SATU
HANCURNYA KERAJAAN GIRI JAYA tak
dapat terelakkan lagi. Bukan saja
orang-orang istana yang mati terbunuh
dengan keadaan mengerikan, akan tetapi
istana itu sendin hampir dapat di-
katakan rata dengan tanah. Kejadian
tersebut membuat terkejut para raja
kerajaan lainnya. Bahkan juga kekha-
watiran di setiap tempat.trap tempat.
Amukan manusia yang menamakan
dirinya Siluman Gila Guling telah
merubah keadaan menjadi bertambah
kalut. Ratusan rakyat yang berdiam
disekitar wilayah Kota Raja ber-
bondong-bondong hijrah ke lain
wilayah. Wajah-wajah ketakutan tampak
membayang disetiap orang.
Mereka memasuki wilayah-wilayah
kerajaan lain untuk mengungsi,
sekaligus meminta perlindungan. Tentu
saja hal tersebut membuat kerajaan
yang dimasuki rakyat kerajaan Giri
Jaya menolak kedatangan mereka. Bahkan
mengusir mereka keluar dari tapal
batas.
Apa yang menjadi sebab penguasa
kerajaan itu tak mau menerima keda-
tangan mereka? Ya! karena kliawatir
kedatangan mereka hanya akan membawa
bencana. Rakyat kerajaan Giri Jaya
benar-benar terpojok. Mereka terpaksa
mengungsi dihutan-hutan. Sementara
dari kejauhan mereka melihat warna
langit berubah merah. Pertanda api
yang membakar dan membumi hanguskan
Kota Raja belum lagi padam. Bahkan
makin tampak memerah. Bukan mustahil
kalau desa-desa tempat tinggal mereka
yang mereka tinggalkan juga turut
musnah terbakar.
Disaat rakyat kerajaan Giri Jaya
dihantui ketakutan yang amat luar
biasa, diarah barat tampak berkele-
batan tujuh sosok tubuh manusia.
Dari gerakan-gerakan mereka da-
patlah diketahui kalau ketujuh orang
itu adalah orang-orang yang berke-
pandaian tinggi.
Mereka baru saja menyaksikan
keadaan rakyat kerajaan Giri Jaya yang
dilanda ketakutan dalam pengungsiannya
kehutan-hutan. Arah yang dituju
ketujuh orang itu ternyata wilayah
Kota Raja yang dalam keadaan dibumi
hanguskan!
Ternyata mereka adalah tujuh
orang yang masih berusia muda-muda.
Diantara ketujuh orang itu ternyata
ada terdapat seorang gadis sedang yang
enam adalah laki-laki. Rata-rata
mereka mengenakan pakaian berwarna
biru dengan masing-masing membawa
senjata.
Siapakah adanya ketujuh orang
ini? Mereka adalah tujuh orang murid
dari perguruan "Langir Biru". Asap
yang membubung tinggi serta merahnya
warna langit membuat ketujuh orang ini
turun gunung dari puncak gunung
SIMEMBUT tempat mereka berguru.
Ketujuhnya memang diperintah oleh sang
guru untuk menyelidiki kejadian itu.
Tentu saja mereka terkejut
mengetahui keadaan rakyat diwilayah
itu yang berbondong-bondong mengungsi
dengan wajah ketakutan. Beberapa hari
perjalanan yang mereka lakukan ter-
nyata mereka cuma mendapatkan sisa-
sisa kekalutan.
Bahkan api masih nampak berkobar
disekitar wilayah Kota Raja.
Ketujuh orang-orang muda ini
memandang ke hadapannya dengan mata
hampir tak berkedip. Istana kerajaan
Giri Jaya telah musnah dimakan api
hingga yang nampak hanyalah rerun-
tuhannya saja.
Diperjalanan beberapa desa yang
dilalui juga telah berkobar dimakan
api. Namun mereka tak menampak adanya
manusia yang harus di tolong.
Tampaknya para penduduk telah sama
mengungsi sebelum terjadinya kebakaran
yang memusnahkan pedesaan itu.
"Apa yang harus kita lakukan,
kakang PRANA?" bertanya gadis cantik
berambut kepang dua itu. Disamping
seorang laki-laki muda yang tengah
terlongong menatap reruntuhan istana.
Laki-laki ini nama sebenarnya
adalah AJI PRANA, murid ketua diantara
ketujuh orang itu. Bahkan dia pulalah
yang memimpin perjalanan turun gunung
meninjau suasana kewilayah kerajaan
Giri Jaya ini.
Tercenung sejurus laki-laki
berkumis tipis ini.
Wajahnya yang cukup tampan itu
diusapnya. Mengusap keringat yang
mengembun disekujur kulit muka.
"Apakah sebaiknya kita kembali
saja melaporkan kejadian ini pada
guru?" bertanya Pamuji yang berada tak
jauh disebelah kiri Aji Prana, seraya
menghampiri. Pamuji dan Adi Prana
adalah kakak beradik. Aji Prana
menatap adiknya sejenak lalu dialinkan
pada gadis itu.
Kemudian kembali menatap pada
reruntuhan puing-puing istana kerajaan
Giri Jaya.
"Adikku Pamuji dan kau CITRASIH,
tujuan guru bukanlah sekedar meni-
tahkan kita untuk cuma meninjau saja.
Akan tetapi juga menyelidiki kejadian
apakah yang menyebabkan kehancuran
kerajaan Giri Jaya ini!" ujarnya
dengan suara tegas. Dan lanjutnya
lagi;
"Kukira beliau telah mengetahui
tentang kejadian ini sebelumnya.
Diperintahkan kita untuk turun gunung
karena sudah waktunya kita mengamalkan
pelajaran ilmu-ilmu yang kita dapati
dipuncak gunung Simembut! Saat seperti
inilah yang merupakan batu ujian buat
kita. Sebagai pendekar-pendekar muda
yang telah digembleng selama belasan
tahun oleh guru kita, tak layak kalau
kita tak menyelidiki sampai tuntas,
siapa adanya pelaku-pelaku yang
mengakibatkan kehancuran kerajaan Giri
Jaya ini!"
Kedua pemuda dan pemudi itu
manggut-manggut.
"Lalu apa rencanamu, kakang
Prana?" bertanya lagi Citrasih.
Aji Prana diam sejenak, lalu
berpaling pada Pamuji.
"Panggil yang lainnya untuk
berkumpul, segera kita adakan perem-
bugan!" ujarnya. Pamuji mengangguk.
"Baik kakang..!" sahutnya, lalu
balikkan tubuh untuk menghampiri
kawan-kawannya yang berada ditempat
terpisah. Dengan saling memberi tanda
isyarat sebentar saja semua telah
berlompatan untuk segera berkumpul di
depan Aji Prana, dan Citrasih.
Langit yang memerah perlahan
mulai agak pudar dari cahaya api.
Namun asap masih terlihat walau tak
begitu banyak, dan hawa panas mulai
berkurang. Satu persatu murid per-
guruan Langir Biru mulai bergerak
kebeberapa jurusan. Masing-masing mem-
bawa tugas yang telah diperintahkan
oleh Aji Prana sang ketua.
"Pamuji! kau ke arah mana?"
bertanya Citrasih seraya menghampiri
ketika baru saja pemuda itu beranjak
melangkah tapi merandek lagi. Tampak-
nya seperti ragu atau lupa pada arah
yang telah ditentukan kakaknya.
Seperti telah diperembugkan, me-
reka diberi waktu sampai senja untuk
melihat keadaan mencari tahu penyebab
kejadian. Lalu kembali ke tempat se-
mula. Masing-masing telah diberi tugas
ke arah mana harus bergerak.
Pamuji diberi tugas ke arah utara
sedangkan Aji Prana menemani Citrasih
yang dia sendiri belum menentukan
arahnya.
"Oh, ya! aku lupa. Aku harus ke
arah utara, bukankah begitu?" sahut
Pamuji tergegas. Wajahnya seketika
berubah merah. Namun dengan cepat dia
berkata. "Baiklah! sampai ketemu lagi
Citrasih! Baik-baiklah kau menjaga
diri..."
Selesai berkata yang diucapkan
dengan suara lirih, Pamuji berkelebat
cepat untuk beberapa kejap kemudian
lenyap dari tempat itu.
Citrasih masih menatap kearah
lenyapnya tubuh Pamuji, ketika ter-
dengar suara dibelakangnya.
"Citrasih! hayo kita mulai
bergerak!"
Dia tersentak menoleh, dilihatnya
Aji Prana telah berada didekatnya.
Laki-laki ini menggamit lengannya
seraya berkata lagi.
"Cepatlah! saat ini bukan wak-
tunya untuk banyak berdiam diri!"
"Kita bergerak ke arah mana?"
tanya Citrasih dengan wajah tersipu.
"Ke sana!" sahut Aji Prana seraya
menarik lengan dara ini. Tentu saja
tubuh Citrasih terbawa melayang ketika
pemuda itu berkelebat melompat. Sesaat
berlihat keduanya telah berlari-lari
menyusup ke dalam hutan disebelah
kiri. Tak lama kemudian sosok-sosok
bayangan tubuh merekapun lenyap dike-
rimbunan pepohonan....
DUA
Dalamnya laut bisa diduga
dalamnya hati orang tak ada yang tahu!
Pepatah itu berlaku bagi PAMUJI.
Karena diluar dugaan, Pamuji diam-diam
telah menguntit dibelakang Aji Prana
dan Citrasih tanpa mereka mengetahui.
Apa yang membuat Pamuji tak
menuruti perintah kakaknya? Tiada lain
adalah rasa cemburu. Cemburu yang
sejak lama bersemayam dalam dadanya,
karena sang kakak amat akrab dengan
Citrasih.
Dara cantik berusia tujuh belas
tahun itu ternyata diam-diam dicing-
tainya, walau pada kenyatannya Pamuji
bersikap biasa.
Dalam hati pemuda ini diam-diam
telah bergejolak cinta berahi yang
amat dalam. Bahkan di saat latihan-
latihan dipuncak gunung Simembut wajah
gadis itu selalu membayang diruang
mata. Tak jarang dia berhenti berlatih
untuk duduk termenung.
Terkadang dia tinggalkan tempat
latihannya cuma untuk melihat wajah
Citrasih yang dilakukan dengan sem-
bunyi-sembunyi. Pamuji dalam hati
sering merutuk, atau memaki karena
diberi tugas berat dalam latihan.
Sedangkan Aji Prana selalu saja
berdekatan dengan Citrasih. Walaupun
tak dikeluarkan dengan mulutnya, tapi
dalam hati diam-diam Pamuji menganggap
sang guru bertindak berat sebelah.
Bahkan beranggapan seolah-olah dia
sengaja disisihkan dari Citrasih.
Anggapan itu sebenarnya keliru.
Citrasih masih terlalu muda dan
terlalu hijau untuk menerima ilmu-ilmu
silat yang berat karena dia agak
kurang cerdas. Oleh sang guru sengaja
diperintahkan Aji Prana untuk mem-
bimbingnya. Dengan demikian kecerdasan
Citrasih dalam menerima pelajaran-
pelajaran akan lebih cepat bertambah.
Pamuji yang digelapkan hatinya
oleh apa yang bernama Cinta tak
mengetahui hal itu.
Demikianlah hingga dihati Pamuji
diam-diam bersemayam kecemburuan
terhadap kakaknya.
Dengan berindap-indap dan langkah
hati-hati Pamuji terus menguntit
kemana perginya kedua orang diha-
dapannya itu. Ternyata Aji Prana
mengambil jalan memutar melewati
lereng bukit tanpa melintas desa yang
sudah punah terbakar. Hal tersebut
menjadi tanda tanya bagi Pamuji.
Hatinya tercekat dan kecurigaannya
bertambah. Karena tujuan yang ditempuh
itu berlawanan dengan arah Kota Raja.
Melewati hutan ilalang yang
tingginya hampir setinggi manusia,
kedua manusia berlainan jenis itu
terus berlari-lari menerobos. Hingga
tak lama keduanya telah berada disisi
lereng bukit.
"Akan kemanakah mereka?" berkata
dalam hati Pamuji. Dia merandek
sejenak dibalik belukar. Matanya me-
natap tajam kearah Aji Prana dan
Citrasih yang berhenti tepat disisi
lamping bukit yang menjorok keluar.
Tampak Aji Prana menunjuk ke arah
tebing bukit. Entah apa yang diucapkan
laki-laki kakaknya itu. Tapi yang
jelas Citrasih mengangguk.
Dan, selanjutnya keduanya dengan
merunduk dibawah batu telah menyelinap
ke celah batu-batuan. Selanjutnya
lenyap dari pandangan mata Pamuji.
"Ha? jangan-jangan mereka akan
melakukan perbuatan tak senonoh..."
tersentak Pamuji. Cepat dia berkelebat
ke arah itu.
Dengan gerakan tak menimbulkan
suara sesaat dia telah tiba disisi
bukit. Matanya menatap tajam ke
sekeliling. Merayapi dinding-dinding
batu dicelah tebing bukit batu itu.
Tersentak pemuda ini ketika melihat
sebuah lubang dicelah batu.
Tak ayal dia telah beranjak
melangkah mendekati. Gerakannya bagai-
kan seekor kucing mengintai tikus. Dia
memang harus hati-hati, karena tak
ingin kedua orang itu mengetahui
kedatangannya. Dugaannya ternyata
tepat. Celah lubang itu merupakan
sebuah goa. Celah batu itu makin
kedalam semakin lebar.
"Aku harus mengetahui apa yang
akan dilakukan kakakku dan Citrasih.
Kalau mereka melakukan perbuatan aib,
tak segan-segan aku melaporkan pada
guru..." demikian pikir Pamuji. Semen-
tara degup jantungnya semakin
cepat.
Wajahnya dirasakan panas. Seluruh
persendian tulangnyapun menggetar.
Dengan berindap-indap dia terus
melangkah semakin kedalam. Tiba-tiba
dia merandek ketika melihat mendengar
suara Citrasih. Cepat dia tempelkan
tubuhnya kedinding goa. Telinganya
dipasang. Bahkan napasnyapun dita
hannya.
"Apakah yang akan kau lakukan,
kakang Prana?" terdengar suara gadis
adik seperguruannya itu.
"Adik Citrasih, mengapa kau
bertanya demikian? Apakah kau tak
merasakan apa yang kurasakan selama
ini?" jawab Aji Prana.
"Apa maksudmu..?"
"Citrasih...! tak sadarkah kau
bahwa selama ini aku mencitaimu?" Aji
Prana menjawab pertanyaan Citrasih
yang terlongong menatap pemuda itu.
Sementara Aji Pranapun tengah mena-
tapnya dengan tatapan tak berkedip.
Tatap mata yang membuat sang dara
seperti terpukau.
"Kau... kau mencintaiku....?"
terdengar suara desis Citrasih.
"Benar adik manis! Kubawa kau ke
tempat ini karena aku ingin membuk-
tikan cinta kasihmu padamu!"jawab Aji
Prana dengan tertawa kecil. Tersen-
taknya Pamuji bukanlah alang-kepalang
ketika dia pelahan julurkan kepala
mengintip dari celah dinding goa.
Apa yang dilihatnya membuat
sekujur tubuhnya menggetar seperti
terserang demam panas.
Citrasih berdiri terpaku bagai
patung. Bibirnya setengah terbuka.
Sedang matanya menatap Aji Prana tak
berkedip. Sementara laki-laki kakaknya
itu merapatkan tubuhnya.
Lengan pemuda itu menjulur
memeluk pinggang ramping sang dara.
Sementara sebelah lengannya mulai
merayap, membukai pakaian gadis itu.
Sungguh suatu pemandangan yang
amat mendebarkan bagi Pamuji. Bahkan
hampir-hampir dia tak percaya dengan
apa yang dilihatnya. Dilihatnya
Citrasih seperti mandah saja dengan
apa yang dilakukan kakaknya itu.
Beberapa kejap saja yang tampak
didepan mata Pamuji adalah sekujur
tubuh Citrasih telah membugil, tanpa
selembar benangpun. Gemuruh dada
Pamuji bagai terkena gempa. Matanya
membeliak seperti mau melompat dari
kelopaknya. Napasnya memburu. Keringat
dingin mengembun disekujur tubuhnya
yang bergetar.
Tak mungkin bagi Pamuji rasanya
untuk mendiamkan adegan selanjutnya
berlangsung didepan matanya. Akan
tetapi baru saja dia mau membentak,
mendadak hawa dingin merembes kese-
kujur tubuhnya. Apa yang terjadi pada
pemuda itu? Dia seperti tercekik
pernapasannya dan berkelojotan dengan
sepasang mata mendelik dan lidah
terualur. Pamuji meronta dari kekuatan
aneh yang mencekik pernapasannya. Hal
ini tak berlangsung lama. Karena
sesaat antaranya dengan keluarkan
suara tertahan dikerongkongan, Pamuji
jatuh menggeloso ditanah berbatu untuk
tak bergerak lagi.
Sementara adegan didalam ruang
goa itu pun terus berlangsung.....
TIGA
Senja terus merayap.... cuaca
semakin berubah gelap. Matahari telah
sembunyi dibalik pegunungan. Hawa
dingin menyelimuti sekitar tempat itu.
Dalam keadaan yang sunyi mencekam itu
empat sosok tubuh berdiri gelisah
seperti menanti orang yang ditunggu.
Siapakah adanya mereka ini? Tiada
lain dari murid-muirid perguruan
Langir Biru. Seperti telah direm-
bugkan, mereka kembali berkumpul
ditempat itu seusai melakukan penye-
lidikan. Empat orang telah berkumpul.
Namun sisanya tiga orang lagi belum
munculkan diri
"Kemana gerangan kakang Aji
Prana, Pamuji dan Citrasih? Jangan-
jangan mereka menemui halangan!"
berkata salah seorang.
"Entahlah! akupun berpendapat
begitu. Lalu apakah usul kalian?
apakah kita akan terus menunggu
kedatangan mereka atau... kembali ke
padepokan?" tukas kawannya yang
seorang. Dia bernama Jaka. Sedang yang
satunya lagi bernama Bajuri.
Dua orang kawan yang sedari tadi
tak ikut bicara segera membuka mulut.
"Kembali ke padepokan? Wah, itu
dapat kita lakukan! kukira usulku bisa
diterima, kita memang tak dapat terus
menanti dengan berdiam diri saja!"
ujar salah seorang. Laki-laki ini
bernama Jaluken. Sedang yang seorang
lagi bernama Layang seta.
"Apa usulmu itu sobat Jaluken?"
tanya Jaka seraya beranjak mengham-
piri. Jaka memang sudah tak sabar
untuk terus menunggu mereka.
"Ya, pikirku kukira sebaiknya
kita menyusul mereka!" sahut Jaluken.
Jaka kerutkan kening berpikir lalu
ujarnya.
"Aku tak keberatan, tapi kearah
mana kita menyusul?"
Merekapun segera berunding untuk
menentukan arah. Akan tetapi cuaca
telah berubah gelap. Hal itu tak
memungkinkan mereka untuk melakukan
pelacakan. Akhirnya mereka mengambil
keputusan untuk tetap menanti. Rencana
pencarian ketiga saudara seperguruan
mereka ditentukan esok hari, sambil
menunggu kalau-kalau ketiga orang yang
mereka tunggu malam nanti akan muncul.
Malam itu mereka lewati dengan
hati resah. Mereka bermalam disisi
hutan itu dengan hampir tak dapat
memicingkan mata.
Suara anjing-anjing serigala
ditengah malam itu mengganggu tidur
mereka.
Keesokan harinya dipagi yang
masih remang, keempat saudara seper-
guruan itu telah tinggalkan tempat
itu....
****
Kita beralih sejenak melihat
keadaan dipuncak gunung Simembut.
Sebuah padepokan tegak berdiri
diantara lereng batu gunung agak jauh
dari sisi kawah. Seorang laki-laki tua
berjubah biru terlihat berdiri
termangu-mangu di depan padepokan.
Angin pagi yang agak keras menerpa
membuat berkibaran jubah kakek ini.
Juga jenggotnya yang panjang memutih
melambai-lambai dihembus angin.
Siapa gerangan adanya kakek ini?
Dialah Ki BANGUN REKSA, ketua
perguruan Langir Biru. Apa yang
membuat kakek ini tampak resah adalah
sepeninggal ketujuh muridnya beberapa
hari yang lalu dia merasa hatinya tak
tenteram. Entah mengapa wajah murid
termudanya yaitu CITRASIH selalu
terbayang dipelupuk matanya.
Citrasih masih ada hubungan kuat
dengan dirinya, karena Citrasih adalah
cucu angkatnya sendiri. Ayahnya tewas
dalam peperangan membela kerajaan GIRI
NATA dari tangan kaum penjahat yang
berusaha merebut kekuasaan kerajaan
itu.
Anak angkat Ki Bangun Reksa
adalah seorang laki-laki yang menjadi
hulubalang di kerajaan Giri Nata,
bernama MARUTO. Adapun Citrasih
diantarkan kepadepokan oleh seorang
bekas prajurit yang menjadi sahabat
baik Maruto. Enam tahun Ki Bangun
Reksa mendidiknya dengan perbagai ilmu
kedigjayaan. Dan baru beberapa hari
yang lalu dia mengutus ketujuh
muridnya untuk menyelidiki kejadian di
Kota Raja.
Sebenarnya Ki Bangun Reksa bukan-
nya tak mengetahui tentang kejadian
itu. Akan tetapi sengaja dia mengutus
ketujuh muridnya untuk sekalian
menguji bagaimana sikap serta tindakan
mereka dengan peristiwa itu.
Demikianlah, pagi itu dia keluar
dari padepokan, dan berdiri dihalaman
termangu-mangu.
"Aneh!? mengapa hatiku tak enak?
Pikiranku selalu saja tertuju pada
Citrasih. Ada apakah yang terjadi
dengan dia?" bergumam Ki Bangun Reksa.
Dia mulai melangkahkan kakinya mondar-
mandir dengan menggendong tangan.
Sebentar-sebentar dia berhenti
menindak untuk berpikir.
"Sebaiknya kususul mereka! Aku
khawatir terjadi apa-apa dengan bocah
perempuan itu. Walau aku telah
mempercayakan Aji Prana untuk
menjaganya!" gumamnya. Agaknya untuk
menyusul para muridnya telah mantap!
Ki Bangun Reksa beranjak masuk
kembali kedalam kepadepokan. Tak lama
dia telah ke luar lagi. Ditangannya
tercekal sebuah pedang yang terbungkus
dengan kulit kambing hutan. Itulah
pedang pusaka miliknya yang selama ini
tak pernah dipergunakan.
Setelah menutup pintu padepokan
tanpa berlama-lama lagi Ki Bangun
Reksa segera berangkat turun gunung.
Gerakan orang tua ini patut dipuji.
Karena tubuhnya berkelebatan cepat
menuruni lereng seolah-olah bagaikan
terbang. Tidaklah aneh kalau dalam
waktu tak sampai sepenanak nasi Ki
Rangun Reksa telah tiba dilereng
paling bawah.
Dan kejap selanjutnya dia telah
berkelebat untuk segera lenyap tak
kelihatan lagi terhalang lebatnya
hutan rimba.....
EMPAT
Betapa terkejutnya Ki Bangun
Reksa melihat empat sosok tubuh
terkapar tak bernyawa di sisi lereng
bukit yang akan dilaluinya. Semakin
terkejut dia karena keempat sosok
tubuh yang berkaparan tak bernyawa itu
adalah empat orang muridnya.
"Ya. Dewa yang agung..! apakah
yang telah te-jadi?" terperangah kakek
puncak gunung Simembut ini melihat
kematian keempat muridnya dalam kea-
daan tak berdarah. Namun sekujur tubuh
membiru seperti terkena racun.
"Ah!? apakah sipembunuh telah
gunakan ilmu pukulan yang mengandung
racun?" mendesis Ki Bangun Reksa.
Sesaat dia telah bangkit berdiri.
Sepasang matanya liar menatap seki-
tarnya. Tiba-tiba dia telah berkelebat
ke arah sisi lereng bukit batu. Tanda-
tanda dari bekas pertarungan terlihat
mengarah ke tempat itu.
"Sebuah lubang goa..!?" mendisisi
kakek. "Pasti ada korban lagi!"
pikirnya dengan kekhawatiran memuncak.
Karena seketika dia ingat akan cucu
angkatnya, Citrasih.
Tak berawal lagi dia telah
melompat untuk segera memasuki goa.
Terperanjat Ki Bangun Reksa
melihat sosok tubuh lagi yang terkapar
disisi dinding goa. Segera dia
memeriksa. Terkejutlah dia mengetahui
laki-laki itu tak lain dari PAMUJI.
"Oh, Dewa yang agung... sukurlah
bocah ini masih hidup. Aku harus cepat
menolongnya" berpikir demikian Ki
Bangun Reksa cepat tempelkan telapak
tangannya untuk salurkan tenaga dalam
berhawa hangat ke sekujur tubuh
Pamuji.
Beberapa jalan darahnya yang
tersumbat dibuka dengan mengurut
beberapa kali. Tak lama Pamuji
terdengar mengeluh.
"Pamuji! katakan apa yang
terjadi?"
Diguncang-guncangkannya bahu Pa-
muji. "Katakan Pamuji! Ini aku,
gurumu! Ceritakan apa yang telah
terjadi? Kemana adik seperguruanmu
Citrasih dan kakakmu Aji Prana?" tak
sabar Ki Bangun Reksa tak sabar untuk
bertanya.
Pamuji masih belum pulih benar
ingatannya. Tapi melihat orang diha-
dapanya yang berteriak-teriak meng-
guncang-guncangkan bahunya segera dia
mulai tersadar.
"Guru...!? Oh, maalkan aku..."
ucapnya seraya bangkit dan menjura.
"Tak usah banyak peradatan! Lekas
katakan apa yang telah terjadi? Kemana
kakakmu dan adik seperguruanmu,
Citrasih?" ujar Ki Bangun Reksa cepat.
"Aku... aku tak tahu apa yang
telah terjadi, guru...! Karena tahu-
tahu leherku seperti tercekik, disaat
aku tengah mengintip perbuatan Aji
Prana dan Citrasih! Mereka...
mereka...." Pamuji tak meneruskan
kata-katanya, namun telah bangkit
berdiri dan melompat ke balik dinding
ruangan goa sebelah dalam. Teriakan
kaget Pamuji membuat Ki Bangun Reksa
cepat melompat memburu ke arah ruangan
itu. Betapa terperanjatnya Ki Bangun
Reksa mendapatkan tubuh Aji Prana
telah terkapar tak bernyawa dengan
keadaan tubuh telanjang bulat, dan
dada tertancap pedang. Pamuji menatap
dengan mata membelalak.
"Kakakmu telah mati! Tapi kemana
Citrasih!? Apakah sebenarnya yang
telah mereka lakukan?" berkata Ki
Bangun Rekso. Dia balikkan tubuh
menatap Pamuji setelah memeriksa
mayat. Wajah laki-laki tua ini tampak
tegang. Dadanya berombak-ombak.
"Mereka... mereka... te... telah
melakukan perbuatan hina! Akan tetapi
aku tak tahu kelanjutannya karena
tiba-tiba leherku serasa tercekik. Aku
jatuh pingsan dan tak tahu apa-apa
lagi!" tutur Pamuji. Selanjutnya
diapun ceritakan peristiwanya dari
awal sampai akhir.
Keduanya sama tertegun menatap
mayat Aji Prana. Pedang biru itu
setelah diperiksa oleh Ki Bangun Rekso
ternyata pedang milik Citrasih. Sedang
pedang Aji Prana sendiri lenyap yang
tinggal cuma kerangkanya saja.
Pamuji yang diberitahu oleh
gurunya bahwa keempat saudara seper-
guruannya bergeletakan tewas diluar
goa tersentak kaget.
"Ah!? apakah mereka telah
menyusul kemari? Lalu siapa yang telah
membunuh mereka?" berkata Pamuji
dengan terperangah kaget.
Dia melompat untuk berkelebat
keluar goa. Benarlah, ditanah berbatu-
batu pada sisi tebing itu tampak empat
sosok tubuh berpakaian biru berkaparan
tak bergerak.
Terpaku Pamuji dalam kebingungan.
Akhirnya dia cuma bisa berdiri terpaku
bagai patung.
Dia benar-benar tak mengerti
dengan semua kejadian ini. Apakah
kematian kakaknya oleh orang lain,
ataukah Citrasih yang melakukan? Lalu
siapa yang membunuh keempat saudara
seperguruannya itu? Bermacam
pertanyaan bermunculan dalam benak.
"Pamuji, muridku! coba kau
periksa mayat-mayat saudara sepergu-
ruanmu. Tubuh mereka tak mengeluarkan
darah. Namun kulit tubuh mereka
berubah kebiruan!"
Suara sang guru menyadarkan
Pamuji. Segera dia membungkuk untuk
memeriksa mayat. Lalu mayat-mayat
lainnya.
"Benar, guru...! Apakah mereka
mati keracunan?" berkata Pamuji.
"Dugaanmu tepat! Tapi mereka
bukan mati karena telah menelan racun,
melainkan karena terkena pukulan yang
mengandung racun!" ujar Ki Bangun
Rekso. Lalu lanjutnya.
"Aku baru teringat! Kalau tak
salah dugaanku, itulah pukulan Inti
Racun! Pukulan yang amat berbahaya dan
luar biasa ganasnya. Masih beruntung
kau tidak mati. Pukulan itu bisa
dilontarkan dengan tenaga ghaib!"
"Ja.. jadi kesimpulannya yang
membunuh keempat saudara seperguruanku
ini adalah orang yang telah mencekik
leherku?" sentak Pamuji terkejut.
"Karena...aku tak melihat siapa-
siapa" sambung Pamuji serius. Wajahnya
kembali berubah pucat. Membayangkan
hal yang menakutkan itu bulu
tengkuknya seketika meremang berdiri.
****
MATAHARI mulai menggelincir turun
ke arah barat ketika dua manusia murid
dan guru itu selesai memakamkan enam
jenazah ditempat itu.
"Apa yang harus kita lakukan
guru?" bertanya Pamuji. Kematian
kakaknya dan kelima saudara sepergu-
ruannya telah membuat pemuda ini
bersedih hati. Begitupun Ki Bangun
Reksa. Laki-laki tua ini memandang
enam gundukan tanah dengan mata sayu.
Sejurus dia terdiam tak menjawab
pertanyaan Pamuji. Namun tak lama dia
menghela napas. Dan ujarnya;
"Pamuji! kaulah seorang sisa
muridku yang masih hidup, walau aku
masih sangsi akan nasib yang menimpa
adik seperguruanmu Citrasih. Kita
menghadapi tantangan berat, yang bukan
saja menimpa perguruan kita, akan
tetapi juga melanda seluruh rakyat
wilayah ini...!"
"Benar, guru! Kerajaan GIRI JAYA
telah hancur musnah. Akan tetapi hamba
tak tahu apakah penyebab kehancuran
itu adalah akibat perang ataukah
karena musibah! Apakah guru dapat
mengambil kesimpulan mengenai musibah
yang melanda kita? Maksudku apakah
kematian saudara-saudara seperguruan
adalah oleh orang tertentu yang juga
ada hubungannya dengan kehancuran
kerajaan Giri Jaya?" bertanya Pamuji.
"Hal ini bisa juga dihubungkan
dengan kehancuran kerajaan Giri Jaya.
Memang kesimpulanku adalah, pelaku
pembunuhan saudara-saudara sepergu-
ruanmu adalah orang-orang yang
terlibat dalam penghancuran kerajaan
Giri Jaya. Pukulan INTI RACUN menurut
sepengetahuanku cuma dimiliki oleh
seorang yang bernama Ki ANGGUNO.
Seorang tokoh yang pernah berpetualang
pada belasan tahun yang silam.
Dia adalah bekas patih kerajaan
GIRI NATA yang melarikan diri ketika
segerombolan perampok bajak laut
menyerbu kerajaan Giri Nata. Kerajaan
Giri Nata tumbang, dan pemerintahannya
direbut mereka. Kemudian mereka
merubah nama Giri Nata dengan nama
Giri Jaya. Namun raja kerajaan Giri
Nata tak dibunuh. Bahkan masih tetap
menjadi raja, namun dibawah kekuasaan
mereka". tutur Ki Bangun Reksa.
"Akan tetapi kini suatu hal tak
terduga, kerajaan GIRI JAYA hancur
musnah tanpa ada yang tahu sebabnya.
Suatu kejadian aneh! Sama anehnya
dengan musibah yang melanda orang-
orang perguruan kita. Aku sendiri
sebenarnya menduga Ki ANGGUNO yang
diam-diam telah mempersiapkan kekuatan
untuk merebut kerajaan Giri Nata
kembali. Namun aneh! Mengapa justru
istana kerajaan itu sendiri dihan-
curkan?" tutur Ki Bangun Reksa lebih
lanjut.
"Apakah guru sebelumnya telah
mengetahui kejadian itu?" bertanya
Pamuji.
"Benar! Aku turun gunung lebih
awal dari kalian. Sengaja kuperintah-
kan kalian untuk turun gunung, karena
kuingin kalian menyelidiki asal
terjadinya peristiwa itu!" sahut sang
kakek puncak gunung Simembut ini
dengan mengelus jenggotnya.
Pamuji tercenung. "Tak salah
kata-kata kakang Aji Prana! Guru
memang telah mengetahui, dan sengaja
memerintahkan turun gunung pada para
murid adalah untuk menguji kemampuan
para muridnya melacak peristiwa!"
berkata Pamuji dalam hati.
Demikianlah, guru dan murid itu
berembug untuk mengambil langkah guna
menyelidiki apa penyebab kehancuran
istana Kerajaan Giri Jaya disamping
melacak jejak CITRASIH, dan melacak
jejak manusia yang melakukan perbuatan
keji membunuh empat orang murid
perguruan LANGIR BIRU dengan pukulan
INTI RACUN!
Senja terus merangkak tatkala
keduanya berkelebat pergi meninggalkan
tempat itu...
LIMA
SEORANG PEMUDA berbaju lusuh
berjalan sambil menggendong tangan
dibelakang punggung. Rambutnya gon-
drong tak terurus. Celana yang
dipakainya seperti kedodoran. Tak
sebatang pedangpun atau senjata lain
terselip dipinggangnya. Sambil ber-
jalan menunduk seperti memperhatikan
ujung-ujung kedua kakinya yang
bermunculan silih berganti, dia
menggumam tiada henti.
"Gila! benar-benar gila! Edan!
Benar-benar edan!"
Kata-kata itu sebentar-sebentar
keluar dari mulutnya. Terkadang dia
mendesah atau menggaruk-garuk kepala,
lalu kembali ucapkan kata-kata itu.
"Gila! Benar-benar gila! Edan!
Benar-benar edan!"
Rutukan itu entah ditujukan pada
siapa tak jelas tujuannya. Langkah
kakinyapun seperti tak terarah
sebentar ke sisi kiri jalan, sebentar
ke kanan. Sementara rutuknya tak
pernah berhenti meluncur dari
mulutnya.
Hari panas terik. Jalanan yang
dilaluinya panas berdebu. Akan tetapi
pemuda itu seperti tak menghirau-
kannya!
Di ujung jalan yang berbelok-
belok melintasi bukit yang tak
seberapa tinggi itu tampak berdiri
tiga sosok tubuh. Mereka adalah tiga
orang laki-laki yang bertampang seram.
Dari sikap mereka dapat diterka kalau
ketiganya bukan manusia baik-baik.
Masing-masing menyandang senjata, yang
gagangnya bersembulan disisi perut.
Pakaian merekapun tidak sama. Tapi
dari jenis pakaian yang mereka pakai,
bukanlah dari bahan yang murah. Bahkan
salah seorang mengenakan kalung
mutiara pada lehernya.
Ketika pemuda bertampang lusuh
itu sesaat lagi melintas dijalan itu,
salah seorang memberi isyarat. Dan
ketiganya berkelebat lenyap dikedua
sisi jalan itu....
Pemuda itu terus melangkah tanpa
menyadari tiga orang pentang mata liar
menunggu kedatangannya. Masing-masing
telah cabut senjatanya yang digenggam
kuat. Menanti detik-detik maut yang
sebentar lagi akan berlangsung.
"Benar-benar edan! Edan! edan!
Gilaaaa! benar-benar gila! gila!
gil..." belum lagi habis kata-katanya
terkejut pemuda itu ketika tiga sosok
bayangan berlompatan keluar dari sisi
bukit dengan pendengarkan bentakan-
bentakan keras, menerjang ke arahnya.
"Mampuslah kau bocah linglung!"
Tiga larik sinar berkelebat dari
tiga bilah senjata yang meluruk ke
arah tubuhnya.
Kalau saja pemuda itu tak
mempunyai naluri yang amat peka, tentu
siang-siang dia sudah menjadi bangkai
tak bernyawa ditempat itu.
Akan tetapi naluri pemuda itu
amat peka. Begitu tiga kilatan benda
tajam meluncur ke arah tubuhnya,
mendadak tubuh pemuda ini seperti
terhuyung-huyung ke sana ke mari.
Ternyata hal itu telah
menyelamatkan nyawanya.
Tiga serangan maut itu luput.
Bahkan salah seorang menjerit ngeri
ketika senjata yang digunakan kawannya
tanpa sebab telah membacok pundaknya.
Mengaduh kesakitan orang ini
seraya melepaskan goloknya, dan ber-
gulingan melompat ke sisi. Dua
kawannya terkejut.
Ketika mereka melihat ke arah si
pemuda, orang yang mau dibunuh itu
justru enak-enakan duduk diatas batu
sambil cengar cengir.
"Hahaha.. hehe... kiranya kalian
tiga kawanan cecunguk yang tempo hari
melarikan diri? Bagus! pucuk dicinta
ulampun tiba. Kalian munculkan diri
tanpa aku harus mencarinya!"
Siapa sebenarnya pemuda bertam-
pang lusuh itu anda tentu sudah
menduganya. Ya! siapa lagi kalau bukan
Nanjar alias si DEWA LINGLUNG.
Mendelik mata ketiga orang itu.
Salah seorang membentak.
"Bocah linglung! Jangan kau
anggap dirimu seperti dewa. Kau kira
kami cuma bertiga?". Selesai berkata
laki-laki itu memberi tanda isyarat
dengan gerakkan tangannya.
Tiba-tiba belasan sosok tubuh
berjompatan keluar dari balik batu-
batu dikedua sisi bukit. Dalam
beberapa kejap saja Nanjar telah
terkurung rapat dalam kepungan belasan
manusia bertopeng hitam.
Diam-diam Nanjar terkejut juga
melihat begitu banyak kawanan orang
yang bersembunyi dikiri kanan jalan.
Akan tetapi Nanjar tunjukkan
sikap tenang. Bahkan dia masih tetap
duduk diatas batu dengan cengar-
cengir.
"Hahaha... aku sudah menduga
kalian membawa bala bantuan. Eh,
apakah kalian adalah komplotan yang
menamakan diri Elang Siluman Hitam?"
"Bagus! Kalau kau telah menge-
tahui mengapa masih berani bertingkah
didepan mata kami?" menyahut salah
seorang dari belasan manusia bertopeng
itu.
"Hm, nama Elang Siluman Hitam
memang telah lama kudengar. Bukankah
kalian dari kelompok orang-orang
kerajaan Giri Nata yang telah punah?
Tapi mengapa membantu tiga cecunguk
ini, yang jelas adalah tiga orang
perampok pengecut. Merampok rumah
orang disaat yang punya rumah sedang
tidur mendengkur! Membunuh disaat
orang tidur adalah perbuatan yang
paling jelek, baik dilakukan oleh
golongan hitam atau putih! Kalau saja
aku tak kebetulan menginap dikandang
kuda, tentu nyawa tuan rumah sudah
melayang!" berkata Nanjar.
"Kau bocah angon tahu apa dengan
urusan kami? Yang akan kurampok harta
dan kubunuh orangnya adalah orang-
orang dari kerajaan Giri Jaya yang
menjadi musuh kami. Gara-gara ada
kaulah hingga kami gagal melakukan
tugas kami!" teriak salah satu dari
tiga orang itu. Dia bernama Pulung
Wesi. Sedangkan yang dua orang lagi
bernama Pulung Geni dan Pulung Gaman.
"Kalian ini sebenarnya siapakah?
Mengapa memusuhi orang-orang kerajaan
Giri Jaya? Aku sendiri tak mengetahui
bangsawan tua itu orang kerajaan. Yang
kuperbuat adalah menegakkan kebena-
ran!" berkata Nanjar. Kali ini dia
bicara serius. Nanjar memang boleh di
bilang tahu terhadap persoalan
kerajaan.
Mendengar kata-kata Nanjar, salah
seorang dari belasan orang bertopeng
itu melompat ke depan Nanjar, seraya
berkata.
"Sobat! kukira dalam hal ini kau
tak dapat disalahkan! sebaiknya kau
ikut kami untuk menghadap ketua!"
"Siapa ketua kalian?" tanya
Nanjar.
"Aku tak dapat menyebutkan-
nya sekarang. Nantilah, kau akan
segera mengetahuinya bila telah
berhadapan dengan beliau!" jawab laki-
laki bertopeng itu. Nanjar tercenung
sejurus.
"Baiklah! aku..." belum habis
Nanjar berkata, tiba-tiba laki-laki
bertopeng dihadapannya menjerit ngeri.
Tubuhnya terjungkal roboh. Selanjutnya
berkelojotan bagai ayam disembelih.
Tak lama dia telah terkapar tak
berkutik.
Nanjar tersentak kaget. Pulung
Wesi dan Pulung Geni melompat untuk
memeriksa. Sementara belasan orang
bertopeng yang lainnya terperangah
kaget. Mereka berkelebatan melompat
siap siaga dari serangan gelap. Namun
tak ada tanda-tanda yang mencurigakan.
"Celaka! Pukulan INTI RACUN!"
teriak Pulang Wesi dengan wajah pucat.
Nanjarpun tersentak kaget.
"Pukulan Inti Racun?" desisnya ter-
kejut. Disaat tegang itu tiba-tiba
angin bertiup keras. Debu tebal
beterbangan bergulung-gulung. "Apa
lagi yang akan terjadi?" sentak Nanjar
terkejut bercampur heran.
Belum lagi dia dapat menduga,
tiba-tiba terdengar jeritan saling
susul. Tubuh-tubuh orang bertopeng itu
roboh bergedebugan. Bahkan Pulung
Wesipun terjungkal disertai jeritan
menyayat hati.
Nanjar tak membuang waktu. Dia
telah berkelebat melompat dengan
gunakan ilmu lompatan kera. Sekejap
dia telah berada diatas tempat
ketinggian. Dengan mata membelalak
Nanjar pentang mata melihat belasan
orang-orang bertopeng itu telah
berkaparan ditanah. Jeritan terakhir
adalah dari Pulung Geni yang disusul
dengan tersungkurnya tubuh laki- iaki
itu. Setelah berkelojotan beberapa
saat, tubuhnya pun diam tak bergeming.
ENAM
KEPULAN DEBU itu beberapa saat
antaranyapun menipis dan lenyap.
Tiupan angin telah sirna. Keadaanpun
menjadi lengang, sunyi seperti tak
pernah terjadi apa-apa.
Nanjar melompat turun. Dengan
waspada dari serangan gelap yang aneh
itu, Nanjar memperhatikan mayat-mayat
orang-orang bertopeng itu, termasuk
mayat Pulung Wesi yang terkapar
dihadapannya.
Terkejut Nanjar memperhatikan
mayat-mayat itu yang semua kulit
tubuhnya berubah kebiruan.
Keringat dingin secara tak di-
sadari telah mengembun ditengkuk
Nanjar. "Siapakah manusianya yang
punya ilmu pukulan Inti Racun begini
ganas? Dalam sekejapan saja belasan
nyawa melayang, sedangkan makhluk
penyerangnya tak nampak batang hidung-
nya!" berkata Nanjar dalam hati.
Pada saat itulah terdengar suara
tertawa terkekeh-kekeh.
Nanjar terperanjat, dengan gera-
kan sebat telah putar tubuh ke arah
belakang. Bukan main terkejutnya dia
karena sesosok tubuh berjubah hitam
tanpa lengan dan kaki dengan posisi
duduk tampak menggantung diudara,
tengah tertawa terkekeh-kekeh menye-
ramkan. Rambutnya yang putih serta
wajah seorang yang pernah dikenalnya
bergoyang-goyang didepan mata.
"Siluman Gila Guling?" tersentak
kaget Nanjar. Tanpa terasa dia telah
melangkah mundur dua tindak.
"Heheheh... kau masih
mengenaliku, bocah?" Berkata kakek
tanpa Daksa itu.
"Mm, kaukah yang membunuh me-
reka?" berkata Nanjar dengan mata
menatap tak berkedip.
"Benar! bahkan aku akan membunuh
lebih banyak lagi manusia untuk
pengujian ilmu pukulan gaib Inti
Racunku!" sahut si Siluman Gila Guling
dengan tertawa mengekeh.
"Gila! gila! benar-benar gila!
Edan! benar-benar edan!" merutuk
Nanjar, "Apakah kau mau ludaskan
seluruh isi dunia ini, setelah kau
buktikan niatmu menggulingkan kerajaan
Giri Jaya?"
"Tak perlu! Namun aku belum puas
kalau orang-orang Rimba Persilatan
belum tunduk padaku, dan mengakui aku
sebagai ketua Rimba Per-silatan. Juga
akan kudirikan kerajaan baru dibawah
kekuasaanku!" berkata serak si Siluman
Gila Guling.
"Rencana gila! Ambisimu benar-
benar edan dan keterlaluan, Siluman
Gila Guling! Cita-citamu tak akan
kesampaian, karena kebathilan tak akan
tegak dimuka bumi ini selama masih ada
tegaknya kebenaran!" teriak Nanjar
dengan mata melotot. Diam-diam dalam
hati Nanjar terkejut bukan buatan
mendengar ambisi Siluman Gila Guling
yang setinggi langit.
"Hehehe... aku akan membuktikan-
nya!" berkata kakek tanpa daksa itu
dengan tertawa mengekeh. "Kau bocah
kunyuk kecil belum waktunya aku
membunuhmu. Masih kuberi kesempatan
padamu untuk memperdalam ilmu
kepandaianmu! kelak kita akan bertemu
lagi!"
Selesai berkata tubuh si manusia
Siluman Gila Guling lenyap sirna.
Lagi-lagi Nanjar terperangah membe-
lalak. Keringat dingin mengucur deras
dari tengkuknya. Dia terpaku tak
bergeming.
Mendadak Nanjar kembali merutuk.
"Gila! gila! gila! Siluman Gila
Guling memang telah benar-benar gila!
Edan! sungguh benar-benar edan!"
Tubuh pemuda itupun berkelebat
pergi dari tempat yang mengerikan
itu...
Kejadian aneh hancurnya istana
kerajaan Giri Jaya dan terbakarnya
gedung-gedung diwilayah Kota Raja juga
desa-desa disekeliling wilayah kera-
jaan tak seorangpun yang mengetahui
asal kejadian. Mayat-mayat bergelimp-
angan disekitar reruntuhan puing-puing
istana. Puluhan prajurit tewas
terbakar. Tak terkecuali orang-orang
istana. Sukar untuk dipercaya, karena
menurut saksi mata terjadinya
malapetaka itu dimalam hari. Tahu-tahu
api telah berkobar membakar istana tak
diketahui dari mana asalnya. Puluhan
prajurit yang berada didalam istana
berusaha memadamkan api. Tapi api
justru semakin besar dan bermunculan
disana-sini. Mereka terkurung rapat
oleh api, tanpa bisa keluar menerobos
kepungan api yang semakin menggila
melalap istana megah itu.
Malapetaka itu terus merembet ke
tempat-tempat lain disekitar wilayah
Kota Raja. Hingga Wilayah Kota Raja
seketika berubah menjadi lautan api.
Jerit dan ratap terdengar disana-sini.
Ratusan manusia panik menyela-
matkan diri. Rakyat wilayah lain yang
agak berjauhan dari Kota Raja
mengungsi karena mengira terjadi
peperangan di Kota Raja. Keadaan
menjadi panik dimana-mana.
Tak sedikit jiwa yang melayang
dengan adanya peristiwa itu. Bahkan
orang-orang istana termasuk raja dan
patih kerajaan dipastikan telah mati
tertembus api. Ratusan prajurit kocar-
kacir tak tahu apa yang akan diperbuat
mereka. Dalam keadaan seperti itu
seorang laki-laki tua bertubuh kurus,
sebelah lengannya mencekal seuntai
tasbih berdiri bagai patung diantara
hiruk-pikuknya manusia. Bibirnya
berkomat-kamit membaca tasbih. Memuji
nama Tuhan. Hawa panas membara.
Kepanikan melanda disetiap tempat.
Kakek kurus memakai jubah putih yang
cuma dibelitkan ditubuh dengan sisa
ujungnya disampirkan dibahu itu tetap
berdiri tak bergeming. Dari mulutnya
terdengar suara menggumam.
"Haiiih! ramalanku tepat! tak
dapat ditolak lagi, kerajaan Giri Jaya
akan menemui kemusnahan. Akan muncul
seorang manusia iblis yang bakal
membuat huru-hara besar! Entah siapa
orang itu...! Ahh... celaka! celaka!"
Seorang pemuda berbaju lusuh
dengan celana kedodoran berada tak
jauh didekat kakek kurus itu. Dialah
Nanjar alias si Dewa Linglung. Dia
tertarik melihat kakek kurus yang
mencekal tasbih ini. Nanjar
menghampiri lebih dekat. Tercekat hati
Nanjar mendengar gumaman laki-laki tua
ini.
Nanjar menjura hormat ketika
kakek kurus itu menoleh padanya.
"Maafkan aku orang tua, bolehkah
aku mengetahui siapa anda?" bertanya
Nanjar.
"Apakah manfaatnya kau mengetahui
siapa diriku, anak muda? toh tidak
akan bisa menghalangi terjadinya
musibah ini! Kebhatilan akan muncul
dimuka bumi mengalahkan kebenaran.
Manusia akan tersesat menjadi hamba-
hamba dan budak-budak iblis!
Selanjutnya? entah! aku tak tahu lagi
apa jadinya bila kekuasaan telah
beralih ditangan seorang manusia yang
akan mengubah dunia menjadi neraka!
Oh, betapa mengerikan! betapa akan
mengerikan jadinya...!" berkata kakek
itu dengan menatap tajam Nanjar.
Mulut Nanjar ternganga. Jelaslah
kalau kakek ini seorang yang memiliki
ilmu bathin teramat tinggi. Seorang
kakek pertapa yang jiwanya telah
menyatu dengan alam ghaib. Dia telah
meramal kejadian yang akan datang dan
membuktikan ketepatan ramalannya.
"Kakek! namaku Nanjar! bila
menurut ramalanmu kejadian ini adalah
akibat perbuatan seorang manusia iblis
yang telah munculkan diri untuk
membuat huru-hara besar, aku tahu
siapa manusianya!"
Tentu saja kata-kata Nanjar
membuat sikakek kerutkan keningnya.
Sepasang alisnya yang putih lebat
terjungkit menyatu.
"Kau mengetahui siapa manu-
sianya?" bertanya sikakek.
"Benar! Dialah seorang laki-laki
tua tanpa daksa yang tak mempunyai
lengan dan kaki bergelar si Siluman
Gila Guling!" jawab Nanjar.
"Dari mana kau anak muda
mengetahui?" tanya sikakek tertegun.
"Aku pernah berjumpa dengan
manusia itu satu kali!" ujar Nanjar.
Tercekat hati orang tua ini.
"Ceritakan siapa sebenarnya dia,
apakah kau juga mengetahui asal-usul
manusia itu?"
Nanjar mengangguk. Lalu tanpa
ragu-ragu Nanjar segera tuturkan
perihal Siluman Gila Guling panjang
lebar, sesuai dengan apa yang
didengarnya.
Seperti dituturkan dalam judul,
Siluman Gila Guling sebelum judul
kisah lanjutannya ini, telah
dituturkan kalau kakek tanpa daksa itu
adalah bekas seorang kepala bajak
laut, bernama Bromo Seto.
Bromo seto memimpin penyerbuan
untuk merebut kerajaan Giri Nata
bersama anak buah dan kawan-kawannya.
Peperangan berkecamuk yang berakhir
dengan jaluhnya kerajaan Giri Nata ke
tangan Bromo Seto dan kawan-kawannya.
Kemudian nama kerajaan Giri Nata
diubah manjadi Giri Jaya.
Perselisihan timbul dikalangan
mereka, karena Bromo Seto menginginkan
dirinya memegang tampuk pemerintahan.
Namun dihalangi oleh kawan-kawanya.
Hingga akhirnya Bromo Seto ditangkap
untuk dipenjarakan. Selanjutnya dengan
kejam mereka membuntungi anggota tubuh
Bromo Seto, kemudian membuangnya ke
dalam lembah.
Sengaja mereka membiarkan Bromo
Seto hidup, karena toh ajalnya sudah
didepan mata. Namun sungguh tak
dinyana kalau Bromo Seto masih bisa
bertahan hidup hingga saat ini,
setelah selama belasan tahun sembunyi
didalam lembah dan memperolah ilmu
kesaktian ghaib yang amat luar biasa.
Kemunculan seorang gadis muridnya
membuat heboh dengan membunuhi orang-
orang kerajaan atas perintahnya.
Sebagai pembalasan dendam Bromo Seto.
Setelah kematian muridnya yang
membunuh diri yang bernama Cantrik
Sari, Bromo Seto bertekad
menggulingkan kerajaan Giri Jaya.
Demikianlah, Nanjar bentangkan
asal-usul Siluman Gila Guling dengan
panjang lebar seperti apa yang
didengar sendiri dari kakek tanpa
daksa itu.
Kakek pertapa peramal itu
tercenung beberapa saat mendengar
penuturan Nanjar. Sementara api yang
membakar istana semakin membesar
melalap seluruh isi istana itu.
Sang kakek menghela napas. Lalu
terdengar dia berkata.
"Anak muda! tenagamu masih bisa
dibutuhkan! pergunakanlah untuk
menolong orang yang masih bisa kau
tolong. Kelak bila bencana sudah usai
dan kau ada waktu setelah kau
menyelesaikan urusanmu, datanglah ke
puncak gunung manyar merah, tempat aku
bertapa. Banyak hal yang akan kita
rundingkan mengenai kemunculan si
Siluman Gila Guling...!" ujar kakek.
"Dimana adanya gunung Manyar
Merah itu, kakek..?" bertanya Nanjar.
"Pergilah ke arah timur. Nanti
akan kau jumpai dua lembah dan dua
bukit. Melewati bukit terakhir segera
kau akan melihat gunung Manyar Merah!"
ujar sang kakek.
"Baiklah, kakek! kelak aku pasti
datang mengunjungimu!" berkata Nanjar.
"Nah, sampai jumpa lagi!" selesai
berkata Nanjar balikkan tubuh untuk
segera beranjak dari tempat itu. Akan
tetapi tiba-tiba berseru si kakek.
"Tunggu!"
"Ada apakah kau menahanku, kek?"
"Anak muda! kau berjodoh bertemu
dengan aku orang tua pertapa.
Terimalah tasbih ini mungkin ada
gunanya!" berkata si kakek, seraya
melemparkan tasbih ditangannya. Dengan
sigap Nanjar menyambutnya. Ketika
Nanjar menoleh kearah si kakek, bukan
main terkejut dan herannya Nanjar.
Karena sekejap saja sosok tubuh kakek
itu telah lenyap.
"He? kemana perginya dia? Aneh!?
begitu cepatnya dia berlalu..."
Memikir kalau-kalau si kakek itu bukan
manusia, tengkuk Nanjar meremang
dingin. Namun tak lama si Dewa
Linglung telah berkelebat dari tempat
itu...
TUJUH
Nanjar duduk termangu-mangu di-
atas batu ditepi sungai berair jernih.
Dilengannya tercekal seuntai tasbih
warna hijau yang tengah dipermainkan
biji-bijinya. Itulah tasbih pemberian
si kakek pertapa tukang ramal.
Ingatannya baru saja melayang pada
peristiwa beberapa hari yang lalu
ketika dia berjumpa dengan si kakek
pertapa.
Hatinya tercekat untuk segera
menemui orang tua itu dipuncak gunung
Manyar Merah. Sementara itu hatinya
bertanya-tanya melihat benda ditangan
pemberian si kakek.
"Kakek pertapa itu memberikan
tasbih ini padaku dan mengatakan
barang kali ada gunanya. Untuk apakah
gunanya tasbih ini?" berkata Nanjar
dalam hati. Tasbih Warna hijau itu
terbuat dari batu Giok yang teruntai
dengan tali serat yang amat kuat.
Karena tak dapat memikir guna tasbih
itu, Nanjar masukkan lagi benda itu
kesaku bajunya.
"He he.. biarlah kusimpan saja.
Aku toh bisa menanyakan nanti pada si
kakek itu bila berjumpa dengannya!"
menggumam Nanjar. Dia segera bangkit
berdiri. "Sebaiknya aku segera pergi
ke puncak gunung Manyar Merah sekarang
juga!" memikir Nanjar.
Setelah mengambil keputusan, tak
berayal lagi segera Nanjar berkelebat
ke arah timur. Dengan gunakan ilmu
lari cepat dia menerobos hutan,
melompati sungai dengan gerakan seolah
bagaikan terbang.
Kita tinggalkan dulu Nanjar yang
sedang menuju ke puncak gunung Manyar
Merah. Mari kita beralih ke satu
tempat yang jauh dari wilayah Kota
Raja. Bukit LENGSER menjulang tinggi
dikelilingi rapatnya hutan rimba.
Dibagian sisi puncak bukit itu
tampak berdiri sebuah rumah kayu.
Sepintas rumah kayu itu lak ber-
penghuni. Keadaan yang sunyi lengang,
sesekali cuma terdengar suara burung-
burung yang kebetulan lewat diatasnya
telah diselingi oleh suara isak
tersendat dari dalam pondok kayu itu.
Ternyata disudut ruangan duduk
seorang gadis berambut kusut. Penutup
auratnya cuma selembar kain yang sudah
sobek disana-sini. Gadis ini tengah
menangis terisak-isak dengan air mata
bercucuran. Siapa adanya gadis ini?
Dialah CITRASIH, murid termuda
perguruan Langir Biru. Cucu angkat Ki
Bangun Reksa dari puncak gunung
Simembut.
Sementara itu dikaki bukit se
sosok bayangan tubuh manusia
berkelebat mendaki lereng bukit dengan
gerakan laksana seekor kijang.
Sepintas bila orang melihat
takkan menyangka kalau bayangan itu
adalah bayangan tubuh seorang pemuda
berpakaian kumal, berambut gondrong
dengan celana yang kedodoran. Bahkan
bisa-bisa dia disangka makhluk halus.
Karena bagi manusia biasa tak mungkin
bisa melakukan pendakian dengan begitu
cepat.
Dalam waktu tak sepcminuman teh
dia telah tiba dipuncak bukit lengser.
Kini jelas siapa adanya pemuda itu
yang tak lain dari Nanjar alias si
Dewa Linglung. Dalam perjalanan
menuju ke puncak gunung Manyar Merah,
Nanjar melintasi bukit itu. Bukit ini
adalah bukit terakhir yang harus
dilewati. Setelah melewati bukit ini
akan tampak gunung Manyar Merah.
Nanjar memandang berkeliling
melihat keadaan puncak bukit itu.
Tiba-tiba dia tertegun karena melihat
sebuah rumah kayu tak seberapa jauh
dari tempat dia berdiri.
"Eh? kebetulan! ada sebuah rumah.
Entah siapa penghuninya. Aku bisa
numpang beristirahat barang seje-
nak..." bergumam Nanjar. Namun dia
telah kerutkan keningnya ketika
mendengar suara terisak yang datang
dari dalam pondok kayu itu.
"He? ada suara orang menangis...!
Hm, sebaiknya kulihat, siapakah dia
dan ada apakah yang terjadi?" berkata
Nanjar dalam hati. Tak ayal segera dia
melompat untuk segera tiba dimuka
pondok kayu itu.
Dengan pelahan Nanjar melangkah
agar tak menimbulkan suara. Dari celah
dinding kayu dia mengintip ke dalam.
Tentu saja seketika wajah Najar
berubah merah. Karena melihat sosok
tubuh seorang gadis yang boleh
dibilang hampir membugil.
Namun melihat orang menangis mau
tak mau dia harus masuk ke dalam untuk
bertanya. Siapa tahu gadis itu
diperkosa orang, atau ada musibah yang
menimpanya.
Memikir demikian Nanjar segera
bergerak melompat ke pintu.
Terperanjat Citrasih melihat
seorang laki-laki telah berdiri
didepan pintu ruangan. Seorang pemuda
lusuh berambut gondrong yang
memandangannya dengan wajah serius.
"Siapakah kau nona? Apakah yang
telah terjadi denganmu?" bertanya
Nanjar.
"Ah,... si., siapakah anda?"
Citrasih justru malah bertanya. Nanjar
jadi garuk-garuk kepala yang tidak
gatal. Namun ada baiknya dia
mengatakan yang sebenarnya agar tak
membuat kecurigaan pada gadis itu
pikir Nanjar.
"Namaku Nanjar. Aku dalam
perjalanan menuju kegunung Manyar
Merah karena ada suatu urusan hingga
kumelewati puncak bukit ini. Harap kau
tak curiga terhadapku. Aku orang baik-
baik!" berkata Nanjar.
Gadis itu manggut-manggut.
Wajahnya mendadak menampilkan wajah
girang.
"Aku... aku tertotok! Bisakah
anda menolongku?" berkata Citrasih.
Hati Citrasih tercekat melihat seorang
pemuda yang bertampang konyol tapi tak
ada tanda-tanda dia orang jahat. Walau
pun sepintas mata pemuda itu seperti
membinar ketika menatapnya. Namun tak
berlangsung lama. Nanjar memang cepat-
cepat mengalihkan tatapannya dari
bagian tubuh terlarang yang cuma ter-
tutupi sobekan kain.
Mendengar gadis itu dalam keadaan
tertotok, tentu saja membuat Nanjar
terkejut. "Haiiiih!" ucapnya. Dan
entah bagaimana gerakan Nanjar yang
dilakukan untuk membuka totokan
ditubuh si gadis. Begitu cepatnya
hingga tahu-tahu sigadis merasa
totokan ditubuhnya telah terbuka.
Akan tetapi sungguh heran
Citrasih, karena tak melihat si
penolongnya berada di ruangan itu
lagi.
Bergegas dia membenarkan kain
yang membelit ditubuhnya untuk lebih
menyembunyikan aurat tubuhnya. Pada
saat itu sesosok bayangan muncul
dipintu pondok. Seorang laki-laki muda
berpakaian warna biru menyandang
pedang di pinggang berdiri dipintu
pondok. Menatap ke arahnya dengan mata
membelalak dan mulut ternganga.
"CITRASIH!?... kau... kau berada
disini? Apakah yang terjadi denganmu?
Si., siapa laki-laki yang barusan
melompat keluar dari jendela?"
"Ah!? kau... kau PAMUJI!?" sua-
ra Citrasih setengah berteriak karena
terkejut dan girangnya.
"Benar! aku Pamuji! Katakan siapa
yang membawamu kesini? Apa yang
terjadi sebenarnya? Siapakah orang
yang melompat dari jendela barusan?"
berkata Pamuji dengan mengulangi
pertanyaan.
"Dia..." Citrasih tak sempat me-
neruskan kata-katanya karena dibe-
lakang pondok terdengar bentakan
keras.
"Manusia keparat jangan lari!"
Diiringi suara bentakan itu terdengar
suara berderak yang disusul seperti
suara pohon roboh. Selanjutnya yang
terdengar adalah suara dari dua orang
yang bertarung seru.
Citrasih membelalakkan matanya
menatap Pamuji. "Seperti suara guru?
Apakah kau bersama beliau?" bertanya
gadis ini.
"Benar! aku memang bersama
beliau. Guru tentu sedang berusaha
membekuk orang itu. Siapakah dia
sebenarnya?"
"Dia... dia orang yang telah
membebaskan aku dari totokan!" jawab
Citrasih dengan terkejut. "Celaka!
kalian salah menyangka! Cegahlah
pertarungan itu!" setengah berteriak
Citrasih beranjak untuk melompat
keluar. Akan tetapi Pamuji meng-
halangi.
"Tunggu! biarlah aku yang
mencegahnya!" berkata Pamuji. Dia
keluarkan sebuah bungkusan dari balik
baju dan serahkan pada gadis itu. Lalu
buka bajunya yang basah oleh keringat,
kemudian diberikan pula pada Citrasih,
seraya berkata.
"Kau pakailah untuk menutupi
tubuhmu..!"
Citrasih telah membuka bungkusan
itu, yang ternyata berisi celana
pangsi tipis yang selalu dibawa
Pamuji untuk sewaktu-waktu berganti
pakaian.
"Kau... kau baik sekali,
Pamuji..!" berkata Citrasih dengan
mata berkaca-kaca.
Pamuji cuma tersenyum. Lalu dia
balikkan tubuh untuk berkelebat keluar
pondok.
DELAPAN
HAHAHA...HEHE... dasar nasibku
yang sial! Nyaris aku disangka orang
menyekap adik Citrasih ini!" tertawa
Nanjar gelak-gelak. "Jadi kalian telah
tiba terlebih dulu sebelum aku?"
"Benar, sobat Nanjar! kami baru
saja mau memeriksa isi pondok karena
mendengar suara orang terisak-isak
menangis. Tiba-tiba anda muncul. Kami
cepat bersembunyi. Kami mengira kau
adalah orang yang menyekap seorang
perempuan dalam pondok itu. Bahkan aku
sendiri tak mengira kalau dia adalah
justru cucu angkat dan muridku sendiri
yang kucari-cari..!" berkata Ki Bangun
Reksa menjawab pertanyaan Nanjar dan
memberi penjelasan.
"Maafkan kekeliruanku itu, anak
muda!" sambung Ki Bangun Reksa.
"Ah, tak apa. Sungguh gembira aku
bisa berjumpa dengan kalian! Kini
biarlah kita mendengarkan cerita adik
Citrasih ini membeberkan peristawa
yang dialaminya."
Citrasih tunduk tersipu. Air
matanya kembali menitik dan meleleh
membasahi pipinya. "Sudahlah Citrasih,
cucuku. Jangan bersikap cengeng. Apa
yang telah terjadi hadapilah dengan
tabah. Siapakah yang telah menyekapmu
ditempat ini? Dan siapa pula yang
telah membunuh Aji Prana? Pedang yang
menancap didada kakak seperguruanmu
itu jelas pedang milikmu! Apakah kau
yang telah membunuhnya? mengenai
kematian empat saudara seperguruanmu
diluar goa aku sudah mengambil
kesimpulan seseorang yang telah ku
kenal itulah yang membunuhnya. Hal itu
bisa diusut belakangan. Dan emang aku
perlu mencari dia untuk membuktikan
kebenaran tuduhanku!" berkata lirih Ki
Bangun Reksa, menghibur Citrasih yang
semakin sedih mendengar Aji Prana
tewas, juga keempat saudara
seperguruannya.
"Eh, tunggu dulu! Siapakah orang
yang kau maksud yang membunuh keempat
orang muridmu itu?" potong Nanjar.
"Menurut dugaanku dialah orang
yang bernama Ki ANGGUNO! Karena aku
mengenali ilmu pukulannya dari melihat
mayat murid-murid-ku yang membiru
terkena racun! Itulah jurus pukulan
INTI RACUN yang amat luar biasa
ganasnya!" jawab Ki Bangun Reksa.
"Ah!? pukulan semacam itu juga
dimiliki si Siluman Gila Guling!"
berkata Nanjar terperajat. "Apakah kau
tak salah menduga?"
"Siapakah Siluman Gila Guling?"
Ki Bangun Rekso balik bertanya.
"Dialah manusia setengah iblis!
Dia pula sipenghancur Kerajaan Giri
Jaya, pembawa malapetaka yang bakal
merubah bumi ini menjadi neraka!"
Terperanjat Ki Bangun Rekso
maupun Pamuji. Sementara Citrasih jadi
ternganga mendengar kata-kata Nanjar.
Sekujur tubuh dara ini menggetar.
Manusia setengah iblis itulah yang
telah menodainya dan membawanya ke
tempat ini.
Secara singkat Nanjar segera
ceritaan kejadian mengenai Siluman
Gila Guling yang telah menewaskan
orang-orang Elang Siluman Hitam dimana
dia sendiri berhadapan dengan tokoh
hitam tanpa daksa itu. Juga secara
singkat Nanjar tuturkan sedikit
riwayat si Siluman Gila Guling, juga
pertemuannya dengan seorang kakek
pertapa yang meramal akan kemunculan
manusia setengah iblis itu!
"Nama sebenarnya tokoh hitam itu
adalah BROMO SETO!" ujar Nanjar
mengakhiri penuturannya.
Tersentak kaget Ki Bangun Reksa.
"Pantas! tidak salah kalau
begitu! Dia adalah kakak seperguruan
Angguno. Pantaslah kalau memiliki ilmu
pukulan yang sama!" berkata Ki Bangun
Rekso.
"Tapi si Siluman Gila Guling
mempergunakan ilmu itu dengan tenaga
kekuatan ghaib! Dia bisa datang dan
pergi seperti angin. Kekuatan ghaib
yang dimilikinya amat luar biasa!"
berkata Nanjar, dengan wajah serius.
"Apapun manusianya, atau iblis
sekalipun aku tidak gentar! Dia harus
dilenyapkan dari muka bumi ini. Demi
keselamatan manusia aku rela berkorban
dengan darah dan nyawaku!" berkata
gagah kakek ini.
"Benar! tentu saja akupun tak
tinggal diam. Aku akan membantu
perjuanganmu dan kaum pendekar
menumpas manusia setengah iblis itu!"
berkata Nanjar. Pamuji manggut-
manggut.
"Darah dan nyawanyakupun akan
kupertaruhkan demi kedamaian dibumi
ini!" ujar Pamuji dengan mencekal hulu
pedangnya.
"Ya! kita memang harus bersatu!
Kalau kita bercerai-berai mana mungkin
semua itu bisa terlaksana?" tukas Ki
Bangun Reksa.
Kakek ini kembali menatap pada
Citrasih.
"Bagaimana cucuku? apakah kau
sanggup untuk menceritakan pada kami
mengenai kejadian yang sebenarnya?"
berkata Ki Bangun Reksa.
Gadis ini menggigit bibirnya
menahan kepedihan yang menyesakkan
dada.
"Baik, guru....! aku akan mence-
ritakannya..." ujar Citrasih. Tam-
paknya dia sudah mulai dapat menahan
perasaannya untuk segera menuturkan
perihal kejadian itu.
Demikianlah, Citrasih segera
tuturkan apa yang telah terjadi dengan
sejelas-jelasnya.
Ternyata ketika Aji Prana
menatapkan pandangan matanya pada
Citrasih didalam ruang goa itu, gadis
itu seperti terpana. Dia melihat sinar
aneh pada mata sang kakak seperguruan.
Di saat itu telinganya mendengar
bisikan halus yang menyuruhnya
membiarkan Aji Prana melucuti pakaian-
nya. Dia tak kuasa untuk menolak. Aji
Prana menatapnya dengan penuh nafsu.
Pemuda itupun melucuti pakaiannya
sendiri. Akan tetapi mendadak bisikan
halus kembali terdengar yang
menyuruhnya membunuh Aji Prana. Aneh!
dia tak kuasa untuk menolak. Secepat
kilat dia lepaskan diri dari pelukan
Aji Prana, dan menyambar pedang
miliknya yang tergeletak tak jauh dari
sisinya. Lalu, dengan sekali ayun
pedang itu telah menancap didada sang
kakak seperguruan.
Melihat Aji Prana roboh, dia
terpekik kaget. Tapi saat itu mendadak
kepalanya terasa pening. Pandangan
matanya berkunang- kunang. Selanjutnya
dia telah roboh tak ingat apa-apa
lagi.
Ketika sadar Citrasih merasa
tubuhnya telah ternoda. Pada pertama
dia tak mengetahui siapa yang telah
menodainya. Namun disaat yang kedua
kalinya dia mendengar suara tertawa
parau menyeramkan. Dia ketakutan
setengah mati. Namun tak berdaya,
karena Citrasih dalam keadaan
tertotok. Ketika tak lama setelah
suara tertawa itu lenyap, mendadak
dirasakan tubuhnya ada yang memeluk.
Aneh! Karena dia tak melihat sesosok
tubuhpun berada diatas tubuhnya.
Begitu ketakutannya Citrasih,
hingga kembali dia pingsan tak
sadarkan diri. Ketika sadar dia
mendengar suara orang tertawa mengekeh
disampingnya. Suara itu memberitahukan
siapa dirinya. Dialah si Siluman Gila
Guling!
Demikianlah, hingga sampai
beberapa hari Citrasih disekap dalam
pondok kayu itu. Tubuhnya semakin
lemah, dan dia telah putus asa. Hingga
akhirnya datanglah pertolongan ketika
mereka muncul dipuncak bukit itu....
Citrasih mengakhiri penuturannya
dengan tundukkan wajahnya. Dia kembali
terisak-isak, mencucurkan air mata.
SEMBILAN
PONDOK KAYU diatas bukit lengser
mendadak dihempas angin yang ber-
gulung-gulung. Terdengarlah suara.
BRRRRAAAAKK!
Seketika rumah kayu itu porak
poranda. Serpihan-serpihan kayu
melayang ke udara terbawa pusaran
angin dahsyat itu. Terdengar suara
parau memaki. "Keparat! kemana
perginya bocah ayu itu? Kalau tak ada
yang menggondolnya mustahil dia bisa
minggat!" Sesosok tubuh samar-samar
menjelma ditempat itu. Ternyata
seorang kakek tanpa daksa yang tak
berlengan dan tak berkaki. Siapa lagi
kalau bukan si Siluman Gila Guling.
Mengetahui gadis sekapannya
lenyap, manusia setengah iblis ini
gusar bukan buatan hingga dia
menghancurkan pondok kayu itu dengan
ilmu ghaibnya.
Sementara itu dibawah bukit,
empat sosok tubuh berkelebatan mendaki
bukit itu. Mereka melihat adanya angin
keras yang menerbangkan puing-puing
kayu dan atap rumah. Diantara keempat
sosok tubuh itu, salah seorang adalah
seorang laki-laki tua berusia antara
50 tahun. Sedangkan yang tiga orang
tak lebih dari tiga puluhan tahun.
Siapakah mereka ini?
Dialah Ki ANGGUNO dan ketiga
orang muridnya. Ketiga laki-laki yang
turut mendaki dikiri-kanannya adalah
murid-murid utama Ki Angguno yang
mengepalai komplotan Elang Siluman
Hitam. Seperti telah diceritakan
orang-orang Elang Siluman Hitam telah
dibantai habis oleh Siluman Gila
Guling dengan ilmu ghaib pukulan Inti
Racun.
"Manusia iblis terkutuk Siluman
Gila Guling! hari ini jangan harap kau
dapat meloloskan diri!" bentakan
menggledek Ki Angguno membuat kakek
tanpa daksa itu berpaling.
"Hm, siapakah kalian?" mendengus
si kakek ini. Akan tetapi air mukanya
berubah ketika mengenali Ki Angguno.
"Heh!? kiranya kau Angguno?"
Ki Angguno kerutkan kening.
Alisnya terjungkit naik. Dia menatap
pada kakek tanpa lengan dan kaki itu
yang duduk diatas rumput.
"Kau....bukankah kau BROMO SETO?"
berkata dia dengan terkejut.
"Hehehe....benar! Lebih dari
sepuluh tahun kita tak pernah bertemu
apakah kau sudah menjadi raja dan
mempunyai banyak selir?" berkata
sikakek dengan tertawa sinis.
"Bromo Seto! kau menyindirku?
Sudah jelas kaulah yang telah
menghancurkan cita-citaku. Penyerbuan-
mu belasan tahun yang silam berhasil
merebut kekuasaan kerajaan Giri Nata.
Aku adalah patih kerajaan Giri Nata
yang berhasil meloloskan diri.
Begitukah perbuatan seorang kakak
seperguruan? Menghancurkan kebahagiaan
orang lain, bahkan orang itu adalah
adik seperguruanmu sendiri!" berkata
Ki Angguno. Sementara diam-diam Ki
Angguno terkejut melihat bekas kakak
seperguraannya telah menjadi orang
cacad.
"Hehehe....siapa yang tahu kau
bercokol dikerajaan Giri Nata?" jawab
Siluman Gila Guling dengan tertawa
tawar. "Nasibku toh tak lebih buruk-
dari nasibmu! Kau lihatlah! aku telah
menjadi orang tanpa daksa! Semua ini
akibat kawan-kawan seperjuanganku
sendiri! Akibat perbuatan mereka
itulah aku menyimpan dendam kesumat.
Hingga akhir tiba saatnya aku
munculkan diri untuk menghancurkan
kerajaan Giri Nata yang telah mereka
kuasai sekian lama!"
"Jadi kaulah yang menimbulkan
bencana diwilayah kerajaan ini?"
tersentak kaget Ki Angguno.
"Hehe....benar!"
"Edan!? ilmu apakah yang kau
punyai?" terperangah Ki Angguno
seperti tak percaya. Siluman Gila
Guling tak menjawab. Dia pejamkan
mata. Bibirnya berkomat-kamit seperti
membaca mantera. Tiba-tiba dia
membungkuk seperti bersujud dua kali
mencium tanah. Mendadak angin keras
membersit melanda disekitar bukit. Ki
Angguno dan ketiga muridnya melangkah
mundur terkejut. Tiba-tiba terdengar
letupan-letupan kecil disekeliling
puncak bukit itu. Aneh! karena setelah
letupan-letupan itu terjadi, seketika
saja api telah berkobar disekeliling
puncak bukit.
Membelalak mata keempat orang itu
melihat kejadian aneh yang sukar
dipercaya dan tak masuk diakal. Tapi
kenyataannya memanglah demikian!
Sebentar saja hawa panas mengembara.
Api berkobaran mengurung mereka
disegala penjuru.
"Ilmu Sihir!" teriak tiga murid
Ki Angguno terperanjat.
"Ilmu iblis!" sentak Ki Angguno
dengan mata membelalak.
Siluman Gila Guling perdengarkan
suara tertawa terkekeh-kekeh.
"Hahah..heheheh.... itulah ilmu
ghaib Raja Iblis! Dengan kekuatan ilmu
yang kumiliki bukan saja aku bisa
menghancurkan seluruh wilayah kerajaan
Giri Jaya, akan tetapi aku sanggup
membakar seluruh isi jagat ini!"
sumbar Siluman Gila Guling. Suara
tertawanya masih terdengar parau
menyakitkan anak telinga, akan tetapi
manusianya telah lenyap dari tempat
itu.
"Gila! Ilmu Iblis yang benar-
benar gila!" teriak Ki Angguno.
Bagaimana Ki Angguno bisa muncul
ditempat ini dan mengetahui adanya
Siluman Gila Guling? Seperti telah
diceritakan dibagian depan, sewaktu
terjadinya pengepungan terhadap Nanjar
yang melewati celah dua bukit dijalan
berliku-liku, oleh tiga orang laki
laki, kemudian muncuj komplotan orang-
orang bertopeng hitam.
Mereka adalah anak-anak buah Ki
Angguno.
Kemudian muncul Siluman Gila
Guling membantai mereka dengan ilmu
ghaib beracun yang menewaskan semua
anak buah Ki Angguno, kecuali Nanjar.
Seorang anak buah Ki Angguno
ternyata tak turut serta dalam
pengepungan itu. Dia bersembunyi di
belakang batu besar. Anak buahnya yang
luput dari kematian itulah yang
melapor pada Ki Angguno. Dalam rangka
melacak jejak Siluman Gila Guling,
mereka melihat puing-puing kayu
beterbangan di atas bukit Lengser,
hingga mereka menjumpai kakek tanpa
daksa itu....
Kakek pertapa bernama Kyai Bangah
itu manggut-mangut mendengar penuturan
Ki Bangun Raksa yang bercerita tentang
siapa adanya si Siluman Gila Guling,
juga peristiwa yang di alami cucu
angkatnya, Citrasih.
"Aku tak keberatan menerima cucu
angkatmu untuk sementara berdiam
dipertapaanku di puncak gunung Manyar
Merah ini!" berkata Kyai Bangah.
"Terima kasih atas kesediaan
Kyai. Kukira memang inilah tempat yang
tepat bagi Citrasih, cucu angkatku
ini. Karena kami sangat khawatir
dengan perkembangan jiwanya. Dan
khawatir kalau dia mengambil jalan
pintas membunuh diri...!" buru-buru Ki
Bangun Reksa menjura mengucap terima
kasih.
"Adapun tujuan kami untuk selan-
jutnya adalah..." sambung Ki Bangun
Reksa seraya menatap pada Pamuji dan
Nanjar si Dewa Linglung.
"Kami bertekad akan mencari upaya
untuk membinasakan si Siluman Gila
Guling. Karena dengan membiarkan
manusia setengah iblis itu hidup lebih
lama berarti akan memperbanyak malape-
taka!"
Kyai Bangah manggut-manggut.
Tiba-tiba kulit kening sang Kyai
tampak berkerut. "Sebaiknya kalian
jangan berangkat dulu dan tingggal
disini satu-dua hari lagi. Firasatku
mengatakan bahwa manusia setengah
iblis itu tak berada jauh lagi dari
wilayah ini!"
''Ahh...!?" tersentak Ki Bangun
Rekso maupun Pamuji juga Nanjar.
Mereka sama menatap pada Kyai
Bangah. Sejenak keheningan mencekam
sedangkan Citrasih yang sedari tadi
diam saja duduk disamping sang Kyai,
tiba-tiba buka suara.
"Bila dia muncul ditempat ini,
perkenankanlah aku mengambil tindakan.
Dan kuharap guru maupun Kyai juga
lainnya jangan menghalangi tindakan
apa yang bakal kulakukan!" Sambil
berkata Citrasih bangkit berdiri.
Wajahnya kaku tegang. Sepasang matanya
memancarkan cahaya dendam.
"Duduklah cucuku...!" ujar Kyai
Bangah.
Namun Citrasih seperti tak
mendengar kata-kata Kyai Bangah. Dia
tetap berdiri menatap ke mulut goa
dengan pandangan kosong.
Tampak butir-butir air mata
meleleh turun dari genangan di kelopak
mata dara cantik ini.
SEPULUH
Pamuji hangkit berdiri seraya
beranjak mendekati dara ini.
"Duduklah, adik Citrasih! apakah
maksud kata-katamu?" berkata Pamuji.
Sementara Nanjar cuma bisa garuk-garuk
kepala ditempat duduknya. Tapi
mulutnya menggumam lirih. "Wah, gawat
kalau begini urusannya...!"
Pamuji berhasil Membujuk Citrasih
untuk kembali duduk. Ki Bangun Rekso
menatap tajam pada sang murid.
Terdengar orang tua ini menghela
napas, lalu berkata.
"Tindakan apakah yang akan kau
lakukan, cucuku cah bagus?"
"Aku tak dapat memberitahukannya!
aku tak akan mengatakannya!"
Selesai menyahut gadis ini
menutup mukanya, dan menangis terisak-
isak. Ki Bangun Rekso menggeleng-
gelengkan kepala, dan mereka saling
tatap dengan mulut membisu. Kalau saja
mereka tahu bahwa niat Citrasih adalah
bila manusia iblis itu muncul, dara
itu bersedia korbankan dirinya untuk
ditawan kembali, demi keselamatan
nyawa mereka. Maka persoalannya
menjadi terang.
"Kyai...! berilah kami petunjuk
untuk menghadapi manusia iblis itu!
Apakah sudah tiba saatnya kebhatilan
akan menguasai umat manusia? apakah si
Siluman Gila Guling tak dapat
dimusnahkan? Kami tahu Kyai orang yang
arif! Apakah Kyai akan membiarkan umat
manusia dilanda malapetaka?"
Kata-kata Nanjar membuat semua
orang menoleh padanya.
Sejurus Kyai Bangah terdiam tak
menjawab pertanyaan Nanjar. Semua yang
hadir menunggu kakek pertapa itu buka
suara. Begitu heningnya suasana hingga
tarikan napas mereka sama terdengar.
Kyai Bangah telah pejamkan matanya.
Jari-jari tangannya bergerak-gerak
seperti menghitung ruas-ruas tulang
ditelapak tangan. Melihat apa yang
dilakukan si kakek pertapa, Nanjar
teringat pada tasbih batu giok
pemberian si kakek pertapa itu yang
masih tersimpan disaku bajunya.
Biasanya si kakek gunakan tasbih itu
untuk menghitung.
Dia hampir tak sabar menunggu,
mendadak Kyai Bangah membuka matanya.
Mulutnya telah berhenti berkemak-
kemik. Kakek pertapa ini menghela
napas, dan berkata.
"Aku tak dapat memastikan si
Siluman Gila Guling itu bisa
dimusnahkan. Tapi akupun tak
menafsirkan bahwa kebhatilan akan
berkuasa diatas jagat raya ini! Namun
aku juga tak akan berpeluk tangan
berdiam diri menghadapi masalah besar
ini. Aku cuma manusia biasa yang
lemah. Hanya Tuhanlah tempat kita
bernaung dengan segala kebesaranNYA.
Kita hanya bisa berlindung padaNYA!
Mengenai petunjuk yang bisa kuberikan,
untuk memusnahkan manusia setengah
iblis itu dipe-lukan petunjuk Ghaib!
Petunjuk Ghaib itu bisa didapatkan
dengan jalan bertafakur mendekatkan
diri pada Yang Maha Pencipta!" ujar
Kyai Bangah. Lalu lanjutnya.
"Untuk mendapatkan petunjuk Ghaib
itu tidak mudah, tak sembarang orang
bisa mendapatkannya. Untuk itu aku
akan berusaha sekuat tenaga untuk
membantu kalian, demi keselamatan kita
semua. Juga demi ketentraman diatas
jagat raya ini. Ilmu dengan kekuatan
Ghaib hanya bisi dikalahkan dengan
kekuatan Ghaib juga. Kekuatan ghaib
ada yang berasal dari iblis, ada yang
berasal dari Yang Maha Pencipta. Walau
sebenarnya semua kekuatan ghaib itu
berasal dari Yang Maha Pencipta..."
demikian ujar Kyai Bangah dengan
serius.
Semua yang hadir mendengarkan
dengan penuh perhatian. Setelah
menghela napas, Kyai Bangah tampak
kembali kerutkan keningnya.
"Agaknya waktu telah demikian
mendesak aku cuma bisa memberikan
petunjuk untuk penjagaan saja terhadap
kalian. Tapi hal itu jangan kalian
anggap telah sempurna. Karena semua
ilmu diatas jagad raya ini tak lepas
dari kekuasaan Yang Maha Pencipta.
Semoga apa yang bisa kuberika ini ada
manfaatnya...!" ujar sang Kyai.
Selanjutnya Kyai Bangah menyuruh
mereka untuk mendekat. Kecuali
Citrasih yang masih terdiam menutupi
mukanya, semuanya beringsut mendekati
si kakek pertapa.
Berkobarnya api dipuncak bukit
Lengser telah membuat lima orang yang
berada didalam goa pertapaan Kyai
bangah itu berlompatan keluar.
Segera mereka dapat melihat api
yang berkobar membakar bukit lenggser.
Pucat seketika wajah Ki bangun Rekso.
"Ah!? Firasatmu benar Kyai! Api
yang membakar bukit itu tentu
perbuatan si Siluman Gila Guling!"
berkata kakek ini dengan mata
memandang tak berkedip.
"Benar!" ujar Kyai Bangah. Orang
tua pertapa ini menengadah memandang
kelangit. Saat itu langit memang
tampak hitam seperti tertutup mendung.
"Akan kulihat kesana!" berkata
Nanjar, seraya tiba-tiba menyeruak
dari sisi tubuh Pamuji.
Kyai Bangah menatap padanya. "Hm,
apakah kau mau menghadapinya seorang
diri?" bertanya Kyai Bangah.
"Hehe.. dia tak mungkin mau
membunuhku! Aku telah dua kali
bertemu, dan dia selalu menangguhkan
bertarung denganku!" berkata Nanjar.
"Dia menyuruhku untuk menuntut ilmu
lebih tinggi lagi baru menantangnya
untuk bertarung!"
"Aneh!" Gumam Kyai Bangah. Baik
Ki bangun Rekso maupun Pamuji dan
Citrasihpun menganggap hal itu satu
keanehan. Namun bagi Nanjar hal itu
tidaklah aneh, karena dia menganggap
hal itu sebagai sesuatu yang wajar.
Nanjar memang penasaran karena
setiap mau melabrak si Siluman Gila
Guling, selalu manusia setengah iblis
itu menghindar pergi. Kali ini dia
bertekad akan mengejar manusia
setengah iblis itu untuk bertarung
mati-matian! Apa lagi Nanjar telah
mendapat "bekal" dan petunjuk dari
Kyai Bangah untuk menghadapi si
Siluman Gila Guling.
Tak berayal lagi dia telah
kelebat melesat dari muka goa, tanpa
mereka sempat mencegahnya lagi.
Gerakan Nanjar yang gunakan ilmu
meringankan tubuh untuk berlari cepat
menuju bukit Lengser yang tak seberapa
jauh dari gunung manyar Merah membuat
mereka yang melihat ternganga kagum.
Karena Nanjar telah gunakan ilmu-
ilmu si Raja Siluman Bangau dan ilmu
melompat Raja Siluman Harimau. Hingga
dari kejauhan terlihat tubuh si Dewa
Lmglung tak ubahnya bagai sekelebatan
bayangan putih yang berkelebatan
pesat.
Dalam waktu singkat Nanjar telah
sampai dipuncak bukit Lengser. Dengan
gunakan ilmu "terbang" Raja Siluman
Bangau tubuh Nanjar melayang ke udara.
Sesaat sebelum dia menukik turun untuk
jejakkan kaki ditengah kobaran api,
Nanjar melihat tiga sosok tubuh tengah
bertarung dengan seorang kakek tanpa
lengan dan kaki.
Sementara sesosok tubuh telah
terkapar ditanah.
Mereka tak lain dari Ki Angguno
yang tengah bertarung mengadu jiwa
dengan si Siluman Gila Guling.
Pada saat itu telah terdengar
jeritan seorang lagi murid Ki Angguno
Tubuhnya terlempar ke dalam api yang
langsung menembusnya. Terperanjat Ki
Angguno. Dengan kemarahan meluap dia
membentak keras.
"Bromo Seto, manusia keparat! aku
akan adu jiwa denganmu!"
Akan tetapi Siluman Gila Guling
tertawa mengekeh parau.
"Heheheh... heheh... kau manusia
bodoh, Angguno! Aku berbaik hati untuk
memberi kedudukan tinggi padamu, asal
kau tak mencampuri urusanku, tapi kau
menolak! Rupanya kau lebih memilih
kematian dari pada hidup enak!"
"Hidup mewah dalam cengkeraman
manusia iblis sepertimu yang
menebarkan maut dan malapetaka bagi
manusia? Heh! lebih baik mati!" teriak
Ki Angguno dengan berang. Senjata
ditangannya yang berupa tombak bermata
dua digerakkan berputar. Dan tubuh Ki
Angguno berkelebat menerjang si kakek
tanpa daksa itu yang duduk menggantung
diudara dengan wajah menyeringai.
"Manusia bodah! kau memang lebih
baik mampus!" berkata Ki Bromo Seto.
Tubuhnya mendadak lenyap. Dan tahu-
tahu terdengar jeritan Ki Angguno.
Tubuh ketua Elang Siluman itu
terlempar beberapa belas tombak. Tanpa
ampun segera tertembus api yang
berkobar menyala melahap jasadnya.
Melihat demikian mengerikan ilmu
si Siluman Gila Guling, murid yang
cuma tinggal seorang ini putus asa.
Sebelum manusia setengah iblis itu
membunuhnya dia telah membunuh diri
dengan menublaskan pedangnya keperut.
Robohlah laki-laki itu dengan tubuh
sekarat meregang nyawa.
Pada saat itulah terdengar
bentakan keras.
SEBELAS
MANUSIA IBLIS TERKUTUK SILUMAN
GILA GULiNG! Hari ini aku tak akan
biarkan kau lepas dari tanganku!"
Nanjar menukik turun seraya hantamkan
sebelah lengannya. Dari telapak
tangannya melesat kilatan cahaya
perak, yang memancarkan hawa dingin.
WHUUUT!.....BHUSSSS!
Sebelum kilatan cahaya perak itu
mengenai sasaran, tubuh Siluman Gila
Guling telah lenyap sirna. Dan akibat
hantaman pukulan "Lidah Naga Gila
Menjilat Bumi" warisan si Raja Siluman
Naga itu membuat tanah menyemburat
memercikkan debu yang telah berubah
menjadi butiran salju! Itulah pukulan
terdahsyat Nanjar yang baru beberapa
bulan dikuasainya.
Nanjar adalah seorang yang
wataknya aneh. Sebentar ugal-ugalan,
sebentar serius. Jurus pukulan yang
dinamakan Lidah Naga Gila Menjilat
Bumi itu adalah hasil pemikirannya
yang digabung dengan jurus ciptaan si
Raja Siluman Naga. Pengerahan tenaga
dalam kepusat yang berhawa dingin dari
jurus ilmu pukulan Inti Es yang harus
dipergunakan dengan keadaan jungkir
batik (Ilmu pukulan tenaga dalam
sungsang) tak lagi dipergunakan dengan
cara yang biasa. Yaitu dikerahkan
kekuatan tenaga dalam ke lengan, lalu
dilepas melalui telapak tangan. Akan
tetapi Nanjar telah menggabungnya
dengan ilmu warisan si Raja Siluman
Biawak, hingga menghasilkan kehebatan
hawa dingin yang berlipat ganda.
Apa lagi seperti telah
diceritakan Nanjar memiliki warisan
kekuatan tenaga dalam dari Raja
Siluman Naga.
Hingga pantaslah kalau dia
memiliki jurus pukulan yang hebat ini.
Sebagian api yang berkobar segera
padam tersiram butiran salju.
Sedangkan ditempat bekas menggan-
tungnya tubuh Siluman Gila Guling,
tampak sebuah lubang besar akibat
terkena hantaman pukulan Nanjar.
Lenyapnya tubuh si kakek tanpa
daksa membuat Nanjar celingukan men-
cari-cari kemana berkelebatnya manusia
setengah iblis itu. Tentu saja takkan
nampak tubuh lawannya, karena si kakek
tanpa daksa mempergunakan ilmu ghaib
untuk melenyapkan diri.
Agaknya si Dewa Linglung takkan
mampu untuk membinasakan lawannya
karena dia tak memiliki ilmu-ilmu
ghaib. Bahkan mungkin nasib naaslah
yang akan diaiaminya. Untunglah disaat
demikian Nanjar segera teringat akan
apa yang diajarkan Kyai Bangah. Tanpa
sadar dia telah memukul kepalanya
disertai makian pada dirinya sendiri.
"Aiii! dasar linglung! Mengapa
tak kugunakan kalimat-kalimat yang
diajarkan Kyai Bangah itu?"
Tak ayal Nanjar telah tarik
keluar tasbih batu Giok dari saku
bajunya, dan cepat dia jatuhkan pantat
untuk duduk bersila.
Tak lama Nanjar telah gerakkan
jari-jarinya seperti menghitung biji
tasbih. Sementara dalam hati Nanjar
membaca kalimat-kalimat seperti yang
diajarkan Kyai Bangah.
Saat itu mendadak angin
bergulung-gulung seperti mengipas
bukit Lengser. Api yang cuma tinggal
sebagian menyala diatas bukit itu
entah mengapa menjadi padam. Itulah
kekuatan ilmu ghaib yang digunakan
oleh Siluman Gila Guling.
"Hahaha.. heheheh... bocah kunyuk
kecil! apakah kau telah mampu untuk
mengalahkan aku tanpa kau belajar ilmu
lagi? Sungguh hebat jurus ilmu
pukulanmu! Ilmu apa lagi yang akan kau
pergunakan ?"
Suara si Siluman Gila Guling
terdengar seperti merambah puncak
bukit Lengser.
Tahu-tahu si kakek tanpa daksa
itu telah menampakkan diri lagi di
hadapan Nanjar. Tubuhnya masih seperti
tadi duduk menggantung diudara. Nanjar
berhenti menghitung tasbih. Ditatapnya
si kakek tanpa daksa dengan tajam.
"Hahaha... kakek Siluman Buntung!
Kau telah gunakan ilmu ghaib warisan
iblis, apakah kau tak khawatir kalau
iblis yang kau kuasai berbalik memotes
lehermu membuntungi kepalamu sendiri?"
Mengejek Nanjar dengan tertawa.
Padahal diam-diam dia khawatir sekali
ejekan itu akan membuat kakek tanpa
daksa itu menjadi marah. Namun diam-
diam Nanjar telah mempersiapkan diri
tintuk menghadapi segala kemungkinan
serangan si Siluman Gila Guling.
Benar saja! Disebut dirinya
dengan sebutan Siluman Buntung,
seketika wajah KI BROMO SETO berubah
merah. Kakek ini gerakkan tubuhnya
bergoyang-goyang. Tiba-tiba uap hitam
menerobos keluar dari tubuhnya.
Meluruk deras ke arah Nanjar yang
masih duduk dan telah kembali
menghitung tasbih.
Pada saat yang sama dari arah
puncak gunung Manyar Merah membersit
cahaya putih ke arah puncak bukit
Lengser. Luncuran cahaya putih itu
melebihi kecepatan luncuran uap yang
menyerang Nanjar. Itulah uap beracun
yang mengandung maut!
Bhlarrr!
Terdengar ledakan keras. Uap itu
buyar ke delapan penjuru. Sementara
Nanjar telah berkelebat menghindari
serangan itu. Kalau saja dia tak
memegang tasbih batu Giok dan dalam
hati menyebut kalimat-kalimat yang
diajarkan Kyai Bangah, tentu dia
takkan dapat melihat datangnya asap
beracun yang menyerang dirinya. Tentu
saja Nanjar tak menyadari hal itu.
Ledakan barusan membuat Nanjar
terkejut. Dia telah melompat sejauh
delapan tombak.
Saat itu ditelinganya terdengar
bisikan halus.
"Bocah linglung! cepat gunakan
kekuatan bhatinmu!" itulah suara Kyai
Bangah. Nanjar jadi terheran.
Bagaimana mungkin orangnya berada di
puncak gunung Manyar Merah, tapi
suaranya ada disini? Apakah kakek itu
telah menyusul kemari? pikir Nanjar.
Tak tahu apa yang harus dilakukan,
Nanjar bertanya.
"Bagaimana aku harus mela-
kukannya, Kyai?"
Terdengar bentakan ditelinganya.
"Bocah tolol! segera kosongkan
pikiranmu dengan mengingat yang satu,
yaitu Yang Maha Pencipta!"
Lagi-lagi Nanjar memukul kepa-
lanya. "Aiii! dasar linglung!" memaki
dia.
Tak ayal segera dia turutkan
perintah itu. Dengan pejamkan mata
segera Nanjar kosongkan fikiran.
Pelajaran yang didapatkan dari Kyai
Bangah secara singkat ditempat per-
tapaan puncak gunung Manyar Merah
memang telah dapat dikuasai oleh
Nanjar yang berotak encer.
Tapi dasar si Dewa Linglung itu
memang pernah linglung yang diaiaminya
ketika berada di pulau misterius,
ketika dalam gemblengan empat tokoh
yang menamakan dirinya si Empat Raja
Gila akibatnya Nanjar sering mengalami
kelupaan!
Disaat Nanjar memejamkan matanya,
kilatan cahaya putih secepat kilat
memasuki ubun-ubun kepala si pendekar
Dewa Linglung ini.
Tapi pada saat itu juga uap hitam
serangan si Siluman Gila Guling yang
buyar tadi telah bergulung-gulung
meluruk ke arah Nanjar.
Bahkan sungguh aneh, karena gum-
palan uap itu telah berubah menjadi
bentuk tangan-tangan yang menyeramkan
yang menyerang Nanjar untuk
mencengkeram batok kepala si pendekar
Dewa Linglung.
DUA BELAS
Dalam keadaan mengheningkan cipta
mengosongkan pikiran itu, tampaknya
sukar bagi Nanjar untuk mengelakkan
serangan yang mengerikan dari
cengkeraman-cengkeraman tangan iblis
yang merengkuh batok kepala Nanjar
Akan tetapi diluar dugaan uap hitam
itu mendadak buyar seperti terkena
cahaya aneh yang memancar dari tubuh
Nanjar.
Bersamaan dengan itu terdengar
jeritan parau si kakek Siluman Gila
Guling. Tubuh kakek tanpa daksa itu
kembali lenyap sirna. Namun sebagai
gantinya sebersit cahaya merah
meluncur pesat dari puncak bukit
Lengser.
Akan tetapi cahaya putih yang
tadi masuk keubun-ubun kepala Nanjar
telah melesat keluar lagi mengejar
cahaya merah. Bagaikan dua buah meteor
kedua cahaya itu berlesatan dan lenyap
tak kelihatan lagi dibalik gunung.
Nanjar masih tetap duduk bersila
dengan mata terpejam. Dengan meng-
heningkan cipta mengosongkan pikiran
itu, nampak benar-benar membuat Nanjar
begitu tenang seperti tertidur.
Dia tak mengetahui apa yang telah
terjadi. Dia tak tahu bahwa dua cercah
sinar yang sama berkelebatan melesat
bagaikan meteor itu meluncur ke arah
selatan. Melewati bukit dan gunung,
lalu masuk ke celah bukit.
"Manusia iblis Siluman Gila
Guling! Jangan harap kau dapat
meloloskan diri!" Cahaya putih itu
perdengarkan suara bentakan. Itulah
sukma Kyai Bangah yang telah meleset
keluar dari gua garbanya dan menolong
Nanjar, lalu mengejar sukma Bromo Seto
alias Siluman Gila Guling yang
melarikan diri ke dalam lembah,
Secepat kilat cahaya merah
meluncur masuk ke dalam goa dimana
ditempat itu gua garba Bromo Seto
tubuh aslinya masih dalam keadaan
duduk diatas batu besar. Tapi didetik
itu cahaya putih memburu untuk
menggagalkan niat sukma Bromo Seto
memasuki jasadnya.
Sebelum sukma Bromo Seto sempat
memasuki mulut goa, cahaya putih telah
menyerang dengan membentur cahaya
merah.
Akibat benturan itu, cahaya merah
terpecah menjadi belasan cahaya. Akan
tetapi hal itu bukan berarti cahaya
merah mengalami kekalahan. Karena
sekejap kemudian belasan cahaya merah
itu telah mengurung cahaya putih.
"Heheheh... pantas! kiranya kau
KYAI BANGAH!? Percuma kau menyusulku,
karena kau hanya akan mengantarkan
kematian saja!" berkata sukma Bromo
Seto alias Siluman Gila Guling dengan
tertawa mengekeh.
"Manusia iblis keparat, jangan
sombong dulu!" bentak sukma Kyai
Bangah. Dan sekejap saja cahaya putih
telah memecah diri menjadi tujuh
cahaya untuk mengimbangi kekuatan
cahaya merah.
"Bagus! mari kita mengadu
kesaktian!" membentak sukma Bromo
Seto. Tanpa menunggu lebih lama
belasan cahaya merah segera menerjang
ketujuh cahaya putih. Terjadilah
pertarungan ghaib dialam yang tak
kelihatan oleh manusia. Sukma Siluman
Gila Guling merangsak dengan serangan-
serangan ganas terhadap lawannya. Ter-
nyata setelah berada didalam lembah
tempat tinggal Siluman Gila Guling,
cahaya merah alis sukma Bromo Seto itu
seperti mendapat angin. Bahkan juga
seperti mendapat kekuatan untuk
menandingi kekuatan sukma Kyai Bangah.
Pertarungan ghaib itu telah
menimbulkan ledakan-ledakan keras yang
membuat dinding goa mulai terancam
runtuh. Melihat keadaan yang tak
menguntungkan, sukma Bromo Seto beru-
saha secepatnya merobohkan lawannya.
Bahkan tampaknya sukma Siluman Gila
Guling begitu mengkhawatirkan gua-
garbanya.
Namun mana mau sukma Kyai Bangah
membiarkan sukma lawannya itu memasuki
guagarbanya, karena berarti akan
menambah kekuatan lawan.
Oleh sebab itu semakin hebat
tujuh cahaya putih itu merangsak
belasan cahaya merah.
Namun sukma Kyai Bangah tak
menyangka kalau salah satu dari bela-
san cahaya putih berhasil menerobos
masuk ke dalam goa. Mendadak pula
belasan cahaya merah lenyap sirna.
Melihat demikian sukma Kyai
Bangah lancarkan serangan dahsyat
untuk mencegah hal itu terjadi. Tidak
begitu terlambat, akan tetapi ber-
akibat fatal, karena seketika tujuh
cahaya putih tertolak buyar oleh satu
kekuatan dahsyat yang keluar dari
mulut goa!
Namun goa itu sendiri hancur
luluh menjadi kepulan dengan diiringi
ledakan menggelegar yang menggon-
cangkan tanah.
Bahkan tebing batu itu bergetar
akibat ledakan dahsyat itu, dan
menimbulkan longsor. Dengan suara yang
bergemuruh batu-batu tebing itu
merosot turun, hingga dalam beberapa
kejap saja goa tempat jasad Siluman
Gila Guling telah lenyap tertutup
longsoran!
Sukma Kyai Bangah sendiri sampai
terheran dengan peristiwa itu. Karena
tak menyangka bakal mengakhiri riwayat
Siluman Gila Guling. Apakah sebenarnya
yang terjadi?
Tanpa setahu sukma Kyai Bangah
disisi tebing sebelah sana sejak
terjadinya pertarungan kedua sukma
itu, telah berdiri sesosok tubuh
seorang kakek tua renta berjubah
putih. Bahkan rambutnyapun terbungkus
oleh sorban putih yang ujungnya
melambai tertiup angin. Sosok tubuh
itu tak begitu jelas karena hampir
menyerupai bayangan saja.
Disaat sukma Kyai Bangah
melancarkan serangan ke mulut goa,
kakek misterius yang menyerupai
bayangan ini mengangkat sebelah
lengannya. Dari telapak tangannya
berkiblat cahaya biru membarengi
hantaman ghaib yang dilakukan sukma
Kyai Bangah.
Hal itulah yang mengakibatkan
hancurnya goa berikut jasad Siluman
Gila Guling menjadi kepulan debu. Lalu
sebagian tebing batu itu longsor
menimbun goa yang sudah jadi kepulan
bubuk batu itu hingga lenyap tanpa
bekas!
Sekejap setelah kejadian itu,
bayangan tubuh kakek tua renta
berjubah dan bersorban putih yang
menyerupai bayangan itupun lenyap.....
NANJAR alias si pendekar Dewa
Linglung berkelebat melesat mening-
galkan puncak bukit Lengser. Lagi-lagi
Nanjar kecewa karena kehilangan
lawannya. Bahkan secara aneh suara
yang membisikkan ditelinganyapun
lenyap. Cukup lama dia duduk bersila
mengosongkan pikiran. Namun telinganya
sunyi dari suara-suara diatas bukit
itu. Tentu saja makin lama dia semakin
tidak betah untuk tidak membuka mata..
Ketika dia buka kelopak matanya,
terheran Nanjar karena puncak bukit
itu seperti mati. Tak ada tanda-tanda
adanya Siluman Gila Guling ditempat
itu, kecuali sosok mayat yang terkapar
tak jauh didekatnya. Yaitu mayat anak
buah Ki Angguno yang membunuh diri.
Setelah menunggu beberapa saat tak ada
tanda-tanda adanya manusia setengah
iblis itu, juga Kyai Bangah yang
didengar suaranya, Nanjar mengambil
keputusan untuk secepatnya kembali ke
puncak gunung Manyar Merah.
Dalam waktu tak lama Nanjar telah
tiba dimulut goa tempat pertapaan Kyai
Bangah. Alangkah terkejutnya Nanjar
melihat kakek pertapa itu dalam
keadaan duduk bersila dengan bibir
mengalirkan darah, dikelilingi Ki
Bangun Reksa, Pamuji dan Citrasih.
"Apakah yang telah terjadi?"
teriak Nanjar seraya melompat
mendekat. Melihat kedatangan Nanjar
ketiga orang itu tak berkata apa-apa.
Mereka sama menunduk dengan wajah-
wajah yang menampak kesedihan.
"Kyai telah.... wafat!" terdengar
suara Ki Bangun Reksa lirih.
"Ahh..!?" sentak Nanjar terkejut.
"Bilakah terjadinya?" tanya
Nanjar dengan hati luluh.
"Barusan saja. Tapi Siluman Gila
Guling telah musnah! Bencana telah
berakhir, walau harus meminta korban
jiwa! Kita kehilangan seorang sesepuh
yang hampir langka ditanah Jawa ini!"
sahut Ki Bangun Rekso yang didahului
dengan tarikan napasnya. Tampak
disudut kelopak mata orang tua itu
tersembul setitik air bening yang
bergulir jatuh membasahi pipinya yang
keriput.
Nanjar cuma tercenung mendengar
penuturan Ki Bangun Rekso. Entah dia
harus bergirang atau bersedih.
Dikeluarkannya tasbih hijau
terbuat dari batu Giok pemberian kakek
pertapa itu dari saku bajunya dan
berkata lirih.
"Apakah dia meninggalkan pesan
untukku?"
Pertanyaan Nanjar belum dijawab
oleh Ki Bangun Rekso, karena sejenak
dia memperhatikan tasbih batu Giok
yang teruntai ditangan Nanjar.
Pamuji yang sedari tadi tak
membuka mulut, tiba-tiba tatapkan mata
liar melihat tasbih itu. Sebelum wafat
Kyai Bangah memang menanyakan Nanjar
dan menyebut-nyebut tasbih batu Giok,
tapi tak mengucapkan kata apa-apa lagi
lalu nyawa orang tua pertapa itupun
melayang. Terbersit dihati Pamuji
bahwa ada apa-apanya dengan tasbih
batu Giok ditangan Nanjar. Dia memang
sudah menduga sejak awal tentang
adanya senjata pusaka milik kakek
pertapa itu. Mungkin saja tasbih batu
Giok ditangan Nanjar itu sebuah
senjata pusaka! Dan alangkah sayangnya
kalau senjata pusaka itu terjatuh k
etangan orang lain.
Mendapat kesempatan baik seperti
itu tak ayal Pamuji cepat-cepat
berkata mendahului gurunya.
"Beliau memang meninggalkan pesan
untukmu, sobat Nanjar!" ujarnya. Kalau
saja Nanjar tak menundukkan wajah
ketika berkata, tentu dia dapat
melihat Pamuji mengedipkan mata pada
Ki Bangun Reksa yang menoleh pada
pemuda itu.
Cepat-cepat Pamuji menyambung
kata-katanya.
"Beliau berpesan agar kau
mengembalikan tasbih yang dititip-
kannya padamu dan menyuruh kami
mengubur bersama jasadnya!"
Ki Bangun Reksa baru mau
membentak sang murid. Akan tetapi
segera menelan lagi kata-katanya,
karena Nanjar telah berkata seraya
bangkit berdiri.
"Oh, kalau begitu amanatnya
dengan senang hati dan rela aku akan
mengembalikan benda ini!" seraya
berkata Nanjar menimang-nimang
sebentar tasbih hijau itu lalu
melemparkannya pada Pamuji. Dengan
sigap Pamuji menangkap lalu masukkan
ke saku bajunya.
Pada saat itulah tiba-tiba
terlihat bayangan hitam melintas
ditanah. Ketika mereka menengadah
tampak seekor burung rajawali yang
amat besar melayang berputar-putar
diatas mereka. Nanjar tersentak kaget.
"Hah!? itu pasti si JABUR dan
yang menungganginya pasti RANGGAWEN1!"
desis Nanjar dengan wajah mendadak
beruhah girang. Terdengar suara suitan
nyaring dari mulut si Dewa Linglung
ketika dia masukkan dua jari tangannya
kebawah lidah.
Mendengar suara suitan yang
dikenalnya itu, si burung rajawali
mendadak perdengarkan suara mengiyak,
lalu terbang menukik ke bawah.
Benarlah kiranya burung rajawali
raksasa itu adalah si JABUR, burung
peliharannya yang telah dihadiahkan
pada Ranggaweni si gadis murid Raja
Pengemis.
"Kak Nanjar...!" teriakan girang
terdengar dari atas punggung si Jabur.
Seorang dara cantik berbaju merah
memang berada diatas punggung burung
rajawali itu.
"RANGGAWENI...!" teriak Nanjar.
Dan... tubuh si pendekar Dewa Linglung
telah berkelebat ke udara.
Sekejap saja dia telah berada
diatas punggung binatang itu tepat
dibelakang punggung si dara cantik.
"Hehehe... maaf sobat-sobat,
biniku sudah menyusul. Tampaknya dia
sudah ngebet betul karena telah
kutinggal lama. Aku tak dapat berlama-
lama lagi. Kalian kuburkan saja
jenazah Kyai Bangah. Bila umurku
panjang tentu suatu saat kita bisa
bertemu lagi!" teriak Nanjar seraya
menoleh ke bawah menunjukkan kata-
katanya pada Ki Bangun Reksa, Pamuji
dan Citrasih.
Sesaat kemudian burung rajawali
raksasa itu telah membumbung tinggi.
Citrasih berdiri menengadah dengan
mata memandang sayu. Masih sempat tadi
dia melihat si gadis cantik baju merah
bernama Ranggaweni itu mencubit paha
pemuda itu.
Dan dilihatnya dikejauhan lengan
si pendekar Dewa Linglung melingkar
memeluk pinggang si dara cantik.
TAMAT
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar