..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 20 Desember 2024

SURO BODONG EPISODE ADIPATI BUKIT SEKARAT

Adipati Bukit Sekarat

 ADIPATI BUKIT SEKARAT

Oleh Barata

© Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit


SATU


Dengan lompatan yang cukup ringan, perempuan bergelang

kaki emas itu melayang di udara. Gerakannya seperti seekor camar

menghantam ombak. Kakinya menjejak ke bawah dengan kedua

tangan direntangkan. Tangan kanannya masih memegangi sebatang

bambu kecil warna hitam kehijau-hijauan. Batu sebesar kelingking

berukuran tiga jengkal itu mengibas ke arah lelaki berikat kepala ku-

ning.

"Wees...!" Kibasan batu kecil melesat, nyaris merobek mata

lelaki berikat kepala kuning. Kalau saja ia tidak menunduk, maka

matanya pasti terkena tebasan bambu kecil. Sayang sewaktu ia

menunduk, ia tak sadar kalau gerakannya sangat dinanti-nanti oleh

perempuan bergelang kaki emas. Maka, begitu kepala menunduk,

kaki perempuan itu menendang bagai sedang menjejak bumi. Gerak-

annya sangat cepat. Kepala lelaki itu tersentak ke tanah dengan kuat.

"Aaauh...! Bangsat kau... uuh...!!"

Lelaki itu berguling-guling di tanah dengan mengerang

kesakitan. Perempuan bergelang kaki emas sebesar lidi itu segera

menyusul. Ia turun ke tanah dan menghentakkan kaki kirinya

dengan tendangan telapak samping.

"Hiaaaaatt...!!"

"Tabb...!" Kaki itu ditangkap oleh lawannya. Dipelintir ke

kiri dengan kedua tangan. Perempuan itu menggeram ganas.

Pegangan kedua tangan yang kokoh itu dimanfaatkan oleh

perempuan itu untuk bertumpu, dan melompat dengan kaki kanan

yang bebas itu segera menendang leher lawannya.

"Eegkkrr...!" Lelaki itu menggelepar seperti kambing

disembelih. Kedua tangannya yang semula hendak memelintir kaki

perempuan itu segera dilepaskan dan berganti memegangi lehernya

sendiri. Ia ingin berteriak, tetapi tenggorokannya bagai pecah dan

menyekat di pernafasan. Mata lelaki itu mendelik dengan tubuh

kaku. Perempuan lawannya segera merampungkan tugas. Batu kecil

itu dimasukkan ke dalam mulut, dan ia meniupkan sesuatu dengan

hentakan nafas keras. Lalu, dari bambu itu melesatlah semacam

paku berwarna hitam. Paku itu melesat dengan kecepatan tinggi,


dan tepat mengenai pelipis lelaki itu. Paku tersebut bagaikan

menembus gedebong pisang.

"Juug...!"

Terbenam masuk seluruhnya ke dalam kepala lelaki berikat

kuning dan bercelana merah dengan rompinya merah pula.

Tubuh yang sudah kemasukan paku hitam itu semakin

mengejang dan lama-lama menjadi berasap, kemudian asapnya

semakin tebal. Perempuan itu berdiri tersenyum dengan bertolak

pinggang. Ia kelihatan puas sekali. Apalagi sekarang lelaki itu

tubuhnya menjadi kian menghitam, dan lama-lama menjadi hangus

sekujur tubuh. Perempuan bergaun hijau muda itu semakin

menampakkan kepuasannya lewat senyuman yang membisu.

"Prajurit kelas teri mau coba-coba menangkap Dayang

Kunti? Hemm...! Lebih baik menangkap nyamuk daripada

menangkap aku!" kata perempuan itu di depan bangkai lawannya.

Ia mengibaskan rambutnya yang meriap ke dada. Ia bermaksud

hendak meninggalkan prajurit yang sudah menjadi mayat itu. Tetapi

langkah kakinya terhenti, ia melihat sosok lain berjalan di kejauhan.

"Membuang-buang tenaga saja...! Temannya itu harus segera

kubinasakan juga!" geram Dayang Kunti yang segera melesat ke

tempat persembunyian. Dayang Kunti tidak tahu kalau yang sedang

melangkah itu adalah Suro Bodong yang sedang dalam perjalanan

pulang ke Kesultanan Praja.

Dengan baju merah yang tak dikancingkan itu, Suro Bodong

terhenti memandang sosok mayat yang menjadi hangus, ia garuk-

garuk kumisnya yang tebal seraya menggumam,

"Pasti baru saja terjadi pertempuran sengit. Baru saja.

Ketahuan kalau masih ngepul, masih hangat-hangatnya. Hemm...

sayang dia mayat yang hangat, bukan jagung bakar kesukaanku...!"

Suro Bodong melangkah pelan mengitari mayat hangus

yang masih mengepul asap itu. Ia mengamat-amati dengan cermat.

"Siapa orang malang ini? Mengapa ia sampai terkena

pukulan yang cukup hebat? Badannya menjadi hangus, tetapi

pakaiannya masih utuh. Gila...! Siapa orang yang melakukan

penghangusan ini...."

Selagi Suro Bodong berkecamuk sendiri dengan suara mirip

sebarisan gerutu, tiba-tiba tubuhnya mengejang kaget. Ia merasa ada

yang membidikkan peluru kecil ke lehernya. Ia segera meraba


lehernya itu sambil menyeringai kesakitan, kemudian mencabut

paku yang menancap di leher. Jarum atau paku itu berwarna merah,

dan segera menjadi lumer setelah berada di tangan Suro Bodong

beberapa saat.

Dayang Kunti telah menembakkan jarum merah itu melalui

sumpit atau tulup bambu kecil yang menjadi senjata andalannya.

Penggunaannya cukup singkat dan cepat. Ia meniup bambu kecil

berlobang dengan hentakan nafas kuat, dan meluncurlah dari

mulutnya jarum tersebut yang merupakan sebentuk tenaga dalam

yang telah dibekukan.

Ketika jarum merah menghunjam di leher Suro, dan kini

telah dicabut, lalu berubah menjadi lembek, bahkan lama-lama bagai

diserap angin dan habis begitu saja, Dayang Kunti menampakkan

diri dengan tersenyum sinis. Suro Bodong menggeram. Masih

memegangi leher yang terkena jarum merah itu.

"Siapa kau...? Mengapa menyerangku dengan sumpit itu?"

suara Suro makin melemah.

"Aku Dayang Kunti, yang akan menghabisi orang-orangmu

seluruh Kadipaten Damardita ini, tahu?! Sampaikan salamku kepada

Adipatimu yang bergelar Anom Winingrat itu!"

Kepala Suro pusing. Pandangannya mulai kabur. Tapi ia

sempat berkata kepada Dayang Kunti:

"Adipati Anom Winingrat itu siapa?"

Dayang Kunti tertawa mengikik. Tubuhnya yang ramping

dan berdada busung itu bergerak-gerak karena tawa.

"Kau tidak perlu berlagak bingung, sekalipun kau nanti

akan menjadi orang yang paling bodoh! Yang penting sampaikan

pesanku ini, tahu?!"

Seperti orang kehilangan daya pikir, Suro mengangguk dan

menjawab, "Tahu...."

"Dan katakan kepada Anom Winingrat, bahwa orang

terakhir yang mati di Kadipaten ini adalah dia sendiri! Jelas?!"

"Jelas...."

"Aku akan menyiksanya dari jiwa sampai ke raganya!"

"Raga...."

Suro Bodong duduk di atas batang kayu yang tumbang

sudah lama. Ia ikut menyeringai geli ketika Dayang Kunti tertawa

penuh kepuasan.


"Nah, selamat menjadi orang terbodoh di dunia!"

"Selamat..." jawab Suro Bodong menyeringai dengan mata

sayu bagai kurang vitamin.

Pandangan mata yang kabur sudah kembali normal. Kepala

yang pusing juga sudah menjadi sehat. Hanya saja, Suro Bodong

menjadi serba bingung dan tak dapat berpikir dengan baik.

Rupanya, itulah khasiat jarum merah yang menancap di leher Suro

Bodong, yaitu dapat membuat orang menjadi bodoh dan linglung.

Racun jarum yang tercipta dari gumpalan tenaga dalam yang

didapatkan itu telah menyerang syaraf otak dan mengacaukan jalan

kerja otak manusia yang terkena jarum tersebut. Berbeda dengan

jarum hitam yang tadi untuk menyerang prajurit berpakaian serba

merah. Ternyata jarum hitam berfungsi untuk membakar tubuh

manusia dengan tanpa merusakkan pakaian orang tersebut. Itulah

salah satu kelebihan Dayang Kunti, perempuan cantik berilmu

tinggi. Sayang ia telah menancapkan jarum merahnya ke leher Suro

Bodong, sehingga Suro sulit mengingat-ingat kecantikan perempuan

bergelang kaki emas itu.

Sampai beberapa lama Suro Bodong hanya duduk

terbengong di alas batang kayu besar itu. Matanya sesekali

memandang mayat yang menghitam bagai sebongkah arang di

depannya. Bahkan ketika dua prajurit berpakaian sama dengan

mayat menghangus itu datang, Suro Bodong masih diam di

tempatnya. Dua prajurit itu mengendarai kuda dengan gagah.

Mereka bersenjata pedang di punggung. Bentuk pedangnya juga

sama persis. Hanya saja yang satu bertubuh sedikit gemuk dan yang

satu lagi kurus, namun kelihatan ulet. Alot. Yang kurus itu

mempunyai kumis hampir setebal kumis Suro Bodong, karena itu ia

dikenal dengan panggilan: Waduk Kumis. Sedangkan yang satunya

dikenal dengan panggilan Kebo Botak, karena di samping badannya

yang sedikit gemuk itu, juga kepalanya botak bagian tengah. Sisa

rambutnya hanya di bagian pinggiran kepala, merawis seperti

hiasan janur pesta perkawinan.

Mereka terkejut ketika melihat temannya mati dalam

keadaan hitam hangus. Darah mereka mendidih dan nafas mereka

sedikit sesak dihela. Keduanya sama-sama turun dari punggung

kuda, dan memeriksa keadaan temannya.

"Jelas ini mayat Wiruna...! Mayat Wiruna, Waduk Kumis!"


"Ya. Dan... rupanya bangsat kumal itu yang telah

membunuh teman kita!" geram Waduk Kumis. Ia memandang Suro

Bodong dengan mata melotot garang.

Suro Bodong yang dipandang hanya diam saja. Matanya

sedikit sayu dan membelok. Mulutnya ternganga bengong seakan

tidak tahu-menahu soal kematian dan kemarahan mereka. Ketika

Waduk Kumis mendekatinya dan langsung membentak dengan

kasar:

"Siapa kau?! Mengapa kau bunuh temanku, hah?!"

Suro Bodong yang telah menjadi bego akibat pengaruh

racun jarum merah itu hanya menyeringai. Nyengir.

"Plaak...!"

Waduk Kumis menampar pipi Suro dengan keras. Suro

Bodong memekik kesakitan, kemudian bersungut-sungut, cemberut

seraya berkata:

"Orang tidak kenal kok ditampar...!"

Tak ada lagi keperkasaan pada Suro Bodong. Tak ada lagi

kehebatan padanya. Ia lebih menyerupai orang tolol yang terganggu

kesehatan otaknya. Bego. Malahan Kebo Botak mengatakan:

"Dia orang gila! Mungkin terlalu banyak ilmu sehingga ia

menjadi bego seperti itu. Dan... jelas dialah yang membunuh

Wiruna, teman kita ini!"

"Hiaaat...! Hahh...!!" Waduk Kumis semakin terbakar

hatinya, dan ia menendang Suro Bodong tepat di bagian dada.

Suro Bodong terpental ke belakang. Karena tendangan itu

cukup kuat. Ia terbatuk-batuk dalam posisi merangkak kesakitan

memegangi dadanya.

"Kau harus menebus kematian teman kami dengan siksaan

terlebih dulu. Heaaaat...!!"

"Aaaoow...!!"

Suro Bodong menjerit karena pinggang belakang digencet

dengan kaki Kebo Botak. Sekalipun tubuh Suro besar walau tidak

berarti gemuk atau gendut, namun tubuh itu seharusnya cukup

tahan menerima hentakan kaki sebesar kaki Kebo Botak itu.

Nyatanya kali ini Suro Bodong hanya bisa menyeringai kesakitan

sambil mengaduh-aduh, sebab pinggangnya terasa mau patah.

"Kenapa kau bunuh temanku? Kenapa, hah...?!!" Waduk

Kumis segera mencengkeram rambut Suro Bodong yang panjang


sepundak dan diikat kain merah itu sambil berteriak di depan wajah

Suro.

Suro Bodong hanya menyeringai kesakitan, belum bisa

menjawab. Waduk Kumis berteriak lagi:

" Mengapa temanku kau bunuh sampai mati hangus

begitu?! Jawab...! Jawab!"

"Ampuun... saya tidak menyuruh dia mati hangus...!" Suro

merengek seperti anak kemarin sore. Rambutnya dicengkeram

dengan kedua tangan oleh Waduk Kumis yang benar-benar marah

itu. Karena kemarahannya itu, maka dengan kasar dan keras ia

menghentakkan rambut Suro ke depan, kepalanya sengaja

dibenturkan ke kepala Suro Bodong dengan kuat.

"Prook...!"

"Wadoow...!! Sakit, Paaak...!!" Suro menjerit kesakitan.

Lalu dengan kesal sekali ditamparnya wajah Suro,

ditonjoknya ke belakang dan terpentallah Suro Bodong dalam posisi

jatuh terlentang. Suro bagai mengerang dan mengaduh-aduh sambil

menangis.

Kebo Botak segera mencekik leher Suro dengan salah satu

sisi samping telapak kakinya. Dan pedang di punggung pun

dicabutnya. "Street...!" Ujung pedang diarahkan ke tepian mata Suro

Bodong, siap untuk merobek kedua biji mata Suro Bodong.

"Kau harus menebus kematian Wiruna dengan siksaan ini!"

"Sa... saya... bukan pembunuhnya..." Suro Bodong mencoba

bicara dengan sukar karena lehernya diinjak Kebo Botak.

"Lalu siapa kalau bukan kau, hah?!" bentak Waduk Kumis

yang juga segera menghunus pedangnya.

"Or... orang... uuh...!" Suro Bodong tersendak, dan sulit

bicara. Kemudian, Waduk Kumis memberi isyarat dengan

pandangan mata agar Kebo Botak melepaskan kakinya.

Kaki itu ditarik dari leher Suro, namun ujung pedang masih

siap di tepian mata Suro. Siap untuk merobeknya.

"Katakan, siapa yang membunuh temanku kalau bukan

kau?!" bentak Waduk Kumis.

"Orang... itu..." Suro menuding ke arah tempat

menghilangnya Dayang Kunti. Ia terkesan bego dan menjengkelkan.

"Orang mana?! Di sana tidak ada orang?!!" bentak Kebo

Botak.


"Dia... dia tadi lari ke sana, Eyang…!" jawab Suro Bodong

dengan panggilan ngacau tak karuan.

"Bohong!"

"Sunm.. sumpah...! Demi... demikian... pengakuan saya...."

Waduk Kumis dengan Kebo Botak saling berpandangan.

Lalu Waduk Kumis bertanya dengan tubuh merendah, namun ujung

pedangnya kini menempel tepat di dada, depan jantung Suro. Sekali

hentak pedang itu, Suro akan mati. Jantungnya jebol dan tentu akan

sulit ditambal.

"Hati-hati kau bicara dengan kami, ya?"

"Sud... sudah... sudah, Eyang...!" Suro bergaya sopan.

Kedua prajurit itu saling pandang sebentar, lalu Kebo Botak

bertanya dengan sikap tetap tak ramah:

"Kau tahu ciri-cirinya?!"

Suro tak berani menggeleng, sebab kalau menggelengkan

kepala maka ujung pedang Kebo Botak akan menggores mata.

Akhirnya ia hanya menjawab:

"Sedikit-sedikit saja...!"

"Sedikit-sedikit bagaimana? Yang jelas!!" bentak Kebo Botak

dengan kasar.

"Saya... saya hanya tahu... dia itu seorang perempuan.

Perempuan sekali, Eyang!" jawab Suro.

Waduk Kumis terperanjat tipis, lalu memandang Kebo

Botak yang masih berdiri dengan mengacungkan pedangnya.

Waduk Kumis kembali memandang Suro Bodong yang masih

telentang.

"Siapa nama perempuan itu...?!"

Suro Bodong diam beberapa saat dengan dahi berkerut,

seakan sedang mengingat-ingat. Tetapi Waduk Kumis tidak sabar

dan segera membentaknya:

"Siapa namanya, Tolol!"

"Bukan. Bukan Tolol namanya," jawab Suro dengan mantap.

"Seingat saya... hehmmm.. namanyaaaa..." Suro diam lagi. Kedua

prajurit berseragam merah itu semakin jengkel. Hampir saja Kebo

Botak mengibaskan pedangnya dan ujung pedang itu merobek mata

Suro Bodong. Tetapi, Waduk Kumis menggeleng, pertanda Kebo

Botak diminta sabar sebentar.

"Cepat sebutkan!!" teriak Kebo Botak dengan keras.


"Anu... namanya.... Dayang..."

"Dayang...?!" Waduk Kumis bagai menggumam sambil

menatap temannya. Keduanya kelihatan tegang dan cemas.

"Benar," kata Suro. "Namanya Dayang... Dayang Kuntilanak

apa Dayang Kunta Kunti... saya kurang jelas. Eyang."

Keduanya menjauhi Suro. Keduanya berembuk di samping

mayat Wiruna. Waduk tertegun memandang mayat Wiruna. Saat

itu, Suro Bodong berdiri dengan seringai kesakitan di pinggang. Ia

mendengar Kebo berseru mengancamnya:

"Hei, mau lari ke mana kau?!"

"Tidak. Saya tidak lari. Kalau saya mau lari, saya beritahu

dulu kok...!" kata Suro yang menjadi bego itu.

Suro berdiri dengan bersandar pada sebuah pohon, seakan

ia justru menunggu kedua prajurit itu saling berembuk. Ia tak tahu

kalau Waduk Kumis yang kurus, alot itu berkata:

"Pasti yang dimaksud orang gila itu; Dayang Kunti!"

"Rasa-rasanya tak mungkin, Mis. Dayang Kunti sudah kita

kuburkan setelah ia tewas bertarung melawan Ki Ageng Bentaran,

satu bulan yang lalu!"

"Tapi menurut keterangan orang gila itu...."

"Ah, dia hanya orang gila! Mana bisa bicara dengan benar.

Aku masih curiga, jangan-jangan memang dia yang membunuh

teman kita; Wiruna itu."

"Bisa jadi begitu. Tetapi, dari mana dia tahu kalau ada

perempuan yang bernama Dayang Kunti, sekali pun ia tadi

menyebutnya salah."

Kebo Botak terbungkam beberapa saat. Sesekali ia melirik

Suro Bodong yang bagai penuh kesetiaan menunggu mereka selesai

berembuk. Sedangkan Suro Bodong saat itu sedang mengusap-usap

pinggangnya, sesekali garuk-garuk kumis, dan sesekali juga meng-

usap keningnya yang memar akibat adu kepala dengan Waduk

Kumis tadi.

"Kalau begitu, persoalan ini perlu kita laporkan kepada

Kanjeng Adipati," kata Waduk Kumis.

"Bagaimana dengan orang gila itu?!"

"Bawa saja dia, sebagai saksi. Supaya orang percaya bahwa

Dayang Kunti masih bisa mengganas...!"


"Aku khawatir kalau-kalau yang melakukan hal ini adalah

murid Dayang Kunti. Murid perempuannya."

"Pokoknya kita laporkan saja dulu kepada Kanjeng Adipati,

dan kita kemukakan kekhawatiran kita apapun, nanti biar Kanjeng

sendiri yang mengambil kesimpulan."

Kebo Botak segera menemui Suro dan mencengkeram baju

merah Suro yang tak pernah dikancingkan itu, sehingga menampak-

kan bentuk perutnya yang sedikit besar, tapi bukan membuncit.

"Kau bohong, ya? Kau menyebutkan nama pembunuh

dengan karanganmu sendiri! Iya, kan?!"

Gagap juga Suro diancam seperti itu. "Sungguh... sumpah

apa saja saya mau...! Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada mayat

teman Eyang itu...."

"Bawa dia. Kebo...!" teriak Waduk Kumis setelah

mengangkat mayat Wiruna dengan hati-hati, dan meletakkan ke atas

punggung kuda.

"Kau harus ikut menghadap Kanjeng Adipati untuk menjadi

saksi, kalau memang benar Dayang Kunti yang membunuh teman

kami itu!! kata Kebo Botak sambil menyeret Suro.

"Ba...baik... baik saya berani bersumpah di hadapan raja...

asal tunjukkan yang mana rajanya nanti...!" celoteh Suro itu tidak

dihiraukan. Ia diikat tangannya memakai tali, kemudian Kebo Botak

naik ke punggung kuda sambil memegangi ujung tali yang dipakai

mengikat tangan Suro.

Kuda dipacu agak kencang. Kalau Suro tidak berlari ia akan

terseret-seret kuda. Jadi, mau tidak mau ia harus berlari

mengimbangi langkah kaki kuda. Kalau saja Suro Bodong saat itu

tidak menjadi korban jarum merah dari sumpit Dayang Kunti, sudah

tentu ia tidak akan mau disuruh berlari-lari mengimbangi langkah

kaki kuda. Ia akan menarik tali itu hingga Kebo Botak jatuh dan

mendapat hajaran dari Suro Bodong. Tetapi jangankan menarik tali

dalam satu hentakan, berpikir ke situ pun Suro tidak bisa. Jarum

merah yang menancap di lehernya telah membuat Suro menjadi

orang bego. Tolol dan gila. Ia menjadi serba bingung. Ia tak ingat

bahwa dirinya adalah seorang Senopati yang cukup digdaya. Ia

tidak ingat kalau ia mempunyai beberapa ilmu yang handal, yang

dapat dengan mudah menghancurleburkan kedua prajurit garang

itu. Bahkan ia tak ingat kalau dirinya sudah bergelar Pendekar 7


Keliling, yang berarti ia dapat merubah ujudnya menjadi 7 rupa apa-

bila ia bersalto di udara 7 kali.

Namun, justru sikapnya yang bego dan sinting itulah yang

membuat ia selamat, tak jadi dibunuh. Hanya menjadi tawanan yang

akan memberi kesaksian tentang kematian seorang prajurit

Kadipaten Damardita. Sayangnya, orang-orang Kadipaten

Damardita belum tentu percaya kalau kematian prajurit Wiruna itu

akibat ulah Dayang Kunti, sebab mereka melihat sendiri kematian

Dayang Kunti waktu bertarung melawan Ki Ageng Bentaran.

Bahkan banyak yang menyaksikan penguburan Dayang Kunti di

kaki Bukit Sekarat.

Repotnya lagi, ternyata Ki Ageng Bentara tahu siapa Suro

Bodong. Ketika Suro dihadapkan ke paseban, Ki Ageng Bentaran

berkata kepada Adipati Anom Winingrat:

"Saya tahu persis siapa orang ini. Kanjeng."

Adipati Anom Winingrat yang usianya masih cukup muda

untuk ukuran seorang Adipati, segera berkerut dahi sambil meman-

dang Suro Bodong. Ia memperhatikan Suro Bodong beberapa saat.

Lalu, ia bertanya kepada Ki Ageng Bentaran dengan tanpa mem-

andang yang diajak bicara:

"Siapa orang ini, Ki Ageng?!"

"Namanya Suro Bodong. Seorang Senopati digdaya, sakti

mandraguna dari Kesultanan Praja. Ilmunya cukup tinggi, dan

bahkan dialah yang berhasil membunuh Jagal Iblis, juga dia pula

yang berhasil menguasai ilmu Sempurna Jati dari anak bidadari

yang berkuasa di Bukit Maya..." (ada dalam kisah: JERIT DIPUCUK

REMBULAN).

Kemudian, Tamtama Agung Gembong Wilwo, yang

menjadi panglima perang Kadipaten Damardita, segera meminta

izin untuk bicara.

"Menurut saya, bisa jadi Suro Bodong inilah orang yang

membunuh prajurit Wiruna. Dia menjadi sinting, menjadi, linglung

seperti ini karena dia kebanyakan ilmu! Bisa saja ia habis

membunuh, lalu lupa siapa yang dibunuh dan apa yang dikerjakan."

"Kurasa juga begitu," Ki Ageng Bentaran yang menyahut.

Adipati Anom Winingrat menggumam lirih tanpa manggut-

manggut. Matanya menghunjam tajam ke arah Suro Bodong yang

kali ini duduk bersila di hadapan seorang Adipati. Hanya saja, Suro


Bodong tidak mau menunduk dengan rasa takut, melainkan justru

memandang ke sana sini, seakan mengagumi kemewahan ruang

paseban itu. Seolah-olah ia tidak merasa kalau sedang dibicarakan

oleh mereka-mereka.

Ki Ageng Bentaran bicara lagi dengan gayanya yang

wibawa, menampakkan sosok seorang pengawal pribadi sekaligus

seorang penasehat Adipati.

"Ada baiknya kalau orang ini diuji kemampuan otaknya.

Hal ini untuk menentukan apakah dia benar-benar sinting atau

berpura-pura sinting."

"Apa itu perlu?!" sahut Cocak Soga. Dia adalah seorang yang

menjabat sebagai kepala mata-mata untuk menyelidiki daerah

lawan. Istilah sekarangnya: Kepala Intel, atau Komandan Reserse.

Cocak Soga berkata lagi:

"Menurut saya, kematian yang dialami prajurit Wiruna,

adalah kematian yang sama dialami oleh dua prajurit kita beberapa

waktu yang lalu, ketika mereka mencoba menangkap Dayang Kunti;

yaitu kematian hangus. Keadaan mayat Wiruna, persis dengan

mayat kedua prajurit yang dulu pernah melawan Dayang Kunti;

tubuh hangus, tetapi pakaian tidak ikut terbakar."

Semua tertegun. Cocak Soga memperhatikan satu persatu

wajah orang yang hadir dalam paseban tersebut. Adipati Anom

termenung, menyimak betul pendapat Cocak Soga. Sementara itu,

Suro Bodong masih duduk bersila dengan tampang linglung; sorot

mata sayu melebar dan mulut melongo. Suro Bodong masih

memperhatikan hal-hal yang dianggap aneh dan indah di ruang

paseban tersebut.

Setelah beberapa saat bungkam, Cocak Soga segera

melanjutkan kata-katanya, sebab ia tahu mereka menunggu

kelanjutan pendapatnya.

"Saya cenderung untuk mengatakan, bahwa kematian

prajurit Wiruna adalah akibat pertarungan dengan Dayang Kunti.

Jelas ia terkena pukulan atau tendangan yang dilancarkan oleh

Dayang Kunti."

Ki Ageng Bentara menyahut:

"Dayang Kunti sudah mati. Mayatnya sudah kita kubur di

kaki Bukit Sekarat. Bahkan banyak rakyat Kadipaten yang ikut

menyaksikan penguburan tersebut."


Adipati Anom Winingrat segera berkata dengan kecemasan

yang disembunyikan di balik ketenangannya.

"Apakah ada yang mempunyai kemungkinan bahwa

Dayang Kunti bangkit lagi dari kuburnya? "

Beberapa orang menggumam satu dengan yang lainnya.

Kemudian Gembong Wilwo mengajukan usul:

"Sebaiknya kita bongkar saja kuburan itu untuk

membuktikan apakah Dayang Kunti jasadnya masih dikubur atau

sudah hilang. Orang ini, Suro Bodong ini yang kita suruh

menggalinya. Bagaimana?"

Suro Bodong mulai melirik Gembong Wilwo dengan cemas.


DUA


Bukan hanya orang-orang Kadipaten yang ingin melihat

penggalian kembali kuburan Dayang Kunti, melainkan masyarakat

umum pun ingin menyaksikannya. Karena, bagaimanapun juga hal

itu dirahasiakan, namun kemunculan Dayang Kunti sudah

menyebar ke mana-mana dan membuat rakyat bertanya-tanya, be-

narkah Dayang Kunti bangkit kembali?

"Cepat, gali!" perintah Kebo Botak kepada Suro Bodong

yang ikut dibawa-bawa dalam persoalan penggalian kubur Dayang

Kunti.

"Saya takut, Eyang..." kata Suro Bodong yang tidak mau

segera memegang alat penggali; skop dan cangkul.

"Buuk...!" Kebo Botak menghantam perut Suro Bodong

dengan tangan kirinya. Pukulan itu cukup keras. Suro Bodong

nyengir merasakan perutnya mulas mendadak, ia mengerang pelan.

"Kerjakan!" bentak Kebo Botak.

"Saya... saya belum pernah menggali mayat...!" kata Suro

Bodong dengan wajah menyedihkan.

"Persetan!" geram Kebo Botak.

"Apa lagi persetan, juga belum pernah. Eyang," tutur Suro.

Lalu ia terpaksa mengaduh dan berguling-guling karena ditendang

pinggangnya oleh Waduk Kumis. Kepala Suro berdarah akibat

membentur batu. Lukanya tak begitu besar, namun darah yang

mengalir membuat Suro Bodong semakin ketakutan. Pada saat itu,

Tamtama Agung Gembong Wilwo berkata kepada Botak:

"Kau sajalah, Kebo Botak. Kau saja yang menggali, biar

urusan ini tidak bertele-tele!"

Kebo Botak mendengus kesal, namun segera mengangkat

cangkul. Sebelumnya ia sempat menendang Suro Bodong dengan

tendangan samping. Suro yang baru saja akan bangun sudah

terjengkang lagi karena tendangan itu.

"Jangan!" tiba-tiba Ki Ageng Bentaran berseru. "Jangan Kebo

Botak yang menggali. Sebab siapa tahu mayat Dayang Kunti masih

utuh karena kesaktiannya, dan dia tahu-tahu menyerang dari dalam

kubur, bisa-bisa orang kita yang menjadi korban. Biarlah Suro Bo-

dong itu yang menggali. Paksa dia! Supaya kalau ada apa-apa dia

yang menjadi korban."


Suro Bodong menyeringai antara ngeri dan kesakitan.

Waduk Kumis segera meraih baju Suro Bodong dan menyeretnya

seraya berkata:

"Ayo, gali...! Gali kuburan itu! Lekas...!"

"Jangan saya, Eyang... jangan...!" pinta Suro Bodong dengan

menyembah-nyembah. Oh, andai saja orang Kesultanan Praja tahu

Senopatinya diperlakukan seperti itu, sudah tentu Panembahan

Purbadipa akan turun tangan menghajar mereka. Sayang sekali, tak

seorang pun dari Kesultanan Praja yang mengetahui hal itu,

sehingga Suro Bodong terpaksa harus menggali kuburan Dayang

Kunti.

"Kalau kau tak mau, kau yang akan kutanam di tempat

lain!" bentak Waduk Kumis dengan garangnya.

"Ampun, jangan saya yang ditanam...! Jangan saya yang

menggali kuburan orang mati. Saya takut, Eyang... oh, ampunilah

saya...!"

"Tarr...!" Gembong Wilwo melecutkan cambuknya dengan

keras. Cambuk menghantam tubuh Suro Bodong dan Suro pun

menjerit kesakitan. Sekali lagi cambuk itu melecut di dada Suro

Bodong yang terbuka, "Taar...!"

"Aaauuh...!! Ampun...!" Suro Bodong melengking seruannya.

Ia semakin menyembah-nyembah sambil menangis. Ia benar-benar

bego, tidak bisa menegakkan keberanian dan keperkasaannya.

Jarum merah dari Dayang Kunti itu sungguh membuat harga

dirinya jatuh dan sangat jatuh. Tak ada lagi wibawa serta

keberaniannya sebagai seorang tokoh persilatan yang amat ditakuti

lawan.

"Gali kuburan itu, atau kucambuk?!"

Suro Bodong sampai mencium tanah dan memohon-mohon

agar tidak dipaksa untuk menggali dan tidak juga dicambuk.

"Kau yang mengatakan bahwa Dayang Kunti membunuh

prajurit kami, sekarang kau yang harus membuktikannya!" bentak

Gembong Wilwo.

"Benar... Dayang Kunti, tapi... tapi itu menurut

pengakuannya," ujar Suro ketakutan dan menggeragap. "Kalau...

kalau nama aslinya saya tidak sempat bertanya...! Sumpah saya...

saya paling malu berkenalan dengan perempuan yang..."

"Taar...!"


"Aduuh...! Ampunilah saya...! Ampuuu..un...!" Suro Bodong

mengaduh dan tertungging-tungging karena cambuk Gembong Wil-

wo kembali melecut.

"Aku curiga padanya," bisik Ki Ageng Bentaran.

Cocak Soga segera tampil di antara kerumunan Waduk

Kumis, Kebo Botak, Gembong Wilwo dan Ki Ageng Bentaran.

Kedua tangan Cocak Soga segera menggenggam baju Suro Bodong

dan menarik wajah Suro hingga mendekat ke wajahnya. Ia

menggeram:

"Katakan yang sebenarnya; kau melihat Dayang Kunti

membunuh orangku atau hanya tipuanmu belaka, hah?! Katakan?!"

Semakin ketakutan saja Suro Bodong menghadapi Cocak

Soga yang bertubuh kecil, sedikit pendek namun berdarah dingin,

sepertinya tidak mengenal belas kasihan sedikit pun kepada

lawannya. Suro gemetaran. Keringatnya bercampur dengan darah

dari luka di kepala, dan luka-luka akibat cambukan Gembong

Wilwo.

"Katakan...!!" bentak Cocak Soga.

"Ssa... saaya... memang...."

"Memang apa?!!" teriak Coca Soga yang suaranya memang

keras dan tegas.

"Memang... begitulah... adanya!" Suro Bodong makin grogi.

"Plakk...!" Cocak Soga menampar Suro Bodong keras-keras,

hingga dua helai kumis Suro Bodong rontok seketika.

"Ampuuun... Eyang...!" rintih Suro.

"Bicara yang betul kau kalau ingin selamat! Bicara!"

"Memang... yaaah... hmmm... saya… saya berbohong...!"

"Bangsaaat...!!" Waduk Kumis menghantam wajah Suro

dengan ujung kakinya hingga Suro tak sempat memekik lagi.

Suro menjadi bego. Tolol bin bodoh. Hanya karena takut

disuruh menggali kuburan lama, ia mengaku berbohong. Ini

sungguh sangat keterlaluan. Padahal Suro bukan orang penakut.

Suro pemberani, yang tidak pernah kenal ngeri kepada iblis, setan

dan jenis-jenisnya. Tetapi, kali ini Suro Bodong menjadi orang yang

bukan Suro Bodong. Semua kekuatannya, kewibawaannya serta

harga dirinya, sudah tidak dimiliki sama sekali. Yang ada hanya rasa

takut, cepat gugup dan cengeng. Inilah kehebatan racun atau

kekuatan yang ada pada jarum merah milik Dayang Kunti.


"Jadi siapa yang telah membakar hangus temanku, hah?!

Siapa...?!" teriak Kebo Botak dengan marah.

"Did... diid... dia... dia mati sendiri dan... dan hangus

sendiri," jawab Suro mulai tidak masuk akal dan membuat mereka

semakin marah. Jengkel sekali.

Orang-orang yang menunggu saat penggalian dilaksanakan

juga menjadi kesal. Bahkan ada yang melemparkan batu dan menge-

nai Waduk Kumis yang kurus itu.

"Pletak...!" Waduk Kumis segera mengkelap. Matanya

menjadi merah, karena percikan pasir masuk ke matanya yang kiri.

Waduk Kumis hendak mengamuk, tetapi segera ditahan Gembong

Wilwo. Salah seorang penonton ada yang berseru:

"Robek saja mulutnya kalau plin plan!!"

Coca Soga mencabut pedangnya, kemudian menempelkan

ke leher Suro Bodong.

"Katakan dengan jujur; siapa pembunuhnya?! Kalau kau

menjawab dengan ngaco, maka pedang ini pun akan menggores

lehermu dengan ngaco juga! Lekas, katakan; siapa yang membunuh

Wiruna?! Dayang Kunti... atau bukan!?"

"Iyy... iya.." Suro gemetar penuh rasa takut. "Da... yang

Kunti. Tap... tapi… tapi saya kan tidak tahu dan tidak kenal dengan

perempuan yang bernama... itu tadi."

"Berbalik lagi jawabannya!" geram Waduk Kumis.

Adipati Anom Winingrat, yang sejak tadi duduk di tandu

dan dipayungi segera berseru:

"Cocak Soga... gali kuburan itu!"

"Sendiko, Kanjeng!" jawab Cocak Soga dengan tegas.

"Waduk Kumis, Kebo Botak, dan para prajurit seperlunya,

bantu penggalian itu...!"

Perintah tersebut membuat cepatnya kerja mereka. Coba

dari tadi Adipati turun tangan dengan memberikan perintah, sudah

pasti urusan itu akan selesai sejak tadi. Begitu pikir rakyat yang

menunggu penggalian dilaksanakan.

Mereka yang ditugaskan menggali bekerja dengan gesit.

Tidak ada yang malas-malasan. Sementara itu, Suro Bodong dalam

pengawasan dua prajurit bersenjatakan tombak dengan seragam

celana merah tanpa baju, tapi mengenakan kain pada bagian

pinggang sampai paha. Suro Bodong duduk di tanah sambil


menyeringai dan mengerang sesekali, merasakan sakitnya luka di

tubuh dan bekas pukulan serta tendangan mereka. Sedikit pun tak

punya niat bagi Suro untuk melakukan perlawanan. Sedikit pun tak

ada keberanian bagi Suro untuk menentang perlakuan keji yang

dijatuhkan kepada dirinya. Suro Bodong malahan ikut sebagai

penonton terdekat dalam penggalian kuburan Dayang Kunti

tersebut. Gembong Wilwo menggulung cambuknya dan diselipkan

di pinggang, sementara sebatang gagang pedang masih bertengger

di pundaknya.

"Kanjeng...!" teriak seseorang dari dalam kubur, kemudian

orang itu meloncat keluar dengan hentakan kaki bagai terbang ke

atas. Cocak Soga yang berteriak tadi, kemudian segera mendekati

tandu dan berkata:

"Mayat Dayang Kunti... hilang!"

Semua wajah menjadi tegang. Lalu, semua mulut mulai

ricuh dan saling menggumam heran:

"Hilang...?! Hilaang... hilang...?!" Seorang prajurit yang

mengawal Suro Bodong juga berkata kepada temannya, "Kok bisa

hilang, ya?"

"Aneh."

Suro menyahut, "Iya, aneh sekali...?" seakan Suro ikut tegang

dan terheran-heran juga.

Ki Ageng Bentaran berbisik kepada Cocak Soga, "Bawa Suro

Bodong, dan selidiki dia! Pasti ada sangkut pautnya!"

Maka Suro Bodong pun dibawa serta kembali ke Kadipaten.

"Suro Bodong," kata Ki Ageng Bentaran ketika mereka

sudah berada di Dalem Kadipaten. "Kamu terpaksa kami tahan!

Kami tidak perduli kau seorang Senopati negeri lain, tetapi dalam

hal ini, kamu tidak meyakinkan dan patut dicurigai. Karenanya,

kamu harus dipenjara."

"Ya, ya... saya mau!" Suro Bodong bersemangat.

Dasar bego! Di penjara bukan sedih tapi justru Suro tampak

senang. Wajah takutnya sempat sirna sesaat ketika ia digiring ke

penjara yang ada di depan asrama keprajuritan.

"Hei, Suro Bodong...?!" seru salah seorang tawanan di kamar

tahanan. Agaknya ia mengenal Suro Bodong, sekali pun Suro

Bodong tidak mengenal dia.


"Hei..." Suro Bodong membalas sapaan itu dengan senyum

ketololannya.

"Mengapa kamu dipenjarakan di sini, Suro? Apa

kesalahanmu?"

"Aku sendiri tidak tahu, apalagi kamu," jawab Suro. "Tapi

kurasa ini lebih baik."

"Lebih baik, bagaimana?" lelaki kurus tanpa baju dan berikat

kepala kuning kusam itu heran.

"Yah, lebih baik dimasukkan penjara daripada disuruh

menggali kuburan."

Lelaki yang tulang iganya kelihatan menonjol itu semakin

heran. Ia tahu kesaktian Suro Bodong. Ia pernah melihat Suro

Bodong bertarung dengan orang-orang Kerajaan Lesanmitra. Suro

cukup tangguh dan mengagumkan. Tetapi, mengapa sekarang Suro

dijadikan tawanan dan dimasukkan penjara dalam keadaan luka-

luka begitu? Apa salahnya?

"Suro, kau Senopati Kesultanan Praja, bukan?"

"Ta. Tapi... itu kata siapa?" Suro heran. Lelaki itu juga

bertambah heran.

"Kau ini seperti orang linglung saja."

"Cuma seperti, kan? Itu berarti aku bukan orang linglung,

hanya seperti." Suro nyengir, lelaki itu kebingungan. Suro

menyambung kata, "Aku tadi disuruh membongkar kuburan orang

mati. Aku tidak mau, lantas aku dimasukkan penjara. Hebat, ya?!"

"Kuburan siapa?!"

"Kuburannya... hemmm... siapa tadi, ya?" Suro berkerut dahi

dan berpikir beberapa saat. "O, ya... kuburannya seorang perempuan

yang bernama... Dayang... Dayang.., ah, lupa lagi aku jadinya.

Dayang siapa tadi, ya?"

"Dayang Kunti?!"

"Nah, benar! Dayang Kunti!!" Suro bersemangat, namun

lelaki kurus itu terperanjat. Bahkan wajahnya kelihatan tegang

begitu mendengar Suro membenarkan nama Dayang Kunti.

"Kau...? Kau disuruh membongkar kuburan Dayang Kunti?"

"Iya. Kenapa kau ketakutan?"

"Kau tidak tahu siapa itu Dayang Kunti?!"

"Kalau tahu akan kusuruh dia ke mari untuk mengatakan

bahwa dialah yang membunuh prajurit Kadipaten ini."


"Maksudmu, kau tidak kenal Dayang Kunti?"

"Ah, kamu itu ada-ada saja," Suro bersungut-sungut.

"Namanya saja susah kuingat, apalagi mengenalnya. Memangnya,

Dayang Kunti itu siapa?!" Suro Bodong bicara seperti orang blo'on.

Lelaki kurus tanpa baju itu menjadi ragu-ragu; jangan-jangan ia

berhadapan dengan orang yang bukan Suro Bodong: Karenanya, ia

memperhatikan Suro Bodong sampai beberapa saat lamanya, baru

berkata:

"Dayang Kunti itu tokoh dunia persilatan yang baru. Ia

seorang perempuan yang belakangan ini menjadi momok bagi

masyarakat Kadipaten Damardita. Ia membunuh beberapa prajurit

dan orang penting di Damardita. Dan, ia masih menjadi bayangan

menakutkan bagi para punggawa negeri di sini. Kesaktiannya cukup

ampuh. Digdaya. Belum ada pendekar atau jagoan-jagoan Kadipaten

ini yang mampu melawannya. Hanya saja, beberapa Minggu yang

lalu aku mendengar Dayang Kunti katanya sudah dikalahkan oleh

KiAgeng Bentaran, dan dikuburkan. Tapi, mengapa mereka

sekarang mempersoalkan Dayang Kunti lagi, ya?" Orang itu bicara

sendiri. "Apakah Dayang Kunti belum dikalahkan oleh Ki Ageng

Bentaran?"

"Tapi, kenapa aku dipaksa membongkar kuburannya?"

"Lalu...? Lalu, bagaimana?"

Suro Bodong meringis geli. "Akhirnya orang lain yang

disuruh membongkar kuburan itu. Hi, hi, hi...."

"Dan... dan bagaimana hasilnya?"

Suro Bodong semakin mengikik geli, "Kuburan itu... kosong!

Hi, hi, hi,..."

"Kosong?!" orang itu terperanjat kaget dan berdiri tegang.

"Kosong tanpa mayat?!"

"Yah, kalau ada mayatnya namanya bukan kosong, tapi

isi..." ujar Suro Bodong seakan tidak merasa terbengong dengan

mata membelalak dan mulut ternganga sedikit. Ia memandang ke

arah luar kamar penjara melalui teralis besi.

"Pertanda kehancuran bagi Kadipaten ini! Dayang Kunti

akan memusnahkan semua pejabat dan orang penting dalam

pemerintahan ini, bahkan ia akan membumihanguskan Dalem

Kadipaten, termasuk penjara ini. Lalu-lalu itu juga berarti kematian

bagi para tawanan seperti aku."


Karena orang itu bicara sendiri. Suro Bodong baru merasa

heran. Kemudian ia bertanya dengan nada tolol:

"Kok kamu tahu? Sebenarnya kamu siapa? Suaminya

Dayang Kunti, ya?"

"Aku Dandang Kober," kata lelaki kurus bercelana hitam.

"O, pantas... kulitmu hitam seperti pantat dandang nasi."

Kata-kata itu diucapkan dengan serius, seakan Suro benar-

benar terkesan dengan nama Dandang Kober. Di wajahnya tak ada

senyum dan kesan mengejek, sehingga Dandang Kober sendiri tidak

memperdulikan kata-kata itu.

"Aku sebenarnya bukan orang Damardita, aku orang Tebing

Suram. Aku pernah bertemu dengan Dayang Kunti, dan disuruh

menyampaikan pesan tantangan kepada Adipati Anom. Tetapi aku

malah ditangkap, disiksa dan dipenjarakan di sini. Padahal aku

hanya disuruh. Bukan berkomplot dengan Dayang Kunti."

"Ooo… tapi kamu kok bisa kenal aku? Kamu tahu namaku

Suro Bodong segala, padahal aku sendiri lupa siapa namaku. Itu saja

kalau tidak aku sering dipanggil Suro Bodong oleh orang berambut

putih itu, aku tidak tahu kalau namaku Suro Bodong?! Sungguh,

kok!"

"Astaga...! Kenapa kamu bisa begitu, Suro? Padahal aku

pernah melihat kedigdayaanmu dalam bertarung melawan orang-

orang Lesanmitra." (dalam kisah: RACUN MADU MAYAT).

"Aku digdaya?!" Suro Bodong malah merasa heran, lalu

tertawa geli sendiri. "Ah, kamu menyindir aku, ya?"

Dandang Kober ngotot, "Eh, sungguh! Aku tidak bohong!

Kalau kamu tidak digdaya, bagaimana mungkin kamu bisa diangkat

menjadi Senopati Kesultanan Praja?!"

"Senopati? Jadi, pangkatku Senopati? Wah, ketinggian itu.

Kalau memujiku jangan tinggi-tinggi. Kalau tinggi-tinggi takut

kesamber gledek! Takut kesamber petir!" Suro Bodong memonyong-

monyongkan mulutnya.

"Bukankah petir itu sahabatmu?!" kata Dandang Kober.

"Sahabatku? Ih, masa manusia bisa bersahabat dengan petir?

Ah, ngaco kamu," seraya Suro menepak pundak Dandang Kober.

Rupanya Dandang Kober tidak mau kalah debat:

"Memang hanya kamu orang yang bisa bersahabat dengan

petir. Kau sendiri punya pedang pusaka. Kata orang-orang, pedang


pusakamu itu bernama Pedang Urat Petir. Dan kau berjuluk

Pendekar Tujuh Keliling."

Suro semakin heran dan sangsi dengan penjelasan Dandang

Kober. Ia berkata dengan pelan:

"Pedang Urat Petir...? Masa aku punya pedang Urat Petir?

Memangnya, petir itu ada uratnya?!" Suro benar-benar menjadi

bingung tujuh keliling. Ia berpikir dan berpikir terus sampai larut

malam tiada henti-hentinya. Sesekali ia mendengar suara samar-

samar seseorang memanggilnya: Suro Bodong. Sesekali ia juga

teringat nama Pedang Urat Petir. Sesekali ia juga ingat bahwa ia

pernah melompat tinggi dan bisa nangkring di sebuah dahan pohon.

Tapi kapan hal itu terjadi? Mengapa bisa begitu? Benarkah dia itu

sakti? Suro kebingungan dan jenuh sendiri. Ia belum berhasil

mengembalikan jati dirinya sampai malam menjadi hampir pagi.

Sebenarnya Suro Bodong ingin segera tidur, ia lelah

memikirkan penjelasan Dandang Kober. Tetapi, tiba-tiba ia

mendengar suara langkah kaki orang samar-samar. Ia menyem-

patkan mengintip dari pintu penjara yang tidak pernah diberi

pelapis lain kecuali hanya teralis besi. Ia melihat sosok manusia

melangkah dengan mengendap-endap. Wajahnya tidak jelas, karena

ia melalui tempat yang gelap dan remang-remang. Namun arahnya

sudah pasti, menuju asrama keprajuritan.

Ada dua orang prajurit yang keluar karena mungkin

mendengar suara langkah kaki manusia. Kedua prajurit itu tiba-tiba

memekik tertahan:

"Aaghh...!"

Bayangan itu melemparkan sesuatu yang mengenai kedua

prajurit tadi. Lalu kedua prajurit itu rubuh, beberapa saat keluar

asap dari tubuhnya yang tidak mau berkutik-kutik sedikit pun.

Suro Bodong terbengong, matanya memandang kejadian itu.

Lidahnya bagai kelu dan sukar berteriak, karena saat sosok bayang-

an itu melewati tempat terang. Suro melihat jelas bahwa sosok itu

milik seorang perempuan bergaun hijau muda. Perempuan meme-

gang sebatang bambu kira-kira panjang tiga jengkal. Kakinya

memantulkan kilasan sinar ketika melewati tempat terang. Dan Suro

Bodong segera teringat siapa perempuan itu. Dia adalah Dayang

Kunti, yang pernah bertemu dengannya di samping mayat prajurit

Wiruna. Ia ingat samar-samar pesan Dayang Kunti yang minta


disampaikan kepada Adipati Anom Winingrat. Tetapi, ingatan itu

segera hilang, kepalanya menjadi pening. Yang ada hanya

ketegangan. Rasa takut yang kuat.

Dayang Kunti menyelinap di balik tikungan. Suro Bodong

masih belum bisa bicara, a atau i. Bengong saja terpaku. Sampai

akhirnya ia menyaksikan Dayang Kunti menyeret tubuh seseorang

yang sudah tidak berdaya lagi. Tubuh tersebut sengaja diletakkan di

tengah taman, kemudian ia segera melesat pergi. Melompat seperti

belalang cantik, menghilang di balik rimbun dedaunan pohon yang

ada di balik tembok benteng. Baru setelah itu Suro mampu berteriak:

"Maliiiing...! Maliiiing...!! Ada maliiiing...!"

Suasana menjadi gempar, heboh. Semua prajurit keluar dari

asramanya, semua tahanan yang terdiri dari empat orang dalam tiga

kamar juga terbangun, bahkan beberapa orang dapur pun berlarian

keluar sambil membawa pentungan.

"Mana malingnya...? Mana?!" Dandang Kober menggeragap.

Ikut mendekat, memandang ke arah luar dari balik teralis besi.

Orang berlarian kalang kabut ketika Suro Bodong masih berteriak

maling, sedangkan mereka sudah menemukan tiga sosok mayat

yang hangus terbakar.

Seseorang di luar sana berteriak, "Waduk Kumis terbunuh...!

Waduk terbunuh...!!"

Kepanikan semakin menjadi, semua prajurit memeriksa

sekeliling dengan tergagap-gagap. Tamtama Agung Gembong

Wilwo datang menemui ketiga mayat yang hangus terbakar tanpa

merusak pakaian mereka. Kebo Botak berteriak-teriak mencaci maki

sendiri, seakan mengundang pembunuhnya untuk datang

berhadapan dengannya. Di tangannya, juga di tangan beberapa

prajurit lainnya sudah meng genggam senjata masing-masing. Ki

Ageng Bentaran ikut datang memeriksa keadaan korban yang mati

hangus, lalu menggeram sambil menerawang ke angkasa. Sementara

itu, Cocak Soga berdiri tak jauh dari depan penjara, memandang

kerumunan orang yang saling meratapi ketiga mayat, termasuk

mayat Waduk Kumis.

Suro Bodong dari tadi diam terpukau di tempat dalam

keadaan duduk di lantai yang dingin. Dandang Kober sudah

mengajaknya bicara dari tadi, sudah bertanya macam-macam, tetapi


Suro Bodong diam saja. Sepertinya ia amat terpukau melihat

kemunculan Dayang Kunti kembali itu.

Namun, beberapa saat otak gobloknya lelah memaksa ia

bicara dengan lantang:

"Saya tahu siapa yang membunuh...?! Saya tahu jelas!"

Tentu saja semua mata beralih kepada Suro Bodong. Tangan

Dandang Kober buru-buru mendekap mulut Suro Bodong dan

berbisik.

"Jangan katakan apa-apa, tolol! Nanti kamu terlibat!"

Suro Bodong menarik tangan Dandang Kober yang

mendekap mulutnya. Ia pun membantah:

"Aku memang tahu persis kok! Aku dari tadi belum tidur!"

"Iya, tapi mereka bisa mempersulit keadaanmu!"

Suro Bodong bersungut-sungut dalam gerutu tak jelas.

Cocak Soga mendekat, berdiri di depan penjara dengan bertolak

pinggang:

"Siapa yang melakukan kekejian itu, Suro?"

"Dayang... Dayang Kunti, Eyang." Suro menjawab dengan

polos, apa adanya dan bersemangat, walaupun ia tetap menyebut

'eyang' kepada siapa saja yang dianggapnya orang pemerintahan.

"Keluarkan dia dari penjara, dan bawa ke mari!" perintah

Adipati Anom Winingrat begitu mendengar Suro berteriak seperti

tadi.

Suro Bodong segera dihadapkan kepada Adipati, dan ia

justru bercerita berapi-api sebelum ditanya apa-apa.

"Perempuan itu, pasti Dayang Kunti, Eyang!" katanya

kepada Adipati Anom Winingrat. "Saya melihat ia masuk ke taman

dengan mengendap-endap, melewati tempat gelap. Kemudian

menyusuri tepian rumah prajurit. Dan di sana ia sepertinya

melemparkan atau menembakkan sesuatu yang membuat dua

prajurit itu mati terjengkang tanpa permisi. Lalu... lalu saya lihat ia

melintas ke tempat lain, melewati tempat yang terang. Di situlah

saya ingat bahwa perempuan itu yang mengaku bernama Dayang

Kunti. Mengaku kepada saya namanya itu. Tapi entah nama aslinya,

jangan tanyakan kepada saya. Nah, setelah itu... saya melihat dia

menyeret seseorang yang rupanya sudah enggan bernapas karena

mati. Ia menggeletakkan ke tengah taman, lalu pergi. Perginya pakai


melompat segala. Seperti seekor belalang. Dulu saya sering makan

belalang dibakar, rasanya yah.. lumayanlah. Malahan...."

"Cukup!" bentak Gembong Wilwo dengan mata melotot.

Suro melantur dalam memberi laporan, sehingga tidak bisa diterima

dengan meyakinkan. Masih ada kecurigaan terhadap diri Suro,

terlebih Ki Ageng Bentaran mengatakan:

"Kau pun bisa membunuh orang dengan caramu sendiri,

dan bisa menjadikan lawanmu mati hangus, bukan? Kau punya

kesaktian yang bisa menghanguskan lawan, bukan?"

Suro Bodong tersipu-sipu malu.

"Ah, jangan menghina saya begitu. Nanti dikira saya benar-

benar orang sakti lho..."

Ki Ageng dalam hati merasa heran melihat sikap Suro yang

mirip orang bego itu. Namun, selintas dalam benaknya ia

mempunyai kesimpulan sendiri:

"Apakah kematian mereka bukan karena kesaktianmu?" kata

Ki Ageng Bentaran. "Apakah kau tidak bisa berlagak bodoh,

berpura-pura gila, namun sebenarnya kau menyimpan rencana

untuk membantai kami?"

Adipati dan Gembong Wilwo mulai tertarik dengan

kesimpulan Ki Ageng. Terlebih Kebo Botak yang dengan cepat

menendang punggung Suro keras-keras sambil mencaci tak karuan.

"Dia patut dicurigai! Setiap ada kejadian mati hangus, dia

selalu tampil seakan menjadikan dirinya sebagai saksi. Padahal

itulah caranya menutupi kelakuannya!" kata Kebo Botak.


TIGA


Rupanya sebelum Dayang Kunti melancarkan aksi

pembunuhannya kepada ketiga orang termasuk Waduk Kumis itu,

ia telah lebih dulu melakukan sesuatu. Ia menempelkan sebuah

surat di pintu kamar pribadi Adipati yang berisikan kata:

Kalau ingin tentaramu utuh, hadapilah aku. Hanya Anom

Winingrat yang bisa menyelamatkan prajurit-prajuritnya. Pertarungan

kita di puncak Bukit Sekarat. Kutunggu tiga hari sejak terbacanya surat

tantangan ini.

Salam Kematian

Surat itulah yang boleh dikata sebagai Sang Penyelamat diri

Suro Bodong dari tuduhan pembunuhan. Cocak Soga yang pertama

kali berkata:

"Ini tulisan perempuan. Bukan tulisan tangan lelaki!"

"Lalu, apa hubungannya Dayang Kunti dengan Suro

Bodong?" tanya Gembong Wilwo.

"Kurasa tidak ada."

"Kalau tidak ada kenapa Suro Bodong berlagak gila?"

"Aku tidak tahu; apakah itu kebodohan dan gila yang

dibuat-buat atau memang Suro Bodong benar-benar sinting karena

kebanyakan ilmu," jawab Cocak Soga yang membuat Gembong

Wilwo termenung beberapa saat.

Sementara itu, Adipati sedang sibuk dalam ketegangan

bersama Ki Ageng Bentaran dan keempat selirnya. Dari keempat

selir Adipati Anom itu, tidak satu pun yang setuju jika sang Adipati

menuruti tantangan Dayang Kunti.

"Biar saya saja yang maju melawannya," ujar Ki Ageng

Bentaran. "Kanjeng Adipati tidak perlu turun tangan untuk

mengurus nyamuk sekecil Dayang Kunti."

"Tapi ia akan mengamuk jika aku tidak hadir di Bukit

Sekarat itu, dan prajuritku akan habis binasa oleh kekejamannya."

"Sebenarnya apa kemauan Dayang Kunti itu?" tanya selir

pertama yang bukan permaisuri.


"Kalau dia mau harta, berikan saja Kanda," sambung selir

kedua. Selir ketiga diam dalam kesedihan. Dia tidak ikut buka suara.

Tetapi, selir keempat berkata:

"Kerahkan saja semua jagoan di sini supaya Dayang Kunti

bisa cepat-cepat mati, dan tidak bangkit-bangkit lagi."

Semua kata-kata mereka tidak ditanggapi oleh Adipati

Anom. Ia menerawang membayangkan Dayang Kunti dan

kekuatannya. Giginya kelihatan menggeletuk menahan kemarahan.

Ia merasa malu jika tidak berani berhadapan dengan Dayang Kunti.

Apa kata para punggawa negeri jika mereka tahu bahwa Adipati

dalam ketakutan menghadapi tantangan Dayang Kunti.

"Aku harus datang ke puncak Bukit Sekarat," ujarnya

meneguhkan hati.

"Menurut saya, jangan!" sahut Ki Ageng yang berambut

putih namun tidak panjang. Berkumis dan berjenggot, tapi juga

tidak panjang. Jubah birunya dikibaskan ketika ia melangkah, lalu

berbalik kembali menghadap Adipati.

"Kita belum pernah mencoba memanfaatkan Suro Bodong."

Adipati terpana sejenak, seakan baru ingat sesuatu, atau

mempertimbangkan usul Ki Ageng Bentaran. Lalu, beberapa saat

kemudian ia baru berkata:

"Apakah Suro Bodong bisa diandalkan? Dan apakah dia

mau menghadapi Dayang Kunti?"

Selir keempat memberanikan diri ikut campur:

"Suro Bodong gila! Apakah ia bisa melawan Dayang Kunti?"

"Bisa atau tidak, itu urusan dia," jawab Ki Ageng. "Berani

atau tidak, tapi dialah umpan terbaik untuk memancing kelengahan

Dayang Kunti. Nanti, aku yang akan menyerang Dayang Kunti. Aku

bersama Gembong Wilwo yang akan membunuh Dayang Kunti,

Kanjeng! Percayalah kepada kami!"

Ketika hal itu dibicarakan kepada para pejabat yang

bersangkutan, Cocak Soga adalah orang yang tidak setuju dengan

gagasan tersebut.

"Dayang Kunti tidak akan mau melayani Suro Bodong. Yang

dikehendaki hanyalah Kanjeng Adipati."

Adipati Anom Winingrat tertegun sejenak, lalu berkata

bagai sebuah gerutu:


"Sampai sekarang kau dan anak buahmu mengapa belum

bisa menyelidiki tempat persembunyian Dayang Kunti, Cocak?"

"Bukankah Kanjeng Adipati sendiri yang memerintahkan

kami untuk berhenti menyelidiki persembunyian Dayang Kunti,

karena Dayang Kunti terlalu berbahaya dan telah menewaskan dua

anak buah saya?"

"O, ya, ya..." Adipati manggut-manggut.

"Sebaiknya kita bujuk Suro Bodong sekarang juga. Kita

persiapkan segala sesuatunya!" sela Ki Ageng Bentaran.

Tak ada pilihan lain untuk sementara ini. Adipati

memerintahkan prajurit untuk membawa Suro Bodong kepadanya.

Sementara itu, Adipati Anom masih gelisah dan bimbang dengan

rencana Ki Ageng Bentaran. Apalagi Cocak Soga berkata dengan

nada ketus:

"Kurasa Dayang Kunti bukan orang bodoh, ia ingin

berhadapan dengan Adipati Damardita, bukan dengan Suro

Bodong. Dan usaha ini akan menjadi sia-sia belaka."

"Kau tidak tahu rencanaku, Cocak Soga. Sebaiknya kau

jangan mempersulit keadaan ini."

"Rencana apa sebenarnya yang ingin kau jalankan, Ki

Ageng?"

"Mengangkat Suro Bodong menjadi Adipati!"

"Hahh...?!" semua para peserta sidang terperanjat kaget,

seperti ada petir bertengger di telinga mereka. Adipati Anom

Winingrat sempat berdiri dengan wajah tegang.

"Apa maksudmu?!"

Ki Ageng tetap tenang dan menjelaskan maksudnya

sebelum Suro Bodong menghadap.

"Dengan berpura-pura mengangkat Suro Bodong menjadi

Adipati di sini, maka perhatian Dayang Kunti akan berpaling: Suro

Bodong yang menjadi sasaran utama, karena menurut anggapannya,

Suro Bodong Adipati di Kadipaten Damardita ini! Sementara itu,

kita bisa memukul Dayang Kunti dari belakang. Selesai itu, Suro

kembali jadi tawanan. Itu pun kalau dia masih hidup. Atau... kita

lepaskan, atau kita piara untuk dijadikan orang kita, dan... tinggal

melihat bagaimana nanti akhir pertempurannya dengan Dayang

Kunti."


"Kalau sampai Suro Bodong mati?!" Gembong Wilwo ikut

bicara dengan serius.

"Kalau Suro Bodong mati, kabarkan kepada Kesultanan

Praja. Maka orang-orang Kesultanan Praja yang akan bertindak

memburu Dayang Kunti. Kita tinggal menunggu hasilnya saja,"

kilah Ki Ageng Bentaran. Dan hal itu ternyala membuat mereka

manggut-manggut, seakan menyetujui rencana licik Ki Ageng

Bentaran.

Waktu Suro Bodong menghadap, Adipati segera berkata:

"Suro Bodong, bersihkan badanmu, dan makanlah yang

banyak supaya badanmu menjadi sehat, segar bugar."

"Ah, jangan sembrono, Eyang..." ujar Suro Bodong yang

masih menampakkan betul kebodohannya. Ia menyeringai dengan

garuk-garuk kumis dan menengok ke kanan-kiri, di mana para

punggawa negeri lainnya memperhatikan dia.

"Lakukanlah hal itu dengan segera, Suro," kata Ki Ageng

Bentaran.

"Kenapa aku disuruh mandi, Eyang? Kenapa aku juga

disuruh makan yang banyak, Eyang? Bukankah makan dan mandi

itu hanya pekerjaan seorang raja?"

"Benar." Adipati menyahut. "Dan kau akan kuangkat

menjadi Adipati di sini, menggantikan aku."

"Apa...?! Aku mau dijadikan Adipati? Menggantikan Eyang

Dalem?" seraya Suro Bodong tangannya menuding Adipati Anom

dan mukanya membelalak dan menyeringai lucu.

"Apa kau tidak bersedia, Suro?" pancing Gembong Wilwo.

"Siapa bilang?" Suro mulai menampakkan keangkuhan

begonya. "Aku bersedia. Bersedia sekali. Asal... jangan lupa

makanan yang dari kemarin ingin kuperoleh harus tersedia."

"Makanan apa?"

"Jagung bakar, he, he, he...!" Suro Bodong terkekeh dengan

tangan menari-nari. "Kalau ada jagung bakar, saya mau menjadi

Adipati. Tapi kalau tidak ada, ooh... jangan harap saya mau jadi

Adipati. Jadi Suro Bodong pun saya malas... he, he, he...! Dung, dung

plak... dung, dung, plak... jagung bakar bukan rujak..." Suro

menandak sendiri.

Memang berita itu cukup mengejutkan rakyat Kadipaten.

Berita Suro Bodong diangkat menjadi Adipati mengakibatkan kehe


bohan yang selalu bergema sepanjang hari. Dan justru kehebohan ini

yang diharapkan oleh Ki Ageng Bentaran, yang tergolong orang ahli

dalam strategi perang licik-licikan. Hampir setiap mulut

mengatakan, "Orang gila kok malah dijadikan Adipati. Apa tidak

keder itu orang-orang atas?" Adipati Anom Winingrat sendiri

sempat malu dan gelisah menghadapi gemuruh massa. Tetapi, Ki

Ageng selalu menenangkan Adipati Anom, dengan memerintahkan

agar punggawa negeri tetap menghormat dan menjunjung tinggi

segala perintah Adipati Anom. Sedangkan Suro Bodong, sekali pun

sudah diangkat menjadi Adipati, ia hanya didudukkan sebagai

boneka pajangan di singgasana. Memang Suro mengenakan pakaian

kebesaran seorang Adipati, tetapi ia sama sekali tidak dihormati oleh

punggawa negeri. Bahkan Kebo Botak pernah merasa kesal dengan

Suro, dan menampar Suro yang tengah duduk di singgasana.

Suro hanya cemberut dan merasa takut seraya berkata,

"Adipati kok ditampar-tampar sama anak buahnya. Seharusnya

disanjung-sanjung dan disembah, kan? Ini malah ditampar dan

dibentak-bentak. Uuuh... Adipati cap apa aku ini?!"

Tiba pada hari ketiga sejak ditemukannya surat tantangan

Dayang Kunti, Suro Bodong dibawa pergi ke Bukit Sekarat.

Umumnya seorang Adipati pergi dengan digotong memakai tandu

atau dinaikkan kuda berpayung. Tapi, Suro Bodong pergi dengan

berjalan kaki, sementara Panglima Gembong, kepala mata-mata dan

beberapa orang penting lainnya justru mengendarai kuda. Suro

hanya berpakaian seorang Adipati dengan didampingi beberapa

pengawalnya yang sesekali ada yang membentak-bentak Suro

supaya mempercepat jalannya.

"Untuk apa aku di bawa-bawa ke Bukit Sekarat ini lagi? Apa

sebagai Adipati aku masih disuruh menggali kuburan?"

Ki Ageng Bentaran turun dari punggung kuda ketika

mereka sampai di kaki bukit, dan berkata kepada Suro Bodong:

"Ada yang ingin bertemu dengan Adipati. Dia adalah teman

lama. Teman urusan dagang yang akan memberikan uang banyak.

Kuminta Adipati menunggu di puncak Bukit."

Dasar bego bin tolol, Suro Bodong kegirangan mendengar

ada yang ingin menyerahkan uang dalam jumlah banyak. Ia bahkan

berkata kepada yang lainnya:


"Kalau begitu, biar aku naik ke atas bukit ini sendirian.

Jangan ada yang turun ke sana, karena ini urusan orang orang

penting. Mengerti?"

"Silahkan...!"jawab Ki Ageng Bentaran dengan senyum sinis

yang tipis.

Sementara Suro Bodong berdiri di atas bukit yang tidak

begitu tinggi itu, yang lainnya bersembunyi di tempat-tempat

tertentu dengan senjata siap di tangan mereka. Ada pasukan

pemanah yang sudah dipersiapkan di beberapa tempat yang dapat

membidik langsung jika Dayang Kunti muncul. Mereka bersiaga

dengan hati berdebar-debar.

Dari pagi, sampai siang, mereka menunggu dengan tak

sabar. Bahkan nyaris membuat mereka putus asa. Suro Bodong

sendiri sebentar-sebentar turun, menjumpai salah satu dari mereka

dengan alasan macam-macam. Sesekali menggerutu dan bosan

menunggu, sesekali turun minta minum. Sesekali turun minta pa-

yung agar tubuhnya tidak disengat matahari siang. Tetapi,

semuanya hanya menghasilkan bentakan saja bagi Suro Bodong.

Mereka tak bersikap ramah kepada 'Adipati' yang baru. Dan Sang

Adipati Baru pun serba ketakutan. Mau tidak mau dia harus

menurut kepada 'bawahannya' yang semua dipanggilnya: Eyang itu.

Menjelang sore, di mana matahari mulai bergeser ke arah

Barat. Suro Bodong dikejutkan dengan teriakan seseorang yang

bersembunyi di balik semak di bawah pohon. Dia adalah seorang

prajurit yang tiba-tiba menukik dengan dada terluka bolong.

Kemudian, disusul dengan pekikan prajurit bagian pemanah yang

tempatnya berjauhan dengan prajurit yang dadanya bolong itu.

Prajurit pemanah itu pun mengalami nasib serupa: lehernya bolong

dari kanan tembus ke kiri, seolah-olah ditusuk dengan benda

panjang yang tajam. Keadaan menjadi kacau balau, panik. Suro

Bodong sendiri hanya tertegun di atas bukit memperhatikan

kepanikan mereka. Gembong Wilwo berseru:

"Periksa daerah ini! Serang dia jika menampakkan diri!"

Suro menggumam sendiri, "Uang belum kuterima, sudah

ada yang bermaksud merampok uangku. Hem... perampok itu pasti

belum tahu kalau aku punya banyak pasukan galak-galak. Aku

sendiri saja dibentak-bentak, apalagi perampok itu?!"


Mata Suro Bodong terbelalak ketika ia melihat kelebatan

seorang perempuan yang menyambar Gembong Wilwo dari atas

pohon. Perempuan itulah yang kemarin lusa, tiga hari yang lalu

dilihat oleh Suro sebagai pembunuh ketiga prajurit Kadipaten

termasuk Waduk Kumis. Suro sendiri berteriak dari atas bukit:

"Itu dia...! Itu dia orang yang membunuh tiga hari

kemarin...! Dayang Kunti. Tangkap dia. Tangkap Dayang Kunti.

Tangkap dan serahkan kepadaku, tapi hati-hati... jangan sampai dia

menangis. Kasihan, kan...?!"

Tak satu pun ada yang menghiraukan seruan Suro Bodong.

Mereka sibuk mengepung Dayang Kunti. Perempuan itu

kelihatannya cukup tenang menghadapi Gembong Wilwo yang

berbadan besar dan kekar. Ia tidak gentar sekalipun beberapa orang

mengepungnya, membuat satu lingkaran pertarungan.

"Di mana Anom Winingrat yang keparat itu?! Aku ingin

berhadapan dengannya!" gertak Dayang Kunti sambil mengibaskan

rambutnya yang meriap ke depan. Ia berdiri dengan kaki sedikit

direndahkan dan bambu hitam sebagai senjatanya siap ada di

tangan kanan. Bambu hitam dan kecil itu kelihatannya sangat

sederhana, namun Suro Bodong tahu bahwa bambu itulah dulu

yang dipakai melukai kedua prajurit di depan asrama prajurit.

"Sebaiknya kau menyerah,Dayang Kunti!" Gembong

mencoba menggertak. Dayang Kunti semakin melebarkan senyum.

"Suruh Adipatimu maju. Hanya dia yang kuinginkan!"

"Dia ada di atas bukit."

Dayang Kunti hanya tersenyum sinis sekali lagi. Lalu ia

berkata sebelum menyerang, "Kuhancurkan kepalamu sebagai bukti

tuntutanku...! Hiaaat...!"

Gembong Wilwo segera melompat tinggi ketika Dayang

Kunti menyodokkan bambu sumpitannya ke arah perut Gembong

Wilwo. Sambil melompat, kaki Gembong Wilwo menendang wajah

Dayang Kunti. Namun, tangan kiri Dayang Kunti mengibas,

membuat tendangan Gembong tertangkis. Segera Gembong bersalto

sambil mencabut cambuknya. Begitu kaki mendarat di tanah, maka

ia pun mengibaskan cambuk dengan cepat.

"Tarr...! Tarr...!"

Ganti Dayang Kunti yang berjumpalitan di udara

menghindari lecutan cambuk Gembong yang selalu mengeluarkan


api pada ujungnya jika dicambukkan. Dengan lincah dan gesit tubuh

ramping berdada menantang itu meliukkan badan sewaktu

melayang, kakinya menyepak ke belakang dan wajah Gembong

Wilwo menjadi sasaran kaki itu.

"Aahh...!" Gembong Wilwo terjengkang dan jatuh terduduk

dengan pandangan mata berkunang-kunang. Tendangan itu cukup

berat dan memusingkan kepala.

Sebelum Gembong Wilwo melanjutkan serangannya, Kebo

Botak segera menyerang setelah berkata:

"Kurobek isi perutmu. Iblis. Heaaat...!!"

Lompatan Kebo Botak diiringi dengan meluncurnya pedang

yang diarahkan ke Dayang Kunti. Tetapi, Dayang Kunti tidak

mengelak, melainkan justru ikut melompat dalam keadaan tubuh

melayang menyambut kehadiran Kebo Botak. Gaun biru mudanya

berkelebat bagai selendang bidadari. Dayang Kunti segera bersalto

saat tubuh mereka hampir bertabrakan. Gerakan salto membuat

Dayang Kunti melejit ke atas, menjadi melayang di atas Kebo Botak.

Pada saat itu, pedang Kebo Botak tidak mengenai sasaran. Tertusuk

ke tempat kosong di depannya. Namun, Dayang Kunti sempal

memasukkan bambu kecilnya ke mulut dan "Pubbh...!"

Dari mulut itu keluar jarum hitam yang melesat melalui

lobang bambu kecil. Jarum tersebut tepat mengenai ubun-ubun

Kebo Botak yang polos tanpa rambut. "Jluub...!" Seakan jarum

sebesar paku itu masuk ke batok kepala dengan empuknya. Kebo

Botak memekik tertahan:

"Aaakhh...!"

Tubuh Dayang Kunti kembali mendarat ke tanah. Sebuah

sinar hijau melesat dari tangan Ki Ageng Bentaran. Sinar hijau itu

berbentuk seperti cakram atau piring bergerigi. Arahnya jelas ke

tubuh Dayang Kunti. Tetapi, perempuan itu agaknya sangat

waspada, sehingga dengan bergulingan ke tanah ia berhasil

menghindari sinar hijau yang melesat dari telapak tangan Ki Ageng

itu. Sinar tersebut lolos, dan menghantam prajurit lain yang sedang

bersiaga dalam barisan mengepung. Kontan prajurit itu jebol

dadanya. Bolong dengan keadaan yang sangat mengerikan. Ia rubuh

tanpa sungkan-sungkan lagi, dan mati secara mengerikan.

Padahal, ketika itu orang sibuk memperhatikan tubuh Kebo

Botak yang malas bergerak, dan mengeluarkan asap dari tubuhnya,


ia terlentang tanpa memikirkan tempat kotor, ia bisu tanpa suara

apa pun kecuali pekikan tertahan sewaktu ubun-ubunnya terkena

senjata tajam yang keluar dari lobang sumpit. Lalu, tubuh Kebo

Botak pun latah, mengikuti teman-temannya; menjadi hitam.

Hangus tanpa api. Dan ia pun sudah tentu enggan bernafas lagi.

Mati. Baju dan celananya masih utuh, hanya tubuhnya yang mati

hangus.

Merinding mereka memperhatikan hal itu dengan jelas.

Sementara, Dayang Kunti melompat ke kiri, menghindari cambukan

Gembong Wilwo yang berseru:

"Kuhancurkan tubuhmu yang mulus. Iblis Betina...?!!

Heaaat!"

"Tar...! Tar...! Tarrr...! Tuaar...!" " Cambuk melecut kian ke

mari bagai membabi buta. Nyala api selalu mengiringi setiap lecutan

cambuk. Dayang Kunti bagai kepompong lincah yang melejit kian ke

mari dengan gerakan salto dan lompatan yang ringan. Bahkan

dalam keadaan melompat dan bersalto, ia sempat melancarkan

serangannya dengan meniup bambu kecil itu cukup kuat. Dua jarum

melesat dari ujung lobang bambu, keduanya terarah pada Ki Ageng

Bentaran. Tetapi, lelaki tua itu gesit. Ia memiringkan kepala dan ba-

dan ke samping, dan kedua jarum itu molos, melewati atas

pundaknya dengan cepat, lalu menancap pada batu hitam sebesar

tubuh Suro yang ada di belakang Ki Ageng. Jarum itu dapat

menancap pada batu yang keras dengan tancapan enak, empuk.

Lalu, batu itulah yang jadi berasap dan mengeluarkan bau tak sedap.

Semacam bau belerang.

Segera Dayang Kunti mengibaskan bambu kecilnya ke atas

kepala ketika cambuk Gembong melesat persis ke arah wajahnya.

Dayang Kunti merunduk dan mengibaskan bambunya ke atas dan

cambuk Gembong pun membelit kuat bambu tersebut. Gembong

bermaksud menarik bambu itu dalam satu hentakan supaya terlepas

dari tangan Dayang Kunti. Sayang, tangan Dayang Kunti terlalu

kokoh, kuat memegang bambunya. Mereka akhirnya saling tarik

dengan otot menegang. Ki Ageng memanfaatkan keadaan itu untuk

menyerang Dayang dengan pukulan Gledek Jagatnya yang

memancarkan api berbentuk piringan bergerigi. Dayang segera

melengkungkan badan, sehingga aji Gledek Jagad itu melesat dari

tubuhnya, lalu menuju Gembong Wilwo.


Mata Gembong Wilwo terbelalak kaget. Ia buru-buru

menghentakkan kaki, melompat ke atas menghindari sinar hijau

muda itu. Pada saat tubuhnya melayang. Dayang Kunti segera

menghentakkan bambunya yang masih dililit ujung cambuk.

"Ciaaat...! Hahh...!!"

Pekikan Dayang Kunti itu sungguh mengagetkan Gembong

Wilwo, sebab pada saat itu Gembong menjadi terkejut dengan mata

bertambah membelalak. Cambuk di tangan Gembong tersentak dan

terlepas dari genggamannya sambil Gembong tersentak ke depan.

Kini, dengan gerakan tangkas Dayang Kunti menangkap gagang

cambuk itu sambil bergulingan di udara beberapa kali. Karena pada

saat itulah, Ki Ageng Bentaran menyerangnya dengan sebaris

pukulan tenaga dalam atau ilmu Gledek Jagad secara beberapa kali.

"Kali ini kau modar, Setan Perempuan...!!" seru Ki Ageng

Bentaran. Namun, ia sendiri akhirnya kebingungan, sebab semua

serangannya meleset karena kelincahan gerak Dayang Kunti. Di lain

pihak, Gembong Wilwo semakin tegang dan kebingungan, karena

setiap ia hendak bergerak ia selalu saja menerima sasaran akhir dari

aji Gledek Jagadnya Ki Ageng. Ia pun ikut sibuk menghindar, sebab

Dayang Kunti sengaja menempelkan posisi tubuhnya di depan

Gembong Wilwo, supaya kalau aji Gledek Jagad meleset akan

menghantam tubuh Gembong Wilwo tanpa Dayang Kunti harus

melakukan pembunuhan kepada Gembong.

Rupanya Gembong tahu siasat Dayang Kunti sehingga ia

berlari menjauh dan menjauh sehingga posisinya ada di samping Ki

Ageng Bentaran.

Dayang Kunti tak mu diam. Ia berseru, "Mana Adipatimu?!

Kala ia tak mau menghadapi aku, biarlah aku akan membantai

semua warga Kadipaten Damarita ini! Hiaaat..." Seraya menyerang,

Dayang Kunti melirik Suro Bodong yang masih menjadi penonton di

atas bukit. Ia tahu, itu bukan Adipati yang menurut kabar yang

didengarnya, kini Suro Bodong diangkat menjadi Adipati. Namun

Dayang tidak peduli apakah Suro mau jadi Adipati apa jadi orang-

orangan sawah, yang penting ia harus berhadapan dengan Adipati

yang asli.

"Sekarang giliranmu menerima kembalian cambuk ini!" kata

Dayang Kunti. "Hiaaah...!!"


Tak seorang pun mengira Dayang Kunti trampil memainkan

jurus-jurus cambuk, bahkan rupanya ia lebih mahir ketimbang Gem-

bong Wilwo. Dayang Kunti melecutkan cambuknya tiga kali ke

sasaran Gembong Wilwo. Gerakannya begitu cepat sehingga tidak

sempat terlihat mata.

Gembong Wilwo tersenyum, karena mengira Dayang Kunti

tak becus melecutkan cambuk. Tak ada suara dan kibasan angin

yang terasa. Tetapi, beberapa detik kemudian, setelah ujung cambuk

jatuh di tanah, barulah terdengar suara letupan cambuk: "Tar... tar.

tarr...!"

Gembong Wilwo terkejut, karena pada saat itu pun ia

merasakan ada kibasan angin yang menghantam tubuhnya. Setiap

satu letupan yang berbunyi, satu kibasan terasa hendak menyentuh

perutnya. Gembong Wilwo menjadi kelabakan. Tetapi letupan yang

kedua dan ketiga, terpaksa membuat Gembong Wilwo berteriak

nyaring karena kakinya bagai disabet ujung cambuk yang menyala.

Paha dan betis terlihat menganga.

"Aaaooww...! Bangsaaat...!!" Gembong Wilwo mengaduh

sambil mencaci. Ia merasakan sakit yang amat menyerikan dan

hampir-hampir tak tahan untuk bernafas.

Semua orang terbengong melihat jurus cambuk yang

dimainkan Dayang Kunti. Kecepatan gerakannya melebihi

kecepatan angin dan suara. Hal ini membuat Ki Ageng Bentaran jadi

tertegun beberapa saat. Ia mulai menduga;

"Jangan-jangan dulu waktu aku bertarung melawannya, dia

hanya mengeluarkan sebagian ilmunya dan berpura-pura mati?

Wah, bisa runyam kalau begini keadaannya. Ah, tapi dia belum tahu

kalau aku memiliki ilmu Barong Bangkai yang bisa membuatnya tak

berkutik. Haruskah kukeluarkan sekarang?"

Selagi Ki Ageng Bentaran memikir-mikir, tahu-tahu cambuk

itu melecut lagi, kali ini arahnya ke kepala Ki Ageng Bentaran. Suara

letupan dan kibasan angin datang beberapa detik kemudian. Tetapi

Ki Ageng sudah waspada, ia segera melompat ke tempat lain se-

belum suara letupan berbunyi. Akhirnya, cambukan itu pun bagai

tidak mengenai sasaran.

Pada saat itu, segera Ki Ageng mengirimkan pukulan

andalannya, aji Gledek Jagad. Kedua telapak tangannya dihentakkan

ke depan dan melesatlah dua sinar hijau muda yang menyerupai


piring bergerigi berputar-putar. Dayang Kunti tidak menghindar,

melainkan menyambutnya dengan dua lecutan cambuk, sehingga

kedua sinar hijau itu membentur api lecutan cambuk sampai

menimbulkan ledakan dua kali.

Bertepatan dengan bunyi ledakan yang kedua, seorang

prajurit menyerang Dayang Kunti dari belakang.

"Aauuh...!!" tubuh Dayang Kunti tersentak ke depan dan

jatuh tersungkur.

Tapi, ia segera berguling dan mengibaskan cambuk kearah

prajurit yang hendak menyerangnya lagi itu.

"Tarr...!"

Satu kali cambukan cukup membuat prajurit itu menjerit

dengan sekeras-kerasnya lalu jatuh pingsan dalam keadaan kakinya

terpotong satu. Lecutan cambuk telah membuat kaki orang itu

terpotong dengan irisan tak teratur dan cukup mendirikan bulu

roma yang melihatnya.

Suro Bodong di atas bukit hanya bergidik, seperti anak

kemarin sore yang baru melihat hal mengerikan seperti itu. Tetapi

mulutnya menjadi latah ketika Dayang Kunti hendak di bokong lagi

oleh Gembong Wilwo. Saat itu, Gembong Wilwo menghunus

pedangnya yang sejak tadi bertengger di pundak. Pedang itu hendak

mengibas ke arah kepala Dayang Kunti dari belakang. Secara tak

sadar mulut Suro Bodong berseru:

"Awaaas...!!"

Dayang Kunti segera berbalik, tepat ketika pedang

berkelebat menebaskan dari atas ke bawah. Tanpa pikir panjang lagi

Dayang Kunti menggerakkan tangan kanannya yang telah

memegangi bambu kecil sebesar kelingking. Kemudian dengan

bantuan tangan kirinya yang memegangi cambuk, bambu itu melin-

tang di atas kepalanya dan menahan pedang Gembong dengan

cukup kuat. Kaki Dayang Kunti segera menjejak dada Gembong,

hingga Gembong pun terpental ke belakang. Jauh. Kesempatan itu

digunakan Dayang Kunti untuk melesat, keluar dari kepungan, dan

terus mendaki bukit sampai kepuncaknya dalam tempo singkat.

Suro Bodong terbelalak, karena ia telah berhadapan dengan Dayang

Kunti. Ia gemetar tak dapat lari. Dayang Kunti segera menotok iga

Suro, dan Suro pun jadi lemas. Lalu, dengan kuat ia mengangkat

Suro membawanya pergi dari bukit.


EMPAT


Suro Bodong dibebaskan dari pengaruh totokan darah yang

melemaskan tubuh. Mata Suro berkejap-kejap memandang bingung

alam sekitarnya. Ternyata ia sudah berada di dalam sebuah goa.

Dinding goa sangat kasar, banyak tonjolan-tonjolan batu yang

berkelompok. Ada dua batang obor besar yang menerangi goa

tersebut dengan posisi menempel pada dinding kanan kiri.

Sementara itu, di bagian tengah terdapat pula tempat perapian yang

menyemburkan api ke atas dengan tenang. Tempat perapian itu

berbentuk seperti mangkuk besar, atau penggorengan besar dalam

keadaan terbuka ke atas, dan di sanalah api itu bagai ditampung

dalam bentuk gumpalan-gumpalan batu. Agaknya batu bara yang

menjadi bahan bakar api tersebut.

Mata Suro Bodong yang ketolol-tololan itu memandang

sekeliling, lantai goa yang rata dan beberapa perabot batu yang

berserakan di sana sini. Juga ada tempat lega yang berlantai dari

tumpukan jerami kering. Diatur dengan rata, dan saling merekat

satu dengan yang lain. Tumpukan jerami itu seperti tikar diben-

tangkan dan berwarna kusam, menandakan sudah lama dipakai

entah untuk tidur, untuk duduk atau untuk diinjak-injak.

"Di mana aku...? Aku di mana...?" Suro Bodong merasa

sendirian dan ketakutan. Ia clingak clinguk bagai orang yang

tersesat di tengah hutan. Tapi beberapa saat kemudian, muncul

seorang perempuan dari balik penyekat yang terbuat dari kayu-kayu

pohon yang berjajar rapi, membentuk sebuah kamar khusus. Ada

dua penyekat di sana, dan salah satunya berbentuk kamar dengan

pintu kayu tersendiri.

Perempuan bergelang kaki mendekati Suro Bodong.

Menyadari siapa yang mendekat. Suro Bodong semakin ketakutan,

dan bahkan ia segera berlutut merendahkan diri. Ia tahu,

perempuan itulah yang bernama Dayang Kunti. Ia teringat secara

samar-samar kehebatan Dayang Kunti sewaktu bertarung melawan

orang-orang Kadipaten Damardita. Suro menjadi ngeri dan

ketakutan. Ia pun memohon-mohon:

"Jangan bunuh saya... oh, ampunilah Eyang... jangan bunuh

saya..."


"Namamu Suro Bodong, bukan?" suara Dayang Kunti begitu

bening dan berwibawa.

"Ya. Mungkin nama saya memang Suro Bodong, sebab

beberapa orang memanggil saya Suro Bodong. Nama yang jelek.

Tapi... tapi ampunilah saya. Saya tidak sengaja membikin nama itu.

Jangan bunuh saya...."

"Kau tak perlu takut, Suro Bodong. Kau ada bersamaku."

"Bagaimana tidak takut, saya... saya... pernah melihat Eyang

membunuh orang-orang Kadipaten dengan mudah. Padahal mereka

berilmu semua. Sedangkan saya... saya ini tidak punya ilmu apa-apa

kecuali persediaan ilmu tentang cara makan dengan benar. Ohh,

maafkan saya... Eyang."

"Jangan panggil aku Eyang! Panggil aku Dayang. Namaku

Dayang Kunti."

"Kata mereka memang begitu. Dayang Kunti nama Eyang,

tapi... tapi saya tidak berani menyebut Kanjeng Eyang tanpa sebutan

Eyang...."

Dayang Kunti tersenyum geli. "Kau harus berani, Suro. Kau

punya keberanian yang sempat kutaklukkan dengan ilmu Jarum

Kilatku."

"Apa saya punya keberanian seperti... Eyang Kunti?"

"Ya. Bahkan kau lebih perkasa sebenarnya. Aku tidak tahu

kalau kaulah yang bernama Suro Bodong. Aku mengira, kau adalah

jagoan yang dicari-cari oleh Adipati Anom untuk menangkapku.

Ternyata aku salah duga. Kau seorang Senopati Kesultanan Praja

yang cukup terkenal...."

Suro bingung sendiri dan memandang tubuhnya dengan

terbengong-bengong. "Apanya yang terkenal? Hem... kumis saya?"

Nafas Dayang Kunti terhempas. Ia duduk di sebuah tempat

tidur kayu yang beralaskan ilalang kering dengan dilapisi kain

hitam. Suro Bodong masih berlutut di depannya.

"Kau sebenarnya seorang Senopati yang sangat digdaya.

Kesaktianmu kondang di mana-mana. Semua tokoh persilatan

mengenal siapa kamu, Suro Bodong. Hanya saja, beberapa waktu

yang lalu kau lengah dan mampu terkena jarum kilat yang

kusemburkan atau kutiupkan dari mulutku melalui bambu sumpit.

Akibatnya, kau menjadi bodoh. Lupa dirimu, lupa pada

kesaktianmu."


Suro Bodong kini duduk bersila, seperti mendengarkan

ceramah seorang guru. Ia memandang kagum terhadap kecantikan

Dayang Kunti yang mempunyai nilai keindahan tersendiri. Kulitnya

hitam manis. Tidak terlalu hitam. Malah bisa dibilang: berkulit sawo

matang. Namun justru kelentikan bulu matanya itulah yang

memberi kesan cantik tersendiri. Apalagi bentuk wajahnya lonjong

sedikit dengan tahi lalat di pinggir bibir, wow...! Mendebarkan juga

wajah itu.

Kebengongan Suro Bodong disingkirkan, karena Dayang

Kunti berkata lagi:

"Lain kali, berhati-hatilah dalam bertindak. Jarum Kilat

merah itu sebenarnya sebuah lambang, bahwa orang yang lupa diri

itu sangat berbahaya, dan bisa mencelakakan hidup kita."

"Untung saya tidak lupa diri. Buktinya ke mana-mana saya

masih ingat membawa diri saya, tidak ketinggalan di suatu tempat,"

kata Suro Bodong dengan bangga, seakan ia bicara dengan benar.

Hal itu membuat Dayang Kunti tersenyum lagi.

"Sekarang, mendekatlah..." kata Dayang Kunti. Suro menjadi

ragu. "Mendekatlah ke mari. Jangan takut, aku akan mengembalikan

ingatanmu, supaya kau kembali perkasa dan tidak menjadi bulan-

bulanan orang Kadipaten Damardita."

"Saya tidak akan dibunuh, kan?" tanya Suro dalam

ketololan. Dayang Kunti tersenyum manis sambil menggeleng.

Kemudian, Suro Bodong bergeser duduknya pelan-pelan

mendekati Dayang Kunti yang masih berada di tepian balai.

"Miringkan lehermu ke kiri," perintah Dayang Kunti.

Suro Bodong sangsi dan cemas.

"Mau diapakan leher saya, Eyang...? Nanti jangan-jangan

Eyang Kunti mencabut pisau lalu leher saya diukir... saya tidak mau

mati dengan leher diukir, Eyang."

Mengikik geli Dayang Kunti melihat ketololan Suro Bodong

yang berwajah polos, seperti orang yang tidak punya pengetahuan

sama sekali.

"Percayalah, aku tidak akan berbuat jahat apa pun

kepadamu. Justru aku merasa bersalah karena menyerangmu tanpa

dosa. Aku salah duga. Dan... sudah kujelaskan di depan tadi, kan?

Maka, sekarang aku akan mengembalikan dirimu, supaya kau tidak

menjadi tolol serta dungu seperti saat ini. Sebab, barang siapa


tubuhnya ditembus Jarum Kilat merah, maka ia akan menjadi orang

dungu seumur hidup. Tapi, jika terkena Jarum Kilat hitam, ia akan

mati hangus. Nah, sekarang mari kubebaskan pengaruh jarum yang

membuatmu dungu...."

"Ah, tidak perlu," kata Suro seraya mundur lagi. "Saya dari

dulu memang tidak dungu kok. Hanya tidak tahu apa-apa saja kok."

Setelah melalui beberapa bujukan lembut dan akrab, Suro

Bodong pun segera memberikan lehernya. Sambil bergidik

merinding, Suro Bodong meringis-ringis ketika Dayang Kunti

memeriksa leher Suro Bodong. Ia bagai sedang membuka-buka pori-

pori Suro Bodong, mencari tempat masuknya Jarum Kilat merah

yang menembus leher Suro Bodong ketika ditiupkan lewat bambu

sumpit. Cukup lama juga hal itu dilakukan sehingga leher Suro be-

berapa kali mengkerut karena tak tahan keri.

"Nah, ini dia... sudah kutemukan tempat masuknya jarum

itu," kata Dayang Kunti. Suro Bodong menghempas lega dan hendak

pergi seraya berkata:

"Terima kasih... saya telah disembuh kan...."

"Hei, hei, mau ke mana? Aku belum melakukan

penyembuhan, hanya menemukan tempat masuknya jarum merah

saja."

"O, belum...? Saya kira sudah sembuh," kata Suro seraya

kembali duduk dengan tenang, namun sesekali menahan geli hingga

kulit tubuhnya menjadi merinding karena sentuhan jemari Dayang

Kunti.

"Tahan rasa geli sedikit, ya...?" kata Dayang Kunti.

Kemudian, ia segera menempelkan kedua bibirnya ke leher Suro

Bodong dan menyedot tempat masuknya jarum dengan hisapan

lidah cukup kuat. Suro Bodong meringis-ringis dengan gerak-gerak

tubuh yang kaku menahan rasa geli. Ia bergidik beberapa kali

dengan mulut ternganga menyerukan tawa yang terkekeh tak

beraturan. Dayang Kunti masih menyedot leher Suro Bodong untuk

mengambil jarum merah yang terbuat dari gumpalan tenaga

dalamnya.

Sedotan itu sempat membuat Suro Bodong terengah-engah.

Ia merasakan ada bagian tubuhnya yang bergerak akibat sedotan

bibir Dayang Kunti. Mata Suro terpejam-pejam dan mulutnya pun

mendesis-desis. Pikirannya melayang-layang dan ia mulai terlena


dalam amukan gairah di dalam dada. Ia mengeluh bercampur desis,

tapi Dayang Kunti tidak peduli. Cukup lama juga Dayang Kunti

menyedot leher Suro Bodong untuk mengambil jarumnya. Bahkan

cara penyembuhan itu sempat membuat keringat Suro Bodong

bercucuran di beberapa tempat. Ada bagian tertentu yang menjadi

basah karena rasa syur tersebut. Terutama di bagian kening dan

dada. Basah oleh keringat yang tak tahu diri.

Ketika Dayang Kunti melepaskan sedotannya, ia

menjauhkan wajah dari leher Suro. Senyumnya mekar

menertawakan Suro Bodong yang terengah-engah lemas. Rasa

pusing masih menggerayangi kepala Suro Bodong perlahan-lahan.

Rasa syur hilang sedikit demi sedikit.

"Jarum itu telah berhasil kusedot dan kembali pada dirimu,

Suro...."

Tiba-tiba mata Suro Bodong terbuka, ia terkejut menyadari

keadaannya. Ia clingak clinguk lagi dengan tegang, dan buru-buru

berdiri.

"Kenapa aku berada di sini?! Dan... dan kau siapa?' tanyanya

kebingungan. Dayang Kunti tenang, sebab ia sudah tahu kalau Suro

Bodong akan mengalami kekagetan seperti itu. Lalu, dengan sabar

dan penuh keramahan. Dayang Kunti menceritakan apa yang

dialami Suro Bodong selama ini.

Dengan memejamkan mata, Suro Bodong mengingat-ingat

kembali apa yang telah diceritakan Dayang Kunti. Sedikit demi

sedikit ia terbayang saat disuruh menggali kuburan, saat ditendang

dan dicambuk, saat dipenjara, saat disuruh menjadi Adipati...

semuanya teringat dalam kesamar-samaran. Tetapi, kemudian Suro

Bodong mengangguk-angguk sendiri, seakan telah paham dengan

apa yang pernah di alaminya selama ini.

Ia terbaring di balai kayu sambil merenungkan nama-nama

dan wajah-wajah orang Kadipaten Damardita. Ia mencoba

mengingat-ingat suara-suara dan percakapan mereka. Itu lebih

susah, dari pada mengingat kejadian. Beberapa saat lamanya ia

termenung sambil terbaring, akhirnya ia temukan juga beberapa

perkataan dan pembicaraan mereka yang pada dasarnya ingin

membunuh Dayang Kunti. Suro Bodong tak sempat berpikir lebih

lanjut lagi, karena kelelahan tubuhnya telah menyeretnya ke dunia


mimpi yang indah. Ia tertidur dengan nyenyak, sementara Dayang

Kunti sudah sejak tadi masuk ke kamar berpintu.

Ketika pagi menongolkan bias fajar, Suro Bodong sudah

terbangun. Tapi ia masih enggan turun dari pembaringan. Ia masih

teringat siksaan dan cercaan yang dilakukan orang-orang Kadipaten

Damardita. Ia menggeram teringat Gembong Wilwo mencambuk

tubuhnya saat ia dipaksa menggali sebuah makam. Semakin geram

Suro Bodong ketika ia terngiang kata-kata Ki Ageng Bentaran yang

menuduhnya sebagai orang gila, yang punya maksud licik. Ia juga

terbayang kenyerian tendangan Kebo Botak, tamparan Cocak Soga

yang bagai seorang pembunuh berdarah dingin. Ia juga terbayang

keangkuhan Adipati Anom Winingrat yang dengan seenaknya ingin

mengumpankan Suro sebagai pancingan atas kemunculan Dayang

Kunti. Tetapi ia juga ingat pertemuannya dengan Dandang Kober di

dalam kamar penjara.

Suro Bodong terkejut ketika mendengar suara letupan

beberapa kali dari arah luar gua. Dahinya berkerut dan telinganya

menyimak tajam-tajam. Suara letupan cambuk. Dalam hati Suro

menduga; jangan-jangan orang Kadipaten telah menemukan tempat

persembunyian Dayang Kunti ini? Maka, segera Suro Bodong,

bergegas keluar goa.

O, ternyata di luar goa ada seorang perempuan berkulit

sawo matang sedang berlatih jurus-jurus cambuk. Dayang Kunti

berdiri dengan kaki renggang, badan sedikit miring ke kanan, dan

tangannya mengayunkan cambuk ke sebuah pohon berukuran

sebesar paha. Cambuk diayunkan dan pohon itu pun tumbang

terkena lecutan cambuk. Suro tahu, pasti tenaga dalam Dayang

Kunti yang disalurkan melalui kibasan cambuk itulah yang

membuat robohnya pohon. Diam-diam Suro Bodong menyimak

latihan Dayang Kunti sambil dalam benaknya berpikir: mengapa

Dayang Kunti ingin bertarung satu lawan satu dengan Adipati

Anom Winingrat. Dendam apa yang membuat perempuan itu nekad

membunuh beberapa prajurit, bahkan seingat Suro, orang yang

bernama Waduk Kumis dan Kebo Botak telah mati hangus di tangan

Dayang Kunti. Tetapi, agaknya yang menjadi sasaran utama adalah

Adipati Anom Winingrat. Mengapa harus dia? Mungkinkah karena

Anom Winingrat seorang Adipati sehingga Dayang Kunti ingin

menguasai Kadipaten dengan cara membunuh Adipatinya? Ah, tapi


ketika ada kabar yang sengaja digembar gemborkan bahwa Suro

Bodong diangkat menjadi Adipati Damardita, tak ada niat untuk

menbunuh Suro. Dayang Kunti malahan membawa Suro ke goa

tempat persembunyiannya itu.

Sejenak Suro melupakan tentang itu, karena kali ini ia

melihat Dayang Kunti memainkan jurus cambuk yang manis.

Kakinya bersilang pada mata kaki dengan posisi berdiri dengan

ujung kaki. Berjingkat ia meliukkan badan ke samping, kedua

tangannya merentang, dan tangan yang memegangi ujung cambuk

ikut menari, sementara tangan yang memegangi gagang cambuk

tetap diam. Lalu, dengan hentakan ujung cambuk itu dilecutkan.

Suaranya tak ada, lalu ujung cambuk dipegang lagi. Sesaat

kemudian terdengar suara cambuk: "Taar...!" Dan sebatang pohon

ukuran sedang, roboh hampir saja menimpa Dayang Kunti sendiri.

Segera Dayang Kunti melesat dengan bersalto ke belakang. Sikapnya

bagai ketakutan kejatuhan pohon. Dan hal itu membuat Suro

Bodong terkekeh-kekeh geli. Dayang Kunti jadi tersenyum malu

setelah menyadari Suro Bodong memperhatikannya dari tadi.

"Kau membuatku malu saja," kata Dayang Kunti ketika Suro

Bodong mendekat.

"Cukup mengagumkan juga permainan cambukmu," Suro

sengaja memujinya. Dayang Kunti semakin tersipu, karena ia tahu

siapa Suro Bodong sebenarnya: tokoh persilatan yang cukup kesohor

dengan Pedang Urat Petirnya.

Tapi..." kata Dayang, "... mungkin belum seberapa

dibandingkan dengan jurus-jurus Pedang Urat Petirmu."

"Hai, kau mengenal pusakaku juga rupanya?"

"Siapa orang yang tidak mengenal pusaka yang amat

menakjubkan itu? Hanya orang bodoh dan masyarakat awam saja

yang tidak bisa memahami apa itu Pedang Urat Petir."

Suro Bodong garuk-garuk kumis. Pandangan matanya

terlempar jauh, pada pepohonan yang bagai menutup adanya goa di

situ. Lalu, mulutnya berkata dengan tanpa memandang Dayang

Kunti:

"Tempat yang sangat cocok untuk memperdalam ilmu.

Sudah berapa lama kau berada di sini?"

"Lebih dari dua puluh tahun. Usiaku sendiri sudah..."

"Dua puluh tujuh ?" tebak Suro Bodong.


Dayang Kunti tersenyum, "Terlalu muda untuk usia

perempuan seperti aku."

"O, jadi... usiamu sudah mencapai 40 tahun?"

"Terlalu tua untuk perempuan seperti aku."

"Memang terlalu tua. Tapi biasanya yang tua itu banyak

santannya," kata Suro Bodong tanpa tersenyum, melainkan hanya

garuk-garuk kumisnya yang tebal. Sementara itu, Dayang Kunti

masih menyunggingkan senyum yang sempat membuat Suro

Bodong berdesir-desir.

"Sejak usia sepuluh tahun aku berada di sini bersama

guruku: Dewa Bongkok."

Suro Bodong terperanjat sedikit, dan menatap Dayang

Kunti. Ia merasa heran mendengar nama Dewa Bongkok.

"Aku kenal dengan Dewa Bongkok. Aku pernah bertemu

dengannya, tapi di mana dan kapan, aku tidak ingat. Jadi... kau

murid Dewa Bongkok, orang sakti yang suka jadi pengemis itu?"

"Benar," jawab Dayang Kunti dengan rasa bangga terhadap

kemasyhuran gurunya yang sudah almarhum itu.

Suro Bodong manggut-manggut. Dayang Kunti memainkan

jurus cambuknya sekali lagi, karena ia masih berkeinginan memper-

mainkan jurus itu. Ia bersalto sambil berteriak, dan cambuknya

mengibas cepat di depan kaki Suro, tepat melewati atas rumput

tebal. Ketika Dayang Kunti mendaratkan kakinya dengan sempurna,

rumput itu menjadi gundul seketika, dan berasap karena terbakar.

"Hebat...! Sungguh jurus yang manis dan hebat!" kata Suro

sambil bertepuk tangan. "Kau ada bakat jadi kusir delman,

he,he,he...!"

"Iih...!" Dayang Kunti cemberut di sela senyum gelinya.

Kemudian Suro Bodong melompat dengan gerakan cepat. Ia

menerjang Dayang Kunti, sementara Dayang Kunti bersalto dalam

satu lompatan yang tinggi. Ia mengungguli lompatan Suro Bodong

yang tidak bersalto. Tetapi ketika ia mendaratkan kakinya,

perempuan itu jadi terbengong karena cambuk sudah tidak ada

ditangannya.

"Cepat sekali kau mengambil cambukku?!" Dayang Kunti

tertawa bangga.

Suro Bodong tersenyum tipis dan garuk-garuk kumisnya

seraya memperlihatkan cambuk yang sudah beralih ke tangannya.

"Aku ingin mencoba permainan cambuk seperti yang kau

mainkan tadi," kata Suro Bodong.

"Silahkan...! Hati-hati pada tekanan di ujung cambuk dan

perhatikan pula hentakannya. Jangan terlalu berlebihan. Cukup

sedikit hentakan tapi dibarengi hawa panas yang tersalur lewat

ujung jari." Dayang Kunti menjelaskan, Suro Bodong hanya

manggut-manggut.

Kemudian ia memainkan jurus cambuk di tangan memutar-

mutarkan cambuk itu di atas kepalanya. Tepat pada putaran

ketujuh, cambuk itu di lecutkan ke arah sebuah pohon besar.

"Taar...!"

Letupan itu terdengar bersamaan melecutnya cambuk. Jadi,

tidak seperti Dayang Kunti yang mampu melecutkan cambuk

dengan suara menyusul. Melihat hal itu, Dayang Kunti tertawa geli.

Suro Bodong memandang pohon besar yang tadi dicambuknya.

Pohon itu tetap berdiri kokoh, tak ada yang lecet bagian kulitnya.

Dayang Kunti mendekati Suro Bodong sambil

menertawakan dengan suara yang enak di dengar.

"Hentakanmu terlalu kuat, Suro. Menggunakan jurus

Cambuk Gegana tidak boleh menggunakan gerakan kuat. Pelan saja.

Coba, sini kuberi contoh...."

Dayang Kunti memegang gagang cambuk, Suro Bodong

memperhatikan dengan tenang, seakan sangat tekun mengikuti

petunjuk Dayang Kunti.

"Gerakan lengan dan siku tidak perlu sampai di belakang

telinga. Cukup pergelangan tangan saja yang menghentak, diiringi

penyaluran hawa panas dari jari jemari kita yang menggenggam

cambuk. Perhatikan ini, nah... begini." Pergelangan tangan Dayang

Kunti menekuk ke belakang, sementara jari-jemarinya

menggenggam cambuk. Namun, mendadak Dayang Kunti tak jadi

bicara lagi ketika ia berkata:

"Kalau posisi..."

Sampai di situ ia bungkam, namun segera terperangah

memandang daun-daun pohon besar yang rindang itu kini

berguguran. Pohon yang tadi dicambuk Suro Bodong menampakkan

perubahan. Selain daunnya yang kecil-kecil itu semakin berguguran,

ranting-rantingnya pun mulai mengering dan juga berjatuhan.

Untung mereka tidak berdiri tepat di bawah pohon tersebut.


"Gila...!" gumam Dayang Kunti ketika mengetahui bahwa

pohon itu sudah tidak mempunyai daun lagi selembar pun. Semua

daun gugur dan menjadi kering. Kini tinggal dahan dan ranting-

rantingnya yang menyusul kering lalu berjatuhan. Pohon yang

dicambuk Suro Bodong menjadi gundul. Plontos. Tanpa daun, tanpa

ranting. Tinggal beberapa dahan kecil seukuran betis dan dahan

besar lainnya. Tetapi, mulut Dayang Kunti semakin terperangah

lagi, karena dahan kecil itu kini juga kering dan berjatuhan dengan

ringan. Akhirnya batang pohon yang besar itu menjadi kering, lalu

keropos. Badan pohon dihempas angin tipis berguguran seperti

menjadi bubuk halus. Lama-lama batang pohon besar itu pun roboh

tanpa suara, karena sebelum menyentuh tanah batang pohon itu

sudah hancur menjadi serbuk halus.

Dayang Kunti benar-benar tercengang, kemudian

memandang Suro Bodong yang tenang-tenang saja. Sesekali Suro

menggaruk kumisnya seraya memperhatikan tempat lain. Dayang

Kunti merasa malu. Terkecoh oleh kesaktian Suro Bodong yang

ternyata lebih unggul dari pada jurus Cambuk Gegananya. Maka,

dengan menggumam Dayang Kunti pun berkata:

"Tak ada lagi kesaktianmu yang mampu mengecohku?"

Suro Bodong seperti orang tak berdosa, tenang. Bahkan

berkata:

"Jadi bagaimana mengenai pergelangan tangan tadi...?"

"Uuuh...!" Dayang Kunti cemberut. Pura-puranya sewot.

Cambuk dibuang ke tanah, dan ia pergi menuju goa.

"Dayang Kunti...! Aku suka jurus Cambuk Geganamu!" seru

Suro Bodong. Tapi Dayang Kunti tidak menyahut. Lalu, Suro

Bodong memungut cambuk itu dan mengejar Dayang Kunti masuk

ke dalam goa.

Cepat sekali waktu merayap menjadi sore. Suro Bodong dan

Dayang Kunti membakar jagung yang diperolehnya dari sebuah

ladang, jauh dari goa tersebut. Sambil membakar jagung kesukaan

Suro, Dayang Kunti berkata:

"Nanti malam aku akan kembali ke Kadipaten Damardita."

"Mengapa cari penyakit di sana?" pancing Suro Bodong

sambil mengunyah jagung bakai yang sudah matang.

"Aku harus berhadapan dengan Adipati Anom Winingrat!"


Suro Bodong menangkap gelagat dendam di hati Dayang

Kunti. Sambil santai, sebentar-sebentar garuk-garuk kumis, Suro

bertanya dengan polos.

"Kau menyimpan dendam apa dengan Adipati itu?

Kelihatannya cukup sengit."

"Kau belum tahu, siapa dia!" Dayang Kunti cemberut.

"Kalau kau mau menceritakan siapa dia, aku pasti akan tahu

siapa dia. Betul, kan?" Suro menanggapinya dengan santai, supaya

Dayang Kunti tidak terbakar hatinya oleh dendamnya sendiri.

"Kau harus tahu siapa aku lebih dulu, baru kau tahu siapa

Adipati Anom itu."

"Aku mengharapkan kau menceritakan siapa kamu." Suro

duduk bergeser lebih mendekati Dayang Kunti. Lalu ia setengah

berbisik berkata:

"Ceritakanlah, siapa kamu. Barangkali aku bisa membantu

kesulitanmu."

Setelah beberapa saat Dayang Kunti terbungkam, ia berkata

sambil mengangkat jagung-jagung yang sudah hampir hangus.

"Namaku sebenarnya bukan Dayang Kunti...."

"Lalu, siapa? Juminem, Ngatinah atau... Sarmijem?"

Dayang Kunti tidak tertarik untuk menertawakan kelakar

Suro Bodong. Ia semakin dongkol, namun segera berkata:

"Aku putri seorang sultan...."

Suro Bodong menampakkan rasa kagetnya sungguh-

sungguh. Ia memandang Dayang Kunti dengan dahi berkerut.

"Kau boleh percaya boleh tidak, aku memang putri seorang

raja. Ayahku bernama Sultan Yodyagama, raja dari Pakuwon."

Dayang Kunti diam sejenak. Suro Bodong serius, baru Dayang Kunti

melanjutkan ceritanya:

"Namaku sebenarnya adalah: Anggraeni. Aku anak bungsu.

Pada saat sebelum aku lahir, ayahku mengambil anak angkat yang

bernama Temon. Beberapa tahun kemudian, kakakku lahir dan

diberi nama Raden Mas Pambayun. Lalu, lahir lagi kakak kedua

yang di beri nama R.M Arya Ginan. Dan, yang terakhir adalah aku

sendiri: Anggraeni. Setelah kami dewasa, rupanya timbul

keserakahan dari Temon, si Anak Angkat. Kami bertiga diberi

warisan tanah yang amat luas dan bernama Tanah Damar Ombo.

Saat itu, ayah tidak menceritakan soal warisan untuk Temon. Maka,


secara diam-diam dan dengan dibantu oleh Ki Penegak, penasehat

perang ayahku, Temon menjalankan keserakahannya. Dengan cara

halus yang rapi kedua kakakku mati satu persatu. Kemudian,

Temon juga menyingkirkan aku, sebab dengan matinya semua anak-

anak ayahku, maka tanah Damar Ombo akan diwariskan

kepadanya. Waktu itu, seorang prajurit yang sudah bersekongkol

dengannya mengawalku belajar memanah di hutan. Pada saat

sebelumnya aku mendengar Temon memberi perintah kepada

prajurit itu untuk membunuhku di hutan, lalu menceburkan

tubuhku ke jurang. Tetapi, ketika kami berdua di hutan, aku segera

memisahkan diri dari prajurit itu. Aku, yang masih berusia 10 tahun,

segera melarikan diri ke mana saja, sampai akhirnya aku bertemu

dengan si Dewa Bongkok dan diangkat menjadi muridnya. Aku

menetap di goa ini yang sukar di temukan siapa saja."

Suro Bodong manggut-manggut dalam gumam. Ia

mengajukan pertanyaan sambil mengunyah jagung:

"Lalu, Temon sendiri bagaimana?"

"Aku mendengar kabar, Temon juga meracuni kedua orang

tuaku setelah orang tuaku menyerahkan tanah Damar Ombo

kepadanya. Waktu itu, banyak musuh yang mengincar negeri

Pakuwon karena kesuburannya dan di sana ada tambang emas.

Nah, untuk menghindari serangan lawan, Temon memindahkan

kerajaan Pakuwon ke Tanah Damar Ombo. Lalu, jadilah Temon

sebagai seorang Adipati dengan gelar, Adipati Anom Winingrat. Ta-

nah Damar Ombo itu dijadikan Kadipaten Damardita dengan

penasehat Ki Penegak, yang kemudian menamakan dirinya Ki

Ageng Bentaran..."

Dayang Kunti tertegun memandangi api pembakar jagung.

Ia menampakkan kedukaannya dalam sebaris kenangan pahit yang

menyakitkan hati. Sedangkan Suro Bodong, mengunyah jagung,

sesekali memetik-metik jagung lalu melemparkan ke mulutnya.

Matanya memandang Dayang Kunti dengan hati iba. Sampai-

sampai Suro sempat berkata pelan:

"Kalau begitu. Damar Ombo atau Damardita harus kau

rebut kembali."

"Yah..." jawab Dayang Kunti bersemangat sambil

menghempaskan nafas. "Harus kurebut kembali. Tetapi aku harus


membuat perhitungan juga dengan Temon, atau Adipati Anom

Winingrat itu."

Sekali lagi, Suro Bodong manggut-manggut. Nyamuk-

nyamuk mulutnya menguyah jagung. Dan mendadak Dayang Kunti

menatap Suro dalam-dalam, lalu berkata pelan:

"Suro, aku ingin minta bantuanmu dalam hal ini. Aku yakin,

bersama kamu, aku dapat merebut kembali tahan warisan leluhurku

itu. Kau mau menolongku, Suro?"

"Aku sudah sering menolong perempuan cantik," kata Suro,

kali ini bagai terlontar seenaknya. "Dan itu salah satu kegemaranku."

"Sayang aku bukan perempuan cantik..." bisik Dayang

Kunti, dan Suro dengan santai berkata:

"Sayang aku menganggapmu perempuan cantik..."

Dayang Kunti menatap Suro, mereka pun saling tatap. Lalu,

senyum perempuan itu mekar dan bergetar di hati Suro.


LIMA


Dayang Kunti melangkah bersama Suro Bodong menuju

regol Kadipaten. Suro tidak tanggung-tanggung dalam melangkah.

Karena menurutnya. Dayang Kunti itulah yang perlu ditolong dari

kekejian Temon yang rakus harta dan pangkat. Suro tahu,

perempuan secantik Dayang Kunti hanya hidup seorang diri.

Apalah daya bagi perempuan seperti Kunti kalau tidak bergabung

dengan satu keluarga, atau kawin, atau memiliki kekayaan yang

selama ini dirampas oleh Si anak angkat; Temon itu. Ini harus

dibebaskan! Harus direbut kembali demi masa depan dan

kelangsungan hidup Anggraeni yang merubah diri menjadi Dayang

Kunti.

Dua pengawal berdiri di depan pintu gerbang Kadipaten

dengan senjata tombak di tangan. Suro Bodong dan Dayang Kunti

mendekat, masing-masing berdiri di depan kedua penjaga pintu.

Suro Bodong yang berkata kepada salah satu dari mereka dengan

suara tenang:

"Aku ingin ketemu Anom!"

Pengawal itu naik pitam mendengar ada tamu yang berani

menyebut nama rajanya dengan seenaknya. Kedua pengawal itu

adalah prajurit baru yang mengalami masa uji coba sebagai penjaga

pintu gerbang Dalem Kadipaten.

"Tamu tidak tahu sopan!" gertak penjaga yang ada di depan

Suro Bodong. "Panggil Si nuwun, Kanjeng, atau Baginda, atau

Paduka Anom... begitu! Enak saja panggil-panggil nama Anom,

tanpa sebutan menghormat!"

"Kau sendiri telah menyebutkan nama Anom tanpa hormat!"

kata Suro Bodong sambil garuk-garuk kumis.

Pengawal itu menggeragap sebentar tapi sebelum ia bicara,

Suro Bodong telah berkata:

"Buka pintunya, atau panggilkan saja si Anom, suruh keluar

sebentar ke sini! Sana..." seenak saja Suro Bodong memerintah dan

bicara. Pengawal baru itu merasa dihina. Baru jadi pengawal masa'

tidak dihormati. Karenanya, pengawal yang berdiri di depan Suro

itu segera melayangkan pukulannya ke wajah Suro Bodong. Dengan

tangkas dan cepat tangan Suro Bodong menangkap genggaman

tangan prajurit tersebut. Lalu, genggaman tangan itu diremas kuat



kuat, dipelintir sedikit-sedikit hingga pengawal itu menyeringai

kesakitan dengan mulut terganga-nganga.

"Kau apakan temanku, hah?!" teriak yang ada di depan

Dayang Kunti. Ketika prajurit itu akan bergerak membantu

temannya, dua jari tangan Dayang Kunti menotok bawah ketiak

orang itu. Langsung orang itu diam seperti patung hendak

melangkah.

"Jangan buru-buru marah, Mas," kata Dayang Kunti. Prajurit

itu bisa melihat, bisa mendengar, tapi tidak bisa bergerak apa-apa.

Sementara itu, Suro Bodong segera memelintir tangan

pengawal baru dengan keras.

"Aaaoow...!!"

Pengawal itu berteriak kesakitan sambil tubuhnya ikut

meliuk ke samping. Lalu, dengan keras Suro Bodong menendang

orang tersebut sampai terpental ke pintu. Benturan itu rupanya

memang sangat keras, sampai-sampai pintu gerbang yang besar itu

rengat bagian pinggirnya. Orang itu pingsan. Dayang Kunti

menendang pintu besar dengan kekuatan yang sungguh besar.

"Braak...!"

Pintu sebesar gajah jebol berantakan. Tendangan Dayang

Kunti seperti tendangan seorang raksasa yang membuat Suro

Bodong tersenyum bangga.

Jebolnya pintu gerbang menjadi bahan perhatian semua

orang yang ada di Dalem Kadipaten. Suro Bodong melangkah

masuk dengan Dayang Kunti dengan pembawaan serba tenang.

Sempat pula Dayang Kunti mengibaskan tangannya ke samping kiri

ketika ada seorang prajurit jaga yang ingin mencegahnya. Tapi,

nasib prajurit itu tak lama. Ia terpelanting dan kepalanya

membentur dinding, lalu.. klenger!

Waktu itu di paseban sedang ada pertemuan harian, antara

Sang Adipati dengan para punggawa negerinya. Maka, langsung

saja Dayang Kunti dan Suro Bodong menuju paseban. Dua orang

prajurit menghadang mereka sebelum mencapai tangga lantai

paseban. Suro Bodong menggerakkan kakinya secara cepat dan

tepat. Maka, kedua prajurit itu tersungkur jatuh bertindih-tindihan

di lantai paseban.

Suro Bodong menginjak lantai paseban dengan berseru:

"Anom...! Mana si Anom? Aku mau ketemu dia!"


Gembong Wilwo kaget bekali sampai berteriak, "Dayang

Kunti dengan Suro Bodong!"

Semua orang memang memandang tegang dan masing-

masing langsung mencabut senjata mereka. Tapi, Dayang Kunti

dengan Suro Bodong masih menampakkan sikap tenangnya.

Cocak Soga maju dan berseru: "Kalian mau apa sebenarnya

ke mari, hah?!"

"Siapa kemarin yang menamparku?!" kata Suro.

"Aku...!" jawab Cocak Soga dengan berani.

"Plak, plak, braak...!"

Dengan kecepatan yang tak dapat dilihat mata manusia Suro

Bodong memukul Cocak Soga sampai orang kecil itu terpental dan

jatuh menabrak pagar ruangan pendopo itu.

Suro Bodong berseru lagi:

"Ayo, siapa lagi yang kemarin menamparku seenaknya?!"

Tak ada jawaban mereka. Sebaliknya, justru ketegangan

meliputi mereka semua. Karena gerakan Suro Bodong yang dapat

menjatuhkan Cocak Soga dengan secepat itu telah membuat mulut-

mulut terbengong. Padahal kemarin mereka menemukan Suro

Bodong yang bego dan blo'on, tetapi mengapa sekarang Suro

Bodong seganas harimau lapar 7 hari?

Cocak Soga segera mencabut pedangnya dengan kening

berdarah karena terkena kayu pecahan pagar. Ia menyerang Suro

Bodong dengan lompatan bersalto. Suro Bodong berguling dilantai

licin itu. Tubuhnya tepat berhenti di kaki Gembong Wilwo, langsung

saja perutnya diinjak Gembong Wilwo.

"Huuugh...!"

"Modar kau...!" teriak Gembong.

"Hiaaat...!" kaki Suro Bodong menekuk ke belakang, tepat

mengenai alat vital Gembong Wilwo. Orang itu menjerit sambil

jingkrak-jingkrak kesakitan.

Sementara itu, Dayang Kunti menggunakan bambu

sumpitnya untuk melawan Cocak Soga. Ia melompat ketika pedang

Cocak Soga ditebaskan ke perut, kemudian bambunya berkelebat ke

bawah dengan cepat. Pada saat itu, Cocak Soga menjerit, karena

keningnya berdarah bagai terpotong atau tergores benda tajam.

Dayang Kunti berhenti menyerang, sebab dilihatnya Cocak

Soga mengaduh-aduh sambil memegangi lukanya yang berdarah.


Saat itu, Ki Ageng Bentaran melancarkan pukulan jarak jauh berupa

hempasan hawa padat. Pukulan itu mengenai Dayang Kunti hingga

terlempar jauh. Untung Dayang Kunti segera menguasai

keseimbangan tubuhnya, sehingga ia tak sempat jatuh babak belur.

Ia mendarat dengan kakinya yang direnggangkan. Ki Ageng

mengejar Dayang Kunti dengan bernafsu. Dayang Kunti memancing

keluar, dan terjadilah pertarungan di luar Dalem Kadipaten.

Suro Bodong masih gesit melawan Tamtama Agung

Gembong Wilwo. Jurus-jurus Gembong Wilwo sempat

membingungkan Suro Bodong sehingga Suro melompat kian ke

mari menghindari tebasan pedang lawannya.

Namun, pada satu kesempatan, Suro Bodong sempat

memukul tengkuk kepala Gembong dengan sikunya. Orang itu

terhuyung-huyung dan hampir menabrak Adipati Anom yang dari

tadi berdiri memperhatikan perlawanan dari anak buahnya yang

menurutnya gigih-gigih itu.

Suro Bodong melompat dan mengejar Gembong Wilwo.

Tetapi rupanya Gembong Wilwo telah siap menghunuskan

pedangnya ke arah Suro Bodong. Mau tidak mau Suro Bodong

segera menjejakkan kaki pada salah satu tiang, dan bersalto ke

belakang sebanyak tujuh kali. Itu tidak disengaja. Sungguh!

Dengan gerakan bersalto tujuh kali, maka secara dengan

sendirinya ia telah menggunakan jurus Luing Ayan-7. Yang berarti

perubahan ujud Suro pun terjadi seketika itu. Maka, semua mata

memandang dengan takjub dan terheran-heran ketika Suro Bodong

mendarat ke lantai dalam ujud seorang pendekar tampan yang

mengenakan pakaian rompi serta celana ketat warna emas. Ia telah

berubah menjadi Panji Bagus, yang memang tampan. Rambutnya

panjang diikat tali emas, wajahnya mengagumkan setiap wanita,

badannya kekar dan tegap dengan pedang tanpa sarung di

punggung. Pedang itu bagai masuk ke dalam kulit tubuhnya. Itulah

Pedang Urat Petir yang menghebohkan dunia persiltan.

Dalam keadaan yang lain tertegun memandanginya, Suro

Bodong yang telah berubah ujud menjadi pendekar tampan bernama

Panji Bagus itu melesat ke udara. Gerakannya begitu cepat dan

indah. Kakinya lurus ke depan sedang kaki kirinya ditekuk sedikit.

Ketika kaki itu hendak mengenai wajah Gembong Wilwo, kaki itu

segera ditekuk. Pedang Gembong Wilwo menebas tempat kosong di


depannya. Karena, pada saat itulah kaki kiri Suro Bodong maju

menghentakan dan tepat mengenai kening Gembong Wilwo.

"Aaaoow...!!" teriak Gembong Wilwo "Bangsat kau,

setan!" cacinya tak karuan.

Tentu saja hal itu juga mengagetkan Adipati Anom yang

terbengong seperti patung kekurangan sajen. Ia semakin kaget

ketika Suro Bodong tahu-tahu menghentakkan kakinya ke belakang,

tepat pada waktu itu Cocak Soga yang berlumur darah hendak

menyerangnya dari belakang. Kepala Cocak Soga menjadi sasaran

tendangan belakang Suro Bodong.

"Heaaat...!"

"Aaahh...!"

Tubuh Cocak Soga melayang lagi seperti bola tak tentu arah.

Sekali lagi kepala Cocak Soga membentur salah satu tiang pendopo

di pinggiran.

"Wadoow...!!" ia semakin berteriak kesakitan. Darah

mengucur dari kepala atas telinga kiri.

"Setan... terimalah aji pemunahku ini!" teriak Gembong yang

segera melemparkan pedangnya ke arah Suro Bodong dengan cepat.

Pedang itu tiba-tiba menyemburkan semacam asap biru kehitam-

hitaman. Semburannya terarah ke mata Suro Bodong. Tetapi dengan

gesit, tubuh Suro Bodong yang telah menjadi pendekar tampan yang

kekar itu segera berguling-guling di lantai. Ternyata pedang Gem-

bong itu masih mengejarnya sambil menyemburkan asap yang

sudah tentu sangat berbahaya. Suro Bodong segera melompat ke ha-

laman depan pendopo. Waktu itu, pedang Gembong masih

mengejarnya. Dan, Suro segera menghunus Pedang Urat Petir

dengan gerakan yang cepat. Pedang dicabut dari punggungnya lalu

ia melompat ke atas, dan pedang Gembong lolos melalui kaki Panji

Bagus.

"Heaaat...!!"

"Trang...!"

Pedang Urat Petir membabat pedang Gembong dengan

gerakan kuat, hingga pedang Gembong putus menjadi dua bagian

dan jatuh tergeletak di tanah. Ketika kaki Suro mendarat ke tanah, ia

disambut oleh lompatan Cocak Soga yang masih penasaran ingin

menghabisi nyawa lawannya. Maka dengan mudah, Suro Bodong


atau Panji Bagus mengibaskan Pedang Urat Petir ke arah Cocak

Soga.

"Uaaaahh...!!"

Jeritan Cocak Soga diiringi menyemburnya darah dari

perutnya. Semua mata yang menyaksikan hal itu menjadi terpejam

dengan amat ngeri. Usus, rempela dan babat keluar semua dari

perut Cocak Soga. Gembong segera maju dengan kemarahan yang

memuncak, ia bersalto beberapa kali yang mampu membuat lawan

terkesima menjadi patung. Tetapi, Suro Bodong telah lebih dulu

berguling ke lantai dan tahu-tahu berdiri di belakang Gembong

Wilwo.

"Hiaaat...!"

Gembong tidak menjerit. Tidak mau berteriak. Sebab ketika

Pedang Urat Pelir menebas cepat, kepalanya langsung

menggelinding di lantai dan tak sempat berteriak-teriak kesakitan.

Namun demikian, raga Gembong yang sudah tanpa kepala

itu masih sempat berputar balik ke arah Panji Bagus. Maka dengan

serta merta Panji Bagus menendang Gembong tanpa kepala itu

dengan keras, hingga terpental menimpa seorang prajurit yang

berani-berani ngeri untuk mendekati Panji Bagus.

"Kau benar-benar bangsaaat...!!" teriak Adipati Anom yang

segera mencabut kerisnya dengan menyerang Panji Bagus. Panji

Bagus lari menghindar mendekati pintu gerbang. Di sana ada

beberapa prajurit yang juga bubar mendadak karena takut terkena

tendangan atau kibasan pedang Panji Bagus.

"Jangan lari kau iblis...!!" teriak Anom Winingrat.

Panji Bagus tahu dikejar, maka ia pun keluar dari Dalem

Kadipaten. Pancingannya ternyata tepat, bahwa Anom Winingrat

pun segera menyerang dengan melompati tembok, lalu menghadang

Panji Bagus dari luar.

Di luar Dalem Kadipaten, ternyata Dayang Kunti sedang

melakukan perlawanan sengit dengan Ki Ageng Bentaran. Dayang

Kunti sudah terluka pinggang dan punggungnya. Luka hangus yang

tidak dirasakan. Ia tetap menyerang dengan sumpit sebesar

kelingking itu. Tetapi Ki Ageng Bentaran sendiri telah terluka di

dada. Tergores bambu itu dengan darah meleleh membasahi jubah

putihnya.


Berulangkali Ki Ageng melancarkan pukulan tenaga

dalamnya yang memancarkan sinar hijau muda. Tetapi dengan

cambuk Dayang Kunti menangkisnya. Bahkan kini cambuk dan

bambu sumpit semakin ganas menyerang Ki Ageng bertubi-tubi.

Lelaki tua dengan rambut putih itu melompat dengan gesit dan

bersalto menghindarinya. Sulit sekali mengenai tubuh Ki Ageng. Hal

itu diakui Dayang Kunti dalam hati.

Sementara itu, Panji Bagus masih berusaha menjatuhkan

Anom Winingrat. Adipati itu cukup ulet. Sehingga ia pernah

berhasil menendang dada Panji Bagus dan nyaris membenamkan

kerisnya yang menyala-nyala kuning ke perut Panji Bagus.

Sedangkan Pedang Urat Petir yang menyala pijar ungu itu masih

berusaha berkelebat mencari kelemahan Anom Winingrat. Panji

Bagus berguling di tanah tanpa peduli tempat kotor. Ia menebaskan

pedangnya berulangkali, tetapi Anom Winingrat pandai mengelak

dengan lompatan-lompatan salto. Hanya saja, pada saat ia

menjejakkan kakinya ke tanah dari lompatannya, tiba-tiba kaki Panji

Bagus mendapat kesempatan empuk untuk menendang punggung

Adipati. "Aaahhkk...!"

Anom Winingrat terpental, dan tubuhnya melayang

menabrak Ki Ageng Bentaran. Saat itu, Ki Ageng baru saja hendak

melancarkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Dayang Kunti yang

jatuh tersungkur.

Nafas mereka terengah-engah semua. Dayang Kunti

ditolong tangan Panji Bagus. Ia jadi tertegun memandang wajah

ganteng sang pendekar berpedang Urat Petir. Dayang Kunti mau

bertanya, siapa pendekar itu. Tetapi ia segara paham setelah melihat

pedang bersinar ungu di tangan Sang Pendekar; pasti jelmaan Suro

Booong. Pikirnya. Maka, langsung saja dia berkata, "Suro, biar

kuhabisi Anom dan kau habisi Ki Ageng itu...!"

"Temon...!" Dayang Kunti segera berseru setelah Panji Bagus

menganggukkan kepala.

"Dari mana kau tahu namaku, hah?!" geram Adipati.

"Kau ingat Anggraeni?!" teriak Dayang Kunti. "Akulah

Anggraeni yang ingin menuntut balas kematian keluargaku karena

keserakahan kalian berdua, dan aku akan merebut tanah hak

milikku ini, tanah Damar Ombo! Terimalah kematianmu sekarang

juga, Temon...!"


Kedua orang lawan Dayang Kunti itu masih terbengong

ketika mereka mengetahui bahwa Dayang Kunti adalah Anggraeni

yang pernah diperintahkan untuk dibunuh. Dalam keadaan

terbengong begitu. Dayang Kunti melambung tinggi dan bersalto

beberapa kali. Kemudian sumpit Jarum Kilatnya bekerja dengan

cepat, melesat bertubi-tubi ke arah Adipati. Sehingga, salah satu

jarum-jarum hitam itu ada yang menembus tepat di mata Adipati.

"Aaauhh...! Aaaahh...!" Adipati Anom menjerit sekuat

tenaga, karena dalam keadaan limbung begitu. Dayang Kunti masih

melancarkan serangan Jarum Kilat hitam ke tubuh Adipati Anom.

"Jub... jub... jub...!" Hingga lebih dari seratus jarum yang

menghunyam tubuh Sang Adipati. Lalu, tubuh itu tak sempat

hangus lagi.

"Blaar...!"

Sebuah ledakan mengakibatkan tubuh Sang Adipati menjadi

terpotong-potong beberapa bagian. Sedangkan Dayang Kunti berdiri

puas dan bara dendam di matanya mulai meredup. Lain hal dengan

Ki Ageng, ia semakin panik dan kemarahannya begitu tinggi, ia

hendak meninggalkan pertarungannya dengan Panji Bagus, dan

beralih menyerang Dayang Kunti dengan menggunakan aji Barong

Bangkai, yaitu sebuah teriakan yang mampu memecahkan kepala

orang yang mendengarnya. Tetapi, baru saja ia membuka mulut dan

hendak berteriak, Panji Bagus melemparkan pedangnya ke atas

hingga pedang itu berputar tujuh kali, kemudian menendang pe-

dang itu hingga pecah menjadi tujuh bagian. Ketujuh bagian itu

melesat sendiri-sendiri menghunjam tubuh Ki Ageng Bentaran. Bah-

an ada salah satu bagian pedang yang masuk ke mulut pada saat

mulut Ki Ageng hendak berteriak. Maka, jurus Pedang Jitu Suro Bo-

dong itu menjadi akhir dari pertarungan tersebut.

Pedang yang terpecah menjadi tujuh bagian itu bisa

berkumpul sendiri dan melesat kembali ke arah pemiliknya, yaitu

Panji Bagus, atau Suro Bodong yang menjelma menjadi ujud

Pendekar tampan.

Dayang Kunti tersenyum sambil melelehkan air mata

melihat akhir dari perjuangannya selama ini. Ia mendekati Panji

Bagus dan tanpa malu-malu memeluk pendekar berhidung bangir

dan bermata kebiru-biruan. Bening. Segar.


"Terima kasih... terima kasih. Suro..." itu ucapan yang

terdengar di sela isak tangis kebahagiaan Anggraeni. Karena pada

saat itu, semua prajurit Kadipaten keluar dan bersujud kepada

Dayang Kunti sebagai tanda menyerah.

"Kadipaten dan tanah ini memang milikmu, Anggraeni.

Ambillah! Malingnya sudah kukirim ke neraka...!"

"Aku juga mengirimnya!"

"O, ya... kita memang yang mengirimnya. Ambillah dan

memerintahlah dengan adil dan bijaksana...!"

"Mungkin akan bisa langgeng apabila kau mau duduk

disampingku, Suro...."

"Mungkin juga. Tapi... sementara ini aku belum bisa

memilih apa-apa, kecuali ingin memakan jagung bakar di kamar

tidurmu, Anggraeni...."

Tawa itu lirih. Tawa itu milik Anggraeni yang semakin erat

memeluk Panji Bagus, atau Suro Bodong yang bergelar Pendekar

Tujuh Keliling.



                            SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar