Lengser.



Tahu-tahu si kakek tanpa daksa 

itu telah menampakkan diri lagi di 

hadapan Nanjar. Tubuhnya masih seperti 

tadi duduk menggantung diudara. Nanjar 

berhenti menghitung tasbih. Ditatapnya 

si kakek tanpa daksa dengan tajam.

"Hahaha... kakek Siluman Buntung! 

Kau telah gunakan ilmu ghaib warisan 

iblis, apakah kau tak khawatir kalau 

iblis yang kau kuasai berbalik memotes 

lehermu membuntungi kepalamu sendiri?"

Mengejek Nanjar dengan tertawa. 

Padahal diam-diam dia khawatir sekali 

ejekan itu akan membuat kakek tanpa 

daksa itu menjadi marah. Namun diam-

diam Nanjar telah mempersiapkan diri 

tintuk menghadapi segala kemungkinan 

serangan si Siluman Gila Guling.

Benar saja! Disebut dirinya 

dengan sebutan Siluman Buntung, 

seketika wajah KI BROMO SETO berubah 

merah. Kakek ini gerakkan tubuhnya 

bergoyang-goyang. Tiba-tiba uap hitam 

menerobos keluar dari tubuhnya.

Meluruk deras ke arah Nanjar yang 

masih duduk dan telah kembali 

menghitung tasbih.

Pada saat yang sama dari arah 

puncak gunung Manyar Merah membersit 

cahaya putih ke arah puncak bukit 

Lengser. Luncuran cahaya putih itu 

melebihi kecepatan luncuran uap yang 

menyerang Nanjar. Itulah uap beracun 

yang mengandung maut!


Bhlarrr!

Terdengar ledakan keras. Uap itu 

buyar ke delapan penjuru. Sementara 

Nanjar telah berkelebat menghindari 

serangan itu. Kalau saja dia tak 

memegang tasbih batu Giok dan dalam 

hati menyebut kalimat-kalimat yang 

diajarkan Kyai Bangah, tentu dia 

takkan dapat melihat datangnya asap 

beracun yang menyerang dirinya. Tentu 

saja Nanjar tak menyadari hal itu.

Ledakan barusan membuat Nanjar 

terkejut. Dia telah melompat sejauh 

delapan tombak.

Saat itu ditelinganya terdengar 

bisikan halus.

"Bocah linglung! cepat gunakan 

kekuatan bhatinmu!" itulah suara Kyai 

Bangah. Nanjar jadi terheran. 

Bagaimana mungkin orangnya berada di 

puncak gunung Manyar Merah, tapi 

suaranya ada disini? Apakah kakek itu 

telah menyusul kemari? pikir Nanjar. 

Tak tahu apa yang harus dilakukan, 

Nanjar bertanya.

"Bagaimana aku harus mela-

kukannya, Kyai?"

Terdengar bentakan ditelinganya. 

"Bocah tolol! segera kosongkan 

pikiranmu dengan mengingat yang satu, 

yaitu Yang Maha Pencipta!"

Lagi-lagi Nanjar memukul kepa-

lanya. "Aiii! dasar linglung!" memaki 

dia.


Tak ayal segera dia turutkan 

perintah itu. Dengan pejamkan mata 

segera Nanjar kosongkan fikiran. 

Pelajaran yang didapatkan dari Kyai 

Bangah secara singkat ditempat per-

tapaan puncak gunung Manyar Merah 

memang telah dapat dikuasai oleh 

Nanjar yang berotak encer.

Tapi dasar si Dewa Linglung itu 

memang pernah linglung yang diaiaminya 

ketika berada di pulau misterius, 

ketika dalam gemblengan empat tokoh 

yang menamakan dirinya si Empat Raja 

Gila akibatnya Nanjar sering mengalami 

kelupaan!

Disaat Nanjar memejamkan matanya, 

kilatan cahaya putih secepat kilat 

memasuki ubun-ubun kepala si pendekar 

Dewa Linglung ini.

Tapi pada saat itu juga uap hitam 

serangan si Siluman Gila Guling yang 

buyar tadi telah bergulung-gulung 

meluruk ke arah Nanjar.

Bahkan sungguh aneh, karena gum-

palan uap itu telah berubah menjadi 

bentuk tangan-tangan yang menyeramkan 

yang menyerang Nanjar untuk 

mencengkeram batok kepala si pendekar 

Dewa Linglung.


DUA BELAS

Dalam keadaan mengheningkan cipta 

mengosongkan pikiran itu, tampaknya 

sukar bagi Nanjar untuk mengelakkan 

serangan yang mengerikan dari 

cengkeraman-cengkeraman tangan iblis 

yang merengkuh batok kepala Nanjar 

Akan tetapi diluar dugaan uap hitam 

itu mendadak buyar seperti terkena 

cahaya aneh yang memancar dari tubuh 

Nanjar. 

Bersamaan dengan itu terdengar 

jeritan parau si kakek Siluman Gila 

Guling. Tubuh kakek tanpa daksa itu 

kembali lenyap sirna. Namun sebagai 

gantinya sebersit cahaya merah 

meluncur pesat dari puncak bukit 

Lengser.

Akan tetapi cahaya putih yang 

tadi masuk keubun-ubun kepala Nanjar 

telah melesat keluar lagi mengejar 

cahaya merah. Bagaikan dua buah meteor 

kedua cahaya itu berlesatan dan lenyap 

tak kelihatan lagi dibalik gunung.

Nanjar masih tetap duduk bersila 

dengan mata terpejam. Dengan meng-

heningkan cipta mengosongkan pikiran 

itu, nampak benar-benar membuat Nanjar 

begitu tenang seperti tertidur.

Dia tak mengetahui apa yang telah 

terjadi. Dia tak tahu bahwa dua cercah 

sinar yang sama berkelebatan melesat 

bagaikan meteor itu meluncur ke arah


selatan. Melewati bukit dan gunung, 

lalu masuk ke celah bukit.

"Manusia iblis Siluman Gila 

Guling! Jangan harap kau dapat 

meloloskan diri!" Cahaya putih itu 

perdengarkan suara bentakan. Itulah 

sukma Kyai Bangah yang telah meleset 

keluar dari gua garbanya dan menolong 

Nanjar, lalu mengejar sukma Bromo Seto 

alias Siluman Gila Guling yang 

melarikan diri ke dalam lembah,

Secepat kilat cahaya merah 

meluncur masuk ke dalam goa dimana 

ditempat itu gua garba Bromo Seto 

tubuh aslinya masih dalam keadaan 

duduk diatas batu besar. Tapi didetik 

itu cahaya putih memburu untuk 

menggagalkan niat sukma Bromo Seto 

memasuki jasadnya.

Sebelum sukma Bromo Seto sempat 

memasuki mulut goa, cahaya putih telah 

menyerang dengan membentur cahaya 

merah.

Akibat benturan itu, cahaya merah 

terpecah menjadi belasan cahaya. Akan 

tetapi hal itu bukan berarti cahaya 

merah mengalami kekalahan. Karena 

sekejap kemudian belasan cahaya merah 

itu telah mengurung cahaya putih.

"Heheheh... pantas! kiranya kau 

KYAI BANGAH!? Percuma kau menyusulku, 

karena kau hanya akan mengantarkan 

kematian saja!" berkata sukma Bromo 

Seto alias Siluman Gila Guling dengan


tertawa mengekeh.

"Manusia iblis keparat, jangan 

sombong dulu!" bentak sukma Kyai 

Bangah. Dan sekejap saja cahaya putih 

telah memecah diri menjadi tujuh 

cahaya untuk mengimbangi kekuatan 

cahaya merah.

"Bagus! mari kita mengadu 

kesaktian!" membentak sukma Bromo 

Seto. Tanpa menunggu lebih lama 

belasan cahaya merah segera menerjang 

ketujuh cahaya putih. Terjadilah 

pertarungan ghaib dialam yang tak 

kelihatan oleh manusia. Sukma Siluman 

Gila Guling merangsak dengan serangan-

serangan ganas terhadap lawannya. Ter-

nyata setelah berada didalam lembah 

tempat tinggal Siluman Gila Guling, 

cahaya merah alis sukma Bromo Seto itu 

seperti mendapat angin. Bahkan juga 

seperti mendapat kekuatan untuk 

menandingi kekuatan sukma Kyai Bangah.

Pertarungan ghaib itu telah 

menimbulkan ledakan-ledakan keras yang 

membuat dinding goa mulai terancam 

runtuh. Melihat keadaan yang tak 

menguntungkan, sukma Bromo Seto beru-

saha secepatnya merobohkan lawannya. 

Bahkan tampaknya sukma Siluman Gila 

Guling begitu mengkhawatirkan gua-

garbanya.

Namun mana mau sukma Kyai Bangah 

membiarkan sukma lawannya itu memasuki 

guagarbanya, karena berarti akan


menambah kekuatan lawan.

Oleh sebab itu semakin hebat 

tujuh cahaya putih itu merangsak 

belasan cahaya merah.

Namun sukma Kyai Bangah tak 

menyangka kalau salah satu dari bela-

san cahaya putih berhasil menerobos 

masuk ke dalam goa. Mendadak pula 

belasan cahaya merah lenyap sirna.

Melihat demikian sukma Kyai 

Bangah lancarkan serangan dahsyat 

untuk mencegah hal itu terjadi. Tidak 

begitu terlambat, akan tetapi ber-

akibat fatal, karena seketika tujuh 

cahaya putih tertolak buyar oleh satu 

kekuatan dahsyat yang keluar dari 

mulut goa! 

Namun goa itu sendiri hancur 

luluh menjadi kepulan dengan diiringi 

ledakan menggelegar yang menggon-

cangkan tanah.

Bahkan tebing batu itu bergetar 

akibat ledakan dahsyat itu, dan 

menimbulkan longsor. Dengan suara yang 

bergemuruh batu-batu tebing itu 

merosot turun, hingga dalam beberapa 

kejap saja goa tempat jasad Siluman 

Gila Guling telah lenyap tertutup 

longsoran!

Sukma Kyai Bangah sendiri sampai 

terheran dengan peristiwa itu. Karena 

tak menyangka bakal mengakhiri riwayat 

Siluman Gila Guling. Apakah sebenarnya 

yang terjadi?


Tanpa setahu sukma Kyai Bangah 

disisi tebing sebelah sana sejak 

terjadinya pertarungan kedua sukma 

itu, telah berdiri sesosok tubuh 

seorang kakek tua renta berjubah 

putih. Bahkan rambutnyapun terbungkus 

oleh sorban putih yang ujungnya 

melambai tertiup angin. Sosok tubuh 

itu tak begitu jelas karena hampir 

menyerupai bayangan saja.

Disaat sukma Kyai Bangah 

melancarkan serangan ke mulut goa, 

kakek misterius yang menyerupai 

bayangan ini mengangkat sebelah 

lengannya. Dari telapak tangannya 

berkiblat cahaya biru membarengi 

hantaman ghaib yang dilakukan sukma 

Kyai Bangah.

Hal itulah yang mengakibatkan 

hancurnya goa berikut jasad Siluman 

Gila Guling menjadi kepulan debu. Lalu 

sebagian tebing batu itu longsor 

menimbun goa yang sudah jadi kepulan 

bubuk batu itu hingga lenyap tanpa 

bekas!

Sekejap setelah kejadian itu, 

bayangan tubuh kakek tua renta 

berjubah dan bersorban putih yang 

menyerupai bayangan itupun lenyap.....

NANJAR alias si pendekar Dewa 

Linglung berkelebat melesat mening-

galkan puncak bukit Lengser. Lagi-lagi 

Nanjar kecewa karena kehilangan 

lawannya. Bahkan secara aneh suara


yang membisikkan ditelinganyapun 

lenyap. Cukup lama dia duduk bersila 

mengosongkan pikiran. Namun telinganya 

sunyi dari suara-suara diatas bukit 

itu. Tentu saja makin lama dia semakin 

tidak betah untuk tidak membuka mata..

Ketika dia buka kelopak matanya, 

terheran Nanjar karena puncak bukit 

itu seperti mati. Tak ada tanda-tanda 

adanya Siluman Gila Guling ditempat 

itu, kecuali sosok mayat yang terkapar 

tak jauh didekatnya. Yaitu mayat anak 

buah Ki Angguno yang membunuh diri. 

Setelah menunggu beberapa saat tak ada 

tanda-tanda adanya manusia setengah 

iblis itu, juga Kyai Bangah yang 

didengar suaranya, Nanjar mengambil 

keputusan untuk secepatnya kembali ke 

puncak gunung Manyar Merah.

Dalam waktu tak lama Nanjar telah 

tiba dimulut goa tempat pertapaan Kyai 

Bangah. Alangkah terkejutnya Nanjar 

melihat kakek pertapa itu dalam 

keadaan duduk bersila dengan bibir 

mengalirkan darah, dikelilingi Ki 

Bangun Reksa, Pamuji dan Citrasih.

"Apakah yang telah terjadi?" 

teriak Nanjar seraya melompat 

mendekat. Melihat kedatangan Nanjar 

ketiga orang itu tak berkata apa-apa. 

Mereka sama menunduk dengan wajah-

wajah yang menampak kesedihan.

"Kyai telah.... wafat!" terdengar 

suara Ki Bangun Reksa lirih.


"Ahh..!?" sentak Nanjar terkejut.

"Bilakah terjadinya?" tanya 

Nanjar dengan hati luluh.

"Barusan saja. Tapi Siluman Gila 

Guling telah musnah! Bencana telah 

berakhir, walau harus meminta korban 

jiwa! Kita kehilangan seorang sesepuh 

yang hampir langka ditanah Jawa ini!" 

sahut Ki Bangun Rekso yang didahului 

dengan tarikan napasnya. Tampak 

disudut kelopak mata orang tua itu 

tersembul setitik air bening yang 

bergulir jatuh membasahi pipinya yang 

keriput.

Nanjar cuma tercenung mendengar 

penuturan Ki Bangun Rekso. Entah dia 

harus bergirang atau bersedih.

Dikeluarkannya tasbih hijau 

terbuat dari batu Giok pemberian kakek 

pertapa itu dari saku bajunya dan 

berkata lirih.

"Apakah dia meninggalkan pesan 

untukku?"

Pertanyaan Nanjar belum dijawab 

oleh Ki Bangun Rekso, karena sejenak 

dia memperhatikan tasbih batu Giok 

yang teruntai ditangan Nanjar.

Pamuji yang sedari tadi tak 

membuka mulut, tiba-tiba tatapkan mata 

liar melihat tasbih itu. Sebelum wafat 

Kyai Bangah memang menanyakan Nanjar 

dan menyebut-nyebut tasbih batu Giok, 

tapi tak mengucapkan kata apa-apa lagi 

lalu nyawa orang tua pertapa itupun


melayang. Terbersit dihati Pamuji 

bahwa ada apa-apanya dengan tasbih 

batu Giok ditangan Nanjar. Dia memang 

sudah menduga sejak awal tentang 

adanya senjata pusaka milik kakek 

pertapa itu. Mungkin saja tasbih batu 

Giok ditangan Nanjar itu sebuah 

senjata pusaka! Dan alangkah sayangnya 

kalau senjata pusaka itu terjatuh k 

etangan orang lain.

Mendapat kesempatan baik seperti 

itu tak ayal Pamuji cepat-cepat 

berkata mendahului gurunya.

"Beliau memang meninggalkan pesan 

untukmu, sobat Nanjar!" ujarnya. Kalau 

saja Nanjar tak menundukkan wajah 

ketika berkata, tentu dia dapat 

melihat Pamuji mengedipkan mata pada 

Ki Bangun Reksa yang menoleh pada 

pemuda itu.

Cepat-cepat Pamuji menyambung 

kata-katanya.

"Beliau berpesan agar kau 

mengembalikan tasbih yang dititip-

kannya padamu dan menyuruh kami 

mengubur bersama jasadnya!"

Ki Bangun Reksa baru mau 

membentak sang murid. Akan tetapi 

segera menelan lagi kata-katanya, 

karena Nanjar telah berkata seraya 

bangkit berdiri.

"Oh, kalau begitu amanatnya 

dengan senang hati dan rela aku akan 

mengembalikan benda ini!" seraya


berkata Nanjar menimang-nimang 

sebentar tasbih hijau itu lalu 

melemparkannya pada Pamuji. Dengan 

sigap Pamuji menangkap lalu masukkan 

ke saku bajunya.

Pada saat itulah tiba-tiba 

terlihat bayangan hitam melintas 

ditanah. Ketika mereka menengadah 

tampak seekor burung rajawali yang 

amat besar melayang berputar-putar 

diatas mereka. Nanjar tersentak kaget.

"Hah!? itu pasti si JABUR dan 

yang menungganginya pasti RANGGAWEN1!" 

desis Nanjar dengan wajah mendadak 

beruhah girang. Terdengar suara suitan 

nyaring dari mulut si Dewa Linglung 

ketika dia masukkan dua jari tangannya 

kebawah lidah.

Mendengar suara suitan yang 

dikenalnya itu, si burung rajawali 

mendadak perdengarkan suara mengiyak, 

lalu terbang menukik ke bawah.

Benarlah kiranya burung rajawali 

raksasa itu adalah si JABUR, burung 

peliharannya yang telah dihadiahkan 

pada Ranggaweni si gadis murid Raja 

Pengemis.

"Kak Nanjar...!" teriakan girang 

terdengar dari atas punggung si Jabur. 

Seorang dara cantik berbaju merah 

memang berada diatas punggung burung 

rajawali itu.

"RANGGAWENI...!" teriak Nanjar. 

Dan... tubuh si pendekar Dewa Linglung


telah berkelebat ke udara. 

Sekejap saja dia telah berada 

diatas punggung binatang itu tepat 

dibelakang punggung si dara cantik.

"Hehehe... maaf sobat-sobat, 

biniku sudah menyusul. Tampaknya dia 

sudah ngebet betul karena telah 

kutinggal lama. Aku tak dapat berlama-

lama lagi. Kalian kuburkan saja 

jenazah Kyai Bangah. Bila umurku 

panjang tentu suatu saat kita bisa 

bertemu lagi!" teriak Nanjar seraya 

menoleh ke bawah menunjukkan kata-

katanya pada Ki Bangun Reksa, Pamuji 

dan Citrasih.

Sesaat kemudian burung rajawali 

raksasa itu telah membumbung tinggi. 

Citrasih berdiri menengadah dengan 

mata memandang sayu. Masih sempat tadi 

dia melihat si gadis cantik baju merah 

bernama Ranggaweni itu mencubit paha 

pemuda itu.

Dan dilihatnya dikejauhan lengan 

si pendekar Dewa Linglung melingkar 

memeluk pinggang si dara cantik.


                                   TAMAT


https://matjenuhkhairil.blogspot.com




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive