..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 30 Januari 2025

SILUMAN ULAR PUTIH EPISODE MURKA PENGHUNI KUBUR

Murka Penghuni Kubur

 

Hak cipta dan copy right pada 
penerbit di bawah lindungan 
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU

Di sebuah tanah datar yang tak begitu luas di 
salah satu bagian dari Hutan Seruni. Keheningan 
mengekang sekitarnya. Sinar matahari yang panas 
menyengat, seolah membuat binatang-binatang lebih 
suka bersembunyi di bawah kerimbunan pohon.
Tepat di tengah tanah datar itu, terlihat se-
buah gundukan tanah yang memanjang, mirip se-
buah makam. Kelihatannya, memang tak ada yang 
aneh dengan makam itu. Biasa saja sebagai mana 
layaknya sebuah makam. Tapi.... 
Brolll!
Mendadak saja, keanehan terjadi, makam itu 
tahu-tahu ambrol menerbangkan tanah-tanah ke 
segala arah. Seiring dengan itu, satu sosok bayan-
gan putih melompat dari dalamnya.
"Hup!"
Ringan sekali sosok itu saat mendarat di sisi 
tanah yang telah membentuk sebuah lubang.
Kini jelas, ternyata sosok bayangan putih itu 
adalah seorang kakek tua renta yang sulit sekali di-
tafsir umurnya. Rambutnya yang putih kusut berse-
rakan di bahu. Tubuhnya yang kurus kering dengan 
paras pucat pasi mirip mayat, terbungkus kain putih 
seperti kain kafan. Sekilas, sosok kakek renta ini tak 
ubahnya seperti mayat bangkit dari kubur!
Sepasang matanya yang mencorong bak mata 
serigala mendadak berkilat-kilat aneh beredar berin-
gas ke sekitarnya. Mulutnya mengeluarkan gerengan 
berulang-ulang.
"Keparat! Kenapa Empat Iblis Merah tak men

girimi ku kembang? Kenapa mereka tak menyiram-
kan air ke atas makamku?" desis kakek renta yang 
sebenarnya Penghuni Kubur ini beringas. "Tak seha-
rusnya mereka ceroboh. Bodoh! Pasti ada sesuatu 
yang kurang beres...." (Untuk mengetahui siapa 
Penghuni Kubur, silakan baca episode: "Titisan Alam 
Kegelapan" dan "Tapak Merah Darah").
Kembali kakek renta ini mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling. Napasnya memburu. Kedua 
pelipisnya bergerak-gerak seperti hendak melam-
piaskan kemarahannya.
"Bajingan! Kalau mereka melalaikan tugas, 
kubunuh mereka semua!"
Penghuni Kubur tak ingin membuang-buang 
waktu. Segera kakinya menghentak tanah, sehingga 
tubuhnya berkelebat cepat ke selatan. Gerakan ke-
dua kakinya seperti biasa saja. Tapi dalam beberapa 
kelebatan saja, sosoknya yang tinggi kurus telah 
menghilang di balik kerimbunan hutan depan sana.
Hal ini saja sudah membuktikan kalau ilmu 
meringankan tubuh Penghuni Kubur yang sebenar-
nya salah satu momok dunia persilatan itu benar-
benar telah mencapai tingkat tinggi. Dan tentu saja 
kemunculannya akan menggemparkan dunia persi-
latan! 
* * *
Penghuni Kubur tiba di bagian lain di sekitar 
Hutan Seruni, tepatnya di sebuah tempat yang telah 
porak poranda. Lelaki tua ini yakin di tempat itu te-
lah terjadi pertarungan dahsyat tokoh-tokoh tingkat 
tinggi. Berpikir sampai di situ, jantungnya jadi ber

degup keras. Perasaan tak enak mulai menghantui 
benaknya. Sejenak pandangannya beredar ke seke-
liling. Dan....
"Heh...?!"
Sepasang mata Penghuni Kubur yang menco-
rong beringas kontan membeliak liar dengan hati 
terkejut saat matanya tertumpuk pada empat gun-
dukan tanah tak jauh dari tempatnya berdiri yang 
tampak belum begitu lama digali. Gundukan-
gundukan tanah itu masih lembek, belum padat se-
perti kuburan yang sudah berusia tua.
Penghuni Kubur menggeram penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang beringas seolah terpa-
ku pada tulisan di papan nisan keempat gundukan 
tanah merah itu. Di sana tertulis....
Makam Bajing-bajing Merah dari Hutan Seruni!
"Setan alas! Siapa yang melakukan semua 
ini?"
Sulit dibayangkan betapa murkanya Penghuni 
Kubur saat itu. Rupanya adik-adik seperguruannya 
yang dipercaya mengurus makamnya, telah tewas. 
Pantas saja mereka tidak pernah mengirim kembang 
dan air untuk menambah kesaktiannya. Sehingga, 
memaksa Penghuni Kubur harus keluar dari tempat 
yang selama ini digunakan untuk memperdalam il-
mu hitam yang tengah dipelajarinya.
"Aku harus menuntut balas! Siapa pun juga 
yang berani membunuh adik-adik seperguruanku, 
harus bertanggung jawab. Biarpun mereka lari ke 
liang lahat sekalipun! Pembunuh adik-adik sepergu-
ruanku harus modar di tanganku!" ancam Penghuni 
Kubur.
Disertai dengusan sarat kemarahan, Penghu

ni Kubur tiba-tiba menghentakkan kakinya ke ta-
nah.
Blup!
Brolll!
Dahsyat sekali. Saat itu juga empat gundukan 
tanah yang merupakan kuburan Empat Iblis Merah 
kontan berhamburan tinggi ke udara. Bersamaan 
dengan itu, dari dalam makam terlontar empat so-
sok bayangan merah.
Buk! Buk! Buk! Buk!
Hebat bukan main tenaga dalam bangkotan 
tua satu ini. Hanya sekali menghentakkan kaki ka-
nannya, gundukan tanah itu berhamburan ke uda-
ra. Bahkan empat jasad itu seolah seperti diatur, 
saat berjatuhan secara berdampingan ke tanah. 
Empat jasad itu tak lain tak bukan adalah mayat Ib-
lis Buntung, Iblis Buta, Iblis Tuli, dan Iblis Gagu!
Dada Penghuni Kubur bergerak turun naik. 
Rahangnya menggembung menyiratkan kemarahan 
menggelegak. Empat sosok mayat itu dipandanginya 
dengan sepasang mata mencorong beringas!
"Aku harus mengetahui siapa pelaku pembu-
nuhan ini...," desisnya, menggiriskan.
Penghuni Kubur melompat ke arah empat 
mayat adik seperguruannya. Ia langsung berjong-
kok, meneliti mayat-mayat itu dengan seksama. 
Penghuni Kubur mendesis. Ia tahu, sekujur tubuh 
mayat itu menderita luka parah. Tubuh dan kepala 
mereka hancur tak karuan. 
"Hm...! Tampaknya pelaku pembunuhan ini 
bukan satu orang. Bekas-bekas luka di sekujur tu-
buh membuktikan kalau adik-adik seperguruanku 
terkena senjata tumpul. Mungkin terkena gebukan

tongkat atau bisa jadi senjata tumpul lainnya."
Penghuni Kubur terus meneliti mayat keem-
pat orang adik seperguruannya lebih seksama. Tan-
gannya meraba-raba ke bagian-bagian tubuh mere-
ka satu persatu.
"Jahanam! Kalau tak salah, ada beberapa pu-
kulan maut yang melukai adik-adik seperguruanku 
hingga tewas. Satu di antaranya adalah pukulan 
Tongkat Penggebuk Iblis. Dan... pukulan 'Tenaga Inti 
Bumi'! Jahanam! Pukulan yang terakhir inilah yang 
sebenarnya membuat adik-adik seperguruanku 
menderita luka dalam hebat. Bahkan mungkin seka-
ligus merenggut nyawa mereka. Apakah tua bangka 
dari Gunung Bucu itulah pelakunya...?"
Penghuni Kubur termenung beberapa saat. 
Keningnya berkerut-kerut.
"Jahanam! Siapa lagi pelakunya kalau bukan 
tua bangka keparat itu! Hm...! Aku harus menuntut 
balas. Aku harus membuat perhitungan dengan 
orang-orang yang berani mencelakakan adik-adik 
seperguruanku. Kamasetyo...! Kau harus bertang-
gung jawab atas perbuatanmu! Juga, orang-orang 
Perguruan Pring Sewu. Mereka pun harus bertang-
gung jawab. Siapa lagi di dunia persilatan ini yang 
memiliki pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis' kalau 
bukan orang-orang Perguruan Pring Sewu? Tunggu-
lah pembalasanku. Ratu Pring Sewu! Dua Orang Tua 
Aneh Putih Kelabu! Juga kau, Kamasetyo! Kalian 
semua harus modar di tanganku!" (Untuk lebih je-
lasnya harap baca episode : 'Tapak Merah Darah").
Penghuni Kubur tak tahan lagi menahan gele-
gak amarahnya yang seperti hendak memecahkan 
kepala. Sepasang matanya jadi kian nyalang mem

perhatikan sekeliling. Geramannya terdengar bak 
banteng terluka. Sebelum geramannya tuntas, ka-
kinya telah menghentak kuat-kuat.
Brasss! 
Saat itu pula tercipta lubang besar bekas pi-
jakan kaki Penghuni Kubur. Tanah-tanah merah 
berhamburan tinggi ke udara, bergulung-gulung 
memenuhi tempat itu. Ketika gulungan-gulungan 
merah dari tanah yang berhamburan itu sirna, so-
sok Penghuni Kubur telah menghilang entah ke ma-
na.

DUA


Suasana duka masih menyelimuti Perguruan 
Pring Sewu. Kira-kira sepuluh hari sejak peristiwa di 
Hutan Seruni, banyak murid Perguruan Pring Sewu 
yang merasa kehilangan. Hampir separo dari jumlah 
mereka tewas di tangan Empat Iblis Merah dari Hu-
tan Seruni. Keadaan ini jelas membuat sisa-sisa mu-
rid Ratu Pring Sewu amat terpukul, dan nyaris kehi-
langan kepercayaan diri.
Dan bahkan apa yang dialami Mawarni, ma-
lah jauh lebih menderita dibanding saudara-saudara 
seperguruan lainnya. Berhari-hari satu-satunya mu-
rid wanita kesayangan Ratu Pring Sewu terus me-
nyesali nasibnya yang malang. Menyesali kesucian-
nya yang hilang direnggut Iblis Tuli dan Iblis Gagu.
Apalagi yang harus diharap? Tak ada. Masa 
depannya telah hancur. Penyesalan demi penyesalan 
terus menghantui hati Mawarni. Seolah tak ada se-
mangat lagi untuk hidup. Malah segala kata-kata

menghibur diri mulut gurunya tak mampu mem-
bangkitkan semangatnya. Untung saja pada saat-
saat Mawarni dirundung keputusasaan, seorang ka-
kak seperguruannya yang sejak lama mencintainya 
berhasil membujuknya. Namanya Gandrik. Meski 
tahu kalau Mawarni telah ternoda, namun cinta pe-
muda itu tak pernah pudar. (Untuk mengetahui apa 
yang telah dialami Mawarni beserta murid-murid 
Perguruan Pring Sewu lainnya, harap baca episode 
"Tapak Merah Darah").
Mendapat cinta Gandrik yang begitu tulus, 
Mawarni mulai dapat melupakan penderitaannya. 
Bahkan kini tampak mulai berubah. Wajahnya yang 
cantik mulai berseri-seri bila sedang bercakap-cakap 
dengan Gandrik, maupun kakak-kakak seperguruan 
lainnya.
Siang itu, ketika panas matahari memang-
gang bumi, Mawarni berlari-lari kecil mendekati pos 
penjagaan di depan pintu gerbang Perguruan Pring 
Sewu. Hatinya terasa berbunga-bunga saat akan 
menemui pemuda idamannya yang tengah berjaga di 
pos depan.
"Kakang...! Kau dipanggil Guru," ujar Mawar-
ni dengan napas terengah-engah.
"Ada apa Guru memanggilku, Mawarni?" 
tanya Gandrik heran.
Dua orang murid lain yang juga sedang berja-
ga-jaga di pos depan sejenak memperhatikan gadis 
cantik berpakaian serba kuning di hadapannya. He-
ran.
"Tidak tahu, Kang," Mawarni mengangkat ke-
dua bahunya.
"Hm...!" Gandrik mengangguk-angguk. Entah

apa yang tengah terlintas dalam benak pemuda ga-
gah yang juga berpakaian serba kuning itu. "Baik-
lah. Aku akan segera menemui Guru. Maaf, Teman-
teman! Terpaksa aku harus meninggalkan kalian."
"Pergilah!" sahut salah seorang murid seraya 
menggedikkan kepala. 
"Terima kasih."
Gandrik melangkah keluar dari pos penja-
gaan. Senyum manisnya sempat tersungging di bibir 
saat pandangannya bertatapan dengan mata Ma-
warni. 
Mawarni tersipu. Dadanya berdebar keras 
mendapati senyum pemuda tampan di hadapannya. 
"Ayo!" ajak Gandrik membuyarkan keterpa-
naan Mawarni.
Tanpa banyak cakap si gadis segera melang-
kah di samping Gandrik. Sesekali matanya melirik 
pemuda tampan di sampingnya, seraya terus me-
nyusuri halaman depan Perguruan Pring Sewu. Saat 
melirik tadi, sekilas terlihat adanya ketegangan yang 
terpancar di wajah Gandrik.
"Tampaknya ada sesuatu yang sedang kau pi-
kirkan, Kang?" duga Mawarni mengusik kegelisahan 
Gandrik. 
"Hm...! Benar," sahutnya mendesah. 
"Apa, Kang?" cecar Mawarni.
"Bukan apa-apa. Hanya aku heran. Tak bi-
asanya guru memanggilku kalau tidak ada satu ke-
perluan yang amat mendesak. Apa kau tahu, apa 
yang akan dibicarakan Guru, Mawarni?" Mawarni 
menggeleng. Gandrik menghela napas sesak. "Jan-
gan-jangan Guru sudah mengetahui hubungan kita, 
Mawarni. Apa kau tak keberatan untuk menjadi is


triku bila Guru menanyakannya?"
"Aku.... Aku...! Te... terus terang aku sulit se-
kali untuk menjawab iya. Aku justru takut akan
mengecewakanmu. Ingat, Kang! Aku sudah tak suci 
lagi. Baiknya, pikirkan baik-baik kalau kau ingin 
menikahiku, Kang," sahut Mawarni, sekaligus ingin 
melihat kesungguhan Gandrik.
"Jangan ucapkan itu, Mawarni! Apa pun kea-
daanmu, aku tetap akan menikahimu," tegas Gan-
drik.
"Sebenarnya aku sudah tahu, Kang. Guru 
memang ingin menanyakan hal ini padamu. Apa kau 
bersungguh-sungguh ingin menikahiku atau tidak?"
Mendadak Gandrik menghentikan langkah. 
Pandang matanya berbinar-binar, seolah tak percaya 
dengan kata-kata Mawarni.
"Sudahlah, Kang! Aku tahu apa yang ingin 
Kakang ucapkan," kata Mawarni mendahului Gan-
drik yang hendak membuka suara.
"Hm...! Baiklah!"
Gandrik dan Mawarni kembali meneruskan 
langkah menyusuri halaman depan Perguruan Pring 
Sewu. Mulut mereka terkunci. Tak sepatah kata pun 
terucap dari bibir mereka. 
Kedua anak muda itu langsung saja mema-
suki pendopo Perguruan Pring Sewu. Begitu tahu di 
ruangan Ratu Pring Sewu ternyata memang tengah 
menunggu kedatangan mereka. Sosoknya yang ku-
rus kerempeng terbalut pakaian warna kuning tam-
pak kelihatan lemah tak bertenaga. Rambutnya riap-
riapan menutupi sebagian wajahnya yang penuh ke-
riput. Sambil memegangi tongkat bambu kuning di 
tangan kanan, sejenak diperhatikannya kedua orang

muridnya itu. 
"Aku datang menghadap, Guru. Ada hal apa 
sehingga Guru memanggilku?" tanya Gandrik begitu 
tegak di hadapan gurunya.
"Duduklah!"
Gandrik dan Mawarni segera bersimpuh di 
hadapan Ratu Pring Sewu. Wajah mereka sama-
sama tertunduk diam, menekuri lantai. Resah me-
nunggu apa yang ingin diucapkan Ratu Pring Sewu. 
"Gandrik! Dan kau, Mawarni. Akhir-akhir ini 
kulihat hubungan kalian makin akrab. Apa kalian 
bersungguh-sungguh? Aku ingin mendengar jawa-
ban kalian. Terutama kau, Gandrik!" buka Ratu 
Pring Sewu, langsung. 
"Aku bersungguh-sungguh, Guru. Bahkan ka-
lau, Guru mengizinkan, aku ingin sekali me...."
"Yayaya...! Aku sudah tahu," sela Ratu Pring 
Sewu. "Tapi, tentunya kau sudah tahu keadaan Ma-
warni, bukan? Apa kau tak kecewa? Apa kau tak 
menyesal menikahi seorang gadis yang tak suci la-
gi?"
"Tidak, Guru. Apa pun keadaan Mawarni, 
niatku tak pernah goyah. Guru."
"Bagus! Kalau begitu, kiranya tak ada lagi 
yang patut dibicarakan. Aku senang sekali memiliki 
murid macam kau, Gandrik. Hari ini juga, aku me-
restui perk...." 
Mendadak Ratu Pring Sewu menghentikan 
ucapannya dengan kening berkerut. Sepasang ma-
tanya yang kelabu berkilat-kilat penuh kemarahan 
saat mendengar suara ribut-ribut dan pekik-pekik 
kesakitan yang datang dari halaman depan pergu-
ruan.

"Siapa lagi yang membuat onar dipergurua-
nku...!" desis Ratu Pring Sewu.
Tanpa diperintah, Gandrik dan Mawarni sege-
ra meloncat bangun dan mengintai apa yang tengah 
terjadi di halaman depan perguruan. Ternyata di 
luar sana memang terlihat seorang kakek renta den-
gan tubuh terbalut pakaian kafan tengah mengamuk 
hebat menghantam murid-murid Perguruan Pring 
Sewu. Bahkan tak kurang dari lima orang murid te-
was dengan cara amat mengerikan.
"Guru...! Ada seseorang yang tengah menga-
muk di perguruan kita," teriak Gandrik kepada gu-
runya. Namun manakala kepalanya berpaling ke be-
lakang, ternyata Ratu Pring Sewu sudah tak berada 
di tempatnya lagi.
Gandrik dan Mawarni tahu, gurunya telah 
melompat keluar melalui jendela. Tanpa banyak pi-
kir panjang, sepasang anak muda itu segera melom-
pat ke luar. 
"Bagus! Rupanya kau sudah menampakkan 
batang hidungmu, Ratu Pring Sewu!" bentak seorang 
kakek berpakaian kain kafan yang baru saja menu-
runkan tangan maut terhadap murid-murid Pergu-
ruan Pring Sewu. Sepasang matanya yang menco-
rong bak sepasang mata serigala terus memandang 
tajam Ratu Pring Sewu.
Ketua Perguruan Pring Sewu menggeretakkan 
gerahamnya penuh kemarahan. Ekor matanya yang 
tajam sempat melirik ke arah lima orang muridnya 
yang telah menemui ajal dengan cara mengenaskan. 
Tiga orang tewas dengan isi perut memburai keluar.
Dua orang lainnya tewas dengan kepala pecah.
"Siapakah tua bangka satu ini. Guru? Kenapa

ia begitu telengas membantai saudara-saudara se-
perguruanku?" tanya Mawarni dengan tubuh meng-
gigil saking ngerinya melihat mayat kelima orang 
kakak seperguruannya.
Ratu Pring Sewu tak menyahut. Kedua peli-
pisnya bergerak-gerak pertanda tak dapat lagi men-
gendalikan gelegak amarahnya.
"Lancang benar kau, Penghuni Kubur! Tak 
seharusnya kau bunuh murid-muridku kalau ingin 
berurusan denganku!" desis Ratu Pring Sewu, penuh 
kegeraman.
"Ha ha ha...!"
Lelaki tua yang memang Penghuni Kubur ter-
tawa bergelak. Namun anehnya, kedua bibirnya 
yang kepucatan sama sekali tak bergerak-gerak! Ta-
wanya pun seperti suara-suara setan yang tengah 
berpesta pora di liang lahat!
"Salah sendiri, kenapa murid-muridmu berani 
kurang ajar terhadapku?!" tukas Penghuni Kubur te-
tap dengan kedua bibir tak bergerak-gerak.
"Kurang ajar! Sebenarnya apa urusanmu 
hingga susah payah mencariku kemari, he?!"
"Jangan banyak bacot! Sekarang, akui saja 
kalau kau serta murid-muridmu dan dua saudara 
seperguruanmu telah membunuh Empat Iblis Me-
rah, bukan?" balas Penghuni Kubur garang. "Kare-
na, siapa lagi yang memiliki pukulan 'Tongkat Peng-
gebuk Iblis' kalau bukan kau dan dua saudara se-
perguruanmu!"
"Benar! Memang aku dan saudara-saudara 
seperguruankulah yang memiliki pukulan 'Tongkat 
Penggebuk Iblis'? Dan memang, sudah sewajarnya 
kalau manusia-manusia berhati iblis macam Empat

Iblis Merah itu harus modar. Kenapa kau malah 
menyesali?" sahut Ratu Pring Sewu, terus terang 
mengakui.
"Setan alas! Berarti kau pun harus mampus 
di tanganku! Tapi sebelum mengirim nyawa busuk-
mu ke dasar neraka, aku ingin kau menjawab bebe-
rapa pertanyaanku!"
"Siapa sudi meladeni ocehanmu?" 
"Bangsat! Hih!"
Breeeesss...! 
Begitu Penghuni Kubur menjejakkan kakinya, 
sebuah lubang besar kontan tercipta.
Ratu Pring Sewu tersenyum kecut. Diam-diam 
dikaguminya tenaga dalam tokoh sesat yang menjadi 
momok dunia persilatan itu. Meski demikian, bukan 
berarti harus gentar. Demi menegakkan kebenaran, 
Ketua Perguruan Pring Sewu siap menghadapi sepak 
terjang Penghuni Kubur walau nyawa taruhannya.
"Dengar! Buka telingamu lebar-lebar, Ratu 
Pring Sewu! Apakah tua bangka dari Gunung Bucu 
itu juga ikut berperan atas tewasnya keempat orang 
saudara seperguruanku?" desis Penghuni Kubur.
"Manusia berbudi luhur macam Eyang Bega-
wan Kamasetyo mana pantas berurusan dengan 
manusia-manusia berhati binatang macam adik-
adik seperguruanmu itu, Penghuni Kubur!" sahut 
Ratu Pring Sewu, kalem.
Bukan main murkanya Penghuni Kubur 
mendengar ejekan Ratu Pring Sewu. Kalau saja tidak 
membutuhkan beberapa keterangan, sudah pasti 
akan diterjangnya perempuan tua itu.
"Bacotmu sungguh tak enak didengar, Ratu 
Pring Sewu. Untuk beberapa saat, aku masih men

gampuni nyawa busukmu. Tapi sekali ini kau tak 
mau menjawab pertanyaanku, jangan salahkan ka-
lau aku terpaksa harus membunuhmu berikut mu-
rid-muridmu!" ancam Penghuni Kubur, menggeram.
"Siapa takut ancamanmu, Manusia Iblis?"
"Setan! Jawab pertanyaanku! Apa benar Be-
gawan Kamasetyo ikut membantumu membunuh
adik-adik seperguruanku?"
"Hm...! Jadi Siluman Ular Putih itu muridnya 
Begawan Kamasetyo? Pantas, aku seperti mengenali 
pukulan bocah gondrong itu sewaktu melawan Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni...," gumam Ratu 
Pring Sewu dalam hati seraya mengangguk-angguk.
"Kau tak mau menjawab, Ratu Pring Sewu?" 
desak Penghuni Kubur.
"Menyesal sekali. Tak mungkin orang tua satu 
itu turut campur membunuh cecunguk-cecunguk 
merah itu," desah Ratu Pring Sewu.
"Jadi? Siapa saja yang ikut membunuh adik-
adik seperguruanku, he?!" geram Penghuni Kubur 
tak sabar.
Dalam hati, Penghuni Kubur menduga-duga, 
apakah tua bangka dari Gunung Bucu yang bergelar 
Begawan Kamasetyo mempunyai murid? Tapi siapa?
"Tunggu! Apa kau tahu siapa muridnya Bega-
wan Kamasetyo?" lanjut Penghuni Kubur, untuk 
menjelaskan dugaannya.
"Tak usah banyak omong, Penghuni Kubur! 
Aku tak tahu, siapa yang kau maksudkan!" tegas 
Ratu Pring Sewu.
"Setan alas! Meski kau tak buka mulut, aku 
tetap akan membuat perhitungan dengan tua bang-
ka keparat itu. Juga kau, Ratu Pring Sewu! Kaulah

orang pertama yang harus bertanggung jawab! 
Mungkin, bisa jadi ditambah dua orang kakak se-
perguruanmu yang bergelar Dua Orang Tua Aneh 
Putih Kelabu!" tunjuk lelaki tua berbalut kain kafan 
itu.
Ratu Pring Sewu terkekeh. Diam-diam dika-
guminya kecerdikan Penghuni Kubur.
"Pintar! Tak kusangka otak bobrokmu masih 
bisa berpikir jernih. Tapi kalau boleh kuperingatkan, 
sebaiknya jangan teruskan niat busukmu ini! Berto-
batlah sebelum ajal menemuimu!"
"Keparat! Aku tak butuh khotbahmu, Ratu 
Pring Sewu! Aku butuh nyawa busukmu! Juga, 
nyawa orang-orang yang telah berani lancang mem-
bunuh adik-adik seperguruanku!" desis Penghuni 
Kubur penuh kemarahan
Sebelum geramannya tuntas, Penghuni Kubur 
sudah menerjang hebat Ratu Pring Sewu. Kedua te-
lapak tangannya yang masih berlumuran darah ce-
pat menyambar ubun-ubun kepala. Hebatnya sebe-
lum kedua telapak tangan itu mengenai sasaran, 
terlebih dulu berkesiur angin dingin menggiriskan.
"Heh...?!"
Ratu Pring Sewu terkesiap. Tak menyangka 
akan mendapat serangan demikian hebat. Tentu sa-
ja Ketua Perguruan Pring Sewu tak sudi batok kepa-
lanya jadi sasaran empuk tangan-tangan Penghuni 
Kubur. Maka dengan jurus andalan 'Tongkat Maut 
Selaksa Prahara', tubuhnya segera berkelit ke samp-
ing dengan tongkat digerakkan secara menyelinap ke 
ulu hati. 
Wuttt! Wuttt!
Melihat tongkat di tangan Ratu Pring Sewu

bergerak mengancam ulu hatinya, sedikit pun Peng-
huni Kubur tak terkejut. Malah dengan satu perhi-
tungan tepat, tahu-tahu lengan kanannya menge-
but. Langsung ditangkisnya tongkat Ratu Pring Se-
wu.
Prakkk! 
"Setan!"
Tongkat bambu kuning itu kontan hancur 
berkeping-keping begitu terhantam lengan kurus 
Penghuni Kubur. Hal ini membuat perempuan tua 
itu menggeram marah. Telapak tangannya sempat 
tergetar hebat akibat bentrokan tadi. Bahkan belum 
sempat keterkejutan Ratu Pring Sewu lenyap, men-
dadak telapak tangan kiri Penghuni Kubur telah ba-
lik menghantam dada. Sebisanya, Ratu Pring Sewu 
bergerak ke samping. Tapi....
Desss!
"Aaah...!"
Tanpa ampun tubuh Ratu Pring Sewu kontan 
terbanting keras disertai keluhan tertahan. Untung 
saja tadi tubuhnya sempat bergeser ke samping. Ka-
lau tidak, bukan mustahil dadanya akan hancur 
terkena hantaman Penghuni Kubur. Meski demikian 
pundaknya yang terkena hantaman terasa ngilu bu-
kan main.
Ratu Pring Sewu meringis kesakitan. Dengan 
susah payah kembali ia meloncat bangun.
"Bajingan! Beraninya kau melukai Guru kami, 
he?! Makanlah tongkatku, Tua Bangka Keparat!" te-
riak Gandrik gusar bukan main.
Dan tanpa banyak cakap lagi, Gandrik segera 
menerjang Penghuni Kubur. Bersamaan dengan itu, 
Mawarni dan keenam murid Ratu Pring Sewu lain

nya segera turut membantu serangan dengan senja-
ta bambu kuning.
"Jangan gegabah, Murid-muridku! Kalian bu-
kanlah tandingannya!" teriak Ratu Pring Sewu gu-
sar.
Namun sayang, kedelapan orang murid Ratu 
Pring Sewu yang sudah kalap itu tak mau menden-
gar nasihat gurunya. Malah tongkat bambu kuning 
mereka makin hebat menyerang Penghuni Kubur.
"Ha ha ha...! Anak-anak manis! Kalian me-
mang patut mendapat pelajaran dariku. Enyahlah 
kalian semua! Hea...!"
Tiba-tiba Penghuni Kubur berkelebat cepat 
sekali di antara gulungan-gulungan kuning yang 
mendesaknya. Sambil berkelebat, tangan-tangannya 
berputaran mencari mangsa.
Wut! Wuttt!
Prak! Prakkk!
"Aaa...!"
Dua kali tangan Penghuni Kubur bergerak, 
maka seketika terdengar dua pekik yang amat me-
nyayat hati dari tubuh dua orang murid Ratu Pring 
Sewu yang terkena hantaman. Tampak dua sosok 
tubuh roboh, tak mampu bangun lagi dengan kepala 
pecah!
"Minggir! Kalian semua minggir!" bentak Ratu 
Pring Sewu seraya kembali menerjang Penghuni Ku-
bur.
Penghuni Kubur menjengekkan hidungnya. 
Sedikit pun hatinya tak gentar menghadapi seran-
gan-serangan Ratu Pring Sewu. Hanya menggeser 
tubuhnya sedikit ke samping, tahu-tahu tangan-
tangan mautnya kembali meminta korban.

Prak! Prakkk!
"Aaa...!"
Kembali dua orang murid Ratu Pring Sewu ke 
tanah, tak mampu bangun lagi. Sampai di sini, 
Penghuni Kubur pun rupanya belum puas menebar 
maut. Tangan-tangan mautnya kembali mencari 
korban tanpa ampun. Maka hanya dalam sekejap 
mata saja, empat orang murid Ratu Pring Sewu 
kembali terjungkal, termasuk Mawarni dan Gandrik.
Gandrik dan Mawarni menggigil di tempatnya. 
Paras mereka pucat pasi dengan dada yang terkena 
hantaman terasa mau jebol. Namun nasib kedua 
murid Ratu Pring Sewu ini masih jauh lebih baik di-
banding dua orang teman seperguruannya yang kon-
tan roboh dengan kepala retak!
"Bajingan! Kau tak pantas melawan murid-
muridku, Penghuni Kubur. Akulah lawanmu!"
Ratu Pring Sewu mengkelap bukan main me-
lihat keenam orang muridnya, tewas mengerikan di 
tangan Penghuni Kubur hanya dengan beberapa ge-
brakan. Perempuan tua ini tak tahan lagi melihat 
pembantaian di depannya. Dengan kemarahan me-
luap, kembali diterjangnya Penghuni Kubur.
"Ha ha ha...!" 
Penghuni Kubur hanya tertawa bergelak. Se-
rangan-serangan Ratu Pring Sewu mudah dapat di-
hindari dengan berkelit ke sana kemari. Akibatnya 
serangan-serangan Ketua Perguruan Pring Sewu 
hanya mengenai angin kosong.
"Apa kau masih keras kepala tak mau menga-
takan siapa murid Begawan Kamasetyo, Ratu Pring 
Sewu?" kata Penghuni Kubur sambil terus mende-
sak.

"Siapa sudi dengan bacotmu, Tua Bangka Ke-
parat! Tanyakan saja pada setan gentayangan peng-
huni dasar neraka!" dengus Ratu Pring Sewu.
"Bagus! Kalau begitu, berarti kau tak sayang 
pada dua orang muridmu itu!" tuding Penghuni Ku-
bur pada Gandrik dan Mawarni.
Belum sempat Ratu Pring Sewu berpikir, ta-
hu-tahu Penghuni Kubur telah menerjang Gandrik 
dan Mawarni. Perempuan tua ini gusar bukan main. 
Dengan kemarahan meluap, cepat dilontarkannya 
pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis' ke arah Penghuni 
Kubur.
Wesss! Wesss!
Seketika meluruk dua larik sinar kuning dari 
kedua telapak tangan Ratu Pring Sewu ke arah 
Penghuni Kubur. Sebelum serangan dua larik sinar 
kuning itu mengenai sasaran, terlebih dahulu berke-
siur hawa panas bukan kepalang! 
Penghuni Kubur tentu saja tak ingin tubuh-
nya jadi sasaran empuk. Begitu merasakan hawa 
panas menyambar punggung, tubuhnya segera di-
buang jauh ke samping. Hingga akibatnya...
Desss! Desss! 
"Aaah...!" 
Ratu Pring Sewu memekik kaget dengan paras 
kontan pucat pasi melihat tubuh Gandrik dan Ma-
warni melayang jauh ke belakang, begitu terkena 
pukulan nyasar. Kedua anak muda itu pun tak 
sempat mengeluarkan pekikan saat tubuhnya me-
layang dan terbanting keras di tanah. Mereka tak 
dapat bangun lagi dengan sekujur tubuh hangus 
terbakar!
"Bajingan! Kau harus bertanggung jawab atas

semua peristiwa ini, Penghuni Kubur! Kau harus 
bertanggung jawab! Tak cukup nyawa busukmu se-
bagai tebusannya! Hea...!"
Bukan main murkanya Ratu Pring Sewu be-
tapa dua orang murid kesayangannya telah tewas 
menemui ajal akibat kecorobohannya. Maka tanpa 
pikir panjang lagi, kembali diterjangnya Penghuni 
Kubur. Kedua telapak tangannya yang kian berubah 
kuning hingga ke pangkal siku kembali dihantam-
kan ke depan dengan kekuatan tenaga dalam pe-
nuh.
"Heaaa...!"
Kembali melesat dua larik sinar kuning dari 
kedua telapak tangan Ratu Pring Sewu.
Mendapati serangan begini, Penghuni Kubur 
tertawa bergelak. Tapi diam-diam segera dikerah-
kannya tenaga dalam tinggi.
"Makanlah pukulan 'Pembetot Darah Mayat'-
ku! Heaa...!"
Begitu Penghuni Kubur mengerahkan puku-
lan maut, seketika melesat dua sinar hijau dari ke-
dua telapaknya, langsung memapaki pukulan Ratu 
Pring Sewu. Sehingga....
Blammm!
Bukan main hebatnya bentrokan dua tenaga 
dalam tingkat tinggi yang terjadi. Seketika bumi ber-
guncang hebat. Hawa panas kontan menebar ke se-
genap penjuru, memporakporandakan apa saja yang 
ada di sekitar pertarungan. Ranting-ranting pohon 
bergerak dengan daun-daun hangus terbakar!
Sementara sewaktu terjadinya bentrokan tadi, 
Ratu Pring Sewu melayang bagai layangan putus ta-
li. Tubuhnya berputar-putar sebentar, lalu meng

hantam batang pohon di belakangnya. Perempuan 
tua ini mengeluh hebat. Seisi dadanya berguncang 
hebat dengan kedua telapak tangannya melepuh.
Sementara itu sambil mengumbar tawa, se-
langkah demi selangkah Penghuni Kubur mendekati 
Ratu Pring Sewu yang tengah meringis-ringis mena-
han sakit. Kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah hijau siap melabrak tubuh Ratu Pring Sewu.
Tak ada pilihan lain. Ratu Pring Sewu segera 
bertindak. Tangan kanannya cepat menyelinap ke 
balik baju. Begitu tercabut, tangannya yang telah 
memegang beberapa benda sebesar buah melinjo itu 
mengibas.
Dan....
Plarrr! 
Ledakan kecil yang disertai asap kuning sege-
ra memenuhi tempat pertarungan saat benda-benda
sebesar melinjo itu menghantam tanah. Asap kuning 
itu terus bergulung-gulung membungkus tubuh 
Penghuni Kubur dan Ratu Pring Sewu. 
Penghuni Kubur menggeram murka. Sekali 
kibaskan kain kafannya dengan tangan kiri, maka 
gulungan-gulungan asap kekuningan itu pun sirna. 
Namun pada saat itu juga, sosok Ratu Pring Sewu 
sudah tak terlihat lagi.
"Setan alas! Sampai ujung dunia pun, tak 
mungkin aku membiarkanmu begitu saja, Bajingan!"
Penghuni Kubur menggeretakkan gerahamnya 
kuat-kuat. Rahangnya sampai mengembung, saking 
tak tahannya menahan amarah menggelegak. Kedua 
telapak tangannya yang tadi siap dihantamkan ke 
tubuh Ratu Pring Sewu segera dihantamkan ke de-
pan. Maka seketika meluruk dua larik sinar hijau

dari kedua telapak tangannya. Lalu....
Blarrr...!
Sebuah pohon besar dua lingkaran tangan 
manusia dewasa kontan bergoyang-goyang begitu 
terkena pukulan Penghuni Kubur. Pada bagian ba-
tang pohon yang terkena bekas pukulan kontan 
mengepulkan uap tipis kehijau-hijauan. Selang be-
berapa saat, terdengar suara bergemuruh yang di-
akhiri bunyi keras dari batang pohon yang tumbang!
Blammm!
Debu-debu kontan membubung tinggi, me-
menuhi tempat itu. Angin siang itu berhembus semi-
lir, perlahan-lahan menyingkirkan debu-debu yang 
membubung tinggi. Ketika debu-debu itu sirna ter-
tiup angin, sosok Penghuni Kubur pun telah me-
ninggalkan tempat itu!

TIGA


Sinar matahari bersinar garang. Namun kare-
na kerimbunan hutan bambu membuat sekitarnya 
menjadi sejuk. Apalagi angin semilir bertiup lembut 
mengusap kulit, seolah ingin melelapkan siapa saja 
yang lewat di tempat ini.
Namun tidak demikian buat kedua anak mu-
da yang tengah melangkah ringan. Seolah tak ingin 
beristirahat, mereka terus saja melangkah dengan 
tawa renyah yang terdengar meriah di antara ki-
cauan burung-burung di ranting pohon. Mereka se-
perti menikmati suasana siang itu.
Yang berjalan di sebelah kanan dengan kepala 
sesekali berpaling ke camping adalah seorang pemuda tampan berusia kira-kira sembilan belas ta-
hun. Wajahnya berbentuk lonjong dengan sepasang 
mata tajam berwarna kebiruan. Di kepalanya yang 
ditumbuhi rambut gondrong melingkar ikat kepala 
warna putih keperakan. Seperti warna ikat kepa-
lanya, tubuhnya yang tinggi kekar pun dibalut pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Bila badannya berbalik tampak pula senjata 
andalannya yang berupa anak panah yang memiliki 
cakra kembar. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan 
Soma?
Di sebelah si pemuda adalah seorang gadis 
cantik berusia tak lebih dari tujuh belas tahun. Ku-
litnya putih bersih. Wajahnya berbentuk bulat telur. 
Rambutnya digelung ke atas, dihiasi untaian bunga 
melati. Sedang tubuhnya yang tinggi ramping diba-
lut pakaian ketat warna hijau.
"Kalau begini terus, lama-lama aku bisa jatuh 
cinta, Arum. Kau tampak cantik, menarik, penuh 
daya pesona. Hm...! Enak benar aku punya kawan 
secantikmu," celoteh si pemuda dengan kepala ber-
paling sedikit ke samping, ke arah gadis yang me-
mang Arum Sari murid Nenek Rambut Putih.
Entah kenapa wajah cantik Arum Sari men-
dadak memerah. Hatinya rusuh sekali. Hampir se-
tengah purnama lebih mereka melakukan perjala-
nan bersama mencari pembunuh kedua orangtua si 
gadis. Tentu saja hal ini membuat hubungan kedua 
anak muda itu makin akrab. Dalam relung hati 
Arum Sari sendiri pun mulai digelayuti perasaan tak 
menentu. Aneh. Rasa-rasanya gadis cantik itu mera-
sakan satu perasaan yang seumur hidupnya belum 
pernah dialami. (Untuk lebih jelasnya baca episode :

"Titisan Alam Kegelapan" dan "Tapak Merah Darah").
"Jangan menggodaku, Soma!"
Hanya itu yang keluar dari mulut Arum Sari. 
Padahal kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin 
sekali mengatakan lebih. Atau setidaknya, membiar-
kan godaan pemuda tampan di sampingnya. Yang 
penting hatinya berbunga-bunga.
"Kenapa? Toh, kalau tak salah penglihatanku 
kau senang, bukan? Buktinya aku baru ngomong 
begitu saja, pipimu sudah merah. Iya. kan? Jangan-
jangan kau mulai berpikir lain?" goda Soma, keterla-
luan. 
"Berpikir lain apa?" sungut Arum Sari.
"Yaaa. Tahulah. Pokoknya, akhir-akhir ini kau 
tampak lain. Tapi tak apa-apalah. Aku malah senang 
kok, melihat kau gembira seperti ini," ujar Soma se-
raya mengumbar senyum.
Hati Arum Sari makin dibuat blingsatan tak 
karuan manakala melihat senyum pemuda tampan 
di sampingnya. Ada apa pula ini? Kenapa hatiku jadi 
risau begini? Desis Arum Sari dalam hati.
"Lho? Kok, malah memandangiku seperti itu? 
Ada apa, nih? Jangan-jangan benar dugaanku?" go-
da Soma, melanjuti.
"Jangan ngawur kau, Soma! Aku tidak berpi-
kir macam-macam. Aku hanya teringat kedua orang-
tuaku," tangkis Arum Sari, berdusta.
Begitu teringat kedua orangtuanya. Arum Sari 
jadi sedih. Wajahnya seketika murung membayang-
kan wajah kedua orangtuanya yang sulit sekali ter-
lukis dalam benaknya.
"Oh, ya? Sayang sekali. Kukira kau sedang 
memikirkanku?"

Arum Sari menggeleng. Senyum getirnya tam-
pak tersungging di bibir.
"Apa kau tak ingat kedua orangtua mu. So-
ma? Oh, ya? Bagaimana kabar kedua orangtuamu? 
Kenapa kau tak pernah bercerita padaku?" tanya 
Arum Sari tiba-tiba, berusaha menepis kesedihan 
yang menggelayuti hatinya.
"Tak lebih buruk dari apa yang dialami kedua 
orangtuamu. Arum," sahut Soma, kali ini bersikap 
sungguh-sungguh.
"Maksudmu? Apa kedua orangtuamu sudah 
meninggal?"
Soma menggeleng pelan. "Lalu kenapa?"
"Ayahku tewas dibunuh Manusia Rambut Me-
rah," jelas Siluman Ular Putih mendesah sedih.
"Lalu, bagaimana dengan ibumu?" kejar si ga-
dis.
"Hmhh...!" Soma menghela napas sesak. "Ibu-
ku.... Ah...! Dia.... Dia masih berwujud seekor ular."
"Berwujud ular? Kenapa bisa begitu?" tanya 
Arum Sari heran.
"Itu akibat ibuku memaksakan diri untuk 
mempelajari ilmu yang diajarkan Eyang. Ah...!" Lagi-
lagi Soma menghela napas sesak. "Nanti kalau uru-
san ini sudah selesai, aku ingin sekali menemui Ibu. 
Sudah lama sekali aku tak menemuinya."
"Boleh aku menemanimu menemui ibumu. 
Soma?" tanya Arum Sari dengan suara bergetar.
Soma kembali memalingkan kepala ke samp-
ing. Entah, apa yang tengah berkecamuk dalam be-
naknya. Yang jelas. Arum Sari malah menundukkan 
kepala saat Soma memandangnya.
"Bagaimana, Soma? Apa kau keberatan?"

tanya Arum Sari, malu-malu. 
"Hmhh...!" 
Soma mengatur jalan napas sebentar. Kali ini 
ia benar-benar merasa aneh melihat sikap Arum Sa-
ri. Sejenak diperhatikannya gadis cantik di hada-
pannya.
"Boleh, kalau...."
Gusrakkk!
Suara Siluman Ular Putih terpangkas ketika 
mendadak terdengar langkah kasar di semak belu-
kar di samping mereka. Untuk sesaat kedua anak 
muda itu hanya bisa saling berpandangan. 
"Sebentar...!" 
Siluman Ular Putih segera melompat ke arah 
datangnya suara. Tapi, Arum Sari tak ingin keting-
galan. Segera disusulnya Soma. 
* * *
"Ratu Pring Sewu...?!" sebut Soma dan Arum 
Sari begitu tiba di tempat yang dicurigai tadi.
Kedua anak muda itu terpaku di tempatnya. 
Sepasang mata mereka membelalak liar. Di hadapan 
mereka kini tergolek sesosok tubuh belum lama di-
kenalnya. Ratu Pring Sewu!
Betapa tubuh Ketua Perguruan Pring Sewu 
itu teramat mengenaskan. Parasnya pucat pasi. Ke-
dua telapak tangannya melepuh. Darah kering tam-
pak menghiasi sudut-sudut bibirnya. 
"Ratu Pring Sewu! Siapa yang melakukan 
perbuatan keji ini?" tanya Siluman Ular Putih berte-
riak jengkel. Buru-buru diraihnya tubuh Ratu Pring 
Sewu dan diletakkan di atas pahanya. Soma meng

guncang-guncang tubuh nenek renta itu, tapi 
sayang keburu pingsan.
Siluman Ular Putih cepat menotok beberapa 
jalan darah di tubuh Ratu Pring Sewu. Selang bebe-
rapa saat, kelopak mata Ketua Perguruan Pring Se-
wu mulai bergerak-gerak. Kedua bibirnya bergetar-
getar. Napasnya pun memburu. Mengenaskan sekali 
keadaannya.
"Dia.... Dia ingin menyatroni puncak Gunung 
Buc... Bucu...."
Dengan susah payah, bibir Ratu Pring Sewu 
yang bergetar-getar itu pun membuka suara. Dan ini 
membuat Siluman Ular Putih terperangah. Ya! Pun-
cak Gunung Bucu adalah tempat kediaman eyang 
dan ibunya. Ada apa ini? Siluman Ular Putih jadi ge-
lisah.
"Siapa yang kau maksudkan, Ratu Pring Se-
wu?" tanya Siluman Ular Putih, tak sabar.
"Dia.... Dia... ah...!"
Kepala Ratu Pring Sewu kembali terkulai.
Sementara Siluman Ular Putih jadi gelisah 
bukan main. Soma tak menginginkan Ratu Pring 
Sewu mati. Pemuda ini merasa harus dapat mengo-
rek keterangan siapa yang telah berani mencelaka-
kan perempuan tua ini, sekaligus ingin menyatroni
puncak Gunung Bucu. Maka, buru-buru Siluman 
Ular Putih menotok beberapa jalan darah di tubuh 
Ratu Pring Sewu yang kembali pingsan. Kali ini pa-
ras perempuan tua itu tampak demikian mengeri-
kan. Pucat mirip mayat!
"Katakan, Nek! Siapa yang memperlakukan 
ini semua?" desak Siluman Ular Putih tak sabar.
"Peng.... Penghuni Kubuuur...!''

Bersamaan dengan putusnya ucapan, maka 
putus pula nyawa Ratu Pring Sewu dari raga. Kepa-
lanya terkulai ke samping, tak bergerak-gerak lagi.
"Keparat! Lagi-lagi si keparat itu yang mem-
buat ulah. Dulu kedua orangtuaku yang tewas di 
tangannya. Kini Ratu Pring Sewu! Benar-benar ke-
parat! Tak mungkin aku membiarkan sepak terjang-
nya begitu saja!" geram Arum Sari penuh kemara-
han. Jari-jari tangannya terkepal erat, seolah ingin 
sekali melampiaskan kemarahannya saat itu juga.
Siluman Ular Putih tak menanggapi ucapan 
Arum Sari. Ia segera memondong tubuh nenek renta 
itu dan membaringkannya ke rerumputan. Matanya 
sejenak beredar, mencari-cari tempat yang layak un-
tuk menguburkan jasad Ratu Pring Sewu.
"Soma! Tak mungkin kita membiarkan sepak 
terjang Penghuni Kubur begitu saja! Kita harus ber-
tindak. Terlepas dari kedua orangtuaku yang tewas, 
aku tetap akan menuntut pertanggungjawaban 
Penghuni Kubur!" teriak Arum Sari.
"Ya ya ya...! Kita memang harus meminta per-
tanggungjawabannya!" sahut Soma singkat.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan. So-
ma?" tanya Arum Sari.
Soma menghela napasnya panjang.
"Sebaiknya Bantu aku dulu menguburkan 
mayat Ratu Pring Sewu. Baru setelah itu, kita kejar 
Penghuni Kubur," sahut Soma.
"Itu berarti, kita harus ke Gunung Bucu?"
"Ya! Lagi pula, aku juga sudah kangen dengan 
eyang dan ibuku. Ayo kita kubur dulu mayat ini." 
"Ayo!"

EMPAT

Puncak Gunung Bucu.
Sesosok bayangan berkelebat cepat menuju 
puncak Gunung Bucu. Gerakan kakinya cepat luar 
biasa laksana terbang. Sehingga dalam waktu sing-
kat sosok bayangan itu telah tiba di puncak gunung.
Sosok bayangan yang ternyata berpakaian 
tambal-tambalan itu menghentikan langkahnya. 
Menilik alis mata, bulu mata, dan rambut putihnya 
yang awut-awutan, jelas sekali usia lelaki renta ber-
tubuh tinggi kurus ini sudah mencapai delapan pu-
luh tahun lebih. Wajahnya tirus dengan mata sipit 
dan hidung kecil. Bibirnya tebal berwarna hitam. 
Siapa lagi lelaki renta yang memiliki ciri-ciri seperti 
itu kalau bukan Raja Penyihir.
Apa maksud kehadiran Raja Penyihir di Gu-
nung Bucu? Sebenarnya, lelaki berwajah tirus ini 
hanya ingin menemui Eyang Begawan Kamasetyo 
untuk minta izin agar Siluman Ular Putih sudi me-
manggilnya guru. Hal itu pun sebenarnya atas saran 
Siluman Ular Putih. Karena kalau tidak demikian. 
Tak bakalan sudi Soma memanggilnya guru. Maka 
tak heran kalau lelaki tua itu mau bersusah payah 
ke sini.
Raja Penyihir mengedarkan pandangan ke se-
keliling. Hamparan pasir dan bebatuan tampak ber-
serakan di sana sini. Sedang jauh di bawahnya ka-
but tebal berkejar-kejaran searah tiupan angin. 
Meski suasana sore itu belum begitu larut, namun 
udara pegunungan terasa dingin menusuk kulit.
Raja Penyihir tak menghiraukan udara dingin

yang terasa menyengat tulang belulangnya. Hanya 
sedikit mengerahkan hawa murni, maka udara din-
gin yang mengungkung lenyap entah ke mana.
"Kalau tak salah, tua bangka itu bertapa di 
goa sebelah sana," duga Raja Penyihir seraya menu-
dingkan ujung tongkatnya ke arah lereng sebelah 
barat Gunung Bucu. "Yah...! Kukira aku harus sece-
patnya ke sana."
Raja Penyihir segera menutulkan kakinya ke 
tanah. Lalu berkelebat cepat menuju tempat yang 
dimaksud.
Di sebelah barat puncak Gunung Bucu me-
mang terdapat sebuah mulut goa menghadap ke 
lembah-lembah hijau di sekitar Pegunungan Perahu. 
Raja Penyihir tak ingin membuang-buang waktu. 
Begitu tiba, tubuhnya segera berkelebat masuk ke 
dalam mulut goa.
Mulut goa itu memang tidak begitu lebar, pal-
ing hanya setengah tombak. Namun ketika Raja Pe-
nyihir menyusuri, lama kelamaan lorong goa itu ma-
kin melebar.
Di sebuah lorong yang bercabang, mendadak 
Raja Penyihir menghentikan langkahnya. Kepalanya 
celingukkan ke sana kemari, mencari arah yang be-
nar. Namun di saat lelaki tua ini tengah kebingun-
gan, mendadak....
"Siapa pun juga yang ingin bertamu, kenapa 
tidak langsung menemuiku?"
Terdengar teguran yang datang dari lorong 
sebelah kanan.
Bukannya kaget, Raja Penyihir malah terke-
keh senang. Jelas sekali kalau ia amat mengenali 
siapa pemilik suara parau itu.

"Ah... rupanya masih hidup juga, Kamasetyo! 
Kukira kau sudah mampus dimakan belatung-
belatung goa ini. Ayo, lekas keluar! Sambut aku!"
Tak ada sahutan. Hanya gerutuan seseorang 
saja yang terdengar. Gerutuan yang diduga berasal 
dari mulut Eyang Begawan Kamasetyo. Raja Penyihir 
bersungut. Aneh sekali watak tokoh sakti dari pun-
cak Gunung Tidar ini. Tadi terkekeh-kekeh senang. 
Sekarang mulutnya membentuk kerucut karena ke-
cewa ucapannya tak ditanggapi Eyang Begawan Ka-
masetyo. Meski demikian, toh akhirnya mau juga 
menyeret langkahnya ke lorong sebelah.
Begitu berada di lorong sebelah, kening Raja 
Penyihir kontan berkernyit melihat sosok Eyang Be-
gawan Kamasetyo masih tetap bersila. Jadi, betapa 
tajamnya pendengaran lelaki tua yang tengah bersila 
itu. Tubuhnya yang kurus terbalut pakaian putih. 
Rambutnya yang juga berwarna putih digelung ke 
atas. Seperti rambut dan pakaiannya, ternyata wa-
jahnya pun juga berkulit putih bersih.
Tak jauh dari Eyang Begawan Kamasetyo ber-
sila seekor ular putih raksasa tengah melingkar di 
atas batu putih pipih. Ukuran tubuh ular putih rak-
sasa itu amat besar. Hampir sebesar pohon kelapa. 
Dalam keadaan melingkar seperti itu, sepasang ma-
tanya terpejam. Namun, mulutnya terus mendesis-
desis. Entah, apa maksudnya.
Raja Penyihir berkali-kali menggeleng. Merasa 
trenyuh melihat sosok ular putih raksasa yang tak 
lain adalah Siluman Naga Puspa! Ya, dialah ibu 
kandung dari Siluman Ular Putih.
Sebenarnya, sosok ular putih raksasa itu ada-
lah seorang wanita cantik. Namanya, Dewi Ratri.

Hanya karena gagal untuk mempelajari ilmu pa-
mungkas ajian 'Titisan Siluman Ular Putih', maka 
wanita yang sebenarnya putri Eyang Begawan Ka-
masetyo itu menjelma seekor ular putih raksasa! 
(Baca serial Siluman Ular Putih dalam episode : 
"Misteri Bayi Ular").
"Ada apa kau menyambangiku kemari, Damar 
Suto?" tanya Eyang Begawan Kamasetyo, langsung 
memanggil nama asli Raja Penyihir. Rupanya guru 
dari Siluman Ular Putih sudah mengenai baik, siapa 
Raja Penyihir.
"Aku ada sedikit urusan denganmu. Tapi, 
nantilah. Aku ingin bercakap-cakap sebentar dengan 
putrimu ini," kilah Raja Penyihir.
"Jangan diganggu, Damar Suto! Putriku se-
dang bertapa," tegur Eyang Begawan Kamasetyo, 
langsung.
"Bertapa? Untuk apa?" tanya Raja Penyihir 
tak mengerti.
"Putriku ingin menjelma menjadi manusia 
kembali. Untuk itu, ia kusuruh terus bertapa."
"Oooo...!" Raja Penyihir mengangguk-angguk. 
"Kasihan sekali nasib putrimu ini, Kamasetyo. Kalau 
saja aku dapat membantu, tentu aku akan melaku-
kannya. Tapi sayang, aku...."
"Sudahlah!" potong Eyang Begawan Kama-
setyo.
"Katakan saja, kau ada keperluan apa hingga 
susah payah datang kemari?"
"Oh, ya? Aku memang ada sedikit urusan 
denganmu, Kamasetyo," jelas Raja Penyihir seraya 
menepuk jidat.
"Aku tahu. Setiap kau menemuiku, pasti ingin

minta bantuanku, bukan?" tebak Eyang Begawan 
Kamasetyo, tak bermaksud menyindir.
"Siapa yang butuh bantuanmu? Aku tidak bu-
tuh bantuanmu. Aku hanya ingin minta izin pada-
mu," sungut Raja Penyihir tak senang.
"Minta izin apa?"
"Muridmu.... Eh, cucumu harus memanggilku 
guru. Untuk itulah aku minta izin padamu," papar 
Raja Penyihir.
"Oh, ya? Jadi kau sudah bertemu cucuku?!" 
sentak Eyang Begawan Kamasetyo, gembira. "Suruh 
dia pulang. Aku dan ibunya sudah lama sekali tak 
bertemu. Cucuku harus cepat kau ajak kemari, Da-
mar Suto!"
"Eh...! Tunggu dulu! Kau belum menjawab 
pertanyaanku. Apa kau mengizinkan cucumu me-
manggilku guru?" terabas Raja Penyihir.
"Ah...! Kau ini aneh-aneh saja. Siapa yang 
menyuruhmu minta izin padaku? Kalau kau ingin, 
dipanggil guru oleh cucuku, ya silakan! Kenapa mes-
ti minta izin?"
"Justru karena cucumu itulah yang mengha-
ruskan agar aku minta izin padamu. Tapi boleh kan, 
cucumu memanggilku guru? Masa' aku sudah me-
wariskan hampir semua kepandaianku, tapi cucumu 
tetap saja tak mau memanggilku guru? Ini kan lu-
cu."
"Hm...!" Eyang Begawan Kamasetyo mengge-
leng-gelengkan kepala. "Kau ini ada-ada saja, Damar 
Suto. Mau-maunya dikerjai cucuku yang nakal itu."
"Habis...."
"Kau ini lucu. Masa sudah tua begini masih 
saja mau diakali bocah kemarin sore. Apa susahnya

sih, bilang bahwa kau sudah menemuiku?"
"Ah...!" Lagi-lagi Raja Penyihir hanya mene-
puk-nepuk jidatnya. "Benar! Kau benar, Kamasetyo. 
Cucumu memang nakal. Bodohnya aku, kenapa 
mau dikerjai begini. Awas kalau ketemu nanti. Pasti 
cucumu akan kubalas."
"Ggggecerrrr...!"
Tiba-tiba dinding-dinding goa di puncak Gu-
nung Bucu bergetar keras oleh sebuah gerengan 
menyeramkan. Batu-batu besar kecil berjatuhan da-
ri langit-langit goa. Raja Penyihir dan Eyang Bega-
wan Kamasetyo heran sekali. Buru-buru mereka 
mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara 
gerengan barusan. 
"Ggggeeerrrr...!"
Kedua lelaki tua ini sama-sama memandang 
heran pada sepasang mata Siluman Naga Puspa 
yang mencorong beringas. Jelas arahnya ke Raja Pe-
nyihir. Ujung ekornya dikibaskan ke sana kemari, 
membuat dinding-dinding goa bergelar. Pada saat itu 
juga, tiba-tiba tercium harum bunga melati yang 
amat menusuk hidung.
Eyang Begawan Kamasetyo tahu, putrinya 
tengah marah namun ia belum tahu kenapa tiba-
tiba Siluman Naga Puspa jadi bersikap demikian.
"Ratri! Hentikan!" tegur Eyang Begawan Ka-
masetyo.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis sambil 
mengibas-ngibaskan ekornya ke sana kemari.
"Oooo! Jadi kau tak terima kalau Raja Penyi-
hir akan menuntut balas pada puteramu..,?" kata 
Eyang Begawan Kamasetyo, dapat menangkap apa 
arti desisan Siluman Naga Puspa.

Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. 
Eyang Begawan Kamasetyo mengangguk-angguk. 
"Baik! Aku tahu kalau kau sangat menyayangi pute-
ramu. Kukira, aku pun juga tak menginginkan orang 
lain mencelakakan puteramu."
"Ratri! Kau jangan salah paham! Aku tak 
bermaksud mencelakakan puteramu. Aku hanya in-
gin memarahinya," jelas Raja Penyihir.
Siluman Naga Puspa kembali mendesis-desis. 
Tapi sayang, Raja Penyihir hanya melongo. Lelaki 
tua ini tak tahu, apa yang dikatakan Siluman Naga 
Puspa. Terpaksa kepalanya menoleh ke arah Eyang 
Begawan Kamasetyo.
"Putriku bilang, tak apa-apa kalau kau hanya 
ingin memarahi. Asal, jangan sampai mencelaka-
kannya," papar guru dari Siluman Ular Putih.
"Edan! Mana mungkin aku mencelakakan bo-
cah sinting itu. Soma sudah kuanggap seperti mu-
ridku sendiri. Ya, memang puteramu itu muridku. 
Tapi puteramu malah mengerjaiku," sungut Raja Pe-
nyihir.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali 
ini, tak ditujukan pada Raja Penyihir. Tapi, dituju-
kan pada Eyang Begawan Kamasetyo.
"Apa kau bilang. Ratri? Kau kangen pada pu-
teramu? Ya ya ya...! Aku tahu. Dan kau ingin berte-
mu dengan puteramu! Hm...!" Eyang Begawan Ka-
masetyo mengangguk-angguk, lalu menoleh pada 
Raja Penyihir. "Bagaimana, Damar Suto? Kukira kau 
harus segera membawa cucuku kemari!"
"Waduh! Apa mau bocah sinting itu kuajak 
kemari, Kamasetyo? Disuruh memanggil guru pada-
ku saja, susahnya minta ampun. Apalagi kalau ha

rus disuruh membawa cucumu kemari," keluh Ki 
Damar Suto.
"Bilang, ibunya ingin ketemu! Mustahil cucu-
ku tak mau pulang. Cepat sana pergi!" ujar Eyang 
Begawan Kamasetyo.
"Baik," sahut Raja Penyihir cepat, seraya ber-
balik.
Tanpa banyak cakap. Raja Penyihir segera 
berkelebat keluar dari lorong goa tempat tinggal 
Eyang Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Pus-
pa.
"Zzzzt! Zzzzt!"
Siluman Naga Puspa mendesis desis lagi. Se-
pasang matanya yang mencorong kini berair, seolah-
olah tak tahan lagi menahan rindunya untuk segera 
bertemu dengan putra kesayangannya.
"Sudahlah! Jangan menangis, Ratri! Sekarang 
teruskan saja tapamu! Nanti Raja Penyihir toh juga 
akan membawa puteramu kemari."
Siluman Naga Puspa mendesis-desis seraya 
menggeleng-geleng.
"Apa? Kau tak ingin melanjutkan bertapa ka-
lau belum bertemu puteramu?"
Siluman Naga Puspa mengangguk-angguk.
Eyang Begawan Kamasetyo sebenarnya ingin 
melarang. Namun, saat teringat akan penderitaan 
putrinya, hatinya jadi tak tega.
"Baiklah! Kalau memang itu kemauanmu, Ra-
tri," desah Eyang Begawan Kamasetyo, mengalah.

LIMA

Di antara tebalnya kabut yang bergerak per-
lahan dua sosok bayangan putih dan kelabu tengah 
saling gebrak. Begitu cepat gerakan mereka sehingga 
yang terlihat hanya kelebatan bayangan putih dan 
kelabu yang saling gebrak, kemudian saling men-
jauh seperti mengambil jarak.
Begitu masing-masing berdiri tegak, tampak 
sepintas kalau paras maupun potongan tubuh ke-
dua orang kakek itu sama. Tubuh mereka kurus 
kering. Rambut, alis mata, bulu mata, dan jenggot 
semua memutih. Hanya pakaian itu saja yang mem-
bedakan mereka. Yang satu berpakaian serba putih, 
dan satu lagi berwarna kelabu. Siapa lagi kedua to-
koh ini kalau bukan Dua Orang Tua Aneh Putih Ke-
labu, yang merupakan kakak seperguruan Ratu 
Pring Sewu.
"Ayo, Kelabu! Cepat keluarkan jurus 'Kuda 
Binal dari Utara'!" teriak kakek berpakaian serba pu-
tih.
"Baik. Jangan menyesal kalau pantatmu kena 
gebuk, Kang," sahut kakek berpakaian kelabu.
Kakek Kelabu menghentak-hentakkan ka-
kinya keras-keras. Dari mulutnya terdengar ringki-
kan mirip kuda. Suara ringkikannya membahana 
memenuhi hutan itu.
Kakek Putih sejenak tergetar mendengar sua-
ra-suara ringkikan dari Kakek Kelabu yang seolah 
hendak merobek-robek gendang telinga. Maka buru-
buru tenaga dalamnya dikerahkan, sehingga ringki-
kan Kakek Kelabu tak lagi mengganggu.

"Heaaa...!"
Dikawal teriakan membahana, Kakek Kelabu 
menerjang ganas Kakek Putih. Dari kedua telapak 
tangannya mengeluarkan sinar terang yang mene-
barkan hawa panas. Inilah pukulan sakti Kakek Ke-
labu yang lebih dikenal dengan pukulan 'Tongkat 
Penggebuk Iblis'.
"He he he...! Cuma pukulan 'Tongkat Pengge-
buk Iblis'. Aku tak takut," ejek Kakek Putih, senang 
sekali meladeni adik seperguruannya.
Satu tombak lagi datang serangan, Kakek Pu-
tih segera mengeluarkan pukulan andalan. Tanpa 
banyak cakap segera dikerahkannya tenaga dalam 
ke arah kedua tangan yang kemudian dihadapkan 
ke depan. Seketika meluruk dua larik sinar kuning 
terang dari kedua telapak tangannya memapak pu-
kulan Kakek Kelabu.
Besss!
Tak terdengar apa-apa akibat bentrokan dua 
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Namun, pukulan 
'Tongkat Penggebuk Iblis' milik Kakek Kelabu tiba-
tiba tertahan di udara. Lalu laksana dihantam ke-
kuatan luar biasa, tiba-tiba pukulan itu menukik 
keras ke bawah!
Blammm!
Tanah berbatu kontan berhamburan tinggi ke 
udara dan segera menutupi pemandangan untuk 
beberapa saat. Samar-samar Kakek Kelabu mencelat 
sampai dua tombak ke belakang. Ia berusaha men-
guasai keseimbangan tubuh begitu mendarat di ta-
nah. Namun sayang kedua kakinya goyah. Maka ti-
dak lama kemudian, Kakek Kelabu pun jatuh terdu-
duk dengan tubuh bergetar dan napas memburu!

Di pihak lain, tubuh Kakek Putih sendiri ter-
jajar mundur beberapa langkah ke belakang. Sosok-
nya terlihat bergoyang-goyang. Namun sebentar ke-
mudian telah diam. Malah sembari berkacak ping-
gang ia terkekeh senang.
"He he he...! Apa kubilang? Pukulan 'Tongkat 
Penggebuk Iblis'-mu tak berarti sama sekali, bu-
kan?" ejeknya.
"Enak saja ngomong! Kau pikir aku sudah ka-
lah, he?!" balas Kakek Kelabu sengit.
"He he he! Sudah! Jangan marah-marah! Kita 
hentikan saja latihan ini. Kalau diteruskan, bisa 
modar nanti," ujar Kakek Putih, meredam kemara-
han Kakek Kelabu.
"Tapi.... Tapi...," Kakek Kelabu memberengut. 
"Aku penasaran, Kang."
"Aku juga. Tapi, bukan penasaran denganmu. 
Melainkan, dengan Siluman Ular Putih. Tak kusang-
ka bocah gondrong itu mampu mengatasi Empat Ib-
lis Merah dari Hutan Seruni. Apa kau tak penasa-
ran, Kelabu? Apa kau tak ingin menjajal kehebatan 
bocah gondrong itu?" tukas Kakek Putih.
"Ah, iya? Benar juga kau, Kang. Aku juga pe-
nasaran. Aku ingin sekali mengajaknya bertarung 
untuk membuktikan siapa yang lebih unggul," sam-
but Kakek Kelabu gembira. Padahal mulutnya baru 
saja bersungut-sungut tak senang mendengar eje-
kan kakak kembarnya.
"Nah...! Memang itulah yang kuinginkan, Ke-
labu. Tapi, sayang. Bocah gondrong itu tak ada di 
sini. Kalau ada, sudah pasti kutantang bertarung," 
keluh Kakek Putih.
"Ya ya ya...! Bagaimana kalau kita cari saja

bocah gondrong itu, Kang?" usul Kakek Kelabu.
"Baik! Aku setuju usulmu, Kelabu. Ayo, kita 
cari bocah gondrong itu!" .sahut Kakek Putih menye-
tujui.
Saat itu pula, Kakek Putih segera menjejak ke 
tanah. Sosoknya yang tinggi kurus pun segera ber-
kelebat cepat, meninggalkan tempat itu. Namun ba-
ru beberapa tombak....
"Tunggu, Kang! Lihat! Siapa yang datang!" te-
riak Kakek Kelabu yang belum beranjak dari tem-
patnya. Telunjuknya menuding ke jalan setapak tak 
jauh dari tempat ini. 
Mau tidak mau Kakek Putih harus berhenti. 
Pandangan matanya segera dialihkan ke arah jalan 
setapak.
"Ah, iya? Kau benar, Kelabu. Inilah mungkin 
yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba. Ayo, cepat 
hampiri mereka!"
Tanpa menunggu kesanggupan adik sepergu-
ruannya, Kakek Putih kembali berkelebat ke tempat 
yang dimaksud. Hanya dalam beberapa kelebatan 
saja, sosoknya telah berada di kejauhan. Sementara 
tentu saja Kakek Kelabu tak mau kalah ketinggalan. 
Dengan sekali menghentak, tiba-tiba sosoknya telah 
berkelebat menyusul kakak seperguruannya.
* * *
"Selamat bertemu kembali, Siluman Ular Pu-
tih. Beruntung benar aku kali ini. Baru saja kami 
membicarakanmu, eh, tahu-tahu orangnya sudah 
muncul," sambut Kakek Pulih sumringah, begitu ti-
ba di hadapan orang yang ditunjuk Kakek Kelabu

tadi. Rupanya tadi Kakek Kelabu melihat Siluman 
Ular Pulih dan Arum Sari yang tengah berjalan sam-
bil bersenda gurau.
"Iya. Rupanya kau panjang umur juga, Bocah 
Gondrong. Tapi ngomong-ngomong, tampaknya ka-
lian asyik sekali. Mau ke manakah kalian berdua?" 
timpal Kakek Kelabu pula.
"Kami berdua sedang melakukan perjalanan 
ke puncak Gunung Bucu. Ada apakah? Kenapa ka-
lian tersenyum-senyum begitu?" tanya Siluman Ular 
Pulih dengan kening berkerut, menangkap senyum 
penuh arti Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu. 
"He he he...! Katanya kau ingin mencari Peng-
huni Kubur?" kata Kakek Kelabu, berbasa-basi.
"Memang. Apakah kalian tahu di mana dia?" 
Arum Sari yang menyahuti.
"Belum. Bangkotan tua itu sulit sekali dicari. 
Tapi...."
"Ala...! Sudahlah, Kelabu! Jangan basa-basi! 
Bilang saja terus terang! Kenapa plintal-plintut begi-
ni?" tukas Kakek Pulih tak sabar.
Kakek Kelabu meringis. Seringaiannya diha-
diahkan sebentar ke arah Siluman Ular Putih dan 
Arum Sari.
"Ada apa sih? Kok, sepertinya ada sesuatu 
yang disembunyikan?" tanya Siluman Ular Putih he-
ran.
"He he he...! Kau adalah pendekar besar, Si-
luman Ular Pulih. Aku senang sekali bertemu den-
ganmu," kekeh Kakek Kelabu.
"Ah...! Jangan terlalu melebih-lebihkanku. 
Aku masih belum seberapa dibanding kalian ber-
dua."

"Siapa bilang kau di bawah kami? Buktinya 
saja, Empat Iblis Merah dibuat tak berdaya olehmu. 
Apa itu bukan bukti? Coba pikir lagi, apa julukan 
Siluman Ular Putih bukan satu nama besar di dunia 
persilatan dibanding kami-kami yang sudah tua 
ini?" terabas Kakek Putih, memancing.
"Hm...! Sebenarnya kalian berdua ini mau 
apa, sih?" tanya Siluman Ular Putih masih belum 
mengerti maksud dua orang tua di hadapannya.
"Iya, Kek. Baiknya katakan saja terus terang. 
Mumpung kami ada sedikit waktu sebelum melan-
jutkan perjalanan di puncak Gunung Bucu," pinta 
Arum Sari, menambahi.
"Eh...! Tidak boleh! Kalian tidak boleh me-
ninggalkan kami dulu. Kalian harus melayani kami 
dulu!" tukas Kakek Putih sewot.
"Melayani apa?" tanya Arum Sari, mulai tak 
senang.
Kakek Putih tidak langsung menjawab. Kepa-
lanya menoleh sebentar ke arah Kakek Kelabu. Lalu, 
kedua orang tua renta itu pun sudah terkekeh-
kekeh senang. Entah apa maksud kekehan mereka 
itu.
"He he he...! Sudah tentu kalian harus me-
layani kami. Tapi, jangan berpikir macam-macam 
dulu, ya! Kami hanya ingin minta petunjuk barang 
satu dua jurusan, Siluman Ular Putih," jelas Kakek 
Kelabu.
"Ah...! Jangan begitu, Orang Tua! Harap ka-
lian mengerti! Kami berdua sedang terburu-buru. Di 
samping itu, temanku belum tentu mau meladeni 
kalian! Untuk itu, berilah kami lewat, Orang Tua!" 
tolak Arum Sari kalem.

"Yeeee...! Tak bisa begitu! Tepatnya, kita ha-
rus berlatih barang beberapa jurus. Setelah itu, ka-
lian boleh meneruskan perjalanan. Bukankah begi-
tu, Kakang Putih?"
"Betul! Kau harus menuruti keinginan kami, 
Siluman Ular Putih. Sudah, jangan sungkan-
sungkan seperti anak perawan mau dipingit! Ayo, ki-
ta berlatih!"
"Kalian terlalu memaksa. Bagaimana ini, 
Arum?" tanya Siluman Ular Pulih, seraya menoleh 
ke arah Arum Sari untuk minta pendapat.
"Bolehlah! Barangkali mereka memang ingin 
mendapat pelajaran dari kita," sahut Arum Sari, 
kesal juga.
"Hik hik hik...! Gadis cantik itu benar. Kita 
memang harus berlatih barang beberapa jurus dulu. 
Tapi, harap hati-hati. Jangan-jangan malah kalian 
yang terkena gebukan tongkatku!" ujar Kakek Putih, 
senang sekali melihat Arum Sari tak menolak kein-
ginan mereka.
"Hm...! Sebenarnya aku tak senang dengan la-
tihan ini, Kek. Tapi, berhubung kalian terlalu me-
maksa, yah.... Apa boleh buat?"
"Kita hanya berlatih. Ingat! Kita hanya berta-
rung bohong-bohongan," kekeh Kakek Kelabu tak 
dapat menyembunyikan perasaan senang.
"Sekarang, begini. Berhubung kami berjumlah 
dua orang, kalian boleh menyerang satu di antara 
kami. Atau, dua-duanya. Demikian juga dengan ka-
mi. Kami boleh saja menyerang Siluman Ular Pulih 
maupun gadis cantik itu. Bagaimana?" tambal Ka-
kek Putih.
"Baik. Apa pun cara main kalian, kami menu

rut!" putus Arum Sari tak sabar.
"Bagus-bagus! Memang itulah yang kami in-
ginkan."
Tanpa banyak cakap, Kakek Putih dan Kakek 
Kelabu segera menerjang Siluman Ular Pulih dan 
Arum Sari dengan jurus-jurus andalan. Tongkat di 
tangan mereka telah berkelebat cepat, mengurung 
kedua anak muda itu.
Wut! Wuttt! 
Melihat datangnya serangan, Siluman Ular 
Putih segera memainkan jurus andalan ‘Terjangan 
Maut Siluman Ular Putih’. Kedua telapak tangannya 
yang telah membentuk kepala ular telah meliuk-liuk 
indah di antara gulungan-gulungan tongkat. Dan 
dengan satu gerak tipu yang cukup manis, tiba-tiba 
kedua patukan tangan Siluman Ular Putih telah 
mengancam dada Kakek Putih.
"Ah...!" Kakek Putih terkesiap kaget. Sungguh 
tak disangka kalau akan mendapat serangan demi-
kian hebatnya. Padahal tadi, ia sebenarnya sedang 
mendesak Siluman Ular Putih.
Menyadari dadanya hendak jadi sasaran em-
puk, Kakek Putih segera menarik mundur tubuhnya 
ke belakang. Sambil bergerak, tongkat di tangan ka-
nannya cepat mengayun ke bawah.
"Hup!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih berkelit ke 
samping. Saat itu pula patukan tangan kanannya te-
lah meluncur ke iga Kakek Putih. 
Tuk! Tukkk! 
"Aaah...!"
Dua kali iga kiri Kakek Pulih terkena patukan 
tangan Siluman Ular Putih hingga kontan menjerit

kesakitan. Parasnya pias, saking terkejutnya. Iganya 
yang terkena patukan tadi terasa ngilu bukan main. 
Kalau saja Siluman Ular Pulih mengeluarkan tenaga 
dalam tinggi, bukan mustahil iga Kakek Putih akan 
remuk. Tapi, Soma tadi memang sengaja hanya 
mengerahkan sebagian dari kekuatan tenaga dalam-
nya.
"Hebat! Kau memang pantas menyandang ge-
larmu, Bocah Gondrong! Tapi, ingat! Aku belum ka-
lah," teriak Kakek Putih penuh kagum.
"Sudahlah! Tak ada gunanya kita meneruskan 
pertarungan ini. Baiknya hentikan saja, Kek!" ujar 
Siluman Ular Putih tak melanjutkan pertarungan.
"Tidak bisa! Kau hutang satu pukulan, Bocah. 
Mana mungkin aku membiarkanmu kalau aku be-
lum membayar impas!" tandas Kakek Pulih, seraya 
bergerak menerjang.
Siluman Ular Putih sebenarnya ingin mem-
bantah. Namun manakala tongkat di tangan Kakek 
Pulih kembali bergulung-gulung cepat menyerang 
dirinya, tak ada pilihan lain kecuali harus melade-
ninya.
Buk! Bukkk!
"Augh...!"
"Heh...?!"
Siluman Ular Putih tersentak kaget ketika 
mendadak dikejutkan teriakan Arum Sari di sebe-
lahnya. Tampak tubuh gadis cantik itu terbanting 
keras. Hal ini membuat Soma gusar bukan main. 
Buru-buru ditinggalkannya Kakek Putih dan segera 
menghampiri Arum Sari.
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Arum?" tanya Si-
luman Ular Putih cemas.

Arum Sari meringis kesakitan. Bibirnya yang 
kemerah-merahan digigit kuat-kuat. Lalu kepalanya 
menggeleng lemah.
Siluman Ular Putih jadi jengkel sekali. Ia hen-
dak memaki Kakek Putih dan Kakek Kelabu. Tapi 
kedua orang tua aneh itu malah sudah berjongkok 
di sampingnya.
"Aduuuh...! Kenapa jadi begini? Aku tadi 
hanya memukul biasa. Tapi kenapa begini akibat-
nya?" keluh Kakek Kelabu, penuh sesal. Wajahnya 
yang penuh keriput mendadak jadi murung. "Maaf-
kan aku, ya! Aku benar-benar tak ingin mencelaka-
kanmu. Tapi... Tapi...."
"Aduh...! Kenapa kalian jadi ribut! Katanya 
tak ingin mencelakakan temanku. Tapi buktinya te-
manku terluka," semprot Siluman Ular Putih.
"Yah...! Namanya juga latihan. Terkadang la-
tihan kan bisa saja terkena pukulan agak keras. Ja-
di, kau tak pantas menyalahkan adikku!" kilah Ka-
kek Putih membela adik kembarnya.
"Ya ya ya...! Aku mengerti. Kau memang tidak 
bermaksud mencelakakan temanku," ujar Siluman 
Ular Putih seraya menghela napas.
Kakek Putih dan Kakek Kelabu jadi berpan-
dangan sendiri. Entah, apa maksud pandang mata 
kedua orang tua aneh itu. Namun menilik parasnya 
yang murung jelas kalau mereka sebenarnya juga 
tak menginginkan kejadian itu.
Siluman Ular Putih tak begitu menggubris 
Kakek Putih dan Kakek Kelabu. Ia terus saja meno-
tok beberapa jalan darah di tubuh Arum Sari.
"Minumlah obat ini! Pasti lukamu cepat sem-
buh, Gadis!" ujar Kakek Putih mengulurkan sebuah

obat berwarna kuning ke arah Arum Sari.
Arum Sari ragu-ragu sebentar. Demikian juga 
Siluman Ular Putih.
"Kenapa melongo? Ragu-ragu, ya? Ini bukan 
racun. Ini obat penambah kekuatan bagi orang-
orang yang terluka. Kalau tak percaya, lihat!" Tiba-
tiba Kakek Putih menelan pil dalam genggaman tan-
gannya. "Tidak apa-apa, kan?"
Arum Sari dan Siluman Ular Putih saling ber-
pandangan sebentar.
"Sudah! Jangan ragu-ragu! Masa' aku ingin 
mencelakakan kalian, sih! Ayo, telan obat ini!" ujar 
Kakek Pulih lagi, kembali menyodorkan sebutir obat 
berwarna kuning yang baru saja diambil dari kan-
tung kecil yang menggelantung di pinggang.
"Hm...! Baiklah. Kukira kau memang benar, 
Kek. Minumlah, Arum. Aku yakin orang tua itu tak 
mungkin mencelakakanmu," ujar Siluman Ular Pu-
tih, memungut obat berwarna kuning dari telapak 
tangan Kakek Pulih. "Minumlah, Arum!"
Arum Sari memandang Siluman Ular Putih 
seksama
"Baiklah. Kukira orang tua itu memang tak 
salah. Aku sendiri yang salah, kenapa jadi teledor? 
Kalau aku tak teledor, tak mungkin terluka begini," 
kata Arum Sari. Tangan kanannya pun segera men-
jumput sebutir obat berwarna kuning di tangan Si-
luman Ular Putih dan menelannya.
Selang beberapa saat, napas Arum Sari pun 
tak lagi memburu. Dadanya yang tadi terkena gebu-
kan tongkat Kakek Kelabu lebih enakan.
"Iya, kan? Kami tak bermaksud mencelaka-
kan kalian," kata Kakek Putih bangga dengan obat

yang diberikan tadi.
"Terima kasih atas obatmu tadi, Kek. Teman-
ku kini sedikit mendingan. Oh, ya. Kakek berdua 
mau ke mana?" tanya Siluman Ular Putih.
"Wah...! Kita diusir, Kelabu," ujar Kakek Putih 
terlalu perasa.
"Sudahlah, Kang! Bagaimanapun juga kita 
yang salah! Kalau sekarang bocah gondrong itu 
mengusir kita, ya... apa boleh buat? Kita turuti saja 
kemauannya."
"Hm...! Sebenarnya aku belum puas. Bocah 
gondrong itu masih punya hutang satu pukulan pa-
daku. Aku belum sempat membayarnya," gumam 
Kakek Putih seraya mengerling ke arah Siluman Ular 
Putih.
"Ah...! Kalian ini bagaimana sih? Kalau kalian 
mau pergi, pergilah!" kata Siluman Ular Putih.
"Baik-baik. Kami memang ingin pergi," sungut 
Kakek Putih.
"Sudahlah, Kang! Ayo, kita tinggalkan tempat 
ini!" Kakek Kelabu cepat meraih lengan Kakek Putih.
Terdorong rasa bersalahnya, segera digeretnya 
Kakek Putih untuk cepat meninggalkan tempat ini. 
Dan hanya dalam beberapa kelebatan saja, sosok 
mereka telah menghilang di kejauhan sana tertelan 
kerimbunan hutan.
Siluman Ular Putih menghela napas panjang.
"Sekarang bagaimana keadaanmu. Arum? 
Sudah mulai membaik?" tanya Siluman Ular Putih 
penuh perhatian.
Arum Sari tersenyum samar. Entah kenapa, 
hatinya jadi rusuh sekali. Bukannya rusuh memi-
kirkan dadanya yang masih sedikit sesak, melainkan

karena memikirkan seraut wajah tampan di hada-
pannya.
"Aku sudah mendingan. Soma. Memang da-
daku masih sedikit nyeri. Tapi, kukira tak apa-apa. 
Mungkin sebentar lagi juga sembuh," ucap Arum Sa-
ri dengan senyum manis terkembang di bibir.
Sewaktu Arum Sari menyebutkan kalau da-
danya masih sedikit nyeri, tanpa sadar Soma pun 
melirik ke bagian tubuh yang dimaksudkan gadis 
itu. Dilihatnya, pakaian yang menutupi dada si gadis 
memang sedikit terkuak lebar, menampakkan seba-
gian bukit kembarnya yang membusung indah.
"Ah...! Kau nakal, Soma!" Arum Sari membe-
rengut manja. Tanpa malu-malu, pakaiannya yang 
robek segera dibetulkan.
Soma malah cengar-cengir. Entah kenapa 
tangannya lantas bergerak ke atas, menggaruk-
garuk kepala 
"Sudah, kan?" tanya gadis itu. 
"Ya," gumam Soma kaku. Mungkin kecewa 
dengan perbuatan Arum Sari yang membetulkan ba-
ju atau mungkin juga sebaliknya. "Bagaimana kea-
daan mu sekarang? Apa sudah dapat untuk melan-
jutkan perjalanan?"
"Hm...! Baiknya sebentar lagi saja, Soma. Aku 
ingin bersemadi barang sebentar untuk memulihkan 
tenaga dalam," pinta Arum Sari.
"Baiklah."

ENAM

Kakek Putih dan Kakek Kelabu terus berkele-
bat cepat ke utara. Sesekali terdengar gerutuan ke-
dua tokoh aneh itu karena merasa tak puas dengan 
apa yang baru saja dialami. Meski telah bertarung 
beberapa jurus, tetapi Dua Orang Tua Aneh Putih 
Kelabu merasa tak puas karena belum sepenuhnya 
menguji kepandaian Siluman Ular Putih.
Hal ini terutama sekali dialami oleh Kakek 
Putih. Maksud hatinya dalam menguji kepandaian 
Siluman Ular Putih harus terpangkas. Dan ini se-
mua gara-gara Kakek Kelabu yang tidak dapat men-
gendalikan diri, sehingga membuat Arum Sari terlu-
ka.
"Sial. Sudah ketemu orangnya, malah diusir. 
Gagal sudah keinginanku untuk menguji kepan-
daian Siluman Ular Putih. Dan ini semua gara-gara 
kau, Kelabu!" sungut Kakek Putih kesal.
"Eh...! Jangan sembarangan menuduh, Kang! 
Aku sendiri juga tak menginginkan hal ini. Tapi, ga-
dis itu memang brengsek. Kalau tak becus mengha-
dapiku, kenapa petentang-petenteng lagak. Huh!" 
dengus Kakek Kelabu, menyalahkan Arum Sari.
"Jangan menyalahkan orang lain! Kau sendiri 
harusnya tahu diri. Sudah tahu gadis itu berkepan-
daian tak seberapa, kenapa kau mencelakakannya?"
"Aku tak mencelakakannya!" kilah Kakek Ke-
labu seraya membantingkan kaki kesal. Sepasang 
matanya yang kelabu berkilat-kilat.
"Heh?! Tak mencelakakannya?" Kakek Putih 
menjengekkan hidung. "Buktinya? Kau melukainya.

Bahkan kaulah yang menggagalkan rencana kita un-
tuk menguji kepandaian Siluman Ular Putih."
Bukan main kesalnya Kakek Kelabu selalu 
disalahkan begitu. Ia tidak terima diperlakukan se-
perti ini.
"Kupret! Kau benar-benar kupret, Kang! Kalau 
masih bersikeras ingin menguji kepandaian Siluman 
Ular Putih, ayo sekarang hadapi aku! Anggap saja 
aku Siluman Ular Putih," makinya.
Kakek Putih terkekeh. Telunjuk jarinya me-
nuding tepat di jidat Kakek Kelabu.
"Mana bisa kau disamakan dengan Siluman 
Ular Putih. Ia masih muda, tampan, dan berkepan-
daian tinggi. Kau ini...?"
Kakek Putih tak melanjutkan ucapannya, dan 
kembali terkekeh senang.
"Jangan menghina, Kang! Biar begini aku ma-
sih sanggup menghadapi Siluman Ular Putih. Tak 
seperti kau yang tadi sempat dibuat bulan-bulanan 
oleh pemuda gondrong itu. Hih...! Kalau saja Silu-
man Ular Putih mau, bukan mustahil nyawamu su-
dah minggat, Kang!" balas Kakek Kelabu.
"Eh...! Enak saja kau ngomong! Kau pikir Si-
luman Ular Putih itu apa, he?! Dia itu pendekar be-
sar. Sudah pasti aku tak mampu menghadapinya. 
Apalagi kau! Menghadapiku saja masih pontang-
panting!" tangkis Kakek Putih.
"Jadi? Kau menantangku bertarung, Kang? 
Kau.... Kau....."
Kakek Kelabu menggeretakkan gerahamnya 
jengkel.
"Baik kalau memang itu yang kau inginkan! 
Jangan dikira aku takut menghadapimu, Kang!" desisnya, geram.
"Kau memang tak tahu diri, Kelabu! Sudah 
salah, pakai ngotot menantangku bertarung lagi."
"Jangan banyak omong, Kang! Sekarang ten-
tukan, siapa yang lebih jago di antara kita. Kau, 
atau aku. Kalau aku dapat dikalahkan, aku akan 
patuh pada apa maumu. Tapi kalau kau yang kalah,
kau yang harus menuruti semua kemauanku."
"Baik."
Panas juga akhirnya hati Kakek Putih men-
dapat tantangan begitu, ia yang merasa lebih dulu 
melihat terangnya dunia, jelas merasa terhina men-
dengar tantangan adik kembarnya. Namun sebelum 
kedua orang tua itu beradu kepandaian....
"Tikus-tikus busuk! Kalian berdua harus ber-
tanggung jawab atas tewasnya Empat Iblis Merah 
dari Hutan Seruni!"
* * *
Kakek Putih dan Kakek Kelabu melengak ka-
get begitu mendengar bentakan menggetarkan. Se-
ketika mereka segera berpaling ke arah datangnya 
suara. Ternyata, tak jauh dari mereka lelah berdiri 
seorang kakek yang jauh lebih tua dibanding mere-
ka. Tubuhnya tinggi kurus dibungkus kain kafan. 
Rambut, alis mata, dan bulu mata semua berwarna 
putih. Sepasang matanya mencorong bak sepasang 
mata serigala. Wajahnya pun amat mengerikan, mi-
rip wajah mayat hidup yang baru bangkit dari liang 
lahat.
"Penghuni Kubur...!" desis Kakek Putih dan 
Kakek Kelabu hampir bersamaan, mengenali sosok

yang baru datang ini.
Sosok lelaki renta di hadapan Kakek Putih 
dan Kakek Kelabu yang tak lain Penghuni Kubur 
hanya mendengus. Sepasang matanya yang menco-
rong makin berkilat-kilat mengerikan.
"Hm...! Sayang sekali bocah gondrong itu tak
bernasib bagus. Seharusnya dia yang harus bertemu 
memedi sawah ini. Tapi, tak kusangka malah aku 
dan Kelabu yang harus bertemu," gumam Kakek Pu-
tih dalam hati.
"Kau ingin mengungkit-ungkit kami, Penghu-
ni Kubur? Ingat! Kau salah alamat. Kami berdua 
merasa tak pernah membunuh Empat Iblis Merah. 
Lantas buat apa kau menghadang langkah kami?!" 
bentak Kakek Kelabu. Hatinya bergetar juga melihat 
sepasang mata Penghuni Kubur.
"Jangan banyak bacot! Di kolong dunia persi-
latan hanya Ratu Pring Sewu dan kalian berdua sa-
jalah yang memiliki pukulan ‘Tongkat Penggebuk Ib-
lis’. Kalau tidak, mana mungkin adik-adik sepergu-
ruanku tewas di tangan kalian. Di samping itu, aku 
yakin kalian tentu telah main keroyok untuk mem-
bunuh Empat Iblis Merah. Maka sekarang, kalian 
tak mungkin dapat mengelak dari kematian!" dengus 
Penghuni Kubur.
"Hm...! Lagakmu pongah sekali, Penghuni 
Kubur. Kau pikir kami takut mendapat gertak sam-
balmu?" geram Kakek Putih. "Kalau kami memang 
terlibat atas tewasnya Empat Bajingan Merah dari 
Hutan Seruni, kau mau apa, he?!" lanjut Kakek Pu-
tih sengit.
"Bagus! Berarti tak salah lagi! Siapa pun juga 
yang berani mengganggu adik-adik seperguruanku,

berarti mati! Tak peduli kalian berdua, Ratu Pring 
Sewu, maupun Eyang Begawan Kamasetyo sekali-
pun!"
"Jadi? Ap.... Apakah kau telah membunuh 
mereka?" tanya Kakek Kelabu, ragu-ragu membuka 
suara. Seolah, lidahnya terasa kelu.
"Belum semua. Yang jelas, nenek jelek itu su-
dah modar di tanganku!" sahut Penghuni Kubur, 
lantang.
"Apa? Kau telah membunuh Ratu Pring Se-
wu?" Kakek Putih dan Kakek Kelabu terperangah 
nyaris bersamaan.
"Tak ada gunanya kau tanyakan ini. Karena, 
sebentar lagi kalian berdua akan segera menyusul!"
"Setan alas! Kalau begitu, justru kaulah yang 
harus mampus di tangan kami, Penghuni Kubur!" 
teriak Kakek Putih, tak dapat lagi mengendalikan 
amarah. Maka saat itu pula kedua tangannya berge-
rak menghantam ke arah Penghuni Kubur. Serangan 
itu pun diikuti oleh Kakek Kelabu yang juga telah 
menghentakkan kedua tangannya.
Wuut! Wuuut!
Dari kedua telapak tangan Dua Orang Tua 
Aneh Putih Kelabu masing-masing melesat dua larik 
sinar terang yang sekaligus berisi hawa panas bukan 
kepalang!
Melihat serangan itu, jelas sekali kalau mere-
ka ingin segera menuntaskan persoalan dengan 
Penghuni Kubur secepatnya.
Di depan sana, Penghuni Kubur sama sekali 
tidak membuat gerakan, seolah tak mempedulikan 
serangan. Tentu saja hal ini membuat Kakek Putih 
dan Kakek Kelabu harus membelalakkan mata sak

ing herannya. Malah Penghuni Kubur tampak terse-
nyum dingin. Tapi begitu senyumnya terputus tiba-
tiba, kedua telapak tangannya tahu-tahu telah 
menghentak ke depan.
Weeess! Weeeeeesss!
Saat itu pula melesat dua bola asap sebesar 
roda pedati diiringi suara berderak. Dan begitu sinar 
terang berwarna kuning yang dilepaskan Kakek Pu-
tih dan Kakek Kelabu berbenturan dengan dua bola 
asap yang melesat dari kedua telapak tangan Peng-
huni Kubur...
Blesss...!
Laksana memiliki daya betot luar biasa, em-
pat larik sinar terang dari kedua telapak tangan Ka-
kek Putih dan Kakek Kelabu lenyap ke dalam gulun-
gan dua bola asap! Di lain saat, tempat pertarungan 
kontan terguncang hebat meski tak ada ledakan su-
ara yang berarti akibat bentrokan tenaga dalam 
tingkat tinggi barusan. Gulungan bola-bola asap ter-
lihat ambyar berkeping-keping, memporak-
porandakan apa saja yang ada di sekitar tempat per-
tarungan. Pohon-pohon pun berderak, menggugur-
kan daun-daunnya yang hangus terbakar!
Tepat ketika dua gulungan bola asap tadi am-
byar, sosok Kakek Pulih dan Kakek Kelabu terjajar 
beberapa langkah ke belakang dengan paras pucat 
pasi. Beberapa saat tubuh mereka bergetar hebat 
dengan napas memburu!
Bagaimana nasib Penghuni Kubur? Ternyata 
lelaki sesat ini hanya tampak bergoyang-goyang saja. 
Sepertinya, pukulan Kakek Putih dan Kakek Kelabu 
tak begitu berarti. Meski demikian, tenaga dalamnya 
cepat dikerahkan untuk menyusun kekuatan kem

bali.
"Saat inilah kalian harus merasakan balasan-
ku! Heaa!"
Diiringi teriakan dahsyat, tiba-tiba Penghuni 
Kubur kembali menghentakkan kedua telapak tan-
gannya. Tak dapat dicegah lagi, saat itu pula melu-
ruk dua larik cahaya merah darah yang siap mela-
brak tubuh Kakek Putih dan Kakek Kelabu.
"Heh?!"
Dua Orang Tua Aneh Pulih Kelabu itu terbela-
lak dengan mulut terbuka lebar. Tapi mereka segera 
memapak dengan pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis' 
andalan mereka.
Wesss! Wesss!
Begitu kedua tangan mereka yang menghen-
tak, seketika meluruk empat larik sinar kuning yang 
diiringi hawa panas bukan kepalang. Lalu....
Blammm!
Hebat bukan main bentrokan tiga tenaga da-
lam tingkat tinggi yang terjadi saat ini. Seketika bu-
mi bergetar hebat laksana terjadi gempa dahsyat. 
Debu-debu beterbangan memenuhi tempat perta-
rungan.
Tepat ketika terdengar ledakan, Kakek Putih 
dan Kakek Kelabu terpental jauh ke belakang. Tu-
buh mereka berputar-putar sebentar, lalu terbanting 
keras di tanah dengan paras pias. Mereka meringis, 
menahan hentakan-hentakan dalam dada. Dan.... 
"Uoooeekh...!"
Darah merah kehitam-hitaman kontan me-
nyembur dari mulut Kakek Putih dan Kakek Kelabu. 
Meski telah berusaha mengerahkan tenaga dalam, 
namun tetap saja dada mereka terasa nyeri bukan

main. Seolah-olah, ada satu kekuatan dahsyat yang 
mengaduk-aduk dalam dada. Namun begitu mereka 
berusaha untuk bangkit.
Penghuni Kubur tertawa bergelak. Selangkah 
demi selangkah didekatinya Kakek Putih dan Kakek 
Kelabu yang sudah dapat berdiri meski sempoyon-
gan. Ketika berada dua tombak dari kedua lawan, le-
laki tua sesat melompat melepas tendangan dahsyat.
Tak ada waktu bagi Kakek Putih dan Kakek 
Kelabu untuk menghindar. Mereka hanya membela-
lakkan mata, pasrah menunggu ajal. Dan....
Desss! Desss! 
"Aaakh...!"
Kakek Pulih dan Kakek Kelabu meraung se-
tinggi langit. Tanpa ampun tubuh mereka terlempar 
jauh ke belakang. Begitu menabrak batang pohon 
dan menggeloso di tanah, tubuh mereka tidak berge-
rak-gerak sama sekali!
"Itulah balasannya! Siapa pun juga yang be-
rani mengganggu adik-adik seperguruanku, berarti 
mati! Sekarang giliran tua bangka dari Gunung Bu-
cu yang harus modar di tanganku!" geram Penghuni 
Kubur.
7l
TUJUH


Di ufuk timur, matahari baru saja menam-
pakkan sinarnya yang kuning kemerahan. Beberapa 
burung liar ramai membanggakan kicauannya di 
ranting-ranting pohon. Suaranya merdu seolah ingin 
menyambut datangnya sang Raja Siang. Sementara 
gumpalan-gumpalan awan putih berarak-arak per
lahan tertiup semilir angin.
Dalam terpaan lembut angin pagi di lereng 
Pegunungan Dieng, seorang kakek tua renta tengah 
berdiri mematung memandang lembah yang meng-
hampar di hadapannya. Laksana tonggak hidup, se-
pasang matanya yang bersih terus terarah pada pe-
mandangan indah di hadapannya namun dengan ta-
tapan kosong. Raut wajahnya yang putih bersih 
tampak berselimut duka. Agak-nya, kakek tua yang 
rambut putihnya digelung ke atas ini tengah dilanda 
keresahan.
Siapakah sebenarnya kakek renta ini?
Menilik ciri-cirinya, lelaki tua ini memang tak 
lain dari Eyang Begawan Kamasetyo. Tentu ada satu 
hal yang amat mendesak dan menggelisahkan ha-
tinya sehingga membuatnya keluar dari tempat per-
tapaan.
"Ke manakah Ratri pergi? Kenapa sudah dua 
hari ini belum kembali ke tempat pertapaan? Hm...."
Eyang Begawan Kamasetyo menggumam da-
lam hati. Napasnya ditarik panjang-panjang, seolah-
olah ingin melenyapkan keresahan dalam hatinya 
dalam tarikan napasnya. Rupanya, inilah yang 
membuat hatinya gundah.
"Kasihan sekali nasib putriku. Sudah berta-
hun-tahun bertapa, Yang Maha Kuasa belum juga 
mengabulkan keinginannya. Sehingga, putriku tetap 
berwujud seekor ular putih. Menyedihkan...."
Eyang Begawan Kamasetyo termangu-mangu 
di tempatnya. Ia jadi berpikiran yang bukan-bukan. 
Karena penderitaan putri kesayangannya itulah 
yang membuatnya lebih senang mengasingkan diri 
dari dunia persilatan. Lelaki tua ini merasa harus

menemani anaknya bertapa.
"Mungkinkah hanya karena rasa rindunya 
dengan Soma hingga membuat putriku keluar dari 
tempat pertapaannya? Hm... Bisa jadi. Tapi, cucuku 
sendiri juga kebangetan. Sudah berbulan-bulan tak 
kunjung datang menjenguk ibunya di Gunung Bu-
cu...."
Sekali lagi, Eyang Begawan Kamasetyo meng-
hela napasnya panjang. Berpikir sampai di situ, di-
am-diam hatinya jadi maklum kenapa putrinya ha-
rus keluar dari tempatnya bertapa. Memang, Soma 
adalah segala-galanya bagi Siluman Naga Puspa. 
Pemuda itu satu-satunya putra kesayangan Siluman 
Naga Puspa. Terdorong sifat keibuannya, Ratri ru-
panya tak dapat menahan rindu yang mendera hati. 
Cuma yang disayangkan Eyang Begawan Kamasetyo, 
kenapa putrinya tak mau pamit?
Sudah dua hari dua malam Eyang Begawan 
Kamasetyo keluar masuk hutan mencari putrinya, 
namun belum juga menemukan Siluman Ular Putih.
"Ke mana lagi aku harus mencari putriku? Ya 
mudah bagiku mencari Ratri yang tentu saja lebih 
banyak menyembunyikan diri di semak belukar bila 
bertemu manusia. Hm...! Tapi biar bagaimanapun 
juga, aku tetap harus mencari. Sesulit apa pun!" 
tandas hati Eyang Begawan Kamasetyo memu-
tuskan.
Eyang Begawan Kamasetyo segera berbalik 
bermaksud meninggalkan tempat itu. Namun baru 
saja hendak melangkah, tiba-tiba matanya melihat 
sesosok bayangan tengah melenggang santai di jalan 
setapak dengan tongkat terantuk-antuk di tangan. 
Melihat siapa yang tengah berjalan, raut wajah

Eyang Begawan Kamasetyo kontan berseri-seri.
"Sobatku Raja Penyihir! Cepat kemari!"
Meski Eyang Begawan Kamasetyo telah me-
manggil, namun toh tetap berkelebat juga mendekati 
sosok yang dilihatnya sebagai Raja Penyihir.
* * *
"Kau...!"
Kerutan di kening Raja Penyihir tampak ma-
kin banyak. Hatinya merasa heran sekali melihat 
kemunculan Eyang Begawan Kamasetyo.
"Jangan banyak tanya! Aku sudah tahu, apa 
yang ingin kau ucapkan," ujar Eyang Begawan Ka-
masetyo begitu berada di dekat Raja Penyihir.
Raja Penyihir alias Ki Damar Suto melengos. 
Rupanya ia tak senang mendengar bentakan lelaki 
tua di hadapannya.
"Apa kau sudah menemukan cucuku, Sobat?" 
terabas Eyang Begawan Kamasetyo.
"Jangan banyak tanya! Aku sudah tahu, kau 
pasti akan menanyakan hal itu," balas Raja Penyihir 
ketus, menirukan gaya bicara Eyang Begawan Ka-
masetyo tadi.
"Jangan bercanda, Sobat! Aku bersungguh-
sungguh."
"Siapa bercanda? Aku tidak bercanda. Justru 
aku sedang mencari cucu brengsekmu. Tapi, kenapa 
kau tak sabar amat untuk segera bertemu cucumu?" 
hardik Raja Penyihir.
"Bukannya aku tak sabar. Tapi...."
"Ngomong plintat-plintut! Bilang saja kau juga 
kangen pada cucu brengsekmu itu, kan?" potong Ra

ja Penyihir.
"Putriku pergi...."
"Apa? Putrimu pergi?" sentak Raja Penyihir 
kaget dengan mata membelalak. "Mustahil. Bukan-
kah putrimu sedang bertapa di sampingmu? Mana 
mungkin ia meninggalkanmu begitu saja!"
"Kau makin cerewet saja, Sobat! Kalau putri-
ku tak pergi, mana mungkin aku meninggalkan 
tempat pertapaanku," cibir Eyang Begawan Kama-
setyo.
"Oh...! Ya ya ya...! Jadi, kau sedang mencari 
putrimu, he?!" kata Raja Penyihir.
Eyang Begawan Kamasetyo diam tak menya-
hut, seolah tak berhasrat lagi meladeni ucapan Raja 
Penyihir.
Didiamkan seperti itu, Raja Penyihir malah 
jadi uring-uringan sendiri. Ia berjalan mondar-
mandir tak tentu arah. Tongkat di tangan kanannya 
diketuk-ketukkan ke tanah seenak hati.
"Sekarang apa kau juga ingin melimpahkan 
tugas itu padaku, Kamasetyo?" tanya Raja Penyihir 
dengan nada kesal.
"Maksudmu?"
"Kau bermaksud menyuruhku mencari Silu-
man Ular Putih, sekalian mencari putrimu?"
"Siapa yang ngomong begitu? Tapi kalau kau 
tak keberatan, aku akan senang."
"Enak saja! Kita cari berdua, tahu?! Untung 
aku masih berbaik hati. Kalau tidak, mana sudi aku 
membantumu!"
"Baiklah. Ayo, kita cari putriku," sahut Eyang 
Begawan Kamasetyo akhirnya.
"Biasanya ke mana putrimu pergi, Kama

setyo?"
"Mana aku tahu? Putriku hampir tak pernah 
keluar dari tempatnya bertapa."
"Hm...! Kalau begitu, ya.... Tak ada pilihan 
lain. Rupanya, kita memang diharuskan mencarinya 
sendiri, Kamasetyo."
Sebenarnya Eyang Begawan Kamasetyo ingin 
sekali membantah ucapan Raja Penyihir. Namun 
mungkin karena malas bertengkar mulut, akhirnya 
hanya menurut saja. Dan tatkala Raja Penyihir ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu, Eyang Be-
gawan Kamasetyo segera menyusul.
Matahari sudah berada sepenggalah di ufuk 
timur. Sengatannya belum begitu panas menyirami 
sebuah hutan kecil di sekitar kaki Pegunungan Di-
eng. Di tengah hutan, dua orang anak muda berke-
lebat cepat, menuju dataran tinggi dieng melalui le-
reng sebelah timur. Suara canda mereka sesekali 
terdengar memecah kesunyian hutan. Yang satu 
seorang gadis cantik berpakaian serba hijau. Sedang 
di sebelahnya seorang pemuda tampan berambut 
gondrong dengan pakaian rompi dan celana bersisik 
warna putih keperakan. Mereka tidak lain adalah Si-
luman Ular Putih dan Arum Sari.
Memang setelah luka dalam Arum Sari sem-
buh, Soma tak ingin membuang-buang waktu untuk 
mengejar Penghuni Kubur yang bermaksud ingin 
menyatroni puncak Gunung Bucu tempat tinggal 
eyang dan ibunya.
"Tunggu, Soma! Coba perhatikan tempat ini 
baik-baik! Tampaknya seperti baru saja terjadi per-
tarungan di sini," ujar Arum Sari, tiba-tiba seraya 
menghentikan langkah.

Siluman Ular Putih ikut menghentikan lang-
kah di samping Arum Sari. Mungkin karena pikiran-
nya sedang rusuh memikirkan sepak terjang Peng-
huni Kubur yang bermaksud menyatroni Gunung 
Bucu, sehingga Soma tak begitu menghiraukan kea-
daan sekitar. Kenyataannya setelah diperhatikan, 
tempat itu memang tampak seperti baru saja terjadi 
pertarungan besar. Tanah bebatuan di sekitarnya 
terbongkar. Banyak pohon yang tumbang. Sementa-
ra percikan-percikan darah yang belum kering jelas 
terlihat, menandakan kalau di sekitar tempat itu 
memang baru saja terjadi pertarungan.
"Kau benar, Arum. Tampaknya tempat ini 
memang baru saja terjadi pertarungan besar. Tapi, 
rasa-rasanya tempat ini tak perlu diteliti lagi. Uru-
san kita masih menunggu di puncak Gunung Bucu. 
Aku tak ingin terlambat, Arum. Ayo, kita teruskan 
perjalanan," tandas Soma, tegas.
"Tunggu, Soma! Apa kau tak lihat di bawah 
pohon itu tergeletak dua sosok mayat?" sergah Arum 
Sari.
Tanpa menunggu jawaban. Arum Sari cepat 
berkelebat ke tempat yang dimaksud. Begitu sampai, 
si gadis kontan memekik kaget melihat dua sosok 
tubuh yang tewas amat mengerikan. Sekujur tubuh 
kedua mayat itu hancur. Namun dari pakaian yang 
dikenakan, Arum Sari masih dapat mengenali.
"Kakek Putih dan Kakek Kelabu...!" desis 
Arum Sari. "Siapa yang melakukan perbuatan keji 
ini?"
Siluman Ular Putih yang kembali tak begitu 
bersemangat kini jadi tersentak kaget manakala 
Arum Sari menyebutkan nama mayat Kakek Pulih

dan Kakek Kelabu. Dengan sekali berkelebat. Soma 
telah berdiri tegak di samping Arum Sari.
"Hm...! Siapa lagi yang telah melakukan per-
buatan keji ini...?"gumam Siluman Ular Putih. Diteli-
tinya mayat kedua orang tua aneh itu seksama. Ter-
nyata pemuda ini menemukan tanda-tanda yang 
sama dengan yang dialami Ratu Pring Sewu.
"Tampaknya orang yang melakukan perbua-
tan keji ini sama," duga Siluman Ular Putih.
"Maksudmu?" tanya Arum Sari.
"Hm...!" Siluman Ular Putih mengerutkan 
kening.
"Ratu Pring Sewu menemui ajal dengan seku-
jur tubuh memerah. Malah kedua telapak hingga 
lengan hangus terbakar. Keadaan mayat kedua 
orang tua ini pun sama. Tampaknya mereka sama-
sama terkena pukulan yang juga dialami Ratu Pring 
Sewu. Jadi kesimpulanku, yang melakukan semua 
perbuatan keji ini satu orang." 
"Maksudmu..., Penghuni Kubur?" 
"Yah...!" Siluman Ular Putih mengangguk. 
"Baiknya cepat kita kubur kedua mayat orang tua 
ini. Arum. Aku tak ingin Penghuni Kubur sampai le-
bih dulu di Gunung Bucu...."
Arum Sari tak banyak membantah. Memang, 
hanya lewat cara itulah bila mereka ingin segera 
sampai di puncak Gunung Bucu.
8

DELAPAN


Penghuni Kubur mengedarkan pandangannya 
ke sekeliling, menyapu hamparan pasir dan bongkahan-bongkahan batu besar kecil yang berserakan di 
sekitar puncak Gunung Bucu. Lelaki berbalut kain 
kafan ini menggeram penuh kemarahan ketika sama 
sekali tak menemukan tandan-tanda kalau Eyang 
Begawan Kamasetyo berada di puncak gunung itu.
"Kamasetyo! Keluar! Aku datang meminta per-
tanggungjawaban mu atas tewasnya empat orang 
adik seperguruanku!" teriak Penghuni Kubur lan-
tang. Suaranya menggema memenuhi puncak gu-
nung, membuat binatang-binatang yang hidup di 
sekitar tempat ini pontang-panting ketakutan.
Tak ada sahutan. Hanya pantulan suara te-
riakannya saja yang terdengar bergema.
"Sekali lagi kau belum juga menampakkan 
batang hidungmu, jangan salahkan kalau aku ter-
paksa mengobrak-abrik puncak gunung ini, Kama-
setyo!" geram Penghuni Kubur, tak dapat lagi mena-
han amarah.
Tetap tak ada jawaban.
Habis sudah kesabaran Penghuni Kubur. Ge-
rahamnya terlihat makin mengeras. Kedua pelipis-
nya pun bergerak-gerak. Jelas sekali kalau lelaki se-
sat ini tak sabar lagi untuk bertemu Eyang Begawan 
Kamasetyo yang selama ini dicurigai sebagai pem-
bunuh Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni.
"Bajingan! Kau belum mau muncul juga, Ka-
masetyo!"
Penghuni Kubur menghentakkan kakinya 
kuat-kuat. Seketika, puncak Gunung Bucu bergetar 
hebat. Bongkahan-bongkahan batu dan pasir ber-
hamburan tinggi ke udara, membuat pemandangan 
di sekitarnya berselimut debu. Dan ketika debu yang 
membubung sirna tertiup angin, saat itu pula tercip

ta sebuah kubangan besar bekas pijakan kaki Peng-
huni Kubur.
"Bajingan! Benar-benar bajingan kau, Kama-
setyo! Ayo, tunjukkan dirimu! Jangan pengecut, 
Kamasetyo! Keluar! Kita tentukan nasib kita di sini. 
Kau atau aku yang lebih dulu berkalang tanah!" 
sumpah serapah Penghuni Kubur meluncur begitu 
saja.
Namun tetap tak ada tanda-tanda kalau 
Eyang Begawan Kamasetyo akan keluar dari tem-
patnya.
"Kamasetyo! Jangan pengecut kau! Cepat ke-
luar! Tunjukkan batang hidungmu!" teriak Penghuni 
Kubur. Hatinya murka bukan main, merasa diper-
mainkan oleh Eyang Begawan Kamasetyo. Melihat 
tanda-tanda kalau Eyang Begawan Kamasetyo tak 
akan muncul, Penghuni Kubur kembali hendak 
menghentakkan kakinya. Tapi....
"Bajingan tua! Kau tak patut membuat onar 
di puncak gunung ini! Siapa pun juga yang berani 
membuat onar di tempat ini, berarti berhadapan 
denganku. Ingat itu, Penghuni Kubur!"
"Heh...?!"
Penghuni Kubur mengurungkan niatnya saat 
terdengar bentakan keras membelah angkasa.
* * *
Sepasang mata mencorong Penghuni Kubur 
berkilat-kilat mengerikan. Dengusan napasnya kian 
memburu, pertanda tokoh sesat dari Hutan Seruni 
ini tak mampu lagi mengendalikan gelegak amarah-
nya. Maka begitu mendengar bentakan, kepalanya

segera berpaling ke arah sumber suara.
Ternyata tak jauh dari tempat Penghuni Ku-
bur telah tegak dua sosok anak muda. Yang satu 
seorang gadis cantik berpakaian serba hijau. Di se-
belahnya, seorang pemuda tampan dengan rambut 
gondrong sebahu berpakaian rompi dan celana ber-
sisik warna putih keperakan. Mereka tak lain dari 
Siluman Ular Putih dan Arum Sari.
"Bocah bau kencur! Siapa kau?!" bentak 
Penghuni Kubur garang.
Siluman Ular Putih sejenak mengedarkan 
pandangan ke sekeliling. Bukannya heran melihat 
puncak Gunung Bucu yang berantakan, melainkan 
heran kenapa eyang dan ibunya tak berada di tem-
pat ini. Inilah yang sebenarnya merisaukan hati Si-
luman Ular Putih. Karena, tak mungkin bila ibu dan 
eyangnya tak mendengar teriakan Penghuni Kubur 
tadi.
"Penghuni Kubur! Ketahuilah! Temanku ini 
adalah yang bergelar Siluman Ular Putih. Sedang 
aku sendiri adalah putri tunggal Sepasang Pendekar 
Garuda Emas. Aku sengaja datang kemari untuk 
meminta tanggung jawabmu atas tewasnya kedua 
orangtuaku," Arum Sari yang menjawab.
"Kau...? Jadi kaukah putri tunggal Sepasang 
Pendekar Garuda Emas itu? Bagus! Aku memang 
ingin sekali melenyapkan semua keturunan Sepa-
sang Pendekar Garuda Emas. Kebetulan sekali kau 
datang mengantar nyawa, Gadis," kata Penghuni 
Kubur, melecehkan.
Penghuni Kubur mendengus angkuh. Kilatan-
kilatan sepasang matanya yang mencorong terlihat 
makin mengerikan. Seolah, ingin meluluh lantakan

gadis cantik di hadapannya lewat pandangan ma-
tanya.
"Jangan takabur, Penghuni Kubur! Justru 
kaulah yang patut mendapat gebukan karena berani 
lancang mengotori tempat eyangku," ingat Siluman 
Ulas Putih, lantang.
"Jadi kaukah cucu tua bangka Kamasetyo itu, 
Bocah?" desis Penghuni Kubur. "Bagus! Tak bertemu 
tua bangka itu, tak jadi soal. Yang penting, kau ha-
rus menebus dosa eyangmu!"
"Aku paling benci terhadap orang-orang pon-
gah macam kau, Penghuni Kubur! Kalau boleh me-
nasihati, cepatlah kembali ke jalan kebenaran. Per-
cuma saja kau malang melintang berlumur dosa. 
Cucilah hatimu sampai bersih!"
"Puahhh! Kau dan tua bangka Kamasetyo itu 
sama saja. Sama-sama suka menjual lagak. Cih! 
Siapa sudi mempedulikan bacotmu, Bocah Bau Ken-
cur? Tak ada gunanya berkhotbah di depan Peng-
huni Kubur. Karena justru aku akan mengirim nya-
wa busukmu ke dasar neraka!"
"Ccccck ck ck...! Kasihan! Sudah tua bukan 
bertobat, eh, malah makin menjadi...."
"Setan alas! Jaga bacotmu, Bocah!"
Belum juga gema bentakannya menghilang, 
Penghuni Kubur menghantamkan sepasang tangan-
nya ke depan. Tampak pelan saja, namun pada saat 
bersamaan Siluman Ular Putih merasakan hanta-
man angin yang luar biasa hebat!
"Hup!"
Siluman Ular Putih buru-buru menghindar 
dengan melompat ke atas, setelah mendorong tubuh 
Arum Sari. Sehingga serangan itu hanya menyambar

angin kosong.
"Bajingan! Rupanya kau punya sedikit kepan-
daian juga, ya? Pantas saja berani menjual lagak di 
depan Penghuni Kubur!"
Penghuni Kubur kembali menghantamkan 
kedua telapak tangannya ke depan. Kini pusaran 
angin dari kedua telapak tangannya bukan saja me-
nyerang Siluman Ular Putih, tapi juga menyerang 
Arum Sari yang baru saja bersiap.
Melihat serangan datang, kedua anak muda 
itu segera membuang tubuh ke samping. Namun 
anehnya, serangan pusaran angin Penghuni Kubur 
terus mengejar!
Arum Sari terpekik kaget. Mulutnya terbuka 
hendak bicara, namun suaranya terhenti di tenggo-
rokan saat pusaran angin tahu-tahu telah mengge-
brak ke arahnya!
"Keparat!" maki Arum Sari seraya menghan-
tamkan kedua telapak tangan untuk memapak se-
rangan Penghuni Kubur. Dan....
Blammm!
Terdengar satu ledakan hebat saat Arum Sari 
berhasil memapak serangan Penghuni Kubur. Tapi 
samar-samar sosok tubuh Arum Sari tampak ter-
lempar jauh ke belakang, berputar-putar sebentar 
dan terbanting keras.
"Aruuum...!" jerit Siluman Ular Putih kalap.
Sekali menghentak kaki, tahu-tahu tubuh Si-
luman Ular Putih telah berada di samping Arum Sa-
ri. Disangganya kepala gadis cantik itu dengan len-
gan kirinya.
"Kau tak apa-apa. Arum?" tanya Siluman Ular 
Putih, cemas bukan main.

Arum Sari meringis menahan rasa nyeri dan 
goncangan dalam dadanya. Sebelah lengannya men-
dekap dadanya erat-erat. Gadis ini tak tahan lagi. 
Desakan dari dalam perutnya seolah tak terben-
dung. Dan....
"Hoeekh!"
Darah merah kehitam-hitaman kontan me-
nyembur dari mulut Arum sari. Bersamaan itu kepa-
lanya terkulai lemas.
Siluman Ular Putih seketika jadi kalang ka-
but. Buru-buru dirabanya denyut nadi gadis itu. 
Masih bergerak-gerak kendati lemah sekali. Tapi itu 
cukup membuat Soma lega. Ternyata sahabat can-
tiknya masih hidup. Perlahan-lahan tubuh Arum Sa-
ri dipondong dan dibawa ke tempat yang aman. Baru 
kemudian Siluman Ular Putih kembali menghadapi 
Penghuni Kubur.
"Kau harus bertanggung jawab atas celakanya 
gadis itu. Juga, atas kelancanganmu datang ke tem-
pat eyangku ini," desis Siluman Ular Putih setelah 
kembali di hadapan Penghuni Kubur.
Penghuni Kubur hanya tertawa bergelak. Na-
mun anehnya, kedua bibir lelaki sesat itu tak berge-
rak-gerak sama sekali. Bahkan tiba-tiba kedua tan-
gannya menyentak ke depan.
Wusss!
Seketika meluruk dua gulungan bola asap hi-
tam dari kedua telapak tangan Penghuni Kubur ke 
arah Siluman Ular Putih.
"Edan! Tua bangka ini cukup lihai juga. Aku 
harus hati-hati menghadapi bangkotan tua ini...!"
Siluman Ular Putih segera mengerahkan pu-
kulan ‘Tenaga Inti Bumi’. Dan secepat itu pula ke

dua telapak tangannya segera dihantamkan ke de-
pan untuk memapak.
Weeesss! Weeesss!
Siluman Ular Putih terkesiap kaget. Ternyata, 
ia hanya menghantam angin kosong belaka. Belum 
hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba satu kekuatan 
dahsyat yang entah datang dari mana telah membe-
tot tubuhnya. Dan....
Bukkk!
Tahu-tahu saja Siluman Ular Putih terbanting 
keras di bongkahan batu besar, namun cepat me-
lompat bangun. Kini, raut wajahnya berubah merah 
padam. Kedua pelipisnya bergerak-gerak dengan ra-
hang mengembung pertanda telah dilanda amarah.
"Hebat! Itu pasti yang dinamakan pukulan 
'Tenaga Inti Bumi'. Tapi, percuma saja. Karena tak 
mungkin kau dapat mengalahkan pukulan 
'Pembetot Darah Mayat'ku!" teriak Penghuni Kubur 
mengenali pukulan yang tadi dilontarkan Siluman 
Ular Putih.
"Hm...! Kalau pukulanku sudah dikenalinya, 
berarti tua bangka ini pasti bekas musuh bebuyutan 
Eyang. Pantas saja kepandaiannya tangguh," gu-
mam Siluman Ular Pulih dalam hati seraya mem-
perhatikan kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah jadi kemerah-merahan, pertanda telah terke-
na racun pukulan milik Penghuni Kubur. Untung-
nya tenaga dalam pemuda ini telah mencapai taraf 
tinggi. Kalau tidak, sudah pasti nyawanya telah me-
layang sejak tadi.
"Tunggu, Bocah Gondrong! Apakah kau yang 
telah menewaskan Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi?" kata Penghuni Kubur seraya mengangkat

tangan kanannya.
"Kalau memang iya, kau mau apa, Bangkotan 
Tua!" sembur Siluman Ular Pulih, kesal.
"Bagus! Kalau begitu, kau memang patut 
modar di tanganku," geram Penghuni Kubur.
Sebelum gema geramannya lenyap, Penghuni 
Kubur telah menghantamkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Seketika meluruk dua gulungan bola 
hitam kemerah-merahan dari kedua telapak tangan-
nya, siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih tentu saja tak ingin tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan Penghuni Ku-
bur. Maka segera disiapkannya pukulan 'Tenaga Inti 
Bumi' yang telah dipadukan dengan 'Tenaga Inti 
Api'. Dan begitu kedua telapak tangannya dihan-
tamkan ke depan, seketika melesat dua larik sinar 
merah dan putih. 
Besss!
Tak ada suara ledakan yang terdengar saat 
kedua pukulan itu beradu. Namun pukulan 'Tenaga 
Inti Bumi' milik Siluman Ular Putih yang telah diga-
bung dengan pukulan 'Tenaga Inti Api' tiba-tiba ter-
tahan di udara. Lalu laksana dihantamkan kekuatan 
luar biasa, pukulan itu menukik deras ke bawah!
Bummm!
Tanah berbatu kontan berhamburan tinggi ke 
udara begitu terjadi ledakan yang memekakkan te-
linga. Pecahan bongkahan-bongkahan batu di pun-
cak gunung tampak berseliweran ke sana kemari. 
Samar-samar di depan, sosok Siluman Ular Putih 
tampak bergetar hebat. Selang beberapa saat, tu-
buhnya pun mencelat beberapa tombak ke belakang.
Begitu mendarat di tanah, Siluman Ular Putih

berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Na-
mun kedua kakinya tetap goyah, hingga tanpa am-
pun tubuhnya terbanting keras dengan napas me-
gap-megap!
Di pihak lain, kaki Penghuni Kubur hanya 
sempat tersurut beberapa langkah ke belakang. Tu-
buhnya bergoyang-goyang. Namun di kejap kemu-
dian telah tenang kembali. Malah sambil berkacak 
pinggang tawanya yang bergelak diumbar keras-
keras.
"Edan! Tak mungkin pukulan gabungan 
'Tenaga Inti Bumi' dan ‘Tenaga Inti Api’ dapat dimen-
tahkan bangkotan tua itu dengan begitu mudah. 
Hm...! Kukira hanya dengan ajian pamungkas 
'Titisan Siluman Ular Putih' sajalah aku dapat mero-
bohkannya...," gumam Siluman Ular Putih dalam 
hati.
Saat itu juga, kedua bibir Siluman Ular Putih 
segera berkemik-kemik membaca mantera ajian 
'Titisan Siluman Ular Putih'. Sebentar kemudian tu-
buhnya telah dipenuhi asap pulih tipis hingga tak 
kelihatan sama sekali. Dan saat uap putih yang me-
nyelimuti tubuh Siluman Ular Putih sirna tertiup 
angin, maka seketika itu juga....
"Ggggeeeerrr!!!"

SEMBILAN


"Siluman Ular Putih...!"
Penghuni Kubur terkesiap kaget. Sepasang 
matanya yang mencorong bak mata serigala terbela-
lak liar. Apa yang terlihat di balik asap putih yang
masih menyelimuti sebagian sosok panjang sebesar 
pohon kelapa itulah yang membuatnya terkejut.
Dari balik gulungan asap putih yang menye-
limuti, sosok ular putih raksasa itu mencuatkan ke-
pala menampakkan sepasang matanya yang berwar-
na. Sebentar kemudian, sosok ular putih itu hanya 
menampakkan punggungnya yang meliuk-liuk di an-
tara gulungan asap putih tipis.
"Ha ha ha...! Tak kusangka kau juga bisa be-
rubah menjadi ular jejadian, Siluman Ular Pulih! 
Tapi siapa takut denganmu?" ejek Penghuni Kubur 
setelah rasa terkejutnya hilang.
"Ggggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih mengibaskan ekornya ke 
sana kemari. Debu-debu dan bongkahan batu kon-
tan berhamburan ke sana kemari. Sementara, tar-
ing-taring runcingnya siap menerkam tubuh Peng-
huni Kubur.
"Keparat! Kau jangan berlenggak-lenggok 
menjual lagak, Siluman Ular Putih! Makanlah puku-
lan 'Bola Api'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Penghuni Kubur 
menghantamkan kedua telapak tangannya ke depan. 
Seketika meluruk dua gulungan bola asap hitam 
kemerah-merahan dari kedua telapak tangannya.
Bukkk! Bukkk!
"Ggggeeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat ketika 
dua gulungan bola asap hitam kemerahan itu telak 
menghantam tubuhnya. Ular raksasa itu terlempar 
ke samping, dan terbanting keras. Puncak Gunung 
Bucu bergetar hebat! Bongkahan-bongkahan batu 
dan pasir kontan membubung tinggi ke udara!

Penghuni Kubur tertawa bergelak, mengira 
tubuh Siluman Ular Putih telah hancur berantakan. 
Namun alangkah terkejut hatinya manakala melihat 
sosok ular putih raksasa itu masih utuh tak kurang 
satu apa pun! Sedikit pun tidak terluka! Malah se-
pasang matanya yang memerah kini memandang be-
ringas pada Penghuni Kubur.
"Setan alas! Rupanya kau kebal terhadap pu-
kulan 'Bola Api'!" geram Penghuni Kubur tak per-
caya.
Sekali lagi, Penghuni Kubur kembali meng-
hantamkan kedua tangannya ke depan. Rasa tak 
percayanya membuatnya makin melipatgandakan 
tenaga dalam. Saat itu pula dua gulungan bola hi-
tam kemerah-merahan meluruk kembali dari kedua 
telapak tangannya, langsung menghantam tubuh Si-
luman Ular Putih.
Bukkk! Bukkk!
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng keras. Sua-
ranya yang terdengar sampai jauh ke pelosok lem-
bah. Sedang tubuhnya yang panjang kembali ter-
lempar. Namun seperti kejadian pertama, sedikit 
pun tidak mengalami luka! Malah kini ekornya diki-
bas-kibaskan ke sana kemari membuat tanah di se-
kitar tempat pertarungan bergetar!
Dan begitu taring-taringnya terbuka lebar, ti-
ba-tiba Siluman Ular Putih telah menerjang hebat 
Penghuni Kubur.
Wesss!
Lelaki berbalut kain kafan ini terperangah ka-
get, tak menyangka Siluman Ular Putih akan menye-
rang begitu hebat. Bahkan sebelum taring-taring Si

luman Ular Putih mengenai sasaran, terlebih dahulu 
telah berkesiur angin kencang menampar kulit tu-
buhnya.
Tentu saja Penghuni Kubur tidak ingin tu-
buhnya jadi santapan empuk taring-taring Siluman 
Ular Putih. Dengan gerakan indah tiba-tiba tubuh-
nya meliuk dengan tangan kanan menyampok ke 
samping.
Bukkk!
Sosok panjang ular putih raksasa itu lang-
sung terpental ke samping. Namun rupanya kali ini 
Siluman Ular Putih bertindak cerdik. Begitu tubuh-
nya terpental, ekornya langsung membelit tubuh 
Penghuni Kubur kuat-kuat!
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih terus melilit tubuh Peng-
huni Kubur dengan taring siap mencaplok kepala. 
Dan bau amis bukan kepalang yang keluar dari mu-
lutnya membuat Penghuni Kubur mau muntah. Na-
mun lelaki tua ini berusaha tetap bertahan. Meski 
dalam keadaan sangat terjepit, tiba-tiba tangannya 
yang berisi pukulan andalan 'Pembetot Darah Mayat' 
dihantamkan. 
Bukkk!
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih meraung setinggi langit. 
Lehernya yang terkena hantaman tangan Penghuni 
Kubur kontan terpental ke belakang. Maka, terlepas-
lah tubuh Penghuni Kubur dari libatan ekornya.
"Hebat! Hebat! Aku kagum padamu, Siluman 
Ular Putih. Tapi jangan bangga dulu! Kau tetap akan 
modar di tanganku!" geram Penghuni Kubur seraya 
bersiap kembali.

Dalam kejap itu pula, Penghuni Kubur kem-
bali mendorongkan kedua telapak tangannya ke de-
pan, melepaskan dua larik sinar merah menyala 
yang langsung meluncur dahsyat ke arah ubun-
ubun kepala Siluman Ular Putih.
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih meraung hebat begitu pu-
kulan Penghuni Kubur menghantam ubun-ubunnya. 
Tubuhnya oleng ke sana kemari. Satu kekuatan 
dahsyat dua larik sinar merah menyala yang terus 
menghajar ubun-ubunnya seolah ingin membetot 
keluar otak Siluman Ular Putih!
Raungan Siluman Ular Putih terdengar amat 
mengerikan. Kibasan-kibasan ekornya makin liar 
menghantam apa saja yang ada di sekitarnya. Satu 
tenaga betotan yang luar biasa dahsyat membuat 
ular putih raksasa ini jadi kewalahan. Ia berusaha 
sekuat tenaga menahan tenaga betotan dari dua la-
rik sinar merah yang berpusat dari tangan Penghuni 
Kubur. Namun, hasilnya tetap sama saja. Malah per-
lahan-lahan tubuh Siluman Ular Putih mulai terse-
ret mengikuti tarikan tangan Penghuni Kubur.
"Sekaranglah saatnya kau mampus di tan-
ganku, Siluman Ular Putih!"
Mendapat siksaan dahsyat luar biasa, Silu-
man Ular Putih jadi tak tahan lagi. Dan kini, sosok-
nya telah dipenuhi asap putih tipis, hingga tak keli-
hatan sama sekali. Saat Siluman Ular Putih itu sirna 
tertiup angin, yang tampak kini adalah sosok pemu-
da gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo!
"Keluarkanlah semua kepandaianmu sebelum 
ajal menjemput, Siluman Ular Putih!" ejek Penghuni 
Kubur.

Siluman Ular Putih yang kini telah menjelma 
menjadi manusia kembali tampak meringis kesaki-
tan. Ubun-ubun kepalanya seolah ingin copot keluar 
berikut isinya. Parasnya pucat pasi dengan bibir 
bergetar-getar hebat, pertanda menderita luka dalam 
lumayan.
"Bagus! Rupanya kau sudah terluka, Siluman 
Ular Putih. Itu berarti memudahkanku untuk mele-
nyapkan nyawa busukmu!"
Terdorong ingin segera menghabisi riwayat Si-
luman Ular Putih, Penghuni Kubur kembali siap 
menghantamkan tangan ke depan. Namun baru saja 
bergerak, mendadak telah berkesiur angin kencang 
yang disertai harum bunga melati.
Wesss!
Begitu cepatnya, membuat Penghuni Kubur 
tak sempat mengelak. Dan.... 
Bukkk!
* * *
"Setan alas! Siapa yang berani main gila den-
gan Penghuni Kubur, he?!"
Tubuh Penghuni Kubur yang terlempar ke 
samping cepat bangkit dengan sepasang mata kon-
tan membelalak liar ke arah seekor ular putih rak-
sasa lain yang tubuhnya jauh lebih besar. Ular rak-
sasa yang tadi meluncur di atas, sempat menghan-
tam tubuh Penghuni Kubur hingga terjengkang.
"Ibu...!" pekik Soma terkejut bercampur gem-
bira melihat ular putih raksasa itu menghampirinya.
Ular putih raksasa yang sebenarnya jelmaan 
Dewi Ratri itu sejenak memperhatikan putranya. Se

pasang matanya yang sarat kerinduan tampak be-
rair, seolah-olah ingin segera memeluk anak ke-
sayangannya. Dan karena kerinduannya terhadap 
putra tunggalnya inilah yang membuat Siluman Na-
ga Puspa keluar dari tempat bertapa, tanpa sepenge-
tahuan ayahnya. Akibatnya Eyang Begawan Kama-
setyo jadi kelabakan mencari-carinya.
Setelah Siluman Naga Puspa merasa kesuli-
tan mencari putranya dengan wujud berupa seekor 
ular putih raksasa, akhirnya diputuskan untuk 
kembali ke tempat bertapa. Tapi apa yang dilihatnya 
di puncak Gunung Bucu sungguh membuat hatinya 
geram. Ternyata, anaknya tengah kewalahan meng-
hadapi Penghuni Kubur. Maka Siluman Naga Puspa 
segera datang menolong.
"Setan alas! Tentu ini ular jejadian yang ber-
nama Siluman Naga Puspa! Bagus! Sekali tepuk da-
pat dua mangsa!" ejek Penghuni Kubur.
"Ibu...! Hati-hati! Tua bangka ini lihai sekali!" 
teriak Soma memperingatkan ibunya.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis yang 
hanya diketahui oleh Eyang Begawan Kamasetyo 
dan Soma.
"Ya, Bu! Hajar saja bangkotan tua itu!"
"Zzzzzt! Zzzzzzttt!"
Siluman Naga Puspa mengibas-ngibaskan 
ekornya ke sana kemari. Taring-taringnya yang 
runcing terlihat berkilauan tertimpa sinar matahari.
Memang aneh sekali ular putih raksasa ini. 
Besar tubuhnya yang melebihi pohon kelapa ternya-
ta bukannya menebarkan bau amis, tapi malah me-
nebarkan bau harum bunga melati! Penghuni Kubur 
memang pernah mendengar ciri-ciri serta nama si

luman ular itu. Namun, baru kali ini bertemu lang-
sung.
"Majulah, Ular Keparat! Kau pun akan kubuat 
tak berdaya seperti bocah gondrong itu!"
Siluman Naga Puspa mengibas-ngibaskan 
ekornya sebentar. Lalu dengan kecepatan kilat tu-
buhnya melesat cepat ke depan. Taring-taringnya 
yang tajam siap meremukkan batok kepala Penghuni 
Kubur. Sementara kibasan ekornya yang mampu 
memecahkan batu sebesar gajah bergerak pula ke 
arahnya.
Wesss!
Hebat bukan main serangan ular raksasa ini. 
Ranting-ranting pohon berderak terkena angin sam-
barannya. Namun yang dihadapi kali ini bukanlah 
tokoh kemarin sore, melainkan Penghuni Kubur 
yang menjadi salah satu dedengkotnya dunia persi-
latan untuk golongan hitam.
Walaupun sempat tercekat, namun Penghuni 
Kubur sudah dapat menguasai keadaan. Dengan se-
kali melenting ke udara, serangan Siluman Naga 
Puspa dapat dihindari dengan mudah. Bahkan begi-
tu berada di udara tangan kirinya telah melontarkan 
satu pukulan.
Bukkk! 
"Zzzzttt!"
Siluman Naga Puspa mendesis hebat. Sosok-
nya yang panjang kontan meliuk deras ke samping. 
Meski demikian ular raksasa ini masih dapat bertin-
dak cerdik. Begitu sosoknya oleng, ekornya telah 
menghantam punggung Penghuni Kubur.
Bukkk!
"Aaah...!"

Penghuni Kubur menjerit kesakitan. Tubuh-
nya yang kurus langsung terpental beberapa tombak 
ke samping. Namun cepat bangkit berdiri. Kalau saja 
tenaga dalamnya belum mencapai tingkat tinggi, bu-
kan mustahil tubuhnya akan hancur berantakan! 
Dan dengan tenaga dalamnya pula hingga guncan-
gan dalam tubuhnya dapat ditahan.
Sementara Siluman Naga Puspa mendesis-
desis hebat. Sepasang matanya kini mencorong ta-
jam ke arah Penghuni Kubur. Mungkin merasa he-
ran melihat tubuh lawannya tidak terluka sedikit 
pun.
"Bajingan! Kau harus mampus di tanganku! 
Terimalah pukulan 'Bola Api'-ku! Hea!"
Berbareng teriakannya yang lantang, Penghu-
ni Kubur cepat menghantamkan kedua telapak tan-
gannya ke depan. Seketika melesat dua gulungan 
bola asap berwarna hitam kemerah-merahan melu-
ruk deras ke arah Siluman Naga Puspa.
"Zzzzttt!"
Siluman Naga Puspa tak mau kalah. Begitu 
serangan datang tiba-tiba diterjangnya Penghuni 
Kubur kendati harus menembus dua bola asap ber-
warna hitam kemerah-merahan.
Besss!
Terjangan Siluman Naga Puspa yang men-
gandung tenaga dalam luar biasa sejenak tertahan 
di udara, tergulung dua bola asap hitam dari kedua 
telapak tangan Penghuni Kubur. Ular raksasa ini 
mendesis-desis hebat. Kibasan-kibasan ekornya kian 
liar memporak-porandakan apa saja yang ada di se-
kitarnya. Puncak Gunung Bucu tergetar. Bongkahan 
balu-batu besar berhamburan ke sana kemari,

membuat pemandangan jadi gelap tertutup debu 
yang membumbung tinggi ke udara!
"Sekarang rasakan bogemku ini, Siluman Ke-
parat! Heaaah...!"
Penghuni Kubur menyentakkan kedua tela-
pak tangannya ke atas. Laksana terdorong oleh satu 
kekuatan dahsyat luar biasa, tiba-tiba tubuh Silu-
man Naga Puspa terangkat tinggi ke udara. Di saat 
demikian, tiba-tiba kekuatan dahsyat dari kedua te-
lapak tangan Penghuni Kubur menyentak dahsyat 
ke bawah. 
Blammm!
Siluman Naga Puspa menggeliat hebat saat 
tubuhnya menghantam tanah yang diatasnya terda-
pat bongkahan-bongkahan batu. Tulang-tulang tu-
buhnya seakan mau hancur. Kali ini amarahnya 
makin berkobar. Kendati tak mengalami cedera se-
dikit pun, namun sudah cukup membuatnya harus 
mengadu nyawa terhadap Penghuni Kubur.
Soma sendiri yang melihat keadaan ibunya 
jadi cemas bukan main. Dengan susah payah pemu-
da itu melompat bangun. Saat itu, Siluman Naga 
Puspa tengah mengibas-ngibaskan ekornya berin-
gas. Sepasang matanya yang mencorong kian men-
gerikan. Mulut mendesis-desis hebat, seolah ber-
siap-siap menerjang kembali. Namun baru saja hen-
dak melaksanakan niatnya, tiba-tiba....
"Ratri! Hentikan!"

SEPULUH

Mendengar suara halus bernada tegas yang 
amat dikenali, Siluman Naga Puspa berpaling. Dili-
hatnya seorang lelaki berusia delapan puluh tahun 
lebih dengan pakaian putih bersih tahu-tahu telah 
berdiri tegak tak jauh dari tempat pertarungan. Wa-
jahnya putih bersih. Rambutnya yang putih meman-
jang digelung ke atas. Sedang jenggotnya yang juga 
berwarna putih dibiarkan tergerai. Tak lain dan tak 
bukan, lelaki tua ini memang Eyang Begawan Ka-
masetyo.
Di samping lelaki tua itu berdiri pula seorang 
kakek berpakaian tambal-tambalan mirip pengemis. 
Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya awut-awutan 
tak terawat dengan sepasang mata kecil dan bibir hi-
tam. Sambil mengetuk-ngetukkan tongkat butut di 
tangan kanan, matanya memperhatikan Penghuni 
Kubur seksama. Siapa lagi tokoh ini kalau bukan Ki 
Damar Suto alias Raja Penyihir.
"Eyang...!" teriak Siluman Ular Putih gembira 
bercampur terkejut.
Eyang Begawan Kamasetyo hanya melirik ke 
arah Soma sebentar, lalu beralih kembali menatap 
Penghuni Kubur.
"Bagus! Rupanya kau masih punya nyali ber-
hadapan denganku, Kamasetyo," ejek Penghuni Ku-
bur disusul tawa bergelak.
Eyang Begawan Kamasetyo tak menggubris 
ejekan Penghuni Kubur. Diberinya isyarat pada Si-
luman Naga Puspa agar menyingkir. Namun, aneh-
nya Siluman Naga Puspa malah mendesis-desis se

perti hendak melaporkan sesuatu pada Eyang Bega-
wan Kamasetyo.
"Sudahlah, Ratri! Aku tahu. Rindumu tak ter-
tahankan untuk segera bertemu puteramu, hingga 
kau meninggalkan tempat pertapaan tanpa seijinku. 
Sekarang menyingkirlah, Putriku! Itu puteramu su-
dah menunggu," ujar Eyang Begawan Kamasetyo, 
memahami apa maksud desisan Siluman Naga Pus-
pa.
Siluman Naga Puspa kini tak berani lagi 
membantah. Perlahan-lahan tubuhnya beringsut 
menghampiri putranya yang masih ngejoprak tak 
berdaya di samping Arum Sari. 
"Kamasetyo! Semula aku memang mengira 
kalau kaulah yang membunuh Empat Iblis Merah 
dari Hutan Seruni. Tapi, ternyata cucumu yang telah 
membunuh mereka. Berhubung sudah kepalang ba-
sah, tak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus mem-
bunuh siapa saja yang telah berani membunuh 
adik-adik seperguruanku. Kalau kau mencoba 
menghalang-halangi, kau pun tak akan luput dari 
kematian di tanganku!" kata Penghuni Kubur, pon-
gah.
"Lagakmu dari dulu selalu pongah, Penghuni 
Kubur. Kau pikir semua orang di kolong jagat ini 
akan selalu tunduk di bawah kakimu?" tukas Eyang 
Begawan Kamasetyo, kalem.
"Puahhh! Bacotmu sungguh nyaring, Kama-
setyo. Aku jadi tak sabar untuk menjajal apakah ke-
pandaianmu juga senyaring bacotmu, he?!"
"Kamasetyo! Biarkan aku menghajar tua 
bangka tak tahu diri ini!" timpal Raja Penyihir seraya 
menuding Penghuni Kubur.

"Maaf, Sobat! Penghuni Kubur datang kemari 
sengaja ingin mencariku. Apalagi ia ingin membu-
nuh cucuku. Tentu saja sebagai eyangnya, aku tak 
mengizinkan cucuku celaka!"
"Bah! Apa kau pikir, aku tak berhak melin-
dungi cucumu? Ingat! Cucumu juga muridku! Apa 
aku tak boleh membela muridku sendiri? Minggir, 
Kamasetyo! Biarkan aku menghajar manusia pongah 
ini!"
Raja Penyihir mendorong sobatnya ke samp-
ing. Terpaksa Eyang Begawan Kamasetyo hanya me-
nurut, walau hatinya kurang puas atas keputusan 
Raja Penyihir. Namun, tak ada alasannya ia menga-
lah. Karena Ki Damar Suto pasti tak akan menerima 
begitu saja bila Eyang Begawan Kamasetyo tetap 
bersikeras. Seperti, sewaktu mengajak bersama un-
tuk mencari Siluman Naga Puspa yang pergi me-
ninggalkan tempatnya bertapa. Eyang Begawan Ka-
masetyo pun tak dapat menolak sikap keras Raja 
Penyihir. Demikian juga ketika tiba-tiba Ki Damar 
Suto berubah pikiran untuk segera kembali ke pun-
cak Gunung Bucu.
Sebenarnya, persoalannya hanya satu. Eyang 
Begawan Kamasetyo malas bersilat lidah dengan Ra-
ja Penyihir. Sebagai kawan lama, sudah pasti lelaki 
tua penghuni Gunung Bucu itu tahu bagaimana pe-
rangai Ki Damar Suto. Di samping itu, Eyang Bega-
wan Kamasetyo pun menyadari bagaimana sulitnya 
mencari Siluman Naga Puspa yang meninggalkan 
tempatnya bertapa tanpa izin. Maka tanpa berpikir 
panjang lagi diturutinya ajakan Raja Penyihir untuk 
kembali ke puncak Gunung Bucu.
Akan tetapi apa yang terlihat di Gunung Bucu

membuat hati kedua orang kakek itu jadi gembira. 
Ternyata, Siluman Naga Puspa beserta putranya te-
lah berada di puncak Gunung Bucu. Sewaktu meli-
hat putrinya tengah menghadapi Penghuni Kubur, 
Eyang Begawan Kamasetyo pun segera mencegah.
"Ha ha ha...! Tua bangka jelek Raja Penyihir! 
Kukira kau pun sudah mendengar apa yang kukata-
kan tadi. Siapa saja yang berani menghalang-halangi 
niatku untuk membunuh bocah gondrong itu, ter-
paksa akan kulenyapkan juga!" geram Penghuni Ku-
bur.
"Boleh...!" Raja Penyihir mengangguk-angguk 
sambil mendekati Penghuni Kubur selangkah demi 
selangkah.
"Majulah, Tua Bangka Jelek! Kau pun akan 
segera mampus di tanganku!" dengus Penghuni Ku-
bur.
Saat itu pula Penghuni Kubur segera meng-
hantamkan kedua telapak tangan ke depan. Maka 
kembali melesat cepat dua gulungan bola asap, siap 
melabrak tubuh Raja Penyihir.
Raja Penyihir terkekeh senang.
"Pukulan 'Bola Api'! Bagus! Aku senang sekali 
melihatnya. Sudah lama kita tidak saling gebuk, 
Manusia Kuburan," ejek Raja Penyihir, seraya cepat 
menghantamkan kedua telapak tangan ke depan. 
Seketika dua gulungan asap putih melesat cepat me-
labrak pukulan Penghuni Kubur!
Bessss!
Tak ada bunyi yang berarti akibat bentrokan 
dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Namun 
samar-samar, terlihat sosok tubuh Penghuni Kubur 
dan Raja Penyihir bergetar hebat. Selang beberapa

saat tubuh mereka terjajar beberapa langkah ke be-
lakang dengan paras pias. Dari sini bisa dilihat ka-
lau tenaga dalam kedua kakek renta itu berimbang!
"Aku senang sekali meladenimu, Penghuni 
Kubur. Tak kusangka kau makin hebat saja," ujar 
Raja Penyihir.
Penghuni Kubur menggeram penuh kemara-
han. Tiba-tiba kedua telapak tangannya kembali dis-
entakkan ke depan, melepaskan pukulan ‘Bola Api’ 
dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Hingga saat 
itu juga, kembali meluruk dua gulungan bola asap 
hitam kemerah-merahan disertai hawa panas luar 
biasa!
Meski Raja Penyihir masih sedikit merasakan 
nyeri di dada akibat bentrokan tenaga dalam tadi, 
namun tentu saja tak mau tinggal diam. Serta-merta 
kedua telapak tangannya diangkat, lalu didorong ke 
depan mengirimkan pukulan 'Tangan Gaib Penindih 
Setan' andalannya.
Splassshh...! 
Blarrr...!
Tempat pertarungan seketika berubah jadi te-
rang benderang dengan hawa panas luar biasa 
menghampar ke segenap penjuru, diiringi ledakan 
hebat di udara. Bahkan kemudian ditingkahi suara 
pekikan dan suara erangan perlahan.
Sosok tubuh Raja Penyihir dan Penghuni Ku-
bur tampak saling berpentalan beberapa tombak ke 
belakang,
Bukkk! Bukkk!
Raja Penyihir terlihat terhuyung-huyung ke 
belakang. Sosoknya yang tinggi kurus bergoyang-
goyang dengan tangan gemetar. Sepasang matanya

yang kecil mengerjap-ngerjap penuh kagum meng-
hadapi pukulan milik Penghuni Kubur tadi.
Sementara di depan sana, sosok Penghuni 
Kubur tampak terhuyung-huyung jauh ke belakang, 
sebelum akhirnya terbanting keras di tanah berbatu. 
Tapi lelaki tua terbungkus kain kafan itu cepat me-
lompat bangun. Raungannya yang sarat akan kema-
rahan seolah ingin merobek angkasa.
"Bajingan tua! Kubunuh kau!"
Penghuni Kubur kembali menerjang Raja Pe-
nyihir garang dengan kedua telapak tangan segera 
dihantamkan ke depan. Kejap itu pula melesat dua 
larik sinar merah menyala dari kedua telapak tan-
gannya disertai suara menggidikkan.
Wesss! Wesss!
Kening Raja Penyihir berkerut sebentar. Me-
rasa heran dengan pukulan yang baru saja dilontar-
kan Penghuni Kubur. Namun saat dua larik sinar 
merah menyala dari kedua telapak tangan Penghuni 
Kubur tinggal berjarak setengah tombak, tiba-tiba 
tubuhnya mencelat tinggi ke udara. Sehingga puku-
lan Penghuni Kubur hanya menghantam bongkahan 
batu besar di belakang-nya.
Brakkk!
Batu gunung sebesar gajah di belakang Raja 
Penyihir kontan hancur berkeping-keping begitu ter-
kena pukulan Penghuni Kubur. Dari kepingan-
kepingan batu mengepul uap hitam kemerah-
merahan, seolah-olah mengandung bara api!
"Pukulan Pembetot Darah Mayat'...!" desis Ra-
ja Penyihir penuh kagum, sekaligus ngeri mem-
bayangkan seandainya pukulan Penghuni Kubur 
melabrak tubuhnya. Sudah pasti tubuhnya akan

hancur dan hangus terbakar!
"Keluarkan semua kepandaianmu. Raja Pe-
nyihir! Kita tentukan nasib kita di sini. Kau atau 
aku yang lebih dulu modar di tempat ini!" tantang 
Penghuni Kubur, jumawa.
"Satu permainan menarik. Senang sekali aku 
meladenimu, Penghuni Kubur. Lihat!"
Raja Penyihir cepat menggosok-gosokkan ke-
dua telapak tangannya, menciptakan dua gulungan 
asap hitam. Selang beberapa saat, kedua telapak 
tangannya ditarik-tarik seperti sedang mengulur 
seutas tali. Kenyataannya, dari kedua telapak tan-
gannya kini jelas tercipta dua gulungan tali hitam.
"'Tali Gaib'...!" desis Penghuni Kubur terkejut 
manakala dua gulungan tali hitam dari kedua tela-
pak tangan Raja Penyihir mulai menyerangnya.
Srattt! Srattt!
Dengan segenap ilmu meringankan tubuhnya, 
Penghuni Kubur cepat berkelit-kelit menghindari ter-
jangan 'Tali Gaib' ciptaan Raja Penyihir. Lelaki tua 
berkain kafan ini tahu, sekali saja kakinya sampai 
terlibat gulungan tali hitam di tangan Raja Penyihir, 
sulitlah baginya untuk melepaskan diri.
Berpikir sampai di sini, Penghuni Kubur me-
mutuskan untuk menghindar. Namun sambil me-
layang-layang di udara, ia sesekali melepas pukulan 
maut.
Wusss...!
Kini terlihat cahaya merah terang dari kedua 
telapak tangan Penghuni Kubur kontan melesat ce-
pat ke depan. Kira-kira berjarak setengah jengkal 
dari tubuh Raja Penyihir, mendadak cahaya merah 
menyala dari tangan Penghuni Kubur mengembang,

membungkus gulungan-gulungan 'Tali Gaib'.
Besss!
Tak ada ledakan yang terdengar. Yang ada 
hanya semburat cahaya merah menyala yang tengah 
bergulung-gulung dengan dua larik 'Tali Gaib' Raja 
Penyihir di udara. Sementara sosok Raja Penyihir 
dan Penghuni Kubur sama-sama bergetar hebat. Ke-
ringat dingin telah membasahi wajah, namun tak 
ada yang mau mengalah.
Penghuni Kubur dan Raja Penyihir terus me-
ningkatkan tenaga dalam ke telapak tangan. Siapa 
yang sedikit saja lengah atau mengendurkan tenaga 
dalam, berarti mati!
Raja Penyihir tak menginginkan itu, dan terus 
berusaha menahan gumpalan cahaya merah menya-
la dari kedua telapak tangan Penghuni Kubur. Kalau 
saja gagal, bukan mustahil tubuhnya akan jadi san-
tapan empuk gumpalan sinar merah menyala milik 
Penghuni Kubur.
Di depannya, sosok Penghuni Kubur tampak 
bergoyang-goyang. Kedua kakinya yang menggigil 
malah telah terbenam ke dalam tanah hampir seba-
tas lutut. Meski demikian, tekadnya tetap membaja. 
Bagaimanapun juga, gulungan 'Tali Gaib' Raja Pe-
nyihir harus tetap ditahan agar jangan sampai 
membelit tubuhnya. Sebab bila hal ini terjadi, berar-
ti kematian akan menjemput.
Pada saat Raja Penyihir dan Penghuni Kubur 
tengah mengadu tenaga dalam demikian hebat. 
Arum Sari yang baru saja siuman dengan kesadaran 
pulih langsung menujukan pandangan ke arah per-
tarungan. Dan begitu melihat sosok Penghuni Kubur 
amarahnya kontan menggelegak sampai ubun-ubun.

Parasnya kontan menegang.
"Hiaaat...!"
Arum Sari tak tahan lagi dan segera bangkit. 
Lalu diiringi pekik kemarahannya, tiba-tiba diter-
jangnya Penghuni Kubur dengan pedang di tangan. 
Ia merasa saat inilah waktu yang tepat untuk me-
nuntaskan dendamnya.
"Bajingan tua! Kau harus mampus di tangan-
ku! Arwah ayah ibuku telah menunggu di alam ba-
ka!"
Penghuni Kubur terkejut bukan main. Saat 
itu, keadaannya benar-benar amat mengkhawatir-
kan. Sedikit saja tenaga dalamnya dikendurkan, be-
rarti kematian menanti. Namun, ia juga tak sudi 
membiarkan tubuhnya jadi sasaran empuk pedang 
di tangan gadis itu.
Melihat kenekatan Arum Sari, Siluman Ular 
Putih, Eyang Begawan Kamasetyo, dan Siluman Na-
ga Puspa yang tengah memperhatikan jalannya adu 
tenaga dalam tingkat tinggi dengan hati cemas, jadi 
terkesiap kaget. Belum sempat mereka bertindak. 
Arum Sari keburu menerjang Penghuni Kubur. 
"Setan kecil! Enyahlah kau!"
Rupanya, tak ada pilihan lain lagi bagi Peng-
huni Kubur. Melihat kenekatan Arum Sari, sebagian 
tenaga dalamnya segera dialihkan ke arah si gadis. 
Akibatnya....
"Aaaakh...!"
"Aaa...!"
Penghuni Kubur kontan terpental jauh ke be-
lakang. Tubuhnya berputar-putar sebentar sebelum 
akhirnya tubuhnya terbanting keras.
Sementara tubuh Arum Sari sendiri pun tak

luput dari sambaran cahaya merah dari tangan kiri 
Penghuni Kubur yang keras menghantam tubuhnya. 
Tanpa ampun lagi putri tunggal mendiang Sepasang 
Pendekar Garuda Emas melayang jauh ke belakang 
dan terbanting keras ke bongkahan batu!
Brakkk!
Bongkahan-bongkahan batu tempat tubuh 
Arum Sari terbanting kontan hancur berkeping-
keping. Sedang gadis itu sendiri pun terkulai di ta-
nah, tak bergerak-gerak lagi.
"Aruuuummm...!"

SEBELAS


Bak banteng terluka, Siluman Ular Putih se-
gera melompat. Segera ditopangnya tubuh Arum Sa-
ri dengan tangan dan paha kirinya. Tampak olehnya 
sekujur tubuh Arum Sari memerah. Darah segar ter-
lihat membersit di sudut-sudut bibirnya yang mun-
gil.
Soma menggereng hebat. Dengan jari-jari ge-
metar, segera diperiksanya denyut nadi di pergelan-
gan tangan Arum Sari. Ternyata, denyut nadi gadis 
murid Nenek Rambut Putih itu masih berdetak, wa-
lau amat lemah.
Siluman Ular Putih menghela napas lega. 
Namun hal ini bukan berarti harus membiarkan 
Penghuni Kubur. Pemuda ini bertekad, tetap akan 
membuat perhitungan dengan tokoh sesat dari Hu-
tan Seruni itu. Dan berhubung Arum Sari saat ini 
tengah membutuhkan pertolongannya, dengan san-
gat terpaksa niatnya harus ditunda untuk melabrak
Penghuni Kubur. Perlahan-lahan Soma menduduk-
kan Arum Sari. Sambil memegangi kedua bahu si 
gadis, pemuda ini beringsut ke belakang. Segera Si-
luman Ular Putih bersila di belakang Arum Sari. Ke-
dua telapak tangannya segera ditempelkan ke pung-
gung si gadis.
"Kau sedang terluka, Cucuku! Jangan paksa-
kan menyalurkan tenaga dalam ke tubuh gadis itu!"
Siluman Ular Putih mendongak. Ternyata, 
Eyang Begawan Kamasetyo telah berdiri di bela-
kangnya. Sedang ibunya, Siluman Naga Puspa telah 
berada pula di samping Eyang Begawan Kamasetyo. 
Tak henti-hentinya ular putih raksasa jelmaan Dewi
Ratri mendesis-desis, merasa turut prihatin atas 
musibah yang dialami Arum Sari.
"Ibu...!"
Hanya itu yang terucap dari bibir Siluman 
Ular Putih manakala melihat sepasang mata menco-
rong ibunya.
"Zzzzttt!"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis, seolah-
olah melarang apa yang tengah terbersit dalam be-
nak anaknya.
"Ibu melarangku untuk melabrak Penghuni 
Kubur? Kenapa, Bu?" tanya Siluman Ular Putih, 
mengerti maksud desisan ibunya.
"Zzzzttt...!"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali 
ini, sepasang matanya yang mencorong berair. Lalu 
dijilat-jilatinya tubuh Soma seolah-olah tengah 
membelai-belai lembut putra kesayangannya.
Siluman Ular Putih merasa trenyuh. Sengaja 
dibiarkan ibunya menumpahkan segenap kerin

duannya.
"Ibu...! Kenapa Ibu tak mengijinkan aku 
membuat perhitungan dengan Penghuni Kubur?" 
tanya Soma.
"Zzzzttt...!"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis. Sepa-
sang matanya yang mencorong terus memperhatikan 
sekujur tubuh putra kesayangannya penuh kasih. 
Lalu kepalanya menggeleng-geleng.
"Apa, Bu? Ibu tak membiarkanku melabrak 
Penghuni Kubur karena aku masih terluka dalam?"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali 
ini, sepasang matanya yang mencorong ditujukan ke 
arah jalannya pertarungan antara Raja Penyihir me-
lawan Penghuni Kubur yang telah berlangsung kem-
bali.
"Baik, Ibu. Kukira Raja Penyihir memang 
mampu mengatasi Penghuni Kubur," sahut Siluman 
Ular Putih akhirnya.
Memang saat itu Raja Penyihir tengah berada 
di atas angin. Akibat Penghuni Kubur membagi te-
naga dalamnya tadi ke arah Arum Sari, kini kedua 
kakinya telah terlilit ‘Tali Gaib’ dari kedua telapak 
tangan Raja Penyihir.
Berulang kali Penghuni Kubur berusaha me-
lepaskan libatan 'Tali Gaib', namun selalu saja gagal. 
Setiap tangannya memapas selalu saja seperti me-
nebas angin kosong. Namun hebatnya, 'Tali Gaib' 
Raja Penyihir tetap saja melibat kedua kaki Penghu-
ni Kubur. Sedikit pun tak terpengaruh oleh tebasan-
tebasan tangan Penghuni Kubur. Bahkan libatannya 
makin kuat saja.
"Tua bangka jelek! Pengecut kau! Beraninya

main keroyok!" maki Penghuni Kubur resah bukan 
main. Seketika itu juga parasnya jadi pucat mem-
bayangkan saat-saat ajal menjemput.
Raja Penyihir terkekeh senang. Seperti men-
dapat permainan baru, 'Tali Gaib' di tangannya asyik 
diayun-ayunkan. Maka saat itu juga tubuh Penghu-
ni Kubur oleng ke sana kemari. Dan tiba-tiba 'Tali 
Gaib' disentakkan ke atas ke bawah, membuat tu-
buh Penghuni Kubur menukik tajam ke bawah. La-
lu....
Brakkk!
"Aaa...!"
Bongkahan batu sebesar gajah kontan hancur 
berkeping-keping begitu terhantam punggung Peng-
huni Kubur. Tubuh lelaki tua sesat itu sendiri pun 
langsung menggeliat-geliat hebat dengan raungan 
kesakitan. Terdengar suara berderak, mengisya-
ratkan kalau tulang punggungnya telah remuk be-
rantakan.
"Mampuslah kau, Manusia Kuburan! Enak 
kan, menikmati saat-saat ajal datang?" ejek Raja Pe-
nyihir.
"Bajingan! Lepaskan aku, Tua Bangka Jelek! 
Ayo, kita bertarung dengan sewajarnya sampai ada 
yang modar!" hardik Penghuni Kubur kalap bukan 
main.
"Enak saja kau mengatur-ngatur! Apa kau ti-
dak sadar kalau aku juga bertarung secara wajar? 
Kau menghendaki pertarungan macam apa lagi, 
he?!" sungut Raja Penyihir mirip nenek-nenek kehi-
langan susur.
Penghuni Kubur terus mencaci maki. Tapi Ra-
ja Penyihir sama sekali tak mempedulikannya. Sam

bil terkekeh-kekeh senang tubuh Penghuni Kubur 
terus dihantam-hantamkan ke bongkahan-
bongkahan batu di puncak Gunung Bucu. Hingga 
akhirnya, tubuh itu hancur tak berbentuk lagi. Kain 
kafan pembungkus tubuh kurusnya pun hancur tak 
karuan berbalur noda darah di sana sini. Hebatnya, 
di saat Penghuni Kubur menemui ajal. ‘Tali Gaib’ 
pun mengendur dan lenyap ke dalam telapak tangan 
Raja Penyihir.
"Akhirnya kau modar juga, Manusia Kubu-
ran!" dengus Raja Penyihir.
Selangkah demi selangkah Raja Penyihir me-
langkah mendekati lawannya. Sekali lihat saja, bisa 
dipastikan kalau tubuh Penghuni Kubur memang te-
lah menjadi mayat.
"Kau sudah modar, Penghuni Kubur. Seka-
rang, kau boleh pilih. Mana kuburan yang kau su-
kai."
Tiba-tiba Raja Penyihir mengayunkan ka-
kinya. Dan....
Desss!
Tanpa ampun, tubuh Penghuni Kubur kontan 
terpental jauh ke belakang, lalu menghilang di balik 
lereng sebelah barat puncak Gunung Bucu. Untuk 
sesaat Raja Penyihir memperhatikan ke arah sosok 
tubuh Penghuni Kubur menghilang. Lalu sembari 
terkekeh senang, lelaki tua yang juga guru Siluman 
Ular Putih ini kembali bergabung dengan Eyang Be-
gawan Kamasetyo.
* * *
Saat itu Eyang Begawan Kamasetyo tengah

menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Arum Sari. Se-
dang Siluman Ular Putih beserta ibunya turut pula 
menunggui sambil berharap-harap cemas. Tanpa 
banyak sikap Raja Penyihir segera meletakkan pan-
tatnya di samping Eyang Begawan Kamasetyo.
"Perlu bantuanku?" tanya Raja Penyihir.
Eyang Begawan Kamasetyo menggeleng per-
lahan. Kedua telapak tangannya terus menempel di 
punggung Arum Sari, terus menyalurkan tenaga da-
lam.
Melihat gelengan kepala Eyang Begawan Ka-
masetyo, Raja Penyihir tahu diri. Ia tak ingin men-
gumbar kata-kata dan hanya duduk membisu di 
samping Eyang Begawan Kamasetyo.
Selang beberapa saat tubuh Arum Sari pun 
mulai menggeliat-geliat. Dengan susah payah, gadis 
ini mencoba membalikkan badan. Untung saja 
Eyang Begawan Kamasetyo segera membantu. Kalau 
tidak, belum tentu Arum Sari mampu mengangkat 
tubuhnya yang lemas tak bertenaga.
"Syukur kau sudah siuman. Arum," desah Si-
luman Ular Putih.
Arum Sari mengerjap-ngerjapkan mata. Seje-
nak gadis ini merasa heran melihat dirinya dikeru-
bungi banyak orang. Lalu sepasang mata indah itu 
jelalatan ke sana kemari.
"Mana Penghuni Kubur?" tanya gadis itu, be-
ringas.
"Sudah modar di dasar jurang sana!" jelas Ra-
ja Penyihir seraya menudingkan telunjuk jarinya.
"Hm...!" Arum Sari menggigit bibirnya kuat. 
"Sayang sekali aku tak dapat membunuhnya...."
"Sudahlah! Kau jangan ungkit-ungkit lagi

bangkotan tua itu, Arum! Katanya, kau ingin berke-
nalan dengan ibuku?" tukas Soma.
"Oh, ya? Mana ibumu?" tanya Arum Sari, seo-
lah telah mampu melupakan kebenciannya terhadap 
Penghuni Kubur.
"Ini!" Soma langsung memeluk Siluman Naga 
Puspa penuh kasih sayang.
Kata-kata Arum Sari terputus. Tangannya 
membekap mulutnya sendiri. "Kau tak perlu sung-
kan-sungkan, Gadis. Memang itu putri kesayangan-
ku. Cuma karena...." Eyang Begawan Kamasetyo ter-
lihat ragu-ragu menjelaskan musibah yang menimpa 
putrinya. Namun karena tak ada gunanya menyem-
bunyikan rahasia yang menimpa putrinya, akhirnya 
dijelaskan juga bagaimana putrinya sampai menjel-
ma jadi ular putih raksasa. 
"Oh...! Kasihan sekali kau, Bibi...," desah 
Arum Sari merasa trenyuh sekali begitu mendengar 
cerita Eyang Begawan Kamasetyo. Karena terdorong 
rasa trenyuhnya gadis ini mencoba meraih tubuh Si-
luman Naga Puspa. Langsung dipeluknya ular rak-
sasa itu erat-erat, seolah-olah sedang memeluk ibu 
kandungnya sendiri.
Siluman Ular Putih tersenyum senang. Apala-
gi, manakala murid Eyang Begawan Kamasetyo itu 
melihat sepasang mata indah Arum Sari berbinar-
binar ke arahnya. Seolah, tengah memancarkan rasa 
kasih yang amat dalam. Entah rasa kasih itu dituju-
kan pada ibunya, entah ditujukan pada Siluman 
Ular Putih. Soma sendiri tidak tahu. Hanya yang je-
las, ia amat kaget manakala tiba-tiba pundaknya di-
tepuk Raja Penyihir dengan kasar.
"Hey..., Bocah Edan! Mulai saat ini juga, kau

harus memanggilku Guru, tahu!" 
"Apa? Enak saja!" 
"Kkkau...." 
Raja Penyihir salah tingkah tak karuan. Mu-
lutnya memberengut habis-habisan. Tapi justru Si-
luman Ular Putih dan Eyang Begawan Kamasetyo 
malah tertawa-tawa senang, makin membuat Ki 
Damar Suto tak mengerti....


                               SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar