"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 11 Desember 2024

PENDEKAR MABUK EPISODE PERAWAN SESAT

PENDEKAR MABUK EPISODE PERAWAN SESAT

Serial : Pendekar Mabuk

Judul : 04. Perawan Sesat

Pengarang : ?

Penerbit : ?


SATU



SEMILIR angin menghembus ke permukaan telaga.

Air telaga bergerak-gerak bagai digelitik jemari

perawan. Telaga yang tidak begitu luas itu dikelilingi

oleh pepohonan rindang berbatang tinggi. Teduh sekali 

suasana di sekeliling telaga.

Tiba-tiba tanpa angin tanpa badai, air telaga

berkecipak dan muncrat ke atas. Sesosok tubuh melesat 

keluar dari kedalaman telaga. Tubuh itu segera

bersalto ke depan dan kejap berikutnya sepasang kaki

kekarnya telah menapak tanah. Jliggg...!

Napas orang itu terhempas. Sebagian air ikut

menyembur keluar dari mulutnya. Matanya yang kecil

tapi tajam itu menatap sekeliling dengan penuh

waspada. Orang berpakaian hitam dengan alis kuning

emas pada tepiannya itu segera kibaskan kepala.

Rambut dan sekujur tubuhnya yang basah siratkan air

ke kanan-kiri. Ikat kepalanya dilepas dan diperas.

Melihat dari bentuk kumisnya yang sedikit tebal

dengan cambang tipis, sebuah pedang sarung perak

berukir yang tetap tersemat di pinggang kirinya, ia 

cukup dikenal di rimba persilatan. Para tokoh

mengenalnya dengan nama: Datuk Marah Gadai. Ia 

tergolong salah satu dari sekian tokoh sakti yang punya 

hasrat untuk menguasai rimba persilatan di seluruh

tanah Jawa. Ia punya harapan untuk menjadi penguasa 

tanah Jawa, hingga tak segan-segan turunkan tangan

dan cabutkan pedang untuk membunuh siapa pun yang 

menjadi penghalangnya.

Datuk Marah Gadai memandangi air telaga dengan


perasaan dongkol. Matanya yang berkesan bengis itu

semakin tampak bengis, karena sebuah perasaan

kecewa yang dikarenakan oleh sesuatu hal semakin

menggerogoti jiwanya. Datuk Marah Gadai menggeram

dalam keraguan bertindak.

"Kutinggalkan telaga keparat ini, atau kucoba sekali 

lagi menyelam dan mencari di dasar telaga. Bila perlu 

kuangkat semua tanah yang ada di dasar telaga ini!"

Belum sampai Datuk Marah Gadai putuskan

langkah, tiba-tiba ia mendengar suara tawa terkekeh

dari atas pohon. Cepat-cepat Datuk Marah Gadai

palingkan wajah lemparkan pandangan ke atas.

"Turun kau, Monyet!" sentak Datuk Marah Gadai

dengan kasar.

"Tak perlu kau suruh aku turun, aku memang sudah 

berniat turun sendiri. Karena kaulah orang yang kucari-

cari beberapa waktu ini dan ternyata kutemukan di

sini! He, he, he...!"

Orang di atas pohon itu segera melompat turun.

Tubuhnya yang kurus kering bagaikan kipas dihembus

angin. Rambutnya yang putih panjang meriap panjang 

bagaikan serabut akar kering melayang ke mana-mana. 

Orang yang bercelana hitam, berkain putih penutup

dada, dan menggenggam tongkat kayu putih itu tak lain 

adalah Peramal Pikun dengan nama asli Renggono. Dia 

adalah kakak dari Cadaspati, murid Malaikat Tanpa

Nyawa, yang tempo hari telah dibunuh oleh Datuk

Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam

episode: "Darah Asmara Gila").

Tokoh tua yang lebih banyak cengengesan itu

memang mempunyai kesaktian melebihi adiknya, tapi

ia tidak termasuk sebagai murid Malaikat Tanpa Nyawa. 

Bahkan dulu ia pernah bentrok dengan Malaikat Tanpa 

Nyawa, dan ia segera kabur karena sang adik membela 

gurunya. Namun sebagai seorang kakak, Peramal Pikun 

tak bisa tinggal diam melihat kematian adiknya di

tangan Datuk Marah Gadai. Untuk itulah ia merasa

gembira karena bisa bertemu dengan pembunuh

adiknya di tepi Telaga Manik Intan.

Peramal Pikun hentikan tawanya sejenak.

Pandangan matanya menjadi lebih tajam. Kata-katanya 

terasa sedingin es.

"Kau yang membunuh Cadaspati, adikku!"

"Benar!" jawab Datuk Marah Gadai bersikap

menantang. "Apakah kau ingin menyusulnya? Aku

bersedia membantumu!"

"Kau yang akan kususulkan ke sana untuk meminta 

maaf padanya!"

Datuk Marah Gadai sunggingkan senyum tipis dan 

sinis, pertanda meremehkan gertakan Peramal Pikun.

"Rupanya biar tua kau masih punya nyali juga,

Peramal Pikun! Seharusnya kau bisa bayangkan, adikmu 

yang terhitung lebih muda dan lebih lincah darimu itu

bisa kubunuh tanpa ampun lagi, apalagi kamu yang

sudah tua renta tinggal tulang terbungkus kulit? Sama

saja aku melawan ranting kering yang sudah waktunya 

rengas!"

Peramal Pikun menyipitkan pandangan matanya.

Tangan kanannya yang menggenggam tongkat meremas 

kuat. Kejap berikutnya ia sentakkan kepala tongkat ke 

depan, kaki merendah terbentang, tangan terangkat ke 

atas.

Wuuugh....!

Sebuah gumpalan tenaga dalam dilancarkan melalui 

kepala tongkatnya. Tenaga dalam itu melesat ke dada

Datuk, tapi dengan cepat tangan kanan Datuk terangkat 

di depan dada dengan dua jari mengeras berdiri dan

punggung tangan itu menghadap ke arah depan. Dari

punggung tangan itu keluar gelombang tenaga

penangkis, sehingga di depan mereka terdengar suara

seperti dua benda empuk beradu.

Beggh...!


Kedua tubuh masih sama-sama tegak. Hanya kain

dan rambut Peramal Pikun yang tersibak bagai

dihembus angin balik. Sementara itu, Datuk Marah

Gadai sunggingkan senyum karena ia pun merasa sedikit

terdorong oleh benturan tenaga dalam itu.

Peramal Pikun mengendurkan urat-urat tangannya

dan kembali bersikap seperti tadi. Tongkatnya

ditapakkan ke tanah. Seakan apa yang dilakukan tadi

hanya untuk menguji kesigapan lawannya.

Sang lawan pun menurunkan tangan dan berdiri

dalam sikap tenang seperti semula. Datuk Marah Gadai 

melangkah ke samping dua tindak. Sengaja ia berdiri

bersandar pohon supaya timbul kesan menganggap

enteng kehadiran Peramal Pikun.

"Kalau kau menuntut kematian adikmu itu kuanggap 

tuntutan yang wajar. Tapi aku sangsi, apa kamu bisa

mengungguli ilmuku, Peramal Pikun?"

Merasa diremehkan, Peramal Pikun sentakkan

tongkatnya ke tanah. 

Duggg...!

Tak diduga-duga tubuh Datuk Marah Gadai

tersentak ke atas dan nyaris jatuh ke tanah. Rupanya

Peramal Pikun salurkan tenaga dalamnya melalui

tongkat, dan tenaga dalam itu melesak masuk ke

tanah, lalu menyentak ke atas, membuat tubuh Datuk

Marah Gadai tersentak naik. Ada separo tombak tinggi

sentakan itu. Kalau saja Datuk Marah Gadai tidak bisa

cepat kuasai keseimbangan, ia akan jatuh terduduk di

tanah. Untung ia segera kuasai keseimbangan tubuhnya 

yang sedikit gemuk itu, sehingga ia hanya terhuyung-

huyung dan berhasil berpegangan batang pohon. 

"Datuk Marah Gadai!" kata Peramal Pikun dengan

tegas. "Perlu kau ketahui, kehadiranku menemui dirimu 

bukan hanya menuntut balas atas kematian adikku, tapi 

juga ingin merebut Pusaka Tuak Setan yang kau ambil

dari Cadaspati, adikku itu."

"Pusaka apa yang bisa diperoleh adikmu itu?! Tidak 

ada pusaka apa-apa yang bisa diperolehnya, karena

adikmu itu sebenarnya manusia tanpa isi, tak punya

ilmu apa-apa, sehingga tak bisa memperoleh pusaka

apa pun! Menyesal juga aku telah bersusah payah

mengejarnya, buang-buang waktu saja, dan ternyata

Pusaka Tuak Setan memang tidak ada padanya."

"Hmmm... begitukah pengakuanmu, Datuk Marah

Gadai? Jika memang Cadaspati tidak memegang pusaka 

itu, tentunya kau sekarang telah memegangnya! Aku

lihat sendiri kau muncul dari kedalaman telaga!"

"Ya. Memang aku muncul dari kedalaman telaga ini. 

Lantas apa maksudmu?"

"Tentunya kau yakin jika Pusaka Tuak Setan itu

masih ada di dasar telaga, dan kau segera memburunya 

setelah kau bunuh adikku itu. Tentunya juga kau

sekarang sudah mendapatkannya, Marah Gadai!"

Tawa Datuk Marah Gadai terlepas keras. Pada saat 

yang sama, Peramal Pikun berkata dalam hatinya.

"Pasti dia sudah dapatkan pusaka itu. Kalau dia

tidak memperoleh Pusaka Tuak Setan dari Cadaspati,

tak mungkin dia menyelam di dalam telaga dalam

keadaan tanpa melepas pakaian. Sengaja dia menyelam 

dengan berpakaian lengkap, karena keadaan itu bisa

dimanfaatkan olehnya untuk menyembunyikan Pusaka

Tuak Setan di balik baju atau pinggangnya itu."

Datuk Marah Gadai hentikan tawa. Tapi bibirnya

masih sunggingkan sisa senyum sinisnya, sambil ia

perdengarkan suaranya yang sedikit besar itu.

"Lucu sekali buatku. Dulu, sangkaku Cadaspati

membawa Pusaka Tuak Setan dari dasar telaga, sebab

aku lihat dia muncul dari kedalaman telaga. Lalu aku

kejar dia sampai akhirnya kubunuh, dan ternyata dia

tidak pegang pusaka itu. Sekarang, aku muncul dari

dasar telaga tanpa membawa pusaka itu, tapi disangka 

berhasil memperoleh pusaka itu. Tentunya kau tidak


percaya jika kukatakan bahwa aku tidak memperoleh

benda apa pun di dalam dasar telagaiItu! Satu pasir pun 

tidak kubawa naik ke permukaan ini, Peramal Pikun.

Harap kau mau percaya agar tak terjadi salah duga

yang berakibat buruk, seperti nasib adikmu itu!"

Peramal Pikun membatin, "Apa benar dia tidak

dapatkan pusaka itu? Jika benar, lantas ke mana

perginya pusaka itu? Siapa yang sudah berhasil

membawanya pergi? Atau... masih ada di dalam telaga 

ini?"

Sejurus setelah keduanya sama-sama diam, Datuk

Marah Gadai kembali perdengarkan suaranya,

"Peramal Pikun, kurasa kau tak perlu curiga

padaku. Pusaku itu memang tidak ada. Mungkin juga

yang namanya Pusaka Tuak Setan hanya merupakan

kabar bohong saja. Pusaka itu tidak pernah ada dari

dulu sampai sekarang. Jadi, tak ada guna kita

bersitegang memperebutkannya. Dan, aku tak bisa

terlalu lama tinggal di sini, karena aku punya banyak

urusan di tempat lain. Aku harus segera pergi!"

"Tunggu!" cegah Peramal Pikun sambil melangkah

satu tindak.

"Urusan kita belum beres, Marah Gadai!"

"Sudah kukatakan, Tuak Setan itu tidak ada!"

"Barangkali benar. Tapi urusan soal kematian

adikku belum selesai. Kau harus menebusnya dengan

nyawa pula, Marah Gadai!"

"Aku tidak tega jika harus meremukkan tulang-

tulang tuamu, Renggono!" kata Datuk Marah Gadai

menyebutkan nama asli Peramal Pikun. Tetapi agaknya 

orang berkumis putih dan beralis tebal putih itu tidak

mau membiarkan lawannya pergi begitu saja.

Saat Datuk Marah Gadai balikkan badan dan siap

melangkah, Peramal Pikun segera kibaskan tongkatnya

ke arah depan, dari kanan ke kiri. Wuuung...! Bunyi

kibasannya mirip suara gasing.


Datuk Marah Gadai segera balikkan badan untuk

menangkis pukulan tenaga dalam itu. Tapi ia telat

bergerak. Tenaga dalam tanpa bentuk itu telah

menghantam bagian punggungnya. Bugg...! Tubuh

orang berpakaian basah itu terjungkal ke depan tanpa

ampun lagi. Pakaian yang basah menjadi kotor karena

tanah. Peramal Pikun melihat adanya peluang emas

untuk membunuh Datuk Marah Gadai. Maka, ujung

tongkatnya yang bawah disentakkan ke depan dengan

mengerahkan tenaga dalamnya. Zuuut...! 

Crasss...!

Ujung tongkat itu keluarkan cahaya merah yang

membentuk seperti lempengan logam bundar. Sinar

merah itu melesat cepat ke arah Datuk Marah Gadai.

Melihat kelebatan sinar merah, Datuk Marah Gadai 

tak punya kesempatan untuk menangkisnya, ia hanya

tolakkan kaki kanannya ke tanah, dan tubuhnya

melesat naik dengan ringan dalam keadaan masih

berbaring. Tubuh yang terangkat bagaikan terbang itu

selamat dari sasaran sinar merah. Tetapi sinar itu

menghantam bagian bawah pohon, memotong batang

pohon itu bagaikan gergaji yang luar biasa tajamnya.

Brukkk...! Pohon itu pun tumbang dengan potongan 

rapi bak irisan kue lapis. Datuk Marah Gadai sempat

terhenyak melihat potongan serapi itu. Segera ia

sigapkan diri kembali dan palingkan wajah ke arah

Peramal Pikun.

"Bersyukurlah kau bisa selamat dari jurus 'Kepak

Garuda'-ku. Andai tidak, tubuhmu akan terpotong

seperti pohon itu, Marah Gadai!"

Datuk Marah Gadai menggeram sambil genggamkan 

dua tangannya kuat-kuat. Matanya menatap bengis 

tanpa senyum sedikit pun.

"Tua pikun bikin penyakit kau ini, Renggono!

Jangan merasa bangga dengan jurus mainanmu seperti 

itu. Coba kau terima jurus 'Tapak Dewa'-ku ini, hiat...!"

Kaki kanan Datuk Marah Gadai menendang ke

depan dalam satu sentakan keras. Dari telapak kaki itu 

keluar sinar putih keperakan yang dulu nyaris

melenyapkan nyawa Cadaspati di telaga itu juga.

Peramal Pikun pernah melihat kehebatan jurus 'Tapak

Dewa' itu. Ia tidak menghindar, karena ia mempunyai 

jurus tandingan sendiri.

Maka ketika sinar putih keperakan itu melesat ke

arahnya, Peramal Pikun sentakkan jari tengah dari 

tangan kanannya. Jari yang menyentak ke depan itu

keluarkan nyala pijar api merah juga, dan menghantam 

sinar putih keperakan itu. Duarrr...!

Benturan dua tenaga dalam dahsyat itu timbulkan

dentuman yang sempat membuat permukaan air telaga 

berguncang. Tubuh Datuk Marah Gadai terpental ke

belakang, membentur batang pohon yang tadi

tumbang. Sementara itu, tubuh Peramal Pikun hanya

terdorong ke belakang, dua langkah jaraknya.

Datuk Marah Gadai cepat bangkitkan diri. Satu kaki 

sentakkan ke tanah dan tubuhnya melesat bagai

terbang disertai pekik kemarahan. "Hiaaaaat...!"

Melihat Datuk Marah Gadai melompat ke arahnya,

Peramal Pikun tak mau tinggal diam, sehingga ia pun

sentakkan tumit sedikit dan tubuhnya melayang

terbang menyongsong lawan. Mereka beradu pukulan 

tenaga dalam di udara.

Plak plak plak...! Begg...!

Telapak tangan Datuk Marah Gadai berhasil

menghantam dada Peramal Pikun. Tak ayal lagi tubuh 

kurus kering itu tersentak ke belakang dan jatuh

berguling-guling.

Darah keluar dari mulut Peramal Pikun. Kain putih 

yang menyilang dari pundak ke pinggang itu tampak

hitam, terbakar oleh pukulan telapak tangan Datuk

Marah Gadai. Bekas pukulan itu masih mengepulkan

asap tipis dan menyebarkan bau hangus sebuah kain.

Datuk Marah Gadai sendiri masih berdiri tegak

tanpa luka. Ia memandang lawannya dengan senyum

sinis meremehkan. Jarak mereka antara tujuh langkah, 

tanpa penghalang benda apa pun.

Pada saat itu, tongkat Peramal Pikun tergeletak di 

tanah akibat lepas dari pegangannya saat beradu

pukulan di udara tadi. 

Melihat tongkat ada di dekat kaki kanan, keadaan

tubuh masih separo berbaring, secepatnya Peramal

Pikun jejakkan kakinya ke kepala tongkat. Dalam satu

jejakan kaki, tongkat itu melesat sendiri menuju arah

lawan. Wuuugh...!

Trak... trak...! Dua tangan Datuk Marah Gadai

sentakkan ke atas dari bawah tongkat yang hampir

mengenai dadanya. Sentakan keras tangan itu membuat 

tongkat membalik dan terlempar kuat, hingga melayang 

tinggi sampai akhirnya jatuh tepat di depan mata

Peramal Pikun.

Jlubh...! Tongkat itu jatuh dalam keadaan berdiri

dan menancap di tanah. Bagian kepala tongkat tetap

menghadap ke atas. Dengan sigap Peramal Pikun yang

sudah terluka itu menangkap tongkat dan berusaha

untuk bangkitkan badan.

Tetapi Datuk Marah Gadai tak mau diam saja. Ia

segera sentakkan kakinya lagi bagai menendang udara

kosong, dan jurus 'Tapak Dewa' kembali dilancarkan ke 

arah Peramal Pikun. Sinar putih keperakan itu melesat 

cepat menghantam Peramal Pikun, Wuuush...!

Seperti dalam kisah Pusaka Tuak Setan, jurus maut 

'Tapak Dewa' itu pernah ditendangkan ke arah

Cadaspati. Tapi waktu itu Cadaspati bisa menghindar,

dan yang menjadi sasaran adalah batu di belakangnya. 

Batu itu lenyap begitu saja ketika terhantam sinar

putih keperakan. Batu itu tiba-tiba berubah menjadi

bubuk hitam yang lembut sekali.

Begitu pula saat sinar putih keperakan itu

menerjang tubuh Peramal Pikun, tiba-tiba tubuh itu

lenyap. Bekasnya tak ada, bahkan tongkatnya pun ikut 

lenyap. Tapi batu besar yang semula dipakai sandaran

tubuh Peramal Pikun ikut lenyap. Hilangnya batu Itu

meninggalkan bekas bubuk hitam yang menggunduk 

kecil di tanah.

Datuk Marah Gadai heran dan membatin, "Aneh.

Mengapa lenyapnya tubuh Peramal Pikun tidak

meninggalkan bekas apa pun, kecuali bekas darahnya

yang tadi keluar dari mulut? Mestinya tubuh itu pun

meninggalkan bekas debu seperti batu tersebut."

Ketika Datuk Marah Gadai palingkan wajah ke

seberang telaga, ternyata tubuh Peramal Pikun ada di

sana, bersandar pada sebatang pohon. Orang itu masih 

dalam keadaan duduk dan menahan sakit di dadanya.

"Setan! Cepat sekali ia berpindah tempat sejauh

itu?" pikir Datuk Marah Gadai. Kemudian ia pun serukan 

kata,

"Jangan harap kau bisa lolos dari seranganku,

Renggono!" 

Tanpa menghampiri lawannya, Datuk Marah Gadai

kembali lancarkan tendangan mautnya yang dinamakan 

jurus 'Tapak Dewa'. Sinar putih keperakan kembali

meluncur cepat melebihi anak panah ke arah Peramal

Pikun yang keadaannya semakin parah. Wuuush...!

Pohon yang dipakai sandaran Peramal Pikun itu ikut 

lenyap seketika karena dihantam sinar putih 

keperakan. Pohon itu tinggalkan sisa serbuk putih

kehijauan yang menggunduk di tanah. Tapi tubuh

Peramal Pikun lenyap tanpa bekas lagi.

Datuk Marah Gadai melebarkan matanya mencari

ke kanan-kiri, ternyata dia temukan tubuh lawannya

sedang terbaring di atas tanah, di depan dua gugusan 

batu cadas. Tongkatnya masih tergenggam di tangan 

kanan. Wajahnya makin pucat pasi.

"Hebat sekali dia. Bisa menghilang bagaikan

siluman!" ucap batin Datuk Marah Gadai dengan nada

heran. "Padahal keadaannya separah itu, tapi ia masih 

bisa menghindari pukulanku dengan melesat cepat tak 

terlihat oleh mataku. Agaknya, orang tua renta itu

tidak bisa ditumbangkan semudah menumbangkan

adiknya. Kalau kugunakan pedangku, pastilah dia tak

akan bisa berkutik lagi. Tapi, haruskah aku 

menggunakan pusaka Pedang Lidah Iblis ini untuk

urusan seperti ini? Ah, tidak! Cukup dengan pukulanku

yang melukai bagian dalamnya, tua renta itu akan mati 

sendiri. Karena pukulan itu tidak akan mudah terobati! 

Sebaiknya kutinggalkan saja dia, supaya aku tidak boros 

tenaga!"

Tanpa tinggalkan pesan dan pamit. Datuk Marah

Gadai sentakkan kakinya dan melesat pergi dari Telaga 

Manik Intan. Kepergiannya itu hanya bisa dilihat saja

oleh Peramal Pikun, tak dapat lagi ia cegah kepergian

musuhnya karena luka dalamnya terasa semakin parah. 

Peramal Pikun hanya bisa bicara dalam hatinya.

"Tukang gadai itu minggat begitu saja! Setan! Aku

tak bisa mencegahnya. Pukulan tenaga dalamnya ini

sungguh luar biasa tingginya. Hampir saja aku tak kuat 

menahan. Kalau saja jurus 'Tapak Dewa'-nya tadi

mengenaiku, habis sudah riwayatku di telaga ini. Hanya 

saja... siapa orang yang telah memindahkan tubuhku

dari tempat satu ke tempat yang lain? Pastilah dia

orang berilmu tinggi, sampai gerakannya tak bisa

terlihat oleh mataku sendiri!"

*

* *

DUA



TAMAN Perguruan Merpati Wingit dibangun dengan

berbagai keindahan, kenyamanan, dan keanehan.

Selain air mancur yang muncrat ke atas tapi tak pernah 

kembali ke kolamnya, juga terdapat sebuah ayunan

bertiang gawang. Ayunan itu mempunyai kursi tempat 

duduk untuk dua orang dengan punggung kursi terbuat 

dari bahan kayu berukir yang mempunyai bantalan

empuk. Ayunan itu mempunyai atap tak terlalu lebar.

Yang menjadi keanehan dari ayunan tersebut adalah

tempat duduk itu tidak mempunyai tali atau besi

pengait. Kursi itu bagaikan mengambang di udara, tapi 

bisa diayunkan maju mundur.

Di atas ayunan itu, duduklah seorang pemuda

bercelana putih dan berbaju coklat tanpa lengan.

Rambutnya riap-riapan dibiarkan begitu saja. Pemuda

tampan yang selalu berada tak jauh dari bumbung

bambu tempat menyimpan tuaknya itu tak lain adalah

murid sinting si Gila Tuak, yaitu Suto Sinting!

Kala itu Suto duduk di ayunan aneh dengan ke dua 

mata lurus memandang ke setangkai mawar ungu, tapi 

jelas pikirannya tidak berada di ujung kuncup-kuncup 

bunga mawar itu. Suto masih tak habis pikir mengapa

orang-orang Perguruan Merpati Wangit itu bersikap

begitu baik padanya, namun juga begitu bodoh

tindakannya.

Sejak Suto dirawat di Perguruan Merpati Wingit

akibat tubuhnya mengepulkan asap dan berkelejotan 

bagaikan terbakar itu, ternyata banyak kejadian bodoh 

yang dilakukan oleh murid-murid Merpati Wingit, yang

pada umumnya perempuan itu.

Seperti dikisahkan dalam episode : "Darah Asmara

Gila", tubuh Suto menjadi seperti terbakar saat cairan

dari Tuak Setan itu tertelan masuk ke dalam mulutnya, 

ia terkapar di atas bukit itu, ditinggalkan oleh

lawannya si Mawar Hitam dari Pulau Hantu, sedangkan

Peri Malam yang waktu itu membela Suto dan

menyerang gurunya sendiri, dalam keadaan parah

akibat pukulan sang Guru.

Pada saat itulah Nyai Guru Betari Ayu datang dan

terkejut melihat keadaan Suto yang mirip sedang

sekarat itu. Betari Ayu datang bersama Murbawati,

muridnya, kemudian segera membawa lari tubuh yang

berasap itu ke Perguruan Merpati Wingit, tempat Betari 

Ayu duduk sebagai Guru dan ketua perguruan tersebut.

Enam hari lamanya Suto dalam perawatan Betari

Ayu, demikian pula Peri Malam. Mereka dirawat

berbeda kamar, sebab Betari Ayu selalu

mengistimewakan Suto dalam segala hal. Peri Malam

yang sudah dianggap murid murtad oleh Mawar Hitam

itu dirawat di dalam ruang penyembuhan, sedangkan

Suto dirawat di dalam kamar pribadi Betari Ayu, yang

tentu saja jauh labih bersih, lebih indah, dan lebih

wangi dari ruang-ruang lainnya.

Sebenarnya bagi Suto sendiri, tak perlu ia harus

dirawat sedemikian khususnya. Karena Gila Tuak

gurunya, pernah jelaskan bahwa siapa pun orangnya

yang pernah telan Tuak Setan, tubuhnya akan menjadi 

seperti terbakar dan lemas tak berdaya selama satu 

hari penuh. Hari berikutnya orang itu akan sehat 

kembali dengan mempunyai satu kekuatan dalam maha 

dahsyat. Dan untuk pengendapan Tuak Setan di dalam

tubuh orang yang meminumnya itu dibutuhkan waktu

satu hari penuh.

Tetapi, Nyai Betari Ayu tidak mengetahui hal itu. Ia

menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Suto,

sebab sangkanya Suto terluka dalam karena suatu

pertarungan hebat. Tak disadari oleh Betari Ayu yang

ada di dalam raga Suto itu menjadi lebih besar dan

punya kekuatan tersendiri, yaitu membentuk

gelombang tenaga yang dapat memancarkan daya pikat 

luar biasa lewat sorotan matanya. Daya pikat itu hanya

berlaku untuk lawan jenisnya.

Selama dua hari Suto selalu mendapat saluran hawa 

murni dari Nyai Betari Ayu. Sekalipun Suto sudah

merasa enak badannya, tapi Nyai Betari Ayu masih

tetap mendesak Suto untuk tetap beristirahat dan

jangan banyak bergerak.

Empat hari lamanya Suto selalu berada di kamar

pribadi Nyai Betari Ayu. Selama empat hari itu pula

sudah lima orang murid perempuan di situ yang

minggat karena mereka begitu terpikat melihat

ketampanan Suto, tak terkuasai amukan birahi dan

cintanya, akhirnya mereka pergi satu persatu, beda

waktu dan beda tempat, tanpa kesepakatan.

Betari Ayu sendiri hampir saja larut dalam

kepicikan otaknya dan ingin pergi dari perguruan yang

dipimpinnya. Karena selama tiga hari ia berada di

dalam kamar bersama Suto, namun Suto tidak mau

memberikan sebentuk kemesraan yang diharapkan

hatinya dan dituntut jiwanya. Pada hari ketiga itu, 

Nyai Betari Ayu sempat berkata,

"Rasa-rasanya aku juga ingin pergi karena tak kuat

lagi menahan rasa sakit yang menyiksa hati."

"Apa yang membuat hatimu sakit dan tersiksa,

Nyai?"

"Sebentuk keinginan yang tak tersampaikan." 

"Apa keinginanmu itu, Nyai?" 

Lama sekali Betari Ayu yang memang ayu itu

terdiam dan tundukkan wajahnya. Suto memandangi 

dengan satu keheranan yang tidak dimengerti. Bahkan

keheranannya itu kian bertambah besar setelah

mengetahui Nyai Betari Ayu itu teteskan air mata.

Perempuan itu bagaikan tak mau ingat lagi

kedudukannya, kewibawaannya dan kharismanya

sebagai guru yang sangat dihormati dan ditakuti di

perguruan tersebut. Perempuan itu menangis nyata-

nyata di depan tamu istimewanya itu. Tak terpikir lagi

rasa malu, tak terpikir lagi akan jatuh harga dirinya,

Nyai letari Ayu ucapkan kata di sela tangisnya, 

"Aku ingin bercumbu denganmu, Suto...." 

Betari Ayu seperti bukan orang sakti lagi. Nyai

Betari Ayu seperti bukan seorang Guru yang bijak dan

berkharisma lagi. Ia seperti tidak punya harga diri lagi. 

Ia menangis setelah mengucapkan kata itu sambil

menciumi telapak tangan Suto yang sejak tadi

digenggam dan diremas-remasnya.

Kala itu, Suto Sinting ucapkan kata lembut, "Nyai,

aku tidak ingin memberikan kehangatan tubuhku

kepada perempuan siapa pun juga. Karena guruku

pernah bilang, setitik air yang tersembur keluar dari

kemesraanku, akan menghasilkan darah pendekar yang 

sukar dicari tandingannya. Jadi aku tidak berani

sembarangan memberikan setitik air kemesraan kepada 

perempuan yang belum jelas kedudukannya di dalam

hatiku."

"Ya. Aku percaya. Semua ini memang kelemahanku. 

Aku tidak bisa bertahan lagi. Hasratku ingin bercinta

denganmu begitu besarnya, sehingga menutup

kesabaranku, menutup kewibawaanku, menutup

perasaan maluku, dan yang lebih parah, melemahkan

jiwaku serta meracuni sukmaku!"

"Nyai, maafkan aku," ucap Suto sambil usapkan

tangan ke rambut Nyai Betari Ayu dengan lembut

sekali. Air mata Betari Ayu kian deras, kian gemetar

tubuhnya, kian berdebar hatinya dan detak jantung

terasa kian cepat mendobrak dada. Pada saat-saat 

seperti ini, Nyai Betari Ayu merasa cemas, ingat bahwa 

dirinya sedang mengidap penyakit laknat yang

ditimbulkan akibat pukulan 'Renggangpati' dari

lawannya.

Pukulan 'Renggangpati' itu membuat sesak

pernapasan jika Betari Ayu sedang dilanda birahi, dan

membuat tubuhnya bisa kejang-kejang. Pukulan

'Renggangpati' itu mengakibatkan penyumbatan pada

saluran jantung dan paru-paru.

Tapi anehnya, sejak bibirnya pernah dikecup oleh

Suto Sinting yang mempunyai bau aroma tuak (Baca

serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara

Gila"), sesak napas dan kejang-kejang tak pernah lagi

dialaminya. Betari Ayu tak tahu, bahwa saat bibirnya

dikecup oleh Suto, pemuda itu merasakan adanya

penyakit yang melanda diri perempuan cantik itu.

Pemuda itu segera salurkan kekuatan dalamnya untuk

penyembuhan melalui sisa aroma tuak dalam mulutnya. 

Pemuda tampan itu pun tak pernah mengatakan hal itu, 

hingga sering membuat Betari Ayu terheran-heran 

kepada dirinya sendiri.

Cemas akan penyakit Renggangpati itu tetap saja

ada, tetapi Betari Ayu tidak bisa menghilangkan

perasaan ingin bercumbu dengan Pendekar Mabuk yang 

punya daya pikat begitu tinggi itu. Hanya tangis lembut 

yang bisa dilakukan oleh Betari Ayu. Hanya meremas-

remas jemari tangan Suto yang bisa diresapi oleh Betari 

Ayu. Tak ayal lagi hal itu timbulkan iba di hati Suto.

"Besok, atau lusa, atau malam nanti..., kalau aku

tak mampu lagi bertahan dari tuntutan gairah ini,

biarkan aku pergi seperti murid-muridku itu, Suto,"

tutur Betari Ayu begitu lirih dan mengharukan.

"Jangan, Nyai," bisik Suto yang menempelkan

mulutnya di sekitar telinga dan pelipis Betari Ayu.

"Jangan lakukan kebodohan hanya karena nafsu birahi. 

Kau orang terhormat, kau orang bijak, kau punya sikap 

dan watak yang dibutuhkan oleh manusia-manusia lain, 

agar bumi ini tidak dikuasai oleh orang-orang bersifat

angkara murka, yang bergolongan hitam, yang sesat

dan tidak tahu kehidupan manusiawi."

Betari Ayu bisikkan kata di sela isak tangis, "Lebih 

baik aku bertarung dengan tokoh sakti yang berilmu

tinggi, daripada harus bertarung melawan nafsu

sendiri, Suto."

"Ya. Memang lawan terberat adalah nafsu diri

sendiri. Tetapi seseorang tidak bisa mencapai

kesempurnaan dalam pertarungan ini. Setiap orang

hanya bisa diwajibkan melawan nafsu pribadinya,

karena memang itulah syarat yang dibutuhkan agar 

layak dikatakan atau dijuluki sebagai pendekar sejati. 

Dia harus bisa mengalahkan lawan terberatnya jika 

ingin disebut oleh dirinya sebagai pendekar sejati, 

Nyai."

"Aku mengerti, Suto. Aku mengerti. Tapi hanya bisa 

mengerti, tak mampu lagi menjalani, Suto!" Tangis itu 

semakin mengisak haru. Tangan Suto kini semakin 

sering diremas-remasnya, juga diciumnya.

"Nyai, agaknya tak ada jalan lain untuk

menyelamatkan dirimu agar tidak pergi."

Terdongak wajah Betari Ayu. Genangan air matanya 

ditembus oleh sinar mata yang berbinar-binar penuh 

harap. Bibirnya yang lembut dan sangat menawan itu

berucap kata,

"Kau mau menuruti keinginanku, Suto?"

"Ya."

"Oh...!" cepat sekali Betari Ayu memeluk tubuh

Suto. Tangisnya terisak di sana. Terpeluk erat tubuhnya 

oleh tangan pemuda tampan itu. Terdengar pula

sebuah bisikan lembut di telinganya.

"Akan kuberikan kemesraan yang kau harapkan,

tapi dengan caraku sendiri, Nyai...!"

"Terserah caramu, Suto. Malu tak malu, aku

memang pasrah padamu. Biarlah rendah kau pandang

diriku ini, yang penting aku tetap bisa membimbing

murid-muridku seterusnya...!"

Suto sunggingkan senyum. Betari Ayu menerima

senyuman itu dengan jiwa bagaikan terbang dari

raganya. Indah sekali rasa yang ada di dalam hati.

Betari Ayu sangat menyukainya.

"Kita duduk di lantai, Nyai."

Betari Ayu anggukkan kepalanya, lalu turun dari

pembaringan mengikuti Suto. Sejenak terdengar suara, 

klik... klik...! Pintu-pintu dikunci oleh Betari Ayu dari

jarak jauh. Suto tahu hal itu, sebuah cara mengunci

pintu dari jarak jauh yang hanya dilakukan oleh orang-

orang berilmu tinggi. Lalu, Suto ucapkan kata,

"Duduklah bersila di sana, saya duduk di sini, Nyai."

"Perlukah kubuka sanggul rambutku?"

"Tidak perlu." 

"Pakaianku?"

'Tidak perlu," jawab Suto lembut. "Kita akan

bercumbu dalam bayangan, Nyai. Tapi nikmatnya

melebihi kenyataan." 

Betari Ayu desiskan tawa malu namun penuh

kegembiraan, ia segera duduk bersila. Badannya tegak, 

sama seperti badan Suto yang duduk bersila tanpa jarak 

di depan Betari Ayu. Kedua lutut Suto saling

bersentuhan erat dengan lutut Betari Ayu.

Suto angkatkan kedua tangan sebatas dada dengan 

telapak tangan terbuka, ia suruhkan demikian pula

pada Betari Ayu. Lalu, kedua telapak tangan saling

bertemu. Jemari mereka saling menelusup dan

menggenggamlah tangan mereka.

"Pejamkan mata, Nyai. Kosongkan pikiran agar aku 

bisa masuk dalam pikiranmu," ucap Suto lirih sekali. 

Betari Ayu lakukan perintah. Lama ia pejamkan

mata dan kosongkan pikiran. Makin lama makin terasa

dirinya disentuh hangat oleh jemari Suto. Terasa saat

itu Suto menciumi wajahnya dengan lembut. Kedua

bibir itu saling berpagut mesra. Betari Ayu merasa

menerima lumatan bibir Suto yang cukup hangat dan

nikmat. Kemudian ia pun merasa dirayapi oleh ciuman 

mesra Suto di sekujur tubuhnya. Sampai akhirnya ia

merasa dibaringkan oleh Suto dan dipeluk erat-erat 

dalam satu irama cinta yang menggelora.

Dalam sikap masih duduk berhadapan dan lutut 

bersentuhan, Betari Ayu tak sadar ucapkan kata

mendesah, 

"Oh, Suto..!" 

Betari Ayu tak sadar lontarkan ratapannya. Betari

Ayu tak sadar gigitkan bibirnya sendiri. Betari Ayu tak

lagi mampu bertahan, maka menjeritlah ia sekeras-

kerasnya.

Lalu malam dibiarkan melenggang dalam sepi.

Betari Ayu mulai buka matanya pelan, tepat pada

saat itu Suto pun buka matanya sedikit-sedikit. Kedua

mata yang seolah-olah selesai melakukan pelayaran

cinta itu sama-sama memandang lembut. Betari Ayu

tersenyum, seolah memberi tanda bahwa ia telah

mencapai kepuasan dari kencan mesra dalam

bayangan.

Napas Suto tetap tenang dan teratur, ia seperti

tidak melakukan satu gerakan pun. Tetapi napas Nyai

Betari Ayu terengah-engah. Sekujur tubuhnya basah

oleh keringat yang tercurah ruah.

Ketika tangan yang saling genggam itu terlepaskan, 

Betari Ayu usapkan tangan menyapu keringatnya. Ia

tertawa malu, namun segera hamburkan diri memeluk

Suto. Ia bisikkan kata di telinga Suto.

"Aku lega. Aku puas, Suto. Aku... aku seperti telah 

menerima apa yang kuharapkan darimu. Indah sekali, 

Suto. Aku menyukainya walau itu dalam bayanganku.

Aku ingin mengulangnya entah nanti atau esok pagi."

"Tak bisa terlalu sering bercumbu dalam bayangan, 

Nyai. Karena kekuatan yang kusalurkan lewat detak

nadi kita itu, dua kali lipat besarnya dengan

kekuatanku bertarung melawan musuh yang tangguh.

Aku tak berani melakukannya terlalu sering, Nyai.

Karena hal itu akan cepat membuat kekuatanku

semakin berkurang."

"Oh, kalau begitu kau memang harus istirahat Suto.

Tapi, tentunya esok malam kekuatanmu sudah kembali 

pulih, Suto," sambil Betari Ayu sunggingkan senyum dan 

lirikkan mata yang punya makna tersendiri. Suto hanya 

tertawa kecil. Dicubitnya pipi Betari Ayu, dan

perempuan itu tidak mengelak, melainkan justru 

bersandar rebah di dada Suto.

Bayangan itu sempat melintas di pikiran Suto.

Duduknya di atas bangku ayunan masih tetap tenang.

Hatinya membatin,

"Nyai Betari Ayu. memang cantik, lembut, dan

menggairahkan. Tapi sayang ia bukan Dyah

Sariningrum. Mengapa yang hadir dalam ingatanku

hanya wajah Dyah Sariningrum, bukan wajah Nyai

Betari Ayu. Rasa rinduku begitu besar, ingin segera

dapat menemukan wanita idaman hatiku yang sering

hadir dalam mimpi itu. Tapi di mana aku harus

temukan dia? Kalau kutanyakan pada Nyai Betari Ayu

apakah pertanyaan itu tidak menyinggung hatinya dan

melukai cintanya? Aku tahu, Nyai Betari Ayu cinta sama 

aku. Tapi Nyai tidak memaksaku untu membalas. Dia

hanya memohon padaku agar aku tidak melarang

dirinya untuk tetap mencintaiku sepanjang masa. Ah,

perempuan itu sungguh aneh, namun menyenangkan

sekali sikapnya."

Kala ia duduk di ayunan itu, adalah hari ketujuh ia 

berada di lingkungan Perguruan Merpati Wingit.

Mestinya siang itu ia baringkan tubuh di atas ranjang

berlapis kain lembut. Tapi ia lebih suka duduk

merenungi perjalanan hidupnya di taman yang berkesan 

teduh dan damai itu.

Kejap berikutnya, mata Suto melirik ke arah

serambi, dan di sana tampak seorang perempuan ayu

berjubah kuning sutera mendekatinya. Perempuan ayu

itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu sendiri. Langkahnya 

agak cepat, menandakan ada sesuatu yang amat

penting untuk segera dibicarakan.

"Suto," sapa Nyai Betari Ayu dengan nada cemas

tersembunyi.

"Ada apa, Nyai?"

"Seorang lagi muridku telah pergi, baru saja tadi!"

"Oh...," Suto hanya mengeluh dengan sikap turut

prihatin atas langkah picik yang diambil oleh sang

murid.

Betari Ayu ucapkan kata lagi, "Muridku yang pergi

tadi, mengatakan kepada temannya bahwa ia ingin 

sekali berdekatan denganmu. Sebagai bukti gairahnya

begitu besar padamu, ia tunjukkan dengan minggat dari 

perguruan."

"Kalau begitu, aku harus cepat pergi dari sini, Nyai. 

Jangan kau tahan lagi diriku, supaya muridmu tak pergi 

seluruhnya, gara-gara kehadiranku di sini."

"Haruskah begitu, Suto?"

"Ya. Dan..., bagaimana dengan Peri Malam? Apakah 

dia sudah sembuh dari luka dalamnya?"

"Sudah. Dan dia sudah pergi tanpa pamit kemarin

sore."

"Dia pergi tanpa pamit? Tanpa berterima kasih 

padamu?"

"Dia bahkan menantangku ingin mengadakan

pertarungan pribadi di suatu tempat. Dia akan kembali 

untuk menentukan waktunya. Karena dia cemburu 

padaku, melihat kau berada dalam perawatanku dan

tidur di kamar pribadiku. Dia cemburu, Suto!"

*

* *

TIGA


SEJAUH ini, Nyai Betari Ayu masih belum tahu

bahwa Suto adalah juga murid Bidadari Jalang. Padahal 

perempuan yang menamakan dirinya Bidadari Jalang

adalah lawan berat Nyai Betari Ayu. Malah di dalam

hati Betari Ayu masih menyimpan dendam kepada

Bidadari Jalang, sebab pukulan 'Renggangpati' itu

diterimanya dari jurus maut Bidadari Jalang.

Dulu, Betari Ayu adalah kekasih Datuk Marah Gadai. 

Tetapi sang kekasih digoda terus oleh Bidadari Jalang, 

hingga akhirnya terpikat dan meninggalkan Betari Ayu. 

Perginya Datuk Marah Gadai meninggalkan bekas luka

yang sulit sembuh di hati Betari Ayu. Sejak saat itu,

Betari Ayu tidak mau turun ke dunia persilatan, dan ia 

lebih suka mengasingkan diri dengan membentuk

pasukan tersendiri, yaitu dengan cara mendirikan

perguruan yang kebanyakan muridnya adalah

perempuan. Kelak, Betari Ayu punya cita-cita untuk

menyerang Bidadari Jalang dan Datuk Marah Gadai

dengan mengerahkan murid-muridnya yang dianggap

pasukan tempurnya.

Andai saja Betari Ayu tahu, bahwa Suto adalah juga 

murid Bidadari Jalang, entah apa jadinya. Mungkin

Betari Ayu akan memusuhi Suto dan menaruh benci

pula pada pemuda tampan itu, atau justru

melenyapkan dendam dan cita-citanya karena terpikat

oleh kemesraan Suto Sinting. Dan karena Suto tahu dua 

hal itu akan terjadi salah satunya, maka Suto tetap

tidak mau menyebut-nyebut nama Bidadari Jalang di

depan Nyai Betari Ayu. 

Suto memang jarang menyebutkan nama gurunya

yang satu ini, sebab ada sedikit rasa malu menyebutkan 

nama yang banyak cacat di kalangan para tokoh 

persilatan. Namun Bidadari Jalang seakan selalu 

menjadi musuh dari tiap masing-masing tokoh, karena

memang sebelum bertemu dengan Suto, tingkah

Bidadari Jalang selalu menghadirkan perselisihan,

terutama urusan lelaki. Suto tak mau dikatakan sebagai 

murid jalang. Karenanya, ia lebih dikenal sebagai murid 

si Gila Tuak, tokoh dari aliran putih yang namanya

tertera pada urutan paling atas dari nama-nama tokoh 

yang sulit ditumbangkan itu.

Tak heran jika seseorang menyebutkan nama:

murid si Gila Tuak, maka orang yang satunya akan

segera terbayang wajah Suto Sinting, Pendekar Mabuk

yang ke mana-mana membawa bumbung tuaknya itu.

Seperti halnya saat itu, saat sore mulai menua, seorang 

perempuan berpakaian serba ungu muda yang ketat

dengan tubuhnya, melesat bagaikan terbang membawa 

lari Peramal Pikun.

Tiba di suatu gua, tubuh renta Peramal Pikun yang 

habis terkena pukulan hebat dari Datuk Marah Gadai itu 

diletakkan oleh perempuan itu. Kemudian, tangan

perempuan itu saling terkatup yang kiri dan yang

kanan, ia duduk bersila di samping tubuh tua renta

bertongkat putih. Perempuan itu melakukan semadi 

beberapa saat, kemudian kedua tangannya ditempelkan 

di dada Peramal Pikun.

Kejap berikutnya, tubuh Peramal Pikun tersentak-

sentak bagai meregang nyawa. Tapi asap kuning yang

keluar dari kedua telapak tangan yang menempel di

dada Peramal Pikun itu ternyata bukan asap beracun.

Sebuah cara penyembuhan sedang dilakukan. Peramal

Pikun tersentak lagi dalam satu kejutan, lalu diam

lemas dan terkulai. Ia bagaikan orang tertidur dengan 

nyenyak.

Kala ia bangun di pagi hari, badannya sudah

kembali segar seperti sediakala. Napasnya longgar,

nyeri di dada sudah tak ada. Tapi perempuan yang

menolongnya membawa ke gua itu tak diketahui di

mana dia berada. Peramal Pikun mencari-carinya 

sejenak.

"Seingatku dia seorang perempuan cantik," kata

hati Peramal Pikun. "Seingatku dia berpakaian ungu

muda, ketat dan badannya yang aduhai itu. Baju ungu 

tanpa lengan, tapi rambutnya yang panjang sepunggung 

acak-acakan, seperti orang gila. Ia menyandang pedang 

di punggungnya. Seingatku, sarung pedang dan

gagangnya terbuat dari gading berukir. Seingatku, di

gagang pedangnya ada benang-benang berumbai warna 

merah darah. Tapi, Siapa dia? Belum pernah kutemukan 

dirinya selama aku berkelana di rimba persilatan.

Mungkinkah dia siluman dari negeri seberang?"

Peramal Pikun yakin, perempuan berambut mirip

orang gila itu pastilah orang berilmu tinggi. Gerakannya 

begitu cepat saat memindahkan tubuh Peramal Pikun

agar terhindar dari serangan jurus 'Tapak Dewa' milik

Datuk Marah Gadai. Luka dalam yang berat dan mampu 

disembuhkan dalam waktu cepat, merupakan ciri orang 

berilmu tinggi. Peramal Pikun percaya, bahwa

perempuan itu jelas punya maksud tertentu sehingga

melakukan pertolongan terhadap dirinya,

"Aku harus mencari perempuan itu. Paling tidak aku 

harus mengucapkan terima kasih atas pertolongannya," 

pikir Peramal Pikun. Maka, ia pun keluar dari dalam gua 

yang bau oleh kotoran kelelawar itu.

Peramal Pikun terkejut begitu tiba di mulut gua,

ternyata gua itu terletak di tebing curam, di bawahnya 

laut yang bergolak dengan batu-batu karang runcing

mirip gigi ikan raksasa. Meleset sedikit, habis sudah

nyawa orang dihujam karang-karang runcing. 

"Kucing kudis!" umpat Peramal Pikun. "Bagaimana

caranya keluar dari gua ini? Tak ada jalan setapak pun 

untuk ke tempat datar. Gua ini seperti menempel pada 

dinding karang yang merupakan tebing curam. Gua ini

seperti tembok raksasa yang berlubang. Mencapai ke

daratan di atasnya sungguh tinggi, mencapai ke laut

juga dalam. Lalu aku harus lewat mana?"

Peramal Pikun garuk-garuk kepala. Matanya

memandang sekeliling mencari jalan untuk memanjat 

tebing ke atas atau menuruni tebing ke bawah. Tak ada 

jalan sama sekali. Dinding tebing di samping kanan-kiri 

gua sangat licin berlumut. Kalau memang harus 

melompat ke laut, ujung-ujung karang runcing belum

tentu ramah kepada kakinya. Bisa jadi tubuhnya yang

tua renta itu menancap di salah satu karang runcing

itu.

"Monyet monyong!" Peramal Pikun umpatkan kata.

"Orang itu menolongku, tapi juga membunuhku kalau 

begini caranya. Mengapa ia taruh aku di gua ini? Apa

gua-gua di tempat lain sudah penuh penghuninya? Dan 

lagi, bagaimana caranya membawaku kemari? Apakah

ia membawaku dalam keadaan tubuhku disampirkan di 

pundak dan dia merayap turun dari atas sampai

mencapai mulut gua ini?"

Renggono sesalkan diri, mengapa saat ia dibawa ke 

gua itu ia dalam keadaan pingsan? Padahal ketika

perempuan itu mendekatinya dan hendak mengangkat

tubuhnya, ia masih bisa memperhatikan ciri-ciri 

perempuan itu. Tapi ketika sudah berada di atas

gendongan perempuan cantik, ia malahan pingsan.

Andai tidak pingsan, ia bisa melihat bagaimana caranya 

perempuan itu membawanya ke gua bertebing terjal

lurus itu.

Wuusss...! Wuusss...!

Seekor kelelawar masuk ke dalam gua. Kejap

berikutnya, seekor lagi menyusul. Bahkan hampir

menyambar kepala Peramal Pikun. Mata tua itu

memandang ke langit-langit gua. Tak ada lubang keluar 

di sana. Yang ada hanya dua kelelawar agak besar

menggantung dan mencicit menjelang petang. Peramal 

Pikun gumamkan kata,

"Mati aku kalau begini! Apa mungkin aku harus

hidup bersama kampret-kampret ini?!"

Lelaki tua berkumis dan alis serba putih itu

termenung. Kejap berikutnya ia tersentak, karena tiba-

tiba di mulut gua telah berdiri sosok bayangan

berambut mekar acak-acakan.

"Nah, ini dia!" Peramal Pikun ucapkan kata bernada 

lega.

Perempuan berpakaian ketat warna ungu muda itu 

datang. Pedang bergagang bentuk 'barang keramat'

lelaki itu terlihat jelas terselempang di punggungnya.

Pedang bergagang dan bersarung dari gading ukuran itu 

jelas menandakan bukan sembarang pedang. 

Sisa cahaya sore masih merambah masuk melalui

mulut gua. Peramal Pikun sengaja tidak berdiri, masih 

tetap duduk di tempatnya sambil memeluk tongkat

putihnya. Perempuan itu mendekat, memandang tanpa 

senyum sedikit pun. Pandangan matanya bening tapi

tajam, seakan mempunyai kekuatan tersendiri dalam

dirinya. 

"Terima kasih atas pertolonganmu," kata Peramal

Pikun setelah sempat salah tingkah dipandangi lama

tanpa diajak bicara. 

"Aku tidak butuh terima kasihmu!" kata perempuan 

berpedang gading. Suaranya serak-serak galak.

"Jadi apa yang kau butuhkan dariku?" tanya Peramal 

Pikun.

"Aku mencari pemuda tanpa pusar."

Peramal Pikun terkekeh geli mendengarnya.

Perempuan itu cepat sentakkan kaki kanannya,

berkelebat menampar pipi Peramal Pikun.

Plakkk...!

Peramal Pikun hentikan tawa. Kalau ia tak ingat

bahwa dirinya telah diselamatkan oleh perempuan itu

dari jurus mautnya Datuk Marah Gadai, pasti ia sudah 

membalas dan melawan saat itu. Tapi ingat ke sana,

Peramal Pikun tak mau kasih balasan. Ia hanya

cemberutkan wajah dan berkata,

"Kenapa kau menamparku? Kenapa pakai kaki?"

"Karena kau menertawakan diriku! Aku bertanya

sungguh-sungguh!"

"Aku juga tertawa sungguh-sungguh," balas Peramal 

Pikun. "Aku baru dengar ada pemuda tanpa pusar. Itu

sesuatu yang lucu bagiku!"

"Aku tidak sedang melucu!" sentak perempuan itu.

"Aku butuh pemuda tanpa pusar. Aku mencarinya."

"Pemuda tanpa pusar...?!" gumam Peramal Pikun.

Diam-diam, ia segera membuka kain penutup parutnya 

sendiri, meliriknya sebentar dan menggumam dalam

hatinya, "Hmmm... yang ini ada pusarnya!" 

Perempuan itu kembali sentakkan suara, "Kalau kau 

tak mau menunjukkan, aku terpaksa meninggalkanmu

di gua ini sendirian!"

"Mengapa kau mengancamku begitu? Kau

memaksaku harus menunjukkan pemuda tanpa pusar,

sedangkan aku sendiri tidak tahu. Setiap laki-laki punya 

pusar, Jabrik!" geram hati Peramal Pikun.

"Aku tahu. Tapi aku mencari yang tanpa pusar!"

"Aku tidak tahu! Aku sendiri punya pusar! Apa harus 

ditutup supaya kelihatannya tanpa pusar?!" 

Plakkk...! 

Cepat sekali kelebatan kaki itu menampar pipi

Peramal Pikun menggunakan punggung telapakannya.

Tangan Peramal Pikun berkelebat namun telat. Dua kali 

sudah pipinya ditampar perempuan. Ditamparnya pakai 

kaki. Jelas itu hal yang merendahkan dirinya sendiri.

Tapi Peramal Pikun tetap sabarkan diri. Bahkan ia

sediakan diri untuk satu kali tamparan lagi.

Menurutnya, tiga kali tamparan pakai kaki sudah cukup 

untuk membayar jasa pertolongan perempuan

berambut jabrik itu.

"Mengapa kau bertanya padaku, Jabrik? Mengapa

kau seolah-olah yakin betul bahwa aku tahu di mana

adanya pemuda tanpa pusar?"

"Karena kulihat kau lebih tua dari lawanmu di

telaga itu. Kau tua renta, dan aku yakin kau memang

tokoh tua di rimba persilatan. Tentunya kau punya

banyak pengalaman!"

"Pengalaman bertarung memang banyak, tapi

pengalaman memeriksa pusar orang belum punya,"

jawab Peramal Pikun.

"Jangan kau coba mendustai aku, Tua renta!"

"Aku tidak mendustaimu, Jabrik! Aku benar-benar 

tidak tahu."

Perempuan jabrik itu menatap mata Peramal Pikun 

lekat-lekat. Ia temukan kejujuran dari sorot pandangan 

mata Peramal Pikun. Akhirnya ia mengalah, tak mau

desak lagi orang tua renta itu. Ia duduk di sebuah batu 

datar. Ia pandangkan mata ke arah luar, matahari

makin hilangkan sinarnya. Gelap bertambah pekat di

dalam gua jika tidak segera ia lakukan sesuatu.

Sebongkah batu diambilnya. Batu itu agak runcing

ujungnya. Lalu kedua telapak tangannya menggosok

batu itu dengan cepat. Mata Peramal Pikun hanya

memperhatikan tanpa mau berucap kata. Dan mata

Peramal Pikun sedikit terperanjat melihat batu itu 

menyala dan kepulkan asap api.

Gua menjadi terang. Batu itu bagaikan obor besar 

yang tergeletak berdiri di tanah gua. Peramal Pikun

cuma sunggingkan senyum tipis. Segera ia angkat

tongkat, ia sodokkan ujungnya ke arah batu bernyala

itu. Jarak sodokan antara dua depa dari batu menyala. 

Blaap...!

Batu itu padam seketika bagai ditiup angin kencang 

yang keluar dari ujung tongkat Peramal Pikun.

Terdengar suara perempuan jabrik itu menggeram.

Terbayang dalam gelap sebuah kaki akan bergerak

menampar seperti tadi. Maka, Peramal Pikun cepat

angkat tongkat dan sodokkan ke arah tadi.

Buusss...!

Batu itu menyala kembali. Tampak wajah

perempuan jabrik menatap penuh kemarahan. Peramal 

Pikun nyengir. Kemarahan di wajah perempuan itu pun

reda setelah melihat batu nyala kembali.

"Agaknya kita harus bermalam di sini," kata

Peramal Pikun seperti bicara pada diri sendiri.

Perempuan jabrik tidak beri jawaban apa-apa. Ia 

panggangkan kedua tangannya di atas batu berapi.

Peramal Pikun pindah duduk agak dekat api. Lalu, ia

melontarkan pertanyaan dengan sikap baik-baik.

"Menurut ramalanku, kau orang berilmu tinggi."

Perempuan cantik berambut jabrik hanya menatap 

wajah Peramal Pikun sebentar, lalu kembali

memandang api yang menyala, panggangkan kedua

tangannya.

"Menurut ramalanku, kau perempuan yang keras,

tegar, dan pemberani. Dan menurut ramalanku... kau

tidak punya suami!"

"Apakah kerjamu meramal?" suara serak-serak galak 

itu terdengar tanpa irama. Datar-datar saja.

"Dulu, kerjaku memang meramal, itulah sebabnya 

aku punya julukan Peramal Pikun. Julukan itu muncul

dengan sendirinya, karena ramalanku selalu meleset.

He he he...!"

Perempuan jabrik menatap cepat. Tawa Peramal

Pikun terhenti dalam sekejap. Ia tarik napas panjang

dan menghindar dari tatap mata si perempuan jabrik.

"Boleh aku tahu namamu?" tanya Peramal Pikun

tanpa pandang.

"Tak perlu kau tahu namaku. Tapi kau perlu tahu

julukanku."

"Siapa julukanmu?"

"Perawan Sesat!"

"He he he...!"

Plakk...!

Tamparan ketiga pakai kaki mendarat tepat di pipi

Peramal Pikun. Tangannya berkelebat tapi telat

menangkis. Peramal Pikun hanya tudingkan tangan ke

arah perempuan itu sambil ucapkan kata,

"Sudah tiga kali. Impas! Aku tak punya hutang jasa 

lagi padamu! Kali ini kau tampar pipiku lagi, kubalas 

dengan melemparkanmu ke laut sana!" 

"Kalau kau bisa, lakukan sekarang!" 

"Nanti saja!" sambil peramal sial itu bersungut-

sungut. Tapi tiba-tiba ia ingat nama julukan tadi, dan

perlu menegaskan sekali lagi dengan sebuah tanya,

"Apa benar julukanmu Perawan Sesat?"

"Ya."

Peramal Pikun cepat tutup mulutnya dengan

telapak tangan, serta palingkan wajah membelakangi

Perawan Sesat. Hanya badannya yang tampak bergerak 

diguncang tawa geli. Perawan Sesat tahu hal itu, tapi ia 

tidak ambil peduli.

"Dari mana asalmu, Perawan Sesat?" 

"Bukit Garinda," jawab Perawan Sesat tanpa

memandang Peramal Pikun. 

"Bukit Garinda...?!" Peramal Pikun belalakkan mata 

sedikit. "Bukankah itu wilayah Partai Perempuan Sakti?"

"Ya."

"O, jadi kau orang dari Perempuan Sakti?" 

"Ya."

"Aku kenal dengan salah seorang anggota

Perempuan Sakti. Dulu aku pernah bentrok dengannya

karena salah paham, tapi sekarang sudah tak ada

masalah lagi. Orang itu bernama Nyai Lembah Asmara! 

Apa kau kenal dengan nama itu?"

Perawan Sesat tatapkan mata tajam-tajam ke mata 

cekung Peramal Pikun. Lalu, kejap berikutnya ia

ucapkan kata tegas-tegas.

"Itu nama guruku!"

"Ooo... jadi kau muridnya Nyai Lembah Asmara?!"

"Betul!"

Peramal Pikun angguk-anggukkan kepala dalam

senyum kemenangan masa lalunya. Tak sadar dia

ucapkan kata, "Cantik sekali dia...."

Plakkk...!

Satu tendangan kaki menampar kena di pipi

Peramal Pikun. Cepat ia angkat tongkatnya. Tapi hasrat

untuk mengibaskan tongkat ke kepala Perawan Sesat 

terhenti dan hilang seketika, karena ia ingat, Perawan 

Sesat murid Nyai Lembah Asmara. Perempuan cantik itu 

dikenalnya sebagai perempuan berdarah dingin. Musuh

tak pernah lolos dari tangannya. Pasti mati sebelum

minta ampun.

Peramal Pikun ingat, dulu ia pernah terdesak

melawan Nyai Lembah Asmara, hampir sepuluh tahun

yang lalu. Ilmu Ketua Partai Perempuan Sakti itu cukup 

tinggi. Menurut ukuran Peramal Pikun, sangat tinggi. Ia 

dulu hampir mati di tangan Nyai Lembah Asmara. Ia 

jadi jera bertemu dalam bentrokan dengan perempuan 

itu. Karenanya, saat ia akan membalas tamparan

Perawan Sesat, ia urungkan niat, karena tak mau punya 

urusan dengan Nyai Lembah Asmara.

Peramal Pikun kendorkan ketegangannya, dan

lontarkan tanya,

"Apakah mencari pemuda tanpa pusar itu utusan

dari gurumu?"

"Ya."

"Hmmm...," Peramal Pikun manggut-manggut. "Aku 

tahu sekarang maksudnya."

"Jika kau tahu, tunjukkan di mana tempat pemuda 

tanpa pusar itu!"

"O, kalau tempat pemuda tanpa pusar aku tidak

tahu. Siapa orangnya pun aku tidak tahu. Aku cuma

tahu tujuan dari gurumu itu dan...."

"Kabar burung yang didengar oleh Guru,!" sahut

Perawan Sesat. "Pemuda tanpa pusar itu telah diangkat 

murid oleh tokoh tua dari golongan putih yang bergelar

si Gila Tuak."

"Hah...?!" Peramal Pikun sentakkan suara,

belalakkan mata. Kaget ia mendengar nama si Gila

Tuak dibawa-bawa. Ia segera lontarkan tanya pada

Perawan Sesat.

"Jadi, menurut gurumu, pemuda tanpa pusar itu 

muridnya si Gila Tuak?"

"Betul! Apa kau kenal dengan murid si Gila Tuak?"

"Kenal sekali. Dia yang bernama Suto Sinting,

bergelar Pendekar Mabuk. Tapi..., aku tidak tahu

apakah dia punya pusar atau tidak! Aku belum pernah

memeriksa perutnya!"

"Suto Sinting...?!" geram suara serak Perawan Sesat. 

*

* *

EMPAT


SINAR matahari pagi menerobos mulut gua. Peramal 

Pikun terpaksa bersedia membantu Perawan Sesat

mencari Suto Sinting. Tapi orang tua renta itu tidak

tahu ke mana arahnya. Suto bisa ada di mana saja,

menurutnya.

Satu hal yang membuat Peramal Pikun bingung,

bagaimana ia harus keluar dari gua bertebing tegak

lurus itu. Tapi hatinya segera merasa lega setelah dia

ingat pada Perawan Sesat di sampingnya, tentunya

Perawan Sesat tidak akan tinggal diam.

"Naiklah ke punggungku," kata Perawan Sesat.

"Aku...?!" Peramal Pikun menepuk dadanya sendiri. 

"Iya. Kamu naik ke punggungku. Kugendong

memanjat tebing terjal ini!" kata Perawan Sesat sambil 

menyentak. 

Sambil tetap memegangi tongkat, Peramal Pikun 

mau tak mau naik ke punggung, digendong belakang 

oleh Perawan Sesat. 

"Pegang yang erat!"

"Ya," jawab Peramal Pikun sambil membayangkan,

mungkin dulu beginilah ia dibawa oleh Perawan Sesat

ke dalam gua itu.

"Hei, ada yang mengganjal di punggungku dengan 

keras! Apa ini? Jangan main-main kamu, Tua renta!"

"Tongkatku yang mengganjal!" 

"Tongkat yang mana?!"

"Tunggu kucabut sebentar," dan Peramal Pikun

membetulkan letak tongkat putihnya. Sebentar

diunjukkan kepada Perawan Sesat.

"Tongkat yang ini maksudku!"

"Ya sudah! Pegangan yang kuat. Jatuh tidak

kutanggung!" 

Peramal Pikun sangka dirinya akan dibawa terbang 

oleh Perawan Sesat. Tapi nyatanya tidak begitu.

Dengan menggunakan ilmu aneh, Perawan Sesat

merayap dinding tebing bertegak lurus itu dengan

cepat. Kaki dan tangannya bagaikan mengandung

perekat yang amat kuat. Ia merayap cepat seperti

seekor cicak menggendong makanannya.

Crap... crap... crap... crap...!

Dalam waktu singkat, tubuh mereka sudah sampai 

di dataran atas tebing. Perawan Sesat sentakkan

punggungnya ke depan, dan tubuh Peramal Pikun

terlempar jatuh telentang dengan meringis.

"Uh...! Patah tulang pinggangku kalau begini

caranya!"

"Cepatlah bangkit! Jangan seperti bayi yang belum 

disapih!" perintah Perawan Sesat dengan tegasnya.

Peramal Pikun berjingkat bangkit dalam satu

sentakan pinggang. Jleeg...! Kejap berikutnya ia sudah

berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merendah.

Lalu, kedua kaki itu ditegakkannya. Ia berkata kepada

perempuan yang punya keahlian merayap dinding itu.

"Aku tak tahu arah mana yang pertama kali harus

kita tuju. Seperti kataku tadi, Suto bisa ada di mana

saja. Artinya dia susah dicari dan ditentukan

tempatnya."

"Baik. Kalau begitu kita berpencar. Kau ke utara

dan aku ke selatan!" kata Perawan Sesat.

"Kalau aku temukan Suto, bagaimana aku harus

menghubungimu?"

"Tahan napasmu, panggil namaku tiga kali,

hembuskan napas ke atas. Paham?"

"Paham. Kalau itu kulakukan, kau pasti akan

datang?"

"Kalau tidak, untuk apa aku memberi tahu

caranya!"

Setelah ucapkan kata itu, Perawan Sesat melesat

pergi bagaikan kilat menuju ke arah selatan. Peramal

Pikuh sempat terbengong dalam gerutuannya.

"Siapa saja kalau mendengar namanya dipanggil ya

akan datang!" sambil ia segera langkahkan kaki ke arah 

utara.

Perawan Sesat tiba di sebuah desa. Desa itu pernah 

disinggahi Suto. Bahkan Suto pernah bermalam di

rumah keluarga Kriyo Suntuk yang amat kagum dengan 

kisah kependekaran. (Baca serial Pendekar Mabuk

dalam episode: "Darah Asmara Gila"). Didesa itu ada

kedai, dan di kedai itu Suto pun pernah singgah untuk 

mengisi tuak dalam bumbungnya. Di sana, ia pun

pernah bertemu dengan lelaki berkumis tebal dan

berbadan besar, tinggi, jari tangannya sebesar pisang

dalam arti kiasannya. Lelaki itu bernama Singo Bodong.

Kedai itu sekarang dalam keadaan ramai pembeli.

Perawan Sesat sengaja datang bersinggah di kedai itu. 

Sekadar minum adalah alasan yang tepat untuk

bertanya ke sana-sini tentang Suto Sinting. Ia duduk di 

bangku pojok, sementara di bangku sudut 

berseberangan ada pula perempuan yang ikut

nongkrong di situ, berpakaian serba hitam dengan

trisula terselip di pinggang kanannya.

Kehadiran Perawan Sesat menjadi pusat perhatian

para pembeli di kedai itu, karena rambut acak-acakan 

dan wajah cantik sangat menarik perhatian setiap

orang. Pedang gading berukir itu pun membuat banyak 

mata mengaguminya.

"Minum...!"katanya kepada pemilik kedai, seorang

perempuan berbadan kurus.

"Kopi atau teh panas, Nona?"

"Arak!" jawab Perawan Sesat.

Wajah cantik yang sangar sempat bikin gemetar

pria muda yang ada di samping kirinya. Pria muda itu

pun segera pindah tempat duduk, dan mata Perawan

Sesat memperhatikan dengan tajam, berkesan liar dan 

ganas.

Minggirnya pria muda itu, lelaki berikat kepala

putih dengan baju merah lusuh menjadi orang terdekat

jaraknya dari Perawan Sesat. Kepada lelaki itu Perawan

Sesat serukan tanya,

"Hei, kau kenal dengan lelaki bernama Suto

Sinting?! Kalau kenal, tunjukkan di mana tempatnya.

Aku perlu bertemu dengannya!"

"Hmmm... anu... saya... saya tidak mengenalnya,

Nona!"

"Bodoh!"

"Iya. Hmmm... memang bodoh saya ini!" lelaki

berbaju merah itu merendahkan diri dengan wajah

pucat. Baru disentak dengan kata 'bodoh' saja wajahnya 

sudah langsung serupa dengan mayat.

Arak pesanan disediakan oleh pemilik kedai.

Perawan Sesat meneguknya dengan rakus. Dua orang

pemuda berseberangan arah dengannya saling ber-

kasak-kusuk,

"Sayang sekali, cantik-cantik tapi rakus, ya?"

"Ssst...! Bukan begitu. Yang benar, sayang sekali

rakus-rakus tapi cantik. Itu tidak akan menyinggung

perasaannya kalau dia mendengarnya."

"Ih, eh... rambutnya habis terkena racun apa ya,

kok bisa awut-awutan begitu? Jangan-jangan dia habis 

diperkosa?" 

"Ssst...! Jangan bilang begitu. Yang benar, 

rambutnya habis memperkosa siapa. Itu tidak akan

menyinggung perasaannya...."

Wuuut...! Sepotong jadah atau ketan bakar tiba-

tiba melesat cepat masuk ke mulut orang yang sedang 

bicara. Jruub...! Orang itu jadi mendelik, tak lagi bisa 

berucap kata apa pun kecuali,

"Uhmm... uhhmmm... uuhmmm...!'' sambil tuding-

tuding mulutnya sendiri. Maksudnya minta bantuan

temannya untuk mencopotkan ketan bakar yang

melesak masuk ke mulut. Tapi temannya berlagak tidak 

mendengar, berlagak tundukkan kepala tak berani

berkutik.

Perawan Sesat serukan kata, "Siapa di antara kalian 

yang tahu lelaki bersama Suto?! Ada atau tidak?!"

Tak ada yang menjawab. Semua diam dan

ketakutan. Perawan Sesat lemparkan pandangan ke

pemilik kedai. Perempuan tua yang kurus kering itu

buru-buru gelengkan kepala sebelum ditanya.

Perawan Sesat sentakkan suara kepada lelaki yang

tertunduk di samping kirinya orang yang tersumbat

ketan bakar di mulutnya.

"Hai, kau tahu tentang Suto Sinting?! Hei... aku

tanya padamu, Baju kuning!" 

Orang itu merasa ditanya, tapi tak berani jawab

apa pun. Tak berani juga dongakkan wajah atau

tatapkan matanya ke arah perempuan berambut awut-

awutan itu. Sikap takutnya bikin hati Perawan Sesat

makin jengkel. Sepotong pisang goreng dicomot, lalu

dilemparkan ke orang itu. Wuuttt...!

Tapp...!

Ada tangan yang bisa menangkap lemparan cepat

pisang goreng tersebut. Tangan itu milik perempuan 

berpakaian hitam dan bermata sedikit lebar. Sekarang 

perempuan itu tatap mata Perawan Sesat dengan

berani.

Entah apa yang ada di benak Perawan Sesat, yang

jelas ia tidak ulangi lagi lemparan tersebut. Ia diam

dan meneguk arak pesanannya. Tetapi pada saat itu 

perempuan yang pegang pisang goreng lemparan

Perawan Sesat tadi mengibaskan tangannya cepat-

cepat. Pisang itu berubah jadi busuk dan mengeluarkan 

belatung menjijikkan. Beberapa orang di dekatnya

tersentak sampai ada yang menumpahkan makanan. 

Perawan Sesat hanya melirik sekejap sambil

bangkit berdiri. Ia lemparkan sekeping uang kepada

pemilik kedai, lalu ia tinggalkan kedai itu dengan

langkah-langkah tegasnya.

Perempuan yang berpakaian hitam segera

mengikuti Perawan Sesat secara diam-diam. Bulu

kuduknya merinding sebentar membayangkan gumpalan 

belatung yang terpegang oleh tangannya tadi. Jelas

belatung itu bikinan dari perempuan berambut jabrik. 

Ia tahu hal itu, sehingga ia makin penasaran

mengikutinya.

Perawan Sesat bukan tidak tahu dirinya diikuti. Ia 

sengaja memancing di satu tempat sepi. Penguntitnya 

sebentar-sebentar bersembunyi di balik pohon.

Perawan Sesat pura-pura tak tahu.

Tapi pada satu tikungan jalan, penguntitnya

terperangah karena kehilangan jejak. Orang yang

diikutinya itu hilang bagaikan asap tersapu angin begitu 

membelok di gugusan cadas yang menjadi bagian dari

salah satu lereng bukit kapur. Penguntit itu layangkan 

pandangan mata ke mana-mana sampai ke atas bukit

kapur itu.

"Oh, dia sudah di sana?!" gumam hati perempuan 

bersenjatakan trisula putih berkilauan itu.

Perawan Sesat sengaja berdiri di atas bukit kapur

menghadap ke arah penguntitnya. Ia gerakkan

telunjuknya memanggil si penguntit dengan sikap

menantang. Perempuan berpakaian serba hitam merasa 

ditantang dan segera sentakkan kaki. Wesss...!

Tubuhnya melompat ke salah satu lereng pendek,

melompat lagi ke lereng yang lebih tinggi, sampai

akhirnya sama-sama berdiri di atas puncak bukit kapur 

yang tak seberapa tinggi itu.

"Sejak dari warung matamu sudah menguntitku

terus!" kata Perawan Sesat dengan nada dingin. "Apa

perlumu mengikutiku?!"

"Aku tak suka kau menyebutkan nama kekasihku!"

"Siapa kekasihmu?" 

"Suto Sinting!"

Wajah dingin Perawan Sesat sunggingkan senyum 

yang amat kaku. Ia perdengarkan ejekannya.

"Suto Sinting amat bodoh kalau mau jadi kekasih 

orang macam kau! Masih banyak perempuan cantik di

dunia ini, mengapa dia pilih seekor kambing gunung

untuk menjadi kekasihnya?"

"Bangsat kau! Jaga mulutmu, Perempuan busuk! Di

dunia ini tidak ada perempuan lain yang pantas jadi

kekasih Pendekar Mabuk kecuali Dewi Murka."

Perawan Sesat perdengarkan tawanya yang

mengikik penuh kesan hinaan. Perempuan yang

berpakaian serba hitam itu geletukkan giginya.

Perawan Sesat tak tahu, bahwa Dewi Murka saat itu

sebenarnya dalam keadaan rapuh. Mudah dilumpuhkan. 

Karena, Dewi Murka baru beberapa hari yang lalu

terkena pukulan hebat dari Selendang Kubur, teman

seperguruannya.

Mereka bertarung di sebuah pantai karena perasaan 

iri Dewi Murka melihat Selendang Kubur tampak mesra 

bersama Suto. Keduanya sama-sama menaruh hati pada 

Suto Sinting. Sampai-sampai Dewi Murka tega

memfitnah teman seperguruannya dan mendesak 

Selendang Kubur untuk segera pulang ke padepokan 

dengan alasan dipanggil oleh gurunya, yaitu Nyai Betari 

Ayu. Padahal tujuan Dewi Murka hanya untuk

menyingkirkan Selendang Kubur dari sisi Suto Sinting.

Pertarungan itu membuat keduanya sama-sama terluka 

berat. Keduanya sama-sama saling menghindar untuk

menunggu waktu penyembuhan tiba. Setelah itu

keduanya sama-sama akan bertarung lagi sampai mati. 

(Untuk jelasnya baca serial Pendekar Mabuk dalam

episode: "Darah Asmara Gila").

Kini dalam perjalanan pulangnya, Dewi Murka

memerlukan waktu beristirahat beberapa hari. Dan ia 

mendapat tumpangan di sebuah rumah salah satu

penduduk desa tadi. Mestinya Dewi Murka masih harus 

beristirahat dua hari lagi, sambil melakukan

penyembuhan terhadap dirinya. Tapi, kehadiran

Perawan Sesat membuatnya panas hati dan merasa

tidak rela jika Suto dicari perempuan berambut acak-

acakan itu. Pikirnya, 

"Perempuan ini harus kusingkirkan juga, supaya

kelak hubunganku dengan Suto tak ada yang

mengganggu lagi!"

Itulah sebabnya dia menguntit Perawan Sesat dan

melayani tantangan di atas bukit kapur. Sekalipun

kesehatannya belum pulih, Dewi Murka tak pernah

merasa gentar beradu tanding dengan Perawan Sesat.

"Dewi Murka! Tak peduli siapa dirimu, yang jelas

kau tahu di mana Suto Sinting! Tunjukkan padaku

tempatnya atau kau kutelan habis di bukit ini juga!"

"Jangan anggap diriku kecil, Perempuan Jabrik!

Gunung pun bisa kuhancurkan apalagi kepalamu yang

mirip landak itu!"

"Jahanam!" geram Perawan Sesat dengan kedua

tangan telah menggenggam kuat-kuat. "Boleh kau

berkoar di depan orang lain, tapi jangan sekali-kali 

berkoar di depan Perawan Sesat!"

"Berkoar di depanmu sama saja berkoar di depan

orang gila! Kenapa harus takut?!" sambil Dewi Murka

tersenyum sinis. 

Panas hati Perawan Sesat tak bisa dikendalikan

lagi. Ia segera menggeram panjang bagaikan seekor

macan, lalu kakinya menghentak satu kali ke tanah.

Duuggg...!

Buurrr...! 

Bukit kapur itu bergetar. Bagian bawahnya rontok

sebagian. Bongkah-bongkah tanah kapur yang ada di

bagian bawah melesat ke sana-sini. Dewi Murka

merasakan bukit kapur itu sedikit rendah dan menyusut 

dari ketinggian semula. Itu pertanda bagian bawah

bukit itu melesat ke dalam tanah atau hancur di

beberapa bagian.

Dewi Murka berkata dalam hatinya, "Gila! Bukit ini

menjadi rendah sedikit dari semula. Hentakan kakinya 

terasa dahsyat walaupun mungkin berlaku hanya untuk 

seonggok bukit kapur seperti ini. Tapi aku tak perlu

gentar menghadapinya. Dia belum tahu jurus-jurus 

dahsyatku!"

Terdengar suara Perawan Sesat menghentak,

"Tunjukkan kesaktianrnu kalau kau benar-benar bisa

meruntuhkan sebuah gunung!"

Dewi Murka tersenyum tipis. Berkesan lebih kalem

dari Perawan Sesat. Lalu, ia pun menghentakkan kaki

kanannya ke tanah dengan keras. Duugg...!

Krakk...! Tanah bagian atas bukit terbelah retak.

Terpisah bagian tengah jarak antara Dewi Murka

dengan Perawan Sesat. Dengan satu hentakan kaki

pula, Perawan Sesat kembalikan posisi retaknya tanah

itu. Duug...! Kreep...! 

Terkesiap mata Dewi Murka melihat keretakan

kembali merapat dan pulih seperti sediakala.

Sepertinya tak pernah terjadi keretakan.

Di sisi lain, jauh di bawah bukit kapur itu, sepasang 

mata mengawasi peristiwa itu dari balik semak pohon. 

Sepasang mata itu berulang kali terbelalak melihat

kedua perempuan tersebut beradu kesaktian ilmunya.

Sepasang mata itu milik seorang lelaki berkumis yang

memperkenalkan dirinya kepada Suto beberapa waktu

yang lalu dengan nama: Singo Bodong.

Percakapan Perawan Sesat di kedai itu

didengarnya, karena kebetulan ia sedang buang air

kecil di belakang kedai. Mestinya ia ada di kedai itu.

Tapi karena ingin buang air kecil, ia minta izin kepada 

pemilik kedai untuk ke kamar mandi. Ketika ia mau

keluar kembali, ia dengar suara Perawan Sesat

menyebutkan nama Suto Sinting. Ia tak jadi keluar,

karena ingin tahu apa yang dilakukan perempuan

berambut jabrik itu. Dan diam-diam ia pun menguntit

kepergian Perawan Sesat yang diikuti oleh Dewi Murka

sampai di bukit kapur.

Dari tempat persembunyiannya Singo Bodong

membatin, "Kedua perempuan itu manusia atau iblis

sampai punya kekuatan tenaga dalam seperti itu. Aku

saja yang berbadan sebegini besar belum tentu bisa

gerakkan bukit kapur itu, eh... mereka yang jenisnya

perempuan dengan badan selangsing itu bisa bikin bukit 

retak dan menjadi rendah sedikit dari asalnya. Gila itu 

dua perempuan."

Mata Singo Bodong yang lebar itu kembali 

mengikuti peristiwa di atas bukit kapur. Agaknya kali

ini Perawan Sesat sudah merasa cukup pamer ilmunya. 

Melihat lawannya tidak merasa gentar sedikit pun,

Perawan Sesat segera sentakkan kedua kakinya dan

tubuhnya pun melesat terbang bagaikan seekor harimau 

hendak menerkam mangsanya.

Pada saat itu Dewi Murka pun melompat

menyambut tubuh lawan yang melayang. Kedua

perempuan itu saling beradu kecepatan pukulan di

udara.

Plak, plak, plak...! Buugh, bugh...!

"Heegh...!" terdengar suara Dewi Murka memekik

tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh 

bagai karung basah.

Brukkk...!

Perawan Sesat sudah sejak tadi daratkan kakinya

dengan sigap di tanah berkapur itu. Ia berdiri tegak 

dengan tegarnya, memandang lawannya yang jatuh 

terkulai dan memuntahkan darah hitam dari mulutnya. 

Bahkan dari telinga dan hidung Dewi Murka juga

mengeluarkan darah hitam kemerah-merahan.

Dewi Murka berusaha untuk bangkit. Ia mencabut

trisula dari pinggangnya. Matanya memandang dengan

sedikit membeliak. Tetapi sebelum ia sempat bangkit, 

ia sudah kembali jatuh terkulai. Tubuhnya terjajar di

tanah berkapur. Telantang menghadap langit.

Semburan darah hitam kemerahan itu kembali keluar

dari mulutnya bersama tubuh yang menyentak kejang 

satu kali.

Perawan Sesat hempaskan napas lega, lalu

tinggalkan tempat itu tanpa mengucap sepatah kata

pun. Ia tampak tidak peduli sekali dengan keadaan

lawannya. Cepat ia melompat, cepat pula ia melesat

hilang.

Singo Bodong kehilangan jejaknya. Bingung mencari 

ke mana perginya Perawan Sesat, sebagai sosok

perempuan yang dikagumi ilmu dan kecepatan gerak

tangannya tadi. Karena tak bisa mengejar dan

mengikuti jejak kepergian Perawan Sesat, lelaki

berkumis tebal melintang itu segera naik dengan susah 

payah ke bukit kapur. Tepat ketika ia sampai di sana,

Dewi Murka hembuskan napasnya yang terakhir.

*

* *

LIMA


HANYA Singo Bodong yang tahu persis mengenai

kematian Dewi Murka. Hanya Singo Bodong yang

melihat jelas Perawan Sesat telah membuat jiwa Dewi 

Murka benar-benar nungging. Tapi siapa yang kenal

Dewi Murka di antara penduduk desa itu? Toh pada saat 

Dewi Murka menginap beberapa hari di rumah keluarga 

Gito Gepuk, ia memperkenalkan diri sebagai Wulansih, 

nama aslinya.

Kalau saja mereka tahu nama Dewi Murka, maka

kematiannya akan tersebar ke mana-mana sebagai

kematian murid Perguruan Merpati Wingit. Kalau

kematian Dewi Murka tersebar, maka seorang pemuda

berparas ganteng berpakaian hitam-hitam dengan

senjata kapak dua mata itu tidak akan terus-menerus 

mencarinya. Pemuda yang memiliki senjata kapak Kebo 

Geni ini tidak lain adalah Manusia Sontoloyo, yang

dikenal dengan nama panggilan Dirgo Mukti.

Mengapa Dirgo mencari Dewi Murka beberapa hari 

ini?

Itu adalah tugas. Tugas yang turun dan dikeluarkan 

dari mulut Selendang Kubur, Selendang Kubur bersedia

memberikan kehangatan tubuhnya kepada Dirgo, jika

Dirgo Mukti sudah kembali memengal kepala Dewi

Murka.

Kala itu, pertempuran Selendang Kubur dengan

Dewi Murka sama-sama mengakibatkan luka dalam di

kedua belah pihak. Mereka saling berpisah untuk

lakukan pengobatan masing-masing. Selendang Kubur 

bertemu dengan Dirgo, lalu ditolong dari keadaan

parahnya, dibawa ke dalam gua tempat tinggal Dirgo,

di pesisir pantai Karang Siru.

Sebagai lelaki yang normal, Dirgo bisa menilai

kecantikan dan kemulusan tubuh Selendang Kubur yang 

tidak jauh berbeda nilainya dengan Peri Malam.

Sekalipun hati Dirgo terbakar cinta kepada Peri Malam,

namun melihat kemontokan dada Selendang Kubur dan 

daya tarik lainnya, Dirgo tidak menolak untuk

mengulurkan tangannya mencari pelepas dahaga.

Selendang Kubur kala itu dalam keadaan pingsan,

lalu segera dibawa masuk ke dalam gua dan

dirawatnya.

"Lukanya terlalu parah," gumam Dirgo Mukti sambil 

memperhatikan tubuh Selendang Kubur yang dibujurkan 

di atas pembaringannya.

"Dia terkena pukulan tenaga dalam yang tinggi di

dua tempat, jantung dan ulu hati. Terlambat sedikit

pengobatannya, melayang sudah nyawa si cantik yang

menggairahkan ini. Hmmm... aku harus segera

menolongnya. Dengan begitu, dia berhutang nyawa

padaku dan setidaknya tidak keberatan membayar

hutangnya dengan kehangatan tubuhnya beberapa kali."

Tetapi Manusia Sontoloyo itu sedikit ragu setelah

mempertimbangkannya. Ia membatin kembali,

"Pengobatan ini tidak cukup dengan penyaluran

hawa murni ke dalam tubuhnya. Ia harus mendapat

resapan getar nadi dari sekujur tubuhku. Dan resapan

getar nadi ini belum pernah kulakukan kepada siapa

pun. Guru pernah berpesan untuk tidak melakukan

pengobatan melalui resapan getar nadi jika tidak

benar-benar terpaksa. Karena jika aku gagal melakukan 

resapan getar nadi, maka nyawaku sendiri akan

melayang pergi dari ragaku. Tapi..., keadaan

perempuan cantik ini mempunyai dua luka yang

berbahaya dan harus cepat penanganannya. Hmmm...

wajahnya makin pucat dan membiru. Agaknya pukulan

tenaga dalam yang tepat mengenai sudut jantungnya

ini mengandung kekuatan racun berbahaya...!"

Manusia Sontoloyo akhirnya memutuskan untuk

melakukan pengobatan resapan getar nadi. Tanpa ragu-

ragu ia melepas pakaian Selendang Kubur. Kalau saja

Selendang Kubur tidak dalam keadaan pingsan lama,

tentu ia akan memberontak dan menolak. Justru

karena keadaan pingsan itulah Manusia Sontoloyo

berani melakukan pengobatan cara resapan getar nadi.

"Wah, indah sekali tubuh perempuan ini...?!"

gumam Dirgo. Matanya tak berkedip menatap 

kemulusan tubuh yang sudah tanpa selembar benang

pun itu. "Kalau saja tak ada luka membiru di bagian ulu 

hati dan dada kirinya, sudah pasti tubuh ini akan mulus

dan menggiurkan. Hmmm... dadanya begini montok 

dan kencang. Benar-benar sepasang dada yang

menantang untuk bertanding cinta. Sayang sekali dia

dalam keadaan terluka parah. Setidaknya kusalurkan

dulu hawa murniku melalui telapak tanganku!."

Pada umumnya orang melakukan penyaluran hawa

murni ke dalam tubuh si sakit dengan cara

menempelkan kedua telapak tangan ke bagian yang

terluka. Tetapi Manusia Sontoloyo membalikkan

tangannya, ia menggunakan punggung telapak tangan

untuk menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh

Selendang Kubur.

Beberapa saat lamanya hal itu ia lakukan, hingga

akhirnya detak jantung Selendang Kubur kembali

normal. Tapi Selendang Kubur masih belum siuman!

Tentu saja, sebab masih ada luka berat di ulu hatinya. 

Luka itu memang berhubungan dengan luka dibagian 

jantung, sebab mempunyai saluran darah yang

membawa racun. Racun itu menyebar di seluruh tubuh 

dan menjadi beku pada bagian ulu hati yang terluka. Ini

bisa menyebabkan pembusukan segera terjadi pada

bagian ulu hati tersebut. Pembekuan racun pada luka

itulah yang harus disembuhkan dengan resapan getar

nadi.

Maka, Manusia Sontoloyo pun segera melepaskan 

seluruh pakaiannya. Kini ia telungkupkan badan ke

tubuh Selendang Kubur. Kedua kakinya diusahakan

menggapit bagian paha dan betis Selendang Kubur.

Kedua tangannya memeluk bagian dada sampai

punggung. Mulutnya mengatup rapat ke mulut

Selendang Kubur. Lalu, pelukan dan gapitan itu

diperkuat.

Beberapa helaan napas berikutnya, tubuh Dirgo

Mukti mulai tampak berkeringat. Tubuh itu menjadi

pucat sedikit demi sedikit. Keringatnya semakin

bertambah. Bahkan pada bagian betis kakinya yang

berbulu itu pun mengeluarkan butiran keringat. Sampai 

pada telapak kakinya pun berkeringat pula. Dan tubuh

perempuan yang dipeluk erat dalam keadaan seperti

itu, mengeluarkan keringat berwarna kekuning-

kuningan dari tiap lubang pori-pori tubuhnya.

Setelah keringat yang keluar dari pori-pori kulit

tubuh Selendang Kubur itu berubah menjadi bening,

maka Dirgo pun segera menghentikan resapan getar

nadinya. Ia terengah-engah dan jatuh lemas begitu

turun dari ranjang. Sementara perempuan yang habis

menjalani pengobatan aneh itu dalam keadaan seperti 

tertidur nyenyak. Wajah pucatnya mulai surut, warna

legam di dada dan ulu hati pun mulai memudar.

Dirgo membiarkan perempuan itu masih telentang

tanpa selembar benang pun. Beberapa saat setelah itu, 

manakala napas Dirgo sudah kembali teratur,

keletihannya lenyap sudah, maka Dirgo Mukti segera 

ambil kain dan air tawar untuk membersihkan tubuh 

Selendang Kubur.

Dengan penuh gairah Dirgo membasuh tubuh yang

kini benar-benar tampak mulus, karena warna legam di 

kedua lukanya sudah hilang. Tetapi Selendang Kubur

masih belum bisa siuman walau napasnya telah teratur. 

Ketika ia dibasuh dengan kain basah sekujur tubuhnya, 

ia masih diam saja.

"Indah sekali tubuh ini. Semuanya serba kencang,

sampai ke bagian pantatnya. Hmm, hmm, hmm...!"

gemas Dirgo dengan nakal, ia remas gumpalan

gumpalan yang bisa menimbulkan birahi itu.

Semakin lama kenakalannya semakin bertambah

jalang. Bukan hanya diremas saja bagian-bagian yang

menggumpal penuh tantangan itu, namun juga dipagut-

pagutnya beberapa saat.

"Selagi pingsan kurasa ia tak akan tahu kalau aku

telah menikmati tubuhnya," pikir Dirgo dengan binal.

Maka, ia pun bergegas kembali melepas apa saja yang

melekat di tubuhnya. Ia kembali bersikap seakan

hendak melakukan resapan getar nadi.

Tetapi lelaki yang bergelar Manusia Sontoloyo itu

mulai dilanda rasa kecewa. 

"Kurang ajar! Dia mengunci kedua pahanya hingga

tak bisa dibuka sedikit pun!" geram Dirgo Mukti.

Rupanya ia menjadi penasaran. Dirgo sentakkan

tangannya dengan menggunakan kekuatan tenaga

dalam untuk mendorong sesuatu yang berat. Tetapi

kedua paha Selendang Kubur terkunci rapat, tetap saja 

tak bisa direnggangkan sedikit pun. Dirgo mencobanya

sekali lagi dengan jurus 'Sigar Jambe'. Kedua tangannya 

merapat pada bagian pergelangan, lalu disentakkan ke 

depan dengan bergerak membuka tanpa menyentuh

paha itu. Tapi ternyata kedua paha tetap merapat

kuat. Hanya sedikit terguncang tubuh Selendang Kubur, 

namun tidak membuat terpisah kedua kakinya.

"Edan!" sentak Dirgo, yang akhirnya menyerah

kalah. Ia tak bisa lakukan apa yang ia inginkan. Tanpa

sadar hasratnya kala itu sudah hilang karena

kedongkolan hati dan lelahnya tenaga untuk membuka

paha. Bahkan penggunaan jurus 'Sigar Jambe' itu telah 

menguras tenaganya karena selalu membalik masuk ke 

dalam dirinya.

Hari berikutnya, saat Selendang Kubur telah lama

sadar dari pingsannya, Dirgo mencoba mendekati

dengan kenakalan tangannya. Tetapi Selendang Kubur 

berkelit dan menepisnya dengan perasaan tak suka

kepada tindakan itu.

"Jangan begitu, Selendang Kubur. Aku telah

bersusah payah menolongmu, menyelamatkan nyawamu 

dari luka parah itu, jika aku meminta upah satu kali

saja, bukankah itu tindakan yang bijaksana?" 

"Aku tidak mempunyai kebijakan seperti itu."

"Tapi aku telah menyembuhkan lukamu, Selendang 

Kubur!"

"Aku tak keberatan kau kembalikan diriku seperti

keadaan semula," jawab Selendang Kubur dengan keras 

kepala.

Terdengar helaan napas Dirgo dalam kejap

berikutnya, "Nasibku selalu buruk jika sudah berurusan 

dengan perempuan!"

Selendang Kubur tetap tegak terbujur dengan

kedua tangan terlipat di dada. Ia dengarkan apa pun

yang Dirgo Mukti ucapkan.

"Berulang kali aku jatuh cinta pada perempuan,

berulang kali cintaku selalu ditolak."

"Urusan pribadi seperti itu sulit sekali dijajaki

maknanya. Barangkali kau sangka aku benci padamu.

Barangkali kau sangka aku menghinamu. Dan barangkali 

kau sangka aku jijik padamu. Tapi menurutku memang 

begitulah sikap pribadi yang harus kumiliki."

Selendang Kubur geserkan langkah dan duduk di

atas batuan karang. Ucapannya berlanjut dari sana, 

tertuju untuk Dirgo yang ada tepat di samping kirinya.

"Manusia punya pendirian dan sikap, punya

penilaian dan anggapan, yang belum tentu satu dengan 

lainnya sama. Kalau kau lebih banyak berpikir dengan

gairahmu, aku lebih banyak berpikir dengan dendamku. 

Kalau kau lebih bangga dengan kemesraanmu, aku lebih 

bangga kalau dapatkan kepala Dewi Murka. Semua

punya alasan masing-masing yang tak mudah dipahami

orang lain."

Dirgo Mukti geserkan langkah dan bungkukkan

badan, lalu ia berucap, "Kau sungguh simpan dendam

kesumat dengan Dewi Murka?"

"Ya. Aku ingin penggal kepalanya. Siapa pun dapat 

hadiahkan penggalan kepala Dewi, akan kuanggap 

sebagai orang yang patut dihormati!"

Termasuk aku?"

"Tak peduli dirimu atau gelandangan mana pun 

juga, jika ia persembahkan hadiah padaku berupa

penggalan kepala Dewi Murka, ia adalah manusia yang

patut kuhormati dan kudekati hatinya."

Kata-kata itu punya pengertian lain buat Manusia 

Sontoloyo. Ia anggap dirinya mendapat tugas dan

perintah langsung dari mulut Selendang Kubur. Ia

merasa, dengan menghadiahkan penggalan kepada

Dawl Murka, maka Selendang Kubur akan pasrah

menyerahkan kehangatan tubuhnya yang makin lama

makin menantang gairah membakar birahi itu.

Dengan modal anggapan itu, Manusia Sontoloyo

memburu Dewi Murka ke arah selatan, sesuai

keterangan dari Selendang Kubur tentang arah pelarian 

Dewi Murka. Tak heran jika Manusia Sontoloyo itu 

merambah ke pesisir selatan untuk mencari seorang 

perempuan berbaju serba hitam, bersenjata trisula, 

dan bernama Dewi Murka.

Tapi ketika langkahnya hendak beralih dari

menyusuri pantai ke kedalaman hutan, mendadak

langkah itu terhenti. Dirgo Mukti melompat mundur

dalam satu sentakan kaki yang melenting tinggi di

udara. Sebuah pohon kelapa rubuh tepat di depannya

halangi langkahnya.

"Tak mungkin pohon itu rubuh sendiri. Batang dan 

daunnya masih segar. Pasti ada orang yang hendak

berbuat jahat padaku, atau ingin menghadang

langkahku! Hemmm... mana orang itu?" pikir Dirgo.

*

* *

ENAM


ORANG yang dicari Dirgo muncul di belakangnya.

Kehadirannya tanpa hawa dan tanpa suara, Dirgo

sempat terperanjat sebentar melihat munculnya

perempuan jabrik berpakaian ungu muda ketat. Bukan

rambut yang bikin Dirgo kaget, tapi bentuk tubuh yang 

begitu menggiurkan yang bikin Dirgo terkesiap tak

berucap. 

Hati Dirgo jadi berdebar-debar memandang belahan 

dada perempuan itu yang tampak mulus, menonjol dan 

sekal-sekal montok. Sungguh suatu pemandangan yang

harus diperhatikan tanpa kedipan mata barang sejenak.

Tapi wajah perempuan itu tetap tanpa senyum.

Kecantikan itu bagai gunung batu tersaput gumpalan

es. Dingin sekali. Walaupun Dirgo sunggingkan senyum, 

perempuan berhidung kecil bangir dan bermata bundar 

itu tak tertarik untuk membalas senyuman Dirgo.

"Luar biasa...," gumam Dirgo di dalam hatinya. Ia 

pandangi perempuan yang berpinggul meliuk indah 

dengan pantat menonjol sekal itu. Ia nikmati

kemolekan yang begitu langka itu sambil langkahkan

kaki kelilingi tubuh perempuan tersebut. Yang di

pandang tak bergerak sedikit pun kecuali matanya yang 

melirik dengan liar. Wajah bekunya sedikit tegak

terdongak naik dagunya, menampakkan sebentuk

keangkuhan yang angker.

"He he he...!" Dirgo perdengarkan tawanya yang

pelan mirip orang menelan minuman. Tiba di depan

perempuan cantik berambut jabrik, Dirgo Mukti

hentikan langkahnya. Jarak mereka hanya tiga langkah.

"Kaukah yang rubuhkan pohon itu?" tanya Dirgo

dengan kedua tangan selipkan jempol ke ikat pinggang 

di depan perutnya. Perempuan itu sedikit miringkan

wajah dalam pandang sipitnya. Semakin tajam mata itu 

bak ujung tombak yang baru diasah dengan gerinda.

"Kaukah yang tumbangkan pohon untuk

menghadang langkahku?" ulang Dirgo. 

Perempuan itu menjawab dengan suara serak-serak 

angker namun menggairahkan. 

"Ya. Aku yang lakukan! Mau apa kau?!" 

Dirgo Mukti lebarkan senyum. "Justru aku yang

seharusnya bertanya begitu mau apa kau menghadang

langkahku dengan cara begitu?"

"Mau memastikan dirimu!" jawab perempuan yang

kemudian mengaku bernama Perawan Sesat itu.

"Apa yang perlu kau pastikan dari diriku, Perawan 

Sesat?" 

"Apakah benar kau yang bernama Suto Sinting,

murid si Gila Tuak itu?!" 

"Mengapa kau tanyakan hal itu?"

"Aku mencarinya." 

"Untuk apa?"

"Suatu keperluan penting."

"Menyenangkan atau menyusahkan?!"

"Sangat menyenangkan."

Dirgo manggut-manggut dalam senyuman,

melangkah ke samping tiga pijak sambil membatin,

"Perempuan ini boleh juga. Cantik tapi berkesan

liar. Merangsang tapi berkesan angker. Perempuan

seperti ini pasti punya gairah besar dalam bercinta.

Tubuhnya serba kencang dan itu menunjukkan jaminan 

kenikmatan yang luar biasa. Perempuan ini jauh lebih

menggiurkan dari Selendang Kubur atau pun Peri

Malam. Hmmm... dia mencari Suto Sinting. Dia punya

kepentingan yang menyenangkan. Apakah dia punya

kencan dengan Suto Sinting? Atau barangkali dia ingin

membuat kencan dengan murid si Gila Tuak itu?"

Perawan Sesat ikuti gerakan langkah Dirgo.

Matanya bagai tak mau lepas dari wajah Dirgo Mukti. Ia 

membatin pula di dalam hatinya,

"Kurasa memang ini orangnya. Peramal Pikun itu

memberi ciri ketampanan. Suto orang yang tampan,

gagah, dan perkasa. Orang ini punya ciri seperti itu.

Tapi apakah benar dia yang bernama Suto?"

Kejap berikutnya keduanya saling pandang lagi.

Lalu, Dirgo Mukti lontarkan tanya,

"Dari mana asalmu, Perawan Sesat?"

"Jawab dulu pertanyaanku tadi, kaukah yang 

bernama Suto?!" sentak perempuan berpedang gading.

"Ya. Aku Suto Sinting!" jawab Manusia Sontoloyo

dalam tipuannya. 

Perawan Sesat hembuskan napas lepas, seperti

mengalami perasaan lega. Wajah dinginnya sedikit

mencair. Keangkerannya mulai surut. Keangkuhannya

kian menipis. Kekakuan sikapnya pun menjadi berubah 

sedikit santai.

"Ada kepentingan apa kau mencariku?!" tanya Dirgo.

"Aku harus membawamu ke Bukit Garinda, Suto!"

"Untuk apa aku ke sana?"

"Guru ingin menemuimu." 

"Perlu apa gurumu menemuiku?" Dirgo ganti

berlagak angkuh. 

"Itu urusan pribadi Guru. Sebaiknya ikut saja

perintahku, jangan bikin aku paksa dirimu dengan

kekerasan."

"Bagaimana jika aku ingin kekerasan itu?" goda

Dirgo Mukti.

"Kau akan menyesal nantinya, Suto!"

"Bagaimana jika aku ingin menyesal lebih dulu?"

sambil Dirgo mendekati Perawan Sesat. Senyumnya

makin mekar, membuat Perawan Sesat menganggap 

kata-kata Dirgo tadi tidak bersungguh-sungguh. 

Karenanya perempuan itu tidak cepat tunjukkan

kekerasan sikapnya, ia diam saja ketika Suto palsu

berdiri jarak satu langkah di depannya. Ia pandang

terus lelaki tampan itu.

"Aku mau kau bawa menghadap gurumu, tapi aku

inginkan sesuatu darimu sebagai syarat utama."

"Apa yang kau inginkan?" 

"Kemesraan." jawab Manusia Sontoloyo itu. 

Perempuan berbibir menggemaskan itu tampak

gelisah. Dirgo pegang kedua pundak Perawan Sesat.

Hati perempuan itu makin resah. Dirgo melihat sikap

pasrah yang bergumul rasa gelisah. Dirgo gunakan

kesempatan itu untuk mencium pipi Perawan Sesat.

"Jangan...," bisik perempuan itu. Tapi Dirgo nekat 

lakukan.

Ciumannya mendarat penuh semangat di wajah

kanan Perawan Sesat. Perempuan itu berusaha

mengelak walau tak banyak. 

"Jangan, Suto...."

Perempuan itu menggelinjangkan kepala samping.

Lehernya terbuka, dan Manusia Sontolo merenggut

leher itu dengan sebuah kecupan memburu. 

"Jangan...," bisiknya lagi, lalu berlanjut, "Jangan di 

sini, Suto!"

Mendengar lanjutan kata Perawan Sesat, Dirgo

justru hentikan ciumannya. Ia tarik kepala ke belakang 

dan pandang mata perempuan itu sambil tersenyum 

dalam tawa terkulum.

"Apakah syarat itu harus kupenuhi?" bisik Perawan 

Sesat sambil biarkan tangan Dirgo menelusuri masuk ke 

belahan dadanya.

"Ya. Harus kau sendiri yang penuhi. Kalau kau tidak 

penuhi syarat itu, aku tak mau menghadap gurumu."

"Aku takut kau laporkan pada Guru." 

"Aku tak akan bilang apa pun padanya nanti." 

"Kau berani berjanji?" 

"Aku berjanji dengan berbagai sanksi." 

"Apakah kau berani kehilangan nyawa jika sampai

bocorkan rahasia?"

"Ambillah nyawaku jika aku dusta padamu!" 

Tap ..! Tangan Dirgo ditangkapnya kuat, lalu

disentakkan lepas dari belahan dadanya yang

membengkak itu. Tanpa berucap kata apa pun,

Perawan Sesat sentakkan ujung kakinya. Tubuhnya

melenting ke udara dan bersalto dua kali untuk

mencapai bawah pohon rindang. Dirgo pun

mengikutinya dengan satu lompatan ringan dan bersalto 

dua kali di udara. 

Kejap berikut tubuh mereka sudah saling

berhadapan. Tangan Dirgo mulai meraih lengan

Perawan Sesat. Tubuh itu tertarik ke depan dan

terpeluk Dirgo. Kepala perempuan itu sengaja tengadah 

dengan bibir yang merekah. Dirgo segera melumat bibir 

itu dengan tangan meremasi punggung Perawan Sesat.

Mulut perempuan itu terlepas dan lontarkan desah 

bersuara serak. Ia biarkan Dirgo menjamah sekujur

tubuhnya. Karena ia sendiri merasa tidak bisa

menghindar dari gairah yang kian memberontak dan

melonjak-lonjak itu.

Kejap berikut, keduanya sama-sama berpeluh.

Kejap lain lagi, mereka telah siap berdiri untuk

tentukan langkah. Pakaian mereka sudah kembali rapi. 

Dan saat itu senyuman manis Perawan Sesat tampak

mekar disuguhkan di depan Dirgo Mukti dengan sinar

kepuasan.

"Sudah kuduga, kau memang galak dalam bercinta," 

kata Manusia Sontoloyo dengan senyum kemenangan.

Perawan Sesat tersipu malu, namun ia lontarkan

kata lirih.

"Memang begitulah aku. Tak boleh tersenggol

kemesraan sedikit saja."

Manusia Sontoloyo serukan tawanya, membuat

Perawan Sesat makin tersipu namun penuh bangga diri.

Tanpa terpikir oleh mereka, sepasang mata

mengintai sejak lompatan tubuh mereka mencari

tempat bercumbu tadi. Sepasang mata itu mengikuti

terus gerak-gerik dan suara mereka dari balik semak

belukar. Sepasang mata itu menahan napasnya kuat

kuat agar tidak didengar oleh kedua pasang insan yang 

tadi dilihatnya begitu bergelora mencapai puncak 

birahinya.

"Syarat sudah kupenuhi," kata Perawan Sesat

"Sekarang kau harus mau menghadap Guru, Suto."

"Ya. Aku akan menghadap gurumu!"

"Guru akan senang melihat aku datang bersamamu 

Suto Sinting!"

"Karena kau telah menyenangkan hatiku, maka aku 

harus menyenangkan dirimu, juga menyenangkan

gurumu!"

"Aku kagum pada sikap ksatriamu, Suto. Dan...,"

ucapan itu terhenti. Menandakan adanya sesuatu yang

membuatnya ragu. Dan mendadak tangan perempuan

berambut makin awut-awutan itu berkelebat ke

belakang sambil balikkan badan. Rupanya lemparkan

selembar daun yang tadi sempat dipetiknya sebelum

melangkah pergi dari ranjang alamnya. Daun itu kini

melesat terbang bagaikan lempengan logam dan

menancap tepat di batang sebuah pohon bersemak

bawahnya. 

Jruub...!

"Ada apa?!" tanya Dirgo Mukti kaget. 

Pertanyaan itu belum terjawab, tiba-tiba dari

semak bawah pohon yang tertancap daun itu melesat

sesosok bayangan kuning. Kejap berikutnya telah

berdiri seorang perempuan berpakaian kuning kunyit

dengan dada yang sekal juga, walau kalah montok 

dengan Perawan Sesat.

Perempuan yang baru hadir dan keluar dari

persembunyiannya itu berambut lurus sebatas pundak

lewat sedikit. Rambutnya itu dililit rantai emas kecil

melingkar kepala. Di bagian tengah kening rantai itu

mempunyai batuan hias merah delima sebesar kacang 

tanah. Perempuan itu mempunyai tahi lalat di ujung 

dagu kanannya. Siapa lagi dia jika bukan Peri Malam,

murid si Mawar Hitam yang sudah dianggap murtad itu.

"Peri Malam...!" desis Manusia Sontoloyo mulai

cemas.

Perawan Sesat tatap wajah Peri Malam dengan

sikap bermusuhan. Sedangkan yang ditatap hanya

senyum-senyum sinis dengan lagak berkesan

meremehkan keangkeran wajah cantik Perawan Sesat.

"Apa maksudmu mengintip dari semak sana?!"

geram Perawan Sesat.

"Hanya ingin melihat orang bodoh bercinta!" jawab 

Peri Malam.

"Sekali lagi kau bilang begitu, tak kuberi ampun

dirimu!" sambil si jabrik sipitkan mata.

Peri Malam tertawa lepas terkikik-kikik. "Lucu

sekali kau ini. Kudengar namamu Perawan Sesat.

Pantas jika kau bernafsu besar hanya karena tersesat 

kemesraan lelaki dungu di sampingmu itu, sebab kau

berotak udang, alias bodoh!"

Wuuttt...! Tangan Perawan Sesat sentakkan ke

depan dengan gerakan cepat. Pukulan tenaga dalam

jarak jauh melesat ke arah Peri Malam. Namun Peri

Malam sempat hantamkan tangan kanan ke kiri sambil 

liukkan badan menyamping. Wuusss...! Greebb...!

Kedua pukulan tenaga dalam saling beradu dan

terbuang ke gundukan tanah dekat pohon rindang yang 

tadi dipakai payung kencan.

"Perawan Sesat, jangan layani dia!" kata Dirgo 

Mukti dalam kecemasan yang tersimpan. Ia berusaha

menarik lengan Perawan Sesat, tapi dikibaskan oleh

perempuan itu.

"Aku harus menghajar perempuan itu biar tahu

sopan!" geram Perawan Sesat sambil angkat kedua

lengan ke atas dengan tenaga terkerahkan.

Peri Malam segera serukan kata, "Jangan salah

sangka! Aku datang hanya untuk mengatakan bahwa

kau salah memilih orang!"

Cepat-cepat Dirgo kembali menarik lengan Perawan 

Sesat dan berkata, "Lekaslah, jangan buang-buang

waktu! Gurumu pasti sudah menunggu lama!" 

"Tunggu!" Perawan Sesat sentakkan lengan, mata

tetap arahkan tajam ke arah Peri Malam. Lalu ia

serukan tanya,

"Apa maksud kata-katamu, Perempuan Burik?!" 

"Kau sangka lelaki di sampingmu itu Suto Sinting?" 

Peri Malam segera tertawa lepas.

Dirgo cepat hentakkan suara, "Tutup mulutmu, Peri 

Malam!"

"Oh, oh... lihat, dia ketakutan! Dia bentak aku

karena dia takut aku bocorkan siapa dirinya di

depanmu! Lihat...! Hi hi hi...!"

Tangan Peri Malam menuding ke arah Dirgo Mukti,

membuat Perawan Sesat memperhatikan wajah Dirgo

dengan curiga. Dirgo jadi gemas dan segera lancarkan 

pukulan jarak jauhnya. Wuugh...!

"Woww...!" teriak Peri Malam sambil tertawa ia

lompatkan badan, melesat tinggi dan kembali jatuh

berpijak kaki tegap. Tawanya dilanjutkan seraya ia

serukan kata,

"Suto Sinting bukan dia! Suto Sinting sekarang ada

di Perguruan Merpati Wingit! Dia dalam perawatan

lukanya di sana. Sedangkan orang yang ada di

sampingmu itu adalah Dirgo Mukti, alias Manusia

Sontoloyo!?" 

"Bohong! Aku Suto Sinting!" sentak Dirgo dengan 

mata melotot.

Perawan Sesat kian kerutkan dahi dalam tatap

matanya ke arah Dirgo. Sementara itu, Dirgo masih

tampakkan kegusarannya seraya membentak Peri

Malam.

"Jangan turut campur urusanku, Peri Malam! Jangan 

kau fitnah Perawan Sesat dengan kelicikanmu. Akulah

Suto Sinting!"

"Dirgo...!" seru Peri Malam. "Setahuku, Suto Sinting 

lebih tampan dan lebih memikat daripada dirimu. Suto 

Sinting tidak mau bertindak ceroboh kotor seperti yang 

kau lakukan di bawah pohon tadi. Setahuku, Suto

Sinting itu lelaki tanpa pusar yang bergelar Pendekar

Mabuk, murid sinting si Gila Tuak. Sedangkan kau,

hmm... murid siapa kau? Gelar mu saja Manusia

Sontoloyo! Jangan mengaku-aku nama Suto Sinting

hanya untuk memperoleh kemesraan dan kenikmatan

tubuh seorang perempuan. Kau bisa mati di tangan

Perawan Sesat itu!"

"Diam...!" teriak Dirgo. Ia hendak lepaskan pukulan 

jarak jauh kepada Peri Malam. Tapi, dengan kasar 

pundaknya ditarik ke belakang oleh Perawan Sesat

hingga ia tersentak dan berpaling ke arahnya.

"Sontoloyo...!" geram Perawan Sesat. Tajam

matanya memandang.

"Jangan hiraukan kata-kata itu. Aku Suto Sinting

murid sinting si Gila Tuak. Akulah orang yang kau cari, 

Perawan Sesat!"

Tiba-tiba tangan Perawan Sesat bergerak cepat

bagaikan kilat. Tak mampu terlihat oleh mata Dirgo.

Wuusss...! Bret, breett...! 

Perawan Sesat membuka baju Dirgo. Tampak ada

pusar di perut lelaki itu yang tadi tak sempat

diperhatikan Perawan Sesat. Seketika itu, Dirgo cepat

raih bajunya dan dekap pusarnya sambil sedikit

membungkuk malu.

"Apa-apaan ini...?!" Dirgo berlagak sewot. 

"Jahanam kau!" geram Perawan Sesat. 

"Aku Suto Sinting. Bukan jahanam!" 

"Dusta! Di perutmu ada pusar. Aku tahu itu pusar

bukan kerupuk mentah! Dan itu berarti kau bukan Suto

Sinting!" 

Plookkk...!

Begitu cepat dan kuat tangan Perawan Sesat

menghantam telak wajah Dirgo Mukti. Pukulan itu

membuat Dirgo menggeragap sambil terhuyung mundur

tiga tapak. 

Wuuut...! Plokkk...! 

Sebuah tendangan samping dilancarkan ke depan 

oleh Perawan Sesat. Dirgo tak sempat menangkis

karena kecepatannya yang luar biasa. Akibatnya, wajah 

yang belum sempat menemukan titik sakitnya akibat

tonjokan tadi, sekarang menjadi semakin panas sekujur 

kepala.

Tendangan dan pukulan itu kosong tanpa kekuatan 

tenaga dalam. Tapi sudah cukup bikin pandangan mata 

Dirgo berkunang-kunang. Ia cepat kibaskan kepala

untuk membuang kunang-kunangnya. Sedangkan

Perawan Sesat kali ini siap hantamkan pukulan jarak

jauhnya bertenaga dalam. Dirgo pun bergegas bangkit

dan siap menghadapi pukulan itu. Dengan satu gerakan 

jarinya ia sentakkan gelombang pelapis yang tak mudah 

ditembus oleh pukulan siapa pun, kecuali pukulan dari 

Suto Sinting.

Tetapi, ketika pukulan Perawan Sesat dihantamkan, 

ternyata Dirgo terpental ke belakang dengan mata

terpejam. Jatuh telentang setelah mendengar suara

ledakan keras. Blarrr...! Itu pertanda gelombang 

pelapisnya mampu didobrak oleh pukulan tenaga dalam 

Perawan Sesat.

Dirgo Mukti berdarah di bagian hidungnya. Ia

bergegas bangkit lagi. Perawan Sesat sudah siapkan

pukulan kembali. Tapi Peri Malam segera berseru,

"Tahan! Dia punya urusan pribadi dengan Suto

Sinting pada dua purnama mendatang. Mereka akan

bertarung sampai mati di Bukit Jagal! Beri kesempatan 

dia hidup biar buktikan kehebatannya dalam

pertarungan nanti! Sebaiknya...," kata-kata itu henti,

karena tiba-tiba tubuh Perawan Sesat bagaikan lenyap

karena kecepatan lompatnya yang begitu tinggi.

Dirgo tak sempat berseru menahan kepergian

perempuan yang liar dalam bercinta itu. Ia hanya

mengeram dongkol pada Peri Malam. Peri Malam

tertawa cekikikan melihat wajah Dirgo bonyok.

*

* *


TUJUH


PERAWAN Sesat bukan hanya tajam mata namun

juga tajam ingatannya. Ucapan Peri Malam sempat

lekat dalam ingatan, bahwa Suto ada di Perguruan

Merpati Wingit dalam perawatan lukanya. Ini suatu

kesempatan baik buat Perawan Sesat untuk membawa

Suto ke Bukit Garinda.

Tetapi, ke mana arah Perguruan Merpati Wingit?

Perawan Sesat tak pernah tahu arah perguruan itu.

Satu-satunya jalan ia harus mencari sebuah desa dan

menanyakan kepada beberapa orang di sana. 

Perawan Sesat kembali berkelebat ke satu arah.

Tujuannya adalah kaki bukit yang tampak dari

tempatnya singgah di atas pohon. Namun baru

beberapa kejap ia bergerak, telinganya menangkap

suara deru kaki kuda. Perawan Sesat telengkan kepala 

untuk menyimak suara kaki kuda itu. Setelah jelas 

arahnya, Perawan Sesat sentakkan kaki dan melesat

pergi menuju arah derap kaki kuda.

Tiga orang berkuda melaju melintasi kaki bukit.

Dua dari mereka adalah perempuan berparas manis,

satu penunggang kuda lainnya seorang pemuda

berparas imut-imut. Pemuda itu tampak bersemangat 

pula dalam memacu kudanya walau tetap tertinggal 

dari kedua perempuan yang berpakaian ungu dan putih.

Perempuan yang berpakaian ungu adalah

Murbawati, murid Perguruan Merpati Wingit yang

mendapat tugas untuk mencari Dewi Murka dan

Selendang Kubur. Ia membawa dua anak buahnya, yaitu 

Widarti, yang berpakaian putih dan Sungko, pemuda

berpakaian hitam.

Laju kuda mereka terpaksa berhenti, karena

seorang perempuan berambut acak-acakan 

menghadang di depan mereka dengan rentangkan

tangan, Widarti sempat berbisik,

"Terus saja. Dia pasti orang gila!"

Tapi Murbawati membantah, "Belum tentu. Siapa

tahu dia habis diperkosa dan butuh pertolongan kita.

Lihat saja rambutnya acak-acakan begitu!"

Sungko menyahut, "Temui saja dia. Akan kuawasi

dari atas kuda."

Kuda tunggangan Widarti melonjak naik sambil

meringkik ketika mendekati Perawan Sesat. Widarti

kebingungan menenangkan kudanya, sampai akhirnya ia 

jatuh dari punggung kuda. Beruntung ia tak cedera apa 

pun, sehingga bisa cepat bangkit dan menemui Perawan 

Sesat. Pada saat itu, Murbawati yang ilmunya lebih

tinggi dari kedua teman atau anak buahnya itu, juga

turun dari punggung kuda.

"Apa maksudmu menghadang kami, Sobat?" tanya

Widarti.

"Aku mencari arah Perguruan Merpati Wingit!"

jawab Perawan Sesat dengan tegas, tanpa ada

keramahan sedikit pun. Matanya sempat layangkan

lirikan ke wajah Sungko yang ganteng imut-imut itu.

Sungko cepat alihkan pandang karena hatinya berdesir 

aneh ketika beradu pandang dengan mata indah itu.

Widarti saling bertatap pandangan dengan

Murbawati. Kemudian, Murbawati maju setindak dan

bertanya dengan kalem.

"Ada perlu apa kau mencari arah Perguruan Merpati 

Wingit?"

"Itu urusanku. Kalau kalian tahu, lekas tunjukkan 

saja dan jangan banyak bertanya!"

Murbawati segera membatin, "Orang ini agaknya 

tidak bisa diajak bersahabat. Tapi ada apa dia mau

menuju ke perguruanku? Apakah dia musuh Nyai Guru

yang ingin membalas dendam?"

Perawan Sesat menyentak keras, "Lekas jawab

pertanyaanku!"

Dari atas punggung kuda, Sungko berseru agak

lantang, "Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit!

Mau apa kau, hah?!"

"Bagus!" seru Perawan Sesat. "Pucuk dicinta ulam

pun tiba! Berarti kalian bisa tunjukkan dimana letak

perguruan kalian itu!"

"Tidak bisa!" seru Murbawati supaya Sungko pun

mendengar suaranya dan tahu maksudnya, "Kami tidak 

akan tunjukkan di mana tempat perguruan kami,

sebelum kamu sebutkan apa keperluan mencari

perguruan kami!"

Perawan Sesat menatap liar pada Murbawati.

Mulutnya tampak menggeletakkan gigi gerahamnya.

Kedua tangan mulai mengepal keras dalam sikap tetap 

berdiri tegak dan kaki sedikit merenggang.

"Kalian tidak perlu tahu apa perlunya aku ke sana, 

karena ini urusan pribadiku! Kalian hanya menunjukkan 

arahnya saja, dan jangan memancing kemarahanku!" 

"Sekalipun kau marah, kami tetap tak akan

tunjukkan sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu ke 

sana!" kata Widarti dengan berani.

"Kalian ini benar-benar mencari mampus di sini!

Hiihhh...!"

Perawan Sesat sentakkan tangannya, layangkan

pukulan jarak tujuh langkah itu. Widarti segera

melompat dengan ringan dan pukulan tenaga dalam itu 

mengenai pohon di belakang Sungko. Pohon itu

tumbang dalam keadaan patah besar di bagian

tengahnya. Sungko sempat terkejut melihat pohon

tumbang di belakangnya dalam jarak sepuluh langkah

darinya.

"Murbawati, biar kutangani kunyuk satu ini!" kata

Widarti sambil melangkah maju dua tindak. Lalu, di 

situ ia berseru,

"Manusia landak! Kami tidak bikin perkara

denganmu, tapi kalau kamu jual perkara kami siap

membeli!"

"Hah...!" Perawan Sesat mendesis meremehkan

ucapan Widarti. "Mestinya kalian sayang nyawa sendiri

dan tidak coba-coba membakar kemarahanku. Aku tak

pernah kasih ampun pada orang yang sengaja

menantangku, tahu?!"

"Sikapmu sendiri yang menantangku!" sentak

Widarti yang sudah siap mencabut pisau-pisau terbang 

yang berjajar melingkari pinggangnya itu.

"Rupanya kalian memang perlu bukti!"

Setelah menggeramkan kata itu, Perawan Sesat

jejakkan kaki, tubuhnya pun jadi melayang bagaikan

terbang. Widarti menyambutnya dengan satu lompatan 

ringan. Mereka beradu kecepatan pukulan udara sambil 

saling membenturkan diri.

Plak, plak...! Beegh...!

Tubuh Widarti tersentak ke belakang, melayang

jatuh di kaki kuda yang ditunggangi Sungko. Mata

pemuda itu terbeliak kaget lihat temannya

mengucurkan darah dari mulutnya. Darah merah kental 

itu keluar bagai tersontak kuat dari dalam.

Murbawati pun merasa cemas. Ia segera berlari

mendekati Widarti dan menolongnya bangkit. Widarti 

sempat berkata,

"Aku tidak apa-apa. Aku masih sanggup kalahkan 

dia!"

"Hati-hati, dia berilmu tinggi. Kulihat caranya

melompat tanpa banyak hentakan kaki. Itu

menandakan dia berilmu tinggi. Juga kecepatan

pukulannya luar biasa. Jangan lawan dia dari jarak

dekat, Widarti."

"Ya, ya! Aku mengerti. Minggirlah, biar dia

kuhadapi lagi!"

Widarti perempuan yang pantang menyerah.

Sekalipun dadanya terasa sakit, ia masih bisa bangkit

dan melangkah beberapa tindak ke depan. Tangannya

segera berkelebat cepat mengambil dua pisau

terbangnya dan melemparkannya ke arah Perawan

Sesat.

Pisau itu meluncur searah sejajar dengan cepat. 

Perawan Sesat hanya sunggingkan senyum tipis tanpa

meremehkan. Lalu, ia kibaskan tenaga dalamnya

melalui kelebatan tangan kanan yang seperti

membuang sesuatu dari bawah ke atas. Wusss...!

Kedua pisau terbang itu terpental berlainan arah

dan melesat ke tempat kosong. Kibasan angin tenaga

dalamnya membuat tubuh Widarti berguncang sesaat. 

Kesempatan itu digunakan oleh perempuan bermata

buas untuk melompat dan bersalto dua kali.

Gerakannya itu begitu cepat dan tak terlihat, sehingga

tahu-tahu ia sudah berada di depan Widarti jarak satu 

jangkauan. Widarti terkesiap melihat lawannya sudah

ada di depannya.

Ia tak sempat bergerak karena Perawan Sesat lebih

dulu menghentakkan pukulannya memakai pangkal

pergelangan tangan ke dada Widarti.

Begh... begh... beg...!

"Heeghh...!" Widarti tersentak kejang dengan

kepala terdongak ke atas dan kaki berjingkat naik.

Lalu, pukulan Perawan Sesat yang menggunakan

punggung telapak tangannya itu mengakhiri

pertarungan tersebut. 

Kuat sekali pukulan itu, membuat Widarti kembali 

tersentak ke belakang dan terbang sejauh lima langkah. 

Tubuhnya rubuh di samping kudanya sendiri dengan

mulut memuntahkan darah merah kehitaman. Dari

telinga dan hidung pun mengucurkan darah merah

kehitaman. Mata Widarti mendelik dengan mulut masih 

ternganga. 

"Widarti...!" Sungko melompat turun dan buru-buru 

menolong temannya. Tapi ketika kepala Widarti

diangkatnya, napas perempuan itu menghempus

panjang dan lepas tanpa helaan lagi.

"Biadab!" geram Murbawati melihat Widarti

hembuskan napas terakhir. Cepat-cepat ia palingkan

wajah yang memerah karena marah. Matanya

memandang tajam pada lawannya yang berdiri dengan 

sikap siap bertarung kembali.

"Jangan buang-buang nyawa!" seru Perawan Sesat.

"Cepat tunjukkan arah perguruan kalian, dan dua

nyawa kalian akan tertolong!"

"Persetan dengan ancamanmu! Kau telah membuka 

pintu permusuhan dengan orang-orang Perguruan 

Merpati Wingit!"

"Terpaksa kulakukan karena kalian mengharap kan

sikap seperti itu! Kuingatkan pada kalian, bahwa

sebenarnya aku bisa mempercepat kematian temanmu 

itu. Tapi kalian perlu melihat permainanku tadi.

Barangkali dengan begitu kalian mau jawab

pertanyaanku!"

"Tak ada jawaban untuk manusia sekeji kamu!"

sentak Murbawati sambil mencabut pedang panjang 

dari pelana kudanya. Sreet...! Ia berdiri dengan kuda-

kuda kokoh sambil memegang pedang panjang memakai

kedua tangannya. Pedang itu lebih tepat jika disebut 

samurai. Hanya sayang tidak berujung lengkung, dan

tidak ada istilah samurai buat orang-orang Perguruan 

Merpati Wingit. 

"Kau pikir aku akan ciut nyali melihat pedang

panjangmu itu?" ejek Perawan Sesat sambil melangkah 

ke samping, mencari celah. 

"Tak peduli kau takut atau tidak, kalau kau tidak

minta ampun di depan kami atas pembunuhan terhadap 

teman kami, kutebas batang lehermu sekarang juga!" 

&jj$M

"Pohon pisang boleh kau tebas, tapi Perawan Sesat 

adalah perawan yang keras. Sekali kau tebas, sekali

pula nyawamu amblas!" 

"Banyak mulut!" geram Murbawati sambil

melangkah satu tindak, lalu memutar mencari

kesempatan untuk menyerang.

Perawan Sesat pun bergerak mengitar, tak mau

kecolongan celah bagi lawannya. Sambil bergerak

mengitar, ia masih bisa serukan kata,

"Kau benar-benar manusia yang tak bisa merawat

nyawamu! Kau akan menyesal di alam kubur jika tetap

melawanku, Monyet Bunting!"

"Aku ke alam kubur untuk menyusulmu! Cabut

pedangmu yang bergagang jorok itu! Kita percepat

siapa yang harus pergi ke alam kubur di antara kita

berdua"

"Cabut pedang? O, tidak untuk sekarang! Membasmi 

tikus busuk macam kamu tidak perlu dengan pedang!

Cukup dengan satu kedipan mata kau akan tak

bernyawa!"

"Manusia sombong! Buktikan sesumbarmu itu.

Hiaaat...!"

Murbawati sentakkan kakinya dan tubuhnya

melayang cepat dengan pedang siap tebas ada di atas

pundak kanannya.

Perawan Sesat tidak ikut melompat, tapi lebih

bersikap menunggu datangnya serangan. Begitu pedang 

ditebaskan ke arah depan oleh Murbawati, badan 

Perawan Sesat segera berbalik memunggungi lawannya 

dengan sedikit melompat ke samping kanan.

Wuuusss...!

Pedang menebas tempat kosong. Secepat kilat

tangan Perawan Sesat disentakkan ke samping, telapak 

tangannya yang sudah mengepulkan asap menghantam

ketiak kiri Murbawati. Beeegh...! Lalu sikunya bergerak 

menyodok kuat ke pinggang Murbawati. Deeg...!

Murbawati pekikkan suara tertahan dengan mata 

terbelalak tak mampu berkedip. Saat ia mendaratkan 

kakinya, ia menggeloyor ke depan. Perawan Sesat 

melompat mengangkangi tubuh Murbawati, dua pukulan 

telapak tangannya menghantam bagian tengkuk kepala

lawan.

Duub...! Duub...!

"Hooeek...!"

Seketika itu darah segar sontak ruah dari mulut

Murbawati. Lubang telinga dan hidung pun semburkan

darah segar pada saat tubuh itu roboh dan muka

menciumi tanah. Tubuh Murbawati berkelojot sebentar, 

kemudian menyentak kuat satu kali. Setelah itu lemas.

Tubuh Murbawati tak lagi berkutik akibat pukulan 

beruntun dari perempuan bertenaga dalam tinggi itu.

Sungko membelalakkan mata melihat Murbawati

mati di tangan perempuan bermata liar itu. Mulai ciut 

nyalinya saat itu. Tapi demi membela perguruan,

Sungko segera sentakkan tumitnya dan melesat di 

udara dengan berjungkir balik satu kali. Kaki itu pun

mendarat tanpa suara di depan Perawan Sesat dalam 

jarak tiga langkah.

"Temanmu mati," kata Perawan Sesat dengan nada 

mengejek.

"Ya. Tapi aku belum mati!" jawab Sungko

memaksakan keberaniannya.

"Kau ingin menyusulnya?"

"Aku ingin menyusulkan nyawamu agar bertemu

dengan kedua nyawa teman seperguruanku itu!"

"Hah...!" Perawan Sesat senyumkan kesinisan.

"Bocah bawang, bocah bawang...! Tidakkah kau lihat

gerakanku menghabisi nyawa si baju ungu ini?! Apa kau

pikir kau punya gerakan lebih cepat dari si baju ungu?" 

"Ya!"

"Dan kau punya senjata sepanjang senjata baju

ungu?"

"Ya!"

"Boleh kulihat senjatamu?" seraya Perawan Sesat 

tersenyum nakal. Arti kalimatnya juga berkesan nakal.

Sungko yang masih tampak ingusan itu mulai 

gundah dan gusar tatap matanya. Bibirnya yang ranum

dan kemerahan-merahan tampak segar itu pandangi

oleh Perawan Sesat. Lalu, terucap kata dari mulut

Perawan Sesat yang berbibir mesum itu.

"Tak tega aku harus membunuhmu. Hmmm...,

sebaiknya kutanyakan siapa namamu? Mungkin kalau 

aku memaafkan kamu, aku bisa mengenang nama 

pemuda tampan yang ingusan ini?"

"Namaku Sungko!" jawab Sungko dengan tegas.

"Sungko?! Oh, itu nama yang bagus. Sayang kalau 

harus dihias di batu nisan dalam usia semuda ini!"

"Persetan dengan kata-katamu! Aku menuntut 

kematian kedua teman perguruanku ini?!"

"Dengan apa kau mau menuntutnya, Sungko?

Hmm...?!"

"Dengan nyawamu, Bodoh!"

"Dengan nyawaku? O, boleh saja! Tapi jangan

sekali-kali kamu menyentuh tubuhku, Sungko. Sebab 

kalau tubuhku tersentuh lelaki macam kamu, gairahku 

berkobar dan kita tak jadi bertarung dengan

permusuhan, tapi akan bertarung dengan kemesraan. 

Hi hi hi...!" Perawan Sesat perdengarkan tawa

seraknya. 

Ia lebih puas mempermainkan pemuda itu

ketimbang harus cepat melenyapkan nyawanya.

Perawan Sesat paham betul, pemuda seusia Sungko itu 

mudah sekali goyah pendiriannya. Juga mudah untuk

membunuhnya. Karena itu, Perawan Sesat tetap

memandangnya dan sesekali membuang lirikan

mesumnya ke arah Sungko. Pemuda itu kian salah

tingkah.

Di dalam hatinya Sungko berkata, "Apa yang harus

kulakukan jika begini? Dia cukup tinggi ilmunya. Aku

hanya mempunyai dua pisau di pinggang belakang. Tak 

mungkin bisa untuk mengalahkan perempuan nakal ini. 

Haruskah aku menyerah kalah? O, tidak! Guru selalu

berpesan lebih baik mati daripada menyerah kalah.

Kita akan terhina tujuh turunan jika menyerah kalah.

Apa pun yang terjadi, aku harus melawan perempuan

ini!" geram hati Sungko timbulkan semangat dalam

jiwanya. 

Tetapi ketika ia kembali menatap ke arah

lawannya, mata itu tak mampu lagi berkedip. Perawan 

Sesat telah melebarkan belahan bajunya yang tanpa

lengan itu. Kedua bukit mulus dipamerkan sebagian. 

Tapi justru karena sebagian itulah maka debar jantung 

Sungko menjadi kiat cepat detakannya.

Perawan Sesat sengaja melangkah ke arah

pepohonan rindang sambil sesekali mengerlingkan mata 

dalam tatap pandangnya. Sungko mengikuti dengan 

pandangan mata yang tak bisa dikedipkan lagi itu.

Jemari tangan Perawan Sesat berkutik memanggil 

Sungko saat ia berdiri dan bersandar di bawah pohon

rindang.

"Tidak. Aku tidak boleh mendekatinya!" kata

Sungko kepada dirinya sendiri. "Aku harus tetap di sini.

Aku tak boleh tergoda!"

Kata hati berucap begitu, tapi kaki tetap

melangkah mendekati Perawan Sesat. Sungko bagai 

terkena kekuatan gaib yang membuat dirinya

melangkah tanpa disadari. Ketika ia sadar, ia sudah

berada di depan Perawan Sesat dalam jarak satu

langkah ke depan. 

Sungko makin terpaku di tempat ketika belahan

baju itu kian dilebarkan oleh tangan Perawan Sesat.

Suara tawa pelan dari Perawan Sesat menghadirkan

nada serak-serak menantang birahi. Tentu Sungko

bertambah gemetar kedua lututnya.

"Lepaskan pakaianmu, Sungko," kata Perawan Sesat 

dalam desah serak yang enak didengar di kesunyian 

tempat itu.

"Tidak," kata hati Sungko. "Aku tidak boleh

melepaskan pakaianku. Ini godaan! Aku harus tahan

godaan! Aku tak boleh hanyut dalam rayuannya! Aku 

murid Perguruan Merpati Wingit! Aku harus tunjukkan 

belapatiku kepada perguruan!"

Hati berkata begitu tapi tangan tetap saja bergerak 

melepasi pakaiannya. Sampai akhirnya Sungko

menyadari bahwa dirinya telah polos tanpa selembar

benang pun. Ia buru-buru menutup bagian tertentu

dengan kedua tangan, wajah pucat, mata melebar dan 

mulut melongo. Kepalanya celingak-celinguk ke kiri

kanan dengan malunya, 

"Lepaskan...! Lepaskan tanganmu, Sungko...!" 

"Aku tidak mau!" sentak Sungko. Matanya menatap 

pandangan Perawan Sesat. Dan mata Perawan Sesat 

berkerling satu kali. Sungko tertegun bengong sambil

melepaskan kedua tangannya.

"Aku tahu, kau inginkan sesuatu dariku!" kata

Perawan Sesat sambil menarik pelan tangan Sungko,

dan pemuda imut-imut itu menurut saja. Ia usap-usap 

rambut kepala Sungko sambil bicara.

"Kau butuh kenikmatan saat ini juga, Sungko?!"

Pemuda itu tak bisa menjawab tapi ia anggukkan

kepalanya.

"Akan kuberi kau kenikmatan segunung besarnya.

Tapi ke mana arah perguruanmu itu? Aku butuh

mengantarmu pulang."

"Ke... ke arah barat. Ikuti saja sungai berbatu-batu

dan kau akan temukan bangunan besar berpagar

tembok tinggi. Itulah Perguruan Merpati Wingit," jawab 

Sungko bagai tak sadar.

"O, bagus sekali! Kalau begitu, sekarang tiba

saatnya kuberikan kenikmatan itu padamu. Nah,

pejamkan matamu, Sungko!"

 

*

* *


DELAPAN


MANUSIA Sontoloyo sengaja menghajar Peri Malam 

dengan tangan kosong. Sebuah tendangan disentakkan

miring ke arah wajah Peri Malam. Tangan perempuan

bertahi lalat di sudut dagu kanannya itu mengibas

sentak ke arah samping. Tendangan itu meleset dari

sasaran. Tapi kejab berikutnya Dirgo Mukti berbalik dan 

kaki satunya lagi berkelebat ke belakang. 

Plook...!

Wajah Peri Malam telak-telak terkena tendangan

keras itu. Walau tak bertenaga dalam, namun sempat

membuat Peri Malam terhuyung-huyung tiga tindak.

Setelah berhasil menendang wajah Peri Malam, Dirgo 

segera hentikan gerakan. Napasnya tetap teratur walau 

ia telah lakukan banyak gerakan.

"Ini sebuah pelajaran berharga untukmu, Peri

Malam!" kata Dirgo Mukti dengan menahan kedongkolan 

hatinya. "Lain kali, jangan suka ikut campur urusan

orang!"

"Aku tidak rela kau mengaku-ngaku sebagai Suto!"

"Apa urusanmu?!" sanggah Dirgo dengan kerutkan 

dahi.

"Nama itu nama terhormat. Tak pantas dipakai oleh 

orang berpenyakit kudis seperti kamu!" ejek Peri

Malam.

"Heh...," Dirgo tertawa satu sentakan. "Nama Suto

Sinting kok dikatakan nama terhormat! Menurutku

namaku lebih terhormat daripada nama Suto Sinting!"

"Tutup bacotmu!" sentak Peri Malam dengan kasar. 

Serta-merta ia jejakkan kaki dan melayang menyerang 

dengan tendangan bertenaga dalam. Tendangan itu

dihindari oleh Dirgo Mukti dengan cara merundukkan 

kepala. Tubuh Peri Malam lewat di atas kepala Dirgo,

dan tangan Dirgo bergerak nakal ke atas bagai

mencomot buah jambu.

"Aaauw...!" jerit Peri Malam kaget karena sesuatu

yang disembunyikan selama ini tercomot oleh tangan

Dirgo.

"Sontoloyo kotor!" sentaknya marah.

Kemudian tangan kirinya disodokkan ke depan

dalam keadaan menggenggam. Pukulan bertenaga

dalam melesat tanpa menyentuh sasaran. Gelombang

tenaga itu meluncur kuat ke arah Dirgo. Secepatnya 

Dirgo melompat menghindari, tapi sentakan tangan 

kedua dari Peri Malam berhasil mengenai sasaran.

Beegh...!

Tubuh Dirgo Mukti tersentak ke belakang dan kedua 

kakinya sempat terangkat sedikit dari tanah. Ia merasa

seperti diseruduk seekor banteng mabuk. Dadanya

sedikit terasa sesak dan tubuhnya jatuh terhempas di

pasir pantai.

"Ini sebuah pelajaran berharga untukmu, Dirgo,"

kata Peri Malam mengutip kata-kata Dirgo tadi. "Lain

kali jangan coba-coba berani memegang bagian

terlarang dari tubuhku!"

Dirgo bangkit dengan menarik napas panjang-

panjang. Ia sunggingkan senyum meremehkan dan

berkata,

"Kalau begitu, aku boleh pegang tubuhmu yang

tidak terlarang!"

"Semua tubuhku terlarang dipegang oleh

tanganmu!" sentak Peri Malam dengan bersungut-sungut 

cemberut. Ia palingkan wajah kembali menatap Dirgo

dan berkata,

"Hanya Suto yang boleh memegangnya!"

Benci sekali Dirgo jika mendengar nama murid

sinting si Gila Tuak itu disebutkan oleh Peri Malam.

Rasa-rasanya ia menjadi sangat rendah jika

dibandingkan dengan Suto. Panas hati mendengar

ucapan Peri Malam tadi membuat Dirgo ucapkan kata

pedas,

"Lelaki hina macam dia tak patut disebut namanya

di depanku!"

"Aku akan menyebutnya setiap saat. Karena Suto

memang seorang pendekar tanpa tanding yang layak

namanya diagungkan!"

"Dia tidak pantas bergelar pendekar!"

"Dia lebih pantas dari pada kamu!" bantah Peri

Malam dengan nada makin tegas dan keras.

Mulut Manusia Sontoloyo mencibir, "Hanya

kebetulan saja dia pernah belajar silat dari si Gila

Tuak, lantas orang kasih gelar pendekar padanya!

Sebenarnya dia tidak punya isi apa-apa! Kosong

melompong seperti rumah keong!"

Peri Malam tidak suka mendengar Suto diremehkan. 

Ketus nadanya ia bicara pada Dirgo Mukti.

"Kau bilang dia kosong, tapi kau tak bisa

memukulnya! Hmm...! Pendekar tidak bisa memukul

lawan, itu namanya bukan pendekar, pendekar, yang

kerjanya tarik dokar ke mana-mana!"

"Aku bukan kusir!"

"Iya. Tapi kau kudanya!" sentak Peri Malam.

Wuug...! Sebuah tendangan bertenaga dalam kali

ini dilancarkan oleh Dirgo. Secepatnya Peri Malam

sentakkan tangan kanan menyamping dengan kekuatan 

tenaga dalam juga.

Breeg...!

Kedua tenaga dalam itu bentrok. Peri Malam

berhasil membuang ke arah samping kanannya. Di sana 

ada batu, dan batu itu pecah menjadi empat bagian. 

Peri Malam palingkan pandang ke arah Dirgo.

Ternyata kedua tangan Dirgo sudah angkatkan sampai

batas pundaknya. Jari-jarinya mekar mengeras, kedua

kakinya merendah. Lalu tangan kanan berkelebat ke

depan dengan membengkokkan pergelangan tangannya. 

Melalui punggung telapak tangan itu, Dirgo lepaskan

pukulan bertenaga dalam yang lebih besar lagi.

"Haiit...!" Peri Malam sentakkan tangannya ke

depan dada dalam keadaan jari-jari lurus ke atas. Dari 

sisi telapak tangan keluar cahaya kebiru-biruan. Cahaya 

itu melesat dan meledak di pertengahan jarak.

Duaaar...!

Dirgo Mukti berguncang tubuhnya akibat sentakan

ledakan tadi. Tapi Peri Malam terlempar dua langkah

jauhnya akibat sentakan ledakan tersebut. Ia jatuh

dalam posisi miring, lalu segera berguling.

Kemarahan Dirgo Mukti karena dibandingkan oleh

Suto belum habis. Ia masih ingin menghajar Peri Malam 

yang menurutnya dianggap sebagai perempuan lancang 

mulut.

Pada saat Peri Malam bergegas bangkit, sebuah

pukulan bertenaga tinggi melesat melalui dua totokan 

jari tangannya. Pukulan itu mempunyai cahaya sinar

merah api. Wuuusss...!

Slaaap..! Duaar...!

Peri Malam terkesiap mendapat serangan sinar

merah api. Ia baru saja ingin melompat menghindari.

Tapi sinar api itu meledak di pertengahan karena

datangnya sinar hijau bening dari arah pepohonan tepi 

pantai.

Dirgo Mukti cepat palingkan wajah memandang ke

arah pepohonan, begitu pula halnya dengan Peri

Malam. Lalu, keduanya sama-sama lihat kemunculan

seorang lelaki berpakaian serba coklat dengan

menenteng bumbung tuaknya. Siapa lagi dia kalau

bukan Suto Sinting, murid si Gila Tuak?

"Suto...!" pekik Peri Malam kegirangan.

Suto melangkah dengan santai dan tersenyum-

senyum kepada Dirgo. Tapi arah langkahnya menuju ke 

Peri Malam, membuat Dirgo menjadi semakin dongkol.

"Suto...! Syukurlah kau tahu aku di sini..!" Peri

Malam memeluk tanpa canggung-canggung lagi. Suto

pun memeluk Peri Malam karena ingat perjuangannya

mempertahankan Tuak Setan dari tangan si Mawar

Hitam.

"Jahanam!" geram Dirgo Mukti dengan pelan.

Kemudian ia segera kirimkan kembali pukulan

bertenaga tinggi melalui kedua jari tangan yang

disentakkan ke depan. Sinar merah api menyala lagi

dan melesat ke arah Suto dan Peri Malam yang masih

berpelukan hangat.

Walau dalam keadaan sedang berpelukan, namun

mata Suto bisa melihat kilasan sinar merah api menuju 

ke arahnya. Ia tidak melepaskan pelukan itu, melainkan 

hanya menggeser bumbung tuaknya ke samping kiri Peri 

Malam, dan sinar merah api itu menghantam bumbung 

tuak dengan suara lirih, deeg...! Lalu, melesat kembali 

ke arah semula tanpa padamkan sinarnya.

Melihat sinar merah api kembali ke arahnya, Dirgo 

tercengang kaget dan buru-buru melompat ke arah

samping dengan satu sentakan ujung jempol kakinya.

Wuuttt...!

Sinar merah api itu lewat ke tempat kosong. Tapi

pada akhirnya membentur tebing karang yang agak

jauh dari tempat mereka. Benturan itu membuat 

karang meledak. 

Blaarr...!

Sebagian tebing karang menyembur dalam

pecahan, sisanya berguguran jatuh di perairan laut.

Ombak menelan guguran karang tersebut, membuat 

mata Dirgo masih terasa memandanginya.

"Dari mana kau tahu aku di sini?"

"Ada kemungkinan kau rindu pada gurumu dan

berusaha menatap Pulau Hantu dari sini," jawab Suto

dengan tenang, seakan ia tidak melihat keberadaan

Dirgo Mukti di sebelah sana, dalam jarak tujuh langkah.

"Memang aku rindu pada guruku, tapi aku tak

berani pulang ke sana. Itu sama saja aku menyerahkan 

nyawa kepada Guru!"

Makin panas hati Dirgo melihat tangan Peri Malam

merapi-rapikan pakaian Suto. Ia segera mengirim

pukulan bertenaga tinggi dari jarak jauh tanpa rupa.

Pukulan itu diarahkan ke bagian kaki. Karena Dirgo

Mukti sengaja ingin membuat kemesraan itu jadi

berantakan dengan tubuh berjungkir balik tak karuan.

Maka, tangan kirinya pun menyentak ke depan dengan 

telapak tangan terbuka dan jari-jarinya mengarah ke

bawah.

Gelombang pukulan jarak jauh itu bagai merayap di 

atas permukaan tanah. Pada saat itu, Suto sedang

mencubit pipi Peri Malam dan berkata,

"Kupikir kau mati kena pukulan gurumu sendiri.

Ternyata kau masih hidup dan semakin nakal!"

Duug...! Kaki Suto menghentak pelan ke tanah.

Gelombang pukulan jarak jauh milik Dirgo itu berbalik

arah dan lebih cepat serta lebih besar kekuatannya.

Dirgo Mukti merasakan kembalinya pukulan itu, hingga 

ia perlu secepatnya berkelit pindah tempat.

Namun ia terlambat bergerak. Pukulan itu sudah

lebih dulu menghantam bagian kakinya hingga

membuat tanah menyembur naik. Dirgo Mukti

terpelanting bagai dilemparkan ke atas. Ia kurang

menjaga keseimbangan tubuhnya akibat rasa kagetnya

tadi. Maka, mau tak mau ia pun jatuh bergedebuk di

atas tanah berpasir.

Suara bergedebuk itulah yang membuat Peri Malam 

sadarkan diri dan cepat palingkan wajah ke arah Dirgo. 

Suto pun palingkan wajah ke sana sambil tersenyum.

Peri Malam merasa heran melihat Dirgo bagai orang

pontang-panting tanpa sebab. Perempuan itu pun

bertanya pelan, tujuannya kepada Suto.

"Kenapa dia?"

"Entahlah! Mungkin encoknya kambuh!"

Dirgo yang mendengar jawaban itu segera

menyentak dengan segunung kedongkolan di dalam

hatinya.

"Encok gundulmu!"

"Hei, sopan sedikit bicara dengan seorang

pendekar!" Peri Malam bernada galak mengingatkan 

Dirgo Mukti. Makin panas hati Dirgo jadinya.

"Kalian yang tidak tahu sopan! Main peluk di

depanku!"

Peri Malam maju setindak dengan tolak pinggang

kiri, "Ih, kami mau main peluk atau main mata itu hak 

kami? Tak perlu harus hiraukan kamu! Kenapa kamu

marah? Kalau merasa kurang terima, majulah sini...!

Biar kuremukkan seluruh gigimu itu!"

Dirgo mendengus kesal dan membatin "Hmmm...!

Terang saja dia berani bilang begitu karena di

belakangnya ada Suto. Pemuda itu benar-benar

bangsat! Kuserang dua kali dengan sembunyi-sembunyi 

masih juga bisa membalikkan seranganku. Kurasa

memang dia punya ilmu sedikit lebih tinggi dariku.

Rasa-rasanya aku perlu memperdalam juru jurusku lagi, 

dan mempelajari jurus 'Cakar Naga' secepatnya. Akan

kulawan ilmunya dengan 'Cakar Naga'-ku pada

pertarunganku kelak di Bukit Jagal!" 

Tanpa mau bikin perkara lagi, Dirgo segera angkat 

kaki dari tempat itu. Ia melesat tanpa pamit dengan 

cepatnya. Peri Malam mau mengejar, tapi tangannya

ditahan oleh Suto. Dan ia senang sekali mendapat

sentakan menahan dari Suto. Hatinya bangga, seakan

dirinya sangat dikhawatirkan oleh Suto.

"Biar kukejar dia!" Peri Malam memancing sikap.

"Jangan. Tak perlu!" kata Suto dengan kalem.

"Kalau tidak kukejar dan kuremukkan dia masih

tetap akan menggangguku terus!"

"Jauhi dia supaya tidak diganggu olehnya," kata

Suto yang kedengaran lebih kalem sekarang dari pada

dulu. Sebab sekarang Suto memang menyadari bahwa

di dalam tubuhnya sudah bermukim Pusaka Tuak Setan. 

Kalau dia mengumbar nafsu kemarahan, bisa-bisa

napasnya menyemburkan badai yang sangat dahsyat

dan membawa korban tak bersalah.

Sikap tenang dan kalem itu membuat Peri Malam

semakin menyukai Suto. Menurut pandangannya, Suto

semakin menarik saja. Hatinya kian ditumbuhi bunga

rimbun jika bertatap pandang dengan pendekar tampan 

itu. Rasa-rasanya pelukan yang tadi dilakukan Suto

akan membekas selamanya dan meresap hangat

sepanjang masa di dalam hati.

Tiba-tiba Manusia Sontoloyo itu tampakkan diri

kembali dengan sebuah seruan dari atas batu karang

berjarak antara lima belas langkah di belakang Suto.

"Sutooo...!"

Peri Malam dan Suto sama-sama memandang. Peri

Malam denguskan napas tanda kesal hatinya.

"Hah...! Dia lagi, dia lagi...!"

"Dengar, Suto...!" seru Manusia Sontoloyo. "Ada

seorang perempuan cantik mencarimu. Dia bernama

Perawan Sesat! Sekarang sedang menuju ke Perguruan

Merpati Wingit karena menyangka dirimu ada di sana!

Dia membutuhkan kamu dan ingin membawamu pergi!"

"Jangan dengarkan omongannya!" sentak Peri

Malam mulai cemburu dan waswas. Ia sentakkan pula

tubuh Suto agar berpaling memandang ke arahnya. Tapi 

kepala Suto masih kembali palingkan pandang ke arah

Dirgo Mukti, sebab Dirgo masih lanjutkan seruannya.

"Hati-hati, dia berilmu tinggi! Mungkin akan

membabi buta mengamuk jika kamu tidak mau ikuti

dengannya! Satu lagi, dia adalah perempuan cantik

yang menggairahkan! Dia lebih cantik dari Peri...!"

Wuuus...! Duaar..!

Kata-kata Dirgo tak terlanjutkan karena Peri Malam 

mengirimkan pukulan jarak jauhnya yang lebih

bertenaga dalam tinggi lagi. Pukulan itu bersinar biru

dan melesat jauh ke tempat Dirgo. Tapi Dirgo cepat

menghindar dan menghilang, hingga sinar biru itu

mengenai batu yang dipakai pijakan kaki Dirgo Mukti. 

Batu itu pun meledak menjadi serpihan-serpihan

lembut.

"Jangan dengarkan celoteh si Gila Sontoloyo itu!"

ucap Peri Malam dengan cemberut kesal.

"Perawan Sesat...?!" gumam Suto dengan kerutkan

dahi.

"Lupakan tentang perempuan itu!"

"Apa kau kenal dia?"

"Tidak. Tapi aku tadi melihat dia bercumbu di

sebelah sana dengan Dirgo. Tadi kudengar Dirgo

mengaku sebagai dirimu. Lalu, aku keluar dan

membeberkan rahasianya. Dirgo ditinggalkan oleh

Perawan Sesat. Aku salah ucap tadi. Untuk meyakinkan 

perempuan itu, kukatakan bahwa Suto yang asli ada di 

Perguruan Merpati Wingit. Lalu dia bergegas kesana 

mencarimu dengan meninggalkan kemarahan kepada

Dirgo Mukti! Sudahlah, jangan pikirkan tentang dia!"

Peri Malam merajuk manja.

"Aku tidak memikirkan dia, tapi memikirkan orang-

orang Perguruan Merpati Wingit! Mereka bisa jadi

korban tak bersalah jika benar perempuan itu

mengamuk karena tidak menemukan aku di sana!"

"Itu urusan orang-orang Merpati Wingit! Bukan

urusanmu!"

"Aku pernah ditolong oleh mereka. Kau pun

diselamatkan dari luka dalammu oleh mereka! Tak bisa 

kita berdiam diri begini saja!"

"Aku tak setuju kalau kau kembali ke Merpati

Wingit!"

"Aku harus kembali ke sana!" Suto bergegas

melangkah, tapi segera Peri Malam melompat dan

cepat menghadang langkah Suto.

"Jangan ke sana, Suto!"

"Aku hanya ingin melihat apa yang dilakukan

perempuan yang tak kukenal itu!"

"Kau pasti akan kembali kepada Betari Ayu!" nada

cemburu makin tampak jelas dari raut muka Peri

Malam.

"Aku memang harus kembali kepada Nyai Betari Ayu 

untuk menjelaskan bahwa aku tidak ada hubungan apa-

apa dengan perempuan yang bernama Perawan Sesat

itu!"

"Tidak! Kamu tidak boleh ke sana! Betari Ayu akan 

semakin kegirangan jika kau datang. Aku tahu dia

mencintaimu, Suto!"

"Itu hak dia! Aku tak bisa melarang!"

"Tapi kau melayaninya! Kau tidur dengannya

dan...."

"Cukup! Urusan itu kita bicarakan nanti saja!

Sekarang aku mau ke sana dan jangan halangi aku!"

"Tidak boleh!" Peri Malam rentangkan kedua

tangannya. 

Suto nekat sentakkan kaki dan melesat pergi

menabrak tubuh Peri Malam. Akibatnya perempuan itu 

terjengkang ke belakang dan jatuh di atas tanah

berpasir. Ia segera bangkit begitu melihat Suto sudah

lenyap dari pandangan matanya. Ia berseru,

"Sutooo...! Tunggu! Aku ikut...!"

Karena pada saat itu terlintas dalam pikiran Peri

Malam, jika ia tidak ikut mengawasi Suto, bisa-bisa 

hubungan Suto dengan Betari Ayu semakin lengket. Ini 

membuat ia kehilangan kesempatan untuk

menempatkan cintanya di samping hati Suto. Ia harus

mencegah hubungan itu agar tidak selengket karet.

Kelebatan Suto memang susah diikuti. Tapi Peri

Malam masih bisa menggunakan penciumannya melalui 

udara. Bau keringat Suto telah melekat dalam

ingatannya. Bau keringat Pendekar Mabuk yang

mengandung tuak itulah yang menjadi penuntun Peri

Malam untuk menyusul kepergian Suto.

Suto sendiri tidak peduli apakah dia diikuti Peri

Malam atau tidak. Tetapi yang jelas firasatnya

mengatakan ada yang tak beres di Perguruan Merpati

Wingit. Firasat itu semakin kuat setelah di perjalanan

Suto menemukan tiga kuda tanpa penunggang. Bahkan

ia menemukan mayat Murbawati dan Widarti terkapar

di sekitar kuda itu.

"Gila! Ini pasti perbuatan Perawan Sesat. Mungkin

mereka bertemu dan didesak mengenai tempat

perguruan mereka namun tidak mengaku, akibatnya 

mereka dibunuh secara keji! Hmmm...! Siapa

perempuan yang mengaku berjuluk Perawan Sesat itu?

Tak pernah kudengar namanya!" kata Suto sambil

matanya memandang ke sana-sini.

Saat itu Peri Malam datang menyusul. Ia ikut

terperanjat kaget melihat dua nyawa amblas dari raga 

dua orang dari Merpati Wingit yang kala itu dikenal pula 

olehnya. Peri Malam memandang Suto dan berkata

dengan nada pelan.

"Ada tiga kuda. Tapi mengapa hanya ada dua

mayat? Pasti ada satu lagi yang menjadi korban!"

"Ya. Benar. Lihatlah ke arah bawah pohon sana...!"

Peri Malam terkejut melihat mayat Sungko dalam

keadaan tanpa selembar benang di tubuhnya. Mayat

Sungko biru legam sekujur tubuhnya, pertanda

dihantam dengan pukulan tenaga dalam cukup tinggi.

*

* *



SEMBILAN


PERAWAN Sesat sungguh perempuan yang ganas.

Dia ibarat iblis cantik berdarah dingin. Siapa pun yang 

menghalangi langkahnya, dibabatnya habis. Repotnya 

lagi, dia memang punya ilmu cukup tinggi. Sukar

dijatuhkan lawan.

Ketika ia menemukan Perguruan Merpati Wingit, ia 

dihadang oleh dua penjaga di pintu gerbang. Kedua

penjaga itu melarang dia masuk. Tanpa banyak

berdebat, kedua penjaga pintu gerbang itu dihantam 

secara bersamaan hingga keduanya terkapar tak

bernyawa.

Brakkk...! Pintu gerbang Itu didobraknya dengan

sebuah tendangan berkekuatan tinggi. Pintu gerbang

itu bukan hanya membuka, namun juga terlepas dari

engselnya dan sempat terbang sampai tujuh langkah 

jauhnya dari pintu.

Suara gaduh itu membuat mata para murid Merpati 

Wingit terperanjat dan terbelalak kaget. Sosok

penampilan yang berambut awut-awutan dengan

pedang gading di punggung, mata tajam, wajah angker, 

jelas melambangkan suatu permusuhan yang harus

segera diatasi.

Beberapa murid mengepung Perawan Sesat. Tak 

ada gentar sedikit pun di hati Perawan Sesat. Ia bahkan 

berseru,

"Mana yang namanya Suto! Aku butuh bertemu

dengan Suto!"

Salah seorang dari wakil para murid itu berkata, "Di 

sini tidak ada Suto Sinting! Pemuda itu sudah pergi!"

"Dusta!" sentak Perawan Sesat. "Kudengar dia

berada di sini dalam perawatan lukanya!"

"Tidak ada! Keluar kau atau kami rajang-rajang 

tubuhmu!" bentak salah satu wakil dari para murid.

"Aku tak akan pergi sebelum membawa Suto!"

"Bedebah kau! Seraaang...!"

Serentak para pengepung menyerang Perawan

Sesat. Mulanya mereka belum menggunakan senjata.

Namun, ketika kedua tangan Perawan Sesat

disentakkan ke samping dengan satu kekuatan tinggi,

para penyerang itu berjumpalitan. Ada yang terlempar 

sejauh tujuh langkah, ada yang tersentak naik ke atas 

dan jatuh dalam keadaan patah lehernya. Ada pula

yang langsung menyemburkan darah kental dari

mulutnya. Pendek cerita, satu kali gebrakan delapan

nyawa melayang.

Melihat delapan korban jatuh akibat gebrakan

Perawan Sesat, seorang berpakaian biru dengan rambut 

pendek sebahu dan dililit kain ikat kepala warna merah 

maju ke depan. Ia memberi isyarat agar para murid

tidak menyerang. Orang itu adalah wakil dari

Murbawati selama Murbawati pergi. Mereka tak tahu

bahwa Murbawati, dan dua temannya sudah menjadi 

mayat akibat ulah perempuan berambut jabrik itu.

Perempuan yang tampil lebih kalem itu adalah

Suryadani, ilmunya setingkat dengan Murbawati. 

"Siapa kamu dan mengapa mengamuk di wilayah 

kami?"

"Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang penting, aku

harus pergi membawa Suto Sinting, murid si Gila Tuak 

itu!"

"Suto sudah tidak ada. Dia sudah pergi. Memang

mulanya dia kami rawat di sini, tapi setelah sembuh dia 

pergi dari sini! Dia memang bukan murid perguruan 

kami," tutur Suryadani dengan lebih kalem dan sabar.

"Aku perlu membuktikannya!" kata Perawan Sesat

dengan mata memancarkan kesan angker.

"Dengan cara apa kau mau membuktikannya?""

"Menggeledah tempat ini!"

"O, ini tempat terhormat! Tak bisa seenaknya kau

mengacak-acak tempat ini!"

"Kalau begitu aku harus memaksa untuk

menggeledah tempat ini!" sentak Perawan Sesat.

"Kalau kau memaksa begitu, maka aku pun

memaksa bertindak keras!" Suryadani tak mau kalah

gertak.

"Bagus!" Perawan Sesat melangkah ke samping

dengan mata melirik liar. Ia berkata dengan suara

semakin bermusuhan,

"Menyingkirlah, aku akan menggeledah tempat ini. 

Atau berikan Suto supaya aku cepat pergi dari sini!"

"Tak ada Suto. Tak mau menyingkir!"

"Berarti kau memang cari mampus! Hiaaat...!"

Perawan Sesat hanya membentak dengan kaki

menghentak kuat ke tanah, tangan terangkat ke atas.

Belum lagi ia maju menyerang, Suryadani sudah

tumbang karena gelombang bentakannya yang

mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar itu.

Suryadani segera bangkit berdiri dan membatin,

"Suaranya tak seberapa keras, tapi gelombang kekuatan 

tenaga dalamnya begitu hebat! Oh, telingaku

berdarah...?!"

Suryadani memegangi cairan yang mengalir ke pipi 

kiri. Ternyata memang darah yang keluar dari

telinganya. Kemudian dia memegang bagian depan

hidung. Darah juga mengalir walau tak banyak.

"Aku harus hati-hati dengannya," pikir Suryadani.

"Majulah kalau kau memang ingin mengusirku!"

sentak Perawan Sesat. Maka, Suryadani pun melompat

maju tiga langkah. Ia segera mencabut keris yang

terselip di pinggang kiri.

Srettt...!

Baru saja keris dicabut, Perawan Sesat

menghantamkan pukulannya dari jarak jauh melalui

sentakan tangan kirinya. Wuusss...!

Krak...!

Keris itu patah tiga tempat. Suryadani terperangah 

kaget. Keris itu keris pusaka yang sekali sabet bisa bikin

lawan terbeset perutnya. Tapi mengapa sekarang

semudah itu dipatahkan oleh lawannya tanpa disentuh

sedikit pun.

Keris yang tinggal sisa gagangnya yang digenggam

itu segera dibuang. Suryadani sentakkan ujung kakinya 

dan melesat naik ke udara. Bertepatan dengan itu,

Perawan Sesat pun sentakkan kakinya tanpa suara, dan 

melesat naik tanpa maju. Ia hanya menunggu serangan 

di atas.

Suryadani lancarkan pukulan gandanya. Wuuttt,

wuuttt...!

Plak, plak...! Pukulan ganda bisa ditangkis oleh

telapak tangan Perawan Sesat. Sebelum mereka

bergerak turun, tangan Perawan Sesat menghantam

kuat di dada Suryadani. Bagh...!

"Aahg...!" terpekik Suryadani dengan suara

tertahan.

Ia jatuh ke tanah, rubuh tak berkutik selain hanya 

mengucurkan darah kental dari mulutnya. Pukulan di

dada itu membekas hangus bagai habis terbakar api

yang maha panas. Perawan Sesat segera sentakkan kaki 

menendang tubuh Suryadani yang sudah parah itu.

Tubuh tersebut terjerembab dan telentang, kemudian

meregang nyawa. Mati.

Melihat Suryadani tak bernyawa lagi, para murid

sempat terbelalak kaget. Salah seorang memberi aba-

aba. "Kepuuung...!"

Lebih dari lima belas murid mengepung Perawan

Sesat berkeliling. Namun, sebelum mereka melakukan

penyerangan serempak, terdengar suara bijak berseru

dari depan bangunan joglo itu. 

"Minggir semua...!"

Perintah pelan itu ditaati oleh para murid Merpati

Wingit. Mereka menyingkir ke samping, dan Perawan

Sesat menatap seraut wajah ayu berjubah kuning

dengan ikat kepala dari kain merah berbintik-bintik

kuning emas. Tali itu agak panjang, di kedua ujungnya 

mempunyai logam seperti mata tombak ukuran kecil.

Perempuan ayu itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu,

guru dan ketua di situ.

"Selamat datang di perguruan kami!" sapa Nyai

Betari Ayu dengan lebih tenang lagi ketimbang

Suryadani tadi. Ia langkahkan kaki maju dua tindak.

Matanya teduh memandang mata liar Perawan Sesat.

"Tak perlu basa-basi padaku! Yang kubutuhkan

adalah Suto!"

"Kalau tak salah penglihatanku," kata Betari Ayu,

"Kau adalah murid Nyai Lembah Asmara yang berjuluk

Perawan Sesat."

Terkesiap mata Perawan Sesat. Sedikit menyipit dia 

memandang Betari Ayu. Tangan yang sudah diangkat ke 

atas itu diturunkan dan sedikit mengendur. Namun

sikapnya masih jelas bermusuhan.

"Kau kenal dengan guruku?"

"Jelas kenal! Apa gurumu tak pernah bercerita

tentang Nyai Betari Ayu...?"

"Ya. Pernah. Beliau pernah punya teman bernama

Nyai Betari Ayu!" 

"Itulah aku!"

"Oh...?!" semakin mengendur kekerasan urat tangan 

Perawan Sesat. Semakin surut kebengisan di wajahnya. 

Tapi kewaspadaannya masih tetap tinggi. Terbukti

ketika salah seorang murid membokongnya dengan

melemparkan pisau terbang ke arah punggung, Perawan 

Sesat segera sentakkan jempol kakinya dan ia melesat 

ke atas lalu putarkan tendangan dengan cepat.

Tendangan itu membuat pisau terbang melesat balik

dengan cepat sekali, dan menancap di leher

pemiliknya.

"Aaahg...!" terdengar suara pekik tertahan dari si

pembokong.

Untuk beberapa saat suasana hening kembali

setelah suara rubuhnya si pembokong. Perawan Sesat 

kembali berdiri sigap berhadapan dengan Nyai Betari

Ayu. Kala itu Betari Ayu hanya sipitkan mata melihat

anak muridnya rubuh tertancap pisau. Betari Ayu hanya 

tarik napasnya dan menghembuskan pelan-pelan.

"Perawan Sesat, pulanglah dan sampaikan salamku 

kepada gurumu, Nyai Lembah Asmara!"

"Guruku akan menerima salammu kalau aku pulang 

bersama Suto Sinting, pemuda tanpa pusar itu!"

"Suto tidak ada di sini, Perawan Sesat!"

"Aku belum percaya jika belum menggeledahnya!"

"Gurumu pasti percaya!" seraya Betari Ayu

sunggingkan senyum.

"Guru boleh percaya, tapi aku tidak semudah itu

mempercayaimu!"

"Aku keberatan jika kau menggeledah tempat ini!"

"Kalau begitu aku harus memaksanya!" 

"Aku akan bertahan!" 

"Kau akan kehilangan nyawamu, Betari Ayu!" 

"Apa boleh buat demi pertahankan martabat

perguruan!"

Perempuan berpedang gading itu mendengus kesal. 

Ia membatin, "Hmm... kalem-kalem tapi nyalinya besar 

juga orang ini! Kalau kuserang dia, apakah Guru akan

menyalahkan aku? Ah, kurasa tidak! Karena tugasku

adalah merebut Suto dari tangan siapa pun!"

Betari Ayu sendiri sedang mencari jalan agar tidak 

terjadi pertumpahan darah lagi. Tetapi, agaknya

Perawan Sesat ini orang yang sulit diajak damai.

Mungkin karena didikan dari gurunya yang pantang

melepaskan lawan jika sudah beradu pandang.

"Perawan Sesat, apakah artinya kau mengobrak-

abrik tempatku ini jika kau tidak menemukan Suto? Kau 

hanya memperburuk keadaan hubunganku dengan

gurumu! Padahal aku sudah bertahan sabar untuk tidak 

merampas tanah Bukit Garinda yang sebenarnya

kusewakan kepada gurumu, tapi sekarang agaknya mau 

dimiliki oleh kalian! Jadi menurutku, sudahlah...

jangan kita bersitegang untuk masalah yang tidak

penting!"

"Kehadiran Suto di depan Nyai Guru Lembah Asmara 

adalah hal yang sangat penting!" jawab Perawan Sesat.

"Apakah gurumu dalam keadaan sakit?"

"Tidak. Tapi Guru membutuhkan keturunan. Dia

butuh pembibit yang hanya bisa dilakukan oleh lelaki

tanpa pusar!"

"Aneh!" Betari Ayu kerutkan dahi.

"Memang aneh. Tapi itu bukan urusanmu. Itu urusan 

pribadi Guru. Jadi jangan coba-coba kamu halangi

urusan pribadi guruku!"

"Aku tidak menghalangi. Kalau di sini ada Suto,

silakan bawa sendiri pemuda Itu. Tapi kurasa Suto akan 

menolak, sebab dia sudah punya kekasih sendiri. Dyah

Sariningrum namanya...!"

Perawan Sesat diam termenung sebentar. Lalu,

matanya kembali terkesiap memandang Betari Ayu. Ia

berkata bagaikan menggumam,

"Jangan kau dustai diriku, Betari Ayu!"

"Tidak ada dusta dalam mulutku, Perawan Sesat!

Suto Sinting sangat mencintai perempuan itu sehingga

tak pernah mau bercinta dengan perempuan lain!"

"Omong kosong! Tak ada lelaki yang tak terpikat

oleh kecantikan Nyai Guru Lembah Asmara. Suto pasti

akan bergairah kepada beliau dan mau menjadi

pembibit keturunan Nyai Guru Lembah Asmara!"

"Terserah. Itu urusanmu dengan Suto. Tapi

urusanku dengan kamu kurasa sudah selesai. Suto tidak 

ada di sini!"

"Aku curiga kau menyimpan di dalam kamar

pribadimu!" 

"Itu tidak benar!"

"Kalau begitu aku harus masuk ke sana dan

membuktikan!"

"Kau harus melewati aku dulu, Perawan Sesat!"

"O, kau menantangku?!"

"Karena kau menghendaki pertarungan denganku!"

"Baik! Jangan menyesal kalau nyawamu kucabut

dalam tiga helaan napas, Betari Ayu!"

"Yang kusesali kalau nyawaku tak bisa kau cabut!"

"Bersiaplah untuk mati sekarang juga!"

"Aku sudah bersiap sejak tadi!"

Perawan Sesat merasa semakin ditantang. Maka

dengan cepat ia sentakkan tangannya ke depan kedua-

duanya. Wuuttt...! Sebuah gelombang pukulan tenaga

dalam yang amat besar menghantam tubuh Nyai Betari 

Ayu.

Tapi dengan gerakan seperti menari, Betari Ayu

hadangkan tangan kanannya ke depan dada. Gelombang 

pukulan yang besar tak berbentuk itu tertahan di depan 

dada. Betari Ayu tetap berdiri dengan kedua kaki

merapat dan tangan kanan menahan di depan dada.

Wajahnya tak ada kekerasan sedikit pun. Bahkan 

berkesan senyum tipis yang membikin Perawan Sesat 

menjadi tambah penasaran.

Kedua tangan perawan gila itu mendorong ke depan 

agar gelombang pukulan tenaga dalamnya tidak

membalik arah. Ia bagaikan mendorong sebongkah batu 

sebesar gajah. Sekujur tubuhnya menjadi keras.

Berkeringat di sekitar kening dan lehernya. Tangannya 

gemetar jelas karena dorongan yang memerlukan

pengerahan tenaga itu. Sementara yang menahan

hanya tenang-tenang saja. Tangan kirinya berada di

belakang, tangan kanannya tetap tegak dengan jari

menghadang ke atas.

Dalam satu kesempatan, Nyai Betari Ayu melihat

letak kaki Perawan Sesat dalam keadaan lemah satu

sisi. Maka, tangan kanannya itu disentakkan ke depan 

seperti gerakan orang menari. Dan, tubuh perempuan

jabrik itu tersentak ke belakang, terpental lima

langkah jauhnya. Di sana ia rubuh dan terguling-guling 

bagai dihempas badai besar.

Murid-murid yang memperhatikan adu tenaga

dalam itu menjadi tertegun bengong melihat kehebatan 

gurunya. Tetapi murid yang ada di belakang gurunya

menjadi cemas karena tangan kiri Betari Ayu menjadi

berdarah. Tangan kiri itu semenjak tadi menggenggam 

menahan kekuatan dorongan tenaga dalam lawan,

sampai kuku-kukunya masuk ke dalam kulit telapak

tangan. Maka basahlah tangan kiri itu oleh darah merah 

segar.

Perawan Sesat merasa mendapat lawan yang cukup 

tangguh. Ia segera bangkit dan mencoba

menghantamkan pukulan jurus lain yang lebih

berbahaya dari yang pertama tadi. Tetapi dengan

badan sedikit merendah dan tangan melambai bagai

menebarkan bunga, pukulan Perawan Sesat dapat

dihantam balik.

Untuk kedua kali Perawan Sesat terpental ke

belakang dan jatuh berguling-guling. Ia pun segera

menggeram kasar,

"Bangsat! Tak boleh dibuat main-main orang itu!"

Perawan Sesat terpaksa mencabut pedang

gadingnya itu. Srettt...! Tiba-tiba angin badai datang

bertiup di sekeliling wilayah perguruan itu. Pedang

tersebut ternyata bukan terbuat dari logam, melainkan 

terbuat dari gading tanpa ukuran. Bentuknya pipih

dengan bagian kedua sisinya tipis bak pedang logam

yang tajam.

Beberapa murid perguruan berkerut dahi dan

menyangsikan ketajaman pedang gadis itu. Sebagian

dari mereka sempat mencibir dan merasa aneh melihat 

pedang gading. Tetapi ketika pedang itu ditebaskan ke 

depan, badai besar datang dengan cepatnya. Bukan

hanya tubuh manusia yang terpental, namun atap

bangunan joglo itu pun somplak ke atas dan berantakan 

sebagian. Salah satu tiang penyangga atap patah.

Tubuh Nyai Betari Ayu juga terpental hingga

membentur dinding bangunan lainnya.

"Maju kau, Betari Ayu...!" teriak Perawan Sesat

dengan kedua tangan menggenggam gagang pedang 

yang siap diayunkan lagi. Ia berdiri di tengah arena, 

memandang orang-orang yang mengucurkan darah

lewat lubang telinga, hidung, dan mulut. Pada

umumnya mereka mengerang kesakitan dan tak mampu 

berdiri lagi.

Darah juga keluar dari lubang hidung, mulut, dan

telinga Nyai Betari Ayu. Tapi ia masih mampu berdiri

dan melepaskan ikat kepalanya yang terbuat dari tali

sutera itu. Ia memutar-mutar tali kepala yang

mempunyai logam runcing di ujungnya itu. Wuung...! 

Wuung...! Bunyinya mendengung bagai jutaan lebah

bergaung.

Tali sutera itu segera dilepaskan dan meluncur ke

arah Perawan Sesat. Ujung logamnya memercik-

mercikkan api melayang dengan berputar-putar. Namun 

semua itu segera ditebas oleh pedang gading Perawan

Sesat. Wuuussh...!

Tali itu terpental membalik dalam putaran cepat.

Badai datang dari angin tebasan pedang gading. Tubuh-

tubuh yang sedang berusaha bangkit kembali terpental 

dan mengeluarkan darah pada tiap lubangnya.

Nyai Betari Ayu sempat bertahan berdiri sambil

mengerahkan tenaga dalamnya. Pada saat itu tali ikat

kepalanya itu meluncur ke arahnya. Dengan sigap

tangan diajukan ke depan dan segera menyambar tali

yang melesat cepat itu.

"Pusaka Jerat Petir ini tidak mampu mengalahkan

pedang gading tersebut! Luar biasa kekuatan pedang

gading itu!" pikir Nyai Betari Ayu. Ia tetap bertahan 

berdiri. Tapi kelemahan kakinya tak tertahankan hingga

ia pun jatuh. Banyak darah yang keluar dari mulutnya.

"Keluarkan Suto atau kuporak-porandakan tempat

ini!" teriak Perawan Sesat. Ia siap kibaskan pedang

gadingnya lagi.

Tetapi pada saat itu, sekelebat bayangan melintas

di atas kepala Perawan Sesat. Hampir saja Perawan

Sesat menusukkan pedangnya ketika ia segera

terperanjat melihat sosok pria berpakaian coklat,

menenteng tabung tuak di tangan kiri. Orang itu

menatap Perawan Sesat dengan pandangan lembut dan 

senyum indah.

"Kau mencariku, Perawan Sesat?"

Tak bisa cepat Perawan Sesat menjawab, karena

matanya segera terpaku pandang ke arah wajah

tampan itu. Hatinya bergetar lemas bagai terhisap daya 

pikat Suto yang sungguh membuat tangannya gemetar. 

Namun, rupanya Perawan Sesat mencoba menentang

batinnya sendiri. Ia masih berusaha untuk bersikap

keras dan ganas.

"Kaukah yang bernama Suto Sinting?!"

"Tak salah dugaanmu, Perawan Sesat."

"Kau harus ikut aku menghadap guruku sekarang

juga!"

"Aku tidak bisa sebelum kau sembuhkan orang-

orang ini dan sebelum kau bangkitkan mereka yang

mati!"

"Kalau begitu aku perlu menyeretmu, Suto!"

"Jika itu yang terbaik bagimu, lakukanlah!" Suto

angkat bahu seakan pasrah.

"Kau tidak takut dengan pedangku ini, Suto?!"

"Pedang apa?! Kau tidak memegang pedang!"

Perawan Sesat mendongak ke atas memandang

pedangnya. Ia terperanjat setengah mati melihat

pedang itu hilang lenyap tanpa bekas. Yang tinggal 

hanya bagian gagangnya yang masih dengan kuatnya

digenggam memakai kedua tangan. Seketika itu wajah

Perawan Sesat pucat pasi merasa kehilangan pedang. Ia 

tak menyadari saat Suto melompati atas kepalanya,

Suto sempat semburkan tuak dari mulutnya. Memang 

hanya sedikit, tapi punya kekuatan ilmu yang mampu

menghilangkan benda yang tersentuh percikan tuak itu. 

Benda tersebut adalah pedang gading yang kini hilang

tak berbekas.

Pada saat mata Perawan Sesat memandang

terkesiap melihat pedangnya hilang, Suto

menyentakkan bumbung tuaknya ke depan. Bumbung

itu melayang cepat dan tubuh Suto terbawa melesat.

Bumbung itu menyodok dada Perawan Sesat dengan

kerasnya. Buueeggh...!

'Heegh....'" Perawan Sesat memekik tertahan,

tubuhnya terpental jauh ke belakang hingga mencapai 

tempat pintu gerbang jatuh. Di sana tubuh itu rubuh

tertindih tubuh Suto yang tidak bisa mengendalikan 

tenaga dalam dari dalam bumbung tuaknya. Bruukkk...! 

"Heeegh...!" Perawan Sesat makin memekik

tertahan karena tertindih tubuh Suto. Dan pada saat itu 

meleleh darah dari mulut Perawan Sesat yang

memejamkan mata menahan sakit.

Suto bergegas bangkit. Perawan Sesat mengerang

menahan rasa sakit di dadanya. Suto memperdengarkan 

suara.

"Pulanglah dan jangan coba-coba temui aku lagi di 

tempat ini!"

"Aku... harus pulang bersamamu, Suto!"

"Tidak bisa!"

"Kau harus bertemu dengan guruku!" 

"Siapa gurumu itu?"

Perawan Sesat diam sebentar, lalu menjawab lirih.

"Dyah Sariningrum...."

"Hah...?!" Suto terpekik tertahan karena kaget.

Jantungnya pun berdetak-detak, kakinya gemetar

mendengar nama itu disebutkan.

"Beliau menunggumu sekian lama. Ingin sekali

bertemu denganmu!"

"Baik! Aku akan ke sana! Aku harus berikan

beberapa tuak dulu kepada Betari Ayu untuk mengobati 

mereka yang terluka. Lalu, bawalah aku ke tempat

gurumu!"

Segera Suto melompat cepat dan menemui Betari

Ayu. Ia meninggalkan beberapa tuak dalam sebuah

cawan dan menyuruh Nyai Betari Ayu meminumkan

tuak itu kepada mereka yang terluka. Betari Ayu

bertanya,

"Kau sendiri mau ke mana, Suto...?"

"Urusan pribadi, Nyai!" jawab Suto

menyembunyikan tujuannya.

Segera ia menemui Perawan Sesat dan

mengajaknya pergi. Tapi karena Perawan Sesat dalam

keadaan luka parah di bagian dalam, maka Suto

terpaksa menggendong tubuh itu dan melesat bagaikan 

anak panah menuju sasarannya.

"Sutooo...!" teriak Peri Malam yang baru tiba di

perguruan itu. Ia pun bergegas mengejar Suto walau

harus tertinggal beberapa jauh.


                      SELESAI

 

Segera terbit!!! Serial Pendekar Mabuk

Suto Sinting dalam episode:


MURKA SANG NYAI






 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive