..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 17 Januari 2025

DEWA LINGLUNG EPISODE RAJA RAJA GILA

matjenuh

 

Dia datang

Sebagai seorang pendekar.

Dia aneh & bertindak seperti

orang linglung

Para ksatria menyebut dia

Si DEWA LINGLUNG

Pendekar sakti yang

Digembleng ‘lima’ tokoh aneh



1

Angin pegunungan bertiup kencang…

Awan hitam bergulung-gulung menebarkan 

hawa dingin menusuk ketulang sumsum. Pemuda 

ini berlari cepat menuju kearah tebing-tebing 

curam yang membentang dihadapannya. Dia 

seorang laki-laki yang masih muda. Berpakaian 

lusuh dengan rambut gondrong tanpa ikat kepala. 

Sebentar-sebentar dia menengadah menatap ke 

langit. Burung-burung elang itulah yang jadi titik 

tumpu perhatiannya. Burung-burung elang yang 

beterbangan memutari satu tebing curam, dimana 

dibawahnya membentang jurang-jurang dalam 

yang tak terukur dalamnya.

Siapakah adanya pemuda ini? Dialah yang 

bernama GINANJAR.

Pemuda yang berasal dari lereng gunung 

Rogojembangan. Satu perasaan aneh telah 

membuat pemuda ini mempercepat larinya untuk 

segera tiba di tempat tujuan. Semakin dekat 

dengan yang dituju, semakin resah hatinya. Elang-

elang itu menjadi satu pertanda buruk bahwa ada 

sesuatu yang telah terjadi di tempat itu.

Melewati dua buah bukit, pemuda ini 

berhenti berlari. Dihadapannya kini membentang 

jalan-jalan licin dan terjal yang harus dilalui 

untuk mencapai kearah tebing batu yang paling 

ujung.


Suara petir yang menggelegar diudara 

didahului dengan kilatan-kilatan yang menyambar 

membuat pemuda ini agak terkejut. Tetes air 

hujan mulai turun. Dan tak lama hujanpun turun 

dengan derasnya membasahi bumi. Sementara 

elang-elang itu sudah tak memutari ujung tebing 

itu, karena mereka telah terbang untuk 

bertindung ke bawah tebing dari curahan hujan 

lebat yang mengguyur bumi.

Pemuda ini kertakan gigi. Tekadnya untuk 

segera tiba ditempat tujuan membuat dia tak 

pedulikan lagl segala macam rintangan. Dia mulai 

gerakkan lagi kakinya untuk segera berlari cepat. 

Tapi kali ini harus hati-hati. Terpaan angin keras 

membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Namun 

dengan gerakan gesit bagai burung walet, dia terus 

melompat dan meniti tebing batu itu. Keberanian 

pemuda ini memang luar biasa. Karena salah 

sedikit saja kakinya melangkah, tubuhnya bisa 

tergelincir ke bawah dimana membentang mulut 

jurang yang menganga siap menamatkan 

hidupnya.

Bau busuk mulai terendus hidung. Wajah 

pemuda ini semakin memucat. Detak jantungnya 

semakin cepat. Batu-batu licin yang d'rterpa hujan 

itu sudah sudah tak dihiraukan lagi. Baginya dia 

ingin lebih cepat tiba untuk melihat apakah yang 

telah terjadi.

Akhirnya Ginanjar tiba dimulut sebuah goa 

yang terietak di ujung tebing terjal. Goa yang 

tersembunyi itu akan sukar ditemukan karena 

diapit oleh dua jurang di kiri dan kanannya.


Bau aneh semakin santar menusuk hidung 

ketika pemuda itu jejakkan kaki di mulut goa 

dibibir jurang.

Terperangah dia seketika melihat sesosok 

tubuh terlentang tepat dimulut goa. Sosok tubuh 

yang sudah membusuk dan dikerumuni lalat. De-

ngan sembilan luka di sekujur tubuhnya. Petir 

kembali menggelegar menimbulkan kilatan cahaya 

berkilatan. Dan bersamaan dengan dentuman 

petir itu terdengar suara pemuda itu berteriak.

"Guruuu...!?" Sepasang kakinya berdiri 

menggeletar, sedangkan matanya membelalak 

memandang sosok tubuh yang segera dikenalinya. 

Sekejap dia teiah melompat mendekati sosok 

tubuh itu.

"Guru...!? OH, apakah yang telah terjadi? 

Sipakah yang telah membunuhmu...?" terucap 

kata-kata menggeletar dari bibirnya. Pemuda itu 

duduk bersimpuh di hadapan jenasah itu. Tampak 

tubuhnya berguncang-guncang karena dia telah 

menangis terisak-isak. Air matanya bercucuran 

dengan air hujan yang membasahi wajah dan 

pakaiannya.

Inilah rupanya pertanda buruk dari elang-

elang yang berterbangan mengitari tebing.

"Guru…! maafkan aku! Maafkan muridmu 

yang tolol ini. Yang tak pernah kembali untuk 

menjengukmu disini," berkata dia seperti 

mengajak bicara mayat di hadapannya. Kembali 

pemuda itu tenggelam dalam isak tangis yang 

menyedihkan.

Siapakah gerangan orang tua yang telah 

menjadi mayat yang ditangisi kematiannya oleh 

pemuda itu? Dialah yang bernama Ki DHARMA 

TUNGGA. Kakek yang berusia hampir seratus 

tahun itu adalah Ketua kaum Rimba Hijau. 

Walaupun pemuda yang berasal dari lereng 

gunung Rogojembangan itu tak terlalu lama 

berguru pada kakek ini, namun dia telah merasa 

begitu kehilangan dengan kematian sang guru.

Dua tahun dia berguru, lalu 

meninggalkannya setelah terjadinya peristiwa 

dipuncak Mahameru, dimana lima tokoh yang 

menamakan dirinya LIMA SERIGALA MALAIKAT 

yang diketuai oleh seorang tokoh golongan hitam 

bergelar si MATA IBLIS mau mengangkat diri 

sebagai Ketua kaum persilatan. Namun dengan 

munculnya Ki DHARMA TUNGGA yang dibantu 

oleh para pendekar golongan putib, niat busuk 

mereka dapat digagalkan. Lima Serigala Malaikat 

dan si Mata Iblis dapat dihancurkan dengan 

kematian manusia-manusia jahat itu. (Baca, Serial 

: Roro Centil berjudul "LIMA WAJAH 1000 

DENDAM".)

Sejak itu Ginanjar pergi tak tentu 

rimbanya. Berkelana tak menentu. Tapi apakah 

yang telah didapatkannya? Melulu cuma kesialan 

belaka yang lebih banyak dihadapi. Dan 

bermacam perbuatan tercela yang telah dilakukan. 

Karena Ginanjar kurang memperhatikan 

wejangan-wejangan gurunya. Bahkan ilmu-ilmu 

hebat yang telah diturunkan guru-gurunya hampir 

dilupakan. Sejak turun gunung dari lereng



Rojembangan, Ginanjar telah punya bekal ilmu-

ilmu kedigjayaan dari KI BAYU SHETA yang 

bergelar si Pendekar Bayangan. Pada dua puluh 

lima tahun yang lalu nama Pendekar Bayangan 

merupakan sebuah nama yang harum di mata 

kaum pendekar.

Tapi Ginanjar sebagai murid tunggalnya 

tak punya nama secuilpun yang dapat 

dibanggakan dimata kaum persilatan. Bahkan 

pedang pusaka warisan gurunya dari lereng 

Rogojembangan itupun tak ketahuan kemana 

lenyapnya akibat keteledoran dan kebodohannya. 

Kini setelah berguru pada DHARMA TUNGGA yang 

punya nama besar bahkan menjadi orang yang 

disegani dimata kaum Rimba Hijau. Ternyata 

Ginanjarpun bukanlah seorang murid yang utama, 

yang menjunjung nama gurunya.

Hal itulah yang membuat dia bersedih 

setengah mati.

Dalam kisah serial RORO CENTIL, 

dikisahkan Ginanjar pernah dijuluki si DEWA 

LINGLUNG. Julukan itupun didapati karena entah 

apa sebabnya hingga sampai-sampai dia menjadi 

orang linglung. Bahkan nama gurunya yang 

terakhir pun dia lupa. Ilmu-ilmu yang didapati 

dari Dharma Tungga tak satupun yang pernah 

digunakannya lagi setelah peristiwa dipuncak 

Mahameru itu. Ginanjar cuma mengejar cinta. Dia 

terlalu mencintai Roro Centil, hingga lupa segala-

galanya. Selain itu tak sedikit pula dia jatuh ke 

tangan perempuan-perempuan jalang yang 

berilmu tinggi. Yang cuma menjadikan dia sebagai


bulan-bulanan. Sungguh hal ini membuat dia 

sangat bersedih setelah menyadari kelalaian serta 

kebodohannya.

Pemuda itu semakin tenggelam dalam 

sedu-sedan. Tenggelam dalam kepedihan hati. 

Tenggelam dalam kutukannya pada dirinya 

sendiri! Sementara hujan semakin deras menyiram 

bumi. Diseling sesekali oleh kilatan petir yang 

menimbulkan suara dentuman menggelegar 

merambah alam. Seolah akan membuat bumi 

menjadi lautan layaknya....

2

Lama Ginanjar duduk termangu 

memandangi mayat gurunya. Dibiarkannya 

tubuhnya basah kuyup tersiram air hujan. Akan 

tetapi selang tak lama kemudian hujanpun 

berhenti. Ginanjar baru tersadar dari 

tercenungnya ketika telinganya mendengar suara 

elang-elang yang telah kembali berputar-putar 

diatas tebing.

"Elang keparat!" memaki pemuda ini. 

Lengannya menjuput sebutir batu.

Krrrrk! 

Batu itu telah diremasnya hingga hancur. 

Detik berikutnya lengannya telah bergerak 

mengayun keatas. Hebat tenaga luncuran batu itu. 

Tiga ekor elang yang terbang agak mendekat 

bunyikan suara,


"Eaaaak!" 

Dan ketiganya segera terhempas jatuh 

melayang ke dasar jurang. Empat ekor lainnya 

terbang dengan cepat karena terkejut melarikan 

diri. Namun salah seekor terbangnya limbung 

karena sebuah sayapnya terluka kena sasaran 

batu. Dengan geram Ginanjar pandangi elang-

elang yang kabur itu hingga lenyap dibawah 

tebing.

Air mata pemuda ini masih menggenang di 

pelupuk mata ketika dia telah selesai 

mengebumikan jenazah Ki Dharma Tungga. Dia 

berdiri tak bergeming sambil tundukkan 

kepalanya. Matahari sudah agak condong kearah 

barat. Udara cerah tak berawan. Angin kencang 

telah menghembus awan-awan hitam itu hingga 

membuat langit bersih tak berawan.

"Aku harus segera pergi dari tempat ini!" 

berkata dia dalam hati seraya menengadah 

menatap langit. "Entah siapa dan dimana si 

pembunuh keji itu berada. Akan tetapi aku 

bersumpah untuk membalaskan dendam ini. Akan 

kucari dan tetap kucari selama hayat masih 

dikandung badan!" Dipandanginya gundukan 

tanah basah yang ditimbuni batu-batu itu dengan 

mata merah.

"Guru, semoga arwahmu tenang di alam 

Baka. Muridmu yang tolol ini akan mencari 

musuh yang telah membunuhmu dengan sekeji 

ini. Aku yakin dia adalah manusia yang 

menginginkan Lambang Ketua Rimba Persilatan 

ditanganmu. Dengan sepotong pedang yang


tertancap di tubuhmu ini, aku yakin akan 

menjumpai manusianya yang telah menyebabkan 

kematianmu!" berkata Ginanjar dengan suara 

menggetar. Di lengannya tercekal sepotong pedang 

bagian ujungnya. Hanya benda itulah yang dapat 

menunjukkan siapa yang telah menewaskan Ki 

Dharma Tungga.

Ketika suara elang kembali terdengar di 

udara, pemuda itu telah berkelebat meninggalkan 

lereng tebing curam itu dengan berlari-lari cepat. 

Tak berapa lama dia telah tiba diatas bukit. 

Berhenti sejenak untuk berpaling memandang lagi 

ke arah tebing curam yang akan ditinggalkan. Lalu 

dengan hati remuk redam pemuda itu segera 

teruskan berlari menuruni bukit. Tak lama 

kemudian sosok tubuh pemuda itupun lenyap.

—00O00—

Siang itu udara panas terik. Matahari 

membinar-binar membersitkan sinarnya seperti 

mau membakar bumi layaknya. Adalah aneh 

kalau dalam panas demikian terik justru seorang 

kakek enak-enakan tiduran terlentang diatas batu 

dengan mata meram. Kakek ini bertubuh 

jangkung kurus, tanpa memakai baju. Kecuali 

celana pangsinya yang kumal dan bertambal-

tambal itu yang dipakainya. Rambutnya gondrong 

awut-awutan dan sudah hampir memutih semua.

Lebih aneh lagi didepan si kakek ini 

tampak sebutir telur yang amat besar. Telur aneh 

itu berada disela-sela batu beralaskan rumput dan


ranting-ranting kayu kering. Keadaan ditempat 

itu amat lengang, seperti tempat yang tak pernah 

dikunjungi manusia. Hanya bukit-bukit batu terjal 

dan ranting-anting kayu kering yang berserakan di 

sana-sini. Ternyata kakek ini tengah menggeros 

tidur dengan nyenyaknya.

Entah berapa saat si kakek meggeros tidur, 

ketika sesosok tubuh muncul diujung tebing. 

Matanya jelalatan kesana kemari seperti ada yang 

dicarinya. "Ah, kemana gerangan kakek? makanan 

sudah matang tapi ditunggu orangnya tak 

muncul!" menggerutu gadis ini. Ternyata dia 

seorang gadis berpakaian serba putih yang juga 

penuh tambalan. Tak lama dia sudah melompat-

lompat dan berlari-lari cepat menelusuri tempat 

itu.

"Eh!? itu dia..!? teriak gadis ini girang. 

Pandangannya segera tertuju pada si kakek 

jangkung kurus yang tengah enak-enakkan 

menggeros terlentang diatas batu.

"Kakek...!" teriak gadis ini memanggil. 

"Bangunlah! makanan sudah kusiapkan. Apakah 

kau tak ingin makan sekarang?" ujarnya. Tapi 

yang dlpanggil seperti tak mendengar. Bahkan 

dengkurnya semakin menjadi-jadi.

Gadis ini jadi tak sabar memanggil. Apalagi 

di panas terik begitu melihat sikakek terlentang 

diatas batu tak bergerak-gerak. Menduga kalau-

kalau si kakek itu telah mati, membuat 

jantungnya jadi berdebaran. Mendadak dia telah 

melompat ke arah sang kakek dengan hati 

penasaran.


Ternyata gadis ini punya gerakan melompat 

yang hebat dan gerakannya pun indah. Dua kali 

jejakkan kaki dengan tubuh melambung dan 

berjumpalitan diudara. Sesaat dia telah melayang 

turun dihadapan si kakek dengan kedua lengan 

terentang.

Terkejut gadis ini ketika nyaris kakinya 

menginjak sebuah benda putih bulat, kalau saja 

pada saat itu si kakek yang mendengkur pulas itu 

tak menguap dan gerakkan tangan seperti baru 

mendusin. Akan tetapi membuat gadis ini dua kali 

terkejut. Karena detik itu telah menyambar angin 

keras yang membuat dia terperangah. 

Tak ampun gadis ini berteriak tertahan, 

karena saat itu juga tubuhnya terlempar lagi ke 

udara. Seraya berteriak; "Haiiiii!?" dia segera 

lakukan salto yang cepat sekali kalau tak mau 

terbanting ke tanah dengan kapala terlebih dulu. 

Dan dengan usaha itu dia dapat jejakkan kakinya 

ditanah dengan baik.

Segera dia telah melihat si kakek gurunya 

itu bangkit duduk sambil tertawa cengar-cengir. 

"Hehehe... hampir saja kau melenyapkan 

impianku, muridku yang manis!" berkata si kakek.

"Impian?... impian apakah, kakek? Dan... 

telur apakah yang demikian besar itu?" bertanya 

sang dara ini dengan kembali melompat mendekat.

"Hehehe... aku justru sedang menunggui 

telur ini, dan menunggu impian yang kelak bakal 

datang. Hingga sampai-sampai aku lupa bahwa 

aku telah memesan makanan padamu. Hehehe...


hayo kita pulang!" menyahut sikakek tanpa 

berikan penjelasan pada sang murid.

''Tidak! aku tak mau pulang sebelum guru 

menjelaskan tentang telur itu. Dan apa maksud 

kakek menunggu impian yang kelak bakai 

datang?" sungut sigadis dengan cemberut. Lalu 

duduk diatas batu sambil membelakangi sikakek. 

Melihat sikap muridnya kakek ini jadi tertawa 

terkekeh-kekeh. "Baik! baik anak manis! Tapi 

nantilah dirumah aku ceritakan. Sekarang kita 

pulang dulu. Perutku telah keroncongan. 

Bukankah tadi kau mengatakan bahwa 

masakanmu sudah matang?" berkata si kakek. 

Tiba-tiba lengan sikakek ini mengibas kearah sang 

gadis. 

Whuuuuk!

"Haiii?" teriak gadis ini. Sekejap tubuhnya 

telah melompat setinggi lima tombak untuk 

menghindari angin keras yang membersit 

menghantam ke arahnya. Batu itulah yang jadi 

korban sasaran yang tak ampun lagi telah 

terungkit dan menggelinding bagai dihernpas 

angin badai.

Saat tubuh si gadis masih melambung di 

udara, tubuh si kakek mendadak telah melesat 

dari atas batu. Lengannya terulur menyambar 

lengan gadis itu. Segera saja sang gadis rasakan 

tubuhnya terbetot satu tenaga yang keras. Sekejap 

saja dia sudah melayang seperti terbang melintasi 

bukit itu. Ternyata si kakek telah menyambarnya 

untuk dibawa melesat menuruni bukit batu 

dengan perdengarkan suara tertawa terkekeh


kekeh. Sesaat kedua tubuh itu telah lenyap tak 

kelihatan lagi.

3

Siapakah gerangan kakek aneh dan 

muridnya itu? Dialah yang bergelar Raja Pengemis. 

Dia seorang tokoh Rimba Hijau yang beradat aneh 

dan tak mempunyai tempat tinggal tetap.

Gadis itu bernama Ranggaweni. Seorang 

gadis periang berusia sekitar enam belas tahun.

Selama lebih dari tiga tahun dia berguru dengan Si 

Raja Pengemis. Selama itu Ranggaweni selalu 

mengikut kemana sang guru membawanya. Gadis 

ini seorang yatim piatu, yang pernah menetap 

diwilayah Kota Raja. Ayahnya bernama RONGGO 

ALIT.

Seorang pedagang obat-obatan yang 

mempunyai toko besar dan terkenal sebagai tabib 

ahli obat diwilayah Kota Raja sebelum 

dipindahkannya Kerajaan Medang ke Jawa Timur. 

Dan berganti nama menjadi Kerajaan Mataram.

Ibunya telah meninggal sejak dia masih 

berusia 10 tahun. Ternyata disaat pindahnya 

Kerajaan Medang baru berjalan satu bulan. Telah 

terjadi suatu peristiwa pada keluarga Ronggo Alit. 

Yaitu kemunculan segerombolan perampok yang 

menyamar sebagai orang dari perusahaan 

pengangkut barang. Empat orang itu menawarkan


jasa untuk mengangkut barang-barang Ki Ronggo 

Alit.

Pada masa itu memang, disetiap tempat di 

bekas wilayah Kerajaan Medang, orang-orang 

banyak yang menyewa gerobak-gerobak untuk 

mengangkut barang-baranrgnya. Karena tidak 

sediklt rakyat jelata yang juga ikut pindah 

kewilayah Kerajaan yang baru.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan 

Ki Ronggo Alit. Usianya yang sudah semakin 

menua tak memungkinkan dia meninggalkan 

tempat kediamannya. Dia akan tetap tinggal 

disitu. Yang membuat bersedih dan masygul orang 

tua itu adalah tak pernah munculnya Ginanjar ke 

tempatnya, sejak lebih dari dua tahun.

Seperti pernah diceritakan pada kisah 

serial : Roro Centil, Ginanjar tinggal menetap di 

tempat kediamannya atas perintah Ki Bayu Sheta 

alias si Pendekar Bayangan. Ki Bayu Sheta adalah 

seorang sahabatnya yang pernah dikagumi dalam 

membantu para pejuang dan Partai Kaum 

Pengemis mengusir penjajah dan membasmi 

perberontak di wilayah Kerajaan Medang pada 

lebih dua puluh tahun yang lalu.

Akan tetapi Ginanjar menghilang. Pergi 

sampai lebih dua tahun tak pernah kembali. Sejak 

dia menyuruhnya mencari bahan obat-obatan. Di 

tempat kediamannya ada pula menetap seorang 

gadis bernama Kasmini. Gadis suruhan yang setia 

membantunya selama ini. Namun Kasmini sendiri 

ternyata telah dibawa pergi oleh seorang tokoh 

wanita bernama Nini Kemuning Wangi. Nini


Kemuning Wangi adalah seorang tokoh persilatan 

golongan putih yang masih kakak kandungnya. 

Nini Kemuning Wangi datang menyambangi 

tempat tinggalnya jauh-jauh dari partai utara. Dia 

adalah istri dari seorang saudagar kaya diwilayah 

selat Madura. Ternyata kehidupan kakak 

perempuannya juga tidak bisa dibilang bahagia. 

Karena sang suami seorang yang gemar main 

perempuan. Demikianlah, Nini Kemuning Wangi 

telah berpisah dengan suaminya lantaran tidak 

betah dengan kehidupan yang selalu dalam 

tekanan bathin itu.

Ternyata begitu muncul dia telah menjadi 

seorang nenek-nenek yang berilmu tinggi.

Tadinya wanita kosen itu penuju dengan 

anak gadisnya. Tapi Ronggo Alit merasa 

kehilangan kalau anak gadis satu-satunya itu 

dibawa pergi. Akhirnya dia menyatakan akan 

membawa Kasmini, pembantunya yang setia. 

Kasmini memang seorang gadis yang lincah. Juga 

bertulang baik untuk dapat mempelajari ilmu-ilmu 

kedigjayaan. Akhirnya terpaksa Ronggo Alit tak 

dapat menolak keinginan sang kakak perempuan.

Kini Ronggo Alit cuma tinggal berdua 

dengan anak gadisnya. Itulah sebabnya dia tak 

akan pindah saat itu Ranggaweni masih gadis 

tanggung. Di samping dia masih mengharapkan 

kedatangan Ginanjar, si pemuda asal lereng 

gunung Rogojembangan itu kembali.

Tentu saja tawaran itu ditolak oleh Ki 

Ronggo Alit dengan kata-kata ramah.


Tak dinyana kalau mereka adalah para 

perampok yang bernama Empat Setan Gila dari 

Nusa Kambangan. Melihat kecantikan Ranggaweni 

yang masih gadis tanggung itu membuat mata 

mereka menjadi berbinar-binar menatap. Tentu 

saja sikap mereka yang kurang ajar telah 

membuat Ki Ronggo Alit jadi naik pitam. Empat 

Setan Gila mengekeh tertawa dan serentak turun 

tangan untuk memberesi orang tua itu.

Pertarungan tak seimbang segera terjadi. 

Namun percuma saja perlawanan Ki Ronggo Alit 

yang lebih banyak menekuni perihal obat-obatan 

daripada ilmu kedigjayaan. Laki-laki tua itu tewas 

dengan keadaan mengenaskan. Ranggaweni 

menjerit melihat kematian ayahnya. Namun 

dengan sebat gadis itu ditotok. Tak lama 

kemudian Empat Setan Gila Nusa Kambangan 

telah membedal kuda meninggalkan tempat itu 

dengan membawa harta rampokan dan 

menggondol pergi Ranggaweni.

Di tengah perjalanan mereka berpapasan 

dengan seorang kakek aneh yang selalu tak 

pernah memakai baju. Kecuali selembar celana 

butut yang penuh tambalan. Dialah si Raja 

Pengemis. Orang tua kosen itu berhasil 

menewaskan tiga orang dari Empat Setan Gila 

Nusa Kambangan, dan berhasil merebut 

Ranggaweni dari tangan mereka.

Yang seorang lagi dapat meloloskan diri, 

dengan mengancam akan membuat perhitungan 

kelak pada si Raja Pengemis kelak.


Demlkianlah, hingga sampai lebih dari tiga 

tahun Ranggaweni ikut bersama kakek aneh 

bergelar Raja Pengemis itu yang tak pernah 

mempunyai tempat tinggal tetap. Hingga 

kemudian mereka menetap dilereng tebing yang 

sunyi dan jauh dari keramaian manusia

Seperginya kedua guru dan murid itu 

muncul sesosok tubuh dari balik batu-batu. 

Ternyata Ginanjar adanya. Pemuda ini secara 

kebetulan baru saja merayap naik ke atas tebing. 

Dua hari melakukan perjalanan yang tak tentu 

arah yang dituju telah mengantarkan dirinya tiba 

di tempat ini. Justru tempat inilah yang akan 

merubah kehidupannya kelak.

Tentu saja Ginanjar tak melihat adanya si 

kakek Raja Pengemis di situ karena orangnya telah 

angkat kaki meninggalkan puncak tebing sejak 

sepeminuman teh barusan.

"Uh, letih sekali tubuhku. Baiknya aku 

beristirahat. Tapi kulihat disini tak ada tempat 

meneduh yang baik..." menggumam Ginanjar. 

Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak melihat 

sebutir telur besarnya hampir sebesar nyiru 

(tampah). Benda aneh itu berada di sela-sela batu 

karang yang penuh dengan tumpukan ranting dan 

rumput kering.

"Walah.. !? telur apakah itu? besar sekali! 

Baru seumur hidup ku melihat telur sebesar ini.." 

berkata Ginanjar sambil garuk-garuk kepala. Dia 

berpikir sejenak untuk menduga telur apakah 

yang sebesar itu? Akan tetapi dia tak dapat 

menerkanya. "Ah, peduli dengan telur apapun.


Perutku sudah dua hari tak diisi makanan. Tentu 

telur ini bisa menangsal perutku yang 

keroncongan!" berpikir Ginanjar.

Tak ayal dia sudah melompat untuk 

memeriksa. Lalu coba mengangkat

"Hahaha... cukup berat!" desisnya sambil 

tertawa memeluk telur. Sebuah titik putih 

meluncur pesat di udara. Makin lama makin 

dekat. Ternyata seekor burung Rajawali yang amat 

besar, menukik tajam ke atas tebing itu. Terkejut 

Ginanjar ketika tahu-tahu terdengar suara 

mengiyak santar di atasnya. Dalam terkejutnya dia 

bergulir dari atas telur. Belum lagi dia sadar apa 

yang terjadi, tahu-tahu tubuhnya telah kena di 

cengkeram sepasang cakar yang amat kuat.

Dan .... sekejap tubuhnya telah terangkat 

melayang ke udara.

Membelalak mata pemuda ini mengetahui 

yang menyambar tubuhnya adalah seekor burung 

Rajawali raksasa. "Celaka aku..!? aku dibawa 

terbang!" tersentak Ginanjar dengan terperangah. 

Hempasan angin keras yang datangnya dari 

kepakan sayap burung membuat Ginanjar 

memeluk erat telur itu. Tak terduga justru sang 

Rajawali mencengkeram telur. Sekejap saja 

pemuda itu sudah terbawa membumbung tinggi ke 

udara.

Dua sosok tubuh berkelebatan ke atas 

tebing. Keduanya tak lain dari si Raja Pengemis 

dan muridnya. Tentu saja kedua mata kakek itu 

membelalak melihat sesosok tubuh manusia yang


memeluk erat telur raksasa telah dibawa terbang 

oleh seekor burung Rajawali yang amat besar.

Sekejap sang Rajawali telah melayang jauh, 

dan lenyap dibalik tebing yang menjulang kelangit.

"Kakek…! itukah burung besar yang kau 

ceritakan? Oh dia mencengkeram sesosok tubuh 

manusia…!'' teriak Ranggaweni terperanjat. 

Dengan belalakkan mata di sisi si Raja Pengemis.

"Benar, muridku! Kita terlambat datang. 

Rupanya ada manusia yang mau mencuri telurku. 

Dia dicengkeram burung raksasa itu..." berkata si 

kakek dengan hati masygul.

"Oh, dasar nasibku yang sial dangkalan! 

Lenyaplah sudah "impian" ku untuk memiliki anak 

burung Rajawali itu, dan menangkap induknya!" 

gerutu si Raja Pengemis dengan wajah kecewa.

"Aku yang salah, kakek…! kalau aku tak 

menyuruhmu pulang, tentu kau akan berhasil 

menangkap burung Rajawali itu. Akupun ingin 

sekali memiliki anak burung raksasa itu" tukas 

Ranggaweni dengan menunduk.

"Hehehe... kau tak bersalah apa-apa 

muridku! Cuma nasib kita saja yang sedang sial!". 

Si kakek Raja Pengemis ini tertawa gelak-gelak. 

"Entah siapa manusia yang telah digondol burung 

Rajawali itu… !? '' menggumam si Raja Pengemis.

Keduanya masih menatap ketempat 

lenyapnya burung raksasa itu, hingga beberapa 

saat. Tapi tak lama terdengar suara helaan napas 

si kakek Raja Pengemis. Seraya berkata.

"Sudahlah, muridku! mari kita pulang..."

Gadis ini menganguk. Dan tak lama kedua 

guru dan murid itu telah kembali melesat 

meninggalkan tebing itu. Lalu lenyap tak kelihatan 

lagi.

4

Ginanjar tergantung-gantung di udara

melewati bukit, lembah dan ngarai curam. 

Sementara burung Rajawali itu terus 

membumbung tinggi. Kalau saja Ginanjar tak 

cepat menangkap kaki burung raksasa itu dan 

mencekal erat-erat, tentu tubuhnya sudah 

melayang jatuh ke dalam jurang.

Keringat dingin merembes keluar dari 

sekujur tubuh. "Ah, celaka aku. Mau dibawa 

kemanakah telur ini?" mendesah suara Ginanjar 

dalam ketakutan yang amat sangat. Ketika 

memandang ke bawah semakin ngeri dia karena 

kini dibawanya membentang lautan luas.

Entah beberapa saat dia terapung-apung di 

udara dalam kengerian yang luar biasa. Ketika 

selang beberapa saat burung Rajawali itu terbang 

merendah. Lalu hinggap di atas daratan. Ternyata 

sebuah pulau yang cukup luas. Sebuah pulau 

terpencil di tengah laut.

Burung Rajawali perdengarkan suara 

mengiyak. Lalu melepaskan telur dari


cengkeramannya. Ginanjar telah lebih dulu 

melompat turun. Dan jejakkan kaki di atas pasir.

Akan tetapi sang Rajawali itu perdengarkan 

suara mengiyak tiada henti. Lalu berputar-putar 

mengitari telurnya. Dengan mengepak-ngepakkan 

sayapnya hingga debu dan batu-batu kecil 

beterbangan.

Tiba-tiba sang Rajawali terbang 

mengelilingi Ginanjar.

Tentu saja pemuda ini jadi terperanjat 

ketika tahu-tahu burung raksasa itu telah 

menerjangnya.

"Hah! celaka! dia marah...!" sentak 

Ginanjar. Agaknya sang Rajawali baru sadar kalau 

ada manusia yang terbawa berikut telurnya.

Menghadapi terjangan-terjangan itu 

Ginanjar melompat-lompat menghindar. Hebat 

serangan burung Rajawali ini. Kibasan sayapnya 

menerbitkan hempasan angin keras. Dan 

patukan-patukannya menyerbu dengan ganas. 

Terperangah pemuda ini. Tapi dia tak berhasrat 

untuk balas menyerang, kecuali gunakan 

kegesitan tubuhnya untuk menyelamatkan diri.

Pada saat itulah terdengar suara teriakan 

keras, berkumandang.

"JABUR! hentikan...!" 

Dan sesosok dari atas tebing melayang 

kedua tangan terpentang. Mirip sekali dengan 

gerakan terbang seekor bangau.

Hinggap di atas batu tepat di hadapan 

Ginanjar tanpa timbulkan suara. Kakek ini 

bermuka lancip. Rambutnya agak kecoklatan.


Mengenakan jubah serba putih. Berkumis tipis 

jenggotnya cuma sejumput kecil mejuntai di 

bawah dagu.

Mendengar suara bentakan itu sang 

Rajawali ternyata telah hentikan serangannya, lalu 

terbang kembali mendekati telurnya.

"Haih! anak muda! bagaimana sampai kau 

bisa berada di tempatku ini?" bertanya si kakek, 

menatap Ginanjar dengan sorot mata tajam.

Yang menjawab ternyata si burung 

Rajawali, dengan perdengarkan suara mengiyak 

tiada henti sambil menutupi telur dengan 

paruhnya.

"Diamlah kau Jabur! aku tak bertanya 

padamu!" Tampaknya sang Rajawali itu mengerti 

bahasa manusia. Dia telah hentikan suara 

gaduhnya.

"Si... siapakah kakek?" Ginanjar bertanya 

karena rasa ingin tahu, seusai berikan penuturan 

singkat hingga dia bisa sampai di pulau ini.

"Hm, aku si tua bangka ini dijuluki si RAJA 

SILUMAN BANGAU! Yang menjadi penghuni pulau 

ini!" menyahut si kakek. Sementara sejak tadi dia 

memperhatikan sekujur tubuh pemuda 

dihadapannya dari kepala sampai ke kaki.

"Kau...kaukah si pemilik burung raksasa 

ini?" bertanya lagi Ginanjar.

"Benar!" sahut si kakek. "Siapakah 

namamu sendiri anak muda?" kakek ini ulangi 

pertanyaannya

"Namaku NANJAR ! Aku berasal dari lereng 

gunung Rogojembangan" sahut Ginanjar


perkenalkan diri seraya menjura menekuk lutut. 

Sengaja Ginanjar mempersingkat namanya. Wajah 

si kakek ini tampak berubah. Tiba-tiba lengannya 

mengibas, seraya membentak.

"Bangunlah anak muda! Tak usah banyak 

peradatan!"

Hebat kibasan lengan si Raja Siluman 

Bangau. Karena saat itu juga bersyiur angin keras 

menyambar tubuh Ginanjar. Karena tak 

menyangka kalau akan diserang, Ginanjar jadi 

terperanjat. Dia berusaha mengelak, tapi sudah 

terlambat. 

Tubuh pemuda itu terlempar bergulingan. 

Tapi dengan gerakan reflek dia telah lakukan salto 

dengan gerakan melompat. Hal itu membuat dia 

selamat dari bahaya. Karena nyaris tubuhnya ter-

lempar ke laut.

Dan dia berhasil jejakkan kakinya di atas 

pasir dengan kuda-kuda kuat.

Melotot mata Ginanjar memandang si 

kakek. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak 

lebih cepat. Kejadian tersebut membuat dia 

menjadi gusar, akan tetapi juga tak mengerti 

mengapa tahu-tahu si kakek menyerangnya ?

—00O00—

Akan tetapi belum lagi dia membentak, si 

kakek telah perdengarkan suara tertawa terkekeh-

kekeh.

"Hehehe...hehehe... kau kurang waspada, 

anak muda. Tapi kau punya otak encer, bisa



bertindak cepat merobah keadaan. Siapakah 

gurumu, bocah?"

"Aku murid si Pendekar Bayangan KI BAYU 

SHETA" menyahut Ginanjar.

"Hehehe... sudah kuduga. Bukankah 

gerakan melompat yang kau lakukan barusan 

adalah gerakan Elang Bayangan?"

Melengak pemuda ini mendengar kata-kata 

si kakek yang mengetahui gerakannya.

"Benar! dari mana kakek bisa mengetahui?" 

Diam-diam Ginanjar membathin dalam hati. 

"Kakek tua ini pasti ada hubungan dengan guruku 

almarhum. Hm, aku harus hati-hati dengan si 

kakek ini. Apakah dia lawan atau kawan?"

Raja SHuman Bangau kembali 

perdengarkan suara tertawanya, seraya berkata. 

"Apakah gurumu tak pernah menyebut-nyebut 

tentang aku?"

Ginanjar kerutkan keningnya, mengingat-

ngingat.

"Rasanya tidak pernah! Ada hubungan 

apakah kau orang tua dengan guruku almarhum?" 

tanya Ginanjar.

Pertanyaan itu justru membuat si Raja 

Siluman Bangau jadi melompat kaget.

"Hah? apa katamu? Dia sudah mampus?" 

bentaknya bertanya.

"Benar. Beliau tewas dalam satu 

pertarungan secara jujur dengan si DEWA 

TENGKORAK!" sahut Ginanjar menegaskan.

"Dewa Tengkorak?" lagi-lagi si Raja 

Siluman Bangau membelalak kaget. "Haiiih!


sungguh tak dinyana. Apakah kau yakin 

pertarungan itu berjalan dengan jujur? Setahuku 

si Dewa Tengkorak adalah seorang pembunuh 

bayaran berdarah dingin!" berkata Raja Siluman 

Bangau.

"Aku sendiri kurang mengetahui. Karena si 

pembawa berita itu adalah orang lain. Yaitu orang 

yang masih terhitung saudara seperguruanku"

"Siapakah dia itu?" tanya Raja Siluman 

Bangau.

"Dia Roro Centil yang dijuluki orang si Pen-

dekar Wanita Pantai Selatan!" sahut Ginanjar. 

"Cuma dia seoranglah yang mengetahui pertarung-

an itu, yang disaksikannya di Bukit Kera pada 

lebih dari tiga tahun yang laiu" sambung Ginanjar.

Sejenak Raja Siluman Bangau tercenung 

sambil mengelus jenggotnya yang cuma sejumput.

"Haiiih! lebih dari sepuluh tahun aku 

berdiam di pulau ini, sampai-sampai aku tak tahu 

keadaan diluaran!" terdengar dia berkata setelah 

didahului dengan menghela napas panjang.

"Kakek! kau belum jawab pertanyaanku?" 

tiba-tiba Ginanjar menyambar bicara. 

"Hm, apakah kau akan menanyakan 

hubunganku dengan gurumu?" berkata dia 

dengan tersenyum.

"Ya, begitulah. Karena dari situ aku bisa 

mengetahui kau orang tua lawan atau kawan?" 

ujar Ginanjar dengan jujur. Mendengar kata-kata 

itu si kakek tertawa lagi terkekeh-kekeh, hingga 

sampai-sampai air matanya bercucuran.


"Hehehehe... dibilang lawan, aku adalah 

lawan. Tapi dibilang kawan aku adalah kawan. 

Kau anak muda berjodoh denganku hingga kau 

sampai ketempat ini! Mengenai hubunganku 

dengan si Bayu Sheta akan kuceritakan nanti, 

setelah kau berhasil melewati ujian penentuan 

dariku!"

"Apa maksudmu sebenarnya, kakek tua?" 

berkata Ginanjar kesal.

"Hehehe...nasibmu tergantung dari kau 

sendiri. Karena kau telah berada di pulau ini. 

Yaitu kau harus dapat menghadapi 100 jurus 

seranganku. Bila kau mampu bertahan, kau 

selamat dari kematian. Akan tetapi bila kau tak 

mampu, yah! apa boleh buat terpaksa kau cuma 

tinggal nama saja di dunia ini!" berkata Raja 

Siluman Bangau.

"Gila!!" teriak Ginanjar dengan mata 

melotot.

"Hehehe.. aku yang punya pulau ini, tentu 

saja aku bebas membuat peraturan-peraturan 

gila!" jawab si kakek seenaknya.



5

Saat itu si burung rajawali bernama 

JABUR tiba-tiba perdengarkan suara mengiyak 

tiada henti, seraya melayang diudara berputar-

putar diatas mereka. Raja Siluman Bangau 

kerutkan keningnya, hingga alisnya bergerak 

menyatu. Tiba-tiba dia membentak keras.

"Jabur! kau kembalilah kesarangmu: Ingat! 

Kau tak boleh kemana-mana! Kau eramilah 

telurmu sampai menetas. Kalau kau masih 

membandel aku akan menghajarmu, biar kau 

tahu rasa!"

Burung Rajawali raksasa itu mengiyak 

pelahan.

Tubuhnya menukik melayang turun, lalu 

menyambar telurnya. Sekejap dia sudah terbang 

lagi untuk menuju ke puncak bukit tertinggi 

dipulau itu.

"Hehehe... tak lama lagi kita akan 

kedatangan tetamu. Aku sudah siap menanti!" 

berkata si kakek dengan menatap pada Ginanjar. 

"Dan kau anak muda. Nasib penentuan hidup 

matimu adalah hari ini!" sambungnya.

Ginanjar menatap pada si kakek dengan 

tak mengerti. Akan tetapi saat itu telinganya telah 

mendengar suara-suara aneh yang berdatangan 

dari beberapa arah di sekeliling pulau itu.

"Suara apa pula itu?" sentak Ginanjar 

berdesis. Diam-diam keringat dingin telah


membasahi sekujur tubuhnya. Suara-suara aneh 

yang tertangkap di telinga Ginanjar adalah seperti 

suara harimau, kera, ular, dan entah suara 

binatang apalagi. Suara itu semakin lama semakin 

santar, membuat hati Ginanjar semakin kebat 

kebit.

"Oh, apakah nasibku harus mati dipulau 

ini?" sentak Ginanjar berdesis, seraya berpaling ke 

beberapa arah dengan wajah pucat. "Makhluk-

makhluk siluman apalagi yang bakal muncul, 

yang menjadi tetamu si Raja Siluman Bangau ini?" 

berkata Ginanjar dalam hati.

Terperangah Ginanjar ketika mengetahui 

yang muncul adalah empat orang kakek tua renta 

yang bertampang aneh-aneh.

"Bagus! bagus! ternyata kalian muncul 

tepat pada waktunya, sobat-sobat yang gagah 

perkasa!?" Raja Siluman Bangau telah menyambut 

kedatangan mereka ini dengan melompat keatas 

batu besar. Lalu perdengarkan suara tertawa 

terkekeh-kekeh.

"Hihoho.. kita masih belum komplit!" 

menyambar bicara seorang kakek bermuka hitam. 

Kakek muka hitam ini mencekal sebuah tongkat 

berkepala ular. "Aku tak melihat adanya si Raja 

Siluman Naga! kecuali seorang bocah ingusan 

didepanmu! Siapakah dia, sobat Raja Siluman 

Bangau?"

"Benar, sobat Raja Siluman Ular! agaknya 

dia enggan datang untuk memperebutkan gelar 

KETUA Raja-raja Gila dipulauku ini!" menyahut 

Raja Siluman Bangau dengan tersenyum. "Bocah


muda dihadapanku ini adalah seorang bocah yang 

kesasar ke pulauku. Menurut katanya dia 

bernama NANJAR. Dia murid si Pendekar 

Bayangan Ki Bayu Sheta dari lereng gunung 

Rogojembangan!" jelaskan Raja Siluman Bangau.

"He, anak muda. Apakah kau belum 

mengenal mereka ini tetamu-tetamuku yang 

terhormat? Mereka adalah si Raja Siluman Kera, 

Raja Siluman Biawak, Raja Siluman Harimau dan 

yang barusan bicara adalah si Raja Siluman Ular!" 

berkata sikakek menatap pada Ginanjar, seraya 

menunjuk pada orang-orang yang disebutkannya.

"Apa yang kau mau lakukan pada bocah 

kesasar ini?" bertanya Raja Siluman Kera seraya 

melompat ke depan Ginanjar. Matanya membulat 

memandang pemuda itu mengitarinya seperti 

tengah menaksir barang.

"Heh heh heh ... tampaknya seorang 

pemuda bertulang baik. Nguk!... nguk!.. nguk! Dan 

pantas kalau dia murid si Bayu Sheta!" Tingkah si 

Raja Siluman Kera ini memang benar-benar mirip 

kera. Hingga hati Ginanjar semakin kebat-kebit 

tanpa bisa bicara apa-apa.

"Ya! ya grrrr.....dia bocah yang bertulang 

baik sempurna! Bagaimana sampai dia bisa ke 

sasar ke pulaumu, Raja Siluman Bangau?" 

berkata Raja Siluman Harimau seraya melompat. 

Kakek ini lebih aneh lagi. Dia mengendus-endus 

sekujur tubuh Ginanjar dengan menggereng bagai 

harimau.

Keringat dingin semakin mengembun 

ditengkuk Ginanjar. Sementara si Raja Siluman


Biawak cuma memilin-milin kumisnya tak 

beranjak dari tempat dia berdiri. Tapi dia ikut 

buka suara.

"Benar, Sobat Raja Siluman Bangau. 

Ceritakanlah bagaimana sampai bocah ini datang 

ke pulaumu. Dan yang ingin kutahu adalah akan 

kau apakan bocah ini setelah berada 

ditempatmu?"

Raja Siluman Bangau segera tuturkan 

prihal pemuda itu secara singkat.

"Hehehehe... seperti tadi telah kukatakan 

pada pemuda ini, penentuan mati hidupnya 

adalah pada hari ini. Kalau dia mampu 

menghadapi seranganku selama 100 jurus, maka 

dia boleh menetap di pulauku, dan terhindar dari 

kematian! Tapi bila dia ternyata tak mampu, maka 

kematianlah yang akan dihadapinya!" berkata Raja 

Siluman Bangau dengan tegas. Keempat kakek itu 

jadi manggut-manggut menatap Ginanjar seolah 

menaksir apakah bocah muda itu mampu 

menghadapi si Raja Siluman Bangau sampai 100 

jurus?.

"Lalu apakah kau akan undurkan puncak 

acara kita?" berkata Raja Siluman Kera dengan 

garuk-garuk kepala.

"Hehehe ... tentu saja! setelah selesai 

urusanku dengan pemuda ini, kita akan memulai 

adu kesaktian untuk mendapatkan gelar KETUA 

dari Raja-Raja gila diantara kita!"

"Baik! aku si Raja Siluman Kera menerima 

usul-mu! Tapi bagaimana akan syah gelar Ketua,


kalau si Raja Siluman Naga tidak muncul?" 

sambar Raja Siluman Ular.

"Orang terakhir yang menang akan 

berhadapan dengan Raja Siluman Naga! Dan hal 

itu dapat dilakukan kapan saja!" berkata Raja 

Siluman Bangau. Semua kakek itu menjadi 

manggut-manggut.

"Nah! kalian harap menyingkir dulu. Aku 

akan selesaikan urusanku dengan anak muda ini!" 

berkata lagl si kakek.

"Baik! baik!" seraya menyahut, Raja 

Siluman Kera telah melompat mendahului untuk 

menyingkir ke sisi. Segera saja yang lain 

mengikuti.

"Hehehe hahaha ... kita akan menonton 

pertarungan seru yang jarang terjadi!" berkata 

Raja Siluman Harimau sambil mengaum, lalu 

melompat keatas batang kayu rebah. Disana dia 

duduk mendekam dengan mulut menyeringai.

"Baik! aku akan hadapi kau Raja Siluman 

Bangau. Tak usah sampai 100 jurus, sampai 1000 

juruspun tetap akan aku layani!" tiba-tiba Nanjar 

telah berteriak lantang, hingga suaranya 

berkumandang di tempat yang lengang itu. Tentu 

saja kelima orang kosen yang aneh itu jadi 

melengak. Terlebih-lebih si Raja Siluman Bangau. 

Sepasang matanya jadi mendelik menatap pemuda 

itu.

"Bocah edan! Belum sampai sepuluh 

juruspun aku kira kau sudah mampus. Apakah 

otakmu telah miring menantangku demikian 

rupa?" bentak si Raja Siluman Bangau.


Akan tetapi kata-kata Nanjar justru 

mendapat sambutan hangat dari keempat "Raja" 

itu.

"Hehehe .... hoho____nguk! nguk! Bagus 

sekali. Aku mendukungmu, bocah lereng 

Rogojembangan! Aku yakin kau pasti menang!" 

teriak si Raja Siluman Kera dengan melompat-

lompat.

"Walah! Ini pertandingan seru! aku pegang 

sibocah edan ini!" teriak pula si Raja Siluman 

Harimau dengan menggeram.

"Kek ... kek .... kek____aku tak akan 

bertaruh sama denganmu"

—00O00—

"Bocah ini berani sesumbar tentu punya 

ilmu tinggi. Bukankah dia murid di Pendekar 

Bayangan yang namanya harum diseantero Pulau 

Jawa?" berkata si Raja Siluman Biawak.

Tapi walaupun demikian ternyata masing-

masing keempat kakek itu punya jalan pikiran 

sendiri-sendiri. Ternyata keempatnya diam-diam 

amat menyenangi pada pemuda bernama Nanjar 

itu.

Langit cerah tak berawan. Semilir angin 

laut menerpa jubah si Raja Siluman Bangau, yang 

menatap tajam anak muda dihadapannya: Tiba-

tiba kakek ini perdengarkan suara aneh mirip 

suara bangau. Tubuhnya melesat keudara setinggi 

10 tombak. Hebat gerakan kakek ini, karena 

selanjutnya tubuhnya seperti bisa terbang.


Melayang diudara mengitari Nanjar yang berdiri 

gagah dengan kuda-kuda yang kokoh. Siap 

menghadapi segala kemungkinan.

Apakah yang membuat Nanjar nekat 

sesumbar? Ternyata semua itu adalah 

berdasarkan dukungan keempat kakek.

6

Nanjar sendiri berpendapat tak akan 

mampu menghadapi Raja Siluman Bangau. Tapi 

entah mengapa dia merasa yakin kalau keempat 

kakek pendukungnya itu pasti akan menolongnya 

bila dia dalam keadaan terdesak, Hal itulah yang 

membuat dia menjadi nekat! Disamping diam-

diam dia amat terkejut karena telah berjumpa 

dengan orang-orang kosen yang baru didengar 

namanya di pulau itu.

Raja Siluman Bangau menerjang dengan 

hebat. Sepasang lengannya bagai patuk bangau 

saja layaknya telah meluncur deras mematuk. 

Patukan itu menimbulkan hawa panas yang 

menerjang terlebih dulu. Nanjar tersentak kaget, 

Barusan dia terperangah melihat tubuh si Raja 

Siluman Bangau yang dapat 'terbang" 

memutarinya. Tahu-tahu kini diserang secara 

mendadak. Namun detik itu dia telah melompat


menghindar. Tak dinyana gerakan si Raja Siluman 

Bangau tidak sampai disitu saja. Kakinya menotol 

tanah. Dan tubuhnya kakek itu kembali 

melambung dan terbang mengejarnya. Patukan-

patukan ganas kembali bertubi-tubl 

menerjangnya.

Pemuda ini kertak gigi. Dalam keadaan 

demikian Nanjar benar-benar memeras otak untuk 

dapat bertahan atau menghindar serangan, 

Kembali dia berkelebatan melompat menghindar 

dari terjangan ganas itu. Hal demikian berlanjut 

terus sampai sepuluh jurus. Dan Nanjar selalu 

dapat menghindari serangan. Keempat kakek itu 

ternyata mempunyai tingkah macam-macam. Ada 

yang berteriak "Bagus ... !" sambil berjingkrak. Ada 

yang bertepuk tangan sambil berteriak-teriak. 

"Lompat ke kiri, buang tubuh ke belakang! 

Merangkak sambil nungging ! Hahaha ... heheh 

...bagus!" Yang berteriak-teriak ini tak lain dari si 

Raja Siluman Kera.

Saat tadi sebenarnya Nanjar telah terdesak. 

Tapi mendengar "aba-aba" si Raja Siluman Kera, 

tanpa disadari dia menuruti.

Disamping heran juga girang hati Nanjar, 

karena dia berhasil menghindari serangan 

patukan-patukan ganas barusan. Tentu saja 

teriakan-teriakan si Raja Siluman Kera membuat 

si Raja Siluman Bangau jadi mendelikan mata. 

Diam-diam dalam hati dia memaki.

"Keparat, kunyuk tua itu. Mengapa dia 

mengajari si bocah muda ini?" Desisnya kesal.


"Jaga serangan!" tiba-tiba si Raja Siluman 

Bangau membentak. Kali ini dia merubah 

serangan yang lain dari serangan sepuluh jurus 

tadi. Lengannya tidak saja mematuk, tapi juga 

mengibas. Kibasan lengan jubahnya menimbulkan 

angin santar yang menerjang Nanjar. Tapi bukan 

angin biasa. Melainkan angin yang berhawa 

panas. Angin panas menderu menerjang pemuda 

itu. Gerakan si Raja Siluman Bangau kali ini 

membuat Nanjar kembali terpukau. Karena belum 

lagi serangan tiba, tubuh kakek itu telah lenyap 

entah kemana. Tahu-tahu datang lagi angin panas 

dari arah lain yang saling susul menerjang kearah 

Nanjar. Kiri, kanan muka belakang seperti telah 

dibentengi oleh terpaan angin panas yang 

menghalangi jalan untuk melompat.

Dalam keadaan terdesak itu, Ginanjar 

cuma bisa pejamkan mata. Tapi tiba-tiba 

terdengar suara bentakan mendesing ditelinganya. 

"Lompat keatas, bocah gendeng! apa kau mau 

mampus?" Berbareng dengan membuka kelopak 

matanya Najar telah turuti bentakan bernada 

perintah itu.

Terasa angin panas bersiutan dibawah 

kakinya. Saat itu terdengar suara bentakan si Raja 

Siluman Bangau.

"Bagus!" Dan tiba-tiba saja manusianya 

telah berada diudara tepat dihadapannya. 

''Terimalah kematianmu, bocah muda!" Dibarengi 

bentakan patukan ganas menyambar leher 

pemuda itu.


Empat butir batu kerikil meluncur pesat ke 

arah si Raja Siluman Bangau. Terkejut bukan 

main kakek ini. Kalau dia teruskan serangan 

untuk merenggut jiwa bocah muda itu, mungkin 

dia sendiri akan mengalami hal yang sama dengan 

nasib pemuda itu. Karena empat butir batu kerikil 

itu justru tengah mengancam jiwanya.

Raja Siluman Bangau cepat ambll 

keputusan. Dia batalkan serangan dengan segera. 

Kedua lengannya digunakan untuk menyampok 

mental empat batu kerikil itu dengan kibasan 

lengan. Tubuhnya sendiri berjumpalitan diudara 

dengan gerakan cepat. Dilain saat dia sudah dapat 

menyelamatkan diri dari serangan empat batu ke-

rikil yang mengandung maut, dan dikejap lain dia 

sudah jejakkan kaki kembali ke tanah.

"Setan bangkotan! mengapa kalian 

merecoki urusanku?" bentak si Raja Siluman 

Bangau dengan mata melotot. Akan tetapi 

bentakannya disambut dengan suara tertawa 

terkekeh-kekeh.

"Hehehe ... hehe... kami terpaksa 

merecokimu, tua bangka Raja Siluman Bangau. 

Karena kami tak ingin kau membunuh bocah 

muda itu." berkata Raja Siluman Ular dengan 

mendesis.

"Benar apa yang dikatakan sobat kami itu. 

Akupun menyayangi kalau dia terbunuh!" 

menimpali si Raja Siluman Biawak.

"Nguk! ...Nguk! ... betul, sobat Raja 

Siluman Bangau. Kukira sebaiknya dia diambil 

murid. Dan orang pertama yang akan mengambil


murid adalah aku sendiri" Raja Siluman Kera ikut 

bicara dengan melompat-lompat dan garuk-garuk 

kepala dengan cengar cengir.

"Aku setuju! aku setuju! Grrr... 

haummmmm!" sahut si Raja Siluman Harimau 

sambil menggeram menyerlngai. Mendengar kata-

kata semua "Raja" itu, Raja Siluman Bangau jadi 

plototkan matanya kian melebar. 

"Baik! baik!'' berkata kakek ini dengan 

mendongkol.

"Kalau begitu terserah dengan keputusan 

kalian. Tetapi dengan persyaratan, bocah itu kelak 

menjadi wakil kalian untuk menghadapiku pada 

pertarungan perebutan gelar KETUA Raja-Raja 

Gila yang akan diundur lagi. Masa pengunduran 

itu cuma sebatas dua tahun. Jadi bulan satu dua 

tahun dimuka kalian tak berhak apa-apa lagi atau 

ikut campur urusan pertarungan! 

Bagaimanakah?" ujar Raja Siluman Kera dengan 

suara lantang.

Sejenak tampak ke empat kakek sating 

pandang dengan kawannya. Lalu bisik-bisik 

berunding. Tak lama mereka telah punya 

keputusan Raja Siluman Keralah yang buka 

suara.

"Kami semua telah sepakat untuk 

menyetujui usulmu, sobat Raja Siluman Bangau. 

Akan tetapi juga dengan persyaratan, kau tak 

akan mengganggu kami selama satu tahun ini 

kami akan berdiam dipulaumu!"

"Jangan khawatir! Selama kalian bersifat 

ksatria dan tak merusak pulau, silahkan kalian


berdiam di tempatku!" Selesai berkata Raja 

Siluman Bangau melompat setinggi sepuluh 

tombak. Dan tubuhnya berjumpalitan di udara. 

Kejap berikutnya bagaikan burung bangau yang 

bentangkan sayapnya Raja Siluman Bangau telah 

melayang ke atas bukit. Selanjutnya lenyap tak 

kelihatan lagi. Pulau itu memang luas, dan di 

daratan pulau ada terdapat tiga buah bukit yang 

penuh dengan semak belukar.

Adapun Nanjar yang sejak tadi berdiam diri 

mendengarkan pembicaraan, jadi tersentak girang 

bukan alang kepaiang. Nasibnya ternyata amat 

beruntung dapat berjumpa dengan keempat kakek 

aneh itu. Tak ayal dia telah melompat kehadapan 

mereka seraya menekuk lutut.

"GURU...! murid menghaturkan sembah, 

dan mengucapkan terima kasih atas kerelaan hati 

kalian mengangkatku menjadi muridmu!" berkata 

Nanjar dengan suara tergetar lantang, karena 

luapan kegembiraannya.

Keempat kakek itu saling pandang sesama 

kawan. Tiba-tiba sama-sama perdengarkan suara 

tertawa gelak-geflak. Hingga ramailah kesenyapan 

di pulau itu oleh suara tertawa terkekeh-kekeh 

yang ditimpali dengan suara-suara aneh yang 

mirip suara ular, kera, harimau dan Biawak yang 

mendesis-desis.

"Bangunlah, muridku! Mulai hari ini kau 

adalah murid si Empat Raja Gila. Dan hari ini pula 

kau telah resmi menjadi murid kami!" berkata 

Raja Siluman Kera dengan menyeringai dan 

melompat-lompat.


"Hohoho ... grrrr! betul, bocah! Nasibmu 

beruntung. Memang aku telah berniat mengangkat 

seorang murid. Grrr.....haummmmmmmm! Nah! 

sebagai seorang murid kau harus mentaati setiap 

perintah gurunya. Untuk resminya kau menjadi 

muridku, kau harus mencium dan menjilat 

pantatku! Hayo segera kau Iakukan!" berkata Raja 

Siluman Harimau dengan menyeringai.

"HAH ... ? mencium dan menjilat pantat gu 

... guru?" terperangah Nanjar dengan mata 

membelalak.

"Betul. Hayo cepat Iakukan!" teriak Raja Si-

luman Harimau dengan serta merta membuka 

celananya. Lalu membelakangi pemuda itu sambil 

menunggingkan pantatnya.

7

Seumur hidupnya Nanjar baru mengalami 

hal itu. Tentu saja membuat wajah pemuda ini 

menjadi merah jengah memandang ke arah pantat 

bugil si kakek Raja Siluman Harimau yang 

menungging di hadapannya.

Nanjar agaknya sudah kepalang untuk 

mau melakukan apa saja, asal dia bisa belajar 

ilmu pada keempat kakek edan itu. Tiba-tiba dia 

telah berkata. "Baik, guru... !" Seraya maju


melangkahkan kaki, Nanjar siap mencium dan 

menjilat pantat sikakek yang keriput itu.

Tapi tiba-tiba..."Raja Siluman Harimau tua 

bangka! Hari ini bukan giliranmu memberi perin-

tah!"

WHUUKK... ! Nguk! nguk! ... singkirkan 

pantatmu, kakek peot!" Yang berteriak adalah si 

Raja Siluman Kera. Dan berbareng dengan kata-

kata hentakannya, mendadak tangan si Raja 

Siluman Kera mulur menjadi panjang. Whuttt!

Nyaris saja pantat si Raja Siluman 

Harimau kena cengkeraman tangan si Raja 

Siluman Kera, kalau dia tak segera elakkan diri 

dengan melompat.

"Grrr!" menggeram Raja Siluman Harimau, 

hingga jenggotnya yang lebat itu bergerak dan 

bergoyang-goyang. Namun dia tidak marah dengan 

sikap si Raja Siluman Kera, selain buru-buru 

ikatkan lagi tali kolornya, dengan bersungut-

sungut.

Sementara kedua kakek Raja Siluman Ular 

dan Raja Siluman Biawak tertawa terkekeh-kekeh.

"Hahaha..... hehehe ...hari ini adalah 

giliran si Raja Siluman Kera yang berhak memberi 

perintah, sobatku! Kau harus bersabar menunggu 

giliran!" berkata Raja Siluman Biawak dengan 

tergelak-gelak dan leletkan lidahnya.

"Hmmm baik!" menyahut Raja Siluman 

Harimau. "lalu kapankah giliranku? Sebaiknya 

ditentukan sekarang, siapa-siapa yang menjadi 

giliran setelah si Raja Siluman Kera...!" berkata 

kakek Jembros ini dengan menggeram.


"Ya, ya! itu usul yang bagus. Sebaiknya 

diadakan undian untuk menentukan siapa giliran 

selanjutnya!" berkata Raja Siluman Ular.

Demikianlah! sedikit kericuhan terjadi 

diantara keempat kakek dari Raja-Raja Gila itu. 

Akan tetapi setelah diadakan undian, merekapun 

mendapat masing-masing giliran, juga ditentukan 

waktu lamanya menggembleng pemuda itu. Yaitu 

masing-masing selama enam bulan.

Tak ada rasa gembira yang dialami Nanjar 

selain pada waktu itu. Nanjar merasa nasibnya 

amat beruntung dapat tiba di pulau itu, dan 

berjumpa dengan para Raja aneh yang bakal 

menjadi gurunya. Dengan demikian dia akan 

berhasil menjadi seorang tokoh persilatan yang 

kelak mempunyai nama besar di dunia persilatan. 

Selain itu pula dia dapat membalaskan 

dendamnya pada si pembunuh gurunya Ki 

Dharma Tungga. Walau dia belum berterus terang 

bahwa dia pernah menjadi murid Ki Dharma 

Tungga yang menjadi Ketua kaum Rimba Hijau 

golongan putih itu.

Dan hari itu juga. Nanjar sudah siap 

menerima petunjuk dan perintah apapun dari Raja 

Siluman Kera untuk mempelajari ilmu- ilmu yang 

bakal diturunkan si kakek aneh mirip kera itu 

padanya. Tiga kakek berkelebatan pergi untuk 

masing-masing mengundurkan diri sambil 

menunggu tibanya waktu giliran mereka masing-

masing.

Kemauan keras serta tekad yang bagaikan 

baja untuk mengeruk ilmu-ilmu kedigjayaan dari


Empat Rajat Gila, membuat Nanjar menjadi orang 

yang cerdas otaknya. Setiap pelajaran dari Raja 

Siluman Kera cepat sekali diserapnya. Dan dalam 

waktu enam bulan, dia sudah menguasai ilmu 

silat Kera. Tentu saja si Raja Siluman Kera amat 

berbesar hati, dan memuji kecerdasan otak 

Nanjar. Hingga dihari terakhir sikakek mirip kera 

itu berkata padanya.

"Nanjar, muridku. Hari ini adalah hari 

terakhir kau berguru padaku. Tiga pukulan sakti 

yang telah berhasil kau pelajari tak boleh kau 

gunakan jika tidak menghadapi musuh yang 

ilmunya melebihi di atas tingkat kepandaianmu.

Selain itu kau harus menjaga nama baikku, 

dengan menjunjung tinggi kebenaran dalam setiap 

tindakan. Setelah ini kau segera akan mempelajari 

jurus-jurus ilmu silat ular dari sobatku si Raja 

Siluman Ular!"

"Terima kasih, guru. Murid akan mentaati 

apa-apa yang menjadi pesan dan wejangan guru. 

Hamba telah siap untuk mempelajari ilmu silat 

ular!" sahut Nanjar dengan menunduk hormat 

dihadapan gurunya.

"Bagus! nguk! nguk! nguk! hehehe... nah! 

aku segera akan pergi sementara dari sini, sampai 

kelak datang hari pertarungan perebutan gelar 

KETUA Raja-Raja Gila!" Selesai berkata si kakek 

mirip kera itu melompat ke atas dahan pohon. 

Dan lenyap dalam sekejap mata.

"Ah, guru...! betapa besar budimu 

menggembleng aku di pulau ini. Walaupun 

waktunya amat singkat, tapi serasa aku tak dapat


berpisah denganmu... " berkata Nanjar 

menggumam sendiri. Saat yang dinanti nanti 

Nanjarpun tiba, dengan datangnya Raja Siluman 

Ular yang menjadi giliran kedua. Nanjar menjura 

hormat dihadapan kakek kurus tinggi itu seraya 

berkata.

"Guru! aku telah siap untuk menerima 

petunjukmu!"

Tertawa menyeringai si Raja Siluman Ular. 

Tongkatnya tiba-tiba meluncur ke arah batok 

kepala pemuda itu... Gerakan menghantam itu 

adalah di luar dugaan Nanjar. Akan tetapi 

sambaran angin halus terasa meniup ubun-ubun 

kepalanya. Membuat dia cepat tersadar akan 

ancaman bahaya maut.

Seraya berteriak. "Nguk! nguk! nguk!" 

Nanjar telah lompat menghindar. Gerakan 

melompatnya justru lebih cepat dari sambaran 

tongkat si Raja Siluman Ular. Bahkan tahu-tahu 

dia sudah menggelinding ke belakang si Raja 

Siluman Ular. Mendengus kakek ini. Tiba-tiba... 

Hsss! hssss! hssss! Tiga sambaran beruntun 

menyerangnya. Itulah jurus yang sangat 

berbahaya. Tongkat ular si kakek bagaikan 

bermata delapan, dapat melihat kemana arah 

tubuh Nanjar melompat dan menggelinding. 

Terkesiap Nanjar melihat tiga serangan beruntun. 

Namun lagi-lagi dia berhasil loloskan diri dari 

maut, dengan bergerak lincah menghindari 

serangan.

Serangan-serangan selanjutnya 

berdatangan silih berganti. Nampaknya Nanjar


telah menguasai ilmu melompat yang mahir. 

Gerakan-gerakan melompat dari jurus-jurus kera 

hasil yang dipelajari dari si Raja Siluman Kera 

langsung digunakan.

Kira-kira sepuluh jurus, si kakek Raja 

Siluman Ular hentikan serangannya.

"Bagus! kau telah mirip dengan si Raja 

Siluman Kera, bocah! Cukuplah untuk 

pembukaan pertama ini aku mengujimu!" berkata 

kakek ini.

"Hahaha...kukira guru mau 

membunuhku!?" berkata Nanjar sambil cengar-

cengir dan garuk-garuk kepala tidak gatal. Lalu 

berjingkrakan sambil melompat-lompat. Kelakuan 

Raja Siluman Kera itu ternyata benar-benar telah 

diwarisi pemuda itu.

"Hahaha... hehehe... mari kau ikuti aku, 

bocah!" berkata Raja Siluman ular, seraya melom-

pat ke atas dahan pohon kelapa. Lalu dengan 

gerakan gesit menggelosor hingga sampai ke 

puncak pohon. Gerakan tak ubahnya bagaikan 

gerakan ular.

Nanjar terperangah melihat. Dia langsung 

melompat untuk menyusul. Tentu saja dia 

gunakan cara gerakan kera untuk memanjat 

batang pohon kelapa itu. Akan tetapi terbelalak 

mata Nanjar karena batang pohon itu mendadak 

roboh. Justru disaat dia sudah berada di atas 

batang yang paling puncak. Dilihatnya si Raja 

Siluman Ular tak kelihatan duduk di pelepah daun 

seperti tadi dilihatnya.


"Wuuaaa. !? teriak Nanjar, ketika tubuhnya 

meluncur dengan punggung terlebih dulu berikut 

batang pohon yang dipeluknya.

Nanjar cuma merasa tengkuknya disambar 

orang. Selanjutnya dia sudah jejakkan kaki di 

tanah dengan perlahan. Ketika itu pandangan 

matanya tertuju pada batang pohon kelapa yang 

baru saja ambruk ke tanah dengan batang yang 

hancur dan kulit pohon yang mengelupas.

Ketika dia menoleh kebelakang, yang 

tampak adalah si Raja Siluman Ular yang tertawa 

mendesis terkekeh-kekeh. "Hsssy... heh heh heh 

...nyaris kau tertimpa batang pohon kelapa itu, 

bocah! Kalau kau gunakan jurus Ular Meliuk 

Menampar Mega, tentu kau akan dapat 

selamatkan diri dengan mudah!" berkata kakek 

itu.

Membelalak mata pemuda itu. Serta-merta 

dia sudah jatuhkan diri bertutut di hadapan si 

Raja Siluman Ular.

"Guru.. .! oh, ajarilah aku jurus ilmu yang 

hebat itu!" berkata Nanjar dengan suara lirih 

penuh harap.

"Hsssy....hehehe...tentu! tentu, bocah 

muridku!" ujar kakek ini dengan tersenyum. Mari! 

kita berlatih di bukit sebelah barat itu!" katanya 

lagi seraya mengangkat bangun Nanjar. 

Berkelebatanlah dua sosok tubuh ke arah bukit 

yang berada di sisi pantai itu, diiringi suara 

tertawa si Raja Siluman Ular yang semakin samar. 

Sesaat dua sosok tubuh itu pun lenyap di balik 

tebing.........................


8

WAKTU berlalu bagaikan anak 

panah....masa dua tahun itupun berlalu sudah. 

Matahari hari itu bersinar terik. Menyinari air laut 

yang menggelombang, menimbulkan pantulan 

cahaya yang menyilaukan mata.

Sebuah perahu sampan tampak meluncur 

pesat ketengah laut. Seorang laki-laki bertudung 

gunakan dayungnya membantu mengayuh, hingga 

perahu kecil itu bagaikan melayang saja di atas 

air. Meluncur dengan pesat membelah gelombang.

Di ujung perahu tampak duduk seorang 

gadis berpakaian laki-laki. Gadis itu tak 

mengenakan tudung. Rambutnya dikepang dua. 

Menatap ke depan ke arah cakrawala. Hempasan 

badan perahu yang melambung-lambung itu tak 

membuatnya merasa takut. Bahkan dengan wajah 

berseri, sebentar-sebentar dia tertawa.

Siapakah gerangan kedua orang itu? 

Ternyata mereka tak lain dari si Raja Pengemis 

dan muridnya yang bernama Ranggaweni. Akan ke 

manakah tujuannya kedua orang guru dan murid 

ini? Marilah kita ikuti pembicaraannya.

"Kakek! di depan tak ada tanda-tanda 

adanya sebuah pulau. Bagaimana mungkin kau 

terus mendayung tanpa belokkan arah. Apakah 

kau tak salah arah?" bertanya gadis itu.


"Heheheh...anak manis! aku tak salah 

arah. Kau perhatikan saja, tak lama lagi di 

depanmu akan tersembul sebuah pulau!" sahut 

sikakek dengan tertawa mengekeh. Lengannya tak 

berhenti mengayuh.

"Lho? aneh! apakah pulau itu bisa timbul 

dari dalam laut?" bertanya lagi gadis itu.

"Anak manis! tahukah kau bahwa dunia ini 

bulat?" tanya sikakek. Gadis itu menggeleng.

"Kalau percaya atau tidak kalau dunia ini 

bulat?" tanya lagi si Raja Pengemis.

"Aku percaya kalau kau telah 

membuktikam" menyahut si gadis.

"Haih! Ranggaweni... Ranggaweni! Nah, 

tatapkan matamu ke depan. Nanti akan tersembul 

sebuah pulau. Pulau itu bukan muncul dari dasar 

laut, akan tetapi memang tak kelihatan oleh kita. 

Karena dunia ini bulat. Seandainya rata, tentu 

akan terlihat oleh kita walaupun berada jauh 

sekali!" Raja Pengemis berikan penuturan pada 

muridnya. Gadis itu tak memberi jawaban, karena 

pandangan matanya terus menatap ke arah 

cakrawala.

Selang tak lama segera tersembul sebuah 

pulau yang baru kelihatan ujungnya. Makin lama 

makin besar. Hingga akhirnya terlihat 

keseluruhannya.

"Wan! betul, kek! Itu! lihatlah! sebuah 

pulau yang amat indah...!" teriak si gadis.

Si Raja Pengemis tersenyum melihat si

gadis muridnya itu berjingkrak kegirangan. Tiba-

tiba perahu melaju lebih cepat. Gadis itu torlonjak


kaget. Namun cepat-cepat dia berpegangan kuat 

pada pinggiran perahu.

"Hati-hati kau kecebur, bocah manis!" 

mengekeh tertawa sikakek. Sementara perahu 

meluncur bagaikan terbang.

Sementara itu di pulau yang tengah 

ditujunya....

Dua sosok tubuh tengah bertarung seru.

Saling pukul dan saling hantam. Sebentar-

sebentar terdengar suara bentakan dan teriakan 

tertahan. Batu dan pasir bertaburan. Tampaknya 

pertarungan itu bukan pertarungan biasa. Karena 

hawa panas dan dingin silih berganti akibat hawa 

pukulan yang mengandung tenaga dalam tingkat 

tinggi.

Yang bertarung seru ternyata adalah 

seorang kakek berperawakan jangkung kurus 

melawan seorang pemuda berusia sekitar dua 

puluh tahun lebih. Dialah Nanjar alias Ginanjar 

yang bertarung melawan si Raja Siluman Bangau. 

Sementara empat orang kakek berdiri mengitari 

arena berlaga itu dengan diam terpaku. Mareka 

adalah Raja Siluman Kera, Raja Siluman Ular, 

Raja Siluman Biawak dan Raja Siluman Harimau.

Keempat kakek ini memperhatikan setiap 

gerakan muridnya dengan hati kebat-kebit. 

Kemenangan dan kekalahan mereka terletak di 

tangan si pemuda muridnya itu untuk 

memperebutkan gelar Ketua Raja Gila. Enam 

puluh jurus telah berlalu. Nanjar kerahkan 

kekuatan dan segenap ilmunya untuk 

merobohkan lawan. Ilmu silat Kera, Ular, Harimau


telah dipergunakan untuk menangkis dan balas 

menyerang. Tapi Raja Siluman Bangau memang 

berilmu tinggi, di samping dia dapat "terbang", dan 

sekali kali mematuk ganas. Hempasan lengan 

jubah kakek itu laksana taufan. Kalau pemuda itu 

tidak cekatan, dia sudah celaka sejak tadi.

Pada jurus keseratus, tampak si kakek 

Raja Siluman Bangau merubah gerakan 

serangannya. Kini dia gunakan gerakan 

menyambar yang dibarengi dengan pukulan 

ganas. Terperangah Nanjar, karena saat itu dia 

agak lengah, serta tak menduga lawan robah 

serangan dengan cara menyambar.

WHUUUKK!

"Aiyaa...!" berteriak pemuda itu. Tubuhnya 

bergulingan dan berjumpalitan beberapa kali. 

Dengan gerakan 1000 Ekor Kera Mendobrak 

Gunung dia lakukan serangan menghantam 

dengan kedua telapak tangan.

Plak!

Terdengar suara benturan keras, ketika 

kedua telapak tangan beradu. Raja Siluman 

Bangau ternyata telah memapakinya. 

Terdengarlah teriakan tertahan dari pemuda 

lereng gunung Rogojembangan itu. Tubuhnya 

terlempar ketengah laut. BYURRRR...!

Tak ampun lagi tubuh Nanjar telah 

tercebur ke dalam air. Empat kakek itu jadi 

terperanjat. Masing-masing terperangah, bahkan 

si Raja Siluman Kera telah mengeluh.

"Ah, muridku! Nasibmu naas.....Kau pasti 

tewas....!"


"Heheheh... Raja Siluman Bangau tetap 

nomor satu!" teriak kakek yang baru berhasil 

mempecundangi lawan bertarungnya itu. Tiba-tiba 

tubuhnya meletik ke Udara. Dan seraya 

perdengarkan suara mirip bangau, tubuhnya 

melayang "terbang" menyusul ke arah terceburnya 

Nanjar.

Mata kakek ini jelalatan mencari-cari 

tubuh pemuda itu di antara alunan ombak. Tiba-

tiba air di bawahnya menyemburat, bersama 

munculnya sosok tubuh Nanjar yang meluncur 

kearahnya. Begitu terkejut si Raja Siluman 

Bangau melihat kemunculan pemuda itu secara 

mendadak, tahu-tahu kakinya telah kena 

tersambar lengan pemuda itu.

"Aaah...!?" tersentak kakek ini ketika satu 

betotan kuat menarik ke bawah. Dan...

BYURRR!

Lenyaplah seketika tubuh si Raja Siluman 

Bangau ke dalam laut. Empat kakek itu sama-

sama belalakkan mata, tapi dengan senyum 

tersungging di bibir. Keempatnya saling pandang. 

Dan serentak mereka telah memburu ke tepi

pantai. Air laut mendadak jadi bergelombang, 

bergulung-gulung. Pertanda di bawah air tengah 

terjadi pertarungan seru antara kedua tokoh tua 

sakti dan pemuda itu.

Keempat kakek ini tak lepas menatap 

ketempat bergolaknya air laut dengan hati 

berdebar. Mampukah Nanjar menjatuhkan si Raja 

Siluman Bangau?


Raja Siluman Ular, Raja Siluman Kera dan 

Raja Siluman Harimau tampak menahan napas 

untuk melihat hasil pertarungan. Siapakah yang 

akan berhasil menjadi pemenang? Kecuali si Raja 

Siluman Biawak yang tampak tenang-tenang saja. 

Karena dia tahu, kalau Nanjar tengah gunakan 

ilmu biawaknya untuk mengadakan pertarungan 

di dasar laut. Hal itu menjadi kelemahan si Raja 

Siluman Bangau, karena dia tak mungkin dapat 

bertahan lama di dalam air.

Ternyata Raja Siluman Bangau memang 

tokoh yang diakui kehebatannya. Dia berhasil 

melepaskan cekalan kuat tangan Nanjar. Dan 

memberontak untuk melesat 'terbang" ke luar dari 

permukaan. Akan tetapi kakek ini keliru kalau dia 

telah terbebas dari bahaya, karena Nanjar telah 

sambar lagi kaki si kakek. Ketika air menyemburat 

ke atas permukaan yang dibarengi meluncurnya 

tubuh kakek itu ke udara, Nanjar ikut terbawa 

'terbang".

Empat kakek terperangah melihat dua 

manusia itu melayang-layang di udara. Seolah-

olah pemuda itupun ikut 'terbang" dibelakang si

kakek.

Akan tetapi pada putaran kedua di atas 

permukaan laut itu, Raja Siluman Bangau Jelah 

menghantamkan telapak tangannya ke arah si 

pemuda

Whuuuuuk! 

Angin deras menghantam. Sebelum terkena 

sasaran, terpaksa Nanjar lepaskan celakanya.

Akibatnya tubuhnya melambung di udara. Dengan


gerakan gesit Raja Siluman Bangau menukik, dan 

mendarat di pasir.

"Hahaheheheh.. enak sekali rasanya 

terbang...! Hei! Raja Siluman Bangau tua bangka! 

Ayo bertarung di udara!"

Tersentak kaget orang tua ini, dan 

memandang dengan mata membelalak. Karena 

melihat bocah muda itu justru bukannya tercebur 

lagi ke laut, tapi malah melayang-layang seperti 

bangau di udara, berputar-putar di atas 

permukaan air.

"Gila? dari mana dia mendapatkan ilmu 

terbangku ?" mendesis si kakek dengan mata

dikucak-kucak tak percaya.

Tiba-tiba Nanjar menukik kearahnya. 

Lengannya bergerak mematuk dahsyat. Itulah 

jurus Patukan Bangau Dewa. Terkejut kakek ini 

bukan kepalang, karena jurus itu adalah jurus 

yang dimilikinya. Dengan berteriak tertahan dia 

terpaksa jatuhkan dirinya bergulingan. Tapi 

Nanjar terus mencecar dengan patukan-patukan 

maut yang tiada hentinya. Tubuhnya menyambar-

nyambar laksana bangau yang mengejar 

mangsanya. Tentu saja seketika berubah pias 

wajah sikakek Raja Siluman Bangau menghadapi 

serangan-serangan dan jurusnya sendiri. Bahkan 

jurus serangan pemuda itu dibarengi dengan jurus 

Kera melompat dan harimau yang menerkam. 

Terkadang dengan jurus Ular yang dibarengi 

dengan desisan keluar dari mulut pemuda itu.


Menghadapi serangan-serangan ini 

membuat si kakek tak berayal lagi untuk 

sebisanya menyelamatkan diri.

Akan tetapi.. Breet! Breeeet! Dan ... 

Bhukkk!

Terdengar teriakan parau si kakek Raja 

SBuman Bangau ketika serangkaian serangan 

mendadak itu tak berhasil dihindari. Jubahnya 

terkoyak dan dadanya terkena hantaman lengan 

pemuda itu. Terlemparlah tubuh si kakek Raja 

Siluman Bangau ke udara. Dan jatuh meluncur ke 

dalam laut.

54

"KEAAAAAK! KEAAAK...!"

Terdengar suara mengiyak di udara. 

Sebuah bayangan hitam dan amat besar telah 

menyambar tubuh si Raja Siluman bangau 

sebelum tubuhnya menyentuh permukaan air. 

Itulah si burung Rajawali bernama JABUR. 

Sepasang kakinya telah mencengkeram tubuh 

kakek itu. Lalu dengan keluarkan suara mengiyak 

tiada henti, burung raksasa itu meluncur pesat ke 

atas bukit tertinggi di pulau itu.

"Haih! aku telah mencelakainya...!" teriak 

Nanjar yang baru saja jejakkan kakinya ke atas 

pasir. Pemuda ini tampaknya seperti menyesali 

akan kejadian barusan.


Empat kakek itu belalakan mata 

memandang Nanjar. Dan serentak berseru sambil 

berlompatan menghampiri.

"Horeee! kau menang! kau menang! Kita 

menaaang....!" teriak si Raja Siluman Kera seraya 

melompat dan berjingkrakan.

"Bagus, muridku, kau berhasil 

mengalahkannya dan melenyapkan 

kesombongannya!" berkata Raja Siluman Harimau. 

Raja Siluman Biawak dan Ular cuma tersenyum 

sambil acungkan jempolnya. Mereka tampak 

senang atas hasil pertarungan yang dimenangkan 

oleh pemuda murid mereka itu.

Akan tetapi Nanjar justru tak merasa 

bangga atas kemenangannya. Dia amat 

mengkhawatirkan keselamatan si Raja Siluman 

Bangau yang terkena hantaman telak pukulannya.

''Terima kasih atas sambutan kalian guru-

guruku. Semua itu adalah atas jasa kalian yang 

membimbingku dengan ilmu-ilmu yang kalian 

berikan padaku... " berkata Nanjar dengan 

menjura dihadapan keempat kakek.

''Tapi, dari mana kau dapatkan ilmu 

"terbang" si Raja Siluman Bangau?" tanya Raja 

Siluman Kera dengan menatap tajam Nanjar.

"Hahahaha… aku telah menirunya. Selama 

bertarung aku terus menghapal dan mempelajari 

jurus-jurus serangan kakek lawanku itu. 

Bukankah guru sendiri yang memberi contoh? 

Bukankah sifat seekor Kera adalah selalu meniru 

tingkah laku orang?" sahut Nanjar sambil tertawa.


Mendengar jawaban pemuda itu, Raja 

Siluman Kera jadi garuk-garuk kepala. Tiba-tiba 

dia melompat-lompat seraya berteriak kegirangan.

"Nguk! nguk! nguk! hehehe... bocah cerdik! 

bocah pintar! kau memang bocah hebat!" puji 

sikakek dengan membelalakkan mata. "Apakah 

kau hapal semua jurus-jurus yang digunakan si 

Raja Siluman Bangau?" bertanya si kakek mirip 

kera itu.

"Hahaha... nguk!" nguk! ... hampir seratus

jurus gerakan dan pukulan si Raja Siluman 

Bangau telah hapal diluar kepala" jawab Nanjar 

dengan tirukan suara kera mirip gurunya.

"Hebat! hebat!" memuji Raja Siluman Kera 

dengan membelalakkan mata. Lalu mengekeh ter-

tawa. Sementara ketiga kakek Raja Siluman Ular, 

Biawak dan Harimau cuma bisa belalakkan mata 

dan menatap kagum pada Nanjar.

Saat itu di atas puncak bukit tertinggi di 

pulau itu tampak si Rajawali raksasa 

perdengarkan suara mengiyak tiada henti, dengan 

berputar-putar di atas bukit. Sejenak keempat 

kakek dan Nanjar memandang ke sana dengan 

terpukau.

"Guru! mari kita ke sana!" teriak Nanjar 

tiba-tiba. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, dia 

sudah mendahului berkelebatan kearah sana. 

Keempat kakek sejenak saling pandang. Namun 

satu isyarat dari si Raja Siluman Kera telah 

membuat mereka setuju untuk menyusul. 

Serentak tubuh mereka berkelebatan dari tempat 

itu.


Apakah gerangan yang terjadi di atas 

puncak bukit itu? Ternyata si Raja Siluman 

Bangau yang telah terluka dalam akibat serangan 

pukulan Nanjar, tengah bertarung dengan seorang 

laki-laki tua berjubah gemerlapan seperti sisik 

ular. Kakek ini berkepala botak. Kumisnya yang 

putih terjuntai panjang bagai misai. Di lengan si

kakek botak ini tercekal sebuah medali yang 

gemerlapan terkena cahaya rnatahari. Benda 

itulah yang tengah diperebutkan oleh kedua 

kakek.

"Pencuri busuk! kembalikan benda itu!" 

teriak Raja Siluman Bangau dengan menggembor 

marah. Dalam keadaan terluka dan nampak disela 

bibirnya masih meneteskan darah dia menerjang 

si kakek botak dengan jurus-jurus patukan ganas.

Akan tetapi si kakek botak jubah bersisik 

perak itu tak membiarkan dirinya kena serangan 

yang bisa mencelakai jiwanya. Dengan lompatan 

gesit dia berhasil menghindar. Tiba-tiba dia telah 

cabut senjatanya untuk menabas. Itulah sebuah 

kebutan bergagang perak. Ujung kebutuhan 

membersit menabas leher si Raja Siluman Bangau, 

disertai bentakan keras.

"Berangkatlah kau ke Akhirat!"

Whesss...!

"Kaulah yang harus mampus!" balas 

membentak si kakek Raja siluman Bangau. 

Tubuhnya mendadak melambung ke atas. Kibasan 

lengan jubahnya menyambar tubuh si kakek 

botak. Terhuyung beberapa tindak kakek ini 

karena hempasan keras yang menerpa tubuhnya.



Serangan kebutannya telah lolos dari sasaran. 

Bahkan dia kini yang berbalik diserang.

Namun si kakek misai panjang itu bukan 

tokoh sembarangan. Dengan tiba-tiba dia 

putarkan kebutannya. Menderulah angin keras 

yang membuat batu-batu kecil beterbangan.

Sejenak terpaku Raja Siluman Bangau. 

Pusaran angin yang menggebu itu membuat 

tubuhnya bergoyang-goyang. Jubahnya yang telah 

sobek itu berkibaran. Sementara darah semakin 

banyak menetes dan mengalir dari sela bibirnya. 

Diam-diam dia telah menghimpun tenaga dalam di

kedua telapak tangan.

Saat mana si kakek botak telah menerjang 

dengan bentakan keras. "Kini sampailah ajalmu, 

Raja Siluman Bangau yang bodoh!" Dan kebutan 

maut ditangannya meluncur deras djbarengi 

hantaman telapak tangan kearah batok kepala 

kakek itu.

"Whuuk! Wheesss! BHLARR!

Ledakan dahsyat terdengar. Benturan 

kedua tenaga dalam telah membuat bukit itu 

serasa bergetar. Tampak asap hitam dan putih 

mengepul dari bekas ledakan yang menimbulkan 

suara menggeledek itu.

Kakek botak berjubah sisik perak itu 

tampak terhuyung ke belakang beberapa tindak. 

Wajahnya pucat bagai mayat tampak dari sela 

bibirnya mengalirkan darah. Sedangkan si Raja 

Siluman Bangau masih berdiri tegak. Sepasang 

kakinya amblas sampal sebatas lutut. Dia masih


berdiri tegak tak bergemlng. Tapi apa yang 

terlihat?

Ternyata jubah si kakek Raja Siluman 

Bangau telah hangus terbakar. Kulit muka dan 

sekujur tubuhnya berubah hitam. Kakek sakti itu 

ternyata telah tewas dengan keadaan tubuh 

berubah hangus!

Memandang tubuh lawannya tak 

bergeming, si kakek botak misai panjang itu 

tertawa terkekeh.

"Hehehehe ... hehe ... akhirnya kau harus 

mengakui keunggulanku, sobat Raja Siluman Ba-

ngau. Dan ...benda pusaka Lambang Ketua 

Persilatan ini aku yang berhak memilikinya! 

Hahahaha…. Hehehehe…."

Terperangah Nanjar ketika dia tiba di atas 

bukit. Dilihatnya Raja Siluman Bangau dalam 

keadaan amblas kedua kakinya sebatas lutut, tak 

bergeming lagi. Tubuhnya berubah hitam hangus. 

Menatap pada seorang kakek berkepala botak 

berkumis panjang bagai misai yang tengah berdiri 

dihadapan si Raja Siluman Bangau, semakin 

terkejut dia. Karena melihat orang ini mencekal 

sebuah medali yang dikenalnya. Ya! itulah medali 

lambang Ketua Persilatan milik gurunya Ki 

Dharma Tungga.

Bersamaan dengan munculnya Nanjar, 

keempat kakek itu telah muncul pula di atas 

bukit. Mereka sejenak tertegun memandang 

kehadapannya. Segera saja mereka telah tahu 

siapa adanya kakek botak jubah sisik perak itu.


"Raja Siluman Naga!" teriak mereka 

terkejut hampir berbareng.

"Raja Siluman Bangau... !? ha, dia telah 

tewas?" gumam si Raja Siluman Kera dengan 

mata, membelalak. Tahulah mereka kalau mereka 

datang terlambat. Pertarungan baru saja selesai. 

Dan Sobat mereka si Raja Siluman Bangau telah 

melayang jiwanya.

"Hehehe...aku datang bukan berambisi 

untuk menjadi ketua Raja-Raja Gila. Tetapi 

mengincar benda ini!" berkata si kakek botak yang 

ternyata adalah si Raja Siluman Naga adanya, 

seraya tunjukkan untaian medali ditangannya. 

Mata Nanjar bersinar memandang benda itu.

"Dari mana kau dapatkan Medali itu, Raja 

Siluman Naga?" berkata Nanjar dengan isi 

dadanya serasa bergolak. Segera dia teringat akan 

gurunya Ki Dharma Tungga yang telah tewas. Si

pembunuhnya sudah dapat dipastikan adalah 

orang yang memiliki Medali itu yang telah direbut 

dari tangan gurunya.

"Hahahehehe…, benda ini berada di tangan 

si Raja Siluman Bangau. Aku telah mencurinya. 

Aku tak tahu dia dapat dari mana!" sahut Raja 

Siluman Naga

Tiba-tiba terdengar suara mengiyak di

udara. Dan sebuah bayangan besar menyambar ke

arah kakek kepala botak ini. Kibasan sayap 

burung raksasa itu membuat tubuh si kakek 

terhuyung. Tahu-tahu si Raja Siluman Naga 

berteriak kaget, karena Medali ditangannya telah 

disambar paruh si burung Rajawali raksasa.


"Keparat!" memaki kakek botak ini. 

Tubuhnya memdadak melesat bagai terbang 

mengejar sang Rajawali.

"Mampuslah kau burung keparat!" bentak 

si Raja Siluman Naga.

Whuuuukk!......BUK!

"KEAAAAAAKH!" melengking suara burung 

raksasa itu ketika hantaman pukulan si kakek 

botak mengenai sasaran telak. Ratusan helai bulu 

berhamburan. Terbang burung itu jadi limbung. 

Dan medali yang terjepit di antara paruhnya telah 

jatuh meluncur ke bawah.

Raja Siluman Naga tak berayal untuk 

segera memburunya. Akan tetapi si Jabur kembali 

menukik. Dengan berteriak marah dia menyambar 

lagi benda itu. Ternyata gerakan si Rajawali 

raksasa lebih cepat. Sepasang kakinya berhasil 

mencengkeram Medali.

Whuuuukk! Whuuukk!

Raja Siluman Naga ayunkan beruntun dua 

pukulan. Menyambarlah uap merah menerpa si

burung Rajawali. Kali ini burung raksasa itu tak 

mau kena sasaran. Sayapnya digunakan untuk 

mengibas. Tubuhnya segara melambung tinggi. 

Serangan itu lolos. Tapi sayap burung Rajawali itu 

masih kena terserempet angin pukulan.


10

WHUUUKK! WHUUUKK! 

Kembali si Raja Siluman Naga menghantam 

dengan pukulan yang mengandung maut. Rajawali 

mengiyak kesakitan. Sayapnya mengibas. Tubuh-

nya melambung lagi. Tapi hantaman telak lagi-lagi 

mengenal sasaran.

Terbang burung itu jadi semakin limbung. 

Namun dia melarikan diri dengan Medali yang tak 

lepas dari cengkeramannya.

"Burung edan!" memaki Raja Siluman 

Naga. Kakek botak ini enjot tubuhnya untuk 

melesat, mengejar.

Namun Rajawali sudah melayang ke arah 

laut. Dengan geram kakek botak ini berhenti. Tapi 

tiba-tiba lengannya terangkat, disertai bentakan.

"Mampuslah kau burung edan!"

Whuuuuuussh!!

Angin pukulan jarak jauh telah 

dilontarkan. Membersitlah uap merah menyambar 

si Jabur. Hebat serangan kakek botak ini. Karena 

sejauh itu dia masih mampu mengantamkan 

pukulannya dengan telak.

BYUURRRR!

Air laut menyemburat ke udara ketika 

tubuh si Rajawali raksasa itu terjungkal dan 

terjerumus masuk ke dalam laut.


Di atas bukit Nanjar memandang dengan 

mata membelalak. Sementara si Raja Siluman 

Naga membanting kakinya dengan kesal.

"Burung sialan! lenyaplah sudah Medali 

itu!" gerutunya.

Burung raksasa itu timbul tenggelam di

permukaan air. Tapi tak lama tak muncul lagi. 

Tewaslah sudah si Jabur yang bernasib malang itu 

terkubur di laut:

"Guru! mari kita lihat ke sana!" berkata 

Nanjar. Akan tetapi dia tak melihat adanya empat 

kakek itu berada di situ.

"He? kemanakah kalian?" teriak Nanjar. 

Tubuh pemuda ini berkelebatan mencari keempat 

gurunya.

Bahkan Nanjar gunakan ilmu "terbang" Si 

Raja Siluman Bangau untuk mencari keempat 

kakek itu. Namun tetap saja Nanjar tak 

menjumpai.

"Haih, kemanakah mereka? Apakah telah 

meninggalkan pulau ini?" desis Nanjar seraja 

menukik turun

Baru saja dia jejakkan kakinya ketanah, 

suara tertawa terkekeh menyambutnya.

"Hehehe ...heheh ... gendeng! Siapakah na-

mamu?"

Entah darimana munculnya si kakek Raja 

Siluman Naga telah berdiri disitu. Nanjar mundur 

selangkah. Sepasang matanya menatap tajam

pada kakek botak jubah sisik itu.

"Hm, apakah kau perlu mengetahui 

namaku juga?" balik bertanya pemuda ini.


"Ya! karena kau adalah pewaris ilmu-ilmu 

si Empat Raja Gila. Juga pewaris ilmu si Raja 

Siluman Bangau!" tukas kakek botak menyeringai.

"Heh…! keempat kakek itu memang 

guruku, tapi si Raja Siluman Bangau bukan 

guruku. Aku tak merasa diangkat murid olehnya!" 

berkata Nanjar dengan nada tandas.

Kakek ini jadi kerutkan keningnya hingga 

alisnya bergerak terjungkat keatas. ''Tapi kau 

punya ilmu 'terbang" si Raja Siluman Bangau?" 

berkata kakek ini dengan nada heran.

"Hm, aku hanya mencuri ilmunya saja!" 

sahut Nanjar. Sementara diam-diam dia menilai si 

kakek ini. Hatinya berkata. "Apakah manusia ini 

tokoh baik-baik ataukah tokoh jahat?"

Raja Siluman Naga jadi terbengong 

mendengar kata-kata Nanjar.

Tapi tak lama dia perdengarkan suara 

tertawa terkekeh-kekeh.

"Hahaha ...hehe he ...kau memang bocah

aneh! Baru aku mendengar ada orang mencuri

ilmu. Tak apalah kalau kau tak mau sebutkan 

siapa namamu. Tapi ketahuilah, ilmu-ilmu empat 

orang gurumu ditambah dengan ilmu si Raja 

Siluman Bangau masih belum apa-apa 

dlbandingkan kehebatan ilmuku!" ujar si kakek 

diantara derai tawanya "Buktinya empat orang 

gurumu sudah angkat kaki dari pulau ini. Dan 

kau lihat sendiri si Raja Siluman Bangau itu 

sudah mampus berikut burung raksasa 

piaraannya!" berkata si kakek.


"Sayang Medali itupun ikut terkubur di 

dalam laut!" gerutu si Raja Siluman Naga dengan 

men-dongkol.

"Eh, kakek Raja Siluman Naga! kuharap 

kau berikan penjelasan yang jujur. Apakah Medali 

itu si Raja Siluman Bangau yang memilikinya?"

"Mau apa kau tanyakan tentang Medali itu? 

Kukira sudah tak ada gunanya lagi!" tukas si 

kakek dengan mata melotot.

"Ketahuilah! Medali itu ada hubungannya 

dengan urusanku!" berkata Nanjar dengan suara 

tegas.

"Hm, hubungan apakah! Setahuku Medali 

itu milik Ki Dharma Tungga, yang menjadi Ketua 

Kaum Rimba Persilatan!" ujar si kakek.

"Beliau itu adalah guruku!" Nanjar sambar 

berkata.

"Apakah kata-katamu bisa dipercaya?" 

bertanya si kakek.

"Mengapa aku harus berdusta? Guruku 

kutemukan tewas dua tahun yang lalu di tempat 

kediamannya. Aku tak tahu siapa yang telah 

membunuhnya. Dan Medali itu yang setahuku 

selalu tak pernah lepas dari saku bajunya, telah 

lenyap. Aku cuma jumpai jenazahnya yang 

keadaannya sangat mengerikan. Tentu saja aku 

harus mencari siapa yang telah membunuh 

guruku itu, di samping mencari lambang 

kekuasaan Ketua Rimba Persilatan yang telah 

hilang. Itulah sebabnya aku ingin tahu lebih jelas, 

apakah kau mengetahui tentang Medali itu, juga


peristiwa terbunuhnya Ki Dharma Tungga!" tutur 

Nanjar dengan singkat.

Kakek Raja Siluman Naga ini jadi manggut-

manggut mendengarkan penuturan Nanjar.

"Namaku Nanjar. Lengkapnya Ginanjar. 

Aku pernah menjadi murid Ki Bayu Sheta si 

Pendekar Bayangan sebelum berguru pada Ki 

Dharma Tungga. Aku cuma menemukan sepotong 

pedang inilah yang menancap di tubuh jenazah 

mendiang Ki Bayu Sheta!" Nanjar perkenalkan diri 

tanpa diminta. Seraya menunjukkan potongan 

pedang yang selalu diselipkan di balik bajunya. 

"Apakah kau mengenali pedang ini milik siapa?" 

tanya Nanjar.

Kakek ini tertegun menatap potongan 

pedang di tangan Nanjar.

Kesempatan untuk mengungkapkan 

misteri si pembunuh gurunya dimanfaatkan 

Nanjar dengan mengorek keterangan dari si Raja 

Siluman Naga.

Saat itu pandangan mata si kakek 

menangkap adanya sebuah perahu layar yang 

meluncur pesat mendekati pulau. Itulah perahu si 

Raja Pengemis. Belum lagi menjawab pertanyaan 

Nanjar, si kakek botak jubah sisik itu telah 

berkelebat memuruni bukit.

"Heii? mau kemana kau kakek…?!" teriak 

Nanjar. Tak ayal dia sudah berkelebat mengejar.

Gerakan tubuh Raja Siluman Naga 

memang luar biasa cepatnya. Di samping berlari 

juga dibarengi dengan melayang bagai 'terbang". 

Nanjar menyusul dan kerahkan ilmu larinya yang


juga dibarengi dengan gerakan 'terbang". Hingga 

dari kejauhan tampak kedua sosok tubuh itu 

bagaikan burung-burung aneh tanpa sayap yang

saling berkejaran menuruni bukit.

Sementara itu, si kakek Raja Pengemis 

telah lakukan pendaratan ke pulau itu. Tubuhnya

melompat ke atas pasir menyusul si gadis 

muridnya yang telah melompat terlebih dulu 

begitu ujung perahu menyentuh pasir.

"Kakek? Jadi maksudmu pergi ke pulau ini 

adalah mencari jejak burung Rajawali raksasa itu? 

Ah, sayang sekali ... burung raksasa itu justru 

sudah tenggelam di laut!" berkata si gadis.

''Tebakanmu tak salah, muridku. Burung 

raksasa itu sudah lama kuperhatikan selalu 

menuju ke pulau ini. Aku menduga dia bersarang 

di pulau ini. Tapi seperti kita lihat tadi, burung 

raksasa itu mengiyak keras lalu terjungkal masuk 

laut. Pasti ada apa-apa yang telah terjadi di pulau 

ini!" ujar sikakek Raja Pengemis dengan wajah 

tegang.

Tampaknya si gadis tak begitu 

memperhatikan kata-kata gurunya. Karena dia 

amat tertarik dengan pemandangan indah di pulau 

itu.

"Ah, pulau ini amat indah, kek! Bagaimana 

kalau kita menetap saja disini? Kalau tak dapat 

induknya kukira kita bisa mendapatkan anak 

burung Rajawali raksasa itu. Telur yang 

dieraminya tentu telah lama menetas!" berkata si 

gadis seraya melompat-lompat ketengah pulau.


Tiba-tiba mata gadis ini jadi membelalak 

karena dihadapannya telah berdiri sesosok tubuh 

dari seorang kakek tinggi besar berkepala botak, 

berkumis panjang bagai misai. Mengenakan jubah 

yang ditaburi sisik berwarna perak, yang tampak 

berkilatan kena cahaya Matahari.

Belum lagi sempat si gadis bertanya, 

lengan kakek botak itu mengibas. Bersyiurlah 

angin halus menyambar tubuhnya. Gadis ini 

perdengarkan teriakan kaget. Karena tahu-tahu 

dia rasakan tubuhnya telah kaku tak dapat 

digerakkan.

"Ah ...!?'' terperangah si gadis dengan mata 

membelalak.

Saat itu terdengar bentakan keras 

dibelakangnya.

"Ilmu totokan jarak jauh yang hebat!" Dan 

berkelebat sosok tubuh si Raja Pengemis. 

Lengannya mengibas. Dan terasa sambaran angin 

agak keras ke arah tubuhnya. Sekejap gadis itu 

rasakan totokan pada tubuhnya telah terbuka.

"Guru ...!" teriakan gadis itu girang, seraya 

melompat ke arah gurunya. Raja Siluman Naga 

perdengarkan suara mendengus. Tapi mulutnya 

memuji.

"Ilmu pembuka jalan darah yang hebat! 

Hm, Ilmu kepandaianmu ternyata makin hebat, 

pengemis rudin!" berkata kakek ini. Wajahnya tak 

menampilkan perubahan. Masih tetap kaku 

dengan mata menatap tajam pada si Raja 

Pengemis.


"Angin apa yang telah meniupmu ke pulau 

ini, kakek bangkotan?"

Sambar lagi si kakek kepala botak ini 

dengan suara gereng

"Hehehe.. burung Rajawali raksasa itulah 

yang telah mengundangku datang ke pulau ini. 

Tentu saja aku punya urusan dengan si pemilik 

burung Rajawali itu. Dia si Raja Sluman Bangau!" 

menyahut si Raja Pengemis.

"Kalau itu yang kau tanyakan, orangnya 

sudah berangkat ke akhirat!" berkata Raja 

Siluman Naga.

"Hm, begitukah? Apakah kau yang telah 

membunuhnya?" balik bertanya si Raja Pengemis.

"Benar! Boleh aku tahu ada urusan apakah 

kau dengan dia?"

Raja Pengemis tak menjawab. Tapi sinar 

matanya menatap tajam pada wajah orang di 

hadapannya. Seperti mau membaca apa isi benak 

kakek botak itu.

"Hm, urusan Medali!" sahut si kakek kurus 

ini pendek

"Heheh ...hahah ...sudah kuduga! Kau 

tentu menduga Medali itu berada di tanganku, 

bukan?" tanya si Raja Siluman Naga.

"'Bagus! kalau kau sudah mengerti, 

mengapa tak kau berikan padaku?" sambar si 

kakek Raja Pengemis.

Mengakak tertawa Raja Siluman Naga. Lalu 

berkata dengan suara keras.


"Kau datang terlambat. Medali itu sudah 

jatuh masuk laut, bersama burung Rajawali celaka 

itu!" ujarnya seraya menunjuk ketengah laut.

"Heh! siapa percaya omonganmu?" bentak 

si kakek. "Kau tentu mau mengangkangi benda 

pusaka itu sendiri. Hm, jangan harap si Raja 

Pengemis mau terkecoh oleh bualanmu?"

"Huh! manusia sombong! apakah kau kira 

kepandaianmu sudah setinggi langit hingga begitu 

memandang rendah padaku si Raja Siluman Na-

ga?" balas membentak kakek kepala botak ini.

Pertarungan tak dapat dihindarkan lagi, 

karena kedua kakek itu sama-sama berwatak 

keras. Terjadilah saling terjang di antara 

keduanya.

"Muridku! kau menyingkirlah yang jauh. 

Biar kuremukkan batok kepala si Naga botak ini!" 

teriak Raja Pengemis pada muridnya. Tak ayal 

gadis itu telah melompat menjauh.

"Hati-hati, kek! Dia berilmu tinggi!" Masih 

sempat si gadis berkata memperingati gurunya.

Tampak dia amat mengkhawatirkan keselamatan 

si Raja Pengemis, dalam menghadapi si kakek Raja 

Siluman Naga yang bertubuh tinggi besar itu.

Hantaman-hantaman pukulan dan 

teriakan serta bentakan menggeledek segera 

membaur di pulau yang lenggang itu. Hempasan-

hempasan angin pukulan membuat tempat 

sekitarnya seperti dilanda angin ribut.

Kedua tokoh tua yang sama-sama memiliki 

ilmu kepandaian tinggi itu tengah sama mengadu 

ilmu.


Sementara itu Nanjar yang memperhatikan 

dari tempat ketinggian cuma bisa termangu-

mangu sambil menggendong tangan memandang 

pertarungan dua kakek, yang tak ubahnya bagai 

memperebutkan pepesan kosong.

--+ --

EMPAT PULUH JURUS telah lewat...

Pertarungan semakin menghebat. Hawa 

panas dan dingin silih berganti mengembara dan 

menerpa akibat dari hawa pukulan yang 

mengandung tenaga dalam. Kedua kakek yang 

masing-masing punya julukan "Raja" itu sama-

sama mempertahankan pamornya untuk 

membuktikan siapakah yang lebih unggul diantara 

mereka.

Nanjar yang berniat mengorek keterangan 

dari si Raja Siluman Naga mengenai si pembunuh 

gurunya Ki Dharma Tungga, menemui jalan 

buntu. Karena kedatangan si Raja Pengemis telah 

menunda jawaban kakek itu. Bahkan manusianya 

tengah bertarung mengadu jiwa dengan kakek 

pendatang itu. Pemuda ini jadi seperti 

kebingungan dan serba salah.

Sejak tadi pandangan matanya selain 

melihat pertarungan, juga memperhatikan gadis 

muda murid si Raja Pengemis. Sepintas Nanjar 

seperti pernah mengenali wajah serta perawakan 

seperti gadis itu.

Dia coba mengingat-ingat ... Akan tetapi

sejauh itu Nanjar tak mampu mengingatnya. Tiba


tiba Nanjar mendengar suara teriakan panjang 

menyayat hati, bersamaan dengan terdengarnya 

suara benturan keras yang menggeledek.

Itulah dua pukulah mengandung maut dari 

kedua kakek "Raja" itu yang menimbulkan 

benturan dahsyat.

Terlihat si Raja Pengemis terlempar 

bergulingan. Dan si Raja Siluman Naga terhuyung 

beberapa tindak. Nyata tenaga dalam Raja 

Siluman Naga masih diatas setingkat dari kakek 

Raja Pengemis.

"Kakeeeeek!" teriakan gadis itu memecah 

keheningan tatkala dia berlari dan melompat 

menghampiri gurunya.

Keadaan si Raja Pengemis memang amat 

mengkhawatirkan. Sekujur tubuhnya melepuh. 

Dari sudut bibirnya mengalirkan darah berwarna 

hitam. Terisak-isak si gadis memeluki tubuh 

gurunya.

Sementara si Raja Pengemis menatap pada 

muridnya dengan pandangan sayu. Bibirnya 

bergerak mengucapkan kata-kata

"Anak manis, ... jangan menangis! Semua 

manusia tak luput dari kematian..." ujarnya.

"Aku akan adu jiwa dengan dia, guru!" 

teriak si gadis, mendadak dia hentikan tangisnya. 

Wajahnya berubah garang. Dan dia telah bangkit 

berdiri seraya mencabut pedangnya yang terselip 

di pinggang.


12

Pedang gadis ini ternyata sebuah pedang 

yang telah putus ujungnya sepertiga bagian.

"Jangan muridku! Simpanlah pedang itu... 

!" suara si Raja Pengemis setengah membentak. 

Membuat semangat yang menggebu didada si ga-

dis kembali luntur. Kembali dia terduduk 

menekuk lutut. 

"Hm, anak manis! bukankah kau selalu 

menanyakan kisah pedang buntung yang 

kuhadiahkan padamu itu" berkata lirih si Raja 

Pengemis.

"Ketahuilah, pedang itu adalah pedang 

yang telah membawa maut! Pedang itu adalah 

pedang pusakaku yang telah menewaskan orang 

yang kucintai, tapi paling kubenci!" Suara si kakek 

agak tersengal dalam berkata-kata.

Ranggaweni menatap gurunya dengan tak 

mengerti. Sudah lama dia selalu menanyakan 

riwayat pedang di tangannya itu. Sang guru selalu 

mengatakan pedang itu punya kisah yang 

menyedihkan, tapi tak mau menceritakannya. Kini 

disaat keadaan sang guru dalam keadaan kritis, 

justru mau menceritakan.

"Bagaimana kisahnya kek? Siapakah orang 

yang amat kau cinta tapi kau amat membencinya 

itu?" tanya Ranggaweni. Wajahnya menampakkan 

rona girang, tapi juga diliputi kesedihan.


"Dialah KI DHARMA TUNGGA!" sahut si

kakek. Seketika wajahnya menjadi berubah sedih. 

Dan setitik air mata menyembul disudut matanya.

"Dharma Tungga adalah kakak kandungku. 

Tak dinyana dia harus tewas oleh pedang 

pusakaku sendiri.. " ujar si Raja Pengemis.

"Dimasa muda aku pernah punya seorang 

kekasih. Dia seorang gadis yang amat cantik." Raja 

Pengemis tuturkan riwayat hidupnya.

"Kami berdua adalah satu perguruan. Lima 

tahun kemudian setelah menamatkan pelajaran, 

aku kembali pulang. Bukan main rasa girangnya 

hatiku, karena aku bisa berjumpa dengan 

kekasihku yang telah lama kurindu. Kami 

memang telah mengikat janji untuk menikah 

setelah selesai pelajaranku. Adapun kakang 

Dharma Tungga telah menyelesaikan pelajarannya 

terlebih dulu setahun sebelum aku menyelesaikan 

pelajaranku. Akan tetapi betapa terkejutnya aku 

mengetahui kekasihku sudah tak ada lagi di

kampung tempat tinggalnya. Dan yang lebih 

membuat aku panas adalah aku mendengar 

kakakku Dharma Tungga telah menikahi gadis 

kekasihku itu..."

"Dapat kau bayangkan betapa hancurnya 

hatiku. Sedih bercampur dengan menggebu-gebu 

dalam dadaku. Aku bersumpah untuk mencari 

mereka! Berpuluh tahun aku mencari dan mencari 

tanpa putus asa. Hingga akhirnya aku mendengar 

juga tentang diri kakakku itu. Dia telah menjadi 

seorang kosen yang berkepandaian tinggi. Bahkan 

diangkat oleh kaum Rimba Hijau menjadi Ketua



Persiiatan. Aku tak munculkan diri. Tapi diam-

diam mencari tahu dimana kekasihku yang telah 

diperistri olehnya..."

"Akhirnya aku berhasil menemui bekas 

kekasihku itu! Apa yang kulihat adalah menjadi 

kenyataan. Kekasihku telah menjadi seorang yang 

cacad kaki dan tangannya. Cacad yang seumur 

hidup. Dia mengatakan bahwa semua itu adalah 

hasil perbuatan kakakku Dharma Tungga!" 

Sampai disini napas si Raja Pengemis kembali 

tersengal. Namun dengan menahan mengalirnya 

darah yang mau tumpah dari mulutnya kembali 

dia teruskan penuturannya.

"Aku ...aku mencari kakakku dengan 

kemarahan luar biasa. Aku sudah seperti 

kehilangan otak warasku. Rasanya mau 

melumatkan saja tubuh kakak kandungku itu 

yang telah menganiaya kekasihku hingga demikian 

mengenaskan. Dan akupun berhasil menemui 

saudaraku itu. Kami bertarung. Tak sedikitpun 

aku mau mendengar penjelasan kakakku Dharma 

Tungga, karena emosiku telah meluap! Untunglah 

pertumpahan darah waktu itu tak terjadi. Dia 

melarikan diri. Dan lenyap entah kemana. 

Sejak saat itu aku tak pernah 

menjumpainya lagi.

Suatu malam ketika aku tertidur di suatu 

tempat, aku terjaga ketika sebuah benda melayang 

ke arahku. Namun dengan cepat aku telah 

menangkapnya. Masih sempat aku melihat

berkelebatnya sesosok tubuh yang lenyap 

dikegelapan malam yang gulita.


Benda itu ternyata segulung kertas. Setelah 

kubuka, ternyata sepucuk surat yang ditujukan 

padaku. Si pengirimnya adalah kakakku sendiri.

Surat itu menjelaskan duduknya persoalan,

hingga dia mengawini kekasihku. Kekasihku 

didapati dalam keadaan mengandung, tanpa 

diketahui siapa yang telah melakukannya. Dia 

terpaksa mengawini, karena gadis kekasihku itu 

mau membunuh diri. Bahkan gadis kekasihku itu 

tak mau bertemu dengan ku karena merasa malu. 

Oleh sebab itulah gadis kekasihku itu mengajak 

pindah kakakku dari kampung tempat tinggal 

kami.

Cacad yang diderita bekas kekasihku itu 

dia sama sekali tak mengetahui, karena sudah 

sejak lama dia berpisah dengan "istrinya".

Kakakku mengatakan dalam surat, bahwa 

dia belum pernah menggauli istrinya satu 

kalipun..."

"Lalu bagaimana kelanjutannya, kakek?" 

tanya si gadis. Karena si Raja Pengemis tampak 

terdiam agak lama mengatur napas.

"Hm, aku masih tak percaya agak lama 

dengan keterangannya Malam itu juga aku 

mencari dia. Tapi jejak kakakku sukar dilacak. 

Datang dan perginya sukar diketahui.." ujar si 

Raja Pengemis.

"Suatu malam yang na'as ketika aku tidur 

kepulasan disebuah rumah tua. Aku terkejut 

ketika mendengar suara gaduh. Ternyata ada 

pertarungan yang telah terjadi. Terkejut aku 

melihat yang bertarung adalah kakak kandungku


sendiri Ki Dharma Tungga melawan seorang laki-

laki yang mengenakan topeng menutupi wajahnya.

Dan bukan main terkejutku ketika mengetahui 

seorang bertopeng itu telah mencuri pedang pu-

sakaku! Kakakku telah memergokinya, dan 

berusaha merebut pedang itu sekalian membuka 

tabir siapakah sebenarnya si orang bertopeng itu.

Sayang si orang bertopeng itu melarikan 

diri, dan kakakku mengejarnya. Sayang aku tak 

berhasil menyusul mereka!" ujar si Raja pengemis. 

Setelah menghela napas kembali dia teruskan 

panuturannya.

"Berbulan-bulan aku mengembara mencari 

jejak kakakku juga si Manusia bertopeng, tapi tak 

menemui jejak mereka. Hingga aku memutuskan 

untuk menemui lagi bekas kekasihku itu. Dia 

masih hidup dan dalam keadaan cacad, yaitu 

lumpuh kedua kaki dan tangannya. Bekas 

kekasihku itu akhirnya membuka rahasia. Bahwa 

si orang bertopeng itu adalah anaknya sendiri. 

Anak itu adalah hasil dari perbuatan serongnya 

dengan GURUKU sendiri...!"

"Hah? dengan guru kakek sendiri?" sentak 

Ranggaweni membelalak.

"Benar! aku sendiri tak menduga kalau 

guruku sendiri yang mengingini kekasih 

muridnya. Adapun Rarasati kekasihku itu 

mempunyai dua dendam. Pertama dendam pada 

guruku, kedua dendam pada kakakku Dharma 

Tungga. Dendam pada guruku karena dialah 

orang yang telah merusak kehormatannya, dan


menghancurkan harapan cita-citanya untuk hidup 

bersama denganku.

Dendam pada Dharma Tungga, adalah 

karena kakakku tak pernah mau menggaulinya 

walau mereka telah menikah! Anak laki-laki hasil 

perbuatan haram itu diambil murid seorang laki-

laki asal Tibet. Laki-laki itulah yang mendidik 

anak laki-lakinya hingga berkepandaian tinggi.

Rarasati telah bersumpah untuk 

membunuh guruku, dan membunuh Dharma 

Tungga. Hal itu sudah terlaksana. Dan dia 

tunjukkan bukti dengan sepotong pedang yang 

kau pegang itu padaku!"

"Apakah kakek yakin akan 

keterangannya?" tanya Ranggaweni.

Raja Pengemis mengangguk. "Ya, aku amat 

yakin. Karena selesai berikan keterangan, Rarasati 

telah membunuh diri dengan pedang pusaka 

buntung itu!" ujar si kakek dengan suara tandas 

dan tampak pilu.

"Bagaimana dengan si Raja Siluman 

Bangau? Apakah dia terlibat dalam urusan Medali 

itu?"

Pertanyaan ini mengejutkan si kakek dan 

muridnya. Karena tahu-tahu Nanjar telah berdiri 

di situ. Sejak tadi dia telah terkejut melihat gadis 

itu mencabut sebuah pedang yang ujungnya 

buntung. Lalu dengan seksama turut 

mendengarkan penuturan si Raja Pengemis.

"Hehehe ... hehe .... siapakah namamu, 

bocah gagah?" bertanya si Raja Pengemis.


Sementara dia melihat Raja Siluman Naga 

sudah tak kelihatan lagi dan telah lenyap entah 

kemana. Cuma Nanjarlah yang tahu. Karena 

selang tak lama setelah terjadi benturan dua 

tenaga dalam kedua tokoh tua kosen itu, si Raja 

Siluman Naga terhuyung-huyung pergi menuju ke

atas puncak bukit tertinggi, di pulau itu. Ginanjar 

mau mengejar, tapi matanya tertuju pada pedang 

buntung yang dicabut si gadis tadi. Pedang yang 

sinarnya sama dengan ujung utusan pedang yang 

berada di tangannya. Hingga dia urungkan 

niatnya, dan memasang telinga lebar-lebar 

mendengarkan penuturan si Raja Pengemis, pada 

muridnya

Dengan mencuri dengar itu, Nanjar merasa 

rahasia si pembunuh Ki Dharma Tungga yang 

pernah menjadi gurunya itu mulai tersingkap. 

Tapi dia amat penasaran karena kakek- itu tak 

menyinggung-nyinggung nama si Raja Siluman 

Bangau dan Medali Lambang Ketua Kaum Rimba 

Hijau.

Kali ini Nanjar segera menjawab 

pertanyaan si Raja Pengemis. Sementara diam-

diam dia terus mengingat siapa adanya gadis 

murid sikakek itu.

"Namaku Nanjar. Lengkapnya Ginanjar!" 

sahutnya.

"Ah, nama yang bagus! Kaukah pemuda 

yang pernah kulihat dua tahun yang lalu dibawa 

terbang burung Rajawali raksasa itu?" tanya 

sikakek. Sejurus Nanjar tercenung. Lalu cepat-

cepat dia menyahut.


"Benar! tidak salah. Memang aku 

adanya..." sahut Nanjar dengan manggut-

manggut.

"Kak Nanjar... ? Kau----kau Ginanjar?" 

sentak sigadis.

"Kau siapakah?" tanya Nanjar. Jantungnya 

berdetak keras.

"Aku Ranggaweni, anak Ki Ronggo Alit! Kak 

Nanjar, kau sudah tak mengenal adik angkatmu 

lagi?" tanya gadis itu cemberut

"Oh ... ah, aku ... aku lupa lagi!" tergagap 

Nanjar. "ya, ya ... aku ingat kini. Kau si gadis kecil 

putri paman Ronggo Alit itu! Ah, kau sudah 

sebesar ini. Dan.... sudah jadi seorang gadis 

cantik...!" Barulah Nanjar ingat siapa adanya gadis 

di hadapannya itu. Ginanjar memang pernah 

tinggal bersama Ki Ronggo Alit, ketika dia pertama 

kali turun gunung dan membawa surat dari 

gurunya, Ki Bayu Sheta untuk menetap dirumah 

Ki Ronggo Alit yang menjadi sahabat baik 

gurunya. (Baca; Serial Roro Centil. Judul: Empat 

Iblis Kali Progo.)

"Hehehe ... ternyata kalian saling 

mengenal! Bagus! Bagus! kalau begitu aku tak 

merasa khawatir untuk me…. meninggalkanmu, 

muridku ..." berkata Raja Pengemis dengan napas 

semakin tersengal.

''Tidak, kakek! kau tak boleh meninggalkan 

aku! kau jangan mati, kek! Jangan tinggalkan aku 

..." teriak Ranggaweni yang kembali terisak-isak 

memeluki tubuh gurunya.


"Hehehe ... anak bodoh! Kalau Malaikat 

pencabut nyawa sudah siap-siap mencabut 

nyawaku apakah aku bisa menghalangi?' berkata 

si Raja Pengemis. Tiba-tiba kakek ini berpaling 

pada Nanjar.

"Kau jagalah, dia, bocah gagah!" ujarnya 

pada Nanjar. Nanjar cuma bisa mengangguk.

"Hehehe... he ceritaku tadi belum habis. 

Nah dengarkanlah baik-baik. Medali itu memang 

kuketahui berada di tangan kakak kandungku Ki 

Dharma Tungga. Karena sebagai orang penting 

yang menjadi Ketua Rimba Hijau, yang patut 

memegang Medali itu. Tapi waktu itu Medali itu 

sudah berada ditangan si Raja Siluman Bangau. 

Tentu saja aku mencari dia untuk merebut Medali 

itu. Sekalian menanyakan hubungan apa si Raja 

Siluman Bangau dengan si manusia bertopeng 

anak Rarasati bekas kekasihku itu.

Menurut keterangan si Raja Siluman 

Bangau, dia bersahabat baik dengan tokoh dari 

Tebet itu. Dan medali itu dihadiahkan padanya. 

Sedangkan anak si Rarasati itu telah kembali ke 

Tebet setelah selesai melakukan tugasnya. Tentu 

saja dia tak mengetahui kalau ibunya telah mati 

bunuh diri..." Sampai disini si Raja Pengemis 

hentikan penuturannya. Wajahnya semakin 

memucat. Dan, berkali-kali dia keluarkan darah 

kental berwarna hitam yang keluar dari mulutnya. 

Tak lama dia pingsan.

Agak lama nyawa si Raja Pengemis itu 

bertahan. Hingga selama dua hari dua malam dia 

masih bisa bertahan. Tapi di pagi hari yang cerah,


dia telah bembuskan napasnya yang penghabisan, 

setelah banyak memberi wejangan dan banyak 

menuturkan bermacam peristiwa hidupnya pada 

Nanjar dan muridnya. Daya upaya Nanjar untuk 

memulihkan kesehatan kakek tua itu tak 

menemukan hasil. Dan wafatlah si Raja Pengemis 

dengan diiringi ratapan sedih Ranggaweni, yang 

telah menganggap orang tua itu kakeknya sendiri.

Ternyata setelah penguburan jenazah si 

Raja Pengemis, juga jenazah si Raja Siluman 

Bangau yang dikebumikan sebagaimana mestinya 

oleh Nanjar. Rangaweni tak mau menetap dipulau 

itu. Alasannya? Ya! karena dipulau itu masih 

tinggal si Raja Siluman Naga. Gadis ini masih 

amat mendendam pada kakek kepala botak 

berkumis bagai misai itu. Apalagi Nanjar 

menyatakan akan berguru padanya.

Pada suatu kesempatan, Ranggaweni 

melarikan diri dari pulau itu, dengan 

menggunakan perahu layar yang digunakan 

mendiang gurunya ketika datang ke pulau itu.

Ranggaweni pergi dengan dendam 

kesumat, yang ketika kelak akan dibalaskannya.

Nanjar baru sadar setelah perahu dan 

gadis itu lenyap. Dia cuma bisa menghela napas. 

Tapi niatnya untuk berguru pada Raja Siluman 

Naga tetap akan dilaksanakan. Karena dia 

berpendapat belum cukup ilmunya untuk 

berpetualang di Rimba Hijau. Apalagi mengingat 

akan si pembunuh Ki Dharma Tungga adalah 

seorang pemuda yang berilmu tinggi, yang telah 

berhasil menewaskan tokoh kosen Rimba


Persilatan itu. Nanjar berjanji suatu saat akan 

mencari laki-laki gagah itu ke Tebet. Dengan 

menuntut ilmu pada si Raja Siluman Naga berarti 

akan menambah ilmu kedigjayaannya, walaupun 

dia tak tahu apakah si kakek itu manusia 

golongan putih atau hitam.

Hal itulah yang membuat Nanjar tak akan 

meninggalkan pulau itu belum dia berhasil 

mengeruk ilmu si Raja Siluman Naga. 

Dipandanginya laut lepas dihadapannya. Dan 

bibirnya menggumam... "Ranggaweni... ! kelak aku 

akan mencarimu. Kau harus kulindungi, demi 

pesan si Raja Pengemis!"

"Ah, aku harus segera kembali kepuncak 

bukit. Kakek botak Raja Siluman Naga gila itu 

telah tak sabar menungguku. Dan anak burung 

Rajawali itu perlu rawatanku... !" Sentak Nanjar 

tersadar dari lamunannya. Saat itu dikejauhan 

terdengar suara yang datangnya dari atas bukit 

tertinggi dipulau itu.

"Hooooiii! bocah gendeng! sudahlah! jangan 

kau hiraukan gadis itu. Kelak kau bisa 

mencarinya tahun dimuka, setelah kau keluar dari 

pulau ini!" itulah suara si Raja Siluman Naga. 

Nyengirlah seketika Nanjar. Dan dia balas 

berteriak.

"Baik, kakek gendeng! aku segera datang ... 

Nguk! nguk! nguk! Kalau aku tinggalkan pulau ini 

tentu kaupun akan mampus siang-siang! 

bukankah alasanmu untuk aku mempelajari ilmu 

darimu itu adalah untuk memperpanjang


umurmu? hahaha... hehehe..." Teriak Nanjar 

sambil melompat-lompat dengan gaya ilmu Kera.

"Bocah kunyuk gendeng! kalau kau bicara 

macam itu lagi anak burung Rajawali ini akan 

kubikin mampus!" terdengar lagi teriakan si Raja 

Siluman Naga membentak marah. Pucat seketika 

wajah Nanjar.

"Wah, wah!? Jangan! haiiih! kakek Raja Si-

luman Naga yang gagah dan sakti. Baiklah, aku 

tak akan bicara macam itu lagi. Segera aku 

datang! Hehehe... nguk! nguk! nguk!" seraya 

berteriak Nanjar mempercepat larinya dengan 

melompat-lompat.

Diam-diam dalam hati dia membathin. " 

Kakek botak itu kukira tak lama lagi umurnya. 

Akibat benturan pukulan dengan si Raja Pengemis 

telah membuat luka-luka dalam yang parah. Dia 

memang hebat, dengan masih sempat bertahan. 

Dia tak ingin ilmunya hilang sia-sia. Itulah 

sebabnya dia menginginkan aku mewarisi segenap 

ilmu yang dimiiikinya!"

Nanjar semakin mempercepat larinya. 

Bahkan serasa ingin lebih cepat lagi dia keluar 

dari pulau itu. Tentu saja dengan bekal ilmu-ilmu 

kedigjayaan yang cukup untuk bekal dalam 

pengembaraannya kelak di dunia Rimba 

Persilatan.

"Hehehehe____hahaha____nguk! nguk! 

nguk! nguk! nguk! nguk!...!



                            SELESAI













Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive