..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 31 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE WASIAT KEMATIAN

Wasiat Kematian

 

Hak cipta dan copy right pada 
penerbit di bawah lindungan 
undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

Langit di ufuk sebelah barat sana telah 
berwarna merah menembaga. Bulatan besar sang 
Raja Siang yang mengambang di kaki langit, men-
gisyaratkan kalau hari telah beranjak senja. Bin-
tang-bintang di angkasa mulai terlihat satu-dua. 
Sesekali, terdengar beberapa kicau burung liar di 
ranting-ranting pohon.
Dari arah matahari terbenam, dua sosok 
bayangan tengah berkelebat menuju sebuah hu-
tan kecil. Gerakan mereka cepat luar biasa, seo-
lah mengambang. Hingga dalam waktu yang tidak 
lama, mulai memasuki kawasan hutan.
Srakkk! Srakkk!
Dua sosok bayangan itu menghentikan 
langkah di jalan setapak di hutan kecil ini. Untuk 
sesaat, dua sosok yang ternyata sepasang anak 
muda itu mengedarkan pandang ke sekeliling. 
Tak ada sesuatu yang mencurigakan. Hanya de-
sau angin semilir sore yang terdengar.
Sosok gadis yang berada di sebelah kanan 
menghela napasnya. Wajahnya cantik. Usianya 
kira-kira tujuh belas tahun. Tubuhnya yang 
ramping padat dibalut pakaian indah terbuat dari 
benang sutera warna merah. Rambutnya digelung 
ke atas dihiasi beberapa mutiara indah yang be-
raneka warna. Di pinggangnya tergantung sebilah 
pedang.
Sosok di samping si gadis adalah seorang 
pemuda tampan. Wajahnya berbentuk lonjong

dengan rahang-rahang keras. Rambutnya yang 
hitam panjang sengaja dibiarkan tergerai di bahu. 
Bentuk tubuhnya yang tinggi kekar dengan otot-
otot bertonjolan. Sebuah rajahan bergambar ular 
putih kecil tergambar di dada. Di pergelangan 
tangannya tampak gelang dari akar bahar me-
lingkar. Pakaiannya rompi dan celana bersisik 
warna putih keperakan. Sebuah senjata anak pa-
nah aneh yang dilengkapi dua buah cakra kembar 
tampak pula terselip di balik punggung.
"Oh...! Hyang Widi...! Apa yang harus kula-
kukan? Belum sempat aku bertemu ayah kan-
dungku, kenapa kau tega pisahkan aku dengan 
kakak kandungku...?" desah si gadis cantik ber-
baju merah, perlahan sekali.
Walau gadis itu telah berusaha menahan 
hatinya, namun tetap saja sepasang mata berbulu 
lentik itu basah. Namun agaknya hal itu sengaja 
dibiarkan. Membiarkan perasaannya terombang-
ambing dalam kegelisahan yang tak menentu. 
Hanya dengan cara itu ia berharap agar kesedi-
han dalam hatinya sirna.
Hingga untuk beberapa saat, si gadis 
hanya mampu terisak. Tak ada kata-kata yang 
keluar dari bibirnya yang bergetar.
"Kulihat wajahmu pucat pasi. Ada apa, 
Yustika?" tanya si pemuda berbaju rompi dan ce-
lana putih keperakan.
Gadis yang memang Yustika alias Ratu Adil 
tak langsung menjawab. Kepalanya hanya meno-
leh sekilas ke samping, melihat pemuda yang tak 
lain murid Eyang Begawan Kamasetyo yang ten

gah memperhatikan dirinya seksama. Ratu Adil 
menghela napas sesak. Pandang matanya pun 
kembali dialihkan ke depan.
"Aku menyayangkan sekali kenapa Kakang 
Teguh Sayekti harus menemui ajal secepat itu...?" 
sahut Ratu Adil, mendesah.
"Jangan terlalu dirisaukan, Yustika. Yang 
sudah terjadi tak ada gunanya lagi diingat," hibur 
Soma. (Untuk mengetahui siapa dan bagaimana 
Teguh Sayekti yang bergelar Pembunuh Iblis bisa 
terbunuh, silakan baca episode: "Warisan 
Agung").
"Kedengarannya memang mudah melaku-
kan apa yang kau ucapkan, Soma. Walau aku su-
dah berusaha tabah, aku tetap tak dapat me-
mungkiri hatiku. Aku merasa kehilangan sekali 
dengan meninggalnya Kakang Pembunuh Iblis. 
Apalagi aku belum dapat menemukan Gendon 
Prakoso, ayahku."
"Aku tahu kesulitanmu, Yustika. Aku mak-
lum. Tapi tidak bisakah kau memandang semua 
kejadian ini dengan senyum? Dengan hati lapang 
tanpa terbebani sesuatu?"
"Itulah yang sulit kulakukan. Soma."
"Kau harus tabah, Yustika."
Ratu Adil menggeleng perlahan. Meski isak 
tangisnya sudah reda, namun tetap saja hatinya 
masih dililit kesedihan. Dan perasaannya kian tak 
menentu.
"Aku sudah mencoba tabah, Soma. Tapi, 
tetap saja tak bisa. Bertahun-tahun aku merin-
dukan ayah kandungku. Tapi kenyataannya, aku

malah kian terombang-ambing oleh berbagai ma-
cam urusan yang tak kuinginkan sama sekali. 
Aku sedih, Soma. Belum sempat aku bertemu 
ayah kandungku, harus sudah kehilangan kakak 
kandung yang baru saja kutemukan," tandas Ra-
tu Adil dengan suara lembut menyembunyikan 
kesedihannya.
"Kalau kenyataan sudah begitu, kita mau 
apa lagi? Tak mungkin kita menyesal maupun 
membantah sesuatu yang sudah menjadi kehen-
dak Yang Maha Kuasa," kata Soma, berusaha bi-
jak.
"Kau belum pernah merasakan betapa se-
dihnya bila mengalami nasib sepertiku. Jadi, wa-
jar saja kalau kau bicara begitu," terabas Ratu 
Adil. Kali ini pandangan matanya kembali beralih 
ke arah Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih tersenyum samar.
"Siapa bilang begitu, Yustika? Walau aku 
masih memiliki ibu kandung, tapi apa kau pikir, 
bisa enak-enakkan seperti orang lain? Tidak! Satu 
beban berat masih membebani pundakku. Aku 
belum puas kalau belum mampu menolong ibu 
yang sampai sekarang masih berwujud ular putih 
raksasa. Apa itu tidak menyakitkan hatiku?" tu-
kas Siluman Ular Putih tak dapat mengendalikan 
perasaan bila sudah teringat akan penderitaan 
ibunya.
Ratu Adil yang mendengar penjelasan Si-
luman Ular Putih tercekal. "Benarkah apa yang 
kau ucapkan tadi. Soma?"
"Apa ada gunanya berdusta, Yustika. Sam

pai sekarang ibuku masih menjelma menjadi ular 
putih raksasa. Sedang, ayah kandungku telah te-
was di tangan Manusia Rambut Merah. Sebenar-
nya, aku ingin sekali menemukan makam ayah 
kandungku. Tapi, rasanya mustahil. Sebab, se-
waktu ayahku tewas, Manusia Rambut Merah te-
lah membuang mayatnya ke jurang," jelas Soma 
lagi. (Untuk mengetahui siapa ayah kandung Si-
luman Ular Putih yang tewas di tangan Manusia 
Rambut Merah, juga untuk mengetahui kenapa 
ibu Siluman Ular Putih sampai menjelma menjadi 
ular putih raksasa, baca episode perdana : "Miste-
ri Bayi Ular").
"Oh...! Tak kusangka kau pun mengalami 
nasib serupa. Soma. Lalu, di manakah ibumu se-
karang berada?" tanya Ratu Adil ingin tahu. Pan-
dang matanya pun tak lagi melecehkan seperti 
tadi.
"Demi mewujudkan keinginannya untuk 
menjelma kembali jadi manusia biasa, sampai se-
karang ibuku masih bertapa di puncak Gunung 
Bucu bersama eyang. Eyang Begawan Kama-
setyo."
"Oh...! Kalau begitu, nasibmu pun tak jauh 
berbeda denganku. Soma. Maafkan sikapku tadi."
"Sudahlah! Tak usah kau cemaskan hal 
itu!" ujar Siluman Ular Putih. "Sekarang, bagai-
mana? Apa kau masih ingin menemukan ayah 
kandungmu?"
"Tak mungkin aku membatalkan niatku. 
Soma. Walau sampai kapan pun, aku akan terus 
mencarinya."

"Tentunya kau tak keberatan kalau aku 
membantunya, bukan?" ujar Siluman Ular Putih 
disertai senyum manis. Padahal sewaktu tadi ber-
cerita mengenai keadaan ibunya, hati Soma sem-
pat dibaluri perasaan sedih. Namun dengan ce-
pat, kali ini perasaannya sudah dapat dikendali-
kan kembali.
Ratu Adil tak menjawab. Mengangguk pun 
tidak. Namun menilik senyumnya yang samar 
terkembang di bibir, Siluman Ular Putih jadi kian 
memperlebar senyumnya.
"Ayo, kita lanjutkan perjalanan!" ajak So-
ma. Tangannya segera meraih lengan Ratu Adil.
Yustika tak keberatan. Diam-diam hatinya 
senang sekali diperlakukan lembut seperti itu. 
Namun baru saja mereka hendak meninggalkan 
tempat itu, tiba-tiba saja....
Siang berganti siang
Malam berganti malam
Langkahku tetap tertatih
Tetap tertuju ke satu arah.
Tak ada jemu yang membelenggu
Sebab aku tahu, kesedihan hanya perasaan 
semu
Kenapa aku harus terharu?
Bukan itu sikap Penghamba Sejati
Sebab Rahmat Ilahi terpentang di depan 
mata
Mari kita teguh
Mari kita tegakkan dada
Niscaya segalanya kan berlalu....

Ratu Adil dan Siluman Ular Putih sejenak 
termangu di tempat masing-masing begitu men-
dengar suara yang tengah mendendangkan bait-
bait syair. Apalagi mereka merasa tersindir oleh 
kata-kata dalam syair itu. Namun anehnya, me-
reka sulit sekali menangkap makna sesungguh-
nya. Tapi yang jelas, suara halus itu jelas milik 
seorang perempuan karena terdengar halus.
Sementara suara merdu itu tak henti-
hentinya mendendangkan bait-bait syair. Lama 
kelamaan suaranya terdengar jelas. Tak selang 
beberapa lama, terlihat sesosok bayangan hijau 
tengah melenggang santai di jalan setapak dengan 
payung yang juga berwarna hijau terkembang di 
tangan kanan.
"Siapakah dia, Soma? Tampaknya bait-bait 
syairnya tadi seperti menyindir kita," bisik Ratu 
Adil di telinga Soma.
Siluman Ular Putih hanya menggeleng. En-
tah, apa makna gelengan kepalanya. Namun ma-
tanya terus ditujukan ke arah sosok bayangan hi-
jau yang tengah mendekati tempat itu.

DUA


Kening Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
kian berkerut melihat sosok bayangan hijau yang 
semakin dekat ternyata seorang gadis cantik. 
Usianya pun tak jauh berbeda dengan Ratu Adil. 
Lima depa di hadapan Soma, gadis itu menghen-
tikan langkah. Terlihat tubuhnya yang tinggi
ramping terbalut pakaian ketat warna hijau pu-
pus tampak demikian menggiurkan. Padat berisi 
dengan sepasang buah dada montok. Apalagi dari 
tubuhnya menebarkan aroma harum bunga mela-
ti. Sedang rambut panjangnya yang hitam dige-
lung ke atas dengan hiasan-hiasan permata hijau.
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil makin 
kagum saja melihat kemunculan gadis itu. Bukan 
saja kagum pada kecantikannya, tapi juga pada 
kepandaiannya. Jarak di antara mereka tadi cu-
kup jauh. Namun dengan menggunakan langkah-
langkahnya yang aneh, ternyata gadis berpakaian 
serba hijau itu mampu berada di tempat ini dalam 
waktu singkat! Lebih dari itu, rasa-rasanya bait-
bait syair yang tadi didendangkannya pun tak se-
suai dengan usianya yang masih muda!
Sambil memutar-mutar gagang payung hi-
jau yang disandarkan di pundak, gadis berpa-
kaian hijau itu terus memperhatikan Siluman 
Ular Putih dan Ratu Adil. Sementara senyumnya 
yang manis tak pernah hilang dari bibirnya.
"Wahai, sahabat-sahabat mudaku! Aku tak 
tahu, apakah kalian benar-benar tak menyukai 
kehadiranku, atau justru tak menyukai bait-bait 
syairku yang kudendangkan tadi. Yang manakah 
yang benar?"
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil sejenak 
saling berpandangan. Makin kagum saja mereka? 
Bagaimana mungkin suara pembicaraan mereka 
dapat didengar oleh gadis cantik itu. Padahal ja-
rak mereka tadi cukup jauh sebelum gadis itu 
mendendangkan bait-bait syair!

"Maafkan kami, Sobat! Sebenarnya bukan 
maksud kami tak menyukai kehadiranmu di sini. 
Terus terang, kami hanya merasa tersindir oleh 
syair-syairmu tadi," ucap Soma, jujur.
"Oh..., begitu...?" Si gadis mengangguk-
anggukkan kepala. "Kalau begitu, aku yang harus 
minta maaf. Syair-syairku tadi tak bermaksud 
menyindir kalian. Ada apakah sebenarnya? Kena-
pa sobatku yang cantik ini tampak murung?"
"Begini...," Siluman Ular Putih mulai men-
jelaskan. "Tapi sebelumnya, perkenalkan dulu so-
batku yang cantik ini. Namanya Yustika. Ia lebih 
dikenal sebagai Ratu Adil. Sedang aku adalah 
Soma. Kau sendiri siapa, Kawan?"
"Hm...! Kau tak menyebutkan gelarmu. 
Pasti kau menyembunyikan sesuatu. Tapi, tak 
mengapa. Cuma kalau boleh kunasihati, jangan-
lah kalian terlalu tenggelam dalam kesedihan. Te-
rutama sekali kau, wahai sobat baruku Ratu 
Adil!" Gadis berbaju hijau itu menudingkan telun-
juk jari ke arah murid Ratu Alit.
"Tunggu! Boleh saja kau menasihati. Tapi, 
katakan dulu siapa kau! Masa' kami sudah mem-
perkenalkan diri, kau tak mau menyambut rasa 
persahabatan kami?" potong Siluman Ular Putih. 
Si gadis tersenyum.
"Tampaknya kau bernafsu sekali mengenal 
siapa aku, wahai sobatku Siluman Ular Putih."
"Hey...? Kau sudah tahu julukanku? Dari 
mana kau tahu? Rasa-rasanya baru kali ini aku 
mengenalmu?" Siluman Ular Putih terperangah.
Lagi-lagi si gadis berbaju hanya menyung

gingkan senyum.
"Tak usah kau ributkan persoalan itu, wa-
hai sobatku Siluman Ular Putih! Rajahan kecil di 
dadamu itu semakin membuatku yakin kalau 
kaulah Siluman Ular Putih yang akhir-akhir ini 
membuat gempar dunia persilatan."
"Ya ya ya...! Tapi, siapa kau sebenarnya?" 
putus Siluman Ular Putih tak sabar.
"Diterangkan pun kau tak kan mengerti. 
Karena, aku sendiri juga tak tahu siapa namaku. 
Hanya kalau tak salah ingatanku, dulu banyak 
orang yang menyebutku dengan panggilan Putri 
Hijau."
"Putri Hijau?!"
Siluman Ular Putih kaget bukan main. 
Meski belum pernah bertemu, namun menurut 
cerita eyangnya di Gunung Bucu, Putri Hijau ada-
lah seorang tokoh papan atas dunia persilatan 
yang jarang sekali menemui lawan tanding. 
Usianya sebenarnya amat tua. Mungkin sudah se-
ratus tahun lebih. Namun berkat kepandaiannya 
yang amat tinggi, Putri Hijau mampu merubah 
keadaan dirinya sesuai dengan perhitungan tang-
galan bulan. Konon, banyak tokoh sakti dunia 
persilatan yang menyebarkan desas-desus kalau 
kemunculan Putri Hijau sering membawa kebe-
runtungan bagi orang yang ditemui.
Kebetulan sekali sore itu bulan sabit terli-
hat menggantung di ufuk langit sebelah timur. 
Hal ini menandakan kalau perhitungan tanggal 
bulan masih muda. Maka sosok di hadapan Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil yang bergelar Putri

Hijau itu berupa sosok seorang gadis cantik!
Menyadari siapa tokoh di hadapannya, bu-
ru-buru Siluman Ular Putih menarik lengan Ratu 
Adil. Dan bersamaan, mereka berlutut di hadapan 
Putri Hijau.
"Maafkan kelancangan kami, Orang Tua. 
Sungguh mata kami buta tak tahu tengah berha-
dapan dengan Putri Hijau yang sangat dihormati 
tokoh-tokoh dunia persilatan."
Putri Hijau tersenyum-senyum, merasa lu-
cu mendengar ucapan Siluman Ular Putih. Se-
dang Ratu Adil yang belum tahu siapa Putri Hijau 
hanya mengerutkan kcningnya. Heran.
"Hik hik hik...! Kulihat matamu masih me-
lek. Masa' aku yang masih muda belia begini di-
panggil orang tua? Pakai berlutut lagi. Ayo, ban-
gun! Masa' berlutut di hadapan seorang gadis? 
Memalukan saja!" ujar Putri Hijau.
"Benar, Soma. Kenapa kita mesti berlutut? 
Toh, usianya tak jauh berbeda dengan kita?" 
tambah Ratu Adil.
"Kau benar, wahai sobatku Ratu Adil. Ayo, 
bangun!" ujar Putri Hijau lagi, tetap tak dapat 
menyembunyikan geli dalam hati.
Siluman Ular Putih sebenarnya ingin mem-
bantah. Namun karena lengan dan pundaknya 
keburu ditarik Ratu Adil dan Putri Hijau, akhir-
nya pemuda itu menurut saja.
"Nah...! Kalau begini kan enak. Masa' pakai 
berlutut segala," kata Putri Hijau.
Siluman Ular Putih kesal bukan main. Sak-
ing kesalnya ia hanya garuk-garuk kepala.

"Sobatku Putri Hijau! Bolehkah aku ber-
tanya padamu?" kata Ratu Adil.
"Boleh. Katakan saja! Jangan sungkan-
sungkan seperti pemuda gondrong itu!" tuding 
Putri Hijau ke arah murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
Siluman Ular Putih meringis.
"Begini...," Ratu Adil menghela napasnya 
sebentar. "Terus terang, aku sedang mencari se-
seorang yang bernama Gendon Prakoso. Apa kau 
mengenal nama itu?"
"Wahai, sobatku Ratu Adil! Sungguh satu 
pekerjaan sulit mencari tokoh dunia persilatan 
hanya dengan mengetahui namanya saja. Sebab, 
kau pun tahu, banyak tokoh dunia persilatan 
yang lebih senang disebut julukannya. Apa kau 
tidak tahu julukan orang yang kau maksud?"
Ratu Adil menggeleng pelan. "Sayang sekali 
aku tak tahu, Putri Hijau."
"Hm...! Kalau begitu, kau akan menemui 
banyak kesulitan."
"Aku sudah menemui banyak kesulitan, 
Putri Hijau. Tapi sesulit apa pun, aku harus da-
pat menemukan ayah kandungku," tegas Ratu 
Adil.
"Ya ya ya...! Tadi aku memang mendengar 
pembicaraan kalian. Dan kau menyebut-nyebut 
nama ayah kandungmu. Tapi, kalau tak salah 
dengar, tadi kau pun menyebut-nyebut nama 
Pembunuh Iblis? Siapakah dia?"
"Dia kakak kandungku yang baru saja ku-
temukan. Tapi sayang, dia telah tewas di tangan

Hantu Tangan Api," jelas Ratu Adil. Mendadak, 
wajahnya jadi murung.
"Wahai, sobatku Ratu Adil! Tadi bukankah 
aku sudah menasihatimu? Jangan terlalu tengge-
lam dalam kesedihan. Ambillah sesuatu yang 
menguntungkan di balik semua kejadian itu!"
"Mustahil! Mana mungkin aku mengambil 
keuntungan dari kejadian-kejadian yang menya-
kitkan hatiku itu?! Belum juga aku bertemu ayah 
kandungku, eh, malah Kakang Pembunuh Iblis 
tewas. Keuntungan apa yang bisa kuambil dari 
kejadian ini, Putri Hijau?" tukas Ratu Adil.
"Wahai, sobatku Ratu Adil! Tenangkanlah 
hati dan pikiranmu, niscaya kabut yang menyeli-
muti hatimu akan sirna. Cobalah menarik hik-
mah yang tersembunyi di balik kejadian itu. Ten-
tu kau akan berpikir lain. Seandainya saja kakak 
kandungmu yang bergelar Pembunuh Iblis itu tak 
tewas di tangan Hantu Tangan Api, mungkin ka-
kak kandungmu akan tertimpa satu musibah 
yang melebihi dari kematian," papar Putri Hijau. 
"Maksudmu...?"
"Yah...! Semua itu tergantung dari Hyang 
Widi. Sebab, aku yakin, sesungguhnya Hyang Wi-
di itu sedang menginginkan sesuatu yang baik 
darimu. Untung saja, hanya kakak kandungmu 
saja yang tewas di tangan Hantu Tangan Api. Tapi 
kalau kau dan juga pemuda gondrong itu tewas, 
apa itu bukan celaka namanya?"
"Hm...! Ya ya ya...! Samar-samar aku mulai 
paham, Putri Hijau. Lalu, mengapa sampai seka-
rang aku belum menemukan siapa ayah kan

dungku?"
"Itu pun merupakan sebagian dari kehen-
dak-Nya. Kalau misalnya kau bertemu dengan 
ayah kandungmu sejak dulu, mustahil kau akan 
jadi gadis lembut seperti ini. Mungkin, malah se-
baliknya. Jadi, pintar-pintarlah mengambil hik-
mah dari kejadian-kejadian yang menimpa. Jan-
gan malah sebaliknya!" urai Putri Hijau.
"Kalau mendengar bicaramu, rasanya aku 
jadi lega. Tapi, apakah aku bakal dapat menemu-
kan ayah kandungku, Putri Hijau?" cetus Ratu 
Adil, seperti kurang yakin.
"Tentu. Semua itu tergantung usaha. Bu-
kankah begitu, wahai sobatku Siluman Ular Pu-
tih? Kenapa melongo saja?" tukas Putri Hijau, ti-
ba-tiba melemparkan pendapatnya pada Siluman 
Ular Putih.
Soma yang memang sedang melongo men-
dengarkan pembicaraan Putri Hijau dan Ratu Adil 
jadi tersentak kaget.
"Aku.... Aku...! Habis aku senang sekali 
mendengar caramu bicara tadi, Orang Tua."
"Hush...! Jangan panggil aku orang tua!" 
semprot Putri Hijau.
"Lalu, aku harus memanggil apa?"
"Terserah! Asal jangan orang tua."
"Baik. Aku akan memanggilmu seperti ka-
wanku memanggilmu, sobatku Putri Hijau," cetus 
Soma akhirnya.
"Bagus! Memang itulah yang kuinginkan. 
Sekarang, silakan kalau kalian ingin melanjutkan 
perjalanan! Aku sendiri rasa-rasanya juga sudah

terlalu lama berada di tempat ini. Selamat ting-
gal!"
Saat itu juga Putri Hijau segera melangkah 
seperti waktu datangnya. Namun hebatnya, 
meskipun seperti melangkah biasa, tiba-tiba so-
soknya telah melesat jauh di depan sana. Lalu se-
bentar saja tubuhnya telah menghilang ke arah 
barat.

TIGA


Siang itu panas matahari terasa terik me-
manggang bumi. Hamparan tanah di sekitar Hu-
tan Curug Muncar terlihat kering kerontang di 
sana sini. Sementara angin berhembus semilir, 
menggoyang-goyangkan pepohonan dan semak 
belukar di sekitarnya.
Searah hembusan angin siang, seorang le-
laki bertubuh tinggi besar tengah tertatih-tatih 
menyeret langkahnya. Parasnya yang kasar tam-
pak pucat pasi. Sedang sepasang matanya yang 
jalang bergerak-gerak liar ke sana kemari, seperti 
ingin meminta bantuan seseorang. Namun di hu-
tan sesunyi itu rasanya sulit menemukan orang 
yang dimaksudkan.
Lelaki berjubah kuning ini mengeluh beru-
lang-ulang. Tampak sekali kalau keadaannya su-
dah sangat payah. Rambutnya yang gondrong te-
lah kusut masai tak terurus. Bercak-bercak darah 
pun tampak masih membekas di jubah kuning-
nya, pertanda tengah menderita luka dalam yang

cukup parah.
"Sial! Gara-gara Dewa Kegelapan dan Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni, nasibku jadi 
begini. Sudah kehilangan kekuasaan di Hutan 
Kenjeran, masih pula menderita luka dalam oleh 
salah satu dari Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi itu. Oh.... Ke mana lagi aku harus mencari 
pertolongan?" sambil merutuki nasibnya, sepa-
sang mata lelaki itu beredar ke sekeliling. Berha-
rap kalau ada orang yang sudi mengobati luka da-
lamnya.
Memang, lelaki ini tak lain dari Gembong 
Kenjeran dari Hutan Kenjeran. Semula, ia adalah 
pimpinan rampok yang berkuasa di sekitar Hutan 
Kenjeran. Namun ketika tiba-tiba didatangi oleh 
Dewa Kegelapan yang hendak merebut daerah 
kekuasaannya, sekaligus ingin menjadikan anak 
buahnya, nasib telah merubah jadi pecundang. 
Pada awalnya, Gembong Kenjeran memang tidak 
sudi diperlakukan seperti itu. Sebagai seorang 
pimpinan rampok jelas hatinya sangat tersing-
gung. Maka, terjadilah pertarungan dahsyat. 
Akan tetapi Gembong Kenjeran yang dibantu pu-
luhan anak buahnya ternyata tak mampu mela-
deni sepak terjang Dewa Kegelapan. Banyak anak 
buahnya yang tewas di tangan murid Empat Iblis 
Merah dari Hutan Seruni itu. Bahkan Gembong 
Kenjeran sendiri pun tak luput dari pukulan maut 
'Darah Iblis' milik Dewa Kegelapan yang teramat 
keji. (Baca serial Siluman Ular Putih dalam epi-
sode: "Titisan Alam Kegelapan").
Akhirnya Gembong Kenjeran dan anak

buahnya pun dapat ditaklukkan oleh Dewa Kege-
lapan. Namun kekuasaan Dewa Kegelapan yang 
ingin menguasai dunia persilatan tak berlangsung 
lama, tatkala Siluman Ular Putih datang mengo-
brak-abrik. Dan sewaktu terjadi pertarungan sen-
git antara Dewa Kegelapan dan Siluman Ular Pu-
tih, Gembong Kenjeran yang berakal cerdik segera 
melarikan diri. Kemudian lelaki telengas ini mela-
porkan kejadian yang menimpa Dewa Kegelapan 
pada Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni. Na-
mun, apa yang diharapkan dari jerih payahnya 
hanya menemui kesia-siaan. Malah dengan cara 
kasar Gembong Kenjeran diusir oleh Empat Iblis 
Merah dari Hutan Seruni. Bahkan salah seorang 
dari Empat Iblis Merah menghadiahi satu puku-
lan maut. Untung saja Gembong Kenjeran masih 
sanggup bertahan. Walau dengan menderita luka 
dalam cukup parah, akhirnya ditinggalkannya 
Hutan Seruni. (Untuk lebih jelasnya mengenai hal 
ini, harap baca pula episode: "Tapak Merah Da-
rah").
"Setan alas! Seumur hidupku belum per-
nah aku diperlakukan sehina ini. Tak mungkin 
aku membiarkan penghinaan ini begitu saja. 
Tunggulah pembalasanku, Empat Iblis Merah ke-
parat!" dengus Gembong Kenjeran seraya mena-
han amarahnya yang menggelegak.
Sambil terus melangkah terseret, beberapa 
saat mata Gembong Kenjeran masih jelalatan ke 
sana kemari. Ternyata harapannya terpangkas. Di 
hutan itu ia tak menemukan seorang pun.
Namun semakin melangkah masuk ke da

lam hutan, tiba-tiba Gembong Kenjeran menden-
gar gemericik suara air. Dengan tertatih-tatih le-
laki ini melangkah ke arah sebatang pohon. Dan 
dengan napas memburu disandarkannya tubuh-
nya di situ. Karena terdorong rasa haus yang seo-
lah ingin membakar tenggorokan, diputuskan-nya 
untuk mendekati sumber air.
Namun, Gembong Kenjeran tidak segera 
meneruskan niatnya. Sebentar ia menenangkan 
diri dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam. 
Sejurus kemudian kembali kakinya melangkah 
tertatih-tatih ke arah sumber air.
Tiba di sumber air, mata Gembong Kenje-
ran kontan membelalak lebar. Di hadapannya kini 
terlihat sebuah sendang dengan air terjunnya ke-
biruan diapit oleh tebing-tebing terjal berlumut 
hijau. Sendang kecil itu terus bergolak, dan men-
galirkan airnya ke sungai di samping.
Melihat air jernih kebiru-biruan yang me-
limpah di hadapannya, Gembong Kenjeran buru-
buru mendekati bibir sendang. Di musim kema-
rau yang berkepanjangan ini, memang tak mudah 
bagi orang untuk menemukan sumber air sejernih 
itu. Maka begitu berada di dekat bibir sendang, 
Gembong Kenjeran segera meraup airnya dengan 
kedua telapak tangan. Langsung dihirupnya air 
jernih itu puas-puas. Tak puas dengan itu, segera 
dibasuhnya muka, tangan, dan kakinya.
Terasa segar kini tubuh Gembong Kenje-
ran. Sebagian jubahnya yang besar dan rambut-
nya yang awut-awutan basah oleh air sendang. 
Sejenak lelaki ini mendongakkan kepala ke atas.

Tebing-tebing terjal di hadapannya begitu kokoh 
menjulang ke angkasa, laksana raksasa-raksasa 
hijau yang tegak kaku menantang langit.
Ketika Gembong Kenjeran tengah asyik 
menikmati pemandangan indah di hadapannya, 
tiba-tiba telinganya mendengar suara seruling 
yang ditiup sayup-sayup. Wajah Gembong Kenje-
ran pun kontan berseri. Harapannya yang tadi 
sirna kembali tumbuh.
"Ah...! Siapakah orang yang meniup suling 
itu?" tanya Gembong Kenjeran dalam hati.
Sejenak pandangan lelaki itu beredar ke 
sana kemari, mencari-cari sumber suara. Namun 
entah kenapa, sumber suara itu sulit sekali dica-
ri, karena seperti menggema di segenap penjuru. 
Nada tiupan seruling itu pun terasa semakin me-
nusuk ke dalam relung hatinya yang paling da-
lam.
"Setan! Kenapa hatiku jadi gelisah begini? 
Sepertinya suara tiupan suling itu membuat hati-
ku gundah. Seolah ingin mengajak untuk mengu-
bur dendam yang berkarat, sekaligus meninggal-
kan jalan sesat yang selama ini kutempuh. Edan! 
Siapakah peniup suling keparat itu!" dengus 
Gembong Kenjeran merasa kesal mendengar ti-
upan suling itu. Hatinya yang tengah diamuk api 
dendam, jelas merasa panas sekali mendengar ti-
upan-tiupan suling itu.
Tanpa pikir panjang, Gembong Kenjeran 
segera keluar dari sendang. Bagian bawah tubuh-
nya sampai lutut tampak basah oleh air sendang. 
Namun semua itu tak dipedulikannya. Kakinya

terus melangkah menuju sumber suara tiupan se-
ruling tadi.
Dari balik semak belukar yang meranggas, 
Gembong Kenjeran dapat menemukan sumber 
suara yang dicari. Ternyata si peniup seruling 
adalah seorang lelaki tua yang umurnya sulit se-
kali ditafsir. Tubuhnya kurus kering seolah tak 
bertenaga dibalut kain putih yang diselempang-
kan begitu saja. Seperti warna pakaiannya, ram-
but orang tua itu pun berwarna putih digelung ke 
atas.
Wajah si kakek tampak demikian teduh 
menyisakan sisa-sisa ketampanannya di waktu 
muda. Sepasang matanya pun mencorong laksa-
na sepasang mata rajawali. Sambil duduk di atas 
batu putih besar, kakek renta itu asyik sekali 
meniup serulingnya, seolah-olah tak ingin peduli 
terhadap keadaan sekitar.
"Edan! Tak kusangka tua bangka jelek itu 
yang meniup suling. Hm...! Tapi, tak mengapa. 
Asal tua bangka itu sudi mengobati luka dalam-
ku...," kata Gembong Kenjeran, menindih rasa tak 
puasnya begitu melihat orang yang meniup serul-
ing.
Saat itu pula Gembong Kenjeran kembali 
melangkah mendekat. Namun anehnya, si kakek 
sedikit pun tak pedulikan oleh kedatangan Gem-
bong Kenjeran. Malah perasaannya semakin teng-
gelam oleh permainan serulingnya.
"Tua bangka jelek! Apa kau tak mendengar 
kedatanganku, hah?!" bentak Gembong Kenjeran 
tiba-tiba. Kalau saja tak memerlukan pertolongan

ingin rasanya lelaki telengas ini mengepruk han-
cur batok kepala kakek renta itu. Untung saja 
amarahnya masih dapat ditahan.
Si kakek tak buru-buru menyahut. Perla-
han-lahan serulingnya diturunkan ke pangkuan. 
Namun perhatiannya masih belum juga dialihkan 
ke arah Gembong Kenjeran.
"Setan! Kau jangan menjual lagak di hada-
pan Gembong Kenjeran, Tua Bangka Jelek!" maki 
Gembong Kenjeran lagi.
"Bagi orang yang mengerti, perbuatan bu-
kanlah suatu jawaban pasti. Semua tak lepas dari 
hati dan niat suci yang terkandung dalam hati 
sanubari. Buat apa orang mengagungkan perbua-
tan kalau hanya ingin menipu diri sendiri? Sekali 
lagi, hanyalah niat suci dalam hati. Bukankah 
niat suci itu lebih mulia dibanding sabda raja 
yang lalim. Walau dipuji, namun sebenarnya di-
caci. Apa enaknya hidup menanggung caci maki, 
kalau sudah terbebani suatu tanggungan?" 
"Tua bangka jelek! Aku tak butuh khot-
bahmu! Aku tak butuh ocehanmu! Buat apa kau 
ngoceh ngalor-ngidul kalau tak jelas juntrung-
nya!" dengus Gembong Kenjeran kesal bukan 
main.
"Begitulah kalau hati sanubari sudah tertu-
tup nafsu. Apa pun yang ada di depan selalu 
membuat hati jadi terpisah jauh dari keinginan 
yang sebenarnya. Semua serba gelap. Mengam-
bang!"
"Tua bangka budek! Aku tak butuh oce-
hanmu!" terabas Gembong Kenjeran kasar bukan

main.
Di akhir kalimatnya, kaki kanan Gembong 
Kenjeran menghentakkan kuat-kuat ke bawah. 
Seketika lobang besar kontan tercipta dari bekas 
pijakan kakinya. Sedang Gembong Kenjeran sen-
diri telah berpindah dua tombak di hadapan si 
kakek. Sementara, tanah dan bebatuan berpenta-
lan ke sana kemari, membuat tempat itu jadi ge-
lap.
Namun anehnya kakek renta di hadapan 
Gembong Kenjeran malah menyunggingkan se-
nyum. Sedikit pun hatinya tidak tersinggung atas 
kekasaran sikap maupun omongan Gembong 
Kenjeran.
"Anak manusia! Kulihat luka di tubuhmu 
masih belum seberapa bila dibanding luka hati-
mu. Buanglah semua yang membebani hatimu. 
Niscaya kau akan hidup tenang selama-lamanya," 
ujar kakek renta itu arif. Nada suaranya pun enak 
didengar telinga.
Gembong Kenjeran yang tak dapat lagi 
mengendalikan amarah malah maju selangkah ke 
depan. Kedua telapak tangannya yang terkepal 
erat, siap meremukkan batok kepala orang tua 
itu. Namun belum sempat meneruskan niatnya....
"Anak manusia! Kulihat dalam tubuhmu 
mengeram satu hawa racun keji. Apakah kau ba-
ru saja terkena pukulan 'Darah Iblis' milik Peng-
huni Kubur?" tanya kakek itu kalem.
Gembong Kenjeran tercekat tak melan-
jutkan niatnya. Untuk sesaat matanya hanya 
memandangi kakek renta di hadapannya terhe

ran-heran. Lalu, perlahan-lahan kedua telapak 
tangannya yang terkepal erat pun diturunkan.
"Edan! Kalau tua bangka ini sampai tahu 
bahwa aku terkena pukulan 'Darah Iblis', bukan 
mustahil kesaktiannya hebat. Kukira...."
"Anak manusia! Kenapa diam? Kenapa tak 
menjawab pertanyaanku? Apa benar Penghuni 
Kubur yang telah mencelakakanmu?" tanya si ka-
kek membuyarkan kegusaran hati Gembong Ken-
jeran.
"Bukan Penghuni Kubur. Tapi Dewa Kege-
lapan dan Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni-
lah yang telah mencelakakanku," sahut Gembong 
Kenjeran ketus.
"Oh...! Pantas. Empat Iblis Merah adalah 
adik-adik seperguruan dari Penghuni Kubur. La-
lu, siapakah Dewa Kegelapan itu? Rasa-rasanya 
aku belum pernah mendengar namanya?"
"Dia murid Empat Iblis Merah!" 
"Hm...! Jadi tetap saja ada hubungannya 
dengan Penghuni Kubur," gumam kakek renta itu 
seraya menganguk-angguk. (Untuk mengenal sia-
pa Penghuni Kubur lebih lanjut silakan ikuti: 
"Murka Penghuni Kubur").
Gembong Kenjeran diam tak menyahut. 
Kali ini sikapnya mulai lunak, enggan untuk ber-
laku kasar terhadap kakek renta di hadapannya. 
Sebab ia tahu, kakek renta di hadapannya pasti 
memiliki ilmu yang tinggi. "Tapi, siapakah sebe-
narnya tua bangka ini? Kalau ia mengenal Peng-
huni Kubur, bisa jadi tua bangka ini adalah salah 
seorang tokoh papan atas dunia persilatan. Tapi,

siapa? Kalau melihat ciri-cirinya, jangan-jangan 
dia adalah...."
Ketika otak Gembong Kenjeran mem-
bayangkan suatu nama, matanya langsung berbi-
nar.
"Orang tua! Apakah kau yang bergelar 
Eyang Bromo?" tanya Gembong Kenjeran tiba-
tiba. Kali ini nada bicaranya berubah sangat lu-
nak, tak seperti tadi.
"Nama hanyalah satu hiasan yang banyak 
bertebaran di muka bumi ini. Bernama maupun 
tak bernama, sebenarnya manusia itu sama saja. 
Semua tergantung dari hati nurani, akal pikiran, 
dan perilaku," kata lelaki tua yang sebenarnya 
memang Eyang Bromo.
"Terserah kau mau ngomong apa, Orang 
Tua! Yang jelas, aku yakin kaulah yang bergelar 
Eyang Bromo yang merupakan seorang tokoh pa-
pan atas dunia persilatan nyaris tanpa tanding. 
Jika kau tadi tahu kalau dalam tubuhku menge-
ram satu hawa racun, harap sudilah menolongku, 
Orang Tua!" pinta Gembong Kenjeran.
"Tolong menolong adalah ungkapan rasa 
manusiawi sebagai penghuni alam mayapada ini. 
Bila hati nurani bicara, semua akan terasa indah. 
Semua akan terasa sama. Tak peduli itu rakyat 
jelata, pengemis, saudagar, maupun raja sekali-
pun. Hati yang buta hanya akan menyebabkan 
rasa kasih yang terpangkas. Membeda-bedakan 
satu dengan lainnya. Padahal, di muka bumi ini 
semua manusia sama. Kenapa...."
"Orang tua! Terus terang aku tak mengerti

apa maksud ucapanmu! Aku hanya ingin kau 
mengobati lukaku. Tak lebih," potong Gembong 
Kenjeran tak sabar.
Namun sebenarnya lelaki ini merasa heran. 
Sewaktu Eyang Bromo bicara tadi hatinya seperti 
merasakan satu hawa dingin. Ucapan-ucapan si 
kakek seolah menembus ke dalam relung hatinya 
yang paling dalam, sekaligus juga membuat hawa 
panas yang mengeram dalam tubuhnya sirna! 
"Seperti kukatakan tadi, sebenarnya hawa 
racun keji yang mengeram dalam tubuhmu masih 
kalah keji dibanding apa yang tersirat dalam hati 
nuranimu. Itulah sebenarnya yang harus kau ob-
ati, Anak Manusia! Jangan tanyakan aku bagai-
mana caranya? Melainkan, kaulah sendiri yang 
dapat mengobati luka hatimu," ungkap Eyang 
Bromo.
Gembong Kenjeran bergetar. Hawa dingin 
yang keluar dari ucapan Eyang Brono kini dirasa-
kannya kian menindih hawa panas yang menga-
duk-aduk dalam hatinya. Hingga tanpa disadari, 
luka dalam yang diderita Gembong Kenjeran pun 
sembuh seperti sedia kala!
"Orang tua! Jangan memancingku untuk 
bertindak kasar padamu! Aku hanya ingin kau 
menyembuhkan luka dalamku. Tapi, kenapa kau 
malah bicara ngalor-ngidul tak ketahuan jun-
trungnya?!" hardik Gembong Kenjeran.
Kali ini, kembali amarah Gembong Kenje-
ran tersulut. Padahal, tadi sempat padam begitu 
menyadari orang tua di hadapannya adalah 
Eyang Bromo.

"Ucapan bukan berarti tinggal ucapan. Hati 
nurani yang bersih dapat memilah, mana kata-
kata yang benar dan mana yang salah."
"Eyang Bromo! Tak ada gunanya kau me-
nasihatiku! Aku muak dengan kata-katamu! Se-
karang, tinggal pilih mau menyembuhkan luka 
dalamku atau tidak?!" ancam Gembong Kenjeran 
sengit.
Kalau seandainya di hadapannya bukan 
Eyang Bromo, sudah pasti kepalan tangan Gem-
bong Kenjeran sudah menebas sasaran. Namun 
bagaimanapun juga, lelaki telengas ini tak berani 
bertindak gegabah. Ia cukup tahu, siapa Eyang 
Bromo yang sangat disegani. Baik di kalangan 
orang-orang golongan putih, maupun orang-orang 
golongan hitam.
Melihat kemarahan Gembong Kenjeran, 
Eyang Bromo hanya tersenyum. Sepasang ma-
tanya yang tajam sempat melirik ke telapak tan-
gan Gembong Kenjeran yang sudah terkepal erat.
"Aku yakin. Sepeninggal ku nanti, kau pas-
ti akan menyadari apa kekeliruanmu. Juga, me-
nyadari apa yang telah kulakukan padamu. Sela-
mat tinggal, Anak Manusia!"
"Tunggu! Kau belum melakukan apa pun 
terhadapku!" cegah Gembong Kenjeran kesal bu-
kan main.
Namun Eyang Bromo tak mau peduli. Ka-
rena hanya sekali menutulkan tangannya ke ba-
wah, tiba-tiba sosoknya telah melenting tinggi ke 
udara. Begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya 
pun telah berkelebat cepat luar biasa, mendaki

tebing curam di hadapan Gembong Kenjeran. Se-
dikit pun ia tak merasa terganggu oleh licinnya 
tebing curam yang berlumut itu. Sebentar saja, 
sosoknya menghilang di balik mulut tebing hijau 
jauh di atasnya.
Melihat kehebatan ilmu meringankan tu-
buh Eyang Bromo, mau tidak mau Gembong Ken-
jeran jadi berdecak kagum. Rasanya sulit masuk 
akal kalau orang tua renta yang tampaknya tak 
bertenaga itu mampu mendaki tebing terjal di ha-
dapannya dengan kecepatan luar biasa!
"Edan! Benar-benar lihai, Tua Bangka Ke-
parat itu! Hm...! Tak heran kalau ia menduduki 
papan atas dunia persilatan. Tapi, sial! Ia tak 
mau menyembuhkan luka dalamku. Eh..., tung-
gu! Kenapa hawa panas yang mengaduk-aduk da-
lam tubuhku sirna? Kenapa tiba-tiba saja tubuh-
ku jadi segar begini? Apa yang telah dilakukannya 
padaku? Bukankah tadi ia tak melakukan apa-
apa selain bicara? Tapi, kenapa luka dalamku 
sembuh seperti sediakala? Ah...! Menyesal sekali 
aku telah memperlakukannya kasar. Hm.... Jelas! 
Secara diam-diam, Eyang Bromo pasti telah me-
nyembuhkan luka dalamku. Entah dengan cara 
apa luka dalamku bisa disembuhkan olehnya...."
Gembong Kenjeran tak henti-hentinya ber-
decak kagum. Sebenarnya kalau lelaki ini mau 
berpikir, justru dari ucapan-ucapan Eyang Bromo 
yang bermakna tinggi itulah luka dalamnya bisa 
disembuhkan. Tapi sayang, memang otaknya ter-
lalu bebal. Ditambah, hatinya telah tersaput den-
dam. Sehingga ia tak mampu berpikir sejauh itu.

EMPAT

Sejak meninggalkan Curug Muncar, Gem-
bong Kenjeran bertekad akan mencari seorang 
guru yang memiliki kesaktian tinggi. Rasa den-
damnya pada Siluman Ular Putih dan pada Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni yang sampai 
sekarang dikira masih hidup, tak mungkin dapat 
ditepiskan begitu saja. Bagaimanapun juga, sela-
ma nyawa masih di kandung badan, lelaki ini ber-
tekad akan menuntut balas. Malah kalau perlu 
ingin sekali menguasai dunia persilatan agar wi-
bawanya terangkat.
Untuk itu, Gembong Kenjeran berjalan 
berhari-hari mencari tokoh-tokoh sakti untuk di-
jadikan guru. Sayang sudah sekian lama men-
gembara belum mampu juga mewujudkan keingi-
nannya. Namun Gembong Kenjeran tidak putus 
asa. Diiringi tekadnya yang amat membara, sam-
pailah lelaki ini di sebuah sendang kecil yang di-
apit pohon-pohon besar menjulang tinggi.
Gembong Kenjeran menghentikan lang-
kahnya di dekat batang pohon beringin besar 
yang tumbuh rindang di tepian sendang. Matanya 
sejenak beredar ke sekeliling dan berakhir di 
permukaan air sendang yang tenang tak berge-
lombang. Hanya sesekali permukaan air sendang
itu bergoyang manakala angin semilir siang itu 
berhembus, seolah-olah menyisir permukaan 
sendang.
Gembong Kenjeran terpaku di tempatnya.

Hawa sejuk di sekitar sendang terus mengelus-
elus kulit tubuh, namun lelaki ini tak peduli. Kini, 
pandang matanya terarah pada akar-akar gan-
tung pohon beringin yang luruh berjuntai me-
nembus permukaan sendang.
Lama memperhatikan permukaan sendang, 
tiba-tiba Gembong Kenjeran merasa diserang kan-
tuk hebat luar biasa. Berkali-kali ia menguap le-
bar dengan mata memerah.
"Ada apa ini? Kenapa aku jadi ngantuk be-
gini?" tanya Gembong Kenjeran, heran.
Semakin lelaki itu menahan rasa kantuk, 
anehnya semakin hebat saja matanya terasa be-
rat. Gembong Kenjeran mengeluh. Meski hatinya 
diliputi keheranan, namun akhirnya tubuhnya 
disandarkan juga ke batang pohon. Lalu perla-
han-lahan tubuhnya pun luruh ke tanah dan ter-
tidur pulas!
Namun belum sepuluh hitungan tertidur, 
Gembong Kenjeran pun terjaga ketika sekujur tu-
buhnya terasa bergetar hebat. Dan tatkala kedua 
kelopak matanya membuka kontan membeliak le-
bar. Air sendang di hadapannya tiba-tiba bergo-
lak, seperti ada seekor naga besar tengah murka 
di dasarnya.
"Kejadian aneh apa lagi ini? Tak mungkin 
air sendang bergolak sendiri," kata batin Gem-
bong Kenjeran.
Tubuh lelaki ini pun kian bergetar hebat. 
Dicobanya untuk mengerahkan tenaga dalam. 
Namun, usaha tokoh sesat dari hutan Kenjeran 
itu hanya menemui kesia-siaan. Tubuhnya malah

makin bergetar hebat. Sedang permukaan sen-
dang di hadapannya pun makin bergolak dahsyat 
sampai membuncah tinggi ke udara!
Gembong Kenjeran cepat melompat bang-
kit. Sepasang matanya kian membelalak lebar. 
Terdorong rasa penasaran, membuatnya ingin 
melihat apa yang tengah terjadi di dasar sendang. 
Sejurus kemudian, apa yang membuatnya heran 
pun terjadi. Perlahan-lahan dari dasar sendang 
menyembul sesosok tubuh ke permukaan.
Sosok tubuh itu adalah seorang kakek ren-
ta berpakaian serba hitam. Wajahnya tirus den-
gan rambut memutih digelung ke atas. Dan kini 
kakek renta yang memiliki tubuh kurus itu telah 
muncul ke permukaan sendang dalam keadaan 
masih bersemadi!
"Edan! Siapakah orang tua yang bersemadi 
di dasar sendang ini? Hm...! Siapa pun dia 
adanya, pasti memiliki kesaktian tinggi. Dan aku 
harus dapat membujuknya agar sudi menerimaku 
sebagai murid...," gumam Gembong Kenjeran da-
lam hati.
Saat itu juga, Gembong Kenjeran segera 
berlutut di pinggir sendang. Kedua telapak tan-
gannya menelangkup di depan hidung.
"Orang tua! Sungguh aku yang bodoh ini 
patut mengagumimu. Terimalah rasa hormatku!"
Sosok kakek renta yang tubuhnya masih 
mengambang di permukaan air mulai membuka 
kelopak matanya. Sekilas matanya sempat melirik 
tajam ke arah Gembong Kenjeran yang masih du-
duk berlutut di pinggir sendang. Lalu entah dengan menggunakan ilmu apa, tiba-tiba tubuhnya 
pun mulai bergerak menuju tepian sendang. Keti-
ka berjarak satu tombak ia segera melompat ke-
luar dari sendang. 
"Hup!"
Kaki-kaki kurus kakek renta itu mendarat 
mantap di samping Gembong Kenjeran tanpa me-
nimbulkan suara sedikit pun. Perlahan-lahan 
Gembong Kenjeran mendongakkan kepala ke 
atas. Aneh! Ternyata pakaian kakek renta itu ti-
dak basah!
Gembong Kenjeran terpekik kagum dalam 
hati. Tekadnya untuk berguru dengan orang tua 
di hadapannya makin bulat saja.
"Sungguh merupakan satu kehormatan be-
sar aku dapat bertemu seorang tokoh sakti ma-
cam kau, Orang Tua. Kalau boleh tahu, siapakah 
sebenarnya kau ini?"
"Lancang! Kau tak pantas mendahului ber-
tanya! Aku tanya, siapa namamu, Anak Manu-
sia?" hardik lelaki renta berpakaian serba hitam 
itu ketus. Sepasang matanya yang mencorong 
tampak demikian dingin menyembunyikan watak 
keji.
"Ak.... Aku Gembong Kenjeran, Orang Tua," 
jawab Gembong Kenjeran.
"Bodoh! Aku tidak tanya siapa gelarmu! 
Aku tanya nama aslimu, tahu?' sergahnya galak.
"Oh..., itu!" sahut Gembong Kenjeran gu-
gup. "Nama asliku..., Gendon Prakoso, Orang 
Tua."
"Huhh...!" Kakek renta itu mendengus ang

kuh. "Ketahuilah, Gendon! Akulah yang bernama 
Eyang Pamekasan...."
"Eyang Pamekasan...?!"
Gembong Kenjeran yang ternyata bernama 
Gendon Prakoso terperangah seolah tak percaya. 
Lalu buru-buru kedua telapak tangannya kembali 
menelangkup di depan hidung penuh hormat.
"Maafkan aku, Orang Tua! Sungguh aku 
tak tahu kalau hari ini tengah berhadapan den-
gan orang tua sakti yang bergelar Eyang Pameka-
san," lanjut Gembong Kenjeran.
Sebagai seorang tokoh dunia persilatan, 
Gembong Kenjeran alias Gendon Prakoso tahu 
siapa Eyang Pamekasan. Dia tak lain adalah seo-
rang tokoh papan atas dunia persilatan yang me-
nempuh jalan sesat. Bahkan sepak terjangnya 
sering membuat tokoh-tokoh golongan putih jadi 
kecut. Hal ini tentu saja disambut gembira oleh 
tokoh-tokoh golongan hitam. Namun sayangnya, 
Eyang Pamekasan lebih banyak menghabiskan 
waktunya dengan bertapa.
Pernah sekali waktu Eyang Pamekasan ke-
luar dari tempatnya bertapa. Itu pun karena di-
panggil oleh cucunya yang bergelar Pangeran Pe-
mimpin. Demi membantu Pangeran Pemimpin 
yang bermaksud ingin merebut takhta Kadipaten 
Pleret, akhirnya tokoh itu keluar dari tempatnya 
bertapa. Namun sayang, sepak terjangnya dapat 
dihentikan Siluman Ular Putih yang dibantu pen-
dekar-pendekar sakti seperti Penyair Sinting 
maupun Ki Rombeng. Bahkan dalam pertarungan 
besar-besaran, Pangeran Pemimpin tewas di tan

gan Putri Sekartaji. Untung saja, Eyang Pameka-
san dapat meloloskan diri dari tangan Penyair 
Sinting. (Untuk mengetahui siapa Eyang Pameka-
san dan Pangeran Pemimpin, silakan baca epi-
sode : "Sengketa Takhta Leluhur").
"Ketahuilah, Gendon! Sesungguhnya kau 
sangat beruntung bertemu denganku. Jarang se-
kali aku keluar dari tempatku bertapa kalau tak 
ada satu keperluan yang mendesak," kata Eyang 
Pamekasan, dibaluri sifat jumawa.
"Seandainya saja aku mampu, ingin ra-
sanya aku membantumu, Orang Tua. Bolehkah 
kiranya aku mencoba membantu apa yang men-
jadi urusanmu?" Gendon Prakoso menawarkan 
diri.
Eyang Pamekasan tidak menyahut. Hanya 
matanya saja yang tajam memperhatikan Gem-
bong Kenjeran.
"Aku yakin kau tidak akan mampu. Mereka 
bukanlah tandinganmu."
"Siapakah orang-orang yang kau maksud-
kan itu, Orang Tua?" kejar Gendon Prakoso pena-
saran.
"Huh...!" Eyang Pamekasan mendengus. 
"Mereka tak lain Siluman Ular Putih dan Penyair 
Sinting."
"Siluman Ular putih dan Penyair Sinting?!" 
sentak Gembong Kenjeran, lagi-lagi terperangah 
kaget. "Kebetulan sekali. Aku pun sedikit punya 
silang sengketa dengan Siluman Ular Putih. Seca-
ra langsung maupun tidak, pemuda gondrong itu-
lah yang membuat hidupku jadi begini. Tanpa

kau minta pun, aku pasti akan membunuh Silu-
man Ular Putih dan sahabat-sahabatnya. Terma-
suk, juga Penyair Sinting," tegas Gembong Kenje-
ran.
"Bagus! Aku senang sekali mendengar uca-
panmu. Bila kau sanggup menjalankan Wasiat 
Kematian yang kututurkan tadi, aku sudah san-
gat senang sekali bertemu denganmu. Makanya 
tadi aku bilang, kau adalah manusia yang berun-
tung."
"Maksudmu...?"
"Kau tahu, lawan-lawan yang kau hadapi 
tidak bisa dianggap remeh. Mereka semua adalah 
pendekar-pendekar sakti. Maka untuk membekali 
dirimu mencari musuh-musuhku, aku akan men-
gangkatmu menjadi murid."
"Hah?!"
Benar-benar pucuk dicinta ulam tiba. 
Gembong Kenjeran sungguh tak menyangka ka-
lau Eyang Pamekasan tengah mencari murid un-
tuk membalaskan dendamnya.
"Bagaimana? Kau keberatan?" tanya Eyang 
Pamekasan.
"Sungguh merupakan karunia besar bagi-
ku. Tak mungkin aku menolak permintaanmu, 
Orang Tua," sahut Gendon Prakoso alias Gem-
bong Kenjeran.
"Bagus! Tapi ingat! Sebelum kau kuangkat 
jadi murid, kau harus bersumpah setia padaku!"
"Aku tidak keberatan melakukan sumpah, 
Orang Tua."
"Jangan banyak omong! Bangun dan ber

sumpahlah di hadapanku!" ujar Eyang Pameka-
san, kasar. 
"Baik."
Gembong Kenjeran cepat melompat ban-
gun, dan berdiri sejenak menghadap Eyang Pa-
mekasan. Lalu segera digigitnya pergelangan tan-
gan hingga mengeluarkan darah.
"Demi darah yang mengalir dari urat nadi-
ku! Juga, demi mewujudkan permintaan guruku 
Eyang Pamekasan, aku bersumpah akan selalu 
setia dan patuh pada semua perintah. Apa pun 
yang akan terjadi, walau nyawa taruhannya!"
Setelah bersumpah dengan suara lantang, 
Gembong Kenjeran segera berlutut di hadapan 
Eyang Pamekasan.
"Terimalah salam hormatku. Guru!" ucap 
Gembong Kenjeran sambil menelangkupkan ke-
dua telapak tangan di depan hidung.
Eyang Pamekasan mengangguk-angguk 
angkuh. Dan tiba-tiba tawanya yang bergelak pun 
meledak.
"Bagus-bagus! Aku senang sekali menden-
gar sumpahmu, Muridku. Tapi bila kau melang-
gar sumpah, jangan dikira aku tak tahu. Aku pas-
ti akan mencari dan membunuhmu!"
"Tak mungkin aku berani melanggar sum-
pahku. Guru."
"Bagus!" sambut Eyang Pamekasan cepat. 
Lalu kedua bibirnya pun kembali bergerak-gerak. 
"Kalau saja aku belum setua ini, ingin rasanya 
aku membunuh musuh-musuhku dengan tan-
ganku sendiri. Hm...! Tapi, sudahlah! Ayo, sekarang ikut aku!"
Gembong Kenjeran tak berani membantah. 
Begitu melihat Eyang Pamekasan melangkah me-
nuju batu besar tak jauh dari tempat itu, lelaki ini 
segera menyusul. Maka sejak hari itulah Gem-
bong Kenjeran mulai mempelajari ilmu-ilmu an-
dalan Eyang Pamekasan.

LIMA


Waktu terus bergulir. Tak terasa tiga bulan 
terlewat sudah sejak Gendon Prakoso yang berju-
luk Gembong Kenjeran diangkat sebagai murid 
oleh Eyang Pamekasan. Di pinggir sendang tem-
pat Eyang Pamekasan bertapa, kini Gembong 
Kenjeran sibuk melatih jurus-jurus silat andalan. 
Banyak sudah ilmu tingkat tinggi andalan Eyang 
Pamekasan yang telah diserap Gembong Kenje-
ran. Di antaranya adalah pukulan 'Pelebur Bumi', 
aji 'Panglarut Banyu Putih', bahkan aji 'Setan Ko-
ber' yang dahsyat luar biasa.
Kini Gembong Kenjeran bukanlah Gem-
bong Kenjeran tiga bulan lalu yang dengan mu-
dahnya dapat dipermainkan orang. Setelah men-
dapat gemblengan keras dari Eyang Pamekasan, 
kesaktiannya bertambah berlipat ganda.
"Hea! Hea!"
Dengan bentakan-bentakan keras, tubuh 
Gembong Kenjeran berkelebat cepat ke sana ke-
mari. Angin berkesiur keras manakala tendangan 
dan pukulan-pukulannya terlontar. Bahkan sebelum batang-batang pohon di depannya sempat 
terkena tendangan dan pukulan, terlebih dulu te-
lah berderak-derak.
Brakkk!
Sebatang pohon sebesar dua lingkaran 
tangan manusia dewasa kontan tumbang begitu 
terkena pukulan 'Pelebur Bumi' milik Gembong 
Kenjeran. Bagian batang pohon yang terkena pu-
kulan langsung berubah hitam kusam dan men-
gepulkan asap kehitam-hitaman!
Eyang Pamekasan yang duduk tak jauh da-
ri tempat berlatih hanya mengangguk-angguk se-
raya bertepuk tangan.
"Bagus! Aku senang sekali melihat kema-
juanmu, Gendon," puji lelaki tua itu.
Gembong Kenjeran berbalik. Kedua telapak 
tangannya ditelangkupkan sebentar di depan hi-
dung.
"Ini semua tidak lepas dari bimbinganmu, 
Guru," ucap Gembong Kenjeran.
Eyang Pamekasan tertawa bergelak.
"Kau sungguh pintar menyenangkan hati-
ku, Gendon. Hayo, lekas keluarkan aji 'Panglarut 
Banyu Putih'! Aku ingin melihat, apa kau sudah 
mengalami kemajuan atau belum."
"Baik, Guru."
Gembong Kenjeran menghormat sebentar, 
lalu segera berbalik. Dicarinya sasaran serangan 
sejenak, baru kemudian mulai mengerahkan aji 
'Panglarut Banyu Putih'. Seketika kedua telapak 
tangannya telah berubah menjadi putih berki-
lauan hingga pangkal lengan, saat tenaga dalam

nya dikerahkan.
"Hea!"
Bersamaan teriakannya yang mengguntur, 
tiba-tiba Gembong Kenjeran menyentakkan kedua 
telapak tangannya ke depan. Seketika dua gulun-
gan asap tebal berwarna putih berkilauan yang 
menebarkan hawa dingin bukan kepalang melu-
ruk ke depan!
Pesss!
Dua batang pohon besar di hadapan Gem-
bong Kenjeran langsung terbungkus dua gulun-
gan asap tebal dari kedua telapak tangan Gem-
bong Kenjeran. Seketika bumi terasa bergetar he-
bat diiringi suara gemeretak dari ranting-ranting 
pohon yang berjatuhan! Dan saat kedua telapak 
tangannya diturunkan kembali, dua batang po-
hon besar itu pun luruh ke tanah berubah men-
jadi kepingan-kepingan kecil berwarna putih ke-
pucatan!
"Aji 'Setan Kober'!" terdengar Eyang Pame-
kasan memerintah.
Gembong Kenjeran tidak menyahut, kecua-
li segera memusatkan pikirannya untuk menge-
rahkan apa yang diperintahkan Eyang Pemeka-
san. Begitu tenaga dalamnya dikerahkan, seketi-
ka dua telapak tangannya telah berubah menjadi 
hitam legam. Lebih hebatnya lagi, tiba-tiba dari 
kedua telapak tangannya menyembul dua sosok 
bayi hitam yang mengerikan. Lalu tangan-tangan 
bayi hitam itu pun menjulur-julur ke depan, 
menggapai-gapai dua batang pohon besar di ha-
dapannya.

Krekkk! Krekkk!
Batang-batang pohon dalam cengkeraman 
tangan-tangan bayi hitam itu bergetar hebat. Per-
lahan-lahan batang-batang pohon itu telah beru-
bah hitam legam. Tak lama kemudian batang-
batang pohon itu pun tumbang. Bagian-bagian 
batang yang terkena cengkeraman tangan-tangan 
bayi hitam itu tampak hangus terbakar!
Plok! Plok! Plokkk!
"Bukan main! Tak kusangka kau telah 
menguasai hampir semua ilmu simpananku da-
lam waktu singkat. Muridku," puji Eyang Pame-
kasan gembira bukan main.
"Guru terlalu memuji. Padahal bila diband-
ing kehebatan Guru, aku masih belum seberapa."
"Jangan membandingkanku denganmu, 
Gendon. Kau memang masih belum apa-apanya 
dibanding aku. Tapi setidaknya, kaulah wakilku 
untuk membasmi musuh-musuhku."
"Aku mengerti. Dan aku pun tak mungkin 
akan mengecewakan apa yang diperintahkanmu. 
Guru," tandas Gendon Prakoso.
"Ya ya ya...!" Eyang Pamekasan mengang-
guk-anggukkan kepala.
Gembong Kenjeran melangkah mendekat. 
Kedua telapak tangannya ditelangkupkan seben-
tar di depan hidung, lalu duduk bersimpuh di ha-
dapan Eyang Pamekasan.
"Muridku! Kau masih ingat apa yang telah 
kuwasiatkan padamu sebelum kau kuangkat 
menjadi murid?" tanya Eyang Pamekasan tajam.
"Tak mungkin aku lupa dengan Wasiat

Kematian yang kau perintahkan padaku, Guru. 
Apakah kau menghendaki aku bertindak seka-
rang?" jawab Gembong Kenjeran bersemangat.
"Bekal ilmu yang kuberikan padamu sudah 
cukup untuk membasmi musuh-musuhku, Mu-
ridku. Aku ingin segera kau melaksanakan wasiat 
ku secepatnya. Hanya saja, hati-hatilah! Musuh-
musuhku bukanlah lawan sembarangan. Pergu-
nakanlah aji 'Panglarut Banyu Putih' untuk me-
lumpuhkan Siluman Ular Putih, dan aji 'Setan 
Kober' untuk melumpuhkan Penyair Sinting! Se-
lebihnya, terserah kau sendiri!"
"Terima kasih atas nasihatmu, Guru. Nah, 
apakah aku sudah diizinkan berangkat seka-
rang?"
"Pergilah! Tapi, awas! Jangan sekali-kali 
melanggar perintahku! Aku pasti akan membu-
nuhmu!"
"Tak mungkin aku mengecewakanmu, 
Guru."
"Aku tak butuh ucapanmu sekarang. Pergi-
lah!" ujar Eyang Pamekasan seraya mengibaskan 
tangan.
Gembong Kenjeran menangkupkan kedua 
telapak tangannya di depan hidung sebentar. 
"Aku berangkat, Guru."
Gembong Kenjeran segera melompat ban-
gun. Lalu tanpa menoleh ke arah Eyang Pameka-
san, kakinya segera menutul ke tanah. Maka se-
ketika tubuhnya pun melesat ringan meninggal-
kan tempat itu.
Eyang Pamekasan memperhatikan sampai

sosok muridnya menghilang di balik kerimbunan 
hutan depan sana. Kejap lain, tiba-tiba sosoknya 
yang masih duduk bersila telah bergerak memu-
tar. Perlahan-lahan tubuh Eyang Pamekasan mu-
lai bergerak ke tepian sendang. Gerakannya baru 
berhenti ketika sampai di tengah-tengah permu-
kaan sendang. Sampai di sini, sosok serba hitam 
Eyang Pamekasan pun mulai amblas ke dasar 
sendang.
Air sendang bergolak perlahan. Membentuk 
gelombang-gelombang kecil yang lama kelamaan 
membesar, lalu sirna di tepian.
* * *
Gembong Kenjeran terus berkelebat cepat. 
Tujuannya yang pertama ingin sekali mencari Si-
luman Ular Putih. Walau tanpa diperintah gu-
runya, lelaki ini memang ingin membunuh pemu-
da yang akhir-akhir ini menjadi penghalang sepak 
terjang kaum sesat. Apalagi, pemuda murid 
Eyang Begawan Kamasetyo itulah yang membuat 
hidupnya menderita seperti itu. Walaupun tidak 
terlibat permusuhan langsung dengan Siluman 
Ular Putih, namun entah kenapa kali ini ia ingin 
sekali menyatroninya. Mungkin juga Gembong 
Kenjeran iri mendengar nama besar Siluman Ular 
Putih yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan 
orang.
Namun manakala berpikir panjang, Gen-
don Prakoso pun tersentak. Tiba-tiba pikirannya 
teringat akan Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni.
"Hm...! Sebenarnya aku ingin sekali menya-
troni Siluman Ular Putih. Namun bagaimanapun 
juga, tak mungkin aku melupakan penghinaan 
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni. Seandainya 
saja Dewa Kegelapan tidak menemui ajal di tan-
gan Siluman Ular Putih, ia pun tak akan luput 
dari ancamanku!"
Gembong Kenjeran menghentikan lang-
kahnya. Tampak hatinya masih bingung dengan 
keputusannya.
"Tak ada pilihan lain. Aku memang harus 
secepatnya menuju Hutan Seruni. Yah...! Terpak-
sa aku harus menangguhkan perintah Guru un-
tuk sementara waktu. Tunggulah pembalasanku, 
Empat Iblis Merah keparat!" desis Gembong Ken-
jeran akhirnya.
Gendon Prakoso pun segera menjejakkan 
kakinya ke tanah, lalu berkelebat cepat menuju 
utara.
Tanpa mengenai lelah, Gembong Kenjeran 
terus berkelebat menuju Hutan Seruni. Memang 
cukup jauh perjalanan itu, namun itu tak mem-
buat niatnya kandas. Belum puas hatinya kalau 
belum membalas penghinaan Empat Iblis Merah 
dari Hutan Seruni.
Di saat matahari mulai rebah di kaki langit 
sebelah barat, sosok Gembong Kenjeran mulai 
memasuki Hutan Seruni. Langkahnya dihentikan 
sebentar. Matanya beredar ke sekeliling, mencari-
cari tempat persembunyian Empat Iblis Merah.
"Kalau tidak salah, gua tempat persembu

nyian Empat Iblis Merah ada di sebelah sana...," 
kata batin Gembong Kenjeran. Tangannya pun 
ikut-ikutan menuding bagian hutan sebelah barat 
yang banyak ditumbuhi pohon besar menjulang 
tinggi.
Mantap dengan keputusannya, Gembong 
Kenjeran segera melompat ke atas pohon. Dan 
dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah 
mencapai tingkat tinggi, tubuhnya segera berke-
lebat dari ranting pohon satu ke ranting pohon 
lain. Sebab, hanya dengan cara itulah ia dapat 
menghindar dari kubangan-kubangan lumpur hi-
dup yang banyak bertebaran di sekitar tempat 
persembunyian Empat Iblis Merah.
Hupp!
Gembong Kenjeran menghentikan keleba-
tannya di ranting pohon terakhir. Di hadapannya 
kini terbentang hamparan tanah rerumputan 
yang dikelilingi semak belukar. Lelaki itu menya-
pu keadaan sekitar dengan matanya. Dan men-
dadak bola matanya tertumpuk pada empat gun-
dukan tanah merah di bawahnya.
"Kuburan?" gumam Gembong Kenjeran. 
"Kuburan siapakah itu? Mungkinkah kuburan 
Empat Iblis Merah. Atau...."
Gembong Kenjeran tak meneruskan perta-
nyaan dalam hatinya. Ia segera melompat turun. 
Ditelitinya empat gundukan tanah merah di ha-
dapannya seksama. Ternyata di papan nisan itu 
tertulis....
Makam Bajingan-bajingan Merah dari Hutan 
Seruni

Gembong Kenjeran melongo. Dibacanya se-
kali lagi tulisan di papan nisan itu.
"Hm...! Jadi bajingan-bajingan merah itu 
sudah modar! Menilik gundukan tanah yang mu-
lai mengeras, aku yakin kuburan ini sudah cukup 
lama. Mungkin dua atau tiga bulan lalu. Tapi, 
siapakah yang melakukan ini semuanya?" tanya 
Gembong Kenjeran pada diri sendiri. Keningnya 
makin berkerut dalam. "Ah...! Siapa pun orang 
yang melakukan, aku tak mau peduli! Yang jelas 
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni telah me-
nemui ajal. Sekaranglah, saatnya aku memenuhi 
perintah Eyang Pamekasan...."
Gembong Kenjeran mengangguk-angguk. 
Puas hatinya memperhatikan gundukan tanah di 
hadapannya. Sejurus kemudian tubuhnya segera 
berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

ENAM


"Apa yang harus kita lakukan, Soma? Ba-
nyak sudah tempat yang kita jelajahi. Banyak ju-
ga tokoh persilatan yang kita tanyai. Namun, 
Gendon Prakoso belum juga ditemukan," kata Ra-
tu Adil memecah kesunyian hutan itu. Suara 
ucapannya pun diiringi isak tangis tertahan.
Siluman Ular Putih yang duduk di hadapan 
si gadis itu hanya menghela napas panjang. Ma-
tanya sempat menelusuri seraut wajah cantik di 
hadapannya. Tampak sepasang mata indah di 
hadapannya itu basah. Kedua bibirnya pun bergetar-getar.
"Jangan putus asa, Yustika! Apa kau lupa 
nasihat Putri Hijau? Sesungguhnya Hyang Widi 
itu tengah menginginkan sesuatu yang baik ter-
hadapmu," hibur Siluman Ular Putih.
"Sesungguhnya aku masih bingung. Soma. 
Kebaikan macam apakah yang sesungguhnya se-
dang dikehendaki Hyang Widi? Buktinya, aku be-
lum dapat menemukan ayah kandungku," kata 
Ratu Adil terisak memelaskan. Anak-anak ram-
butnya yang berjuntaian menutupi keningnya 
bergoyang-goyang tertiup angin.
"Sabar, Yustika! Hanya dengan bersabarlah 
semua yang membebani hati kita jadi terasa la-
pang."
"Kukira aku sudah cukup sabar. Tapi, apa 
hasilnya? Aku tetap saja belum menemukan ayah 
kandungku. Malah aku harus kehilangan Kakang 
Pembunuh Iblis yang tewas di tangan Hantu Tan-
gan Api. Inikah kebaikan yang diinginkan Hyang 
Widi?" cerocos Yustika, seolah hendak menggugat 
keadilan Tuhan.
"Wah, gawat! Tampaknya kau mulai me-
nyalahkan Sang Hyang Widi. Jangan begitu, ah! 
Tak baik."
Ratu Adil diam membisu. Berbagai rasa 
berkecamuk dalam dadanya.
"Sabarlah, Yustika! Tuhan pasti akan 
membukakan jalan untuk kita. Tak mungkin Tu-
han memberikan cobaan di luar batas kemam-
puan kita. Kau paham, Yustika?" hibur Siluman 
Ular Putih lembut terdengar di telinga Ratu Adil.

Ratu Adil mengangguk perlahan. Entah 
sudah paham, entah hanya sekadar ingin menye-
nangkan hati pemuda tampan di hadapannya.
"Kukira kita sudah cukup lama beristirahat 
di sini. Ayo, kita lanjutkan perjalanan, Yustika!"
Ratu Adil tampak masih bermalas-malasan 
di tempatnya. Wajahnya pun kian disembunyikan 
dalam-da1am.
Soma mendekat. Direngkuhnya kedua ba-
hu gadis cantik di hadapannya lembut. Tampak 
kedua bahu itu bergetar-getar, diiringi isak tangis, 
membuat Siluman Ular Putih trenyuh sekali 
mendengarnya. Dengan lembut sekali lalu murid 
Eyang Begawan Kamasetyo meraih wajah cantik 
Ratu Adil untuk dihadapkan ke arahnya. Dan ke-
haruan Siluman Ular Putih pun makin bertam-
bah, melihat seraut wajah cantik di hadapannya 
mulai basah oleh airmata.
"Soma...!" sebut Ratu Adil dengan bibir 
bergetar. Lalu, entah mendapat dorongan dari 
mana, tiba-tiba Ratu Adil telah menubruk ke da-
lam pelukan Siluman Ular Putih dan melam-
piaskan tangisnya di sana.
Siluman Ular Putih membiarkan saja Yus-
tika yang bergelar Ratu Adil itu menumpahkan 
tangisnya dalam pelukannya. Sembari memeluk 
erat-erat, dibelainya rambut Ratu Adil lembut.
"Soma...! Aku sedih sekali. Soma...," keluh 
Ratu Adil dengan suara bergetar.
"Tenang, Ratu! Tenang! Aku pasti akan 
membantu...," hibur Siluman Ular Putih sembari 
terus membelai rambut si gadis.

Entah kenapa Yustika sendiri merasa 
aman berada dalam pelukan Siluman Ular Putih. 
Malah dari kehangatan tubuh pemuda itu, mulai 
dirasakannya getaran-getaran aneh dalam da-
danya. Si gadis tak tahu getaran-getaran apa itu. 
Yang jelas, hatinya merasa aman dan tenteram 
berada dalam pelukan Soma. Bahkan kini mulai 
dibalasnya pelukan Siluman Ular Putih erat-erat.
"Enak benar memadu kasih di hutan se-
sunyi ini. Aku jadi iri...."
Tiba-tiba terdengar teguran seseorang yang 
sangat melecehkan. Buru-buru Siluman Ular Pu-
tih dan Ratu Adil melepaskan pelukan masing-
masing. Lalu dengan perasaan jengah, mereka se-
gera memalingkan kepala ke arah datangnya sua-
ra. Ternyata tak jauh di hadapannya telah berdiri 
seorang lelaki tua bertubuh kurus kering. Jubah 
besar warna biru yang dikenakannya kedodoran 
sampai lutut. Wajahnya agak tirus penuh gura-
tan-guratan. Sedang rambutnya yang putih di-
biarkan meriap tak terawat.
"Haya...! Kenapa tidak diteruskan? Kenapa 
malah melongo? Ayo, teruskan! Biar orang tua 
bangka seperti ini jadi merinding," celoteh si ka-
kek, membuat Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
makin jengah.
Sejenak kedua anak muda itu saling ber-
pandangan. Kalau Siluman Ular Putih segera da-
pat mengatasi rasa jengahnya dengan senyum, 
namun lain halnya Ratu Adil. Tampaknya wajah 
cantik si gadis makin dironai warna merah.
Si kakek renta malah terkekeh senang. Ma

lah kakinya dihentak-hentakkan ke tanah mirip 
anak kecil.
"Orang tua! Harap jangan mengganggu! 
Kau tahu kan, kalau temanku ini sedang sedih?" 
tegur Siluman Ular Putih.
"Masa' sedih? Berpeluk-pelukan begitu bisa 
membuat orang sedih? Aku tak percaya!" sergah 
si kakek renta sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala. "Oh, ya? Tadi aku menyuruh apa?" lanjut-
nya kebingungan sendiri. Tangannya lalu mengu-
rut-urut pelipis.
Sudah pasti Siluman Ular Putih tak sudi 
membantu mengingatkan. Hanya dipandanginya 
kakek renta di hadapannya terheran-heran.
"Masa' baru saja diomongkan sudah lupa. 
Dasar pikun!" rutuk Soma dalam hati. Sedang Ra-
tu Adil makin menyembunyikan wajahnya dalam-
dalam.
"Oh, ya? Aku ingat. Aku sedang mencari 
muridku. Apa kalian pernah melihat muridku?"
Soma yang semula mengira kalau kakek 
renta itu akan menyuruh meneruskan adegan 
mesranya hanya melongo.
"Kasihan sekali. Kenapa orang tua ini de-
mikian pikunnya? Baru saja ngomong soal pelu-
kan, sekarang sudah melantur bicara soal murid-
nya. Bagaimana, sih?" gumam Siluman Ular Putih 
dalam hati.
"Ayo, jawab! Kenapa kalian malah melon-
go?" hardik si kakek renta. Matanya mendadak 
jadi berkilat-kilat galak. "Hey...! Kau, Bocah Gon-
drong! Apa kau pernah melihat muridku? Jauh
jauh aku dari Gunung Slamet untuk mencari mu-
ridku, masa' kau tidak bisa membantu? Ayo, tun-
jukkan di mana muridku, Bocah Gondrong?"
"Ya, ampun! Orang tua ini malah jadi me-
lantur tidak karuan. Pakai membentak-bentak la-
gi...." Soma mendesis dalam hati sebelum akhir-
nya berkata, "Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? 
Mana aku tahu kalau kau tak mengatakan siapa 
nama muridmu?"
"Oh, ya? Aku lupa. Maaf, ya! Seharusnya 
aku memang memberi tahu siapa nama murid-
ku," kata kakek renta itu sambil menepuk jidat-
nya. "Kau tahu. Muridku itu begini...."
Kakek itu mengacungkan ibu jarinya ke 
atas.
"Namanya...? Ah...! Siapa ya nama murid-
ku? Aduh! Kenapa aku jadi lupa?" si kakek kem-
bali menepuk jidatnya.
"Waduh...! Gawat, nih! Masa' nama murid-
nya saja lupa. Wah...! Benar-benar pikun orang 
tua satu ini," batin Siluman Ular Putih tak habis 
pikir.
Sejenak Soma menggeleng-geleng sambil 
tersenyum geli. Rasanya, baru kali ini Siluman 
Ular Putih menemukan orang aneh seperti itu.
"Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? Masa' 
sama murid sendiri lupa. Jangan-jangan, nama-
mu sendiri pun kau tak ingat!"
"Wah...! Kau benar, Bocah Gondrong. Aku 
memang lupa siapa namaku. Kalau tak salah, du-
lu aku sering dipanggil Kakek Pikun. Yah...! Ka-
kek Pikun dari Gunung Slamet

"Oh...! Pantas! Kau mendapat gelar Kakek 
Pikun, kenyataannya kau memang pikun. Kelewat 
pikup malah...."
"Hey...! Kau malah bilang aku pikun, Bocah 
Gondrong? Apa kau minta digebuk, hah?!" hardik 
si kakek yang ternyata bergelar Kakek Pikun dari 
Gunung Slamet. Tangannya yang terkepal erat 
siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih.
"Sabar! Sabar, Orang Tua! Aku tidak men-
gataimu pikun. Aku hanya mau ngomong...."
"Nah...! Kau mengatai aku pikun lagi! Aku 
bukan saja ingin menggebukmu, tapi aku juga in-
gin merobek mulutmu!"
Kakek Pikun dari Gunung Slamet tak se-
gan-segan lagi melabrak Siluman Ular Putih. Se-
belum bogem mentahnya mendarat di tubuh Si-
luman Ular Putih, terlebih dulu telah berkesiur 
angin kencang menampar-nampar tubuh!
"Wallah...! Kenapa urusannya jadi begini.... 
Uts!"
Buru-buru Siluman Ular Putih membuang 
tubuhnya ke samping. Gerakannya lincah sekali, 
membuat serangan si kakek hanya menyambar 
angin kosong.
"Bagus! Rupanya kau punya kepandaian 
juga, Bocah Gondrong," geram Kakek Pikun ber-
siap-siap melancarkan serangan berikut.
"Sabar, Kek! Sabar!" kata Siluman Ular Pu-
tih mencoba menenangkan Kakek Pikun yang ka-
lap. Kedua telapak tangannya digerak-gerakkan 
ke bawah, mengisyaratkan agar lelaki tua itu un-
tuk tetap tenang.

"Enak saja bilang sabar! Aku sedang pus-
ing mencari muridku, kau malah menggoda,"
sungut Kakek Pikun.
"Habis kenapa kau sampai lupa pada nama 
muridmu?" tukas Soma.
"Siapa yang lupa? Aku tidak lupa?"
"Kalau tidak, siapa nama muridmu itu, 
hayo?"
"Itulah yang sedang kuingat-ingat!"
Kakek Pikun mengurut-ngurut pelipisnya 
lagi, seolah sedang mengingat nama muridnya.
Siluman Ular Putih makin bengong tak 
mengerti. Lalu kepalanya pun digeleng-gelengkan 
heran. Namun hatinya merasa lega juga, melihat 
Kakek Pikun tak lagi uring-uringan seperti tadi.
"Hm...! Benar-benar pikun orang tua satu 
ini...," gumam Siluman Ular Putih.
"Ya ya ya...! Sekarang aku ingat! Aku ingat 
nama muridku," sorak Kakek Pikun tiba-tiba. 
"Muridku bernama Teguh Sayekti. Gelar julukan-
nya...? Aduh...! Siapa, ya?"
Kembali Kakek Pikun jadi kewalahan sen-
diri. Tangannya pun kembali mengurut-ngurut 
pelipis.
"Teguh Sayekti? Apakah muridmu yang 
bergelar Pembunuh Iblis, Kek?" sela Ratu Adil ti-
ba-tiba. Gadis yang dari tadi hanya membisu kon-
tan terperangah kaget begitu mendengar Kakek 
Pikun menyebut-nyebut mendiang kakak kan-
dungnya.
"Ya ya ya...! Kau benar, Gadis! Kau pintar, 
tak seperti bocah gondrong itu!" tuding Kakek Pi

kun ke arah Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih hanya menggaruk-
garuk kepala dengan senyum tersungging di bibir.
"Jadi? Kakang Pembunuh Iblis itu murid-
mu, Kek?"
"Iya. Kau sendiri siapa?"
Ratu Adil tak menyahut, tapi segera berlu-
tut di hadapan Kakek Pikun dari Gunung Slamet.
"Lho? Orang ditanya kok malah berlutut? 
Siapa namamu, Gadis? Kenapa kau menyebut 
muridku kakang? Apa dia saudaramu?"
"Benar, Kek. Kakang Pembunuh Iblis me-
mang saudara kandungku. Tapi sayang, Kakang 
Pembunuh Iblis telah tewas...."
"Apa?! Tewas?! Siapa yang membunuhnya, 
Gadis?! Siapa?" berondong Kakek Pikun kalap.
"Hantu Tangan Api, Kek."
"Keparat! Aku harus menuntut balas. Aku 
tak akan mungkin membiarkan muridku dibunuh 
orang begitu saja."
"Percuma, Kek," kali ini Siluman Ular Putih 
yang membuka suara.
"Apa? Kau bilang percuma? Apa kau mera-
gukan kepandaianku, Bocah Gondrong?!" semprot 
Kakek Pikun kasar.
"Bukan begitu. Tapi manusia yang telah 
membunuh muridmu telah mati."
"Mati? Siapa yang membunuh? Kenapa ti-
dak memberitahukanku?" tanya Kakek Pikun, 
mulai kambuh penyakitnya.
"Ini mau diberi tahu!"
"Ya ya ya...! Sekarang katakan, siapa yang

telah membunuh Hantu Tangan Api, Bocah!"
Siluman Ular Putih tak menjawab. Namun 
telunjuk jarinya ditudingkan ke dada.
"Kau...?" perangah Kakek Pikun tak per-
caya.
"Iya, Kek. Sahabatku Siluman Ular Putih 
itulah yang membunuh Hantu Tangan Api," kata 
Ratu Adil.
Mata Kakek Pikun terbelalak tak percaya. 
Sebentar dipandanginya Ratu Adil, sebentar bera-
lih ke arah Siluman Ular Putih. Lalu kepalanya 
menggeleng-geleng seraya memperhatikan Silu-
man Ular Putih tajam.
"Aku tak percaya. Aku tak percaya...."
"Yah...! Dikasih tahu malah ngotot," desah 
Siluman Ular Putih menggoda.
Namun rupanya Kakek Pikun tidak terusik 
oleh gurauan Siluman Ular Putih. Ia malah asyik 
mengurut-ngurut pelipisnya, seolah-olah dengan 
cara itu ingin meyakinkan diri sendiri.
"Aku tak percaya! Aku tak percaya bocah 
gondrong ini dapat membunuh Hantu Tangan Api 
yang menjadi momok dunia persilatan...," desis 
Kakek Pikun berulang-ulang. "Aku harus menye-
lidikinya sendiri. Mana sudi aku mempercayai 
omongan bocah gondrong itu?"
Di akhir desisannya, Kakek Pikun, buru-
buru berkelebat cepat meninggalkan tempat itu 
tanpa menoleh sedikit pun ke arah Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil.
"Tunggu, Kek! Kau mau ke mana?" tanya 
Siluman Ular Putih, heran juga melihat sikap Kakek Pikun.
Namun Kakek Pikun tak sudi mendengar-
kan panggilan Siluman Ular Putih. Sembari terus 
mengeluarkan gumaman tak jelas, langkahnya 
malah makin dipercepat. Hingga dalam waktu 
yang tidak lama, sosoknya pun telah berubah 
menjadi titik biru kecil di kejauhan sana. Terpak-
sa Siluman Ular Putih dan Ratu Adil menghenti-
kan langkahnya.
"Kakek Sinting! Dikasih tahu malah kabur. 
Huh...! Ayo, Yustika! Kita pun tak perlu berlama-
lama di tempat ini. Kita harus secepatnya mene-
mukan ayah kandungmu," ajak Siluman Ular Pu-
tih, bersungut-sungut.
Ratu Adil sendiri tak mau banyak memban-
tah. Begitu Siluman Ular Putih berkelebat, tu-
buhnya segera berkelebat menyusul.

TUJUH


Matahari kembali rebah dalam rengkuhan 
cakrawala. Langit di ufuk sebelah barat telah 
berwarna merah tembaga dari sinar matahari 
yang menerpa dedaunan di ujung sebuah hutan 
kecil. Sementara angin pun bertiup semilir diiringi 
beberapa kicauan burung liar yang riuh pulang ke 
sarang.
Dari arah barat, berlawanan dengan bula-
tan matahari yang sebentar lagi menghilang di 
kaki langit, tampak sesosok bayangan biru tengah 
berkelebat cepat menuju tepian hutan. Gerakan

nya tampak ringan sekali laksana seekor capung!
Srakk! Srakkk!
Tiba di tepian hutan, mendadak sosok 
bayangan berpakaian biru itu menghentikan 
langkahnya. Sayup-sayup telinganya seperti men-
dengar suara orang tengah bernyanyi.
Malam sebentar lagi tiba 
Pertanda kegelapan akan berkuasa
Sebentar lagi, 
Di sana sini
Barangkali memang sudah menjadi kodrat
Nasib memang akan begini 
Apa gunanya keluh kesah? 
Kalau mentaripun tak berdaya
Sosok berjubah biru kedodoran sampai lu-
tut yang memang Kakek Pikun dari Gunung Sla-
met berkali-kali mengerutkan kening dengan hati 
kesal. Suara nyanyian itu seperti menyindirnya 
yang tengah kebingungan mencari pembunuh 
muridnya.
"Sontoloyo! Bikin panas hatiku saja. Sudah 
tahu aku lagi kebingungan begini, pakai menyin-
dir lagi!" maki Kakek Pikun kesal.
Di akhir makiannya, tokoh sakti dari pun-
cak Gunung Slamet itu segera berkelebat ke arah 
datangnya suara. Dengan mengandalkan penden-
garan dan penglihatannya yang tajam, sebentar 
kemudian samar-samar Kakek Pikun telah meli-
hat seorang perempuan cantik tengah duduk me-
nyandar di bawah rindangnya sebatang pohon

sambil mengetuk-ngetukkan gagang payung yang 
berwarna hijau ke tanah.
Begitu berhenti berkelebat, sekali lihat Ka-
kek Pikun tahu kalau perempuan itu sangat can-
tik. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit
putih bersih. Tubuhnya yang ramping dibalut pa-
kaian ketat warna hijau pupus. Rambutnya yang 
hitam panjang digelung ke atas, dihiasi permata-
permata indah yang juga berwarna hijau. Dia tak 
lain adalah Putri Hijau!
Sepuluh hari yang lalu, waktu bertemu Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil, Putri Hijau tam-
pak masih seperti seorang gadis muda. Tapi kini 
parasnya telah berubah menjadi seorang perem-
puan cantik yang kira-kira berusia tiga puluh 
atau tiga puluh lima tahun. Sesuai perhitungan 
tanggal bulan, sosok Putri Hijau memang akan 
bertambah tua bila bulatan-bulan di angkasa ber-
tambah besar.
Kakek Pikun yang merasa tersindir oleh 
nyanyian Putri Hijau tak sabar lagi untuk tidak 
mendekat. Dengan sekali loncat, sosoknya yang 
bertubuh tinggi kurus telah melenting tinggi ke 
udara, dan mendarat mantap tak jauh di hadapan 
Putri Hijau.
"Perempuan cantik berpayung hijau! Kau-
kah yang tadi menyindirku dengan nyanyianmu, 
hah?!" hardik Kakek Pikun galak sambil berkacak 
pinggang.
Putri Hijau tersenyum samar. Wajahnya 
yang kini berupa perempuan matang tampak ma-
sih menampakkan kecantikannya. Sepasang buah

dadanya pun membusung besar.
"Wahai sobatku, kakek berjubah biru! Ka-
lau tak silaf mataku, bukankah aku tengah ber-
hadapan dengan Kakek Pikun dari Gunung Sla-
met?" Putri Hijau malah bertanya kalem.
"Kuhargai matamu yang jeli, Perempuan 
Berpayung. Aku memang Kakek Pikun dari Gu-
nung Slamet. Tapi, bukan berarti aku harus 
membiarkan sindiranmu tadi!"
"Hik hik hik...! Dari dulu kau selalu pema-
rah, Kakek Pikun. Kalau tidak marah-marah pasti 
penyakit pikunmu kambuh," goda Putri Hijau.
"Puahhh! Peduli apa dengan omonganmu, 
Perempuan Berpayung?! Tapi menilik caramu bi-
cara, sepertinya kau mengenaliku? Siapa kau se-
benarnya, he?!" balas Kakek Pikun heran melihat 
orang mengenali dirinya. Padahal, sudah belasan 
tahun ia tak pernah turun gunung.
"Hik hik hik...! Masa' sih kau lupa pada-
ku?" goda Putri Hijau menggemaskan.
Kakek Pikun jadi penasaran sampai lupa 
apa tujuannya ke tempat itu. Sejenak keningnya 
diurut-urut mencoba mengingat-ingat siapa pe-
rempuan berpayung hijau di hadapannya. Namun 
sampai sejauh itu ia tak mampu mengingatnya.
"Ah...! Peduli setan! Siapa pun kau, aku tak 
peduli! Sekarang kau... kau...! Ah, apa sih yang 
akan kukatakan? Kenapa aku jadi bingung begi-
ni? Hey, Perempuan Berpayung! Tahukah kau, di 
mana Hantu Tangan Api berada?" cerocos Kakek 
Pikun mulai kambuh penyakitnya. Semula Kakek 
Pikun ingin menyatroni orang yang menyindirnya,

tapi sekarang malah menanyakan Hantu Tangan 
Api. Sudah pasti Putri Hijau jadi makin gelisah 
dibuatnya.
"Dasar orang tua pikun! Kau ini bagaima-
na, sih?! Ngomong plintat-plintut tak karuan. Ba-
gaimana kau dapat menemukan Hantu Tangan 
Api kalau ngomong saja tak becus. Hik hik hik...!"
"Tunggu!" Kakek Pikun mengangkat tan-
gannya ke atas. "Apa benar Hantu Tangan Api te-
lah tewas di tangan, er... er...! Ah! Siapa sih, na-
ma bocah gondrong itu? Ah...! Pokoknya tewas di 
tangan bocah gondrong itu?"
"Wah...! Bagaimana aku menjawabnya? Di 
kolong langit ini, banyak sekali pemuda gondrong. 
Lalu, mana yang kau maksudkan, Kakek Pikun?"
"Dia.... Dia, ah! Dia telah membunuh mu-
ridku...."
"Siapa? Bocah gondrong itu lagi?"
"Bukan! Hantu Tangan Api, tahu?"
"Hm...," Putri Hijau mengangguk-angguk. 
"Jadi Hantu Tangan Api yang telah membunuh 
muridmu? Ya ya ya...! Pantas saja kau tampak ur-
ing-uringan begini. Tapi menurut desas-desus 
yang kudengar, Hantu Tangan Api telah tewas di 
tangan Siluman Ular Putih. Apakah Siluman Ular 
Putih yang kau maksudkan bocah gondrong itu, 
Kakek Pikun?"
"Ah...! Kau benar, Perempuan Berpayung. 
Teman bocah gondrong itu memang pernah me-
nyebutnya Siluman Ular Putih," teriak Kakek Pi-
kun gembira. Tapi kalau kabar itu memang benar, 
lalu aku harus meminta pertanggungjawaban pada siapa atas tewasnya muridku?"
Mendadak Kakek Pikun menampakkan 
raut wajah sedih.
"Wahai, sobatku Kakek Pikun! Seharusnya 
kau bersyukur menerima satu keberuntungan 
yang tersembunyi. Tidak seharusnya menyesal 
seperti ini. Untung saja hanya muridmu saja yang 
tewas. Kalau sampai kau mati, apa pikirmu masih 
dapat menikmati indahnya alam mayapada ini? 
Untuk itu, bersyukurlah! Sesungguhnya Hyang 
Widi memang tengah menginginkan sesuatu yang 
baik terhadapmu," urai Putri Hijau. Seperti biasa, 
kata-katanya selalu mengandung hikmah.
"Puahhh! Pintar juga kau membolak-
balikkan kenyataan! Muridku mati dibunuh 
orang, kau bilang aku harus bersyukur?"
"Begitulah caranya bila Hyang Widi meng-
hendaki kebaikan kepada hamba-hambanya yang 
sejati."
"Puahhh! Bocah kemarin sore macam kau 
bisanya menasihati aku yang sudah tua bangka 
begini! Kau ini tahu apa dengan segala macam te-
tek bengek kehidupan dibanding aku, Bocah Bau 
Kencur?!" dengus Kakek Pikun, panas juga men-
dengar omongan Putri Hijau.
"Wahai, sobatku Kakek Pikun! Enak benar 
kau memanggilku bocah bau kencur! Dari kau be-
lum lahir di muka bumi ini, aku sudah terlebih 
dulu gentayangan! Ketahuilah sesungguhnya 
usiaku jauh lebih tua dibanding usiamu seka-
rang."
"Ha ha ha...! Sayang sekali, cantik-cantik

tapi berotak miring," kata Kakek Pikun tertawa 
amat melecehkan.
"Terserah kau mau ngomong apa! Yang je-
las, biar berotak miring, aku masih dapat berpikir 
waras. Tidak seperti kau, Kakek Pikun! Sudah tua 
bukannya sadar, malah tambah gila. Pikun lagi!" 
sungut Putri Hijau yang sebenarnya berusia sera-
tus tahun lebih itu. Kesal juga hatinya melihat si-
kap Kakek Pikun yang amat meremehkannya.
"Kau...! Mustahil! Tak mungkin usiamu le-
bih tua dibanding aku!"
"Dasar tua bangka pikun, tetap saja pi-
kun!" bentak Putri Hijau terpancing juga amarah-
nya.
Namun, Putri Hijau cepat tersadar. Meng-
hadapi Kakek Pikun yang berwatak pemarah, tak 
seharusnya dihadapi dengan sikap keras.
"Wahai, sobatku Kakek Pikun! Sesungguh-
nya aku berkata benar. Buat apa aku berkata 
dusta kalau memang kenyataannya demikian. 
Bertawakallah, Kakek Pikun! Niscaya kau akan 
memahami apa yang kukatakan tadi!" kata Putri 
Hijau, kembali lunak suaranya.
"Puahhh! Sungguh pintar mulutmu bicara, 
Perempuan Berpayung. Aku jadi ingin menjajal, 
apa kau juga punya kepandaian?" teriak Kakek 
Pikun gusar bukan main.
Di akhir teriakannya, Kakek Pikun segera 
memasang kuda-kuda. Kedua telapak tangannya 
pun telah berubah menjadi biru.
"Jangan main-main dengan kekerasan, 
wahai sobatku Kakek Pikun! Aku tidak ingin di

antara kita ada silang sengketa," cegah Putri Hi-
jau, lembut.
"Jangan banyak omong! Cepat cabut senja-
tamu!" tantang Kakek Pikun sengit.
Putri Hijau masih tenang-tenang saja di 
tempatnya. Beranjak dari tempat duduknya pun 
tidak. Hal ini tentu saja membuat amarah Kakek 
Pikun makin menggelegak.
"Kupret! Belum puas aku kalau belum 
menggebukmu, Perempuan Berpayung! Terimalah 
seranganku! Hea!"
Dikawal teriakan nyaring, Kakek Pikun se-
gera menyerang Putri Hijau. Kedua telapak tan-
gannya yang telah berubah jadi biru langsung di-
dorong ke depan. Saat itu pula dua larik sinar bi-
ru melesat cepat ke depan siap melabrak tubuh 
Putri Hijau!
Wesss! Wesss!
Putri Hijau tersenyum samar seraya bang-
kit berdiri. Melihat datangnya serangan, kedua te-
lapak tangannya disentakkan ke depan, membuat 
dua gulungan asap berwarna hijau kontan mene-
rabas ke depan memapak pukulan Kakek Pikun. 
Besss!
Tak ada ledakan yang berarti akibat ben-
trokan barusan. Namun anehnya, tempat perta-
rungan bergetar hebat. Tubuh Kakek Pikun tersu-
rut ke belakang. Sementara tubuh Putri Hijau ter-
tahan oleh pohon di belakangnya. Tampaknya ke-
dua orang itu tak ada yang mau mengalah.
"Hea!"
Tiba-tiba Putri Hijau menyentakkan kedua

telapak tangannya ke bawah, membuat dua larik 
sinar biru dari kedua telapak tangan Kakek Pikun 
yang tadi tertahan di udara kontan menukik ta-
jam.
Blammm!
Bumi bergetar. Tanah berpasir di tempat 
pertarungan itu membuncah ke udara. Debu-
debu beterbangan menghalangi pandangan.
Sementara tubuh Kakek Pikun terdorong 
beberapa langkah ke belakang dengan paras pias. 
Napasnya pun tersengal. Namun kini baru dis-
adari kalau pukulan yang dilontarkan perempuan 
berpayung itu tak lain adalah pukulan 'Bias Ca-
haya Dewa' yang sangat dikenalinya. Dan itu be-
rarti ia tahu siapa pemiliknya.
"Bodoh! Perempuan berpayung hijau itu 
adalah Putri Hijau! Huh...! Kenapa aku membuat 
silang sengketa dengannya?" ujar Kakek Pikun 
sembari menepuk-nepuk jidat.
Begitu menyadari siapa perempuan ber-
payung hijau itu, Kakek Pikun jadi tak sabar me-
nunggu gulungan debu-debu yang masih meme-
nuhi tempat pertarungan.
Karena terdorong rasa tak sabarnya, ujung 
jubahnya segera dikebutkan. 
Wuss!
Seketika angin keras dari kebutan jubah 
menyambar keras ke depan. Namun sialnya, begi-
tu gulungan debu yang memenuhi tempat perta-
rungan sirna dari pandangan mata, sosok Putri 
Hijau ikut lenyap dari tempat itu.
Kakek Pikun celingak-celinguk ke sana

kemari, namun tetap saja tak menemukan sosok 
Putri Hijau. Hatinya penasaran sekali. Segera di-
cari Putri Hijau ke segenap penjuru dengan berke-
lebat ke sana kemari. Di saat Kakek Pikun tengah 
kebingungan mencari Putri Hijau mendadak....
"Edan! Bau busuk apa ini? Kenapa demi-
kian menyengat hidung?"
"Heh...?!"
Kakek Pikun terperangah seraya berhenti 
berkelebat.

DELAPAN


Kening Kakek Pikun berkerut dalam. Kepa-
lanya segera dipalingkan ke arah datangnya sua-
ra. Ternyata tak jauh di sampingnya telah berdiri 
seorang lelaki renta yang tengah memandangi di-
rinya. Tubuhnya yang kurus kering dibalut pa-
kaian warna biru. Rambutnya awut-awutan tak 
terawat. Wajahnya kasar, dipenuhi daging hidup, 
memancarkan hawa membunuh.
"Peramal Maut! Apa kau bilang tadi, hah?! 
Kau bilang tubuhku bau?!" hardik Kakek Pikun 
kasar.
"Tubuhmu menebarkan bau busuk. Berar-
ti, alamat tak baik cepat atau lambat pasti akan 
menimpamu. Bukankah kau tua bangka dari Gu-
nung Slamet yang bergelar Kakek Pikun? Tapi 
sayang, tampaknya kau akan mendapat musibah. 
Entah di tanganku, entah di tangan orang lain," 
kata kakek berpakaian biru yang memang Peramal Maut, dingin.
"Apa maksudmu, Peramal Maut? Apa uca-
panmu tadi berarti kau ingin menantangku berta-
rung?" tanya Kakek Pikun, mengkelap.
"Tantangan telah terdengar. Pantang bagi 
Peramal Maut untuk mundur dari pertarungan!" 
tandas Peramal Maut.
"Bagus! Sudah lama aku ingin menekuk 
sepak terjangmu. Rupanya inilah saat yang tepat 
untuk mengakhiri sepak terjangmu!" sambut Ka-
kek Pikun sengit.
"Jangan banyak bacot, Tua Bangka Pikun! 
Ayo kita lihat, siapa yang terlebih dulu berkalang 
tanah! Kau atau aku!"
Peramal Maut menggeram penuh kemara-
han. Sekali kakinya menghentak ke tanah, tu-
buhnya pun melenting tinggi di udara. Di udara, 
tongkat di tangan kanannya pun menyambar-
nyambar ganas. Bahkan sebelum serangan-
serangan itu sempat mengenai sasaran, terlebih 
dulu telah berkesiur angin keras disertai bunyi 
menggemuruh!
"Hea! Hea!"
Kakek Pikun tak kalah gertak. Dikawal 
bentakan-bentakan nyaring, tubuhnya pun segera 
melenting tinggi ke udara. Begitu serangan-
serangan tongkat Peramal Maut dihindari melon-
cat lebih tinggi, tubuhnya menukik turun. Bogem 
mentahnya pun segera melontarkan satu jotosan.
Melihat serangan balik Kakek Pikun, Pe-
ramal Maut tak kehilangan akal. Sambil berbalik, 
dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya,

segera dipapaknya serangan dengan tongkat di 
tangan kanan.
Prakkk!
Tongkat di tangan Peramal Maut memang 
hancur berkeping-keping. Tapi Kakek Pikun sen-
diri merasakan buku-buku jari tangannya kese-
mutan. Tubuhnya pun tanpa ampun terjajar ke 
belakang. Namun begitu kakinya menjejak tanah, 
guru dari Pembunuh Iblis ini segera berkelebat 
cepat menerjang Peramal Maut. Kedua telapak 
tangannya yang telah berubah jadi biru segera di-
hentakkan ke depan, membuat dua larik sinar bi-
ru melesat cepat ke depan, siap melabrak tubuh 
Peramal Maut yang tadi sempat terpental dua 
tombak saat terjadi benturan. Untung saja ia 
sempat menguasai tubuhnya hingga tak sampai 
terjengkang. 
Wesss! Wesss!
Tapi kini baru saja menjejak tanah, Peram-
al Maut sudah harus bersiap kembali menghadapi 
ancaman serangan lawan. Namun bukan Peramal 
Maut namanya kalau sampai kalah gertak. Maka 
segera dikerahkannya pukulan andalan, mem-
buat kedua telapak tangannya berubah hitam le-
gam hingga pangkal. Itulah pukulan 'Gelap 
Ngampar' yang ganas luar biasa!
Dan ketika dua larik sinar biru dari kedua 
telapak tangan Kakek Pikun hanya tinggal satu 
tombak, Peramal Maut segera menyentakkan ke-
dua telapak tangannya. Sehingga....
Blarrr!
Terjadi ledakan hebat saat bentrokan dua

tenaga dalam tingkat tinggi terjadi. Bahkan bunga 
api langsung menyebar ke segala arah, menim-
bulkan cahaya terang. Sebagian bunga api yang 
ambyar kontan melabrak ranting-ranting pohon.
Brakkk! Brakkk!
Batang-batang pohon di sekitar tempat per-
tarungan bergetar hebat, lalu disusul suara 
menggemuruh sebelum akhirnya tumbang dengan 
daun-daunnya hangus terbakar!
Sementara tubuh Kakek Pikun dan Peram-
al Maut pun sama-sama terlempar jauh ke bela-
kang. Dari sini bisa dipastikan kalau tenaga da-
lam mereka tak jauh berbeda.
"Bangsat! Rupanya kau mengalami banyak
kemajuan, Kakek Pikun! Tapi, ingat! Nyawamu te-
tap berada dalam genggaman tanganku!" dengus 
Peramal Maut dengan napas memburu. Parasnya 
pun tampak pias akibat bentrokan tadi. Namun ia 
merasa sudah kepalang basah.
"Hup!"
Setelah mengeraskan niatnya, Peramal
Maut segera melompat bangun. Kedua telapak 
tangannya makin menghitam legam sampai ke 
pangkal siku.
Di hadapannya, Kakek Pikun tengah me-
rangkak bangun. Paras tokoh sakti dari puncak 
Gunung Slamet ini pun terlihat pucat. Sebagian 
telapak tangannya berwarna hitam, pertanda ra-
cun akibat pukulan Peramal Maut mulai menge-
ram dalam tubuhnya. Menyadari hal itu, buru-
buru dirogohnya saku jubah mengambil dua buti-
ran kecil berwarna biru. Dan secepat itu pula segera ditelannya dua butir obat berbentuk bulat 
dari sakunya.
Pada saat yang sama, Peramal Maut, sudah 
kembali melancarkan serangan. Didahului benta-
kan-bentakan nyaring, tiba-tiba tubuhnya mener-
jang ke depan dengan kedua telapak tangan 
menghantam ke depan.
Wesss!
Kembali melesat dua larik sinar hitam le-
gam dari kedua telapak tangan Peramal Maut, le-
bih menggiriskan dari serangan pertama. Itu da-
pat dirasakan dari angin dingin berkesiur yang te-
rasa menusuk kulit Kakek Pikun.
"Jangan terlalu bernafsu, Peramal Maut! 
Kau pikir mudah merobohkanku, hah?!" Kakek 
Pikun menggeretakkan gerahamnya penuh kema-
rahan. Kedua telapak tangannya pun telah beru-
bah jadi biru hingga pangkal tangan. Dan diiringi 
tenaga dalam kekuatan penuh, segera dipapak 
kedua sinar hitam milik Peramal Maut.
Blammm! Blammm!
Kembali terdengar satu ledakan hebat, 
membuat tempat pertarungan bergetar dahsyat 
seperti terjadi gempa. Angin akibat bentrokan itu 
memecah ke segala arah, memporak-porandakan 
apa saja yang ada di sekitar tempat pertarungan. 
Batang-batang pohon tumbang dengan ranting-
ranting hangus terbakar!
Peramal Maut dan Kakek Pikun yang tadi 
sama-sama mengerahkan kekuatan tenaga dalam 
dengan kekuatan penuh tak dapat lagi menahan 
keseimbangan tubuh. Tanpa ampun tubuh mereka terpental ke belakang, berputar-putar sebentar 
dan terbanting keras!
Bukkk! Bukkk!
Peramal Maut menggembor penuh kemara-
han. Darah yang mengalir di bibir dan hidungnya 
segera dibesut dengan punggung tangan. Lalu, 
dengan kemarahan meluap, lelaki sesat itu segera 
melompat bangun. Kali ini hatinya benar-benar 
tak sabar untuk segera merobohkan lawan. Maka 
segera hendak dikerahkannya pukulan andalan 
'Gada Akhirat'. Begitu tenaga dalamnya dikerah-
kan, kedua telapak tangannya pun berubah men-
jadi kuning berkilauan hingga pangkal lengan!
"Pukulan 'Gada Akhirat'...!" desis Kakek Pi-
kun takjub. Namun hal itu bukan berarti Kakek 
Pikun harus gentar menghadapi tokoh sesat dari 
Gunung Kembang. Begitu bangkit, ia bersiap 
mengerahkan aji 'Bayu Bajra'.
"Syukur kalau kau masih ingat dengan pu-
kulanku ini. Berarti kau tidak akan penasaran bi-
la nyawamu melayang," desis Peramal Maut.
Di akhir kalimatnya, Peramal Maut segera 
menerjang dengan kedua telapak tangan terkem-
bang ke depan. Pada jarak tertentu kedua telapak 
tangannya disentakkan ke depan.
Bed!
Werr! Werrr!
Seketika meluruk dua larik sinar kuning 
berkilauan dari kedua telapak tangan Peramal 
Maut yang diiringi suara menggemuruh cepat 
menerabas ke depan!
"Heaaa...!"

Saat itu juga Kakek Pikun tak mau keting-
galan. Dikawal bentakan nyaring, kedua telapak 
tangannya segera dihantamkan ke depan.
Bed!
Wuss! Wusss!
Dua rangkum angin keras yang disertai 
hawa dingin bukan kepalang kontan meluncur 
dari kedua telapak tangan Kakek Pikun dari Gu-
nung Slamet. Langsung dipapaknya dua sinar 
kuning milik Peramal Maut.
Bummm! Bummm!
Lagi-lagi terjadi ledakan hebat di udara. 
Laksana layangan putus tali, tubuh Peramal Maut 
dan Kakek Pikun sama-sama terlempar jauh ke 
belakang.
Bukk!
Tubuh Peramal Maut terbanting keras dan 
jatuh berguling-gulingan. Parasnya seketika pucat 
pasi! Napasnya tersengal dengan darah mengalir 
dari hidung!
Tak jauh di hadapannya, tubuh Kakek Pi-
kun tegak kaku di tempatnya. Meski menderita 
luka dalam hebat, namun tokoh sakti dari puncak 
Gunung Slamet itu masih sanggup berdiri tegak.
Melihat ini, hati Peramal Maut kontan ke-
cut. Nyalinya bertarung pun seketika lenyap.
"Jangan dikira aku menerima kekalahanku 
begitu saja, Kakek Pikun! Tunggulah pembala-
sanku!" desis Peramal Maut, menahan amarah. 
Dan tiba-tiba tubuhnya berbalik, lalu segera ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Kakek Pikun tetap diam di tempatnya. Ke

dua lututnya tampak bergetar hebat. Dan begitu 
sosok bayangan Peramal Maut menghilang di ba-
lik kerimbunan depan sana, tubuhnya pun melo-
rot ke bawah. Napasnya memburu hebat. Luka 
dalam tubuhnya pun semakin membuatnya men-
geluh berulang-ulang.
"Tak kusangka aku akan mendapat luka 
dalam demikian hebatnya. Kukira, aku harus se-
cepatnya menyembuhkan luka dalamku...," gu-
mam Kakek Pikun dalam hati, lalu segera duduk 
semadi.

SEMBILAN


Luka dalam Peramal Maut akibat pertarun-
gan dengan Kakek Pikun memaksanya untuk me-
nyembunyikan diri. Hampir dua hari dua malam 
lelaki tua pandai meramal itu terus bersemadi di 
sebuah gua kecil tak jauh dari Hutan Kenjeran.
Dan pagi ini Peramal Maut telah keluar da-
ri tempat persembunyiannya. Sejenak lelaki itu 
berdiri mematung memandangi sinar matahari 
yang hangat menyiram bumi. Kicauan beberapa 
burung liar terdengar ramai di ranting-ranting 
dahan. Sementara angin seolah malas berhem-
bus.
Peramal Maut menghela napas dalam-
dalam. Hawa segar pagi menerobos masuk dalam 
rongga paru-parunya. Kini parasnya tak lagi pu-
cat seperti hari-hari kemarin. Ini menandakan ka-
lau luka dalamnya telah pulih seperti sediakala.

"Jahanam! Tak kusangka tua bangka pi-
kun dari Gunung Slamet itu banyak mengalami 
kemajuan. Hampir saja aku celaka di tangannya. 
Untung saja aku dapat meloloskan diri...!" rutuk 
Peramal Maut dengan rahang mengeras. "Hm...! 
Tak mungkin aku membiarkan kekalahanku begi-
tu saja. Aku harus menuntut balas. Tapi, aku 
pun harus terlebih dulu mempertajam jurus-jurus 
andalanku. Kalau kepandaianku masih begini-
begini saja, bukan mustahil akan celaka di tan-
gan musuh-musuhku. Termasuk juga, tua bang-
ka pikun dari Gunung Slamet itu...."
Mantap dengan tekadnya, Peramal Maut 
segera melangkah lebar menuju tanah rerumpu-
tan di depan mulut gua tempat persembunyian-
nya. Padahal kalau tahu bahwa Kakek Pikun juga 
terluka parah tentu hatinya tak panas seperti se-
karang ini. Maka tak heran bila tekadnya untuk 
memperdalam jurus-jurus silatnya makin meng-
gebu.
Peramal Maut kini telah berdiri tegak di 
tengah-tengah tanah berumput. Kaki kirinya mu-
lai ditarik selangkah ke belakang, membentuk 
kuda-kuda kokoh. Dan diiringi bentakan nyaring, 
sosok tubuhnya yang terbungkus pakaian biru 
pun telah berkelebat cepat. Begitu cepatnya hing-
ga membentuk bayangan biru yang bergerak ma-
kin cepat luar biasa. Sambil terus berkelebat, 
tendangan dan tamparan-tamparannya menjulur 
keluar.
"Hea! Hea!"
Angin keras pun berkesiur kencang. Rant

ing-ranting pohon di sekitar tempat itu ber-
goyang-goyang terkena sambaran-sambaran an-
gin. Sementara sosok Peramal Maut terus berke-
lebat, memainkan jurus-jurus andalan.
Kira-kira lima belas jurus kemudian, Pe-
ramal Maut menghentikan gerakannya. Kini lelaki 
itu berdiri tegak di tengah-tengah tanah rerumpu-
tan kembali. Parasnya yang kasar tampak mene-
gang dengan keringat membasahi kening.
"Rasa-rasanya jurus-jurus andalanku tak 
mengalami penurunan. Malah sebaliknya. Tapi, 
kenapa aku tidak mampu merobohkan Kakek Pi-
kun?" tanya Peramal Maut membatin. "Coba aku 
mengerahkan pukulan 'Gelap Ngampar'-ku...."
Saat itu juga Peramal Maut segera menarik 
kaki kirinya selangkah ke belakang. Kedua tela-
pak tangannya pun telah berubah menjadi hitam 
legam, pertanda telah mengerahkan tenaga dalam 
dengan kekuatan penuh. Lalu dikawal teriakan 
nyaring, kedua telapak tangannya segera dihen-
takkan ke depan. Seketika melesat dua larik sinar 
hitam legam disertai hawa dingin bukan kepalang 
yang melesat ke depan dengan suara menggemu-
ruh!
Wesss! Wesss!
Brakkk!
Batang pohon yang menjadi sasaran puku-
lan 'Gelap Ngampar' milik Peramal Maut kontan 
bergoyang-goyang sebentar, sebelum akhirnya ja-
tuh berdebam! Tanah kering dan debu-debu kon-
tan berhamburan memenuhi sekitarnya. Sedang 
bagian batang pohon yang terkena hantaman

tampak mengepulkan uap kehitaman!
"Pukulan 'Gelap Ngampar' milikku pun tak 
mengalami kemunduran. Tapi herannya, kenapa 
aku tidak mampu merobohkan Kakek Pikun? Se-
tan! Apa aku harus menciptakan satu pukulan 
maut lagi. Hm...! Itu membutuhkan waktu la-
ma...."
Geraham Peramal Maut bergemeletuk men-
coba menahan amarah yang menggelegak.
"Tak mungkin aku menciptakan pukulan 
baru. Baiknya kucoba mengerahkan aji 'Gada Ak-
hirat'-ku...."
Peramal Maut tak melanjutkan kegusaran-
nya. Terdorong rasa penasarannya yang memun-
cak, segera dikerahkannya aji 'Gada Akhirat'. Be-
gitu tenaga dalam dikerahkan, kedua telapak tan-
gannya pun berubah kuning berkilauan. Tepat 
pada hitungan kesepuluh, Peramal Maut segera 
menghantamkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Seketika melesat dua larik sinar kuning ber-
kilauan dari kedua telapak tangannya, langsung 
melabrak batang pohon di hadapannya.
Brakkk!
Seketika batang pohon itu tumbang. Sua-
ranya menggemuruh sebelum akhirnya jatuh ber-
debam. Kembali debu-debu beterbangan meme-
nuhi tempat latihan.
Plok! Plok! Plok!
"Hebat! Benar-benar satu pukulan hebat! 
Aku patut mengagumimu, Kakek Berbaju Biru."
Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan 
yang dilanjutkan suara seorang perempuan bernada memuji. Namun anehnya Peramal Maut 
yang sedang dibaluri kemarahan justru malah 
menggeram menggidikkan.
Dengan kemarahan memuncak tokoh sesat 
dari Gunung Kembang ini segera berpaling ke 
samping. Ternyata, tak jauh di hadapannya kini 
telah berdiri seorang gadis cantik. Tubuhnya 
ramping dengan dua bukit kembarnya yang mon-
tok, terbungkus pakaian ketat warna kuning. Se-
kilas, sosok gadis cantik yang rambutnya digelung 
ke atas ini memang amat menarik. Tak heran ka-
lau Peramal Maut jadi menelan ludahnya berkali-
kali. Namun karena terdorong rasa penasaran 
terhadap Kakek Pikun. Juga karena heran meli-
hat kemunculan gadis itu yang tidak tertangkap 
pendengarannya yang tajam, hatinya jadi gusar 
bukan main. "Siapa kau?!" bentaknya.
Pertanyaan Peramal Maut tak disahuti. 
Yang terdengar hanyalah suara tawa gadis itu.
"Bangsat! Apa kau tidak tahu tengah ber-
hadapan dengan siapa, he?!" hardik Peramal 
Maut.
"Aku tidak mau tahu tengah berhadapan 
dengan siapa. Apa salahnya sih kalau aku memuji 
pukulanmu tadi?" sahut si gadis cantik, genit. 
Matanya pun sempat mengerling ke arah Peramal 
Maut.
"Ketahuilah! Hari ini kau tengah berhada-
pan dengan Peramal Maut! Hm...! Dari bau tu-
buhmu, tampaknya kau membawa satu maksud 
tak baik. Kau pun rupanya tengah mencari seseo-
rang. Entah siapa, aku tak tahu. Yang jelas,

mungkin hatimu akan terpaut pada orang yang 
sedang kau cari," desis Peramal Maut. Namun he-
rannya, masih sempat juga ia meramal gadis can-
tik di hadapannya.
"Oh...! Jadi kau yang bergelar Peramal 
Maut? Pantas! Begitu aku datang kau sudah me-
ramalku. Tapi benarkah ramalanmu barusan?" 
tanya gadis itu ragu-ragu. Lalu dalam hatinya 
pun membatin, "Menurut keterangan guruku Ra-
tu Bangkai di Lembah Selaksa Kematian, aku ha-
rus hati-hati dengan tua bangka satu ini. Namun, 
aku juga tidak boleh meremehkan ramalannya 
begitu saja...."
"Dua kali kau membuat kesalahan besar 
padaku, Cah Ayu! Apa pun alasanmu, kau harus 
mampus di tanganku," dengus Peramal Maut gu-
sar. Sebelah kakinya sudah ditarik ke belakang, 
membentuk kuda-kuda yang kokoh. Siap melon-
tarkan serangan maut.
"Tunggu, Peramal Maut! Kau bilang, dua 
kali aku membuat kesalahan padamu. Bisakah 
kau menjelaskannya?" cegah gadis itu seraya 
mengangkat tangannya.
"Huh...!" Peramal Maut mendengus gusar. 
"Pertama! Kau datang kemari tanpa seizinku. Ma-
lah pakai menghina pukulanku segala. Kedua, 
kau meragu-ragukan ramalanku. Apakah itu bu-
kan satu alasan kuat untuk melenyapkanmu?"
"Kau salah, Peramal Maut. Aku sama sekali 
tak menghina pukulan mautmu tadi. Juga, aku 
tak meragu-ragukan ramalanmu tadi."
"Kau boleh saja berdalih padaku, Cah Ayu.

Namun tetap saja aku tak membiarkanmu hidup."
"Sayang sekali. Sebenarnya aku kemari 
bukan bermaksud bermusuhan denganmu. Aku 
hanya ingin numpang tanya, apakah kau men-
genal seseorang yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih?"
Peramal Maut terperangah kaget. Kedua te-
lapak tangannya yang hendak melancarkan se-
rangan, perlahan-lahan diturunkan kembali. Lalu 
dipandanginya gadis cantik di hadapannya tajam-
tajam.
"Apa maksudmu mencari Siluman Ular Pu-
tih, Cah Ayu? Apakah kau sahabatnya?"
"Hik hik hik...! Kali ini pun kau salah lagi, 
Peramal Maut. Aku sama sekali bukan sahabat 
Siluman Ular Putih. Aku hanya ingin menyelidiki 
sepak terjangnya. Benarkah Siluman Ular Putih 
yang akhir-akhir ini membuat gempar dunia per-
silatan?" sahut si gadis mengikik.
"Kalau memang benar, kau mau apa?"
"Dengar! Buka telingamu lebar-lebar, Pe-
ramal Maut! Gelarku, Dewi Bunga Bangkai. Aku 
mendapat perintah guruku Ratu Bangkai dari 
Lembah Selaksa Kematian untuk menghentikan 
sepak terjang Siluman Ular Putih!" sahut gadis 
cantik yang ternyata bergelar Dewi Bunga Bang-
kai tegas. Sepasang matanya pun tak lagi ramah 
seperti tadi, melainkan sarat akan kekejian di ba-
lik kecantikan wajahnya.
Mendengar penuturan gadis cantik di ha-
dapannya yang mengaku murid Ratu Bangkai da-
ri Lembah Selaksa Kematian, tak urung Peramal

Maut jadi terkesiap.
"Bagus! Siluman Ular Putih memang patut 
dilenyapkan dari muka bumi. Sudah berkali-kali 
ia selalu menghalang-halangi sepak terjangku. 
Meski demikian, bukan berarti kau luput dari 
tangan mautku, Dewi Bunga Bangkai!" sahut Pe-
ramal Maut dingin.
"Jadi? Kau tetap ingin bersilang sengketa 
denganku? Bagus! Majulah kalau itu yang kau in-
ginkan!" tantang Dewi Bunga Bangkai.
"Bangsat! Lagakmu pongah sekali, Dewi 
Bunga Bangkai! Berhubung kita sama-sama satu 
golongan, aku tak ingin membunuhmu. Tapi, aku 
pun patut memberi pelajaran padamu!"
"Jangan banyak omong, Peramal Maut! 
Aku sudah kebal dengan segala ancaman!"
"Setan! Makanlah bogem mentahku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Peramal Maut 
segera menerjang ganas Dewi Bunga Bangkai. 
Kedua telapak tangannya yang telah berubah 
menjadi hitam legam pun segera dihentakkan ke 
depan, membuat dua larik sinar hitam legam me-
lesat dari kedua telapak tangannya disertai angin 
keras berkesiur. 
Werrr! Werrr!
Di depannya, Dewi Bunga Bangkai hanya 
tersenyum sinis. Namun manakala serangan Pe-
ramal Maut hanya tinggal satu tombak, tangan-
nya segera dikibaskan.
Bed! Bed!
Werr...!
Entah bagaimana Dewi Bunga Bangkai me

rogoh sakunya, yang jelas tahu-tahu meluruk 
bunga-bunga bangkai menyambut serangan.
Lima bunga bangkai berwarna kuning yang 
terlepas dari tangan Dewi Bunga Bangkai terus 
melesat cepat. Sebelum terjadi bentrokan, terlebih 
dahulu berkesiur angin keras yang disertai bau 
busuk bukan main.
Teppp! Teppp!
Begitu terjadi bentrokan dengan sinar-sinar 
hitam milik Peramal Maut, lima bunga bangkai 
dari tangan Dewi Bunga Bangkai tampak tertahan 
sebentar di udara. Akibatnya, sinar-sinar hitam 
legam itu ambyar. Sebagian sinarnya menukik ke 
bawah, menghantam tanah. Sebagian lainnya 
menghantam batang-batang pohon di sekitar 
tempat pertarungan.
Sementara lima bunga bangkai dari murid 
Ratu Bangkai pun luruh ke tanah. Hebatnya, ta-
nah rerumputan di tempat pertarungan kontan 
berubah kuning disertai kepulan uap tipis kekun-
ing-kuningan!
Peramal Maut lagi-lagi terkesiap kaget. 
Sungguh tak disangka sama sekali kalau bunga-
bunga bangkai Dewi Bunga Bangkai itu mengan-
dung racun keji.
"Bagus! Rupanya kau memang murid ne-
nek geblek dari Lembah Selaksa Kematian itu, 
Cah Ayu!"
Dewi Bunga Bangkai tak menyahut. Me-
nyadari bunga-bunga bangkainya luruh ke tanah, 
hatinya jadi geram bukan main. Padahal, jarang 
sekali bunga bangkainya menemui kegagalan.

Namun kali ini, ternyata Peramal Maut mampu 
mematahkannya.
"Tak usah banyak omong, Peramal Maut! 
Kau dulu yang membuka silang sengketa ini. Pan-
tang bagiku untuk mundur dari pertarungan se-
belum ada yang modar!"
"Memang itulah yang kuinginkan, Dewi 
Bunga Bangkai! Kalau saja tidak mengingat ka-
wan segolongan, pasti kau sudah mampus di tan-
ganku. Sekarang, terimalah pukulan 'Gelap 
Ngampar'-ku! Hea!"
Lagi-lagi Peramal Maut berteriak nyaring. 
Sebelum gema teriakannya hilang, kedua telapak 
tangannya sudah mendorong ke depan. Seketika, 
dua larik sinar hitam legam melesat kembali.
Wesss! Wesss!
Dewi Bunga Bangkai tak ingin kalah unjuk 
gigi. Tak tanggung-tanggung, segera diraupnya 
sepuluh buah bunga bangkai dari kantung kecil 
yang menggantung di pinggang. Lalu disertai te-
naga dalam penuh, tangannya segera dikibaskan, 
membuat bunga-bunga bangkai kembali meluruk.
Werrr! Werrr!
Teppp! Teppp!
Seperti kejadian sebelumnya, sepuluh bun-
ga bangkai dari tangan Dewi Bunga Bangkai ter-
tahan di udara. Namun sejurus kemudian, kese-
puluh bunga bangkai itu kontan berhamburan ke 
samping. Bersamaan dengan itu, dua larik sinar 
hitam legam milik Peramal Maut pun ambyar 
memporak-porandakan apa saja yang ada di tem-
pat pertarungan!

Sementara tubuh Peramal Maut sendiri 
tampak terjengkang ke belakang dengan paras 
pucat pasi. Napasnya terdengar memburu. Cepat 
lelaki tua ini melompat bangun. Darah segar yang 
membasahi hidung segera dibesut dengan pung-
gung tangan.
Jauh di depan sana, tubuh Dewi Bunga 
tampak masih berjumpalitan di udara. Namun 
tanpa diduga-duga sama sekali, tiba-tiba tangan-
nya kembali mengibas, melontarkan kembali 
bunga-bunga bangkai senjata andalannya ke arah 
Peramal Maut.
Peramal Maut terkesiap bukan main. 
Sungguh tak disangka kalau akan mendapat se-
rangan demikian mendadaknya. Tanpa pikir pan-
jang, tubuhnya segera dibuang ke samping.
Namun, serangan bunga-bunga bangkai 
dari tangan Dewi Bunga Bangkai tak cukup sam-
pai di situ. Laksana air hujan, puluhan bunga 
bangkai itu terus mengejar sosok Peramal Maut 
yang tengah sibuk menyelamatkan diri.
Werrr! Werrr!
"Bajingan! Kau kira gampang merobohkan-
ku, hah?! Tunggulah pembalasanku nanti, Gadis 
Bengal!" Peramal Maut masih saja sibuk berjum-
palitan di udara untuk menyelamatkan sepotong 
nyawanya. Kali ini tubuhnya sengaja dilempar 
jauh ke samping, hingga serangan-serangan Dewi 
Bunga Bangkai terus menerabas ke belakang, 
menghantam batang-batang pohon di belakang-
nya. 
Classs! Classs!
Batang-batang pohon di belakang Peramal 
Maut kontan berlobang, mengepulkan asap keku-
ningan yang menebarkan bau busuk bukan kepa-
lang!
"Jahanam! Kali ini aku tak segan-segan lagi 
untuk membunuhmu, Dewi Bunga Bangkai! Jan-
gan dikira aku takut mendengar nama besar gu-
rumu! Makanlah aji 'Gada Akhirat'-ku! Hea!"
Diiringi teriakannya yang mengguntur, Pe-
ramal Maut segera mendorongkan kedua telapak 
tangannya ke depan. Seketika dari kedua telapak 
tangannya telah berubah menjadi kuning berki-
lauan menyemburat cahaya kuning berkilauan 
yang disertai hawa dingin bukan main!
Wesss! Wesss!
Dewi Bunga Bangkai menggeram penuh 
kemarahan. Hatinya benar-benar penasaran me-
lihat hasil serangannya yang hanya menghambur-
hamburkan bunga bangkai senjata andalan. Bah-
kan sedikit pun tak mampu melukai tubuh lawan.
"Jangan banyak membuat lagak, Peramal 
Maut! Kau kira aku takut ancamanmu, he?!" Dewi 
Bunga Bangkai menjengekkan hidungnya.
Di akhir kalimatnya, murid Ratu Bangkai 
dari Lembah Selaksa Kematian ini segera bersiap 
untuk mengerahkan pukulan andalan. Begitu te-
naga dalamnya dikerahkan, kedua telapak tan-
gannya pun berubah kuning hingga pangkal len-
gan. Lalu diiringi teriakan merobek angkasa, ke-
dua telapak tangannya segera didorong ke depan 
memapak pukulan Peramal Maut.
Wesss! Wessss!

Blammm! Blammm!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga 
dalam yang terjadi. Seketika tempat pertarungan 
dironai cahaya kuning yang berkeredepan, sebe-
lum akhirnya ambyar. Sementara di sana-sini 
menyebar bunga api yang meletup-letup sebelum 
akhirnya menghanguskan rumput-rumput di se-
kitar pertarungan!
Peramal Maut berteriak menyayat saat tu-
buhnya tanpa ampun terbanting keras. Ia meng-
geliat-geliat sebentar, lalu segera melompat ban-
gun dengan kemarahan menggelegak. Kini tam-
pak betapa piasnya wajah kasar lelaki tua itu. 
Napasnya pun memburu dengan darah segar 
membasahi hidung dan sudut-sudut bibir!
Tak jauh di hadapannya, Dewi Bunga 
Bangkai tengah mengurut dadanya yang terasa 
mau jebol akibat bentrokan tadi. Parasnya pun 
pucat pasi, pertanda juga mengalami luka dalam 
yang cukup lumayan. Untuk sesaat, gadis itu ma-
sih ngejoprak di tanah. Lalu, tangannya cepat 
mengambil butiran-butiran kecil berwarna kuning 
di saku dan menelannya.
"Tak kusangka kau punya sedikit kepan-
daian, Dewi Bunga Bangkai. Tapi, tetap saja per-
cuma. Jangankan menghadapi gadis kemarin sore 
macam kau. Menghadapi gurumu si tua bangka 
dari Lembah Selaksa Kematian itu, aku pun tak 
gentar!"
"Sungguh nyaring bicaramu, Peramal 
Maut! Apa matamu buta? Menghadapiku saja, 
kau masih kewalahan. Apalagi menghadapi guru

ku? Huh! Bahkan mendengar nama besarnya sa-
ja, mungkin kau sudah lari terbirit-birit!" ejek 
Dewi Bunga Bangkai sengit.
"Keparat! Jangan salahkan kalau aku ter-
paksa mencabut nyawamu, Gadis! Bersiap-
siaplah menerima kematianmu hari ini!" dengus 
Peramal Maut berang.
Dewi Bunga Bangkai tersenyum angkuh. 
Lalu sekali menggerakkan tubuhnya, murid Ratu 
Bangkai itu telah melompat bangun.
Di hadapannya, Peramal Maut yang merasa 
penasaran belum mampu merobohkan Dewi Bun-
ga Bangkai merasa gusar bukan main. Berkali-
kali mulutnya menggereng penuh kemarahan. 
Pandang matanya pun tampak demikian beringas, 
seolah-olah ingin melumat gadis cantik di hada-
pannya lewat pandangan matanya.
"Majulah, Tua Bangka Keparat! Jangan ba-
nyak mengumbar omong!" tantang Dewi Bunga 
Bangkai Sengit.
Geraham Peramal Maut bergemeletuk pe-
nuh kemarahan. Kedua telapak tangannya tam-
pak kian kuning berkilauan hingga pangkal len-
gan, pertanda telah mengerahkan tenaga dalam 
penuh.
Sementara Dewi Bunga Bangkai pun tak 
mau kalah gertak. Segera dipersiapkannya puku-
lan andalan. Namun belum sempat ada yang me-
nyerang....
"Tahan serangan!"

SEMBILAN

Peramal Maut mendengus penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang mencorong beringas 
segera dialihkan ke arah seorang laki-laki bertu-
buh tinggi besar berjubah besar warna kuning 
yang telah berdiri di sampingnya.
"Gembong Kenjeran...!" desis Peramal Maut 
kesal bukan main. Si tua ini masih mengira kalau 
laki-laki tinggi besar yang kini telah berdiri di ha-
dapannya adalah Gembong Kenjeran yang dulu. 
Bukan Gembong Kenjeran yang telah berguru pa-
da Eyang Pamekasan.
Dewi Bunga Bangkai pun menjengekkan 
hidungnya. Seperti Peramal Maut, sinar matanya 
pun amat memandang remeh Gembong Kenjeran.
"Mau apa kau mencampuri urusan kami, 
hah?!" bentak Dewi Bunga Bangkai galak.
"Aku tidak akan banyak omong. Aku hanya 
minta kalian untuk menjadi pembantuku. Seka-
rang juga, cepat cari Siluman Ular Putih dan Pe-
nyair Sinting!" kata Gembong Kenjeran tak kalah 
gertak.
Peramal Maut dan Dewi Bunga Bangkai 
tertawa bergelak mendengar perintah Gembong 
Kenjeran. Bagi mereka Gembong Kenjeran tak 
ubahnya anak rusa menggertak harimau.
"Enak saja kau main perintah! Memangnya 
kau ini siapa, hah?!" hardik Dewi Bunga Bangkai.
"Kau akan menyesal dengan ucapanmu, 
Cah Ayu. Namun berhubung aku membutuhkan

mu, aku tak mungkin membunuhmu. Tapi setiap 
saat, kau harus sudi melayaniku!"
"Puahhh! Enak benar caramu ngomong, 
Setan! Bicaramu boleh sebakul. Tapi kepan-
daianmu perlu diuji dulu!" ejek Dewi Bunga 
Bangkai.
"Aku tak perlu tahu itu semua. Yang jelas, 
mulai sekarang juga kalian semua harus menjadi 
pembantu-pembantuku yang setia!" tandas Gem-
bong Kenjeran.
"Tundukkan dulu kami berdua, baru kami 
mengakuimu sebagai pimpinan," tantang Dewi 
Bunga Bangkai.
"Kau mundur, Dewi Bunga Bangkai! Aku 
sendiri sanggup meremukkan batok kepala ma-
nusia pongah ini!" sela Peramal Maut, seraya ma-
ju beberapa langkah ke depan.
"Kau akan menyesal dengan ucapanmu, 
Peramal Maut. Kenapa tidak kalian berdua maju 
barengan saja?"
"Keparat! Justru kaulah yang akan me-
nyesal telah bertemu Peramal Maut!" putus Pe-
ramal Maut.
Di ujung akhir kalimatnya Peramal Maut 
yang memang sebenarnya sedang dibalur kema-
rahan memuncak segera menerjang Gembong 
Kenjeran. Tidak tanggung-tanggung segera dike-
rahkannya pukulan andalannya 'Gelap Ngampar'. 
Maka begitu kedua telapak tangannya berubah 
menjadi hitam legam, segera dihentakkan ke de-
pan.
"Hea!"

Wesss! Wesss!
Gembong Kenjeran menjengekkan hidung. 
Angkuh. Sedikit pun hatinya tidak gentar meng-
hadapi serangan lawan. Malah lelaki ini sempat 
mengumbar suara tawanya yang bergelak. Dan 
ketika jarak serangan Peramal Maut hanya tinggal 
beberapa jengkal dari tubuhnya, segera dikerah-
kannya pukulan andalan 'Pelebur Bumi' yang ba-
ru saja dipelajarinya dari Eyang Pamekasan.
"Makanlah pukulan 'Pelebur Bumi'-ku! 
Hea!"
Gembong Kenjeran alias Gendon Prakoso 
segera menghentakkan kedua telapak tangannya 
ke depan, membuat dua larik sinar hitam melesat 
dari kedua telapak tangannya.
Bummm! Bummm!
Terdengar ledakan hebat saat dua larik si-
nar hitam milik Gembong Kenjeran berbenturan 
dengan sinar hitam milik Peramal Maut. Seketika 
bumi berguncang hebat laksana diguncang pra-
hara! Sebagian tanah di tempat pertarungan ter-
bongkar, membuat debu-debu beterbangan ke 
udara!
Dan akibat bentrokan tadi tubuh Peramal 
Maut kontan terlempar jauh ke belakang. Lelaki 
tua itu berputar-putar sebentar, lalu terbanting 
keras!
Bukkk!
Peramal Maut mengerang tertahan. Tu-
buhnya menggeliat-geliat di tanah. Namun untuk 
melompat bangun sudah tak berdaya lagi. Yang 
bisa dilakukannya menggapai-gapaikan tangan ke

udara, lalu kembali ngejoprak ke tanah dengan 
napas tersengal!
"Ha ha ha...! Kepandaian hanya sebatas 
dengkul, berani jual lagak di hadapan Gembong 
Kenjeran! Memalukan!" ejek Gembong Kenjeran 
tertawa puas melihat hasil serangannya.
Di tempatnya, Dewi Bunga Bangkai jadi 
kecut nyalinya. Sungguh tidak disangka kalau Pe-
ramal Maut akan roboh di tangan Gembong Ken-
jeran hanya sekali gebrak saja.
"Bedebah! Rupanya lelaki bernama Gem-
bong Kenjeran memiliki tenaga dalam tinggi seka-
li. Hm...! Benar-benar tak kusangka. Sekarang, 
apakah aku harus lari meninggalkan tempat per-
tarungan? Tidak! Pantang bagiku lari dari tempat 
pertarungan sebelum menjajal kehebatan la-
wan...," tegas Dewi Bunga Bangkai dalam hati.
"Sekarang giliranmu, Cah Ayu! Apa kau 
punya nyali untuk menghadapiku?" tuding Gem-
bong Kenjeran.
Kaki Dewi Bunga Bangkai tersurut setin-
dak ke belakang. Hatinya pun sempat ciut men-
dengar bentakan Gembong Kenjeran.
"Apa gunanya aku belajar silat kalau takut 
menghadapi lawan? Tak ada pilihan lain, aku in-
gin menjajal kehebatannya dengan menggunakan 
bunga-bunga bangkaiku...," kata batin si gadis.
"Ha ha ha...! Rupanya kau sudah kehilan-
gan nyali untuk menghadapiku, Cah Ayu? Ru-
panya kau sudah tidak sabar untuk menemaniku 
tidur, he?" kata Gembong Kenjeran dengan tawa 
amat melecehkan Dewi Bunga Bangkai.

"Meski kepandaianmu setinggi langit, jan-
gan dikira aku takut menghadapimu, Gembong 
Kenjeran! Majulah kalau kau ingin merasakan 
kehebatan bunga-bunga bangkaiku!" bentak Dewi 
Bunga Bangkai penuh kemarahan.
Sekali menggerakkan tangan di tangan 
Dewi Bunga Bangkai telah tergenggam sepuluh 
bunga bangkai yang baru saja diambil dari kan-
tung kecil yang menggantung di pinggang.
"Boleh! Aku memang ingin menjajal sebe-
rapa tinggi kepandaianmu, Cah Ayu. Tapi lebih 
dari itu, sebenarnya aku ingin sekali melihat apa 
kau juga hebat di atas ranjang?"
"Jaga bacotmu, Gembong Kenjeran! Kau 
pikir mudah merobohkanku, he?!" hardik Dewi 
Bunga Bangkai, geram bukan main.
Saat itu juga, murid Ratu Bangkai dari 
Lembah Selaksa Kematian ini segera menerjang 
ganas. Jari-jari tangannya yang memegang sepu-
luh bunga bangkai segera dikibaskan ke depan, 
mengarah ke bagian-bagian yang mematikan di 
tubuh Gembong Kenjeran alias Gendon Prakoso.
Werrr! Werrr!
Sepuluh bayangan kuning yang melesat 
dari tangan Dewi Bunga Bangkai disertai bau bu-
suk bukan kepalang mengancam keselamatan 
Gendon Prakoso.
Tanpa ingin membuang-buang waktu, 
Gembong Kenjeran segera mengerahkan aji 
'Panglarut Banyu Putih' andalan Eyang Pameka-
san. Memang Gembong Kenjeran harus cepat me-
robohkan gadis itu tanpa harus melukainya. Maka ia pun hanya mengerahkan sebagian tenaga 
dalamnya.
"Ha ha ha.... Heaaahh...!"
Diiringi tawanya yang bergelak, Gembong 
Kenjeran segera menyambuti serangan Dewi Bun-
ga Bangkai dengan mendorongkan kedua telapak 
tangan ke depan. Saat itu pula melesat dua kabut 
tebal berwarna putih berkilauan memapak seran-
gan-serangan Dewi Bunga Bangkai. 
Besss!
Tak ada bunyi ledakan yang berarti. Na-
mun hebatnya, sepuluh bunga bangkai Dewi 
Bunga Bangkai kelihatan tertahan di udara dan 
segera luruh ke tanah. Sedang dua gulungan ka-
but putih dari kedua telapak tangan Gembong 
Kenjeran terus mendesak ke depan, langsung 
membungkus tubuh Dewi Bunga Bangkai!
"Hap hap hap...!"
Dewi Bunga Bangkai megap-megap tak ka-
ruan. Sekujur tubuhnya menggigil hebat. Berkali-
kali dicobanya untuk keluar dari gulungan kabut 
putih yang membungkus tubuhnya. Namun 
sayang, ia tak kuasa. Malah gulungan kabut pu-
tih itu makin kuat membungkus tubuhnya!
"Ha ha ha...! Percuma saja melawanku, 
Cah Ayu. Sekarang kalian berdua harus takluk di 
bawah perintahku. Kau, Peramal Maut! Dan kau 
Dewi Bunga Bangkai! Sekarang kalian berdua 
adalah bawahanku! Paham?!" hardik Gembong 
Kenjeran.
Peramal Maut diam tak menyahut.
Dewi Bunga Bangkai yang baru saja terbe

bas dari gulungan kabut hanya megap-megap un-
tuk beberapa saat. Tampak parasnya telah beru-
bah pucat pasi. Namun jauh masih beruntung di-
banding nasib Peramal Maut.
Meski demikian, gadis itu tetap tak mau 
menggerakkan tubuhnya. Entah kenapa tubuh-
nya seperti kaku tak dapat digerakkan!
Melihat keadaan Dewi Bunga Bangkai yang 
sekujur tubuhnya masih terbungkus kabut putih, 
Gembong Kenjeran segera menarik telapak tan-
gannya ke belakang. Mengagumkan! Kabut putih 
yang menyelimuti tubuh Dewi Bunga Bangkai 
kontan sirna. Sedangkan murid Ratu Bunga 
Bangkai dari Lembah Selaksa Kematian itu tetap 
kaku di tempatnya!
Kini Gembong Kenjeran melangkah mende-
kati Peramal Maut yang masih mengerang akibat 
luka dalamnya. Tanpa banyak membuang-buang
waktu, segera ditotoknya beberapa jalan darah di 
tubuh lelaki tua itu
Tuk! Tukkk!
Peramal Maut mengerang tertahan. Seka-
rang, peredaran darahnya terasa mengalir seperti 
semula. Hanya tinggal dadanya saja yang masih 
terasa sesak.
"Cepat telan obat ini!" ujar Gembong Kenje-
ran, segera menyodorkan dua butiran kecil ber-
warna kuning ke hadapan Peramal Maut.
Peramal Maut sejenak memperhatikan le-
laki yang sebenarnya bernama Gendon Prakoso 
itu. Melihat pandang mata Gembong Kenjeran 
yang beringas, buru-buru diraihnya dua butiran

kuning dan ditelannya.
"Nah! Kau telah menelan obat itu. Seka-
rang, kau harus secepatnya mencari Siluman Ular 
Putih dan Penyair Sinting. Kalau tak kau kerja-
kan, dalam jangka empat puluh hari kau akan 
mati dengan cara amat mengerikan. Kau tahu! 
Obat yang kau telan tadi adalah racun ganas yang 
perlahan-lahan akan menggerogoti ususmu! Ka-
lau kau tak dapat mencari keterangan tentang Si-
luman Ular Putih dan Penyair Sinting dalam wak-
tu yang kuberikan, jangan harap aku akan mem-
berikan obat pemunahnya!" urai Gendon Prakoso, 
menyentak perasaan.
Paras Peramal Maut kontan pias. Ia lang-
sung mengutuk dirinya yang terlalu bodoh, hing-
ga dapat dikadali Gembong Kenjeran yang mem-
berikan racun amat mematikan. Namun untuk 
menolak perintah jelas terlambat. Tak ada pilihan 
lain. Peramal Maut pun akhirnya menuruti.
"Lalu, di mana aku harus melaporkan ka-
lau aku sudah mendapat keterangan mengenai 
Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting?" tanya 
Peramal Maut dengan napas tersengal.
"Kau bisa menemuiku di Hutan Kenjeran!"
"Baik."
"Nah! Kalau sudah tahu, sekarang berang-
katlah! Kutunggu kedatanganmu di Hutan Kenje-
ran," ujar Gembong Kenjeran seraya mengibaskan 
tangan.
Peramal Maut cepat melompat bangun. Pa-
dahal, hatinya mencaci maki habis-habisan. Na-
mun karena tak ada pilihan lain, tubuhnya segera

berkelebat cepat meninggalkan tempat itu tanpa 
menoleh lagi ke belakang.
"Sekarang kau pun harus menjalankan pe-
rintahku, Dewi Bunga Bangkai," lanjut Gembong 
Kenjeran, lalu cepat melangkah mendekati tubuh 
Dewi Bunga Bangkai yang masih tegak kaku.
"Tugas apa yang akan kau berikan padaku, 
Gembong Kenjeran?" tanya Dewi Bunga Bangkai, 
memendam gelegak amarah.
"Tugas yang pertama, kau harus melayani-
ku! Sedang tugas yang kedua, nanti bisa menyu-
sul belakangan!"
'Tapi aku sedang terluka...."
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kau harus 
melayaniku!" sergah Gembong Kenjeran cepat.
Di ujung kalimatnya, Gembong Kenjeran 
merengkuh bahu Dewi Bunga Bangkai. Tapi di-
am-diam, lelaki ini mengerahkan tenaga dalam 
untuk memulihkan tubuh Dewi Bunga Bangkai 
yang membeku.
Setelah tubuh Dewi Bunga Bangkai sudah 
dapat bergerak leluasa, Gembong Kenjeran segera 
merebahkan ke rerumputan. Tangan-tangannya 
yang kekar pun mulai sibuk menjamah sekujur 
tubuh gadis yang memang berwatak jalang. LaLu....

SEBELAS


Hampir dua hari dua malam, Kakek Pikun 
pun bersemadi untuk menyembuhkan luka dalamnya. Masih di bekas tempat pertarungannya 
dengan Peramal Maut, sepagi ini Kakek Pikun 
masih terus duduk bersemadi. Dari terangnya si-
nar matahari, tampak wajahnya tak lagi pucat se-
perti dua hari lalu. Jalan pernapasannya pun mu-
lai teratur. Ini jelas menandakan kalau luka da-
lamnya telah sembuh.
"Syukur. Akhirnya luka dalamku sembuh 
juga...," desah Kakek Pikun dalam hati.
Perlahan-lahan lelaki tua pikun ini mem-
buka kelopak mata. Agak silau matanya manaka-
la sinar matahari tepat menyinari wajahnya. Bu-
ru-buru Kakek Pikun meletakkan sisi telapak 
tangannya di atas kening.
"Menyesal sekali aku tak dapat menghenti-
kan sepak terjang Peramal Maut. Tapi, apa boleh 
buat? Peramal Maut bukanlah tokoh sembaran-
gan. Aku mesti memperdalam ilmu silatku kalau 
ingin menghentikan sepak terjangnya...," lanjut 
Kakek Pikun, membatin.
Kakek Pikun berniat menggeser duduknya. 
Namun ketika hendak beringsut, tiba-tiba perut-
nya terasa melilit sekali. Memang, sudah dua hari 
dua malam perutnya belum diisi.
Kakek Pikun sejenak clingak-clinguk ke 
sana kemari, lalu segera melompat bangun. Tu-
juannya yang pertama ingin sekali mencari bahan 
makanan untuk mengganjal perutnya.
"Pagi-pagi begini enaknya makan daging 
kelinci panggang. Tapi, di mana aku dapat mene-
mukan kelinci...?"
Lelaki tua pikun ini masih clingak-clinguk
di tempatnya. Matanya yang kelabu pun ikut jela-
latan ke sana kemari, memperhatikan semak-
semak belukar. Tapi sayang, apa yang diinginkan 
tak terlihat. Jangankan seekor kelinci. Seekor 
semut pun tak kelihatan di tempat itu.
"Tobil! Ke mana aku harus menemukan ke-
linci-kelinci itu. Wah...! Kalau begini caranya, aku 
bisa menunda seleraku untuk menyantap daging 
kelinci panggang. Tapi, tunggu dulu. Tak baik ka-
lau belum berusaha. Yah...! Baiknya, aku me-
mang harus mencarinya dulu. Kalau tak dapat, 
baru makan seadanya," putus Kakek Pikun ak-
hirnya.
Saat itu juga Kakek Pikun segera berkele-
bat menyusuri hutan itu untuk mendapatkan ke-
linci. Berkali-kali lelaki ini keluar masuk semak-
semak belukar, namun tetap saja tak menemukan 
binatang buruannya.
"Yah...! Kalau begini caranya, tak ada pili-
han lain. Terpaksa aku harus makan seadanya. 
Buah-buahan juga bolehlah...."
Sejenak Kakek Pikun mendongakkan kepa-
la ke atas. Matanya pun mulai sibuk memperha-
tikan buah-buahan di atas. Dan saat tengah me-
milih-milih, tiba-tiba hidungnya mencium bau 
wangi seperti bau daging kelinci panggang. Seke-
tika hidungnya kembang kempis. Kepalanya pun 
dipalingkan ke camping mencari-cari asal bau ba-
rusan.
"Ah...! Di sana! Baiknya aku ke sana saja. 
Siapa tahu orang yang sedang memanggang dag-
ing kelinci sudi membagi barang sepotong. Itu

kan lebih menyenangkan dibanding makan buah-
buahan. Tapi, kalau tidak mau memberi bagai-
mana?" Kakek Pikun mendadak ragu-ragu. "Ah...! 
Masa bodoh! Pokoknya aku harus mendapat dag-
ing kelinci itu. Kalau keberatan, aku akan me-
rayunya. He he he...."
Lelaki tua ini tak ingin lagi berlama-lama 
berkata sendiri. Terdorong keinginannya untuk 
menyantap daging kelinci bakar, tubuhnya segera 
berkelebat ke arah datangnya bau daging kelinci 
tadi.
Tak selang berapa lama, akhirnya Kakek 
Pikun pun menemukan tempat yang dimaksud. 
Dari balik semak belukar lelaki ini mengintip. 
Ternyata, orang yang tengah memanggang daging 
kelinci tak lain adalah Siluman Ular Putih dan 
Ratu Adil. Tampak dua anak muda itu tengah 
asyik menyantap daging kelinci sambil menung-
gui bagian yang belum matang.
Melihat siapa yang tengah memanggang 
daging kelinci, langsung saja Kakek Pikun berso-
rak gembira. Tanpa banyak pikir, lelaki tua ini se-
gera melompat keluar dari semak belukar, bagai 
bocah menemukan mainan baru.
"Apa benar, sobat-sobat mudaku! Tak ku-
sangka kita akan bertemu di sini, ya?" sapa Ka-
kek Pikun.
Sambil tersenyum-senyum mata tua si ka-
kek tak henti-hentinya memperhatikan Siluman 
Ular Putih dan Ratu Adil yang tengah menyantap 
daging kelinci panggang. Tanpa sadar air liurnya 
hampir menetes.

"Oh...! Rupanya kau, Kakek Pikun! Ayo si-
ni, Kek! Kenapa malu-malu? Apa tidak ingin ikut 
menikmati daging kelinci?" sambut Ratu Adil ra-
mah. Senyumnya pun ikut terkembang di bibir.
"Mau! Mauuu...!" kata batin Kakek Pikun, 
semangat.
"Ayo, Kek! Jangan malu-malu! Nanti kebu-
ru disikat habis temanku yang rakus ini!" tuding 
Ratu Adil ke arah Siluman Ular Putih.
"Oh...! Jangan dihabiskan!" teriak Kakek 
Pikun tak dapat menyembunyikan perasaan. Ma-
lah dengan langkah buru-buru segera didekatinya 
Ratu Adil dan Siluman Ular Putih. Ia duduk men-
jejeri Siluman Ular Putih dan tangannya langsung 
memotes paha daging kelinci panggang.
Ratu Adil dan Siluman Ular Putih yang me-
lihat ulah Kakek Pikun hanya tersenyum-senyum 
saja.
Tanpa malu-malu lagi, Kakek Pikun segera 
menyantap paha kelinci di tangannya lahap. Ma-
lah, lebih lahap dibanding Siluman Ular Putih dan 
Ratu Adil. Maklum sudah dua hari dua malam 
perutnya belum diisi. Maka tak heran kalau ja-
tahnya lebih dulu dihabiskan. Namun untuk me-
nambah, lelaki tua ini malu-malu. Hanya dipan-
danginya Siluman Ular Putih dan Ratu Adil yang 
masih mengunyah daging kelinci penuh minat.
"Mau nambah?" tanya Siluman Ular Putih.
Kakek Pikun mengangguk malu-malu.
Soma dan Ratu Adil tersenyum.
"Ambil saja kalau masih lapar! Jangan ma-
lu-malu. Kek!" ujar Soma masih diiringi senyum.

"Iya, Kek. Kenapa malu-malu sih? Ambil 
saja sesuka hatimu," timpal Ratu Adil.
Tanpa malu-malu lagi Kakek Pikun segera 
memotes bagian daging kelinci panggang lainnya, 
lalu mengunyahnya lahap-lahap. Tak cukup 
hanya memakan dua potong, kembali dipotesnya 
bagian daging kelinci panggang itu hingga habis 
tinggal tulang-belulang.
Siluman Ular Putih sejenak saling berpan-
dangan dengan Ratu Adil. Entah, apa makna 
pandang mata mereka.
"Maaf, aku menghabiskan makan kalian," 
ucap Kakek Pikun malu-malu.
"Sudahlah! Kenapa diributkan soal maka-
nan?" tukas Siluman Ular Putih kemudian.
"Oh, ya, Kek? Sebenarnya kau mau ke ma-
na?" tanya Ratu Adil.
"Aku.... Aku.... Oh, ya? Aku ingin mencari 
Hantu Tangan Api. Tapi, katanya dia sudah mati," 
sahut si kakek.
"Kata siapa?" goda Siluman Ular Putih.
"Kau kan yang bilang dua hari lalu. Tapi, 
perempuan berpayung itu juga ngomong begitu. 
Aku jadi bingung. Pada siapa aku harus meminta 
pertanggungjawaban atas tewasnya muridku?" 
keluh Kakek Pikun.
"Kau tadi menyebut-nyebut perempuan 
berpayung. Apa kau telah bertemu Putri Hijau?" 
tanya Soma dengan kening berkerut.
"Ah, ya! Perempuan berpayung itu memang 
Putri Hijau," sahut Kakek Pikun senang. "Tapi 
sayang, kami malah sempat bentrok."

"Kenapa?"
"Aku yang salah. Aku yang memulai du-
luan. Untung saja, Putri Hijau tak mau meladeni. 
Ia pergi begitu saja meninggalkanku."
"Hm...! Itu memang lebih baik daripada sal-
ing bersilang sengketa," ujar Ratu Adil.
Kakek Pikun mengangguk perlahan.
"Sekarang kau sendiri mau ke mana, Kek?" 
tanya Ratu Adil lagi.
Kakek Pikun menggeleng perlahan. "Aku 
tidak tahu. Mungkin aku akan kembali saja ke 
Gunung Slamet. Aku sudah bosan berpetualang."
"Kalau begitu, selamat berpisah, Kek! Kami 
pun akan melanjutkan perjalanan," kata Soma.
"Kalian mau ke mana?" tanya si kakek, 
memandangi bergantian dari wajah Soma berpin-
dah pada Ratu Adil.
"Kami akan mencari seseorang yang ber-
nama Gendon Prakoso. Tolong kalau kau bertemu 
orang yang kami maksud, cepat beri tahu kami!" 
jelas Ratu Adil.
"Ya ya ya...." Kakek Pikun mengangguk-
angguk kepala mirip burung beo.
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil pun se-
gera berkelebat meninggalkan tempat itu. Dalam 
beberapa kelebatan saja sosok mereka telah 
menghilang di kerimbunan depan sana.
"Eh...! Kenapa aku tidak menanyakan ten-
tang Hantu Tangan Api? Apakah ia benar-benar 
sudah mati apa belum? Huhhh! Kenapa aku jadi 
lupa?" desah Kakek Pikun seraya menepuk-nepuk 
jidatnya sendiri. "Tapi Putri Hijau dan bocah gondrong itu pernah ngomong kalau Hantu Tangan 
Api sudah mati. Benarkah? Kalau benar, apa yang 
harus kulakukan?"
Kakek Pikun jadi kebingungan sendiri. Lalu 
telapak tangan kanannya menopang dagu, se-
dangkan telapak tangan kiri menopang siku tan-
gan kanan.
"Kukira omongan Putri Hijau dan bocah 
gondrong itu benar. Tak mungkin mereka mem-
bohongiku. Jadi, tak ada gunanya aku melan-
jutkan perjalanan ini. Baiknya, aku pulang saja 
ke tempat pertapaanku di Gunung Slamet...."
Di ujung kalimatnya, Kakek Pikun segera 
melompat bangun. Sejenak pandangannya bere-
dar ke sekeliling. Sepertinya, masih ada keragu-
raguan yang menyelimuti hatinya.
"Ah...! Aku harus secepatnya kembali ke 
puncak Gunung Slamet," desah Kakek Pikun, lalu 
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. 
Namun baru saja beberapa tombak....
"Tahan langkahmu, Kambing Tua!"

DUA BELAS


Kakek Pikun terkesiap kaget dan langsung 
menghentikan langkahnya. Kepalanya cepat ber-
paling ke arah datangnya suara. Ternyata tak 
jauh dari tempat itu telah berdiri dua sosok tu-
buh. Yang berdiri di sebelah kanan adalah seo-
rang laki-laki bertubuh tinggi besar. Jubahnya

besar berwarna kuning. Rambutnya yang gon-
drong dibiarkan awut-awutan tak terawat. Dari 
parasnya yang kasar, jelas sekali menyiratkan ke-
kejian menggiriskan. Apalagi ditambah sepasang 
mata yang mencorong liar.
Di sebelah kiri adalah seorang gadis cantik. 
Usianya kira-kira dua puluh tahun. Pakaiannya 
yang ketat berwarna kuning menampakkan le-
kuk-lekuk tubuhnya yang menantang. Sedang 
rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas.
"Siapa kalian? Tak ada hujan, tak ada an-
gin memakiku, Kambing Tua?" tanya Kakek Pikun 
menatap tajam dua sosok di hadapannya yang tak 
lain Gembong Kenjeran dan Dewi Bunga Bangkai.
"Ketahuilah, Kambing Tua! Aku adalah 
Gembong Kenjeran. Sedang temanku yang cantik 
ini bergelar Dewi Bunga Bangkai. Paham?" sahut 
Gembong Kenjeran, angkuh.
"Lalu, kalian mau apa? Kenapa mengha-
dang langkahku?" tuntut Kakek Pikun curiga.
"Ada dua permintaan yang harus kau pe-
nuhi. Pertama, kau harus takluk di bawah perin-
tahku. Kedua, kau harus segera mencari keteran-
gan tentang Siluman Ular Putih!"
"Cih! Enak saja main perintah! Kau pikir 
aku ini apamu, hah?!" hardik Kakek Pikun mulai 
tak dapat mengendalikan amarah.
"Kalau begitu, kau harus menebusnya den-
gan nyawa!" putus Gembong Kenjeran.
Tokoh sesat dari Hutan Kenjeran yang se-
benarnya tengah melanjutkan perjalanan menuju 
tempat persembunyiannya di Hutan Kenjeran itu

mulai bersiap-siap melancarkan serangan. Kedua 
telapak tangannya kini telah berubah menjadi 
kuning hingga pangkal lengan.
"Tunggu! Sebenarnya kalian mau apa men-
cari-cari Siluman Ular Putih?" cegah Kakek Pikun 
heran.
"Wasiat Kematian Eyang Pamekasan telah 
dititahkan padaku. Aku harus secepatnya meng-
hentikan sepak terjang Siluman Ular Putih dan 
Penyair Sinting."
"Pamekasan? Kau menyebut-nyebut perta-
pa sesat berhati iblis itu? Apa hubunganmu den-
gan tua bangka keparat itu, he?!"
"Tutup mulutmu, Kambing Tua! Kau tak 
pantas memaki guruku!" dengus Gembong Kenje-
ran, meledak-ledak.
"Oh...! Jadi tua bangka berhati iblis itu gu-
rumu? Pantas! Kalau gurunya berhati iblis, tentu 
muridnya berhati setan? Aku tak sudi takluk di 
bawah kekuasaanmu. Apalagi, membantumu un-
tuk mencari Siluman Ular Putih. Cari saja sendiri 
kalau kalian bisa!"
"Kalau begitu tak ada gunanya kita bicara 
panjang lebar. Kau memang patut modar di tan-
ganku, Manusia Tak Berguna!" putus Gembong 
Kenjeran penuh kemarahan.
Gendon Prakoso alias Gembong Kenjeran 
bersiap menerjang Kakek Pikun dengan kedua te-
lapak tangan yang telah berubah menjadi kuning.
"Tahan. Kakang!"
Dewi Bunga Bangkai yang telah merubah 
panggilannya terhadap Gembong Kenjeran segera

mencekal pergelangan tangan lelaki itu.
"Biarkan aku yang menghajar tua bangka 
tak berguna itu, Kakang?"
Gembong Kenjeran memandang gadis itu 
sekilas. Tampak sekali kalau hatinya ragu-ragu 
membiarkan Dewi Bunga Bangkai bertarung me-
lawan Kakek Pikun.
"Jangan khawatir, Kakang! Aku pasti dapat 
mengatasi tua bangka tak berguna itu."
Gembong Kenjeran akhirnya mengangguk. 
"Hati-hati, Dewi! Tampaknya ilmu tua bangka itu 
tak boleh dipandang ringan."
"Aku tahu, Kakang," sahut Dewi Bunga 
Bangkai, seraya memperlebar senyum. Lalu ka-
kinya segera melangkah beberapa tindak berha-
dap-hadapan dengan Kakek Pikun.
"Sungguh sayang, kenapa bukan manusia 
pongah itu yang maju, hah?!" dengus Kakek Pi-
kun.
"Jangan banyak bacot, Tua Bangka Kepa-
rat! Langkahi dulu mayatku kalau ingin mengha-
dapi Kakang Gembong Kenjeran!" bentak Dewi 
Bunga Bangkai, garang.
Di akhir bentakannya, murid Ratu Bangkai 
dari Lembah Selaksa Kematian itu segera mener-
jang ganas Kakek Pikun. Tangannya cepat mero-
goh saku, mengambil bunga-bunga bangkainya 
yang beracun. Lalu dengan tenaga dalam penuh 
segera dilontarkannya senjata andalan itu ke arah 
Kakek Pikun.
"Hm...! Pasti kau ada sangkut pautnya 
dengan Ratu Bangkai dari Lembah Selaksa Kematian itu. Bagus! Kalau begitu tak percuma kalau 
aku harus melenyapkanmu, Cah Ayu.... Hup...!"
Kakek Pikun segera melenting tinggi ke 
udara, membuat lima bunga bangkai itu terus 
menerabas ke belakang, menghantam batang po-
hon di belakang Kakek Pikun. Seketika batang-
batang pohon yang terkena sambaran bunga-
bunga bangkai milik Dewi Bunga Bangkai lang-
sung berlobang, mengepulkan uap tipis kekunin-
gan!
Sementara itu, Kakek Pikun yang tubuh-
nya masih melayang di udara segera melancarkan 
serangan balasan. Kedua telapak tangannya sege-
ra dihantamkan ke bawah, menciptakan dua 
rangkum angin keras yang disertai hawa dingin 
bukan kepalang siap melabrak tubuh Dewi Bunga 
Bangkai.
Werrr! Werrr!
Dewi Bunga Bangkai sempat melengak ka-
get. Namun bukan berarti harus kehilangan akal. 
Begitu melihat datangnya serangan, tubuhnya se-
gera dibuang ke samping. Bahkan ia masih sem-
pat melontarkan bunga-bunga bangkai ke arah 
serangan angin milik Kakek Pikun.
Plek! Plekkk!
Lima buah bunga bangkai milik Dewi Bun-
ga Bangkai kontan luruh ke tanah begitu bertemu 
dua rangkum angin keras dari kedua telapak tan-
gan Kakek Pikun. Namun akibatnya, tanah re-
rumputan langsung mengepulkan uap tipis ke-
kuning-kuningan, begitu terkena bunga-bunga 
bangkai.

Sampai di sini Kakek Pikun dari Gunung 
Slamet sadar kalau bunga-bunga bangkai milik 
murid Ratu Bangkai itu mengandung racun keji. 
Dan itu membuatnya harus lebih berhati-hati 
dengan tidak menangkis langsung bunga-bunga 
bangkai itu.
Dewi Bunga Bangkai penasaran bukan 
main. Dua kali melontarkan serangan maut, na-
mun belum juga menemui hasil. Bagaimanapun 
juga senjata andalannya harus dihemat agar tak 
sampai habis. Maka mau tak mau ia harus men-
gerahkan pukulan andalan gurunya 'Memetik 
Bunga Mengirim Racun'. Dan begitu tenaga da-
lamnya dikerahkan, kedua telapak tangannya 
langsung berubah kuning hingga pangkal lengan.
"Makanlah pukulan mautku, Tua Bangka 
Keparat! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Dewi Bunga 
Bangkai segera menyentakkan kedua telapak tan-
gan ke depan. Tak dapat ditahan lagi, dua larik 
sinar kuning segera meluncur dari kedua telapak 
tangannya siap melabrak tubuh Kakek Pikun.
Wesss! Wesss!
Kakek Pikun tak kehilangan akal. Segera 
dikerahkannya pukulan andalan 'Bayu Bajra'. 
Maka begitu kekuatan tenaga dalamnya telah ter-
himpun, kedua telapak tangannya segera dihen-
takkan ke depan. Akibatnya, dua rangkum angin 
dingin yang disertai suara menggemuruh lang-
sung melesat, melabrak dua larik sinar kuning 
milik Dewi Bunga Bangkai.
Pesss!

Blarrr!
Terdengar ledakan hebat di udara ketika 
terjadi benturan dua kekuatan dahsyat. Seketika 
tempat pertarungan jadi terang benderang. Bumi 
terguncang hebat laksana diguncang prahara. 
Ranting-ranting pohon berderak, begitu terkena 
angin sambaran. Daun-daunnya pun hangus ter-
bakar, sebagian lainnya membeku!
Bak layangan putus tali, tubuh Dewi Bun-
ga terpental jauh ke belakang. Gadis itu berputar-
putar sebentar, sebelum akhirnya terbanting ke-
ras di tanah.
Brakkk!
Dewi Bunga Bangkai mengerang tertahan. 
Wajahnya pucat pasi. Napasnya pun tersengal 
hebat. Sementara, guncangan dalam dadanya te-
rasa tak tertahankan dan....
"Hoeeekh!"
Darah merah kekuning-kuningan kontan 
menyembur keluar dari mulut Dewi Bunga Bang-
kai. Buru-buru tangannya menekan dada kuat-
kuat. Seolah-olah dengan cara itu, ia ingin me-
nindih guncangan dalam dadanya. Namun, tetap 
saja gadis itu tak sanggup.
"Mundur, Dewi! Biar aku yang menghadapi 
tua bangka keparat ini!"
Tiba-tiba Gembong Kenjeran menggeram 
penuh kemarahan. Sekali menghentakkan ka-
kinya ke tanah, tubuhnya telah berdiri di depan 
Kakek Pikun.
"He he he...! Kenapa tidak dari tadi kau 
melawanku, Gembong Kenjeran? Sekarang setelah kekasihmu roboh, baru kau turun tangan. 
Untung saja aku tidak membunuhnya!" ejek Ka-
kek Pikun.
Gembong Kenjeran mendengus murka. Na-
pasnya memburu saking tak tahan menindih ge-
legak amarahnya.
"Setan alas! Kau harus membayar mahal 
atas penghinaan ini, Tua Bangka Keparat!"
Bukan main geramnya hati Gembong Ken-
jeran saat itu. Tanpa basa-basi lagi hendak diter-
jangnya Kakek Pikun dengan serangan dahsyat. 
Tidak tanggung-tanggung pukulan andalannya 
'Pelebur Bumi' pun dikerahkan, membuat kedua 
telapak tangannya jadi hitam legam hingga pang-
kal lengan.
"Hea!"
Bersamaan bentakannya, Gembong Kenje-
ran menghentakkan kedua tangannya. Dua larik 
sinar hitam legam pun melesat dari kedua telapak 
tangannya. Tapi dengan gerakan cepat luar biasa, 
Kakek Pikun telah melompat ke samping meng-
hindari serangan.
Brakkk!
Batang pohon yang jadi sasaran serangan 
Gembong Kenjeran kontan tumbang. Daun-
daunnya berguguran dalam keadaan hangus ter-
bakar! Debu-debu pun membubung tinggi meme-
nuhi tempat itu, hingga menghalangi pandangan.
Gembong Kenjeran menggereng bak kerbau 
mau disembelih. Matanya jelalatan ke sana kema-
ri, mencari-cari sosok Kakek Pikun di balik debu-
debu yang membubung tinggi.

"Hey, Babi Kuning! Aku di sini!" panggil 
Kakek Pikun bernada mengejek, makin membuat 
amarah Gembong Kenjeran berkobar.
Gembong Kenjeran segera berpaling ke 
arah datangnya suara. Dilihatnya orang tua pikun 
dari Gunung Slamet itu tengah kipas-kipas tan-
gan sambil menyilangkan satu kaki ke kaki lain-
nya di atas sebuah batu.
"Bajingaaaaannnn...!!! Demi iblis tak 
mungkin kubiarkan hidup lebih lama lagi, Tua 
Bangka Keparat!"
Layaknya orang kesurupan, Gembong Ken-
jeran yang tak dapat lagi mengendalikan amarah 
segera menerjang beringas Kakek Pikun. Tidak 
tanggung-tanggung, segera dikerahkannya ajian 
'Setan Kober'. Begitu tenaga dalam dikerahkan, 
dari kedua telapak tangannya menyembul bayi-
bayi hitam dengan kedua bola mata berwarna me-
rah saga! Sedang tangan-tangan bayi hitam itu 
menjulur-julur, ke arah tubuh Kakek Pikun!
Sejenak Kakek Pikun dari Gunung Slamet 
terpana saat turun dari batu besar yang didudu-
ki. Lelaki ini seperti tidak tahu apa yang harus 
diperbuat. Namun ketika menyadari bahaya maut 
mengancam, segera kedua telapak tangannya di-
hentakkan ke depan. Seketika dua rangkum an-
gin dingin melesat dari kedua telapak tangannya 
melabrak sosok-sosok mengerikan bayi-bayi hi-
tam itu! 
Besss!
Bukan main kagetnya hati Kakek Pikun. 
Ternyata, serangannya tidak membawa hasil.

Bahkan tangan-tangan hitam bayi aneh dari ke-
dua lengan Gembong Kenjeran terus menjulur ke 
depan, mencengkeram tubuh si tua dari Gunung 
Slamet itu kuat-kuat!
"Auukhhh...!!!"
Kakek Pikun melenguh tertahan. Tanpa 
ampun tubuhnya kontan mengejang-ngejang he-
bat, namun dicobanya untuk bertahan. Dengan 
kekuatan tenaga dalam penuh, dicoba mele-
paskan cengkeraman tangan-tangan bayi hitam 
itu. Namun sayang, hasilnya hampa. Apalagi, tan-
gan-tangan bayi malah kian kuat mencengkeram 
tubuhnya.
Rrekkk! Krekkk!
"Aaaakhhh...!"
Terdengar tulang-tulang dalam tubuh Ka-
kek Pikun remuk tercengkeram tangan-tangan 
bayi hitam. Lelaki tua itu kontan menjerit hebat. 
Rasa nyeri yang tak terhingga semakin hebat me-
nyerang dirinya.
"Sekaranglah saatnya kau modar di tan-
ganku, Tua Bangka Keparat!" dengus Gembong 
Kenjeran.
Tanpa buang-buang waktu lagi, Gembong 
Kenjeran segera melemparkan tubuh Kakek Pikun 
ke batang pohon di hadapannya.
Wesss!
Tanpa ampun, tubuh Kakek Pikun lang-
sung terbanting deras ke samping. Ketika tinggal 
beberapa jengkal sebelum menghantam batang 
pohon, mendadak berkelebat cepat sesosok 
bayangan hijau dari semak belukar.

Tap!
Cepat disambarnya tubuh Kakek Pikun. 
Lalu hanya dalam sekejapan mata, sosok bayan-
gan hijau itu pun telah menghilang dari hadapan 
Gembong Kenjeran.
"Bajingaaaan...! Siapa yang berani bermain 
gila dengan Gembong Kenjeran, hah?!" bentak 
Gembong Kenjeran mengkelap. "Ayo, Dewi! Kita 
kejar mereka!"
Gembong Kenjeran segera menyambar tu-
buh Dewi Bunga Bangkai. Dan mereka segera 
berkelebat, menyusul sosok bayangan hijau tadi 
yang membawa tubuh Kakek Pikun dari Gunung 
Slamet.

                                 SELESAI

Segera terbit:

RAHASIA KALUNG PERMATA HIJAU


Share:

0 comments:

Posting Komentar