SATU
KILATAN-KILATAN PETIR melukis la-
ngit tatkala tiba-tiba cuaca berubah
gelap! Terdengarlah suara menggelegar
memekakkan telinga sambung menyambung.
Tak lama angin keras bertiup menghempas
perbukitan. Suaranya bersiut-siut menge-
rikan. Begitu kerasnya hempasan angin
yang membludak itu hingga membuat
beberapa batang pohon berderak patah dan
tumbang....
Selama tak lama hujan deras meng-
guyur bumi bak dicurahkan dari langit
saja layaknya. Sementara angin terus
menghempas-hempas dahsyat mencabik-cabik
pepohonan di puncak bukit itu. Saat demi
saatpun berlalu. Tatkala hempasan angin
itu mereda, curah hujan pun berangsur-
angsur mereda. Dan tak lama berselang
hujanpun benar-benar berhenti meninggal-
kan sisa-sisa titik air yang meluncur ke
bumi.
Cuaca kembali cerah. Langit bersih
tak berawan. Dari balik batu bukit muncul
sesosok tubuh basah kuyup. Sejak hujan
lebat tadi dia meneduh di bawah batu
bukit itu, namun tak urung tubuh dan
pakaiannyapun basah juga. Siapa adanya
sosok tubuh ini, tak lain dari seorang
laki-laki yang masih muda berusia antara
dua puluh tahun lebih. Laki-laki ini tak
lain dari NANJAR alias si Pendekar Dewa
Linglung!
"Huuuh! hujan yang menyebalkan!"
gerutunya sambil menepiskan air yang
mengalir ke wajahnya. Dibukanya baju yang
basah kuyup itu, lalu di peras. Kemudian
dikenakannya lagi. Mulutnya toh kini
menyunggingkan senyuman, walau tadi dia
menggerutu. Baru saja dia mau membuka
celana, tiba-tiba.
"He!?Siapa kau?!"
Sejak tadi Si Dewa Linglung merasa
cuma dia sendiri yang berada ditempat
itu. Mendengar ada suara batuk-batuk
kecil tak jauh didekatnya dia jadi mele-
ngak heran. Ketika dia menoleh dilihatnya
seorang gadis berpakaian serba merah
berdiri di celah bukit tak jauh di
dekatnya, terhalang sebongkah batu bukit
yang menonjol.
Bayangan merah berkelebat, dan
sekejap gadis itu telah berada dihadapan
nya. Sejenak Nanjar tertegun
"Siapa kau? Mengapa aku tak melihat
anda berada ditempat ini?" tanya Nanjar
dengan menatap tajam dara itu dari kepala
sampai ke kaki. Dari balik pakaiannya
yang basah kentara jelas lekuk-liku tubuh
dara cantik ini. Jelas si dara baju merah
mempunyai potongan tubuh yang indah.
"Hm, pendekar Linglung! Omong ko-
song kalau kau tak mengetahui! Seorang
yang berkepandaian tinggi seperti anda
tak mungkin tidak mengetahui kalau sejak
kemarin aku telah menguntitmu! Kau memang
sengaja tak mengacuhkan aku!" berkata si
gadis dengan wajah tak menampilkan senyum
secuilpun.
"Aneh! aku bicara betul, Nona...!
Sungguh mati, biar disambar kampret! aku
memang tak mengetahui sama sekali. Bahkan
tak tahu kau telah menguntitku sejak
kemarin!"
"Kau juga tak mengenalku sama
sekali?" tanya si gadis. Nanjar mengge-
leng seperti orang tolol, "Dasar
linglung!" gerutu si gadis seraya
menghela napas.
"Hehehe... namaku memang si Dewa
Linglung! kau tahu dari mana?"
"Sinting!" memaki si gadis. Menda-
dak tubuhnya berkelebat melompat pergi
dari situ.
"Heeiii!? mau kemana? Tunggu dulu!"
teriak Nanjar.
"Mau apa kau menahanku? Menghadapi
manusia semacammu lebih baik aku berhada-
pan dengan seekor keledai!" berkata si
dara baju merah tanpa menoleh.
"Boleh saja kau anggap aku keledai,
aku toh takkan marah!"
"Seekor keledaipun tak akan seling-
lung kau!" teriak si gadis seraya
mempercepat larinya.
"Hehehe,... bukankah aku dijuluki
si Dewa Linglung?"
"Kau keledai linglung!" maki si
gadis kesal.
"He!? Apakah kau si Naga Betina
Baju Merah?" teriak Nanjar seraya
mengejar.
"Hm, kalau sudah tahu mengapa
berlagak linglung?" sahut ketus si dara.
"Hehe... maafkan aku, nona cantik!
sudahlah lupakan semua itu. Kini aku mau
bertanya. Apakah maksudmu menguntit
perjalananku?" tanya Nanjar tertawa.
Dara baju merah yang bergelar si
Naga Betina Baju Merah itu balikkan
tubuh, ketika Nanjar dengan gerakan
ringan melompat ke hadapannya.
Akan tetapi mendadak dara ini
angkat sebelah lengannya.
Whusssss!
Segelombang angin menerjang diser-
tai meluruknya belasan batang jarum perak
ke arahnya. Tentu saja membuat Nanjar
kaget setengah mati, karena tak menyangka
akan diserang sedemikian rupa.
Seraya melompat berjumpalitan meng-
hindarkan diri, Nanjar kibaskan lengannya
untuk menepis dengan angin pukulan.
Terlambat! dua batang jarum telah
mengenai pundak kirinya.
Pemuda ini mengeluh dan roboh
terjungkal seketika. Dara baju merah
tertawa kecil dan melompat mendekati.
"Hihihi... niatmu mencari PEDANG
MUSTIKA NAGA MERAH takkan kesampaian! Tak
seorangpun dari kaum Rimba Hijau berhak
memiliki pedang Pusaka itu!" berkata si
dara baju merah. Tubuhnya membungkuk
untuk memeriksa korbannya. Lengannyapun
terjulur, dan tiga kali bergerak dia
telah menotok tubuh Nanjar.
Selanjutnya dengan gerakan cepat
sekali dia telah memondong tubuh si
pemuda. Kejap berikutnya tubuh dara itu
berkelebat, dan lenyap di belakang
tebing.....
* * *
"Kemana kau akan membawaku, Naga
Betina Baju Merah?"
Pertanyaan itu membuat hati si dara
yang memondong tubuh Nanjar dan dengan
melarikannya dengan cepat jadi mencelos.
"He? kau sudah siuman?" tersentak
si dara baju merah. Betapa kagetnya dara
ini ketika tahu-tahu tubuh Nanjar
menggelincir dari pundaknya. Dan kejap
selanjutnya sepasang lengan pemuda yang
disangka sudah tak berdaya itu mendadak
membekap tubuhnya kuat sekali.
Tentu saja dia segera hentikan
larinya karena sekonyong-konyong napasnya
terasa sesak. Pelukan Nanjar membuat dia
tak berkutik, karena kedua lengannya pun
ikut terjepit kuat.
"Hehe... hahaha.... kau mengira aku
kena dikibuli dengan serangan gelapmu?
Ayo berontaklah manis...!" berkata Nanjar
dengan cengar-cengir. Sementara kesepuluh
jarinya tiba-tiba telah bergerak meremasi
payudara si gadis.
Keruan saja gadis ini jadi
terperangah kaget.
"Kau... kau... keparat! Lepaskan
aku!" berteriak-teriak gadis ini dengan
wajah berubah memerah.
Dara ini meronta-ronta melepaskan
diri. Akan tetapi sekali lengan Nanjar
bergerak, dara itu tiba-tiba mengeluh dan
terkulai menggelosor ditanah dalam
keadaan tertotok Nanjar tertawa gelak-
gelak. Dengan cepat lengannya bergerak
mencabut jarum perak yang menancap
dipundaknya.
"Heh! jarum perak ini mengandung
racun obat bius. Tidak berbahaya bagi
jiwa akan tetapi dapat membuat orang
tidur lelap dan lupa segala-gala seperti
mati saja! Beruntung aku telah menyiapkan
diri membalik jalan darah. Apakah yang
akan kau perbuat terhadapku, Naga
Betina?" berkata Nanjar.
"Aku akan membunuhmu!" teriak si
gadis.
"Apa alasanmu? Apakah karena kau
tak menginginkan aku mendapatkan pedang
pusaka itu?" tanya Nanjar dengan tertawa
menyeringai.
"Karena aku benci padamu?" jawab si
gadis ketus. Nanjar jadi melengak heran.
"Mengapa kau membenciku?" tanya
Nanjar tak mengerti.
"Sudahlah! kau tak perlu tahu! Kini
bunuhlah aku! Lebih cepat lebih baik!
Akan tetapi jangan harap kau bakal dapat
memiliki pedang Mustika Naga Merah selama
hidupmu!" teriak si dara.
DUA
"Hehe... hahaha... kalau dengan
membunuhmu pun aku takkan berhasil
mendapatkan pedang mustika itu buat apa
kulakukan? Gadis secantikmu mana tega aku
melakukannya? Akan tetapi aku penasaran,
mengapa kau berniat membunuhku tanpa kau
mau sebutkan alasannya? Dan yang juga
membuat aku heran, kemana perginya adik
seperguruanmu si Kecubung Sari?"
Dipuji cantik demikian mau tak mau
hati si gadis berdebar. Ada rasa senang
membaur disanubarinya. Pertemuan dengan
Nanjar memang cukup berkesan walau dalam
waktu yang singkat beberapa pekan yang
lalu. Yaitu ketika dia dan saudara
seperguruannya turun gunung, setelah
sejak enam tahun berguru dipuncak gunung
Naga Inten. Dia sebenarnya bernama Kecu-
bung Wungu, sedangkan saudara sepergu-
ruannya bernama Kecubung Sari.
Keduanya adalah murid seorang
perempuan tua sakti yang mendiami puncak
gunung Naga Inten yang tak pernah
dikunjungi orang. Berita yang mengejutkan
kedua saudara seperguruan, itu adalah
munculnya seorang pengemis berkaki
pincang yang memberitakan desas-desus
adanya sebuah pedang mustika dipuncak
gunung Naga Inten, bernama Pedang Mustika
Naga Merah.
Berita itu didengarnya dan muncul
dari mulut ke mulut di mana keduanya
singgah. Tentu saja hal itu membuat dia
terheran, sedangkan mereka sendiri seba-
gai murid perempuan tua sakti yang
bergelar si Pendekar Wanita Hati Suci
tiada mendengar apa-apa dari gurunya.
Oleh karena hal itulah keduanya
sepakat untuk mencari si Pengemis kaki
pincang yang menjadi sumber berita itu.
Mereka harus menanyakan tentang kebenaran
berita itu. Sekalian ingin mengetahui
siapa gerangan orang itu. Kalau ternyata
cuma fitnah tentu tak segan-segan kedua
dara ini menghajarnya dan membawanya
kehadapan sang guru demi mempertanggung-
jawabkan perbuatannya menyebarkan isu
tersebut.
Bukan mustahil dengan adanya isu
itu akan berdatangan orang-orang kaum
Rimba Hijau dari segenap penjuru ke
puncak gunung Naga Inten. Dan hal itu
akan membahayakan gurunya.
Sayang, beberapa hari mencari jejak
si pengemis pincang, tiada membawa hasil.
Hingga mereka mengambil keputusan lain.
Kecubung Sari disuruhnya kembali ke
puncak gunung Naga, sedangkan dia sendiri
akan tetap mencari si Pengemis Pincang.
Dia masih penasaran bila tak dapat
menemukan jejaknya.
Pada saat mereka tengah mengadakan
perundingan, mendadak muncul tujuh sosok
tubuh mengurung keduanya. Ternyata
ketujuh orang itu adalah para tokoh
persilatan golongan hitam. Bahkan salah
seorang dari mereka mengenalnya sebagai
murid-murid si Pendekar Wanita Hati Suci.
Orang yang mengenal mereka itu
adalah seorang kakek berwajah hitam
seperti arang, yang terkenal dengan
julukan si Iblis Muka Hitam. Terjadilah
pertarungan dengan keenam orang dari
tujuh manusia yang mengurung kedua dara
itu. Karena Kecubung Wungu dan Kecubung
Sari tak mau menunjukkan tempat tinggal
gurunya dipuncak gunung Naga.
Ternyata kedua dara ini bukan lawan
enteng. Selama enam tahun digembleng oleh
si Pendekar Wanita Hati Suci membuat para
pengeroyok itu kewalahan menghadapinya.
Namun menghadapi si Iblis Muka Hitam,
kedua dara ini tak mampu berbuat apa-apa.
Dalam saat yang mengkhawatirkan itulah
muncul NANJAR yang menolong kedua gadis
itu.
Tak sampai sepuluh jurus bertarung,
si Iblis Muka Hitam melompat melarikan
diri. Demikian juga keenam kawannya yang
lain. Nanjar tak mengejar mereka karena
merasa tak perlu membunuh orang.
Demikianlah, terjadi perkenalan. Nanjar
memperkenalkan diri dengan nama
julukannya yaitu si Dewa Linglung.
Kedua dara itupun memperkenalkan
diri, tapi hanya gelarannya saja yang
dibuat semuanya oleh Kecubung Wungu. Dia
memperkenalkan diri dengan julukan si
Naga Betina Baju Merah. Sedangkan adik
seperguruannya dengan gelar Naga Betina
Baju Putih, karena Kecubung Sari
mengenakan baju warna putih.
Kedua dara itu menceritakan asal-
usul terjadinya peristiwa itu pada
Nanjar. Ternyata Kecubung Wungu alias si
Naga Betina Baju Merah menaruh simpati
pada si Dewa Linglung. Hingga menceri-
takan hal ihwal dan juga desas-desus yang
tengah diselidikinya itu. Ternyata
Nanjarpun telah mendengar pula desas-
desus itu. Bahkan dia tengah melakukan
perjalanan mencari dimana adanya Gunung
Naga Inten.
Diantara dua pilihan yang telah
direncanakan oleh Kecubung Wungu,
ternyata Nanjar lebih tertarik untuk
menemani Kecubung Sari alias Naga Betina
Baju Putih.
Hal itu membuat Kecubung Wungu
menelan ludah. Tadinya dia menyangka
kalau Nanjar mau menemani dia mencari
jejak si Pengemis Pincang, tapi justru
akan menemani sang adik seperguruan ke
puncak gunung Naga Inten.
Walau agak mendongkol, namun
Kecubung Wungu tak dapat merobah kepu-
tusan. Dia tetap harus mencari jejak si
Pengemis Pincang sampai ketemu! Merekapun
berpisah untuk menempuh jalan masing-
masing. Namun diam-diam Kecubung Wungu
berakal cerdik. Dia telah berikan kode
rahasia pada sang adik seperguruan. Yaitu
dia menulis sepucuk surat seolah-olah
dititipkan pada Kecubung Sari untuk
diberikan pada gurunya, padahal surat itu
untuk Kecubung Sari. Surat itu berisi
peringatan agar Kecubung Sari berhati-
hati terhadap si Dewa Linglung. Dan
dikatakan pula agar tak membawa orang
luar tanpa seizin guru untuk memasuki
puncak gunung Naga Inten.
Ketika Nanjar menangsal perut
disatu pasar yang dilewati dalam
perjalanan mereka, Kecubung Sari mohon
diri akan ke belakang dulu membuang air
kecil. Nanjar mempersilahkan. Namun
ditunggu-tunggu gadis itu tak muncul
lagi. Sibuklah pemuda itu menanyakan
kemana perginya dara itu. Namun tak
seorang pun pelayan kedai itu mengetahui
kemana lenyapnya gadis itu. Akhirnya
setelah berputar-putar mencari keliling
pasar tak bertemu, Nanjar mengambil
keputusan untuk tetap meneruskan
perjalanan menuju ke gunung Naga Inten
seorang diri
Saat itulah diam-diam Kecubung
Wungu alias si Naga Betina Baju Merah
membuntuti Nanjar. Dara ini bergirang
karena adik seperguruannya menuruti
perintahnya. Dia yakin Kecubung Sari
tentu telah lebih dulu pergi ke gunung
Naga Inten dan sengaja meninggalkan
Nanjar dikedai pasar itu.
Tak disangka setelah dia berhasil
merobohkan Nanjar, akan tetapi kini
justru dialah yang berbalik dipedayai
oleh pemuda itu.
Dugaannya mulai lain terhadap adik
seperguruannya. Karena pemuda ini telah
mengenal nama Kecubung Sari sang adik
seperguruan, yang mereka rahasiakan.
"Pasti si Kecubung Sari telah mengatakan
juga namaku yang sebenarnya. Dan, jangan-
jangan dia telah kecantol hatinya dengan
pemuda kumal ini. Aku curiga, lenyapnya
Kecubung Sari bukan mendahului pergi ke
puncak gunung Naga Inten, tapi sengaja
mengatur rencana agar aku tak mencurigai
hubungan mereka!" berkata Kecubung Wungu
dalam hati
"Kau hanya berpura-pura saja tak
tahu kemana lenyapnya adik seperguruanku,
padahal kalian berdua telah sekongkol
untuk mengelabui aku?". Bentak Kecubung
Wungu dengan gigi berkerot
"Haiiih! sekongkol bagaimana? Aku
memang tak mengetahui kemana perginya
adik seperguruanmu itu. Ketika kami makan
dikedai dia minta izin ke belakang, tapi
tak muncul lagi. Entah berapa kali aku
memutari pasar mencarinya tapi tak
bertemu. Selanjutnya aku terpaksa mene-
ruskan perjalanan seorang diri. Aku tetap
akan menuju ke gunung Naga Inten untuk
mencari tahu kebenaran adanya benda
mustika itu!" tutur Nanjar.
"Apakah kau tak berdusta?"
"Haha... buat apa aku bohong?
Kukira tak ada gunanya!" sahut Nanjar.
"Baik! aku percaya dengan kata-
katamu!" berkata Kecubung Wungu dengan
wajah menampakkan berseri. "Lalu apakah
kau masih tetap berambisi untuk memiliki
pedang mustika itu, walau aku sudah
mengatakan isu itu belum pasti? Karena
kalau memang guruku memiliki benda itu
mustahil dia tak memberitahukan pada
murid-muridnya! Kukira itu tipu muslihat
licik si pengemis pincang! Tapi kau malah
menolak untuk kuajak mencari manusia itu.
Bahkan kau lebih cenderung untuk pergi ke
gunung Naga Inten bersama Kecubung Sari!"
"Hm, jadi kaulah yang mengatur
rencana agar adik seperguruanmu
menggagalkan niatku untuk mengunjungi
puncak gunung Naga Inten?" terka Nanjar
tiba-tiba setelah tercenung sejurus.
"Benar! Puncak Gunung Naga Inten
tak dapat dikunjungi orang luar tanpa
seizin guruku!" sahut Kecubung Wungu
tegas.
TIGA
"APAPUN larangan itu kalau para
kaum persilatan telah menyatroni puncak
gunung Naga Inten, apakah yang mau kalian
guru dan murid perbuat?" berkata Nanjar.
"Mereka akan merasai akibatnya!
karena telah mengusik ketenangan di
tempat orang lain! Guruku takkan mem-
biarkan orang luar berbuat seenaknya
dipesanggrahan tempat tinggalnya!" sahut
Kecubung Wungu.
"Gurumu si Pendekar Wanita Hati
Suci tentu seorang yang berkepandaian
tinggi! Tapi mampukah dia mempertahankan
diri bila ratusan manusia yang berhasrat
memiliki Pedang Mustika Naga Merah
mengeroyoknya?" Pertanyaan Nanjar kali
ini tak mendapat jawaban. Kecubung Wungu
terdiam membisu.
"Itulah sebabnya aku lebih
cenderung pergi ke puncak gunung Naga
Inten ketimbang mencari si Pengemis
Pincang, karena aku yakin pertumpahan
darah saat inipun telah terjadi disana?
Aku tak begitu berambisi untuk memiliki
benda mustika itu, akan tetapi
pertumpahan darah itulah yang kukha-
watirkan! Mengenai si Pengemis Pincang
itu tak usah dicaripun dia akan munculkan
diri di puncak gunung Naga Inten! Bahkan
saat ini aku dalam perjalanan ke sana
adalah dengan petunjuk si Pengemis
Pincang yang memberi petunjuk jalan
melalui kiriman suara tenaga dalam jarak
jauh ke telingaku!"
Mendengar penuturan Nanjar itu
Kecubung Wungu jadi membelalakkan mata
menatap Nanjar. Sungguh dia tak menyangka
kalau pemuda itu berniat baik. Akan
tetapi karena rasa "kecemburuannya" pada
sang adik seperguruan membuat dia curiga
dan membenci pemuda itu.
Diam-diam dalam hati dia menyesali
tindakannya. "Ah, dia telah berbaik hati
menolongku dan adik seperguruanku dari
tangan si Iblis Muka Hitam. Bahkan dia
berniat pula melindungi kami, guru dan
murid dari ancaman bahaya akibat fitnahan
si Pengemis Pincang. Bukannya berterima
kasih, aku malah membuat tindakan yang
tak terpuji. Sungguh aku seorang yang
tiada berterima kasih!" Tercenung Kecu-
bung Wungu tanpa berkata-kata, bahkan tak
tahu apa yang akan diperbuatnya.
Nanjar seperti dapat membaca isi
hatinya, tiba-tiba tertawa dan berkata.
"Setiap manusia bisa saja berbuat
tindakan yang keliru, tapi punya alasan
penyebab kekeliruannya. Kalau kau dapat
mempercayai kata-kataku dan menganggapku
seorang sahabat, tentu aku akan membebas-
kanmu. Tapi kalau kau tetap keras kepala
dan membandel dengan pendirianmu, aku
akan meninggalkan kau disini dalam
keadaan masih tertotok!"
Kecubung Wungu masih tetap tak
menyahut. Akan tetapi dalam benaknya
berkecamuk peperangan antara dua kekuatan
yang hebat. Antara keangkuhan dan
kerendahan. Mampukah dia mengalahkan
keangkuhan hatinya sendiri? Bila dia
mengakui kekeliruannya akan dengan mudah
saja dia bebas dari totokan. Mengakui
pemuda itu sebagai seorang sahabat tidak-
lah sukar baginya. Akan tetapi betapa
rendahnya dirinya dimata laki-laki.
Dia murid seorang perempuan tua
kosen dari puncak gunung Naga Inten harus
mengakui kebodohannya didepan laki-laki
yang telah mempecundanginya? Betapa mema-
lukan sekali! Ternyata dia tak mampu
menundukkan kekerasan hatinya. Dan hati-
nya berkata. "Dia memang telah menolong-
ku, tapi aku toh tak meminta pertolongan
dengannya. Dia menyuruhku mengakui diri-
nya sebagai sahabat, tapi aku belum bisa
menduga apa maksud tujuan dibelakangnya!
Jangan-jangan si Pengemis Pincang itu
sahabatnya sendiri!" Dengan pendapat itu
maka Kecubung Wungu segera menjawab tegas
"Kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah!
kalau kau mau meninggalkan aku ting-
galkanlah! Siapa sudi mengemis padamu?"
Nanjar jadi melengak mendengar
kata-kata dara itu, dan menghela napas.
"Haiiih! baiklah kalau begitu! Aku
harus segera tiba di puncak gunung Naga
Inten. Oleh karena itu terpaksa aku
meninggalkanmu!" berkata Nanjar. Lalu
balikkan tubuh dan berkelebat melompat
pergi. Mendadak dia berhenti seraya
berpaling. "Eh, ini jarum perakmu
kukembalikan!"
Dua batang jarum perak itu meluncur
deras ke arah Kecubung Wungu terlarang
tak bergerak. Gadis ini cuma bisa
mendengar suara angin halus meluruk ke
arahnya dan sinar perak yang berkelebat.
Dia cepat pejamkan menunggu kedatangan
maut. Karena dua batang jarum itu kalau
menembus ke jantungnya tetap saja akan
mendatangkan kematian.
Terasa dua urat darahnya kena
tertancap jarum perak miliknya itu. Dia
mengeluh dalam hati. Tamatlah riwayatku.
Akan tetapi tunggu punya tunggu bukannya
rasa sakit dari sekarat yang dialaminya,
melainkan dia merasa jalan darahnya
merasa lancar kembali. Tanpa menunggu
lebih lama dia mencoba bergerak. Terke-
jutlah dia karena mengetahui dirinya
telah terbebas dari pengaruh totokan! Tak
ayal dia telah melompat bangkit berdiri.
Ketika dia menoleh ke arah Nanjar,
ternyata pemuda itu telah tak kelihatan
lagi batang hidungnya.
"Ahh..., dia itu orang macam
apakah? mengapa malah membebaskan aku?"
desisnya terperangah. Namun dengan cepat
dia segera mencabut dua batang jarum
perak ditubuhnya. Dijentikkan jarum itu
yang berdesir lenyap di semak belukar.
Dan tanpa menoleh lagi dia segera enjot
tubuh untuk melompat pergi dari situ.
"Aku harus segera menyusul ke puncak
gunung Naga Inten!" berkata Kecubung
Wungu dalam hati. Sekonyong-konyong dia
amat mengkhawatirkan keselamatan gurunya
dan adik seperguruannya Kecubung Sari....
Sementara itu Nanjar alias si Dewa
Linglung tanpa menoleh lagi terus ber-
kelebat menuju arah timur dengan memper-
gunakan ilmu lari cepat. Hingga cuma
kelebatan bayangan putih saja yang
terlihat.
Menjelang dua kali penanak nasi
barulah Nanjar memperlambat larinya.
Dihadapannya telah terlihat sederetan
pegunungan yang memanjang. Pada bagian
sebelah barat pegunungan tampak menjulang
gunung Naga Inten yang tak seberapa
tinggi.
"Itukah gunung Naga Inten?"
menggumam Nanjar pada dirinya sendiri.
Sementara dia telah injakkan kakinya
dikaki perbukitan.
Nanjar melompat ke sebuah batu
besar. Disana dia berhenti dengan
menengadahkan kepala memandang puncak
gunung Naga Inten yang tampak tenang.
"Puncak gunung itu tampak tenang
kelihatannya, tapi entahlah apa yang
terjadi saat ini disana!" berdesis si
Dewa Linglung. Ketika dia tengah
tercenung itu mendadak telinganya kembali
mendengar suara si Pengemis Pincang.
"Heheh.... Dewa Linglung! Segeralah
kau mendaki puncak gunung itu. Apakah kau
mau keduluan orang lain untuk memiliki
Pedang Mustika Naga Merah? Saat ini telah
lebih dari tiga puluh kaum persilatan
dari dua aliran yang telah berkumpul
disekitar puncak gunung Naga Inten!"
"Heeeiii! Pengemis Pincang! sekali
lagi kuharap kau unjukkan tampangmu biar
aku tak penasaran! Mengapa kau selalu
saja menggunakan ilmu bicara jarak jauh
saja?" teriak Nanjar.
Terdengarlah suara sahutan si
Pengemis Pincang.
"Nantipun kau akan mengetahui!
Apakah kau masih belum yakin adanya benda
pusaka itu ditangan si Pendekar Wanita
Hati Suci?"
"Bagaimana aku bisa meyakinkan
kalau kedua mataku belum melihatnya
sendiri!" teriak Nanjar menyahuti
pertanyaan si Pengemis Pincang yang cuma
terdengar suaranya saja tanpa diketahui
dimana orangnya.
"Heheheh... heheh... segeralah kau
ke sana. Sebentar lagi akan terjadi pesta
maut. Silahkan kau mau menjadi penonton
ataukah mau turut serta dalam perebutan
benda mustika itu!" terdengar lagi suara
menyahut tokoh misterius itu. Selanjutnya
kembali senyap.
Nanjar menggaruk-garuk pantatnya.
Dia merasa agak mendongkol karena si
pengirim suara tak mau unjukkan diri.
Selang sesaat Nanjar segera berkelebat
mendaki perbukitan itu untuk ke arah
puncak gunung Naga Inten.
EMPAT
DI PUNCAK GUNUNG NAGA INTEN....
Pendekar Wanita Hati Suci seorang wanita
tua yang berusia antara 50 tahun. Dalam
usia sedemikian itu tidaklah seperti
kebanyakan kaum wanita akan mengalami
penyusutan tubuh secara, drastis, tetapi
Pendekar Wanita ini seperti seorang
wanita yang baru berusia 30 tahun.
Kulitnya masih kencang dan berisi. Dia
seorang wanita berkulit putih. Berparas
cantik walau ketuaannya telah membayang
sedikit kerut di wajahnya. Rambutnya
tergelung diatas kepala memakai tusuk
konde perak.
Wanita yang berpakaian jubah warna
putih itu berdiri tegak didepan pintu
pesanggrahannya. Ditangannya tercekal
segulung kertas kain bertulisan yang baru
saja dibacanya. Wanita tua ini seperti
tengah tercenung beberapa saat membaca
surat yang panjang itu. Seperti kurang
yakin dia kembali mengulang membaca isi
surat itu. Ternyata isi tulisan itu
berbunyi:
"Pendekar Hati Suci! Kotak kayu
Cendana titipanku pada dua puluh sembilan
tahun yang lalu, aku yakin kau masih
menyimpannya dengan baik. Peti kayu
Cendana itu berisikan sebuah benda yang
kuberikan padamu sebagai suatu tanda-mata
dariku. Dari seorang yang amat mencin-
taimu! sebagai tanda CINTAKU padamu.
Sayang, kau selalu menolak cinta suciku
sejak tiga puluh tahun yang silam! Karena
kau mengetahui aku seorang pembunuh
bayaran dinegriku! Karena kau mengetahui
aku seorang penjahat yang telah banyak
melakukan dosa! Tapi aku tahu bahwa
sebenarnya kaupun mencintaiku! Sayang
hatimu terlalu keras. Kau bersedia
menerimaku setelah aku mencuci bersih
dosa-dosa yang kulakukan. Dan untuk semua
itu kau memberi waktu padaku selama tiga
puluh tahun, baru kau yakin aku telah
mampu mencuci semua dosaku!
Waktu yang kau berikan itu teramat
panjang, dan sungguh membuat aku hampir
gila memikirkannya. Tapi demi kesucian
cintaku aku bersedia menerima persyaratan
yang gila itu. Kukatakan gila karena kau
berbeda dengan batas wajahnya semua
perempuan yang pernah kukenal.. Tapi kau
punya kelebihan yang amat luar biasa yang
amat kukagumi! Itulah yang membuat aku
tertarik padamu.
NILAM SARI...! Selama hampir tiga
puluh tahun seusai dengan keinginanmu,
aku telah banyak merobah jalan hidupku.
Aku tidak lagi menjadi seorang pembunuh
bayaran yang banyak melakukan perbuatan-
perbuatan terkutuk. Aku telah membasuh
dosa-dosaku dengan banyak berbuat
kebaikan!
Akan tetapi terlalu banyak manusia
yang menginginkan jiwaku. Hingga aku
terpaksa harus menyembunyikan diri. Bah-
kan untuk mewujudkan cita-citaku aku
telah mengorbankan diriku. Kini aku telah
menjadi seorang yang lumpuh!
Kutuliskan surat ini disaat aku tak
berdaya. Aku dalam keadaan lumpuh, juga
mengalami keracunan hebat! Semoga surat
ini bisa sampai ditanganmu secepatnya.
Kukirim surat ini melalui burung Merpati
peliharaanku yang telah mengetahui tempat
kediamanmu sejak aku sering bolak-bolak
kemari pada waktu-waktu yang silam.
Pesanku, jagalah baik-baik benda
tanda-mata dariku itu. Kau belum pernah
membukanya bukan? Aku percaya, karena kau
baru akan membukanya bila telah genap 30
tahun sejak kuberikan benda kenang-
kenangan dariku itu. Akan tetapi akan
kuberi tahu bahwa peti kayu Cendana itu
adalah berisi sebuah pedang yang bernama
PEDANG MUSTIKA NAGA MERAH! Sayang, adanya
benda itu ditanganmu telah bocor dan
diketahui seseorang. Kebocoran itu akan
membawa malapetaka besar. Sebaiknya kau
tinggalkan tempat kediamanmu dan pergi
menyembunyikan diri. Karena dunia
persilatan akan gempar dengan berita yang
telah dibocorkan seseorang itu. Dialah
orang yang membuat aku menjadi menderita
begini!
Aku tak dapat mengatakan siapa
adanya manusia yang membuat cita-citaku
berantakan itu! Tapi kelak kau akan
mengetahuinya.
Mungkin sesampainya surat ini
ditanganmu aku sudah mati! Tapi anggaplah
aku masih hidup, dan Pedang Mustika Naga
Merah itu adalah pengganti diriku!"
KEKASIHMU
THIOBUNKIM
(JAKA BUNTARAN)
Mengulang membaca gulungan surat
itu tampak sepasang mata wanita tua ini
berkaca-kaca. Dia menghela napas panjang
seperti dadanya tertekan oleh satu
perasaan yang menindihnya.
Surat itu baru diterimanya kemarin,
sepekan setelah kepergian kedua muridnya
turun gunung.
"Aku tak dapat pergi dari sini.
Apalagi Kecubung Wungu dan Kecubung Sari
belum pulang. Entah siapakah manusia yang
telah membuat keonaran itu?" bergumam si
Pendekar Wanita Hati Suci. Lengannya
mengepal keras.
Bibirnya bergetar. Dia berusaha
agar air matanya tidak meleleh turun.
Lalu cepat-cepat gulungan surat itu
dimasukkan ke celah jubah putihnya.
"Pedang Mustika Naga Merah itu
masih tersimpan baik dikotak kayu Cendana
itu yang kusembunyikan ditempat rahasia.
Bahkan kedua muridku pun tak mengetahui.
Aku akan menjaganya, kakak Bun Kim. Aku
akan menjaga dan mempertaruhkan nyawaku
demi cintaku padamu! Tak seorang
manusiapun yang akan dapat memiliki benda
tanda cinta-kasihmu itu selama aku masih
hidup!" berkata pelahan wanita yang
bernama Nilam Sari itu, seolah membisik
ditelinga kekasihnya.
Akan tetapi baru saja dia memba-
likkan tubuh untuk masuk keruang dalam
pesanggrahan, mendadak dia merandek.
Telinganya mendengar suara langkah-
langkah kaki yang mendekati puncak gunung
Naga Inten itu.
Panca indra si Pendekar Wanita Hati
Suci memang hebat. Dalam jarak yang cukup
jauh dia telah mendengar adanya orang-
orang yang mendatangi puncak gunung itu.
Memang benar seperti yang diduganya,
karena disekeliling lereng gunung
mendekati puncaknya tampak puluhan manu
sia seperti tengah berlomba saling
mendahului mendaki gunung Naga Inten.
Merekalah orang-orang kaum Rimba
Hijau yang telah berdatangan menyatroni
puncak gunung itu, karena mendengar
desas-desus adanya sebuah pedang mustika
di puncak gunung Naga Inten yang dimiliki
oleh si Pendekar Wanita Hati Suci.
Bukan saja dari golongan hitam,
akan tetapi dari golongan putih pun telah
bermunculan ditempat itu, bagaikan semut-
semut yang mencium bau gula, karena saat
itu berita telah menyebar begitu cepat.
Belum sampai sepekan saja, tiga puluh
orang lebih telah bermunculan disekitar
lereng gunung itu.
Tak dapat disangkal lagi, puncak
gunung Naga Inten akan menjadi kancah
pertarungan adu jiwa, memperebutkan
pedang mustika itu. Mendengar namanya
saja telah membuat orang membeliakkan
mata. Dan rasa ingin tahu rata-rata pasti
ada bila yang mendengar adalah golongan
kaum persilatan. Bagi orang kaum Rimba
Hijau golongan tua lebih-lebih lagi. Nama
Pedang Mustika Naga Merah pernah
terdengar diwilayah Tiongkok yang pernah
dimiliki oleh seorang Kaisar pada zaman
Kerajaan Sam Kok, yang dikenal dengan
nama asing KIAM HOAT ANG LIONG!
Entah bagaimana sampai bisa berada
ditangan Thio Bun Kim yang mengembara ke
Tanah Jawa belum terungkap kisahnya.
Namun pada kenyataannya pedang
mustika itu didesas-desuskan berada di
tangan si Pendekar Wanita hati Suci yang
berdiam di puncak Gunung Naga Inten.
Siapa pula sebenarnya Nilam Sari alias si
Pendekar Wanita Hati Suci itu? Dia tak
lain masih keturunan seorang Kaisar dari
negeri Tiongkok, yang hidup diluar istana
tersia-sia bercampur dengan rakyat
jelata. Nama sebenarnya adalah Lam Su
Nio. Dia diambil murid oleh seorang
pendekar dari satu negeri diwilayah barat
Tiongkok, yang kemudian membawanya
mengembara ke setiap tempat.
Gadis Lam Su Nio akhirnya bertemu
dengan Thio Bun Kim yang menjadi seorang
penjahat nomor wahid, seorang pembunuh
bayaran yang ditakuti. Nama Thio Bun Kim
lenyap sejak tiga puluh tahun yang lalu,
karena laki-laki berkepandaian tinggi itu
telah berganti nama menjadi JAKA
BUNTARAN. Demikianlah sekelumit riwayat
yang dapat dikemukakan secara singkat.
LIMA
BELUM lagi si Pendekar Wanita Hati
Suci mengejapkan mata, telah terdengar
suara tertawa terkekeh-kekeh yang
diiringi dengan berkelebat muncul tiga
sosok tubuh.
"Hehehe... nenek tua jelita
Pendekar Hati Suci, selamat berjumpa
dengan kami si Tiga Setan Bungkuk dari
Tenggara! Agaknya suatu hal yang sangat
kebetulan karena kami datang terlebih
dulu!"
Tersentak kaget wanita tua ini
melihat tiga manusia berjubah merah
bertubuh bungkuk dengan kepala gundul
plontos telah berdiri dihadapannya dimuka
pesanggrahan. Si Pendekar Wanita Hati
Suci kerutkan kening menatap ketiga
tetamunya yang tak diundang.
"Hm, ada maksud apakah kalian tiga
manusia busuk pengotor dunia datang ke
tempatku?" berkata wanita ini dengan
suara dingin. Walaupun telah mengetahui
maksud tujuan ketiga manusia golongan
sesat ini, diam-diam pendekar tua ini
terkejut karena munculnya tiga tokoh
hitam yang berilmu tinggi dan berwatak
kejam dari wilayah tenggara itu. Juga
terkejut karena khabar itu begitu cepat,
hingga tak sempat lagi untuk dia berpikir
lebih jauh.
"Heh heh heh.... sebaiknya kami tak
perlu berpanjang lebar, nenek tua
Pendekar Hati Suci! Kau tentu sudah
maklum dengan kedatangan kami. Pedang
Mustika Naga Merah yang berada padamu
itulah yang membuat kami muncul di tempat
kediamanmu. Sebaiknya lekas kau berikan
saja benda pembawa malapetaka itu pada
kami, dan kau akan terhindar dari
bencana! Karena tak lama lagi akan
bermunculan manusia-manusia yang mengi-
ngini benda itu untuk merebutnya! Kau tak
akan sanggup mempertahankannya!" berkata
salah seorang dari Tiga Setan Bungkuk
dari Tenggara.
"Siapakah yang mengatakan bahwa
benda pusaka berada ditanganku?" bertanya
wanita ini.
"Berita sudah menyebar dari mulut
kemulut, tak tahu lagi dari siapa
asalnya! Kukira hal itu tak penting, tapi
justru nyawamulah yang amat penting. Dari
pada akhirnya toh kau takkan dapat
mempertahan benda mustika itu, lebih baik
dari sejak awal kau berikan benda itu
pada kami!" menyahut orang tertua dari
Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara.
"Huh! begitukah caramu memberi
saran? Siapa sudi dengan saranmu? Begitu
besarkah nama Setan Bungkuk dari Tenggara
hingga harus aku menuruti perintah
kalian?" membentak dingin si Pendekar
Wanita Hati Suci. Jelas dia begitu
tersinggung dengan kata-kata ketiga orang
itu. Sebaliknya ketiga laki-laki
dihadapannya sudah tak sabar untuk
bertindak.
"Hm, kalau begitu terpaksa kami
akan memaksamu untuk memberikan benda
itu!" diiringi kata-katanya, dia memberi
isyarat pada kedua kawannya. Dan serentak
mereka telah menghambur ke arah wanita
itu.
"Kalian akan meringkus diriku? heh?
jangan mimpi!" bentak si Pendekar Wanita
Hati Suci. Tubuhnya mendadak mencelat
keluar dari ruangan pesanggrahan. Akan
tetapi tiga lengannya telah mendahului
tiba dan lakukan serangan. Tiga pasang
lengan mencengkeram ke arah tubuh wanita
tua ini.
Akan tetapi dengan gerakan gesit
wanita tua ini telah menghindar dengan
egoskan tubuhnya bagai liukan ular.
Bahkan secara mendadak sepasang lengannya
bergerak menepis.
Hebat gerakan itu, karena segera
membersit angin keras ketiga jurusan
menerpa lawan. Kelihatannya wanita itu
biasa saja gerakan tepisan lengannya.
Tapi akibatnya tiga laki-laki itu harus
gulingkan tubuh mereka karena bersitan
angin itu telah membuat masing-masing
lengan jubah mereka koyak. Dapat
dibayangkan kalau yang terkena itu kulit
mereka, tentu akan terkelupas.
Sesaat mereka tertegun setelah
berhasil menghindari serangan wanita
kosen itu. Barulah mereka menyadari kalau
lawannya bukan lawan yang enteng.
"Bagus! Kami ingin mencicipi
kehebatan Pendekar Hati Suci. Segera
bersiaplah kau, nenek tua!" membentak
salah seorang dengan mengejek. Dan
mendadak ketiganya mencelat saling susul
menerjang dari tiga jurusan.
Inilah jurus-jurus andalan si Tiga
Setan dari Tenggara yang digunakan untuk
menghadapi lawan tangguh. Pendekar Wanita
Hati Suci terkejut karena setiap kali
bayangan bergerak, selalu lenyap bila dia
menghantam dengan pukulannya. Dan muncul
lagi disaat dia menarik serangan. Hingga
muncul dan lenyapnya ketiga lawan itu
membingungkan si pendekar wanita ini.
Jurus Bayang-bayang Setan Serabutan
ini membuat si wanita tua itu berke-
lebatan kesana-kemari mengejar dan
menghantamkan pukulannya. Namun selalu
menemui tempat kosong. Bahkan tak lama
terdengar suara tertawa yang membaur
disekelilingnya mengacaukan perhatian.
Mendadak tiga gelombang angin dingin
menggebu menerjang tubuhnya dari tiga
arah. Disusul dengan tiga larik sinar
merah, hijau dan kuning berkelebatan ke
arahnya.
"Keparat!" membentak si Pendekar
Wanita Hati Suci. Lengannya bergerak
menyambar benda dibalik pakaiannya.
Dan... Whussss! Selarik sinar putih
berkelebatan bergerak melingkar bagai
gerakan baling-baling menyilang.
Bret! bret! bret!
Terdengar suara jubah sobek
beberapa kali disusul dengan teriakan
ngeri Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara.
Tubuh mereka terlempar ketiga jurusan,
dan roboh berkelojotan dengan berteriak-
teriak parau. Tak lama mereka terkapar
dengan darah membanjir dari luka menganga
pada leher yang terkoyak mengerikan. Dan
tak berkutik lagi. Sementara si Pendekar
Wanita Hati Suci berdiri tegak tak
bergeming. Ditangannya tercekal sebuah
kipas perak yang ujung-ujung berbentuk
mata pisau. Tampak pada tiap ujung mata
pisau itu percikan darah. Nyatalah kalau
senjata itulah yang telah merenggut nyawa
si ketiga Setan Bungkuk dari Tenggara!
Pendekar Wanita Hati Suci tutupkan lagi
kipas mautnya, dan selipkan lagi benda
itu dibalik jubah.
Saat itu terdengar suara bentakan
dari empat jurusan.
"Pendekar Wanita Hati Suci!
Serahkan pedang Mustika Naga Merah padaku
kalau kau tak ingin kehilangan nyawa!"
"Benar! Apakah dengan kematian si
Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara kau
telah terbebas dari ancaman?"
"Serahkan saja benda mustika itu
padaku si Iblis Tengkorak Darah! kau akan
aman!"
"Hohoho... aku orangnya yang lebih
pantas untuk memiliki Pedang Mustika Naga
Merah!" berkata orang terakhir yang
melompat ke hadapan si Pendekar Wanita
Hati Suci. Dialah seorang yang bertubuh
jangkung gede mirip raksasa. Memang
sesuai pula dengan julukannya karena
orang ini berjulukan si Raksasa Bromo.
Selain si Iblis Tengkorak Darah yang
mirip jerangkong berjubah hitam, berkedok
tengkorak warna merah, terdapat dua orang
laki-laki kembar yang berkepala gundul/
plontos. Dialah yang berjulukan si Dewa
Muka Kembar. Tokoh dari wilayah timur.
Melihat ditempat kediamannya ber-
munculan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi
itu membuat si Pendekar Wanita Hati Suci
jadi melengak. Mau tak mau dia membathin
dalam hati.
"Hari ini adalah hari yang
menentukan hidup matiku! Tapi juga hari
ini aku harus mempertaruhkan jiwaku demi
kesetiaanku pada kakang Jaka Buntaran.
Seandainya Pedang Mustika itu harus jatuh
juga ke tangan musuh, aku sudah tak
melihat dunia ini lagi! Akan tetapi
sedapat mungkin aku ingin mati terkubur
dengan benda mustika itu. Ya, itulah
kuinginkan. Tak seorangpun kuperkenankan
menjamahnya, juga kedua orang muridku!
Pedang Mustika Naga Merah pembawa
malapetaka ini biarlah terkubur bersa
maku!" Demikianlah diam-diam si Pendekar
Wanita Hati Suci telah mengambil
keputusan untuk mati terkubur bersama
benda mustika pemberian kekasihnya.
Betapa luhurnya cinta Nilam Sari
alias si Pendekar Wanita Hati Suci untuk
mempertahankan pedang mustika itu, demi
amanat Jaka Buntaran yang telah berhasil
memenuhi syarat-syarat permintaannya
untuk memupus dosa lama tiga puluh tahun.
Tapi sayang semua itu harus ditebus
dengan darah dan nyawa....
ENAM
PADA saat itu pula berlompatan
belasan sosok tubuh dari setiap penjuru
puncak gunung. Dan dalam beberapa saat
saja ditempat itu telah berkumpul puluhan
manusia yang rata-rata orang persilatan;
"Huh! tak seorangpun diantara
kalian yang akan dapat menjamah benda
mustika itu, selama nyawa masih melekat
dibadanku!" membentak wanita kosen ini.
Selarik sinar perak berkelebat, dan
ditangan Pendekar Wanita Hati Suci telah
tercekal kipas peraknya yang mengandung
maut!
Melihat demikian keempat laki-laki
pengurungnya itu menindak mundur.
Serentak masing-masing telah mencabut
senjatanya. Sepasang senjata si Dewa Muka
Kembar yaitu seutas rantai yang pada
ujungnya mempunyai roda bergerigi
menyambar ke arah pinggang wanita itu,
seraya salah seorangnya membentak.
"Kami si Dewa Muka Kembar akan
memaksamu!"
Whrrrrr! Wherrrr! Whussss!
Dua roda maut yang meluncur
berdesing ke arah pendekar wanita itu
tertolak mental ketika wanita kosen ini
gerakkan kipasnya menangkis.
Trang! Trang!
Dua roda maut itu terpental balik.
"Kalian mencari kematian!" bentakan
nyaring si Pendekar Wanita Hati Suci
disusul dengan berkelebatnya tubuh wanita
itu enam tombak. Saat mana senjata gaetan
baja yang ujungnya menyerupai gergaji,
senjata maut si Iblis Tengkorak Darah
menyambar ke arah leher. Bahkan saat itu
pula sebuah tongkat dan selarik sinar
biru dari arah kiri menyambar pula ke
arah wanita pendekar ini. Ternyata dua
orang dari para pengepung itu telah
lakukan serangan.
Dikeroyok begitu rupa wajah si
Pendekar Wanita Hati Suci berubah tegang.
Dia harus mengkonsentrasikan segenap ilmu
dan kemampuannya. Kipas peraknya kembali
melingkar bagai naga menggeliat, semen
tara lengan jubah menyambar ke arah kiri,
dan ujung kaki membarengi lakukan
tendangan maut dibarengi bentakan nya-
ring.
Penyerang bertongkat itu seorang
laki-laki berkulit ular berambut kaku
macam ijuk. Dialah si Ular Sanca. Ujung
tongkatnya mengandung racun ganas.
Sejengkal lagi ujung tongkat laki-laki
ini menyentuh pundak lawan, mendadak dia
menjerit ngeri ketika kibasan lengan
jubah wanita itu membuat tongkatnya
terlepas, dan tahu-tahu ujung kaki lawan
telah menotol dadanya. Terdengar suara
Kreeek!
Tak ampun lagi dia terjungkal roboh
dengan tulang dada remuk. Sementara
dilain penjuru terdengar suara mengaduh.
Seorang penyerang terhuyung memegangi
dadanya. Dia si penyerang bertombak yang
kalah cepat oleh gerakan kipas maut si
Pendekar Wanita Hati Suci. Kipas perak
itu telah lebih dulu membeset kulit
dadanya. Sementara senjata si Iblis
Tengkorak Darah cuma mengenai tempat
kosong.
Laki-laki ini sejenak terkejut,
melihat larikan sinar biru menyambar dari
arah samping. Nyaris mengenai tubuhnya
ketika wanita tua itu berhasil
mengelakkan diri. Si penyerang itu tak
lain seorang kakek cebol yang mempunyai
sepasang lengan panjangnya melebihi
tubuhnya. Tahulah dia kalau orang ini
adalah si Lutung Sakti. Kesepuluh jari si
Lutung Tua mempunyai kuku-kuku yang
panjang berwarna biru. Larikan sinar biru
itu adalah gerakan mencengkeram si kakek
cebol. Tentu saja membuat si Iblis
Tengkorak Darah terkesiap.
"Lutung Tua keparat! kau mau ambil
bagian pula untuk memiliki pedang mustika
itu?"
"Heheheh... peduli apa dengan
urusanku? Siapapun boleh memiliki benda
mustika itu!" menyahut si kakek cebol.
Seraya menyahut, kakek cebol ini kembali
luncurkan sebelah lengannya untuk
menyambar leher si Pendekar Wanita Hati
Suci yang baru saja menarik napas. Akan
tetapi terdengar bentakan si Iblis
Tengkorak Darah.
"Selama ada aku niatmu takkan
kesampaian!" bentakan itu di dibarengi
berkelebatnya senjata laki-laki itu
menangkis menghalangi serangannya
terhadap si wanita pendekar.
Trang! Terdengar suara benturan
nyaring. Nyatalah kalau sepasang lengan
kakek cebol itu terbuat dari baja. Hal
itu membuat si Iblis Tengkorak Darah
terkejut, karena setahunya lengan si
Lutung Sakti sepasang lengan biasa.
Senjatanya rompal, dan dia terhuyung
beberapa tindak.
Tahu-tahu sinar biru menyambar ke
arahnya.
Kraak!... Breet!
Laki-laki ini menjerit mengerikan.
Topeng tengkoraknya hancur berkepingan.
Tubuhnya terbanting ke tanah dan
berkelojotan bagai ayam disembelih.
Ternyata mukanya ikut hancur. Tak lama
tubuhnya telah kaku tak bergeming.
"Heheheh... nyalimu saja yang gede!
Kau kira cuma kau yang punya kesaktian
dikolong jagat ini?" memaki si Lutung
Sakti. Pada saat itu melompat sesosok
tubuh ke hadapan si Lutung Sakti seraya
berkata. "Eh, sobat! pedang mustika belum
didapat mengapa saling bunuh dengan kawan
sendiri?" Orang ini ternyata seorang
laki-laki bertubuh jangkung. Ditangannya
tercekal sebuah tombak trisula. Dialah
orang yang berjulukan Harimau Jantan dari
Utara.
"Peduli apa dengan urusanku? Si
Iblis Tengkorak Darah ini punya hutang
denganku. Dia tak mau membayar! Sudah
begitu sombongnya setengah mati!"
menyahut si cebol tua.
"Apa hutangnya?" tanya Harimau
Jantan dari Utara ingin tahu.
"Hutang sebelah telingaku yang
putus disambar senjata gaetan mautnya!"
sahut si Lutung Sakti seraya miringkan
kepala menunjukkan sebelah telinganya
yang lenyap sebuah.
"Kini hutangnya impas karena telah
dibayar dengan nyawanya! heheheh...!"
tertawa si Lutung Tua. Akan tetapi saat
itu terdengar teriakan.
"Minggiir!"
Kedua orang ini melompat menepi.
Sebuah bayangan berkelebat lewat. Itulah
bayangan sesosok tubuh yang menerjang
dari samping. Saat selanjutnya terdengar
suara gemerincing.
Sebuah jala menebar ke arah tubuh
si Pendekar Wanita Hati Suci. Terkejut
wanita ini melihat seorang laki-laki
berbaju hitam menyeruak maju seraya
berteriak. Dan tahu-tahu sebuah jala
telah terbentak dihadapannya.
"Kena!" teriak laki-laki itu
membarengi suara gemerincing rantai
jalanya yang digunakan untuk meringkus si
Pendekar Wanita Hati Suci. Akan tetapi
saat itu angin keras menderu menyambar ke
arahnya. Tiga sinar perak meluncur dari
ujung kipas si Pendekar Wanita Hati Suci
menimbulkan suara mencicit.
Tahu-tahu laki-laki ini menjerit
parau. Dan terjungkal keras. Tubuhnya
terlempar nyaris membentur tubuh si
Lutung Sakti dan si Harimau Jantan dari
Utara. Sesaat setelah meregang nyawa,
tubuh si penyerang yang ternyata adalah
si Jala Iblis diam tak berkutik. Menemui
ajal dengan muka tertancap tiga jarum
perak yang mengandung racun.
Pucatlah wajah si Cebol Lutung
Sakti, karena ternyata si Jala Iblis itu
adalah adik kandungnya sendiri,
"Pendekar Hati Suci! Ternyata
hatimu tidak suci! Kau telah mengotori
tanganmu membunuh adikku. Maka terimalah
kematianmu!" bentakan itu disusul dengan
berkelebatnya tubuh si manusia cebol ini.
Sepasang lengannya mencengkeram ganas ke
arah leher. Gerakan melompat itu begitu
cepat. Rasanya sangat sukar bagi si
Pendekar Wanita ini untuk mengelakkan
diri. Akan tetapi...
Trang!!
Kibasan kipasnya berhasil menangkis
sebelah lengan si Lutung Sakti. Namun
lengan yang satu telah meluncur deras ke
arah dada kirinya.
Brreeet!
Terdengar suara baju terkoyak.
Tubuh wanita ini berputar terhuyung.
Tampak kulit dada wanita pendekar ini
tersibak. Membuat payudaranya tersembul
keluar. Dibarengi jeritan tertahan dia
membuang tubuhnya ke samping. Akan tetapi
sinar biru kembali meluncur. Cengkeraman
kuku si cebol tua ini segera akan
mengakhiri nyawa sang pendekar wanita
karena dalam keadaan yang tak
menguntungkan.
Akan tetapi mendadak tubuh si
Pendekar Wanita Hati Suci melejit ke
atas. Gerakan tak terduga itu membuat si
cebol terperangah. Karena serangan
mautnya lolos! Dan dilain saat jiwanyalah
yang kini terancam. Sinar perak membersit
membelah udara tepat diatas kepalanya.
Laki-laki cebol berjulukan si Lutung
Sakti ini menengadah, tapi segera
menjerit parau. Tubuhnya terjungkal. Urat
lehernya putus terkoyak kena tabasan
kipas maut sang pendekar wanita itu.
TUJUH
PULUHAN pasang mata membelalak
melihat kematian si Lutung Sakti. Akan
tetapi keadaan si Pendekar Wanita Hati
Suci tidak ringan yang harus ditebus
dengan nyawa laki-laki cebol itu. Sebelah
payudara wanita ini membiru menampakkan
lima guratan kuku dikulit buah dadanya.
Wanita ini cepat menutupi auratnya dengan
sebelah lengan. Sementara mulutnya
menyeringai kesakitan. Dari sudut
bibirnya menetes darah.
"Celaka! aku terluka kena goresan
racun kuku si Lutung Tua itu! Aku harus
menyelamatkan diri..." mendesis mulut si
Pendekar Wanita Hati Suci. Sepasang
matanya telah menjadi nanar, tubuhnya
limbung. Mengetahui keadaan dirinya yang
membayangkan bila dia harus melayani
sekian banyak orang, dia berpikir cepat
untuk menyelamatkan diri. Tak ayal segera
dia balikkan tubuh melompat masuk ke
dalam pesanggrahan. Pada saat itu tiba-
tiba terdengar suara. "Pendekar Hati
Suci, aku punya obat pemusnah racun!
Tanpa obatku jiwamu takkan ketolongan.
Lebih baik kau tunjukkan dimana kau
menyimpan Pedang Mustika Naga Merah. Kau
titipkan saja benda itu padaku ditanggung
aman!"
Mendengar suara itu si Pendekar
Wanita Hati Suci merandek. Dia balikkan
tubuh. Segera terlihat sesosok tubuh
berkelebat masuk dan berdiri
dihadapannya.
Terkejut wanita ini mengetahui
siapa adanya orang itu.
"Iblis Betina Pemakan Jantung"
tersentak si Pendekar Wanita Hati Suci
memandang dengan mata membelalak. Manusia
dihadapannya tertawa menyeringai.
"Angin apa yang meniupmu hingga
sampai ke tempatku?" bentak wanita
Pendekar ini dengan melangkah mundur.
"Benda pusaka KIAM HOAT ANG LIONG
itulah yang menarikku hingga aku sampai
ke tempat ini!" menyahut orang itu.
Ternyata dia seorang wanita kurus berusia
sekitar tiga puluhan tahun. Akan tetapi
sebenarnya usianya tak jauh berbeda
dengannya. Wanita ini berasal dari sebuah
pantai pesisir Tiongkok. Dia bernama Sio
Giok. Dari bekas raut wajahnya wanita ini
dahulunya seorang yang berparas cantik.
Bahkan bekas-bekas kecantikannya masih
nampak pada wajahnya. Nilam Sari alias
Lam Su Nio segera mengetahui siapa adanya
wanita ini. Dialah wanita yang tergila-
gila pada Thio Bun Kim alias Jaka
Buntaran. Namun tak pernah diladeni oleh
Thio Bun Kim. Membuat wanita ini menjadi
dendam pada Thio Bun Kim, dan mencari
jalan untuk mencelakai laki-laki yang
pernah dicintainya itu.
"Apakah orang yang dimaksud Thio
Bun Kim yang telah menyebarkan berita
adanya Pedang Mustika Naga Merah
ditanganku itu adalah si perempuan sundal
ini?" berkata dalam hati si Pendekar
Wanita Hati Suci. Saat mana Sin Giok
telah ulurkan lengannya yang mencekal
sebungkus benda.
"Ini obat pemunah racun kuku si
Lutung Sakti. Kau terimalah!" berkata
wanita kurus berjubah kuning ini.
"Huh! siapa sudi pertolonganmu?"
menjawab Nilam Sari ketus. "Kau datang
bukan untuk menolongku, tapi justru mau
membunuhku setelah kau dapatkan apa yang
kau inginkan!"
"Hihihi... ditolong bukannya berte-
rima kasih, tapi malah menuduh yang
tidak-tidak. Apakah lebih berharga mana
benda pusaka itu ataukah nyawamu?"
berkata wanita kurus ini dengan tertawa
mengekeh. Suaranya menyakitkan anak
telinga, sember dan parau.
"Kedua-duanya!" sahut Nilam Sari
cepat. "Hm, Iblis Wanita Pemakan Jantung!
jangankan manusia, iblispun tak akan
percaya kau bisa berbuat baik pada
manusia!" bentak Nilam Sari.
Dimaki demikian rupa merahlah wajah
wanita ini.
"Bagus! kalau begitu terpaksa aku
gunakan kekerasan!" membentak wanita ini.
Mendadak dia lemparkan bungkusannya ke
arah Nilam Sari. Begitu benda itu
menyentuh lantai, terjadilah ledakan
keras yang menimbulkan asap tipis. Asap
itu berbau harum yang memabukkan. Tapi
detik itu segelombang angin menerpa
menghalau asap itu diiringi bentakan.
"Perempuan iblis, kau mau
mencelakai guruku?" Bersamaan dengan
bentakkan nyaring itu berkelebat bayangan
merah. Dan dihadapan si wanita kurus
telah berdiri seorang gadis berbaju
merah. Siapa lagi kalau bukan Kecubung
Wungu, murid si Pendekar Wanita Hati
Suci.
"Guru! cepat kau menyingkir!, biar
muridmu yang menghadapi siluman kurus
ini!" berkata Kecubung Wungu. Tampak
bayangan gurunya berkelebat masuk ke
dalam pesanggrahan, dan gadis ini segera
balikkan tubuh menatap si wanita kurus.
"Kalian datang beramai-ramai mau
mengeroyok guru, apakah kalian bernyali
pengecut? Jangan harap aku Kecubung Wungu
si Naga Betina Baju Merah mau mengampuni
nyawamu!" membentak dara ini. Dilengannya
telah tercekal sebuah seruling berkepala
Naga. Itulah senjata yang selama ini
belum pernah dipergunakan untuk menghadap
musuh. Tapi kali ini telah diperguna-
kannya.
"Hihihi... bagus! rupanya kau murid
si nenek tua yang merebut kekasihku itu?
Bagus! Kulit mukamu masih mulus. Biarlah
kukuliti mukamu untuk pengganti kulit
mukaku yang telah kendur!" tertawa menge-
keh si wanita kurus.
Digertak demikian rupa Kecubung
Wungu mendelik gusar. Tapi diam-diam dia
terkejut karena wanita kurus itu
mengatakan gurunya telah merebut kekasih-
nya?"
"Siapa kau sebenarnya? Apa
hubunganmu dengan guruku?" membentak
Kecubung Wungu.
"Hihihi... kau bocah kemarin sore
tak perlu tahu urusanku!" berkata dingin
wanita kurus itu. "Kalau kau mau tahu
akulah yang berjulukan si Iblis Wanita
Pemakan Jantung."
Selesai berkata wanita kurus itu
ulurkan lengannya menjambret ke depan.
Whuuut! Segelombang angin menerpa ketika
ujung jari lengan wanita kurus itu nyaris
mencengkeram dada Kecubung Wungu.
Dorongan hebat itu membuat wanita kurus
ini terkejut, karena tubuhnya doyong
ke belakang. Saat itu terdengar suara
membentak.
"Kuntilanak peot! kau hadapilah aku
dulu!"
Disusul suara itu telah berkelebat
muncul sesosok tubuh. Ketika Iblis Wanita
Pemakan Jantung menoleh, segera terlihat
seorang pemuda berbaju putih kumal
berambut gondrong berdiri tegak sambil
tertawa menyeringai bertolak pinggang
dihadapannya.
"He? Siapa kau bocah kurang ajar?"
bentaknya mendongkol, tapi terkejut
melihat si penyerangnya seorang yang
masih muda.
"Hehehe... Namaku Nanjar! Orang
menjuluki aku si Dewa Linglung!" menyahut
pemuda itu yang tak lain dari Nanjar
adanya.
"Heh! kau monyet linglung! Kau
membela bocah ini apakah kau pacarnya?"
bentak si wanita kurus.
"Pacar atau bukan mengapa kau
cemburu? Hehehe... aku cuma ingin tahu
yang bagaimana ilmu orang yang menjuluki
dirinya Iblis Wanita Pemakan Jantung?
Jangan-jangan yang sering kau makan cuma
jantung pisang!" sahut Nanjar seenaknya.
Mendelik mata Giok Lan si wanita
kurus ini. "Heh! Jangan menyesal kalau
jantungmu lah yang akan kukorek untuk
sarapanku!" berkata dingin Giok Lan. Pada
saat itu belasan orang telah memasuki
pesanggrahan dengan berdesakan. Diantara-
nya ada yang berteriak-teriak.
"Hayo, jangan berkumpul disini,
cepat kejar dia!" mereka adalah serom-
bongan laki-laki berbaju biru. Sedangkan
yang berteriak-teriak adalah laki-laki
yang menjadi ketuanya. Ternyata mereka
dari perkumpulan Partai Tombak biru, yang
dipimpin oleh seorang ketuanya bernama
Brangas Pati.
Tiga orang yang berada paling depan
mendadak menjerit ngeri. Tubuh mereka
terlempar dan jatuh berdebukan tak
bangkit lagi. Ternyata tulang dadanya
masing-masing telah remuk. Dan sesosok
tubuh berdiri tegak dipintu pesanggrahan.
Dialah si Raksasa Bromo.
"Kalian manusia-manusia keroco
lebih lebih baik menyingkir! Jangan mimpi
dapat memiliki benda mustika segala!"
Gemparlah kelompok Partai Tombak
Biru melihat kematian ketiga kawannya.
Terlebih lagi sang ketua bernama Brangas
Pati itu.
DELAPAN
MANUSIA sombong! Apakah kau kira
cuma kau sendiri yang mau mengangkangi
benda pusaka itu?" bentak Brangas Pati.
Tubuhnya mencelat ke hadapan si Raksasa
Bromo yang tinggi besar. Satu hantaman
keras dilayangkan kedada laki-laki itu,
diiringi bentakan. "Akupun sanggup
meremukkan dadamu!"
Buk!
Terdengar suara kepala yang beradu
dengan tulang dada. Akan tetapi segera
terdengar suara melengking kesakitan.
Tubuh si Raksasa Bromo masih tegak tak
bergeming, karena dia tak mengelakkan
serangan itu. Akan tetapi sebaliknya si
penyerang justru terpental balik dengan
meraung kesakitan.
Brangas Pati rasakan kepalanya
menghantam besi. Hingga dia berteriak
kesakitan sambil memegangi lengannya.
Tampak lengannya telah berubah membiru.
Akan tetapi tak lama dia segera hunus
senjatanya. Sekali sentak senjata Tombak
Biru bermata dua itu telah tercabut dari
punggungnya.
"Manusia sombong! Apakah kulit
dadamu sanggup menahan ketajaman mata
tombakku?" berkata Brangas Pati.
"Majulah!" bentak dingin si Raksasa
Bromo dengan sikap angkuh tak memandang
sebelah mata. Gusarlah Brangas Pati.
Serta merta dia telah menerjang ke depan.
Tombak Birunya meluncur deras mengarah ke
dada lawan. Laki-laki bertubuh tinggi
gede ini cuma menggeser tubuhnya sedikit.
Secepat kilat lengannya bergerak menang-
kap ujung tombak. Dilain kejap berikutnya
sekali sentak, tubuh Brangas Pati
meluncur deras melebihi kecepatan tombak-
nya. Dan detik itu juga terdengar suara
jeritan mengerikan. Darah menyembur
memuncrat ketika ujung lengan si Raksasa
Bromo amblas sebatas siku menembus perut
Brangas Pati.
Raksasa Bromo ayunkan lengannya.
Dan terlemparlah tubuh Brangas Pati
keluar pintu pesanggrahan. Jatuh berdebuk
dihadapan belasan orang yang berkerumun
disitu. Keadaan menjadi kacau. Suara
hiruk-pikuk terdengar dimana-mana. Karena
saat itu juga telah terdengar bentakan di
sana-sini dan terjadinya pertarungan yang
semrawut.
Sementara Nanjarpun dalam keadaan
bertarung menghadapi si Iblis Wanita
Pemakan Jantung alias Giok Lan. Dibawah
lereng gunung Naga Inten terlihat puluhan
manusia tengah mendaki. Tampaknya bukan
sedikit para tokoh Rimba Persilatan yang
berdatangan ke puncak gunung. Dapatlah
dibayangkan bahwa pertumpahan darah akan
lebih meluas lagi! Mereka seakan sudah
tak menghargai nyawa orang lagi karena
besarnya ambisi mereka untuk memiliki
benda pusaka Pedang Mustika Naga Merah!
* * * *
Giok Lan menghambur ke arah Nanjar
serangan dahsyat. Belasan jarum
menghambur diiringi hantaman pukulan
tenaga dalam.
Terkejut Nanjar. Untung dia
bersikap waspada. Cepat dia berkelit
melompat seraya kibaskan lengannya. Hawa
dingin menyambar ke arah Gio Lan.
Hamburan jarum maut itu lolos, bahkan
mengenai beberapa orang dibelakang Nanjar
yang segera terdengar jeritan kematian.
Sementara pukulan tenaga dalam wanita ini
mendadak membalik keras menghantam ke
arah dirinya. Dengan berteriak kaget dia
jatuhkan tubuhnya berguling.
Bhlaar!
Pukulan itu lewat menghantam din-
ding pesanggrahan.
"Keparat!" memaki wanita kurus ini.
Matanya nyalang mengandung hawa kemara-
han. Tiba-tiba dia kembali menerjang
dengan pukulan-pukulan dahsyat. Bertubi-
tubi menghantam Nanjar dari segala
jurusan. Jurus-jurus mautnya dipergu-
nakan. Namun yang dihadapi bukanlah
pemuda sembarangan. Bahkan dengan
berjingkrakan seperti kera melompat-
lompat, Nanjar mengelakkan diri. Saat
pertarungan itu terjadi mendadak telinga
Nanjar mendengar suara yang dikenalnya
menelusup ke telinganya.
"Bocah Linglung! mengapa kau turut
bertempur? Hehehe, biarkan saja mereka
saling baku hantam. Bukankah nanti kau
akan memetik hasilnya? Orang terakhir
yang berhasil memiliki Pedang Mustika
Naga Merah itulah kelak bagianmu. Hingga
kau tak berpayah-payah harus keluar
tenaga bertarung dengan maut!"
Terhenyak Nanjar. Itulah suara si
Pengemis Pincang yang membisiki di
telinganya. Diam-diam sambil mengelakkan
diri Nanjar putarkan matanya memperha-
tikan ke sekeliling mencari dimana adanya
si Pengemis Pincang.
Saat itu rupanya telah membuat dia
agak lengah. Mendadak sang lawan telah
mengirimkan hantaman keras dari arah
samping.
"Aiiiih!" teriaknya kaget. Untung
dengan gesit dia liukkan tubuhnya dengan
jurus Siluman Ular Melilit Gunung.
Loloslah dia dari bahaya maut. Merasa
waktunya perlu dimanfaatkan, tiba-tiba
Nanjar robah gerakan. Tubuhnya mendadak
berkelebat ke arah belakang lawan. Tentu
saja Giok Lan putarkan mengikuti dengan
lengan siapa menghantamkan pukulan ganas!
Tapi justru tubuh Nanjar tahu-tahu
berguling ke arah kakinya. Dan secepat
kilat ujung kaki Nanjar telah meluncur ke
arah dada kiri.
Begitu cepatnya, hingga tiba-tiba
wanita ini terdengar mengaduh. Tubuhnya
doyong ke belakang. Saat itulah Nanjar
melompat dan ulurkan tangannya menotok.
Tak ampun lagi Giok Lan alias si Iblis
Wanita Pemakan Jantung berteriak tertahan
dan jatuh menggelosoh dengan tubuh
tertotok kaku.
Tak menunggu lebih lama Nanjar
segera melompat keluar dari dalam ruang
pesanggrahan. Lalu berkelebat ke atas
wuwungan rumah pesanggrahan itu. Diatas
wuwungan dia celingukan memutar kepala
memperhatikan sekitarnya.
"Pengemis Pincang! Mengapa kau
belum juga unjukkan tampangmu?" Nanjar
berteriak keras-keras karena mendongkol
pada si Pengemis Pincang. "Apakah maksud
sebenarnya dengan orang itu? Apakah dia
menginginkan agar aku yang memiliki
Pedang Mustika itu?" berkata Nanjar dalam
hati. Sementara itu dia melihat puluhan
orang telah menyerbu masuk ke dalam
pesanggrahan.
Sesosok tubuh berkelebat diantara
batu-batuan diatas puncak gunung membuat
Nanjar gerakkan kakinya melompat dengan
ilmu "terbang" ke arah sana. Tertegun
Nanjar melihat seorang kakek berkaki satu
berdiri tegak diatas batu besar. Kakek
ini mengenakan topi tudung dikepalanya
mencekal tongkat bercagak yang menempel
diketiaknya. Tak perlu disangsikan lagi
Nanjar sudah dapat menduga kakek berbaju
tambalan itu adalah si Pengemis Pincang.
"Heheheh... selamat berjumpa bocah
Linglung! Karena kau tak sabar untuk
mengetahui siapa adanya aku, baiklah aku
munculkan diri dihadapanmu!" berkata
kakek bertudung ini.
"Hm, siapakah kau orang tua?
bukalah topi tudungmu agar aku dapat
melihat jelas siapa rupamu!"
Kakek ini tersenyum mendengar kata-
kata Nanjar. Tapi dia segera membuka topi
tudungnya yang menghalangi sebagian
mukanya. Lagi-laki Nanjar tertegun. Dan
hampir saja dia memanggil "Ayah" pada
kakek ini karena wajahnya amat mirip
dengan Ki ANJAR SUBRATA.
"Heheheh... apakah kau mengenali
diriku?" tanya si kakek.
"Kau mirip ayahku! Siapakah anda
orang tua?" tanya Nanjar terheran. Kakek
itu kembali tertawa terkekeh-kekeh.
"Sudah kuduga kau akan terkejut.
Dan kau pasti akan menyangka aku saudara
kembar ayahmu Ki Anjar Subrata! Karena
wajahku amat mirip dengan ayahmu! Bukan
saja mirip akan tetapi persis, bukan? Nah
kalau kau mau tahu aku memang ayahmu
sendiri?" berkata si Pengemis Pincang.
"Tapi, tapi ayahku tidak pincang
dan berkaki satu seperti kau?" sambar
Nanjar terkejut. Dalam hati dia memang
sudah menduga orang itu ayahnya, tapi ada
kejanggalan, yaitu pada suara dan sebelah
kakinya yang buntung.
"Hehehe... apakah kau anggap kakiku
buntung sebelah?" bertanya kakek itu.
Dengan sekali gerakan tahu-tahu kaki
kakek itu telah terjulur keluar. Dan
ternyata kedua kakinya masih utuh tanpa
cacad. Nyatalah si kakek Pengemis Pincang
itu cuma berpura-pura pincang. Dan segera
saja suaranyapun berubah tidak parau
lagi.
"Bocah Linglung! Apakah kini kau
sudah yakin aku ayahmu?" tanya si
Pengemis Pincang. Mau tak mau Nanjar jadi
tertegun menatap tak berkedip.
"Kau... kau...? Mengapa kau lakukan
hal seperti itu, ayah!?" sentak Nanjar
tertegun. Kini memang dia yakin orang
dihadapannya adalah Ki Anjar Subrata.
"Semua ini demi kau, anakku! Aku
ingin kau memiliki Pedang Mustika Naga
Merah! Aku ingin kau menjadi seorang jago
diantara jago! Kau harus lebih unggul
diantara semua orang yang datang ke
puncak gunung Naga Inten ini! Dan Pedang
Mustika Naga Merah harus jatuh ke
tanganmu!" berkata si Pengemis Pincang
yang ternyata Ki Anjar Subrata itu.
Mendengar kata-kata itu Nanjar jadi
terlongong bagai orang dungu. Benarkah
apa yang dikatakan ayahnya itu? Kalau
benar, sungguh suatu hal yang amat
mengerikan! Mengapa ayahnya menginginkan
terjadi peristiwa saling bunuh di puncak
gunung ini? Cuma karena sebuah pedang
mustika nyawa-nyawa harus melayang
menjadi korban! Terpaku Nanjar dalam
kebingungan. Dia merasa tak mengerti
dengan ambisi ayahnya yang demikian itu.
"Aku akan bangga kalau kau berhasil
memiliki Pedang Mustika itu, anakku! Dan
aku dapat mati dengan mata meram karena
aku telah berhasil membuat dirimu menjadi
seorang yang terkenal dimata kaum Rimba
Hijau!" Berkata lagi Ki Anjar Subrata
dengan suara tegas. Dan kembali,
terdengar suara tertawanya terkekeh-
kekeh.
SEMBILAN
AKAN tetapi tiba-tiba suara tertawa
Ki Anjar Subrata putus, berganti dengan
suara jeritan parau merobek udara.
Disusul dengan robohnya tubuh kakek itu.
Tubuhnya terbanting ke tanah dan berkelo-
jotan bagai ayam disembelih. Nanjar
tersentak kaget bagaikan dipagut kala-
jengking. Dia melompat memburu ke arah
tubuh Ki Anjar Subrata.
"Ayah!? ayah...!?"
Ki Anjar Subrata terkulai dalam
pangkuan Nanjar. Darah bersimbah diseku-
jur tubuhnya yang keluar dari tujuh buah
luka tertancap tujuh belati tipis. Nanjar
terbelalak menyaksikan kejadian mendadak
itu. Siapakah yang telah menyerang
ayahnya? Saat itu sebuah bayangan putih
berkelebat dibalik batu-batuan. Hati
Nanjar tersentak, dia membentak keras.
"Manusia pengecut! kaukah yang
telah membokong ayahku?" bentakan Nanjar
menggeledek. Tubuhnya melompat ke arah
bayangan itu. Apa yang dilihatnya membuat
matanya nanar. Karena sosok tubuh itu tak
lain dari si Pendekar Wanita Hati Suci.
Gerakan tubuh wanita itu berlari cepat
agak limbung. Dia segera maklum kalau
wanita itu memang dalam keadaan terluka.
Tak ayal segera dia mengejar. Sementara
diam-diam dia berpikir dalam benaknya.
Mengapa wanita itu dapat muncul disini?
Segera dia dapat menduga kalau wanita itu
melarikan diri melalui jalan rahasia yang
menembus ke tempat itu.
Ilmu melompat Nanjar memang luar
biasa. Dalam waktu beberapa saat saja dia
telah berada dibelakang wanita itu
sejarak lima-enam tombak.
Baru saja Nanjar gerakkan tubuhnya
melompat untuk menghadang, mendadak tubuh
wanita itu lenyap dibalik tebing batu.
Tak ayal dia segera memburu ke arah itu.
Namun bayangan tubuh wanita itu
telah tak nampak lagi. Lenyap bagai
ditelan bumi. "Kemana lenyapnya dia?"
maki Nanjar dengan kecewa. Tak ada sebuah
lubang goa pun berada disekitar situ.
Tiba-tiba Nanjar teringat akan nasib
ayahnya yang belum diketahui mati
hidupnya. Mengingat demikian Nanjar
segera melompat lagi kembali ke tempat
semula. Didapatinya Ki Anjar Subrata
dalam keadaan sekarat. Suaranya terputus-
putus memanggil nama Nanjar.
Cepat Nanjar melompat mendekati.
Dengan mata berkaca-kaca dia segera me-
mangku tubuh ayahnya. Kepalanya dile-
takkan dipangkunya.
"Ayah! ayah...! ini aku anakmu!
Ayah! bukalah matamu..." berkata Nanjar
dengan suara serak parau dilanda keharuan
yang memenuhi dadanya.
"Anakku, Nanj... ar....! Heheheh...
kau harus da... dapatkan Pedang.... Mus..
tika Na... ga... Merah... i...itu..."
Hanya kata-kata yang terlompat dari mulut
Ki Anjar Subrata. Selanjutnya dengan
wajah tersenyum dia memandang Nanjar.
Pancaran matanya redup, kepalanya pun
terkulai. Nyawanya putus meninggalkan
raganya.
"Ayah...! Ayah!? A...ayahh....!"
Suara Nanjar berpantulan menggema di
sekeliling bukit-bukit batu. Di guncang-
guncangkannya tubuh ayahnya yang telah
tak bergeming dengan air mata bercucuran.
Dipelukinya tubuh tua itu yang mulai
terasa dingin. Entah beberapa saat dia
terisak-isak tenggelam dalam kedukaan.
Hingga akhirnya diapun sadar bahwa tak
ada gunanya semua itu. Kehidupan manusia
suatu saat memang akan menemui kematian.
Dan kematian adalah milik setiap manusia
yang hidup.
Diangkatnya wajahnya. Ditatapnya
wajah sang ayah yang telah pucat kaku.
Sepasang mata kakek itu masih terbuka
seperti menatapnya penuh harap. Bibirnya
menyunggingkan senyuman. Nanjar terharu
melihatnya. Diulurkannya lengannya
mengusap muka mayat sang ayah, mata laki-
laki tua itupun terkatup.
Nanjar bangkit berdiri. Sejenak dia
mematung memandang ke depan dengan
pandangan mata kosong. Tak lama terdengar
suara helaan napasnya. Dan terdengar
suaranya yang lirih menggumam.
"Ayah, kematian memang milik setiap
manusia yang hidup. Tapi kematianmu
sungguh aku tak menyangka!"
Tak lama Nanjar telah balikkan
tubuhnya untuk melangkah empat tindak.
Matanya menatap ke tanah, dihadapannya
yang kira-kira lima langkah dari tempat
dia berdiri. Tiba-tiba dia gerakkan
lengannya menyilang dengan telapak tangan
menghadap ke depan. Suara berkriutan
terdengar. Tiba-tiba Nanjar gerakkan
kedua belah telapak tangannya ke arah
depan.
Whuuuk!....BLHAARRR!
Terdengar suara ledakan keras.
Tanah dan pasir menyemburat ke udara.
Ketika lurukan tanah dan pasir itu habis,
tampak terlihat sebuah lubang besar
menganga dihadapannya. Sebuah lubang yang
kira-kira bergaris tengah satu meter
lebih. Sejenak Nanjar memandang pada
lubang itu. Tapi tak lama dia segera
putar tubuhnya untuk melompat mendekati
jenazah ayahnya.
Tak menunggu waktu lebih lama lagi,
Nanjar pondong tubuh sang ayah. Dibawanya
mendekati lubang buatan itu. Lalu
melompat kedalamnya. Didalam lubang
itulah Nanjar membaringkan jenazah ayah-
nya dengan mata berkaca-kaca.
Senja makin merayap, tatkala Nanjar
mulai menguruk jenazah Ki Anjar Subrata
dengan timbunan tanah. Tak lama sele-
sailah pekerjaan menimbun jenazah itu.
Dua bongkah batu digunakan sebagai batu
nisan. Sesaat kemudian pemuda yang pernah
dibesarkan di lereng gunung Rogojembangan
itupun duduk bersimpuh dihadapan gundukan
tanah yang masih basah itu.
"Ayah! Semoga Tuhan mengampuni
dosa-dosamu! Aku berjanji akan memenuhi
permintaanmu, untuk mendapatkan Pedang
Mustika Naga Merah! Semoga arwahmu tenang
di Alam Baka! Aku akan mempergunakan
Pedang Pusaka itu untuk membela
kebenaran. Menegakkan kedamaian dibumi
dengan menumpas kejahatan! Bukankah kau
menginginkannya demikian, ayah! Aku
bangga punya ayah semacam kau yang amat
memperhatikan anaknya. Walau apa yang
ayah lakukan itu sebenarnya banyak
mengundang maut! Kau begitu inginkan aku
bernama besar dikolong jagat ini. Semoga
ambisimu yang kau tumpahkan pada anakmu
ini terkubur dalam tanah! Aku tak
menginginkan nama besar, ayah! Apa yang
kulakukan adalah cuma berbakti pada orang
tua. Dan apa yang akan kukerjakan adalah
demi tegaknya panji kebenaran! Siapa tahu
aku akan mati sebelum tercapai cita-cita
itu? Semua itu ditangan Yang Maha Kuasa."
Selesai berkata, Nanjar bangkit
berdiri dan lakukan penghormatan terakhir
pada ayahnya yang sudah terbaring dalam
tanah. Setelah menatap sebentar pada
gundukan tanah itu, Nanjar balikkan
tubuh, dan berkelebat pergi dari tempat
itu...
SEPULUH
Sementara itu pertarungan di
pesanggrahan puncak gunung Naga Inten
masih terus berlangsung. Korban-korban
semakin banyak berjatuhan. Nyawa-nyawa
melayang saling susul. Pertarungan
semrawut itu karena masing-masing tak
ingin yang lainnya menjadi saingan dalam
perebutan Pedang Mustika Naga Inten.
Saat itu Kecubung Wungu merasa
keadaan sudah menjadi kian gawat. Dia
harus menyusul gurunya yang diketahui
telah terluka parah terkena serangan si
Lutung Sakti. Tak berayal lagi segera dia
melompat masuk ke dalam pesanggrahan. Tak
dihiraukannya lagi keadaan semrawut
diluar pesanggrahan yang tengah saling
baku hantam.
Pesanggrahan itu ternyata mempunyai
ruang bawah tanah, yang hanya dia dan
Kecubung Sari yang mengetahui. Melihat
kamar gurunya kosong, gadis ini
berpendapat sang guru telah menyelamatkan
diri melalui ruangan bawah tanah. Segera
dia berkelebat kesana. Melalui jalan
rahasia yang sudah terbuka dia melompat
masuk. Lalu cepat-cepat menutup pintu
rahasia lagi.
Kecubung Wungu begitu mengkha-
watirkan nasib gurunya, hingga dia harus
berusaha menemukan dimana adanya sang
guru. Ditempat rahasia bawah tanah itu
keadaan gelap gulita. Namun segera dia
menyalakan lampu minyak tanah yang
tergeletak diatas meja. Dengan penerangan
itu dia menyusuri lorong demi lorong.
Namun hingga lorong terakhir yang telah
pernah dimasuki, tak dijumpai adanya sang
guru ditempat itu.
Tengah dia berpikir keras, mendadak
terdengar suara hiruk-pikuk dari ujung
lorong dimana tadi dia masuk. Tersentak
kaget Kecubung Wungu. Pada saat itu telah
terdengar suara teriakan dari ujung
lorong.
"Pendekar Hati Suci! kau takkan
dapat melarikan diri sebelum kau
tunjukkan dimana adanya Pedang Pusaka
Naga Merah!"
Begitu terkejutnya hingga Kecubung
Wungu melompat mundur. Tapi kakinya
menginjak lantai yang bergerak merosot
kebawah. Dia berteriak tertahan karena
terkejutnya. Lampu minyak tanahnya
terlepas dari tangannya dan terlempar.
Lantai tempat dia terjerumus itu
kembali mengatup, dan tubuhnya sendiri
meluncur turun dalam gelap.....
Pada ketinggian yang kira-kira
sepuluh kaki, tubuhnya menyentuh benda
empuk. Ternyata seonggok jerami. Kecubung
Wungu mengeluh. Untunglah tempat itu
penuh dengan onggokan jerami. Kalau tidak
tentu akan membahayakan dirinya.
Sementara keadaan diluar lubang
terjadi kebakaran hebat. Asap mengepul
menyesakkan napas para penyerbu yang
telah memasuki lorong itu. Api lampu
minyak tanah ternyata menyambar seutas
tambang yang menjulur ke arah tumbukan
jerami disudut lorong.
Terjadilah hiruk-pikuk dari orang-
orang yang menyatroni lorong bawah tanah
itu. Sukar untuk diduga, karena tak lama
terjadilah ledakan-ledakan dahsyat!
Lorong itu seperti dilanda gempa disana-
sini. Suara jeritan saling susul
mengerikan.
Tubuh-tubuh manusia berserabutan
saling tindih membaur dengan reruntuhan
yang menguruk lorong bawah tanah itu.
Sukar untuk diceritakan, karena dalam
beberapa kejap saja puluhan manusia
lenyap amblas teruruk reruntuhan. Entah
berapa puluh jiwa melayang dalam bencana
yang mengerikan itu!
Kita ikuti kemana langkah Nanjar
seusai melakukan penguburan jenazah
ayahnya Ki Anjar Subrata. Ternyata dia
kembali mendatangi ketempat lenyapnya si
Pendekar Wanita Suci. Disana dia tertegun
menatap sekitarnya.
"Jelas wanita itu memasuki celah
perbukitan batu ini, tapi tak nampak
batang hidungnya! Kemana larinya dia?
Tampaknya dia terluka parah!" gumam
Nanjar dengan suara berdesis. Matanya
jelalatan memperhatikan setiap lekukan
batu-batuan. Bahkan dia mencoba memerik-
sa, namun tak jumpai tanda-tanda yang
mencurigakan adanya lorong rahasia
ditempat itu.
Rasa penasaran Nanjar ternyata
membawa keberuntungan baginya, karena
ketika dia mencoba membongkar segundukan
batu-batuan dia telah menemukan satu
celah diantara batu-batu itu. Nyatalah
kalau itu sebuah lorong rahasia. Cepat
dia membongkarnya. Aneh! begitu dia
menyentuh batu runcing didekatnya men-
dadak celah itu menjebak terbuka melebar.
Tak ayal dia menerobos masuk.
Tersentak Nanjar karena sekejap
celah batu yang terbuka itu kembali
menutup dengan cepat. Termangu sesaat
Nanjar dalam kegelapan lorong itu. Namun
diam-diam hatinya bergirang karena lorong
itu pasti telah dimasuki si Pendekar
Wanita Hati Suci. "Pantas! Agaknya dia
begitu menghilang karena memasuki lorong
rahasia ini. Pasti dia berada disebelah
dalam!" pikir Nanjar.
Dengan jantung berdebar lebih
cepat, namun penuh keyakinan, Nanjar
bergerak merayap memasuki lorong gelap
itu. Semakin kedalam ternyata semakin
melebar. Dan aneh! dihadapannya kini
semakin terang. Terkejut dia ketika
menengadah telah melihat langit. Ternyata
ruangan itu berlangit-langit bolong yang
menembus ke atas ke udara terbuka.
Melewati satu dinding dalam lorong,
Nanjar hampir berteriak karena terkejut-
nya. Apa yang dilihatnya? Sesosok tubuh
terkapar tak bergerak. Itulah tubuh si
Pendekar Wanita Hati Suci. Sebuah pedang
tertancap didadanya. Darah mengalir
merembes ke lantai batu. Didekat sosok
tubuh itu tergeletak sebuah peti panjang
berukirkan Naga.
Agak lama dia tertegun menatap
mayat wanita itu, dengan mata membeliak.
Disebelah lengan mayat wanita itu
tercekal segulung kertas kain.
Setelah sadar dari keterkejutannya,
Nanjar berjongkok mendekati. Diambilnya
gulungan kertas ditangan mayat itu. Lalu
dengan lengan gemetar dibukanya. Segera
tampak barisan tulisan yang panjang.
Setelah terpaku sejenak memikirkan
kejadian itu, Nanjar segera membaca isi
tulisan itu.
"Aihh! Jadi wanita ini bernama
Nilam Sari. Sungguh tragis riwayat
percintaannya dengan laki-laki bernama
Thio Bun Kiam itu! Cinta kasih mereka
ternyata harus ditebus dengan kematian!"
berkata Nanjar menggumam, selesai membaca
isi surat dalam gulungan kertas kain itu.
Dilipatnya lagi surat itu lalu dimasukkan
dalam sela bajunya. Kini matanya menatap
pada pedang yang tertancap didada wanita
itu.
Darah belum lagi mengering, ketika
Nanjar menyentakkan pedang itu dari
hunjaman didada si wanita pendekar.
"Ahh,…!? Inikah Pedang Mustika naga
Merah?" sentak Nanjar terkejut. Diama-
tinya pedang itu yang badan pedangnya
berbentuk seekor Naga melingkar bersisik
merah berkilauan. Gagangnya terbuat dari
tulang beruas-ruas terlapis emas.
Pada bagian ujungnya terdapat
sebutir mutiara besar berwarna merah.
"Tak salah! Ini pasti Pedang Mus-
tika Naga Merah!" sentak si Dewa Linglung
dengan terkejut juga girang. Mata Nanjar
mulai jelalatan lagi melihat ke sekitar
mayat. Segera didapati sarung pedang yang
terbuat dari tulang tak berada jauh dari
tubuh mayat. Tahulah dia kalau si
Pendekar Wanita Hati Suci telah melakukan
bunuh diri. Apa yang dilakukannya adalah
karena kesucian cintanya pada laki-laki
bernama Thio Bun Kiam yang riwayatnya
tertera pada gulungan kertas kain itu.
Nanjar menghela napas. Dibersihkan-
nya darah yang melekat pada badan pedang,
lalu dimasukkannya ke dalam kerangka
pedang mustika itu.
"Semoga arwahmu diterima disisi
Tuhan Yang Maha Esa!" berkata Nanjar.
Kemudian tanpa menunggu lebih lama,
segera dia menggali tanah untuk mengubur-
kan mayat wanita itu. Cuaca diluar mulai
beranjak gelap. Namun Nanjar telah
bekerja cepat untuk menyemayamkan jenazah
si Pendekar Wanita Hati Suci.
Demikianlah! Menjelang cuaca men-
jadi gelap Nanjar telah selesai
mengebumikan jenazah Nilam Sari alias Lam
Su Nio. Tak seorangpun mengetahui adanya
peristiwa itu, kecuali Pedang Pusaka Naga
Merah itulah yang menjadi saksinya.....
SEBELAS
DIATAS BEBATUAN dimulut lubang itu
Nanjar duduk bersila tak bergeming pemuda
yang pernah menjadi murid beberapa tokoh
Rimba Hijau dari golongan Putih dan Hitam
dan telah banyak mengalami bermacam
peristiwa itu duduk bersemadi, menten-
teramkan hati.
PEDANG MUSTIKA NAGA MERAH tercekal
erat dikedua lengannya. Lama dan lama...
dia berbuat seperti itu hingga kelamnya
malam mulai diwarnai oleh cahaya terang-
terang tanah, pertanda hari sudah
menjelang pagi dinihari.
Pelahan dia membuka matanya.
Hatinya kini telah menjadi tenteram.
Kematian sang ayah seperti suatu pembuka
jalan baginya untuk mendapatkan Pedang
Mustika Naga Merah. Kini benda mustika
itu telah berada di tangannya. Sesaat
antaranya dia menghela napas. Lalu bang-
kit berdiri. Pedang Mustika Naga Merah
segera diselipkan dibalik baju dibela-
kang punggungnya.
Sesaat dia kembali menatap ke arah
lubang dibawah kakinya, dimana jasad si
Pendekar Wanita Hati Suci disemayamkan.
Wanita yang telah menjadi penyebab kema-
tian ayahnya Ki Anjar Subrata. Tapi juga
wanita yang telah membawa keberuntungan
dengan berhasilnya dia mendapatkan Pedang
Mustika Naga Merah. Sayang semua itu
harus ditebus dengan nyawa. Dan entah
berapa jiwa melayang akibat kemunculan
pedang mustika yang membawa maut itu.
Cuma yang masih menjadi pertanyaan
dalam hati Nanjar adalah dari mana
ayahnya mengetahui pedang mustika itu
berada ditangan si Pendekar Wanita Hati
Suci yang bertempat tinggal dipuncak
Gunung Naga Inten? Dan hubungan apakah
ayahnya dengan laki-laki yang bernama
Thio Bun Kiam alias Jaka Buntaran? Namun
Nanjar harus mengenyampingkan dulu peri-
hal itu. Dia memang berniat segera
meninggalkan tempat itu, tapi tiba-tiba
dia teringat pada Kecubung Wungu yang
dikhawatirkan keselamatannya. Disamping
itu dia perlu mengetahui bagaimanakah
keadaan dipesanggrahan si Pendekar Wanita
Hati Suci? Malam sunyi yang dilewati
tanpa terdengar suara apa-apa kecuali
keheningan yang mencekam.
"Kemanakah gerangan orang-orang
kaum persilatan yang berdatangan ke
puncak gunung Naga Inten ini?" berkata
Nanjar dalam hati. Barulah Nanjar
teringat ketika tengah melakukan peng-
uburan jenazah ayahnya, telinganya
seperti mendengar suara ledakan-ledakan
yang terdengar lapat-lapat. Namun membuat
berbagai pertanyaan bersimpang-siur di-
benaknya. Ledakan apakah itu? pikir
Nanjar.
"Setidak-tidaknya aku harus menge-
tahui apa yang terjadi! Dan keselamatan
Kecubung Wungu murid si Pendekar Wanita
Hati Suci itu perlu kuketahui!" desis si
Dewa Linglung. Tak menunggu waktu lama
lagi, Nanjar segera berkelebat dari atas
bebatuan itu. Akan tetapi segera dia
merandek. Dan kembali balikkan tubuh.
Tiba-tiba lengannya bergerak menghantam
batu-batuan dihadapannya, tepat ditempat
tadi dia berdiri
Angin keras membersit, dan
terdengarlah suara gemuruh dari batu-batu
yang longsor, menimbun mulut lubang
tempat tadi dia berdiri diatasnya.
Dengan berbuat demikian Nanjar
telah melenyapkan jejak dimana mayat si
Pendekar Hati Suci disemayamkan. Karena
bukan mustahil suatu saat orang Rimba
Persilatan akan menyelidiki tempat itu.
Nanjar tak menginginkan pembongkaran
kuburan wanita itu. Walau pada dasarnya
wanita itulah si pembunuh ayahnya, namun
dia tak dapat mendendam dan menaruh
kebencian pada orang yang telah mati. Dan
lagipula dia merasa kematian sang ayah
adalah wajar. Karena ayahnyalah yang
memancing orang-orang persilatan untuk
menyatroni puncak gunung Naga Inten.
Semua itu karena cuma menginginkan Nanjar
sebagai putranya menjadi orang terkenal
dan bernama besar. Juga menjadi pemilik
terakhir Pedang Mustika Naga Merah yang
diperebutkan. Tanpa memikirkan banyaknya
korban jiwa dengan perebutan pedang
mustika itu. Rencana memang bisa
dijalankan oleh manusia, akan tetapi
kepastian ditangan Tuhan. Walau pada
akhirnya Nanjar memang berjodoh untuk
memiliki Pedang Mustika Naga Merah.
Sesaat kemudian Nanjar telah melesat
pergi tinggalkan tempat itu.
GIOK LAN alias si Iblis Betina
Pemakan Jantung akhirnya berhasil mele-
paskan diri dari totokan Nanjar. Dia
melompat bangkit dengan kemarahan menin-
dih dalam dadanya.
Keparat! Bocah yang menamakan
dirinya si Dewa Linglung itu suatu kelak
akan kukorek jantungnya!" mendesis wanita
kurus ini. Tampak dia amat begitu
mendendam pada Nanjar.
Dilihatnya keadaan didepan
Pesanggrahan mayat-mayat bergelimpangan.
Akan tetapi tempat itu telah sepi dari
manusia. "Kemanakah mereka semua?" sen-
taknya dalam hati. Namun dia telah
berkelebat memasuki ruang dalam pesang-
grahan. Tadi lapat-lapat telinganya
mendengar suara ledakan-ledakan yang
membuat lantai pesanggrahan bergetar.
"Sepertinya ledakan itu berasal
dari dalam tanah! Apakah dalam ruangan
didalam pesanggrahan ini terdapat ruang
dalam tanah?" berkata dia dalam hati.
Namun hatinya memang meyakinkan adanya
ruang itu, karena mustahil si Pendekar
Wanita Hati Suci alias Nilam Sari
bersembunyi menyelamatkan diri dan tetap
mempertahankan Pedang Mustika Naga Merah.
Bukan mustahil kalau wanita itu
telah membunuh para pendatang yang
mengejarnya dengan ledakan-ledakan yang
menimbulkan kematian! demikian pikirnya.
Ketika itu juga tiba-tiba dari arah
dalam melompat sesosok tubuh hampir
bertubrukan dengannya.
"Celaka! celaka...! Semua mati!
semua tewas! Jangan ma... masuk! didalam
banyak perangkap!" berteriak salah
seorang. Akan tetapi selesai berkata
orang itu roboh terjungkal. Ketika Giok
Lan memeriksa ternyata laki-laki itu
telah tewas. Tubuhnya penuh luka-luka
yang menyayat hampir sekujur tubuhnya.
Terkejut Giok Lan ketika mengetahui laki-
laki itu tak lain dari si Raksasa Bromo!
"Setan keparat!" memaki Giok Lan.
Tubuhnya berkelebat keluar dari dalam
pesanggrahan dan lenyap dibalik tebing.
Ternyata si wanita kurus ini tak pergi
jauh dari sekitar puncak gunung Naga
Inten. Dia berkelebatan ke sekitar tempat
itu seperti memeriksa tempat sekitarnya,
atau mencari seseorang. Siapa gerangan
yang tengah dicarinya?
Pada saat itulah dia melihat
sesosok tubuh tersembul keluar dari
sebuah lubang tak jauh didekatnya. Memang
dia tengah mengamati kesekitar tempat
yang diduga menjadi tembusan jalan
rahasia tempat melarikan diri si Pendekar
Wanita Hati Suci, mendadak dia melihat
sesosok tubuh tersembul keluar dari satu
celah lubang batu.
"Bagus! akhirnya toh kujumpai juga
Nilam Sari!" berkata Giok Lan dalam hati.
Sekali enjot tubuh dia telah berkelebat.
Dan dengan gerakan cepat sekali lengannya
telah bergerak menotok sosok tubuh itu.
Cuaca memang sudah mulai agak terang.
Dalam keremangan itu jelas sosok tubuh
yang ditotoknya adalah seorang wanita.
Terdengar suara mengeluh diiringi
ambruknya sosok tubuh itu.
Akan tetapi terkejut Giok Lan
ketika mengetahui orang itu bukan si
Pendekar Wanita Hati Suci, melainkan
Kecubung Wungu, murid musuhnya yang amat
dibenci.
"He! bocah perempuan setan! Dimana
gurumu sinenek sial itu?" bentaknya
menggeledek. Lengannya bergerak menjambak
rambut Kecubung Wungu. Keruan saja dara
ini berteriak kesakitan.
"Lepaskan dulu aku! Aku akan
bicara!" teriaknya dengan menyeringai.
"Kau... kau siapa?" bertanya
Kecubung Wungu yang cuma melihat wajah
samar-samar dihadapannya.
"Goblok! apa kau tak tahu kalau aku
si Iblis Betina Pemakan Jantung? Segera
katakan kemana lenyapnya gurumu!"
membentak Giok Lan mendongkol. Karena
dalam keadaan tertotok, Kecubung Wungu
tak dapat berbuat apa-apa. Namun segera
dia menjawab setelah mengetahui siapa
adanya orang dihadapannya.
"Aku tak mengetahui di mana beliau!
aku sendiri tengah mencari jejaknya!"
sahut dara ini dengan wajah tegang. Kalau
saat itu cuaca sudah terang siang, tentu
akan terlihat wajah gadis ini amat pucat
sekali.
Giok Lan sejenak berpikir. "Hm,
kalau kupakai kekerasan tentu bocah ini
tak akan mengaku. Kalau kubunuhpun tak
ada gunanya, karena disini cuma dia
seorang yang kutemui. Baiknya kupakai
bujukan halus agar dia dapat memberikan
keterangan yang jelas mengenai gurunya.
Siapa tahu dia mengetahui tempat
penyimpanan Pedang Pusaka Naga Merah yang
disembunyikan gurunya!"
Disamping berfikir demikian, Giok
Lan juga menduga si Pendekar Wanita Hati
Suci tak akan bisa lari jauh karena dia
telah terluka dalam yang cukup parah.
Memikir demikian segera dia berkata.
"Hm, Kuketahui kaulah yang bernama
Kecubung Wungu. Tapi setahuku gurumu
mempunyai murid dua orang perempuan.
Kemanakah seorang lagi?" bertanya Giok
Lan dengan suara dingin.
"Adik seperguruanku aku sendiri tak
mengetahui, bagaimana aku bisa menjawab
pertanyaanmu?" sahut Kecubung Wungu. Apa
yang dikatakannya memang sejujurnya. Tapi
membuat si Iblis Betina Pemakan Jantung
hampir habis kesabarannya.
"Kau selalu menjawab tidak tahu,
apakah kau ingin kukorek jantungmu
ataukah ingin kukelupas kulit mukamu?
Jawablah dengan sejujurnya!" membentak
lagi Giok Lan. Diam-diam bergidik juga
hati Kecubung Wungu. Namun dia memang tak
mengetahui. Terpaksa dia berkata.
"Aku sungguh-sungguh tak mengetahui
dimana adik seperguruanku Kecubung Sari
maupun dimana adanya guruku! Walaupun kau
siksa aku sampai matipun aku tetap
menjawab sama!" sahutnya dengan tegas.
"Hm, baik! baik! Kini jawablah
pertanyaanku yang kedua! Apakah kau
mengetahui tempat gurumu menyimpan Pedang
Mustika Naga Merah?" Pertanyaan itu
membuat kecubung Wungu semakin ternganga
bingung. Walau demikian dia menjawab.
"Demi langit dan bumi aku akan
menjawab sejujurnya. Aku sama sekali tak
mengetahui hal ikhwal pedang mustika itu!
Tapi seandainya aku mengetahui siapa yang
sudi memberitahukan pada musuh guruku?"
Jawaban Kecubung Wungu membuat wanita
kurus ini berjingkrak marah. Lengannya
bergerak menjambak rambut gadis itu
keras-keras hingga sampai tubuh
Kecubung Wungu terangkat. Tentu saja dara
ini menjerit sekuatnya karena merasakan
sakitnya. Serasa kulit kepalanya lepas
semua oleh hentakan keras itu. Pedihnya
bukan alang kepalang.
"Setan tua! kau bunuhlah aku.
Mengapa kau menyiksaku begini rupa?"
teriak Kecubung Wungu dengan air mata
berderai antara rasa sakit dan kebencian
luar biasa pada Giok Lan yang diketahui
adalah musuh gurunya.
Ternyata kemarahan Giok Lan sudah
sampai puncaknya. Dengan geram tiba-tiba
sebelah lengannya meluncur... Jros.
Terdengarlah jeritan melengking
merobek udara. Tubuh Kecubung Wungu
terjungkal roboh mandi darah. Dadanya
ambrol terkena cengkeraman lengan si
Iblis Betina Pemakan Jantung. Dan
dilengan si wanita kurus yang berlumuran
darah tercekal segumpal daging merah.
Itulah jantung Kecubung Wungu yang telah
direnggut dari dalam rongga perut gadis
itu.
Baru saja wanita kurus ini akan
memasukkan gumpalan daging itu ke
mulutnya mendadak terdengar bentakan
keras menggeledek.
"Manusia iblis! Mampuslah kau!"
Secercah kilatan merah berkelebat.
Dan menjeritlah Giok Lan dengan suara
parau. Tubuhnya tertembus sebatang
pedang. Terhuyung-huyung wanita kurus
ini, akan tetapi tidak membuat dia roboh.
Lengannya yang sebelah meraba gagang
pedang yang amblas tersisa dibagian
perutnya. Sedangkan badan pedang itu
amblas menembus sampai ke punggung.
Dan tiba-tiba dengan tenaga yang
terakhir dari sisa kekuatannya dia
menyentakkan pedang itu.
Darah menyemburat membasahi tanah
dan kakinya. Tubuhnya kembali limbung,
namun belum membuat dia roboh. Matanya
membelalak menatap pedang yang bersimbah
darah ditangannya.
"Aaakh!?... ped... dang Mus... tika
Na... ga Mer,..rrahh!?" Terdengar suara
wanita kurus ini terputus-putus.
Pandangan matanyapun menangkap bayangan
sesosok tubuh yang berdiri dihadapannya.
Dialah Nanjar alias si Dewa
Linglung! Yang telah diancam akan dikorek
jantungnya.
"Kau... kau... bo... cah...
kepa..rrrraaat!" teriak si Iblis Wanita
Pemakan Jantung. Matanya mendelik, dan
dia gerakkan pedang itu untuk menyerang
Nanjar. Tapi saat itu pula tubuhnya
oleng. Sedetik kemudian wanita itu roboh
terjungkal. Nyawanya telah putus ditengah
jalan!
DUABELAS
NANJAR berdiri terpaku didepan
setumpuk batu yang baru saja digunakan
menguburkan jenazah Kecubung Wungu,
Ditangannya tergenggam sebuah seruling
berkepala naga. Itulah senjata milik
Kecubung Wungu yang belum sempat
dipergunakan. Terdengar pemuda itu meng-
hela napas mengingat kematian gadis baju
merah murid si Pendekar Wanita Hati Suci
yang tragis. Angin sepoi-sepoi bertiup
menyibakkan rambut si Dewa Linglung yang
menutupi keningnya. Terdengar suara meng-
gumam laki-laki yang pernah dibesarkan di
lereng gunung Rogojembangan ini.
"Kematian memang milik semua
mahkluk yang hidup! Kau telah berangkat
terlebih dulu nona Kecubung Wungu, semoga
Tuhan mengampuni dosamu!" Selesai berkata
dia menatap pada benda ditangannya.
"Seruling berkepala naga ini tentu milik
si Pendekar Wanita Hati Suci yang
diwariskan pada Kecubung Wungu. Biarlah
benda ini akan kupergunakan sebagai
kenangan bahwa aku pernah berkenalan
dengannya!"
Diselipkannya benda itu dibalik
baju pada sisi pinggangnya. Lalu setelah
menatap sekali lagi pada gundukan batu
itu, Nanjar pun bertindak melangkah pergi
meninggalkan tempat sunyi itu. Tak lama
sosok tubuh Nanjar terlihat berkelebatan
menuruni lereng gunung Naga Inten, dan
lenyap dikerimbunan hutan dibawah lereng.
***
Baru saja Nanjar tiba dimulut
hutan, mendadak telinganya mendengar
suara menjeritnya seorang wanita. Ter-
sentak si Dewa Linglung. Tak ayal dia
telah berkelebat ke arah asal suara itu.
Bukan kepalang terkejutnya dia melihat
seorang wanita dalam keadaan terikat
dibatang pohon. Dihadapannya tampak dua
orang laki-laki berjubah abu-abu, berke-
pala sama-sama gundul plontos. Mereka tak
lain dari si Dewa Muka Kembar.
Gadis itu dalam keadaan cabik-cabik
pakaiannya, bahkan sebagian auratnya
telah terbuka.
Breeet! brreeet!
Lagi-lagi lengan salah seorang dari
si Dewa Muka Kembar menjulur merobek
pakaian dara itu. Dan gadis itu kembali
perdengarkan jeritannya. Tampak dia amat
ketakutan sekali. Kini sepasang benda
putih ranum didada gadis itu menyembul.
Salah seorang dari si Dewa Muka
Kembar tertawa gelak-gelak. Dialah yang
bernama Guritmo. Sedangkan yang seorang
lagi bernama Guritmono.
"Hahaha... kalau kau tak mau
mengatakan dimana gurumu menyimpan,
pedang mustika itu, maka hari ini kau
akan kehilangan kegadisanmu!"
"Aku benar-benar tidak mengetahui!"
teriak gadis itu yang yang tak lain dari
Kecubung Sari. Tampak wajah gadis ini
pucat pias, air matanya mengalir
membasahi kedua pipinya.
"Hehehe... kau masih membandel juga
tak mau membuka mulut? Hm, baiklah!"
berkata Guritmono dengan wajah menyeri-
ngai. Matanya liar berkilat-kilat
menatap dua buah benda ranum2. yang
menyembul didada Kecubung Sari, Kini dia
melangkah lagi setindak. Dan lengannya
terjulur ke arah dua benda lunak itu.
Pada detik itulah tiba-tiba terde-
ngar bentakan keras.
"Dewa Muka Kembar, tahan tangan
jahilmu!"
Sebutir batu meluncur deras ke arah
lengan Guritmono. Dan laki-laki ceriwis
ini menjerit kesakitan seraya menarik
lengannya. Bukan kepalang terkejutnya
laki-laki ini mengetahui sepotong jari
telunjuknya telah putus.
"Keparat! Siapa kau?" bentaknya
menggeledek seraya melompat mundur.
Sedangkan mata Guritmo jadi mendelik
gusar melihat siapa yang berkelebat
muncul dihadapannya.
"Hehe... aku si Dewa Linglung!
Apakah kalian sudah tak mengenaliku
lagi?" berkata Nanjar yang telah berada
dihadapan kedua orang ini. Mendadak
Nanjar berkelebat ke arah pohon di mana
Kecubung Sari terikat. Sekali lengannya
berkelebat ke arah pohon, tali-temali
P
yang mengikat tubuh gadis itu. Lalu
kembali dia melompat kehadapan si Dewa
Muka Kembar.
"Kau? lagi-lagi kau turut campur
urusan orang! Heh! kali ini jangan harap
kau lolos dari tangan kami!" membentak
Guritmono yang telah mencabut senjata
rantai berujung roda bergerigi. Rasa
sakit pada jarinya yang putus sudah tak
dihiraukan lagi. Segera dia memberi
isyarat pada Guritmo, yang segera
menyiapkan senjatanya
"Hehehe... ternyata pekerjaan dua
Dewa Muka Kembar bisanya cuma mengganggu
perempuan?" mengejek Nanjar dengan
cengar-cengir.
"Kunyuk Linglung! dua kali kau
mengecoh kami dan selalu menggagalkan
urusan kami berdua. Apakah nyalimu sudah
tumbuh untuk tidak melarikan diri lagi?"
bentak Guritmono. Laki-laki ini geram
sekali karena mereka memang pernah
dikerjai Nanjar ketika melakukan kejaha-
tan. Namun Nanjar bertingkah seperti
orang tolol, dan melarikan diri ketika
dikejar keduanya. Namun semua itu untuk
menyelamatkan orang yang nyaris menjadi
korbannya.
"Aku tak akan melarikan diri lagi,
Tuan Dewa Kembar! Hm, bukankah kalian
menginginkan Pedang Mustika Naga Merah!
Benda itu ada padaku!" berkata Nanjar.
Tentu saja membuat kedua pasang
mata si Dewa Muka Kembar membelalak
ketika Nanjar mencabut pedang mustika itu
dari belakang punggungnya. Sinar merah
berkredepan menyilaukan mata, memercik
dari badan pedang yang berbentuk seekor
naga melingkar dengan ekor yang menjulur
meliuk-liuk ke atas.
"Tak salah lagi! Itulah Pedang
Mustika Naga! mengapa bisa berada
ditangan kunyuk linglung ini?" berdesis
Guritmo. Sejenak mereka saling pandang.
Sementara Guritmono diam-diam nyalinya
menciut. Hantaman batu kerikil yang
memutuskan jarinya, yang dilakukan pemuda
itu jelas dapat diduga kalau si Dewa
Linglung itu memiliki ilmu kepandaian
tinggi.
Apalagi kini, Pedang Mustika Naga
Merah berada ditangannya. Bagaimana
mungkin mereka mampu membekuk bocah diha-
dapannya? Namun adanya pedang mustika
ditangannya Nanjar telah membuat mata
mereka seperti buta, tak melihat
akibatnya lagi.
Serentak mereka memberi isyarat,
dan berbareng maju menerjang dengan
masing-masing senjatanya. Dua roda
bergerigi meluncur ke arah kepala Nanjar
dibarengi bentakan keras.
"Bagus! pucuk dicintai ulam tiba!
Serahkan benda mustika itu pada kami!"
Whuut! whuut!
"Hehe... enak saja! Silahkan kau
rebut dari tanganku!" berkata Nanjar
seraya berkelebat melompat dengan gaya
jurus Kera Sakti Menari. Serangan-
serangan si Dewa Muka Kembar semakin
gencar tak memberi waktu luang sedikitpun
untuk Nanjar lebih lama menjejakkan kaki.
Bahkan semakin ganas roda maut si Dewa
Muka Kembar berdesingan. Namun Nanjar
cuma melompat-lompat menghindari saja
tanpa balas menyerang. Tiba-tiba Gurit-
mono perdengarkan lengkingan keras.
Gerakan serangannya berubah. Kini dia
menggunakan gerakan memutar. Makin lama
makin cepat. Akibatnya Nanjar cukup
pusing kepala karena cuma melihat
bayangan mereka saja yang mengelilingi
tubuhnya. Sukar bagi Nanjar untuk melom-
pat keluar menembus kurungan yang rapat
bagaikan bentengan itu.
Saat mana tiba-tiba lengan
Guritmono bergerak menghamburkan ratusan
jarum. Disusul hantaman keras pukulan
tenaga dalam. Dengan berteriak kaget
Nanjar melompat setinggi enam tombak
menghindari serangan. Tapi detik itu
Guritmo telah melejitkan tubuhnya ter-
lebih dulu. Agaknya dia telah menduga
Nanjar akan berbuat demikian. Detik
itulah dia hantamkan roda bergeriginya ke
arah batok kepala si Dewa Linglung.
Sedangkan sebelah lengannya dengan
gerakan kilat telah menyambar untuk
merampas pedang mustika Naga Merah dari
tangan Nanjar.
Akan tetapi diluar dugaan justru
pedang mustika ditangan Nanjar telah
berkelebat lebih cepat menabas. Tak ampun
lagi terdengarlah suara melengking
mengerikan Guritmo. Tubuhnya terpotong
menjadi dua bagian. Dan jatuh meluruk
berdebukan. Darah menyembur bersimbahan.
Bukan main terperanjatnya Guritmono.
Keringat dingin mengalir deras di
tengkuknya. Tiba-tiba dia balikan tubuh
dan berkelebat melarikan diri. Baginya
nyawanya lebih penting, untuk suatu saat
membalas dendam. Sekejapan saja tubuhnya
telah lenyap dibalik hutan.
Nanjar ternyata tak melakukan
pengejaran. Dibersihkannya darah yang
menyiram pedang mustika Naga Merah. Lalu
dimasukkan lagi dalam kerangkanya dibela-
kang punggung. Ketika itu Nanjar baru
teringat pada Kecubung Sari. Akan tetapi
alangkah terkejutnya dia melihat gadis
itu tak berada ditempatnya lagi.
"He? kemana perginya dia?" Berkata
Nanjar seorang diri. Pandangan matanya
memutari sekitar hutan. Tapi tak ada
tanda-tanda adanya gadis itu berada
ditempat itu.
"Aiiih! mungkin dia menyembunyikan
diri karena malu dirinya dalam keadaan
setengah telanjang..." pikir Nanjar. Baru
saja dia akan beranjak melangkah pergi
mendadak terdengar bentakan
dibelakangnya.
"Serahkan Pedang Mustika Naga Merah
milik guruku itu padaku!" Tersentak kaget
Nanjar, karena tahu-tahu terasa diteng-
kuknya menempel ujung pedang. Dari suara
itu jelaslah kalau yang membentaknya
adalah Kecubung Sari.
"Aiiih, nona Kecubung Sari.
Lepaskanlah ujung pedangmu. Tanpa kau
todong aku demikian rupapun aku akan
memberikan pedang mustika ini kalau kau
menginginkan!" berkata Nanjar. Sejenak
tadi hatinya mencelos. Kalau saja bukan
Kecubung Sari yang melakukan, tentu
jiwanya sudah melayang.
"Baik! kau bisa pegang janjimu,
Dewa Linglung?" bertanya Kecubung Sari
dengan suara dingin.
"Heheh... apakah kau anggap aku
seorang penipu? Buat apa aku menyandang
gelar pendekar?" sahut Nanjar dengan
tertawa. Pernyataan Nanjar membuat
Kecubung Sari segera melepaskan todongan
ujung pedangnya, Dan Nanjarpun segera
balikkan tubuh. Terlihatlah dara itu
berdiri tegak menatapnya dengan sorot
mata tajam. Pedang ditangannya masih siap
untuk dipergunakan bila Nanjar melakukan
tindakan menyerang.
Akan tetapi Nanjar justru tersenyum
sang dara cantik yang telah merapihkan
pakaiannya.
"Benarkah kau menginginkan pedang
mustika ini?" tanya Nanjar. Pertanyaan
Nanjar ternyata tak mendapat jawaban.
Gadis itu membisu, bahkan menunduk. Diam-
diam dada Kecubung Sari berdebaran.
Apakah yang akan dikatakannya? Pemuda itu
telah menolongnya, menyelamatkan kesuci-
annya. Dan untuk apakah dia memiliki
pedang mustika itu? Sedangkan untuk
menjaga dirinya saja dia tak mampu,
apalagi untuk menjaga pedang mustika yang
menjadi incaran kaum Rimba Persilatan
itu?
Akhirnya pelahan menggelengkan
kepala. Dan jawabnya lirih.
"Aku tidak sungguh-sungguh! Akan
tetapi maukah kau menceritakan semua apa
yang telah terjadi dengan guruku? Dan
bagaimana kisahnya hingga pedang mustika
itu bisa kau miliki?" berkata Kecubung
Sari. Nanjar menghela napas. Lalu
menjawab dengan didahului tertawa tawar.
"Kisahnya cukup panjang, nona
Kecubung Sari. Nantilah aku ceritakan.
Masukkanlah pedangmu lagi. Mari kita
pergi dari sini. Kau lihat awan hitam
itu? Sebentar lagi hujan akan turun
deras. Sebaiknya kita mencari tempat yang
baik untuk kita berlindung sambil
bercakap-cakap. Aku akan paparkan semua
yang kualami hingga berhasilnya pedang
mustika ini jatuh ketanganku" berkata
Nanjar seraya menunjuk ke langit.
Memang pada saat itu cuaca berubah
agak gelap. Angin membersit menerbangkan
dedaunan. Gadis itu mengangguk. Entah
mengapa hatinya merasa tenteram berada
dekat dengan pemuda itu. Tak dapat
disangkal lagi dia telah jatuh hati pada
si Dewa Linglung. Kecubung Sari masukkan
pedangnya dalam serangka dipinggang.
Lalu sahutnya.
"Baiklah! mari kita pergi!"
"Kau percaya aku tak akan
mencelakaimu?" tanya Nanjar.
"Percaya! Seandainya aku tak
percaya buat apa aku mengampuni jiwamu?"
sahut Kecubung Sari dengan ketus. Namun
dia tahu pribadi Nanjar. Apalagi hatinya
telah terpikat. Mau tak mau sehabis
berkata dia tersipu. Sementara hatinya
semakin menggetar tak menentu.
"Kau mau berteman denganku seorang
pemuda yang linglung?"
"Asal tidak gila, aku tak
keberatan!" sahutnya sambil tertawa.
"Kau makin cantik saja kalau
tertawa...!"
"Huh! gombal! kau merayu atau
menghina?"
"Hehe... hahaha... marah, ya?
dipuji kok marah! Eh, tapi kalau cemberut
gitu kau makin cantik!"
"Huuuuh! sudahlah! hayo berangkat!"
bentak Kecubung Sari, hatinya terasa
berbunga. Gurauan Nanjar menyejukkan
kemelut yang masih menggayuti dadanya.
Walau bagaimana dia harus cepat
mengetahui bagaimana nasib gurunya. Juga
kakak seperguruannya yang belum diketahui
nasibnya. Dia memang terlambat datang ke
puncak gunung Naga Inten. Dan mendengar
berita telah terjadi peristiwa mengerikan
yang membuat korban jiwa dipuncak gunung
Naga Inten, dari penuturan si Dewa Muka
Kembar. Akhirnya dia ditawan dan dipaksa
untuk memberitahukan dimana disimpannya
Pedang Mustika Naga Merah.
Tak lama keduanya telah bergegas
meninggalkan tempat itu. Sementara angin
semakin bertiup semakin keras. Hawa
dingin menebar. Bisa diperkirakan bahwa
tak berapa lama lagi akan turun hujan
lebat. Dari kejauhan masih terdengar
suara Nanjar yang tertawa gelak-gelak
menggoda Kecubung Sari. Walau toh
nantinya gadis itu pasti akan berduka
bila mengetahui musibah yang telah
menimpa saudara seperguruannya dan sang
guru, si Pendekar Wanita Hati Suci.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar