S A T U
DUA EKOR KUDA seperti saling berpa-
cu dengan cepat mendaki perbukitan itu.
Kuda-kuda mereka bukan kuda biasa me-
lainkan kuda pilihan. Dapat dilihat cara
berlarinya yang tangkas. Juga kedua pe-
nunggangnya bukanlah orang-orang biasa.
Karena mereka juga merupakan para penung-
gang kuda yang gesit dan tangkas.
Yang seorang berpakaian kain kasar
berwarna biru dengan sebuah pedang berada
di punggung. Dia seorang laki-laki muda
yang tampan berkumis kecil. Rambutnya
tergelung diatas kepala terikat sehelai
kain warna kuning. Sedangkan yang seorang
lagi ternyata seorang gadis berpakaian
sutera merah kembang-kembang. Rambutnya
terikat menjadi dua yang masing-masing
bagian terikat sebuah pita warna putih.
Gadis ini juga menyoren pedang di pung-
gungnya. Nyatalah kalau mereka orang-
orang kaum persilatan. Dapat dilihat dari
cara mereka berpakaian serta kelincahan-
nya menunggang kuda.
Walau bagaimanapun si gadis ternya-
ta kalah lincah dan kalah cepat mendaki.
Karena kuda hitam pemuda baju biru itu
telah lebih dulu tiba diatas bukit.
"Hahaha .... kau kalah adik
SRIGATI! Kudamu larinya seperti keong,
mana mampu mengungguli kudaku?" teriak
pemuda ini.
"Huh! Kau curang kakang BAYU! Kalau
kau tak berlaku licik memotong jalan,
tentu aku yang lebih dulu sampai diatas
bukit!" berkata gadis ini dengan wajah
merah dan napas terengah-engah. Dia baru
saja tiba diatas bukit sepeminuman teh
setelah pemuda itu terlebih dulu tiba.
"Hahaha..... bukankah dalam pertan-
dingan adu kecepatan ini tak ada larangan
apa-apa. Kalau aku memotong jalan itu
adalah karena kecerdikanku!" berkata si
pemuda dengan tertawa.
"Tapi...... tapi maksudku kita ha-
rus mengambil jalan lurus!" tergagap si
gadis wajah semakin memerah seperti mau
menangis.
"Ya ya, sudahlah! Aku anggap per-
tandingan kita kali ini berlangsung se-
ri!" cepat-cepat si pemuda memotong bica-
ra. Agaknya dia kenal situasi. Kalau si
gadis dihadapannya suka ngambek, sukar
untuk membujuknya.
"Huh! siapa mau begitu? kalau aku
kalah, ya kalah!" berkata ketus si gadis.
Membuat si pemuda jadi garuk-garuk kepala
serba salah.
"Haiiih! sudahlah adik manis, nanti
dilain waktu bila kita mengadakan pertan-
dingan adu cepat lagi, aku berjanji tak
akan berlaku curang!" membujuk si pemuda.
"Huh! aku tak akan mengadakan per
tandingan lagi. Hari ini adalah hari yang
terakhir kali!" sahut si gadis cepat.
Srigati sudah dapat menduga bahwa bila
kelak diadakan pertandingan lagi, tentu
Bayu akan sengaja membiarkan dia menang
dengan pura-pura kalah. Makanya dia meno-
lak dan memutuskan tak akan mengadakan
pertandingan lagi.
Pernyataan Srigati membuat Bayunan-
ta semakin serba salah. Hatinya berkata
"Wah kalau sudah begini, serba berabe!"
Lag-lagi dia garuk-garuk kepala. Diam-
diam dia menyesali mengapa tak sengaja
membuat kekalahan tadi?
"Yah, sudahlah!" berkata Bayunanta
dengan menghela napas.
"Eh, adik Srigati! Dibawah bimbin-
gan guru barumu tentu ilmu silatmu sema-
kin maju pesat! Coba tunjukkan padaku ju-
rus-jurus barumu yang kau peroleh dari Ki
Ageng Sepuh itu!" berkata Bayunanta men-
galihkan pembicaraan.
Srigati masih cemberut. Tapi men-
dengar kata-kata Bayunanta, dia menoleh
dan melompat turun dari atas kuda.
"Jangan kau memperolokkan aku, ka-
kang Bayu! Kutahu, ilmu silatmu lebih
tinggi dariku. Kau lebih hebat dalam per-
mainan ilmu pedang. Apalagi kau dibimbing
oleh ayahmu sendiri yang sudah punya nama
besar dikalangan kaum persilatan. Siapa
yang tak kenal dengan julukan ayahmu si
Pedang Malaikat?"
"Ah, kau terlalu berprasangka bu-
ruk, adik Srigati! Juga kau terlalu me-
nyanjung nama besar ayahku tapi aku tahu
betul siapa Ki Ageng Sepuh. Dia bekas
orang Istana yang telah mengundurkan diri
dari Kerajaan. Menurut ayahku ilmu kedig-
jayaan gurumu itu amat tinggi, karena dia
bekas hulubalang Kerajaan. Sungguh ayahmu
Adipati. UMBUL WILAYA tak menyia-nyiakan
kesempatan mengundang beliau untuk menja-
dikan kau sebagai muridnya!" berkata
Bayunanta dengan melompat turun dari ku-
danya.
Srigati tersenyum. Sikap merendah
Bayunanta telah merubah wajah cemberut
Srigati menjadi cerah.
"Ah, aku baru mempelajari lima ju-
rus ilmu pedang. Aku akan perlihatkan pa-
damu jurus-jurus itu. Tapi kuharap kau
tidak mencelanya!" berkata Srigati.
"Bagus! segeralah kau perlihatkan!"
"Baik!"
Srigati tarik keluar pedangnya dari
belakang punggung. Bayunanta melangkah
mundur, lalu melompat keatas batu dan du-
duk disana.
Srigati berkelebat melompat agak
menjauh dari kedua ekor kuda tunggangan
mereka. Tak lama dia telah memasang kuda-
kuda dan mengkonsentrasikan diri untuk
memulai jurus-jurus yang akan dimainkan
nya.
"Ini jurus Badai Menyerbu Bukit!"
teriak Srigati. Mendadak tubuhnya mence-
lat dua tombak keudara. Dalam keadaan me-
lambung itu pedangnya berkelebatan mena-
bas angin beberapa kali menimbulkan suara
bersiutan serta kilatan-kilatan cahaya
berkredepan. Gerakan ini dibarengi dengan
teriakan keras yang menggetarkan udara.
Ketika tubuhnya meluncur kebumi mendadak
dia letikkan lagi tubuhnya. Kini kedua
belah lengannya mengembang. Pedangnya
kembali menabas dengan gerakan-gerakan
menyilang. Hebat serangan ini karena pe-
dangnya telah berubah menjadi seperti
berpuluh-puluh banyaknya.
Srigati melakukan dua kali salto
lagi diudara, lalu berdiri tegak ditanah
dengan kuda-kuda kokoh.
"Yang barusan adalah jurus "Elang
Bayangan!" berkata, Srigati.
"Ah hebat! kedua jurus itu baru aku
pernah melihatnya. Serangan-serangannya
amat luar biasa!" ujar Bayunanta dengan
kagum. Srigati tak mendengarkan pujian
itu tapi telah mulai meneruskan jurus-
jurus selanjutnya. Demikianlah hingga
sampai selesai mempertunjukkan kelima ju-
rus ilmu pedang itu barulah Srigati ber-
henti.
Jurus yang terakhir itu membuat mu-
lut si pemuda tak hentinya memuji.
"Hebat! hebat! Sungguh luar biasa
kelima jurus ilmu pedang itu, adik Sriga-
ti. Sudah kuduga Ki Ageng Sepuh seorang
yang berilmu tinggi!"
Baru saja selesai Bayunanta bicara
mendadak berkelebat sebuah bayangan pu-
tih. Tahu-tahu ditempat itu telah berdiri
sesosok tubuh, seorang kakek tua berambut
putih tergelung rapih. Kakek ini berpa-
kaian jubah warna putih sewarna dengan
rambut dan jenggotnya.
"Wah, wah, wah! pujian itu sungguh
berlebihan sekali. Aku si tua renta ini
merasa ilmuku tak berarti apa-apa diban-
dingkan dengan kehebatan serta nama besar
si Pedang Malaikat!"
Tentu saja membuat Bayunanta terke-
jut. Akan tetapi Srigati berteriak gi-
rang.
"Guru....!" teriaknya dengan melom-
pat menghampiri. Lalu dengan wajah berse-
ri dia menjura menghormat.
"Guru, ada apakah kau menyusulku
kemari?" tanya Srigati.
"Hehehe .... anak bengal! ayahmu
mencari-carimu sejak pagi tadi. Aku sudah
menduga kalau kau akan ketempat ini. Ma-
kanya aku menyusul kesini!" sahut Ki
Ageng Sepuh dengan tersenyum. Adapun
Bayunanta segera mengetahui siapa adanya
orang tua itu. Diapun segera menjura, dan
berkata.
"Selamat berjumpa Ki Ageng! Sungguh
aku merasa malu nama ayahku selalu disan-
jung-sanjung. Padahal menurut kenyataan-
nya ilmu Ki Ageng dibandingkan ayahku ti-
daklah dibawah ayahku!"
"Hehehe .... sudahlah! mengapa ha-
rus saling memperebutkan tinggi rendahnya
ilmu? Ilmu itu tak ada habisnya. Diatas
langit masih ada langit! Tinggi rendahnya
ilmu tak ada artinya kalau si pemilik il-
mu itu tak dapat mempergunakannya di ja-
lan kebaikan. Aku tidak menyanjung ayah-
mu, raden can bagus! Tapi kehebatan ilmu
pedang Malaikat memang telah diakui oleh
dunia persilatan! Dan kau sebagai pewa-
risnya tentu saja akan sehebat ayahmu!"
berkata Ki Ageng Sepuh dengan tersenyum
dan mengelus jenggotnya.
"Terima kasih atas pujianmu, Ki
Ageng! Oh, ya apakah kedatanganmu untuk
menjemput adik Srigati?" bertanya Bayu-
nanta, yang tak dapat membantah lagi ka-
ta-kata orang tua itu.
"Benar, raden cah bagus. Hm, apakah
raden yang bernama Bayunanta?"
"Tidak salah, Ki Ageng!" sahut
Bayunanta dengan hati agak tergetar. Ta-
tapan laki-laki tua itu amat tajam seper-
ti begitu berpengaruh, hingga diam-diam
pemuda ini terkejut.
"Guru, apakah aku harus pulang se-
karang?" tiba-tiba Srigati berkata Ki
Ageng Sepuh menoleh. "Sebenarnya tak per-
lu terburu-buru. Beliau sudah menitahkan
aku untuk mencarimu dan Kau bisa mengha-
dap nanti sore!" menyahut Ki Ageng Sepuh.
"Hm, maaf, raden cah bagus ...."
berkata laki-laki tua ini seraya menoleh
pada Bayunanta. Tapi cepat-cepat pemuda
ini memotong.
"Harap anda tak menggunakan kata
raden, Ki Ageng!"
"Ya, ya, ya baiklah! Begini nak
Bayunanta, ada sedikit pesan dari Kanjeng
Adipati, yaitu ....." Agak ragu-ragu Ki
Ageng Sepuh meneruskan bicara.
"Katakanlah, Ki Ageng mengapa kau
ragu-ragu?" Tampak Ki Ageng Sepuh terme-
nung sejenak, lalu memalingkan wajahnya
menatap Srigati, kemudian menghela napas.
"Begini sajalah! besok pagi aku
akan mengunjungi tempat kediamanmu, seka-
lian aku ingin bertemu muka dengan ayahmu
Tumenggung Ki GELAGAH!" berkata Ki Ageng
Sepuh. Tampaknya dia enggan memberitahu
apa pesan Adipati Umbul Wilaya pada Bayu-
nanta.
"Baiklah kalau begitu, Ki Ageng!
Oh, ya agaknya aku tak dapat berlama-lama
lagi. Aku akan segera kembali pulang!"
sahut Bayunanta, seraya menjura dan me-
minta diri. Kemudian mengangguk sekali
pada Srigati. Gadis itu membalas dengan
anggukan.
Ki Ageng Sepuh menghela napas, lalu
ujarnya. "Baiklah, semoga kau tak berke-
cil hati, nak Bayunanta. Dan sampaikan
salamku pada ayahmu ....!" ujar orang tua
ini.
"Baiklah, Ki Ageng!" selesai mengu-
cap, Bayunanta bergerak melompat keatas
kuda. Tak lama dia telah membedal kudanya
dengan cepat meninggalkan tempat itu.
DUA
Dalam perjalanan pulang Bayunanta
tak habis pikir memikirkan apa-apa yang
akan dikatakan Ki Ageng Sepuh itu.
"Pesan apakah yang akan disampai-
kannya dari Adipati Umbul Wilaya padaku?"
bergumam Bayunanta. Sementara kudanya di-
pacunya semakin cepat. Tapi setelah mele-
wati bukit itu dia memperlambat lari ku-
danya. Yang diingatnya masih Ki Ageng Se-
puh. Sikapnya ketika berbicara beberapa
kali melirik pada Srigati. Hal itulah
yang menjadi buah pikirannya.
"Apakah Adipati melarang aku ber-
gaul dengan anak gadisnya?" desah pemuda
ini sambil menyeka keringat. Bayunanta
memang menyadari - siapa diri-nya. Walau-
pun dia anak seorang tokoh persilatan
yang bernama besar, dan berpangkat Tu
menggung, namun kepangkatan ayahnya diba-
wah Adipati UMBUL WILAYA.
"Apakah aku dipandang rendah untuk
bergaul dengan Srigati? Ataukah ayahnya
mempunyai soalan dengan Adipati Umbul Wi-
laya?" berkata dalam hati Bayunanta men-
duga-duga. Tapi tidak bisa memastikan du-
gaannya benar atau salah. Demikianlah,
dengan hati masygul dan benak penuh den-
gan bermacam pertanyaan dia menjalankan
kudanya dengan tanpa semangat.
"Hm, sebaiknya aku bersabar menanti
kedatangan Ki Ageng Sepuh besok pagi. Se-
muanya akan menjadi jelas dan terang!
Mengapa aku banyak memikir yang tidak-
tidak?" bergumam pemuda ini. Memikirkan
demikian Bayunanta segera keprak tali ke-
kang kudanya dan membedalnya untuk kemba-
li berlari cepat. Sebentar saja dia telah
jauh meninggalkan bukit dibelakang-
nya.....
Akan tetapi dipersimpangan jalan
dia berhenti. Agak segan dia untuk men-
gambil jalan pulang kerumah. Akhirnya dia
memutuskan untuk membelok kekanan. Jalan
ini adalah jalan yang menuju ke Kota Ra-
ja.
Kuda hitam yang ditunggangi Bayu-
nanta berlari cepat melintas dijalan sepi
itu. Ternyata dia tak terus menuju ke Ko-
ta Raja, melainkan singgah ke sebuah desa
yang cukup ramai. Itulah desa Manunggal
yang letaknya tak jauh dari Kota Raja.
Sebuah desa yang cukup ramai oleh kepada-
tan penduduk. Bayunanta belokkan kudanya
kesebuah restoran sederhana ditepi jalan.
Restoran itu berada ditengah desa, yang
menjadi pusat keramaian.
Setelah tambatkan kudanya, dengan
langkah lebar dia bertindak memasuki res-
tauran yang sekaligus tempat penginapan.
Seorang pelayan menyambut ramah dan mem-
persilahkan duduk. Mata Bayunanta memuta-
ri ruangan. Tampak didalam ruangan itu
beberapa tetamu yang sedang bersantap.
Ternyata restoran itu cukup terkenal,
hingga bukan rakyat biasa saja yang men-
jadi tamunya, melainkan juga orang-orang
Kerajaan banyak yang berkunjung kesitu.
Disudut kanan ruangan terlihat em-
pat orang perwira Kerajaan duduk santai
menghadapi meja makan. Tampaknya mereka
baru selesai makan. Karena diantaranya
ada yang duduk menyelonjorkan kakinya di-
atas meja dengan mulut sebentar-sebentar
menghembuskan asap rokok. Sementara yang
lainnya bercakap-cakap. Piring-piring na-
si dan gelas diatas meja sudah kosong.
Beberapa bangku sudah terisi pula dengan
tetamu lainnya. Cuma meja disudut kiri
itulah yang kosong.
Bayunanta cuma melirik sekilas pada
keempat perwira itu, lalu dengan langkah
lebar beranjak menuju kemeja disudut se
belah kiri ruangan. Seorang pelayan buru-
buru menghampiri.
"Pesan apa, den?" tanya si pelayan
ramah dengan membungkuk-bungkuk.
"Hm, buatkan aku teh kental saja,
tak usah diberi gula. Dan beri aku se-
mangkok bubur hangat!" berkata Bayunanta
datar.
Empat perwira itu melihat kedatan-
gan Bayunanta masing-masing menatapkan
matanya dengan wajah sinis. Dan terdengar
mereka saling berbisik.
"Ssssst, kalian tahu, siapakah yang
baru datang ini? Dialah anaknya Tumeng-
gung; Ki Gelagah yang punya gelar si Pe-
dang Malaikat!"
"Ya, ya! aku tahu. Bukankah dia
bernama Bayunanta? tapi khabarnya dia bu-
kan....."
"Ssssst! kalau sudah tahu, ya su-
dahlah! Jangan bicara disini, nanti dia
dengar!" berkata lawannya mencolek lengan
perwira ini memotong bicaranya.
Seorang perwira berkumis tebal
bangkit berdiri dan menggebrak meja hing-
ga semua orang menoleh.
"Pelayan!" teriaknya keras. Lagak
orang ini angkuh. Gebrakan pada meja itu
tak begitu keras, tapi karena saat itu
sedang dalam keadaan sepi membuat para
tetamu menoleh. Mereka memang sudah men-
getahui siapa adanya empat perwira Kera
jaan itu yang sering datang ke restoran
itu. Sikap mereka rata-rata angkuh. Me-
mang begitulah sikap kebanyakan para pe-
tugas Kerajaan. Merasa dirinya lebih dari
orang lain.
Akan tetapi akibat gebrakan pada
meja itu membuat sisa air dalam gelas me-
muncrat. Dan anehnya puncratan air itu
justru kearah Bayunanta. Hingga membuat
basah pakaian pemuda itu. Seperti tak ta-
hu apa yang terjadi kembali dia berteriak
kendati dilihatnya pelayan telah berjalan
cepat menghampiri.
"Berapa semua harga makanan ini!"
berkata si kumis tebal. Si pelayan segera
menghitungnya. Lalu sahutnya.
"Jadi ng......lima belas ketip,
den!"
Si kumis tebal merogoh sakunya, la-
lu mengeluarkan uang receh dengan mengu-
ras semua isi saku.
"Nih! sisanya untukmu!" katanya
dengan nada sombong.
Si pelayan segera menghitung. Tapi
setelah dihitung ternyata cuma ada lima
ketip. "Ku... kurang den!" ucapnya gagap.
"Apa?" bentak si kumis tebal.
PLAK!
Satu tamparan keras melayang menge-
nai pipi si pelayan hingga laki-laki ini
terhuyung dan mengaduh kesakitan. Uang
ditangannya bergemerincing berjatuhan ke
lantai. Laki-laki pelayan ini meringis
memegangi pipinya yang memerah membekas
lima jari tangan
"Kau sungguh membuat malu aku! su-
dah ku persen masih bilang kurang!" mem-
bentak lagi si kumis tebal. Dia sudah be-
ranjak melangkah lagi. Sebelah lengannya
diulurkan untuk menjambak rambut si pe-
layan muda itu. Tapi pada saat itu seo-
rang laki-laki gendut cepat-cepat meng-
hampiri seraya buru-buru menarik si pe-
layan. Lalu membungkuk-bungkuk dihadapan
si kumis tebal.
"Maafkan dia, den. Pelayanku ini
orang baru, harap anda memaklumi kesala-
hannya!" berkata si laki-laki gendut yang
ternyata adalah si pemilik restoran.
"Haiih! kau mengapa bikin malu te-
tamu kita? Kau memang tak becus jadi pe-
layan. Sana, kau kerja didapur saja!"
berkata marah si pemilik restoran. Si pe-
layan yang masih menyeringai memegangi
sebelah pipinya yang sembab, terbungkuk-
bungkuk didepan si majikan.
"Maafkan aku, juragan!" ujarnya.
Lalu buru-buru beranjak keruang belakang.
Namun masih sempat sekilas dia melirik
pada si kumis tebal dan kawan-kawannya.
Laki-laki gendut itu memunguti sisa ke-
pingan uang yang berserakan dilantai, la-
lu menjura didepan si kumis tebal yang
masih bertolak pinggang. Wajahnya tampak
merah padam.
"Sekali lagi hamba mohon maaf atas
ketololan pelayan hamba, raden!" berkata
si laki-laki gendut.
"Hm, lain kali aku tak ingin hal
ini terulang lagi!" berkata keren perwira
berbadan kekar ini. Lalu menoleh pada ke-
tiga kawannya, memberi isyarat untuk se-
gera angkat kaki. Setelah merapihkan baju
dan membetulkan letak pedangnya, si per-
wira berkumis tebal itu melangkah lebar
keluar dari ruangan restoran itu diikuti
ketiga kawannya. Bayunanta mengikuti den-
gan pandangan matanya.
TIGA
SI PELAYAN muda yang nasibnya sial
kena tampar tadi ternyata tengah asik
mengupas pisang dan memakannya tanpa me-
mikirkan rasa sakit pada pipinya lagi.
Dari ruang dalam dia melihat si kumis
tebal dan kawan-kawannya melangkah ke
luar restoran. Mendadak dia menelan sisa
pisangnya cepat-cepat, tiba-tiba kulit
pisang itu melesat dari tangannya, dan
meluncur jatuh tepat di depan kaki si ku-
mis tebal yang tengah melangkah lebar.
Detik itu jugalah terdengar suara
teriakan kaget si kumis tebal, diiringi
suara berdebuk tubuhnya yang jatuh. Ter
nyata kakinya telah menginjak kulit pi-
sang, hingga terpeleset.
"Keparat!" memaki si kumis tebal
dengan wajah merah padam. Tentu saja ke-
jadian lucu itu membuat para tetamu yang
melihat tak dapat menahan tertawanya. Se-
mentara si pelayan tadi sembunyi dibalik
pintu dengan menahan tawa.
Pada saat itu pelayan yang seorang
lagi telah selesai menyiapkan makanan pe-
sanan Bayunanta, dan baru saja mau memba-
wanya untuk dihidangkan. Akan tetapi men-
dengar suara mengaduh dan suara orang ja-
tuh berdebuk, dia berhenti untuk melihat.
Pelayan inipun terguncang-guncang menahan
tertawa. Tadi dia telah melihat kawannya
kena tampar dan dia memang sangat sebal
pada perwira yang sombong itu. Dalam hati
dia mengutuk. "Rasakan! Itulah akibat ke-
sombonganmu!"
Akan tetapi karena gelinya nampan
yang dipegangnya terguncang-guncang dan
bubur panas serta air teh kental diatas
nampan terguncang-guncang nyaris tumpah.
Si pelayan ini cepat sadar. Tapi baru sa-
ja dia menenangkan diri mendadak mangkok
berisi bubur panas itu melayang "terbang"
.....
Pada saat itulah si perwira berku-
mis tebal itu baru saja mau merangkak
bangun. Tapi mendadak ...
PLOK! Mangkok berisi bubur panas
itu telah hinggap dimukanya, Tentu saja
laki-laki perwira Kerajaan ini menjerit
kaget dan meraung-raung kepanasan. Seke-
tika gemparlah keadaan didalam restoran
itu. Sementara si pelayan pembawa nampan
itu cepat-cepat menghilang. Tiga orang
kawan si perwira berkumis tebal itu men-
cabut pedangnya.
Seperti sudah dapat menduga siapa
yang melakukan perbuatan itu mereka ber-
paling pada Bayunanta yang masih duduk
dikursinya. Tapi dia keheranan dengan ke-
jadian aneh itu. Walau demikian matanya
yang tajam dapat melihat gerakan sebuah
lengan dibalik pintu. Dia menduga orang
dibalik pintu itulah yang telah melakukan
perbuatan itu.
Tahu-tahu tiga orang perwira kera-
jaan itu telah melompat kehadapannya. Sa-
lah seorang membentak keras.
"Ini pasti ulahmu! Rupanya kau men-
cari gara-gara dengan kami?" Bayunanta
naikkan alisnya menatap mereka tak men-
gerti.
"He? mengapa kalian menuduhku? Aku
tak merasa telah melakukan apa-apa!"
"Sudah jelas kau yang memesan bubur
panas tadi, kalau bukan kau siapa lagi?"
bentak perwira Kerajaan bertubuh pendek
kekar berkulit hitam itu. Dialah yang
bernama Kala Murti.
"Hm, sejak tadi pesananku belum da
tang, dari mana kau bisa menuduhku see-
naknya?" bela Bayunanta dengan tenang.
Ketiga orang ini saling pandang, tapi sa-
lah seorang telah membentak dengan suara
keras
"Bocah sombong! Apakah karena men-
gandalkan nama besar ayahmu yang punya
julukan si Pedang Malaikat lantas kau bi-
sa berbuat seenaknya membuat malu kami?
Heh! ketahuilah bocah sombong! Tak lama
lagi ayahmu bakal dipecat dari jabatan-
nya! Kami telah mengetahuinya dari orang
dalam! Dan ketahuilah, kau sebenar-
nya......." Belum lagi habis kata-kata
perwira ini mendadak dia menjerit ngeri.
Darah memuncrat diudara, dan tubuh laki-
laki ini ambruk kelantai. Bukan main ter-
peranjatnya kedua perwira Kerajaan ini
melihat temannya setelah berkelojotan,
sesaat kemudian terkapar tak bernyawa la-
gi. Kematiannya amat mengerikan dan aneh,
karena dari lehernya sampai dada tertera
lima guratan memanjang yang merobek kulit
dan daging laki-laki perwira ini.
Bukan saja kedua perwira ini saja
yang terkejut, karena Bayunanta juga ka-
get karena sekelebat dia melihat bayangan
kuning, disertai bersyiurnya angin. Tahu-
tahu si perwira congkak itu roboh.
"Keparrat!" membentak Kala Murti
dengan bringas. Tiba-tiba kedua perwira
itu menerjangnya dengan tabasan pedang
kearah Bayunanta. Namun sebelum mengenai
sasaran, mendadak terdengar suara
Trang! Trang!
Pedang mereka terlepas, dan detik
itu juga terdengar teriakan parau me-
nyayat hati ketika sebuah bayangan kuning
berkelebat. Dan, robohlah kedua perwira
Kerajaan itu dengan memuncratkan darah
berhamburan diudara.
Kedua laki-laki perwira yang naas
itu bernasib sama tak berbeda dengan ke-
matian kawannya. Tampak guratan memanjang
dileher mereka. Bayunanta telah melompat
dari tempat duduknya. Matanya membelalak
menyaksikan semua kejadian itu yang ber-
langsung dalam beberapa kejap.
Seketika para pengunjung restoran
itu bubar berlarian ketakutan, bahkan ada
wanita yang menjerit-jerit karena ngeri
melihat darah. Saat itu juga tiba-tiba
Bayunanta berkelebat keluar dari sebuah
jendela diruangan itu. Matanya yang tajam
dapat melihat bayangan sesosok tubuh yang
berkelebat. Tak salah! Dialah si pelaku
kejadian itu!
Bayangan kuning itu berkelebat ce-
pat memasuki hutan kecil disisi desa itu.
Bayunanta tak ayal segera berkelebat men-
gejar..... Sementara itu didalam restoran
keadaan bertambah panik si perwira kumis
tebal yang baru saja berhenti meraung-
raung setelah membersihkan mukanya dari
bubur panas yang menutupi matanya. Dia
mendengar suara jeritan beberapa kali
membuat terkejut. Ketika matanya telah
dapat melihat lagi, dia putarkan tubuh
untuk melihat apa yang telah terjadi.
Mendadak dia telah diterjang oleh belasan
pengunjung restoran yang berlarian dengan
serabutan keluar. Hingga dia jatuh ter-
jengkang, jadilah dia korban injakan ka-
ki.
Ketika dia perlahan-lahan bangkit
duduk dengan seluruh tubuhnya terasa sa-
kit, dilihatnya restoran itu telah sepi
tak ada sepotong manusiapun. Tiba-tiba
matanya terbelalak lebar ketika pandan-
gannya terbentur pada tiga sosok tubuh
kawannya yang berkaparan tak berkutik.
Darah berceceran dilantai. Keadaan dis-
ekitar ruangan itu porak-poranda. Bangku
dan meja bergelimpangan.
"Hah!? apa yang telah terjadi?"
tersentak si kumis tebal. Sekejap dia te-
lah melompat untuk memeriksa. Bukan kepa-
lang terkejutnya si perwira kumis tebal
ini melihat ketiga perwira kawannya telah
tewas dengan luka yang mengerikan. Leher
mereka sobek-sobek bagai disayat-sayat
pisau.
"Celaka, aku harus segera melapor-
kan kejadian ini!" berkata dalam hati si
kumis tebal dengan wajah pucat tak berda-
rah. Sekejap dia telah melompat keluar
ruangan. Dilihatnya seekor kuda tertambat
dipagar halaman. Tak berayal dia segera
lepaskan tali pengikat, dan sekali gerak-
kan tubuh dia telah melompat kepunggung
binatang itu. Detik berikutnya perwira
ini telah membedal kudanya dengan cepat
meninggalkan tempat itu bagai dikejar
hantu.
EMPAT
SOSOK TUBUH BERBAJU KUNING itu ber-
kelebat cepat sekali melintasi hutan ke-
cil itu. Sementara Bayunanta mengejar di
belakangnya. Namun dia merasa kalah cepat
dalam hal ilmu meringankan tubuh, hingga
sebentar saja bayangan orang yang dike-
jarnya lenyap tak ketahuan ke mana arah-
nya.
"Ah, sayang sekali aku tak dapat
menyusulnya! Siapakah dia sebenarnya?
Mengapa dia menolongku?" bergumam pemuda
ini. Dia telah berhenti mengejar dan du-
duk di atas dahan pohon yang rebah.
Diam-diam dia merasa masygul seka-
li, tapi juga heran, karena si penolong-
nya itu justru tak mau bertemu muka den-
gannya. Akan tetapi Bayunanta tak menya-
dari kalau pada saat itu si baju kuning
justru tengah mengintainya.
Dia seorang wanita yang berwajah
cantik, berpakaian warna kuning. Rambut-
nya tergelung di atas kepala terhias se-
buah tusuk konde berkepala kuning,
"Dia tak boleh tahu siapa aku, akan
tetapi aku juga tak ingin dia hidup ter-
lalu lama. Saat ini belum waktunya aku
membunuhnya!" berdesis wanita ini. Perla-
han dia menyelinap lagi ke balik semak,
lalu berkelebat lenyap.
Setelah termangu beberapa saat, ak-
hirnya Bayunanta bangkit berdiri.
"Sebaiknya aku pulang saja! Ah, pe-
ristiwa ini pasti akan berbuntut panjang.
Tiga Perwira Kerajaan yang masih hidup
itu pasti akan melaporkan kejadian ini.
Hm, baru kuingat si perwira berkumis teb-
al itu bernama KEN SUTA! Huh! perwira
yang sombong! suatu saat bila bertemu la-
gi akan kubalas penghihaannya! membathin
Bayunanta.
Saat itu dia teringat ketika Ken
Suta menggebrak meja yang mengakibatkan
sisa air dalam gelas di meja Ken Suta me-
muncrat dan membasahi bajunya. Dia tahu
perbuatan itu dilakukan dengan sengaja.
Dari gerakan itu dia dapat menerka
Ken Suta seorang yang berkepandaian ting-
gi. Dia memang pernah bertemu laki-laki
itu satu kali ketika beberapa pekan yang
lalu dua orang perwira Kerajaan menghadap
ayahnya. Salah seorang menunggu di luar.
Sikapnya angkuh. Mereka adalah dua orang
utusan Senapati MARUTO, yang datang ke
ketumenggungan untuk menyampaikan sepucuk
surat pada ayahnya. Perwira-perwira itu
memang merupakan kepala-kepala prajurit.
Entah urusan apa dia tak mengetahui.
Perwira yang seorang bersikap ramah
yang menanyakan ayahnya. Pada waktu itu
ayahnya Tumenggung Ki Gelagah sedang ku-
rang sehat.
Surat itu diberikan pada dia, Bayu-
nanta sempat menanyakan nama perwira yang
berdiri di luar tak mau turut masuk dan
bersikap angkuh itu.
Perwira itu pun memberitahu serta
memperkenalkan namanya sendiri.
Yang membuat Bayunanta merasa aneh
lagi adalah bisik-bisik empat perwira Ke-
rajaan itu yang sedikit didengarnya. Ser-
ta kalimat yang terputus dari salah seo-
rang perwira yang membentaknya, karena
sebelum selesai ucapannya perwira itu te-
lah menjerit keras dan terjungkal roboh.
Juga kata-kata seorang perwira yang men-
gatakan bahwa ayahnya tak lama lagi bakal
dipecat dari jabatannya.
"Ada kesalahan apakah ayahku?" ber-
kata Bayunanta dalam hati. Berdenyut-
denyut kepala Bayunanta memikirkan per-
soalan-persoalan ganjil di benaknya. Be-
lum lagi memikirkan "pesan" Adipati UMBUL
WILAYA yang diperuntukkannya. Lalu ada
lagi yang lebih aneh. Yaitu siapa adanya
pelayan dogol yang kena tampar itu? Menu-
rut pemikirannya si pelayan dogol itulah
yang telah mengerjai Ken Suta dengan me-
lempar kulit pisang dan menumpahkan bubur
panas ke mukanya.
Jelas dia melihat gerakan lengan
dari balik pintu. Lengan siapakah di ba-
lik pintu itu? Kalau bukan lengan si pe-
layan dogol itu lalu apakah ada orang
lain yang berilmu tinggi yang sengaja
mencelakai Ken Suta?
Namun pendapat kuat pemuda itu me-
nyatakan bahwa perbuatan itu dilakukan
oleh si pelayan dogol yang kena tampar.
Tamparan itu keras sekali. Kalau
orang biasa tentu setidak-tidaknya gi-
ginya akan tanggal! Tapi pelayan itu cuma
terhuyung sedikit, dan mengaduh. Meringis
memegangi sebelah pipinya yang sembab me-
merah membekas jari dan telapak tangan.
"Pelayan dogol itu pasti seorang
yang berilmnu tinggi! Aku yakin dialah
yang telah membuat mangkuk berisi bubur
panas untukku itu "terbang" ke muka Ken
Suta!" gumam Bayunanta.
Bayunanta sesaat segera teringat
pada kudanya yang ditinggalkan di halaman
restoran. Segera dia bergegas angkat kaki
ke luar dari hutan kecil itu. Baru saja
dia tiba di ujung hutan yang menembus ke
perkampungan, mendadak terdengar suara
kaki-kaki kuda mendekat.
Tentu saja pemuda ini jadi terhe-
nyak, karena ketika diperhatikan kuda dan
penunggangnya amat dikenalnya!
Itulah kuda tunggangannya sendiri,
dan si penunggang kuda hitam itu tak lain
dari si pelayan dogol itu.
"Hai! Kebetulan. Aku baru saja mau
menyusulmu untuk mengantarkan kudamu,
tuan muda! Kulihat kau berlari cepat men-
gejar bayangan kuning tadi, apakah kau
berhasil menyusulnya?" berkata si pelayan
muda
Pelayan muda bertampang dogol ini
sebelah lengannya memikul sebatang kayu
sebesar betis yang dibalut tali-tali
kain. Sepertinya pengikat kayu yang pe-
cah. Di ujung kayu mirip pentungan itu
terikat sebuah buntalan kain berwarna pu-
tih yang sudah kumal.
Selesai berkata si pelayan dogol
itu melompat turun dari punggung kuda.
Bayunanta tersenyum heran. Namun dari ka-
ta-katanya dia semakin yakin bahwa pe-
layan bertampang dogol ini tak meleset
dari dugaannya! Siapa yang dapat melihat
berkelebatnya bayangan kuning yang telah
membunuh tiga perwira Kerajaan itu kalau
bukan seorang yang berilmu tinggi dan da-
ri kalangan persilatan?
Bayunanta menjura, dan berkata.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu sobat!
Kuharap emas tak menyembunyikan keaslian-
nya! Dan sudah saatnya anda berhenti me-
lakukan penyamaran. Mengapa anda masih
menyebutku "tuan muda?"
Si pelayan dogol ini seperti terke-
jut tampaknya.
"Eh, apa maksud kata-katamu, tu ..
tuan muda, eh sobat? Aku tidak menyamar.
Aku memang bekerja sebagai pelayan!" ter-
gagap si pelayan dogol menyahuti.
"Bukankah anda melihat berkelebat-
nya bayangan kuning yang telah muncul dan
membawa maut di restoran itu? Cuma mata
yang telah terlatihlah yang mampu menge-
tahuinya!" ujar Bayunanta dengan terse-
nyum.
"Siapa yang bilang aku melihat
bayangan kuning berkelebat?" tukas si pe-
layan dengan membelalak dan wajah lugu.
"Aku tak melihat apa-apa?" sambung-
nya dengan tampang dungu.
Tentu saja membuat Bayunanta ter-
lengak heran.
"Aneh, kau ini sobat! bukankah tadi
kau bertanya mengenai bayangan kuning
yang kukejar? Bahkan aku belum sempat
menjawab pertanyaanmu!"
"He? benarkah tadi aku bertanya be-
gitu?" si pelayan dogol ini menggaruk-
garuk tengkuknya.
Bayunanta jadi melengak dan terse-
nyum. "Haii! masih muda sudah linglung
...!" berkata Bayunanta dengan tertawa.
Tiba-tiba Bayunanta seperti tersen-
tak kaget. Matanya menatap tajam pada si
pelayan itu. "He? Jangan-jangan dia ini
si Pendekar Dewa Linglung!" berkata dalam
hati Bayunanta.
Dugaannya semakin kuat. Karena dia
memang pernah mendengar tentang seorang
pendekar muda yang bertampang bodoh tapi
ilmunya amat tinggi.
Salah satu keanehannya adalah pen-
dekar itu sering lupa seperti orang lin-
glung
Memikir demikian Bayunanta segera
bertanya.
"Sobat! apakah anda si Pendekar De-
wa Linglung?" tanyanya.
Mendadak pelayan dogol itu tertawa
tergelak-gelak, lalu ujarnya.
"Haiiih! dari mana kau tahu julu-
kanku?"
"Jadi...anda benar-benar si Pende-
kar Dewa Linglung? Ah, sungguh kebetulan
aku bisa berjumpa dengan anda!" berkata
Bayunanta seraya menjura hormat.
"Ayahku Tumenggung Ki GELAGAH yang
bergelar si Pedang Malaikat pernah menye-
but-nyebut nama gelar anda. Sikap anda
yang pelupa itulah yang membuat aku men-
duga anda pendekar muda yang gagah serta
berilmu tinggi itu.
Aku Bayunanta murid si Pedang Ma
laikat sangat girang sekali dapat berjum-
pa dengan anda. Dan terima kasih sekali
lagi atas kesediaanmu mengantarkan
kudaku!" ujar Bayunanta dengan wajah ber-
seri, seraya mengelus-elus kepala kuda
kesayangannya
Pelayan dogol yang memang tak lain
dari NANJAR alias si Dewa Linglung itu
tak dapat mengelak lagi. Dia menepuk pan-
tatnya seraya berkata dengan tertawa me-
nyeringai.
"Aiiih! ternyata penyamaranku sia-
sia saja. Aku memang digelari orang si
Dewa Linglung. Tapi sanjunganmu terlalu
berlebihan, sobat Bayunanta! Eh, jadi kau
murid juga anak si Pedang Malaikat? Wah,
wah, wah ..! aku tak menyangka kalau
ayahmu itu seorang Tumenggung! Beberapa
bulan yang lalu aku memang telah berkena-
lan dengan ayahmu si Pedang Malaikat! Il-
mu pedang ayahmu memang hebat. Nyaris sa-
ja aku terluka!"
"He? apa yang terjadi? apakah ka-
lian pernah bertempur?" tanya Bayunanta
heran.
"Ya, begitulah! tapi hanya kesala-
han paham saja. Bagaimana? apakah keadaan
ayahmu? apakah luka dalamnya telah sem-
buh?" jawab Nanjar seraya balik bertanya
"Ayah tampak biasa-biasa saja!
Mungkin sudah sembuh. Apakah luka dalam
itu adalah akibat bertarung dengan anda,
sobat Pendekar?"
"Ayahmu tak pernah bercerita?"
tanya si Dewa Linglung.
Bayunanta menggeleng. "Sejak tiga
pekan yang lalu ayah tak pernah mening-
galkan rumah. Mungkin mendapat cuti dari
baginda Raja!" sahut Bayunanta. Saat itu
dia baru teringat ketika dua orang utusan
dari Senapati Maruto yang membawa surat
untuk ayahnya beberapa pekan yang lalu.
Mungkin surat dari Raja yang mencutikan
ayahnya.
"Apakah luka dalam itu akibat ber-
tarung dengan anda?" tanyanya.
"Oh, bukan? Ayahmu tak pernah ber-
cerita?"
Bayunanta menggeleng lagi. "Ayah
tak pernah bercerita apa-apa!"
Nanjar segera ceritakan secara
singkat kejadian beberapa bulan yang la-
lu. Yaitu ketika dia melewati sebuah desa
di lereng gunung. Ada terjadi suatu pe-
rampokan. Saat perampok kabur, justru dia
muncul di tempat kejadian itu. Kebetulan
Ki Gelagah alias si Pedang Malaikat me-
mergoki. Dengan tanpa bertanya lagi si
Pedang Malaikat langsung menyerang.
Terjadilah pertarungan seru. Nanjar
tak sempat memberi penjelasan lagi karena
si Pedang Malaikat tanpa ampun menyerang-
nya dengan gencar.
Untunglah pada saat itu muncul seo
rang tak dikenal yang menahan serangan si
Pedang Malaikat. Orang itu menjelaskan
bahwa Nanjar tak bersalah, dan bukan ma-
nusianya yang melakukan perampokan. Bah-
kan dia telah berhasil menawan perampok
sesungguhnya. Perampok itu dibunuh di de-
pan mereka dan orang tak dikenal itu ber-
kelebat pergi.
Akhirnya Nanjar dan si Pedang Ma-
laikat berkenalan dan si Pedang Malaikat
meminta maaf atas kekeliruannya.
Saat itu si Pedang Malaikat menga-
takan bahwa dirinya dalam keadaan terluka
dalam, karena salah satu pertempuran yang
belum lama dialami. Nanjar diam-diam me-
muji kagum karena dalam keadaan terluka
dalam ternyata ilmu pedangnya masih dalam
keadaan hebat dan berbahaya, hingga Nan-
jar agak kewalahan menghadapinya.
Dari penuturan Ki Gelagah alias si
Pedang Malaikat itu musuhnya adalah seo-
rang wanita yang berkepandaian tinggi,
yang bergelar "DEWI LINTAH". Demikianlah
Nanjar menuturkan kejadiannya secara
singkat.
Bayunanta manggut-manggut walau di-
am-diam hatinya terkejut bukan main. Sia-
pakah wanita yang punya gelar aneh itu?
dan ada permusuhan apakah dengan ayahnya?
Namun Bayunanta puas dengan penjelasan si
Dewa Linglung.
Matahari makin meninggi sepengga
lah. Panas terik seperti membakar kulit.
Bayunanta mengajak si Dewa Linglung sing-
gah ke rumah kediamannya. Tapi Nanjar me-
nolak dan mengatakan masih ada urusan
yang akan diselesaikan. Akhirnya mereka
berpisah.
Nanjar berkelebat lenyap, membuat
pemuda itu tertegun kagum. Tak lama di-
apun segera melompat ke punggung kuda,
lalu membedalnya dengan cepat meninggal-
kan tempat itu.
Sementara hatinya merasa tak te-
nang. Karena kejadian yang membawa korban
kematian orang-orang Kerajaan pasti akan
berbuntut panjang...!
LIMA
KEN SUTA lari terbirit-birit sipat
kuping. Napasnya tersengal-sengal ketika
dia tiba di pintu gerbang istana. Dua
penjaga gerbang terkejut melihat siapa
perwira yang muncul dengan wajah melepuh
seperti tersiram air panas dan pucat
pias.
"Ada apa, apakah yang terjadi?"
berkata dalam hati kedua orang pengawal
itu, sementara Ken Suta terus menerobos
masuk.
Tak lama dia sudah menghadap pada
Senapati Maruto.
"Kejadian apakah yang membuatmu
tergesa-gesa menghadapku, Ken Suta? dan
kenapa mukamu bengkak-bengkak melepuh be-
gitu?" bertanya Senapati Maruto dengan
terkejut.
"Celaka! celaka gusti Senapati, ti-
ga orang kawan hamba tewas oleh Bayunanta
anak Tumenggung KI Gelagah si Pedang Ma-
laikat! Ini semua perbuatan dia yang men-
ganiaya hamba!" tuturkan Ken Suta.
"Hah!? benarkah! Sudah sampai sebe-
gitu jauhkah dia berani berbuat kurang
ajar? Ini bukan kurang ajar lagi, tapi
suatu pemberontakan!" sentak laki-laki
berusia 40 tahun lebih ini yang bertubuh
tegap dari berperawakan tinggi besar itu
dengan terkejut.
"Ceritakan kejadiannya! Bagaimana
sampai pembunuhan itu bisa terjadi?" ber-
tanya Senapati Maruto dengan tak sabar.
Dengan segera Ken Suta segera men-
ceritakan kejadiannya. Tentu saja dengan
dibumbui kedustaan padahal dia belum tahu
sama sekali siapa yang sebenarnya telah
membunuh ketiga perwira kawannya
Sedangkan mengenai halnya si pe-
layan restoran yang telah mencegatnya di
jalan dan merampas kudanya tak dicerita-
kan sama sekali.
Ken Suta memang tak menduga, ketika
dia membedal kuda hitam yang ditunggan-
ginya mendadak telah dicegat oleh seseo
rang yang bertolak pinggang di tengah ja-
lan. Bukan main terkejutnya dia karena
orang itu tak lain si pelayan dogol yang
kena tamparannya.
Walaupun dia cukup terkejut, namun
Ken Suta masih keluarkan bentakan garang.
Dan tanpa menghentikan kudanya terus me-
nerjang si pelayan itu
Akan tetapi mendadak kudanya me-
ringkik keras dan terjungkal. Dia sendiri
terpelanting. Untung dia berlaku gesit
untuk melompat hingga tak sampai terjatuh
dengan kepalanya terlebih dulu.
Tahu-tahu dilihatnya si pelayan do-
gol itu telah berada di atas punggung ku-
da yang sudah bangkit berdiri. Betapa ge-
ramnya Ken Suta bukan alang-kepalang di
samping terkejut. Tenaga apakah yang de-
mikian besarnya yang telah membuat ku-
danya terjungkal dan dia terlempar dari
punggung kuda? Si pelayan itu dengan cen-
gar-cengir dan mulut mengunyah sesuatu
tertawa mengejek seraya berkata.
"Hahaha... gara-gara terpeleset ku-
lit pisang mukamu jadi bonyok begitu!
sungguh kasihan!"
Mendelik mata Ken Suta. Mendadak
dia telah menghunus pedangnya
"Keparat! pasti kau yang telah me-
lempar kulit pisang itu!"
Si pelayan dogol alias Nanjar cuma
tertawa tergelak-gelak. Bahkan terping
kal-pingkal geli di atas punggung kuda.
Semakin merahlah muka Ken Suta. Ti-
ba-tiba dia telah menerjang beringas den-
gan pedangnya. Akan tetapi dia menjerit
kesakitan. Pedangnya terlempar dan dia
mengaduh-aduh memegangi pergelangan tan-
gannya yang seperti dipatuk ular. Ketika
dia memeriksa ternyata pergelangan tan-
gannya membiru. Ternyata di saat Ken Suta
menyerang dia tadi dengan gerakan cepat
lengan Nanjar menyelinap ke kantung ba-
junya. Dan sebutir kacang meluncur cepat
sekali mengenai pergelangan tangan Ken
Suta.
"Hm, kuperingatkan! sebaiknya kau
cepat angkat kaki dari mukaku, sebelum
aku balas menamparmu hingga gigimu ron-
tok!" berkata keren si pelayan dogol. Ti-
ga-empat kacang dilemparkan ke udara.
Dan...hap! hap! hap! Dengan mudah sekali
kacang-kacang itu masuk ke mulutnya. Tak
lama si pelayan dogol telah kembali men-
gunyah kacang sambil ongkang-ongkang kaki
tanpa melirik sekejappun pada Ken Suta.
Membeliak mata laki-laki Perwira
Kerajaan ini. Tahulah dia kalau dirinya
tengah berhadapan dengan seseorang tokoh
persilatan berilmu tinggi yang tengah me-
nyamar. Tak ayal dia segera putar tubuh
dan angkat langkah seribu tanpa menoleh
lagi....
Bukan main marahnya Senapati Maru
to. Dadanya naik turun dengan muka beru-
bah merah padam.
Selesai melapor, Ken Suta minta di-
ri untuk mengobati lukanya, setelah mem-
beritahu di mana letak restoran tempat
kejadian.
Senapati Maruto segera perintahkan
anak buahnya untuk segera pergi ke tempat
restoran itu untuk mengangkut tiga mayat
perwira Kerajaan yang tewas.
Lalu cepat dia dengan bergegas per-
gi menghadap baginda Raja untuk melapor-
kan kejadian itu.
***
Berita laporan pembunuhan tiga per-
wira kepala prajurit oleh Bayunanta telah
sampai ke telinga Raja. Tentu saja mem-
buat sang Prabu Ganda Kusumah marah be-
sar. Lalu membuat surat perintah penang-
kapan Bayunanta beserta Tumenggung Ki Ge-
lagah dengan tuduhan pemberontak!
Kemunculan Adipati UMBUL WILAYA
dengan membawa sepasukan prajurit dan
membawa surat perintah pemecatan serta
penangkapan Tumenggung Ki Gelagah beserta
Bayunanta, membuat terheran-heran Tumeng-
gung tua itu.
"Baginda Prabu telah memecat dan
memerintahkan penangkapan atas diriku dan
anakku Bayunanta? Kami dianggap mau mem
berontak? Apakah kesalahan kami?" ber-
tanya Ki Gelagah.
"Hm, apakah kau tak mengetahui,
atau pura-pura tidak tahu? Sudah jelas
anakmu Bayunanta membunuh tiga perwira
Kerajaan, apakah itu bukan suatu permu-
laan dari pemberontakan?" berkata tegas
Adipati Umbul Wilaya.
"Membunuh tiga orang perwira Kera-
jaan?" tukas si Pedang Malaikat terperan-
jat.
Adipati Umbul Wilaya tak menyahut,
melainkan tersenyum sinis. Bahkan meludah
di lantai, seraya berkata.
"Untung hal ini terbongkar. Karena
aku tak sudi puteriku berhubungan dengan
anakmu. Ternyata kalian adalah golongan
orang-orang pemberontak!"
"Siapa yang mau berbesan denganmu
Adipati?" tanya Ki Gelagah.
"Aku tak tahu-menahu hubungan anak-
ku dengan puterimu. Tapi jangan mempit-
nahku! Tak mungkin anakku melakukan per-
buatan itu. Apalagi membunuh orang-orang
Kerajaan!" berkata Ki Gelagah dengan sua-
ra bergetar.
"Sudahlah! Serahkan dirimu untuk
kami tawan, Ki Gelagah! Surat keputusan
baginda Prabu tak dapat diganggu-gugat.
Hal ini bukan pitnah, tapi kenyataan!
Panggil anakmu si Bayunanta untuk segera
menyerahkan diri!" bentak Adipati Umbul
Wilaya. Lalu berikan isyarat pada para
pengawal.
Serentak belasan pengawal bersenja-
ta segera berlompatan mengurung laki-laki
tua itu.
"Hm, bersabarlah dulu, sobat! Aku
akan panggil anakku dan tanyakan hal ini.
Bila kenyataannya memang benar anakku
bersalah, kami rela untuk ditawan dan me-
nerima hukuman, tapi jangan menuduh kami
sebagai pemberontak!" berkata Ki Gelagah
dengan setenang mungkin.
"Jangan coba-coba bergerak walau
selangkahpun Ki Gelagah! Biarkan para
prajuritku memeriksa gedungmu!" berkata
tegas Adipati Umbul Wilaya.
Adipati ini segera perintahkan para
prajuritnya untuk menggeledah gedung Ki
Gelagah. Tapi sebelum mereka berlompatan
memasuki ruangan, mendadak Bayunanta mun-
cul.
Serentak para pengawal segera ber-
lompatan mengurung dengan senjata terhu-
nus.
"Bagus! sikap kesatriamu mungkin
bisa meringankan hukumanmu, anak muda!
Segeralah serahkan diri untuk kami tawan.
Sang Prabu yang akan berkenan memutuskan
hukuman untuk kalian!" ujar Adipati den-
gan wajah berseri.
"Bayunanta! benarkah kau telah me-
lakukan pembunuhan pada tiga orang perwi
ra Kerajaan?" tiba-tiba Ki Gelagah mem-
bentak pemuda itu.
"Sama sekali tidak, ayah! Bukan aku
yang telah membunuhnya!" sangkal Bayunan-
ta.
"Tak ada gunanya kau melakukan pem-
belaan, anak muda! Kau bisa menyangkal
nanti di pengadilan Kerajaan. Sekarang
bersiaplah untuk kami tawan, karena telah
ada surat perintah dari Baginda Prabu un-
tuk menawan kalian ayah dan anak!"
"Lalu siapa yang melakukan?" bentak
Ki Gelagah tanpa mempedulikan ucapan Adi-
pati Umbul Wilaya.
"Seseorang yang berpakaian serba
kuning! Aku telah mengejarnya, namun dia
menghilang di hutan kecil. Ah, mengapa
tuduhan begitu keji itu kalian timpakan
padaku? Sungguh mati aku berani bersum-
pah! Apa yang kukatakan adalah sebenar-
nya!" sahut Bayunanta seraya berpaling
pada Adipati Umbul Wilaya.
"Pasti KEN SUTA yang telah mempit-
nahku!"
"Hahaha...dialah yang menjadi saksi
atas perbuatanmu! Orang berbaju kuning
itu siapa lagi kalau bukan kawanmu yang
telah kau persiapkan untuk memberontak!
Heh! kukira tak ada lagi alasan. Dan su-
rat keputusan dari Baginda Prabu tak da-
pat dibantah! Pengawal tangkap mereka!"
perintah Adipati.
"Keparat!" memaki Ki Gelagah. Len-
gannya bergerak menyobek surat di tangan-
nya. Belasan prajurit yang akan menang-
kapnya mundur ketika Ki Gelagah mencabut
pedang tipis yang terbelit di pinggang.
Mereka agak ngeri karena laki-laki tua
itu adalah bekas tokoh Rimba Hijau yang
bergelar si Pedang Malaikat.
"Hahaha...Jangan menciut nyali ka-
lian cuma mendengar nama besarnya! Pedang
Malaikatnya sudah tumpul tak setajam du-
lu. Ibarat seekor macan dia sudah menjadi
macan tua yang ompong! Hayo segera ring-
kus dia!" berkata Adipati seraya memberi
perintah.
Tak ayal para prajurit itu segera
maju menerjang.
Mendadak empat prajurit menjerit
ngeri dan terhuyung ambruk. Darah memun-
crat ke udara. Pedang Malaikat itu telah
meminta nyawa!
Melihat demikian yang lainnya me-
nyurut mundur. Tapi bentakan Adipati kem-
bali terdengar menggeledek.
"Hayo maju! tak perlu kalian mena-
wannya hidup-hidup! Bunuh mampus keparat
pemberontak itu!"
Tentu saja sebentar kemudian terja-
dilah pertarungan seru yang membawa maut.
Belasan tombak dan pedang meluruk ke arah
Ki Gelagah yang menyambutnya dengan tang-
kisan-tangkisan. Suara gaduh teriakan dan
jeritan ngeri membaur di ruang pendopo
gedung Ketumenggungan itu
ENAM
SEMENTARA ITU Bayunanta melihat pu-
luhan prajurit maju menerjang dengan sen-
jata-senjata telanjang, terpaksa mencabut
pedangnya. Sebentar saja terjadi perta-
rungan dua kelompok. Satu kelompok meng-
hadapi Ki Gelagah, dari sekelompok lagi
menyerbu Bayunanta.
Ternyata si Pedang Malaikat dan
anaknya ini sukar untuk dirobohkan. Bah-
kan korban dari pihak para prajurit sema-
kin bertambah.
Adipati Umbul Wilaya tak dapat mem-
biarkan hal itu terus terjadi.
Tiba-tiba dia bersuit keras. Dan
tiga bayangan tubuh berkelebatan muncul
di ruangan itu. Ketiga sosok tubuh itu
ternyata salah seorang adalah laki-laki
kekar berkulit hitam bertubuh cebol, len-
gannya mencekal sebuah senjata gaetan
panjang. Ujungnya berbentuk mirip gerga-
ji. Sedangkan yang seorang lagi, laki-
laki berjubah merah berkepala botak. La-
ki-laki ini mencekal tongkat berkepala
tengkorak. Pada ujung tengkorak itu ter-
sembul mata tombak. Sedangkan yang seo
rang lagi adalah orang yang telah kita
kenal. Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng
Sepuh. Laki-laki ini bertangan kosong.
Detik itu juga Adipati Umbul Wilaya
berteriak memerintahkan para prajuritnya
untuk mundur.
Bayunanta dan si Pedang Malaikat
saling berpandangan. Lalu keduanya segera
saling mendekati. Segera mereka pentang
mata dan melihat kemunculan ketiga orang
itu. Terkejut Bayunanta melihat Ki Ageng
Sepuh terdapat di antara ketiga orang
tangan kanan Adipati Umbul Wilaya. Ki Ge-
lagah memandang sinis.
"Ayah! mari kita hadapi mereka sam-
pai titik darah penghabisan!" berkata
Bayunanta bersemangat Pemuda ini tak me-
nampakkan keciutan nyalinya.
Laki-laki tua ini menatap pada pe-
muda itu.
"Apakah kau berada di pihak benar,
Bayunanta?" tanyanya dengan melototkan
matanya. Bayunanta mengangguk. "Aku bera-
ni bersumpah, ayah! Aku tak bersalah!"
sahut Bayunanta dengan wajah polos. "Aku
memang sudah menduga kejadian itu akan
berbuntut panjang. Mengenai perihal peme-
catan ayah memang telah disebut-sebut
oleh empat perwira Kerajaan itu sebelum
kejadian. Agaknya seperti ada hubungannya
dengan aku! Begitukah ayah?" sambung
Bayunanta berbisik.
"Benar Bayunanta! Sayang keadaan
mendesak begini, bagaimana aku bisa men-
ceritakan padamu?" bisik Ki Gelagah den-
gan menghela napas.
"Dalam pertempuran nanti carilah
kesempatan meloloskan diri, anakku! Nanti
aku menyusulmu! Kau tunggulah aku di lem-
bah tempat kita dulu biasa berlatih!" bi-
sik Ki Gelagah.
"Tapi aku tak dapat meninggalkan
kau bertempur sendiri, ayah! Tidak! biar-
lah aku tetap bersamamu bertarung sampai
titik darah penghabisan!" sahut Bayunan-
ta.
"Katakan sekarang juga ada rahasia
apakah mengenai diriku?" Bayunanta mende-
sak. Sementara itu para prajurit yang
mengurung telah mundur. Dan ketiga orang
itu telah melompat mendekat.
"Hahaha...ada rahasia apakah yang
kalian bisikkan, Ki Gelagah? Sebaiknya
kalian menyerahkan diri sebelum kasip!
Siapa tahu baginda Raja akan memperingan
hukuman kalian!" berkata Ki Ageng Sepuh.
Ki Gelagah kertak gigi gerahamnya
hingga berkerot.
"Hm, kudengar kau telah mengundur-
kan diri dengan jabatanmu, ternyata kini
kau menjadi begundalnya Adipati Umbul Wi-
laya?" berkata Ki Gelagah dengan sinis.
"Aku cuma sekedar mengajari ilmu
kedigjayaan puteri kanjeng Adipati, tapi
mana aku bisa menolak kalau Kanjeng Adi-
pati menyuruhku untuk membekuk seorang
pemberontak macam kau? Hahaha...ternyata
nama besar Pedang Malaikat telah pudar.
Kau tak dapat memproklamirkan dirimu lagi
sebagai seorang pendekar!" Tukas Ki Ageng
Sepuh dengan tertawa.
"Heh! Apakah kau mengira dirimu su-
ci? Kau anggap aku tak mengetahui kalau
kau telah dipecat dengan tidak hormat da-
ri kedudukanmu! Aku heran, mengapa kau
bisa jadi begundal Adipati Umbul Wilaya?"
balas mengejek Ki Gelagah dengan melotot
gusar
Merahlah muka Ki Ageng Sepuh.
"Ajalmu sudah di ambang pintu masih
banyak tingkah bicara seenak perutmu! Se-
gera bersiaplah untuk mampus!" bentak Ki
Ageng Sepuh.
Whuuk! Whuuuk!
Dua aliran gelombang dahsyat meng-
gebu ke arah si Pedang Malaikat. Laki-
laki tua ini berseru santar. Pedang ti-
pisnya diputar hingga mengeluarkan suara
mencicit. Maka buyarlah serangan itu.
"Hebat!" teriak si gundul jubah me-
rah. Tubuhnya berkelebat. Sedangkan sen-
jata tongkat kepala tengkoraknya menderu
meluncur ke arah batok kepala Ki Gelagah.
Namun di Pedang Malaikat tak tinggal ber-
diam diri. Dengan gerakan sebat dia men-
gegos ke samping.
Pedang tipisnya menangkis. Trang!
Terdengar suara beradu dua batang logam.
Terkejut si gundul jubah merah, karena
terasa tangannya bergetar kesemutan aki-
bat benturan itu.
Namun tak kalah terkejutnya si Pe-
dang Malaikat. Karena tubuhnya terhuyung
beberapa langkah. Diam-diam hatinya mem-
batin. "Haih! Tenaga dalamnya cukup ting-
gi! Aku harus hati-hati. Namun kepala
tengkorak itu lebih berbahaya"
Benar juga dugaan si Pedang Malai-
kat. Tongkat kepala tengkorak itu menda-
dak mencecarnya dengan bertubi-tubi. Dari
dua buah lobang mata tengkorak itu menda-
dak menyemburkan jarum-jarum berbisa.
Dengan berseru keras memperingatkan
Bayunanta, dia berkelebat melompat. Pe-
dang tipisnya digunakan untuk menyampok.
Buyarlah jarum-jarum maut itu.
Adapun Bayunanta telah berkelebat
kea rah kiri. Namun satu bentakan keras
dibarengi dengan kilatan putih menyambar
ke arahnya.
"Bocah, jaga seranganku!"
Whuut! Whuut!
Trang! Trang!
Bayunanta menangkis dengan pedang-
nya. Percikan lelatu api menebar di uda-
ra. Sebentar saja Bayunanta telah berta-
rung seru menghadapi laki-laki cebol itu.
Serangan-serangannya mengandung maut.
Terpaksa Bayunanta menghadapi dengan hat-
hati. Dengan segenap daya pemuda mi men-
geluarkan jurus-jurus ilmu kepandaiannya.
Sementara si Pedang Malaikat ter-
paksa harus menghadapi serangan dua la-
wannya.
Walaupun Ki Ageng Sepuh tak menggu-
nakan senjata. Namun sepasang tangannya
lebih berbahaya dari tebasan pedang! Ter-
paksa dia menggunakan kelihaian nya untuk
bertarung mati-matian. Sementara Adipati
Umbul Wilaya cuma berpeluk tangan menung-
gu hasilnya.
Ki Ageng Sepuh menerjang dengan pu-
kulan-pukulan dahsyat mengandung tenaga
dalam. Diam-diam dia terkejut juga karena
si Pedang Malaikat yang tampaknya sudah
seperti macan ompong itu ternyata masih
amat tangguh.
Satu tebasan pedang orang tua itu
nyaris menyerempet kulit pundaknya. Be-
runtung cuma kain jubahnya saja yang ter-
sobek.
"Bedebah! segera pergilah kau ke
Neraka!" bentaknya. Kali ini dia gunakan
ilmu kecepatan tubuhnya untuk berkelebat,
hingga yang nampak hanya kelebatan bayan-
gan putih saja. Mata tua si Pedang Malai-
kat mulai nanar. Sedangkan dia harus
mengkonsentrasikan panca inderanya dalam
menghadapi si gundul jubah merah yang me-
nyerang tanpa memberi waktu sedikitpun
untuk beristirahat. Di samping sebentar-
sebentar dia harus gulingkan tubuhnya
atau melompat kesana-kemari menghindari
semburan jarum-jarum maut!
Sungguh dl luar dugaan kalau kali
ini dua lubang di kepala tengkorak itu
bukan menyemburkan jarum beracun lagi.
Akan tetapi, menyemburkan uap yang berbau
amis.
Mendadak disaat dia lengah satu pu-
kulan dahsyat meluncur ke arah punggung-
nya. Pada saat itu juga serangan uap be-
racun menerjangnya dari arah depan.
Tersentak si Pedang Malaikat. Men-
dadak dia berseru keras. Dengan gerakan
jurus Seribu Bayangan Malaikat tubuhnya
berputar bagai baling-baling. Pedang ti-
pisnya berubah jadi segulung sinar perak.
Akibatnya di luar dugaan. Karena
saat itu juga terdengar teriakan kaget si
jubah merah. Perutnya terasa dingin. Dia
melompat mundur. Alangkah terperanjatnya
dia karena lambungnya telah terkena teba-
san pedang maut si Pedang Malaikat. Darah
menyembur. Laki-laki jubah merah ini ter-
huyung ke belakang. Dan dengan mata mem-
beliak tubuhnya roboh terguling. Cuma be-
berapa saat meregang nyawa, laki-laki
itupun tewas dengan usus yang ambrol ber-
hamburan!
Bukan alang kepalang terkejutnya Ki
Ageng Sepuh, karena serangannya dapat di
patahkan. Bahkan tahu-tahu kilatan pedang
si Pedang Malaikat telah memapas putus
lengannya.
TUJUH
BAYUNANTA yang mendengar jeritan-
jeritan menyayat hati merasa khawatir
akan keselamatan ayahnya. Perhatiannya
menjadi buyar. Karena di samping dia ku-
rang pengalaman dalam bertempur juga se-
rangan si cebol itu memang amat berba-
haya. Tubuh cebol itu sungguh sulit dis-
erang karena gesitnya bergelindingan ke
sana ke mari.
Serangan-serangan sicebol lebih
sering diarahkan ke kaki. Hingga dia ham-
pir tak ada kesempatan untuk menjejakkan
kakinya ke tanah.
Pada saat itulah mendadak si cebol
robah serangan. Senjata gaetannya melun-
cur kea rah leher berkelebat ganas.
Terperangah Bayunanta. Namun pada
saat itu terdengar bentakan keras merobek
udara. Secercah kilatan membelah udara.
Terdengar jeritan parau. Tubuh si cebol
roboh sebelum senjatanya sempat menyentuh
kulit tubuh Bayunanta.
Tubuh laki-laki cebol itu sapat se-
batas pinggang.
Belum lagi sempat Bayunanta menge
tahui siapa yang telah membantunya, men-
dadak berkelebat bayangan tubuh di sebe-
lahnya.
"Cepat angkat kaki dari sini Bayu-
nanta!"
Itulah suara si Pedang Malaikat.
Bukan main girangnya anak muda ini menge-
tahui siapa yang telah menolongnya. Tak
ayal lagi dia segera berkelebat mengejar
bayangan tubuh si Pedang Malaikat yang
telah berkelebat terlebih dahulu.
Adipati Umbul Wilaya baru tersadar
kalau orang yang akan ditangkapnya telah
kabur melarikan diri.
"Bedebah! Kurang ajar! cepat ke-
jaar!" teriaknya memberi aba-aba pada pa-
sukan prajuritnya. Betapa kecewa dia ka-
rena tiga orang andalannya tak mampu mem-
bekuk si Pedang Malaikat dan muridnya.
Bahkan mereka yang menjadi korban dan ke-
hilangan nyawa!
Si Pedang Malaikat dan Bayunanta
berhasil lolos dari penangkapan, walaupun
laki-laki tua itu dalam keadaan terluka
dalam karena telah menghisap uap beracun.
Sementara Adipati Umbul Wilaya den-
gan geram cuma bisa memaki-maki anak
buahnya. Ki Ageng Sepuh sendiri telah
menghilang entah kemana karena malu pada
Adipati, dengan membawa potongan lengan-
nya yang putus.
***
Kita beralih pada Nanjar alias si
Dewa Linglung, Setelah pergi meninggalkan
hutan kecil itu dia berkelebat ke arah
barat.
Sebentar saja dia telah memasuki
sebuah lembah ngarai yang sunyi. Sekitar
tempat itu melulu bukit-bukit batu terjal
yang nampak terlihat.
"Hm, bisikan melalui tenaga dalam
yang disalurkan ke telingaku menyuruhku
ke lembah ini! Suaranya jelas suara wani-
ta yang kedengarannya merdu.
Siapakah dia? Apakah si manusia
misterius berbaju kuning yang lolos tak
dapat dikejar Bayunanta? berkata dalam
hati si Dewa Linglung.
Di atas batu besar Nanjar berdiri
mengawasi sekitarnya. Keadaan sudah be-
rangsur senja. Dia agak ragu apakah bisi-
kan itu menipu dia? Karena sebenarnya dia
akan ke Kota Raja untuk memenuhi undangan
Ki Patih Gajah Menggolo. Perkenalan den-
gan Mahapatih itu adalah ketika dia meno-
long seorang gadis cantik bernama LAKSMI
DEWI. Laksmi Dewi adalah seorang gadis
yang bandel. Hingga dia berani keluyuran
seorang diri. Sikapnya tak ubahnya bagai
laki-laki tak betah di rumah. Hal itu
sering membuat ayahnya Patih Gajah meng-
golo pusing memikirkan anak gadisnya yang
bengal itu.
Minat Laksmi Dewi untuk berguru di
luar Istana tak dapat dihalangi sang
ayah. Walaupun dia telah mendatangkan
seorang guru silat dan sastra. Dia merasa
kurang puas dengan gurunya. Dan berniat
mencari seorang guru yang sakti dalam
hal ilmu kadigjayaan.
Lebih dari satu pekan tidak pulang
ke rumah membuat Mahapatih Gajah Menggolo
kalang kabut. Tapi mendadak putrinya mun-
cul bersama seorang pemuda kumal bertam-
pang bodoh. Tentu saja membuat sang ayah
keheranan. Dia sudah bermaksud mendamprat
pemuda itu yang disangkanya menyembunyi-
kan anak gadisnya.
Tapi Laksmi Dewi dengan cepat sege-
ra menuturkan apa yang telah terjadi dan
mengatakan siapa adanya laki-laki itu.
Segera dituturkan oleh Laksmi Dewi
mengenai kejadian yang hampir merengut
kehormatannya. Ternyata Laksmi Dewi telah
tersesat di satu lembah yang terjal kare-
na mencari seorang guru yang sakti dalam
hal ilmu kadigjayaan. Laksmi Dewi berpa-
kaian mirip laki-laki dengan penyamaran-
nya.
Tapi penyamarannya itu tak luput
dari mata tajam kaum golongan hitam yang
banyak menebar di luar batas Kerajaan.
Segera dapat diketahui kalau dia seorang
dara yang berparas cantik. Tiga orang
kaum sesat yang menamakan dirinya Tiga
Iblis Bukit Tunggul telah menguntitnya.
Di satu lembah yang luas penuh den-
gan bukit-bukit batu dalam usahanya men-
cari goa-goa, dia tersesat tak tahu jalan
pulang. Laksmi Dewi pernah mendengar bah-
wa orang-orang sakti biasa bertempat
tinggal di goa-goa atau menjadi seorang
pertapa. Hal itulah yang mendorongnya un-
tuk mencari dan mendatangi tempat-tempat
itu guna memenuhi keinginan hatinya.
Tiba-tiba tiga sosok tubuh telah
menghadang di depannya. Dan mengurungnya
dengan sikap yang memuakkan. Terkejut
Laksmi Dewi. Tahulah dia kalau dirinya
berhadapan dengan penjahat-penjahat ca-
bul!
Laksmi Dewi yang diam-diam telah
memiliki ilmu kedigjayaan, segera menca-
but senjatanya yang disembunyikan. Sebuah
Kipas tipis yang ujungnya tajam adalah
senjata yang selalu dibawanya ke mana dia
pergi. Senjata itu sengaja disuruh bua-
tkan oleh ayahnya melalui seorang pandai
besi. Bahkan dia selalu melatih diri
menggunakan jurus-jurus dari senjata ki-
pasnya yang dicampur aduk dengan pelaja-
ran gurunya. Namun sang guru tak begitu
ahli dalam hal permainan kipas. Karena
gurunya ahli dalam permainan toya atau
tongkat. Hal itu tak memuaskan hatinya.
Padahal dengan ilmu toya itu justru lebih
baik bila dia mempelajari dengan sungguh-
sungguh. Sayangnya dia hanya mau memper-
gunakan dengan senjata kipas. Karena
praktis dan mudah disembunyikan.
Melihat ketiga orang itu tak sedi-
kitpun dia menjadi gentar. Bahkan diam-
diam dia akan menguji kelihaian nya meng-
gunakan senjata kipas yang dicampur aduk-
kan dengan ilmu gayanya sendiri.
Ilmu tanpa guru memang bisa mengha-
silkan suatu ilmu yang terkadang bisa he-
bat! Akan tetapi tanpa suatu pengetahuan,
hal itu akan sia-sia saja.
Demikian juga akan halnya Laksmi
Dewi. Ternyata dengan ilmu-ilmu yang di-
milikinya tak menghasilkan suatu yang
menggembirakan. Bahkan dia telah terdesak
dalam pertarungan. Kipasnya hancur terke-
na hantaman tongkat lawan. Dan dalam be-
berapa jurus saja dia telah dibuat tak
berdaya melawan salah seorang dari ketiga
orang itu yang bersenjatakan sebuah tong-
kat saja.
Rasa menyesal menyelinap dalam hati
dara itu mengapa dia tak mendalami ilmu
tongkat? Kini dilihatnya dengan tongkat
itu senjata kipasnya dibuat tak berarti
apa-apa. Namun sudah terlambat. Pada ju-
rus berikutnya dia telah terkena totokan
toya lawan hingga roboh dengan tak ber-
daya.
Terperangah Laksmi Dewi ketika ke
tiga orang itu berlompatan mendekati.
Pandangan mata mereka liar menyelusuri
bagian-bagian tubuhnya. Bahkan satu gera-
kan kilat telah membuat dia menjerit ka-
get karena pakaiannya sobek terkoyak. Pu-
tuslah sudah harapannya untuk bisa menye-
lamatkan diri.
Air matanya mengalir membasahi pi-
pi. Telah terbayang dalam benaknya betapa
tubuhnya akan dijadikan bulan-bulanan ke-
tiga orang itu dalam memenuhi hawa nafsu
kebinatangan nya.
Akan tetapi pada saat itu juga seo-
rang pemuda kumal bertampang bodoh muncul
di tempat itu. Semula dia mengira pemuda
sial itu akan percuma saja berniat meno-
longnya karena tampangnya seperti orang
yang tak berkepandaian apa-apa sama seka-
li. Tapi di luar dugaan justru dalam be-
berapa jurus saja ketiga orang bejat itu
dapat dirobohkan. Bahkan dihadiahi dengan
membuat putus sebelah telinga mereka mas-
ing-masing.
Pemuda kumal itu tak membunuhnya,
tapi melepaskan lagi dengan ancaman be-
rat, tak akan membiarkan mereka hidup bi-
la masih belum merobah jalan hidup mereka
yang sesat!
Pemuda kumal itupun membebaskan di-
rinya dari totokan. Nanjar lalu memperke-
nalkan dirinya dan bersedia mengantarkan
Laksmi Dewi pulang. Sebenarnya Nanjar
akan mengantar sampai tapal batas saja.
Tapi Laksmi Dewi bersikeras untuk mengan-
tarkannya sampai ke Kepatihan di Kota Ra-
ja. Demikianlah, Laksmi Dewi kemudian
memperkenalkannya dengan ayahnya Mahapa-
tih Gajah Menggolo.
DELAPAN
SELAGI SI DEWA LINGLUNG termangu-
mangu itulah mendadak terasa bersyiur an-
gin dingin di belakang punggungnya. Nan-
jar berkelebat ke sisi serta memutar tu-
buh dengan sikap waspada.
Tersentak Nanjar karena tak melihat
apa-apa. Mendadak lagi-lagi bersyiur an-
gin di belakang, juga dari arah samping.
Nanjar berseru keras seraya melompat
"terbang" ke udara dan hinggapkan kaki di
puncak batu tebing.
Matanya memandang ke bawah bagaikan
elang mengintai mangsa.
"Aneh!? Siapa yang main-main den-
ganku?" berkata dalam hati si Dewa Lin-
glung.
Akan tetapi sungguh heran Nanjar
karena dia tak melihat adanya sesosok tu-
buh pun di bawahnya yang menampakkan di-
ri.
"Heh!? Apakah aku berhadapan dengan
makhluk halus? Ataukah manusia yang men-
gundangku ke mari sengaja menakuti aku
dengan mempergunakan ilmu Halimunan?" ge-
rutu Nanjar dalam hati.
Pada saat itu pulalah kembali angin
bersyiur halus. Tapi kali ini berbau wan-
gi. Membuat Nanjar berdiri bulu tengkuk-
nya dan melompati kembali dengan gaya
"terbang" ke bawah.
Betapa terkejutnya Nanjar karena
kakinya serasa ada yang menangkap. Membe-
lalak mata Nanjar dan terkejutnya bukan
alang-kepalang karena tahu-tahu dia sudah
berada dalam pelukan seorang wanita. Di-
ketahuinya karena dadanya menyentuh sepa-
sang benda lembut kenyal, serta terlihat
punggung seorang wanita di depan matanya.
Tersentak kaget si Dewa Linglung.
Namun sebelum dia sempat melepaskan diri,
mendadak dia mengeluh dan terkulai meng-
gelosor.
Ternyata si wanita itu telah meno-
toknya. Gerakan menotok yang sekaligus
membuat orang pingsan karena hawa racun
aneh dari lengannya tersalur melalui to-
tokan yang hebat itu.
Ketika Nanjar sadarkan diri dia
tersentak kaget karena tubuhnya sukar di-
gerakkan. Semakin terkejut Nanjar karena
kini dia berada dalam sebuah ruangan ka-
mar yang bersih dan terbaring di tempat
tidur berkasur empuk serta berbau harum.
"Hah? Di mana aku? Dan tempat apa-
kah ini?" sentaknya terkejut.
Pada saat itulah terdengar tertawa
wanita dan sesosok tubuh muncul di hada-
pan Nanjar.
"Hihihi...kau berada di tempat ke-
diamanku, Dewa Linglung! Kau telah menja-
di tetamu kehormatanku. Beristirahatlah
dengan tenang!"
Nanjar mendelikkan matanya menatap
wanita itu. Ternyata seorang wanita muda
berparas cantik berdiri di hadapannya.
Wanita itu berpakaian serba kuning. Tahu-
lah dia kalau wanita inilah yang telah
membunuh tiga perwira Kerajaan ketika
terjadi kegaduhan di restoran.
"Hm, kaukah yang telah mengundangku
datang ke lembah batu terjal?"
"Benar!" menyahut si wanita miste-
rius.
"Kau mengetahui siapa aku, dan kau
menganggap aku tetamu kehormatanmu, men-
gapa cara seperti ini yang kau gunakan
menerima tetamu?" berkata Nanjar dengan
suara ketus. Sementara diam-diam dia ter-
kejut, karena di lengan wanita itu ter-
cekal pedang pusaka yang disembunyikan
dalam belahan kayu.
Wanita itu kembali tertawa, lalu
berkata.
"Cara apapun yang aku pakai itu
hakku! Bagiku tak ada undang-undang yang
menentukan harus bagaimana cara menerima
tetamu!" tukasnya dengan mata melirik ge-
nit. Namun di balik cahaya mata itu ter-
sembunyi kesadisan.
"Katakan siapa kau sebenarnya? Dan
dari mana kau mengetahui siapa aku?" ben-
tak Nanjar dengan mata melotot. Sementara
matanya tak lepas dari pedang pusaka yang
dicekal erat wanita itu.
"Hihihi... siapa aku? Kelak kau
akan mengetahui di saat ajalmu telah ham-
pir tiba. Dan dari mana aku mengetahui
siapa kau adanya cukup melihat tampangmu
yang bodoh. Dan pedang Mustika Naga Merah
ini merupakan bukti kuat bahwa kau adalah
si Dewa Linglung!"
Nanjar cuma bisa menelan ludah. Me-
mang sejak pedang Mustika Naga Merah be-
rada di tangannya, telah banyak diketahui
oleh para tokoh Rimba Hijau. Bahkan masih
ada beberapa tokoh persilatan yang men-
gincar benda pusaka itu untuk merebutnya.
Namun semua niat itu sia-sia. Bah-
kan justru nyawa-nyawa mereka yang me-
layang karena kesalahan mereka sendiri.
Walau Nanjar tak berniat membunuh, tapi
dirinya terancam maut! Maka terpaksa hal
itu dilakukan demi keselamatan jiwanya.
Di antara para tokoh persilatan yang men-
ginginkan pedang Mustika Naga Merah itu
kebanyakan dari kaum golongan hitam.
Tentu saja adanya pedang pusaka itu
di tangan Nanjar sudah bukan rahasia la-
gi. Bahkan kehebatan ilmu si pendekar De-
wa Linglung mulai menyebar, di seantero
wilayah. Dan dikenal sebagai pendekar
bertampang bodoh, masih muda dan suka
linglung.
"Lalu apa yang akan kau lakukan
terhadapku? Bila mau membunuhku mengapa
tak lekas-lekas kau melakukannya?" ujar
Nanjar menantang. Dia sengaja berkata be-
gitu karena melihat tak ada tanda-tanda
wanita itu akan melakukan niatnya saat
itu.
Wanita itu tertawa kecil. Tiba-
tiba...Sreek! Dia telah mencabut pedang
Mustika Naga Merah. Berkredep cahaya me-
rah seketika. Pedang Pusaka itu memang
indah dan menyeramkan. Karena berbentuk
seekor Naga melingkar dengan ekor meliuk-
liuk ke ujung bagian yang runcing. Sisik-
sisiknya berkilauan memancarkan sinar me-
rah.
"Pedang yang bagus!" puji si wanita
tersenyum. Tiba-tiba wanita itu tertawa
sampai terpingkal-pingkal. Hingga sampai-
sampai mengeluarkan air mata. Pedang Mus-
tika Naga Merah di tangannya tergetar me-
mantulkan cahaya merah yang berkelebatan.
Nanjar jadi terheran-heran. Apakah
gerangan yang ditertawakan wanita itu? Di
samping heran diam-diam Nanjar juga ter-
kejut karena suara tertawa wanita itu te
lah membuat rasa nyeri di dadanya. Jelas
suara tertawa wanita itu mengandung tena-
ga dalam yang hebat. Sadarlah Nanjar ka-
lau dirinya telah terjatuh ke tangan seo-
rang tokoh wanita yang berilmu tinggi dan
berwatak sadis. Pantaslah kalau dirinya
dapat dipecundangi. Memikir ancaman wani-
ta misterius itu diam-diam hatinya menja-
di agak ngeri!
Tiba-tiba wanita itu berhenti ter-
tawa. Lalu menatap Nanjar dengan sorot
mata tajam.
"Bagus! Kelak Dunia Persilatan akan
gempar dengan kemunculan SEPASANG NAGA
MERAH! Hihihi... kita memang berjodoh!
Kita memang telah dijodohkan untuk saling
bertemu dan bersatu!" berkata si wanita
seraya beranjak mendekati.
Membelalak mata Nanjar karena wani-
ta itu tiba-tiba membuka pakaiannya ba-
gian atas. Yang membuat mata Nanjar sema-
kin melotot adalah pada bagian tengah da-
da wanita itu tertera sebuah tatto ber-
gambar seekor Naga Melingkar persis se-
perti bentuk pusaka. Naga Merah tanpa ga-
gang.
"Kau lihatlah gambar Naga pada tu-
buhku! Akupun memiliki pedang Mustika Na-
ga Merah yang serupa dengan Pedang Musti-
ka Naga Merah di tanganmu!" berkata si
wanita dengan tersenyum. "Tunggulah se-
bentar!" ucapnya lagi. Sekali berkelebat
tubuh wanita baju kuning itu lenyap ke
ruangan dalam. Tapi tak lama telah muncul
lagi dengan membawa sebuah pedang di tan-
gan kirinya.
"Nah! kau perhatikan sobat Dewa
Linglung! Adakah perbedaan kedua pedang
ini?" bertanya dia seraya mencabut pedang
itu dari serangkanya lalu mendekati Nan-
jar untuk memperhatikan kedua pedang itu.
Mata Nanjar seperti nanar melihat
kesamaan kedua pedang itu. Benar-benar
tak ada bedanya, seolah sepasang pedang
kembar.
"Dari mana kau mendapatkan pedang
yang serupa dengan pedangku?" bertanya
Nanjar dengan heran.
"Hihihi... pedang ini sudah kumili-
ki lebih dari sepuluh tahun! Aku telah
bersumpah tak akan mempergunakannya sam-
pai munculnya kembaran pedang Mustika Na-
ga Merah. Dan saat itulah aku akan mem-
pergunakannya karena baik pedang itu mau-
pun aku telah mendapatkan jodohnya!" sa-
hut si wanita.
"Akan tetapi, kemunculan Sepasang
Naga Merah tidaklah lengkap karena tubuh-
mu belum bertatto Naga seperti aku! Besok
pagi aku akan mentatto dadamu seperti
aku. Dan resmilah perjodohan kita!"
"Celaka! mengapa bisa begini?"
menggumam Nanjar dengan perasaan yang
luar biasa. "Jodoh? Aku berjodoh dengan
wanita ini yang belum kuketahui asal-
usulnya? Dan dia akan mentatto dadaku?
Ah, betapa mengerikan" bisik hati Nanjar
dengan mata membelalak.
SEMBILAN
NAH! malam ini kau bisa beristira-
hat dan tidur dengan nyenyak, Dewa Lin-
glung!" berkata wanita itu seraya beran-
jak memutar tubuh.
"He? Bukankah kau mau membunuhku?
mengapa mengurusi persoalan jodoh dan
mentatto tubuhku segala?" teriak Nanjar.
"Hihihi...mau membunuhmu atau tidak
apa urusanmu?" berkata si wanita dengan
tertawa lalu berkelebat lenyap
Tinggalah Nanjar yang tercenung
dengan menelah ludah. "Aiiih! Nasibku
mengapa sial begini? Lagi-lagi aku dipe-
cundangi seorang perempuan" keluhnya.
Entah beberapa kali Nanjar mencoba
melepaskan diri dari totokan si wanita,
namun tetap tak berhasil. Membuat dia pu-
tus asa dan menyerahkan diri pada nasib.
Menjelang pagi disaat hawa dingin
menyelinap kelubang pori-pori mendadak
jendela kamar itu menjeblak terbuka. Mem-
buat Nanjar tersentak bangun.
"Apa lagi yang kau mau lakukan?"
bertanya Nanjar ketika melihat si wanita
telah berdiri di depannya. Di lengan wa-
nita itu tampak sebuah keranjang kecil
tempat seperangkat alat-alat menjahit
yang biasa dipunyai seorang perempuan.
"Bukankah telah kukatakan kemarin
bahwa pagi ini aku akan mentatto dadamu!"
sahutnya seraya meletakkan keranjang ke-
cil itu di pembaringan.
"Aku tidak mau!" berteriak Nanjar.
"Kalau kau rewel aku akan jahit bi-
birmu sampai rapat!" berkata si wanita
mengancam. Kali ini dia berkata serius
membuat Nanjar terpaksa tutup mulut. Nge-
ri juga kalau sampai si wanita benar-
benar menjahit bibirnya. Terpaksa dia me-
nelan ludah basi dengan menyumpah-nyumpah
dalam hati.
Tak menunggu lama lagi lengan si
wanita telah bergerak membukai pakaian
Nanjar hingga nampak dada bidangnya.
Lalu wanita itu mengambil segulung
kertas dari balik pakaiannya. Gulungan
kertas itu ternyata bergambar seekor Naga
melingkar mirip dengan ukiran pedang Mus-
tika Naga Merah.
Setelah memperhatikan sejenak, lalu
mulailah melukis gambar Naga itu memin-
dahkannya ke dada Nanjar dengan mempergu-
nakan alat penghitam alis.
Ternyata si wanita seorang yang
pandai melukis. Dalam waktu singkat sele-
sailah pekerjaannya. Kini dia mengambil
sebuah jarum alat menjahit.
Siaplah sudah dia untuk mulai men-
tatto dada si Dewa Linglung.
Nanjar sudah mau buka mulut lagi.
Tapi melihat jarum dan benang yang men-
juntai panjang di belakang alat menjahit
itu rasa ngeri kembali timbul. Terpaksa
dia tutup mulut dengan hati kesal.
Mendadak dia mengaduh kesakitan.
Dadanya serasa digigit semut api. Ternya-
ta si wanita sudah mulai bekerja mentatto
dengan menusukkan ujung jarumnya ke kulit
tubuh pasien nya.
"Hihihi...tidak terlalu sakit. Men-
gapa kau macam anak kecil? Lama-kelamaan
rasa sakit yang seperti digigit semut itu
akan menjadi rasa nikmat!" berkata si wa-
nita dengan tersenyum. Selanjutnya dengan
cepat dia mulai lagi menusuk-nusukkan
ujung jarum itu tanpa memperdulikan Nan-
jar yang masih mengaduh-aduh. Bekerja si
wanita itu memang sangat cepat. Dalam
waktu tidak seberapa lama selesailah dia
mentatto dada Nanjar.
Darah menggenang di kulit tubuh si
Dewa Linglung akibat ribuan tusukan ja-
rum.
Wanita itu segera mengambil sapu
tangan untuk menyeka genangan darah. Lalu
dari keranjang keel itu dia mengambil se-
macam serbuk berwarna merah. Serbuk itu
dibaurkan pada dada Nanjar menutupi lu
bang-lubang luka berbentuk lukisan Naga
itu.
Kemudian dia membubuhkan semacam
cairan yang terasa dingin meresap. Tapi
tak membuat rasa perih pada luka. Entah
cairan apa. Mungkin obat luka. Selesailah
sudah si wanita mentatto. Dia membenahi
alat-alatnya lalu memasukkan dalam keran-
jang kecil.
Nanjar mencoba gerakkan kepala un-
tuk melihat dadanya. Tampak lukisan Naga
yang amat mirip dengan pedang Mustika Na-
ga Merah tertera di dadanya.
Nanjar rebahkan kepalanya lagi ke
bantal dengan menghela napas lega. Rasa
sakit yang menyiksa itupun akhirnya be-
rakhir.
Dipejamkannya matanya membayangkan
nasib apa lagi yang bakal dialaminya? Dia
kini tak ubahnya bagaikan boneka hidup
yang diperbuat semaunya oleh si wanita
baju kuning. Justru pada saat itu si wa-
nita baju kuning tengah menatapnya. Tata-
pan yang begitu tajam diarahkan pada lu-
kisan tatto Naga di dada Nanjar. Sebentar
pandangannya beralih pada wajah pemuda
itu, lalu merayap menjalari sekujur tubuh
si Dewa Linglung.
Pelahan bibirnya yang tersungging
senyuman kecil itu semakin melebar. Dan
akhirnya terdengar suara tertawa puas si
wanita baju kuning. Nanjar membuka ma
tanya. Dilihatnya si wanita tengah terta-
wa menatapnya.
"Hihihi... lukisan tatto di dadamu
selesai sudah! Kini resmilah perjodohan
kita! Sepasang Naga Merah akan segera
muncul tak lama lagi di Dunia Persilatan!
Dan darah akan memercik membasahi bumi
sebagai tumbal sepasang kembaran Pedang
Mustika Naga Merah!"
"Apa kau bilang? Kembaran Pedang
Mustika Naga Merah membutuhkan tumbal?"
tanya Nanjar dengan mata membeliak.
"Benar! Sepasang kembaran Pedang
Mustika Naga Merah membutuhkan 100 jiwa
manusia untuk memandikannya dengan darah
manusia!" sahut si wanita baju kuning.
"Gila!" teriak Nanjar terkejut.
"Hihihi... itulah persyaratannya,
Dewa Linglung! Dan hari ini juga kita ha-
rus bersatu!" berkata si wanita dengan
mata liar menatap Nanjar. Tiba-tiba wani-
ta itu telah melemparkan keranjang jahi-
tannya. Dan kejap selanjutnya dia telah
membuka seluruh pakaiannya. Sementara se-
pasang kembaran Pedang Mustika Naga Merah
tertancap di atas meja.
"Hah!? kau mau melakukan apa?" sen-
tak Nanjar terperangah. Tapi wanita itu
tak menjawab selain mendekati Nanjar. Dan
tanpa bicara sepatahpun dia meloloskan
seluruh pakaian Nanjar.
"Kita akan bersatu! kita akan ber
satu! kau dengarkah itu Dewa Linglung?"
desis si wanita dengan mata kian nyalang
dan napas mendesah. Mendadak tubuh wanita
itu lenyap! Nanjar kian terperangah. Ta-
hu-tahu dia merasakan tubuhnya menjadi
berat membuat Nanjar gelagapan dan bulu
romanya berdiri. Apakah dia berhadapan
dengan hantu atau peri?
Tapi hawa harum semerbak telah ter-
cium olehnya membuat dia kehilangan kesa-
darannya.
Kepalanya menjadi pening berdenyu-
tan, dan dia tak sadarkan diri lagi. Nan-
jar terbawa ke alam mimpi. Dalam mimpinya
dia tengah berkencan dengan seekor lintah
sebesar manusia. Mendadak lintah sebesar
manusia, itu sirna. Nanjar terperangah
kaget dan tersadar lagi. Terkejut Nanjar
seperti dipagut ular, karena dia dalam
keadaan tanpa busana dan sekujur tubuh
penuh dengan lendir.
Ruangan kamar itu sunyi hening. Tak
terasa lagi beban berat di atas tubuhnya.
Tak ada lagi bau harum. Keringat dingin
mengucur deras di sekujur tubuh mengingat
mimpinya. Hiiii..! sungguh mengerikan!
desisnya.
"Ke mana perginya wanita itu?" sen-
tak Nanjar dengan mata jelalatan ke sana
ke mari. Tapi tak ada tanda-tanda adanya
wanita itu di ruangan kamar.
Serentak bulu tengkuk Nanjar mere
mang. Lagi-lagi dia membathin.
"Jangan-jangan wanita itu bukan ma-
nusia?"
Matanya segera tertuju pada sepa-
sang pedang di atas meja. Pedang kembaran
Naga Merah. Aneh, ketika Nanjar melompat
bangun ternyata dia telah terbebas dari
pengaruh totokan. Cepat dia bergerak me-
nyambar pakaiannya. Lalu mengenakannya
dengan cepat. Kembali dia menatap pada
sepasang pedang.
"Bagus! dia pasti sedang pergi! Le-
bih baik aku segera kabur dari tempat
hantu ini!" pikir Nanjar.
Aneh! Ketika lengannya akan meraih
sepasang pedang itu mendadak pedang yang
satunya lenyap!
Mata Nanjar jadi kian membelalak,
dia tak mengerti. Semua yang dilihat dan
dialami seperti kenyataan. Tapi mengapa
sepasang pedang itu seperti khayalan sa-
ja? Pada kenyataannya Pedang Mustika Naga
Merah tetap cuma satu!
"Apakah mataku telah tertipu? Ah,
perempuan siluman itu pasti mempergunakan
ilmu sihir. Ataukah dia siluman atau pe-
ri? Ataukah aku cuma bermimpi? Tapi...
tapi gambar Naga yang bertatto di dadaku
ini tak lenyap? Aneh..!?" desis Nanjar
dengan mata membelalak melihat tatto Naga
di dadanya.
Saat itu bulu tengkuknya kembali
meremang. Tak ayal dia cepat sambar Pe-
dang Mustika Naga Merah di atas meja be-
rikut serangkanya yang tergeletak di de-
kat pedang. Lalu berkelebat ke luar ruan-
gan kamar melalui jendela. Dan angkat ka-
ki tak menoleh lagi meninggalkan tempat
itu.
SEPULUH
JANGAN-JANGAN DIA Si DEWI LINTAH!"
bergumam Nanjar, seraya dengan cepat gu-
nakan ilmu lari cepatnya meninggalkan
lembah itu
Tengkuknya meremang membayangkan
dirinya telah berkencan dengan seekor
lintah sebesar manusia.
Pada saat berlari-lari itulah men-
dadak telinganya mendengar suara-suara
yang terdengar seperti dari relung ha-
tinya.
"DEWA LINGLUNG! kau tak usah resah!
Aku memang si Dewi Lintah. Kini aku telah
menyatu dengan tubuhmu! Kini kita telah
bersatu! Kau dengarkah kata-kataku? Kau
adalah aku dan aku adalah kau! Kini tu-
naikan kewajibanmu memandikan Sepasang
Pedang Mustika Naga Merah. Pada dasarnya
pedang itu adalah dua, tapi cuma terlihat
satu! Pedang Mustikamu kini memerlukan
darah! Darah! Ya, darah manusia! Darah
orang-orang yang kubenci! Darah orang
yang akan menghalangi niatku, juga sum-
pahku!"
Tengkuk Nanjar seperti ditiup angin
salju. Dingin meremang. Dia tersentak ka-
get, tapi tak berhenti berlari. Bahkan
kian cepat. Dan dia baru berhenti setelah
napasnya tersengal-sengal.
Pada saat itulah Nanjar baru sadar
kalau kakinya telah membawanya ke Kota
Raja.
Aneh! Nanjar seperti terbawa oleh
satu kekuatan yang dia tak dapat menolak-
nya. Tahu-tahu dia telah bergerak memasu-
ki istana.
Dan yang lebih aneh, dua orang pen-
jaga pintu gerbang tak melihat Nanjar ma-
suk. Bahkan belasan pengawal yang dilewa-
ti tak mengetahui Nanjar menyelinap mema-
suki ruangan istana.
Pada saat itulah terdengar bentakan
menggeledek.
"Iblis perempuan! mau apa kau da-
tang ke Istana?"
Bentakan itu disusul dengan ber-
munculannya pengawal-pengawal Istana. Di
antaranya terdapat Senapati MARUTO! Di-
alah yang membentak barusan. Sekejap Nan-
jar telah dikurung oleh puluhan pengawal
Sungguh aneh, karena mereka tidak
melihat adanya Nanjar, melainkan sosok
tubuh seorang wanita berbaju kuning.
"Hihihi....Maruto! aku mau menemui
suamiku! Apakah sang prabu dalam keadaan
sehat?" terdengar Nanjar menyahut, tapi
suaranya suara si Dewi Lintah.
"Hah?! Kau... kau sudah bukan seo-
rang permaisuri lagi! Kau telah menjadi
manusia setengah siluman! Pengawal bunuh
dia!" teriak Senapati Maruto. Serentak
saja puluhan pengawal menyerbu ke arah
Nanjar yang terlihat seperti si Dewi Lin-
tah. Akan tetapi segera terdengar jeri-
tan-jeritan merambah udara. Puluhan sosok
tubuh pengawal itu bertumbangan roboh!
Darah memuncrat membasahi lantai. Puluhan
nyawa melayang seketika!
Membeliak mata Senapati Maruto. Dia
melompat menerjang dengan klewangnya.
Akan tetapi cuma dalam beberapa jurus sa-
ja senapati itu menjerit parau Pedang
Mustika Naga Merah telah menembus da-
danya.
Terhuyung laki-laki senapati ini.
Dan terjungkal roboh dengan nyawa lepas
dari tubuhnya. Tersenyum menyeringai si
Dewi Lintah. Terbayang di matanya. Ketika
laki-laki itu memperkosanya sebelum men-
gikat tubuhnya di dalam hutan. Saat beri-
kutnya Dewi Lintah telah berkelebat mema-
suki ruangan dalam.
Prabu Ganda Kesumah mendengar ri-
but-ribut di luar ruangannya telah melom-
pat ke luar dengan dengan mencekal keris.
Pada saat itulah berkelebat bayan-
gan sosok tubuh di hadapannya.
"Hihihi...suamiku! aku datang lagi!
kali ini untuk meminta nyawamu!" berkata
si Dewi Lintah dalam penjelmaannya mela-
lui tubuh Nanjar
"JAYENG SARI...! kau...kau telah
berada di alam halus! kembalilah ke alam-
mu!" membentak Prabu Ganda Kesumah dengan
menyurut mundur melihat wanita cantik
berbaju kuning itu mencekal pedang ber-
bentuk Naga yang berlumuran darah.
"Hihihi...siapa bilang aku sudah
menjadi arwah kakang Prabu? Aku datang
untuk menagih nyawamu! Bukankah kau yang
telah memerintahkan orang-orangmu untuk
membunuhku?
Dan membiarkan tubuhku diterkam bi-
natang buas?
Semua itu karena kau menuduhku te-
lah berzinah dengan seorang tukang kuda!
Tuduhan yang hina dan tak masuk akal! Tu-
kang kuda itu kau jatuhi hukuman mati,
dan aku kau suruh bunuh di dalam hutan.
Mereka sebelum menggantungku telah mem-
perkosaku secara bergantian! Dapat kau
bayangkan betapa sakit hatiku! Semua ini
karena kau dipitnah oleh selirmu yang
cantik. Yang akan kau jadikan seorang
permaisuri! Tapi nyatanya? Hihihi...dia
seorang keturunan Iblis!"
Terengah-engah napas Prabu Ganda
Kesumah. Tubuhnya tergetar. Keris telan-
jang di tangannya pun ikut menggetar. Ke-
ringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Bulu tengkuknya berdiri meremang menatap
wanita bekas permaisurinya pada dua puluh
tahun yang lalu itu, yang tetap tak beru-
bah. Masih tetap muda dan cantik. Kemun-
culan bekas permaisurinya pada beberapa
bulan yang lalu di Istana membuat dia ke-
takutan. Sang permaisuri cuma tertawa la-
lu lenyap. Sibuklah dia memanggil dukun-
dukun sakti untuk membuat penangkal. Tak
dinyana kini muncul lagi membawa malape-
taka.
Sementara itu sang permaisuri telah
kembali berkata.
"Kulihat di matamu ada rasa menyes-
al, kakang Ganda Kesumah! Hihihi... Tapi
sesalmu sudah terlambat! Nasibmu memang
sial. Membuang hati mendapat duri! Per-
maisuri barumu ternyata membuahkan ketu-
runan seorang bayi yang wajahnya mirip
RASEKSA! Terpaksa kau merahasiakan kela-
hiran anakmu! Namun cuma bertahan sampai
beberapa bulan akhirnya kau menyuruh
orang kepercayaanmu untuk meracun bocah
itu hingga mati! Karena kau tak ingin bo-
cah itu kelak menjadi pengganti kedudukan
mu membuat malu!
Akhirnya permaisurimu yang cantik
jelita itu kau usir dari Istana! Kau
panggil dukun-dukun sakti untuk mengusir
nya! Nyatanya dia sebangsa dedemit Hihi-
hi... nyaris Kerajaan Mandaraka berRaja-
kan seorang RASEKSA!
Dewi Lintah tertawa mengikik, dan
Prabu Ganda Kesumah kembali menyurut mun-
dur. Wajahnya pucat-pasi bagai tak berda-
rah. Tenggorokannya teras kering. Saat
itu Dewi Lintah telah berkata lagi.
"Ganda Kesumah! kau tak perlu me-
nyesali sikapmu! Karena sudah terlambat!
Kini aku datang untuk meminta nyawamu.
Nah bersiaplah untuk mampus!"
"Oh, ya! masih ada yang perlu kuka-
takan! akhirnya kau mengetahui juga Bayu-
nanta adalah anakku. Anak yang sebenarnya
berhak atas Kerajaan Mandaraka! Tapi kau
telah terlanjur menganggap dia anak seo-
rang tukang kuda!
Tenangkan hatimu di alam baka! Tak
usah kau risaukan dia, karena akupun tak
menginginkan dia menjadi Raja! Nah, kini
terimalah kematianmu!"
Pedang Mustika Naga Merah mendesis.
Meluncur deras ke arah tenggorokan Prabu
Ganda Kesumah. Laki-laki ini berusaha
mengelak. Namun ujung pedang yang haus
darah itu telah lebih dulu memenggal le-
hernya.
Kembali darah memuncrat disertai
menggelindingnya kepala manusia.
Tubuh tanpa kepala itu ambruk ke
lantai. Berkelojotan sejenak lalu diam
tak berkutik selamanya bersimbah dalam
genangan darah...!
Kematian sang Prabu Ganda Kesumah
disusul dengan tewasnya para pengawal-
pengawal Istana. Di mana cahaya merah
berkelebat maka akan terdengar jerit ke-
matian!
Paniklah seisi Kota Raja. Masing-
masing menyelamatkan diri dari kematian.
Adapun Mahapatih Gajah Menggolo
yang muncul di Istana setelah mendengar
laporan terkejut bukan main-main karena
melihat sebuah pedang berbentuk seekor
Naga berkelebatan bagaikan dicekal oleh
tangan setan membunuhi para prajurit Is-
tana.
"Pedang Mustika Naga Merah?" sen-
taknya terkejut. Terperangah dia melihat
pedang berbentuk Naga yang berkelebatan
tanpa terlihat orang yang mencekalnya.
"Celaka! Celaka! Kiamat! Kiamat!
hancurlah sudah Kerajaan MANDRAGIRI!"
berkata Mahapatih Gajah Menggolo. Wajah-
nya tampak pucat pias. Tubuhnya menggele-
tar. Dia menyelinap masuk melalui ruangan
demi ruangan. Didapati mayat bergelimpan-
gan. Bukan main terperanjatnya laki-laki
ini mengetahui Prabu Ganda Kesumah telah
tewas dengan keadaan mengerikan!
"Celaka! aku harus menyelamatkan
keluargaku!?" sentak Ki Patih. Dan dia
segera melompat ke luar dari ruangan itu,
dan lenyap di belakang istana.
Cahaya merah itu terus berkelebatan
meminta korban. Akhirnya meluncur keluar
dari Istana.
SEBELAS
Disaat di istana dan Kota Raja ten-
gah dilanda kepanikan itu, cahaya merah
berkelebat memasuki hutan.
Tampaklah sesaat kemudian sosok tu-
buh Nanjar alias si Dewa Linglung yang
berdiri tertegun sambil memegangi pedang
pusakanya.
"Celaka! Aku telah membunuhi orang-
orang Kerajaan dengan pedang ini! Aneh!
mengapa aku memper buatnya?!" berdesis
Nanjar dengan wajah, pucat. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara tertawa mengi-
kik. Sesosok bayangan muncul dari tubuh
Nanjar. Dan di hadapan si Dewa Linglung
telah berdiri si Dewi Lintah dengan ter-
tawa mengikik. Di lengannya tercekal kem-
baran Pedang Mustika Naga Merah.
"Jangan khawatir, Dewa Linglung!
Tak seorangpun yang melihat kau yang mem-
bunuh. Yang terlihat adalah aku! Tapi
itupun di hadapan manusia yang telah mem-
perkosaku! Di luar Istana aku tak menam-
pakkan diri. Aku hanya meminjam tanganmu
untuk membunuh musuh-musuhku! Kini telah
sembilan-puluh delapan nyawa telah meman-
dikan Pedang Mustika Naga Merah. Tinggal
dua nyawa lagi!" berkata si Dewi Lintah.
"Cukup!" teriak Nanjar dengan ma-
rah. "Kau tak boleh membunuh lagi! Sudah
banyak korban yang berjatuhan! Aku tak
mau terus diperalat olehmu!" Nanjar me-
nindak mundur dua langkah. Diam-diam dia
telah mengkonsentrasikan diri untuk meng-
hadapi wanita iblis itu!
"Kau tak akan dapat terpisah dari-
ku, Dewa Linglung! Karena kau telah ber-
jodoh denganku!" berkata tegas Dewi Lin-
tah.
Pada saat itulah terdengar suara
bentakan menggeledek.
"Dewi Lintah keparat! hari ini kau
tak akan dapat lolos dari pedang Malaikat
ku!" Sesosok bayangan berkelebat diikuti
bayangan sosok tubuh lain di belakangnya.
Sebentar saja di hadapan mereka
berdiri tegak Ki Gelagah alias si Pedang
Malaikat bersama Bayunanta muridnya.
Melihat kemunculan si Pedang Malai-
kat, Dewi Lintah tertawa mengikik.
"Hihihi...kadal tua! agaknya kau
masih mampu bertahan hidup setelah terke-
na pukulanku? Bagus! Pedang Mustika Naga
Merah membutuhkan dua korban lagi. Kini
telah muncul kedua-duanya!" berkata Dewi
Lintah.
"Cih! manusia Iblis sesat! Kau mau
membunuh darah dagingmu sendiri? Bagiku
yang sudah dekat liang kubur, kematian
tak menjadi soal! Tapi bocah ini masih
punya harapan besar untuk menjadi Raja
menggantikan sang Prabu Ganda Kesumah me-
megang tampuk pemerintahan Kerajaan Man-
dragiri!" membentak Ki Gelagah sambil me-
nunjuk pada Bayunanta.
Tentu saja membuat Bayunanta seper-
ti disambar geledek mendengar dia adalah
anak dari Prabu Ganda Kesumah. Dari kata-
kata Ki Gelagah jelas wanita bergelar De-
wi Lintah itu adalah ibunya.
Bentakan Ki Gelagah mendadak mem-
buat tercenung si Dewi Lintah. Kesempatan
itu digunakan Ki Gelagah untuk meneruskan
bicara.
"JAYENG SARI..! Sadarlah! kau telah
bertindak terlalu jauh. Dendammu memang
tak dapat kau lupakan, akan tetapi kau
telah mempelajari dan menganut ilmu ib-
lis! Kau dapat merasakan kepedihan hatimu
bagaimana rasanya disakiti hati! Akan te-
tapi kau tak menyadari bahwa kaupun telah
menyakiti hatiku? Kau lari dari sampingku
karena kepincut pada ketampanan dan harta
serta kedudukan! Dan kau berhasil menjadi
istri seorang Raja!
"Aku sadar kalau aku tak punya ke-
lebihan apa-apa. Bahkan seharusnya akulah
yang mendendam pada Bayunanta. Karena
Bayunanta adalah anak dari orang yang te
lah merebut isriku! Tapi aku telah meme-
liharanya dengan ikhlas berdasarkan kema-
nusiaan. Bocah ini kutemukan di dalam hu-
tan ketika aku kebetulan lewat di hutan
itu. Dia lahir tanpa kasih sayang seorang
ibu. Beberapa bulan kemudian aku menden-
gar berita sang Prabu Ganda Kesumah telah
membuang permaisurinya di hutan belantara
dalam keadaan hamil tua!
Aku berkeyakinan bayi yang kutemu-
kan itu adalah bayimu! Sedangkan aku tak
mengira kalau kau masih hidup, karena tak
jauh dari bayi merah itu ada tulang teng-
korak manusia yang masih basah. Kukubur-
kan tengkorak manusia itu yang kuanggap
adalah mayatmu!
Betapa mendendamnya aku pada sang
Prabu Ganda Kesumah. Walau bagaimana tin-
dakan itu terlalu kejam! Tapi mengingat
akan ketidak setiaanmu aku cuma bisa ta-
fakur dengan hati sedih. Aku menganggap
kau terkena hukum Karma!" sejenak Ki Ge-
lagah berhenti bertutur.
Wajahnya layu, dan tampak setitik
air bening menggenang di pelupuk mata tu-
anya.
"Akan tetapi, kini bocah yang kupe-
lihara dengan ikhlas, bocah yang tak ber-
salah apa-apa ini akan kau bunuh juga?
Haiih! sungguh keterlaluan!" suara parau
Ki Gelagah merobek udara. Giginya gemeru-
tuk menahan geram. Matanya berapi-api me
mandang si Dewi Lintah
"Patutkah itu dilakukan oleh seo-
rang manusia? Seorang ibu yang telah men-
gandungnya? Seorang ibu yang tak pernah
merawatnya?" teriak si Pedang Malaikat.
"Ternyata tulang tengkorak itu adalah
tengkorak seorang penduduk yang digunakan
untuk menipu orang Kerajaan agar mengang-
gap kau telah mati! Nyatanya kau telah
ditolong oleh seorang dukun tua! Dukun
yang sakit hati karena suaminya dibunuh!
Dialah istri si Tukang Kuda yang telah
difitnah berbuat serong padamu! Dia mem-
bawamu ke tempat seorang pertapa tua di
satu lembah angker. Dari pertapa tua pe-
muja iblis itulah kau mempelajari ilmu-
ilmu sesat!
Sesungguhnya kau telah diperalat
orang lain Jayeng Sari! Apakah kau tega
membunuh jiwa anakmu sendiri? Darah da-
gingmu? Juga calon Raja penerus dan peme-
gang tampuk pemerintahan Kerajaan Manda-
raka?"
Keheningan merambah suasana di hu-
tan itu. Nanjar cuma terbelalak mendengar
kisah dari si Dewi Lintah. Sedangkan si
Dewi Lintah sendiri tenggelam dalam kera-
guan. Tercenung dengan tatapan kosong.
Dua tetes air mata mengalir membasahi ke-
dua pipinya. Pada saat itulah Bayunanta
berteriak dengan suara menggeletar.
"Ibuuu...."
Pemuda ini melepaskan pedangnya.
Dia melangkah pelahan mendekati Dewi Lin-
tah dengan air matanya menggenang, lidah
terasa kelu, dan kerongkongan serasa ter-
sumbat.
DUA BELAS
Ibu biarkan anakmu memelukmu ibu..!
Selama ini teka-teki dan rahasia diriku
terpendam. Tapi hari ini terbuka sudah!
Ternyata aku anak seorang permaisuri Ra-
ja. Walau kau seorang iblis sekalipun aku
tetaplah anakmu. Dan aku akan tetap men-
gakui kau ibuku! Ibu...biarkan darah da-
gingmu ini memelukmu! Biarkan aku menan-
gis di pangkuanmu. Biarkan air mataku
tertumpah di dadamu! Walau cuma sekali
ibu..! Walau cuma satu kali!" ratap Bayu-
nanta.
"TIDAK! TIDAK! Jangan kau lakukan
itu! Aku telah menjadi seorang manusia
iblis sesat! Aku tak pernah merawatmu!
menyusuimu! menimangmu! membesarkanmu!
Ah, betapa nistanya aku. Aku telah menja-
di seorang manusia sesat. Masih ada muka-
kah aku mengaku kau sebagai anakku?" ber-
kata Dewi Lintah dengan air mata bercucu-
ran dan kakinya melangkah mundur.
"Tapi ibu...kau.. kaulah yang telah
melahirkanku! Dan aku adalah darah da
gingmu!" sanggah Bayunanta dengan suara
parau menggeletar menahan perasaan.
"Benar... tapi...tapi...aku tak da-
pat melanggar sumpahku! Dan... dan kau
harus mati! Aku tak ingin sifat ayahmu
kelak menurun padamu!" berkata Dewi Lin-
tah. Kini suaranya berubah sinis! Pandan-
gan matanya berapi-api seolah mau menelan
bulat-bulat Bayunanta, anak kandungnya
sendiri.
Keadaan berubah tegang!
Detik itu juga tiba-tiba Pedang
Mustika Naga Merah telah meluncur deras
ke arah jantung Bayunanta. Pemuda ini
terperangah dengan mata membelalak.
Kematian agaknya sudah berada di
ujung rambut. Tapi pada detik itu juga
berkelebat cahaya merah menangkis samba-
ran Pedang Mustika Naga Merah. Dan detik
selanjutnya terdengarlah suara menjerit
ngeri...
Tubuh Dewi Lintah ambruk ke tanah
bersimbah darah. Setelah menggeliat mere-
gang nyawa, tubuh wanita itupun diam un-
tuk selama-lamanya.
Tampak Nanjar berdiri di hadapan
mayat si Dewi Lintah dengan pedang Musti-
ka Naga Merah di tangannya.
Membelalak mata Bayunanta dengan
terperangah. Napasnya serasa berhenti.
Ternyata pada saat kematian sudah di am-
bang pintu baginya mendadak si pelayan
dogol alias si Dewa Linglung sahabatnya
itu telah menyelamatkan jiwanya.
Pada saat itu juga disaat kehenin-
gan merambah suasana hutan mendadak ter-
dengar suara si Pedang Malaikat.
"Lihatlah! apa yang telah terjadi?"
Ki Gelagah melompat mendekati Dewi
Lintah alias bekas istrinya itu.
Apakah yang mereka lihat? Ternyata
perlahan-lahan mayat Dewi Lintah berubah
ujud menjadi mayat seorang nenek tua ke-
riput berambut putih. Pedang Mustika Naga
Merah yang tergeletak di sisinya mendadak
lenyap sirna.
Semakin membelalak mata mereka me-
nyaksikan mayat itu kembali berubah men-
jadi ujud seekor lintah sebesar manusia!
Namun ujud lintah itupun lenyap
kembali berubah menjadi segumpal asap hi-
tam yang membumbung ke udara dengan me-
ninggalkan bau busuk.
Sirnalah ujud si Dewi Lintah. Yang
tampak hanyalah kerangka manusia. Kerang-
ka yang telah lapuk dimakan usia.
Pedang Malaikat, si Dewa Linglung
dan Bayunanta saling pandang dengan kehe-
ranan
Namun sesaat kemudian Nanjar berka-
ta memecah kesunyian yang menggayuti pe-
rasaan.
"Maafkan aku, sobat Pedang Malai-
kat! Aku terpaksa melakukan, karena aku
tak sampai hati membiarkan dia membunuh
Bayunanta!"
Pedang Malaikat tak menyahut. Dia
masih terpaku memandang kejadian pada di-
ri Jayeng Sari bekas istrinya itu
Nanjar segera melangkah menghampiri
Bayunanta. Lalu menepuk-nepuk pundaknya
"Bayunanta! dapatkah kau memaafkan aku?"
Bayunanta mengangguk. Dia memang
telah memaklumi hal itu, karena disaat
itu tak bisa berbuat lain selain membunuh
si Dewi Lintah. Diam-diam dia bersyukur
dapat lolos dari kematian. Dan hatinya
menyaksikan setiap perubahan ujud ibunya.
"Nah! sobatku, dan kau sobat tua
Pedang Malaikat. Kukira aku tak dapat
berlama-lama di sini. Bimbinglah Bayunan-
ta untuk mewujudkan cita-citamu. Menjadi
pengganti Raja di Kerajaan Mandragiri!
Rakyat Mandragiri telah kehilangan Ra-
janya. Dan memerlukan seorang pemimpin
pemegang tampuk pemerintahan yang telah
terbengkalai!"
"Terima kasih atas saranmu, Dewa
Linglung! Hehehe...! kelak setelah sele-
sai tugasku menobatkan Bayunanta menjadi
Raja. Aku akan merambah Dunia Persilatan
mencarimu! Kakiku sudah gatal untuk men-
gembara lagi!" berkata si Pedang Malai-
kat. Nanjar mengangguk-angguk. Hatinya
gembira melihat kecerahan wajah si Pedang
Malaikat.
"Aku akan menantikan kemunculanmu
Pedang Malaikat!" ucap Nanjar. Dan sete-
lah meminta diri sekali lagi tubuh Nanjar
pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
Dari kejauhan terdengar suara se-
nandungnya yang lapat-lapat terdengar ke
telinga si Pedang Malaikat dan Bayunanta.
"Haiii..! nasib manusia seperti po-
hon kayu.
Tumbuh, besar, tua, dan mati!
Terkadang mati oleh ganasnya api.
Terkadang mati oleh alam
Juga mati karena bencana!
Aku sendiri tak tahu entah matiku
kapan?
Apakah masih bisa berjumpa dengan
si Pedang Malaikat?"
Suara senandung itu semakin menjauh
dan lenyap. Ki Gelagah menarik napas pan-
jang. Sebutir air mata tergulir di pi-
pinya. Tapi segera berpaling pada Bayu-
nanta, seraya berkata.
"Mari kita kuburkan kerangka ibumu,
nak! Biarlah dia bersemayam untuk pengha-
bisan kalinya. Semoga dosanya diampuni
yang Maha Pencipta!"
Bayunanta mengangguk dengan terse-
nyum dipaksakan. Walau sebenarnya hatinya
tersayat pedih. Namun dia menyadari bahwa
kodrat manusia berada di tangan Tuhan Se-
mesta Alam. Kematian memang milik manu-
sia. Tapi sebelum datangnya maut bukanlah
lebih baik menanamkan amal kebaikan untuk
manusia? Bukankah hanya amal itulah yang
bakal menolongnya kelak di hari Akhirat!
T A M A T
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar