..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 18 Januari 2025

DEWA LINGLUNG EPISODE DEWI LINTAH

matjenuh

 

S A T U

DUA EKOR KUDA seperti saling berpa-

cu dengan cepat mendaki perbukitan itu. 

Kuda-kuda mereka bukan kuda biasa me-

lainkan kuda pilihan. Dapat dilihat cara 

berlarinya yang tangkas. Juga kedua pe-

nunggangnya bukanlah orang-orang biasa. 

Karena mereka juga merupakan para penung-

gang kuda yang gesit dan tangkas.

Yang seorang berpakaian kain kasar 

berwarna biru dengan sebuah pedang berada 

di punggung. Dia seorang laki-laki muda 

yang tampan berkumis kecil. Rambutnya 

tergelung diatas kepala terikat sehelai 

kain warna kuning. Sedangkan yang seorang 

lagi ternyata seorang gadis berpakaian 

sutera merah kembang-kembang. Rambutnya 

terikat menjadi dua yang masing-masing 

bagian terikat sebuah pita warna putih. 

Gadis ini juga menyoren pedang di pung-

gungnya. Nyatalah kalau mereka orang-

orang kaum persilatan. Dapat dilihat dari 

cara mereka berpakaian serta kelincahan-

nya menunggang kuda.

Walau bagaimanapun si gadis ternya-

ta kalah lincah dan kalah cepat mendaki. 

Karena kuda hitam pemuda baju biru itu 

telah lebih dulu tiba diatas bukit.

"Hahaha .... kau kalah adik 

SRIGATI! Kudamu larinya seperti keong, 

mana mampu mengungguli kudaku?" teriak



pemuda ini.

"Huh! Kau curang kakang BAYU! Kalau 

kau tak berlaku licik memotong jalan, 

tentu aku yang lebih dulu sampai diatas 

bukit!" berkata gadis ini dengan wajah 

merah dan napas terengah-engah. Dia baru

saja tiba diatas bukit sepeminuman teh 

setelah pemuda itu terlebih dulu tiba.

"Hahaha..... bukankah dalam pertan-

dingan adu kecepatan ini tak ada larangan 

apa-apa. Kalau aku memotong jalan itu 

adalah karena kecerdikanku!" berkata si 

pemuda dengan tertawa.

"Tapi...... tapi maksudku kita ha-

rus mengambil jalan lurus!" tergagap si 

gadis wajah semakin memerah seperti mau 

menangis.

"Ya ya, sudahlah! Aku anggap per-

tandingan kita kali ini berlangsung se-

ri!" cepat-cepat si pemuda memotong bica-

ra. Agaknya dia kenal situasi. Kalau si 

gadis dihadapannya suka ngambek, sukar 

untuk membujuknya.

"Huh! siapa mau begitu? kalau aku 

kalah, ya kalah!" berkata ketus si gadis. 

Membuat si pemuda jadi garuk-garuk kepala 

serba salah.

"Haiiih! sudahlah adik manis, nanti 

dilain waktu bila kita mengadakan pertan-

dingan adu cepat lagi, aku berjanji tak 

akan berlaku curang!" membujuk si pemuda. 

"Huh! aku tak akan mengadakan per



tandingan lagi. Hari ini adalah hari yang 

terakhir kali!" sahut si gadis cepat. 

Srigati sudah dapat menduga bahwa bila 

kelak diadakan pertandingan lagi, tentu 

Bayu akan sengaja membiarkan dia menang 

dengan pura-pura kalah. Makanya dia meno-

lak dan memutuskan tak akan mengadakan 

pertandingan lagi.

Pernyataan Srigati membuat Bayunan-

ta semakin serba salah. Hatinya berkata

"Wah kalau sudah begini, serba berabe!" 

Lag-lagi dia garuk-garuk kepala. Diam-

diam dia menyesali mengapa tak sengaja 

membuat kekalahan tadi? 

"Yah, sudahlah!" berkata Bayunanta 

dengan menghela napas.

"Eh, adik Srigati! Dibawah bimbin-

gan guru barumu tentu ilmu silatmu sema-

kin maju pesat! Coba tunjukkan padaku ju-

rus-jurus barumu yang kau peroleh dari Ki 

Ageng Sepuh itu!" berkata Bayunanta men-

galihkan pembicaraan.

Srigati masih cemberut. Tapi men-

dengar kata-kata Bayunanta, dia menoleh 

dan melompat turun dari atas kuda.

"Jangan kau memperolokkan aku, ka-

kang Bayu! Kutahu, ilmu silatmu lebih 

tinggi dariku. Kau lebih hebat dalam per-

mainan ilmu pedang. Apalagi kau dibimbing 

oleh ayahmu sendiri yang sudah punya nama 

besar dikalangan kaum persilatan. Siapa 

yang tak kenal dengan julukan ayahmu si



Pedang Malaikat?"

"Ah, kau terlalu berprasangka bu-

ruk, adik Srigati! Juga kau terlalu me-

nyanjung nama besar ayahku tapi aku tahu 

betul siapa Ki Ageng Sepuh. Dia bekas 

orang Istana yang telah mengundurkan diri 

dari Kerajaan. Menurut ayahku ilmu kedig-

jayaan gurumu itu amat tinggi, karena dia 

bekas hulubalang Kerajaan. Sungguh ayahmu 

Adipati. UMBUL WILAYA tak menyia-nyiakan 

kesempatan mengundang beliau untuk menja-

dikan kau sebagai muridnya!" berkata 

Bayunanta dengan melompat turun dari ku-

danya.

Srigati tersenyum. Sikap merendah 

Bayunanta telah merubah wajah cemberut 

Srigati menjadi cerah.

"Ah, aku baru mempelajari lima ju-

rus ilmu pedang. Aku akan perlihatkan pa-

damu jurus-jurus itu. Tapi kuharap kau 

tidak mencelanya!" berkata Srigati.

"Bagus! segeralah kau perlihatkan!"

"Baik!"

Srigati tarik keluar pedangnya dari 

belakang punggung. Bayunanta melangkah 

mundur, lalu melompat keatas batu dan du-

duk disana.

Srigati berkelebat melompat agak 

menjauh dari kedua ekor kuda tunggangan 

mereka. Tak lama dia telah memasang kuda-

kuda dan mengkonsentrasikan diri untuk 

memulai jurus-jurus yang akan dimainkan


nya. 

"Ini jurus Badai Menyerbu Bukit!" 

teriak Srigati. Mendadak tubuhnya mence-

lat dua tombak keudara. Dalam keadaan me-

lambung itu pedangnya berkelebatan mena-

bas angin beberapa kali menimbulkan suara 

bersiutan serta kilatan-kilatan cahaya 

berkredepan. Gerakan ini dibarengi dengan 

teriakan keras yang menggetarkan udara. 

Ketika tubuhnya meluncur kebumi mendadak 

dia letikkan lagi tubuhnya. Kini kedua 

belah lengannya mengembang. Pedangnya 

kembali menabas dengan gerakan-gerakan 

menyilang. Hebat serangan ini karena pe-

dangnya telah berubah menjadi seperti 

berpuluh-puluh banyaknya.

Srigati melakukan dua kali salto 

lagi diudara, lalu berdiri tegak ditanah

dengan kuda-kuda kokoh.

"Yang barusan adalah jurus "Elang 

Bayangan!" berkata, Srigati.

"Ah hebat! kedua jurus itu baru aku 

pernah melihatnya. Serangan-serangannya 

amat luar biasa!" ujar Bayunanta dengan 

kagum. Srigati tak mendengarkan pujian 

itu tapi telah mulai meneruskan jurus-

jurus selanjutnya. Demikianlah hingga 

sampai selesai mempertunjukkan kelima ju-

rus ilmu pedang itu barulah Srigati ber-

henti.

Jurus yang terakhir itu membuat mu-

lut si pemuda tak hentinya memuji.


"Hebat! hebat! Sungguh luar biasa 

kelima jurus ilmu pedang itu, adik Sriga-

ti. Sudah kuduga Ki Ageng Sepuh seorang 

yang berilmu tinggi!" 

Baru saja selesai Bayunanta bicara 

mendadak berkelebat sebuah bayangan pu-

tih. Tahu-tahu ditempat itu telah berdiri 

sesosok tubuh, seorang kakek tua berambut 

putih tergelung rapih. Kakek ini berpa-

kaian jubah warna putih sewarna dengan 

rambut dan jenggotnya.

"Wah, wah, wah! pujian itu sungguh 

berlebihan sekali. Aku si tua renta ini 

merasa ilmuku tak berarti apa-apa diban-

dingkan dengan kehebatan serta nama besar 

si Pedang Malaikat!" 

Tentu saja membuat Bayunanta terke-

jut. Akan tetapi Srigati berteriak gi-

rang.

"Guru....!" teriaknya dengan melom-

pat menghampiri. Lalu dengan wajah berse-

ri dia menjura menghormat.

"Guru, ada apakah kau menyusulku 

kemari?" tanya Srigati.

"Hehehe .... anak bengal! ayahmu 

mencari-carimu sejak pagi tadi. Aku sudah 

menduga kalau kau akan ketempat ini. Ma-

kanya aku menyusul kesini!" sahut Ki 

Ageng Sepuh dengan tersenyum. Adapun 

Bayunanta segera mengetahui siapa adanya 

orang tua itu. Diapun segera menjura, dan 

berkata.



"Selamat berjumpa Ki Ageng! Sungguh 

aku merasa malu nama ayahku selalu disan-

jung-sanjung. Padahal menurut kenyataan-

nya ilmu Ki Ageng dibandingkan ayahku ti-

daklah dibawah ayahku!"

"Hehehe .... sudahlah! mengapa ha-

rus saling memperebutkan tinggi rendahnya 

ilmu? Ilmu itu tak ada habisnya. Diatas 

langit masih ada langit! Tinggi rendahnya 

ilmu tak ada artinya kalau si pemilik il-

mu itu tak dapat mempergunakannya di ja-

lan kebaikan. Aku tidak menyanjung ayah-

mu, raden can bagus! Tapi kehebatan ilmu 

pedang Malaikat memang telah diakui oleh 

dunia persilatan! Dan kau sebagai pewa-

risnya tentu saja akan sehebat ayahmu!" 

berkata Ki Ageng Sepuh dengan tersenyum 

dan mengelus jenggotnya.

"Terima kasih atas pujianmu, Ki 

Ageng! Oh, ya apakah kedatanganmu untuk 

menjemput adik Srigati?" bertanya Bayu-

nanta, yang tak dapat membantah lagi ka-

ta-kata orang tua itu.

"Benar, raden cah bagus. Hm, apakah 

raden yang bernama Bayunanta?" 

"Tidak salah, Ki Ageng!" sahut 

Bayunanta dengan hati agak tergetar. Ta-

tapan laki-laki tua itu amat tajam seper-

ti begitu berpengaruh, hingga diam-diam 

pemuda ini terkejut. 

"Guru, apakah aku harus pulang se-

karang?" tiba-tiba Srigati berkata Ki


Ageng Sepuh menoleh. "Sebenarnya tak per-

lu terburu-buru. Beliau sudah menitahkan 

aku untuk mencarimu dan Kau bisa mengha-

dap nanti sore!" menyahut Ki Ageng Sepuh.

"Hm, maaf, raden cah bagus ...." 

berkata laki-laki tua ini seraya menoleh 

pada Bayunanta. Tapi cepat-cepat pemuda 

ini memotong. 

"Harap anda tak menggunakan kata 

raden, Ki Ageng!" 

"Ya, ya, ya baiklah! Begini nak 

Bayunanta, ada sedikit pesan dari Kanjeng 

Adipati, yaitu ....." Agak ragu-ragu Ki 

Ageng Sepuh meneruskan bicara. 

 "Katakanlah, Ki Ageng mengapa kau 

ragu-ragu?" Tampak Ki Ageng Sepuh terme-

nung sejenak, lalu memalingkan wajahnya 

menatap Srigati, kemudian menghela napas.

"Begini sajalah! besok pagi aku 

akan mengunjungi tempat kediamanmu, seka-

lian aku ingin bertemu muka dengan ayahmu 

Tumenggung Ki GELAGAH!" berkata Ki Ageng 

Sepuh. Tampaknya dia enggan memberitahu 

apa pesan Adipati Umbul Wilaya pada Bayu-

nanta.

"Baiklah kalau begitu, Ki Ageng! 

Oh, ya agaknya aku tak dapat berlama-lama 

lagi. Aku akan segera kembali pulang!" 

sahut Bayunanta, seraya menjura dan me-

minta diri. Kemudian mengangguk sekali 

pada Srigati. Gadis itu membalas dengan 

anggukan.


Ki Ageng Sepuh menghela napas, lalu 

ujarnya. "Baiklah, semoga kau tak berke-

cil hati, nak Bayunanta. Dan sampaikan 

salamku pada ayahmu ....!" ujar orang tua 

ini.

"Baiklah, Ki Ageng!" selesai mengu-

cap, Bayunanta bergerak melompat keatas 

kuda. Tak lama dia telah membedal kudanya 

dengan cepat meninggalkan tempat itu.

DUA

Dalam perjalanan pulang Bayunanta 

tak habis pikir memikirkan apa-apa yang 

akan dikatakan Ki Ageng Sepuh itu.

"Pesan apakah yang akan disampai-

kannya dari Adipati Umbul Wilaya padaku?" 

bergumam Bayunanta. Sementara kudanya di-

pacunya semakin cepat. Tapi setelah mele-

wati bukit itu dia memperlambat lari ku-

danya. Yang diingatnya masih Ki Ageng Se-

puh. Sikapnya ketika berbicara beberapa 

kali melirik pada Srigati. Hal itulah 

yang menjadi buah pikirannya.

"Apakah Adipati melarang aku ber-

gaul dengan anak gadisnya?" desah pemuda 

ini sambil menyeka keringat. Bayunanta 

memang menyadari - siapa diri-nya. Walau-

pun dia anak seorang tokoh persilatan 

yang bernama besar, dan berpangkat Tu


menggung, namun kepangkatan ayahnya diba-

wah Adipati UMBUL WILAYA.

"Apakah aku dipandang rendah untuk 

bergaul dengan Srigati? Ataukah ayahnya 

mempunyai soalan dengan Adipati Umbul Wi-

laya?" berkata dalam hati Bayunanta men-

duga-duga. Tapi tidak bisa memastikan du-

gaannya benar atau salah. Demikianlah, 

dengan hati masygul dan benak penuh den-

gan bermacam pertanyaan dia menjalankan 

kudanya dengan tanpa semangat.

"Hm, sebaiknya aku bersabar menanti 

kedatangan Ki Ageng Sepuh besok pagi. Se-

muanya akan menjadi jelas dan terang! 

Mengapa aku banyak memikir yang tidak-

tidak?" bergumam pemuda ini. Memikirkan 

demikian Bayunanta segera keprak tali ke-

kang kudanya dan membedalnya untuk kemba-

li berlari cepat. Sebentar saja dia telah 

jauh meninggalkan bukit dibelakang-

nya.....

Akan tetapi dipersimpangan jalan 

dia berhenti. Agak segan dia untuk men-

gambil jalan pulang kerumah. Akhirnya dia 

memutuskan untuk membelok kekanan. Jalan 

ini adalah jalan yang menuju ke Kota Ra-

ja.

Kuda hitam yang ditunggangi Bayu-

nanta berlari cepat melintas dijalan sepi 

itu. Ternyata dia tak terus menuju ke Ko-

ta Raja, melainkan singgah ke sebuah desa 

yang cukup ramai. Itulah desa Manunggal


yang letaknya tak jauh dari Kota Raja. 

Sebuah desa yang cukup ramai oleh kepada-

tan penduduk. Bayunanta belokkan kudanya 

kesebuah restoran sederhana ditepi jalan. 

Restoran itu berada ditengah desa, yang 

menjadi pusat keramaian. 

Setelah tambatkan kudanya, dengan 

langkah lebar dia bertindak memasuki res-

tauran yang sekaligus tempat penginapan. 

Seorang pelayan menyambut ramah dan mem-

persilahkan duduk. Mata Bayunanta memuta-

ri ruangan. Tampak didalam ruangan itu 

beberapa tetamu yang sedang bersantap. 

Ternyata restoran itu cukup terkenal, 

hingga bukan rakyat biasa saja yang men-

jadi tamunya, melainkan juga orang-orang 

Kerajaan banyak yang berkunjung kesitu.

Disudut kanan ruangan terlihat em-

pat orang perwira Kerajaan duduk santai 

menghadapi meja makan. Tampaknya mereka 

baru selesai makan. Karena diantaranya 

ada yang duduk menyelonjorkan kakinya di-

atas meja dengan mulut sebentar-sebentar 

menghembuskan asap rokok. Sementara yang 

lainnya bercakap-cakap. Piring-piring na-

si dan gelas diatas meja sudah kosong. 

Beberapa bangku sudah terisi pula dengan 

tetamu lainnya. Cuma meja disudut kiri

itulah yang kosong.

Bayunanta cuma melirik sekilas pada 

keempat perwira itu, lalu dengan langkah 

lebar beranjak menuju kemeja disudut se


belah kiri ruangan. Seorang pelayan buru-

buru menghampiri.

"Pesan apa, den?" tanya si pelayan 

ramah dengan membungkuk-bungkuk.

"Hm, buatkan aku teh kental saja, 

tak usah diberi gula. Dan beri aku se-

mangkok bubur hangat!" berkata Bayunanta 

datar.

Empat perwira itu melihat kedatan-

gan Bayunanta masing-masing menatapkan 

matanya dengan wajah sinis. Dan terdengar 

mereka saling berbisik.

"Ssssst, kalian tahu, siapakah yang 

baru datang ini? Dialah anaknya Tumeng-

gung; Ki Gelagah yang punya gelar si Pe-

dang Malaikat!"

"Ya, ya! aku tahu. Bukankah dia 

bernama Bayunanta? tapi khabarnya dia bu-

kan....."

"Ssssst! kalau sudah tahu, ya su-

dahlah! Jangan bicara disini, nanti dia 

dengar!" berkata lawannya mencolek lengan 

perwira ini memotong bicaranya.

Seorang perwira berkumis tebal 

bangkit berdiri dan menggebrak meja hing-

ga semua orang menoleh.

"Pelayan!" teriaknya keras. Lagak 

orang ini angkuh. Gebrakan pada meja itu 

tak begitu keras, tapi karena saat itu 

sedang dalam keadaan sepi membuat para 

tetamu menoleh. Mereka memang sudah men-

getahui siapa adanya empat perwira Kera


jaan itu yang sering datang ke restoran 

itu. Sikap mereka rata-rata angkuh. Me-

mang begitulah sikap kebanyakan para pe-

tugas Kerajaan. Merasa dirinya lebih dari 

orang lain. 

Akan tetapi akibat gebrakan pada 

meja itu membuat sisa air dalam gelas me-

muncrat. Dan anehnya puncratan air itu 

justru kearah Bayunanta. Hingga membuat 

basah pakaian pemuda itu. Seperti tak ta-

hu apa yang terjadi kembali dia berteriak 

kendati dilihatnya pelayan telah berjalan 

cepat menghampiri.

"Berapa semua harga makanan ini!" 

berkata si kumis tebal. Si pelayan segera 

menghitungnya. Lalu sahutnya.

"Jadi ng......lima belas ketip, 

den!"

Si kumis tebal merogoh sakunya, la-

lu mengeluarkan uang receh dengan mengu-

ras semua isi saku.

"Nih! sisanya untukmu!" katanya 

dengan nada sombong. 

Si pelayan segera menghitung. Tapi 

setelah dihitung ternyata cuma ada lima 

ketip. "Ku... kurang den!" ucapnya gagap.

"Apa?" bentak si kumis tebal.

PLAK!

Satu tamparan keras melayang menge-

nai pipi si pelayan hingga laki-laki ini 

terhuyung dan mengaduh kesakitan. Uang 

ditangannya bergemerincing berjatuhan ke


lantai. Laki-laki pelayan ini meringis 

memegangi pipinya yang memerah membekas 

lima jari tangan 

"Kau sungguh membuat malu aku! su-

dah ku persen masih bilang kurang!" mem-

bentak lagi si kumis tebal. Dia sudah be-

ranjak melangkah lagi. Sebelah lengannya 

diulurkan untuk menjambak rambut si pe-

layan muda itu. Tapi pada saat itu seo-

rang laki-laki gendut cepat-cepat meng-

hampiri seraya buru-buru menarik si pe-

layan. Lalu membungkuk-bungkuk dihadapan 

si kumis tebal.

"Maafkan dia, den. Pelayanku ini 

orang baru, harap anda memaklumi kesala-

hannya!" berkata si laki-laki gendut yang 

ternyata adalah si pemilik restoran. 

"Haiih! kau mengapa bikin malu te-

tamu kita? Kau memang tak becus jadi pe-

layan. Sana, kau kerja didapur saja!" 

berkata marah si pemilik restoran. Si pe-

layan yang masih menyeringai memegangi 

sebelah pipinya yang sembab, terbungkuk-

bungkuk didepan si majikan.

"Maafkan aku, juragan!" ujarnya. 

Lalu buru-buru beranjak keruang belakang. 

Namun masih sempat sekilas dia melirik 

pada si kumis tebal dan kawan-kawannya. 

Laki-laki gendut itu memunguti sisa ke-

pingan uang yang berserakan dilantai, la-

lu menjura didepan si kumis tebal yang 

masih bertolak pinggang. Wajahnya tampak


merah padam.

"Sekali lagi hamba mohon maaf atas 

ketololan pelayan hamba, raden!" berkata 

si laki-laki gendut.

"Hm, lain kali aku tak ingin hal 

ini terulang lagi!" berkata keren perwira 

berbadan kekar ini. Lalu menoleh pada ke-

tiga kawannya, memberi isyarat untuk se-

gera angkat kaki. Setelah merapihkan baju 

dan membetulkan letak pedangnya, si per-

wira berkumis tebal itu melangkah lebar 

keluar dari ruangan restoran itu diikuti 

ketiga kawannya. Bayunanta mengikuti den-

gan pandangan matanya.

TIGA

SI PELAYAN muda yang nasibnya sial 

kena tampar tadi ternyata tengah asik 

mengupas pisang dan memakannya tanpa me-

mikirkan rasa sakit pada pipinya lagi. 

Dari ruang dalam dia melihat si kumis 

tebal dan kawan-kawannya melangkah ke 

luar restoran. Mendadak dia menelan sisa 

pisangnya cepat-cepat, tiba-tiba kulit 

pisang itu melesat dari tangannya, dan 

meluncur jatuh tepat di depan kaki si ku-

mis tebal yang tengah melangkah lebar.

Detik itu jugalah terdengar suara 

teriakan kaget si kumis tebal, diiringi 

suara berdebuk tubuhnya yang jatuh. Ter


nyata kakinya telah menginjak kulit pi-

sang, hingga terpeleset.

"Keparat!" memaki si kumis tebal 

dengan wajah merah padam. Tentu saja ke-

jadian lucu itu membuat para tetamu yang 

melihat tak dapat menahan tertawanya. Se-

mentara si pelayan tadi sembunyi dibalik 

pintu dengan menahan tawa.

Pada saat itu pelayan yang seorang 

lagi telah selesai menyiapkan makanan pe-

sanan Bayunanta, dan baru saja mau memba-

wanya untuk dihidangkan. Akan tetapi men-

dengar suara mengaduh dan suara orang ja-

tuh berdebuk, dia berhenti untuk melihat. 

Pelayan inipun terguncang-guncang menahan 

tertawa. Tadi dia telah melihat kawannya 

kena tampar dan dia memang sangat sebal 

pada perwira yang sombong itu. Dalam hati 

dia mengutuk. "Rasakan! Itulah akibat ke-

sombonganmu!"

Akan tetapi karena gelinya nampan 

yang dipegangnya terguncang-guncang dan 

bubur panas serta air teh kental diatas 

nampan terguncang-guncang nyaris tumpah. 

Si pelayan ini cepat sadar. Tapi baru sa-

ja dia menenangkan diri mendadak mangkok 

berisi bubur panas itu melayang "terbang" 

.....

Pada saat itulah si perwira berku-

mis tebal itu baru saja mau merangkak 

bangun. Tapi mendadak ... 

PLOK! Mangkok berisi bubur panas


itu telah hinggap dimukanya, Tentu saja 

laki-laki perwira Kerajaan ini menjerit 

kaget dan meraung-raung kepanasan. Seke-

tika gemparlah keadaan didalam restoran 

itu. Sementara si pelayan pembawa nampan 

itu cepat-cepat menghilang. Tiga orang 

kawan si perwira berkumis tebal itu men-

cabut pedangnya.

Seperti sudah dapat menduga siapa 

yang melakukan perbuatan itu mereka ber-

paling pada Bayunanta yang masih duduk 

dikursinya. Tapi dia keheranan dengan ke-

jadian aneh itu. Walau demikian matanya 

yang tajam dapat melihat gerakan sebuah 

lengan dibalik pintu. Dia menduga orang 

dibalik pintu itulah yang telah melakukan 

perbuatan itu.

Tahu-tahu tiga orang perwira kera-

jaan itu telah melompat kehadapannya. Sa-

lah seorang membentak keras.

"Ini pasti ulahmu! Rupanya kau men-

cari gara-gara dengan kami?" Bayunanta 

naikkan alisnya menatap mereka tak men-

gerti.

"He? mengapa kalian menuduhku? Aku 

tak merasa telah melakukan apa-apa!"

"Sudah jelas kau yang memesan bubur 

panas tadi, kalau bukan kau siapa lagi?" 

bentak perwira Kerajaan bertubuh pendek 

kekar berkulit hitam itu. Dialah yang 

bernama Kala Murti.

"Hm, sejak tadi pesananku belum da


tang, dari mana kau bisa menuduhku see-

naknya?" bela Bayunanta dengan tenang. 

Ketiga orang ini saling pandang, tapi sa-

lah seorang telah membentak dengan suara 

keras 

"Bocah sombong! Apakah karena men-

gandalkan nama besar ayahmu yang punya 

julukan si Pedang Malaikat lantas kau bi-

sa berbuat seenaknya membuat malu kami? 

Heh! ketahuilah bocah sombong! Tak lama 

lagi ayahmu bakal dipecat dari jabatan-

nya! Kami telah mengetahuinya dari orang 

dalam! Dan ketahuilah, kau sebenar-

nya......." Belum lagi habis kata-kata 

perwira ini mendadak dia menjerit ngeri. 

Darah memuncrat diudara, dan tubuh laki-

laki ini ambruk kelantai. Bukan main ter-

peranjatnya kedua perwira Kerajaan ini 

melihat temannya setelah berkelojotan, 

sesaat kemudian terkapar tak bernyawa la-

gi. Kematiannya amat mengerikan dan aneh, 

karena dari lehernya sampai dada tertera 

lima guratan memanjang yang merobek kulit 

dan daging laki-laki perwira ini.

Bukan saja kedua perwira ini saja 

yang terkejut, karena Bayunanta juga ka-

get karena sekelebat dia melihat bayangan 

kuning, disertai bersyiurnya angin. Tahu-

tahu si perwira congkak itu roboh.

"Keparrat!" membentak Kala Murti 

dengan bringas. Tiba-tiba kedua perwira 

itu menerjangnya dengan tabasan pedang


kearah Bayunanta. Namun sebelum mengenai 

sasaran, mendadak terdengar suara 

Trang! Trang! 

Pedang mereka terlepas, dan detik 

itu juga terdengar teriakan parau me-

nyayat hati ketika sebuah bayangan kuning 

berkelebat. Dan, robohlah kedua perwira 

Kerajaan itu dengan memuncratkan darah 

berhamburan diudara.

Kedua laki-laki perwira yang naas 

itu bernasib sama tak berbeda dengan ke-

matian kawannya. Tampak guratan memanjang 

dileher mereka. Bayunanta telah melompat 

dari tempat duduknya. Matanya membelalak 

menyaksikan semua kejadian itu yang ber-

langsung dalam beberapa kejap.

Seketika para pengunjung restoran 

itu bubar berlarian ketakutan, bahkan ada 

wanita yang menjerit-jerit karena ngeri 

melihat darah. Saat itu juga tiba-tiba 

Bayunanta berkelebat keluar dari sebuah 

jendela diruangan itu. Matanya yang tajam 

dapat melihat bayangan sesosok tubuh yang 

berkelebat. Tak salah! Dialah si pelaku 

kejadian itu!

Bayangan kuning itu berkelebat ce-

pat memasuki hutan kecil disisi desa itu. 

Bayunanta tak ayal segera berkelebat men-

gejar..... Sementara itu didalam restoran 

keadaan bertambah panik si perwira kumis 

tebal yang baru saja berhenti meraung-

raung setelah membersihkan mukanya dari


bubur panas yang menutupi matanya. Dia 

mendengar suara jeritan beberapa kali 

membuat terkejut. Ketika matanya telah 

dapat melihat lagi, dia putarkan tubuh 

untuk melihat apa yang telah terjadi. 

Mendadak dia telah diterjang oleh belasan 

pengunjung restoran yang berlarian dengan 

serabutan keluar. Hingga dia jatuh ter-

jengkang, jadilah dia korban injakan ka-

ki.

Ketika dia perlahan-lahan bangkit 

duduk dengan seluruh tubuhnya terasa sa-

kit, dilihatnya restoran itu telah sepi 

tak ada sepotong manusiapun. Tiba-tiba 

matanya terbelalak lebar ketika pandan-

gannya terbentur pada tiga sosok tubuh 

kawannya yang berkaparan tak berkutik. 

Darah berceceran dilantai. Keadaan dis-

ekitar ruangan itu porak-poranda. Bangku 

dan meja bergelimpangan.

"Hah!? apa yang telah terjadi?" 

tersentak si kumis tebal. Sekejap dia te-

lah melompat untuk memeriksa. Bukan kepa-

lang terkejutnya si perwira kumis tebal 

ini melihat ketiga perwira kawannya telah 

tewas dengan luka yang mengerikan. Leher 

mereka sobek-sobek bagai disayat-sayat 

pisau.

"Celaka, aku harus segera melapor-

kan kejadian ini!" berkata dalam hati si 

kumis tebal dengan wajah pucat tak berda-

rah. Sekejap dia telah melompat keluar


ruangan. Dilihatnya seekor kuda tertambat 

dipagar halaman. Tak berayal dia segera 

lepaskan tali pengikat, dan sekali gerak-

kan tubuh dia telah melompat kepunggung 

binatang itu. Detik berikutnya perwira 

ini telah membedal kudanya dengan cepat 

meninggalkan tempat itu bagai dikejar 

hantu.

EMPAT

SOSOK TUBUH BERBAJU KUNING itu ber-

kelebat cepat sekali melintasi hutan ke-

cil itu. Sementara Bayunanta mengejar di 

belakangnya. Namun dia merasa kalah cepat 

dalam hal ilmu meringankan tubuh, hingga 

sebentar saja bayangan orang yang dike-

jarnya lenyap tak ketahuan ke mana arah-

nya.

"Ah, sayang sekali aku tak dapat 

menyusulnya! Siapakah dia sebenarnya? 

Mengapa dia menolongku?" bergumam pemuda 

ini. Dia telah berhenti mengejar dan du-

duk di atas dahan pohon yang rebah.

Diam-diam dia merasa masygul seka-

li, tapi juga heran, karena si penolong-

nya itu justru tak mau bertemu muka den-

gannya. Akan tetapi Bayunanta tak menya-

dari kalau pada saat itu si baju kuning 

justru tengah mengintainya.


Dia seorang wanita yang berwajah 

cantik, berpakaian warna kuning. Rambut-

nya tergelung di atas kepala terhias se-

buah tusuk konde berkepala kuning, 

"Dia tak boleh tahu siapa aku, akan 

tetapi aku juga tak ingin dia hidup ter-

lalu lama. Saat ini belum waktunya aku 

membunuhnya!" berdesis wanita ini. Perla-

han dia menyelinap lagi ke balik semak, 

lalu berkelebat lenyap.

Setelah termangu beberapa saat, ak-

hirnya Bayunanta bangkit berdiri.

"Sebaiknya aku pulang saja! Ah, pe-

ristiwa ini pasti akan berbuntut panjang. 

Tiga Perwira Kerajaan yang masih hidup 

itu pasti akan melaporkan kejadian ini. 

Hm, baru kuingat si perwira berkumis teb-

al itu bernama KEN SUTA! Huh! perwira 

yang sombong! suatu saat bila bertemu la-

gi akan kubalas penghihaannya! membathin 

Bayunanta.

Saat itu dia teringat ketika Ken 

Suta menggebrak meja yang mengakibatkan 

sisa air dalam gelas di meja Ken Suta me-

muncrat dan membasahi bajunya. Dia tahu 

perbuatan itu dilakukan dengan sengaja.

Dari gerakan itu dia dapat menerka 

Ken Suta seorang yang berkepandaian ting-

gi. Dia memang pernah bertemu laki-laki 

itu satu kali ketika beberapa pekan yang 

lalu dua orang perwira Kerajaan menghadap 

ayahnya. Salah seorang menunggu di luar.


Sikapnya angkuh. Mereka adalah dua orang 

utusan Senapati MARUTO, yang datang ke 

ketumenggungan untuk menyampaikan sepucuk 

surat pada ayahnya. Perwira-perwira itu 

memang merupakan kepala-kepala prajurit. 

Entah urusan apa dia tak mengetahui.

Perwira yang seorang bersikap ramah 

yang menanyakan ayahnya. Pada waktu itu 

ayahnya Tumenggung Ki Gelagah sedang ku-

rang sehat.

Surat itu diberikan pada dia, Bayu-

nanta sempat menanyakan nama perwira yang 

berdiri di luar tak mau turut masuk dan 

bersikap angkuh itu. 

Perwira itu pun memberitahu serta 

memperkenalkan namanya sendiri. 

Yang membuat Bayunanta merasa aneh 

lagi adalah bisik-bisik empat perwira Ke-

rajaan itu yang sedikit didengarnya. Ser-

ta kalimat yang terputus dari salah seo-

rang perwira yang membentaknya, karena 

sebelum selesai ucapannya perwira itu te-

lah menjerit keras dan terjungkal roboh. 

Juga kata-kata seorang perwira yang men-

gatakan bahwa ayahnya tak lama lagi bakal 

dipecat dari jabatannya.

"Ada kesalahan apakah ayahku?" ber-

kata Bayunanta dalam hati. Berdenyut-

denyut kepala Bayunanta memikirkan per-

soalan-persoalan ganjil di benaknya. Be-

lum lagi memikirkan "pesan" Adipati UMBUL 

WILAYA yang diperuntukkannya. Lalu ada


lagi yang lebih aneh. Yaitu siapa adanya 

pelayan dogol yang kena tampar itu? Menu-

rut pemikirannya si pelayan dogol itulah 

yang telah mengerjai Ken Suta dengan me-

lempar kulit pisang dan menumpahkan bubur 

panas ke mukanya.

Jelas dia melihat gerakan lengan 

dari balik pintu. Lengan siapakah di ba-

lik pintu itu? Kalau bukan lengan si pe-

layan dogol itu lalu apakah ada orang 

lain yang berilmu tinggi yang sengaja 

mencelakai Ken Suta?

Namun pendapat kuat pemuda itu me-

nyatakan bahwa perbuatan itu dilakukan 

oleh si pelayan dogol yang kena tampar.

Tamparan itu keras sekali. Kalau 

orang biasa tentu setidak-tidaknya gi-

ginya akan tanggal! Tapi pelayan itu cuma 

terhuyung sedikit, dan mengaduh. Meringis 

memegangi sebelah pipinya yang sembab me-

merah membekas jari dan telapak tangan.

"Pelayan dogol itu pasti seorang 

yang berilmnu tinggi! Aku yakin dialah 

yang telah membuat mangkuk berisi bubur 

panas untukku itu "terbang" ke muka Ken 

Suta!" gumam Bayunanta.

Bayunanta sesaat segera teringat 

pada kudanya yang ditinggalkan di halaman 

restoran. Segera dia bergegas angkat kaki 

ke luar dari hutan kecil itu. Baru saja 

dia tiba di ujung hutan yang menembus ke 

perkampungan, mendadak terdengar suara


kaki-kaki kuda mendekat.

Tentu saja pemuda ini jadi terhe-

nyak, karena ketika diperhatikan kuda dan 

penunggangnya amat dikenalnya!

Itulah kuda tunggangannya sendiri, 

dan si penunggang kuda hitam itu tak lain 

dari si pelayan dogol itu.

"Hai! Kebetulan. Aku baru saja mau 

menyusulmu untuk mengantarkan kudamu, 

tuan muda! Kulihat kau berlari cepat men-

gejar bayangan kuning tadi, apakah kau 

berhasil menyusulnya?" berkata si pelayan 

muda

Pelayan muda bertampang dogol ini 

sebelah lengannya memikul sebatang kayu 

sebesar betis yang dibalut tali-tali 

kain. Sepertinya pengikat kayu yang pe-

cah. Di ujung kayu mirip pentungan itu 

terikat sebuah buntalan kain berwarna pu-

tih yang sudah kumal. 

Selesai berkata si pelayan dogol 

itu melompat turun dari punggung kuda. 

Bayunanta tersenyum heran. Namun dari ka-

ta-katanya dia semakin yakin bahwa pe-

layan bertampang dogol ini tak meleset 

dari dugaannya! Siapa yang dapat melihat 

berkelebatnya bayangan kuning yang telah 

membunuh tiga perwira Kerajaan itu kalau 

bukan seorang yang berilmu tinggi dan da-

ri kalangan persilatan? 

Bayunanta menjura, dan berkata. 

"Terima kasih atas kebaikan hatimu sobat!


Kuharap emas tak menyembunyikan keaslian-

nya! Dan sudah saatnya anda berhenti me-

lakukan penyamaran. Mengapa anda masih 

menyebutku "tuan muda?" 

Si pelayan dogol ini seperti terke-

jut tampaknya.

"Eh, apa maksud kata-katamu, tu .. 

tuan muda, eh sobat? Aku tidak menyamar. 

Aku memang bekerja sebagai pelayan!" ter-

gagap si pelayan dogol menyahuti. 

"Bukankah anda melihat berkelebat-

nya bayangan kuning yang telah muncul dan 

membawa maut di restoran itu? Cuma mata 

yang telah terlatihlah yang mampu menge-

tahuinya!" ujar Bayunanta dengan terse-

nyum. 

"Siapa yang bilang aku melihat 

bayangan kuning berkelebat?" tukas si pe-

layan dengan membelalak dan wajah lugu.

"Aku tak melihat apa-apa?" sambung-

nya dengan tampang dungu.

Tentu saja membuat Bayunanta ter-

lengak heran.

"Aneh, kau ini sobat! bukankah tadi 

kau bertanya mengenai bayangan kuning 

yang kukejar? Bahkan aku belum sempat 

menjawab pertanyaanmu!"

"He? benarkah tadi aku bertanya be-

gitu?" si pelayan dogol ini menggaruk-

garuk tengkuknya.

Bayunanta jadi melengak dan terse-

nyum. "Haii! masih muda sudah linglung


...!" berkata Bayunanta dengan tertawa.

Tiba-tiba Bayunanta seperti tersen-

tak kaget. Matanya menatap tajam pada si 

pelayan itu. "He? Jangan-jangan dia ini 

si Pendekar Dewa Linglung!" berkata dalam 

hati Bayunanta.

Dugaannya semakin kuat. Karena dia 

memang pernah mendengar tentang seorang 

pendekar muda yang bertampang bodoh tapi 

ilmunya amat tinggi.

Salah satu keanehannya adalah pen-

dekar itu sering lupa seperti orang lin-

glung

Memikir demikian Bayunanta segera 

bertanya.

"Sobat! apakah anda si Pendekar De-

wa Linglung?" tanyanya.

Mendadak pelayan dogol itu tertawa 

tergelak-gelak, lalu ujarnya.

"Haiiih! dari mana kau tahu julu-

kanku?"

"Jadi...anda benar-benar si Pende-

kar Dewa Linglung? Ah, sungguh kebetulan 

aku bisa berjumpa dengan anda!" berkata 

Bayunanta seraya menjura hormat.

"Ayahku Tumenggung Ki GELAGAH yang 

bergelar si Pedang Malaikat pernah menye-

but-nyebut nama gelar anda. Sikap anda 

yang pelupa itulah yang membuat aku men-

duga anda pendekar muda yang gagah serta 

berilmu tinggi itu.

Aku Bayunanta murid si Pedang Ma


laikat sangat girang sekali dapat berjum-

pa dengan anda. Dan terima kasih sekali 

lagi atas kesediaanmu mengantarkan 

kudaku!" ujar Bayunanta dengan wajah ber-

seri, seraya mengelus-elus kepala kuda 

kesayangannya

Pelayan dogol yang memang tak lain 

dari NANJAR alias si Dewa Linglung itu 

tak dapat mengelak lagi. Dia menepuk pan-

tatnya seraya berkata dengan tertawa me-

nyeringai. 

"Aiiih! ternyata penyamaranku sia-

sia saja. Aku memang digelari orang si 

Dewa Linglung. Tapi sanjunganmu terlalu 

berlebihan, sobat Bayunanta! Eh, jadi kau 

murid juga anak si Pedang Malaikat? Wah, 

wah, wah ..! aku tak menyangka kalau 

ayahmu itu seorang Tumenggung! Beberapa 

bulan yang lalu aku memang telah berkena-

lan dengan ayahmu si Pedang Malaikat! Il-

mu pedang ayahmu memang hebat. Nyaris sa-

ja aku terluka!"

"He? apa yang terjadi? apakah ka-

lian pernah bertempur?" tanya Bayunanta 

heran.

"Ya, begitulah! tapi hanya kesala-

han paham saja. Bagaimana? apakah keadaan 

ayahmu? apakah luka dalamnya telah sem-

buh?" jawab Nanjar seraya balik bertanya

"Ayah tampak biasa-biasa saja! 

Mungkin sudah sembuh. Apakah luka dalam 

itu adalah akibat bertarung dengan anda,


sobat Pendekar?"

"Ayahmu tak pernah bercerita?" 

tanya si Dewa Linglung. 

Bayunanta menggeleng. "Sejak tiga 

pekan yang lalu ayah tak pernah mening-

galkan rumah. Mungkin mendapat cuti dari 

baginda Raja!" sahut Bayunanta. Saat itu 

dia baru teringat ketika dua orang utusan 

dari Senapati Maruto yang membawa surat 

untuk ayahnya beberapa pekan yang lalu. 

Mungkin surat dari Raja yang mencutikan 

ayahnya.

"Apakah luka dalam itu akibat ber-

tarung dengan anda?" tanyanya.

"Oh, bukan? Ayahmu tak pernah ber-

cerita?"

Bayunanta menggeleng lagi. "Ayah 

tak pernah bercerita apa-apa!"

Nanjar segera ceritakan secara 

singkat kejadian beberapa bulan yang la-

lu. Yaitu ketika dia melewati sebuah desa 

di lereng gunung. Ada terjadi suatu pe-

rampokan. Saat perampok kabur, justru dia 

muncul di tempat kejadian itu. Kebetulan 

Ki Gelagah alias si Pedang Malaikat me-

mergoki. Dengan tanpa bertanya lagi si 

Pedang Malaikat langsung menyerang.

Terjadilah pertarungan seru. Nanjar 

tak sempat memberi penjelasan lagi karena 

si Pedang Malaikat tanpa ampun menyerang-

nya dengan gencar.

Untunglah pada saat itu muncul seo


rang tak dikenal yang menahan serangan si 

Pedang Malaikat. Orang itu menjelaskan 

bahwa Nanjar tak bersalah, dan bukan ma-

nusianya yang melakukan perampokan. Bah-

kan dia telah berhasil menawan perampok 

sesungguhnya. Perampok itu dibunuh di de-

pan mereka dan orang tak dikenal itu ber-

kelebat pergi.

Akhirnya Nanjar dan si Pedang Ma-

laikat berkenalan dan si Pedang Malaikat 

meminta maaf atas kekeliruannya.

Saat itu si Pedang Malaikat menga-

takan bahwa dirinya dalam keadaan terluka 

dalam, karena salah satu pertempuran yang 

belum lama dialami. Nanjar diam-diam me-

muji kagum karena dalam keadaan terluka 

dalam ternyata ilmu pedangnya masih dalam 

keadaan hebat dan berbahaya, hingga Nan-

jar agak kewalahan menghadapinya.

Dari penuturan Ki Gelagah alias si 

Pedang Malaikat itu musuhnya adalah seo-

rang wanita yang berkepandaian tinggi, 

yang bergelar "DEWI LINTAH". Demikianlah 

Nanjar menuturkan kejadiannya secara 

singkat.

Bayunanta manggut-manggut walau di-

am-diam hatinya terkejut bukan main. Sia-

pakah wanita yang punya gelar aneh itu? 

dan ada permusuhan apakah dengan ayahnya? 

Namun Bayunanta puas dengan penjelasan si 

Dewa Linglung.

Matahari makin meninggi sepengga


lah. Panas terik seperti membakar kulit. 

Bayunanta mengajak si Dewa Linglung sing-

gah ke rumah kediamannya. Tapi Nanjar me-

nolak dan mengatakan masih ada urusan 

yang akan diselesaikan. Akhirnya mereka 

berpisah.

Nanjar berkelebat lenyap, membuat 

pemuda itu tertegun kagum. Tak lama di-

apun segera melompat ke punggung kuda, 

lalu membedalnya dengan cepat meninggal-

kan tempat itu.

Sementara hatinya merasa tak te-

nang. Karena kejadian yang membawa korban 

kematian orang-orang Kerajaan pasti akan 

berbuntut panjang...!

LIMA

KEN SUTA lari terbirit-birit sipat 

kuping. Napasnya tersengal-sengal ketika 

dia tiba di pintu gerbang istana. Dua 

penjaga gerbang terkejut melihat siapa 

perwira yang muncul dengan wajah melepuh 

seperti tersiram air panas dan pucat 

pias.

"Ada apa, apakah yang terjadi?" 

berkata dalam hati kedua orang pengawal 

itu, sementara Ken Suta terus menerobos 

masuk.

Tak lama dia sudah menghadap pada 

Senapati Maruto.


"Kejadian apakah yang membuatmu 

tergesa-gesa menghadapku, Ken Suta? dan 

kenapa mukamu bengkak-bengkak melepuh be-

gitu?" bertanya Senapati Maruto dengan 

terkejut.

"Celaka! celaka gusti Senapati, ti-

ga orang kawan hamba tewas oleh Bayunanta 

anak Tumenggung KI Gelagah si Pedang Ma-

laikat! Ini semua perbuatan dia yang men-

ganiaya hamba!" tuturkan Ken Suta.

"Hah!? benarkah! Sudah sampai sebe-

gitu jauhkah dia berani berbuat kurang 

ajar? Ini bukan kurang ajar lagi, tapi 

suatu pemberontakan!" sentak laki-laki 

berusia 40 tahun lebih ini yang bertubuh 

tegap dari berperawakan tinggi besar itu 

dengan terkejut.

"Ceritakan kejadiannya! Bagaimana 

sampai pembunuhan itu bisa terjadi?" ber-

tanya Senapati Maruto dengan tak sabar.

Dengan segera Ken Suta segera men-

ceritakan kejadiannya. Tentu saja dengan 

dibumbui kedustaan padahal dia belum tahu 

sama sekali siapa yang sebenarnya telah 

membunuh ketiga perwira kawannya

Sedangkan mengenai halnya si pe-

layan restoran yang telah mencegatnya di 

jalan dan merampas kudanya tak dicerita-

kan sama sekali.

Ken Suta memang tak menduga, ketika 

dia membedal kuda hitam yang ditunggan-

ginya mendadak telah dicegat oleh seseo


rang yang bertolak pinggang di tengah ja-

lan. Bukan main terkejutnya dia karena 

orang itu tak lain si pelayan dogol yang 

kena tamparannya. 

Walaupun dia cukup terkejut, namun 

Ken Suta masih keluarkan bentakan garang. 

Dan tanpa menghentikan kudanya terus me-

nerjang si pelayan itu

Akan tetapi mendadak kudanya me-

ringkik keras dan terjungkal. Dia sendiri 

terpelanting. Untung dia berlaku gesit 

untuk melompat hingga tak sampai terjatuh 

dengan kepalanya terlebih dulu.

Tahu-tahu dilihatnya si pelayan do-

gol itu telah berada di atas punggung ku-

da yang sudah bangkit berdiri. Betapa ge-

ramnya Ken Suta bukan alang-kepalang di 

samping terkejut. Tenaga apakah yang de-

mikian besarnya yang telah membuat ku-

danya terjungkal dan dia terlempar dari 

punggung kuda? Si pelayan itu dengan cen-

gar-cengir dan mulut mengunyah sesuatu 

tertawa mengejek seraya berkata.

"Hahaha... gara-gara terpeleset ku-

lit pisang mukamu jadi bonyok begitu! 

sungguh kasihan!" 

Mendelik mata Ken Suta. Mendadak 

dia telah menghunus pedangnya

"Keparat! pasti kau yang telah me-

lempar kulit pisang itu!"

Si pelayan dogol alias Nanjar cuma 

tertawa tergelak-gelak. Bahkan terping


kal-pingkal geli di atas punggung kuda. 

Semakin merahlah muka Ken Suta. Ti-

ba-tiba dia telah menerjang beringas den-

gan pedangnya. Akan tetapi dia menjerit 

kesakitan. Pedangnya terlempar dan dia 

mengaduh-aduh memegangi pergelangan tan-

gannya yang seperti dipatuk ular. Ketika 

dia memeriksa ternyata pergelangan tan-

gannya membiru. Ternyata di saat Ken Suta 

menyerang dia tadi dengan gerakan cepat 

lengan Nanjar menyelinap ke kantung ba-

junya. Dan sebutir kacang meluncur cepat 

sekali mengenai pergelangan tangan Ken 

Suta.

"Hm, kuperingatkan! sebaiknya kau 

cepat angkat kaki dari mukaku, sebelum 

aku balas menamparmu hingga gigimu ron-

tok!" berkata keren si pelayan dogol. Ti-

ga-empat kacang dilemparkan ke udara. 

Dan...hap! hap! hap! Dengan mudah sekali 

kacang-kacang itu masuk ke mulutnya. Tak 

lama si pelayan dogol telah kembali men-

gunyah kacang sambil ongkang-ongkang kaki 

tanpa melirik sekejappun pada Ken Suta.

Membeliak mata laki-laki Perwira 

Kerajaan ini. Tahulah dia kalau dirinya 

tengah berhadapan dengan seseorang tokoh 

persilatan berilmu tinggi yang tengah me-

nyamar. Tak ayal dia segera putar tubuh 

dan angkat langkah seribu tanpa menoleh 

lagi....

Bukan main marahnya Senapati Maru


to. Dadanya naik turun dengan muka beru-

bah merah padam.

Selesai melapor, Ken Suta minta di-

ri untuk mengobati lukanya, setelah mem-

beritahu di mana letak restoran tempat 

kejadian.

Senapati Maruto segera perintahkan 

anak buahnya untuk segera pergi ke tempat 

restoran itu untuk mengangkut tiga mayat 

perwira Kerajaan yang tewas.

Lalu cepat dia dengan bergegas per-

gi menghadap baginda Raja untuk melapor-

kan kejadian itu. 

***

Berita laporan pembunuhan tiga per-

wira kepala prajurit oleh Bayunanta telah 

sampai ke telinga Raja. Tentu saja mem-

buat sang Prabu Ganda Kusumah marah be-

sar. Lalu membuat surat perintah penang-

kapan Bayunanta beserta Tumenggung Ki Ge-

lagah dengan tuduhan pemberontak!

Kemunculan Adipati UMBUL WILAYA 

dengan membawa sepasukan prajurit dan 

membawa surat perintah pemecatan serta 

penangkapan Tumenggung Ki Gelagah beserta 

Bayunanta, membuat terheran-heran Tumeng-

gung tua itu.

"Baginda Prabu telah memecat dan 

memerintahkan penangkapan atas diriku dan 

anakku Bayunanta? Kami dianggap mau mem


berontak? Apakah kesalahan kami?" ber-

tanya Ki Gelagah.

"Hm, apakah kau tak mengetahui, 

atau pura-pura tidak tahu? Sudah jelas 

anakmu Bayunanta membunuh tiga perwira 

Kerajaan, apakah itu bukan suatu permu-

laan dari pemberontakan?" berkata tegas 

Adipati Umbul Wilaya.

"Membunuh tiga orang perwira Kera-

jaan?" tukas si Pedang Malaikat terperan-

jat.

Adipati Umbul Wilaya tak menyahut, 

melainkan tersenyum sinis. Bahkan meludah 

di lantai, seraya berkata.

"Untung hal ini terbongkar. Karena 

aku tak sudi puteriku berhubungan dengan 

anakmu. Ternyata kalian adalah golongan 

orang-orang pemberontak!"

"Siapa yang mau berbesan denganmu 

Adipati?" tanya Ki Gelagah.

"Aku tak tahu-menahu hubungan anak-

ku dengan puterimu. Tapi jangan mempit-

nahku! Tak mungkin anakku melakukan per-

buatan itu. Apalagi membunuh orang-orang 

Kerajaan!" berkata Ki Gelagah dengan sua-

ra bergetar.

"Sudahlah! Serahkan dirimu untuk 

kami tawan, Ki Gelagah! Surat keputusan 

baginda Prabu tak dapat diganggu-gugat. 

Hal ini bukan pitnah, tapi kenyataan! 

Panggil anakmu si Bayunanta untuk segera 

menyerahkan diri!" bentak Adipati Umbul


Wilaya. Lalu berikan isyarat pada para 

pengawal.

Serentak belasan pengawal bersenja-

ta segera berlompatan mengurung laki-laki 

tua itu.

"Hm, bersabarlah dulu, sobat! Aku 

akan panggil anakku dan tanyakan hal ini. 

Bila kenyataannya memang benar anakku

bersalah, kami rela untuk ditawan dan me-

nerima hukuman, tapi jangan menuduh kami 

sebagai pemberontak!" berkata Ki Gelagah 

dengan setenang mungkin.

"Jangan coba-coba bergerak walau 

selangkahpun Ki Gelagah! Biarkan para 

prajuritku memeriksa gedungmu!" berkata 

tegas Adipati Umbul Wilaya.

Adipati ini segera perintahkan para 

prajuritnya untuk menggeledah gedung Ki 

Gelagah. Tapi sebelum mereka berlompatan 

memasuki ruangan, mendadak Bayunanta mun-

cul.

Serentak para pengawal segera ber-

lompatan mengurung dengan senjata terhu-

nus.

"Bagus! sikap kesatriamu mungkin 

bisa meringankan hukumanmu, anak muda! 

Segeralah serahkan diri untuk kami tawan. 

Sang Prabu yang akan berkenan memutuskan 

hukuman untuk kalian!" ujar Adipati den-

gan wajah berseri.

"Bayunanta! benarkah kau telah me-

lakukan pembunuhan pada tiga orang perwi


ra Kerajaan?" tiba-tiba Ki Gelagah mem-

bentak pemuda itu.

"Sama sekali tidak, ayah! Bukan aku 

yang telah membunuhnya!" sangkal Bayunan-

ta.

"Tak ada gunanya kau melakukan pem-

belaan, anak muda! Kau bisa menyangkal 

nanti di pengadilan Kerajaan. Sekarang 

bersiaplah untuk kami tawan, karena telah 

ada surat perintah dari Baginda Prabu un-

tuk menawan kalian ayah dan anak!"

"Lalu siapa yang melakukan?" bentak 

Ki Gelagah tanpa mempedulikan ucapan Adi-

pati Umbul Wilaya.

"Seseorang yang berpakaian serba 

kuning! Aku telah mengejarnya, namun dia 

menghilang di hutan kecil. Ah, mengapa 

tuduhan begitu keji itu kalian timpakan 

padaku? Sungguh mati aku berani bersum-

pah! Apa yang kukatakan adalah sebenar-

nya!" sahut Bayunanta seraya berpaling 

pada Adipati Umbul Wilaya.

"Pasti KEN SUTA yang telah mempit-

nahku!" 

"Hahaha...dialah yang menjadi saksi 

atas perbuatanmu! Orang berbaju kuning 

itu siapa lagi kalau bukan kawanmu yang 

telah kau persiapkan untuk memberontak! 

Heh! kukira tak ada lagi alasan. Dan su-

rat keputusan dari Baginda Prabu tak da-

pat dibantah! Pengawal tangkap mereka!" 

perintah Adipati.


"Keparat!" memaki Ki Gelagah. Len-

gannya bergerak menyobek surat di tangan-

nya. Belasan prajurit yang akan menang-

kapnya mundur ketika Ki Gelagah mencabut 

pedang tipis yang terbelit di pinggang. 

Mereka agak ngeri karena laki-laki tua 

itu adalah bekas tokoh Rimba Hijau yang 

bergelar si Pedang Malaikat.

"Hahaha...Jangan menciut nyali ka-

lian cuma mendengar nama besarnya! Pedang 

Malaikatnya sudah tumpul tak setajam du-

lu. Ibarat seekor macan dia sudah menjadi 

macan tua yang ompong! Hayo segera ring-

kus dia!" berkata Adipati seraya memberi 

perintah.

Tak ayal para prajurit itu segera 

maju menerjang.

Mendadak empat prajurit menjerit 

ngeri dan terhuyung ambruk. Darah memun-

crat ke udara. Pedang Malaikat itu telah 

meminta nyawa!

Melihat demikian yang lainnya me-

nyurut mundur. Tapi bentakan Adipati kem-

bali terdengar menggeledek.

"Hayo maju! tak perlu kalian mena-

wannya hidup-hidup! Bunuh mampus keparat 

pemberontak itu!"

Tentu saja sebentar kemudian terja-

dilah pertarungan seru yang membawa maut. 

Belasan tombak dan pedang meluruk ke arah 

Ki Gelagah yang menyambutnya dengan tang-

kisan-tangkisan. Suara gaduh teriakan dan


jeritan ngeri membaur di ruang pendopo 

gedung Ketumenggungan itu

ENAM

SEMENTARA ITU Bayunanta melihat pu-

luhan prajurit maju menerjang dengan sen-

jata-senjata telanjang, terpaksa mencabut 

pedangnya. Sebentar saja terjadi perta-

rungan dua kelompok. Satu kelompok meng-

hadapi Ki Gelagah, dari sekelompok lagi 

menyerbu Bayunanta.

Ternyata si Pedang Malaikat dan 

anaknya ini sukar untuk dirobohkan. Bah-

kan korban dari pihak para prajurit sema-

kin bertambah.

Adipati Umbul Wilaya tak dapat mem-

biarkan hal itu terus terjadi.

Tiba-tiba dia bersuit keras. Dan 

tiga bayangan tubuh berkelebatan muncul 

di ruangan itu. Ketiga sosok tubuh itu 

ternyata salah seorang adalah laki-laki 

kekar berkulit hitam bertubuh cebol, len-

gannya mencekal sebuah senjata gaetan 

panjang. Ujungnya berbentuk mirip gerga-

ji. Sedangkan yang seorang lagi, laki-

laki berjubah merah berkepala botak. La-

ki-laki ini mencekal tongkat berkepala 

tengkorak. Pada ujung tengkorak itu ter-

sembul mata tombak. Sedangkan yang seo


rang lagi adalah orang yang telah kita 

kenal. Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng 

Sepuh. Laki-laki ini bertangan kosong.

Detik itu juga Adipati Umbul Wilaya 

berteriak memerintahkan para prajuritnya 

untuk mundur.

Bayunanta dan si Pedang Malaikat 

saling berpandangan. Lalu keduanya segera 

saling mendekati. Segera mereka pentang 

mata dan melihat kemunculan ketiga orang 

itu. Terkejut Bayunanta melihat Ki Ageng 

Sepuh terdapat di antara ketiga orang 

tangan kanan Adipati Umbul Wilaya. Ki Ge-

lagah memandang sinis. 

"Ayah! mari kita hadapi mereka sam-

pai titik darah penghabisan!" berkata 

Bayunanta bersemangat Pemuda ini tak me-

nampakkan keciutan nyalinya.

Laki-laki tua ini menatap pada pe-

muda itu.

"Apakah kau berada di pihak benar, 

Bayunanta?" tanyanya dengan melototkan 

matanya. Bayunanta mengangguk. "Aku bera-

ni bersumpah, ayah! Aku tak bersalah!" 

sahut Bayunanta dengan wajah polos. "Aku 

memang sudah menduga kejadian itu akan 

berbuntut panjang. Mengenai perihal peme-

catan ayah memang telah disebut-sebut 

oleh empat perwira Kerajaan itu sebelum 

kejadian. Agaknya seperti ada hubungannya 

dengan aku! Begitukah ayah?" sambung 

Bayunanta berbisik.


"Benar Bayunanta! Sayang keadaan 

mendesak begini, bagaimana aku bisa men-

ceritakan padamu?" bisik Ki Gelagah den-

gan menghela napas.

"Dalam pertempuran nanti carilah 

kesempatan meloloskan diri, anakku! Nanti 

aku menyusulmu! Kau tunggulah aku di lem-

bah tempat kita dulu biasa berlatih!" bi-

sik Ki Gelagah. 

"Tapi aku tak dapat meninggalkan 

kau bertempur sendiri, ayah! Tidak! biar-

lah aku tetap bersamamu bertarung sampai 

titik darah penghabisan!" sahut Bayunan-

ta. 

"Katakan sekarang juga ada rahasia 

apakah mengenai diriku?" Bayunanta mende-

sak. Sementara itu para prajurit yang 

mengurung telah mundur. Dan ketiga orang 

itu telah melompat mendekat.

"Hahaha...ada rahasia apakah yang 

kalian bisikkan, Ki Gelagah? Sebaiknya 

kalian menyerahkan diri sebelum kasip! 

Siapa tahu baginda Raja akan memperingan 

hukuman kalian!" berkata Ki Ageng Sepuh.

Ki Gelagah kertak gigi gerahamnya 

hingga berkerot.

"Hm, kudengar kau telah mengundur-

kan diri dengan jabatanmu, ternyata kini 

kau menjadi begundalnya Adipati Umbul Wi-

laya?" berkata Ki Gelagah dengan sinis. 

"Aku cuma sekedar mengajari ilmu 

kedigjayaan puteri kanjeng Adipati, tapi



mana aku bisa menolak kalau Kanjeng Adi-

pati menyuruhku untuk membekuk seorang 

pemberontak macam kau? Hahaha...ternyata 

nama besar Pedang Malaikat telah pudar. 

Kau tak dapat memproklamirkan dirimu lagi 

sebagai seorang pendekar!" Tukas Ki Ageng 

Sepuh dengan tertawa.

"Heh! Apakah kau mengira dirimu su-

ci? Kau anggap aku tak mengetahui kalau 

kau telah dipecat dengan tidak hormat da-

ri kedudukanmu! Aku heran, mengapa kau 

bisa jadi begundal Adipati Umbul Wilaya?" 

balas mengejek Ki Gelagah dengan melotot 

gusar 

Merahlah muka Ki Ageng Sepuh.

"Ajalmu sudah di ambang pintu masih 

banyak tingkah bicara seenak perutmu! Se-

gera bersiaplah untuk mampus!" bentak Ki 

Ageng Sepuh.

Whuuk! Whuuuk!

Dua aliran gelombang dahsyat meng-

gebu ke arah si Pedang Malaikat. Laki-

laki tua ini berseru santar. Pedang ti-

pisnya diputar hingga mengeluarkan suara 

mencicit. Maka buyarlah serangan itu. 

"Hebat!" teriak si gundul jubah me-

rah. Tubuhnya berkelebat. Sedangkan sen-

jata tongkat kepala tengkoraknya menderu 

meluncur ke arah batok kepala Ki Gelagah. 

Namun di Pedang Malaikat tak tinggal ber-

diam diri. Dengan gerakan sebat dia men-

gegos ke samping.


Pedang tipisnya menangkis. Trang! 

Terdengar suara beradu dua batang logam. 

Terkejut si gundul jubah merah, karena 

terasa tangannya bergetar kesemutan aki-

bat benturan itu.

Namun tak kalah terkejutnya si Pe-

dang Malaikat. Karena tubuhnya terhuyung 

beberapa langkah. Diam-diam hatinya mem-

batin. "Haih! Tenaga dalamnya cukup ting-

gi! Aku harus hati-hati. Namun kepala 

tengkorak itu lebih berbahaya"

Benar juga dugaan si Pedang Malai-

kat. Tongkat kepala tengkorak itu menda-

dak mencecarnya dengan bertubi-tubi. Dari 

dua buah lobang mata tengkorak itu menda-

dak menyemburkan jarum-jarum berbisa.

Dengan berseru keras memperingatkan 

Bayunanta, dia berkelebat melompat. Pe-

dang tipisnya digunakan untuk menyampok. 

Buyarlah jarum-jarum maut itu.

Adapun Bayunanta telah berkelebat 

kea rah kiri. Namun satu bentakan keras 

dibarengi dengan kilatan putih menyambar 

ke arahnya.

"Bocah, jaga seranganku!"

Whuut! Whuut!

Trang! Trang!

Bayunanta menangkis dengan pedang-

nya. Percikan lelatu api menebar di uda-

ra. Sebentar saja Bayunanta telah berta-

rung seru menghadapi laki-laki cebol itu. 

Serangan-serangannya mengandung maut.


Terpaksa Bayunanta menghadapi dengan hat-

hati. Dengan segenap daya pemuda mi men-

geluarkan jurus-jurus ilmu kepandaiannya.

Sementara si Pedang Malaikat ter-

paksa harus menghadapi serangan dua la-

wannya.

Walaupun Ki Ageng Sepuh tak menggu-

nakan senjata. Namun sepasang tangannya 

lebih berbahaya dari tebasan pedang! Ter-

paksa dia menggunakan kelihaian nya untuk 

bertarung mati-matian. Sementara Adipati 

Umbul Wilaya cuma berpeluk tangan menung-

gu hasilnya.

Ki Ageng Sepuh menerjang dengan pu-

kulan-pukulan dahsyat mengandung tenaga 

dalam. Diam-diam dia terkejut juga karena 

si Pedang Malaikat yang tampaknya sudah 

seperti macan ompong itu ternyata masih 

amat tangguh.

Satu tebasan pedang orang tua itu 

nyaris menyerempet kulit pundaknya. Be-

runtung cuma kain jubahnya saja yang ter-

sobek.

"Bedebah! segera pergilah kau ke 

Neraka!" bentaknya. Kali ini dia gunakan 

ilmu kecepatan tubuhnya untuk berkelebat, 

hingga yang nampak hanya kelebatan bayan-

gan putih saja. Mata tua si Pedang Malai-

kat mulai nanar. Sedangkan dia harus 

mengkonsentrasikan panca inderanya dalam 

menghadapi si gundul jubah merah yang me-

nyerang tanpa memberi waktu sedikitpun


untuk beristirahat. Di samping sebentar-

sebentar dia harus gulingkan tubuhnya 

atau melompat kesana-kemari menghindari 

semburan jarum-jarum maut!

Sungguh dl luar dugaan kalau kali 

ini dua lubang di kepala tengkorak itu 

bukan menyemburkan jarum beracun lagi. 

Akan tetapi, menyemburkan uap yang berbau 

amis.

Mendadak disaat dia lengah satu pu-

kulan dahsyat meluncur ke arah punggung-

nya. Pada saat itu juga serangan uap be-

racun menerjangnya dari arah depan. 

Tersentak si Pedang Malaikat. Men-

dadak dia berseru keras. Dengan gerakan 

jurus Seribu Bayangan Malaikat tubuhnya 

berputar bagai baling-baling. Pedang ti-

pisnya berubah jadi segulung sinar perak. 

Akibatnya di luar dugaan. Karena 

saat itu juga terdengar teriakan kaget si 

jubah merah. Perutnya terasa dingin. Dia 

melompat mundur. Alangkah terperanjatnya 

dia karena lambungnya telah terkena teba-

san pedang maut si Pedang Malaikat. Darah 

menyembur. Laki-laki jubah merah ini ter-

huyung ke belakang. Dan dengan mata mem-

beliak tubuhnya roboh terguling. Cuma be-

berapa saat meregang nyawa, laki-laki 

itupun tewas dengan usus yang ambrol ber-

hamburan!

Bukan alang kepalang terkejutnya Ki 

Ageng Sepuh, karena serangannya dapat di


patahkan. Bahkan tahu-tahu kilatan pedang 

si Pedang Malaikat telah memapas putus 

lengannya.

TUJUH

BAYUNANTA yang mendengar jeritan-

jeritan menyayat hati merasa khawatir 

akan keselamatan ayahnya. Perhatiannya 

menjadi buyar. Karena di samping dia ku-

rang pengalaman dalam bertempur juga se-

rangan si cebol itu memang amat berba-

haya. Tubuh cebol itu sungguh sulit dis-

erang karena gesitnya bergelindingan ke 

sana ke mari.

Serangan-serangan sicebol lebih 

sering diarahkan ke kaki. Hingga dia ham-

pir tak ada kesempatan untuk menjejakkan 

kakinya ke tanah.

Pada saat itulah mendadak si cebol 

robah serangan. Senjata gaetannya melun-

cur kea rah leher berkelebat ganas.

Terperangah Bayunanta. Namun pada 

saat itu terdengar bentakan keras merobek 

udara. Secercah kilatan membelah udara. 

Terdengar jeritan parau. Tubuh si cebol 

roboh sebelum senjatanya sempat menyentuh 

kulit tubuh Bayunanta.

Tubuh laki-laki cebol itu sapat se-

batas pinggang.

Belum lagi sempat Bayunanta menge


tahui siapa yang telah membantunya, men-

dadak berkelebat bayangan tubuh di sebe-

lahnya.

"Cepat angkat kaki dari sini Bayu-

nanta!"

Itulah suara si Pedang Malaikat. 

Bukan main girangnya anak muda ini menge-

tahui siapa yang telah menolongnya. Tak 

ayal lagi dia segera berkelebat mengejar 

bayangan tubuh si Pedang Malaikat yang 

telah berkelebat terlebih dahulu.

Adipati Umbul Wilaya baru tersadar 

kalau orang yang akan ditangkapnya telah 

kabur melarikan diri.

"Bedebah! Kurang ajar! cepat ke-

jaar!" teriaknya memberi aba-aba pada pa-

sukan prajuritnya. Betapa kecewa dia ka-

rena tiga orang andalannya tak mampu mem-

bekuk si Pedang Malaikat dan muridnya. 

Bahkan mereka yang menjadi korban dan ke-

hilangan nyawa!

Si Pedang Malaikat dan Bayunanta 

berhasil lolos dari penangkapan, walaupun 

laki-laki tua itu dalam keadaan terluka 

dalam karena telah menghisap uap beracun.

Sementara Adipati Umbul Wilaya den-

gan geram cuma bisa memaki-maki anak 

buahnya. Ki Ageng Sepuh sendiri telah 

menghilang entah kemana karena malu pada 

Adipati, dengan membawa potongan lengan-

nya yang putus.


***

Kita beralih pada Nanjar alias si 

Dewa Linglung, Setelah pergi meninggalkan 

hutan kecil itu dia berkelebat ke arah 

barat.

Sebentar saja dia telah memasuki 

sebuah lembah ngarai yang sunyi. Sekitar 

tempat itu melulu bukit-bukit batu terjal 

yang nampak terlihat.

"Hm, bisikan melalui tenaga dalam 

yang disalurkan ke telingaku menyuruhku 

ke lembah ini! Suaranya jelas suara wani-

ta yang kedengarannya merdu.

Siapakah dia? Apakah si manusia 

misterius berbaju kuning yang lolos tak 

dapat dikejar Bayunanta? berkata dalam 

hati si Dewa Linglung.

Di atas batu besar Nanjar berdiri 

mengawasi sekitarnya. Keadaan sudah be-

rangsur senja. Dia agak ragu apakah bisi-

kan itu menipu dia? Karena sebenarnya dia 

akan ke Kota Raja untuk memenuhi undangan 

Ki Patih Gajah Menggolo. Perkenalan den-

gan Mahapatih itu adalah ketika dia meno-

long seorang gadis cantik bernama LAKSMI 

DEWI. Laksmi Dewi adalah seorang gadis 

yang bandel. Hingga dia berani keluyuran 

seorang diri. Sikapnya tak ubahnya bagai 

laki-laki tak betah di rumah. Hal itu 

sering membuat ayahnya Patih Gajah meng-

golo pusing memikirkan anak gadisnya yang


bengal itu.

Minat Laksmi Dewi untuk berguru di 

luar Istana tak dapat dihalangi sang 

ayah. Walaupun dia telah mendatangkan 

seorang guru silat dan sastra. Dia merasa 

kurang puas dengan gurunya. Dan berniat 

mencari seorang guru yang sakti dalam 

hal ilmu kadigjayaan.

Lebih dari satu pekan tidak pulang 

ke rumah membuat Mahapatih Gajah Menggolo 

kalang kabut. Tapi mendadak putrinya mun-

cul bersama seorang pemuda kumal bertam-

pang bodoh. Tentu saja membuat sang ayah 

keheranan. Dia sudah bermaksud mendamprat 

pemuda itu yang disangkanya menyembunyi-

kan anak gadisnya.

Tapi Laksmi Dewi dengan cepat sege-

ra menuturkan apa yang telah terjadi dan 

mengatakan siapa adanya laki-laki itu.

Segera dituturkan oleh Laksmi Dewi 

mengenai kejadian yang hampir merengut 

kehormatannya. Ternyata Laksmi Dewi telah 

tersesat di satu lembah yang terjal kare-

na mencari seorang guru yang sakti dalam 

hal ilmu kadigjayaan. Laksmi Dewi berpa-

kaian mirip laki-laki dengan penyamaran-

nya.

Tapi penyamarannya itu tak luput 

dari mata tajam kaum golongan hitam yang 

banyak menebar di luar batas Kerajaan. 

Segera dapat diketahui kalau dia seorang 

dara yang berparas cantik. Tiga orang


kaum sesat yang menamakan dirinya Tiga 

Iblis Bukit Tunggul telah menguntitnya.

Di satu lembah yang luas penuh den-

gan bukit-bukit batu dalam usahanya men-

cari goa-goa, dia tersesat tak tahu jalan 

pulang. Laksmi Dewi pernah mendengar bah-

wa orang-orang sakti biasa bertempat 

tinggal di goa-goa atau menjadi seorang 

pertapa. Hal itulah yang mendorongnya un-

tuk mencari dan mendatangi tempat-tempat 

itu guna memenuhi keinginan hatinya. 

Tiba-tiba tiga sosok tubuh telah 

menghadang di depannya. Dan mengurungnya 

dengan sikap yang memuakkan. Terkejut 

Laksmi Dewi. Tahulah dia kalau dirinya 

berhadapan dengan penjahat-penjahat ca-

bul!

Laksmi Dewi yang diam-diam telah 

memiliki ilmu kedigjayaan, segera menca-

but senjatanya yang disembunyikan. Sebuah 

Kipas tipis yang ujungnya tajam adalah 

senjata yang selalu dibawanya ke mana dia 

pergi. Senjata itu sengaja disuruh bua-

tkan oleh ayahnya melalui seorang pandai 

besi. Bahkan dia selalu melatih diri 

menggunakan jurus-jurus dari senjata ki-

pasnya yang dicampur aduk dengan pelaja-

ran gurunya. Namun sang guru tak begitu 

ahli dalam hal permainan kipas. Karena 

gurunya ahli dalam permainan toya atau 

tongkat. Hal itu tak memuaskan hatinya. 

Padahal dengan ilmu toya itu justru lebih


baik bila dia mempelajari dengan sungguh-

sungguh. Sayangnya dia hanya mau memper-

gunakan dengan senjata kipas. Karena 

praktis dan mudah disembunyikan.

Melihat ketiga orang itu tak sedi-

kitpun dia menjadi gentar. Bahkan diam-

diam dia akan menguji kelihaian nya meng-

gunakan senjata kipas yang dicampur aduk-

kan dengan ilmu gayanya sendiri.

Ilmu tanpa guru memang bisa mengha-

silkan suatu ilmu yang terkadang bisa he-

bat! Akan tetapi tanpa suatu pengetahuan, 

hal itu akan sia-sia saja.

Demikian juga akan halnya Laksmi 

Dewi. Ternyata dengan ilmu-ilmu yang di-

milikinya tak menghasilkan suatu yang 

menggembirakan. Bahkan dia telah terdesak 

dalam pertarungan. Kipasnya hancur terke-

na hantaman tongkat lawan. Dan dalam be-

berapa jurus saja dia telah dibuat tak 

berdaya melawan salah seorang dari ketiga 

orang itu yang bersenjatakan sebuah tong-

kat saja.

Rasa menyesal menyelinap dalam hati 

dara itu mengapa dia tak mendalami ilmu 

tongkat? Kini dilihatnya dengan tongkat 

itu senjata kipasnya dibuat tak berarti 

apa-apa. Namun sudah terlambat. Pada ju-

rus berikutnya dia telah terkena totokan 

toya lawan hingga roboh dengan tak ber-

daya.

Terperangah Laksmi Dewi ketika ke


tiga orang itu berlompatan mendekati. 

Pandangan mata mereka liar menyelusuri 

bagian-bagian tubuhnya. Bahkan satu gera-

kan kilat telah membuat dia menjerit ka-

get karena pakaiannya sobek terkoyak. Pu-

tuslah sudah harapannya untuk bisa menye-

lamatkan diri.

Air matanya mengalir membasahi pi-

pi. Telah terbayang dalam benaknya betapa 

tubuhnya akan dijadikan bulan-bulanan ke-

tiga orang itu dalam memenuhi hawa nafsu 

kebinatangan nya. 

Akan tetapi pada saat itu juga seo-

rang pemuda kumal bertampang bodoh muncul 

di tempat itu. Semula dia mengira pemuda 

sial itu akan percuma saja berniat meno-

longnya karena tampangnya seperti orang 

yang tak berkepandaian apa-apa sama seka-

li. Tapi di luar dugaan justru dalam be-

berapa jurus saja ketiga orang bejat itu 

dapat dirobohkan. Bahkan dihadiahi dengan 

membuat putus sebelah telinga mereka mas-

ing-masing. 

Pemuda kumal itu tak membunuhnya, 

tapi melepaskan lagi dengan ancaman be-

rat, tak akan membiarkan mereka hidup bi-

la masih belum merobah jalan hidup mereka 

yang sesat!

Pemuda kumal itupun membebaskan di-

rinya dari totokan. Nanjar lalu memperke-

nalkan dirinya dan bersedia mengantarkan 

Laksmi Dewi pulang. Sebenarnya Nanjar


akan mengantar sampai tapal batas saja. 

Tapi Laksmi Dewi bersikeras untuk mengan-

tarkannya sampai ke Kepatihan di Kota Ra-

ja. Demikianlah, Laksmi Dewi kemudian 

memperkenalkannya dengan ayahnya Mahapa-

tih Gajah Menggolo.

DELAPAN

SELAGI SI DEWA LINGLUNG termangu-

mangu itulah mendadak terasa bersyiur an-

gin dingin di belakang punggungnya. Nan-

jar berkelebat ke sisi serta memutar tu-

buh dengan sikap waspada.

Tersentak Nanjar karena tak melihat 

apa-apa. Mendadak lagi-lagi bersyiur an-

gin di belakang, juga dari arah samping. 

Nanjar berseru keras seraya melompat 

"terbang" ke udara dan hinggapkan kaki di 

puncak batu tebing.

Matanya memandang ke bawah bagaikan 

elang mengintai mangsa. 

"Aneh!? Siapa yang main-main den-

ganku?" berkata dalam hati si Dewa Lin-

glung.

Akan tetapi sungguh heran Nanjar 

karena dia tak melihat adanya sesosok tu-

buh pun di bawahnya yang menampakkan di-

ri.

"Heh!? Apakah aku berhadapan dengan


makhluk halus? Ataukah manusia yang men-

gundangku ke mari sengaja menakuti aku 

dengan mempergunakan ilmu Halimunan?" ge-

rutu Nanjar dalam hati.

Pada saat itu pulalah kembali angin 

bersyiur halus. Tapi kali ini berbau wan-

gi. Membuat Nanjar berdiri bulu tengkuk-

nya dan melompati kembali dengan gaya 

"terbang" ke bawah.

Betapa terkejutnya Nanjar karena 

kakinya serasa ada yang menangkap. Membe-

lalak mata Nanjar dan terkejutnya bukan 

alang-kepalang karena tahu-tahu dia sudah 

berada dalam pelukan seorang wanita. Di-

ketahuinya karena dadanya menyentuh sepa-

sang benda lembut kenyal, serta terlihat 

punggung seorang wanita di depan matanya.

Tersentak kaget si Dewa Linglung. 

Namun sebelum dia sempat melepaskan diri, 

mendadak dia mengeluh dan terkulai meng-

gelosor.

Ternyata si wanita itu telah meno-

toknya. Gerakan menotok yang sekaligus 

membuat orang pingsan karena hawa racun 

aneh dari lengannya tersalur melalui to-

tokan yang hebat itu.

Ketika Nanjar sadarkan diri dia 

tersentak kaget karena tubuhnya sukar di-

gerakkan. Semakin terkejut Nanjar karena 

kini dia berada dalam sebuah ruangan ka-

mar yang bersih dan terbaring di tempat 

tidur berkasur empuk serta berbau harum.



"Hah? Di mana aku? Dan tempat apa-

kah ini?" sentaknya terkejut.

Pada saat itulah terdengar tertawa 

wanita dan sesosok tubuh muncul di hada-

pan Nanjar.

"Hihihi...kau berada di tempat ke-

diamanku, Dewa Linglung! Kau telah menja-

di tetamu kehormatanku. Beristirahatlah 

dengan tenang!"

Nanjar mendelikkan matanya menatap 

wanita itu. Ternyata seorang wanita muda 

berparas cantik berdiri di hadapannya. 

Wanita itu berpakaian serba kuning. Tahu-

lah dia kalau wanita inilah yang telah 

membunuh tiga perwira Kerajaan ketika 

terjadi kegaduhan di restoran.

"Hm, kaukah yang telah mengundangku 

datang ke lembah batu terjal?"

"Benar!" menyahut si wanita miste-

rius.

"Kau mengetahui siapa aku, dan kau 

menganggap aku tetamu kehormatanmu, men-

gapa cara seperti ini yang kau gunakan 

menerima tetamu?" berkata Nanjar dengan 

suara ketus. Sementara diam-diam dia ter-

kejut, karena di lengan wanita itu ter-

cekal pedang pusaka yang disembunyikan 

dalam belahan kayu.

Wanita itu kembali tertawa, lalu 

berkata.

"Cara apapun yang aku pakai itu 

hakku! Bagiku tak ada undang-undang yang


menentukan harus bagaimana cara menerima 

tetamu!" tukasnya dengan mata melirik ge-

nit. Namun di balik cahaya mata itu ter-

sembunyi kesadisan.

"Katakan siapa kau sebenarnya? Dan 

dari mana kau mengetahui siapa aku?" ben-

tak Nanjar dengan mata melotot. Sementara 

matanya tak lepas dari pedang pusaka yang 

dicekal erat wanita itu.

"Hihihi... siapa aku? Kelak kau 

akan mengetahui di saat ajalmu telah ham-

pir tiba. Dan dari mana aku mengetahui 

siapa kau adanya cukup melihat tampangmu 

yang bodoh. Dan pedang Mustika Naga Merah 

ini merupakan bukti kuat bahwa kau adalah 

si Dewa Linglung!"

Nanjar cuma bisa menelan ludah. Me-

mang sejak pedang Mustika Naga Merah be-

rada di tangannya, telah banyak diketahui 

oleh para tokoh Rimba Hijau. Bahkan masih 

ada beberapa tokoh persilatan yang men-

gincar benda pusaka itu untuk merebutnya.

Namun semua niat itu sia-sia. Bah-

kan justru nyawa-nyawa mereka yang me-

layang karena kesalahan mereka sendiri. 

Walau Nanjar tak berniat membunuh, tapi 

dirinya terancam maut! Maka terpaksa hal 

itu dilakukan demi keselamatan jiwanya. 

Di antara para tokoh persilatan yang men-

ginginkan pedang Mustika Naga Merah itu 

kebanyakan dari kaum golongan hitam.

Tentu saja adanya pedang pusaka itu


di tangan Nanjar sudah bukan rahasia la-

gi. Bahkan kehebatan ilmu si pendekar De-

wa Linglung mulai menyebar, di seantero 

wilayah. Dan dikenal sebagai pendekar 

bertampang bodoh, masih muda dan suka 

linglung.

"Lalu apa yang akan kau lakukan 

terhadapku? Bila mau membunuhku mengapa 

tak lekas-lekas kau melakukannya?" ujar 

Nanjar menantang. Dia sengaja berkata be-

gitu karena melihat tak ada tanda-tanda 

wanita itu akan melakukan niatnya saat 

itu.

Wanita itu tertawa kecil. Tiba-

tiba...Sreek! Dia telah mencabut pedang 

Mustika Naga Merah. Berkredep cahaya me-

rah seketika. Pedang Pusaka itu memang 

indah dan menyeramkan. Karena berbentuk 

seekor Naga melingkar dengan ekor meliuk-

liuk ke ujung bagian yang runcing. Sisik-

sisiknya berkilauan memancarkan sinar me-

rah.

"Pedang yang bagus!" puji si wanita 

tersenyum. Tiba-tiba wanita itu tertawa 

sampai terpingkal-pingkal. Hingga sampai-

sampai mengeluarkan air mata. Pedang Mus-

tika Naga Merah di tangannya tergetar me-

mantulkan cahaya merah yang berkelebatan.

Nanjar jadi terheran-heran. Apakah 

gerangan yang ditertawakan wanita itu? Di 

samping heran diam-diam Nanjar juga ter-

kejut karena suara tertawa wanita itu te



lah membuat rasa nyeri di dadanya. Jelas 

suara tertawa wanita itu mengandung tena-

ga dalam yang hebat. Sadarlah Nanjar ka-

lau dirinya telah terjatuh ke tangan seo-

rang tokoh wanita yang berilmu tinggi dan 

berwatak sadis. Pantaslah kalau dirinya 

dapat dipecundangi. Memikir ancaman wani-

ta misterius itu diam-diam hatinya menja-

di agak ngeri!

Tiba-tiba wanita itu berhenti ter-

tawa. Lalu menatap Nanjar dengan sorot 

mata tajam.

"Bagus! Kelak Dunia Persilatan akan 

gempar dengan kemunculan SEPASANG NAGA 

MERAH! Hihihi... kita memang berjodoh! 

Kita memang telah dijodohkan untuk saling 

bertemu dan bersatu!" berkata si wanita 

seraya beranjak mendekati.

Membelalak mata Nanjar karena wani-

ta itu tiba-tiba membuka pakaiannya ba-

gian atas. Yang membuat mata Nanjar sema-

kin melotot adalah pada bagian tengah da-

da wanita itu tertera sebuah tatto ber-

gambar seekor Naga Melingkar persis se-

perti bentuk pusaka. Naga Merah tanpa ga-

gang.

"Kau lihatlah gambar Naga pada tu-

buhku! Akupun memiliki pedang Mustika Na-

ga Merah yang serupa dengan Pedang Musti-

ka Naga Merah di tanganmu!" berkata si 

wanita dengan tersenyum. "Tunggulah se-

bentar!" ucapnya lagi. Sekali berkelebat


tubuh wanita baju kuning itu lenyap ke 

ruangan dalam. Tapi tak lama telah muncul 

lagi dengan membawa sebuah pedang di tan-

gan kirinya.

"Nah! kau perhatikan sobat Dewa 

Linglung! Adakah perbedaan kedua pedang 

ini?" bertanya dia seraya mencabut pedang 

itu dari serangkanya lalu mendekati Nan-

jar untuk memperhatikan kedua pedang itu.

Mata Nanjar seperti nanar melihat 

kesamaan kedua pedang itu. Benar-benar 

tak ada bedanya, seolah sepasang pedang 

kembar.

"Dari mana kau mendapatkan pedang 

yang serupa dengan pedangku?" bertanya 

Nanjar dengan heran.

"Hihihi... pedang ini sudah kumili-

ki lebih dari sepuluh tahun! Aku telah 

bersumpah tak akan mempergunakannya sam-

pai munculnya kembaran pedang Mustika Na-

ga Merah. Dan saat itulah aku akan mem-

pergunakannya karena baik pedang itu mau-

pun aku telah mendapatkan jodohnya!" sa-

hut si wanita. 

"Akan tetapi, kemunculan Sepasang 

Naga Merah tidaklah lengkap karena tubuh-

mu belum bertatto Naga seperti aku! Besok 

pagi aku akan mentatto dadamu seperti 

aku. Dan resmilah perjodohan kita!"

"Celaka! mengapa bisa begini?" 

menggumam Nanjar dengan perasaan yang 

luar biasa. "Jodoh? Aku berjodoh dengan


wanita ini yang belum kuketahui asal-

usulnya? Dan dia akan mentatto dadaku? 

Ah, betapa mengerikan" bisik hati Nanjar 

dengan mata membelalak. 

SEMBILAN

NAH! malam ini kau bisa beristira-

hat dan tidur dengan nyenyak, Dewa Lin-

glung!" berkata wanita itu seraya beran-

jak memutar tubuh. 

"He? Bukankah kau mau membunuhku? 

mengapa mengurusi persoalan jodoh dan 

mentatto tubuhku segala?" teriak Nanjar.

"Hihihi...mau membunuhmu atau tidak 

apa urusanmu?" berkata si wanita dengan 

tertawa lalu berkelebat lenyap

Tinggalah Nanjar yang tercenung 

dengan menelah ludah. "Aiiih! Nasibku 

mengapa sial begini? Lagi-lagi aku dipe-

cundangi seorang perempuan" keluhnya.

Entah beberapa kali Nanjar mencoba 

melepaskan diri dari totokan si wanita, 

namun tetap tak berhasil. Membuat dia pu-

tus asa dan menyerahkan diri pada nasib.

Menjelang pagi disaat hawa dingin 

menyelinap kelubang pori-pori mendadak 

jendela kamar itu menjeblak terbuka. Mem-

buat Nanjar tersentak bangun.

"Apa lagi yang kau mau lakukan?" 

bertanya Nanjar ketika melihat si wanita


telah berdiri di depannya. Di lengan wa-

nita itu tampak sebuah keranjang kecil 

tempat seperangkat alat-alat menjahit 

yang biasa dipunyai seorang perempuan.

"Bukankah telah kukatakan kemarin 

bahwa pagi ini aku akan mentatto dadamu!" 

sahutnya seraya meletakkan keranjang ke-

cil itu di pembaringan.

"Aku tidak mau!" berteriak Nanjar.

"Kalau kau rewel aku akan jahit bi-

birmu sampai rapat!" berkata si wanita 

mengancam. Kali ini dia berkata serius 

membuat Nanjar terpaksa tutup mulut. Nge-

ri juga kalau sampai si wanita benar-

benar menjahit bibirnya. Terpaksa dia me-

nelan ludah basi dengan menyumpah-nyumpah 

dalam hati. 

Tak menunggu lama lagi lengan si 

wanita telah bergerak membukai pakaian 

Nanjar hingga nampak dada bidangnya.

Lalu wanita itu mengambil segulung 

kertas dari balik pakaiannya. Gulungan 

kertas itu ternyata bergambar seekor Naga 

melingkar mirip dengan ukiran pedang Mus-

tika Naga Merah.

Setelah memperhatikan sejenak, lalu 

mulailah melukis gambar Naga itu memin-

dahkannya ke dada Nanjar dengan mempergu-

nakan alat penghitam alis.

Ternyata si wanita seorang yang 

pandai melukis. Dalam waktu singkat sele-

sailah pekerjaannya. Kini dia mengambil


sebuah jarum alat menjahit.

Siaplah sudah dia untuk mulai men-

tatto dada si Dewa Linglung. 

Nanjar sudah mau buka mulut lagi. 

Tapi melihat jarum dan benang yang men-

juntai panjang di belakang alat menjahit 

itu rasa ngeri kembali timbul. Terpaksa 

dia tutup mulut dengan hati kesal.

Mendadak dia mengaduh kesakitan. 

Dadanya serasa digigit semut api. Ternya-

ta si wanita sudah mulai bekerja mentatto 

dengan menusukkan ujung jarumnya ke kulit 

tubuh pasien nya.

"Hihihi...tidak terlalu sakit. Men-

gapa kau macam anak kecil? Lama-kelamaan 

rasa sakit yang seperti digigit semut itu 

akan menjadi rasa nikmat!" berkata si wa-

nita dengan tersenyum. Selanjutnya dengan 

cepat dia mulai lagi menusuk-nusukkan 

ujung jarum itu tanpa memperdulikan Nan-

jar yang masih mengaduh-aduh. Bekerja si 

wanita itu memang sangat cepat. Dalam 

waktu tidak seberapa lama selesailah dia 

mentatto dada Nanjar.

Darah menggenang di kulit tubuh si 

Dewa Linglung akibat ribuan tusukan ja-

rum. 

Wanita itu segera mengambil sapu 

tangan untuk menyeka genangan darah. Lalu 

dari keranjang keel itu dia mengambil se-

macam serbuk berwarna merah. Serbuk itu 

dibaurkan pada dada Nanjar menutupi lu


bang-lubang luka berbentuk lukisan Naga 

itu. 

Kemudian dia membubuhkan semacam 

cairan yang terasa dingin meresap. Tapi 

tak membuat rasa perih pada luka. Entah 

cairan apa. Mungkin obat luka. Selesailah 

sudah si wanita mentatto. Dia membenahi 

alat-alatnya lalu memasukkan dalam keran-

jang kecil.

Nanjar mencoba gerakkan kepala un-

tuk melihat dadanya. Tampak lukisan Naga 

yang amat mirip dengan pedang Mustika Na-

ga Merah tertera di dadanya. 

Nanjar rebahkan kepalanya lagi ke 

bantal dengan menghela napas lega. Rasa 

sakit yang menyiksa itupun akhirnya be-

rakhir.

Dipejamkannya matanya membayangkan 

nasib apa lagi yang bakal dialaminya? Dia 

kini tak ubahnya bagaikan boneka hidup 

yang diperbuat semaunya oleh si wanita 

baju kuning. Justru pada saat itu si wa-

nita baju kuning tengah menatapnya. Tata-

pan yang begitu tajam diarahkan pada lu-

kisan tatto Naga di dada Nanjar. Sebentar 

pandangannya beralih pada wajah pemuda 

itu, lalu merayap menjalari sekujur tubuh 

si Dewa Linglung. 

Pelahan bibirnya yang tersungging 

senyuman kecil itu semakin melebar. Dan 

akhirnya terdengar suara tertawa puas si 

wanita baju kuning. Nanjar membuka ma


tanya. Dilihatnya si wanita tengah terta-

wa menatapnya.

"Hihihi... lukisan tatto di dadamu 

selesai sudah! Kini resmilah perjodohan

kita! Sepasang Naga Merah akan segera 

muncul tak lama lagi di Dunia Persilatan! 

Dan darah akan memercik membasahi bumi 

sebagai tumbal sepasang kembaran Pedang 

Mustika Naga Merah!"

"Apa kau bilang? Kembaran Pedang 

Mustika Naga Merah membutuhkan tumbal?" 

tanya Nanjar dengan mata membeliak.

"Benar! Sepasang kembaran Pedang 

Mustika Naga Merah membutuhkan 100 jiwa 

manusia untuk memandikannya dengan darah 

manusia!" sahut si wanita baju kuning.

"Gila!" teriak Nanjar terkejut.

"Hihihi... itulah persyaratannya, 

Dewa Linglung! Dan hari ini juga kita ha-

rus bersatu!" berkata si wanita dengan 

mata liar menatap Nanjar. Tiba-tiba wani-

ta itu telah melemparkan keranjang jahi-

tannya. Dan kejap selanjutnya dia telah 

membuka seluruh pakaiannya. Sementara se-

pasang kembaran Pedang Mustika Naga Merah 

tertancap di atas meja.

"Hah!? kau mau melakukan apa?" sen-

tak Nanjar terperangah. Tapi wanita itu 

tak menjawab selain mendekati Nanjar. Dan 

tanpa bicara sepatahpun dia meloloskan 

seluruh pakaian Nanjar.

"Kita akan bersatu! kita akan ber


satu! kau dengarkah itu Dewa Linglung?" 

desis si wanita dengan mata kian nyalang 

dan napas mendesah. Mendadak tubuh wanita 

itu lenyap! Nanjar kian terperangah. Ta-

hu-tahu dia merasakan tubuhnya menjadi 

berat membuat Nanjar gelagapan dan bulu 

romanya berdiri. Apakah dia berhadapan 

dengan hantu atau peri?

Tapi hawa harum semerbak telah ter-

cium olehnya membuat dia kehilangan kesa-

darannya.

Kepalanya menjadi pening berdenyu-

tan, dan dia tak sadarkan diri lagi. Nan-

jar terbawa ke alam mimpi. Dalam mimpinya 

dia tengah berkencan dengan seekor lintah 

sebesar manusia. Mendadak lintah sebesar 

manusia, itu sirna. Nanjar terperangah 

kaget dan tersadar lagi. Terkejut Nanjar 

seperti dipagut ular, karena dia dalam 

keadaan tanpa busana dan sekujur tubuh 

penuh dengan lendir.

Ruangan kamar itu sunyi hening. Tak 

terasa lagi beban berat di atas tubuhnya. 

Tak ada lagi bau harum. Keringat dingin 

mengucur deras di sekujur tubuh mengingat 

mimpinya. Hiiii..! sungguh mengerikan! 

desisnya.

"Ke mana perginya wanita itu?" sen-

tak Nanjar dengan mata jelalatan ke sana 

ke mari. Tapi tak ada tanda-tanda adanya 

wanita itu di ruangan kamar.

Serentak bulu tengkuk Nanjar mere


mang. Lagi-lagi dia membathin. 

"Jangan-jangan wanita itu bukan ma-

nusia?"

Matanya segera tertuju pada sepa-

sang pedang di atas meja. Pedang kembaran 

Naga Merah. Aneh, ketika Nanjar melompat 

bangun ternyata dia telah terbebas dari 

pengaruh totokan. Cepat dia bergerak me-

nyambar pakaiannya. Lalu mengenakannya 

dengan cepat. Kembali dia menatap pada 

sepasang pedang. 

"Bagus! dia pasti sedang pergi! Le-

bih baik aku segera kabur dari tempat 

hantu ini!" pikir Nanjar.

Aneh! Ketika lengannya akan meraih 

sepasang pedang itu mendadak pedang yang 

satunya lenyap!

Mata Nanjar jadi kian membelalak, 

dia tak mengerti. Semua yang dilihat dan 

dialami seperti kenyataan. Tapi mengapa 

sepasang pedang itu seperti khayalan sa-

ja? Pada kenyataannya Pedang Mustika Naga 

Merah tetap cuma satu!

"Apakah mataku telah tertipu? Ah, 

perempuan siluman itu pasti mempergunakan 

ilmu sihir. Ataukah dia siluman atau pe-

ri? Ataukah aku cuma bermimpi? Tapi... 

tapi gambar Naga yang bertatto di dadaku 

ini tak lenyap? Aneh..!?" desis Nanjar 

dengan mata membelalak melihat tatto Naga 

di dadanya.

Saat itu bulu tengkuknya kembali


meremang. Tak ayal dia cepat sambar Pe-

dang Mustika Naga Merah di atas meja be-

rikut serangkanya yang tergeletak di de-

kat pedang. Lalu berkelebat ke luar ruan-

gan kamar melalui jendela. Dan angkat ka-

ki tak menoleh lagi meninggalkan tempat 

itu.

SEPULUH

JANGAN-JANGAN DIA Si DEWI LINTAH!" 

bergumam Nanjar, seraya dengan cepat gu-

nakan ilmu lari cepatnya meninggalkan 

lembah itu 

Tengkuknya meremang membayangkan 

dirinya telah berkencan dengan seekor 

lintah sebesar manusia.

Pada saat berlari-lari itulah men-

dadak telinganya mendengar suara-suara 

yang terdengar seperti dari relung ha-

tinya. 

"DEWA LINGLUNG! kau tak usah resah! 

Aku memang si Dewi Lintah. Kini aku telah 

menyatu dengan tubuhmu! Kini kita telah 

bersatu! Kau dengarkah kata-kataku? Kau 

adalah aku dan aku adalah kau! Kini tu-

naikan kewajibanmu memandikan Sepasang 

Pedang Mustika Naga Merah. Pada dasarnya 

pedang itu adalah dua, tapi cuma terlihat 

satu! Pedang Mustikamu kini memerlukan 

darah! Darah! Ya, darah manusia! Darah



orang-orang yang kubenci! Darah orang 

yang akan menghalangi niatku, juga sum-

pahku!" 

Tengkuk Nanjar seperti ditiup angin 

salju. Dingin meremang. Dia tersentak ka-

get, tapi tak berhenti berlari. Bahkan 

kian cepat. Dan dia baru berhenti setelah 

napasnya tersengal-sengal. 

Pada saat itulah Nanjar baru sadar 

kalau kakinya telah membawanya ke Kota 

Raja.

Aneh! Nanjar seperti terbawa oleh 

satu kekuatan yang dia tak dapat menolak-

nya. Tahu-tahu dia telah bergerak memasu-

ki istana.

Dan yang lebih aneh, dua orang pen-

jaga pintu gerbang tak melihat Nanjar ma-

suk. Bahkan belasan pengawal yang dilewa-

ti tak mengetahui Nanjar menyelinap mema-

suki ruangan istana. 

Pada saat itulah terdengar bentakan 

menggeledek.

"Iblis perempuan! mau apa kau da-

tang ke Istana?"

Bentakan itu disusul dengan ber-

munculannya pengawal-pengawal Istana. Di 

antaranya terdapat Senapati MARUTO! Di-

alah yang membentak barusan. Sekejap Nan-

jar telah dikurung oleh puluhan pengawal 

Sungguh aneh, karena mereka tidak 

melihat adanya Nanjar, melainkan sosok 

tubuh seorang wanita berbaju kuning.



"Hihihi....Maruto! aku mau menemui 

suamiku! Apakah sang prabu dalam keadaan 

sehat?" terdengar Nanjar menyahut, tapi 

suaranya suara si Dewi Lintah.

"Hah?! Kau... kau sudah bukan seo-

rang permaisuri lagi! Kau telah menjadi 

manusia setengah siluman! Pengawal bunuh 

dia!" teriak Senapati Maruto. Serentak 

saja puluhan pengawal menyerbu ke arah 

Nanjar yang terlihat seperti si Dewi Lin-

tah. Akan tetapi segera terdengar jeri-

tan-jeritan merambah udara. Puluhan sosok 

tubuh pengawal itu bertumbangan roboh! 

Darah memuncrat membasahi lantai. Puluhan 

nyawa melayang seketika!

Membeliak mata Senapati Maruto. Dia 

melompat menerjang dengan klewangnya. 

Akan tetapi cuma dalam beberapa jurus sa-

ja senapati itu menjerit parau Pedang 

Mustika Naga Merah telah menembus da-

danya.

Terhuyung laki-laki senapati ini. 

Dan terjungkal roboh dengan nyawa lepas 

dari tubuhnya. Tersenyum menyeringai si 

Dewi Lintah. Terbayang di matanya. Ketika 

laki-laki itu memperkosanya sebelum men-

gikat tubuhnya di dalam hutan. Saat beri-

kutnya Dewi Lintah telah berkelebat mema-

suki ruangan dalam.

Prabu Ganda Kesumah mendengar ri-

but-ribut di luar ruangannya telah melom-

pat ke luar dengan dengan mencekal keris.


Pada saat itulah berkelebat bayan-

gan sosok tubuh di hadapannya.

"Hihihi...suamiku! aku datang lagi! 

kali ini untuk meminta nyawamu!" berkata 

si Dewi Lintah dalam penjelmaannya mela-

lui tubuh Nanjar

"JAYENG SARI...! kau...kau telah 

berada di alam halus! kembalilah ke alam-

mu!" membentak Prabu Ganda Kesumah dengan

menyurut mundur melihat wanita cantik 

berbaju kuning itu mencekal pedang ber-

bentuk Naga yang berlumuran darah.

"Hihihi...siapa bilang aku sudah 

menjadi arwah kakang Prabu? Aku datang 

untuk menagih nyawamu! Bukankah kau yang 

telah memerintahkan orang-orangmu untuk 

membunuhku?

Dan membiarkan tubuhku diterkam bi-

natang buas?

Semua itu karena kau menuduhku te-

lah berzinah dengan seorang tukang kuda! 

Tuduhan yang hina dan tak masuk akal! Tu-

kang kuda itu kau jatuhi hukuman mati, 

dan aku kau suruh bunuh di dalam hutan. 

Mereka sebelum menggantungku telah mem-

perkosaku secara bergantian! Dapat kau 

bayangkan betapa sakit hatiku! Semua ini 

karena kau dipitnah oleh selirmu yang 

cantik. Yang akan kau jadikan seorang 

permaisuri! Tapi nyatanya? Hihihi...dia 

seorang keturunan Iblis!"

Terengah-engah napas Prabu Ganda


Kesumah. Tubuhnya tergetar. Keris telan-

jang di tangannya pun ikut menggetar. Ke-

ringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. 

Bulu tengkuknya berdiri meremang menatap 

wanita bekas permaisurinya pada dua puluh 

tahun yang lalu itu, yang tetap tak beru-

bah. Masih tetap muda dan cantik. Kemun-

culan bekas permaisurinya pada beberapa 

bulan yang lalu di Istana membuat dia ke-

takutan. Sang permaisuri cuma tertawa la-

lu lenyap. Sibuklah dia memanggil dukun-

dukun sakti untuk membuat penangkal. Tak 

dinyana kini muncul lagi membawa malape-

taka. 

Sementara itu sang permaisuri telah 

kembali berkata.

"Kulihat di matamu ada rasa menyes-

al, kakang Ganda Kesumah! Hihihi... Tapi 

sesalmu sudah terlambat! Nasibmu memang 

sial. Membuang hati mendapat duri! Per-

maisuri barumu ternyata membuahkan ketu-

runan seorang bayi yang wajahnya mirip 

RASEKSA! Terpaksa kau merahasiakan kela-

hiran anakmu! Namun cuma bertahan sampai 

beberapa bulan akhirnya kau menyuruh 

orang kepercayaanmu untuk meracun bocah 

itu hingga mati! Karena kau tak ingin bo-

cah itu kelak menjadi pengganti kedudukan 

mu membuat malu!

Akhirnya permaisurimu yang cantik 

jelita itu kau usir dari Istana! Kau 

panggil dukun-dukun sakti untuk mengusir


nya! Nyatanya dia sebangsa dedemit Hihi-

hi... nyaris Kerajaan Mandaraka berRaja-

kan seorang RASEKSA! 

Dewi Lintah tertawa mengikik, dan 

Prabu Ganda Kesumah kembali menyurut mun-

dur. Wajahnya pucat-pasi bagai tak berda-

rah. Tenggorokannya teras kering. Saat 

itu Dewi Lintah telah berkata lagi.

"Ganda Kesumah! kau tak perlu me-

nyesali sikapmu! Karena sudah terlambat! 

Kini aku datang untuk meminta nyawamu. 

Nah bersiaplah untuk mampus!" 

"Oh, ya! masih ada yang perlu kuka-

takan! akhirnya kau mengetahui juga Bayu-

nanta adalah anakku. Anak yang sebenarnya 

berhak atas Kerajaan Mandaraka! Tapi kau 

telah terlanjur menganggap dia anak seo-

rang tukang kuda!

Tenangkan hatimu di alam baka! Tak 

usah kau risaukan dia, karena akupun tak 

menginginkan dia menjadi Raja! Nah, kini 

terimalah kematianmu!"

Pedang Mustika Naga Merah mendesis. 

Meluncur deras ke arah tenggorokan Prabu 

Ganda Kesumah. Laki-laki ini berusaha 

mengelak. Namun ujung pedang yang haus 

darah itu telah lebih dulu memenggal le-

hernya.

Kembali darah memuncrat disertai 

menggelindingnya kepala manusia.

Tubuh tanpa kepala itu ambruk ke 

lantai. Berkelojotan sejenak lalu diam


tak berkutik selamanya bersimbah dalam 

genangan darah...!

Kematian sang Prabu Ganda Kesumah 

disusul dengan tewasnya para pengawal-

pengawal Istana. Di mana cahaya merah 

berkelebat maka akan terdengar jerit ke-

matian!

Paniklah seisi Kota Raja. Masing-

masing menyelamatkan diri dari kematian.

Adapun Mahapatih Gajah Menggolo 

yang muncul di Istana setelah mendengar 

laporan terkejut bukan main-main karena 

melihat sebuah pedang berbentuk seekor 

Naga berkelebatan bagaikan dicekal oleh 

tangan setan membunuhi para prajurit Is-

tana.

"Pedang Mustika Naga Merah?" sen-

taknya terkejut. Terperangah dia melihat 

pedang berbentuk Naga yang berkelebatan 

tanpa terlihat orang yang mencekalnya.

"Celaka! Celaka! Kiamat! Kiamat! 

hancurlah sudah Kerajaan MANDRAGIRI!" 

berkata Mahapatih Gajah Menggolo. Wajah-

nya tampak pucat pias. Tubuhnya menggele-

tar. Dia menyelinap masuk melalui ruangan 

demi ruangan. Didapati mayat bergelimpan-

gan. Bukan main terperanjatnya laki-laki 

ini mengetahui Prabu Ganda Kesumah telah 

tewas dengan keadaan mengerikan!

"Celaka! aku harus menyelamatkan 

keluargaku!?" sentak Ki Patih. Dan dia 

segera melompat ke luar dari ruangan itu,


dan lenyap di belakang istana.

Cahaya merah itu terus berkelebatan 

meminta korban. Akhirnya meluncur keluar 

dari Istana.

SEBELAS

Disaat di istana dan Kota Raja ten-

gah dilanda kepanikan itu, cahaya merah 

berkelebat memasuki hutan.

Tampaklah sesaat kemudian sosok tu-

buh Nanjar alias si Dewa Linglung yang 

berdiri tertegun sambil memegangi pedang 

pusakanya.

"Celaka! Aku telah membunuhi orang-

orang Kerajaan dengan pedang ini! Aneh! 

mengapa aku memper buatnya?!" berdesis 

Nanjar dengan wajah, pucat. Akan tetapi 

tiba-tiba terdengar suara tertawa mengi-

kik. Sesosok bayangan muncul dari tubuh 

Nanjar. Dan di hadapan si Dewa Linglung 

telah berdiri si Dewi Lintah dengan ter-

tawa mengikik. Di lengannya tercekal kem-

baran Pedang Mustika Naga Merah. 

"Jangan khawatir, Dewa Linglung! 

Tak seorangpun yang melihat kau yang mem-

bunuh. Yang terlihat adalah aku! Tapi 

itupun di hadapan manusia yang telah mem-

perkosaku! Di luar Istana aku tak menam-

pakkan diri. Aku hanya meminjam tanganmu 

untuk membunuh musuh-musuhku! Kini telah


sembilan-puluh delapan nyawa telah meman-

dikan Pedang Mustika Naga Merah. Tinggal 

dua nyawa lagi!" berkata si Dewi Lintah.

"Cukup!" teriak Nanjar dengan ma-

rah. "Kau tak boleh membunuh lagi! Sudah 

banyak korban yang berjatuhan! Aku tak 

mau terus diperalat olehmu!" Nanjar me-

nindak mundur dua langkah. Diam-diam dia 

telah mengkonsentrasikan diri untuk meng-

hadapi wanita iblis itu!

"Kau tak akan dapat terpisah dari-

ku, Dewa Linglung! Karena kau telah ber-

jodoh denganku!" berkata tegas Dewi Lin-

tah.

Pada saat itulah terdengar suara 

bentakan menggeledek.

"Dewi Lintah keparat! hari ini kau 

tak akan dapat lolos dari pedang Malaikat 

ku!" Sesosok bayangan berkelebat diikuti 

bayangan sosok tubuh lain di belakangnya.

Sebentar saja di hadapan mereka 

berdiri tegak Ki Gelagah alias si Pedang 

Malaikat bersama Bayunanta muridnya.

Melihat kemunculan si Pedang Malai-

kat, Dewi Lintah tertawa mengikik.

"Hihihi...kadal tua! agaknya kau 

masih mampu bertahan hidup setelah terke-

na pukulanku? Bagus! Pedang Mustika Naga 

Merah membutuhkan dua korban lagi. Kini 

telah muncul kedua-duanya!" berkata Dewi 

Lintah.

"Cih! manusia Iblis sesat! Kau mau


membunuh darah dagingmu sendiri? Bagiku 

yang sudah dekat liang kubur, kematian 

tak menjadi soal! Tapi bocah ini masih 

punya harapan besar untuk menjadi Raja 

menggantikan sang Prabu Ganda Kesumah me-

megang tampuk pemerintahan Kerajaan Man-

dragiri!" membentak Ki Gelagah sambil me-

nunjuk pada Bayunanta.

Tentu saja membuat Bayunanta seper-

ti disambar geledek mendengar dia adalah 

anak dari Prabu Ganda Kesumah. Dari kata-

kata Ki Gelagah jelas wanita bergelar De-

wi Lintah itu adalah ibunya.

Bentakan Ki Gelagah mendadak mem-

buat tercenung si Dewi Lintah. Kesempatan 

itu digunakan Ki Gelagah untuk meneruskan 

bicara.

"JAYENG SARI..! Sadarlah! kau telah 

bertindak terlalu jauh. Dendammu memang 

tak dapat kau lupakan, akan tetapi kau 

telah mempelajari dan menganut ilmu ib-

lis! Kau dapat merasakan kepedihan hatimu 

bagaimana rasanya disakiti hati! Akan te-

tapi kau tak menyadari bahwa kaupun telah 

menyakiti hatiku? Kau lari dari sampingku 

karena kepincut pada ketampanan dan harta 

serta kedudukan! Dan kau berhasil menjadi 

istri seorang Raja!

"Aku sadar kalau aku tak punya ke-

lebihan apa-apa. Bahkan seharusnya akulah 

yang mendendam pada Bayunanta. Karena 

Bayunanta adalah anak dari orang yang te


lah merebut isriku! Tapi aku telah meme-

liharanya dengan ikhlas berdasarkan kema-

nusiaan. Bocah ini kutemukan di dalam hu-

tan ketika aku kebetulan lewat di hutan 

itu. Dia lahir tanpa kasih sayang seorang 

ibu. Beberapa bulan kemudian aku menden-

gar berita sang Prabu Ganda Kesumah telah 

membuang permaisurinya di hutan belantara 

dalam keadaan hamil tua!

Aku berkeyakinan bayi yang kutemu-

kan itu adalah bayimu! Sedangkan aku tak 

mengira kalau kau masih hidup, karena tak 

jauh dari bayi merah itu ada tulang teng-

korak manusia yang masih basah. Kukubur-

kan tengkorak manusia itu yang kuanggap 

adalah mayatmu!

Betapa mendendamnya aku pada sang 

Prabu Ganda Kesumah. Walau bagaimana tin-

dakan itu terlalu kejam! Tapi mengingat 

akan ketidak setiaanmu aku cuma bisa ta-

fakur dengan hati sedih. Aku menganggap 

kau terkena hukum Karma!" sejenak Ki Ge-

lagah berhenti bertutur. 

Wajahnya layu, dan tampak setitik 

air bening menggenang di pelupuk mata tu-

anya. 

"Akan tetapi, kini bocah yang kupe-

lihara dengan ikhlas, bocah yang tak ber-

salah apa-apa ini akan kau bunuh juga? 

Haiih! sungguh keterlaluan!" suara parau 

Ki Gelagah merobek udara. Giginya gemeru-

tuk menahan geram. Matanya berapi-api me


mandang si Dewi Lintah 

"Patutkah itu dilakukan oleh seo-

rang manusia? Seorang ibu yang telah men-

gandungnya? Seorang ibu yang tak pernah 

merawatnya?" teriak si Pedang Malaikat. 

"Ternyata tulang tengkorak itu adalah 

tengkorak seorang penduduk yang digunakan 

untuk menipu orang Kerajaan agar mengang-

gap kau telah mati! Nyatanya kau telah 

ditolong oleh seorang dukun tua! Dukun 

yang sakit hati karena suaminya dibunuh! 

Dialah istri si Tukang Kuda yang telah 

difitnah berbuat serong padamu! Dia mem-

bawamu ke tempat seorang pertapa tua di 

satu lembah angker. Dari pertapa tua pe-

muja iblis itulah kau mempelajari ilmu-

ilmu sesat! 

Sesungguhnya kau telah diperalat 

orang lain Jayeng Sari! Apakah kau tega 

membunuh jiwa anakmu sendiri? Darah da-

gingmu? Juga calon Raja penerus dan peme-

gang tampuk pemerintahan Kerajaan Manda-

raka?" 

Keheningan merambah suasana di hu-

tan itu. Nanjar cuma terbelalak mendengar 

kisah dari si Dewi Lintah. Sedangkan si 

Dewi Lintah sendiri tenggelam dalam kera-

guan. Tercenung dengan tatapan kosong. 

Dua tetes air mata mengalir membasahi ke-

dua pipinya. Pada saat itulah Bayunanta 

berteriak dengan suara menggeletar.

"Ibuuu...."


Pemuda ini melepaskan pedangnya. 

Dia melangkah pelahan mendekati Dewi Lin-

tah dengan air matanya menggenang, lidah 

terasa kelu, dan kerongkongan serasa ter-

sumbat.

DUA BELAS

Ibu biarkan anakmu memelukmu ibu..! 

Selama ini teka-teki dan rahasia diriku 

terpendam. Tapi hari ini terbuka sudah! 

Ternyata aku anak seorang permaisuri Ra-

ja. Walau kau seorang iblis sekalipun aku 

tetaplah anakmu. Dan aku akan tetap men-

gakui kau ibuku! Ibu...biarkan darah da-

gingmu ini memelukmu! Biarkan aku menan-

gis di pangkuanmu. Biarkan air mataku 

tertumpah di dadamu! Walau cuma sekali 

ibu..! Walau cuma satu kali!" ratap Bayu-

nanta.

"TIDAK! TIDAK! Jangan kau lakukan 

itu! Aku telah menjadi seorang manusia 

iblis sesat! Aku tak pernah merawatmu! 

menyusuimu! menimangmu! membesarkanmu! 

Ah, betapa nistanya aku. Aku telah menja-

di seorang manusia sesat. Masih ada muka-

kah aku mengaku kau sebagai anakku?" ber-

kata Dewi Lintah dengan air mata bercucu-

ran dan kakinya melangkah mundur.

"Tapi ibu...kau.. kaulah yang telah 

melahirkanku! Dan aku adalah darah da



gingmu!" sanggah Bayunanta dengan suara 

parau menggeletar menahan perasaan. 

"Benar... tapi...tapi...aku tak da-

pat melanggar sumpahku! Dan... dan kau 

harus mati! Aku tak ingin sifat ayahmu 

kelak menurun padamu!" berkata Dewi Lin-

tah. Kini suaranya berubah sinis! Pandan-

gan matanya berapi-api seolah mau menelan 

bulat-bulat Bayunanta, anak kandungnya 

sendiri.

Keadaan berubah tegang!

Detik itu juga tiba-tiba Pedang 

Mustika Naga Merah telah meluncur deras 

ke arah jantung Bayunanta. Pemuda ini 

terperangah dengan mata membelalak.

Kematian agaknya sudah berada di 

ujung rambut. Tapi pada detik itu juga 

berkelebat cahaya merah menangkis samba-

ran Pedang Mustika Naga Merah. Dan detik 

selanjutnya terdengarlah suara menjerit 

ngeri... 

Tubuh Dewi Lintah ambruk ke tanah 

bersimbah darah. Setelah menggeliat mere-

gang nyawa, tubuh wanita itupun diam un-

tuk selama-lamanya.

Tampak Nanjar berdiri di hadapan 

mayat si Dewi Lintah dengan pedang Musti-

ka Naga Merah di tangannya.

Membelalak mata Bayunanta dengan 

terperangah. Napasnya serasa berhenti. 

Ternyata pada saat kematian sudah di am-

bang pintu baginya mendadak si pelayan


dogol alias si Dewa Linglung sahabatnya 

itu telah menyelamatkan jiwanya.

Pada saat itu juga disaat kehenin-

gan merambah suasana hutan mendadak ter-

dengar suara si Pedang Malaikat.

"Lihatlah! apa yang telah terjadi?"

Ki Gelagah melompat mendekati Dewi 

Lintah alias bekas istrinya itu.

Apakah yang mereka lihat? Ternyata 

perlahan-lahan mayat Dewi Lintah berubah 

ujud menjadi mayat seorang nenek tua ke-

riput berambut putih. Pedang Mustika Naga 

Merah yang tergeletak di sisinya mendadak 

lenyap sirna.

Semakin membelalak mata mereka me-

nyaksikan mayat itu kembali berubah men-

jadi ujud seekor lintah sebesar manusia!

Namun ujud lintah itupun lenyap 

kembali berubah menjadi segumpal asap hi-

tam yang membumbung ke udara dengan me-

ninggalkan bau busuk.

Sirnalah ujud si Dewi Lintah. Yang 

tampak hanyalah kerangka manusia. Kerang-

ka yang telah lapuk dimakan usia.

Pedang Malaikat, si Dewa Linglung 

dan Bayunanta saling pandang dengan kehe-

ranan

Namun sesaat kemudian Nanjar berka-

ta memecah kesunyian yang menggayuti pe-

rasaan.

"Maafkan aku, sobat Pedang Malai-

kat! Aku terpaksa melakukan, karena aku


tak sampai hati membiarkan dia membunuh 

Bayunanta!"

Pedang Malaikat tak menyahut. Dia 

masih terpaku memandang kejadian pada di-

ri Jayeng Sari bekas istrinya itu

Nanjar segera melangkah menghampiri 

Bayunanta. Lalu menepuk-nepuk pundaknya 

"Bayunanta! dapatkah kau memaafkan aku?"

Bayunanta mengangguk. Dia memang 

telah memaklumi hal itu, karena disaat 

itu tak bisa berbuat lain selain membunuh 

si Dewi Lintah. Diam-diam dia bersyukur 

dapat lolos dari kematian. Dan hatinya 

menyaksikan setiap perubahan ujud ibunya.

"Nah! sobatku, dan kau sobat tua 

Pedang Malaikat. Kukira aku tak dapat 

berlama-lama di sini. Bimbinglah Bayunan-

ta untuk mewujudkan cita-citamu. Menjadi 

pengganti Raja di Kerajaan Mandragiri! 

Rakyat Mandragiri telah kehilangan Ra-

janya. Dan memerlukan seorang pemimpin 

pemegang tampuk pemerintahan yang telah 

terbengkalai!"

"Terima kasih atas saranmu, Dewa 

Linglung! Hehehe...! kelak setelah sele-

sai tugasku menobatkan Bayunanta menjadi 

Raja. Aku akan merambah Dunia Persilatan 

mencarimu! Kakiku sudah gatal untuk men-

gembara lagi!" berkata si Pedang Malai-

kat. Nanjar mengangguk-angguk. Hatinya 

gembira melihat kecerahan wajah si Pedang 

Malaikat.


"Aku akan menantikan kemunculanmu 

Pedang Malaikat!" ucap Nanjar. Dan sete-

lah meminta diri sekali lagi tubuh Nanjar 

pun berkelebat lenyap dari tempat itu.

Dari kejauhan terdengar suara se-

nandungnya yang lapat-lapat terdengar ke 

telinga si Pedang Malaikat dan Bayunanta. 

"Haiii..! nasib manusia seperti po-

hon kayu.

Tumbuh, besar, tua, dan mati!

Terkadang mati oleh ganasnya api. 

Terkadang mati oleh alam 

Juga mati karena bencana! 

Aku sendiri tak tahu entah matiku 

kapan? 

Apakah masih bisa berjumpa dengan 

si Pedang Malaikat?" 

Suara senandung itu semakin menjauh 

dan lenyap. Ki Gelagah menarik napas pan-

jang. Sebutir air mata tergulir di pi-

pinya. Tapi segera berpaling pada Bayu-

nanta, seraya berkata.

"Mari kita kuburkan kerangka ibumu, 

nak! Biarlah dia bersemayam untuk pengha-

bisan kalinya. Semoga dosanya diampuni 

yang Maha Pencipta!"

Bayunanta mengangguk dengan terse-

nyum dipaksakan. Walau sebenarnya hatinya 

tersayat pedih. Namun dia menyadari bahwa 

kodrat manusia berada di tangan Tuhan Se-

mesta Alam. Kematian memang milik manu-

sia. Tapi sebelum datangnya maut bukanlah


lebih baik menanamkan amal kebaikan untuk 

manusia? Bukankah hanya amal itulah yang 

bakal menolongnya kelak di hari Akhirat!


                        T A M A T


https://matjenuhkhairil.blogspot.com





Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive