SATU
TANPA tahu ujung pangkalnya, Suro Bodong diserang
oleh dua orang pemuda bersenjata cambuk. Suro
Bodong menggeliat kesakitan. Tubuhnya melengkung
ke depan ketika salah satu cambuk mengenai pinggang-
nya. Baju merah lengan panjang robek bagian pinggang,
ujung cambuk berduri menggores kulit pinggang dengan
sadis. Bukan memar yang membuat Suro meringis
kesakitan, melainkan goresan duri tajam itu yang merobek
kulit hingga berdarah beberapa baris.
Suro Bodong sengaja diam, merasakan rasa sakit yang
amat perih di pinggangnya. Ia jatuh dengan kedua tangan
sempat bertumpu di tanah, menahan berat badannya yang
besar namun tidak gemuk. Kakinya terkulai lemas akibat
menahan sakit.
“Sudah saatnya kau menerima balasanku, Kunyuk!
Hiaaat…!” pemuda yang satunya melecutkan cambuk
bertali dua. Kedua ujung cambuk bagai diberi paku atau
besi tajam yang sekali lecut dua-duanya menancap di
pundak Suro. Cambuk itu segera ditarik dalam satu
hentakan.
“Mampus kau…!”
“Aaakhh…!!”
Suro tidak berteriak, namun memekik dengan suara
tertahan. Kepalanya mendongak ke atas lantaran rasa
sakit akibat pundaknya ditembus dua besi runcing, yang
kemudian saat ditarik mengakibatkan kulit pundak itu
robek semuanya. Tak aneh lagi jika darah pun mengalir
dari luka itu.
“Hajar terus dia…!” kata pemuda berompi biru dan
bercambuk tunggal, namun tali cambuk bagian ujungnya
berduri banyak.
“Aku ingin menghajarnya di depan umum,” ujar pemuda
yang menganakan celana kuning dan baju putih. Ia
memegang cambuk dengan dua tali, yang masing-masing
ujung tali cambuknya diberi logam tajam sebesar paku.
“Sebaiknya ikat saja dia, Rahuto… dan seret ke depan
Kadipaten!”
“Ya, ya…aku lebih setuju usul itu, Wijaya.” Suro Bodong
mencoba untuk berdiri dengan erangan kesakitan. Namun
kaki kanan Wijaya segera menendang punggung Suro
dengan keras. Dalam satu hentakan saja Suro sudah jatuh
tersungkur dengan wajah mencium tanah.
“Aaakh… Aauuhh…!” Suro Bodong mengerang dan tetap
berusaha untuk bangun. Rupanya kali ini Rahuto dan
Wijaya membiarkan Suro Bodong berdiri. Nafas Suro yang
terengah-engah dan tubuh yang sempoyongan itu
membuat Wijaya tertawa puas, sedangkan Rahuto yang
bermata belok hanya tersenyum sinis.
“Sekarang kau tidak punya kesempatan untuk lari, Iblis!
Kau berhadapan dengan kami, Wijaya dan Rahuto, bukan
berhadapan dengan orang-orang lemah yang dengan
seenak perutmu sendiri kau bantai dengan keji….!!” Geram
Rahuto sambil menggerak-gerakkan cembuknya.
Tangan Suro Bodong menuding dengan keseimbangan
tubuh menggeloyor kian kemari.
“Siapa….siapa kalian….siapa, hah….?!”
Rahuto melecutkan cambuknya. “Taar…!” Tangan Suro
Bodong menangkis dan menjadi sasaran cambuk itu.
“Aaoohh…!!” Suro Bodong meringis kesakitan. Kulit
tangannya berdarah karena duri menggores tajam. Ia buru-
buru mendekap tangan kanannya itu dengan nafas
semakin terengah-engah, mencoba melawan rasa sakit.
“Kalian…..kalian siapa?! Mengapa memusuhi aku…?!”
teriak Suro Bodong dengan posisi berdiri sebentar-sebentar
mau jatuh, limbung ke sana sini.
“Kami orang-orang Kadipaten Kidang Kencana, yang
kau kacau selama ini, tahu?!” bentak Wijaya. “Kami yang
bertugas memburu kamu, Suro Bodong! Diburu untuk
dibunuh di depan rakyat Kadipaten Kidang Kencana,
supaya mereka puas melampiaskan dendamnya kepada-
mu!” geram Wijaya.
“Siapa Kidang Kencana itu….? Oh, aku tidak kenal! Aku
hanya kenal….hemmm….siapa ya…?!”
Suro Bodong bicara tanpa tujuan. Berdirinya masih
limbung. Ini semua akibat dia dalam keadaan mabok.
Sungguh celaka jika Suro dalam keadaan mabok.
Makanan atau minuman apapun yang membuatnya mabok
akan menjadi bencana bagi dia. Suro tidak bisa meng-
gunakan jurus-jurusnya, ilmu-ilmunya jika dalam keadaan
mabok. Dia menjadi lemah, sekalipun dia punya keinginan
untuk menggunakan jurus andalan untuk melawan musuh.
Ia akan selalu gagal, seakan kehilangan semua ilmunya
dan menjadi bodoh total.
“Hei…kalau kalian mau melawanku….lawanlah dulu diri
kalian. Itu baru seorang jagoan, he, he, he…! Ratna
Prawesti pernah bilang begitu padaku…!” Suro bicara
dengan kacau. Hal itu membuat Wijaya semakin gemas.
Lalu, tangan kirinya yang tidak memegangi cambuk
memukul wajah Suro dengan keras.
“Heit…!” Suro menangkis, memaksakan diri meng-
gunakan ilmu silatnya. Tetapi, tangkisannya mengibas di
tempat kosong, sehingga pukulan Wijaya pun menghantam
pipi Suro dengan keras.
“Aaauuw…!” Suro memekik, lalu sempoyongan dan
rubuh. Kepalanya dikibas-kibaskan seperti kuda mendesis.
Matanya yang sayu memandang Wijaya, lalu tersenyum. Ia
menggerakkan tangannya, merentang ke samping semua
dalam keadaan berdiri dengan kedua lutut.
“Jurus Capung Terbang Jauh, hiaaat…!”
“Buuk…!” kaki Wijaya menjejak dada Suro dengan
bebas. Suro terbatuk-batuk setelah terpental ke belakang.
Ia menyeringai kesakitan dan nafasnya menjadi lebih
sesak.
“Rupanya orang yang ditakuti penduduk tidak punya ke-
bisaan apa-apa, Rahuto!” kata Wijaya dengan menyeringai
sinis. “Seret dia ke alun-alun, biar rakyat yang memberi
hukuman kepadanya!”
“Hiaat…!!” Rahuto mengibaskan cambuknya. Cambuk
melesat tanpa suara, karena langsung membelit ketiak
Suro Bodong. Jurus cambuk yang digunakan adalah jurus
cambuk pengikat yang diberi nama: jurus Cambuk
Kelabang Ganjen. Tali cambuk itu tidak merobek kulit,
melainkan membelit dan membuat suatu ikatan yang kuat.
Kepandaian itujarang dimiliki orang. Hanya Rahuto dan
Wijaya yang bisa melakukannya. Karena itu, Wijaya pun
segera melecutkan cambuknya ke ketiak kiri Suro. Cambuk
itu pun membelit dan membuat suatu ikatan kuat.
“Hei, hei…mau diapakan aku ini, hah? Mau diperkosa?”
suara Suro Bodong mengambang bagai orang yang sedang
mengigau. Kepalanya masih terasa pusing, karena ia habis
makan gadung dan membuatnya mabok.
Suro Bodong tidak tahu kalau gadung pemberian
seorang petani dari desa Wulung itu adalah gadung yang
memabukkan. Mungkin juga petani itu sendiri tidak tahu,
karena ia juga ikut memakan gadung tersebut. Tetapi,
dalam hal ini, Surolah yang memakan gadung sampai
habis banyak. Ia sempat muntah-muntah di perjalanan.
Kepalanya berputar dengan cepat bagai ingin meledak.
Suro sudah beristirahat sebentar di bawah bukit Julung, ia
sedikit merasa enteng. Kemudian ia melanjutkan
perjalanannya menuju Pesisir Selatan untuk menemui
Eyang Pengging, adik dari Eyang Panembahan Purbadipa
yang menjadi penasihat di Kesultanan Praja. Tujuannya
menemui Eyang Pengging untuk menyampaikan pesan
agar Eyang Pengging datang ke Kesultanan Praja, sebab
saat ini Eyang Panembahan Purbadipa dalam keadaan
sakit.
Tetapi di perjalanan tadi, Suro Bodong telah mendapat
serangan tanpa permisi dari Wijaya dan Rahuto. Suro
Bodong yang pusing dan mabok itu tidak menyadari kalau
dia telah salah jalan. Ia tidak menuju ke Pesisir Selatan,
melainkan berbelok arah, sampai akhirnya memasuki
wilayah Kadipaten Kidang Kencana.
Ucapan Selamat Datang dari Kadipaten Kidang Kencana
adalah lecutan cambuk Wijaya dan Rahuto. Kalau saja
Suro Bodong tidak dalam keadaan mabok, mungkin kedua
orang muda bersenjata cambuk itu akan ditungging-
tunggingkan dalam waktu sekejap, bahkan mungkin cukup
dengan kaki saja. Sayangnya, Suro masih mabok,
sehingga segala serangan dan tindakan Wijaya serta
Rahuto itu tidak bisa diatasi. Suro hanya meracau dengan
kata-kata tak karuan, sambil sesekali mengerang merasa-
kan sakit.
Tubuh Suro diseret dengan kasar oleh kedua cambuk
dari kedua pemuda kekar itu. Cambuk yang melilit kedua
ketiak Suro itulah yang membuat tubuh Suro bagai ber-
gelayutan dalam penyeretan tersebut. Lemas dan loyo. Ia
mengaduh-aduh jika kakinya atau perutnya yang gendut
namun buka membuncit itu tergores batu dalam
penyeretan itu. Adakalanya ia bahkan tertawa sendiri
melihat Wijaya dan Rahuto kecapekan menyeretnya ke
alun-alun.
“Makanya….jangan suka menyeret-nyeret orang…! Nanti
sakit encokmu kambuh, Mas…!” tutur Suro Bodong dengan
suara mengalun tak karuan. “Aaaow…! Pahaku tergores
ranting kering…! Aaauw…geli sekali…!”
“Diam!” bentak Rahuto.
“Hei, aku kan punya mulut….mengapa kau suruh diam?
Kau sendiri punya mulut tidak mau diam! Dari tadi mem-
bentak-bentak aku….waiyooow…!!” Suro menyeringai,
mengajak bercanda. Rahuto gemas. Kakinya menendang
dagu Suro dengan tanpa ampun lagi. Suro Bodong
menyeringai dan memekik kesakitan. Tapi kemudian
tubuhnya diseret lagi oleh mereka.
Beberapa langkah kemudian, Wijaya menghempaskan
nafas dalam beristirahat.
“Badannya seperti kebo!”
Rahuto juga menghempaskan nafas kecapekan. Ia ter-
engah-engah. Matanya memandang Suro Bodong dengan
sengit, sementara otaknya kelihatan berpikir mencari cara
lain untuk membawa Suro Bodong ke Kadipaten.
“Bangun!” bentak Rahuto sambil menendang pinggang
Suro dengan kasar. “Bangun dan berjalan kau!! Cepat…!!”
Dengan keseimbangan tubuh benar-benar parah, Suro
Bodong berdiri. Lututnya berdarah karena goresan batu
tajam, celananya sebagian robek dan perutnya sendiri
kelihatan ada bekas luka membesot dari samping atas ke
bawah. Badan Suro benar-benar mengalami banyak
kerusakan. Namun agaknya Suro Bodong tidak begitu
menghiraukan karena keadaan otaknya sedang tidak
waras.
“Sebetulnya…” katanya dengan suara seperti orang
mengigau, “….aku ini salah apa? Kenapa aku diseret-seret
seperti ini? kenapa? Apa salahku? Apa salahmu? Jawab
dengan jujur, Sayang…!!” Suro menyeringai. Wijaya
menampar dengan geram. Galak!
“Kau berlagak lupa dengan kekejamanmu yang tidak
mempunyai belas kasihan sama sekali, ya?! Kau berlagak
lupa, hah?!”
Suro Bodong mengibaskan kepalanya lagi sambil
menyemburkan bibirnya yang berkumis tebal. Kedua
ketiaknya masih dililit camuk dan siap untuk digeret.
“Coba katakan…apa salahku, mungkin aku akan ingat
dan kita bisa menembus kesalahan bersama-sama!”
“Ngaco saja omongannya!” gerutu Rahuto.
Wijaya mencengkeram baju Suro dengan ganas. Wajah-
nya memandang dekat, sedangkan mata Suro dalam
keadaan sayu, memerah.
“Dengar…! Kau telah menjadi jagal di Kadipaten kami!”
“Jagal? Oo, jadi aku telah memotong berapa ekor sapi
dan berapa ekor kerbau?!”
“Bukan binatang yang kau jagal, tapi… manusia!” Wijaya
menegaskan. “Menantu Kanjeng Adipati yang bernama
Raden Atmaja itu kau gorok lehernya dengan keji!”
“Plaaak…!!” Wijaya menampar keras wajah Suro. Yang
ditampar mengaduh dan gelagepan. Wijaya berkata lagi
“Keluarga Raden Mas Purwakusuma kau bantai semua
nya! Anak-anaknya, istrinya, keponakannya….semua kau
habisi dengan memotong lehernya!”
“Plaak…!” Wijaya menampar dengan kesal. Suro Bodong
mengaduh lagi dengan kepala tersentak ke samping.
Rambutnya yang panjag sebahu diikat kain merah itu
semakin acak-acakan, menambah wajah Suro seram,
bagai wajah seorang pembunuh berdarah dingin.
“Juga beberapa penduduk yang tak tahu dosa kau
bunuh dengan caramu! Kau gantung dan kau beset-beset
kulit mereka di depan anggota keluarganya! Sungguh keji
kau, Suro Bodong! Sungguh kejiii…!!”
“Plook…!” Kali ini, tonjokan yang nyasar ke wajah Suro
dan membuat mata kiri Suro Bodong menjadi memar,
membiru legam. Suro berteriak kuat-kuat dalam keadaan
tubuh hendak terpelanting jatuh. Tetapi Rahuto
memegangi cambuknya yang melilit di ketiak Suro Bodong
sehingga tubuh Suro masih dalam keadaan berdiri dengan
lutut merendah.
“Bangun…!!” Wijaya membentak sambil menarik
cambuknya yang juga melilit di ketiak Suro. “Kau harus ber-
tanggung jawab atas pembunuhan dan keonaran yang kau
lakukan di Kadipaten kami! Ayo, lekas…bangun!”
Rintih dan erangan Suro Bodong mengiringi per-
jalanannya ke Kadipaten Kidang Kencana. Dengan jalan
setengah diseret, Suro Bodong melangkah gontai, bahkan
sesekali terjatuh lemas dalam keluhan kesakitan. Namun
pengaruh maboknya masih saja membuat Suro Bodong
dalam keadaan antara sadar dan tidak. Suro tahu kalau ia
mempunyai beberapa jurus andalan yang mampu
melumpuhkan kedua pemuda perkasa dan ganteng-
ganteng itu. Tetapi ia tidak tahu bagaimana cara meng-
gunakannya.
Suro Bodong juga sadar, bahwa ia mempunyai jurus
Luing Ayan-1 sampai Luing Ayan-7, yang dapat merubah
ujudnya menjadi tujuh kali ganti rupa yang berlainan.
Tetapi bagaimana cara menggunakan jurus Luing Ayan itu,
ooh….sungguh tidak bisa diingat sedikitpun. Bahkan
pedang pusaka yang bernama Pedang Urat Petir, tak tahu
di mana ia meyimpannya. Ia melihat tubuhnya yang polos
tanpa senjata, padahal ia ingat-ingat lupa, bahwa ia punya
senjata pusaka yang cukup hebat. Cahaya ungu yang
terpancar dari pedangnya terbayang selintas dalam
ingatan, ingin sekali ia meraih pedang itu untuk melawan
Rahuto dan Wijaya. Sayang, ia kebingungan mencari di
mana ia menyimpan pedangnya. Ia merasa bingung tujuh
keliling. Tapi ia ingat, ia bergelar Pendekar 7 Keliling.
Kenapa bisa bergelar begitu? Ah, lupa! Ia benar-benar lupa
bahwa gelar itu diperoleh karena ia mampu berubah
ujudnya tujuh kali dalam setiap gerakan berputar.
Tapi…..berputar yang bagaimana? Sial! Lupa lagi!
“Rahuto….! Apakah dia yang bernama Suro Bodong?!”
seru salah seorang penduduk dari beberapa orang yang
memperhatikan Suro Bodong ditarik-tarik Rahuto dan
Wijaya. Rahuto menyahut dengan berseru.
“Ya. Ini dia yang bernama Suro Bodong, yang tempo hari
lolos dari kejaranku setelah membantai Pak Sugali!”
“Hajar saja dia…!” seru mereka. “Bunuh…! Gantung!
Matikan dia…! Matikan Suro Bodong! Penggal kepalanya!
Cabut kuku-kukunya…! Sikaaaat….giginya!”
“Plak, pokk…pletak…! Buk, buk, buk…!”
“Aaaaaahhh…!!”
Suro Bodong berteriak keras karena banyak penduduk
yang menghujani batu, yang memukulnya dengan kayu,
bahkan ada yang menggigit paha Suro Bodong dengan
gemas. Untung saja orang itu tersengkat kaki Rahuto tak
sengaja sehingga gigitannya tidak membuat daging paha
Suro gompal.
“Sabar….sabar….!” teriak Wijaya menenangkan amukan
penduduk Kadipaten Kidang Kencana.
“Dia yang membunuh Pamanku!” teriak seseorang.
“Dia yang memperkosa anak gadisku! Bunuh dia!” seru
seorang ibu sambil membawa parutan kelapa.
“Bakar saja dia! Bakar….! Dia yang membakar rumah
kami dan memperkosa adik kami…!” teriak seorang
pemuda dengan mata garang.
Soerang kakek mendekar, menerobos tangan Wijaya
yang menghalanginya. Kakek itu membawa tongkat dan
berdiri di depan Suro Bodong. “Ini yang memperkosa istriku
tidak jagi…! Hihh…!”
“Pletak…!” Tongkat kayu dihantamkan di ubun-ubun
Suro Bodong. Satu kali pukul, kepala Suro Bodong sudah
sanggup mengucurkan darah. Dua kali pukul, tangan kakek
itu ditahan oleh Rahuto.
“Sabar, Kek….! Jangan mendahului pengadilan Kanjeng
Adipati, nanti kita kesalahan…!” bujuk Rahuto. Kemudian
Suro Bodong ditarik-tarik oleh Wijaya dan terseret-seret
menuju gerbang dalem Kadipaten. Penduduk berbondong-
bondong mengikuti Suro Bodong sambil melemparkan apa
saja yang terpegang. Sekena-kenanya. Bahkan ada yang
melemparkan blengkon kepalanya dan mondolan blangkon
mengenai kening Suro Bodong. Suro mengaduh lirih,
sudah tak mampu berteriak lagi.
Darah membasah, melumuri tubuh Suro Bodong yang
sedang dalam keadaan mabok itu. Ia menghadap Adipati
Lohgawe dengan badan tak sanggup berdiri lagi. Banyak
punggawa negeri berkumpul dengan menggeram, meng-
geletukkan giginya. Malah ada yang sempat menyundutnya
pakai rokok, dan segera dilarang oleh Adipati Lohgawe.
Sebab waktu itu sundutan api rokok bukan mengenai kaki
Suro tapi mengenai kaki Wijaya.
“Mandikan dia, baru kita sidang!” kata Adipati Lohgawe
dengan suara penuh dendam. Kalau saja ia bukan seorang
Adipati, mungkin ia juga akan ikut-ikutan memukul Suro
atau menyundutnya dengan puntung rokok. Hanya saja,
karena ia menyadari kedudukannya sebagai Adipati
penguasa Kadipaten Kidang Kencana yang dihormati
semua orang, maka ia berusaha menahan emasi, bahkan
mencoba bersikap bijak dan berwibawa.
Suro Bodong menjerit-jerit kesakitan ketika disiram oleh
air, dan didorong agar tercebur ke dalam kolam ikan. Luka
disekujur tubuhnya membuatnya perih dan kesakitan. Tapi
mereka tidak satu pun ada yang kasihan kepada Suro.
Bahkan sebaliknya, mereka bersikap kasar dan penuh
pelampiasan dendam.
Suro Bodong hanya mengerang-erang kesakitan, ia
belum menyadari siapa dirinya dan bagaimana meng-
gunakan jurus-jurusnya. Yang ia tahu, ia disiksa tanpa jelas
kesalahannya. Ketika ia dihanduki dengan kain karung
bekas rumput kuda, ia menjerit-jerit lagi, karena mereka
menghanduki dengan kasar.
“Awas, hati-hati…! Jangan sampai lolos dia!” kata se-
orang abdi dalem perempuan yang berdiri di depan dapur.
Waktu itu, Suro Bodong sempat melirik adanya seorang
perempuan lain yang tampak berpakaian rapi dengan
busana kebangsawanan. Perempuan itu mengenakan
pakaian pinjung biru muda dengan kain batik warna cerah.
Gelang dan kalungnya bergemerlapan. Ia mempunyai
rambut yang disanggul ke atas dan memakai tusuk konde
dari logam perak berhias batuan merah. Mungkin itu istri
Adipati, pikir Suro Bodong. Atau mungkin dia Mbok Emban,
yang bertugas mengasuh bayi. Ah, terlalu cantik dia kalau
mejadi emban. Terlalu bersih dan terlalu menawan. Ck, ck,
ck…matanya begitu bening dan enak dipandang.
“Hei, kenapa malah bengong!!” seorang prajurit ber-
kumis tebal, sama seperti kumis Suro, menendang pantat
Suro dengan kasar. Suro Bodong terjengkang jatuh dan
sama sekali tidak bisa menangkis tendangan sepele itu.
Suro Bodong segera dihadapkan di sidang kadipaten.
Adipati Lohgawe sepertinya tidak sabar menunggu saat
memberi keputusan hukuman kepada Suro. Maka, ketika
Suro Bodong dihadapkan kepadanya, langsung saja Adipati
Lohgawe berseru:
“Apa benar kau yang bernama Suro Bodong?”
Jawab Suro Bodong, “Kalau tidak salah, benar! Aku Suro
Bodong. Aku seorang Senopati. Istriku cantik dan…!”
“Cukup!” bentak Wijaya yang rupanya sebagai orang
andalan adipati. Wijaya mengancam dengan menjambak
rambut Suro Bodong, sebab Suro sudah tidak mengena
kan baju lagi.
“Kau hanya boleh bicara sesuai dengan pertanyaan
Kanjeng Adipati, mengerti! Jangan lebih!”
Wijaya melepaskan genggaman rambut Suro Bodong.
Suro meringis-ringis, mulutnya mendesis-desis menahan
sakit.
“Mengapa kau membunuh Raden Atmaja, menantuku?
Apa salahnya? Apa urusan kalian?!” tanya Adipati Lohgawe.
“Aku tidak tahu,” jawab Suro Bodong dengan suara
lemah. Saat itu ia sempat melirik ke sudut, menatap
seorang perempuan yang mengenakan pinjung biru muda
dan bertusuk konde perak. Cantik dan lembut kulit
tubuhnya yang terlihat itu. agaknya perempuan itu sejak
tadi memperhatikan Suro Bodong dengan sorot mata yang
mengandung dendam membara.
“Kuminta kau bicara dengan jujur! Jangan berbelit-belit,
mengeti?!” bentak Lohgawe.
“Mengerti…” jawab Suro datar.
“Ada persoalan apa kau dengan Raden Atmaja dan
keluarga Raden Mas Purwakusuma?!”
“Tidak ada,” jawab Suro bo menyempatkan melirik ke
sudut.
“Jika tidak ada, mengapa kau bantai mereka? Bahkan
penduduk tak tahu dosa kau bunuh, kau perkosa dan kau
siksa mereka. Apa alasanmu berbuat begitu?!”
Suro Bodong masih menampakkan kesayuan matanya,
ia memandang Adipati dan bertanya.
“Apa mereka mati?!”
Wijaya menggeram jengkel, “Dia berlagak lupa!”
“Pura-pura gila…!” sahut Rahuto.
“Mungkin dia mabok,” kata salah seorang perwira
kadipaten yang mempunyai banyak anak buah itu.
Wijaya menyahut, “Tidak mungkin! Aku tidak mencium
bau tuak atau arak dari nafasnya! Dia pasti pura-pura gila,
atau berlagak lupa dengan segalanya!”
Adipati Lohgawe mengangkat tangan, pertanda meminta
hadirin supaya tenang. Sementara itu, samar-samar ter
dengar seruan dari luar dalem kadipaten yang saling ber-
sahutan, “Gantung Suro Bodong…! Gantung dia…! Bakar
saja hidup-hidup…! Rajang-rajang wajah Suro Bodong!!”
Adipati berkata kepada Suro Bodong yang loyo,
“Hei, kau dengar mereka menuntutmu, bukan?! Mereka
berseru memanggil namamu untuk dibunuh ramai-ramai.
Kalau sudah begini kau mau bilang apa?!”
“Hebat,” jawab Suro Bodong seperti orang mengigau. Ia
bahkan menyeringai tawar.
“Apanya yang hebat?” hardik Adipati Lohgawe.
“Aku heran, mengapa namaku jadi kondang di
kadipaten ini. Namaku jadi dikenal oleh setiap orang,
padahal aku baru satu kali datang ke kadipaten ini.”
“Baru satu kali…?!” Adipati berkerut dahi.
“Kanjeng,” sela Wijaya. “Sebaiknya, segera saja Kanjeng
putuskan untuk menjatuhkan jenis hukuman, biar masalah
ini tidak bertele-tele. Kalau terlalu banyak mengulur waktu,
saya kawatir dia akan mencari kesempatan untuk melari-
kan diri…”
Suro sendiri yang menyahut dengan sisa akal warasnya,
“Tak perlu khawatir….aku tak mungkin akan lari dari
Kadipaten ini. Selain…..aku lemah, juga ada hal yang harus
kuselesaikan. Aku tak mungkin lari sebelum selesai
masalahku di sini…”
“Masalah apa, Suro ?” tanya kanjeng Adipati Lohgawe.
“Masalah tuduhan!” jawab Suro dengan sedikit tegas,
namun masih saja dengan mata sayup-sayup dan suara
ngambang. “Aku dituduh, difitnah, lalu disiksa…. Aku
didakwa membunuh raden Atmaja dan Keluaraga Raden
Mas….siapa tadi, aku lupa namanya! Dan….aku akan
menuntut kalau terbukti aku tidak bersalah.”
Secara tidak sengaja, semua mulut jadi terbungkam dan
semua mata memandang kepada Suro Bodong dengan
rasa heran dan curiga. Sementara itu, Suro Bodong sendiri
hanya menunduk lemah, sesekali mendesah menahan
rasa perih di tempat yang terluka. Perempuan berpinjung
biru muda masih mengikuti semua pembicaraan dengan
diam, tanpa kata apapun.
“Kau sudah jelas bersalah, Suro Bodong. Tak mungkin
kau bisa membuktikan dirimu tidak bersalah. Di sini
banyak saksi mata yang melihat kau melakukan pem-
bunuhan keji terhadap rakyatku, bahkan terhadap
menantuku sendiri,” kata Adipati. Lalu, ia bicara kepada
seorang perajurit, “Panggil Dadapsuri dan Jayeng….!”
Prajurit yang diperintahkan memanggil kedua orang itu
segera pergi. Saat itu Rahuto berkata,
“Apa lagi yang harus Kanjeng tunggu-tunggu? Apakah
masih ada hal yang menyangsikan, Kanjeng? Bukankah dia
sudah mengaku sebagai Suro Bodong, dan ciri-cirinya
sama persis dengan ciri-ciri yang diserbutkan para saksi.
Bahkan Wijaya sendiri yang sempat memergoki Suro
Bodong hendak memperkosa anak saudagar Branta juga
hapal sekali, bahkan inilah orang yang ia kejar-kejar itu.”
“Benar, kanjeng,” sahut Wijaya. “Saya tidak salah lihat,
memang inilah Suro Bodong.”
Adipati diam tanpa suara. Agaknya mempertimbangkan
sesuatu. Namun sebelum ia bicara, prajurit utusan tadi
sudah datang bersama orang yang bernama Jayeng dan
Dadapsuri.
“Jayeng dan Dadapsuri….” Sapa Adipati. Keduanya
memberi sembah penghormatan. Lalu kata Adipati, “Apa
benar kalian melihat sendiri saat Suro mengamuk di
rumah Raden Mas Purwakusuma?”
“Benar, Kanjeng Adipati,” jawab mereka bersama.
“Kalian melihat sendiri wajah orangnya?”
“Kami melihat persis, Kanjeng.”
“Seperti dia?” tuding Adipati ke Suro Bodong.
Setelah memandang sebentar Dadapsuri menjawab,
“Bukan persis lagi, kanjeng. Tetapi memang dialah pem-
bunuhnya!”
Tiba-tiba Suro Bodong berkata,”Aku akan menuntut
kalian!” ia menuding Dadapsuri dan Jayeng dengan mata
dan gerak seorang yang sedang mabok.
“Apa yang akan kau tuntut, Pembunuh Keji!” ketus
Jayeng.
“Kalian telah menuduhku berbuat jahat. Aku tidak bisa
menerima hal itu! Karena aku ini bukan orang jahat,
melainkan orang baik-baik. Aku belum pernah datang ke
kadipaten ini sebelumnya. Kalian jangan asal menuduh,
ya?”
“Kanjeng…” kata Jayeng. “Kami tidak bohong. Kami
melihat sendiri, memang dialah yang menggorok leher
Raden Mas Purwakusuma. Betul, kanjeng! Bahkan ia
menyebutkan namanya kepada orang-orang yang memper-
hatikan dari kejauhan, bahwa dia bernama Suro Bodong.”
Suasana hening. Suro Bodong termenung dalam ber-
pikir. Kepalanya tersa pening sekali. Dan pikirannya sangat
kacau. Sebentar-sebentar yang dilirik hanyalah perempuan
di sudut sana yang sempat membuat hati Suro berdecak
kagum atas kecantikannya.
“Bukti dan saksi sudah ada, Suro!”
“Tidak bisa! Beri aku kesempatan untuk berkhayal…!”
Suro tersenyum, bicaranya ngacau lagi. “Biasanya kalau
berkhayal itu menemukan suatu keindahan. Dan aku ingin
menemukan suatu keindahan. Kalau memang aku
bersalah, hukum sajalah. Apa susahnya sih? Tak perlu
pakai pengadilan seperti ini.”
“Kami tidak ingin menghukum orang yang tidak ber-
salah,” kata Adipati.
“Nah, kalau begitu, aku tidak akan dihukum, sebab aku
tidak bersalah! Aku bukan pembunuh. Aku Senopati. Itu
juga terpaksa, habis….aku didesak untuk menjadi
Senopati, sebab aku…”
“Sudah, sudah….bicaralah yang benar. Kau kuberi
kesempatan untuk membela diri,” sahut Adipati.
“Kepalaku pusing,” Suro meringis. “Aku akan bicara
kalau kepalaku sudah tidak pusing lagi. Aku tidak bisa
menjelaskan maksudku kalau kepalaku masih pusing.
Oh….aku haus sekali! Dari tadi aku disiksa, tapi tidak diberi
suguhan apa-apa. Aku minta minum, Adipati!”
Adipati memberi isyarat kepada seorang perajurit, lalu
perajurit itu pergi dan datang lagi membawa sebutir kelapa
yang sudah dibuka bagian atasnya. Suro Bodong diberi
minum air kelapa. Kata perajurit itu, “Cuma minuman ini
yang pantas diminum oleh seorang pembunuh berhati
iblis…”
“Terima kasih, Pimpinan Setan….” Kata Suro Bodong
sambil menerima buah kelapa itu. ia tak perduli prajurit
tadi bersungut-sungut dengan geram. Yang penting ia perlu
membasahi tenggorokannya, sekalipun dengan air kelapa.
Ia meneguk habis air kelapa itu, dan membuat beberapa
orang terheran-heran di dalam hati mereka.
“Wijaya dan Rahuto…” kata Adipati Lohgawe. “Atasilah
rakyat yang berjemur di alun-alun itu. Beri keputusan
kepada mereka, bahwa Suro Bodong akan dihukum
setelah pengadilanku memutuskan bahwa ia bersalah.
Tetapi, bukan untuk saat ini dia harus menjalankan
hukumannya.”
“Mereka tidak sabar, kanjeng!” sahut Wijaya.
“Kau yang bertugas membuat mereka sabar, Wijaya,”
sahut Adipati dengan tegas. “Aku tida mau menjatuhkan
hukuman yang salah. Semua hukum di sini, seperti yang
sudah-sudah, harus melalui pengadilan lebih dulu.
Keputusanku akan terjadi dengan jelas kalau sudah
mengadili tertuduh. Sekarang, Suro dalam keadaan luka,
dan mungkin otaknya sedikit terganggu akibat kepalanya
bocor dipukul oleh siapa saja. Beri dia waktu sampai ia
bisa bicara dengan waras.”
“Tapi, saya rasa dia tidak akan menjadi waras. Dia akan
berpura-pura sakit kepala atau gila, kanjeng. Sebab
bagaimanapun juga, dia akan mencari dalih agar dia bisa
lolos dari tuduhan kita, Kanjeng!”
“Beri dia waktu satu hari. Kalau lebih dari satu hari dia
belum mau waras jgua….aku memutuskan untuk digantung
di tengah alun-alun! Tapi sekarang, penjarakan dia!”
Ada tiga utusan rakyat yang menghadap Adipati
Lohgawe. Mereka diizinkan bicara, dan salah satu berkata
“Kanjeng, kami….rakyat Kadipaten Kidang Kencana,
tidak akan setia lagi kepada Paduka kanjeng Adipati jika
Suro Bodong tidak segera dihukum. Kami mohon, laksana-
kan hukuman di alun-alun sekarang juga, dan kami tetap
akan setia kepada Paduka kanjeng Adipati junjungan
kami.”
Adipati Lohgawe mulai resah. Wijaya menambahkan
kata,
“Demi kehormatan dan martabat kanjeng di depan
rakyat, biarkan rakyat menghukum Suro Bodong sekarang
juga…!”
Setelah diam berpikir lama, Adipati Lohgawe memutus-
kan “Baiklah, bawa dia di alun-alun dan ikat dia di sana!
Tapi jangan lakukan hukuman dulu. Aku akan berembuk
dengan puteriku, istri almarhum Raden Atmaja, untuk
menentukan hukuman!”
***
DUA
PEREMPUAN berpakaian biru muda dengan tusuk
konde perak berbentuk ular naga itu ternyata putri
Sang Adipati. Dialah yang bernama Puji Wardani.
Bekas istri Raden Atmaja, yang menjadi janda kembang
akibat suaminya digorok oleh pembunuh keji. Konon pem-
bunuh itu bernama Suro Bodong. Puji Wardani sendiri
melihat saat suaminya dibunuh di kamar pada dini hari. Ia
tidak dapat berteriak, dan pingsan setelah melihat Suro
Bodong menghunus sebilah pedang dan menebaskan ke
leher Raden Atmaja.
“Tak mungkin salah, Romo,” ujar Puji Wardani yang
masih menyembunyikan kepedihan di sela kobaran
dendamnya. “Saya melihat jelas, dialah pembunuh Kang
Mas Atmaja. Ia memakai baju merah tanpa dikancingkan,
dan celana biru dengan ikat pinggang kuning. Rambutnya
panjang sebahu dan diikat dengan kain merah. Kumisnya
tebal dan badannya gemuk sekalipun tidk terbilang gendut,
Romo. Dan….orang itulah yang sekarang diikat di tengah
alun-alun itu, tak mungkin salah!”
“Puji Wardani….” Kata Adipati Lohgawe dengan suara
lembut. “Romo bukan bermaksud tidak menghukumnya.
Kalau sudah melalui pengadilan yang resmi seperti
kebiasaan di pemerintahan kita, maka Suro Bodong akan
dijatuhi hukuman. Tapi sekarang ini dia belum bisa diajak
bicara. Banyak luka di tubuhnya, termasuk di kepala, dan
itu membuat Suro Bodong dalam keadaan tidak sehat, baik
otak maupun bicaranya. Jadi….”
“Jadi menunggu dia melarikan diri lagi?!” sahut istri
Adipati Lohgawe yang juga memendam dendam kepada
Suro Bodong. “Sudah jelas dia bersalah, masih saja diulur-
ulur persoalannya,” istri Adipati bersungut-sungut.
“Peraturanku adalah kejayaanku, Diajeng!” kata Adipati
dengan sabar. “Kalau aku melanggar peraturanku sendiri,
yaitu menjatuhkan hukuman kepada orang yang belum
diadili, itu sama saja aku menggulingkan kejayaanku
sendiri.”
Istri Adipati hanya cemberut, duduk di samping puteri-
nya yang tunggal, Puji Wardani. Adipati sendiri merasa
seperti dalam keadaan yang terjepit. Istri, anak dan rakyat-
nya mendesak agar ia menjatuhkan hukuman selekas-
lekasnya kepada Suro Bodong. Padahal dia sudah
menentukan suatu undang-undang yang selama ini men-
jamin keadilan pemerintahannya, yaitu mengadili setiap
tertuduh untuk menentukan apakah tertuduh pantas di-
hukum atau dibebaskan. Dan selama ini rakyat
menyanjung keputusannya yang senantiasa adil serta
bijaksana. Kalau dia gegabah menjatuhkan hukuman
kepada Suro Bodong berdasarkan dendam rakyatnya,
sudah tentu akan menggoncang kewibawaan
pemerintahannya. Sedangkan seorang dalam keadaan
tidak sehat baik otak maupun jasmaninya, selalu ditolak
dalam pengadilan, menunggu sampai orang tersebut
sembuh dan sehat, baru dilaksanakan sidang pengadilan
tersebut. Ini sudah merupakan ketentuan yang dibuat
sejak ia ‘jumeneng’ sebagai Adipati di Kadipaten Kidang
Kencana.
“Kalau benar orang itu yang melakukan keji terhadap
rakyat kita, dan terhadap Raden Atmaja, suamimu,” kata
Sang Adipati kepada anaknya, “Lantas, menurutmu…
hukuman apa yang pantas untuk dijatuhkan kepadanya,
Puji?”
“Tak ada yang pantas kecuali hukum picis…!” jawab Puji
Wardani dengan cemberut menahan gejolak dendam.
“Hukum picis?! Setiap orang berhak mengiris atau
melukai tubuhnya dengan apa saja?!” Adipati menegaskan.
Dan anaknya hanya berkata dengan suara datar.
“Aku orang pertama yang harus melakukan hukuman
itu!”
Istri sang Adipati menyahut, “Dan aku orang kedua….”
Geram di giginya yang menggeletuk terlihat jelas. Adipati
terbungkam mencoba memahami perasaan istri dan anak-
nya.
Sementara itu, di tengah alun-alun rakyat tampak
berkumpul, walau tidak semuanya. Tidak cukup banyak
juga yang berdiri di luar pagar.
Suro Bodong terikat pada sebuah tiang yang terpancang
di tengah alun-alun. Terik panas matahari menyorot ke
tubuhnya yang rapat diikat tali, menjadi satu dengan tiang
tersebut. Beberapa prajurit memagari alun-alun, supaya
rakyat tidak mengamuk dan menghajar Suro Bodong
sebelum ada keputusan dari Adipati Lohgawe. Jarak antara
Suro Bodong dengan kumpulan manusia yang melingkari--
nya cukup jauh, sehingga tak ada yang dapat memukul
Suro dari jarak dekat. Setiap orang yang hendak masuk ke
dalam lingkaran para perajurit pasti ditahan, dan disruuh
keluar. Namun demikian mereka masih sesekali berteriak
menampakkan amarahnya.
“Gantung Suro Bodong….! Gantung dia…! Bakar saja
hidup-hidup…!”
Sesekali ada yang nekad melempar dengan batu. Suro
Bodong hanya diam dalam kebingungannya sebagai orang
yang sedang mabok. Lemparan batu itu ada yang
mengenai tubuh Suro Bodong, ada yang tidak sampai.
Namun, seorang anak kecil berhasil menyakiti Suro Bodong
dari jarak jauh. Ia menyelepet Suro Bodong memakai
ketapelnya. Batu-batu sebesar ibu jari mengenai Suro
Bodong beberapa kali, bahkan ada yang mengenai
kepalanya dan menimbulkan benjolan yang membiru. Suro
Bodong berteriak kesakitan bila batu itu memang terasa
sakit mengenai tubuhnya. Dan biasanya anak itu
melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, takut diketahui
salah seorang perajurit. Ia tak ingin ketapelnya dirampas.
Tapi, nyatanya harapan anak itu meleset. Seorang perajurit
tanpa seragam mengetahui perbuatannya, lalu ketapel itu
dirampas dan ia menangis karena kehilangan ketapelnya.
Bahkan ayah anak itu sempat cek-cok dengan seorang
perajurit gara-gara ketapel itu. Namun segera dapat
diselesaikan dengan damai.
Sehari semalam Suro Bodong diikat pada tiang itu di
tengah alun-alun. Ia tidak diberi makan, karena pada waktu
seharunya ia diberi makan, ia sudah buru-buru pingsan
karena lemparan batu cukup besar yang mengenai ulu
hatinya. Obor-obor malam berkelap-kelip di pinggiran alun-
alun. Rakyat seakan menunggu keputusan Adipati Lohgawe
untuk segera melaksanakan hukuman bagi Suro Bodong.
tak satupun rakyat yang menampakkan belas kasihan
kepada Suro Bodong. Bahkan semuanya berwajah tak
sabar, ingin segera melampiaskan kemarahannya.
Suro Bodong jelas tidak mengetahui kalau malam itu ia
dikerumuni massa yang membawa obor. Ia pingsan. Lama
sekali. Lemparan yang sesekali mengani tubuhnya tidak
dirasa lagi. Kepala Suro sudah terkulai menunduk dan ada
darah yang masih meleleh dari luka di kepalanya itu.
Pagi, menjelang fajar meningsing, udara dingin yang
membawa embun telah menyadarkan Suro Bodong dari
pingsannya. Ia melihat ke sekeliling dengan rasa heran. Ia
bertanya-tanya dalam hati, mengapa ia ada di tengah suatu
alun-alun? Di alun-alun mana dia berada? Dan mengapa ia
diikat?
Rupanya Suro Bodong telah mulai menyadari keadaan
dirinya. Ia mencoba mengingat-ingat dari sejak perjalanan
meninggalkan Kesultanan Praja, sampai makan gadung
dan muntah-muntah. Sedikit demi sedikit ingatannya pulih
kembali, bahwa ia telah ditawan oleh pemerintah
kadipaten karena tuduhan membunuh dan membantai
rakyat. Ya, dia ingat semua tuduhannya. Dia ingat pula
siapa-siapa orang yang menyeretnya dan mengadilinya. Ia
bahkan ingat sekali tentang wajah perempuan cantik
berpakaian biru muda yang saat itu memperhatikan
dirinya disiksa di depan kolam ikan. Dia juga ingat saat
diberi minum air kelapa oleh seoerang perajurit. Dan ia
baru sadar bahwa air kepala muda itulah yang
menawarkan racun gadung dalam perutnya. Jika tanpa
meminum air kelapa muda itu, mungkin ia akan
memerlukan waktu lama untuk sembuh dari mabok
gadung. Dan sekarang…..sekarang ia telah memperoleh
kesadarannya. Pusing di kepala telah hilang, yang ada
hanya rasa nyeri akibat luka di tubuh.
Suro Bodong sengaja bernafas panjang-panjang. Ia
menghirup udara pagi yang segar sebanyak-banyaknya
untuk memperoleh kesegeran di dalam tubuh. Sambil
melakukan hal itu, ia mencoba mengingat-ingat tengang
tuduhannya. Ia berkata dalam hati,
“Raden Atmaja…?! Siapa dia? Aku baru kali ini
mendengar nama Raden Atmaja…. Juga nama Raden Mas
Purwakusuma….” Suro agak mengeja. “Siapa pula mereka?
Apa benar aku telah membantai mereka, dan….dan
beberapa penduduk yang tak berdosa. Malah, sepertinya
ada yang menuduhku telah memperkosa anak, kakak atau
istri mereka. Ah, gila! Mana mungkin aku melakukan hal
itu? Tetapi…banyak saksi mata yang melihat aku
melakukan begitu. Kalau tidak salah, kemarin siang ada
dua orang yang melihatku melakukan pembantaian di
rumah keluarga gmp. Kalau tidak salah….” Suro mengingat-
ingat dengan dahi berkerut, “….kata kedua saksi mata itu,
setelah membantai keluarga itu, aku menyebutkan
namaku…? Apa iya begitu?!”
Mungkin tak ada yang tahu kalau Suro Bodong telah
siuman dari pingsannya. Maklum, langit masih gelap dan
caaya fajar masih mengintip di cakrawala. Tapi kokok ayam
sudah sejak tadi terdengar bersahut-sahutan. Suro Bodong
menggunakan suasana tenang itu untuk berpikir dan
menimang-nimang apa yang harus dilakukan. Di dalam
hatinya dia berkata sendiri,
“Kalau saja aku jadi pembunuh….misalnya aku benar-
benar membantai keluarga Raden Mas Purwakusuma, apa
yang haus kulakukan?” Suro Bodong berkerut dahi lama
sekali.
“Aku akan membantai mereka secara diam-diam….
lalu…. lalu aku akan pergi tanpa berusaha diketahui orang
lain. Lalu…? Lalu kenapa ada saksi yang mengatakan aku
menyebutkan namaku? Ah, siapa saja yang membantai
orang pasti tidak akan menyebut namanya. Kalau begitu,
pasti ada alasan tersendiri bagi pembunuh yang berani
menyebutkan namanya di depan para saksi. Ya. Pasti ada
alasan lain. Apa ya…?!” Suro masih bersungut-sungut
dengan tangan terikat jadi satu pada tiang dan tubuhnya.
“Ada beberapa kemungkinan,” katanya dalam hati.
“Yang pertama, adalah kemungkinan adanya sekelompok
orang yang bersepakat memfitnahku. Mereka berembuk
untuk mengatakan bahwa pembunuh itu bernama Suro
Bodong. Entah dengan maksud apa, tapi jelas sekelompok
orang bisa saja sepakat untuk mengaku demikian,
kemungkinan lainnya…?”
Sambil menghirup udara pagi yang banyak, Suro Bodong
masih memutar otaknya untuk menyelidiki tuduhannya. Ia
selalu berkata sendiri di dalam hati,
“Banyak kemungkinan lain. Misalnya, mereka salah
dengar waktu si pembunuh menyebutkan nama.
Atau….mereka sengaja menuduhku demikian walau
sebenarnya tidak ada yang mati satupun. Alasannya apa?
Nah, ini…..alasan ini yang sukar dicari…”
Seorang perajurit melihat Suro Bodong sudah siuman.
Prajurit bersenjata tombak dan perisai perunggu itu
mendekati Suro Bodong. Waktu itu, langit mulai cerah.
“Syukurlah kalau kau sudah siuman….” Katanya. Suro
Bodong tersenyum sinis.
“Syukurlah kalau kau masih selamat,” balas Suro
Bodong.
“Apa maksudmu, hah?” prajurit itu menghardik.
“Maksudku, kalau aku bisa lolos dari ikatan ini, kau
tidak kuizinkan bernafas sedikitpun.”
Serta merta prajurit itu mengulurkan ujung tombaknya
yang tajam ke leher Suro, leher itu ditekan sedikit dengan
ujung tombak, dan ia berkata dengan geram,
“Hati-hatilah dalam bicaramu! Jangan mempercepat
kematian sebelum Kanjeng Adipati memutuskan hukuman
apa yang layak untuk dijatuhkan kepadamu. Tahu…?”
“Tahu, Paman…” jawab Suro Bodong tanpa rasa takut
yang tergambar di wajahnya. Yang ada di wajah itu adalah
ketenangan. Ya. Suro Bodong sudah bisa menenangkan
diri, dan bisa mengatasi rasa sakit akibat luka-lukanya.
Prajurit itu menyeringai dengan sombong, menarik tombak-
nya dan mundur menjauh.
“Tahukah kau bahwa nyawamu sendiri hanya sampai
hari ini. Kanjeng Adipati sedang memilih hukuman untuk
mengakhiri hidupmu. Hukuman itu harus setimpal dengan
kekejamanmu, sehingga rakyatpun puas!”
Suro Bodong tersenyum santai. “Hei, bisakah kau
melepaskan tali ini sebentar? Nanti ikatkan lagi seperti
semula.”
“Untuk apa?!”
“Aku mau garuk-garuk kumisku. Sebentar saja…! Nanti
ikatlah lagi…”
Prajurit itu bersungut-sungut. Cemberut.
“Kau ingin mengecohkan aku, ya? Ingin menipuku?
Uh….pikir-pikir dululah, kau bicara dengan seorang prajurit!
Bukan dengan kusir delman, tahu?”
Nafas Suro Bodong terhempas. Ia ingin sekali garuk-
garuk kumis seperti biasanya.
“Atau….kalau tidak, tolong garukkan kumisku sebentar,”
katanya. “Cuma sebentar saja. Yahh….kira-kira empat atau
lima garukan saja….”
Prajurit itu melototkan mata, merasa dihina. Lalu Suro
ditampar dengan tangan kiri. “Plak…!”
“Terima kasih…!” kata Suro sambil menyeringai.
“Ternyata cukup satu tamparan saja kumisku telah merasa
tergaruk dengan puas. Terima kasih, sobat….”
Untuk mengurangi kedongkolan, prajurit itu pergi. Ia
dipanggil Suro berkali-kali, tapi tidak mau berpaling sedikit-
pun. Suro Bodong tertawa sendiri dengan suara pelan.
Matahari pagi sudah mulai menampakkan batang
hidungnya. Sinarnya cukup cerah, seperti mengucapkan
selamat dihukum kepada Suro Bodong. Suro hanya
menyeringai pahit memandang kemunculan matahari.
Karena dilihatnya, orang-orang mulai berdatangan
mengerumuni alun-alun. Para prajurit sibuk mengendalikan
beberapa orang yang ingin menyerbu ke tengah alun-alun.
Mereka berteriak sahut-sahutan.
“Matikan Suro Bodong…! Bantai saja dia….!”
Di sebelah belakang Suro ada yang berseru.
“Cambuk saja sampai mati. Cambuk dia dengan cambuk
berduri…! Gantung saja pelan-pelan…! Lemparkan di
sungai saja, biar dimakan buaya…!”
Sahutan teriakan mereka tak mempengaruhi
ketenangan Suro Bodong. Ia justru menatap ke sana sini
dengan senyum seperti orang wisatawan melihat
keindahan alam. Ini sempat membuat rakyat semakin
dongkol. Sebuah batu melayang ke arahnya. Sebelum
menyentuh, Suro meniupkan udara ke batu itu, dan batu
tersebut berhenti, lalu jatuh di depan Suro. Karena jarak
yang jauh, tak banya orang yang mengetahui kekuatan itu.
Suro Bodong sendiri merasa lega, karena kini ototnya bisa
mengejang dan gerakan bathinnya mulai bekerja dengan
sempurna. Pengaruh mabok hilang, yang timbul hanya
kekuatan dari jurus-jurus kesaktiannya.
Rombongan keluarga Adipati Lohgawe mundul dengan
diiringi pengawal di depan dan di belakangnya. Wijaya ada
di barisan paling depan dan Rahuto ada di barisan
belakang. Mata Suro Bodong tidak memandang ke mana-
mana, kecuali ke wajah perempuan cantik yang kali ini
mengenakan pakaian keprajuritan, celana sebatas betis
berwarna merah dan penutup dada sampai ke perut
berwarna merah juga. Ada hiasan manik-manik dan benang
emas di tepian celana. Penutup dada itu masih dilapisi
semacam kain yang berfungsi menutup pundak dan bagian
punggung. Kain itu berwarna kuning muda.
Dialah Puji Wardani, yang kali ini menampakkan sosok
seorang pendekar perempuan dengan ikat pinggang hitam
menyelipkan sebilah pedang bersarung gading dihias
emas. Rambutnya yang panjang ditekuk dijadikan satu di
atas kepala, sehingga kali ini Puji Wardani memperlihatkan
lehernya yang mulus berwarna langsat.
Rupanya Adipati Lohgawe tidak jadi mengadakan
sidang. Ia langsung saja memberi keputusan dan mem-
bacakan alasan-alasannya. Wijaya yang disuruh
membacakan keputusannya. Semua penduduk diam,
mendengarkan dan mendadak bersorak ketika Wijaya
berseru membacakan kalimat,
“….maka, dengan ini Suro Bodong dianggap bersalah
dan patut dijatuhi hukuman yang setimpal…!”
“Hidup Kanjeng Adipati…!! Hidup Adipati Lohgawe…!”
teriak mereka bersahut-sahutan. Lalu, suara mereka diam
kembali. Suro Bodong sejak tadi hanya tenang-tenang saja.
Bahkan ia seakan tidak mendengarkan keputusan
tersebut. Matanya memandang lurus pada Puji Wardani
yang sesekali meliriknya bagai tak sabar ingin melakukan
sesuatu.
Wijaya kembali membacakan kalimat yang membuat
rakyat berseru sambil mengacungkan kepalan tangan
kanannya.
“Demi tegaknya keadilan di Kadipaten Kidang Kencana
ini, maka Suro Bodong pantas dijatuhi hukuman, yang
disebut hukuman picis…!!”
“Setujuuu…!! Setujuuu…! Akuuur…!”
Suro Bodong ikut berteriak keras, “Hidup Adipati….!”
Rakyat menyahut tak sadar, “Hiduuupp…!!”
Suro berteriak lagi dengan girang, “Jaya Adipati….!”
Rakyat menyahut karena tak tahu kalau yang berteriak
itu Suro Bodong, “Jayaaa…!!”
Adipati, istri dan Puji Wardani memandang Suro Bodong
dengan keheranan. Adipati berbisik kepada istrinya,
“Dia masih gila…! Dijatuhi hukuman malah mendukung
keputusanku itu. Gila itu namanya…!”
“Jangan hiraukan dia!” bisik istri Adipati.
Wijaya berseru lagi membacakan keputusan,
“Siapa saja, baik tua maupun muda, boleh mengiris,
memotong dan melukai tubuh Suro Bodong! Tapi jangan
pada bagian yang mempercepat kematiannya. Jelas…?”
“Jelaaas…!!” teriak mereka serempak.
Suro Bodong ikut-ikutan berteriak, “Jelaaas…!!”
“Hei…!” hardik perajurit yang menjaganya dalam jarak
lima langkah. “Mengapa kau ikut berkata ‘jelas’? Apa
maksudmu, hah?!”
“Aku jelas-jelas melihat kebodohan di depanku. Masa
aku harus bilang tidak jelas?”
Prajurit itu mendengus kesal, lalu kembali ke tempat.
Rakyat mulai sibuk menyiapkan alat, senjata dan apa saja
yang bisa untuk melukai tubuh Suro Bodong. Bahkan ada
yang berteriak kepada istrinya,
“Mak, Mak…ambil pisau dapur dua! Aku satu, kau satu!”
“Pisau dapurkan sedang untuk memotong-motong
singkong, Pak…!”
“Aaah…motong singkongnya nanti dulu, yang penting
ikut memotong Bodong dulu. Ayolah….!”
Adalagi yang sibuk berdebat dengan temannya, “Aku
memotong telinga kirinya, ya? Kau yang kanan!”
“Ah, aku lain bagian. Aku mau memotong jempol kakinya
saja. Tubuhku kan pendek, mana bisa sampai kalau harus
memotong telinga…!!”
Wijaya berseru kepada mereka, “Saudara-saudara….
harap tenang sebentar…! Dengarkan, hukum picis ini
memang berlaku bagi siapa saja. Tetapi pemotongan atau
orang pertama yang akan melakukan hukuman ini adalah
Gusti Ayu Puji Wardani, sebagai istri dari Raden Atmaja
yang dibunuh Suro Bodong…!”
“Setujuuu…!!” teriak mereka. Kali ini Suro Bodong tidak
ikut berteriak, melainkan bengong melompong dan
memandang Puji Wardani.
Bukan lantaran takut Suro Bodong terbengong, tapi
karena heran terhadap keberanian Puji Wardani.
Perempuan itu begitu lembut, tapi ia berani melakukan
hukuman picis untuk yang pertama kalinya sebagai
pemotong tubuh orang. Gila! Tega sekali dia bertindak
begitu, ya? Pikir Suro. Mungkin karena ingin mencurahkan
dendam atas kematian suaminya, sehingga ia tega
melakukan pemotongan tubuh manusia hidup yang
pertama kali. Suro Bodong pun akhirnya manggut-manggut.
Sementara itu, rakyat diperintahkan oleh bebreapa prajurit
untuk membikin antrian. Mereka berjejer-jejer baris ke
belakang, antri menunggu giliran untuk mengiris bagian
tubuh Suro Bodong sekehendak hatinya.
Puji Wardani menghunus pedangnya dan berjalan meng-
hampiri Suro Bodong. matanya yang indah itu memancar-
kan nafsu membunuh yang luar biasa. Langkahnya pun
tegas, menampakkan sosok kependekarannya, walaupun
sebenarnya ilmu silat yang dimiliki Puji Wardani hanya pas-
pasan. Suro Bodong saat itu menyunggingkan senyum tipis,
matanya tak lepas memandang Puji Wardani yang masih
berjarak sekitar sepuluh langkah darinya. Suro menyempat-
kan berseru,
“Aku bukan pembunuh yang kau cari! Kalau aku mati di
tanganmu, atau mati karena hukuman ini, rohku akan
menuntut balas tujuh turunanmu. Bukan untuk kubunuh,
tapi untuk kusiksa sepanjang mereka hidup! Dan aku akan
menitipkan benihku ke dalam kandunganmu melalui
pergumulan rohku…!”
Puji Wardani berhenti melangkah dan menjadi cemas. Ia
didampingi Adipati dan Ibundanya. Ia memandang ke
kanan dan ke kiri, merasa takut kalau-kalau kutukan Suro
Bodong akan menjadi kanyataan.
Suro Bodong memanfaatkan kebimbangan Puji Wardani
untuk mempengaruhi jiwanya. Ia berseru dengan jelas,
“Kalian salah tangkap! Kalian salah menaruh dendam.
Hyang Widi tahu siapa yang salah, siapa yang berdosa. Dan
aku akan membuktikan bahwa aku tidak bersalah!
Silahkan…! Silahkan bunuh aku! Dalam tempo sembilan
bulan kalau kau tidak melahirkan bayi serupa dengan aku,
maka aku benar-benar manusia terkutuk. Tapi kalau
ternyata sembilan bulan setelah peristiwa ini kau
melahirkan bayi seperti aku, maka itulah bukti bahwa aku
tidak bersalah…!”
“Diaaam…!!” bentak Wijaya dan hendak memukulnya,
tetapi Adipati Lohgawe melarang gerakan Wijaya.
Puji Wardani menatap nanar Suro Bodong dalam
kebimbangan. Mulutnya terkatup rapat. Bibirnya yang
mungil bagai serumpun delima mereka di atas es, sungguh
membuat mata Suro Bodong tak berkedip dan senyum
Suro Bodong pun jadi bermekaran dengan ceria.
“Puji Wardani… laksanakan hukuman itu…” kata Adipati.
Kebimbangan semakin kuat meliputi jiwa Puji Wardani.
Apalagi saat itu Suro Bodong juga berkata,
“Puji Wardani… jangan tanamkan dosa pada jiwamu.
Kau harus bebas dari kutukanku. Kau perlu dilindungi, dan
aku sanggup melindungimu, sebagai abdi! Abdi yang akan
menyeret pembunuh suamimu sebenarnya!”
Puji Wardani berkata dengan gemetar, “Kau yang
membunuhnya. Kau yang bernama Suro Bodong! Aku
melihat dengan mata kepalaku sendiri, orang seperti
kamulah yang merobek leher suamiku dengan pedangnya!”
Dahi Suro berkerut, “ Jelas orangnya seperti aku?!”
“Ya…!” jawab Puji Wardani dengan melebarkan mata
yang tertahan karena dendam.
“Kalau begitu… ada orang yang bertujuan ingin
membunuhku, namun juga ingin membunuh suamimu!
Orang itu pasti tidak sanggup membunuhku, sebab dia
tahu, aku cukup kuat baginya. Tetapi, satu-satunya cara
adalah dengan menyebarkan fitnah beserta bukti-buktinya.
Dengan begitu, dia berhasil membunuh suamimu, juga
akan berhasil membunuhku juga!”
“Apa maksudmu?!” hardik Adipati Lohgawe.
“Kadipaten ini berhasil dipecundangi oleh seseorang.
Orang itu secara tak langsung telah berhasil memerintah
orang-orang kadipaten ini untuk membunuhku. Dan….
kebetulan saja kemarin aku berhasil ditangkap dalam
keadaan mabok. Aku makan gadung. Habis banyak sekali.
Setelah kekenyangan akhirnya mabok. Lalu… orang yang
bernama Wijaya dan Rahuto menyerangku dengan
cambuk. Aku tak bisa melawan sedikitpun…! Sayang, waktu
itu aku dalam keadaan mabok. Tetapi sekarang aku sudah
sehat, berkat diberi minuman air kelapa….” Suro Bodong
melirik Wijaya dan Rahuto di samping kanan dan kiri, agak
jauh.
“Hai, Wijaya…” Suro tersenyum santai. “Kalau sekarang
kau melawanku, kau tak akan sanggup. Apalagi hanya satu
Wijaya, seribu Wijaya juta tak akan sanggup.”
“Kau benar-benar biadaaab…!!” Wijaya terpancing
amarahnya, dengan serta merta ia melecutkan cambuknya
yang berduri itu. Suro sudah siap mengangkat lengannya
sedikit. Begitu lengan digerakkan naik, walau hanya sedikit,
tapi tali pengikatnya tepat mengenai ujung cambuk Wijaya.
Memang ada bagian kulit lengan yang tergores duri
cambuk itu, tetapi tali pada lengan itu putus seketika.
Sebab, sudah diperkirakan oleh Suro Bodong, bahwa
Wijaya akan sangat terpancing kemarahannya jika di-
tantang demikian. Dan luapan amarah Wijaya akan tersalur
lewat cambukannya. Itu sebabnya, Suro Bodong sudah
menyiapkan gerakan yang dapat memutuskan tali pengikat
tubuhnya pada bagian lengan.
Dengan putusnya tali itu, maka kendurlah seluruh ikatan
tubuh. Suro menghentakkan dengan suatu kekuatan.
Tangannya menghentak ke samping dua-duanya sambil ia
berteriak satu hentakan juga. “Heaaah…!!”
Gawat! Tali itu putus dan tubuh Suro Bodong mulai
bebas. Semua orang tercengang tegang, melangkah
mundur dengan mata mendelik. Semua orang, semua
perajurit, termasuk Wijaya dan Rahuto, mereka dicekam
ketegangan yang menakutkan.
***
TIGA
SURO Bodong berdiri tegak dengan kaki merenggang.
Tubuh dan kepalanya yang penuh luka membuat
keadaannya menjadi menyeramkan. Ia memperhati-
kan mereka satu persatu dengan sorot mata yang
menampakkan keperkasaannya. Puji Wardani memasuk-
kan pedangnya ke sarung pedang gading, merasa tak
mampu mengumpulkan keberaniannya dalam menghadapi
Suro Bodong. Ia masih terbayang kekejaman Suro Bodong
yang membabat leher suaminya tanpa ada belas kasihan
sedikitpun. Sementara itu rakyat mundur perlahan-lahan
dengan gumam dan kasak-kusuk yang menimbulkan
gemuruh samar-samar.
“Aku tidak ingin melukai kalian, kalau kalian mau
mengakui kesalahan kalian dalam menangkap seorang
penjagal!” kata Suro Bodong. Ia kelihatan tegas dan mulai
bisa garuk-garuk kumisnya yang tebal. Ia berkata lagi
dengan keras,
“Aku sudah banyak menderita luka akibat ketololan
kalian. Kalau aku mau, aku bisa menuntut balas sekarang
juga. Tapi agaknya ada beberapa masalah yang perlu kita
selesaikan secara damai. Kalau kita tidak bisa berdamai,
kita perang!”
Suara gemuruh semakin gaduh. Adipati Lohgawe dia,
berdiri memandang Suro Bodong bagai orang sedang
merenung. Puji Wardani bersama ibunya semakin cemas,
sementara Wijaya dan Rahuto sebagai orang andalan
adipati masih bimbang dalam mengambil tindakan. Wijaya
bahkan saling bertatapan pandang dengan Rahuto,
sikapnya kelihatan sangat gelisah, seakan keduanya
menunggu perintah Adipati.
Suro berkata lagi dengan lantang, “Aku bersedia
menciptakan suasana damai di kadipaten ini. Bahkan aku
tidak ingin ada korban lagi dalam kesalahpahaman ini,
tetapi kalau aku ditantang untuk membikin korban, aku
bisa membuat kadipaten ini tenggelam ke dasar bumi!
Kalau aku ditantang perang oleh sikap kalian, aku sanggup
perang seorang diri! Majulah kalian semua, dan jangan
hiraukan aku yang sendirian…! Juga jangan menyesal kalau
kadipaten ini akan runtuh dengan puing-puingnya ke dasar
bumi!”
Segera Suro Bodong meludahi kedua telapak tangannya
tujuh kali, lalu digosok-gosokkan beberapa saat sambil
matanya memandang orang-orang di sekelilingnya.
Gosokan tapak tangan itu berhenti di dada, mengejang
kuat, lalu menghentak ke atas kepala dalam posisi telapak
tangan tengadah ke langit. Suro Bodong menggunakan
jurus Tapak Naga-nya yang merupakan jurus simpanan.
Jurus itu cukup mengguncang jiwa orang-orang Kadipaten
Kidang Kencana. Karena pada saat tangan menghentak ke
langit, maka dari telapak tangan itu keluarlah sinar biru
berkelok-kelok dan melompat-lompat ke langit.
“Blegaaarr…!!”
Langit menjadi semakin terang, tapi kemudian segera
meredup seperti lampu kehabisan minyak. Mendung
menjelma. Langit menjadi gelap. Orang-orang dicekam
ketakutan. Suro Bodong menghentakkan kedua telapak
tangannya ke atas lagi dan bunyi ledakan yang kedua lebih
mengerikan.
Langit yang mendung menjadi merah membara seperti
terbakar. Kilatan cahaya biru yang melesat dari kedua
telapak tangan saling berada di angkasa dan membuat
beberapa kali ledakan yang menggelegar. Tanah tempat
mereka berdiri menjadi bergetar. Makin lama makin oleng
seperti ombak. Beberapa pohon tiba-tiba roboh dengan
akarnya mencuat ke luar dari kedalaman tanah.
Suasana sangat mengerikan, orang-orang gegera,
dicekam ketakutan dan mereka berteriak, “Kiamat…!
Kiamat…!” satu dengan yang lainnya saling tunggang-
langgang. Para prajurit dan dua orang andalan kadipaten
itu tegang memandang sekeliling. Alam menjadi gelap,
bagai diliputi mendung tebal, tapi langit membara merah
bagai terbakar. Puji Wardani berpegang erat lengan
ayahandanya yang juga sama-sama dalam cekaman
ketakutan.
Karena bumi bergoyang seperti ombak lautan yang
mengalun, maka banyak orang yang jatuh tanpa tersentuh
apapun. Adipati Lohgawe sendiri hampir saja terpelanting
jatuh kalau saja Wijaya tidak segera menahannya dari
belakang. Suara gemuruh berkepanjangan, suara itu
adalah rubuhnya pohon dan melorotnya genteng-genteng
rumah penduduk akibat getaran gempa dan angin yang
menderu.
Suro Bodong merapatkan kembali kedua telapak
tangannya ke dada. Kemudian dilepas dengan satu
hempasan nafas lega. Langit tidak lagi berwarna merah.
Semburat merah jadi menipis, lalu bersih. Kabut hitam
yang bagai mendung menghilang entah ke mana. Angin
tidak lagi menderu. Tanah berhenti bergetar. Suasana
menjadi terang kembali. Nafas-nafas yang tertahan
terhempas lega. Tinggal pemandangan yang menyeramkan
terlihat di sana-sini, pohon-pohon tumbang, akar-akar
pohon mencuat dari kedalaman tanah, genting-genting
rumah penduduk melorot, bahkan ada tembok dalam
kadipaten yang mengalami keretakan bagaian sudut.
Orang-orang menjauh, tak satupun berani mendekati Suro
Bodong. hanya Adipati dan para pengawal yang berdiri tak
begitu jauh dari Suro Bodong, termasuk istri Adipati dan
Puji Wardani. Mereka masih dicekam kengerian. Suara bayi
menangis di kejauhan saling sahut menyahut mengiris hati.
Suro Bodong menghempaskan nafas lagi, kali ini kelihatan
sendur. Ia menggaruk-garuk kumisnya. Lalu berkata
kepada Adipati dan para pengawalnya dengan suara tidak
selantang tadi,
“Maaf….aku tidak bermaksud membuat keonaran di
sini. Aku hanya ingin membuktikan supaya kalian mengerti,
bahwa aku mampu menenggelamkan kadipaten ini
bersama penghuninya. Semuanya akan tenggelam ke
dasar bumi tanpa kecuali, kalau kalian menghendaki
perang! Tak perlu aku membawa senjata, tapi cukup
sendirian saja aku mampu melakukan itu. Walau
sebenarnya aku tak ingin, tapi kalau kalian meghendaki,
aku sanggup.”
Semua terbungkam. Wajah-wajah penuh dendam
menjadi lentur dan disembunyikan. Kegalakan Wijaya dan
Rahuto pudar seketika. Mereka tidak lagi berani menatap
Suro dengan garang.
Dengan langkah tegap, tapi bernada sabar, Suro Bodong
mendekati Adipati Lohgawe, persis berdiri di depan Puji
Wardani. Ia berkata dengan suara tak keras,
“Aku tak mau membunuh orang tolol, tapi biarlah orang
tolol akan mati dengan ketololannya sendiri. Kuharap hal
ini tidak terjadi kepada keluargamu, Adipati. Jangan mau
menjadi orang tolol, karena mati secara tolol adalah mati
yang mubazir! Sia-sia!”
Sejenak, Suro sengaja memandang Puji Wardani,
seketika pun yang dipandang mengalihkan sorot matanya
ke bawah, tapi Suro menyempatkan berkata dengan
lembut,
“Aku bisa merasakan betapa sakitnya hati perempuan
yang ditinggal mati suaminya, apalagi mati dalam keadaan
yang menyedihkan. Tetapi, percayalah… ada sesuatu yang
harus kita bicarakan bersama-sama dengan punggawa
negeri lainnya. Aku sendiri ingin memperoleh banyak
keterangan mengenai orang yang kau lihat itu.”
Suro memandang Adipati Lohgawe, lalu berkata,
“Aku ingin bicara, Adipati. Aku ingin tidak ada korban di
antara kita berdua. Kasihan rakyat yang sudah terbungkus
dendam. Kalau mereka berbuat nekad dan akhirnya mati
sendiri, mereka tidak bisa disalahkan. Kadipaten yang
salah! Karena itu, sebelum mereka diracuni dendam yang
membuta, mari kita bicara dengan tuntas…”
Adipati Lohgawe mengangguk. “Baik….” Suaranya amat
parau menyebut sepotong kata itu. Suro Bodong sempat
menemui Wijaya dan Rahuto. Ia bahkan sempat menepuk
nepuk pipi Wijaya dengan berkata,
“Jadilah panglima yang tangkas dan cerdas. Sekali
waktu akan kuajarkan padamu bagaimana cara meng-
gunakan jurus Cambuk Membelah Matahari…” Wijaya
terbengong, tak berani berbuat apa-apa. Dia membiarkan
pipinya ditepuk-tepuk Suro sambil tersenyum, kemudian
Suro melangkah mengikuti Adipati Lohgawe, dan Wijaya
hanya bengong sambil mengusap-usap pipinya yang tadi
ditepuk-tepuk.
Kala itu, bumi bagai sepi. Mulut-mulut terkatup rapat,
membiarkan Adipati membawa Suro Bodong masuk ke
dalam Kadipaten. Tak satu pun prajurit yang berani
berkasak-kusuk, kecuali sama diamnya dalam liputan
suasana tegang.
“Semua orang melihat dengan mata kepala sendiri, kau
melakukan beberapa kejahatan yang keji,” kata Adipati
ketika mereka berembuk di pendopo kadipaten.
“Ciri-ciri orang itu?”
Wijaya yang menyahut atas seizin Adipati,
“Persis dengan kamu, baju merah lengan panjang, tidak
dikancingkan, celana biru, rambut diikat kain merah seperti
yang kau kenakan itu, badannya sama gemuk dan….
pokoknya itulah kamu! Dan aku pernah mengejarnya, tapi
ia berhasil lolos.”
“Ia bahkan mengaku bernama Suro Bodong di depan
Jayeng Dadap serta beberapa orang lainnya,” sahut
Rahuto.
“Aku sendiri melihat jelas, kau yang merobek leher
suamiku dengan dandanan dan penampilan seperti
pertama kau diseret ke mari itu!” sahut Puji Wardani yang
ikut menjadi saksi dalam pembicaraan tersebut.
Kepala Suro Bodong manggut-manggut. Setelah sama-
sama bungkam beberapa saat, Suro Bodong berkata,
“Kalau misalnya aku jadi pembunuh itu, aku tidak akan
menyebutkan namaku. Bahkan aku akan membunuh
dengan sembunyi-sembunyi. Kalau kesimpulanku setelah
mendengar cerita pembantaian di rumah Raden Mas
Purwakusuma, jelas hal itu dilakukan dengan sengaja di
depan umum, supaya umum bisa mengetahui siapa
pembunuhnya. Jika tanpa ada maksud menonjolkan diri,
tidak mungkin pembunuh itu sengaja melakukannya di
depan umum.”
“Jadi apa kesimpulanmu yang pasti?” tanya Adipati
Lohgawe seakan tak sabar.
“Kurasa ada orang yang sengaja berpenampilan serupa
denganku. Mengenakan pakaian yang sama dan ikat
kepala yang sama. Ia mengaku nama yang sama dengan
namaku. Dan karena kebetulan ia mempunyai wajah yang
mirip denganku serta mungkin potongan rambutnya juga
mirip denganku, maka kalian langsung memastikan, orang
itulah aku!”
Puji Wardani mendesis kesal. Lalu katanya, “Itu tak
mungkin! Ini hanya kepandaianmu bicara, supaya bebas
tuduhan…!” kemudian Puji Wardani pergi begitu saja
dengan wajah cemberut kesal.
Semua memperhatikan kepergian Puji Wardani, dan hal
itu membuat Adipati Lohgawe menghempaskan nafas
panjang. Kemudian mereka saling berpikir dalam
kebungkaman. Suro Bodong yang tidak mau duduk di
depan Adipati itu hanya berjalan mondar-mandir sambil
sebentar-sebentar garuk-garuk kumisnya yang tebal itu.
“Kalau boleh aku mengajukan usul….!” Kata Suro tiba-
tiba kepada Adipati Lohgawe.
“Usul apa?”
“Penjarakan aku di tempat yang rapat. Kunci baik-baik
yang sekiranya tak akan bisa dipakai untuk meloloskan
diri. Kalau memang ada, penjarakan aku di bawah tanah!”
Semua mata memandang Suro Bodong, terlebih Adiapti
sendiri yang menatap dengan dahi berkerut tajam. Suro
Bodong menyambut ucapannya,
“Kemudian kabarkan kepada semua orang bahwa Suro
Bodong berhasil melarikan diri…! Dan bukalah sayembara,
barang siapa bisa menangkap Suro Bodong hidup atau
mati, akan diberi hadiah!”
“Usulmu itu cukup membingungkan kami, Suro.” kata
Adipati. Tetapi Suro Bodong tersenyum tipis.
“Ini untuk memancing pembunuh yang sebenarnya.
Kalau ada yang melihat Suro Bodong muncul, dan
melakukan kekejian lagi, keluarkanlah aku dari penjara
secepatnya! Aku akan menghadapi orang itu, dan buat satu
arena di depan umum untuk pertarunganku dengannya!”
Adipati Lohgawe manggut-manggut sambil menggumam.
Semua kening juga berkerut, sama seperti kerutan dahi
Lohgawe. Suro Bodong masih berjalan mondar mandir
dengan garuk-garuk kepala dan kumis. Tapi ia lebih sering
garuk-garuk kumis.
Tiba-tiba Adipati berkata, “Apakah ini bukan sekedar tipu
dayamu?! Mungkin saja kau bisa lolos dari penjara serapat
apapun, lalu membuat keonaran, membantai keluarga
demi keluarga dan…”
“Cukup. Aku mengerti kecurigaanmu. Itu pantas.
Kecurigaan yang kuakui kejeliannya. Memang bisa saja
aku begitu, tapi bagaimana jika ada dua atau tiga orang
yang menemaniku dalam penjara? Tempatkan pengawal
yang bisa melihatku setiap saat, sehingga kalau sewaktu-
waktu aku pergi bisa ketahuan, kan?!”
“Yaah… tapi mana ada orang yang mau di penjara tanpa
melakukan kesalahan apa-apa, sekalipun sifatnya hanya
sebagai teman atau pengawalmu dalam penjara!” ujar
Rahuto.
“Kita tidak bicara soal siapa salah masuk penjara. Tidak
begitu! Ini hanya untuk menjebak biang keladi yang selama
ini, katanya, sangat menjadikan rakyat kadipaten
ketakutan dan tidak bisa tenang,” Suro menjelaskan.
“Paling tidak untuk membuktikan kepada kalian, bahwa
aku sebenarnya tidak bersalah. Aku lebih baik menuntut
kepada orang itu, daripada menuntut kalian semua atas
dasar bersepakat memfitnah aku dengan tuduhan
semacam itu!”
Akhirnya setelah melalui berbagai perdebatan, Adipati
mengatakan, “Baik, usulmu kami setujui…! Tapi bagaimana
kalau sampai berhari-hari ternyata tidak ada kejahatan
yang ditimbulkan oleh orang yang mengaku bernama Suro
Bodong?”
“Aku akan mencari jalan lain untuk menjebaknya!
Percayalah, aku akan mencari jalan supaya di antara kita
jangan ada yang menjadi korban tipu muslihat seperti
ini…!”
Sepertinya tak ada pilihan lain bagi Adipati Lohgawe
selain mengikuti saran Suro Bodong. Kecintaannya ter-
hadap perdamaian membuat Adipati Lohgawe menyimpul-
kan, bahwa Suro Bodong sendiri merasa dalam posisi yang
terjepit dua arah, antara pelaku pembunuhan sebenarnya
dengan orang-orang Kadipaten Kidang Kencana. Sekalipun
Adipati Lohgawe belum yakin betul, apakah usul Suro
Bodong itu membawa hasil yang baik atau semakin buruk,
namun hal itu dipandang lebih bijaksana dari pada
meneruskan hukuman bagi Suro Bodong. Belum lagi kalau
ia memikirkan ilmu Suro Bodong yang mampu membuat
bumi bagai dilanda gempa, dan kesanggupan Suro untuk
menenggelamkan Kadipaten itu benar-benar bisa terbukti,
rasa-rasanya memang usul Suro itulah yang layak dilaku-
kan. Ini pun berdasarkan pertimbangan segi keselamatan
rakyatnya. Kalau Suro Bodong mengamuk, bisa jadi ia
kehilangan segalanya, istana, kekuasaan, rakyat, keluarga
dan besar kemungkinan ia juga akan kehilangan nyawa-
nya. Begitulah pertimbangan Adipati saat itu.
Suro Bodong tidak dipenjarakan di bawah tanah. Hal itu
juga atas permintaan Puji Wardani, dengan alasan,
“Saya ingin ikut menjaganya, saya ingin melihat apa-apa
yang dilakukan sepanjang hari, supaya saya tahu persis
bahwa dia bukan iblis berhati binatang!” ujar Puji Wardani
dengan kebencian masih tersirat lewat nada suaranya.
Ada sebuah kamar yang letaknya bertolak belakang
dengan kamar Puji Wardani. Kamar itu, dulu bekas kamar
pusaka yang sekarang sudah dipindahkan ke ruang utama
Kadipaten. Menjadi satu dengan kamar tidur Adipati
Lohgawe.
Kamar bekas tempat penyimpanan pusaka itu terbuat
dari dinding tebal, belapis pintu baja yang kokoh. Konon,
kamar itu dulu bekas kamar tidur kakek Puji Wardani yang
dikenal di rimba persilatan sebagai Malaikat Tanpa
Bintang. Di depan kamar itu, ada sederetan rumah
keprajuritan di mana Wijaya dan Rahuto juga tinggal di
sana. Lalu di samping kiri kamar itu, adalah ruang
perpustakaan, dan di sebelah kanan kamar itu, adalah
gudang penyimpanan pakaian perang. Menurut beberapa
punggawa negeri, memang kamar bekas tempat
penyimpanan pusaka itulah satu-satunya tempat yang
layak untuk mengurung rapat Suro Bodong. Hanya ada
satu pintu baja, tak ada jendela kecuali lubang angin yang
sebesar bata merah di atas pintu. Letaknya cukup tinggi
dan hanya terdiri dari dua lobang angin.
Di kamar itu, ada dipan kecil bisa untuk berbaring, ada
meja dan kursi sederhana untukmanak, dan ada meja hias
lengkap dengan cerminnya yang berbentuk daun waru.
Sebab, konon kakek Puji Wardani itu termasuk laki-laki
pesolek yang memiliki meja rias sendiri. Suro Bodong
sempat tertawa sendiri melihat tempat rias yang katanya
bekas milik Malaikat Tanpa Bintang itu. Alangkah genitnya
lelaki tua itu pada masa ia masih hidup. Apa saja yang
dikenakannya? Apakah ia juga mengenakan gincu? Ih,
lucu!
Suro Bodong tidak perduli tempat itu, apakah terkurung
rapat atau tidak, yang jelas di situ ia menunggu saat yang
baik untuk keluat dan berhadapan langsung dengan orang
yang mengaku dirinya.
Ada sedikit rasa aneh di hati Suro Bodong. Ia memang
dijaga oleh dua orang prajurit bersenjata lengkap. Tapi
mereka ada di luar kamar. Di depan pintu. Mereka tidak
melihat apa yang dilakukan Suro di dalam kamar tersebut.
Padahal, seharusnya mereka selalu memantau kegiatan
Suro Bodong setiap harinya. Hal ini untuk menyelidiki
apakah Suro benar-benar selalu ada di dalam kamar atau
sempat menghilang. Seharusnya mereka menaruh satu
orang pengintai untuk mengawasi Suro Bodong. tapi
nyatanya tidak. Suro sudah memikirkan ke sana ke mari,
tidak ada lobang pengintaian itu. uuh…! Alangkah tololnya
mereka! Pikir Suro.
Tetapi, sebenarnya Suro sendiri yang tolol, sebab ia
tidak tahu kalau ada sepasang mata yang selalu meng-
awasi gerak-geriknya. Sepasang mata itu adalah sepasang
mata yang sempat dikagumi Suro sendiri. Puji Wardani.
Dia yang dengan tekun memperhatikan segala gerak-
gerik Suro Bodong dari kamarnya sendiri yang bertolak
belakang dengan kamar Suro. Puji Wardani dengan tekun
dan cermat selalu mengikuti kegiatan Suro di dalam
kamarnya. Ia cukup berdiri, atau duduk di depan sebuah
cermin, di mana cermin itu adalah cermin tembus pandang
ke kamar Suro Bodong. Cermin yang ada di kamar Puji bisa
untuk melihat keadaan di kamar Suro, sebab cermin itu
tepat berada di balik cermin hias yang ada di kamar Suro
Bodong. Apalagi Suro Bodong memandang cermin hias, ia
tidak bisa melihat keadaan kamar Puji Wardani. Ia hanya
akan melihat wajahnya sendiri di dalam cermin hias itu.
Kalau saja Suro Bodong tahu bahwa cermin itu bisa
untuk memperhatikan keadaannya dari kamar Puji
Wardani, mungkin ia tidak mau sering-sering berada di
depan cermin. Tapi, karena dia tidak tahu hal itu, maka
sesekali ia duduk dan berdiri di depan cermin
memperhatikan luka di wajahnya, terkadang menghilang-
kan darah yang mengering di keningnya, atau menobati
luka dengan tangan kiri yang diludahi. Ia sengaja tidak
ingin menghilangkan lukanya, walau hal itu bisa di lakukan.
Sebab ia ingin agar kelak orang-orang Kadipaten Kidang
Kencana tahu, betapa kejinya mereka melukai orang tak
berdosa. Tapi, tentunya itu kalau dia sudah bisa
membuktikan bahwa dia bukan pembunuh yang dicari
rakyat Kadipaten Kidang Kencana.
“Kau tak bosan-bosannya memperhatikan dia, Puji….?”
Tegur istri Adipati kepada anaknya ketika ia masuk ke
kamar Puji Wardani.
“Untuk meyakinkan siapa pembunuh Kang Mas Atmaja,
aku harus sabar dan tekun melakukan penyelidikan ini,
Ibu.”
Ibu Puji Wardani menghela nafas. Kemauan anaknya
dari kecil memang keras dan tak boleh dicegah oleh siapa
pun. Apalagi Puji Wardani anak tunggal yang menjadi buah
hati sang ibu, tentu saja ia sangat dimanja dan diberi
kesempatan untuk menentukan sikap.
Sambil ikut memperhatikan Suro Bodong yang tengah
melatih otot-otot tubuhnya dengan gerakan lamban, istri
Adipati itu berkata kepada anaknya,
“Jaga kesehatanmu agar jangan sampai sakit karena
memperhatikan gerak geriknya.”
“Ya, Bu. Aku sadar akan hal itu,” jawab Puji. “Bagaimana
keadaan di luar, Bu?”
“Sudah dua hari ini rakyat ikut sibuk mencari Suro
Bodong. Kabar Suro Bodong melarikan diri sampai ke
mana-mana. Bahkan kemarin Pragulo menghadap ayahmu
untuk meminta tambahan uang hadiah. Katanya, ia
sanggup mencari dan menangkap Suro Bodong.”
“Pragulo…!?” Puji Wardani berkerut dahi. “Pragulo putra
paman Renggono itu?”
“Ya. Dia baru saja pulang dari puncak Mahageni.
Katanya ia telah selesai berguru dengan Resi Pangguno,
bahkan ia pun sempat menawarkan diri untuk menjadi
Jagabaya di kadipaten ini asal upahnya memadai.”
Puji Wardani menggumam dan berpikir sesaat, tapi
matanya masih mengawasi Suro Bodong lewat cerminnya.
“Kemudian Romo menerimanya sebagai Jagabaya di
sini?”
“Romomu sedang mempertimbangkan,” jawab ibu Puji
Wardani dengan mata juga memandang Suro melalui
cermin itu. Kemudian perempuan yang rambutnya mulai
beruban tipis itu bertanya tentang Suro Bodong, “Apa saja
yang ia lakukan selama ini? Tidak ada yang
mencurigakan?”
“Kurasa tidak, Bu. Dia hanya melatih gerakan-gerakan
tubuhnya, seakan melemaskan otot-ototnya yang selama
ini mungkin kaku akibat siksaan penduduk dan dari kita
sendiri.”
Suro Bodong menerima makanan dari penjaganya. Ia
bertanya, “Jagung bakarnya mana?”
“Sedang dibakar oleh Ki Sangu…!”
“Ooo…nanti lekas kirim ke mari ya?” kata Suro yang tak
mau ketinggalan jagung bakar sebagai makanan saban
harinya. Adipati yang menyuruh agar segala permintaan
Suro Bodong yang bersifat tidak membahayakan dapat
dikabulkan tanpa pertimbangan macam-macam. Dan satu-
satunya permintaan yang sering didengar adalah jagung
bakar.
Puji Wardani sendiri sampai heran memperhatikan Suro
Bodong yang gemar memakan jagung bakar. Kelihatannya,
jika Suro mulai memakan jagung bakar, dunia ini menjadi
miliknya sepenuhnya. Ia kelihatan tenang dan berwibawa.
Puji sering menelan ludahnya sendiri jika melihat Suro
Bodong sedang mengunyah jagung bakar. Sampai-sampai,
iapun berbisik kepada emban yang melayaninya agar
dibuatkan jagung bakar juga. Puji sempat tertawa sendiri
dalam hati, menertawakan sikapnya yang lama-lama
ketularan Suro Bodong.
Bahkan, ketika Suro Bodong melatih diri dengan
menggerakkan tangan, kaki dan badannya secara
perlahan, Puji Wardani ikut-ikutan meniru gerakan itu. Ia
tak tahu kalau Suro Bodong sedang melatih satu jurus
berangkai yang mempunyai saluran tenaga dalam cukup
hebat. Puji Wardani hanya tahu, bahwa gerakan jurus itu
cukup indah dan ia menyukai gerakan itu sehingga
ditirukan.
Jurus itu sebenarnya pemberian dari Eyang
Panembahan yang dinamakan jurus Gerakan Bidadari Pagi.
Gerakannya cukup lamban, seperti orang menari, tapi
hentakan-hentakan tersendiri yang mampu menyalurkan
tenaga dalam jika dilatih berulang-ulang.
Empat hari sudah Puji Wardani ikut melatih diri
menggunakan jurus Gerakan Bidadari Pagi itu. Rasa-
rasanya ia mulai hapal, dan mulai terasa ada perubahan
pada aliran darahnya. Sering berdesir-desir dan desiran itu
menjalar ke tangan, kaki dan seluruh jari-jarinya. Kadang-
kadang, ketika Suro beristirahat, Puji Wardani melatih
gerakan itu sendiri tanpa memperhatikan gerakan dari
Suro Bodong. Lama-lama, ia terkejut ketika menggerakkan
tangannya dengan gemulai seperti orang menebar bunga,
tahu-tahu sebuah jambangan keramik pecah. Bersamaan
dengan itu ia merasa ada semacam desiran yang terlempar
dari jarinya.
***
EMPAT
MALAM keempat, Suro Bodong dikeluarkan dari
kamarnya. Bukan untuk keperluan ke kamar
mandi,melainkan Adiati ingin bicara dengannya.
Rupanya, bukan hanya Adipati yang menunggu kehadiran-
nya, melainkan Wijaya, Rahuto dan para perajurit lainnya
pun sudah menunggu di ruang paseban.
“Ada masalah apa ini?” Suro Bodong menyapa mereka
dengan santai, sambil memetik-metik jagung bakar
kesukaannya untuk kemudian dilemparkan ke mulut
seenaknya.
“Dugaanmu benar,” kata Adipati Lohgawe yang
didampingi istrinya.
“Dugaan apa?”
“Ada orang yang mengaku Suro Bodong telah mem-
bunuh dua keluarga dalam semalam ini. Dia sempat mem-
perkosa seorang perawan, lalu membunuhnya. Rakyat
mulai terbakar dan menuntut agar semua perajurit dikerah-
kan untuk mencari dan membunuh Suro Bodong.
Senyum sinis Suro membuat mereka tertegun. Suro
berjalan ke pintu, menghadap ke luar sambil makan jagung
bakar. Beberapa mata mengikuti gerakannya. Kemudian,
Suro berbalik dan berkata dengan tenang.
“Di mana keluarga yang menjadi korban itu?”
“Di kampung Ligu,” jawab Rahuto.
“Kau menyaksikan sendiri keadaan korban?” tanya
Suro.
“Bukan aku, tapi Wijaya….”
“Benar, Wijaya?”
“Benar!” Wijaya menjawab mantap seperti memberi
laporan kepada pimpinannya.
“Mari kita ke sana!” ajak Suro. “Aku ingin melihat sendiri
bekas luka dan keadaan sekeliling. Siapa tahu ada tanda-
tanda yang kukenal, atau yang bisa kusimpulkan!”
“Jangan ke sana!” cegah Adipati Lohgawe. Suro
memandang dengan tenang, namun Adipati tanggap
bahwa Suro membutuhkan penjelasan. Karena itu Adipati
Lohgawe menjelaskan,
“Kalau kau ke sana, rakyat akan mengamuk! Mereka
tahu kalau kau bersama kami. Sebab, bagaimanapun juga
rakyat hanya mengenal Suro Bodong dalam ujud seperti
kamu. Mereka pasti akan mengira, kaulah yang telah
berbuat.”
“Kalau menurutmu, bagaimana?” Suro bicara
seenaknya. Cuek sekali.
“Memang bukan kau pelakunya,” jawab Adipati
kemudian.
“Bagaimana kau yakin itu bukan aku?”
“Kami punya cara sendiri untuk meyakinkan hal itu,”
Adipati tidak menjelaskan caranya.
Suro Bodong manggut-manggut, lalu bertanya,
“Jadi, apa gunanya aku dipanggil ke mari?”
“Kau pasti punya gagasan lain, Suro. Kami meng-
harapkan usulmu. Karena usul pertama, yaitu mengurung-
mu dan menyebarkan berita bohong tentang pelarianmu
sudah berhasil memancing kemunculan Suro Bodong yang
palsu.”
Senyum Suro melebar. Adipati angkat bahu dengan
membalas senyuman ramah.
“Kok aku kau jadikan penasihat? Aku sendiri belum
sehat. Lihat, luka-lukaku masih membekas dan perih
setiap hati.”
Adipati berdiri, lalu mendekati Suro Bodong dan berkata
dengan penuh penyesalan,
“Kalau ada cara untuk menebus kesalahan kami,
katakanlah cara apa yang harus kami lakukan. Kami
sangat menyesal mengapa kau menjadi korban dendam
kesumat kami.”
“Caranya mudah saja….!” Kata Suro Bodong.
“Sebutkanlah…!”
“Beri aku kebebasan bergerak di sini, supaya aku bisa
berhadapan dengan Suro Bodong yang palsu! Kalau kau
dan perajuritmu percaya bahwa aku bukan pembunuhnya,
maka akupun akan membantumu sekuat tenaga untuk
menangkap pembunuh menantumu itu. Beri aku
kepercayaan, maka akan kuberikan nyawaku untuk
Kadipaten ini!” kata Sur dengan tegas.
Adipati Lohgawe tersenyum bangga mendengar kata-
kata itu. Yang lain pun tampak manggut-manggut dengan
serius. Kemudian, Adipati berkata dengan tegas,
“Bertindaklah seperti di rumahmu sendiri, Suro. aku
percaya, hanya kau yang bisa menyelesaikan masalah ini!”
“Nah… begitu!”
“Sekarang apa gagasanmu?” tanya Wijaya.
“Mengembalikan kepercayaan rakyat, bahwa pemerin-
tahan di Kadipaten ini masih mampu menegakkan
keadilan dan menjamin ketentraman rakyanya!” jawab
Suro .
Yang lain manggut-manggut lagi seperti wayang golek.
“Bagaimana caranya?” istri Adipati diizinkan bicara.
“Kerahkan semua prajurit untuk menyebar ke seluruh
Kadipaten siang dan malam. Jika melihat orang seperti
aku, atau yang mengaku Suro Bodong, jangan ditangkap,
melainkan diikuti dengansembunyi-sembunyi. Lalu salah
seorang memanggilku dan aku akan datang menghadapi
dia!”
“Kalau semua prajurit menyebar di luar dalem
kadipaten, lantas bagaimana keamanan di sini sendiri?”
kata Adipati.
“Aku yang bertanggung jawab keamanan di sini! Syukur-
syukur orang itu mau datang ke mari dengan maksud
membunuh siapa saja, terserah pilihannya.”
“Kedengarannya kau malah mengharapkan kematian!”
sela Rahuto.
“Kelihatannya memang begitu. Tetapi sebenarnya
kematian yang kuharapkan adalah kematian pembunuh
keji itu. kalau dia mau datang ke mari, berarti dia sudah
siap berhadapan dengan aku. Jangan coba-boa melarikan
diri, karena itu perbuatan sia-sia, tahu?!”
“Yaah, tapi jangan melototnya sama aku, ah!” gerutu
Rahuto dengan bersungut-sungut. Suro tersenyum sendiri.
“Supaya kau menyampaikan kepada orang itu kalau
sewaktu-waktu bertemu dengannya,” kata Suro Bodong
menutupi kegeramannya.
Adipati sendiri segera berkata kepada prajurit-prajurit
pilihan, termasuk orang andalannya, Wijaya dan Rahuto.
“Kerjakan cara itu! Bawa semua prajurit, sisakan
sepuluh orang di sini. Dan jangan bertindak gegabah!
Mengerti?”
“Sendiko, Kanjeng Adipati…!” jawab mereka.
Sebelum Suro Bodong pergi ke kamarnya, ia sempat
berkata kepada Adipati dan istrinya,
“Tolong diingat-ingat, siapa-siapa saja orang yang
pernah dikecewakan oleh pemerintahanmu, Adipati.”
“Maksudmu?”
“Aku melihat tujuan pembantaian itu. Tak lain hanya
untuk merongrong kewibawaan pemerintahanmu! Kalau
rakyat mengaku bernama Suro Bodong itu yang menjadi
dalang mereka, sekarang ini, menurut dugaanku, orang
tersebut sedang menciptakan rasa tidak percaya rakyat
kepadamu! Kalau rakyat sudah tidak percaya, sudah
kecewa dengan pemerintahanmu, maka ia mudah
dikendalikan untuk memberontak!”
Adipati manggut-manggut sambil memperhatikan Suro
Bodong yang seenaknya berdiri di depan seorang Adipati
sambil memakan jagung bakar.
“Ingat….” Kata Suro lagi, “Hanya orang yang merasa
pernah dikecewakan oleh pemerintahanmu, itulah yang
akan menyulut api pemberontakan. Karena itu, ingat-
ingat….siapa saja yang pernah kau kecewakan. Catat, dan
nanti kita bicarakan…!”
Suro sudah bersikap seperti raja saja. Hal ini ia lakukan
untuk menghajar Adipati atas tindakannya tempo hari yang
membiarkan diri Suro disiksa oleh anak buahnya. Suro
sendiri sebenarnya tak tega bersikap begitu, tapi demi
kelanjutan sikap Sang Adipati, ia merasa perlu mem-
perlakukan Adipati Lohgawe seperti bawahannya. Dan
Adipati Lohgawe sendiri tidak tersinggung dengan sikap
tersebut. Ia tidak mempersoalkan sikap Suro, tetapi yang
diperhitungkan adalah bagaimana membuat rakyatnya
bersimpati lagi kepada pemerintahannya.
Waktu Suro Bodong mau masuk ke kamarnya, kamar itu
sudah tidak dijaga oleh pengawal lagi. Tetapi di depan
kamar itu, telah berdiri seorang perempuan bertubuh sekal
dengan bentuk bibir yang sensual. Puji Wardani. Dia yang
berdiri di depan pintu kamar Suro Bodong. Hal itu sungguh
mengejutkan Suro Bodong. Ia terpaksa berhenti
melangkah, namun masih menampakkan sikap acuh-acuh
butuh.
“Ada apa kau di sini?” tanya Suro sengaja dibuat ketus.
“Aku ingin bicara denganmu,” kata Puji Wardani dengan
suara pelan.
“Apa…?” Suro berlagak budeg.
“Aku ingin bicara padamu.”
“O, ya…? Aku tidak ingin…!” Suro menampakkan
sikapnya yang angkuh. Sengaja, untuk memancing
kemarahan Puji sekaligus menggoda hati Puji yang tampak
menyesali sikapnya selama ini.
Suro Bodong langsung masuk ke kamar, bagai tidak
perduli dengan Puji Wardani. Tanpa setahu Suro,
perempuan cantik itu juga buru-buru lari ke kamarnya dan
berdiri di depan cermin, memperhatikan Suro dari balik
cermin hiasnya. Suro memang tidak tahu. Ia langsung saja
duduk di depan cermin sambil tertawa sendiri.
“Rasakan pembalasanku, Puji…! Rasakan! Sakitkan
rasanya hati kalau disuguhi sikap sinis dan ketus seperti
tadi…? Sakit kan?”
Suro Bodong sebenarnya berkata pada dirinya sendiri di
depan cermin. Tetapi karena Puji Wardani bisa melihat
tembus ke kamar Suro melalui cermin di kamarnya, maka
rasa-rasanya ia sedang berbicara kepada Suro berhadap-
hadapan. Rasa-rasanya Suro sengaja mengajak Puji
Wardani bicara, sekalipun tidak mendengar suaranya, tapi
dari gerakan bibir Puji bisa mengerti apa yang dibicarakan
Suro.
Tak tahan hati Puji menerima kata-kata itu. Ia sempat
memerah matanya, dan menunduk sedih. Ia bertahan
untuk tidak menangis. Ia malu pada diri sendiri, hanya
karena orang seperti Suro ia harus menangis. Ia tidak mau!
Tidak mau!
“Sekarang mereka semua sudah menyesali perbuatan-
nya,” kata Suro sendirian di depan cermin yang
memantulkan bayangan dirinya. “Mereka sudah tahu
bahwa perbuatannya menyiksaku adalah kesalahan besar
yang seharusnya ditebus dengan nyawa. Maka, tak ada
gunanya aku bertahan dalam keadaan luka seperti ini. Aku
harus segera mnyembuhkan diriku sendiri.”
Puji Wardani sempat pula menangkap pmbicaraan itu
melalui bibir Suro. Ia menengadah dan memperjelas
penglihatannya, ia bertanya dalam hati, apa yang akan
dilakukan Suro dengan luka-lukanya itu.
Suro melakukan penyembuhan yang aneh dan
menjijikan. Ia meludah ke telapak tangannya tujuh kali, lalu
kedua telapak tangan itu saling menggosok, kemudian
masing-masing ditempelkan pada bagian yang luka. Setiap
saat ia memejamkan mata dan menahan nafas dalam-
dalam. Sesaat kemudian ia melepas telapak tangan yang
menempel pada luka, dan hasilnya membuat Puji Wardani
terbelalak bengong.
Setiap luka yang ditempeli telapak tangan, selalu hilang
tanpa bekas sedikitpun, kecuali sisa darah yang kering.
Demikian pula luka di pundak, luka di kepala akibat
getokan tongkat seorang kakek tempo hari, luka memar di
sudut matanya, semua hilang bagai tak pernah terjadi luka
di situ. Tak habis-habisnya Puji Wardani terheran-heran dan
berdecak dengan gumam yang lirih.
“Hebat sekali dia itu…” kata Puji Wardani sendirian
dengan suara lirih. Semalam itu ia duduk di tepi ranjang
sambil memperhatikan Suro Bodong menyembuhkan luka,
dan mempelajari beberapa gerakan jurus Bidadari Pagi.
Tanpa disadari, Puji Wardani tertidur di ranjang dalam
keadaan berpaling ke arah cermin. Ketika ia terbangun di
ujung fajar, ia merasakan ada tangan yang merayap di
dada. Ia sangat terkejut, karena ketika membuka mata, ia
langsung berhadapan dengan seorang lelaki berikat kepala
merah.
“Hah…?!” Puji Wardani terpekik. Ia melihat tubuhnya
nyaris tanpa busana lagi. Dan seorang lelaki gemuk,
dengan ikat kepala merah, baju merah lengan panjang
yang tak dikancingkan, juga celana biru yang terikat
pinggang kuning, sedang berdiri dengan senyum yang
menggoda.
“Suro…?!” Puji Wardani membisik tegang seraya
menutup dadanya dengan selimut tebal. “Apa-apaan kau,
hah? Berani-beraninya kau masuk ke mari, Suro? Nanti
kupanggilkan romo bisa dihukum lagi kau!”
“Aku hanya ingin menemanimu mengusir kedinginan
pagi,” kata Suro Bodong.
“Oh, jangan! Aku…aku….nanti kalau ada yang tahu, kita
berdua bisa dijatuhi hukuman. Jangan Suro….”
“Semua orang tertidur nyenyak, juga para pengawal!
Kita bisa berlayar sebentar untuk mengusir dinginnya
pagi…”
Suro Bodong meraih selimut yang dipegangi Puji
Wardani. Tetapi selimut itu masih dipegang erat-erat oleh
Puji.
“Tidak….! Aku tidak mau, Suro …. Oh, jangan…!”
Tetapi ketika selimut dihentakkan, terbukalah dada itu,
membusung dan mulus. Membengkak tapi berisi padat.
Suro Bodong segera memeluk tubuh Puji Wardani.
Wajahnya mendesak-desak di dada. Kumisnya yang tebal
menggelitik Puji sehingga perempuan itu mendesah
berkepanjangan. Kendati demikian, ia tetap saja berkata,
“Tidak…! Jangan….! Oh, jangan lakukan itu, Suro
….jangan…!”
Suro Bodong melepaskan baju merahnya. Dan pada
saat itu teringatlah Puji, bahwa Suro sudah tidak
mempunyai baju merah lagi. Baju itu telah robek dicabik-
cabik dan dibuang. Belakangan ini, Suro Bodong tidak
pernah mengenakan baju lagi. Tetapi….lelaki yang
menyerangnya dengan nafas memburu itu memakai baju
dalam keadaan masih bagus. Belum ada luka atau bekas
sobekan sedikitpun.
Seketika itu juga, Puji Wardani sadar bahwa lelaki yang
mendusal-dusal di dadanya dengan rakus itu bukan Suro
Bodong sebenarnya. Puji segera berteriak keras dan
nyaring.
“Aaaaahhh…!!” sambil kaki kanannya mendepak alat
vital lelaki itu. Ketegangan dan ketakutan memuncak.
Lelaki itu ditendang sekali lagi hingga terpental membentur
dinding. Puji Wardani menjerit sekuat-kuatnya.
Suara jeritan Puji Wardani sempat membangunkan Suro
Bodong. Segera Suro Bodong melompat dari dipan dan
berlari ke luat. Ia memutar ke arah kamar Puji Wardani,
lalu menendang pintu kamar itu dengan kasar.
“Braaak…!”
Sekali tendang, pintu terbuka. Suro Bodong berdiri
dengan kedua kaki merenggang. Badannya yang tanpa
baju itu kelihatan besar, berotot kuat. Matanya mendelik
seketika sewaktu ia melihat seorang lelaki yang sedang
berusaha untuk memperkosa Puji Wardani. Yang membuat
Suro terkejut adalah, kemiripan lelaki itu dengan dirinya.
Suro Bodong bagai melihat dirinya sendiri sedang
melakukan usaha pemerkosaan terhadap diri Puji Wardani.
Merah muka Suro Bodong yang asli. Ia segera menyerang
lelaki yang serupa dengannya itu dengan sebuah
tendangan kilat. Tendangan itu tepat mengenai wajah
lawan hingga terpental jatuh dari ranjang.
“Kau keparat busuk…!” gerak Suro Bodong yang segera
menyerang kembali lawannya. Pada saat itu lawannya siap
berdiri. Tendangan kaki Suro ditangkisnya dengan lengan
kanan, sedangkan lengan kirinya segera menghentak ke
depan dalam posisi telapak tangannya terbuka sedangkan
keempat jarinya terlipat bagian ruas atas.
Suro Bodong yang asli nyaris menjatuhi Puji Wardani,
karena ia terpental ketika ada semacam hawa kuat yan
gmendorong tubuhnya sejak tangan lawan menghentak ke
depan. Ia segera bergegas bangkit, tetapi tendangan
lawannya menyusul mengenai dagu hingga wajah Suro
terdongak ke belakang.
“Aaaoow…!” pekik Suro seraya menjaga keseimbangan
tubuh. Ia belum sempat mengembalika posisi kepala
menjadi tegak, tahu-tahu pukulan ganda menghantam
dada dan ulu hatinya dengan keras.
“Huuugh…!!”
Suro Bodong terbungkuk menahan sakit. Kepalanya
dipegang kuat-kuat dengan Suro Bodong palsu, lalu kepala
itu dihantamkan dengan lutut yang menyodok ke atas.
Kalau saja Suro Bodong tidak cekatan, paling tidak
hidungnya akan berdarah dan tulang hidung itu akan
pecah karena sodokan lutut lawan. Namun, sebelum lutut
itu menyodok hidungnya, tangan Suro buru-buru menahan
lutut itu dengan kekuatan kedua tangan. Lalu, kepala yang
menunduk itu segera disodokkan maju sehingga lawannya
mengaduh kesakitan, nafasnya tersendat seketika. Suro
Bodong mengibaskan kakinya dalam tendangan berputar.
Kibasan kaki itu ditangkis oleh lawan, namun Suro Bodong
buru-buru menjatuhkan diri ke lantai karena ia tahu akan
ada serangan datang dari lawan ke bagian atas. Maka,
ketika lawan menendang juga dengan jurus tendangan
berputar, ia menemui sasaran kosong. Saat itu, Suro
Bodong yang terlentang di lantai segera menyepak
kemaluan lawan dengan keras, sampai-sampai lawan
terbawa ke atas, lalu begitu turun, kaki kiri Suro
menyambutnya dengan sebuah tendangan ke arah yang
sama. Tubuh lawan yang sama gemuknya dengan Suro itu
melayang melewati atas Suro dan kepalanya menghantam
pintu kamar itu.
“Braaak…!”
Pintu kamar jebol sama sekali. Tadi waktu ditendang
Suro memang sudah jebol, tapi masih ada sisanya yang
menempel bersama engsel pintu. Namun kini, pintu itu
telah lepas bersama engselnya akibat ditabrak kepala Suro
Bodong palsu. Orang itu jatuh di luar kamar. Suro Bodong
yang asli segera memburunya. Ia menendang wajah orang
itu ketika orang itu hendak bangun.
Wajah yang ditendang terdongak ke belakang, namun
bersamaan dengan itu, lawan mengulingkan tubuhnya ke
belakang beberapa kali. Dengan satu hentakan lutut,
lawan, berhasil berdiri dengan kaki merenggang kekar.
“Sudah saatnya kau berhadapan denganku, Bangsat!”
teriak Suro Bodong.
Orang-orang yang mulanya tertidur, segera bangun dan
hendak berlari ke kamar Puji Wardani. Namun mereka
erhenti di taman, di depan kamar itu, karena mereka
menyaksikan dua Suro Bodong saling bertarung dengan
sengit. Adipati Lohgawe buru-buru masuk ke kamar
anaknya. Setelah mendapat keterangan bahwa Puji
Wardani tidak apa-apa, maka ia segera keluar untuk
menyaksikan pertarungan dua Suro Bodong. Yang satu
mengenakan baju merah, yang satu tanpa baju. Tetapi
Adipati dan yang lainnya tahu, orang yang tidak memakai
baju itulah Suro Bodong yang asli.
Kali ini lelaki berbaju merah mengeluarkan pedangnya
yang dicabut dari pinggan kanan. Ia bermain pedang
dengan tangan kiri. Oh, dia kidal, kurang mahir
menggunakan tangan kanannya. Suro Bodong sempat
mempelajari beberapa kelemahannya.
Ketika pedang itu menebas bagaikan kilat ke arah dada
Suro Bodong, segera Suro melengkungkan badan ke
belakang. Namun selang beberapa detik, kaki kanan Suro
Bodong segera menghentak ke atas, mengani siku
lawannya dengan keras. Tapi, agaknya tendanganya itu
tidak berguna. Lawan tetap menyerang dengan ganas.
Melompat seraya menggerakkan pedang ke depan. Kepala
Suro Bodong nyaris menjadi sasaran kalau Suro tidak
segera memiringkan kepala ke kiri. Sambil merendahkan
badan ke kiri, Suro berhasil menendang pinggang lelaki itu
dengan kaki kiri. Tendangan samping itu membuat lawan
terpental beberapa langkah dan jatuh terguling-guling.
Dengan hentakan tangan ke tanah, lawan mampu
melompat ke atas, melebihi ketinggian Suro Bodong. Pada
saat itu ia melemparkan pedangnya dari tangan kiri ke
tangan kanan. Suro Bodong bersiap menyerang dengan
satu lompatan. Tetapi lawan sudah telanjur turun, dan
pedangnya dipegang dengan kedua tangan, diangkat ke
samping telinga kanan dengan posisi tubuh merendah
sedikit. Ia berteriak sambil menghentakkan kaki kirinya tiga
kali ke tanah.
“Heeaaat….! Heeat…! Heaaat…!”
Meluncur sebuah sinar berbentuk pedang itu, seolah-
olah dari ujung pedang. Sinar berbentuk pedang
menerobos ke depan dengan cepat, dan menghantam
dada Suro Bodong. Suro buru-buru melompat bagai singa
menerkam kadal. Sinar berbentuk pedang warna merah
membara itu lolos dari sasaran, mengenai sebuah pohon
dan meledak seketika. Pohon itu hancur, menjadi serpihan-
serpihan kecil bagai percikan tanah liat. Prajurit yang
berdiri di bawah pohon itu pingsan seketika, telinganya
berdarah. Mungkin karena suara ledakan yang didengarnya
dari jarak dekat sehingga mampu memecahkan gendang
telinga.
Pedang masih diarahkan ke Suro Bodong dalam posisi
dipegang dua tangan di samping kepala kanan. Lawan
menghentakkan kakinya lagi tiga kali sambil berteriak
seperti tadi. Maksudnya ingin menhajar tubuh Suro Bodong
yan gmelayang hendak menerkamnya itu. tetapi Suro
Bodong dengan gesi meliukkan tubuhnya ke kiri, dan
berguling ke samping di udara. Sinar merah membara
serupa dengan bentuk pedang lawan itu melesat, tidak
mengenai sasaran. Sinar itu melesat ke atas, terus ke aras
dan menghilang entah sejauh mana.
Yang jelas, pada saat itu Suro Bodong berhasil menjaga
keseimbangan tubuhnya, sehingga ia dapat mendarat
dengan kedua kaki tegak berdiri. Tepat di depan kaki Suro
terdapat sebutir batu dalam ukuran hampir datu
genggaman. Suro menendang batu itu ke arah lawan. Batu
melayang bagai dilemparkan dengan tangan yang kekar.
“Aaauuhh…!!” Lawan mengaduh kesakitan, karena batu
itu tepat mengenai ujung hidungnya hingga berdarah. Suro
buru-buru melompat dan menendang wajah lawan. Yang
ditendang sempoyongan sambil mengibaskan pedang
secara ngawur.
“Ciaaat…!!”
Puji Wardani yang sudah mengenakan pakaian itu
mengibaskan pedangnya dari arah belakang lawan.
“Haaagh…!!”
Orang itu tersentak dan kesakitan karena tebasan
pedang Puji Wardani tepat mengenai punggungnya.
Punggung itu menampakkan luka menganga panjang dan
darah pun mulai berhamburan.
Lawan berbalik arah. Pedangnya dipegang dengan dua
tangan, diangkat ke samping kepala, diarahkan ke Puji
Wardani. Kakinya menghentak ke tanah sambil berseru
“Heaaat…! Heeeaaat…!
“Ciaaat…!!” Tepat pada saat itu Suro Bodong yang asli
menendang lawannya dari samping. Kaki Suro yang keras
dan kaku itu menghantam pelipis lawan dengan keras.
Lawan tak jadi mengeluarkan jurus pedang yang
membahayakan itu. Ia terjatuh berjumpalitan dan
membentur pohon. Segera Suro Bodong berguling di
rerumputan dan menghentakkan kakinya lagi dengan
tendangan berganda. Kedua tendangan tepat mengenai
kepala dan perut lawan, sehingga orang itu pun semakin
terpental jauh dari tempatnya. Bahkan sempat melayang
ke atas bagai boneka dilemparkan.
“Aaah…! Aaauh…!” Suro Bodong palsu mengaduh-aduh.
Ia berusaha untuk berdiri, Suro Bodong tak memberi
kesempatan. Tetapi pada waktu ia melayang, tubuh Suro
Bodong jatuh terpental ke belakang. Pukulan tenaga dalam
yang keluar dari telapak lawan berhasil mengenai dada
Suro Bodong. Dada Suro menjadi membiru. Sakit! Nafasnya
sesak. Pukulan tanpa ujud itu agaknya lebih besar dari
pada pukulan yang tadi diterima di dalam kamar.
“Jahanam kau, ciaaat…!!” Puji Wardani melompat dan
mengarahkan pedangnya ke arah lawan.
“Puji….jangan! bahaya itu…!!” teriak Suro Bodong.
Cemas sekali Suro melihat keberanian Puji yang tanpa
perhitungan. Lawan sudah berdiri dan siap menggunakan
jurus pedang yang dapat menghancurkan pohon seperti
tadi. Nyawa Puji terancam. Seketika itu, tangan Suro
Bodong melemparkan sebuah batu dan tepat mengenai
kaki lawan yang akan dipakai menghentak ke tanah itu.
Lawan menjerit kesakitan, pusat pikirannya terganggu. Ia
tak jadi menggunakan jurus pedang berbahaya.
Tetapi ia masih berhasil menghindari tusukan pedang
Puji Wardani dengan cara menghantamkan tangan
kanannya ke arah pinggan Puji dengan tubuh merunduk ke
bawah.
“Haaagh…!!”
Puji mengaduh kesakitan sambil tubuhnya limbung ke
kiri dan jatuh bagai batang pisang dilemparkan.
“Pujiii…!!” jerit ibunya yang hendak mendekat, tapi buru-
buru dipegang ayahnya.
Suro Bodong sudah berhasil berdiri. Nafasnya memang
masih sesak, tetapi ia mencoba untuk menyerangnya.
Hanya saja, lawan sudah buru-buru melompat, bersalto ke
belakang dan melayang melewati tembok batas Dalem
Kadipaten. Ia menghilang di balik tembok. Suro Bodong
bergegas mengejarnya dengan berseru,
“Bangsat….!! Jangan lari…! Kita selesaikan sekarang
juga, kucing kurap…!! Hiaaat…!” Suro Bodong berhasil
melompat sampai di atas tembok yang mengelilingi Dalem
Kadipaten itu. ketika ia hendak melompat ke bawah
mengejar lawannya, Adipati Lohgawe berseru,
“Jangan dikejar dia….!”
Teriakan itu membuat Suro tak jadi melompat turun. Ia
diam, dalam keraguan dan sedang mempertimbangkan
permintaan Adipati itu. Adipati tahu Suro dalam
kebimbangan. Ia segera berseru lagi,
“Jangan tampakkan wajahmu di depan rakyat!
Kumohon, jangan! Berbahaya Suro…! Lihat… matahari
mulai keluar dari cakrawala, sebentar lagi akan terang
benderang!”
Suara Adipati, bagai suara yang mohon perhatian sekali.
Suro Bodong segera menahan diri, lalu ia kembali ke
tempat. Ia buru-buru menemui Puji Wardani yang ternyata
tidak mengalami luka apapun, kecuali pinggangnya sedikit
nyeri.
“Kau tak apa-apa?” tanya Suro.
Puji Wardani menggeleng. Ia masih menyeringai sedikit,
dan segear dituntun Suro Bodong untuk masuk ke
kamarnya.
“Lain kali kalau mau bertarung jangan lupa….pakai otak!
Kalau otak kau tinggal di kamar, kau tidak akan bisa
menang, tahu? Bisa jadi malah mampus…!” kata Suro
kasar, dan ia memang tidak peduli dengan kekasarannya
itu.
“Sekarang kalian tahu aku bukan dia, dan dia buka aku
toh?!” kata Suro kepada Puji Wardani yang sedang diusap-
usap pinggangnya oleh ibunya, sedangkan Adipati sendiri
berdiri dengan gelisah di samping Puji Wardani.
“Sayang sekali hanya sepuluh perajurit yang melihat
pertarungan tadi. Wijaya dan Rahuto tidak ada. Coba kalau
mereka ada, kurasa mereka tahu kalau…”
“Kami sudah tahu…!” sahut Adipati. “Sejak pertemuan
tadi malam, sudah kukatakan, kami sudah tahu siapa
kamu. Kau memang bukan dia!”
Puji Wardani berkata dengan jengkel, “Lantas maumu
apa sebenarnya, Suro ? Mau menuntut kami? Tuntutlah
aku saja! Aku orang yang paling dendam denganmu!
Aku…!” teriak Puji dengan kemarahan yang timbul dari rasa
sesal dirinya. “Aku yang membujuk Romo untuk meng-
hukummu tempo hari! Kalau kau merasa menjadi orang
benar dan ingin membalas dendam, balaslah aku. Apa
maumu? Ini pedangku dan bunuh aku dengan pedang ini!
Bunuh…!”
Suro Bodong bersungut-sungut, lalu meninggalkan Puji
Wardani. Puji yang tak bisa dibujuk ibunya itu masih
penasaran. Ia mengejar Suro Bodong sampai di pintu,
meraih lengan Suro dan menyodorkan pedangnya.
“Lekas bunuh aku…!”
“Kamu ini waras apa gila?!” kata Suro Bodong.
“Persetan dengan waras apa gila, kalau kau sakit hati
dengan tuduhan kami, bunuh saja aku! Aku yang paling
menympan dendam kepadamu. Ayo, bunuh aku…!”
“Suruh saja Suro Bodong yang tadi…! Kenapa kau tadi
pakai menjerit-jerit segala…? Kenapa tadi tidak minta
dibunuh sama Suro Bodong yang kabur itu…”
Dengan ketus dan cemberut penuh gerutu, Suro Bodong
pergi, keluar dari kamar. Ia tak sempat memperhatikan
cermin yang dipakai melihat kamarnya. Ia nyelonong begitu
saja setelah berkata demikian. Puji Wardani berseru,
“Mau ke mana kau?!”
“Berobat…!” jawab Suro seenaknya. Puji segera
berhenti menggerutu setelah menyadari, dada Suro
membiru akibat pukulan lawan tadi. Wah, gawat.
Berbahayakah itu? Kenapa Suro Bodong tadi kelihatan
pucat sekali waktu dibentak-bentak Puji Wardani? Adakah
racun dari pukulan itu yang akan menghancurkan Suro dan
mengakhiri hidup Suro Bodong?
***
LIMA
DENGAN melalui semadi setengah hari, Suro Bodong
berhasil menyembuhkan luka di dadanya yang
membiru itu. Selama ia melakukan semadi, ia tak
tahu kalau Puji Wardani memperhatikan terus melalui
cermin tembus padang di kamar Puji itu.
Sesungguhnya, belakangan ini Puji Wardani suka
berperasaan aneh terhadap Suro Bodong, lebih-lebih kini ia
tahu persis bahwa Suro Bodong bukan pembunuh rakyat,
bukan pembunuh suaminya. Puji Wardani bagai
menyimpan suatu getaran sendiri jika memperhatikan Suro
di cerminnya. Ia merasa jengkel jika Suro bersikap acuh tak
acuh padanya. Ia ingin berhubungan baik dengan Suro,
sebab selama ia mengamati gerak-gerik Suro, ternyata ia
menemukan suatu kelembutan di balik kekasaran Suro
Bodong. ia juga menemukan beberapa hal yang sempat
mengagumkan dan mendebarkan. Menurutnya, Suro
adalah laki-laki yang penuh dengan kebanggaan. Hanya
saja, kebanggaan itu disembunyikan di balik sikapnya yang
seenaknya sendiri dan sedikit kasar itu.
Maka, ketika Suro selesai mandi sore, Puji Wardani
memperhatikan Suro lagi dari cerminnya. Ia kasihan
melihat Suro Bodong termenung sedih di tepian dipannya.
Raut wajahnya nyata-nyata digeluti penyesalan. Bahkan
sesekali ia bicara pada bayangannya sendiri di cermin,
“Kenapa menangkap tikus seperti itu saja kau tidak
becus, hah? Manusia macam apa kau jika dengan cecurut
saja sampai dibuat kelabakan!? Tidak. Kau tidak boleh
seperti itu lagi, Suro. Kau harus bisa meringkusnya! Bunuh
dia dan jangan beri ampun lagi! Dia sudah banyak makan
korban, bahkan Puji….ah, Puji sendiri nyais jadi korban!
Kau harus membunuhnya demi Puji yang kau kagumi,
Suro…..!”
Puji Wardani tertegun-tegun ketika Suro Bodong berkat
demikian di depan cermin. Padahal Puji sendiri berada di
depan Suro Bodong, hanya saja Suro Bodong tidak tahu,
sehingga kata-katanya itu seakan suatu pengakuan yang
ditujukan kepada Puji Wardani. Di dalam hati, Puji sempat
berkata, “Ooh…ternyata dia mengagumiku…. Tapi, kenapa
sikapnya tak mau terus terang? Kenapa sikapnya
berlawanan?” setelah Suro mempertimbangkan segala
sesuatunya, akhirnya ia memperoleh suatu keputusan yang
ingin disampaikan kepada Adipati Lohgawe. Namun, ketika
ia keluar dari kamar dengan dadanya yang bidangtanpa
baju itu, ia sempat terkejut, karena Puji Wardani ternyata
berdiri di depan kamarnya dengan melipat kedua
tangannya di dada.
“Hei, perlu apa kau berdiri mematung di situ?” tegur
Suro Bodong dengan tak ramah. Namun Puji tahu apa yang
ada di balik ketidakramahan itu. Rasa kagum yang
disembunyikan! Dan…. Karena itu, Puji sendiri harus
berlagak tidak tahu menahu tentang rasa kagumnya Suro
Bodong. Ia melangkah masuk ke kamar dan berkata,
“Aku harus nekad begini untuk bisa bicara denganmu!”
kata-kata itu sempat membuat Suro Bodong terbengong.
“Jangan masuk ke kamarku! Nanti dugaan orang tuamu
buruk terhadapku.”
“Aku yang ingin menjernihkan kalau mereka mempunyai
dugaan buruk,” kata Puji dengan ketus.
Sebenarnya Suro Bodong menggeragap melihat
kenekatan Puji Wardani itu, tetapi ia berhasil menguasai
diri dengan ketenangannya. Ia berdiri di depan pintu dan
memandang Puji Wardani yang manis, cantik dan lembut
sekali dalam suasana sore mengenakan gaun sutra warna
hijau muda.
“Apa maksudmu datang ke kamar ini?” tanya Suro dari
depan pintu. Puji duduk di kursi sederhana dari kayu.
“Aku ingin meminta maaf padamu!”
“Sudah habis! Aku tidak punya persediaan maaf lagi.
Kalau kau mau, maafkanlah dirimu sendiri!” jawab Suro.
Puji melirik dengan cemberut. Kesal juga hatinya
mendengar kata-kata yang asal nyeplos itu. Apalagi Suro
kali ini berkata seenaknya, “Hei, kamu cantik kalau
cemberut begitu! Kenapa tidak rajin-rajin cemberut, biar
tetap cantik?”
Puji Wardani segera mengendurkan wajahnya, tidak lagi
cemberut, namun memasang keangkuhan dan keketusan.
“Aku ke sini bukan untuk bicara soal kecantikan!”
katanya walaupun sebenarnya kata-kata Suro itu enak
didengar bagi telinga Puji. “Aku ke sini hanya meminta
maaf atas tuduhan dan kebencianku waktu itu…”
“Lalu…?”
“Lalu….aku juga berterima kasih kepadamu, karena kau
telah menyelamatkan aku dari usaha pemerkosaan Suro
Bodong yang palsu itu…!”
“Terima kasihmu kutolak,” kata Suro tergas. Puji
Wardani berpaling cepat dengan memandang tajam. Suro
Bodong bejalan mendekati meja yang ada di depan Puji. Ia
meneguk minumannya sebentar.
“Aku tidak menolongmu. Aku hanya ingin membunuh
orang yang menjelekkan nama baikku!”
Wajah yang berkulit kuning langsat itu menjadi merah
dadu. Ada rasa malu dan dongkol yang disembunyikan di
balik kebisuan Puji Wardani.
“Kalau begitu aku salah duga.”
“Memang,” jawab Suro Bodong. “Sebab itu, berterima
kasihlah pada Suro Bodong yang kau bacok punggungnya
itu, sebab karena dia maka kau bisa membangunkan kau
dengan jeritanmu.”
Puji diam. Lama sekali terbungkam. Suro Bodong mem-
erhatikan wajah itu dengan leluasa. Lalu ia menggoda,
“Kau kecewa karena kemunculanku saat itu, bukan?”
Segera Puji mengangkat wajah dan mendelik
memandang Suro Bodong. “Kau kejam mengatakan aku
begitu! Kau pikir aku senang diperkosa lelaki itu?”
Suro seenaknya saja berbaring di dipan dengan
menumpuk dua bantal. Ia berkata, “Kupikir kau senang,
sebab waktu itu kulihat pakaianmu tidak ada yang robek.
Itu pertanda kau dengansuka rela membukanya.”
“Karena kupikir dia adalah kamu!” bentak Puji dengan
kejengkelan yang memuncak. “Kupikir dia kamu, maka aku
sedikit memberi peluang padanya! Tapi setelah aku tahu
dia bukan kamu, bukan Suro Bodong yang asli, aku
menjerit dan ketakutan! Jelas?!” Puji bicara sambil
mendekati Suro.
Kini ganti Suro Bodong yang terbengong melompong
mendengar pengakuan itu. ia bisa menangkap makna kata-
kata itu. Tapi, sebenarnya sangat di luar dugaan kalau Puji
mempunyai perkiraan semacam itu.
Suro buru-buru bersikap biasa-biasa saja. Ia malah
tersenyum sinis seraya berkata, “Ah, itukan alasanmu saja.
Kurasa kau sudah tahu kalau dia bukan aku, maka kau
biarkan sejenak dia menguasai tubuhmu, lalu… au puas,
dan baru berteriak mengagetkan aku. Jadi akulah yang
mendapat jatah kekagetannya!”
“Kurang ajar….!”
“Plak…!” Suro Bodong ditampar dengan sengit oleh Puji.
“Plak…!” sekali lagi wajah Suro menjadi sasaran tangan
Puji. Namun ketika tangan itu hendak menamparnya untuk
yang ketiga kalinya, Suro Bodong buru-buru menangkap
pergelangan tangan Puji Wardani.
“Cukup…! Ini wajah, bukan kendang main tampar
seenaknya saja!” hardik Suro Bodong sambil terduduk di
dipan.
Puji Wardani menampakkan kedua matanya yang merah
dibakar kemarahan dan kesedihan. “Kau menghinaku…!
Kau kejam menuduhku begitu…! Kau pikir aku perempuan
urahan yang…!”
Suro Bodong buru-buru menutup mulut Puji Wardani
dengan tangannya. Ia berkata pelan tapi jelas,
“Diam kau! Aku sebenarnya hanya ingin mengatakan
bahwa kau cantik, menggiuran bagi semua lelaki, termasuk
aku! Tapi jika kamu menangis dan marah-marah, kau sama
saja menantangku untuk bercumbu. Berhentilah marah.
Berhentilah menangis. Jangan pancing kejantananku
dengan dikap seperti itu. Aku tidak tahan, tahu…?”
Suro Bodong melepaskan tangannya yang mem-
bungkam mulut Puji Wardani. Kini mulut itu terbengong,
mata masih menatap Suro Bodong. airnya semakin bening
dan meleleh. Lalu, dengan serta merta Puji Wardani
memeluk Suro Bodong kuat-kuat. Tangisnya menghambur
di pundak Suro. Sekarang Suro Bodong kebingungan
sendiri. Ternyata perempuan itu lebih berani memulai dari
pada dirinya. Wah….kacau!
“Jangan menangis….nanti aku….aku terpancing….”
Puji berkata dalam isakannya, “Biar…biar kau terpancing
dan tahu, bahwa kau ingin berdamai denganmu! Ingin
menjadi akrab dan dekat….!”
Isak tangis terdengar, Suro Bodong makin bingung tujuh
keliling. “Ssstt…diam. Jangan menangis. Kau sudah dekat
denganku kan?”
“Tapi kau belum memelukku…!” katanya disela isakan
tangis ang membingungkan Suro Bodong. Lalu, dengan
pelan-pelan Suro Bodong memeluk Puji Wardani.
“Diamlah….aku sudah memelukmu, kan?”
“Tapi tidak erat….”
Suro Bodong mempererat pelukannya. Puji Wardani
masih mengisak beberapa saat. Suro Bodong tertahan.
“Ssst…ko malah betah menangis? Aku kan sudah
memeluk dengan erat…”
“Aku…aku…oh…aku bahagia….”
“Apa….?” Bisik Suro.
“Aku bahagia…” jawab Puji dalam tangis.
“Aku…aku juga bahagia. Tapi…aku tidak bisa menangis.
Aku lupa caranya menangis….sudah diam, nanti hatiku
sedih dan aku ikut-ikutan menangis lho…”
“Menangislah demi kebahagiaan ini, Suro .”
“Jangan paksa aku menangis, sulit menghentikannya.”
“Aku akan menghentikannya.”
“Dengan cara apa?”
“Membawamu terbang…” bisik Puji sesekali.
“Ah, jangan….!” Kata Suro. “Biar aku saja yang
membawamu terbang.”
“Bawalah….! Lekas bawalah aku terbang…”
“Ssst…pintu belum dikunci….”
“Kuncilah….lekas kuncilah….!”
“Krek!” pintu dikunci. Tangis berhenti. Keluh menjelma.
Erang membakar darah. Mereka terbang. Terbangnya
jauuuuh….sekali. Puji Wardani kegirangan memperoleh
penerbangan perkasa dan kekar. Mereka merajut benang-
benang mimpi. Mereka menyelinap di sela keluh dan
dengus membara. Puji Wardani berpesta pora di atas
bentangan kulit Suro Bodong. Dia lebih terampil. Karena ia
termasuk perempuan berselera tinggi. Ia perempuan yang
punya segudang selera dan cara. Suro Bodong mem-
biarkan dirinya dipakai landasan kebahagiaan yang
sesekali membuat tubuhnya kejang sejenak. Sampai
keduanya pun tuntas merenggut nafas, memburu lemas.
“Aku akan pergi malam ini juga,” kata Suro setelah
mereka saling menyeka keringat.
“Aku ikut,” kata Puji, seraya tangannya mengusap
keringat yang membasahi tubuh Suro Bodong.
“Jangan ikut. Aku akan memburu orang itu! aku akan
menyeretnya ke mari, agar dendammu puas.”
“Tapi dia berbahaya, Suro. Aku tak ingin kau terkena
pukulannya lagi,” Puji Wardani menampakkan kekawatiran-
nya.
“Ah, aku tidak akan melakukan kebodohan untuk kedua
kalinya. Aku akan memakai otakku. Kemarin, eh…tadi
pagi….aku juga meninggalkan otakku di kamar. Jadi aku
kena pukulan tenaga dalamnya.”
“Pokoknya jangan. Jangan memburu dia. Biar ayah nanti
akan kubujuk agar dia mau menerima tawaran Pragulo.”
Suro Bodong berkerut dahi. “Siapa? Pragulo?” Puji
Wardani mengangguk. Tangisnya sudah berhenti sejak tadi.
Bukan air mata lagi yang keluar, tapi keringat!
“Pragulo anak paman Renggono. Dia kemarin datang
menawarkan diri untuk menangkap orang yang mengaku
bernama Suro Bodong. tapi dia belum tahu kalau kaulah
Suro Bodong yang sebenarnya. Dan…. waktu itu dia minta
hadiah lebih banyak jika ia berhasil menangkap Suro
Bodong. Bahkan ia menawarkan diri untuk menjadi
Jagabaya yang akan menjamin keamanan di Kadipaten ini,
tetapi minta upah tinggi. Ayahku sedang mempertimbang-
kan penawarannya.”
“Pragulo itu orang sakti, ya?”
“Katanya ia baru saja selesai berguru di Gunung
Mahageni. Dan…. kurasa ia punya ilmu yang cukup hebat,
nyatanya ia menawarkan diri sebagai Jagabaya, kepala
keamanan di Kadipaten.”
Setelah terbungkam sesaat sambil merenung, Suro
Bodong bertanya bagai menyelidik,
“Kau sudah lama mengenal dia?”
“Sudah. Waktu kecil aku bermain dengannya. Dulu,
ayahnya bekerja sebagai Jurubayar Kadiapaten….”
“Lalu…?!”
“Lalu…. ayahnya melakukan penyelewengan uang. Ia
mencari keuntungan untuk memperkaya diri sendiri.
Kecurangan-kecurangan dilakukan, sayangnya ketahuan
oleh Romo Purwakusuma, kemudian dilaporkan. Waktu itu
yang menjadi Adipati masih kakekku: Sang Adipati Sindang
Mukti…”
“O, bukan kakekmu yang menempati kamar itu?”
“Ini kan kakek dari ibuku.”
“Oo….terus?” Suro memancing keterangan. “Eh, tadi
kau bilang, yang melaporkan perbuatan curang ayah
Pragulo itu siapa? Romo Purwakusuma?”
“Benar.”
“Maksudmu….Raden Mas Purwakusuma?”
“Ya. Tapi aku memanggilnya Romo.”
“Kenapa begitu? Memangnya ada hubungan apa
denganmu?”
“Dia kan mertuaku. Orang tua dari bekas suamiku itu:
Kang Mas Atmaja.”
“Oooo…..jadi Raden Atmaja itu anak dari Raden Mas
Purwakusuma? Yang dibantai satu keluarga itu?!”
“Iya. Benar, dan….”
“Tunggu, tunggu….! Jangan bicara dulu. Diam…!” Suro
Bodong bersemangat. Ia berdiri, mengerutkan dahi. Garuk-
garuk kumis. Berjalan mondar mandir beberapa saat. Puji
Wardani terheran-heran memandangnya. Ia menunggu izin
bicara. Suro bicara sambil mondar-mandir.
“Jadi…. Raden Mas Purwakusuma itu mertuamu, ya?
Dan…. Pragulo adalah anak dari….Paman Renggono.
Melakukan kecurangan soal uang. Yang melaporkan RM
Purwakusuma. Dan….O, ya….terus bagaimana nasih ayah
Pragulo setelah dilaporkan tentang kecurangannya itu?”
“Dipenjara oleh kakekku, dan….ia meninggal dalam
penjara. Meninggal dengan sedih dan tekanan batin.”
“Hemmm…ya, ya, ya…!” Suro Bodong manggut-manggut.
“Kalau begitu, suruh ayahmu memanggil Pragulo…!”
“Lalu…?”
“Suruh panggil saja dia, dan terima sebagai Jagabaya
atau beri hadiah tinggi asal dia bisa menangkap Suro
Bodong…!”
Ketika hal itu disampaikan kepada Adipati Lohgawe,
Sang Adipati merasa heran mendengar usulan puterinya.
“Mengapa Suro Bodong mempunyai maksud begitu?”
Suro menampakkan diri dari ruang tengah, lalu ia sendiri
yang menjelaskan.
“Pragulo itulah Suro Bodong yang palsu.”
“Pragulo…?!” Adipati dan istrinya terheran-heran.
“Ya. Dia yang menjadi Suro Bodong. Dia ingin menuntut
balas atas kematian ayahnya dalam penjara. Perihal
kecurangan ayahnya dalam menjalankan tugasnya sabagai
Jurubayar Kadipaten, dilaporkan oleh Raden Mas
Purwakusuma. Karena laporan itu ayah Pragulo dipenjara
dan mati dalam tahanan. Sekarang ia selesai menuntut
ilmu. Dia membalas kematian ayahnya kepada Raden Mas
Purwakusuma. Karena Raden Atmaja, bekas suami Puji
Wardani itu adalah anak keturunan Raden Mas
Purwakusuma, maka ia ikut dibinasakan.”
“Tapi kenapa ia juga membunuh rakyat tak berdosa?”
Suro Bodong menjawab, “Seperti yang pernah ku-
katakan, dia ingin menghilangkah rasa percaya lagi kepada
Adipati. Ia nantinya yang akan membakar rakyat untuk
memberontak. Dan kalau sudah terjadi pemberontakan,
kedudukanmu bisa digulingkan, maka dia yang akan
merebut kekuasaan kadipaten ini.”
“Oo….begitu….” Adipati manggut-manggut. “Dan tentang
penyamaranmu? Kenapa dia menyemar menjadi Suro
Bodong dengan persis sekali begitu?”
“Dia tahu namaku. Dia mengenal siapa diriku. Dan kalau
aku terbunuh oleh orang-orangmu, maka Kesultanan Praja
yang akan menyerang dan menghabiskan Kadipaten ini.
Dalam perang antara Kadipaten ini dengan kesultananku,
Pragulo pasti akan ambil bagian, supaya dicalonkan
menjadi Sang Adipati di sini, sekalipun Kadipaten ini akan
berada di bawah kekuasaan Kesultanan Praja. Paling tidak,
kalau kau berhubungan denganku dan akan marah, aku
bisa membunuh semua orang penting dalam Kadipaten ini.
Kalau kau sudah tiada, dia akan mendirikan Kadipaten
dengan sisa peninggalanmu. Kira-kira begitulah jalan
pikiran Pragulo…”
Adipati semakin jelas permasalahannya. Lalu ia segera
mengerahkan prajuritnya untuk mencari di mana Pragulo
berada. Dengan hati-hati mereka harus bisa membujuk
Pragulo dengan mengatakan, bahwa Adipati sangat mem-
butuhkan tenaganya untuk menjadi Jagabaya. Ternyata
tidak sulit mencari Pragulo di bekas rumahnya dulu.
Pragulo berhasil dikelabuhi dan ia mau menghadap Adipati
Lohgawe. Sebelumnya, suatu rencana telah dipersiapkan
lebih dulu.
Ketika Pragulo datang, ia disambut dengan baik oleh
Adipati Lohgawe. Bahkan Puji Wardani ikut menyambutya
dengan ramah dan manja, seperti waktu mereka masih
kanak-kanak.
Namun ketika Suro Bodong muncul dalam pertemuan
itu, Pragulo kelihatan terkejut dan wajahnya menjadi pias.
Sekalipun ia menutupi perasaan resahnya dengan
ketenangan, namun Adipati sendiri dapat mengentahui
bahwa Pragulo kelihatan gelisah sjak kemunculan Suro
Bodong yang asli.
“Pragulo…” kata Adipati. “Kami semua sudah bosan
dibuat kacau oleh Suro Bodong palsu. Nah, yang berdiri di
sampingmu itu Suro Bodong asli. Ia sendiri mengakui
bahwa ilmu yang dimiliki Suro Bodong palsu sungguh
hebat. Tak ada orang yang menandinginya. Itu menurut
dia….” Adipati menuding Suro Bodong. Aku sudah
bersepakat dengan keluargaku, dengan pegawai-
pegawaiku untuk mencari seorang panglima perang! Bukan
seorang Jagabaya saja, tetapi seorang panglima perang
Kadipaten Kidang Kencana. Kedudukannya merupakan
orang nomer dua di Kadipaten ini setelah aku. Apakah kau
sanggup menjadi Panglima Perang Kadipaten kita ini,
Pragulo.”
Dengan keangkuhan yang sudah terlihat dari caranya
memandang, Pragulo menjawab, “Itu pekerjaan yang
mudah bagi saya, Kanjeng. Saya sanggup menjadi
panglima di sini asal saya mendapat jaminan hidup dan
gaji yang tinggi.”
“Gaji akan kuberikan sesuai dengan permintaanmu.
Tapi aku punya syarat….kau tidak perlu menangkap atau
membunuh Suro Bodong. melainkan buatlah Suro Bodong
datang dan meminta maaf, lalu dia harus pergi secepatnya
setelah kami menuruti permintaannya. Jangan bunuh dia,
sebab kalau kita membunuh dia, maka kita akan
kewalahan menghadapi rohnya. Jadi, cukup dia datang,
mengutarakan keinginannya, lalu meminta maaf, kalau
mau. Kalau tidak mau lekas pergi setelah kami
mengabulkan permintaanya. Apa kira-kira…tugas itu berat,
Pragulo?”
“Saya rasa tidak, Kanjeng Adipati. Buat saya, tidak ada
pekerjaan yang tidak bisa saya lakukan. Saya sanggup
memenuhi syarat itu.”
Wijaya menyahut dengan girang, “Wah, kalau begitu….
jabatan panglima sangat sosok buat Kakang Pragulo, ya?”
Rahuto menyahut, “Benar! Dan kalau Kakang Pragulo ini
sudah menjadi panglima kita, wah….beres pokoknya! Tak
ada yang mau mengganggu-ganggu kita lagi. Bukankah
begitu Kakang Pragulo…?!”
Pragulo tertawa girang, merasa bangga. “Pokoknya,
kalau aku berhasil menundukkan Suro Bodong dan
menjadi orang kedua di sini….” Ia berbisik kepada Rahuto,
“Kuusulkan agar gaji prajurit dinaikkan semua….”
“Cocok…! Cocok sekali itu, ha, ha…!” Rahuto sengaja
disuruh memancing sedemikian rupa agar tidak timbul
kecurigaan.
Pragulo masih bau kencur, menurut Suro Bodong. Ia
mempunyai otak sebesar lada. Ia tidak merasa kalau
dirinya masuk dalam perangkap yang membahayakan.
Kalau menurut Puji Wardani, Pragulo itu pintar-pintar
bodoh. Ia pintar, karena bisa mempunyai rencana yang
begitu rumit, susah dipecahkan dengan penyamarannya
sebagai Suro Bodong. Tetapi keangkuhan dan keserakahan
membuat ia jadi bodoh, terbuai karena sanjungan dan jajni
suatu kedudukan sebagai panglima perang, orang kedua
setelah Adipati Lohgawe. Mungkin ia berpikir, dengan cara
itu ia akan lebih mudah menguasai Kadipaten Kidang
Kencana.
Benar-benar bodoh. Esoknya, seorang prajurit meng-
hadap Adipati dan berkata bahwa seseorang yang meng-
aku bernama Suro Bodong hendak menghadap. Kontan
saja Adipati memberi izin, karena memang itulah saat yang
ditunggu-tunggu. Orang yang mengaku bernama Suro
Bodong. Hanya saja, ia tetap mengenakan kain merah yang
bagian belakangnya sudah dijahit karena bekas robek
terkena pedang Puji Wardani. Orang itu dtang dengan
menampakkan rasa sesal dan kesedihannya. Tetapi
sebelum ia bicara dengan Adipati Suro Bodong yang asli
muncul dari samping dan langsung menyerangnya dengan
sebuah tendangan telak di pelipisnya.
“Hiaaat…!!” Suro Bodong tidak memberi kesempatan
lagi kepada tiruannya. Ketika lawannya hendak bangun,
tendangan beruntun mengenai punggungnya, sehingga
orang itu sempat terpental menabrak tiang besar. Suro
Bodong memainkan jurus-jurus andalan. Tendangan Ayam
Kawin dilancarkan, yaitu gerakan kaki yang menendang
tujuh kali beruntun tanpa sempat ditangkis, dan bergantian
dari kaki kanan ke kaki kiri.
Ketika musuhnya jatuh, Suro Bodong segera men-
cengkeram baju lawan lalu melemparkannya keluar. Ia
sengaja mendesak agar Suro Bodong palsu keluar dari
Dalem Kadipaten dan berlarian di alun-alun. Ternyata
harapannya itu terkabul juga. Lawannya lari ke luar, dan
Suro Bodong segera mengejarnya sampai alun-alun. Ketika
mereka berdua sudah berada di alun-alun, para prajurit
segera menjalankan rencana yang sudah ditentukan
sebelumnya. Mereka mengepung alun-alun dengan berisan
rapat. Sebagian prajurit lainnya memanggil para penduduk
dengan berteriak di atas punggung kuda yang melaju ke
mana-mana,
“Suro Bodong telah tertangkap…! Suro Bodong
tertangkap….! Hukuman akan dijatuhkan kepadanya hari
ini…!”
Kontan penduduk yang sudah merindukan kebencian
terhadap Suro Bodong segera berkumpul berlari-larian ke
alun-alun. Segala kegiatan ditinggal hanya untuk menonton
Suro Bodong disiksa.
Tetapi ternyata mereka terbengong. Setiap orang pasti
berkata, “Hahh…?! Kok ada dua Suro Bodong?!”
Sementara Suro Bodong asli sedang bertarung dengan
yang palsu. Wijaya dan Rahuto diminta memberi
penjelasan kepada masyarakat, “Yang memakai baju
merah itu adalah Suro Bodong yang membunuh keluarga
kalian, sedangkan yang tidak mengenakan baju itu adlaah
Suro Bodong yang kita siksa dulu. Sekarang dia ingin
membuktikan bahwa dirinya bukan Suro Bodong yang kita
cari…! Perhatikan saja mereka!” Kalimat itu diucapkan
berkali-kali oleh Rahuto dan Wijaya.
Melihat lawannya mencabut pedang, Suro Bodong mulai
berpikir bahwa lawan akan memainkan jurus pedang maut
yang mampu menghancurkan sebuah pohon. Kalau pun
Suro bisa menghindari, maka kilatan cahaya yang
menyerupai bentuk pedang itu akan melesat terus dan
mengenai penduduk atau siapa saja yang ada di belakang
Suro Bodong. karena tidak ingin terjadi korban lain, maka
Suro Bodong pun segera meraba tangan kirinya. Sampai di
pergelangan tangan kiri, ia menghentakkan tangan kanan,
seperti mencabut sesuatu, dan tahu-tahu tangan kanannya
memegang sebuah pedang.
Orang-orang, bahkan Adipati dan Puji Wardani sendiri
sampai terbengong keheranan. Pedang itu seperti dicabut
dari pergelangan tangan, padahal sejak tadi mereka
melihat Suro Bodong tidak membawa senjata. Kini, tahu-
tahu Suro Bodong yang asli sudah menggenggam sebuah
pedang yang memancarkan sinar ungu berpijar-pijar.
Sangat indah dan mengagumkan siapa saja. Mereka tidak
tahu, itulah pusaka Suro Bodong yang bernama Pedang
Urat Petir.
“Hiaaaat…!” lawan Suro Bodong menebaskan
pedangnya ke arah perut Suro. Tapi dengan ringan
ditangkis memakai pedang Urat Petir. Lalu, dalam saat itu,
kaki Suro Bodong menendang lurus ke depan, dan
mengenai dagu lawannya. Lalu kaki yang habis untuk
menendang itu menapak, kini ganti kaki yang satunya
menendang dengan tendangan memutar belakang. Tepat
mengenai dada lawan hingga orang itu terpental beberapa
langkah ke belakang.
Lawan segera bergegas, ia mulai menggunakan gerak-
gerak pedang yang tadinya di tangan kiri, kini dilemparkan
ke tangan kanan. Lalu, kedua tangan menjadi satu
memegangi gagang pedang. Ini tanda-tanda jurus pedang
maut akan digunakan oleh Suro Bodong palsu.
Pada saat itu, Puji Wardani nekad lagi. Ia menyusul dari
belakang Suro Bodong palsu. Ia memainkan jurus Bidadari
Pagi, meliuk-liuk bagai orang menari, lalu tangannya
seperti membuat sesuatu yang lembut. Pada waktu itu,
lawan sedang menghentakkan kaki untuk yang kedua
kalinya. Puji Wardani merasakan ada suatu getaran yang
memercik lewat jari jemarinya sewaktu ia menggerakkan
tangannya itu, dan tiba-tiba….tubuh lawan terpental bagai
diterjang bagai yang ganas. Ia terguling-guling, dan rakyat
pun bersorak keras, “Hidup Raden Ayu…! Hidup Raden
Ayu…!!”
Tentu saja gerakan dari jurus Bidadari Pagi itu sangat
mengejutkan Suro Bodong. Ia sempat berseru, “Puji…!
Jangan ikut campur…!”
Lawan mengerang, mau bangkit susah, daging tubuhnya
mulai melepuh dan menjadi seperti borok yan gmeretak.
Sekujur tubuh itu menjadi retak-retak bak tanah kering
kekurangan air. Namun, agaknya ia masih bertahan untuk
berdiri dan menyerang. Ia mengangkat pedangnya dengan
lemas. Ia berhasil menempatkan pedangnya dengan kedua
tangan di samping telinga kanan. Lalu kakinya menghentak
ke tanah tiga kali dengan berseru suara serak. Lalu,
melesatlah sinar merah membara berbentuk seperti
pedang itu, keluar dari ujung pedang dan sasarannya
menuju Puji Wardani yang tengah menari-nari
membawakan jurus Gerakan Bidadari Pagi. Suro Bodong
terpaksa melompat ke arah melajunya sinar membara
merah itu, kemudian ia merentangkan pedangnnya ke
depan, dan…. “Duaar…!!” Terjadilah ledakan yang dahsyat
akibat benturan sinar merah membara serupa pedang
dengan sinar Pedang Urat Petir yang berpijar sinar ungu
sejak tadi itu.
Suro Bodong terpental, lawannya juga terpental. Tapi
Puji Wardani selamat. Suro Bodong segera menggunakan
jurus Pedang Jitu. Ia melemparkan pedangnya ke atas
hingga berputar tujuh kali, kemudian menendang pedang
itu ke atah lawan. Maka, Pedang Urat Petir terpecah
menjadi tujuh bagian yang semua bagian melesat ke tubuh
lawan. Tubuh yan gmulai berlumur darah karena retak-
retak oleh jurus Bidadari Pagi itu kini memekik tertahan,
“Aaakhh…!!”
Tiga bagian dari pecahan Pedang Urat Petir menembus
tubuhnya dari depan sampai ke belakang. Lalu, pedang itu
berkumpul lagi menjadi satu dan melesat ke tangan Suro
Bodong. orang-orang menggumam kagum melihat
kesaktian pedang Suro Bodong. Sementara lawannya jatuh
tak berkutik lagi. Jurus Pedang Jitu telah mengakhiri
riwayatnya. Dan tubuh retak-retak yan gmenyerupai Suro
Bodong itu pun mengepulkan asap biru samar-samar.
Lambat laun, tubuh itu berubah bentuk menjadi tubuh
Pragulo yang sebenarnya. Takyat makin menggumam
kagum dan terheran-heran melihat perubahan tersebut.
Suro Bodong memasukkan pedangnya kembali ke
dalam lengan kirinya. Pedang itu disusupkan begitu saja,
seakan disimpan di bawah kulit dan daging tangan kirinya.
Dan bekas masuknya pedang itu sama sekali tidak ada,
sekalipun bekas sebesar jarum.
Rakyat berseru, bersorak kegirangan melihat kematian
orang yang selama ini mereka benci dan mereka takuti.
Mereka menampakkan wajah cerah yang penuh
kegembiraan, terlebih Adipati dan keluarganya.
Puji Wardani berlari menghampiri Suro Bodong dan
segera memeluknya dengan hati girang dan tawa
kebahagiaan. Adipati mendekat dengan istrinya, lalu
mereka bersalaman erat-erat.
“Terima kasih, Suro …! Terima kasih, kau telah
menyelamatkan Kadipaten ini dari ancaman
kehancuran…!”
“Terima kasih itu mudah. Yang sulit adalah menerima
kasih seseorang…!” kata Suro Bodong kepada Adipati, tapi
matanya melirik Puji Wardani. Yang dilirik hanya senyum-
senyum saja seraya bergelayutan di pundak Suro Bodong.
“Apakah ada yang ingin memberikan kasihnya
kepadamu, Suro ?” kata istri Adipati.
“Saya tidak tahu.” Suro menjawab dengan senyum. Tapi
Puji Wardani menyahut dengan tegas dan bernada manja.
“Ada…! Siapa bilang tidak ada?”
“Siapa?” desak Suro Bodong.
“Entah…” jawab Puji Wardani seraya mereka melangkah.
“Hei, aku tadi melihatmu menggunakan jurus Bidadari
Pagi. Dari mana kau peroleh jurus itu, hah?!”
“Dari mencuri jurus yang kau latih di kamar,” Puji
tersenyum-senyum nakal.
“Di kamar? Kau melihatku? Melihat aku melatih jurus
itu?”
Puji Wardani mengangguk sambil tertawa lirih. Ia
berkata, “Cermin hias di kamarmu itu tembus pandang dari
kamarku. Jadi aku tahu apa saja yang kau lakukan di
kamar itu.”
“Sial…!” Suro bersungut-sungut. “Kalau tahu begitu aku
akan melepas pakaian setiap hari jika di kamar!”
“Kan sudah…” Lalu Puji Wardani tertawa mengikik geli
seraya masih bergelayut di pundak Suro Bodong, Senopati
Praja!
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar