..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 17 Januari 2025

DEWA LINGLUNG EPISODE MUNCULNYA PEDANG MUSTIKA NAGA MERAH

matjenuh

 

SATU

KILATAN-KILATAN PETIR melukis la-

ngit tatkala tiba-tiba cuaca berubah 

gelap! Terdengarlah suara menggelegar 

memekakkan telinga sambung menyambung. 

Tak lama angin keras bertiup menghempas 

perbukitan. Suaranya bersiut-siut menge-

rikan. Begitu kerasnya hempasan angin 

yang membludak itu hingga membuat 

beberapa batang pohon berderak patah dan 

tumbang....

Selama tak lama hujan deras meng-

guyur bumi bak dicurahkan dari langit 

saja layaknya. Sementara angin terus 

menghempas-hempas dahsyat mencabik-cabik 

pepohonan di puncak bukit itu. Saat demi 

saatpun berlalu. Tatkala hempasan angin 

itu mereda, curah hujan pun berangsur-

angsur mereda. Dan tak lama berselang 

hujanpun benar-benar berhenti meninggal-

kan sisa-sisa titik air yang meluncur ke


bumi.

Cuaca kembali cerah. Langit bersih 

tak berawan. Dari balik batu bukit muncul 

sesosok tubuh basah kuyup. Sejak hujan 

lebat tadi dia meneduh di bawah batu 

bukit itu, namun tak urung tubuh dan 

pakaiannyapun basah juga. Siapa adanya 

sosok tubuh ini, tak lain dari seorang 

laki-laki yang masih muda berusia antara 

dua puluh tahun lebih. Laki-laki ini tak 

lain dari NANJAR alias si Pendekar Dewa 

Linglung!

"Huuuh! hujan yang menyebalkan!" 

gerutunya sambil menepiskan air yang 

mengalir ke wajahnya. Dibukanya baju yang 

basah kuyup itu, lalu di peras. Kemudian 

dikenakannya lagi. Mulutnya toh kini 

menyunggingkan senyuman, walau tadi dia 

menggerutu. Baru saja dia mau membuka 

celana, tiba-tiba.

"He!?Siapa kau?!"

Sejak tadi Si Dewa Linglung merasa 

cuma dia sendiri yang berada ditempat 

itu. Mendengar ada suara batuk-batuk 

kecil tak jauh didekatnya dia jadi mele-

ngak heran. Ketika dia menoleh dilihatnya 

seorang gadis berpakaian serba merah 

berdiri di celah bukit tak jauh di 

dekatnya, terhalang sebongkah batu bukit 

yang menonjol.

Bayangan merah berkelebat, dan 

sekejap gadis itu telah berada dihadapan


nya. Sejenak Nanjar tertegun

"Siapa kau? Mengapa aku tak melihat 

anda berada ditempat ini?" tanya Nanjar 

dengan menatap tajam dara itu dari kepala 

sampai ke kaki. Dari balik pakaiannya 

yang basah kentara jelas lekuk-liku tubuh 

dara cantik ini. Jelas si dara baju merah 

mempunyai potongan tubuh yang indah.

"Hm, pendekar Linglung! Omong ko-

song kalau kau tak mengetahui! Seorang 

yang berkepandaian tinggi seperti anda 

tak mungkin tidak mengetahui kalau sejak 

kemarin aku telah menguntitmu! Kau memang 

sengaja tak mengacuhkan aku!" berkata si 

gadis dengan wajah tak menampilkan senyum 

secuilpun.

"Aneh! aku bicara betul, Nona...! 

Sungguh mati, biar disambar kampret! aku 

memang tak mengetahui sama sekali. Bahkan 

tak tahu kau telah menguntitku sejak 

kemarin!"

"Kau juga tak mengenalku sama 

sekali?" tanya si gadis. Nanjar mengge-

leng seperti orang tolol, "Dasar 

linglung!" gerutu si gadis seraya 

menghela napas.

"Hehehe... namaku memang si Dewa 

Linglung! kau tahu dari mana?"

"Sinting!" memaki si gadis. Menda-

dak tubuhnya berkelebat melompat pergi 

dari situ.

"Heeiii!? mau kemana? Tunggu dulu!"


teriak Nanjar.

"Mau apa kau menahanku? Menghadapi 

manusia semacammu lebih baik aku berhada-

pan dengan seekor keledai!" berkata si 

dara baju merah tanpa menoleh.

"Boleh saja kau anggap aku keledai, 

aku toh takkan marah!"

"Seekor keledaipun tak akan seling-

lung kau!" teriak si gadis seraya 

mempercepat larinya.

"Hehehe,... bukankah aku dijuluki 

si Dewa Linglung?"

"Kau keledai linglung!" maki si 

gadis kesal.

"He!? Apakah kau si Naga Betina 

Baju Merah?" teriak Nanjar seraya 

mengejar.

"Hm, kalau sudah tahu mengapa 

berlagak linglung?" sahut ketus si dara.

"Hehe... maafkan aku, nona cantik! 

sudahlah lupakan semua itu. Kini aku mau 

bertanya. Apakah maksudmu menguntit 

perjalananku?" tanya Nanjar tertawa.

Dara baju merah yang bergelar si 

Naga Betina Baju Merah itu balikkan 

tubuh, ketika Nanjar dengan gerakan 

ringan melompat ke hadapannya.

Akan tetapi mendadak dara ini 

angkat sebelah lengannya.

Whusssss!

Segelombang angin menerjang diser-

tai meluruknya belasan batang jarum perak


ke arahnya. Tentu saja membuat Nanjar 

kaget setengah mati, karena tak menyangka 

akan diserang sedemikian rupa.

Seraya melompat berjumpalitan meng-

hindarkan diri, Nanjar kibaskan lengannya 

untuk menepis dengan angin pukulan. 

Terlambat! dua batang jarum telah 

mengenai pundak kirinya.

Pemuda ini mengeluh dan roboh 

terjungkal seketika. Dara baju merah 

tertawa kecil dan melompat mendekati.

"Hihihi... niatmu mencari PEDANG 

MUSTIKA NAGA MERAH takkan kesampaian! Tak 

seorangpun dari kaum Rimba Hijau berhak

memiliki pedang Pusaka itu!" berkata si 

dara baju merah. Tubuhnya membungkuk 

untuk memeriksa korbannya. Lengannyapun 

terjulur, dan tiga kali bergerak dia 

telah menotok tubuh Nanjar.

Selanjutnya dengan gerakan cepat 

sekali dia telah memondong tubuh si 

pemuda. Kejap berikutnya tubuh dara itu 

berkelebat, dan lenyap di belakang 

tebing.....

* * *

"Kemana kau akan membawaku, Naga 

Betina Baju Merah?"

Pertanyaan itu membuat hati si dara 

yang memondong tubuh Nanjar dan dengan 

melarikannya dengan cepat jadi mencelos.


"He? kau sudah siuman?" tersentak 

si dara baju merah. Betapa kagetnya dara 

ini ketika tahu-tahu tubuh Nanjar 

menggelincir dari pundaknya. Dan kejap 

selanjutnya sepasang lengan pemuda yang 

disangka sudah tak berdaya itu mendadak 

membekap tubuhnya kuat sekali.

Tentu saja dia segera hentikan 

larinya karena sekonyong-konyong napasnya 

terasa sesak. Pelukan Nanjar membuat dia 

tak berkutik, karena kedua lengannya pun 

ikut terjepit kuat.

"Hehe... hahaha.... kau mengira aku 

kena dikibuli dengan serangan gelapmu? 

Ayo berontaklah manis...!" berkata Nanjar 

dengan cengar-cengir. Sementara kesepuluh 

jarinya tiba-tiba telah bergerak meremasi 

payudara si gadis.

Keruan saja gadis ini jadi 

terperangah kaget.

"Kau... kau... keparat! Lepaskan 

aku!" berteriak-teriak gadis ini dengan 

wajah berubah memerah.

Dara ini meronta-ronta melepaskan 

diri. Akan tetapi sekali lengan Nanjar 

bergerak, dara itu tiba-tiba mengeluh dan 

terkulai menggelosor ditanah dalam 

keadaan tertotok Nanjar tertawa gelak-

gelak. Dengan cepat lengannya bergerak 

mencabut jarum perak yang menancap 

dipundaknya.

"Heh! jarum perak ini mengandung


racun obat bius. Tidak berbahaya bagi 

jiwa akan tetapi dapat membuat orang 

tidur lelap dan lupa segala-gala seperti 

mati saja! Beruntung aku telah menyiapkan 

diri membalik jalan darah. Apakah yang 

akan kau perbuat terhadapku, Naga 

Betina?" berkata Nanjar.

"Aku akan membunuhmu!" teriak si 

gadis.

"Apa alasanmu? Apakah karena kau 

tak menginginkan aku mendapatkan pedang 

pusaka itu?" tanya Nanjar dengan tertawa 

menyeringai.

"Karena aku benci padamu?" jawab si 

gadis ketus. Nanjar jadi melengak heran.

"Mengapa kau membenciku?" tanya 

Nanjar tak mengerti.

"Sudahlah! kau tak perlu tahu! Kini 

bunuhlah aku! Lebih cepat lebih baik! 

Akan tetapi jangan harap kau bakal dapat 

memiliki pedang Mustika Naga Merah selama 

hidupmu!" teriak si dara.

DUA

"Hehe... hahaha... kalau dengan 

membunuhmu pun aku takkan berhasil 

mendapatkan pedang mustika itu buat apa 

kulakukan? Gadis secantikmu mana tega aku 

melakukannya? Akan tetapi aku penasaran,


mengapa kau berniat membunuhku tanpa kau 

mau sebutkan alasannya? Dan yang juga 

membuat aku heran, kemana perginya adik 

seperguruanmu si Kecubung Sari?"

Dipuji cantik demikian mau tak mau 

hati si gadis berdebar. Ada rasa senang 

membaur disanubarinya. Pertemuan dengan 

Nanjar memang cukup berkesan walau dalam 

waktu yang singkat beberapa pekan yang 

lalu. Yaitu ketika dia dan saudara 

seperguruannya turun gunung, setelah 

sejak enam tahun berguru dipuncak gunung 

Naga Inten. Dia sebenarnya bernama Kecu-

bung Wungu, sedangkan saudara sepergu-

ruannya bernama Kecubung Sari.

Keduanya adalah murid seorang 

perempuan tua sakti yang mendiami puncak 

gunung Naga Inten yang tak pernah 

dikunjungi orang. Berita yang mengejutkan 

kedua saudara seperguruan, itu adalah 

munculnya seorang pengemis berkaki 

pincang yang memberitakan desas-desus 

adanya sebuah pedang mustika dipuncak 

gunung Naga Inten, bernama Pedang Mustika 

Naga Merah.

Berita itu didengarnya dan muncul 

dari mulut ke mulut di mana keduanya 

singgah. Tentu saja hal itu membuat dia 

terheran, sedangkan mereka sendiri seba-

gai murid perempuan tua sakti yang 

bergelar si Pendekar Wanita Hati Suci 

tiada mendengar apa-apa dari gurunya.


Oleh karena hal itulah keduanya 

sepakat untuk mencari si Pengemis kaki 

pincang yang menjadi sumber berita itu. 

Mereka harus menanyakan tentang kebenaran 

berita itu. Sekalian ingin mengetahui 

siapa gerangan orang itu. Kalau ternyata 

cuma fitnah tentu tak segan-segan kedua 

dara ini menghajarnya dan membawanya 

kehadapan sang guru demi mempertanggung-

jawabkan perbuatannya menyebarkan isu 

tersebut.

Bukan mustahil dengan adanya isu 

itu akan berdatangan orang-orang kaum 

Rimba Hijau dari segenap penjuru ke 

puncak gunung Naga Inten. Dan hal itu 

akan membahayakan gurunya.

Sayang, beberapa hari mencari jejak 

si pengemis pincang, tiada membawa hasil. 

Hingga mereka mengambil keputusan lain. 

Kecubung Sari disuruhnya kembali ke 

puncak gunung Naga, sedangkan dia sendiri 

akan tetap mencari si Pengemis Pincang. 

Dia masih penasaran bila tak dapat 

menemukan jejaknya.

Pada saat mereka tengah mengadakan 

perundingan, mendadak muncul tujuh sosok 

tubuh mengurung keduanya. Ternyata 

ketujuh orang itu adalah para tokoh 

persilatan golongan hitam. Bahkan salah 

seorang dari mereka mengenalnya sebagai 

murid-murid si Pendekar Wanita Hati Suci.

Orang yang mengenal mereka itu


adalah seorang kakek berwajah hitam 

seperti arang, yang terkenal dengan 

julukan si Iblis Muka Hitam. Terjadilah 

pertarungan dengan keenam orang dari 

tujuh manusia yang mengurung kedua dara 

itu. Karena Kecubung Wungu dan Kecubung 

Sari tak mau menunjukkan tempat tinggal 

gurunya dipuncak gunung Naga.

Ternyata kedua dara ini bukan lawan 

enteng. Selama enam tahun digembleng oleh 

si Pendekar Wanita Hati Suci membuat para 

pengeroyok itu kewalahan menghadapinya. 

Namun menghadapi si Iblis Muka Hitam, 

kedua dara ini tak mampu berbuat apa-apa. 

Dalam saat yang mengkhawatirkan itulah 

muncul NANJAR yang menolong kedua gadis 

itu.

Tak sampai sepuluh jurus bertarung, 

si Iblis Muka Hitam melompat melarikan 

diri. Demikian juga keenam kawannya yang 

lain. Nanjar tak mengejar mereka karena 

merasa tak perlu membunuh orang. 

Demikianlah, terjadi perkenalan. Nanjar 

memperkenalkan diri dengan nama 

julukannya yaitu si Dewa Linglung.

Kedua dara itupun memperkenalkan 

diri, tapi hanya gelarannya saja yang 

dibuat semuanya oleh Kecubung Wungu. Dia 

memperkenalkan diri dengan julukan si 

Naga Betina Baju Merah. Sedangkan adik 

seperguruannya dengan gelar Naga Betina 

Baju Putih, karena Kecubung Sari


mengenakan baju warna putih.

Kedua dara itu menceritakan asal-

usul terjadinya peristiwa itu pada 

Nanjar. Ternyata Kecubung Wungu alias si 

Naga Betina Baju Merah menaruh simpati 

pada si Dewa Linglung. Hingga menceri-

takan hal ihwal dan juga desas-desus yang 

tengah diselidikinya itu. Ternyata 

Nanjarpun telah mendengar pula desas-

desus itu. Bahkan dia tengah melakukan 

perjalanan mencari dimana adanya Gunung 

Naga Inten.

Diantara dua pilihan yang telah 

direncanakan oleh Kecubung Wungu, 

ternyata Nanjar lebih tertarik untuk 

menemani Kecubung Sari alias Naga Betina 

Baju Putih.

Hal itu membuat Kecubung Wungu 

menelan ludah. Tadinya dia menyangka 

kalau Nanjar mau menemani dia mencari 

jejak si Pengemis Pincang, tapi justru 

akan menemani sang adik seperguruan ke 

puncak gunung Naga Inten.

Walau agak mendongkol, namun 

Kecubung Wungu tak dapat merobah kepu-

tusan. Dia tetap harus mencari jejak si 

Pengemis Pincang sampai ketemu! Merekapun 

berpisah untuk menempuh jalan masing-

masing. Namun diam-diam Kecubung Wungu 

berakal cerdik. Dia telah berikan kode 

rahasia pada sang adik seperguruan. Yaitu 

dia menulis sepucuk surat seolah-olah


dititipkan pada Kecubung Sari untuk 

diberikan pada gurunya, padahal surat itu 

untuk Kecubung Sari. Surat itu berisi 

peringatan agar Kecubung Sari berhati-

hati terhadap si Dewa Linglung. Dan 

dikatakan pula agar tak membawa orang 

luar tanpa seizin guru untuk memasuki 

puncak gunung Naga Inten.

Ketika Nanjar menangsal perut 

disatu pasar yang dilewati dalam 

perjalanan mereka, Kecubung Sari mohon 

diri akan ke belakang dulu membuang air 

kecil. Nanjar mempersilahkan. Namun 

ditunggu-tunggu gadis itu tak muncul 

lagi. Sibuklah pemuda itu menanyakan 

kemana perginya dara itu. Namun tak 

seorang pun pelayan kedai itu mengetahui 

kemana lenyapnya gadis itu. Akhirnya 

setelah berputar-putar mencari keliling 

pasar tak bertemu, Nanjar mengambil 

keputusan untuk tetap meneruskan 

perjalanan menuju ke gunung Naga Inten 

seorang diri 

Saat itulah diam-diam Kecubung 

Wungu alias si Naga Betina Baju Merah 

membuntuti Nanjar. Dara ini bergirang 

karena adik seperguruannya menuruti 

perintahnya. Dia yakin Kecubung Sari 

tentu telah lebih dulu pergi ke gunung 

Naga Inten dan sengaja meninggalkan 

Nanjar dikedai pasar itu. 

Tak disangka setelah dia berhasil


merobohkan Nanjar, akan tetapi kini 

justru dialah yang berbalik dipedayai 

oleh pemuda itu.

Dugaannya mulai lain terhadap adik 

seperguruannya. Karena pemuda ini telah 

mengenal nama Kecubung Sari sang adik 

seperguruan, yang mereka rahasiakan. 

"Pasti si Kecubung Sari telah mengatakan 

juga namaku yang sebenarnya. Dan, jangan-

jangan dia telah kecantol hatinya dengan 

pemuda kumal ini. Aku curiga, lenyapnya 

Kecubung Sari bukan mendahului pergi ke 

puncak gunung Naga Inten, tapi sengaja 

mengatur rencana agar aku tak mencurigai 

hubungan mereka!" berkata Kecubung Wungu 

dalam hati

"Kau hanya berpura-pura saja tak 

tahu kemana lenyapnya adik seperguruanku, 

padahal kalian berdua telah sekongkol 

untuk mengelabui aku?". Bentak Kecubung 

Wungu dengan gigi berkerot

"Haiiih! sekongkol bagaimana? Aku 

memang tak mengetahui kemana perginya 

adik seperguruanmu itu. Ketika kami makan 

dikedai dia minta izin ke belakang, tapi 

tak muncul lagi. Entah berapa kali aku 

memutari pasar mencarinya tapi tak 

bertemu. Selanjutnya aku terpaksa mene-

ruskan perjalanan seorang diri. Aku tetap 

akan menuju ke gunung Naga Inten untuk 

mencari tahu kebenaran adanya benda 

mustika itu!" tutur Nanjar.


"Apakah kau tak berdusta?"

"Haha... buat apa aku bohong? 

Kukira tak ada gunanya!" sahut Nanjar.

"Baik! aku percaya dengan kata-

katamu!" berkata Kecubung Wungu dengan 

wajah menampakkan berseri. "Lalu apakah 

kau masih tetap berambisi untuk memiliki 

pedang mustika itu, walau aku sudah 

mengatakan isu itu belum pasti? Karena 

kalau memang guruku memiliki benda itu 

mustahil dia tak memberitahukan pada 

murid-muridnya! Kukira itu tipu muslihat 

licik si pengemis pincang! Tapi kau malah 

menolak untuk kuajak mencari manusia itu. 

Bahkan kau lebih cenderung untuk pergi ke 

gunung Naga Inten bersama Kecubung Sari!"

"Hm, jadi kaulah yang mengatur 

rencana agar adik seperguruanmu 

menggagalkan niatku untuk mengunjungi 

puncak gunung Naga Inten?" terka Nanjar 

tiba-tiba setelah tercenung sejurus.

"Benar! Puncak Gunung Naga Inten 

tak dapat dikunjungi orang luar tanpa 

seizin guruku!" sahut Kecubung Wungu 

tegas.

TIGA

"APAPUN larangan itu kalau para 

kaum persilatan telah menyatroni puncak

gunung Naga Inten, apakah yang mau kalian 

guru dan murid perbuat?" berkata Nanjar.


"Mereka akan merasai akibatnya! 

karena telah mengusik ketenangan di 

tempat orang lain! Guruku takkan mem-

biarkan orang luar berbuat seenaknya 

dipesanggrahan tempat tinggalnya!" sahut 

Kecubung Wungu.

"Gurumu si Pendekar Wanita Hati 

Suci tentu seorang yang berkepandaian 

tinggi! Tapi mampukah dia mempertahankan 

diri bila ratusan manusia yang berhasrat 

memiliki Pedang Mustika Naga Merah 

mengeroyoknya?" Pertanyaan Nanjar kali 

ini tak mendapat jawaban. Kecubung Wungu 

terdiam membisu.

"Itulah sebabnya aku lebih 

cenderung pergi ke puncak gunung Naga 

Inten ketimbang mencari si Pengemis 

Pincang, karena aku yakin pertumpahan 

darah saat inipun telah terjadi disana? 

Aku tak begitu berambisi untuk memiliki 

benda mustika itu, akan tetapi 

pertumpahan darah itulah yang kukha-

watirkan! Mengenai si Pengemis Pincang 

itu tak usah dicaripun dia akan munculkan 

diri di puncak gunung Naga Inten! Bahkan 

saat ini aku dalam perjalanan ke sana 

adalah dengan petunjuk si Pengemis 

Pincang yang memberi petunjuk jalan 

melalui kiriman suara tenaga dalam jarak 

jauh ke telingaku!"

Mendengar penuturan Nanjar itu 

Kecubung Wungu jadi membelalakkan mata


menatap Nanjar. Sungguh dia tak menyangka 

kalau pemuda itu berniat baik. Akan 

tetapi karena rasa "kecemburuannya" pada 

sang adik seperguruan membuat dia curiga 

dan membenci pemuda itu.

Diam-diam dalam hati dia menyesali 

tindakannya. "Ah, dia telah berbaik hati 

menolongku dan adik seperguruanku dari 

tangan si Iblis Muka Hitam. Bahkan dia 

berniat pula melindungi kami, guru dan 

murid dari ancaman bahaya akibat fitnahan 

si Pengemis Pincang. Bukannya berterima 

kasih, aku malah membuat tindakan yang 

tak terpuji. Sungguh aku seorang yang 

tiada berterima kasih!" Tercenung Kecu-

bung Wungu tanpa berkata-kata, bahkan tak 

tahu apa yang akan diperbuatnya.

Nanjar seperti dapat membaca isi 

hatinya, tiba-tiba tertawa dan berkata.

"Setiap manusia bisa saja berbuat 

tindakan yang keliru, tapi punya alasan 

penyebab kekeliruannya. Kalau kau dapat 

mempercayai kata-kataku dan menganggapku 

seorang sahabat, tentu aku akan membebas-

kanmu. Tapi kalau kau tetap keras kepala 

dan membandel dengan pendirianmu, aku 

akan meninggalkan kau disini dalam 

keadaan masih tertotok!"

Kecubung Wungu masih tetap tak 

menyahut. Akan tetapi dalam benaknya 

berkecamuk peperangan antara dua kekuatan 

yang hebat. Antara keangkuhan dan



kerendahan. Mampukah dia mengalahkan 

keangkuhan hatinya sendiri? Bila dia 

mengakui kekeliruannya akan dengan mudah 

saja dia bebas dari totokan. Mengakui 

pemuda itu sebagai seorang sahabat tidak-

lah sukar baginya. Akan tetapi betapa 

rendahnya dirinya dimata laki-laki.

Dia murid seorang perempuan tua 

kosen dari puncak gunung Naga Inten harus 

mengakui kebodohannya didepan laki-laki 

yang telah mempecundanginya? Betapa mema-

lukan sekali! Ternyata dia tak mampu 

menundukkan kekerasan hatinya. Dan hati-

nya berkata. "Dia memang telah menolong-

ku, tapi aku toh tak meminta pertolongan 

dengannya. Dia menyuruhku mengakui diri-

nya sebagai sahabat, tapi aku belum bisa 

menduga apa maksud tujuan dibelakangnya! 

Jangan-jangan si Pengemis Pincang itu 

sahabatnya sendiri!" Dengan pendapat itu 

maka Kecubung Wungu segera menjawab tegas

"Kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah! 

kalau kau mau meninggalkan aku ting-

galkanlah! Siapa sudi mengemis padamu?" 

Nanjar jadi melengak mendengar 

kata-kata dara itu, dan menghela napas.

"Haiiih! baiklah kalau begitu! Aku 

harus segera tiba di puncak gunung Naga 

Inten. Oleh karena itu terpaksa aku 

meninggalkanmu!" berkata Nanjar. Lalu 

balikkan tubuh dan berkelebat melompat 

pergi. Mendadak dia berhenti seraya


berpaling. "Eh, ini jarum perakmu 

kukembalikan!" 

Dua batang jarum perak itu meluncur 

deras ke arah Kecubung Wungu terlarang 

tak bergerak. Gadis ini cuma bisa 

mendengar suara angin halus meluruk ke 

arahnya dan sinar perak yang berkelebat. 

Dia cepat pejamkan menunggu kedatangan 

maut. Karena dua batang jarum itu kalau 

menembus ke jantungnya tetap saja akan 

mendatangkan kematian.

Terasa dua urat darahnya kena 

tertancap jarum perak miliknya itu. Dia 

mengeluh dalam hati. Tamatlah riwayatku. 

Akan tetapi tunggu punya tunggu bukannya 

rasa sakit dari sekarat yang dialaminya, 

melainkan dia merasa jalan darahnya 

merasa lancar kembali. Tanpa menunggu 

lebih lama dia mencoba bergerak. Terke-

jutlah dia karena mengetahui dirinya 

telah terbebas dari pengaruh totokan! Tak 

ayal dia telah melompat bangkit berdiri. 

Ketika dia menoleh ke arah Nanjar, 

ternyata pemuda itu telah tak kelihatan 

lagi batang hidungnya.

"Ahh..., dia itu orang macam 

apakah? mengapa malah membebaskan aku?" 

desisnya terperangah. Namun dengan cepat 

dia segera mencabut dua batang jarum 

perak ditubuhnya. Dijentikkan jarum itu 

yang berdesir lenyap di semak belukar. 

Dan tanpa menoleh lagi dia segera enjot


tubuh untuk melompat pergi dari situ.

"Aku harus segera menyusul ke puncak 

gunung Naga Inten!" berkata Kecubung 

Wungu dalam hati. Sekonyong-konyong dia 

amat mengkhawatirkan keselamatan gurunya 

dan adik seperguruannya Kecubung Sari....

Sementara itu Nanjar alias si Dewa 

Linglung tanpa menoleh lagi terus ber-

kelebat menuju arah timur dengan memper-

gunakan ilmu lari cepat. Hingga cuma 

kelebatan bayangan putih saja yang 

terlihat. 

Menjelang dua kali penanak nasi 

barulah Nanjar memperlambat larinya. 

Dihadapannya telah terlihat sederetan 

pegunungan yang memanjang. Pada bagian 

sebelah barat pegunungan tampak menjulang 

gunung Naga Inten yang tak seberapa 

tinggi.

"Itukah gunung Naga Inten?" 

menggumam Nanjar pada dirinya sendiri. 

Sementara dia telah injakkan kakinya 

dikaki perbukitan.

Nanjar melompat ke sebuah batu 

besar. Disana dia berhenti dengan 

menengadahkan kepala memandang puncak 

gunung Naga Inten yang tampak tenang.

"Puncak gunung itu tampak tenang 

kelihatannya, tapi entahlah apa yang 

terjadi saat ini disana!" berdesis si 

Dewa Linglung. Ketika dia tengah 

tercenung itu mendadak telinganya kembali


mendengar suara si Pengemis Pincang.

"Heheh.... Dewa Linglung! Segeralah 

kau mendaki puncak gunung itu. Apakah kau 

mau keduluan orang lain untuk memiliki 

Pedang Mustika Naga Merah? Saat ini telah 

lebih dari tiga puluh kaum persilatan

dari dua aliran yang telah berkumpul 

disekitar puncak gunung Naga Inten!"

"Heeeiii! Pengemis Pincang! sekali 

lagi kuharap kau unjukkan tampangmu biar 

aku tak penasaran! Mengapa kau selalu 

saja menggunakan ilmu bicara jarak jauh 

saja?" teriak Nanjar.

Terdengarlah suara sahutan si 

Pengemis Pincang.

"Nantipun kau akan mengetahui! 

Apakah kau masih belum yakin adanya benda 

pusaka itu ditangan si Pendekar Wanita 

Hati Suci?" 

"Bagaimana aku bisa meyakinkan 

kalau kedua mataku belum melihatnya 

sendiri!" teriak Nanjar menyahuti 

pertanyaan si Pengemis Pincang yang cuma 

terdengar suaranya saja tanpa diketahui 

dimana orangnya.

"Heheheh... heheh... segeralah kau 

ke sana. Sebentar lagi akan terjadi pesta 

maut. Silahkan kau mau menjadi penonton

ataukah mau turut serta dalam perebutan 

benda mustika itu!" terdengar lagi suara 

menyahut tokoh misterius itu. Selanjutnya 

kembali senyap.


Nanjar menggaruk-garuk pantatnya. 

Dia merasa agak mendongkol karena si 

pengirim suara tak mau unjukkan diri. 

Selang sesaat Nanjar segera berkelebat 

mendaki perbukitan itu untuk ke arah 

puncak gunung Naga Inten.

EMPAT

DI PUNCAK GUNUNG NAGA INTEN.... 

Pendekar Wanita Hati Suci seorang wanita 

tua yang berusia antara 50 tahun. Dalam 

usia sedemikian itu tidaklah seperti 

kebanyakan kaum wanita akan mengalami 

penyusutan tubuh secara, drastis, tetapi 

Pendekar Wanita ini seperti seorang 

wanita yang baru berusia 30 tahun. 

Kulitnya masih kencang dan berisi. Dia 

seorang wanita berkulit putih. Berparas 

cantik walau ketuaannya telah membayang 

sedikit kerut di wajahnya. Rambutnya 

tergelung diatas kepala memakai tusuk 

konde perak.

Wanita yang berpakaian jubah warna 

putih itu berdiri tegak didepan pintu 

pesanggrahannya. Ditangannya tercekal 

segulung kertas kain bertulisan yang baru 

saja dibacanya. Wanita tua ini seperti 

tengah tercenung beberapa saat membaca 

surat yang panjang itu. Seperti kurang 

yakin dia kembali mengulang membaca isi


surat itu. Ternyata isi tulisan itu 

berbunyi:

"Pendekar Hati Suci! Kotak kayu 

Cendana titipanku pada dua puluh sembilan 

tahun yang lalu, aku yakin kau masih 

menyimpannya dengan baik. Peti kayu 

Cendana itu berisikan sebuah benda yang 

kuberikan padamu sebagai suatu tanda-mata 

dariku. Dari seorang yang amat mencin-

taimu! sebagai tanda CINTAKU padamu. 

Sayang, kau selalu menolak cinta suciku 

sejak tiga puluh tahun yang silam! Karena 

kau mengetahui aku seorang pembunuh 

bayaran dinegriku! Karena kau mengetahui 

aku seorang penjahat yang telah banyak 

melakukan dosa! Tapi aku tahu bahwa 

sebenarnya kaupun mencintaiku! Sayang 

hatimu terlalu keras. Kau bersedia 

menerimaku setelah aku mencuci bersih 

dosa-dosa yang kulakukan. Dan untuk semua 

itu kau memberi waktu padaku selama tiga 

puluh tahun, baru kau yakin aku telah 

mampu mencuci semua dosaku!

Waktu yang kau berikan itu teramat 

panjang, dan sungguh membuat aku hampir 

gila memikirkannya. Tapi demi kesucian 

cintaku aku bersedia menerima persyaratan 

yang gila itu. Kukatakan gila karena kau 

berbeda dengan batas wajahnya semua 

perempuan yang pernah kukenal.. Tapi kau 

punya kelebihan yang amat luar biasa yang 

amat kukagumi! Itulah yang membuat aku


tertarik padamu.

NILAM SARI...! Selama hampir tiga 

puluh tahun seusai dengan keinginanmu, 

aku telah banyak merobah jalan hidupku. 

Aku tidak lagi menjadi seorang pembunuh 

bayaran yang banyak melakukan perbuatan-

perbuatan terkutuk. Aku telah membasuh 

dosa-dosaku dengan banyak berbuat 

kebaikan!

Akan tetapi terlalu banyak manusia 

yang menginginkan jiwaku. Hingga aku 

terpaksa harus menyembunyikan diri. Bah-

kan untuk mewujudkan cita-citaku aku 

telah mengorbankan diriku. Kini aku telah 

menjadi seorang yang lumpuh!

Kutuliskan surat ini disaat aku tak 

berdaya. Aku dalam keadaan lumpuh, juga 

mengalami keracunan hebat! Semoga surat 

ini bisa sampai ditanganmu secepatnya. 

Kukirim surat ini melalui burung Merpati 

peliharaanku yang telah mengetahui tempat 

kediamanmu sejak aku sering bolak-bolak 

kemari pada waktu-waktu yang silam.

Pesanku, jagalah baik-baik benda 

tanda-mata dariku itu. Kau belum pernah 

membukanya bukan? Aku percaya, karena kau 

baru akan membukanya bila telah genap 30 

tahun sejak kuberikan benda kenang-

kenangan dariku itu. Akan tetapi akan 

kuberi tahu bahwa peti kayu Cendana itu 

adalah berisi sebuah pedang yang bernama 

PEDANG MUSTIKA NAGA MERAH! Sayang, adanya


benda itu ditanganmu telah bocor dan 

diketahui seseorang. Kebocoran itu akan 

membawa malapetaka besar. Sebaiknya kau 

tinggalkan tempat kediamanmu dan pergi 

menyembunyikan diri. Karena dunia 

persilatan akan gempar dengan berita yang 

telah dibocorkan seseorang itu. Dialah 

orang yang membuat aku menjadi menderita 

begini!

Aku tak dapat mengatakan siapa 

adanya manusia yang membuat cita-citaku 

berantakan itu! Tapi kelak kau akan 

mengetahuinya.

Mungkin sesampainya surat ini 

ditanganmu aku sudah mati! Tapi anggaplah 

aku masih hidup, dan Pedang Mustika Naga 

Merah itu adalah pengganti diriku!"

KEKASIHMU 

THIOBUNKIM 

(JAKA BUNTARAN)

Mengulang membaca gulungan surat 

itu tampak sepasang mata wanita tua ini 

berkaca-kaca. Dia menghela napas panjang 

seperti dadanya tertekan oleh satu 

perasaan yang menindihnya.

Surat itu baru diterimanya kemarin, 

sepekan setelah kepergian kedua muridnya 

turun gunung.

"Aku tak dapat pergi dari sini. 

Apalagi Kecubung Wungu dan Kecubung Sari 

belum pulang. Entah siapakah manusia yang


telah membuat keonaran itu?" bergumam si 

Pendekar Wanita Hati Suci. Lengannya 

mengepal keras.

Bibirnya bergetar. Dia berusaha 

agar air matanya tidak meleleh turun. 

Lalu cepat-cepat gulungan surat itu 

dimasukkan ke celah jubah putihnya.

"Pedang Mustika Naga Merah itu 

masih tersimpan baik dikotak kayu Cendana 

itu yang kusembunyikan ditempat rahasia. 

Bahkan kedua muridku pun tak mengetahui. 

Aku akan menjaganya, kakak Bun Kim. Aku 

akan menjaga dan mempertaruhkan nyawaku 

demi cintaku padamu! Tak seorang 

manusiapun yang akan dapat memiliki benda 

tanda cinta-kasihmu itu selama aku masih 

hidup!" berkata pelahan wanita yang 

bernama Nilam Sari itu, seolah membisik 

ditelinga kekasihnya.

Akan tetapi baru saja dia memba-

likkan tubuh untuk masuk keruang dalam 

pesanggrahan, mendadak dia merandek. 

Telinganya mendengar suara langkah-

langkah kaki yang mendekati puncak gunung 

Naga Inten itu.

Panca indra si Pendekar Wanita Hati 

Suci memang hebat. Dalam jarak yang cukup 

jauh dia telah mendengar adanya orang-

orang yang mendatangi puncak gunung itu. 

Memang benar seperti yang diduganya, 

karena disekeliling lereng gunung 

mendekati puncaknya tampak puluhan manu


sia seperti tengah berlomba saling 

mendahului mendaki gunung Naga Inten.

Merekalah orang-orang kaum Rimba 

Hijau yang telah berdatangan menyatroni 

puncak gunung itu, karena mendengar 

desas-desus adanya sebuah pedang mustika 

di puncak gunung Naga Inten yang dimiliki 

oleh si Pendekar Wanita Hati Suci.

Bukan saja dari golongan hitam, 

akan tetapi dari golongan putih pun telah 

bermunculan ditempat itu, bagaikan semut-

semut yang mencium bau gula, karena saat 

itu berita telah menyebar begitu cepat. 

Belum sampai sepekan saja, tiga puluh 

orang lebih telah bermunculan disekitar 

lereng gunung itu.

Tak dapat disangkal lagi, puncak 

gunung Naga Inten akan menjadi kancah 

pertarungan adu jiwa, memperebutkan 

pedang mustika itu. Mendengar namanya 

saja telah membuat orang membeliakkan 

mata. Dan rasa ingin tahu rata-rata pasti 

ada bila yang mendengar adalah golongan 

kaum persilatan. Bagi orang kaum Rimba 

Hijau golongan tua lebih-lebih lagi. Nama 

Pedang Mustika Naga Merah pernah 

terdengar diwilayah Tiongkok yang pernah 

dimiliki oleh seorang Kaisar pada zaman 

Kerajaan Sam Kok, yang dikenal dengan 

nama asing KIAM HOAT ANG LIONG!

Entah bagaimana sampai bisa berada 

ditangan Thio Bun Kim yang mengembara ke


Tanah Jawa belum terungkap kisahnya.

Namun pada kenyataannya pedang 

mustika itu didesas-desuskan berada di 

tangan si Pendekar Wanita hati Suci yang 

berdiam di puncak Gunung Naga Inten. 

Siapa pula sebenarnya Nilam Sari alias si 

Pendekar Wanita Hati Suci itu? Dia tak 

lain masih keturunan seorang Kaisar dari 

negeri Tiongkok, yang hidup diluar istana 

tersia-sia bercampur dengan rakyat 

jelata. Nama sebenarnya adalah Lam Su 

Nio. Dia diambil murid oleh seorang 

pendekar dari satu negeri diwilayah barat 

Tiongkok, yang kemudian membawanya 

mengembara ke setiap tempat.

Gadis Lam Su Nio akhirnya bertemu 

dengan Thio Bun Kim yang menjadi seorang 

penjahat nomor wahid, seorang pembunuh 

bayaran yang ditakuti. Nama Thio Bun Kim 

lenyap sejak tiga puluh tahun yang lalu, 

karena laki-laki berkepandaian tinggi itu 

telah berganti nama menjadi JAKA 

BUNTARAN. Demikianlah sekelumit riwayat 

yang dapat dikemukakan secara singkat.

LIMA

BELUM lagi si Pendekar Wanita Hati 

Suci mengejapkan mata, telah terdengar 

suara tertawa terkekeh-kekeh yang 

diiringi dengan berkelebat muncul tiga


sosok tubuh.

"Hehehe... nenek tua jelita 

Pendekar Hati Suci, selamat berjumpa 

dengan kami si Tiga Setan Bungkuk dari 

Tenggara! Agaknya suatu hal yang sangat 

kebetulan karena kami datang terlebih 

dulu!"

Tersentak kaget wanita tua ini 

melihat tiga manusia berjubah merah 

bertubuh bungkuk dengan kepala gundul 

plontos telah berdiri dihadapannya dimuka 

pesanggrahan. Si Pendekar Wanita Hati 

Suci kerutkan kening menatap ketiga 

tetamunya yang tak diundang.

"Hm, ada maksud apakah kalian tiga 

manusia busuk pengotor dunia datang ke 

tempatku?" berkata wanita ini dengan 

suara dingin. Walaupun telah mengetahui 

maksud tujuan ketiga manusia golongan 

sesat ini, diam-diam pendekar tua ini 

terkejut karena munculnya tiga tokoh 

hitam yang berilmu tinggi dan berwatak 

kejam dari wilayah tenggara itu. Juga 

terkejut karena khabar itu begitu cepat, 

hingga tak sempat lagi untuk dia berpikir 

lebih jauh.

"Heh heh heh.... sebaiknya kami tak 

perlu berpanjang lebar, nenek tua 

Pendekar Hati Suci! Kau tentu sudah 

maklum dengan kedatangan kami. Pedang 

Mustika Naga Merah yang berada padamu 

itulah yang membuat kami muncul di tempat


kediamanmu. Sebaiknya lekas kau berikan 

saja benda pembawa malapetaka itu pada 

kami, dan kau akan terhindar dari 

bencana! Karena tak lama lagi akan 

bermunculan manusia-manusia yang mengi-

ngini benda itu untuk merebutnya! Kau tak 

akan sanggup mempertahankannya!" berkata 

salah seorang dari Tiga Setan Bungkuk 

dari Tenggara.

"Siapakah yang mengatakan bahwa 

benda pusaka berada ditanganku?" bertanya 

wanita ini.

"Berita sudah menyebar dari mulut 

kemulut, tak tahu lagi dari siapa 

asalnya! Kukira hal itu tak penting, tapi 

justru nyawamulah yang amat penting. Dari 

pada akhirnya toh kau takkan dapat 

mempertahan benda mustika itu, lebih baik 

dari sejak awal kau berikan benda itu 

pada kami!" menyahut orang tertua dari 

Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara.

"Huh! begitukah caramu memberi 

saran? Siapa sudi dengan saranmu? Begitu 

besarkah nama Setan Bungkuk dari Tenggara 

hingga harus aku menuruti perintah 

kalian?" membentak dingin si Pendekar 

Wanita Hati Suci. Jelas dia begitu 

tersinggung dengan kata-kata ketiga orang 

itu. Sebaliknya ketiga laki-laki 

dihadapannya sudah tak sabar untuk 

bertindak.

"Hm, kalau begitu terpaksa kami


akan memaksamu untuk memberikan benda 

itu!" diiringi kata-katanya, dia memberi 

isyarat pada kedua kawannya. Dan serentak 

mereka telah menghambur ke arah wanita 

itu.

"Kalian akan meringkus diriku? heh? 

jangan mimpi!" bentak si Pendekar Wanita 

Hati Suci. Tubuhnya mendadak mencelat 

keluar dari ruangan pesanggrahan. Akan 

tetapi tiga lengannya telah mendahului 

tiba dan lakukan serangan. Tiga pasang 

lengan mencengkeram ke arah tubuh wanita 

tua ini.

Akan tetapi dengan gerakan gesit 

wanita tua ini telah menghindar dengan 

egoskan tubuhnya bagai liukan ular. 

Bahkan secara mendadak sepasang lengannya 

bergerak menepis.

Hebat gerakan itu, karena segera 

membersit angin keras ketiga jurusan 

menerpa lawan. Kelihatannya wanita itu 

biasa saja gerakan tepisan lengannya. 

Tapi akibatnya tiga laki-laki itu harus 

gulingkan tubuh mereka karena bersitan 

angin itu telah membuat masing-masing 

lengan jubah mereka koyak. Dapat 

dibayangkan kalau yang terkena itu kulit 

mereka, tentu akan terkelupas.

Sesaat mereka tertegun setelah 

berhasil menghindari serangan wanita 

kosen itu. Barulah mereka menyadari kalau 

lawannya bukan lawan yang enteng.


"Bagus! Kami ingin mencicipi 

kehebatan Pendekar Hati Suci. Segera 

bersiaplah kau, nenek tua!" membentak 

salah seorang dengan mengejek. Dan 

mendadak ketiganya mencelat saling susul 

menerjang dari tiga jurusan.

Inilah jurus-jurus andalan si Tiga 

Setan dari Tenggara yang digunakan untuk 

menghadapi lawan tangguh. Pendekar Wanita 

Hati Suci terkejut karena setiap kali 

bayangan bergerak, selalu lenyap bila dia 

menghantam dengan pukulannya. Dan muncul 

lagi disaat dia menarik serangan. Hingga 

muncul dan lenyapnya ketiga lawan itu 

membingungkan si pendekar wanita ini.

Jurus Bayang-bayang Setan Serabutan 

ini membuat si wanita tua itu berke-

lebatan kesana-kemari mengejar dan 

menghantamkan pukulannya. Namun selalu 

menemui tempat kosong. Bahkan tak lama 

terdengar suara tertawa yang membaur 

disekelilingnya mengacaukan perhatian. 

Mendadak tiga gelombang angin dingin 

menggebu menerjang tubuhnya dari tiga 

arah. Disusul dengan tiga larik sinar 

merah, hijau dan kuning berkelebatan ke 

arahnya.

"Keparat!" membentak si Pendekar 

Wanita Hati Suci. Lengannya bergerak 

menyambar benda dibalik pakaiannya. 

Dan... Whussss! Selarik sinar putih 

berkelebatan bergerak melingkar bagai


gerakan baling-baling menyilang.

Bret! bret! bret!

Terdengar suara jubah sobek 

beberapa kali disusul dengan teriakan 

ngeri Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara. 

Tubuh mereka terlempar ketiga jurusan, 

dan roboh berkelojotan dengan berteriak-

teriak parau. Tak lama mereka terkapar 

dengan darah membanjir dari luka menganga 

pada leher yang terkoyak mengerikan. Dan 

tak berkutik lagi. Sementara si Pendekar 

Wanita Hati Suci berdiri tegak tak 

bergeming. Ditangannya tercekal sebuah 

kipas perak yang ujung-ujung berbentuk 

mata pisau. Tampak pada tiap ujung mata 

pisau itu percikan darah. Nyatalah kalau 

senjata itulah yang telah merenggut nyawa 

si ketiga Setan Bungkuk dari Tenggara! 

Pendekar Wanita Hati Suci tutupkan lagi 

kipas mautnya, dan selipkan lagi benda 

itu dibalik jubah.

Saat itu terdengar suara bentakan 

dari empat jurusan.

"Pendekar Wanita Hati Suci! 

Serahkan pedang Mustika Naga Merah padaku 

kalau kau tak ingin kehilangan nyawa!"

"Benar! Apakah dengan kematian si 

Tiga Setan Bungkuk dari Tenggara kau 

telah terbebas dari ancaman?"

"Serahkan saja benda mustika itu 

padaku si Iblis Tengkorak Darah! kau akan 

aman!"


"Hohoho... aku orangnya yang lebih 

pantas untuk memiliki Pedang Mustika Naga 

Merah!" berkata orang terakhir yang 

melompat ke hadapan si Pendekar Wanita 

Hati Suci. Dialah seorang yang bertubuh 

jangkung gede mirip raksasa. Memang 

sesuai pula dengan julukannya karena 

orang ini berjulukan si Raksasa Bromo. 

Selain si Iblis Tengkorak Darah yang 

mirip jerangkong berjubah hitam, berkedok 

tengkorak warna merah, terdapat dua orang 

laki-laki kembar yang berkepala gundul/

plontos. Dialah yang berjulukan si Dewa 

Muka Kembar. Tokoh dari wilayah timur.

Melihat ditempat kediamannya ber-

munculan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi 

itu membuat si Pendekar Wanita Hati Suci 

jadi melengak. Mau tak mau dia membathin 

dalam hati.

"Hari ini adalah hari yang 

menentukan hidup matiku! Tapi juga hari 

ini aku harus mempertaruhkan jiwaku demi 

kesetiaanku pada kakang Jaka Buntaran. 

Seandainya Pedang Mustika itu harus jatuh 

juga ke tangan musuh, aku sudah tak 

melihat dunia ini lagi! Akan tetapi 

sedapat mungkin aku ingin mati terkubur 

dengan benda mustika itu. Ya, itulah 

kuinginkan. Tak seorangpun kuperkenankan 

menjamahnya, juga kedua orang muridku! 

Pedang Mustika Naga Merah pembawa 

malapetaka ini biarlah terkubur bersa


maku!" Demikianlah diam-diam si Pendekar 

Wanita Hati Suci telah mengambil 

keputusan untuk mati terkubur bersama 

benda mustika pemberian kekasihnya.

Betapa luhurnya cinta Nilam Sari 

alias si Pendekar Wanita Hati Suci untuk 

mempertahankan pedang mustika itu, demi 

amanat Jaka Buntaran yang telah berhasil 

memenuhi syarat-syarat permintaannya 

untuk memupus dosa lama tiga puluh tahun. 

Tapi sayang semua itu harus ditebus 

dengan darah dan nyawa....

ENAM

PADA saat itu pula berlompatan 

belasan sosok tubuh dari setiap penjuru 

puncak gunung. Dan dalam beberapa saat 

saja ditempat itu telah berkumpul puluhan 

manusia yang rata-rata orang persilatan;

"Huh! tak seorangpun diantara 

kalian yang akan dapat menjamah benda 

mustika itu, selama nyawa masih melekat 

dibadanku!" membentak wanita kosen ini. 

Selarik sinar perak berkelebat, dan 

ditangan Pendekar Wanita Hati Suci telah 

tercekal kipas peraknya yang mengandung 

maut! 

Melihat demikian keempat laki-laki 

pengurungnya itu menindak mundur.


Serentak masing-masing telah mencabut

senjatanya. Sepasang senjata si Dewa Muka 

Kembar yaitu seutas rantai yang pada 

ujungnya mempunyai roda bergerigi 

menyambar ke arah pinggang wanita itu, 

seraya salah seorangnya membentak.

"Kami si Dewa Muka Kembar akan 

memaksamu!"

Whrrrrr! Wherrrr! Whussss!

Dua roda maut yang meluncur 

berdesing ke arah pendekar wanita itu 

tertolak mental ketika wanita kosen ini 

gerakkan kipasnya menangkis.

Trang! Trang! 

Dua roda maut itu terpental balik.

"Kalian mencari kematian!" bentakan 

nyaring si Pendekar Wanita Hati Suci 

disusul dengan berkelebatnya tubuh wanita 

itu enam tombak. Saat mana senjata gaetan 

baja yang ujungnya menyerupai gergaji, 

senjata maut si Iblis Tengkorak Darah 

menyambar ke arah leher. Bahkan saat itu 

pula sebuah tongkat dan selarik sinar 

biru dari arah kiri menyambar pula ke 

arah wanita pendekar ini. Ternyata dua 

orang dari para pengepung itu telah 

lakukan serangan.

Dikeroyok begitu rupa wajah si 

Pendekar Wanita Hati Suci berubah tegang. 

Dia harus mengkonsentrasikan segenap ilmu 

dan kemampuannya. Kipas peraknya kembali 

melingkar bagai naga menggeliat, semen


tara lengan jubah menyambar ke arah kiri, 

dan ujung kaki membarengi lakukan 

tendangan maut dibarengi bentakan nya-

ring.

Penyerang bertongkat itu seorang 

laki-laki berkulit ular berambut kaku 

macam ijuk. Dialah si Ular Sanca. Ujung 

tongkatnya mengandung racun ganas. 

Sejengkal lagi ujung tongkat laki-laki 

ini menyentuh pundak lawan, mendadak dia 

menjerit ngeri ketika kibasan lengan 

jubah wanita itu membuat tongkatnya 

terlepas, dan tahu-tahu ujung kaki lawan 

telah menotol dadanya. Terdengar suara 

Kreeek!

Tak ampun lagi dia terjungkal roboh 

dengan tulang dada remuk. Sementara 

dilain penjuru terdengar suara mengaduh. 

Seorang penyerang terhuyung memegangi 

dadanya. Dia si penyerang bertombak yang 

kalah cepat oleh gerakan kipas maut si 

Pendekar Wanita Hati Suci. Kipas perak 

itu telah lebih dulu membeset kulit 

dadanya. Sementara senjata si Iblis 

Tengkorak Darah cuma mengenai tempat 

kosong.

Laki-laki ini sejenak terkejut, 

melihat larikan sinar biru menyambar dari 

arah samping. Nyaris mengenai tubuhnya 

ketika wanita tua itu berhasil 

mengelakkan diri. Si penyerang itu tak 

lain seorang kakek cebol yang mempunyai


sepasang lengan panjangnya melebihi 

tubuhnya. Tahulah dia kalau orang ini 

adalah si Lutung Sakti. Kesepuluh jari si 

Lutung Tua mempunyai kuku-kuku yang 

panjang berwarna biru. Larikan sinar biru 

itu adalah gerakan mencengkeram si kakek 

cebol. Tentu saja membuat si Iblis 

Tengkorak Darah terkesiap.

"Lutung Tua keparat! kau mau ambil 

bagian pula untuk memiliki pedang mustika 

itu?"

"Heheheh... peduli apa dengan 

urusanku? Siapapun boleh memiliki benda 

mustika itu!" menyahut si kakek cebol. 

Seraya menyahut, kakek cebol ini kembali 

luncurkan sebelah lengannya untuk 

menyambar leher si Pendekar Wanita Hati 

Suci yang baru saja menarik napas. Akan 

tetapi terdengar bentakan si Iblis 

Tengkorak Darah.

"Selama ada aku niatmu takkan 

kesampaian!" bentakan itu di dibarengi 

berkelebatnya senjata laki-laki itu 

menangkis menghalangi serangannya 

terhadap si wanita pendekar.

Trang! Terdengar suara benturan 

nyaring. Nyatalah kalau sepasang lengan 

kakek cebol itu terbuat dari baja. Hal 

itu membuat si Iblis Tengkorak Darah 

terkejut, karena setahunya lengan si 

Lutung Sakti sepasang lengan biasa. 

Senjatanya rompal, dan dia terhuyung


beberapa tindak.

Tahu-tahu sinar biru menyambar ke 

arahnya. 

Kraak!... Breet!

Laki-laki ini menjerit mengerikan. 

Topeng tengkoraknya hancur berkepingan. 

Tubuhnya terbanting ke tanah dan 

berkelojotan bagai ayam disembelih. 

Ternyata mukanya ikut hancur. Tak lama 

tubuhnya telah kaku tak bergeming.

"Heheheh... nyalimu saja yang gede! 

Kau kira cuma kau yang punya kesaktian 

dikolong jagat ini?" memaki si Lutung 

Sakti. Pada saat itu melompat sesosok 

tubuh ke hadapan si Lutung Sakti seraya 

berkata. "Eh, sobat! pedang mustika belum 

didapat mengapa saling bunuh dengan kawan 

sendiri?" Orang ini ternyata seorang 

laki-laki bertubuh jangkung. Ditangannya 

tercekal sebuah tombak trisula. Dialah 

orang yang berjulukan Harimau Jantan dari 

Utara.

"Peduli apa dengan urusanku? Si 

Iblis Tengkorak Darah ini punya hutang 

denganku. Dia tak mau membayar! Sudah 

begitu sombongnya setengah mati!" 

menyahut si cebol tua.

"Apa hutangnya?" tanya Harimau 

Jantan dari Utara ingin tahu.

"Hutang sebelah telingaku yang 

putus disambar senjata gaetan mautnya!" 

sahut si Lutung Sakti seraya miringkan


kepala menunjukkan sebelah telinganya 

yang lenyap sebuah.

"Kini hutangnya impas karena telah 

dibayar dengan nyawanya! heheheh...!" 

tertawa si Lutung Tua. Akan tetapi saat 

itu terdengar teriakan. 

"Minggiir!"

Kedua orang ini melompat menepi. 

Sebuah bayangan berkelebat lewat. Itulah 

bayangan sesosok tubuh yang menerjang 

dari samping. Saat selanjutnya terdengar 

suara gemerincing.

Sebuah jala menebar ke arah tubuh 

si Pendekar Wanita Hati Suci. Terkejut 

wanita ini melihat seorang laki-laki 

berbaju hitam menyeruak maju seraya 

berteriak. Dan tahu-tahu sebuah jala 

telah terbentak dihadapannya.

"Kena!" teriak laki-laki itu 

membarengi suara gemerincing rantai 

jalanya yang digunakan untuk meringkus si 

Pendekar Wanita Hati Suci. Akan tetapi 

saat itu angin keras menderu menyambar ke 

arahnya. Tiga sinar perak meluncur dari 

ujung kipas si Pendekar Wanita Hati Suci 

menimbulkan suara mencicit.

Tahu-tahu laki-laki ini menjerit 

parau. Dan terjungkal keras. Tubuhnya 

terlempar nyaris membentur tubuh si 

Lutung Sakti dan si Harimau Jantan dari 

Utara. Sesaat setelah meregang nyawa, 

tubuh si penyerang yang ternyata adalah


si Jala Iblis diam tak berkutik. Menemui 

ajal dengan muka tertancap tiga jarum 

perak yang mengandung racun.

Pucatlah wajah si Cebol Lutung 

Sakti, karena ternyata si Jala Iblis itu 

adalah adik kandungnya sendiri,

"Pendekar Hati Suci! Ternyata 

hatimu tidak suci! Kau telah mengotori 

tanganmu membunuh adikku. Maka terimalah 

kematianmu!" bentakan itu disusul dengan 

berkelebatnya tubuh si manusia cebol ini. 

Sepasang lengannya mencengkeram ganas ke 

arah leher. Gerakan melompat itu begitu 

cepat. Rasanya sangat sukar bagi si 

Pendekar Wanita ini untuk mengelakkan 

diri. Akan tetapi... 

Trang!!

Kibasan kipasnya berhasil menangkis 

sebelah lengan si Lutung Sakti. Namun 

lengan yang satu telah meluncur deras ke 

arah dada kirinya.

Brreeet!

Terdengar suara baju terkoyak. 

Tubuh wanita ini berputar terhuyung. 

Tampak kulit dada wanita pendekar ini 

tersibak. Membuat payudaranya tersembul 

keluar. Dibarengi jeritan tertahan dia 

membuang tubuhnya ke samping. Akan tetapi 

sinar biru kembali meluncur. Cengkeraman 

kuku si cebol tua ini segera akan 

mengakhiri nyawa sang pendekar wanita 

karena dalam keadaan yang tak


menguntungkan. 

Akan tetapi mendadak tubuh si 

Pendekar Wanita Hati Suci melejit ke 

atas. Gerakan tak terduga itu membuat si 

cebol terperangah. Karena serangan 

mautnya lolos! Dan dilain saat jiwanyalah 

yang kini terancam. Sinar perak membersit 

membelah udara tepat diatas kepalanya.

Laki-laki cebol berjulukan si Lutung 

Sakti ini menengadah, tapi segera 

menjerit parau. Tubuhnya terjungkal. Urat 

lehernya putus terkoyak kena tabasan 

kipas maut sang pendekar wanita itu. 

TUJUH

PULUHAN pasang mata membelalak 

melihat kematian si Lutung Sakti. Akan 

tetapi keadaan si Pendekar Wanita Hati 

Suci tidak ringan yang harus ditebus 

dengan nyawa laki-laki cebol itu. Sebelah 

payudara wanita ini membiru menampakkan 

lima guratan kuku dikulit buah dadanya. 

Wanita ini cepat menutupi auratnya dengan 

sebelah lengan. Sementara mulutnya 

menyeringai kesakitan. Dari sudut 

bibirnya menetes darah. 

"Celaka! aku terluka kena goresan 

racun kuku si Lutung Tua itu! Aku harus 

menyelamatkan diri..." mendesis mulut si 

Pendekar Wanita Hati Suci. Sepasang



matanya telah menjadi nanar, tubuhnya 

limbung. Mengetahui keadaan dirinya yang 

membayangkan bila dia harus melayani 

sekian banyak orang, dia berpikir cepat 

untuk menyelamatkan diri. Tak ayal segera 

dia balikkan tubuh melompat masuk ke 

dalam pesanggrahan. Pada saat itu tiba-

tiba terdengar suara. "Pendekar Hati 

Suci, aku punya obat pemusnah racun! 

Tanpa obatku jiwamu takkan ketolongan. 

Lebih baik kau tunjukkan dimana kau 

menyimpan Pedang Mustika Naga Merah. Kau 

titipkan saja benda itu padaku ditanggung 

aman!"

Mendengar suara itu si Pendekar 

Wanita Hati Suci merandek. Dia balikkan 

tubuh. Segera terlihat sesosok tubuh 

berkelebat masuk dan berdiri 

dihadapannya.

Terkejut wanita ini mengetahui 

siapa adanya orang itu.

"Iblis Betina Pemakan Jantung" 

tersentak si Pendekar Wanita Hati Suci 

memandang dengan mata membelalak. Manusia 

dihadapannya tertawa menyeringai.

"Angin apa yang meniupmu hingga 

sampai ke tempatku?" bentak wanita 

Pendekar ini dengan melangkah mundur.

"Benda pusaka KIAM HOAT ANG LIONG 

itulah yang menarikku hingga aku sampai 

ke tempat ini!" menyahut orang itu. 

Ternyata dia seorang wanita kurus berusia


sekitar tiga puluhan tahun. Akan tetapi 

sebenarnya usianya tak jauh berbeda 

dengannya. Wanita ini berasal dari sebuah 

pantai pesisir Tiongkok. Dia bernama Sio 

Giok. Dari bekas raut wajahnya wanita ini 

dahulunya seorang yang berparas cantik. 

Bahkan bekas-bekas kecantikannya masih 

nampak pada wajahnya. Nilam Sari alias 

Lam Su Nio segera mengetahui siapa adanya 

wanita ini. Dialah wanita yang tergila-

gila pada Thio Bun Kim alias Jaka 

Buntaran. Namun tak pernah diladeni oleh 

Thio Bun Kim. Membuat wanita ini menjadi 

dendam pada Thio Bun Kim, dan mencari 

jalan untuk mencelakai laki-laki yang 

pernah dicintainya itu.

"Apakah orang yang dimaksud Thio 

Bun Kim yang telah menyebarkan berita 

adanya Pedang Mustika Naga Merah 

ditanganku itu adalah si perempuan sundal 

ini?" berkata dalam hati si Pendekar 

Wanita Hati Suci. Saat mana Sin Giok 

telah ulurkan lengannya yang mencekal 

sebungkus benda.

"Ini obat pemunah racun kuku si 

Lutung Sakti. Kau terimalah!" berkata 

wanita kurus berjubah kuning ini.

"Huh! siapa sudi pertolonganmu?" 

menjawab Nilam Sari ketus. "Kau datang 

bukan untuk menolongku, tapi justru mau 

membunuhku setelah kau dapatkan apa yang 

kau inginkan!"


"Hihihi... ditolong bukannya berte-

rima kasih, tapi malah menuduh yang 

tidak-tidak. Apakah lebih berharga mana 

benda pusaka itu ataukah nyawamu?" 

berkata wanita kurus ini dengan tertawa 

mengekeh. Suaranya menyakitkan anak 

telinga, sember dan parau.

"Kedua-duanya!" sahut Nilam Sari 

cepat. "Hm, Iblis Wanita Pemakan Jantung! 

jangankan manusia, iblispun tak akan 

percaya kau bisa berbuat baik pada 

manusia!" bentak Nilam Sari.

Dimaki demikian rupa merahlah wajah 

wanita ini.

"Bagus! kalau begitu terpaksa aku 

gunakan kekerasan!" membentak wanita ini. 

Mendadak dia lemparkan bungkusannya ke 

arah Nilam Sari. Begitu benda itu 

menyentuh lantai, terjadilah ledakan 

keras yang menimbulkan asap tipis. Asap 

itu berbau harum yang memabukkan. Tapi 

detik itu segelombang angin menerpa 

menghalau asap itu diiringi bentakan.

"Perempuan iblis, kau mau 

mencelakai guruku?" Bersamaan dengan 

bentakkan nyaring itu berkelebat bayangan 

merah. Dan dihadapan si wanita kurus 

telah berdiri seorang gadis berbaju 

merah. Siapa lagi kalau bukan Kecubung 

Wungu, murid si Pendekar Wanita Hati 

Suci.

"Guru! cepat kau menyingkir!, biar


muridmu yang menghadapi siluman kurus 

ini!" berkata Kecubung Wungu. Tampak 

bayangan gurunya berkelebat masuk ke 

dalam pesanggrahan, dan gadis ini segera 

balikkan tubuh menatap si wanita kurus.

"Kalian datang beramai-ramai mau 

mengeroyok guru, apakah kalian bernyali 

pengecut? Jangan harap aku Kecubung Wungu 

si Naga Betina Baju Merah mau mengampuni 

nyawamu!" membentak dara ini. Dilengannya 

telah tercekal sebuah seruling berkepala 

Naga. Itulah senjata yang selama ini 

belum pernah dipergunakan untuk menghadap 

musuh. Tapi kali ini telah diperguna-

kannya.

"Hihihi... bagus! rupanya kau murid 

si nenek tua yang merebut kekasihku itu? 

Bagus! Kulit mukamu masih mulus. Biarlah 

kukuliti mukamu untuk pengganti kulit 

mukaku yang telah kendur!" tertawa menge-

keh si wanita kurus.

Digertak demikian rupa Kecubung 

Wungu mendelik gusar. Tapi diam-diam dia 

terkejut karena wanita kurus itu 

mengatakan gurunya telah merebut kekasih-

nya?"

"Siapa kau sebenarnya? Apa 

hubunganmu dengan guruku?" membentak

Kecubung Wungu.

"Hihihi... kau bocah kemarin sore 

tak perlu tahu urusanku!" berkata dingin 

wanita kurus itu. "Kalau kau mau tahu


akulah yang berjulukan si Iblis Wanita 

Pemakan Jantung."

Selesai berkata wanita kurus itu 

ulurkan lengannya menjambret ke depan. 

Whuuut! Segelombang angin menerpa ketika 

ujung jari lengan wanita kurus itu nyaris 

mencengkeram dada Kecubung Wungu. 

Dorongan hebat itu membuat wanita kurus 

ini terkejut, karena tubuhnya doyong 

ke belakang. Saat itu terdengar suara 

membentak.

"Kuntilanak peot! kau hadapilah aku 

dulu!"

Disusul suara itu telah berkelebat 

muncul sesosok tubuh. Ketika Iblis Wanita 

Pemakan Jantung menoleh, segera terlihat 

seorang pemuda berbaju putih kumal 

berambut gondrong berdiri tegak sambil 

tertawa menyeringai bertolak pinggang 

dihadapannya.

"He? Siapa kau bocah kurang ajar?" 

bentaknya mendongkol, tapi terkejut 

melihat si penyerangnya seorang yang 

masih muda.

"Hehehe... Namaku Nanjar! Orang 

menjuluki aku si Dewa Linglung!" menyahut 

pemuda itu yang tak lain dari Nanjar 

adanya. 

"Heh! kau monyet linglung! Kau 

membela bocah ini apakah kau pacarnya?" 

bentak si wanita kurus.

"Pacar atau bukan mengapa kau


cemburu? Hehehe... aku cuma ingin tahu 

yang bagaimana ilmu orang yang menjuluki 

dirinya Iblis Wanita Pemakan Jantung? 

Jangan-jangan yang sering kau makan cuma 

jantung pisang!" sahut Nanjar seenaknya.

Mendelik mata Giok Lan si wanita 

kurus ini. "Heh! Jangan menyesal kalau 

jantungmu lah yang akan kukorek untuk 

sarapanku!" berkata dingin Giok Lan. Pada 

saat itu belasan orang telah memasuki 

pesanggrahan dengan berdesakan. Diantara-

nya ada yang berteriak-teriak.

"Hayo, jangan berkumpul disini, 

cepat kejar dia!" mereka adalah serom-

bongan laki-laki berbaju biru. Sedangkan 

yang berteriak-teriak adalah laki-laki 

yang menjadi ketuanya. Ternyata mereka 

dari perkumpulan Partai Tombak biru, yang 

dipimpin oleh seorang ketuanya bernama 

Brangas Pati.

Tiga orang yang berada paling depan 

mendadak menjerit ngeri. Tubuh mereka 

terlempar dan jatuh berdebukan tak 

bangkit lagi. Ternyata tulang dadanya 

masing-masing telah remuk. Dan sesosok 

tubuh berdiri tegak dipintu pesanggrahan. 

Dialah si Raksasa Bromo.

"Kalian manusia-manusia keroco 

lebih lebih baik menyingkir! Jangan mimpi 

dapat memiliki benda mustika segala!"

Gemparlah kelompok Partai Tombak 

Biru melihat kematian ketiga kawannya.



Terlebih lagi sang ketua bernama Brangas 

Pati itu.

DELAPAN

MANUSIA sombong! Apakah kau kira 

cuma kau sendiri yang mau mengangkangi 

benda pusaka itu?" bentak Brangas Pati. 

Tubuhnya mencelat ke hadapan si Raksasa 

Bromo yang tinggi besar. Satu hantaman 

keras dilayangkan kedada laki-laki itu, 

diiringi bentakan. "Akupun sanggup 

meremukkan dadamu!" 

Buk!

Terdengar suara kepala yang beradu 

dengan tulang dada. Akan tetapi segera 

terdengar suara melengking kesakitan. 

Tubuh si Raksasa Bromo masih tegak tak 

bergeming, karena dia tak mengelakkan 

serangan itu. Akan tetapi sebaliknya si 

penyerang justru terpental balik dengan 

meraung kesakitan.

Brangas Pati rasakan kepalanya 

menghantam besi. Hingga dia berteriak 

kesakitan sambil memegangi lengannya. 

Tampak lengannya telah berubah membiru. 

Akan tetapi tak lama dia segera hunus 

senjatanya. Sekali sentak senjata Tombak 

Biru bermata dua itu telah tercabut dari 

punggungnya. 

"Manusia sombong! Apakah kulit 

dadamu sanggup menahan ketajaman mata


tombakku?" berkata Brangas Pati.

"Majulah!" bentak dingin si Raksasa 

Bromo dengan sikap angkuh tak memandang 

sebelah mata. Gusarlah Brangas Pati. 

Serta merta dia telah menerjang ke depan. 

Tombak Birunya meluncur deras mengarah ke 

dada lawan. Laki-laki bertubuh tinggi 

gede ini cuma menggeser tubuhnya sedikit. 

Secepat kilat lengannya bergerak menang-

kap ujung tombak. Dilain kejap berikutnya 

sekali sentak, tubuh Brangas Pati 

meluncur deras melebihi kecepatan tombak-

nya. Dan detik itu juga terdengar suara 

jeritan mengerikan. Darah menyembur 

memuncrat ketika ujung lengan si Raksasa 

Bromo amblas sebatas siku menembus perut 

Brangas Pati.

Raksasa Bromo ayunkan lengannya. 

Dan terlemparlah tubuh Brangas Pati 

keluar pintu pesanggrahan. Jatuh berdebuk 

dihadapan belasan orang yang berkerumun 

disitu. Keadaan menjadi kacau. Suara 

hiruk-pikuk terdengar dimana-mana. Karena 

saat itu juga telah terdengar bentakan di 

sana-sini dan terjadinya pertarungan yang 

semrawut.

Sementara Nanjarpun dalam keadaan 

bertarung menghadapi si Iblis Wanita 

Pemakan Jantung alias Giok Lan. Dibawah 

lereng gunung Naga Inten terlihat puluhan 

manusia tengah mendaki. Tampaknya bukan 

sedikit para tokoh Rimba Persilatan yang


berdatangan ke puncak gunung. Dapatlah 

dibayangkan bahwa pertumpahan darah akan 

lebih meluas lagi! Mereka seakan sudah 

tak menghargai nyawa orang lagi karena 

besarnya ambisi mereka untuk memiliki 

benda pusaka Pedang Mustika Naga Merah!

* * * *

Giok Lan menghambur ke arah Nanjar 

serangan dahsyat. Belasan jarum 

menghambur diiringi hantaman pukulan 

tenaga dalam. 

Terkejut Nanjar. Untung dia 

bersikap waspada. Cepat dia berkelit 

melompat seraya kibaskan lengannya. Hawa 

dingin menyambar ke arah Gio Lan. 

Hamburan jarum maut itu lolos, bahkan 

mengenai beberapa orang dibelakang Nanjar 

yang segera terdengar jeritan kematian. 

Sementara pukulan tenaga dalam wanita ini 

mendadak membalik keras menghantam ke 

arah dirinya. Dengan berteriak kaget dia 

jatuhkan tubuhnya berguling. 

Bhlaar!

Pukulan itu lewat menghantam din-

ding pesanggrahan.

"Keparat!" memaki wanita kurus ini. 

Matanya nyalang mengandung hawa kemara-

han. Tiba-tiba dia kembali menerjang 

dengan pukulan-pukulan dahsyat. Bertubi-

tubi menghantam Nanjar dari segala


jurusan. Jurus-jurus mautnya dipergu-

nakan. Namun yang dihadapi bukanlah 

pemuda sembarangan. Bahkan dengan 

berjingkrakan seperti kera melompat-

lompat, Nanjar mengelakkan diri. Saat 

pertarungan itu terjadi mendadak telinga 

Nanjar mendengar suara yang dikenalnya 

menelusup ke telinganya.

"Bocah Linglung! mengapa kau turut 

bertempur? Hehehe, biarkan saja mereka 

saling baku hantam. Bukankah nanti kau 

akan memetik hasilnya? Orang terakhir 

yang berhasil memiliki Pedang Mustika 

Naga Merah itulah kelak bagianmu. Hingga 

kau tak berpayah-payah harus keluar 

tenaga bertarung dengan maut!"

Terhenyak Nanjar. Itulah suara si 

Pengemis Pincang yang membisiki di 

telinganya. Diam-diam sambil mengelakkan 

diri Nanjar putarkan matanya memperha-

tikan ke sekeliling mencari dimana adanya 

si Pengemis Pincang.

Saat itu rupanya telah membuat dia 

agak lengah. Mendadak sang lawan telah 

mengirimkan hantaman keras dari arah 

samping.

"Aiiiih!" teriaknya kaget. Untung 

dengan gesit dia liukkan tubuhnya dengan 

jurus Siluman Ular Melilit Gunung. 

Loloslah dia dari bahaya maut. Merasa 

waktunya perlu dimanfaatkan, tiba-tiba 

Nanjar robah gerakan. Tubuhnya mendadak


berkelebat ke arah belakang lawan. Tentu 

saja Giok Lan putarkan mengikuti dengan 

lengan siapa menghantamkan pukulan ganas! 

Tapi justru tubuh Nanjar tahu-tahu 

berguling ke arah kakinya. Dan secepat 

kilat ujung kaki Nanjar telah meluncur ke 

arah dada kiri.

Begitu cepatnya, hingga tiba-tiba 

wanita ini terdengar mengaduh. Tubuhnya 

doyong ke belakang. Saat itulah Nanjar 

melompat dan ulurkan tangannya menotok. 

Tak ampun lagi Giok Lan alias si Iblis 

Wanita Pemakan Jantung berteriak tertahan 

dan jatuh menggelosoh dengan tubuh 

tertotok kaku.

Tak menunggu lebih lama Nanjar 

segera melompat keluar dari dalam ruang 

pesanggrahan. Lalu berkelebat ke atas 

wuwungan rumah pesanggrahan itu. Diatas 

wuwungan dia celingukan memutar kepala 

memperhatikan sekitarnya.

"Pengemis Pincang! Mengapa kau 

belum juga unjukkan tampangmu?" Nanjar 

berteriak keras-keras karena mendongkol 

pada si Pengemis Pincang. "Apakah maksud 

sebenarnya dengan orang itu? Apakah dia 

menginginkan agar aku yang memiliki 

Pedang Mustika itu?" berkata Nanjar dalam 

hati. Sementara itu dia melihat puluhan 

orang telah menyerbu masuk ke dalam 

pesanggrahan.

Sesosok tubuh berkelebat diantara


batu-batuan diatas puncak gunung membuat 

Nanjar gerakkan kakinya melompat dengan 

ilmu "terbang" ke arah sana. Tertegun 

Nanjar melihat seorang kakek berkaki satu 

berdiri tegak diatas batu besar. Kakek 

ini mengenakan topi tudung dikepalanya 

mencekal tongkat bercagak yang menempel 

diketiaknya. Tak perlu disangsikan lagi 

Nanjar sudah dapat menduga kakek berbaju 

tambalan itu adalah si Pengemis Pincang.

"Heheheh... selamat berjumpa bocah 

Linglung! Karena kau tak sabar untuk 

mengetahui siapa adanya aku, baiklah aku 

munculkan diri dihadapanmu!" berkata 

kakek bertudung ini.

"Hm, siapakah kau orang tua? 

bukalah topi tudungmu agar aku dapat 

melihat jelas siapa rupamu!" 

Kakek ini tersenyum mendengar kata-

kata Nanjar. Tapi dia segera membuka topi 

tudungnya yang menghalangi sebagian 

mukanya. Lagi-laki Nanjar tertegun. Dan 

hampir saja dia memanggil "Ayah" pada 

kakek ini karena wajahnya amat mirip 

dengan Ki ANJAR SUBRATA. 

"Heheheh... apakah kau mengenali 

diriku?" tanya si kakek.

"Kau mirip ayahku! Siapakah anda 

orang tua?" tanya Nanjar terheran. Kakek 

itu kembali tertawa terkekeh-kekeh.

"Sudah kuduga kau akan terkejut. 

Dan kau pasti akan menyangka aku saudara


kembar ayahmu Ki Anjar Subrata! Karena

wajahku amat mirip dengan ayahmu! Bukan 

saja mirip akan tetapi persis, bukan? Nah 

kalau kau mau tahu aku memang ayahmu 

sendiri?" berkata si Pengemis Pincang.

"Tapi, tapi ayahku tidak pincang 

dan berkaki satu seperti kau?" sambar 

Nanjar terkejut. Dalam hati dia memang 

sudah menduga orang itu ayahnya, tapi ada 

kejanggalan, yaitu pada suara dan sebelah 

kakinya yang buntung.

"Hehehe... apakah kau anggap kakiku 

buntung sebelah?" bertanya kakek itu. 

Dengan sekali gerakan tahu-tahu kaki 

kakek itu telah terjulur keluar. Dan 

ternyata kedua kakinya masih utuh tanpa 

cacad. Nyatalah si kakek Pengemis Pincang 

itu cuma berpura-pura pincang. Dan segera 

saja suaranyapun berubah tidak parau 

lagi.

"Bocah Linglung! Apakah kini kau 

sudah yakin aku ayahmu?" tanya si 

Pengemis Pincang. Mau tak mau Nanjar jadi 

tertegun menatap tak berkedip.

"Kau... kau...? Mengapa kau lakukan 

hal seperti itu, ayah!?" sentak Nanjar 

tertegun. Kini memang dia yakin orang 

dihadapannya adalah Ki Anjar Subrata.

"Semua ini demi kau, anakku! Aku 

ingin kau memiliki Pedang Mustika Naga 

Merah! Aku ingin kau menjadi seorang jago 

diantara jago! Kau harus lebih unggul


diantara semua orang yang datang ke 

puncak gunung Naga Inten ini! Dan Pedang 

Mustika Naga Merah harus jatuh ke 

tanganmu!" berkata si Pengemis Pincang 

yang ternyata Ki Anjar Subrata itu.

Mendengar kata-kata itu Nanjar jadi 

terlongong bagai orang dungu. Benarkah 

apa yang dikatakan ayahnya itu? Kalau 

benar, sungguh suatu hal yang amat 

mengerikan! Mengapa ayahnya menginginkan 

terjadi peristiwa saling bunuh di puncak 

gunung ini? Cuma karena sebuah pedang 

mustika nyawa-nyawa harus melayang 

menjadi korban! Terpaku Nanjar dalam 

kebingungan. Dia merasa tak mengerti 

dengan ambisi ayahnya yang demikian itu.

"Aku akan bangga kalau kau berhasil 

memiliki Pedang Mustika itu, anakku! Dan 

aku dapat mati dengan mata meram karena 

aku telah berhasil membuat dirimu menjadi 

seorang yang terkenal dimata kaum Rimba 

Hijau!" Berkata lagi Ki Anjar Subrata 

dengan suara tegas. Dan kembali, 

terdengar suara tertawanya terkekeh-

kekeh. 

SEMBILAN

AKAN tetapi tiba-tiba suara tertawa 

Ki Anjar Subrata putus, berganti dengan 

suara jeritan parau merobek udara.


Disusul dengan robohnya tubuh kakek itu. 

Tubuhnya terbanting ke tanah dan berkelo-

jotan bagai ayam disembelih. Nanjar 

tersentak kaget bagaikan dipagut kala-

jengking. Dia melompat memburu ke arah 

tubuh Ki Anjar Subrata.

"Ayah!? ayah...!?"

Ki Anjar Subrata terkulai dalam 

pangkuan Nanjar. Darah bersimbah diseku-

jur tubuhnya yang keluar dari tujuh buah 

luka tertancap tujuh belati tipis. Nanjar 

terbelalak menyaksikan kejadian mendadak 

itu. Siapakah yang telah menyerang 

ayahnya? Saat itu sebuah bayangan putih 

berkelebat dibalik batu-batuan. Hati 

Nanjar tersentak, dia membentak keras.

"Manusia pengecut! kaukah yang 

telah membokong ayahku?" bentakan Nanjar 

menggeledek. Tubuhnya melompat ke arah 

bayangan itu. Apa yang dilihatnya membuat 

matanya nanar. Karena sosok tubuh itu tak 

lain dari si Pendekar Wanita Hati Suci. 

Gerakan tubuh wanita itu berlari cepat 

agak limbung. Dia segera maklum kalau 

wanita itu memang dalam keadaan terluka. 

Tak ayal segera dia mengejar. Sementara 

diam-diam dia berpikir dalam benaknya. 

Mengapa wanita itu dapat muncul disini? 

Segera dia dapat menduga kalau wanita itu 

melarikan diri melalui jalan rahasia yang 

menembus ke tempat itu.

Ilmu melompat Nanjar memang luar


biasa. Dalam waktu beberapa saat saja dia 

telah berada dibelakang wanita itu 

sejarak lima-enam tombak.

Baru saja Nanjar gerakkan tubuhnya 

melompat untuk menghadang, mendadak tubuh 

wanita itu lenyap dibalik tebing batu. 

Tak ayal dia segera memburu ke arah itu.

Namun bayangan tubuh wanita itu 

telah tak nampak lagi. Lenyap bagai 

ditelan bumi. "Kemana lenyapnya dia?" 

maki Nanjar dengan kecewa. Tak ada sebuah 

lubang goa pun berada disekitar situ. 

Tiba-tiba Nanjar teringat akan nasib 

ayahnya yang belum diketahui mati 

hidupnya. Mengingat demikian Nanjar 

segera melompat lagi kembali ke tempat 

semula. Didapatinya Ki Anjar Subrata 

dalam keadaan sekarat. Suaranya terputus-

putus memanggil nama Nanjar.

Cepat Nanjar melompat mendekati. 

Dengan mata berkaca-kaca dia segera me-

mangku tubuh ayahnya. Kepalanya dile-

takkan dipangkunya.

"Ayah! ayah...! ini aku anakmu! 

Ayah! bukalah matamu..." berkata Nanjar 

dengan suara serak parau dilanda keharuan 

yang memenuhi dadanya.

"Anakku, Nanj... ar....! Heheheh... 

kau harus da... dapatkan Pedang.... Mus.. 

tika Na... ga... Merah... i...itu..." 

Hanya kata-kata yang terlompat dari mulut 

Ki Anjar Subrata. Selanjutnya dengan


wajah tersenyum dia memandang Nanjar. 

Pancaran matanya redup, kepalanya pun 

terkulai. Nyawanya putus meninggalkan 

raganya.

"Ayah...! Ayah!? A...ayahh....!" 

Suara Nanjar berpantulan menggema di 

sekeliling bukit-bukit batu. Di guncang-

guncangkannya tubuh ayahnya yang telah 

tak bergeming dengan air mata bercucuran. 

Dipelukinya tubuh tua itu yang mulai 

terasa dingin. Entah beberapa saat dia 

terisak-isak tenggelam dalam kedukaan. 

Hingga akhirnya diapun sadar bahwa tak 

ada gunanya semua itu. Kehidupan manusia 

suatu saat memang akan menemui kematian. 

Dan kematian adalah milik setiap manusia 

yang hidup.

Diangkatnya wajahnya. Ditatapnya 

wajah sang ayah yang telah pucat kaku. 

Sepasang mata kakek itu masih terbuka 

seperti menatapnya penuh harap. Bibirnya 

menyunggingkan senyuman. Nanjar terharu 

melihatnya. Diulurkannya lengannya 

mengusap muka mayat sang ayah, mata laki-

laki tua itupun terkatup.

Nanjar bangkit berdiri. Sejenak dia 

mematung memandang ke depan dengan 

pandangan mata kosong. Tak lama terdengar 

suara helaan napasnya. Dan terdengar 

suaranya yang lirih menggumam.

"Ayah, kematian memang milik setiap 

manusia yang hidup. Tapi kematianmu


sungguh aku tak menyangka!"

Tak lama Nanjar telah balikkan 

tubuhnya untuk melangkah empat tindak. 

Matanya menatap ke tanah, dihadapannya 

yang kira-kira lima langkah dari tempat 

dia berdiri. Tiba-tiba dia gerakkan 

lengannya menyilang dengan telapak tangan 

menghadap ke depan. Suara berkriutan 

terdengar. Tiba-tiba Nanjar gerakkan 

kedua belah telapak tangannya ke arah 

depan.

Whuuuk!....BLHAARRR!

Terdengar suara ledakan keras. 

Tanah dan pasir menyemburat ke udara. 

Ketika lurukan tanah dan pasir itu habis, 

tampak terlihat sebuah lubang besar 

menganga dihadapannya. Sebuah lubang yang 

kira-kira bergaris tengah satu meter 

lebih. Sejenak Nanjar memandang pada 

lubang itu. Tapi tak lama dia segera 

putar tubuhnya untuk melompat mendekati 

jenazah ayahnya.

Tak menunggu waktu lebih lama lagi, 

Nanjar pondong tubuh sang ayah. Dibawanya 

mendekati lubang buatan itu. Lalu 

melompat kedalamnya. Didalam lubang 

itulah Nanjar membaringkan jenazah ayah-

nya dengan mata berkaca-kaca.

Senja makin merayap, tatkala Nanjar 

mulai menguruk jenazah Ki Anjar Subrata 

dengan timbunan tanah. Tak lama sele-

sailah pekerjaan menimbun jenazah itu.


Dua bongkah batu digunakan sebagai batu 

nisan. Sesaat kemudian pemuda yang pernah 

dibesarkan di lereng gunung Rogojembangan 

itupun duduk bersimpuh dihadapan gundukan 

tanah yang masih basah itu.

"Ayah! Semoga Tuhan mengampuni 

dosa-dosamu! Aku berjanji akan memenuhi 

permintaanmu, untuk mendapatkan Pedang 

Mustika Naga Merah! Semoga arwahmu tenang 

di Alam Baka! Aku akan mempergunakan 

Pedang Pusaka itu untuk membela 

kebenaran. Menegakkan kedamaian dibumi 

dengan menumpas kejahatan! Bukankah kau 

menginginkannya demikian, ayah! Aku 

bangga punya ayah semacam kau yang amat 

memperhatikan anaknya. Walau apa yang 

ayah lakukan itu sebenarnya banyak 

mengundang maut! Kau begitu inginkan aku 

bernama besar dikolong jagat ini. Semoga 

ambisimu yang kau tumpahkan pada anakmu 

ini terkubur dalam tanah! Aku tak 

menginginkan nama besar, ayah! Apa yang 

kulakukan adalah cuma berbakti pada orang 

tua. Dan apa yang akan kukerjakan adalah 

demi tegaknya panji kebenaran! Siapa tahu 

aku akan mati sebelum tercapai cita-cita 

itu? Semua itu ditangan Yang Maha Kuasa."

Selesai berkata, Nanjar bangkit 

berdiri dan lakukan penghormatan terakhir 

pada ayahnya yang sudah terbaring dalam 

tanah. Setelah menatap sebentar pada 

gundukan tanah itu, Nanjar balikkan


tubuh, dan berkelebat pergi dari tempat 

itu...

SEPULUH

Sementara itu pertarungan di 

pesanggrahan puncak gunung Naga Inten 

masih terus berlangsung. Korban-korban 

semakin banyak berjatuhan. Nyawa-nyawa 

melayang saling susul. Pertarungan 

semrawut itu karena masing-masing tak 

ingin yang lainnya menjadi saingan dalam 

perebutan Pedang Mustika Naga Inten.

Saat itu Kecubung Wungu merasa 

keadaan sudah menjadi kian gawat. Dia 

harus menyusul gurunya yang diketahui 

telah terluka parah terkena serangan si 

Lutung Sakti. Tak berayal lagi segera dia 

melompat masuk ke dalam pesanggrahan. Tak 

dihiraukannya lagi keadaan semrawut 

diluar pesanggrahan yang tengah saling 

baku hantam.

Pesanggrahan itu ternyata mempunyai 

ruang bawah tanah, yang hanya dia dan 

Kecubung Sari yang mengetahui. Melihat 

kamar gurunya kosong, gadis ini 

berpendapat sang guru telah menyelamatkan 

diri melalui ruangan bawah tanah. Segera 

dia berkelebat kesana. Melalui jalan 

rahasia yang sudah terbuka dia melompat


masuk. Lalu cepat-cepat menutup pintu 

rahasia lagi.

Kecubung Wungu begitu mengkha-

watirkan nasib gurunya, hingga dia harus 

berusaha menemukan dimana adanya sang 

guru. Ditempat rahasia bawah tanah itu 

keadaan gelap gulita. Namun segera dia 

menyalakan lampu minyak tanah yang 

tergeletak diatas meja. Dengan penerangan 

itu dia menyusuri lorong demi lorong. 

Namun hingga lorong terakhir yang telah 

pernah dimasuki, tak dijumpai adanya sang 

guru ditempat itu.

Tengah dia berpikir keras, mendadak 

terdengar suara hiruk-pikuk dari ujung 

lorong dimana tadi dia masuk. Tersentak 

kaget Kecubung Wungu. Pada saat itu telah 

terdengar suara teriakan dari ujung 

lorong.

"Pendekar Hati Suci! kau takkan 

dapat melarikan diri sebelum kau 

tunjukkan dimana adanya Pedang Pusaka 

Naga Merah!" 

Begitu terkejutnya hingga Kecubung 

Wungu melompat mundur. Tapi kakinya 

menginjak lantai yang bergerak merosot 

kebawah. Dia berteriak tertahan karena 

terkejutnya. Lampu minyak tanahnya 

terlepas dari tangannya dan terlempar.

Lantai tempat dia terjerumus itu 

kembali mengatup, dan tubuhnya sendiri 

meluncur turun dalam gelap.....


Pada ketinggian yang kira-kira 

sepuluh kaki, tubuhnya menyentuh benda 

empuk. Ternyata seonggok jerami. Kecubung 

Wungu mengeluh. Untunglah tempat itu 

penuh dengan onggokan jerami. Kalau tidak 

tentu akan membahayakan dirinya.

Sementara keadaan diluar lubang 

terjadi kebakaran hebat. Asap mengepul 

menyesakkan napas para penyerbu yang 

telah memasuki lorong itu. Api lampu 

minyak tanah ternyata menyambar seutas 

tambang yang menjulur ke arah tumbukan 

jerami disudut lorong.

Terjadilah hiruk-pikuk dari orang-

orang yang menyatroni lorong bawah tanah 

itu. Sukar untuk diduga, karena tak lama 

terjadilah ledakan-ledakan dahsyat! 

Lorong itu seperti dilanda gempa disana-

sini. Suara jeritan saling susul 

mengerikan.

Tubuh-tubuh manusia berserabutan 

saling tindih membaur dengan reruntuhan 

yang menguruk lorong bawah tanah itu. 

Sukar untuk diceritakan, karena dalam 

beberapa kejap saja puluhan manusia 

lenyap amblas teruruk reruntuhan. Entah 

berapa puluh jiwa melayang dalam bencana 

yang mengerikan itu!

Kita ikuti kemana langkah Nanjar 

seusai melakukan penguburan jenazah 

ayahnya Ki Anjar Subrata. Ternyata dia 

kembali mendatangi ketempat lenyapnya si


Pendekar Wanita Suci. Disana dia tertegun 

menatap sekitarnya.

"Jelas wanita itu memasuki celah 

perbukitan batu ini, tapi tak nampak 

batang hidungnya! Kemana larinya dia? 

Tampaknya dia terluka parah!" gumam 

Nanjar dengan suara berdesis. Matanya 

jelalatan memperhatikan setiap lekukan 

batu-batuan. Bahkan dia mencoba memerik-

sa, namun tak jumpai tanda-tanda yang 

mencurigakan adanya lorong rahasia 

ditempat itu.

Rasa penasaran Nanjar ternyata 

membawa keberuntungan baginya, karena 

ketika dia mencoba membongkar segundukan 

batu-batuan dia telah menemukan satu 

celah diantara batu-batu itu. Nyatalah 

kalau itu sebuah lorong rahasia. Cepat 

dia membongkarnya. Aneh! begitu dia 

menyentuh batu runcing didekatnya men-

dadak celah itu menjebak terbuka melebar. 

Tak ayal dia menerobos masuk.

Tersentak Nanjar karena sekejap 

celah batu yang terbuka itu kembali 

menutup dengan cepat. Termangu sesaat 

Nanjar dalam kegelapan lorong itu. Namun 

diam-diam hatinya bergirang karena lorong 

itu pasti telah dimasuki si Pendekar 

Wanita Hati Suci. "Pantas! Agaknya dia 

begitu menghilang karena memasuki lorong 

rahasia ini. Pasti dia berada disebelah 

dalam!" pikir Nanjar.


Dengan jantung berdebar lebih 

cepat, namun penuh keyakinan, Nanjar 

bergerak merayap memasuki lorong gelap 

itu. Semakin kedalam ternyata semakin 

melebar. Dan aneh! dihadapannya kini 

semakin terang. Terkejut dia ketika 

menengadah telah melihat langit. Ternyata 

ruangan itu berlangit-langit bolong yang 

menembus ke atas ke udara terbuka.

Melewati satu dinding dalam lorong, 

Nanjar hampir berteriak karena terkejut-

nya. Apa yang dilihatnya? Sesosok tubuh 

terkapar tak bergerak. Itulah tubuh si 

Pendekar Wanita Hati Suci. Sebuah pedang 

tertancap didadanya. Darah mengalir 

merembes ke lantai batu. Didekat sosok 

tubuh itu tergeletak sebuah peti panjang 

berukirkan Naga. 

Agak lama dia tertegun menatap 

mayat wanita itu, dengan mata membeliak. 

Disebelah lengan mayat wanita itu 

tercekal segulung kertas kain.

Setelah sadar dari keterkejutannya, 

Nanjar berjongkok mendekati. Diambilnya 

gulungan kertas ditangan mayat itu. Lalu 

dengan lengan gemetar dibukanya. Segera 

tampak barisan tulisan yang panjang. 

Setelah terpaku sejenak memikirkan 

kejadian itu, Nanjar segera membaca isi 

tulisan itu.

"Aihh! Jadi wanita ini bernama 

Nilam Sari. Sungguh tragis riwayat


percintaannya dengan laki-laki bernama 

Thio Bun Kiam itu! Cinta kasih mereka 

ternyata harus ditebus dengan kematian!" 

berkata Nanjar menggumam, selesai membaca 

isi surat dalam gulungan kertas kain itu. 

Dilipatnya lagi surat itu lalu dimasukkan 

dalam sela bajunya. Kini matanya menatap 

pada pedang yang tertancap didada wanita 

itu.

Darah belum lagi mengering, ketika 

Nanjar menyentakkan pedang itu dari 

hunjaman didada si wanita pendekar.

"Ahh,…!? Inikah Pedang Mustika naga 

Merah?" sentak Nanjar terkejut. Diama-

tinya pedang itu yang badan pedangnya 

berbentuk seekor Naga melingkar bersisik 

merah berkilauan. Gagangnya terbuat dari 

tulang beruas-ruas terlapis emas.

Pada bagian ujungnya terdapat 

sebutir mutiara besar berwarna merah.

"Tak salah! Ini pasti Pedang Mus-

tika Naga Merah!" sentak si Dewa Linglung 

dengan terkejut juga girang. Mata Nanjar 

mulai jelalatan lagi melihat ke sekitar 

mayat. Segera didapati sarung pedang yang 

terbuat dari tulang tak berada jauh dari 

tubuh mayat. Tahulah dia kalau si 

Pendekar Wanita Hati Suci telah melakukan 

bunuh diri. Apa yang dilakukannya adalah 

karena kesucian cintanya pada laki-laki 

bernama Thio Bun Kiam yang riwayatnya 

tertera pada gulungan kertas kain itu.


Nanjar menghela napas. Dibersihkan-

nya darah yang melekat pada badan pedang, 

lalu dimasukkannya ke dalam kerangka 

pedang mustika itu.

"Semoga arwahmu diterima disisi 

Tuhan Yang Maha Esa!" berkata Nanjar. 

Kemudian tanpa menunggu lebih lama, 

segera dia menggali tanah untuk mengubur-

kan mayat wanita itu. Cuaca diluar mulai 

beranjak gelap. Namun Nanjar telah 

bekerja cepat untuk menyemayamkan jenazah 

si Pendekar Wanita Hati Suci.

Demikianlah! Menjelang cuaca men-

jadi gelap Nanjar telah selesai 

mengebumikan jenazah Nilam Sari alias Lam 

Su Nio. Tak seorangpun mengetahui adanya 

peristiwa itu, kecuali Pedang Pusaka Naga 

Merah itulah yang menjadi saksinya.....

SEBELAS

DIATAS BEBATUAN dimulut lubang itu 

Nanjar duduk bersila tak bergeming pemuda 

yang pernah menjadi murid beberapa tokoh 

Rimba Hijau dari golongan Putih dan Hitam 

dan telah banyak mengalami bermacam 

peristiwa itu duduk bersemadi, menten-

teramkan hati.

PEDANG MUSTIKA NAGA MERAH tercekal 

erat dikedua lengannya. Lama dan lama...


dia berbuat seperti itu hingga kelamnya 

malam mulai diwarnai oleh cahaya terang-

terang tanah, pertanda hari sudah 

menjelang pagi dinihari.

Pelahan dia membuka matanya. 

Hatinya kini telah menjadi tenteram. 

Kematian sang ayah seperti suatu pembuka 

jalan baginya untuk mendapatkan Pedang 

Mustika Naga Merah. Kini benda mustika 

itu telah berada di tangannya. Sesaat 

antaranya dia menghela napas. Lalu bang-

kit berdiri. Pedang Mustika Naga Merah 

segera diselipkan dibalik baju dibela-

kang punggungnya.

Sesaat dia kembali menatap ke arah 

lubang dibawah kakinya, dimana jasad si 

Pendekar Wanita Hati Suci disemayamkan. 

Wanita yang telah menjadi penyebab kema-

tian ayahnya Ki Anjar Subrata. Tapi juga 

wanita yang telah membawa keberuntungan 

dengan berhasilnya dia mendapatkan Pedang 

Mustika Naga Merah. Sayang semua itu 

harus ditebus dengan nyawa. Dan entah 

berapa jiwa melayang akibat kemunculan 

pedang mustika yang membawa maut itu.

Cuma yang masih menjadi pertanyaan 

dalam hati Nanjar adalah dari mana 

ayahnya mengetahui pedang mustika itu 

berada ditangan si Pendekar Wanita Hati 

Suci yang bertempat tinggal dipuncak 

Gunung Naga Inten? Dan hubungan apakah 

ayahnya dengan laki-laki yang bernama


Thio Bun Kiam alias Jaka Buntaran? Namun 

Nanjar harus mengenyampingkan dulu peri-

hal itu. Dia memang berniat segera 

meninggalkan tempat itu, tapi tiba-tiba 

dia teringat pada Kecubung Wungu yang 

dikhawatirkan keselamatannya. Disamping 

itu dia perlu mengetahui bagaimanakah 

keadaan dipesanggrahan si Pendekar Wanita 

Hati Suci? Malam sunyi yang dilewati 

tanpa terdengar suara apa-apa kecuali

keheningan yang mencekam.

"Kemanakah gerangan orang-orang 

kaum persilatan yang berdatangan ke 

puncak gunung Naga Inten ini?" berkata 

Nanjar dalam hati. Barulah Nanjar 

teringat ketika tengah melakukan peng-

uburan jenazah ayahnya, telinganya

seperti mendengar suara ledakan-ledakan 

yang terdengar lapat-lapat. Namun membuat 

berbagai pertanyaan bersimpang-siur di-

benaknya. Ledakan apakah itu? pikir 

Nanjar.

"Setidak-tidaknya aku harus menge-

tahui apa yang terjadi! Dan keselamatan 

Kecubung Wungu murid si Pendekar Wanita 

Hati Suci itu perlu kuketahui!" desis si 

Dewa Linglung. Tak menunggu waktu lama 

lagi, Nanjar segera berkelebat dari atas 

bebatuan itu. Akan tetapi segera dia 

merandek. Dan kembali balikkan tubuh. 

Tiba-tiba lengannya bergerak menghantam 

batu-batuan dihadapannya, tepat ditempat


tadi dia berdiri

Angin keras membersit, dan 

terdengarlah suara gemuruh dari batu-batu 

yang longsor, menimbun mulut lubang 

tempat tadi dia berdiri diatasnya.

Dengan berbuat demikian Nanjar 

telah melenyapkan jejak dimana mayat si 

Pendekar Hati Suci disemayamkan. Karena 

bukan mustahil suatu saat orang Rimba 

Persilatan akan menyelidiki tempat itu. 

Nanjar tak menginginkan pembongkaran 

kuburan wanita itu. Walau pada dasarnya 

wanita itulah si pembunuh ayahnya, namun 

dia tak dapat mendendam dan menaruh 

kebencian pada orang yang telah mati. Dan 

lagipula dia merasa kematian sang ayah 

adalah wajar. Karena ayahnyalah yang 

memancing orang-orang persilatan untuk 

menyatroni puncak gunung Naga Inten. 

Semua itu karena cuma menginginkan Nanjar 

sebagai putranya menjadi orang terkenal 

dan bernama besar. Juga menjadi pemilik 

terakhir Pedang Mustika Naga Merah yang 

diperebutkan. Tanpa memikirkan banyaknya 

korban jiwa dengan perebutan pedang 

mustika itu. Rencana memang bisa 

dijalankan oleh manusia, akan tetapi 

kepastian ditangan Tuhan. Walau pada 

akhirnya Nanjar memang berjodoh untuk 

memiliki Pedang Mustika Naga Merah. 

Sesaat kemudian Nanjar telah melesat 

pergi tinggalkan tempat itu.


GIOK LAN alias si Iblis Betina 

Pemakan Jantung akhirnya berhasil mele-

paskan diri dari totokan Nanjar. Dia 

melompat bangkit dengan kemarahan menin-

dih dalam dadanya.

Keparat! Bocah yang menamakan 

dirinya si Dewa Linglung itu suatu kelak 

akan kukorek jantungnya!" mendesis wanita 

kurus ini. Tampak dia amat begitu 

mendendam pada Nanjar.

Dilihatnya keadaan didepan 

Pesanggrahan mayat-mayat bergelimpangan. 

Akan tetapi tempat itu telah sepi dari 

manusia. "Kemanakah mereka semua?" sen-

taknya dalam hati. Namun dia telah 

berkelebat memasuki ruang dalam pesang-

grahan. Tadi lapat-lapat telinganya 

mendengar suara ledakan-ledakan yang 

membuat lantai pesanggrahan bergetar.

"Sepertinya ledakan itu berasal 

dari dalam tanah! Apakah dalam ruangan 

didalam pesanggrahan ini terdapat ruang 

dalam tanah?" berkata dia dalam hati. 

Namun hatinya memang meyakinkan adanya 

ruang itu, karena mustahil si Pendekar 

Wanita Hati Suci alias Nilam Sari 

bersembunyi menyelamatkan diri dan tetap 

mempertahankan Pedang Mustika Naga Merah.

Bukan mustahil kalau wanita itu 

telah membunuh para pendatang yang 

mengejarnya dengan ledakan-ledakan yang 

menimbulkan kematian! demikian pikirnya.


Ketika itu juga tiba-tiba dari arah 

dalam melompat sesosok tubuh hampir 

bertubrukan dengannya.

"Celaka! celaka...! Semua mati! 

semua tewas! Jangan ma... masuk! didalam 

banyak perangkap!" berteriak salah 

seorang. Akan tetapi selesai berkata 

orang itu roboh terjungkal. Ketika Giok 

Lan memeriksa ternyata laki-laki itu 

telah tewas. Tubuhnya penuh luka-luka 

yang menyayat hampir sekujur tubuhnya. 

Terkejut Giok Lan ketika mengetahui laki-

laki itu tak lain dari si Raksasa Bromo!

"Setan keparat!" memaki Giok Lan. 

Tubuhnya berkelebat keluar dari dalam 

pesanggrahan dan lenyap dibalik tebing. 

Ternyata si wanita kurus ini tak pergi 

jauh dari sekitar puncak gunung Naga 

Inten. Dia berkelebatan ke sekitar tempat 

itu seperti memeriksa tempat sekitarnya, 

atau mencari seseorang. Siapa gerangan 

yang tengah dicarinya? 

Pada saat itulah dia melihat 

sesosok tubuh tersembul keluar dari 

sebuah lubang tak jauh didekatnya. Memang 

dia tengah mengamati kesekitar tempat 

yang diduga menjadi tembusan jalan 

rahasia tempat melarikan diri si Pendekar 

Wanita Hati Suci, mendadak dia melihat 

sesosok tubuh tersembul keluar dari satu 

celah lubang batu.

"Bagus! akhirnya toh kujumpai juga


Nilam Sari!" berkata Giok Lan dalam hati. 

Sekali enjot tubuh dia telah berkelebat. 

Dan dengan gerakan cepat sekali lengannya 

telah bergerak menotok sosok tubuh itu. 

Cuaca memang sudah mulai agak terang. 

Dalam keremangan itu jelas sosok tubuh 

yang ditotoknya adalah seorang wanita. 

Terdengar suara mengeluh diiringi 

ambruknya sosok tubuh itu.

Akan tetapi terkejut Giok Lan 

ketika mengetahui orang itu bukan si 

Pendekar Wanita Hati Suci, melainkan 

Kecubung Wungu, murid musuhnya yang amat 

dibenci.

"He! bocah perempuan setan! Dimana 

gurumu sinenek sial itu?" bentaknya 

menggeledek. Lengannya bergerak menjambak 

rambut Kecubung Wungu. Keruan saja dara 

ini berteriak kesakitan.

"Lepaskan dulu aku! Aku akan 

bicara!" teriaknya dengan menyeringai.

"Kau... kau siapa?" bertanya 

Kecubung Wungu yang cuma melihat wajah 

samar-samar dihadapannya. 

"Goblok! apa kau tak tahu kalau aku 

si Iblis Betina Pemakan Jantung? Segera 

katakan kemana lenyapnya gurumu!" 

membentak Giok Lan mendongkol. Karena 

dalam keadaan tertotok, Kecubung Wungu 

tak dapat berbuat apa-apa. Namun segera 

dia menjawab setelah mengetahui siapa 

adanya orang dihadapannya.


"Aku tak mengetahui di mana beliau! 

aku sendiri tengah mencari jejaknya!" 

sahut dara ini dengan wajah tegang. Kalau 

saat itu cuaca sudah terang siang, tentu 

akan terlihat wajah gadis ini amat pucat 

sekali.

Giok Lan sejenak berpikir. "Hm, 

kalau kupakai kekerasan tentu bocah ini 

tak akan mengaku. Kalau kubunuhpun tak 

ada gunanya, karena disini cuma dia 

seorang yang kutemui. Baiknya kupakai 

bujukan halus agar dia dapat memberikan 

keterangan yang jelas mengenai gurunya. 

Siapa tahu dia mengetahui tempat 

penyimpanan Pedang Pusaka Naga Merah yang 

disembunyikan gurunya!"

Disamping berfikir demikian, Giok 

Lan juga menduga si Pendekar Wanita Hati 

Suci tak akan bisa lari jauh karena dia 

telah terluka dalam yang cukup parah. 

Memikir demikian segera dia berkata.

"Hm, Kuketahui kaulah yang bernama 

Kecubung Wungu. Tapi setahuku gurumu 

mempunyai murid dua orang perempuan. 

Kemanakah seorang lagi?" bertanya Giok 

Lan dengan suara dingin.

"Adik seperguruanku aku sendiri tak 

mengetahui, bagaimana aku bisa menjawab 

pertanyaanmu?" sahut Kecubung Wungu. Apa 

yang dikatakannya memang sejujurnya. Tapi 

membuat si Iblis Betina Pemakan Jantung 

hampir habis kesabarannya.


"Kau selalu menjawab tidak tahu, 

apakah kau ingin kukorek jantungmu 

ataukah ingin kukelupas kulit mukamu? 

Jawablah dengan sejujurnya!" membentak 

lagi Giok Lan. Diam-diam bergidik juga 

hati Kecubung Wungu. Namun dia memang tak 

mengetahui. Terpaksa dia berkata.

"Aku sungguh-sungguh tak mengetahui 

dimana adik seperguruanku Kecubung Sari 

maupun dimana adanya guruku! Walaupun kau 

siksa aku sampai matipun aku tetap 

menjawab sama!" sahutnya dengan tegas.

"Hm, baik! baik! Kini jawablah 

pertanyaanku yang kedua! Apakah kau 

mengetahui tempat gurumu menyimpan Pedang 

Mustika Naga Merah?" Pertanyaan itu 

membuat kecubung Wungu semakin ternganga 

bingung. Walau demikian dia menjawab.

"Demi langit dan bumi aku akan 

menjawab sejujurnya. Aku sama sekali tak 

mengetahui hal ikhwal pedang mustika itu! 

Tapi seandainya aku mengetahui siapa yang 

sudi memberitahukan pada musuh guruku?" 

Jawaban Kecubung Wungu membuat wanita 

kurus ini berjingkrak marah. Lengannya 

bergerak menjambak rambut gadis itu 

keras-keras hingga sampai tubuh 

Kecubung Wungu terangkat. Tentu saja dara

ini menjerit sekuatnya karena merasakan 

sakitnya. Serasa kulit kepalanya lepas 

semua oleh hentakan keras itu. Pedihnya 

bukan alang kepalang.


"Setan tua! kau bunuhlah aku. 

Mengapa kau menyiksaku begini rupa?" 

teriak Kecubung Wungu dengan air mata 

berderai antara rasa sakit dan kebencian 

luar biasa pada Giok Lan yang diketahui 

adalah musuh gurunya.

Ternyata kemarahan Giok Lan sudah 

sampai puncaknya. Dengan geram tiba-tiba 

sebelah lengannya meluncur... Jros.

Terdengarlah jeritan melengking 

merobek udara. Tubuh Kecubung Wungu 

terjungkal roboh mandi darah. Dadanya 

ambrol terkena cengkeraman lengan si 

Iblis Betina Pemakan Jantung. Dan 

dilengan si wanita kurus yang berlumuran 

darah tercekal segumpal daging merah. 

Itulah jantung Kecubung Wungu yang telah 

direnggut dari dalam rongga perut gadis 

itu.

Baru saja wanita kurus ini akan 

memasukkan gumpalan daging itu ke 

mulutnya mendadak terdengar bentakan 

keras menggeledek.

"Manusia iblis! Mampuslah kau!"

Secercah kilatan merah berkelebat. 

Dan menjeritlah Giok Lan dengan suara 

parau. Tubuhnya tertembus sebatang 

pedang. Terhuyung-huyung wanita kurus 

ini, akan tetapi tidak membuat dia roboh. 

Lengannya yang sebelah meraba gagang 

pedang yang amblas tersisa dibagian 

perutnya. Sedangkan badan pedang itu


amblas menembus sampai ke punggung.

Dan tiba-tiba dengan tenaga yang 

terakhir dari sisa kekuatannya dia 

menyentakkan pedang itu.

Darah menyemburat membasahi tanah 

dan kakinya. Tubuhnya kembali limbung, 

namun belum membuat dia roboh. Matanya 

membelalak menatap pedang yang bersimbah

darah ditangannya.

"Aaakh!?... ped... dang Mus... tika 

Na... ga Mer,..rrahh!?" Terdengar suara 

wanita kurus ini terputus-putus. 

Pandangan matanyapun menangkap bayangan 

sesosok tubuh yang berdiri dihadapannya.

Dialah Nanjar alias si Dewa 

Linglung! Yang telah diancam akan dikorek 

jantungnya.

"Kau... kau... bo... cah... 

kepa..rrrraaat!" teriak si Iblis Wanita 

Pemakan Jantung. Matanya mendelik, dan 

dia gerakkan pedang itu untuk menyerang 

Nanjar. Tapi saat itu pula tubuhnya 

oleng. Sedetik kemudian wanita itu roboh 

terjungkal. Nyawanya telah putus ditengah 

jalan!

DUABELAS

NANJAR berdiri terpaku didepan 

setumpuk batu yang baru saja digunakan 

menguburkan jenazah Kecubung Wungu, 

Ditangannya tergenggam sebuah seruling


berkepala naga. Itulah senjata milik 

Kecubung Wungu yang belum sempat 

dipergunakan. Terdengar pemuda itu meng-

hela napas mengingat kematian gadis baju 

merah murid si Pendekar Wanita Hati Suci 

yang tragis. Angin sepoi-sepoi bertiup 

menyibakkan rambut si Dewa Linglung yang 

menutupi keningnya. Terdengar suara meng-

gumam laki-laki yang pernah dibesarkan di 

lereng gunung Rogojembangan ini.

"Kematian memang milik semua 

mahkluk yang hidup! Kau telah berangkat 

terlebih dulu nona Kecubung Wungu, semoga 

Tuhan mengampuni dosamu!" Selesai berkata 

dia menatap pada benda ditangannya. 

"Seruling berkepala naga ini tentu milik 

si Pendekar Wanita Hati Suci yang 

diwariskan pada Kecubung Wungu. Biarlah 

benda ini akan kupergunakan sebagai 

kenangan bahwa aku pernah berkenalan 

dengannya!"

Diselipkannya benda itu dibalik 

baju pada sisi pinggangnya. Lalu setelah 

menatap sekali lagi pada gundukan batu 

itu, Nanjar pun bertindak melangkah pergi 

meninggalkan tempat sunyi itu. Tak lama 

sosok tubuh Nanjar terlihat berkelebatan 

menuruni lereng gunung Naga Inten, dan 

lenyap dikerimbunan hutan dibawah lereng.

***

Baru saja Nanjar tiba dimulut 

hutan, mendadak telinganya mendengar 

suara menjeritnya seorang wanita. Ter-

sentak si Dewa Linglung. Tak ayal dia 

telah berkelebat ke arah asal suara itu. 

Bukan kepalang terkejutnya dia melihat 

seorang wanita dalam keadaan terikat 

dibatang pohon. Dihadapannya tampak dua 

orang laki-laki berjubah abu-abu, berke-

pala sama-sama gundul plontos. Mereka tak 

lain dari si Dewa Muka Kembar.

Gadis itu dalam keadaan cabik-cabik 

pakaiannya, bahkan sebagian auratnya 

telah terbuka.

Breeet! brreeet!

Lagi-lagi lengan salah seorang dari 

si Dewa Muka Kembar menjulur merobek 

pakaian dara itu. Dan gadis itu kembali 

perdengarkan jeritannya. Tampak dia amat 

ketakutan sekali. Kini sepasang benda 

putih ranum didada gadis itu menyembul.

Salah seorang dari si Dewa Muka 

Kembar tertawa gelak-gelak. Dialah yang 

bernama Guritmo. Sedangkan yang seorang 

lagi bernama Guritmono.

"Hahaha... kalau kau tak mau 

mengatakan dimana gurumu menyimpan, 

pedang mustika itu, maka hari ini kau 

akan kehilangan kegadisanmu!"

"Aku benar-benar tidak mengetahui!" 

teriak gadis itu yang yang tak lain dari 

Kecubung Sari. Tampak wajah gadis ini


pucat pias, air matanya mengalir 

membasahi kedua pipinya. 

"Hehehe... kau masih membandel juga 

tak mau membuka mulut? Hm, baiklah!" 

berkata Guritmono dengan wajah menyeri-

ngai. Matanya liar berkilat-kilat 

menatap dua buah benda ranum2. yang 

menyembul didada Kecubung Sari, Kini dia 

melangkah lagi setindak. Dan lengannya 

terjulur ke arah dua benda lunak itu.

Pada detik itulah tiba-tiba terde-

ngar bentakan keras.

"Dewa Muka Kembar, tahan tangan 

jahilmu!"

Sebutir batu meluncur deras ke arah 

lengan Guritmono. Dan laki-laki ceriwis 

ini menjerit kesakitan seraya menarik 

lengannya. Bukan kepalang terkejutnya 

laki-laki ini mengetahui sepotong jari 

telunjuknya telah putus.

"Keparat! Siapa kau?" bentaknya 

menggeledek seraya melompat mundur. 

Sedangkan mata Guritmo jadi mendelik 

gusar melihat siapa yang berkelebat 

muncul dihadapannya.

"Hehe... aku si Dewa Linglung! 

Apakah kalian sudah tak mengenaliku 

lagi?" berkata Nanjar yang telah berada 

dihadapan kedua orang ini. Mendadak 

Nanjar berkelebat ke arah pohon di mana 

Kecubung Sari terikat. Sekali lengannya 

berkelebat ke arah pohon, tali-temali

P

yang mengikat tubuh gadis itu. Lalu 

kembali dia melompat kehadapan si Dewa 

Muka Kembar.

"Kau? lagi-lagi kau turut campur 

urusan orang! Heh! kali ini jangan harap 

kau lolos dari tangan kami!" membentak 

Guritmono yang telah mencabut senjata 

rantai berujung roda bergerigi. Rasa 

sakit pada jarinya yang putus sudah tak 

dihiraukan lagi. Segera dia memberi 

isyarat pada Guritmo, yang segera 

menyiapkan senjatanya

"Hehehe... ternyata pekerjaan dua 

Dewa Muka Kembar bisanya cuma mengganggu 

perempuan?" mengejek Nanjar dengan 

cengar-cengir.

"Kunyuk Linglung! dua kali kau 

mengecoh kami dan selalu menggagalkan 

urusan kami berdua. Apakah nyalimu sudah 

tumbuh untuk tidak melarikan diri lagi?" 

bentak Guritmono. Laki-laki ini geram 

sekali karena mereka memang pernah 

dikerjai Nanjar ketika melakukan kejaha-

tan. Namun Nanjar bertingkah seperti 

orang tolol, dan melarikan diri ketika 

dikejar keduanya. Namun semua itu untuk 

menyelamatkan orang yang nyaris menjadi 

korbannya. 

"Aku tak akan melarikan diri lagi, 

Tuan Dewa Kembar! Hm, bukankah kalian 

menginginkan Pedang Mustika Naga Merah! 

Benda itu ada padaku!" berkata Nanjar.


Tentu saja membuat kedua pasang 

mata si Dewa Muka Kembar membelalak 

ketika Nanjar mencabut pedang mustika itu 

dari belakang punggungnya. Sinar merah 

berkredepan menyilaukan mata, memercik 

dari badan pedang yang berbentuk seekor 

naga melingkar dengan ekor yang menjulur 

meliuk-liuk ke atas.

"Tak salah lagi! Itulah Pedang 

Mustika Naga! mengapa bisa berada 

ditangan kunyuk linglung ini?" berdesis 

Guritmo. Sejenak mereka saling pandang. 

Sementara Guritmono diam-diam nyalinya 

menciut. Hantaman batu kerikil yang 

memutuskan jarinya, yang dilakukan pemuda 

itu jelas dapat diduga kalau si Dewa 

Linglung itu memiliki ilmu kepandaian 

tinggi.

Apalagi kini, Pedang Mustika Naga 

Merah berada ditangannya. Bagaimana 

mungkin mereka mampu membekuk bocah diha-

dapannya? Namun adanya pedang mustika 

ditangannya Nanjar telah membuat mata 

mereka seperti buta, tak melihat 

akibatnya lagi.

Serentak mereka memberi isyarat, 

dan berbareng maju menerjang dengan 

masing-masing senjatanya. Dua roda

bergerigi meluncur ke arah kepala Nanjar 

dibarengi bentakan keras.

"Bagus! pucuk dicintai ulam tiba! 

Serahkan benda mustika itu pada kami!"


Whuut! whuut!

"Hehe... enak saja! Silahkan kau 

rebut dari tanganku!" berkata Nanjar 

seraya berkelebat melompat dengan gaya 

jurus Kera Sakti Menari. Serangan-

serangan si Dewa Muka Kembar semakin 

gencar tak memberi waktu luang sedikitpun 

untuk Nanjar lebih lama menjejakkan kaki. 

Bahkan semakin ganas roda maut si Dewa 

Muka Kembar berdesingan. Namun Nanjar 

cuma melompat-lompat menghindari saja 

tanpa balas menyerang. Tiba-tiba Gurit-

mono perdengarkan lengkingan keras. 

Gerakan serangannya berubah. Kini dia 

menggunakan gerakan memutar. Makin lama 

makin cepat. Akibatnya Nanjar cukup 

pusing kepala karena cuma melihat 

bayangan mereka saja yang mengelilingi 

tubuhnya. Sukar bagi Nanjar untuk melom-

pat keluar menembus kurungan yang rapat 

bagaikan bentengan itu.

Saat mana tiba-tiba lengan 

Guritmono bergerak menghamburkan ratusan 

jarum. Disusul hantaman keras pukulan 

tenaga dalam. Dengan berteriak kaget 

Nanjar melompat setinggi enam tombak 

menghindari serangan. Tapi detik itu 

Guritmo telah melejitkan tubuhnya ter-

lebih dulu. Agaknya dia telah menduga 

Nanjar akan berbuat demikian. Detik 

itulah dia hantamkan roda bergeriginya ke 

arah batok kepala si Dewa Linglung.


Sedangkan sebelah lengannya dengan 

gerakan kilat telah menyambar untuk 

merampas pedang mustika Naga Merah dari 

tangan Nanjar.

Akan tetapi diluar dugaan justru 

pedang mustika ditangan Nanjar telah 

berkelebat lebih cepat menabas. Tak ampun 

lagi terdengarlah suara melengking 

mengerikan Guritmo. Tubuhnya terpotong 

menjadi dua bagian. Dan jatuh meluruk 

berdebukan. Darah menyembur bersimbahan. 

Bukan main terperanjatnya Guritmono. 

Keringat dingin mengalir deras di 

tengkuknya. Tiba-tiba dia balikan tubuh 

dan berkelebat melarikan diri. Baginya 

nyawanya lebih penting, untuk suatu saat 

membalas dendam. Sekejapan saja tubuhnya 

telah lenyap dibalik hutan.

Nanjar ternyata tak melakukan 

pengejaran. Dibersihkannya darah yang 

menyiram pedang mustika Naga Merah. Lalu 

dimasukkan lagi dalam kerangkanya dibela-

kang punggung. Ketika itu Nanjar baru 

teringat pada Kecubung Sari. Akan tetapi 

alangkah terkejutnya dia melihat gadis 

itu tak berada ditempatnya lagi.

"He? kemana perginya dia?" Berkata 

Nanjar seorang diri. Pandangan matanya 

memutari sekitar hutan. Tapi tak ada 

tanda-tanda adanya gadis itu berada 

ditempat itu.

"Aiiih! mungkin dia menyembunyikan


diri karena malu dirinya dalam keadaan 

setengah telanjang..." pikir Nanjar. Baru 

saja dia akan beranjak melangkah pergi 

mendadak terdengar bentakan 

dibelakangnya.

"Serahkan Pedang Mustika Naga Merah 

milik guruku itu padaku!" Tersentak kaget 

Nanjar, karena tahu-tahu terasa diteng-

kuknya menempel ujung pedang. Dari suara 

itu jelaslah kalau yang membentaknya 

adalah Kecubung Sari.

"Aiiih, nona Kecubung Sari. 

Lepaskanlah ujung pedangmu. Tanpa kau 

todong aku demikian rupapun aku akan 

memberikan pedang mustika ini kalau kau 

menginginkan!" berkata Nanjar. Sejenak 

tadi hatinya mencelos. Kalau saja bukan 

Kecubung Sari yang melakukan, tentu 

jiwanya sudah melayang.

"Baik! kau bisa pegang janjimu, 

Dewa Linglung?" bertanya Kecubung Sari 

dengan suara dingin.

"Heheh... apakah kau anggap aku 

seorang penipu? Buat apa aku menyandang 

gelar pendekar?" sahut Nanjar dengan 

tertawa. Pernyataan Nanjar membuat 

Kecubung Sari segera melepaskan todongan 

ujung pedangnya, Dan Nanjarpun segera 

balikkan tubuh. Terlihatlah dara itu 

berdiri tegak menatapnya dengan sorot 

mata tajam. Pedang ditangannya masih siap 

untuk dipergunakan bila Nanjar melakukan


tindakan menyerang.

Akan tetapi Nanjar justru tersenyum 

sang dara cantik yang telah merapihkan 

pakaiannya.

"Benarkah kau menginginkan pedang 

mustika ini?" tanya Nanjar. Pertanyaan 

Nanjar ternyata tak mendapat jawaban. 

Gadis itu membisu, bahkan menunduk. Diam-

diam dada Kecubung Sari berdebaran. 

Apakah yang akan dikatakannya? Pemuda itu 

telah menolongnya, menyelamatkan kesuci-

annya. Dan untuk apakah dia memiliki 

pedang mustika itu? Sedangkan untuk 

menjaga dirinya saja dia tak mampu, 

apalagi untuk menjaga pedang mustika yang 

menjadi incaran kaum Rimba Persilatan 

itu?

Akhirnya pelahan menggelengkan 

kepala. Dan jawabnya lirih.

"Aku tidak sungguh-sungguh! Akan 

tetapi maukah kau menceritakan semua apa 

yang telah terjadi dengan guruku? Dan 

bagaimana kisahnya hingga pedang mustika 

itu bisa kau miliki?" berkata Kecubung 

Sari. Nanjar menghela napas. Lalu 

menjawab dengan didahului tertawa tawar. 

"Kisahnya cukup panjang, nona 

Kecubung Sari. Nantilah aku ceritakan. 

Masukkanlah pedangmu lagi. Mari kita 

pergi dari sini. Kau lihat awan hitam 

itu? Sebentar lagi hujan akan turun 

deras. Sebaiknya kita mencari tempat yang


baik untuk kita berlindung sambil 

bercakap-cakap. Aku akan paparkan semua 

yang kualami hingga berhasilnya pedang 

mustika ini jatuh ketanganku" berkata

Nanjar seraya menunjuk ke langit.

Memang pada saat itu cuaca berubah 

agak gelap. Angin membersit menerbangkan 

dedaunan. Gadis itu mengangguk. Entah 

mengapa hatinya merasa tenteram berada 

dekat dengan pemuda itu. Tak dapat 

disangkal lagi dia telah jatuh hati pada 

si Dewa Linglung. Kecubung Sari masukkan 

pedangnya dalam serangka dipinggang. 

Lalu sahutnya.

"Baiklah! mari kita pergi!"

"Kau percaya aku tak akan 

mencelakaimu?" tanya Nanjar. 

"Percaya! Seandainya aku tak 

percaya buat apa aku mengampuni jiwamu?" 

sahut Kecubung Sari dengan ketus. Namun 

dia tahu pribadi Nanjar. Apalagi hatinya 

telah terpikat. Mau tak mau sehabis 

berkata dia tersipu. Sementara hatinya 

semakin menggetar tak menentu.

"Kau mau berteman denganku seorang 

pemuda yang linglung?"

"Asal tidak gila, aku tak 

keberatan!" sahutnya sambil tertawa.

"Kau makin cantik saja kalau 

tertawa...!"

"Huh! gombal! kau merayu atau 

menghina?"


"Hehe... hahaha... marah, ya? 

dipuji kok marah! Eh, tapi kalau cemberut 

gitu kau makin cantik!"

"Huuuuh! sudahlah! hayo berangkat!" 

bentak Kecubung Sari, hatinya terasa 

berbunga. Gurauan Nanjar menyejukkan 

kemelut yang masih menggayuti dadanya. 

Walau bagaimana dia harus cepat 

mengetahui bagaimana nasib gurunya. Juga 

kakak seperguruannya yang belum diketahui 

nasibnya. Dia memang terlambat datang ke 

puncak gunung Naga Inten. Dan mendengar 

berita telah terjadi peristiwa mengerikan 

yang membuat korban jiwa dipuncak gunung 

Naga Inten, dari penuturan si Dewa Muka 

Kembar. Akhirnya dia ditawan dan dipaksa 

untuk memberitahukan dimana disimpannya 

Pedang Mustika Naga Merah.

Tak lama keduanya telah bergegas 

meninggalkan tempat itu. Sementara angin 

semakin bertiup semakin keras. Hawa 

dingin menebar. Bisa diperkirakan bahwa 

tak berapa lama lagi akan turun hujan 

lebat. Dari kejauhan masih terdengar 

suara Nanjar yang tertawa gelak-gelak 

menggoda Kecubung Sari. Walau toh 

nantinya gadis itu pasti akan berduka 

bila mengetahui musibah yang telah 

menimpa saudara seperguruannya dan sang 

guru, si Pendekar Wanita Hati Suci.


                                 TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive