..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 13 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE MENUMPAS BERGOLA IJO

JAKA SEMBUNG EPISODE MENUMPAS BERGOLA IJO

 

MENUMPAS 

BERGOLA IJO

Karya Djair Warni 

SERIAL JAKA SEMBUNG

alih versi Syahlendra Maulana

penerbit SARANA KARYA

cetakan pertama 1991

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan 

nama tokoh, tempat atau pun peristiwa 

hanyalah kebetulan belaka.



Setelah berpisah dengan saudara 

angkatnya Si Gila dari Muara Bondet, 

Parmin kembali berjalan menuju ke 

selatan melanjutkan perjalanan 

tugasnya. Tak lama kemudian ia sengaja 

memperlambat langkah kakinya karena 

daerah tujuannya sudah di ambang 

pintu. Apa yang telah dikatakan si 

pemilik warung di desa Celancang 

kemarin ternyata benar. Perjalanan ke 

Gunung Jati dengan berjalan kaki 

memakan waktu sekitar satu jam dan itu 

telah terbukti ketika Parmin mulai 

memasuki sebuah bukit yang ditumbuhi 

pohon-pohon dan merupakan tempat 

pemakaman yang sangat luas.

Pemandangan di sekitar bukit 

tersebut sungguh menakjubkan dan 

mempunyai keindahan yang khas. Pohon-

pohon jati besar tumbuh di atas bukit 

itu, bagaikan berbaris teratur. Di 

sebelah barat berdiri bukit lainnya, 

yaitu Gunung Sembung yang bagi Parmin 

terlihat berada di sebelah kanan 

Gunung Jati. Awan bergulung-gulung di 

atas bukit itu. Desiran angin yang 

bertiup menerpa pohon-pohon jati 

menimbulkan gemerisik dedaunan yang 

bergesekan bagai satu rangkaian 

nyanyian alam. Kicau burung bersahut-

sahutan mengiringi suara gemerisik itu 

dengan riuhnya. Dari kaki bukit sampai


ke puncak berjajar makam-makam dengan 

teratur.

Parmin berhenti sejenak.

Ia mengamati seluruh keadaan 

bukit itu dengan penuh rasa syukur. 

Nafasnya berhembus kuat-kuat ke dalam 

rongga dadanya menikmati udara segar 

yang menyelimuti daerah tersebut.

Bukit inilah yang dinamakan orang 

Gunung Jati. Bukit yang penuh dengan 

makam-makam di mana di puncaknya 

terdapat tempat persemayaman terakhir 

Fatahilah. Fatahilah atau Falatehan 

sering disebut-sebut sebagai Sunan 

Gunung Jati. Tetapi menurut sumber-

sumber yang dapat dipercaya, hal itu 

tidak benar. Pasarean atau kuburan 

Syarief Hidayatullah sebagai Sunan 

Gunung Jati sendiri terletak di Gunung 

Sembung yakni sebuah bukit yang 

ukurannya lebih kecil, penuh ditumbuhi 

pohon-pohon sembung, dan berada di 

sebelah barat Gunung Jati. Di antara 

kedua bukit itu melintang jalan raya 

perintis yang dibuat oleh Kumpeni 

Belanda.

Setelah merasa puas, Parmin 

segera mengayunkan langkahnya menelu-

suri jalan setapak yang melintas di 

lereng-lereng bukit Gunung Jati sampai 

ke puncaknya. Jalan itu terbuat dari 

batu yang disusun berundak-undak terus 

menanjak ke puncak Gunung Jati. Kanan-

kiri jalan itu ditumbuhi rumput-rumput


liar setinggi betis kaki. Rupanya 

jalan itu sengaja dibuat oleh penduduk 

setempat untuk mempermudah orang-orang 

yang datang dari seluruh pelosok 

daerah berziarah ke pekuburan itu.

Sampai sekarang kedua bukit itu 

menjadi tempat keramat. Apalagi pada 

saat bulan Maulud, menjelang tanggal 

dua belas, tempat itu ramai dikunjungi 

orang, dari pelbagai daerah. Mereka 

datang membawa kembang tujuh warna dan 

kemenyan yang katanya untuk 

dipersembahkan kepada arwah dalam 

kuburan itu untuk meminta berkah. Ada 

juga yang minta panjang jodoh, murah 

rejeki, panjang umur, dan lain-lain. 

Suatu kepercayaan yang telah melanggar 

ajaran agama Islam itu sendiri.

Parmin terus berjalan menelusuri 

jalan setapak itu dengan semangat. 

Cukup melelahkan juga, karena keadaan 

jalan itu agak licin dan menanjak. 

Akhirnya tak berapa lama kemudian 

sampailah ia di tepi semak-belukar. 

Tiba-tiba Parmin menghentikan langkah-

nya ketika melihat banyak sekali lalat 

berterbangan di sekitar semak-belukar 

yang berada di hadapannya.

"Lalat bangkai! Pasti ada bangkai 

di balik semak-semak itu, Hm... baunya 

menusuk hidung!" gumam Parmin menahan 

nafas. Ia segera menghampiri semak-

semak itu lalu disibaknya. Parmin 

terperanjat melihat sesosok tubuh


seorang laki-laki yang mulai membusuk 

dan mulai membengkak. Parmin lalu 

berjongkok memperhatikan keadaan mayat 

itu. Ia mengatur nafas untuk meredam 

rasa mual yang menyerang perutnya. 

Kedua mata mayat itu melotot keluar 

dengan mulut yang menyeringai seperti

menahan rasa sakit dan takut yang 

teramat hebat. Tubuhnya berbalut 

pakaian serba hitam dengan kain sarung 

lusuh bercampur tanah menyilang di 

dadanya. Anggota badannya terlihat 

terjulur kaku dengan seluruh tubuh 

dikeremuni lalat.

"Tangan kanannya masih memegang 

sebuah golok yang sudah mulai 

berkarat. Mungkin sudah beberapa hari 

terkapar di sini. Agaknya ia seorang 

jago silat" 

Kemudian Parmin segera mengubur-

kan mayat itu di bawah sebuah pohon 

yang rindang dengan sebuah tonggak 

kayu sebagai nisannya. Hatinya 

bertanya-tanya.

"Mayat siapakah? Aku akan mencari 

keterangan orang-orang di desa. Orang 

itu tewas terbunuh dengan luka sobekan 

yang menganga di tenggorokan dan 

perutnya. Melihat dari lukanya, pasti 

pembunuhnya menggunakan senjata ber-

bentuk pengait. Benar-benar sadis"

Setelah melepaskan lelah sejenak, 

Parmin lalu kembali mengayunkan 

langkahnya menuju perkampungan desa di


sekitar Gunung Jati. Pikirannya masih 

dipenuhi dengan berbagai pertanyaan 

mengenai kejadian tadi.

"Kurasa alat semacam itu tidak 

terdapat dalam dunia persilatan tetapi 

aku dapat memastikan bahwa pembunuhnya 

adalah seorang jago silat yang 

tinggi!"

Tak terasa ia sudah memasuki 

mulut desa itu. Tetapi begitu ia 

jejakkan kakinya di desa itu, 

dirasakannya sesuatu yang aneh.

"He, mengapa suasana desa ini 

sunyi-senyap? Ada apa gerangan?" 

tanyanya dalam hati sambil terus 

melangkah. Parmin mengamati daerah itu 

dengan seksama. Tiap rumah penduduk 

diperhatikannya. Tidak terlihat tanda-

tanda kehidupan. Hanya suara angin 

yang berhembus kencang dan merontokkan 

daun-daun kering sehingga berserakan 

di pelataran rumah-rumah itu.

"He, betul-betul sepi! Tak 

seorangpun penduduk yang menampakkan 

batang hidungnya! Mungkinkah desa ini 

terserang wabah penyakit menular yang 

sangat ganas? Atau ada suatu peristiwa 

yang menghantui mereka sehingga tidak 

berani keluar dari dalam rumah? Apakah 

mereka tidak mengerjakan pekerjaannya 

sehari-hari di sawah atau di ladang?"

desah Parmin dalam hati.

Sunyi lengang keadaan yang 

menyelubungi desa itu. Jangankan


seorang penduduk yang tampak, hewan 

piaraanpun tidak ada juga yang tampak 

berkeliaran di luar. Semua pintu rumah 

tertutup rapat. Tidak terdengar suara 

sedikitpun dari tiap rumah yang 

dilalui Parmin dan agaknya rumah-rumah 

itu sengaja ditinggalkan oleh 

pemiliknya masing-masing.

Parmin hanya berdiri terpaku 

tepat di tengah-tengah jalan desa itu. 

Matanya menyapu ke segala penjuru. 

Alisnya mengernyit karena merasa 

heran.

"Aneh bin ajaib! Desa ini betul-

betul seperti desa mati!" Kemudian ia 

mengayunkan langkahnya perlahan-lahan 

sambil memusatkan seluruh panca

inderanya mencari segala kemungkinan 

adanya sesuatu yang dapat dijadikan 

petunjuk untuk menyingkap tabir yang 

menyelimuti desa itu.

"Hm.... di mana aku bisa mencari 

keterangan? Baiklah, aku akan mencoba 

mengetuk pintu salah satu rumah! 

Mudah-mudahan...!" gumamnya penuh h-

rap sambil berjalan, menghampiri 

sebuah rumah penduduk yang berada 

tepat di samping kanannya. Terlihat 

sampah berserakan di pelataran rumah 

tersebut. Dari luar, rumah itu 

terlihat gelap tanpa ada sepercik 

cahaya matahari yang menerobos masuk 

meneranginya.


Parmin mengetuk pintu papan rumah 

itu.

"Asalamualaikum....!"

Ia diam sejenak menunggu sahutan 

dari dalam, tetapi tak terdengar. 

Dicobanya sekali lagi, tetap saja ia 

tak memperoleh jawaban. Dicobanya lagi 

berulang-ulang, hasilnya tetap saja 

sama. Kemudian dengan hati kesal 

Parmin segera meninggalkan rumah tak 

berpenghuni itu. Kepalanya menengadah 

ke atas. Terlihat matahari mulai 

meninggi.

"Sudah waktunya shalat zuhur!" 

ujarnya pelan sambil menghapus 

keringat yang mengalir di keningnya. 

Ia lalu melangkah menjauhi desa mati 

itu mencari masjid yang terdekat dari 

sana.

Sementara itu dari balik sebuah 

pohon beringin yang terletak tidak 

jauh dari rumah yang diketuknya, 

berdiri sesosok tubuh tinggi besar 

mengintai. Kepalanya gundul plontos. 

Ia mengenakan pakaian serba hijau yang 

menutupi seluruh tubuhnya yang 

berkulit hitam.

Kumisnya melintang lebar di bawah 

hidungnya yang mancung besar. Sinar 

matanya memancarkan gejolak mem-

bunuh yang sangat besar sehingga 

tubuhnya yang berkulit hitam itu 

lambat laun berubah menjadi hijau 

legam. Tangan kanannya terbuat dari


besi berbentuk tabung yang ujungnya 

dilengkapi dengan sebuah senjata 

pengait yang sangat tajam, untuk 

menggantikan telapak tangannya yang 

buntung. Begitu hebat ilmu yang 

dimilikinya hingga Parmin sendiri 

tidak mengetahui keberadaan sosok 

tubuh hijau itu yang nyaris sama 

dengan warna daun-daun pohon di 

sekitarnya.

Sorot matanya tak lepas dari 

segala gerak-gerik Parmin. Ia memutar 

tubuhnya, terus memandangi punggung 

Parmin sampai menghilang dari 

pandangannya. Kemudian sosok tubuh 

hijau itu keluar dari tempat 

persembunyiannya dan berdiri tegak 

tersenyum penuh arti. Ia lalu melejit 

entah kemana.

Siapakah sosok tubuh hijau itu? 

Mengapa ia mengintai Parmin secara 

diam-diam? Dan apa yang selanjutnya 

akan diperbuat terhadap diri Parmin?

***

Parmin mulai memasuki kawasan 

masjid yang terletak di kompleks 

Pasarean Sunan Gunung Jati di Gunung 

Sembung. Masjid itu berpagar tembok 

dengan dua gapura berdiri kokoh 

sebagai pintu gerbangnya. Di setiap 

tembok yang mengelilingi tempat itu 

terdapat piring-piring keramik Cina


yang ditempelkan dengan jarak 

tertentu. Hanya sayang di sana-sini di 

tumbuhi lumut sehingga terlihat agak 

dekil.

Ketika Parmin masuk melewati 

gapura itu terlihat makam-makam yang 

berdiri teratur di seputar halamannya 

dengan pohon-pohon beringin yang 

tumbuh sebagai pelindung. Angin 

bertiup sepoi-sepoi bertiup menyapu 

tempat itu menimbulkan suasana sejuk 

dan nyaman di pelataran masjid itu.

Parmin lalu berjalan menapak di 

atas jalan yang terbuat dari anyaman 

batu bata sebagai penghubung antara 

pintu gerbang menuju ke pintu masuk 

masjid.

"Aku ingin bertemu dengan juru 

kunci Pasarean ini! Mudah-mudahan aku 

bisa mendapat keterangan!" gumam 

Parmin dalam hati sambil melepaskan 

kain pengikat kepalanya dan kain 

sarung yang menyilang di dada, yang 

kemudian diletakkannya di lantai dekat 

pintu masjid. Ia berjalan menuju 

tempat air wudhu yang terletak di 

samping masjid di bawah sebuah pohon 

beringin. Parmin menggulung celana 

pangsinya sampai batas lutut.

"Bismillah...!" ucapnya sambil 

menggosok-gosokkan kedua tangannya 

dengan air yang memancur dari sebuah 

guci keramik yang besar dan berukir.

Ketika sedang membasuh wajahnya dengan


air itu, tiba-tiba Parmin merasakan 

adanya kehadiran seseorang di 

belakangnya.

"Siapa kau anak muda? Mataku yang 

sudah rabun ini merasa bahwa kau bukan 

penduduk asli desa ini, bukan? Dari 

manakah asalmu, Nak?" tanyanya pelan 

dengan suara agak parau memecah 

kesunyian.

Parmin melihat sekilas.Ternyata 

ia seorang lelaki tua yang sudah 

berumur kira-kira tiga perempat abad 

dengan kumis dan jenggot yang hampir 

memutih semuanya. Melalui cara ia 

berjalan agaknya bapak itu memiliki 

ilmu silat yang cukup tinggi.

Parmin tersenyum penuh hormat.

"Betul Pak! Aku datang dari 

pantai Eretan. Apakah Bapak juru kunci 

Pasarean ini? Kalau benar, dapatkah 

Bapak memberikan keterangan mengapa 

desa ini seperti desa yang mati?" 

tanya Parmin berharap sambil 

membersihkan sela-sela jari kakinya 

dengan air padasan itu.

"Entahlah! Tetapi aku hanya 

memberi saran, berhati-hati dengan 

dirimu, Nak!"

Parmin agak terperanjat mendengar 

jawaban lelaki tua itu, singkat dan 

tegas.

Setelah berkata begitu orang tua 

itu segera berlalu dengan tergopoh-

gopoh meninggalkan Parmin yang belum



selesai melakukan wudhunya. Wajahnya 

terbersit rasa takut yang sangat 

besar. Mungkin ia tidak mau menanggung 

resiko apabila banyak bercerita kepada 

orang yang belum dikenalnya tentang 

segala sesuatu yang menyangkut keadaan 

desa Gunung Sembung.

Parmin menoleh memanggil orang 

tua itu.

"Hei, Pak! Tunggu dulu! Aku mau 

bertanya lagi! Tunggu...!" tetapi ia 

tak mengindahkan teriakan Parmin 

memanggilnya ia terus saja melangkah 

keluar dari pelataran masjid sampai 

menghilang dari pandangan.

"Hm... aneh sekali orang itu! Ada 

apa sebenarnya yang terjadi di daerah 

ini? Aku tak habis pikir!"

Kemudian setelah Parmin 

mengangkat kedua tangannya untuk 

berdoa sehabis wudhu, ia lalu berjalan 

masuk ke dalam ruangan masjid untuk 

menunaikan kewajibannya sebagai 

seorang muslim.

Seusai shalat zuhur, Parmin 

menyandarkan tubuhnya pada salah satu 

pilar dalam ruangan itu dengan santai.

Pilar-pilar yang terdapat dalam 

masjid Gunung Jati berjumlah sembilan 

buah yang berdiri kokoh menyangga 

bangunan itu. Pilar-pilar tersebut 

berhiaskan ukiran-ukiran yang sangat 

indah dan piring-piring keramik Cina 

yang menempel pada tembok ruangan


tersusun sedemikian rupa dari ukuran 

yang terkecil dikombinasikan dengan 

ukuran yang besar. Mihrab masjid 

dihiasi bingkai berhias kaligrafi yang 

berisi kalimat-kalimat suci Al Qur’an, 

dengan warna kombinasi hijau, kuning 

dan hitam. Lantainya terbuat dari batu 

pualam yang mengkilap. Bila sinar 

matahari memancar ke dalam ruangan 

masjid maka lantai pualam itu 

memantulkan cahaya yang terang namun 

menyejukkan suasana dan jika kita 

melihatnya dari kejauhan, lantai itu 

seakan-akan seperti hamparan air 

telaga yang jernih.

Suasana yang hening dan nyaman 

serta hembusan angin yang menyapu 

seluruh ruangan masjid itu, tiba-tiba 

mendatangkan rasa kantuk Parmin yang 

sedang menikmati keindahan hasil karya 

arsitektur yang sangat indah namun 

sangat unik tersebut. Berkali-kali ia 

menguap, pikirannya tetap melekat pada 

peristiwa yang baru saja dialaminya

tadi.

"Oahmmmm... aneh! Sampai mereka 

pun tak melakukan shalat berjamah di 

masjid ini karena mungkin penduduk 

desa ini dicekam rasa takut keluar 

rumah... Oahmm!! Biarlah aku 

berbaring-baring sejenak!" ucapnya 

pelan sambil merobohkan diri di lantai 

dekat pilar itu.


Tangan kanannya dilipat menjadi

tumpuan kepala dan kirinya berpangku 

pada kedua kakinya yang menekuk.

Parmin tidur seperti seekor kucing. 

Agaknya posisi tubuh seperti itu 

berguna untuk dapat bergerak cepat 

bila sewaktu-waktu terdapat serangan

gelap yang datang mendadak. Dan tak 

lama kemudian Parmin memejamkan mata-

nya. Enak betul ia tidur. Seperti tak 

terjadi sesuatu yang baru dialaminya.

Sementara di atas atap masjid 

sayup-sayup terdengar suara halus, 

seperti suara langkah kaki orang yang 

sedang berjalan. Suaranya sangat 

lembut hampir menyatu dengan suara 

angin yang berhembus saat itu, 

menandakan ilmu meringankan tubuh yang 

dimiliki orang itu sudah sempurna. 

Orang tersebut bertubuh tinggi besar. 

langkahnya terhenti di saat mencapai 

pinggiran atap tepat di atas pintu 

masuk masjid Gunung Sembung.

Ternyata tak lain dan tak bukan 

adalah orang yang berpakaian serba 

hijau tadi.

Dan secara tak terduga dan sangat 

cepat, bayangan hijau itu melesat 

menyambar tubuh Parmin yang sedang 

tertidur lelap. Tetapi rupanya Parmin 

sudah terlatih dalam menghadapi segala 

bentuk serangan lawan secepat apapun. 

Tubuhnya langsung melejit ke atas 

menghindar dari sabetan yang mengancam


jiwanya dan hanya kain sarungnya saja 

yang ia gunakan sebagai selimut tidur 

tadi, tercampak di atas lantai.

"Traak!!" sabetan itu hanya 

mengenai pilar di dekat Parmin. Tubuh 

hijau itu lantas meliuk-liuk di udara 

dan mendarat kakinya dengan mantap, 

dihadapan Parmin yang sedang 

menghimpun tenaga melalui pernafasan. 

Kedua tangannya tertentang diatas 

kepala, kemudian menyilang ke atas 

ubun-ubunnya.

"Tunggu dulu! Siapakah kau dan 

apa maksudmu!" seru Parmin siap siaga, 

tetapi tubuh tinggi besar itu tak 

menjawab. Ia hanya mengangkat tangan 

kanannya yang bersenjatakan pengait 

sambil menggeram keras.

"Hiaaaat...!" tubuhnya lantas 

melesat ke arah Parmin yang lebih 

dahulu melejit ke atas. Senjatanya 

kembali menemui sasaran lain. 

"Traak!" lagi-lagi pilar dalam 

masjid itu yang tergores. Ukiran yang 

menghiasi tiang-tiang itu hancur 

berkeping-keping mengotori lantai.

"Hei, kau tidak menghargai sama 

sekali tempat suci ini! Sebutkan nama 

dulu, kawan! Dan mengapa kau hendak 

membunuhku!"

Sampai kali inipun bukan jawaban 

yang diterima Parmin, tetapi serangan 

kilat kembali menerjang dirinya.


"Wess..." Parmin segera bersalto 

di udara untuk menghindar dengan 

gerakan yang sangat mengagumkan.

"Hm... manusia macam apa ini? 

Gerakannya demikian gesit! Sebelum aku 

menginjak ke tanah, ia sudah 

menyerangku lagi!"

Bayangan hijau itu terus-menerus 

mencecar Parmin, Rupanya ia penasaran, 

karena setiap serangan luput tak 

mengenai sasaran. Sedangkan Parmin 

hanya dapat menghindar dan tak punya 

kesempatan untuk membalas serangan 

itu. Dengan satu sentakan ia melejit 

keluar mengalihkan serangan lawannya 

agar tidak merusak pilar-pilar dalam 

masjid itu. Parmin menghendaki perta-

rungan itu dilanjutkan di pekarangan 

masjid, tetapi ternyata bayangan hijau 

tersebut tidak mau terpancing dan 

meladeni kehendak Parmin. Ia tak 

mengejar, melainkan menghilang entah 

kemana.

Parmin menjejakkan kakinya dengan 

menatap di tengah-tengah areal 

pekuburan. Kelebatannya yang cepat 

merontokkan daun-daun kering di 

sekitar tempat itu. Ia langsung 

memasang kuda-kuda siap menghadapi 

serangan berikut. Tetapi bayangan 

hijau itu tak kunjung muncul kembali. 

Gerakan orang itu teramat cepat 

sehingga tak dapat ditangkap oleh mata


Parmin. Tubuhnya seolah-olah ditelan 

perut bumi.

Parmin melemparkan pandangannya 

ke segala penjuru tempat itu mencari 

jejak lawannya, tetap saja bayangan 

hijau itu tak menampakkan batang 

hidungnya lagi. Rupanya ia tahu bahwa 

Parmin bukanlah orang sembarangan 

seperti korban-korbannya yang 

terdahulu. Jangankan melukai tubuh, 

menyentuh sedikitpun belum terlaksana 

walaupun serangannya dilakukan secara 

mendadak dan bertubi-tubi.

Parmin menghela nafas panjang.

Matanya tetap memantau ke segala arah. 

Hanya suara desiran angin yang dapat 

dirasakannya.

"Hm... licik!" gerutu murid 

tunggal Ki Sapu Angin.

Perlahan-lahan ia kembali masuk 

ke dalam masjid melanjutkan tidurnya 

yang terganggu. Ternyata dari atas 

sebuah pohon beringin sepasang mata 

merah memandang Parmin dengan penuh 

geram. Tubuhnya seakan-akan berasap 

karena keringatnya yang menguap 

pertanda ia menahan dendam yang sedang 

berkecamuk di dalam dirinya. Lalu ia 

melesat hilang ke dalam hutan.

Sementara itu di dalam sebuah ma-

drasah, berkumpul para alim ulama 

setempat. Mereka sedang mengadakan 

rapat tertutup. Ada suatu peristiwa 

yang teramat penting yang harus segera


mereka selesaikan. Para alim ulama itu 

terdiri dari enam orang yang rata-rata 

sudah tua. Masing-masing duduk 

bersimpuh di atas tikar anyaman daun 

pandang saling berhadapan. Di tengah-

tengah mereka tersedia seperangkat 

peralatan minum lengkap dengan isinya.

Madrasah itu terbuat dari bilik

anyaman bambu dengan tiang-tiang kayu 

yang berdiri kokoh menumpu bangunan 

itu. Di salah satu sudut ruangan 

madrasah terdapat sebuah rak kayu yang 

berisikan kitab-kitab suci Al-Qur’an 

dan kitab-kitab hadits yang tersusun 

rapi. Di dekat salah satu tiang itu 

terdapat sebuah rak sebagai tempat 

untuk menyimpan payung dan tombak-

tombak berjajar. Pada kayu-kayu 

penguat bilik terpajang berbagai macam 

jenis senjata tajam. Sedangkan pada 

setiap tiang-tiang kayu, terukir motif 

hiasan yang menggambarkan daun-daun 

sembung yang merupakan ciri atau 

lambang daerah Gunung Sembung.

Disamping sebagai tempat 

pengajian, madrasah itu juga berfungsi 

sebagai perguruan silat. Orang-orang 

dari berbagai pelosok daerah datang 

menuntut ilmu agama dan ilmu silat 

untuk bekal hidup sebagaimana layaknya 

orang-orang pada jaman itu, sehingga 

anggota madrasah tersebut kian hari 

kian bertambah banyak jumlahnya. 

Sedangkan yang menjadi pemimpin


madrasah itu adalah Kiyai Haji Subekti 

Achmad yang sekaligus pula sebagai 

guru silat di Gunung Sembung dan 

daerah sekitarnya.

Suasana rapat itu hening sejenak.

Setelah menghela nafas panjang 

dan mengucap salam, Kiyai Subekti 

mulai angkat bicara yang didengarkan 

oleh rekan-rekannya dengan penuh 

perhatian.

"Seperti anda ketahui bahwa 

rakyat Gunung Sembung dan sekitarnya 

sekarang telah mengingkari agamanya 

sendiri dan berpaling dari kaidah 

Islam! Mereka tidak lagi menyembah 

Allah, tetapi menyembah iblis yang 

menamakan dirinya Bergola Ijo?" 

suaranya terdengar berat memecah 

keheningan suasana dalam ruangan 

madrasah.

"Dan yang masih tetap beriman 

kepada Allah kini dapat dihitung 

dengan jari saja!" sinar mata Kiyai 

Subekti berubah tajam dan penuh 

selidik terhadap para ulama lainnya 

yang duduk berderet di sekelilingnya 

satu-persatu. Ditatap seperti itu oleh 

Kiyai Subekti, mereka menjadi kikuk 

dan serba salah. Apakah orang yang 

paling mereka segani seperti Kiyai 

Subekti Achmad kini mulai meragukan 

dan mulai curiga terhadap keimanan 

para pengikutnya?


"Ini adalah suatu hal yang sangat 

menyedihkan dan merupakan kewajiban 

kita sebagai kaum muslimin untuk 

menentang kemusrikan yang sudah 

merajalela di kalangan masyarakat. 

Seperti anda ketahui bahwa hari ini 

menjelang waktu zuhur, rakyat Gunung 

Sembung tidak ada yang berani keluar 

pintu rumah. Mereka percaya kepada 

sang dukun yang kesurupan roh Bergola 

Ijo yang mengatakan bahwa pada hari 

ini Bergola Ijo akan meminta korban 

nyawa manusia lagi! Calon korbannya 

adalah orang-orang yang keluar rumah 

di saat menjelang waktu zuhur! 

Masyarakat percaya akan hal itu, 

karena memang telah terbukti sejak 

beberapa minggu ini banyak mayat 

bergelimpangan di tengah jalan dengan 

bekas luka yang sama!"

Kiaya Subekti berhenti sejenak 

menarik nafas.

Jelas tergurat pada wajahnya yang 

keriput rasa kecewa yang sangat dalam.

"Kita sekalian bertekad untuk 

menghancurkan kemunkaran itu! Kita 

berjuang sampai titik darah 

penghabisan menentang orang-orang yang 

telah ingkar. Bila perlu kita gunakan 

kekerasan! Semoga Allah selalu melin-

dungi hamba-Nya yang beriman!" lanjut 

Kiyai Subekti berapi-api, disambut 

dengan ucapan amien dari semua 

rekannya.


Kiyai Subekti mengakhiri 

pembicaraannya dengan pembacaan doa 

diikuti oleh para ulama lainnya 

sehingga terciptalah suasana sakral 

yang membuat keyakinan masing-masing 

menjadi lebih dalam dan bertekad 

untuk memperjuangkan ajaran-ajaran 

agama Islam secara benar. Mereka rela 

mati syahid demi mempertahankan agama.

***

Matahari mulai tergelincir ke 

kaki langit sebelah barat. Adzan ashar 

baru saja menggema ke seluruh pelosok 

Gunung Sembung dan Gunung Jati yang 

merupakan sepasang bukit kembar 

berdiri berdampingan sebagai kawasan 

penguburan. Burung-burung mulai enggan 

bernyanyi. Dan para penduduk desa 

masih belum berani juga menampakkan 

dirinya. Mereka tidak mau mati konyol 

karena mereka percaya bahwa iblis 

pencabut nyawa itu masih berkeliaran 

di luar untuk mencari mangsa.

Tetapi di ruangan lain dalam 

madrasah seusai rapat tadi, 

berkelebat-kelebat dua sosok tubuh 

saling terjang-menerjang.

Gerakan kedua orang itu terlihat 

lincah dan mantap.

"Awas kaki! bagus, loncatanmu 

cukup gesit!" teriak seorang pemuda 

bertubuh tegap sambil melancarkan


pukulannya menyambar-nyambar seorang 

gadis yang sedang meliuk-liuk tubuhnya 

di udara mengelak dari serangan yang 

tertuju kepadanya. Rambutnya yang 

panjang hitam legam terurai sebatas 

pinggang turut melambai-lambai 

mengikuti gerak tubuhnya lincah. Lalu 

ia menghenyakkan kakinya dengan mantap 

di atas lantai sambil merentangkan 

kedua tangannya membentuk jurus baru.

"Ayo serang kau lagi!" serunya 

penuh semangat. Nafasnya terdengar 

ngos-ngosan kelelahan. Tapi sorot 

matanya yang tajam namun bening 

pertanda rasa percaya diri yang tak 

mudah goyah dalam pribadi pendekar 

wanita itu.

Sementara lawan latihnya hanya 

berdiri tegak sambil berkacak 

pinggang memperhatikan tersenyum 

bangga.

"Sudah! Kali ini latihan kita 

cukup sekian!" katanya menggeleng-

gelengkan kepalanya sebagai tanda 

pujian terhadap kemajuan-kemajuan yang 

telah berhasil dicapai oleh adik 

latihnya.

"Hm... tak sia-sia ayahmu 

menggemblengmu setiap hari. Aku sudah 

kewalahan melawanmu. Benar-benar pesat 

kemajuan yang kau capai selama ini!"

Pipi gadis itu bersemu merah 

mendapat pujian dari laki-laki yang 

telah membantu melatihnya. Tapi ia


segera mengalihkan perasaannya dengan 

mengambil peragaan jurus-jurus 

lanjutan.

"Aku belum puas! Ayolah kita 

mulai lagi beberapa jurus saja!"

pintanya merajuk.

Pemuda itu menghela nafas dan 

berusaha mencari alasan.

"Agaknya kau tidak mendengar 

beduk magrib berbunyi? Nanti saja 

sehabis shalat isya kita lanjutkan 

lagi!" ujarnya sambil menyambar kopiah

hitam yang disangkutkan di paku yang 

menancap pada tiang penyangga itu.Tapi 

gadis itu masih penasaran. Ia terus 

saja membentuk jurus baru dengan 

gerakan yang lebih semangat. Kakinya 

bergerak perlahan menyiku di atas 

lantai dengan kedua tangan yang 

bergerak seperti kepak sayap burung 

rajawali melambai-lambai, tetapi 

pemuda itu tetap tak peduli.

"Ah, sudahlah Ratna!" katanya 

sambil membetulkan letak kain sarung 

yang melilit melingkar di pinggangnya. 

Ia menoleh sebentar ke arah Ratna yang 

masih memasang kuda-kuda.

"Dan lain kali harus kau ingat, 

jika latihan lagi nanti rambut mu yang 

panjang dan indah itu hendaknya diikat 

agar jangan awut-awutan seperti 

kuntilanak yang sedang terbang!"

ledeknya sambil tertawa renyah.


"Ah, bisa saja kau!" sahut Ratna 

dengan kesal tapi manja. Ia lalu 

mencubit pinggang pemuda itu dengan 

gemas. "Ih!"

"Aduh! Sakit ah!" teriak pemuda 

itu sambil berusaha menghindar dari 

cubitan Ratna. Tanpa sengaja tangannya 

memegang tangan halus Ranta yang 

berusaha mencubitnya lagi. Sejenak 

mereka diam terpaku dan saling 

bertatapan mata. Pemuda itu menatap 

wajah gadis di hadapannya yang bundar 

dengan dua lesung pipi bila ia 

tersenyum, penuh gelora asmara. Ratna 

membalas tatapan itu dengan perasaan 

yang tak menentu. Tangan mereka saling 

menggenggam dengan mesra. Pemuda itu 

mengembangkan senyumnya, demikian 

halnya si gadis. Ia memandangi bibir 

Ratna yang tipis seakan-akan ia ingin 

segera mengecup bibir yang rekah 

menantang itu.

Kemudian pemuda itu mendekatkan 

wajahnya perlahan-lahan, sedangkan 

Ratna memejamkan mata menunggunya. 

Tetapi di saat wajah mereka mulai 

dekat, tiba-tiba pemuda itu menarik 

kembali wajahnya dengan cepat karena 

adzan maghrib yang masih berkumandang 

membuat ia sadar akan perbuatannya.

"E.... aku ke masjid dulu!"

ujarnya agak gugup sambil melepaskan 

genggaman tangannya. Sedangkan Ratna 

membuka matanya perlahan. Hatinya


kecewa. Ia hanya dapat menganggukkan 

kepalanya.

Tanpa menoleh lagi pemuda itu ke 

luar meninggalkan madrasah itu 

berjalan menuju masjid untuk segera 

menunaikan shalat maghrib. Ratna 

memandangi punggung lelaki yang 

dicintainya dari balik pintu dengan 

perasaan bangga. Ia memuji dalam hati. 

Ia bersyukur bahwa Anwar, kekasihnya 

tidak melanjutkan niatnya tadi. Hal 

itu menandakan bahwa keimanan pemuda 

pujaannya masih cukup kuat untuk 

menanggulangi godaan.

Siapakah kedua remaja itu?

Yang dipanggil Ratna itu atau 

nama lengkapnya Ratna Zullifah adalah 

putri tunggal Kiyai Subekti Achmad dan 

pemuda yang bertubuh tegap itu adalah 

murid kesayangan Pak Kiyai sendiri. 

Tampak di antara mereka telah terjalin 

benang cinta kasih.

***

Di saat itu dalam masjid Gunung 

Sembung, Parmin duduk bersila 

sendirian seusai berzikir. Sementara 

orang-orang muslim yang tinggal di 

sekitar masjid itu mulai banyak 

berdatangan untuk turut melaksanakan 

shalat maghrib berjamaah. Tak 

ketinggalan Kiyai Subekti Achmad yang 

pertama kali memasuki masjid tersebut.


Ia agak terperanjat melihat seorang 

pemuda duduk bersila dengan tenang 

tanpa merasa terusik oleh 

kehadirannya. Dalam hatinya bertanya-

tanya, siapa gerangan pemuda pendatang 

itu?

Parmin sendiri merasakan adanya 

orang-orang yang mulai duduk berjajar 

membuat saf di sekitarnya.

"Hm... baru sekarang aku bertemu 

dengan pendudukan desa ini. Sejak tadi 

aku cuma duduk sendirian saja di sini! 

Tapi... apakah mereka cuma shalat 

maghrib saja? Tadi siang tak kulihat 

mereka!" tanya Parmin dalam hati.

Kemudian Kiyai Subekti bersama 

murid kesayangannya melintas di 

hadapan dan melirik ke arahnya. Parmin 

memperhatikan orang tua berjanggut 

putih itu dengan seksama. Cara meli-

riknya terasa tajam seperti menguliti 

dirinya bulat-bulat. Langkahnya pelan 

tapi mantap menandakan ia seorang jago 

silat yang berilmu tinggi.

"Guruku, Ki Sapu Angin pernah 

mengatakan bahwa di daerah Gunung Sem-

bung ada seorang alim ulama dan guru 

silat yang sangat termasyur! Aku rasa 

inilah orangnya!" gumam Parmin.

Setelah beberapa langkah melewa-

tinya, Parmin diam-diam mendengar 

bisikan orang tua itu kepada muridnya.


"Siapakah anak muda yang duduk di 

belakang itu, Anwar? Tampaknya ia 

orang yang berisi!"

"Aku tidak tahu, Pak! Semua pen-

duduk desa ini kukenal satu persatu. 

Barangkali ia seorang musafir!" sahut 

muridnya sambil menatap Parmin.

Mereka berjalan beriringan 

diikuti oleh para ulama lainnya menuju 

saf yang terdepan. Parmin lalu 

beringsut dari duduknya turut berjalan 

mengikuti mereka untuk membentuk saf 

demi saf. Ia kagum terhadap orang tua 

itu karena penglihatannya sangat 

tajam. Parmin berdiri di antara 

deretan jamaah dalam masjid itu.

"Hm... orang tua dan pemuda itu 

berdiri tepat di belakang imam. Aku 

akan ambil tempat dekat mereka!" 

ucapnya pelan sambil mengayunkan 

langkahnya mengisi tempat yang 

kebetulan kosong di sebelah kanan 

Kiyai Subekti.Shalat maghrib telah 

dimulai. Suasana hening syahdu 

menyelimuti mereka. Masing-masing 

memusatkan pikirannya ke hadirat Allah 

penuh kekusyukan. Tetapi bagi seorang 

jago silat tentu mempunyai kelebihan 

naluri untuk bisa menangkap hal-hal 

yang terjadi disekelilingnya.

Pada saat rakaat kedua Parmin 

merasakan adanya gelagat buruk yang 

akan menimpa mereka. Ketika Kiyai 

Subekti mengangkat kedua tangannya


smabil mengucapkan takbir yang sengaja 

diperkeras.

"Allahu Akbar!"

Tiba-tiba berkelebat sebuah 

bayangan hijau menyambar orang tua itu 

dengan cepat. Tetapi Kiyai Subekti 

telah melesat lebih cepat dari 

serangan gelap itu. Sedangkan muridnya 

Anwar melejit ke atas dan meliuk ke 

samping kanan sambil berteriak. Dan 

Parmin yang berada di sebelah Kiyai 

Subekti hanya mengelak ke samping 

pilar masjid berlawanan arah dengan 

arah datangnya serangan tak terduga 

itu. Ia menyilangkan tangannya di dada 

siap-siaga.

Sementara Kiyai Subekti Achmad 

dengan kecepatan yang tidak dapat 

ditangkap oleh mata orang-orang biasa 

terbang keluar masjid ke pelataran 

sambil bersalto di udara mengalihkan 

perhatian bayangan hijau agar tidak 

mengganggu shalat jamaah lainnya. 

Begitu cepat kejadian itu sehingga 

mereka tidak mengetahui bahwa Kiyai 

Subekti telah hilang dari tempatnya, 

kecuali Parmin dan Anwar. Parmin hanya

memperhatikan semua itu dengan tenang 

tanpa peduli. Lalu ia kembali ke dalam 

saf melanjutkan shalat yang telah 

dibatalkannya.

Pertarungan itu dilanjutkan di 

luar pekarangan masjid. Kiyai Subekti 

berusaha mengimbangi serangan yang


dilancarkan bayangan hijau itu 

terhadap dirinya secara beruntun. 

Dengan satu gerakan yang cepat 

bayangan hijau itu melesat ke sana ke 

mari seperti sebuah meteor. Sinar 

hijau terlihat berkelebat kian ke mari 

menjelajahi pekarangan masjid.

Dan Anwar yang melihat gurunya 

sedang bertarung menghadapi serangan 

bayangan hijau itu segera melompat 

terjun untuk membantu Kiyai Subekti. 

Tetapi bayangan hijau itu melayang 

lenyap ke dalam semak-semak di sebelah 

masjid begitu Anwar mendaratkan kaki-

nya di atas tanah menengahi 

pertarungan mereka. Hanya bias warna 

hijau yang tersisa melintas areal 

pekuburan itu. Kiyai Subekti hanya 

dapat mengikuti arah tubuh itu 

bergerak hilang dengan pandangan 

matanya tanpa dapat mengejarnya.

"Hebat! Hebat! Datang dan pergi

seperti kilat menyambar! Aku yang 

sudah tua bangka ini sangat kagum de-

ngan ketangkasannya yang luar biasa. 

Tetapi sangat disesalkan... ia terlalu 

licik!" umpat Kiyai Subekti sambil 

menurunkan kedua tangannya yang 

menyilang diatas kepalanya. Ia 

menghela nafas dan membetulkan letak 

kain sarungnya yang miring.

Anwar mendekati gurunya dengan

wajah cemas. Keringatnya mengalir


membasahi keningnya. Nafasnya ber-

gemuruh.

"Siapa dia, Pak? Dan mengapa 

bermaksud membunuhmu?" tanya Anwar 

sambil menyeka keringat.

Pak Kiyai memalingkan wajahnya.

"Seingatku aku tidak pernah 

mempunyai musuh. Mungkin ia seseorang 

yang datang dari jauh hanya untuk 

menguji kemampuan ilmu silatku atau 

ada alasan lain! Ah... sudahlah. Mari 

kita kembali ke dalam masjid!" ucap 

Kiyai Subekti mengajak muridnya.

Kemudian mereka berdua berjalan 

untuk mengambil air wudhu lagi 

melanjutkan shalat maghribnya yang 

tadi terputus. Orang-orang yang berada 

di dalam seusai shalat berhamburan 

keluar melihat apa yang telah terjadi 

terhadap diri Kiyai Subekti Achmad. 

Sedangkan Parmin tetap duduk bersila 

membaca doa wirid dan tinggal 

sendirian di dalam masjid. Dan Kiyai 

Subekti hanya tersenyum ketika mereka 

bertanya tentang kejadian tadi. Ia 

menjelaskan bahwa ada seseorang yang 

menginginkan kematiannya. Tetapi Kiyai 

Subekti memperingatkan kepada rekan-

rekannya agar selalu waspada terhadap 

rongrongan yang sewaktu-waktu datang 

mematahkan semangat perjuangan mereka.

Dalam malam ini Parmin terpaksa 

tidur di dalam masjid.


Malam berganti pagi. Sang surya 

memancarkan cahayanya ke seluruh alam. 

Cakrawala di kaki langit sebelah 

timur berbesit sinar kemerah-merahan. 

Kokok ayam dan kicau burung bersahut-

sahutan dengan riuhnya menyambut 

datangnya pagi. Kabut sebagian 

menyelimuti daerah Gunung Sembung dan 

sekitarnya.

Parmin berjalan menyusuri kampung 

Gunung Sembung mencari sekedar makanan 

untuk sarapan pagi. Dalam hatinya 

timbul niat untuk tinggal beberapa 

hari lagi di sini karena ia tertarik 

pada peristiwa yang telah dialami oleh 

Kiyai Subekti yang juga pernah 

dialaminya kemarin.

Parmin merentangkan kedua tangan-

nya kuat-kuat sambil menghirup udara 

segar pagi ini. Ia berlari-lari kecil 

menelusuri jalan setapak sampai di 

pinggir kampung mendadak sontak 

langkahnya terhenti karena melihat 

suatu perubahan yang telah terjadi di 

kampung tersebut.

"Aneh, hari ini menjadi kebalikan 

dari hari kemarin! Sekarang orang-

orang justeru banyak berkeliaran di 

luar rumah! Ada apa gerangan?" tanya 

Parmin heran dalam hati. Ia 

memperhatikan orang-orang kampung 

Gunung Sembung berduyun-duyun keluar 

dari rumahnya masing-masing bersama 

sanak keluarganya. Gadis-gadis remaja


berpakaian kebaya berwarna-warni 

bercanda ria dengan sesama temannya 

berjalan beriringan menuju suatu 

tempat. Sepertinya mereka sedang 

mengadakan suatu perayaan. Tua-muda, 

besar-kecil, semuanya berbaur menjadi 

satu membentuk sebuah barisan seperti 

karnaval.

Parmin mengernyitkan dahinya.

"Dan... lihat! Wajah mereka 

berseri-seri! Tidak ada rasa takut 

tergores di wajah mereka seperti 

kemarin. Aneh!"

Memang seluruh penghuni kampung 

Gunung Sembung dilanda suka-ria 

seakan-akan beban yang telah 

menghimpit mereka akhir-akhir ini 

lepas begitu saja pada hari ini. Dari 

jauh terlibat gerombolan para pemain 

gamelan lengkap dengan pakaian 

pertunjukkannya turut mengiringi 

barisan itu dengan meriahnya. Barisan 

itu terus berjalan dipimpin oleh 

seorang laki-laki tua menuju ke suatu 

tempat. Sepertinya mereka mengadakan 

pesta panen padi atau yang sejenisnya.

Parmin segera berbaur ke dalam 

barisan itu mengikuti arus manusia 

entah ke mana. Di dalam otaknya penuh 

oleh seribu pertanyaan.

Melihat dari dandanan para gadis 

desa dan segala jenis makanan berhias 

yang dibawahnya agaknya mereka menuju


ke suatu perayaan perkawinan. Tetapi 

Parmin tetap tidak mengerti.

"Aneh sekali kelakuan penduduk 

desa ini! Bukankah mereka kemarin 

seperti berkabung. Tapi hari ini 

mereka malah mengadakan pesta Apa 

artinya semua ini?"

Parmin lalu memperlambat langkah-

nya agar dapat mengikuti barisan itu 

dari belakang, dan pada persimpangan 

jalan ia sengaja menyelinap memotong 

jalan meninggalkan barisan itu. Pemuda

itu segera memasuki suatu daerah di 

dalam hutan dan di sana Parmin lebih 

heran lagi menyaksikan suatu 

pemandangan yang terpampang di 

hadapannya. Di sebuah pohon beringin 

yang sangat besar dengan akar-akar 

gantungnya menjuntai sampai ke bawah, 

terlihat orang-orang berkumpul 

membakar kemenyan dan meletakkan 

berbagai macam sesajian. Dari mulai 

kembang tujuh warna sampai ayam 

panggang tersedia rapi dipenuhi hiasan 

dan buah-buahan. Mereka semuanya 

bertelanjang dada duduk bersila dengan 

teratur dengan kain lurik mem-balut 

tubuhnya dengan perut sampai ke lutut 

yang mempunyai satu lipatan tepat 

didepan pangkal pahanya masing-masing. 

Kepala mereka semuanya diikat dengan 

kain yang serupa. Parmin berjalan 

mendekati orang-orang itu dan 

memperhatikan segala perbuatan mereka.


"Apa-apaan ini? Mereka menyembah 

pohon! Gila!" kutuknya pelan sambil 

berdiri tegak di belakang mereka.

Tiba-tiba salah seorang pimpinan 

mereka menaburkan bubuk kemenyan di 

atas pedupaan yang sudah dipenuhi bara 

api. Asap mengepul dari pedupaan itu 

menyebarkan aroma kemenyan menyelimuti 

udara disekitarnya. Tubuh orang itu 

bergetar hebat. Sepertinya ia 

kesurupan. Matanya mendelik. Giginya 

gemeretuk keras. Suaranya menggeram. 

Seluruh wajahnya merah padam.

Setelah sekian lama dalam keadaan 

begitu, perlahan-lahan orang itu lemas 

sambil menundukkan kepalanya terdiam. 

Kemudian tegak kembali. Matanya 

terpejam. Kedua tangannya dirapatkan 

menempel pada dadanya. Mulutnya ber-

gerak komat-kamit membaca mantera. Dan 

para pengikutnya di belakang turut

merapatkan tangannya di dadanya 

masing-masing sambil memejamkan mata 

memusatkan pikiran.

"Gusti Bergola Ijo, ampunilah 

kami yang terlambat mengadakan pesta 

dan mempersembahkan sesajian ini!" 

kata orang itu sambil menaburkan bubuk 

kemenyan ke dalam pedupaan di sebelah 

kanannya.

Asap kemenyan kembali mengepul.

"Kini permintaan gusti telah kami 

penuh semuanya. Semoga gusti tidak 

murka lagi dan mohon berkah untuk kami


sekalian!" lanjutnya sambil membaca 

mantera. Kepala orang itu terangguk-

angguk diikuti oleh para pengikutnya.

Parmin menggeleng-gelengkan kepa-

lanya.

"Masya Allah! Mereka menempuh 

jalan sesat!"

Tanpa bicara sepatah katapun, ia 

langsung menganyunkan langkah menuju 

tempat di mana suara gamelan ber-

kumandang meninggalkan orang-orang 

sesat itu. Dari jauh terlihat 

kerumunan orang banyak memenuhi alun-

alun. Suara gamelan terdengar keras 

seperti mengiringi suatu pertunjukan. 

Parmin segera mendekat. Ternyata para 

penduduk sedang menikmati sebuah 

pertunjukan wayang kulit. Dengan 

dalangnya yang sangat terkenal di 

daerah Cirebon dan sekitarnya yakni Ki 

Dalang Ambet. Para penduduk berjubel 

saling berdesak-desakan ingin menyak-

sikan pertunjukan itu dari dekat, 

karena pesta yang demikian jarang 

sekali di selenggarakan sehingga 

mereka bersemangat untuk saling 

berebut tempat orang menonton di 

barisan paling depan.

Sebagaimana dikatakan orang bahwa 

wayang kulit adalah suatu kesenian 

yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga 

sebagai alat untuk menyebarkan agama 

Islam di tanah Jawa, maka setiap 

ajaran-ajaran Islam selalu diselipkan


dalam setiap pertunjukkan wayang 

kulit.

Parmin berdiri agak ke tengah-

tengah kumpulan orang-orang. Ia juga 

sangat menyukai pagelaran wayang 

kulit. Tabuhan gamelan mulai perlahan-

lahan berkumandang menandakan bahwa 

pertunjukan akan segera dimulai. 

Dalang Ambet melagukan tembang pembuka 

dengan manis sekali membuat penonton 

seolah-olah terpaku tanpa bergerak 

sedikit pun mendengarkan tembang itu.

Dalang Ambet selain dikenal 

sebagai dalang, ia juga dikenal 

sebagai seorang alim ulama yang 

disegani. Oleh karena itu dalam setiap 

lakon yang didalanginya selalu 

bernilai unsur-unsur keagamaan dan 

keTuhanan sesuai dengan ajaran agama 

Islam. Banyak orang menyukai 

pertunjukannya sehingga mereka yang 

tinggal jauh dari tempat pertunjukan 

itu rela menempuh perjalanan jauh 

untuk menyaksikannya.

Tak berapa lama kemudian Dalang

Ambet sudah mulai menggelarkan lakon 

wayang kulitnya dengan semangat. Ta-

ngan kanannya memegang tokoh Arjuna 

sedangkan tangan kirinya memegang 

tokoh Kresna. Ki Dalang tak henti-

hentinya bersuluk dengan bahasa Jawa 

kuno yang merupakan syair 

pengantarnya. Ia lalu menancapkan 

kedua tokoh wayang itu di kedebok


pisang yang terpampang di depannya,

saling berhadap-hadapan dimana Kresna 

berdiri tegak sedangkan Arjuna dalam 

posisi agak condong ke depan merendah. 

Terdengar Ki Dalang Ambet bercerita 

disusul dengan dialog.

"Wahai adikku Dipati Arjuna, 

camkanlah dalam sanubarimu bahwa tiada 

Tuhan yang wajib disembah melainkan 

Allah!" kata Ki Dalang sambil menga-

ungkan tangan tokoh Kresna seakan-akan 

sedang memberi petunjuk.

"Janganlah engkau menyembah po-

hon-pohon, gunung, laut, bumi, bulan,

matahari, jin ataupun manusia! Karena 

semua itu diciptakan oleh Allah. 

Kakanda merasa sedih dan prihatin 

terhadap manusia didunia ini yang 

telah mulai mengingkari agama Tuhan. 

Mereka semua sekarang menyembah 

seorang jin yang mereka menamakan 

Bergola Ijo!" ujar Ki Dalang Ambet 

berapi-api.

Secara tak langsung ia telah 

mengingatkan para penduduk akan 

kemungkaran yang telah mereka lakukan 

selama ini. Belum habis Sang batara 

Kresna memberi wejangan kepada Adipati 

Arjuna, tiba-tiba wajah Ki Dalang 

Ambet berubah menjadi biru mengerikan 

menahan rasa sakit yang meletup-letup 

dari dalam tubuhnya. Bibirnya bergetar 

kuat. Matanya melotot.

"Hoak...!"


Dari mulutnya menyembur darah 

kental kehitam-hitaman membasahi 

wayang kulit yang berdiri tegak di 

hadapannya. Tubuhnya berkelejat-

kelejat dan langsung ambruk menimpa 

peralatan gamelan di belakangnya. 

Tangannya mengejang keras sambil 

memegangi perutnya. Sekujur tubuhnya 

meregang sejenak dan akhirnya diam tak 

berkutik untuk selama-lamanya.

Seketika itu orang-orang menjadi 

panik bukan main. Para pemain gamelan 

berhamburan di atas panggung menabrak 

segala peralatannya sehingga 

menimbulkan suara yang gaduh semrawut. 

Orang-orang yang menyaksikan pertun-

jukan itu berlarian ke sana ke mari 

menyelamatkan diri masing-masing 

karena mereka percaya kutukan Sang 

Bergola Ijo menjadi kenyataan dan 

mereka tidak mau jadi korbannya. 

Sedangkan Parmin sendiri langsung 

melesat hilang kembali ke masjid. Mau 

tidak mau pertunjukkan wayang kulit 

itu terpaksa dihentikan.

Jenazah Ki Dalang Ambet kemudian 

dibawa ke madrasah Kiyai Subekti Ach-

mad untuk diurus. Para ulama lainnya

datang berkumpul di dalam madrasah 

menyatakan rasa bela sungkawa. Mereka 

duduk bersila mengelilingi jenazah Ki 

Dalang Ambet yang sudah ditutupi 

sehelai kain putih.


"Innalillahi wainnailaihi rojiun! 

Semoga arwah almarhum mendapatkan 

tempat yang layak di alam baka. Almar-

hum telah menunaikan kewajiban suci! 

Almarhum telah mati syahid!" kata 

Kiyai Subekti memimpin doa bagi arwah 

Ki Dalang Ambet.

Mereka semalaman melaksanakan 

tahlil, setelah sore itu juga jenazah 

Ki Dalang Ambet dikebumikan. Satu lagi 

korban telah jatuh akibat ulah Bergola 

Ijo. Mereka telah kehilangan seorang 

alim ulama yang cukup disegani dan 

selalu berjuang menyebarkan agama 

Islam melalui wadah keseniannya. 

Daerah Gunung Sembung dan Gunung Jati 

telah kehilangan seorang seniman 

besar. 

Namun kematian Ki Dalang Ambet 

justru membuat para alim ulama semakin 

bertekad untuk menegakkan ajaran 

agama. Satu hilang esa terbilang.

Sejak peristiwa mengerikan itu, 

rakyat Gunung Sembung dan sekitarnya 

semakin takut kepada Bergola Ijo. 

Sebaliknya para pengikut Bergola Ijo 

semakin bertambah jumlahnya. Mereka 

menjadi kafir dan murtad! Kematian Ki 

Dalang Ambet telah membuktikan bahwa 

barang siapa menentang Sang Bergola 

Ijo akan bernasib seperti itu.

***


Hari mulai gelap. Bulan bersinar 

redup soolah-olah turut berduka cita 

terhadap kematian seorang ulama. 

Suasana desa Gunung Sembung terlihat 

sunyi-senyap. Tak ada seorangpun 

penduduk yang berani menampakkan diri 

di luar. Mereka lebih suka berdiam 

diri di dalam rumah. Rasa takut akan 

kutukan Sang Bergola Ijo yang setiap 

saat mengancam telah tertanam kuat 

dalam dalam keyakinan mereka. Hanya 

kelelawar yang berani muncul terbang 

di udara dengan kepak sayapnya yang 

terdengar menyeramkan dan tembang 

serangga-serangga malam selalu setia 

menemani tugas sang bulan di langit.

Dalam malam ini adalah malam yang 

kedua Parmin menginap di masjid Gunung 

Sembung. Sampai saat ini belum 

berhasil memecahkan misteri yang 

sedang menyelubungi desa Gunung Sem-

bung dan sekitarnya. Pada malam itu ia 

sedang duduk merenung sendirian 

bersandar dengan kedua tangan dilipat 

sebagai bantalan kepala di sebuah 

pilar dalam masjid itu. Kakinya ia 

rentangkan lurus-lurus. Matanya 

memandang ke atas langit-langit masjid 

seakan-akan ia coba bertanya kepada 

saksi-saksi bisu yang ada di 

sekitarnya.

"Aku tak habis pikir terhadap 

penduduk desa ini, mengapa begitu 

mudah dipengaruhi faham asing?


Mungkinkah semua umat manusia akan 

berubah menjadi kafir? Ah, tidak! 

Tidak! Tidak ada kekuatan apapun yang 

mampu menentang kekuasaan Tuhan! 

Allahu Akbar! Tuhan Maha Besar! Maha 

Kuasa!" ucap Parmin memuji 

kebesaranNya.

Berdasarkan rangkaian peristiwa 

yang terjadi akhir-akhir ini ia dapat 

menarik kesimpulan bahwa antara 

peristiwa yang satu dengan peristiwa 

yang lainnya saling berkaitan. Semunya 

hampir memiliki persamaan yaitu 

menyangkut Bergola Ijo yang mereka 

sebut-sebut sebagai jin penguasa desa 

Gunung Sembung dan sekitarnya.

Sementara itu malam semakin 

larut. Kabut mulai turun perlahan-

lahan menyelimuti kaki bukit Gunung 

Sembung. Para penduduk desa telah

tertidur dengan lelap dibuai mimpi. 

Angin bertiup kencang membawa embun 

malam yang membuat ngilu tulang-tulang 

sum-sum. Tapi hal itu sama sekali tak 

dirasakan Parmin yang sedang tenggelam 

dalam pikirannya.

Tiba-tiba ia tersentak dari 

lamunannya. Ia mendengar langkah-

langkah halus di belakang masjid. 

Parmin segera memusatkan panca 

inderanya.

"Suara orang berjalan di belakang 

masjid. Sangat mencurigakan! Aku harus 

melihatnya!" desahnya sambil


meningkatkan pendengarannya menangkap 

sumber suara itu. Secepat kilat Parmin 

melompat keluar dari masjid dan 

melesat tanpa menimbulkan suara menuju 

datangnya langkah-langkah itu. Ia 

bersembunyi di balik sebuah pohon 

besar di tengah pekuburan. Maka 

terlihat olehnya dua orang berjalan di 

antara nisan-nisan kuburan sambil 

berbisik- bisik.

"Pekerjaanmu tadi siang berhasil 

memuaskan, Warto! Majikan kita Bergola 

Ijo pasti merasa senang dan itu 

berarti hadiah satu hektar sawah 

untukmu!"

"Ya, waktu ada perayaan aku 

berpura-pura jadi tukang antar 

minuman. Dan racun itu kutuangkan ke 

dalam gelas minuman Dalang Ambet sial 

itu!"

Kedua orang itu ternyata adalah 

kaki tangan Bergola Ijo. Seorang laki-

laki tua dengan sorot mata yang tajam 

memandang puas pada Warto temannya 

yang bermulut monyong dengan kumis 

lebatnya yang tumbuh menutupi kedua 

bibirnya yang tebal. Laki-laki tua itu 

rupanya tak lain adalah orang yang 

kemarin bertemu Parmin di pelataran 

masjid saat ia sedang mengambil air 

wudhu siang hari.

Parmin memperhatikan keduanya de-

ngan geram.


Tak terasa tangannya mengepal 

keras.

"Hm, ternyata mereka adalah 

manusia-manusia licik dan keji!" maki 

Parmin dalam hati dan tak ia sadari 

dahan pohon di dekatnya patah oleh 

remasan tangannya.

Setelah menyeberangi jalan 

perintis buatan Kumpeni Belanda, kedua 

orang itu berjalan menuju Gunung Jati 

yang letaknya berada di sebelah timur 

Gunung Sembung dan Parmin terus 

mengikutinya tanpa suara.

"Ah, satu hektar sawah itu tak 

seberapa! Kau tentunya lebih kaya 

karena kepandaianmu sebagai dukun 

palsu penyambung lidah Bergola Ijo! 

Ya, kan?"

"Huh, apaan! Satu kali aku pura-

pura kesurupan dan mengoceh makan asap 

pedupaan serta menelan setengah kilo 

kemenyan, upahku cuma dua ekor kerbau. 

Sial!"

"He... hei, jangan berkata 

begitu! Nanti kau jadi korban tajamnya 

senjata pengait Bergola Ijo, baru tahu 

rasa kau!"

Suasana hening sejenak.

Kedua orang itu terus saja 

berjalan menelusuri jalan berundak-

undak dengan hamparan kuburan 

berderet-deret dikiri-kanannya, menuju 

ke puncak Gunung Jati. Nafas mereka 

terdengar ngos-ngosan karena menempuh


jalan menanjak dan berliku-liku 

sedemikian rupa.

Parmin mengendap-endap di sela-

sela pekuburan sambil terus mengikuti 

mereka. Sekali-sekali suara cicit 

kelelawar mengejutkan ke dua orang itu 

dan pendekar muda dari pantai Eretan 

itu.

"Seorang telah mampus! Yang 

lainnya tentu menunggu giliran untuk 

menyusul!" seru Warto memecah 

kesunyian itu sambil mendengus.

"Dengan matinya Dalang Ambet, 

maka tinggal seorang lagi musuh berat 

gusti Bergola Ijo yakni Kiyai 

Subekti!" sahut laki-laki tua itu 

meringis.

Pembicaraan itu membuat Parmin 

mengerti akan duduk persoalan yang 

selama ini masih melekat dalam 

otaknya.

"Oh, rupanya orang yang 

berpakaian serba hijau itulah yang 

mereka sebut sebagai Bergola Ijo!"

Sampai di puncak bukit Gunung 

Jati, dua sosok tubuh itu lenyap 

begitu saja dari pandangan Parmin. Ia 

lalu segera memburu mereka. Parmin 

kehilangan jejak. Matanya mengamati 

seluruh tempat ketika kedua orang tadi 

lenyap.

"He, kemana mereka? Apakah mereka 

mempunyai ilmu sihir sehingga dapat 

lenyap dari pandangan mata? Ah, tidak


mungkin! Tapi... apakah itu? 

Sepertinya sebuah lubang gua. Mungkin 

mereka masuk ke dalamnya!" ujar Parmin 

penuh harap.

Tanpa pikir panjang lagi ia 

segera merosot turun menghampiri mulut 

sebuah gua yang letaknya tersembunyi 

dengan semak-semak yang tumbuh hampir 

menutupi mulut gua tersebut. Akar-akar 

pohon menjuntai ke bawah menghalangi 

pintu gua itu. Parmin lantas menyibak 

semak-semak yang sebagian berduri itu

dengan perlahan-lahan. Matanya tetap 

memantau tempat itu dengan cermat 

untuk menjaga kemungkinan adanya 

perangkap rahasia yang mungkin sengaja 

dipasang di mulut gua tersebut. Merasa 

aman, Parmin mulai memasuki mulut gua 

itu. Lubang gua itu ternyata kecil 

sekali, hanya dapat dimasuki seorang 

saja dan ia terpaksa harus berjongkok 

untuk menelusurinya. Dinding gua penuh 

ditumbuhi lumut basah sehingga 

lorongnya menjadi licin.

Parmin melangkah dengan hati-hati 

sekali.

"Hm... biarlah aku terus masuk ke 

dalamnya! Mungkin di sinilah sarang 

Bergola Ijo itu! Dua orang tadi 

tentunya pembantu yang bertindak 

sebagai perantara untuk mengelabui 

penduduk desa. Sungguh licin cara 

penipuan mereka! Tetapi atas dasar apa

mereka melakukan semua itu? Harus


kuselidiki!" gumam Parmin sambil 

bergerak maju terus menjajaki lorong 

gua itu.

Setibanya di dalam, gua itu 

semakin lebar. Tanpa mengenal lelah 

Parmin terus merayap semakin jauh ke 

dalam. Udara mulai terasa hangat. 

Berarti di dalam gua ini terdapat 

sumber api.

"Betul! Seperti ada cahaya api 

dari dalam sana! Aku harus berhati-

hati jangan sampai tertangkap basah!" 

desahnya sambil terus merayap. Dalam 

keremangan cahaya yang terpancar dari 

sebuah tempat, di sekitar lantai gua

itu terlihat pemandangan yang sangat 

menyeramkan. Tengkorak kepala manusia 

banyak berserakan di atas batu-batu 

runcing yang berlumut. Di langit-

langit dan di dasar gua terdapat 

stalagnit dan stalagtit yang menambah 

suasana seram dalam gua tersebut.

Parmin terus menelusuri liku-liku 

gua itu mendekati arah datangnya 

cahaya yang memancar. Tak lama 

kemudian terdengar suara seseorang 

yang bernada berat dan serak menggema 

ke seluruh relung gua. Terlihat 

seorang laki-laki bertubuh tinggi 

besar duduk bersila di atas sebuah 

batu pipih yang berbentuk altar dengan 

angkuhnya sambil menatap kedua orang 

yang tadi dikuntitnya, duduk 

berhadapan dengan orang tersebut. Di


tengah-tengah mereka menyala kobaran 

api besar dari dalam sebuah kuali yang 

terbuat dari kuningan berukir. Di 

sebelah orang yang bertubuh besar itu 

duduk seorang pemuda dengan kumis 

tipis di atas bibirnya. Alisnya tebal 

dan mengenakan ikat kepala kain putih. 

Wajahnya cukup tampan. Sepertinya ia 

murid Bergola Ijo.

"Hm, itulah orang yang pernah 

coba-coba membunuhku di dalam masjid!" 

gumam Parmin menggeser kaki kanannya 

yang mulai terasa kesemutan karena 

berdiri dengan posisi kaki yang 

setengah berlutut.

Rupanya Sang Bergola Ijo sedang 

mendengarkan kerja kedua orang 

pembantunya.

Ia tersenyum lebar. Giginya yang 

besar berderet tampak menyeringai 

seram.

"Bagus! Bagus! Rancana kita 

hampir berhasil! Pemerintah Kumpeni 

Belanda akan memberikan penghargaan 

kepada kita! Ha ha ha ha!" suara 

tawanya menggaung menggetarkan seluruh 

dinding gua itu. Parmin mengatur nafas 

menahan getaran tenaga dalam yang 

merasuki telinganya yang terpancar 

melalui suara tawa itu. Batu-batu 

kecil rontok dari atas dinding karena 

tidak kuat menahan getaran tersebut.

Tiba-tiba Bergola Ijo 

menghentikan tawanya.


Seluruh tubuhnya seketika berubah 

menjadi hijau. Matanya merah saga 

menahan amarah yang sedang bergejolak 

di dalam tubuhnya. Kumisnya bergerak-

gerak mengikuti gerak mulutnya yang 

menggeram dengan suara gigi yang

menggerutuk keras. Satu-persatu 

pembantunya ditatap dengan sorot mata 

yang tajam. Mereka tak berani membalas 

tatapan majikannya yang terkenal 

sangat ganas dan tak segan-segan 

membunuh bagi siapa saja yang 

membangkangnya. Kedua orang itu harus 

menundukkan kepalanya karena mereka 

ngeri terhadap Sang Bergola Ijo.

"Orang-orang berotak cerdik dan 

kuat keagamaannya seperti Dalang Ambet 

harus mampus terlebih dahulu! Sayang 

Kiyai Subekti Achmad belum berhasil 

kukirim ke akhirat! Tetapi aku 

bersumpah suatu saat nantinya dia 

pasti menyusul Dalang itu!" dengus 

Bergola Ijo. Tangan kanannya yang 

berbentuk senjata pengait diacung-

acungkannya.

"Tahukah kalian, mengapa orang-

orang seperti itu harus dilenyapkan 

dari muka bumi ini? Karena mereka 

merupakan otak dan panutan bagi 

masyarakat di sekitarnya. Otak yang 

seperti itulah yang kelak menjadi 

pemimpin dan memupuk serta mengobarkan 

semangat jiwa patriot rakyat agar 

bersatu untuk memberontak terhadap


Pemerintah Kumpeni Belanda. Ini yang 

harus kita cegah mulai sekarang! Dan 

atas perjuangan saudara-saudara. 

Pemerintah Kumpeni Belanda akan 

memberikan imbalan berupa harta 

kekayaan dan pangkat jabatan untuk 

saudara-saudara!" sambung Bergola Ijo 

membesarkan hati para pembantunya agar 

tetap bersemangat mengadakan 

infiltrasi dan agitasinya. Maka 

semangat merekapun kembali berkobar-

kobar seperti kobaran api di dalam 

anglo besar di hadapan mereka.

"Dan tahukah kalian! Bahwa daerah 

Gunung Sembung Dan Gunung Jati adalah 

daerah yang akan menjadi pelopor 

pemberontakan di karesidenan Cirebon 

ini? Karena Pemerintah Kumpeni Belanda 

tahu bahwa seluruh rakyat Gunung 

Sembung adalah pemeluk agama Islam

yang sangat kuat! Disinilah tempat 

berkumpulnya para alim ulama sejak 

abad kelima belas dan jalan satu-

satunya untuk melemahkan semangat 

persatuan dan jiwa kepahlawanan itu 

ialah dengan jalan merontokkan iman 

mereka dan mengikis kepercayaan mereka 

terhadap agama. Dan lihatlah, kita 

telah berhasil! Mereka sebagian besar 

kini menyembah Bergola Ijo! Menyembah 

aku! Ha ha ha ha ha ... mereka 

sekarang menjadi kafir!" Bergola Ijo 

tertawa bangga. Suara tawanya yang 

mengandung tenaga dalam yang besar


kembali menggetarkan seluruh isi gua 

itu. Terdengar bergemuruh seperti 

hendak menggetarkan seluruh isi gua 

itu.

Sementara itu Parmin terus 

mendengarkan pembicaraan tersebut 

dengan seksama. Hatinya terbakar dan 

jiwa kesatriannya bergejolak.

"Bangsat! Kini aku tahu betapa 

busuknya rencana mereka! Semuanya ter-

nyata penipu jahanam! Bergola Ijo 

pantas saja dapat bergerak dengan 

leluasa melebarkan sayapnya karena di 

belakangnya berdiri Pemerintah Kumpeni 

Belanda! Orang seperti dia memang pan-

tas menjadi makanan golokku!" geram 

Parmin.

Beberapa saat kemudian rapat 

rahasia itu dinyatakan bubar oleh 

Bergola Ijo. Tiba-tiba seorang pemuda 

yang sejak tadi duduk berdiam diri 

saja di samping Bergola Ijo beringsut 

menghadap gurunya duduk bersimpuh 

membuka suara.

Bergola Ijo dapat menangkap 

gelagat perasaan muridnya.

"Apa yang hendak kau katakan, 

Barna?" tanyanya sambil menggeser ta-

ngan kirinya menumpu di atas pahanya.

"Pak Guru! Kiranya sudah tepat 

waktu bagiku untuk melampiaskan dendam 

kepada Anwar murid Kiyai Subekti itu, 

Pak Guru!" pinta Barna berharap.


Bergola Ijo mengernyitkan 

dahinya sejenak untuk berpikir.

Ia melihat sinar mata muridnya 

mengharapkan izin darinya.

"Hm...baiklah, kuijinkan!

Kepandaianmu sudah cukup untuk 

menandingi orang yang menjadi 

sainganmu dalam memperebutkan cinta. 

Tapi ingat, jangan kau ceritakan 

kepada orang-orang, siapa gurumu, 

mengerti? Aku datang jauh-jauh dari 

seberang lautan bukan cuma untuk 

membela kepentingan pribadimu! Aku 

bersedia mengajarkan sedikit 

kepandaianku hanya karena kau bersedia 

menjadi mata-mataku, mengerti kau, 

Barna?"

"Segala perintah Guru akan 

kujunjung tinggi, asalkan aku bisa 

mendapatkan anak gadis Kiyai Subekti 

itu!" sahutnya dengan mata yang 

berbinar-binar sambil membungkukkan 

tubuhnya memberi hormat kepada orang 

yang bertubuh besar dihadapannya. 

Hatinya lega karena kini dapat restu 

dari gurunya. Ternyata antara Barna 

dan Anwar terlihat masalah pribadi. 

Mereka berdua mencintai Ratna Zullifah 

putri tunggal Kiyai Subekti Achmad dan 

Barna mengaku kalah dalam mendapatkan 

cinta Ratna yang lebih menyukai Anwar 

yang pendiam dan taat beribadah sesuai 

ajaran agama dibandingkan dengan 

dirinya yang bersifat berandalan dan


selalu mengganggu anak gadis orang. 

Timbul rasa dendam yang membara dalam 

dirinya terhadap Anwar sehingga ia 

rela menjadi budak Sang Bergola Ijo. 

Sekarang saat balas dendam itu telah 

tiba!

Tiba-tiba Bergola Ijo menggeram 

keras memecah kesunyian dalam gua itu. 

Para pembantunya pun terperanjat. 

Keringat dingin mengucur membasahi 

kening mereka. Dalam hati mereka 

berdua menduga-duga tentu ada sesuatu 

yang membuat majikannya menggeram 

seperti itu.

Pasti menyangkut masalah penting.

"Aku mau bertanya! Apakah kalian 

tahu siapa pemuda yang menginap di

masjid akhir-akhir ini? Apakah dia 

termasuk dalam kelompok musuh kita? 

Jawab! Kalian harus tahu bahwa dia 

bukan orang sembarangan, mengerti?!"

bentak Bergola Ijo pada kedua 

pembantunya.

Sementara itu Parmin sendiri 

terkesiap ketika dirinya disebut.

"Pak Guru, aku mengenal semua 

orang yang tinggal di Gunung Sembung 

dan Gunung Jati ini. Kurasa ia hanya 

seorang musafir yang kebetulan singgah 

untuk berziarah ke makam Sunan Gunung 

Jati atau makam pemuka agama lainnya, 

guru! Sepertinya dia tidak mempunyai 

hubungan terhadap persoalan kita!"

sahut Barna penuh keyakinan diri.


Bergola Ijo percaya dengan 

keterangan yang diberikan oleh 

muridnya. Luapan amarahnya berangsur-

angsur mereda. Demikian juga dengan 

Parmin, ia merasa lega karena dirinya 

tidak dicurigai oleh Bergola Ijo dan 

para pengikutnya.

"Syukurlah jika demikian. Itu 

berarti dia tidak akan merepotkan 

kita!"

"Ya, gusti! Dan menurut perkiraan 

kami besok atau lusa dia sudah berlalu 

dari sini!" ujar Warto dengan wajah 

berseri-seri. Hatinya lega, karena ia 

kuatir bila Bergola Ijo murka terhadap 

mereka apabila hasil kerjanya tidak 

berhasil. Majikannya tak segan-segan 

membunuh orangnya sendiri bila 

mengecewakan.

Untuk sementara Parmin segera 

meninggalkan gua itu karena ia tidak 

ingin tertangkap basah pada saat ia 

sedang mengintai. Parmin kembali ke 

masjid untuk melepaskan lelah. Sampai 

di sana ia langsung menyandarkan 

tubuhnya pada salah satu pilar yang 

berdiri kokoh tepat di tengah-tengah 

ruangan masjid dengan santai. Sebagian 

tubuhnya terbungkus kain sarung karena 

udara malam mulai terasa menusuk 

sendi-sendi tulangnya. Pikirannya 

masih dipenuhi oleh peristiwa yang 

baru saja dialaminya.


"Rencana Bergola Ijo itu 

bertentangan dengan tekad bangsaku!

Maka merupakan tugasku untuk 

merintanginya. Tunggulah saat 

kehancuranmu!" ancam Parmin dalam 

hati. Satu tugas lagi harus 

diselesaikannya. Dan tak terasa 

tubuhnya melorot dari sandarannya 

karena tak kuat menahan rasa kantuk 

yang menyerang dirinya. Tak lama 

kemudian terdengar suara dengkuran 

halus Parmin yang sudah tertidur 

pulas.

***

Malam pun telah berganti pagi. 

Sang surya memancarkan sinarnya yang 

keperakan menerangi segenap alam raya. 

Kokok ayam terdengar riuh rendah 

menyambut datangnya pagi. Burung-

burung berkicauan memperebutkan 

makanan di atas sebuah pohon. Dari 

jauh bukit Gunung Jati dan Gunung 

Sembung terlihat berjajar sangat indah 

dengan gumpalan awan putih yang 

bergulung-gulung menyelimutinya. Daun-

daun padi bergerak melambai-lambai 

bagai tangan seorang penari mengikuti 

arah tiupan angin. Gemerisik suara air 

pancuran bambu yang jatuh memercik di 

atas batu menambah suasana pagi yang 

indah itu. Perlahan-lahan sang surya

bergerak meninggi.


Dari kejauhan terlihat seorang 

dara berjalan lemah gemulai dengan 

ayunan pinggulnya yang ramping sambil 

memegang sebuah bakul yang berisi 

makanan. Tubuhnya yang sintal 

berlapiskan kain kebaya bercorak 

kembang-kembang, berlenggak-lenggok

dengan riangnya menelusuri pematang 

sawah. Jejak kakinya tak membekas pada 

pematang sawah yang baru saja selesai 

dibuat orang karena ia tak lain dan 

tak bukan adalah Ratna Zullifah putri 

tunggal Kiyai Subekti Achmad.

Ratna berjalan menghampiri 

seorang pemuda yang bertubuh tegap 

sedang mengayunkan cangkulnya di 

tengah sawah. Tubuhnya yang kekar 

berman-dikan keringat terlihat legam 

berkilat ditimpa sinar sang surya yang 

menye-ngat. Otot-otot tubuhnya 

menonjol gempal ketika ia menancapkan 

cangkulnya ke lumpur sawah dengan 

sepenuh tenaga. Pemuda tegap itu 

adalah Anwar kekasih Ratna.

Dan Ratna berjalan tenang sambil 

melantunkan sebuah nyanyian. Suaranya 

yang merdu menawan berkumandang 

dibawah desiran angin yang bertiup 

sepoi-sepoi di hamparan sawah.

"Burung elang terbang melayang, 

datang menyambar ayam gundul... 

tahukah kanda, adinda datang harap 

dikau meletakkan cangkul."


Anwar yang sedang mencangkul itu 

tiba-tiba berhenti karena merasakan 

sesuatu yang merdu merasuk ke dalam 

telinganya. Ia berdiri tegak menoleh

sambil menarik senyum dan ayunan 

cangkulnya berhenti di awang-awang.

Anwar lalu membalas nyanyian itu 

penuh ceria.

"Ayam putih dipatuk elang, elang 

mati terkena taji... kekasih hati 

sudahlah datang, kebetulan kakanda 

letih dan sunyi."

Kemudian ia meloncat ke pematang 

sawah dengan sigap. Ia segera mencuci 

tangan dan kakinya dengan air yang 

mengalir masuk ke dalam areal

sawahnya. Lalu Anwar meraih cangkulnya 

yang tergeletak di tepi pematang dan 

tersenyum ceria menyambut kedantangan 

gadis si jantung hatinya.

"Ah, Ratna! Bisa saja kau membuat 

aku bertambah cinta kepadamu dan 

teruslah kau bernyanyi, sayang! Aku 

akan bertambah semangat mengayunkan 

cangkul bila kau sudi menemaniku di 

sini! Kebetulan aku sudah merasa 

lapar!" ujar Anwar menatap Ratna 

dalam-dalam yang telah berdiri di 

hadapannya dengan senyum termanis. 

Hari ini ia begitu cantik menawan 

mengenakan kain kebaya dengan rambut 

yang dibentuk membentuk sanggul. 

Hatinya bangga mempunyai gadis yang 

penuh perhatian kepadanya. Lalu Anwar


menggandeng tangan Ratna dengan mesra 

berjalan ke sebuah pohon yang rindang 

untuk berteduh dan membuka isi bakul 

yang dibawa kekasihnya. Genggaman 

tangan keduanya erat sekali. Mereka 

duduk santai di atas rumput hijau yang 

terhampar di bawah pohon itu untuk 

menyantap makanan.

Sementara Ratna memijit mesra 

punggung tegap Anwar penuh kasih 

sayang. Sekali-sekali dicubitnya manja 

membuat Anwar menggelinjang kesakitan.

"Aku tak ingin kau terlalu keras 

membanting tulang, Anwar! Kekayaan 

mudah dicari, tetapi aku kuatir kalau-

kalau kau jatuh sakit karena terlampau 

giat bekerja!" kata Ratna manja sambil 

membelai bahu kekasihnya dengan 

lembut.

"Ah, itu tak jadi soal! Pokoknya 

asal ada kau yang setiap saat 

memijitku seperti ini!" sahutnya 

sambil mengaduk-aduk air teh dalam 

gelas keramik dengan sendok.

"Dasar kolokan, ih!" seru Ratna 

mencubit pinggang Anwar dengan gemas 

sehingga Anwar menggelinjang kegelian. 

Hampir-hampir menumpahkan isi gelas 

yang dipegangnya. Ia membalas mencubit 

pipi mulus milik kekasihnya dengan 

gemas pula. Ratna cemberut senang 

diperlakukan seperti itu. Dalam 

hatinya ia bahagia mempunyai kekasih 

seperti Anwar yang suka bercanda.


Ratna lalu membelakangi Anwar sambil 

menekuk wajahnya.

"Aduh... jangan cemberut seperti 

itu, sayang." goda Anwar menatap wajah 

Ratna dalam-dalam. Ratna pura-pura 

bersungut- sungut. Tapi tak lama 

kemudian mereka tertawa ceria 

berbarengan. Lalu Ratna duduk 

bersebelahan dengan Anwar bergelayut 

manja di bahunya. Sepertinya mereka 

tidak mau dipisahkan oleh siapapun. 

Dunia ini seolah-olah milik mereka 

berdua. Terasa hangat menjalar di bahu 

Anwar sesuatu yang menempel hangat dan 

lunak pada lengan kirinya. Sesuatu 

yang tumbuh sebagimana umumnya gadis 

yang sedang mekar. Seketika itu juga 

rasa lelah yang menghantui tubuhnya 

lenyap tak berbekas sama sekali.

"Ratna, semoga Allah memberkahi 

kita. Aku berjanji pada diriku sendiri 

bila panen nanti hasilnya memuaskan, 

aku akan datang melamar kepada ayahmu!

Kita segera menikah, sayang!" bisik 

Anwar sambil mencium lembut kening 

Ratna.

"Oh, benarkah itu, Anwar!" tanya

Ratna sengit. Anwar menganggukkan 

kepalanya. Sinar matanya terasa lembut 

merasuk dalam hati Ratna. "Aku sangat 

bahagia mendengarnya!"desah Ratna 

semakin bergelayut erat di bahu Anwar 

yang membelai-belai kedua pipinya.

Kemudian mereka mulai menyantap


makanan yang terdapat dalam bakul di 

hadapan mereka. Ratna sengaja memasak 

sayur asem kegemaran Anwar kekasihnya. 

Lauk ikan asin dan sambal terasi 

menyemarakkan hidangan mereka hari 

ini. Begitu nikmatnya mereka melaliap 

makanan sambil bercanda ria, sampai-

sampai mereka tak memperhatikan ke-

adaan di sekelilingnya.

Tiba-tiba terdengar suara yang 

menggelegar membuyarkan suasana itu.

"Ya! Kau akan segera menikah di 

akhirat sana, Anwar!"

Anwar cepat menoleh mencari 

datangnya suara tak ramah itu. 

Terlihat dibelakang mereka berdua, 

tiga orang berdiri tegak berkacak 

pinggang menatap nanar kepadanya. Tiga

orang itu adalah Barna, Warto dan 

seorang laki-laki berkepala botak 

dengan sepasang telinganya yang lebar. 

Di pergelangan tangannya terdapat 

gelang akar bahar. Demikian juga 

dengan pergelangan kakinya.

Anwar terperanjat sekali sehingga 

nasi yang berada di dalam mulutnya 

menyembur ke luar. Hatinya terbakar 

mendengar hinaan yang dilontarkan 

Barna.

"Ayo kita kepung! Cari tempat 

masing-masing kawan! Tapi awas jangan 

sampai melukai gadis itu!" teriak 

Barna keras sambil mencabut golok 

panjang yang terselip di pinggangnya.


Sementara kawan-kawannya segera 

mengambil posisi mengurung lawannya 

dengan ketat.

Anwar segera meraih cangkul yang 

ia letakkan di dekat akar pohon-pohon 

itu yang menyembul ke luar dengan 

cepat. Sedangkan Ratna berdiri siap 

siaga. Matanya menatap Barna dengan 

penuh kebencian.

"Barna! Kau memang benar-benar

manusia licik! Di mana letak 

kejantananmu sebagai laki-laki? Dasar 

anak dukun kafir!" maki Ratna dengan 

sengit.

"Diam!! Siapa suruh kau memilih 

calon suami kuli cangkul, hah! Harta 

bapakku cukup untuk dimakan sampai 

tujuh turunan!" sahut Barna 

menyombongkan diri. Matanya tak lepas 

menatap Ratna.

"Kau mengukur nilai seseorang 

begitu rendahnya! Tahukah kau, derajad 

manusia hanya dapat diukur dengan budi 

baiknya bukan dengan harta benda!" 

sambung Ratna lebih nyaring.

Mendapat jawaban yang terasa 

menusuk hatinya, seketika darah muda 

Barna mendidih naik ke ubun-ubunnya. 

Matanya merah saga. Nafasnya 

bergemuruh. Ia sakit hati dihina di 

depan banyak orang, terutama di 

hadapan Anwar saingannya.

"Persetan! Tidak ada lagi waktu 

buat main rayu-rayuan! Dan jangan kau


mengajariku! Minggir kau!" bentak 

Barna menggelegar sambil mengibas-

ngibaskan golok panjangnya yang 

teracung di atas kepalanya. Dengan 

satu teriakan yang melengking ia 

langsung menerjang Anwar dengan 

sepenuh tenaga. Anwar sudah siap 

mengayunkan cangkulnya menghadapi 

serangan mereka.

"Ciaaat...!" Anwar melejit ke 

atas menghindari sabetan senjata Barna 

yang rnenderu-deru seperti angin 

beliung mengarah perutnya dengan 

cepat. Melihat pemimpinnya mulai 

melakukan serangan, Warto dan si botak 

itu bersiap siaga sambil menghunuskan 

senjatanya masing-masing. Warto 

berdiri agak membungkuk sambil 

memutar-mutarkan sepasang trisulanya 

dengan cepat dan si botak mengayunkan 

senjatanya yang berbentuk seperti buah 

duren dengan tali rantai besi yang 

panjang menimbulkan suara desingan 

yang menyakitkan telinga.

Pada saat Anwar akan menjejakkan 

kakinya di tanah, kembali sabetan 

golok panjang Barna meluncur ke 

arahnya, maka terpaksa ia harus 

bersalto di udara dan langsung 

melayang menerjang lawannya tepat 

berada di depannya yang sedang 

menunggu. Tubuhnya dengan cepat 

meliuk-liuk dan membabatkan cangkulnya 

menghantam si botak yang tidak sempat


mengelak dengan sekuat tenaga. 

Terdengar jeritan melengking membelah 

langit disusul dengan ambruknya tubuh 

pendek gemuk dengan punggung yang 

hampir terbelah dua menimbulkan suara 

yang keras bagai gunung runtuh. Si 

botak berkelejatan seperti seekor ayam 

yang dipotong kemudian meregang

sejenak dan diam untauk selama-

lamanya. Darah segar berlumuran 

membasahi rumput di sekitarnya.

Barna menjadi kalap bukan main 

melihat temannya tewas secara 

niengerikan terkena babatan cangkul 

Anwar. Tanpa bicara lagi ia lantas 

merangsak Anwar dengan cepat sekali. 

Golok panjangnya berkelebat ke sana ke 

mari membentak sebuah gulungan seperti 

ombak yang datang menghantam karang di 

tepi pantai. Sinar kuning memantul 

akibat kelebatan senjatanya yang 

begitu cepat. Anwar meliuk-liukkan 

tubuhnya di udara sambil berusaha 

mencari kelemahan lawannya. Pertahanan 

Barna cukup ketat sehingga ayunan 

cangkulnya tidak dapat menembusnya. 

Anwar hanya dapat menghindar tanpa 

dapat membalas serangan lawannya yang 

bertubi-tubi. Dengan satu ayunan yang 

kuat, tiba-tiba cangkulnya beradu 

keras golok panjang Barna ketika 

keduanya meloncat secara bersamaan 

sehingga menimbulkan percikan api di 

udara. Anwar merasakan tangan kanannya


kesemutan. Tenaga dalamnya kalah 

setingkat dibandingkan Barna.

Mereka berdua bertarung sudah 

menghabiskan sekitar tiga puluh jurus 

silat, tetapi keadaannya masih 

seimbang. Masing-masing saling 

mendesak dengan mengeluarkan semua 

ilmu kepandaian yang mereka dapat dari 

gurunya. Tapi itu tak berselang lama. 

Terlihat pertarungan itu mulai 

pincang. Anwar mulai kewalahan 

menghadapi serangan Barna yang semakin 

bertubi-tubi.

Sementara itu melihat kekasihnya 

terdesak, Ratna segera melompat untuk 

turut membantu. Tapi tiba-tiba ia 

hadang Warto yang menyeringai sinis 

sambil menyilangkan kedua trisula di 

dadanya. Giginya yang kehitam-hitaman 

terlihat menjijikan saat ia tertawa.

"Ha ha ha ha ha! Kau benar-benar 

bandel, Ratna! Jangan turut campur 

urusan laki-laki. Aku takut 

melukaimu!"

Ratna tak tahan lagi membendung 

amarahnya. Lalu dengan sigap ia 

meloncat menyerang Warto yang segera 

menggeser tubuhnya sedikit maka 

serangan Ratna hanya melukai tempat 

kosong dengan sia-sia. Gerakannya yang 

kurang terarah dan kurang lincah itu 

disebabkan karena ia mengenakan kain 

kebaya sebagaimana layaknya seorang 

wanita dalam keadaan sehari-hari.


Ratna hanya mengandalkan jurus tengan 

kosongnya saja tanpa dapat melancarkan 

tendangan.

Warto cuma mengelak ke kanan dan 

ke kiri menghindari pukulan lawannya 

tanpa membalas serangan, karena ia 

memang ditugaskan agar tidak melukai 

Ratna.Sementara itu di luar dugaan, 

Barna melesat cepat melintas di atas 

kepala Anwar sambil membabatkan golok 

panjangnya hingga memutuskan gagang 

cangkul yang dipegangnya mencoba 

melindungi batang lehernya sendiri 

dengan cangkul itu. Seketika mata 

cangkul itu terpelanting jauh dari 

Anwar. Ia lalu melempar potongan 

gagang cangkul itu secara mendadak 

menghunjam ke arah Barna yang sudah 

berdiri siap menyabet punggungnya. 

Dengan satu gerakan yang manis Barna 

menyabetkan senjatanya untuk menangkis 

potongan gagang cangkul itu sehingga 

menjadi potongan-potongan pendek dan 

berpelantingan jatuh di atas tanah.

Anwar terpana melihat kehebatan 

permainan golok panjang milik Barna. 

Ia benar-benar terpaku. Melihat semua 

Barna itu barna segera mengambil 

kesempatan emas itu dengan satu 

gerakan cepat langsung meloncat 

menyerang Anwar secara mendadak.

"Nah, kini terimalah ajalmu, 

monyet sawah! Akhirnya kau akan tahu 

siapa aku ! Hiyaaat..!" teriakannya


menggelegar merobek-robek udara. Golok 

panjang di tangan kanannya mengacung 

tinggi siap menebas kepala Anwar yang 

masih diam terpaku. Ia tak sempat lagi 

mengelak. Kedua kakinya seakan-akan 

tak dapat digerakkan untuk menghindar.

"Allahu Akbar!" ucapannya pasrah.

Di saat yang sama, Warto berhasil 

mendesak Ratna yang kelihatan 

tenaganya mulai mengendor. Ratna 

terdesak mundur ke belakang menuju 

sebuah pohon menghindari babatan 

sepasang trisula Warto yang bergerak 

sangat cepat. Dengan satu lontaran 

yang kuat, Warto meLempar trisulanya 

yang berada di tangan kanannya 

meluncur ke arah Ratna dan menancap 

pada kain kebayanya sehingga terpantek 

di batang pohon yang berada di 

belakangnya.

"Oh!" Ratna tak dapat bergerak. 

Tubuhnya terpaku ketat pada batang 

pohon itu dan Warto tertawa 

cengengesan melihatnya.

"Agaknya dengan cara ini aku bisa 

membuatmu diam. Tak usah kuatir Den 

Ayu, cuma baju kebayamu saja yang 

cacat!" ujar Warto setengah merayu 

sambil berkacak pinggang memperhatikan 

Ratna yang berusaha meronta-ronta 

melepaskan diri. Ternyata trisula itu 

menancap cukup dalam karena 

diluncurkan dengan tenaga dalam yang


sangat kuat sehingga sulit bagi Ratna 

untuk membebaskan dirinya.

Pada detik yang sama Barna sedang 

melayang di udara lalu menukik siap 

menyambar Anwar seperti seekor burung 

elang yang sedang mengincar mangsanya. 

Dan pada detik-detik kritis itu, tiba-

tiba sesosok bayangan berkelebat 

menyambar tangan Barna yang sedang 

mengayunkan senjatanya mengarah tempat 

di kepala Anwar.

"Auu....!" teriak Barna 

kesakitan. Golok panjangnya terpental 

jauh melejit ke udara lalu jatuh 

menancap di atas tanah. Sedangkan 

tubuhnya sendiri terjungkal beberapa 

meter ke belakang. Kemudian disusul 

dengan munculnya sesosok tubuh yang 

tak diketahui dari mana datangnya. 

Dengan sangat ringan, orang tersebut 

menapak di atas tanah langsung 

membentuk posisi siap-siaga menghadapi 

Barna yang terlentang sambil memegangi 

tangan kanannya yang biru bengkak 

akibat pukulan orang itu. Barna 

menatap nanar pada orang yang berdiri 

dihadapannya. Seluruh wajahnya merah 

padam menahan rasa sakit dan amarah 

yang bercampur jadi satu.

"Setan! Siapakah kau? Mengapa 

mencampuri urusan orang lain? Jawab!"

hardik Barna sambil berusaha bangun 

dan pasang kuda-kuda.


Sementara Anwar berdiri heran 

menyaksikan semua itu.

Ia segera tahu bahwa orang yang 

menolong dirinya tak lain adalah 

seorang pemuda yang turut shalat 

berjamaah di masjid Gunung Sembung. Ia 

tak menyangka sama sekali bahwa pemuda 

pendatang ini ternyata adalah seorang 

jago silat yang luar biasa. Apa yang 

dikatakan gurunya Kiyai Subekti memang 

benar.

Dan Parmin tersenyum menatap 

benar.

"Aku adalah seorang musafir 

pembela yang benar dan menumpas yang 

jahat!" sahut Parmin tenang. 

Tapi matanya dapat menangkap 

sebuah serangan seseorang yang berada 

di belakangnya dengan sebuah senjata 

trisula yang terhunus siap menghunjam 

punggungnya. Tubuh Warto melayang 

mengancam punggung Parmin. Dengan satu 

gerakan yang memukau, Parmin 

membalikkan tubuhnya setengah jongkok 

lalu menjambret tubuh Warto dengan 

kuat.

"Ciaat!" kedua tangannya memang-

gul tubuh Warto yang berusaha meronta-

ronta melepaskan diri. Sedangkan sen-

jatanya hilang entah ke mana.

"Lihat, kawanmu ini bisanya cuma 

membokong lawan dari belakang dan 

tukang racun seperti pantasnya menjadi 

umpan buaya-buaya di sungai Pekik ini!


Nah, pergilah ke sana!" teriak Parmin 

sambil melemparkan tubuh Warto ke 

dalam air sungai Pekik yang banyak 

dihuni buaya-buaya.

"Aaaa...!" teriak Warto menggema 

ke seluruh hamparan sawah. Tubuhnya

melayang deras ke tengah-tengah sungai 

dengan posisi kepala berada di bawah.

"Tolooooong!" Warto melengking 

menyayat hati. Air sungai yang semula 

tenang, tiba-tiba menggelegak 

memercikkan airnya ke udara. Air 

sungai itu seketika berubah menjadi 

merah oleh darahnya sendiri. Tubuh 

Warto menggelepar-gelepar di bawah 

taring seekor buaya yang sedang 

kelaparan dan melahapnya dengan buas. 

Tangannya menggapai-gapai meminta 

pertolongan. Tubuhnya timbul tenggelam 

dipermainkan amukan buaya-buaya itu. 

Lalu tubuhnya hilang ke dalam air 

sungai Pekik meninggalkan gelembung-

gelembung buih di atasnya. Satu orang 

kaki tangan Bergola Ijo kini telah 

tewas menyusul temannya yang lainnya.

Ratna menutup wajahnya tak tahan 

menyaksikan peristiwa yang sangat 

mengerikan itu. Tubuhnya mengeluarkan 

keringat dingin. Anwar melihat itu 

langsung menghampirinya dan mencabut 

trisula yang memakai baju kebaya 

kekasihnya. Ratna lantas menjatuhkan 

kepalanya di dada bidang Anwar 

menumpahkan rasa takut yang menjalar


dalam dirinya. Mereka saling 

berpelukan dengan erat.

Barna menyaksikan temannya tewas 

secara mengerikan, seketika darahnya 

mendidih deras. Ia menjadi kalap bukan 

main dan langsung menerjang Parmin 

secara membabi buta. Dengan 

mengandalkan pukulan tangan kosongnya 

Barna mencoba merangsak Parmin 

sekenanya, sehingga murid Ki Sapu 

Angin ini hanya dengan menggeser-geser 

tubuhnya mengelak dari serangan itu. 

Hawa nafsu membunuh yang menggebu-gebu 

telah menutup hati Barna sehingga 

setiap pukulan yang dilancarkannya 

selalu mengenai tempat kosong.

Pada satu kesempatan, tiba-tiba 

Barna menjatuhkan dirinya untuk meraih 

golok panjangnya yang tertancap di 

tanah tepat berada beberapa langkah 

didepannya.

Tetapi usaha itu kalah cepat 

karena Parmin sudah terlebih dahulu 

mengetahui siasat buruk itu. Maka 

dengan satu gerakan cepat tubuhnya 

meloncat dan menginjak tangan kanan 

Barna yang hendak menggapai 

senjatanya.

"Aaaaaow!" teriak Barna 

kesakitan. Tangan kanannya berderak 

remuk. Ia menggeliat-geliat di tanah 

menahan sakit yang luar biasa sambil 

mengurut tangannya. Sakit dan malu ia


dipecundangi seperti itu, apalagi oleh 

orang yang tak dikenalnya sama sekali.

Parmin menyaksikan Barna sambil 

tetap berdiri siap siaga.

"Dosamu tidak terlalu besar untuk 

kutangani! Kau hanya diperbudak oleh 

rasa dendam cinta!" kata Parmin 

mengingatkan. Sebenarnya ia merasa 

kasihan melihat pemuda segagah Barna 

berbuat pengecut dalam persoalan 

cinta. Mungkin karena jiwa pemuda itu 

masih terlalu mentah dan kebetulan 

pula mendapat seorang guru seperti 

Bergola Ijo. Parmin tak perlu 

menyingkirkan Barna karena pemuda 

saingan Anwar ini tak terlibat dalam 

permasalahan yang dilakukan Bergola 

Ijo akhir-akhir ini.

"Pulanglah! Sampaikan kepada 

gurumu bahwa aku menunggunya di tepi 

sungai Pekik ini nanti malam! Jika dia 

benar-benar seorang jagoan, tentu akan 

datang menyambut tantanganku!" 

perintah Parmin.

Barna diam saja dan dengan 

perlahan-lahan ia beringsut sambil 

tetap memegangi tangan kanannya yang 

sudah lumpuh itu. Matanya menatap 

Parmin sejenak seakan-akan ingin 

menyatakan rasa terimakasih kepada 

Parmin yang membiarkan dirinya tetap 

hidup. Ia juga menoleh kepada Anwar 

yang berdiri di samping Ratna seperti 

ingin mengucapkan perasaan bersalah


dan minta maaf. Namun kedua bibirnya 

terkatup rapat.

Tetapi mereka mengerti.

Kemudian Barna berjalan terseok-

seok sambil menundukkan kepalanya. 

Wajahnya merah padam menahan malu 

dipecundangi oleh seorang musafir 

apalagi di hadapan Ratna, gadis yang 

dicintainya selama ini.

Parmin memandangi punggung Barna 

sampai menghilang dari pandangannya. 

Ia bersyukur dalam hati dapat membuat 

Barna menyadari kekeliruannya. Lalu ia 

segera mendekati Anwar dan Ratna yang 

sedang bergandengan tangan dengan 

mesra. Sepasang merpati itu mengangguk 

hormat kepada pemuda pendatang yang 

telah menolong mereka.

Parmin mengembangkan senyumnya 

menyapa mereka.

"Assalamualaikum! Anda berdua 

baik-baik saja, bukan?"

"Waalaiukum salam! Kami 

mengucapkan banyak terima kasih atas 

keringanan tangan anda untuk menolong 

jiwa kami! Dan kami sangat mengagumi 

anda!" ucap Anwar dengan bahasa 

pujian.

"Ah, itu adalah kewajiban kita 

menolong sesama manusia! Secara 

kebetulan tadi aku lewat ke sini dan 

melihat anda berdua dalam keadaan 

terdesak oleh berandal-berandal itu!" 

sahut Parmin merendah.


"Kami merasa senang jika anda 

sudi kiranya mampir ke pondok kami 

nanti!" sambung Anwar dengan penuh 

harap.

"Insya Allah! Dan terima kasih 

atas undangan anda kepada musafir yang 

hina seperti aku. Dan sudilah anda 

sampaikan salamku kepada Kiyai Subekti 

Achmad. Aku sangat mengagumi 

perjuangan beliau! Sampai jumpa lagi!" 

kata Parmin melesat hilang di balik 

semak-semak.

Dua sejoli itu saling 

berpandangan heran. Di dalam benak 

mereka penuh dengan berbagai macam 

pertanyaan. Pemuda pengembara yang 

selama ini tak menarik perhatiannya 

selama satu dua kali shalat berjamaah 

di masjid Gunung Sembung justru 

sekarang sudi mengulurkan tangannya 

dan berhasil menyelamatkan mereka 

berdua.

Siapa dia sebenarnya? Dengan ilmu 

setinggi itu siapakah gurunya? Untuk 

tujuan apakah dia mengembara sampai ke 

Gunung Sembung ini? Rasanya mustahil 

kalau dia cuma hendak berziarah ke 

makam Sunan Gunung Jati!

Mereka berdua diam sejenak.

"Eh, dia menantang guru si Barna! 

Mungkin dia sengaja datang dari jauh 

untuk menyelesaikan urusannya!" kata 

Ratna memecah suasana hening itu.


"Hm...boleh jadi! Tetapi siapakah 

guru silat si Barna itu?" tanya Anwar 

sambil melemparkan pandangannya ke 

arah hamparan sawah-sawah di depannya.

"Mungkin si Barna berguru di desa 

lain! Kalau dari permainan ilmu 

silatnya tadi, tentu gurunya sendiri 

bukan orang sembarangan! Setidak-

tidaknya ia setingkat dengan ayahmu, 

Ratna!" ujar Anwar membuyarkan lamunan 

Ratna yang diam terpaku. Agaknya ada 

sesuatu hal yang membuat kekasihnya 

melamun. Entah apa, Anwar sendiri 

tidak tahu. Ia lalu menatap mata 

kekasihnya penuh selidik.

"Eh...iya! Tak kusangka dia 

menaruh dendam kepadamu, Anwar!" sahut 

Ratna berusaha menyembunyikan 

perasaannya itu. Perasaan seorang 

gadis yang tentunya bangga kalau 

dirinya sampai diperebutkan oleh 

pemuda-pemuda yang gagah.

Kemudian Anwar menggandeng tangan 

kekasihnya dengan mesra kembali ke 

tempat mereka tadi berteduh untuk 

meneruskan santapan siang. Tak terasa 

matahari sudah berada tepat di atas 

kepala mereka di tengah-tengah 

lengkungan langit. Sinarnya memancar 

sangat terik membuat tenggorokkan 

menjadi kering. Ratna membenahi sisa 

makanan ke dalam bakulnya untuk segera 

pulang. Ia ingin menceritakan seluruh 

kejadian tadi kepada ayahnya.


Sedangkan Anwar kembali menceburkan

diri ke tengah sawah melanjutkan 

pekerjaannya mencangkul sawah dengan 

penuh semangat sambil bersiul-siul 

kecil.

Sementara itu Parmin telah 

kembali ke masjid Gunung Sembung untuk 

beristirahat dan melaksanakan shalat 

zuhur. Sepanjang perjalanan, hatinya 

tergugah memikirkan kecantikan Ratna 

yang hampir mirip dengan raut wajah 

Roijah kekasihnya. Dari mulai 

rambutnya yang panjang hitam legam 

sampai bibirnya yang tipis merekah. 

Hanya ada perbedaannya tentu. Roijah 

adalah seorang gadis yang penuh 

kelembutan, sedangkan Ratna agak 

bersifat kelaki-lakian.

Ingatannya kembali melayang pada 

peristiwa-peristiwa lalu ketika saat 

pertama kali ia berjumpa dengan Roijah 

kekasihnya alias Si Bajing Ireng. Pada 

waktu itu ia menolong Roijah yang 

sedang terancam jiwanya di tangan 

pendekar botak yang berjulukan Dewa 

Suci Penyebar Bala. Pertemuan yang 

singkat itu ternyata membuat hatinya 

terpateri kepada anak gadis kepala 

desa Kandang Haur itu dan membuat 

dirinya tidak dapat mencintai gadis 

lain.

Parmin tersenyum-senyum sendi-

rian.


Karena terbuai oleh lamunan 

indahnya, tak terasa dirinya telah 

sampai di depan pintu gerbang masjid 

Gunung Sembung. Parmin tersentak kaget 

lalu segera bergegas menuju ke serambi 

masjid untuk mengambil air wudhu. 

Wajahnya terasa segar terkena siraman 

air yang memancur dari guci keramik 

itu. Pikirannya kembali menjadi 

jernih.

Di dalam shalatnya ia berdoa 

mohon petunjuk dan kekuatan kepada 

Allah untuk memusnahkan Sang Angkara 

Murka yang telah menyebarkan ajaran-

ajaran kafir dan telah menimbulkan 

serangkaian pembunuhan di kawasan 

Gunung Sembung dan Gunung Jati. Dan 

seusai melalukan shalat zuhur, Parmin 

merebahkan dirinya beristirahat untuk 

memulihkan tenaganya dalam menghadapi 

pertarungan nanti malam.

***

Hari mulai malam. Bulan purnama 

memancarkan sinarnya yang keemasan 

menerangi seluruh jagat raya. Sinarnya 

memantul ke permukaan air sungai Pekik 

yang begitu tenang tak beriak, namun 

di balik ketenangan itu tersimpan 

sesuatu misteri. Desiran angin 

berhembus pelan membuat suasana malam 

itu semakin indah. Suara serangga-

serangga malam berkumandang dengan


riuhnya berbaur dengan suara nyanyian 

kodok-kodok sawah yang bersahut-

sahutan. Gemerisik batang-batang padi 

yang saling bergesekan di tiup angin 

yang kadang-kadang berhembus dengan 

kencang terdengar seperti iringan 

gamelan di malam hari.

Tiba-tiba suara riuh serangan-

serangan malam terhenti karena 

permukaan air sungai Pekik yang 

tadinya tenang menghanyutkan seketika 

beriak-riak. Terlihat menyembul 

berpuluh-puluh ekor buaya cukup besar, 

berjajar seperti potongan balok-balok 

kayu yang mengapung-apung di permukaan 

air. Hanya sepasang matanya saja yang 

memancarkan cahaya berwarna kuning 

terlihat jelas sehingga dari jauh 

seolah-olah berpuluh-puluh kunang-

kunang sedang beterbangan di permukaan 

air sungai Pekik. Pemandangan malam 

itu sesuai dengan satu bait syair lagu 

yang menyatakan "Terang bulan terang 

di kali, buaya timbul disangka mati." 

Buaya-buaya itu benar-benar sedang 

menikmati keindahan sinar bulan 

purnama yang memberikan rangsangan 

bagi mereka untuk melakukan perkawinan 

sehingga mereka berperilaku sangat 

ganas. Dan malam itu merupakan malam 

yang sangat indah bagi buaya-buaya 

penghuni sungai Pekik.

Sementara dari kejauhan terlihat 

sesosok tubuh berdiri tegak di tepian


sungai Pekik memandang lepas ke per-

mukaan air yang mengalir beriak-riak 

dihempas gerakan seekor buaya-buaya 

yang ada di dalamnya. Sebuah pohon 

yang besar dan rindang dengan 

batangnya menjorok ke tengah-tengah 

sungai itu melindungi dirinya dari 

pancaran bulan purnama. Ia adalah 

Parmin, seorang musafir pembela 

kebenaran dan keadilan.

"Aku telah menunggunya di sini 

sejak tadi! Tetapi belum juga tampak 

batang hidung manusia kafir itu! Kalau 

begitu ia memang benar-benar seorang 

pengecut yang hanya berani membunuh 

orang-orang dari belakang!" umpat 

Parmin dalam hati. Tetapi matanya 

tetap memantau seluruh penjuru di 

sekitar sungai Pekik itu.

Tak berapa lama kemudian, di 

sebe-ang sungai tempatnya berdiri 

terlihat kelebatan sebuah bayangan 

hijau dan langsung berpijak di atas 

tanah dengan mantap seperti sebuah 

meteor yang jatuh ke bumi. Biasan 

sinar hijau itu masih dapat terlihat 

walaupun sumber cahayanya sudah sampai 

di tanah menandakan ilmu meringankan 

tubuh yang dimiliki orang itu sudah 

sempurna.

"Nah, itulah dia! Dan kuharap ini 

adalah malam yang terakhir aku 

menginap di desa Gunung Sembung!" 

gumam Parmin menatap lurus-lurus ke


seberang sungai Pekik di mana Sang 

Bergola Ijo berdiri tegak sambil 

berkacak pinggang. Tubuh orang itu 

terlihat dari jauh menyala-nyala 

seperti sebongkah bara api berwarna 

hijau.

Mereka berdua saling bertatapan 

tak bergerak sedikitpun. Keduanya 

masing-masing memusatkan pikiran dan 

tenaganya. Tercipta suasana yang 

hening tapi menegangkan. Masing-masing 

belum mau membuka serangan.

Tiba-tiba terdengar suara berat 

parau menggelegar merobek-robek 

kesunyian malam itu.

"Ha ha ha ha ha! Janganlah kau 

merasa bangga dapat mengalahkan 

muridku Barna yang tolol itu, hai 

monyet kecil! Aku telah bertualang ke 

seluruh benua Asia belum pernah 

kutemui manusia bermulut besar seperti 

kau!" teriak Bergola Ijo dengan 

lantang. Suaranya menggetarkan pohon-

pohon di sekitar tempat itu. Seketika 

juga suara nyanyian kodok-kodok di 

sawah terhenti. Daun-daun kering 

berguguran dari cabangnya tak sanggup 

menahan getaran yang ditimbulkan oleh 

suara itu.

Betapa dasyat tenaga dalam yang 

dimiliki Bergola Ijo. Gaungnya terasa 

menusuk-nusuk telinga Parmin. Tapi ia 

segera mengatur nafasnya dengan cepat 

meredam kekuatan gaung itu. Matanya


terpejam dengan kedua telapak tangan-

nya merapat keras di depan dada. 

Kepalanya agak tertunduk. Tak lama 

kemudian Parmin kembali berdiri tegak 

dan membuka matanya perlahan-lahan.

"Sejak lahir ke dunia akupun baru 

menemui seorang jin yang doyan makan 

nasi seperti manusia! Aku kagum dengan 

segala tipu muslihatmu sebagai seorang 

penjilat penjajah bangsaku, hai Tuhan 

gadung yang gundul!" ledek Parmin de-

ngan sengit.

"Dan jangan kau coba-coba melawan 

kekuasaan Ilahi! Lawanlah aku, 

makhluknya terlebih dahulu!" lanjutnya 

menantang Bergola Ijo.

"Ha ha ha ha ha! Bacotmu ternyata 

sama lebarnya dengan moncong-moncong 

buaya ini! Dan tahukah kau, bahwa 

sebentar lagi buaya-buaya ini akan 

berpesta pora memperebutkan 

bangkaimu?" sahut Bergola Ijo 

menggelegar sambil menunjuk-nunjuk 

buaya-buaya yang tetap mengambang 

tenang hilir mudik berenang tanpa 

merasa terusik dengan kehadiran kedua 

pendekar yang saling melancarkan 

perang saraf dari tepi sungai yang 

berlawanan.

Parmin membalas ancaman lawannya 

dengan sindiran yang tajam.

"Bangkaiku atau bangkai busukmu?" 

Seketika wajah Bergola Ijo 

berubah menjadi merah menyala, matanya


nanar. Tangan kanannya yang bersen-

jatakan sebuah pengait bergetar hebat. 

Giginya yang besar-besar bergemeretuk 

keras. Dan secara tiba-tiba dengan 

satu teriakan yang melengking 

melumpuhkan urat-urat saraf dan 

memekakan telinga bagi yang 

mendengarnya, melompat ke tengah-

tengah sungai Pekik untuk menerjang 

Parmin. Tubuhnya besar dan tinggi itu 

meluncur cepat menggunakan punggung 

buaya-buaya itu sebagai batu-batu 

loncatan untuk menyeberang. Tangan 

kirinya menyiku di dada dan tangan 

kanannya yang bersenjata pengait 

mengacung tinggi siap merobek-robek 

tubuh lawannya.

Parmin menahan nafas siap dengan 

jurus silatnya.

Bergola Ijo membabatkan senjata-

nya sekuat tenaga ke arah leher Parmin 

yang secara bersamaan melenting ke 

atas untuk mengelak sehingga senjata 

Bergola Ijo hanya mengenai batang 

pohon di belakang Parmin dan merobek 

kulit batang pohon tersebut.

Parmin melejit sambil bersalto ke 

udara ke tengah-tengah sungai Pekik. 

Sebelum kakinya menginjak di punggung 

salah satu buaya Bergola Ijo kembali 

menyerangnya dengan ganas sambil 

mengayun-ayunkan senjatanya. Ia segera 

melesat lagi sambil mencabut goloknya 

yang terselip di pinggangnya untuk


menangkis kilatan senjata lawannya 

yang bertubi-tubi mencerca tubuhnya.

"Trang!" terdengar suara nyaring 

berdenting dari dua buah senjata logam 

yang berisi dengan tenaga dalam 

masing-masing. Akibatnya mereka berdua 

terjungkal dan secara berbarengan

membuat gerakan salto ke belakang 

mengimbangi tubuh agar tidak jatuh ke 

sungai kembali ke tempatnya semula 

berseberangan. Masing-masing menapak-

kan kakinya dengan menatap di tanah.

Bergola Ijo memasang jurus-

jurusnya lebih handal dan sementara 

Parmin di seberangnya sedang memasang 

kuda-kuda sambil memutar-mutarkan 

goloknya. Mereka menghimpun tenaga 

dalam. Lalu keduanya melesat bersamaan 

ke tengah-tengah dan seketika terjadi 

bentrokan di udara disusul dengan 

terdengarnya bunyi berdenting dua 

senjata tajam yang berbenturan 

menimbulkan percikan bunga-bunga api. 

Tubuh keduanya melesat ke belakang dan 

menjejakkan kakinya di atas punggung 

buaya. Dari sela bibir mereka meleleh 

darah segar. Tenaga dalam mereka 

ternyata setara.

Sementara dari jauh di balik 

semak-semak mengintai sepasang mata 

liar menyaksikan pertarungan itu. 

Berkali-kali ia berdecak kagum 

terhadap kedua pendekar itu. Sekali-

sekali ia meringis kesakitan karena


udara yang bertiup malam itu sangat 

dingin menusuk-nusuk luka yang 

dideritanya. Pergelangan tangan 

kanannya terlihat di keremangan sinar 

bulan, agak kehitaman-hitaman seperti 

dilumuri oleh ramuan obat-obatan. Ia 

adalah Barna murid Sang Bergola Ijo.

Telah berpuluh-puluh jurus mereka 

sudah kerahkan dalam pertarungan itu 

tetapi masing-masing belum berhasil 

mendesak lawannya. Tubuh keduanya 

basah bermandikan keringat. Mereka 

masih seimbang.

Sekarang keduanya telah berdiri 

tegak berseberangan.

Bergola Ijo mengangkat senjata ke 

atas kepalanya perlahan-lahan sambil 

menggeram dengan tangan kirinya 

menyiku di depan dadanya. Sedangkan 

Parmin memusatkan pikirannya untuk 

mengerahkan jurus andalannya yakni 

jurus "Hening Cipta" dengan golok yang 

menyilang di dadanya. Matanya 

terpejam.

Sesaat kemudian mereka berdua 

melesat berbarengan ke tengah-tengah 

sungai dan bentrok di udara. Maka pada 

kesempatan itulah saat yang paling 

baik untuk membabatkan senjatanya

masing-masing. 

"Hiyaaat...!"

Teriak keduanya menggema ke 

seluruh tempat itu. Tiba-tiba 

terdengar jerit yang menyeramkan dari




sosok tubuh tinggi besar berwarna 

hijau yang meluncur ke permukaan 

sungai Pekik.

"Aaaaaaa...!"

Air sungai Pekik memercik tinggi 

ke udara tatkala tubuh Bergola Ijo 

amblas ke dalamnya, yang langsung 

disambut oleh para penghuni sungai 

tersebut. Terdengar bunyi gemeretak 

taring-taring tajam buaya mencabik-

cabik tubuh itu dengan buas 

menimbulkan riakan air yang seketika 

menjadi merah. Dalam sekejap tubuh 

Bergola Ijo lenyap berkeping-keping 

masuk ke dalam perut buaya-buaya 

sungai Pekik yang selalu tidak pernah 

merasa kenyang.

Tak lama kemudian permukaan air 

sungai itu kembali tenang seperti 

sedia kala dan Parmin menjejakkan 

kakinya dengan mantap di tepi sungai 

sambil menyarungkan goloknya yang 

berlumuran darah Bergola Ijo. Rupanya 

pada saat keduanya perpapasan di udara 

tadi, golok Parmin terlebih dulu 

bersarang dan membabat perut Bergola 

Ijo hingga seluruh isi perutnya 

terburai keluar tanpa sempat 

mengadakan serangan balasan.

"Alhamdulillah! Akhirnya aku 

berhasil memusnahkan setan laknat 

itu!" ucap Parmin sambil mengusap 

wajahnya dengan kedua tangannya merasa 

bersyukur.


Tiba-tiba ia tersentak kaget 

mendengar suara manusia berkata pelan 

memecah keheningan.

"Allahu Akbar! Tuhan telah 

menumpas orang-orang kafir dan murtad 

melalui perantara seorang musafir muda 

yang gagah perkasa. Kami mengucapkan 

syukur yang sebesar-besarnya kepadamu, 

ya Allah!! Amin Ya Robal Alamin!"

Parmin menoleh mencari datangnya 

suara itu.Ternyata di belakangnya 

telah berdiri Kiyai Subekti Achmad 

beserta para ulama lainnya yang 

menatapnya dengan penuh rasa kagum dan 

suka-cita. Wajah mereka penuh 

keceriaan. Kemudian Kiyai Subekti 

Achmad melangkah ke depan dan berdiri 

berhadapan dengan Parmin.

Sepasang bola matanya berkaca-

kaca.

"Ternyata mata tuaku yang sudah 

rabun ini tak menduga adanya penipuan 

yang direncanakan untuk menghancurkan 

keyakinan terhadap ajaran Allah, yang 

terjadi di sekitarku! Kini kami tahu 

semua persoalan ini dan kami telah 

menyaksikan pertarungan dahsyat tadi! 

Kami sangat berterima kasih dan 

mengagumimu, pendekar muda!" kata 

Kiyai Subekti sambil memeluk tubuh 

Parmin erat-erat, Air matanya 

berlinang mengalir di pipinya dan 

jatuh menetes di bahu Parmin yang juga 

turut merasa haru.


Kiyai Subekti lalu melepaskan 

pelukannya dan kembali menatap seluruh 

wajah Parmin dalam-dalam. Senyumnya 

mengembang sambil meremas bahu murid 

Ki Sapu Angin itu kuat-kuat. Parmin 

merasa risih di perlakukan terlalu 

istimewa oleh Kiyai Subekti Achmad, 

seorang ulama besar yang terkenal ke 

seluruh pelosok tanah Cirebon. Kemu-

dian para ulama lainnya secara 

bergantian memeluk Parmin mengucapkan 

selamat dan turut berbangga atas 

kemenangan yang besar itu.

Sementara awan di langit mulai 

bergerak sehingga bulan tampak timbul 

tenggelam di angkasa. Disusul dengan 

tiupan angin yang berhembus kencang 

menyapu daerah itu seakan-akan turut 

mengucapkan selamat kepada Parmin 

dengan tertumpasnya Sang Angkara 

Murka.

Lalu mereka berjalan beriringan 

meninggalkan tempat itu menuju ke 

tempat kediaman Kiyai Subekti Achmad, 

sebuah madrasah yang telah kesohor di 

seluruh pelosok tanah Cirebon dan 

seantero tanah Pasundan. Hati mereka 

terasa lega karena salah satu 

rintangan yang menghalangi perjuangan 

agama Islam telah musnah.

Di lain tempat tak jauh dari 

tempat itu, muncul dari balik semak-

semak seorang pemuda menatap mereka 

sampai menghilang di kegelapan malam.


Perlahan-lahan Barna mengayunkan 

langkahnya menuju ketepi sungai Pekik. 

Ia berdiri tegak niemandang tempat di 

mana guru Bergola Ijo tewas di makan 

buaya-buaya sungai Pekik. matanya 

terus memandangi air sungai itu dengan 

nanar. Tak terasa air matanya meleleh 

jatuh menetes ke atas tanah. Ia merasa 

kehilangan orang yang membimbingnya 

hidup walaupun gurunya merupakan musuh 

bagi para ulama di daerah Gunung 

Sembung dan Gunung Jati.

Tubuhnya bergetar hebat. Di dalam 

hatinya mengalir darah dendam kepada

Parmin. Ia bersumpah di depan sungai 

Pekik, pada suatu saat membalas sakit 

hati dan kematian gurunya terhadap 

murid Ki Sapu Angin. Dendam yang sa-

ngat besar yang tengah berkecamuk di 

dalam dirinya membuat rasa sakit di 

pergelangan tangan kanannya seketika 

hilang tak berbekas.

Setelah cukup lama Barna berdiam 

diri sambil memandang lepas ke tengah-

tengah sungai Pekik, perlahan-lahan 

langkahnya mengayun meninggalkan 

tempat itu pergi entah kemana. Seiring 

dengan suara adzan yang berkumandang 

dari masjid Gunung Sembung menggema ke 

seluruh pelosok.

Keesokkan harinya, Kiyai Subekti 

Achmad beserta para alim ulama lainnya 

dan sejumlah penduduk desa Gunung Sem-

bung, mengadakan acara sederhana


sebagai tanda syukur atas kemenangan 

umat Islam dalam menghadapi kekuatan 

Sang Kafir.

Di dalam ruangan madrasah 

ditengah-tengah mereka, terhidang nasi 

tumpeng lengkap dengan segala lauk-

pauknya dan kue-kue khas daerah itu. 

Parmin duduk bersebelahan dengan Kiyai 

Subekti Achmad sebagai tamu terhormat. 

Sebenarnya ia malu diperlakukan 

seperti itu, tapi demi menghormati 

Kiyai Subekti terpaksa ia lakukan 

semua itu.

Tiba-tiba suasana dalam madrasah 

yang tadinya agak riuh, berubah 

menjadi hening ketika Kiyai Subekti 

Achmad terbatuk-batuk kecil untuk 

memulai acara tersebut.

"Kami sebagai orang tertua di 

Gunung Sembung ini menyatakan 

penghargaan setinggi-tingginya atas 

jasa-jasa anda sekalian dalam 

perjuangan agama Islam! Terutama 

kepada Parmin sebagai wakil dari kaum 

muda pendekar bangsa yang memiliki 

kewajiban dan tanggung jawab terhadap 

agama, bangsa dan tanah air tercinta! 

Maka dengan ini perkenankanlah kami 

memberikan gelar atau nama ke-

pendekaran baginya yakni JAKA SEM-

BUNG!" kata Kiyai Subekti Achmad penuh 

semangat.

Ia lalu memerintahkan seorang 

ulama untuk membawakan sebuah kotak


kayu jati yang berukir ke hadapannya. 

Kiyai Subekti perlahan-lahan membuka 

kotak itu dan mengambil sebuah kalung 

yang terletak di dalamnya, lantas 

berdiri diikuti oleh para ulama 

lainnya dan sejumlah penduduk 

menyaksikan Kiyai Subekti yang tengah 

berhadapan dengan Parmin.

"Dan terimalah kalung yang 

bertuliskan kalimat syahadat ini 

sebagai tanda kenangan dari kami. 

Kalung ini adalah harta yang paling 

berharga yang kami punyai! Dahulu 

kalung ini adalah hadiah dari Sunan 

Gunung Jati kepada kakekku karena jasa 

beliau dalam penyebaran agama Islam!" 

kita Kiyai Subekti Achmad sambil 

menyematkan kalung itu di leher Parmin 

yang tak kuasa menolaknya.

Peristiwa itu terasa sangat 

sakral. Kemudian Kiyai Subekti memeluk 

Parmin erat-erat diikuti oleh para 

ulama lainnya yang hadir di sana. Dan 

acara selanjutnya ditutup dengan 

pembacaan doa oleh salah seorang ulama 

penuh kekusukan.

Selesai memanjatkan doa, secara 

serempak mereka menyantap hidangan 

yang tersedia sambil berbincang-

bincang penuh suka-cita. Suasana 

gembira menyelimuti madrasah Kiyai 

Subekti Achmad.

Dan pada hari itu juga rakyat 

desa Gunung Sembung mengantarkan


kepergian Parmin yang sekarang 

bergelar Jaka Sembung dengan penuh 

keharuan yang mendalam. Mereka 

berbondong-bondong melepas Jaka 

Sembung sampai di perbatasan desa. 

Banyak di antara mereka yang mengucur-

kan air mata menghadapi perpisahan 

tersebut, tak terkecuali Ratna puteri 

tunggal Kiyai Subekti Achmad. Gadis 

pendekar yang cantik itu mengusap air 

matanya dengan sehelai sapu tangan. 

Sementara pemuda idamannya berdiri di 

sampingnya memandang kepergian Parmin 

sampai menghilang di balik pepohonan 

di kelokan jalan.

"Dia layak mendapat penghargaan 

dan nama julukan Jaka Sembung itu!" 

ujar Anwar memancing perasaan Ratna.

"Ya, dia seorang pemuda yang 

gagah perkasa. Kita sangat merasa 

kehilangan atas kepergiannya. Andai 

saja agak lebih lama dia menetap 

bersama kita..." jawab Ratna tertahan.

"Kita...?" tukas Anwar dengan 

nada agak cemburu.

Agaknya kehadiran Parmin, murid 

tunggal Ki Sapu Angin di Gunung Sem-

bung, diam-diam membuat murid Kiyai 

Subekti itu merasa takut kekasihnya 

sampai jatuh hati.

"Ya, kita! Aku, kau dan seluruh 

masyarakat di daerah Gunung Jati dan 

Gunung Sembung ini!" jawab Ratna 

mengejutkan lamunan Anwar.


"Bukan kau?" kembali Anwar 

bertanya karena penasaran.

"Heh, kau tak usah cemburu, 

sayang! Parmin bukan jenis pemuda mata 

keranjang yang tega merebut kekasih 

temannya sendiri dan kalau memang aku 

menyukai dia, aku juga tidak mau 

bertepuk sebelah tangan!" jawab Ratna 

menggoda.

Sementara Kiyai Subekti Achmad 

beserta para ulama lainnya telah 

kembali ke tempat tinggalnya masing-

masing. Demikian juga dengan para 

penduduk desa Gunung Sembung. Anwar 

dan Ratna masih berdiri di antara 

orang-orang yang mulai melangkah 

pulang satu-persatu.

Agaknya perpisahan itu menimbul-

kan hikmah yang sangat besar di antara 

mereka.



                         SEKIAN


Share:

0 comments:

Posting Komentar