PEDANG KELELAWAR PUTIH
Hak Cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Siluman Ular Putih
Dalam Episode :
Pedang Kelelawar Putih
1
"Kau sekarang paham, siapa dalang dari
semua peristiwa ini, Anak Muda?"
Suara serak namun cukup menggema
meluncur dari seorang laki-laki tua di dalam
sebuah ruangan bawah tanah.
Laksana akar-akar pepohonan yang
mencengkeram ke dalam tanah, rambut laki-
laki tua itu menjuntai dan menancap kokoh
ke dalam tanah. Nyala lampu di atas batu pu-
tih semakin memperjelas kalau lelaki tanpa
anggota tubuh itu ditopang oleh rambut-
rambut kakunya agar bisa berdiri tegak.
Wajah si tua ini penuh kerut merut di
kening. Matanya sayu, pertanda sudah terlalu
banyak mengalami penderitaan batih. Hi-
dungnya mancung. Kumis dan jenggotnya
panjang, tak terawat dan berwarna putih. Pa-
kaian putih-putihnya pun sudah compang-
camping tidak karuan. Memelaskan sekali
keadaannya walau sebenarnya baru berusia
lima puluh lima tahunan, namun karena su-
dah terlalu lama mengalami penderitaan ba-
tin, membuat keadaannya seperti itu.
Kata-kata laki-laki buntung itu dituju-
kan pada seorang pemuda tampan berusia
delapan belas tahun. Rambutnya yang gon
drong dibiarkan tergerai di bahu. Wajahnya
tampan dengan kulit putih bersih. Matanya
agak kebiru-biruan. Pas sekali dengan alis
matanya yang tebal serta hidungnya yang
mancung. Tubuhnya tinggi kekar dibalut
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Dan dari rompinya yang terbuka tanpa
kancing, di dada kanannya tampak sebuah
rajahan bergambar ular putih. Sementara pa-
da bagian belakang rompinya menyembul se-
buah senjata pusaka. Dan pemuda tampan
yang mempunyai ciri-ciri seperti itu tidak lain
dari Soma yang lebih terkenal sebagai Silu-
man Ular Putih.
Memang, saat itu Soma berada di dalam
Sumur Kematian. Pendekar berjuluk Siluman
Ular Putih ini tengah berusaha memecahkan
suatu teka-teki yang terjadi dalam Sumur
Kematian. Sebuah sumur yang tengah dis-
ayembarakan oleh seorang tokoh sesat yang
kini menjadi biang keladi kekisruhan di dunia
persilatan. (Untuk mengetahui awal mula So-
ma berada di Sumur Kematian, baca serial Si-
luman Ular Putih dalam episode: "Sumur Ke-
matian").
"Paham Ki Lowo Kuru. Siapa lagi kalau
bukan Kelelawar Hutan?!" jawab Soma. "Tapi
aku belum mengerti semuanya, mengapa Ke
lelawar Hutan membuat sayembara untuk
menyelidiki Sumur Kematian ini?"
"Seperti yang diceritakan, Kelelawar Hu-
tan menginginkan pasangan Pedang Kelelawar
Putih yang dulu terlempar ke dalam Sumur
Kematian ini. Dan aku memang sudah me-
nemukannya di balik tumpukan mayat yang
berserakan," jelas laki-laki tua yang bernama
Lowo Kuru.
"Jadi, kau sudah menemukan Pedang
Kelelawar Putih yang hilang itu, Ki?"
"Sudah."
"Lantas, mengapa tidak digunakan keti-
ka menghadapi aku tadi?"
"Aku memang tidak pernah mengguna-
kan Pedang Kelelawar Putih, Anak Muda. Ka-
rena sebenarnya, pedang itu memang tidak
cocok kugunakan, maupun murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih lainnya. Hanya mu-
rid-murid perempuan Perguruan Kelelawar
Putih sajalah yang berhak memiliki sepasang
Pedang Kelelawar Putih, sekaligus berhak
mewarisi Kitab Inti Sari Jurus 'Kelelawar Sak-
ti' peninggalan mendiang guru kami, Pende-
kar Lowo Putih."
"Hmm...," gumam Siluman Ular Putih
sambil mengangguk-angguk. Keningnya ber-
kerut-kerut. Ada sesuatu yang masih meng-
ganjal dalam hatinya. "Lantas, mengapa Kele
lawar Hutan sendiri tidak mau masuk ke da-
lam Sumur Kematian? Rasanya aneh? Bu-
kankah ia sendiri mampu mengalahkanmu?
Jadi, apa yang ditakutkan?"
"Selama aku mendekam dalam Sumur
Kematian, sebenarnya sudah dua kali Jaha-
nam Kelelawar Hutan itu menemuiku. Berun-
tung sekali, waktu itu aku dapat memunah-
kan ilmu sihirnya. Sekaligus, membuatnya la-
ri terbirit-birit keluar dari Sumur Kematian.
Dan mungkin karena merasa kapok, Kele-
lawar Hutan mengundang banyak tokoh per-
silatan untuk memaksaku supaya menyerah-
kan Pedang Kelelawar Putih."
"Tunggu, Ki! Bagaimana caranya kau
mengalahkan Kelelawar Hutan? Bukankah
dulu kau dapat dikalahkannya dengan mu-
dah?" ujar Siluman Ular Putih, menukas.
"Sebenarnya yang ku takutkan hanyalah
ilmu sihirnya. Selama aku mendekam dalam
Sumur Kematian, aku terus bertapa sekaligus
meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa
agar dapat menggunakan rambutku sebagai
senjata, setelah Kelelawar Hutan membun-
tungi kedua tangan dan kakiku. Beruntung
sekali, Yang Maha Kuasa sudi mengabulkan
permintaanku. Maka begitu Kelelawar Hutan
dan orang-orang suruhannya masuk ke da-
lam Sumur Kematian, aku sudah tidak punya
pikiran lain, Mereka harus kubunuh. Dan
kau pun hampir jadi sasaranku. Apalagi, ku-
lihat kau pun dapat menggunakan ilmu sihir."
"Ya ya ya...! Sekarang aku mulai paham,
Ki," Soma mengangguk-angguk.
"Berarti, jantung para korban murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih memang
sengaja digunakan untuk tumbal ilmu hitam-
nya...."
"Bisa jadi begitu, Anak Muda. Eh, kau
bilang tadi yang menjadi korban adalah mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih?" tanya
Lowo Kuru dengan kening berkerut dalam.
"Jadi, kau belum tahu kalau murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang men-
jadi korban, Ki?" tukas Soma.
Lowo Kuru menggeleng. Matanya yang
sayu menatap tajam pemuda gondrong di ha-
dapannya. Rahangnya mendadak mengeras.
Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda
orang tua buntung itu sedang menahan gejo-
lak amarah.
"Kau tahu siapa yang telah membantai
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih,
Anak Muda?" tanya Lowo Kuru mulai berubah
nada bicaranya menjadi garang.
"Aku belum tahu pasti, Ki. Tapi menurut
keterangan Aryani, orang yang membunuh
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih
mempunyai kepandaian sangat tinggi. Ia juga
menguasai jurus-jurus sakti 'Cengkeraman
Maut Kelelawar Sakti' dan juga jurus-jurus
'Cakar Maut Kelelawar Hutan?".
"Bedebah! Lagi-lagi manusia jahanam itu
yang membuat ulah!" dengus Lowo Kuru pe-
nuh kemarahan.
"Siapa maksudmu, Ki?"
"Siapa lagi kalau bukan si Jahanam Ke-
lelawar Hutan itu".
Lowo Kuru memandang beringas pada
Soma. Matanya memerah penuh api dendam.
Lalu kepalanya mendongak memandangi
dinding-dinding Sumur Kematian. Kedua ba-
hunya tampak bergetar. Napasnya turun
naik.
"Anak Muda! Terus terang aku sangat
khawatir dengan keselamatan istriku. Dan
mungkin juga dengan anaknya yang dikan-
dung dulu. Oh...! Sungguh aku tak dapat
membayangkan, bagaimana penderitaan batin
istri dan anakku. Apa kau pernah bertemu is-
triku, Anak Muda?" keluh Lowo Kuru dengan
suara bergetar. Bahunya terguncang-guncang
keras. Kini kepalanya tidak lagi mendongak
seperti tadi, melainkan menunduk dalam-
dalam.
"Mungkin aku pernah melihatnya sekilas
saja, Ki. Tapi yang jelas, aku cukup mengenal
Aryani yang mengaku sebagai anak kandung
Kelelawar Hutan, Orang Tua."
"Oh...," desah Lowo Kuru menyedihkan.
"Mungkinkah gadis yang kau katakan itu
anak kandungnya.
Kelelawar Hutan dengan Surtini, istriku?
Atau, jangan jangan Aryani yang kau katakan
justru anak kandungku sendiri?"
"Bisa jadi Aryani itu anak kandungmu
sendiri, Ki. Sebab menurut keterangannya
Aryani sudah beberapa kali akan dibunuh
oleh Kelelawar Hutan. Jadi, bisa jadi Aryani
anak kandungmu sendiri. Kalau tidak, mana
mungkin ada ayah yang tega akan membu-
nuh anak kandungnya?"
"Kau benar, Anak Muda! Gadis yang kau
maksudkan pasti anakku!" tandas orang tua
buntung itu dengan mata berbinar. "Kalau
kau cukup mengenalnya, tolonglah kau ajak
gadis itu kemari! Aku ingin sekali melihatnya.
Kau mau menolongku, Anak Muda?"
"J angan khawatir, Ki! Aku pasti akan
membantumu. Sekarang kau tenangkan ha-
timu dulu! Aku akan keluar sebentar. Dan
yang jelas, aku pasti akan mengajak putri
kandungmu kemari."
Siluman Ular Putih cepat meloncat ban-
gun. Pandangan matanya sejenak menyapu
ke seputar ruangan dalam lorong bawah ta-
nah.
"Oh ya, Ki. Kalau boleh tahu, apakah ju-
rus-jurus silat yang tertulis di dinding-dinding
ini yang tadi kau pergunakan untuk mela-
wanku?" tanya Soma sebelum melangkah ke-
luar.
"Benar, Anak Muda. Itulah jurus-jurus
sakti 'Sumur Kematian' ciptaanku."
"Jurus-jurus yang hebat, Ki. Hampir saja
aku tidak sanggup menghadapinya."
"Sudahlah jangan banyak omong! Buk-
tinya saja, aku tidak sanggup meremukkan
batok kepalamu seperti orang-orang yang ma-
suk ke dalam Sumur Kematian ini. Sekarang
cepat panggilkan putri ku kemari, syukur ka-
lau kau bisa mengajak istriku sekalian."
"Kau sudah mulai berani memerintahku,
Ki? Aneh! Padahal, kita baru saja saling ken-
al," seloroh Soma seraya menutulkan kaki
kanannya ke tanah. Dan seketika tubuhnya
berkelebat cepat menuju ke dasar Sumur Ke-
matian.
Lowo Kuru mendelik gusar. Namun be-
lum sempat memaki, bayangan pemuda be-
rambut. gondrong yang berjuluk Siluman Ular
Putih itu telah lenyap dari pandangan.
Lowo Kuru sempat melongokkan kepa-
lanya ke dasar Sumur Kematian. Di sana, ti
dak ada siapa-siapa kecuali mayat-mayat dan
tulang-tulang yang berserakan, menebarkan
bau anyir menusuk hidung. Lantas matanya
pejamkan rapat-rapat. Dalam beberapa saat
kemudian, dia sudah tenggelam dalam sema-
dinya.
* * *
2
Sejak ditinggal pergi anak dan istrinya,
Kelelawar Hutan makin keranjingan mempela-
jari kitab peninggalan gurunya, yang direbut
dari kakak seperguruannya delapan belas ta-
hun lalu. Berhari-hari, ia terus membolak-
balik kitab dengan perasaan tegang. Kalau-
pun keluar dari rumah batunya hanya seper-
lunya saja.
Namun sampai sejauh ini, Kelelawar Hu-
tan tetap saja menjalani kesulitan untuk
mempelajari isi kitab. Gambar-gambar dalam
kitab bukannya berisi gerakan-gerakan orang
bersilat, melainkan beberapa buah gambar
gerakan kelelawar. Itu saja acak-acakkan dan
tidak jelas. Tapi, laki-laki yang kini memimpin
Perguruan Kelelawar Putih itu terus memak-
sakan diri sambil memperhatikan gambar,
tangan dan kakinya mengikuti petunjuk da-
lam gambar kitab itu. Namun sebentar-
sebentar gerakan gerakannya harus dihenti-
kan, karena selanjutnya seperti tak tahu apa
yang harus dilakukan.
Kelelawar Hutan menggeram penuh ke-
marahan. Wajahnya menegang. Matanya yang
beringas terus memperhatikan gambar-
gambar dalam kitab dengan perasaan gemas.
Selang beberapa saat kemudian....
Brakk!
Laki-laki ini mendadak menggebrakkan
kedua tangannya kemeja. Seketika itu juga
meja batu dalam rumah batu itu hancur be-
rantakan.
Tangan kanan Kelelawar Hutan gemeta-
ran saking penasarannya. Segera dimasuk-
kannya kitab kuning peninggalan gurunya ke
dalam pakaian hitam-hitamnya. Dan dengan
mata beringas, tubuhnya berkelebat keluar
dari rumah batunya.
Hanya beberapa kali hentakan kaki,
sampailah Ketua Perguruan Kelelawar Putih
itu di Sumur Kematian yang memang tak be-
gitu jauh. Dan baru saja Kelelawar Hutan be-
rada di atasnya, mendadak terdengar alunan
suling yang sangat lembut menyayat hati dari
dalam lubang Sumur Kematian.
"He he he...!"
Kelelawar Hutan tertawa dingin. Dipan-
danginya lubang Sumur Kematian.
"Kakang Lowo Kuru! Kau telah meniup
seruling hitammu lebih dari delapan belas ta-
hun. Bukannya masa yang pendek kau bera-
da di dalam sumur ini. Tapi, mengapa tidak
mau menyerah, Kakang?"
Kelelawar Hutan tampak puas sekali me-
lihat penderitaan Lowo Kuru yang ternyata
kakak seperguruannya. Sementara itu alunan
seruling dari dalam lubang Sumur Kematian
telah berubah. Dari lembut menyayat hati
menjadi tiupan angin kencang menerjang lan-
git tinggi.
Di angkasa raya, sang bulan juga telah
ditelan oleh tebalnya awan hitam yang bera-
rak-arak. Dan diiringi pekikan seruling yang
melengking tinggi, serangkum angin puyuh
menderu-deru dari dalam Sumur Kematian
terus menerabas keluar, sebagai tanda kalau
Lowo Kuru sedang marah besar.
"Kakang! Sudah sejak dulu kukatakan,
jangan mempelajari hal-hal yang tak berguna,
kalau akhirnya pun kau harus mengakui ke-
pandaianku. Bahkan istrimu si Bidadari Baju
Putih pun tidak dapat kau jaga, hingga akhir-
nya jatuh ke tanganku. Sekarang, lekaslah
serahkan Pedang Kelelawar Putih mumpung
anak dan istrimu masih selamat di tangan
ku," ujar Kelelawar Hutan sengaja berdusta.
Padahal, Aryani dan Bidadari Putih telah lama
meninggalkannya.
"Manusia Pengecut! Siapa peduli omon-
gan mu! Ayo! Kalau kau memang laki-laki se-
jati, lekaslah turun! Kita bertarung sampai
ada yang mampus!”
Terdengar satu bentakan nyaring penuh
tenaga dalam dari dalam Sumur Kematian.
Suaranya menggema, merambat dan terus
menerabas keluar dari lubang sumur.
Kelelawar Hutan menggeram penuh ke-
marahan. Berkali-kali ia mondar-mandir di
pinggir sumur. Kemudian kepalanya dilon-
gokkan ke bawah.
"Siapa sudi menuruti keinginan orang
putus asa? Kalau kau ingin mampus, mam-
puslah sendiri di bawah sana! Tapi, kau ha-
rus menyerahkan Pedang Kelelawar Putih itu
padaku!" kata Kelelawar Hutan, jerih juga
mendengar tantangan Lowo Kuru.
"Ha ha ha...! Bilang saja kau tidak bera-
ni!" Kelelawar Hutan menggereng. Kedua peli-
pisnya bergerak-gerak. Gigi-gigi gerahamnya
bergemeletukan, menahan amarah menggele-
gak. Namun laki-laki licik itu tidak mau me-
nurutkan hawa amarahnya.
"Aku tahu, kali ini kau bisa bicara pon-
gah seperti ini. Tapi, tunggu sebentar, Ka
kang! Kau tentu akan menyesal dengan kata-
katamu!"
"Hidupku sudah hancur. Buat apa me-
nyesali?" teriak Lowo Kuru nyaring, namun
suaranya kali ini sedikit melemah. Mungkin
terpengaruh juga dengan ancaman Kelelawar
Hutan.
Kelelawar Hutan tidak lagi meladeni
omongan-nya. Hanya matanya saja yang ber-
kilat-kilat, memperhatikan lubang Sumur
Kematian. Kemudian dengan perasaan panas,
segera ditinggalkan tempat ini.
Begitu kaki kanannya menutul ke tanah,
bayangan tinggi besar Kelelawar Hutan pun
tahu-tahu telah berkelebat cepat keluar dari
Pekarangan Terlarang. Gerakan kedua ka-
kinya cepat sekali laksana terbang, pertanda
ilmu meringankan tubuhnya telah sangat
tinggi
Sebentar saja Kelelawar Hutan telah
sampai di padepokannya. Beberapa orang
murid asuhannya berlari-lari menyambut ke-
datangannya, ia langsung duduk berlutut
mengitari.
"Semuanya berkumpul di ruang utama!"
perintah Kelelawar Hutan galak.
"Baik, Guru!" sahut murid-murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih serempak
Dan sehabis berkata begitu, murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih segera me-
nuju ruang utama. Dengan langkah angkuh-
nya Kelelawar Hutan mengikuti dari belakang.
Tepat ketika murid-murid Perguruan Kelela-
war Putih sudah duduk bersila di ruang uta-
ma, Kelelawar Hutan masuk.
"Selamat memasuki ruang utama.
Guru!" sambut para murid.
Kelelawar Hutan mengangguk-angguk
angkuh. Langkahnya tegap kala. Mendekati
tempat duduknya. Sejenak pandangannya
menyapu ke seputar ruangan. Seluruh murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih diam mem-
bisu dengan kepala menunduk dalam-dalam.
Kelelawar Hutan menghenyakkan pan-
tatnya kasar di kursi kebesarannya.
"Kalian semua murid-murid Perguruan
Kelelawar Putih, kuperintahkan untuk me-
nangkap hidup-hidup Bidadari Kecil dan Bi-
dadari Putih! Siapa saja yang dapat menang-
kap mereka hidup-hidup, cepat beri tahu aku
di rumah batu, Kalian paham?!" ujar Kelela-
war Hutan, dengan pandangannya menebar
ke sekeliling.
"Paham, Guru!" sahut murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih serempak.
"Tapi... tapi, bagaimana kalau mereka
melawan, Guru?" tanya salah seorang murid
yang mengenakan pita warna kuning berani.
"Kau lancang sekali, Panuluh! Kapan
kau kusuruh bertanya, he?.!" hardik Kelela-
war Hutan garang.
"Ma... maaf, Guru! Aku tidak sabar," ja-
wab murid yang dipanggil Panuluh itu geme-
tar. Wajahnya seketika pucat pasi.
"Baik. Kali ini kau ku maafkan, Panuluh.
Tapi tidak untuk yang kedua kalinya," kata
Kelelawar Hutan angkuh. Sejenak pandangan
matanya kembali menyapu paras murid-
muridnya. Tak ada satu pun yang berani
membuka suara. Semuanya diam dengan pe-
rasaan tegang.
Kelelawar Hutan angguk-anggukkan ke-
palanya.
"Baik. Kalau mereka melawan, bunuh!
Paham?! Aku perintahkan kalian semua un-
tuk membunuh mereka!"
Semua murid Perguruan Kelelawar Hu-
tan terkesiap. Sejenak mereka mendongak,
memandang Kelelawar Hutan, kemudian bu-
ru-buru diam membisu seperti semula. Dalam
hati, mereka tidak henti-hentinya menduga-
duga apa kesalahan Bidadari Kecil dan Bida-
dari Putih sehingga harus dibunuh. Namun..
keheranan mereka hanya dapat disimpan da-
lam hati.
Sekarang, lekas kalian semua enyah dari
hadapanku! Dan jangan lupa lakukan semua
perintahku!" tegas Kelelawar Hutan garang.
* * *
3
Kaki langit sebelah timur terusap sinar
matahari yang berwarna merah jingga. Ayam
jantan liar sejak tadi mengumandangkan ko-
koknya yang gagah, menyapa pagi. Gumpalan
awan putih laksana kapas berserakan di ca-
krawala. Sementara, tiupan angin lembut te-
rasa. semakin menambah indahnya suasana.
Di sebuah hutan bambu yang tak jauh
dari Lembah Kruisan, berkelebat sesosok
bayangan putih-putih melalui jalan setapak di
pinggiran hutan. Gerakannya cepat sekali
laksana terbang, pertanda ilmu meringankan
tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Sosok itu adalah seorang wanita cantik
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Ram-
butnya panjang sebahu, dengan ikat kepala
warna putih. Wajahnya berbentuk lonjong
dengan sepasang mata lebar dan alis tebal.
Hidungnya mancung. Pas sekali dengan ben-
tuk bibirnya yang tipis. Sedang tubuhnya
yang langsing dibalut pakaian warna putih-
putih. Siapa lagi sosok itu kalau bukan Surti-
ni atau yang lebih terkenal sebagai Bidadari
Putih. Wanita ini telah pergi meninggalkan
markas Perguruan Kelelawar Putih karena in-
gin mencari obat pemunah racun yang ham-
pir delapan belas tahun mengeram dalam tu-
buhnya.
Tanpa mengenal lelah, Bidadari Putih te-
rus berlari kencang menuju puncak Gunung
Perahu, tempat petapaan Tabib Agung. Na-
mun ketika wanita itu sampai di persimpan-
gan jalan di luar hutan bambu, mendadak....
"Berhenti!"
Terdengar bentakan keras menggelegar
yang membuat Bidadari Putih kontan berhen-
ti. Dan belum hilang gaung bentakan itu, ta-
hu-tahu di hadapan Bidadari Putih telah ber-
diri seorang wanita cantik berpakaian kuning
keemasan. Usianya kira-kira sama dengan-
nya, Rambutnya panjang digelung ke atas.
Wajahnya yang putih kepucatan berbentuk
bulat telur. Sepasang matanya lebar, alis ma-
tanya tebal. Bulu-bulu matanya lentik, hi-
dungnya pun mancung. Dan tokoh wanita ini
pun sudah cukup banyak malang melintang
di dunia persilatan. Gelarnya cukup menye-
ramkan, Setan Cantik!
Melihat siapa yang menghadang, gera-
kan Bidadari Putih langsung berkerut. Pe-
rempuan yang menghadangnya tidak lain dari
orang yang menyebabkan suaminya merana
dalam Sumur Kematian. Karena. dia adalah
salah seorang tokoh sesat yang turut mem-
bantu Kelelawar Hutan mengeroyok Lowo Ku-
ru, hingga akhirnya dicemplungkan ke dalam
Sumur Kematian dalam keadaan sangat men-
genaskan.
"Bedebah! Rupanya kau, Setan Cantik!
Kebetulan sekali kau mengirim nyawa bu-
sukmu kemari," desis Bidadari Putih, penuh
kemarahan.
"Hm...! Rupanya kau pun masih galak
juga seperti dulu, Bidadari Putih. Baik. Akan
kulihat, sampai di mana kegalakan mu ini!"
ejek Setan Cantik sinis.
"Keparat! Dosamu sudah bertumpuk,
Setan Cantik! Kau tidak layak lagi berkeliaran
di muka bumi ini!" hardik Bidadari Putih ga-
rang.
Kedua tangan Bidadari Putih yang sudah
membentuk cengkeraman cepat bergerak me-
nyerang. Tidak tanggung-tanggung, langsung
dikeluarkannya jurus sakti 'Cengkeraman
Maut Kelelawar Sakti' yang merupakan salah
satu jurus andalan Perguruan Kelelawar Pu-
tih. Sebelum serangan Bidadari Putih itu sen-
diri mengenai sasaran, terlebih dahulu berke-
siur angin dingin mengarah ke beberapa jalan
darah Setan Cantik.
"Hup..,!"
Setan Cantik cepat melempar tubuhnya
ke belakang. Dan sambil berloncatan, tan-
gannya mengibas cepat.
Set! Set!
Seketika, beberapa sinar keemasan me-
luncur ke arah tubuh Bidadari Putih. Begitu
dahsyat, dan nampak berkeredepan memba-
wa maut.
Namun Bidadari Putih tidak gentar di-
buatnya. Melihat Sinar-sinar keemasan yang
berupa puluhan jarum-jarum emas itu, baju
putihnya cepat dikebutkan secara memutar.
"Hih...!"
Dan begitu jarum-jarum emas rontok ke
tanah, Bidadari Putih cepat meloncat tinggi ke
udara. Begitu meluruk tangan kanannya
membentuk cengkeraman ke arah ubun-ubun
kepala Setan Cantik. Sedang tangan kirinya
siap mencengkeram pula dada perempuan
itu.
Hebat bukan main serangan-serangan
Bidadari Putih ini. Apalagi tenaga dalamnya
dikerahkan sepenuhnya.
Setan Cantik tidak berani memandang
remeh. Cepat tubuhnya digulingkan ke samp-
ing. Dan lagi-lagi, sambil berguling-gulingan
seperti itu, kembali tangannya mengibas. Ma-
ka, kembali jarum-jarum emas berkeredepan
meluncur deras.
Wess! Wesss!
Di udara Bidadari Putih mengebutkan
baju putihnya sekali, membuat jarum-jarum
emas kembali rontok Dan begitu kedua ka-
kinya memapak ke tanah, tubuhnya kembali
melompat tinggi ke udara. Gerakannya cepat
sekali, laksana seekor kelelawar yang sedang
mengejar mangsa dengan kedua tangan men-
garah ubun-ubun kepala Setan Cantik.
Setan Cantik yang baru saja melompat
bangun, merasa tidak ada pilihan lagi. Kalau
ingin selamat serangan-serangan Bidadari Pu-
tih harus ditangkisnya. Apalagi, saat itu kea-
daannya kurang begitu menguntungkan.
Plak! Plak!
Terdengar benturan dua telapak tangan
di udara, yang disusulnya dengan bergetarnya
dua sosok tubuh. Namun keseimbangan Bi-
dadari Putih sedikit lebih menguntungkan.
Sedangkan Setan Cantik tampak sempat ter-
huyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang.
Tentu saja Bidadari Putih tidak menyia-
nyiakan kesempatan saat melihat tubuh Se-
tan Cantik terhuyung-huyung. Maka tenaga
dalamnya cepat dikerahkan saat mengirim se-
rangan berikutnya, Namun....
"Hoeekkhh.”
Mendadak saja begitu mengerahkan te-
naga dalamnya, Bidadari Putih memuntahkan
darah segar berwarna merah kehitaman den-
gan wajah pucat pasi. Kedua tangannya me-
megangi dada yang terasa sesak. Bibirnya
bergetar-getar dan mulut meringis menahan
nyeri di dada.
Di tempatnya, Setan Cantik yang semula
ciut nyalinya melihat gebrakan Bidadari Putih
jadi tersenyum senang.
"Ha..! Rupanya racun kelelawar putih
masih mengeram dalam tubuhmu, Bidadari
Putih. Sekarang jangan harap bisa jual lagak
di depanku, he?!" ejek Setan Cantik dingin.
Bidadari Putih hanya bisa menggerutkan
gerahamnya. Memang racun kelelawar putih
akibat pukulan 'Tangan Hitam Kelelawar Hu-
tan' delapan belas tahun lalu masih menge-
ram dalam tubuhnya. Dan sekarang, karena
terlalu banyak mengeluarkan tenaga dalam,
membuat racun yang mengeram dalam tu-
buhnya semakin bekerja hebat.
"Hoeekh...!"
Bidadari Putih kembali memuntahkan
darah segar berwarna merah kehitaman. Wa-
jahnya kian pucat pasi. Bibirnya bergetar-
getar menahan nyeri di dada.
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan pemba-
lasanku, Bidadari Putih! Agar kau tidak seng-
sara dengan racun dalam tubuhmu, aku ingin
membantumu menemui Malaikat Kematian di
dasar neraka. Sekarang terimalah kematian-
mu, Bidadari Putih!" desis Setan Cantik sinis.
Wajah Setan Cantik yang cantik menda-
dak berubah menjadi bengis. Matanya berki-
lat-kilat, menyembunyikan kekejaman luar
biasa. Dan sehabis berkata begitu, tubuhnya
meluruk ke arah Bidadari Putih dengan ju-
rus-jurus andalan dari Istana Ular Emas yang
diiringi jarum-jarum emas berkeredepan.
Bed! Bed!
Set! Set!
"Utss...!"
Bidadari Putih kewalahan bukan main
saat menghindar dengan melompat ke sana
kemari. Bahkan berapa kali dia harus ber-
jumpalitan. Perlahan namun pasti, kini Bida-
dari Putih mulai terdesak hebat. Jangankan
untuk membalas serangan. Untuk meng-
hindar saja harus mengerahkan segenap ke-
mampuannya.
Sedang Setan Cantik malah semakin ga-
nas mengurung pertahanan Bidadari Putih.
Jarum-jarum emasnya yang berkeredepan
benar-benar membuat Bidadari Putih kewala-
han. Dalam beberapa jurus lagi, Bidadari Pu-
tih tentu akan sulit menghindar dari tangan
maut Setan Cantik.
Plak! Plak!
Dua buah tamparan mendarat telak di
wajah, membuat Bidadari Putih terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Se-
dang kedua pipinya yang terkena tamparan
tadi terasa nyeri bukan main.
Setan Cantik tersenyum senang. Pada
saat tubuh Bidadari Putih terhuyung-huyung
cepat dilontarkannya tendangan maut ke pe-
rut.
Bukkk!
"Aaakhh...!"
Bidadari Putih memekik tertahan. Seke-
tika itu juga tubuhnya mencelat beberapa
tombak ke belakang, langsung membentur
batang pohon di belakangnya. Perutnya yang
terkena terasa mau jebol dan nyeri bukan
main. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya ber-
getar-getar hebat. Dan dari sudut-sudut bi-
birnya nampak menggulir darah merah, per-
tanda tengah menderita luka dalam yang cu-
kup parah.
Melihat musuhnya terkapar tak berdaya,
Setan Cantik makin beringas. Kedua tangan-
nya yang berwarna kuning keemasan hingga
sampai ke siku, siap melontarkan pukulan
maut 'Ular Emas' ke arah tubuh Bidadari Pu-
tih.
Wesss!.
Wuuttt...!
Satu tombak lagi pukulan itu mengenai
sasaran, mendadak berkelebat sesosok
bayangan putih-putih menyambar tubuh Bi-
dadari Putih.
Blarm..!
Pukulan sakti 'Ular Emas' milik Setan
Cantik terus menerabas ke belakang, lang-
sung menghantam batang pohon di belakang-
nya hingga langsung hangus terbakar. Bebe-
rapa saat kemudian terdengar derak pohon
yang jatuh melintang di tengah jalan.
"Keparat! Siapa yang berani main-main
dengan Setan Cantik!" hardik Setan Cantik
penuh kemarahan. Matanya yang tajam terus
memperhatikan sosok berpakaian putih-putih
yang menolong Bidadari Putih. Dan kini sosok
itu telah melangkah ke arah tiga sosok lain
yang juga telah berada di tempat ini.
* * *
4
Setan Cantik kini terkepung oleh empat
orang gagah berpakaian putih-putih yang ra-
ta-rata berusia empat puluhan. Di kepala me-
reka melingkar ikat kepala berwarna putih.
"Kakang Sindu! Sebaiknya Kakang urus
saja Bibi Bidadari Putih! Biar kami bertiga
yang mencincang wanita sundal ini!" kata sa-
lah satu dari empat laki-laki berpakaian pu-
tih-putih pada temannya yang masih memon-
dong tubuh Bidadari Putih.
"Baiklah, Naroko. Harap kalian hati-hati
dengan jarum-jarum emasnya!" sahut laki-
laki bernama Sindu yang memondong Bidada-
ri Putih. Kemudian dengan sekali mengempos
tubuhnya, dia berkelebat membawa Bidadari
Putih.
"Hm...! Murid-murid utama Lowo Kuru!
Apa kalian belum kapok kugebuk delapan be-
las tahun lalu, he?! Menyesal sekali aku dulu
membiarkan pergi. Tapi, jangan harap kali ini
aku melepaskan nyawa busuk kalian!"
Sehabis berkata begitu, Setan Cantik se-
gera meloloskan pedang tipisnya yang ber-
warna kuning keemasan di pinggang. Gagang
pedang berbentuk kepala ular emas. Begitu
pedang terangkat, bias-bias sinar keemasan
memendar akibat jilatan sinar matahari.
Seperti yang dikatakan Setan Cantik,
keempat orang berpakaian putih-putih itu
memang murid utama Lowo Kuru. Delapan
belas tahun yang lalu ketika terjadi pertem-
puran hebat antara Lowo Kuru dengan Kele-
lawar Hutan yang dibantu oleh beberapa
orang tokoh sesat dunia persilatan, mereka
pun turut membantu sang guru. Cuma
sayangnya, mereka yang dibantu beberapa
murid lainnya belum sanggup menghadapi ja-
rum-jarum beracun milik Setan Cantik dan
Cantrik Tudung Pandan. Akibatnya ketika
Lowo Kuru dan Bidadari Putih roboh di tan-
gan Kelelawar Hutan, keempatnya dapat diro-
bohkan pula.
Namun pada saat tubuh keempat orang
murid utama Lowo Kuru itu hendak di buang
ke dalam Sumur Kematian oleh beberapa
orang adik seperguruan yang secara terpaksa
menjadi anak buah Kelelawar Hutan, Sindu
tersadar dari pingsannya. Dan karena terdo-
rong rasa iba tanpa sepengetahuan Kelelawar
Hutan, Sindu diperbolehkan memeriksa keti-
ga orang temannya. Tidak disangka sama se-
kali, ketiga temannya ternyata masih hidup,
walau keadaannya sangat mengenaskan!
Sindu lantas meminta kepada adik-adik
seperguruannya untuk membawa pergi ketiga
temannya. Sekali lagi karena terdorong rasa
iba, Sindu akhirnya diperbolehkan. Dan me-
nyadari akan kehebatan pukulan 'Tangan Hi-
tam' ketiga orang temannya dibawa ke Gu-
nung Perahu tempat tinggal Tabib Agung.
Setelah dapat disembuhkan Tabib
Agung, Sindu dan ketiga orang murid utama
Lowo Kuru tidak langsung turun gunung. Se-
lama berpuluh-puluh tahun, mereka mem-
perdalam ilmu silat, hingga dapat menguasai
jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kele-
lawar Sakti' dan 'Cakar Maut Kelelawar Hu-
tan'. Baru kemudian, mereka turun gunung.
Kebetulan sekali, di tengah perjalanan mereka
bertemu Bidadari Putih yang tengah terdesak
menghadapi Setan Cantik.
Kini menghadapi salah seorang yang du-
lu turut mengeroyok guru mereka, tiga dari
empat murid utama Lowo Kuru pun tak dapat
lagi menahan amarahnya lagi. Apalagi ketika
melihat bibi gurunya, Bidadari Putih pun
hampir celaka di tangan Setan Cantik. Maka
tanpa banyak membuang-buang waktu lagi,
ketiga orang itu pun segera melolos pedang
dari balik pinggang masing-masing.
Sret! Sret! Sret!
"Demi Tuhan kami akan membalaskan
sakit hati guru dan bibi guru kami, Setan
Cantik! Untuk itu, lekaslah serahkan nyawa
busukmu untuk menebus dosa-dosamu yang
sudah bertumpuk!" dengus laki-laki yang
bernama Naroko penuh kemarahan sambil
mengisyaratkan kepada kedua orang kawan-
nya untuk bersiap-siap.
"Majulah! Kalau kalian ingin mencari
mati di tempat ini, Tikus-tikus busuk!" tan-
tang Setan Cantik pongah.
"Jahanam! Terimalah kematianmu hari
ini, Setan Cantik!"
Naroko tak dapat lagi mengendalikan
amarahnya, tanpa banyak cakap lagi kakinya
menjejak tanah. Dan tahu-tahu, tubuh tinggi
kekarnya telah melesat. Pedang di tangan ka-
nannya bergetaran, mengancam ubun-ubun
kepala Setan Cantik. Sedang tangan kirinya
telah membentuk cengkeraman, siap men-
cengkeram ulu hati.
Melihat Naroko telah mendahului me-
nyerang, kedua orang murid utama Lowo Ku-
ru itu pun segera membantu. Gerakan-
gerakan mereka cepat sekali dengan bacokan-
bacokan pedang yang mengurung pertahanan
Setan Cantik.
Setan Cantik tersenyum dingin. Pedang
Ular Emasnya digerakkan sedemikian rupa,
menangkis serangan-serangan ketiga murid
utama Lowo Kuru.
Trang! Trang!
Terdengar suara berdentang disertai pi-
jaran bunga api ketika pedang di tangan Se-
tan Cantik berbenturan saat menangkis se-
rangan, Kontan tangan wanita ini terasa ke-
semutan. Sungguh tidak disangka kalau keti-
ga orang murid utama Lowo Kuru ini telah
mengalami kemajuan pesat. Maka tanpa be-
rani memandang ringan lagi, cepat dikelua-
rkannya jurus-jurus dari Istana Ular Emas.
Pedang di tangan kanannya mendadak berge-
rak menusuk ulu hati Naroko.
Wuttt!
Naroko berkelit ke samping. Namun
sungguh tidak disangka kalau gerakan pe-
dang di tangan Setan Cantik mendadak me-
nyerong ke samping, lantas bergerak ke leher.
Naroko makin mengkelap, karena di
samping harus menghadapi bacokan pedang,
ia pun juga harus siap pula menghadapi pu-
kulan sakti 'Ular Emas'.
"Hyaaattt...!"
Akhirnya dengan nekat Naroko memutar
pedangnya menangkis serangan bacokan pe-
dang Setan Cantik. Sedang tangan kirinya
yang berwarna putih menyilaukan mata siap
menangkis pukulan 'Ular Emas'.
Trang!
Bunga api berpijar disertai suara ber-
dentang keras, kala pedang di tangan kanan
Naroko berkelebat menangkis bacokan pe-
dang Setan Cantik. Akibatnya, tangan laki-
laki bergetar hebat. Sedang pada saat itu dari
telapak tangan kiri lawan cepat menerjang.
Namun pada saat yang paling genting
bagi keselamatan Naroko, dua larik sinar pu-
tih menyilaukan mata melabrak ke arah Se-
tan Cantik
Wesss! Wesss!
Setan Cantik terpaksa menarik seran-
gannya. Tubuhnya cepat melompat ke bela-
kang beberapa tombak Namun begitu menje-
jak tanah, ia segera menerjang ke arah kedua
orang murid utama Lowo Kuru yang tadi
menghalang-halangi niatnya.
Naroko yang baru saja diselamatkan ke-
dua orang kawannya segera datang memban-
tu. Sehingga dalam waktu sebentar saja,
kembali Setan Cantik dibuat sibuk mengha-
dapi serangan-serangan ketiga murid Lowo
Kuru. Beberapa kali pedangnya berusaha di-
putar untuk menekan ketiga lawannya. Na-
mun tetap saja ia terdesak. Padahal Setan
Cantik telah mengeluarkan jurus-jurus
mautnya.
* * *
Sementara tak jauh dari pertarungan,
Sindu, baru saja berhasil menyadarkan Bida-
dari Putih dari pingsannya. Meski telah luka
dalam wanita itu dapat berkurang, namun te-
tap saja wajahnya masih nampak kepucatan.
Kening Sindu berkerut dalam. Ia tidak
mengerti, mengapa wajah bibi gurunya masih
nampak kepucatan. Di samping itu juga dira-
sakannya hawa dingin mengaliri jalan darah
Bidadari Putih. Bisa ditebak kalau dalam tu-
buh bibi gurunya terkandung satu hawa ra-
cun yang keji sekali.
"Nampaknya Bibi Guru terkena pukulan
yang mengandung hawa racun jahat. Tapi...,
tapi menurut pandanganku bukan Racun
Ular Emas yang mengeram dalam tubuh Bibi.
Lantas, siapa yang telah mencelakakan Bibi
Guru hingga seperti ini, Bibi?" tanya Sindu
tak mengerti.
"Aku, memang terkena racun, Sindu.
Seperti pendapatmu, aku memang tidak ter-
kena Racun Ular Emas. Melainkan, terkena
racun keji milik Kelelawar Hutan. Entah, ra-
cun apa itu. Yang jelas racun ini sudah men-
geram dalam tubuhku selama delapan belas
tahun," jelas Bidadari Putih seraya menggigit
bibir bawahnya. menahan nyeri dalam dada.
"Ah...! Tak kusangka Paman Kelelawar
Hutan demikian keji menyiksa Bibi seperti ini.
Lantas, bagaimana aku harus membantu Bibi
mengeluarkan racun yang mengeram dalam
tubuhmu?" keluh Sindu sedih.
"Sudahlah! Jangan kau terlalu mence-
maskan ku! Sebaiknya, cepat bantu kawan-
kawanmu menghadapi Setan Cantik!" ujar Bi-
dadari Putih seraya mengibaskan tangan ka-
nannya.
Sindu sebenarnya ingin membantah
omongan bibi gurunya. Namun ketika melihat
Bidadari Putih mulai pejamkan mata, niatnya
diurungkan. Rasanya tak tega mengganggu
bibi gurunya yang sedang bersemadi untuk
memulihkan tenaga dalam. Maka ketika meli-
hat ketiga adik seperguruannya terus meng-
gempur Setan Cantik, tanpa banyak pikir
panjang lagi pedangnya segera diloloskan.
Dan seketika tubuhnya berkelebat membantu
serangan.
Setan Cantik yang sudah kewalahan,
makin repot saja begitu Sindu itu membantu
mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan
saja entah sudah berapa kali Setan Cantik
terpaksa harus berjumpalitan di udara. Ja-
rum-jarum emasnya seolah-olah tidak ber-
manfaat menghadapi serangan keempat orang
murid utama Lowo Kuru. Malah entah sudah
berapa kali pula tubuhnya hampir saja terke-
na sambaran pedang di tangan para penge-
royoknya.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan membelah angkasa, Se-
tan Cantik mengibaskan tangannya. Seketika
jarum-jarum beracunnya meluncur ke arah
empat orang pengeroyoknya. Bersamaan den-
gan itu tangan kirinya yang sudah berwarna
kuning keemasan sampai ke pangkal lengan
menghentak ke arah Sindu melontarkan pu-
kulan 'Racun Ular Emas'.
Wesss! Weesss!
Keempat orang murid utama Lowo Kuru
cepat memutar pedangnya demikian rupa,
menangkis rontok jarum-jarum emas yang
berkeredepan. Sementara Sindu yang baru
saja memutar pedangnya, segera menghen-
takkan tangannya melepas pukulan 'Kepakan
Kelelawar Sakti' untuk memapak sinar kuning
dari pukulan 'Racun Ular Emas'.
Blarrr...!
Tubuh Sindu sempat terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Sedang Setan
Cantik sendiri pun sempat bergetar hebat.
Kemudian sebelum sempat ketiga orang mu-
rid Lowo Kuru menyusul serangan berikut-
nya, wanita itu cepat. mengempos tubuhnya.
Langsung berkelebat meninggalkan keempat
orang pengeroyoknya.
Naroko yang merasa paling gemas den-
gan sepak terjang Setan Cantik cepat berkele-
bat menyusul. Namun baru beberapa tom-
bak....
"Naroko! Biarkan wanita sundal itu me-
larikan diri! Kita sebagai ksatria tak pantas
mengejar musuh yang melarikan diri!" cegah
Sindu.
Naroko menghentikan larinya. Laki-laki
itu berbalik seraya menatap heran pada Sin-
du.
"Tapi, wanita sundal itulah yang telah
mencelakakan guru kita, dan bibi guru kita,
Kakang," kata Naroko kecewa.
"Yayaya.,.! Aku tahu. Tapi lebih baik kita
menolong bibi guru!"
"Baiklah kalau begitu. Tapi lain kali, aku
berjanji tidak akan melepaskan wanita sundal
itu! Belum puas rasanya kalau aku belum
membalaskan sakit hati Guru," geram Naroko
penuh kemarahan.
"Hm...! Lain kali aku juga akan membuat
perhitungan dengan tokoh sesat itu. Seka-
rang, sebaiknya cepat kita menolong bibi
guru," ujar Sindu lagi.
Di tempatnya, Bidadari Putih masih
tenggelam dengan semadinya. Wajahnya yang
cantik nampak makin kepucatan. Melihat hal
ini, Sindu merasa gelisah sekali. Kemudian
dia buru-buru berlutut di samping wanita
cantik itu. Dan seperti ada kata sepakat, keti-
ga orang adik seperguruannya pun ikut pula
duduk berlutut, menunggu Bidadari Putih se-
lesai dengan semadinya.
Beberapa saat kemudian, Bidadari Putih
pun kembali membuka kelopak matanya per-
lahan-lahan. Namun, wajahnya tetap pucat
pasi. Bibirnya bergetar-getar, pertanda racun
yang mengeram dalam tubuhnya tengah be-
kerja hebat.
"Bibi Guru! Kau kenapa?" tanya Sindu
tak sabar.
"Racun itu kembali bekerja menggerogoti
tubuhku...," desah Bidadari Putih seraya
menggigit bibirnya menahan nyeri di ulu hati.
"Lantas, apa yang harus kami perbuat
untuk menolong Bibi Guru mengeluarkan ra-
cun itu?" tanya Sindu putus asa.
Bidadari Putih menggeleng-geleng. Ia
sendiri pun sepertinya sudah mulai putus asa
dengan racun yang mengeram dalam tubuh-
nya.
"Aku tidak tahu pasti, Sindu. Aku hanya
ingin menemui Tabib Agung. Barang kali saja
tokoh sakti dari Gunung Perahu itu mau
mengeluarkan racun yang hampir delapan be
las tahun mengeram dalam tubuhku. Sebab
untuk mengambil Daun Lontar Merah di da-
sar Sumur Kematian, rasanya tidak mungkin.
Aku tidak tega melihat keadaan suamiku. Di
samping itu, aku pun tidak tahu jebakan apa
yang ada di Sumur Kematian."
"Ya ya ya.... Aku dapat memahami pera-
saanmu, Bibi," sahut Sindu. Tapi kupikir, ti-
dak ada pilihan lain. Kita harus secepatnya
mengambil Daun Lontar Merah itu. Kalau Bibi
ragu-ragu, biar kami berempat yang men-
gambilnya.
* * *
5
"He he he...! Rupanya kau penurut juga,
Aryani! Ayo, lekas bangun! Masa' anak pera-
wan bangun sesiang ini?!" tegur pemuda ber-
pakaian rompi dan celana bersisik warna pu-
tih keperakan yang tidak lain Soma alias Si-
luman Ular Putih dengan senyum menggoda.
Suaranya pun terdengar bergetar-getar aneh
mempengaruhi jalan pikiran Aryani.
Ajaib sekali! Aryani yang tertidur pulas
mendadak tersentak bangun. Matanya meme-
rah. Wajahnya kuyu. Namun anehnya, sepa
sang matanya yang memerah mendelik gusar.
Mulutnya bersungut-sungut pertanda sedang
jengkel.
"Tidak ada angin tidak ada hujan, men-
gapa kau bersungut-sungut seperti ini?"
tanya si pemuda kalem.
"Manusia kampret! Rupanya kau ber-
main-main dengan ilmu sihiran lagi! Kau mau
mempermainkan aku ya?!" hardik Aryani pe-
nuh kemarahan.
"Siapa? Siapa yang mau mempermain-
kan mu? Tadi malam kulihat kau mengantuk,
lalu tertidur. Apa aku salah kalau meninggal-
kanmu sebentar? Jangan menuduhku semba-
rangan begitu, dong!" tukas Soma memungki-
ri perbuatannya semalam.
Aryani bangkit. Matanya mendelik gusar.
"Apa kau bilang?! Kau pikir aku tidak
tahu apa yang kau perbuat semalam sebelum
meninggalkan ku, he?!" hardik Aryani lagi.
Soma yang dibentak seperti itu hanya
tersenyum. Malah matanya mengerjap-
ngerjap nakal.
"Sudahlah, jangan marah-marah seperti
ini! Aku takut nanti kau malah bisa cepat tua.
Ayo, sekarang lekas ikut aku! Ada seseorang
ingin bertemu denganmu," ajak Soma kalem.
"Enak saja kau main perintah. Pikir mu,
kau ini siapa, he?!" sungut Aryani jengkel.
Tangan kanannya tahu-tahu telah menyodok
keras perut Soma. Pada bagian pusar.
Dukkk!
Soma meringis. Bukannya sakit karena
sodokan Aryani, melainkan bagian pusarnya
itu merupakan bagian yang sangat peka dari
ilmu pamungkasnya. Ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih'! Maka seketika itu, Soma pun mu-
lai merasakan sesuatu yang berputar-putar
aneh pada perutnya. Dan benar saja. Belum
sempat hawa panas yang berpusar-pusar da-
lam perutnya dikendalikan, mendadak saja
sekujur tubuhnya mulai dipenuhi uap putih
tipis. Sehingga, akhirnya bayangan tubuhnya
tidak kelihatan sama sekali.
"Hah?"
Aryani terbelalak heran. Dan ketika asap
putih tipis yang menyelimuti sekujur tubuh
Soma sirna tertiup angin, seketika itu juga...
"Gggeerrr...!"
Aryani kaget bukan alang kepalang
mendengar suara gerengan yang keras luar
biasa. Wajahnya pucat pasi. Matanya kini ter-
belalak ngeri. Di hadapannya saat itu terlihat
seekor ular putih sebesar pohon kelapa den-
gan taring-taring mencuat berkilauan, sebesar
tanduk kerbau liar. Matanya pun berwarna
merah saga!
"Sil... Siluman Ular Putih...!" desis Arya-
ni dengan suara bergetar.
Siluman Ular Putih sebesar pohon kela-
pa menggeliat-geliat membuat debu-debu be-
terbangan terkena kibasan-kibasan ekornya.
Sebentar kemudian, sekujur tubuh ular rak-
sasa itu kembali diselimuti uap putih tipis,
hingga bayangan besar memanjangnya tidak
kelihatan sama sekali.
Wesss...!
Dan saat asap putih tipis itu sirna ter-
tiup angin, maka tampak seorang pemuda be-
rambut gondrong dengan pakaian rompi dan
celana bersisik warna putih keperakan. Soma!
"Kau... kaukah Sil..., Siluman Ular Putih
itu, Soma?" tanya Aryani masih dengan mata
terbelalak.
Soma tidak menjawab. Hanya dipandan-
ginya gadis itu dengan senyum terkembang di
bibir sembari garuk-garuk kepala.
"Ah...! Tak kusangka kau Pendekar Si-
luman Ular Putih yang sedang diperbincang-
kan orang banyak itu," desah Aryani lagi.
Namun kali ini gadis itu mulai sedikit dapat
menenangkan hatinya.
Soma masih tersenyum-senyum nakal.
Dalam hatinya sendiri pun juga merasa heran
dengan kejadian barusan. Ia belum begitu ta-
hu, mengapa ketika gadis itu menyodok pu
sarnya, mendadak saja jadi berubah menjadi
Siluman Ular Putih.
"Mungkinkah bagian pusar ku merupa-
kan salah satu kelemahan atau pantangan-
ku?" gumam Soma dalam hati. Sebab eyang-
nya di Gunung Bucu belum menjelaskan hal
itu.
"Kau ini bagaimana, sih? Mengapa kau
menatap ku seperti itu? Ayo, lekas ikut aku!
Ada seseorang yang ingin sekali bertemu den-
ganmu," tukas Soma.
"Tapi... tapi, kau kan yang bergelar Si-
luman Ular Putih itu?"
"Ya, ampun! Kenapa kau jadi nyinyir se-
perti ini, Aryani?! Apa kau tidak ingin berte-
mu seseorang yang sangat merindukan mu?"
tegur Soma.
"Ya ya ya...! Tapi, siapa?"
"Ayahmu! Ayah kandungmu yang sebe-
narnya. Lowo Kuru."
"Maksudmu, orang tua buntung yang
berada di dalam Sumur Kematian?" tanya
Aryani, dengan kening berkerut heran.
"Apakah..., apakah orang tua buntung
yang berada di dalam Sumur Kematian itu
ayah kandungku? Bukankah ayah kandung-
ku Kelelawar Hutan?"
"Nanti bisa kau tanyakan padanya. Se-
karang, ayo lekas ikut aku!"
"Ya ya ya...! Tapi, aku harus mandi du-
lu."
"Ya, ampun! Dalam keadaan seperti ini
kau pun masih sempat berpikir untuk man-
di?!" tegur Soma, lalu berkelebat cepat me-
ninggalkan Aryani.
"Baiklah!" kata Aryani akhirnya.
Walau merasa agak jengkel, toh Aryani
mau juga diajak menemui orang tua kan-
dungnya dalam Sumur Kematian. Dengan se-
kali menutulkan kakinya gadis itu pun telah
berkelebat di samping Soma.
* * *
Baru saja Soma dan Aryani hendak
membelokkan langkahnya menuju ke Peka-
rangan Terlarang, mendadak...
"Berhenti!"
Bersamaan dengan bentakan itu, men-
dadak pula dari balik semak-semak belukar
telah berloncatan puluhan murid Perguruan
Kelelawar Putih dengan pedang di tangan.
Mereka langsung membuat lingkaran, mengu-
rung kedua anak muda itu.
Kening Aryani berkerut dalam. Satu per-
satu dipandanginya murid Perguruan Kelela-
war Putih yang masih terhitung adik sepergu-
ruannya dengan alis berkerut.
"Ada apa ini? Mengapa kalian berani ku-
rang ajar menyuruh kami berhenti, heh?!"
bentak Aryani galak.
"Maaf, Nona Bidadari Kecil! Terus terang,
kami, mendapat perintah Guru untuk me-
nangkapmu serta Bidadari Putih hidup-
hidup," jelas murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih yang tadi membentak.
"Kurang ajar!" desis Aryani penuh kema-
rahan.
"Sekali lagi maafkan kelancangan kami,
Nona Bidadari Putih. Terpaksa kami harus
menangkapmu," kata murid Perguruan Kele-
lawar Putih itu lagi seraya mengisyaratkan
teman-temannya untuk menangkap Aryani
dan Soma.
"Minggirlah kalian semua! Kami tidak
ada urusan dengan kalian!" ujar Soma, te-
nang.
"Maaf! Kami benar-benar tidak berdaya,"
ucap murid itu lagi.
"Keparat! Lekaslah kalau kalian ingin
menangkapku! Mengapa hanya berkoar-koar
saja?!" teriak Aryani yang berjuluk Bidadari
Kecil garang. Tangan kanannya cepat meraih
pedang di pinggang.
Sret!
"Majulah, kalau kalian ingin mencari
mampus!" tantang Aryani sengit.
"Kuharap kau jangan terlalu kasar pada
mereka, Aryani! Mereka terpaksa menjalan-
kan perintah," bisik Soma lirih.
Aryani mengangguk-angguk. Meski ha-
tinya panas dengan kekurang ajaran adik-
adik seperguruannya, namun masih dapat
mengendalikan perasaannya. Dan ketika mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih itu mu-
lai menyerang, Aryani dan Soma pun segera
menghadapi
"Heasa...!"
Maka dalam waktu sebentar saja, di luar
markas sebelah timur Perguruan Kelelawar
Putih telah terjadi pertempuran seru. Murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang men-
dapat tugas untuk menangkap hidup-hidup
Aryani dengan gigih berusaha menjalankan
tugas. Padahal, sebenarnya dalam hati mere-
ka tidak menyetujui keputusan gurunya. Na-
mun berhubung takut hukuman yang akan
dijatuhkan Kelelawar Hutan, maka tak heran
kalau akhirnya mereka menyerang Aryani dan
Soma dengan sungguh-sungguh.
"Keparat! Apa kalian benar-benar ingin
mencari mampus, he?!" bentak Aryani penuh
kemarahan.
Sementara itu dari balik tembok markas
Perguruan Kelelawar Putih telah berdatangan
puluhan murid perguruan itu. Bahkan mere
ka langsung menyerang. Hal ini tentu saja
sangat merepotkan kedua anak muda itu. Di
samping enggan menurunkan tangan kasar,
Aryani dan Soma pun tidak ingin membuang-
buang waktu.
"Bagaimana ini, Aryani? Apa tidak se-
baiknya kita tinggalkan saja tempat ini?"
tanya Soma di antara gerakan-gerakan tangan
dan kakinya yang berkelebat cepat mengha-
lang para pengeroyok
Dess!
Plak!
Beberapa orang murid Perguruan Kele-
lawar Putih langsung roboh begitu terkena
tendangan dan tamparan Siluman Ular Putih.
Untung saja Soma tidak mengerahkan tenaga
dalamnya, karena hanya ingin membuat jera
para pengeroyoknya saja.
Namun rupanya para pengeroyok bu-
kannya menjadi jera, malah semakin bertam-
bah kalap dalam menyerang. Tentu saja hal
ini membuat gemas Aryani dan Soma. Bagai-
manapun juga lama kelamaan mereka bisa
tertangkap juga kalau hanya sekadar mena-
han gempuran murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih.
"Aryani! Kita tidak mungkin terus-
terusan begini. Ayo, lekas tinggalkan tempat
ini!" teriak Soma di antara tebasan-tebasan
pedang murid-murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih.
Aryani yang merasa jengkel, tak dapat
lagi membantah omongan Soma. Kemudian
ketika melihat pemuda itu mengamuk hebat
di bagian utara untuk membuka jalan, ia pun
segera melakukan hal sama. Dengan meng-
gunakan jurus-jurus 'Cengkeraman Maut Ke-
lelawar Sakti' akhirnya gadis itu dapat mengi-
kuti jejak Soma keluar dari kepungan.
Namun begitu Aryani dan Soma dapat
keluar dari kepungan, mendadak sepuluh
orang murid Perguruan Kelelawar Putih yang
baru saja keluar dari markas telah kembali
mengepung.
Mau tidak mau, Aryani dan Soma harus
menghadapi para pengeroyoknya yang baru
datang. Hal ini tentu saja digunakan para
pengeroyoknya yang sebelumnya untuk sege-
ra mengepung kembali.
"Setan Alas! Rupanya kalian benar-benar
ingin mencari mampus, he?!" bentak Aryani
jengkel, melihat tidak kurang dari empat pu-
luh orang murid Perguruan Kelelawar Putih
telah mengepung dengan senjata di tangan.
Soma yang melihat kenekatan para pen-
geroyoknya tak urung juga jadi jengkel di-
buatnya. Maka diam-diam kekuatan batinnya
mulai dikerahkan untuk melumpuhkan para
pengeroyoknya. Setelah memusatkan pikiran-
nya sebentar, bibirnya berkemik-kemik. La-
lu....
"Murid-murid tak tahu diri! Apa mata
kalian buta, he?! Berani benar kalian menge-
royok guru kalian? Lihat baik-baik! Buka ma-
ta lebar-lebar! Aku ini Kelelawar Hutan, guru
kalian!" bentak Soma dengan suara bergetar-
getar aneh, menyerang jalan pikiran murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih.
Seketika itu juga, hampir empat puluh
murid Perguruan Kelelawar Putih terbelalak
lebar-lebar. Apa yang terlihat di hadapan me-
reka bukan lagi sosok pemuda berpakaian
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan, melainkan sosok Kelelawar Hutan!
Saat itu juga para pengeroyok Aryani
dan Soma langsung berlutut.
"Guru! Maafkan kelancangan kami!"
ucap murid yang pertama membentak tadi se-
raya menyembah-nyembah diikuti murid-
murid lainnya.
Aryani yang melihat perubahan sikap
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih sem-
pat juga heran dibuatnya. Dan ketika pan-
dangan matanya dialihkan ke samping, kon-
tan matanya terbelalak liar. Apa yang dilihat
di sampingnya bukan lagi sosok pemuda gon-
drong yang diam-diam mulai mengusik ha
tinya, melainkan sosok ayah kandungnya, Ke-
lelawar Hutan!
"Keparat! Ternyata kau..., kau orang
yang mengaku sebagai ayah kandungku, Ke-
lelawar Hutan! Sekarang, aku akan mengadu
nyawa denganmu!" bentak gadis berpakaian
putih-putih itu kalap.
"Aryani! Aku bukan Kelelawar Hutan!
Aku Soma. Sahabat barumu!" cegah sosok
yang menyerupai Kelelawar Hutan itu kaget
melihat perubahan sikap Aryani.
Mata Aryani makin terbelalak lebar. Ia
memang cukup mengenal suara itu. Suara
seorang pemuda tampan yang sering menggo-
da hatinya. Siapa lagi kalau bukan Soma yang
pandai ilmu sihir?
Berpikir demikian, gadis ini jadi sedikit
lega. Meskipun, ia belum sepenuhnya mem-
percayai kalau sosok di hadapannya adalah
Soma.
"Be..., benarkah kau Soma...?" tanya
Aryani masih ragu-ragu.
"Ya, ampun! Kenapa kau jadi linglung
seperti ini? Ayo, lekas tinggalkan tempat ini
mumpung murid-murid blo'on itu masih ber-
lutut!" ujar Soma, setengah menghardik
Sembari berkata demikian, Soma cepat
meraih lengan Aryani. Tubuhnya langsung
berkelebat meninggalkan tempat itu, bersama
Aryani.
Beberapa orang murid Perguruan Kele-
lawar Putih yang mulai tersadar dari penga-
ruh sihir Perguruan Kelelawar Putih kontan
terperangah.
"Teman-teman! Ia bukan guru kita, tapi
pemuda yang tadi bersama Nona Bidadari Ke-
cil!" teriak salah seorang.
"Iya, benar! Lekas tangkap mereka! Kita
cincang mereka!" timpal yang lain, menyadar-
kan teman-temannya.
"Iya! Tangkap mereka! Kita cincang me-
reka!"
"Tangkap mereka!"
Saat itu juga, murid-murid Perguruan
Kelelawar Putih segera berkelebat mengejar.
Aryani dan Soma yang melihat para pen-
geroyok mulai melakukan pengejaran, tanpa
membuang-buang waktu lagi makin memper-
cepat lari menuju ke Pekarangan Terlarang.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh yang sudah mencapai tingkat tinggi, se-
bentar kemudian kedua anak muda itu pun
sampai di bibir lubang Sumur Kematian.
Namun ketika mereka hendak masuk ke
dalam Sumur Kematian, tiba-tiba Aryani me-
lihat satu sosok hitam-hitam berkelebat dari
rumah batu, tak jauh dari Sumur Kematian.
"Manusia Jahanam! Aku ingin mengadu
nyawa denganmu!" teriak Aryani penuh kema-
rahan begitu melihat laki-laki berpakaian hi-
tam-hitam dan berikat kepala yang juga hitam
yang tidak lain Kelelawar Hutan.
"Sudahlah! Buat apa membuang-buang
waktu percuma?! Tak ada gunanya kita mela-
deni tikus hitam itu. Ayo, lekas kita menemui
ayahmu!" ujar Soma seraya menarik lengan
Aryani.
Agaknya, pemuda itu belum mengenali
laki-laki berpakaian serba hitam yang sedang
menuju ke Sumur Kematian ini. Segera di-
ajaknya gadis itu meloncat ke dalam lubang
Sumur Kematian.
Aryani memberontak dari genggaman
tangan Soma. Namun berhubung saat itu tu-
buhnya mulai melayang-layang dalam Sumur
Kematian, terpaksa diturutinya kemauan So-
ma.
Sebenarnya tidak mudah mengajak
Aryani masuk ke dalam Sumur Kematian da-
lam keadaan seperti itu. Di samping memang
dalam, gerakan-gerakan tangan si gadis pun
dapat membuat keseimbangan tubuh mereka
hilang. Untung saja sebelum keluar dari da-
lam Sumur Kematian tadi, Soma sempat me-
nancapkan berpuluh-puluh tulang ke dind-
ing-dinding sumur. Sehingga dengan bantuan
tulang-tulang yang menancap di dinding-
dinding Sumur Kematian, mereka akhirnya
sampai ke dasar.
Sementara itu Kelelawar Hutan yang ba-
ru sampai di Sumur Kematian hanya mengge-
ram penuh kemarahan. Wajahnya yang ga-
rang menegang dengan rahang bertonjolan.
Untuk beberapa saat, Kelelawar Hutan
hanya dapat memandangi lubang Sumur Ke-
matian. Bibirnya berkemik-kemik siap melon-
tarkan makian. Namun belum sempat mem-
buat suara, mendadak terdengar suara gaduh
dari belakang.
Laki-laki tinggi besar ini segera mema-
lingkan kepala ke belakang. Tampak beberapa
orang muridnya tengah berloncatan ke atas
tembok Pekarangan Terlarang yang kemudian
disusul yang lain. Dengan menahan amarah
menggelegak, Kelelawar Hutan menunggu
murid-muridnya mendekat.
"Guru! Maafkan kami! Kami belum ber-
hasil menangkap Nona Bidadari Kecil," ucap
salah seorang murid Kelelawar Hutan, lang-
sung berlutut di hadapan laki-laki tinggi be-
sar itu.
Kelelawar Hutan mengangguk-angguk
garang. Wajahnya menegang. Sedang ma-
tanya yang memerah memperhatikan murid
muridnya yang sudah berlutut di hadapan-
nya.
"Kenapa sampai gagal, he?!" bentak Kele-
lawar Hutan garang.
"Non... Nona Bidadari Kecil tidak datang
sendirian. Melainkan, dengan seorang pemu-
da sakti yang dapat menjelma menyerupai
Guru. Terus terang, kami belum tahu menga-
pa pemuda itu dapat merubah wujud menjadi
sosok yang mirip Guru," jelas murid yang ber-
lutut paling depan, melaporkan.
"Hm...! Kau bilang pemuda itu dapat
menjelma menjadi aku, Sungkono?" gumam
Kelelawar Hutan menggiriskan seraya menge-
lus-elus jenggot panjangnya.
"Benar, Guru," jawab murid yang di-
panggil Sungkono, sedikit agak lega melihat
perubahan sikap Kelelawar Hutan.
"Tapi, bukan berarti kalian harus gagal
dengan tugas kalian, mengerti?!" bentak Kele-
lawar Hutan tiba-tiba.
Sungkono dan beberapa orang murid
Perguruan Kelelawar Putih yang berlutut di
hadapan Kelelawar Hutan kontan pucat pasi.
Tubuh mereka gemetaran saking takutnya
menghadapi hukuman yang akan dijatuhkan
Kelelawar Hutan.
"Ma..., maafkan kami, Guru! Kami...,
kami sedang melakukan pengejaran. Tadi
kami lihat Nona Bidadari Kecil dan pemuda
itu berlari menuju Pekarangan Terlarang,"
ucap Sungkono gemetaran.
"Mereka masuk ke dalam Sumur Kema-
tian!" bentak Kelelawar Hutan seperti tidak
tahu apa yang harus diucapkan.
"Masuk ke dalam Sumur Kematian...?!"
ulang beberapa orang murid-murid Perguruan
Kelelawar Hutan dengan paras makin pias.
Kelelawar Hutan jengkel sekali melihat
perubahan sikap murid-muridnya. Namun ke-
tika hendak menjelaskan, laki-laki tinggi be-
sar itu buru-buru mengurungkannya. Dengan
wajah beringas ia mondar-mandir di bibir
Sumur Kematian. Sesekali pula kepalanya
melongok ke dalam Sumur Kematian.
"Ham...! Kalau begini terus caranya, tak
mungkin aku bisa mendapatkan pasangan
Pedang Kelelawar Putih. Rasanya, aku harus
menemui beberapa orang sahabat lamaku un-
tuk meminta bantuannya. Hm...! Tunggulah
pembalasanku, Lowo Kuru!" gumam Ke-
lelawar Hutan dalam hati.
* * *
6
Bau anyir darah, tumpukan tulang-
belulang dan mayat-mayat berserakan me-
warnai suasana dalam Sumur Kematian. Be-
gitu Soma dan Aryani menjejakkan kaki di
dasarnya, langsung disambut bau yang me-
mualkan perut. Untung saja, Soma yang sebe-
lumnya sudah merasakan bau seperti itu te-
lah mengatur jalan pernapasannya. Sementa-
ra Aryani agaknya belum terbiasa dengan
keadaan gelap dalam dasar Sumur Kematian.
Sehingga ia harus menyesuaikan diri seben-
tar, baru kemudian dapat melihat jelas.
Dan gadis itu jadi terpekik ngeri, melihat
dasar sumur yang dipenuhi tumpukan tu-
lang-belulang manusia dan mayat-mayat bu-
suk berserakan. Aryani juga tidak menyangka
kalau dasar Sumur Kematian ini demikian
luasnya dengan beberapa lorong yang me-
manjang.
Sejenak Aryani mengedarkan pandangan
keseputar ruangan, dan tiba-tiba berhenti pa-
da sebuah kerlip nyala lampu berpijar di sa-
lah sebuah lorong.
"Di... di sanakah A... Ayah berada, So-
ma?" tanya Aryani. Suaranya tergagap karena
lidahnya terasa kelu.
"Benar. Mari kuantar kau menemuinya!"
Soma berjalan lebih dahulu. Sementara
dengan hati berdebar-debar, Aryani berjalan
ke belakangnya.
Selang beberapa saat, sampailah mereka
di dalam lorong yang dimaksudkan. Aryani
menghentikan langkahnya sebentar. Tubuh-
nya tegak tak bergerak. Wajahnya pucat pasi.
Kedua bibirnya bergetar. Inikah ayahnya, se-
perti yang diceritakan Soma? Kalau memang
betul, sosok di hadapannya itu benar-benar
membuat hatinya terpukul!.
Betapa sosok buntung di hadapan si ga-
dis demikian menyedihkan. Wajahnya tua
yang penuh kerutan di kening sebagai per-
tanda kalau laki-laki bermuka tirus itu sudah
terlalu banyak mengalami penderitaan batin.
Pakaian putih- putihnya sudah compang-
camping tak karuan. Demikian juga kumis
dan jenggotnya yang memanjang berwarna
putih. Dan dengan menggunakan rambutnya
yang putih panjang berjuntaian menancap
kokoh ke dalam tanah itulah sosok tanpa kaki
dan tangan itu tengah 'duduk' bersemadi.
"A.. Ayah...?!" desis Bidadari Kecil agak
ragu-ragu. Air matanya yang merembang di
kelopak matanya pun mulai merembes mem-
basahi pipi.
Sosok buntung yang tidak lain Lowo Ku-
ru itu perlahan-lahan mulai membuka kelo-
pak matanya. Sepasang matanya sayu, tak
berkedip memandang Aryani.
"Kau... kaukah anaknya Surtini, Nak?"
tanya Lowo Kuru dengan suara bergetar.
"Ayaaah…!" pekik Aryani tak ragu lagi.
Suaranya pecah menjadi tangis yang me-
nyayat. Dan tahu-tahu gadis itu telah menu-
bruk sosok buntung di hadapannya seraya
memeluk erat-erat.
“Be... benar, Ayah. Aku..., aku Aryani.
Anakmu, Ayah," tangis Aryani semakin ter-
dengar memilukan.
"Oh...!" keluh Lowo Kuru dengan sege-
nap perasaan. Laksana sepasang tangan
rambut-rambut yang berjuntaian ke tanah itu
telah memeluk Aryani erat-erat. "Tidak ku-
sangka kau sudah sebesar ini, Anakku. Lan-
tas, di mana ibumu? Mengapa tidak kau ajak
kemari sekalian?"
Aryani tidak menjawab pertanyaan
ayahnya. Namun tangisnya malah semakin
bertambah. Kedua bahunya bergerak turun
naik. Wajahnya terus disembunyikan ke da-
lam dada kurus Lowo Kuru.
Sementara itu Soma yang melihat ade-
gan memelaskan di depannya, pura-pura ti-
dak melihat. Ia justru lebih senang memper
hatikan keadaan dalam dasar Sumur Kema-
tian.
"Ibu... Ibu pergi, Ayah. Si Jahanam Kele-
lawar Hutan itulah yang membuat Ibu me-
ninggalkan Perguruan Kelelawar Putih. Mari
kita cari Ibu, Ayah!" ratap Aryani.
Lowo Kuru melepaskan pelukannya. Ke-
palanya menggeleng-geleng lemah. Bibirnya
bergetar.
"Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bi-
sa. Ayah malu. Dalam keadaan buntung se-
perti ini, aku tidak berani menampakkan diri
ke dunia ramai. Di samping itu. Ayah juga
sudah bersumpah tidak akan keluar dari da-
lam Sumur Kematian ini. Inilah tempat ting-
galku selama-lamanya. Dan di dalam Sumur
Kematian ini pulalah aku ingin dikuburkan,"
ucap Lowo Kuru sedih.
Suara laki-laki buntung itu terdengar
bergetar. Wajahnya kuyu. Sepasang matanya
berair. Namun, buru-buru orang tua buntung
itu mengeraskan hatinya.
"Sekali lagi maafkan Ayah, Anakku! Aku
tidak bisa," ucap Lowo Kuru, bergetar.
Aryani membelalakkan matanya lebar.
Wajahnya yang cantik itu penuh air mata.
"Kenapa, Ayah?"
"Aku sudah bersumpah, tak mungkin
menjilat ludah sendiri," jawab Lowo Kuru ke-
lu.
"Jadi? Ayah tega membiarkan ibu pergi
begitu saja?" .
Lowo Kuru tak mampu menjawab perta-
nyaan putri tunggalnya. Ia hanya mampu
menggeleng lemah. ...
"Bukannya aku tega, Anakku. Namun
aku sudah terikat sumpah, Jangan paksa
Ayah, Anakku! Sekarang sebaiknya duduklah
di atas batu putih itu! Ada sesuatu yang ingin
kuberikan padamu," ujar Lowo Kuru.
Sehabis berkata begitu, dengan meng-
gunakan ujung rambutnya yang mendadak
menjadi kaku laksana puluhan batang-batang
ijuk, sosok buntung Lowo Kuru pun melang-
kah mendekati dinding utara. Di sana, terda-
pat gambar orang sedang memperagakan ge-
rakan-gerakan ilmu silat.
Aryani terharu sekali melihat cara ayah-
nya melangkah mendekati dinding sebelah
utara. Pantas saja ayahnya enggan keluar da-
ri Sumur Kematian. Namun ketika pandangan
matanya tertumbuk pada gambar orang yang
sedang memperagakan gerakan-gerakan ilmu
silat, mendadak keterharuan terhadap ayah-
nya pun sirna. Sebagai orang persilatan,
Aryani sangat tertarik dengan jurus-jurus
yang terdapat pada dinding-dinding Sumur
Kematian. Sekali lihat saja, ia tahu kalau itu
adalah jurus-jurus hebat.
"Jurus-jurus apakah itu, Ayah? Kok, da-
sar-dasar ilmu silatnya mirip jurus-jurus sak-
ti 'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan
'Cakar Maut Kelelawar Hutan'?" tunjuk Aryani
saking herannya.
"Itulah jurus-jurus sakti Sumur Kema-
tian, Anakku. Berpuluh-puluh tahun aku
mencoba menciptakan jurus-jurus baru se-
suai keadaanku yang buntung. Kukira jurus-
jurus itu pun sangat cocok denganmu. Coba
perhatikan baik-baik! Jurus-jurus itu hanya
mengandalkan rambut sebagai senjata uta-
manya. Kalau memang tertarik, kau boleh
mempelajarinya sekarang. Tapi sebelumnya,
ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu,
Anakku."
"Apa itu, Ayah?"
Lowo Kuru tersenyum. Mungkin itulah
senyumnya yang pertama kali sejak mende-
kam dalam Sumur Kematian. Lagi, Ujung-
ujung rambutnya yang kaku seperti ijuk baja
mendadak bergerak meraih tonjolan batu ke-
cil di samping kiri pintu masuk dalam lorong.
Bed!
Begitu melingkari tonjolan batu, lantas
ujung-ujung rambut Lowo Kuru pun menyen
takkan ke bawah. Maka mendadak terdengar
bunyi berkerit. Dan, perlahan-lahan keluar
sebuah kotak kayu dari dalam dinding Sumur
Kematian di samping tonjolan batu kecil. Ke-
mudian dengan ujung-ujung rambutnya Lowo
Kuru membuka kotak kayu itu, lalu mengam-
bil isinya.
Aryani melongo. Ternyata isi dalam ko-
tak kayu adalah sebuah pedang terbuat dari
baja putih murni.
Sedang pada gagangnya terdapat kepala
dan badan kelelawar yang juga berwarna pu-
tih. Itulah pasangan Pedang Kelelawar Putih
yang selama ini dicari-cari Kelelawar Hutan.
Dan begitu dikeluarkan dari dalam kotak
kayu, seketika ruangan dalam dasar Sumur
Kematian dipenuhi cahaya putih yang ber-
pendar-pendar dari batang pedang.
"Itukah pasangan Pedang Kelelawar Pu-
tih yang selama ini dicari-cari Kelelawar Hu-
tan, Ayah?" tanya Aryani.
"Benar, Anakku," jawab Lowo Kuru se-
raya menutup kotak kayu itu dan mendorong
kembali ke dinding seperti semula. "Dan pe-
dang ini pulalah yang akan kuwariskan pa-
damu, Anakku. Kau tahu, untuk apa pedang
ini, bukan?"
"Tahu, Ayah. Pasangan pedang itu ada-
lah untuk membuka kitab peninggalan Eyang
Guru, Ayah. Tapi, tapi mengapa pedang itu
diberikan padaku?" tanya Aryani tak dapat
menyembunyikan keheranan hatinya.
"Sebenarnya pedang ini akan diberikan
pada ibumu. Cuma sayang, ibumu tidak begi-
tu berbakat. Dan kebetulan sekali, kau berjo-
doh mempelajari Kitab Kelelawar Sakti pe-
ninggalan Eyang gurumu. Di samping itu, Ki-
tab Kelelawar Sakti memang hanya diperun-
tukkan bagi murid-murid perempuan Pergu-
ruan Kelelawar Putih. Dan kulihat, susunan
tulang-tulang dalam tubuhmu sangat cocok
dengan ketentuan yang sudah ditetapkan da-
lam kitab peninggalan Eyang gurumu itu,"
papar Lowo Kuru.
"Apa ini berarti aku harus merebut kitab
peninggalan Eyang Guru dari tangan Kelela-
war Hutan, Ayah?" tanya Aryani menggebu-
gebu.
"Ya! Namun di samping itu, kau pun ha-
rus membalaskan sakit hatiku. Apa kau mau
menjalankan tugas ini, Anakku?"
"Tentu, Ayah! Tentu. Biarpun Ayah tidak
menyuruh pun, aku pasti akan mengadu jiwa
dengannya. Aku tak mungkin dapat mem-
biarkan iblis tua itu berkeliaran menebar
maut di Perguruan Kelelawar Putih ini," sahut
Aryani penuh semangat.
"Bagus! Aku senang sekali mende-
ngarnya, Anakku. Sekarang terimalah pedang
ini!"
Lowo Kuru 'melangkah' mendekati pu-
trinya yang telah tegak di hadapannya. Dan
dengan menggunakan rambut-rambutnya
yang kaku, pasangan Pedang Kelelawar Putih
diulurkan kepada Aryani.
Aryani menerimanya dengan tangan ge-
metar. Sejenak dipandanginya sarung pedang
itu seksama. Lalu, perlahan-lahan dicabutnya
dari dalam sarungnya.
Aryani angguk-anggukkan kepalanya.
"Aku bersumpah akan mengadu nyawa
dengan manusia jahanam itu dengan meng-
gunakan pedang ini, Ayah!" desis Aryani alias
Bidadari Kecil penuh kemarahan.
"Yayaya,,.!Tapi, kau harus ingat, Anak-
ku. Kelelawar Hutan bukanlah lawan enteng.
Terutama sekali, ilmu sihirnya. Dan sebelum
menemui Kelelawar Hutan terlebih dahulu,
kau harus mempelajari jurus-jurus sakti
'Sumur Kematian' yang tertulis di dinding-
dinding ini, Anakku!"
"Dengan senang hati aku akan mempela-
jarinya, Ayah," sahut Aryani bersemangat.
Lowo Kuru mengangguk-angguk. Pan-
dangan matanya sejenak dialihkan ke arah
Soma.
"Anak Muda! Kau temanilah putri ku
mempelajari jurus-jurus 'Sumur Kematian'
itu! Aku ingin melanjutkan bersemadi."
Soma yang dari tadi diam-diam mengi-
kuti apa yang dibicarakan Lowo Kuru dan pu-
trinya, pura-pura kaget. Segera badannya
berbalik.
"Apa, Ki?"
"Aku minta sudilah kau temani putri ku
mempelajari jurus-jurus 'Sumur Kematian'.
Aku akan melanjutkan bersemadi," ulang Lo-
wo Kuru agak meninggi nada bicaranya.
Soma menggaruk-garuk kepala. Nampak
sekali kalau pemuda gondrong murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu ogah-ogahan.
"Kau keberatan, Anak Muda?"
"Satu tindakan bodoh kalau menyia-
nyiakan kesempatan baik ini, Ki," sahut Soma
alias Siluman Ular Putih seraya tersenyum ke
arah Aryani.
Mata Aryani melotot lebar-lebar.
Soma tertawa bergelak.
"Kalau kau keberatan, ya sudah. Aku
malah senang menemani ayahmu bersemadi."
"Jadi... jadi, kau tidak mau menemaniku
berlatih, Soma?" tukas Aryani gemas sekali.
Entah mengapa hatinya jadi resah sekali.
"Habis kau tak menyukaiku sih!" jawab
Soma seenak dengkul.
"Kau... kau..," ujar Aryani jengkel bukan
main.
Lagi-lagi Soma tertawa bergelak
"Baik-baik! Aku akan menemanimu ber-
latih. Tapi, kau jangan marahi aku, ya!" kata
Soma menggoda. Lalu kepalanya menoleh pa-
da orang tua buntung di sampingnya. "Nah,
sekarang kau boleh melanjutkan semadi mu,
Ki!"
Lowo Kuru tersenyum. Dalam hati, ia
merasa geli juga melihat tingkah laku pemuda
gondrong di hadapannya.
"Ya ya ya...! Aku memang akan melan-
jutkan semadi ku. Kalau kalian ingin menca-
riku, carilah di lorong nomor tiga!" kata Lowo
Kuru.
"Baik, Ayah."
Lowo Kuru sempat memandangi pemuda
gondrong di sampingnya, sebelum akhirnya
'melangkah' meninggalkan tempat itu.
Sedang Soma hanya menggaruk-garuk
kepala melihat cara orang tua buntung itu
melangkah meninggalkan mereka.
"Sudah! Buruan kalau kau mau berlatih.
Tunggu apalagi?!" sentak Soma.
“Tapi.... Tapi, kau beri tahu kalau ada
yang salah ya?" pinta Aryani. Entah mengapa,
suaranya jadi sedikit manja.
"Yah...! Mana aku bisa? Mengenal jurus-
jurus itu pun tidak. Pelajari saja sendiri!" de-
sah Soma ogah-ogahan.
Sekali lagi Aryani melotot.
Soma tidak mempedulikannya. Si pemu-
da hanya berjalan mendekati batu putih di
pinggir ruangan. Seketika tubuhnya dijatuh-
kan seenaknya sembari menonton Aryani ber-
latih.
* * *
7
Malam merambah perlahan. Kerlip ber-
juta bintang dan pancaran sinar rembulan di
cakrawala membuat suasana permukaan
mayapada terang benderang. Di bawah usa-
pan sinar rembulan, tampak lima sosok
bayangan putih-putih tengah mengendap-
endap memasuki Pekarangan Terlarang mela-
lui tembok sebelah utara yang jarang sekali
dilalui murid-murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih.
Gerakan mereka ringan sekali ketika me-
loncat dan kembali turun ke dalam Pekaran-
gan Terlarang, Namun tiba-tiba sosok yang
paling depan menghentikan langkahnya. Ke-
dua tangannya cepat dikibaskan ke belakang,
memberi isyarat agar keempat sosok lainnya
bersembunyi.
Tanpa banyak cakap, keempat sosok
yang diperintahkan segera menyelinap ke ba-
lik dinding tembok Pekarangan Terlarang. Ke-
betulan sekali warna tembok itu putih, se-
hingga ketika keempat sosok berpakaian pu-
tih-putih itu merapat ke tembok tidak begitu
kentara.
Sedang sosok paling depan yang bertu-
buh ramping segera menyelinap dengan cara
berjongkok ke balik sebatang pohon kecil di
sampingnya. Sepasang mata tajamnya terus
memperhatikan beberapa orang murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih yang sedang berjaga-
jaga tak jauh dari Sumur Kematian yang ter-
nyata berjumlah tidak kurang dari dua belas
orang.
Buru-buru sosok ramping berpakaian
serba putih yang berjongkok di balik sebuah
pohon itu memberikan isyarat kepada keem-
pat sosok di belakangnya. Namun ketika hen-
dak melaksanakan niatnya, mendadak dari
tembok Pekarangan Terlarang sebelah selatan
berkelebat sesosok bayangan putih-putih lain
yang menuju rumah batu tak jauh dari Su-
mur Kematian.
"Kakang Sungkono! Mengapa kau berlari
seperti dikejar setan, Kakang?" tegur salah
seorang murid penjaga Sumur Kematian lan-
tang.
Sosok bayangan yang ternyata laki-laki
berpakaian putih-putih bernama Sungkono
cepat menghentikan langkahnya. Sepasang
matanya yang tajam sejenak memperhatikan
kerlip lampu di rumah batu. Lalu kembali
matanya memperhatikan adik-adik sepergu-
ruannya yang bertugas menjaga Sumur Ke-
matian.
"Ada apa, Kang? Kok, nampaknya kau
gelisah sekali?" tanya salah seorang murid
penjaga yang berpita hijau.
"Aku tidak sedang gelisah. Aku hanya
ingin melapor pada Guru. Apa Guru ada di
dalam rumah batunya, Wongso?" sahut
Sungkono.
"Ada. Sejak tadi pagi guru tidak keluar
dari rumah batunya. Memangnya kau mau
melapor apa, Kakang?" tuntut murid berpita
hijau yang dipanggil Wongso itu heran.
"Aku hanya ingin melapor kalau Setan
Cantik dan Cantrik Tudung Pandan dari Ista-
na Ular Emas tengah menunggu Guru di pen-
dopo."
"Oh...! Aku kira ada apa Rupanya tokoh
dari Istana Ular Emas itu yang ingin menemui
Guru. Aku kok jadi tidak mengerti, mengapa
Guru mau berkawan akrab dengan mereka?
Bukankah Setan Cantik dan Cantrik Tudung
Pandan itu adalah orang-orang licik?" tanya
Wongso setengah berbisik, seperti takut kalau
suaranya terdengar Kelelawar Hutan yang se-
dang berada di dalam rumah batunya.
"Hush! Jaga mulutmu, Wongso! Apa kau
sudah bosan hidup, he?!" tegur Sungkono
memperingatkan.
"Tidak, Kakang. Aku..., aku cuma men-
gungkapkan keheranan ku saja," elak Wongso
ketakutan.
"Sudah! Sekarang jangan membicarakan
Guru lagi! Sebaiknya jalankan saja apa yang
Guru perintahkan!" ujar Sungkono, tegas.
"Baik, Kakang,"
"Nah, sekarang teruskan saja tugas ka-
lian. Aku akan segera melaporkan kedatangan
Setan Cantik dan Cantrik Tudung Pandan ke-
pada Guru."
Sehabis berkata begitu, Sungkono segera
berkelebat cepat menuju ke rumah batu tak
jauh dari Sumur Kematian.
Sementara itu, kelima sosok berpakaian
serba putih yang sedang bersembunyi di dind-
ing sebelah utara Pekarangan Terlarang
hanya bisa saling berpandangan ketika tadi
Sungkono menyebut-nyebut Setan Cantik dan
Cantrik Tudung Pandan. Dari sorot mata jelas
sekali kalau nyali mereka kontan surut men-
dengar disebut-sebutnya kedua tokoh sesat
dari Istana Ular Emas itu.
Sebelum mereka berbuat sesuatu, dari
arah rumah batu telah berkelebat cepat seso-
sok tinggi besar berpakaian hitam-hitam den-
gan ikat kepala juga berwarna hitam. Ia tidak
lain dari Kelelawar Hutan. Sementara jauh di
belakangnya adalah Sungkono, murid berpita
kuning yang tadi melaporkan kedatangan Se-
tan Cantik dan Cantrik Tudung Pandan.
Melihat berkelebatnya dua sosok bayan-
gan itu, sosok ramping berpakaian putih-
putih yang dari tadi bersembunyi di balik se-
batang sebuah pohon segera mengisyaratkan
keempat sosok berpakaian putih-putih lain-
nya di belakang.
"Nanti dulu, Bibi Guru Bidadari Putih.
Biarkan si Keparat Kelelawar Hutan menemui
kedua orang tamunya dulu," cegah salah satu
sosok berpakaian putih-putih yang bersem-
bunyi di dinding tembok Pekarangan Terla-
rang lirih.
"Kenapa, Sindu? Apa kau takut meng-
hadapi kedua belas penjaga itu?" tukas sosok
ramping berpakaian putih yang tak lain Bida-
dari Putih, berbisik.
Memang, keempat sosok kekar berpa-
kaian putih-putih di belakang Bidadari Putih
adalah empat orang murid utama Lowo Kuru.
Setelah berhasil mengusir Setan Cantik ketika
sedang bertarung melawan Bidadari Putih,
keempat orang murid utama Lowo Kuru itu
lantas mengajak Bidadari Putih untuk mene-
mui Lowo Kuru, suaminya.
"Bukannya aku takut menghadapi mere-
ka, Bibi Guru. Terus terang aku khawatir ka-
lau Kelelawar Hutan keburu datang kemari
sebelum kita berhasil meringkus kedua belas
orang murid penjaga itu. Ya, kalau Kelelawar
Hutan datang sendirian. Tapi, kalau ia datang
bersama Setan Cantik dan Cantrik Tudung
Pandan. Bagaimana kita harus menghadapi
mereka, Bibi," kilah laki-laki yang tak lain
Sindu.
"Baiklah kalau begitu," sahut Bidadari
Putih akhirnya.
Namun mendadak kasak-kusuk kedua
orang itu telah diketahui salah seorang murid
penjaga. Maka sejenak perhatiannya dialih-
kan ke arah tempat persembunyian Bidadari
Putih dan keempat Orang murid utama Lowo
Kuru.
"Siapa bersembunyi di situ?!" bentak
murid itu lantang.
Yang kaget mendengar bentakan itu bu-
kan saja Bidadari Putih dan keempat murid
utama Lowo Kuru, melainkan juga murid-
murid penjaga lainnya.
"Ada apa, Kakang Penggalih? Apa kau
melihat sesuatu yang mencurigakan?" tanya
Salah seorang murid penjaga lainnya heran.
"Benar Panuluh. Tadi aku mendengar
orang berkasak-kusuk di sebelah sana!" sahut
laki-laki yang dipanggil Penggalih seraya me-
nunjuk ke tempat Bidadari Putih dan keem-
pat orang murid utama Lowo Kuru bersem-
bunyi.
"Baik. Kalau begitu, mari kita lihat ke
sana!" ajak Panuluh bersemangat.
Di tempat persembunyiannya, Sindu jadi
cemas.
"Celaka! Rupanya kedatangan kita telah
diketahui murid-murid penjaga itu!" desah
Sindu.
"Hm...! Tidak ada pilihan lain. Mumpung
selagi Kelelawar Hutan keluar menemui Setan
Cantik dan Cantrik Tudung Pandan, kita ha-
rus secepatnya merobohkan mereka. Ayo, ce-
pat. serang mereka!" ujar Bidadari Putih se-
raya dengan gesitnya keluar dari tempat per-
sembunyiannya.
"Baik!" sahut keempat orang murid uta-
ma Lowo Kuru serempak.
Sehabis berkata begitu, keempat orang
murid utama Lowo Kuru segera menyusul Bi-
dadari Putih. Begitu mereka mendarat, kedua
belas orang murid penjaga itu segera mengu-
rung dengan pedang yang berkilat-kilat ter-
timpa sinar rembulan.
"Penggalih, Panuluh! Siapa suruh kalian
berani lancang seperti ini, he?" bentak Bida-
dari Putih garang.
"Bi..., Bibi Guru? Kaukah Bibi Guru?"
kata Penggalih gemetar. Samar-samar dari te-
rangnya sinar rembulan, matanya dapat me-
nangkap sosok berpakaian putih-putih yang
memang Bidadari Putih.
"Kalau sudah tahu, mengapa tidak lekas
angkat kaki meninggalkan tempat ini!" hardik
Bidadari Putih lagi garang.-
"Ma..., maafkan kami, Bibi Guru! Ka...,
kami diperintahkan Guru Kelelawar Hutan
untuk me..., menangkap Bibi Guru hidup
atau mati," kata Penggalih gemetar.
"Apa?! Kelelawar Hutan menyuruh ka-
lian menangkapku?!" sentak Bidadari Putih
kaget bukan alang kepalang.
Sungguh wanita ini tak menyangka ka-
lau Kelelawar Hutan telah memerintahkan
murid-muridnya untuk menangkap dirinya.
Ini jelas di luar perkiraannya. Semula, ia me-
mang sengaja datang ke Sumur Kematian
dengan cara bersembunyi, karena tidak ingin
bertemu Kelelawar Hutan. Tapi, siapa sangka
justru Kelelawar Hutan malah memerintah-
kan murid-muridnya untuk menangkap di-
rinya.
"Be..., benar Bibi Guru. Bahkan kami
pun diperintahkan untuk menangkap Nona
Bidadari Kecil hidup atau mati," jelas Pengga-
lih, merasa rikuh juga.
"Keparat! Ayo, sekarang laksanakan tu-
gas kalian kalau tidak mau menyingkir dari
hadapanku!" geram Bidadari Putih penuh
kemarahan.
"Maaf. Sekali lagi kami mohon maaf, ka-
lau terpaksa lancang terhadap Bibi Guru,"
ucap Penggalih seraya mengisyaratkan kese-
belas teman-temannya untuk menangkap Bi-
dadari Putih.
"Baik, baik! Laksanakanlah tugas kalian!
Tunggu apa lagi?!" tantang Bidadari Putih tak
dapat lagi mengendalikan amarahnya.
Sehabis berkata begitu, Bidadari Putih
segera berkelebat cepat menyerang Penggalih
dan Panuluh. Demikian juga keempat orang
murid utama Lowo Kuru.
Meski hanya dengan tangan kosong, ter-
nyata dalam waktu singkat keempat murid
utama Lowo Kuru sudah dapat mendesak pa-
ra pengeroyoknya dengan mudah. Dan seben
tar kemudian, para penjaga itu pun dapat di-
robohkannya dengan mudah. Termasuk juga,
Penggalih dan Panuluh yang tak sadarkan diri
di tangan Bidadari Putih.
"Mari! Sebaiknya kita langsung masuk
ke dalam Sumur Kematian, Bibi! Mumpung
Kelelawar Hutan dan murid-muridnya belum
kemari," ajak Sindu, setelah tak satu pun
penjaga yang bergerak bangkit.
"Baik. Mari!" sahut Bidadari Putih me-
nyetujui.
Dan sekali menutulkan kakinya ke ta-
nah, tahu-tahu sosok ramping Bidadari Putih
telah berkelebat cepat menuju ke Sumur Ke-
matian.
Tanpa banyak membuang-buang waktu,
keempat orang murid utama Lowo Kuru pun
segera menyusul. Namun ketika mereka hen-
dak masuk ke dalam Sumur Kematian, tiba-
tiba Bidadari Putih melihat berkelebatnya tiga
bayangan di atas tembok Pekarangan Terla-
rang.
"Kelelawar Hutan...," desis Bidadari Pu-
tih.
Keempat orang murid utama Lowo Kuru
cepat berpaling ke belakang. Satu di antara
tiga sosok bayangan yang sedang berlari ken-
cang menuju Sumur Kematian memang Kele-
lawar Hutan. Sedang dua sosok di samping
nya adalah dua orang perempuan berpakaian
kuning keemasan.
"Hm...! Menilik pakaian yang dikenakan,
kedua orang itu pasti Setan Cantik dan Can-
trik Tudung Pandan. Siapa lagi kalau bukan
dua tokoh sesat dari Istana Ular Emas itu?
Mari, sebaiknya kita segera masuk ke dalam
Sumur Kematian!" ajak Sindu jerih juga meli-
hat siapa yang datang. Dan tanpa banyak ca-
kap lagi, ia segera masuk ke dalam Sumur
Kematian, diikuti ketiga orang adik sepergu-
ruannya.
Hanya Bidadari Putih sajalah yang seje-
nak memperhatikan ketiga sosok bayangan
yang sedang mendekatinya.
"Manusia Laknat! Tunggulah pembala-
sanku!" desis Bidadari Putih.
Dan sehabis berkata begitu, wanita ini
pun segera meloncat ke dalam Sumur Kema-
tian.
Begitu masuk, kening Bidadari Putih
sempat berkerut ketika melihat berpuluh-
puluh tulang manusia tertancap rapi di dind-
ing-dinding Sumur Kematian. Dan ini tentu
saja dapat memudahkan dirinya dan keempat
orang murid Lowo Kuru masuk ke dalam.
Tanpa begitu mempedulikannya, Bidadari Pu-
tih segera meneliti tulang-tulang yang tertan
cap rapi di dinding-dinding lalu meloncat ke
dasarnya.
* * *
Sesuai julukannya, sosok di belakang
Kelelawar Hutan dan di samping Setan Cantik
memang seorang perempuan bercaping lebar
terbuat dari anyaman daun pandan. Rambut-
nya hitam panjang dibiarkan tergerai di bahu.
Wajahnya cantik berbentuk lonjong. Sepasang
matanya tajam, alis matanya tebal. Hidung-
nya mancung dengan kulit wajahnya kuning
langsat. Sedang tubuhnya yang tinggi ramp-
ing dibalur pakaian warna kuning keemasan.
Konon dulu sebelum diangkat menjadi
murid perguruan Istana Ular Emas, wanita
yang merupakan kakak seperguruan Setan
Cantik adalah seorang cantrik di Kadipaten
Kuripan. Berhubung waktu itu terjadi pembe-
rontakan, Cantrik Tudung Pandan yang ber-
nama asli Sumi ini mendapat tugas untuk
menyelamatkan putra Adipati Kuripan. Cuma
sayang, di tengah perjalanan ia dan putra
Adipati Kuripan dihadang pasukan pemberon-
tak. Untung saja pada saat pasukan pembe-
rontak tengah memaksa putra Adipati Kuri-
pan untuk dibawa ke kadipaten, mendadak
muncul Bunda Kurawa pemilik Istana Ular
Emas. Sehingga, akhirnya Sumi dan putra
Adipati Kuripan itu menjadi murid Bunda Ku-
rawa.
Karena selalu mengenakan tudung lebar
terbuat dari anyaman daun pandan maka
oleh Bunda Kurawa, Sumi mendapat julukan
Cantrik Tudung Pandan.
Sejenak Kelelawar Hutan berdiri tegak
tak bergerak. Hanya matanya saja yang berge-
rak-gerak liar, memandangi Sumur Kematian
dan beberapa orang muridnya yang roboh.
Wajahnya menegang. Rahangnya bertonjolan
pertanda tengah menahan amarahnya yang
menggelegak. Lalu dengan kemarahan me-
muncak tahu-tahu tubuh tinggi besarnya
berkelebat cepat, langsung menotok kedua
belas muridnya yang roboh. Dalam waktu
yang tidak lama, kedua belas murid Kelelawar
Putih itu pun terbangun.
“Panuluh! Apa yang terjadi di sini? Cepat
katakan!" tanya Kelelawar Hutan garang.
"Bibi Guru Bidadari Putih dan empat
orang laki-laki berpakaian putih-putih datang
kemari. Kami mencoba menangkap, ta..., tapi
gagal. Kami..., kami dapat dirobohkan mere-
ka, Guru," lapor Panuluh dengan suara berge-
tar saking takutnya.
"Keparat! Murid-murid tak berguna!
Mampuslah kalian semua!" bentak Kelelawar
Hutan dengan wajah bengis. Kedua tangan-
nya yang telah berubah menjadi hitam legam
mendadak mengibas, melepas pukulan Tan-
gan Hitam ke arah dua belas orang muridnya.
Wesss!
"Aaakh...!"
Seleret sinar hitam legam yang during
berkesiurnya hawa dingin dari kedua telapak
tangan Kelelawar Hutan cepat melabrak ke-
dua belas tubuh muridnya. Laksana daun-
daun kering yang berguguran tertiup angin,
tubuh kedua belas orang itu jatuh berpelan-
tingan tanpa mampu bergerak lagi dengan tu-
buh hangus terbakar!
"Satu pukulan hebat, Tapi aku ragu,
apakah dengan pukulan 'Tangan Hitam'-mu
itu kau sanggup merobohkan Lowo Kuru?"
ejek Cantrik Tudung Pandan.
"Apa maksudmu bicara demikian, Can-
trik Tudung Pandan?!" sentak Kelelawar Hu-
tan gusar. Sepasang matanya yang memerah
melotot lebar.
"Sudah jelas yang kukatakan, bukan?
Pukulan 'Tangan Hitam'-mu memang hebat.
Cuma, terus terang aku meragukan apa kau
sanggup menghadapi Lowo Kuru. Salahkah
kalau aku meragukan kehebatan pukulanmu,
Kelelawar Hutan?" jawab Cantrik Tudung
Pandan lebih menyakitkan.
Kelelawar Hutan menggereng penuh ke-
marahan. Wajahnya yang garang menegang.
Kedua pelipisnya bergerak- gerak. Sedang ke-
dua telapak tangannya telah berubah menjadi
hitam legam sampai ke pangkal siku, siap
menghanguskan tubuh Cantrik Tudung Pan-
dan.
"Ha ha ha...! Di antara kawan sendiri,
mengapa bersitegang begini?" sela Setan Can-
tik menengahi.
Kelelawar Hutan menurunkan kedua
tangannya. Dalam hatinya diam-diam dia me-
nyesali kebodohannya. Apalagi, saat itu ia
memang sedang membutuhkan bantuan dua
tokoh sesat dari Istana Ular Emas itu. Berpi-
kir demikian, amarah Kelelawar Hutan pun
mulai sedikit berkurang.
"Kau benar, Setan Cantik. Aku pikir di
antara kawan sendiri memang tidak perlu
bersitegang begini. Tapi, aku yakin pukulan
'Tangan Hitam'-ku sanggup meremukkan tu-
buh buntung Lowo Kuru."
"Lantas, mengapa kau tidak masuk saja
ke dalam Sumur Kematian? Mengapa malah
meminta bantuan kami berdua untuk meng-
hadapi orang tua buntung itu?" tukas Cantrik
Tudung Pandan, lagi-lagi membuat merah te-
linga Kelelawar Hutan.
"Bukannya aku tidak berani masuk ke
dalam Sumur Kematian, Cantrik Tudung
Pandan. Tapi, ketahuilah! Menurut keteran-
gan beberapa orang muridku, selain Lowo Ku-
ru, di dalam Sumur Kematian juga ada seo-
rang pemuda sakti yang dapat melumpuhkan
puluhan muridku dengan mudah. Apalagi se-
karang ditambah lagi Bidadari Putih dan em-
pat orang laki-laki berpakaian putih-putih se-
perti yang dikatakan muridku tadi. Untuk itu-
lah aku mengharap bantuan kalian," tukas
Kelelawar Hutan merendah.
"Hm...! Jadi begitu persoalannya. Tapi
kalau menurut hematku, lebih baik kau pun
harus memanggil teman-teman lain. Sebab,
tadi siang sewaktu aku sedang menuju kema-
ri, kulihat Lelaki Berkumis Kucing pun tengah
menuju kemari. Entah, ada urusan apa."
"Hm...! Ya ya ya...! Terima kasih atas ke-
teranganmu, Setan Cantik! Dan aku pun
akan mempertimbangkan usulmu tadi. Tapi
sekarang, sebaiknya kita melanjutkan perbin-
cangan di pendopo saja. Tak enak rasanya ki-
ta bicara sambil berdiri begini. Mari!"
"Baiklah!" sahut Setan Cantik dan Can-
trik Tudung Pandan, hampir bersamaan.
Dan tanpa banyak cakap lagi ketiga
orang itu pun segera berkelebat keluar dari
Pekarangan Terlarang. Gerakan kaki mereka
cepat sekali laksana terbang. Sehingga dalam
waktu singkat sosok bayangan mereka lenyap
di antara kegelapan malam.
***
8
"Manusia-manusia jahanam! Siapa be-
rani mencari mati di dalam Sumur Kematian,
he?!"
Belum hilang gaung suara bentakan,
mendadak dari salah sebuah lorong di dalam
Sumur Kematian meluruk angin kencang
yang disusul gulungan sinar hitam ke arah
Bidadari Putih dan keempat orang murid
utama Lowo Kuru.
Wesss!
Bukkk! Bukkk!
Tanpa ampun, dua orang murid Lowo
Kuru terpental beberapa tombak ke belakang.
Dadanya yang terkena hantaman gulungan-
gulungan hitam terasa mau jebol dan nyeri
bukan main. Sementara itu untung saja Bi-
dadari Putih dan dua orang murid Lowo Kuru
lainnya cepat membuang tubuh ke samping.
Sehingga, selamatlah ketiga orang itu dari
hantaman gulungan-gulungan hitam yang
menyerang.
Sedang gulungan-gulungan hitam yang
ternyata rambut hitam dari sosok buntung itu
terus menerabas ke depan, langsung menan-
cap kokoh di dinding Sumur Kematian. Ke-
mudian, meluncur satu sosok buntung yang
berkelebat cepat menyerang Bidadari Putih
yang baru saja bangkit.
"Suamiku! Hentikan seranganmu!" teriak
Bidadari Putih, lantang.
Gulungan-gulungan hitam yang tengah
melayang-layang di udara mendadak berhen-
ti. Namun sosok buntung itu terus menerabas
ke depan, membuat rambut-rambut hitam itu
kembali menancap kokoh di dinding-dinding
Sumur Kematian.
"Siapa kau?!" bentak sosok buntung
yang tidak lain Lowo Kuru.
"Aku... Aku Surtini, istrimu, Kakang,"
sahut Bidadari Putih gemetar.
Apa yang terlihat benar-benar membuat
hati wanita itu nyeri. Ia tidak menyangka su-
aminya dalam keadaan mengenaskan Seperti
itu. Meski dapat membayangkan penderitaan
suaminya yang hidup di dalam Sumur Kema-
tian, namun begitu menyaksikan dengan ma-
ta kepala sendiri, tak urung air mata Bidadari
Putih pun merembes membasahi pipi.
Lowo Kuru membelalakkan matanya
sungguh tidak diduga kalau istrinya akan
muncul dalam Sumur Kematian.
Pada saat yang sama, Soma dan Bidada-
ri Kecil tengah berkelebat cepat ke dasar Su-
mur Kematian. Sesampainya di sana, tampak
beberapa orang yang tak dikenal tengah ber-
diri berhadapan dengan Lowo Kuru. Siluman
Ular Putih bersiap-siap membantu Lowo Ku-
ru. Namun tidak demikian halnya Bidadari
Kecil. Begitu melihat sosok perempuan berpa-
kaian putih-putih yang sangat dikenalnya,
Aryani segera menghambur. Langsung ditu-
bruknya Bidadari Putih.
"Ibu...!"
Bidadari Putih tersentak kaget. Suara
gadis itu begitu sangat dikenalnya. Maka be-
gitu melihat Bidadari Kecil tengah berlari ke
arahnya, Bidadari Putih pun cepat menyam-
butnya.
"Aryani...!"
Bidadari Putih memeluk putri tunggal-
nya erat-erat. Air matanya semakin memban-
jiri membasahi pipi.
"Ba..., bagaimana kau bisa sampai ke-
mari, Anakku? Siapa yang mencemplungkan
kau kemari?" tanya Bidadari Putih dengan bi-
bir bergetar.
"Aku... aku ingin bertemu Ayah, Ibu,"
kata Aryani dengan tangis memelas di dalam
pelukan ibunya.
"Istriku! Kasihan kau. Aku benar-benar
telah menelantarkan kalian berdua. Aku laki-
laki tak bertanggung jawab. Rasanya, aku tak
layak lagi hidup lebih lama di alam mayapada
ini. Ma... maafkanlah aku, istriku!" ucap Lowo
Kuru dengan segenap perasaan sesalnya.
Suara laki-laki tua ini pun terdengar
bergetar-getar. Seolah-olah, ia tidak kuat lagi
menahan guncangan batinnya yang hebat.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tahu-tahu
orang tua buntung yang memang sebenarnya
kurang waras, karena bertahun-tahun men-
derita dalam Sumur Kematian itu menggerak-
kan kepalanya ke dinding.
"Guru...! Jangaaan...!" pekik keempat
orang murid utama Lowo Kuru hampir ber-
samaan.
Dan sebelum keempat orang murid itu
bertindak, mendadak sesosok bayangan putih
keperakan telah berkelebat cepat mengha-
dang gerakan Lowo Kuru yang hendak mem-
benturkan kepalanya ke dinding. Maka sebe-
lum peristiwa mengenaskan itu terjadi....
Bukkk!
"Heekkk..!"
Aneh sekali. Entah mengapa, kepala Lo-
wo Kuru seperti menghantam kantong kapas
yang lunak. Sehingga selamatlah nyawanya.
Namun karena gerakan kepala orang tua bun-
tung itu begitu keras, maka tak urung juga
Soma sempat meringis kesakitan. Perutnya
mendadak terasa diaduk-aduk, hendak me-
muntahkan isinya.
"Orang tua tak berperasaan! Bagaimana
kau dapat mengerti perasaan anak dan istri-
mu kalau kau sendiri belum tahu perasaan-
mu sendiri!" bentak Soma alias Siluman Ular
Putih garang.
Dengan menggunakan Ujung-ujung
rambutnya yang menotol ke badan pemuda
penghadangnya, Lowo Kuru cepat menarik
kepalanya. Dan ia segera berdiri seperti semu-
la, menggunakan ujung-ujung rambutnya
yang menancap kokoh ke tanah.
Pada saat rambut-rambut Lowo Kuru
menotol ke badan Soma itulah Siluman Ular
Putih menggelinjang kegelian.
"Eh eh...! Dasar orang tua tak tahu diri!
Sudah ditolong, pakai menggelitiki lagi!"
Mata Lowo Kuru terbelalak lebar. Bu-
kannya tersinggung oleh makian barusan,
melainkan heran melihat pemuda penolong-
nya mampu menguasai 'Tenaga Inti Kapas'
yang hanya dikuasai beberapa gelintir orang
di dunia persilatan. Satu di antaranya orang
yang menguasai 'Tenaga Inti Kapas' adalah
Eyang Bromo. Ia adalah salah seorang tokoh
sakti yang jarang sekali menampakkan diri ke
dunia ramai.
"Kau...? Apa hubunganmu dengan
Eyang Bromo, Anak Muda? Apakah kau...,
kau murid orang tua sakti dari Gunung Bro-
mo itu?" tanya Lowo Kuru dengan mata terbe-
liak lebar saking kagumnya.
"Aku?" Soma menunjuk dadanya sendiri.
"Ah...! Kau ini mengada-ada saja, Ki! Mana
aku tahu orang tua sakti yang kau sebut-
sebutkan itu. Mendengar namanya pun baru
kali ini."
"Tidak mungkin! Kau pasti mengenal
orang tua sakti itu. Sebab, siapa lagi yang
mampu menguasai Tenaga Inti Kapas' kalau
bukan murid orang tua sakti dari Gunung
Bromo itu. Tapi..., tapi kalau tidak salah, bisa
jadi kau murid Eyang Begawan Kamasetyo
dari Gunung Bucu. Sebab hanya dua orang
tua sakti itu sajalah yang mampu menguasai
'Tenaga Inti Kapas'. Ya yaya...! Kau pasti mu-
rid dari salah satu orang tua sakti yang kuse-
butkan tadi," tebak Lowo Kuru seraya men-
gangguk-angguk.
Soma menggaruk-garuk kepala. Sung-
guh tidak disangka kalau orang tua buntung
penghuni Sumur Kematian itu mempunyai
pengetahuan cukup luas tentang dunia persi-
latan. Diam-diam Soma yang bergelar Silu-
man Ular Putih pun mulai mengagumi orang
tua buntung di hadapannya.
"Sudahlah, Ki! Buat apa membicarakan
tentang diriku? Apa tidak sebaiknya kau urus
saja anak dan istrimu. Juga, keempat orang
yang menyebutmu Guru itu!" ujar Soma se-
raya menunjuk ke arah empat orang laki-laki
yang kini telah berlutut tak jauh dari Lowo
Kuru.
Lowo Kuru terkejut. Seketika itu juga,
kepalanya berpaling ke arah empat laki-laki
berpakaian putih-putih yang kini telah berlu-
tut di hadapannya
"Terimalah hormat kami, Guru! Maaf,
kalau baru sekarang kami bisa menemui
Guru," ucap Sindu penuh hormat.
Lowo Kuru mengangguk-angguk.
"Bangunlah kalian semua!" perintah Lo-
wo Kuru berwibawa.
Dengan tangkas, keempat orang murid
Lowo Kuru melompat bangun. Sejenak pan-
dangan mata keempat orang itu memperhati-
kan pemuda gondrong di samping gurunya
penuh kagum.
Lagi-lagi Soma hanya menggaruk- garuk
kepalanya. Namun belum sempat membuka
suara....
"Aryani! Ajaklah ibumu beristirahat di
lorong sebelah! Nanti aku menyusul!" sela
Lowo Kuru.
"Baik, Ayah!" sahut Aryani tangkas. "Ma-
ri, Bu!"
Aryani alias Bidadari Kecil cepat meraih
lengan ibunya. Dan diajaknya Bidadari Putih
menuju ke lorong sebelah. Namun tiba-tiba
saja gadis itu menghentikan langkahnya.
"Eh...! Mau apa kau di situ? Ayo, ikut
aku!" ajak Aryani.
"Habis kau tak mengajakku, sih?!" sahut
Soma, asal bunyi.
"Dasar kolokan!"
Dalam ruangan berukuran tiga kali em-
pat tombak, Bidadari Kecil dan keempat orang
murid utama Lowo Kuru terus berlatih jurus-
jurus 'Sumur Kematian' yang tergurat di dind-
ing-dinding lorong. Tak jauh dari mereka
tampak pula Lowo Kuru yang tengah membu-
ka kotak kecil yang disimpan di dinding sebe-
lah utara.
Begitu kotak kecil berwarna hitam ter-
buka, maka berpendarlah cahaya merah yang
berasal dari sesuatu di dalam kotak itu. Ben-
da itu tak lain adalah pohon Lontar Merah be
rukuran sangat kecil. Panjangnya kira-kira
satu jengkal tangan manusia dewasa. Sesuai
namanya, daun-daun lontar itu pun berwarna
merah. Sedang, batang-batangnya berwarna
putih bersih mirip tulang.
Soma yang duduk tak jauh dari Lowo
Kuru sempat berdecak kagum beberapa kali.
Sepasang matanya membelalak lebar.
"Pohon apa itu, Ki? Kok berwarna me-
rah?" tanya Soma, saking herannya.
"Mungkin kau baru kali ini mendengar-
nya, Anak Muda. Inilah yang dinamakan
Daun Lontar Merah. Khasiatnya sungguh luar
biasa. Tak hanya untuk menyembuhkan pe-
nyakit menahun, tapi juga bisa untuk me-
nyembuhkan orang mati jika Tuhan memang
menghendaki demikian."
Bidadari Putih yang dari tadi memang
sudah kagum melihat Daun Lontar Merah
semakin membelalakkan matanya. Pohon itu-
lah yang selama ini diidam- idamkannya.
"Suamiku! Kalau boleh izinkan. aku
memakan Daun Lontar Merah itu," pinta Bi-
dadari Putih tak sabar.
"Tentu saja, Istriku. Dari cerita Aryani,
aku tahu kalau kau keracunan. Dan kalau
melihat racun yang mengeram dalam tubuh-
mu pasti Kelelawar Hutanlah yang telah men-
celakakanmu!" kata Lowo Kuru.
"Ya...! Siapa lagi... kalau bukan Manusia
Jahanam Kelelawar Hutan itu. Begitu kau da-
pat dirobohkan jahanam itu, tidak lama ke-
mudian aku pun terkena pukulan 'Tangan Hi-
tam'. Untung, waktu itu aku sudah menge-
rahkan tenaga dalam sebelum pukulan itu
mendarat di tubuhku. Namun tetap saja aku
tidak dapat menghindar dari hawa racun yang
diakibatkan pukulan itu, Suamiku," tutur Bi-
dadari Putih. Napasnya sampai terengah-
engah saking tidak kuatnya menahan ama-
rahnya menggelegak.
"Makanlah Daun Lontar Merah ini, Istri-
ku!" ujar Lowo Kuru seraya menjulurkan
ujung-ujung rambutnya yang 'memegang'
Daun Lontar Merah kepada istrinya.
Bidadari Putih menerimanya dengan
tangan bergetar. Daun Lontar Merah di tela-
pak tangan kanannya sejenak dipandanginya
seksama. Tidak terlalu kecil memang. Paling,
hanya sebesar kuku ibu jari manusia dewasa.
Demikian dengan segenap pengharapannya,
perlahan-lahan segera dimakannya Daun
Lontar Merah.
Ajaib sekali. Selang beberapa saat, seke-
tika itu juga wajah Bidadari Putih yang kepu-
catan berubah menjadi kemerah -merahan!
Lowo Kuru yang saat sudah menyimpan
kotak kecil berisi Daun Lontar Merah pada
tempatnya semula, tak henti-hentinya terus
memandangi istrinya dengan mata berseri.
"Lekas bersemadi, Istriku! Kendalikan
hawa racun yang mengeram dalam tubuhmu
dan muntahkanlah!" ujar Lowo Kuru lagi.
"Baik, Suamiku," sahut Bidadari Putih
patuh. Sehabis berkata begitu, perlahan-
lahan Bidadari Putih pun mulai memejamkan
matanya. Napasnya yang semula memburu
kini mulai agak tenang. Dan tidak lama ke-
mudian, wanita ini telah tenggelam dalam
semadinya.
* * *
9
Kabut pagi hari perlahan-lahan tersing-
kap oleh matahari yang baru saja menam-
pakkan diri dengan sinarnya yang kuning
keemasan di ufuk sebelah timur. Dari lereng
sebelah barat Gunung Sumbing, tepatnya di
Pekarangan Terlarang, cahaya matahari terus
menerabas jauh ke ufuk sebelah barat sana.
Sejak kegagalan menangkap Bidadari
Putih tiga hari yang lalu, Kelelawar Hutan
memerintahkan murid-muridnya untuk
memperketat penjagaan di Pekarangan Terlarang. Segala siasat dan jebakan telah diper-
siapkan disana, Dan tidak kurang dari empat
puluh murid Perguruan Kelelawar Putih di
tempatkan di Pekarangan Terlarang dengan
senjata lengkap.
Sepintas suasana di atas Pekarangan
Terlarang, terutama sekali di sekitar Sumur
Kematian, terasa begitu mencekam. Dua pu-
luh orang murid penjaga tampak siap siaga
dengan senjata di tangan. Sepasang mata me-
reka tak pernah lepas dari mulut Sumur Ke-
matian. Di saat kedua puluh orang murid
penjaga tengah bersiap siaga, mendadak dari
mulut Sumur Kematian muncul sesosok
bayangan putih yang kemudian disusul pula
oleh beberapa sosok bayangan putih lainnya.
Dan yang terakhir muncul adalah sosok
pemuda berambut gondrong dengan pakaian
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Sosok itu tidak lain dari Soma alias Si-
luman Ular Putih.
Begitu Soma berada di atas Sumur Ke-
matian, keningnya berkerut dalam -dalam.
Sepasang matanya yang berwarna biru terus
memperhatikan kedua puluh orang murid
penjaga.
"Tangkap Nona Bidadari Kecil dan Bibi
Guru Bidadari Putih!" teriak salah seorang
murid penjaga, lantang.
Mendengar teriakan lantang itu, dua pu-
luh orang murid penjaga yang sedari tadi te-
lah bersiap siaga segera mengepung rombon-
gan kecil dari Sumur Kematian. Senjata ter-
hunus di tangan langsung diputar-putar.
"Keparat! Kalian benar-benar ingin men-
cari mampus. Jangan salahkan kalau aku
terpaksa berlaku kasar pada kalian!" bentak
Bidadari Kecil penuh kemarahan.
"Aryani! Jangan terlalu kasar pada me-
reka! Mereka hanyalah orang-orang suruhan,"
tegur Bidadari Putih.
Aryani menggerutkan gerahamnya. Se-
pasang matanya memancarkan rasa tidak
puas terhadap ucapan ibunya barusan.
"Baik, Ibu," sahut Aryani akhirnya.
"Kunyuk-kunyuk tak tahu diri! Mengapa
tidak kau suruh sekalian Kelelawar Hutan
kemari, he?!" bentak Sindu kesal.
Sehabis berkata begitu, Sindu yang tidak
sabar melihat tingkah murid-murid penjaga
segera menyerang. Kedua tangannya berkele-
bat cepat dengan jari-jari terkembang, siap
menotok.
Melihat Sindu telah mendahului menye-
rang, ketiga orang murid Lowo Kuru pun se-
gera menerjang para pengepungnya. Demi-
kian juga Aryani, Bidadari Putih, dan Siluman
Ular Putih. Sehingga dalam waktu yang tidak
lama, kedua puluh orang murid Kelelawar
Hutan sudah terdesak hebat. Malah hampir
separonya roboh tak mampu bangun lagi ter-
kena totokan.
Tiba-tiba murid yang tadi mengeluarkan
bentakan nyaring, bersuit panjang. Menden-
gar isyarat itu, beberapa orang murid penjaga
yang belum roboh segera menyeret teman-
temannya yang tertotok keluar dari arena per-
tempuran.
Soma dan yang lainnya hanya saling
berpandangan. Mereka belum tahu, apa yang
akan dilakukan kedua puluh orang murid
penjaga. Namun ketidak mengertian mereka
kini terjawab. Begitu kedua puluh penjaga itu
menyingkir jauh, mendadak dari balik tembok
Pekarangan Terlarang telah berloncatan ber-
puluh-puluh murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih dengan busur panah tergenggam di tan-
gan.
"Setan alas! Mereka benar-benar meng-
hendaki nyawa kita!" desis Aryani penuh ke-
marahan.
Memang benar apa yang dikatakan
Aryani. Begitu murid-murid pembawa busur
itu hinggap di atas tembok memutar Pekaran-
gan Terlarang, segera membentangkan bu-
surnya.
Twang! Twang!
Selang beberapa saat, berpuluh- puluh
anak panah melesat cepat bagai hujan me-
nyerang Soma dan kawan-kawan.
"Keparat! Ini tidak main-main lagi.
Hihhh...!" dengus Bidadari Putih, mulai tidak
dapat mengendalikan amarahnya.
Dan begitu lincahnya, Bidadari Putih
yang kini sudah sembuh seperti ketika masih
gadis cepat menyampok rontok beberapa ba-
tang anak panah. Demikian juga yang lain-
nya. Namun rupanya murid-murid pembawa
busur itu telah mempersiapkan semuanya.
Begitu serangan pertama gagal, yang lain se-
gera menarik busur kembali.
Twang! Twang!
Selang beberapa saat, kembali berpuluh-
puluh batang anak panah meluncur ke atas
tubuh Soma dan kawan-kawan. Tidak ada pi-
lihan lain, terpaksa Siluman Ular Putih dan
kawan kawan cepat menangkis dengan senja-
ta di tangan sambil perlahan-lahan bergerak
mendekati.
Tak! Tak!
"Edan...!"
Soma alias Siluman Ular Putih kesal ju-
ga dibuatnya. Sambil terus menangkis rontok
puluhan batang anak panah, Siluman Ular
Putih cepat berkelebat mendekati murid-
murid pembawa busur. Gerakan kedua ka
kinya ringan sekali, laksana seekor capung
yang bergerak lincah menangkap mangsa.
Dan dalam waktu tidak lama, pemuda gon-
drong murid Eyang Begawan Kamasetyo pun
berhasil mencapai tembok Pekarangan Terla-
rang.
Beberapa orang murid bersenjata panah
segera mengarahkan busur ke arah Siluman
Ular Putih. Soma tentu saja tidak ingin kalah
cepat. Begitu kedua kakinya menjejak tembok
Pekarangan Terlarang, segera ilmu meringan-
kan tubuh diarahkan. Dan dengan jari-jari
terkembang cepat ditotoknya tubuh beberapa
orang murid bersenjata panah.
Tukkk! Tuukk! Tukkk!
Tiga kali tangan Siluman Ular Putih ber-
gerak. Maka seketika itu juga tubuh tiga
orang murid bersenjata panah terpelanting
roboh tak dapat bangun lagi terkena totokan.
"Heaaat.,.!
Tuk! Tuk!
Dan rupanya serangan Siluman Ular Pu-
tih pun tidak hanya sampai di sini. Dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi, kembali
jari-jari tangannya bergerak menotok roboh
beberapa orang murid bersenjata panah. Se-
hingga dalam waktu yang tidak lama, barisan
murid-murid pembawa panah di tembok ba-
gian sela-tan berhasil dibuat kocar-kacir.
Melihat sepak terjang pemuda gondrong
murid Eyang Begawan Kamasetyo dari Gu-
nung Bucu, Bidadari Putih dan Aryani pun
segera menjejakkan kakinya ke tembok Peka-
rangan Terlarang bagian barat. Meski berpu-
luh-puluh. batang panah menghujam ibu dan
anak itu mampu meliuk-liukkan tubuh. Se-
hingga, akhirnya di tembok Pekarangan Terla-
rang bagian barat. Kedua tangan mereka yang
sudah gatal-gatal segera berkelebat menotok
roboh beberapa orang murid pembawa panah.
Tukkk! Tukkk!
Beberapa orang murid bersenjata panah
langsung terpelanting roboh begitu terkena
totokan jari-jari tangan Bidadari Putih dan
anaknya.
"Heaaa...!"
Aryani yang sudah tidak dapat mengen-
dalikan amarahnya berteriak ganas. Tubuh-
nya kembali berkelebat cepat menyerang be-
berapa orang murid pembawa panah lainnya.
Kali ini gadis itu bukan hanya sekadar meno-
tok, melainkan melepas tamparan dan ten-
dangan.
Plak! Desss...!
"Aaakh...!"
Dalam waktu yang tidak lama, murid-
murid bersenjata panah di bagian barat tem-
bok Pekarangan Terlarang dapat dibuat ko-
car-kacir.
Di saat murid-murid bersenjata panah
dapat dibuat kocar-kacir, mendadak...
"Manusia-manusia pencari mati! Lekas-
lah serahkan diri kalian baik-baik!"
Dari arah barat tembok Pekarangan Ter-
larang terdengar bentakan garang dari seseo-
rang. .
Belum hilang suara bentakan tadi, tahu-
tahu di tempat itu telah berdiri tegak sesosok
bayangan hitam-hitam dengan wajah garang.
Tidak lama kemudian, hinggap pula dua so-
sok bayangan berpakaian kuning keemasan.
Sosok bayangan berpakaian hitam-hitam
tak lain adalah seorang lelaki bertubuh tinggi
besar. Di kepalanya tampak melingkar ikat
kepala juga berwarna hitam. Wajahnya bengis
dengan sepasang mata mencorong menyi-
ratkan kekejaman. Siapa lagi dia kalau bukan
manusia durjana yang bergelar Kelelawar Hu-
tan?!
Sedang di belakang Kelelawar Hutan
adalah dua orang wanita cantik berpakaian
kuning keemasan.
Yang sebelah kanan bercaping lebar dari
anyaman daun pandan. Sedang di samping
nya adalah seorang wanita cantik berusia tiga
puluh lima tahun. Rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas. Dua orang wanita
cantik itu tidak lain dari dua orang tokoh se-
sat dari Istana Ular Emas. Setan Cantik dan
Cantrik Tudung Pandan!
"Kelelawar Hutan! Dosamu telah ber-
tumpuk. Demi Tuhan aku akan membalaskan
sakit hati kedua orangtuaku!" bentak Aryani
dengan kemarahan memuncak.
"Bocah lancang! Beraninya kau berkata
demikian?!" bentak Kelelawar Hutan garang.
"Mandra...! Hari inilah aku akan memba-
las sakit hatiku dan juga sakit hati suamiku!"
desis Bidadari Putih.
Sret! Sret!
Tangan kanan wanita itu cepat melepas
pedang di balik pinggangnya. Demikian juga
Aryani.
"Ha ha ha...! Majulah kalian anak-anak
setan! Kebetulan sekali kalian muncul secara
bersamaan. Sehingga, aku tidak perlu bersu-
sah payah mencari!" ejek Kelelawar Hutan di
antara tawanya.
Aryani yang berada paling depan cepat
menerjang orang tua tinggi besar itu. Tangan
kanannya yang memegang pedang digerakkan
sedemikian rupa, menusuk ulu hati Kelelawar
Hutan. Sedang tangan kirinya siap pula me
lancarkan totokan ke jalan darah Kelelawar
Hutan.
Hebat sekali serangan Bidadari Kecil ini.
Bidadari Putih yang berada di belakang Arya-
ni tidak dapat berbuat apa-apa karena saat
itu, sedang berada di atas tembok Pekarangan
Terlarang.
Melihat serangan Aryani, Kelelawar Hu-
tan hanya tersenyum dingin sinis. Tusukan
pedang yang mengarah ulu hatinya cepat di-
elakkan dengan satu liukan indah. Bersa-
maan dengan itu, tiba-tiba jari-jari tangannya
cepat mengirimkan totokan ke pergelangan
tangan Aryani.
"Ah...!" pekik Aryani kaget bukan alang
kepalang.
Si gadis tidak menyangka serangannya
dapat dimentahkan demikian mudah. Jari-jari
tangan kirinya yang semula bermaksud me-
notok, buru-buru digerakkan ke samping be-
gitu totokannya hanya mengenai tempat ko-
song. Sedang tangan kanannya yang teran-
cam totokan segera diputar cepat. Dan pe-
dangnya langsung membabat lengan Kelela-
war Hutan.
Wesss! Wesss!
Pedang di tangan Aryani hanya menem-
bus angin kosong beberapa jengkal dari tem-
pat sasaran. Namun tiba-tiba saja, Kelelawar
Hutan menjejakkan kakinya ke tempat Peka-
rangan Terlarang. Dan seketika itu juga, tu-
buhnya mencelat tinggi ke udara.
Setelah dua kali berputaran, Kelelawar
Hutan cepat menukik tajam. Kedua jari-jari
tangannya yang terkembang siap meremuk-
kan batok kepala Aryani dari atas. Di tempat
lain Bidadari Putih yang melihat putri tung-
galnya dalam keadaan mengkhawatirkan,
hanya memekik cemas tanpa bisa berbuat
banyak.
Aryani bukannya tidak tahu dirinya da-
lam keadaan bahaya. Melihat serangan yang
datang demikian cepatnya, cepat tubuhnya
dilempar ke samping. Sembari bergerak demi-
kian, tiba-tiba rambutnya yang tergerai di ba-
hu telah bergerak cepat, menangkis jari-jari
tangan kanan Kelelawar Hutan yang siap me-
remukkan kepalanya.
Wesss!
Plakkk!
Gulungan-gulungan rambut hitam Arya-
ni berhasil menangkis tangan kanan Kelela-
war Hutan. Bahkan dengan menggunakan ju-
rus 'Sumur Kematian' yang baru saja dipela-
jarinya, gulungan rambut gadis itu pun ber-
hasil menghajar telak dada Kelelawar Hutan.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Kelelawar Hutan memekik kaget. Seketi-
ka itu juga, tubuhnya yang terkena hantaman
terjajar ke belakang. Karena masih berada di
atas tembok Pekarangan Terlarang, maka Ke-
lelawar Hutan segera membuat salto beberapa
kali di udara dan mendarat empuk di tanah.
"Jahanam! Rupanya kau telah mampu
menguasai jurus 'Sumur Kematian', Bocah!
Pantas saja kau berani menjual lagak di de-
panku. Tapi, jangan harap aku takut meng-
hadapi jurus-jurusmu, Bocah!" dengus Kele-
lawar Hutan penuh kemarahan.
"Hiaaat...!"
Aryani yang penasaran sekali dengan
Kelelawar Hutan cepat berkelebat menyusul.
Pedang di tangan kanannya digunakan untuk
menusuk ubun-ubun dari atas. Sedang tan-
gan kirinya digunakan untuk menangkis ka-
lau-kalau ada serangan balik.
Melihat putri tunggalnya telah bergerak
lebih dahulu, Bidadari Putih yang juga mera-
sa geram melihat sepak terjang Kelelawar Hu-
tan hendak berkelebat, menyusul dengan sen-
jata di tangan. Namun sayang, baru saja ka-
kinya menjejak tanah, tiba-tiba saja di hada-
pannya telah menghadang dua orang wanita
berpakaian kuning keemasan.
"Biarkan bocah lancang itu bermain-
main dengan Kelelawar Hutan, Bidadari Pu
tih! Sekarang, hadapi saja aku!" desis Setan
Cantik sinis.
"Keparat! Lagi-lagi kalian yang membuat
ulah di Perguruan Kelelawar Putih! Apa kalian
sudah bosan hidup, he?!" bentak Bidadari Pu-
tih garang.
"Ha ha ha...! Sungguh pintar sekali kau
berkoar, Bidadari Putih! Aku jadi ingin lihat,
apakah kau sanggup mewujudkan kata-
katamu itu?!" ejek Cantrik Tudung Pandan.
Sehabis berkata begitu, tokoh sesat dari
Istana Ular Emas itu pun segera mencabut
pedang tipisnya yang melilit di pinggang. Dan
seketika Cantrik Tudung Pandan telah berke-
lebat cepat menyerang Bidadari Putih.
Melihat kakak seperguruannya telah
mendahului, Setan Cantik pun segera menca-
but pedang tipisnya yang melilit di pinggang.
Dan dengan garang-nya, tubuhnya berkelebat
cepat ikut menyerang Bidadari Putih. Sedang
tangan kirinya telah mengibas, melepas ja-
rum-jarum emasnya. Dan....
Serrr! Serrr!
Hebat bukan main serangan-serangan
dua orang tokoh sesat dari Istana Ular Emas
itu. Tebasan-tebasan pedang dan jarum-
jarum emas yang berkeredepan itu sungguh
merepotkan Bidadari Putih, meski telah sem-
buh seperti sedia kala. Dan entah sudah be
rapa kali tubuhnya yang tinggi kurus harus
berjumpalitan di udara. Jangankan untuk
membalas serangan, untuk menghindar saja
rasanya sulit sekali.
Kalau keadaan ini dibiarkan beberapa
saat lamanya, bukan mustahil dalam bebera-
pa jurus Bidadari Putih pun dapat diroboh-
kan. Namun di saat Bidadari Putih terdesak
hebat, tahu-tahu tiga orang murid utama Lo-
wo Kuru telah berkelebat cepat membantu.
"Manusia-manusia tengik dari Istana
Ular Emas! Enyahlah kalian dari sini! Ini bu-
kanlah tempat kalian!" bentak Naroko garang.
Sembari berkata demikian, pedang di
tangan kanan lelaki itu cepat membabat leher
Setan Cantik. Sedang dua orang temannya
menyerang dari samping kanan dan kiri. Se-
hingga selamatlah Bidadari Putih dari teka-
nan-tekanan dua tokoh sesat dari Istana Ular
Emas itu.
Sementara itu, Sindu tak dapat keluar
dari kepungan berpuluh-puluh murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih. Meski dikeroyok demi-
kian hebatnya, tak henti-hentinya murid ter-
tua Lowo Kuru ini terus mencoba mempenga-
ruhi murid- murid Perguruan Kelelawar Putih.
"Ketahuilah, adik-adik ku! Sesungguh-
nya pemilik Perguruan Kelelawar Putih ini
bukanlah guru kalian, si Manusia Pecundang
Kelelawar Hutan! Tapi, Lowo Kuru. Kalian
dengar?! Lowo Kuru yang berada dalam Su-
mur Kematian itulah pemilik Perguruan Kele-
lawar Putih yang sebenarnya!" teriak Sindu,
lantang.
"Setan alas! Siapa peduli omongan mu!"
teriak salah seorang murid Perguruan Kelela-
war Putih lantang.
"Ya! Siapa peduli omongan orang yang
mau mampus!" teriak yang lain menyahuti.
"Dasar otak bebal! Tahu apa kalian den-
gan segala macam urusan rumit ini! Justru
guru kalian Kelelawar Hutan itulah yang
membuat urusan jadi rumit! Guru kalian itu-
lah yang telah mencelakakan pemilik sah Per-
guruan Kelelawar Putih ini ke dalam Sumur
Kematian!" teriak Sindu sengit,
"Siapa saja yang mempercayai ocehan ti-
kus comberan itu berarti mati! Kalian dengar!
Hanya kematianlah bagi murid- muridku yang
tidak patuh!"
Sungguh hebat sekali pengaruh teriakan
Kelelawar Hutan. Beberapa orang murid Per-
guruan Kelelawar Putih yang sempat terpen-
garuh ucapan Sindu langsung menegang. Wa-
jah mereka pucat pasi, membayangkan hu-
kuman yang akan dijatuhkan bila memban-
tah.
Berpikir sampai demikian, tanpa banyak
membuang waktu lagi murid-murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih kembali menyerang Sin-
du dengan garang.
Kali ini bukan saja Sindu saja yang kesal
melihat perubahan sikap murid- murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih, tapi juga, Siluman Ular
Putih. Pemuda itu saat ini sedang sibuk
menghajar beberapa orang murid Perguruan
Kelelawar Putih.
"Sontoloyo! Dasar murid-murid sonto-
loyo! Apa mata kalian tidak melek? Ayo lekas
hentikan serangan. Cincang kunyuk hitam
guru kalian itu!" bentak Siluman Ular Putih,
diam-diam mulai mengerahkan kekuatan ba-
tinnya.
Suara bentakan yang bernada bercanda
itu terdengar bergetar-getar aneh, menyerang
jalan pikiran para pengeroyok. Maka seketika
itu juga murid-murid Perguruan Kelelawar
Putih menghentikan serangan. Dan dengan
wajah beringas, pandangan mereka beralih ke
arah Kelelawar Hutan yang sedang bertempur
hebat melawan Aryani.
Kelelawar Hutan kaget bukan alang ke-
palang. Meski tengah. bertempur hebat, na-
mun masih dapat merasakan suara bentakan
Siluman Ular Putih yang bergetar-getar aneh.
Dan lebih terkejutnya lagi, ketika melihat mu
rid-muridnya kini mulai mengalihkan seran-
gan ke arahnya.
"Setan alas! Siapa suruh kalian menye-
rangku, he?! Apa kalian sudah bosan hidup?!"
bentak Kelelawar Hutan, laksana suara dari
dalam kubur.
Suara Kelelawar Hutan terdengar begitu
menyeramkan, Rupanya, diam-diam kekuatan
sihirnya pun telah dikerahkan untuk menan-
dingi kekuatan batin Siluman Ular Putih. Dan
begitu mendengar teriakan Kelelawar Hutan,
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih jadi
celingukan. Mereka seperti terombang- amb-
ing dua kekuatan batin yang sama-sama
kuat.
Dan kini murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih pun mulai bersiap-siap menye-
rang Sindu kembali. Namun belum sempat
mereka bertindak, Siluman Ular Putih kemba-
li mengeluarkan satu bentakan nyaring. Se-
hingga, murid-murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih kembali terombang-ambing kekuatan sihir
Siluman Ular Putih.
Kelelawar Hutan geram bukan main. Ke-
kuatan sihirnya kembali tersaingi oleh kekua-
tan sihir Siluman Ular Putih. Maka diiringi
satu lengkingan setinggi langit, serangan-
serangannya semakin dipercepat ke beberapa
jalan darah yang mematikan di tubuh Aryani.
Bahkan tak segan-segan pula kedua tangan-
nya yang telah berubah menjadi hitam legam
siap melontarkan pukulan Tangan Hitam ke
tubuh gadis itu.
Meski Aryani telah mampu menguasai
jurus-jurus sakti 'Sumur Kematian' dalam
waktu singkat, namun tetap saja belum
mampu menandingi kehebatan Kelelawar Hu-
tan. Jangankan untuk membalas serangan.
Untuk menghindari tekanan- tekanan Kele-
lawar Hutan pun rasanya sulit. Dan entah
sudah berapa kali tubuhnya harus berjumpa-
litan di udara menghindari tekanan-tekanan
Kelelawar Hutan.
Wesss! Wesss!
Hebat bukan main serangan-serangan
Kelelawar Hutan kali ini Dan pada saat tubuh
Aryani melayang-layang di udara, mendadak
saja seleret sinar hitam legam dari telapak
tangan kiri Kelelawar Hutan menerabas me-
nyerang. Itulah pukulan 'Tangan Hitam' yang
sangat di agung-agungkan Kelelawar Hutan
Aryani kaget bukan alang kepalang. Apa-
lagi, tubuhnya saat ini berada di udara. Gadis
itu kali ini benar-benar mati kutu. Sulit ra-
sanya menghindari serangan. Namun di saat
yang gawat bagi si gadis, tiba-tiba melesat si-
nar putih terang.
Wesss!
Bummm...!
Sinar putih terang yang entah dari mana
datangnya langsung memapak pukulan
'Tangan Hitam' Kelelawar Hutan. Maka seke-
tika itu juga Kelelawar Hutan membelalakkan
matanya lebar-lebar. Tangan kirinya bergetar
hebat akibat bentrokan tadi.
"Manusia Sontoloyo! Beraninya hanya
terhadap seorang gadis. Ayo, lekas hadapi
aku, si gondrong dari dasar neraka!"
* * *
10
Sepasang mata merah saga Kelelawar
Hutan terbelalak liar. Di hadapannya kini
berdiri tegak seorang pemuda berambut gon-
drong dengan pakaian rompi dan celana ber-
sisik warna putih keperakan. Di dadanya
tampak sebuah rajahan bergambar ular pu-
tih. Saat ini pemuda gondrong yang tidak lain
Soma alias Siluman Ular Putih tengah berto-
lak pinggang. Kedua kakinya terpentang le-
bar-lebar, pura-pura bersikap galak.
"Setan alas! Lagi-lagi kau yang mengha-
lang-halangi maksudku! Apa kau tidak tahu
sedang berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Kelelawar Hutan penuh kemarahan. Ke-
dua pelipis nya bergerak-gerak. Gigi-gigi gera-
hamnya pun bergemeletukan, pertanda ten-
gah menahan amarah menggelegak.
"Lho? Bukankah aku sedang berhada-
pan dengan manusia pecundang yang berge-
lar Tikus Comberan?" ejek Siluman Ular Pu-
tih.
"Setan alas! Beraninya kau menjual la-
gak di depanku, he?! Sudah bosan hidup kau
rupanya?!" geram Kelelawar Hutan.
Sehabis membentak begitu, Kelelawar
Hutan mencelat tinggi ke udara. Tidak tang-
gung-tanggung, tangan kirinya yang berwarna
hitam legam siap dilontarkan ke arah tubuh
Soma. Sedang tangan kanannya telah mem-
bentuk cengkeraman siap menjebol dada Si-
luman Ular Putih. Itulah jurus 'Cengkeraman
Maut Kelelawar Sakti', andalan Pendekar Lo-
wo Putih yang hanya diajarkan oleh ketiga
orang muridnya. Yakni, Lowo Kuru, Kelelawar
Hutan, dan yang terakhir Bidadari Putih.
Sungguh hebat bukan main serangan-
serangan Kelelawar Hutan. Aryani yang berdi-
ri beberapa tombak di luar arena pertarungan
hanya dapat menahan napasnya tegang. Di-
am-diam gadis ini pun siap membantu pemu-
da gondrong penolongnya.
Melihat serangan-serangan Kelelawar
Hutan yang demikian hebatnya, Siluman Ular
Putih pun tidak berani memandang remeh.
Maka cepat dikeluarkannya jurus-jurus sakti
'Ular Kembar Mengejar Mangsa'. Sedang tan-
gan kirinya yang telah berubah menjadi putih
terang, siap pula memapaki pukulan 'Tangan
Hitam' dengan pukulan sakti Tenaga Inti Bu-
mi'.
Plakkk! Plakkk!
Blaaar...!
Beberapa kali tangan kanan Siluman
Ular Putih menangkis serangan-serangan Ke-
lelawar Hutan. Tak lama, terjadi benturan
dua telapak tangan kedua orang itu. Akibat-
nya, tubuh tinggi besar Kelelawar Hutan
kembali mencelat tinggi ke udara. Tangan ki-
rinya tergetar hebat.
Kelelawar Hutan kaget bukan main. Ia
tidak menyangka kalau pemuda gondrong itu
dapat menangkis serangan- serangannya.
Bahkan kedua telapak tangan Siluman Ular
Putih yang membentuk kepala ular berhasil
menyerang balik Kelelawar Hutan demikian
hebatnya.
"Aryani! Mengapa hanya menonton saja?
Lekas bantu Sindu menghadapi murid-murid
itu!" teriak Siluman Ular Putih di antara se-
rangan-serangannya.
Aryani mengerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sebenarnya ingin rasanya gadis ini me-
lampiaskan dendam kepada Kelelawar Hutan.
Hanya sayangnya, ia belum mampu menan-
dingi kehebatan laki-laki itu. Sedang ibunya
dan ketiga orang murid ayahnya tidak begitu
kewalahan menghadapi musuh-musuhnya.
Malah, ketiga orang murid utama ayahnya
dapat mendesak hebat Setan Cantik. Hanya
Sindu saja yang tampak kewalahan mengha-
dapi gempuran murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih yang dapat dikuasai kembali oleh
Kelelawar Hutan.
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi,
Aryani pun segera berkelebat membantu Sin-
du. Sehingga murid pertama Lowo Kuru tidak
begitu kewalahan lagi. Meski demikian, Aryani
tetap dapat mengendalikan amarahnya. Ba-
gaimanapun juga, ia enggan menurunkan
tangan mautnya kepada murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih yang masih terhitung
adik seperguruan.
Dan di saat Aryani dan Sindu tengah si-
buk mendesak murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih, mendadak...
"Keparat...!"
Kelelawar Hutan mengeluarkan satu ge-
rengan yang dapat pecahkan gendang telinga.
Sedang tubuhnya yang tinggi besar terjajar
beberapa langkah ke belakang. Matanya
membelalak liar. Hampir saja ia celaka di tan-
gan musuh mudanya. Untung saja ketika
tendangan kaki Siluman Ular Putih mendarat
telak di dadanya, tenaga dalamnya telah dike-
rahkan. Sehingga, selamatlah Kelelawar Hu-
tan dari tendangan mematikan Siluman Ular
Putih.
Meski demikian, di sudut-sudut bibir
Kelelawar Hutan tampak terbersit darah se-
gar, pertanda telah terluka dalam. Dalam
keadaan seperti itu, lelaki itu jadi murka. Se-
pasang matanya tiba-tiba mencorong aneh.
Bibirnya berkemik-kemik. Dan dari bibirnya
yang berkemik-kemik.
"Siapa suruh kau membuat onar di tem-
pat ini, Bocah? Ayo lekas berlutut! Mungkin
aku masih mengampuni nyawa busukmu!"
bentak Kelelawar Hutan, laksana suara dari
dalam liang kubur.
Siluman Ular Putih tersentak kaget. Ke-
dua lututnya goyah. Hampir saja kata-kata
Kelelawar Hutan dituruti, kalau tidak buru-
buru mengerahkan kekuatan batinnya. Se-
hingga, kekuatan sihir Kelelawar Hutan dapat
dipunahkan.
"Ah...! Hampir saja aku lupa! Rupanya
kau pintar juga bermain sulap, Tikus Combe-
ran?" ujar Soma diam-diam kembali menge
rahkan kekuatan batinnya. "Tapi mana sudi
aku menuruti perintahmu? Justru kaulah
yang patut berlutut di hadapanku. Ayo, lekas
lakukan! Tunggu apa lagi!"
Kelelawar Hutan kaget bukan alang ke-
palang. Suara teriakan-teriakan pemuda gon-
drong itu terdengar demikian aneh menyerang
jalan pikirannya. Dan tanpa disadari tiba-tiba
Kelelawar Hutan telah berlutut di hadapan Si-
luman Ular Putih!
"Ha ha ha..! Rupanya kau penurut juga,
Tikus Comberan! Bagus-bagus! Mungkin Raja
Akhirat sudi mengampuni nyawa busukmu!"
celoteh Siluman
Ular Putih di antara gelak tawa.
Bukan main kagetnya Kelelawar Hutan.
Padahal, tadi pun kekuatan sihirnya telah di-
kerahkan. Namun anehnya, tetap saja tidak
dapat menahan kedua lututnya yang goyah
hingga akhirnya jatuh berlutut di hadapan Si-
luman Ular Putih.
"Keparat! Berani kau mempermainkan
Kelelawar Hutan, Bocah!" bentak Kelelawar
Hutan murka.
Sembari berteriak lantang begitu, Kele-
lawar Hutan cepat meloncat bangun. Dan
dengan menggunakan kedua telapak tangan-
nya yang telah berubah menjadi hitam legam
sampai ke pangkal, cepat diserangnya Silu
man Ular Putih. Kini, ia tidak berani main-
main lagi terhadap musuh mudanya. Baik il-
mu sihir maupun ilmu silat.
Berpikir demikian, Kelelawar Hutan ma-
kin mempercepat serangan-serangan. Ia beru-
saha mengurung pertahanan Siluman Ular
Putih. Hingga dalam beberapa jurus kemu-
dian, yang terlihat hanyalah bayangan sosok
hitam yang terus berusaha mendesak bayan-
gan putih.
Tak! Tak!
Namun selang beberapa jurus kemu-
dian, gantian bayangan putih keperakan Si-
luman Ular Putih yang mendesak bayangan
hitam Kelelawar Hutan. Bahkan tak jarang,
patokan-patokan kedua telapak tangan Soma
berhasil melukai kulit tubuh Kelelawar Hu-
tan. Namun anehnya begitu tubuhnya terlu-
ka, maka seketika itu juga asap hitam tipis
yang datang dari ubun-ubun kepala perlahan-
lahan bergerak menyelimuti ke bagian-bagian
tubuh Kelelawar Hutan yang terluka. Selang
beberapa saat, luka-luka itu pun sembuh se-
perti sedia kala!
"Ha ha ha...! Selihai apa pun, kau tetap
tidak dapat mengalahkanku, Bocah! Cepatlah
tinggalkan tempat ini. Mumpung pikiranku
belum berubah!" ejek Kelelawar Hutan di an-
tara gelak tawanya.
Kini gantian mata Siluman Ular Putih
yang terbelalak lebar-lebar. Apa yang dilihat-
nya benar-benar membuat hatinya tercekat.
Entah ilmu iblis apa yang digunakan Kelela-
war Hutan.
Dan belum sempat hilang rasa heran Si-
luman Ular Putih, tahu-tahu tubuh tinggi be-
sar Kelelawar Hutan telah berkelebat cepat
menyerang dengan pedang di tangan.
Soma tidak begitu memperhatikan ka-
pan laki-la-ki tua tinggi besar itu mencabut
pedangnya. Yang jelas, tahu-tahu cahaya pu-
tih menyilaukan mata setelah berkelebat ce-
pat. Jurus-jurus yang dikeluarkan Kelelawar
Hutan tampak aneh sekali. Terkadang laki-
laki tinggi besar itu mencelat tinggi di udara
laksana seekor kelelawar murka. Namun en-
tah karena apa, tiba-tiba saja serangan-
serangannya bisa terhenti.
Meski demikian, serangan-serangan Ke-
lelawar Hutan tidak dapat dianggap enteng.
Tendangan dan cengkeraman cengkeraman
tangannya penuh jebakan- jebakan maut.
Bahkan sebelum tendangan dan cengkera-
mannya mengenai sasaran, terlebih dahulu
berkesiur hawa panas menyerang tubuh Si-
luman Ular Putih.
"Mungkin inilah jurus-jurus sakti yang
terkandung dalam kitab peninggalan Pende
kar Lowo Putih," gumam Siluman Ular Putih
dalam hati. "Tapi..., tapi mengapa terkadang
Kelelawar Hutan menghentikan serangan-
serangannya secara tiba-tiba, seperti bingung
dengan kelanjutan jurus-jurus itu? Ah...!
Mengapa aku jadi bodoh begini?! Itu bisa saja
terjadi, karena Kelelawar Hutan memaksakan
diri mempelajari jurus-jurus dalam kitab. Pa-
dahal ia belum mendapatkan pasangan pe-
dang Kelelawar Putih sebagai kunci pembuka
kitab itu. Jadi, ya! Jurus-jurus kacau balau
itulah hasilnya!"
Begitu telah mendapat kesimpulan, Si-
luman Ular Putih tersenyum senang.
"Ah! Sayang sekali! Mengapa jurus-jurus
yang terkandung dalam kitab Kelelawar Sakti
kau ubah jadi jurus-jurus kacau balau begi-
ni?!" ejek Siluman Ular Putih sambil berjum-
palitan menghindari serangan-serangan Kele-
lawar Hutan.
Sehabis berkata begitu, Siluman Ular
Putih pun cepat mencabut senjata pusaka da-
ri balik punggung. Anak Panah Bercakra
Kembar! Sesuai namanya, senjata itu me-
mang berbentuk sebatang anak panah.
Ujungnya melengkung ke atas, berbentuk ke-
pala ular dengan sebuah taring mencuat ke
depan berupa sebilah pisau. Sebagian batang
anak panah itu juga berbentuk badan ular
yang memiliki dua lubang mirip lubang sul-
ing. Sedang di kanan kiri ujung anak panah
berbentuk kepala itu terdapat dua buah cakra
kembar terbuat dari lempengan baja!
Aneh sekali! Begitu senjata pusaka itu
terpegang di tangan kanan Siluman Ular Pu-
tih, tiba-tiba arena pertarungan itu dipenuhi
hawa dingin menusuk kulit. Di samping itu
Soma pun merasakan tubuhnya jadi ringan
sekali. Bahkan tenaga dalamnya pun bertam-
bah!
Melihat senjata aneh di tangan musuh
mudanya, Kelelawar Hutan hanya tersenyum
dingin. Hatinya sama sekali tidak gentar
menghadapi senjata pusaka di tangan Silu-
man Ular Putih.
"Bocah edan! Lihat serangan!" ejek Kele-
lawar Hutan.
Sejenak Kelelawar Hutan menggerak-
gerakkan pedang di tangan kanannya mem-
buat jurus-jurus kembangan, sebelum melan-
carkan serangan sesungguhnya.
Cit! Cit!
Benar saja. Begitu jurus-jurus kemban-
gan selesai dimainkan, tiba-tiba terdengar pe-
kik mencicit mirip seekor kelelawar. Dan ta-
hu-tahu, tubuh tinggi besar Kelelawar Hutan
telah mencelat tinggi ke udara. Ujung pe-
dangnya ditusukkan demikian rupa. Sedang
tangan kirinya siap meremukkan batok kepa-
la Siluman Ular Putih dengan jurus
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti'.
Tentu saja Siluman Ular Putih tidak sudi
batok kepalanya menjadi sasaran empuk se-
rangan-serangan Kelelawar Hutan. Dengan
mengerahkan jurus 'Terjangan Maut Ular Pu-
tih' cepat senjata pusakanya bergerak mema-
pak.
Wesss! Wesss!
Dan begitu Siluman Ular Putih mengge-
rakkan senjata pusakanya. maka seketika itu
juga berkesiur angin dingin dari dua cakra
kembar yang berputar menyerang Kelelawar
Hutan.
"Uts!"
Kelelawar Hutan sedikit memiringkan
tubuhnya ke samping. Sedang pedang di tan-
gan kanannya menusuk ubun-ubun kepala
Siluman Ular Putih. Tidak ada pilihan lain
bagi Siluman Ular Putih. Cepat senjata pusa-
kanya digerakkan untuk menangkis pedang di
tangan Kelelawar Hutan.
Cring!
Terlihat bunga api berpijar di udara begi-
tu dua senjata berbenturan. Tangan Kelelawar
Hutan sedikit bergetar akibat bentrokan tadi.
Sementara tubuhnya agak limbung ke kiri.
Maka segera dia bersalto beberapa kali di
udara, sebelum akhirnya menjejak ke tanah.
Wesss...!
Namun baru saja Kelelawar Hutan men-
darat di tanah, mendadak berkesiur angin
dingin menyerang. Bersamaan dengan itu, se-
leret sinar putih terang dari telapak tangan
kiri Siluman Ular Putih telah menerabas cepat
siap menghantam tubuhnya.
"Hih...!"
Kelelawar Hutan cepat mengangkat tan-
gan kirinya yang telah berubah menjadi hitam
legam hingga sampai ke pangkal, lalu mendo-
rongkannya ke depan.
Srattt!
Maka seketika itu juga terlihat seleret
sinar hitam legam dari telapak tangan kiri Ke-
lelawar Hutan, menerabas cepat memapaki
pukulan 'Inti Bumi Siluman Ular Putih'.
Bummm...!
Hebat bukan main pertemuan dua tena-
ga dalam di udara itu. Akibatnya tanah di se-
kitar arena pertarungan bergetar hebat. Se-
dang tubuh Kelelawar Hutan terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang.
Pada saat itu Siluman Ular Putih yang
sempat limbung akibat bentrokan tadi cepat
mendesak Kelelawar Hutan dengan jurus-
jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Sedang
tangan kirinya siap pula melancarkan puku-
lan 'Tenaga Inti Bumi'
Kali ini Kelelawar Hutan kewalahan bu-
kan main. Tubuhnya yang tengah terhuyung-
huyung ke belakang cepat dilempar ke samp-
ing.
"Heaaa...!"
Namun, rupanya Siluman Ular Putih ti-
dak ingin tanggung-tanggung dalam melan-
carkan serangan. Sambil sesekali melancar-
kan pukulan 'Tenaga Inti Bumi' terus dide-
saknya Kelelawar Hutan. Berkali-kali senjata
pusaka di tangannya mengancam bagian yang
paling membahayakan di tubuh Kelelawar
Hutan. Untung laki-laki tinggi besar itu selalu
dapat menghindari.
Diam-diam Kelelawar Hutan mengelua-
rkan keringat dingin. Wajahnya pucat pasi.
Sungguh tak disangka kalau pemuda gon-
drong musuhnya itu demikian lihainya Na-
mun di saat Kelelawar Hutan terdesak hebat,
meluncur angin dingin ke arah Siluman Ular
Putih.
"Memalukan sekali! Mengapa kau bisa
dibuat pontang-panting oleh bocah kemarin
sore, Kelelawar Hutan?!"
"Uts...!"
Siluman Ular Putih cepat melempar tu-
buhnya ke kiri. Sehingga, hawa dingin yang
menyerang dirinya hanya mengenai tempat
kosong. Kini, di hadapan Siluman Ular Putih
telah berdiri tegak seorang lelaki tinggi kurus
berpakaian ringkas warna ungu. Usianya ki-
ra-kira enam puluh tahun. Rambutnya pan-
jang memutih tak terawat. Wajahnya garang
tanpa kumis dan jenggot. Hidungnya besar,
bibirnya tebal kehitaman. Sementara sepa-
sang matanya yang sipit terus memandang
beringas pada Siluman Ular Putih.
"Jangan sembarangan membacot, Iblis
Penebar Maut! Sebaiknya, mari kita cincang
kunyuk gondrong ini!" bentak Kelelawar Hu-
tan tersinggung.
"He he he...! Rupanya kau ketakutan ju-
ga, Kelelawar Hutan. Baik! Tapi kau juga ha-
rus ingat perjanjian kita! Kau harus memin-
jamkan kitab itu padaku!" sahut sosok tua
berambut panjang warna putih yang ternyata
berjuluk Iblis Penebar Maut.
"Jangan khawatir, Iblis Penebar Maut!
Pokoknya begitu urusan ini selesai dan aku
sudah selesai mempelajari kitab itu, kau bo-
leh datang mengambilnya!"
"Baik!"
Iblis Penebar Maut langsung berkelebat
menerjang Siluman Ular Putih seolah me-
mandang sebelah mata.
Plak!
"Heh?"
Begitu jotosan tangan kanannya beradu
dengan tangan kiri Siluman Ular Putih, maka
terkejutlah tokoh sesat dari Gunung Wilis itu.
Tangannya bergetar hebat akibat bentrokan
tadi. Bahkan tendangan Siluman Ular Putih
hampir saja mendarat telak di dada.
"Aku bilang apa? Ayo, lekas cincang ku-
nyuk gondrong ini!" ujar Kelelawar Hutan lagi.
Sehabis berkata begitu, Kelelawar Hutan
semakin mempercepat serangannya dengan
jurus-jurus yang dipelajari dari kitab pening-
galan gurunya. Demikian juga Iblis Penebar
Maut, tokoh sesat dari Gunung Wilis itu. Ia
yang sempat terkejut pada gebrakan pertama
tadi, kini tidak berani memandang ringan la-
wan mudanya lagi.
Diam-diam Siluman Ular Putih menge-
luh dalam hati. Pemuda ini benar-benar ke-
walahan menghadapi gempuran-gempuran
dua tokoh sesat tua itu. Padahal jurus-jurus
saktinya telah dikeluarkan. Bahkan tak ja-
rang senjata pusakanya yang melesat cepat
laksana rencong selalu saja dapat dihindari
dengan mudah. Hingga tak heran kalau per-
lahan namun pasti, pemuda gondrong murid
Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Bu-
cu itu terdesak hebat.
Sementara itu, Aryani dan Sindu masih
dikeroyok puluhan orang murid Perguruan
Kelelawar Putih. Namun, mereka masih dapat
melayani. Dipihak lain, Cantrik Tudung Pan-
dang dan Setan Cantik tampak mulai terde-
sak oleh tiga orang murid utama Lowo Kuru
dan Bidadari Putih.
"Cantrik Tudung Pandan! Di antara kita
tidak ada silang sengketa. Lekaslah tinggal-
kan tempat ini, mumpung pikiranku belum
berubah!" bentak Bidadari Putih garang, di
antara tebasan-tebasan pedang yang terus
mengurung pertahanan Cantrik Tudung Pan-
dan.
"Bedebah! Jangan seenaknya membacot,
Bidadari Putih! Awas, lihat serangan!" dengus
Cantrik Tudung Pandan sinis.
Dari pancaran mata jelas kalau tokoh
sesat dari Istana Ular Emas itu sangat me-
mandang rendah pada Bidadari Putih. Bah-
kan dengan jarum-jarum emasnya yang ber-
keredepan, Cantrik Tudung Pandan pun
kembali menerjang. Sementara kilatan- kila-
tan pedangnya terus berusaha mengurung
pertahanan Bidadari Putih.
Namun sayangnya yang dihadapi Can-
trik Tudung Pandan kali ini bukanlah tokoh
kemarin sore. Melainkan, Bidadari Putih yang
merupakan salah seorang murid Pendekar
Lowo Putih yang sangat disegani di dunia per-
silatan. Hingga tak heran kalau serangan-
serangan Cantrik Tudung Pandan tak berarti
apa-apa di depan Bidadari Putih. Bahkan kini
malah Bidadari Putih yang dapat mendesak-
nya.
Cantrik Tudung Pandan menggeram pe-
nuh kemarahan. Wajahnya menegang. Kedua
pelipisnya bergerak-gerak, pertanda tengah
menahan amarah menggelegak. Dan sambil
berkelebat cepat, tangan kirinya cepat mero-
goh kantong kecil yang melilit di pinggang. La-
lu....
Serrr! Serrr!
Tiba-tiba melesat dua bayangan kecil
memanjang berwarna kuning keemasan ke
arah Bidadari Putih.
Di tempatnya, Bidadari Putih terkesiap.
Dari bau amis yang menebar mendahului le-
satan dua benda memanjang berwarna kun-
ing keemasan, Bidadari Putih tahu kalau itu
adalah seekor ular berwarna emas! Ya, ular
emas!
"Ah...!" pekik Bidadari Putih kaget bukan
alang kepalang.
Jarak lesatan dua benda memanjang
berwarna keemasan itu memang demikian
dekat. Sehingga, tak mungkin Bidadari Putih
menggerakkan pedangnya untuk membabat.
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi, tu-
buhnya cepat dilempar ke samping, sekaligus
menghindari tebasan- tebasan pedang di tan-
gan Cantrik Tudung Pandan.
Dua benda memanjang berwarna kee-
masan yang memang dua ekor ular emas kini
merayap cepat dengan kepala terangkat ting-
gi-tinggi.
Cantrik Tudung Pandan tersenyum din-
gin. Sss... sss...! Disertai suara mendesis, dua
ekor ular emas itu pun kembali melesat cepat
menyerang Bidadari Putih.
Set! Set!
Bidadari Putih cepat mencelat tinggi. Di
udara, pedangnya cepat digerakkan dua kali.
Dan
Crakkk! Crakkk!
Terlihat dua kali darah muncrat di uda-
ra. Dan dua benda memanjang berwarna kun-
ing keemasan itu pun terbabat buntung, Begi-
tu jatuh di tanah. Kedua ular emas itu meng-
geliat-geliat sebentar lalu tak bergerak-gerak
sama sekali. Mati!
"Bangsat...! Heaaa...!"
Bukan main marahnya Cantrik Tudung
Pandan. Disertai pekikan setinggi langit, tu-
buh tingginya tahu-tahu telah berkelebat ce-
pat menyerang Bidadari Putih. Pedang di tangan kanannya berkilat-kilat tertimpa sinar
matahari, siap merajam.
Bidadari Putih cepat menggerakkan pe-
dangnya untuk menangkis. Kemudian dengan
menggunakan jurus-jurus sakti 'Cengkera-
man Maut Kelelawar Sakti', cepat diterjangnya
Cantrik Tudung Pandan. Gerakan-gerakan
pedangnya yang sulit diduga sungguh mere-
potkan lawan. Malah beberapa kali pedangnya
merobek kulit tubuh Cantrik Tudung Pandan.
Sementara Bidadari Putih yang sedang
kalap itu malah semakin mempercepat seran-
gannya. Dan di saat Cantrik Tudung Pandan
terdesak hebat, mendadak...
"Siapa pun adanya kau, tak boleh mem-
bunuh Cantrik Tudung Pandan! Akulah yang
berhak membunuhnya!"
* * *
11
Di hadapan Bidadari Putih dan Cantrik
Tudung Pandan tahu-tahu telah berdiri tegak
seorang lelaki berjubah kuning kedodoran
sampai lutut. Tubuhnya pendek kurus. Wa-
jahnya polos dengan rambut awut-awutan.
Pipinya cekung. Giginya kuning, menjorok ke
depan. Usianya kira-kira enam puluh tahu-
nan. Dan lucunya, lelaki ini memiliki kumis
yang mirip kumis kucing! Dan di dunia persi-
latan pun ia mendapat julukan Lelaki Berku-
mis Kucing. (Untuk mengetahui siapa Lelaki
Berkumis Kucing ini lebih lanjut, silakan baca
episode: "Sumur Kematian").
"Hm...! Kalau melihat ciri-ciri mu, kau
pasti orang tua yang bergelar Lelaki Berkumis
Kucing. Untuk apa kau mencegah aku mem-
bunuh Cantrik Tudung Pandan?" gumam Bi-
dadari Putih dengan tatapan tajam.
Lelaki Berkumis Kucing mengangguk-
angguk.
"Bidadari Putih! Sebaiknya kau bantu
saja bocah gondrong itu! Tampaknya ia kewa-
lahan sekali menghadapi Kelelawar Hutan
dan Iblis Penebar Maut. Lekas! Aku ada sedi-
kit urusan dengan wanita sundal ini!"
Bidadari Putih berpaling ke arah Silu-
man Ular Putih. Dan memang, benar pemuda
gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo
dari Gunung Bucu itu tengah terdesak hebat
di tangan dua orang pengeroyoknya.
"Baiklah!" sahut Bidadari Putih, akhir-
nya.
Sehabis berkata begitu, Bidadari Putih
pun segera berkelebat cepat, menyerang Iblis
Penebar Maut. Kebetulan, tokoh sesat itulah
yang lebih dekat dengannya. Dengan meng-
gunakan sebilah pedang, dimainkannya jurus
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti'. Sedang
tangan kirinya yang membentuk cakar siap
pula mencengkeram dengan jurus 'Cakar
Maut Kelelawar Hutan'.
Melihat Bidadari Putih telah membantu
Siluman Ular Putih, Lelaki Berkumis Kucing
jadi senang sekali. Namun sejurus kemudian,
matanya telah menatap tangan Cantrik Tu-
dung Pandan.
"Cantrik Tudung Pandan! Lima belas ta-
hun lalu, kau boleh pecundangi aku. Tapi
jangan harap sekarang dapat lolos dari gebu-
kan tongkat hitam ku. Lekas maju! Aku su-
dah tidak sabar ingin menggebuk pantatmu."
Wajah pucat pasi Cantrik Tudung Pan-
dan terlihat semakin pias. Rahangnya berge-
meletukan. Kedua pelipisnya pun bergerak-
gerak, pertanda tak dapat lagi mengendalikan
gelegak amarahnya. Maka tanpa banyak ca-
kap lagi, segera tangannya mengibas. Dan...,
Serrr! Serrr!
Tidak kurang dari sepuluh jarum emas
Cantrik Tudung Pandan melesat cepat menye-
rang sekujur tubuh Lelaki Berkumis Kucing.
Sinar emasnya yang berkeredepan tampak
menggiriskan.
"Heaaa...!"
Bett! Bettt!
Bersamaan dengan itu, tebasan-tebasan
pedang tipis Cantrik Tudung Pandan segera
menyusul menyerang musuh bebuyutannya.
"Ah...! Dari dulu kau selalu main-main
dengan jarum emasmu, Cantrik Tudung Pan-
dan. Aku jadi heran, apa kau tidak bosan?
Mengapa tidak kau gunakan untuk menjahit
pakaianmu yang compang-camping?" celoteh
Lelaki Berkumis Kucing sembari berkelebat
kesana kemari, menghindari jarum-jarum
emas Cantrik Tudung Pandan. Sedang gulun-
gan-gulungan tongkat hitamnya segera me-
nangkis tebasan-tebasan pedang.
Tlakkk! Tlakkk!
Terdengar beberapa kali benturan di
udara. Tubuh kedua orang itu sama-sama
terjajar beberapa langkah ke belakang dengan
tangan terasa bergetar hebat. Namun Lelaki
Berkumis Kucing yang sangat mendendam
pada Cantrik Tudung Pandan segera kembali
berkelebat cepat untuk menyerang. Gulun-
gan-gulungan tongkat hitamnya terlihat terus
berusaha mengurung pertahanan Cantrik Tu-
dung Pandan,
"Heaaa..?"
Namun selang beberapa saat kemudian,
gantian gulungan-gulungan sinar kuning
keemasan pedang tipis Cantrik Tudung Pan
dan yang mendesak hebat Lelaki Berkumis
Kucing. Bahkan mendadak satu pukulan wa-
nita sesat itu meluncur deras ke dada. Begitu
cepatnya, sehingga,
Bukkk! Bukkk!
"Aughhh...!" pekik Lelaki Berkumis Kuc-
ing. Dadanya yang terkena pukulan tangan
kiri Cantrik Tudung Pandan terasa mau jebol.
Tubuh pendeknya limbung ke kiri. Meski de-
mikian tongkat hitamnya berhasil disarang-
kan di punggung lawan. Sehingga membuat
Cantrik Tudung Pandan terjajar ke samping.
"Aaakh...."
Bersamaan dengan terjajarnya tubuh
Cantrik Tudung Pandan, tiba-tiba terdengar
pekikan Bidadari Putih yang tengah ter-
huyung-huyung akibat bentrokan dengan pu-
kulan Iblis Penebar Maut. Bahkan pada saat
yang demikian, secara curang Kelelawar Hu-
tan langsung hantamkan pukulan Tangan Hi-
tam.
Desss...!
"Aaakh...!"
Seketika itu juga tubuh Bidadari Putih
terlempar beberapa tombak ke samping, lalu
jatuh berdebukan di tanah tak mampu ban-
gun lagi. Punggungnya yang terkena pukulan
'Tangan Hitam' Kelelawar Hutan langsung
menghitam dan mengepulkan asap hitam ti-
pis.
"Ibuuu...!" pekik Aryani menyayat.
Namun serangan-serangan pukulan mu-
rid Perguruan Kelelawar Putih membuat gadis
berpakaian putih-putih itu tetap berada di
tempatnya. Jangankan untuk menolong. Un-
tuk keluar dari kepungan pun rasanya sulit
Sementara itu, Kelelawar Hutan hanya
tertawa sumbang melihat Bidadari Putih ro-
boh dengan punggung hangus terbakar.
Bukan main murkanya Siluman Ular Pu-
tih melihat kejadian itu. Saking tidak dapat
mengendalikan gelegak amarahnya, pemuda
gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu sampai tidak dapat berkata-kata lagi. Wa-
jahnya menegang. Rahangnya bergemeletuk.
Bahkan tiba-tiba sekujur tubuhnya telah di-
penuhi uap putih tipis. Sehingga, akhirnya
bayangan tubuh pemuda gondrong itu tidak
kelihatan sama sekali!
Sejenak Kelelawar Hutan dan Iblis Pene-
bar Maut menghentikan serangan. Sepasang
mata mereka terbelalak lebar, tak tahu ilmu
apa yang akan dikeluarkan musuh mudanya.
Dan ketika uap putih yang menyelimuti seku-
jur tubuh Soma pudar tertiup angin, maka
seketika itu juga....
"Gggeeerrr...!"
* * *
Berpuluh-puluh pasang mata yang be-
rada di Pekarangan Terlarang seketika terbe-
lalak melihat seekor ular putih sebesar pohon
kelapa. Terkadang badannya menyembul ke
atas. Sebentar kemudian, baru disusul den-
gan kepalanya. Sepasang matanya yang ber-
warna merah saga terus memandang beringas
pada Kelelawar Hutan dan Iblis Penebar.
Maut. Seolah siap memangsa calon korban
dengan kedua taringnya!
"Si..., Siluman Ular Putih...!" teriak Kele-
lawar Hutan dan Iblis Penebar Maut dengan
sepasang mata terbeliak saking terkejutnya.
Sehabis menggereng, Soma yang kini te-
lah menjelma menjadi Siluman Ular Putih ce-
pat menerjang Kelelawar Hutan dan Iblis Pe-
nebar Maut garang. Kepalanya digerakkan se-
demikian rupa, menyerang Kelelawar Hutan.
Sedang ekornya dikibaskan, siap me-
remukkan tubuh Iblis Penebar Maut.
Kelelawar Hutan dan Iblis Penebar Maul
tentu saja tidak ingin menjadi sasaran empuk
serangan-serangan Siluman Ular Putih. Maka
pedang di tangan kanan Kelelawar Hutan ce-
pat bergerak memapak serangan-serangan Si-
luman Ular Putih.
Tak! Tak!
Tebasan-tebasan pedang itu beberapa
kali mengenai tubuh Siluman Ular Putih. Na-
mun anehnya seperti membentur lempengan
baja yang kuat sekali! Jangankan membabat
buntung. Untuk melukai kulit tubuh Siluman
Ular Putih saja, Kelelawar Hutan tidak sang-
gup. Bahkan setiap mata pedangnya berben-
turan dengan tubuh Siluman Ular Putih, sela-
lu saja Kelelawar Hutan merasakan tangan-
nya kesemutan.
Sedang Iblis Penebar Maut pun terpaksa
harus berdecak kagum. Berkali-kali pukulan-
pukulan mautnya menghantam tubuh Silu-
man Ular Putih. Namun tetap saja hasilnya
sia-sia. Paling, ia hanya dapat membuat tu-
buh memanjang sebesar pohon kelapa itu ter-
lempar beberapa tombak ke samping. Setelah
itu, Siluman Ular Putih pun kembali mener-
jang garang.
Kibasan-kibasan ekor dan terkaman-
terkaman Siluman Ular Putih sungguh hebat
bukan main membuat debu-debu beterban-
gan. Hingga pada suatu saat...
Bukkk! Bukkk!
Tiba-tiba kibasan-kibasan ekor Siluman
Ular Putih itu menghantam telak dada Kele-
lawar Hutan. Seketika itu juga tubuh tinggi
besar itu terlempar beberapa tombak ke bela-
kang. Sedang dadanya yang terkena kibasan
terasa mau jebol dengan mata berkunang-
kunang.
Sejenak Kelelawar Hutan menggapai-
gapaikan tangan kanannya. Sedangkan tan-
gan kirinya menekan dada. Tak lama, tubuh-
nya ambruk ke tanah tak dapat bangun lagi.
Di sudut-sudut bibirnya tampak terbersit da-
rah segar, pertanda mengalami luka dalam
cukup parah!
Melihat itu, nyali Iblis Penebar Maut jadi
lumer. Sepasang mata sipitnya terbelalak le-
bar. Maka sebelum kibasan-kibasan ekor Si-
luman Ular Putih menghantam tubuhnya, ka-
ki kanannya cepat menjejak, Seketika tubuh-
nya berkelebat meninggalkan arena pertarun-
gan.
Siluman Ular Putih hanya memandangi
Iblis Penebar Maut dengan sepasang mata
mencorong. Sama sekali tidak ada keinginan
untuk mengejar. Apalagi, saat itu dilihatnya
Bidadari Putih masih tergeletak dengan pung-
gung hangus terbakar.
Siluman Ular Putih hanya menggereng
panjang. Dan ketika bayangan tubuh Iblis Pe-
nebar Maut menghilang di balik tembok me-
mutar Pekarangan Terlarang, tiba-tiba seku-
jur tubuh ular raksasa itu telah dipenuhi uap
putih tipis hingga tidak kelihatan sama sekali.
Wesss...!
Dan ketika uap putih tipis yang menye-
limuti tubuh Siluman Ular Putih pudar ter-
tiup angin, maka yang tampak kini adalah se-
sosok pemuda berpakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan. Siapa lagi
kalau bukan Soma alias Siluman Ular Putih?
"Jangkrik! Rupanya manusia sontoloyo
ini sakti juga," gerutu Soma ketika pandangan
matanya tertumbuk pada Kelelawar Hutan
yang tergeletak tak berdaya.
Sehabis menggerutu demikian, Soma
berjalan mendekati Bidadari Putih. Namun
baru beberapa langkah, tiba-tiba ia dike-
jutkan satu auman dahsyat yang memekak-
kan gendang telinga.
"Meooong...!"
Siluman Ular Putih sejenak menghenti-
kan langkahnya. Dilihatnya Lelaki Berkumis
Kucing tengah meloncat tinggi ke udara. Gu-
lungan-gulungan tongkat hitamnya tampak
berkelebat cepat sekali, menyerang ubun-
ubun kepala Cantrik Tudung Pandan. Sedang
tangan kirinya yang berkuku panjang warna
hitam, siap pula mencengkeram dada Cantrik
Tudung Pandan.
Hebat bukan main serangan Lelaki Ber-
kumis Kucing, membuat Cantrik Tudung
Pandan terkesiap kaget. Serangan-serangan
itu sungguh di luar dugaannya. Bahkan sebe
lum serangan Lelaki Berkumis Kucing men-
genai sasaran telah didahului oleh angin din-
gin yang menyerang tubuh Cantrik Tudung
Pandan.
Tidak ada pilihan lain. Terpaksa Cantrik
Tudung Pandan menggerakkan pedang tipis-
nya untuk menangkis tongkat hitam di tan-
gan Lelaki Berkumis Kucing.
Wuttt!
"Heh?!"
Tapi apa lacurnya? Ternyata serangan
tongkat di tangan Lelaki Berkumis Kucing
hanyalah tipuan belaka. Sedang serangan
yang sesungguhnya justru dari cengkeraman
tangan kiri Lelaki Berkumis Kucing. Sehing-
ga....
"Hyaaat! Hyaaat!"
Crakkk!
"Auuugh...!" pekik Cantrik Tudung Pan-
dan setinggi langit, ketika kuku-kuku jari Le-
laki Berkumis Kucing menjebol dada.
Seketika itu juga, tubuh Cantrik Tudung
Pandan limbung ke samping dengan darah
mengucur dari dada yang berlubang. Bersa-
maan dengan itu, tahu-tahu kaki kanan Lela-
ki Berkumis Kucing telah meluncur cepat ke
dada.
Bukkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi ramping
Cantrik Tudung Pandan terlempar beberapa
tombak ke belakang, lalu jatuh berdebuk ke
tanah tak dapat bangun lagi. Mati!
Setan Cantik terkesiap kaget. Wajahnya
kelam membesi. Dilihatnya Cantrik Tudung
Pandan sudah tidak bernyawa lagi. Hal ini
semakin membuat amarahnya tak dapat di-
kendalikan. Apalagi dari tadi, ia belum mam-
pu merobohkan satu orang murid utama Lo-
wo Kuru. Malah, kini dirinya yang terdesak
hebat.
"Setan alas! Siapa pun juga yang ada di
sini, harus bertanggung jawab atas mening-
galnya Kakak Cantrik Tudung Pandan!
Hyaaat! Hyaaat!"
Setan Cantik cepat menggerakkan pe-
dangnya. Tebasan-tebasan pedangnya terlihat
semakin menggiriskan. Apalagi diiringi jarum-
jarum emasnya yang berkeredepan, menye-
rang tiga orang pengeroyoknya.
"Kematian sudah di depan mata, masih
saja berkoar-koar!" ejek Naroko.
"Kurang ajar! Kalian pikir, akan semu-
dah itukah merobohkan ku!" maki Setan Can-
tik garang.
Meski membentak garang demikian, se-
benarnya diam-diam Setan Cantik jerih juga.
Apalagi Kelelawar Hutan sudah roboh di tan
gan lawan. Sedang Iblis Penebar Maut pun
entah sudah lenyap ke mana. Maka, tak he-
ran kalau diam-diam ia mulai mencari jalan
untuk melarikan diri.
Dan kesempatan itu akhirnya ditemukan
Setan Cantik juga. Di saat ketiga orang murid
utama Lowo Kuru menerjang dengan senjata
di tangan, Setan Cantik cepat mengibaskan
tangan kirinya. Dan....
Serrr! Serer!
Seketika itu juga, puluhan jarum-jarum
emas Setan Cantik yang berkeredepan mele-
sat menyerang ketiga orang murid utama Lo-
wo Kuru.
Ketiga orang yang jadi sasaran cepat
menggerakkan pedangnya menangkis rontok
jarum-jarum emas Setan Cantik. Dan kesem-
patan itu pun digunakan Setan Cantik untuk
berkelebat cepat meninggalkan arena perta-
rungan.
Naroko menggeram penuh kemarahan.
Sekali menjejak tanah, tahu-tahu, tubuh
tinggi besarnya cepat berkelebat mengejar Se-
tan Cantik.
Namun sayangnya, bayangan wanita tadi
telah lenyap di balik tembok Pekarangan Ter-
larang.
Naroko cepat meloncat ke atas tembok
Pekarangan Terlarang. Sedang bayangan Se
tan Cantik telah jauh meninggalkan lereng
barat Gunung Sumbing. Dengan sangat ter-
paksa Naroko yang berwatak kasar menghen-
tikan pengejarannya.
"Hentikan pertempuran! Dan cepat ka-
lian berlutut memohon ampun pada Nona Bi-
dadari Kecil yang kalian keroyok!" teriak Na-
roko, garang.
* * *
12
Puluhan murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih yang sedang mengeroyok Bidadari Kecil
dan Sindu seketika itu juga menghentikan se-
rangan. Sejenak mereka saling berpandangan.
Kemudian, entah siapa yang terlebih dahulu
memulainya, tahu-tahu mereka telah berlutut
di hadapan Bidadari Kecil dan Sindu.
"Ma... maafkan kami, Nona Bidadari Ke-
cil! Kami benar-benar tidak berdaya," ucap
salah seorang murid berpita kuning yang ber-
lutut tak jauh dari Aryani seraya membentur-
benturkan jidatnya ke tanah.
"Benar, Nona Bidadari Kecil. Kami be-
nar-benar tidak berdaya. Kami... kami takut
menerima hukuman dari Kelelawar Hutan bila
membangkang...," sahut murid lainnya.
"Benar, Nona Bidadari Kecil. Sekarang
kami pasrah. Silakan menjatuhkan hukuman
terhadap kami."
Bidadari Kecil tak pedulikan. Ia saat ini
sangat mencemaskan keselamatan ibunya.
Seketika tubuhnya berkelebat cepat ke tempat
ibunya. Di situ Soma tampak tengah sibuk
menotok beberapa jalan darah di tubuh Bida-
dari Putih yang masih tergeletak pingsan.
"Ibuuu...!" desah Aryani di sisi ibunya.
Wajahnya pucat pasi. Kedua bibirnya berge-
tar-getar.
Soma mengerdipkan sebelah matanya,
menyuruh Aryani diam. Lalu kembali jari-jari
tangannya bergerak lincah menotok tiga jalan
darah di tubuh Bidadari Putih. Dua totokan
pada bagian punggung dan yang terakhir pa-
da tengkuk.
Selang beberapa saat, perlahan- lahan
Bidadari Putih pun mulai membuka kelopak
matanya. Namun begitu, matanya terbuka da-
ri mulutnya. muntahkan darah berwarna me-
rah kehitaman.
"Ibu...!" pekik Aryani cemas bukan main.
"Sudahlah, Aryani! Jangan terlalu ce-
mas. Nanti malah aku jadi ikut-ikutan ping
san. Ya, kalau kau mau menolongku. Kalau
tidak..., matilah aku!" goda Soma.
Aryani melotot matanya lebar-lebar. Na-
mun belum sempat mengeluarkan makian,
Bidadari Putih telah mendahuluinya.
"Kau tidak apa-apa, Nak?" tanya Bidada-
ri Putih dengan napas tersengal.
"Tidak, Ibu."
"Syukurlah. Sekarang sebaiknya kita ke
tempat Sindu. Kulihat ia tengah sibuk mem-
berikan pengarahan kepada adik-adik seper-
guruannya."
"Tapi... tapi.,.! Tunggu dulu, Bu!" ujar
Aryani tiba-tiba. Seketika gadis ini berdiri dan
berkelebat ke arah Kelelawar Hutan.
Sepasang mata jeli si gadis mendadak
jadi beringas, begitu melihat orang yang pal-
ing dibencinya. Sekali tangan kanannya ber-
gerak, tubuh tinggi besar Kelelawar Hutan te-
lah terangkat tinggi-tinggi. Sedang tangan ki-
rinya cepat menotok beberapa jalan darah di
tubuh Kelelawar Hutan.
Perlahan-lahan Kelelawar Hutan mulai
membuka matanya. Kembali Aryani cepat
menotok punggung membuat Kelelawar Hu-
tan tidak dapat menggerakkan tubuhnya lagi.
"Sekarang katakan pada murid- murid-
mu yang bodoh, Kelelawar Hutan! Katakan
kalau kaulah yang telah mencelakakan Lowo
Kuru pemilik Perguruan Kelelawar Putih yang
sebenarnya! Cepat!" bentak Aryani seraya
menodongkan mata pedangnya ke leher Kele-
lawar Hutan.
Kelelawar Hutan melotot. Lalu tiba-tiba
saja ia tertawa bergelak- gelak.
"Bocah Setan! Akulah yang memang
mencelakakan Lowo Kuru. Sekarang kau mau
apa, he?!" bentak Kelelawar Hutan garang.
Aryani geram bukan main. Kegeraman-
nya ini telah membuatnya kalap. Maka ujung
pedang yang semula menempel di leher Kele-
lawar Hutan tiba-tiba saja berkelebat cepat.
Lalu....
"Jangan, Aryani!" pekik Bidadari Putih.
Craasss!
Namun Aryani yang sedang kalap mana
mau menuruti teriakan ibunya. Malah gera-
kan pedangnya semakin cepat. Sehingga tan-
pa ampun lagi kepala Kelelawar Hutan jatuh
menggelinding di tanah.
Sejenak Aryani memandang beringas ke-
pala yang menggelinding itu. Sepasang mata
jelinya tiba-tiba dialihkan ke puluhan murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang sedang
berlutut di hadapan Sindu.
"Kalian sudah tahu, apa yang kalian li-
hat, he? Apa kalian belum mengakui kalau
Lowo Kuru adalah pemilik Perguruan Kelela-
war Putih yang sebenarnya?"
"Ampuuun...! Ampunkan kami, Nona Bi-
dadari Kecil! Kami... kami benar-benar tidak
berdaya. Kami tidak berani menolak perintah
Kelelawar Hutan," jelas salah seorang murid
berpita kuning dengan suara bergetar-getar.
Aryani menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sepasang mata jelinya masih berkilat-
kilat liar.
"Sudahlah, Aryani! Jangan terlalu kasar
pada mereka! Mereka tidak bersalah. Mereka
hanya sekadar menjalankan perintah," ujar
Bidadari Putih lagi dengan napas tersengal.
"Baik, Ibu," sahut Aryani akhirnya.
Walau masih jengkel dengan ulah mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih, namun
begitu melihat wajah ibunya yang penuh da-
mai, membuat kemarahan Aryani jadi lumer.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan,
Ibu?" tanya Aryani meminta pendapat ibunya.
Sejenak Bidadari Putih diam membisu,
tak tahu harus berkata apa kepada putri
tunggalnya. Namun di saat tengah termangu-
mangu....
"Ah...! Mengapa repot-repot? Teruskan
saja Perguruan Kelelawar Putih ini seperti bi-
asanya. Dan biarkan Lowo Kuru atau Bidada
ri Putih sendiri yang memimpin," kata Lelaki
Berkumis Kucing.
"Tak mungkin. Tak mungkin kami me-
mimpin Perguruan Kelelawar Putih ini. Kami
sudah enggan untuk berkecimpung dalam
urusan padepokan. Malah, kami ingin meng-
habiskan masa tua di dalam Sumur Kema-
tian," tolak Bidadari Putih, halus.
"Kalau begitu, suruh saja putri mu yang
ayu itu memimpin. Kan beres?! Cuma sebe-
lumnya, kalau kau tidak keberatan, aku...,
aku ingin sekali menda..., eh, salah! Maksud-
ku, su... sudilah kau membagi Daun Lontar
Merah itu padaku, Bidadari Putih!" tutur Le-
laki Berkumis Kucing kacau-balau.
"Setan alas! Jadi, ini ya maksud keda-
tanganmu yang sebenarnya?! Ingin merebut
Daun Lontar Merah dari tangan kami? Apa
matamu buta, Orang Tua? Ibuku sendiri ma-
sih membutuhkannya. Jadi, mana sudi kami
membagi-bagikannya!" hardik Aryani garang.
Tangan kanannya cepat melolos pedangnya
kembali.
"Sabar, Anakku! Tak baik membentak-
bentak orang tua!" tegur Bidadari Putih ka-
lem.
"Tapi, Ibu...."
"Sudahlah! Aku pikir, Ibu hanya tinggal
membutuhkan beberapa lembar saja. Jadi,
berikan saja sisa-nya kepada Lelaki Berkumis
Kucing. Kan beres?!" kata Bidadari Putih di-
iringi senyum.
"Ah...! Tak kusangka kau demikian baik
hatinya padaku, Bidadari Putih. Terima kasih!
Terima kasih!" ucap Lelaki Berkumis Kucing
seraya menelungkupkan kedua telapak tan-
gan ke depan dada. Tubuhnya langsung men-
jura hormat beberapa. kali di hadapan Bida-
dari Putih dan Aryani.
Bidadari Putih dan Aryani sungkan se-
kali diperlakukan seperti itu.
"Sudahlah! Jangan terlalu berlebihan
begini, Lelaki Berkumis Kucing. Hanya kalau
boleh tahu, sebenarnya untuk siapakah Daun
Lontar Merah itu? Kulihat kau tidak menderi-
ta suatu penyakit apa pun.""
"Ah, iya! Sampai aku lupa mengatakan-
nya! Pantas saja kalian jadi mencurigaiku!"
desah Lelaki Berkumis Kucing seraya mene-
puk jidatnya sendiri. "Seperti yang kau kata-
kan, aku memang sehat-sehat saja. Tapi, ke-
tahuilah! Daun Lontar Merah itu sebenarnya
untuk menyembuhkan penyakit kakak seper-
guruanku Penjaga Pintu di Gunung Anjasmo-
ro. Aku sendiri belum tahu sakit apa dia....
Eh,.. ?! Mau ke manakah bocah gondrong itu?
Kok, tidak pamit?"
Tiba-tiba Lelaki Berkumis Kucing men-
galihkan perhatian ke tempat lain.
Aryani dan Bidadari Putih segera berpal-
ing ke belakang. Tampak pemuda gondrong
yang dimaksudkan Lelaki Berkumis Kucing
tengah menggaruk-garuk kepala. Ia tadi sebe-
narnya akan pergi begitu saja. Tapi sayang,
Lelaki Berkumis Kucing keburu mengeta-
huinya.
"Kau mau ke mana, Soma?" tanya Arya-
ni.
"Aku..., aku mau pergi. Kupikir aku su-
dah terlalu lama tinggal di sini."
"Kau... hendak meninggalkan ku?" tanya
Aryani. Entah mengapa tiba-tiba saja nada bi-
caranya jadi bergetar.
“Tidak boleh! Tidak boleh! Aku bilang ti-
dak boleh! Jasamu terhadap Perguruan Kele-
lawar Putih terlalu besar. Kau tidak boleh
meninggalkan tempat ini begitu saja. Bukan-
kah begitu, Bidadari Putih?" tukas Lelaki Ber-
kumis Kucing.
"Ya ya ya...!" jawab Bidadari Putih gela-
gapan, tak menyangka kalau akan dilibatkan
dalam pembicaraan.
"Nah...! Kau dengar, Bocah! Kau tidak
boleh meninggalkan tempat ini sebelum aku
menyematkan tanda mata untukmu. Ya ya
ya...! Aku harus mengalungkan kembang atas
jasa-jasamu ini. Tapi..., tapi apa ada kem-
bang-kembang yang kubutuhkan di sekitar
sini, ya?" kata Lelaki Berkumis Kucing seperti
pada diri sendiri. "Oh, ya! Tak ada kembang di
sekitar sini pun tak jadi soal. Kulihat di seki-
tar sini banyak berserakan jarum emas milik
wanita-wanita sundal itu. Kau tidak kebera-
tan kan kalau kembang-kembang itu ku gan-
tikan dengan jarum-jarum emas itu, Bocah?"
Tunggu, Orang Tua! Terus terang bu-
kannya aku keberatan. Tapi kalau boleh me-
milih, aku malah lebih senang kau menggu-
nakan gigi-gigi kuning mu yang mancung itu,
Orang Tua," kata Soma, seenak dengkul.
Sejenak Lelaki Berkumis Kucing melotot.
Lalu tanpa disadarinya tangan kanannya te-
lah meraba-raba gigi-gigi kuningnya yang
menjorok ke depan.
Melihat itu, mau tidak mau Aryani dan
Bidadari Putih pun tersenyum tipis.
"Sudahlah! Tak perlu kalian melan-
jutkan geguyonan ini. Dan seperti yang dika-
takan Lelaki Berkumis Kucing, kau tidak bo-
leh meninggalkan tempat ini begitu saja, So-
ma! Rasanya belum puas kalau kami belum
memberikan sesuatu padamu," tegas Bidadari
Putih.
"Sayang! Sayang sekali aku tidak bisa,
Bidadari Putih. Malam ini aku harus tiba di
suatu tempat. Ada satu urusan penting yang
harus segera ku tangani," tolak Soma berdus-
ta.
Dan sehabis berkata begitu, Siluman
Ular Putih pun segera berkelebat cepat me-
ninggalkan Pekarangan Terlarang. Namun ke-
tika pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo sampai di tembok memutar Peka-
rangan Terlarang, sejenak langkahnya terhen-
ti.
"Selamat tinggal. Aryani!" teriak Soma
seraya mengacungkan jempol. Lalu tubuhnya
cepat berkelebat kembali, dan menghilang di
balik tembok Pekarangan Terlarang.
Aryani mendesis sedih. Tanpa disadari
bibirnya menyebutkan nama pemuda itu be-
rulang kali. Sedang sepasang mata jelinya tak
henti-hentinya menatap ke arah menghilang nya Soma tadi.
SELESAI
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar