Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
Di sebuah tanah datar yang tak begitu luas di
salah satu bagian dari Hutan Seruni. Keheningan
mengekang sekitarnya. Sinar matahari yang panas
menyengat, seolah membuat binatang-binatang lebih
suka bersembunyi di bawah kerimbunan pohon.
Tepat di tengah tanah datar itu, terlihat se-
buah gundukan tanah yang memanjang, mirip se-
buah makam. Kelihatannya, memang tak ada yang
aneh dengan makam itu. Biasa saja sebagai mana
layaknya sebuah makam. Tapi....
Brolll!
Mendadak saja, keanehan terjadi, makam itu
tahu-tahu ambrol menerbangkan tanah-tanah ke
segala arah. Seiring dengan itu, satu sosok bayan-
gan putih melompat dari dalamnya.
"Hup!"
Ringan sekali sosok itu saat mendarat di sisi
tanah yang telah membentuk sebuah lubang.
Kini jelas, ternyata sosok bayangan putih itu
adalah seorang kakek tua renta yang sulit sekali di-
tafsir umurnya. Rambutnya yang putih kusut berse-
rakan di bahu. Tubuhnya yang kurus kering dengan
paras pucat pasi mirip mayat, terbungkus kain putih
seperti kain kafan. Sekilas, sosok kakek renta ini tak
ubahnya seperti mayat bangkit dari kubur!
Sepasang matanya yang mencorong bak mata
serigala mendadak berkilat-kilat aneh beredar berin-
gas ke sekitarnya. Mulutnya mengeluarkan gerengan
berulang-ulang.
"Keparat! Kenapa Empat Iblis Merah tak men
girimi ku kembang? Kenapa mereka tak menyiram-
kan air ke atas makamku?" desis kakek renta yang
sebenarnya Penghuni Kubur ini beringas. "Tak seha-
rusnya mereka ceroboh. Bodoh! Pasti ada sesuatu
yang kurang beres...." (Untuk mengetahui siapa
Penghuni Kubur, silakan baca episode: "Titisan Alam
Kegelapan" dan "Tapak Merah Darah").
Kembali kakek renta ini mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling. Napasnya memburu. Kedua
pelipisnya bergerak-gerak seperti hendak melam-
piaskan kemarahannya.
"Bajingan! Kalau mereka melalaikan tugas,
kubunuh mereka semua!"
Penghuni Kubur tak ingin membuang-buang
waktu. Segera kakinya menghentak tanah, sehingga
tubuhnya berkelebat cepat ke selatan. Gerakan ke-
dua kakinya seperti biasa saja. Tapi dalam beberapa
kelebatan saja, sosoknya yang tinggi kurus telah
menghilang di balik kerimbunan hutan depan sana.
Hal ini saja sudah membuktikan kalau ilmu
meringankan tubuh Penghuni Kubur yang sebenar-
nya salah satu momok dunia persilatan itu benar-
benar telah mencapai tingkat tinggi. Dan tentu saja
kemunculannya akan menggemparkan dunia persi-
latan!
* * *
Penghuni Kubur tiba di bagian lain di sekitar
Hutan Seruni, tepatnya di sebuah tempat yang telah
porak poranda. Lelaki tua ini yakin di tempat itu te-
lah terjadi pertarungan dahsyat tokoh-tokoh tingkat
tinggi. Berpikir sampai di situ, jantungnya jadi ber
degup keras. Perasaan tak enak mulai menghantui
benaknya. Sejenak pandangannya beredar ke seke-
liling. Dan....
"Heh...?!"
Sepasang mata Penghuni Kubur yang menco-
rong beringas kontan membeliak liar dengan hati
terkejut saat matanya tertumpuk pada empat gun-
dukan tanah tak jauh dari tempatnya berdiri yang
tampak belum begitu lama digali. Gundukan-
gundukan tanah itu masih lembek, belum padat se-
perti kuburan yang sudah berusia tua.
Penghuni Kubur menggeram penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang beringas seolah terpa-
ku pada tulisan di papan nisan keempat gundukan
tanah merah itu. Di sana tertulis....
Makam Bajing-bajing Merah dari Hutan Seruni!
"Setan alas! Siapa yang melakukan semua
ini?"
Sulit dibayangkan betapa murkanya Penghuni
Kubur saat itu. Rupanya adik-adik seperguruannya
yang dipercaya mengurus makamnya, telah tewas.
Pantas saja mereka tidak pernah mengirim kembang
dan air untuk menambah kesaktiannya. Sehingga,
memaksa Penghuni Kubur harus keluar dari tempat
yang selama ini digunakan untuk memperdalam il-
mu hitam yang tengah dipelajarinya.
"Aku harus menuntut balas! Siapa pun juga
yang berani membunuh adik-adik seperguruanku,
harus bertanggung jawab. Biarpun mereka lari ke
liang lahat sekalipun! Pembunuh adik-adik sepergu-
ruanku harus modar di tanganku!" ancam Penghuni
Kubur.
Disertai dengusan sarat kemarahan, Penghu
ni Kubur tiba-tiba menghentakkan kakinya ke ta-
nah.
Blup!
Brolll!
Dahsyat sekali. Saat itu juga empat gundukan
tanah yang merupakan kuburan Empat Iblis Merah
kontan berhamburan tinggi ke udara. Bersamaan
dengan itu, dari dalam makam terlontar empat so-
sok bayangan merah.
Buk! Buk! Buk! Buk!
Hebat bukan main tenaga dalam bangkotan
tua satu ini. Hanya sekali menghentakkan kaki ka-
nannya, gundukan tanah itu berhamburan ke uda-
ra. Bahkan empat jasad itu seolah seperti diatur,
saat berjatuhan secara berdampingan ke tanah.
Empat jasad itu tak lain tak bukan adalah mayat Ib-
lis Buntung, Iblis Buta, Iblis Tuli, dan Iblis Gagu!
Dada Penghuni Kubur bergerak turun naik.
Rahangnya menggembung menyiratkan kemarahan
menggelegak. Empat sosok mayat itu dipandanginya
dengan sepasang mata mencorong beringas!
"Aku harus mengetahui siapa pelaku pembu-
nuhan ini...," desisnya, menggiriskan.
Penghuni Kubur melompat ke arah empat
mayat adik seperguruannya. Ia langsung berjong-
kok, meneliti mayat-mayat itu dengan seksama.
Penghuni Kubur mendesis. Ia tahu, sekujur tubuh
mayat itu menderita luka parah. Tubuh dan kepala
mereka hancur tak karuan.
"Hm...! Tampaknya pelaku pembunuhan ini
bukan satu orang. Bekas-bekas luka di sekujur tu-
buh membuktikan kalau adik-adik seperguruanku
terkena senjata tumpul. Mungkin terkena gebukan
tongkat atau bisa jadi senjata tumpul lainnya."
Penghuni Kubur terus meneliti mayat keem-
pat orang adik seperguruannya lebih seksama. Tan-
gannya meraba-raba ke bagian-bagian tubuh mere-
ka satu persatu.
"Jahanam! Kalau tak salah, ada beberapa pu-
kulan maut yang melukai adik-adik seperguruanku
hingga tewas. Satu di antaranya adalah pukulan
Tongkat Penggebuk Iblis. Dan... pukulan 'Tenaga Inti
Bumi'! Jahanam! Pukulan yang terakhir inilah yang
sebenarnya membuat adik-adik seperguruanku
menderita luka dalam hebat. Bahkan mungkin seka-
ligus merenggut nyawa mereka. Apakah tua bangka
dari Gunung Bucu itulah pelakunya...?"
Penghuni Kubur termenung beberapa saat.
Keningnya berkerut-kerut.
"Jahanam! Siapa lagi pelakunya kalau bukan
tua bangka keparat itu! Hm...! Aku harus menuntut
balas. Aku harus membuat perhitungan dengan
orang-orang yang berani mencelakakan adik-adik
seperguruanku. Kamasetyo...! Kau harus bertang-
gung jawab atas perbuatanmu! Juga, orang-orang
Perguruan Pring Sewu. Mereka pun harus bertang-
gung jawab. Siapa lagi di dunia persilatan ini yang
memiliki pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis' kalau
bukan orang-orang Perguruan Pring Sewu? Tunggu-
lah pembalasanku. Ratu Pring Sewu! Dua Orang Tua
Aneh Putih Kelabu! Juga kau, Kamasetyo! Kalian
semua harus modar di tanganku!" (Untuk lebih je-
lasnya harap baca episode : 'Tapak Merah Darah").
Penghuni Kubur tak tahan lagi menahan gele-
gak amarahnya yang seperti hendak memecahkan
kepala. Sepasang matanya jadi kian nyalang mem
perhatikan sekeliling. Geramannya terdengar bak
banteng terluka. Sebelum geramannya tuntas, ka-
kinya telah menghentak kuat-kuat.
Brasss!
Saat itu pula tercipta lubang besar bekas pi-
jakan kaki Penghuni Kubur. Tanah-tanah merah
berhamburan tinggi ke udara, bergulung-gulung
memenuhi tempat itu. Ketika gulungan-gulungan
merah dari tanah yang berhamburan itu sirna, so-
sok Penghuni Kubur telah menghilang entah ke ma-
na.
DUA
Suasana duka masih menyelimuti Perguruan
Pring Sewu. Kira-kira sepuluh hari sejak peristiwa di
Hutan Seruni, banyak murid Perguruan Pring Sewu
yang merasa kehilangan. Hampir separo dari jumlah
mereka tewas di tangan Empat Iblis Merah dari Hu-
tan Seruni. Keadaan ini jelas membuat sisa-sisa mu-
rid Ratu Pring Sewu amat terpukul, dan nyaris kehi-
langan kepercayaan diri.
Dan bahkan apa yang dialami Mawarni, ma-
lah jauh lebih menderita dibanding saudara-saudara
seperguruan lainnya. Berhari-hari satu-satunya mu-
rid wanita kesayangan Ratu Pring Sewu terus me-
nyesali nasibnya yang malang. Menyesali kesucian-
nya yang hilang direnggut Iblis Tuli dan Iblis Gagu.
Apalagi yang harus diharap? Tak ada. Masa
depannya telah hancur. Penyesalan demi penyesalan
terus menghantui hati Mawarni. Seolah tak ada se-
mangat lagi untuk hidup. Malah segala kata-kata
menghibur diri mulut gurunya tak mampu mem-
bangkitkan semangatnya. Untung saja pada saat-
saat Mawarni dirundung keputusasaan, seorang ka-
kak seperguruannya yang sejak lama mencintainya
berhasil membujuknya. Namanya Gandrik. Meski
tahu kalau Mawarni telah ternoda, namun cinta pe-
muda itu tak pernah pudar. (Untuk mengetahui apa
yang telah dialami Mawarni beserta murid-murid
Perguruan Pring Sewu lainnya, harap baca episode
"Tapak Merah Darah").
Mendapat cinta Gandrik yang begitu tulus,
Mawarni mulai dapat melupakan penderitaannya.
Bahkan kini tampak mulai berubah. Wajahnya yang
cantik mulai berseri-seri bila sedang bercakap-cakap
dengan Gandrik, maupun kakak-kakak seperguruan
lainnya.
Siang itu, ketika panas matahari memang-
gang bumi, Mawarni berlari-lari kecil mendekati pos
penjagaan di depan pintu gerbang Perguruan Pring
Sewu. Hatinya terasa berbunga-bunga saat akan
menemui pemuda idamannya yang tengah berjaga di
pos depan.
"Kakang...! Kau dipanggil Guru," ujar Mawar-
ni dengan napas terengah-engah.
"Ada apa Guru memanggilku, Mawarni?"
tanya Gandrik heran.
Dua orang murid lain yang juga sedang berja-
ga-jaga di pos depan sejenak memperhatikan gadis
cantik berpakaian serba kuning di hadapannya. He-
ran.
"Tidak tahu, Kang," Mawarni mengangkat ke-
dua bahunya.
"Hm...!" Gandrik mengangguk-angguk. Entah
apa yang tengah terlintas dalam benak pemuda ga-
gah yang juga berpakaian serba kuning itu. "Baik-
lah. Aku akan segera menemui Guru. Maaf, Teman-
teman! Terpaksa aku harus meninggalkan kalian."
"Pergilah!" sahut salah seorang murid seraya
menggedikkan kepala.
"Terima kasih."
Gandrik melangkah keluar dari pos penja-
gaan. Senyum manisnya sempat tersungging di bibir
saat pandangannya bertatapan dengan mata Ma-
warni.
Mawarni tersipu. Dadanya berdebar keras
mendapati senyum pemuda tampan di hadapannya.
"Ayo!" ajak Gandrik membuyarkan keterpa-
naan Mawarni.
Tanpa banyak cakap si gadis segera melang-
kah di samping Gandrik. Sesekali matanya melirik
pemuda tampan di sampingnya, seraya terus me-
nyusuri halaman depan Perguruan Pring Sewu. Saat
melirik tadi, sekilas terlihat adanya ketegangan yang
terpancar di wajah Gandrik.
"Tampaknya ada sesuatu yang sedang kau pi-
kirkan, Kang?" duga Mawarni mengusik kegelisahan
Gandrik.
"Hm...! Benar," sahutnya mendesah.
"Apa, Kang?" cecar Mawarni.
"Bukan apa-apa. Hanya aku heran. Tak bi-
asanya guru memanggilku kalau tidak ada satu ke-
perluan yang amat mendesak. Apa kau tahu, apa
yang akan dibicarakan Guru, Mawarni?" Mawarni
menggeleng. Gandrik menghela napas sesak. "Jan-
gan-jangan Guru sudah mengetahui hubungan kita,
Mawarni. Apa kau tak keberatan untuk menjadi is
triku bila Guru menanyakannya?"
"Aku.... Aku...! Te... terus terang aku sulit se-
kali untuk menjawab iya. Aku justru takut akan
mengecewakanmu. Ingat, Kang! Aku sudah tak suci
lagi. Baiknya, pikirkan baik-baik kalau kau ingin
menikahiku, Kang," sahut Mawarni, sekaligus ingin
melihat kesungguhan Gandrik.
"Jangan ucapkan itu, Mawarni! Apa pun kea-
daanmu, aku tetap akan menikahimu," tegas Gan-
drik.
"Sebenarnya aku sudah tahu, Kang. Guru
memang ingin menanyakan hal ini padamu. Apa kau
bersungguh-sungguh ingin menikahiku atau tidak?"
Mendadak Gandrik menghentikan langkah.
Pandang matanya berbinar-binar, seolah tak percaya
dengan kata-kata Mawarni.
"Sudahlah, Kang! Aku tahu apa yang ingin
Kakang ucapkan," kata Mawarni mendahului Gan-
drik yang hendak membuka suara.
"Hm...! Baiklah!"
Gandrik dan Mawarni kembali meneruskan
langkah menyusuri halaman depan Perguruan Pring
Sewu. Mulut mereka terkunci. Tak sepatah kata pun
terucap dari bibir mereka.
Kedua anak muda itu langsung saja mema-
suki pendopo Perguruan Pring Sewu. Begitu tahu di
ruangan Ratu Pring Sewu ternyata memang tengah
menunggu kedatangan mereka. Sosoknya yang ku-
rus kerempeng terbalut pakaian warna kuning tam-
pak kelihatan lemah tak bertenaga. Rambutnya riap-
riapan menutupi sebagian wajahnya yang penuh ke-
riput. Sambil memegangi tongkat bambu kuning di
tangan kanan, sejenak diperhatikannya kedua orang
muridnya itu.
"Aku datang menghadap, Guru. Ada hal apa
sehingga Guru memanggilku?" tanya Gandrik begitu
tegak di hadapan gurunya.
"Duduklah!"
Gandrik dan Mawarni segera bersimpuh di
hadapan Ratu Pring Sewu. Wajah mereka sama-
sama tertunduk diam, menekuri lantai. Resah me-
nunggu apa yang ingin diucapkan Ratu Pring Sewu.
"Gandrik! Dan kau, Mawarni. Akhir-akhir ini
kulihat hubungan kalian makin akrab. Apa kalian
bersungguh-sungguh? Aku ingin mendengar jawa-
ban kalian. Terutama kau, Gandrik!" buka Ratu
Pring Sewu, langsung.
"Aku bersungguh-sungguh, Guru. Bahkan ka-
lau, Guru mengizinkan, aku ingin sekali me...."
"Yayaya...! Aku sudah tahu," sela Ratu Pring
Sewu. "Tapi, tentunya kau sudah tahu keadaan Ma-
warni, bukan? Apa kau tak kecewa? Apa kau tak
menyesal menikahi seorang gadis yang tak suci la-
gi?"
"Tidak, Guru. Apa pun keadaan Mawarni,
niatku tak pernah goyah. Guru."
"Bagus! Kalau begitu, kiranya tak ada lagi
yang patut dibicarakan. Aku senang sekali memiliki
murid macam kau, Gandrik. Hari ini juga, aku me-
restui perk...."
Mendadak Ratu Pring Sewu menghentikan
ucapannya dengan kening berkerut. Sepasang ma-
tanya yang kelabu berkilat-kilat penuh kemarahan
saat mendengar suara ribut-ribut dan pekik-pekik
kesakitan yang datang dari halaman depan pergu-
ruan.
"Siapa lagi yang membuat onar dipergurua-
nku...!" desis Ratu Pring Sewu.
Tanpa diperintah, Gandrik dan Mawarni sege-
ra meloncat bangun dan mengintai apa yang tengah
terjadi di halaman depan perguruan. Ternyata di
luar sana memang terlihat seorang kakek renta den-
gan tubuh terbalut pakaian kafan tengah mengamuk
hebat menghantam murid-murid Perguruan Pring
Sewu. Bahkan tak kurang dari lima orang murid te-
was dengan cara amat mengerikan.
"Guru...! Ada seseorang yang tengah menga-
muk di perguruan kita," teriak Gandrik kepada gu-
runya. Namun manakala kepalanya berpaling ke be-
lakang, ternyata Ratu Pring Sewu sudah tak berada
di tempatnya lagi.
Gandrik dan Mawarni tahu, gurunya telah
melompat keluar melalui jendela. Tanpa banyak pi-
kir panjang, sepasang anak muda itu segera melom-
pat ke luar.
"Bagus! Rupanya kau sudah menampakkan
batang hidungmu, Ratu Pring Sewu!" bentak seorang
kakek berpakaian kain kafan yang baru saja menu-
runkan tangan maut terhadap murid-murid Pergu-
ruan Pring Sewu. Sepasang matanya yang menco-
rong bak sepasang mata serigala terus memandang
tajam Ratu Pring Sewu.
Ketua Perguruan Pring Sewu menggeretakkan
gerahamnya penuh kemarahan. Ekor matanya yang
tajam sempat melirik ke arah lima orang muridnya
yang telah menemui ajal dengan cara mengenaskan.
Tiga orang tewas dengan isi perut memburai keluar.
Dua orang lainnya tewas dengan kepala pecah.
"Siapakah tua bangka satu ini. Guru? Kenapa
ia begitu telengas membantai saudara-saudara se-
perguruanku?" tanya Mawarni dengan tubuh meng-
gigil saking ngerinya melihat mayat kelima orang
kakak seperguruannya.
Ratu Pring Sewu tak menyahut. Kedua peli-
pisnya bergerak-gerak pertanda tak dapat lagi men-
gendalikan gelegak amarahnya.
"Lancang benar kau, Penghuni Kubur! Tak
seharusnya kau bunuh murid-muridku kalau ingin
berurusan denganku!" desis Ratu Pring Sewu, penuh
kegeraman.
"Ha ha ha...!"
Lelaki tua yang memang Penghuni Kubur ter-
tawa bergelak. Namun anehnya, kedua bibirnya
yang kepucatan sama sekali tak bergerak-gerak! Ta-
wanya pun seperti suara-suara setan yang tengah
berpesta pora di liang lahat!
"Salah sendiri, kenapa murid-muridmu berani
kurang ajar terhadapku?!" tukas Penghuni Kubur te-
tap dengan kedua bibir tak bergerak-gerak.
"Kurang ajar! Sebenarnya apa urusanmu
hingga susah payah mencariku kemari, he?!"
"Jangan banyak bacot! Sekarang, akui saja
kalau kau serta murid-muridmu dan dua saudara
seperguruanmu telah membunuh Empat Iblis Me-
rah, bukan?" balas Penghuni Kubur garang. "Kare-
na, siapa lagi yang memiliki pukulan 'Tongkat Peng-
gebuk Iblis' kalau bukan kau dan dua saudara se-
perguruanmu!"
"Benar! Memang aku dan saudara-saudara
seperguruankulah yang memiliki pukulan 'Tongkat
Penggebuk Iblis'? Dan memang, sudah sewajarnya
kalau manusia-manusia berhati iblis macam Empat
Iblis Merah itu harus modar. Kenapa kau malah
menyesali?" sahut Ratu Pring Sewu, terus terang
mengakui.
"Setan alas! Berarti kau pun harus mampus
di tanganku! Tapi sebelum mengirim nyawa busuk-
mu ke dasar neraka, aku ingin kau menjawab bebe-
rapa pertanyaanku!"
"Siapa sudi meladeni ocehanmu?"
"Bangsat! Hih!"
Breeeesss...!
Begitu Penghuni Kubur menjejakkan kakinya,
sebuah lubang besar kontan tercipta.
Ratu Pring Sewu tersenyum kecut. Diam-diam
dikaguminya tenaga dalam tokoh sesat yang menjadi
momok dunia persilatan itu. Meski demikian, bukan
berarti harus gentar. Demi menegakkan kebenaran,
Ketua Perguruan Pring Sewu siap menghadapi sepak
terjang Penghuni Kubur walau nyawa taruhannya.
"Dengar! Buka telingamu lebar-lebar, Ratu
Pring Sewu! Apakah tua bangka dari Gunung Bucu
itu juga ikut berperan atas tewasnya keempat orang
saudara seperguruanku?" desis Penghuni Kubur.
"Manusia berbudi luhur macam Eyang Bega-
wan Kamasetyo mana pantas berurusan dengan
manusia-manusia berhati binatang macam adik-
adik seperguruanmu itu, Penghuni Kubur!" sahut
Ratu Pring Sewu, kalem.
Bukan main murkanya Penghuni Kubur
mendengar ejekan Ratu Pring Sewu. Kalau saja tidak
membutuhkan beberapa keterangan, sudah pasti
akan diterjangnya perempuan tua itu.
"Bacotmu sungguh tak enak didengar, Ratu
Pring Sewu. Untuk beberapa saat, aku masih men
gampuni nyawa busukmu. Tapi sekali ini kau tak
mau menjawab pertanyaanku, jangan salahkan ka-
lau aku terpaksa harus membunuhmu berikut mu-
rid-muridmu!" ancam Penghuni Kubur, menggeram.
"Siapa takut ancamanmu, Manusia Iblis?"
"Setan! Jawab pertanyaanku! Apa benar Be-
gawan Kamasetyo ikut membantumu membunuh
adik-adik seperguruanku?"
"Hm...! Jadi Siluman Ular Putih itu muridnya
Begawan Kamasetyo? Pantas, aku seperti mengenali
pukulan bocah gondrong itu sewaktu melawan Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni...," gumam Ratu
Pring Sewu dalam hati seraya mengangguk-angguk.
"Kau tak mau menjawab, Ratu Pring Sewu?"
desak Penghuni Kubur.
"Menyesal sekali. Tak mungkin orang tua satu
itu turut campur membunuh cecunguk-cecunguk
merah itu," desah Ratu Pring Sewu.
"Jadi? Siapa saja yang ikut membunuh adik-
adik seperguruanku, he?!" geram Penghuni Kubur
tak sabar.
Dalam hati, Penghuni Kubur menduga-duga,
apakah tua bangka dari Gunung Bucu yang bergelar
Begawan Kamasetyo mempunyai murid? Tapi siapa?
"Tunggu! Apa kau tahu siapa muridnya Bega-
wan Kamasetyo?" lanjut Penghuni Kubur, untuk
menjelaskan dugaannya.
"Tak usah banyak omong, Penghuni Kubur!
Aku tak tahu, siapa yang kau maksudkan!" tegas
Ratu Pring Sewu.
"Setan alas! Meski kau tak buka mulut, aku
tetap akan membuat perhitungan dengan tua bang-
ka keparat itu. Juga kau, Ratu Pring Sewu! Kaulah
orang pertama yang harus bertanggung jawab!
Mungkin, bisa jadi ditambah dua orang kakak se-
perguruanmu yang bergelar Dua Orang Tua Aneh
Putih Kelabu!" tunjuk lelaki tua berbalut kain kafan
itu.
Ratu Pring Sewu terkekeh. Diam-diam dika-
guminya kecerdikan Penghuni Kubur.
"Pintar! Tak kusangka otak bobrokmu masih
bisa berpikir jernih. Tapi kalau boleh kuperingatkan,
sebaiknya jangan teruskan niat busukmu ini! Berto-
batlah sebelum ajal menemuimu!"
"Keparat! Aku tak butuh khotbahmu, Ratu
Pring Sewu! Aku butuh nyawa busukmu! Juga,
nyawa orang-orang yang telah berani lancang mem-
bunuh adik-adik seperguruanku!" desis Penghuni
Kubur penuh kemarahan
Sebelum geramannya tuntas, Penghuni Kubur
sudah menerjang hebat Ratu Pring Sewu. Kedua te-
lapak tangannya yang masih berlumuran darah ce-
pat menyambar ubun-ubun kepala. Hebatnya sebe-
lum kedua telapak tangan itu mengenai sasaran,
terlebih dulu berkesiur angin dingin menggiriskan.
"Heh...?!"
Ratu Pring Sewu terkesiap. Tak menyangka
akan mendapat serangan demikian hebat. Tentu sa-
ja Ketua Perguruan Pring Sewu tak sudi batok kepa-
lanya jadi sasaran empuk tangan-tangan Penghuni
Kubur. Maka dengan jurus andalan 'Tongkat Maut
Selaksa Prahara', tubuhnya segera berkelit ke samp-
ing dengan tongkat digerakkan secara menyelinap ke
ulu hati.
Wuttt! Wuttt!
Melihat tongkat di tangan Ratu Pring Sewu
bergerak mengancam ulu hatinya, sedikit pun Peng-
huni Kubur tak terkejut. Malah dengan satu perhi-
tungan tepat, tahu-tahu lengan kanannya menge-
but. Langsung ditangkisnya tongkat Ratu Pring Se-
wu.
Prakkk!
"Setan!"
Tongkat bambu kuning itu kontan hancur
berkeping-keping begitu terhantam lengan kurus
Penghuni Kubur. Hal ini membuat perempuan tua
itu menggeram marah. Telapak tangannya sempat
tergetar hebat akibat bentrokan tadi. Bahkan belum
sempat keterkejutan Ratu Pring Sewu lenyap, men-
dadak telapak tangan kiri Penghuni Kubur telah ba-
lik menghantam dada. Sebisanya, Ratu Pring Sewu
bergerak ke samping. Tapi....
Desss!
"Aaah...!"
Tanpa ampun tubuh Ratu Pring Sewu kontan
terbanting keras disertai keluhan tertahan. Untung
saja tadi tubuhnya sempat bergeser ke samping. Ka-
lau tidak, bukan mustahil dadanya akan hancur
terkena hantaman Penghuni Kubur. Meski demikian
pundaknya yang terkena hantaman terasa ngilu bu-
kan main.
Ratu Pring Sewu meringis kesakitan. Dengan
susah payah kembali ia meloncat bangun.
"Bajingan! Beraninya kau melukai Guru kami,
he?! Makanlah tongkatku, Tua Bangka Keparat!" te-
riak Gandrik gusar bukan main.
Dan tanpa banyak cakap lagi, Gandrik segera
menerjang Penghuni Kubur. Bersamaan dengan itu,
Mawarni dan keenam murid Ratu Pring Sewu lain
nya segera turut membantu serangan dengan senja-
ta bambu kuning.
"Jangan gegabah, Murid-muridku! Kalian bu-
kanlah tandingannya!" teriak Ratu Pring Sewu gu-
sar.
Namun sayang, kedelapan orang murid Ratu
Pring Sewu yang sudah kalap itu tak mau menden-
gar nasihat gurunya. Malah tongkat bambu kuning
mereka makin hebat menyerang Penghuni Kubur.
"Ha ha ha...! Anak-anak manis! Kalian me-
mang patut mendapat pelajaran dariku. Enyahlah
kalian semua! Hea...!"
Tiba-tiba Penghuni Kubur berkelebat cepat
sekali di antara gulungan-gulungan kuning yang
mendesaknya. Sambil berkelebat, tangan-tangannya
berputaran mencari mangsa.
Wut! Wuttt!
Prak! Prakkk!
"Aaa...!"
Dua kali tangan Penghuni Kubur bergerak,
maka seketika terdengar dua pekik yang amat me-
nyayat hati dari tubuh dua orang murid Ratu Pring
Sewu yang terkena hantaman. Tampak dua sosok
tubuh roboh, tak mampu bangun lagi dengan kepala
pecah!
"Minggir! Kalian semua minggir!" bentak Ratu
Pring Sewu seraya kembali menerjang Penghuni Ku-
bur.
Penghuni Kubur menjengekkan hidungnya.
Sedikit pun hatinya tak gentar menghadapi seran-
gan-serangan Ratu Pring Sewu. Hanya menggeser
tubuhnya sedikit ke samping, tahu-tahu tangan-
tangan mautnya kembali meminta korban.
Prak! Prakkk!
"Aaa...!"
Kembali dua orang murid Ratu Pring Sewu ke
tanah, tak mampu bangun lagi. Sampai di sini,
Penghuni Kubur pun rupanya belum puas menebar
maut. Tangan-tangan mautnya kembali mencari
korban tanpa ampun. Maka hanya dalam sekejap
mata saja, empat orang murid Ratu Pring Sewu
kembali terjungkal, termasuk Mawarni dan Gandrik.
Gandrik dan Mawarni menggigil di tempatnya.
Paras mereka pucat pasi dengan dada yang terkena
hantaman terasa mau jebol. Namun nasib kedua
murid Ratu Pring Sewu ini masih jauh lebih baik di-
banding dua orang teman seperguruannya yang kon-
tan roboh dengan kepala retak!
"Bajingan! Kau tak pantas melawan murid-
muridku, Penghuni Kubur. Akulah lawanmu!"
Ratu Pring Sewu mengkelap bukan main me-
lihat keenam orang muridnya, tewas mengerikan di
tangan Penghuni Kubur hanya dengan beberapa ge-
brakan. Perempuan tua ini tak tahan lagi melihat
pembantaian di depannya. Dengan kemarahan me-
luap, kembali diterjangnya Penghuni Kubur.
"Ha ha ha...!"
Penghuni Kubur hanya tertawa bergelak. Se-
rangan-serangan Ratu Pring Sewu mudah dapat di-
hindari dengan berkelit ke sana kemari. Akibatnya
serangan-serangan Ketua Perguruan Pring Sewu
hanya mengenai angin kosong.
"Apa kau masih keras kepala tak mau menga-
takan siapa murid Begawan Kamasetyo, Ratu Pring
Sewu?" kata Penghuni Kubur sambil terus mende-
sak.
"Siapa sudi dengan bacotmu, Tua Bangka Ke-
parat! Tanyakan saja pada setan gentayangan peng-
huni dasar neraka!" dengus Ratu Pring Sewu.
"Bagus! Kalau begitu, berarti kau tak sayang
pada dua orang muridmu itu!" tuding Penghuni Ku-
bur pada Gandrik dan Mawarni.
Belum sempat Ratu Pring Sewu berpikir, ta-
hu-tahu Penghuni Kubur telah menerjang Gandrik
dan Mawarni. Perempuan tua ini gusar bukan main.
Dengan kemarahan meluap, cepat dilontarkannya
pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis' ke arah Penghuni
Kubur.
Wesss! Wesss!
Seketika meluruk dua larik sinar kuning dari
kedua telapak tangan Ratu Pring Sewu ke arah
Penghuni Kubur. Sebelum serangan dua larik sinar
kuning itu mengenai sasaran, terlebih dahulu berke-
siur hawa panas bukan kepalang!
Penghuni Kubur tentu saja tak ingin tubuh-
nya jadi sasaran empuk. Begitu merasakan hawa
panas menyambar punggung, tubuhnya segera di-
buang jauh ke samping. Hingga akibatnya...
Desss! Desss!
"Aaah...!"
Ratu Pring Sewu memekik kaget dengan paras
kontan pucat pasi melihat tubuh Gandrik dan Ma-
warni melayang jauh ke belakang, begitu terkena
pukulan nyasar. Kedua anak muda itu pun tak
sempat mengeluarkan pekikan saat tubuhnya me-
layang dan terbanting keras di tanah. Mereka tak
dapat bangun lagi dengan sekujur tubuh hangus
terbakar!
"Bajingan! Kau harus bertanggung jawab atas
semua peristiwa ini, Penghuni Kubur! Kau harus
bertanggung jawab! Tak cukup nyawa busukmu se-
bagai tebusannya! Hea...!"
Bukan main murkanya Ratu Pring Sewu be-
tapa dua orang murid kesayangannya telah tewas
menemui ajal akibat kecorobohannya. Maka tanpa
pikir panjang lagi, kembali diterjangnya Penghuni
Kubur. Kedua telapak tangannya yang kian berubah
kuning hingga ke pangkal siku kembali dihantam-
kan ke depan dengan kekuatan tenaga dalam pe-
nuh.
"Heaaa...!"
Kembali melesat dua larik sinar kuning dari
kedua telapak tangan Ratu Pring Sewu.
Mendapati serangan begini, Penghuni Kubur
tertawa bergelak. Tapi diam-diam segera dikerah-
kannya tenaga dalam tinggi.
"Makanlah pukulan 'Pembetot Darah Mayat'-
ku! Heaa...!"
Begitu Penghuni Kubur mengerahkan puku-
lan maut, seketika melesat dua sinar hijau dari ke-
dua telapaknya, langsung memapaki pukulan Ratu
Pring Sewu. Sehingga....
Blammm!
Bukan main hebatnya bentrokan dua tenaga
dalam tingkat tinggi yang terjadi. Seketika bumi ber-
guncang hebat. Hawa panas kontan menebar ke se-
genap penjuru, memporakporandakan apa saja yang
ada di sekitar pertarungan. Ranting-ranting pohon
bergerak dengan daun-daun hangus terbakar!
Sementara sewaktu terjadinya bentrokan tadi,
Ratu Pring Sewu melayang bagai layangan putus ta-
li. Tubuhnya berputar-putar sebentar, lalu meng
hantam batang pohon di belakangnya. Perempuan
tua ini mengeluh hebat. Seisi dadanya berguncang
hebat dengan kedua telapak tangannya melepuh.
Sementara itu sambil mengumbar tawa, se-
langkah demi selangkah Penghuni Kubur mendekati
Ratu Pring Sewu yang tengah meringis-ringis mena-
han sakit. Kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah hijau siap melabrak tubuh Ratu Pring Sewu.
Tak ada pilihan lain. Ratu Pring Sewu segera
bertindak. Tangan kanannya cepat menyelinap ke
balik baju. Begitu tercabut, tangannya yang telah
memegang beberapa benda sebesar buah melinjo itu
mengibas.
Dan....
Plarrr!
Ledakan kecil yang disertai asap kuning sege-
ra memenuhi tempat pertarungan saat benda-benda
sebesar melinjo itu menghantam tanah. Asap kuning
itu terus bergulung-gulung membungkus tubuh
Penghuni Kubur dan Ratu Pring Sewu.
Penghuni Kubur menggeram murka. Sekali
kibaskan kain kafannya dengan tangan kiri, maka
gulungan-gulungan asap kekuningan itu pun sirna.
Namun pada saat itu juga, sosok Ratu Pring Sewu
sudah tak terlihat lagi.
"Setan alas! Sampai ujung dunia pun, tak
mungkin aku membiarkanmu begitu saja, Bajingan!"
Penghuni Kubur menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat. Rahangnya sampai mengembung, saking
tak tahannya menahan amarah menggelegak. Kedua
telapak tangannya yang tadi siap dihantamkan ke
tubuh Ratu Pring Sewu segera dihantamkan ke de-
pan. Maka seketika meluruk dua larik sinar hijau
dari kedua telapak tangannya. Lalu....
Blarrr...!
Sebuah pohon besar dua lingkaran tangan
manusia dewasa kontan bergoyang-goyang begitu
terkena pukulan Penghuni Kubur. Pada bagian ba-
tang pohon yang terkena bekas pukulan kontan
mengepulkan uap tipis kehijau-hijauan. Selang be-
berapa saat, terdengar suara bergemuruh yang di-
akhiri bunyi keras dari batang pohon yang tumbang!
Blammm!
Debu-debu kontan membubung tinggi, me-
menuhi tempat itu. Angin siang itu berhembus semi-
lir, perlahan-lahan menyingkirkan debu-debu yang
membubung tinggi. Ketika debu-debu itu sirna ter-
tiup angin, sosok Penghuni Kubur pun telah me-
ninggalkan tempat itu!
TIGA
Sinar matahari bersinar garang. Namun kare-
na kerimbunan hutan bambu membuat sekitarnya
menjadi sejuk. Apalagi angin semilir bertiup lembut
mengusap kulit, seolah ingin melelapkan siapa saja
yang lewat di tempat ini.
Namun tidak demikian buat kedua anak mu-
da yang tengah melangkah ringan. Seolah tak ingin
beristirahat, mereka terus saja melangkah dengan
tawa renyah yang terdengar meriah di antara ki-
cauan burung-burung di ranting pohon. Mereka se-
perti menikmati suasana siang itu.
Yang berjalan di sebelah kanan dengan kepala
sesekali berpaling ke camping adalah seorang pemuda tampan berusia kira-kira sembilan belas ta-
hun. Wajahnya berbentuk lonjong dengan sepasang
mata tajam berwarna kebiruan. Di kepalanya yang
ditumbuhi rambut gondrong melingkar ikat kepala
warna putih keperakan. Seperti warna ikat kepa-
lanya, tubuhnya yang tinggi kekar pun dibalut pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Bila badannya berbalik tampak pula senjata
andalannya yang berupa anak panah yang memiliki
cakra kembar. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan
Soma?
Di sebelah si pemuda adalah seorang gadis
cantik berusia tak lebih dari tujuh belas tahun. Ku-
litnya putih bersih. Wajahnya berbentuk bulat telur.
Rambutnya digelung ke atas, dihiasi untaian bunga
melati. Sedang tubuhnya yang tinggi ramping diba-
lut pakaian ketat warna hijau.
"Kalau begini terus, lama-lama aku bisa jatuh
cinta, Arum. Kau tampak cantik, menarik, penuh
daya pesona. Hm...! Enak benar aku punya kawan
secantikmu," celoteh si pemuda dengan kepala ber-
paling sedikit ke samping, ke arah gadis yang me-
mang Arum Sari murid Nenek Rambut Putih.
Entah kenapa wajah cantik Arum Sari men-
dadak memerah. Hatinya rusuh sekali. Hampir se-
tengah purnama lebih mereka melakukan perjala-
nan bersama mencari pembunuh kedua orangtua si
gadis. Tentu saja hal ini membuat hubungan kedua
anak muda itu makin akrab. Dalam relung hati
Arum Sari sendiri pun mulai digelayuti perasaan tak
menentu. Aneh. Rasa-rasanya gadis cantik itu mera-
sakan satu perasaan yang seumur hidupnya belum
pernah dialami. (Untuk lebih jelasnya baca episode :
"Titisan Alam Kegelapan" dan "Tapak Merah Darah").
"Jangan menggodaku, Soma!"
Hanya itu yang keluar dari mulut Arum Sari.
Padahal kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin
sekali mengatakan lebih. Atau setidaknya, membiar-
kan godaan pemuda tampan di sampingnya. Yang
penting hatinya berbunga-bunga.
"Kenapa? Toh, kalau tak salah penglihatanku
kau senang, bukan? Buktinya aku baru ngomong
begitu saja, pipimu sudah merah. Iya. kan? Jangan-
jangan kau mulai berpikir lain?" goda Soma, keterla-
luan.
"Berpikir lain apa?" sungut Arum Sari.
"Yaaa. Tahulah. Pokoknya, akhir-akhir ini kau
tampak lain. Tapi tak apa-apalah. Aku malah senang
kok, melihat kau gembira seperti ini," ujar Soma se-
raya mengumbar senyum.
Hati Arum Sari makin dibuat blingsatan tak
karuan manakala melihat senyum pemuda tampan
di sampingnya. Ada apa pula ini? Kenapa hatiku jadi
risau begini? Desis Arum Sari dalam hati.
"Lho? Kok, malah memandangiku seperti itu?
Ada apa, nih? Jangan-jangan benar dugaanku?" go-
da Soma, melanjuti.
"Jangan ngawur kau, Soma! Aku tidak berpi-
kir macam-macam. Aku hanya teringat kedua orang-
tuaku," tangkis Arum Sari, berdusta.
Begitu teringat kedua orangtuanya. Arum Sari
jadi sedih. Wajahnya seketika murung membayang-
kan wajah kedua orangtuanya yang sulit sekali ter-
lukis dalam benaknya.
"Oh, ya? Sayang sekali. Kukira kau sedang
memikirkanku?"
Arum Sari menggeleng. Senyum getirnya tam-
pak tersungging di bibir.
"Apa kau tak ingat kedua orangtua mu. So-
ma? Oh, ya? Bagaimana kabar kedua orangtuamu?
Kenapa kau tak pernah bercerita padaku?" tanya
Arum Sari tiba-tiba, berusaha menepis kesedihan
yang menggelayuti hatinya.
"Tak lebih buruk dari apa yang dialami kedua
orangtuamu. Arum," sahut Soma, kali ini bersikap
sungguh-sungguh.
"Maksudmu? Apa kedua orangtuamu sudah
meninggal?"
Soma menggeleng pelan. "Lalu kenapa?"
"Ayahku tewas dibunuh Manusia Rambut Me-
rah," jelas Siluman Ular Putih mendesah sedih.
"Lalu, bagaimana dengan ibumu?" kejar si ga-
dis.
"Hmhh...!" Soma menghela napas sesak. "Ibu-
ku.... Ah...! Dia.... Dia masih berwujud seekor ular."
"Berwujud ular? Kenapa bisa begitu?" tanya
Arum Sari heran.
"Itu akibat ibuku memaksakan diri untuk
mempelajari ilmu yang diajarkan Eyang. Ah...!" Lagi-
lagi Soma menghela napas sesak. "Nanti kalau uru-
san ini sudah selesai, aku ingin sekali menemui Ibu.
Sudah lama sekali aku tak menemuinya."
"Boleh aku menemanimu menemui ibumu.
Soma?" tanya Arum Sari dengan suara bergetar.
Soma kembali memalingkan kepala ke samp-
ing. Entah, apa yang tengah berkecamuk dalam be-
naknya. Yang jelas. Arum Sari malah menundukkan
kepala saat Soma memandangnya.
"Bagaimana, Soma? Apa kau keberatan?"
tanya Arum Sari, malu-malu.
"Hmhh...!"
Soma mengatur jalan napas sebentar. Kali ini
ia benar-benar merasa aneh melihat sikap Arum Sa-
ri. Sejenak diperhatikannya gadis cantik di hada-
pannya.
"Boleh, kalau...."
Gusrakkk!
Suara Siluman Ular Putih terpangkas ketika
mendadak terdengar langkah kasar di semak belu-
kar di samping mereka. Untuk sesaat kedua anak
muda itu hanya bisa saling berpandangan.
"Sebentar...!"
Siluman Ular Putih segera melompat ke arah
datangnya suara. Tapi, Arum Sari tak ingin keting-
galan. Segera disusulnya Soma.
* * *
"Ratu Pring Sewu...?!" sebut Soma dan Arum
Sari begitu tiba di tempat yang dicurigai tadi.
Kedua anak muda itu terpaku di tempatnya.
Sepasang mata mereka membelalak liar. Di hadapan
mereka kini tergolek sesosok tubuh belum lama di-
kenalnya. Ratu Pring Sewu!
Betapa tubuh Ketua Perguruan Pring Sewu
itu teramat mengenaskan. Parasnya pucat pasi. Ke-
dua telapak tangannya melepuh. Darah kering tam-
pak menghiasi sudut-sudut bibirnya.
"Ratu Pring Sewu! Siapa yang melakukan
perbuatan keji ini?" tanya Siluman Ular Putih berte-
riak jengkel. Buru-buru diraihnya tubuh Ratu Pring
Sewu dan diletakkan di atas pahanya. Soma meng
guncang-guncang tubuh nenek renta itu, tapi
sayang keburu pingsan.
Siluman Ular Putih cepat menotok beberapa
jalan darah di tubuh Ratu Pring Sewu. Selang bebe-
rapa saat, kelopak mata Ketua Perguruan Pring Se-
wu mulai bergerak-gerak. Kedua bibirnya bergetar-
getar. Napasnya pun memburu. Mengenaskan sekali
keadaannya.
"Dia.... Dia ingin menyatroni puncak Gunung
Buc... Bucu...."
Dengan susah payah, bibir Ratu Pring Sewu
yang bergetar-getar itu pun membuka suara. Dan ini
membuat Siluman Ular Putih terperangah. Ya! Pun-
cak Gunung Bucu adalah tempat kediaman eyang
dan ibunya. Ada apa ini? Siluman Ular Putih jadi ge-
lisah.
"Siapa yang kau maksudkan, Ratu Pring Se-
wu?" tanya Siluman Ular Putih, tak sabar.
"Dia.... Dia... ah...!"
Kepala Ratu Pring Sewu kembali terkulai.
Sementara Siluman Ular Putih jadi gelisah
bukan main. Soma tak menginginkan Ratu Pring
Sewu mati. Pemuda ini merasa harus dapat mengo-
rek keterangan siapa yang telah berani mencelaka-
kan perempuan tua ini, sekaligus ingin menyatroni
puncak Gunung Bucu. Maka, buru-buru Siluman
Ular Putih menotok beberapa jalan darah di tubuh
Ratu Pring Sewu yang kembali pingsan. Kali ini pa-
ras perempuan tua itu tampak demikian mengeri-
kan. Pucat mirip mayat!
"Katakan, Nek! Siapa yang memperlakukan
ini semua?" desak Siluman Ular Putih tak sabar.
"Peng.... Penghuni Kubuuur...!''
Bersamaan dengan putusnya ucapan, maka
putus pula nyawa Ratu Pring Sewu dari raga. Kepa-
lanya terkulai ke samping, tak bergerak-gerak lagi.
"Keparat! Lagi-lagi si keparat itu yang mem-
buat ulah. Dulu kedua orangtuaku yang tewas di
tangannya. Kini Ratu Pring Sewu! Benar-benar ke-
parat! Tak mungkin aku membiarkan sepak terjang-
nya begitu saja!" geram Arum Sari penuh kemara-
han. Jari-jari tangannya terkepal erat, seolah ingin
sekali melampiaskan kemarahannya saat itu juga.
Siluman Ular Putih tak menanggapi ucapan
Arum Sari. Ia segera memondong tubuh nenek renta
itu dan membaringkannya ke rerumputan. Matanya
sejenak beredar, mencari-cari tempat yang layak un-
tuk menguburkan jasad Ratu Pring Sewu.
"Soma! Tak mungkin kita membiarkan sepak
terjang Penghuni Kubur begitu saja! Kita harus ber-
tindak. Terlepas dari kedua orangtuaku yang tewas,
aku tetap akan menuntut pertanggungjawaban
Penghuni Kubur!" teriak Arum Sari.
"Ya ya ya...! Kita memang harus meminta per-
tanggungjawabannya!" sahut Soma singkat.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan. So-
ma?" tanya Arum Sari.
Soma menghela napasnya panjang.
"Sebaiknya Bantu aku dulu menguburkan
mayat Ratu Pring Sewu. Baru setelah itu, kita kejar
Penghuni Kubur," sahut Soma.
"Itu berarti, kita harus ke Gunung Bucu?"
"Ya! Lagi pula, aku juga sudah kangen dengan
eyang dan ibuku. Ayo kita kubur dulu mayat ini."
"Ayo!"
EMPAT
Puncak Gunung Bucu.
Sesosok bayangan berkelebat cepat menuju
puncak Gunung Bucu. Gerakan kakinya cepat luar
biasa laksana terbang. Sehingga dalam waktu sing-
kat sosok bayangan itu telah tiba di puncak gunung.
Sosok bayangan yang ternyata berpakaian
tambal-tambalan itu menghentikan langkahnya.
Menilik alis mata, bulu mata, dan rambut putihnya
yang awut-awutan, jelas sekali usia lelaki renta ber-
tubuh tinggi kurus ini sudah mencapai delapan pu-
luh tahun lebih. Wajahnya tirus dengan mata sipit
dan hidung kecil. Bibirnya tebal berwarna hitam.
Siapa lagi lelaki renta yang memiliki ciri-ciri seperti
itu kalau bukan Raja Penyihir.
Apa maksud kehadiran Raja Penyihir di Gu-
nung Bucu? Sebenarnya, lelaki berwajah tirus ini
hanya ingin menemui Eyang Begawan Kamasetyo
untuk minta izin agar Siluman Ular Putih sudi me-
manggilnya guru. Hal itu pun sebenarnya atas saran
Siluman Ular Putih. Karena kalau tidak demikian.
Tak bakalan sudi Soma memanggilnya guru. Maka
tak heran kalau lelaki tua itu mau bersusah payah
ke sini.
Raja Penyihir mengedarkan pandangan ke se-
keliling. Hamparan pasir dan bebatuan tampak ber-
serakan di sana sini. Sedang jauh di bawahnya ka-
but tebal berkejar-kejaran searah tiupan angin.
Meski suasana sore itu belum begitu larut, namun
udara pegunungan terasa dingin menusuk kulit.
Raja Penyihir tak menghiraukan udara dingin
yang terasa menyengat tulang belulangnya. Hanya
sedikit mengerahkan hawa murni, maka udara din-
gin yang mengungkung lenyap entah ke mana.
"Kalau tak salah, tua bangka itu bertapa di
goa sebelah sana," duga Raja Penyihir seraya menu-
dingkan ujung tongkatnya ke arah lereng sebelah
barat Gunung Bucu. "Yah...! Kukira aku harus sece-
patnya ke sana."
Raja Penyihir segera menutulkan kakinya ke
tanah. Lalu berkelebat cepat menuju tempat yang
dimaksud.
Di sebelah barat puncak Gunung Bucu me-
mang terdapat sebuah mulut goa menghadap ke
lembah-lembah hijau di sekitar Pegunungan Perahu.
Raja Penyihir tak ingin membuang-buang waktu.
Begitu tiba, tubuhnya segera berkelebat masuk ke
dalam mulut goa.
Mulut goa itu memang tidak begitu lebar, pal-
ing hanya setengah tombak. Namun ketika Raja Pe-
nyihir menyusuri, lama kelamaan lorong goa itu ma-
kin melebar.
Di sebuah lorong yang bercabang, mendadak
Raja Penyihir menghentikan langkahnya. Kepalanya
celingukkan ke sana kemari, mencari arah yang be-
nar. Namun di saat lelaki tua ini tengah kebingun-
gan, mendadak....
"Siapa pun juga yang ingin bertamu, kenapa
tidak langsung menemuiku?"
Terdengar teguran yang datang dari lorong
sebelah kanan.
Bukannya kaget, Raja Penyihir malah terke-
keh senang. Jelas sekali kalau ia amat mengenali
siapa pemilik suara parau itu.
"Ah... rupanya masih hidup juga, Kamasetyo!
Kukira kau sudah mampus dimakan belatung-
belatung goa ini. Ayo, lekas keluar! Sambut aku!"
Tak ada sahutan. Hanya gerutuan seseorang
saja yang terdengar. Gerutuan yang diduga berasal
dari mulut Eyang Begawan Kamasetyo. Raja Penyihir
bersungut. Aneh sekali watak tokoh sakti dari pun-
cak Gunung Tidar ini. Tadi terkekeh-kekeh senang.
Sekarang mulutnya membentuk kerucut karena ke-
cewa ucapannya tak ditanggapi Eyang Begawan Ka-
masetyo. Meski demikian, toh akhirnya mau juga
menyeret langkahnya ke lorong sebelah.
Begitu berada di lorong sebelah, kening Raja
Penyihir kontan berkernyit melihat sosok Eyang Be-
gawan Kamasetyo masih tetap bersila. Jadi, betapa
tajamnya pendengaran lelaki tua yang tengah bersila
itu. Tubuhnya yang kurus terbalut pakaian putih.
Rambutnya yang juga berwarna putih digelung ke
atas. Seperti rambut dan pakaiannya, ternyata wa-
jahnya pun juga berkulit putih bersih.
Tak jauh dari Eyang Begawan Kamasetyo ber-
sila seekor ular putih raksasa tengah melingkar di
atas batu putih pipih. Ukuran tubuh ular putih rak-
sasa itu amat besar. Hampir sebesar pohon kelapa.
Dalam keadaan melingkar seperti itu, sepasang ma-
tanya terpejam. Namun, mulutnya terus mendesis-
desis. Entah, apa maksudnya.
Raja Penyihir berkali-kali menggeleng. Merasa
trenyuh melihat sosok ular putih raksasa yang tak
lain adalah Siluman Naga Puspa! Ya, dialah ibu
kandung dari Siluman Ular Putih.
Sebenarnya, sosok ular putih raksasa itu ada-
lah seorang wanita cantik. Namanya, Dewi Ratri.
Hanya karena gagal untuk mempelajari ilmu pa-
mungkas ajian 'Titisan Siluman Ular Putih', maka
wanita yang sebenarnya putri Eyang Begawan Ka-
masetyo itu menjelma seekor ular putih raksasa!
(Baca serial Siluman Ular Putih dalam episode :
"Misteri Bayi Ular").
"Ada apa kau menyambangiku kemari, Damar
Suto?" tanya Eyang Begawan Kamasetyo, langsung
memanggil nama asli Raja Penyihir. Rupanya guru
dari Siluman Ular Putih sudah mengenai baik, siapa
Raja Penyihir.
"Aku ada sedikit urusan denganmu. Tapi,
nantilah. Aku ingin bercakap-cakap sebentar dengan
putrimu ini," kilah Raja Penyihir.
"Jangan diganggu, Damar Suto! Putriku se-
dang bertapa," tegur Eyang Begawan Kamasetyo,
langsung.
"Bertapa? Untuk apa?" tanya Raja Penyihir
tak mengerti.
"Putriku ingin menjelma menjadi manusia
kembali. Untuk itu, ia kusuruh terus bertapa."
"Oooo...!" Raja Penyihir mengangguk-angguk.
"Kasihan sekali nasib putrimu ini, Kamasetyo. Kalau
saja aku dapat membantu, tentu aku akan melaku-
kannya. Tapi sayang, aku...."
"Sudahlah!" potong Eyang Begawan Kama-
setyo.
"Katakan saja, kau ada keperluan apa hingga
susah payah datang kemari?"
"Oh, ya? Aku memang ada sedikit urusan
denganmu, Kamasetyo," jelas Raja Penyihir seraya
menepuk jidat.
"Aku tahu. Setiap kau menemuiku, pasti ingin
minta bantuanku, bukan?" tebak Eyang Begawan
Kamasetyo, tak bermaksud menyindir.
"Siapa yang butuh bantuanmu? Aku tidak bu-
tuh bantuanmu. Aku hanya ingin minta izin pada-
mu," sungut Raja Penyihir tak senang.
"Minta izin apa?"
"Muridmu.... Eh, cucumu harus memanggilku
guru. Untuk itulah aku minta izin padamu," papar
Raja Penyihir.
"Oh, ya? Jadi kau sudah bertemu cucuku?!"
sentak Eyang Begawan Kamasetyo, gembira. "Suruh
dia pulang. Aku dan ibunya sudah lama sekali tak
bertemu. Cucuku harus cepat kau ajak kemari, Da-
mar Suto!"
"Eh...! Tunggu dulu! Kau belum menjawab
pertanyaanku. Apa kau mengizinkan cucumu me-
manggilku guru?" terabas Raja Penyihir.
"Ah...! Kau ini aneh-aneh saja. Siapa yang
menyuruhmu minta izin padaku? Kalau kau ingin,
dipanggil guru oleh cucuku, ya silakan! Kenapa mes-
ti minta izin?"
"Justru karena cucumu itulah yang mengha-
ruskan agar aku minta izin padamu. Tapi boleh kan,
cucumu memanggilku guru? Masa' aku sudah me-
wariskan hampir semua kepandaianku, tapi cucumu
tetap saja tak mau memanggilku guru? Ini kan lu-
cu."
"Hm...!" Eyang Begawan Kamasetyo mengge-
leng-gelengkan kepala. "Kau ini ada-ada saja, Damar
Suto. Mau-maunya dikerjai cucuku yang nakal itu."
"Habis...."
"Kau ini lucu. Masa sudah tua begini masih
saja mau diakali bocah kemarin sore. Apa susahnya
sih, bilang bahwa kau sudah menemuiku?"
"Ah...!" Lagi-lagi Raja Penyihir hanya mene-
puk-nepuk jidatnya. "Benar! Kau benar, Kamasetyo.
Cucumu memang nakal. Bodohnya aku, kenapa
mau dikerjai begini. Awas kalau ketemu nanti. Pasti
cucumu akan kubalas."
"Ggggecerrrr...!"
Tiba-tiba dinding-dinding goa di puncak Gu-
nung Bucu bergetar keras oleh sebuah gerengan
menyeramkan. Batu-batu besar kecil berjatuhan da-
ri langit-langit goa. Raja Penyihir dan Eyang Bega-
wan Kamasetyo heran sekali. Buru-buru mereka
mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara
gerengan barusan.
"Ggggeeerrrr...!"
Kedua lelaki tua ini sama-sama memandang
heran pada sepasang mata Siluman Naga Puspa
yang mencorong beringas. Jelas arahnya ke Raja Pe-
nyihir. Ujung ekornya dikibaskan ke sana kemari,
membuat dinding-dinding goa bergelar. Pada saat itu
juga, tiba-tiba tercium harum bunga melati yang
amat menusuk hidung.
Eyang Begawan Kamasetyo tahu, putrinya
tengah marah namun ia belum tahu kenapa tiba-
tiba Siluman Naga Puspa jadi bersikap demikian.
"Ratri! Hentikan!" tegur Eyang Begawan Ka-
masetyo.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis sambil
mengibas-ngibaskan ekornya ke sana kemari.
"Oooo! Jadi kau tak terima kalau Raja Penyi-
hir akan menuntut balas pada puteramu..,?" kata
Eyang Begawan Kamasetyo, dapat menangkap apa
arti desisan Siluman Naga Puspa.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi.
Eyang Begawan Kamasetyo mengangguk-angguk.
"Baik! Aku tahu kalau kau sangat menyayangi pute-
ramu. Kukira, aku pun juga tak menginginkan orang
lain mencelakakan puteramu."
"Ratri! Kau jangan salah paham! Aku tak
bermaksud mencelakakan puteramu. Aku hanya in-
gin memarahinya," jelas Raja Penyihir.
Siluman Naga Puspa kembali mendesis-desis.
Tapi sayang, Raja Penyihir hanya melongo. Lelaki
tua ini tak tahu, apa yang dikatakan Siluman Naga
Puspa. Terpaksa kepalanya menoleh ke arah Eyang
Begawan Kamasetyo.
"Putriku bilang, tak apa-apa kalau kau hanya
ingin memarahi. Asal, jangan sampai mencelaka-
kannya," papar guru dari Siluman Ular Putih.
"Edan! Mana mungkin aku mencelakakan bo-
cah sinting itu. Soma sudah kuanggap seperti mu-
ridku sendiri. Ya, memang puteramu itu muridku.
Tapi puteramu malah mengerjaiku," sungut Raja Pe-
nyihir.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali
ini, tak ditujukan pada Raja Penyihir. Tapi, dituju-
kan pada Eyang Begawan Kamasetyo.
"Apa kau bilang. Ratri? Kau kangen pada pu-
teramu? Ya ya ya...! Aku tahu. Dan kau ingin berte-
mu dengan puteramu! Hm...!" Eyang Begawan Ka-
masetyo mengangguk-angguk, lalu menoleh pada
Raja Penyihir. "Bagaimana, Damar Suto? Kukira kau
harus segera membawa cucuku kemari!"
"Waduh! Apa mau bocah sinting itu kuajak
kemari, Kamasetyo? Disuruh memanggil guru pada-
ku saja, susahnya minta ampun. Apalagi kalau ha
rus disuruh membawa cucumu kemari," keluh Ki
Damar Suto.
"Bilang, ibunya ingin ketemu! Mustahil cucu-
ku tak mau pulang. Cepat sana pergi!" ujar Eyang
Begawan Kamasetyo.
"Baik," sahut Raja Penyihir cepat, seraya ber-
balik.
Tanpa banyak cakap. Raja Penyihir segera
berkelebat keluar dari lorong goa tempat tinggal
Eyang Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Pus-
pa.
"Zzzzt! Zzzzt!"
Siluman Naga Puspa mendesis desis lagi. Se-
pasang matanya yang mencorong kini berair, seolah-
olah tak tahan lagi menahan rindunya untuk segera
bertemu dengan putra kesayangannya.
"Sudahlah! Jangan menangis, Ratri! Sekarang
teruskan saja tapamu! Nanti Raja Penyihir toh juga
akan membawa puteramu kemari."
Siluman Naga Puspa mendesis-desis seraya
menggeleng-geleng.
"Apa? Kau tak ingin melanjutkan bertapa ka-
lau belum bertemu puteramu?"
Siluman Naga Puspa mengangguk-angguk.
Eyang Begawan Kamasetyo sebenarnya ingin
melarang. Namun, saat teringat akan penderitaan
putrinya, hatinya jadi tak tega.
"Baiklah! Kalau memang itu kemauanmu, Ra-
tri," desah Eyang Begawan Kamasetyo, mengalah.
LIMA
Di antara tebalnya kabut yang bergerak per-
lahan dua sosok bayangan putih dan kelabu tengah
saling gebrak. Begitu cepat gerakan mereka sehingga
yang terlihat hanya kelebatan bayangan putih dan
kelabu yang saling gebrak, kemudian saling men-
jauh seperti mengambil jarak.
Begitu masing-masing berdiri tegak, tampak
sepintas kalau paras maupun potongan tubuh ke-
dua orang kakek itu sama. Tubuh mereka kurus
kering. Rambut, alis mata, bulu mata, dan jenggot
semua memutih. Hanya pakaian itu saja yang mem-
bedakan mereka. Yang satu berpakaian serba putih,
dan satu lagi berwarna kelabu. Siapa lagi kedua to-
koh ini kalau bukan Dua Orang Tua Aneh Putih Ke-
labu, yang merupakan kakak seperguruan Ratu
Pring Sewu.
"Ayo, Kelabu! Cepat keluarkan jurus 'Kuda
Binal dari Utara'!" teriak kakek berpakaian serba pu-
tih.
"Baik. Jangan menyesal kalau pantatmu kena
gebuk, Kang," sahut kakek berpakaian kelabu.
Kakek Kelabu menghentak-hentakkan ka-
kinya keras-keras. Dari mulutnya terdengar ringki-
kan mirip kuda. Suara ringkikannya membahana
memenuhi hutan itu.
Kakek Putih sejenak tergetar mendengar sua-
ra-suara ringkikan dari Kakek Kelabu yang seolah
hendak merobek-robek gendang telinga. Maka buru-
buru tenaga dalamnya dikerahkan, sehingga ringki-
kan Kakek Kelabu tak lagi mengganggu.
"Heaaa...!"
Dikawal teriakan membahana, Kakek Kelabu
menerjang ganas Kakek Putih. Dari kedua telapak
tangannya mengeluarkan sinar terang yang mene-
barkan hawa panas. Inilah pukulan sakti Kakek Ke-
labu yang lebih dikenal dengan pukulan 'Tongkat
Penggebuk Iblis'.
"He he he...! Cuma pukulan 'Tongkat Pengge-
buk Iblis'. Aku tak takut," ejek Kakek Putih, senang
sekali meladeni adik seperguruannya.
Satu tombak lagi datang serangan, Kakek Pu-
tih segera mengeluarkan pukulan andalan. Tanpa
banyak cakap segera dikerahkannya tenaga dalam
ke arah kedua tangan yang kemudian dihadapkan
ke depan. Seketika meluruk dua larik sinar kuning
terang dari kedua telapak tangannya memapak pu-
kulan Kakek Kelabu.
Besss!
Tak terdengar apa-apa akibat bentrokan dua
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Namun, pukulan
'Tongkat Penggebuk Iblis' milik Kakek Kelabu tiba-
tiba tertahan di udara. Lalu laksana dihantam ke-
kuatan luar biasa, tiba-tiba pukulan itu menukik
keras ke bawah!
Blammm!
Tanah berbatu kontan berhamburan tinggi ke
udara dan segera menutupi pemandangan untuk
beberapa saat. Samar-samar Kakek Kelabu mencelat
sampai dua tombak ke belakang. Ia berusaha men-
guasai keseimbangan tubuh begitu mendarat di ta-
nah. Namun sayang kedua kakinya goyah. Maka ti-
dak lama kemudian, Kakek Kelabu pun jatuh terdu-
duk dengan tubuh bergetar dan napas memburu!
Di pihak lain, tubuh Kakek Putih sendiri ter-
jajar mundur beberapa langkah ke belakang. Sosok-
nya terlihat bergoyang-goyang. Namun sebentar ke-
mudian telah diam. Malah sembari berkacak ping-
gang ia terkekeh senang.
"He he he...! Apa kubilang? Pukulan 'Tongkat
Penggebuk Iblis'-mu tak berarti sama sekali, bu-
kan?" ejeknya.
"Enak saja ngomong! Kau pikir aku sudah ka-
lah, he?!" balas Kakek Kelabu sengit.
"He he he! Sudah! Jangan marah-marah! Kita
hentikan saja latihan ini. Kalau diteruskan, bisa
modar nanti," ujar Kakek Putih, meredam kemara-
han Kakek Kelabu.
"Tapi.... Tapi...," Kakek Kelabu memberengut.
"Aku penasaran, Kang."
"Aku juga. Tapi, bukan penasaran denganmu.
Melainkan, dengan Siluman Ular Putih. Tak kusang-
ka bocah gondrong itu mampu mengatasi Empat Ib-
lis Merah dari Hutan Seruni. Apa kau tak penasa-
ran, Kelabu? Apa kau tak ingin menjajal kehebatan
bocah gondrong itu?" tukas Kakek Putih.
"Ah, iya? Benar juga kau, Kang. Aku juga pe-
nasaran. Aku ingin sekali mengajaknya bertarung
untuk membuktikan siapa yang lebih unggul," sam-
but Kakek Kelabu gembira. Padahal mulutnya baru
saja bersungut-sungut tak senang mendengar eje-
kan kakak kembarnya.
"Nah...! Memang itulah yang kuinginkan, Ke-
labu. Tapi, sayang. Bocah gondrong itu tak ada di
sini. Kalau ada, sudah pasti kutantang bertarung,"
keluh Kakek Putih.
"Ya ya ya...! Bagaimana kalau kita cari saja
bocah gondrong itu, Kang?" usul Kakek Kelabu.
"Baik! Aku setuju usulmu, Kelabu. Ayo, kita
cari bocah gondrong itu!" .sahut Kakek Putih menye-
tujui.
Saat itu pula, Kakek Putih segera menjejak ke
tanah. Sosoknya yang tinggi kurus pun segera ber-
kelebat cepat, meninggalkan tempat itu. Namun ba-
ru beberapa tombak....
"Tunggu, Kang! Lihat! Siapa yang datang!" te-
riak Kakek Kelabu yang belum beranjak dari tem-
patnya. Telunjuknya menuding ke jalan setapak tak
jauh dari tempat ini.
Mau tidak mau Kakek Putih harus berhenti.
Pandangan matanya segera dialihkan ke arah jalan
setapak.
"Ah, iya? Kau benar, Kelabu. Inilah mungkin
yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba. Ayo, cepat
hampiri mereka!"
Tanpa menunggu kesanggupan adik sepergu-
ruannya, Kakek Putih kembali berkelebat ke tempat
yang dimaksud. Hanya dalam beberapa kelebatan
saja, sosoknya telah berada di kejauhan. Sementara
tentu saja Kakek Kelabu tak mau kalah ketinggalan.
Dengan sekali menghentak, tiba-tiba sosoknya telah
berkelebat menyusul kakak seperguruannya.
* * *
"Selamat bertemu kembali, Siluman Ular Pu-
tih. Beruntung benar aku kali ini. Baru saja kami
membicarakanmu, eh, tahu-tahu orangnya sudah
muncul," sambut Kakek Pulih sumringah, begitu ti-
ba di hadapan orang yang ditunjuk Kakek Kelabu
tadi. Rupanya tadi Kakek Kelabu melihat Siluman
Ular Pulih dan Arum Sari yang tengah berjalan sam-
bil bersenda gurau.
"Iya. Rupanya kau panjang umur juga, Bocah
Gondrong. Tapi ngomong-ngomong, tampaknya ka-
lian asyik sekali. Mau ke manakah kalian berdua?"
timpal Kakek Kelabu pula.
"Kami berdua sedang melakukan perjalanan
ke puncak Gunung Bucu. Ada apakah? Kenapa ka-
lian tersenyum-senyum begitu?" tanya Siluman Ular
Pulih dengan kening berkerut, menangkap senyum
penuh arti Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu.
"He he he...! Katanya kau ingin mencari Peng-
huni Kubur?" kata Kakek Kelabu, berbasa-basi.
"Memang. Apakah kalian tahu di mana dia?"
Arum Sari yang menyahuti.
"Belum. Bangkotan tua itu sulit sekali dicari.
Tapi...."
"Ala...! Sudahlah, Kelabu! Jangan basa-basi!
Bilang saja terus terang! Kenapa plintal-plintut begi-
ni?" tukas Kakek Pulih tak sabar.
Kakek Kelabu meringis. Seringaiannya diha-
diahkan sebentar ke arah Siluman Ular Putih dan
Arum Sari.
"Ada apa sih? Kok, sepertinya ada sesuatu
yang disembunyikan?" tanya Siluman Ular Putih he-
ran.
"He he he...! Kau adalah pendekar besar, Si-
luman Ular Pulih. Aku senang sekali bertemu den-
ganmu," kekeh Kakek Kelabu.
"Ah...! Jangan terlalu melebih-lebihkanku.
Aku masih belum seberapa dibanding kalian ber-
dua."
"Siapa bilang kau di bawah kami? Buktinya
saja, Empat Iblis Merah dibuat tak berdaya olehmu.
Apa itu bukan bukti? Coba pikir lagi, apa julukan
Siluman Ular Putih bukan satu nama besar di dunia
persilatan dibanding kami-kami yang sudah tua
ini?" terabas Kakek Putih, memancing.
"Hm...! Sebenarnya kalian berdua ini mau
apa, sih?" tanya Siluman Ular Putih masih belum
mengerti maksud dua orang tua di hadapannya.
"Iya, Kek. Baiknya katakan saja terus terang.
Mumpung kami ada sedikit waktu sebelum melan-
jutkan perjalanan di puncak Gunung Bucu," pinta
Arum Sari, menambahi.
"Eh...! Tidak boleh! Kalian tidak boleh me-
ninggalkan kami dulu. Kalian harus melayani kami
dulu!" tukas Kakek Putih sewot.
"Melayani apa?" tanya Arum Sari, mulai tak
senang.
Kakek Putih tidak langsung menjawab. Kepa-
lanya menoleh sebentar ke arah Kakek Kelabu. Lalu,
kedua orang tua renta itu pun sudah terkekeh-
kekeh senang. Entah apa maksud kekehan mereka
itu.
"He he he...! Sudah tentu kalian harus me-
layani kami. Tapi, jangan berpikir macam-macam
dulu, ya! Kami hanya ingin minta petunjuk barang
satu dua jurusan, Siluman Ular Putih," jelas Kakek
Kelabu.
"Ah...! Jangan begitu, Orang Tua! Harap ka-
lian mengerti! Kami berdua sedang terburu-buru. Di
samping itu, temanku belum tentu mau meladeni
kalian! Untuk itu, berilah kami lewat, Orang Tua!"
tolak Arum Sari kalem.
"Yeeee...! Tak bisa begitu! Tepatnya, kita ha-
rus berlatih barang beberapa jurus. Setelah itu, ka-
lian boleh meneruskan perjalanan. Bukankah begi-
tu, Kakang Putih?"
"Betul! Kau harus menuruti keinginan kami,
Siluman Ular Putih. Sudah, jangan sungkan-
sungkan seperti anak perawan mau dipingit! Ayo, ki-
ta berlatih!"
"Kalian terlalu memaksa. Bagaimana ini,
Arum?" tanya Siluman Ular Pulih, seraya menoleh
ke arah Arum Sari untuk minta pendapat.
"Bolehlah! Barangkali mereka memang ingin
mendapat pelajaran dari kita," sahut Arum Sari,
kesal juga.
"Hik hik hik...! Gadis cantik itu benar. Kita
memang harus berlatih barang beberapa jurus dulu.
Tapi, harap hati-hati. Jangan-jangan malah kalian
yang terkena gebukan tongkatku!" ujar Kakek Putih,
senang sekali melihat Arum Sari tak menolak kein-
ginan mereka.
"Hm...! Sebenarnya aku tak senang dengan la-
tihan ini, Kek. Tapi, berhubung kalian terlalu me-
maksa, yah.... Apa boleh buat?"
"Kita hanya berlatih. Ingat! Kita hanya berta-
rung bohong-bohongan," kekeh Kakek Kelabu tak
dapat menyembunyikan perasaan senang.
"Sekarang, begini. Berhubung kami berjumlah
dua orang, kalian boleh menyerang satu di antara
kami. Atau, dua-duanya. Demikian juga dengan ka-
mi. Kami boleh saja menyerang Siluman Ular Pulih
maupun gadis cantik itu. Bagaimana?" tambal Ka-
kek Putih.
"Baik. Apa pun cara main kalian, kami menu
rut!" putus Arum Sari tak sabar.
"Bagus-bagus! Memang itulah yang kami in-
ginkan."
Tanpa banyak cakap, Kakek Putih dan Kakek
Kelabu segera menerjang Siluman Ular Pulih dan
Arum Sari dengan jurus-jurus andalan. Tongkat di
tangan mereka telah berkelebat cepat, mengurung
kedua anak muda itu.
Wut! Wuttt!
Melihat datangnya serangan, Siluman Ular
Putih segera memainkan jurus andalan ‘Terjangan
Maut Siluman Ular Putih’. Kedua telapak tangannya
yang telah membentuk kepala ular telah meliuk-liuk
indah di antara gulungan-gulungan tongkat. Dan
dengan satu gerak tipu yang cukup manis, tiba-tiba
kedua patukan tangan Siluman Ular Putih telah
mengancam dada Kakek Putih.
"Ah...!" Kakek Putih terkesiap kaget. Sungguh
tak disangka kalau akan mendapat serangan demi-
kian hebatnya. Padahal tadi, ia sebenarnya sedang
mendesak Siluman Ular Putih.
Menyadari dadanya hendak jadi sasaran em-
puk, Kakek Putih segera menarik mundur tubuhnya
ke belakang. Sambil bergerak, tongkat di tangan ka-
nannya cepat mengayun ke bawah.
"Hup!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih berkelit ke
samping. Saat itu pula patukan tangan kanannya te-
lah meluncur ke iga Kakek Putih.
Tuk! Tukkk!
"Aaah...!"
Dua kali iga kiri Kakek Pulih terkena patukan
tangan Siluman Ular Putih hingga kontan menjerit
kesakitan. Parasnya pias, saking terkejutnya. Iganya
yang terkena patukan tadi terasa ngilu bukan main.
Kalau saja Siluman Ular Pulih mengeluarkan tenaga
dalam tinggi, bukan mustahil iga Kakek Putih akan
remuk. Tapi, Soma tadi memang sengaja hanya
mengerahkan sebagian dari kekuatan tenaga dalam-
nya.
"Hebat! Kau memang pantas menyandang ge-
larmu, Bocah Gondrong! Tapi, ingat! Aku belum ka-
lah," teriak Kakek Putih penuh kagum.
"Sudahlah! Tak ada gunanya kita meneruskan
pertarungan ini. Baiknya hentikan saja, Kek!" ujar
Siluman Ular Putih tak melanjutkan pertarungan.
"Tidak bisa! Kau hutang satu pukulan, Bocah.
Mana mungkin aku membiarkanmu kalau aku be-
lum membayar impas!" tandas Kakek Pulih, seraya
bergerak menerjang.
Siluman Ular Putih sebenarnya ingin mem-
bantah. Namun manakala tongkat di tangan Kakek
Pulih kembali bergulung-gulung cepat menyerang
dirinya, tak ada pilihan lain kecuali harus melade-
ninya.
Buk! Bukkk!
"Augh...!"
"Heh...?!"
Siluman Ular Putih tersentak kaget ketika
mendadak dikejutkan teriakan Arum Sari di sebe-
lahnya. Tampak tubuh gadis cantik itu terbanting
keras. Hal ini membuat Soma gusar bukan main.
Buru-buru ditinggalkannya Kakek Putih dan segera
menghampiri Arum Sari.
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Arum?" tanya Si-
luman Ular Putih cemas.
Arum Sari meringis kesakitan. Bibirnya yang
kemerah-merahan digigit kuat-kuat. Lalu kepalanya
menggeleng lemah.
Siluman Ular Putih jadi jengkel sekali. Ia hen-
dak memaki Kakek Putih dan Kakek Kelabu. Tapi
kedua orang tua aneh itu malah sudah berjongkok
di sampingnya.
"Aduuuh...! Kenapa jadi begini? Aku tadi
hanya memukul biasa. Tapi kenapa begini akibat-
nya?" keluh Kakek Kelabu, penuh sesal. Wajahnya
yang penuh keriput mendadak jadi murung. "Maaf-
kan aku, ya! Aku benar-benar tak ingin mencelaka-
kanmu. Tapi... Tapi...."
"Aduh...! Kenapa kalian jadi ribut! Katanya
tak ingin mencelakakan temanku. Tapi buktinya te-
manku terluka," semprot Siluman Ular Putih.
"Yah...! Namanya juga latihan. Terkadang la-
tihan kan bisa saja terkena pukulan agak keras. Ja-
di, kau tak pantas menyalahkan adikku!" kilah Ka-
kek Putih membela adik kembarnya.
"Ya ya ya...! Aku mengerti. Kau memang tidak
bermaksud mencelakakan temanku," ujar Siluman
Ular Putih seraya menghela napas.
Kakek Putih dan Kakek Kelabu jadi berpan-
dangan sendiri. Entah, apa maksud pandang mata
kedua orang tua aneh itu. Namun menilik parasnya
yang murung jelas kalau mereka sebenarnya juga
tak menginginkan kejadian itu.
Siluman Ular Putih tak begitu menggubris
Kakek Putih dan Kakek Kelabu. Ia terus saja meno-
tok beberapa jalan darah di tubuh Arum Sari.
"Minumlah obat ini! Pasti lukamu cepat sem-
buh, Gadis!" ujar Kakek Putih mengulurkan sebuah
obat berwarna kuning ke arah Arum Sari.
Arum Sari ragu-ragu sebentar. Demikian juga
Siluman Ular Putih.
"Kenapa melongo? Ragu-ragu, ya? Ini bukan
racun. Ini obat penambah kekuatan bagi orang-
orang yang terluka. Kalau tak percaya, lihat!" Tiba-
tiba Kakek Putih menelan pil dalam genggaman tan-
gannya. "Tidak apa-apa, kan?"
Arum Sari dan Siluman Ular Putih saling ber-
pandangan sebentar.
"Sudah! Jangan ragu-ragu! Masa' aku ingin
mencelakakan kalian, sih! Ayo, telan obat ini!" ujar
Kakek Pulih lagi, kembali menyodorkan sebutir obat
berwarna kuning yang baru saja diambil dari kan-
tung kecil yang menggelantung di pinggang.
"Hm...! Baiklah. Kukira kau memang benar,
Kek. Minumlah, Arum. Aku yakin orang tua itu tak
mungkin mencelakakanmu," ujar Siluman Ular Pu-
tih, memungut obat berwarna kuning dari telapak
tangan Kakek Pulih. "Minumlah, Arum!"
Arum Sari memandang Siluman Ular Putih
seksama
"Baiklah. Kukira orang tua itu memang tak
salah. Aku sendiri yang salah, kenapa jadi teledor?
Kalau aku tak teledor, tak mungkin terluka begini,"
kata Arum Sari. Tangan kanannya pun segera men-
jumput sebutir obat berwarna kuning di tangan Si-
luman Ular Putih dan menelannya.
Selang beberapa saat, napas Arum Sari pun
tak lagi memburu. Dadanya yang tadi terkena gebu-
kan tongkat Kakek Kelabu lebih enakan.
"Iya, kan? Kami tak bermaksud mencelaka-
kan kalian," kata Kakek Putih bangga dengan obat
yang diberikan tadi.
"Terima kasih atas obatmu tadi, Kek. Teman-
ku kini sedikit mendingan. Oh, ya. Kakek berdua
mau ke mana?" tanya Siluman Ular Putih.
"Wah...! Kita diusir, Kelabu," ujar Kakek Putih
terlalu perasa.
"Sudahlah, Kang! Bagaimanapun juga kita
yang salah! Kalau sekarang bocah gondrong itu
mengusir kita, ya... apa boleh buat? Kita turuti saja
kemauannya."
"Hm...! Sebenarnya aku belum puas. Bocah
gondrong itu masih punya hutang satu pukulan pa-
daku. Aku belum sempat membayarnya," gumam
Kakek Putih seraya mengerling ke arah Siluman Ular
Putih.
"Ah...! Kalian ini bagaimana sih? Kalau kalian
mau pergi, pergilah!" kata Siluman Ular Putih.
"Baik-baik. Kami memang ingin pergi," sungut
Kakek Putih.
"Sudahlah, Kang! Ayo, kita tinggalkan tempat
ini!" Kakek Kelabu cepat meraih lengan Kakek Putih.
Terdorong rasa bersalahnya, segera digeretnya
Kakek Putih untuk cepat meninggalkan tempat ini.
Dan hanya dalam beberapa kelebatan saja, sosok
mereka telah menghilang di kejauhan sana tertelan
kerimbunan hutan.
Siluman Ular Putih menghela napas panjang.
"Sekarang bagaimana keadaanmu. Arum?
Sudah mulai membaik?" tanya Siluman Ular Putih
penuh perhatian.
Arum Sari tersenyum samar. Entah kenapa,
hatinya jadi rusuh sekali. Bukannya rusuh memi-
kirkan dadanya yang masih sedikit sesak, melainkan
karena memikirkan seraut wajah tampan di hada-
pannya.
"Aku sudah mendingan. Soma. Memang da-
daku masih sedikit nyeri. Tapi, kukira tak apa-apa.
Mungkin sebentar lagi juga sembuh," ucap Arum Sa-
ri dengan senyum manis terkembang di bibir.
Sewaktu Arum Sari menyebutkan kalau da-
danya masih sedikit nyeri, tanpa sadar Soma pun
melirik ke bagian tubuh yang dimaksudkan gadis
itu. Dilihatnya, pakaian yang menutupi dada si gadis
memang sedikit terkuak lebar, menampakkan seba-
gian bukit kembarnya yang membusung indah.
"Ah...! Kau nakal, Soma!" Arum Sari membe-
rengut manja. Tanpa malu-malu, pakaiannya yang
robek segera dibetulkan.
Soma malah cengar-cengir. Entah kenapa
tangannya lantas bergerak ke atas, menggaruk-
garuk kepala
"Sudah, kan?" tanya gadis itu.
"Ya," gumam Soma kaku. Mungkin kecewa
dengan perbuatan Arum Sari yang membetulkan ba-
ju atau mungkin juga sebaliknya. "Bagaimana kea-
daan mu sekarang? Apa sudah dapat untuk melan-
jutkan perjalanan?"
"Hm...! Baiknya sebentar lagi saja, Soma. Aku
ingin bersemadi barang sebentar untuk memulihkan
tenaga dalam," pinta Arum Sari.
"Baiklah."
ENAM
Kakek Putih dan Kakek Kelabu terus berkele-
bat cepat ke utara. Sesekali terdengar gerutuan ke-
dua tokoh aneh itu karena merasa tak puas dengan
apa yang baru saja dialami. Meski telah bertarung
beberapa jurus, tetapi Dua Orang Tua Aneh Putih
Kelabu merasa tak puas karena belum sepenuhnya
menguji kepandaian Siluman Ular Putih.
Hal ini terutama sekali dialami oleh Kakek
Putih. Maksud hatinya dalam menguji kepandaian
Siluman Ular Putih harus terpangkas. Dan ini se-
mua gara-gara Kakek Kelabu yang tidak dapat men-
gendalikan diri, sehingga membuat Arum Sari terlu-
ka.
"Sial. Sudah ketemu orangnya, malah diusir.
Gagal sudah keinginanku untuk menguji kepan-
daian Siluman Ular Putih. Dan ini semua gara-gara
kau, Kelabu!" sungut Kakek Putih kesal.
"Eh...! Jangan sembarangan menuduh, Kang!
Aku sendiri juga tak menginginkan hal ini. Tapi, ga-
dis itu memang brengsek. Kalau tak becus mengha-
dapiku, kenapa petentang-petenteng lagak. Huh!"
dengus Kakek Kelabu, menyalahkan Arum Sari.
"Jangan menyalahkan orang lain! Kau sendiri
harusnya tahu diri. Sudah tahu gadis itu berkepan-
daian tak seberapa, kenapa kau mencelakakannya?"
"Aku tak mencelakakannya!" kilah Kakek Ke-
labu seraya membantingkan kaki kesal. Sepasang
matanya yang kelabu berkilat-kilat.
"Heh?! Tak mencelakakannya?" Kakek Putih
menjengekkan hidung. "Buktinya? Kau melukainya.
Bahkan kaulah yang menggagalkan rencana kita un-
tuk menguji kepandaian Siluman Ular Putih."
Bukan main kesalnya Kakek Kelabu selalu
disalahkan begitu. Ia tidak terima diperlakukan se-
perti ini.
"Kupret! Kau benar-benar kupret, Kang! Kalau
masih bersikeras ingin menguji kepandaian Siluman
Ular Putih, ayo sekarang hadapi aku! Anggap saja
aku Siluman Ular Putih," makinya.
Kakek Putih terkekeh. Telunjuk jarinya me-
nuding tepat di jidat Kakek Kelabu.
"Mana bisa kau disamakan dengan Siluman
Ular Putih. Ia masih muda, tampan, dan berkepan-
daian tinggi. Kau ini...?"
Kakek Putih tak melanjutkan ucapannya, dan
kembali terkekeh senang.
"Jangan menghina, Kang! Biar begini aku ma-
sih sanggup menghadapi Siluman Ular Putih. Tak
seperti kau yang tadi sempat dibuat bulan-bulanan
oleh pemuda gondrong itu. Hih...! Kalau saja Silu-
man Ular Putih mau, bukan mustahil nyawamu su-
dah minggat, Kang!" balas Kakek Kelabu.
"Eh...! Enak saja kau ngomong! Kau pikir Si-
luman Ular Putih itu apa, he?! Dia itu pendekar be-
sar. Sudah pasti aku tak mampu menghadapinya.
Apalagi kau! Menghadapiku saja masih pontang-
panting!" tangkis Kakek Putih.
"Jadi? Kau menantangku bertarung, Kang?
Kau.... Kau....."
Kakek Kelabu menggeretakkan gerahamnya
jengkel.
"Baik kalau memang itu yang kau inginkan!
Jangan dikira aku takut menghadapimu, Kang!" desisnya, geram.
"Kau memang tak tahu diri, Kelabu! Sudah
salah, pakai ngotot menantangku bertarung lagi."
"Jangan banyak omong, Kang! Sekarang ten-
tukan, siapa yang lebih jago di antara kita. Kau,
atau aku. Kalau aku dapat dikalahkan, aku akan
patuh pada apa maumu. Tapi kalau kau yang kalah,
kau yang harus menuruti semua kemauanku."
"Baik."
Panas juga akhirnya hati Kakek Putih men-
dapat tantangan begitu, ia yang merasa lebih dulu
melihat terangnya dunia, jelas merasa terhina men-
dengar tantangan adik kembarnya. Namun sebelum
kedua orang tua itu beradu kepandaian....
"Tikus-tikus busuk! Kalian berdua harus ber-
tanggung jawab atas tewasnya Empat Iblis Merah
dari Hutan Seruni!"
* * *
Kakek Putih dan Kakek Kelabu melengak ka-
get begitu mendengar bentakan menggetarkan. Se-
ketika mereka segera berpaling ke arah datangnya
suara. Ternyata, tak jauh dari mereka lelah berdiri
seorang kakek yang jauh lebih tua dibanding mere-
ka. Tubuhnya tinggi kurus dibungkus kain kafan.
Rambut, alis mata, dan bulu mata semua berwarna
putih. Sepasang matanya mencorong bak sepasang
mata serigala. Wajahnya pun amat mengerikan, mi-
rip wajah mayat hidup yang baru bangkit dari liang
lahat.
"Penghuni Kubur...!" desis Kakek Putih dan
Kakek Kelabu hampir bersamaan, mengenali sosok
yang baru datang ini.
Sosok lelaki renta di hadapan Kakek Putih
dan Kakek Kelabu yang tak lain Penghuni Kubur
hanya mendengus. Sepasang matanya yang menco-
rong makin berkilat-kilat mengerikan.
"Hm...! Sayang sekali bocah gondrong itu tak
bernasib bagus. Seharusnya dia yang harus bertemu
memedi sawah ini. Tapi, tak kusangka malah aku
dan Kelabu yang harus bertemu," gumam Kakek Pu-
tih dalam hati.
"Kau ingin mengungkit-ungkit kami, Penghu-
ni Kubur? Ingat! Kau salah alamat. Kami berdua
merasa tak pernah membunuh Empat Iblis Merah.
Lantas buat apa kau menghadang langkah kami?!"
bentak Kakek Kelabu. Hatinya bergetar juga melihat
sepasang mata Penghuni Kubur.
"Jangan banyak bacot! Di kolong dunia persi-
latan hanya Ratu Pring Sewu dan kalian berdua sa-
jalah yang memiliki pukulan ‘Tongkat Penggebuk Ib-
lis’. Kalau tidak, mana mungkin adik-adik sepergu-
ruanku tewas di tangan kalian. Di samping itu, aku
yakin kalian tentu telah main keroyok untuk mem-
bunuh Empat Iblis Merah. Maka sekarang, kalian
tak mungkin dapat mengelak dari kematian!" dengus
Penghuni Kubur.
"Hm...! Lagakmu pongah sekali, Penghuni
Kubur. Kau pikir kami takut mendapat gertak sam-
balmu?" geram Kakek Putih. "Kalau kami memang
terlibat atas tewasnya Empat Bajingan Merah dari
Hutan Seruni, kau mau apa, he?!" lanjut Kakek Pu-
tih sengit.
"Bagus! Berarti tak salah lagi! Siapa pun juga
yang berani mengganggu adik-adik seperguruanku,
berarti mati! Tak peduli kalian berdua, Ratu Pring
Sewu, maupun Eyang Begawan Kamasetyo sekali-
pun!"
"Jadi? Ap.... Apakah kau telah membunuh
mereka?" tanya Kakek Kelabu, ragu-ragu membuka
suara. Seolah, lidahnya terasa kelu.
"Belum semua. Yang jelas, nenek jelek itu su-
dah modar di tanganku!" sahut Penghuni Kubur,
lantang.
"Apa? Kau telah membunuh Ratu Pring Se-
wu?" Kakek Putih dan Kakek Kelabu terperangah
nyaris bersamaan.
"Tak ada gunanya kau tanyakan ini. Karena,
sebentar lagi kalian berdua akan segera menyusul!"
"Setan alas! Kalau begitu, justru kaulah yang
harus mampus di tangan kami, Penghuni Kubur!"
teriak Kakek Putih, tak dapat lagi mengendalikan
amarah. Maka saat itu pula kedua tangannya berge-
rak menghantam ke arah Penghuni Kubur. Serangan
itu pun diikuti oleh Kakek Kelabu yang juga telah
menghentakkan kedua tangannya.
Wuut! Wuuut!
Dari kedua telapak tangan Dua Orang Tua
Aneh Putih Kelabu masing-masing melesat dua larik
sinar terang yang sekaligus berisi hawa panas bukan
kepalang!
Melihat serangan itu, jelas sekali kalau mere-
ka ingin segera menuntaskan persoalan dengan
Penghuni Kubur secepatnya.
Di depan sana, Penghuni Kubur sama sekali
tidak membuat gerakan, seolah tak mempedulikan
serangan. Tentu saja hal ini membuat Kakek Putih
dan Kakek Kelabu harus membelalakkan mata sak
ing herannya. Malah Penghuni Kubur tampak terse-
nyum dingin. Tapi begitu senyumnya terputus tiba-
tiba, kedua telapak tangannya tahu-tahu telah
menghentak ke depan.
Weeess! Weeeeeesss!
Saat itu pula melesat dua bola asap sebesar
roda pedati diiringi suara berderak. Dan begitu sinar
terang berwarna kuning yang dilepaskan Kakek Pu-
tih dan Kakek Kelabu berbenturan dengan dua bola
asap yang melesat dari kedua telapak tangan Peng-
huni Kubur...
Blesss...!
Laksana memiliki daya betot luar biasa, em-
pat larik sinar terang dari kedua telapak tangan Ka-
kek Putih dan Kakek Kelabu lenyap ke dalam gulun-
gan dua bola asap! Di lain saat, tempat pertarungan
kontan terguncang hebat meski tak ada ledakan su-
ara yang berarti akibat bentrokan tenaga dalam
tingkat tinggi barusan. Gulungan bola-bola asap ter-
lihat ambyar berkeping-keping, memporak-
porandakan apa saja yang ada di sekitar tempat per-
tarungan. Pohon-pohon pun berderak, menggugur-
kan daun-daunnya yang hangus terbakar!
Tepat ketika dua gulungan bola asap tadi am-
byar, sosok Kakek Pulih dan Kakek Kelabu terjajar
beberapa langkah ke belakang dengan paras pucat
pasi. Beberapa saat tubuh mereka bergetar hebat
dengan napas memburu!
Bagaimana nasib Penghuni Kubur? Ternyata
lelaki sesat ini hanya tampak bergoyang-goyang saja.
Sepertinya, pukulan Kakek Putih dan Kakek Kelabu
tak begitu berarti. Meski demikian, tenaga dalamnya
cepat dikerahkan untuk menyusun kekuatan kem
bali.
"Saat inilah kalian harus merasakan balasan-
ku! Heaa!"
Diiringi teriakan dahsyat, tiba-tiba Penghuni
Kubur kembali menghentakkan kedua telapak tan-
gannya. Tak dapat dicegah lagi, saat itu pula melu-
ruk dua larik cahaya merah darah yang siap mela-
brak tubuh Kakek Putih dan Kakek Kelabu.
"Heh?!"
Dua Orang Tua Aneh Pulih Kelabu itu terbela-
lak dengan mulut terbuka lebar. Tapi mereka segera
memapak dengan pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis'
andalan mereka.
Wesss! Wesss!
Begitu kedua tangan mereka yang menghen-
tak, seketika meluruk empat larik sinar kuning yang
diiringi hawa panas bukan kepalang. Lalu....
Blammm!
Hebat bukan main bentrokan tiga tenaga da-
lam tingkat tinggi yang terjadi saat ini. Seketika bu-
mi bergetar hebat laksana terjadi gempa dahsyat.
Debu-debu beterbangan memenuhi tempat perta-
rungan.
Tepat ketika terdengar ledakan, Kakek Putih
dan Kakek Kelabu terpental jauh ke belakang. Tu-
buh mereka berputar-putar sebentar, lalu terbanting
keras di tanah dengan paras pias. Mereka meringis,
menahan hentakan-hentakan dalam dada. Dan....
"Uoooeekh...!"
Darah merah kehitam-hitaman kontan me-
nyembur dari mulut Kakek Putih dan Kakek Kelabu.
Meski telah berusaha mengerahkan tenaga dalam,
namun tetap saja dada mereka terasa nyeri bukan
main. Seolah-olah, ada satu kekuatan dahsyat yang
mengaduk-aduk dalam dada. Namun begitu mereka
berusaha untuk bangkit.
Penghuni Kubur tertawa bergelak. Selangkah
demi selangkah didekatinya Kakek Putih dan Kakek
Kelabu yang sudah dapat berdiri meski sempoyon-
gan. Ketika berada dua tombak dari kedua lawan, le-
laki tua sesat melompat melepas tendangan dahsyat.
Tak ada waktu bagi Kakek Putih dan Kakek
Kelabu untuk menghindar. Mereka hanya membela-
lakkan mata, pasrah menunggu ajal. Dan....
Desss! Desss!
"Aaakh...!"
Kakek Pulih dan Kakek Kelabu meraung se-
tinggi langit. Tanpa ampun tubuh mereka terlempar
jauh ke belakang. Begitu menabrak batang pohon
dan menggeloso di tanah, tubuh mereka tidak berge-
rak-gerak sama sekali!
"Itulah balasannya! Siapa pun juga yang be-
rani mengganggu adik-adik seperguruanku, berarti
mati! Sekarang giliran tua bangka dari Gunung Bu-
cu yang harus modar di tanganku!" geram Penghuni
Kubur.
7l
TUJUH
Di ufuk timur, matahari baru saja menam-
pakkan sinarnya yang kuning kemerahan. Beberapa
burung liar ramai membanggakan kicauannya di
ranting-ranting pohon. Suaranya merdu seolah ingin
menyambut datangnya sang Raja Siang. Sementara
gumpalan-gumpalan awan putih berarak-arak per
lahan tertiup semilir angin.
Dalam terpaan lembut angin pagi di lereng
Pegunungan Dieng, seorang kakek tua renta tengah
berdiri mematung memandang lembah yang meng-
hampar di hadapannya. Laksana tonggak hidup, se-
pasang matanya yang bersih terus terarah pada pe-
mandangan indah di hadapannya namun dengan ta-
tapan kosong. Raut wajahnya yang putih bersih
tampak berselimut duka. Agak-nya, kakek tua yang
rambut putihnya digelung ke atas ini tengah dilanda
keresahan.
Siapakah sebenarnya kakek renta ini?
Menilik ciri-cirinya, lelaki tua ini memang tak
lain dari Eyang Begawan Kamasetyo. Tentu ada satu
hal yang amat mendesak dan menggelisahkan ha-
tinya sehingga membuatnya keluar dari tempat per-
tapaan.
"Ke manakah Ratri pergi? Kenapa sudah dua
hari ini belum kembali ke tempat pertapaan? Hm...."
Eyang Begawan Kamasetyo menggumam da-
lam hati. Napasnya ditarik panjang-panjang, seolah-
olah ingin melenyapkan keresahan dalam hatinya
dalam tarikan napasnya. Rupanya, inilah yang
membuat hatinya gundah.
"Kasihan sekali nasib putriku. Sudah berta-
hun-tahun bertapa, Yang Maha Kuasa belum juga
mengabulkan keinginannya. Sehingga, putriku tetap
berwujud seekor ular putih. Menyedihkan...."
Eyang Begawan Kamasetyo termangu-mangu
di tempatnya. Ia jadi berpikiran yang bukan-bukan.
Karena penderitaan putri kesayangannya itulah
yang membuatnya lebih senang mengasingkan diri
dari dunia persilatan. Lelaki tua ini merasa harus
menemani anaknya bertapa.
"Mungkinkah hanya karena rasa rindunya
dengan Soma hingga membuat putriku keluar dari
tempat pertapaannya? Hm... Bisa jadi. Tapi, cucuku
sendiri juga kebangetan. Sudah berbulan-bulan tak
kunjung datang menjenguk ibunya di Gunung Bu-
cu...."
Sekali lagi, Eyang Begawan Kamasetyo meng-
hela napasnya panjang. Berpikir sampai di situ, di-
am-diam hatinya jadi maklum kenapa putrinya ha-
rus keluar dari tempatnya bertapa. Memang, Soma
adalah segala-galanya bagi Siluman Naga Puspa.
Pemuda itu satu-satunya putra kesayangan Siluman
Naga Puspa. Terdorong sifat keibuannya, Ratri ru-
panya tak dapat menahan rindu yang mendera hati.
Cuma yang disayangkan Eyang Begawan Kamasetyo,
kenapa putrinya tak mau pamit?
Sudah dua hari dua malam Eyang Begawan
Kamasetyo keluar masuk hutan mencari putrinya,
namun belum juga menemukan Siluman Ular Putih.
"Ke mana lagi aku harus mencari putriku? Ya
mudah bagiku mencari Ratri yang tentu saja lebih
banyak menyembunyikan diri di semak belukar bila
bertemu manusia. Hm...! Tapi biar bagaimanapun
juga, aku tetap harus mencari. Sesulit apa pun!"
tandas hati Eyang Begawan Kamasetyo memu-
tuskan.
Eyang Begawan Kamasetyo segera berbalik
bermaksud meninggalkan tempat itu. Namun baru
saja hendak melangkah, tiba-tiba matanya melihat
sesosok bayangan tengah melenggang santai di jalan
setapak dengan tongkat terantuk-antuk di tangan.
Melihat siapa yang tengah berjalan, raut wajah
Eyang Begawan Kamasetyo kontan berseri-seri.
"Sobatku Raja Penyihir! Cepat kemari!"
Meski Eyang Begawan Kamasetyo telah me-
manggil, namun toh tetap berkelebat juga mendekati
sosok yang dilihatnya sebagai Raja Penyihir.
* * *
"Kau...!"
Kerutan di kening Raja Penyihir tampak ma-
kin banyak. Hatinya merasa heran sekali melihat
kemunculan Eyang Begawan Kamasetyo.
"Jangan banyak tanya! Aku sudah tahu, apa
yang ingin kau ucapkan," ujar Eyang Begawan Ka-
masetyo begitu berada di dekat Raja Penyihir.
Raja Penyihir alias Ki Damar Suto melengos.
Rupanya ia tak senang mendengar bentakan lelaki
tua di hadapannya.
"Apa kau sudah menemukan cucuku, Sobat?"
terabas Eyang Begawan Kamasetyo.
"Jangan banyak tanya! Aku sudah tahu, kau
pasti akan menanyakan hal itu," balas Raja Penyihir
ketus, menirukan gaya bicara Eyang Begawan Ka-
masetyo tadi.
"Jangan bercanda, Sobat! Aku bersungguh-
sungguh."
"Siapa bercanda? Aku tidak bercanda. Justru
aku sedang mencari cucu brengsekmu. Tapi, kenapa
kau tak sabar amat untuk segera bertemu cucumu?"
hardik Raja Penyihir.
"Bukannya aku tak sabar. Tapi...."
"Ngomong plintat-plintut! Bilang saja kau juga
kangen pada cucu brengsekmu itu, kan?" potong Ra
ja Penyihir.
"Putriku pergi...."
"Apa? Putrimu pergi?" sentak Raja Penyihir
kaget dengan mata membelalak. "Mustahil. Bukan-
kah putrimu sedang bertapa di sampingmu? Mana
mungkin ia meninggalkanmu begitu saja!"
"Kau makin cerewet saja, Sobat! Kalau putri-
ku tak pergi, mana mungkin aku meninggalkan
tempat pertapaanku," cibir Eyang Begawan Kama-
setyo.
"Oh...! Ya ya ya...! Jadi, kau sedang mencari
putrimu, he?!" kata Raja Penyihir.
Eyang Begawan Kamasetyo diam tak menya-
hut, seolah tak berhasrat lagi meladeni ucapan Raja
Penyihir.
Didiamkan seperti itu, Raja Penyihir malah
jadi uring-uringan sendiri. Ia berjalan mondar-
mandir tak tentu arah. Tongkat di tangan kanannya
diketuk-ketukkan ke tanah seenak hati.
"Sekarang apa kau juga ingin melimpahkan
tugas itu padaku, Kamasetyo?" tanya Raja Penyihir
dengan nada kesal.
"Maksudmu?"
"Kau bermaksud menyuruhku mencari Silu-
man Ular Putih, sekalian mencari putrimu?"
"Siapa yang ngomong begitu? Tapi kalau kau
tak keberatan, aku akan senang."
"Enak saja! Kita cari berdua, tahu?! Untung
aku masih berbaik hati. Kalau tidak, mana sudi aku
membantumu!"
"Baiklah. Ayo, kita cari putriku," sahut Eyang
Begawan Kamasetyo akhirnya.
"Biasanya ke mana putrimu pergi, Kama
setyo?"
"Mana aku tahu? Putriku hampir tak pernah
keluar dari tempatnya bertapa."
"Hm...! Kalau begitu, ya.... Tak ada pilihan
lain. Rupanya, kita memang diharuskan mencarinya
sendiri, Kamasetyo."
Sebenarnya Eyang Begawan Kamasetyo ingin
sekali membantah ucapan Raja Penyihir. Namun
mungkin karena malas bertengkar mulut, akhirnya
hanya menurut saja. Dan tatkala Raja Penyihir ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu, Eyang Be-
gawan Kamasetyo segera menyusul.
Matahari sudah berada sepenggalah di ufuk
timur. Sengatannya belum begitu panas menyirami
sebuah hutan kecil di sekitar kaki Pegunungan Di-
eng. Di tengah hutan, dua orang anak muda berke-
lebat cepat, menuju dataran tinggi dieng melalui le-
reng sebelah timur. Suara canda mereka sesekali
terdengar memecah kesunyian hutan. Yang satu
seorang gadis cantik berpakaian serba hijau. Sedang
di sebelahnya seorang pemuda tampan berambut
gondrong dengan pakaian rompi dan celana bersisik
warna putih keperakan. Mereka tidak lain adalah Si-
luman Ular Putih dan Arum Sari.
Memang setelah luka dalam Arum Sari sem-
buh, Soma tak ingin membuang-buang waktu untuk
mengejar Penghuni Kubur yang bermaksud ingin
menyatroni puncak Gunung Bucu tempat tinggal
eyang dan ibunya.
"Tunggu, Soma! Coba perhatikan tempat ini
baik-baik! Tampaknya seperti baru saja terjadi per-
tarungan di sini," ujar Arum Sari, tiba-tiba seraya
menghentikan langkah.
Siluman Ular Putih ikut menghentikan lang-
kah di samping Arum Sari. Mungkin karena pikiran-
nya sedang rusuh memikirkan sepak terjang Peng-
huni Kubur yang bermaksud menyatroni Gunung
Bucu, sehingga Soma tak begitu menghiraukan kea-
daan sekitar. Kenyataannya setelah diperhatikan,
tempat itu memang tampak seperti baru saja terjadi
pertarungan besar. Tanah bebatuan di sekitarnya
terbongkar. Banyak pohon yang tumbang. Sementa-
ra percikan-percikan darah yang belum kering jelas
terlihat, menandakan kalau di sekitar tempat itu
memang baru saja terjadi pertarungan.
"Kau benar, Arum. Tampaknya tempat ini
memang baru saja terjadi pertarungan besar. Tapi,
rasa-rasanya tempat ini tak perlu diteliti lagi. Uru-
san kita masih menunggu di puncak Gunung Bucu.
Aku tak ingin terlambat, Arum. Ayo, kita teruskan
perjalanan," tandas Soma, tegas.
"Tunggu, Soma! Apa kau tak lihat di bawah
pohon itu tergeletak dua sosok mayat?" sergah Arum
Sari.
Tanpa menunggu jawaban. Arum Sari cepat
berkelebat ke tempat yang dimaksud. Begitu sampai,
si gadis kontan memekik kaget melihat dua sosok
tubuh yang tewas amat mengerikan. Sekujur tubuh
kedua mayat itu hancur. Namun dari pakaian yang
dikenakan, Arum Sari masih dapat mengenali.
"Kakek Putih dan Kakek Kelabu...!" desis
Arum Sari. "Siapa yang melakukan perbuatan keji
ini?"
Siluman Ular Putih yang kembali tak begitu
bersemangat kini jadi tersentak kaget manakala
Arum Sari menyebutkan nama mayat Kakek Pulih
dan Kakek Kelabu. Dengan sekali berkelebat. Soma
telah berdiri tegak di samping Arum Sari.
"Hm...! Siapa lagi yang telah melakukan per-
buatan keji ini...?"gumam Siluman Ular Putih. Diteli-
tinya mayat kedua orang tua aneh itu seksama. Ter-
nyata pemuda ini menemukan tanda-tanda yang
sama dengan yang dialami Ratu Pring Sewu.
"Tampaknya orang yang melakukan perbua-
tan keji ini sama," duga Siluman Ular Putih.
"Maksudmu?" tanya Arum Sari.
"Hm...!" Siluman Ular Putih mengerutkan
kening.
"Ratu Pring Sewu menemui ajal dengan seku-
jur tubuh memerah. Malah kedua telapak hingga
lengan hangus terbakar. Keadaan mayat kedua
orang tua ini pun sama. Tampaknya mereka sama-
sama terkena pukulan yang juga dialami Ratu Pring
Sewu. Jadi kesimpulanku, yang melakukan semua
perbuatan keji ini satu orang."
"Maksudmu..., Penghuni Kubur?"
"Yah...!" Siluman Ular Putih mengangguk.
"Baiknya cepat kita kubur kedua mayat orang tua
ini. Arum. Aku tak ingin Penghuni Kubur sampai le-
bih dulu di Gunung Bucu...."
Arum Sari tak banyak membantah. Memang,
hanya lewat cara itulah bila mereka ingin segera
sampai di puncak Gunung Bucu.
8
DELAPAN
Penghuni Kubur mengedarkan pandangannya
ke sekeliling, menyapu hamparan pasir dan bongkahan-bongkahan batu besar kecil yang berserakan di
sekitar puncak Gunung Bucu. Lelaki berbalut kain
kafan ini menggeram penuh kemarahan ketika sama
sekali tak menemukan tandan-tanda kalau Eyang
Begawan Kamasetyo berada di puncak gunung itu.
"Kamasetyo! Keluar! Aku datang meminta per-
tanggungjawaban mu atas tewasnya empat orang
adik seperguruanku!" teriak Penghuni Kubur lan-
tang. Suaranya menggema memenuhi puncak gu-
nung, membuat binatang-binatang yang hidup di
sekitar tempat ini pontang-panting ketakutan.
Tak ada sahutan. Hanya pantulan suara te-
riakannya saja yang terdengar bergema.
"Sekali lagi kau belum juga menampakkan
batang hidungmu, jangan salahkan kalau aku ter-
paksa mengobrak-abrik puncak gunung ini, Kama-
setyo!" geram Penghuni Kubur, tak dapat lagi mena-
han amarah.
Tetap tak ada jawaban.
Habis sudah kesabaran Penghuni Kubur. Ge-
rahamnya terlihat makin mengeras. Kedua pelipis-
nya pun bergerak-gerak. Jelas sekali kalau lelaki se-
sat ini tak sabar lagi untuk bertemu Eyang Begawan
Kamasetyo yang selama ini dicurigai sebagai pem-
bunuh Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni.
"Bajingan! Kau belum mau muncul juga, Ka-
masetyo!"
Penghuni Kubur menghentakkan kakinya
kuat-kuat. Seketika, puncak Gunung Bucu bergetar
hebat. Bongkahan-bongkahan batu dan pasir ber-
hamburan tinggi ke udara, membuat pemandangan
di sekitarnya berselimut debu. Dan ketika debu yang
membubung sirna tertiup angin, saat itu pula tercip
ta sebuah kubangan besar bekas pijakan kaki Peng-
huni Kubur.
"Bajingan! Benar-benar bajingan kau, Kama-
setyo! Ayo, tunjukkan dirimu! Jangan pengecut,
Kamasetyo! Keluar! Kita tentukan nasib kita di sini.
Kau atau aku yang lebih dulu berkalang tanah!"
sumpah serapah Penghuni Kubur meluncur begitu
saja.
Namun tetap tak ada tanda-tanda kalau
Eyang Begawan Kamasetyo akan keluar dari tem-
patnya.
"Kamasetyo! Jangan pengecut kau! Cepat ke-
luar! Tunjukkan batang hidungmu!" teriak Penghuni
Kubur. Hatinya murka bukan main, merasa diper-
mainkan oleh Eyang Begawan Kamasetyo. Melihat
tanda-tanda kalau Eyang Begawan Kamasetyo tak
akan muncul, Penghuni Kubur kembali hendak
menghentakkan kakinya. Tapi....
"Bajingan tua! Kau tak patut membuat onar
di puncak gunung ini! Siapa pun juga yang berani
membuat onar di tempat ini, berarti berhadapan
denganku. Ingat itu, Penghuni Kubur!"
"Heh...?!"
Penghuni Kubur mengurungkan niatnya saat
terdengar bentakan keras membelah angkasa.
* * *
Sepasang mata mencorong Penghuni Kubur
berkilat-kilat mengerikan. Dengusan napasnya kian
memburu, pertanda tokoh sesat dari Hutan Seruni
ini tak mampu lagi mengendalikan gelegak amarah-
nya. Maka begitu mendengar bentakan, kepalanya
segera berpaling ke arah sumber suara.
Ternyata tak jauh dari tempat Penghuni Ku-
bur telah tegak dua sosok anak muda. Yang satu
seorang gadis cantik berpakaian serba hijau. Di se-
belahnya, seorang pemuda tampan dengan rambut
gondrong sebahu berpakaian rompi dan celana ber-
sisik warna putih keperakan. Mereka tak lain dari
Siluman Ular Putih dan Arum Sari.
"Bocah bau kencur! Siapa kau?!" bentak
Penghuni Kubur garang.
Siluman Ular Putih sejenak mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Bukannya heran melihat
puncak Gunung Bucu yang berantakan, melainkan
heran kenapa eyang dan ibunya tak berada di tem-
pat ini. Inilah yang sebenarnya merisaukan hati Si-
luman Ular Putih. Karena, tak mungkin bila ibu dan
eyangnya tak mendengar teriakan Penghuni Kubur
tadi.
"Penghuni Kubur! Ketahuilah! Temanku ini
adalah yang bergelar Siluman Ular Putih. Sedang
aku sendiri adalah putri tunggal Sepasang Pendekar
Garuda Emas. Aku sengaja datang kemari untuk
meminta tanggung jawabmu atas tewasnya kedua
orangtuaku," Arum Sari yang menjawab.
"Kau...? Jadi kaukah putri tunggal Sepasang
Pendekar Garuda Emas itu? Bagus! Aku memang
ingin sekali melenyapkan semua keturunan Sepa-
sang Pendekar Garuda Emas. Kebetulan sekali kau
datang mengantar nyawa, Gadis," kata Penghuni
Kubur, melecehkan.
Penghuni Kubur mendengus angkuh. Kilatan-
kilatan sepasang matanya yang mencorong terlihat
makin mengerikan. Seolah, ingin meluluh lantakan
gadis cantik di hadapannya lewat pandangan ma-
tanya.
"Jangan takabur, Penghuni Kubur! Justru
kaulah yang patut mendapat gebukan karena berani
lancang mengotori tempat eyangku," ingat Siluman
Ulas Putih, lantang.
"Jadi kaukah cucu tua bangka Kamasetyo itu,
Bocah?" desis Penghuni Kubur. "Bagus! Tak bertemu
tua bangka itu, tak jadi soal. Yang penting, kau ha-
rus menebus dosa eyangmu!"
"Aku paling benci terhadap orang-orang pon-
gah macam kau, Penghuni Kubur! Kalau boleh me-
nasihati, cepatlah kembali ke jalan kebenaran. Per-
cuma saja kau malang melintang berlumur dosa.
Cucilah hatimu sampai bersih!"
"Puahhh! Kau dan tua bangka Kamasetyo itu
sama saja. Sama-sama suka menjual lagak. Cih!
Siapa sudi mempedulikan bacotmu, Bocah Bau Ken-
cur? Tak ada gunanya berkhotbah di depan Peng-
huni Kubur. Karena justru aku akan mengirim nya-
wa busukmu ke dasar neraka!"
"Ccccck ck ck...! Kasihan! Sudah tua bukan
bertobat, eh, malah makin menjadi...."
"Setan alas! Jaga bacotmu, Bocah!"
Belum juga gema bentakannya menghilang,
Penghuni Kubur menghantamkan sepasang tangan-
nya ke depan. Tampak pelan saja, namun pada saat
bersamaan Siluman Ular Putih merasakan hanta-
man angin yang luar biasa hebat!
"Hup!"
Siluman Ular Putih buru-buru menghindar
dengan melompat ke atas, setelah mendorong tubuh
Arum Sari. Sehingga serangan itu hanya menyambar
angin kosong.
"Bajingan! Rupanya kau punya sedikit kepan-
daian juga, ya? Pantas saja berani menjual lagak di
depan Penghuni Kubur!"
Penghuni Kubur kembali menghantamkan
kedua telapak tangannya ke depan. Kini pusaran
angin dari kedua telapak tangannya bukan saja me-
nyerang Siluman Ular Putih, tapi juga menyerang
Arum Sari yang baru saja bersiap.
Melihat serangan datang, kedua anak muda
itu segera membuang tubuh ke samping. Namun
anehnya, serangan pusaran angin Penghuni Kubur
terus mengejar!
Arum Sari terpekik kaget. Mulutnya terbuka
hendak bicara, namun suaranya terhenti di tenggo-
rokan saat pusaran angin tahu-tahu telah mengge-
brak ke arahnya!
"Keparat!" maki Arum Sari seraya menghan-
tamkan kedua telapak tangan untuk memapak se-
rangan Penghuni Kubur. Dan....
Blammm!
Terdengar satu ledakan hebat saat Arum Sari
berhasil memapak serangan Penghuni Kubur. Tapi
samar-samar sosok tubuh Arum Sari tampak ter-
lempar jauh ke belakang, berputar-putar sebentar
dan terbanting keras.
"Aruuum...!" jerit Siluman Ular Putih kalap.
Sekali menghentak kaki, tahu-tahu tubuh Si-
luman Ular Putih telah berada di samping Arum Sa-
ri. Disangganya kepala gadis cantik itu dengan len-
gan kirinya.
"Kau tak apa-apa. Arum?" tanya Siluman Ular
Putih, cemas bukan main.
Arum Sari meringis menahan rasa nyeri dan
goncangan dalam dadanya. Sebelah lengannya men-
dekap dadanya erat-erat. Gadis ini tak tahan lagi.
Desakan dari dalam perutnya seolah tak terben-
dung. Dan....
"Hoeekh!"
Darah merah kehitam-hitaman kontan me-
nyembur dari mulut Arum sari. Bersamaan itu kepa-
lanya terkulai lemas.
Siluman Ular Putih seketika jadi kalang ka-
but. Buru-buru dirabanya denyut nadi gadis itu.
Masih bergerak-gerak kendati lemah sekali. Tapi itu
cukup membuat Soma lega. Ternyata sahabat can-
tiknya masih hidup. Perlahan-lahan tubuh Arum Sa-
ri dipondong dan dibawa ke tempat yang aman. Baru
kemudian Siluman Ular Putih kembali menghadapi
Penghuni Kubur.
"Kau harus bertanggung jawab atas celakanya
gadis itu. Juga, atas kelancanganmu datang ke tem-
pat eyangku ini," desis Siluman Ular Putih setelah
kembali di hadapan Penghuni Kubur.
Penghuni Kubur hanya tertawa bergelak. Na-
mun anehnya, kedua bibir lelaki sesat itu tak berge-
rak-gerak sama sekali. Bahkan tiba-tiba kedua tan-
gannya menyentak ke depan.
Wusss!
Seketika meluruk dua gulungan bola asap hi-
tam dari kedua telapak tangan Penghuni Kubur ke
arah Siluman Ular Putih.
"Edan! Tua bangka ini cukup lihai juga. Aku
harus hati-hati menghadapi bangkotan tua ini...!"
Siluman Ular Putih segera mengerahkan pu-
kulan ‘Tenaga Inti Bumi’. Dan secepat itu pula ke
dua telapak tangannya segera dihantamkan ke de-
pan untuk memapak.
Weeesss! Weeesss!
Siluman Ular Putih terkesiap kaget. Ternyata,
ia hanya menghantam angin kosong belaka. Belum
hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba satu kekuatan
dahsyat yang entah datang dari mana telah membe-
tot tubuhnya. Dan....
Bukkk!
Tahu-tahu saja Siluman Ular Putih terbanting
keras di bongkahan batu besar, namun cepat me-
lompat bangun. Kini, raut wajahnya berubah merah
padam. Kedua pelipisnya bergerak-gerak dengan ra-
hang mengembung pertanda telah dilanda amarah.
"Hebat! Itu pasti yang dinamakan pukulan
'Tenaga Inti Bumi'. Tapi, percuma saja. Karena tak
mungkin kau dapat mengalahkan pukulan
'Pembetot Darah Mayat'ku!" teriak Penghuni Kubur
mengenali pukulan yang tadi dilontarkan Siluman
Ular Putih.
"Hm...! Kalau pukulanku sudah dikenalinya,
berarti tua bangka ini pasti bekas musuh bebuyutan
Eyang. Pantas saja kepandaiannya tangguh," gu-
mam Siluman Ular Pulih dalam hati seraya mem-
perhatikan kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah jadi kemerah-merahan, pertanda telah terke-
na racun pukulan milik Penghuni Kubur. Untung-
nya tenaga dalam pemuda ini telah mencapai taraf
tinggi. Kalau tidak, sudah pasti nyawanya telah me-
layang sejak tadi.
"Tunggu, Bocah Gondrong! Apakah kau yang
telah menewaskan Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi?" kata Penghuni Kubur seraya mengangkat
tangan kanannya.
"Kalau memang iya, kau mau apa, Bangkotan
Tua!" sembur Siluman Ular Pulih, kesal.
"Bagus! Kalau begitu, kau memang patut
modar di tanganku," geram Penghuni Kubur.
Sebelum gema geramannya lenyap, Penghuni
Kubur telah menghantamkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Seketika meluruk dua gulungan bola
hitam kemerah-merahan dari kedua telapak tangan-
nya, siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih tentu saja tak ingin tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan Penghuni Ku-
bur. Maka segera disiapkannya pukulan 'Tenaga Inti
Bumi' yang telah dipadukan dengan 'Tenaga Inti
Api'. Dan begitu kedua telapak tangannya dihan-
tamkan ke depan, seketika melesat dua larik sinar
merah dan putih.
Besss!
Tak ada suara ledakan yang terdengar saat
kedua pukulan itu beradu. Namun pukulan 'Tenaga
Inti Bumi' milik Siluman Ular Putih yang telah diga-
bung dengan pukulan 'Tenaga Inti Api' tiba-tiba ter-
tahan di udara. Lalu laksana dihantamkan kekuatan
luar biasa, pukulan itu menukik deras ke bawah!
Bummm!
Tanah berbatu kontan berhamburan tinggi ke
udara begitu terjadi ledakan yang memekakkan te-
linga. Pecahan bongkahan-bongkahan batu di pun-
cak gunung tampak berseliweran ke sana kemari.
Samar-samar di depan, sosok Siluman Ular Putih
tampak bergetar hebat. Selang beberapa saat, tu-
buhnya pun mencelat beberapa tombak ke belakang.
Begitu mendarat di tanah, Siluman Ular Putih
berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Na-
mun kedua kakinya tetap goyah, hingga tanpa am-
pun tubuhnya terbanting keras dengan napas me-
gap-megap!
Di pihak lain, kaki Penghuni Kubur hanya
sempat tersurut beberapa langkah ke belakang. Tu-
buhnya bergoyang-goyang. Namun di kejap kemu-
dian telah tenang kembali. Malah sambil berkacak
pinggang tawanya yang bergelak diumbar keras-
keras.
"Edan! Tak mungkin pukulan gabungan
'Tenaga Inti Bumi' dan ‘Tenaga Inti Api’ dapat dimen-
tahkan bangkotan tua itu dengan begitu mudah.
Hm...! Kukira hanya dengan ajian pamungkas
'Titisan Siluman Ular Putih' sajalah aku dapat mero-
bohkannya...," gumam Siluman Ular Putih dalam
hati.
Saat itu juga, kedua bibir Siluman Ular Putih
segera berkemik-kemik membaca mantera ajian
'Titisan Siluman Ular Putih'. Sebentar kemudian tu-
buhnya telah dipenuhi asap pulih tipis hingga tak
kelihatan sama sekali. Dan saat uap putih yang me-
nyelimuti tubuh Siluman Ular Putih sirna tertiup
angin, maka seketika itu juga....
"Ggggeeeerrr!!!"
SEMBILAN
"Siluman Ular Putih...!"
Penghuni Kubur terkesiap kaget. Sepasang
matanya yang mencorong bak mata serigala terbela-
lak liar. Apa yang terlihat di balik asap putih yang
masih menyelimuti sebagian sosok panjang sebesar
pohon kelapa itulah yang membuatnya terkejut.
Dari balik gulungan asap putih yang menye-
limuti, sosok ular putih raksasa itu mencuatkan ke-
pala menampakkan sepasang matanya yang berwar-
na. Sebentar kemudian, sosok ular putih itu hanya
menampakkan punggungnya yang meliuk-liuk di an-
tara gulungan asap putih tipis.
"Ha ha ha...! Tak kusangka kau juga bisa be-
rubah menjadi ular jejadian, Siluman Ular Pulih!
Tapi siapa takut denganmu?" ejek Penghuni Kubur
setelah rasa terkejutnya hilang.
"Ggggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih mengibaskan ekornya ke
sana kemari. Debu-debu dan bongkahan batu kon-
tan berhamburan ke sana kemari. Sementara, tar-
ing-taring runcingnya siap menerkam tubuh Peng-
huni Kubur.
"Keparat! Kau jangan berlenggak-lenggok
menjual lagak, Siluman Ular Putih! Makanlah puku-
lan 'Bola Api'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Penghuni Kubur
menghantamkan kedua telapak tangannya ke depan.
Seketika meluruk dua gulungan bola asap hitam
kemerah-merahan dari kedua telapak tangannya.
Bukkk! Bukkk!
"Ggggeeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat ketika
dua gulungan bola asap hitam kemerahan itu telak
menghantam tubuhnya. Ular raksasa itu terlempar
ke samping, dan terbanting keras. Puncak Gunung
Bucu bergetar hebat! Bongkahan-bongkahan batu
dan pasir kontan membubung tinggi ke udara!
Penghuni Kubur tertawa bergelak, mengira
tubuh Siluman Ular Putih telah hancur berantakan.
Namun alangkah terkejut hatinya manakala melihat
sosok ular putih raksasa itu masih utuh tak kurang
satu apa pun! Sedikit pun tidak terluka! Malah se-
pasang matanya yang memerah kini memandang be-
ringas pada Penghuni Kubur.
"Setan alas! Rupanya kau kebal terhadap pu-
kulan 'Bola Api'!" geram Penghuni Kubur tak per-
caya.
Sekali lagi, Penghuni Kubur kembali meng-
hantamkan kedua tangannya ke depan. Rasa tak
percayanya membuatnya makin melipatgandakan
tenaga dalam. Saat itu pula dua gulungan bola hi-
tam kemerah-merahan meluruk kembali dari kedua
telapak tangannya, langsung menghantam tubuh Si-
luman Ular Putih.
Bukkk! Bukkk!
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng keras. Sua-
ranya yang terdengar sampai jauh ke pelosok lem-
bah. Sedang tubuhnya yang panjang kembali ter-
lempar. Namun seperti kejadian pertama, sedikit
pun tidak mengalami luka! Malah kini ekornya diki-
bas-kibaskan ke sana kemari membuat tanah di se-
kitar tempat pertarungan bergetar!
Dan begitu taring-taringnya terbuka lebar, ti-
ba-tiba Siluman Ular Putih telah menerjang hebat
Penghuni Kubur.
Wesss!
Lelaki berbalut kain kafan ini terperangah ka-
get, tak menyangka Siluman Ular Putih akan menye-
rang begitu hebat. Bahkan sebelum taring-taring Si
luman Ular Putih mengenai sasaran, terlebih dahulu
telah berkesiur angin kencang menampar kulit tu-
buhnya.
Tentu saja Penghuni Kubur tidak ingin tu-
buhnya jadi santapan empuk taring-taring Siluman
Ular Putih. Dengan gerakan indah tiba-tiba tubuh-
nya meliuk dengan tangan kanan menyampok ke
samping.
Bukkk!
Sosok panjang ular putih raksasa itu lang-
sung terpental ke samping. Namun rupanya kali ini
Siluman Ular Putih bertindak cerdik. Begitu tubuh-
nya terpental, ekornya langsung membelit tubuh
Penghuni Kubur kuat-kuat!
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih terus melilit tubuh Peng-
huni Kubur dengan taring siap mencaplok kepala.
Dan bau amis bukan kepalang yang keluar dari mu-
lutnya membuat Penghuni Kubur mau muntah. Na-
mun lelaki tua ini berusaha tetap bertahan. Meski
dalam keadaan sangat terjepit, tiba-tiba tangannya
yang berisi pukulan andalan 'Pembetot Darah Mayat'
dihantamkan.
Bukkk!
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih meraung setinggi langit.
Lehernya yang terkena hantaman tangan Penghuni
Kubur kontan terpental ke belakang. Maka, terlepas-
lah tubuh Penghuni Kubur dari libatan ekornya.
"Hebat! Hebat! Aku kagum padamu, Siluman
Ular Putih. Tapi jangan bangga dulu! Kau tetap akan
modar di tanganku!" geram Penghuni Kubur seraya
bersiap kembali.
Dalam kejap itu pula, Penghuni Kubur kem-
bali mendorongkan kedua telapak tangannya ke de-
pan, melepaskan dua larik sinar merah menyala
yang langsung meluncur dahsyat ke arah ubun-
ubun kepala Siluman Ular Putih.
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih meraung hebat begitu pu-
kulan Penghuni Kubur menghantam ubun-ubunnya.
Tubuhnya oleng ke sana kemari. Satu kekuatan
dahsyat dua larik sinar merah menyala yang terus
menghajar ubun-ubunnya seolah ingin membetot
keluar otak Siluman Ular Putih!
Raungan Siluman Ular Putih terdengar amat
mengerikan. Kibasan-kibasan ekornya makin liar
menghantam apa saja yang ada di sekitarnya. Satu
tenaga betotan yang luar biasa dahsyat membuat
ular putih raksasa ini jadi kewalahan. Ia berusaha
sekuat tenaga menahan tenaga betotan dari dua la-
rik sinar merah yang berpusat dari tangan Penghuni
Kubur. Namun, hasilnya tetap sama saja. Malah per-
lahan-lahan tubuh Siluman Ular Putih mulai terse-
ret mengikuti tarikan tangan Penghuni Kubur.
"Sekaranglah saatnya kau mampus di tan-
ganku, Siluman Ular Putih!"
Mendapat siksaan dahsyat luar biasa, Silu-
man Ular Putih jadi tak tahan lagi. Dan kini, sosok-
nya telah dipenuhi asap putih tipis, hingga tak keli-
hatan sama sekali. Saat Siluman Ular Putih itu sirna
tertiup angin, yang tampak kini adalah sosok pemu-
da gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo!
"Keluarkanlah semua kepandaianmu sebelum
ajal menjemput, Siluman Ular Putih!" ejek Penghuni
Kubur.
Siluman Ular Putih yang kini telah menjelma
menjadi manusia kembali tampak meringis kesaki-
tan. Ubun-ubun kepalanya seolah ingin copot keluar
berikut isinya. Parasnya pucat pasi dengan bibir
bergetar-getar hebat, pertanda menderita luka dalam
lumayan.
"Bagus! Rupanya kau sudah terluka, Siluman
Ular Putih. Itu berarti memudahkanku untuk mele-
nyapkan nyawa busukmu!"
Terdorong ingin segera menghabisi riwayat Si-
luman Ular Putih, Penghuni Kubur kembali siap
menghantamkan tangan ke depan. Namun baru saja
bergerak, mendadak telah berkesiur angin kencang
yang disertai harum bunga melati.
Wesss!
Begitu cepatnya, membuat Penghuni Kubur
tak sempat mengelak. Dan....
Bukkk!
* * *
"Setan alas! Siapa yang berani main gila den-
gan Penghuni Kubur, he?!"
Tubuh Penghuni Kubur yang terlempar ke
samping cepat bangkit dengan sepasang mata kon-
tan membelalak liar ke arah seekor ular putih rak-
sasa lain yang tubuhnya jauh lebih besar. Ular rak-
sasa yang tadi meluncur di atas, sempat menghan-
tam tubuh Penghuni Kubur hingga terjengkang.
"Ibu...!" pekik Soma terkejut bercampur gem-
bira melihat ular putih raksasa itu menghampirinya.
Ular putih raksasa yang sebenarnya jelmaan
Dewi Ratri itu sejenak memperhatikan putranya. Se
pasang matanya yang sarat kerinduan tampak be-
rair, seolah-olah ingin segera memeluk anak ke-
sayangannya. Dan karena kerinduannya terhadap
putra tunggalnya inilah yang membuat Siluman Na-
ga Puspa keluar dari tempat bertapa, tanpa sepenge-
tahuan ayahnya. Akibatnya Eyang Begawan Kama-
setyo jadi kelabakan mencari-carinya.
Setelah Siluman Naga Puspa merasa kesuli-
tan mencari putranya dengan wujud berupa seekor
ular putih raksasa, akhirnya diputuskan untuk
kembali ke tempat bertapa. Tapi apa yang dilihatnya
di puncak Gunung Bucu sungguh membuat hatinya
geram. Ternyata, anaknya tengah kewalahan meng-
hadapi Penghuni Kubur. Maka Siluman Naga Puspa
segera datang menolong.
"Setan alas! Tentu ini ular jejadian yang ber-
nama Siluman Naga Puspa! Bagus! Sekali tepuk da-
pat dua mangsa!" ejek Penghuni Kubur.
"Ibu...! Hati-hati! Tua bangka ini lihai sekali!"
teriak Soma memperingatkan ibunya.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis yang
hanya diketahui oleh Eyang Begawan Kamasetyo
dan Soma.
"Ya, Bu! Hajar saja bangkotan tua itu!"
"Zzzzzt! Zzzzzzttt!"
Siluman Naga Puspa mengibas-ngibaskan
ekornya ke sana kemari. Taring-taringnya yang
runcing terlihat berkilauan tertimpa sinar matahari.
Memang aneh sekali ular putih raksasa ini.
Besar tubuhnya yang melebihi pohon kelapa ternya-
ta bukannya menebarkan bau amis, tapi malah me-
nebarkan bau harum bunga melati! Penghuni Kubur
memang pernah mendengar ciri-ciri serta nama si
luman ular itu. Namun, baru kali ini bertemu lang-
sung.
"Majulah, Ular Keparat! Kau pun akan kubuat
tak berdaya seperti bocah gondrong itu!"
Siluman Naga Puspa mengibas-ngibaskan
ekornya sebentar. Lalu dengan kecepatan kilat tu-
buhnya melesat cepat ke depan. Taring-taringnya
yang tajam siap meremukkan batok kepala Penghuni
Kubur. Sementara kibasan ekornya yang mampu
memecahkan batu sebesar gajah bergerak pula ke
arahnya.
Wesss!
Hebat bukan main serangan ular raksasa ini.
Ranting-ranting pohon berderak terkena angin sam-
barannya. Namun yang dihadapi kali ini bukanlah
tokoh kemarin sore, melainkan Penghuni Kubur
yang menjadi salah satu dedengkotnya dunia persi-
latan untuk golongan hitam.
Walaupun sempat tercekat, namun Penghuni
Kubur sudah dapat menguasai keadaan. Dengan se-
kali melenting ke udara, serangan Siluman Naga
Puspa dapat dihindari dengan mudah. Bahkan begi-
tu berada di udara tangan kirinya telah melontarkan
satu pukulan.
Bukkk!
"Zzzzttt!"
Siluman Naga Puspa mendesis hebat. Sosok-
nya yang panjang kontan meliuk deras ke samping.
Meski demikian ular raksasa ini masih dapat bertin-
dak cerdik. Begitu sosoknya oleng, ekornya telah
menghantam punggung Penghuni Kubur.
Bukkk!
"Aaah...!"
Penghuni Kubur menjerit kesakitan. Tubuh-
nya yang kurus langsung terpental beberapa tombak
ke samping. Namun cepat bangkit berdiri. Kalau saja
tenaga dalamnya belum mencapai tingkat tinggi, bu-
kan mustahil tubuhnya akan hancur berantakan!
Dan dengan tenaga dalamnya pula hingga guncan-
gan dalam tubuhnya dapat ditahan.
Sementara Siluman Naga Puspa mendesis-
desis hebat. Sepasang matanya kini mencorong ta-
jam ke arah Penghuni Kubur. Mungkin merasa he-
ran melihat tubuh lawannya tidak terluka sedikit
pun.
"Bajingan! Kau harus mampus di tanganku!
Terimalah pukulan 'Bola Api'-ku! Hea!"
Berbareng teriakannya yang lantang, Penghu-
ni Kubur cepat menghantamkan kedua telapak tan-
gannya ke depan. Seketika melesat dua gulungan
bola asap berwarna hitam kemerah-merahan melu-
ruk deras ke arah Siluman Naga Puspa.
"Zzzzttt!"
Siluman Naga Puspa tak mau kalah. Begitu
serangan datang tiba-tiba diterjangnya Penghuni
Kubur kendati harus menembus dua bola asap ber-
warna hitam kemerah-merahan.
Besss!
Terjangan Siluman Naga Puspa yang men-
gandung tenaga dalam luar biasa sejenak tertahan
di udara, tergulung dua bola asap hitam dari kedua
telapak tangan Penghuni Kubur. Ular raksasa ini
mendesis-desis hebat. Kibasan-kibasan ekornya kian
liar memporak-porandakan apa saja yang ada di se-
kitarnya. Puncak Gunung Bucu tergetar. Bongkahan
balu-batu besar berhamburan ke sana kemari,
membuat pemandangan jadi gelap tertutup debu
yang membumbung tinggi ke udara!
"Sekarang rasakan bogemku ini, Siluman Ke-
parat! Heaaah...!"
Penghuni Kubur menyentakkan kedua tela-
pak tangannya ke atas. Laksana terdorong oleh satu
kekuatan dahsyat luar biasa, tiba-tiba tubuh Silu-
man Naga Puspa terangkat tinggi ke udara. Di saat
demikian, tiba-tiba kekuatan dahsyat dari kedua te-
lapak tangan Penghuni Kubur menyentak dahsyat
ke bawah.
Blammm!
Siluman Naga Puspa menggeliat hebat saat
tubuhnya menghantam tanah yang diatasnya terda-
pat bongkahan-bongkahan batu. Tulang-tulang tu-
buhnya seakan mau hancur. Kali ini amarahnya
makin berkobar. Kendati tak mengalami cedera se-
dikit pun, namun sudah cukup membuatnya harus
mengadu nyawa terhadap Penghuni Kubur.
Soma sendiri yang melihat keadaan ibunya
jadi cemas bukan main. Dengan susah payah pemu-
da itu melompat bangun. Saat itu, Siluman Naga
Puspa tengah mengibas-ngibaskan ekornya berin-
gas. Sepasang matanya yang mencorong kian men-
gerikan. Mulut mendesis-desis hebat, seolah ber-
siap-siap menerjang kembali. Namun baru saja hen-
dak melaksanakan niatnya, tiba-tiba....
"Ratri! Hentikan!"
SEPULUH
Mendengar suara halus bernada tegas yang
amat dikenali, Siluman Naga Puspa berpaling. Dili-
hatnya seorang lelaki berusia delapan puluh tahun
lebih dengan pakaian putih bersih tahu-tahu telah
berdiri tegak tak jauh dari tempat pertarungan. Wa-
jahnya putih bersih. Rambutnya yang putih meman-
jang digelung ke atas. Sedang jenggotnya yang juga
berwarna putih dibiarkan tergerai. Tak lain dan tak
bukan, lelaki tua ini memang Eyang Begawan Ka-
masetyo.
Di samping lelaki tua itu berdiri pula seorang
kakek berpakaian tambal-tambalan mirip pengemis.
Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya awut-awutan
tak terawat dengan sepasang mata kecil dan bibir hi-
tam. Sambil mengetuk-ngetukkan tongkat butut di
tangan kanan, matanya memperhatikan Penghuni
Kubur seksama. Siapa lagi tokoh ini kalau bukan Ki
Damar Suto alias Raja Penyihir.
"Eyang...!" teriak Siluman Ular Putih gembira
bercampur terkejut.
Eyang Begawan Kamasetyo hanya melirik ke
arah Soma sebentar, lalu beralih kembali menatap
Penghuni Kubur.
"Bagus! Rupanya kau masih punya nyali ber-
hadapan denganku, Kamasetyo," ejek Penghuni Ku-
bur disusul tawa bergelak.
Eyang Begawan Kamasetyo tak menggubris
ejekan Penghuni Kubur. Diberinya isyarat pada Si-
luman Naga Puspa agar menyingkir. Namun, aneh-
nya Siluman Naga Puspa malah mendesis-desis se
perti hendak melaporkan sesuatu pada Eyang Bega-
wan Kamasetyo.
"Sudahlah, Ratri! Aku tahu. Rindumu tak ter-
tahankan untuk segera bertemu puteramu, hingga
kau meninggalkan tempat pertapaan tanpa seijinku.
Sekarang menyingkirlah, Putriku! Itu puteramu su-
dah menunggu," ujar Eyang Begawan Kamasetyo,
memahami apa maksud desisan Siluman Naga Pus-
pa.
Siluman Naga Puspa kini tak berani lagi
membantah. Perlahan-lahan tubuhnya beringsut
menghampiri putranya yang masih ngejoprak tak
berdaya di samping Arum Sari.
"Kamasetyo! Semula aku memang mengira
kalau kaulah yang membunuh Empat Iblis Merah
dari Hutan Seruni. Tapi, ternyata cucumu yang telah
membunuh mereka. Berhubung sudah kepalang ba-
sah, tak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus mem-
bunuh siapa saja yang telah berani membunuh
adik-adik seperguruanku. Kalau kau mencoba
menghalang-halangi, kau pun tak akan luput dari
kematian di tanganku!" kata Penghuni Kubur, pon-
gah.
"Lagakmu dari dulu selalu pongah, Penghuni
Kubur. Kau pikir semua orang di kolong jagat ini
akan selalu tunduk di bawah kakimu?" tukas Eyang
Begawan Kamasetyo, kalem.
"Puahhh! Bacotmu sungguh nyaring, Kama-
setyo. Aku jadi tak sabar untuk menjajal apakah ke-
pandaianmu juga senyaring bacotmu, he?!"
"Kamasetyo! Biarkan aku menghajar tua
bangka tak tahu diri ini!" timpal Raja Penyihir seraya
menuding Penghuni Kubur.
"Maaf, Sobat! Penghuni Kubur datang kemari
sengaja ingin mencariku. Apalagi ia ingin membu-
nuh cucuku. Tentu saja sebagai eyangnya, aku tak
mengizinkan cucuku celaka!"
"Bah! Apa kau pikir, aku tak berhak melin-
dungi cucumu? Ingat! Cucumu juga muridku! Apa
aku tak boleh membela muridku sendiri? Minggir,
Kamasetyo! Biarkan aku menghajar manusia pongah
ini!"
Raja Penyihir mendorong sobatnya ke samp-
ing. Terpaksa Eyang Begawan Kamasetyo hanya me-
nurut, walau hatinya kurang puas atas keputusan
Raja Penyihir. Namun, tak ada alasannya ia menga-
lah. Karena Ki Damar Suto pasti tak akan menerima
begitu saja bila Eyang Begawan Kamasetyo tetap
bersikeras. Seperti, sewaktu mengajak bersama un-
tuk mencari Siluman Naga Puspa yang pergi me-
ninggalkan tempatnya bertapa. Eyang Begawan Ka-
masetyo pun tak dapat menolak sikap keras Raja
Penyihir. Demikian juga ketika tiba-tiba Ki Damar
Suto berubah pikiran untuk segera kembali ke pun-
cak Gunung Bucu.
Sebenarnya, persoalannya hanya satu. Eyang
Begawan Kamasetyo malas bersilat lidah dengan Ra-
ja Penyihir. Sebagai kawan lama, sudah pasti lelaki
tua penghuni Gunung Bucu itu tahu bagaimana pe-
rangai Ki Damar Suto. Di samping itu, Eyang Bega-
wan Kamasetyo pun menyadari bagaimana sulitnya
mencari Siluman Naga Puspa yang meninggalkan
tempatnya bertapa tanpa izin. Maka tanpa berpikir
panjang lagi diturutinya ajakan Raja Penyihir untuk
kembali ke puncak Gunung Bucu.
Akan tetapi apa yang terlihat di Gunung Bucu
membuat hati kedua orang kakek itu jadi gembira.
Ternyata, Siluman Naga Puspa beserta putranya te-
lah berada di puncak Gunung Bucu. Sewaktu meli-
hat putrinya tengah menghadapi Penghuni Kubur,
Eyang Begawan Kamasetyo pun segera mencegah.
"Ha ha ha...! Tua bangka jelek Raja Penyihir!
Kukira kau pun sudah mendengar apa yang kukata-
kan tadi. Siapa saja yang berani menghalang-halangi
niatku untuk membunuh bocah gondrong itu, ter-
paksa akan kulenyapkan juga!" geram Penghuni Ku-
bur.
"Boleh...!" Raja Penyihir mengangguk-angguk
sambil mendekati Penghuni Kubur selangkah demi
selangkah.
"Majulah, Tua Bangka Jelek! Kau pun akan
segera mampus di tanganku!" dengus Penghuni Ku-
bur.
Saat itu pula Penghuni Kubur segera meng-
hantamkan kedua telapak tangan ke depan. Maka
kembali melesat cepat dua gulungan bola asap, siap
melabrak tubuh Raja Penyihir.
Raja Penyihir terkekeh senang.
"Pukulan 'Bola Api'! Bagus! Aku senang sekali
melihatnya. Sudah lama kita tidak saling gebuk,
Manusia Kuburan," ejek Raja Penyihir, seraya cepat
menghantamkan kedua telapak tangan ke depan.
Seketika dua gulungan asap putih melesat cepat me-
labrak pukulan Penghuni Kubur!
Bessss!
Tak ada bunyi yang berarti akibat bentrokan
dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Namun
samar-samar, terlihat sosok tubuh Penghuni Kubur
dan Raja Penyihir bergetar hebat. Selang beberapa
saat tubuh mereka terjajar beberapa langkah ke be-
lakang dengan paras pias. Dari sini bisa dilihat ka-
lau tenaga dalam kedua kakek renta itu berimbang!
"Aku senang sekali meladenimu, Penghuni
Kubur. Tak kusangka kau makin hebat saja," ujar
Raja Penyihir.
Penghuni Kubur menggeram penuh kemara-
han. Tiba-tiba kedua telapak tangannya kembali dis-
entakkan ke depan, melepaskan pukulan ‘Bola Api’
dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Hingga saat
itu juga, kembali meluruk dua gulungan bola asap
hitam kemerah-merahan disertai hawa panas luar
biasa!
Meski Raja Penyihir masih sedikit merasakan
nyeri di dada akibat bentrokan tenaga dalam tadi,
namun tentu saja tak mau tinggal diam. Serta-merta
kedua telapak tangannya diangkat, lalu didorong ke
depan mengirimkan pukulan 'Tangan Gaib Penindih
Setan' andalannya.
Splassshh...!
Blarrr...!
Tempat pertarungan seketika berubah jadi te-
rang benderang dengan hawa panas luar biasa
menghampar ke segenap penjuru, diiringi ledakan
hebat di udara. Bahkan kemudian ditingkahi suara
pekikan dan suara erangan perlahan.
Sosok tubuh Raja Penyihir dan Penghuni Ku-
bur tampak saling berpentalan beberapa tombak ke
belakang,
Bukkk! Bukkk!
Raja Penyihir terlihat terhuyung-huyung ke
belakang. Sosoknya yang tinggi kurus bergoyang-
goyang dengan tangan gemetar. Sepasang matanya
yang kecil mengerjap-ngerjap penuh kagum meng-
hadapi pukulan milik Penghuni Kubur tadi.
Sementara di depan sana, sosok Penghuni
Kubur tampak terhuyung-huyung jauh ke belakang,
sebelum akhirnya terbanting keras di tanah berbatu.
Tapi lelaki tua terbungkus kain kafan itu cepat me-
lompat bangun. Raungannya yang sarat akan kema-
rahan seolah ingin merobek angkasa.
"Bajingan tua! Kubunuh kau!"
Penghuni Kubur kembali menerjang Raja Pe-
nyihir garang dengan kedua telapak tangan segera
dihantamkan ke depan. Kejap itu pula melesat dua
larik sinar merah menyala dari kedua telapak tan-
gannya disertai suara menggidikkan.
Wesss! Wesss!
Kening Raja Penyihir berkerut sebentar. Me-
rasa heran dengan pukulan yang baru saja dilontar-
kan Penghuni Kubur. Namun saat dua larik sinar
merah menyala dari kedua telapak tangan Penghuni
Kubur tinggal berjarak setengah tombak, tiba-tiba
tubuhnya mencelat tinggi ke udara. Sehingga puku-
lan Penghuni Kubur hanya menghantam bongkahan
batu besar di belakang-nya.
Brakkk!
Batu gunung sebesar gajah di belakang Raja
Penyihir kontan hancur berkeping-keping begitu ter-
kena pukulan Penghuni Kubur. Dari kepingan-
kepingan batu mengepul uap hitam kemerah-
merahan, seolah-olah mengandung bara api!
"Pukulan Pembetot Darah Mayat'...!" desis Ra-
ja Penyihir penuh kagum, sekaligus ngeri mem-
bayangkan seandainya pukulan Penghuni Kubur
melabrak tubuhnya. Sudah pasti tubuhnya akan
hancur dan hangus terbakar!
"Keluarkan semua kepandaianmu. Raja Pe-
nyihir! Kita tentukan nasib kita di sini. Kau atau
aku yang lebih dulu modar di tempat ini!" tantang
Penghuni Kubur, jumawa.
"Satu permainan menarik. Senang sekali aku
meladenimu, Penghuni Kubur. Lihat!"
Raja Penyihir cepat menggosok-gosokkan ke-
dua telapak tangannya, menciptakan dua gulungan
asap hitam. Selang beberapa saat, kedua telapak
tangannya ditarik-tarik seperti sedang mengulur
seutas tali. Kenyataannya, dari kedua telapak tan-
gannya kini jelas tercipta dua gulungan tali hitam.
"'Tali Gaib'...!" desis Penghuni Kubur terkejut
manakala dua gulungan tali hitam dari kedua tela-
pak tangan Raja Penyihir mulai menyerangnya.
Srattt! Srattt!
Dengan segenap ilmu meringankan tubuhnya,
Penghuni Kubur cepat berkelit-kelit menghindari ter-
jangan 'Tali Gaib' ciptaan Raja Penyihir. Lelaki tua
berkain kafan ini tahu, sekali saja kakinya sampai
terlibat gulungan tali hitam di tangan Raja Penyihir,
sulitlah baginya untuk melepaskan diri.
Berpikir sampai di sini, Penghuni Kubur me-
mutuskan untuk menghindar. Namun sambil me-
layang-layang di udara, ia sesekali melepas pukulan
maut.
Wusss...!
Kini terlihat cahaya merah terang dari kedua
telapak tangan Penghuni Kubur kontan melesat ce-
pat ke depan. Kira-kira berjarak setengah jengkal
dari tubuh Raja Penyihir, mendadak cahaya merah
menyala dari tangan Penghuni Kubur mengembang,
membungkus gulungan-gulungan 'Tali Gaib'.
Besss!
Tak ada ledakan yang terdengar. Yang ada
hanya semburat cahaya merah menyala yang tengah
bergulung-gulung dengan dua larik 'Tali Gaib' Raja
Penyihir di udara. Sementara sosok Raja Penyihir
dan Penghuni Kubur sama-sama bergetar hebat. Ke-
ringat dingin telah membasahi wajah, namun tak
ada yang mau mengalah.
Penghuni Kubur dan Raja Penyihir terus me-
ningkatkan tenaga dalam ke telapak tangan. Siapa
yang sedikit saja lengah atau mengendurkan tenaga
dalam, berarti mati!
Raja Penyihir tak menginginkan itu, dan terus
berusaha menahan gumpalan cahaya merah menya-
la dari kedua telapak tangan Penghuni Kubur. Kalau
saja gagal, bukan mustahil tubuhnya akan jadi san-
tapan empuk gumpalan sinar merah menyala milik
Penghuni Kubur.
Di depannya, sosok Penghuni Kubur tampak
bergoyang-goyang. Kedua kakinya yang menggigil
malah telah terbenam ke dalam tanah hampir seba-
tas lutut. Meski demikian, tekadnya tetap membaja.
Bagaimanapun juga, gulungan 'Tali Gaib' Raja Pe-
nyihir harus tetap ditahan agar jangan sampai
membelit tubuhnya. Sebab bila hal ini terjadi, berar-
ti kematian akan menjemput.
Pada saat Raja Penyihir dan Penghuni Kubur
tengah mengadu tenaga dalam demikian hebat.
Arum Sari yang baru saja siuman dengan kesadaran
pulih langsung menujukan pandangan ke arah per-
tarungan. Dan begitu melihat sosok Penghuni Kubur
amarahnya kontan menggelegak sampai ubun-ubun.
Parasnya kontan menegang.
"Hiaaat...!"
Arum Sari tak tahan lagi dan segera bangkit.
Lalu diiringi pekik kemarahannya, tiba-tiba diter-
jangnya Penghuni Kubur dengan pedang di tangan.
Ia merasa saat inilah waktu yang tepat untuk me-
nuntaskan dendamnya.
"Bajingan tua! Kau harus mampus di tangan-
ku! Arwah ayah ibuku telah menunggu di alam ba-
ka!"
Penghuni Kubur terkejut bukan main. Saat
itu, keadaannya benar-benar amat mengkhawatir-
kan. Sedikit saja tenaga dalamnya dikendurkan, be-
rarti kematian menanti. Namun, ia juga tak sudi
membiarkan tubuhnya jadi sasaran empuk pedang
di tangan gadis itu.
Melihat kenekatan Arum Sari, Siluman Ular
Putih, Eyang Begawan Kamasetyo, dan Siluman Na-
ga Puspa yang tengah memperhatikan jalannya adu
tenaga dalam tingkat tinggi dengan hati cemas, jadi
terkesiap kaget. Belum sempat mereka bertindak.
Arum Sari keburu menerjang Penghuni Kubur.
"Setan kecil! Enyahlah kau!"
Rupanya, tak ada pilihan lain lagi bagi Peng-
huni Kubur. Melihat kenekatan Arum Sari, sebagian
tenaga dalamnya segera dialihkan ke arah si gadis.
Akibatnya....
"Aaaakh...!"
"Aaa...!"
Penghuni Kubur kontan terpental jauh ke be-
lakang. Tubuhnya berputar-putar sebentar sebelum
akhirnya tubuhnya terbanting keras.
Sementara tubuh Arum Sari sendiri pun tak
luput dari sambaran cahaya merah dari tangan kiri
Penghuni Kubur yang keras menghantam tubuhnya.
Tanpa ampun lagi putri tunggal mendiang Sepasang
Pendekar Garuda Emas melayang jauh ke belakang
dan terbanting keras ke bongkahan batu!
Brakkk!
Bongkahan-bongkahan batu tempat tubuh
Arum Sari terbanting kontan hancur berkeping-
keping. Sedang gadis itu sendiri pun terkulai di ta-
nah, tak bergerak-gerak lagi.
"Aruuuummm...!"
SEBELAS
Bak banteng terluka, Siluman Ular Putih se-
gera melompat. Segera ditopangnya tubuh Arum Sa-
ri dengan tangan dan paha kirinya. Tampak olehnya
sekujur tubuh Arum Sari memerah. Darah segar ter-
lihat membersit di sudut-sudut bibirnya yang mun-
gil.
Soma menggereng hebat. Dengan jari-jari ge-
metar, segera diperiksanya denyut nadi di pergelan-
gan tangan Arum Sari. Ternyata, denyut nadi gadis
murid Nenek Rambut Putih itu masih berdetak, wa-
lau amat lemah.
Siluman Ular Putih menghela napas lega.
Namun hal ini bukan berarti harus membiarkan
Penghuni Kubur. Pemuda ini bertekad, tetap akan
membuat perhitungan dengan tokoh sesat dari Hu-
tan Seruni itu. Dan berhubung Arum Sari saat ini
tengah membutuhkan pertolongannya, dengan san-
gat terpaksa niatnya harus ditunda untuk melabrak
Penghuni Kubur. Perlahan-lahan Soma menduduk-
kan Arum Sari. Sambil memegangi kedua bahu si
gadis, pemuda ini beringsut ke belakang. Segera Si-
luman Ular Putih bersila di belakang Arum Sari. Ke-
dua telapak tangannya segera ditempelkan ke pung-
gung si gadis.
"Kau sedang terluka, Cucuku! Jangan paksa-
kan menyalurkan tenaga dalam ke tubuh gadis itu!"
Siluman Ular Putih mendongak. Ternyata,
Eyang Begawan Kamasetyo telah berdiri di bela-
kangnya. Sedang ibunya, Siluman Naga Puspa telah
berada pula di samping Eyang Begawan Kamasetyo.
Tak henti-hentinya ular putih raksasa jelmaan Dewi
Ratri mendesis-desis, merasa turut prihatin atas
musibah yang dialami Arum Sari.
"Ibu...!"
Hanya itu yang terucap dari bibir Siluman
Ular Putih manakala melihat sepasang mata menco-
rong ibunya.
"Zzzzttt!"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis, seolah-
olah melarang apa yang tengah terbersit dalam be-
nak anaknya.
"Ibu melarangku untuk melabrak Penghuni
Kubur? Kenapa, Bu?" tanya Siluman Ular Putih,
mengerti maksud desisan ibunya.
"Zzzzttt...!"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali
ini, sepasang matanya yang mencorong berair. Lalu
dijilat-jilatinya tubuh Soma seolah-olah tengah
membelai-belai lembut putra kesayangannya.
Siluman Ular Putih merasa trenyuh. Sengaja
dibiarkan ibunya menumpahkan segenap kerin
duannya.
"Ibu...! Kenapa Ibu tak mengijinkan aku
membuat perhitungan dengan Penghuni Kubur?"
tanya Soma.
"Zzzzttt...!"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis. Sepa-
sang matanya yang mencorong terus memperhatikan
sekujur tubuh putra kesayangannya penuh kasih.
Lalu kepalanya menggeleng-geleng.
"Apa, Bu? Ibu tak membiarkanku melabrak
Penghuni Kubur karena aku masih terluka dalam?"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali
ini, sepasang matanya yang mencorong ditujukan ke
arah jalannya pertarungan antara Raja Penyihir me-
lawan Penghuni Kubur yang telah berlangsung kem-
bali.
"Baik, Ibu. Kukira Raja Penyihir memang
mampu mengatasi Penghuni Kubur," sahut Siluman
Ular Putih akhirnya.
Memang saat itu Raja Penyihir tengah berada
di atas angin. Akibat Penghuni Kubur membagi te-
naga dalamnya tadi ke arah Arum Sari, kini kedua
kakinya telah terlilit ‘Tali Gaib’ dari kedua telapak
tangan Raja Penyihir.
Berulang kali Penghuni Kubur berusaha me-
lepaskan libatan 'Tali Gaib', namun selalu saja gagal.
Setiap tangannya memapas selalu saja seperti me-
nebas angin kosong. Namun hebatnya, 'Tali Gaib'
Raja Penyihir tetap saja melibat kedua kaki Penghu-
ni Kubur. Sedikit pun tak terpengaruh oleh tebasan-
tebasan tangan Penghuni Kubur. Bahkan libatannya
makin kuat saja.
"Tua bangka jelek! Pengecut kau! Beraninya
main keroyok!" maki Penghuni Kubur resah bukan
main. Seketika itu juga parasnya jadi pucat mem-
bayangkan saat-saat ajal menjemput.
Raja Penyihir terkekeh senang. Seperti men-
dapat permainan baru, 'Tali Gaib' di tangannya asyik
diayun-ayunkan. Maka saat itu juga tubuh Penghu-
ni Kubur oleng ke sana kemari. Dan tiba-tiba 'Tali
Gaib' disentakkan ke atas ke bawah, membuat tu-
buh Penghuni Kubur menukik tajam ke bawah. La-
lu....
Brakkk!
"Aaa...!"
Bongkahan batu sebesar gajah kontan hancur
berkeping-keping begitu terhantam punggung Peng-
huni Kubur. Tubuh lelaki tua sesat itu sendiri pun
langsung menggeliat-geliat hebat dengan raungan
kesakitan. Terdengar suara berderak, mengisya-
ratkan kalau tulang punggungnya telah remuk be-
rantakan.
"Mampuslah kau, Manusia Kuburan! Enak
kan, menikmati saat-saat ajal datang?" ejek Raja Pe-
nyihir.
"Bajingan! Lepaskan aku, Tua Bangka Jelek!
Ayo, kita bertarung dengan sewajarnya sampai ada
yang modar!" hardik Penghuni Kubur kalap bukan
main.
"Enak saja kau mengatur-ngatur! Apa kau ti-
dak sadar kalau aku juga bertarung secara wajar?
Kau menghendaki pertarungan macam apa lagi,
he?!" sungut Raja Penyihir mirip nenek-nenek kehi-
langan susur.
Penghuni Kubur terus mencaci maki. Tapi Ra-
ja Penyihir sama sekali tak mempedulikannya. Sam
bil terkekeh-kekeh senang tubuh Penghuni Kubur
terus dihantam-hantamkan ke bongkahan-
bongkahan batu di puncak Gunung Bucu. Hingga
akhirnya, tubuh itu hancur tak berbentuk lagi. Kain
kafan pembungkus tubuh kurusnya pun hancur tak
karuan berbalur noda darah di sana sini. Hebatnya,
di saat Penghuni Kubur menemui ajal. ‘Tali Gaib’
pun mengendur dan lenyap ke dalam telapak tangan
Raja Penyihir.
"Akhirnya kau modar juga, Manusia Kubu-
ran!" dengus Raja Penyihir.
Selangkah demi selangkah Raja Penyihir me-
langkah mendekati lawannya. Sekali lihat saja, bisa
dipastikan kalau tubuh Penghuni Kubur memang te-
lah menjadi mayat.
"Kau sudah modar, Penghuni Kubur. Seka-
rang, kau boleh pilih. Mana kuburan yang kau su-
kai."
Tiba-tiba Raja Penyihir mengayunkan ka-
kinya. Dan....
Desss!
Tanpa ampun, tubuh Penghuni Kubur kontan
terpental jauh ke belakang, lalu menghilang di balik
lereng sebelah barat puncak Gunung Bucu. Untuk
sesaat Raja Penyihir memperhatikan ke arah sosok
tubuh Penghuni Kubur menghilang. Lalu sembari
terkekeh senang, lelaki tua yang juga guru Siluman
Ular Putih ini kembali bergabung dengan Eyang Be-
gawan Kamasetyo.
* * *
Saat itu Eyang Begawan Kamasetyo tengah
menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Arum Sari. Se-
dang Siluman Ular Putih beserta ibunya turut pula
menunggui sambil berharap-harap cemas. Tanpa
banyak sikap Raja Penyihir segera meletakkan pan-
tatnya di samping Eyang Begawan Kamasetyo.
"Perlu bantuanku?" tanya Raja Penyihir.
Eyang Begawan Kamasetyo menggeleng per-
lahan. Kedua telapak tangannya terus menempel di
punggung Arum Sari, terus menyalurkan tenaga da-
lam.
Melihat gelengan kepala Eyang Begawan Ka-
masetyo, Raja Penyihir tahu diri. Ia tak ingin men-
gumbar kata-kata dan hanya duduk membisu di
samping Eyang Begawan Kamasetyo.
Selang beberapa saat tubuh Arum Sari pun
mulai menggeliat-geliat. Dengan susah payah, gadis
ini mencoba membalikkan badan. Untung saja
Eyang Begawan Kamasetyo segera membantu. Kalau
tidak, belum tentu Arum Sari mampu mengangkat
tubuhnya yang lemas tak bertenaga.
"Syukur kau sudah siuman. Arum," desah Si-
luman Ular Putih.
Arum Sari mengerjap-ngerjapkan mata. Seje-
nak gadis ini merasa heran melihat dirinya dikeru-
bungi banyak orang. Lalu sepasang mata indah itu
jelalatan ke sana kemari.
"Mana Penghuni Kubur?" tanya gadis itu, be-
ringas.
"Sudah modar di dasar jurang sana!" jelas Ra-
ja Penyihir seraya menudingkan telunjuk jarinya.
"Hm...!" Arum Sari menggigit bibirnya kuat.
"Sayang sekali aku tak dapat membunuhnya...."
"Sudahlah! Kau jangan ungkit-ungkit lagi
bangkotan tua itu, Arum! Katanya, kau ingin berke-
nalan dengan ibuku?" tukas Soma.
"Oh, ya? Mana ibumu?" tanya Arum Sari, seo-
lah telah mampu melupakan kebenciannya terhadap
Penghuni Kubur.
"Ini!" Soma langsung memeluk Siluman Naga
Puspa penuh kasih sayang.
Kata-kata Arum Sari terputus. Tangannya
membekap mulutnya sendiri. "Kau tak perlu sung-
kan-sungkan, Gadis. Memang itu putri kesayangan-
ku. Cuma karena...." Eyang Begawan Kamasetyo ter-
lihat ragu-ragu menjelaskan musibah yang menimpa
putrinya. Namun karena tak ada gunanya menyem-
bunyikan rahasia yang menimpa putrinya, akhirnya
dijelaskan juga bagaimana putrinya sampai menjel-
ma jadi ular putih raksasa.
"Oh...! Kasihan sekali kau, Bibi...," desah
Arum Sari merasa trenyuh sekali begitu mendengar
cerita Eyang Begawan Kamasetyo. Karena terdorong
rasa trenyuhnya gadis ini mencoba meraih tubuh Si-
luman Naga Puspa. Langsung dipeluknya ular rak-
sasa itu erat-erat, seolah-olah sedang memeluk ibu
kandungnya sendiri.
Siluman Ular Putih tersenyum senang. Apala-
gi, manakala murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
melihat sepasang mata indah Arum Sari berbinar-
binar ke arahnya. Seolah, tengah memancarkan rasa
kasih yang amat dalam. Entah rasa kasih itu dituju-
kan pada ibunya, entah ditujukan pada Siluman
Ular Putih. Soma sendiri tidak tahu. Hanya yang je-
las, ia amat kaget manakala tiba-tiba pundaknya di-
tepuk Raja Penyihir dengan kasar.
"Hey..., Bocah Edan! Mulai saat ini juga, kau
harus memanggilku Guru, tahu!"
"Apa? Enak saja!"
"Kkkau...."
Raja Penyihir salah tingkah tak karuan. Mu-
lutnya memberengut habis-habisan. Tapi justru Si-
luman Ular Putih dan Eyang Begawan Kamasetyo
malah tertawa-tawa senang, makin membuat Ki
Damar Suto tak mengerti....
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar