..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 29 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE PERSEKUTUAN MAUT

matjenuh

 

Hak cipta dan copy right pada 
penerbit di bawah lindungan 
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

Pagi masih berkabut. Udara dingin menyebar 
ke segenap penjuru. Sinar matahari di ufuk timur 
tampak malas beranjak dari garis edarnya. Sinarnya 
yang kuning keemasan tersuruk-suruk menembus te-
balnya kabut. Yang tampak di ufuk timur sana hanya-
lah bulatan besar berwarna kuning kemerahan.
Di Lembah Kalierang embun pagi masih mem-
basahi ranting-ranting serta dedaunan pohon, mem-
buat suasana pagi terasa beku. Tak jauh dari batang 
pohon asem tua yang tumbuh rindang di sebelah barat 
lembah, tampak seorang pemuda tampan tengah giat 
berlatih jurus-jurus silat.
Pemuda itu bertubuh tinggi kekar. Wajahnya 
agak bulat. Sepasang matanya tajam dengan alis tebal 
bak sayap rajawali. Hidungnya mancung. Kulit tubuh-
nya putih kekuning-kuningan. Rambutnya yang pan-
jang digelung sebagian ke belakang. Sedang tubuhnya 
yang kekar terbalut pakaian rapi seperti seorang yang
terpelajar pada masa itu.
Tak jauh dari pemuda itu berlatih, tampak ber-
diri memperhatikan seorang kakek. Usia kakek itu ki-
ra-kira tujuh puluh tahunan. Wajahnya putih bersih. 
Sepasang matanya kelabu dengan alis mata berwarna 
putih. Di atas kepala bertengger sebuah topi hitam 
panjang. Tubuhnya yang tinggi kurus terbalut jubah 
hitam sampai ke lutut.
Kalau saja di tempat itu ada seorang tokoh tua 
dunia persilatan, tentu ia akan terkejut melihat kebe-
radaan si kakek. Pada masa dua puluh lima tahun lalu 
tokoh ini sangat disegani kalangan dunia persilatan. 
Sepak terjangnya tak kenal ampun pada tokoh-tokoh 
sesat. Maka tak heran kalau kakek ini sangat ditakuti

kaum golongan hitam.
Seperti penampilannya, namun tokoh yang satu 
ini pun cukup unik. Marabunta! Lebih terkenal dengan 
julukan Pendidik Ulung! Kini Pendidik Ulung tengah 
memperhatikan pemuda tampan yang tengah giat me-
nempa diri dengan jurus-jurus andalannya. Sepasang 
matanya berbinar-binar penuh kegembiraan. Lalu ke-
palanya mengangguk-angguk penuh kagum.
Pemuda berambut digelung ke belakang itu 
tengah memainkan jurus terakhir dari jurus 'Tangan 
Maut Dewa Kayangan'. Tampak kedua tangan pemuda 
itu direntangkan bak sayap burung rajawali. Lutut ka-
nannya ditekuk ke atas dalam-dalam. Kemudian se-
raya melemparkan kaki kanan ke belakang mendadak 
pemuda itu menerjang ke depan. Kedua tangannya 
yang tadi direntangkan kini menyambar cepat laksana 
sepasang tangan dewa.
Wesss! Wesss! 
Hebat bukan main terjangan pemuda itu. Gera-
kan tangan dan kakinya yang cepat mampu menim-
bulkan angin dingin berkesiutan yang menyambar-
nyambar ranting pohon. Ranting-ranting itu langsung 
berguguran dengan warna berubah jadi hitam.
"Bagus! Tak kusangka kau dapat menguasai ju-
rus 'Tangan Maut Dewa Kayangan' demikian cepat, 
Prameswara. Kau benar-benar berbakat dibandingkan 
murid murtadku Samber Nyawa. Coba sekarang kau 
mainkan jurus pamungkas 'Tulisan Maut Dewa 
Kayangan'-ku. Aku ingin melihat apakah kau sudah 
mengalami kemajuan?" puji kakek berjubah hitam itu 
penuh kagum.
"Baik, Guru!"
Pemuda tampan yang ternyata Prameswara itu 
segera melakukan perintah gurunya. Kedua tangannya 
sejenak dirapatkan di depan hidung dengan penuh ra


sa hormat, baru kemudian memasang kuda-kuda. (Un-
tuk mengenal siapa Prameswara, silakan baca : "Miste-
ri Bayi Ular" dan "Manusia Rambut Merah")
Bekas murid Pendekar Kujang Emas itu meng-
gurat-guratkan telunjuk jarinya ke udara. Seketika 
terdengar bunyi mencicit yang teramat memekakkan 
telinga. Guratan kedua telunjuk jari Prameswara pun 
agak aneh. Telunjuk jari kanan menggurat dari kanan 
ke kiri, sementara telunjuk kiri menggurat dari kiri ke 
kanan. Pada saat kedua telunjuk jari itu menyatu, se-
bersit sinar putih berkilauan melesat cepat.
Clesss! Clesss!
Batu gunung sebesar kerbau itu berlobang dua 
buah sebesar telunjuk jari! Selang beberapa saat batu 
gunung yang telah berubah hitam itu hancur berkep-
ing-keping.
Itulah kehebatan jurus 'Tulisan Maut Dewa 
Kayangan'. Jumlah jurus itu tidak banyak. Hanya tiga 
gerakan. Namun meski hanya terdiri dari tiga jurus 
jangan harap seorang tokoh silat tinggi dapat melum-
puhkannya dengan mudah. Malah justru sebaliknya, 
tak kurang dari tiga jurus tokoh sakti mana pun dapat 
dilumpuhkan!
Melihat hasil latihan Prameswara yang menga-
lami kemajuan pesat, Pendidik Ulung mengangguk-
angguk puas. Dan di saat Prameswara tengah menye-
lesaikan jurus ketiga dari jurus 'Tulisan Maut Dewa 
Kayangan', tiba-tiba Pendidik Ulung menerjang murid-
nya. Jari-jari kedua telunjuk tangannya yang putih 
berkilauan bergerak membuat guratan di udara. Saat 
kedua telunjuk jari Pendidik Ulung bertemu, kedua te-
lunjuk Prameswara telah mengeluarkan seleret sinar 
putih berkilauan yang melabrak tubuh Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung berdecak penuh kagum. Kedua 
telunjuk tangannya yang telah saling bertemu segera

diarahkan pada Prameswara. Seketika dua larik sinar 
putih berkilauan melesat cepat memapaki pukulan ja-
rak jauh Prameswara.
Wesss! Wesss! 
Plaaarrr...!!!
Terdengar letusan hebat di udara. Dua sinar 
putih yang berbentrokan itu langsung buyar. Sebagian 
menyambar ranting-ranting pohon di sekitar tempat 
berlatih. Daun ranting-ranting pohon itu berguguran 
dengan warna hitam.
Tubuh Prameswara terjajar beberapa langkah 
ke belakang. Wajahnya pucat pasi. Akibat bentrokan 
tadi kedua telunjuk jari Prameswara seperti beku. Isi 
dadanya pun dijalari hawa dingin yang menyerang ja-
lan darah. Di hadapannya, Pendidik Ulung sempat 
bergetar hebat. Keadaannya tidak separah muridnya. 
Namun kenyataan tadi sudah cukup membuktikan ka-
lau Prameswara telah mampu menguasai jurus ‘Tuli-
san Maut Dewa Kayangan’. Pendidik Ulung gembira 
bukan main. Namun ia belum puas kalau belum men-
coba kepandaian Prameswara.
Begitu dilihatnya tubuh Prameswara ter-
huyung-huyung ke belakang, Pendidik Ulung segera 
menggurat-guratkan telunjuk jarinya ke udara. Meski 
gerakannya demikian lembut, jangan dikira guratan 
tangan Pendidik Ulung tidak berbahaya. Suara menci-
cit dari setiap guratan kedua telunjuk jari itu dapat 
membuat orang lari ketakutan.
Prameswara sendiri sampai terkesiap kaget. Ia 
tidak menyangka jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan' 
yang dikeluarkan Pendidik Ulung demikian hebatnya. 
Prameswara buru-buru mengeluarkan jurus "Tulisan 
Maut Dewa Kayangan' pula. Benturan keras seperti ta-
di terulang kembali.
Prameswara terjengkang ke belakang. Isi dada

pemuda bekas murid Pendekar Kujang Emas itu ter-
guncang hebat!
Tubuh kurus Pendidik Ulung sendiri tergetar 
hebat. Kedua kakinya melesak cukup dalam masuk ke 
tanah. Meski parasnya tampak pucat namun Pendidik 
Ulung menyunggingkan senyum.
"Bagus! Kau benar-benar mengalami kemajuan 
pesat, Prameswara. Aku bangga sekali mempunyai mu-
rid sepertimu!"
Prameswara meloncat bangun. Kedua telapak 
tangannya ditangkupkan sebentar di depan hidung se-
raya sedikit membungkukkan badan.
"Kau terlalu memujiku, Guru," sahut Prames-
wara santun. Tampak sekali pemuda tampan itu eng-
gan mendengar pujian guru barunya.
Kalau saja Pendidik Ulung lebih seksama mem-
perhatikan kilatan sepasang mata Prameswara, tentu 
kakek itu akan tersentak kaget. Apalagi jika ia menge-
tahui sepak terjang pemuda itu sebelumnya. Belum 
tentu Pendidik Ulung akan bersedia menurunkan il-
mu-ilmu andalannya pada Prameswara. Sayang Pendi-
dik Ulung tidak tahu masa lalu murid barunya itu
"Tidak, Prameswara. Aku tidak memujimu. 
Memang kenyataannya demikian," kata Pendidik Ulung 
"Kuharap kau dapat mengamalkan ilmu-ilmu yang kau 
peroleh demi tegaknya kebenaran. Jurus 'Tangan Maut 
Dewa Kayangan' dan jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayan-
gan' yang telah digabungkan dengan ‘Totokan Jari Pu-
tih Dewa Kayangan’ bukanlah ilmu sembarangan. Ku-
kira saat ini hanya beberapa tokoh tingkat tinggi saja 
yang dapat merobohkanmu. Maka, sekali lagi kuminta 
amalkanlah ilmu-ilmu itu di jalan kebenaran. Tumpas 
yang jahat dan bantulah yang lemah!"
"Kukira apa yang diucapkan Pendidik Ulung 
memang benar. Aku dapat merasakan kehebatan jurus

‘Tangan Maut Dewa Kayangan’ dan jurus 'Tulisan Maut 
Dewa Kayangan' yang telah digabungkan dengan ‘To-
tokan Jari Putih Dewa Kayangan’. Tapi... apakah ‘To-
tokan Jari Putih Dewa Kayangan’ mampu melukai tu-
buh Siluman Ular Putih yang kebal terhadap berbagai 
macam pukulan dan senjata tajam?" pikir Prameswara 
gelisah.
"Maaf, Guru. Bukannya aku meragukan kehe-
batan jurus-jurus tersebut. Tapi benarkah setelah aku 
dapat menguasai semua itu hanya tinggal beberapa to-
koh sakti yang dapat merobohkanku?" tanya Prames-
wara kemudian. 
"Itu bukan jaminan. Semua tergantung kau 
sendiri. Asal giat berlatih, terutama jurus ‘Tulisan 
Maut Dewa Kayangan’ yang telah digabung dengan ‘To-
tokan Jari Putih Dewa Kayangan’ kau akan menjadi 
sakti mandraguna. Baja setebal tembok pun akan 
tembus terkena totokan 'Jari Putih Dewa Kayangan'. 
Meski demikian sebenarnya bukan itu yang kuingin-
kan. Aku akan murka kalau kau pamer ilmu kepada
sembarang orang. Apalagi kalau sampai menyalah-
gunakannya. Hm.... Jangan harap aku akan tinggal di-
am. Ingat pesanku ini baik-baik, Prameswara!"
"Tentu, Guru! Tentu. Aku akan menjalankan 
pesan Guru sebaik mungkin."
Meski mulut Prameswara berkata demikian, ta-
pi sebenarnya dalam hati yang paling dalam bekas mu-
rid Pendekar Kujang Emas itu berkata lain.
"Peduli amat dengan ocehan orang tua ini. Po-
koknya aku harus membunuh Siluman Ular Putih. Ju-
ga siapa saja yang berani menghalangiku untuk men-
guasai dunia persilatan. Kalau Pendidik Ulung pun 
menghalangi niatku, tidak ada pilihan lain kecuali ha-
rus membunuhnya!"
"Baik. Aku senang sekali mendengar kesanggu

pan ini, Prameswara. Dan kukira mulai hari ini kau 
boleh meninggalkan Lembah Kalierang. Namun sebe-
lumnya kau harus mengenakan pakaian ini."
Kakek sakti dari Lembah Kalierang itu mema-
sukkan tangan kirinya ke dalam jubah hitam. Dari sa-
na dikeluarkannya sebuah buntalan besar.
"Apa itu, Guru?" tanya Prameswara penuh rasa 
ingin tahu.
"Melihat sikap dan pembawaanmu yang halus 
kukira kau pantas sekali mengenakan pakaian ini. Ini 
adalah jubah dan topi kebesaranmu. Pakailah!" kata 
Pendidik Ulung seraya mengulurkan buntalan itu pada 
Prameswara.
Tanpa banyak tanya lagi Prameswara segera 
meraih buntalan hitam. Sejenak dipandanginya bunta-
lan itu, lalu dibukanya. Prameswara mendapati sebuah 
jubah hitam besar beserta topi hitam yang memanjang 
pada bagian atasnya.
Prameswara mendongakkan kepala meman-
dang Pendidik Ulung. Orang tua sakti dari Lembah Ka-
lierang itu hanya mengedikkan ujung dagunya sebagai 
syarat agar Prameswara segera mengenakan pakaian 
itu.
Agak ragu-ragu Prameswara menanggalkan ju-
bahnya dan membuangnya ke sembarang tempat. Lalu 
perlahan-lahan dikenakan jubah hitam pemberian gu-
runya. Pas sekali! Prameswara merasa cocok dengan 
jubah besar itu. Demikian juga dengan topi hitamnya.
Pendidik Ulung mengangguk-anggukkan kepa-
la, Prameswara kini kelihatan lebih tampan dari sebe-
lumnya. Sejenak Pendidik Ulung memperhatikan ke-
tampanan muridnya.
"Kau tampan sekali dengan pakaian itu, Pra-
meswara," puji Pendidik Ulung. "Dan kukira mulai saat 
ini kau harus meninggalkan namamu. Pakailah gelar

Pelajar Agung. Kau cocok sekali dengan gelar itu. Aku 
Pendidik Ulung. Dan kau Pelajar Agung. Apa itu bukan 
pasangan yang serasi, muridku Pelajar Agung?" kata 
Pendidik Ulung gembira.
"Iya, Guru," Prameswara yang kini bergelar Pe-
lajar Agung menjawab dengan santun. "Sekarang izin-
kanlah aku menimba pengalaman di dunia luar, 
Guru."
"Pergilah! Hanya pesanku jangan cemarkan 
nama baikku di dunia persilatan. Ingat ini baik-baik, 
Muridku!"
"Tentu, Guru. Aku pasti akan mengingat pe-
sanmu. Selamat tinggal!"
Prameswara segera menjejakkan kakinya ke ta-
nah dan berkelebat cepat meninggalkan Lembah Kalie-
rang. Dalam beberapa kelebatan saja, bayangan hitam 
Pelajar Agung telah jauh di ujung lembah, dan menghi-
lang di balik rimbunnya hutan.
Pendidik Ulung mengangguk-anggukkan kepala 
dengan senyum gembira terkembang di bibir.
***
DUA


Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Pra-
meswara yang kini bergelar Pelajar Agung? Bukankah 
ia murid Manusia Rambut Merah? Lalu, kenapa ia bisa 
bertemu dengan Pendidik Ulung yang kemudian men-
jadi guru barunya.
Prameswara merasa kecewa sekali karena dua 
kali berturut-turut dikalahkan oleh Siluman Ular Pu-
tih. Apalagi ketika tahu kalau guru barunya, Manusia 
Rambut Merah, tewas di tangan Siluman Ular Putih.

Prameswara benar-benar terpukul. Ia bertekad menca-
ri guru baru guna menambah ilmu untuk membunuh 
Siluman Ular Putih dan kemudian menguasai dunia 
persilatan.
Berhari-hari Prameswara melakukan perjalanan 
seorang diri tanpa arah tujuan. Hanya keinginan un-
tuk mencari guru sakti sajalah yang membuat dirinya 
bersemangat. Di saat Prameswara tengah melintasi se-
buah hutan lebat di luar Kadipaten Pleret, tepatnya di 
Hutan Gudean, tiba-tiba ia dikejutkan oleh bentakan 
garang seseorang.
"Berhenti!"
Prameswara mengangkat kedua alisnya. Dili-
hatnya lima orang berpakaian hitam-hitam telah 
menghadang langkah pemuda itu dengan pedang di 
tangan. Wajah kelima penghadang itu tampak kasar. 
Mata mereka memandang liar penuh kecurigaan.
Prameswara tersenyum sinis. Sedikit pun tidak 
mempedulikan bentakan para penghadangnya. Masih 
dengan senyum sinis terkembang di bibir Prameswara 
kembali meneruskan langkah.
"Bajingan! Kau berani bertindak ayal-ayalan d 
hadapan anggota Partai Kawula Sejati!" bentak lelaki 
berkumis cablang garang.
Prameswara mengangkat dagunya tinggi-tinggi. 
Ekor matanya melirik angkuh. Sedikit pun ia tidak 
gentar menghadapi kelima penghadangnya yang men-
gaku anggota Partai Kawula Sejati. Saat itu memang 
tersiar kabar munculnya partai baru yang dipimpin 
oleh Samber Nyawa. Partai ini berkeinginan merun-
tuhkan Kadipaten Pleret. Anggota Partai Kawula Sejati 
tengah jadi buruan para prajurit Kadipaten Pleret. Na-
mun, Prameswara yang tinggi hati mana sudi tunduk 
di bawah gertakan mereka.
"Manusia-manusia tak tahu diri! Aku sudah

bersikap mengalah. Tapi kalian malah menjual lagak. 
Apa kalian tidak tahu tengah berhadapan dengan sia-
pa, he?! Jangankan berlima, seluruh anggota Partai 
Kawula Sejati beserta ketua kalian yang bergelar 
Samber Nyawa tidak akan membuatku gentar!" kata 
Prameswara.
"Bedebah! Jaga bacotmu, Anak Muda! Apa kau 
belum pernah merasakan tajamnya pedang?! Makan-
lah pedangku!"
Si kumis cablang memberi isyarat dengan tan-
gan kanan pada keempat orang kawannya untuk lang-
sung menyerang.
Prameswara mendengus sinis. Ia tidak gentar 
melihat kelebatan lima batang pedang di tangan para 
pengeroyoknya.
"Kalian benar-benar memalukan! Aku, Prames-
wara, tidak pantas berhadapan dengan cecunguk-
cecunguk seperti kalian!" dengus Prameswara sinis.
Tubuh pemuda itu cepat berkelebatan di antara 
kilatan-kilatan mata pedang lawan. Sambil berkeleba-
tan begitu telapak tangan Prameswara bergerak mene-
puk dada kelima penghadangnya. 
Bukkk! Bukkk! 
"Augh...!"
Terdengar jerit kesakitan susul-menyusul. Se-
ketika tubuh kelima penghadang Prameswara terjajar 
ke belakang. Dada mereka yang terkena tepukan tan-
gan terasa mau jebol. Meski terlihat seperti tepukan 
biasa, namun tenaganya mampu meremukkan tulang-
tulang iga.
Kelima pengeroyok Prameswara semakin mur-
ka, Sepasang mata garang mereka memandangi Pra-
meswara penuh selidik.
"Teman-teman! Dia pasti mata-mata dari Kadi-
paten Pleret. Hayo, kita tangkap mata-mata keparat

ini!" teriak si kumis cablang.
Pedang di tangan kanannya kembali menyerang 
Prameswara. Kemudian diikuti oleh keempat orang te-
mannya.
"Bukannya berterima kasih karena aku telah 
berlaku lunak, malah kalian menuduhku sembaran-
gan! Kalian benar-benar lancang. Beraninya menu-
duhku mata-mata. Nyawa kalianlah sebagai tebusan-
nya. Heaaa...!" 
Diawali teriakan keras tubuh tinggi kekar Pra-
meswara kembali berkelebat cepat di antara gulungan 
pedang para penghadangnya. Kini tamparan-tamparan 
Prameswara tak segan-segan siap merenggut nyawa 
mereka. Salah seorang penghadangnya sudah ambruk 
dan tak mampu bangun lagi. Tulang-tulang iganya 
berpatahan. 
Bukkk! Bukkk!
Tanpa mengenal ampun tangan Prameswara te-
rus bergerak menepuk dada lawan. Dua orang peng-
hadangnya memekik keras dan ambruk ke tanah. Na-
sibnya sama seperti temannya tadi.
"Prajurit-prajurit tak berguna! Menghadapi seo-
rang pemuda saja tidak becus! Minggir! Kalian semua 
telah memalukan Partai Kawula Sejati!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Disusul 
berkelebatnya sesosok bayangan hitam ke tengah are-
na pertarungan. Belum hilang gaung suara tadi tahu-
tahu di hadapan Prameswara telah berdiri seorang le-
laki empat puluh tahunan. 
"Ketua, maafkan ketidakmampuan kami. Mata-
mata keparat ini benar-benar lihai, Ketua," lapor si 
kumis cablang.
Lelaki berpakaian hitam-hitam itu mendengus.
***

Prameswara hanya memandang sinis. Sosok di 
hadapannya itu bertubuh tegap. Wajahnya kotak den-
gan jenggot lebat. Sepasang matanya yang garang ber-
kilat-kilat memandang penuh kemarahan.
"Anak muda! Kau sungguh lancang berani 
mengotori tempatku. Apa nyawamu sudah rangkap, 
he?!" bentak Ketua Partai Kawula Sejati yang bergelar 
Samber Nyawa itu dengan angkuhnya.
Sekali lagi Prameswara mendengus sinis. Ia 
yang juga berwatak tinggi hati mana sudi direndahkan 
sedemikian rupa. Meski di belakang Samber Nyawa te-
lah tegak dua puluh orang anak buahnya yang berpa-
kaian hitam-hitam, Prameswara tetap tidak bergeming 
dari tempatnya. Malah dengan sengit ia menyahuti 
ucapan Samber Nyawa.
"Bicaramu sungguh merendahkanku, Samber 
Nyawa! Apa kau kira semua orang bersedia tunduk di 
bawah perintahmu?"
"Setan alas! Jadi kau sudah mengetahui gelar-
ku!"
"Siapa yang tak kenal manusia pemberontak 
macammu, Samber Nyawa! Kau tidak mungkin dapat 
mewujudkan impian gilamu. Jangankan merebut takh-
ta Kadipaten Pleret, untuk merobohkanku saja kau be-
lum tentu mampu. Hayo, sekarang buktikan ucapan-
mu kalau kau memang mampu!"
"Keparat! Kau akan menyesal dengan ucapan-
mu, Anak Muda!" dengus Samber Nyawa murka bukan 
main.
Beberapa anak buahnya yang siap dengan pe-
dang di tangan segera berloncatan ke depan. Namun 
Samber Nyawa mengibaskan tangan kanannya seraya 
membentak garang.
"Minggir! Kalian semua tidak perlu membantu

ku. Lihatlah bagaimana ketua kalian menghajar ma-
nusia tak tahu diri ini!"
"Sungguh besar juga nyalimu, Samber Nyawa. 
Apa kau tidak ingin bersembunyi di balik ketiak anak 
buahmu?" ejek Prameswara. 
"Jaga bacotmu, Anak Muda! Justru kaulah 
yang terlalu besar nyali. Apa kau kira dapat keluar dari 
hutan ini dengan selamat?!" 
"Jangan banyak bacot. Hayo, buktikan saja!" 
"Setan alas! Kau benar-benar merendahkanku. 
Makanlah bogem mentahku. Anak Muda!" Samber 
Nyawa tak dapat mengendalikan amarahnya lagi. 
Secepat kilat bogem mentahnya melayang ke 
muka Prameswara. Ia ingin merobohkan pemuda ini 
hanya dalam satu gebrakan. Sayang hanya dengan 
memiringkan tubuhnya sedikit Prameswara berhasil 
membuat serangan Samber Nyawa mengenai angin ko-
song. Malah dengan menggunakan jurus 'Kilat Me-
nyambar Bumi' tangan kanan Prameswara telah men-
gancam ulu hatinya!
"Ah...!"
Samber Nyawa kaget bukan main. Buru-buru ia 
membuang tubuhnya ke belakang. Kini Samber Nyawa 
baru sadar. Pantas kelima anak buahnya tidak sang-
gup menghadapi Prameswara. Maka tanpa banyak pi-
kir panjang Samber Nyawa segera mengeluarkan jurus 
andalannya.
"Pantas kau berani jual lagak. Tak tahunya 
punya sedikit simpanan. Tapi sayang kau akan me-
nyesal seumur hidup karena telah bertemu denganku. 
Kau akan mati, Anak Muda!"
Tangan Samber Nyawa yang sudah gatal segera 
direntangkan. Kedua kakinya sedikit ditekuk ke depan. 
Sementara tubuhnya menyerong ke samping. Prames-
wara hanya tersenyum sinis. Namun ketika Samber

Nyawa mulai menerjang, Prameswara langsung menge-
rutkan kening. Belum sempat serangan Samber Nyawa 
mengenai sasaran, terlebih dahulu meluruk angin din-
gin datang mendahului serangannya.
"Bagus! Rupanya kau memang pantas menda-
pat gelar Samber Nyawa. Dan seperti yang kau 
ucapkan, kau pun akan menyesal telah bertemu aku. 
Kau akan mampus di tanganku!"
Samber Nyawa tak menyahuti ucapan Prames-
wara. Ia hanya mengeluarkan gerengan marah. Dengan 
menggunakan jurus ‘Tangan Maut Dewa Kayangan’ 
Samber Nyawa menerjang Prameswara. 
"Hea...! Hea...!" 
Tubuh Samber Nyawa berkelebat lincah men-
gurung pertahanan Prameswara. Berkali-kali kedua 
tangannya bergerak cepat mengancam bagian-bagian 
tubuh yang mematikan.
Diam-diam Prameswara mengeluh dalam hati. 
Tidak menyangka kalau Samber Nyawa sedemikian 
hebatnya. Perlahan namun pasti ia mulai terdesak.
"Sialan! Tak kusangka manusia pemberontak 
ini demikian lihainya. Aku memang belum mengenal 
Jurus serangannya. Namun dari hawa dingin yang 
menyambar tubuhku, jelas pemberontak ini tidak bisa 
dianggap main-main. Kukira aku harus lebih berhati-
hati," pikir Prameswara dalam hati.
Prameswara segera mengeluarkan senjata an-
dalan milik gurunya terdahulu, yakni Kujang Emas. 
Kujang Emas mengeluarkan kilatan cahaya kuning 
keemasan itu sempat mengejutkan Samber Nyawa. 
Apalagi ketika dilihatnya telapak tangan kiri Prames-
wara hingga ke pangkal siku berubah menjadi biru. 
"Hm... Melihat senjata andalanmu, tentu kau 
mempunyai hubungan dengan Pendekar Kujang Emas. 
Tangan kirimu pun siap melontarkan pukulan 'Cahaya


Kilat Biru'. Salah satu pukulan andalan Pendekar Ku-
jang Emas dan Pendekar Pedang Kilat Buana!" dengus 
Samber Nyawa. 
Prameswara terkejut. Namun ia buru-buru ter-
senyum sinis untuk menutupi keterkejutannya.
"Syukur kalau kau sudah tahu. Lalu kenapa 
kau tidak cepat-cepat bunuh diri saja daripada aku 
yang mencabut nyawa busukmu!"
"Setan alas! Jangan dikira aku takut menden-
gar nama gurumu, Anak Muda. Jangankan gurunya, 
Eyang gurunya pun aku tidak takut. Hayo, majulah! 
Aku ingin lihat sampai di mana kehebatan murid men-
diang Pendekar Kujang Emas!" Samber Nyawa tak ka-
lah gertak.
Prameswara tersenyum sinis. Tarikan dagunya 
menunjukkan kalau ia sangat merendahkan lawan.
Samber Nyawa menggeretakkan gerahamnya 
kuat-kuat. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. Seraya 
menahan kemarahan, Samber Nyawa segera mengelu-
arkan jurus pamungkasnya, ‘Tulisan Maut Dewa 
Kayangan’! Salah satu jurus andalan untuk mengha-
dapi tokoh-tokoh sakti dunia persilatan. Kedua telun-
juk jari Samber Nyawa yang telah berubah putih berki-
lauan terlihat menggurat-gurat di udara membentuk 
huruf gaib ciptaan Pendidik Ulung! Telunjuk tangan
kanan menggurat dari kanan ke kiri. Sedang telunjuk 
jari kiri menggurat dari kiri ke kanan. Gerakan tubuh-
nya kala menggurat pun tampak lemah gemulai. Na-
mun anehnya dari setiap guratan telunjuk jari Samber 
Nyawa selalu mengeluarkan bunyi mencicit yang tera-
mat memekakkan telinga.
Prameswara terkejut melihat jurus-jurus maut 
yang demikian hebatnya. Mau tak mau ia yang sudah 
cukup pengalaman di dunia persilatan pun kagum di-
buatnya. Di saat Samber Nyawa masih menggurat

gurat kedua telunjuk jarinya, Prameswara melancar-
kan serangan. Kujang di tangan kanannya melontar-
kan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'! 
"Hea...!"
Prameswara kembali membuka serangan. 
Samber Nyawa yang masih menggurat-guratkan kedua 
telunjuk jarinya ke udara buru-buru menghindari se-
rangan. Lalu, kedua telunjuk jarinya disatukan dan 
diarahkan pada Prameswara. Seketika seleret sinar pu-
tih berkilauan melesat cepat ke arah pemuda itu! 
Bummm...!!!
Terdengar satu ledakan hebat di udara kala 
Prameswara memapaki serangan Samber Nyawa den-
gan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'. Bumi terasa bergetar. 
Angin bertiup kencang memporak-porandakan pepo-
honan di sekitar tempat pertarungan.
Tubuh Prameswara terjajar beberapa langkah 
belakang. Parasnya terlihat pias. Telapak tangan ki-
rinya pun ngilu dan beku.
Samber Nyawa tertawa bergelak. Akibat bentu-
ran pukulan jarak jauh tadi ia hanya tergetar sesaat. 
Kenyataan ini membuktikan kalau tenaga dalamnya 
masih di atas Prameswara.
"Ha ha ha...! Tak kusangka hanya seperti ini 
kepandaian murid mendiang Pendekar Kujang Emas. 
Aku tak yakin kau akan sanggup menerima jurus ke-
dua ku ini, Anak Muda!"
Samber Nyawa kembali menggurat-guratkan 
kedua telunjuk jarinya ke udara. Seperti yang pertama, 
setiap ia mengguratkan kedua telunjuknya selalu 
mengeluarkan suara mencicit tajam.
Prameswara ciut nyalinya. Dari gebrakan per-
tama tadi nyawanya hampir saja melayang. Ia tidak in-
gin mengulang untuk kedua kali.
"Aku harus berhati-hati. Jurus-jurus Samber

Nyawa amat berbahaya. Kukira hanya dengan meng-
gunakan ilmu dari Manusia Rambut Merah saja dapat 
mengatasi serangannya," pikir Prameswara.
Prameswara bersiap-siap mengeluarkan ilmu 
amblas bumi. Sayang, belum sampai niat itu terlaksa-
na, berkelebat sesosok tubuh bayangan hitam telah 
menghentikan pertarungan.
"Murid murtad! Kau benar-benar telah menco-
reng arang di mukaku!"
***
Samber Nyawa terkesiap. Sepasang matanya 
pun membeliak liar menatap sosok di hadapannya. 
Seorang kakek berjubah panjang hingga ke lutut. Di 
kepalanya bertengger topi hitam yang memanjang pada 
bagian atas. Sosok orang tua itu mirip seorang terpela-
jar. Dialah guru Samber Nyawa yang bergelar Pendidik 
Ulung.
"Guru...!" gumam Samber Nyawa dengan paras 
pias.
"Di antara kita tidak ada lagi ikatan guru dan 
murid. Perbuatanmu telah menyimpang jauh dari apa 
yang kupesankan. Malah kini kau ingin merebut takh-
ta Kadipaten Pleret. Benar-benar memalukan! Sebagai 
gurumu aku berhak meminta pertanggungjawaban. 
Dan sebagai seorang pendekar, hayo lekas cabut senja-
tamu. Mungkin tubuh rapuhku ini masih mampu 
menghadapimu!"
Pendidik Ulung lalu mengeluarkan sepasang 
pena sebagai senjata andalannya. Sepasang matanya 
yang kelabu sekejap memperhatikan Prameswara yang 
tengah memegang Kujang Emas.
"Hm...! Rupanya pemuda ini ada sangkut paut-
nya dengan Pendekar Kujang Emas," gumam Pendidik

Ulung.
Prameswara sendiri tengah berkata-kata sendiri 
di dalam hati.
"Jadi kakek ini gurunya Samber Nyawa? Hm... 
Aku harus mencari akal. Aku harus bisa menjadi mu-
ridnya. Bagaimanapun juga kepandaian kakek itu ma-
sih di atas Samber Nyawa. Ya! Kukira inilah saatnya 
untuk menemukan seorang guru sakti." 
Melihat keadaan yang kurang menguntungkan 
itu kedua puluh orang anak buah Samber Nyawa sege-
ra mengurung tempat pertarungan. Pendidik Ulung 
hanya melirik sekilas.
"Anak muda! Kau minggirlah sebentar! Kalau 
kau mau, usirlah cecunguk-cecunguk itu!" kata Pendi-
dik Ulung.
Kalau saja Prameswara tidak sedang menjalan-
kan suatu rencana, belum tentu ia sudi diperintah be-
gitu. Namun karena ia tengah membutuhkan Pendidik 
Ulung terpaksa Prameswara mengalah.
"Baiklah, Orang Tua. Bagaimanapun juga kau-
lah yang berhak menghukum manusia pemberontak 
ini!" sahut Prameswara dengan suara santun.
Pendidik Ulung mengangguk-anggukkan kepa-
la. Ia jadi bersimpati pada Prameswara. Namun ketika 
dilihatnya Samber Nyawa belum juga mencabut senja-
ta, tak urung kening Pendidik Ulung berkerut. "Lekas 
cabut senjatamu, Murid Murtad!"
"Jangan paksa aku untuk melawanmu, Guru! 
Aku tak sanggup!" jawab Samber Nyawa kaku.
"Persetan! Kau berani bertingkah maka harus 
berani pula bertanggung jawab. Hayo, lekas cabut sen-
jatamu!"
Semula Samber Nyawa ragu-ragu. Namun keti-
ka dilihatnya anak buahnya dibuat kocar-kacir oleh 
Prameswara, Samber Nyawa menggereng penuh kemarahan. Hendak diterjangnya Prameswara. Tapi gurunya 
segera menghadang. Tak ada pilihan lain. Terpaksa ha-
rus menghadapi gurunya.
"Bagus! Itu namanya baru Ketua Partai Kawula 
Sejati!" ejek Pendidik Ulung.
Samber Nyawa mulai gelap mata. Keinginannya 
untuk merebut takhta Kadipaten Pleret memaksanya 
untuk melakukan perlawanan. Dicabutnya beberapa 
pedang hijau yang bermanikan mutiara.
Melihat Samber Nyawa telah mencabut senja-
tanya, Pendidik Ulung tertawa bergelak. Hal ini makin 
membuat Samber Nyawa murka. Tanpa pikir panjang, 
segera diterjangnya Pendidik Ulung. Pedang hijau di 
tangan kanan diputar sedemikian rupa. Tangan kiri 
yang disembunyikan di pinggang siap dengan lontar-
kan pukulan maut. Itulah salah satu jurus pembuka 
'Tangan Maut Dewa Kayangan'.
Pendidik Ulung tak berani main-main. Ia tahu 
betul kepandaian Samber Nyawa. Maka dengan meng-
gunakan jurus yang sama kakek itu melancarkan se-
rangan. Sepasang pena di tangannya bergerak cepat 
menindih bayangan hijau pedang Samber Nyawa.
"Hea...! Hea...!"
Samber Nyawa berusaha keluar dari gulungan 
sepasang pena gurunya. Berkali-kali Samber Nyawa 
mencoba melancarkan serangan dengan menggunakan 
jurus-jurus tipuan. Namun sayang usahanya itu ber-
hasil diketahui Pendidik Ulung.
"Makanlah penaku, Murid Murtad!" bentak 
Pendidik Ulung.
Kedua penanya yang semula bergerak lembut, 
tiba-tiba dengan satu sentakan keras ke belakang 
mengancam ulu hati Samber Nyawa. Tokoh hebat itu 
hanya sempat mengeluarkan pekik tertahan kala sepa-
sang pena gurunya telak mengenai dada.

Tukkk! Tukkk!
Seketika tubuh Samber Nyawa terpental ke be-
lakang. Dari mulutnya menyemburkan darah segar. 
Ketika ia kembali tegak tampaklah wajah pias Samber 
Nyawa. Setelah mengusap darah yang membasahi su-
dut-sudut bibir, Samber Nyawa menyimpan pedang-
nya. Lalu kedua telunjuk jarinya yang telah berubah 
putih berkilauan siap mengeluarkan jurus ‘Tulisan 
Maut Dewa Kayangan’.
Pendidik Ulung menarik langkahnya satu tin-
dak ke belakang. Ia pun siap mengeluarkan jurus 
'Tulisan Maut Dewa Kayangan'.
Begitu Pendidik Ulung menggurat-guratkan ke-
dua ujung penanya ke udara, seketika angin dingin 
berkesiur menyambar-nyambar ke arah Samber Nya-
wa. Belum lagi suara mencicit dari guratan ujung pe-
na.
"Hea...!"
Samber Nyawa cepat menyatukan kedua telun-
juk jarinya di udara. Tampak dua larik sinar putih 
berkilauan melesat cepat ke arah Pendidik Ulung. 
Wesss! Wesss! 
Bummm...!!!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam 
itu. Bumi terpaksa bergetar. Sambaran angin pukulan 
mampu memporak-porandakan pepohonan dan me-
nerbangkan bebatuan di sekitar tempat pertarungan.
Samber Nyawa yang jatuh terjengkang perla-
han-lahan mencoba bangkit. Wajahnya semakin pucat 
pasi. Darah segar membasahi sudut-sudut bibir.
Pendidik Ulung menggeram. Ia merasa penasa-
ran sekali dengan hasil serangannya. Padahal telah di-
kerahkan sepertiga tenaga dalamnya. Namun Samber 
Nyawa belum mendapat luka yang berarti. 
"Rupanya kau sudah mengalami kemajuan,

Samber Nyawa. Tapi jangan dikira nyawa busukmu 
akan lepas dari tanganku!" bentak Pendidik Ulung pe-
nuh kemarahan. Wajahnya tampak menegang.
Samber Nyawa tidak menyahuti ucapan gu-
runya. Ia hanya mengeluarkan satu geraman hebat. Di 
hadapannya Pendidik Ulung kembali menggurat-
guratkan kedua ujung penanya ke udara. Suara men-
cicit yang ditimbulkan makin menggiriskan. Belum lagi 
hawa dingin yang berkesiuran mendahului.
Pendidik Ulung mengerahkan segenap kekua-
tan tenaga dalamnya. Terpaksa Samber Nyawa harus 
meladeni. Kedua telunjuk jarinya digerakkan dalam ju-
rus serangan yang sama.
"Hea...!!!"
Pendidik Ulung mengeluarkan teriakan keras. 
Kedua ujung penanya segera dipertemukan. Dan...
Kembali dua tenaga dalam guru dan murid itu 
saling berbenturan.
Bak layangan putus talinya tubuh Samber 
Nyawa terlempar jauh ke belakang, berputar-putar se-
bentar lalu jatuh berdebam ke tanah. Darah segar 
mengalir diri sudut-sudut bibir dan lobang hidung. 
Dengan tertatih-tatih Samber Nyawa mencoba bangun. 
Tangan kanannya mendekap erat dada yang terasa 
mau jebol. Sementara tangan kirinya menggapai-gapai 
mencari sesuatu yang dapat dijadikan pegangan. 
Sayang, tak ada sesuatu yang dapat dipegang. Samber 
Nyawa kembali jatuh ke tanah, melejang-lejang seben-
tar kemudian diam tidak bergerak lagi.
Pendidik Ulung tertawa sumbang. Wajahnya 
yang keriput tampak menegang. Perlahan darah segar 
mengalir dari sudut-sudut bibir. Rupanya orang sakti 
dari Lembah Kalierang itu menderita luka dalam cu-
kup parah.
Melihat Ketua Partai Kawula Sejati tak dapat

bangun lagi, sisa-sisa anggota partai itu yang tengah 
mengeroyok Prameswara segera melarikan diri. Sebe-
narnya Prameswara ingin mengejar namun mendadak 
langkahnya tertahan.
"Tunggu, Anak Muda! Aku ingin bicara seben-
tar"
Prameswara menghentikan langkah.
"Ada apa, Orang Tua? Tampaknya kau ingin 
mengatakan sesuatu?" kata Prameswara santun.
Hal inilah yang membuat Pendidik Ulung 
menngagumi Prameswara. Sikap pemuda itu tampak 
halus dan terpelajar.
"Aku memang ingin bicara, Anak Muda. Aku 
tak tahu apakah kau akan sudi atau tidak. Tapi kuli-
hat susunan tulang dalam tubuhmu bagus sekali. Ku-
kira kau pantas untuk...."
"Untuk apa, Orang Tua?" tukas Prameswara tak 
sabar. 
"Hm...! Aku ingin kau menjadi muridku. Apa 
kau keberatan, Anak Muda?!" kata Pendidik Ulung se-
telah menelan ludah. "Tapi, untuk itu kau harus ber-
sedia menanggung beban berat. Kau harus dapat men-
gangkat namaku kembali ke dunia persilatan setelah 
tercoreng oleh ulah Samber Nyawa."
"Apa?! Menjadi muridmu?" Prameswara membe-
liakkan mata tak percaya. Lalu ia melanjutkan kata-
kata di dalam hati.
"Hm...! Inikah yang dinamakan pucuk dicinta 
ulam tiba? Aku yang sedang kebingungan mencari 
guru sakti, eh... nggak tahunya malah ada yang me-
nawarkan diri. Bukan main! Mujur benar nasibku hari 
ini. Tentu aku tidak mungkin menyia-nyiakannya. In-
ilah kesempatan untuk melampiaskan pada Siluman 
Ular Putih!"
"Kau keberatan, Anak Muda?"

"Aku senang sekali menjadi muridmu, Orang 
Tua. Tapi apakah kau tidak salah pilih?"
"Semoga saja aku tidak salah mengambil kepu-
tusan. Di samping kau memang sangat berbakat, sikap 
dan pembawaanmu sangat bertolak belakang dengan 
Samber Nyawa. Kau tampak santun dan terpelajar. 
Rasanya kaulah yang paling pantas menjadi murid te-
rakhirku. Ketahuilah, nama gurumu ini adalah Mara-
bunta. Di dunia persilatan aku lebih dikenal dengan 
julukan Pendidik Ulung. Aku ingin sekali kelak kau 
mengharumkan namaku kembali. Apakah kau kebera-
tan?"
Prameswara menangkupkan kedua tangannya 
di depan hidung.
"Tentu saja tidak, Guru. Aku berjanji akan me-
menuhi permintaanmu."
"Baik. Kalau begitu tak ada lagi yang perlu kita 
bicarakan. Sekarang juga kau harus ikut aku ke Lem-
bah Kalierang!"
"Baik, Guru."
***
TIGA


Siang yang terik. Matahari tepat berada di ten-
gah cakrawala. Udara yang panas karena angin malas 
berhembus membuat suasana siang itu terasa kaku. 
Keadaan pasar di Desa Wringin Anom tiba-tiba dike-
jutkan oleh teriakan lantang seseorang. Seketika orang 
sepasar berhamburan melihat apa yang terjadi
Di sebelah barat pasar tampak seorang gadis 
tengah meracau tidak karuan. Keadaannya sangat
memprihatinkan. Pakaian kuningnya compang

camping. Wajahnya yang cantik kusut masai. Dari pa-
kaiannya yang sudah tidak karuan tampak sebagian
auratnya. Sepasang payudara yang montok itu me-
nyembul keluar. Perutnya membuncit. Sepasang pa-
hanya yang berkulit putih bersih tampak nyata sampai 
hampir ke pangkal paha.
"Jahanam! Samber Nyawa, Jahanam! Kaulah 
yang menghamiliku! Kau harus bertanggung jawab. 
Kau harus bertanggung jawab! Hi hi hi...!"
Di akhir teriakan-teriakannya yang lantang, ga-
dis cantik berpakaian compang-camping itu menangis 
sedih. Berpuluh pasang mata yang melihat keadaan 
gadis cantik itu menjadi jengah. Lebih-lebih para ibu. 
Mereka menundukkan kepala dan bergegas pergi. Se-
bagian lainnya kasak-kusuk membicarakan gadis itu.
"Bukankah gadis itu Ni Luh, putri tunggal Ki 
Lurah Joyorono?"
"Ya. Dia memang putri tunggal Ki Lurah Joyo-
rono, Kang," terdengar satu suara menyahuti.
"Tapi bukankah ia hendak menikah dengan 
Purboyo. Lalu kenapa mendadak menjadi sinting?"
"Ah...! Jangan-jangan ia ditinggal Purboyo?" ka-
ta satu suara lainnya menambahi.
"Tidak mungkin! Purboyo itu orangnya baik. 
Tak mungkin ia memperlakukan Ni Luh seperti itu. 
Apalagi menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab. 
Tak mungkin! Aku cukup mengenal siapa Purboyo. 
Pasti pemuda edan yang disebut-sebutnya tadi yang 
menghamili Ni Luh! Siapa lagi kalau bukan ia?" kata 
seorang pemuda membela.
"Tapi apa kau mengenai siapa Samber Nyawa?"
"Itulah yang sedang kupikirkan. Rasanya di de-
sa ini tak ada orang yang bernama seangker itu. 
Samber Nyawa? Hih! Bulu kudukku jadi berdiri," kata 
pemuda itu lagi.

"Ugh...! Dasar penakut!" kata yang lainnya 
mencemooh.
"Sudah, sudah! Kenapa kalian jadi ribut sendi-
ri? Hayo, kita tolong gadis itu!" kata seorang laki-laki 
lain membentak.
"Oh.... Samber Nyawa! Kau benar-benar manu-
sia dajal! Setelah kau perkosa aku, kini teganya kau 
meninggalkanku. Hu hu hu..! Tak kuasa lagi rasanya 
aku menanggung beban berat ini, Samber Nyawa. Aku 
tak tahan lagi. Oh...!" teriak Ni Luh memelas.
Dadanya terlihat turun naik. Kedua telapak 
tangannya menutupi wajah. Menangislah Ni Luh sam-
pai terisak-isak. Ketika ia membuka tangannya tam-
paklah wajah pias gadis cantik itu. Sepasang matanya 
membelalak liar.
"Aku tak tahan lagi! Aku tak tahan lagi! Ra-
sanya tak pantas aku hidup lebih lama lagi...!"
Ni Luh mulai memukuli dadanya keras-keras. 
Memang tidak begitu membahayakan keselamatannya, 
namun penduduk kampung yang mengerumuni Ni Luh 
makin panik dibuatnya. Tangis Ni Luh makin memelas 
kala penduduk kampung memegangi lengannya. Dan 
di saat gadis itu tengah meraung-raung histeris, seo-
rang laki-laki setengah baya menyeruak keramaian.
"Ni Luh, Anakku. Kasihan sekali kau. Lihatlah 
ini bapakmu, Nak!" ujar laki-laki itu memelas.
"Siapa kau?!" bentak Ni Luh. Sepasang ma-
tanya mendadak beringas.
"Aku.... Bapakmu, Nak. Ki Lurah Joyorono," ka-
ta laki-laki itu serak.
"Bapakku? Tidak! Kau bukan bapakku! Kau 
pasti kambratnya Samber Nyawa. Ya...! Kau pasti 
kambratnya Samber Nyawa!"
"Lihatlah baik-baik, Nak! Aku bapakmu. Aku Ki 
Lurah Joyorono."

Ni Luh tak mempedulikan teriakan bapaknya. 
Sepasang matanya segera dialihkan ke sudut lain. Lalu 
dengan kalap gadis itu kembali berteriak-teriak.
"Dia... dia itu Samber Nyawa! Ya...! Dialah 
Samber Nyawa! Dialah yang memperkosa dan meng-
hamiliku!" tunjuk gadis itu dengan tangan gemetar pa-
da seorang pemuda.
Seketika orang-orang yang mengerumuni Ni 
Luh mengalihkan pandangan matanya. Tampak seo-
rang pemuda asing dengan rambut gondrong sebahu 
tengah melenggang santai melewati jalan pasar.
"Ya ya...! Dialah yang telah memperkosa dan 
menghamiliku! Aku harus segera menemuinya," kata 
Ni Luh. 
"Tangkap pemerkosa itu...!"
* * *
Si pemuda menautkan alis matanya dalam-
dalam. Dilihatnya orang-orang sepasar mulai menge-
rumuni dirinya.
"Eh eh...! Ada apa ini? Kenapa kalian menge-
rumuniku?" kata si pemuda heran.
Dia seorang pemuda tampan dengan rambut 
gondrong tergerai di bahu. Pakaiannya rompi dengan 
celana bersisik warna putih keperakan. Di dadanya 
tampak rajahan bergambar ular putih kecil. Di perge-
langan tangan melingkar gelang akar bahar. Senjata 
andalannya yang berupa anak panah bercakra kembar 
melingkar di pinggang. Melihat ciri-cirinya dia tidak 
lain adalah Soma yang bergelar Siluman Ular Putih.
"Jangan berlagak pilon, Orang Asing! Kau yang 
memperkosa dan menghamili Ni Luh! Teman-teman! 
Cepat tangkap orang asing ini!" teriak orang pemuda 
yang berada paling depan.

"Ya, ampun! Dunia sudah miring atau orang-
orang di sekitarku yang miring? Enak saja main tuding 
sembarangan. Siapa yang memperkosa? Siapa yang 
menghamili anak orang?!" teriak Soma gusar bukan 
main. "Ya, ampun! Apes benar nasibku hari ini!" lanjut 
Soma kesal.
"Bukan kau yang apes, Orang Asing! Ni Luh 
yang apes. Enak saja kau tak mau bertanggung jawab 
setelah menghamili anak orang. Sekarang kau harus 
bertanggung jawab!"
"Hm...! Pasti ada sesuatu yang tidak beres ter-
jadi di sini. Diminta maupun tidak, aku harus sece-
patnya turun tangan," gumam murid Eyang Begawan 
Kamasetyo.
"Teman-teman! Cepat tangkap orang asing ini! 
Kalau perlu, kita cincang sekalian juga tak mengaku!" 
teriak pemuda itu lagi.
Tanpa diperintah sekali lagi orang sepasar yang 
sudah tak dapat mengendalikan amarah segera men-
gerumuni Soma. Malah ada beberapa yang mulai men-
girimkan bogem mentahnya.
"Jangan bunuh pemuda itu! Dia harus bertang-
gung jawab atas bayi yang ku kandung!" teriak Ni Luh. 
Disibaknya kerumunan orang.
Melihat penampilan gadis itu, Soma langsung 
menggaruk-garuk kepala. Sepasang matanya yang 
nakal sempat singgah pada buah dada Ni Luh yang 
membusung keluar. Entah kenapa Soma kembali 
menggaruk-garuk kepalanya. Hal ini membuat kema-
rahan orang-orang di pasar makin meledak.
"Bocah jorok! Tak tahu malu! Matamu memang 
patut ku congkel!" geram seorang pemuda jengkel.
"Tunggu! Kalian semua tidak boleh menyakiti 
calon suamiku!" bentak Ni Luh galak.
Soma bingung bukan main. Dilihatnya gadis

cantik berpakaian compang-camping itu mendeka-
tinya.
"Duh! Apes benar nasibku hari ini. Masa' calon 
istriku macam begini?" gumam Soma dalam hati sam-
bil menggaruk-garuk kepalanya.
"Kakang...! Ah, ya! Mulai hari ini aku harus 
memanggilmu Kakang. Mari kita pulang, Kakang! Aku 
sudah tak sabar lagi menunggu kepulanganmu. Mari 
pulang, Kang!" kata Ni Luh makin membuat murid 
Eyang Begawan Kamasetyo kebingungan.
"Aku bukan Samber Nyawa, Gadis. Aku Soma. 
Seorang pengembara miskin yang kebetulan melewati 
jalan ini." 
Ni Luh membelalakkan matanya.
"Jadi kau ingin meninggalkanku lagi, Kang!" ka-
ta Ni Luh mulai terisak.
"Maaf, Gadis! Aku tak mengenal siapa dirimu. 
Tapi aku berjanji. Aku akan mencari calon suamimu. 
Kalau boleh aku tahu di manakah Samber Nyawa ting-
gal?"
"Omong kosong! Kau pasti Ketua Partai Kawula 
Sejati itu sendiri!" bentak Ki Lurah Joyorono garang
"Aduh...! Siapa lagi Ketua Partai Kawula Sejati? 
Aku bukan Samber Nyawa. Aku Soma. Masa kalian ti-
dak percaya?"
"Ki Lurah! Buat apa kita membuang-buang 
waktu? Kita hajar saja pemerkosa ini ramai-ramai. Bi-
ar tahu rasa! Hayo, Teman-teman! Kita hajar orang-
asing ini sampai lumat!" teriak seorang pemuda penuh 
kemarahan.
Soma menggaruk-garuk kepalanya. Dilihatnya 
beberapa penduduk kampung mulai menyerang. Tentu 
saja Soma tidak ingin tubuhnya jadi bulan-bulanan 
amarah penduduk. Dengan sekali menjejakkan kaki ke 
tanah, tahu-tahu Soma telah berada di atas atap ban

gunan pagar. 
"Harap kalian dengar baik-baik. Aku Soma. Aku 
bukan Samber Nyawa. Apalagi yang memperkosa gadis 
itu! Tapi baiklah! Dengan menjaga nama baik dan demi 
membalaskan sakit hati Ni Luh, sekarang juga aku 
akan mencari Samber Nyawa dan menyeretnya kemari. 
Selamat tinggal!"
Soma berkelebat cepat meninggalkan tempat 
itu. Kemarahan penduduk kampung makin berkobar. 
Namun untuk mengejar Soma jelas tidak mungkin. So-
sok pemuda itu telah menjadi titik putih kecil di ke-
jauhan sana.
***
EMPAT


Malam itu di markas Partai Kawula Sejati tera-
sa lengang. Sejak Samber Nyawa tewas di tangan gu-
runya, Pendidik Ulung, tampuk Pimpinan Partai Kawu-
la Sejati kini dipegang salah seorang tangan kanan 
mendiang Samber Nyawa. Dia seorang laki-laki angkuh 
yang masih terhitung keturunan Adipati Pleret. Di du-
nia persilatan lebih dikenal dengan julukan Pangeran 
Pemimpin.
Sebagai seorang pangeran ia merasa tidak men-
jadi adipati Kadipaten Pleret jika dibandingkan sauda-
ra tirinya yang dilahirkan dari seorang selir. Maka ke-
tika melihat adik tirinya kini menjadi Adipati Pleret, 
Pangeran Pemimpin merasa iri. Bagaimanapun juga ia 
anak tertua dari Adipati Pleret Tua. Meski Pangeran 
Pemimpin juga dilahirkan dari seorang selir, sang Per-
maisuri tidak mempunyai anak, maka dialah yang ber-
hak duduk di singgasana Kadipaten Pleret bukan adik

tirinya!
Ayahandanya, Adipati Pleret Tua, lebih mencu-
rahkan kasih sayangnya kepada selir terkasihnya yang 
menjadi ibu Adipati Pleret sekarang. Pangeran Pemim-
pin lalu bertekad untuk memberontak. Pangeran Pe-
mimpin merasa tersisih dari lingkungan kadipaten. Di-
am-diam ia bergabung dengan Partai Kawula Sejati 
yang dipimpin oleh Samber Nyawa. Namun sejak 
Samber Nyawa tewas Pangeran Pemimpin mengambil 
alih pucuk Pimpinan Partai Kawula Sejati.
* * *
Seperti malam-malam sebelumnya penjagaan di 
markas Partai Kawula Sejati selalu demikian ketat. Be-
berapa anak buah Partai Kawula Sejati siap siaga di 
pos penjagaan. Hal ini tidaklah mengherankan. Akhir-
akhir ini banyak mata-mata Kadipaten Pleret yang ber-
keliaran di sekitar markas.
Samar-samar sesosok bayangan hitam terlihat 
berkelebat cepat tak jauh dari markas Partai Kawula 
Sejati. Gerakan kedua kakinya begitu ringan laksana 
terbang. Sesampainya di ujung jalan dekat markas so-
sok bayangan hitam itu menghentikan langkah. Kepa-
lanya tegak lurus ke depan tanpa membuat gerakan 
sedikit pun. Hanya, sepasang matanya yang tajam bak 
mata rajawali bergerak-gerak memperhatikan keadaan 
sekitar.
"Menurut keterangan dari seorang penduduk, 
Siluman Ular Putih tengah menuju ke timur. Katanya 
ingin mencari Samber Nyawa yang menjadi Ketua Par-
tai Kawula Sejati. Tapi bukankah Samber Nyawa telah 
tewas di tangan guru Pendidik Ulung beberapa pekan 
lalu? Hm...! Rasanya tak masuk akal," pikir sosok 
bayangan hitam.

Dia seorang pemuda tampan. Jubah hitam pan-
jang sampai ke lutut. Di kepalanya bertengger topi hi-
tam yang memanjang pada bagian atas. Dialah Pra-
meswara yang kini bergelar Pelajar Agung.
"Kukira tak ada gunanya mengejar sampai ke-
mari kalau aku sendiri ragu-ragu. Hm...! Kalau tak sa-
lah sekarang aku berada di Hutan Gudean. Sebuah 
hutan lebat yang cocok sekali untuk markas kaum 
pemberontak. Di hutan inilah Partai Kawula Se..."
"Mata-mata kadipaten! Tangkap mata-mata ka-
dipaten!"
Tiba-tiba terdengar teriakan lantang. Prames-
wara tak dapat meneruskan kata hatinya. Sepasang 
matanya yang tajam mendadak berkilat-kilat penuh 
kemarahan melihat beberapa sosok bayangan menuju 
ke arahnya dengan pedang di tangan.
"Tangkap mata-mata itu! Hidup atau mati!"
Pelajar Agung mendengus.
"Manusia-manusia tak tahu diri. Beraninya 
mencari mampus di depanku!"
Prameswara segera bertindak. Kakinya dihen-
takkan ke tanah. Tubuh tinggi kekar itu langsung 
mencelat. Jari-jari tangannya yang terkepal erat tak 
sabar lagi untuk bicara.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar dua pekik kesakitan di depan sana. 
Tubuh dua orang penghadang itu kontan terjungkal ke 
tanah. Mereka lalu mengerang-erang seraya memegan-
gi dada.
Pelajar Agung tak mau bertindak tanggung-
tanggung. Melihat dua orang penghadangnya roboh da-
lam sekali gebrakan, pemuda bekas murid Pendekar 
Kujang Emas itu makin mengamuk hebat. Tak kurang 
dari satu jurus ketiga penghadang lainnya ambruk ke 
tanah dan tidak dapat bangun lagi.

Mendengar ribut-ribut ini beberapa anggota 
Partai Kawula Sejati yang lainnya berhamburan datang 
dan segera mengurung Pelajar Agung.
"Keparat! Berani kau melukai anggota Partai 
Kawula Sejati, Mata-mata Tengik!" bentak salah seo-
rang lelaki berwajah garang.
Bentuk wajahnya kotak dengan kulit berwarna 
merah. Kedua tangannya yang panjang berjuntai sam-
pai ke lutut. Usia laki-laki berjubah merah ini sekitar 
lima puluh tahun. Rambutnya yang panjang di-biarkan 
awut-awutan di bahu. Di dunia persilatan ia terkenal 
dengan julukan Iblis Muka Merah. Salah seorang seku-
tu Pangeran Pemimpin untuk menggulingkan kekua-
saan Adipati Pleret. 
Di samping Iblis Muka Merah berdiri beberapa 
tokoh sesat yang tertarik dengan ambisi Pangeran Pe-
mimpin karena janji-janji muluk. 
"Setan alas! Kalian benar-benar lancang! Kalian 
memang patut mendapat hukuman. Aku, Pelajar 
Agung, mana pantas jadi mata-mata? Apa mata kalian 
buta, he?!" hardik Pelajar Agung angkuh.
Iblis Muka Merah menggeram penuh kemara-
han. Tangan kanannya digerakkan memberi isyarat 
pada anggota Partai Kawula Sejati untuk menerjang 
Prameswara. Iblis Muka Merah sendiri ikut maju me-
nerjang.
"Makanlah tongkatku, Bocah!" bentak Iblis Mu-
ka Merah garang. Tongkat di tangan kanannya mende-
ru-deru menyerang Pelajar Agung.
Prameswara mendengus sinis. Ia tidak gentar 
menghadapi serangan Iblis Muka Merah yang dibantu 
beberapa anggota Partai Kawula Sejati. Dengan meng-
gunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah menca-
pai tingkat tinggi, Prameswara kembali berkelebatan. 
Kedua telunjuk jarinya yang berwarna putih berkilauan siap melontarkan 'Totokan Maut Dewa Kayan-
gan'!
Tukkk! Tukkk!
Telak sekali totokan kedua telunjuk jari Pelajar 
Agung mengenai iga Iblis Muka Merah.
Lelaki setengah baya itu meraung setinggi lan-
git. Iganya yang terkena totokan langsung berlobang 
dan mengeluarkan darah segar. Belum hilang keterke-
jutan Iblis Muka Merah, Pelajar Agung telah kembali 
menyerang lawannya. Untung saja beberapa anggota 
Partai Kawula Sejati menghadang serangan Prameswa-
ra.
Pelajar Agung menggeram murka. Terpaksa 
menghentikan serangannya ke arah Iblis Muka Merah 
kalau ingin selamat. Dengan membuang tubuhnya ke 
samping serangan gencar para anggota Partai Kawula 
Sejati berhasil dihindari.
"Kalian semua benar-benar memuakkan. Pela-
jar Agung tidak akan memaafkan kelancangan kalian!" 
dengus Prameswara penuh kemarahan.
Prameswara menjejakkan kakinya ke tanah dan 
kembali berkelebatan di antara gulungan serangan pa-
ra pengeroyoknya. Senjata pusaka mendiang gurunya 
Pendekar Kujang Emas kini telah tergenggam di tan-
gan kanan. Dengan menggunakan Kujang Emas itu, 
Pelajar Agung mengamuk hebat. Hampir dari setiap ke-
lebatan senjatanya diakhiri pekik kematian salah seo-
rang pengeroyok.
Kenyataan ini tentu saja membuat lawan ciut 
nyalinya. Iblis Muka Merah sendiri dan beberapa tokoh 
sesat yang hadir di sana tidak menyangka kalau mata-
mata itu memiliki kepandaian demikian hebat.
"Mata-mata keparat! Kau patut mendapat hu-
kuman dariku. Heaaa...!"
Iblis Muka Merah mengeluarkan pukulan

mautnya. Begitu kedua telapak tangan didorongkan ke 
depan, seketika serangkum angin dingin menderu-deru 
melabrak Pelajar Agung.
Prameswara segera memapakinya dengan pu-
kulan 'Cahaya Kilat Biru'. Dua larik sinar biru yang di-
iringi bunyi bergemuruh memenuhi tempat pertarun-
gan melesat dari kedua telapak tangan pemuda itu.
Blaaarrr...!!! 
Bumi terguncang hebat laksana dilanda gempa. 
Angin dingin berkesiur memporak-porandakan rant-
ing-ranting pohon. Malah beberapa anggota Partai Ka-
wula Sejati yang berkepandaian rendah terlihat meng-
gigil hebat.
Tubuh Iblis Muka Merah terpental beberapa 
tombak lalu jatuh terbanting di tanah tanpa dapat 
bangun lagi. Pingsan! Prameswara tertawa dingin. Se-
pasang matanya yang berkilat-kilat mengerikan me-
nyapu beberapa orang pengeroyoknya.
"Siapa lagi yang mau menjadi korban berikut-
nya?" ejek Pelajar Agung.
Melihat Iblis Muka Merah yang berkepandaian 
tinggi saja dapat dirobohkan dengan demikian mudah, 
sejenak mereka saling berpandangan satu sama lain. 
Namun karena takut nanti mendapat hukuman dari 
pemimpin mereka, para pengeroyok Pelajar Agung itu 
pun kembali menyerbu.
Prameswara mendengus. Ia yang haus darah 
senang sekali melihat lawannya kembali maju. Namun 
baru saja bermaksud memapaki serangan mereka, ter-
dengar bentakan seseorang yang begitu berwibawa.
"Tahan senjata!"
* * *
Pelajar Agung menautkan kedua alis matanya.

Di hadapannya telah tegak sesosok tubuh berpakaian 
bangsawan lengkap. Wajahnya yang berkulit putih 
bersih sejenak diarahkan pada Iblis Muka Merah dan 
anggota Partai Kawula Sejati yang bergeletakkan di ta-
nah. Usia laki-laki bertubuh tinggi kekar ini sekitar 
empat puluh tahun. Sebilah keris berlekuk tujuh terse-
lip di belakang punggung.
"Pangeran Pemimpin...!" desis para anggota Par-
tai Kawula Sejati hampir bersamaan.
Sosok yang dipanggil Pangeran Pemimpin itu 
menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Sepasang ma-
tanya yang tajam kini memandangi pemuda tampan di 
hadapannya. Diam-diam hati Pangeran Pemimpin 
mengagumi kepandaian pemuda itu yang telah diper-
tunjukkannya tadi.
"Hm...! Agaknya pemuda ini memiliki kepan-
daian yang tinggi. Sayang sekali kalau aku sampai 
bentrok dengannya. Aku sendiri sedang membutuhkan 
banyak tokoh sakti untuk merebut kedudukan adipati. 
Kukira tak ada jeleknya jika aku dapat mengajak pe-
muda ini untuk bekerja sama," ucap Pangeran Pemim-
pin dalam hati.
Di saat Pangeran Pemimpin tengah berpikir 
demikian, diam-diam hati Pelajar Agung pun tengah 
membatin.
"Siapakah sebenarnya laki-laki di hadapanku 
ini? Tampaknya ia sangat disegani oleh anggota Partai 
Kawula Sejati. Mungkinkah ia pemimpin partai itu?"
"Anak muda! Di antara kita telah terjadi sedikit 
kesalahpahaman. Aku yakin kau pasti bukan mata-
mata Kadipaten Pleret. Untuk itu selaku Ketua Partai 
Kawula Sejati, aku Pangeran Pemimpin memohon maaf 
atas kesalahan anak buahku!" kata Pangeran Pemim-
pin.
Pelajar Agung tersenyum. Tampak sekali se

nyum itu sangat merendahkan Pangeran Pemimpin.
"Jadi benar dugaanku. Ternyata laki-laki ber-
penampilan lembut ini Ketua Partai Kawula Sejati. Tapi 
kenapa laki-laki ini tidak marah melihat aku banyak 
membunuh anggota partainya? Hm...! Aku ingat seka-
rang! Bukankah Partai Kawula Sejati yang dulu dipim-
pin Samber Nyawa adalah kumpulan orang-orang 
pemberontak! Aku yakin tentu laki-laki ini mengingin-
kan sesuatu dariku!" gumam Pelajar Agung dalam hati.
"Aku tidak akan begitu saja menerima maaf se-
seorang. Apalagi ia telah seenaknya menuduhku seba-
gai mata-mata Kadipaten Pleret. Aku akan menghu-
kum kelancangan orang-orangmu, Pangeran Pemim-
pin!" desis Pelajar Agung angkuh.
"Aku maklum kalau kau marah pada anak bu-
ahku, Anak Muda. Kau boleh saja menghukum mereka 
kalau itu kau anggap tindakan kurang ajar. Tapi sebe-
lumnya aku ingin menawarkan sesuatu yang menarik 
padamu. Apa kau keberatan?" sahut Pangeran Pemim-
pin dengan senyum terkembang.
"Aku tak dapat memutuskan kalau kau belum 
mengatakan apa tawaranmu."
"Tawaranku cukup menarik untuk kau pertim-
bangkan, Anak Muda!" kata Pangeran Pemimpin sen-
gaja menunda mengatakan maksud sebenarnya.
"Katakan apa tawaranmu, Pangeran Pemimpin!"
Pangeran Pemimpin tersenyum.
"Aku ingin mengajakmu bekerja sama. Kalau 
kau dapat membantuku menggulingkan takhta Adipati 
Pleret, aku berjanji akan mengangkatmu menjadi peja-
bat tinggi di Kadipaten Pleret kelak."
"Kalau aku keberatan bagaimana?" pancing Pe-
lajar Agung.
"Kau tidak akan keberatan. Aku malah akan 
mengangkatmu jadi patih Kadipaten Pleret. Jika perjuangan kita berhasil!" kata Pangeran Pemimpin mem-
buat hati Pelajar Agung berbunga.
Prameswara benar-benar tertarik dengan tawa-
ran tersebut. Ia tidak ingin jadi orang kedua. Ia harus 
jadi orang pertama. Untuk itu Prameswara harus me-
nangguhkan rencananya terhadap Siluman Ular Putih. 
Toh kalau sudah menjadi patih untuk menduduki 
singgasana Kadipaten Pleret hanya tinggal selangkah 
lagi.
"Kau jangan mengumbar janji seenakmu, Pan-
geran Pemimpin. Sekali kau jilat ludahmu sendiri, 
nyawamu-lah taruhannya!" dengus Pelajar Agung 
menghardik.
Pangeran Pemimpin hanya tertawa bergelak. Ia 
melihat adanya kelicikan pada pemuda di hadapannya 
ini. Melihat ambisinya yang besar bisa jadi muda ini 
akan jadi bumerang di kemudian hari. Namun Kujang 
Emas di tangan pemuda itu telah menarik simpati 
Pangeran Pemimpin. Sayang kalau ia sampai mele-
watkan kepandaiannya.
"Tentu, tentu! Aku tidak mungkin akan menjilat 
ludahku sendiri. Tapi menilik Kujang Emas di tangan-
mu, apakah kau murid orang tua gagah yang bergelar 
Pendekar Kujang Emas?"
"Ya!" sahut Pelajar Agung singkat. Ia merasa ri-
sih mendengar Pangeran Pemimpin menyebut-nyebut 
nama mendiang gurunya.
"Baik. Kalau begitu tak ada lagi yang patut kita 
bicarakan. Sekarang aku ingin mengajakmu dan se-
mua anggota Partai Kawula Sejati untuk membicara-
kan rencana kita lebih lanjut di dalam."
"Baik!"
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Ketua 
Partai Kawula Sejati itu pun berkelebat cepat menuju 
bangunan markasnya. Anggota Partai Kawula Sejati
segera menyusul kepergian ketuanya setelah men-
gangkat beberapa orang temannya yang terluka. Diiku-
ti tokoh-tokoh sesat yang tadi datang bersama Iblis 
Muka Merah. Prameswara tidak mempunyai pilihan 
lain kecuali mengikuti mereka.
***
LIMA


Di bentangan langit sebelah barat matahari 
mulai rebah dalam pangkuan bumi. Sebagian awan hi-
tam yang bergulung-gulung di angkasa berlumuran 
cahaya merah tembaga. Sebentar lagi agaknya malam 
akan tiba.
Dari ujung jalan setapak di luar Kadipaten Ple-
ret tampak sesosok bayangan berpakaian putih kepe-
rakan baru saja keluar dari dalam hutan. Sosok 
bayangan itu menghentikan langkahnya di tengah ja-
lan setapak mendongakkan kepalanya memandang ke 
atas.
"Huh, sial! Hampir seharian aku keluar masuk 
hutan namun belum juga menemukan markas Partai 
Kawula Sejati. Apalagi menemukan batang hidung 
orang yang bernama Samber Nyawa. Sial memang! Pa-
kai dituduh menghamili anak orang lagi!" gerutu sosok 
berpakaian putih keperakan yang tidak lain murid 
Eyang Begawan Kamasetyo.
Habis menggerutu begitu, Soma kembali mene-
ruskan langkahnya. Tak jauh dari persimpangan jalan 
dilihatnya sebuah kedai makan. Soma tersenyum se-
nang. Perutnya yang sejak tadi pagi belum diisi men-
dadak minta jatah. Tanpa banyak cakap ia pun segera

menuju ke sana.
Tak banyak yang makan dan minum di kedai 
itu. Hanya empat orang laki-laki berwajah kasar dan 
seorang gadis cantik berpakaian kuning. Soma tidak 
begitu mempedulikan mereka. Tapi ia sempat terse-
nyum kala salah seorang laki-laki berwajah kasar me-
melototi dirinya yang hendak melangkah masuk ke da-
lam kedai. Belum sempat Soma menghenyakkan pan-
tatnya di kursi, lelaki tua pemilik kedai berlari-lari 
menghampiri.
"Maaf, Anak Muda. Demi keselamatanmu se-
baiknya cepat tinggalkan tempat ini!" kata pemilik ke-
dai itu gugup. Tampaknya ia takut terjadi sesuatu di 
kedainya. 
Soma menautkan alisnya heran. Dipandanginya 
lelaki tua pemilik kedai dengan kening berkerut. 
"Kenapa, Paman? Tidak bolehkah aku beristi-
rahat sebentar di kedaimu ini?"
"Boleh. Tapi jangan sekarang. Mereka.... Mere-
ka...," mata pemilik kedai itu jelalatan. Sebentar-
sebentar memandang ke arah Soma kemudian pada 
empat orang laki-laki berpakaian hitam yang sedang 
asyik minum tuak di salah satu sudut kedai.
"Siapa mereka, Paman?" tanya Soma mulai cu-
riga.
"Mereka...," sekali lagi pemilik kedai melirik ke 
arah empat orang berwajah kasar. "Cepatlah tinggal-
kan tempat ini, Anak Muda. Mereka adalah Empat 
Elang Hitam dari Gunung Wilis. Salah satu sekutu se-
tia Pangeran Pemimpin."
Soma makin menautkan alis matanya. Tiba-tiba 
terdengar bentakan garang yang datangnya dari arah 
keempat laki-laki berwajah kasar.
"Hey, Jembel Busuk! Tidakkah kau tahu pera-
turan di sini? Kalau Empat Elang Hitam sedang makan

dan minum di kedai ini siapa pun juga tidak boleh ma-
suk!" bentak salah seorang dari mereka yang terganggu 
dengan kemunculan murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
"Ah...!" desah laki-laki pemilik kedai "Cepatlah 
kau tinggalkan tempat ini, Anak Muda," lanjut lelaki 
tua itu setengah memohon.
"Huh! Kenapa gadis cantik itu boleh makan di 
sini? Kenapa ia tidak kau usir sekalian?" sungut Soma 
kesal.
"Karena ia seorang gadis cantik, Anak Muda."
"Memangnya kenapa kalau ia seorang gadis 
cantik? Apakah biar aku tidak bisa main mata den-
gannya?"
"Ah, sudahlah. Sebaiknya cepat kau tinggalkan 
tempat ini" kata pemilik kedai gelisah.
"Baiklah, Paman. Aku akan menunggunya di 
luar."
"Ya ya.... Tapi sebaiknya tinggalkan saja tempat 
ini. Berbahaya."
"Bedebah! Belum juga enyah dari hadapan ka-
mi, he?!" bentak salah seorang dari keempat lelaki 
berwajah kasar.
"Iya, iya!" sungut Soma kesal. "Tapi bolehkah 
kalau aku menanyakan sesuatu pada Paman yang baik 
ini, Kawanku Yang Galak?" lanjut Soma mengejek
"Bedebah! Kau berani bertingkah dihadapan 
kami. Apa kau sudah bosan hidup?!" bentak lelaki 
yang bermuka codet.
Tiba-tiba tangan kanan laki-laki itu menyambit 
cawan tuak kosong. Kemudian, dengan kecepatan yang 
sulit diikuti pandang mata cawan tuak kosong itu me-
luncur menuju murid Eyang Begawan Kamasetyo den-
gan kecepatan luar biasa.
Wesss!

"Paman...!" ujar Soma seraya sedikit menundu-
kan kepalanya di hadapan laki-laki pemilik kedai. 
"Apakah Paman tahu di mana markas Partai Kawula 
Sejati?"
Bersamaan dengan itu selesainya ucapan So-
ma, cawan yang dilemparkan laki-laki bermuka mem-
bentur dinding kedai. Seketika dinding kedai itu berge-
tar. Bagian dinding yang terkena hantaman cawan 
langsung berlobang.
Sementara di sudut kedai yang lain sepasang 
mata indah, gadis berbaju kuning melirik sebentar ke 
arah Soma. Ia mendengar murid Eyang Begawan Ka-
masetyo itu menyebut-nyebut nama Partai Kawula Se-
jati. Sedang laki-laki pemilik kedai membeliak matanya 
begitu melihat dinding kedai yang berlubang.
Keterkejutan juga dialami empat orang sesat 
dari Gunung Wilis. Melihat serangan salah seorang 
kawannya dapat dihindarinya dengan begitu mudah, 
mereka pun segera sadar. Mereka bukanlah orang-
orang bodoh. Keempatnya orang-orang berilmu tinggi 
yang sudah cukup malang-melintang di dunia persila-
tan. Empat Elang Hitam dari Gunung Wilis berlonca-
tan bangun lalu mengepung Soma dari empat penjuru.
"Jangan melotot saja, Paman! Di mana letak 
markas Partai Kawula Sejati?" tanya Soma tanpa me-
noleh ke arah Empat Elang Hitam.
"Aku.... Aku tidak tahu, Anak Muda. Aku.... 
Aku...," laki-laki pemilik kedai gemetaran saking ta-
kutnya.
"Huh! Percuma saja aku bertanya padamu, Pa-
man," sahut Soma kesal. Lalu ia melangkahkan ka-
kinya keluar kedai seperti tidak pernah terjadi sesuatu 
pun.
Melihat sikap Soma yang tidak memandang se-
belah mata, merahlah wajah bengis keempat tokoh se

sat dari Gunung Wilis. Belum pernah mereka selama 
malang-melintang di dunia persilatan direndahkan se-
demikian rupa. Apalagi oleh seorang pemuda yang 
nampak kurang waras.
"Setan alas! Tahan langkahmu, Kunyuk Gon-
drong!" bentak laki-laki bermuka codet yang rupanya 
Pimpinan Empat Elang Hitam dari Gunung Wilis!
"Ada apa lagi, Kawan-kawan Yang Galak? Bu-
kankah kalian menghendaki aku untuk keluar. Kenapa 
sekarang uring-uringan begini? Apa kalian nggak 
punya uang untuk membayar tuak? Lalu kalian ingin 
merampokku, begitu? Kalau memang iya, sayang seka-
li. Aku tidak punya uang," kata Soma seenak perutnya.
"Jangan banyak berlagak, Kunyuk Gondrong! 
Apa kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa 
he?!" bentak si muka codet garang.
"Yah...! Kalian ini bagaimana, sih? Apa telinga 
kalian sudah tuli? Bukankah Paman pemilik kedai tadi 
sudah mengatakan kalau kalian Empat Ekor Nyamuk 
Hitam dari Gunung Wilis yang paling senang meng-
ganggu orang makan?" ejek Soma.
"Bangsat! Sebelum kurobek-robek mulutmu, 
cepat katakan siapa kau sebenarnya?!"
Sepasang mata lelaki bermuka codet yang ta-
jam terus memperhatikan pemuda tampan di hada-
pannya. Ia merasa harus berhati-hati. Jangan-jangan 
muda sinting itu seorang mata-mata Kadipaten Pleret 
yang akhir-akhir ini banyak berkeliaran di sekitar Hu-
tan Gudean.
"Aku?" ujar Soma seraya tersenyum. "Mau apa 
kalian menanyakan tentang diriku? Apa kalian ingin 
membagi-bagi hasil rampokan? Nah, kalau iya, cepat 
berikan! Kebetulan sekali karena aku seorang pengem-
bara miskin lagi bodoh. Namaku Soma. Sudah cukup?"
"Sangat cukup untuk mengirim nyawa busuk

mu ke dasar neraka!" bentak si muka codet tak dapat 
lagi mengendalikan amarah.
Ia segera memasang kuda-kuda. Tangan kanan 
direntangkan lurus ke depan. Tangan kiri disembunyi-
kan di balik pinggang. Dengan menggunakan jurus itu 
si muka codet ingin merobohkan Siluman Ular Putih 
dalam satu gebrakan.
"Hea...!"
Si muka codet membuka serangan. Tangan ka-
nannya bergerak cepat ke arah dada Soma. Padahal 
tangan kiri yang sesungguhnya siap melontarkan pu-
kulan mautnya.
Siluman Ular Putih tersenyum menggoda. Ia ti-
dak terkecoh melihat serangan tipuan itu. Begitu pu-
kulan tangan kanan si muka codet bergerak menye-
rang dada, Siluman Ular Putih hanya sedikit memi-
ringkan tubuhnya ke samping. Kemudian di saat pu-
kulan tangan kiri lawan siap dilontarkan, dengan gera-
kan yang sulit diduga patukan tangan Siluman Ular 
Putih tahu-tahu mengancam dada si muka codet!
Tukkk! Tukkk!
Dua kali dada lelaki berwajah kasar itu terkena 
patukan tangan kanan dan kiri Siluman Ular Putih. 
Seketika si muka codet melengking setinggi langit. Da-
danya yang terkena patukan Siluman Ular Putih mera-
sa mau jebol. Si muka codet tidak tahan lagi. Tubuh-
nya limbung ke samping lalu jatuh berdebam ke tanah 
dengan mulut mengerang-erang. Tak tahan merasakan 
sakit, lelaki itu akhirnya jatuh pingsan!
Ketiga teman si muka codet kontan membela-
lakkan mata tak percaya. Guru mereka sendiri pun be-
lum tentu mampu merobohkan si muka codet dalam 
satu gebrakan. Ketiganya terdengar menggeram penuh 
kemarahan. Tanpa banyak cakap lagi anggota, Empat 
Elang Hitam dari Gunung Wilis itu mencabut keluar

pedang mereka.
Sret! Sret! Sret!
Empat Elang Hitam dari Gunung Wilis men-
gempos semangatnya. Kemudian, pedang di tangan 
kanan dibabatkan menyerang Siluman Ular Putih.
Soma yang tidak ingin membuang-buang waktu 
segera berkelebat di antara gulungan pedang. Sesekali 
patukan tangan Siluman Ular Putih meluncur datang.
Tukkk! Tukkk!
Patukan tangan kanan dan kiri Siluman Ular 
Putih akhirnya mengenai iga dua orang pengeroyok-
nya. Kontan tubuh kedua lelaki itu melintir ke samp-
ing dan menghantam meja. Perkakas kedai yang terke-
na jatuhan tubuh kedua pengeroyok Siluman Ular Pu-
tih hancur berantakan.
Laki-laki tua pemilik kedai berdiri menggigil di 
pojok ruangan. Dipandanginya isi kedai yang beranta-
kan dengan paras pias. Melihat keadaan yang kurang 
menguntungkan bagi pemilik kedai, Siluman Ular Pu-
tih pun kembali menyerang seorang pengeroyoknya 
yang bermaksud melarikan diri. Dengan sekali meng-
hentakkan kaki tahu-tahu tubuhnya telah mengha-
dang langkah laki-laki itu.
"Kalianlah yang menyebabkan kekacauan ini. 
Jadi kalian pula yang harus bertanggung jawab!" ben-
tak Soma jengkel.
Tangan kanan Siluman Ular Putih bergerak 
menampar muka orang terakhir Empat Elang Hitam 
dari Gunung Wilis.
Plakkkk! Plakkk!
Tanpa ampun lagi kepala orang itu oleng ke 
kanan kiri searah tamparan tangan Siluman Ular Pu-
tih.
"Enak saja mau kabur. Tinggalkan dulu uang 
emas kalian baru boleh pergi!"

Ketiga orang dari Empat Elang Hantu dari Gu-
nung Wilis sejenak saling berpandangan. Kemudian, 
ketiga tokoh sesat itu mengambil kantong hitam kecil 
yang menggantung di pinggang masing-masing dan 
melemparkannya ke arah Siluman Ular Putih. Soma 
cepat menangkap ketiga kantong hitam itu.
Sambil menimang-nimang kantong hitam berisi 
kepingan uang emas, Siluman Ular Putih berkata.
"Nah, sekarang baru kalian boleh pergi. Tapi 
kalau sekali lagi kulihat membuat keonaran, jangan 
harap aku akan mengampuni nyawa kalian!"
Ketiga orang dari Empat Elang dari Gunung Wi-
lis menggeram penuh kemarahan. Namun menyerang 
Siluman Ular Putih mereka tidak memiliki keberanian 
lagi. Ketiga orang tokoh sesat itu segera menyambar 
tubuh si muka codet lalu bergegas meninggalkan tem-
pat itu.
Soma tertawa pelan. Sepasang matanya yang 
tajam memperhatikan ketiga sosok berpakaian hitam 
yang berjalan cepat meninggalkan kedai. Setelah 
bayangan ketiga orang itu lenyap, Soma membalikkan 
badannya dan menghampiri laki-laki pemilik kedai
"Jangan panik, Paman. Ini semua untuk ganti 
rugi kerusakan kedaimu. Nah, terimalah!" kata Soma 
seraya meletakkan ketiga kantong hitam berisi kepin-
gan uang emas ke tangan laki-laki pemilik kedai
Paras pemilik kedai yang semula pias langsung 
berbinar-binar. Dengan tangan gemetar dipandanginya 
ketiga kantong hitam.
"Te.... Terima kasih, Tuan. Tapi... apakah jum-
lah ini tidak terlalu berlebihan. Bagaimana pula bila 
ketiga orang itu kembali kemari, apa yang harus kula-
kukan, Tuan?" tanya laki-laki pemilik kedai dengan 
suara bergetar.
"Tenanglah! Mereka tidak mungkin berani ke
sini lagi. Kalau memang mereka kembali, bilang saja 
kepingan uang emas ini aku yang membawa. Beres 
kan? Nah, sekarang jika kau tidak keberatan sudikah 
menjawab pertanyaanku tadi?"
"Tentu, Tuan. Tapi sayang aku tidak tahu pasti 
di mana markas Partai Kawula Sejati. Menurut desas-
desus yang kudengar markas partai itu berada di Hu-
tan Gudean."
"Hutan Gudean...," ujar Soma seraya mengang-
guk-anggukkan kepala. "Apakah Ketua Partai Kawula 
Sejati ada di markasnya?"
"Aku tidak tahu, Tuan. Konon Pangeran Pe-
mimpin sering keluar untuk menyelidiki Kadipaten Ple-
ret."
"Lho? Bukankah Samber Nyawa yang menjadi 
Ketua Partai Kawula Sejati, Paman?" tanya Soma he-
ran.
"Dulu memang iya. Tapi sejak Samber Nyawa 
tewas di tangan gurunya, pucuk Pimpinan Partai Ka-
wula Sejati dipegang oleh Pangeran Pemimpin."
"Oh...!" Soma kembali mengangguk-anggukkan 
kepala. "Jadi orang yang bernama Samber Nyawa itu 
sudah tewas?"
"Iya, Tuan."
"Sekarang begini, Paman," kata Soma seperti 
teringat sesuatu. "Kalau Paman tidak keberatan, aku 
ingin minta tolong."
"Dengan senang hati aku akan membantumu."
"Tolong kau temui Ki Lurah Joyorono. Bilang 
kalau orang yang bernama Samber Nyawa telah tewas."
"Baik," kata pemilik kedai. "Tapi kalau misalnya 
Ki Lurah Joyorono bertanya siapa Tuan, bagaimana 
aku harus menjawabnya?" lanjut pemilik kedai.
"Ah...!" ujar Soma lucu. Entah karena apa mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo menggaruk-garuk kepa

lanya yang tidak gatal. "Bilang saja dari pemuda yang 
dituduh menghamili putrinya itu saja!" lanjut Soma 
dengan nada sungkan.
Habis berkata begitu, murid Eyang Begawan 
Kamasetyo pergi meninggalkan kedai. Dengan sekali 
lesatan sosoknya telah lenyap di balik kegelapan ma-
lam.
Sewaktu mendengar ucapan Soma tadi, tanpa 
sadar gadis cantik berbaju kuning yang duduk di 
bangku pojok melengak kaget. Hatinya tiba-tiba berde-
bar tidak karuan. Sepasang matanya yang indah terus 
memperhatikan ke arah lenyapnya Siluman Ular Putih.
"Pemuda hebat! Tapi sayang sikapnya terlalu 
ugal-ugalan...," gumam gadis cantik. Lalu pergi me-
ninggalkan kedai mengikuti ke arah mana Soma pergi
* * *
"Tidak! Tidak! Kakang Samber Nyawa tidak bo-
leh mati! Ia harus bertanggung jawab atas bayi yang 
ku kandung!" jerit Ni Luh histeris kala pemilik kedai 
mengabarkan tentang kematian Samber Nyawa pada 
Ni Luh dan Ki Lurah Joyorono.
Ki Lurah Joyorono dan pemilik kedai hanya di-
am membisu. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir 
kedua orang itu. Namun melihat paras mereka yang 
pias, jelas keduanya turut prihatin atas musibah yang 
menimpa Ni Luh, terutama sekali Ki Lurah Joyorono.
"Bertawakallah, Anakku. Mungkin Tuhan me-
mang tidak menghendaki kau mempunyai suami 
Samber Nyawa," hibur Ki Lurah Joyorono dengan hati 
getir.
"Tidak! Tidak! Dia tidak boleh mati!" teriak Ni 
Luh kalap.
Sepasang matanya mendadak jadi beringas. Lalu dengan tidak terduga-duga sama sekali Ni Luh men-
gamuk hebat. Apa saja yang ada di hadapannya diten-
dang. Meja kursi dibalikkan hingga isinya berhambu-
ran ke mana-mana.
Ki Lurah Joyorono panik bukan main! Buru-
buru ia mencegah tindakan Ni Luh. Namun Ni Luh 
memberontak. Ki Lurah Joyorono sampai kewalahan. 
Dengan bantuan laki-laki pemilik kedai akhirnya Ni 
Luh berhasil digiring ke dalam kamar.
Tampak wajah Ki Lurah Joyorono demikian ku-
sut. Meski ia telah berusaha tabah, namun tetap saja 
tidak dapat memendam rasa nyeri di hatinya. Apalagi 
ketika pada kesekian harinya didapati Ni Luh telah te-
was gantung diri....
***
ENAM


Sejak Soma meninggalkan kedai ia merasa se-
seorang terus mengikutinya. Ilmu meringankan tubuh 
sosok di belakangnya itu cukup lumayan. Terbukti 
penguntitnya itu mampu mengikuti terus walau Soma 
telah mengerahkan setengah dari ilmu meringankan 
tubuhnya.
Tiba-tiba Soma menyelinap ke balik rindangnya 
sebatang pohon. Kemudian tubuhnya meloncat tinggi 
ke udara dan mendarat di salah satu ranting pohon 
sambil matanya terus memperhatikan sosok bayangan 
di bawahnya. Ia bermaksud ingin menjebak penguntit-
nya. Tetapi sosok bayangan itu pun ikut menyelinap ke 
balik rindangnya pohon. Dan tanpa diduga-duga ikut 
pula memanjat ke atas.
"Cerdik juga penguntit ku itu. Baik Aku akan

menjebaknya," gumam Soma dalam hati.
Diam-diam ia mengerahkan seluruh ilmu me-
ringankan tubuhnya. Laksana seekor tupai tubuh 
tinggi kekar murid Eyang Begawan Kamasetyo berlon-
catan dari ranting satu ke ranting pohon yang lain. Ge-
rakan kedua kakinya ringan sekali hingga tidak me-
nimbulkan suara.
Sosok bayangan yang menguntit Soma tiba-tiba 
merasa telah terjebak. Belum sempat ia berpikir kema-
na lenyapnya pemuda yang dibuntuti, dari atas ranting 
pohon lain ia dikejutkan dengan teriakan seseorang.
"Cekitir...! Rupanya kau gadis cantik yang tadi 
duduk sendirian di kedai!" teriak Soma lantang.
Samar-samar dari balik remangnya sinar bulan, 
Soma dapat melihat sosok penguntitnya. Dia seorang 
gadis cantik berpakaian kuning. Usianya kira-kira tu-
juh belas tahun. Wajahnya yang bulat telur tampak 
manis sekali dengan sepasang mata indah. Bibirnya ti-
pis kemerah-merahan.
Gadis cantik berbaju kuning yang sebenarnya 
bernama Putri Sekartaji kontan terbelalak kaget. 
"Ah...! Bagaimana mungkin aku tidak menden-
gar langkah-langkah halus pemuda ini? Tak mungkin!" 
rutuk Putri Sekartaji kesal.
"Nah, sekarang aku sudah di sini. Untuk apa 
kau menguntitku, Gadis?" kata Soma setelah meloncat 
turun dan duduk di sebatang ranting di mana Putri 
Sekartaji duduk.
Soma yang duduk demikian dekatnya dengan 
Putri Sekartaji tampak terpesona melihat kecantikan 
gadis itu. Dilihatnya sepasang mata yang indah berki-
lat-kilat. Kedua bibirnya merekah kemerahan. Sung-
guh sangat membuat murid Eyang Begawan Kama-
setyo betah memandangi.
"Cerewet! Siapa yang menguntitmu? Aku juga

sedang menuju ke timur!" terucap juga kata-kata gadis 
itu setelah beberapa saat lamanya terpesona melihat 
ketampanan Soma.
"Ya, sudah. Kukira kau ada perlu denganku," 
kata Soma diiringi senyum.
Tanpa berkata-kata lagi, Soma lalu meloncat 
turun dari atas pohon. Langkahnya terayun mening-
galkan tempat itu. Tapi samar-samar mendadak pen-
dengarannya menangkap denting suara senjata bera-
du. Soma melesat menuju ujung Hutan Gudean di 
mana suara-suara tadi berasal.
"Hei, tunggu!" teriak Putri Sekartaji. Bergegas ia 
melompat turun. Diam-diam ia menyesal telah berkata 
kasar pada pemuda tampan yang membuat hatinya 
terpesona itu. "Pemuda brengsek!" sungut gadis itu 
kesal.
Sosok Soma telah menghilang di balik kegela-
pan malam. Putri Sekartaji jengkel sekali.
"Ada apa, Gadis? Kudengar tadi kau memang-
gilku. Ada apa?"
Secepat kilat Putri Sekartaji membalikkan ba-
dan. Suara itu datang dari arah belakangnya.
"Ah, kau!" keluh gadis cantik itu kebingungan.
"Ya, aku. Tadi kau memanggilku. Ada apa?" ka-
ta Soma menggoda. Rupanya tadi setelah mendengar 
panggilan Putri Sekartaji, Soma tidak jadi meneruskan 
niatnya mencari sumber suara denting senjata. Dia 
membelokkan larinya menuju arah belakang Putri Se-
kartaji.
"Ah, tidak! Sana kalau mau pergi!" kata Putri 
Sekartaji tak dapat menyembunyikan perasaan gugup-
nya.
Soma tertawa bergelak.
"Kau ini bagaimana sih? Tadi memanggilku. Se-
telah aku berada di dekatmu, malah mengusir. Heran!

Ada apa sebenarnya? Jangan-jangan kau mulai naksir 
sama aku, ya?"
"Kunyuk gondrong tak tahu malu! Lekas ting-
galkan aku!" bentak Putri Sekartaji tiba-tiba.
"Baik! Aku memang akan meninggalkanmu. 
Tapi jangan melotot begitu dong! Sayangkan kalau ma-
tamu yang indah meloncat keluar?"
Putri Sekartaji menggeram jengkel.
Soma hanya tertawa bergelak. Di saat gadis 
cantik itu hendak melontarkan pukulan karena saking 
jengkelnya, Soma telah berkelebat menuju datangnya 
suara senjata tajam beradu tadi.
* * *
Di luar Hutan Gudean memang tengah terjadi 
pertarungan sengit. Dua orang gadis cantik bertarung 
hebat melawan dua orang kakek nenek sakti. Tampak 
sekali kalau kedua gadis itu terdesak hebat mengha-
dapi gempuran-gempuran lawan. 
Kakek-nenek sakti itu berpenampilan begitu 
mengerikan. Wajah mereka pucat pasi mirip mayat. 
Rambutnya yang panjang memutih digelung ke atas. 
Mereka bertubuh kurus kering tinggal kulit pembalut 
tulang. Keringkihan sosok itu dibungkus jubah merah 
darah. Usia keduanya belum terlalu tua. Yang kakek 
berusia lima puluh lima tahun. Si nenek sekitar lima 
puluh tahunan. Di dunia persilatan kakek-nenek sakti 
ini dikenal dengan julukan Sepasang Mayat Merah dari 
Lembah Duka.
Di hadapan Sepasang Mayat Merah dari Lem-
bah Duka adalah dua orang gadis kembar dari wilayah 
timur. Keduanya berpakaian ringkas warna hijau mu-
da. Rambutnya hitam panjang dikuncir ke belakang. 
Wajah mereka bulat telur dengan sepasang mata ber

binar-binar indah. Cocok sekali dengan bentuk hi-
dungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis keme-
rahan.
Sungguh sulit membedakan kedua gadis kem-
bar itu. Baik bentuk wajah, potongan tubuh, pakaian 
yang dikenakan, bahkan rambutnya yang dikuncir ke 
belakang, semua sama. Hanya tahi lalat kecil di pipi 
kiri gadis cantik di sebelah kanan yang dapat membe-
dakan mereka. Yang bertahi lalat kecil itu bernama 
Ken Umi. Sedang di sebelahnya Ken Sari.
Menghadapi gempuran Sepasang Mayat Merah 
dari Lembah Duka tampak kedua gadis cantik itu san-
gat kewalahan. Jangankan untuk membalas serangan, 
menghindar saja rasanya sulit sekali. Malah berkali-
kali pedang merah di tangan Sepasang Mayat Merah 
dari Lembah Duka mengenai kulit tubuh mereka. Na-
mun Ken Umi dan Ken Sari terus melakukan perlawa-
nan dengan gigih.
Trang! Trang!
Bunga api berpijaran ketika pedang di tangan 
Ken Umi tertangkis pedang Kakek Mayat Merah. Aki-
batnya pedang gadis cantik itu terpental. Tubuhnya 
sendiri terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang.
Tak jauh dari Ken Umi yang tengah terhuyung-
huyung seorang laki-laki berpakaian serba hitam den-
gan wajah tertutup kain hitam pula terdengar menge-
rang kesakitan. Luka-luka bekas bacokan pedang di 
tubuhnya mengeluarkan darah segar.
"Manusia-manusia dajal! Terkutuklah kalian 
semua! Lekas tinggalkan tempat ini! Kalau tidak, jan-
gan harap Adipati Pleret akan mengampuni dosa ka-
lian!" geram laki-laki berpakaian hitam tiba-tiba. Tapi 
apa yang bisa diperbuat. Tubuhnya terluka parah. 
Dengan sangat terpaksa ia hanya dapat mengerang ke

sakitan sambil menonton jalannya pertarungan.
Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka ter-
tawa bergelak. Tebasan-tebasan pedangnya makin 
menggiriskan. Berkali-kali pedang di tangan Sepasang 
Mayat Merah dari Lembah Duka mengancam tubuh 
kedua gadis kembar dari wilayah timur.
Bret! 
Tiba-tiba pedang Kakek Mayat Merah berhasil 
merobek baju bagian atas Ken Umi. Seketika tampak-
lah kulit dada yang membusung dari gadis cantik itu. 
Melihat pemandangan indah di depannya, Kakek 
Mayat Merah kontan tertawa bergelak. Jakunnya ber-
gerak turun naik. Lalu sambil tertawa-tawa senang ka-
kek itu kembali menyerang Ken Umi.
Bret! Bret!
Ken Umi memekik tertahan. Kembali pedang 
Kakek Mayat Merah berhasil merobek baju gadis can-
tik itu. Ken Umi kelabakan bukan main. Baju bagian 
atasnya robek lebar menampakkan sebagian lekuk-
lekuk tubuhnya yang putih bersih. Keadaan ini mem-
buat serangan Ken Umi jadi kacau. Sebentar ia meme-
gangi robekan bajunya untuk menutupi tubuhnya, se-
bentar kemudian dengan kemarahan meluap menye-
rang Kakek Mayat Merah.
Kakek Mayat Merah hanya tertawa kegirangan. 
Sepasang matanya tak henti-hentinya memperhatikan 
lekuk-lekuk tubuh Ken Umi. Tanpa sadar tokoh sesat 
dari Lembah Duka itu menelan ludahnya sendiri.
"Sudah kuduga kau tentu memiliki tubuh yang 
menggiurkan, Gadis!" kata Kakek Mayat Merah.
"Iblis Mayat Merah! Jangan kau makan sendiri 
gadis cantik itu!" teriak nenek bertubuh sintal yang 
bergelar Setan Mayat Merah memperingatkan.
"Apa maksudmu, Setan Mayat Merah?!" teriak 
Kakek Mayat Merah yang ternyata bergelar Iblis Mayat

Merah.
"Aku ingin kedua gadis cantik ini diserahkan, 
pada Pangeran, Pemimpin dan Pelajar Agung sebagai 
tanda setia! Lekas tangkap gadis itu!"
"Ah...! Mengapa demikian, Setan Mayat Merah?" 
teriak Iblis Mayat Merah keberatan. "Kupikir Pangeran 
Pemimpin dan Pelajar Agung tidak keberatan kalau 
aku mengambilnya seorang. Kau serahkan saja gadis 
cantik di tanganmu itu pada Pangeran Pemimpin dan 
Pelajar Agung!"
Setelah berkata begitu, Iblis Mayat Merah kem-
bali mempermainkan Ken Umi. Sambil terus mendesak 
gadis cantik itu mata Iblis Mayat Merah tak henti-henti 
memperhatikan sepasang dada membusung Ken Umi 
dengan jakun bergerak turun naik.
"Bajingan! Manusia-manusia bajingan! Berani 
kalian menyentuh tubuh kedua gadis itu, demi Tuhan 
aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" teriak lelaki 
berpakaian hitam penuh kemarahan. Ia mencoba un-
tuk meloncat bangun. Namun sayang tubuhnya kem-
bali luruh ke tanah dan memuntahkan darah segar.
"Manusia-manusia iblis! Demi Tuhan aku men-
gadu nyawa dengan kalian!" teriak Ken Umi.
Kedua telapak tangan gadis itu yang telah be-
rubah merah hingga ke pangkal lengan siap melontar-
kan pukulan ‘Kelabang Api’. Iblis Mayat Merah menyu-
rutkan langkahnya setindak ke belakang. Sepasang 
matanya terus memandangi kedua telapak tangan Ken 
Umi yang semakin memerah.
"Pukulan 'Kelabang Api'...!" desis Iblis Mayat 
Merah mengenali pukulan yang akan dilontarkan gadis 
cantik itu. Buru-buru Iblis Mayat Merah mengerahkan 
tenaga dalam sepenuhnya. Ia siap mengirimkan puku-
lan maut 'Racun Darah Mayat' yang tak kalah ampuh 
dengan pukulan 'Kelabang Api' ciptaan Ki Rombeng.


"Bagus! Rupanya kau mengenali pukulanku, Ib-
lis Mayat Merah! Tentu kau tidak akan menyesal bila 
terpaksa aku mengirim nyawamu ke dasar neraka. Se-
karang makanlah pukulan 'Kelabang Api'-ku, Manusia 
Iblis! Hea...!"
Diawali teriakan nyaring Ken Umi mendorong-
kan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika dua 
larik sinar merah menyala melesat cepat melabrak tu-
buh Iblis Mayat Merah.
Blaaarrr...!!!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam itu. Tempat pertarungan terguncang hebat. Rant-
ing-ranting pohon berderak terkena sambaran angin 
panas. Daun-daunnya langsung hangus terbakar!
Tubuh Ken Umi terpental ke belakang begitu 
pukulan 'Kelabang Api'-nya dipapaki pukulan 'Racun 
Darah Mayat' milik Iblis Mayat Merah. Seketika paras 
gadis cantik itu jadi pucat pasi. Darah segar memba-
sahi sudut-sudut bibir. Tampaknya gadis cantik itu 
menderita luka dalam.
Demikian juga yang dialami Iblis Mayat Merah. 
Akibat bentrokan tadi kedua tokoh sesat dari Lembah 
Duka itu terguncang hebat. Kedua kakinya melesak 
beberapa jari ke dalam tanah. Parasnya pun tampak 
pucat pasi.
Keadaan Ken Sari tak jauh berbeda dengan 
saudara kembarnya. Berkali-kali tubuh gadis cantik 
itu berjumpalitan ke udara menghindari gempuran Se-
tan Mayat Merah. Malah tubuhnya telah terkena teba-
san pedang Setan Mayat Merah hingga mengeluarkan 
darah segar.
"Nasibmu tak jauh berbeda dengan saudara 
kembarmu, Gadis! Sekarang makanlah pukulan 
'Racun Mayat'-ku! Hea...!"
Setan Mayat Merah tak sabar lagi untuk segera

merobohkan lawannya. Begitu mengeluarkan teriakan 
nyaring, dua larik sinar kuning yang disertai berke-
siurnya angin dingin dari kedua telapak tangannya 
meluruk deras.
Ken Sari cemas bukan main. Apalagi saat itu 
kedudukannya kurang menguntungkan. Maka begitu 
melihat dua larik sinar kuning hampir melabrak tu-
buhnya, Ken Sari siap mengirimkan pukulan 'Kelabang 
Api'. Baru saja mengangkat kedua telapak tangan, ti-
ba-tiba dua larik sinar putih terang memapaki pukulan 
'Racun Darah Mayat'.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Terdengar satu ledakan di udara. Tubuh Setan 
Mayat Merah terjajar beberapa langkah ke belakang. 
Sepasang matanya berkilat-kilat penuh kemarahan 
memandangi sosok berpakaian putih keperakan.
"Setan! Siapa berani mencampuri urusanku?!" 
teriak Setan Mayat Merah sambil terus memandangi 
sosok di hadapannya.
***
TUJUH


Sosok di hadapan Setan Mayat Merah adalah 
seorang pemuda tampan berpakaian rompi dan celana 
bersisik putih keperakan. Rambut gondrongnya dibiar-
kan tergerai di bahu. Usia pemuda itu tak lebih dari 
delapan belas tahun. Wajahnya yang tampak polos ke-
kanak-kanakan. Pada dadanya terdapat rajahan ular 
putih kecil. Dialah murid Eyang Begawan Kamasetyo 
yang bergelar Siluman Ular Putih.
Ken Sari yang baru saja diselamatkan Soma
buru-buru menyingkir. Dihampirinya saudara kem-
barnya yang menggeletak tak sadarkan diri, tak jauh 
dari lelaki berpakaian serba hitam.
"Kalian ini iblis-iblis tua tak tahu malu. Bera-
ninya cuma mengganggu gadis-gadis cantik saja. Ka-
lian ini sudah tua. Kenapa tidak cepat-cepat bertobat 
dan mohon ampun pada Yang Maha Kuasa. Barangkali 
saja Yang di Atas Sana masih sudi mengampuni dosa 
kalian!" kata Soma sok berkhotbah.
"Tutup bacotmu, Bocah! Karena kau berani 
lancang mencampuri urusan kami, maka kau harus 
modar di tanganku!" teriak Iblis Mayat Merah dengan 
amarah yang meluap-luap. 
"Modar ya modar. Tapi jangan galak-galak begi-
tu, ah! Seperti pengantin baru yang tidak sabaran sa-
ja!" celoteh Soma menggoda.
"Bangsat! Berani kau bertindak ayal-ayalan di 
depan Sepasang Mayat Merah!"
"Sudahlah. Buat apa buang-buang waktu. Kita 
cincang saja kunyuk gondrong ini!" desis Setan Mayat 
Merah menimpali.
Setan Mayat Merah langsung saja melancarkan 
serangan mautnya. Iblis Mayat Merah segera datang 
membantu. Kedua telapak tangannya yang berubah 
kuning dihantamkan ke depan. Empat larik sinar kun-
ing dari kedua telapak tangan Iblis Mayat Merah dan 
Setan Mayat Merah melesat cepat menyerang Siluman 
Ular Putih.
Wesss! Wesss!
Hebat bukan main serangan kedua tokoh sesat 
dari Lembah Duka itu. Sebelum serangan mereka 
mengenai sasaran angin dingin telah lebih dahulu me-
nyambar-nyambar tubuh Soma.
Siluman Ular Putih tidak berani menganggap 
enteng kedua lawannya. Melihat datangnya serangan
yang demikian hebat, buru-buru murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo mengeluarkan pukulan tenaga “Inti 
Bumi’. Kedua telapak tangan Siluman Ular Putih beru-
bah putih terang hingga ke pangkal lengan. Kemudian, 
dengan mengerahkan sepertiga kekuatan tenaga da-
lam, kedua telapak tangannya disorongkan ke depan.
Terdengar satu ledakan dahsyat ketika bentu-
ran dua tenaga dalam itu terjadi.
Tubuh Iblis Mayat Merah dan Setan Mayat Me-
rah terguncang hebat! Kedua kaki mereka melesak be-
berapa jari ke dalam tanah. Sedang tubuh Siluman 
Ular Putih tersurut mundur beberapa langkah dengan
paras pias.
"Hm...! Kalau tak salah dugaanku, kau tadi 
menggunakan pukulan tenaga ‘Inti Bumi’, Bocah!" 
dengus Iblis Mayat Merah yang mengenali jenis puku-
lan andalan Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung 
Bucu.
"Dan tentu kau murid si tua bangka dari Gu-
nung Bucu itu!" kata Setan Mayat Merah.
Usai berkata begitu pedang di tangan kanan Se-
tan Mayat Merah menusuk ke arah Siluman Ular Putih 
dengan menggunakan jurus 'Delapan Penjuru Mata 
Pedang'. Iblis Mayat Merah melancarkan jurus 'Tangan 
Maut Mayat Hidup' yang tak kalah hebatnya. Meski 
hanya menggunakan tangan kosong, namun serangan 
Iblis Mayat Merah tidak boleh dipandang ringan. Tam-
pak kedua telapak tangan Iblis Mayat Merah berwarna 
merah dan dipenuhi oleh racun keji.
Melihat kedua pengeroyoknya tidak main-main, 
Siluman Ular Putih mengeluarkan jurus andalannya 
pula. Jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Kedua telapak 
tangan Soma membentuk dua kepala ular. Kemudian, 
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu menerjang para 
pengeroyoknya.

"Hea...! Heaa...!" 
Tukkk! Tukkk!
Patukan dua kepala ular Soma dipapaki dengan 
dua telapak tangan Iblis Mayat Merah yang penuh ra-
cun. Bersamaan dengan itu pedang Setan Mayat Me-
rah bergerak cepat dari atas ke bawah, bermaksud 
membelah tubuh Siluman Ular Putih.
Tentu saja Soma tidak ingin tubuhnya jadi sa-
saran empuk. Begitu melihat berkelebatnya mata pe-
dang, Siluman Ular Putih melancarkan jurus 
'Sepasang Ular Kembar Mengejar Mangsa'. Soma 
menggeser kedua kakinya beberapa tindak ke samping 
untuk menghindari bacokan pedang. Lalu tubuh kekar 
Siluman Ular Putih meloncat lurus ke depan.
Tukkk! Tukkk!
Telak sekali dua patukan telapak tangan Silu-
man Ular Putih mendarat di dada Iblis Mayat Merah. 
Seketika tubuh kakek itu terhuyung-huyung ke bela-
kang. Dadanya serasa hancur terkena patukan tangan 
Siluman Ular Putih.
Iblis Mayat Merah menggeram penuh kemara-
han. Kakinya dihentakkan ke tanah. Tubuh tinggi ku-
rus tokoh sesat itu melayang cepat menyerang Siluman 
Ular Putih. Soma yang tengah sibuk menghindari se-
rangan pedang Setan Mayat Merah sama sekali tidak 
menduga datangnya serangan. Ia hanya sempat mera-
sakan berkesiurnya angin dingin menyerang pung-
gung.
Dughhh! Dughhh!
Dua kali punggung Siluman Ular Putih terkena 
hantaman telapak tangan Iblis Mayat Merah. Soma 
terhuyung-huyung ke depan. Punggungnya yang ter-
kena hantaman langsung berwarna kemerahan. Kepa-
lanya tiba-tiba pening dan perutnya terasa mual.
Ken Umi dan Ken Sari tampak mencemaskan

keadaan Siluman Ular Putih. Karena di saat tubuh 
Soma terhuyung-huyung, pedang Setan Mayat Merah 
kembali siap merajam tubuhnya. Sementara kedua te-
lapak tangan Iblis Mayat Merah yang berwarna merah 
darah siap pula melancarkan pukulan maut.
Saking tegangnya melihat keadaan kritis pemu-
da tampan yang diam-diam telah merebut hatinya itu, 
Ken Umi dan Ken Sari saling berpegangan tangan den-
gan perasaan tegang. Sungguh sayang sekali kalau 
pemuda setampan dia harus mati di tangan kedua 
pengeroyoknya. Hati mereka makin tidak karuan keti-
ka dilihatnya Siluman Ular Putih terdesak hebat.
"Ah...!" desis Ken Umi dan Ken Sari hampir ber-
samaan.
"Alamak! Bisa modar aku kalau begini!" teriak 
murid Eyang Begawan Kamasetyo masih sempat-
sempatnya melucu. Padahal keadaannya saat itu san-
gat memprihatinkan.
Ketika serangan kedua pengeroyoknya hampir 
mengenai sasaran, dengan mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh 'Menjangan Kencono' Siluman Ular Pu-
tih membuang tubuhnya keluar dari tempat pertarun-
gan. Akibatnya serangan kedua orang lawannya pun 
luput. Malah hampir saja kakek-nenek itu saling se-
rang sendiri kalau tidak buru-buru mencabut seran-
gannya. Namun dalam jarak yang demikian dekat tak 
mungkin mereka mampu mencabut serangannya begi-
tu saja. Dan kenyataannya, pada akhirnya Iblis Mayat 
Merah dan Setan Mayat Merah tetap saling serang
"Bocah edan!" teriak Setan Mayat Merah yang 
terkena pukulan Iblis Mayat Merah.
"Bedebah! Belum puas aku kalau belum men-
guliti batok kepalamu, Bocah!" pekik Iblis Mayat Merah 
dengan rahang mengembung.
Ken Umi dan Ken Sari yang semula sangat

mencemaskan keadaan Siluman Ular Putih kontan ter-
tawa terpingkal-pingkal. Sedang Soma yang kini telah 
tegak di luar arena pertarungan hanya tersenyum-
senyum saja.
"Hey...! Aku di sini! Kenapa kalian malah jadi 
saling serang sendirian? Apa kalian sudah gila?" ejek 
Siluman Ular Putih.
Soma kemudian mengeluarkan senjata pusa-
kanya yang terselip di pinggang. Murid Eyang Begawan 
Kamasetyo itu mengerahkan tenaga dalam. Seketika 
hawa dingin yang menggigilkan tubuh dari senjata an-
dalan di tangan Siluman Ular Putih memenuhi sekitar 
tempat tersebut.
Sejenak Iblis Mayat Merah dan Setan Mayat 
Merah menghentikan serangan. Sepasang mata mere-
ka memperhatikan senjata pusaka di tangan musuh-
nya
"Nah, sekarang dengarlah baik-baik. Dengan 
menggunakan senjata ini aku ingin mengantar nyawa 
kalian menemui Raja Akhirat. Kukira kalian berdua 
tak pantas lagi hidup lebih lama di alam mayapada ini. 
Dosa kalian sudah bertumpuk. Nah, kalau sudah siap 
lekaslah mendekat! Biar aku gampang mengetok kepa-
la kalian!"
"Kunyuk sinting! Justru kaulah yang akan 
modar di tangan kami!" bentak Iblis Mayat Merah.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tadi pagi aku 
sudah bertemu Raja Akhirat kok. Malah dia berpesan 
agar aku mencabut nyawa busuk kalian!" ejek Siluman 
Ular Putih.
Iblis Mayat Merah dan Setan Mayat Merah 
menggeretakkan gerahamnya penuh kemarahan. Per-
cuma saja meladeni omongan pemuda sinting murid 
Eyang Begawan Kamasetyo. Mereka lebih senang cepat 
menyerang pemuda itu.

Siluman Ular Putih mengerahkan tenaga 'Inti 
Bumi'-nya yang digabungkan dengan tenaga 'Inti Api'. 
Seketika telapak tangan kiri Soma yang berubah putih 
terang dipenuhi tenaga 'Inti Bumi'. Tangan kanannya 
merah menyala karena tenaga ‘Inti Api’.
"Hea...!"
Diiringi teriakan keras, murid Eyang Begawan 
Kamasetyo melemparkan senjata anak panahnya ke 
arah Iblis Mayat Merah. Kemudian, Siluman Ular Putih 
meloncat tinggi ke udara. Dengan tubuh melayang 
Soma melontarkan pukulan tenaga 'Inti Api' ke arah 
Setan Mayat Merah.
Wesss! Wesss!
Setan Mayat Merah memekik tertahan. Ia tidak 
menyangka dirinya akan diserang. Padahal jarak se-
rangan itu demikian dekat. Tak ada pilihan lain. Setan 
Mayat Merah segera membuang tubuhnya ke samping, 
hingga pukulan tenaga 'Inti Api' Siluman Ular Putih 
menghantam tanah.
Bummm...!
Tanah yang terkena pukulan berlobang besar 
dan mengepulkan asap putih tipis.
Bersamaan dengan itu Iblis Mayat Merah men-
dengus sinis melihat senjata anak panah Siluman Ular 
Putih meluncur ke arah dirinya. Dengan menggeser 
tubuhnya ke samping, senjata itu terus melesat ke be-
lakang. Kemudian Iblis Mayat Merah menyerang Soma. 
Ketika itu Siluman Ular Putih menukik tajam ke arah-
nya dengan patukan-patukan kedua telapak tangan.
"Ah...!" pekik Iblis Mayat Merah kaget bukan 
main.
Ia merasakan hawa dingin datang dari arah be-
lakangnya mengancam punggung. Seketika tokoh sesat 
dari Lembah Duka itu memalingkan kepala. Ternyata 
anak panah Siluman Ular Putih telah membalik dan

menyerang Iblis Mayat Merah dengan kecepatan luar 
biasa. 
Clep!
Tanpa ampun lagi lengan kanan Iblis Mayat 
Merah terkena lesatan senjata anak panah.
Iblis Mayat Merah meraung setinggi langit len-
gan kanannya yang tertancap mata anak panah terasa 
nyeri bukan main dan mengeluarkan darah segar. Se-
mentara patukan-patukan tangan Siluman Ular Putih 
mengancam ubun-ubun kepala.
Pelipis Iblis Mayat Merah mengeluarkan kerin-
gat dingin. Wajahnya pun pucat pasi! Namun ia tidak 
kehilangan akal. Buru-buru tubuhnya dibuang samp-
ing. Sayang, gerakannya terlalu lambat.
Prokkk!
Iblis Mayat Merah meraung keras. Pundaknya 
yang terkena patukan Siluman Ular Putih serasa re-
muk. Iblis Mayat Merah tidak tahan lagi. Tubuhnya 
bergerak limbung dan jatuh tak sadarkan diri.
Melihat Iblis Mayat Merah tak berdaya, wajah 
Setan Mayat Merah langsung berubah. Soma dengan 
tenang mencabut senjata anak panahnya dari lengan 
Iblis Mayat Merah, dan siap menyerang Setan Mayat 
Merah. Nenek itu terlihat ciut nyalinya. Tokoh sesat 
dari Lembah Duka ini segera mengeluarkan pelor-pelor 
beracun, lalu dilemparkannya ke arah Soma.
Seperti yang telah diduga Setan Mayat Merah, 
Siluman Ular Putih pasti akan menangkis pelor-pelor 
beracunnya. Dan kenyataannya memang demikian. 
Soma menangkis pelor-pelor beracun itu.
Blaaarrr...!!!
Begitu terdengar ledakan seketika asap hitam 
dari pelor-pelor beracun bergulungan memenuhi tem-
pat pertarungan. Diam-diam Siluman Ular Putih men-
geluh. Dari gulungan asap hitam tercium bau harum

yang tidak sewajarnya. Buru-buru murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo menahan napas. Dikebutkannya ujung 
rompi untuk mengusir gulungan. Bersamaan dengan 
lenyapnya asap itu lenyap pula Sepasang Mayat Merah 
dari Lembah Duka.
"Jangkrik buntung! Kenapa tadi ku tangkis pe-
lor-pelor beracun itu? Huh, sial! Awas kalau ketemu 
nanti! Pasti aku akan menjewer telingamu, Nenek-
nenek Keriput!" omel Siluman Ular Putih sebelum me-
loncat tinggi ke udara dan hinggap di salah satu rant-
ing pohon.
Pandangan Soma diedarkan mencari sosok 
bayangan Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka. 
Namun sayang, ia tidak menemukan kedua tokoh se-
sat itu. Siluman Ular Putih menggeretakkan geraham-
nya menahan rasa jengkel.
***
DELAPAN


"Wah wah...! Hebat sekali ilmu silatmu, Sobat. 
Tak kusangka kau dapat mengusir Sepasang Mayat 
Merah dari Lembah Duka!" kata Ken Sari begitu murid 
Eyang Begawan Kamasetyo mendaratkan kakinya ke
tanah. Matanya yang jenaka bergerak-gerak nakal. 
Kemudian, tahu-tahu gadis cantik itu telah bergelayu-
tan manja di lengan Soma.
Soma hanya dapat menggaruk-garuk kepalanya 
melihat kemanjaan gadis cantik itu.
"Kalau kau tidak cepat-cepat datang menolong, 
tak tahulah nasib apa yang akan kami alami," lanjut 
Ken Sari tanpa diminta. 
"Kenapa memang?" tanya Soma seraya men

gumbar senyum. Sepasang matanya memperhatikan 
wajah cantik di sampingnya. Namun sebentar kemu-
dian sepasang mata Soma dialihkan pada Ken Umi 
yang tampak tenang-tenang di tempatnya. Lalu kemba-
li murid Eyang Begawan Kamasetyo mengamati wajah 
Ken Sari.
"Ah...! Mujur benar nasibku hari ini. Tak ku-
sangka akan bertemu dengan dua orang gadis kembar 
yang sama-sama cantik. Hm...! Menyenangkan sekali 
rasanya kalau disuruh memilih aku tak sanggup. Me-
reka benar-benar memikat," gumam Soma dalam hati 
sambil menggaruk-garuk kepalanya. Entah kenapa ia 
senang sekali menggaruk-garuk kepala. Padahal ram-
butnya tidak gatal.
"Jangan pandangi aku seperti itu dong!" rajuk 
Ken Sari manja.
"Kenapa memang?" 
"Kalau kau terus memandangi aku seperti itu, 
aku takut...," Ken Sari sengaja menggantung ucapan-
nya
"Takut apa?" tanya Soma penasaran.
"Takut... jatuh cinta," kata Ken Sari sekenanya. 
Kemudian disusul dengan tawanya yang berderai.
"Ken Sari! Jangan kurang ajar!" bentak Ken 
Umi.
"Ah...! Mbakyu Ken Umi ini Siapa sih yang ku-
rang ajar? Aku kan bicara apa adanya?" sahut Ken Sa-
ri membela diri.
"Tapi kan bukan begitu caranya!" kata Ken Umi 
jengkel.
"Habis bagaimana caranya?"
"Caranya.... Caranya ya...," Ken Umi tak melan-
jutkan ucapannya. Tiba-tiba kedua pipinya dipenuhi 
rona merah.
Soma yang tadi sempat terkejut melihat sikap


Ken Sari hanya tersenyum senang. Apalagi ketika dili-
hatnya kedua gadis kembar itu sibuk membicarakan 
dirinya. Bukan main senang hati murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo. Dengan senyum masih tersungging di 
bibir Soma memberi komentar.
"Sudahlah. Kenapa kalian jadi ribut sendiri, 
sih? Kenapa kalian tidak menceritakan bagaimana bisa 
bentrok dengan Sepasang Mayat Merah dari Lembah 
Duka itu?" kata Soma setelah menghenyakkan pantat-
nya di atas rerumputan.
Sejenak Ken Sari dan Ken Umi saling berpan-
dangan. Tanpa diminta kedua gadis cantik itu ikut du-
duk di samping Soma. Ketika dilihatnya Ken Sari du-
duk berhimpitan dengan Soma, Ken Umi mendelikkan 
kedua bola mata. Namun Ken Sari pura-pura tidak me-
lihat. Malah dengan sikap manja gadis cantik itu mulai 
bercerita.
"Sebenarnya kami berdua sedang diutus guru 
kami Ki Rombeng untuk menyelidiki orang yang berge-
lar Pangeran Pemimpin. Tokoh itu menurut desas-
desus tengah menghimpun kekuatan untuk merebut 
takhta Adipati Pleret. Untuk itu kami menyelidiki ke-
benaran berita tersebut. Bilamana memang benar ma-
ka para pendekar telah bersepakat akan membantu 
pihak kadipaten. Tapi di tengah perjalanan, kami meli-
hat seorang prajurit sandi Kadipaten Pleret tengah di-
keroyok oleh Sepasang Mayat Merah dar.., eh! Mana 
prajurit sandi itu?"
Tiba-tiba Ken Sari teringat akan prajurit sandi 
yang terluka parah. Seketika matanya jelalatan menca-
ri-cari.
"Huaaah...!"
Tiba-tiba terdengar suara seseorang muntah 
tak jauh dari tempat mereka duduk. Cepat ketiganya 
meloncat bangun dan mendatangi arah munculnya

suara. Dari balik remang sinar bulan tampak seorang 
laki-laki berpakaian serba hitam tengah mengerang 
menahan sakit. Di depannya banyak darah segar ber-
ceceran di atas rerumputan.
Soma buru-buru menghampiri. Diperiksanya 
luka-luka prajurit sandi itu. Cukup parah luka yang 
dideritanya. Soma tak ingin kehilangan waktu. Dito-
toknya beberapa jalan darah di tubuh prajurit yang 
malang itu lalu mengurut tengkuknya beberapa kali.
"Ah...!" Beberapa saat kemudian, prajurit itu 
mengerjap-ngerjapkan mata. "Terima kasih. Engkau te-
lah menolongku, Tuan Pendekar."
"Jangan banyak bergerak dulu, Paman. Lekas 
minum pil ini. Sebentar lagi luka-luka dalammu pasti 
akan sembuh," kata murid Eyang Begawan Kamasetyo 
seraya menyerahkan pil kuning yang diambilnya dari 
dalam saku. Soma sendiri menelan pil kuning pembe-
rian gurunya untuk mengusir pengaruh racun dari 
pukulan Iblis Mayat Merah tadi.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Kau baik seka-
li," kata prajurit sandi itu lagi. Mereka bertiga kini te-
lah duduk berhadapan.
"Minumlah dulu pil pemberianku itu, Paman. 
Nanti kalau luka dalammu sudah sembuh baru kau 
boleh bercerita."
"Baiklah!" kata prajurit sandi itu. Dengan pa-
tuhnya laki-laki itu menelan pil kuning pemberian So-
ma.
Lalu perlahan-lahan ia mulai menanggalkan 
kain hitam yang menutupi wajahnya.
"Sebenarnya kami sebagai prajurit sandi dila-
rang keras membuka kain hitam penutup wajah ini. 
Namun karena kalian bertiga telah berbuat baik mau 
menolongku, rasanya tak enak kalau aku tetap men-
genakan kain ini,"


Soma mengangguk-anggukkan kepala. Cukup 
tampan dan gagah laki-laki di hadapannya itu. Wajah-
nya keras dengan rahang bertonjolan. Namun sedikit 
pun tidak mengurangi kegagahannya. Usianya belum 
terlalu tua. Paling-paling empat puluh tahunan.
"Baiklah!" prajurit sandi itu kembali mengena-
kan kain hitam penutup wajah. "Aku ingin bercerita 
banyak, namun sayang waktuku sempit. Malah seka-
rang juga aku harus melaporkan hasil penyelidikanku 
pada Adipati Pleret. Kalau boleh tahu, siapakah nama 
Tuan Pendekar?"
"Namaku Soma, Paman. Aku lebih senang ka-
lau kau memanggil nama saja. Jangan Tuan Pende-
kar."
"Baiklah. Kalau ada waktu mainlah ke Kadipa-
ten Pleret. Kanjeng Adipati tentu akan senang meneri-
ma kedatanganmu. Selamat berpisah, Kawan-kawan 
Muda-ku!"
Dengan menahan luka dalam yang belum sem-
buh benar prajurit sandi itu meninggalkan Hutan Gu-
dean. Dalam beberapa kelebatan saja sosok tinggi be-
sar prajurit Kadipaten Pleret itu lenyap ditelan gelapan 
malam.
"Prajurit perkasa," gumam Soma.
"Prajurit-prajurit sandi Kadipaten Pleret me-
mang prajurit sejati. Mereka berjuang demi keselama-
tan Adipati Pleret walau nyawa taruhannya. Ah, tadi 
aku lupa menanyakan namanya," kata Ken Sari kece-
wa.
"Iya-ya.... Kenapa tadi aku juga lupa menanya-
kan namanya? Sayang sekali. Dan lebih sayang lagi 
kalau aku juga tidak menanyakan siapa nama gadis-
gadis cantik di sampingku ini?" kata murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo setengah menyindir.
"Huh...! Bilang saja mau berkenalan dengan

kami. Pakai berdalih!" tukas Ken Sari seraya mencibir-
kan bibir.
"Memang! Habis siapa yang nggak senang ber-
kenalan dengan gadis-gadis cantik seperti kalian? Ru-
gi!" kata Soma seraya memamerkan giginya yang putih 
bersih.
"Rugi? Memangnya jualan kok pakai rugi?" go-
da Ken Sari. "Tapi baiklah. Aku juga tidak rugi kalau 
mengenalkan namaku padamu. Namaku Ken Sari. Dan 
ini saudara kembarku. Namanya Ken Umi. Sudah je-
las?"
"Ya ya.... Sangat jelas," Soma mengangguk-
anggukkan kepala. "Lalu setelah kalian tadi bentrok 
dengan Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka, apa 
penyelidikan kalian sudah cukup?" lanjut murid Eyang 
Begawan Kamasetyo ingin tahu.
Ken Sari yang ditanya oleh Soma hanya men-
gangkat bahu. Ia mengalihkan pandangan matanya ke 
arah Ken Umi. Gadis yang tampaknya lebih senang 
berdiam diri itu menghela napasnya sebentar sebelum 
membuka suara.
"Sebenarnya memang belum cukup. Tapi me-
nurut desas-desus yang kami dengar di sepanjang per-
jalanan dan juga yang dikatakan Setan Mayat Merah 
tadi, sudah cukup jelas kalau Pangeran Pemimpin 
memang tengah menyusun kekuatan. Kukira tak ada 
jeleknya kalau sekarang kami memberikan laporan pa-
da Guru."
"Jadi sekarang juga kita melapor pada Guru, 
Mbak?" tanya Ken Sari kecewa.
"Ya! Memangnya kenapa?"
Ken Sari memberengut. Tampak sekali ia tidak 
puas dengan keputusan saudara kembarnya.
"Kau keberatan, Ken Sari?" tanya Ken Umi yang 
dapat membaca jalan pikiran saudara kembarnya.

"Sebenarnya sih memang iya. Tapi sudahlah. 
Kalau memang mau melapor sekarang, ya... tak apa-
apa."
"Kenapa kalian terburu-buru? Aku kan belum 
sempat berbincang-bincang dengan kalian," kata So-
ma.
"Ini masalah penting, Soma. Masalah pembe-
rontakan. Aku tak berani main-main. Guru pasti akan 
marah besar kalau kami menjalankan tugas dengan 
setengah hati," jawab Ken Umi tegas.
"Siapa sih Pangeran Pemimpin itu?" kata Soma 
lagi.
"Ia kakak tiri Adipati Pleret yang sekarang. Ka-
rena merasa iri melihat adik tirinya diangkat menjadi 
Adipati Pleret, ia pun bermaksud memberontak. Konon 
sudah banyak tokoh sesat dunia persilatan yang ber-
sedia membantu perjuangan Pangeran Pemimpin. Ma-
lah seorang bekas murid mendiang Pendekar Kujang 
Emas telah dengan terang-terangan membantu per-
juangannya."
"Siapa?! Bekas murid mendiang Pendekar Ku-
jang Emas?" kata Soma tak dapat menyembunyikan 
rasa herannya. "Apa yang kau maksudkan Prameswa-
ra, Ken Umi?"
"Kurang tahu. Yang jelas ia bergelar Pelajar 
Agung."
"Pelajar Agung? Siapa lagi orang satu ini? Ra-
sanya Pendekar Kujang Emas tidak mempunyai murid 
yang bergelar Pelajar Agung," gumam Soma seperti pa-
da dirinya sendiri. "Tapi bukan mustahil, kalau Pra-
meswara-lah yang bergelar Pelajar Agung. Ah...! Kukira 
aku harus secepatnya menyelidiki. Selamat tinggal se-
muanya!" kata Soma tak sabar.
Tanpa basa-basi lagi, Soma meloncat bangun 
dan berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Gera

kan kedua kakinya ringan laksana terbang. Hingga da-
lam waktu yang tidak lama sosok putih keperakan mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo hilang di balik kerim-
bunan hutan.
Ken Umi dan Ken Sari melihat perubahan sikap
Soma yang demikian mendadak hanya dapat menge-
leng-gelengkan kepala.
***
SEMBILAN


Plak!
"Goblok! Goblok sekali kau, Setan Mayat Me-
rah! Percuma saja kau minta kerjasama dengan kami!"
Diiringi bentakan keras tangan kekar berkulit 
kuning Pangeran Pemimpin melayang cepat, menam-
par pipi Setan Mayat Merah.
Setan Mayat Merah memekik tertahan. Tubuh-
nya terjengkang ke belakang dengan darah segar ke-
luar dari lobang hidung. Sepasang matanya berkilat-
kilat penuh kemarahan. Namun untuk membalaskan 
sakit hati pada orang yang tegak di hadapannya, ia tak 
berani.
Saat itu mereka berada di tengah-tengah ruang 
pendopo markas Partai Kawula Sejati. Pangeran Pe-
mimpin berdiri tegak di antara para anggota partai. 
Sepasang matanya yang mencorong tajam menatap Se-
tan Mayat Merah. Kini nenek itu duduk berlutut di ha-
dapannya.
"Kau benar-benar tidak berguna, Setan Mayat 
Merah. Padahal kalian pergi berdua. Masa' untuk me-
nangkap prajurit sandi yang terluka saja kalian tak be-
cus!" geram Pangeran Pemimpin murka.

"Maafkan aku, Ketua. Kami berdua telah beru-
saha keras. Namun sayang sewaktu kami akan me-
ringkus prajurit itu beserta dua orang gadis cantik pe-
nolongnya, tiba-tiba muncul seorang pemuda sakti 
yang datang menolong dan mengalahkan kami. Bah-
kan saudara seperguruanku terluka parah. Dan kini 
sedang dalam perawatan tabib," kata Setan Mayat Me-
rah berusaha melunakkan kemarahan Pangeran Pe-
mimpin.
"Pemuda sakti? Hanya seorang pemuda. Se-
mentara kalian berdua yang terkenal dengan julukan 
Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka dapat dika-
lahkan? Memalukan! Buat apa kau kemari kalau tak 
dapat menjalankan tugasmu dengan baik? Lebih baik 
bunuh diri saja!"
"Tapi, Ketua. Pemuda itu benar-benar sakti. 
Melihat jenis pukulan kunyuk gondrong itu pasti mu-
rid si tua bangka Eyang Begawan Kamasetyo dari Gu-
nung Bucu!" kata Setan Mayat Merah.
"Siluman Ular Putih...!" desis seseorang dari 
samping.
Pangeran Pemimpin cepat memalingkan kepala 
ke arah datangnya suara. Di tempat duduknya tampak 
Pelajar Agung menggeretakkan geraham penuh keben-
cian. Kedua telapak tangannya mencengkeram lengan 
kursi kuat-kuat. Dari sela-sela telapak tangan Pelajar 
Agung mengepulkan asap tipis. Bilamana telapak tan-
gan itu terangkat, akan terlihat lengan kursi hangus 
terbakar dengan membekaskan lekukan-lekukan jema-
ri tangan.
"Ya! Dialah musuh besarku yang sedang kuca-
ri-cari!" kata Pelajar Agung. Lalu beranjak dari tempat 
duduk.
"Hm...!" Pangeran Pemimpin mengangguk-
anggukkan kepala. "Kau boleh kembali ke tempatmu,

Setan Mayat Merah!" kata Pangeran Pemimpin pada 
Setan Mayat Merah yang masih duduk berlutut. Tokoh 
sesat dari Lembah Duka itu segera kembali ke tempat 
duduknya.
"Sekarang apa yang tengah kau pikirkan, Pela-
jar Agung?" kata Pangeran Pemimpin lagi
"Aku ingin sekali meremukkan batok kepa-
lanya. Namun setelah kupikir-pikir lebih baik ku tang-
guhkan dulu untuk sementara waktu dendam ku pada 
Siluman Ular Putih. Saat ini aku lebih mengutamakan 
perjuangan," kata Prameswara tanpa maksud menjilat.
Pangeran Pemimpin melengak kaget. Bukannya 
kaget mendengar Pelajar Agung tidak menyebut dirinya 
'Ketua', melainkan terkejut melihat ambisi besar dalam 
sepasang mata Pelajar Agung. Namun Pangeran Pe-
mimpin segera tersenyum untuk menutupi rasa kaget-
nya.
"Ya! Kita memang harus mementingkan per-
juangan...," kata Pangeran Pemimpin seraya mengang-
guk-anggukkan kepala. "Di samping itu kita harus te-
rus menghimpun kekuatan sebelum bertindak nanti."
"Jangan khawatir! Aku telah memerintahkan 
beberapa anak buah Partai Kawula Sejati yang berke-
pandaian tinggi untuk membujuk tokoh-tokoh sesat 
dunia persilatan," kata Pelajar Agung menjanjikan.
"Bagus! Aku senang sekali mendengar gaga-
sanmu ini. Kalau boleh tahu siapa saja tokoh-tokoh 
yang akan kita bujuk, Sobatku?"
"Mereka adalah empat tokoh sesat yang men-
guasai empat penjuru mata angin. Algojo Dari Timur, 
Denok Supi, Raja Racun, dan Raja Golok Dari Utara!"
"Hebat! Keempat tokoh yang kau sebutkan ada-
lah tokoh-tokoh sakti yang mempunyai nama besar di 
dunia persilatan. Aku harap mereka sudi membantu 
perjuangan kita."

"Aku berani menjamin mereka akan bersedia 
membantu perjuangan kita. Cuma aku sangsi apakah 
kita mampu mendapatkan dana besar untuk perjuan-
gan ini."
"Hm...! Memang itu yang sedang kupikirkan. 
Sampai saat ini aku belum menemukan jalan keluar. 
Kalau dari hasil rampokan rasanya itu masih jauh dari 
cukup. Apa kau mempunyai pendapat lain, Sobatku?"
"Kita harus mencari harta karun. Konon dalam 
sebuah lukisan yang digambar dengan darah perawan 
terdapat sebuah peta penyimpanan harta karun bekas 
Kerajaan Kahuripan."
"Lukisan Darah!" Terdengar sahutan seseorang.
"Ya! Lukisan Darah," ujar Pelajar Agung seraya 
melemparkan pandangan ke arah datangnya suara.
Di bangku pojok seorang laki-laki bertubuh 
tinggi besar dengan wajah dipenuhi cambang dan ku-
mis lebat tengah menatap Pelajar Agung. Prameswara 
hanya menganggukkan kepala.
"Tapi sayang sampai saat ini aku belum tahu di 
mana Lukisan Darah itu berada...."
"Aku tahu di mana Lukisan Darah itu, Wakil 
Ketua!" Lagi-lagi orang bercambang lebat membuka 
suara. Dialah tokoh sesat yang bergelar Raja Maling.
"Oh, ya? Di mana tersimpannya Lukisan Darah 
itu, Raja Maling?" kata Pelajar Agung penuh minat.
"Di Kadipaten Pleret ini sendiri, Wakil Ketua."
"Dari mana kau mengetahuinya, Raja Maling?" 
Kali ini yang berkata Pangeran Pemimpin. Sebagai 
orang kadipaten sudah tentu ia cukup mengetahui se-
luk beluk kadipaten. Namun sungguh ia tidak me-
nyangka kalau justru di Kadipaten Pleret itulah letak 
Lukisan Darah yang amat keramat itu tersimpan.
"Aku mengetahui ini dari mendiang guruku. 
Dan atas pesan beliau aku harus secepatnya mencuri

lukisan itu untuk mencoba ilmu 'Aji Sirap Sukma'-ku"
"Bagus! Kalau begitu cepat laksanakan pesan 
gurumu sekarang juga. Bawa lukisan itu kemari!" kata 
Pelajar Agung. "Tapi ingat. Kalau kau mencoba berk-
hianat, ke ujung neraka pun aku akan mengejarmu!"
Raja Maling tertawa bergelak. Perutnya yang 
buncit tampak bergoyang-goyang.
"Aku sudah berjanji akan membantu perjuan-
gan kalian. Maka aku pun harus setia!" kata Raja Mal-
ing di antara suara tawanya
"Kalau begitu cepat laksanakan tugasmu, Raja 
Maling!" kata Pelajar Agung lagi.
"Baik! Sekarang juga aku berangkat."
Raja Maling beranjak dari tempat duduknya 
Langkahnya terayun cepat meninggalkan ruang pen-
dopo Partai Kawula Sejati. Gerakan kedua kakinya be-
gitu ringan. Sosok Raja Maling menghilang di balik 
pintu gerbang markas.
Di ruang pendopo markas Partai Kawula Sejati, 
Pangeran Pemimpin membubarkan jalannya rapat. 
Kemudian sambil tersenyum-senyum gembira Pange-
ran Pemimpin menuju ke ruangan sebelah. Digan-
dengnya seorang gadis cantik untuk diajak masuk ke 
kamar.
***
SEPULUH


Di belahan langit sebelah barat awan hitam 
masih dironai cahaya merah tembaga. Padahal mata-
hari sudah rebah dalam pangkuan bumi. Cahaya bu-
lan purnama di ufuk timur pun mulai menerangi jagat 
raya.

Dalam terangnya cahaya bulan yang berpendar 
sesosok tubuh berpakaian hitam dengan wajah tertu-
tup kain berkelebat cepat menuju Kadipaten Pleret. 
Meski sambil menahan luka dalam yang belum sem-
buh, namun gerakan kaki sosok itu masih cukup lin-
cah.
Mendadak sosok berpakaian hitam menghenti-
kan langkahnya. Sepasang mata dari balik kain hitam 
yang menutupi wajah, memperhatikan sesosok bayan-
gan kuning yang tiba-tiba melintas tak jauh dari tem-
patnya.
Sosok hitam itu tak lain prajurit sandi Kadipa-
ten Pleret. Terus diperhatikannya sosok bayangan kun-
ing di hadapannya. Beruntung cahaya sinar rembulan 
sedikit dapat membantu penglihatannya.
Sosok bayangan kuning yang tengah berkelebat 
itu ternyata seorang gadis. berpakaian kuning. Ram-
butnya yang hitam panjang digelung ke atas. Usianya 
sekitar tujuh belas tahun.
"Kanjeng Putri! Benarkah sosok bayangan kun-
ing itu Kanjeng Putri Sekartaji?" gumam laki-laki ber-
pakaian hitam.
Akhirnya sosok bayangan kuning hilang di ba-
lik kegelapan malam.
"Tampaknya sosok bayangan kuning itu me-
mang Kanjeng Putri Sekartaji. Tapi untuk apakah Kan-
jeng Putri sampai keluar dari lingkungan kadipaten?
Pasti ada apa-apa. Kalau tidak, tak mungkin Kanjeng 
Putri yang meski memiliki kepandaian lumayan sampai 
keluar dari kadipaten. Bagaimana ini? Apakah aku ha-
rus terus pulang ke kadipaten atau mengikuti Kanjeng 
Putri?"
Sejenak laki-laki berpakaian serba hitam bim-
bang untuk menentukan pilihan. Kalau menurutkan 
perasaan ingin sekali mengikuti kepergian gadis cantik

itu. Namun kalau mengingat tugasnya selaku prajurit 
kadipaten, tak mungkin ia melalaikan tugas begitu sa-
ja. Apalagi saat ini keamanan Kadipaten Pleret tengah 
terancam. Di saat prajurit sandi itu tengah kebingun-
gan, pendengarannya yang tajam dikagetkan oleh ben-
takan garang seseorang yang kemudian disusul ber-
dentingan suara senjata beradu. Suara itu datang dari 
arah sosok Putri Sekartaji menghilang.
"Kukira aku harus melihat apa yang terjadi di 
sana. Aku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada 
diri Kanjeng Putri Sekartaji!" pikir prajurit Kadipaten 
Pleret mulai menurutkan perasaan hatinya.
Prajurit itu lalu menutulkan kakinya ke tanah. 
Tubuhnya berkelebat cepat ke arah menghilangnya so-
sok bayangan Putri Sekartaji.
* * *
Ternyata dugaan prajurit sandi itu benar. Begi-
tu sosok Putri Sekartaji menghilang di balik kerimbu-
nan hutan, tiba-tiba gadis cantik itu dikejutkan oleh 
bentakan seseorang.
"Berhenti!"
Belum lagi gema suara bentakan itu hilang dari 
balik kegelapan malam, berkelebat dua sosok bayan-
gan menghadang langkah Putri Sekartaji. Mereka dua 
orang laki-laki berwajah kasar. Yang sebelah kanan 
bertubuh tinggi kurus dengan pakaian ringkas warna 
biru. Di kepalanya melingkar ikat kepala biru. Sosok di 
sebelahnya seorang kakek berusia enam puluh tahu-
nan. Tubuhnya yang pendek dibalut pakaian ketat 
warna hitam.
Putri Sekartaji terkejut bukan main melihat ke-
dua laki-laki itu. Ketenangannya merasa terusik, Putri 
Sekartaji langsung membentak penuh kemarahan.

"Bedebah! Mau apa kau menghadang langkah-
ku, Bajing Ireng?!" Rupanya Putri Sekartaji telah men-
genali siapa para penghadangnya.
Kakek berpakaian hitam yang dipanggil Bajing 
Ireng hanya terkekeh senang. Tongkat hitam di tangan 
kanannya diketuk-ketukkan ke tanah. Meski tampak-
nya orang tua sesat dari Gunung Lawu itu hanya biasa 
saja mengetuk-ngetukkan tongkatnya, namun tanah di 
sekitar tempat itu bergetar. Bagian yang terkena ketu-
kan pun berlobang.
"He he he...! Rupanya kita mendapat rezeki be-
sar, Bajing Biru," kata Bajing Ireng pada muridnya. 
Pemuda yang dipanggil Bajing Biru hanya mengang-
guk-anggukkan kepala. Sepasang matanya tak henti-
henti melahap lekuk-lekuk membusung sepasang 
buah dada Putri Sekartaji. Tanpa sadar Bajing Biru 
menelan ludahnya sendiri.
"Ya! Kita memang beruntung, Guru. Tak dis-
angka kita akan bertemu dengan seorang gadis cantik 
di tengah hutan sepi ini. Benar-benar satu keberun-
tungan yang besar. Rasanya aku sudah tak sabar ingin 
menemani tidur gadis cantik di hadapan kita ini"
"Kau yang dipikir hanya masalah begituan saja 
Bajing Biru! Apa matamu buta? Gadis cantik di hada-
pan kita ini seorang putri Adipati Pleret!" hardik Bajing 
Ireng jengkel.
"Wah...! Itu malah lebih menyenangkan, Guru! 
Aku ingin sekali merasakan hangatnya pelukan putri 
Adipati Pleret. Hayo, lekas kita tangkap putri Adipati 
Pleret ini, Guru. Aku sudah tak sabar lagi!" Bajing Biru 
gembira bukan main.
"Tunggu!" Bajing Ireng cepat menyambar lengan 
muridnya yang hendak menyerang Putri Sekartaji
"Kita memang akan menangkap gadis cantik 
ini, Muridku. Tapi bukan untuk kita nikmati. Kita

akan menyerahkannya pada Pangeran Pemimpin seba-
gai tanda persetujuan kita."
"Tapi aku menginginkan gadis itu, Guru!"
"Aku tahu. Tapi apa kau lupa? Bukankah kau 
ingin menjadi seorang pejabat di Kadipaten Pleret?"
"Memang aku ingin sekali menjadi salah seo-
rang petinggi di Kadipaten Pleret. Tapi aku juga men-
ginginkan gadis cantik ini, Guru!" Bajing Biru tetap 
bersikeras dengan keinginannya. 
"Nanti kalau kau sudah menjadi petinggi di Ka-
dipaten Pleret, kau dapat mencari beberapa orang ga-
dis cantik yang tak kalah dengan Putri Adipati Pleret 
ini, Muridku," kata Bajing Ireng berusaha menenang-
kan. Perhatiannya dialihkan pada Putri Sekartaji. "Ga-
dis! Kalau tidak salah bukankah kau Putri Sekartaji 
yang menjadi murid Pendekar Bintang Emas? Ngo-
mong-ngomong, bagaimana kabar gurumu itu?"
Putri Sekartaji geram bukan main. Selama guru 
dan murid itu membicarakan dirinya tadi tak henti-
hentinya ia memperhatikan. Merah telinganya men-
dengar ucapan Bajing Ireng. Maka, Putri Sekartaji pun 
membentak galak.
"Kau tak pantas menyebut-nyebut nama guru-
ku, Bajing Ireng! Malah Guru berpesan kalau aku ber-
temu denganmu, aku disuruh cepat-cepat membu-
nuhmu!"
"He he he...! Galak juga gadis cantik di hadapan 
kita ini, Muridku. Aku senang sekali melihat kegalakan 
gadis ini. Sayang, aku belum mempunyai keinginan 
untuk membuktikan apakah kegalakannya juga mem-
buatnya galak di atas ranjang. Mungkin nanti kalau 
Pangeran Pemimpin sudah bosan baru aku akan diberi 
kesempatan. Yang jelas sekarang aku ingin menang-
kapnya dan menyerahkannya pada Pangeran Pemim-
pin. Menurutlah, Gadis! Kalau kau tak ingin disaki


ti...."
"Bedebah! Tua bangka bermulut kotor! Kau 
akan berkalang tanah terlebih dahulu sebelum berha-
sil menangkapku!" bentak Putri Sekartaji tak dapat lagi 
mengendalikan amarah.
Bajing Ireng terkekeh senang. Sambil mencolek 
lengan muridnya orang tua sesat dari Gunung Lawu 
itu segera berkata, "Hayo, Muridku! Kita tangkap gadis 
cantik ini!"
Habis berkata begitu, Bajing Ireng berkelebat 
cepat menyerang Putri Sekartaji. Tongkat hitam di tan-
gan kanannya digunakan untuk menyerang batok ke-
pala. Tangan kiri yang tersembunyi, di pinggang siap 
melontarkan totokan ke arah iga lawan. Dengan meng-
gunakan jurus itu, Bajing Ireng hendak menangkap 
Putri Sekartaji dalam satu gebrakan.
Melihat gurunya telah bertindak, Bajing Biru 
pun segera meloncat ke depan. Kedua telapak tangan-
nya yang membentuk cengkeraman bergerak cepat 
menyerang dada Putri Sekartaji,
Putri Sekartaji mendengus marah. Gadis cantik 
murid Pendekar Bintang Emas itu bergegas meloloskan 
pedang.
Sret!
Bajing Ireng terkekeh. Tongkat hitam di tangan 
kanannya berkelebat cepat membentuk gulungan hi-
tam yang mengarah batok kepala Putri Sekartaji
Putri Adipati Pleret itu cepat membuang tubuh-
nya ke samping. Bersamaan dengan itu, pedang di 
tangan kanannya berkelebat menyambar tongkat di 
tangan Bajing Ireng.
Trang! Trang!
Bunga api berpijar kala pedang Putri Sekartaji 
tertangkis tongkat hitam Baji Ireng. Tubuh Putri Se-
kartaji bergetar. Telapak tangan kanannya terasa ke


semutan. Agaknya tenaga dalam gadis cantik itu masih 
jauh di bawah tokoh sesat dari Gunung Lawu.
Tentu saja putri Adipati Pleret jadi terkejut. Le-
bih terkejut lagi ketika tiba-tiba dengan kecepatan luar 
biasa, jemari tangan kiri Bajing Ireng telah siap meno-
tok iganya. Sedang saat itu cengkeraman tangan Baj-
ing Biru yang mengarah sepasang buah dadanya ham-
pir menyentuh sasaran.
Putri Sekartaji menggeram marah. Tanpa pikir 
panjang lagi, segera dibuangnya tubuh ke samping. 
Sayang gerakan tubuh Putri Sekartaji kalah cepat den-
gan luncuran jemari tangan Bajing Ireng
Tuk!
Telak sekali iga kiri Putri Sekartaji terkena to-
tokan kakek itu. Seketika tubuhnya kaku tak dapat di-
gerakkan. Dan....
"Laki-laki pengecut! Lepaskan gadis itu!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Disusul 
berkesiurnya angin dingin menyerang Bajing Ireng dan 
Bajing Biru. 
Brakkk!
Pohon di belakang Bajing Ireng dan Bajing Biru 
jatuh berdebam ke tanah begitu terkena pukulan jarak 
jauh. Untung saja tadi Bajing Ireng dan Bajing Biru 
cepat membuang tubuh sambil memeluk tubuh Putri 
Sekartaji.
"Setan alas! Siapa berani main gila dengan Baj-
ing Ireng!"
***
SEBELAS


Bajing Ireng menggeram penuh kemurkaan. 
Sepasang matanya berkilat-kilat seolah ingin menelan

hidup-hidup lelaki berpakaian hitam yang telah tegak 
di hadapannya.
Sosok yang baru datang itu tidak lain prajurit 
sandi Kadipaten Pleret. Karena tak dapat lagi menahan 
perasaan cemasnya ia segera berkelebat menuju tem-
pat menghilangnya Putri Sekartaji. Putri junjungannya 
tersebut ternyata tengah terancam keselamatannya 
oleh Bajing Ireng dan Bajing Biru.
"Lepaskan gadis itu!" bentak prajurit sandi.
"Enak saja kau membacot! Tinggalkan tempat 
ini kalau tidak ingin nyawamu minggat!" sahut Bajing 
Ireng tak kalah garang.
Putri Sekartaji yang tengah tertotok agak sulit 
untuk mengenali siapa laki-laki berpakaian hitam di 
hadapannya. Namun ketika mendengar suara prajurit 
sandi itu, baru Putri Sekartaji teringat sesuatu.
"Kaukah Paman Pringgondani?" kata Putri Se-
kartaji masih ragu.
"Benar, Kanjeng Putri. Aku memang Pringgon-
dani," kata prajurit sandi seraya menganggukkan ke-
pala. "Kenapa Kanjeng Putri sampai tertangkap? Bu-
kankah Kanjeng Putri diminta oleh Kanjeng Adipati 
untuk menggeledah rumah Raden Sembodo yang kini 
bergelar Pangeran Pemimpin?"
"Benar, Paman. Tapi sewaktu aku menggeledah 
rumah Kangmas Sembodo ternyata rumah itu sudah 
kosong. Maka tanpa sepengetahuan Romo aku telah 
menyelidiki ke mana perginya Kangmas Sembodo. Tak 
kusangka sama sekali Kangmas Sembodo bermaksud 
memberontak pada kekuasaan Adipati Pleret, Paman."
"Iya, Kanjeng Putri. Aku pun telah mendapat
bukti kalau Raden Sembodo memang bermaksud 
memberontak pada Adipati Pleret."
Putri Sekartaji dan Pringgondani berbincang-
bincang tanpa menghiraukan Bajing Ireng serta mu

ridnya. Kedua tokoh sesat itu pun hanya diam men-
dengarkan percakapan tersebut.
"Kenapa Paman tidak lekas-lekas melapor pada 
Romo?" kata Putri Sekartaji menyesalkan.
"Aku bermaksud melaporkan hasil penyelidi-
kanku pada Kanjeng Adipati. Tapi aku harus menye-
lamatkan Kanjeng Putri terlebih dahulu."
"Jangan pikirkan aku, Paman! Lekaslah Paman 
melaporkan hasil penyelidikan pada Romo!"
"Tidak, Kanjeng Putri. Bagiku keselamatan 
Kanjeng Putri pun sangat penting. Aku akan mele-
paskan Kanjeng Putri dari cengkeraman manusia-
manusia gila pangkat ini!"
"Lakukanlah kalau kau memang bisa, Prajurit 
Sandi!" bentak Bajing Ireng tiba-tiba.
"Memang itu yang akan kulakukan, Bajing 
Ireng. Sekarang lekas lepaskan gadis itu. Kalau tidak, 
demi Tuhan aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Bajing Ireng tertawa bergelak.
"Kau jagalah baik-baik gadis cantik itu, Murid-
ku! Lihat bagaimana gurumu akan menghajar manusia 
pongah ini!" kata Bajing Ireng pada muridnya.
"Baik, Guru. Aku memang lebih senang meme-
luk gadis cantik ini daripada mengotori tanganku den-
gan tubuh laki-laki itu!" sahut Bajing Ireng senang.
"Keparat! Kalian guru dan murid sama saja. Ka-
lian memang patut mampus di tanganku!" bentak 
Pringgondani penuh kemarahan. 
Pringgondani segera mencabut pedang yang 
tergantung di pinggang. Kemudian, dengan pedang di 
tangan prajurit sandi Kadipaten Pleret itu menyerang 
Bajing Ireng. Tebasan pedangnya hanya tinggal gulun-
gan putih yang terus mendesak pertahanan lawan.
Sayang, yang dihadapi prajurit sandi Kadipaten 
Pleret itu bukanlah tokoh kemarin sore. Bajing Ireng


seorang tokoh sakti yang sudah cukup pengalaman 
malang-melintang di dunia persilatan. Hanya dalam 
beberapa jurus saja Pringgondani dapat mendesak Baj-
ing Ireng. Selebihnya tokoh itu yang ganti mendesak 
Pringgondani dengan hebatnya.
"Hea...! Hea...!"
Bajing Ireng berteriak nyaring sebelum kembali 
menyerang Pringgondani. Sekali kakinya menjejak ke 
tanah tubuh Bajing Ireng telah berkelebat lincah di an-
tara gulungan pedang Pringgondani. Sambil berkelebat 
tongkat hitam di tangan Bajing Ireng menerobos ma-
suk ke dalam pertahanan lawan.
Pringgondani cepat memutar pedangnya sede-
mikian rupa. Tapi gerakan pedangnya kalah cepat 
dengan serangan tongkat di tangan Bajing Ireng.
Buk! Buk! 
Pringgondani memekik kesakitan. Punggungnya 
begitu telak terkena hantaman tongkat di tangan Baj-
ing Ireng. Prajurit sandi itu limbung ke samping lalu 
jatuh berdebam ke tanah. Dan ketika prajurit Kadipa-
ten Pleret itu meloncat bangun, darah segar merembes 
keluar dari balik kain hitam penutup wajahnya. Tam-
paknya Pringgondani menderita luka dalam.
Lelaki itu menggembor penuh kemarahan. Ia 
mulai mengerahkan pukulan mautnya. Kedua telapak 
tangan prajurit sandi itu terlihat berubah jadi hijau 
berkilauan. Kemudian, dengan mendorongkan kedua 
telapak tangannya ke depan dua larik sinar hijau ber-
kilauan melesat cepat melabrak tubuh Bajing Ireng.
Wesss! Wesss!
Hebat bukan main serangan Pringgondani kali 
ini. Bahkan tiupan angin kencang telah menampar-
nampar kulit tubuh Bajing Ireng sebelum dua larik si-
nar hijau berkilauan mengenai sasaran.
Melihat datangnya pukulan maut yang siap melabrak tubuhnya, Bajing Ireng segera menghantamkan 
kedua telapak tangannya ke depan. Seketika serang-
kum angin menggemuruh berkesiur kencang memapa-
ki pukulan Pringgondani.
Anehnya, di saat kedua tenaga dalam mereka 
beradu di udara sedikit pun tidak terdengar bunyi le-
dakan. Hanya tampak wajah Pringgondani bergetar 
hebat. Keringat dingin bercucuran membasahi kening. 
Dan begitu Bajing Ireng mengempos tenaga dalamnya 
lebih kuat, tubuh Pringgondani terpental beberapa 
tombak ke belakang, berputar-putar sebentar lalu ja-
tuh terbanting ke tanah. 
Bajing Ireng terkekeh senang. Dilihatnya Pring-
gondani menggapai-gapaikan tangan kanannya ke 
atas. Sayang, tubuhnya keburu luruh kembali ke ta-
nah dan memuntahkan darah segar.
"Kepandaian baru sebatas dengkul tapi dengan 
beraninya menjual lagak di depan Bajing Ireng. Mam-
puslah kau! Hea...!"
Diiringi bentakan nyaring kedua telapak tangan 
Bajing Ireng kembali melontarkan pukulan mautnya. 
Serangkum angin kencang untuk kesekian kalinya me-
lesat cepat siap melabrak tubuh Pringgondani.
Prajurit sandi itu hanya dapat mengeluh dalam 
hati. Dirasakannya kesiuran angin dari kedua telapak 
tangan Bajing Ireng mulai menyambar-nyambar tubuh. 
Pringgondani membuka matanya lebar-lebar.
Putri Sekartaji terdengar berteriak-teriak histe-
ris. Tiba-tiba, serangkum angin dingin yang entah dari 
mana datangnya memapaki pukulan Bajing Ireng.
Blaaarrr...!!!
Bumi berguncang hebat laksana dilanda gem-
pa. Angin dingin berkesiur kencang memporak-
poradakan semua yang ada di tempat pertarungan.
Tubuh Bajing Ireng terjajar beberapa langkah.

Parasnya tampak pucat pasi. Bajing Ireng menggembor 
penuh kemarahan. Sepasang matanya berkilat-kilat 
menatap sesosok tubuh yang kini telah tegak di hada-
pannya.
* * *
Sosok di hadapan Bajing Ireng itu adalah seo-
rang laki-laki tua berusia lima puluh tahun. Wajahnya 
tirus dengan rambut panjang digelung ke atas. Tubuh 
tinggi kurus itu dibalut jubah besar warna kuning 
dengan rumbai-rumbai dari benang sutera merah. Dia 
adalah seorang tokoh sakti yang sangat ditakuti Bajing 
Ireng.
"Tabib Agung...!" desis Bajing Ireng dengan hati 
kecut.
Sosok yang dipanggil Tabib Agung hanya terse-
nyum arif. Sepasang matanya yang kelabu sebentar-
sebentar memperhatikan Bajing Ireng, Putri Sekartaji, 
dan Pringgondani yang tergeletak tak sadarkan diri.
"Bajing Ireng! Apa yang kau lakukan di sini? 
Kenapa kau belum juga bertobat dan menyesali dosa-
dosamu?" kata Tabib Agung dengan suara yang lembut 
namun terdengar berwibawa.
"Aku tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya 
menginginkan gadis itu," kata Bajing Ireng. Lalu dibe-
rikannya isyarat rahasia pada muridnya untuk me-
ninggalkan tempat itu.
"Dia akan bersekongkol dengan kaum pembe-
rontak, Orang Tua!" lapor Putri Sekartaji.
"Hm...! Tak kusangka kau semakin terperosok 
dalam kubangan, Bajing Ireng. Lekaslah bertobat sebe-
lum terlambat. Kukira itu akan membuat hidupmu 
aman sejahtera."
"Jangan banyak bacot, Tabib Agung! Di sini

bukan tempatnya untuk berkhotbah. Lekaslah kau 
tinggalkan tempat ini. Kalau tidak, jangan harap aku 
akan mengampuni nyawamu!" bentak Bajing Ireng ga-
rang.
"Aku paling benci dengan kekerasan. Tapi kalau 
dipaksa, apa boleh buat?" kata Tabib Agung kalem.
Bajing Ireng menggeram. Kedua pelipisnya ber-
gerak-gerak, pertanda tokoh sesat dari Gunung Lawu 
itu tak dapat lagi mengendalikan amarahnya.
"Bangsat! Jadi kau menginginkan mampus di 
tanganku. Nah, makanlah pukulan 'Prahara Angin To-
pan'-ku. Hea...!"
Tokoh sesat dari Gunung Lawu itu segera me-
lontarkan pukulan 'Prahara Angin Topan' dengan selu-
ruh kekuatan tenaga dalamnya. Serangkum angin 
kencang meluruk dari kedua telapak tangan Bajing 
Ireng.
Tabib Agung hanya menggeleng-gelengkan ke-
pala. Setelah dirasakannya angin kencang mulai me-
nampar-nampar kulit tubuh, baru tokoh sakti dari 
Gunung Perahu itu mendorongkan kedua telapak tan-
gannya ke depan.
Bummm...!!!
Terdengar satu ledakan hebat kala dua tenaga 
dalam beradu di udara. Bumi bergetar. Debu-debu 
membubung tinggi memenuhi tempat pertarungan.
Tabib Agung cepat mengebutkan jubahnya. Se-
rangkum angin kencang dari kebutan jubah mengusir 
pemandangan gelap di hadapannya. Dan Tabib Agung 
menemukan sosok Bajing Ireng serta Bajing Biru yang 
tadi tengah memeluk Putri Sekartaji sudah lenyap dari 
tempat itu. Demikian juga dengan sosok Putri Sekarta-
ji.
"Manusia-manusia licik! Tak kusangka mereka 
akan membawa gadis itu," gumam Tabib Agung kece

wa. Tiba-tiba ia teringat akan prajurit sandi yang ten-
gah tergeletak tak sadarkan diri. Kepalanya berpaling 
menatap tubuh Pringgondani.
"Kukira aku harus menunda maksudku untuk 
mengunjungi sahabatku, Ki Rombeng. Rasanya aku 
tak tega meninggalkan prajurit sandi itu begitu saja."
Sebagai seorang tabib tentu ia tidak menemui 
kesulitan untuk mengobati. Dengan beberapa kali to-
tokan pada jalan darah di tubuh Pringgondani, prajurit 
sandi itu pun membuka kelopak matanya.
"Minumlah obat ini, Sobat. Luka dalammu pasti 
akan cepat sembuh," kata Tabib Agung sebelum Pring-
gondani sempat membuka suara.
"Terima kasih, Orang Tua."
Pringgondani mengulurkan tangannya meneri-
ma obat pemberian Tabib Agung. Tanpa banyak cakap 
ia menelan obat itu. Tak berapa lama Pringgondani 
merasakan hawa dingin menjalari sekujur tubuhnya. 
Hanya dalam waktu sepeminum teh luka dalam praju-
rit sandi itu pulih seperti sediakala.
Sekali lagi Pringgondani menghaturkan terima 
kasih. Tabib Agung hanya mengibaskan tangan ka-
nannya.
"Celaka! Mereka pasti telah membawa pergi 
Kanjeng Putri!" teriak Pringgondani tiba-tiba ketika ia 
tidak melihat Putri Sekartaji berada di tempatnya.
"Kanjeng Putri?! Apa gadis cantik tadi yang kau 
maksud, Sobat?" kata Tabib Agung tak dapat menyem-
bunyikan perasaan terkejutnya.
"Iya. Ke manakah mereka membawanya pergi, 
Orang Tua?" Pringgondani cemas bukan main.
"Sayang sekali aku tidak tahu. Mungkin ke 
tempat persembunyian mereka."
"Ah...! Mereka pasti membawa Kanjeng Putri ke 
markas kaum pemberontak. Aku harus menolongnya.

Maaf, Orang Tua. Terpaksa aku harus meninggalkan-
mu!" kata Pringgondani tak sabar. Lalu cepat ia melon-
cat bangun dan berkelebat meninggalkan tempat itu. 
Kini ia dapat mengerahkan seluruh ilmu meringankan 
tubuhnya. Hingga dalam beberapa kelebatan saja 
bayangan Pringgondani telah menghilang.
"Tampaknya ada sesuatu yang tidak beres di 
sini. Aku harus secepatnya menemui Ki Rombeng," 
gumam Tabib Agung sendirian.
Tabib Agung pun meloncat bangun. Dengan 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, 
sosok Tabib Agung berkelebat pergi. Tinggallah tempat 
itu sunyi sendiri.
***
DUA BELAS


Malam semakin merayap. Cahaya bulan yang 
ditingkahi kerlip berjuta bintang membuat suasana ja-
gat raya terasa terang-benderang.
Dalam terangnya sinar rembulan, sesosok 
bayangan hitam terus berkelebat masuk ke dalam Hu-
tan Gudean. Gerakan kaki sosok bayangan hitam itu 
sangat ringan. Langkahnya terayun dengan cepat. 
Agaknya ia mengerahkan seluruh ilmu peringan tu-
buhnya.
Di saat tengah berkelebat itulah mendadak 
pendengarannya yang tajam mendengar erangan se-
seorang dari arah semak belukar di sampingnya. Seje-
nak sosok bayangan yang tidak lain Pringgondani 
menghentikan langkah. Sepasang matanya bergerak-
gerak mencari arah datangnya suara. Pringgondani la-
lu meloncat ke balik semak belukar di sampingnya. Lelaki itu tertegun sesaat ketika didapatinya sesosok tu-
buh berpakaian hitam-hitam sama persis dengan pa-
kaian yang dikenakannya. Melihat tanda sulaman me-
rah di dada sosok itu, tahulah Pringgondani kalau so-
sok yang tengah terkapar adalah temannya.
"Pemanahan! Apa yang terjadi di sini?" teriak 
Pringgondani kaget bukan main.
Laki-laki berpakaian hitam yang dipanggil Pe-
manahan hanya mengeluh pendek, lalu kepalanya ja-
tuh terkulai ke samping. Pringgondani sangat cemas. 
Buru-buru didekatinya laki-laki itu. Keadaan sesama 
prajurit sandi Kadipaten Pleret itu sangat menge-
naskan. Parasnya pucat pasi. Tubuhnya dipenuhi lo-
bang-lobang kecil sebesar jari dan mengeluarkan da-
rah segar.
"Ah...!" Tanpa sadar Pringgondani memekik. La-
lu dengan gerakannya yang tergopoh-gopoh ditotoknya 
beberapa jalan darah di tubuh Pemanahan.
Agak susah memang. Di samping luka dalam 
Pemanahan teramat parah, Pringgondani pun buta 
masalah pengobatan. Hingga ia perlu waktu lama un-
tuk menyadarkan prajurit sandi itu. Namun setelah 
beberapa kali dilakukan totokan pada jalan darah ak-
hirnya Pemanahan siuman juga.
"Ugh...!" erang laki-laki itu seraya membuka ke-
lopak mata. Dadanya yang terasa nyeri buru-buru di-
dekap dengan tangan kanan.
Pringgondani cepat memangku kepala sahabat-
nya. Karena meski sudah siuman keadaan Pemanahan 
tetap sangat mencemaskan. Napasnya terdengar mem-
buru tak teratur.
"Katakan apa yang terjadi di sini, Pemanahan?" 
kata Pringgondani tak dapat mengendalikan perasaan 
gugupnya.
"Bajingan-bajingan itu. Dia.... Pelajar Agung.

Dialah yang menyerangku...." 
Selesai berkata begitu, kepala Pemanahan oleng 
ke samping dan tidak bergerak-gerak lagi. Perlahan-
lahan sekujur tubuhnya pun mulai membeku.
Pringgondani menggeram marah. Diguncang-
guncangnya tubuh sahabatnya keras-keras. Namun te-
tap saja tubuh kawannya itu kaku tak dapat bergerak 
lagi.
"Bajingan!" geram Pringgondani dengan gigi 
bergemeletukkan. Setelah dapat meredakan guncan-
gan jiwanya, prajurit sandi itu hendak membawa tu-
buh sahabatnya. Tapi telinganya terusik oleh suara 
langkah-langkah halus mendekati tempat itu.
Dengan kemarahan meluap tubuh Pemanahan 
kembali direbahkan ke tanah. Pringgondani mengedar-
kan pandangan matanya ke segenap penjuru. Tata-
pannya tampak begitu beringas. Namun ia tidak me-
nemukan seseorang pun kecuali langkah-langkah ha-
lus di balik semak belukar di depannya.
"Siapa di situ? Keluaaar...!" bentak Pringgonda-
ni.
Tidak ada sahutan. Tanda-tanda adanya sosok 
yang tengah bersembunyi di balik semak pun tidak ter-
lihat.
"Setan alas! Kalau kau tidak menunjukkan ba-
tang hidungmu, jangan salahkan aku kalau terpaksa 
memaksamu keluar!" bentak Pringgondani lagi.
Tetap tidak ada sahutan.
Pringgondani tak dapat lagi mengendalikan 
amarahnya yang membuncah. Kedua telapak tangan-
nya seketika berubah hijau berkilauan. Diiringi teria-
kan nyaring kedua telapak tangan itu didorongkan ke 
depan.
Wesss! Wesss! 
Prasss...!!!

Dua larik sinar hijau berkilauan menghantam 
semak-semak belukar. Kerimbunan semak di depan 
prajurit sandi itu pun hancur berantakan. Sebagian 
lainnya hangus terbakar.
Namun tetap saja tidak ada tanda-tanda orang 
yang bersembunyi di balik semak itu akan keluar. 
Pringgondani kalap bukan main. Kembali kedua tela-
pak tangannya siap melontarkan pukulan. Baru saja ia 
hendak mendorongkan kedua tangannya, terdengar te-
riakan seseorang dari arah belakang.
"Ooooi...! Kenapa kau uring-uringan begini, 
Paman? Ada apa? Apa kau kehilangan sesuatu hingga 
balik kemari? Iya, Paman?"
Sepasang mata mencorong tajam dari balik 
kain hitam Pringgondani berkilat-kilat penuh kemara-
han. Seketika kepalanya dipalingkan ke belakang. Dan 
betapa terkejutnya prajurit sandi Kadipaten Pleret itu. 
Dilihatnya seorang pemuda berambut gondrong den-
gan pakaian rompi dan celana bersisik putih kepera-
kan tengah asyik duduk ongkang-ongkang kaki di atas 
sebatang ranting pohon
"Pemuda sinting itu...!" desis Pringgondani seo-
lah tak mempercayai pandangan matanya. Dan entah 
kenapa begitu melihat kemunculan murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo, mendadak kemarahan Pringgondani 
berganti dengan rasa gembira. Meskipun ia masih he-
ran bagaimana pemuda itu tahu-tahu telah duduk di 
atas ranting. Padahal tadi jelas ia mendengar langkah-
langkah halus itu datang dari arah semak belukar di 
depannya.
"Kenapa kau uring-uringan begini, Paman? Ku-
dengar tadi kau berteriak-teriak mirip orang keseta-
nan. Lalu iseng-iseng aku ingin menggoda. Tapi kau 
malah akan melontarkan pukulan maut. Aku segera 
menyelinap keluar dari semak dan naik ke atas pohon.

Ada apa sih sebenarnya, Paman? Kok kau malah melo-
totiku?" kata pemuda itu seraya tersenyum-senyum.
Pringgondani menghela napas lega.
"Bagaimana aku dapat menjelaskan kalau kau 
masih duduk di atas pohon, Anak Muda?"
"Oh...! Yaya! Aku lupa. Aku akan segera melon-
cat turun. Tapi jagai aku, ya? Nanti aku jatuh tersung-
kur!" kata Soma asal bunyi. Lalu dengan mengguna-
kan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai 
tingkat tinggi, murid Eyang Begawan Kamasetyo itu 
meloncat turun.
Pringgondani mengangguk-anggukkan kepala.
Sedikit pun gerakan kedua kaki murid Eyang 
Begawan Kamasetyo tidak menimbulkan suara. Pa-
dahal telapak kakinya menginjak daun-daun kering di 
depan Pringgondani.
"Nah, sekarang aku sudah turun. Kau bisa mu-
lai bercerita, Paman. Tapi... eh, mayat siapakah ini? 
Kok pakaian yang dikenakannya mirip dengan pa-
kaianmu? Temanmu ya, Paman?" kata Soma ketika 
melihat mayat Pemanahan yang tergeletak di tanah. 
"Iya," sahut Pringgondani singkat. Namun kali 
ini prajurit sandi Kadipaten Pleret itu mulai dapat ter-
senyum. Mungkin karena senang dapat bertemu kem-
bali dengan Soma. Atau merasa geli mendengar kece-
rewetan pemuda itu.
"Kalau begitu cepat ceritakan dong!" kata Soma 
merajuk.
Sejenak Pringgondani menghela napas panjang. 
Sepasang matanya yang tajam memperhatikan pemu-
da tampan di hadapannya.
"Waktuku sangat sempit, Soma," kata Pring-
gondani kemudian. "Saat ini aku benar-benar sedang 
membutuhkan bantuanmu. Tapi aku tak tahu apakah 
aku salah memilihmu atau tidak. Yang jelas persoalan

ini menyangkut keamanan Kadipaten Pleret."
"Katakan saja terus terang, Paman. Kenapa 
berbelit-belit segala?" tukas Soma tak sabar.
"Baik," Pringgondani menghentikan bicaranya 
sebentar. Tampaknya ia tengah mencari kata-kata 
yang tepat untuk mewakili kebingungannya. "Aku 
menginginkan kau dapat menyelamatkan Kanjeng Pu-
tri Sekartaji. Ia dibawa lari oleh Bajing Ireng menuju 
markas Partai Kawula Sejati."
"Baik. Lantas, Paman sendiri mau ke mana?"
"Setelah menguburkan mayat temanku, aku 
akan segera melaporkan semua kejadian ini pada Kan-
jeng Adipati. Untuk itu sekarang aku minta bantuan-
mu, Soma," kata Pringgondani yang sedikit merasa lega 
mendengar kesanggupan murid Eyang Begawan Ka-
masetyo untuk menyelamatkan Putri Sekartaji.
"Oh.... Jadi mayat yang kau ratapi itu mayat 
temanmu? Tapi siapakah yang telah membunuhnya, 
Paman?"
"Pelajar Agung!"
"Pelajar Agung...," gumam Soma. Paras wajah-
nya tiba-tiba menegang. "Lagi-lagi manusia durjana itu 
yang membuat ulah!"
"Kau mengenalnya, Soma?"
"Ia musuh besarku, Paman."
"Hm.... Baiklah. Aku akan pergi melaporkan ke-
jadian ini pada Kanjeng Adipati. Baik-baiklah kau 
menjaga diri, Soma. Semoga kau berhasil menyela-
matkan Kanjeng Putri Sekartaji."
"Aku bukan saja ingin menyelamatkan Kanjeng 
Putri Aku juga ingin membantu prajurit-prajurit kadi-
paten menumpas gerombolan pemberontak itu, Pa-
man!" sahut Soma bersemangat.
"Aku senang sekali mendengar tekadmu. Kura-
sa demikian pula dengan Kanjeng Adipati. Semoga

maksud mulia mu ini diberkahi oleh Yang Maha Kua-
sa."
"Baiklah, Paman. Sekarang juga aku akan me-
nyelamatkan Kanjeng Putri Sekartaji. Selamat tinggal!" 
Soma berpamitan untuk pergi.
Usai berpamitan, Soma menutulkan kakinya 
tanah lalu berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. 
Pringgondani sendiri segera mencari tempat yang di-
anggapnya baik untuk menguburkan mayat temannya. 

                         SELESAI

Segera ikuti kelanjutannya!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:

LUKISAN DARAH

Share:

0 comments:

Posting Komentar