..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 28 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE TOMBAK RAJA AKHIRAT

Tombak Raja Akhirat

 

Hak cipta dan copy right pada 

penerbit di bawah lindungan 

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


Panas menyengat menjilati dataran hijau 

menghampar di sebelah timur muara Kali Angkrik. An-

gin berhembus sangat kencang, seakan-akan ingin 

memporak-porandakan pepohonan yang tumbuh rin-

dang di sekitar. Keriyut-keriyut bunyi pepohonan yang 

saling bergesekan terdengar menggiriskan.

Satu sosok bayangan hitam bertubuh ramping 

terlihat tengah berlari kencang di jalan setapak. Pa-

kaian dan rambutnya yang panjang tergerai di bahu 

berkibar-kibar tertiup angin. Meski demikian, larinya 

terus dipercepat. Gerakan kedua kakinya ringan sekali 

laksana terbang!

Srak!

"Heh...?!"

Mendadak sosok serba hitam itu menghentikan 

langkahnya dengan wajah terkejut. Matanya yang in-

dah bak bintang kejora jelalatan ke sana kemari. Tadi 

samar-samar, sosok ramping yang ternyata seorang 

gadis cantik itu mendengar langkah-langkah halus di 

balik rindangnya sebuah pohon di samping. Bahkan 

matanya tadi pun sempat melihat sesuatu yang berge-

rak-gerak. Gadis cantik itu mendengus penuh kema-

rahan. Sepasang mata tajamnya langsung memperha-

tikan pohon besar di sampingnya.

"Monyet-monyet tua, Tiga Setan Ruyung Baja! 

Keluaaar...!" bentak gadis cantik itu.

Tidak ada jawaban. 

Wajah gadis cantik itu tampak tegang. Sinar 

matanya mencorong tajam. Kedua pelipisnya bergerak-

gerak pertanda tengah menahan amarah yang mengge-

legak


"Sekali lagi kuperingatkan! Kalau kalian tak 

mau keluar, jangan salahkan kalau aku akan memak-

sa kalian keluar!"

Habis berkata begitu sang gadis menghimpun 

tenaga dalamnya dengan membuat beberapa gerakan 

tangan setelah membuat kuda-kuda kokoh. Maka se-

ketika kedua telapak tangannya berubah putih berki-

lauan hingga ke pangkal. Kemudian tanpa banyak ca-

kap lagi kedua telapak tangannya segera didorongkan 

ke depan.

Wesss! Wesss!

Saat itu pula, dua larik sinar putih berkilauan 

melesat dari kedua tangan gadis itu ke arah pohon 

yang dicurigai.

Blarrr!

Brakkk!

Pohon yang jadi sasaran kontan berderak dan 

jatuh berdebum menimpa tanah! Debu-debu beterban-

gan! Batang pohon yang terkena pukulan gadis cantik 

itu hangus berlubang, mengepulkan uap putih tipis! 

Daun-daunnya rontok dalam keadaan kering!

Bersamaan dengan tumbangnya pohon tadi, 

tampak melompat keluar tiga sosok bayangan serba hi-

tam dari tempat persembunyian, Begitu melihat siapa 

ketiga sosok itu, si gadis menggerutkan gerahamnya 

kuat-kuat. Matanya tajam memandang tiga sosok yang 

ternyata tiga lelaki berpakaian serba hitam yang kini 

berdiri tegak di hadapannya.

"Bidadari Kecil! Berani benar kau mengejar ka-

mi? Apa nyawamu rangkap, he?!" bentak salah seorang 

lelaki berwajah kotak. Sepasang matanya berwarna 

merah menyala. Hidungnya besar, rahangnya bertonjo-

lan. Rambutnya yang gondrong dibiarkan awut-awutan 

di bahu. Tubuhnya yang tinggi besar dibalut pakaian


ketat warna hitam.

Di samping lelaki itu berdiri pula dua orang le-

laki lain yang juga berperangai kasar. Wajah mereka 

kokoh dengan sepasang mata berwarna merah menya-

la. Hidung mereka besar. Rambut mereka pun awut-

awutan. Yang satu bertubuh tinggi kurus, tapi yang 

satu lagi bertubuh tinggi besar.

Ketiga orang berpakaian hitam-hitam itu me-

mang tidak lain dari Tiga Setan Ruyung Baja, musuh 

besar Perguruan Kelelawar Putih. Dan gadis yang ter-

nyata Bidadari Kecil ini merasa berkewajiban untuk 

menuntut balas atas tewasnya lima orang murid Per-

guruan Kelelawar Putih di tangan Tiga Setan Ruyung 

Baja.

Sebenarnya agak janggal bila Aryani yang kini 

sebagai Ketua Perguruan Kelelawar Putih sampai tu-

run tangan sendiri untuk menghadapi Tiga Setan 

Ruyung Baja. Tapi lebih dari itu ternyata di dalam ha-

tinya yang paling dalam, sebenarnya niatan semula 

bukan ingin mengejar Tiga Setan Ruyung Baja. Me-

lainkan, ingin sekali bertemu Soma, pemuda tampan 

murid Eyang Begawan Kamasetyo yang diam-diam mu-

lai mengusik hatinya!

"Keparat! Hutang nyawa harus dibayar nyawa! 

Kalian bertiga telah berbuat onar di Perguruan Kelela-

war Putih. Bahkan telah menewaskan beberapa orang 

murid. Maka, nyawa busuk kalianlah sebagai tebu-

sannya!" bentak Aryani penuh kemarahan, menutupi 

hasratnya yang ingin bertemu Soma.

Tiga Setan Ruyung Baja tertawa bergelak.

"Boleh-boleh! Kalau kau memang ingin modar 

di tangan kami. Tapi, ngomong-ngomong, sayang juga 

kalau kau yang begini cantik harus mampus di tangan 

kami" sahut lelaki kasar yang bertubuh tinggi kurus.


"Keparat! Kali ini aku benar-benar tidak ingin 

melepaskan kalian dari tangan maut ku! Hyaaat...!"

Aryani memekik penuh kemarahan. Sekali ka-

kinya menjejak ke tanah, tubuh tinggi rampingnya te-

lah meloncat tinggi. Begitu berada di udara, segera di-

lontarkannya pukulan 'Kelelawar Sakti'-nya.

Seketika itu dua larik sinar putih berkilauan 

melesat ke arah lelaki tinggi kurus. Hebatnya sebelum 

sinar putih berkilauan itu mengenai sasaran, terlebih 

dahulu telah berkesiur angin dingin.

"Awas, Damar Suto!" teriak lelaki kurus.

"Tenang, Karto Marmo," sahut lelaki tinggi be-

sar yang dipanggil Damar Suto.

Lelaki tinggi kurus yang dipanggil Karto Marmo 

segera membuang tubuhnya ke kanan. Sementara 

Damar Suto membuang tubuhnya ke kiri.

Blarrr!

Dua larik sinar putih itu langsung menghantam 

tanah tempat mereka berpijak tadi hingga kontan ber-

hamburan ke udara! Bahkan menciptakan dua lubang 

besar yang mengepulkan uap putih tipis!

Begitu bangkit, Karto Marmo dan Damar Suto 

hanya menggeleng-geleng melihat pukulan Aryani tadi. 

Sementara lelaki berbaju hitam satunya tak urung cu-

kup terkejut juga. Untung saja dia tadi berdiri agak 

jauh. Sehingga tak perlu repot-repot menyelamatkan 

diri.

"Uluk Sabrang! Kau jangan diam saja! Ringkus 

gadis itu!" teriak Damar Suto kepada lelaki berbaju hi-

tam yang bernama Uluk Sabrang.

Uluk Sabrang segera menyiapkan jurusnya, be-

gitu mendapat perintah dari lelaki tinggi kurus yang 

merupakan kakak seperguruannya.

Aryani sendiri yang melihat serangan perta


manya gagal sudah jadi kalap bukan main. Sementara, 

kedua kakinya mendarat di tanah, pedang kembarnya 

yang menggelantung di pinggang segera diloloskan. 

Itulah sepasang Pedang Kelelawar Putih. Dan dengan 

menggunakan jurus-jurus 'Pedang Kelelawar Sakti', 

Bidadari Kecil itu segera menerjang Uluk Sabrang.

"Hiaaat...!"

Serangan-serangan Aryani yang telah mencapai 

tingkat tinggi membuat Uluk Sabrang kewalahan bu-

kan main. Melihat hal ini, segera Damar Suto dan Kar-

to Marmo ikut membantu serangan.

Namun tetap saja serangan-serangan Aryani 

demikian hebatnya. Apalagi setelah mengerahkan ju-

rus-jurus gabungan antara jurus 'Pedang Kelelawar 

Sakti' dengan jurus 'Sumur Kematian'. Akibatnya, Tiga 

Setan Ruyung Baja benar-benar kewalahan bukan 

main. Berkali-kali baik pedang maupun gulungan 

rambut gadis itu mengancam keselamatan mereka.

"Hea...! Hea...!"

Damar Suto dan kedua orang adik sepergu-

ruannya cepat memutar ruyung baja. Dan ketika tan-

gan kiri mereka menghentak, meluncur tiga rangkaian 

angin dahsyat saling susul.

Wesss! Wesss!

Aryani yang sudah siap menerima serangan se-

gera menghentakkan kedua tangannya. 

Bummm...!

Aryani terjengkang beberapa tombak ke bela-

kang begitu terjadi benturan tenaga dalam yang me-

nimbulkan ledakan dahsyat. Wajahnya pucat pasi. Sei-

si dadanya serasa berguncang.

Dan sewaktu bentrokan itu tadi, tubuh Tiga Se-

tan Ruyung Baja sempat terhuyung-huyung beberapa 

langkah ke belakang. Wajah mereka pucat pasi! Seku


jur tubuhnya menggigil kedinginan!

Aryani gusar bukan main. Sepasang matanya 

berkilat-kilat penuh kemarahan. Sekali tubuhnya ber-

gerak tahu-tahu gadis cantik itu telah berdiri tegak 

kembali di hadapan Tiga Setan Ruyung Baja. Bahkan 

kemudian, sepasang pedang di tangannya langsung 

berkelebatan mengincar bagian-bagian tubuh Tiga Se-

tan Ruyung Baja hebat.

Di tempatnya, Tiga Setan Ruyung Baja yang 

tengah mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir 

hawa dingin yang terus menerabas ke dalam tubuh 

hanya bisa membelalakkan mata lebar. Sulit rasanya 

bagi ketiga orang itu untuk menyelamatkan diri. Apa-

lagi saat itu Aryani sendiri pun telah mengerahkan ju-

rus saktinya yang dipelajari dari kitab peninggalan 

Pendekar Lowo Putih, eyang gurunya.

Namun di saat yang gawat bagi Tiga Setan 

Ruyung Baja, mendadak dari arah samping telah ber-

kelebatan berpuluh-puluh sinar kuning keemasan 

yang langsung mengarah ke tubuh Aryani!

Wesss! Wesss!

Bidadari Kecil cepat memutar pedangnya demi-

kian rupa.

Cring! Cring!

Berpuluh-puluh sinar keemasan itu pun jatuh 

berguguran. Dan ketika sepasang mata Aryani melihat 

sinar kuning keemasan yang menyerang dirinya ter-

nyata adalah jarum-jarum emas, kemarahannya kon-

tan menggelegak!

"Bedebah! Lagi-lagi murid-murid Istana Ular 

Emas yang menghalangi maksudku!" bentak Aryani 

penuh kemarahan. Sepasang matanya yang indah ber-

kilat-kilat memandangi sosok perempuan cantik di 

samping sejauh tujuh tombak.


DUA


Perempuan cantik berpakaian kuning keema-

san dengan rambut digelung di hadapan Aryani sama 

sekali tak menggubris bentakan barusan gadis itu. 

Hanya senyum liciknya saja yang tersungging di bibir.

"Teratai Emas! Kuhargai bantuanmu. Tapi ra-

sanya, kami masih sanggup menghadapi gadis bengal 

ini. Untuk itu, sudilah kau menyingkir barang seje-

nak!" ujar Karto Marmo.

Aryani terkesiap. Ia memang pernah mendengar 

sepak terjang murid tertua dari Istana Ular Emas yang 

bergelar Teratai Emas. Dan sungguh tak disangka ka-

lau orang yang sangat licik di dunia persilatan itu kini 

telah berdiri tegak di hadapannya.

Mendengar ucapan Karto Marmo, lagi-lagi Tera-

tai Emas hanya menyunggingkan senyum kecut

"Siapa yang membantu? Aku tidak membantu 

siapa-siapa? Aku memang ada sedikit urusan dengan 

gadis ini," kilah gadis cantik yang memang Teratai 

Emas seraya menunjuk Aryani.

Sekali lagi Aryani terkesiap kaget.

Teratai Emas tersenyum dingin. Wajahnya tam-

pak membawa perbawa maut.

"Jangan kaget, Nona Cantik! Aku memang ingin 

berurusan denganmu," kata Teratai Emas masih den-

gan senyum dingin.

"Langsung saja, apa maksudmu? Apa kau pikir 

aku takut menghadapimu?" tukas Aryani jengkel.

Teratai Emas menggeretakkan gerahamnya 

jengkel. Ia memang sempat mendengar percakapan, 

sewaktu Soma alias Siluman Ular Putih membantu 

Aryani menghadapi Tiga Setan Ruyung Baja dari jarak


jauh. Dan begitu kedua anak muda itu berpisah, Tera-

tai Emas yang cerdik diam-diam segera mengikuti 

Aryani. Ia memang punya rencana, yakni memaksa 

murid Eyang Begawan Kamasetyo menuruti perintah-

nya.

"Kau akan menyesal dengan apa yang kau 

ucapkan barusan, Nona!" dengus Teratai Emas.

Habis mendengus begitu, tanpa banyak cakap 

Teratai Emas segera mengibaskan tangannya. Dan....

Werrr! Werrr!

Aryani cepat putar pedangnya begitu melihat 

sinar-sinar keemasan yang tak lain jarum-jarum bera-

cun.

Tring! 

Tiga batang jarum emas Teratai Emas itu kon-

tan berguguran.

Teratai Emas menggeram penuh kemarahan, 

Namun belum sempat bertindak lebih lanjut...

"Tunggu, Teratai Emas! Kau tidak boleh men-

campuri urusan kami!" bentak Damar Suto, garang.

Teratai Emas mendengus gusar.

"Siapa pun yang berani menentangku, berarti 

mati!"

Habis berkata begitu, tanpa banyak cakap Tera-

tai Emas kembali mengibaskan tangannya, melempar 

jarum-jarum emasnya. Dan....

Werrr! Werrr!

Tiga batang sinar kuning keemasan yang berke-

redepan cepat melesat menyerang Damar Suto.

Orang pertama dari Tiga Setan Ruyung Baja itu 

terkesiap kaget. Sungguh tidak disangka dirinya akan 

diserang sedemikian hebat. Maka tanpa banyak cakap 

lagi, ruyung bajanya segera diputar sedemikian rupa.

Cring! Cring!


Crap!

"Augh...!"

Damar Suto menjerit setinggi langit. Salah satu 

jarum emas Teratai Emas ternyata lolos dari tangkisan 

ruyung bajanya. Bahkan langsung amblas ke dalam 

dada. Tubuhnya langsung mengejang hebat. Racun 

ular emas di dalam jarum-jarum murid tertua Bunda 

Kurawa itu mulai menyerang peredaran darahnya.

"Ohh...!"

Damar Suto tidak tahan lagi. Seketika itu tu-

buh tinggi kekarnya ambruk. Sebentar ia melejang-

lejang, lalu tidak bergerak-gerak sama sekali dengan 

dada berwarna kuning!

"Setan Alas! Berani kau membunuh Damar Su-

to di hadapan kami, Perempuan Sundal?!" bentak Kar-

to Marmo penuh kemarahan.

Tangan kanannya yang memegang ruyung baja 

segera berkelebat cepat menyerang Teratai Emas. De-

mikian juga Uluk Sabrang.

Teratai Emas mendengus. Begitu melihat se-

rangan-serangan dua orang dari Tiga Setan Ruyung 

Baja hampir mengenai tubuhnya, segera kakinya men-

jejak ke tanah, meloncat tinggi ke udara. Sembari me-

loncat tinggi ke udara inilah, mendadak tangannya te-

lah meraih bunga-bunga teratai yang mengandung 

hawa racun keji dari sakunya. Seketika dilontarkannya 

bunga-bunga itu disertai pengerahan tenaga dalam 

tinggi

Wesss! Wesss!

Karto Marmo dan Uluk Sabrang terkesiap ka-

get. Mereka sudah cukup tahu, bunga-bunga teratai 

itu mengandung racun keji sekali. Ini terbukti dari bau 

anyir racun yang menebar ke sekitarnya.

Karto Marmo dan Uluk Sabrang tentu tidak ingin jadi korban bunga-bunga teratai itu. Maka seketika 

mereka segera memutar ruyung sedemikian rupa.

Tras! Tras...!

Bunga-bunga teratai emas itu pun berguguran 

ke tanah. Hebatnya, tanah itu pun kontan mengepul-

kan uap kekuningan!

Sementara Teratai Emas yang melihat seran-

gan-serangannya dapat dihindari kembali melontarkan 

bunga-bunga teratainya. Bersamaan dengan itu, sege-

ra pula tangan kirinya menghentak melepas pukulan 

maut 'Racun Ular Emas' ke arah dua orang musuhnya!

Wesss! Wesss!

Hebat bukan main serangan-serangan Teratai 

Emas kali ini. Aryani yang melihat jalannya pertarun-

gan pun, mendesis penuh kagum.

Bles...! Bles...!

Karto Marmo dan Uluk Sabrang yang tak kuasa 

menahan gempuran, akhirnya roboh ke tanah begitu 

terkena bunga-bunga teratai beracun itu. Dada mereka 

kontan berlubang besar, mengeluarkan darah merah 

kekuningan!

"Ja.... Jahanam...!" kata Karto Marmo dengan 

napas tersengal. Tangannya menggapai-gapai sebentar, 

lalu ambruk tak dapat bangun lagi. Begitu pula Uluk 

Sabrang yang tengah melejang-lejang meregang nyawa

"Itulah akibat orang yang berani menentang Te-

ratai Emas!" desis murid tertua Istana Ular Emas din-

gin.

Aryani bergidik ngeri. Rasanya belum pernah 

melihat racun sekeji itu.

"Sekarang giliranmu, Nona!" desis Teratai Emas 

lagi. "Kalau kau menurut, aku tidak akan menyakiti-

mu. Tapi kalau rewel, hm.... Terpaksa aku pun harus 

menyakitimu!"


"Kalau perempuan keji di hadapanku ini berla-

ku baik padaku, bukan mustahil tentu menginginkan 

sesuatu padaku. Tapi apa yang diinginkannya? Aku ti-

dak punya apa-apa yang berarti...," gumam Aryani da-

lam hati

Aryani menautkan kedua alisnya dalam-dalam. 

Sepasang matanya yang indah tak henti-hentinya me-

mandangi perempuan cantik di hadapannya.

"Aku tahu kelicikanmu, Teratai Emas. Kalau 

kau memang ingin berurusan denganku, majulah! Kau 

pikir aku takut menghadapi bunga-bunga terataimu?!" 

tantang Aryani.

Teratai Emas mendengus penuh kemarahan. 

Wajah dinginnya tampak makin menampakkan kebe-

ringasan. 

"Sudah kuduga. Kau pasti akan bertingkah. 

Hm.... Tak ada pilihan lain, terpaksa aku harus me-

lumpuhkanmu!"

Habis berkata begitu, Teratai Emas pun segera 

mengibaskan tangannya, melempar bunga-bunga tera-

tai emasnya menyerang Aryani. Bersamaan dengan itu, 

tubuh tinggi rampingnya pun segera menerjang dengan 

totokan-totokan maut!

Aryani mendesah lirih. Apalagi ketika hidung-

nya mengendus bau anyir yang bukan alang-kepalang. 

Namun Bidadari Kecil segera membuang tubuhnya ke 

samping.

Wuttt! Wutt...!

Blarrr! 

Lesatan-lesatan bunga teratai itu pun langsung 

menerabas ke belakang, menghantam beberapa batang 

pohon di belakang Aryani. Batang-batang pohon itu 

kontan berlubang besar, mengepulkan uap tipis ke-

kuning-kuningan. Dan seketika itu pula daun-daun


pohon itu pun layu.

Melihat serangan-serangannya dapat dihindari 

dengan demikian mudah, Teratai Emas pun kembali 

menyerang hebat Aryani yang baru saja bangkit. Ke-

dua telapak tangannya yang telah berwarna kuning 

keemasan hingga ke pangkal siku segera mengibas, 

melepas pukulan mautnya 'Racun Ular Emas'! 

Wesss! Wesss!

Dua larik sinar kuning keemasan dari kedua te-

lapak tangan Teratai Emas segera melesat cepat me-

nyerang Aryani.

Bidadari Kecil cepat mengerahkan tenaga 

'Kelelawar Sakti'-nya. Seketika itu kedua telapak tan-

gannya berubah jadi putih berkilauan, Dan sekali di-

dorongkan ke depan. 

Wesss...!

Terlihat dua larik sinar putih berkilauan dari 

kedua telapak tangan Bidadari Kecil melesat cepat 

memapak pukulan 'Racun Ular Emas'.

Bummm...!

Terdengar satu letusan hebat di udara ketika 

terjadi bentrokan dua tenaga dalam di udara. Bumi 

bergetar hebat. Angin berkesiur kencang memporak-

porandakan ranting-ranting pohon di sekitar tempat 

pertarungan!

Teratai Emas tersenyum dingin. Meski tubuh-

nya sempat tergetar hebat namun keadaan ini masih 

jauh lebih menguntungkan dibanding Aryani yang 

sempat terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-

kang dengan wajah pucat pasi. Tampak pula darah se-

gar membasahi sudut-sudut bibir, pertanda putri 

tunggal Pendekar Lowo Kuru itu mengalami luka da-

lam cukup parah!

"Apa kubilang?! Lebih baik turuti permintaan


ku, mumpung kau belum modar di tanganku!" ejek Te-

ratai Emas.

Begitu habis kata-kata ejekannya, Teratai Emas 

berkelebat cepat sekali. Jari-jari tangannya bergerak 

cepat menotok beberapa jalan darah Aryani yang 

hanya terkesiap. Sehingga....

Tukkk! Tukkk!

"Oh...!"

Aryani mengeluh. Seketika itu juga tubuhnya 

terasa lemas tak bertenaga begitu terkena totokan-

totokan jari-jari tangan Teratai Emas!

"Sudah kubilang! Jangan bertingkah di hada-

panku!" ejek Teratai Emas sinis.

Aryani melotot garang, namun tak mampu ber-

buat apa-apa. Sementara dengan sekali menggerakkan 

tangannya, tahu-tahu Teratai Emas telah menyambar 

tubuhnya, lalu cepat berkelebat meninggalkan tempat 

itu.


TIGA



Di bentangan langit sebelah timur, matahari 

baru saja menampakkan sinarnya yang kuning keme-

rahan. Terasa hangat, memudarkan embun-embun 

pagi. Beberapa kicauan burung di ranting-ranting po-

hon pun turut menyemarakkan suasana pagi ini. Se-

mentara, angin perbukitan terasa semilir mengelus ta-

nah rerumputan, tak jauh dari dua bukit kecil di Lem-

bah Kodok Perak.

Dalam terpaan lembut angin perbukitan, tam-

pak seorang pemuda berpakaian rompi dan celana ber-

sisik warna putih keperakan tengah berlatih ilmu silat.


Meski telah berlatih sekian lama, namun wajahnya 

yang tampan tampak masih segar. Hanya sedikit ke-

ringat membasahi ujung hidungnya. Tubuhnya yang 

tinggi kekar pun bergerak lincah ke sana kemari, mirip 

gerakan-gerakan seekor katak. Dan berkali-kali pula 

pemuda tampan yang memiliki rambut panjang sebahu 

itu mengeluarkan suara mirip kodok dari mulutnya.

Hebatnya, sehabis pemuda tampan yang memi-

liki rajahan bergambar ular putih kecil di dada itu 

mengeluarkan suara demikian, tiba-tiba dari kedua te-

lapak tangannya berkesiur serangkum angin dingin 

bukan kepalang yang terus menerabas ke depan. 

Brakkk...!

Begitu angin itu menghantam batang pohon se-

besar dua lingkaran tangan manusia dewasa, terden-

gar suara riuh dari pohon yang tumbang. Pada bagian 

batang pohon yang terkena pukulan jarak jauh tampak 

lubang besar dengan kepulan uap putih tipis! Lebih 

hebatnya lagi, ranting-ranting pohon itu pun kontan 

keropos! Dan ketika batang pohon itu menimpa tanah, 

ranting-rantingnya hancur berantakan jadi abu!

Sejenak pemuda tampan yang tidak lain Soma 

menghentikan latihannya. Sepasang matanya yang ta-

jam terus memandangi hasil pukulannya barusan pe-

nuh kagum.

"Hm...! Tak kusangka hasil pukulan 'Kodok Pe-

rak Sakti' ini demikian hebatnya. Benar-benar menga-

gumkan! Malah melebihi pukulan-pukulan yang per-

nah dilakukan orang-orang Lembah Kodok Perak 

ini...," gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo dalam 

hati, lalu pemuda berjuluk Siluman Ular Putih itu ber-

siap-siap kembali berlatih jurus-jurus silat yang ter-

kandung dalam lembaran sutera merah pemberian 

Prana Supit. Dan karena lembaran sutera berwarna


merah itu telah direndam ke dalam air, Soma dapat 

melihat jurus-jurus 'Kodok Perak Sakti' yang sangat di-

ingini Bunda Kurawa, Ketua Istana Ular Emas dengan 

jelas. 

Sejenak Soma memperhatikan jurus-jurus yang 

terkandung dalam lembaran sutera merah itu seksa-

ma. Setelah mantap, baru kembali melatih jurus-jurus 

'Kodok Perak Sakti' yang hanya terdiri dari tiga jurus. 

(Untuk mengetahui siapa Prana Supit, baca serial Si-

luman Ular Putih dalam episode: "Lembah Kodok Pe-

rak").

"Hea...! Hea...!"

Soma berloncatan ke sana kemari. Gerakan-

gerakan kedua kaki maupun kedua tangannya benar-

benar menyerupai gerakan seekor katak. Berkali-kali 

tendangan kakinya mampu membuat tanah di sekitar 

tempat latihan berhamburan seperti terjadi gempa! Be-

lum lagi tamparan-tamparan tangannya dan suara ko-

dok yang dikeluarkan dari mulutnya.

Kalau saja Soma mau lebih teliti, sebenarnya 

suara mirip bunyi kodok miliknya jauh berbeda den-

gan yang sering dilakukan orang penghuni Lembah 

Kodok Perak. Suara pemuda gondrong itu jauh lebih 

bergema. Di samping itu hasil pukulannya pun jauh 

lebih hebat. 

Soma kini menutup latihannya dengan kedua 

tangan menakup di dada. Sebentar pandangannya be-

redar ke seputar tempat latihan dengan sinar mata 

menyesal. Karena tempat latihan tampak tak karuan 

lagi. Di samping itu, suara hiruk-pikuk yang diaki-

batkan sambaran-sambaran angin pukulannya bisa 

mengundang orang-orang penghuni Lembah Kodok Pe-

rak berdatangan ke tempat itu.

"Ah, iya! Kenapa aku berlaku tolol begini? Seharusnya aku bisa mengendalikan diri untuk menahan 

keinginanku berlatih jurus-jurus 'Kodok Perak Sakti' 

barang sejenak. Tapi, sudah telanjur. Pokoknya seka-

rang aku harus secepatnya meninggalkan tempat ini. 

Eh...! Tapi, mana Tombak Raja Akhirat ku...?!" gumam 

Soma dalam hati.

Dan ketika melihat Tombak Raja Akhirat yang 

ditemukan dalam lorong bawah tanah di dalam Lem-

bah Kodok Perak masih tertancap di tempat semula, 

Soma jadi lega. Dengan tersenyum-senyum senang, di-

lihatnya tombak sakti milik mendiang suami Bunda 

Kurawa yang tewas di dalam lorong bawah tanah Lem-

bak Kodok Perak. Namun di saat hendak melangkah 

pergi, tiba-tiba. 

"Pencuri cilik! Hendak lari ke mana kau?!"

Terpaksa Soma menghentikan langkahnya begi-

tu mendengar bentakan dahsyat. Bersamaan dengan 

itu berlompatan turun sosok berpakaian hitam-hitam 

yang langsung mengurungnya.

Tujuh sosok berpakaian hitam-hitam yang kini 

telah tegak di hadapan Siluman Ular Putih adalah 

orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak! Tiga dari 

mereka adalah lelaki tua berjenggot putih panjang 

menjuntai. Rambut mereka memutih digelung ke atas. 

Wajah mereka kaku tanpa seulas pun senyum.

Sedang empat orang lain adalah empat lelaki 

tua dengan brewok lebat berwarna putih. Wajah mere-

ka pun tak jauh berbeda dengan ketiga lelaki berjeng-

got. Sama-sama memiliki wajah dingin tanpa seulas 

senyum.

Soma sendiri pun sempat terkejut melihat siapa 

yang menghadang langkahnya. Diam-diam dalam ha-

tinya ragu apakah mampu menghadapi tiga lelaki ber


jenggot dan empat lelaki brewok yang tak lain para 

penghuni Lembah Kodok Perak itu. Namun keterkeju-

tan pemuda itu hanya sebentar. Karena sejurus kemu-

dian di bibirnya telah terhias seulas senyum.

"Salah sendiri kenapa kalian tidak mengizin-

kanku mempelajari Kitab Kodok Perak Sakti milik ka-

lian!" kata Siluman Ular Putih, acuh tak acuh.

"Keparat! Kau berani mengotori Lembah Kodok 

Perak, berani pula lancang mencuri Kitab Kodok Perak 

Sakti milik kami. Kau pantas modar di tangan kami, 

Bocah!" bentak lelaki tua berjenggot yang tak lain Pan-

gestu, garang. (Untuk mengetahui para penghuni Lem-

bah Kodok Perak, baca serial Siluman Ular Putih da-

lam episode: "Lembah Kodok Perak").

"Satu hal yang patut kalian ingat, sebenarnya 

aku tidak bermusuhan dengan kalian. Apalagi setelah 

Eyang Prana Supit berpesan agar aku tidak menggang-

gu orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak. Maka 

sebelum dan sesudahnya, maafkanlah atas kelancan-

ganku ini, Pak Tua."

"Jadi..., jadi..., kau sudah bertemu Paman Pra-

na Supit, Bocah?" tukas Pangestu tak percaya.

"Sudah. Bahkan Eyang Prana Supit sendirilah 

yang telah mengajarkan ku melatih jurus-jurus 'Kodok 

Perak Sakti'"

"Hm...! Kalau begitu, kau harus mengembalikan 

ilmu 'Kodok Perak Sakti' yang telah diajarkan Paman 

Prana Supit, Bocah!" dengus salah seorang lelaki bre-

wok penuh kemarahan.

"Apa kau bilang, Orang Tua? Aku harus men-

gembalikan ilmu yang telah ku kuasai? Ah...! Jangan-

jangan kau sedang melawak. Mana mungkin aku dapat 

mengembalikan ilmu yang telah ku kuasai!" sahut Si-

luman Ular Putih, tenang.


"Kalau tidak bisa, nyawamulah sebagai gan-

tinya!"

Soma tersenyum nakal. Lalu tangannya meng-

garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal

"Ah...! Kalian memaksaku, Orang Tua. Padahal 

Eyang Prana Supit telah menganjurkan agar aku me-

nyerahkan Kitab Kodok Perak Sakti yang asli ini pada 

kalian. Tapi, entah kenapa kalian masih saja memu-

suhi ku? Apa beginikah watak orang-orang gagah 

penghuni Lembah Kodok Perak?" cibir murid Eyang 

Begawan Kamasetyo.

"Kalau begitu, lekas berikan Kitab Kodok Perak 

Sakti pemberian Paman Prana Supit itu pada kami!" 

terabas Pangestu geram.

Sekali lagi Soma menggaruk-garuk kepalanya 

bingung. Pusing juga menghadapi kekerasan sikap 

orang-orang penghuni Lembah Kodok Perak.

"Apes benar nasibku hari ini! Kenapa aku ber-

temu orang-orang berkepala batu? Ugh...! Menyebal-

kan! Tapi, baiklah. Aku pasti akan menyerahkan Kitab 

Kodok Perak Sakti itu pada kalian. Nih, terimalah!"

Soma langsung melemparkan salah sebuah Ki-

tab Kodok Perak Sakti yang berupa selembar kain su-

tera berwarna merah kepada Pangestu.

Tap!

Pangestu cepat menangkap lembaran sutera 

berwarna merah itu dengan tangan kiri. Lalu dengan 

teliti sekali mulai diamatinya lembaran sutera merah 

itu. Dan kepalanya mengangguk-angguk puas.

"Aku percaya. Lembaran Kitab Kodok Perak 

Sakti ini memang asli. Tapi kenapa ada dua buah?" 

tanya Pangestu curiga.

"Ini palsu. Justru yang palsu inilah yang akan 

kuberikan kepada Bunda Kurawa."


Orang tertua dari Tiga Jenggot itu mengangguk-

angguk. 

Soma lega sekali. Dikiranya Pangestu dan kee-

nam adik seperguruannya telah melupakan kelancan-

gannya memasuki wilayah Lembah Kodok Perak begitu 

menerima lembaran Kitab Kodok Perak Sakti itu. Na-

mun...

"Nah! Sekarang kami menginginkan kematian-

mu!" lanjut Pangestu, membuat Siluman Ular Putih 

terkejut setengah mati.

"Ah...! Aku masih doyan tempe. Aku juga masih 

senang melihat jenggot dan brewok kalian. Mana sudi 

aku menyerahkan nyawaku?" tukas Soma.

"Kalau begitu, kami akan memaksamu, Bocah!" 

geram Pangestu.

"Ah, bagaimana ini? Kenapa kalian masih me-

minta nyawaku? Apa selembar, Kitab Kodok Perak 

Sakti itu masih kurang cukup? Apa kalian juga men-

ginginkan lembaran Kitab Kodok Perak Sakti yang pal-

su ini?"

"Jangan berlagak pilon, Bocah! Kami tak men-

ginginkan lembaran Kitab Kodok Perak Sakti palsu itu. 

Kami menginginkan nyawamu!" sahut satu dari Empat 

Brewok.

"Ya, ampun! Kalian ini benar-benar manusia 

keras kepala. Hayo maju! Kalau kalian ingin melihat 

ilmu 'Kodok Perak Sakti' yang asli!" tantang Soma sak-

ing jengkelnya. 

Pangestu mendengus marah sambil mengi-

baskan tangannya.

Wuttt...!

Seketika serangkum angin dingin dari kibasan 

tangan Pangestu telah menyerang hebat Siluman Ular 

Putih. Dan bersamaan dengan kibasan tangannya,


keenam adik seperguruannya langsung menyerang 

Wesss! Wesss!

Sebelum serangan-serangan ketujuh penghuni 

Lembah Kodok Perak itu mengenai sasaran, terlebih 

dahulu telah berkesiur angin dingin yang bukan kepa-

lang ke arah Siluman Ular Putih!

Siluman Ular Putih keretakkan gerahamnya 

kuat-kuat. Sekali kakinya menjejak tanah, tubuh ting-

gi kekarnya telah berjumpalitan beberapa kali di uda-

ra, menghindari gempuran-gempuran ketujuh penge-

royoknya.

Kok...!

Pangestu mengeluarkan pukulan andalannya 

'Kodok Perak Sakti' yang didahului oleh suara mirip 

kodok. Maka seketika itu serangkum angin yang dingin 

bukan main meluncur cepat menyerang Siluman Ular 

Putih. Dan tubuhnya yang semula dalam keadaan se-

tengah berjongkok, telah meloncat cepat bak seekor 

katak menangkap mangsa!

Sementara itu Siluman Ular Putih yang tadi 

meloncat menghindar telah siap di tanah dengan ke-

dua lutut tertekuk. Kedua tangannya pun direntang-

rentangkan sedemikian rupa. Selang beberapa saat....

Kok...!

Ketujuh orang penghuni Lembah Kodok Perak 

itu terkesiap kaget. Mereka benar-benar tidak me-

nyangka kalau pemuda gondrong itu mampu menggu-

nakan pukulan 'Kodok Perak Sakti'. Meski, tadi Silu-

man Ular Putih telah menjelaskannya, namun tetap 

saja kaget. Apalagi ketika melihat angin dingin dari se-

rangan Siluman Ular Putih yang jauh lebih hebat di-

banding serangan Pangestu yang terus meluncur de-

ras. Dan... 

Bummm...!


Terdengar satu ledakan hebat di udara begitu 

pukulan 'Kodok Perak Sakti' Pangestu berbentrokan 

dengan pukulan 'Kodok Perak Sakti' Soma. Tanah di 

sekitar tempat pertarungan pun bergetar hebat! Rant-

ing-ranting pohon saling berderak terkena sambaran-

sambaran angin pukulan mereka! Malah ada beberapa 

batang pohon besar yang kontan tumbang!

Sementara itu tubuh Pangestu sendiri pun kon-

tan terjajar beberapa langkah ke belakang akibat ben-

trokan tadi. Wajahnya pucat pasi. Tampak darah segar 

membasahi sudut-sudut bibirnya! Bahkan sekujur tu-

buhnya pun menggigil hebat!

Melihat hal ini keenam orang penghuni Lembah 

Kodok Perak pun makin terkesima melihat hasil puku-

lan 'Kodok Perak Sakti' Siluman Ular Putih. Karena, 

itulah pukulan 'Kodok Perak Sakti' yang asli!

Pangestu dan keenam adik seperguruannya 

merasa gusar bukan main. Padahal, mereka telah 

mempelajari pukulan 'Kodok Perak Sakti' selama ber-

tahun-tahun. Namun ternyata masih kalah hebat di-

banding pemuda kemarin sore yang baru selesai men-

guasai pukulan 'Kodok Perak Sakti'.

Di tempatnya, setelah mampu mengusir hawa 

dingin yang menyerang sekujur tubuhnya, Pangestu 

lantas kembali menekuk kedua lututnya dalam-dalam. 

Kedua tangannya direntang-rentangkan sedemikian 

rupa, siap kembali lontarkan pukulan 'Kodok Perak 

Sakti'.

Sedangkan keenam lelaki penghuni Lembah 

Kodok Perak lainnya pun telah mengepung Siluman 

Ular Putih. Sikap mereka persis Pangestu.

Namun sebelum terjadi pertarungan kembali...

"Kesalahan tidak selamanya ditebus dengan 

kematian. Kematian pun tidak selamanya dikarenakan


kesalahan. Buat apa kalian manusia penghuni alam 

mayapada ini saling menghakimi satu sama lain? Toh 

orang yang menghakimi itu sendiri pun punya rasa 

bersalah!"

Tiba-tiba terdengar ucapan seseorang di kejau-

han sana, dari sebelah barat bukit kecil di Lembah Ko-

dok Perak.

Mendengar ucapan itu, orang-orang penghuni 

Lembah Kodok Perak segera mengalihkan perhatian ke 

arah datangnya suara.

Siluman Ular Putih sendiri pun merasa heran 

bukan main. Dan seketika pandangannya dialihkan ke 

arah datangnya suara. Tampak di kejauhan sana seso-

sok bayangan hitam tengah berkelebat cepat menuju 

ke tempat pertempuran. Gerakan kedua kakinya cepat 

sekali.

Selang beberapa saat, sosok serba hitam-hitam 

itu pun telah berdiri tegak di hadapan ketujuh orang 

penghuni Lembah Kodok Perak.

"Guru...!" desis ketujuh penghuni Lembah Ko-

dok Perak hampir bersamaan. Dan habis berkata begi-

tu, mereka duduk berlutut di hadapan sosok yang ter-

nyata seorang lelaki tua berpakaian hitam-hitam.


EMPAT



Soma menautkan alis matanya dalam-dalam, 

melihat lelaki tua berpakaian serba hitam yang kini te-

lah berdiri tegak di hadapannya. Usia lelaki itu mung-

kin sudah mencapai sembilan puluh atau seratus ta-

hun. Rambutnya yang panjang berwarna putih dige-

lung ke atas. Wajahnya tirus dengan rahang bertonjolan. Sepasang matanya yang mencekung ke dalam me-

nyorot tajam ke arah murid Eyang Begawan Kama-

setyo, dengan sinar penuh selidik.

Diam-diam Soma mengeluh dalam hati.

"Ah... Bagaimana ini? Menghadapi keroyokan 

ketujuh orang tua ini saja sulit, apalagi sekarang den-

gan munculnya guru mereka. Ah...! Mampuslah aku 

sekarang...," desah Soma dalam hati gelisah.

Sambil menggaruk-garuk kepalanya, Siluman 

Ular Putih balas menatap lelaki tua itu. Lalu bibirnya 

tersenyum manis. 

"Terimalah hormatku, Orang Tua! Kalau tidak 

salah, bukankah sekarang aku tengah berhadapan 

dengan Ketua Lembah Kodok Perak yang bernama Cu-

cuk Prana?" sapa Soma. Bukan hanya sekadar berba-

sa-basi, melainkan juga untuk menenangkan hatinya.

"Benar! Akulah Ketua Lembah Kodok Perak. 

Tapi, dari manakah kau tahu namaku? Karena hampir 

seumur hidup aku tak pernah keluar dari Lembah Ko-

dok Perak. Sehingga jarang sekali orang-orang dunia 

persilatan yang mengetahui siapa aku. Dan, apakah 

kau tadi yang telah mengeluarkan pukulan 'Kodok Pe-

rak Sakti' yang asli? Lalu, dari mana kau dapat mem-

pelajarinya, Bocah?" tanya lelaki tua yang tak lain Cu-

cuk Prana dengan suara lantang. Dia memang Ketua 

Lembah Kodok Perak.

"Aku mengetahui namamu dari Eyang Prana 

Supit yang masih terhitung adik seperguruanmu. Dan 

aku dapat menguasai ilmu pukulan 'Kodok Perak Sak-

ti' juga dari Eyang Prana Supit," jelas Soma.

"Hm...!" Cucuk Prana mengangguk-angguk. 

"Sudah lama sekali aku tidak melihat pukulan mau-

pun jurus-jurus 'Kodok Perak Sakti' yang asli. Maka 

begitu aku mendengar suara bunyi kodok yang mirip


bunyi kodok yang pernah kudengar dari Adi Prana Su-

pit, aku jadi penasaran sekali. Untuk itulah aku keluar 

dari tempatku bertapa."

Sepasang matanya yang cekung tak henti-

hentinya memandangi pemuda gondrong di hadapan-

nya. Lalu kepalanya kembali mengangguk-angguk.

"Pantas...! Pantas..,! Rupanya kau telah mewa-

risi semua kepandaian Adi Prana Supit. Lalu, apakah 

Tombak Raja Akhirat di tanganmu juga pemberian Adi 

Prana Supit, Bocah?"

Sejenak Siluman Ular Putih memperhatikan 

tombak bergagang kuning di tangannya. Ia tadi me-

mang tidak sempat menggunakan senjata andalan 

mendiang suami Bunda Kurawa itu. Karena gempu-

ran-gempuran para pengeroyoknya yang lebih senang 

mengandalkan pukulan-pukulan 'Kodok Perak Sakti', 

tidak memungkinkannya untuk menggunakan senjata 

itu. Di samping itu Soma pun tahu, betapa dahsyatnya 

senjata andalan mendiang suami Bunda Kurawa itu. 

Jangankan terkena ujung runcing tombak di tangan-

nya yang berwarna merah. Terkena kilatan sinar me-

rah dari ujung tombak dalam jarak satu tombak saja, 

orang akan terluka. Apalagi kalau terkena langsung!

"Kalau yang ini tidak, Eyang. Sewaktu aku ter-

sesat masuk ke dalam lorong kematian, di situlah aku 

menemukan tombak ini, tak jauh dari kerangka Raja 

Iblis mendiang suami Bunda Kurawa," jelas Siluman 

Ular Putih, terus terang. Soma langsung merubah 

panggilan dengan menyebut 'Eyang' pada Cucuk Pra-

na. 

"Hm...! Kesalahan memang tidak selamanya di-

akhiri dengan kematian. Raja Iblis telah tewas di tan-

gan Adi Prana Supit, karena sepak terjangnya yang 

menggiriskan. Sedang aku? Oh...! Aku terlalu larut dalam perasaan bersalah ku pada Adi Prana Supit. Seha-

rusnya, aku tidak menghukumnya sekejam itu. Ba-

gaimanapun juga, ia sudah sangat berjasa terhadap 

Lembah Kodok Perak ini...," keluh Cucuk Prana meng-

harukan.

Wajahnya yang tirus itu tampak demikian mu-

rung. Sepasang matanya yang cekung memerah. Da-

danya pun turun naik, seolah-olah sedang menahan 

perasaan sesal yang teramat sangat.

Cucuk Prana mengangguk-angguk.

"Sudah kuduga. Kau memang pantas mewarisi 

kepandaian Adi Prana Supit Tulang-tulangmu kuat se-

kali. Dan kau pun sangat berbakat. Saat ini, belum 

tentu aku dapat mengalahkanmu, Bocah," cetus Eyang 

Cucuk Prana.

"Terima kasih atas pujian mu, Eyang," ucap 

murid Eyang Begawan Kamasetyo disertai senyum 

manis.

Cucuk Prana lantas mengarahkan perhatian 

pada tujuh orang muridnya yang masih duduk berlu-

tut di hadapannya. Lalu segera diperintahkannya me-

reka untuk kembali ke tempatnya semula.

Tanpa banyak cakap, tujuh orang itu segera 

meloncat bangun dan cepat berkelebat menuju Lem-

bah Kodok Perak tanpa menoleh lagi ke belakang.

"Sekali lagi aku minta maaf atas kelancanganku 

mengotori tempat kediamanmu, Eyang! Sekarang aku 

mohon pamit. Selamat tinggal," ucap Soma lagi.

Habis berkata begitu, murid Eyang Begawan 

Kamasetyo itu pun segera berkelebat cepat meninggal-

kan tempat itu. Namun baru beberapa kelebatan....

"Bagus! Rupanya kau sudah mendapatkan Ki-

tab Kodok Perak Sakti berikut Tombak Raja Akhirat 

yang sangat ku ingini. Sekarang, kutunggu kau di


simpang jalan luar Lembah Kodok Perak. Kalau kau ti-

dak datang, jangan salahkan kalau aku terpaksa 

membunuh gadismu yang cantik ini!"

Soma terkesiap kaget. Samar-samar telinganya 

mendengar seseorang tengah menyusupkan suara dari 

jarak jauh.

"Semprul! Mau apa lagi mereka?" sungut Silu-

man Ular Putih kesal seraya mempercepat langkahnya. 

"Tunggu, Bocah!"

Kali ini terdengar teriakan dari mulut Eyang 

Cucuk Prana. Terpaksa Soma menghentikan langkah-

nya. Tampak orang pertama Lembah Kodok Perak ten-

gah berkelebat menghampirinya. Sebentar saja, ia su-

dah tiba di depan Soma.

"Siapa orang yang telah menyusupkan suara ke 

telingamu, Bocah?" tanya Cucuk Prana langsung se-

raya menautkan kedua alis matanya dalam-dalam.

Diam-diam Soma jadi terkejut dibuatnya. Tak 

disangka kalau orang tua renta di hadapannya mampu 

mendengar bisikan halus yang dikirimkan dari jarak 

jauh.

"Aku tidak tahu pasti, Eyang. Yang jelas orang 

yang telah mengirimkan suara dari jarak jauh itu ada-

lah orang-orang golongan Ular Emas. Mungkin Bunda 

Kurawa sendiri. Mungkin juga murid-muridnya."

"Lagi-lagi golongan Ular Emas yang selalu 

membuat onar. Berhati-hatilah, Bocah! Orang-orang 

macam Bunda Kurawa dan murid-muridnya memang 

patut dienyahkan dari muka bumi. Tapi sayang, aku 

tidak dapat membantumu, aku sudah terlalu tua un-

tuk mengotorkan diri dengan darah. Selamat tinggal, 

Bocah!"

Habis berkata begitu, lelaki tua ini pun segera 

berkelebat cepat menuju tempat pertapaannya di sebe


lah barat bukit kecil di Lembah Kodok Perak.

Sejenak Soma memperhatikan Eyang Cucuk 

Prana itu penuh kagum. Ilmu meringankan tubuh le-

laki tua renta itu memang sangat luar biasa. Gerakan 

kedua kakinya tampak seperti orang melangkah biasa. 

Namun dalam beberapa kelebatan saja, sosoknya telah 

sangat jauh. 

Soma sendiri juga tidak ingin berlama-lama di 

tempat itu. Saat itu juga tubuhnya pun berkelebat 

kembali meninggalkan tempat itu. Dalam beberapa ke-

lebatan saja sosoknya telah menghilang di balik kerim-

bunan hutan di depan sana.


LIMA



Siluman Ular Putih tiba di simpang jalan, di 

luar Lembah Kodok Perak. Di tempat ini, pemuda itu 

tidak menemukan siapa-siapa, kecuali desaan angin 

perbukitan yang berhembus lembut mempermainkan 

rambutnya yang gondrong. Meski sepasang matanya 

tertuju pada hamparan padang luas di hadapannya, 

namun sebenarnya telinganya tengah diarahkan pada 

gerakan-gerakan halus di batang pohon belakangnya. 

Ia yakin, sosok itulah yang tadi mengirimkan suara da-

ri jarak jauh.

Soma tetap diam saja di tempatnya. Ia tahu di 

dahan pohon itu tengah mengintai satu sosok tubuh. 

Namun pemuda ini pura-pura tidak menyadarinya. 

Sementara diam-diam hatinya gelisah juga memikirkan 

keselamatan gadis yang bersama sosok pengintai yang 

mengirimkan suara tadi. Entah Siluman Ular Putih ju-

ga tidak tahu, untuk apa orang itu menyusupkan suara. Kalau memang Bunda Kurawa, mengapa memin-

tanya menemui di simpang jalan? Lantas siapakah 

orang yang tengah berada di atas pohon itu?

"Bagus! Rupanya kau mau menuruti permin-

taanku juga," kata sosok di atas pohon itu mulai buka 

suara.

Soma tersenyum kecut seraya sedikit menoleh. 

Rasa-rasanya ia memang pernah kenal suara itu. Na-

mun, pemuda ini belum tahu pasti. Yang pasti, sang 

empunya suara adalah seorang perempuan cantik, 

menilik suaranya yang merdu.

Jalanan setapak di samping murid Eyang Be-

gawan Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Putih itu 

memang tidak terlalu lebar, tidak lebih dari setengah 

tombak. Di kanan-kirinya banyak ditumbuhi semak 

belukar. Tampak pula akar-akar pohon di pinggir jalan 

yang mencuat ke tengah berwarna kuning kemerahan.

Setelah sosok di atas pohon tak berkata-kata 

lagi, perlahan-lahan Soma mulai membalikkan badan-

nya. Kepalanya langsung melihat ke atas. Tampak se-

sosok perempuan cantik berpakaian ketat warna kun-

ing keemasan dengan rambut disanggul ke atas tengah 

berdiri tegak di atas sebuah dahan pohon. Kedua tan-

gannya mengepit seorang gadis cantik berpakaian ser-

ba hitam.

Yang membuat murid Eyang Begawan Kama-

setyo itu terkejut, bukan karena sosok ramping berpa-

kaian kuning keemasan itu tengah berdiri tegak di atas 

sebuah dahan kecil sebesar jari kelingking! Melainkan 

karena melihat gadis cantik tawanan sosok berpakaian 

kuning keemasan itu yang tidak lain adalah Aryani 

alias Bidadari Kecil.

Melihat Aryani menjadi tawanan perempuan 

cantik berpakaian kuning keemasan yang tak lain Te


ratai Emas, Soma tak dapat lagi menahan amarahnya. 

Sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat penuh 

kemarahan.

"Teratai Emas! Kalau kau berani menyentuh 

seujung rambut pun gadis itu, demi Tuhan aku akan 

menguliti batok kepalamu!" bentak Soma, tak dapat la-

gi mengendalikan amarahnya.

Teratai Emas hanya menyunggingkan senyum 

dingin. Lalu dengan sekali menghentakkan kakinya, 

sosoknya pun telah meloncat turun. Gerakan kedua 

kakinya ringan sekali. Sedikit pun tak menimbulkan 

suara saat kedua kakinya menjejak ke tanah, sambil 

memondong tubuh Bidadari Kecil.

"Aku tidak akan melukai gadismu yang cantik 

ini sedikit pun. Asal, kau mau menuruti permintaan-

ku!" sahut Teratai Emas, enteng.

"Semprul! Rupanya kau menginginkan sesuatu 

dariku, he?!" bentak Soma geram bukan main.

"Tepat! Aku memang menginginkan sesuatu da-

rimu. Dan kau harus menuruti kemauanku! Kau pa-

ham?" Teratai Emas tersenyum-senyum penuh keme-

nangan.

Sepasang matanya yang indah tak henti-

hentinya memperhatikan lembaran sutera berwarna 

merah di tangan Soma dan sebatang tombak berwarna 

kuning dengan ujung berwarna merah penuh kagum.

"Apa yang kau inginkan dariku, Teratai Emas?" 

tanya Soma gelisah sekali. Sementara itu gadis cantik 

dalam kepitan tangan Teratai Emas tampak demikian 

pucat. Bulu matanya yang lentik terpejam rapat-rapat. 

Sekali lihat saja. Soma tahu kalau Aryani mengalami 

luka dalam cukup parah. Dan karena tidak tahan den-

gan luka dalamnya itu, Aryani pun jatuh tak sadarkan 

diri.


Soma geram bukan main. Apalagi ketika meli-

hat sepasang mata Teratai Emas tak henti-hentinya 

memandangi benda pemberian Eyang Prana Supit yang 

disembunyikan Soma di balik saku celana, yang sem-

pat terlihat oleh Teratai Emas. Dan ketika Soma meli-

rik ke samping, buru-buru dimasukkannya benda itu 

lebih dalam lagi.

"Kau tentu sudah tahu apa yang kuinginkan, 

Siluman Ular Putih? Apalagi kalau bukan Kitab Kodok 

Perak Sakti dan Tombak Raja Akhirat?! Lekas lempar-

kan kedua benda yang kumaksudkan itu padaku, ka-

lau masih menginginkan gadismu yang cantik ini!" pe-

rintah Teratai Emas galak.

Telapak tangan kanannya yang berwarna kun-

ing keemasan hingga ke siku telah diangkat tinggi-

tinggi, siap meremukkan batok kepala Aryani.

"Jangkrik buntung! Babi gempul! Rupanya kau 

menginginkan kedua benda ini, Teratai Emas? Apa kau 

lupa kalau Bunda Kurawa menginginkan kedua benda 

ini?"

"Aku tidak peduli lagi dengan nenek-nenek can-

tik itu. Kalau memang menginginkan kedua benda itu, 

maka ia sendirilah yang harus turun tangan," sahut 

Teratai Emas dingin.

"Kau mengkhianati gurumu, Teratai Emas?" 

tukas Soma.

"Kau tidak perlu ikut campur urusanku. Setiap 

saat pikiran manusia bisa berubah. Sekarang, lekas 

lemparkan kedua benda yang kumaksudkan padaku!"

Soma tertawa bergelak.

"Dasar pengkhianat! Enak saja main perintah 

padaku! Kau pikir, aku tidak tahu akal bulus mu? Be-

gitu aku menyerahkan Kitab Kodok Perak Sakti dan 

Tombak Raja Akhirat, kau pasti akan membunuh gadis


itu. Bukankah percuma namanya, Teratai Emas?" tu-

kas murid Eyang Begawan Kamasetyo di antara ta-

wanya. 

Teratai Emas menggeram penuh kemarahan. 

Telapak tangannya yang telah berubah kuning keema-

san terlihat siap akan meremukkan batok kepala 

Aryani.

Diam-diam Soma cemas bukan main. Kalau Te-

ratai Emas gelap mata, bukan mustahil batok kepala 

Bidadari Kecil akan remuk seketika itu juga. Sedang 

pemuda ini tidak menginginkannya. Jelas ia ingin ga-

dis itu selamat.

"Jadi, kau menginginkan gadismu yang cantik 

ini modar di tanganku, Bocah?!" ancam Teratai Emas, 

saking jengkelnya.

"Aku cuma tidak ingin kau berlaku curang, Te-

ratai Emas?" desis Soma.

"Baik," desis Teratai Emas, penuh kemarahan. 

"Sekarang cepat lemparkan Kitab Kodok Perak Sakti 

dan Tombak Raja Akhirat ke dekat pohon di samping-

ku. Baru aku akan melemparkan tubuh gadismu yang 

cantik ini padamu."

Sejenak Soma menggaruk-garuk kepalanya 

bingung. Memang, jarak antara pohon yang dimaksud-

kan Teratai Emas dengan dirinya tidak terlalu berjau-

han. Demikian juga bagi Teratai Emas. Kalau Teratai 

Emas bertindak curang, bukankah Siluman Ular Putih 

dapat bertindak cepat dan kembali memungut kedua 

benda yang telah dilemparkan?

"Bagaimana, Bocah Sinting? Apa kau kebera-

tan?" desak Teratai Emas.

"Sama sekali tidak," sahut Siluman Ular Putih, 

tegas.

"Kalau begitu, lekas lemparkan Kitab Kodok Perak Sakti dan Tombak Raja Akhirat ke tempat yang ku-

tunjukkan tadi"

"Baik."

Soma bersiap-siap melemparkan kedua benda 

yang diinginkan Teratai Emas ke dekat pohon yang 

dimaksudkan. Namun di saat tengah mengangkat ke-

dua benda itu, mendadak....

"Mbakyu Teratai Emas! Kau..., kau pengkhia-

nat!" Terdengar teriakan dari balik sebuah pohon. Ke-

mudian dengan gerakan cepat, berkelebat satu sosok 

bayangan kuning keemasan meninggalkan tempat itu.

Mendengar bentakan barusan, Teratai Emas se-

jenak menautkan kedua alisnya. Lalu dengan senyum 

tersungging di bibir, pandang matanya kembali dialih-

kan ke arah murid Eyang Begawan Kamasetyo.

"Cepat lemparkan kedua benda yang kumak-

sudkan itu, Bocah!" desak Teratai Emas gugup.

"Hm...! Rupanya kau gugup juga melihat salah 

seorang adik seperguruanmu memergoki kepengecu-

tanmu, Teratai Emas. Tapi, baiklah. Aku akan segera 

melemparkan kedua benda ini ke tempat yang kau 

maksudkan," gumam Soma.

Habis berkata begitu, Soma pun segera melem-

parkan Kitab Kodok Perak Sakti dan Tombak Raja Ak-

hirat ke dekat pohon yang dimaksudkan. Tepat pada 

saat yang sama tiba-tiba Teratai Emas telah menyodok 

punggung Aryani dengan telapak tangan yang telah 

berwarna kuning keemasan hingga pangkal siku! 

Bukkk!

Tubuh ramping Aryani yang tengah pingsan 

kontan melayang cepat ke arah Soma, begitu terkena 

pukulan 'Racun Ular Emas' Teratai Emas. Siluman 

Ular Putih geram bukan main. Namun secepat itu tu-

buhnya berkelebat, menangkap tubuh Aryani.

Dan ketika Teratai Emas tengah berkelebat ce-

pat menyambar Kitab Kodok Perak Sakti dan Tombak 

Raja Akhirat yang tadi dilemparkan, buru-buru murid 

Eyang Begawan Kamasetyo meletakkan tubuh Aryani 

ke tanah rerumputan. Dan saat itu pula tubuhnya 

kembali berkelebat cepat mengejar Teratai Emas. Dan, 

tahu-tahu Siluman Ular Putih itu pun telah berdiri te-

gak di hadapan Teratai Emas!

"Jangan harap bisa kabur dari hadapanku, 

Pengkhianat! Sekarang, cepat serahkan kembali kedua 

benda yang kau rampas itu! Atau, kalau terpaksa aku 

mengirim nyawa busukmu ke neraka!" desis Soma, da-

lam kemarahan menggelegak

Saking tidak dapat mengendalikan amarahnya, 

tiba-tiba rambut Siluman Ular Putih telah berubah 

menjadi ribuan ular putih hidup dengan kepala te-

rangkat tinggi-tinggi!

Teratai Emas terkesiap kaget. Sepasang ma-

tanya membelalak liar. Apa yang dilihatnya benar-

benar membuat nyalinya ciut. Namun ketika sadar ka-

lau Tombak Raja Akhirat berada dalam genggaman 

tangannya, wanita itu langsung dapat menekan rasa 

takutnya. Bibirnya menyunggingkan senyum dingin.

"Bedebah! Kau pikir aku takut padamu! Nih, 

rasakan Tombak Raja Akhirat ku!" bentak Teratai 

Emas lantang seraya menyerang Siluman Ular Putih 

dengan Tombak Raja Akhirat. Sedang tangan kirinya 

pun siap pula melontarkan pukulan 'Racun Ular 

Emas'!

Wesss! Wesss! 

Siluman Ular Putih cepat melenting ke bela-

kang, menyelamatkan diri. Disadari betul akan kehe-

batan tombak di tangan Teratai Emas. Makanya, ia tak 

berani bertarung dalam jarak dekat. Karena jangankan


terkena tajamnya ujung tombak. Terkena kilatan-

kilatan merah ujung tombak itu saja mampu membuat 

tubuhnya tercerai-berai.

Brakkk...! 

Buktinya, pohon-pohon besar yang tumbuh di 

pinggir jalan setapak itu kontan tumbang saling tum-

pang tindih begitu terkena kilatan-kilatan merah ujung 

pedang di tangan Teratai Emas.

"Tombak hebat! Tombak hebat!" puji Siluman 

Ular Putih penuh kagum begitu mendarat di tanah. 

"Tapi, sayang. Dunia persilatan bisa kacau kalau tom-

bak sehebat itu sampai jatuh ke tangan manusia ber-

hati ular!"

Teratai Emas geram bukan main melihat seran-

gannya gagal. Saat itu juga Tombak Raja Akhirat di 

tangannya kembali mengibas-ngibas dengan tubuh 

meluruk tajam. Kilatan-kilatan tombak di tangannya 

berkali-kali membuat pepohonan di sekitar tempat per-

tarungan jadi porak-poranda, seperti dilanda angin to-

pan. Sementara Siluman Ular Putih melompat kesana 

kemari menghindari kilatan-kilatan sinar merah yang 

mengurung dirinya.

"Ah...! Kalau menghindar terus begini, bukan 

mustahil tenagaku akan terkuras. Hm... sebaiknya ku

coba mengandalkan pukulan-pukulan jarak jauh ku. 

Ya ya ya...! Sebaiknya memang begitu," pikir murid 

Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati, seraya mem-

buat satu lompatan menjauh untuk mengambil jarak.

Begitu mendarat, Siluman Ular Putih segera 

mengerahkan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'-nya 

yang juga digabungkan dengan pukulan sakti 'Tenaga 

Inti Api'. Maka seketika itu, tangan kirinya telah beru-

bah jadi putih terang. Sedang tangan kanannya telah 

berubah jadi merah menyala hingga sampai ke pangkal


siku. Dan ketika Teratai Emas mulai melontarkan pu-

kulan 'Racun Ular Emas', buru-buru Siluman Ular Pu-

tih memapakinya. 

Wesss! Wesss!

Bummm...! 

Terdengar satu ledakan hebat di udara. Tanah 

di sekitar tempat pertarungan kontan berhamburan 

tinggi ke udara! Ranting-ranting pohon berderak den-

gan daun-daunnya yang layu!

Begitu terjadi bentrokan, tubuh Teratai Emas 

terhuyung-huyung beberapa tombak ke belakang dis-

ertai lengkingan tinggi. Wajahnya pucat pasi. Tampak 

pula darah segar membasahi sudut-sudut bibir per-

tanda menderita luka dalam cukup parah.

Pada kesempatan yang amat sempit ini Siluman 

Ular Putih segera meloloskan senjata pusaka secepat 

kilat, dilontarkannya senjata berupa sebuah anak pa-

nah berbentuk badan ular dengan dua cakra kembar 

di kanan-kiri kepalanya yang berbentuk ular pula. Itu-

lah senjata Anak Panah Bercakra Kembar pemberian 

eyangnya di Gunung Bucu. Dan begitu senjata itu me-

lesat cepat, maka seketika hawa dingin yang bukan 

kepalang telah memenuhi tempat itu. Bersamaan den-

gan itu putaran-putaran cakra kembar di kanan kiri 

kepala ular telah menyebabkan angin kencang berke-

siur menyerang Teratai Emas! 

Wesss!

Teratai Emas terkesiap kaget. Namun setengah 

tombak lagi anak panah Siluman Ular Putih itu men-

capai sasaran, Teratai Emas cepat memutar tombak di 

tangannya.

Cring! Cring!

Dua kali tombak di tangan Teratai Emas berha-

sil menangkis Anak Panah Bercakra Kembar hingga


terpental ke samping. Namun anehnya, tiba-tiba saja 

senjata anak panah itu cepat memutar balik dan kem-

bali menyerang!

Teratai Emas yang tengah kaget akibat tangan-

nya bergetar setelah menangkis, tidak sempat lagi 

menghindar. Ia hanya mampu memutar tombak di 

tangan kanannya asal saja. Akibatnya...

Cring!

Meski dapat menangkis senjata Anak Panah 

Bercakra Kembar, namun tak urung juga Tombak Raja 

Akhirat sempat oleng ke samping. Sedang saat itu tan-

gan kirinya tengah terangkat tinggi. Maka tanpa am-

pun lagi....

Crakkk!

"Aaahhh...!"

Tangan kiri Teratai Emas kontan terkena sam-

baran cahaya kilat merah ujung tombak di tangan ka-

nannya! Wanita itu kontan melengking setinggi langit. 

Pergelangan tangan kirinya yang terkena kilatan ca-

haya merah kontan putus dan keluarkan darah segar!

Di saat Teratai Emas tengah menahan sakit, Si-

luman Ular Putih cepat berkelebat. Langsung diram-

pasnya Tombak Raja Akhirat di tangan Teratai Emas 

setelah menangkap kembali senjata Anak Panah Ber-

cakra Kembar.

Tap!

Teratai Emas tidak dapat berbuat banyak. Ia 

hanya sempat melihat kelebatan sesosok pemuda gon-

drong berpakaian rompi dan celana bersisik warna pu-

tih keperakan murid Eyang Begawan Kamasetyo, sebe-

lum akhirnya tombak di tangan kanannya terampas.

Siluman Ular Putih tertawa gembira.

"Rasakan, tuh! Senjata makan tuan! Eh, salah! 

Senjata makan nona!" celoteh Siluman Ular Putih.


Teratai Emas geram bukan main. Ujung tangan 

kirinya yang putus akibat terkena kilatan cahaya me-

rah Tombak Raja Akhirat terasa nyeri bukan main! Ia 

sadar, kalau racun ular emas milik suami Bunda Ku-

rawa mulai menjalar ke dalam tubuhnya.

"Nah, sekarang kematianmu ada di ujung mata. 

Kau tak dapat lari dari kematian, kecuali memenuhi 

permintaanku," ancam Siluman Ular Putih sambil 

menggerak-gerakkan Tombak Raja Akhirat di tangan-

nya.

"Baik! Kali ini aku mengaku kalah. Tapi, ingat! 

Aku, tidak pernah mau menerima kekalahan ku begitu 

saja. Awas, pembalasanku nanti, Bocah Sinting! Seka-

rang, apa permintaanmu?!" geram Teratai Emas penuh 

kemarahan.

"Kau harus memberikan obat pemunah racun

mu dulu baru boleh meninggalkan tempat ini!" sahut 

Siluman Ular Putih.

Sekali lagi Teratai Emas hanya dapat mengge-

ram penuh kemarahan. Namun karena tidak ada pili-

han lain, terpaksa diturutinya permintaan Soma.

Dengan memendam rasa jengkelnya, Teratai 

Emas mengambil dua buah obat pemunah racunnya 

yang berwarna kuning. Langsung dilemparkannya ke-

dua obat pulung itu ke arah Siluman Ular Putih.

Tap! Tap!

Siluman Ular Putih cepat menangkap dua butir 

obat pulung pemberian Teratai Emas. Kedua tangan 

murid Eyang Begawan Kamasetyo itu sempat tergetar 

hebat, menandakan kalau lemparan itu disertai tenaga 

dalam.

Sementara begitu habis melempar obat pemu-

nah racun, wanita itu sudah berkelebat dari tempatnya 

semula. Sebentar saja, murid pertama Bunda Kurawa


itu telah jauh meninggalkan tempat ini.

Soma kini melangkah santai, menemui Aryani 

yang masih tak sadarkan diri agak terpisah dari tem-

pat pertarungan tadi. Pemuda itu ingin segera me-

nyembuhkan Bidadari Kecil.

"Ah...! Kau sudah siuman, Aryani?" desah So-

ma, begitu melihat mata Bidadari Kecil membuka per-

lahan-lahan. Soma tadi telah memberinya hawa murni, 

untuk mengembalikan kekuatan gadis ini sekaligus 

menyadarkannya.

Aryani tidak langsung menjawab pertanyaan 

Soma. Buru-buru tubuhnya digulingkan ke samping 

menghindari penolongnya. Lalu entah kenapa gadis 

cantik itu malah menangis sesenggukan.

"Lho? Kok, malah menangis?" tanya Soma he-

ran. 

Anehnya Aryani malah makin memperkeras 

tangisnya. Wajahnya yang pucat pasi tampak demikian 

memelaskan. Soma tidak tahan lagi. Perlahan-lahan 

didekatinya gadis itu.

"Lukamu cukup parah, Aryani. Sebaiknya mi-

num dulu obat pemunah racun ini! Nanti kalau sudah 

sembuh, baru boleh meneruskan tangismu, ya!" ujar 

Soma dengan senyum terkembang di bibir.

Bidadari Kecil yang saat itu tengah kesal kare-

na dirinya sempat jadi tawanan Teratai Emas samar-

samar kini mulai tersenyum. Soma buru-buru membe-

rikan dua butir obat pulung berwarna kuning pembe-

rian Teratai Emas pada Aryani. Gadis itu tampak ma-

lu-malu kala menerimanya.

"Minumlah! Sebentar lagi racun ular emas yang 

mengeram dalam tubuhmu akan musnah," ujar pemu-

da itu lagi.

Aryani segera menelan dua obat pemberian


Soma. Selama obat itu bekerja memunahkan racun 

yang mengeram dalam tubuhnya, perlahan-lahan 

Aryani mulai menuturkan kenapa sampai tertawan 

oleh Teratai Emas.

Selama Bidadari Kecil bercerita, Soma lebih ba-

nyak diam. Hanya seperlunya saja menyela cerita 

Aryani.

"Makanya jadi orang itu jangan sok keburu naf-

su," kata Soma, setelah gadis itu menutup ceritanya. 

"Bukankah kau sekarang Ketua Perguruan Kelelawar 

Putih? Lantas, kenapa malah turun tangan sendiri un-

tuk mengejar pembuat onar di perguruan itu? Bukan-

kah kau dapat memerintahkan beberapa orang murid 

untuk mencari Tiga Setan Ruyung Baja?" 

Aryani diam membisu. Jelas tak mungkin mak-

sud yang sebenarnya turun gunung dituturkan. Kare-

na alasan yang sebenarnya, ia memang ingin bertemu 

pemuda tampan yang diam-diam mulai mengusik ha-

tinya. Dan pemuda tampan itu tidak lain dari Soma. 

Namun entah kenapa, begitu bertemu, Aryani jadi sa-

lah tingkah.

"Kau selalu saja menyalahkan ku setiap kita 

bertemu. Kalau tidak marah-marah, pasti menuduhku 

macam-macam!" sungut Aryani kesal, saking tidak ta-

hunya apa yang harus dikatakan pada pemuda tam-

pan di hadapannya.

"Lho? Kok malah cemberut. Tadi nangis, seka-

rang cemberut. Ini bagaimana, sih? Aku kan cuma 

tanya. Jangan cemberut begitu dong!" goda Siluman 

Ular Putih. "Tapi, ngomong-ngomong, apa betul kau 

turun gunung hanya untuk mengejar Tiga Setan 

Ruyung Baja?"

Aryani diam membisu. Tampak rona merah mu-

lai menjalari kedua pipinya. Bagaimanapun juga, ia


merasa kalau Soma telah menelanjangi maksud tu-

juannya turun gunung.

"Kau jangan ngawur! Aku turun gunung untuk 

mencari bajingan-bajingan yang bergelar Tiga Setan 

Ruyung Baja!" sungut Aryani jengkel.

"Yang benar...," ledek Soma seraya memamer-

kan gigihnya yang putih bersih. "Apa bukan karena 

mencari aku?"

"Kau... kau...?!" Aryani memelototkan matanya 

lebar-lebar saking geram untuk menutupi rasa ma-

lunya.

Sementara Soma tertawa bergelak. Senang se-

kali melihat rona merah di kedua pipi Aryani.

"Tapi, kalau memang alasanmu demikian, aku 

senang kok. Siapa sih yang tak senang dicari-cari gadis 

secantikmu, Aryani?"

Kali ini Aryani tak dapat lagi menahan kejeng-

kelannya. Gurauan Soma kali ini telah kelewatan. 

Tanpa banyak cakap, tangan kanannya segera berke-

lebat cepat, bermaksud menampar. Namun Soma ke-

buru menangkap pergelangan tangannya.

"Heit...! Tunggu! Gadis secantikmu, jangan 

sembarangan marah-marah! Tak baik. Pamali tahu?!" 

kata Soma seenaknya. 

"Lepaskan tanganku!" bentak Aryani bukan 

main marahnya.

"Iya, iya...! Tapi, jangan marah-marah lagi, ya?!"

Aryani mencibir. Sepasang matanya berkilat-

kilat.

Sebenarnya Soma ingin melanjutkan gurauan-

nya. Namun ketika melihat Aryani tampak uring-

uringan demikian rupa, niatnya diurungkan.

"Sekarang rencanamu mau ke mana? Mau ikut 

aku ke Istana Ular Emas atau ingin terus pulang ke


perguruanmu?"

"Untuk apa kalau hanya untuk menemanimu 

menemui gadismu!" sungut Aryani asal bunyi saking 

jengkelnya.

"Eh...!" desah Soma seraya menarik mundur 

kepalanya kaget. "Jadi.... Jadi kau cemburu, Aryani? 

Aku memang ingin membebaskan salah seorang te-

manku yang kini tengah ditawan Bunda Kurawa."

"Mau membebaskan temanmu kek, tidak kek! 

Itu bukan urusanku!" dengus Aryani tak dapat lagi 

menyembunyikan perasaan hatinya.

"Ah...! Kau pasti cemburu, ya?!"

"Siapa yang cemburu? Kau gandeng sepuluh 

orang gadis cantik di hadapanku pun, aku tidak akan 

cemburu!"

"Benar?"

"Benar!"

"Baik! Kalau kau memang tidak cemburu, seka-

rang ayo ikut aku ke Istana Ular Emas! Aku memang 

ingin membebaskan salah seorang teman gadisku yang 

paling cantik," kata Soma memanas-manasi.

"Apa?!" Aryani terkesiap kaget. Entah kenapa 

tiba-tiba saja hatinya nyeri sekali mendengar apa yang 

dikatakan Soma barusan.

"Nah... ketahuan. Kau cemburu, Aryani...!" le-

dek Soma, lalu cepat meloncat bangun. Seketika tu-

buhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.

"Tidak! Aku tidak cemburu! Kalau kau tidak 

percaya, sekarang juga aku akan mengikutimu ke Is-

tana Ular Emas!" sahut Aryani jengkel.

Sekali menggerakkan tubuhnya, putri tunggal 

Pendekar Lowo Kuru itu pun telah meloncat bangun 

dan berkelebat cepat mengejar Soma.



ENAM


Matahari sore baru saja rebah dalam pelukan 

cakrawala. Namun cahayanya yang merah tembaga 

masih memoles sebagian langit sebelah barat. Sege-

rombolan burung jalak hitam yang hendak pulang ke 

sarang melintas dari selatan menuju ke lamping bukit 

dengan kicauan riuh. Angin sore ini pun tampak malas 

berhembus, membuat suasana tampak lengang.

Sementara suasana di depan Istana Ular Emas 

seolah mati tak berpenghuni. Berpuluh-puluh pohon 

besar tampak tegak kaku mengelilingi bangunan yang 

sangat besar, dikelilingi parit lebar berisi ratusan ekor 

ular emas kelaparan.

Tidak seperti biasanya, pada sore-sore seperti 

itu, di halaman depan Istana Ular Emas tampak sepi. 

Hanya beberapa orang saja yang terlihat. Keadaan ini 

menandakan kalau murid-murid Istana Ular Emas 

tengah berkumpul di ruang pendopo.

Dan kenyataannya memang demikian. 

Di kursi kebesarannya, dengan penuh wibawa 

tampak seorang perempuan cantik tengah duduk di 

hadapan murid-murid Istana Ular Emas. Wajahnya 

tampak demikian cantik dan mudanya. Padahal 

usianya sudah sangat lanjut. Tak heran, karena wanita 

yang tak Iain Bunda Kurawa memiliki semacam ilmu 

awet muda yang membuatnya tampak masih seperti 

seorang gadis berusia dua puluh tahun.

Bunda Kurawa tampak anggun sekali di hada-

pan puluhan orang muridnya yang sebenarnya ber-

jumlah seratus orang. Namun pada saat ini, jumlah


muridnya tidak genap seratus orang. Karena pada ha-

ri-hari belakangan ini, banyak murid Bunda Kurawa 

tewas di tangan musuh. Dan pada saat-saat seperti ini 

Ketua Istana Ular Emas itu belum mampu mencari 

murid pengganti agar murid-muridnya tetap seratus 

orang. Memang ada hal lain yang lebih penting ketim-

bang mencari murid pengganti.

"Murid-muridku! Kini banyak sudah orang-

orang dunia persilatan yang memusuhi golongan kita. 

Mulai hari ini, kita harus makin meningkatkan kewas-

padaan. Dan ini memang sudah kita sadari. Di antara 

sekian banyak tokoh dunia persilatan yang kita satro-

ni, ada juga yang mau takluk di bawah kekuasaan ki-

ta. Nah! Sekarang, setelah menyadari keadaan ini, ma-

ka saat ini kita sangat merasa butuhkan Kitab Kodok 

Perak Sakti guna menghadapi mereka yang membang-

kang," kata Bunda Kurawa, di depan murid-muridnya.

Habis berkata begitu, wanita ini sejenak men-

gedarkan pandangan ke arah murid-muridnya. Teru-

tama sekali, pada bangku tempat Teratai Emas biasa 

duduk. Beberapa orang murid Istana Ular Emas yang 

menyadari ketidakhadiran Teratai Emas juga merasa 

heran sekali. Namun karena tidak tahu sebab-

sebabnya, mereka lebih senang tutup mulut.

"Sekarang, di antara murid-muridku sekalian, 

apakah ada yang mengetahui kabar tentang pemuda 

sakti yang bergelar Siluman Ular Putih? Apakah ia su-

dah mendapatkan Kitab Kodok Perak Sakti yang san-

gat kita dambakan? Kenapa sudah tiga hari ini belum 

kembali?" lanjut Bunda Kurawa penuh harap.

"Maafkan hamba, Bunda!" cetus salah seorang 

murid yang berparas paling cantik, memberanikan diri 

buka suara. "Kami belum mengetahuinya, Bunda. 

Yang jelas, terakhir kali kami bertemu dengannya, ia


tengah bertempur hebat melawan Tengkorak Serigala 

yang dibantu Iblis Kelabang Merah, Raja Toya, dan ju-

ga sepasang Iblis Kembar Dari Gunung Srandil."

"Hm...! Kelima orang yang kau sebutkan itu 

adalah orang-orang satu golongan dengan kita, Setan 

Cantik. Lantas, kenapa mereka memusuhi Siluman 

Ular Putih? Apa tidak kau jelaskan kalau Siluman Ular 

Putih itu utusan kita? Dan kenapa pula kau tidak 

membantu Siluman Ular Putih menghadapi keroyokan 

itu?" kata Bunda Kurawa dengan kening berkerut, per-

tanda tidak suka mendengar laporan Setan Cantik.

"Kami sudah menjelaskannya, Bunda. Dan ka-

mi pun juga bermaksud membantu Siluman Ular Putih 

menghadapi keroyokan itu. Tapi, pemuda itu keras ke-

pala. Ia tidak sudi menerima bantuan kami. Malah, ia 

lebih senang mati di tangan para pengeroyok daripada 

menerima bantuan kami, Bunda."

"Bodoh!" sentak Bunda Kurawa penuh kemara-

han. Entah ditujukan pada siapa.

Berpuluh-puluh murid Istana Ular Emas yang 

berada di ruang pendopo bungkam seribu bahasa. Mu-

lut mereka terkunci rapat-rapat, tak berani buka sua-

ra. Mereka semua takut kalau-kalau akan jadi sasaran 

kemarahan Bunda Kurawa.

"Setan Cantik! Kenapa kau diam saja?! Bukan-

kah kau kuserahi tugas untuk mengamat-amati Silu-

man Ular Putih?!" bentak Bunda Kurawa penuh kema-

rahan.

"Ma..., maafkan hamba, Bunda! Ham... hamba 

telah berusaha mengamat-amati Siluman Ular Putin," 

jawab Setan Cantik gugup.

Wajah gadis itu yang cantik tampak demikian 

pias. Bibirnya bergetar-getar. Tanpa sadar keringat 

dingin pun mulai membasahi sekujur tubuh, saking


takutnya.

"Hm...! Begitukah?" gumam Bunda Kurawa, 

dingin.

"I... iya, Bunda! Meski tidak membantu Siluman 

Ular Putih, namun sebenarnya kami terus mengamat-

amatinya. Dan sewaktu pemuda itu tengah terdesak 

hebat menghadapi kelima orang pengeroyoknya, kami 

pun siap pula membantu. Namun sayang, tiba-tiba 

seorang lelaki tua sakti keburu membantu Siluman 

Ular Putih. Dan berkat bantuannya pemuda itu pun 

dapat lolos dari keroyokan. Dan ia langsung menuju 

Lembah Kodok Perak," jelas Setan Cantik begitu dapat 

mengendalikan perasaan gugupnya.

Bunda Kurawa menghela napas lega. Baginya, 

yang penting Siluman Ular Putih dapat melanjutkan 

perjalanannya ke Lembah Kodok Perak. Dengan demi-

kian ia masih punya harapan untuk mendapatkan Ki-

tab Kodok Perak Sakti.

"Kau tahu, siapa lelaki tua yang telah memban-

tu Siluman Ular Putih, Setan Cantik?" tanya Bunda 

Kurawa.

"Hm... Dari jarak jauh, kami samar-samar 

mendengar ketika salah seorang pengeroyok Siluman 

Ular Putih menyebut lelaki tua renta itu adalah Eyang 

Bromo, Bunda."

"Eyang Bromo...?" desis Bunda Kurawa seperti 

untuk dirinya sendiri.

"Benar, Bunda."

"Hm...!" gumam Bunda Kurawa.

Wanita Ketua Istana Ular Emas mengangguk-

angguk. Keningnya berkerut-kerut. Entah apa yang 

tengah bergejolak dalam hatinya.

"Konon lelaki tua dari Gunung Bromo itu mem-

punyai kepandaian sulit diukur. Bahkan mampu pula


menirukan jurus-jurus lawan hanya dengan sekali li-

hat. Hm...! Kalau saja ada kesempatan baik, ingin ra-

sanya aku menjajal kesaktiannya," ucap Bunda Kura-

wa dalam hati.

Kembali pandangan Bunda Kurawa beredar ke 

sekeliling. Sinar matanya menyapu wajah-wajah mu-

ridnya yang tertunduk.

"Lantas, siapakah di antara kalian yang pernah 

melihat Teratai Emas? Kenapa selama beberapa hari 

belakangan ini tidak muncul?" lanjut Bunda Kurawa 

penasaran sekali melihat murid kesayangannya belum 

juga muncul.

Berpuluh-puluh orang murid Istana Ular Emas 

yang berkumpul di ruang pendopo kembali bungkam. 

Wajah mereka makin tertunduk dalam. Tak sepatah 

kata pun terucap dari bibir yang bergetar-getar. Mere-

ka semua lebih baik memilih diam daripada memberi-

kan laporan yang tidak benar, yang bisa membuat 

Bunda Kurawa murka.

"Bodoh! Kalian semua bodoh! Kalau tetap 

membisu, aku tak segan-segan akan menghukum ka-

lian! Kalian tahu apa hukuman itu?" bentak Bunda 

Kurawa lantang.

"Tahu, Bunda," jawab beberapa orang murid Is-

tana Ular Emas dengan wajah tetap tertunduk. 

"Apa?"

"Menjadi santapan ular emas...," sahut bebera-

pa orang murid Istana Ular Emas, ngeri.

"Nah! Kalau sudah tahu, kenapa kalian membi-

su?!" sentak Bunda Kurawa penuh kemarahan.

Berpuluh-puluh orang murid Istana Ular Emas 

yang berkumpul di ruang pendopo makin tegang. 

Meski saat ini tengah membutuhkan tenaga untuk 

menghadapi tokoh-tokoh dunia persilatan yang memu


suhi golongan Ular Emas, namun bukan mustahil 

Bunda Kurawa yang sedang murka akan segera me-

laksanakan ucapannya. Yakni, menjebloskan mereka 

ke dalam kubangan yang berisi ribuan ular emas satu 

persatu!

Pada saat murid-murid Istana Ular Emas dice-

kam perasaan tegang mendengar ucapan Bunda Ku-

rawa, mendadak....

"Maafkan hamba, Bunda! Hamba datang mela-

por."

***

Kening Bunda Kurawa berkerut dalam-dalam. 

Sepasang matanya yang indah terus memandangi seo-

rang muridnya yang tengah berjalan ke hadapannya.

Setelah menjura, murid itu duduk berlutut di 

hadapan Bunda Kurawa. 

Murid itu adalah seorang gadis cantik berusia 

delapan belas tahun. Wajahnya berbentuk lonjong 

dengan kulit putih bersih. Rambutnya yang hitam pan-

jang dibiarkan tergerai di bahu. Dan tubuhnya yang 

ramping dibalut pakaian ketat warna kuning keema-

san.

"Kau mau melaporkan apa, Kunti?!" tanya 

Bunda Kurawa dengan suara lantang.

"Maafkan hamba, Bunda!" ucap murid yang di-

panggil Kunti seraya menangkupkan kedua telapak 

tangan ke depan hidung.

Bunda Kurawa mengangguk-angguk angkuh.

"Cepat katakan, apa yang akan kau laporkan, 

Kunti!" bentak Bunda Kurawa tak sabar.

"Hamba.... Hamba baru saja bertemu Teratai 

Emas, Bunda. Hamba melihat, Teratai Emas menginginkan Kitab Kodok Perak Sakti dan Tombak Raja Ak-

hirat yang telah didapatkan Siluman Ular Putih," lapor 

Kunti sedikit mulai lancar.

"Apa?! Siluman Ular Putih berhasil menda-

patkan Kitab Kodok Perak Sakti berikut Tombak Raja 

Akhirat milik mendiang suamiku?! Dan, Teratai Emas 

menginginkan kedua benda keramat itu?!" pekik Bun-

da Kurawa geram, sekaligus senang. Senang menden-

gar Siluman Ular Putih berhasil mendapatkan Kitab 

Kodok Perak Sakti yang sangat diinginkan. Bahkan 

dapat pula mendapatkan Tombak Raja Akhirat milik 

mendiang suaminya. Namun kegembiraannya itu ber-

campur rasa geram mendengar Teratai Emas yang 

sangat disayangi ternyata berubah menjadi pengkhia-

nat.

"Benar, Bunda!" jawab Kunti.

"Maksudmu? Teratai Emas berkhianat padaku, 

Kunti?" desak Bunda Kurawa, merasa kurang yakin.

"Iya, Bunda."

"Keparat!"

Bunda Kurawa bangkit dari tempat duduknya. 

Lengan kursi kebesarannya yang tadi tercengkeram 

erat-erat oleh tangannya kontan hancur berkeping-

keping!

"Lalu, kenapa kau tidak berusaha mencegah-

nya, Kunti?" tanya Bunda Kurawa dengan sepasang 

mata berkilat-kilat penuh kemarahan.

"Hamba.... Hamba tidak berani, Bunda. Kepan-

daian Teratai Emas jauh dia atas tingkatan hamba," 

jawab Kunti gemetaran. 

"Keparat! Kau pun sama tidak bergunanya den-

gan Teratai Emas!" geram Bunda Kurawa, tak dapat 

lagi mengendalikan amarah yang menggelegak dalam 

dada.


Telapak tangan kanannya yang telah berubah 

jadi kuning keemasan hingga ke pangkal siku segera 

diangkat. Wanita ini telah siap melontarkan pukulan 

'Racun Ular Emas'!

Mata Kunti terbelalak liar. Parasnya pucat pasi. 

Tanpa sadar keringat dingin telah membasahi sekujur 

tubuhnya.

Berpuluh-puluh murid Istana Ular Emas yang 

sedang berkumpul di ruang pendopo pun tercekat den-

gan perasaan tegang, melihat hukuman mati yang se-

bentar lagi akan merenggut nyawa Kunti.

Namun sewaktu Bunda Kurawa hendak mendo-

rongkan telapak tangan kanannya ke depan, menda-

dak....

"Aaa...!"

Semua orang yang tengah berkumpul di pendo-

po dikejutkan suara lengking kematian beberapa orang 

murid Istana Ular Emas dari halaman depan.

Seketika itu, Bunda Kurawa menautkan alis 

matanya dalam-dalam. Perlahan-lahan telapak tangan 

kanannya diturunkan seperti semula. Sedang sepa-

sang matanya yang indah terus memandangi halaman 

depan istananya.

"Setan Cantik! Coba ajak beberapa orang te-

manmu melihat kejadian di luar!" perintah Bunda Ku-

rawa dengan pandangan ditujukan ke halaman depan 

istana.

"Baik, Bunda," sahut Setan Cantik, seraya 

memberi isyarat pada orang-orang pilihannya.

Sejenak Setan Cantik dan beberapa orang te-

mannya menangkupkan kedua telapak tangan ke de-

pan hidung. Dan secepat itu pula mereka berkelebat 

untuk melihat kejadian di luar!


**

TUJUH


Di luar halaman depan Istana Ular Emas, tam-

pak seorang gadis cantik berpakaian kuning keemasan 

yang mirip pakaian murid-murid Istana Ular Emas 

tengah mengamuk hebat menyerang empat orang mu-

rid Istana Ular Emas yang sedang berjaga di halaman 

depan.

Gadis cantik berkulit putih bersih itu berusia 

dua puluh dua tahun. Wajahnya yang cantik berben-

tuk bulat telur. Sepasang matanya indah bak bintang 

kejora. Hidungnya pun mancung. Kedua bibirnya tipis 

kemerah-merahan. Rambutnya yang panjang dibiarkan 

tergerai di bahu.

Keempat orang murid jaga Istana Ular Emas 

tampak terdesak hebat. Pakaian kuning keemasan me-

reka tampak robek di sana-sini. Darah segar tampak 

meleleh terkena sambaran-sambaran pedang di tangan 

gadis cantik itu.

Melihat siapa yang mengamuk, mata Setan 

Cantik terbelalak penuh kejut.

"Setan Alas! Tak mungkin! Tapi jelas, ia adalah 

Angkin Pembawa Maut!" kata Setan Cantik di tengah 

keterkejutannya.

Sekali menjejakkan kakinya di tanah, tubuh 

Setan Cantik meloncat ke tempat pertarungan. Kedua 

telapak tangannya yang berwarna kuning keemasan 

pun segera melontarkan pukulan 'Racun Ular Emas' ke 

arah gadis yang memang Angkin Pembawa Maut

Sementara kelima orang pilihan Setan Cantik 

yang ikut membantu segera melompat ke tempat perta


rungan. Mereka segera menyerang hebat Angkin Pem-

bawa Maut.

Mendapat serangan bertubi-tubi, Angkin Pem-

bawa Maut segera meloncat tinggi ke udara. Setelah 

berputaran beberapa kali, kedua telapak tangannya 

yang telah berubah jadi kuning keemasan berkilau-

kilau didorongkan ke depan menyambut pukulan 

'Racun Ular Emas' yang tadi dilontarkan Setan Cantik!

Wesss! Wesss! Bummm...!

Terdengar satu ledakan hebat. Bumi kontan 

bergetar. Ranting-ranting pohon di sekitar pertarungan 

berderak! Daun-daunnya pun berguguran terkena an-

gin sambaran akibat bentrokan barusan.

Tubuh Setan Cantik tampak terjengkang bebe-

rapa tombak ke belakang! Parasnya pucat pasi! Tam-

pak darah segar membasahi sudut-sudut bibir, per-

tanda mengalami luka dalam cukup parah!

Mendapati kenyataan demikian Setan Cantik 

membelalakkan matanya liar. Sungguh sulit dipercaya 

kalau dirinya dapat dirobohkan Angkin Pembawa Maut 

hanya dalam satu gebrakan!

Sewaktu terjadi bentrokan tadi, tubuh Angkin 

Pembawa Maut pun sempat terguncang hebat. Namun 

tidak begitu membahayakan keselamatannya. Bahkan 

begitu mendarat, tubuhnya kembali melenting ke de-

pan. Pedangnya langsung diputar sedemikian rupa, 

menyerang kelima orang teman Setan Cantik.

Crakkk! Crakkk!

"Aaa...!"

Lima kali Angkin Pembawa Maut menggerakkan 

pedang di tangan kanannya. Maka lima kali pula ter-

dengar lengking kematian yang teramat menyayat hati 

di halaman depan Istana Ular Emas. Dan kelima orang 

teman Setan Cantik itu pun kontan roboh ke tanah


dengan dada robek lebar!

Sekali lagi Setan Cantik membelalakkan ma-

tanya liar. Ia yang bermaksud meloncat bangun, men-

dadak mengurungkan niatnya saat melihat kelima 

orang temannya telah tewas hanya sekali gebrak.

Wanita ini benar-benar heran bukan main me-

lihat kehebatan Angkin Pembawa Maut. Rasanya Bun-

da Kurawa sendiri pun belum tentu dapat mengalah-

kannya.

"Dari manakah Angkin Pembawa Maut menda-

patkan jurus-jurus yang demikian hebatnya? Bukan-

kah ia tengah terkurung di kamar tahanan? Lalu, ke-

napa dapat keluar dan mendapatkan jurus-jurus sakti 

yang demikian hebat...?"

Setan Cantik terus bertanya-tanya dalam hati. 

"Kau tak perlu heran, Setan Cantik. Agar kau tak pe-

nasaran bagaimana aku bisa keluar dari tahanan, aku 

akan senang sekali menceritakannya," kata Angkin 

Pembawa Maut, seolah bisa melihat keheranan Setan 

Cantik.

***

"Hm...! Kurasa aku harus mengakali para pen-

jaga. Mumpung sebentar lagi akan berdatangan mem-

bawakan makanan. Yah, yah...! Kurasa aku harus 

menggunakan siasat kalau ingin selamat," gumam 

Angkin Pembawa Maut di dalam ruang tahanan bawah 

tanah. Bibirnya tersenyum senang dengan kepala 

mengangguk-angguk.

Angkin Pembawa Maut pun segera meloloskan 

senjata andalannya yang berupa angkin kuning pan-

jang yang melilit di pinggang. Sejenak diperhatikannya 

langit-langit kamar tahanan seraya mainkan angkin di


tangan seenaknya. Beruntung sekali di langit-langit 

kamar tahanan bawah tanah ini terdapat sebuah ton-

jolan batu yang memanjang sebesar lengan dengan 

bentuk meruncing.

Angkin Pembawa Maut tersenyum senang. Ke-

mudian dengan sekali menjejakkan kakinya di tanah, 

tonjolan batu memanjang itu diraihnya. Sambil berge-

lantungan, tangan kirinya segera mengikatkan angkin-

nya di tonjolan batu itu kuat-kuat.

Merasa ikatannya sudah kuat, gadis ini sambil 

bergelantungan menggunakan angkin, cepat melilitkan 

ujung angkin satunya ke leher setelah memindahkan 

pernafasannya ke perut Dengan demikian, keadaannya 

mirip orang gantung diri!

"Hm.... Sekaranglah saatnya aku main sandi-

wara. Semoga murid-murid penjaga itu segera berda-

tangan," gumam Angkin Pembawa Maut dalam hati.

Sambil bergelantung begitu, Angkin Pembawa 

Maut juga mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 

agar ikatan ujung angkin di tonjolan batu tidak lepas 

menahan berat badannya. Kemudian untuk meyakin-

kan sandiwaranya, lidahnya sendiri lekas digigit sedi-

kit. Darah segar pun keluar dan membasahi sudut bi-

birnya.

Angkin Pembawa Maut makin tersenyum se-

nang ketika samar-samar mendengar langkah-langkah 

halus mendekati kamar tahanan. Makin jelas suara 

itu, makin terlihat ada satu sosok yang bergerak 

menghampiri.

Kini di depan pintu penjara, tampak seorang 

gadis membawa makanan. Dan seketika itu juga gadis 

ini terperanjat kaget melihat Angkin Pembawa Maut 

menggantung diri Dengan agak tergopoh-gopoh, gadis 

cantik berpakaian kuning keemasan itu segera mem


buka pintu kamar tahanan.

Diam-diam Angkin Pembawa Maut tersenyum 

senang. Apalagi ketika menyadari kalau gadis itu 

hanya seorang diri. Diam-diam tenaga dalamnya mulai 

dikerahkan di kedua kakinya. Dan ketika gadis itu ma-

suk ke dalam kamar tahanan untuk memastikan kea-

daan Angkin Pembawa Maut, tanpa diduga-duga sama 

sekali, Angkin Pembawa Maut melepas tendangan 

mautnya ke dada.

Dukkk! Dukkk!

Tubuh murid penjaga itu kontan melayang de-

ras, membentur dinding-dinding kamar tahanan. Kebe-

tulan sekali kepalanya yang terlebih dahulu memben-

tur dinding, hingga tak dapat bangun lagi dengan ke-

pala retak!

Angkin Pembawa Maut segera melepas angkin 

yang melilit lehernya dan cepat meloncat turun. Seje-

nak dipandanginya bekas adik seperguruannya yang 

malang itu. Lalu tubuhnya cepat berkelebat keluar dari 

kamar tahanan.

Sebagai bekas penghuni Istana Ular Emas, ter-

nyata tidak membuat Angkin Pembawa Maut hafal 

dengan lorong-lorong bawah tanah yang dilaluinya.

Kini gadis itu berhenti di sebuah lorong yang 

berhubungan langsung dengan sebuah ruangan yang 

hanya diterangi oleh obor dari gas alam.

"Kenapa kau berdiri di situ, Cah Ayu. Masuk-

lah...."

"Hah...?!"

Angkin Pembawa Maut tercekat ketika terden-

gar suara dari dalam ruangan. Sejenak matanya bere-

dar, dan segera bertumbukan dengan satu sosok tu-

buh yang tengah duduk di atas batu pipih, di pojok 

ruangan.



"Siapa kau sebenarnya, Orang Tua?" tanya 

Angkin Pembawa Maut tak dapat menahan rasa ingin 

tahunya.

Orang tua di hadapan si gadis adalah seorang 

wanita tua. Wajahnya tirus. Kulit tubuhnya putih ber-

sih. Rambutnya yang panjang memutih digelung ke 

atas. Sedang tubuhnya yang tinggi kurus dibalut pa-

kaian ringkas warna putih.

Wajah tirus wanita tua itu sebenarnya masih 

menampakkan sisa-sisa kecantikannya di waktu mu-

da. Namun yang membuat hati Angkin Pembawa Maut 

ngeri adalah, ketika melihat sepasang mata perempuan 

itu. Ternyata kedua bola mata perempuan itu tidak 

ada. Sehingga, yang terlihat hanya dua lubang hitam 

yang sangat mengerikan!

"Ah...! Kau menanyakan siapa aku, Cah Ayu? 

Sayang sekali aku sendiri hampir lupa siapa aku. 

Mungkin karena terlalu lamanya aku dikurung di tem-

pat terkutuk ini. Tapi kalau tidak salah, dulu aku di-

kenal sebagai Dewi Kumara. Kau sendiri siapa? Men-

cium bau harum tubuhmu, kau pasti masih muda dan 

cantik. Dan kalau tidak salah, kau pun salah seorang 

murid Istana Ular Emas ini. Lalu, kenapa kau sampai 

ada di sini?" kata perempuan tua bergelar Dewi Kuma-

ra itu. Suaranya terdengar lembut, menampakkan kea-

rifannya.

"Ceritanya panjang, Nyi Dewi Kumara. Tapi, se-

belumnya aku akan menceritakan diriku dulu. Aku 

adalah anak seorang yatim piatu yang telah dibesarkan 

Bunda Kurawa. Namaku Puspa Sari. Namun, aku lebih 

sering dipanggil dengan julukan Angkin Pembawa 

Maut. Dan mengenai kenapa aku sampai ada di sini, 

karena aku sudah muak bercampur dengan orang-

orang licik berhati ular. Lalu karena bergaul dengan


seorang pemuda, aku ditawan. Dan karena siasat ku, 

aku berhasil meloloskan diri hingga sampai di sini. 

Kau sendiri kenapa sampai dikurung di tempat ini? 

Dan siapa orang yang telah melakukannya, Nyi?" urai 

Angkin Pembawa Maut yang diakhiri dengan perta-

nyaan.

Diam-diam Angkin Pembawa Maut makin men-

gagumi perempuan buta di hadapannya. Apalagi sete-

lah perempuan tua itu mampu menduga kalau dirinya 

adalah salah seorang murid Istana Ular Emas.

Perempuan buta itu menggerutkan gerahamnya 

kuat-kuat. Apalagi sewaktu Angkin Pembawa Maut ta-

di menyebut-nyebut Bunda Kurawa. Wajah tirusnya 

tampak demikian tegangnya. Kedua pelipisnya berge-

rak-gerak penuh api dendam.

"Siapa lagi. kalau bukan manusia durjana yang 

bergelar Bunda Kurawa!" desis Dewi Kumara penuh 

kemarahan. "Kau tahu! Dia itu sebenarnya kakak se-

perguruanku. Dan karena berkali-kali aku menentang 

perbuatannya yang kejam tak berperikemanusiaan, 

maka aku pun dijebloskannya ke tempat terkutuk ini. 

Bahkan bukan itu saja. Kedua bola mataku pun diko-

rek. Tangan kananku ditebas hingga putus!"

Habis berkata begitu, perempuan tua buta yang 

ternyata adik seperguruan Bunda Kurawa itu pun 

mengangkat tangan kanannya. Ternyata, tangan itu 

memang buntung sebatas lengan.

Angkin Pembawa Maut yang bernama asli Pus-

pa Sari membelalakkan matanya, tak menduga melihat 

kenyataan itu. Hanya karena tertutup pakaian putih 

panjangnya sajalah yang membuat Angkin Pembawa 

Maut tidak tahu kalau tangan kanan perempuan tua 

ini buntung.

"Hm...! Perbuatan Bunda Kurawa memang sudah melewati takaran. Tapi, kau sendiri kenapa tidak 

berusaha keluar dari tempat terkutuk ini, sekalian 

membalas sakit hatimu?" tanya Angkin Pembawa 

Maut, penasaran.

"Aku tak mungkin melakukan itu, Cah Ayu. 

Aku telah dipaksa bersumpah untuk tidak keluar dari 

tempat terkutuk ini selama manusia durjana itu masih 

berkuasa di Istana Ular Emas."

"Kenapa kau mau dipaksa bersumpah seperti 

itu, Nyi?"

"Waktu itu aku memang bodoh, Cah Ayu. Aku 

masih menyayangi nyawaku. Tapi kalau tahu akan be-

gini penderitaan ku, lebih baik aku mati di tangan ma-

nusia durjana itu saja dulu. Tapi, sudahlah. Semuanya 

sudah terlambat. Dan bagiku sumpah adalah segala-

galanya, walau sebenarnya tidak tulus keluar dari ha-

tiku. Namun api dendam yang bergolak dalam hatiku 

tak dapat ditahan lagi. Cuma sayang, aku tidak tahu 

bagaimana caranya harus menuntut balas."

"Aku sanggup mewakilimu, Nyi," tandas Puspa 

Sari bersemangat.

"Memang itulah yang sedang ku pikirkan, Cah 

Ayu. Kalau kau memang tidak keberatan, aku ingin 

mewariskan jurus-jurus ciptaanku selama berada di 

tempat ini. Mudah-mudahan, jurus-jurus itu dapat 

mengalahkan jurus-jurus 'Ular Emas' milik manusia 

durjana itu padamu. Mendekatlah kemari, Cah Ayu!"

Puspa Sari sama sekali tak menduga kalau 

akan diwarisi jurus-jurus milik Dewi Kumara yang di-

ciptakan selama berada di ruang bawah tanah ini. Di-

am-diam hatinya pun senang bukan main. Maka tanpa 

banyak cakap lagi, gadis ini segera bergerak makin 

mendekati Dewi Kumara.

"Sebelum kuajarkan jurus-jurusku, terlebih


dahulu aku ingin mewariskan pukulan 'Lahar Biru'." 

"Baik, Nyi. Dan sebelumnya aku pun mengu-

capkan terima kasih atas bimbingan mu ini, Orang 

Tua."

"Nah! Sekarang, pejamkanlah matamu rapat-

rapat! Pusatkanlah pikiranmu pada Yang Maha Kuasa! 

Hanya dengan cara itulah aku dapat mewariskan pu-

kulan 'Lahar Biru' padamu."

Tanpa diperintah dua kali, Angkin Pembawa 

Maut segera memejamkan matanya. Segenap jalan pi-

kirannya pun segera dipusatkan kepada Yang Maha 

Kuasa.

Untuk beberapa saat, Dewi Kumara pun hanya 

memandangi Puspa Sari seksama dengan indera kee-

namnya yang sudah sangat terlatih. Kemudian Dewi 

Kumara pun segera mengeluarkan botol kecil berisi 

cairan biru dari dalam saku. Cairan itu berasal dari 

sari pati jamur-jamur biru yang tanpa sengaja dipero-

leh Dewi Kumara di ruang tahanannya. Kegunaan sari 

pati jamur biru, bagi Dewi Kumara memang tak asing 

lagi. Yakni, untuk membangkitkan dan melipatganda-

kan tenaga dalam.

"Minumlah saripati jamur biru ini, Cah Ayu...."

Tanpa banyak cakap, Angkin Pembawa Maut 

pun segera meminum cairan biru pemberian Dewi Ku-

mara. Begitu cairan biru itu masuk ke dalam perut, 

tubuh Angkin Pembawa Maut kontan bergetar hebat. 

Dirasakannya di sekujur tubuhnya mengalir hawa pa-

nas yang bukan kepalang dan terus berputar-putar di 

bawah pusar!

"Kendalikan hawa panas yang berputar-putar 

dalam tubuhmu, Cah Ayu!" ujar Dewi Kumara membe-

ri petunjuk.

Seraya menempelkan telapak tangan kirinya ke


punggung Angkin Pembawa Maut untuk membantu 

gadis itu dalam mengendalikan hawa panas yang ber-

putar-putar di bawah pusarnya.

Angkin Pembawa Maut menuruti saja perintah 

Dewi Kumara. Selang beberapa saat, hawa panas yang 

berputar-putar di bawah pusarnya segera dapat diken-

dalikan.

Dewi Kumara tampak lega sekali setelah men-

gangkat tangan kirinya. Wajah tirusnya tampak pucat 

pasi dengan keringat membanjir! Namun, rupanya wa-

nita tua itu sendiri tidak begitu pedulikan keadaan di-

rinya.

"Sekarang, kau boleh melatih jurus-jurus cip-

taanku, Cah Ayu!" ujar Dewi Kumara kemudian.

Sebenarnya Angkin Pembawa Maut agak sedih 

melihat paras Dewi Kumara yang tampak demikian 

pucat. Namun meski demikian, semangat perempuan 

tua itu demikian menggebu-gebu. Sehingga Puspa Sari 

tak tega menolak permintaannya.

***

Dan mulai malam itulah, Angkin Pembawa 

Maut mempelajari jurus-jurus ciptaan Dewi Kumara. 

Hingga menjelang tengah hari, jurus-jurus 'Tendangan 

Maut Dewa Ruci' baru dapat dikuasai.

"Nah, sekarang kau telah menguasai pukulan 

'Lahar Biru'-ku dan jurus ciptaanku yang bernama 

'Tendangan Maut Dewa Ruci'. Sekarang kau boleh 

tinggalkan tempat ini!" kata Dewi Kumara. "Agar kau 

tak tersesat lagi, begitu keluar ruangan ini, beloklah ke 

kiri. Di sana kau akan menemukan dua buah lorong. 

Ambil lorong sebelah kanan. Maka kau akan melihat 

udara luar."


Angkin Pembawa Maut sebenarnya tak tega 

meninggalkan perempuan tua buta di hadapannya 

yang tampak demikian pucatnya. Namun untuk meno-

lak perintah, Angkin Pembawa Maut pun tak tega.

"Baik, Guru. Harap kau pun dapat menjaga diri 

baik-baik di tempat terkutuk ini. Nanti kalau sean-

dainya aku dapat membunuh Bunda Kurawa, aku ber-

janji akan membawamu keluar dari tempat terkutuk 

ini!" kata Puspa Sari, kini memanggil 'Guru' pada Dewi 

Kumara.

"Tidak perlu. Tempat inilah kediamanku yang 

terakhir. Aku senang tinggal di tempat terkutuk ini. 

Namun aku lebih senang jika kau dapat membunuh 

manusia durjana itu," tolak Dewi Kumara, tegas.

"Baik, Guru. Tentu aku akan berusaha keras 

untuk membalaskan sakit hatimu."

Habis berkata begitu, Angkin Pembawa Maut 

pun segera menangkupkan kedua telapak tangannya 

ke depan hidung penuh hormat.

Dewi Kumara hanya mengibaskan tangan ki-

rinya. Puspa Sari tahu, itu sebagai isyarat kalau di-

rinya harus segera meninggalkan tempat itu.

Tanpa banyak cakap lagi, Angkin Pembawa 

Maut pun segera keluar dari tempat kurungan Dewi 

Kumara. Kini Angkin Pembawa Maut tidak kebingun-

gan lagi untuk keluar dari lorong bawah tanah Istana 

Ular Emas.


DELAPAN



"Anak Setan! Aku yakin, pasti yang membe-

baskan mu si keparat Dewi Kumara. Dan dia pula yang 

memberimu kepandaian!"


Tahu-tahu Bunda Kurawa telah berada di ha-

laman, setelah Angkin Pembawa Maut menuturkan ki-

sahnya pada Setan Cantik. Walaupun tidak seluruh-

nya dugaan Bunda Kurawa benar, namun cukup 

membuat Puspa Sari kagum. Karena dari gerakan-

gerakan silat yang dimainkan Ketua Istana Ular Emas 

ia tahu kalau Angkin Pembawa Maut telah memiliki 

kepandaian lebih.

Kedua telapak tangan Bunda Kurawa kini telah 

berubah jadi kuning keemasan. Begitu tubuhnya me-

lompat, langsung dilontarkannya pukulan 'Racun Ular 

Emas' ke arah Angkin Pembawa Maut.

Wesss...! Wesss...!

Maka seketika itu dua larik sinar kuning kee-

masan dari kedua telapak tangan Bunda Kurawa mele-

sat menyerang Angkin Pembawa Maut!

Pada saat yang sama, berpuluh-puluh murid Is-

tana Ular Emas telah berhamburan keluar. Mereka 

siap menyerang Angkin Pembawa Maut dengan pedang 

di tangan.

Puspa Sari sedikit pun tidak gentar menghada-

pi serangan Bunda Kurawa. Kedua telapak tangannya 

yang telah berubah jadi biru segera menghentak, me-

lontarkan pukulan 'Lahar Biru'. Maka seketika itu, dua 

larik sinar biru dari telapak tangannya melesat ke de-

pan. 

Wesss! Wesss!

Buuunm...!

Terdengar satu ledakan hebat di udara ketika 

dua tenaga dalam berbentrokan di udara! Bumi berge-

tar hebat! Ranting-ranting pohon di sekitar tempat per-

tarungan berderak dengan daun-daun hangus seperti 

terbakar.

Tubuh Bunda Kurawa yang membuat salto ke


belakang tergetar hebat! Kala kedua kakinya menjejak 

tanah, parasnya langsung pias. Seisi dadanya terasa 

mau remuk akibat bentrokan tadi!

Sedang tubuh Angkin Pembawa Maut sendiri 

pun tampak terhuyung-huyung beberapa langkah ke 

belakang.

Bunda Kurawa menggeram penuh kemarahan. 

Sungguh tak dipercaya kalau Angkin Pembawa Maut 

kini mampu menahan pukulan 'Racun Ular Emas'. 

Bahkan hampir saja berbalik menyerang dirinya!

"Bedebah! Kau memang patut modar di tangan-

ku, Bocah Setan!" maki Bunda Kurawa, tak dapat lagi 

mengendalikan amarah yang menggelegak.

Habis menggeram begitu, Bunda Kurawa kem-

bali menerjang Angkin Pembawa Maut. Angkin pan-

jangnya yang telah diloloskan langsung meliuk-liuk, 

mengancam beberapa jalan darah di tubuh Angkin 

Pembawa Maut. Sedang telapak tangan kirinya yang 

kini makin jadi kuning keemasan sesekali melontarkan 

pukulan 'Racun Ular Emas'.

Angkin Pembawa Maut tersenyum dingin.

"Justru kaulah yang patut modar di tanganku, 

Bunda Kurawa! Dosamu sudah bertumpuk. Bahkan 

adik seperguruan sendiri kau tega mencelakakannya! 

Kau memang tidak layak lagi hidup di alam mayapada 

ini, Bunda Kurawa!" desis Puspa Sari.

Meski Bunda Kurawa adalah bekas gurunya, 

kini Angkin Pembawa Maut tak segan-segan lagi men-

gerahkan segenap kepandaiannya. Tanpa banyak ca-

kap lagi, tenaga dalamnya segera dilipatgandakan. Dan 

itu berkat meminum sari pari jamur biru. Sementara 

pedang rampasan di tangan kanannya bergerak cepat 

di antara gulungan-gulungan kuning angkin panjang 

di tangan Bunda Kurawa. Sedang telapak tangan ki


rinya segera memapas dengan pukulan 'Lahar Biru'.

Wesss! Wesss!

Bummm...!

Sekali lagi, terdengar ledakan hebat ketika ter-

jadi pertemuan tenaga dalam. Seolah seisi alam ini 

hendak runtuh akibat getaran yang terjadi.

Yang lebih hebat lagi, tubuh ramping Bunda 

Kurawa pun kontan terjajar beberapa langkah ke bela-

kang dengan wajah pucat. Bahkan sudut-sudut bibir-

nya dibasahi darah pertanda mengalami luka dalam 

cukup parah!

Puspa Sari sendiri pun terjengkang beberapa 

tombak ke belakang. Seisi dadanya terasa mau jebol. 

Dan tak lama darah segar pun termuntah dari mulut-

nya. Kemudian setelah membesut darah yang memba-

sahi sudut-sudut bibir, gadis itu pun segera meloncat 

bangun.

Saat itu, Bunda Kurawa tengah mengerahkan 

kekuatan sihirnya. Tampak kedua bibirnya berkemik-

kemik, membacakan mantera-mantera ilmu sihirnya.

Angkin Pembawa Maut terjingkat. Sungguh ti-

dak disadari kalau ternyata Bunda Kurawa memiliki 

kepandaian ilmu sihir hebat!

Kini Angkin Pembawa Maut seolah kehilangan 

akal. Ia tidak tahu, bagaimana caranya memunahkan 

kekuatan sihir Bunda Kurawa. Dan untuk sesaat, ga-

dis ini hanya dapat memandangi Bunda Kurawa den-

gan paras pias!

"Anak Setan! Apa kau kini masih berani jual la-

gak di depanku?! Apa kau lupa kalau aku adalah gu-

rumu? Ayo, lekas berlutut dan mohon ampun!"

Puspa Sari membelalakkan matanya. Wajahnya 

tampak demikian pias. Ia berusaha mengerahkan ke-

kuatan batin untuk memunahkan kekuatan sihir


Bunda Kurawa. Namun, sayangnya ia tak sanggup. 

Bahkan kedua lututnya terasa mulai goyah. Dan ham-

pir saja ia duduk berlutut di hadapan Bunda Kurawa. 

Untung saja....

"Bunda Kurawa! Justru kaulah yang patut ber-

lutut dan mohon ampun pada bekas muridmu yang 

cantik itu! Dosamu sudah bertumpuk! Dan jangan lu-

pa, kalau kau sebenarnya adalah manusia laknat no-

mor satu di muka bumi ini, ya?! Iya, kan? Ayo, jawab! 

Kalau tidak kugebuk pantatmu! He he he...!"

***

Sebuah suara berisi kekuatan sihir maha hebat 

membuat kedua alis Bunda Kurawa bertaut dalam-

dalam. Bukan saja wanita ini sampai kaget, karena ke-

kuatan sihirnya mendadak sirna. Bahkan suara itu 

pun malah mulai menyerang jalan pikirannya! Sehing-

ga tanpa disadari, hampir saja wanita sesat ini duduk 

berlutut. Untung saja kekuatan sihirnya buru-buru di-

lipatgandakan.

Menyadari ada seseorang yang mampu memu-

kul balik kekuatan sihirnya, Bunda Kurawa mengge-

ram penuh kemarahan. Sepasang matanya yang indah 

kontan berkilat-kilat memandangi dua sosok anak ma-

nusia yang tengah menyeberangi parit yang mengeli-

lingi halaman Istana Ular Emas, menggunakan batang 

pohon bambu yang ditumbangkan.

Sosok yang depan adalah seorang pemuda 

tampan berambut gondrong tergerai di bahu. Tubuh-

nya tinggi besar, berbalut pakaian rompi dan celana 

bersisik warna putih keperakan. Pada bagian dadanya 

terdapat rajahan bergambar ular putih kecil. Melihat 

ciri-cirinya, jelas kalau pemuda tampan itu tidak lain


dari Siluman Ular Putih!

Sedang sosok ramping di belakang Siluman 

Ular Putih adalah seorang gadis cantik dengan rambut 

panjang tergerai di bahu. Tubuhnya yang tinggi ramp-

ing dibalut pakaian ketat warna hitam. Gadis cantik 

bersenjatakan sepasang pedang kembar di tangan itu 

tidak lain dari Aryani yang berjuluk Bidadari Kecil.

"Siluman Ular Putih!" pekik Angkin Pembawa 

Maut gembira begitu melihat pemuda yang sangat di-

cintainya.

Namun entah kenapa, tiba-tiba kegembiraan 

gadis cantik itu sirna begitu melihat Soma datang ber-

sama seorang gadis cantik. Wajahnya yang cantik 

mendadak memberengut. Entah disadari entah tidak, 

diam-diam api cemburu mulai membakar hatinya.

Dan keadaan ini pun rupanya tak jauh berbeda 

dengan Aryani. Apalagi kala menyadari kalau ucapan 

Soma sebelum menuju ke Istana Ular Emas tadi, ter-

nyata benar. Rupanya, gadis yang dimaksudkan Soma 

memang cantik. Bahkan mungkin melebihi kecantikan 

Aryani.

Bidadari Kecil makin kecewa saat melihat Soma 

tampak gembira sekali mendengar sapaan Angkin 

Pembawa Maut. Hal ini pulalah yang membuat hatinya 

uring-uringan. Tanpa sadar, ia pun mulai terbakar api 

cemburu!

"Kau baik-baik saja di sini, Angkin? Apa Bunda 

Kurawa dan cecunguk-cecunguknya itu menyakitimu?" 

tanya Soma penuh perhatian.

"Mereka memang menggangguku, Soma. Tapi 

untungnya, aku dapat mengatasinya," sahut Angkin 

Pembawa Maut dengan mata berbinar.

Melihat keakraban Soma dengan Angkin Pem-

bawa Maut, mendadak Aryani jadi bungkam. Api cemburu makin membakar putri tunggal Pendekar Lowo 

Kuru itu.

"Bagus, bagus! Rupanya kau telah menda-

patkan Kitab Kodok Perak Sakti itu, Siluman Ular Pu-

tih. Bahkan kau telah mendapatkan pula Tombak Raja 

Akhirat milik mendiang suamiku. Sekarang, lekas se-

rahkan kedua benda itu padaku! Dan kau pun boleh 

mengajak gadismu yang cantik itu pergi dari sini!" kata 

Bunda Kurawa, memecah kebisuan yang sejenak ter-

jadi.

"Memang aku akan menyerahkan Kitab Kodok 

Perak Sakti ini padamu. Tapi tidak untuk Tombak Raja 

Akhirat," sahut Siluman Ular Putih enteng.

"Jadi kau ingin mengangkangi milikku, Siluman 

Ular Putih?" tukas Bunda Kurawa tak sabar.

"Kau sendiri menyuruhku mencuri Kitab Kodok 

Perak Sakti milik orang-orang penghuni Lembah Kodok 

Perak. Kenapa aku tidak boleh mengangkangi milik-

mu? Lagian, aku yakin dunia persilatan akan tambah 

kacau kalau kau juga memiliki Tombak Raja Akhirat. 

Nah, sekarang terimalah benda yang kau inginkan ini!" 

ujar Soma, lalu melemparkan lembaran sutera Kitab 

Kodok Perak Sakti ke arah Bunda Kurawa.

Meski lemparan murid Eyang Begawan Kama-

setyo tampak seperti biasa, namun anehnya lembaran 

Kitab Kodok Perak Sakti melesat bagaikan kilat.

Tap!

Tangkas sekali Bunda Kurawa menangkap lem-

baran Kitab Kodok Perak Sakti. Dan seketika itu, tan-

gannya bergetar hebat. Padahal, ia sudah mengerah-

kan tenaga dalam hampir sepertiga bagian. Namun, 

tangan kanannya masih saja bergetar!

"Bedebah! Kau mempermainkan ku, Bocah?" 

maki Bunda Kurawa penuh kemarahan.


"Maaf, Bunda Kurawa! Sebenarnya aku tak ada 

keinginan mempermainkan mu. Aku malah lebih se-

nang mengantar nyawamu menemui Raja Akhirat. Ba-

gaimana? Apa kau tidak keberatan?" goda Soma.

"Bangsat! Belum puas aku kalau belum mem-

beset jantungmu, Bocah! Nih, terimalah pukulan 

'Racun Ular Emas'!" bentak Bunda Kurawa seraya 

mengibaskan tangan kirinya sebagai isyarat pada mu-

rid-muridnya untuk maju menyerang!

Dan pada saat yang hampir bersamaan, Bunda 

Kurawa mendorongkan telapak tangan kanannya yang 

telah berubah jadi kuning keemasan ke arah Siluman 

Ular Putih. 

Wesss! Wesss!

Seketika itu melesat dua larik sinar kuning 

keemasan yang didahului berkesiurnya angin dingin ke 

arah Siluman Ular Putih.

Soma segera mengangkat kedua telapak tangan 

yang telah penuh pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. 

Dan seketika didorongkannya ke depan. Maka melesat-

lah dua larik sinar putih terang dari kedua telapak 

tangannya. Lalu.... 

Bummm....! Bummm...!

Terdengar dua kali ledakan hebat di udara 

membuat bumi bagai terjadi gempa. Asap tampak 

mengepul, tepat di tengah-tengah benturan.

Dari tempatnya tubuh Bunda Kurawa terjajar 

beberapa langkah ke belakang dengan wajah pucat pa-

si. Darah segar meluncur dari sudut-sudut bibirnya, 

pertanda tengah menderita luka dalam cukup parah!

Bersamaan dengan serangan Bunda Kurawa 

tadi, berpuluh-puluh murid Bunda Kurawa segera me-

nerjang Siluman Ular Putih. Namun, Aryani dan Ang-

kin Pembawa Maut keburu menghadang. Kedua gadis


yang masing-masing dibakar api cemburu itu langsung 

menyerang murid-murid Bunda Kurawa.

Aryani yang merasa cemburu atas sikap berle-

bihan Angkin Pembawa Maut, kini tak dapat lagi men-

gendalikan marahnya. Dan murid-murid Bunda Kura-

walah yang jadi sasaran kemarahannya. Dengan sepa-

sang pedang kembarnya, gadis itu terus mengamuk 

hebat. Tebasan-tebasan kedua pedangnya tampak de-

mikian menggiriskan. Belum lagi gulungan-gulungan 

rambutnya yang tak kalah hebat!

"Hyaaat...! Hyaaat...!"

Cring! Cring!

Bidadari Kecil terus mengamuk hebat. Namun 

sayangnya tebasan-tebasan pedang di kedua tangan-

nya, berkali-kali bisa dipapaki. Dan hampir berkali-kali 

pula tubuhnya terkena sambaran-sambaran pedang di 

tangan murid-murid Istana Ular Emas. Untung saja 

sampai saat ini ia masih dapat menghindar.

Meski demikian, Siluman Ular Putih yang ten-

gah bertarung hebat melawan Bunda Kurawa merasa 

cemas bukan main melihat serangan-serangan Aryani 

yang membabi buta.

"Aryani! Cepatlah bergabung dengan Angkin 

Pembawa Maut agar kalian dapat saling melindungi!" 

teriak murid Eyang Begawan Kamasetyo gusar.

"Heh...! Kalau memang ia punya kepandaian, 

kenapa tidak dapat melindungi diri sendiri?!" teriak 

Aryani jengkel.

"Tapi kalian harus saling bahu-membahu un-

tuk menghadapi keroyokan murid-murid Bunda Kura-

wa itu!"

"Buat apa?" tukas Aryani.

Siluman Ular Putih gusar bukan main. Namun 

belum sempat membuka suaranya kembali, mendadak

Bunda Kurawa telah menyerang garang dengan puku-

lan 'Racun Ular Emas'.

Terpaksa Siluman Ular Putih harus memapaki 

kalau masih ingin melihat indahnya matahari pagi. 

Maka kedua tangannya segera menghentak, menge-

rahkan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'

Wesss! Wesss!

Bummm...!

Tubuh Bunda Kurawa kembali terjajar bebera-

pa langkah ke belakang! Wajahnya makin pias saja! 

Darah segar pun kembali membasahi sudut-sudut bi-

birnya. 

Sedangkan tubuh Siluman Ular Putih sendiri 

bergetar hebat! Kedua kakinya melesak beberapa jeng-

kal ke dalam tanah! Keadaan ini tentu saja jauh lebih 

menguntungkan dibanding Bunda Kurawa yang ter-

huyung-huyung. 

"Heaaat...!

Di saat demikian Siluman Ular Putih cepat me-

nyerang Bunda Kurawa dengan jurus 'Terjangan Maut 

Ular Putih'.

Kali ini Bunda Kurawa benar-benar kewalahan 

menghadapi serangan-serangan murid Eyang Begawan 

Kamasetyo. Berkali-kali tubuh rampingnya dibuat 

jumpalitan menghindari serangan. Namun sepandai-

pandainya menghindari, tetap saja ada titik lemahnya. 

Dan hal itu cepat dimanfaatkan Siluman Ular Putih.

Pada satu kesempatan, patukan tangan kanan 

Siluman Ular Putih mendarat telak sekali di dada 

Bunda Kurawa!

Bukkk!

"Aaakh...!"

Seketika Bunda Kurawa menghamburkan da-

rah segar. Tubuhnya langsung terjajar beberapa lang


kah ke belakang!

Kini dalam keadaan terdesak seperti itu, tak 

urung Bunda Kurawa mengeluarkan keringat dingin. 

Apalagi ketika dilihatnya Siluman Ular Putih mulai me-

rangsek dengan jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'!

Mendapat desakan seperti ini Bunda Kurawa 

jadi nekat. Maka kali ini, ia bertekad untuk mengadu 

nyawa. Tanpa pikir panjang lagi tenaga dalamnya pun 

segera dilipatgandakan. Kedua telapak tangannya 

hingga ke pangkal siku makin berubah kuning keema-

san. Namun belum sempat melontarkan pukulan 

'Racun Ular Emas', tiba-tiba...

"Bunda! Kami datang membantu. Bocah edan 

itu memang patut kita musnahkan demi mewujudkan 

cita-cita kita, Bunda!"

Sebuah teriakan yang disertai berkeredepnya 

beberapa sinar kuning keemasan tiba-tiba menyerang 

Siluman Ular Putih. Akibatnya, terpaksa murid Eyang 

Begawan Kamasetyo itu mengurungkan serangan-

serangannya!


SEMBILAN



Alis Bunda Kurawa bertaut dalam, Di hada-

pannya kini berdiri sesosok perempuan cantik berpa-

kaian kuning keemasan dengan rambut digelung ke 

atas. Wajahnya yang cantik berbentuk bulat telur. Hi-

dungnya mancung. Sepasang matanya tajam dengan 

bentuk bibirnya tipis kemerah-merahan. Di belakang 

sosok perempuan itu berdiri lima lelaki bertampang 

kasar. Mereka tak lain adalah para tokoh sesat yang 

menginginkan kematian Siluman Ular Putih.

"Bagus, bagus! Rupanya kau datang ingin mengantar nyawa busukmu, Teratai Emas! Dasar 

pengkhianat!" maki Bunda Kurawa penuh kemarahan 

pada sosok perempuan cantik yang kini buntung pada 

tangan kirinya. Dia memang Teratai Emas.

"Maafkan hamba, Bunda! Hamba memang ber-

salah. Dan untuk menebus kesalahan, izinkan hamba 

membantu Bunda melenyapkan pemuda sinting berge-

lar Siluman Ular Putih itu!" sahut Teratai Emas itu, 

penuh sesal.

Bunda Kurawa mendengus dingin. Sepasang 

matanya menatap tajam Teratai Emas. Terutama sekali 

pada pergelangan tangan kiri Teratai Emas yang bun-

tung.

Siluman Ular Putih hanya geleng-geleng kepala 

melihat kemunculan Teratai Emas yang disertai kelima 

tokoh sakti berperangai menyeramkan. Kelima tokoh 

itu adalah Tengkorak Serigala, Raja Toya, Ki Julung 

Pucut, Iblis Tunggal dari Gunung Tugel, dan Datuk Bi-

su dari Gunung Slamet.

Memang, setelah dikalahkan Siluman Ular Pu-

tih ketika ingin merebut Kitab Kodok Perak Sakti dan 

Tombak Raja Akhirat, Teratai Emas yang menyimpan 

dendam merasa harus menuntut balas. Ia benar-benar 

menginginkan kematian Siluman Ular Putih. Kebetulan 

sekali sewaktu ingin mencari bantuan, ia bertemu 

Tengkorak Serigala dan kawan-kawan yang memang 

menginginkan nyawa murid Eyang Begawan Kama-

setyo. Berkat hasutannya, tanpa banyak kesulitan ke-

lima tokoh sesat itu dapat dibujuk Teratai Emas untuk 

datang ke Istana Ular Emas kembali. Sebab, Teratai 

Emas yakin kalau Siluman Ular Putih sedang menuju 

Istana Ular Emas untuk menyerahkan Kitab Kodok Pe-

rak Sakti.

"Begitukah? Bukankah kau menginginkan Ki


tab Kodok Perak Sakti ini, sekaligus untuk merebut 

takhta ku?" tukas Bunda Kurawa, mendengar ucapan 

Teratai Emas tadi.

"Tidak, Bunda. Demi Iblis, aku sekarang tidak 

punya maksud itu. Aku ingin kembali mengabdi pa-

damu, Bunda," tandas Teratai Emas lantang.

Bunda Kurawa menautkan alis. Sepasang ma-

tanya terus menatap Teratai Emas penuh selidik.

"Ha ha ha...! Kalian guru dan murid sama saja! 

Kenapa kalian masih saja meributkan urusan itu? Ke-

napa tidak cepat-cepat mencincang kunyuk gondrong 

ini!" tunjuk Tengkorak Serigala ke arah Siluman Ular 

Putih, seraya mengetuk-ngetukkan tongkat putih ber-

kepala serigala ke tanah.

Tanah di sekitarnya kontan bergetar hebat! Ba-

gian yang terkena ketukan tongkat kontan berlubang 

besar.

"Heh..! Kau benar, Tengkorak Serigala. Untuk 

sementara urusanku dengan Teratai Emas ku tang-

guhkan. Yang jelas, nanti Teratai Emas akan menda-

pat hukuman dariku sesuai dosa-dosanya!" kata Bun-

da Kurawa dingin.

"Hamba terima salah, Bunda. Dan bila Bunda 

ingin membunuh kunyuk gondrong ini, biar hamba 

membantu bersama kelima orang teman hamba," kata 

Teratai Emas.

Tanpa menyahut Bunda Kurawa mengalihkan 

pandangannya ke arah murid Eyang Begawan Kama-

setyo.

Sementara diam-diam Siluman Ular Putih mu-

lai menyalurkan tenaga dalamnya ke gagang Tombak 

Raja Akhirat. Ujung runcing tombak di tangan Siluman 

Ular Putih yang berwarna merah kontan berkilauan 

oleh cahaya merah menggiriskan!


"Harap kalian hati-hati! Jangan sampai terkena 

kilauan cahaya merah ujung tombak milik mendiang 

suamiku itu kalau tak ingin celaka!" kata Bunda Ku-

rawa memperingatkan.

Begitu habis kata-katanya, Bunda Kurawa 

mengerahkan tenaga dalam ke kedua telapak tangan-

nya sehingga berwarna kuning keemasan sampai ke 

pangkal siku. Rasanya, ia sudah gatal ingin segera me-

lontarkan pukulan 'Racun Ular Emas'.

"Heaaa...!"

Disertai teriakan keras, Bunda Kurawa pun 

mendahului menyerang. Kedua telapak tangannya se-

gera didorongkan ke depan. Seketika itu, dua larik si-

nar kuning keemasan dari kedua telapaknya melesat 

ke arah Siluman Ular Putih.

Bersamaan dengan itu, serangan-serangan Te-

ratai Emas dan kelima kawannya pun segera menyu-

sul. Wanita itu menyerang Siluman Ular Putih dengan 

lontaran bunga-bunga teratai kuningnya. Sedang keli-

ma orang kawannya pun menyerang dengan senjata di 

tangan.

Wesss! Wesss!

Hebat bukan main serangan mereka, bagai air 

bah yang tak tertahankan. Saat itu pula, Siluman Ular 

Putih segera mendorongkan kedua telapak tangannya 

yang telah berubah jadi merah menyala penuh puku-

lan sakti 'Tenaga Inti Api'.

Wesss! Wesss!

Bummm...! Bummm...!

Terdengar dua kali ledakan dahsyat di udara. 

Bumi bergetar! Daun-daun di sekitar tempat pertarun-

gan berguguran, dan hangus terbakar terkena samba-

ran angin dari bentrokan tadi!

Tubuh Bunda Kurawa terjengkang ke belakang.


Parasnya tampak demikian piasnya. Darah pun mem-

basahi sudut-sudut bibirnya.

Siluman Ular Putih yang juga sempat ter-

huyung-huyung beberapa langkah ke belakang, lang-

sung memutar Tombak Raja Akhirat untuk menahan 

gempuran Teratai Emas dan kelima orang kawannya. 

Seketika itu pula tampak kilatan-kilatan cahaya keme-

rahan dari ujung tombak di tangannya menyambar-

nyambar ganas.

Werrr! Werrr!

Crakkk!

"Aaakh...!"

Teratai Emas menjerit setinggi langit. Saking 

bernafsunya ingin cepat membunuh Siluman Ular Pu-

tih, serangan-serangannya tak dapat dikendalikan. Di 

saat tengah menerjang dengan bunga-bunga teratai 

kuning, mendadak kilatan cahaya merah ujung tom-

bak di tangan Soma menyambar dadanya. Maka tanpa 

ampun lagi tubuh wanita itu roboh ke tanah dan tidak 

bergerak-gerak lagi dengan dada robek memanjang!

"Bedebah! Kau gunakan Tombak Raja Akhirat 

milik mendiang suamiku untuk membunuh muridku, 

Kunyuk Gondrong! Kau harus bayar mahal atas per-

buatanmu ini, Kunyuk Gondrong!" maki Bunda Kura-

wa penuh kemarahan.

Bunda Kurawa pun kembali menerjang Silu-

man Ular Putih garang. Kedua telapak tangannya 

kembali didorongkan ke depan dengan sepenuh kekua-

tan tenaga dalamnya. Seketika itu, dua larik sinar 

kuning keemasan yang didahului lesatan angin dingin. 

Bersamaan itu, Raja Toya pun telah melontar-

kan pukulan 'Gelap Sekati'. Sementara Tengkorak Se-

rigala, melabrak dengan tongkat putih berkepala seri-

gala yang sesekali disertai luncuran jarum-jarum putih


mengandung racun keji dari mulut kepala tengkorak! 

Sedang Ki Julung Pucut pun telah siap dengan cemeti 

berekor sembilan di tangan kanan! 

Wesss! Wesss!

Hebat bukan main serangan-serangan para 

pengeroyok Siluman Ular Putih kali ini. Belum sempat 

serangan-serangan itu mengenai sasaran, Siluman 

Ular Putih terlebih dahulu telah merasakan hawa te-

ramat dingin menyambar-nyambar kulit tubuhnya.

Siluman Ular Putih kewalahan bukan main. 

Tak mungkin rasanya menghindari gempuran para 

pengeroyoknya. Tak ada pilihan lain, segera tangannya 

menghentak beberapa kali. Dipapaknya serangan-

serangan itu dengan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'

Wesss! Wesss! Bummm! Bummm...!

Bak layangan putus tali, tubuh tinggi kekar Si-

luman Ular Putih terpental dan melayang-layang jauh 

ke belakang. Pada saat demikian, mendadak Datuk Bi-

su dari Gunung Slamet pun telah melontarkan puku-

lan maut ke tubuh Siluman Ular Putih.

Desss...!

Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi kekar Siluman 

Ular Putih makin jauh melayang, dan jatuh keras di 

tanah.

Siluman Ular Putih menggeram penuh kemara-

han. Wajahnya pias. Dadanya yang terkena pukulan 

Datuk Bisu serasa mau jebol! Disertai kemarahan 

menggelegak, Soma menghujamkan Tombak Raja Ak-

hirat ke dalam tanah dengan tenaga dalam penuh.

Clap!

Tombak itu kontan menembus bumi, sampai 

sejauh belasan depa dari permukaan. Sehingga tak 

mungkin bagi Bunda Kurawa mengambil begitu saja.

Setelah merasa yakin Tombak Raja Akhirat


aman, Siluman Ular Putih berniat mengerahkan ilmu 

pamungkasnya, 'Titisan Siluman Ular Putih'! Maka se-

gera dirapalkannya ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'.

Begitu Soma merapalkan, seketika itu juga se-

kujur tubuhnya mulai dipenuhi uap putih tipis. Se-

hingga sosok tinggi besarnya tidak kelihatan sama se-

kali.

"Sial! Aku tak bakal bisa merebut Tombak Raja 

Akhirat. Apalagi ia akan mengerahkan ajian 'Titisan Si-

luman Ular Putih'!" desis Bunda Kurawa. Sementara 

kelima tokoh sesat itu mendengus penuh kemarahan. 

Namun belum sempat mereka bertindak lebih lanjut, 

mendadak.... 

"Gggeeerrr...!" 

***

Bunda Kurawa dan kelima tokoh sesat itu ter-

paksa menunda serangan. Di hadapan mereka kini 

yang terlihat bukan lagi sosok tinggi kekar murid 

Eyang Begawan Kamasetyo, melainkan sesosok pan-

jang sebesar batang pohon kelapa berwarna putih. Itu-

lah sosok Siluman Ular Putih! 

"Gggeeerrr...!"

Siluman Ular Putih yang berbentuk ular raksa-

sa menggeliat-geliat sebentar. Terkadang kepalanya 

menyembul ke atas dari balik uap putih tipis yang me-

nyelimuti sekujur tubuhnya. Sebentar kemudian baru 

badannya yang sebesar pohon kelapa menyembul ke 

atas.

"Setan Alas! Rupanya pemuda edan itu telah 

menjelma Siluman Ular Putih! Kita harus cepat men-

genyahkannya!" maki Raja Toya penuh kemarahan.

Kedua telapak tangan Raja Toya yang telah berubah menjadi hitam legam siap melontarkan pukulan 

mautnya 'Gelap Sekati' Dan begitu kedua telapak tan-

gannya didorong ke depan, seketika melesat dua larik 

sinar hitam legam ke arah tubuh Siluman Ular Putih

Wesss! Wesss!

Bukkk!

Telak sekali dua larik sinar hitam legam milik 

Raja Toya menghantam tubuh Siluman Ular Putih. 

Namun ular raksasa itu hanya menggeliatkan tubuh-

nya. Sedikit pun tidak mengalami cedera!

Raja Toya geram bukan main. Ia seolah lupa 

kalau tubuh Siluman Ular Putih kebal terhadap berba-

gai macam pukulan sakti maupun tebasan-tebasan 

berbagai macam senjata pusaka

"Raja Toya! Ular keparat ini kebal terhadap ber-

bagai macam pukulan dan senjata tajam. Sebaiknya 

cari akal untuk membunuh ular jejadian ini!" teriak 

Tengkorak Serigala lantang.

Sebenarnya Raja Toya ingin menyahuti ucapan 

Tengkorak Serigala. Namun ketika dilihatnya Siluman 

Ular Putih telah menerjang para pengeroyoknya ga-

rang, terpaksa toyanya segera diputar demikian rupa. 

Langsung dipapakinya serangan-serangan Siluman 

Ular Putih.

Demikian juga Bunda Kurawa dan para penge-

royok lainnya. Dengan senjata di tangan, mereka kem-

bali menyerang hebat.

Wesss! Wesss! 

Bukkk! Bukkk!

Berkali-kali senjata di tangan para pengeroyok 

menghantam tubuh besar Siluman Ular Putih. Namun 

seperti serangan Raja Toya pertama, sedikit pun tubuh 

ular raksasa itu tidak cedera. Malah dengan kibasan-

kibasan ekornya, Siluman Ular Putih kembali membuat para pengeroyoknya pontang-panting menyela-

matkan diri.

Wesss! Wesss! 

Bukkk! Bukkk!

Pada satu kesempatan Ki Julung Pucut dan Ra-

ja Toya memekik setinggi langit, terhantam kibasan 

ekor Siluman Ular Putih. Tubuh mereka kontan me-

layang jauh ke belakang, berputar-putar sebentar dan 

jatuh bergedebuk di tanah. Wajah mereka pucat pasi 

dengan dada serasa mau jebol. Darah segar tampak 

membasahi sudut-sudut bibirnya. 

"Heaaa...!"

Raja Toya dan Ki Julung Pucut menggembor 

penuh kemarahan. Lalu mereka cepat melompat ban-

gun. Saat itu, Bunda Kurawa dan para pengeroyok 

lainnya tengah menyerang Siluman Ular Putih. Tanpa 

banyak buang waktu, Raja Toya dan Ki Julung Pucut 

ikut membantu.

Namun rupanya Siluman Ular Putih tidak mu-

dah untuk ditundukkan. Bahkan dengan terkaman-

terkaman dan kibasan-kibasan ekornya ular jelmaan 

Soma itu mampu mengimbangi serangan-serangan pa-

ra pengeroyok. Padahal, berkali-kali harus menerima 

pukulan-pukulan maut para pengeroyok.

Keadaan ini tidak jauh berbeda bila dibanding-

kan jalannya pertarungan Aryani dan Angkin Pembawa 

Maut yang tengah sibuk menghadapi keroyokan pulu-

han murid Istana Ular Emas. Meski kedua gadis itu 

dapat mengatasi gempuran-gempuran para penge-

royoknya, namun tak jarang pula terkena tebasan-

tebasan pedang para pengeroyok. Sehingga pakaian 

mereka kayak di sana-sini dengan darah segar me-

rembes.

Kalau saja mereka mau saling bahu-membahu


seperti yang diperintahkan Soma, tentu akan dapat 

mendesak para pengeroyok dengan mudah. Namun, 

rupanya mereka lebih senang memilih bertarung sen-

diri-sendiri. Rasa cemburu yang membakar diam-diam 

membuat mereka saling bermusuhan.

"Teman-teman! Mari kita cincang kedua gadis 

bengal ini sampai lumat!" teriak Setan Cantik lantang.

Gerakan-gerakan pedang di tangan wanita te-

lengas ini tampak demikian menggiriskan, siap mera-

jam tubuh Angkin Pembawa Maut. Belum lagi jarum-

jarum emasnya yang berkeredepan itu.

Mendengar aba-aba Setan Cantik, puluhan mu-

rid-murid Istana Ular Emas makin memperhebat se-

rangan. Meski Bidadari Kecil mampu menggabungkan 

jurus 'Sumur Kematian' dengan jurus 'Kelelawar Sakti', 

sedangkan Angkin Pembawa Maut mengerahkan jurus-

jurus yang diwarisi dari Dewi Kumara, tetap saja be-

lum mampu melumpuhkan para pengeroyok. Namun 

kedua gadis itu terus mengamuk hebat.

Di saat murid-murid Istana Ular Emas memper-

longgar kepungan, mendadak Setan Cantik mengi-

baskan tangan kanannya. Murid-murid Istana Ular 

Emas yang tahu isyarat segera mengibaskan tangan, 

melepas jarum-jarum emas. 

Werrr! Werrr!

Aryani dan Puspa Sari alias Angkin Pembawa 

Maut mendengus gusar. Dilihatnya jarum-jarum emas 

yang berkeredepan kontan berhamburan bagaikan hu-

jan. Bahkan kemudian disusul pula dengan tebasan-

tebasan pedang.

Bukan main terkejutnya hati kedua orang gadis 

itu. Wajah mereka pucat pasi. Sulit rasanya mereka 

menghindari serangan-serangan itu. Namun kedua ga-

dis itu tentu saja tidak sudi membiarkan dari jadi sasaran empuk. Begitu melihat puluhan jarum-jarum 

emas yang berkeredepan menyerang, Aryani dan Ang-

kin Pembawa Maut cepat putar pedang.

"Hyaaat! Hyaaat!"

Cring! Cring!

Berpuluh-puluh jarum emas milik murid-murid 

Istana Ular Emas rontok ke tanah. Dan saat itu pula 

Angkin Pembawa Maut dan Aryani membuang tubuh 

ke belakang, menghindari serangan susulan.

Tak ingin buruannya lolos, murid-murid Istana 

Ular Emas terus mengejar. 

Dan di saat Aryani dan Angkin Pembawa Maut 

sibuk menghadapi gempuran-gempuran, mendadak...

"Bunuh Bunda Kurawa! Cincang manusia dur-

jana itu sampai lumat!"

Tahu-tahu di seputar luar parit yang mengeli-

lingi Istana Ular Emas terdengar suara hiruk-pikuk 

beberapa orang yang tengah menyeberangi parit. Me-

reka menggunakan batang bambu yang dipentangkan 

ke seberang parit untuk menyeberang.


SEPULUH



Sepasang mata Bunda Kurawa membelalak liar. 

Sama sekali tidak diduga kalau tempat kediamannya 

akan kedatangan banyak orang yang tak lain para to-

koh sakti dunia persilatan yang memusuhinya.

Yang paling depan adalah seorang lelaki tua 

bertubuh pendek serta berkulit hitam legam yang dulu 

pernah dihukum gantung. Namun karena berkat perto-

longan Siluman Ular Putin, akhirnya lelaki berpakaian 

hitam kumal itu bisa selamat. Dia tak lain dari Ki Sorogompo. (Untuk mengetahui kenapa Ki Sorogompo 

dulu pernah dihukum gantung oleh Bunda Kurawa, si-

lakan baca Siluman Ular Putih dalam episode: "Istana 

Ular Emas").

Di sebelah Ki Sorogompo, tampak seorang lelaki 

tua bertubuh tinggi kurus. Mukanya tirus dengan hi-

dung melengkung mirip betet. Rambutnya gondrong. 

Pakaian hitam-hitamnya tampak kumal tak terawat. 

Dia adalah salah seorang sahabat akrab Ki Sorogompo. 

Namanya Ki Mayang Kekek.

Sedang jauh di sebelah barat halaman depan 

Istana Ular Emas, tampak pula rombongan pendekar. 

Dan begitu sampai di tempat pertarungan, mereka se-

gera membantu Aryani dan Angkin Pembawa Maut

Bagaimana Ki Sorogompo dan juga para pende-

kar lain bisa serempak menyerang Istana Ular Emas?

Sewaktu dibebaskan Soma dari tiang gantun-

gan, sebenarnya Ki Sorogompo tidak langsung pergi 

begitu saja tanpa membuat perhitungan dengan Bunda 

Kurawa yang telah menebar maut di dunia persilatan. 

Ia yang berotak cerdik tentu tidak ingin mati konyol 

menyerang Istana Ular Emas sendirian. Maka dica-

rinya bala bantuan.

Kebetulan sekali di tengah perjalanan lelaki itu 

bertemu sahabatnya, Ki Mayang Kekek. Setelah men-

ceritakan kejadian di Istana Ular Emas, akhirnya Ki 

Sorogompo pun dapat mengajak Ki Mayang Kekek un-

tuk menghimpun kekuatan yang terdiri dari para pen-

dekar persilatan. Dalam waktu yang tidak lama mereka 

pun segera menyerang Istana Ular Emas.

Banyak tokoh persilatan dari golongan putih 

yang mau membantu. Termasuk juga seorang tokoh 

yang bernama Ki Bagus Jelantik. Juga berpuluh-puluh 

orang murid-murid Perguruan Perisai Hati dan Perguruan Naga Hijau. Dan setelah kekuatan terkumpul, pa-

ra pendekar yang dipimpin Ki Sorogompo sepakat un-

tuk menyerang Istana Ular Emas.

Sementara beberapa orang pendekar tengah si-

buk menyerang murid-murid Istana Ular Emas, seje-

nak Ki Bagus Jelantik memperhatikan sosok panjang 

Siluman Ular Putih yang tengah mengamuk.

"Bunda Kurawa! Sekaranglah saatnya aku me-

nuntut balas atas tewasnya kakak seperguruanku, 

Tangan Baja!" bentak Ki Bagus Jelantik lantang.

"Dan aku Karno, murid tertua Perguruan Naga 

Hijau, akan menuntut balas atas tewasnya guru kami, 

Naga Buta! Maka, bersiap-siaplah kamu menerima 

kematianmu!" timpal seorang pemuda gagah berpa-

kaian tambal-tambalan garang, lalu menyerang Bunda 

Kurawa.

Melihat Karno telah mendahului menyerang, Ki 

Bagus Jelantik yang amat mendendam langsung me-

nyerang Bunda Kurawa. Sedang Ki Sorogompo dan Ki 

Mayang Kekek, sejenak seperti tidak menghiraukan ja-

lannya pertarungan. Kedua orang tua aneh itu malah 

asyik memperhatikan sosok Siluman Ular Putih yang 

tengah mengamuk hebat pada Datuk Buta dari Gu-

nung Slamet

"Sorogompo! Jangan melotot saja! Kau mau pi-

lih lawan yang mana?! Aku malah ingin mengorek biji 

mata orang tua keblinger dari Gunung Tugel itu," te-

riak Ki Mayang Kekek pada Ki Sorogompo.

"Ah...! Aku pilih lawan yang mana, ya?" tukas 

Ki Sorogompo seraya menjulurkan kepala ke depan, 

seolah-olah sedang memilih lawan.

"Mana yang kau pilih, Sorogompo?" tanya Ki 

Mayang Kekek lagi. 

"Ah...! Kupikir, aku akan menghajar manusia


buta dari Gunung Slamet itu. Biar orang mengira ka-

lau aku lebih hebat dibanding kunyuk gondrong yang 

dapat menjelma jadi ular putih itu. Ayo, lekas hajar ca-

lon musuh-musuh kita, Mayang Kekek!"

Habis berkata begitu, Ki Sorogompo menyerang 

Datuk Buta dari Gunung Slamet. Siluman Ular Putih 

yang saat itu tengah sibuk menghadapi serangan-

serangan Datuk Buta yang dibantu Iblis Tunggal dari 

Gunung Tugel dan Raja Toya, seolah-olah seperti men-

dengar percakapan kedua orang tua aneh itu. Maka 

begitu melihat Ki Sorogompo melancarkan serangan ke 

arah Datuk Buta dari Gunung Slamet, Siluman Ular 

Putih pun membiarkannya saja. Apalagi saat itu Ki 

Mayang Kekek terlihat sudah menggempur Iblis Tung-

gal dari Gunung Tugel hebat.

Kini Siluman Ular Putih jadi merasa lega. Maka 

serangan-serangannya mulai diarahkan pada Tengko-

rak Serigala. Sedang Ki Julung Pucut dan Raja Toya 

kini pun dipaksa berhadapan melawan dua orang pen-

dekar yang merasa dendam dengan sepak terjang 

Bunda Kurawa di dunia persilatan.

"Gggeeerrr...!"

Siluman Ular Putih menggereng hebat sebelum 

menerjang Tengkorak Serigala. Terkaman-terkaman 

dan kibasan ekornya tampak demikian kuat.

Tengkorak Serigala mengeluh dalam hati. Na-

mun melihat serangan-serangan Siluman Ular Putih 

demikian hebatnya, jelas tubuhnya tidak ingin dijadi-

kan sasaran empuk. Saat itu juga segera tongkat pu-

tihnya diayunkan kuat-kuat ke tubuh Siluman Ular 

Putih.

Prakkk!

Tongkat putih di tangan Tengkorak Serigala 

kontan hancur! Telapak tangannya pun terasa panas!


Tengkorak Serigala menggembor penuh kema-

rahan. Sulit dipercaya kalau ternyata tongkat pusa-

kanya hancur berkeping-keping begitu membentur tu-

buh Siluman Ular Putih. Sedangkan tubuh ular raksa-

sa itu hanya sedikit bergetar hebat. Lalu tanpa diduga-

duga sama sekali, tiba-tiba kibasan ekornya telah me-

luncur deras....

Bukkk!

Bak layangan putus tali, Tengkorak Serigala 

kontan melayang jauh ke belakang. Tubuhnya berpu-

tar-putar sebentar dan jatuh bergedebuk di tanah tak 

dapat bangun lagi. Wajahnya pucat pasi. Darah segar 

tampak menyembur dari mulut dan lubang hidung!

Siluman Ular Putih menggereng hebat. Sejenak 

kepalanya seperti tengah perhatikan jalannya perta-

rungan di hadapannya. Tampak Ki Sorogompo dan Ki 

Mayang Kekek dapat mengatasi lawan-lawannya den-

gan mudah. Sedangkan Aryani dan Angkin Pembawa 

Maut tidak lagi terdesak hebat seperti tadi. Malah ke-

dua gadis itu dapat memukul balik murid-murid Istana 

Ular Emas berkat bantuan murid-murid Perguruan Pe-

risai Hati dan Perguruan Naga Hijau.

Siluman Ular Putih kini mengarahkan perha-

tian pada Ki Bagus Jelantik dan murid tertua Naga Bu-

ta. Kedua orang itu tampak mulai kewalahan mengha-

dapi Bunda Kurawa. Tanpa banyak pikir lagi, Siluman 

Ular Putih pun lantas menerjang Ketua Istana Ular 

Emas.

"Gggeeerrr...!"

Bunda Kurawa kaget bukan main. Ia yang ten-

gah sibuk menggempur Ki Bagus Jelantik dan murid 

tertua Naga Buta tak dapat lagi melanjutkan serangan. 

Kedua telapak tangannya yang berwarna kuning kee-

masan lantas didorongkan ke depan, menghantam tu


buh Siluman Ular Putih. 

Bukkk! Bukkk!

Siluman Ular Putih menggereng hebat. Tubuh-

nya yang panjang memutih hanya menggeliat sebentar, 

namun sedikit pun tidak mengalami cedera!

Hal ini membuat Ki Bagus Jelantik dan Karno 

sempat terbelalak penuh kagum. Dan karena merasa 

tidak mampu menghadapi kehebatan Bunda Kurawa, 

kedua orang itu segera berkelebat, langsung memban-

tu teman-temannya menyerang Raja Toya dan Ki Ju-

lung Pucut.

Ki Julung Pucut dan Raja Toya yang memang 

sedang terdesak menghadapi serangan-serangan ke-

dua lawannya, jadi geram bukan main begitu melihat 

Ki Bagus Jelantik dan Karno datang membantu. Sudah 

tentu keadaan mereka makin membahayakan.

Melihat keadaan yang kurang menguntungkan, 

sambil terus menghindari gempuran-gempuran para 

pengeroyok, diam-diam Raja Toya dan Ki Julung Pucut 

berusaha melarikan diri. Dan ketika mendapat kesem-

patan yang baik, secepatnya mereka berkelebat me-

ninggalkan tempat pertarungan. Untung saja para to-

koh golongan putih tak berniat mengejar. Karena tu-

juan mereka hanyalah Bunda Kurawa.

Bunda Kurawa yang melihat Ki Julung Pucut 

dan Raja Toya melarikan diri jadi geram bukan main. 

Apalagi ketika melihat murid-muridnya mulai kocar-

kacir di tangan Aryani dan Angkin Pembawa Maut 

yang dibantu puluhan murid Perguruan Perisai Hati 

dan Perguruan Naga Hijau.

Ketua Istana Ular Emas itu sebenarnya ingin 

memaki. Namun sayangnya, kibasan ekor Siluman 

Ular Putih keburu mengancam dada. Terpaksa buru-

buru tubuhnya dilempar ke samping. Namun sayang,


gerakan tubuhnya kalah cepat Dan....

Bukkk! 

"Aaakh...!"

Bunda Kurawa menjerit setinggi langit. Da-

danya yang terkena kibasan ekor Siluman Ular Putih 

terasa mau jebol! Wajahnya pucat pasi, lalu memun-

tahkan darah segar.

Sementara serangan Siluman Ular Putih tak 

berhenti sampai di situ. Baru saja Bunda Kurawa me-

loncat bangun, tanpa mampu dicegah lagi kibasan 

ekor Siluman Ular Putih telah meluruk deras.

Bukkk!

"Aaa...!"

Sekali lagi Bunda Kurawa memekik setinggi 

langit. Tubuhnya yang terkena kibasan kontan me-

layang jauh ke belakang bak layangan putus tali, dan 

jatuh bergedebuk ke dalam parit.

Begitu menyadari tubuhnya jatuh ke dalam pa-

rit yang penuh ratusan ular emas kelaparan, Bunda 

Kurawa kembali menjerit-jerit menyayat. Apalagi ketika 

tubuhnya terasa lemas tak dapat digerakkan setelah 

terkena kibasan ekor Siluman Ular Putih.

Ratusan ular emas dalam kubangan parit yang 

tengah kelaparan segera merayap cepat sekali, mende-

kati tubuh Bunda Kurawa. Wanita telengas yang biasa 

menghukum orang dengan ular-ular emas, kali ini be-

nar-benar tak berdaya. Ia hanya bisa berteriak-teriak 

saat ratusan ular peliharaannya justru mulai mengge-

rogoti tubuhnya. Wanita itu melejang-lejang dengan 

tubuh mulai koyak. 

Dan akhirnya, jeritannya melemah seiring ke-

matian yang memilukan.

Sosok Siluman Ular Putih yang berada di tepi 

parit, sejenak menjulur-julurkan kepalanya ke bawah.


Selang beberapa saat, sekujur tubuh Siluman Ular Pu-

tih pun kembali dipenuhi uap putih tipis. Sehingga, 

sosoknya kini tidak kelihatan sama sekali. Dan saat 

uap putih tipis itu sirna tertiup angin, maka yang ter-

lihat bukan lagi sosok panjang Siluman Ular Putih, 

melainkan pemuda tampan berpakaian rompi dan ber-

celana sisik warna putih keperakan. Itulah sosok mu-

rid Eyang Begawan Kamasetyo!

"Ah..., sayang sekali! Ternyata ular-ular emas 

peliharaan mu tak lagi ramah padamu. Sehingga, 

tuannya sendiri pun dimangsa," gumam murid Eyang 

Begawan Kamasetyo seperti pada diri sendiri. Lalu pe-

muda itu menghampiri tempat di mana Tombak Raja 

Akhirat dihujamkan. Dan dengan kekuatan tenaga da-

lamnya, tombak itu berhasil ditarik keluar.

Saat itu pertarungan antara Ki Sorogompo me-

lawan Datuk Buta dari Gunung Slamet dan Ki Mayang 

Kekek melawan Iblis Tunggal dari Gunung Tugel ten-

gah berlangsung seru. Ki Sorogompo dan Ki Mayang 

Kekek yang sedikit berada di atas angin hampir saja 

dapat menewaskan para lawan. Untung saja kedua to-

koh sesat itu cepat menjejakkan kakinya ke tanah, dan 

berkelebat cepat meninggalkan tempat pertarungan.

Ki Sorogompo dan Ki Mayang Kekek tak beru-

saha mengejar. Mereka hanya tersenyum kecut melihat 

sifat pengecut Datuk Buta dari Gunung Slamet dan Ib-

lis Tunggal dari Gunung Tugel.

Sementara itu murid-murid Istana Ular Emas 

yang tadi melihat Bunda Kurawa tewas dalam parit be-

risi ratusan ular emas kontan melempar senjata ke ta-

nah dan duduk berlutut mohon ampun. Ki Bagus Je-

lantik beserta beberapa orang pendekar lain segera 

memberi pengarahan.

"Kalian semua dengar! Kali ini kami memaafkan


dosa-dosa kalian. Tapi sekali lagi kalian membuat 

onar, kami tak akan segan-segan membunuh kalian!" 

kata Ki Bagus Jelantik lantang.

"Terima kasih, Pendekar. Kami berjanji akan 

kembali ke jalan yang benar," kata Setan Cantik me-

wakili teman-temannya.

"Baik, baik! Akan kuingat selalu janji kalian 

ini," ujar Ki Bagus Jelantik seraya angguk-anggukkan 

kepala.

Pada saat Ki Bagus Jelantik memberikan pen-

garahan, mendadak entah karena sebab apa Angkin 

Pembawa Maut telah berkelebat meninggalkan hala-

man depan Istana Ular Emas. Selang beberapa saat, 

Aryani pun segera menyusul

"Eh...! Kalian mau ke mana?" teriak Soma lan-

tang.

Habis berteriak begitu, Siluman Ular Putih ber-

kelebat cepat menyusul Angkin Pembawa Maut dan 

Aryani. Namun baru beberapa langkah meninggalkan 

tempat itu, tiba-tiba Ki Sorogompo telah menghadang 

langkahnya.

"Kau tidak boleh meninggalkan tempat ini see-

nak dengkul mu, Bocah! Urus dulu murid-murid Ista-

na Ular Emas itu, baru kau boleh tinggalkan tempat 

ini!"

"Apa kau bilang?! Aku tidak boleh meninggal-

kan tempat ini? Lantas, kau sendiri kenapa mening-

galkan teman-temanmu? Ah, sudahlah. Aku ada uru-

san dengan mereka. Selamat tinggal!" kata murid 

Eyang Begawan Kamasetyo, lalu cepat berkelebat kem-

bali.



SEBELAS


Sebenarnya mengapa Angkin Pembawa Maut 

buru-buru meninggalkan halaman depan Istana Ular 

Emas? Kenapa gadis itu tidak bercakap-cakap barang 

sebentar dengan Soma? Bukankah ia sangat mencintai 

murid Eyang Begawan Kamasetyo? Dan, mengapa pula 

Aryani buru-buru menyusul?

Semua itu tidak lain hanya karena cemburu. 

Puspa Sari merasa dirinya dipermainkan Soma. Kalau 

pemuda itu memang mencintainya, mengapa masih 

menggandeng gadis lain?

Begitulah antara Lain yang tengah bergejolak 

dalam hati Angkin Pembawa Maut. Gadis ini merasa 

dirinya sebagai bekas murid Istana Ular Emas, sehing-

ga ia beranggapan dirinya tak patut bersaing dengan 

Aryani. Maka diputuskannya untuk meninggalkan So-

ma!

Dalam kegelapan malam yang menyelimuti bu-

mi, sosok Angkin Pembawa Maut terus berkelebat 

menjauh meninggalkan Istana Ular Emas. Air matanya 

merembes membasahi pipi. Hatinya terasa pilu. Ia se-

mula telah berharap lebih terhadap murid Eyang Be-

gawan Kamasetyo. Namun, kini terpaksa harus mene-

lan kenangan pahit.

Sambil sesekali menoleh ke belakang kalau-

kalau Soma akan mengejar, Puspa Sari makin mem-

percepat larinya. Namun, ternyata murid Eyang Bega-

wan Kamasetyo tidak kelihatan batang hidungnya se-

perti yang diharapkan. Malah samar-samar dari balik 

kegelapan malam, matanya melihat sesosok bayangan 

hitam-hitam tengah berkelebat cepat di belakangnya.

"Hentikan langkahmu, Angkin Pembawa Maut! 

Kita selesaikan urusan di antara kita di sini!" teriak 

sosok di belakang.


Dengan hati mendongkol, Angkin Pembawa 

Maut terpaksa menghentikan langkahnya. Suara mer-

du itu tidak lain adalah suara milik gadis cantik yang 

tadi datang bersama Soma di Istana Ular Emas. Siapa 

lagi kalau bukan gadis galak berpakaian hitam-hitam 

bernama Aryani?

Dan belum sempat hilang suara bentakan tadi, 

tahu-tahu di hadapan Angkin Pembawa Maut telah 

berdiri seorang gadis cantik berpakaian hitam-hitam 

dengan rambut panjang tergerai di bahu.

Dari balik keremangan cahaya bulan, Puspa 

Sari alias Angkin Pembawa Maut dapat melihat kalau 

sepasang mata gadis cantik yang memang Aryani ber-

kilat-kilat penuh kemarahan. Hati Puspa Sari yang se-

dang rusuh, kontan mengkelap begitu mendengar ben-

takan Aryani tadi

"Keparat! Bilang saja kau mencintai Soma! Ke-

napa kau hadang langkahku segala, he?! Dasar gadis 

bengal tak tahu malu!" balas Puspa Sari, membentak.

"Bedebah! Berani kau mencaci ku seperti itu?! 

Kau pikir aku tidak tahu? Kau pun juga mencintai 

Soma, kan? Kalau tidak, buat apa mewek seperti itu?" 

balas Bidadari Kecil.

"Kalau iya, kau mau apa?!" tantang Angkin 

Pembawa Maut, tak dapat mengendalikan amarah.

"Baik! Sekarang kita selesaikan urusan di sini! 

Siapa di antara kita yang berhak mencintai Soma? Kau 

atau aku?" teriak Aryani geram.

"Majulah! Kau pikir aku takut menghadapi ga-

dis tak tahu malu sepertimu, he?!" ejek Angkin Pem-

bawa Maut. 

"Keparat! Makanlah pukulan 'Kelelawar Sakti'-

ku, Gadis Bengal!"

Namun sebelum terjadi pertarungan, menda


dak....

"Tunggu! Kalian tidak boleh bertarung! Kalian 

adalah teman!"

Aryani dan Angkin Pembawa Maut yang hendak 

melontarkan pukulan maut segera menghentikan ge-

rakan. Pandangan mereka sama-sama tertuju pada so-

sok yang membentak barusan.

***

Sosok orang yang baru datang memang seorang 

pemuda tampan dengan rambut gondrong tergerai di 

belakang. Tubuhnya yang tinggi kekar dibalut pakaian 

rompi dan celana bersisik warna putih keperakan. Ia 

tidak lain dari Siluman Ular Putih yang tengah diri-

butkan oleh kedua gadis itu.

"Oh, ya, Angkin! Aku ada sesuatu yang ingin 

kuberikan padamu," lanjut Soma, seolah tak mempe-

dulikan Aryani.

"Apa itu, Soma?" tanya Angkin Pembawa Maut 

dengan hati berbunga, sekaligus meledek Aryani.

"Ini!" kata Soma seraya menunjukkan Tombak 

Raja Akhirat di tangan kanan. "Terimalah! Kukira tom-

bak ini cocok sekali untukmu."

Dengan hati berbunga-bunga, Angkin Pembawa 

Maut segera menerima tombak yang disodorkan Soma. 

Sejenak sepasang matanya yang indah bak bintang ke-

jora terus memandangi Tombak Raja Akhirat di tan-

gannya. Lalu sepasang mata indahnya dialihkan ke se-

raut wajah tampan di hadapannya seksama.

"Terimakasih, Soma. Kau baik sekali. Aku..., 

aku bahagia sekali menerima pemberianmu ini. Tapi, 

aku akan lebih bahagia lagi kalau kau mau mencium-

ku, Soma," kata Angkin Pembawa Maut dengan bibir


bergetar. Lalu gadis cantik itu pun segera memejam-

kan matanya rapat-rapat. Ini dilakukan sekaligus un-

tuk menjatuhkan Aryani

Murid Eyang Begawan Kamasetyo sejenak ter-

pana melihat bibir merah merekah di hadapannya. Ia 

tidak tahan lagi untuk segera melakukan apa yang di-

minta gadis itu. Lalu perlahan-lahan sekali, kedua bi-

birnya mulai didekatkan ke bibir Angkin Pembawa 

Maut. Dan.... 

Cup! 

"Soma! Kau..., kau mencintai gadis itu?" sentak 

Aryani.

Suaranya bergetar. Telunjuk jarinya bergetar 

kala menunjuk ke arah Angkin Pembawa Maut. Wajah 

cantiknya pun tampak bersimbah air mata!

Bagai tersengat kalajengking, Soma terjingkat. 

Wajah cantik Aryani tampak demikian memelaskan, 

membuat pemuda itu sedih dan menyesal sekali

"Maafkan aku, Aryani! Aku.... Aku tak senga-

ja...," ucap Soma salah tingkah seraya berjalan mende-

kati Bidadari Kecil.

Aryani hanya menggeleng-geleng seraya terus 

bergerak mundur. Air matanya tampak makin mem-

banjir membasahi pipi.

"Aku tidak butuh maafmu, Soma. Aku butuh 

ketegasan mu," kata Aryani dengan bibir bergetar.

"Ketegasan apa maksudmu, Aryani?" tukas So-

ma tak mengerti.

Aryani tersenyum sedih. Sepasang matanya 

yang penuh air mata sejenak melirik ke arah Angkin 

Pembawa Maut. Tampak Puspa Sari sendiri pun sudah 

berdiri tegak di belakang Soma dengan wajah pucat 

pasi

"Sekarang katakan terus terang, Soma! Kau lebih mencintai Angkin Pembawa Maut atau aku!" tegas 

Aryani.

"Aku.... Aku...."

Soma bingung bukan main. Sepasang matanya 

yang tajam sejenak memperhatikan Aryani. Sejenak 

kemudian, Soma mengalihkan pandang matanya ke 

arah Angkin Pembawa Maut.

"Ah...! Bagaimana aku harus mengatakannya? 

Aku memang menyayangi kalian. Tapi kalau cinta...? 

Aku... aku tidak akan jatuh cinta pada siapa pun," lan-

jut Soma terus terang, walau terasa kelu.

"Ah...!" pekik Aryani dan Angkin Pembawa Maut 

hampir bersamaan. Wajah mereka yang cantik tampak 

demikian pias. Sepasang matanya yang berair pun te-

rus menatap Soma.

"Kau menyakiti hatiku, Soma," desah Angkin 

Pembawa Maut dengan bibir bergetar. "Kukira aku ti-

dak ada gunanya bicara banyak denganmu! Selamat 

tinggal! Kalau kau memang mencintai ku, susul aku! 

Kalau tidak, sampai di sini saja pertemuan kita!"

Habis berkata begitu, dengan menahan luka 

hati, Angkin Pembawa Maut segera berkelebat cepat 

meninggalkan tempat itu.

Soma tak tahu harus berbuat apa. Dilihatnya 

dengan langkah tertatih-tatih, Angkin Pembawa Maut 

terus berkelebat cepat di antara kegelapan malam. Dan 

belum sempat ia bertindak....

"Dan kau juga harus bertindak tegas padaku, 

Soma! Kalau kau memang mencintai ku, sekarang juga 

aku akan menunggu kedatanganmu di puncak Gu-

nung Sumbing. Tepatnya di padepokan Perguruan Ke-

lelawar Putih. Itu kalau kau benar-benar mencintai 

ku!" kata Aryani, lalu segera berkelebat cepat ke arah 

barat.


Bukan main bingungnya hati Siluman Ular Pu-

tih saat ini Sejenak sepasang matanya memperhatikan 

Angkin Pembawa Maut yang tengah berkelebat menuju 

ke timur, sebentar kemudian beralih ke arah Aryani 

yang berkelebat ke arah barat.

"Ah...! Kenapa urusanku jadi kacau?" keluh 

Soma kesal. Lalu tanpa sadar tangannya telah meng-

garuk-garuk kepala. Bingung. "Maafkan aku, Angkin! 

Maafkan aku, Aryani! Saat ini aku benar-benar belum 

jatuh cinta. Tugas di pundak ku masih terlalu berat 

untuk dipikul. Dan aku belum puas kalau belum dapat 

menenteramkan dunia persilatan! Sekali lagi, aku mo-

hon maafmu, Angkin! Juga kau, Aryani!"

Habis berkata begitu, Soma pun berkelebat ce-

pat ke jurusan yang berbeda dengan Aryani maupun 

Angkin Pembawa Maut.


                       SELESAI


Akan segera hadir!!!

Serial Pendekar Siluman Ular Putih

dalam episode:

SAYEMBARA ANGKIN PEMBAWA 

MAUT



https://matjenuhkhairil.blogspot.com



Share:

0 comments:

Posting Komentar