..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 20 Desember 2024

SURO BODONG EPISODE DENDAM PEREMPUAN SEPI

Dendam Perempuan Sepi

SATU

 

TANPA tahu ujung pangkalnya, Suro Bodong diserang 

oleh dua orang pemuda bersenjata cambuk. Suro 

Bodong menggeliat kesakitan. Tubuhnya melengkung 

ke depan ketika salah satu cambuk mengenai pinggang-

nya. Baju merah lengan panjang robek bagian pinggang, 

ujung cambuk berduri menggores kulit pinggang dengan 

sadis. Bukan memar yang membuat Suro meringis 

kesakitan, melainkan goresan duri tajam itu yang merobek 

kulit hingga berdarah beberapa baris. 

Suro Bodong sengaja diam, merasakan rasa sakit yang 

amat perih di pinggangnya. Ia jatuh dengan kedua tangan 

sempat bertumpu di tanah, menahan berat badannya yang 

besar namun tidak gemuk. Kakinya terkulai lemas akibat 

menahan sakit. 

“Sudah saatnya kau menerima balasanku, Kunyuk! 

Hiaaat…!” pemuda yang satunya melecutkan cambuk 

bertali dua. Kedua ujung cambuk bagai diberi paku atau 

besi tajam yang sekali lecut dua-duanya menancap di 

pundak Suro. Cambuk itu segera ditarik dalam satu 

hentakan. 

“Mampus kau…!” 

“Aaakhh…!!” 

Suro tidak berteriak, namun memekik dengan suara 

tertahan. Kepalanya mendongak ke atas lantaran rasa 

sakit akibat pundaknya ditembus dua besi runcing, yang 

kemudian saat ditarik mengakibatkan kulit pundak itu 

robek semuanya. Tak aneh lagi jika darah pun mengalir 

dari luka itu. 

“Hajar terus dia…!” kata pemuda berompi biru dan 

bercambuk tunggal, namun tali cambuk bagian ujungnya 

berduri banyak. 

“Aku ingin menghajarnya di depan umum,” ujar pemuda 


yang menganakan celana kuning dan baju putih. Ia 

memegang cambuk dengan dua tali, yang masing-masing 

ujung tali cambuknya diberi logam tajam sebesar paku. 

“Sebaiknya ikat saja dia, Rahuto… dan seret ke depan 

Kadipaten!” 

“Ya, ya…aku lebih setuju usul itu, Wijaya.” Suro Bodong 

mencoba untuk berdiri dengan erangan kesakitan. Namun 

kaki kanan Wijaya segera menendang punggung Suro 

dengan keras. Dalam satu hentakan saja Suro sudah jatuh 

tersungkur dengan wajah mencium tanah. 

“Aaakh… Aauuhh…!” Suro Bodong mengerang dan tetap 

berusaha untuk bangun. Rupanya kali ini Rahuto dan 

Wijaya membiarkan Suro Bodong berdiri. Nafas Suro yang 

terengah-engah dan tubuh yang sempoyongan itu 

membuat Wijaya tertawa puas, sedangkan Rahuto yang 

bermata belok hanya tersenyum sinis. 

“Sekarang kau tidak punya kesempatan untuk lari, Iblis! 

Kau berhadapan dengan kami, Wijaya dan Rahuto, bukan 

berhadapan dengan orang-orang lemah yang dengan 

seenak perutmu sendiri kau bantai dengan keji….!!” Geram 

Rahuto sambil menggerak-gerakkan cembuknya. 

Tangan Suro Bodong menuding dengan keseimbangan 

tubuh menggeloyor kian kemari. 

“Siapa….siapa kalian….siapa, hah….?!” 

Rahuto melecutkan cambuknya. “Taar…!” Tangan Suro 

Bodong menangkis dan menjadi sasaran cambuk itu. 

“Aaoohh…!!” Suro Bodong meringis kesakitan. Kulit 

tangannya berdarah karena duri menggores tajam. Ia buru-

buru mendekap tangan kanannya itu dengan nafas 

semakin terengah-engah, mencoba melawan rasa sakit. 

“Kalian…..kalian siapa?! Mengapa memusuhi aku…?!” 

teriak Suro Bodong dengan posisi berdiri sebentar-sebentar 

mau jatuh, limbung ke sana sini. 

“Kami orang-orang Kadipaten Kidang Kencana, yang 

kau kacau selama ini, tahu?!” bentak Wijaya. “Kami yang 

bertugas memburu kamu, Suro Bodong! Diburu untuk 

dibunuh di depan rakyat Kadipaten Kidang Kencana,


supaya mereka puas melampiaskan dendamnya kepada-

mu!” geram Wijaya. 

“Siapa Kidang Kencana itu….? Oh, aku tidak kenal! Aku 

hanya kenal….hemmm….siapa ya…?!” 

Suro Bodong bicara tanpa tujuan. Berdirinya masih 

limbung. Ini semua akibat dia dalam keadaan mabok. 

Sungguh celaka jika Suro dalam keadaan mabok. 

Makanan atau minuman apapun yang membuatnya mabok 

akan menjadi bencana bagi dia. Suro tidak bisa meng-

gunakan jurus-jurusnya, ilmu-ilmunya jika dalam keadaan 

mabok. Dia menjadi lemah, sekalipun dia punya keinginan 

untuk menggunakan jurus andalan untuk melawan musuh. 

Ia akan selalu gagal, seakan kehilangan semua ilmunya 

dan menjadi bodoh total. 

“Hei…kalau kalian mau melawanku….lawanlah dulu diri 

kalian. Itu baru seorang jagoan, he, he, he…! Ratna 

Prawesti pernah bilang begitu padaku…!” Suro bicara 

dengan kacau. Hal itu membuat Wijaya semakin gemas. 

Lalu, tangan kirinya yang tidak memegangi cambuk 

memukul wajah Suro dengan keras. 

“Heit…!” Suro menangkis, memaksakan diri meng-

gunakan ilmu silatnya. Tetapi, tangkisannya mengibas di 

tempat kosong, sehingga pukulan Wijaya pun menghantam 

pipi Suro dengan keras. 

“Aaauuw…!” Suro memekik, lalu sempoyongan dan 

rubuh. Kepalanya dikibas-kibaskan seperti kuda mendesis. 

Matanya yang sayu memandang Wijaya, lalu tersenyum. Ia 

menggerakkan tangannya, merentang ke samping semua 

dalam keadaan berdiri dengan kedua lutut. 

“Jurus Capung Terbang Jauh, hiaaat…!” 

“Buuk…!” kaki Wijaya menjejak dada Suro dengan 

bebas. Suro terbatuk-batuk setelah terpental ke belakang. 

Ia menyeringai kesakitan dan nafasnya menjadi lebih 

sesak. 

“Rupanya orang yang ditakuti penduduk tidak punya ke-

bisaan apa-apa, Rahuto!” kata Wijaya dengan menyeringai 

sinis. “Seret dia ke alun-alun, biar rakyat yang memberi


hukuman kepadanya!” 

“Hiaat…!!” Rahuto mengibaskan cambuknya. Cambuk 

melesat tanpa suara, karena langsung membelit ketiak 

Suro Bodong. Jurus cambuk yang digunakan adalah jurus 

cambuk pengikat yang diberi nama: jurus Cambuk 

Kelabang Ganjen. Tali cambuk itu tidak merobek kulit, 

melainkan membelit dan membuat suatu ikatan yang kuat. 

Kepandaian itujarang dimiliki orang. Hanya Rahuto dan 

Wijaya yang bisa melakukannya. Karena itu, Wijaya pun 

segera melecutkan cambuknya ke ketiak kiri Suro. Cambuk 

itu pun membelit dan membuat suatu ikatan kuat. 

“Hei, hei…mau diapakan aku ini, hah? Mau diperkosa?” 

suara Suro Bodong mengambang bagai orang yang sedang 

mengigau. Kepalanya masih terasa pusing, karena ia habis 

makan gadung dan membuatnya mabok. 

Suro Bodong tidak tahu kalau gadung pemberian 

seorang petani dari desa Wulung itu adalah gadung yang 

memabukkan. Mungkin juga petani itu sendiri tidak tahu, 

karena ia juga ikut memakan gadung tersebut. Tetapi, 

dalam hal ini, Surolah yang memakan gadung sampai 

habis banyak. Ia sempat muntah-muntah di perjalanan. 

Kepalanya berputar dengan cepat bagai ingin meledak. 

Suro sudah beristirahat sebentar di bawah bukit Julung, ia 

sedikit merasa enteng. Kemudian ia melanjutkan 

perjalanannya menuju Pesisir Selatan untuk menemui 

Eyang Pengging, adik dari Eyang Panembahan Purbadipa 

yang menjadi penasihat di Kesultanan Praja. Tujuannya 

menemui Eyang Pengging untuk menyampaikan pesan 

agar Eyang Pengging datang ke Kesultanan Praja, sebab 

saat ini Eyang Panembahan Purbadipa dalam keadaan 

sakit. 

Tetapi di perjalanan tadi, Suro Bodong telah mendapat 

serangan tanpa permisi dari Wijaya dan Rahuto. Suro 

Bodong yang pusing dan mabok itu tidak menyadari kalau 

dia telah salah jalan. Ia tidak menuju ke Pesisir Selatan, 

melainkan berbelok arah, sampai akhirnya memasuki 

wilayah Kadipaten Kidang Kencana.


Ucapan Selamat Datang dari Kadipaten Kidang Kencana 

adalah lecutan cambuk Wijaya dan Rahuto. Kalau saja 

Suro Bodong tidak dalam keadaan mabok, mungkin kedua 

orang muda bersenjata cambuk itu akan ditungging-

tunggingkan dalam waktu sekejap, bahkan mungkin cukup 

dengan kaki saja. Sayangnya, Suro masih mabok, 

sehingga segala serangan dan tindakan Wijaya serta 

Rahuto itu tidak bisa diatasi. Suro hanya meracau dengan 

kata-kata tak karuan, sambil sesekali mengerang merasa-

kan sakit. 

Tubuh Suro diseret dengan kasar oleh kedua cambuk 

dari kedua pemuda kekar itu. Cambuk yang melilit kedua 

ketiak Suro itulah yang membuat tubuh Suro bagai ber-

gelayutan dalam penyeretan tersebut. Lemas dan loyo. Ia 

mengaduh-aduh jika kakinya atau perutnya yang gendut 

namun buka membuncit itu tergores batu dalam 

penyeretan itu. Adakalanya ia bahkan tertawa sendiri 

melihat Wijaya dan Rahuto kecapekan menyeretnya ke 

alun-alun. 

“Makanya….jangan suka menyeret-nyeret orang…! Nanti 

sakit encokmu kambuh, Mas…!” tutur Suro Bodong dengan 

suara mengalun tak karuan. “Aaaow…! Pahaku tergores 

ranting kering…! Aaauw…geli sekali…!” 

“Diam!” bentak Rahuto. 

“Hei, aku kan punya mulut….mengapa kau suruh diam? 

Kau sendiri punya mulut tidak mau diam! Dari tadi mem-

bentak-bentak aku….waiyooow…!!” Suro menyeringai, 

mengajak bercanda. Rahuto gemas. Kakinya menendang 

dagu Suro dengan tanpa ampun lagi. Suro Bodong 

menyeringai dan memekik kesakitan. Tapi kemudian 

tubuhnya diseret lagi oleh mereka. 

Beberapa langkah kemudian, Wijaya menghempaskan 

nafas dalam beristirahat. 

“Badannya seperti kebo!” 

Rahuto juga menghempaskan nafas kecapekan. Ia ter-

engah-engah. Matanya memandang Suro Bodong dengan 

sengit, sementara otaknya kelihatan berpikir mencari cara


lain untuk membawa Suro Bodong ke Kadipaten. 

“Bangun!” bentak Rahuto sambil menendang pinggang 

Suro dengan kasar. “Bangun dan berjalan kau!! Cepat…!!” 

Dengan keseimbangan tubuh benar-benar parah, Suro 

Bodong berdiri. Lututnya berdarah karena goresan batu 

tajam, celananya sebagian robek dan perutnya sendiri 

kelihatan ada bekas luka membesot dari samping atas ke 

bawah. Badan Suro benar-benar mengalami banyak 

kerusakan. Namun agaknya Suro Bodong tidak begitu 

menghiraukan karena keadaan otaknya sedang tidak 

waras. 

“Sebetulnya…” katanya dengan suara seperti orang 

mengigau, “….aku ini salah apa? Kenapa aku diseret-seret 

seperti ini? kenapa? Apa salahku? Apa salahmu? Jawab 

dengan jujur, Sayang…!!” Suro menyeringai. Wijaya 

menampar dengan geram. Galak! 

“Kau berlagak lupa dengan kekejamanmu yang tidak 

mempunyai belas kasihan sama sekali, ya?! Kau berlagak 

lupa, hah?!” 

Suro Bodong mengibaskan kepalanya lagi sambil 

menyemburkan bibirnya yang berkumis tebal. Kedua 

ketiaknya masih dililit camuk dan siap untuk digeret. 

“Coba katakan…apa salahku, mungkin aku akan ingat 

dan kita bisa menembus kesalahan bersama-sama!” 

“Ngaco saja omongannya!” gerutu Rahuto. 

Wijaya mencengkeram baju Suro dengan ganas. Wajah-

nya memandang dekat, sedangkan mata Suro dalam 

keadaan sayu, memerah. 

“Dengar…! Kau telah menjadi jagal di Kadipaten kami!” 

“Jagal? Oo, jadi aku telah memotong berapa ekor sapi 

dan berapa ekor kerbau?!” 

“Bukan binatang yang kau jagal, tapi… manusia!” Wijaya 

menegaskan. “Menantu Kanjeng Adipati yang bernama 

Raden Atmaja itu kau gorok lehernya dengan keji!” 

“Plaaak…!!” Wijaya menampar keras wajah Suro. Yang 

ditampar mengaduh dan gelagepan. Wijaya berkata lagi 

“Keluarga Raden Mas Purwakusuma kau bantai semua


nya! Anak-anaknya, istrinya, keponakannya….semua kau 

habisi dengan memotong lehernya!” 

“Plaak…!” Wijaya menampar dengan kesal. Suro Bodong 

mengaduh lagi dengan kepala tersentak ke samping. 

Rambutnya yang panjag sebahu diikat kain merah itu 

semakin acak-acakan, menambah wajah Suro seram, 

bagai wajah seorang pembunuh berdarah dingin. 

“Juga beberapa penduduk yang tak tahu dosa kau 

bunuh dengan caramu! Kau gantung dan kau beset-beset 

kulit mereka di depan anggota keluarganya! Sungguh keji 

kau, Suro Bodong! Sungguh kejiii…!!” 

“Plook…!” Kali ini, tonjokan yang nyasar ke wajah Suro 

dan membuat mata kiri Suro Bodong menjadi memar, 

membiru legam. Suro berteriak kuat-kuat dalam keadaan 

tubuh hendak terpelanting jatuh. Tetapi Rahuto 

memegangi cambuknya yang melilit di ketiak Suro Bodong 

sehingga tubuh Suro masih dalam keadaan berdiri dengan 

lutut merendah. 

“Bangun…!!” Wijaya membentak sambil menarik 

cambuknya yang juga melilit di ketiak Suro. “Kau harus ber-

tanggung jawab atas pembunuhan dan keonaran yang kau 

lakukan di Kadipaten kami! Ayo, lekas…bangun!” 

Rintih dan erangan Suro Bodong mengiringi per-

jalanannya ke Kadipaten Kidang Kencana. Dengan jalan 

setengah diseret, Suro Bodong melangkah gontai, bahkan 

sesekali terjatuh lemas dalam keluhan kesakitan. Namun 

pengaruh maboknya masih saja membuat Suro Bodong 

dalam keadaan antara sadar dan tidak. Suro tahu kalau ia 

mempunyai beberapa jurus andalan yang mampu 

melumpuhkan kedua pemuda perkasa dan ganteng-

ganteng itu. Tetapi ia tidak tahu bagaimana cara meng-

gunakannya. 

Suro Bodong juga sadar, bahwa ia mempunyai jurus 

Luing Ayan-1 sampai Luing Ayan-7, yang dapat merubah 

ujudnya menjadi tujuh kali ganti rupa yang berlainan. 

Tetapi bagaimana cara menggunakan jurus Luing Ayan itu, 

ooh….sungguh tidak bisa diingat sedikitpun. Bahkan


pedang pusaka yang bernama Pedang Urat Petir, tak tahu 

di mana ia meyimpannya. Ia melihat tubuhnya yang polos 

tanpa senjata, padahal ia ingat-ingat lupa, bahwa ia punya 

senjata pusaka yang cukup hebat. Cahaya ungu yang 

terpancar dari pedangnya terbayang selintas dalam 

ingatan, ingin sekali ia meraih pedang itu untuk melawan 

Rahuto dan Wijaya. Sayang, ia kebingungan mencari di 

mana ia menyimpan pedangnya. Ia merasa bingung tujuh 

keliling. Tapi ia ingat, ia bergelar Pendekar 7 Keliling. 

Kenapa bisa bergelar begitu? Ah, lupa! Ia benar-benar lupa 

bahwa gelar itu diperoleh karena ia mampu berubah 

ujudnya tujuh kali dalam setiap gerakan berputar. 

Tapi…..berputar yang bagaimana? Sial! Lupa lagi! 

“Rahuto….! Apakah dia yang bernama Suro Bodong?!” 

seru salah seorang penduduk dari beberapa orang yang 

memperhatikan Suro Bodong ditarik-tarik Rahuto dan 

Wijaya. Rahuto menyahut dengan berseru. 

“Ya. Ini dia yang bernama Suro Bodong, yang tempo hari 

lolos dari kejaranku setelah membantai Pak Sugali!” 

“Hajar saja dia…!” seru mereka. “Bunuh…! Gantung! 

Matikan dia…! Matikan Suro Bodong! Penggal kepalanya! 

Cabut kuku-kukunya…! Sikaaaat….giginya!” 

“Plak, pokk…pletak…! Buk, buk, buk…!” 

“Aaaaaahhh…!!” 

Suro Bodong berteriak keras karena banyak penduduk 

yang menghujani batu, yang memukulnya dengan kayu, 

bahkan ada yang menggigit paha Suro Bodong dengan 

gemas. Untung saja orang itu tersengkat kaki Rahuto tak 

sengaja sehingga gigitannya tidak membuat daging paha 

Suro gompal. 

“Sabar….sabar….!” teriak Wijaya menenangkan amukan 

penduduk Kadipaten Kidang Kencana. 

“Dia yang membunuh Pamanku!” teriak seseorang. 

“Dia yang memperkosa anak gadisku! Bunuh dia!” seru 

seorang ibu sambil membawa parutan kelapa. 

“Bakar saja dia! Bakar….! Dia yang membakar rumah 

kami dan memperkosa adik kami…!” teriak seorang


pemuda dengan mata garang. 

Soerang kakek mendekar, menerobos tangan Wijaya 

yang menghalanginya. Kakek itu membawa tongkat dan 

berdiri di depan Suro Bodong. “Ini yang memperkosa istriku 

tidak jagi…! Hihh…!” 

“Pletak…!” Tongkat kayu dihantamkan di ubun-ubun 

Suro Bodong. Satu kali pukul, kepala Suro Bodong sudah 

sanggup mengucurkan darah. Dua kali pukul, tangan kakek 

itu ditahan oleh Rahuto. 

“Sabar, Kek….! Jangan mendahului pengadilan Kanjeng 

Adipati, nanti kita kesalahan…!” bujuk Rahuto. Kemudian 

Suro Bodong ditarik-tarik oleh Wijaya dan terseret-seret 

menuju gerbang dalem Kadipaten. Penduduk berbondong-

bondong mengikuti Suro Bodong sambil melemparkan apa 

saja yang terpegang. Sekena-kenanya. Bahkan ada yang 

melemparkan blengkon kepalanya dan mondolan blangkon 

mengenai kening Suro Bodong. Suro mengaduh lirih, 

sudah tak mampu berteriak lagi. 

Darah membasah, melumuri tubuh Suro Bodong yang 

sedang dalam keadaan mabok itu. Ia menghadap Adipati 

Lohgawe dengan badan tak sanggup berdiri lagi. Banyak 

punggawa negeri berkumpul dengan menggeram, meng-

geletukkan giginya. Malah ada yang sempat menyundutnya 

pakai rokok, dan segera dilarang oleh Adipati Lohgawe. 

Sebab waktu itu sundutan api rokok bukan mengenai kaki 

Suro tapi mengenai kaki Wijaya. 

“Mandikan dia, baru kita sidang!” kata Adipati Lohgawe 

dengan suara penuh dendam. Kalau saja ia bukan seorang 

Adipati, mungkin ia juga akan ikut-ikutan memukul Suro 

atau menyundutnya dengan puntung rokok. Hanya saja, 

karena ia menyadari kedudukannya sebagai Adipati 

penguasa Kadipaten Kidang Kencana yang dihormati 

semua orang, maka ia berusaha menahan emasi, bahkan 

mencoba bersikap bijak dan berwibawa. 

Suro Bodong menjerit-jerit kesakitan ketika disiram oleh 

air, dan didorong agar tercebur ke dalam kolam ikan. Luka 

disekujur tubuhnya membuatnya perih dan kesakitan. Tapi


mereka tidak satu pun ada yang kasihan kepada Suro. 

Bahkan sebaliknya, mereka bersikap kasar dan penuh 

pelampiasan dendam. 

Suro Bodong hanya mengerang-erang kesakitan, ia 

belum menyadari siapa dirinya dan bagaimana meng-

gunakan jurus-jurusnya. Yang ia tahu, ia disiksa tanpa jelas 

kesalahannya. Ketika ia dihanduki dengan kain karung 

bekas rumput kuda, ia menjerit-jerit lagi, karena mereka 

menghanduki dengan kasar. 

“Awas, hati-hati…! Jangan sampai lolos dia!” kata se-

orang abdi dalem perempuan yang berdiri di depan dapur. 

Waktu itu, Suro Bodong sempat melirik adanya seorang 

perempuan lain yang tampak berpakaian rapi dengan 

busana kebangsawanan. Perempuan itu mengenakan 

pakaian pinjung biru muda dengan kain batik warna cerah. 

Gelang dan kalungnya bergemerlapan. Ia mempunyai 

rambut yang disanggul ke atas dan memakai tusuk konde 

dari logam perak berhias batuan merah. Mungkin itu istri 

Adipati, pikir Suro Bodong. Atau mungkin dia Mbok Emban, 

yang bertugas mengasuh bayi. Ah, terlalu cantik dia kalau 

mejadi emban. Terlalu bersih dan terlalu menawan. Ck, ck, 

ck…matanya begitu bening dan enak dipandang. 

“Hei, kenapa malah bengong!!” seorang prajurit ber-

kumis tebal, sama seperti kumis Suro, menendang pantat 

Suro dengan kasar. Suro Bodong terjengkang jatuh dan 

sama sekali tidak bisa menangkis tendangan sepele itu. 

Suro Bodong segera dihadapkan di sidang kadipaten. 

Adipati Lohgawe sepertinya tidak sabar menunggu saat 

memberi keputusan hukuman kepada Suro. Maka, ketika 

Suro Bodong dihadapkan kepadanya, langsung saja Adipati 

Lohgawe berseru: 

“Apa benar kau yang bernama Suro Bodong?” 

Jawab Suro Bodong, “Kalau tidak salah, benar! Aku Suro 

Bodong. Aku seorang Senopati. Istriku cantik dan…!” 

“Cukup!” bentak Wijaya yang rupanya sebagai orang 

andalan adipati. Wijaya mengancam dengan menjambak 

rambut Suro Bodong, sebab Suro sudah tidak mengena


kan baju lagi. 

“Kau hanya boleh bicara sesuai dengan pertanyaan 

Kanjeng Adipati, mengerti! Jangan lebih!” 

Wijaya melepaskan genggaman rambut Suro Bodong. 

Suro meringis-ringis, mulutnya mendesis-desis menahan 

sakit. 

“Mengapa kau membunuh Raden Atmaja, menantuku? 

Apa salahnya? Apa urusan kalian?!” tanya Adipati Lohgawe. 

“Aku tidak tahu,” jawab Suro Bodong dengan suara 

lemah. Saat itu ia sempat melirik ke sudut, menatap 

seorang perempuan yang mengenakan pinjung biru muda 

dan bertusuk konde perak. Cantik dan lembut kulit 

tubuhnya yang terlihat itu. agaknya perempuan itu sejak 

tadi memperhatikan Suro Bodong dengan sorot mata yang 

mengandung dendam membara. 

“Kuminta kau bicara dengan jujur! Jangan berbelit-belit, 

mengeti?!” bentak Lohgawe. 

“Mengerti…” jawab Suro datar. 

“Ada persoalan apa kau dengan Raden Atmaja dan 

keluarga Raden Mas Purwakusuma?!” 

“Tidak ada,” jawab Suro bo menyempatkan melirik ke 

sudut. 

“Jika tidak ada, mengapa kau bantai mereka? Bahkan 

penduduk tak tahu dosa kau bunuh, kau perkosa dan kau 

siksa mereka. Apa alasanmu berbuat begitu?!” 

Suro Bodong masih menampakkan kesayuan matanya, 

ia memandang Adipati dan bertanya. 

“Apa mereka mati?!” 

Wijaya menggeram jengkel, “Dia berlagak lupa!” 

“Pura-pura gila…!” sahut Rahuto. 

“Mungkin dia mabok,” kata salah seorang perwira 

kadipaten yang mempunyai banyak anak buah itu. 

Wijaya menyahut, “Tidak mungkin! Aku tidak mencium 

bau tuak atau arak dari nafasnya! Dia pasti pura-pura gila, 

atau berlagak lupa dengan segalanya!” 

Adipati Lohgawe mengangkat tangan, pertanda meminta 

hadirin supaya tenang. Sementara itu, samar-samar ter


dengar seruan dari luar dalem kadipaten yang saling ber-

sahutan, “Gantung Suro Bodong…! Gantung dia…! Bakar 

saja hidup-hidup…! Rajang-rajang wajah Suro Bodong!!” 

Adipati berkata kepada Suro Bodong yang loyo, 

“Hei, kau dengar mereka menuntutmu, bukan?! Mereka 

berseru memanggil namamu untuk dibunuh ramai-ramai. 

Kalau sudah begini kau mau bilang apa?!” 

“Hebat,” jawab Suro Bodong seperti orang mengigau. Ia 

bahkan menyeringai tawar. 

“Apanya yang hebat?” hardik Adipati Lohgawe. 

“Aku heran, mengapa namaku jadi kondang di 

kadipaten ini. Namaku jadi dikenal oleh setiap orang, 

padahal aku baru satu kali datang ke kadipaten ini.” 

“Baru satu kali…?!” Adipati berkerut dahi. 

“Kanjeng,” sela Wijaya. “Sebaiknya, segera saja Kanjeng 

putuskan untuk menjatuhkan jenis hukuman, biar masalah 

ini tidak bertele-tele. Kalau terlalu banyak mengulur waktu, 

saya kawatir dia akan mencari kesempatan untuk melari-

kan diri…” 

Suro sendiri yang menyahut dengan sisa akal warasnya, 

“Tak perlu khawatir….aku tak mungkin akan lari dari 

Kadipaten ini. Selain…..aku lemah, juga ada hal yang harus 

kuselesaikan. Aku tak mungkin lari sebelum selesai 

masalahku di sini…” 

“Masalah apa, Suro ?” tanya kanjeng Adipati Lohgawe. 

“Masalah tuduhan!” jawab Suro dengan sedikit tegas, 

namun masih saja dengan mata sayup-sayup dan suara 

ngambang. “Aku dituduh, difitnah, lalu disiksa…. Aku 

didakwa membunuh raden Atmaja dan Keluaraga Raden 

Mas….siapa tadi, aku lupa namanya! Dan….aku akan 

menuntut kalau terbukti aku tidak bersalah.” 

Secara tidak sengaja, semua mulut jadi terbungkam dan 

semua mata memandang kepada Suro Bodong dengan 

rasa heran dan curiga. Sementara itu, Suro Bodong sendiri 

hanya menunduk lemah, sesekali mendesah menahan 

rasa perih di tempat yang terluka. Perempuan berpinjung 

biru muda masih mengikuti semua pembicaraan dengan


diam, tanpa kata apapun. 

“Kau sudah jelas bersalah, Suro Bodong. Tak mungkin 

kau bisa membuktikan dirimu tidak bersalah. Di sini 

banyak saksi mata yang melihat kau melakukan pem-

bunuhan keji terhadap rakyatku, bahkan terhadap 

menantuku sendiri,” kata Adipati. Lalu, ia bicara kepada 

seorang perajurit, “Panggil Dadapsuri dan Jayeng….!” 

Prajurit yang diperintahkan memanggil kedua orang itu 

segera pergi. Saat itu Rahuto berkata, 

“Apa lagi yang harus Kanjeng tunggu-tunggu? Apakah 

masih ada hal yang menyangsikan, Kanjeng? Bukankah dia 

sudah mengaku sebagai Suro Bodong, dan ciri-cirinya 

sama persis dengan ciri-ciri yang diserbutkan para saksi. 

Bahkan Wijaya sendiri yang sempat memergoki Suro 

Bodong hendak memperkosa anak saudagar Branta juga 

hapal sekali, bahkan inilah orang yang ia kejar-kejar itu.” 

“Benar, kanjeng,” sahut Wijaya. “Saya tidak salah lihat, 

memang inilah Suro Bodong.” 

Adipati diam tanpa suara. Agaknya mempertimbangkan 

sesuatu. Namun sebelum ia bicara, prajurit utusan tadi 

sudah datang bersama orang yang bernama Jayeng dan 

Dadapsuri. 

“Jayeng dan Dadapsuri….” Sapa Adipati. Keduanya 

memberi sembah penghormatan. Lalu kata Adipati, “Apa 

benar kalian melihat sendiri saat Suro mengamuk di 

rumah Raden Mas Purwakusuma?” 

“Benar, Kanjeng Adipati,” jawab mereka bersama. 

“Kalian melihat sendiri wajah orangnya?” 

“Kami melihat persis, Kanjeng.” 

“Seperti dia?” tuding Adipati ke Suro Bodong. 

Setelah memandang sebentar Dadapsuri menjawab, 

“Bukan persis lagi, kanjeng. Tetapi memang dialah pem-

bunuhnya!” 

Tiba-tiba Suro Bodong berkata,”Aku akan menuntut 

kalian!” ia menuding Dadapsuri dan Jayeng dengan mata 

dan gerak seorang yang sedang mabok. 

“Apa yang akan kau tuntut, Pembunuh Keji!” ketus


Jayeng. 

“Kalian telah menuduhku berbuat jahat. Aku tidak bisa 

menerima hal itu! Karena aku ini bukan orang jahat, 

melainkan orang baik-baik. Aku belum pernah datang ke 

kadipaten ini sebelumnya. Kalian jangan asal menuduh, 

ya?” 

“Kanjeng…” kata Jayeng. “Kami tidak bohong. Kami 

melihat sendiri, memang dialah yang menggorok leher 

Raden Mas Purwakusuma. Betul, kanjeng! Bahkan ia 

menyebutkan namanya kepada orang-orang yang memper-

hatikan dari kejauhan, bahwa dia bernama Suro Bodong.” 

Suasana hening. Suro Bodong termenung dalam ber-

pikir. Kepalanya tersa pening sekali. Dan pikirannya sangat 

kacau. Sebentar-sebentar yang dilirik hanyalah perempuan 

di sudut sana yang sempat membuat hati Suro berdecak 

kagum atas kecantikannya. 

“Bukti dan saksi sudah ada, Suro!” 

“Tidak bisa! Beri aku kesempatan untuk berkhayal…!” 

Suro tersenyum, bicaranya ngacau lagi. “Biasanya kalau 

berkhayal itu menemukan suatu keindahan. Dan aku ingin 

menemukan suatu keindahan. Kalau memang aku 

bersalah, hukum sajalah. Apa susahnya sih? Tak perlu 

pakai pengadilan seperti ini.” 

“Kami tidak ingin menghukum orang yang tidak ber-

salah,” kata Adipati. 

“Nah, kalau begitu, aku tidak akan dihukum, sebab aku 

tidak bersalah! Aku bukan pembunuh. Aku Senopati. Itu 

juga terpaksa, habis….aku didesak untuk menjadi 

Senopati, sebab aku…” 

“Sudah, sudah….bicaralah yang benar. Kau kuberi 

kesempatan untuk membela diri,” sahut Adipati. 

“Kepalaku pusing,” Suro meringis. “Aku akan bicara 

kalau kepalaku sudah tidak pusing lagi. Aku tidak bisa 

menjelaskan maksudku kalau kepalaku masih pusing. 

Oh….aku haus sekali! Dari tadi aku disiksa, tapi tidak diberi 

suguhan apa-apa. Aku minta minum, Adipati!” 

Adipati memberi isyarat kepada seorang perajurit, lalu


perajurit itu pergi dan datang lagi membawa sebutir kelapa 

yang sudah dibuka bagian atasnya. Suro Bodong diberi 

minum air kelapa. Kata perajurit itu, “Cuma minuman ini 

yang pantas diminum oleh seorang pembunuh berhati 

iblis…” 

“Terima kasih, Pimpinan Setan….” Kata Suro Bodong 

sambil menerima buah kelapa itu. ia tak perduli prajurit 

tadi bersungut-sungut dengan geram. Yang penting ia perlu 

membasahi tenggorokannya, sekalipun dengan air kelapa. 

Ia meneguk habis air kelapa itu, dan membuat beberapa 

orang terheran-heran di dalam hati mereka. 

“Wijaya dan Rahuto…” kata Adipati Lohgawe. “Atasilah 

rakyat yang berjemur di alun-alun itu. Beri keputusan 

kepada mereka, bahwa Suro Bodong akan dihukum 

setelah pengadilanku memutuskan bahwa ia bersalah. 

Tetapi, bukan untuk saat ini dia harus menjalankan 

hukumannya.” 

“Mereka tidak sabar, kanjeng!” sahut Wijaya. 

“Kau yang bertugas membuat mereka sabar, Wijaya,” 

sahut Adipati dengan tegas. “Aku tida mau menjatuhkan 

hukuman yang salah. Semua hukum di sini, seperti yang 

sudah-sudah, harus melalui pengadilan lebih dulu. 

Keputusanku akan terjadi dengan jelas kalau sudah 

mengadili tertuduh. Sekarang, Suro dalam keadaan luka, 

dan mungkin otaknya sedikit terganggu akibat kepalanya 

bocor dipukul oleh siapa saja. Beri dia waktu sampai ia 

bisa bicara dengan waras.” 

“Tapi, saya rasa dia tidak akan menjadi waras. Dia akan 

berpura-pura sakit kepala atau gila, kanjeng. Sebab 

bagaimanapun juga, dia akan mencari dalih agar dia bisa 

lolos dari tuduhan kita, Kanjeng!” 

“Beri dia waktu satu hari. Kalau lebih dari satu hari dia 

belum mau waras jgua….aku memutuskan untuk digantung 

di tengah alun-alun! Tapi sekarang, penjarakan dia!” 

Ada tiga utusan rakyat yang menghadap Adipati 

Lohgawe. Mereka diizinkan bicara, dan salah satu berkata 

“Kanjeng, kami….rakyat Kadipaten Kidang Kencana,


tidak akan setia lagi kepada Paduka kanjeng Adipati jika 

Suro Bodong tidak segera dihukum. Kami mohon, laksana-

kan hukuman di alun-alun sekarang juga, dan kami tetap 

akan setia kepada Paduka kanjeng Adipati junjungan 

kami.” 

Adipati Lohgawe mulai resah. Wijaya menambahkan 

kata, 

“Demi kehormatan dan martabat kanjeng di depan 

rakyat, biarkan rakyat menghukum Suro Bodong sekarang 

juga…!” 

Setelah diam berpikir lama, Adipati Lohgawe memutus-

kan “Baiklah, bawa dia di alun-alun dan ikat dia di sana! 

Tapi jangan lakukan hukuman dulu. Aku akan berembuk 

dengan puteriku, istri almarhum Raden Atmaja, untuk 

menentukan hukuman!” 

***


DUA


PEREMPUAN berpakaian biru muda dengan tusuk 

konde perak berbentuk ular naga itu ternyata putri 

Sang Adipati. Dialah yang bernama Puji Wardani. 

Bekas istri Raden Atmaja, yang menjadi janda kembang 

akibat suaminya digorok oleh pembunuh keji. Konon pem-

bunuh itu bernama Suro Bodong. Puji Wardani sendiri 

melihat saat suaminya dibunuh di kamar pada dini hari. Ia 

tidak dapat berteriak, dan pingsan setelah melihat Suro 

Bodong menghunus sebilah pedang dan menebaskan ke 

leher Raden Atmaja. 

“Tak mungkin salah, Romo,” ujar Puji Wardani yang 

masih menyembunyikan kepedihan di sela kobaran 

dendamnya. “Saya melihat jelas, dialah pembunuh Kang 

Mas Atmaja. Ia memakai baju merah tanpa dikancingkan, 

dan celana biru dengan ikat pinggang kuning. Rambutnya 

panjang sebahu dan diikat dengan kain merah. Kumisnya 

tebal dan badannya gemuk sekalipun tidk terbilang gendut, 

Romo. Dan….orang itulah yang sekarang diikat di tengah 

alun-alun itu, tak mungkin salah!” 

“Puji Wardani….” Kata Adipati Lohgawe dengan suara 

lembut. “Romo bukan bermaksud tidak menghukumnya. 

Kalau sudah melalui pengadilan yang resmi seperti 

kebiasaan di pemerintahan kita, maka Suro Bodong akan 

dijatuhi hukuman. Tapi sekarang ini dia belum bisa diajak 

bicara. Banyak luka di tubuhnya, termasuk di kepala, dan 

itu membuat Suro Bodong dalam keadaan tidak sehat, baik 

otak maupun bicaranya. Jadi….” 

“Jadi menunggu dia melarikan diri lagi?!” sahut istri 

Adipati Lohgawe yang juga memendam dendam kepada 

Suro Bodong. “Sudah jelas dia bersalah, masih saja diulur-

ulur persoalannya,” istri Adipati bersungut-sungut. 

“Peraturanku adalah kejayaanku, Diajeng!” kata Adipati 

dengan sabar. “Kalau aku melanggar peraturanku sendiri,


yaitu menjatuhkan hukuman kepada orang yang belum 

diadili, itu sama saja aku menggulingkan kejayaanku 

sendiri.” 

Istri Adipati hanya cemberut, duduk di samping puteri-

nya yang tunggal, Puji Wardani. Adipati sendiri merasa 

seperti dalam keadaan yang terjepit. Istri, anak dan rakyat-

nya mendesak agar ia menjatuhkan hukuman selekas-

lekasnya kepada Suro Bodong. Padahal dia sudah 

menentukan suatu undang-undang yang selama ini men-

jamin keadilan pemerintahannya, yaitu mengadili setiap 

tertuduh untuk menentukan apakah tertuduh pantas di-

hukum atau dibebaskan. Dan selama ini rakyat 

menyanjung keputusannya yang senantiasa adil serta 

bijaksana. Kalau dia gegabah menjatuhkan hukuman 

kepada Suro Bodong berdasarkan dendam rakyatnya, 

sudah tentu akan menggoncang kewibawaan 

pemerintahannya. Sedangkan seorang dalam keadaan 

tidak sehat baik otak maupun jasmaninya, selalu ditolak 

dalam pengadilan, menunggu sampai orang tersebut 

sembuh dan sehat, baru dilaksanakan sidang pengadilan 

tersebut. Ini sudah merupakan ketentuan yang dibuat 

sejak ia ‘jumeneng’ sebagai Adipati di Kadipaten Kidang 

Kencana. 

“Kalau benar orang itu yang melakukan keji terhadap 

rakyat kita, dan terhadap Raden Atmaja, suamimu,” kata 

Sang Adipati kepada anaknya, “Lantas, menurutmu… 

hukuman apa yang pantas untuk dijatuhkan kepadanya, 

Puji?” 

“Tak ada yang pantas kecuali hukum picis…!” jawab Puji 

Wardani dengan cemberut menahan gejolak dendam. 

“Hukum picis?! Setiap orang berhak mengiris atau 

melukai tubuhnya dengan apa saja?!” Adipati menegaskan. 

Dan anaknya hanya berkata dengan suara datar. 

“Aku orang pertama yang harus melakukan hukuman 

itu!” 

Istri sang Adipati menyahut, “Dan aku orang kedua….” 

Geram di giginya yang menggeletuk terlihat jelas. Adipati


terbungkam mencoba memahami perasaan istri dan anak-

nya. 

Sementara itu, di tengah alun-alun rakyat tampak 

berkumpul, walau tidak semuanya. Tidak cukup banyak 

juga yang berdiri di luar pagar. 

Suro Bodong terikat pada sebuah tiang yang terpancang 

di tengah alun-alun. Terik panas matahari menyorot ke 

tubuhnya yang rapat diikat tali, menjadi satu dengan tiang 

tersebut. Beberapa prajurit memagari alun-alun, supaya 

rakyat tidak mengamuk dan menghajar Suro Bodong 

sebelum ada keputusan dari Adipati Lohgawe. Jarak antara 

Suro Bodong dengan kumpulan manusia yang melingkari--

nya cukup jauh, sehingga tak ada yang dapat memukul 

Suro dari jarak dekat. Setiap orang yang hendak masuk ke 

dalam lingkaran para perajurit pasti ditahan, dan disruuh 

keluar. Namun demikian mereka masih sesekali berteriak 

menampakkan amarahnya. 

“Gantung Suro Bodong….! Gantung dia…! Bakar saja 

hidup-hidup…!” 

Sesekali ada yang nekad melempar dengan batu. Suro 

Bodong hanya diam dalam kebingungannya sebagai orang 

yang sedang mabok. Lemparan batu itu ada yang 

mengenai tubuh Suro Bodong, ada yang tidak sampai. 

Namun, seorang anak kecil berhasil menyakiti Suro Bodong 

dari jarak jauh. Ia menyelepet Suro Bodong memakai 

ketapelnya. Batu-batu sebesar ibu jari mengenai Suro 

Bodong beberapa kali, bahkan ada yang mengenai 

kepalanya dan menimbulkan benjolan yang membiru. Suro 

Bodong berteriak kesakitan bila batu itu memang terasa 

sakit mengenai tubuhnya. Dan biasanya anak itu 

melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, takut diketahui 

salah seorang perajurit. Ia tak ingin ketapelnya dirampas. 

Tapi, nyatanya harapan anak itu meleset. Seorang perajurit 

tanpa seragam mengetahui perbuatannya, lalu ketapel itu 

dirampas dan ia menangis karena kehilangan ketapelnya. 

Bahkan ayah anak itu sempat cek-cok dengan seorang 

perajurit gara-gara ketapel itu. Namun segera dapat


diselesaikan dengan damai. 

Sehari semalam Suro Bodong diikat pada tiang itu di 

tengah alun-alun. Ia tidak diberi makan, karena pada waktu 

seharunya ia diberi makan, ia sudah buru-buru pingsan 

karena lemparan batu cukup besar yang mengenai ulu 

hatinya. Obor-obor malam berkelap-kelip di pinggiran alun-

alun. Rakyat seakan menunggu keputusan Adipati Lohgawe 

untuk segera melaksanakan hukuman bagi Suro Bodong. 

tak satupun rakyat yang menampakkan belas kasihan 

kepada Suro Bodong. Bahkan semuanya berwajah tak 

sabar, ingin segera melampiaskan kemarahannya. 

Suro Bodong jelas tidak mengetahui kalau malam itu ia 

dikerumuni massa yang membawa obor. Ia pingsan. Lama 

sekali. Lemparan yang sesekali mengani tubuhnya tidak 

dirasa lagi. Kepala Suro sudah terkulai menunduk dan ada 

darah yang masih meleleh dari luka di kepalanya itu. 

Pagi, menjelang fajar meningsing, udara dingin yang 

membawa embun telah menyadarkan Suro Bodong dari 

pingsannya. Ia melihat ke sekeliling dengan rasa heran. Ia 

bertanya-tanya dalam hati, mengapa ia ada di tengah suatu 

alun-alun? Di alun-alun mana dia berada? Dan mengapa ia 

diikat? 

Rupanya Suro Bodong telah mulai menyadari keadaan 

dirinya. Ia mencoba mengingat-ingat dari sejak perjalanan 

meninggalkan Kesultanan Praja, sampai makan gadung 

dan muntah-muntah. Sedikit demi sedikit ingatannya pulih 

kembali, bahwa ia telah ditawan oleh pemerintah 

kadipaten karena tuduhan membunuh dan membantai 

rakyat. Ya, dia ingat semua tuduhannya. Dia ingat pula 

siapa-siapa orang yang menyeretnya dan mengadilinya. Ia 

bahkan ingat sekali tentang wajah perempuan cantik 

berpakaian biru muda yang saat itu memperhatikan 

dirinya disiksa di depan kolam ikan. Dia juga ingat saat 

diberi minum air kelapa oleh seoerang perajurit. Dan ia 

baru sadar bahwa air kepala muda itulah yang 

menawarkan racun gadung dalam perutnya. Jika tanpa 

meminum air kelapa muda itu, mungkin ia akan


memerlukan waktu lama untuk sembuh dari mabok 

gadung. Dan sekarang…..sekarang ia telah memperoleh 

kesadarannya. Pusing di kepala telah hilang, yang ada 

hanya rasa nyeri akibat luka di tubuh. 

Suro Bodong sengaja bernafas panjang-panjang. Ia 

menghirup udara pagi yang segar sebanyak-banyaknya 

untuk memperoleh kesegeran di dalam tubuh. Sambil 

melakukan hal itu, ia mencoba mengingat-ingat tengang 

tuduhannya. Ia berkata dalam hati, 

“Raden Atmaja…?! Siapa dia? Aku baru kali ini 

mendengar nama Raden Atmaja…. Juga nama Raden Mas 

Purwakusuma….” Suro agak mengeja. “Siapa pula mereka? 

Apa benar aku telah membantai mereka, dan….dan 

beberapa penduduk yang tak berdosa. Malah, sepertinya 

ada yang menuduhku telah memperkosa anak, kakak atau 

istri mereka. Ah, gila! Mana mungkin aku melakukan hal 

itu? Tetapi…banyak saksi mata yang melihat aku 

melakukan begitu. Kalau tidak salah, kemarin siang ada 

dua orang yang melihatku melakukan pembantaian di 

rumah keluarga gmp. Kalau tidak salah….” Suro mengingat-

ingat dengan dahi berkerut, “….kata kedua saksi mata itu, 

setelah membantai keluarga itu, aku menyebutkan 

namaku…? Apa iya begitu?!” 

Mungkin tak ada yang tahu kalau Suro Bodong telah 

siuman dari pingsannya. Maklum, langit masih gelap dan 

caaya fajar masih mengintip di cakrawala. Tapi kokok ayam 

sudah sejak tadi terdengar bersahut-sahutan. Suro Bodong 

menggunakan suasana tenang itu untuk berpikir dan 

menimang-nimang apa yang harus dilakukan. Di dalam 

hatinya dia berkata sendiri, 

“Kalau saja aku jadi pembunuh….misalnya aku benar-

benar membantai keluarga Raden Mas Purwakusuma, apa 

yang haus kulakukan?” Suro Bodong berkerut dahi lama 

sekali. 

“Aku akan membantai mereka secara diam-diam…. 

lalu…. lalu aku akan pergi tanpa berusaha diketahui orang 

lain. Lalu…? Lalu kenapa ada saksi yang mengatakan aku


menyebutkan namaku? Ah, siapa saja yang membantai 

orang pasti tidak akan menyebut namanya. Kalau begitu, 

pasti ada alasan tersendiri bagi pembunuh yang berani 

menyebutkan namanya di depan para saksi. Ya. Pasti ada 

alasan lain. Apa ya…?!” Suro masih bersungut-sungut 

dengan tangan terikat jadi satu pada tiang dan tubuhnya. 

“Ada beberapa kemungkinan,” katanya dalam hati. 

“Yang pertama, adalah kemungkinan adanya sekelompok 

orang yang bersepakat memfitnahku. Mereka berembuk 

untuk mengatakan bahwa pembunuh itu bernama Suro 

Bodong. Entah dengan maksud apa, tapi jelas sekelompok 

orang bisa saja sepakat untuk mengaku demikian, 

kemungkinan lainnya…?” 

Sambil menghirup udara pagi yang banyak, Suro Bodong 

masih memutar otaknya untuk menyelidiki tuduhannya. Ia 

selalu berkata sendiri di dalam hati, 

“Banyak kemungkinan lain. Misalnya, mereka salah 

dengar waktu si pembunuh menyebutkan nama. 

Atau….mereka sengaja menuduhku demikian walau 

sebenarnya tidak ada yang mati satupun. Alasannya apa? 

Nah, ini…..alasan ini yang sukar dicari…” 

Seorang perajurit melihat Suro Bodong sudah siuman. 

Prajurit bersenjata tombak dan perisai perunggu itu 

mendekati Suro Bodong. Waktu itu, langit mulai cerah. 

“Syukurlah kalau kau sudah siuman….” Katanya. Suro 

Bodong tersenyum sinis. 

“Syukurlah kalau kau masih selamat,” balas Suro 

Bodong. 

“Apa maksudmu, hah?” prajurit itu menghardik. 

“Maksudku, kalau aku bisa lolos dari ikatan ini, kau 

tidak kuizinkan bernafas sedikitpun.” 

Serta merta prajurit itu mengulurkan ujung tombaknya 

yang tajam ke leher Suro, leher itu ditekan sedikit dengan 

ujung tombak, dan ia berkata dengan geram, 

“Hati-hatilah dalam bicaramu! Jangan mempercepat 

kematian sebelum Kanjeng Adipati memutuskan hukuman 

apa yang layak untuk dijatuhkan kepadamu. Tahu…?”


“Tahu, Paman…” jawab Suro Bodong tanpa rasa takut 

yang tergambar di wajahnya. Yang ada di wajah itu adalah 

ketenangan. Ya. Suro Bodong sudah bisa menenangkan 

diri, dan bisa mengatasi rasa sakit akibat luka-lukanya. 

Prajurit itu menyeringai dengan sombong, menarik tombak-

nya dan mundur menjauh. 

“Tahukah kau bahwa nyawamu sendiri hanya sampai 

hari ini. Kanjeng Adipati sedang memilih hukuman untuk 

mengakhiri hidupmu. Hukuman itu harus setimpal dengan 

kekejamanmu, sehingga rakyatpun puas!” 

Suro Bodong tersenyum santai. “Hei, bisakah kau 

melepaskan tali ini sebentar? Nanti ikatkan lagi seperti 

semula.” 

“Untuk apa?!” 

“Aku mau garuk-garuk kumisku. Sebentar saja…! Nanti 

ikatlah lagi…” 

Prajurit itu bersungut-sungut. Cemberut. 

“Kau ingin mengecohkan aku, ya? Ingin menipuku? 

Uh….pikir-pikir dululah, kau bicara dengan seorang prajurit! 

Bukan dengan kusir delman, tahu?” 

Nafas Suro Bodong terhempas. Ia ingin sekali garuk-

garuk kumis seperti biasanya. 

“Atau….kalau tidak, tolong garukkan kumisku sebentar,” 

katanya. “Cuma sebentar saja. Yahh….kira-kira empat atau 

lima garukan saja….” 

Prajurit itu melototkan mata, merasa dihina. Lalu Suro 

ditampar dengan tangan kiri. “Plak…!” 

“Terima kasih…!” kata Suro sambil menyeringai. 

“Ternyata cukup satu tamparan saja kumisku telah merasa 

tergaruk dengan puas. Terima kasih, sobat….” 

Untuk mengurangi kedongkolan, prajurit itu pergi. Ia 

dipanggil Suro berkali-kali, tapi tidak mau berpaling sedikit-

pun. Suro Bodong tertawa sendiri dengan suara pelan. 

Matahari pagi sudah mulai menampakkan batang 

hidungnya. Sinarnya cukup cerah, seperti mengucapkan 

selamat dihukum kepada Suro Bodong. Suro hanya 

menyeringai pahit memandang kemunculan matahari.


Karena dilihatnya, orang-orang mulai berdatangan 

mengerumuni alun-alun. Para prajurit sibuk mengendalikan 

beberapa orang yang ingin menyerbu ke tengah alun-alun. 

Mereka berteriak sahut-sahutan. 

“Matikan Suro Bodong…! Bantai saja dia….!” 

Di sebelah belakang Suro ada yang berseru. 

“Cambuk saja sampai mati. Cambuk dia dengan cambuk 

berduri…! Gantung saja pelan-pelan…! Lemparkan di 

sungai saja, biar dimakan buaya…!” 

Sahutan teriakan mereka tak mempengaruhi 

ketenangan Suro Bodong. Ia justru menatap ke sana sini 

dengan senyum seperti orang wisatawan melihat 

keindahan alam. Ini sempat membuat rakyat semakin 

dongkol. Sebuah batu melayang ke arahnya. Sebelum 

menyentuh, Suro meniupkan udara ke batu itu, dan batu 

tersebut berhenti, lalu jatuh di depan Suro. Karena jarak 

yang jauh, tak banya orang yang mengetahui kekuatan itu. 

Suro Bodong sendiri merasa lega, karena kini ototnya bisa 

mengejang dan gerakan bathinnya mulai bekerja dengan 

sempurna. Pengaruh mabok hilang, yang timbul hanya 

kekuatan dari jurus-jurus kesaktiannya. 

Rombongan keluarga Adipati Lohgawe mundul dengan 

diiringi pengawal di depan dan di belakangnya. Wijaya ada 

di barisan paling depan dan Rahuto ada di barisan 

belakang. Mata Suro Bodong tidak memandang ke mana-

mana, kecuali ke wajah perempuan cantik yang kali ini 

mengenakan pakaian keprajuritan, celana sebatas betis 

berwarna merah dan penutup dada sampai ke perut 

berwarna merah juga. Ada hiasan manik-manik dan benang 

emas di tepian celana. Penutup dada itu masih dilapisi 

semacam kain yang berfungsi menutup pundak dan bagian 

punggung. Kain itu berwarna kuning muda. 

Dialah Puji Wardani, yang kali ini menampakkan sosok 

seorang pendekar perempuan dengan ikat pinggang hitam 

menyelipkan sebilah pedang bersarung gading dihias 

emas. Rambutnya yang panjang ditekuk dijadikan satu di 

atas kepala, sehingga kali ini Puji Wardani memperlihatkan


lehernya yang mulus berwarna langsat. 

Rupanya Adipati Lohgawe tidak jadi mengadakan 

sidang. Ia langsung saja memberi keputusan dan mem-

bacakan alasan-alasannya. Wijaya yang disuruh 

membacakan keputusannya. Semua penduduk diam, 

mendengarkan dan mendadak bersorak ketika Wijaya 

berseru membacakan kalimat, 

“….maka, dengan ini Suro Bodong dianggap bersalah 

dan patut dijatuhi hukuman yang setimpal…!” 

“Hidup Kanjeng Adipati…!! Hidup Adipati Lohgawe…!” 

teriak mereka bersahut-sahutan. Lalu, suara mereka diam 

kembali. Suro Bodong sejak tadi hanya tenang-tenang saja. 

Bahkan ia seakan tidak mendengarkan keputusan 

tersebut. Matanya memandang lurus pada Puji Wardani 

yang sesekali meliriknya bagai tak sabar ingin melakukan 

sesuatu. 

Wijaya kembali membacakan kalimat yang membuat 

rakyat berseru sambil mengacungkan kepalan tangan 

kanannya. 

“Demi tegaknya keadilan di Kadipaten Kidang Kencana 

ini, maka Suro Bodong pantas dijatuhi hukuman, yang 

disebut hukuman picis…!!” 

“Setujuuu…!! Setujuuu…! Akuuur…!” 

Suro Bodong ikut berteriak keras, “Hidup Adipati….!” 

Rakyat menyahut tak sadar, “Hiduuupp…!!” 

Suro berteriak lagi dengan girang, “Jaya Adipati….!” 

Rakyat menyahut karena tak tahu kalau yang berteriak 

itu Suro Bodong, “Jayaaa…!!” 

Adipati, istri dan Puji Wardani memandang Suro Bodong 

dengan keheranan. Adipati berbisik kepada istrinya, 

“Dia masih gila…! Dijatuhi hukuman malah mendukung 

keputusanku itu. Gila itu namanya…!” 

“Jangan hiraukan dia!” bisik istri Adipati. 

Wijaya berseru lagi membacakan keputusan, 

“Siapa saja, baik tua maupun muda, boleh mengiris, 

memotong dan melukai tubuh Suro Bodong! Tapi jangan 

pada bagian yang mempercepat kematiannya. Jelas…?”


“Jelaaas…!!” teriak mereka serempak. 

Suro Bodong ikut-ikutan berteriak, “Jelaaas…!!” 

“Hei…!” hardik perajurit yang menjaganya dalam jarak 

lima langkah. “Mengapa kau ikut berkata ‘jelas’? Apa 

maksudmu, hah?!” 

“Aku jelas-jelas melihat kebodohan di depanku. Masa 

aku harus bilang tidak jelas?” 

Prajurit itu mendengus kesal, lalu kembali ke tempat. 

Rakyat mulai sibuk menyiapkan alat, senjata dan apa saja 

yang bisa untuk melukai tubuh Suro Bodong. Bahkan ada 

yang berteriak kepada istrinya, 

“Mak, Mak…ambil pisau dapur dua! Aku satu, kau satu!” 

“Pisau dapurkan sedang untuk memotong-motong 

singkong, Pak…!” 

“Aaah…motong singkongnya nanti dulu, yang penting 

ikut memotong Bodong dulu. Ayolah….!” 

Adalagi yang sibuk berdebat dengan temannya, “Aku 

memotong telinga kirinya, ya? Kau yang kanan!” 

“Ah, aku lain bagian. Aku mau memotong jempol kakinya 

saja. Tubuhku kan pendek, mana bisa sampai kalau harus 

memotong telinga…!!” 

Wijaya berseru kepada mereka, “Saudara-saudara…. 

harap tenang sebentar…! Dengarkan, hukum picis ini 

memang berlaku bagi siapa saja. Tetapi pemotongan atau 

orang pertama yang akan melakukan hukuman ini adalah 

Gusti Ayu Puji Wardani, sebagai istri dari Raden Atmaja 

yang dibunuh Suro Bodong…!” 

“Setujuuu…!!” teriak mereka. Kali ini Suro Bodong tidak 

ikut berteriak, melainkan bengong melompong dan 

memandang Puji Wardani. 

Bukan lantaran takut Suro Bodong terbengong, tapi 

karena heran terhadap keberanian Puji Wardani. 

Perempuan itu begitu lembut, tapi ia berani melakukan 

hukuman picis untuk yang pertama kalinya sebagai 

pemotong tubuh orang. Gila! Tega sekali dia bertindak 

begitu, ya? Pikir Suro. Mungkin karena ingin mencurahkan 

dendam atas kematian suaminya, sehingga ia tega


melakukan pemotongan tubuh manusia hidup yang 

pertama kali. Suro Bodong pun akhirnya manggut-manggut. 

Sementara itu, rakyat diperintahkan oleh bebreapa prajurit 

untuk membikin antrian. Mereka berjejer-jejer baris ke 

belakang, antri menunggu giliran untuk mengiris bagian 

tubuh Suro Bodong sekehendak hatinya. 

Puji Wardani menghunus pedangnya dan berjalan meng-

hampiri Suro Bodong. matanya yang indah itu memancar-

kan nafsu membunuh yang luar biasa. Langkahnya pun 

tegas, menampakkan sosok kependekarannya, walaupun 

sebenarnya ilmu silat yang dimiliki Puji Wardani hanya pas-

pasan. Suro Bodong saat itu menyunggingkan senyum tipis, 

matanya tak lepas memandang Puji Wardani yang masih 

berjarak sekitar sepuluh langkah darinya. Suro menyempat-

kan berseru, 

“Aku bukan pembunuh yang kau cari! Kalau aku mati di 

tanganmu, atau mati karena hukuman ini, rohku akan 

menuntut balas tujuh turunanmu. Bukan untuk kubunuh, 

tapi untuk kusiksa sepanjang mereka hidup! Dan aku akan 

menitipkan benihku ke dalam kandunganmu melalui 

pergumulan rohku…!” 

Puji Wardani berhenti melangkah dan menjadi cemas. Ia 

didampingi Adipati dan Ibundanya. Ia memandang ke 

kanan dan ke kiri, merasa takut kalau-kalau kutukan Suro 

Bodong akan menjadi kanyataan. 

Suro Bodong memanfaatkan kebimbangan Puji Wardani 

untuk mempengaruhi jiwanya. Ia berseru dengan jelas, 

“Kalian salah tangkap! Kalian salah menaruh dendam. 

Hyang Widi tahu siapa yang salah, siapa yang berdosa. Dan 

aku akan membuktikan bahwa aku tidak bersalah! 

Silahkan…! Silahkan bunuh aku! Dalam tempo sembilan 

bulan kalau kau tidak melahirkan bayi serupa dengan aku, 

maka aku benar-benar manusia terkutuk. Tapi kalau 

ternyata sembilan bulan setelah peristiwa ini kau 

melahirkan bayi seperti aku, maka itulah bukti bahwa aku 

tidak bersalah…!” 

“Diaaam…!!” bentak Wijaya dan hendak memukulnya,


tetapi Adipati Lohgawe melarang gerakan Wijaya. 

Puji Wardani menatap nanar Suro Bodong dalam 

kebimbangan. Mulutnya terkatup rapat. Bibirnya yang 

mungil bagai serumpun delima mereka di atas es, sungguh 

membuat mata Suro Bodong tak berkedip dan senyum 

Suro Bodong pun jadi bermekaran dengan ceria. 

“Puji Wardani… laksanakan hukuman itu…” kata Adipati. 

Kebimbangan semakin kuat meliputi jiwa Puji Wardani. 

Apalagi saat itu Suro Bodong juga berkata, 

“Puji Wardani… jangan tanamkan dosa pada jiwamu. 

Kau harus bebas dari kutukanku. Kau perlu dilindungi, dan 

aku sanggup melindungimu, sebagai abdi! Abdi yang akan 

menyeret pembunuh suamimu sebenarnya!” 

Puji Wardani berkata dengan gemetar, “Kau yang 

membunuhnya. Kau yang bernama Suro Bodong! Aku 

melihat dengan mata kepalaku sendiri, orang seperti 

kamulah yang merobek leher suamiku dengan pedangnya!” 

Dahi Suro berkerut, “ Jelas orangnya seperti aku?!” 

“Ya…!” jawab Puji Wardani dengan melebarkan mata 

yang tertahan karena dendam. 

“Kalau begitu… ada orang yang bertujuan ingin 

membunuhku, namun juga ingin membunuh suamimu! 

Orang itu pasti tidak sanggup membunuhku, sebab dia 

tahu, aku cukup kuat baginya. Tetapi, satu-satunya cara 

adalah dengan menyebarkan fitnah beserta bukti-buktinya. 

Dengan begitu, dia berhasil membunuh suamimu, juga 

akan berhasil membunuhku juga!” 

“Apa maksudmu?!” hardik Adipati Lohgawe. 

“Kadipaten ini berhasil dipecundangi oleh seseorang. 

Orang itu secara tak langsung telah berhasil memerintah 

orang-orang kadipaten ini untuk membunuhku. Dan…. 

kebetulan saja kemarin aku berhasil ditangkap dalam 

keadaan mabok. Aku makan gadung. Habis banyak sekali. 

Setelah kekenyangan akhirnya mabok. Lalu… orang yang 

bernama Wijaya dan Rahuto menyerangku dengan 

cambuk. Aku tak bisa melawan sedikitpun…! Sayang, waktu 

itu aku dalam keadaan mabok. Tetapi sekarang aku sudah


sehat, berkat diberi minuman air kelapa….” Suro Bodong 

melirik Wijaya dan Rahuto di samping kanan dan kiri, agak 

jauh. 

“Hai, Wijaya…” Suro tersenyum santai. “Kalau sekarang 

kau melawanku, kau tak akan sanggup. Apalagi hanya satu 

Wijaya, seribu Wijaya juta tak akan sanggup.” 

“Kau benar-benar biadaaab…!!” Wijaya terpancing 

amarahnya, dengan serta merta ia melecutkan cambuknya 

yang berduri itu. Suro sudah siap mengangkat lengannya 

sedikit. Begitu lengan digerakkan naik, walau hanya sedikit, 

tapi tali pengikatnya tepat mengenai ujung cambuk Wijaya. 

Memang ada bagian kulit lengan yang tergores duri 

cambuk itu, tetapi tali pada lengan itu putus seketika. 

Sebab, sudah diperkirakan oleh Suro Bodong, bahwa 

Wijaya akan sangat terpancing kemarahannya jika di-

tantang demikian. Dan luapan amarah Wijaya akan tersalur 

lewat cambukannya. Itu sebabnya, Suro Bodong sudah 

menyiapkan gerakan yang dapat memutuskan tali pengikat 

tubuhnya pada bagian lengan. 

Dengan putusnya tali itu, maka kendurlah seluruh ikatan 

tubuh. Suro menghentakkan dengan suatu kekuatan. 

Tangannya menghentak ke samping dua-duanya sambil ia 

berteriak satu hentakan juga. “Heaaah…!!” 

Gawat! Tali itu putus dan tubuh Suro Bodong mulai 

bebas. Semua orang tercengang tegang, melangkah 

mundur dengan mata mendelik. Semua orang, semua 

perajurit, termasuk Wijaya dan Rahuto, mereka dicekam 

ketegangan yang menakutkan. 

***


TIGA


SURO Bodong berdiri tegak dengan kaki merenggang. 

Tubuh dan kepalanya yang penuh luka membuat 

keadaannya menjadi menyeramkan. Ia memperhati-

kan mereka satu persatu dengan sorot mata yang 

menampakkan keperkasaannya. Puji Wardani memasuk-

kan pedangnya ke sarung pedang gading, merasa tak 

mampu mengumpulkan keberaniannya dalam menghadapi 

Suro Bodong. Ia masih terbayang kekejaman Suro Bodong 

yang membabat leher suaminya tanpa ada belas kasihan 

sedikitpun. Sementara itu rakyat mundur perlahan-lahan 

dengan gumam dan kasak-kusuk yang menimbulkan 

gemuruh samar-samar. 

“Aku tidak ingin melukai kalian, kalau kalian mau 

mengakui kesalahan kalian dalam menangkap seorang 

penjagal!” kata Suro Bodong. Ia kelihatan tegas dan mulai 

bisa garuk-garuk kumisnya yang tebal. Ia berkata lagi 

dengan keras, 

“Aku sudah banyak menderita luka akibat ketololan 

kalian. Kalau aku mau, aku bisa menuntut balas sekarang 

juga. Tapi agaknya ada beberapa masalah yang perlu kita 

selesaikan secara damai. Kalau kita tidak bisa berdamai, 

kita perang!” 

Suara gemuruh semakin gaduh. Adipati Lohgawe dia, 

berdiri memandang Suro Bodong bagai orang sedang 

merenung. Puji Wardani bersama ibunya semakin cemas, 

sementara Wijaya dan Rahuto sebagai orang andalan 

adipati masih bimbang dalam mengambil tindakan. Wijaya 

bahkan saling bertatapan pandang dengan Rahuto, 

sikapnya kelihatan sangat gelisah, seakan keduanya 

menunggu perintah Adipati. 

Suro berkata lagi dengan lantang, “Aku bersedia 

menciptakan suasana damai di kadipaten ini. Bahkan aku 

tidak ingin ada korban lagi dalam kesalahpahaman ini,


tetapi kalau aku ditantang untuk membikin korban, aku 

bisa membuat kadipaten ini tenggelam ke dasar bumi! 

Kalau aku ditantang perang oleh sikap kalian, aku sanggup 

perang seorang diri! Majulah kalian semua, dan jangan 

hiraukan aku yang sendirian…! Juga jangan menyesal kalau 

kadipaten ini akan runtuh dengan puing-puingnya ke dasar 

bumi!” 

Segera Suro Bodong meludahi kedua telapak tangannya 

tujuh kali, lalu digosok-gosokkan beberapa saat sambil 

matanya memandang orang-orang di sekelilingnya. 

Gosokan tapak tangan itu berhenti di dada, mengejang 

kuat, lalu menghentak ke atas kepala dalam posisi telapak 

tangan tengadah ke langit. Suro Bodong menggunakan 

jurus Tapak Naga-nya yang merupakan jurus simpanan. 

Jurus itu cukup mengguncang jiwa orang-orang Kadipaten 

Kidang Kencana. Karena pada saat tangan menghentak ke 

langit, maka dari telapak tangan itu keluarlah sinar biru 

berkelok-kelok dan melompat-lompat ke langit. 

“Blegaaarr…!!” 

Langit menjadi semakin terang, tapi kemudian segera 

meredup seperti lampu kehabisan minyak. Mendung 

menjelma. Langit menjadi gelap. Orang-orang dicekam 

ketakutan. Suro Bodong menghentakkan kedua telapak 

tangannya ke atas lagi dan bunyi ledakan yang kedua lebih 

mengerikan. 

Langit yang mendung menjadi merah membara seperti 

terbakar. Kilatan cahaya biru yang melesat dari kedua 

telapak tangan saling berada di angkasa dan membuat 

beberapa kali ledakan yang menggelegar. Tanah tempat 

mereka berdiri menjadi bergetar. Makin lama makin oleng 

seperti ombak. Beberapa pohon tiba-tiba roboh dengan 

akarnya mencuat ke luar dari kedalaman tanah. 

Suasana sangat mengerikan, orang-orang gegera, 

dicekam ketakutan dan mereka berteriak, “Kiamat…! 

Kiamat…!” satu dengan yang lainnya saling tunggang-

langgang. Para prajurit dan dua orang andalan kadipaten 

itu tegang memandang sekeliling. Alam menjadi gelap,


bagai diliputi mendung tebal, tapi langit membara merah 

bagai terbakar. Puji Wardani berpegang erat lengan 

ayahandanya yang juga sama-sama dalam cekaman 

ketakutan. 

Karena bumi bergoyang seperti ombak lautan yang 

mengalun, maka banyak orang yang jatuh tanpa tersentuh 

apapun. Adipati Lohgawe sendiri hampir saja terpelanting 

jatuh kalau saja Wijaya tidak segera menahannya dari 

belakang. Suara gemuruh berkepanjangan, suara itu 

adalah rubuhnya pohon dan melorotnya genteng-genteng 

rumah penduduk akibat getaran gempa dan angin yang 

menderu. 

Suro Bodong merapatkan kembali kedua telapak 

tangannya ke dada. Kemudian dilepas dengan satu 

hempasan nafas lega. Langit tidak lagi berwarna merah. 

Semburat merah jadi menipis, lalu bersih. Kabut hitam 

yang bagai mendung menghilang entah ke mana. Angin 

tidak lagi menderu. Tanah berhenti bergetar. Suasana 

menjadi terang kembali. Nafas-nafas yang tertahan 

terhempas lega. Tinggal pemandangan yang menyeramkan 

terlihat di sana-sini, pohon-pohon tumbang, akar-akar 

pohon mencuat dari kedalaman tanah, genting-genting 

rumah penduduk melorot, bahkan ada tembok dalam 

kadipaten yang mengalami keretakan bagaian sudut. 

Orang-orang menjauh, tak satupun berani mendekati Suro 

Bodong. hanya Adipati dan para pengawal yang berdiri tak 

begitu jauh dari Suro Bodong, termasuk istri Adipati dan 

Puji Wardani. Mereka masih dicekam kengerian. Suara bayi 

menangis di kejauhan saling sahut menyahut mengiris hati. 

Suro Bodong menghempaskan nafas lagi, kali ini kelihatan 

sendur. Ia menggaruk-garuk kumisnya. Lalu berkata 

kepada Adipati dan para pengawalnya dengan suara tidak 

selantang tadi, 

“Maaf….aku tidak bermaksud membuat keonaran di 

sini. Aku hanya ingin membuktikan supaya kalian mengerti, 

bahwa aku mampu menenggelamkan kadipaten ini 

bersama penghuninya. Semuanya akan tenggelam ke


dasar bumi tanpa kecuali, kalau kalian menghendaki 

perang! Tak perlu aku membawa senjata, tapi cukup 

sendirian saja aku mampu melakukan itu. Walau 

sebenarnya aku tak ingin, tapi kalau kalian meghendaki, 

aku sanggup.” 

Semua terbungkam. Wajah-wajah penuh dendam 

menjadi lentur dan disembunyikan. Kegalakan Wijaya dan 

Rahuto pudar seketika. Mereka tidak lagi berani menatap 

Suro dengan garang. 

Dengan langkah tegap, tapi bernada sabar, Suro Bodong 

mendekati Adipati Lohgawe, persis berdiri di depan Puji 

Wardani. Ia berkata dengan suara tak keras, 

“Aku tak mau membunuh orang tolol, tapi biarlah orang 

tolol akan mati dengan ketololannya sendiri. Kuharap hal 

ini tidak terjadi kepada keluargamu, Adipati. Jangan mau 

menjadi orang tolol, karena mati secara tolol adalah mati 

yang mubazir! Sia-sia!” 

Sejenak, Suro sengaja memandang Puji Wardani, 

seketika pun yang dipandang mengalihkan sorot matanya 

ke bawah, tapi Suro menyempatkan berkata dengan 

lembut, 

“Aku bisa merasakan betapa sakitnya hati perempuan 

yang ditinggal mati suaminya, apalagi mati dalam keadaan 

yang menyedihkan. Tetapi, percayalah… ada sesuatu yang 

harus kita bicarakan bersama-sama dengan punggawa 

negeri lainnya. Aku sendiri ingin memperoleh banyak 

keterangan mengenai orang yang kau lihat itu.” 

Suro memandang Adipati Lohgawe, lalu berkata, 

“Aku ingin bicara, Adipati. Aku ingin tidak ada korban di 

antara kita berdua. Kasihan rakyat yang sudah terbungkus 

dendam. Kalau mereka berbuat nekad dan akhirnya mati 

sendiri, mereka tidak bisa disalahkan. Kadipaten yang 

salah! Karena itu, sebelum mereka diracuni dendam yang 

membuta, mari kita bicara dengan tuntas…” 

Adipati Lohgawe mengangguk. “Baik….” Suaranya amat 

parau menyebut sepotong kata itu. Suro Bodong sempat 

menemui Wijaya dan Rahuto. Ia bahkan sempat menepuk


nepuk pipi Wijaya dengan berkata, 

“Jadilah panglima yang tangkas dan cerdas. Sekali 

waktu akan kuajarkan padamu bagaimana cara meng-

gunakan jurus Cambuk Membelah Matahari…” Wijaya 

terbengong, tak berani berbuat apa-apa. Dia membiarkan 

pipinya ditepuk-tepuk Suro sambil tersenyum, kemudian 

Suro melangkah mengikuti Adipati Lohgawe, dan Wijaya 

hanya bengong sambil mengusap-usap pipinya yang tadi 

ditepuk-tepuk. 

Kala itu, bumi bagai sepi. Mulut-mulut terkatup rapat, 

membiarkan Adipati membawa Suro Bodong masuk ke 

dalam Kadipaten. Tak satu pun prajurit yang berani 

berkasak-kusuk, kecuali sama diamnya dalam liputan 

suasana tegang. 

“Semua orang melihat dengan mata kepala sendiri, kau 

melakukan beberapa kejahatan yang keji,” kata Adipati 

ketika mereka berembuk di pendopo kadipaten. 

“Ciri-ciri orang itu?” 

Wijaya yang menyahut atas seizin Adipati, 

“Persis dengan kamu, baju merah lengan panjang, tidak 

dikancingkan, celana biru, rambut diikat kain merah seperti 

yang kau kenakan itu, badannya sama gemuk dan…. 

pokoknya itulah kamu! Dan aku pernah mengejarnya, tapi 

ia berhasil lolos.” 

“Ia bahkan mengaku bernama Suro Bodong di depan 

Jayeng Dadap serta beberapa orang lainnya,” sahut 

Rahuto. 

“Aku sendiri melihat jelas, kau yang merobek leher 

suamiku dengan dandanan dan penampilan seperti 

pertama kau diseret ke mari itu!” sahut Puji Wardani yang 

ikut menjadi saksi dalam pembicaraan tersebut. 

Kepala Suro Bodong manggut-manggut. Setelah sama-

sama bungkam beberapa saat, Suro Bodong berkata, 

“Kalau misalnya aku jadi pembunuh itu, aku tidak akan 

menyebutkan namaku. Bahkan aku akan membunuh 

dengan sembunyi-sembunyi. Kalau kesimpulanku setelah 

mendengar cerita pembantaian di rumah Raden Mas


Purwakusuma, jelas hal itu dilakukan dengan sengaja di 

depan umum, supaya umum bisa mengetahui siapa 

pembunuhnya. Jika tanpa ada maksud menonjolkan diri, 

tidak mungkin pembunuh itu sengaja melakukannya di 

depan umum.” 

“Jadi apa kesimpulanmu yang pasti?” tanya Adipati 

Lohgawe seakan tak sabar. 

“Kurasa ada orang yang sengaja berpenampilan serupa 

denganku. Mengenakan pakaian yang sama dan ikat 

kepala yang sama. Ia mengaku nama yang sama dengan 

namaku. Dan karena kebetulan ia mempunyai wajah yang 

mirip denganku serta mungkin potongan rambutnya juga 

mirip denganku, maka kalian langsung memastikan, orang 

itulah aku!” 

Puji Wardani mendesis kesal. Lalu katanya, “Itu tak 

mungkin! Ini hanya kepandaianmu bicara, supaya bebas 

tuduhan…!” kemudian Puji Wardani pergi begitu saja 

dengan wajah cemberut kesal. 

Semua memperhatikan kepergian Puji Wardani, dan hal 

itu membuat Adipati Lohgawe menghempaskan nafas 

panjang. Kemudian mereka saling berpikir dalam 

kebungkaman. Suro Bodong yang tidak mau duduk di 

depan Adipati itu hanya berjalan mondar-mandir sambil 

sebentar-sebentar garuk-garuk kumisnya yang tebal itu. 

“Kalau boleh aku mengajukan usul….!” Kata Suro tiba-

tiba kepada Adipati Lohgawe. 

“Usul apa?” 

“Penjarakan aku di tempat yang rapat. Kunci baik-baik 

yang sekiranya tak akan bisa dipakai untuk meloloskan 

diri. Kalau memang ada, penjarakan aku di bawah tanah!” 

Semua mata memandang Suro Bodong, terlebih Adiapti 

sendiri yang menatap dengan dahi berkerut tajam. Suro 

Bodong menyambut ucapannya, 

“Kemudian kabarkan kepada semua orang bahwa Suro 

Bodong berhasil melarikan diri…! Dan bukalah sayembara, 

barang siapa bisa menangkap Suro Bodong hidup atau 

mati, akan diberi hadiah!”


“Usulmu itu cukup membingungkan kami, Suro.” kata 

Adipati. Tetapi Suro Bodong tersenyum tipis. 

“Ini untuk memancing pembunuh yang sebenarnya. 

Kalau ada yang melihat Suro Bodong muncul, dan 

melakukan kekejian lagi, keluarkanlah aku dari penjara 

secepatnya! Aku akan menghadapi orang itu, dan buat satu 

arena di depan umum untuk pertarunganku dengannya!” 

Adipati Lohgawe manggut-manggut sambil menggumam. 

Semua kening juga berkerut, sama seperti kerutan dahi 

Lohgawe. Suro Bodong masih berjalan mondar mandir 

dengan garuk-garuk kepala dan kumis. Tapi ia lebih sering 

garuk-garuk kumis. 

Tiba-tiba Adipati berkata, “Apakah ini bukan sekedar tipu 

dayamu?! Mungkin saja kau bisa lolos dari penjara serapat 

apapun, lalu membuat keonaran, membantai keluarga 

demi keluarga dan…” 

“Cukup. Aku mengerti kecurigaanmu. Itu pantas. 

Kecurigaan yang kuakui kejeliannya. Memang bisa saja 

aku begitu, tapi bagaimana jika ada dua atau tiga orang 

yang menemaniku dalam penjara? Tempatkan pengawal 

yang bisa melihatku setiap saat, sehingga kalau sewaktu-

waktu aku pergi bisa ketahuan, kan?!” 

“Yaah… tapi mana ada orang yang mau di penjara tanpa 

melakukan kesalahan apa-apa, sekalipun sifatnya hanya 

sebagai teman atau pengawalmu dalam penjara!” ujar 

Rahuto. 

“Kita tidak bicara soal siapa salah masuk penjara. Tidak 

begitu! Ini hanya untuk menjebak biang keladi yang selama 

ini, katanya, sangat menjadikan rakyat kadipaten 

ketakutan dan tidak bisa tenang,” Suro menjelaskan. 

“Paling tidak untuk membuktikan kepada kalian, bahwa 

aku sebenarnya tidak bersalah. Aku lebih baik menuntut 

kepada orang itu, daripada menuntut kalian semua atas 

dasar bersepakat memfitnah aku dengan tuduhan 

semacam itu!” 

Akhirnya setelah melalui berbagai perdebatan, Adipati 

mengatakan, “Baik, usulmu kami setujui…! Tapi bagaimana


kalau sampai berhari-hari ternyata tidak ada kejahatan 

yang ditimbulkan oleh orang yang mengaku bernama Suro 

Bodong?” 

“Aku akan mencari jalan lain untuk menjebaknya! 

Percayalah, aku akan mencari jalan supaya di antara kita 

jangan ada yang menjadi korban tipu muslihat seperti 

ini…!” 

Sepertinya tak ada pilihan lain bagi Adipati Lohgawe 

selain mengikuti saran Suro Bodong. Kecintaannya ter-

hadap perdamaian membuat Adipati Lohgawe menyimpul-

kan, bahwa Suro Bodong sendiri merasa dalam posisi yang 

terjepit dua arah, antara pelaku pembunuhan sebenarnya 

dengan orang-orang Kadipaten Kidang Kencana. Sekalipun 

Adipati Lohgawe belum yakin betul, apakah usul Suro 

Bodong itu membawa hasil yang baik atau semakin buruk, 

namun hal itu dipandang lebih bijaksana dari pada 

meneruskan hukuman bagi Suro Bodong. Belum lagi kalau 

ia memikirkan ilmu Suro Bodong yang mampu membuat 

bumi bagai dilanda gempa, dan kesanggupan Suro untuk 

menenggelamkan Kadipaten itu benar-benar bisa terbukti, 

rasa-rasanya memang usul Suro itulah yang layak dilaku-

kan. Ini pun berdasarkan pertimbangan segi keselamatan 

rakyatnya. Kalau Suro Bodong mengamuk, bisa jadi ia 

kehilangan segalanya, istana, kekuasaan, rakyat, keluarga 

dan besar kemungkinan ia juga akan kehilangan nyawa-

nya. Begitulah pertimbangan Adipati saat itu. 

Suro Bodong tidak dipenjarakan di bawah tanah. Hal itu 

juga atas permintaan Puji Wardani, dengan alasan, 

“Saya ingin ikut menjaganya, saya ingin melihat apa-apa 

yang dilakukan sepanjang hari, supaya saya tahu persis 

bahwa dia bukan iblis berhati binatang!” ujar Puji Wardani 

dengan kebencian masih tersirat lewat nada suaranya. 

Ada sebuah kamar yang letaknya bertolak belakang 

dengan kamar Puji Wardani. Kamar itu, dulu bekas kamar 

pusaka yang sekarang sudah dipindahkan ke ruang utama 

Kadipaten. Menjadi satu dengan kamar tidur Adipati 

Lohgawe.


Kamar bekas tempat penyimpanan pusaka itu terbuat 

dari dinding tebal, belapis pintu baja yang kokoh. Konon, 

kamar itu dulu bekas kamar tidur kakek Puji Wardani yang 

dikenal di rimba persilatan sebagai Malaikat Tanpa 

Bintang. Di depan kamar itu, ada sederetan rumah 

keprajuritan di mana Wijaya dan Rahuto juga tinggal di 

sana. Lalu di samping kiri kamar itu, adalah ruang 

perpustakaan, dan di sebelah kanan kamar itu, adalah 

gudang penyimpanan pakaian perang. Menurut beberapa 

punggawa negeri, memang kamar bekas tempat 

penyimpanan pusaka itulah satu-satunya tempat yang 

layak untuk mengurung rapat Suro Bodong. Hanya ada 

satu pintu baja, tak ada jendela kecuali lubang angin yang 

sebesar bata merah di atas pintu. Letaknya cukup tinggi 

dan hanya terdiri dari dua lobang angin. 

Di kamar itu, ada dipan kecil bisa untuk berbaring, ada 

meja dan kursi sederhana untukmanak, dan ada meja hias 

lengkap dengan cerminnya yang berbentuk daun waru. 

Sebab, konon kakek Puji Wardani itu termasuk laki-laki 

pesolek yang memiliki meja rias sendiri. Suro Bodong 

sempat tertawa sendiri melihat tempat rias yang katanya 

bekas milik Malaikat Tanpa Bintang itu. Alangkah genitnya 

lelaki tua itu pada masa ia masih hidup. Apa saja yang 

dikenakannya? Apakah ia juga mengenakan gincu? Ih, 

lucu! 

Suro Bodong tidak perduli tempat itu, apakah terkurung 

rapat atau tidak, yang jelas di situ ia menunggu saat yang 

baik untuk keluat dan berhadapan langsung dengan orang 

yang mengaku dirinya. 

Ada sedikit rasa aneh di hati Suro Bodong. Ia memang 

dijaga oleh dua orang prajurit bersenjata lengkap. Tapi 

mereka ada di luar kamar. Di depan pintu. Mereka tidak 

melihat apa yang dilakukan Suro di dalam kamar tersebut. 

Padahal, seharusnya mereka selalu memantau kegiatan 

Suro Bodong setiap harinya. Hal ini untuk menyelidiki 

apakah Suro benar-benar selalu ada di dalam kamar atau 

sempat menghilang. Seharusnya mereka menaruh satu


orang pengintai untuk mengawasi Suro Bodong. tapi 

nyatanya tidak. Suro sudah memikirkan ke sana ke mari, 

tidak ada lobang pengintaian itu. uuh…! Alangkah tololnya 

mereka! Pikir Suro. 

Tetapi, sebenarnya Suro sendiri yang tolol, sebab ia 

tidak tahu kalau ada sepasang mata yang selalu meng-

awasi gerak-geriknya. Sepasang mata itu adalah sepasang 

mata yang sempat dikagumi Suro sendiri. Puji Wardani. 

Dia yang dengan tekun memperhatikan segala gerak-

gerik Suro Bodong dari kamarnya sendiri yang bertolak 

belakang dengan kamar Suro. Puji Wardani dengan tekun 

dan cermat selalu mengikuti kegiatan Suro di dalam 

kamarnya. Ia cukup berdiri, atau duduk di depan sebuah 

cermin, di mana cermin itu adalah cermin tembus pandang 

ke kamar Suro Bodong. Cermin yang ada di kamar Puji bisa 

untuk melihat keadaan di kamar Suro, sebab cermin itu 

tepat berada di balik cermin hias yang ada di kamar Suro 

Bodong. Apalagi Suro Bodong memandang cermin hias, ia 

tidak bisa melihat keadaan kamar Puji Wardani. Ia hanya 

akan melihat wajahnya sendiri di dalam cermin hias itu. 

Kalau saja Suro Bodong tahu bahwa cermin itu bisa 

untuk memperhatikan keadaannya dari kamar Puji 

Wardani, mungkin ia tidak mau sering-sering berada di 

depan cermin. Tapi, karena dia tidak tahu hal itu, maka 

sesekali ia duduk dan berdiri di depan cermin 

memperhatikan luka di wajahnya, terkadang menghilang-

kan darah yang mengering di keningnya, atau menobati 

luka dengan tangan kiri yang diludahi. Ia sengaja tidak 

ingin menghilangkan lukanya, walau hal itu bisa di lakukan. 

Sebab ia ingin agar kelak orang-orang Kadipaten Kidang 

Kencana tahu, betapa kejinya mereka melukai orang tak 

berdosa. Tapi, tentunya itu kalau dia sudah bisa 

membuktikan bahwa dia bukan pembunuh yang dicari 

rakyat Kadipaten Kidang Kencana. 

“Kau tak bosan-bosannya memperhatikan dia, Puji….?” 

Tegur istri Adipati kepada anaknya ketika ia masuk ke 

kamar Puji Wardani.


“Untuk meyakinkan siapa pembunuh Kang Mas Atmaja, 

aku harus sabar dan tekun melakukan penyelidikan ini, 

Ibu.” 

Ibu Puji Wardani menghela nafas. Kemauan anaknya 

dari kecil memang keras dan tak boleh dicegah oleh siapa 

pun. Apalagi Puji Wardani anak tunggal yang menjadi buah 

hati sang ibu, tentu saja ia sangat dimanja dan diberi 

kesempatan untuk menentukan sikap. 

Sambil ikut memperhatikan Suro Bodong yang tengah 

melatih otot-otot tubuhnya dengan gerakan lamban, istri 

Adipati itu berkata kepada anaknya, 

“Jaga kesehatanmu agar jangan sampai sakit karena 

memperhatikan gerak geriknya.” 

“Ya, Bu. Aku sadar akan hal itu,” jawab Puji. “Bagaimana 

keadaan di luar, Bu?” 

“Sudah dua hari ini rakyat ikut sibuk mencari Suro 

Bodong. Kabar Suro Bodong melarikan diri sampai ke 

mana-mana. Bahkan kemarin Pragulo menghadap ayahmu 

untuk meminta tambahan uang hadiah. Katanya, ia 

sanggup mencari dan menangkap Suro Bodong.” 

“Pragulo…!?” Puji Wardani berkerut dahi. “Pragulo putra 

paman Renggono itu?” 

“Ya. Dia baru saja pulang dari puncak Mahageni. 

Katanya ia telah selesai berguru dengan Resi Pangguno, 

bahkan ia pun sempat menawarkan diri untuk menjadi 

Jagabaya di kadipaten ini asal upahnya memadai.” 

Puji Wardani menggumam dan berpikir sesaat, tapi 

matanya masih mengawasi Suro Bodong lewat cerminnya. 

“Kemudian Romo menerimanya sebagai Jagabaya di 

sini?” 

“Romomu sedang mempertimbangkan,” jawab ibu Puji 

Wardani dengan mata juga memandang Suro melalui 

cermin itu. Kemudian perempuan yang rambutnya mulai 

beruban tipis itu bertanya tentang Suro Bodong, “Apa saja 

yang ia lakukan selama ini? Tidak ada yang 

mencurigakan?” 

“Kurasa tidak, Bu. Dia hanya melatih gerakan-gerakan


tubuhnya, seakan melemaskan otot-ototnya yang selama 

ini mungkin kaku akibat siksaan penduduk dan dari kita 

sendiri.” 

Suro Bodong menerima makanan dari penjaganya. Ia 

bertanya, “Jagung bakarnya mana?” 

“Sedang dibakar oleh Ki Sangu…!” 

“Ooo…nanti lekas kirim ke mari ya?” kata Suro yang tak 

mau ketinggalan jagung bakar sebagai makanan saban 

harinya. Adipati yang menyuruh agar segala permintaan 

Suro Bodong yang bersifat tidak membahayakan dapat 

dikabulkan tanpa pertimbangan macam-macam. Dan satu-

satunya permintaan yang sering didengar adalah jagung 

bakar. 

Puji Wardani sendiri sampai heran memperhatikan Suro 

Bodong yang gemar memakan jagung bakar. Kelihatannya, 

jika Suro mulai memakan jagung bakar, dunia ini menjadi 

miliknya sepenuhnya. Ia kelihatan tenang dan berwibawa. 

Puji sering menelan ludahnya sendiri jika melihat Suro 

Bodong sedang mengunyah jagung bakar. Sampai-sampai, 

iapun berbisik kepada emban yang melayaninya agar 

dibuatkan jagung bakar juga. Puji sempat tertawa sendiri 

dalam hati, menertawakan sikapnya yang lama-lama 

ketularan Suro Bodong. 

Bahkan, ketika Suro Bodong melatih diri dengan 

menggerakkan tangan, kaki dan badannya secara 

perlahan, Puji Wardani ikut-ikutan meniru gerakan itu. Ia 

tak tahu kalau Suro Bodong sedang melatih satu jurus 

berangkai yang mempunyai saluran tenaga dalam cukup 

hebat. Puji Wardani hanya tahu, bahwa gerakan jurus itu 

cukup indah dan ia menyukai gerakan itu sehingga 

ditirukan. 

Jurus itu sebenarnya pemberian dari Eyang 

Panembahan yang dinamakan jurus Gerakan Bidadari Pagi. 

Gerakannya cukup lamban, seperti orang menari, tapi 

hentakan-hentakan tersendiri yang mampu menyalurkan 

tenaga dalam jika dilatih berulang-ulang. 

Empat hari sudah Puji Wardani ikut melatih diri


menggunakan jurus Gerakan Bidadari Pagi itu. Rasa-

rasanya ia mulai hapal, dan mulai terasa ada perubahan 

pada aliran darahnya. Sering berdesir-desir dan desiran itu 

menjalar ke tangan, kaki dan seluruh jari-jarinya. Kadang-

kadang, ketika Suro beristirahat, Puji Wardani melatih 

gerakan itu sendiri tanpa memperhatikan gerakan dari 

Suro Bodong. Lama-lama, ia terkejut ketika menggerakkan 

tangannya dengan gemulai seperti orang menebar bunga, 

tahu-tahu sebuah jambangan keramik pecah. Bersamaan 

dengan itu ia merasa ada semacam desiran yang terlempar 

dari jarinya. 

***


EMPAT



MALAM keempat, Suro Bodong dikeluarkan dari 

kamarnya. Bukan untuk keperluan ke kamar 

mandi,melainkan Adiati ingin bicara dengannya. 

Rupanya, bukan hanya Adipati yang menunggu kehadiran-

nya, melainkan Wijaya, Rahuto dan para perajurit lainnya 

pun sudah menunggu di ruang paseban. 

“Ada masalah apa ini?” Suro Bodong menyapa mereka 

dengan santai, sambil memetik-metik jagung bakar 

kesukaannya untuk kemudian dilemparkan ke mulut 

seenaknya. 

“Dugaanmu benar,” kata Adipati Lohgawe yang 

didampingi istrinya. 

“Dugaan apa?” 

“Ada orang yang mengaku Suro Bodong telah mem-

bunuh dua keluarga dalam semalam ini. Dia sempat mem-

perkosa seorang perawan, lalu membunuhnya. Rakyat 

mulai terbakar dan menuntut agar semua perajurit dikerah-

kan untuk mencari dan membunuh Suro Bodong. 

Senyum sinis Suro membuat mereka tertegun. Suro 

berjalan ke pintu, menghadap ke luar sambil makan jagung 

bakar. Beberapa mata mengikuti gerakannya. Kemudian, 

Suro berbalik dan berkata dengan tenang. 

“Di mana keluarga yang menjadi korban itu?” 

“Di kampung Ligu,” jawab Rahuto. 

“Kau menyaksikan sendiri keadaan korban?” tanya 

Suro. 

“Bukan aku, tapi Wijaya….” 

“Benar, Wijaya?” 

“Benar!” Wijaya menjawab mantap seperti memberi 

laporan kepada pimpinannya. 

“Mari kita ke sana!” ajak Suro. “Aku ingin melihat sendiri 

bekas luka dan keadaan sekeliling. Siapa tahu ada tanda-

tanda yang kukenal, atau yang bisa kusimpulkan!”


“Jangan ke sana!” cegah Adipati Lohgawe. Suro 

memandang dengan tenang, namun Adipati tanggap 

bahwa Suro membutuhkan penjelasan. Karena itu Adipati 

Lohgawe menjelaskan, 

“Kalau kau ke sana, rakyat akan mengamuk! Mereka 

tahu kalau kau bersama kami. Sebab, bagaimanapun juga 

rakyat hanya mengenal Suro Bodong dalam ujud seperti 

kamu. Mereka pasti akan mengira, kaulah yang telah 

berbuat.” 

“Kalau menurutmu, bagaimana?” Suro bicara 

seenaknya. Cuek sekali. 

“Memang bukan kau pelakunya,” jawab Adipati 

kemudian. 

“Bagaimana kau yakin itu bukan aku?” 

“Kami punya cara sendiri untuk meyakinkan hal itu,” 

Adipati tidak menjelaskan caranya. 

Suro Bodong manggut-manggut, lalu bertanya, 

“Jadi, apa gunanya aku dipanggil ke mari?” 

“Kau pasti punya gagasan lain, Suro. Kami meng-

harapkan usulmu. Karena usul pertama, yaitu mengurung-

mu dan menyebarkan berita bohong tentang pelarianmu 

sudah berhasil memancing kemunculan Suro Bodong yang 

palsu.” 

Senyum Suro melebar. Adipati angkat bahu dengan 

membalas senyuman ramah. 

“Kok aku kau jadikan penasihat? Aku sendiri belum 

sehat. Lihat, luka-lukaku masih membekas dan perih 

setiap hati.” 

Adipati berdiri, lalu mendekati Suro Bodong dan berkata 

dengan penuh penyesalan, 

“Kalau ada cara untuk menebus kesalahan kami, 

katakanlah cara apa yang harus kami lakukan. Kami 

sangat menyesal mengapa kau menjadi korban dendam 

kesumat kami.” 

“Caranya mudah saja….!” Kata Suro Bodong. 

“Sebutkanlah…!” 

“Beri aku kebebasan bergerak di sini, supaya aku bisa


berhadapan dengan Suro Bodong yang palsu! Kalau kau 

dan perajuritmu percaya bahwa aku bukan pembunuhnya, 

maka akupun akan membantumu sekuat tenaga untuk 

menangkap pembunuh menantumu itu. Beri aku 

kepercayaan, maka akan kuberikan nyawaku untuk 

Kadipaten ini!” kata Sur dengan tegas. 

Adipati Lohgawe tersenyum bangga mendengar kata-

kata itu. Yang lain pun tampak manggut-manggut dengan 

serius. Kemudian, Adipati berkata dengan tegas, 

“Bertindaklah seperti di rumahmu sendiri, Suro. aku 

percaya, hanya kau yang bisa menyelesaikan masalah ini!” 

“Nah… begitu!” 

“Sekarang apa gagasanmu?” tanya Wijaya. 

“Mengembalikan kepercayaan rakyat, bahwa pemerin-

tahan di Kadipaten ini masih mampu menegakkan 

keadilan dan menjamin ketentraman rakyanya!” jawab 

Suro . 

Yang lain manggut-manggut lagi seperti wayang golek. 

“Bagaimana caranya?” istri Adipati diizinkan bicara. 

“Kerahkan semua prajurit untuk menyebar ke seluruh 

Kadipaten siang dan malam. Jika melihat orang seperti 

aku, atau yang mengaku Suro Bodong, jangan ditangkap, 

melainkan diikuti dengansembunyi-sembunyi. Lalu salah 

seorang memanggilku dan aku akan datang menghadapi 

dia!” 

“Kalau semua prajurit menyebar di luar dalem 

kadipaten, lantas bagaimana keamanan di sini sendiri?” 

kata Adipati. 

“Aku yang bertanggung jawab keamanan di sini! Syukur-

syukur orang itu mau datang ke mari dengan maksud 

membunuh siapa saja, terserah pilihannya.” 

“Kedengarannya kau malah mengharapkan kematian!” 

sela Rahuto. 

“Kelihatannya memang begitu. Tetapi sebenarnya 

kematian yang kuharapkan adalah kematian pembunuh 

keji itu. kalau dia mau datang ke mari, berarti dia sudah 

siap berhadapan dengan aku. Jangan coba-boa melarikan


diri, karena itu perbuatan sia-sia, tahu?!” 

“Yaah, tapi jangan melototnya sama aku, ah!” gerutu 

Rahuto dengan bersungut-sungut. Suro tersenyum sendiri. 

“Supaya kau menyampaikan kepada orang itu kalau 

sewaktu-waktu bertemu dengannya,” kata Suro Bodong 

menutupi kegeramannya. 

Adipati sendiri segera berkata kepada prajurit-prajurit 

pilihan, termasuk orang andalannya, Wijaya dan Rahuto. 

“Kerjakan cara itu! Bawa semua prajurit, sisakan 

sepuluh orang di sini. Dan jangan bertindak gegabah! 

Mengerti?” 

“Sendiko, Kanjeng Adipati…!” jawab mereka. 

Sebelum Suro Bodong pergi ke kamarnya, ia sempat 

berkata kepada Adipati dan istrinya, 

“Tolong diingat-ingat, siapa-siapa saja orang yang 

pernah dikecewakan oleh pemerintahanmu, Adipati.” 

“Maksudmu?” 

“Aku melihat tujuan pembantaian itu. Tak lain hanya 

untuk merongrong kewibawaan pemerintahanmu! Kalau 

rakyat mengaku bernama Suro Bodong itu yang menjadi 

dalang mereka, sekarang ini, menurut dugaanku, orang 

tersebut sedang menciptakan rasa tidak percaya rakyat 

kepadamu! Kalau rakyat sudah tidak percaya, sudah 

kecewa dengan pemerintahanmu, maka ia mudah 

dikendalikan untuk memberontak!” 

Adipati manggut-manggut sambil memperhatikan Suro 

Bodong yang seenaknya berdiri di depan seorang Adipati 

sambil memakan jagung bakar. 

“Ingat….” Kata Suro lagi, “Hanya orang yang merasa 

pernah dikecewakan oleh pemerintahanmu, itulah yang 

akan menyulut api pemberontakan. Karena itu, ingat-

ingat….siapa saja yang pernah kau kecewakan. Catat, dan 

nanti kita bicarakan…!” 

Suro sudah bersikap seperti raja saja. Hal ini ia lakukan 

untuk menghajar Adipati atas tindakannya tempo hari yang 

membiarkan diri Suro disiksa oleh anak buahnya. Suro 

sendiri sebenarnya tak tega bersikap begitu, tapi demi


kelanjutan sikap Sang Adipati, ia merasa perlu mem-

perlakukan Adipati Lohgawe seperti bawahannya. Dan 

Adipati Lohgawe sendiri tidak tersinggung dengan sikap 

tersebut. Ia tidak mempersoalkan sikap Suro, tetapi yang 

diperhitungkan adalah bagaimana membuat rakyatnya 

bersimpati lagi kepada pemerintahannya. 

Waktu Suro Bodong mau masuk ke kamarnya, kamar itu 

sudah tidak dijaga oleh pengawal lagi. Tetapi di depan 

kamar itu, telah berdiri seorang perempuan bertubuh sekal 

dengan bentuk bibir yang sensual. Puji Wardani. Dia yang 

berdiri di depan pintu kamar Suro Bodong. Hal itu sungguh 

mengejutkan Suro Bodong. Ia terpaksa berhenti 

melangkah, namun masih menampakkan sikap acuh-acuh 

butuh. 

“Ada apa kau di sini?” tanya Suro sengaja dibuat ketus. 

“Aku ingin bicara denganmu,” kata Puji Wardani dengan 

suara pelan. 

“Apa…?” Suro berlagak budeg. 

“Aku ingin bicara padamu.” 

“O, ya…? Aku tidak ingin…!” Suro menampakkan 

sikapnya yang angkuh. Sengaja, untuk memancing 

kemarahan Puji sekaligus menggoda hati Puji yang tampak 

menyesali sikapnya selama ini. 

Suro Bodong langsung masuk ke kamar, bagai tidak 

perduli dengan Puji Wardani. Tanpa setahu Suro, 

perempuan cantik itu juga buru-buru lari ke kamarnya dan 

berdiri di depan cermin, memperhatikan Suro dari balik 

cermin hiasnya. Suro memang tidak tahu. Ia langsung saja 

duduk di depan cermin sambil tertawa sendiri. 

“Rasakan pembalasanku, Puji…! Rasakan! Sakitkan 

rasanya hati kalau disuguhi sikap sinis dan ketus seperti 

tadi…? Sakit kan?” 

Suro Bodong sebenarnya berkata pada dirinya sendiri di 

depan cermin. Tetapi karena Puji Wardani bisa melihat 

tembus ke kamar Suro melalui cermin di kamarnya, maka 

rasa-rasanya ia sedang berbicara kepada Suro berhadap-

hadapan. Rasa-rasanya Suro sengaja mengajak Puji


Wardani bicara, sekalipun tidak mendengar suaranya, tapi 

dari gerakan bibir Puji bisa mengerti apa yang dibicarakan 

Suro. 

Tak tahan hati Puji menerima kata-kata itu. Ia sempat 

memerah matanya, dan menunduk sedih. Ia bertahan 

untuk tidak menangis. Ia malu pada diri sendiri, hanya 

karena orang seperti Suro ia harus menangis. Ia tidak mau! 

Tidak mau! 

“Sekarang mereka semua sudah menyesali perbuatan-

nya,” kata Suro sendirian di depan cermin yang 

memantulkan bayangan dirinya. “Mereka sudah tahu 

bahwa perbuatannya menyiksaku adalah kesalahan besar 

yang seharusnya ditebus dengan nyawa. Maka, tak ada 

gunanya aku bertahan dalam keadaan luka seperti ini. Aku 

harus segera mnyembuhkan diriku sendiri.” 

Puji Wardani sempat pula menangkap pmbicaraan itu 

melalui bibir Suro. Ia menengadah dan memperjelas 

penglihatannya, ia bertanya dalam hati, apa yang akan 

dilakukan Suro dengan luka-lukanya itu. 

Suro melakukan penyembuhan yang aneh dan 

menjijikan. Ia meludah ke telapak tangannya tujuh kali, lalu 

kedua telapak tangan itu saling menggosok, kemudian 

masing-masing ditempelkan pada bagian yang luka. Setiap 

saat ia memejamkan mata dan menahan nafas dalam-

dalam. Sesaat kemudian ia melepas telapak tangan yang 

menempel pada luka, dan hasilnya membuat Puji Wardani 

terbelalak bengong. 

Setiap luka yang ditempeli telapak tangan, selalu hilang 

tanpa bekas sedikitpun, kecuali sisa darah yang kering. 

Demikian pula luka di pundak, luka di kepala akibat 

getokan tongkat seorang kakek tempo hari, luka memar di 

sudut matanya, semua hilang bagai tak pernah terjadi luka 

di situ. Tak habis-habisnya Puji Wardani terheran-heran dan 

berdecak dengan gumam yang lirih. 

“Hebat sekali dia itu…” kata Puji Wardani sendirian 

dengan suara lirih. Semalam itu ia duduk di tepi ranjang 

sambil memperhatikan Suro Bodong menyembuhkan luka,


dan mempelajari beberapa gerakan jurus Bidadari Pagi. 

Tanpa disadari, Puji Wardani tertidur di ranjang dalam 

keadaan berpaling ke arah cermin. Ketika ia terbangun di 

ujung fajar, ia merasakan ada tangan yang merayap di 

dada. Ia sangat terkejut, karena ketika membuka mata, ia 

langsung berhadapan dengan seorang lelaki berikat kepala 

merah. 

“Hah…?!” Puji Wardani terpekik. Ia melihat tubuhnya 

nyaris tanpa busana lagi. Dan seorang lelaki gemuk, 

dengan ikat kepala merah, baju merah lengan panjang 

yang tak dikancingkan, juga celana biru yang terikat 

pinggang kuning, sedang berdiri dengan senyum yang 

menggoda. 

“Suro…?!” Puji Wardani membisik tegang seraya 

menutup dadanya dengan selimut tebal. “Apa-apaan kau, 

hah? Berani-beraninya kau masuk ke mari, Suro? Nanti 

kupanggilkan romo bisa dihukum lagi kau!” 

“Aku hanya ingin menemanimu mengusir kedinginan 

pagi,” kata Suro Bodong. 

“Oh, jangan! Aku…aku….nanti kalau ada yang tahu, kita 

berdua bisa dijatuhi hukuman. Jangan Suro….” 

“Semua orang tertidur nyenyak, juga para pengawal! 

Kita bisa berlayar sebentar untuk mengusir dinginnya 

pagi…” 

Suro Bodong meraih selimut yang dipegangi Puji 

Wardani. Tetapi selimut itu masih dipegang erat-erat oleh 

Puji. 

“Tidak….! Aku tidak mau, Suro …. Oh, jangan…!” 

Tetapi ketika selimut dihentakkan, terbukalah dada itu, 

membusung dan mulus. Membengkak tapi berisi padat. 

Suro Bodong segera memeluk tubuh Puji Wardani. 

Wajahnya mendesak-desak di dada. Kumisnya yang tebal 

menggelitik Puji sehingga perempuan itu mendesah 

berkepanjangan. Kendati demikian, ia tetap saja berkata, 

“Tidak…! Jangan….! Oh, jangan lakukan itu, Suro 

….jangan…!” 

Suro Bodong melepaskan baju merahnya. Dan pada


saat itu teringatlah Puji, bahwa Suro sudah tidak 

mempunyai baju merah lagi. Baju itu telah robek dicabik-

cabik dan dibuang. Belakangan ini, Suro Bodong tidak 

pernah mengenakan baju lagi. Tetapi….lelaki yang 

menyerangnya dengan nafas memburu itu memakai baju 

dalam keadaan masih bagus. Belum ada luka atau bekas 

sobekan sedikitpun. 

Seketika itu juga, Puji Wardani sadar bahwa lelaki yang 

mendusal-dusal di dadanya dengan rakus itu bukan Suro 

Bodong sebenarnya. Puji segera berteriak keras dan 

nyaring. 

“Aaaaahhh…!!” sambil kaki kanannya mendepak alat 

vital lelaki itu. Ketegangan dan ketakutan memuncak. 

Lelaki itu ditendang sekali lagi hingga terpental membentur 

dinding. Puji Wardani menjerit sekuat-kuatnya. 

Suara jeritan Puji Wardani sempat membangunkan Suro 

Bodong. Segera Suro Bodong melompat dari dipan dan 

berlari ke luat. Ia memutar ke arah kamar Puji Wardani, 

lalu menendang pintu kamar itu dengan kasar. 

“Braaak…!” 

Sekali tendang, pintu terbuka. Suro Bodong berdiri 

dengan kedua kaki merenggang. Badannya yang tanpa 

baju itu kelihatan besar, berotot kuat. Matanya mendelik 

seketika sewaktu ia melihat seorang lelaki yang sedang 

berusaha untuk memperkosa Puji Wardani. Yang membuat 

Suro terkejut adalah, kemiripan lelaki itu dengan dirinya. 

Suro Bodong bagai melihat dirinya sendiri sedang 

melakukan usaha pemerkosaan terhadap diri Puji Wardani. 

Merah muka Suro Bodong yang asli. Ia segera menyerang 

lelaki yang serupa dengannya itu dengan sebuah 

tendangan kilat. Tendangan itu tepat mengenai wajah 

lawan hingga terpental jatuh dari ranjang. 

“Kau keparat busuk…!” gerak Suro Bodong yang segera 

menyerang kembali lawannya. Pada saat itu lawannya siap 

berdiri. Tendangan kaki Suro ditangkisnya dengan lengan 

kanan, sedangkan lengan kirinya segera menghentak ke 

depan dalam posisi telapak tangannya terbuka sedangkan


keempat jarinya terlipat bagian ruas atas. 

Suro Bodong yang asli nyaris menjatuhi Puji Wardani, 

karena ia terpental ketika ada semacam hawa kuat yan 

gmendorong tubuhnya sejak tangan lawan menghentak ke 

depan. Ia segera bergegas bangkit, tetapi tendangan 

lawannya menyusul mengenai dagu hingga wajah Suro 

terdongak ke belakang. 

“Aaaoow…!” pekik Suro seraya menjaga keseimbangan 

tubuh. Ia belum sempat mengembalika posisi kepala 

menjadi tegak, tahu-tahu pukulan ganda menghantam 

dada dan ulu hatinya dengan keras. 

“Huuugh…!!” 

Suro Bodong terbungkuk menahan sakit. Kepalanya 

dipegang kuat-kuat dengan Suro Bodong palsu, lalu kepala 

itu dihantamkan dengan lutut yang menyodok ke atas. 

Kalau saja Suro Bodong tidak cekatan, paling tidak 

hidungnya akan berdarah dan tulang hidung itu akan 

pecah karena sodokan lutut lawan. Namun, sebelum lutut 

itu menyodok hidungnya, tangan Suro buru-buru menahan 

lutut itu dengan kekuatan kedua tangan. Lalu, kepala yang 

menunduk itu segera disodokkan maju sehingga lawannya 

mengaduh kesakitan, nafasnya tersendat seketika. Suro 

Bodong mengibaskan kakinya dalam tendangan berputar. 

Kibasan kaki itu ditangkis oleh lawan, namun Suro Bodong 

buru-buru menjatuhkan diri ke lantai karena ia tahu akan 

ada serangan datang dari lawan ke bagian atas. Maka, 

ketika lawan menendang juga dengan jurus tendangan 

berputar, ia menemui sasaran kosong. Saat itu, Suro 

Bodong yang terlentang di lantai segera menyepak 

kemaluan lawan dengan keras, sampai-sampai lawan 

terbawa ke atas, lalu begitu turun, kaki kiri Suro 

menyambutnya dengan sebuah tendangan ke arah yang 

sama. Tubuh lawan yang sama gemuknya dengan Suro itu 

melayang melewati atas Suro dan kepalanya menghantam 

pintu kamar itu. 

“Braaak…!” 

Pintu kamar jebol sama sekali. Tadi waktu ditendang


Suro memang sudah jebol, tapi masih ada sisanya yang 

menempel bersama engsel pintu. Namun kini, pintu itu 

telah lepas bersama engselnya akibat ditabrak kepala Suro 

Bodong palsu. Orang itu jatuh di luar kamar. Suro Bodong 

yang asli segera memburunya. Ia menendang wajah orang 

itu ketika orang itu hendak bangun. 

Wajah yang ditendang terdongak ke belakang, namun 

bersamaan dengan itu, lawan mengulingkan tubuhnya ke 

belakang beberapa kali. Dengan satu hentakan lutut, 

lawan, berhasil berdiri dengan kaki merenggang kekar. 

“Sudah saatnya kau berhadapan denganku, Bangsat!” 

teriak Suro Bodong. 

Orang-orang yang mulanya tertidur, segera bangun dan 

hendak berlari ke kamar Puji Wardani. Namun mereka 

erhenti di taman, di depan kamar itu, karena mereka 

menyaksikan dua Suro Bodong saling bertarung dengan 

sengit. Adipati Lohgawe buru-buru masuk ke kamar 

anaknya. Setelah mendapat keterangan bahwa Puji 

Wardani tidak apa-apa, maka ia segera keluar untuk 

menyaksikan pertarungan dua Suro Bodong. Yang satu 

mengenakan baju merah, yang satu tanpa baju. Tetapi 

Adipati dan yang lainnya tahu, orang yang tidak memakai 

baju itulah Suro Bodong yang asli. 

Kali ini lelaki berbaju merah mengeluarkan pedangnya 

yang dicabut dari pinggan kanan. Ia bermain pedang 

dengan tangan kiri. Oh, dia kidal, kurang mahir 

menggunakan tangan kanannya. Suro Bodong sempat 

mempelajari beberapa kelemahannya. 

Ketika pedang itu menebas bagaikan kilat ke arah dada 

Suro Bodong, segera Suro melengkungkan badan ke 

belakang. Namun selang beberapa detik, kaki kanan Suro 

Bodong segera menghentak ke atas, mengani siku 

lawannya dengan keras. Tapi, agaknya tendanganya itu 

tidak berguna. Lawan tetap menyerang dengan ganas. 

Melompat seraya menggerakkan pedang ke depan. Kepala 

Suro Bodong nyaris menjadi sasaran kalau Suro tidak 

segera memiringkan kepala ke kiri. Sambil merendahkan


badan ke kiri, Suro berhasil menendang pinggang lelaki itu 

dengan kaki kiri. Tendangan samping itu membuat lawan 

terpental beberapa langkah dan jatuh terguling-guling. 

Dengan hentakan tangan ke tanah, lawan mampu 

melompat ke atas, melebihi ketinggian Suro Bodong. Pada 

saat itu ia melemparkan pedangnya dari tangan kiri ke 

tangan kanan. Suro Bodong bersiap menyerang dengan 

satu lompatan. Tetapi lawan sudah telanjur turun, dan 

pedangnya dipegang dengan kedua tangan, diangkat ke 

samping telinga kanan dengan posisi tubuh merendah 

sedikit. Ia berteriak sambil menghentakkan kaki kirinya tiga 

kali ke tanah. 

“Heeaaat….! Heeat…! Heaaat…!” 

Meluncur sebuah sinar berbentuk pedang itu, seolah-

olah dari ujung pedang. Sinar berbentuk pedang 

menerobos ke depan dengan cepat, dan menghantam 

dada Suro Bodong. Suro buru-buru melompat bagai singa 

menerkam kadal. Sinar berbentuk pedang warna merah 

membara itu lolos dari sasaran, mengenai sebuah pohon 

dan meledak seketika. Pohon itu hancur, menjadi serpihan-

serpihan kecil bagai percikan tanah liat. Prajurit yang 

berdiri di bawah pohon itu pingsan seketika, telinganya 

berdarah. Mungkin karena suara ledakan yang didengarnya 

dari jarak dekat sehingga mampu memecahkan gendang 

telinga. 

Pedang masih diarahkan ke Suro Bodong dalam posisi 

dipegang dua tangan di samping kepala kanan. Lawan 

menghentakkan kakinya lagi tiga kali sambil berteriak 

seperti tadi. Maksudnya ingin menhajar tubuh Suro Bodong 

yan gmelayang hendak menerkamnya itu. tetapi Suro 

Bodong dengan gesi meliukkan tubuhnya ke kiri, dan 

berguling ke samping di udara. Sinar merah membara 

serupa dengan bentuk pedang lawan itu melesat, tidak 

mengenai sasaran. Sinar itu melesat ke atas, terus ke aras 

dan menghilang entah sejauh mana. 

Yang jelas, pada saat itu Suro Bodong berhasil menjaga 

keseimbangan tubuhnya, sehingga ia dapat mendarat


dengan kedua kaki tegak berdiri. Tepat di depan kaki Suro 

terdapat sebutir batu dalam ukuran hampir datu 

genggaman. Suro menendang batu itu ke arah lawan. Batu 

melayang bagai dilemparkan dengan tangan yang kekar. 

“Aaauuhh…!!” Lawan mengaduh kesakitan, karena batu 

itu tepat mengenai ujung hidungnya hingga berdarah. Suro 

buru-buru melompat dan menendang wajah lawan. Yang 

ditendang sempoyongan sambil mengibaskan pedang 

secara ngawur. 

“Ciaaat…!!” 

Puji Wardani yang sudah mengenakan pakaian itu 

mengibaskan pedangnya dari arah belakang lawan. 

“Haaagh…!!” 

Orang itu tersentak dan kesakitan karena tebasan 

pedang Puji Wardani tepat mengenai punggungnya. 

Punggung itu menampakkan luka menganga panjang dan 

darah pun mulai berhamburan. 

Lawan berbalik arah. Pedangnya dipegang dengan dua 

tangan, diangkat ke samping kepala, diarahkan ke Puji 

Wardani. Kakinya menghentak ke tanah sambil berseru 

“Heaaat…! Heeeaaat…! 

“Ciaaat…!!” Tepat pada saat itu Suro Bodong yang asli 

menendang lawannya dari samping. Kaki Suro yang keras 

dan kaku itu menghantam pelipis lawan dengan keras. 

Lawan tak jadi mengeluarkan jurus pedang yang 

membahayakan itu. Ia terjatuh berjumpalitan dan 

membentur pohon. Segera Suro Bodong berguling di 

rerumputan dan menghentakkan kakinya lagi dengan 

tendangan berganda. Kedua tendangan tepat mengenai 

kepala dan perut lawan, sehingga orang itu pun semakin 

terpental jauh dari tempatnya. Bahkan sempat melayang 

ke atas bagai boneka dilemparkan. 

“Aaah…! Aaauh…!” Suro Bodong palsu mengaduh-aduh. 

Ia berusaha untuk berdiri, Suro Bodong tak memberi 

kesempatan. Tetapi pada waktu ia melayang, tubuh Suro 

Bodong jatuh terpental ke belakang. Pukulan tenaga dalam 

yang keluar dari telapak lawan berhasil mengenai dada


Suro Bodong. Dada Suro menjadi membiru. Sakit! Nafasnya 

sesak. Pukulan tanpa ujud itu agaknya lebih besar dari 

pada pukulan yang tadi diterima di dalam kamar. 

“Jahanam kau, ciaaat…!!” Puji Wardani melompat dan 

mengarahkan pedangnya ke arah lawan. 

“Puji….jangan! bahaya itu…!!” teriak Suro Bodong. 

Cemas sekali Suro melihat keberanian Puji yang tanpa 

perhitungan. Lawan sudah berdiri dan siap menggunakan 

jurus pedang yang dapat menghancurkan pohon seperti 

tadi. Nyawa Puji terancam. Seketika itu, tangan Suro 

Bodong melemparkan sebuah batu dan tepat mengenai 

kaki lawan yang akan dipakai menghentak ke tanah itu. 

Lawan menjerit kesakitan, pusat pikirannya terganggu. Ia 

tak jadi menggunakan jurus pedang berbahaya. 

Tetapi ia masih berhasil menghindari tusukan pedang 

Puji Wardani dengan cara menghantamkan tangan 

kanannya ke arah pinggan Puji dengan tubuh merunduk ke 

bawah. 

“Haaagh…!!” 

Puji mengaduh kesakitan sambil tubuhnya limbung ke 

kiri dan jatuh bagai batang pisang dilemparkan. 

“Pujiii…!!” jerit ibunya yang hendak mendekat, tapi buru-

buru dipegang ayahnya. 

Suro Bodong sudah berhasil berdiri. Nafasnya memang 

masih sesak, tetapi ia mencoba untuk menyerangnya. 

Hanya saja, lawan sudah buru-buru melompat, bersalto ke 

belakang dan melayang melewati tembok batas Dalem 

Kadipaten. Ia menghilang di balik tembok. Suro Bodong 

bergegas mengejarnya dengan berseru, 

“Bangsat….!! Jangan lari…! Kita selesaikan sekarang 

juga, kucing kurap…!! Hiaaat…!” Suro Bodong berhasil 

melompat sampai di atas tembok yang mengelilingi Dalem 

Kadipaten itu. ketika ia hendak melompat ke bawah 

mengejar lawannya, Adipati Lohgawe berseru, 

“Jangan dikejar dia….!” 

Teriakan itu membuat Suro tak jadi melompat turun. Ia 

diam, dalam keraguan dan sedang mempertimbangkan


permintaan Adipati itu. Adipati tahu Suro dalam 

kebimbangan. Ia segera berseru lagi, 

“Jangan tampakkan wajahmu di depan rakyat! 

Kumohon, jangan! Berbahaya Suro…! Lihat… matahari 

mulai keluar dari cakrawala, sebentar lagi akan terang 

benderang!” 

Suara Adipati, bagai suara yang mohon perhatian sekali. 

Suro Bodong segera menahan diri, lalu ia kembali ke 

tempat. Ia buru-buru menemui Puji Wardani yang ternyata 

tidak mengalami luka apapun, kecuali pinggangnya sedikit 

nyeri. 

“Kau tak apa-apa?” tanya Suro. 

Puji Wardani menggeleng. Ia masih menyeringai sedikit, 

dan segear dituntun Suro Bodong untuk masuk ke 

kamarnya. 

“Lain kali kalau mau bertarung jangan lupa….pakai otak! 

Kalau otak kau tinggal di kamar, kau tidak akan bisa 

menang, tahu? Bisa jadi malah mampus…!” kata Suro 

kasar, dan ia memang tidak peduli dengan kekasarannya 

itu. 

“Sekarang kalian tahu aku bukan dia, dan dia buka aku 

toh?!” kata Suro kepada Puji Wardani yang sedang diusap-

usap pinggangnya oleh ibunya, sedangkan Adipati sendiri 

berdiri dengan gelisah di samping Puji Wardani. 

“Sayang sekali hanya sepuluh perajurit yang melihat 

pertarungan tadi. Wijaya dan Rahuto tidak ada. Coba kalau 

mereka ada, kurasa mereka tahu kalau…” 

“Kami sudah tahu…!” sahut Adipati. “Sejak pertemuan 

tadi malam, sudah kukatakan, kami sudah tahu siapa 

kamu. Kau memang bukan dia!” 

Puji Wardani berkata dengan jengkel, “Lantas maumu 

apa sebenarnya, Suro ? Mau menuntut kami? Tuntutlah 

aku saja! Aku orang yang paling dendam denganmu! 

Aku…!” teriak Puji dengan kemarahan yang timbul dari rasa 

sesal dirinya. “Aku yang membujuk Romo untuk meng-

hukummu tempo hari! Kalau kau merasa menjadi orang 

benar dan ingin membalas dendam, balaslah aku. Apa


maumu? Ini pedangku dan bunuh aku dengan pedang ini! 

Bunuh…!” 

Suro Bodong bersungut-sungut, lalu meninggalkan Puji 

Wardani. Puji yang tak bisa dibujuk ibunya itu masih 

penasaran. Ia mengejar Suro Bodong sampai di pintu, 

meraih lengan Suro dan menyodorkan pedangnya. 

“Lekas bunuh aku…!” 

“Kamu ini waras apa gila?!” kata Suro Bodong. 

“Persetan dengan waras apa gila, kalau kau sakit hati 

dengan tuduhan kami, bunuh saja aku! Aku yang paling 

menympan dendam kepadamu. Ayo, bunuh aku…!” 

“Suruh saja Suro Bodong yang tadi…! Kenapa kau tadi 

pakai menjerit-jerit segala…? Kenapa tadi tidak minta 

dibunuh sama Suro Bodong yang kabur itu…” 

Dengan ketus dan cemberut penuh gerutu, Suro Bodong 

pergi, keluar dari kamar. Ia tak sempat memperhatikan 

cermin yang dipakai melihat kamarnya. Ia nyelonong begitu 

saja setelah berkata demikian. Puji Wardani berseru, 

“Mau ke mana kau?!” 

“Berobat…!” jawab Suro seenaknya. Puji segera 

berhenti menggerutu setelah menyadari, dada Suro 

membiru akibat pukulan lawan tadi. Wah, gawat. 

Berbahayakah itu? Kenapa Suro Bodong tadi kelihatan 

pucat sekali waktu dibentak-bentak Puji Wardani? Adakah 

racun dari pukulan itu yang akan menghancurkan Suro dan 

mengakhiri hidup Suro Bodong? 

***


LIMA


DENGAN melalui semadi setengah hari, Suro Bodong 

berhasil menyembuhkan luka di dadanya yang 

membiru itu. Selama ia melakukan semadi, ia tak 

tahu kalau Puji Wardani memperhatikan terus melalui 

cermin tembus padang di kamar Puji itu. 

Sesungguhnya, belakangan ini Puji Wardani suka 

berperasaan aneh terhadap Suro Bodong, lebih-lebih kini ia 

tahu persis bahwa Suro Bodong bukan pembunuh rakyat, 

bukan pembunuh suaminya. Puji Wardani bagai 

menyimpan suatu getaran sendiri jika memperhatikan Suro 

di cerminnya. Ia merasa jengkel jika Suro bersikap acuh tak 

acuh padanya. Ia ingin berhubungan baik dengan Suro, 

sebab selama ia mengamati gerak-gerik Suro, ternyata ia 

menemukan suatu kelembutan di balik kekasaran Suro 

Bodong. ia juga menemukan beberapa hal yang sempat 

mengagumkan dan mendebarkan. Menurutnya, Suro 

adalah laki-laki yang penuh dengan kebanggaan. Hanya 

saja, kebanggaan itu disembunyikan di balik sikapnya yang 

seenaknya sendiri dan sedikit kasar itu. 

Maka, ketika Suro selesai mandi sore, Puji Wardani 

memperhatikan Suro lagi dari cerminnya. Ia kasihan 

melihat Suro Bodong termenung sedih di tepian dipannya. 

Raut wajahnya nyata-nyata digeluti penyesalan. Bahkan 

sesekali ia bicara pada bayangannya sendiri di cermin, 

“Kenapa menangkap tikus seperti itu saja kau tidak 

becus, hah? Manusia macam apa kau jika dengan cecurut 

saja sampai dibuat kelabakan!? Tidak. Kau tidak boleh 

seperti itu lagi, Suro. Kau harus bisa meringkusnya! Bunuh 

dia dan jangan beri ampun lagi! Dia sudah banyak makan 

korban, bahkan Puji….ah, Puji sendiri nyais jadi korban! 

Kau harus membunuhnya demi Puji yang kau kagumi, 

Suro…..!” 

Puji Wardani tertegun-tegun ketika Suro Bodong berkat


demikian di depan cermin. Padahal Puji sendiri berada di 

depan Suro Bodong, hanya saja Suro Bodong tidak tahu, 

sehingga kata-katanya itu seakan suatu pengakuan yang 

ditujukan kepada Puji Wardani. Di dalam hati, Puji sempat 

berkata, “Ooh…ternyata dia mengagumiku…. Tapi, kenapa 

sikapnya tak mau terus terang? Kenapa sikapnya 

berlawanan?” setelah Suro mempertimbangkan segala 

sesuatunya, akhirnya ia memperoleh suatu keputusan yang 

ingin disampaikan kepada Adipati Lohgawe. Namun, ketika 

ia keluar dari kamar dengan dadanya yang bidangtanpa 

baju itu, ia sempat terkejut, karena Puji Wardani ternyata 

berdiri di depan kamarnya dengan melipat kedua 

tangannya di dada. 

“Hei, perlu apa kau berdiri mematung di situ?” tegur 

Suro Bodong dengan tak ramah. Namun Puji tahu apa yang 

ada di balik ketidakramahan itu. Rasa kagum yang 

disembunyikan! Dan…. Karena itu, Puji sendiri harus 

berlagak tidak tahu menahu tentang rasa kagumnya Suro 

Bodong. Ia melangkah masuk ke kamar dan berkata, 

“Aku harus nekad begini untuk bisa bicara denganmu!” 

kata-kata itu sempat membuat Suro Bodong terbengong. 

“Jangan masuk ke kamarku! Nanti dugaan orang tuamu 

buruk terhadapku.” 

“Aku yang ingin menjernihkan kalau mereka mempunyai 

dugaan buruk,” kata Puji dengan ketus. 

Sebenarnya Suro Bodong menggeragap melihat 

kenekatan Puji Wardani itu, tetapi ia berhasil menguasai 

diri dengan ketenangannya. Ia berdiri di depan pintu dan 

memandang Puji Wardani yang manis, cantik dan lembut 

sekali dalam suasana sore mengenakan gaun sutra warna 

hijau muda. 

“Apa maksudmu datang ke kamar ini?” tanya Suro dari 

depan pintu. Puji duduk di kursi sederhana dari kayu. 

“Aku ingin meminta maaf padamu!” 

“Sudah habis! Aku tidak punya persediaan maaf lagi. 

Kalau kau mau, maafkanlah dirimu sendiri!” jawab Suro. 

Puji melirik dengan cemberut. Kesal juga hatinya


mendengar kata-kata yang asal nyeplos itu. Apalagi Suro 

kali ini berkata seenaknya, “Hei, kamu cantik kalau 

cemberut begitu! Kenapa tidak rajin-rajin cemberut, biar 

tetap cantik?” 

Puji Wardani segera mengendurkan wajahnya, tidak lagi 

cemberut, namun memasang keangkuhan dan keketusan. 

“Aku ke sini bukan untuk bicara soal kecantikan!” 

katanya walaupun sebenarnya kata-kata Suro itu enak 

didengar bagi telinga Puji. “Aku ke sini hanya meminta 

maaf atas tuduhan dan kebencianku waktu itu…” 

“Lalu…?” 

“Lalu….aku juga berterima kasih kepadamu, karena kau 

telah menyelamatkan aku dari usaha pemerkosaan Suro 

Bodong yang palsu itu…!” 

“Terima kasihmu kutolak,” kata Suro tergas. Puji 

Wardani berpaling cepat dengan memandang tajam. Suro 

Bodong bejalan mendekati meja yang ada di depan Puji. Ia 

meneguk minumannya sebentar. 

“Aku tidak menolongmu. Aku hanya ingin membunuh 

orang yang menjelekkan nama baikku!” 

Wajah yang berkulit kuning langsat itu menjadi merah 

dadu. Ada rasa malu dan dongkol yang disembunyikan di 

balik kebisuan Puji Wardani. 

“Kalau begitu aku salah duga.” 

“Memang,” jawab Suro Bodong. “Sebab itu, berterima 

kasihlah pada Suro Bodong yang kau bacok punggungnya 

itu, sebab karena dia maka kau bisa membangunkan kau 

dengan jeritanmu.” 

Puji diam. Lama sekali terbungkam. Suro Bodong mem-

erhatikan wajah itu dengan leluasa. Lalu ia menggoda, 

“Kau kecewa karena kemunculanku saat itu, bukan?” 

Segera Puji mengangkat wajah dan mendelik 

memandang Suro Bodong. “Kau kejam mengatakan aku 

begitu! Kau pikir aku senang diperkosa lelaki itu?” 

Suro seenaknya saja berbaring di dipan dengan 

menumpuk dua bantal. Ia berkata, “Kupikir kau senang, 

sebab waktu itu kulihat pakaianmu tidak ada yang robek.


Itu pertanda kau dengansuka rela membukanya.” 

“Karena kupikir dia adalah kamu!” bentak Puji dengan 

kejengkelan yang memuncak. “Kupikir dia kamu, maka aku 

sedikit memberi peluang padanya! Tapi setelah aku tahu 

dia bukan kamu, bukan Suro Bodong yang asli, aku 

menjerit dan ketakutan! Jelas?!” Puji bicara sambil 

mendekati Suro. 

Kini ganti Suro Bodong yang terbengong melompong 

mendengar pengakuan itu. ia bisa menangkap makna kata-

kata itu. Tapi, sebenarnya sangat di luar dugaan kalau Puji 

mempunyai perkiraan semacam itu. 

Suro buru-buru bersikap biasa-biasa saja. Ia malah 

tersenyum sinis seraya berkata, “Ah, itukan alasanmu saja. 

Kurasa kau sudah tahu kalau dia bukan aku, maka kau 

biarkan sejenak dia menguasai tubuhmu, lalu… au puas, 

dan baru berteriak mengagetkan aku. Jadi akulah yang 

mendapat jatah kekagetannya!” 

“Kurang ajar….!” 

“Plak…!” Suro Bodong ditampar dengan sengit oleh Puji. 

“Plak…!” sekali lagi wajah Suro menjadi sasaran tangan 

Puji. Namun ketika tangan itu hendak menamparnya untuk 

yang ketiga kalinya, Suro Bodong buru-buru menangkap 

pergelangan tangan Puji Wardani. 

“Cukup…! Ini wajah, bukan kendang main tampar 

seenaknya saja!” hardik Suro Bodong sambil terduduk di 

dipan. 

Puji Wardani menampakkan kedua matanya yang merah 

dibakar kemarahan dan kesedihan. “Kau menghinaku…! 

Kau kejam menuduhku begitu…! Kau pikir aku perempuan 

urahan yang…!” 

Suro Bodong buru-buru menutup mulut Puji Wardani 

dengan tangannya. Ia berkata pelan tapi jelas, 

“Diam kau! Aku sebenarnya hanya ingin mengatakan 

bahwa kau cantik, menggiuran bagi semua lelaki, termasuk 

aku! Tapi jika kamu menangis dan marah-marah, kau sama 

saja menantangku untuk bercumbu. Berhentilah marah. 

Berhentilah menangis. Jangan pancing kejantananku


dengan dikap seperti itu. Aku tidak tahan, tahu…?” 

Suro Bodong melepaskan tangannya yang mem-

bungkam mulut Puji Wardani. Kini mulut itu terbengong, 

mata masih menatap Suro Bodong. airnya semakin bening 

dan meleleh. Lalu, dengan serta merta Puji Wardani 

memeluk Suro Bodong kuat-kuat. Tangisnya menghambur 

di pundak Suro. Sekarang Suro Bodong kebingungan 

sendiri. Ternyata perempuan itu lebih berani memulai dari 

pada dirinya. Wah….kacau! 

“Jangan menangis….nanti aku….aku terpancing….” 

Puji berkata dalam isakannya, “Biar…biar kau terpancing 

dan tahu, bahwa kau ingin berdamai denganmu! Ingin 

menjadi akrab dan dekat….!” 

Isak tangis terdengar, Suro Bodong makin bingung tujuh 

keliling. “Ssstt…diam. Jangan menangis. Kau sudah dekat 

denganku kan?” 

“Tapi kau belum memelukku…!” katanya disela isakan 

tangis ang membingungkan Suro Bodong. Lalu, dengan 

pelan-pelan Suro Bodong memeluk Puji Wardani. 

“Diamlah….aku sudah memelukmu, kan?” 

“Tapi tidak erat….” 

Suro Bodong mempererat pelukannya. Puji Wardani 

masih mengisak beberapa saat. Suro Bodong tertahan. 

“Ssst…ko malah betah menangis? Aku kan sudah 

memeluk dengan erat…” 

“Aku…aku…oh…aku bahagia….” 

“Apa….?” Bisik Suro. 

“Aku bahagia…” jawab Puji dalam tangis. 

“Aku…aku juga bahagia. Tapi…aku tidak bisa menangis. 

Aku lupa caranya menangis….sudah diam, nanti hatiku 

sedih dan aku ikut-ikutan menangis lho…” 

“Menangislah demi kebahagiaan ini, Suro .” 

“Jangan paksa aku menangis, sulit menghentikannya.” 

“Aku akan menghentikannya.” 

“Dengan cara apa?” 

“Membawamu terbang…” bisik Puji sesekali. 

“Ah, jangan….!” Kata Suro. “Biar aku saja yang


membawamu terbang.” 

“Bawalah….! Lekas bawalah aku terbang…” 

“Ssst…pintu belum dikunci….” 

“Kuncilah….lekas kuncilah….!” 

“Krek!” pintu dikunci. Tangis berhenti. Keluh menjelma. 

Erang membakar darah. Mereka terbang. Terbangnya 

jauuuuh….sekali. Puji Wardani kegirangan memperoleh 

penerbangan perkasa dan kekar. Mereka merajut benang-

benang mimpi. Mereka menyelinap di sela keluh dan 

dengus membara. Puji Wardani berpesta pora di atas 

bentangan kulit Suro Bodong. Dia lebih terampil. Karena ia 

termasuk perempuan berselera tinggi. Ia perempuan yang 

punya segudang selera dan cara. Suro Bodong mem-

biarkan dirinya dipakai landasan kebahagiaan yang 

sesekali membuat tubuhnya kejang sejenak. Sampai 

keduanya pun tuntas merenggut nafas, memburu lemas. 

“Aku akan pergi malam ini juga,” kata Suro setelah 

mereka saling menyeka keringat. 

“Aku ikut,” kata Puji, seraya tangannya mengusap 

keringat yang membasahi tubuh Suro Bodong. 

“Jangan ikut. Aku akan memburu orang itu! aku akan 

menyeretnya ke mari, agar dendammu puas.” 

“Tapi dia berbahaya, Suro. Aku tak ingin kau terkena 

pukulannya lagi,” Puji Wardani menampakkan kekawatiran-

nya. 

“Ah, aku tidak akan melakukan kebodohan untuk kedua 

kalinya. Aku akan memakai otakku. Kemarin, eh…tadi 

pagi….aku juga meninggalkan otakku di kamar. Jadi aku 

kena pukulan tenaga dalamnya.” 

“Pokoknya jangan. Jangan memburu dia. Biar ayah nanti 

akan kubujuk agar dia mau menerima tawaran Pragulo.” 

Suro Bodong berkerut dahi. “Siapa? Pragulo?” Puji 

Wardani mengangguk. Tangisnya sudah berhenti sejak tadi. 

Bukan air mata lagi yang keluar, tapi keringat! 

“Pragulo anak paman Renggono. Dia kemarin datang 

menawarkan diri untuk menangkap orang yang mengaku 

bernama Suro Bodong. tapi dia belum tahu kalau kaulah


Suro Bodong yang sebenarnya. Dan…. waktu itu dia minta 

hadiah lebih banyak jika ia berhasil menangkap Suro 

Bodong. Bahkan ia menawarkan diri untuk menjadi 

Jagabaya yang akan menjamin keamanan di Kadipaten ini, 

tetapi minta upah tinggi. Ayahku sedang mempertimbang-

kan penawarannya.” 

“Pragulo itu orang sakti, ya?” 

“Katanya ia baru saja selesai berguru di Gunung 

Mahageni. Dan…. kurasa ia punya ilmu yang cukup hebat, 

nyatanya ia menawarkan diri sebagai Jagabaya, kepala 

keamanan di Kadipaten.” 

Setelah terbungkam sesaat sambil merenung, Suro 

Bodong bertanya bagai menyelidik, 

“Kau sudah lama mengenal dia?” 

“Sudah. Waktu kecil aku bermain dengannya. Dulu, 

ayahnya bekerja sebagai Jurubayar Kadiapaten….” 

“Lalu…?!” 

“Lalu…. ayahnya melakukan penyelewengan uang. Ia 

mencari keuntungan untuk memperkaya diri sendiri. 

Kecurangan-kecurangan dilakukan, sayangnya ketahuan 

oleh Romo Purwakusuma, kemudian dilaporkan. Waktu itu 

yang menjadi Adipati masih kakekku: Sang Adipati Sindang 

Mukti…” 

“O, bukan kakekmu yang menempati kamar itu?” 

“Ini kan kakek dari ibuku.” 

“Oo….terus?” Suro memancing keterangan. “Eh, tadi 

kau bilang, yang melaporkan perbuatan curang ayah 

Pragulo itu siapa? Romo Purwakusuma?” 

“Benar.” 

“Maksudmu….Raden Mas Purwakusuma?” 

“Ya. Tapi aku memanggilnya Romo.” 

“Kenapa begitu? Memangnya ada hubungan apa 

denganmu?” 

“Dia kan mertuaku. Orang tua dari bekas suamiku itu: 

Kang Mas Atmaja.” 

“Oooo…..jadi Raden Atmaja itu anak dari Raden Mas 

Purwakusuma? Yang dibantai satu keluarga itu?!”


“Iya. Benar, dan….” 

“Tunggu, tunggu….! Jangan bicara dulu. Diam…!” Suro 

Bodong bersemangat. Ia berdiri, mengerutkan dahi. Garuk-

garuk kumis. Berjalan mondar mandir beberapa saat. Puji 

Wardani terheran-heran memandangnya. Ia menunggu izin 

bicara. Suro bicara sambil mondar-mandir. 

“Jadi…. Raden Mas Purwakusuma itu mertuamu, ya? 

Dan…. Pragulo adalah anak dari….Paman Renggono. 

Melakukan kecurangan soal uang. Yang melaporkan RM 

Purwakusuma. Dan….O, ya….terus bagaimana nasih ayah 

Pragulo setelah dilaporkan tentang kecurangannya itu?” 

“Dipenjara oleh kakekku, dan….ia meninggal dalam 

penjara. Meninggal dengan sedih dan tekanan batin.” 

“Hemmm…ya, ya, ya…!” Suro Bodong manggut-manggut. 

“Kalau begitu, suruh ayahmu memanggil Pragulo…!” 

“Lalu…?” 

“Suruh panggil saja dia, dan terima sebagai Jagabaya 

atau beri hadiah tinggi asal dia bisa menangkap Suro 

Bodong…!” 

Ketika hal itu disampaikan kepada Adipati Lohgawe, 

Sang Adipati merasa heran mendengar usulan puterinya. 

“Mengapa Suro Bodong mempunyai maksud begitu?” 

Suro menampakkan diri dari ruang tengah, lalu ia sendiri 

yang menjelaskan. 

“Pragulo itulah Suro Bodong yang palsu.” 

“Pragulo…?!” Adipati dan istrinya terheran-heran. 

“Ya. Dia yang menjadi Suro Bodong. Dia ingin menuntut 

balas atas kematian ayahnya dalam penjara. Perihal 

kecurangan ayahnya dalam menjalankan tugasnya sabagai 

Jurubayar Kadipaten, dilaporkan oleh Raden Mas 

Purwakusuma. Karena laporan itu ayah Pragulo dipenjara 

dan mati dalam tahanan. Sekarang ia selesai menuntut 

ilmu. Dia membalas kematian ayahnya kepada Raden Mas 

Purwakusuma. Karena Raden Atmaja, bekas suami Puji 

Wardani itu adalah anak keturunan Raden Mas 

Purwakusuma, maka ia ikut dibinasakan.” 

“Tapi kenapa ia juga membunuh rakyat tak berdosa?”


Suro Bodong menjawab, “Seperti yang pernah ku-

katakan, dia ingin menghilangkah rasa percaya lagi kepada 

Adipati. Ia nantinya yang akan membakar rakyat untuk 

memberontak. Dan kalau sudah terjadi pemberontakan, 

kedudukanmu bisa digulingkan, maka dia yang akan 

merebut kekuasaan kadipaten ini.” 

“Oo….begitu….” Adipati manggut-manggut. “Dan tentang 

penyamaranmu? Kenapa dia menyemar menjadi Suro 

Bodong dengan persis sekali begitu?” 

“Dia tahu namaku. Dia mengenal siapa diriku. Dan kalau 

aku terbunuh oleh orang-orangmu, maka Kesultanan Praja 

yang akan menyerang dan menghabiskan Kadipaten ini. 

Dalam perang antara Kadipaten ini dengan kesultananku, 

Pragulo pasti akan ambil bagian, supaya dicalonkan 

menjadi Sang Adipati di sini, sekalipun Kadipaten ini akan 

berada di bawah kekuasaan Kesultanan Praja. Paling tidak, 

kalau kau berhubungan denganku dan akan marah, aku 

bisa membunuh semua orang penting dalam Kadipaten ini. 

Kalau kau sudah tiada, dia akan mendirikan Kadipaten 

dengan sisa peninggalanmu. Kira-kira begitulah jalan 

pikiran Pragulo…” 

Adipati semakin jelas permasalahannya. Lalu ia segera 

mengerahkan prajuritnya untuk mencari di mana Pragulo 

berada. Dengan hati-hati mereka harus bisa membujuk 

Pragulo dengan mengatakan, bahwa Adipati sangat mem-

butuhkan tenaganya untuk menjadi Jagabaya. Ternyata 

tidak sulit mencari Pragulo di bekas rumahnya dulu. 

Pragulo berhasil dikelabuhi dan ia mau menghadap Adipati 

Lohgawe. Sebelumnya, suatu rencana telah dipersiapkan 

lebih dulu. 

Ketika Pragulo datang, ia disambut dengan baik oleh 

Adipati Lohgawe. Bahkan Puji Wardani ikut menyambutya 

dengan ramah dan manja, seperti waktu mereka masih 

kanak-kanak. 

Namun ketika Suro Bodong muncul dalam pertemuan 

itu, Pragulo kelihatan terkejut dan wajahnya menjadi pias. 

Sekalipun ia menutupi perasaan resahnya dengan


ketenangan, namun Adipati sendiri dapat mengentahui 

bahwa Pragulo kelihatan gelisah sjak kemunculan Suro 

Bodong yang asli. 

“Pragulo…” kata Adipati. “Kami semua sudah bosan 

dibuat kacau oleh Suro Bodong palsu. Nah, yang berdiri di 

sampingmu itu Suro Bodong asli. Ia sendiri mengakui 

bahwa ilmu yang dimiliki Suro Bodong palsu sungguh 

hebat. Tak ada orang yang menandinginya. Itu menurut 

dia….” Adipati menuding Suro Bodong. Aku sudah 

bersepakat dengan keluargaku, dengan pegawai-

pegawaiku untuk mencari seorang panglima perang! Bukan 

seorang Jagabaya saja, tetapi seorang panglima perang 

Kadipaten Kidang Kencana. Kedudukannya merupakan 

orang nomer dua di Kadipaten ini setelah aku. Apakah kau 

sanggup menjadi Panglima Perang Kadipaten kita ini, 

Pragulo.” 

Dengan keangkuhan yang sudah terlihat dari caranya 

memandang, Pragulo menjawab, “Itu pekerjaan yang 

mudah bagi saya, Kanjeng. Saya sanggup menjadi 

panglima di sini asal saya mendapat jaminan hidup dan 

gaji yang tinggi.” 

“Gaji akan kuberikan sesuai dengan permintaanmu. 

Tapi aku punya syarat….kau tidak perlu menangkap atau 

membunuh Suro Bodong. melainkan buatlah Suro Bodong 

datang dan meminta maaf, lalu dia harus pergi secepatnya 

setelah kami menuruti permintaannya. Jangan bunuh dia, 

sebab kalau kita membunuh dia, maka kita akan 

kewalahan menghadapi rohnya. Jadi, cukup dia datang, 

mengutarakan keinginannya, lalu meminta maaf, kalau 

mau. Kalau tidak mau lekas pergi setelah kami 

mengabulkan permintaanya. Apa kira-kira…tugas itu berat, 

Pragulo?” 

“Saya rasa tidak, Kanjeng Adipati. Buat saya, tidak ada 

pekerjaan yang tidak bisa saya lakukan. Saya sanggup 

memenuhi syarat itu.” 

Wijaya menyahut dengan girang, “Wah, kalau begitu…. 

jabatan panglima sangat sosok buat Kakang Pragulo, ya?”


Rahuto menyahut, “Benar! Dan kalau Kakang Pragulo ini 

sudah menjadi panglima kita, wah….beres pokoknya! Tak 

ada yang mau mengganggu-ganggu kita lagi. Bukankah 

begitu Kakang Pragulo…?!” 

Pragulo tertawa girang, merasa bangga. “Pokoknya, 

kalau aku berhasil menundukkan Suro Bodong dan 

menjadi orang kedua di sini….” Ia berbisik kepada Rahuto, 

“Kuusulkan agar gaji prajurit dinaikkan semua….” 

“Cocok…! Cocok sekali itu, ha, ha…!” Rahuto sengaja 

disuruh memancing sedemikian rupa agar tidak timbul 

kecurigaan. 

Pragulo masih bau kencur, menurut Suro Bodong. Ia 

mempunyai otak sebesar lada. Ia tidak merasa kalau 

dirinya masuk dalam perangkap yang membahayakan. 

Kalau menurut Puji Wardani, Pragulo itu pintar-pintar 

bodoh. Ia pintar, karena bisa mempunyai rencana yang 

begitu rumit, susah dipecahkan dengan penyamarannya 

sebagai Suro Bodong. Tetapi keangkuhan dan keserakahan 

membuat ia jadi bodoh, terbuai karena sanjungan dan jajni 

suatu kedudukan sebagai panglima perang, orang kedua 

setelah Adipati Lohgawe. Mungkin ia berpikir, dengan cara 

itu ia akan lebih mudah menguasai Kadipaten Kidang 

Kencana. 

Benar-benar bodoh. Esoknya, seorang prajurit meng-

hadap Adipati dan berkata bahwa seseorang yang meng-

aku bernama Suro Bodong hendak menghadap. Kontan 

saja Adipati memberi izin, karena memang itulah saat yang 

ditunggu-tunggu. Orang yang mengaku bernama Suro 

Bodong. Hanya saja, ia tetap mengenakan kain merah yang 

bagian belakangnya sudah dijahit karena bekas robek 

terkena pedang Puji Wardani. Orang itu dtang dengan 

menampakkan rasa sesal dan kesedihannya. Tetapi 

sebelum ia bicara dengan Adipati Suro Bodong yang asli 

muncul dari samping dan langsung menyerangnya dengan 

sebuah tendangan telak di pelipisnya. 

“Hiaaat…!!” Suro Bodong tidak memberi kesempatan 

lagi kepada tiruannya. Ketika lawannya hendak bangun,


tendangan beruntun mengenai punggungnya, sehingga 

orang itu sempat terpental menabrak tiang besar. Suro 

Bodong memainkan jurus-jurus andalan. Tendangan Ayam 

Kawin dilancarkan, yaitu gerakan kaki yang menendang 

tujuh kali beruntun tanpa sempat ditangkis, dan bergantian 

dari kaki kanan ke kaki kiri. 

Ketika musuhnya jatuh, Suro Bodong segera men-

cengkeram baju lawan lalu melemparkannya keluar. Ia 

sengaja mendesak agar Suro Bodong palsu keluar dari 

Dalem Kadipaten dan berlarian di alun-alun. Ternyata 

harapannya itu terkabul juga. Lawannya lari ke luar, dan 

Suro Bodong segera mengejarnya sampai alun-alun. Ketika 

mereka berdua sudah berada di alun-alun, para prajurit 

segera menjalankan rencana yang sudah ditentukan 

sebelumnya. Mereka mengepung alun-alun dengan berisan 

rapat. Sebagian prajurit lainnya memanggil para penduduk 

dengan berteriak di atas punggung kuda yang melaju ke 

mana-mana, 

“Suro Bodong telah tertangkap…! Suro Bodong 

tertangkap….! Hukuman akan dijatuhkan kepadanya hari 

ini…!” 

Kontan penduduk yang sudah merindukan kebencian 

terhadap Suro Bodong segera berkumpul berlari-larian ke 

alun-alun. Segala kegiatan ditinggal hanya untuk menonton 

Suro Bodong disiksa. 

Tetapi ternyata mereka terbengong. Setiap orang pasti 

berkata, “Hahh…?! Kok ada dua Suro Bodong?!” 

Sementara Suro Bodong asli sedang bertarung dengan 

yang palsu. Wijaya dan Rahuto diminta memberi 

penjelasan kepada masyarakat, “Yang memakai baju 

merah itu adalah Suro Bodong yang membunuh keluarga 

kalian, sedangkan yang tidak mengenakan baju itu adlaah 

Suro Bodong yang kita siksa dulu. Sekarang dia ingin 

membuktikan bahwa dirinya bukan Suro Bodong yang kita 

cari…! Perhatikan saja mereka!” Kalimat itu diucapkan 

berkali-kali oleh Rahuto dan Wijaya. 

Melihat lawannya mencabut pedang, Suro Bodong mulai


berpikir bahwa lawan akan memainkan jurus pedang maut 

yang mampu menghancurkan sebuah pohon. Kalau pun 

Suro bisa menghindari, maka kilatan cahaya yang 

menyerupai bentuk pedang itu akan melesat terus dan 

mengenai penduduk atau siapa saja yang ada di belakang 

Suro Bodong. karena tidak ingin terjadi korban lain, maka 

Suro Bodong pun segera meraba tangan kirinya. Sampai di 

pergelangan tangan kiri, ia menghentakkan tangan kanan, 

seperti mencabut sesuatu, dan tahu-tahu tangan kanannya 

memegang sebuah pedang. 

Orang-orang, bahkan Adipati dan Puji Wardani sendiri 

sampai terbengong keheranan. Pedang itu seperti dicabut 

dari pergelangan tangan, padahal sejak tadi mereka 

melihat Suro Bodong tidak membawa senjata. Kini, tahu-

tahu Suro Bodong yang asli sudah menggenggam sebuah 

pedang yang memancarkan sinar ungu berpijar-pijar. 

Sangat indah dan mengagumkan siapa saja. Mereka tidak 

tahu, itulah pusaka Suro Bodong yang bernama Pedang 

Urat Petir. 

“Hiaaaat…!” lawan Suro Bodong menebaskan 

pedangnya ke arah perut Suro. Tapi dengan ringan 

ditangkis memakai pedang Urat Petir. Lalu, dalam saat itu, 

kaki Suro Bodong menendang lurus ke depan, dan 

mengenai dagu lawannya. Lalu kaki yang habis untuk 

menendang itu menapak, kini ganti kaki yang satunya 

menendang dengan tendangan memutar belakang. Tepat 

mengenai dada lawan hingga orang itu terpental beberapa 

langkah ke belakang. 

Lawan segera bergegas, ia mulai menggunakan gerak-

gerak pedang yang tadinya di tangan kiri, kini dilemparkan 

ke tangan kanan. Lalu, kedua tangan menjadi satu 

memegangi gagang pedang. Ini tanda-tanda jurus pedang 

maut akan digunakan oleh Suro Bodong palsu. 

Pada saat itu, Puji Wardani nekad lagi. Ia menyusul dari 

belakang Suro Bodong palsu. Ia memainkan jurus Bidadari 

Pagi, meliuk-liuk bagai orang menari, lalu tangannya 

seperti membuat sesuatu yang lembut. Pada waktu itu,


lawan sedang menghentakkan kaki untuk yang kedua 

kalinya. Puji Wardani merasakan ada suatu getaran yang 

memercik lewat jari jemarinya sewaktu ia menggerakkan 

tangannya itu, dan tiba-tiba….tubuh lawan terpental bagai 

diterjang bagai yang ganas. Ia terguling-guling, dan rakyat 

pun bersorak keras, “Hidup Raden Ayu…! Hidup Raden 

Ayu…!!” 

Tentu saja gerakan dari jurus Bidadari Pagi itu sangat 

mengejutkan Suro Bodong. Ia sempat berseru, “Puji…! 

Jangan ikut campur…!” 

Lawan mengerang, mau bangkit susah, daging tubuhnya 

mulai melepuh dan menjadi seperti borok yan gmeretak. 

Sekujur tubuh itu menjadi retak-retak bak tanah kering 

kekurangan air. Namun, agaknya ia masih bertahan untuk 

berdiri dan menyerang. Ia mengangkat pedangnya dengan 

lemas. Ia berhasil menempatkan pedangnya dengan kedua 

tangan di samping telinga kanan. Lalu kakinya menghentak 

ke tanah tiga kali dengan berseru suara serak. Lalu, 

melesatlah sinar merah membara berbentuk seperti 

pedang itu, keluar dari ujung pedang dan sasarannya 

menuju Puji Wardani yang tengah menari-nari 

membawakan jurus Gerakan Bidadari Pagi. Suro Bodong 

terpaksa melompat ke arah melajunya sinar membara 

merah itu, kemudian ia merentangkan pedangnnya ke 

depan, dan…. “Duaar…!!” Terjadilah ledakan yang dahsyat 

akibat benturan sinar merah membara serupa pedang 

dengan sinar Pedang Urat Petir yang berpijar sinar ungu 

sejak tadi itu. 

Suro Bodong terpental, lawannya juga terpental. Tapi 

Puji Wardani selamat. Suro Bodong segera menggunakan 

jurus Pedang Jitu. Ia melemparkan pedangnya ke atas 

hingga berputar tujuh kali, kemudian menendang pedang 

itu ke atah lawan. Maka, Pedang Urat Petir terpecah 

menjadi tujuh bagian yang semua bagian melesat ke tubuh 

lawan. Tubuh yan gmulai berlumur darah karena retak-

retak oleh jurus Bidadari Pagi itu kini memekik tertahan, 

“Aaakhh…!!”


Tiga bagian dari pecahan Pedang Urat Petir menembus 

tubuhnya dari depan sampai ke belakang. Lalu, pedang itu 

berkumpul lagi menjadi satu dan melesat ke tangan Suro 

Bodong. orang-orang menggumam kagum melihat 

kesaktian pedang Suro Bodong. Sementara lawannya jatuh 

tak berkutik lagi. Jurus Pedang Jitu telah mengakhiri 

riwayatnya. Dan tubuh retak-retak yan gmenyerupai Suro 

Bodong itu pun mengepulkan asap biru samar-samar. 

Lambat laun, tubuh itu berubah bentuk menjadi tubuh 

Pragulo yang sebenarnya. Takyat makin menggumam 

kagum dan terheran-heran melihat perubahan tersebut. 

Suro Bodong memasukkan pedangnya kembali ke 

dalam lengan kirinya. Pedang itu disusupkan begitu saja, 

seakan disimpan di bawah kulit dan daging tangan kirinya. 

Dan bekas masuknya pedang itu sama sekali tidak ada, 

sekalipun bekas sebesar jarum. 

Rakyat berseru, bersorak kegirangan melihat kematian 

orang yang selama ini mereka benci dan mereka takuti. 

Mereka menampakkan wajah cerah yang penuh 

kegembiraan, terlebih Adipati dan keluarganya. 

Puji Wardani berlari menghampiri Suro Bodong dan 

segera memeluknya dengan hati girang dan tawa 

kebahagiaan. Adipati mendekat dengan istrinya, lalu 

mereka bersalaman erat-erat. 

“Terima kasih, Suro …! Terima kasih, kau telah 

menyelamatkan Kadipaten ini dari ancaman 

kehancuran…!” 

“Terima kasih itu mudah. Yang sulit adalah menerima 

kasih seseorang…!” kata Suro Bodong kepada Adipati, tapi 

matanya melirik Puji Wardani. Yang dilirik hanya senyum-

senyum saja seraya bergelayutan di pundak Suro Bodong. 

“Apakah ada yang ingin memberikan kasihnya 

kepadamu, Suro ?” kata istri Adipati. 

“Saya tidak tahu.” Suro menjawab dengan senyum. Tapi 

Puji Wardani menyahut dengan tegas dan bernada manja. 

“Ada…! Siapa bilang tidak ada?” 

“Siapa?” desak Suro Bodong.


“Entah…” jawab Puji Wardani seraya mereka melangkah. 

“Hei, aku tadi melihatmu menggunakan jurus Bidadari 

Pagi. Dari mana kau peroleh jurus itu, hah?!” 

“Dari mencuri jurus yang kau latih di kamar,” Puji 

tersenyum-senyum nakal. 

“Di kamar? Kau melihatku? Melihat aku melatih jurus 

itu?” 

Puji Wardani mengangguk sambil tertawa lirih. Ia 

berkata, “Cermin hias di kamarmu itu tembus pandang dari 

kamarku. Jadi aku tahu apa saja yang kau lakukan di 

kamar itu.” 

“Sial…!” Suro bersungut-sungut. “Kalau tahu begitu aku 

akan melepas pakaian setiap hari jika di kamar!” 

“Kan sudah…” Lalu Puji Wardani tertawa mengikik geli 

seraya masih bergelayut di pundak Suro Bodong, Senopati 

Praja! 



                         TAMAT 






 

Share:

0 comments:

Posting Komentar