..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 22 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE PEDANG KELELAWAR PUTIH

Pedang Kelelawar Putih

 PEDANG KELELAWAR PUTIH

Hak Cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Siluman Ular Putih
Dalam Episode :
Pedang Kelelawar Putih

1
"Kau sekarang paham, siapa dalang dari 
semua peristiwa ini, Anak Muda?"
Suara serak namun cukup menggema 
meluncur dari seorang laki-laki tua di dalam 
sebuah ruangan bawah tanah.
Laksana akar-akar pepohonan yang 
mencengkeram ke dalam tanah, rambut laki-
laki tua itu menjuntai dan menancap kokoh 
ke dalam tanah. Nyala lampu di atas batu pu-
tih semakin memperjelas kalau lelaki tanpa 
anggota tubuh itu ditopang oleh rambut-
rambut kakunya agar bisa berdiri tegak.
Wajah si tua ini penuh kerut merut di 
kening. Matanya sayu, pertanda sudah terlalu 
banyak mengalami penderitaan batih. Hi-
dungnya mancung. Kumis dan jenggotnya 
panjang, tak terawat dan berwarna putih. Pa-
kaian putih-putihnya pun sudah compang-
camping tidak karuan. Memelaskan sekali 
keadaannya walau sebenarnya baru berusia 
lima puluh lima tahunan, namun karena su-
dah terlalu lama mengalami penderitaan ba-
tin, membuat keadaannya seperti itu.
Kata-kata laki-laki buntung itu dituju-
kan pada seorang pemuda tampan berusia 
delapan belas tahun. Rambutnya yang gon

drong dibiarkan tergerai di bahu. Wajahnya 
tampan dengan kulit putih bersih. Matanya 
agak kebiru-biruan. Pas sekali dengan alis
matanya yang tebal serta hidungnya yang 
mancung. Tubuhnya tinggi kekar dibalut 
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Dan dari rompinya yang terbuka tanpa 
kancing, di dada kanannya tampak sebuah 
rajahan bergambar ular putih. Sementara pa-
da bagian belakang rompinya menyembul se-
buah senjata pusaka. Dan pemuda tampan 
yang mempunyai ciri-ciri seperti itu tidak lain 
dari Soma yang lebih terkenal sebagai Silu-
man Ular Putih.
Memang, saat itu Soma berada di dalam 
Sumur Kematian. Pendekar berjuluk Siluman 
Ular Putih ini tengah berusaha memecahkan 
suatu teka-teki yang terjadi dalam Sumur 
Kematian. Sebuah sumur yang tengah dis-
ayembarakan oleh seorang tokoh sesat yang 
kini menjadi biang keladi kekisruhan di dunia 
persilatan. (Untuk mengetahui awal mula So-
ma berada di Sumur Kematian, baca serial Si-
luman Ular Putih dalam episode: "Sumur Ke-
matian").
"Paham Ki Lowo Kuru. Siapa lagi kalau 
bukan Kelelawar Hutan?!" jawab Soma. "Tapi 
aku belum mengerti semuanya, mengapa Ke

lelawar Hutan membuat sayembara untuk
menyelidiki Sumur Kematian ini?"
"Seperti yang diceritakan, Kelelawar Hu-
tan menginginkan pasangan Pedang Kelelawar 
Putih yang dulu terlempar ke dalam Sumur 
Kematian ini. Dan aku memang sudah me-
nemukannya di balik tumpukan mayat yang 
berserakan," jelas laki-laki tua yang bernama 
Lowo Kuru.
"Jadi, kau sudah menemukan Pedang 
Kelelawar Putih yang hilang itu, Ki?"
"Sudah."
"Lantas, mengapa tidak digunakan keti-
ka menghadapi aku tadi?"
"Aku memang tidak pernah mengguna-
kan Pedang Kelelawar Putih, Anak Muda. Ka-
rena sebenarnya, pedang itu memang tidak 
cocok kugunakan, maupun murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih lainnya. Hanya mu-
rid-murid perempuan Perguruan Kelelawar 
Putih sajalah yang berhak memiliki sepasang 
Pedang Kelelawar Putih, sekaligus berhak 
mewarisi Kitab Inti Sari Jurus 'Kelelawar Sak-
ti' peninggalan mendiang guru kami, Pende-
kar Lowo Putih."
"Hmm...," gumam Siluman Ular Putih 
sambil mengangguk-angguk. Keningnya ber-
kerut-kerut. Ada sesuatu yang masih meng-
ganjal dalam hatinya. "Lantas, mengapa Kele

lawar Hutan sendiri tidak mau masuk ke da-
lam Sumur Kematian? Rasanya aneh? Bu-
kankah ia sendiri mampu mengalahkanmu? 
Jadi, apa yang ditakutkan?"
"Selama aku mendekam dalam Sumur 
Kematian, sebenarnya sudah dua kali Jaha-
nam Kelelawar Hutan itu menemuiku. Berun-
tung sekali, waktu itu aku dapat memunah-
kan ilmu sihirnya. Sekaligus, membuatnya la-
ri terbirit-birit keluar dari Sumur Kematian. 
Dan mungkin karena merasa kapok, Kele-
lawar Hutan mengundang banyak tokoh per-
silatan untuk memaksaku supaya menyerah-
kan Pedang Kelelawar Putih."
"Tunggu, Ki! Bagaimana caranya kau 
mengalahkan Kelelawar Hutan? Bukankah 
dulu kau dapat dikalahkannya dengan mu-
dah?" ujar Siluman Ular Putih, menukas.
"Sebenarnya yang ku takutkan hanyalah 
ilmu sihirnya. Selama aku mendekam dalam 
Sumur Kematian, aku terus bertapa sekaligus 
meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa 
agar dapat menggunakan rambutku sebagai 
senjata, setelah Kelelawar Hutan membun-
tungi kedua tangan dan kakiku. Beruntung 
sekali, Yang Maha Kuasa sudi mengabulkan 
permintaanku. Maka begitu Kelelawar Hutan 
dan orang-orang suruhannya masuk ke da-
lam Sumur Kematian, aku sudah tidak punya

pikiran lain, Mereka harus kubunuh. Dan 
kau pun hampir jadi sasaranku. Apalagi, ku-
lihat kau pun dapat menggunakan ilmu sihir."
"Ya ya ya...! Sekarang aku mulai paham, 
Ki," Soma mengangguk-angguk.
"Berarti, jantung para korban murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih memang 
sengaja digunakan untuk tumbal ilmu hitam-
nya...."
"Bisa jadi begitu, Anak Muda. Eh, kau 
bilang tadi yang menjadi korban adalah mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih?" tanya 
Lowo Kuru dengan kening berkerut dalam.
"Jadi, kau belum tahu kalau murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang men-
jadi korban, Ki?" tukas Soma.
Lowo Kuru menggeleng. Matanya yang 
sayu menatap tajam pemuda gondrong di ha-
dapannya. Rahangnya mendadak mengeras. 
Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda 
orang tua buntung itu sedang menahan gejo-
lak amarah.
"Kau tahu siapa yang telah membantai 
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih, 
Anak Muda?" tanya Lowo Kuru mulai berubah 
nada bicaranya menjadi garang.
"Aku belum tahu pasti, Ki. Tapi menurut 
keterangan Aryani, orang yang membunuh 
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih

mempunyai kepandaian sangat tinggi. Ia juga 
menguasai jurus-jurus sakti 'Cengkeraman 
Maut Kelelawar Sakti' dan juga jurus-jurus
'Cakar Maut Kelelawar Hutan?".
"Bedebah! Lagi-lagi manusia jahanam itu 
yang membuat ulah!" dengus Lowo Kuru pe-
nuh kemarahan.
"Siapa maksudmu, Ki?"
"Siapa lagi kalau bukan si Jahanam Ke-
lelawar Hutan itu".
Lowo Kuru memandang beringas pada 
Soma. Matanya memerah penuh api dendam. 
Lalu kepalanya mendongak memandangi 
dinding-dinding Sumur Kematian. Kedua ba-
hunya tampak bergetar. Napasnya turun 
naik.
"Anak Muda! Terus terang aku sangat 
khawatir dengan keselamatan istriku. Dan 
mungkin juga dengan anaknya yang dikan-
dung dulu. Oh...! Sungguh aku tak dapat 
membayangkan, bagaimana penderitaan batin
istri dan anakku. Apa kau pernah bertemu is-
triku, Anak Muda?" keluh Lowo Kuru dengan 
suara bergetar. Bahunya terguncang-guncang 
keras. Kini kepalanya tidak lagi mendongak 
seperti tadi, melainkan menunduk dalam-
dalam.
"Mungkin aku pernah melihatnya sekilas 
saja, Ki. Tapi yang jelas, aku cukup mengenal

Aryani yang mengaku sebagai anak kandung 
Kelelawar Hutan, Orang Tua."
"Oh...," desah Lowo Kuru menyedihkan. 
"Mungkinkah gadis yang kau katakan itu 
anak kandungnya.
Kelelawar Hutan dengan Surtini, istriku? 
Atau, jangan jangan Aryani yang kau katakan 
justru anak kandungku sendiri?"
"Bisa jadi Aryani itu anak kandungmu 
sendiri, Ki. Sebab menurut keterangannya
Aryani sudah beberapa kali akan dibunuh 
oleh Kelelawar Hutan. Jadi, bisa jadi Aryani 
anak kandungmu sendiri. Kalau tidak, mana 
mungkin ada ayah yang tega akan membu-
nuh anak kandungnya?"
"Kau benar, Anak Muda! Gadis yang kau 
maksudkan pasti anakku!" tandas orang tua 
buntung itu dengan mata berbinar. "Kalau 
kau cukup mengenalnya, tolonglah kau ajak 
gadis itu kemari! Aku ingin sekali melihatnya. 
Kau mau menolongku, Anak Muda?"
"J angan khawatir, Ki! Aku pasti akan 
membantumu. Sekarang kau tenangkan ha-
timu dulu! Aku akan keluar sebentar. Dan 
yang jelas, aku pasti akan mengajak putri 
kandungmu kemari."
Siluman Ular Putih cepat meloncat ban-
gun. Pandangan matanya sejenak menyapu

ke seputar ruangan dalam lorong bawah ta-
nah.
"Oh ya, Ki. Kalau boleh tahu, apakah ju-
rus-jurus silat yang tertulis di dinding-dinding 
ini yang tadi kau pergunakan untuk mela-
wanku?" tanya Soma sebelum melangkah ke-
luar.
"Benar, Anak Muda. Itulah jurus-jurus 
sakti 'Sumur Kematian' ciptaanku."
"Jurus-jurus yang hebat, Ki. Hampir saja 
aku tidak sanggup menghadapinya."
"Sudahlah jangan banyak omong! Buk-
tinya saja, aku tidak sanggup meremukkan 
batok kepalamu seperti orang-orang yang ma-
suk ke dalam Sumur Kematian ini. Sekarang 
cepat panggilkan putri ku kemari, syukur ka-
lau kau bisa mengajak istriku sekalian."
"Kau sudah mulai berani memerintahku, 
Ki? Aneh! Padahal, kita baru saja saling ken-
al," seloroh Soma seraya menutulkan kaki 
kanannya ke tanah. Dan seketika tubuhnya 
berkelebat cepat menuju ke dasar Sumur Ke-
matian.
Lowo Kuru mendelik gusar. Namun be-
lum sempat memaki, bayangan pemuda be-
rambut. gondrong yang berjuluk Siluman Ular 
Putih itu telah lenyap dari pandangan.
Lowo Kuru sempat melongokkan kepa-
lanya ke dasar Sumur Kematian. Di sana, ti

dak ada siapa-siapa kecuali mayat-mayat dan 
tulang-tulang yang berserakan, menebarkan 
bau anyir menusuk hidung. Lantas matanya 
pejamkan rapat-rapat. Dalam beberapa saat 
kemudian, dia sudah tenggelam dalam sema-
dinya.
* * *
2
Sejak ditinggal pergi anak dan istrinya, 
Kelelawar Hutan makin keranjingan mempela-
jari kitab peninggalan gurunya, yang direbut 
dari kakak seperguruannya delapan belas ta-
hun lalu. Berhari-hari, ia terus membolak-
balik kitab dengan perasaan tegang. Kalau-
pun keluar dari rumah batunya hanya seper-
lunya saja.
Namun sampai sejauh ini, Kelelawar Hu-
tan tetap saja menjalani kesulitan untuk 
mempelajari isi kitab. Gambar-gambar dalam 
kitab bukannya berisi gerakan-gerakan orang 
bersilat, melainkan beberapa buah gambar 
gerakan kelelawar. Itu saja acak-acakkan dan 
tidak jelas. Tapi, laki-laki yang kini memimpin 
Perguruan Kelelawar Putih itu terus memak-
sakan diri sambil memperhatikan gambar,

tangan dan kakinya mengikuti petunjuk da-
lam gambar kitab itu. Namun sebentar-
sebentar gerakan gerakannya harus dihenti-
kan, karena selanjutnya seperti tak tahu apa 
yang harus dilakukan.
Kelelawar Hutan menggeram penuh ke-
marahan. Wajahnya menegang. Matanya yang 
beringas terus memperhatikan gambar-
gambar dalam kitab dengan perasaan gemas. 
Selang beberapa saat kemudian.... 
Brakk!
Laki-laki ini mendadak menggebrakkan 
kedua tangannya kemeja. Seketika itu juga 
meja batu dalam rumah batu itu hancur be-
rantakan.
Tangan kanan Kelelawar Hutan gemeta-
ran saking penasarannya. Segera dimasuk-
kannya kitab kuning peninggalan gurunya ke 
dalam pakaian hitam-hitamnya. Dan dengan 
mata beringas, tubuhnya berkelebat keluar 
dari rumah batunya.
Hanya beberapa kali hentakan kaki, 
sampailah Ketua Perguruan Kelelawar Putih 
itu di Sumur Kematian yang memang tak be-
gitu jauh. Dan baru saja Kelelawar Hutan be-
rada di atasnya, mendadak terdengar alunan 
suling yang sangat lembut menyayat hati dari 
dalam lubang Sumur Kematian.
"He he he...!"

Kelelawar Hutan tertawa dingin. Dipan-
danginya lubang Sumur Kematian.
"Kakang Lowo Kuru! Kau telah meniup 
seruling hitammu lebih dari delapan belas ta-
hun. Bukannya masa yang pendek kau bera-
da di dalam sumur ini. Tapi, mengapa tidak 
mau menyerah, Kakang?"
Kelelawar Hutan tampak puas sekali me-
lihat penderitaan Lowo Kuru yang ternyata 
kakak seperguruannya. Sementara itu alunan 
seruling dari dalam lubang Sumur Kematian 
telah berubah. Dari lembut menyayat hati 
menjadi tiupan angin kencang menerjang lan-
git tinggi.
Di angkasa raya, sang bulan juga telah 
ditelan oleh tebalnya awan hitam yang bera-
rak-arak. Dan diiringi pekikan seruling yang 
melengking tinggi, serangkum angin puyuh 
menderu-deru dari dalam Sumur Kematian 
terus menerabas keluar, sebagai tanda kalau 
Lowo Kuru sedang marah besar.
"Kakang! Sudah sejak dulu kukatakan, 
jangan mempelajari hal-hal yang tak berguna, 
kalau akhirnya pun kau harus mengakui ke-
pandaianku. Bahkan istrimu si Bidadari Baju 
Putih pun tidak dapat kau jaga, hingga akhir-
nya jatuh ke tanganku. Sekarang, lekaslah 
serahkan Pedang Kelelawar Putih mumpung 
anak dan istrimu masih selamat di tangan

ku," ujar Kelelawar Hutan sengaja berdusta. 
Padahal, Aryani dan Bidadari Putih telah lama 
meninggalkannya.
"Manusia Pengecut! Siapa peduli omon-
gan mu! Ayo! Kalau kau memang laki-laki se-
jati, lekaslah turun! Kita bertarung sampai 
ada yang mampus!”
Terdengar satu bentakan nyaring penuh 
tenaga dalam dari dalam Sumur Kematian.
Suaranya menggema, merambat dan terus 
menerabas keluar dari lubang sumur.
Kelelawar Hutan menggeram penuh ke-
marahan. Berkali-kali ia mondar-mandir di 
pinggir sumur. Kemudian kepalanya dilon-
gokkan ke bawah.
"Siapa sudi menuruti keinginan orang 
putus asa? Kalau kau ingin mampus, mam-
puslah sendiri di bawah sana! Tapi, kau ha-
rus menyerahkan Pedang Kelelawar Putih itu 
padaku!" kata Kelelawar Hutan, jerih juga 
mendengar tantangan Lowo Kuru. 
"Ha ha ha...! Bilang saja kau tidak bera-
ni!" Kelelawar Hutan menggereng. Kedua peli-
pisnya bergerak-gerak. Gigi-gigi gerahamnya 
bergemeletukan, menahan amarah menggele-
gak. Namun laki-laki licik itu tidak mau me-
nurutkan hawa amarahnya.
"Aku tahu, kali ini kau bisa bicara pon-
gah seperti ini. Tapi, tunggu sebentar, Ka

kang! Kau tentu akan menyesal dengan kata-
katamu!"
"Hidupku sudah hancur. Buat apa me-
nyesali?" teriak Lowo Kuru nyaring, namun 
suaranya kali ini sedikit melemah. Mungkin 
terpengaruh juga dengan ancaman Kelelawar 
Hutan.
Kelelawar Hutan tidak lagi meladeni 
omongan-nya. Hanya matanya saja yang ber-
kilat-kilat, memperhatikan lubang Sumur 
Kematian. Kemudian dengan perasaan panas, 
segera ditinggalkan tempat ini.
Begitu kaki kanannya menutul ke tanah, 
bayangan tinggi besar Kelelawar Hutan pun 
tahu-tahu telah berkelebat cepat keluar dari 
Pekarangan Terlarang. Gerakan kedua ka-
kinya cepat sekali laksana terbang, pertanda 
ilmu meringankan tubuhnya telah sangat 
tinggi
Sebentar saja Kelelawar Hutan telah 
sampai di padepokannya. Beberapa orang 
murid asuhannya berlari-lari menyambut ke-
datangannya, ia langsung duduk berlutut 
mengitari.
"Semuanya berkumpul di ruang utama!" 
perintah Kelelawar Hutan galak.
"Baik, Guru!" sahut murid-murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih serempak

Dan sehabis berkata begitu, murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih segera me-
nuju ruang utama. Dengan langkah angkuh-
nya Kelelawar Hutan mengikuti dari belakang. 
Tepat ketika murid-murid Perguruan Kelela-
war Putih sudah duduk bersila di ruang uta-
ma, Kelelawar Hutan masuk.
"Selamat memasuki ruang utama. 
Guru!" sambut para murid.
Kelelawar Hutan mengangguk-angguk 
angkuh. Langkahnya tegap kala. Mendekati
tempat duduknya. Sejenak pandangannya 
menyapu ke seputar ruangan. Seluruh murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih diam mem-
bisu dengan kepala menunduk dalam-dalam.
Kelelawar Hutan menghenyakkan pan-
tatnya kasar di kursi kebesarannya.
"Kalian semua murid-murid Perguruan 
Kelelawar Putih, kuperintahkan untuk me-
nangkap hidup-hidup Bidadari Kecil dan Bi-
dadari Putih! Siapa saja yang dapat menang-
kap mereka hidup-hidup, cepat beri tahu aku 
di rumah batu, Kalian paham?!" ujar Kelela-
war Hutan, dengan pandangannya menebar 
ke sekeliling.
"Paham, Guru!" sahut murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih serempak.

"Tapi... tapi, bagaimana kalau mereka 
melawan, Guru?" tanya salah seorang murid 
yang mengenakan pita warna kuning berani.
"Kau lancang sekali, Panuluh! Kapan 
kau kusuruh bertanya, he?.!" hardik Kelela-
war Hutan garang.
"Ma... maaf, Guru! Aku tidak sabar," ja-
wab murid yang dipanggil Panuluh itu geme-
tar. Wajahnya seketika pucat pasi.
"Baik. Kali ini kau ku maafkan, Panuluh. 
Tapi tidak untuk yang kedua kalinya," kata 
Kelelawar Hutan angkuh. Sejenak pandangan 
matanya kembali menyapu paras murid-
muridnya. Tak ada satu pun yang berani 
membuka suara. Semuanya diam dengan pe-
rasaan tegang.
Kelelawar Hutan angguk-anggukkan ke-
palanya.
"Baik. Kalau mereka melawan, bunuh! 
Paham?! Aku perintahkan kalian semua un-
tuk membunuh mereka!"
Semua murid Perguruan Kelelawar Hu-
tan terkesiap. Sejenak mereka mendongak, 
memandang Kelelawar Hutan, kemudian bu-
ru-buru diam membisu seperti semula. Dalam 
hati, mereka tidak henti-hentinya menduga-
duga apa kesalahan Bidadari Kecil dan Bida-
dari Putih sehingga harus dibunuh. Namun..

keheranan mereka hanya dapat disimpan da-
lam hati.
Sekarang, lekas kalian semua enyah dari 
hadapanku! Dan jangan lupa lakukan semua 
perintahku!" tegas Kelelawar Hutan garang.
* * *
3
Kaki langit sebelah timur terusap sinar 
matahari yang berwarna merah jingga. Ayam 
jantan liar sejak tadi mengumandangkan ko-
koknya yang gagah, menyapa pagi. Gumpalan 
awan putih laksana kapas berserakan di ca-
krawala. Sementara, tiupan angin lembut te-
rasa. semakin menambah indahnya suasana.
Di sebuah hutan bambu yang tak jauh 
dari Lembah Kruisan, berkelebat sesosok
bayangan putih-putih melalui jalan setapak di 
pinggiran hutan. Gerakannya cepat sekali 
laksana terbang, pertanda ilmu meringankan 
tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Sosok itu adalah seorang wanita cantik 
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Ram-
butnya panjang sebahu, dengan ikat kepala 
warna putih. Wajahnya berbentuk lonjong 
dengan sepasang mata lebar dan alis tebal.

Hidungnya mancung. Pas sekali dengan ben-
tuk bibirnya yang tipis. Sedang tubuhnya 
yang langsing dibalut pakaian warna putih-
putih. Siapa lagi sosok itu kalau bukan Surti-
ni atau yang lebih terkenal sebagai Bidadari 
Putih. Wanita ini telah pergi meninggalkan 
markas Perguruan Kelelawar Putih karena in-
gin mencari obat pemunah racun yang ham-
pir delapan belas tahun mengeram dalam tu-
buhnya.
Tanpa mengenal lelah, Bidadari Putih te-
rus berlari kencang menuju puncak Gunung 
Perahu, tempat petapaan Tabib Agung. Na-
mun ketika wanita itu sampai di persimpan-
gan jalan di luar hutan bambu, mendadak.... 
"Berhenti!"
Terdengar bentakan keras menggelegar 
yang membuat Bidadari Putih kontan berhen-
ti. Dan belum hilang gaung bentakan itu, ta-
hu-tahu di hadapan Bidadari Putih telah ber-
diri seorang wanita cantik berpakaian kuning 
keemasan. Usianya kira-kira sama dengan-
nya, Rambutnya panjang digelung ke atas. 
Wajahnya yang putih kepucatan berbentuk 
bulat telur. Sepasang matanya lebar, alis ma-
tanya tebal. Bulu-bulu matanya lentik, hi-
dungnya pun mancung. Dan tokoh wanita ini 
pun sudah cukup banyak malang melintang

di dunia persilatan. Gelarnya cukup menye-
ramkan, Setan Cantik!
Melihat siapa yang menghadang, gera-
kan Bidadari Putih langsung berkerut. Pe-
rempuan yang menghadangnya tidak lain dari 
orang yang menyebabkan suaminya merana 
dalam Sumur Kematian. Karena. dia adalah 
salah seorang tokoh sesat yang turut mem-
bantu Kelelawar Hutan mengeroyok Lowo Ku-
ru, hingga akhirnya dicemplungkan ke dalam 
Sumur Kematian dalam keadaan sangat men-
genaskan.
"Bedebah! Rupanya kau, Setan Cantik! 
Kebetulan sekali kau mengirim nyawa bu-
sukmu kemari," desis Bidadari Putih, penuh 
kemarahan.
"Hm...! Rupanya kau pun masih galak 
juga seperti dulu, Bidadari Putih. Baik. Akan 
kulihat, sampai di mana kegalakan mu ini!" 
ejek Setan Cantik sinis.
"Keparat! Dosamu sudah bertumpuk, 
Setan Cantik! Kau tidak layak lagi berkeliaran 
di muka bumi ini!" hardik Bidadari Putih ga-
rang.
Kedua tangan Bidadari Putih yang sudah 
membentuk cengkeraman cepat bergerak me-
nyerang. Tidak tanggung-tanggung, langsung
dikeluarkannya jurus sakti 'Cengkeraman 
Maut Kelelawar Sakti' yang merupakan salah

satu jurus andalan Perguruan Kelelawar Pu-
tih. Sebelum serangan Bidadari Putih itu sen-
diri mengenai sasaran, terlebih dahulu berke-
siur angin dingin mengarah ke beberapa jalan 
darah Setan Cantik.
"Hup..,!" 
Setan Cantik cepat melempar tubuhnya 
ke belakang. Dan sambil berloncatan, tan-
gannya mengibas cepat.
Set! Set!
Seketika, beberapa sinar keemasan me-
luncur ke arah tubuh Bidadari Putih. Begitu 
dahsyat, dan nampak berkeredepan memba-
wa maut.
Namun Bidadari Putih tidak gentar di-
buatnya. Melihat Sinar-sinar keemasan yang 
berupa puluhan jarum-jarum emas itu, baju 
putihnya cepat dikebutkan secara memutar.
"Hih...!"
Dan begitu jarum-jarum emas rontok ke 
tanah, Bidadari Putih cepat meloncat tinggi ke 
udara. Begitu meluruk tangan kanannya 
membentuk cengkeraman ke arah ubun-ubun 
kepala Setan Cantik. Sedang tangan kirinya 
siap mencengkeram pula dada perempuan 
itu.
Hebat bukan main serangan-serangan 
Bidadari Putih ini. Apalagi tenaga dalamnya 
dikerahkan sepenuhnya.

Setan Cantik tidak berani memandang 
remeh. Cepat tubuhnya digulingkan ke samp-
ing. Dan lagi-lagi, sambil berguling-gulingan 
seperti itu, kembali tangannya mengibas. Ma-
ka, kembali jarum-jarum emas berkeredepan 
meluncur deras.
Wess! Wesss!
Di udara Bidadari Putih mengebutkan 
baju putihnya sekali, membuat jarum-jarum 
emas kembali rontok Dan begitu kedua ka-
kinya memapak ke tanah, tubuhnya kembali 
melompat tinggi ke udara. Gerakannya cepat 
sekali, laksana seekor kelelawar yang sedang 
mengejar mangsa dengan kedua tangan men-
garah ubun-ubun kepala Setan Cantik.
Setan Cantik yang baru saja melompat 
bangun, merasa tidak ada pilihan lagi. Kalau 
ingin selamat serangan-serangan Bidadari Pu-
tih harus ditangkisnya. Apalagi, saat itu kea-
daannya kurang begitu menguntungkan.
Plak! Plak!
Terdengar benturan dua telapak tangan 
di udara, yang disusulnya dengan bergetarnya 
dua sosok tubuh. Namun keseimbangan Bi-
dadari Putih sedikit lebih menguntungkan. 
Sedangkan Setan Cantik tampak sempat ter-
huyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang.

Tentu saja Bidadari Putih tidak menyia-
nyiakan kesempatan saat melihat tubuh Se-
tan Cantik terhuyung-huyung. Maka tenaga 
dalamnya cepat dikerahkan saat mengirim se-
rangan berikutnya, Namun....
"Hoeekkhh.”
Mendadak saja begitu mengerahkan te-
naga dalamnya, Bidadari Putih memuntahkan 
darah segar berwarna merah kehitaman den-
gan wajah pucat pasi. Kedua tangannya me-
megangi dada yang terasa sesak. Bibirnya 
bergetar-getar dan mulut meringis menahan 
nyeri di dada.
Di tempatnya, Setan Cantik yang semula 
ciut nyalinya melihat gebrakan Bidadari Putih 
jadi tersenyum senang.
"Ha..! Rupanya racun kelelawar putih 
masih mengeram dalam tubuhmu, Bidadari 
Putih. Sekarang jangan harap bisa jual lagak 
di depanku, he?!" ejek Setan Cantik dingin.
Bidadari Putih hanya bisa menggerutkan 
gerahamnya. Memang racun kelelawar putih 
akibat pukulan 'Tangan Hitam Kelelawar Hu-
tan' delapan belas tahun lalu masih menge-
ram dalam tubuhnya. Dan sekarang, karena 
terlalu banyak mengeluarkan tenaga dalam, 
membuat racun yang mengeram dalam tu-
buhnya semakin bekerja hebat.
"Hoeekh...!"

Bidadari Putih kembali memuntahkan 
darah segar berwarna merah kehitaman. Wa-
jahnya kian pucat pasi. Bibirnya bergetar-
getar menahan nyeri di dada.
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan pemba-
lasanku, Bidadari Putih! Agar kau tidak seng-
sara dengan racun dalam tubuhmu, aku ingin 
membantumu menemui Malaikat Kematian di 
dasar neraka. Sekarang terimalah kematian-
mu, Bidadari Putih!" desis Setan Cantik sinis.
Wajah Setan Cantik yang cantik menda-
dak berubah menjadi bengis. Matanya berki-
lat-kilat, menyembunyikan kekejaman luar 
biasa. Dan sehabis berkata begitu, tubuhnya 
meluruk ke arah Bidadari Putih dengan ju-
rus-jurus andalan dari Istana Ular Emas yang 
diiringi jarum-jarum emas berkeredepan.
Bed! Bed!
Set! Set!
"Utss...!"
Bidadari Putih kewalahan bukan main 
saat menghindar dengan melompat ke sana 
kemari. Bahkan berapa kali dia harus ber-
jumpalitan. Perlahan namun pasti, kini Bida-
dari Putih mulai terdesak hebat. Jangankan 
untuk membalas serangan. Untuk meng-
hindar saja harus mengerahkan segenap ke-
mampuannya.

Sedang Setan Cantik malah semakin ga-
nas mengurung pertahanan Bidadari Putih. 
Jarum-jarum emasnya yang berkeredepan 
benar-benar membuat Bidadari Putih kewala-
han. Dalam beberapa jurus lagi, Bidadari Pu-
tih tentu akan sulit menghindar dari tangan 
maut Setan Cantik.
Plak! Plak!
Dua buah tamparan mendarat telak di 
wajah, membuat Bidadari Putih terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Se-
dang kedua pipinya yang terkena tamparan 
tadi terasa nyeri bukan main.
Setan Cantik tersenyum senang. Pada 
saat tubuh Bidadari Putih terhuyung-huyung 
cepat dilontarkannya tendangan maut ke pe-
rut.
Bukkk!
"Aaakhh...!"
Bidadari Putih memekik tertahan. Seke-
tika itu juga tubuhnya mencelat beberapa 
tombak ke belakang, langsung membentur 
batang pohon di belakangnya. Perutnya yang 
terkena terasa mau jebol dan nyeri bukan 
main. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya ber-
getar-getar hebat. Dan dari sudut-sudut bi-
birnya nampak menggulir darah merah, per-
tanda tengah menderita luka dalam yang cu-
kup parah.

Melihat musuhnya terkapar tak berdaya, 
Setan Cantik makin beringas. Kedua tangan-
nya yang berwarna kuning keemasan hingga 
sampai ke siku, siap melontarkan pukulan 
maut 'Ular Emas' ke arah tubuh Bidadari Pu-
tih.
Wesss!.
Wuuttt...!
Satu tombak lagi pukulan itu mengenai 
sasaran, mendadak berkelebat sesosok 
bayangan putih-putih menyambar tubuh Bi-
dadari Putih.
Blarm..!
Pukulan sakti 'Ular Emas' milik Setan 
Cantik terus menerabas ke belakang, lang-
sung menghantam batang pohon di belakang-
nya hingga langsung hangus terbakar. Bebe-
rapa saat kemudian terdengar derak pohon 
yang jatuh melintang di tengah jalan.
"Keparat! Siapa yang berani main-main 
dengan Setan Cantik!" hardik Setan Cantik 
penuh kemarahan. Matanya yang tajam terus
memperhatikan sosok berpakaian putih-putih 
yang menolong Bidadari Putih. Dan kini sosok
itu telah melangkah ke arah tiga sosok lain 
yang juga telah berada di tempat ini.
* * *

4
Setan Cantik kini terkepung oleh empat 
orang gagah berpakaian putih-putih yang ra-
ta-rata berusia empat puluhan. Di kepala me-
reka melingkar ikat kepala berwarna putih.
"Kakang Sindu! Sebaiknya Kakang urus 
saja Bibi Bidadari Putih! Biar kami bertiga 
yang mencincang wanita sundal ini!" kata sa-
lah satu dari empat laki-laki berpakaian pu-
tih-putih pada temannya yang masih memon-
dong tubuh Bidadari Putih.
"Baiklah, Naroko. Harap kalian hati-hati 
dengan jarum-jarum emasnya!" sahut laki-
laki bernama Sindu yang memondong Bidada-
ri Putih. Kemudian dengan sekali mengempos 
tubuhnya, dia berkelebat membawa Bidadari 
Putih.
"Hm...! Murid-murid utama Lowo Kuru! 
Apa kalian belum kapok kugebuk delapan be-
las tahun lalu, he?! Menyesal sekali aku dulu 
membiarkan pergi. Tapi, jangan harap kali ini 
aku melepaskan nyawa busuk kalian!"
Sehabis berkata begitu, Setan Cantik se-
gera meloloskan pedang tipisnya yang ber-
warna kuning keemasan di pinggang. Gagang 
pedang berbentuk kepala ular emas. Begitu


pedang terangkat, bias-bias sinar keemasan 
memendar akibat jilatan sinar matahari.
Seperti yang dikatakan Setan Cantik, 
keempat orang berpakaian putih-putih itu 
memang murid utama Lowo Kuru. Delapan 
belas tahun yang lalu ketika terjadi pertem-
puran hebat antara Lowo Kuru dengan Kele-
lawar Hutan yang dibantu oleh beberapa 
orang tokoh sesat dunia persilatan, mereka 
pun turut membantu sang guru. Cuma 
sayangnya, mereka yang dibantu beberapa 
murid lainnya belum sanggup menghadapi ja-
rum-jarum beracun milik Setan Cantik dan 
Cantrik Tudung Pandan. Akibatnya ketika 
Lowo Kuru dan Bidadari Putih roboh di tan-
gan Kelelawar Hutan, keempatnya dapat diro-
bohkan pula.
Namun pada saat tubuh keempat orang 
murid utama Lowo Kuru itu hendak di buang 
ke dalam Sumur Kematian oleh beberapa 
orang adik seperguruan yang secara terpaksa 
menjadi anak buah Kelelawar Hutan, Sindu 
tersadar dari pingsannya. Dan karena terdo-
rong rasa iba tanpa sepengetahuan Kelelawar 
Hutan, Sindu diperbolehkan memeriksa keti-
ga orang temannya. Tidak disangka sama se-
kali, ketiga temannya ternyata masih hidup, 
walau keadaannya sangat mengenaskan!

Sindu lantas meminta kepada adik-adik 
seperguruannya untuk membawa pergi ketiga 
temannya. Sekali lagi karena terdorong rasa 
iba, Sindu akhirnya diperbolehkan. Dan me-
nyadari akan kehebatan pukulan 'Tangan Hi-
tam' ketiga orang temannya dibawa ke Gu-
nung Perahu tempat tinggal Tabib Agung.
Setelah dapat disembuhkan Tabib 
Agung, Sindu dan ketiga orang murid utama 
Lowo Kuru tidak langsung turun gunung. Se-
lama berpuluh-puluh tahun, mereka mem-
perdalam ilmu silat, hingga dapat menguasai 
jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kele-
lawar Sakti' dan 'Cakar Maut Kelelawar Hu-
tan'. Baru kemudian, mereka turun gunung. 
Kebetulan sekali, di tengah perjalanan mereka 
bertemu Bidadari Putih yang tengah terdesak 
menghadapi Setan Cantik.
Kini menghadapi salah seorang yang du-
lu turut mengeroyok guru mereka, tiga dari 
empat murid utama Lowo Kuru pun tak dapat 
lagi menahan amarahnya lagi. Apalagi ketika 
melihat bibi gurunya, Bidadari Putih pun 
hampir celaka di tangan Setan Cantik. Maka 
tanpa banyak membuang-buang waktu lagi, 
ketiga orang itu pun segera melolos pedang 
dari balik pinggang masing-masing.
Sret! Sret! Sret!


"Demi Tuhan kami akan membalaskan 
sakit hati guru dan bibi guru kami, Setan 
Cantik! Untuk itu, lekaslah serahkan nyawa 
busukmu untuk menebus dosa-dosamu yang 
sudah bertumpuk!" dengus laki-laki yang 
bernama Naroko penuh kemarahan sambil 
mengisyaratkan kepada kedua orang kawan-
nya untuk bersiap-siap.
"Majulah! Kalau kalian ingin mencari 
mati di tempat ini, Tikus-tikus busuk!" tan-
tang Setan Cantik pongah.
"Jahanam! Terimalah kematianmu hari 
ini, Setan Cantik!"
Naroko tak dapat lagi mengendalikan 
amarahnya, tanpa banyak cakap lagi kakinya 
menjejak tanah. Dan tahu-tahu, tubuh tinggi 
kekarnya telah melesat. Pedang di tangan ka-
nannya bergetaran, mengancam ubun-ubun 
kepala Setan Cantik. Sedang tangan kirinya 
telah membentuk cengkeraman, siap men-
cengkeram ulu hati.
Melihat Naroko telah mendahului me-
nyerang, kedua orang murid utama Lowo Ku-
ru itu pun segera membantu. Gerakan-
gerakan mereka cepat sekali dengan bacokan-
bacokan pedang yang mengurung pertahanan 
Setan Cantik.
Setan Cantik tersenyum dingin. Pedang 
Ular Emasnya digerakkan sedemikian rupa,

menangkis serangan-serangan ketiga murid 
utama Lowo Kuru.
Trang! Trang!
Terdengar suara berdentang disertai pi-
jaran bunga api ketika pedang di tangan Se-
tan Cantik berbenturan saat menangkis se-
rangan, Kontan tangan wanita ini terasa ke-
semutan. Sungguh tidak disangka kalau keti-
ga orang murid utama Lowo Kuru ini telah 
mengalami kemajuan pesat. Maka tanpa be-
rani memandang ringan lagi, cepat dikelua-
rkannya jurus-jurus dari Istana Ular Emas. 
Pedang di tangan kanannya mendadak berge-
rak menusuk ulu hati Naroko.
Wuttt!
Naroko berkelit ke samping. Namun 
sungguh tidak disangka kalau gerakan pe-
dang di tangan Setan Cantik mendadak me-
nyerong ke samping, lantas bergerak ke leher.
Naroko makin mengkelap, karena di 
samping harus menghadapi bacokan pedang, 
ia pun juga harus siap pula menghadapi pu-
kulan sakti 'Ular Emas'.
"Hyaaattt...!"
Akhirnya dengan nekat Naroko memutar 
pedangnya menangkis serangan bacokan pe-
dang Setan Cantik. Sedang tangan kirinya 
yang berwarna putih menyilaukan mata siap 
menangkis pukulan 'Ular Emas'.

Trang!
Bunga api berpijar disertai suara ber-
dentang keras, kala pedang di tangan kanan 
Naroko berkelebat menangkis bacokan pe-
dang Setan Cantik. Akibatnya, tangan laki-
laki bergetar hebat. Sedang pada saat itu dari 
telapak tangan kiri lawan cepat menerjang.
Namun pada saat yang paling genting 
bagi keselamatan Naroko, dua larik sinar pu-
tih menyilaukan mata melabrak ke arah Se-
tan Cantik
Wesss! Wesss!
Setan Cantik terpaksa menarik seran-
gannya. Tubuhnya cepat melompat ke bela-
kang beberapa tombak Namun begitu menje-
jak tanah, ia segera menerjang ke arah kedua 
orang murid utama Lowo Kuru yang tadi 
menghalang-halangi niatnya.
Naroko yang baru saja diselamatkan ke-
dua orang kawannya segera datang memban-
tu. Sehingga dalam waktu sebentar saja, 
kembali Setan Cantik dibuat sibuk mengha-
dapi serangan-serangan ketiga murid Lowo 
Kuru. Beberapa kali pedangnya berusaha di-
putar untuk menekan ketiga lawannya. Na-
mun tetap saja ia terdesak. Padahal Setan 
Cantik telah mengeluarkan jurus-jurus 
mautnya.

* * *
Sementara tak jauh dari pertarungan, 
Sindu, baru saja berhasil menyadarkan Bida-
dari Putih dari pingsannya. Meski telah luka 
dalam wanita itu dapat berkurang, namun te-
tap saja wajahnya masih nampak kepucatan.
Kening Sindu berkerut dalam. Ia tidak 
mengerti, mengapa wajah bibi gurunya masih 
nampak kepucatan. Di samping itu juga dira-
sakannya hawa dingin mengaliri jalan darah 
Bidadari Putih. Bisa ditebak kalau dalam tu-
buh bibi gurunya terkandung satu hawa ra-
cun yang keji sekali.
"Nampaknya Bibi Guru terkena pukulan 
yang mengandung hawa racun jahat. Tapi..., 
tapi menurut pandanganku bukan Racun 
Ular Emas yang mengeram dalam tubuh Bibi.
Lantas, siapa yang telah mencelakakan Bibi 
Guru hingga seperti ini, Bibi?" tanya Sindu 
tak mengerti.
"Aku, memang terkena racun, Sindu. 
Seperti pendapatmu, aku memang tidak ter-
kena Racun Ular Emas. Melainkan, terkena 
racun keji milik Kelelawar Hutan. Entah, ra-
cun apa itu. Yang jelas racun ini sudah men-
geram dalam tubuhku selama delapan belas 
tahun," jelas Bidadari Putih seraya menggigit 
bibir bawahnya. menahan nyeri dalam dada.

"Ah...! Tak kusangka Paman Kelelawar 
Hutan demikian keji menyiksa Bibi seperti ini. 
Lantas, bagaimana aku harus membantu Bibi 
mengeluarkan racun yang mengeram dalam 
tubuhmu?" keluh Sindu sedih.
"Sudahlah! Jangan kau terlalu mence-
maskan ku! Sebaiknya, cepat bantu kawan-
kawanmu menghadapi Setan Cantik!" ujar Bi-
dadari Putih seraya mengibaskan tangan ka-
nannya.
Sindu sebenarnya ingin membantah 
omongan bibi gurunya. Namun ketika melihat 
Bidadari Putih mulai pejamkan mata, niatnya
diurungkan. Rasanya tak tega mengganggu 
bibi gurunya yang sedang bersemadi untuk 
memulihkan tenaga dalam. Maka ketika meli-
hat ketiga adik seperguruannya terus meng-
gempur Setan Cantik, tanpa banyak pikir 
panjang lagi pedangnya segera diloloskan. 
Dan seketika tubuhnya berkelebat membantu 
serangan.
Setan Cantik yang sudah kewalahan, 
makin repot saja begitu Sindu itu membantu 
mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan 
saja entah sudah berapa kali Setan Cantik 
terpaksa harus berjumpalitan di udara. Ja-
rum-jarum emasnya seolah-olah tidak ber-
manfaat menghadapi serangan keempat orang 
murid utama Lowo Kuru. Malah entah sudah

berapa kali pula tubuhnya hampir saja terke-
na sambaran pedang di tangan para penge-
royoknya.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan membelah angkasa, Se-
tan Cantik mengibaskan tangannya. Seketika 
jarum-jarum beracunnya meluncur ke arah 
empat orang pengeroyoknya. Bersamaan den-
gan itu tangan kirinya yang sudah berwarna 
kuning keemasan sampai ke pangkal lengan 
menghentak ke arah Sindu melontarkan pu-
kulan 'Racun Ular Emas'.
Wesss! Weesss!
Keempat orang murid utama Lowo Kuru 
cepat memutar pedangnya demikian rupa, 
menangkis rontok jarum-jarum emas yang 
berkeredepan. Sementara Sindu yang baru 
saja memutar pedangnya, segera menghen-
takkan tangannya melepas pukulan 'Kepakan 
Kelelawar Sakti' untuk memapak sinar kuning 
dari pukulan 'Racun Ular Emas'.
Blarrr...!
Tubuh Sindu sempat terhuyung-huyung 
beberapa langkah ke belakang. Sedang Setan 
Cantik sendiri pun sempat bergetar hebat. 
Kemudian sebelum sempat ketiga orang mu-
rid Lowo Kuru menyusul serangan berikut-
nya, wanita itu cepat. mengempos tubuhnya.

Langsung berkelebat meninggalkan keempat 
orang pengeroyoknya.
Naroko yang merasa paling gemas den-
gan sepak terjang Setan Cantik cepat berkele-
bat menyusul. Namun baru beberapa tom-
bak....
"Naroko! Biarkan wanita sundal itu me-
larikan diri! Kita sebagai ksatria tak pantas 
mengejar musuh yang melarikan diri!" cegah 
Sindu.
Naroko menghentikan larinya. Laki-laki 
itu berbalik seraya menatap heran pada Sin-
du.
"Tapi, wanita sundal itulah yang telah 
mencelakakan guru kita, dan bibi guru kita, 
Kakang," kata Naroko kecewa.
"Yayaya.,.! Aku tahu. Tapi lebih baik kita 
menolong bibi guru!"
"Baiklah kalau begitu. Tapi lain kali, aku 
berjanji tidak akan melepaskan wanita sundal 
itu! Belum puas rasanya kalau aku belum 
membalaskan sakit hati Guru," geram Naroko 
penuh kemarahan.
"Hm...! Lain kali aku juga akan membuat 
perhitungan dengan tokoh sesat itu. Seka-
rang, sebaiknya cepat kita menolong bibi 
guru," ujar Sindu lagi.
Di tempatnya, Bidadari Putih masih 
tenggelam dengan semadinya. Wajahnya yang

cantik nampak makin kepucatan. Melihat hal 
ini, Sindu merasa gelisah sekali. Kemudian 
dia buru-buru berlutut di samping wanita 
cantik itu. Dan seperti ada kata sepakat, keti-
ga orang adik seperguruannya pun ikut pula 
duduk berlutut, menunggu Bidadari Putih se-
lesai dengan semadinya.
Beberapa saat kemudian, Bidadari Putih 
pun kembali membuka kelopak matanya per-
lahan-lahan. Namun, wajahnya tetap pucat 
pasi. Bibirnya bergetar-getar, pertanda racun 
yang mengeram dalam tubuhnya tengah be-
kerja hebat.
"Bibi Guru! Kau kenapa?" tanya Sindu 
tak sabar.
"Racun itu kembali bekerja menggerogoti 
tubuhku...," desah Bidadari Putih seraya 
menggigit bibirnya menahan nyeri di ulu hati.
"Lantas, apa yang harus kami perbuat 
untuk menolong Bibi Guru mengeluarkan ra-
cun itu?" tanya Sindu putus asa.
Bidadari Putih menggeleng-geleng. Ia 
sendiri pun sepertinya sudah mulai putus asa 
dengan racun yang mengeram dalam tubuh-
nya.
"Aku tidak tahu pasti, Sindu. Aku hanya 
ingin menemui Tabib Agung. Barang kali saja 
tokoh sakti dari Gunung Perahu itu mau 
mengeluarkan racun yang hampir delapan be

las tahun mengeram dalam tubuhku. Sebab 
untuk mengambil Daun Lontar Merah di da-
sar Sumur Kematian, rasanya tidak mungkin. 
Aku tidak tega melihat keadaan suamiku. Di 
samping itu, aku pun tidak tahu jebakan apa 
yang ada di Sumur Kematian."
"Ya ya ya.... Aku dapat memahami pera-
saanmu, Bibi," sahut Sindu. Tapi kupikir, ti-
dak ada pilihan lain. Kita harus secepatnya 
mengambil Daun Lontar Merah itu. Kalau Bibi 
ragu-ragu, biar kami berempat yang men-
gambilnya.
* * *
5
"He he he...! Rupanya kau penurut juga,
Aryani! Ayo, lekas bangun! Masa' anak pera-
wan bangun sesiang ini?!" tegur pemuda ber-
pakaian rompi dan celana bersisik warna pu-
tih keperakan yang tidak lain Soma alias Si-
luman Ular Putih dengan senyum menggoda. 
Suaranya pun terdengar bergetar-getar aneh 
mempengaruhi jalan pikiran Aryani.
Ajaib sekali! Aryani yang tertidur pulas 
mendadak tersentak bangun. Matanya meme-
rah. Wajahnya kuyu. Namun anehnya, sepa

sang matanya yang memerah mendelik gusar. 
Mulutnya bersungut-sungut pertanda sedang 
jengkel.
"Tidak ada angin tidak ada hujan, men-
gapa kau bersungut-sungut seperti ini?" 
tanya si pemuda kalem.
"Manusia kampret! Rupanya kau ber-
main-main dengan ilmu sihiran lagi! Kau mau 
mempermainkan aku ya?!" hardik Aryani pe-
nuh kemarahan.
"Siapa? Siapa yang mau mempermain-
kan mu? Tadi malam kulihat kau mengantuk, 
lalu tertidur. Apa aku salah kalau meninggal-
kanmu sebentar? Jangan menuduhku semba-
rangan begitu, dong!" tukas Soma memungki-
ri perbuatannya semalam.
Aryani bangkit. Matanya mendelik gusar.
"Apa kau bilang?! Kau pikir aku tidak 
tahu apa yang kau perbuat semalam sebelum 
meninggalkan ku, he?!" hardik Aryani lagi.
Soma yang dibentak seperti itu hanya 
tersenyum. Malah matanya mengerjap-
ngerjap nakal.
"Sudahlah, jangan marah-marah seperti 
ini! Aku takut nanti kau malah bisa cepat tua. 
Ayo, sekarang lekas ikut aku! Ada seseorang 
ingin bertemu denganmu," ajak Soma kalem.
"Enak saja kau main perintah. Pikir mu, 
kau ini siapa, he?!" sungut Aryani jengkel.

Tangan kanannya tahu-tahu telah menyodok 
keras perut Soma. Pada bagian pusar.
Dukkk!
Soma meringis. Bukannya sakit karena 
sodokan Aryani, melainkan bagian pusarnya 
itu merupakan bagian yang sangat peka dari 
ilmu pamungkasnya. Ajian 'Titisan Siluman 
Ular Putih'! Maka seketika itu, Soma pun mu-
lai merasakan sesuatu yang berputar-putar 
aneh pada perutnya. Dan benar saja. Belum 
sempat hawa panas yang berpusar-pusar da-
lam perutnya dikendalikan, mendadak saja 
sekujur tubuhnya mulai dipenuhi uap putih 
tipis. Sehingga, akhirnya bayangan tubuhnya 
tidak kelihatan sama sekali.
"Hah?"
Aryani terbelalak heran. Dan ketika asap 
putih tipis yang menyelimuti sekujur tubuh 
Soma sirna tertiup angin, seketika itu juga...
"Gggeerrr...!"
Aryani kaget bukan alang kepalang 
mendengar suara gerengan yang keras luar 
biasa. Wajahnya pucat pasi. Matanya kini ter-
belalak ngeri. Di hadapannya saat itu terlihat
seekor ular putih sebesar pohon kelapa den-
gan taring-taring mencuat berkilauan, sebesar 
tanduk kerbau liar. Matanya pun berwarna 
merah saga!

"Sil... Siluman Ular Putih...!" desis Arya-
ni dengan suara bergetar.
Siluman Ular Putih sebesar pohon kela-
pa menggeliat-geliat membuat debu-debu be-
terbangan terkena kibasan-kibasan ekornya. 
Sebentar kemudian, sekujur tubuh ular rak-
sasa itu kembali diselimuti uap putih tipis, 
hingga bayangan besar memanjangnya tidak 
kelihatan sama sekali.
Wesss...!
Dan saat asap putih tipis itu sirna ter-
tiup angin, maka tampak seorang pemuda be-
rambut gondrong dengan pakaian rompi dan 
celana bersisik warna putih keperakan. Soma!
"Kau... kaukah Sil..., Siluman Ular Putih 
itu, Soma?" tanya Aryani masih dengan mata 
terbelalak.
Soma tidak menjawab. Hanya dipandan-
ginya gadis itu dengan senyum terkembang di 
bibir sembari garuk-garuk kepala.
"Ah...! Tak kusangka kau Pendekar Si-
luman Ular Putih yang sedang diperbincang-
kan orang banyak itu," desah Aryani lagi. 
Namun kali ini gadis itu mulai sedikit dapat 
menenangkan hatinya.
Soma masih tersenyum-senyum nakal. 
Dalam hatinya sendiri pun juga merasa heran 
dengan kejadian barusan. Ia belum begitu ta-
hu, mengapa ketika gadis itu menyodok pu

sarnya, mendadak saja jadi berubah menjadi 
Siluman Ular Putih.
"Mungkinkah bagian pusar ku merupa-
kan salah satu kelemahan atau pantangan-
ku?" gumam Soma dalam hati. Sebab eyang-
nya di Gunung Bucu belum menjelaskan hal
itu.
"Kau ini bagaimana, sih? Mengapa kau 
menatap ku seperti itu? Ayo, lekas ikut aku! 
Ada seseorang yang ingin sekali bertemu den-
ganmu," tukas Soma.
"Tapi... tapi, kau kan yang bergelar Si-
luman Ular Putih itu?"
"Ya, ampun! Kenapa kau jadi nyinyir se-
perti ini, Aryani?! Apa kau tidak ingin berte-
mu seseorang yang sangat merindukan mu?" 
tegur Soma.
"Ya ya ya...! Tapi, siapa?"
"Ayahmu! Ayah kandungmu yang sebe-
narnya. Lowo Kuru."
"Maksudmu, orang tua buntung yang 
berada di dalam Sumur Kematian?" tanya 
Aryani, dengan kening berkerut heran.
"Apakah..., apakah orang tua buntung 
yang berada di dalam Sumur Kematian itu 
ayah kandungku? Bukankah ayah kandung-
ku Kelelawar Hutan?"
"Nanti bisa kau tanyakan padanya. Se-
karang, ayo lekas ikut aku!"

"Ya ya ya...! Tapi, aku harus mandi du-
lu."
"Ya, ampun! Dalam keadaan seperti ini
kau pun masih sempat berpikir untuk man-
di?!" tegur Soma, lalu berkelebat cepat me-
ninggalkan Aryani.
"Baiklah!" kata Aryani akhirnya.
Walau merasa agak jengkel, toh Aryani 
mau juga diajak menemui orang tua kan-
dungnya dalam Sumur Kematian. Dengan se-
kali menutulkan kakinya gadis itu pun telah 
berkelebat di samping Soma.
* * *
Baru saja Soma dan Aryani hendak 
membelokkan langkahnya menuju ke Peka-
rangan Terlarang, mendadak...
"Berhenti!"
Bersamaan dengan bentakan itu, men-
dadak pula dari balik semak-semak belukar
telah berloncatan puluhan murid Perguruan 
Kelelawar Putih dengan pedang di tangan. 
Mereka langsung membuat lingkaran, mengu-
rung kedua anak muda itu.
Kening Aryani berkerut dalam. Satu per-
satu dipandanginya murid Perguruan Kelela-
war Putih yang masih terhitung adik sepergu-
ruannya dengan alis berkerut.

"Ada apa ini? Mengapa kalian berani ku-
rang ajar menyuruh kami berhenti, heh?!" 
bentak Aryani galak.
"Maaf, Nona Bidadari Kecil! Terus terang, 
kami, mendapat perintah Guru untuk me-
nangkapmu serta Bidadari Putih hidup-
hidup," jelas murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih yang tadi membentak.
"Kurang ajar!" desis Aryani penuh kema-
rahan.
"Sekali lagi maafkan kelancangan kami, 
Nona Bidadari Putih. Terpaksa kami harus 
menangkapmu," kata murid Perguruan Kele-
lawar Putih itu lagi seraya mengisyaratkan 
teman-temannya untuk menangkap Aryani 
dan Soma.
"Minggirlah kalian semua! Kami tidak 
ada urusan dengan kalian!" ujar Soma, te-
nang.
"Maaf! Kami benar-benar tidak berdaya," 
ucap murid itu lagi.
"Keparat! Lekaslah kalau kalian ingin 
menangkapku! Mengapa hanya berkoar-koar 
saja?!" teriak Aryani yang berjuluk Bidadari 
Kecil garang. Tangan kanannya cepat meraih 
pedang di pinggang.
Sret!
"Majulah, kalau kalian ingin mencari 
mampus!" tantang Aryani sengit.

"Kuharap kau jangan terlalu kasar pada 
mereka, Aryani! Mereka terpaksa menjalan-
kan perintah," bisik Soma lirih.
Aryani mengangguk-angguk. Meski ha-
tinya panas dengan kekurang ajaran adik-
adik seperguruannya, namun masih dapat 
mengendalikan perasaannya. Dan ketika mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih itu mu-
lai menyerang, Aryani dan Soma pun segera 
menghadapi
"Heasa...!"
Maka dalam waktu sebentar saja, di luar 
markas sebelah timur Perguruan Kelelawar 
Putih telah terjadi pertempuran seru. Murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang men-
dapat tugas untuk menangkap hidup-hidup 
Aryani dengan gigih berusaha menjalankan 
tugas. Padahal, sebenarnya dalam hati mere-
ka tidak menyetujui keputusan gurunya. Na-
mun berhubung takut hukuman yang akan 
dijatuhkan Kelelawar Hutan, maka tak heran 
kalau akhirnya mereka menyerang Aryani dan 
Soma dengan sungguh-sungguh.
"Keparat! Apa kalian benar-benar ingin 
mencari mampus, he?!" bentak Aryani penuh 
kemarahan.
Sementara itu dari balik tembok markas 
Perguruan Kelelawar Putih telah berdatangan 
puluhan murid perguruan itu. Bahkan mere

ka langsung menyerang. Hal ini tentu saja 
sangat merepotkan kedua anak muda itu. Di 
samping enggan menurunkan tangan kasar, 
Aryani dan Soma pun tidak ingin membuang-
buang waktu.
"Bagaimana ini, Aryani? Apa tidak se-
baiknya kita tinggalkan saja tempat ini?" 
tanya Soma di antara gerakan-gerakan tangan 
dan kakinya yang berkelebat cepat mengha-
lang para pengeroyok
Dess! 
Plak!
Beberapa orang murid Perguruan Kele-
lawar Putih langsung roboh begitu terkena 
tendangan dan tamparan Siluman Ular Putih. 
Untung saja Soma tidak mengerahkan tenaga 
dalamnya, karena hanya ingin membuat jera 
para pengeroyoknya saja.
Namun rupanya para pengeroyok bu-
kannya menjadi jera, malah semakin bertam-
bah kalap dalam menyerang. Tentu saja hal 
ini membuat gemas Aryani dan Soma. Bagai-
manapun juga lama kelamaan mereka bisa 
tertangkap juga kalau hanya sekadar mena-
han gempuran murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih.
"Aryani! Kita tidak mungkin terus-
terusan begini. Ayo, lekas tinggalkan tempat 
ini!" teriak Soma di antara tebasan-tebasan
pedang murid-murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih.
Aryani yang merasa jengkel, tak dapat 
lagi membantah omongan Soma. Kemudian 
ketika melihat pemuda itu mengamuk hebat 
di bagian utara untuk membuka jalan, ia pun 
segera melakukan hal sama. Dengan meng-
gunakan jurus-jurus 'Cengkeraman Maut Ke-
lelawar Sakti' akhirnya gadis itu dapat mengi-
kuti jejak Soma keluar dari kepungan.
Namun begitu Aryani dan Soma dapat 
keluar dari kepungan, mendadak sepuluh 
orang murid Perguruan Kelelawar Putih yang 
baru saja keluar dari markas telah kembali 
mengepung.
Mau tidak mau, Aryani dan Soma harus 
menghadapi para pengeroyoknya yang baru 
datang. Hal ini tentu saja digunakan para 
pengeroyoknya yang sebelumnya untuk sege-
ra mengepung kembali.
"Setan Alas! Rupanya kalian benar-benar 
ingin mencari mampus, he?!" bentak Aryani 
jengkel, melihat tidak kurang dari empat pu-
luh orang murid Perguruan Kelelawar Putih 
telah mengepung dengan senjata di tangan.
Soma yang melihat kenekatan para pen-
geroyoknya tak urung juga jadi jengkel di-
buatnya. Maka diam-diam kekuatan batinnya 
mulai dikerahkan untuk melumpuhkan para


pengeroyoknya. Setelah memusatkan pikiran-
nya sebentar, bibirnya berkemik-kemik. La-
lu....
"Murid-murid tak tahu diri! Apa mata 
kalian buta, he?! Berani benar kalian menge-
royok guru kalian? Lihat baik-baik! Buka ma-
ta lebar-lebar! Aku ini Kelelawar Hutan, guru 
kalian!" bentak Soma dengan suara bergetar-
getar aneh, menyerang jalan pikiran murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih.
Seketika itu juga, hampir empat puluh 
murid Perguruan Kelelawar Putih terbelalak 
lebar-lebar. Apa yang terlihat di hadapan me-
reka bukan lagi sosok pemuda berpakaian 
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan, melainkan sosok Kelelawar Hutan!
Saat itu juga para pengeroyok Aryani 
dan Soma langsung berlutut.
"Guru! Maafkan kelancangan kami!" 
ucap murid yang pertama membentak tadi se-
raya menyembah-nyembah diikuti murid-
murid lainnya.
Aryani yang melihat perubahan sikap 
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih sem-
pat juga heran dibuatnya. Dan ketika pan-
dangan matanya dialihkan ke samping, kon-
tan matanya terbelalak liar. Apa yang dilihat 
di sampingnya bukan lagi sosok pemuda gon-
drong yang diam-diam mulai mengusik ha

tinya, melainkan sosok ayah kandungnya, Ke-
lelawar Hutan!
"Keparat! Ternyata kau..., kau orang 
yang mengaku sebagai ayah kandungku, Ke-
lelawar Hutan! Sekarang, aku akan mengadu 
nyawa denganmu!" bentak gadis berpakaian 
putih-putih itu kalap.
"Aryani! Aku bukan Kelelawar Hutan! 
Aku Soma. Sahabat barumu!" cegah sosok 
yang menyerupai Kelelawar Hutan itu kaget 
melihat perubahan sikap Aryani.
Mata Aryani makin terbelalak lebar. Ia 
memang cukup mengenal suara itu. Suara 
seorang pemuda tampan yang sering menggo-
da hatinya. Siapa lagi kalau bukan Soma yang 
pandai ilmu sihir?
Berpikir demikian, gadis ini jadi sedikit 
lega. Meskipun, ia belum sepenuhnya mem-
percayai kalau sosok di hadapannya adalah 
Soma.
"Be..., benarkah kau Soma...?" tanya 
Aryani masih ragu-ragu.
"Ya, ampun! Kenapa kau jadi linglung 
seperti ini? Ayo, lekas tinggalkan tempat ini 
mumpung murid-murid blo'on itu masih ber-
lutut!" ujar Soma, setengah menghardik
Sembari berkata demikian, Soma cepat 
meraih lengan Aryani. Tubuhnya langsung

berkelebat meninggalkan tempat itu, bersama 
Aryani.
Beberapa orang murid Perguruan Kele-
lawar Putih yang mulai tersadar dari penga-
ruh sihir Perguruan Kelelawar Putih kontan 
terperangah.
"Teman-teman! Ia bukan guru kita, tapi 
pemuda yang tadi bersama Nona Bidadari Ke-
cil!" teriak salah seorang.
"Iya, benar! Lekas tangkap mereka! Kita 
cincang mereka!" timpal yang lain, menyadar-
kan teman-temannya.
"Iya! Tangkap mereka! Kita cincang me-
reka!" 
"Tangkap mereka!"
Saat itu juga, murid-murid Perguruan 
Kelelawar Putih segera berkelebat mengejar.
Aryani dan Soma yang melihat para pen-
geroyok mulai melakukan pengejaran, tanpa 
membuang-buang waktu lagi makin memper-
cepat lari menuju ke Pekarangan Terlarang. 
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh yang sudah mencapai tingkat tinggi, se-
bentar kemudian kedua anak muda itu pun 
sampai di bibir lubang Sumur Kematian.
Namun ketika mereka hendak masuk ke 
dalam Sumur Kematian, tiba-tiba Aryani me-
lihat satu sosok hitam-hitam berkelebat dari 
rumah batu, tak jauh dari Sumur Kematian.

"Manusia Jahanam! Aku ingin mengadu 
nyawa denganmu!" teriak Aryani penuh kema-
rahan begitu melihat laki-laki berpakaian hi-
tam-hitam dan berikat kepala yang juga hitam
yang tidak lain Kelelawar Hutan.
"Sudahlah! Buat apa membuang-buang 
waktu percuma?! Tak ada gunanya kita mela-
deni tikus hitam itu. Ayo, lekas kita menemui 
ayahmu!" ujar Soma seraya menarik lengan 
Aryani.
Agaknya, pemuda itu belum mengenali 
laki-laki berpakaian serba hitam yang sedang 
menuju ke Sumur Kematian ini. Segera di-
ajaknya gadis itu meloncat ke dalam lubang 
Sumur Kematian.
Aryani memberontak dari genggaman 
tangan Soma. Namun berhubung saat itu tu-
buhnya mulai melayang-layang dalam Sumur 
Kematian, terpaksa diturutinya kemauan So-
ma.
Sebenarnya tidak mudah mengajak 
Aryani masuk ke dalam Sumur Kematian da-
lam keadaan seperti itu. Di samping memang 
dalam, gerakan-gerakan tangan si gadis pun 
dapat membuat keseimbangan tubuh mereka 
hilang. Untung saja sebelum keluar dari da-
lam Sumur Kematian tadi, Soma sempat me-
nancapkan berpuluh-puluh tulang ke dind-
ing-dinding sumur. Sehingga dengan bantuan

tulang-tulang yang menancap di dinding-
dinding Sumur Kematian, mereka akhirnya 
sampai ke dasar.
Sementara itu Kelelawar Hutan yang ba-
ru sampai di Sumur Kematian hanya mengge-
ram penuh kemarahan. Wajahnya yang ga-
rang menegang dengan rahang bertonjolan.
Untuk beberapa saat, Kelelawar Hutan 
hanya dapat memandangi lubang Sumur Ke-
matian. Bibirnya berkemik-kemik siap melon-
tarkan makian. Namun belum sempat mem-
buat suara, mendadak terdengar suara gaduh 
dari belakang.
Laki-laki tinggi besar ini segera mema-
lingkan kepala ke belakang. Tampak beberapa 
orang muridnya tengah berloncatan ke atas
tembok Pekarangan Terlarang yang kemudian 
disusul yang lain. Dengan menahan amarah 
menggelegak, Kelelawar Hutan menunggu 
murid-muridnya mendekat.
"Guru! Maafkan kami! Kami belum ber-
hasil menangkap Nona Bidadari Kecil," ucap 
salah seorang murid Kelelawar Hutan, lang-
sung berlutut di hadapan laki-laki tinggi be-
sar itu.
Kelelawar Hutan mengangguk-angguk 
garang. Wajahnya menegang. Sedang ma-
tanya yang memerah memperhatikan murid

muridnya yang sudah berlutut di hadapan-
nya.
"Kenapa sampai gagal, he?!" bentak Kele-
lawar Hutan garang.
"Non... Nona Bidadari Kecil tidak datang
sendirian. Melainkan, dengan seorang pemu-
da sakti yang dapat menjelma menyerupai 
Guru. Terus terang, kami belum tahu menga-
pa pemuda itu dapat merubah wujud menjadi 
sosok yang mirip Guru," jelas murid yang ber-
lutut paling depan, melaporkan.
"Hm...! Kau bilang pemuda itu dapat 
menjelma menjadi aku, Sungkono?" gumam 
Kelelawar Hutan menggiriskan seraya menge-
lus-elus jenggot panjangnya.
"Benar, Guru," jawab murid yang di-
panggil Sungkono, sedikit agak lega melihat 
perubahan sikap Kelelawar Hutan.
"Tapi, bukan berarti kalian harus gagal 
dengan tugas kalian, mengerti?!" bentak Kele-
lawar Hutan tiba-tiba.
Sungkono dan beberapa orang murid 
Perguruan Kelelawar Putih yang berlutut di 
hadapan Kelelawar Hutan kontan pucat pasi. 
Tubuh mereka gemetaran saking takutnya 
menghadapi hukuman yang akan dijatuhkan 
Kelelawar Hutan.
"Ma..., maafkan kami, Guru! Kami..., 
kami sedang melakukan pengejaran. Tadi


kami lihat Nona Bidadari Kecil dan pemuda 
itu berlari menuju Pekarangan Terlarang," 
ucap Sungkono gemetaran.
"Mereka masuk ke dalam Sumur Kema-
tian!" bentak Kelelawar Hutan seperti tidak 
tahu apa yang harus diucapkan.
"Masuk ke dalam Sumur Kematian...?!" 
ulang beberapa orang murid-murid Perguruan 
Kelelawar Hutan dengan paras makin pias.
Kelelawar Hutan jengkel sekali melihat 
perubahan sikap murid-muridnya. Namun ke-
tika hendak menjelaskan, laki-laki tinggi be-
sar itu buru-buru mengurungkannya. Dengan 
wajah beringas ia mondar-mandir di bibir 
Sumur Kematian. Sesekali pula kepalanya 
melongok ke dalam Sumur Kematian.
"Ham...! Kalau begini terus caranya, tak
mungkin aku bisa mendapatkan pasangan 
Pedang Kelelawar Putih. Rasanya, aku harus 
menemui beberapa orang sahabat lamaku un-
tuk meminta bantuannya. Hm...! Tunggulah 
pembalasanku, Lowo Kuru!" gumam Ke-
lelawar Hutan dalam hati.
* * *

6
Bau anyir darah, tumpukan tulang-
belulang dan mayat-mayat berserakan me-
warnai suasana dalam Sumur Kematian. Be-
gitu Soma dan Aryani menjejakkan kaki di 
dasarnya, langsung disambut bau yang me-
mualkan perut. Untung saja, Soma yang sebe-
lumnya sudah merasakan bau seperti itu te-
lah mengatur jalan pernapasannya. Sementa-
ra Aryani agaknya belum terbiasa dengan 
keadaan gelap dalam dasar Sumur Kematian. 
Sehingga ia harus menyesuaikan diri seben-
tar, baru kemudian dapat melihat jelas.
Dan gadis itu jadi terpekik ngeri, melihat 
dasar sumur yang dipenuhi tumpukan tu-
lang-belulang manusia dan mayat-mayat bu-
suk berserakan. Aryani juga tidak menyangka 
kalau dasar Sumur Kematian ini demikian 
luasnya dengan beberapa lorong yang me-
manjang.
Sejenak Aryani mengedarkan pandangan
keseputar ruangan, dan tiba-tiba berhenti pa-
da sebuah kerlip nyala lampu berpijar di sa-
lah sebuah lorong.
"Di... di sanakah A... Ayah berada, So-
ma?" tanya Aryani. Suaranya tergagap karena 
lidahnya terasa kelu.

"Benar. Mari kuantar kau menemuinya!"
Soma berjalan lebih dahulu. Sementara 
dengan hati berdebar-debar, Aryani berjalan 
ke belakangnya.
Selang beberapa saat, sampailah mereka 
di dalam lorong yang dimaksudkan. Aryani 
menghentikan langkahnya sebentar. Tubuh-
nya tegak tak bergerak. Wajahnya pucat pasi. 
Kedua bibirnya bergetar. Inikah ayahnya, se-
perti yang diceritakan Soma? Kalau memang 
betul, sosok di hadapannya itu benar-benar 
membuat hatinya terpukul!.
Betapa sosok buntung di hadapan si ga-
dis demikian menyedihkan. Wajahnya tua 
yang penuh kerutan di kening sebagai per-
tanda kalau laki-laki bermuka tirus itu sudah 
terlalu banyak mengalami penderitaan batin. 
Pakaian putih- putihnya sudah compang-
camping tak karuan. Demikian juga kumis 
dan jenggotnya yang memanjang berwarna 
putih. Dan dengan menggunakan rambutnya 
yang putih panjang berjuntaian menancap 
kokoh ke dalam tanah itulah sosok tanpa kaki 
dan tangan itu tengah 'duduk' bersemadi.
"A.. Ayah...?!" desis Bidadari Kecil agak 
ragu-ragu. Air matanya yang merembang di 
kelopak matanya pun mulai merembes mem-
basahi pipi.

Sosok buntung yang tidak lain Lowo Ku-
ru itu perlahan-lahan mulai membuka kelo-
pak matanya. Sepasang matanya sayu, tak 
berkedip memandang Aryani.
"Kau... kaukah anaknya Surtini, Nak?" 
tanya Lowo Kuru dengan suara bergetar.
"Ayaaah…!" pekik Aryani tak ragu lagi. 
Suaranya pecah menjadi tangis yang me-
nyayat. Dan tahu-tahu gadis itu telah menu-
bruk sosok buntung di hadapannya seraya 
memeluk erat-erat.
“Be... benar, Ayah. Aku..., aku Aryani. 
Anakmu, Ayah," tangis Aryani semakin ter-
dengar memilukan.
"Oh...!" keluh Lowo Kuru dengan sege-
nap perasaan. Laksana sepasang tangan 
rambut-rambut yang berjuntaian ke tanah itu 
telah memeluk Aryani erat-erat. "Tidak ku-
sangka kau sudah sebesar ini, Anakku. Lan-
tas, di mana ibumu? Mengapa tidak kau ajak 
kemari sekalian?"
Aryani tidak menjawab pertanyaan 
ayahnya. Namun tangisnya malah semakin 
bertambah. Kedua bahunya bergerak turun 
naik. Wajahnya terus disembunyikan ke da-
lam dada kurus Lowo Kuru.
Sementara itu Soma yang melihat ade-
gan memelaskan di depannya, pura-pura ti-
dak melihat. Ia justru lebih senang memper

hatikan keadaan dalam dasar Sumur Kema-
tian.
"Ibu... Ibu pergi, Ayah. Si Jahanam Kele-
lawar Hutan itulah yang membuat Ibu me-
ninggalkan Perguruan Kelelawar Putih. Mari 
kita cari Ibu, Ayah!" ratap Aryani.
Lowo Kuru melepaskan pelukannya. Ke-
palanya menggeleng-geleng lemah. Bibirnya 
bergetar.
"Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bi-
sa. Ayah malu. Dalam keadaan buntung se-
perti ini, aku tidak berani menampakkan diri 
ke dunia ramai. Di samping itu. Ayah juga 
sudah bersumpah tidak akan keluar dari da-
lam Sumur Kematian ini. Inilah tempat ting-
galku selama-lamanya. Dan di dalam Sumur 
Kematian ini pulalah aku ingin dikuburkan," 
ucap Lowo Kuru sedih.
Suara laki-laki buntung itu terdengar 
bergetar. Wajahnya kuyu. Sepasang matanya 
berair. Namun, buru-buru orang tua buntung 
itu mengeraskan hatinya.
"Sekali lagi maafkan Ayah, Anakku! Aku 
tidak bisa," ucap Lowo Kuru, bergetar.
Aryani membelalakkan matanya lebar. 
Wajahnya yang cantik itu penuh air mata.
"Kenapa, Ayah?"

"Aku sudah bersumpah, tak mungkin 
menjilat ludah sendiri," jawab Lowo Kuru ke-
lu.
"Jadi? Ayah tega membiarkan ibu pergi
begitu saja?" .
Lowo Kuru tak mampu menjawab perta-
nyaan putri tunggalnya. Ia hanya mampu 
menggeleng lemah. ...
"Bukannya aku tega, Anakku. Namun 
aku sudah terikat sumpah, Jangan paksa 
Ayah, Anakku! Sekarang sebaiknya duduklah 
di atas batu putih itu! Ada sesuatu yang ingin 
kuberikan padamu," ujar Lowo Kuru.
Sehabis berkata begitu, dengan meng-
gunakan ujung rambutnya yang mendadak 
menjadi kaku laksana puluhan batang-batang
ijuk, sosok buntung Lowo Kuru pun melang-
kah mendekati dinding utara. Di sana, terda-
pat gambar orang sedang memperagakan ge-
rakan-gerakan ilmu silat.
Aryani terharu sekali melihat cara ayah-
nya melangkah mendekati dinding sebelah 
utara. Pantas saja ayahnya enggan keluar da-
ri Sumur Kematian. Namun ketika pandangan 
matanya tertumbuk pada gambar orang yang 
sedang memperagakan gerakan-gerakan ilmu 
silat, mendadak keterharuan terhadap ayah-
nya pun sirna. Sebagai orang persilatan, 
Aryani sangat tertarik dengan jurus-jurus

yang terdapat pada dinding-dinding Sumur 
Kematian. Sekali lihat saja, ia tahu kalau itu 
adalah jurus-jurus hebat.
"Jurus-jurus apakah itu, Ayah? Kok, da-
sar-dasar ilmu silatnya mirip jurus-jurus sak-
ti 'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan 
'Cakar Maut Kelelawar Hutan'?" tunjuk Aryani 
saking herannya.
"Itulah jurus-jurus sakti Sumur Kema-
tian, Anakku. Berpuluh-puluh tahun aku 
mencoba menciptakan jurus-jurus baru se-
suai keadaanku yang buntung. Kukira jurus-
jurus itu pun sangat cocok denganmu. Coba 
perhatikan baik-baik! Jurus-jurus itu hanya 
mengandalkan rambut sebagai senjata uta-
manya. Kalau memang tertarik, kau boleh 
mempelajarinya sekarang. Tapi sebelumnya, 
ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu, 
Anakku." 
"Apa itu, Ayah?"
Lowo Kuru tersenyum. Mungkin itulah 
senyumnya yang pertama kali sejak mende-
kam dalam Sumur Kematian. Lagi, Ujung-
ujung rambutnya yang kaku seperti ijuk baja 
mendadak bergerak meraih tonjolan batu ke-
cil di samping kiri pintu masuk dalam lorong.
Bed!
Begitu melingkari tonjolan batu, lantas 
ujung-ujung rambut Lowo Kuru pun menyen


takkan ke bawah. Maka mendadak terdengar 
bunyi berkerit. Dan, perlahan-lahan keluar 
sebuah kotak kayu dari dalam dinding Sumur 
Kematian di samping tonjolan batu kecil. Ke-
mudian dengan ujung-ujung rambutnya Lowo 
Kuru membuka kotak kayu itu, lalu mengam-
bil isinya.
Aryani melongo. Ternyata isi dalam ko-
tak kayu adalah sebuah pedang terbuat dari 
baja putih murni.
Sedang pada gagangnya terdapat kepala 
dan badan kelelawar yang juga berwarna pu-
tih. Itulah pasangan Pedang Kelelawar Putih 
yang selama ini dicari-cari Kelelawar Hutan. 
Dan begitu dikeluarkan dari dalam kotak 
kayu, seketika ruangan dalam dasar Sumur 
Kematian dipenuhi cahaya putih yang ber-
pendar-pendar dari batang pedang.
"Itukah pasangan Pedang Kelelawar Pu-
tih yang selama ini dicari-cari Kelelawar Hu-
tan, Ayah?" tanya Aryani.
"Benar, Anakku," jawab Lowo Kuru se-
raya menutup kotak kayu itu dan mendorong 
kembali ke dinding seperti semula. "Dan pe-
dang ini pulalah yang akan kuwariskan pa-
damu, Anakku. Kau tahu, untuk apa pedang 
ini, bukan?"
"Tahu, Ayah. Pasangan pedang itu ada-
lah untuk membuka kitab peninggalan Eyang


Guru, Ayah. Tapi, tapi mengapa pedang itu 
diberikan padaku?" tanya Aryani tak dapat 
menyembunyikan keheranan hatinya.
"Sebenarnya pedang ini akan diberikan 
pada ibumu. Cuma sayang, ibumu tidak begi-
tu berbakat. Dan kebetulan sekali, kau berjo-
doh mempelajari Kitab Kelelawar Sakti pe-
ninggalan Eyang gurumu. Di samping itu, Ki-
tab Kelelawar Sakti memang hanya diperun-
tukkan bagi murid-murid perempuan Pergu-
ruan Kelelawar Putih. Dan kulihat, susunan 
tulang-tulang dalam tubuhmu sangat cocok 
dengan ketentuan yang sudah ditetapkan da-
lam kitab peninggalan Eyang gurumu itu," 
papar Lowo Kuru.
"Apa ini berarti aku harus merebut kitab 
peninggalan Eyang Guru dari tangan Kelela-
war Hutan, Ayah?" tanya Aryani menggebu-
gebu.
"Ya! Namun di samping itu, kau pun ha-
rus membalaskan sakit hatiku. Apa kau mau 
menjalankan tugas ini, Anakku?"
"Tentu, Ayah! Tentu. Biarpun Ayah tidak 
menyuruh pun, aku pasti akan mengadu jiwa 
dengannya. Aku tak mungkin dapat mem-
biarkan iblis tua itu berkeliaran menebar 
maut di Perguruan Kelelawar Putih ini," sahut 
Aryani penuh semangat.

"Bagus! Aku senang sekali mende-
ngarnya, Anakku. Sekarang terimalah pedang 
ini!"
Lowo Kuru 'melangkah' mendekati pu-
trinya yang telah tegak di hadapannya. Dan 
dengan menggunakan rambut-rambutnya 
yang kaku, pasangan Pedang Kelelawar Putih 
diulurkan kepada Aryani.
Aryani menerimanya dengan tangan ge-
metar. Sejenak dipandanginya sarung pedang 
itu seksama. Lalu, perlahan-lahan dicabutnya 
dari dalam sarungnya.
Aryani angguk-anggukkan kepalanya.
"Aku bersumpah akan mengadu nyawa 
dengan manusia jahanam itu dengan meng-
gunakan pedang ini, Ayah!" desis Aryani alias 
Bidadari Kecil penuh kemarahan.
"Yayaya,,.!Tapi, kau harus ingat, Anak-
ku. Kelelawar Hutan bukanlah lawan enteng. 
Terutama sekali, ilmu sihirnya. Dan sebelum
menemui Kelelawar Hutan terlebih dahulu, 
kau harus mempelajari jurus-jurus sakti 
'Sumur Kematian' yang tertulis di dinding-
dinding ini, Anakku!"
"Dengan senang hati aku akan mempela-
jarinya, Ayah," sahut Aryani bersemangat.
Lowo Kuru mengangguk-angguk. Pan-
dangan matanya sejenak dialihkan ke arah 
Soma.

"Anak Muda! Kau temanilah putri ku
mempelajari jurus-jurus 'Sumur Kematian' 
itu! Aku ingin melanjutkan bersemadi."
Soma yang dari tadi diam-diam mengi-
kuti apa yang dibicarakan Lowo Kuru dan pu-
trinya, pura-pura kaget. Segera badannya 
berbalik.
"Apa, Ki?"
"Aku minta sudilah kau temani putri ku
mempelajari jurus-jurus 'Sumur Kematian'. 
Aku akan melanjutkan bersemadi," ulang Lo-
wo Kuru agak meninggi nada bicaranya.
Soma menggaruk-garuk kepala. Nampak 
sekali kalau pemuda gondrong murid Eyang 
Begawan Kamasetyo itu ogah-ogahan.
"Kau keberatan, Anak Muda?"
"Satu tindakan bodoh kalau menyia-
nyiakan kesempatan baik ini, Ki," sahut Soma 
alias Siluman Ular Putih seraya tersenyum ke 
arah Aryani.
Mata Aryani melotot lebar-lebar.
Soma tertawa bergelak.
"Kalau kau keberatan, ya sudah. Aku 
malah senang menemani ayahmu bersemadi."
"Jadi... jadi, kau tidak mau menemaniku 
berlatih, Soma?" tukas Aryani gemas sekali. 
Entah mengapa hatinya jadi resah sekali.
"Habis kau tak menyukaiku sih!" jawab 
Soma seenak dengkul.

"Kau... kau..," ujar Aryani jengkel bukan 
main.
Lagi-lagi Soma tertawa bergelak
"Baik-baik! Aku akan menemanimu ber-
latih. Tapi, kau jangan marahi aku, ya!" kata 
Soma menggoda. Lalu kepalanya menoleh pa-
da orang tua buntung di sampingnya. "Nah, 
sekarang kau boleh melanjutkan semadi mu, 
Ki!"
Lowo Kuru tersenyum. Dalam hati, ia 
merasa geli juga melihat tingkah laku pemuda 
gondrong di hadapannya.
"Ya ya ya...! Aku memang akan melan-
jutkan semadi ku. Kalau kalian ingin menca-
riku, carilah di lorong nomor tiga!" kata Lowo 
Kuru.
"Baik, Ayah."
Lowo Kuru sempat memandangi pemuda 
gondrong di sampingnya, sebelum akhirnya 
'melangkah' meninggalkan tempat itu.
Sedang Soma hanya menggaruk-garuk 
kepala melihat cara orang tua buntung itu 
melangkah meninggalkan mereka.
"Sudah! Buruan kalau kau mau berlatih.
Tunggu apalagi?!" sentak Soma.
“Tapi.... Tapi, kau beri tahu kalau ada 
yang salah ya?" pinta Aryani. Entah mengapa, 
suaranya jadi sedikit manja.

"Yah...! Mana aku bisa? Mengenal jurus-
jurus itu pun tidak. Pelajari saja sendiri!" de-
sah Soma ogah-ogahan.
Sekali lagi Aryani melotot.
Soma tidak mempedulikannya. Si pemu-
da hanya berjalan mendekati batu putih di 
pinggir ruangan. Seketika tubuhnya dijatuh-
kan seenaknya sembari menonton Aryani ber-
latih.
* * *
7
Malam merambah perlahan. Kerlip ber-
juta bintang dan pancaran sinar rembulan di 
cakrawala membuat suasana permukaan 
mayapada terang benderang. Di bawah usa-
pan sinar rembulan, tampak lima sosok 
bayangan putih-putih tengah mengendap-
endap memasuki Pekarangan Terlarang mela-
lui tembok sebelah utara yang jarang sekali 
dilalui murid-murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih.
Gerakan mereka ringan sekali ketika me-
loncat dan kembali turun ke dalam Pekaran-
gan Terlarang, Namun tiba-tiba sosok yang

paling depan menghentikan langkahnya. Ke-
dua tangannya cepat dikibaskan ke belakang, 
memberi isyarat agar keempat sosok lainnya 
bersembunyi.
Tanpa banyak cakap, keempat sosok 
yang diperintahkan segera menyelinap ke ba-
lik dinding tembok Pekarangan Terlarang. Ke-
betulan sekali warna tembok itu putih, se-
hingga ketika keempat sosok berpakaian pu-
tih-putih itu merapat ke tembok tidak begitu 
kentara.
Sedang sosok paling depan yang bertu-
buh ramping segera menyelinap dengan cara 
berjongkok ke balik sebatang pohon kecil di 
sampingnya. Sepasang mata tajamnya terus 
memperhatikan beberapa orang murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih yang sedang berjaga-
jaga tak jauh dari Sumur Kematian yang ter-
nyata berjumlah tidak kurang dari dua belas 
orang.
Buru-buru sosok ramping berpakaian 
serba putih yang berjongkok di balik sebuah 
pohon itu memberikan isyarat kepada keem-
pat sosok di belakangnya. Namun ketika hen-
dak melaksanakan niatnya, mendadak dari 
tembok Pekarangan Terlarang sebelah selatan 
berkelebat sesosok bayangan putih-putih lain 
yang menuju rumah batu tak jauh dari Su-
mur Kematian.

"Kakang Sungkono! Mengapa kau berlari 
seperti dikejar setan, Kakang?" tegur salah 
seorang murid penjaga Sumur Kematian lan-
tang.
Sosok bayangan yang ternyata laki-laki 
berpakaian putih-putih bernama Sungkono 
cepat menghentikan langkahnya. Sepasang 
matanya yang tajam sejenak memperhatikan 
kerlip lampu di rumah batu. Lalu kembali 
matanya memperhatikan adik-adik sepergu-
ruannya yang bertugas menjaga Sumur Ke-
matian.
"Ada apa, Kang? Kok, nampaknya kau 
gelisah sekali?" tanya salah seorang murid 
penjaga yang berpita hijau.
"Aku tidak sedang gelisah. Aku hanya 
ingin melapor pada Guru. Apa Guru ada di 
dalam rumah batunya, Wongso?" sahut 
Sungkono.
"Ada. Sejak tadi pagi guru tidak keluar 
dari rumah batunya. Memangnya kau mau 
melapor apa, Kakang?" tuntut murid berpita 
hijau yang dipanggil Wongso itu heran.
"Aku hanya ingin melapor kalau Setan 
Cantik dan Cantrik Tudung Pandan dari Ista-
na Ular Emas tengah menunggu Guru di pen-
dopo."
"Oh...! Aku kira ada apa Rupanya tokoh 
dari Istana Ular Emas itu yang ingin menemui

Guru. Aku kok jadi tidak mengerti, mengapa 
Guru mau berkawan akrab dengan mereka? 
Bukankah Setan Cantik dan Cantrik Tudung 
Pandan itu adalah orang-orang licik?" tanya 
Wongso setengah berbisik, seperti takut kalau 
suaranya terdengar Kelelawar Hutan yang se-
dang berada di dalam rumah batunya.
"Hush! Jaga mulutmu, Wongso! Apa kau 
sudah bosan hidup, he?!" tegur Sungkono 
memperingatkan.
"Tidak, Kakang. Aku..., aku cuma men-
gungkapkan keheranan ku saja," elak Wongso 
ketakutan.
"Sudah! Sekarang jangan membicarakan 
Guru lagi! Sebaiknya jalankan saja apa yang 
Guru perintahkan!" ujar Sungkono, tegas.
"Baik, Kakang,"
"Nah, sekarang teruskan saja tugas ka-
lian. Aku akan segera melaporkan kedatangan 
Setan Cantik dan Cantrik Tudung Pandan ke-
pada Guru."
Sehabis berkata begitu, Sungkono segera 
berkelebat cepat menuju ke rumah batu tak 
jauh dari Sumur Kematian.
Sementara itu, kelima sosok berpakaian 
serba putih yang sedang bersembunyi di dind-
ing sebelah utara Pekarangan Terlarang 
hanya bisa saling berpandangan ketika tadi 
Sungkono menyebut-nyebut Setan Cantik dan

Cantrik Tudung Pandan. Dari sorot mata jelas 
sekali kalau nyali mereka kontan surut men-
dengar disebut-sebutnya kedua tokoh sesat 
dari Istana Ular Emas itu.
Sebelum mereka berbuat sesuatu, dari 
arah rumah batu telah berkelebat cepat seso-
sok tinggi besar berpakaian hitam-hitam den-
gan ikat kepala juga berwarna hitam. Ia tidak 
lain dari Kelelawar Hutan. Sementara jauh di 
belakangnya adalah Sungkono, murid berpita 
kuning yang tadi melaporkan kedatangan Se-
tan Cantik dan Cantrik Tudung Pandan.
Melihat berkelebatnya dua sosok bayan-
gan itu, sosok ramping berpakaian putih-
putih yang dari tadi bersembunyi di balik se-
batang sebuah pohon segera mengisyaratkan 
keempat sosok berpakaian putih-putih lain-
nya di belakang.
"Nanti dulu, Bibi Guru Bidadari Putih. 
Biarkan si Keparat Kelelawar Hutan menemui 
kedua orang tamunya dulu," cegah salah satu 
sosok berpakaian putih-putih yang bersem-
bunyi di dinding tembok Pekarangan Terla-
rang lirih.
"Kenapa, Sindu? Apa kau takut meng-
hadapi kedua belas penjaga itu?" tukas sosok 
ramping berpakaian putih yang tak lain Bida-
dari Putih, berbisik.

Memang, keempat sosok kekar berpa-
kaian putih-putih di belakang Bidadari Putih 
adalah empat orang murid utama Lowo Kuru. 
Setelah berhasil mengusir Setan Cantik ketika 
sedang bertarung melawan Bidadari Putih, 
keempat orang murid utama Lowo Kuru itu 
lantas mengajak Bidadari Putih untuk mene-
mui Lowo Kuru, suaminya.
"Bukannya aku takut menghadapi mere-
ka, Bibi Guru. Terus terang aku khawatir ka-
lau Kelelawar Hutan keburu datang kemari 
sebelum kita berhasil meringkus kedua belas 
orang murid penjaga itu. Ya, kalau Kelelawar 
Hutan datang sendirian. Tapi, kalau ia datang 
bersama Setan Cantik dan Cantrik Tudung 
Pandan. Bagaimana kita harus menghadapi 
mereka, Bibi," kilah laki-laki yang tak lain 
Sindu.
"Baiklah kalau begitu," sahut Bidadari 
Putih akhirnya.
Namun mendadak kasak-kusuk kedua 
orang itu telah diketahui salah seorang murid 
penjaga. Maka sejenak perhatiannya dialih-
kan ke arah tempat persembunyian Bidadari 
Putih dan keempat Orang murid utama Lowo
Kuru.
"Siapa bersembunyi di situ?!" bentak 
murid itu lantang.

Yang kaget mendengar bentakan itu bu-
kan saja Bidadari Putih dan keempat murid 
utama Lowo Kuru, melainkan juga murid-
murid penjaga lainnya.
"Ada apa, Kakang Penggalih? Apa kau 
melihat sesuatu yang mencurigakan?" tanya 
Salah seorang murid penjaga lainnya heran.
"Benar Panuluh. Tadi aku mendengar 
orang berkasak-kusuk di sebelah sana!" sahut 
laki-laki yang dipanggil Penggalih seraya me-
nunjuk ke tempat Bidadari Putih dan keem-
pat orang murid utama Lowo Kuru bersem-
bunyi.
"Baik. Kalau begitu, mari kita lihat ke 
sana!" ajak Panuluh bersemangat.
Di tempat persembunyiannya, Sindu jadi 
cemas.
"Celaka! Rupanya kedatangan kita telah
diketahui murid-murid penjaga itu!" desah 
Sindu.
"Hm...! Tidak ada pilihan lain. Mumpung 
selagi Kelelawar Hutan keluar menemui Setan 
Cantik dan Cantrik Tudung Pandan, kita ha-
rus secepatnya merobohkan mereka. Ayo, ce-
pat. serang mereka!" ujar Bidadari Putih se-
raya dengan gesitnya keluar dari tempat per-
sembunyiannya.
"Baik!" sahut keempat orang murid uta-
ma Lowo Kuru serempak.

Sehabis berkata begitu, keempat orang 
murid utama Lowo Kuru segera menyusul Bi-
dadari Putih. Begitu mereka mendarat, kedua 
belas orang murid penjaga itu segera mengu-
rung dengan pedang yang berkilat-kilat ter-
timpa sinar rembulan.
"Penggalih, Panuluh! Siapa suruh kalian 
berani lancang seperti ini, he?" bentak Bida-
dari Putih garang.
"Bi..., Bibi Guru? Kaukah Bibi Guru?" 
kata Penggalih gemetar. Samar-samar dari te-
rangnya sinar rembulan, matanya dapat me-
nangkap sosok berpakaian putih-putih yang 
memang Bidadari Putih.
"Kalau sudah tahu, mengapa tidak lekas 
angkat kaki meninggalkan tempat ini!" hardik 
Bidadari Putih lagi garang.-
"Ma..., maafkan kami, Bibi Guru! Ka..., 
kami diperintahkan Guru Kelelawar Hutan 
untuk me..., menangkap Bibi Guru hidup 
atau mati," kata Penggalih gemetar.
"Apa?! Kelelawar Hutan menyuruh ka-
lian menangkapku?!" sentak Bidadari Putih 
kaget bukan alang kepalang.
Sungguh wanita ini tak menyangka ka-
lau Kelelawar Hutan telah memerintahkan 
murid-muridnya untuk menangkap dirinya. 
Ini jelas di luar perkiraannya. Semula, ia me-
mang sengaja datang ke Sumur Kematian

dengan cara bersembunyi, karena tidak ingin 
bertemu Kelelawar Hutan. Tapi, siapa sangka 
justru Kelelawar Hutan malah memerintah-
kan murid-muridnya untuk menangkap di-
rinya.
"Be..., benar Bibi Guru. Bahkan kami 
pun diperintahkan untuk menangkap Nona 
Bidadari Kecil hidup atau mati," jelas Pengga-
lih, merasa rikuh juga.
"Keparat! Ayo, sekarang laksanakan tu-
gas kalian kalau tidak mau menyingkir dari 
hadapanku!" geram Bidadari Putih penuh 
kemarahan.
"Maaf. Sekali lagi kami mohon maaf, ka-
lau terpaksa lancang terhadap Bibi Guru," 
ucap Penggalih seraya mengisyaratkan kese-
belas teman-temannya untuk menangkap Bi-
dadari Putih.
"Baik, baik! Laksanakanlah tugas kalian! 
Tunggu apa lagi?!" tantang Bidadari Putih tak 
dapat lagi mengendalikan amarahnya.
Sehabis berkata begitu, Bidadari Putih 
segera berkelebat cepat menyerang Penggalih 
dan Panuluh. Demikian juga keempat orang 
murid utama Lowo Kuru.
Meski hanya dengan tangan kosong, ter-
nyata dalam waktu singkat keempat murid 
utama Lowo Kuru sudah dapat mendesak pa-
ra pengeroyoknya dengan mudah. Dan seben

tar kemudian, para penjaga itu pun dapat di-
robohkannya dengan mudah. Termasuk juga, 
Penggalih dan Panuluh yang tak sadarkan diri 
di tangan Bidadari Putih.
"Mari! Sebaiknya kita langsung masuk 
ke dalam Sumur Kematian, Bibi! Mumpung 
Kelelawar Hutan dan murid-muridnya belum 
kemari," ajak Sindu, setelah tak satu pun 
penjaga yang bergerak bangkit.
"Baik. Mari!" sahut Bidadari Putih me-
nyetujui.
Dan sekali menutulkan kakinya ke ta-
nah, tahu-tahu sosok ramping Bidadari Putih 
telah berkelebat cepat menuju ke Sumur Ke-
matian.
Tanpa banyak membuang-buang waktu, 
keempat orang murid utama Lowo Kuru pun 
segera menyusul. Namun ketika mereka hen-
dak masuk ke dalam Sumur Kematian, tiba-
tiba Bidadari Putih melihat berkelebatnya tiga 
bayangan di atas tembok Pekarangan Terla-
rang.
"Kelelawar Hutan...," desis Bidadari Pu-
tih.
Keempat orang murid utama Lowo Kuru 
cepat berpaling ke belakang. Satu di antara 
tiga sosok bayangan yang sedang berlari ken-
cang menuju Sumur Kematian memang Kele-
lawar Hutan. Sedang dua sosok di samping

nya adalah dua orang perempuan berpakaian 
kuning keemasan.
"Hm...! Menilik pakaian yang dikenakan, 
kedua orang itu pasti Setan Cantik dan Can-
trik Tudung Pandan. Siapa lagi kalau bukan 
dua tokoh sesat dari Istana Ular Emas itu? 
Mari, sebaiknya kita segera masuk ke dalam 
Sumur Kematian!" ajak Sindu jerih juga meli-
hat siapa yang datang. Dan tanpa banyak ca-
kap lagi, ia segera masuk ke dalam Sumur 
Kematian, diikuti ketiga orang adik sepergu-
ruannya.
Hanya Bidadari Putih sajalah yang seje-
nak memperhatikan ketiga sosok bayangan 
yang sedang mendekatinya.
"Manusia Laknat! Tunggulah pembala-
sanku!" desis Bidadari Putih.
Dan sehabis berkata begitu, wanita ini 
pun segera meloncat ke dalam Sumur Kema-
tian.
Begitu masuk, kening Bidadari Putih 
sempat berkerut ketika melihat berpuluh-
puluh tulang manusia tertancap rapi di dind-
ing-dinding Sumur Kematian. Dan ini tentu 
saja dapat memudahkan dirinya dan keempat 
orang murid Lowo Kuru masuk ke dalam. 
Tanpa begitu mempedulikannya, Bidadari Pu-
tih segera meneliti tulang-tulang yang tertan

cap rapi di dinding-dinding lalu meloncat ke 
dasarnya.
* * *
Sesuai julukannya, sosok di belakang 
Kelelawar Hutan dan di samping Setan Cantik 
memang seorang perempuan bercaping lebar 
terbuat dari anyaman daun pandan. Rambut-
nya hitam panjang dibiarkan tergerai di bahu. 
Wajahnya cantik berbentuk lonjong. Sepasang 
matanya tajam, alis matanya tebal. Hidung-
nya mancung dengan kulit wajahnya kuning 
langsat. Sedang tubuhnya yang tinggi ramp-
ing dibalur pakaian warna kuning keemasan.
Konon dulu sebelum diangkat menjadi 
murid perguruan Istana Ular Emas, wanita 
yang merupakan kakak seperguruan Setan 
Cantik adalah seorang cantrik di Kadipaten 
Kuripan. Berhubung waktu itu terjadi pembe-
rontakan, Cantrik Tudung Pandan yang ber-
nama asli Sumi ini mendapat tugas untuk 
menyelamatkan putra Adipati Kuripan. Cuma
sayang, di tengah perjalanan ia dan putra 
Adipati Kuripan dihadang pasukan pemberon-
tak. Untung saja pada saat pasukan pembe-
rontak tengah memaksa putra Adipati Kuri-
pan untuk dibawa ke kadipaten, mendadak 
muncul Bunda Kurawa pemilik Istana Ular

Emas. Sehingga, akhirnya Sumi dan putra 
Adipati Kuripan itu menjadi murid Bunda Ku-
rawa.
Karena selalu mengenakan tudung lebar 
terbuat dari anyaman daun pandan maka 
oleh Bunda Kurawa, Sumi mendapat julukan 
Cantrik Tudung Pandan.
Sejenak Kelelawar Hutan berdiri tegak 
tak bergerak. Hanya matanya saja yang berge-
rak-gerak liar, memandangi Sumur Kematian 
dan beberapa orang muridnya yang roboh. 
Wajahnya menegang. Rahangnya bertonjolan
pertanda tengah menahan amarahnya yang 
menggelegak. Lalu dengan kemarahan me-
muncak tahu-tahu tubuh tinggi besarnya 
berkelebat cepat, langsung menotok kedua 
belas muridnya yang roboh. Dalam waktu 
yang tidak lama, kedua belas murid Kelelawar 
Putih itu pun terbangun.
“Panuluh! Apa yang terjadi di sini? Cepat 
katakan!" tanya Kelelawar Hutan garang.
"Bibi Guru Bidadari Putih dan empat 
orang laki-laki berpakaian putih-putih datang 
kemari. Kami mencoba menangkap, ta..., tapi 
gagal. Kami..., kami dapat dirobohkan mere-
ka, Guru," lapor Panuluh dengan suara berge-
tar saking takutnya.
"Keparat! Murid-murid tak berguna! 
Mampuslah kalian semua!" bentak Kelelawar

Hutan dengan wajah bengis. Kedua tangan-
nya yang telah berubah menjadi hitam legam 
mendadak mengibas, melepas pukulan Tan-
gan Hitam ke arah dua belas orang muridnya.
Wesss!
"Aaakh...!"
Seleret sinar hitam legam yang during 
berkesiurnya hawa dingin dari kedua telapak 
tangan Kelelawar Hutan cepat melabrak ke-
dua belas tubuh muridnya. Laksana daun-
daun kering yang berguguran tertiup angin, 
tubuh kedua belas orang itu jatuh berpelan-
tingan tanpa mampu bergerak lagi dengan tu-
buh hangus terbakar!
"Satu pukulan hebat, Tapi aku ragu,
apakah dengan pukulan 'Tangan Hitam'-mu 
itu kau sanggup merobohkan Lowo Kuru?" 
ejek Cantrik Tudung Pandan.
"Apa maksudmu bicara demikian, Can-
trik Tudung Pandan?!" sentak Kelelawar Hu-
tan gusar. Sepasang matanya yang memerah 
melotot lebar.
"Sudah jelas yang kukatakan, bukan? 
Pukulan 'Tangan Hitam'-mu memang hebat. 
Cuma, terus terang aku meragukan apa kau 
sanggup menghadapi Lowo Kuru. Salahkah 
kalau aku meragukan kehebatan pukulanmu, 
Kelelawar Hutan?" jawab Cantrik Tudung 
Pandan lebih menyakitkan.

Kelelawar Hutan menggereng penuh ke-
marahan. Wajahnya yang garang menegang. 
Kedua pelipisnya bergerak- gerak. Sedang ke-
dua telapak tangannya telah berubah menjadi 
hitam legam sampai ke pangkal siku, siap 
menghanguskan tubuh Cantrik Tudung Pan-
dan.
"Ha ha ha...! Di antara kawan sendiri, 
mengapa bersitegang begini?" sela Setan Can-
tik menengahi.
Kelelawar Hutan menurunkan kedua 
tangannya. Dalam hatinya diam-diam dia me-
nyesali kebodohannya. Apalagi, saat itu ia 
memang sedang membutuhkan bantuan dua 
tokoh sesat dari Istana Ular Emas itu. Berpi-
kir demikian, amarah Kelelawar Hutan pun 
mulai sedikit berkurang.
"Kau benar, Setan Cantik. Aku pikir di 
antara kawan sendiri memang tidak perlu 
bersitegang begini. Tapi, aku yakin pukulan 
'Tangan Hitam'-ku sanggup meremukkan tu-
buh buntung Lowo Kuru."
"Lantas, mengapa kau tidak masuk saja 
ke dalam Sumur Kematian? Mengapa malah 
meminta bantuan kami berdua untuk meng-
hadapi orang tua buntung itu?" tukas Cantrik 
Tudung Pandan, lagi-lagi membuat merah te-
linga Kelelawar Hutan.

"Bukannya aku tidak berani masuk ke 
dalam Sumur Kematian, Cantrik Tudung 
Pandan. Tapi, ketahuilah! Menurut keteran-
gan beberapa orang muridku, selain Lowo Ku-
ru, di dalam Sumur Kematian juga ada seo-
rang pemuda sakti yang dapat melumpuhkan 
puluhan muridku dengan mudah. Apalagi se-
karang ditambah lagi Bidadari Putih dan em-
pat orang laki-laki berpakaian putih-putih se-
perti yang dikatakan muridku tadi. Untuk itu-
lah aku mengharap bantuan kalian," tukas 
Kelelawar Hutan merendah.
"Hm...! Jadi begitu persoalannya. Tapi 
kalau menurut hematku, lebih baik kau pun 
harus memanggil teman-teman lain. Sebab, 
tadi siang sewaktu aku sedang menuju kema-
ri, kulihat Lelaki Berkumis Kucing pun tengah 
menuju kemari. Entah, ada urusan apa."
"Hm...! Ya ya ya...! Terima kasih atas ke-
teranganmu, Setan Cantik! Dan aku pun 
akan mempertimbangkan usulmu tadi. Tapi 
sekarang, sebaiknya kita melanjutkan perbin-
cangan di pendopo saja. Tak enak rasanya ki-
ta bicara sambil berdiri begini. Mari!"
"Baiklah!" sahut Setan Cantik dan Can-
trik Tudung Pandan, hampir bersamaan.
Dan tanpa banyak cakap lagi ketiga 
orang itu pun segera berkelebat keluar dari 
Pekarangan Terlarang. Gerakan kaki mereka

cepat sekali laksana terbang. Sehingga dalam 
waktu singkat sosok bayangan mereka lenyap 
di antara kegelapan malam.
***
8
"Manusia-manusia jahanam! Siapa be-
rani mencari mati di dalam Sumur Kematian, 
he?!"
Belum hilang gaung suara bentakan, 
mendadak dari salah sebuah lorong di dalam 
Sumur Kematian meluruk angin kencang 
yang disusul gulungan sinar hitam ke arah 
Bidadari Putih dan keempat orang murid 
utama Lowo Kuru.
Wesss!
Bukkk! Bukkk!
Tanpa ampun, dua orang murid Lowo 
Kuru terpental beberapa tombak ke belakang. 
Dadanya yang terkena hantaman gulungan-
gulungan hitam terasa mau jebol dan nyeri 
bukan main. Sementara itu untung saja Bi-
dadari Putih dan dua orang murid Lowo Kuru 
lainnya cepat membuang tubuh ke samping. 
Sehingga, selamatlah ketiga orang itu dari

hantaman gulungan-gulungan hitam yang 
menyerang.
Sedang gulungan-gulungan hitam yang 
ternyata rambut hitam dari sosok buntung itu 
terus menerabas ke depan, langsung menan-
cap kokoh di dinding Sumur Kematian. Ke-
mudian, meluncur satu sosok buntung yang 
berkelebat cepat menyerang Bidadari Putih 
yang baru saja bangkit.
"Suamiku! Hentikan seranganmu!" teriak 
Bidadari Putih, lantang.
Gulungan-gulungan hitam yang tengah 
melayang-layang di udara mendadak berhen-
ti. Namun sosok buntung itu terus menerabas 
ke depan, membuat rambut-rambut hitam itu 
kembali menancap kokoh di dinding-dinding 
Sumur Kematian.
"Siapa kau?!" bentak sosok buntung 
yang tidak lain Lowo Kuru.
"Aku... Aku Surtini, istrimu, Kakang," 
sahut Bidadari Putih gemetar.
Apa yang terlihat benar-benar membuat 
hati wanita itu nyeri. Ia tidak menyangka su-
aminya dalam keadaan mengenaskan Seperti 
itu. Meski dapat membayangkan penderitaan 
suaminya yang hidup di dalam Sumur Kema-
tian, namun begitu menyaksikan dengan ma-
ta kepala sendiri, tak urung air mata Bidadari 
Putih pun merembes membasahi pipi.

Lowo Kuru membelalakkan matanya 
sungguh tidak diduga kalau istrinya akan 
muncul dalam Sumur Kematian.
Pada saat yang sama, Soma dan Bidada-
ri Kecil tengah berkelebat cepat ke dasar Su-
mur Kematian. Sesampainya di sana, tampak 
beberapa orang yang tak dikenal tengah ber-
diri berhadapan dengan Lowo Kuru. Siluman 
Ular Putih bersiap-siap membantu Lowo Ku-
ru. Namun tidak demikian halnya Bidadari 
Kecil. Begitu melihat sosok perempuan berpa-
kaian putih-putih yang sangat dikenalnya, 
Aryani segera menghambur. Langsung ditu-
bruknya Bidadari Putih.
"Ibu...!"
Bidadari Putih tersentak kaget. Suara 
gadis itu begitu sangat dikenalnya. Maka be-
gitu melihat Bidadari Kecil tengah berlari ke 
arahnya, Bidadari Putih pun cepat menyam-
butnya.
"Aryani...!"
Bidadari Putih memeluk putri tunggal-
nya erat-erat. Air matanya semakin memban-
jiri membasahi pipi.
"Ba..., bagaimana kau bisa sampai ke-
mari, Anakku? Siapa yang mencemplungkan 
kau kemari?" tanya Bidadari Putih dengan bi-
bir bergetar.

"Aku... aku ingin bertemu Ayah, Ibu," 
kata Aryani dengan tangis memelas di dalam 
pelukan ibunya.
"Istriku! Kasihan kau. Aku benar-benar 
telah menelantarkan kalian berdua. Aku laki-
laki tak bertanggung jawab. Rasanya, aku tak 
layak lagi hidup lebih lama di alam mayapada 
ini. Ma... maafkanlah aku, istriku!" ucap Lowo 
Kuru dengan segenap perasaan sesalnya.
Suara laki-laki tua ini pun terdengar 
bergetar-getar. Seolah-olah, ia tidak kuat lagi 
menahan guncangan batinnya yang hebat. 
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tahu-tahu 
orang tua buntung yang memang sebenarnya 
kurang waras, karena bertahun-tahun men-
derita dalam Sumur Kematian itu menggerak-
kan kepalanya ke dinding.
"Guru...! Jangaaan...!" pekik keempat 
orang murid utama Lowo Kuru hampir ber-
samaan.
Dan sebelum keempat orang murid itu 
bertindak, mendadak sesosok bayangan putih 
keperakan telah berkelebat cepat mengha-
dang gerakan Lowo Kuru yang hendak mem-
benturkan kepalanya ke dinding. Maka sebe-
lum peristiwa mengenaskan itu terjadi....
Bukkk! 
"Heekkk..!"


Aneh sekali. Entah mengapa, kepala Lo-
wo Kuru seperti menghantam kantong kapas 
yang lunak. Sehingga selamatlah nyawanya. 
Namun karena gerakan kepala orang tua bun-
tung itu begitu keras, maka tak urung juga 
Soma sempat meringis kesakitan. Perutnya 
mendadak terasa diaduk-aduk, hendak me-
muntahkan isinya.
"Orang tua tak berperasaan! Bagaimana 
kau dapat mengerti perasaan anak dan istri-
mu kalau kau sendiri belum tahu perasaan-
mu sendiri!" bentak Soma alias Siluman Ular 
Putih garang.
Dengan menggunakan Ujung-ujung 
rambutnya yang menotol ke badan pemuda 
penghadangnya, Lowo Kuru cepat menarik 
kepalanya. Dan ia segera berdiri seperti semu-
la, menggunakan ujung-ujung rambutnya 
yang menancap kokoh ke tanah.
Pada saat rambut-rambut Lowo Kuru 
menotol ke badan Soma itulah Siluman Ular 
Putih menggelinjang kegelian.
"Eh eh...! Dasar orang tua tak tahu diri! 
Sudah ditolong, pakai menggelitiki lagi!"
Mata Lowo Kuru terbelalak lebar. Bu-
kannya tersinggung oleh makian barusan, 
melainkan heran melihat pemuda penolong-
nya mampu menguasai 'Tenaga Inti Kapas' 
yang hanya dikuasai beberapa gelintir orang

di dunia persilatan. Satu di antaranya orang 
yang menguasai 'Tenaga Inti Kapas' adalah 
Eyang Bromo. Ia adalah salah seorang tokoh 
sakti yang jarang sekali menampakkan diri ke 
dunia ramai.
"Kau...? Apa hubunganmu dengan 
Eyang Bromo, Anak Muda? Apakah kau..., 
kau murid orang tua sakti dari Gunung Bro-
mo itu?" tanya Lowo Kuru dengan mata terbe-
liak lebar saking kagumnya.
"Aku?" Soma menunjuk dadanya sendiri. 
"Ah...! Kau ini mengada-ada saja, Ki! Mana 
aku tahu orang tua sakti yang kau sebut-
sebutkan itu. Mendengar namanya pun baru 
kali ini."
"Tidak mungkin! Kau pasti mengenal 
orang tua sakti itu. Sebab, siapa lagi yang 
mampu menguasai Tenaga Inti Kapas' kalau 
bukan murid orang tua sakti dari Gunung 
Bromo itu. Tapi..., tapi kalau tidak salah, bisa 
jadi kau murid Eyang Begawan Kamasetyo 
dari Gunung Bucu. Sebab hanya dua orang
tua sakti itu sajalah yang mampu menguasai 
'Tenaga Inti Kapas'. Ya yaya...! Kau pasti mu-
rid dari salah satu orang tua sakti yang kuse-
butkan tadi," tebak Lowo Kuru seraya men-
gangguk-angguk.
Soma menggaruk-garuk kepala. Sung-
guh tidak disangka kalau orang tua buntung


penghuni Sumur Kematian itu mempunyai 
pengetahuan cukup luas tentang dunia persi-
latan. Diam-diam Soma yang bergelar Silu-
man Ular Putih pun mulai mengagumi orang 
tua buntung di hadapannya.
"Sudahlah, Ki! Buat apa membicarakan 
tentang diriku? Apa tidak sebaiknya kau urus 
saja anak dan istrimu. Juga, keempat orang 
yang menyebutmu Guru itu!" ujar Soma se-
raya menunjuk ke arah empat orang laki-laki 
yang kini telah berlutut tak jauh dari Lowo 
Kuru.
Lowo Kuru terkejut. Seketika itu juga, 
kepalanya berpaling ke arah empat laki-laki 
berpakaian putih-putih yang kini telah berlu-
tut di hadapannya
"Terimalah hormat kami, Guru! Maaf, 
kalau baru sekarang kami bisa menemui 
Guru," ucap Sindu penuh hormat.
Lowo Kuru mengangguk-angguk.
"Bangunlah kalian semua!" perintah Lo-
wo Kuru berwibawa.
Dengan tangkas, keempat orang murid 
Lowo Kuru melompat bangun. Sejenak pan-
dangan mata keempat orang itu memperhati-
kan pemuda gondrong di samping gurunya 
penuh kagum.

Lagi-lagi Soma hanya menggaruk- garuk 
kepalanya. Namun belum sempat membuka 
suara....
"Aryani! Ajaklah ibumu beristirahat di 
lorong sebelah! Nanti aku menyusul!" sela 
Lowo Kuru.
"Baik, Ayah!" sahut Aryani tangkas. "Ma-
ri, Bu!"
Aryani alias Bidadari Kecil cepat meraih 
lengan ibunya. Dan diajaknya Bidadari Putih 
menuju ke lorong sebelah. Namun tiba-tiba 
saja gadis itu menghentikan langkahnya.
"Eh...! Mau apa kau di situ? Ayo, ikut 
aku!" ajak Aryani.
"Habis kau tak mengajakku, sih?!" sahut 
Soma, asal bunyi.
"Dasar kolokan!"
Dalam ruangan berukuran tiga kali em-
pat tombak, Bidadari Kecil dan keempat orang 
murid utama Lowo Kuru terus berlatih jurus-
jurus 'Sumur Kematian' yang tergurat di dind-
ing-dinding lorong. Tak jauh dari mereka 
tampak pula Lowo Kuru yang tengah membu-
ka kotak kecil yang disimpan di dinding sebe-
lah utara.
Begitu kotak kecil berwarna hitam ter-
buka, maka berpendarlah cahaya merah yang 
berasal dari sesuatu di dalam kotak itu. Ben-
da itu tak lain adalah pohon Lontar Merah be


rukuran sangat kecil. Panjangnya kira-kira 
satu jengkal tangan manusia dewasa. Sesuai 
namanya, daun-daun lontar itu pun berwarna 
merah. Sedang, batang-batangnya berwarna 
putih bersih mirip tulang.
Soma yang duduk tak jauh dari Lowo
Kuru sempat berdecak kagum beberapa kali. 
Sepasang matanya membelalak lebar.
"Pohon apa itu, Ki? Kok berwarna me-
rah?" tanya Soma, saking herannya.
"Mungkin kau baru kali ini mendengar-
nya, Anak Muda. Inilah yang dinamakan 
Daun Lontar Merah. Khasiatnya sungguh luar 
biasa. Tak hanya untuk menyembuhkan pe-
nyakit menahun, tapi juga bisa untuk me-
nyembuhkan orang mati jika Tuhan memang 
menghendaki demikian."
Bidadari Putih yang dari tadi memang 
sudah kagum melihat Daun Lontar Merah 
semakin membelalakkan matanya. Pohon itu-
lah yang selama ini diidam- idamkannya.
"Suamiku! Kalau boleh izinkan. aku 
memakan Daun Lontar Merah itu," pinta Bi-
dadari Putih tak sabar.
"Tentu saja, Istriku. Dari cerita Aryani, 
aku tahu kalau kau keracunan. Dan kalau 
melihat racun yang mengeram dalam tubuh-
mu pasti Kelelawar Hutanlah yang telah men-
celakakanmu!" kata Lowo Kuru.

"Ya...! Siapa lagi... kalau bukan Manusia 
Jahanam Kelelawar Hutan itu. Begitu kau da-
pat dirobohkan jahanam itu, tidak lama ke-
mudian aku pun terkena pukulan 'Tangan Hi-
tam'. Untung, waktu itu aku sudah menge-
rahkan tenaga dalam sebelum pukulan itu 
mendarat di tubuhku. Namun tetap saja aku
tidak dapat menghindar dari hawa racun yang 
diakibatkan pukulan itu, Suamiku," tutur Bi-
dadari Putih. Napasnya sampai terengah-
engah saking tidak kuatnya menahan ama-
rahnya menggelegak.
"Makanlah Daun Lontar Merah ini, Istri-
ku!" ujar Lowo Kuru seraya menjulurkan 
ujung-ujung rambutnya yang 'memegang' 
Daun Lontar Merah kepada istrinya.
Bidadari Putih menerimanya dengan 
tangan bergetar. Daun Lontar Merah di tela-
pak tangan kanannya sejenak dipandanginya 
seksama. Tidak terlalu kecil memang. Paling, 
hanya sebesar kuku ibu jari manusia dewasa.
Demikian dengan segenap pengharapannya, 
perlahan-lahan segera dimakannya Daun 
Lontar Merah.
Ajaib sekali. Selang beberapa saat, seke-
tika itu juga wajah Bidadari Putih yang kepu-
catan berubah menjadi kemerah -merahan!
Lowo Kuru yang saat sudah menyimpan 
kotak kecil berisi Daun Lontar Merah pada

tempatnya semula, tak henti-hentinya terus 
memandangi istrinya dengan mata berseri.
"Lekas bersemadi, Istriku! Kendalikan 
hawa racun yang mengeram dalam tubuhmu 
dan muntahkanlah!" ujar Lowo Kuru lagi.
"Baik, Suamiku," sahut Bidadari Putih 
patuh. Sehabis berkata begitu, perlahan-
lahan Bidadari Putih pun mulai memejamkan 
matanya. Napasnya yang semula memburu 
kini mulai agak tenang. Dan tidak lama ke-
mudian, wanita ini telah tenggelam dalam 
semadinya.
* * *
9
Kabut pagi hari perlahan-lahan tersing-
kap oleh matahari yang baru saja menam-
pakkan diri dengan sinarnya yang kuning 
keemasan di ufuk sebelah timur. Dari lereng 
sebelah barat Gunung Sumbing, tepatnya di 
Pekarangan Terlarang, cahaya matahari terus 
menerabas jauh ke ufuk sebelah barat sana.
Sejak kegagalan menangkap Bidadari 
Putih tiga hari yang lalu, Kelelawar Hutan 
memerintahkan murid-muridnya untuk 
memperketat penjagaan di Pekarangan Terlarang. Segala siasat dan jebakan telah diper-
siapkan disana, Dan tidak kurang dari empat 
puluh murid Perguruan Kelelawar Putih di 
tempatkan di Pekarangan Terlarang dengan 
senjata lengkap.
Sepintas suasana di atas Pekarangan 
Terlarang, terutama sekali di sekitar Sumur 
Kematian, terasa begitu mencekam. Dua pu-
luh orang murid penjaga tampak siap siaga 
dengan senjata di tangan. Sepasang mata me-
reka tak pernah lepas dari mulut Sumur Ke-
matian. Di saat kedua puluh orang murid 
penjaga tengah bersiap siaga, mendadak dari 
mulut Sumur Kematian muncul sesosok 
bayangan putih yang kemudian disusul pula 
oleh beberapa sosok bayangan putih lainnya.
Dan yang terakhir muncul adalah sosok 
pemuda berambut gondrong dengan pakaian 
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Sosok itu tidak lain dari Soma alias Si-
luman Ular Putih.
Begitu Soma berada di atas Sumur Ke-
matian, keningnya berkerut dalam -dalam. 
Sepasang matanya yang berwarna biru terus 
memperhatikan kedua puluh orang murid 
penjaga.
"Tangkap Nona Bidadari Kecil dan Bibi 
Guru Bidadari Putih!" teriak salah seorang 
murid penjaga, lantang.

Mendengar teriakan lantang itu, dua pu-
luh orang murid penjaga yang sedari tadi te-
lah bersiap siaga segera mengepung rombon-
gan kecil dari Sumur Kematian. Senjata ter-
hunus di tangan langsung diputar-putar.
"Keparat! Kalian benar-benar ingin men-
cari mampus. Jangan salahkan kalau aku 
terpaksa berlaku kasar pada kalian!" bentak 
Bidadari Kecil penuh kemarahan.
"Aryani! Jangan terlalu kasar pada me-
reka! Mereka hanyalah orang-orang suruhan," 
tegur Bidadari Putih.
Aryani menggerutkan gerahamnya. Se-
pasang matanya memancarkan rasa tidak 
puas terhadap ucapan ibunya barusan.
"Baik, Ibu," sahut Aryani akhirnya.
"Kunyuk-kunyuk tak tahu diri! Mengapa 
tidak kau suruh sekalian Kelelawar Hutan 
kemari, he?!" bentak Sindu kesal.
Sehabis berkata begitu, Sindu yang tidak 
sabar melihat tingkah murid-murid penjaga 
segera menyerang. Kedua tangannya berkele-
bat cepat dengan jari-jari terkembang, siap 
menotok.
Melihat Sindu telah mendahului menye-
rang, ketiga orang murid Lowo Kuru pun se-
gera menerjang para pengepungnya. Demi-
kian juga Aryani, Bidadari Putih, dan Siluman 
Ular Putih. Sehingga dalam waktu yang tidak


lama, kedua puluh orang murid Kelelawar 
Hutan sudah terdesak hebat. Malah hampir 
separonya roboh tak mampu bangun lagi ter-
kena totokan.
Tiba-tiba murid yang tadi mengeluarkan 
bentakan nyaring, bersuit panjang. Menden-
gar isyarat itu, beberapa orang murid penjaga 
yang belum roboh segera menyeret teman-
temannya yang tertotok keluar dari arena per-
tempuran.
Soma dan yang lainnya hanya saling 
berpandangan. Mereka belum tahu, apa yang 
akan dilakukan kedua puluh orang murid 
penjaga. Namun ketidak mengertian mereka 
kini terjawab. Begitu kedua puluh penjaga itu 
menyingkir jauh, mendadak dari balik tembok 
Pekarangan Terlarang telah berloncatan ber-
puluh-puluh murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih dengan busur panah tergenggam di tan-
gan.
"Setan alas! Mereka benar-benar meng-
hendaki nyawa kita!" desis Aryani penuh ke-
marahan.
Memang benar apa yang dikatakan 
Aryani. Begitu murid-murid pembawa busur 
itu hinggap di atas tembok memutar Pekaran-
gan Terlarang, segera membentangkan bu-
surnya.
Twang! Twang!

Selang beberapa saat, berpuluh- puluh 
anak panah melesat cepat bagai hujan me-
nyerang Soma dan kawan-kawan.
"Keparat! Ini tidak main-main lagi. 
Hihhh...!" dengus Bidadari Putih, mulai tidak 
dapat mengendalikan amarahnya.
Dan begitu lincahnya, Bidadari Putih 
yang kini sudah sembuh seperti ketika masih 
gadis cepat menyampok rontok beberapa ba-
tang anak panah. Demikian juga yang lain-
nya. Namun rupanya murid-murid pembawa 
busur itu telah mempersiapkan semuanya. 
Begitu serangan pertama gagal, yang lain se-
gera menarik busur kembali.
Twang! Twang!
Selang beberapa saat, kembali berpuluh-
puluh batang anak panah meluncur ke atas 
tubuh Soma dan kawan-kawan. Tidak ada pi-
lihan lain, terpaksa Siluman Ular Putih dan 
kawan kawan cepat menangkis dengan senja-
ta di tangan sambil perlahan-lahan bergerak 
mendekati.
Tak! Tak!
"Edan...!"
Soma alias Siluman Ular Putih kesal ju-
ga dibuatnya. Sambil terus menangkis rontok 
puluhan batang anak panah, Siluman Ular 
Putih cepat berkelebat mendekati murid-
murid pembawa busur. Gerakan kedua ka

kinya ringan sekali, laksana seekor capung 
yang bergerak lincah menangkap mangsa. 
Dan dalam waktu tidak lama, pemuda gon-
drong murid Eyang Begawan Kamasetyo pun 
berhasil mencapai tembok Pekarangan Terla-
rang.
Beberapa orang murid bersenjata panah 
segera mengarahkan busur ke arah Siluman 
Ular Putih. Soma tentu saja tidak ingin kalah 
cepat. Begitu kedua kakinya menjejak tembok 
Pekarangan Terlarang, segera ilmu meringan-
kan tubuh diarahkan. Dan dengan jari-jari 
terkembang cepat ditotoknya tubuh beberapa 
orang murid bersenjata panah.
Tukkk! Tuukk! Tukkk!
Tiga kali tangan Siluman Ular Putih ber-
gerak. Maka seketika itu juga tubuh tiga 
orang murid bersenjata panah terpelanting 
roboh tak dapat bangun lagi terkena totokan.
"Heaaat.,.!
Tuk! Tuk!
Dan rupanya serangan Siluman Ular Pu-
tih pun tidak hanya sampai di sini. Dengan 
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya 
yang sudah mencapai tingkat tinggi, kembali 
jari-jari tangannya bergerak menotok roboh 
beberapa orang murid bersenjata panah. Se-
hingga dalam waktu yang tidak lama, barisan

murid-murid pembawa panah di tembok ba-
gian sela-tan berhasil dibuat kocar-kacir.
Melihat sepak terjang pemuda gondrong 
murid Eyang Begawan Kamasetyo dari Gu-
nung Bucu, Bidadari Putih dan Aryani pun
segera menjejakkan kakinya ke tembok Peka-
rangan Terlarang bagian barat. Meski berpu-
luh-puluh. batang panah menghujam ibu dan 
anak itu mampu meliuk-liukkan tubuh. Se-
hingga, akhirnya di tembok Pekarangan Terla-
rang bagian barat. Kedua tangan mereka yang 
sudah gatal-gatal segera berkelebat menotok 
roboh beberapa orang murid pembawa panah.
Tukkk! Tukkk!
Beberapa orang murid bersenjata panah 
langsung terpelanting roboh begitu terkena 
totokan jari-jari tangan Bidadari Putih dan 
anaknya.
"Heaaa...!"
Aryani yang sudah tidak dapat mengen-
dalikan amarahnya berteriak ganas. Tubuh-
nya kembali berkelebat cepat menyerang be-
berapa orang murid pembawa panah lainnya. 
Kali ini gadis itu bukan hanya sekadar meno-
tok, melainkan melepas tamparan dan ten-
dangan.
Plak! Desss...!
"Aaakh...!"

Dalam waktu yang tidak lama, murid-
murid bersenjata panah di bagian barat tem-
bok Pekarangan Terlarang dapat dibuat ko-
car-kacir.
Di saat murid-murid bersenjata panah 
dapat dibuat kocar-kacir, mendadak...
"Manusia-manusia pencari mati! Lekas-
lah serahkan diri kalian baik-baik!"
Dari arah barat tembok Pekarangan Ter-
larang terdengar bentakan garang dari seseo-
rang. .
Belum hilang suara bentakan tadi, tahu-
tahu di tempat itu telah berdiri tegak sesosok 
bayangan hitam-hitam dengan wajah garang. 
Tidak lama kemudian, hinggap pula dua so-
sok bayangan berpakaian kuning keemasan.
Sosok bayangan berpakaian hitam-hitam 
tak lain adalah seorang lelaki bertubuh tinggi 
besar. Di kepalanya tampak melingkar ikat 
kepala juga berwarna hitam. Wajahnya bengis 
dengan sepasang mata mencorong menyi-
ratkan kekejaman. Siapa lagi dia kalau bukan 
manusia durjana yang bergelar Kelelawar Hu-
tan?!
Sedang di belakang Kelelawar Hutan 
adalah dua orang wanita cantik berpakaian 
kuning keemasan.
Yang sebelah kanan bercaping lebar dari 
anyaman daun pandan. Sedang di samping

nya adalah seorang wanita cantik berusia tiga 
puluh lima tahun. Rambutnya yang hitam 
panjang digelung ke atas. Dua orang wanita 
cantik itu tidak lain dari dua orang tokoh se-
sat dari Istana Ular Emas. Setan Cantik dan 
Cantrik Tudung Pandan!
"Kelelawar Hutan! Dosamu telah ber-
tumpuk. Demi Tuhan aku akan membalaskan 
sakit hati kedua orangtuaku!" bentak Aryani 
dengan kemarahan memuncak.
"Bocah lancang! Beraninya kau berkata 
demikian?!" bentak Kelelawar Hutan garang.
"Mandra...! Hari inilah aku akan memba-
las sakit hatiku dan juga sakit hati suamiku!" 
desis Bidadari Putih.
Sret! Sret!
Tangan kanan wanita itu cepat melepas 
pedang di balik pinggangnya. Demikian juga
Aryani.
"Ha ha ha...! Majulah kalian anak-anak 
setan! Kebetulan sekali kalian muncul secara 
bersamaan. Sehingga, aku tidak perlu bersu-
sah payah mencari!" ejek Kelelawar Hutan di 
antara tawanya.
Aryani yang berada paling depan cepat 
menerjang orang tua tinggi besar itu. Tangan 
kanannya yang memegang pedang digerakkan 
sedemikian rupa, menusuk ulu hati Kelelawar 
Hutan. Sedang tangan kirinya siap pula me


lancarkan totokan ke jalan darah Kelelawar 
Hutan.
Hebat sekali serangan Bidadari Kecil ini. 
Bidadari Putih yang berada di belakang Arya-
ni tidak dapat berbuat apa-apa karena saat 
itu, sedang berada di atas tembok Pekarangan 
Terlarang.
Melihat serangan Aryani, Kelelawar Hu-
tan hanya tersenyum dingin sinis. Tusukan 
pedang yang mengarah ulu hatinya cepat di-
elakkan dengan satu liukan indah. Bersa-
maan dengan itu, tiba-tiba jari-jari tangannya 
cepat mengirimkan totokan ke pergelangan 
tangan Aryani.
"Ah...!" pekik Aryani kaget bukan alang 
kepalang.
Si gadis tidak menyangka serangannya 
dapat dimentahkan demikian mudah. Jari-jari 
tangan kirinya yang semula bermaksud me-
notok, buru-buru digerakkan ke samping be-
gitu totokannya hanya mengenai tempat ko-
song. Sedang tangan kanannya yang teran-
cam totokan segera diputar cepat. Dan pe-
dangnya langsung membabat lengan Kelela-
war Hutan.
Wesss! Wesss!
Pedang di tangan Aryani hanya menem-
bus angin kosong beberapa jengkal dari tem-
pat sasaran. Namun tiba-tiba saja, Kelelawar


Hutan menjejakkan kakinya ke tempat Peka-
rangan Terlarang. Dan seketika itu juga, tu-
buhnya mencelat tinggi ke udara.
Setelah dua kali berputaran, Kelelawar 
Hutan cepat menukik tajam. Kedua jari-jari 
tangannya yang terkembang siap meremuk-
kan batok kepala Aryani dari atas. Di tempat 
lain Bidadari Putih yang melihat putri tung-
galnya dalam keadaan mengkhawatirkan, 
hanya memekik cemas tanpa bisa berbuat 
banyak.
Aryani bukannya tidak tahu dirinya da-
lam keadaan bahaya. Melihat serangan yang 
datang demikian cepatnya, cepat tubuhnya 
dilempar ke samping. Sembari bergerak demi-
kian, tiba-tiba rambutnya yang tergerai di ba-
hu telah bergerak cepat, menangkis jari-jari 
tangan kanan Kelelawar Hutan yang siap me-
remukkan kepalanya.
Wesss!
Plakkk!
Gulungan-gulungan rambut hitam Arya-
ni berhasil menangkis tangan kanan Kelela-
war Hutan. Bahkan dengan menggunakan ju-
rus 'Sumur Kematian' yang baru saja dipela-
jarinya, gulungan rambut gadis itu pun ber-
hasil menghajar telak dada Kelelawar Hutan.
Bukkk! 
"Aaakh...!"

Kelelawar Hutan memekik kaget. Seketi-
ka itu juga, tubuhnya yang terkena hantaman 
terjajar ke belakang. Karena masih berada di 
atas tembok Pekarangan Terlarang, maka Ke-
lelawar Hutan segera membuat salto beberapa 
kali di udara dan mendarat empuk di tanah.
"Jahanam! Rupanya kau telah mampu 
menguasai jurus 'Sumur Kematian', Bocah! 
Pantas saja kau berani menjual lagak di de-
panku. Tapi, jangan harap aku takut meng-
hadapi jurus-jurusmu, Bocah!" dengus Kele-
lawar Hutan penuh kemarahan.
"Hiaaat...!"
Aryani yang penasaran sekali dengan 
Kelelawar Hutan cepat berkelebat menyusul. 
Pedang di tangan kanannya digunakan untuk 
menusuk ubun-ubun dari atas. Sedang tan-
gan kirinya digunakan untuk menangkis ka-
lau-kalau ada serangan balik.
Melihat putri tunggalnya telah bergerak 
lebih dahulu, Bidadari Putih yang juga mera-
sa geram melihat sepak terjang Kelelawar Hu-
tan hendak berkelebat, menyusul dengan sen-
jata di tangan. Namun sayang, baru saja ka-
kinya menjejak tanah, tiba-tiba saja di hada-
pannya telah menghadang dua orang wanita 
berpakaian kuning keemasan.
"Biarkan bocah lancang itu bermain-
main dengan Kelelawar Hutan, Bidadari Pu

tih! Sekarang, hadapi saja aku!" desis Setan 
Cantik sinis.
"Keparat! Lagi-lagi kalian yang membuat 
ulah di Perguruan Kelelawar Putih! Apa kalian 
sudah bosan hidup, he?!" bentak Bidadari Pu-
tih garang.
"Ha ha ha...! Sungguh pintar sekali kau 
berkoar, Bidadari Putih! Aku jadi ingin lihat, 
apakah kau sanggup mewujudkan kata-
katamu itu?!" ejek Cantrik Tudung Pandan.
Sehabis berkata begitu, tokoh sesat dari 
Istana Ular Emas itu pun segera mencabut 
pedang tipisnya yang melilit di pinggang. Dan 
seketika Cantrik Tudung Pandan telah berke-
lebat cepat menyerang Bidadari Putih.
Melihat kakak seperguruannya telah 
mendahului, Setan Cantik pun segera menca-
but pedang tipisnya yang melilit di pinggang. 
Dan dengan garang-nya, tubuhnya berkelebat 
cepat ikut menyerang Bidadari Putih. Sedang 
tangan kirinya telah mengibas, melepas ja-
rum-jarum emasnya. Dan....
Serrr! Serrr!
Hebat bukan main serangan-serangan 
dua orang tokoh sesat dari Istana Ular Emas 
itu. Tebasan-tebasan pedang dan jarum-
jarum emas yang berkeredepan itu sungguh 
merepotkan Bidadari Putih, meski telah sem-
buh seperti sedia kala. Dan entah sudah be
rapa kali tubuhnya yang tinggi kurus harus 
berjumpalitan di udara. Jangankan untuk 
membalas serangan, untuk menghindar saja 
rasanya sulit sekali.
Kalau keadaan ini dibiarkan beberapa 
saat lamanya, bukan mustahil dalam bebera-
pa jurus Bidadari Putih pun dapat diroboh-
kan. Namun di saat Bidadari Putih terdesak 
hebat, tahu-tahu tiga orang murid utama Lo-
wo Kuru telah berkelebat cepat membantu.
"Manusia-manusia tengik dari Istana 
Ular Emas! Enyahlah kalian dari sini! Ini bu-
kanlah tempat kalian!" bentak Naroko garang.
Sembari berkata demikian, pedang di 
tangan kanan lelaki itu cepat membabat leher 
Setan Cantik. Sedang dua orang temannya 
menyerang dari samping kanan dan kiri. Se-
hingga selamatlah Bidadari Putih dari teka-
nan-tekanan dua tokoh sesat dari Istana Ular 
Emas itu.
Sementara itu, Sindu tak dapat keluar 
dari kepungan berpuluh-puluh murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih. Meski dikeroyok demi-
kian hebatnya, tak henti-hentinya murid ter-
tua Lowo Kuru ini terus mencoba mempenga-
ruhi murid- murid Perguruan Kelelawar Putih.
"Ketahuilah, adik-adik ku! Sesungguh-
nya pemilik Perguruan Kelelawar Putih ini 
bukanlah guru kalian, si Manusia Pecundang

Kelelawar Hutan! Tapi, Lowo Kuru. Kalian 
dengar?! Lowo Kuru yang berada dalam Su-
mur Kematian itulah pemilik Perguruan Kele-
lawar Putih yang sebenarnya!" teriak Sindu, 
lantang.
"Setan alas! Siapa peduli omongan mu!" 
teriak salah seorang murid Perguruan Kelela-
war Putih lantang.
"Ya! Siapa peduli omongan orang yang 
mau mampus!" teriak yang lain menyahuti.
"Dasar otak bebal! Tahu apa kalian den-
gan segala macam urusan rumit ini! Justru 
guru kalian Kelelawar Hutan itulah yang 
membuat urusan jadi rumit! Guru kalian itu-
lah yang telah mencelakakan pemilik sah Per-
guruan Kelelawar Putih ini ke dalam Sumur 
Kematian!" teriak Sindu sengit,
"Siapa saja yang mempercayai ocehan ti-
kus comberan itu berarti mati! Kalian dengar! 
Hanya kematianlah bagi murid- muridku yang 
tidak patuh!"
Sungguh hebat sekali pengaruh teriakan 
Kelelawar Hutan. Beberapa orang murid Per-
guruan Kelelawar Putih yang sempat terpen-
garuh ucapan Sindu langsung menegang. Wa-
jah mereka pucat pasi, membayangkan hu-
kuman yang akan dijatuhkan bila memban-
tah.

Berpikir sampai demikian, tanpa banyak 
membuang waktu lagi murid-murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih kembali menyerang Sin-
du dengan garang.
Kali ini bukan saja Sindu saja yang kesal 
melihat perubahan sikap murid- murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih, tapi juga, Siluman Ular 
Putih. Pemuda itu saat ini sedang sibuk 
menghajar beberapa orang murid Perguruan 
Kelelawar Putih.
"Sontoloyo! Dasar murid-murid sonto-
loyo! Apa mata kalian tidak melek? Ayo lekas 
hentikan serangan. Cincang kunyuk hitam 
guru kalian itu!" bentak Siluman Ular Putih,
diam-diam mulai mengerahkan kekuatan ba-
tinnya.
Suara bentakan yang bernada bercanda 
itu terdengar bergetar-getar aneh, menyerang 
jalan pikiran para pengeroyok. Maka seketika 
itu juga murid-murid Perguruan Kelelawar 
Putih menghentikan serangan. Dan dengan 
wajah beringas, pandangan mereka beralih ke 
arah Kelelawar Hutan yang sedang bertempur 
hebat melawan Aryani.
Kelelawar Hutan kaget bukan alang ke-
palang. Meski tengah. bertempur hebat, na-
mun masih dapat merasakan suara bentakan 
Siluman Ular Putih yang bergetar-getar aneh. 
Dan lebih terkejutnya lagi, ketika melihat mu


rid-muridnya kini mulai mengalihkan seran-
gan ke arahnya.
"Setan alas! Siapa suruh kalian menye-
rangku, he?! Apa kalian sudah bosan hidup?!" 
bentak Kelelawar Hutan, laksana suara dari 
dalam kubur.
Suara Kelelawar Hutan terdengar begitu 
menyeramkan, Rupanya, diam-diam kekuatan 
sihirnya pun telah dikerahkan untuk menan-
dingi kekuatan batin Siluman Ular Putih. Dan 
begitu mendengar teriakan Kelelawar Hutan, 
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih jadi 
celingukan. Mereka seperti terombang- amb-
ing dua kekuatan batin yang sama-sama 
kuat.
Dan kini murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih pun mulai bersiap-siap menye-
rang Sindu kembali. Namun belum sempat 
mereka bertindak, Siluman Ular Putih kemba-
li mengeluarkan satu bentakan nyaring. Se-
hingga, murid-murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih kembali terombang-ambing kekuatan sihir 
Siluman Ular Putih.
Kelelawar Hutan geram bukan main. Ke-
kuatan sihirnya kembali tersaingi oleh kekua-
tan sihir Siluman Ular Putih. Maka diiringi 
satu lengkingan setinggi langit, serangan-
serangannya semakin dipercepat ke beberapa 
jalan darah yang mematikan di tubuh Aryani.

Bahkan tak segan-segan pula kedua tangan-
nya yang telah berubah menjadi hitam legam 
siap melontarkan pukulan Tangan Hitam ke 
tubuh gadis itu.
Meski Aryani telah mampu menguasai
jurus-jurus sakti 'Sumur Kematian' dalam 
waktu singkat, namun tetap saja belum 
mampu menandingi kehebatan Kelelawar Hu-
tan. Jangankan untuk membalas serangan. 
Untuk menghindari tekanan- tekanan Kele-
lawar Hutan pun rasanya sulit. Dan entah 
sudah berapa kali tubuhnya harus berjumpa-
litan di udara menghindari tekanan-tekanan 
Kelelawar Hutan.
Wesss! Wesss!
Hebat bukan main serangan-serangan 
Kelelawar Hutan kali ini Dan pada saat tubuh 
Aryani melayang-layang di udara, mendadak 
saja seleret sinar hitam legam dari telapak 
tangan kiri Kelelawar Hutan menerabas me-
nyerang. Itulah pukulan 'Tangan Hitam' yang 
sangat di agung-agungkan Kelelawar Hutan
Aryani kaget bukan alang kepalang. Apa-
lagi, tubuhnya saat ini berada di udara. Gadis 
itu kali ini benar-benar mati kutu. Sulit ra-
sanya menghindari serangan. Namun di saat 
yang gawat bagi si gadis, tiba-tiba melesat si-
nar putih terang.
Wesss!


Bummm...!
Sinar putih terang yang entah dari mana 
datangnya langsung memapak pukulan 
'Tangan Hitam' Kelelawar Hutan. Maka seke-
tika itu juga Kelelawar Hutan membelalakkan 
matanya lebar-lebar. Tangan kirinya bergetar 
hebat akibat bentrokan tadi.
"Manusia Sontoloyo! Beraninya hanya 
terhadap seorang gadis. Ayo, lekas hadapi 
aku, si gondrong dari dasar neraka!"
* * *
10
Sepasang mata merah saga Kelelawar 
Hutan terbelalak liar. Di hadapannya kini 
berdiri tegak seorang pemuda berambut gon-
drong dengan pakaian rompi dan celana ber-
sisik warna putih keperakan. Di dadanya 
tampak sebuah rajahan bergambar ular pu-
tih. Saat ini pemuda gondrong yang tidak lain 
Soma alias Siluman Ular Putih tengah berto-
lak pinggang. Kedua kakinya terpentang le-
bar-lebar, pura-pura bersikap galak.
"Setan alas! Lagi-lagi kau yang mengha-
lang-halangi maksudku! Apa kau tidak tahu 
sedang berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Kelelawar Hutan penuh kemarahan. Ke-
dua pelipis nya bergerak-gerak. Gigi-gigi gera-
hamnya pun bergemeletukan, pertanda ten-
gah menahan amarah menggelegak.
"Lho? Bukankah aku sedang berhada-
pan dengan manusia pecundang yang berge-
lar Tikus Comberan?" ejek Siluman Ular Pu-
tih.
"Setan alas! Beraninya kau menjual la-
gak di depanku, he?! Sudah bosan hidup kau 
rupanya?!" geram Kelelawar Hutan.
Sehabis membentak begitu, Kelelawar 
Hutan mencelat tinggi ke udara. Tidak tang-
gung-tanggung, tangan kirinya yang berwarna 
hitam legam siap dilontarkan ke arah tubuh 
Soma. Sedang tangan kanannya telah mem-
bentuk cengkeraman siap menjebol dada Si-
luman Ular Putih. Itulah jurus 'Cengkeraman 
Maut Kelelawar Sakti', andalan Pendekar Lo-
wo Putih yang hanya diajarkan oleh ketiga
orang muridnya. Yakni, Lowo Kuru, Kelelawar 
Hutan, dan yang terakhir Bidadari Putih.
Sungguh hebat bukan main serangan-
serangan Kelelawar Hutan. Aryani yang berdi-
ri beberapa tombak di luar arena pertarungan 
hanya dapat menahan napasnya tegang. Di-
am-diam gadis ini pun siap membantu pemu-
da gondrong penolongnya.

Melihat serangan-serangan Kelelawar 
Hutan yang demikian hebatnya, Siluman Ular 
Putih pun tidak berani memandang remeh. 
Maka cepat dikeluarkannya jurus-jurus sakti 
'Ular Kembar Mengejar Mangsa'. Sedang tan-
gan kirinya yang telah berubah menjadi putih 
terang, siap pula memapaki pukulan 'Tangan 
Hitam' dengan pukulan sakti Tenaga Inti Bu-
mi'.
Plakkk! Plakkk!
Blaaar...!
Beberapa kali tangan kanan Siluman 
Ular Putih menangkis serangan-serangan Ke-
lelawar Hutan. Tak lama, terjadi benturan 
dua telapak tangan kedua orang itu. Akibat-
nya, tubuh tinggi besar Kelelawar Hutan 
kembali mencelat tinggi ke udara. Tangan ki-
rinya tergetar hebat.
Kelelawar Hutan kaget bukan main. Ia 
tidak menyangka kalau pemuda gondrong itu 
dapat menangkis serangan- serangannya. 
Bahkan kedua telapak tangan Siluman Ular 
Putih yang membentuk kepala ular berhasil 
menyerang balik Kelelawar Hutan demikian 
hebatnya.
"Aryani! Mengapa hanya menonton saja? 
Lekas bantu Sindu menghadapi murid-murid 
itu!" teriak Siluman Ular Putih di antara se-
rangan-serangannya.

Aryani mengerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sebenarnya ingin rasanya gadis ini me-
lampiaskan dendam kepada Kelelawar Hutan. 
Hanya sayangnya, ia belum mampu menan-
dingi kehebatan laki-laki itu. Sedang ibunya 
dan ketiga orang murid ayahnya tidak begitu 
kewalahan menghadapi musuh-musuhnya. 
Malah, ketiga orang murid utama ayahnya 
dapat mendesak hebat Setan Cantik. Hanya 
Sindu saja yang tampak kewalahan mengha-
dapi gempuran murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih yang dapat dikuasai kembali oleh 
Kelelawar Hutan.
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi, 
Aryani pun segera berkelebat membantu Sin-
du. Sehingga murid pertama Lowo Kuru tidak 
begitu kewalahan lagi. Meski demikian, Aryani 
tetap dapat mengendalikan amarahnya. Ba-
gaimanapun juga, ia enggan menurunkan 
tangan mautnya kepada murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih yang masih terhitung 
adik seperguruan.
Dan di saat Aryani dan Sindu tengah si-
buk mendesak murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih, mendadak...
"Keparat...!"
Kelelawar Hutan mengeluarkan satu ge-
rengan yang dapat pecahkan gendang telinga. 
Sedang tubuhnya yang tinggi besar terjajar

beberapa langkah ke belakang. Matanya 
membelalak liar. Hampir saja ia celaka di tan-
gan musuh mudanya. Untung saja ketika 
tendangan kaki Siluman Ular Putih mendarat 
telak di dadanya, tenaga dalamnya telah dike-
rahkan. Sehingga, selamatlah Kelelawar Hu-
tan dari tendangan mematikan Siluman Ular 
Putih.
Meski demikian, di sudut-sudut bibir 
Kelelawar Hutan tampak terbersit darah se-
gar, pertanda telah terluka dalam. Dalam 
keadaan seperti itu, lelaki itu jadi murka. Se-
pasang matanya tiba-tiba mencorong aneh. 
Bibirnya berkemik-kemik. Dan dari bibirnya 
yang berkemik-kemik.
"Siapa suruh kau membuat onar di tem-
pat ini, Bocah? Ayo lekas berlutut! Mungkin 
aku masih mengampuni nyawa busukmu!" 
bentak Kelelawar Hutan, laksana suara dari 
dalam liang kubur.
Siluman Ular Putih tersentak kaget. Ke-
dua lututnya goyah. Hampir saja kata-kata 
Kelelawar Hutan dituruti, kalau tidak buru-
buru mengerahkan kekuatan batinnya. Se-
hingga, kekuatan sihir Kelelawar Hutan dapat 
dipunahkan.
"Ah...! Hampir saja aku lupa! Rupanya 
kau pintar juga bermain sulap, Tikus Combe-
ran?" ujar Soma diam-diam kembali menge

rahkan kekuatan batinnya. "Tapi mana sudi 
aku menuruti perintahmu? Justru kaulah 
yang patut berlutut di hadapanku. Ayo, lekas 
lakukan! Tunggu apa lagi!"
Kelelawar Hutan kaget bukan alang ke-
palang. Suara teriakan-teriakan pemuda gon-
drong itu terdengar demikian aneh menyerang 
jalan pikirannya. Dan tanpa disadari tiba-tiba 
Kelelawar Hutan telah berlutut di hadapan Si-
luman Ular Putih!
"Ha ha ha..! Rupanya kau penurut juga, 
Tikus Comberan! Bagus-bagus! Mungkin Raja 
Akhirat sudi mengampuni nyawa busukmu!" 
celoteh Siluman
Ular Putih di antara gelak tawa.
Bukan main kagetnya Kelelawar Hutan. 
Padahal, tadi pun kekuatan sihirnya telah di-
kerahkan. Namun anehnya, tetap saja tidak 
dapat menahan kedua lututnya yang goyah 
hingga akhirnya jatuh berlutut di hadapan Si-
luman Ular Putih.
"Keparat! Berani kau mempermainkan 
Kelelawar Hutan, Bocah!" bentak Kelelawar 
Hutan murka.
Sembari berteriak lantang begitu, Kele-
lawar Hutan cepat meloncat bangun. Dan 
dengan menggunakan kedua telapak tangan-
nya yang telah berubah menjadi hitam legam 
sampai ke pangkal, cepat diserangnya Silu

man Ular Putih. Kini, ia tidak berani main-
main lagi terhadap musuh mudanya. Baik il-
mu sihir maupun ilmu silat.
Berpikir demikian, Kelelawar Hutan ma-
kin mempercepat serangan-serangan. Ia beru-
saha mengurung pertahanan Siluman Ular 
Putih. Hingga dalam beberapa jurus kemu-
dian, yang terlihat hanyalah bayangan sosok 
hitam yang terus berusaha mendesak bayan-
gan putih.
Tak! Tak!
Namun selang beberapa jurus kemu-
dian, gantian bayangan putih keperakan Si-
luman Ular Putih yang mendesak bayangan 
hitam Kelelawar Hutan. Bahkan tak jarang, 
patokan-patokan kedua telapak tangan Soma 
berhasil melukai kulit tubuh Kelelawar Hu-
tan. Namun anehnya begitu tubuhnya terlu-
ka, maka seketika itu juga asap hitam tipis 
yang datang dari ubun-ubun kepala perlahan-
lahan bergerak menyelimuti ke bagian-bagian 
tubuh Kelelawar Hutan yang terluka. Selang 
beberapa saat, luka-luka itu pun sembuh se-
perti sedia kala!
"Ha ha ha...! Selihai apa pun, kau tetap 
tidak dapat mengalahkanku, Bocah! Cepatlah 
tinggalkan tempat ini. Mumpung pikiranku 
belum berubah!" ejek Kelelawar Hutan di an-
tara gelak tawanya.

Kini gantian mata Siluman Ular Putih 
yang terbelalak lebar-lebar. Apa yang dilihat-
nya benar-benar membuat hatinya tercekat. 
Entah ilmu iblis apa yang digunakan Kelela-
war Hutan.
Dan belum sempat hilang rasa heran Si-
luman Ular Putih, tahu-tahu tubuh tinggi be-
sar Kelelawar Hutan telah berkelebat cepat 
menyerang dengan pedang di tangan.
Soma tidak begitu memperhatikan ka-
pan laki-la-ki tua tinggi besar itu mencabut 
pedangnya. Yang jelas, tahu-tahu cahaya pu-
tih menyilaukan mata setelah berkelebat ce-
pat. Jurus-jurus yang dikeluarkan Kelelawar 
Hutan tampak aneh sekali. Terkadang laki-
laki tinggi besar itu mencelat tinggi di udara 
laksana seekor kelelawar murka. Namun en-
tah karena apa, tiba-tiba saja serangan-
serangannya bisa terhenti.
Meski demikian, serangan-serangan Ke-
lelawar Hutan tidak dapat dianggap enteng. 
Tendangan dan cengkeraman cengkeraman 
tangannya penuh jebakan- jebakan maut. 
Bahkan sebelum tendangan dan cengkera-
mannya mengenai sasaran, terlebih dahulu 
berkesiur hawa panas menyerang tubuh Si-
luman Ular Putih.
"Mungkin inilah jurus-jurus sakti yang 
terkandung dalam kitab peninggalan Pende
kar Lowo Putih," gumam Siluman Ular Putih 
dalam hati. "Tapi..., tapi mengapa terkadang 
Kelelawar Hutan menghentikan serangan-
serangannya secara tiba-tiba, seperti bingung 
dengan kelanjutan jurus-jurus itu? Ah...! 
Mengapa aku jadi bodoh begini?! Itu bisa saja 
terjadi, karena Kelelawar Hutan memaksakan 
diri mempelajari jurus-jurus dalam kitab. Pa-
dahal ia belum mendapatkan pasangan pe-
dang Kelelawar Putih sebagai kunci pembuka 
kitab itu. Jadi, ya! Jurus-jurus kacau balau 
itulah hasilnya!"
Begitu telah mendapat kesimpulan, Si-
luman Ular Putih tersenyum senang.
"Ah! Sayang sekali! Mengapa jurus-jurus 
yang terkandung dalam kitab Kelelawar Sakti 
kau ubah jadi jurus-jurus kacau balau begi-
ni?!" ejek Siluman Ular Putih sambil berjum-
palitan menghindari serangan-serangan Kele-
lawar Hutan.
Sehabis berkata begitu, Siluman Ular 
Putih pun cepat mencabut senjata pusaka da-
ri balik punggung. Anak Panah Bercakra 
Kembar! Sesuai namanya, senjata itu me-
mang berbentuk sebatang anak panah. 
Ujungnya melengkung ke atas, berbentuk ke-
pala ular dengan sebuah taring mencuat ke 
depan berupa sebilah pisau. Sebagian batang 
anak panah itu juga berbentuk badan ular

yang memiliki dua lubang mirip lubang sul-
ing. Sedang di kanan kiri ujung anak panah 
berbentuk kepala itu terdapat dua buah cakra 
kembar terbuat dari lempengan baja!
Aneh sekali! Begitu senjata pusaka itu 
terpegang di tangan kanan Siluman Ular Pu-
tih, tiba-tiba arena pertarungan itu dipenuhi 
hawa dingin menusuk kulit. Di samping itu 
Soma pun merasakan tubuhnya jadi ringan 
sekali. Bahkan tenaga dalamnya pun bertam-
bah!
Melihat senjata aneh di tangan musuh 
mudanya, Kelelawar Hutan hanya tersenyum 
dingin. Hatinya sama sekali tidak gentar 
menghadapi senjata pusaka di tangan Silu-
man Ular Putih.
"Bocah edan! Lihat serangan!" ejek Kele-
lawar Hutan.
Sejenak Kelelawar Hutan menggerak-
gerakkan pedang di tangan kanannya mem-
buat jurus-jurus kembangan, sebelum melan-
carkan serangan sesungguhnya.
Cit! Cit!
Benar saja. Begitu jurus-jurus kemban-
gan selesai dimainkan, tiba-tiba terdengar pe-
kik mencicit mirip seekor kelelawar. Dan ta-
hu-tahu, tubuh tinggi besar Kelelawar Hutan 
telah mencelat tinggi ke udara. Ujung pe-
dangnya ditusukkan demikian rupa. Sedang

tangan kirinya siap meremukkan batok kepa-
la Siluman Ular Putih dengan jurus 
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti'.
Tentu saja Siluman Ular Putih tidak sudi 
batok kepalanya menjadi sasaran empuk se-
rangan-serangan Kelelawar Hutan. Dengan 
mengerahkan jurus 'Terjangan Maut Ular Pu-
tih' cepat senjata pusakanya bergerak mema-
pak.
Wesss! Wesss!
Dan begitu Siluman Ular Putih mengge-
rakkan senjata pusakanya. maka seketika itu 
juga berkesiur angin dingin dari dua cakra 
kembar yang berputar menyerang Kelelawar 
Hutan.
"Uts!"
Kelelawar Hutan sedikit memiringkan 
tubuhnya ke samping. Sedang pedang di tan-
gan kanannya menusuk ubun-ubun kepala 
Siluman Ular Putih. Tidak ada pilihan lain
bagi Siluman Ular Putih. Cepat senjata pusa-
kanya digerakkan untuk menangkis pedang di 
tangan Kelelawar Hutan. 
Cring!
Terlihat bunga api berpijar di udara begi-
tu dua senjata berbenturan. Tangan Kelelawar 
Hutan sedikit bergetar akibat bentrokan tadi. 
Sementara tubuhnya agak limbung ke kiri.

Maka segera dia bersalto beberapa kali di 
udara, sebelum akhirnya menjejak ke tanah.
Wesss...!
Namun baru saja Kelelawar Hutan men-
darat di tanah, mendadak berkesiur angin 
dingin menyerang. Bersamaan dengan itu, se-
leret sinar putih terang dari telapak tangan 
kiri Siluman Ular Putih telah menerabas cepat 
siap menghantam tubuhnya.
"Hih...!"
Kelelawar Hutan cepat mengangkat tan-
gan kirinya yang telah berubah menjadi hitam 
legam hingga sampai ke pangkal, lalu mendo-
rongkannya ke depan.
Srattt!
Maka seketika itu juga terlihat seleret 
sinar hitam legam dari telapak tangan kiri Ke-
lelawar Hutan, menerabas cepat memapaki 
pukulan 'Inti Bumi Siluman Ular Putih'.
Bummm...!
Hebat bukan main pertemuan dua tena-
ga dalam di udara itu. Akibatnya tanah di se-
kitar arena pertarungan bergetar hebat. Se-
dang tubuh Kelelawar Hutan terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang.
Pada saat itu Siluman Ular Putih yang 
sempat limbung akibat bentrokan tadi cepat 
mendesak Kelelawar Hutan dengan jurus-
jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Sedang

tangan kirinya siap pula melancarkan puku-
lan 'Tenaga Inti Bumi'
Kali ini Kelelawar Hutan kewalahan bu-
kan main. Tubuhnya yang tengah terhuyung-
huyung ke belakang cepat dilempar ke samp-
ing.
"Heaaa...!"
Namun, rupanya Siluman Ular Putih ti-
dak ingin tanggung-tanggung dalam melan-
carkan serangan. Sambil sesekali melancar-
kan pukulan 'Tenaga Inti Bumi' terus dide-
saknya Kelelawar Hutan. Berkali-kali senjata 
pusaka di tangannya mengancam bagian yang 
paling membahayakan di tubuh Kelelawar 
Hutan. Untung laki-laki tinggi besar itu selalu 
dapat menghindari.
Diam-diam Kelelawar Hutan mengelua-
rkan keringat dingin. Wajahnya pucat pasi. 
Sungguh tak disangka kalau pemuda gon-
drong musuhnya itu demikian lihainya Na-
mun di saat Kelelawar Hutan terdesak hebat, 
meluncur angin dingin ke arah Siluman Ular 
Putih.
"Memalukan sekali! Mengapa kau bisa 
dibuat pontang-panting oleh bocah kemarin 
sore, Kelelawar Hutan?!"
"Uts...!"
Siluman Ular Putih cepat melempar tu-
buhnya ke kiri. Sehingga, hawa dingin yang

menyerang dirinya hanya mengenai tempat 
kosong. Kini, di hadapan Siluman Ular Putih 
telah berdiri tegak seorang lelaki tinggi kurus 
berpakaian ringkas warna ungu. Usianya ki-
ra-kira enam puluh tahun. Rambutnya pan-
jang memutih tak terawat. Wajahnya garang 
tanpa kumis dan jenggot. Hidungnya besar, 
bibirnya tebal kehitaman. Sementara sepa-
sang matanya yang sipit terus memandang 
beringas pada Siluman Ular Putih.
"Jangan sembarangan membacot, Iblis 
Penebar Maut! Sebaiknya, mari kita cincang 
kunyuk gondrong ini!" bentak Kelelawar Hu-
tan tersinggung.
"He he he...! Rupanya kau ketakutan ju-
ga, Kelelawar Hutan. Baik! Tapi kau juga ha-
rus ingat perjanjian kita! Kau harus memin-
jamkan kitab itu padaku!" sahut sosok tua 
berambut panjang warna putih yang ternyata 
berjuluk Iblis Penebar Maut.
"Jangan khawatir, Iblis Penebar Maut! 
Pokoknya begitu urusan ini selesai dan aku 
sudah selesai mempelajari kitab itu, kau bo-
leh datang mengambilnya!"
"Baik!"
Iblis Penebar Maut langsung berkelebat 
menerjang Siluman Ular Putih seolah me-
mandang sebelah mata.
Plak!

"Heh?"
Begitu jotosan tangan kanannya beradu 
dengan tangan kiri Siluman Ular Putih, maka 
terkejutlah tokoh sesat dari Gunung Wilis itu. 
Tangannya bergetar hebat akibat bentrokan 
tadi. Bahkan tendangan Siluman Ular Putih 
hampir saja mendarat telak di dada.
"Aku bilang apa? Ayo, lekas cincang ku-
nyuk gondrong ini!" ujar Kelelawar Hutan lagi.
Sehabis berkata begitu, Kelelawar Hutan 
semakin mempercepat serangannya dengan 
jurus-jurus yang dipelajari dari kitab pening-
galan gurunya. Demikian juga Iblis Penebar 
Maut, tokoh sesat dari Gunung Wilis itu. Ia 
yang sempat terkejut pada gebrakan pertama 
tadi, kini tidak berani memandang ringan la-
wan mudanya lagi.
Diam-diam Siluman Ular Putih menge-
luh dalam hati. Pemuda ini benar-benar ke-
walahan menghadapi gempuran-gempuran 
dua tokoh sesat tua itu. Padahal jurus-jurus 
saktinya telah dikeluarkan. Bahkan tak ja-
rang senjata pusakanya yang melesat cepat 
laksana rencong selalu saja dapat dihindari 
dengan mudah. Hingga tak heran kalau per-
lahan namun pasti, pemuda gondrong murid 
Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Bu-
cu itu terdesak hebat.


Sementara itu, Aryani dan Sindu masih 
dikeroyok puluhan orang murid Perguruan 
Kelelawar Putih. Namun, mereka masih dapat 
melayani. Dipihak lain, Cantrik Tudung Pan-
dang dan Setan Cantik tampak mulai terde-
sak oleh tiga orang murid utama Lowo Kuru 
dan Bidadari Putih.
"Cantrik Tudung Pandan! Di antara kita 
tidak ada silang sengketa. Lekaslah tinggal-
kan tempat ini, mumpung pikiranku belum 
berubah!" bentak Bidadari Putih garang, di 
antara tebasan-tebasan pedang yang terus 
mengurung pertahanan Cantrik Tudung Pan-
dan.
"Bedebah! Jangan seenaknya membacot, 
Bidadari Putih! Awas, lihat serangan!" dengus 
Cantrik Tudung Pandan sinis.
Dari pancaran mata jelas kalau tokoh 
sesat dari Istana Ular Emas itu sangat me-
mandang rendah pada Bidadari Putih. Bah-
kan dengan jarum-jarum emasnya yang ber-
keredepan, Cantrik Tudung Pandan pun 
kembali menerjang. Sementara kilatan- kila-
tan pedangnya terus berusaha mengurung 
pertahanan Bidadari Putih.
Namun sayangnya yang dihadapi Can-
trik Tudung Pandan kali ini bukanlah tokoh 
kemarin sore. Melainkan, Bidadari Putih yang 
merupakan salah seorang murid Pendekar

Lowo Putih yang sangat disegani di dunia per-
silatan. Hingga tak heran kalau serangan-
serangan Cantrik Tudung Pandan tak berarti 
apa-apa di depan Bidadari Putih. Bahkan kini 
malah Bidadari Putih yang dapat mendesak-
nya.
Cantrik Tudung Pandan menggeram pe-
nuh kemarahan. Wajahnya menegang. Kedua 
pelipisnya bergerak-gerak, pertanda tengah 
menahan amarah menggelegak. Dan sambil 
berkelebat cepat, tangan kirinya cepat mero-
goh kantong kecil yang melilit di pinggang. La-
lu....
Serrr! Serrr!
Tiba-tiba melesat dua bayangan kecil 
memanjang berwarna kuning keemasan ke 
arah Bidadari Putih.
Di tempatnya, Bidadari Putih terkesiap. 
Dari bau amis yang menebar mendahului le-
satan dua benda memanjang berwarna kun-
ing keemasan, Bidadari Putih tahu kalau itu 
adalah seekor ular berwarna emas! Ya, ular 
emas!
"Ah...!" pekik Bidadari Putih kaget bukan 
alang kepalang.
Jarak lesatan dua benda memanjang 
berwarna keemasan itu memang demikian 
dekat. Sehingga, tak mungkin Bidadari Putih 
menggerakkan pedangnya untuk membabat.

Maka tanpa banyak pikir panjang lagi, tu-
buhnya cepat dilempar ke samping, sekaligus 
menghindari tebasan- tebasan pedang di tan-
gan Cantrik Tudung Pandan.
Dua benda memanjang berwarna kee-
masan yang memang dua ekor ular emas kini 
merayap cepat dengan kepala terangkat ting-
gi-tinggi.
Cantrik Tudung Pandan tersenyum din-
gin. Sss... sss...! Disertai suara mendesis, dua 
ekor ular emas itu pun kembali melesat cepat 
menyerang Bidadari Putih.
Set! Set!
Bidadari Putih cepat mencelat tinggi. Di 
udara, pedangnya cepat digerakkan dua kali. 
Dan
Crakkk! Crakkk!
Terlihat dua kali darah muncrat di uda-
ra. Dan dua benda memanjang berwarna kun-
ing keemasan itu pun terbabat buntung, Begi-
tu jatuh di tanah. Kedua ular emas itu meng-
geliat-geliat sebentar lalu tak bergerak-gerak 
sama sekali. Mati!
"Bangsat...! Heaaa...!"
Bukan main marahnya Cantrik Tudung 
Pandan. Disertai pekikan setinggi langit, tu-
buh tingginya tahu-tahu telah berkelebat ce-
pat menyerang Bidadari Putih. Pedang di tangan kanannya berkilat-kilat tertimpa sinar 
matahari, siap merajam.
Bidadari Putih cepat menggerakkan pe-
dangnya untuk menangkis. Kemudian dengan 
menggunakan jurus-jurus sakti 'Cengkera-
man Maut Kelelawar Sakti', cepat diterjangnya 
Cantrik Tudung Pandan. Gerakan-gerakan 
pedangnya yang sulit diduga sungguh mere-
potkan lawan. Malah beberapa kali pedangnya 
merobek kulit tubuh Cantrik Tudung Pandan.
Sementara Bidadari Putih yang sedang 
kalap itu malah semakin mempercepat seran-
gannya. Dan di saat Cantrik Tudung Pandan 
terdesak hebat, mendadak...
"Siapa pun adanya kau, tak boleh mem-
bunuh Cantrik Tudung Pandan! Akulah yang 
berhak membunuhnya!"
* * *
11
Di hadapan Bidadari Putih dan Cantrik 
Tudung Pandan tahu-tahu telah berdiri tegak 
seorang lelaki berjubah kuning kedodoran 
sampai lutut. Tubuhnya pendek kurus. Wa-
jahnya polos dengan rambut awut-awutan. 
Pipinya cekung. Giginya kuning, menjorok ke

depan. Usianya kira-kira enam puluh tahu-
nan. Dan lucunya, lelaki ini memiliki kumis 
yang mirip kumis kucing! Dan di dunia persi-
latan pun ia mendapat julukan Lelaki Berku-
mis Kucing. (Untuk mengetahui siapa Lelaki 
Berkumis Kucing ini lebih lanjut, silakan baca 
episode: "Sumur Kematian").
"Hm...! Kalau melihat ciri-ciri mu, kau 
pasti orang tua yang bergelar Lelaki Berkumis 
Kucing. Untuk apa kau mencegah aku mem-
bunuh Cantrik Tudung Pandan?" gumam Bi-
dadari Putih dengan tatapan tajam.
Lelaki Berkumis Kucing mengangguk-
angguk.
"Bidadari Putih! Sebaiknya kau bantu 
saja bocah gondrong itu! Tampaknya ia kewa-
lahan sekali menghadapi Kelelawar Hutan 
dan Iblis Penebar Maut. Lekas! Aku ada sedi-
kit urusan dengan wanita sundal ini!"
Bidadari Putih berpaling ke arah Silu-
man Ular Putih. Dan memang, benar pemuda 
gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo 
dari Gunung Bucu itu tengah terdesak hebat
di tangan dua orang pengeroyoknya.
"Baiklah!" sahut Bidadari Putih, akhir-
nya.
Sehabis berkata begitu, Bidadari Putih 
pun segera berkelebat cepat, menyerang Iblis 
Penebar Maut. Kebetulan, tokoh sesat itulah


yang lebih dekat dengannya. Dengan meng-
gunakan sebilah pedang, dimainkannya jurus 
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti'. Sedang 
tangan kirinya yang membentuk cakar siap 
pula mencengkeram dengan jurus 'Cakar 
Maut Kelelawar Hutan'.
Melihat Bidadari Putih telah membantu 
Siluman Ular Putih, Lelaki Berkumis Kucing 
jadi senang sekali. Namun sejurus kemudian, 
matanya telah menatap tangan Cantrik Tu-
dung Pandan.
"Cantrik Tudung Pandan! Lima belas ta-
hun lalu, kau boleh pecundangi aku. Tapi 
jangan harap sekarang dapat lolos dari gebu-
kan tongkat hitam ku. Lekas maju! Aku su-
dah tidak sabar ingin menggebuk pantatmu."
Wajah pucat pasi Cantrik Tudung Pan-
dan terlihat semakin pias. Rahangnya berge-
meletukan. Kedua pelipisnya pun bergerak-
gerak, pertanda tak dapat lagi mengendalikan 
gelegak amarahnya. Maka tanpa banyak ca-
kap lagi, segera tangannya mengibas. Dan...,
Serrr! Serrr!
Tidak kurang dari sepuluh jarum emas 
Cantrik Tudung Pandan melesat cepat menye-
rang sekujur tubuh Lelaki Berkumis Kucing. 
Sinar emasnya yang berkeredepan tampak 
menggiriskan.
"Heaaa...!"

Bett! Bettt!
Bersamaan dengan itu, tebasan-tebasan 
pedang tipis Cantrik Tudung Pandan segera 
menyusul menyerang musuh bebuyutannya.
"Ah...! Dari dulu kau selalu main-main 
dengan jarum emasmu, Cantrik Tudung Pan-
dan. Aku jadi heran, apa kau tidak bosan? 
Mengapa tidak kau gunakan untuk menjahit 
pakaianmu yang compang-camping?" celoteh 
Lelaki Berkumis Kucing sembari berkelebat 
kesana kemari, menghindari jarum-jarum 
emas Cantrik Tudung Pandan. Sedang gulun-
gan-gulungan tongkat hitamnya segera me-
nangkis tebasan-tebasan pedang.
Tlakkk! Tlakkk!
Terdengar beberapa kali benturan di 
udara. Tubuh kedua orang itu sama-sama 
terjajar beberapa langkah ke belakang dengan 
tangan terasa bergetar hebat. Namun Lelaki 
Berkumis Kucing yang sangat mendendam 
pada Cantrik Tudung Pandan segera kembali 
berkelebat cepat untuk menyerang. Gulun-
gan-gulungan tongkat hitamnya terlihat terus 
berusaha mengurung pertahanan Cantrik Tu-
dung Pandan,
"Heaaa..?"
Namun selang beberapa saat kemudian, 
gantian gulungan-gulungan sinar kuning 
keemasan pedang tipis Cantrik Tudung Pan

dan yang mendesak hebat Lelaki Berkumis 
Kucing. Bahkan mendadak satu pukulan wa-
nita sesat itu meluncur deras ke dada. Begitu 
cepatnya, sehingga,
Bukkk! Bukkk!
"Aughhh...!" pekik Lelaki Berkumis Kuc-
ing. Dadanya yang terkena pukulan tangan 
kiri Cantrik Tudung Pandan terasa mau jebol. 
Tubuh pendeknya limbung ke kiri. Meski de-
mikian tongkat hitamnya berhasil disarang-
kan di punggung lawan. Sehingga membuat 
Cantrik Tudung Pandan terjajar ke samping.
"Aaakh...."
Bersamaan dengan terjajarnya tubuh 
Cantrik Tudung Pandan, tiba-tiba terdengar 
pekikan Bidadari Putih yang tengah ter-
huyung-huyung akibat bentrokan dengan pu-
kulan Iblis Penebar Maut. Bahkan pada saat 
yang demikian, secara curang Kelelawar Hu-
tan langsung hantamkan pukulan Tangan Hi-
tam.
Desss...!
"Aaakh...!"
Seketika itu juga tubuh Bidadari Putih 
terlempar beberapa tombak ke samping, lalu 
jatuh berdebukan di tanah tak mampu ban-
gun lagi. Punggungnya yang terkena pukulan 
'Tangan Hitam' Kelelawar Hutan langsung

menghitam dan mengepulkan asap hitam ti-
pis.
"Ibuuu...!" pekik Aryani menyayat.
Namun serangan-serangan pukulan mu-
rid Perguruan Kelelawar Putih membuat gadis 
berpakaian putih-putih itu tetap berada di 
tempatnya. Jangankan untuk menolong. Un-
tuk keluar dari kepungan pun rasanya sulit
Sementara itu, Kelelawar Hutan hanya 
tertawa sumbang melihat Bidadari Putih ro-
boh dengan punggung hangus terbakar.
Bukan main murkanya Siluman Ular Pu-
tih melihat kejadian itu. Saking tidak dapat 
mengendalikan gelegak amarahnya, pemuda 
gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu sampai tidak dapat berkata-kata lagi. Wa-
jahnya menegang. Rahangnya bergemeletuk. 
Bahkan tiba-tiba sekujur tubuhnya telah di-
penuhi uap putih tipis. Sehingga, akhirnya 
bayangan tubuh pemuda gondrong itu tidak 
kelihatan sama sekali!
Sejenak Kelelawar Hutan dan Iblis Pene-
bar Maut menghentikan serangan. Sepasang 
mata mereka terbelalak lebar, tak tahu ilmu 
apa yang akan dikeluarkan musuh mudanya. 
Dan ketika uap putih yang menyelimuti seku-
jur tubuh Soma pudar tertiup angin, maka 
seketika itu juga....
"Gggeeerrr...!"

* * *
Berpuluh-puluh pasang mata yang be-
rada di Pekarangan Terlarang seketika terbe-
lalak melihat seekor ular putih sebesar pohon 
kelapa. Terkadang badannya menyembul ke 
atas. Sebentar kemudian, baru disusul den-
gan kepalanya. Sepasang matanya yang ber-
warna merah saga terus memandang beringas 
pada Kelelawar Hutan dan Iblis Penebar. 
Maut. Seolah siap memangsa calon korban 
dengan kedua taringnya!
"Si..., Siluman Ular Putih...!" teriak Kele-
lawar Hutan dan Iblis Penebar Maut dengan 
sepasang mata terbeliak saking terkejutnya.
Sehabis menggereng, Soma yang kini te-
lah menjelma menjadi Siluman Ular Putih ce-
pat menerjang Kelelawar Hutan dan Iblis Pe-
nebar Maut garang. Kepalanya digerakkan se-
demikian rupa, menyerang Kelelawar Hutan. 
Sedang ekornya dikibaskan, siap me-
remukkan tubuh Iblis Penebar Maut.
Kelelawar Hutan dan Iblis Penebar Maul 
tentu saja tidak ingin menjadi sasaran empuk 
serangan-serangan Siluman Ular Putih. Maka 
pedang di tangan kanan Kelelawar Hutan ce-
pat bergerak memapak serangan-serangan Si-
luman Ular Putih.
Tak! Tak!

Tebasan-tebasan pedang itu beberapa 
kali mengenai tubuh Siluman Ular Putih. Na-
mun anehnya seperti membentur lempengan 
baja yang kuat sekali! Jangankan membabat
buntung. Untuk melukai kulit tubuh Siluman 
Ular Putih saja, Kelelawar Hutan tidak sang-
gup. Bahkan setiap mata pedangnya berben-
turan dengan tubuh Siluman Ular Putih, sela-
lu saja Kelelawar Hutan merasakan tangan-
nya kesemutan.
Sedang Iblis Penebar Maut pun terpaksa 
harus berdecak kagum. Berkali-kali pukulan-
pukulan mautnya menghantam tubuh Silu-
man Ular Putih. Namun tetap saja hasilnya 
sia-sia. Paling, ia hanya dapat membuat tu-
buh memanjang sebesar pohon kelapa itu ter-
lempar beberapa tombak ke samping. Setelah 
itu, Siluman Ular Putih pun kembali mener-
jang garang.
Kibasan-kibasan ekor dan terkaman-
terkaman Siluman Ular Putih sungguh hebat 
bukan main membuat debu-debu beterban-
gan. Hingga pada suatu saat...
Bukkk! Bukkk!
Tiba-tiba kibasan-kibasan ekor Siluman 
Ular Putih itu menghantam telak dada Kele-
lawar Hutan. Seketika itu juga tubuh tinggi 
besar itu terlempar beberapa tombak ke bela-
kang. Sedang dadanya yang terkena kibasan

terasa mau jebol dengan mata berkunang-
kunang.
Sejenak Kelelawar Hutan menggapai-
gapaikan tangan kanannya. Sedangkan tan-
gan kirinya menekan dada. Tak lama, tubuh-
nya ambruk ke tanah tak dapat bangun lagi. 
Di sudut-sudut bibirnya tampak terbersit da-
rah segar, pertanda mengalami luka dalam 
cukup parah!
Melihat itu, nyali Iblis Penebar Maut jadi 
lumer. Sepasang mata sipitnya terbelalak le-
bar. Maka sebelum kibasan-kibasan ekor Si-
luman Ular Putih menghantam tubuhnya, ka-
ki kanannya cepat menjejak, Seketika tubuh-
nya berkelebat meninggalkan arena pertarun-
gan.
Siluman Ular Putih hanya memandangi 
Iblis Penebar Maut dengan sepasang mata 
mencorong. Sama sekali tidak ada keinginan 
untuk mengejar. Apalagi, saat itu dilihatnya 
Bidadari Putih masih tergeletak dengan pung-
gung hangus terbakar.
Siluman Ular Putih hanya menggereng 
panjang. Dan ketika bayangan tubuh Iblis Pe-
nebar Maut menghilang di balik tembok me-
mutar Pekarangan Terlarang, tiba-tiba seku-
jur tubuh ular raksasa itu telah dipenuhi uap 
putih tipis hingga tidak kelihatan sama sekali.
Wesss...!

Dan ketika uap putih tipis yang menye-
limuti tubuh Siluman Ular Putih pudar ter-
tiup angin, maka yang tampak kini adalah se-
sosok pemuda berpakaian rompi dan celana 
bersisik warna putih keperakan. Siapa lagi 
kalau bukan Soma alias Siluman Ular Putih?
"Jangkrik! Rupanya manusia sontoloyo 
ini sakti juga," gerutu Soma ketika pandangan 
matanya tertumbuk pada Kelelawar Hutan 
yang tergeletak tak berdaya.
Sehabis menggerutu demikian, Soma 
berjalan mendekati Bidadari Putih. Namun 
baru beberapa langkah, tiba-tiba ia dike-
jutkan satu auman dahsyat yang memekak-
kan gendang telinga.
"Meooong...!"
Siluman Ular Putih sejenak menghenti-
kan langkahnya. Dilihatnya Lelaki Berkumis 
Kucing tengah meloncat tinggi ke udara. Gu-
lungan-gulungan tongkat hitamnya tampak 
berkelebat cepat sekali, menyerang ubun-
ubun kepala Cantrik Tudung Pandan. Sedang 
tangan kirinya yang berkuku panjang warna 
hitam, siap pula mencengkeram dada Cantrik 
Tudung Pandan.
Hebat bukan main serangan Lelaki Ber-
kumis Kucing, membuat Cantrik Tudung 
Pandan terkesiap kaget. Serangan-serangan 
itu sungguh di luar dugaannya. Bahkan sebe

lum serangan Lelaki Berkumis Kucing men-
genai sasaran telah didahului oleh angin din-
gin yang menyerang tubuh Cantrik Tudung 
Pandan.
Tidak ada pilihan lain. Terpaksa Cantrik 
Tudung Pandan menggerakkan pedang tipis-
nya untuk menangkis tongkat hitam di tan-
gan Lelaki Berkumis Kucing.
Wuttt!
"Heh?!"
Tapi apa lacurnya? Ternyata serangan 
tongkat di tangan Lelaki Berkumis Kucing 
hanyalah tipuan belaka. Sedang serangan 
yang sesungguhnya justru dari cengkeraman 
tangan kiri Lelaki Berkumis Kucing. Sehing-
ga....
"Hyaaat! Hyaaat!"
Crakkk!
"Auuugh...!" pekik Cantrik Tudung Pan-
dan setinggi langit, ketika kuku-kuku jari Le-
laki Berkumis Kucing menjebol dada.
Seketika itu juga, tubuh Cantrik Tudung 
Pandan limbung ke samping dengan darah 
mengucur dari dada yang berlubang. Bersa-
maan dengan itu, tahu-tahu kaki kanan Lela-
ki Berkumis Kucing telah meluncur cepat ke 
dada.
Bukkk!

Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi ramping 
Cantrik Tudung Pandan terlempar beberapa 
tombak ke belakang, lalu jatuh berdebuk ke 
tanah tak dapat bangun lagi. Mati!
Setan Cantik terkesiap kaget. Wajahnya 
kelam membesi. Dilihatnya Cantrik Tudung 
Pandan sudah tidak bernyawa lagi. Hal ini 
semakin membuat amarahnya tak dapat di-
kendalikan. Apalagi dari tadi, ia belum mam-
pu merobohkan satu orang murid utama Lo-
wo Kuru. Malah, kini dirinya yang terdesak 
hebat.
"Setan alas! Siapa pun juga yang ada di
sini, harus bertanggung jawab atas mening-
galnya Kakak Cantrik Tudung Pandan! 
Hyaaat! Hyaaat!"
Setan Cantik cepat menggerakkan pe-
dangnya. Tebasan-tebasan pedangnya terlihat 
semakin menggiriskan. Apalagi diiringi jarum-
jarum emasnya yang berkeredepan, menye-
rang tiga orang pengeroyoknya.
"Kematian sudah di depan mata, masih 
saja berkoar-koar!" ejek Naroko.
"Kurang ajar! Kalian pikir, akan semu-
dah itukah merobohkan ku!" maki Setan Can-
tik garang.
Meski membentak garang demikian, se-
benarnya diam-diam Setan Cantik jerih juga. 
Apalagi Kelelawar Hutan sudah roboh di tan

gan lawan. Sedang Iblis Penebar Maut pun 
entah sudah lenyap ke mana. Maka, tak he-
ran kalau diam-diam ia mulai mencari jalan 
untuk melarikan diri.
Dan kesempatan itu akhirnya ditemukan 
Setan Cantik juga. Di saat ketiga orang murid 
utama Lowo Kuru menerjang dengan senjata 
di tangan, Setan Cantik cepat mengibaskan 
tangan kirinya. Dan....
Serrr! Serer!
Seketika itu juga, puluhan jarum-jarum 
emas Setan Cantik yang berkeredepan mele-
sat menyerang ketiga orang murid utama Lo-
wo Kuru.
Ketiga orang yang jadi sasaran cepat 
menggerakkan pedangnya menangkis rontok 
jarum-jarum emas Setan Cantik. Dan kesem-
patan itu pun digunakan Setan Cantik untuk 
berkelebat cepat meninggalkan arena perta-
rungan.
Naroko menggeram penuh kemarahan. 
Sekali menjejak tanah, tahu-tahu, tubuh 
tinggi besarnya cepat berkelebat mengejar Se-
tan Cantik. 
Namun sayangnya, bayangan wanita tadi 
telah lenyap di balik tembok Pekarangan Ter-
larang.
Naroko cepat meloncat ke atas tembok 
Pekarangan Terlarang. Sedang bayangan Se

tan Cantik telah jauh meninggalkan lereng 
barat Gunung Sumbing. Dengan sangat ter-
paksa Naroko yang berwatak kasar menghen-
tikan pengejarannya.
"Hentikan pertempuran! Dan cepat ka-
lian berlutut memohon ampun pada Nona Bi-
dadari Kecil yang kalian keroyok!" teriak Na-
roko, garang.
* * *
12
Puluhan murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih yang sedang mengeroyok Bidadari Kecil 
dan Sindu seketika itu juga menghentikan se-
rangan. Sejenak mereka saling berpandangan. 
Kemudian, entah siapa yang terlebih dahulu 
memulainya, tahu-tahu mereka telah berlutut 
di hadapan Bidadari Kecil dan Sindu.
"Ma... maafkan kami, Nona Bidadari Ke-
cil! Kami benar-benar tidak berdaya," ucap 
salah seorang murid berpita kuning yang ber-
lutut tak jauh dari Aryani seraya membentur-
benturkan jidatnya ke tanah.
"Benar, Nona Bidadari Kecil. Kami be-
nar-benar tidak berdaya. Kami... kami takut

menerima hukuman dari Kelelawar Hutan bila 
membangkang...," sahut murid lainnya.
"Benar, Nona Bidadari Kecil. Sekarang 
kami pasrah. Silakan menjatuhkan hukuman 
terhadap kami."
Bidadari Kecil tak pedulikan. Ia saat ini 
sangat mencemaskan keselamatan ibunya. 
Seketika tubuhnya berkelebat cepat ke tempat 
ibunya. Di situ Soma tampak tengah sibuk 
menotok beberapa jalan darah di tubuh Bida-
dari Putih yang masih tergeletak pingsan.
"Ibuuu...!" desah Aryani di sisi ibunya. 
Wajahnya pucat pasi. Kedua bibirnya berge-
tar-getar.
Soma mengerdipkan sebelah matanya, 
menyuruh Aryani diam. Lalu kembali jari-jari 
tangannya bergerak lincah menotok tiga jalan 
darah di tubuh Bidadari Putih. Dua totokan 
pada bagian punggung dan yang terakhir pa-
da tengkuk.
Selang beberapa saat, perlahan- lahan 
Bidadari Putih pun mulai membuka kelopak 
matanya. Namun begitu, matanya terbuka da-
ri mulutnya. muntahkan darah berwarna me-
rah kehitaman.
"Ibu...!" pekik Aryani cemas bukan main.
"Sudahlah, Aryani! Jangan terlalu ce-
mas. Nanti malah aku jadi ikut-ikutan ping

san. Ya, kalau kau mau menolongku. Kalau 
tidak..., matilah aku!" goda Soma.
Aryani melotot matanya lebar-lebar. Na-
mun belum sempat mengeluarkan makian, 
Bidadari Putih telah mendahuluinya.
"Kau tidak apa-apa, Nak?" tanya Bidada-
ri Putih dengan napas tersengal.
"Tidak, Ibu."
"Syukurlah. Sekarang sebaiknya kita ke 
tempat Sindu. Kulihat ia tengah sibuk mem-
berikan pengarahan kepada adik-adik seper-
guruannya."
"Tapi... tapi.,.! Tunggu dulu, Bu!" ujar 
Aryani tiba-tiba. Seketika gadis ini berdiri dan 
berkelebat ke arah Kelelawar Hutan.
Sepasang mata jeli si gadis mendadak 
jadi beringas, begitu melihat orang yang pal-
ing dibencinya. Sekali tangan kanannya ber-
gerak, tubuh tinggi besar Kelelawar Hutan te-
lah terangkat tinggi-tinggi. Sedang tangan ki-
rinya cepat menotok beberapa jalan darah di 
tubuh Kelelawar Hutan.
Perlahan-lahan Kelelawar Hutan mulai 
membuka matanya. Kembali Aryani cepat 
menotok punggung membuat Kelelawar Hu-
tan tidak dapat menggerakkan tubuhnya lagi.
"Sekarang katakan pada murid- murid-
mu yang bodoh, Kelelawar Hutan! Katakan 
kalau kaulah yang telah mencelakakan Lowo

Kuru pemilik Perguruan Kelelawar Putih yang 
sebenarnya! Cepat!" bentak Aryani seraya 
menodongkan mata pedangnya ke leher Kele-
lawar Hutan.
Kelelawar Hutan melotot. Lalu tiba-tiba 
saja ia tertawa bergelak- gelak.
"Bocah Setan! Akulah yang memang 
mencelakakan Lowo Kuru. Sekarang kau mau 
apa, he?!" bentak Kelelawar Hutan garang.
Aryani geram bukan main. Kegeraman-
nya ini telah membuatnya kalap. Maka ujung 
pedang yang semula menempel di leher Kele-
lawar Hutan tiba-tiba saja berkelebat cepat. 
Lalu....
"Jangan, Aryani!" pekik Bidadari Putih.
Craasss!
Namun Aryani yang sedang kalap mana 
mau menuruti teriakan ibunya. Malah gera-
kan pedangnya semakin cepat. Sehingga tan-
pa ampun lagi kepala Kelelawar Hutan jatuh 
menggelinding di tanah.
Sejenak Aryani memandang beringas ke-
pala yang menggelinding itu. Sepasang mata 
jelinya tiba-tiba dialihkan ke puluhan murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang sedang 
berlutut di hadapan Sindu.
"Kalian sudah tahu, apa yang kalian li-
hat, he? Apa kalian belum mengakui kalau

Lowo Kuru adalah pemilik Perguruan Kelela-
war Putih yang sebenarnya?"
"Ampuuun...! Ampunkan kami, Nona Bi-
dadari Kecil! Kami... kami benar-benar tidak 
berdaya. Kami tidak berani menolak perintah 
Kelelawar Hutan," jelas salah seorang murid 
berpita kuning dengan suara bergetar-getar.
Aryani menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sepasang mata jelinya masih berkilat-
kilat liar.
"Sudahlah, Aryani! Jangan terlalu kasar 
pada mereka! Mereka tidak bersalah. Mereka 
hanya sekadar menjalankan perintah," ujar 
Bidadari Putih lagi dengan napas tersengal.
"Baik, Ibu," sahut Aryani akhirnya.
Walau masih jengkel dengan ulah mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih, namun 
begitu melihat wajah ibunya yang penuh da-
mai, membuat kemarahan Aryani jadi lumer.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan, 
Ibu?" tanya Aryani meminta pendapat ibunya.
Sejenak Bidadari Putih diam membisu, 
tak tahu harus berkata apa kepada putri 
tunggalnya. Namun di saat tengah termangu-
mangu....
"Ah...! Mengapa repot-repot? Teruskan 
saja Perguruan Kelelawar Putih ini seperti bi-
asanya. Dan biarkan Lowo Kuru atau Bidada

ri Putih sendiri yang memimpin," kata Lelaki 
Berkumis Kucing.
"Tak mungkin. Tak mungkin kami me-
mimpin Perguruan Kelelawar Putih ini. Kami 
sudah enggan untuk berkecimpung dalam 
urusan padepokan. Malah, kami ingin meng-
habiskan masa tua di dalam Sumur Kema-
tian," tolak Bidadari Putih, halus.
"Kalau begitu, suruh saja putri mu yang 
ayu itu memimpin. Kan beres?! Cuma sebe-
lumnya, kalau kau tidak keberatan, aku..., 
aku ingin sekali menda..., eh, salah! Maksud-
ku, su... sudilah kau membagi Daun Lontar 
Merah itu padaku, Bidadari Putih!" tutur Le-
laki Berkumis Kucing kacau-balau.
"Setan alas! Jadi, ini ya maksud keda-
tanganmu yang sebenarnya?! Ingin merebut 
Daun Lontar Merah dari tangan kami? Apa
matamu buta, Orang Tua? Ibuku sendiri ma-
sih membutuhkannya. Jadi, mana sudi kami 
membagi-bagikannya!" hardik Aryani garang. 
Tangan kanannya cepat melolos pedangnya 
kembali. 
"Sabar, Anakku! Tak baik membentak-
bentak orang tua!" tegur Bidadari Putih ka-
lem.
"Tapi, Ibu...."
"Sudahlah! Aku pikir, Ibu hanya tinggal 
membutuhkan beberapa lembar saja. Jadi,

berikan saja sisa-nya kepada Lelaki Berkumis 
Kucing. Kan beres?!" kata Bidadari Putih di-
iringi senyum.
"Ah...! Tak kusangka kau demikian baik 
hatinya padaku, Bidadari Putih. Terima kasih! 
Terima kasih!" ucap Lelaki Berkumis Kucing 
seraya menelungkupkan kedua telapak tan-
gan ke depan dada. Tubuhnya langsung men-
jura hormat beberapa. kali di hadapan Bida-
dari Putih dan Aryani.
Bidadari Putih dan Aryani sungkan se-
kali diperlakukan seperti itu.
"Sudahlah! Jangan terlalu berlebihan 
begini, Lelaki Berkumis Kucing. Hanya kalau 
boleh tahu, sebenarnya untuk siapakah Daun
Lontar Merah itu? Kulihat kau tidak menderi-
ta suatu penyakit apa pun.""
"Ah, iya! Sampai aku lupa mengatakan-
nya! Pantas saja kalian jadi mencurigaiku!" 
desah Lelaki Berkumis Kucing seraya mene-
puk jidatnya sendiri. "Seperti yang kau kata-
kan, aku memang sehat-sehat saja. Tapi, ke-
tahuilah! Daun Lontar Merah itu sebenarnya 
untuk menyembuhkan penyakit kakak seper-
guruanku Penjaga Pintu di Gunung Anjasmo-
ro. Aku sendiri belum tahu sakit apa dia.... 
Eh,.. ?! Mau ke manakah bocah gondrong itu? 
Kok, tidak pamit?"


Tiba-tiba Lelaki Berkumis Kucing men-
galihkan perhatian ke tempat lain.
Aryani dan Bidadari Putih segera berpal-
ing ke belakang. Tampak pemuda gondrong 
yang dimaksudkan Lelaki Berkumis Kucing 
tengah menggaruk-garuk kepala. Ia tadi sebe-
narnya akan pergi begitu saja. Tapi sayang, 
Lelaki Berkumis Kucing keburu mengeta-
huinya.
"Kau mau ke mana, Soma?" tanya Arya-
ni.
"Aku..., aku mau pergi. Kupikir aku su-
dah terlalu lama tinggal di sini."
"Kau... hendak meninggalkan ku?" tanya 
Aryani. Entah mengapa tiba-tiba saja nada bi-
caranya jadi bergetar.
“Tidak boleh! Tidak boleh! Aku bilang ti-
dak boleh! Jasamu terhadap Perguruan Kele-
lawar Putih terlalu besar. Kau tidak boleh 
meninggalkan tempat ini begitu saja. Bukan-
kah begitu, Bidadari Putih?" tukas Lelaki Ber-
kumis Kucing.
"Ya ya ya...!" jawab Bidadari Putih gela-
gapan, tak menyangka kalau akan dilibatkan 
dalam pembicaraan.
"Nah...! Kau dengar, Bocah! Kau tidak 
boleh meninggalkan tempat ini sebelum aku 
menyematkan tanda mata untukmu. Ya ya 
ya...! Aku harus mengalungkan kembang atas
jasa-jasamu ini. Tapi..., tapi apa ada kem-
bang-kembang yang kubutuhkan di sekitar 
sini, ya?" kata Lelaki Berkumis Kucing seperti 
pada diri sendiri. "Oh, ya! Tak ada kembang di 
sekitar sini pun tak jadi soal. Kulihat di seki-
tar sini banyak berserakan jarum emas milik 
wanita-wanita sundal itu. Kau tidak kebera-
tan kan kalau kembang-kembang itu ku gan-
tikan dengan jarum-jarum emas itu, Bocah?"
Tunggu, Orang Tua! Terus terang bu-
kannya aku keberatan. Tapi kalau boleh me-
milih, aku malah lebih senang kau menggu-
nakan gigi-gigi kuning mu yang mancung itu, 
Orang Tua," kata Soma, seenak dengkul.
Sejenak Lelaki Berkumis Kucing melotot. 
Lalu tanpa disadarinya tangan kanannya te-
lah meraba-raba gigi-gigi kuningnya yang 
menjorok ke depan.
Melihat itu, mau tidak mau Aryani dan 
Bidadari Putih pun tersenyum tipis.
"Sudahlah! Tak perlu kalian melan-
jutkan geguyonan ini. Dan seperti yang dika-
takan Lelaki Berkumis Kucing, kau tidak bo-
leh meninggalkan tempat ini begitu saja, So-
ma! Rasanya belum puas kalau kami belum 
memberikan sesuatu padamu," tegas Bidadari 
Putih.
"Sayang! Sayang sekali aku tidak bisa, 
Bidadari Putih. Malam ini aku harus tiba di

suatu tempat. Ada satu urusan penting yang 
harus segera ku tangani," tolak Soma berdus-
ta.
Dan sehabis berkata begitu, Siluman 
Ular Putih pun segera berkelebat cepat me-
ninggalkan Pekarangan Terlarang. Namun ke-
tika pemuda gondrong murid Eyang Begawan 
Kamasetyo sampai di tembok memutar Peka-
rangan Terlarang, sejenak langkahnya terhen-
ti.
"Selamat tinggal. Aryani!" teriak Soma 
seraya mengacungkan jempol. Lalu tubuhnya 
cepat berkelebat kembali, dan menghilang di 
balik tembok Pekarangan Terlarang.
Aryani mendesis sedih. Tanpa disadari 
bibirnya menyebutkan nama pemuda itu be-
rulang kali. Sedang sepasang mata jelinya tak 
henti-hentinya menatap ke arah menghilang nya Soma tadi.


                             SELESAI

https://matjenuhkhairil.blogspot.com





Share:

0 comments:

Posting Komentar